Nuril Hidayah 1 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Abdurrahmân Bintu Al-Syâthi’ dan Sumbangannya dalam Kajian Al-Qur’an

Nuril Hidayah STAI Probolinggo [email protected]

Abstrak Studi ini bertujuan mengidentifikasi posisi Bintu al-Syati’ berkaitan dengan teori i’jâz al-Qur’ân-nya di kalangan para perumus teori i’jâz lugawi lainnya, dan juga kontribusi yang diberikannya dalam wacana i’jâz al-Qur’an khususnya serta kajian al-Qur’an pada umumnya. Untuk mencapai tujuan tersebut studi ini akan menguraikan beberapa elemen yang mendasari pemikiran i’jâz-nya, yakni basis pemikiran, model pemikiran, esensi pemikiran, tujuan dan hasil akhir pemikirannya. [This study is aimed at identifying Bintu al-Syâthi’s position with her theory of i’jâz al-Qur’an among another theoretician of i’jâz lugawî and her contribution toward i’jâz discourse and qur’anic studies. To achieve that goal, it will be explore some elements underlying her theory, namely the basic element, the mode of thought, the essential element, the aim and the end of her i’jâz thought.] Kata Kunci: Al-, teori i’jâz, Bintu al-Syâthi.

A. Pendahuluan Dalam wacana ulumul Qur’an, i’jâz merupakan salah satu ilmu yang penting untuk dikuasai dalam menafsirkan al-Qur’an.1 Secara umum

1 Lihat Hasbi Ash-Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an (: Bulan Bintang, 1980), hlm. 119. Baik i’jaz ilmi, i’jaz lugawi maupun i’jaz tasyri’i sangat penting untuk menjadi bahan pertimbangan dalam . I’jaz ilmi membantu memahami isyarat ilmiah dalam al-Qur’an. I’jaz lugawi membantu memahami karakter linguistik al-Qur’an. Sedang i’jaz tasyri’i membantu memahami al-Qur’an dalam fungsinya sebagai hidayah. Lihat Quraisy Shihab, Mukjizat al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 2003), hlm 88. Lihat juga Mannâ’

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 2 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... ilmu i’jâz al-Qur’ân dimaknai sebagai pengetahuan tentang karakteristik yang khas dan istimewa dari al-Qur’an sebagai kitab suci. Dikatakan khas dan istimewa karena karakter tersebut tidak dapat ditandingi oleh teks- teks lain. Signifikansinya terletak pada bagaimana pengetahuan tentang i’jâz tersebut akan menentukan cara pandang seorang penafsir terhadap teks al-Qur’an. Sebagai contoh, orang yang memandang keistimewaan al- Qur’an terletak pada isyarat-isyarat ilmiah yang terkandung di dalamnya penafsirannya cenderung diwarnai oleh upaya pengungkapan isyarat tersebut. Contoh lain, orang yang memandang bahwa kemukjizatan itu terletak pada kualitas sastranya yang tak tertandingi, penafsirannya akan cenderung berisi upaya menunjukkan kualitas tersebut. Secara garis besar pendapat tentang letak kemukjizatan al-Qur’an dapat digolongkan menjadi dua. Pertama, yang menyatakan bahwa kemukjizatan terletak pada kandungan al-Qur’an, termasuk di dalamnya i’jâz ‘ilmî ataupun tasyrî’î. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa kemukjizatan terletak pada karakter kebahasaannya (i’jâz lughâwî). Bintu al-Syâthi’ adalah salah satu tokoh yang meyakini bahwa kemukjizatan al-Qur’an terletak pada karakter kebahasaannya. Sebuah pandangan yang juga dimiliki oleh pencetus mazhab tafsir sastra, Amîn al- Khulî. Sebagaimana pengakuan Bintu al-Syâthi’, mazhab ini jugalah yang ia ikuti dalam menafsirkan al-Qur’an. Akan tetapi teorinya tentang i’jâz al-Qur’ân juga memiliki keunikan yang membedakannya dengan penganut teori i’jâz kebahasaan seperti al-Jurjânî, al-Baqillâni, dan al-Khaththâbî, atau pengikut mazhab tafsir sastra lainnya seperti Nashr Hamîd Abû Zayd. Keunikan tersebut tercermin lewat kritiknya terhadap beberapa tokoh yang mencoba merumuskan i’jâz kebahasaan seperti al-Baqillâni dan al- Jurjâni, selain itu juga lewat sikap Abû Zayd yang mengecualikan Bintu al- Syathi’ dari mazhab tafsir sastra justru karena pemikiran I’jaznya membuat ia memilih metode tafsir yang menurut Abû Zayd tidak mencerminkan semangat mazhab tafsir sastra. Untuk melihat keunikan tersebut dengan

Khalîl al-Qaththân, Mabâhis fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Riyadh: Mansyûrât al-‘Asr al-Hadîs|, t.t.) hlm. 164-180.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 3 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... lebih jelas tulisan ini akan membahas pemikiran Bintu al-Syâthi’ melalui beberapa unsur bangunan pemikirannya. Menurut Amin Abdullah, ada empat elemen yang membedakan tipe pemikiran seseorang, yakni elemen esensial (the essential element of thought), model pemikiran (the mode of thought), basis pemikiran (the basis of thought), dan tujuan serta hasil akhir pemikiran (the aim and the end of thought).2 Sebuah pemikiran, jika diibaratkan sebagai pohon, maka basis pemikiran adalah akarnya, modus pemikiran sebagai batangnya, esensi pemikiran sebagai cabang, sedangkan hasil akhir dan tujuan yang dicapai sebagai buahnya. Dalam pada itu, karakteristik pemikiran i’jâz Bintu al- Syâthi’ akan dilihat dari empat aspek ini. Berkaitan dengan hal tersebut, Nyoman Kutha Ratna menyatakan ada empat faktor yang berpengaruh dalam menentukan paradigma berpikir seseorang, yakni; faktor ontologis, keberadaan objek yang dengan sendirinya berbeda pada masing-masing pemikir, faktor epistemologis yang berupa cara memperoleh pengetahuan, sumber dan tolok ukur validitasnya, faktor aksiologis yang berkaitan dengan penilain dan tujuan penelitian, serta faktor metodologis yakni keseluruhan proses penelitian.3 Sebagai penelitian yang didibaratkan sebuah pohon, penulis akan membahas pertama-tama berusaha berangkat awal mula pemikiran yakni basis pemikiran (yang diibaratkan sebagai akar). Di sini akan dibahas latar belakang dan aspek epistemologis pemikiran i’jâz al-Qur’ân Bintu al-Syâthi’. Disusul kemudian dengan model pemikiran (yang diibaratkan sebagai batang) di mana akan dibahas aspek metodologis. Kemudian diikuti dengan esensi pemikiran (yang diibaratkan sebagai cabang) di mana akan dibahas tentang aspek ontologis kajian i’jâz. Dan terakhir tujuan dan hasil akhir pemikiran (yang diibaratkan sebagai buah) di mana akan dibahas

2 M. Amin Abdullah, The Idea of Universality of Ethical Norms in Gazali and Kant (Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992), hlm. 219 dan 249. 3 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 20040, hlm. 26. Uraian lengkap tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi lihat Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998).

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 4 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... mengenai aspek aksiologis dan sumbangan yang diberikan oleh keduanya terhadap wacana i’jâz dan wacana studi Qur’an pada umumnya.

B. Basis Pemikiran Bintu al-Syâthi’ Basis pemikiran—sebagaimana diilustrasikan sebagai akar sebuah pohon—merupakan elemen dasar yang berisi asal muasal dari mana suatu pengetahuan diproduksi. Karena itu basis pemikiran meliputi latar belakang pemikiran karena dari sanalah pemikiran bermula, dan epistemologi karena yang terakhir membahas darimana dan bagaimana suatu pengetahuan diproduksi. Aspek-aspek yang dibahas dalam epistemologi adalah sumber, dan ukuran validitas pengetahuan. Sebuah pemikiran selalu lahir dari kritik terhadap pemikiran lainnya. Demikian pula pemikiran i’jâz dalam Mazhab Tafsir Sastra. Pemikiran i’jâz Bintu al-Syâthi’ dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap konsep i’jâz sebelumnya karena tidak berangkat dari keunikan retorika al-Qur’an sendiri, melainkan untuk kepentingan ideologis seperti yang dilakukan oleh al-Baqillânî sehingga belum dapat mengidentifikasi karakter mana sebenarnya yang menunjukkan kemukjizatan. Oleh karena itu, Bintu al- Syâthi’ berusaha menyingkap rahasia karakter khas retorika al-Qur’an yang mengandung keajaiban. Untuk mewujudkan keinginan itu ia meniscayakan pendekatan sastra. Kajian sastra dengan al-Qur’an sebagai titik sentralnya dengan sendirinya menunjukkan bahwa yang menjadi sumber pengetahuan adalah teks, yakni al-Qur’an itu sendiri. Demikian pula dalam merumuskan konsep i’jâz al-Qur’ân, Bintu al-Syâthi’ pertama-tama berangkat dari teks dan selalu menguji kesimpulan yang didapatnya dengan kenyataan yang terdapat dalam teks. Hal ini terlihat pada upayanya untuk menyingkap rahasia al-Qur’an dengan sedapat mungkin menggunakan data-data yang terdapat didalamnya dengan mengaitkannya satu sama lain. Melihat bahwa sumber utama dari pemikiran Bintu al-Syâthi’ adalah teks maka dapat dikatakan bahwa yang mendasari pemikirannya adalah

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 5 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... epistemologi bayani. Dalam epistemologi bayani, sumber terpokok ilmu pengetahuan adalah teks. Fungsi dan peran akal adalah untuk menjelaskan kebenaran teks, sehingga tolok ukur kebenarannya adalah kesesuaian dengan teks.4 Bagi Bintu al-Syâthi’, teks al-Qur’an adalah struktur linguistik yang utuh dan sempurna di mana setiap elemennya mempunyai peranan yang khas dalam struktur teks. Peranan tersebut hanya dapat diteliti dengan melihat kaitan-kaitannya satu sama lain di dalam teks. Maka upaya untuk menyingkap karakteristik teks hanya dapat dilakukan dengan sejauh mungkin melihat kemungkinan-kemungkinan yang terkandung dalam teks. Di sini teks benar-benar menjadi sumber utama dalam produksi pengetahuan. Penggunaan teks sebagai sumber utama pengetahuan tampak pada upaya Bintu al-Syâthi’ untuk sejauh mungkin membiarkan al-Qur’an berbicara sendiri, yakni dengan menggunakan metode istiqrâ’î (induktif) dengan prosedur referensi silang dalam menganalisis struktur al-Qur’an. Perangkat lain yang ia gunakan, seperti, kaidah bahasa, ilmu balagah dan pendapat justru dikaji berdasarkan apa yang terdapat dalam teks. Hal ini tampak ketika Bintu al-Syâthi’ menganalisis kata-kata atau huruf- huruf yang dianggap ekstra dalam al-Qur’an sebagaimana dinyatakan oleh beberapa mufassir berdasarkan hal yang berlaku umum dalam bahasa Arab. Misalnya kata bi pada frase bi majnûn (68:2) yang menjadi predikat huruf negatif mâ dianggap oleh sebagian mufassir sebagai tidak bermakna dan berfungsi sebagai tambahan. Namun bagi Bintu al-Syâthi’ tidak demikian, karena setelah menganalisisnya berdasarkan data-data yang terkumpul dari teks al-Qur’an, frase atau huruf tersebut, sebenarnya memilki fungsi retoris tersendiri yang dibutuhkan dalam situasi-situasi tertentu.

4 Keterangan selengkapnya tentang epistemologi bayani lihat ‘Abid al-Jabiri, Formasi Nalar Arab, terj. Imam Khoiri (Yogyakarta: IRciSod, 2003). Lihat juga M. Amin Abdullah, “Al-Ta’wil al-Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci,” makalah dalam Seminar Nasional Hermeneutika Al-Qur’an: Pergulatan tentang Penafsiran Kitab Suci. LPPI- MSI UMY, 10 April 2003.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 6 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...

Pandangan bahwa teks dapat dipahami dengan memperhatikan kaitan- kaitan antar unsur di dalamnya menunjukkan bahwa teks menjadi sumber utama dalam produksi pengetahuan. Pada gilirannya, penggunaan teks sebagai sumber terpokok dalam konsep i’jâz Bintu al-Syâthi’ ini dengan sendirinya menunjukkan bahwa tolok ukur pengetahuan bagi Bintu al- Syâthi’ adalah kesesuaian dengan teks dalam totalitasnya. Singkatnya, pintu masuk maupun pintu keluar pengetahuan bagi Bintu al-Syâthi’ adalah teks.

C. Model Pemikiran (Mode of Thought) Model pemikiran, seringkali disamakan dengan pendekatan. Namun yang dimaksud dengan model pemikiran di sini—sebagaimana diibaratkan sebagai batang pohon—adalah cara yang ditempuh untuk memproduksi pengetahuan. Maka di sini penulis akan membahas beberapa aspek yang termasuk dalam cara yang dipakai Bintu al-Syâthi’ untuk menuju pemikiran i’jâz-nya, termasuk di dalamnya metode, pendekatan, dan perangkat analisis yang digunakan. I’jâz al-Qur’ân adalah konsep yang dihasilkan dari pemahaman mufassir tentang gejala yang menunjukkan bahwa al-Qur’an adalah kitab yang istimewa dan tidak dapat ditandingi oleh teks-teks lain. Dengan demikian, kajian tentang i’jâz adalah kajian tentang gejala atau fenomena keistimewaan al-Qur’an, sehingga kajian i’jâz sastrawi merupakan kajian tentang gejala keajaiban bahasa al-Qur’an sebagai kitab sastra. Karena itu kajian tentang i’jâz al-Qur’ân dari perspektif sastra baik oleh Bintu al- Syâthi’ ini dapat dikategorikan sebagai kajian sastra. Ini dikuatkan dengan pernyataannya secara eksplisit bahwa kajian al-Qur’an memang selayaknya diletakkan pertama-tama ke dalam kajian sastra. Dalam studi sastra terdapat banyak metode. Metode tertentu dipilih dengan mempertimbangkan bentuk, sifat isi karya sastra. Dalam penelitian sastra, kajian terhadap ciri-ciri teks yang menunjukkan keindahannya

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 7 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... termasuk ke dalam jenis penelitian stilistika sastra.5 Kajian terhadap i’jâz sastrawi al-Qur’an dengan demikian termasuk dalam kategori ini. Ada dua pendekatan dalam analisis stilistika ini. Pertama, analisis sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, dilanjutkan dengan interpretasi ciri-ciri karya sastra kemudian interpretasi diarahkan pada pemaknaan secara total. Kedua, mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan satu sistem dengan sistem lain. Secara umum, metode yang digunakan dalam jenis penelitian ini adalah pengkontrasan,6 yakni mengkontraskan suatu teks yang dikaji dengan teks-teks lain. Bintu al- Syâthi’ tentunya memakai dua jenis analisis ini karena ia berusaha mencari apa sebenarnya karakter istimewa yang membedakan al-Qur’an dari teks- teks lain. Dalam proses tersebut Bintu al-Syâthi’ mendahulukan analisis terhadap sistem linguistik al-Qur’an terlebih dahulu. Ia berusaha menelusuri bagaimana setiap unsur, baik partikel, kata maupun struktur dalam al- Qur’an berperan untuk menyimpulkan karakternya secara keseluruhan (al- i’jâz al-Bayânî) baru kemudian mengkontraskan dan melihat perbedaannya dengan teks sastra lain buatan manusia. Bintu al-Syâthi’ mendasarkan pemikirannya pada bahan-bahan yang diperoleh dari proyek tafsirnya. Jadi secara tidak langsung, metode analisis yang ia gunakan dalam tafsir sama dengan metode analisis dalam kajian i’jâz al-Qur’ân. Secara eksplisit, Bintu al-Syâthi’ menyatakan bahwa ia menggunakan metode induktif (istiqrâ’i) dengan prosedur referensi silang berdasarkan data-data dari teks yang disusun secara tematik dan kronologis,

