MUDIK DAN KERETAKAN BUDAYA

Oleh: Agus Maladi Irianto Jurusan Sastra , Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro

ABSTRACT

Returning to hometown phenomenon has became a tradition in Indonesia. That tradition is considered as the most effective movement to contribute fund to the rural area. Returning to hometown is accelerating money distribution from urban area to rural area. The tradition of returning to hometown is happened because of the migration movement from rural area to urban area which then becoming an uncontrollable urbanization. The uncontrollable urbanization is happened because of the poverty matter in the rural area. Meanwhile, the uncontrollable urbanization is also creating poverty in the urban area. That’s because lots of the informal sector workers are farmers who leave their rural area.The tradition of returning to hometown contains the dimensions of spiritual, psychological and social that must be addressed by implementing a cultural heteronomy. The commuters are in the pulling aside condition between the new situation and values and the old situation and values. The tradition of returning to hometown is expressing the strength of the primordial bindings of the urban people, while the urban values should be more mondial characterized. Urban area, for the commuters, are not more just a shelter, while their home is still considered in the rural area where they are coming from.

Keywords : Tradition of returning to hometown, poverty, urbanization and cultural heteronomy

A. PENDAHULUAN sama sekali tidak mempengaruhi nilai-nilai para penghuninya. Fenomena mudik di Indonesia, Kota selalu diidentikkan dengan telah menjadi tradisi bagi bangsa peradaban dan kebudayaan. Kata Indonesia. Bahkan arus mudik “kebudayaan” dalam bahasa Arab adalah diperkirakan akan semakin meningkat “al-hadharah”, yang juga berarti tinggal di sesuai dengan perkembangan penduduk perkotaan.Sebaliknya,sepertidalamkataSun dan migrasi dari desa ke kota. Tak ada dapesisir dan Betawi, kata “udik” (yang tradisi mudik tanpa didahului fenomena seakar dengan kata “mudik”) merujuk migrasi dari desa ke kota. Namun, ini tak kepada “desa” dan “kampungan, kurang berarti bahwa fenomena mudik maupun beradab”. Perbedaan nilai yang menonjol urbanisasi semata-mata menyangkut antara desa dan kota terletak pada persoalan perpindahan orang dari satu intensitas respons daya-daya manusiawi tempat ke tempat lain. Sebab, kedua atas daya-daya alami. Kota lebih culture, tempat yang dirujuknya—yaknidesa dan sebab di sini daya-daya manusia selalu kota—bukansuatu ruang hampa nilai, yang tampak kuat untuk mengatasi determinasi kebeningan hati, kedamaian laku, dan alam. Sedangkan desa lebih nature, di sini kepedulian terhadap soal kemiskinan. manusia lebih ditaklukkan oleh daya-daya Modernitas, tentunya akan melahirkan alam,atas nama keseimbangan dengan keterasingan diri, sebagai dampak dari alam. Para sosiolog memperlihatkannya kapitalisme, di mana pekerja yang dengan menunjuk fakta bahwa kota menghadapi raksasa impersonal di merupakan tempat-tempat pusat industri, lingkungan perkotaan. Ketakberdayaan, kantong mobilitas ekonomi, dan pusat perasaan terpencil, dan tidak bermakna kekuasaan yang membuat keputusan- cenderung menghinggapi jiwa manusia keputusan khalayak. modern ketika mereka berada pada kuasa Kota dipandang mempunyai daya pemilik modal. Tak hanya itu, tarik, lebih beradab dan berbudaya individualisme pun menguat karena di kota ketimbang desa, tidak berarti bahwa kota sekumpulan hari adalah waktu untuk benar-benar merupakan ruang ideal bagi bekerja, “I Only Work Here” manusia. Sangat banyak kritik dilontarkan (Kuntowijoyo, 2006: 109). atas nilai-nilai urban. Kritik-kritik ini Itulah yang disebut Kuntowijoyo semakin tajam dengan mengindustrinya sebagai sebuah kesadaran balik. Seorang daerah perkotaan. Kritik-krtik ini pertama- pejabat kembali kepada perilaku “udik” tama menunjuk kepada logika khas yang tidak berani mengambil hak milik industrialisasi, yakni logika fungsional. orang lain. Pengusaha dan pekerja dapat