PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
IDENTITAS DIRI PEREMPUAN JAWA
YANG BERSTATUS MAHASISWI AKTIVIS
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh :
Tifanny Fiddiyah Ramadhani
149114123
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN MOTTO
“This too shall pass”
Edward Fitzgerald
iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
HALAMAN PERSEMBAHAN
dipersembahkan untuk :
Diri Sendiri. Akhirnya kamu bisa membuktikan bahwa kamu bisa melaluinya!
Yang selalu percaya pada kemampuanku ketika aku sendiri meragukannya;
Papa dan Mama,
Adik
Pacar
Teman-teman dan para Sahabat
Juga kalian:
Yang sering mempertanyakanku. Terima kasih sudah menjadi wake up call dan
penyemangatku dalam menyelesaikan skripsi ini.
v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
IDENTITAS DIRI PEREMPUAN JAWA YANG BERSTATUS MAHASISWI AKTIVIS
Tifanny Fiddiyah Ramadhani
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan identitas diri perempuan Jawa yang berstatus mahasiswi aktivis. Partisipan dari penelitian ini berjumlah 3 orang perempuan Jawa dengan usia berkisar antara 22-27 tahun. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode analisis naratif. Pengumpulan data dilakukan dengan melakukan wawancara menggunakan life story interview (LSI, McAdams, 2008) untuk memberikan kebebasan pada setiap partisipan dalam menceritakan kisah hidupnya. Data disusun berdasarkan kronolis waktu (awal, tengah, akhir) dan akan dinarasikan ulang oleh peneliti untuk kemudian dianalisis. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ketiga partisipan telah melalui proses pembentukan identitas diri dengan berbeda dilihati dari bagaimana individu melihat pengalaman masa lalu, peristiwa masa kini, juga harapan mereka tentang masa depan. Selain itu, relasi dan pola asuh orang tua juga berperan dalam pembentukan identitas diri mereka.
Kata kunci: identitas diri, perempuan Jawa, dewasa muda/dewasa awal.
vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
SELF-IDENTITY OF JAVANESE WOMEN AS AN ACTIVIST COLLEGE STUDENT
Tifanny Fiddiyah Ramadhani
ABSTRACT
This study aims to find out the process of forming the identity of Javanese young women as an activist college student. The participants of this study were 3 Javanese women with ages ranging from 22-27 years old. This research is a qualitative research with narrative analysis method. Data collection is done by conducting interviews using a life story interview (LSI, McAdams, 2008) to give freedom to each participant in telling their life story. Data were arranged chronologically (beginning, middle, ending) and re-narrated by the researcher to be analyzed. The results of this study indicate that the three participants have gone through a process of forming self-identity differently from how individuals see their past experiences, current events, as well as their expectations about the future. In addition, their parenting style and their relationship with their parents also plays a role in forming their identity.
Keywords: self-identity, Javanese woman, young adults.
viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT, atas limpahan Rahmat dan Karunia-Nya, sehingga penulis dalam menyelesaikan skripsi dengan judul: Identitas Diri Perempuan Jawa Dewasa Muda Masa Kini: di Tengah Stigma Masyarakat. Skripsi ini disusun untuk memenuhi persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana psikologi dari Universitas Sanata Dharma. Saya menyadari bahwa penulisan skripsi ini bukan hanya hasil jerih payah saya sendiri, melainkan juga berasal dari dukungan banyak pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu, pada kesempatan ini saya ingin mengungkapkan penghargaan serta rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada: 1. Ibu Dr. Titik Kristiyani, M. Psi., Psi, selaku Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. 2. Ibu Monica E. Madyaningrum, M.App., Ph.D, selaku Kepala Program Studi Psikologi Universitas Sanata Dharma. 3. Bapak Edward Theodorus., M.App.Psy, selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas waktu, tantangan, dorongan, masukan, pengertian serta dukungan yang senantiasa bapak berikan selama proses penyusunan skripsi ini. 4. Bapak Cornelius Siswa Widyatmoko M.Psi dan Ibu Monica E. Madyaningrum, M.App., Ph.D, selaku dosen penguji. Terima kasih atas masukkan, nasihat dan saran untuk skripsi ini. 5. Dosen-dosen Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas ilmu yang diberikan selama masa perkuliahan. 6. Seluruh Staff Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma. Terima kasih atas bantuan dalam mengurus administrasi selama perkuliahan dan penyusunan skripsi ini. 7. Bapak Syahrial Salman dan Ibu Tri Astuti Nur Irawati selaku orang tua saya. Terima kasih atas doa, support baik dalam bentuk materi dan dorongan semangat, kasih sayang, pengertian, serta bantuan yang tiada hentinya diberikan kepada saya selama proses perkuliahan dan menyelesaikan skripsi ini. 8. Natasya Aulia Rahmaputri selaku adik saya. Terima kasih atas doa, semangat dan dorongan, serta penghiburan yang selalu diberikan
x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
meskipun berada sangat jauh dari saya selama proses menyelesaikan skripsi ini. 9. M. G Yudhistira Prasaja selaku kasih saya. Terima kasih atas doa, semangat dan dorongan, kasih sayang, waktu, penghiburan, perhatian, kesabaran, dan memberikan tempat untuk berkeluh kesah dari awal hingga proses pengerjaan skripsi ini selesai. 10. Geng9esh: Jesysca, Gladys, Yona, Nata, Nanda, Ocha, Rara, Dyas yang selalu menyemangati, menghibur dan memahami kesulitan yang saya alami selama proses mengerjakan skripsi. 11. Teman-teman seperjuangan bimbingan: Mirna, Enda, Theo, Ivan Rudy, Aang yang sudah membantu memahami skripsi, berjuang bersama dan berdiskusi demi keberhasilan skripsi ini. 12. Teman-teman angkatan 2014 terutama kelas C yang telah berdinamika dan memberikan keceriaan serta pelajaran selama perkuliahan ini. 13. Seluruh subjek penelitian yaitu perempuan-perempuan Jawa yang sangat hebat. Terima kasih atas kesempatan serta waktu dan kesediaannya untuk berbagi kisah hidup dengan saya.
xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ………………………………………………………………… i HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ……………………...……. ii HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………...... …….. iii HALAMAN MOTTO ………………………………………………………………. iv HALAMAN PERSEMBAHAN ……………………………………………………... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA …………………………………………..... vi ABSTRAK ………………………………………………………………………… vii ABSTRACT . ……………………………………………………………………….. viii PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH …………………………………. ix KATA PENGANTAR ……………………………………………………………….. x DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. xiii DAFTAR TABEL ……………………………………………………………….. xviii DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………..………………... xix BAB I PENDAHULUAN …………………………………………………………… 1 A. Pengantar …………………………………………………………………….. 1 B. Latar Belakang …………………………………………………………….… 3 C. Rumusan Permasalahan …………………………………………………..… 17 D. Ruang Lingkup Penelitian ………………………………………………….. 19 1. Ruang lingkup objek penelitian ………………………………………… 19 2. Ruang lingkup partisipan penelitian ………………………………….… 20 3. Ruang lingkup waktu ………………………………………………...… 20 E. Tujuan Penelitian …………………………………………………………… 20 F. Pertanyaan Penelitian …………………………………………………….… 21 G. Manfaat Penelitian …………………………………………………….….… 21 1. Bagi perempuan Jawa …………………………………………………... 21 2. Bagi masyarakat umum ………………………………………………… 21 3. Bagi institusi pendidikan ……………………………………………….. 22 4. Bagi lembaga pemerintahan ………………………………………….… 23 5. Bagi komunitas psikologi …………………………………………….… 24 BAB II TINJAUAN PUSTAKA …………………………………………………… 25 A. Pengantar …………………………………………………………………… 25 B. Dinamika Psikologis Perempuan Jawa Dewasa Muda …………………….. 26
xii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Perempuan Jawa Dewasa Muda dalam Perspektif Budaya …………..… 26 2. Perempuan Jawa Dewasa Muda dalam Perspektif Sosial …………….... 31 3. Perempuan Jawa Dewasa Muda dalam Perspektif Perkembangan …..… 38 C. Identitas Diri ……………………………………………………………...… 46 1. Definisi ……………………………………………………………….… 46 2. Aspek …………………………………………………………………… 55 3. Faktor-faktor Pembentukan Identitas Diri ……………………………… 57 4. Proses dan Dampak ………………………………………………..…… 59 D. Identitas Diri Perempuan Jawa ……………………………………………... 62 E. Kerangka Konseptual Awal ……………………………………………...… 66 F. Kesimpulan Kajian Literatur ……………………………………………….. 69 BAB III Metodologi Penelitian …………………………………………………..… 70 A. Pengantar …………………………………………………………………… 70 B. Rancangan Penelitian ………………………………………………………. 70 C. Partisipan Penelitian ……………………………………………………...… 73 1. Teknik Pemilihan dan Kriteria Partisipan Penelitian …………………... 73 2. Prosedur Mendapatkan Partisipan Penelitian …………………………... 73 D. Fokus Penelitian ………………………………………………………….… 74 E. Prosedur Penelitian …………………………………….…………………… 74 F. Instrumen Pengumpulan Data …………………………………………….... 77 G. Refleksivitas Peneliti …………………………………………………….…. 81 H. Pertimbangan Etis ………………………………………………………..… 82 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN …………………………………………... 84 A. Pengantar …………………………………………………………………… 84 B. Persiapan Penelitian Secara Keseluruhan ………………………………….. 84 C. Pelaksanaan Penelitian …………………………………………………...… 85 1. Deskripsi ……………………………………………………………..… 86 2. Waktu dan Tempat Pelaksanaan ……………………………………….. 86 D. Hasil dan Pembahasan ……………………………………………………… 87 1. Partisipan 1: Kuning ……………………………………………………. 88 Hasil: Narasi Kehidupan Kuning ……...…………………….……… 88 a. Menyelami Seluk Beluk Kuning ………………….……………. 88 b. Antara Ayah dan Waktu yang Terus Bergulir ………………….. 91 c. Secuil Harapan Menjadi Ibu …………..………………………... 92
xiii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
d. Beribu Maaf Untuk Kakekku …………………………...……… 93 e. Aku Bukan Inginnya ……...…………………………………….. 95 f. Penerimaan Darinya, Penerimaan Diri Untukku ……………….. 97 g. Sepucuk Pesan Untuk Kawan-Kawan ………………………….. 99 h. Eksistensi di Tengah Keberagaman ……………..…………….. 100 i. Sahabatku Pergi dan Takkan Kembali ………………………… 102 j. Aku Sekarang: Untuk Kalian Nanti …………………………… 104 k. Nyatanya Perempuan Bisa ………………………..…………… 105 l. Kuning: Kini dan Kedepannya …………………………...…… 108 Pembahasan ……………………………………………………..… 111 a. Kuning sebagai perempuan Jawa …………………………….… 112 b. Kuning sebagai mahasiswi aktivis ……………………………... 114 c. Kuning sebagai dewasa awal …………...………………..…..… 115 d. Identitas Diri Kuning …………………...……………………… 118 1) Deskripsi ……………………………...…………………..… 118 2) Aspek Identitas Diri ………...…………………………..…... 121 3) Proses Pembentukan Identitas Diri ………...……………..… 124 4) Faktor Identitas Diri …………...…………………………..... 125 2. Partisipan 2: Biru ……………………………..………………………. 127 Hasil: Narasi kehidupan Biru …………………..……………….… 127 a. Iran: Ku Bicara, Ku Berjalan, Ku Membaca ………….…...….. 127 b. Kerasnya Orangtuaku Dulu: Kerasnya Aku Sampai Sekarang .. 129 c. India: Membuka Pandanganku Tentang Dunia ……………….. 130 d. Nigeria: Kontrasnya Kehidupan ………………………………. 132 e. Pulang Jauh Dari Rumah ……………….……………………... 133 f. Budhe: Tempatku Betul-betul Pulang ………………………… 135 g. Putih Abu-abu …………………………………………………. 136 h. Mau Orangtuaku, Bukan Mauku ……….……………………... 138 i. Pengabdianku Untuk Indonesia ………..……………………… 140 j. Jalan Menuju KeJawaanku ……………………………………. 145 k. Pelarian Sesaat ………………………………………………… 149 l. Inspirasi Biru ………………………...………………………... 150 m. Indonesia Feminis ……………………………………………... 151
xiv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
n. Aksi Nyata Perempuan Indonesia ………..………………….… 152 o. Memberi Kesan Tanpa Pesan ………………….……………… 153 p. Biru: Kini dan Kedepannya ………………………………...…. 157 Pembahasan ……………………………………………………….. 159 a. Biru sebagai perempuan Jawa ………………………….…….… 160 b. Biru sebagai mahasiswi aktivis ………………………………… 162 c. Biru sebagai dewasa awal ……………………..………..……… 165 d. Identitas Diri Biru ………...……………………………………. 167 1) Identitas Diri ……………………………..…………………. 167 2) Aspek Identitas Diri ………………………………………… 171 3) Proses Pembentukan Identitas Diri …………………………. 173 4) Faktor Identitas Diri ………………………………………… 175 3. Partisipan 3: Hijau …………………………………………………….. 177 Hasil: Narasi kehidupan Hijau …………………...…..…………….. 178 a. Asal Muasal Hijau ……………………………………….….…. 178 b. Rumah yang Retak ……………………………………….…….. 180 c. Sayap-sayap Pelindung …………………………...……………. 182 d. Rumah Jauh Dari Rumah ………………………………………. 183 e. Catatan Masa Kampus …………………………………………. 187 f. Dunia Gemerlap Malam ……………..………………………… 188 g. Sepercik Cahaya Penyelamat ………………………………….. 189 h. Jalan Terakhir ………………………………………………….. 190 i. Masa Penyembuhan ……………………………………………. 190 j. Menata Ulang Kehidupan ……………………………………… 192 k. Tamu Dalam Kehidupan ……………………………………….. 197 l. Mimpi: Pembuktian Diri ……………………………………….. 198 m. Mimpi: Menyelamatkan Dunia ………………………………… 199 n. Toxic Friend ……………………………………………………. 203 o. Bersatu, Berjuang, Bersama ……………...……………………. 204 p. Hijau: Kini dan Kedepannya ……………………...…………… 206 Pembahasan ………………………………………….…………….. 212 a. Hijau sebagai perempuan Jawa ………………………………… 212 b. Hijau sebagai mahasiswi aktivis ……………………………..… 214
xv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
c. Hijau sebagai dewasa awal ………………….……………….… 217 d. Identitas Diri Hijau ……...……………………...……………… 220 1) Identitas Diri ……………………………….……………….. 220 2) Aspek Identitas Diri ………………………………………… 224 3) Proses Pembentukan Identitas Diri …….…………………… 226 4) Faktor Identitas Diri ……………………..………………..… 227 E. Pembahasan Gabungan …………………………………………………… 229 1. Stereotip Perempuan Jawa …………………………….……………… 230 2. Perilaku Aktivisme …………………………………….……………… 231 3. Tugas Perkembangan ………………………………….……………… 232 4. Identitas Diri ………………………………….….……………….…… 234 F. Sebuah Insight …………………………………….….…………………… 236 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………………….…..…………………… 239 A. Kesimpulan ……………………………………….,.……………………… 239 B. Keterbatasan ………………………………………...…………………….. 240 C. Saran …………………………………………...………………………..… 241 1. Bagi perempuan Jawa ………………………...……………………..… 242 2. Bagi masyarakat umum ………………………..……………………… 242 3. Bagi institusi pendidikan ………………………..…………………..… 243 4. Bagi lembaga pemerintahan …………………….…………………….. 243 5. Bagi penelitian selanjutnya …………………………………………… 244 D. Komentar Penutup ………………………………………………………… 244 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………..………….. 246
xvi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR TABEL Tabel 1 Panduan Wawancara ……………………………………………….. 78 Tabel 2 Identitas Partisipan ……………………………………………...... 85 Tabel 3 Pelaksanaan Wawancara dengan Kuning …………………………... 86 Tabel 4 Pelaksanaan Wawancara dengan Biru ……………………………… 87 Tabel 5 Pelaksanaan Wawancana dengan Hijau …………………….……… 87
xvii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Kerangka Konseptual Identitas Diri ………………………………... 71
xviii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Informed Consent …………………………………………………. 263 Lampiran 2 Transkrip Wawancara Kuning …………...……………………….. 267 Lampiran 3 Episode Kehidupan Kuning ……...…………………..…………… 307 Lampiran 4 Plot Kehidupan Kuning ……...……….…………………………… 312 Lampiran 5 Transkrip Wawancara Biru ……...….……………………..……… 317 Lampiran 6 Episode Kehidupan Biru ……...…….………………..…………… 361 Lampiran 7 Plot Kehidupan Biru ……...………..……………………………… 369 Lampiran 8 Transkrip Wawancara Hijau ……...………………..……………… 375 Lampiran 9 Episode Kehidupan Hijau …….....………………………………… 418 Lampiran 10 Plot Kehidupan Hijau ……...... ………………………………… 428
xix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pengantar
Penelitian ini membahas identitas diri perempuan Jawa. Peneliti memiliki ketertarikan terhadap topik ini karena; (1) topik ini sangat dekat dengan peneliti sebagai seorang perempuan Jawa, (2) peneliti merasa prihatin atas keterbatasan perempuan Jawa mencapai identitas diri secara optimal ketika seringkali menjumpai perbedaan nilai budaya dan stigma masyarakat, (3) peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana budaya, yang masih kental dengan adat istiadatnya mempengaruhi identitas diri seseorang, dan (4) peneliti ingin belajar dari kisah hidup perempuan Jawa lainnya dalam bagaimana mereka mendefinisikan dirinya melalui adanya penelitian ini. Berikut ini penjelasan mengenai keempat alasan tersebut:
Pertama, topik ini sangat dekat dengan diri peneliti. Hal ini dikarenakan peneliti merupakan seorang perempuan yang lahir dari keluarga Jawa yang masih sangat kental dengan tradisi-tradisinya. Sejak kecil, peneliti telah akrab dengan peraturan-peraturan mengenai bagaimana menjadi seorang “Perempuan Jawa” yang seharusnya, meliputi larangan-larangan yang dipercaya tidak dapat dilakukan oleh seorang perempuan Jawa. Peneliti menilai bahwa peraturan- peraturan tersebut sudah tidak relevan lagi pada masa kini seiring dengan perubahan-perubahan yang terjadi di tengah era globalisasi.