5 Penelitian stilistika dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, dari sudut penulis, dengan mempelajari kedalaman penulis dalam menciptakan gaya. Kedua, dilihat dari sudut ciri teks dengan mempelajari dan mengkategorikan gaya yang terdapat dalam teks. Ketiga, dari sudut gaya yang dihubungkan dengan kesan yang diperoleh khayalak, misalnya dengan studi tentang tanggapan pembaca. Lihat Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003), hlm. 73-74. 6 Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian... hlm. 73-74. Lihat Juga Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 217-234.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 8 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... yakni dengan mengaitkan data-data tersebut satu sama lain dan mencari hubungan-hubungan yang dimungkinkan. Metode ini terejawantahkan dalam langkah-langkah penafsirannya terhadap al-Qur’an sebagai berikut: a. Untuk memahami al-Qur’an secara obyektif diperlukan pendekatan tematik dalam menafsirkan al-Qur’an, yaitu dengan mengumpulkan semua ayat dan surat mengenai topik yang dikaji. b. Untuk memahami gagasan tertentu dalam al-Qur’an agar sesuai dengan konteksnya maka ayat-ayat tersebut harus disusun menurut kronologi pewahyuannya dalam rangka untuk mengetahui kondisi, waktu dan tempat pewahyuan. c. Untuk memahami arti kata-kata yang termuat dalam al-Qur’an, maka harus dicari arti linguistik asli yang memiliki rasa kearaban dari kata tersebut dalam penggunaan baik material maupun figuratifnya. Dengan demikian, makna al-Qur’an diteliti dengan cara mengumpulkan seluruh bentuk kata tersebut dalam ayat dan surat tertentu, juga konteks umumnya dalam al-Qur’an secara keseluruhan. d. Untuk memahami pernyataan-pernyataan yang sulit, maka al-Qur’an harus dikaji dengan memperhatikan bentuk lahir maupun semangat teks itu. Pendapat-pendapat para mufassir dengan demikian diuji dalam kaitannya dengan naskah yang dipelajari, dan diterima selama pendapat-pendapat itu sejalan dengan teks. Seluruh penafsiran yang bersifat sektarian dan yang mengandung israiliyyat yang mengacaukan yang biasanya dipaksakan masuk ke dalam tafsir al-Qur’an, harus disingkirkan. Demikian pula, penggunaan tata bahasa dan retorika dalam al-Qur’an harus harus dipandang sebagai kriteria yang dengannya kaidah-kaidah ahli tata bahasa dan retorika harus dikaji, bukan sebaliknya.7

7 Bintu al-Syâthi’, Al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1990)Jld. I, hlm. 10-11.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 9 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...

Melihat langkah-langkah penafsiran Bintu al-Syâthi’ yang diterapkan dalam kajian i’jâz, tampak bahwa metode istiqrâ’î dalam konteks penelitian sastra dapat disejajarkan dengan metode formal (metode struktural). Metode formal adalah analisis dengan mempertimbangkan aspek-aspek formal, aspek-aspek bentuk, yaitu unsur-unsur karya sastra. Tujuan metode formal adalah studi ilmiah mengenai sastra dengan memperhatikan sifat- sifat teks yang dianggap artistik.8 Hal ini sesuai dengan kajian Bintu al- Syâthi’ jika dihubungkan dengan minat utamanya pada upaya menyingkap rahasia keajaiban al-Qur’an. Ciri-ciri utama metode formal adalah analisis terhadap unsur- unsur karya sastra, kemudian bagaimana hubungan antara unsur-unsur tersebut dalam totalitasnya.9 Oleh karena itu, yang diutamakan adalah ciri-ciri kesastraan secara otonom, ciri-ciri khas yang membedakan sastra dari ungkapan bahasa lain. Konsekuensi logis yang ditimbulkan adalah mengabaikan aspek biografis, sosiologis, psikologis, ideologis, dan aspek- aspek ekstrinsik lainnya. Hal ini juga tampak pada pemikiran Bintu al- Syâthi’ ketika ia berusaha sejauh mungkin membiarkan al-Qur’an berbicara sendiri. Usaha ini diaplikasikan dengan praktek penafsiran al-Qur’an dengan al-Qur’an. Ini karena ia menganggap al-Qur’an sebagai kesatuan yang sempurna dalam totalitasnya di mana semua unsur di dalamnya kait mengait. Pada gilirannya, meskipun ia menggunakan perangkat-perangkat analisis seperti tata bahasa, balagah, pendapat ulama dan sejarah (baca: asbâb al-nuzûl), semua tetap dikaji berdasarkan apa yang terdapat dalam teks. Melihat bahwa problem mendasar yang diajukan dalam pemikiran Bintu al-Syâthi’ harus dicari jawabannya dalam al-Qur’an, maka dari sini dapat ditelusuri bahwa pendekatan yang digunakan Bintu al-Syâthi’

8 Tugas utama metode formal adalah untuk menganalisis unsur-unsur sesuai dengan peralatan yang terkandung dalam karya. Jumlah, jenis dan model unsur-unsur tersebut tergantung dari ciri karya sastra dan tujuan penelitian. Lihat Nyoman Kutha Ratna, Metode…., hlm. 51. 9 Nyoman Kutha Ratna, Metode…., hlm. 50

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 10 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... adalah pendekatan obyektif. Pendekatan obyektif adalah pendekatan yang bertumpu pada karya sastra itu sendiri. Pendekatan ini kemudian memusatkan perhatian pada unsur-unsur, yang dikenal dengan analisis instrinsik. Konsekuensi yang ditimbulkan adalah mengabaikan unsur- unsur ekstrinsik, seperti aspek historis, sosiologis, politis dan unsur-unsur sosiokultural lainnya, termasuk biografi. Oleh karena itulah, pendekatan objektif juga bisa disebut analisis otonomi, analisis ergosentric, atau pembacaan mikoroskopi.10 Dengan kata lain, pendekatan ini bisa juga disebut pendekatan mikrosastra.11

D. Esensi Pemikiran Dengan memakai pendekatan di atas, Bintu al-Syâthi’ menemukan beberapa persoalan pokok dalam fenomena kemukjizatan al-Qur’an yang mereka gunakan untuk membangun konsepnya tentang i’jâz al-Qur’ân. Pada dasarnya, pemikiran i’jâz Bintu al-Syâthi’ pertama-tama diawali dengan menganggap al-Qur’an sebagai teks sastra, karena sebagaimana diungkapkan oleh Amîn al-Khûlî, guru yang ia ikuti, yang pertama diterima oleh penerima al-Qur’an adalah kesan sastrawinya. Bintu al-Syâthi’, meskipun meletakkan al-Qur’an dalam kajian sastra, berdasarkan keyakinan bahwa al-Qur’an merupakan kalâm Tuhan yang mempunyai karakter sastra yang khas dan tak tertandingi, berpendapat bahwa sebagai teks sastra, al-Qur’an harus dipandang sebagai sebuah struktur linguistik yang utuh dan sempurna di mana setiap elemennya mempunyai peranan yang khas dalam struktur teks.12 Peranan tersebut hanya dapat diteliti dengan melihat kaitan-kaitannya satu sama lain di dalam teks. Pengabaian terhadap hal

10 Pendekatan ini dekat dengan teori sastra modern yang mendasarkan diri pada struktur. Lihat Nyoman Kutha Ratna, Metode…. hlm. 72. 11 Pendekatan ini dapat disejajarkan dengan pendekatan instrinsik yang bersumber dari teks sastra itu sendiri secara otonom. Lihat Nyoman Kutha Ratna, Metode…. hlm. 72. Lihat juga Rene wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989), hlm. 75. 12 Bintu al-Syâthi’, Al-I’jâz al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm wa Masâ’il Ibn Azraq, (Kairo: Dâr al-Ma’ârif, 1971), hlm. 286.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 11 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... ini akan membuat penafsiran terhadap teks menjadi tidak obyektif. Tafsir- tafsir terdahulu, menurut Bintu al-Syâthi’, mengthabaikan pentingnya melihat peranan ini dan lebih cenderung memaksakan hal-hal di luar al- Qur’an untuk memahaminya. Akibatnya timbullah tafsir yang tendensius dan tafsir yang dipaksakan akibat pemahaman i’jâz yang keliru, dua model tafsir yang sangat ditentang oleh Bintu al-Syâthi’. Untuk menghindari hal ini, dalam menafsirkan al-Qur’an, Bintu al-Syâthi’ cenderung membiarkan al-Qur’an berbicara sendiri. Dalam ilmu tafsir, diktum ini disebut dengan “al-Qur’ân yufassiru ba’dhuhû ba’dhan”.13 Setelah meneliti bagian-bagian (unsur-unsur) al-Qur’an yang menurutnya sering disalahpahami oleh sebagian mufassir, Bintu al-Syâthi’ menemukan bahwa kaitan antara unsur-unsur dalam al-Qur’an sangat istimewa dan tidak dapat ditandingi oleh teks-teks lain. Ia menemukan bahwa setiap huruf, kata maupun struktur dalam al-Qur’an tidak hanya memiliki peranan tertentu, akan tetapi juga mengandung makna yang khas dalam retorika al-Qur’an. Kekhasan ini membuat tidak satupun unsur tersebut yang dapat dibuang atau digantikan dengan yang lain. Bintu al- Syâthi’ kemudian menyimpulkan bahwa kemukjizatan al-Qur’an terletak pada retorikanya yang istimewa di mana setiap huruf, kata dan strukturnya memiliki peranan dan makna yang khas. Inilah yang dinamakan dengan i’jâz al-Qur’ân oleh Bintu al-Syâthi’. Menurutnya pula, keunikan al-Qur’an yang sangat penting ini luput dari perhatian para mufassir karena mereka seringkali terlalu asyik dengan gagasan-gagasan yang telah dibawa sebelumnya, apakah itu ideologi, kaidah nahwu, israiliyyat dan sebagainya. Kaidah-kaidah umum bahasa Arab adalah hal yang paling sering ia temui telah melalaikan para mufassir dari

13 Dalam tafsir Bintu al-Syâthi’, diktum ini tidak sama pada prakteknya dengan tafsir analitis (ayat per ayat) dalam tafsir klasik karena prosedur referensi silang antar ayat yang dijalankan Bintu al-Syâthi’ berada dalam naungan metode tematik. Karena itulah Boullata berkeras mengkategorikan penafsiran Bintu al-Syâthi’ ke dalam penafsiran modern. Lihat Issa J. Boullata, “Tafsir Qur’an Modern: Studi atas Metode Bintu al-Syâthi’”, al-Hikmah, No. 3, 1412 H, hlm 10. Lihat juga Muhammad Baqir al-Sadr, “Pendekatan Tematik terhadap Tafsir al-Qur’an”, Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. I, 1989, hlm. 99-100.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 12 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... keunikan tersebut.14 Keterpakuan pada kaidah tersebut membuat mereka menyimpulkan bahwa ada bagian-bagian al-Qur’an yang ditempatkan hanya sebagai tambahan dan tidak memiliki makna tertentu. Hal ini ditolak oleh Bintu al-Syâthi’ karena dalam penelitiannya ia menemukan bahwa al-Qur’an seringkali melenceng dari kaidah-kaidah bahasa Arab. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun bahasa Arab menjadi media pesan al-Qur’an, namun ia mempunyai pilihan struktur stilistikanya sendiri yang istimewa dan tidak dapat ditandingi oleh teks lain. Untuk lebih ringkasnya, dari segi esensi pemikiran Bintu al-Syâthi’ menafsirkan i’jâz (yang merupakan penyimpangan bahasa al-Qur’an dari ujaran-ujaran biasa) sebagai rahasia keajaiban huruf, kata dan struktur dalam retorika al-Qur’an. Pandangan ini memenuhi kualifikasi i’jâz yang ditetapkannya, yakni bahwa i’jâz harus bersifat menyeluruh, melintas batas waktu dan dapat diungkap. Penulis melihat bahwa hal ini diakibatkan perspektif yang dipakainya yakni perspektif sastra. Kajian sastra menempatkan teks sebagai fokus kajian. Teks sastra menggunakan bahasa yang merupakan suatu sistem linguistik yang padu.15 Maka dari itu, jika i’jâz merupakan fenomena keajaiban suatu teks, maka ia harus meliputi seluruh bagian teks. Dan pada gilirannya, keajaiban itu dapat diungkap dengan mempelajari sistem linguistiknya,sehingga secara otomatis, i’jâz tidak hanya berlaku pada satu bangsa atau satu generasi saja.

E. Tujuan dan Hasil Akhir Pemikiran Sebagaimana dijelaskan di atas, pemikiran i’jâz Bintu al-Syâthi’ dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap konsep i’jâz sebelumnya karena tidak berangkat dari keunikan retorika al-Qur’an sendiri dan karena belum

14 Bintu al-Syâthi’, Al-I’jâz al-Bayâni..., hlm. 184. 15 Suatu ungkapan bahasa disebut teks jika memiliki kesatuan pragmatik, sintaktik, dan semantik. Kesatuan pragmatik adalah apabila ungkapan bahasa dialami oleh para peserta komunikasi dalam kesatuan yang bulat. Kesatuan sintaktik adalah apabila teks menunjukkan keberuntutan. Kesatuan semantik ialah apabila teks memiliki tema global yang meliputi semua unsur. Keterangan selengkapnya lihat, Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005), hlm. 34-37.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 13 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... dapat mengidentifikasi karakter mana sebenarnya yang menunjukkan kemukjizatan. Oleh karena itu proyek Bintu al-Syâthi’ dalam pemikiran i’jâz adalah upaya menyingkap rahasia karakter khas retorika al-Qur’an yang mengandung keajaiban. Tujuan ini berhasil dicapainya dengan mengindentifikasi karakter khusus retorika al-Qur’an di mana tak satupun unsurnya dapat digantikan posisinya oleh yang lain. Penelitian Bintu al-Syâthi’ membuktikan bahwa karakter khusus tersebut terdapat di semua bagian al-Qur’an, baik itu partikel, kata, maupun struktur. Dengan demikian i’jâz yang diungkapnya memenuhi kualifikasi pertama bahwa i’jâz harus meliputi seluruh bagian al-Qur’an. Pembuktian ini sekaligus menunjukkan bahwa dengan penelitian yang seksama i’jâz dapat ditangkap dan dipahami oleh siapa saja dan kapan saja. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa I’jaz i’jâz yang diungkap oleh Bintu al-Syâthi’ memnuhi kualifikasi kedua, yakni bahwa i’jâz harus berlaku sepanjang masa dan ketiga, bahwa i’jâz dapat diungkap dengan mempelajari hukum-hukum bahasa.