Dengan logika ini, identitas manusia kota menyisihkan sebagian hartanya untuk ditentukan oleh fungsinya sehinggga warga di tempat tujuan bermudik. Sebab kehilangan identitas objektif dirinya selama tinggal di kota, hidup ini (identitas ontologis).Manusia-kota sedemikian ditunggangi ketidakmerdekaan cenderung terkonsentrasi kepada diri. Mudik ke halaman adalah pekerjaannya secara mekanis. Dengan upaya pembebasan diri dari penatnya demikian, manusia kota diliputi aktivitas masyarakat kota yang anonimitas. Logika fungsional individualistik. Di dalam kata mudik dan industrialisasi pula yang memperparah “udik” juga terkandung kesamaan arti watak individualisme kaum urban yang bahwa perilaku asali manusia mesti telah ada sebelumnya. mencerminkan keaslian diri seperti Dengan dua karakteristik nilai ini, kolektivisme, kejujuran, dan peduli bagi para pengkritiknya, manusia-kota terhadap sesama sebagai ciri khas warga di menjadi sosok yang kering kerontang. tempat asal kita. Kondisi ini semakin kronis dengan Selama kita hidup di perkotaan kecenderungan orientasi kota kepada nilai- yang individualistik, tak salah kalau sehari nilai yang material dan profan. Lengkaplah dua hari meluangkan waktu untuk berbagi sudah kegersangan manusia-kota. dengan warga kampung. Socrates pernah Berangkat dari asumsi-asumsi tersebut berbisik, hidup yang tak diperiksa tidak banyak orang memandang bahwa tradisi layak diteruskan. Kenapa? Sebab ketika mudik memberikan dampak positif bagi tidak diperiksa atau direfleksikan, tiada kaum urban yang berasal dari desa. bedanya dengan hehewanan. Peristiwa Dengan mudik, mereka mendapatkan gempa beberapa pekan lalu, diharapkan siraman nilai-nilai desa untuk meredakan dapat menyadarkan kita untuk sejenak kegersangan yang dialaminya di kota. berefleksi, berbagi dengan sesama adalah Oleh karenanya, diyakini bahwa mudik misi suci tanpa henti. Bagi pemudik dari dapat menjadi mekanisme penyimbangan Daerah Jawa Barat Selatan, itu adalah nilai-nilai kaum migran. pesan kemanusiaan untuk mengingat Secara hermeneutis, mudik adalah kembali penderitaan warga miskin. Atau proses mengembalikan diri ke arah dengan kata lain, mudik berusaha menumbuhkan kembali “sense of crisis” Permasalahannya adalah, mengapa adalah awal membentuk harapan korban tradisi mudik terus belangsung dan jumlah bencana sehingga kembali menguat dan para pemudik pun terus berkembang? menemukan optimisme. Meskipun harus Benarkah tradisi mudik berkaitan langsung diakui bahwa tradisi mudik bukan hanya dengan adanya urbanisasi yang tak monopoli bangsa Indonesia, namun kita terkendali dari desa ke kota? Benarkah yakin bahwa mudik di negeri ini telah penyebab berkembangnya arus mudik tercatat sebagai peristiwa yang luar biasa. disebabkan adanya kemiskinan di Di Filipina misalnya, perayaan Natal, juga pedesaan? terjadi gerak mudik besar-besaran, termasuk mudiknya para tenaga kerja asing. Khusus mengenai para tenaga kerja B. URBANISASI TAK TERKENDALI asing itu, jumlah uang (remitansi) yang Masalah kemiskinan di pedesaan mereka bawa masuk ke Filipina saat dan bertambahnya tenaga kerja dari desa mudik, mencapai lebih dari lima miliar yang memenuhi wilayah perkotaan, harus dollar AS, dengan total pemasukan diakui telah menciptakan urbanisasi yang mencapai 16 milyar dollar AS dalam tak terkendali. Bahkan, sejak tahun 1970- setahun (lihat Suara Merdeka, 5 an, sejumlah ahli telah mengangkat topik September 2010) . tersebut menjadi perhatian utama di Dengan demikian, dapat dikatakan sejumlah negara berkembang. Menurut bahwa tradisi mudik ternyata lebih efektif sejumlah ahli, masalah tenaga kerja dan menyalurkan dana ke daerah. Mudik urbanisasi di perkotaan berkaitan erat mempercepat distribusi uang dari kota ke dengan munculnya kemiskinan di pedesaan. Hal ini diperkuat tersedotnya pedesaan (bandingkan pada Hart, 1973; uang dari pusat kegiatan bisnis yang Manning dan Tadjudin, 1996; Mazumdar, dibawa pemudik. Di tengah kelesuan 1976; MC Gee, 1971; Sayogo, 2002; dan ekonomi akibat krisis keuangan global, Todarro, 1977). mudik justru telah