1 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
Kedua, peneliti secara pribadi merasa prihatin karena peraturan-peraturan dari adat istiadat cenderung menghambat para perempuan Jawa di tengah masa pertumbuhannya mencari jati dirinya. Peneliti menilai bahwa masyarakat cenderung memberikan stereotip mengenai bagaimana menjadi perempuan yang ideal. Peneliti melihat ketika seorang perempuan Jawa tidak sesuai dengan harapan masyarakat, perempuan tersebut cenderung mendapatkan penolakan dari masyarakat terlebihnya mendapatkan perilaku diskriminasi. Di sisi lain, budaya
Jawa masih kental dengan sistem patriarkinya yang menjadikan kehidupan bersosialisasi dalam masyarakat menjadi tidak adil karena laki-laki lebih bebas dalam menentukan dirinya ingin menjadi seperti apa.
Ketiga, peneliti tertarik untuk melakukan pendekatan dengan perempuan- perempuan Jawa masa kini untuk melihat perkembangan identitas diri mereka ketika dihadapkan dengan konflik pencarian identitas diri yang unik dengan memenuhi tuntutan masyarakat yang telah menanamkan nilai-nilai budaya Jawa pada individu yang belum tentu memiliki kesesuaian dengan kepribadian individu yang sebenarnya. Peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana budaya yang erat dengan adat istiadatnya mempengaruhi identitas diri seseorang, khususnya perempuan, di mana tuntutan lebih tertuju kepada mereka. Peneliti ingin mengetahui, bagaimana budaya tersebut membentuk pola pikir, perilaku, tindakan, dan juga perasaan perempuan terhadap dirinya sendiri.
Poin keempat, peneliti merasa tertantang untuk melakukan pendekatan dengan perempuan-perempuan Jawa lainnya, baik yang mungkin memiliki pengalaman yang sama, maupun yang berbeda dengan diri peneliti sehingga PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
peneliti bisa turut belajar dari mereka. Selain itu, peneliti juga merasa senang karena saat ini gerakan feminis mulai lantang bergerak di tengah masyarakat, sehingga perempuan mulai berani menyuarakan pendapatnya. Sebelumnya, peneliti merasa geram karena peneliti mengamati bahwa perempuan Jawa memiliki kesulitan yang sama namun cenderung memilih untuk diam. Hal ini juga peneliti temukan dalam sesi wawancara awal dengan partisipan penelitian. Namun dengan adanya gerakan feminis tersebut, peneliti mulai melihat secercah harapan akan terjadinya perubahan.
Keempat alasan yang telah peneliti paparkan di atas menjadi pegangan untuk peneliti dalam melakukan penelitian ini. Ke depannya, peneliti berharap agar hasil penelitian mampu menjawab ketertarikan peneliti terhadap perempuan Jawa.
Setelah pemaparan alasan mengenai menariknya penelitian ini bagi peneliti, peneliti dalam bab I akan membahas poin-poin penting mengenai dasar penelitian ini. Bab I akan dimulai dengan latar belakang penelitian ini secara keseluruhan.
Kemudian, peneliti akan masuk ke dalam rumusan masalah kesenjangan antara situasi ideal dengan kenyataannya di lapangan. Selanjutnya, peneliti akan menetapkan ruang lingkup penelitian, menjelaskan tujuan penelitian, menuliskan pertanyaan utama yang akan memancing tanggapan partisipan agar tujuan penelitian tercapai, serta manfaat dari penelitian ini.
B. Latar Belakang
Etnis Jawa merupakan etnis mayoritas di Indonesia. Berdasarkan data Sensus
Penduduk Indonesia (2010), diketahui etnis mayoritas di Indonesia adalah etnis PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
Jawa (40,22%). Akan tetapi, dalam penelitian ini peneliti tidak akan membahas etnis Jawa secara keseluruhan. Dalam penelitian ini, peneliti secara khusus akan membahas proses pembentukan identitas diri perempuan Jawa yang berstatus sebagai mahasiswi aktivis berdasarkan alasan yang sudah peneliti jelaskan sebelumnya.
Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS, 2015) menunjukkan terdapat
145.013.573 penduduk di pulau Jawa dengan jumlah penduduk jenis kelamin pria
72.584.126 jiwa dan perempuan 72.429.447 jiwa. Dalam penelitian ini, peneliti hanya akan membahas perempuan Jawa, terkhususnya perempuan Jawa di usia dewasa muda yaitu usia 20-34 tahun. Menurut Badan Perencanaan Pembangunan
Nasional (Bapennas) yang bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS,
2016), tercatat total populasi perempuan Jawa dalam rentang usia 20-34 tahun meliputi DKI Jakarta, Banten, Jawa Barat, DI Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa
Timur berjumlah 24.541.900 jiwa.
Masyarakat Jawa merupakan masyarakat dengan adat dan budaya yang menganut sistem patriarkis. Perempuan Jawa terikat oleh nilai-nilai budaya yang melekat dalam masyarakat yang masih sangat tradisional. Dalam budaya Jawa, perempuan adalah makhluk yang lemah lembut dalam bertutur kata, sopan dalam berperilaku dan berucap, merasa malu pada keadaan-keadaan tertentu dengan orang lain (khususnya merugikan orang lain) serta sangat menjaga hubungan sosial dengan orang lain merupakan identitas perempuan Jawa
(Koentjaraningrat, 1994). Perempuan dalam masyarakat Jawa telah ditanamkan sikap nrima, ikhlas, pasrah, hormat, dan rukun, yang merupakan ciri khas yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
ideal mengenai perempuan Jawa (Suseno, 1984). Hal ini telah membuat perempuan terhimpit pada posisi yang terbatas dan terkekang, di mana perempuan
Jawa kemudian menjadi tidak dapat mengekspresikan dirinya.
Peneliti sempat melakukan wawancara awal dengan para partisipan penelitian.
Adapun para partisipan penelitian setuju bahwa budaya Jawa merupakan budaya yang sangat patriarkis. Menurut Hijau (24 tahun), orang Jawa melihat bahwa laki- laki memiliki peran yang lebih tinggi daripada perempuan. Dalam hal ini, Hijau
(24 tahun) melihat banyaknya peran yang diberikan kepada laki-laki membuat laki-laki memiliki tanggung jawab dan tekanan yang sebenarnya tidak kalah besar dari perempuan. Biru (27 tahun) mengambil istilah dalam tarian Jawa yaitu mendak, di mana kita memposisikan diri kita merendah. Biru (27 tahun) merasa bahwa budaya Jawa yang menempatkan perempuan lebih rendah daripada laki- laki kontras dengan dirinya. Ia merasa bahwa perempuan tidak harus lebih rendah dari laki-laki, akan tetapi ia tetap bisa mendak, meskipun itu bukan nilai yang ia anut. Ia merasa bahwa dalam perjalanan hidup pasti terdapat hambatan, seperti saat mendak dalam menari yang cenderung melelahkan, seorang penari tetap harus melalui gerakan mendak untuk mendapatkan gerakan tarian yang bagus.
Kesimpulannya, Biru (27 tahun) merasa terkadang kita memang perlu merendah dalam rangka menyeimbangkan, bukan berarti perempuan harus selalu ada di bawah kedudukan laki-laki.
Selain itu, peneliti melihat bahwa pada kenyataannya masih banyak perempuan Jawa yang lebih memilih untuk diam, dan hidup mengikuti alur yang sudah ditentukan. Berdasarkan pengalaman pribadi peneliti, banyak teman-teman PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
sesama perempuan Jawa yang merasa perlu menutupi jati diri mereka yang sebenarnya karena memilih untuk tampil memenuhi harapan masyarakat. Setelah peneliti telusuri lebih dalam, banyak dari mereka percaya bahwa dengan demikian, mereka akan lebih diterima di masyarakat, meskipun mereka tidak sepenuhnya bahagia karena tidak menjadi dirinya sendiri. Mereka merasa bahwa ini sudah menjadi jalan hidupnya sebagai perempuan Jawa. Kuning (22 tahun) berpendapat bahwa hal itu terjadi karena perempuan Jawa terus-menerus diekspos dengan tuntutan untuk memenuhi peran gender konvensional. Budaya Jawa menggambarkan peran gender sebagai hal yang perlu dipenuhi oleh masing- masing jenis kelamin. Jika seseorang tidak melakukan peran yang diharapkan, maka ia bukan seorang wanita atau pria yang ideal. Bahkan, jika beberapa orang tidak dapat memenuhi peran tersebut, mereka dilihat sebagai sesuatu yang ‘tidak lengkap’ atau ‘tidak utuh’ (Kuning, 22 tahun). Biru (27 tahun) sepakat bahwa perempuan akan dianggap ‘kurang perempuan’ ketika tidak sesuai dengan heteronormatif masyarakat.
Berdasarkan pengamatan pribadi peneliti, dalam beberapa waktu terakhir, isu- isu mengenai perempuan sedang hangat diperbincangkan dalam bingkai feminisme. Menurut American Psychology Association (APA) Dictionary, feminisme adalah salah satu dari sejumlah perspektif yang mengambil partisipan masalah dalam perspektif perempuan atau fenomena biologis dan sosial yang berkaitan dengan gender. Beberapa perspektif feminis berfokus pada isu keadilan dan hak yang sama, serta menekankan apa yang dianggap sebagai ketidakadilan gender terutama dalam masyarakat yang menganut sistem patriarki. Dalam PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
psikologi, feminisme telah memusatkan perhatian pada sifat dan asal-usul perbedaan gender dalam proses psikologis (APA Dictionary).
Untungnya, saat ini sudah banyak perempuan yang mulai sadar akan pentingnya peran mereka dalam hidup bermasyarakat dan mulai beranjak dari kepasifannya menjadi aktif termasuk dalam mengajak perempuan lain untuk menyampaikan aspirasinya. Dalam bukunya, Naples (1998) menyatakan bahwa beberapa tahun belakangan ini merupakan era di mana para aktivis aktif bereksplorasi untuk sebuah perubahan sosial yang progresif. Kini, banyak perempuan yang melakukan kampanye untuk mendapatkan keadilan sosial dengan menantang tradisi patriarkal dan heteroseksis yang mengakar kuat. Mereka berperang melawan pelecehan wanita dan rasisme, menyuarakan pembangunan ekonomi yang berpusat pada masyarakat kecil, pendidikan yang merata, dan upah yang memadai (Napples, 1998). Meskipun tidak semua perjuangan membuahkan hasil seperti yang diharapkan, secara keseluruhan kreativitas dan kekuatan dalam aksi kolektif perempuan aktivis telah menginspirasi perempuan lainnya untuk turut aktif menyampaikan aspirasinya.
Menurut peneliti, perempuan perlu lebih berani lagi dalam menyampaikan aspirasinya karena buah pikir mereka juga penting dan berarti untuk kemajuan bangsa. Menurut Kuning (22 tahun), perempuan Jawa dewasa ini semakin akrab dengan nilai-nilai feminisme. Perempuan Jawa mulai menyadari bahwa peran gender konvensional itu tidak baik, bahwa sistem patriarki juga tidak baik, bahwa perempuan rentan terhadap stereotip negatif (dilihat sebagai lebih lemah daripada laki-laki, jenis kelamin kelas kedua). Perempuan saat ini menjadi lebih vokal PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
ketika ada tindakan yang tidak menyenangkan yang ditujukan pada perempuan lainnya.
Menurut Biru (27 tahun), jumlah dukungan yang perempuan miliki untuk satu sama lain saat ini jauh lebih kuat. Perempuan sudah jauh lebih progresif, meskipun masih banyak yang perlu dilakukan. Kuning (22 tahun) melihat wanita lain sebagai sosok yang berdampak besar pada kehidupan mereka sendiri dan kehidupan orang lain. Kuning menyayangkan bahwa terkadang perempuan tidak menyadari kapasitas mereka untuk melakukan perubahan. Hal itu mungkin dikarenakan mereka telah dibayangi oleh stereotip bahwa wanita itu lemah, atau karena peran dominan laki-laki dalam budaya Jawa. Hijau (24 tahun) menyimpulkan bahwa setiap perempuan adalah unik dengan cara yang berbeda.
Perempuan memiliki sisi penyayang dan lembut, namun di sisi lain juga memiliki sisi kuat. Elemen yang seimbang dalam diri perempuan sebenarnya membawa perempuan ke dalam peran yang penting dalam kehidupan, karena dunia membutuhkan energi dari perempuan untuk menumbuhkan rasa kesadaran dan kepeduliaan. Maka, sangat disayangkan apabila perkembangan diri perempuan terhambat akibat tuntutan dari masyarakat akan gambaran perempuan yang ideal.
Budaya memiliki peran yang besar dalam pembentukan identitas diri (Erikson,
1964). Pada kenyataannya, setiap budaya memunculkan stereotip gendernya masing-masing yang kemudian membentuk identitas diri seseorang. Bagaimana budaya Jawa memposisikan perempuan, kemudian stereotip dan stigma yang masyarakat berikan berkaitan dengan proses pembentukan identitas diri perempuan Jawa. Identitas diri menjadi salah satu topik penelitian yang menjadi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
perhatian dalam kalangan psikologi. Salah satu tokoh yang membahas identitas diri adalah Erik Erikson.