F. Bintu al-Syâthi’ dalam Wacana I’jâz al-Qur’ân dan Studi al-Qur’an Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang sangat penting untuk digarisbawahi; pertama, mengenai posisi teori Bintu al-Syâthi’ dalam wacana i’jâz al-Qur’an. Kedua, mengenai sumbangan yang diberikannya terhadap wacana i’jâz al-Qur’ân. Dan Ketiga, mengenai posisinya mereka ambil dalam kajian al-Qur’an. Mengenai yang pertama, keunikan teori Bintu al-Syâthi’ yang membedakannya dengan perumus teori i’jâz lug|awî lain seperti al-Baqillânî dan al-Jurjânî terletak bahan yang digunakan untuk merumuskan teori i’jâz. Teori i’jâz al-Baqillânî berpijak pada konsep-konsep ideologis tentang fashâhah dan balâghah untuk merasionalisasi i’jâz al-Qur’ân. Sedangkan al- Jurjânî menggunakan ujaran-ujaran yang digunakan bangsa Arab untuk merumuskan nazhm. Dalam nazhm inilah al-Qur’an berbeda dengan ujaran-ujaran biasa. Menurut Bintu al-Syâthi’, keduanya terlalu sibuk

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 14 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... menggunakan bahan-bahan dari luar untuk membuktikan kemukjizatan yang sebenarnya dapat digali dari al-Qur’an sendiri. Untuk itulah ia menggunakan bahan-bahan dari al-qur’an sendiri baik berupa partikel, kata, atau struktur untuk menunjukkan letak kemukjizatan tersebut. Selain itu, dibanding Abû Zayd yang merupakan sesama penganut mazhab tafsir sastra, terlihat perbedaan posisi Bintu al-Syâthi’ dari segi tujuan perumusan teori i’jâz. Jika dengan kajian i’jâz-nya ini, Bintu al- Syâthi’ bertujuan untuk mengungkap karakter khas retorika al-Qur’an, maka Abû-Zayd bertujuan untuk menunjukkan sisi historis fenomena i’jâz. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan latar belakang pemikiran i’jâz di mana Bintu al-Syâthi’ merasa tidak puas terhadap konsep i’jâz klasik yang belum dapat mengidentifikasi secara jelas keajaiban al-Qur’an, sedangkan Abû-Zayd, merasa tidak puas terhadap ulumul Qur’an yang cenderung menceraikan teks dari konteks historisnya. Akan tetapi, patut dicatat pula bahwa pada dasarnya, Bintu al-Syâthi’ maupun Abû-Zayd menangkap gejala sama dalam hal i’jâz, yakni bahwa Al-Qur’an menggunakan bahan-bahan dari bahasa Arab, akan tetapi ia mempunyai ungkapan stilistiknya sendiri sehingga menghasilkan suatu kualitas estetika yang melebihi karya sastra manapunmenggunakan bahan- bahan dari bahasa Arab, akan tetapi ia mempunyai ungkapan stilistiknya sendiri sehingga menghasilkan suatu kualitas estetika yang melebihi karya sastra manapun. Tangkapan terhadap gejala ini nampak dalam temuan Bintu al-Syâthi’ bahwa al-Qur’an ungkapan Qur’an seringkali melenceng dari kaidah umum tata bahasa Arab, dan dalam temuan Abû-Zayd bahwa al-Qur’an mengadopsi bentuk puisi akan tetapi kemudian mengubahnya menjadi sesuatu yang tak dapat ditandingi oleh puisi manapun. Akan tetapi dalam prosesnya kemudian, gejala ini dipahami dan dijelaskan secara berbeda oleh keduanya. Oleh Bintu al-Syâthi’ gejala itu dipahami sebagai rahasia keajaiban al-Qur’an yang selama ini luput dari perhatian mufassir karena mereka mengabaikan penempatan setiap unsur Qur’an dalam totalitasnya dan lebih cenderung memancangkan

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 15 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... hal-hal di luar al-Qur’an terlebih dahulu sebelum berusaha mengkaji dari dalam. Sedangkan Abû-Zayd lebih membacanya dalam kerangka format dan formatisasi oleh teks. Teks mengadopsi bentuk-bentuk yang ada dalam budaya kemudian mentransformasikannya menjadi sesuatu yang berkualitas i’jâzî. Kedua, mengenai sumbangan Bintu al-Syâthi’ dalam kajian i’jâz al- Qur’ân, secara implisit sudah tampak pada uraian di atas. Namun perlu dipertegas bahwa sumbangan terbesar yang diberikan Bintu al-Syâthi’ dalam wacana i’jâz adalah dapat menunjukkan apa sebenarnya yang menjadikan bangunan retorika al-Qur’an begitu indah dan mengandung mukjizat. Inilah yang sekaligus menjadi kelebihan Bintu al-Syâthi’ dibanding perumus teori i’jâz lainnya termasuk al-Baqillânî, al-Jurjânî, dan Abû-Zayd. Bintu al-Syâthi’ tidak berhenti pada upaya merasionalisasi aspek i’jâz sastrawi yang dapat mencakup seluruh bagian al-Qur’an sebagaimana Abû-Zayd maupun al-Jurjânî, tetapi melangkah lebih maju dengan mengidentifikasi karakter mana dari al-Qur’an yang menjadikannya ajaib dengan mengobservasi langsung ke sumbernya. Dan pada awalnya, pemikiran i’jâz Bintu al-Syâthi’ pun dilatarbelakangi ketidakpuasan terhadap teori i’jâz sebelumnya. Ia menganggap teori-teori itu belum selesai karena belum ada yang mengidentifikasi dengan jelas apa yang menjadikan al-Qur’an begitu berbeda dari segi sastra. Ketiga, dengan penemuannya tersebut maka sumbangannya terhadap studi al-Qur’an secara umum juga jelas. Pengungkapan rahasia keajaiban ini akan membuat para pengkaji lebih mempertimbangkan aspek-aspek instrinsik yang terkandung dalam teks al-Qur’an. Selain itu, Bintu al- Syâthi’ juga mendorong agar upaya pengkajian aspek-aspek instrinsik tersebut diusahakan seobyektif mungkin dengan cara sedapat mungkin menggunakan materi-materi dari al-Qur’an sendiri. Dalam hal ini, Bintu al- Syâthi’ mencontohkan penggunaan diktum “al-Qur’ân yufassiru ba’dhuhû ba’dhan” secara ketat, misalnya dengan menolak penggunaan israiliyyat dan teori ilmiah.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 16 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...

Selain ketiga hal di atas, terdapat beberapa catatan kritis tentang Bintu al-Syâthi’, baik itu berkenaan dengan implikasi teori i’jâznya dalam kajian al-Qur’an maupun tentang tuduhan yang diarahkan kepadanya. Berkaitan dengan hal itu, perlu kiranya melihat posisi pemikiran Bintu al-Syâthi’ dalam wacana studi Qur’an dari perspektif pergeseran paradigma kajian al-Qur’an yang dapat diklasifikasikan dalam tiga level studi, yaitu; pertama, studi Qur’an dalam hubungannya dengan Penulisnya, misalnya yang mencakup tentang fenomena wahyu dan diskusi teologis mengenai kalam-Nya; kedua, studi al-Qur’an itu sendiri, misalnya aspek- aspek estetiknya, kandungannya dan lain-lain; ketiga, studi Qur’an dalam kaitannya dengan pembaca (masyarakat penerima wahyu), misalnya studi tentang tanggapan pembacanya, studi tentang berbagai produk tafsir dan penggunaannya dalam masyarakat dan lain-lain.16 Latar belakang keilmuan dan pengalaman hidup Bintu al-Syâti’ membuatnya lebih cenderung pada level studi kedua yang lebih berpusat pada teks. Kecenderungan ini juga sejalan dengan karakter pemikiran ulama tafsir modern pada umumnya, yakni membersihkan teks dari segala hal yang mewarnainya. Bintu al-Syâthi’ yang tumbuh dalam keluarga yang konservatif, dan kemudian berkenalan dengan wacana modernitas menjadi seorang pemikir yang kritis terhadap tradisi tetapi sangat berhati-hati dan berusaha agar pikirannya tetap diterima oleh kalangan di mana ia tumbuh.17 Sebuah kecenderungan memang dapat menentukan karakter atau watak pemikiran seseorang. Akan tetapi pada suatu titik ekstrim tertentu, kecenderungan ini juga bisa mengurangi kritisismenya terhadap sesuatu. Hal ini juga terjadi pada Bintu al-Syâthi’. Penulis melihat bahwa sikap Bintu al-Syâthi’

16 M. Nur Ichwan, “Beberapa Gagasan Tentang Pengembangan Jurusan Tafsir Hadis; Refleksi Atas Perkembangan Jurusan TH di ,” makalah dalam Studium General FKMTHI Fakultas Ushuluddin IAIN Yogyakarta, 1 Desember 2003, hlm. 3. 17 Kecenderungan konservatif campuran Bintu al-Syâthi’ bahkan diistilahkan sebagai neotradisionalisme. Lihat Jadul Maula, pengantar dalam Bintu al-Syâthi’, Manusia Sensitivitas Hermeneutika al-Qur’an,terj. M. Adib al-Arief (Jogjakarta: LKPSM, 1997), hlm. V.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 17 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... yang terlalu hati-hati ini membuatnya tidak dapat mengaplikasikan metode yang diwariskan Amîn al-Khûlî secara menyeluruh. Di atas telah dijelaskan bahwa metode Amîn al-Khûlî meliputi dua kajian, yakni kajian terhadap al-Qur’an itu sendiri (dirâsah al-Qur’ân nafsih) dan kajian terhadap segala sesuatu di seputar al-Qur’an (dirâsah mâ haul al-Qur’ân). Namun fakta bahwa Bintu al-Syâthi’ lebih cenderung kepada paradigma mikrosastra mengindikasikan bahwa ia lebih menekankan pada kajian pertama, yakni kajian terhadap al-Qur’an itu sendiri. Kajian kedua dari metode Amîn al- Khûlî hanya ditunjukkan dengan perhatiannya terhadap asbâbun nuzûl, itupun hanya sebagai peristiwa yang mengiringi turunnya teks, bukan sesuatu yang menentukan maknanya.18 Selain itu, sebagaimana diungkapkan oleh Sahiron, sikap yang terlalu hati-hati ini juga membawa Bintu al-Syâthi’ kepada beberapa inkonsistensi dalam aplikasi metode istiqrâ’i-nya. Misalnya ketika membahas tentang tema pluralisme yang menjadi polemik di kalangan konservatif, Bintu al-Syâthi’ memilih tidak merujuk pada ayat-ayat yang konteksnya menunjukkan penolakan terhadap pluralisme.19 Padahal ini bertentangan penerapan metode istiqrâ’i di mana semua ayat mengenai suatu tema tertentu harus dikumpulkan untuk dapat diungkap pandangan dunia (weltanschaung) al- Qur’an tentangnya. Catatan kritis lainnya berkenaan dengan implikasi teori i’jâz Bintu al-Syâthi’ terhadap masalah variasi bacaan. Gagasan bahwa setiap bagian al- Qur’an baik huruf, kata, maupun struktur kalimat tidak dapat digantikan atau dibuang akan menemui tantangan jika dikaitkan dengan variasi bacaan al-Qur’an, khususnya mengenai partikel. Dengan teori tersebut secara tidak langsung, Bintu al-Syâthi’ mengandaikan hanya ada satu mushaf dan menolak mushaf lain jika ada bacaan yang berbeda. Padahal sebagaimana

18 Bagi Bintu al-Syâthi’, asbabun nuzul bukanlah sebab turunnya teks, tapi sekedar kondisi-kondisi eksternal dari pewahyuan sehingga penekanannya diletakkan pada universalitas makna dan bukan kekhususan sebab. Lihat Bintu al-Syâthi’, al-Tafsîr al-Bayâni..., hlm. 10-11. Lihat juga Issa J. Boullata, “Tafsir Qur’an Modern.....”, hlm. 7-8. 19 Sahiron Syamsudin, An Examination ....,hlm. 61-62.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 18 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... dicatat oleh Mustafa Azami yang membandingkan antara Mushaf Usmani dan Mushaf Malik, terdapat sejumlah kecil perbedaan, misalnya adanya partikel “wa” pada mushaf Usmani sedangkan pada Mushaf Malik tidak dijumpai, atau ada ayat tertentu dalam Mushaf Usmani yang diawali partikel “wa” sedangkan pada Mushaf Malik diawali “fa”.20 Dalam buku al- I’jâz al-Bayânî pun, Bintu al-Syâthi’ juga tidak menyinggung tentang variasi bacaan ini, padahal pembahasan tersebut sangat penting jika ia ingin menerapkan teorinya secara konsisten. Di sisi lain, terdapat beberapa kritik atau tuduhan yang kurang tepat yang diarahkan pada Bintu al-Syathi’. Misalnya, tuduhan Abû- Zayd bahwa Bintu al-Syâthi’ bukan termasuk mazhab al-Khûlî. Menurut penulis, tuduhan ini tidak didasarkan pada pembacaan yang teliti terhadap beberapa persoalan yang ia jadikan alasan untuk mengeluarkan Bintu al- Syâthi’ dari mazhab al-Khûlî. Pertama, mengenai al-bayân. Abû-Zayd menuduh bahwa al-bayân dalam pemikiran al-Khûlî dibawa oleh Bintu al-Syâthi’ kepada pengertian klasik, yakni pengertian balâgah-nya.21 Al-Bayân dalam ilmu bala

20 Mustafa Azami, Sejarah Teks al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi,terj. Sohirin Solihin dkk. (Jakarta: Gema Insani, 2005) hal. 113 21 Amin al-Khuli dan Abu-Zayd, Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdliiyin, (Jogjakarta: Adab Press, 2004), hlm. 152. 22 Tasybîh adalah ketika dua hal (musyabbah dan musyabbah bih) bersatu dalam satu makna. Majâz adalah lafazh yang dipakai bukan dalam makna yang seharusnya. Sedangkan kinâyah adalah lafazh yang dimaksudkan sesuai dengan makna lazimnya. Lihat Imam Akhdori, Ilmu Balaghah, terj. Moch. H. Anwar (Bandung: al-Ma’arif, 1993), hlm. 124, 140, dan 158.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 19 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... pada tujuan dengan menggunakan tasybîh, majâz dan kinâyah, tetapi lebih kepada segala sesuatu yang digunakan dalam tindak komunikasi dan seni berbicara al-Qur’an terhadap pembacanya. Di sisi lain, dalam menentukan aspek kemukjizatan al-Qur’an, Abû-Zayd justru mengadopsi konsep nazm al-Jurjânî yang juga dekat dengan balâgah karena ia merupakan kaidah- kaidah seperti fashl, washl, qashr, ithnâb, ‘amr, nahy dan sebagainya yang tercakup dalam ilmu ma’ânî dalam balâgah.23 Kedua, mengenai diktum al-Qur’ân yufassiru ba’dhuhû ba’dhan yang digunakan Bintu al-Syâthi’ dalam menafsirkan al-Qur’an. Diktum ini dijadikan alasan oleh Abû-Zayd untuk menuduh bahwa Bintu al-Syâthi’ membawa metode al-Khûlî berjalan mundur ke dalam tafsir klasik.24 Namun kenyataannya, dalam tafsir Bintu al-Syâthi’, diktum ini tidak sama prakteknya dengan penafsiran suatu ayat dengan menggunakan ayat- ayat lain dalam tafsir parsial (suatu jenis penafsiran ayat per ayat yang digunakan dalam tafsir klasik). Dalam tafsir analitis (parsial), suatu ayat ditafsirkan sesuai dengan urutannya dalam mushaf, dan ayat-ayat lain digunakan sebagai rujukan tafsirnya. Sedangkan “al-Qur’an menafsirkan satu sama lain” bagi Bintu al-Syâthi’, lebih mengarah pada pemahaman bahwa setiap bagian teks membentuk suatu totalitas yang utuh. Dan ini dipraktekkan dengan mengumpulkan semua ayat-ayat sesuai dengan urutan kronologisnya di bawah sinaran metode tematik untuk menemukan suatu pandangan dunia al-Qur’an. Sebagaimana diungkapkan oleh Boullata, ini merupakan ciri khas tafsir modern.25 Terlepas dari catatan-catatan tersebut, pada dasarnya pemikiran Bintu al-Syâti’ mencerminkan karakter khas pemikir reformis.26 Sejarah pemikiran Islam mencatat bahwa desakan modernitas dan keinginan

23 Imam Akhdori, Ilmu Balaghah... hlm. 94-112. 24 M. Nur Ichwan, Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, (Bandung: Teraju, 2003), hlm. 57. 25 Issa J. Boullata, “Tafsir Qur’an...”, hlm. 10. 26 Gerakan reformistik ini merupakan evolusi dari madrasah Abduh. Selengkapnya lihat Lutfi Asyaukani, “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, Paramadina, vol. I, No. I, Thn. 1998, hlm. 71.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 20 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... untuk mempertahankan tradisi selalu menjadi pendorong yang signifikan bagi munculnya pemikiran-pemikiran baru di dunia Islam.27 Sikap Bintu al-Syâthi’ juga tak lepas dari dorongan ini. Bintu al-Syâthi’ berusaha agar al-Qur’an dipahami sejauh mungkin sesuai dengan pemahaman penerima pertamanya.