menggerakkan ekonomi Sayogo (2002) mencatat, Indonesia. Satu hal yang pasti, konsumsi kemiskinan di pedesaan dibuktikan dengan dan belanja masyarakat meningkat. menurunnya jumlah penduduk yang tetap Dengan mengalirnya dana dari pusat ke bekerja sebagai petani dan buruh tani. daerah, dari kota ke pedesaan, dari Jawa ke Bertolak dari data satuan rumah tangga, luar Jawa, dari ke kota-kota kecil antara tahun 1975 dan 1993 terdapat lainnya, justru menggambarkan adanya gambaran bahwa jumlah petani turun dari kesenjangan wilayah kota dan desa. 48% ke 30%, buruh tani turun dari 12% ke Apabila dilihat secara sektoral, 10%, sebaliknya bukan-petani di desa naik pertumbuhan ekonomi Indonesia dari 18% ke 22%. Di lingkungan kota, didominasi oleh sektor industri golongan bukan-petani juga meningkat pengolahan, perdagangan, komunikasi, dari 15% menjadi 24%. dan jasa keuangan. Keseluruhan sektor itu Para petani melakukan urbanisasi menjadi ciri dari kekuatan kota dan urban. ke kota dan memilih pekerjaan baru di Artinya, pertumbuhan ekonomi masih perkotaan pada dasarnya telah terjadi dimotori oleh kekuatan kota. Sementara di penyesuaian struktural. Penyesuaian wilayah regional atau daerah, pertumbuhan struktural itu, oleh Thorbecke (1993: 45- ekonomi masih didominasi oleh kekuatan 60) dianggap telah mengurangi tingkat tradisional berupa pemanfaatan sumber kemiskinan, baik di desa maupun di kota. daya alam. Sektor-sektor yang menjadi Dalam kasus migrasi petani Jawa penggerak masih berupa sektor pertanian misalnya, pengalihan dari pertanian telah dan pertambangan. membuat pendapatan dan curahan tenaga petani meningkat. Apalagi, lahan pertanian di Jawa sudah terbatas, maka peluang lain pekerjaan dan pendapatan (bandingkan adalah mencari pekerjaan di luar pertanian. pada Sanchez 1981: 144-158). Suatu proses penyesuaian rasional yang Kembali menyinggung keberadaan dipilih para petani untuk mampu bertahan petani yang kemudian meninggalkan dunia dan menekuni sektor yang baru pertanian untuk bekerja di kota— (bandingkan pada Popkin, 1979). seringkali keberadaannya dilihat sebagai Akan tetapi, pandangan bahwa di pengangguran terselubung—justru desa penduduk bekerja di bidang menandai jenis pekerjaan sektor informal pertanian, sedangkan di kota biasanya di sejumlah kota negara berkembang. berkaitan dengan gaya kehidupan industri Sebab, keberadaannya yang berciri padat tentu masih perlu mendapat perhatian yang karya, tingkat pendidikan yang tidak lebih saksama. Hal itu, tentu bertolak dari menuntut jenjang terlalu tinggi, kenyataan bahwa tidak semua penduduk penggunaan teknologi menengah, kota terlibat atau memperoleh pekerjaan mudahnya keluar masuk usaha, serta dapat dari pabrik, atau perusahaan, atau kantor dilakukan dalam ruang lingkup keluarga, pemerintah, yang lazim disebut sektor justru secara ekonomis lebih efisien dan formal. Justru tidak sedikit di antara menguntungkan dalam menandai dinamika penduduk kota yang tertampung di sektor kehidupan perkotaan (bandingkan pada bukan formal, atau lazim disebut sektor Boiroh, 1973 dan Breman, 1980). informal. Jika bertolak dari pendapat Bertolak dari gambaran tersebutlah tersebut, lalu apa yang menentukan maka perlu ada suatu pengkajian perbedaan antara sektor formal dengan mendalam tentang keberadaan para sektor informal? “petani” yang kini cenderung Jan Breman (1980: 1-35) meninggalkan dunia pertanian dan berpendapat sektor formal digunakan memasuki sektor informal di perkotaan. dalam pengertian pekerja bergaji, seperti Bagaimana proses penyesuaian mereka pekerjaan dalam industri dan kantor memasuki sektor di luar pertanian, pemerintah. Hal itu meliputi: (a) sejumlah sehingga melahirkan sejumlah strategi pekerjaan yang saling berhubungan dan adaptasi? Jenis pekerjaan apa saja yang merupakan bagian dari struktur pekerjaan dianggap menjadi pilihan dan sesuai yang terjalin secara terorganisasi; (b) dengan ketrampilan yang mereka kuasai? pekerjaan yang secara resmi terdaftar Untuk menjawab pertanyaan statistik perekonomian; dan (c) syarat- tersebut maka perlu diajukan sejumlah