Erikson (1964) menyebutkan suatu keadaan yang disebut dengan kebingungan identitas. Kebingungan identitas merupakan suatu keadaan ketika seseorang belum mampu mencapai identitas dirinya dan belum memahami perannya dalam masyarakat. Menanggapi fenomena kebingungan peran tersebut, maka penting bagi seseorang untuk memiliki rasa akan dirinya (sense of self) dalam rangka pembentukan identitas diri yang optimal. Menurut Erikson (1968), identitas dianggap penting ketika individu melalui masa dewasa karena identitas diri menandakan kematangan dan kesejahteraan hidup seseorang. Individu yang memiliki identitas diri yang kuat akan melihat diri mereka sebagai individu yang terpisah dari berbagai individu lain. Identitas diri di sini bukan saja merupakan suatu keunikan pada diri individu melainkan keyakinan yang relatif menetap akan diri individu tersebut dalam hal kesatuan pribadi dan peran sosial baik di masa lalu maupun masa kini sekalipun terjadi berbagai perubahan dalam hidupnya.
Maka dari itu, identitas diri penting untuk dicapai oleh perempuan Jawa untuk mencapai kesejahteraan hidupnya.
Menurut Erikson (1989), identitas diri berarti perasaan dalam diri seseorang yang berdiri sendiri tetapi tetap berhubungan erat dengan orang lain. Hal tersebut menandakan bahwa seseorang dapat menjadi bagian dari kelompok tetapi sekaligus memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan kelompok yang merupakan kekhususan dari individu itu. Apabila seseorang berhasil mencapai suatu identitas yang stabil, maka ia akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
memahami perbedaan dan persamaan dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, mampu mengantisipasi tantangan masa depan, serta mengenal perannya dalam masyarakat (Erikson, 1989).
Ketika banyak peneliti psikologi, sosiologi dan pendidikan mengakui bahwa pembentukan identitas ego merupakan proses yang tertanam secara sosial, penelitian lain telah menemukan bahwa penelitian identitas hampir secara eksklusif berfokus pada perkembangan psikologis internal (Yoder, 2000). Dalam penelitiannya, Yoder (2000) menyebutkan bahwa hambatan yang seseorang lalui dalam pencarian identitas mampu menggambarkan pengaruh eksternal yang terkait dengan eksplorasi identitas di usia dewasa muda yang mempengaruhi dan mungkin membatasi perkembangan individu. Adanya rintangan dan keterbatasan membantu peneliti untuk mengidentifikasi kekuatan perkembangan identitas diri seseorang di mana seseorang tidak memiliki pengendalian akan hal tersebut
(Yoder, 2000). Maka dari itu, peneliti berharap agar penelitian ini mampu mengidentifikasi hambatan yang dialami oleh perempuan Jawa dalam mencapai identitas dirinya.
Berbicara mengenai pengendalian, penelitian oleh Vansteenkiste et al., (2005) yang menguji pengendalian diri seseorang berdasarkan peran gendernya membuktikan bahwa perempuan memiliki orientasi otonomi yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Dalam usia dewasa, individu berusaha untuk membangun komitmen identitas dan mengembangkan rasa efektivitas pribadi demi mencapai kesejahteraan psikologis (Vansteenkiste, Zhou, Lens, & Soenens, 2005). Peneliti PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
berasumsi bahwa ketika seseorang mampu mengendalikan dirinya, ia lebih mampu memahami siapa dirinya. Ketika seseorang berhasil mengendalikan dan mendefinisikan dirinya, maka ia mampu mencapai kesejahteraan psikologis. Maka dari itu, dalam penelitian ini peneliti ingin melihat bagaimana perempuan Jawa mengendalikan dirinya dari tuntutan yang masyarakat berikan.
Selain itu, penelitian oleh Phinney & Alipuria (1990) memeriksa hubungan dari pencarian identitas etnis dan komitmen untuk diri sendiri menunjukkan hubungan yang kuat antara pentingnya pencarian identitas dikaitkan dengan etnis dan komitmen etnis. Orang-orang yang menganggap etnis penting lebih mungkin untuk dieksplorasi karena berkomitmen pada identitas etnis dan cenderung lebih kuat mengikuti nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat kelompoknya. Hal ini terjadi dalam etnis Jawa, di mana masyarakat memiliki komitmen etnis yang kuat sehingga seseorang dengan etnis Jawa diharapkan mampu menjadi orang Jawa yang ideal perannya dalam masyarakat. Dalam penelitian ini, peneliti berharap seorang perempuan Jawa mampu mencapai identitas diri yang ideal tidak hanya untuk masyarakat, tapi juga untuk dirinya sendiri.
Selanjutnya penelitian oleh Schwartz, Weisskirch, Zamboanga, & Rodriguez
(2009) bertujuan untuk melihat fungsi psikososial terkait dengan eksplorasi identitas pribadi dan etnis. Hasil menyatakan bahwa eksplorasi identitas pribadi tidak berkaitan dengan fungsi psikososial adaptif seperti seperti harga diri, tujuan hidup, dan kekuatan ego, namun terkait dengan fungsi psikososial maladaptif seperti kecemasan, depresi, dan impulsivitas. Selain itu, hasil penelitian juga membuktikan bahwa eksplorasi identitas etnis tidak secara langsung terkait PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
dengan fungsi psikososial dan hanya mungkin terjadi di masa individu merasa kebingungan identitas. Sementara, berdasarkan pengamatan peneliti, peneliti merasa bahwa fungsi psikososial seseorang tentu dipengaruhi baik oleh identitas etnisnya.
Tinjauan literatur oleh Waterman (1999) membahas perkembangan status identitas. Dalam tinjauan literaturnya, Waterman (1999) mengutip Erikson (1968) yang berpendapat bahwa hal yang biasa mengganggu anak muda adalah kebingungan peran dalam masyarakat, di mana tanpa komitmen ideologis, anak muda dapat mengalami kebingungan nilai-nilai. Kemudian, dalam mencari pemahaman pembentukan identitas pada wanita para peneliti identitas menambahkan peran gender dan perspektif tentang pernikahan dan orangtua.
Untuk itu, peneliti ingin melihat perkembangan identitas diri perempuan Jawa yang belum menikah untuk melihat status identitasnya secara mandiri dan lebih personal. Peneliti juga nantinya ingin melihat bagaimana peran orangtua dalam perkembangan identitas diri anak.
Dengan segala pengetahuan yang sudah ada, penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan baru mengenai pengaruh dominan dari budaya
Jawa, yang secara tidak langsung membuat perempuan Jawa yang berstatus sebagai mahasiswi aktivis terikat pada harapan masyarakat akan perempuan Jawa yang ideal, sehingga menghambat perkembangan identitas diri mereka. Penelitian ini ingin mengidentifikasi secara garis besar bagaimana pengaruh stigma mengenai perempuan Jawa menjadi rintangan terhadap perkembangan identitas diri mereka. Penelitian ini juga ingin melihat bagaimana perempuan Jawa yang PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
berstatus sebagai mahasiswi aktivis mengekspresikan harapan mereka mengenai perkembangan perempuan yang lebih optimal. Penelitian terdahulu tentu membantu peneliti dalam menentukan langkah-langkah penelitian dan apa saja yang dianggap penting dan menjadi kunci dari penelitian ini. Selain itu, dengan adanya kekurangan dari penelitian-penelitian terdahulu, penelitian ini diharapkan mampu meminimalkan kekurangan tersebut dan mampu mengumpulkan data yang dibutuhkan untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Stigma mengenai perempuan terdapat di tengah masyarakat. Sehingga, peran masyarakat dinilai sangat penting dalam pembentukan identitas diri seseorang.
Setiap individu sebagai bagian dari kelompok pada perkembangan identitasnya tentu akan melihat peran apa yang diharapkan oleh masyarakat. Laki-laki sebagai bagian dari masyarakat memiliki peran yang penting dalam pembentukan identitas diri perempuan. Faktanya, bagaimana pria dan wanita digambarkan di bidang
Gender & Development (GAD) tidak banyak mendorong laki-laki untuk melihat kesetaraan gender sebagai masalah mereka juga (Esplen, 2006). Di tengah gerakan perempuan muda dalam memimpin gerakan untuk mencapai kesetaraan gender, keterlibatan laki-laki juga turut dibutuhkan. Selama masa dewasa muda, terdapat periode kritis yang memberikan peluang untuk melibatkan laki-laki dalam memahami mengapa kesetaraan gender baik untuk segala pihak dan mengakui peran mereka dalam mempromosikan pemberdayaan perempuan.
Sebagai oragnisasi internasioal terbesar di dunia, United Nations meyakini bahwa dengan menggunakan dan membagikan kekuatan dan hak istimewa yang laki-laki miliki, mereka mampu mengubah norma-norma dan gagasan-gagasan dominan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
tentang gender dan maskulinitas, dan menantang keyakinan, praktik, institusi dan struktur patriarkal yang mendorong ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan. Maka dari itu, tambahan pengetahuan terkait identitas diri perempuan
Jawa penting agar perlahan-lahan Indonesia dapat meninggalkan pandangan patriarkis dan lebih berfokus pada pengembangan diri perempuan sebagai bagian dari masyarakat yang juga memiliki peranan penting dalam memajukan bangsa.
Peran orangtua dalam mengajarkan anak-anaknya sangat dibutuhkan untuk menciptakan pemahaman mengenai peran gender. Secara khusus, orangtua secara langsung mengkomunikasikan keyakinan mereka tentang gender dengan memberikan instruksi, bimbingan, dan pelatihan untuk anak-anak mereka (Eccles,
1994). Mereka juga memperkuat perilaku-perilaku dengan mendorong keterlibatan anak-anak mereka dalam kegiatan-kegiatan stereotipikal gender
(Lytton & Romney, 1991). Selain itu, pesan sosialisasi gender secara tidak langsung ditransmisikan melalui pemodelan perilaku jenis kelamin orangtua
(Collins & Russell, 1991). Seperti yang disebutkan oleh United Nations, anak- anak yang tumbuh dalam keluarga yang tidak menonjolkan stereotip gender seperti ayah yang terlibat dalam merawat anak-anak dan dalam tugas-tugas rumah tangga, dan ibu yang turut mengambil peran untuk ekonomi keluarga atau memegang posisi kepemimpinan di tempat kerja cenderung lebih fleksibel dalam persepsi mereka tentang peran perempuan dan laki-laki. Maka dari itu, tambahan pengetahuan mengenai identitas diri perempuan Jawa menjadi penting dan diharapkan mampu membuka pikiran orangtua dalam mengajarkan peran gender kepada anak-anaknya terutama dikaitkan dengan budaya setempat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Keluarga dan sekolah adalah dua pilar utama yang mempengaruhi anak selama proses pertumbuhan, tetapi juga memainkan peran utama dalam sosialisasi peran gender dalam cara mereka mengatur lingkungan untuk anak. Sejumlah besar waktu anak-anak dihabiskan di sekolah sebagai tempat yang paling penting untuk pembangunan identitas anak-anak, terutama identitas gender mereka.
Beberapa penelitian telah dilakukan pada peran praktik belajar mengajar di sekolah dalam pembangunan identitas gender (Acker, 1995; Lynch & Lodge,
2002; Sadker & Sadker, 2002). Sebagian besar studi ini menunjukkan bahwa walaupun duduk di ruang kelas yang sama, membaca buku yang sama, mendengarkan guru yang sama, anak laki-laki dan perempuan menerima pendidikan yang sangat berbeda (Sadker & Sadker, 2002) dan bahwa pengalaman ini memiliki dampak negatif pada pencapaian anak perempuan (Sadker & Sadker,
2002; Younger & Warrington, 2006). Sehingga, tambahan pengetahuan mengenai pembentukan identitas diri dilihat dari gender dan budaya itu penting bagi institusi pendidikan agar pihak guru memahami hal-hal kecil yang dapat mempengaruhi perkembangan identitas diri anak sejak dini.
Selain itu, setiap negara memiliki regulasinya masing-masing yang diatur oleh kebijakan-kebijakan yang melindungi hak mereka yang dirumuskan dengan jelas dalam konstitusi dan dijamin pelaksanaannya oleh pemerintah. Hak Asasi
Manusia (HAM) berlaku untuk seluruh masyarakat tanpa memandang gender, agama, etnis, atau status lainnya. Dalam menjawab isu mengenai kesetaraan gender di era teknologi informatika seperti saat ini, pembentukan perangkat PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
hukum yang menaruh perhatian kepada kaum perempuan menjadi semakin signifikan dengan adanya gerakan feminis.
Organisasi internasional sekelas PBB sendiri telah membentuk Committee on the Elimination of Discrimination against Women (CEDAW) dalam deklarasi hak-hak asasi manusia yang juga diikuti oleh Indonesia. Di Indonesia sendiri, terdapat lembaga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak
(KPP-PA) yang bertugas untuk membantu presiden dalam merumuskan kebijakan, koordinasi pelaksanaan kebijakan, maupun tugas lainnya terkait pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak di Indonesia sesuai peraturan perundang- undangan yang berlaku. Permasalahan perempuan dan anak merupakan permasalahan yang bersifat kompleks. Menyadari hal tersebut, KPP-PA diberi amanat dan tugas serta tanggung jawab dalam menangani permasalahan yang bersinggungan dengan hak perempuan dan anak (KPP-PA, 2016).
Ke depannya, perempuan sebagai bagian dari kemajuan bangsa juga diharapkan mendapatkan lebih banyak ruang dan kesempatan yang sama seperti laki-laki dalam perusahaan atau bidang pekerjaan lainnya. Selama ini, masyarakat
Indonesia terlalu mengelompok-kelompokkan suatu bidang pekerjaan berdasarkan gender. Hal ini juga kembali pada pandangan masyarakat, sehingga masyarakat diharapkan mampu memberikan penilaian yang netral untuk pekerja perempuan maupun laki-laki, dan tidak lagi menganggap suatu pekerjaan berdasarkan gender seperti bidang tambang untuk laki-laki, atau bagian masak dan bersih-bersih adalah untuk perempuan. Maka dari itu, penting untuk menciptakan pandangan baru dalam keseharian masyarakat. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
Identitas diri pasti dimiliki oleh semua orang karena identitas diri merupakan hal paling mendasar yang digunakan seseorang untuk mendefinisikan dirinya.
Dalam proses pembentukan identitas diri, terjadi banyak perkembangan psikologis yang dipengaruhi oleh pengaruh eksternal sehingga ke depannya para komunitas ilmuwan serta para praktisi diharapkan memberikan fokus yang lebih kepada penelitian mengenai identitas diri dan faktor lain yang mempengaruhi proses pembentukannya. Menurut peneliti, komunitas ilmuwan dan praktisi psikologi memiliki peran yang besar dalam memberikan sumbangsih ilmu pengetahuan baik di bidang pendidikan itu sendiri, maupun untuk masyarakat dan dapat membantu orangtua dalam membimbing perkembangan anak. Maka dari itu, peneliti berharap agar penelitian mengenai identitas diri akan mendapatkan perhatian yang lebih agar manfaatnya dapat dirasakan oleh banyak lapisan masyarakat.
C. Rumusan Permasalahan
Konsep pembentukan identitas diri berasumsi bahwa proses pembentukan identitas diri terjadi dalam lingkungan statis yang terdiri dari: (a) struktur sosial yang jelas; (b) tidak adanya keterbatasan fisik dan / atau sosial ekonomi; dan (c) serangkaian pilihan hidup dan pekerjaan yang dapat diidentifikasi dan dipahami oleh seseorang (Erikson, 1980). Asumsi atas konsep tersebut dipengaruhi oleh unsur eksternal individu yaitu unsur sosial-budaya yang kemudian mempengaruhi proses psikologis internal individu dan secara tidak langsung menentukan kesuksesan penyelesaian tugas pembentukan identitas individu. Sementara, pada PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
kenyataannya, budaya Jawa yang menganut sistem patriarkis kurang memberikan serangkaian pilihan hidup dan pekerjaan kepada perempuan Jawa. Pada umumnya, perempuan Jawa memiliki keterbatasan untuk memilih masa depannya dan lebih dituntut untuk mengerjakan pekerjaan domestik.