G. Simpulan Dari uraian di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan penting. Pertama, asumsi dasar Bintu al-Syâti’ adalah al-Qur’an merupakan sebuah kitab yang mengandung kemukjizatan dari segi sastra. Yang membedakan Bintu al-Syâti’ dengan perumus teori i’jâz lugawî lainnya adalah minatnya yang sangat besar untuk membuktikan kemukjizatan tersebut. Karena minatnya itu, tak heran jika Bintu al-Syâthi’ sudah melangkah jauh dengan mengkaji huruf-huruf, kata dan bentuk-bentuk ekspresi untuk menemukan keunikan di dalamnya, sementara di sisi lain beberapa pemikir lain masih berkutat pada perumusan teori kebahasaan. Dalam wacana i’jâz, implikasi teori Bintu al-Syâthi’ adalah bahwa i’jâz terdapat di seluruh bagian al- Qur’an. Selain itu aspek-aspek i’jâz ini juga dapat diungkap sehingga ia berlaku tidak hanya untuk orang Arab saja melainkan semua bangsa dan juga berlaku sepanjang masa. Adapun implikasinya dalam wacana tafsir adalah adanya rahasia penggunaan huruf, kata, dan bentuk-bentuk ekspresi dalam al-Qur’an. Dalam hal ini, temuan Bintu al-Syâthi’ menunjukkan pentingnya penggunaan metode tafsir yang benar untuk melihat kaitan antar ayat. Dengan melihat aspek kemukjizatan yang telah ditemukannya, Bintu al- Syâthi’ mendasarkan metode tafsirnya pada prinsip bahwa al-Qur’an dapat menjelaskan dirinya sendiri. Karena itu, pendapat ulama, kaidah bahasa

27 Boullata menengarai bahwa pencarian otentisitas adalah isu penting dalam tarik menarik antara tradisi (turats) dan modernitas ini. Lihat Issa J. Boullata, Dekonstruksi Tradisi: Gelegar Pemikiran Arab Islam, terj. Imam Khoiri, (Yogyakarta: LKIS, 2001), hlm. 29.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 21 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’... dan asbâb al-nuzûl menjadi alat bantu yang kesekian dalam memahami al- Qur’an. Hal penting berikutnya yang patut digarisbahawahi adalah sumbangan yang diberikan Bintu al-Syâthi’ terhadap wacana i’jâz al-Qur’ân khususnya dan wacana studi al-Qur’an pada umumnya. Sumbangan terbesar yang diberikan Bintu al-Syâthi’ dalam wacana i’jâz adalah dapat menunjukkan apa sebenarnya yang menjadikan bangunan retorika al-Qur’an begitu indah dan mengandung mukjizat. Dengan penemuan Bintu al-Syâthi’ bahwa makna khusus yang dimiliki setiap aspek struktur literer—sehingga posisinya tidak dapat digantikan oleh yang lain—menjadikan al-Qur’an tidak tertandingi, maka sumbangannya terhadap studi al-Qur’an secara umum juga jelas. Pengungkapan rahasia keajaiban ini akan membuat para pengkaji lebih mempertimbangkan aspek-aspek instrinsik yang terkandung dalam teks al-Qur’an.

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin. The Idea of Universality of Ethical Norms in Gazali and Kant, Ankara: Turkiye Diyanet Vakfi, 1992. ______. “Al-Ta’wil al-Ilmi: Ke Arah Perubahan Paradigma Penafsiran Kitab Suci”, makalah dalam Seminar Nasional Hermeneutika Al- Qur’an, LPPI-MSI UMY, 10 April 2003. Akhdori, Imam. Ilmu Balaghah, terj. Moch. H. Anwar, Bandung: al-Ma’arif, 1993. Al-Bâqillânî, Abû Bakr. I’jâz al-Qur’ân, Beirût: Dâr al-Kutub, 1988. Bint al-Syâthi’, ‘Âisyah ‘Abd al-Rahmân. Al-I’jâz al-Bayânî li al-Qur’ân wa Masâ’il Ibn al-Azraq, Kairo: Dâr al-Ma’arif, 1971. ______. Al-Tafsîr al-Bayânî li al-Qur’ân al-Karîm, Kairo: Dâr al- Ma’ârif, 1990.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 22 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...

______. Manusia: Sensitivitas Hermeneutika al-Qur’an, terj. M. Adib al-Arief, Yogyakarta: LKPSM, 1997. Boullata, Issa J. “Modern Qur’anic Exegesis: A Study of Bint al-Shati’s Method,” dalam The Muslim World, No. 64, April 1974. ______. Dekonstruksi Tradisi; Gelegar Pemikiran Arab Islam, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: LKiS, 2001. ______. “Tafsir al-Qur’an Modern: Studi atas Metode Bintusy- Syathi’”, al-Hikmah, No. 3, 1412 H. Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Sastra; Epistemologi, Model dan Aplikasi, Yogyakarta: Pustaka Widyatama, 2003. Ichwan, M. Nur. Meretas Kesarjanaan Kritis al-Qur’an, Bandung: Teraju, 2003. ______. “Beberapa Gagasan Tentang Pengembangan Jurusan Tafsir Hadis; Refleksi Atas Perkembangan Jurusan TH di Indonesia,” makalah dalam Studium General FKMTHI Fakultas Ushuluddin IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 1 Desember 2003. Al-Jabiri, Muhammad Abed. Formasi Nalar Arab: Kritik Tradisi Menuju Pembebasan dan Pluralisme Wacana Religius, terj. Imam Khoiri, Yogyakarta: IRCiSoD, 2003. Al-Jurjânî, ‘Abd al-Qâhir. Dalâ’il al-I’jâz fi ‘Ilm al-Ma’ânî, Beirut: Dâr al- Kutub al-’Ilmiyyah,1988. Al-Khûlî, Amîn. dan Abû-Zayd, Nashr Hâmid. Metode Tafsir Sastra, terj. Khoiron Nahdliyyin, Yogyakarta: Adab Press, 2004. Muhadjir, Noeng. Metodologi Penelitian Kualitatif, Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000. Partini Sardjono Pradotokusumo, Pengkajian Sastra, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005. Al-Qaththân, Mannâ’ Khalîl. Mabâhis| fî Ulûm Al-Qur’ân, Riyâdh: Mansyûrât al-’Ashr al-Hadîs, t.th.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Nuril Hidayah 23 Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...

Ratna, Nyoman Kutha. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Al-Sadr, Muhammad Baqir. “Pendekatan Tematik terhadap Tafsir al- Qur’an”, dalam Ulumul Qur’an, No. 4, Vol. I, 1989. Ash-Shiddieqy, Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu al-Qur’an/ Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1980. Shihab, M. Quraish. Mukjizat Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 2003. Syamsudin, Sahiron. An Examination of Bint al-Shati’s Method of Interpreting Qur’an, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1999. Asy-Syaukani, Lutfi. “Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer”, dalam Paramadina, Vol. I, No. 1, 1998. Wellek, Rene dan Austin Warren. Teori Kesusastraan, terj. Melani Budianta, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1989.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 24 Nuril Hidayah Posisi Teori I’jâz Al-Qur’ân ‘Âisyah Bintu Al-Syâthi’...

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 25 Peace Education sebagai Resolusi Konflik

Peace Education sebagai Resolusi Konflik Studi Kasus di Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) DIY

Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected]

Abstrak Artikel ini mendeskripsikan peace education sebagai resolusi konflik dan bentuk- bentuk resolusi konflik berbasis keagamaan yang dilakukan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Daerah Istimewa Yogyakarta.Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan FPUB dalam resolusi konflik dilaksanakan melalui empat bentuk yaitu; Pertama, diskusi dan dialog antar umat beragama yaitu sebuah gerakan kultural yang berusaha menyelami, memahami, dan menumbuhkan saling pengertian terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Kedua, aksi solidaritas sosial yaang dilakukan oleh FPUB berkaitan dengan keprihatinan atas situasi politik, sosial, ekonomi, dan budaya. Ketiga,aksi damai dan do’a bersama.Keempat, pendidikan perdamaian yaitu proses menerima dan menghargai perbedaan sebagai bentuk deradikalisasi dan resolusi konflik (conflict resolution)dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang terbuka, egaliter dan penuh kedamaian. Bentuk-bentuk pendidikan perdamaian dilakukan adalah kedamaian dan anti kekerasan, hak asasi manusia, demokrasi, toleransi, pemahaman antar bangsa dan antar budaya, serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa. [This article describes a peace education, as conflict resolution and other forms of conflict resolution based on religiousconducted by FPUB in Yogyakarta. The results showed that the activity FPUB in conflict resolution is carried out through four forms, namely; First, discussions and inter-religious dialogue is a cultural movement that is trying to explore, understand, and mutual understanding of the real problems faced by the community. Secondly, social solidarity that concern the political situation, social, economic, and cultural. Thirdly, peaceful action and prayer together. Fourth, peace education is the process of accepting and respecting differences as a form of de-radicalization and conflict resolution in order to build inter-religious relations are open, egalitarian and peaceful. Forms of peace education are peace and non-violence, human rights, democracy, tolerance, international and intercultural understanding, and cultural and linguistic diversity.]

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 26 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik

Kata Kunci: Peace Education, Resolusi Konflik, FPUB

A. Pendahuluan Peace education (pendidikan perdamaian) secara sederhana dapat dimaknai sebagai sebuah proses menerima dan menghargai perbedaan sebagai bentuk deradikalisasi dan resolusi konflik (conflict resolution) dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang terbuka, egaliter dan penuh kedamaian.Pendidikan perdamaia ini sangat relevan di masyarakat yang plural dan multikultural seperti Indonesia. Dimana berbagai suku, bangsa, bahasa, ras, etnis, dan agama membaur dan bersinggungan, menjalin hubungan dan berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hidayah1 dalam laporannya menyebutkan setidaknya terdapat 636 suku yang diketahui keberadaannya di berbagai daerah di Indonesia. Oleh karana itu, tidak mengherankan jika Indonesia dikenal sebagai Negara dengan tingkat pluralitas/kemajemukan suku, budaya, bahasa, terbanyak di dunia. Tidak salah pula jika para pendiri (founding fathers) bangsa ini memilih semboyan “Bhinneka Tunggal Eka” sebagai semboyan pemersatu bangsa yang sangat majemuk ini. Pluralitas ini, di satu sisi merupakan anugerah dan peluang penting bagi kreasi, pengembangan dan modal serta potensi berharga dalam membangun peradaban bangsa. Akan tetapi disisi lain pluralitas dapat menjadi potensi perpecahan, disintegrasi dan disharmoni yang dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.Tanpa kesadaran dan sikap menghargai, toleransi, dan sikap egaliter, sebuah

1 Z. Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1997), hlm. 203. laporan lain menyebutkan bahwa di kawasan Papua Barat didapatkan lebih dari 100 bahasa daerah. Sehingga dapat dibayangkan bagaimana kemajemukan yang terjadi di sana dan peliknya hubungan antarbudaya yang ada. Tidak mengherankan jika masa lalu sering terjadi peperangan antarsuku akibat perbedaan-perbedaan budaya yang terjadi. Lihat Josep J. Darmawan, Multikulturalisme Membangun Harmoni Masyarakat Plural (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2005), hlm. 129.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 27 Peace Education sebagai Resolusi Konflik pluralitas adalah bencana. Karena pluralitas akan menjadi pemicu konflik dan sumber perpecahan. Dalam konteks inilah pendidikan sedang menghadapi tantangannya, sebab pendidikan—lebih-lebih pendidikan agama—sering dipandang tidak mampu membebaskan peserta didik keluar dari ekslusivisme beragama. Materi-materi pelajaran yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan formal terkesan lebih banyak mengarah pada semangat misionaris dan dakwah yang menegaskan truth claim dan sikap prasangka (prejudices). Wacana iman-kafir, sesat-selamat, surga-neraka seringkali menjadi bahan pelajaran di kelas yang selalu diindoktrinasi. Pelajaran teologi diajarkan sekedar untuk memperkuat keimanan dan pencapaiannya menuju surga tanpa dibarengi dengan kesadaran berdialog dengan agama-agama lain. Paradigma pendidikan agama yang ekslusif- doktriner ini telah menciptakan kesadaran umatnya untuk memandang agama lain secara amat berbeda bahkan bermungsuhan.2 Kondisi inilah yang menjadikan pendidikan agama dan pendidikan pada umumnya sangat ekslusif dan tidak toleran. Padahal, pangkal mengentalnya (pejudices) sebagai faktor konflik dan disintegrasi adalah karena pendidikan selama ini masih bersifat ekslusif dan sarat indoktrinasi. Dengan kata lain, pendidikan saat ini belum berwawasan pluralis- multikultural. Oleh karena itu, pendidikan perdamaian (peace education) yang mengajarkan toleransi(tasamuh), moderasi(tawassut), dan menghargai sangat penting bagi terciptanya masyarakat yang damai, harmoni dan jauh dari konflik, serta mampu meredam dan me-resolusi konflik yang ada. Salah satu lembaga yang fokus membangun dan mengembangkan dialog antar agama melalui pendidikan perdamaian (peace education)dan upaya resolusi konflik di Indonesia adalah Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Daerah Istimewa Yogyakarta.3 Forum ini lahir didasari

2 Imam Machali (ed), Pendidikan Multikultural, Pengalaman Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah dan Universitas, (Yogyakarta: Aura Pustaka, 2013), hlm. vi-vii. 3 Penelitian tentang Peace Education dan Deradikalisasi Agama pernah dilakukan oleh Imam Machali, lihat di Imam Machali, Imam Machali, “Peace Education Dan Deradikalisasi Agama,” Jurnal Pendidikan Islam 2, no. 1 (2013): 41–64, doi:10.14421/jpi.2013.21.41-64. Perbedaanya adalah penelitian ini fokus pada kajian peace education sebagai resolusi konflik

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 28 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik atas keprihatinan terhadap kondisi masyarakat dan bangsa yang mengalami berbagai konflik, pertikaian, tindak kekerasan, dan radikalisasi atas nama agama. Oleh karena itu, kiprah dan peranannya dalam membangun dialog antar umat beragama dalam rangka deradikalisasi agama dan Resolusi konflik di Indonesia khususnyadi daerah Yogyakarta menarik untuk ditelusuri dan dikaji. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan peace education sebagai resolusi konflik dan bentuk-bentuk resolusi konflik berbasis keagamaan yang dilakukan oleh Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) di Daerah Istimewa Yogyakarta.

B. Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)4 Berdirinya Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) berawal dari fenomena dan maraknya berbagai kerusuhan sosial-keagamaan bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) yang terjadi diberbagai daerah di Indonesia. Fenomena ini terjadi di akhir-akhir tahun 1996 dan kemudian nampak jelas dan semakin meluas menjelang pemilu tahun 1997. Beberapa daerah yang menjadi tempat konflik dan kerusuhan diantaranya adalah Situbondo, Tasikmalaya, Jakarta, Kupang dan terus menjalar di tempat-tempat lain di tanah air. Kerusuhan dan konflik ini berakibat kepada rapuhnya persatuan dan kesatuan bangsa yang telah di bina berathun-tahun lamanya. Hal ini mengundag kekhawatiran dan keresahan para tokoh agama dan masyarakat. Yogyakarta sebagai daerah yang menjadi rujukan persatuan, kesatuan dan kerukunan umat dengan berbagai latar belakang (Suku, Ras, Agama, Golongan, dan lain-lain) juga merasakan kekhawatiran dan keprihatinan atas berbagai kejadian tersebut. Masyarakat Yogyakarta juga khawatir jika berbasis keagamaan. 4 Sejarah berdirinya FPUB ini dirangkum dari hasil informasi dan wawancara dengan KH. Abdul Muhaimin, Ngatiyar, dan brosur FPUB. Dari data yang ada terdapat dua versi tentang waktu berdirinya FPUB. Pertama menyebutkan bahwa berdirinya FPUB pada tanggal 24 Maret 1997. Kedua menyebutkan pada tanggal 27 Pebruari.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 29 Peace Education sebagai Resolusi Konflik berbagai kejadian kerusuhan bernuansa SARA tersebut menjalar dan terjadi di Yogyakarta. Lebih-lebihdi Yogyakarta disinyalir telah terjadi beberapa teror dibeberapa tempat ibadah seperti gereja, pura, vihara dan masjid serta beberapa . Melihat hal tersebut maka DIAN/Interfidei (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia) berinisiatif mengundang para tokoh masyarak, agama, mahasiswa, LSM, dan berbagai lembaga lain untuk membincangkan dan berdiskusi terkait dengan berbagai peristiwa kerusuhan, konflik, kekerasan, dan teror bernuansa SARA yang terjadi. Gayung pun bersambut, undangan interfidei tersebut direspon dengan baik oleh berbagai kalangan sehingga berkumpulah sekitar 23 orang yang terdiri dari para tokoh pelbagai agama dan kepercayaan, tokoh masyarakat, LKiS, PMKRI, aktivis mahasiswa dan lain-lain. Pertemuan ini menyepakati untuk terus mengadakan pertemuan secara rutin di pesantren, gereja, klenteng, vihara, pura dan dibeberapa balai desa serta tempat-tempat lain dengan agenda membahas masalah- masalah sosial, ekonomi, politik, budaya, kemanusiaan dan lain-lain dari sudut moral dan iman. Pada pertemuan yang dilaksanakan pada tanggal 27 Februari 1997 di pesantren putri Nurul Ummahat, Kotagede, pimpinan KH. Abdul Muhaimin dengan tema pertemuan adalah “menciptakan persaudaraan sejati” akhirnya mensepakati bahwa komunitas atau kelompok ini bernama “Forum Persaudaraan Umat Beriman”, sebuah forum bersama yang melibatkan umat pelbagai agama, termasuk penghayat kepercayaan dan Kong Hu Cu. Dengan demikian pada tanggal 27 Februari 1997 itulah secara resmi dinyatakan waktu kelahiran atau berdirinya FPUB Yogyakarta. Penggunaan kata “Umat Beriman”, bukan Umat Beragama—pada Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)—karena kelompok ini berpandangan bahwa persaudaraan tidak dibatasi oleh lima agama, melainkan siapa saja dan dari mana saja yang berkehendak baik dan menyembah Tuhan—entah “Tuhan” disebut apa. FPUB sangat menaruh

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 30 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik hormat kepada semua orang yang beragama dan berkepercayaan yang menyembah Tuhan dengan tulus dan berlaku jujur. Sebagai sebuah “forum”, FPUB merupakan wadah kultural yang dapat menjadi wadah bersama dalam mendialogkan, mendiskusikan, dan memberikan solusi-solusi alternatif atas berbagai masalah yang dihadapi umat terkait dengan keberagamaan. Ditegaskan bahwa kehadirian FPUB bukanlah semata-mata bentuk reaksi atas situasi dan kondisi sosial yang diwarnai konflik bernuansa SARA, tetapi pada dasarnya merupakan upaya atau ikhtiar preventif dari berbagai komponen masyarakat yang memiliki keprihatinan dan tanggung jawab bersama atas ketentraman dan kenyamanan kehidupan masyarakat yang dipenuhi perdamaian. Perdamaian yang didasari persaudaraan sejati dan solidaritas sosial inilah yang menjadi spirit gerakan FPUB.

C. Visi dan Misi FPUB sebagai Perekat Gerakan FPUB pada dasarnya merupakan wadah kultural yang tanpa kepengurusan sebagaimana lembaga formal struktural, dan tanpa AD/ART. FPUB juga tidak di bawah naungan suatu lembaga, LSM, partai politik atau pemerintah. Forum ini merupakan bentuk alternatif dari lembaga- lembaga formal yang telah ada. Dengan kata lain bahwa FPUB sebenarnya merupakan forum non-struktural dan merupakan forum kultural yang bersifat komunitas. Alasan forum ini merupakan forum kultural adalah bahwa selama ini upaya pencarian hubungan antaragama lewat struktur seperti MUI, PGI dan sebagainya mengalami hambatan politis. Sebab seringkali digunakan untuk kepentingan hegemoni kekuasaan. Oleh karenanya lembaga-lembaga formal seperti itu tidak efektif, dan akan lebih efektif dengan forum-forum kultural.5 Sebagai forum kultural, bukan berarti FPUB tidak mempunyai visi, misi dan tujuan. Justru visi, misi dan tujuan FPUB inilah yang menjadi

5 Wawancara dengan KH. Abdul Muhaimin November 2011.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 31 Peace Education sebagai Resolusi Konflik perekat, pemersatu, dan bergabungnya berbagai kelompok masyarakat dari berbagai latar belakang. Visi FPUB adalah “terwujudnya komunitas antariman yang penuh kedamaian dengan penghayatan/ keyakinan yang kuat kepada Tuhan dalam nilai kemanusiaan, solidaritas, dan penghargaan atas hakhak asasi manusia” (peaceful intefaith community with strong faithto God, solidarity and human rights appreciation). Visi FPUB tersebut kemudian dirinci lebih lanjut dalam empat misi FPUB. Lima misi tersebut adalah; pertama, menanamkan semangat kehidupan antarumat beriman yang penuh damai berdasarkan dimensi- dimensi universal dari iman dan agama-agama melalui aksi-aksi dan bertindak sebagai kekuatan moral untuk keadilan dan solidaritas. Kedua,memberdayakan masyarakat agar bebas dari keputusan etis dari iman-iman mereka masing-masing. Ketiga, mempromosikan komunitas anti kekerasan. Keempat, bergerak sebagai kekuatan moral dami negara yang damai dan adil menuju dunia yang lebih baik.6 Visi, misi,dan tujuan FPUB tersebut kemudian diwujudkan dalam berbagai kegiatan yang diformat dalam empat bidang atau divisi. Pembentukan bagian-bagian atau divisi ini dimaksudkan untuk mempermudah dan mengefektifkan dalam mengorganisir gerakan. Setiap bidang dipegang oleh seorang koordinator. Kempat bidang tersebut adalah bidang dialog agama, bidang Peace Campaign (kampanye damai), bidang Media dan Informasi, dan bidang Transformasi sosial.

D. Peace Education (Pendidikan Perdamaian) Peace education pada dasarnya adalah sebuah proses untuk mendapatkan pengetahuan, pengembangan sikap, dan tingkah laku untuk dapat hidup

6 Brosur FPUB dalam bahasa Inggris tahun 2002 dan diterjemahkan oleh Albertus Nugroho Widiyono dalam Tesisnya “Kerukunan Antarumat Beragama; Sebuah Studi Kasus Melihat Visi Dialog FPUB Yogyakarta dalam Perbandingan dengan Visi Dialog Korelasional Paul F. Knitter”, PPs Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2009.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 32 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik saling menghormati, toleran, penuh perdamaian, saling membantu dan anti kekerasan (non-violence).7 Kata “peace” dalam bahasa Indonesia berarti “damai”. Damai dalam pengertian ini adalah sebuah suasana tidak adanya perang atau konflik dan kekerasan. Faktor penyebab terjadinya suasana damai adalah ketika individu memiliki rasa kedamaian dalam diri sendiri, memiliki kemampuan untuk mengontrol emosi dan pikirannya agar tidak melakukan tindakan yang merugikan orang lain serta bisa memicu terjadinya konflik dan kekerasan. Perdamaian adalah konsep dan cara pandang yang positif baik terhadap dirinya maupun kepada orang lain. Aspek-aspek yang dikembangkan pada peace education adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).8 Kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence) merupakan aspek penting dalam mewujudkan harmoni, toleransi, dan perdamaian di tengah-tengah masyarakat yang sangat beragam. Hak Asasi Manusia (human rights) mengajarkan penghormatan terhadap kebebasan seseorang yang merupakan haknya yang diberikan Tuhan kepada manusia. HAM secara normatif dimengerti sebagai hak-hak yang telah dipunyai seseorang sejak ia dalam kandungan. Demokrasi (democracy) mengajarkan terhadap kebersamaan dan kesamaan hak dan kuwajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pemehaman terhadap demokrasi memberikan manfaat tentang kesetaraan dan kesamaan sebagai warga negara, memenuhi kebutuhan-kebutuhan Umum, pluralisme dan kompromi, menjamin hak- hak dasar, dan pembaruan kehidupan sosial. Toleransi, tolerance (Inggris:); tasamuh (Arab) berarti batas ukur untuk penambahan atau pengurangan yang masih diperbolehkan. Pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding) memberikan penyadaran bahwa

7 Imam Machali, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama,”... hlm. 44. 8 Imam Machali, “Peace Education dan Deradikalisasi Agama,”... hlm. 44.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 33 Peace Education sebagai Resolusi Konflik pada setiap bangsa atau daerah mempunyai kekhasannya masing-masing. Bahkan seringkali saling bertolak belakang. Pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity) menghantarkan kepada kesadaran akan keanekaragaman budaya dan bahasa serta dialek. Keragaman budaya dan bahasa tersebut satu sisi merupakan kekayaan yang sangat berharga, akan tetapi di sisi lain dapat berpotensi sebagai pemicu konflik dan disharmoni. Sehingga pemahaman terhadap perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity) dimaksudkan untuk menyadari keragaman dan dikelola sebagai kekayaan dan rahmat. Dengan demikian peace education mengajarkan rasa saling menghargai, mencintai, fairness, dan keadilan. Dengan prinsip dan ajaran inilah resolusi konflik dapat dilakukan.

E. Peace Education dan Resolusi Konflik Pendidikan perdamaian (peace education) dapat menjadi strategi dalam rangka proses resolusi konflik. Sebab dalam pendidikan perdamaian memberikan pandangan, wawasan dan keterbukaan terkait dengan realitas pluralitas umat manusia baik dari segi agama, budaya, ras, bahasa, dan lain-lain. Keragaman yang ada bukanlah hal yang harus ditolak, akan tetapi dikelola, disyukuri sebagai kekayaan dan potensi yang memberikan berkah kehidupan umat. Oleh karena itu, aspek-aspek yang dikembangkan dan diajarkan dalam peace education adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity). Pemahaman dan pandangan seperti inilah yang menjadi pemicu dan sangat berpotensi terjadi kerusuhan dan konflik. Oleh karena itu, melalui peace education yang mengajarkan tentang realitas keragaman (pluralisme) agama, ras, suku, budaya, dan bahasa yang harus dikelola dan dihormati akan dapat menjauhkan dari sikap dan tindakan-tindakan ekstrim, radikal

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 34 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik yang berujung pada konflik.. Hal ini berarti bahwa pendidikan perdamaian (peace education) dapat menjadi proses resolusi konflik. Selain hal itu, peace education juga memberikan pemahaman dan penyadaran tentang pentingnya sikap “toleransi aktif” dalam kehidupan yang sangat beragam. Resolusi konflik yang dimaksud disini sebagaimana pendapat Alo Liliweriadalah tindakan yang bertujuan untuk menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan yang baru yang relatif dapat bertahan lama di antara pihak yang saling bermusuhan.9Oleh karenanya resolusi konflik berarti sebagai sebuah prakarsa mengatasi sumber-sumber konflik dengan mengalihkan kekuatan negatif dari sumber perbedaan kepada kekuatan positif. Resolusi konflik berkaitan erat dengan bagaimana cara pandang dan cara merespon masyarakat terhadap konflik dalam kehidupan sosialnya, untuk kemudian melakukan tindakan yang lebih produktif dengan menghindarkan kekerasan, meningkatkan keadilan, membangun interaksi sosial dan respon pada persoalan sosial dalam hubungan antar manusia. Jadi resolusi konflik mengandaikan adanya kesadaran masyarakat terhadap realitas kehidupan yang ada di sekitarnya.10 Pendekatan-pendakatan yang dapat dilakukan dalam upaya resolusi konflik adalah pendekatan dialog, negosiasi, mediasi dan pendidikan perdamaian.11Pertama, pendekatan dialog adalah pendekatan resolusi konflik yang melibatkan dua orang atau komunitas yang mendiskusikan atau membicarakan sautu isu tertentu untuk saling meningkatkan pemahaman. Dialog ini melibatkan pengalaman, persepsi dan keyakinan untuk memperdalam pemahaman terhadap persoalan tersebut yang

9 Alo Liliweri, Prasangka dan Konflik. Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, (Yogyakarta: LKiS, 2005), hlm.287-288. 10 Lihat John Paul Lederach, Conflict Transformation (Goodbooks, Intercourse, PA. 17534) hlm. 40. Lihat juga Sabian Ustman, Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat Nelayan: Sebuah Penelitian Sosiologis, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 16-17. 11 Lisa Schirch, Strategis Peace Building, (USA; Goodbook, Intercourse PA. 17534) hlm. 49-51.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 35 Peace Education sebagai Resolusi Konflik dibicarakan.12Pendekatan dialogis ini memungkinkan peseta yang terlibat dalam dialog mengalami perubahan, terbuka antara satu dengan lainnya, dapat merasakan atau berempati dengan mitra, dapat menanamkan kepekaan terhadap orang lain dan akan lebih memahami keyakinan, pemikiran dan masalah yang dihadapi oleh orang lain. Pendekatan dialog ini sangat ditentukan oleh adanya sikap keterbukaan atau transparansi, menyadari adanya perbedaan, sikap kritis, persamaan, kemauan untuk memahami kepercayaan, keyakinan, ritus, dan simbol-simbol agama tertentu. Kedua,negosiasi. Negosiasi adalah proses dialektika antara dua orang atau komunitas yang masing masing bisa saling berunding untuk mendapatkan kesepakatan yang saling untung menguntungkan. Dalam negosiasi masing-masing kelompok memiliki peran dan kesempatan yang sama dan memperoleh keuntungan yang sama, tidak ada yang kalah atau dikalahkan dalam proses negosiasi, keduanya sama-sama memperoleh keuntungan berdasarkan mufakat atau kesepakatan-kesepakatan yang buat bersama. tujuan dari negiosiasi adalah untuk mendapatkan penyelesaian masalah bersama dengan mengkompromikan perbedaan yang ada sehingga mendapatkan model penyelesaian yang saling menguntungkan (win-win solution) bukan solusi yang saling mengalahkan (lose lose solution). Ketiga, mediasi konflik. Mediasi adalah proses dimana pihak- pihak yang bertikai, dengan bantuan dari seorang praktisi resolusi pertikaian (mediator) mengidentifikasi isu-isu yang di persengketakan, mengembangkan opsi-opsi, mempertimbangkan alternatif-alternatif dan upaya untuk mencapai sebuah kesepakatan. Mediasikonflik fokus pada upaya mengakhiri konflik dengan meminimalkan kekerasan, meningkatkan keadilan, dan pemenuhan terhadap hak dan kuwajiban.The structural dimension highlights the underlying causes of conflict, and stresses the ways in which social structures, organizations, and institutions are built, sustained, and changed by conflict. Oleh karena itu, mediasi konflik