syarat bekerja dilindungi oleh hukum. hipotesis sebagai jawaban sementara yang Sedangkan perekonomian yang tidak tujuannya tidak untuk diuji—tetapi sebagai memenuhi kriteria tersebut, dimasukkan pemandu—pada penelitian lapangan, dalam istilah sektor informal (suatu istilah berikut ini. yang mencakup pengertian berbagai Pertama, para “petani” yang kini kegiatan yang dalam istilah umum disebut cenderung meninggalkan dunia pertanian sebagai “usaha sendiri”). Sektor informal dan memasuki sektor informal di biasanya sulit dicacah dan sering perkotaan biasanya akan memilih jenis terlupakan dalam sensus resmi. Misalnya, pekerjaan yang mereka kuasai sesuai pedagang kaki lima, penjual koran, dengan keahlian yang mereka miliki dari penyemir sepatu, penjaga kios, pengemis, desa. Jika mereka memilih jenis pekerjaan pelacur, dan yang lain. Sektor informal yang sesuai dengan keahlian yang dimiliki seringkali didefinisikan sebagai usaha- dari desa, maka mereka akan cenderung usaha tingkat rendahan yang hanya memilih sejumlah jenis pekerjaan yang ada membutuhkan sedikit modal dan kaitannya dengan dunia pertanian. menggambarkan ketidakmenentuan Kedua, jika memilih pekerjaan yang ada kaitannya dengan dunia pertanian, maka di kota dibutuhkan lahan Pertama, keberadaan pedagang pertanian yang memadai untuk kaki lima sangat menandai dinamika dan menampung pekerjaan mereka. Akan mobilitas di perkotaan. Bahkan, tetapi, jika ternyata lahan tersedia di keberadaan pedagang kaki lima perkotaan lebih cenderung merupakan salah satu pekerjaan yang mengakomodasi sektor industri dan jasa, penting dan nyata di sejumlah negara maka yang harus dilakukan para “petani” berkembang (bandingkan pada Bromley, tersebut untuk beralih ke sektor lain yang 1978). Kedua, keberadaan pedagang kaki bisa jadi tidak berkaitan dengan dunia lima—terutama peran keluarga—masih pertanian, yang lazim disebut sektor jarang dikaji secara kualitatif, padahal informal. kehadirannya menjadi “jawaban terakhir” Ketiga, jika mereka memilih yang mungkin berhadapan dengan proses pekerjaan sektor informal, maka sejumlah urbanisasi dari desa ke kota dan keahlian yang didapat dari desa di luar pertumbuhan kesempatan kerja yang sektor pertanianlah dicoba untuk lambat dalam sektor industri (bandingkan dikembangkan ke kota. Jika mereka pada McGee, 1976). berusaha mengembangkan keahlian di luar Bertolak dari sejumlah gambaran sektor pertanian, maka sejumlah itu, lahirlah sektor informal di perkotaan keterampilan yang didapatkan dari akibat adanya urbanisasi yang berlangsung lingkungan keluargalah yang dijadikan terus menerus, dari desa ke kota. sarana untuk menguasai jenis pekerjaan di Meskipun para migran pedesaan seringkali perkotaan. dianggap sebagai kelompok miskin di Keempat, jika sejumlah perkotaan, namun bukan berarti bahwa keterampilan yang didapatkan dari mereka yang menekuni sektor informal lingkungan keluarga dijadikan sarana berarti miskin. Keberadaan sektor informal untuk menguasai jenis pekerjaan di justru sangat menandai dinamika struktur perkotaan, maka jenis pekerjaan dan pekerjaan di perkotaan, terutama bagi tingkat resiko yang dihadapi akibat sejumlah negara berkembang. Sejak istilah memilih pekerjaan tersebut menjadi sektor informal pertama kali dilontarkan tanggung jawab keluarga. antropolog Inggris, Keith Hart pada tahun Kelima, jika jenis pekerjaan dan 1970-an, maka banyak penelitian dan tingkat resiko yang dihadapi akibat kebijakan mulai menyoroti masalah memilih pekerjaan tersebut menjadi kesempatan kerja kelompok miskin di tanggung jawab keluarga, maka masing- perkotaan secara khusus (bandingkan pada masing keluarga akan berusaha Manning dkk., 1996). mengembangkan strategi bersama dalam Menurut Hart (1973: 61-89), rangka menguasai jenis pekerjaan di setelah mengamati kegiatan penduduk di perkotaan. kota Accra dan Nima, Ghana, pada Berdasarkan sejumlah hipotesis dasarnya kesempatan memperoleh tersebut, maka dalam penelitian sederhana penghasilan di perkotaan dapat dibagi ke ini peneliti akan mencoba mengkaji dalam kegiatan formal dan