Peneliti merasa bahwa identitas diri merupakan salah satu aspek penting yang perlu seseorang capai dalam kehidupan. Untuk mencapai identitas diri, diperlukan ilmu pengetahuan yang memadai untuk menjadi acuan individu dalam mencapai identitas diri yang optimal. Sayangnya, penelitian mengenai identitas diri belum banyak dilakukan. Kebanyakan penelitian terdahulu lebih berfokus pada identitas etnis (Phinney & Alipuria, 1990; Schwartz et al., 2009). Peneliti menemukan penelitian mengenai identitas diri berdasarkan hambatannya dalam mencapai identitas diri (Yoder, 2000), pengendalian dirinya dalam memahami rasa akan dirinya (sense of self) (Vansteenkiste et al., 2005), serta perkembangan status identitasnya (Waterman, 1999).
Penelitian ini berfokus pada identitas diri perempuan, sementara penelitian mengenai identitas diri perempuan belum banyak ditemukan. Sejauh ini, peneliti belum menemukan pembahasan mengenai identitas diri perempuan secara mandiri namun tetap berkaitan dengan identitas etnisnya. Adapun penggambaran mengenai perempuan Jawa pada umumnya yang terfokus pada perempuan Jawa di masa lampau, sementara peneliti ingin membahas perempuan Jawa di masa kini.
Terdapat salah satu buku yang membahas perempuan Jawa di era modern
(Permanadeli, 2015), akan tetapi buku tersebut membahas representasi sosial PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
perempuan Jawa di mana sifatnya terlalu luas, bukan identitas dirinya yang bersifat lebih personal.
Secara keseluruhan, penelitian mengenai budaya Jawa pada dasarnya belum banyak dilakukan. Penelitian mengenai identitas diri pada umumnya dibahas melalui keseluruhan aspek kehidupan seseorang, di luar konteksnya sebagai bagian dari suatu kelompok sosial. Teori Erikson (1950; 1974) pada umumnya juga lebih banyak didasari oleh observasi terhadap beberapa kelompok etnis tertentu seperti Amerika, Jerman, Indian Sioux dan Yurok. Untuk itu, peneliti ingin memberikan pemaparan baru dan berbeda mengenai identitas diri seorang perempuan Jawa muda masa kini yang masih terikat dengan adat istiadat.
D. Ruang Lingkup Penelitian
Peneliti membatasi ruang lingkup penelitian ini agar penelitian dapat dilakukan dengan jelas dan tidak menyimpang dari tujuan yang telah ditetapkan, di antaranya adalah:
1. Ruang lingkup objek penelitian
Ruang lingkup objek dalam penelitian ini adalah mencari tahu
bagaimana seorang perempuan Jawa masa kini membentuk identitas
dirinya, ketika mereka begitu terikat dengan adat istiadatnya. Ada
beberapa faktor yang diduga mempengaruhi pembentukan identitas
tersebut, antara lain motivasi, afektif dan makna integratif partisipan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
2. Ruang lingkup partisipan penelitian
Partisipan dalam penelitian ini adalah perempuan Jawa dengan usia
dewasa muda, yang berkisar pada usia 20-34 tahun. Peneliti juga memilih
untuk mengambil partisipan dari kalangan mahasiswi yang bergerak di
dunia aktivis. Peneliti memilih partisipan mahasiswi aktivis karena peneliti
merasa bahwa seorang aktivis tentu memiliki tujuan agar aspirasinya
didengar masyarakat, mereka juga menampung aspirasi yang disampaikan
oleh masyarakat itu sendiri. Untuk itu, peneliti ingin agar penelitian ini
juga dapat menjadi wadah bagi para aktivis yang menyampaikan
aspirasinya untuk kemudian dibaca oleh para pembaca penelitian skripsi
ini.
3. Ruang lingkup waktu
Ruang lingkup waktu dalam penelitian ini dilakukan pada semester
genap tahun ajaran 2018/2019. Penelitian ini dilakukan mulai dari
penulisan bab I di bulan Agustus 2017, wawancara awal di bulan
September 2018, wawancara pengambilan data di bulan Januari 2019, dan
diselesaikan pada bulan Mei 2019.
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses pembentukan identitas diri perempuan Jawa dewasa muda yang berstatus mahasiswi aktivis.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
F. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan rumusan latar belakang yang telah dijabarkan di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana proses pembentukan identitas diri perempuan Jawa yang berstatus sebagai mahasiswi aktivis?
G. Manfaat Penelitian
Melalui penelitian skripsi ini, peneliti berharap agar hasil dari penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi perempuan Jawa itu sendiri, masyarakat umum, institusi pendidikan, lembaga pemerintahan dan komunitas psikologi. Manfaat yang peneliti harapkan akan peneliti jabarkan di bawah ini:
1. Bagi perempuan Jawa
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi wadah bagi para partisipan
untuk menceritakan pengalaman hidupnya sebagai seorang perempuan
Jawa. Melalui penelitian ini, peneliti berharap agar pembaca yang
merupakan perempuan Jawa dapat terdorong untuk aktif menyuarakan
pendapatnya. Selain itu, peneliti juga berharap dengan adanya penelitian
ini perempuan Jawa dapat saling menginspirasi dan memberikan dukungan
agar dapat mengembangkan identitas diri mereka secara lebih optimal.
2. Bagi masyarakat umum
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memaparkan dan memberikan
gambaran umum mengenai eksplorasi pembentukan identitas diri PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
perempuan Jawa masa kini yang mampu dipahami secara objektif oleh
masyarakat umum meliputi laki-laki, sesama perempuan serta orangtua.
Peneliti berharap agar penelitian ini mampu membuka pandangan
masyarakat dengan membagikan kisah hidup dari partisipan dalam
penelitian ini, sehingga mampu memberikan pemahaman bahwa semua
perempuan melalui proses yang berbeda dan tidak dapat disama ratakan
dengan stereotip atau stigma yang ada. Dengan begitu, masyarakat
diharapkan mampu menerima keunikan identitas diri perempuan Jawa,
karena pengalaman berupa penerimaan dan penolakan sangat berpengaruh
terhadap kepercayaan diri seseorang (Leary, Tambor, Terdal, & Downs,
1995), yang merupakan salah satu unsur penting yang mempengaruhi
perkembangan identitas diri seseorang.
3. Bagi institusi pendidikan
Guru-guru pada masa awal sekolah anak memiliki peran yang
penting terhadap perkembangan awal psikososial anak. Beberapa
penelitian telah mengamati praktik sosialisasi peran gender yang
diterapkan oleh guru kepada siswa dan siswinya (Best, n.d.; Cherry, 1975;
Fagot, 1974, 1984; Honig & Wittmer, 1982; Serbin, 1978; Serbin, O’Leary,
Kent, & Tonick, 1973). Delamont (1990) mengemukakan bahwa terdapat
kesenjangan dalam literatur yang menjadi kepercayaan guru-guru dalam
menerangkan peran gender. Beberapa penelitian membuktikan bahwa
masyarakat cenderung memiliki harapan terhadap karakteristik perempuan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
dan laki-laki, terutama dalam literatur tentang stereotip gender (Bern,
1974; Eagly, 1987; Martin, Wood, & Little, 1990; Spence & Helmreich,
1979). Peran gender yang guru ajarkan di usia awal anak membentuk
persepsi dan perilaku peran gender anak-anak hingga usia dewasa
(Delamont, 1990). Maka dari itu, penelitian ini diharapkan dapat
memberikan tambahan pengetahuan terkait identitas diri perempuan
dengan latar belakang budaya Jawa. Sehingga, guru-guru dapat lebih
memahami siswa atau siswinya berdasarkan peran gender muridnya dalam
masyarakat di mana ia berasal. Dengan begitu, para guru dapat
memberikan pengajaran yang lebih optimal dalam membangun identitas
gender.
4. Bagi lembaga pemerintahan
Lembaga Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan
Anak (KPP-PA) yang menangani permasalahan yang bersinggungan
dengan hak perempuan dan anak membuktikan bahwa negara memiliki
komitmen terhadap perlindungan hak-hak manusia khususnya pada
perlindungan terhadap diskriminasi perempuan. Adapun, hasil penelitian
ini dapat menjadi bahan pertimbangan untuk pemerintahan khususnya
KPP-PA agar meninjau ulang perundang-undangan yang mencakup hak
perlindungan perempuan di Indonesia sebagai negara yang memiliki
sistem budaya patriarkis. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat
menjadi bahan pertimbangan untuk mengulas kembali apakah kebijakan- PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
kebijakan pemerintahan yang sudah ada telah menggambarkan keseteraan
gender, seperti yang diharapkan.
5. Bagi komunitas ilmuwan dan praktisi psikologi
Sedangkan bagi komunitas psikologi, hasil penelitian ini mampu
memperkaya penelitian psikologi terkait dengan topik identitas diri.
Penelitan sebelumnya oleh Phinney & Alipura (1990) telah membahas
identitas etnis pada etnis Asia-Amerika, kulit hitam, dan Meksiko-
Amerika. Sementara, penelitian lain oleh Erikson (1950, 1974) lebih
banyak membahas etnis Amerika, Jerman, Indian Sioux dan Yurok.
Penelitian ini menambahkan pengetahuan mengenai populasi khusus, yaitu
perempuan Jawa yang berstatus sebagai mahasiswi aktivis. Penelitian ini
dapat menumbuhkan ketertarikan bagi pelajar maupun ahli dalam bidang
psikologi lainnya untuk memberikan perhatian pada cabang ilmu Psikologi
Budaya untuk meneliti budaya lainnya, di mana hingga saat ini penelitian
terkait Psikologi Budaya belum banyak ditemukan.
***Setelah memberikan pengantar untuk penelitian ini, peneliti telah memaparkan latar belakang penelitian, rumusan permasalahan, ruang lingkup penelitian, tujuan penelitian, pertanyaan penelitian, hingga manfaat penelitian. Pada bab I ini, peneliti berharap telah menjelaskan bagian awal penelitian dengan jelas.
Selanjutnya, peneliti akan melanjutkan tinjauan pustaka pada bab II. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengantar
Pada bab ini, peneliti akan menjelaskan bagaimana dinamika psikologis seorang perempuan Jawa dewasa muda berdasarkan beberapa perspektif antara lain melalui perspektif budaya, perkembangan dan sosialnya. Kemudian, peneliti akan mendeskripsikan identitas diri secara rinci, diikuti dengan penjelasan mendalam mengenai identitas diri yang dimiliki oleh perempuan Jawa dewasa muda.
Penelitian ini menggunakan teori utama identitas diri dari Erikson dan teori narasi identitas dari McAdams. Peneliti akan menjelaskan secara lebih rinci terkait teori identitas diri itu sendiri yang akan diikuti dengan penjelasan lengkap terkait identitas diri pada perempuan Jawa.
Pada bagian akhir, peneliti akan menyampaikan bagaimana kerangka konseptual penelitian ini. Kerangka konseptual yang telah dirancang diharapkan mampu memberikan gambaran yang membantu memberikan pemahaman mengenai proses pembentukan identitas diri seorang perempuan Jawa di masa dewasa muda. Pembahasan terakhir memberikan kesimpulan tinjauan pustaka yang merangkum secara singkat pembahasan dalam bab ini.
25 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
B. Dinamika Psikologis Perempuan Jawa Dewasa Muda
Peneliti akan memaparkan dinamika psikologis perempuan Jawa dewasa muda berdasarkan perspektif budaya, sosial dan perkembangan. Seluruh pemaparan tersebut akan mengacu pada kajian literatur dan penelitian-penelitian terdahulu dalam ilmu psikologi. Penjelasan berikut diharapkan mampu membantu memberikan pemahaman apa yang bagaimana dinamika psikologis perempuan
Jawa dewasa muda secara garis besar.
1. Perempuan Jawa Dewasa Muda dalam Perspektif Budaya
Perempuan merupakan istilah terhadap konstruksi sosial yang
identitasnya ditetapkan berdasarkan penggambaran masyarakat (Humm,
2007). Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Kartono (1989) yang
menyatakan bahwa perbedaan fisiologis yang terdapat antara laki-laki dan
perempuan diperkuat oleh struktur kebudayan yang ada, adat istiadat yang
berlaku, dan sistem sosial ekonomi, serta pengaruh pendidikan. Dengan
kata lain, kata “perempuan” pada dasarnya merupakan sebuah istilah untuk
menyatakan kelompok sosial dilihat dari perbedaan jenis kelaminnya.
Penggambaran tersebut secara konsisten diakui oleh hampir semua
kalangan meliputi usia, wilayah geografis, dan jenis kelamin.
Istilah “Perempuan Jawa” merujuk kepada seseorang dengan gender
perempuan yang berasal dan dibesarkan dengan nilai-nilai budaya Jawa
(Subhan, 2004). Dalam istilah Jawa, perempuan (dalam kata lain wanita),
memiliki arti “wani ditata” atau berani diatur. Selain itu, Subhan (2004)
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
mendefinisikan perempuan yang berasal dari kata empu dengan arti dihargai. Terdapat beberapa steriotipe terhadap perempuan Jawa di antaranya lemah lembut (Handayani & Novianto, 2008; Nurhayati, 2012), pasif (Handayani & Novianto, 2008; Nurhayati, 2012; Sedyawati, 2003), sungkan (Suseno, 1984), nrima (Budiarti, 2010; Sedyawati, 2003), manutan (Suseno, 1984), berkedudukan di bawah laki-laki (Budiarti, 2010;
Handayani & Novianto, 2008; Subhan, 2004), serta senang berdandan dan merawat diri (Budiarti, 2010; Murniati, 1992).
Selain itu, Nurhayati (2012) beranggapan bahwa perempuan Jawa sebagai sosok perempuan yang emosional, mudah terpengaruh serta rendah dorongan. Berbeda dengan Handayani dan Novianto (2008) yang beranggapan bahwa perempuan Jawa adalah sosok perempuan yang menjaga harmoni, rela berkorban serta menjunjung tinggi keluarga. Dalam kesempatan yang lain, Murniati (1992) menilai bahwa perempuan Jawa sebagai perempuan yang sederhana dan terampil. Sehingga, terdapat beberapa stereotip yang ditujukkan kepada perempuan Jawa, meskipun di antaranya memberikan gambaran yang sama.
Orang Jawa juga terkenal dengan filosofi-filosofi dari para leluhur yang terus ditanamkan hingga masa kini dalam mengatur perilakunya
(Sedyawati, 2003). Salah satunya adalah “alon-alon waton kelakon” yang berarti “tidak masalah jika memakan waktu yang cukup lama, asalkan urusan dapat diselesaikan”. Selain itu, filosofi lain yang dianut oleh orang
Jawa adalah “nrima ing pandum” yang memiliki arti “pasrah terhadap
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
apapun takdir Tuhan”. Ini berimplikasi terhadap berbagai aspek kehidupan masyarakat Jawa bahwa mereka terbiasa menerima apapun kondisi yang dihadapi. Bagi perempuan, sikap ini berdampak ganda, terutama perempuan banyak dihadapkan dengan situasi kondisi yang kurang menguntungkan bagi diri mereka (Sedyawati, 2003).