12 Lisa Schirch, Strategis Peace Building..., hlm. 49.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 36 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik mengacu pada analisis terhadap kondisi sosial yang bisa menimbulkan konflik dan memenuhi harapan, kebutuhan, dan keinginan kelompok. Praktik mediasi dalam resolusi konflik ini dapat berbentuk macam-macam diantaranya adalah setlement mediation (mediasi kompromi) yaitu mediasi yang bertujuan mendorong terwujudnya kompromi dari tuntutan kedua belah pihak yang sedang bertikai. Facilitative mediation yaitu mediasi yang bertujuan menghindarkan disputants(pembangkang) dari posisi mereka dan menegosasikan kebutuhan dan kepentingan para disputants.Transformative mediation atau mediasi terapi dan rekonsiliasi merupakan mediasi yang menekankan untuk mencari penyebab terjadinya permasalahan di antara disputants, dengan pertimbangan untuk meningkatkan hubungan di antara mereka melalui pengakuan dan pemberdayaan sebagai dasar dari resolusi (jalan keluar) dari pertikaian yang ada.Evaluative mediation atau mediasi normatif merupakan model mediasi yang bertujuan untuk mencari kesepakatan berdasarkan pada hak-hak legal dari para disputans dalam wilayah yang diantisipasi oleh pengadilan.13 Diantara model mediasi yang ada, model transformatife mediation atau mediasi terapi dan rekonsiliasi merupakan model yang paling luas memberikan kesempatan pada partisan untuk menyelesaikan konfliknya sendiri. Dari model ini peranan mediator adalah mendorong terjadinya proses memampukan masyarakat yang berkonflik, untuk kemudian mampu mengelola konfliknya sendiri. Aspek memampukan dirinya sendiri untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi adalah hal penting dari transformasi dan pemberdayaan, yaitu mengubah warga masyarakat dari posisi sebagai objek menjadi subjek, melibatkan secara penuh atau partisipasi masyarakat mulai dari merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan, refleksi dan evalusi serta adanya kesinambungan atas perencanaan perdamaian dari konflik yang mereka sepakati.14Dengan model transformatif mediation

13 Muhsin Jamil, (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, (Semarang, WMC IAIN Walisongo, 2007)hlm.113-114. 14 Peter Haris dan Ben Reily, (ed.), Demokrasi dan Konflik yang Mengakar; Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, (Jakarta: International IDEA, 1998), hlm.101.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 37 Peace Education sebagai Resolusi Konflik ini diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran dan perubahan sikap (grown and change). Dengan adanya pertumbuhan dan perubahan tersebut diharapkan mediasi akan menghasilkan konsensus yang produktif dalam kehidupan.15 Hal ini bisa diawali dari kesadaran dan perubahan cara pandang secara personal dalam melihat konflik. Dimensi personal ini mengacu pada perubahan dilakukan dan diinginkan secara individu, baik berkaitan dengan kognitif, emosional, persepsi, dan aspek-aspek spiritual dari pengalaman hidup. Dengan adanya kesadaran pada level personal ini akan mampu mendorong terjadinya dialog yang berkesinambungan sebagai jalan untuk menyelesaikan persoalan di antara pihak-pihak yang memiliki pandangan berbeda.16 Keempat, pendidikan perdamaian.Pendidikan merupakan sarana yang paling memungkinkan untuk menanamkan sikap hidup yang dewasa, dan toleran dalam menyikapi perbedaan dan konflik. Dengan pendidikan orang akan belajar mamahami pangalaman masa lalu dan merancang kehidupan di masa mendatang yang lebih baik. Pendidikan perdamaian dapat menjadi pendekatan dalam melakukan resolusi konflik. Pendidikan dalam hal ini bukan dalam pengertian sempit-formaslitik, akan tetapi bermakna luas yaitu sebuah upaya sadar membangun kehidupan yang lebih baik.

F. FPUB dan Peran Resolusi Konflik Sebelum upaya resolusi terjadap konflik dilakukan, kejadian yang mendahuluinya adalah adanya konflik. Konflik terjadi terjadi karena adanya perbedaan pandangan, persepsi, atau kepentingan antara dua orang atau kelompok dan tidak didapatkan alternatif untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Dalam kondisi ini, tidak terbangun kepercayaan antar

15 Leonard Swidler, Trialogue Jews, Cristians and Muslim In Dialogue, (New London: Twenty Third Publication, 2000), hlm. 15-16. 16 TH Sumartana, (dkk.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama dI Indonesia, (Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2001). hlm. 79-87.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 38 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik orang atau kelompok tersebut. Faktor adanya ketidakpercayaan ini menjadi pendorong kuat terjadinya konflik antar individu maupun kelompok. Dalam konteks konflik keagamaan yang sering terjadi di tengah-tengah masyarakat kita menunjukkan bahwa, konflik tidak pernah berdiri sendiri, akan tetapi selalu berkelindan dengan persoalan-persoalan lain yang mengiringinya seperti faktor sosial, politik yang lainnya.Amin Abdullah mengidentifikasi dua faktor kesenjangan penyebab konflik pertama, adanya pemahaman ajaran agama yang sempit. Agama dipahami hanya sebatas teks-teks semata tidak memahami konteks realitas sejarah yang melingkupinya, bahkan kelompok ini tidak bersedia memahami konteks kekinian bagaimana substansi teks akan diaplikasikan. Selain itu teks juga dimaknai secara parsial sehingga memunculkan bias pemahaman dan kurang tepat. Kedua, adanya pertarungan kepentingan yang memanfaatkan isu-isu sentimen agama. Pemahaman yang dangkal akan nilai agama seringkali dimanfaatkan oleh kelompok tertentu guna mendukung kepentingan mereka. Bahkan pada kasus tertentu hal tersebut tidak ada kaitannya sama sekali dengan kepentingan agama, yang dominan justru kepentingan kelompok tersebut. Dalam hal ini agama telah disandera oleh kepentingan politik dari kelompok tersebut guna mempermudah pencapaian tujuannya.17 Menurut Alo Liliweri persoalan yang sering mnjadi penyebab konflik antar etnik maupun agama adalahpertama, negara yang lemah. Hal ini dapt dilihat dari kegagalan negara dalma melakukan perubahan strktural. Faktor penyebabnya adalah korupsi, meningkatnya kejahatan, berkurangnya fungsi institusi politik dan pemerintahan, pelanggaran HAM, dan ketidakpastian hukum. Hal lain adalah kegagalan negara dalam mengelola perbedaan etnik yang muncul. Akibatnya pambauran antar etnik bisa menimbulkan konflik lokal, regional maupun nasional. Kedua, faktor politik. Berkaitan dengan faktor politik ini ada beberapa persoalan yang menimbulkan

17 Amin Abdullah "Kesadaran Multikultural;; Sebagai Gerakan 'Interes Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial" dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan (Yogyakarta, Pilarmedia, 2005) hlm. Xx.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 39 Peace Education sebagai Resolusi Konflik konflik antara lain : (1). Adanya diskriminnasi politik berdasarakan ras ataupun etnik. Akibatnya memunculkan rendahnya keadilan politik dan tumbuhnya nasionalisme yang di dasarkan pada sentimen etnik. (2). Mengahasilkan politik kaum elit yang berakibatkan para elit politik menjadi politisi yang oportunis dalam urusan politik, sosiial dan ekonomi. Ketiga, faktor sosial ekonomi. Hal ini berkaitan dengan adanya pendapatan yang tidak merata dan kebijakan ekonomi yang deskriminatif, dimana kelompok elit berkuasa menggunakan kedudukannya untuk mengakses sumberdaya ekonomi. Kempat, faktor kebudayaan dan persepsi terhadap kebudayaan. Dalam hasil ini konflik muncul disebabkan oleh adanya faktor deskriminasi terhadap budaya minoritas, adanya paksaan budaya dari mayoritas dan adanya sejarah konflik dari budaya yang ada.18 Dalam konteks konflik etnik-agama yang sering muncul di Indonesia faktor utama penyebab munculnya konflik adalah: (1) faktor sejarah seperti perlakuan istimewa yang diberikan pemerintah kepada kelompok (suku atau agama) tertentu yang bias menimbulkan perselisihan. (2) Faktor perorangan atau kelompok. Berupa rasa frustasi yang dirasakan setelah memendam rasa sakit hati yang berkepanajangan. Kondisi ini sering dimanfaatkan elit tertentu yang memperlakukan perasaan tersebut seakan akan merupakan kepentingan, nilai dan kebutuhan kelompok. (3). Faktor kebijakan yang berupa adanya janji yang tidak ditepati dan kebijakan yang memecah belah masyarakat, yang kemudian menimbulkan rasa sakit hati dan adanya korupsi, buruknya pengelolaan sumberdaya alam. (4). Faktor kelembagaan dan struktur lokal,yaitu adanya struktur yang memainkan peranan yang bisa menimbulkan konflik seperti perebutan kekuasaan dan perebutan sumberdaya alam. (5). Pengelolan sumberdaya alam. Eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan dengan pembagian yang tidak adil antara pusat dan daerah sangat mudah menyulut adanya konflik. (6) faktor dari luar. Adanya lembaga-lembaga yang giat malakukan advokasi dan pemberdayaan masyarakat serta meningkatkan kesadaran

18 Lihat, Alo Liliweri Prasangka Dan Konflik…hlm. 316.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 40 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik politik bagi rakyat. Dengan kegiatan ini masyarakat sering terpanggil untuk memperjuangkan hak-hak mereka.19 Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB) adalah sebuah forum kultural yang concern terhadap persoalan-persoalan kerukunan antarumat beriman bukanlah satu-satunya di Yogyakarta. Terdapat beberapa lembaga lain seperti DIAN/Interfidei (Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia) yang juga mempunyai visi dan misi yang relatif sama. Selain itu juga terdapat FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama). Sekilas memang antara FPUB dan FKUB nampak sama, akan tetapi terdapat perbedaan. Dari proses berdirinya pun berbeda, FPUB berdiri berdasarkan kegelisahan bersama para tokoh agama dan masyarakat atas berbagai persoalan keberagamaan dan kebangsaan yang terjadi, sehingga secara kultural mereka berkumpul dan membentuk forum bernama FPUB. Sedangkan FKUB berdiri berdasarkan ketentuan PBM (Peraturan Bersama Menteri). FKUB dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi pemerintah dalam rangka membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan. Dari berbagai lembaga atau forum yang ada di Yogyakarta, mereka saling bersinergi dan mendukung guna tercapainya kehidupan umat beriman yang damai, saling menghormati dan penuh toleransi. FPUB dalam usaha mewujudkan visinya “terwujudnya komunitas antariman yang penuh kedamaian dengan penghayatan/ keyakinan yang kuat kepada Tuhan dalam nilai kemanusiaan, solidaritas, dan penghargaan atas hakhak asasi manusia” dilaksnakan dalam berbagai program kegiatan. Kegiata tersebut menjadi media atau yang dapat meredam dan bahkan resolusi konflik. Program kegiatan tersebut adalah diskusi dan dialog antar umat beragama, aksi solidaritas sosial, dan aksi damai dan do’a bersama.

19 Lihat Dewi Fortuna Anwar dkk,(ed) Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi, Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia-LIPI dan LASEMA-CNRS, 2004) hlm.88-89.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 41 Peace Education sebagai Resolusi Konflik

1. Diskusi dan Dialog Antar Umat Beragama Diskusi dan dialog antar umat beragama yang dilakukan oleh FPUB merupakan gerakan kultural yang berusaha menyelami, memahami, dan menumbuhkan saling pengertian terhadap persoalan-persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Diskusi dan dialog ini bukan dalam pengertian sempit yaitu sebuah forum berdebat, berargumentasi dan mengungkapkan, mendengar dan menerima pendapat pihak lain. Akan tetapi lebih dari itu, diskusi dan dialog yang dilakukan adalah melampaui hal-hal tersebut. Dalam pengertian bukan lagi mendiskusikan dan mendialogkan wacana, akan tetapi tindakan nyata yang dikemas dalam gerakan kultural. KH. Abdul Muhaimin menyebut diskusi atau dialog FPUB dengan dialog “kehidupan”. Banyak kita kenal dialog; dialog hidup, dialog karya, dialog sosial, dialog wacana, dialog tindakan (dialogue of actio), dialog pertukaran teologis (doalogue of teological exchange), dialog pengalaman keagaman (dialogue of religious experience), dan lain-lain, akan tetapi dialog dilakukan oleh FPUB adalah dialog kehidupan.20 Dalam dialog ini, peserta dialog diminta mengungkapkan pandangan, dan pengalaman-pengalaman agama sendiri. Selain itu juga diminta secara terbuka mendengarkan pandangan dan pengalaman mitra dialog secara terbuka.Diskusi dan dialog antar agama-antar keyakinan ini bukanlah ajang untuk berdebat, berpolemik, berapalogi, bahkan sampai dengan pemaksaan pandangan diri sendiri terhadap pihak lainnya. Sebaliknya, peserta dialog bisa saling belajar satu dengan lainnya mengenai pengalaman kehidupan keberagamaan mereka. Dengan dialog membuka kemungkinan masing-masing peserta dialog mengalami perubahan cara pandang dalam berinteraksi antara satu

20 Wawancara 14 Juli 2011.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 42 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik

dengan lainnya secara lebih terbuka, setidaknya akan bisa memahami keyakinan, pemikiran dan masalah yang dihadapi oleh mitra dialog.21 Latar belakang FPUB yang dibidani oleh berbagai macam tokoh dengan berbagai variasi pengalaman dan latar belakang menjadikan FPUB semakin dinamis. Mereka tidak hanya mendirikan, akan tetapi secara aktif ikut terlibat dan memikirkan untuk mewujudkan visi FPUB. Masing-masing tokoh tetap menjalankan fungsinya sebagai pemimpin masyarakat atau umatnya. Dari aktifitas dan fungsinya sebagai tokoh di komunitasnya masing-masing itulah kemudian muncul kreatifitas dan berbagai permasalahan yang menjadi bahan untuk berdialog. Kebutuhan untuk menanggapi berbagai masalah di masyarakat tersebut menjadi tempat belajar dan sekaligus sebagai praktik lapangan diskusi dan dialog. Fokus dialog terhadap persoalan-persoalan riil kehidupan masyarakat ini bukan berati menafikan pendekatan dialog lain seperti; dialog teologis atau dokmatis. Dialog yang menyentuh persoalan dokmatis atau teologis lebih bersifat informatif. Sebab menurut Muhaimin, dialog teologis membutuhkan kapasitas tertentu yang tidak bisa begitu saja dilakukan oleh setiap orang, lebih-lebih bagi yang masih mempunyai “fanatisme negatif” (saya benar, kamu salah) justru berdampak tidak bagus dan kontraproduktif. Dialog kehidupan bersifat universal dan secara riil dihadapi oleh semua orang dari berbagai latar belakang agama dan keyakinan, sehingga sangat efektif dalam mewujudkan misi perdamaian (peace) dan soalidaritas antarumat beriman. Dalam konteks ini diskusi dan dialog ini dapat memerankan fungsinya sebagai alat resolusi konflik. FPUB menyadari bahwa persoalan antarumat beragama berupa konflik, kekerasan, dan disharmoni yang sering kali terjadi di tengah masyarakat tidak banyak disebabkan oleh perdebatan teologis yang rumit, melainkan hanya semacam menggumpalnya kecurigaan