informal. keberadaan dan strategi adaptif “petani” Masing-masing kelompok itu dibedakan yang kemudian menekuni sektor informal dalam berbagai kategori yang didasarkan di perkotaan. Pengkajian terhadap sektor pada kegiatan yang dilakukan individu, informal ini—terutama bertolak dari jumlah pendapatan dan pengeluaran yang keberadaan pedagang kaki lima—serta mengalir dalam perekonomian kota. Selain melihat peran dan fungsi keluarga dalam itu, perbedaan sektor formal dan informal mendukung strategi tersebut. Topik ini dapat dilihat dari keteraturan cara kerja, dipilih dengan dua pertimbangan sebagai hubungan dengan perusahaan, curahan berikut: waktu, serta status hukum yang dilakukan. Dan, sektor informal merupakan kegiatan yang juga sejalan dengan pemikiran Boeke yang dilakukan kelompok miskin di tentang masyarakat petani. Dualisme perkotaan dalam rangka mempertahankan tersebut memuat penjelasan bahwa sektor hidup mereka. informal di satu pihak menunjuk pada Konsep sektor informal yang perekonomian pasar di kota, sementara di dilontarkan Hart tersebut, ternyata pihak lain menunjuk perekonomian direspons positif oleh ILO (International subsistem di pedesaan dengan ciri Labour Office) dan dikembangkan dalam utamanya sistem produksi pertanian yang penelitian yang dilakukan di delapan kota statis. Meskipun demikian, menurut Boeke negara berkembang, yaitu Sierra Leone (1953), perkembangan masyarakat petani (Free Town), Nigeria (Lagos dan Kana), pada dasarnya lebih bersifat sosial Ghana (Kumasi), Kolombo, Jakarta, daripada ekonomi. Boeke Manila, Kordoba, dan Brazil (Campinas). memperkenalkan nilai dan sikap Berdasarkan hasil penelitian di kota-kota masyarakat petani sebagai limited needs tersebut diungkapkan bahwa mereka yang atau oriental miticism, yakni suatu sikap terlibat dalam sektor informal pada yang merasa puas, tenteram, damai, tanpa umumnya miskin, berpendidikan rendah, harus merasakan keinginan yang lebih berpenghasilan rendah, dan modal usaha daripada sekadar memiliki. Maka, para rendah (Manning dkk., 1996:76-77). petani yang kemudian meninggalkan dunia Beberapa temuan yang merupakan pertanian statis itu berusaha bekerja di kesimpulan dari penelitian di delapan kota kota dan menekuni sektor informal, tersebut ternyata mendapat respons dari sebenarnya merupakan pilihan yang paling sejumlah ahli. Bahkan tak jarang yang rasional untuk mengatasi kemiskinan di kemudian mengkritisi dengan hasil pedesaan. Apalagi, sektor informal lebih penelitian baru, yang hasilnya berbeda berciri padat karya, tidak menuntut jenjang bertolak belakang dengan temuan pendidikan yang terlalu tinggi, lebih sebelumnya. Mazumdar (1976) misalnya, mudah untuk keluar masuk menekuni mencatat bahwa tidak semua yang bidang usaha tertentu, serta dapat melakukan kegiatan di sektor informal dilakukan dari ruang lingkup keluarga. berpenghasilan rendah. Pendapatan Bahkan, Papanek (1975) mengungkapkan, mereka justru bervariasi, bahkan kalau betapa pun kecilnya pendapatan yang dibandingkan dengan kelompok buruh diperoleh dari sektor informal di atau karyawan (kantor pemerintah, perkotaan, kesempatan kerja di kota perusahaan swasta, dan yang lain di dianggap jauh lebih baik daripada lapisan perkotaan) yang tergolong dalam sektor berpendapatan rendah di pedesaan Jawa. formal, pendapatan pekerja yang menekuni Berangkat dari pendapatan yang sektor informal justru lebih tinggi. Selain bisa diperoleh, kesempatan kerja yang bisa itu, kesimpulan bahwa yang terlibat dalam dilakukan, serta sejumlah peluang yang sektor informal pada umumnya miskin, bisa didapatkan di perkotaan itulah, maka oleh Mazumdar—yang juga meneliti bukan hal yang mustahil jika urbanisasi masalah pengangguran di Semenanjung masyarakat petani tak bisa dielakkan. —disanggah. Sebab, Apalagi, kesempatan bekerja, lahan yang dibandingkan dengan pendapatan mereka tersedia, serta pengalaman yang harus ketika masih di desa, pendapatan sekarang dikembangkan di pedesaan yang semakin dengan menekuni sektor informal di kota menyempit, maka mempertahankan justru jauh lebih besar. tinggal di