Dalam budaya Jawa, terdapat anggapan bahwa tugas perempuan terbatas macak (berhias diri), masak (di dapur), dan manak (melahirkan)
(Budiarti, 2010). Hal ini memberikan batasan yang menghimpit dan menempatkan perempuan pada posisi yang terkekang. Pola pemikiran yang terkandung dalam masyarakat Jawa memiliki pengaruh yang luas sehingga pola pemikiran tradisonal tersebut tetap menjadi pandangan mayoritas. Pandangan tersebut akhirnya memunculkan rumusan mengenai sikap dan tingkah laku perempuan yang baik sehingga diterjemahkan menjadi kodrat perempuan yang seolah-olah sukar dan tidak dapat diubah
(Murniati, 1992). Akibatnya, hingga kini perempuan Jawa kerap dibuat menjadi tidak bebas mengekspresikan diri karena telah terikat dalam pandangan ciri khas perempuan Jawa yang dinilai ideal oleh masyarakat pada umumnya.
Pada dasarnya, definisi yang melekat baik pada kaum perempuan dan laki-laki merupakan bentuk stereotip gender. Stereotip tersebut kian berkembang dalam lingkungan sosial yang secara tidak langsung membudaya dan membentuk peran gender menggunakan atribut yang mencirikan kelompok gendernya (Guimond, 2006). Pernyataan tersebut
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
didukung oleh Matsumoto dan Juang (2003) yang menyatakan bahwa stereotip yang telah mendarah daging dan dikenal sejak kecil oleh masyarakat adalah bagian dari sistem peraturan yang dinamis dan dibentuk oleh kelompok untuk memastikan keberlangsungan hidup mereka melibatkan sikap, nilai, kepercayaan, norma, dan perilaku yang dimiliki oleh kelompok. Sehingga, pada kenyataannya terdapat perempuan Jawa yang pada akhirnya hidup mengikuti alur peran yang telah ditetapkan untuk mereka.
Harapan dan tuntutan masyarakat terhadap perempuan Jawa menciptakan sebuah label dan stereotip yang membuktikan betapa budaya memberi pengaruh yang amat besar terhadap pembentukan identitas diri perempuan Jawa. Identitas diri perempuan tentu berbeda-beda di setiap daerah, tergantung pada kebiasaan-kebiasaan dan nilai kepercayaan yang dianut oleh budaya masyarakat tersebut. Dalam beberapa situasi, perempuan mampu menggambarkan diri secara positif setelah mendapatkan kepercayaan dari masyarakat. Kepercayaan yang mulai diberikan kepada perempuan dapat membantu perempuan menggali potensi di dalam dirinya dan meraih penggambaran diri yang positif
(Burns, 1993). Sementara, Branscombe dan Wann (1994) berpendapat bahwa apabila suatu kelompok masyarakat yang semakin kuat mengidentifikasi masyarakatnya dengan label tertentu dapat membuat masyarakatnya lebih reaktif terhadap ancaman identitas dirinya pribadi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
Dalam konteks budaya Jawa, ketika masyarakat semakin kuat mengidentifikasi perempuan Jawa berdasarkan stereotip yang ada maka identitas diri perempuan Jawa dapat terancam. Ketika seorang perempuan
Jawa tidak sesuai dengan identifikasi masyarakat mereka cenderung akan menyembunyikan identitas dirinya. Menyembunyikan identitas diri dapat membuat orang merasa tidak autentik dan mengurangi bentuk pengungkapan diri mereka dalam interaksi sosial (Branscombe & Wann,
1994). Efek ancaman stereotip dapat terjadi pada anggota kelompok akibat anggota kelompok lainnya khawatir akan stereotip negatif mengenai kelompok mereka sehingga mampu merusak citra diri kelompok.
Penghambatan diri seseorang akibat ancaman stereotip dapat dicegah dengan beberapa cara, yaitu: (1) menguatkan diri dengan cara lain, (2) memiliki sosok model yang menentang stereotip, dan (3) menjauhkan diri dari aspek stereotip yang tidak sesuai dengan diri (Branscombe & Wann,
1994).
Maka dari itu, peneliti memilih budaya Jawa sebagai objek penelitiannya. Hal tersebut dikarenakan budaya Jawa memiliki tradisi yang khas dan turun-temurun khususnya mengenai konsep diri seorang perempuan. Sampai saat ini, perempuan yang berasal dari etnis Jawa dianggap masih perlu mewariskan budaya dari nenek moyangnya meskipun banyak hal yang sudah tidak relevan lagi di jaman yang sudah modern ini. Pada akhirnya, hal yang kontradiktif tersebut membentuk
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
dinamika psikologis yang cukup kompleks pada perempuan Jawa masa
kini.
2. Perempuan Jawa Dewasa Muda dalam Perspektif Sosial
Perempuan saat ini menjadi bagian dari perkembangan penduduk
Indonesia yang tidak dapat diabaikan perannya. Pentingnya peranan
perempuan tidak terlepas dari perannya dalam pekerjaan yang mereka
lakukan. Sebelum memasuki jenjang karier, sebagian orang akan memilih
untuk meneruskan studi ke jenjang perguruan tinggi demi mencari ilmu
yang akan membantu mereka mempersiapkan diri untuk karier. Terbukti
bahwa dari tahun ke tahun terjadi peningkatan keterlibatan perempuan dari
segala latar belakang kelas sosial yang mendaftar di perguruan tinggi
(Evans et al., 2010).
Mahasiswa laki-laki dan mahasiswa perempuan (mahasiswi)
memiliki cara pengembangan identitas dan menjalin hubungan yang
berbeda (Hodgson & Fischer, 1979). Laki-laki cenderung menemukan
identitas mereka dilihat dari bagaimana mereka memilih karier dan
mengamankan masa depan yang stabil. Sementara, wanita menemukan
identitas mereka dengan menjalin hubungan intim dengan orang lain. Studi
yang berbeda mengenai status identitas dan pengambilan keputusan
pekerjaan mahasiswa menilai bahwa pria adalah sosok yang lebih tegas
dan memiliki keputusan yang mandiri, sementara wanita dinilai lebih
sering mengikuti (Hodgson & Fischer, 1979).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Sanford (1962) membahas hubungan antara lingkungan kampus dan transisi mahasiswa dari remaja akhir menuju dewasa muda (Strange, 1994).
Ia mencetuskan dua gagasan mengenai proses pengembangan mahasiswa dilihat dari (1) siklus diferensiasi dan integrasi pada mahasiswa serta (2) keseimbangan antara dukungan yang didapat dan tantangan yang dihadapi oleh mahasiswa. Diferensiasi dan integrasi tersebut dibuktikan ketika mahasiswa mampu mempelajari karakteristik kepribadian mereka sendiri dan memahami bagaimana karakteristik tersebut membentuk identitas diri mereka (Sanford, 1962). Sementara, tantangan yang didapatkan oleh mahasiswa akan berhasil dilalui selama mereka mendapatkan dukungan yang cukup dari lingkungan (Sanford, 1967).
Holland (1997) meninjau kepuasan, prestasi, ketekunan, dan tingkat kesesuaian antara individu dengan lingkungan di mana mereka mampu menemukan jati diri mereka. Ia menemukan bahwa individu mencari lingkungan yang mampu memberikan mereka kesempatan untuk menggunakan bakat mereka dan mengekspresikan nilai yang mereka miliki. Artinya, mahasiswa akan mencari lingkungan yang terdiri dari individu yang serupa dengan diri mereka sendiri. Sehingga, hasil perilaku mahasiswa memiliki unsur dari hasil interaksinya dengan lingkungan
(Holland, 1997).
Perjuangan mahasiswa dengan perkembangan psikososial berkaitan dengan proses belajar mereka sehubungan dengan pengembangan tingkat kompetensi mereka. Berdasarkan teori Chickering dan Reisser (1993),
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
pengembangan kompetensi berada pada tahap awal mahasiswa masuk ke perguruan tinggi. Sudah semestinya mahasiswa memiliki kompetensi tersebut sejak dari awal masuk ke perguruan tinggi, guna memudahkan mereka untuk beradaptasi dalam dunia perguruan tinggi. Jika terjadi hambatan pada tahap perkembangan kompetensi, mahasiswa akan kesulitan untuk menemukan identitasnya serta menentukan tujuannya pada tahap akhir perkuliahan yang berkaitan dengan proses pembelajaran dan isu-isu pengembangan identitas khususnya yang terkait dengan gender, orientasi seksual dan etnisitas. Umumnya, memasuki usia perkuliahan perempuan memilih untuk memutus ikatan psikologis mereka dengan masa kanak-kanak dan membentuk identitas yang berbeda. Selama masa remaja hingga dewasa muda, mahasiswi menciptakan identitas dengan cara mereka sendiri setelah mempertimbangkan siapa mereka di masa lalu dan ingin menjadi siapa di masa depan (Chickering & Reisser, 1993).
Mahasiswi yang berasal dari etnis yang masih tradisional cenderung merasa tertekan ketika harus mulai memutuskan segala sesuatu sendiri, terlepas dari orangtua mereka. Mereka cenderung merasa bersalah selama menuju masa kedewasaan (Evans et al., 2010). Sebagaimana mereka telah menganut nilai-nilai dari keluarganya sepanjang hidup mereka, di masa perkuliahan mereka cenderung mempertimbangkan keputusan yang mereka buat dengan dampaknya pada hubungan mereka dengan orangtuanya. Para mahasiswi ini pada akhirnya terjebak antara melakukan apa yang diinginkannya dan memenuhi harapan orangtuanya (Josselson,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
1996). Mahasiswi harus mempertimbangkan semua pilihannya dengan menginternalisasi nilai dalam keluarga mereka. Pada akhirnya, mereka cenderung mempertanyakan kebenaran nilai tersebut dan mempelajari nilai yang sesungguhnya mereka percayai. Jika mereka tidak berhasil menemukan nilai tersebut, pada akhir masa kuliah mereka akan terjebak dalam konflik identitas (Josselson, 1996).
Memasuki masa perkuliahan, beberapa mahasiswa memilih untuk menjadi seorang aktivis yang memperjuangkan nilai yang mereka percayai.
Seseorang yang terlibat dalam aktivisme secara positif terkait dengan kesejahteraan hidup mereka (Duvall & Dotson, 1998). Untuk mendukung gagasan ini, Leak dan Leak (2006) menemukan laporan diri yang mahasiswa tulis memuat minat sosial yang berkorelasi positif dengan hidup kepuasan, harga diri, aktualisasi diri, vitalitas, dan mempengaruhi pengalaman positif mereka. Konsep generativitas milik Erikson (1950) juga memiliki banyak kesamaan dengan aktivisme dan minat sosial, karena hal tersebut menyangkut keinginan seseorang untuk menunjukkan kepedulian mereka terhadap suatu hal yang lebih besar daripada diri sendiri dan memikirkan langkah yang menumbuhkan kesejahteraan untuk generasi mendatang. Meskipun Erikson (1950) menyatakan bahwa generativitas paling menonjol di usia paruh baya, ia beranggapan bahwa keprihatinan mengenai generativitas terjadi sepanjang rentang hidup seseorang. Dengan demikian, generativitas telah dikaitkan secara positif dengan minat sosial dan perilaku aktivisme (Klar & Kasser, 2009) juga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
dengan kepuasan hidup (McAdams & Aubin, 1992) dan hal-hal lain yang berhubungan dengan kesejahteraan psikologis seseorang (Grossbaum &
Bates, 2002).
Tindakan aktivisime dan sukarela terbukti dapat memberikan kepuasan diri yang cukup tinggi (Colby & Damon, 1994) dengan menemukan rasa memiliki yang kuat, termasuk mendapatkan kepuasan karena mendapatkan kontak sosial dan dukungan sosial yang kuat (Eigner,
2001). Hal ini sejalan dengan pernyataan Meier & Stutzer (2008) yang mengulas bahwa menjadi relawan dapat mendukung keinginan prososial anak muda dan dapat memberikan peluang untuk terlibat dalam tugas- tugas yang menarik dan menantang dengan melibatkan individu dalam interaksinya dengan orang lain. Klar dan Kasser (2009) juga berpendapat bahwa tindakan aktivisme dan menjadi relawan memberikan perasaan keterlibatan dalam komunitas yang mengandung keinginan untuk memberi manfaat bagi dunia sehingga mampu memberikan kepuasan psikologis yang tinggi. Beberapa penelitian menemukan bahwa semakin tinggi keterlibatan individu dalam masyarakat, maka semakin besar kesejahteraan hidup yang akan didapatkan (Carver & Baird, 1998; Kasser
& Ryan, 1993; Ryan, Sheldon, & Deci, 1996).
Perilaku aktivisme dinilai dapat menciptakan rasa memiliki karena dapat membantu individu meningkatkan rasa solidaritas dan pengalaman bersama yang intens sehingga mampu menciptakan ikatan yang kuat dengan mencetak sejarah bersama dengan aktivis lainnya. Para aktivis
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
cenderung berbagi nilai yang sama sehingga mampu mendorong rasa saling memiliki (Muraven & Baumeister, 2000). Bagi banyak aktivis, perilaku aktivisme cenderung dipandang sebagai upaya berkontribusi pada integritas dunia (Colby & Damon, 1994; Eigner, 2001; McAdams, 1988;
Roker, Coleman, & Player, 1999). Dalam tindakan berkontribusi pada integritas dunia, rasa integritas terhadap diri sendiri juga dapat diciptakan
(Colby & Damon, 1994). Harre (2007) menemukan bahwa para aktivis cenderung mampu mengaktualisasi diri mereka karena diri mereka yang riil sesuai dengan diri ideal mereka.
Perilaku prososial mencerminkan identitas moral yang tercermin dalam kisah kehidupan pribadi para relawan dan aktivis (Matsuba &
Walker, 2005). Beberapa peneliti membuktikan bahwa relawan dan aktivis muda cenderung menggambarkan nilai-nilai religius atau spiritual (Pratt,
Norris, Arnold, & Filyer, 1999; Roker et al., 1999). Kisah kehidupan yang dilalui para aktivis dapat mempengaruhi mereka mengekstraksi makna pribadi dari pengalaman mereka secara generatif (Pratt et al., 1999).
McAdams (2006) menemukan bahwa pengalaman yang dilalui oleh aktivis seringkali mengungkapkan tema penebusan dan menunjukkan komitmen yang lebih kuat terhadap ideologi pribadi mereka (McAdams, Aubin,
Diamond, & Mansfield, 1997). Horwitz (1996) juga menemukan bahwa individu yang terlibat dalam aktivisme dinilai cenderung sangat menghargai hubungan mereka dengan alam sebagai bagian dari identitas mereka. Melalui pengalaman mereka dengan alam, para aktivis cenderung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
mengembangkan rasa identitas mereka sebagai agen perubahan dan menggabungkan hubungan sosial mereka dengan sistem budaya, khususnya pemeliharaan jangka panjang dan komitmen menjaga lingkungan secara keberlanjutan untuk generasi yang mendatang.
Beberapa hal dapat mendorong aktivisme, di antaranya pengalaman ketidakadilan pribadi (Harre, 2007; Owens & Aronson, 2000; Xiaoru,
Kaplan, & Stiles, 2000) atau menyaksikan penderitaan orang lain (Harre,
2007; McAdams, 1988). Beberapa peneliti membuktikan bahwa para relawan dan aktivis cenderung memiliki kepribadian yang lebih altruistik dan lebih empatik daripada non-sukarelawan dan non-aktivis (Allen &
Rushton, 1983; Penner, 2004), Hal ini sesuai dengan anggapan bahwa seseorang dapat merasa lebih empati terhadap pengalaman serupa yang dialami oleh orang lain (Batson, Ahmad, Tsang, & Lishner, 2002). Pada kenyataannya, anak muda pada masa kini telah memainkan peran penting dalam menyampaikan pendapatnya terkait isu yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Studi mengenai aktivisme mengidentifikasi sejumlah motif anak muda yang terlibat dalam tindakan aktivisme dan sukarela, di antaranya adalah mempelajari keterampilan baru yang dapat menunjang karier mereka (Clary, Snyder, Ridge, & Copeland, 1998; Omoto & Snyder, 1995).