21 Baca Budiyono, Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman (Yogjakarta: Kanisisus, 1983) hlm. 80-81.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 43 Peace Education sebagai Resolusi Konflik

akibat kurangnya saling tegur sapa kultural di antara mereka22. Oleh karena itu, dialog antarumat beragama (interfaith) menurut FPUB perlu dikembangkan untuk menciptakan kebersamaan dan saling pengertian, bukan sekedar menciptakan kerukunan atau peaceful co-existence—hidup berdampingan secara damai tetapi tidak saling mengerti, akan tetapi lebih dari itu yaitu pro-eksistensi—tidak hanya berhenti pada membiarkan orang lain ada, tetapi juga ikut serta meng- “ada”-kan secara aktif. Dengan pemahaman semacam ini semakin memperkecil kemungkinan konflik, dan jika sudah terjadi konflik maka dapat menjadi sarana rekonsiliasi konflik. 2. Aksi Solidaritas Sosial Aksi solidaritas sosial yang dilakukan oleh FPUB berkaitan dengan keprihatinan atas situasi politik, sosial, ekonomi, budaya dan juga keprihatinan segala bentuk bencana yang terjadi. Nilai pengikat aksi solidaritas sosial ini adalah nilai kemanusiaan. Dalam aksi solidaritas sosial ditekankan pentingnya nilai kemanusiaan yang diperjuangkan oleh semua agama. Dengan kesadaran akan nilai kemanusiaan maka tidak ada anggapan bahwa bentuk atau aksi-aksi sosial yang dilakukan FPUB sebagimana yang banyak diprasangkakan orang; bahwa bentuk- bentuk bantuan merupakan semacam promosi agama tertentu. Usaha mewujudkan misi kemanusiaan agama FPUB berbagai kegiatan solidaritas sosial, tidak sekedar diskusi wacana, FPUB juga bergerak di bidang kepedulian, kemanusiaan, ekologi, dan advokasi. Sebuah bukti nyata adalah mengadakan pelatihan berbagai ketrampilan (skills) bagi anak-anak korban Tsunami Aceh. Mereka dibawa ke Yogya dengan pesawat, melatih mereka dengan berbagai ketrampilan dan kemudian mengembalikannya. Dengan berbekal ketrampilan tersebut diharapkan dapat mengembangkan dan memberdayakan lingkungannya. Selain itu FPUB mengadakan gerakan menanam pohon di pelbagai tempat dalam kerja sama dengan WALHI dan

22 SULUH FPUB, Edisi Agustus-September, Th. II, 2003, hlm. 6.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 44 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik

Budha Tsu Tsi, kegiatan kemanusiaan di lereng G. Merapi dan di daerah gempa di pelbagai tempat di DIY dan Jawa Tengah. Kemudian FPUB mengajak masyarakat untuk memahami paham- paham kegamaan dalam rangka membangun pemahaman yang luas dan toleransi, misalnya pada bulan puasa FPUB mengapresiasikan makna puasa di berbagai tempat, puasa menurut agama-agama dan aliran kepercayaan. FPUB juga bergerak dengan mengadakan penyuluhan bahaya narkotika, AIDS, dan lain-lain. Hal ini dilakukan dalam rangka usaha mewujudkan masyarakat yang toleran, dan perdamaian atas dasar persaudaraan sejati. Langkah-langkah program ini secara langsung mauun tidak langsung juga menjadi media jresolusi konflik. Dengan solidaritas kemanusiaan ini bekas “dendam” akibat konflik teredam-termaafkan sebab masing-masing kelompok mengedepankan kemanusiaannya. 3. Aksi Damai dan Do’a Bersama Doa bersama lintas iman menjadi ciri khas FPUB dalam berbagai kegiatan dan aksi. Doa bersama lintas iman memang mendapat perhatian cukup FPUB. Hampir dalam setiap kegiatan dan aksi- aksi sosial yang melibatkan berbagai pemeluk agama bisa dipastikan terdapat agenda doa bersama. Kegiatan do’a bersama yang dilakukan FPUB tidak selamanya dipandang positif oleh berbagai kalangan. Bahkan tidak sedikit doa bersama ini dipandang sebagai penyimpangan terhadap ajaran agama. Oleh karenanya, tidak heran jika pemeluk agama tertentu menentang keras kegitan doa bersama ini. Secara teknis dalam ritual doa bersama ini para hadirin secara bersama-sama di dalam suatu tempat/acara/kegiatan melakukan doa bersama dengan dipimpin oleh para tokoh agama masing-masing. Para tokoh agama tersebut secara bergantian (maju) meminpin doa sesuai dengan ajaran agama masing-masing dan dikuti atau diamini oleh

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 45 Peace Education sebagai Resolusi Konflik

peserta yang seagama pemimpin do’a—tetapi juga bayak dari pemeluk agama lain yang ikut juga mengamini do’a. Kalimat-kalimat atau isi do’a (mantra do’a) menggunakan bahasa sesuai dengan ajaran agama masing-masing. Secara umum doa bersama lintas iman memohon kepada Tuhan untuyk memberikan anugerah-anugerah terbaik kepada umat manusia, mengampuni segala dosa, menjauhkan dari malapetaka, krisis, kekerasan dan segala musibah, menyatukan umat dengan rahmatNya, menjadikan masyarakat atau umat beriman di Yogyakarta khususnya, Indonesia Umumnya masyarakat atau negara yang damai, saling mengasihi, persatuan dan kesatuan yang kokoh, makmur, dan santausa di bawah lindunganNya (baldatun toyibatun warobbun ghafur), memohon kebaikan di dunia dan akherat, dan lain- lain. Berbagai aksi yang dilakukan oleh FPUB adalah aksi damai, anti anarkisme dan anti kekerasan. Do’a bersama merupakan salah satu bentuk dari aksi damai tersebut. Dengan aksi damai dan doa bersama terbukti lebih efektif dalam rangka menyampaikan keperihatinan terkait dengan berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat, bangsa dan negara. Aksi damai dan do’a bersama merupakan salah satu bentuk dari resolusi konflik. Sebab dalam pandangan komunitas FPUB bentuk kekerasan yang mengatasnamakan dan atas dalih apapun tidak akan pernah menyelesaikan masalah, bahkan justru akan menumbuhkan masalah-masalah baru. Memaafkan, dan rekonsiliasi adalah jalan kedamaian untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik. 4. Pendidikan Perdamaian Berbagai bentuk kegiatan FPUB dalam secara langsung maupun tidak langsung menjadi sarana resolusi konflik. Bentuk-bentuk pendidikan perdamaian dilakukan adalah pertama, kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence). FPUB dengan berbagai kegiatannya didasarkan pada prinsip mewujudkan perdamaian dan antikekerasan.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 46 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik

Bagi FPUB kedamaian difahami sebagai bentuk persaudaraan yang saling memahami, menghormati dan cinta kasih. Konsep kedamaian mencakup fisik dan non-fisik, internal dan eksternal, Kedamaina internal dapat dibangun dengan kualitas iman, pemenuhan sisi HAM dan budaya. Sedangkan anti kekerasan merupakan turunan dari damai akibat dari perdamaian maka yang mewujud adalah perilaku yang tidak mengundang kekerasan, apalagi melakukan kekerasan. Kegiatan FPUB dalam rangka mewujudkan perdamaian dan anti kekerasan secara formal adalah dialog antarumat beriman. Dialog ini merupakan sebuah usaha preventif untuk menjaga dan menghindari tindak kekerasan. Berbagai aksi kekerasan, konflik, anarkisme dan radikalisasi atas nama agama yang terjadi selama ini lebih banyak dipicu oleh tidak saling mengerti, prasangka (prejudice), dan kurangnya bertemu-berinteraksi. Kedua,Hak Asasi Manusia (human rights). Bagi FPUB pemahaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai peran penting dalam membangun masyarakat damai dan toleran. Lebih-lebih menyangkut tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Dalam konteks ini penghormatan terhadap HAM dapat difahami sebagai tujuan dari ketentuan peraturan atau dalam bahasa lain adalah “maqosidus Syari’ah”. Program-program FPUB terkait dengan penyadaran dan pemahaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) untuk kebebasan beragama dan berkeayakinan (religion belief and Human right) adalah mengadakan diskusi, dialog, pelatihan dan pewartaan melalui penerbitah majalah SULUH. Ketiga, demokrasi (democracy). FPUB memandang demokrasi sebagai pilar dalam menciptakan tata negera yang berkeadilan, menghargai hak, dan pemenuhan terhadap kewajiban baik dari pemerintah maupun warga negera. Pemahaman terhadap demokrasi sangat berhubungan erat dengan penghormatan dan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Semakin tinggi tingkat pemehaman warga negera terhadap demokrasi, maka penghargaan terhadap perbedaan

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 47 Peace Education sebagai Resolusi Konflik

agama sangat tinggi. Usaha FPUB dalam membangun masyarakat demokratis, menghormati perbedaan agama dan keyakinan, dan mencintai pedamaian dan menjauhi kekerasan dilakukan dengan berbagai. Sebagai contoh adalah FPUB memfasilitasi konfik ahmadiyah yang sedang diserang, ikut mengamankan natal, atau perayaan agama- agama. Proses pendidikan juga dilakukan dengan cara menggadakan perayaan hari-hari besar keagamaan bersamadengan tujuan agar orang saling faham, saling mengeti dan saling memahami. Semua itu dilakukan dalam rangka membangun masyarakat yang damai, toleran, dan anti kekerasan. Keempat,toleransi (tolerance). Program FPUB selalu diorientasikan pada pembentukan dan membangun sikap toleransi aktif antar umatberiman dan antarbudaya (cross culture). Dalam hal ini FPUB memandang bahwa pentingnya sebuah cara pandang multikultural. Cara pandang multikultural mengandaikan adanya kesepakatan bahwa di dalam masyarakat terhampar begitu banyak keragaman kultural, yang masing-masing entitasnya berdiri sendiri dan saling berinteraksi. Dalam konteks masyarakat multikultur semacam ini maka gerakan dialog antaragama musti ditopangkan pada toleransi kultural, yakni tata laku kehidupan yang bukan semata-mata didasarkan pada toleransi antarkeberimanan, namun dibingkai dalam toleransi antarkemanusiaan23. Sebab sebenarnya media budaya yang menampung varian agama itu telah sama-sama dipraktekkan dan dijalani dalam lakon kehidupan sosial. Oleh karena itu, gerakan interfaith (dialog antar agama) musti dirancang sebagai gerakan kultural yang mengakar di level masyarakat. Gerakan yang hadir oleh dan dari masyarakat. Ia harus mengakar dan tumbuh berkembang di dalam masyarakat. Kelima, pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding). FPUB selalu mengintegrasikan

23 Wawancara KH. Abdul Muhaimin, tanggal 14 Juli 2011.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 48 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik

kegiatan penyadaran akan pentingnya keragaman dengan tradisi dan budaya setempat (local culture). Penghargaan terhadap lokalitas dengan pendekatan mulikultural. Sebab pemahan terhadap keberagamaan dan toleransi masyarakat sedikit-banyak dipengaruhi oleh sosio- kulturalnya. Oleh karena itu Pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding) sangat penting dalam mewujudkan kerukunan, perdamaian dan persaudaraan sejati antarumat beriman. Keenam,pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity). Dalam konteks ini FPUB melalui SULUH menampilkan berbagai rubik yang digali dari beraneka ragam budaya dan latar. SULUH memformat berita dan informasinya dalam bentuk rubrik. Rubrik di majalah SULUH meliputi tajuk, topk, wacana, bahasa, sosok, geliat, khasanah, pendapat, resensi, jeda dan refleksi. Rubrik-rubrik dalam majalah SULUH ini berusaha menyampaikan pesan-pesan khas FPUB yaitu toleransi, pluralisme, multikulturaslime, demokrasi, anti kekerasan, perdamaian, komunikasi antarumar beriman, dan hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain. Rubrik-rubrk SULUH ditulis dengan gaya penulisan yang sederhana seperti feature atau bercerita. Berbagai tulisan dan berita yang dibagi dalam berbagai rubrik dalam majalah SULUH dimaksudkan untuk memberikan pemahaman terhadap perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity) yang harus disyukuri, dibina dan menjadikannya sebagai jalan untuk menjalin persaudaraan sejati.

G. Simpulan Forum Persaudaraan Umat Beriman (FPUB)memiliki peran sebagai resolusi konflik. Program kegiatan FPUB dalam peranya resolusi konflik dilaksanakan melalui empat bentuk yaitu; Pertama, diskusi dan dialog antar umat beragama yaitu sebuah gerakan kultural yang berusaha menyelami, memahami, dan menumbuhkan saling pengertian terhadap persoalan-

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 49 Peace Education sebagai Resolusi Konflik persoalan riil yang dihadapi oleh masyarakat. Kedua, aksi solidaritas sosial yaang dilakukan oleh FPUB berkaitan dengan keprihatinan atas situasi politik, sosial, ekonomi, budaya dan juga keprihatinan segala bentuk bencana yang terjadi. Nilai pengikat aksi solidaritas sosial ini adalah nilai kemanusiaan. Ketiga,aksi damai dan do’a bersama. Do’a bersama merupakan salah satu bentuk dari aksi damai dan anti kekerasan yang dilakukan oleh FPUB. Aksi ini menjadi salah satu bentuk resolusi konflik. Sebab dalam pandangan komunitas FPUB bentuk kekerasan yang mengatasnamakan dan atas dalih apapun tidak akan pernah menyelesaikan masalah, bahkan justru akan menumbuhkan masalah-masalah baru. Memaafkan, dan rekonsiliasi adalah jalan kedamaian untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik. Keempat, pendidikan perdamaian yaitu proses menerima dan menghargai perbedaan sebagai bentuk deradikalisasi dan resolusi konflik (conflict resolution)dalam rangka membangun hubungan antar umat beragama yang terbuka, egaliter dan penuh kedamaian. Bentuk-bentuk pendidikan perdamaian dilakukan adalah kedamaian dan anti kekerasan (peace and non-violence), hak asasi manusia (human rights), demokrasi (democracy), toleransi (tolerance), pemahaman antar bangsa dan antar budaya (international and intercultural understanding), serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (cultural and linguistic diversity).