desa menjadi sulit untuk Tanggapan senada juga dipertahankan. Untuk menunjukan diungkapkan Breman (1980), yang pada keberhasilan mereka di kota tersebut bagi dasarnya memandang sektor informal masyarakat petani di desa salah satu di merupakan suatu jenis teori dualisme baru, antaranya adalah dengan terus menerus Selain itu, mudik memiliki dimensi melanggengkan tradisi mudik. psikologis. Pulang ke kampung halaman bagi para pemudik bukan hanya sebatas untuk merayakan bersama C. MUDIK DAN KERETAKAN keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Kerasnya KULTURAL kehidupan kota, bisingnya kota, dan Satu pemandangan yang berbagai tekanan kerja lainnya membuat tampaknya tidak akan hilang pada setiap para migran ini mengalami stres di tempat menjelang Lebaran misalnya, adalah kerja, sementara keluarga yang menjadi tradisi mudik. Mudik memang telah tempat berbagi rasa jauh darinya. menjadi tradisi yang berlangsung lama Tenangnya suasana kampung halaman, dalam kultur masyarakat Indonesia pada sejuknya alam pedesaan, ramahnya setiap tahunnya. Para pemudik adalah keluarga dan kerabat menjadi alasan yang mereka yang hijrah ke kota, daerah lain, tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. bahkan negara lain, untuk bertemu Nostalgia kehidupan keluarga di kampung kembali dengan keluarga, sanak saudara, halaman juga menjadi salah satu obat kerabat, dan sahabat. mujarab untuk menghilangkan stres bagi Tradisi mudik bukan hanya erat masyarakat migran kota. kaitannya dengan perayaan Idul Fitri, Selain memuat dimensi spiritual melainkan juga erat kaitannya dengan dan psikologi, mudik juga memuat berbagai dimensi kehidupan manusia. dimensi sosial. Menjadi migran kota Paling tidak ada tiga dimensi yang dapat dengan setumpuk cerita keberhasilan kita amati dalam tradisi mudik. Pertama, merupakan sebuah kebanggaan. Mudik mudik memiliki dimensi spiritual- menjadi salah satu media untuk kultural.Mudik dianggap sebagai tradisi mengkomunikasikan cerita keberhasilan warisan yang dimiliki sebagian besar sekaligus menaikkan posisinya pada strata masyarakat Jawa. Hal ini sebagaimana sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya. diungkapkan oleh Umar Kayam (2002) Cerita sukses hidup di rantau biasanya bahwa tradisi mudik terkait dengan diwujudkan dalam berbagai bentuk kebiasaaan petani Jawa mengunjungi tanah aksesoris dan gaya hidup para migran di kelahiran untuk berziarah ke makam para tanah kelahiran. Tak pelak pada kondisi leluhur. terakhir ini mudik juga menjadi media Bagi sebagian besar masyarakat penyalur watak konsumeris dan hedonis. Jawa, kehidupan duniawi tidak dapat Dalam catatan Umar Kayam, dilepaskan dari kehidupan nanti di alam mudik sejatinya tradisi lama yang pernah keabadian. Begitu pula ikatan batin antara menghilang.Sejak Islam datang, mulai yang hidup dan yang mati tidak begitu saja terkikisnya budaya syirik, ziarah lepas oleh hilangnya nyawa di jasad. Oleh menemukan momentum saat Lebaran. karena itu, mereka menganggap bahwa Apalagi kultur Jawa yang kemudian berziarah dan mendoakan leluhur adalah diterima oleh kalangan Islam tradisional kewajiban. Karena itu muncullah tradisi menghasilkan akulturasi budaya yang berziarah dalam kurun waktu tertentu harmoni. Perlahan ziarah kubur yang meskipun dipisahkan oleh kondisi dianggap sebagai syirik dapat diterima geografis. Nilai spiritual yang tertanam oleh kalangan tradisional dengan disisipi dalam tradisi berziarah inilah yang ajaran agama. Mudik pun menjadi salah kemudian berdialektika dengan kultur satu tradisi spiritual bagi masyarakat untuk masyarakat yang kemudian melahirkan melakukan ziarah ke makam leluhur. tradisi mudik. Sayangnya, tradisi mudik yang demikian kemudian luntur lantaran niat mudik hanya untuk sekadar kelangenan Misalnya, dalam bahasa Jawa, kata (kesenangan), menghamburkan uang, “dalem” berarti “saya” yang sekaligus menunjukkan sikap konsumeris dan merujuk tentang makna tempat tinggal. hedonis. Akibatnya, mudik selalu menjadi Namun, tempat tinggal yang dimaksud persoalan, terutama terkait dengan bukanlah rumah, melainkan