Aktivisme dapat memberikan peluang untuk pembelajaran yang efektif serta menghasilkan pengalaman yang berintegritas. Hal ini sesuai dengan risiko di masa akhir kuliah, di mana beberapa mahasiswi cenderung
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
merasa tidak puas dengan pilihan karier mereka dan memulai perubahan
dengan mencari peluang kerja dan memberikan konsep diri yang berbeda
(Evans et al., 2010). Ketika seorang wanita berkomitmen dalam suatu
pekerjaan, identitas pekerjaannya dijadikan sebuah cara untuk
mengekspresikan diri. Keberhasilan perempuan dalam mengekspresikan
diri merupakan sebuah peluang yang berkelanjutan untuk membantu
mereka membangun identitas dirinya (Evans et al., 2010).
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti pada akhirnya memilih
mahasiswi sekaligus aktivis dengan latar belakang etnis Jawa sebagai
partisipan penelitian. Hal ini dikarenakan seseorang menjadi mahasiswa
pada masa transisinya dari masa remaja akhir menuju dewasa awal, di
mana pada masa-masa tersebut seseorang mengalami berbagai pengalaman
dan mendapatkan pengetahuan baru yang mempengaruhi identitas dirinya.
Selain itu, menjadi seorang mahasiswa berarti seseorang telah mulai
menentukan peranan yang mereka inginkan dalam konteks sosial. Untuk
itu, mahasiswi yang memilih menjadi aktivis dipercaya memiliki
pandangan personal yang ingin dibagikan kepada khalayak sehingga cocok
untuk menjadi partisipan dalam penelitian ini.
3. Perempuan Jawa Dewasa Muda dalam Perspektif Perkembangan
Perkembangan merupakan proses perubahan dari tahap satu ke tahap
berikutnya yang berlangsung dari waktu ke waktu (life-span development).
Bidang ilmu perkembangan telah lama tertarik mengetahui bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
39
dewasa muda memperoleh rasa koheren akan diri (Eccles, Brown, &
Templeton, 2008; Erikson, 1968). Erikson (1968) menyatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada usia 20 tahun hingga 34 tahun. Proses perbandingan sosial tersebut dinilai dari usia individu dan diatur baik secara formal maupun informal oleh norma dan harapan dari masyarakat
(George, Pennybacker, & Mutran, 1980; Settersten, 1999). Norma usia merupakan skema mental yang diinternalisasi dan diperoleh melalui interaksi dengan orang lain, organisasi, dan institusi yang signifikan.
Dengan demikian, identitas usia subyektif tidak ditentukan oleh usia kronologis, melainkan berdasarkan norma usia dan norma sosial yang merupakan bagian dari budaya di mana individu tumbuh dan berkembang
(Kaufman & Elder, 2003).
Sebuah studi menunjukkan bagaimana identitas dan persepsi usia diri sebagai orang dewasa terkait erat dengan status sosial (ras-etnisitas, jenis kelamin, dan kelas sosial) serta transisi peran (Burton, 2007).
Individu dewasa muda laki-laki dan perempuan memiliki peran yang berbeda dalam konteks biopsikososialnya. Perempuan dewasa muda pada umumnya memiliki identitas diri yang lebih matang dan dewasa dibandingkan dengan laki-laki pada usia yang sama (Burton, 2007).
Perempuan dewasa muda mengembangkan kematangan kognitif sosialnya jauh lebih awal dibandingkan dengan anak laki-laki, dan mereka cenderung diberikan tanggung jawab yang lebih besar dan peluang pengambilan keputusan yang lebih banyak daripada anak laki-laki (Benson
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
& Johnson, 2009; Haynie, 2003). Namun, di sisi lain perempuan dewasa muda juga lebih dipantau secara ketat dan cenderung kurang autentik dalam keluarga dibandingkan dengan laki-laki (Benson & Elder, 2011).
Pengalaman yang didapatkan selama usia remaja berkaitan dengan pengalaman pada masa pubertas bagaimana seseorang siap untuk mengambil peran dan tanggung jawab sebagai dewasa. Selain masa pubertas, penyesuaian psikososial memiliki konsekuensi dalam pembentukan identitas individu menuju kedewasaan (Erikson, 1968).
Sementara menurut model Greenberger (1984), kematangan psikososial selama masa dewasa diperoleh melalui perkembangan otonomi dan tanggung jawab sosial. Proses formatif pada masa dewasa muda ini melibatkan penilaian yang berkesinambungan mengenai konsistensi antara arti peran individu dan bagaimana orang lain menilai diri individu dalam peranannya (Burke, 1991). Pada kenyataannya, individu dewasa muda sering didorong ke dalam peran dan tanggung jawab seperti orang dewasa tanpa kemampuan psikososial untuk mengatasi tuntutan emosial dan fisik dari peran baru mereka, yang mengakibatkan perilaku maladaptif
(Galambos, Barker, & Almeida, 2003; Moffitt, 1993).
Erikson (1968) menyatakan bahwa perkembangan seseorang tidak dengan sendirinya tumbuh tanpa adanya interaksi dan intervensi dari luar.
Pada usia dewasa muda, dukungan sosial dinilai sangat penting dalam memfasilitasi masa transisi dewasa muda menuju kedewasaan yang berlanjut hingga sekitar usia 30 (Benson & Elder, 2011). Maka dari itu,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
individu membutuhkan orang lain untuk dapat berinteraksi sosial dan berkembang.
Pada masa dewasa awal, individu membutuhkan dukungan dari keluarga agar tetap seimbang (Erikson, 1968). Individu mulai belajar membuat keputusan dan menginterpretasikan pengalaman dalam hidupnya dan hal-hal yang mempengaruhi gaya hidup mereka. Jenis hubungan yang dilihat dan dirasakan dalam pengalaman pada masa kanak-kanak dan remaja dapat mempengaruhi individu untuk mendeskripsikan dan bersikap dalam suatu hubungan yang dikembangkan saat memasuki usia dewasa
(Erikson, 1980). Temuan lain oleh Neugarten dan Datan (1973) mengemukakan bahwa penelitian mengenai perkembangan perlu mengenali interaksi kompleks antara kematangan usia dengan kekuatan sosial budaya yang dianut. Hal ini dikarenakan identitas dewasa muda sebagai usia partisipantif dibangun melalui interaksinya dengan masyarakat dalam konteks sosialnya (Stryker & Serpe, 1994).
Ketika seseorang gagal dalam tahap awal pencarian identitas, maka akan terjadi kebingungan identitas atau yang biasa dikenal sebagai konflik psikososial pada tahap remaja (Erikson, 1968). Meskipun konflik identitas disebutkan Erikson terjadi di usia remaja, pencarian identitas diri akan terus berlangsung dari kelahiran hingga kematian. Tingkat kematangan pada individu mempengaruhi sikap dan pola perilaku dalam menentukan pilihan-pilihan di hidupnya. Kematangan individu tidak terlepas dari proses belajar sepanjang hidupnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
Setiap tahap perkembangan Erikson perlu dilalui agar dapat menjadi seutuhnya. Sehingga, permasalahan dalam pencarian identitas yaitu kebingungan peran perlu segera diselesaikan sebelum menuju ke tahap berikutnya yaitu keintiman. Menurut Erikson (1980) puncak tahapan perkembangan manusia terjadi ketika sampai pada tahapan dewasa awal, di mana manusia mengalami konflik keintiman vs isolasi. Keintiman merupakan peleburan identitas seorang individu dengan individu lain tanpa disertai ketakutan akan hilangnya sesuatu dari diri individu itu sendiri. Sementara, yang dimaksudkan dengan isolasi adalah apabila seseorang gagal mengembangkan relasi yang intim di masa dewasa awal.
Dalam tahap ini, keintiman dan isolasi memunculkan nilai cinta. Cinta yang dimaksud tidak hanya dengan kekasih, melainkan cinta secara luas dan universal dalam hubungan bersosial. Tahap ini disebut sebagai tahapan puncak dalam perkembangan manusia dikarenakan masa ini ditentukan oleh bagaimana masa kecil hingga remaja, seseorang mampu untuk bersosialisasi dengan cukup baik, membangun relasi ataupun berkomunikasi dengan orang-orang sekitar tanpa rasa kecemasan atau keraguan. Pada tahapan ini, selain membuat komitmen dengan lawan jenis dalam jangka panjang, individu juga memikirkan bagaimana sebuah cita- cita dan mimpi dapat tercapai, serta memikirkan bagaimana kehidupan selanjutnya termasuk memilih gaya hidup yang sesuai dengan dirinya
(Erikson, 1980).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Tugas perkembangan pada masa dewasa awal menuntut perubahan besar dalam sikap dan pola perilaku (Erikson, 1968). Tidak semua individu dapat menyelesaikan tahap ini dengan baik, terlebih pada individu yang mengalami keterlambatan untuk mencapai tingkat kematangan dalam kepribadiannya sebagai dasar pembentukan sikap dan pola perilaku.
Erikson menekankan bahwa pengaruh sosial terhadap perkembangan individu pada tahapan teori ini menekankan pada konflik-konflik yang dihadapi individu dalam dua titik, yaitu positif dan negatif. Jika seseorang tidak dapat berinteraksi dan memiliki rasa percaya terhadap orang lain, maka mereka akan terisolasi dan terpaku pada kegiatan dan pikiran sendiri
(self-absorb). Akan tetapi, mereka juga butuh kesendirian agar dapat merefleksikan kehidupan mereka.
Ketika individu berusaha menyelesaikan tuntutan dan kompetisi yang saling berlawanan dari sosial dan dirinya, individu mengembangkan pemahaman etis yang dianggap Erikson sebagai tanda kedewasaan. Pada masa dewasa awal, individu berhadapan dengan kebutuhan untuk membangun hubungan yang intim dengan orang lain. Konflik yang dihadapi adalah kemampuan untuk berbagi perasaan dengan orang lain atau bila tidak, individu cenderung menjadi seseorang yang lebih menutup diri. Individu yang berhasil membagi perasaannya akan mendapat perasaan mesra dan keintiman. Jika yang terjadi sebaliknya, maka individu akan merasa kesepian dan terasing atau kecil (Erikson, 1964).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
Di usia dewasa, individu cenderung merasa optimis dengan masa depan mereka. Bagi individu yang selama ini tumbuh dengan menghadapi kesulitan-kesulitan hidup, masa tumbuh dewasa memberikan kesempatan untuk mengarahkan hidup mereka ke arah yang lebih positif (Arnett, 2006).
Perilaku positif yang dimaksud di sini adalah berusaha untuk meraih prestasi setinggi mungkin (Burns, 1993), membina hubungan interpersonal dengan lingkungan secara efektif, mandiri, mampu menggunakan pengalaman untuk memperkaya diri, dan menyiapkan diri dalam menghadapi hal-hal yang baru (Fitts, 1971), mampu merancang masa depannya, serta tidak berputus asa untuk terus berjuang meraih penghargaan terhadap hakikatnya sebagai manusia.
Hal sebaliknya yang dirasakan oleh individu yang mengalami isolasi dalam masalah perkembangan dewasa awal. Semasa hidupnya, mereka cenderung berusaha untuk menghindari siapapun yang terlihat bahaya atau merugikan dirinya (Erikson, 1968). Dengan kata lain, secara psikologis seseorang dalam tahapan isolasi cenderung melakukan penilaian
(judgment) terhadap seseorang yang baru ditemuinya ataupun seseorang yang sudah cukup lama dikenal. Selain itu, individu tersebut cenderung berusaha untuk tidak berinteraksi secara intim dengan orang-orang yang ia temui. Prasangka-prasangka buruk kemudian berkembang selama masa kehidupan pendewasaan yang mengakibatkan kecemasan dalam menjalin hubungan dan merasa tidak percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya (Erikson, 1968).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
Berdasarkan pemaparan di atas, peneliti akhirnya menetapkan untuk menggunakan partisipan penelitian perempuan yang berada pada rentang usia masa dewasa awal, yakni usia 20 hingga 34 tahun. Hal tersebut dikarenakan seseorang di masa dewasa awal baru saja melewati konflik identitas diri vs krisis identitas pada tahap remaja akhir. Tidak semua orang dapat menyelesaikan krisis identitas diri dalam waktu yang singkat, akan tetapi seseorang di masa dewasa awal diharapkan sudah memiliki identitas diri yang stabil. Untuk itu, peneliti ingin melihat bagaimana eksplorasi identitas diri perempuan Jawa di masa dewasa awal pada masa kini.
***Pada bagian ini peneliti telah menjabarkan Perempuan Jawa dalam perspektif budaya, sosial dan perkembangan. Secara singkat, pada bagian perspektif budaya, nantinya di bagian pembahasan peneliti akan meninjau partisipan berdasarkan dirinya sebagai perempuan Jawa dan bagaimana stereotip mengenai perempuan Jawa yang ada di tengah masyarakat membentuk dirinya. Sedangkan pada bagian perspektif sosial, peneliti akan meninjau partisipan berdasarkan dirinya sebagai mahasiswi aktivis. Dan pada bagian perspektif perkembangan, peneliti akan meninjau partisipan sebagai individu yang sedang berada pada tahap masa dewasa awal. Meskipun meninjau ketiga hal yang berbeda, tiga perspektif tersebut saling berkaitan, mempengaruhi, dan secara keseluruhan saling berkesinambungan dan berperan dalam pembembentukan identitas diri
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
partisipan sebagai perempuan Jawa dewasa muda yang berstatus sebagai
mahasiswi aktivis.
C. Identitas Diri
Peneliti akan memaparkan teori mengenai identitas diri dimulai dari definisi identitas diri, aspek-aspek yang terdapat dalam identitas diri, faktor-faktor pembentukan identitas diri serta proses dan dampak dari pembentukan identitas diri. Seluruh pemaparan tersebut akan mengacu pada teori Erikson dan McAdams.
1. Definisi
Erikson (1968) menjelaskan bahwa identitas merupakan perasaan
partisipantif mengenai diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke
waktu. Erikson menyatakan bahwa identitas diri merupakan suatu
kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan
yang relatif stabil sepanjang rentang kehidupan, dan merupakan
pengorganisasian dorongan-dorongan (drives), kemampuan (abilities),
keyakinan (beliefs), dan pengalaman ke dalam citra diri (image of self)
yang konsisten meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan.
Identitas diri merupakan bentuk kesadaran individu untu menempatkan
diri dan memberikan arti pada dirinya dengan tepat dalam berbagai
konteks kehidupan. Dalam artian lain, seseorang akan memiliki perasaan
menjadi orang yang sama meskipun dalam berbagi tempat dan situasi
sosial.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
Erikson (1989) mengartikan identitas diri sebagai pokok dari seluruh kepribadian yang mutlak dalam diri seseorang meskipun situasi lingkungan berubah dan diri menjadi tua. Di sisi lain, identitas diri merupakan keserasian peran sosial yang pada dasarnya bersifat berubah- ubah dan selalu mengalami proses tumbuh dan berkembang. Identitas diri sebagai gaya hidup yang seseorang pilih kemudian berkembang dalam tahap-tahap terdahulu dan menetukan cara-cara individu memerankan peran sosialnya. Selain itu, identitas diri merupakan suatu perolehan khusus pada tahap remaja dan akan diperbaharui dan disempurnakan setelah tahap masa remaja. Identitas diri bersifat partisipantif dalam ruang dan waktu berdasarkan pengalaman yang dilalui oleh individu. Identitas diri juga merupakan bagian bentuk kesinambungan diri sendiri dalam pergaulannya dengan orang lain.
Identitas diri merupakan sebuah proses menjadi seorang individu yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Erikson, 1975).