simbol kemacetan, kecelakaan, kriminalitas identitas. Dengan demikian, ikatan asal- jalanan, percaloan, dan kenyamanan usul sangat kuat bagi para migran— transportasi. meskipun telah lama tinggal di kota. Mudik dalam arti spiritual jarang Dari sini tampak bahwa fenomena dilakukan karena ia tidak banyak memberi mudik mengimplikasikan suatu kepuasan bagi para pemudik. Padahal heteronomi kultural. Para pemudik berada tradisi mudik yang selama ini terjadi, jika pada sisi tarik-menarik antara situasi dan dikaitkan dengan tradisi Lebaran, jauh dari nilai-nilai baru dengan yang lama. Di satu spirit yang mestinya dibangun. Hal ini sisi mereka tak bisa memungkiri bahwa merupakan sebuah kewajaran karena nilai- mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan nilai spiritual lebih bersifat abstrak dan berumah di kota. Di sisi lain, mereka tidak dapat dirasakan oleh orang lain. sangat terikat dengan desa yang menjadi Said Aqiel Siradj (2006) asal-usulnya. Hal ini berarti bahwa tradisi menegaskan bahwa makna tradisi Lebaran mudik memperlihatkan betapa masyarakat sebenarnya menyemai spirit spiritual- kita sangat dikendalikan oleh masa vertikal. Dalam arti orang-orang yang silamnya. Kepulangan para pemudik ke merayakan harus kembali pada kefitrian desanya merupakan simbol romantisme (kesucian) jati diri kemanusiannya sebagai masyarakat kita. Tantangannya terletak hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan pada pengalaman bahwa romantisme ibadah puasa yang dilakukan selama satu cenderung lebih bersifat reaktif ketimbang bulan penuh. Spiritual-vertikal manusia kreatif. ditempuh dengan ibadah dan akan Lebih dari itu, tradisi mudik sempurna jika dilanjutkan pada kesalehan menggambarkan masih kuatnya ikatan sosial-horizontal. Silaturahim menjadi primordial masyarakat. Dan sayangnya, wujud konkret dalam hal ini. Mudik ikatan-ikatan primordial itu justru tumbuh seharusnya dimaknai dengan menyambung pada mereka yang telah tinggal di kota, hubungan spiritual dengan para leluhur yang nilai-nilainya seharusnya lebih dan menyambut tali silaturahim dengan berwatak mondial. Persoalannya adalah keluarga, saudara, kerabat, dan sahabat. bahwa primordialisme cenderung bersifat Bukan untuk kepentingan prestise sosial absolut dan tertutup. Akibatnya, tradisi ataupun kepentingan material lainnya. mudik justru mempertajam dikotomi Berdasarkan sejumlah argumentasi makna bertempat-tinggal (dalem) dan itulah, tradisi mudik memuat makna berumah (griya). Kota, bagi para pemudik kultural, yang menyangkut identitas dan tak lebih dari rumah tempat berteduh. asal-usul entitas sosial-budaya. Tradisi Namun sebenarnya mereka masih mudik telah menjadi dialektika kultural bertempat tinggal di desa asalnya. Hal ini yang sudah berjalan berabad-abad mempertegas perbedaan intensitas lamanya. Dan, merupakan tradisi kepedulian orang terhadap lingkungannya. primordial masyarakat petani Jawa yang Intensitas kepedulian orang terhadap sudah dikenal jauh sebelum berdiri rumah (griya) cenderung lebih rendah Kerajaan . Dalam kebudayaan daripada terhadap tempat tinggal (dalem). Jawa misalnya, mudik berarti memuat Jika sikap primordial ini lebih makna tentang asal-usul genetis dan mengemuka, maka pada dasarnya kota transendental, sekaligus juga memuat selama ini lebih disikapi sebagai “tempat makna asal-usul ruang atau tempat. berteduh” itu, hanya menyisakan kemacetan jalan raya, kekumuhan yang telah meninggalkan desanya masing- perumahan, bahkan krimininalitas di masing. perkotaan. Ketiga, tradisi mudik memuat Dari sinilah, tradisi mudik justru dimensi spiritual, psikologis, dan sosial memperingatkan kita untuk tidak sekadar yang harus disikapi mengimplikasikan terpukau dengan bertambahnya “devisa suatu heteronomi kultural. Para pemudik desa” yang masuk dari para pemudik. berada pada sisi tarik-menarik antara Sebaliknya, fenomena mudik situasi dan nilai-nilai baru dengan yang menunjukkan betapa wajah kebudayaan lama. Di satu sisi mereka tak bisa kita retak dalam tarik-menarik yang tak memungkiri bahwa mereka hidup, bekerja, pernah