Identitas diri menyangkut kualitas eksistensi dari partisipan, yang berarti bahwa partisipan memiliki gaya pribadi yang khas, yang membedakan dirinya dengan orang lain. Oleh karena itu, identitas diri bisa dianggap sebagai hasil dari upaya mempertahankan suatu gaya keindividualitasan diri seseorang. Ketika seseorang telah memperoleh identitas dirinya, maka ia akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya, meliputi kesukaan dan ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan yang diantisipasi, serta
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya (Erikson,
1989).
Ketika seseorang ditanyakan mengenai identitas dirinya, jawaban mereka tidak terlepas dari atribut identitas sosial yang mereka miliki
(Erikson, 1989). Dengan kata lain, identitas secara sosial meliputi ciri-ciri seseorang berkaitan dengan suatu masyarakat dari mana seseorang berasal, yang tercerminkan melalui perilaku atau karakter masyarakat yang bersangkutan, yang terbentuk secara inheren dengan aktivitas sehari-hari sebagai pembedanya dari kelompok masyarakat lainnya. Warisan budaya, etnis, dan ras individu memiliki peranan penting dalam konsepsi individu mengenai identitas diri mereka pribadi, dan pada gilirannya, memberikan efek penting pada pemikiran dan perilaku sosial. Maka dari itu, penting melihat identitas seseorang melalui perspektif multikultural yang mengedepankan gender, usia, etnis, orientasi seksual, kelas sosial, orientasi religiusitas, dan dimensi kelompok sosial lainnya (Branscombe &
Wann, 1994).
Teori Erikson juga dikenal sebagai “ego psychology” yang menekankan pada konsep bahwa diri (self) diatur oleh ego bawah sadar
(unconscious ego) serta pengaruh yang besar dari kekuatan sosial dan budaya di sekitar individu (Muus, 1996). Erikson menekankan peran budaya dan masyarakat dan konflik yang bisa terjadi di dalam ego itu sendiri. Ia tertarik pada bagaimana anak bersosialisasi dan bagaimana hal ini mempengaruhi perasaan terhadap diri (self) mereka sendiri. Ego bawah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
sadar menyajikan bermacam cara dan aturan dalam menjaga kesatuan dari berbagai aspek kepribadian serta memelihara individu dalam keterlibatannya dengan dunia sosial, termasuk menjalankan tugas penting dalam hidup yaitu menemukan makna dalam hidup. Menurut Erikson, ego berkembang karena berhasil menyelesaikan krisis normatif yang secara khas bersifat sosial.
Burns (1993) menambahkan bahwa “ego” yang dimaksud Erikson merupakan partisipan aktif yang berperan sebagai agen pusat pengorganisasian sedangkan diri (self) sebagai objek. Ide ini diperluas secara sosial, sehingga identitas diri merupakan hasil yang muncul dari pengalaman individu dalam konteks kultural. Erikson (1980) memberikan penekanan pada pengaruh sosial dalam perkembangan seorang individu.
Dalam istilah Erikson, yang dimaksud sebagai psikososial adalah kecocokan timbal balik antara individu dengan lingkungannya. Menurut
Erikson, identitas diri merupakan perasaan yang dapat berfungsi sebagai seseorang yang berdiri sendiri, akan tetapi tetap berhubungan erat dengan orang lain. Perkembangan identitas bukan sekedar representasi diri, melainkan melibatkan hubungan dengan orang lain, komunitas, dan masyarakat kelompok tetapi sekaligus memiliki ciri-ciri yang berbeda dengan kelompok. Dalam artian lain, kesiapan manusia dalam interaksinya dengan lingkungan dalam suatu ruang kehidupan menjadi suatu bagian dari sistem budaya yang telah berlangsung (Erikson, 1980).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
Secara psikologis, identitas terwujud dari proses restrukturisasi individu terhadap segala identifikasi dan gambaran diri pada masa lalu, lalu diolah dalam perspektif masa depan (Erikson, 1950). Dengan demikian, identitas merupakan kelanjutan dari masa kanak-kanak, pengertian diri yang sekarang, dan menjadi petunjuk di masa depan.
Identitas diri muncul sebagai hasil positif dari integrasi bertahap dalam segala proses identifikasi yang dilalui setiap individu. Istilah pencarian identitas diri merupakan sebuah upaya untuk meneguhkan suatu konsep diri yang bermakna, merangkum semua pengalaman berharga di masa lalu, serta realitas keyakinan yang terjadi termasuk aktivitas yang dilakukan individu pada masa kini serta harapan di masa yang akan datang menjadi sebuah kesatuan gambaran tentang diri (self) yang utuh, berkesinambungan dan unik (Muus, 1996).
Pengertian identitas diri yang dimaksud Erikson dirangkum menjadi beberapa bagian (Erikson, 1989), yakni: a. Identitas diri sebagai intisari seluruh kepribadian yang tetap tinggal
sama dalam diri seseorang walalupun situasi lingkungan berubah dan
diri menjadi tua. b. Identitas diri sebagai keserasian peran sosial yang pada prinsipnya
dapat berubah dan selalu mengalami proses pertumbuhan. c. Identitas diri sebagai ‘gaya hidupku sendiri’ yang berkembang dalam
tahap-tahap terdahulu dan menentukan cara-cara bagaimana peran
sosial diwujudkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
d. Identitas diri sebagai suatu perolehan khusus pada tahap remaja dan
akan diperbaharui dan disempurnakan setelah masa remaja. e. Identitas diri sebagai pengalaman partisipantif akan kesamaan serta
kesinambungan batiniahnya sendiri dalam ruang dan waktu. f. Identitas diri sebagai kesinambungan dengan diri dalam pergaulannya
dengan orang lain.
Salah satu perkembangan teori dari konsep identitas diri Erikson
(1968) adalah identitas narasi milik McAdams (1985). Narasi yang dimaksudkan adalah konstitutif identitas dalam artian bagaimana kita memahami pengalaman kita dan apa yang kita rasakan sebagai perasaan yang saling terkait dalam seluruh pembangunan identitas diri (McAdams
& Pals, 2006; McLean, Pals, & Pasupathi, 2007). Mengacu pada Erikson
(1968), McAdams (1985) membahas kebingungan peran yang biasa dialami oleh individu dalam mencari identitas diri. Meskipun individu mencoba berbagai peran, pada akhirnya individu akan menemukan kesesuaian di beberapa bagian dari masyarakatnya, yaitu sebuah peranan yang unik dan tepat bagi individu. Dalam menemukan itu, individu di usia dewasa awal perlu memperoleh rasa kesinambungan dengan dirinya dan kesamaan dengan lingkungan sosialnya yang akan menjembatani bagaimana dirinya sebagai seorang anak di masa lalu dan bagaimana dirinya di masa yang akan datang, yang kemudian akan mendamaikan konsep tentang dirinya sendiri dan pengakuan komunitasnya tentang dirinya (McAdams, 2008).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
McAdams (1993) berpendapat bahwa setiap orang memiliki aspek yang berbeda pada setiap tahapan dalam kehidupannya. Sebagai contoh, individu di akhir masa remaja dan dewasa awal cenderung memfokuskan sebagian dari identitas diri mereka dengan mengkristalkan nilai-nilai dasar dan keyakinan yang menggariskan cerita mereka dalam ideologi yang mereka anut (Erikson, 1958). Dalam pandangan McAdams (2008), orang dewasa mengintegrasikan dirinya dengan menempatkan hidupnya menjadi kisah yang bermakna sesuai konteks budaya yang dianut. Identitas yang terbentuk dengan baik dan berfungsi dengan baik dalam masyarakat dan akan menjadi "cerita yang baik," yang turut menunjukkan ciri-ciri tradisional seperti sebagai koherensi, kredibilitas, kekayaan dan keterbukaan budaya (McAdams, 1993).
Sebelum periode perkembangan remaja akhir atau dewasa awal,
McAdams (1993) menganggap bahwa seseorang belum memiliki identitas.
Hal tersebut bukan berarti menyatakan bahwa orang-orang tidak tahu siapa mereka sebelum masa remaja akhir, akan tetapi, dalam istilah Erikson
(1950), anak-anak biasanya tidak memiliki identitas karena integrasi dirinya belum menjadi masalah psikososial bagi mereka. Dalam life story model of identity (McAdams, 1996), identitas tidak identik dengan "diri" atau "konsep diri" atau sekedar "siapa saya", melainkan mengacu pada kualitas atau rasa tertentu dari pemahaman diri seseorang yang terintegrasi dan menempatkan diri seseorang ke dalam konteks psikososial yang berarti dan memberikan hidup sebuah kesatuan dan tujuan, sehingga
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
seseorang disebut memiliki identitas. McAdams (2008) berpendapat bahwa orang-orang mulai mempertaruhkan hidup mereka ke dalam cerita yang menentukan siapa diri mereka yang sesungguhnya. Ini adalah kisah diri yang diinternalisasi dan berkembang dengan mengintegrasikan diri.
Identitas merupakan konfigurasi diri di dunia orang dewasa yang terintegrasi dalam dua cara. Pertama, identitas diri terintegrasi secara sinkronis dengan memadukan berbagai peran dan relasi yang berbeda yang mungkin bertentangan (McAdams, 2001). Menurut McAdams, identitas perlu mengintegrasikan peran dan hubungan sehingga walaupun mereka tampak sangat berbeda, mereka dapat dipandang sebagai sebuah bagian yang integral dan berasal dari konfigurasi-diri yang sama. Kedua, identitas berintegrasi secara diakronik dalam waktu. Dalam artian, identitas perlu mengintegrasikan identitas diri yang berkembang dari waktu ke waktu sehingga meskipun elemen-elemen dalam diri berubah seiring berjalannya waktu, elemen-elemen tersebut tetap dapat disatukan pada sebuah kesatuan yang bermakna ke dalam keseluruhan diri yang terorganisir secara temporal (McAdams, 2001).
McAdams juga menganut teori generativitas milik Erikson (1963) yang digambarkan sebagai perhatian dan komitmen orang dewasa.
Generativitas dapat diungkapkan dengan banyak cara, termasuk mengajar, mentoring, kepemimpinan, dan berbagai komitmen kehidupan lainnya yang melibatkan peninggalan warisan positif diri untuk masa depan. Orang dewasa yang generatif berusaha untuk memberikan sesuatu kembali ke
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
masyarakat. Mereka mewariskan tradisi yang berharga, dan mereka juga turut menciptakan tradisi baru. Mereka bekerja untuk membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik, tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk generasi mendatang (Erikson, 1963).
Berbagai perspektif meliputi perspektif fisiologis, kognitif, sosial maupun budaya setuju pada satu hal bahwa di akhir masa remaja dan dewasa awal bahwa konsep diri perlu dibangun dan diceritakan dengan cara mengintegrasikan peran yang berbeda, menggabungkan banyak nilai dan keterampilan yang beragam, dan teratur dalam sebuah pola temporal yang bermakna, yang mampu merekonstruksi masa lalu, masa kini yang dirasakan, dan masa depan yang diantisipasi (Erikson, 1963; McAdams,
1985). Tantangan tuntutan identitas diri di masa dewasa dibangun dalam suatu cerita diri yang mensintesis elemen-elemen sinkronik dan diakronik yang diatur sedemikian rupa sehingga menunjukkan bahwa (a) terlepas dari banyak segi, konsep diri bersifat koheren dan terpadu dan (b) meskipun banyak perubahan yang terjadi selama perjalanan hidup, diri di masa lalu mengarah ke diri saat ini, yang pada gilirannya akan mengarah pada diri masa depan (McAdams, 1993).
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa identitas diri adalah kesadaran individu untuk menempatkan diri dan memberi arti pada dirinya sendiri sebagai pribadi yang unik serta memiliki ciri khas yang berbeda dari kelompoknya, memiliki keyakinan yang relatif stabil, serta memiliki peran penting dalam konteks kehidupan masyarakat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Identitas diri merupakan suatu kesadaran dan kesinambungan diri dalam
mengenali dan menerima kekhasan pribadi, peran, komitmen dan tujuan
hidup sehingga individu mampu berperilaku sesuati kebutuhan dirinya dan
harapan masyarakat (Erikson, 1980).
2. Aspek
Dengan definisi identitas diri yang sudah disampaikan oleh
McAdams yang mengacu pada Erikson, McAdams et al., (2017) kemudian
mengidentifikasi tiga kategori terkait dengan identitas diri, yakni tema
motivasi, tema afektif dan tema makna integratif. Dari ketiga tema tersebut,
terdapat sembilan aspek yang umum diteliti terkait dengan identitas diri,
antara lain:
A) Tema Motivasi
1) Agensi: Tingkat di mana individu dapat memulai perubahan pada
dirinya sendiri atau mempengaruhi orang lain di lingkungan
mereka dan mencapai tingkat kontrol selama pengalaman
hidupnya.
2) Hubungan erat: Tingkat di mana individu bertujuan untuk
memiliki rasa kebersamaan dan harmoni dengan orang lain atau
lingkungan mereka.
3) Tujuan hidup: Tingkat di mana individu berupaya untuk
membimbing pengembangan dirinya dalam arah yang bermakna
secara pribadi dan berorientasi pada pertumbuhan pribadi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
B) Tema Afektif
1) Kontaminasi: Tingkat di mana individu menggambarkan suatu
peristiwa positif yang seharusnya menghasilkan hal-hal baik
namun justru menghasilkan hal-hal yang buruk.
2) Penebusan: Tingkat di mana individu melihat sebuah peristiwa
negatif lalu mengarahkannya ke hasil yang positif.
3) Resolusi positif: Tingkat di mana individu mampu memberikan
gambaran yang positif mengenai peristiwa menantang yang
sebelumnya dilalui.
C) Tema Makna Integratif
1) Proses akomodatif: Tingkat di mana individu mengubah
pandangannya tentang diri dan dunia, di mana individu
mengalami perubahan penting dalam menanggapi lingkungan.
2) Proses eksplorasi: Tingkat di mana individu melakukan upaya
aktif dan terlibat untuk mengeksplorasi, merenungkan dan
menganalisa suatu pengalaman tidak menyenangkan dengan
keterbukaan untuk belajar dan menginginkan perubahan darinya.
3) Pembuatan makna: Tingkat di mana individu mempelajari sesuatu
atau membersihkan pesan dari suatu peristiwa (misalnya:
peristiwa yang tidak bermakna, peristiwa dengan makna yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
kabur, belajar dari peristiwa yang konkret, atau mendapatkan
wawasan mendalam melalui sebuah peristiwa).
McAdams et al., (2017) menyatakan bahwa aspek-aspek yang telah
disebutkan di atas berhubungan dengan kesejahteraan psikologis seseorang
dan mempengaruhi proses pencarian identitas diri mereka. Berdasarkan
penjelasan mengenai aspek-aspek tersebut, dapat disimpulkan bahwa
aspek-aspek dalam identitas diri mencakup motivasi diri individu, peran
dan relasi individu dengan orang lain, serta cara individu memaknai suatu
peristiwa. Sehingga, aspek-aspek yang telah disebutkan di atas merupakan
aspek-aspek yang akan peneliti gunakan dalam penelitian ini.