tuntas. Yang terpenting adalah berdomisili, dan berumah di kota. Di sisi mengubah asal-usul dari sekadar suatu lain, mereka sangat terikat dengan desa ikatan yang menyesakkan menjadi suatu yang menjadi asal-usulnya. Hal ini berarti simpul orientasi ke masa depan. Artinya, bahwa tradisi mudik memperlihatkan tradisi mudik bukan semata-mata untuk betapa masyarakat kita sangat kembali ke asal-usul, sebab asal-usul dikendalikan oleh masa silamnya. menjadi sangat absurd ketika hanya kita Keempat, tradisi mudik sikapi sebagai tujuan. Mudik, alangkah menggambarkan masih kuatnya ikatan eloknya justru mampu mengkonstruksi primordial masyarakat di perkotaan, kesadaran bahwa asal-usul menjadi titik padahal nilai-nilai di perkotaan seharusnya tolak masa depan negeri ini. lebih berwatak mondial. Kota, bagi para pemudik tak lebih dari rumah tempat berteduh, mereka merasa tempat D. KESIMPULAN tinggalnya masih di desa asalnya. Intensitas kepedulian orang terhadap Bertolak dari sejumlah uraian rumah (griya) cenderung lebih rendah tersebut maka dapat disimpulkan sebagai daripada terhadap tempat tinggal (dalem). berikut. Pertama, fenomena mudik di Jika sikap primordial ini lebih Indonesia, telah menjadi tradisi bagi mengemuka, maka kota selama ini lebih bangsa Indonesia. Tradisi mudik dianggap disikapi sebagai “tempat berteduh” itu, sebagai gerakan paling efektif hanya menyisakan kemacetan jalan raya, menyalurkan dana ke daerah. Mudik kekumuhan perumahan, bahkan mempercepat distribusi uang dari kota ke krimininalitas semata yang justru pedesaan. Dengan mengalirnya dana dari menciptakan keretakan budaya. pusat ke daerah, dari kota ke pedesaan, dari Jawa ke luar Jawa, dari Jakarta ke kota-kota kecil lainya, justru DAFTAR PUSTAKA menggambarkan adanya kesenjangan wilayah kota dan desa. Boiroh, Paul, 1973. Urban Unemployment Kedua, tradisi mudik terjadi akibat in Developing Countries. migrasi dari desa ke kota yang kemudian Geneva:International Labor Office. berkembang menjadi urbanisasi yang tak 477-492. terkendali. Peristiwa urbanisasi yang tak Breman, J.C. 1980. The Informal Sector in terkendali terjadi akibat masalah Research, Theory and Practice. kemiskinan di pedesaan. Akan tetapi, Roterdam: Eramus University. akibat urbanisasi yang tak terkendali itu, Bromley, Ray. 1978. “Organisation, juga menciptakan kemiskinan di Regulation, and Exploitation in the perkotaan. Hal itu terjadi karena sejumlah socalled„Urban Informal Sector: tenaga kerja yang menguasai sektor The Street Traders of Cali, informal di perkotaan adalah para petani Colombia” dalam World Development. Great Britain: Rakyat, YAE-Bina Swadaya, Pergamon Press. Vol. 6. No. 9/10. Finacial Club Jakarta, 5 Februari hal 1161-1711. 2002. Creswell, John W. 1994. Research Design. Qualitative & Quantitative Approache. USA: SAGE Publication. Geertz, Hildred. 1985. Keluarga Jawa (terjemahan). Jakarta: Grafiti Pers (cetakan III). Koentjaraningrat. 1993. Metode-Metode Penelitian Masyarakat (Edisi Ketiga). Jakarta: Gramedia Pusataka Utama. McGee, 1976. “Hawkers and Hookers: Making out in Third World City: SomeSoutheast Asian Examples” dalam Manpower and Unemployment Research. Vol. 9. No.1. Hal. 3-22. Papanek, G.F. 1975. “The Poor of Jakarta” dalam Economic Development and Cultural Change. Vol. XXIV. Hal 1-27. Pelto, P.J., dan Gretel H.Pelto. 1978. Anthropological Research. Cambridge: Cambridge University Press. Popkin, Samuel L. 1979. The Rational Peasant: The Polotical Economy of Rural Society in Vietnam. Berkeley, Los Angeles, London: University of California Press. Rayeuk, Abdullah. 1993. Laporan penelitian dengan judul: “Tingkat Fertilitas Penduduk yang Bekerja Pada Sektor Non-formal : Studi Kasus Pedagang Kaki Lima Kodya Banda Aceh”, (Hasil penelitian- Banda Aceh). Sanchez, Carlos E., Horacio Palmeiro, dan Fernando Ferrero. 1981. “The Informal and Quasi Informal Sector” dalam The Informal Sector in Developing Countries (S.V. Sethuraman. Ed). Geneva: ILO Sayogo. 2002. “Pertanian dan Kemiskinan”. Makalah disampaikan padaPertemuan II Seminar Pendalaman Ekonomi