3. Faktor-faktor Pembentukan Identitas Diri
McAdams dalam penelitiannya tidak mengemukakan faktor-faktor
yang terkait dengan pembentukan identitas diri seseorang. Maka dari itu,
peneliti mengacu pada Erikson (1989) yang mengungkapkan faktor-faktor
pembentukan identitas diri sebagai berikut:
a) Perkembangan para remaja
Perkembangan identitas diri sudah berlangsung sejak anak
mengembangkan kebutuhan akan rasa percaya (trust), otonomi diri
(autonomy), kemampuan berinisiatif (initiative), dan kemampuan
menghasilkan sesuatu (industry). Memasuki masa remaja,
perkembangan keempat komponen ini memberikan kontribusi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
terhadap pembentukan identitas diri seseorang. Selain itu, fleksibilitas
dan keterbukaan remaja terhadap perubahan juga mempengaruhi
pembentukan identitas dirinya.
b) Pengaruh keluarga
Keluarga dengan pola asuh yang berbeda akan mempengaruhi
proses pembentukan identitas diri individu secara berbeda. Orangtua
yang menerapkan pola asuh otoriter, yang mana orangtua mengontrol
setiap perilaku anaknya tanpa memberikan mereka kesempatan untuk
mengekspresikan opini dan perasaannya akan mengarah pada
perempasan pembentukan identitas diri anak (foreclosure). Sehingga,
anak mengalami kegagalan dalam menjadi diri yang ideal bagi dirinya
sendiri, melainkan terarah untuk menjadi diri yang ideal bagi
orangtuanya. Sedangkan orangtua dengan pola asuh permisif, yang
mana hanya memberikan sedikit pengarahan kepada anaknya,
cenderung membentuk identitas diri anak yang terarah membaur
(diffuse) (Erikson, dalam Santrock, 1998). Selain itu, orangtua yang
mengembangkan sikap menerangkan, menerima, empatis (enabling)
cenderung lebih membantu individu dalam proses pembentukan
identitas dirinya dibandingkan dengan orangtua yang
mengembangkan sikap selalu menilai dan mengevaluasi
(constraining).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
c) Pengaruh individualitas dan connectedness
Relasi individu dengan keluarga turut mempengaruhi
pembentukan identitas diri individu dengan cara merangsang
individualitas dan keterhubungan individu dengan orang lain
(connectedness). Individualitas meliputi kemampuan individu dalam
mengemukakan pendapat mengenai perasaan bahwa dirinya berbeda
dari orang lain atau anggota keluarganya yang lain. Sedangkan
connectedness meliputi kebersamaan, sensitivitas, keterbukaan
terhadap kritik dan aspek terhadap pendapat orang lain. Bila faktor
individuasi rendah sedangkan faktor connectedness tinggi, maka
individu akan mengembangkan identitas diri yang mengarah pada
bentuk foreclosure. Sebaliknya, jika kedua faktor tersebut lemah,
maka individu akan mengembangkan identitas diri yang mengarah
pada bentuk diffuse.
4. Proses dan Dampak
Erikson menjelaskan bahwa hal utama dalam pembentukan identitas
diri adalah eksperimentasi kepribadian dan peran. Erikson meyakini bahwa
manusia akan dihadapkan dengan sejumlah pilihan. Individu mencoba
peran serta kepribadian yang beragam sebelum pada akhirnya mencapai
pemikiran diri yang stabil. Proses pembentukan identitas diawali dengan
berakhirnya pengidentifikasian diri individu terhadap orangtua atau orang
dewasa yang berada di sekitar individu. Individu tidak lagi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
mengidentifikasi dirinya berdasarkan anggota tubuh, penampilan dan orangtuanya. Proses pembentukan identitas diri bergantung pada keadaan masyarakat di mana individu tinggal, sehingga kemudian masyarakat mengenalnya sebagai individu yang telah menjadi dirinya sendiri dengan caranya sendiri (Erikson, 1989).
Erikson (1989) menyebutkan bahwa pembentukan identitas diri membutuhkan dua elemen utama, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen.
Istilah “eksplorasi” yang dimaksud adalah waktu di mana individu berusaha menjelajahi berbagai alternatif tertentu dan memberikan perhatian terhadap keyakinan dan nilai-nilai yang dibutuhkan dalam pemilihan alternatif tersebut. Sedangkan “komitmen” adalah usaha pengambilan keputusan terhadap ideologi atau keyakinan, serta usahanya dalam menentukan berbagai strategi dalam merealisasikan keputusan tersebut. Berdasarkan dua elemen tersebut, maka dalam proses pembentukan identitas diri, individu mengalami kemungkinan yang disebut dengan krisis identitas untuk menuju pada suatu komitmen yang merupakan keputusan akan masa depan yang ingin dijalani.
Selama periode eksplorasi, individu mencari tahu kemungkinan- kemungkinan dan mulai membentuk identitas mereka sendiri berdasarkan hasil penjelajahan mereka. Bila individu gagal dalam membangun rasa identitas diri di dalam masyarakat dan tidak dapat menyelidiki apa yang ia inginkan di masa depan, individu akan dihadapkan dengan kebingungan peran (identity confusion). Kebingungan peran melibatkan individu yang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
tidak yakin terhadap diri mereka sendiri atau peran mereka dalam masyarakat.
Menurut Erikson (1989) remaja yang berhasil mencapai suatu identitas diri yang stabil akan memperoleh suatu pandangan yang jelas tentang dirinya, memahami perbedaan dan persamaannya dengan orang lain, menyadari kelebihan dan kekurangan dirinya, penuh percaya diri, tanggap terhadap berbagai situasi, mampu mengambil keputusan penting, dan yang paling penting mampu mengantisipasi tantangan masa depan.
Sementara, menekan seseorang menjadi diri yang ideal seperti yang masyarakat harapkan dapat mengakibatkan pemberontakan dalam bentuk pembentukan identitas negatif, dan menimbulkan perasaan tidak bahagia dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri. Erikson percaya jika kita melihat hidup kita tidak produktif, merasa bersalah tentang masa lalu kita, atau merasa bahwa kita tidak mencapai tujuan hidup kita, kita menjadi tidak puas dengan kehidupan dan mengembangkan keputusasaan, yang seringkali menyebabkan depresi dan keputusasaan.
Seseorang dengan pandangan identitas diri yang baik mencerminkan kematangan psikologis yang menekankan pada proses pembelajaran, pertumbuhan, dan transformasi pribadi yang positif (McAdams, Bauer, &
Sakaeda, 2005). McLean & Pratt (2006) menemukan bahwa orang dewasa muda yang terlibat dalam proses pembentukan identitas yang lebih rumit dari titik balik dalam hidup mereka cenderung mendapat skor lebih tinggi pada keseluruhan indeks kematangan identitas (Syed & Azmitia, 2010).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
Banyak penelitian menunjukkan bahwa resolusi positif dari peristiwa
negatif dikaitkan dengan tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan yang lebih
tinggi (King & Hicks, 2007; McAdams, 2008). McAdams dalam
penelitiannya menunjukkan bahwa dampak dari pencapaian seseorang
dalam memaknai identitas dirinya adalah kesejahteraan hidup. Sehingga,
dapat diasumsikan bahwa untuk mencapai kesejahteraan dalam hidup,
seseorang perlu memaknai identitas dirinya.
Pemahaman mengenai definisi, aspek, dan faktor pembentukan
identitas diri yang akan digunakan dalam penelitian ini akan membantu
kita mengikuti alur penelitian ini. Setelah pembahasan mengenai identitas
diri secara umum, bagian selanjutnya akan membahas terkait identitas diri
perempuan Jawa.
D. Identitas Diri Perempuan Jawa
Identitas diri merupakan perasaan yang dapat berfungsi sebagai seseorang yang dapat berdiri sendiri, akan tetapi tetap berhubungan erat dengan orang lain
(Erikson, 1989). Identifikasi diri muncul ketika seseorang dalam usia muda telah memiliki nilai kehidupan yang dipercayai tanpa mengabaikan nilai dari masyarakat di mana ia berasal. Dalam artian, bahwa seseorang telah memiliki peran yang jelas dan berarti dalam masyarakat. Sebelum mencapai identitas diri yang stabil, pada masa remaja akhir individu perlu melalui krisis masa pencarian identitas diri vs krisis identitas diri (identity crisis) yang berhubungan dengan tugas perkembangannya selama masa remaja, seperti penerimaan keadaan fisik,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
peran seks secara sosial, memilih tata nilai yang menuntun perilaku dan mengembangkan perilaku sosial (Erikson, 1989). Setelah melewati tahap krisis identitas pada masa remaja akhir, individu diharapkan mampu membangun hubungan yang intim dengan orang lain di sekitarnya. Menurut Erikson (1950), masing-masing tahap perkembangan memiliki kekuatannya untuk melanjutkan ke tahap perkembangan berikutnya. Apabila Seseorang mengalami keadaan bimbang pada salah satu tahap perkembangan, maka hal itu akan berdampak pada tahap perkembangan berikutnya.
Identitas diri merupakan sebuah proses menjadi seorang individu yang unik
(Erikson, 1975). Jika dikaitkan dengan perempuan Jawa, hal ini sedikit sulit untuk dicapai karena seorang perempuan Jawa kaitannya tidak terlepas dari nilai budaya meliputi adat istiadat. Nilai-nilai tersebut yang dipelajari dan menjadi pedoman bagi pencarian identitas diri seorang perempuan Jawa. Sejak dulu, nilai-nilai tersebut terus ditanamkan secara turun-temurun sejak masa kanak-kanak. Ketika masa kanak-kanak, nilai-nilai tersebut biasa dipelajari melalui cerita yang anak- anak dengar dari orangtuanya. Cerita-cerita tersebut mampu mempengaruhi pikiran pendengar dalam bertindak dan pembentukan identitas dirinya. Cerita kehidupan masa kini dianggap sebagai internalisasi dan sebagai perkembangan narasi diri yang menggambarkan bagaimana individu pada masa ini memahami siapa dirinya sekarang, sebelumnya dan menjadi apa di masa depan (McAdams,
2006). Untuk itu, ketika seseorang perempuan Jawa mengalami kebimbangan saat pencarian identitas di masa remaja akhir apabila perannya tidak sesuai dengan tuntutan masyarakat. Hal tersebut diungkapkan oleh Erikson (1989), bahwa salah
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
satu dimensi kompleks mengenai identitas adalah mengenai kecocokan hubungan timbal balik psikososial. Hal tersebut tentu akan berpengaruh ketika seorang perempuan Jawa akan memulai hubungan yang intim.
Erikson (1989) menyatakan bahwa salah satu tugas perkembangan di masa dewasa awal adalah menjalin hubungan yang dekat dan intim terutama dengan lawan jenis untuk akhirnya membangun keluarga. Perempuan Jawa pada dasarnya memang jarang diperbincangkan perannya secara mandiri, mereka cenderung dibicarakan dengan kaitan perannya dalam keluarga. Mulai dari bagaimana menjadi anak perempuan yang baik, wanita Jawa yang baik, istri yang baik, sampai menjadi ibu yang baik. Hal itu akan terus terjadi secara berulang di mana kedudukan anak perempuan bergantung pada ayah, dan kedudukan seorang istri bergantung pada suami.
Secara keseluruhan, hingga saat ini peran perempuan di Jawa masih diatur oleh tradisi. Secara tidak langsung, peran-peran perempuan Jawa yang telah diharapkan oleh masyarakat memaksa mereka untuk membentuk identitas dirinya sesuai dengan tuntutan masyarakat. Tujuan hidup perempuan seakan-akan hanyalah untuk menikah dan membentuk keluarga sesudahnya hampir seluruh kehidupannya dilewatkan dalam keluarga. Dalam keadaan ini, perempuan jadi bergantung pada laki-laki secara ekonomis karena pekerjaan yang dilakukan di rumah tidak menghasilkan gaji, dengan ditambah lagi, perempuan seakan-akan dipenjarakan di suatu dunia yang tidak merangsang kepribadiannya (Budiman,
1985). Nilai-nilai Jawa yang turun-temurun diturunkan tidak akan mudah hilang
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
seiring dengan waktu, meskipun budaya pada dasarnya bersifat dinamis dapat berubah seiring berjalannya waktu.
Sesungguhnya banyak hal positif yang ditunjukkan Perempuan Jawa sebagai identitasnya. Sayangnya, di sisi lain, Perempuan Jawa dari tahun ke tahun cenderung tidak banyak berubah. Sejak perjuangan Kartini hingga sekarang,
Perempuan Jawa masih kesulitan mengekspresikan dirinya akibat adanya batasan adat istiadat. Perempuan Jawa terikat oleh nilai-nilai budaya yang melekat dalam masyarakat. Sementara pada umumnya, individu memiliki kesan yang kuat bahwa dirinya merupakan kesatuan yang berbeda dengan orang-orang yang berada di sekitarnya (Erikson, 1989). Sehingga kebebasan berekspresi dibutuhkan setiap individu dalam rangka mencapai identitas idealnya.
Seiring dengan perubahan zaman, generasi muda cenderung mempertanyakan imperatif-imperatif lama yang dianggap tidak lagi relevan dengan kondisi aktual masa kini. Oleh karena itu, identitas pada dasarnya merupakan sebuah proses yang berkelanjutan, dan dapat dimodifikasi serta diubah melalui hubungan sosial terutama ketika masing-masing anggota memiliki kesadaran dan menggunakan partisipantivitasnya untuk menempatkan diri di luar identitas leluhur yang mereka warisi untuk memberikan budaya baru sesuai dengan masanya bagi identitas masyarakat setempat. Dengan demikian, konsep identitas pada masyarakat plural kini dihadapkan pada tantangan antara mempertahankan orisinalitas atau mengikuti perubahan-perubahan baru yang tidak bisa dipungkiri. Maka dari itu, peneliti ingin melihat bagaimana eksplorasi identitas diri perempuan Jawa masa kini ketika masih terikat dengan adat istiadat.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
Dalam ilmu psikologi, terdapat beberapa tokoh yang memunculkan teori terkait identitas diri. Namun, Erikson merupakan ahli psikososial yang pertama kali mengemukakan teori mengenai pembentukan identitas diri. Terlebih lagi, selain membahas tentang identitas diri secara umum, Erikson juga merupakan pelopor teori perkembangan psikososial yang membahas krisis-krisis yang dialami oleh manusia sepanjang hidupnya, yang salah satunya merupakan krisis identitas. Maka dari itu, peneliti memutuskan untuk menggunakan teori identitas
Erikson sebagai acuan untuk melihat eksplorasi identitas diri perempuan Jawa dewasa muda masa kini ketika masih terikat dengan adat istiadat.
E. Kerangka Konseptual Awal
Perempuan Jawa dewasa muda adalah salah satu kelompok dari perempuan
Jawa dari kalangan usia lainnya, yang memiliki dinamika psikologis yang lebih kompleks dibandingkan pada usia sebelum atau sesudahnya. Kompleksitas tersebut bisa dilihat dari perspektif psikologi perkembangan, di mana seseorang yang telah memasuki usia dewasa pada umumnya dianggap telah menemukan identitas dirinya dan mampu menjalin hubungan sosial yang intim. Sementara, faktanya pencarian identitas diri tidak terhenti di usia remaja, melainkan sebuah proses yang berlangsung seumur hidup. Sedangkan menurut perspektif psikologi sosial, ketika seseorang telah memasuki usia dewasa muda namun masih memiliki keraguan dengan identitas dirinya, hal itu akan membuat individu menjadi terisolasi dan berlanjut pada konflik psisosial berikutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
Berdasarkan teori Erikson, terdapat dua kemungkinan yang bisa terjadi ketika seseorang sedang mencari identitas dirinya. Seseorang mungkin akan mendapatkan identitas diri yang ideal, sementara individu yang lain mungkin akan mengalami kebingungan identitas (identity confusion). Kemudian, ketika seseorang berhasil mempertahankan identitas diri yang ideal, maka ia akan mendapatkan identitas diri yang stabil, sementara seseorang yang terjebak dalam kebingungan identitas akan mengalami krisis identitas. Dalam mencapai identitas diri yang stabil maupun krisis identitas, individu menjalani proses eksplorasi dan komitmen dalam mencapai identitas dirinya. Kemampuan individu dalam mencapai identitas dirinya juga dipengaruhi oleh tiga faktor yang sudah dipaparkan oleh Erikson.
Untuk lebih dapat memahami alur berpikir penelitian ini, peneliti akan melampirkan sebuah kerangka konseptual.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
68
IDENTITAS DIRI
Eksplorasi Komitmen