Daftar Pustaka Abdullah, Amin. “Kesadaran Multikultural;; Sebagai Gerakan ‘Interes Minimalization Dalam Meredakan Konflik Sosial” dalam M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural; Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilarmedia, 2005. Anwar, Dewi Fortuna. dkk, (ed), Konflik Kekerasan Internal: Tinjauan Sejarah, Ekonomi, Politik dan Kebijakan di Asia Pasifik, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-LIPI dan LASEMA-CNRS, 2004.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 50 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik

Budiyono, Baca. Membina Kerukunan Hidup Antar Umat Beriman, Yogyakarta: Kanisius, 1983. Darmawan, Josep J. Multikulturalisme Membangun Harmoni Masyarakat Plural, Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2005. Department of International & Transcultural Studies, Fundamental Concepts of Peace Education, Columbia: Columbia Univerity, 2006. Furlong, Gary T. The Conflict Resolution Toolbox, John Wiley & Sons Canada, Ltd. 2005. Haris, Peter, dan Ben Reily, (ed.), Demokrasi dan Konflik yang Mengakar; Sejumlah Pilihan untuk Negosiator, Jakarta: International IDEA, 1998. Hidayah, Z. Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 1997. Jamil,Muhsin (ed.), Mengelola Konflik Membangun Damai, Teori, Strategi dan Implementasi Resolusi Konflik, Semarang: WMC IAIN Walisongo, 2007. Lederach, John Paul. Conflict Transformation Goodbooks, Intercourse, PA. 17534. Liliweri, Alo. Prasangka dan Konflik. Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat Multikultur, Yogyakarta: LKiS, 2005. Machali, Imam. (ed), Pendidikan Multikultural, Pengalaman Implementasi Pendidikan Multikultural di Sekolah dan Universitas, Yogyakarta: Aura Pustaka, 2013. Machali, Imam. “Peace Education Dan Deradikalisasi Agama,” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol 2, No. 1, 2013: 41–64, DOI:10.14421/ JPI.2013.21.41-64. Mahfud, Chirul. Pendidikan Multikultural, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006. Reardon, Betty A. Comprehensive Peace Education; Educationg for Global Responsibility, New York: Columbia University, Teacher College Press, 1988.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli 51 Peace Education sebagai Resolusi Konflik

Ritzer, George. Teori Sosial Postmodern, terj. Muhammad Taufik, Yogyakarta: Juxtapose Research and Publication Study Club dan Kreasi Wacana, 2005. Schirch, Lisa. Strategis Peace Building, USA: Goodbook, Intercourse PA. 17534. SULUH (suplemen) edisi 19 Tahun V Januari-Februari 2005. SULUH FPUB, Edisi Agustus-September, Th. II, 2003. SULUH, Edisi Agustus-September, 2003. SULUH, Edisi Juni-Agustus, 2001. Sumartana,TH. (dkk.), Pluralisme, Konflik dan Pendidikan Agama dI Indonesia, Yogyakarta: DIAN/Interfidei, 2001. Swidler, Leonard. Trialogue Jews, Cristians and Muslim in Dialogue, New London: Twenty Third Publication, 2000. Syah, Hakim, Membangun Komunikasi Antaragama; Kajian atas FPUB D.I. Yogyakarta. Yogyakarta: Penelitian Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2004. Ustman, Sabian. Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat Nelayan: Sebuah Penelitian Sosiologis, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Widiyono, Albertus Nugroho, “Kerukunan Antarumat Beragama: Sebuah Studi Kasus Melihat Visi Dialog FPUB Yogyakarta dalam Perbandingan dengan Visi Dialog Korelasional Paul F. Knitter”, dalam tesis PPs Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, 2009. Yaqin, M. Ainul. Pendidikan Multikultural: Cross Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan, Yogyakarta: Pilar Media, 2005.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 52 Imam Machali, Zainal Arifin, Ahmad Rodli Peace Education sebagai Resolusi Konflik

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 53 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

Muh Subhan Ashari STIQ An-Nur Yogyakarta [email protected]

Abstrak Dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua bagian, atau bercabang dua bagian. Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan. Secara istilah yang dimaksud dengan dikotomi pendidikan adalah pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum baik secara formal maupun non formal, secara lembaga maupun non lembaga. pola pikir bipolar-dikotomis telah membawa akibat yang tidak nyaman bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Sebab akan menjadikan manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, terasing dari dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Tulisan ini bertujuan untuk menemukan jejak-jejak bentuk kebijakan dikotomi dalam pendidikan di Indonesia, khususnya pada masa reformasi, serta untuk menemukan akar mula muculnya dikotomi pendidikan di Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga bertujuan mengorek lebih jauh pandangan Islam terhadap masalah dikotomi dalam pendidikan. [Dichotomy is the division of two parts, splitting the two parts, or forked section. Some people difine dichotomy as the divisions of two parts which againt each other. Dichotomy of education means separation between religion subjects and science subjects, both formal and informal. Bipolar-dichotomous mindset has brought uncomfortable consequences for the life and welfare of mankind. Because it will make man alienated from the values of spirituality and morality, alienated from himself, his family and the surrounding community. This paper aims to find the traces of policy of dichotomy in Indonesian education, especially in a period of reform, and to find the root of policy dichotomy in Indonesian education. In addition, this paper also aims to explains the Islam views of the problems of dichotomy in education.] Kata Kunci: kebijakan, dikotomi, pendidikan, reformasi.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 54 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

A. Pendahuluan Problem dikotomi dalam pendidikan masih menjadi salah satu tema yang paling menarik dalam perkembangan pendidikan di Indonesia, mungkin entah sampai kapan. Pembahasan dikotomi pendidikan tiba- tiba bisa menyeruak sewaktu-waktu, tapi juga bisa hilang seolah tanpa meninggalkan jejak. Bagaimanapun juga kita harus selalu mengingatkan bahwa permasalahan dikotomi masih ada di depan mata kita, hal ini karena penyelesaian problem dikotomi pendidikan di dunia Islam seringkali tidak tuntas, terlebih di negara kita Indonesia. Secara bahasa dikotomi adalah pembagian dua bagian, pembelahan dua bagian, atau bercabang dua bagian. Ada juga yang mendefinisikan dikotomi sebagai pembagian dua kelompok yang saling bertentangan.1 Menurut Baharuddin, menempatkan sesuatu pada dua kutub yang berlawanan sehingga sulit diintigrasikan adalah suatu contoh sikap dikotomi.2 Adapun secara istilah, dikotomi pendidikan bermakna pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum baik secara formal maupun non formal, secara lembaga maupun non lembaga.3 Sedangkan M Rusydi memaknai dikotomi pendidikan sebagai pemisahan antara ilmu dan agama sehingga berkembang menjadi fenomena-fenomena dikotomik lainnya, seperti dikotomi ulama dan intelektual, dikotomi dalam dunia pendidikan Islam dan bahkan dikotomi dalam diri muslim itu sendiri (split personality). Bagi al-Faruqi, dikotomi adalah dualisme religius dan kultural.4

1 Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Populer Bahasa Indonesia, (Surabaya: Arkola, tt), hlm. 110. 2 Baharuddin, Umiarso, dan Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam; Historitas dan implikasi pada masyarakat Islam, (Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. 2, 2011), hlm. 44. 3 Abdul Latief, Dikotomi Pendidikan Agama dan Umum di Indonesia, Jurnal Tarbiyyah, Edisi XX, Vol. 1 Juni 2007, hlm. 2. 4 M Rusydi, Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan Islam dan Pengaruhnya, Jurnal Al- Banjari, Vol 5, No. 9, Januari-Juni 2006, hlm. 23.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 55 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

Pandangan dikotomi, secara langsung maupun tidak langsung akan melahirkan kebijakan yang dikotomi. Kebijakan dikotomi bisa juga kita artikan sebagai kebijakan yang diskriminatif. Di Indonesia kebijakan dikotomi dalam pendidikan tergambar jelas pada sistem pendidikan nasional yang bersifat dualistik. Dimana pendidikan agama seperti MI, MTs, MA dan segala bentuk pendidikan madrasah diatur oleh Kemenag. Sedangkan pendidikan umum seperti SD, SMP, SMA dan Universitas umum, mereka semua berada dibawah pengawasan Kemendiknas. Sebenarnya jika dualisme di atas hanyalah sebuah pembagian tugas saja, maka tidak menjadi masalah. Tetapi jika dualisme tersebut diikuti dengan sikap diskriminasi terhadap pendidikan agama maka hal ini sudah masuk pada ranah dikotomi pendidikan. Faktanya, dualisme sistem pendidikan ini, seolah justru menjadi payung hukum yang sah dalam melaksanakan kebijakan pendidikan yang diskriminatif dan dikotomis. Tulisan ini akan mengulas kebijakan dikotomi pendidikan di Indonesia khususnya pada masa reformasi. Selain itu, penulis juga ingin mengupas penyebab munculnya dikotomi pendidikan di Indonesia dan mengupas pandangan Islam terhadap masalah dikotomi dalam pendidikan. Adapun tujuan penulisan ini adalah untuk menemukan bentuk-bentuk kebijakan dikotomi dalam pendidikan di Indonesia, khususnya pada masa reformasi, serta mengorek lebih jauh pandangan Islam terhadap masalah dikotomi dalam pendidikan.

B. Pandangan Islam tentang Dikotomi Pendidikan Islam menolak kebijakan dikotomi dalam pendidikan yang berusaha mendiskriminasikan pendidikan agama. Islam sebagai agama dengan tegas menolak setiap sikap dan pandangan yang berusaha menghilangkan sisi religiusitas dalam dirinya. Karena menghilangkan nilai religius dan keagamaan dari Islam, justru akan menghilangkan Islam dari identitasnya, baik dengan alasan positif sekalipun seperti untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Tetapi Islam juga tidak serta merta mengabaikan ilmu

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 56 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi pengetahuan yang bersifat rasional. Justru Islam memberi penghargaan yang tinggi kepada orang-orang yang berilmu pengetahuan dengan mengangkat derajat mereka. Iman sebagai refleksi agama dan ilmu pengetahuan sebagai refleksi kehidupan dunia, keduannya sama-sama dihargai dalam Islam. Firman Allah SWT dalam surat al-Mujadillah ayat 11. َِّ ِ ِ ِ ِ ِ َّ �َا أَ�يَُّها الذ َ�ن َآمنُوا إَذا ق َيل لَ ُك ْم �يََف َّس ُحوا ف الَْم َجالس فَافْ َس ُحوا �يَْف َس ِح اللهُ لَ ُك ْم ِ ِ َّ َِّ ِ َِّ ِ ٍ َوإَذا ق َيل ُانشُزوا فَ ُانشُزوا �يَْرفَِع اللهُ الذ َ�ن َآمنُوا م ُنك ْم َوالذ َ�ن أُو�ُوا الْعْل َم َدَرَجات ِ ِ َواللَّهُ بَا �يَْعَملُ َون َخبريٌ

Artinya: Niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Qs. Al- Mujadillah : 11) Dari ayat di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama Allah akan mengangkat orang-oang yang beriman, dan kedua Allah juga mengangkat derajat orang-orang yang berilmu. Ditengah-tengah antara orang-orang yang berilmu dan orang-orang beriman dalam ayat di atas terdapat wawu athaf, wawu athaf disana fungsinya bukan untuk memisahkan, sebaliknya wawu athaf disana fungsinya justru untuk menggabungkan keduanya. Sehingga penafsiran orang-orang yang diangkat Allah derajatnya dalam ayat di atas adalah orang-orang yang beriman dan berilmu secara sekaligus, tidak sepihak-sepihak. Dengan demikian, ayat ini juga menunjukkan pandangan Islam tentang intregitas. Bahwa antara agama dan ilmu tidak bisa dipisahkan. Iman yang menjadi kekuatan agama tidak boleh lepas dari ilmu pengetahuan dan juga sebaliknya. Dalam kitab tafsirnya, al-Qurtubi menjelaskan bahwa Allah akan mengangkat derajat orang yang berilmu dan beriman dengan pahala di surga, dan kemulian di dunia. Orang yang beriman akan diangkat derajatnya lebih tinggi dari orang yang tidak beriman, begitu juga orang

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 57 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi yang berilmu akan diangkat lebih tinggi derajatnya dari orang yang tidak berilmu. Sedangkan Ibnu Masud mengatakan bahwa ini adalah pujian Allah terhadap para ulama (orang-orang yang berilmu). Artinya Allah mengangkat derajat orang yang berilmu di atas orang-orang yang beriman tetapi tidak berilmu.5 Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad juga menegaskan kembali betapa pentingnya ilmu pengetahuan bagi kehidupan manusia. Ilmu pengetahuan menurut Nabi Muhammad Saw, tidak hanya menjadi jalan untuk mendapatkan kebahagiaan di dunia, tetapi juga menjadi jalan untuk mendapatkan kehidupan akhirat. Nabi Muhammad Saw dalam sebuah hadis bersabda :

من اراد الدنيا فعليه بالعلم، ومن اراد األخرة فعليه بالعلم، ومن اراد مها فعليه بالعلم )رواه طرباين(

Artinya : Barang siapa yang ingin mendapatkan kehidupan dunia, maka haruslah dengan ilmu, barang siapa yang ingin mendapatkan kehidupan akhirat maka harus dengan ilmu, dan barang siapa yang ingin mendapatkan kedua-duannya maka juga harus dengan ilmu. (HR. Thabrani) Yang dimaksud dengan kata ilmu dalam Islam adalah semua jenis ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu umum. Karena Islam tidak membatasi ilmu, pada satu jenis ilmu tertentu. Dalam berbagai teks al-Quran maupun hadis yang ada, keduanya tidak melakukan sepesifikasi jenis ilmu tertentu. Hal ini menunjukkan apresiasi Islam terhadap semua fans ilmu, sekaligus menunjukkan tidak ada prinsip yang mendukung dikotomi dalam pendidikan Islam. Dalam surat al-Qashas ayat 77 Allah SWT juga menjelaskan tentang pentingnya keseimbangan antara dunia dan akhirat.

5 Abi Abdillah bin Abi Bakar al-Qurtuby, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Qur’an, juz 20 (tt: Muassasah al-Risalah, 2006), hlm. 319.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 58 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

ِ َّ ِ ِ ِ ِ َوابيْتَِغ ف َيما آ�َ َاك اللهُ َّالد َار ْالخَرةَ َوَل �يَْن َس نَصيبَ َك م َن ُّالدنيْيَا َوأَ ْحس ْن َكَما َّ ِ ِ ِ َّ ِ ِ ِ أَ ْح َس َن اللهُ إلَْي َك َوَل �يَْبِغ الَْف َس َاد ف ْاألَْر ِض إ َّن اللهَ َل ُي ُّب الُْمْفسد َ�ن Artinya : Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) karena Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs. Al-Qashas ayat 77 ) Ayat ini jelas sekali menggambarkan sikap Islam tentang integritas dan keseimbangan. Jika kita menelusuri makna ayat di atas sekaligus tafsirnya, maka kita akan menemukan bukti-bukti yang lebih jelas tentang hal itu. Dijelaskan dalam kitab tafsir al-Kasyaf karangan Zamakhsyari, dari Said Bin Musayyab mengatakan bahwa sesungguhnya Nabi Musa adalah seorang ahli kimia. Ia kemudian mengajarkannya kepada Qarun sepertiganya saja dari ilmu tersebut, dan Qarun bisa menjadi orang terkaya pada zaman itu. Hanya saja Qarun kemudian berpaling dari jalan Allah, ia sombong dan mengatakan bahwa hartanya didapat karen ilmunya, bukan karena Allah. Maka dari itu, kemudian Allah menghancurkannya. Keterangan ini juga menjadi bukti bahwa Islam tidak menolak illmu pengetahuan, sebagaimana digambarkan oleh Nabi Musa a.s yang selain sebagai Nabi dan utusan Allah, ia juga sebagai seorang ahli kimia.฀ Dari pemahaman di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa ilmu tidak bisa berdiri tanpa agama, sebaliknya agama juga butuh ilmu. Memang dengan ilmu pengetahuan, manusia bisa mendapatkan apa saja di dunia. Qarun bisa menjadi orang terkaya pada zamannya, karena ilmu. Barat bisa menjadi penguasa di dunia juga karena ilmu. Sebelumnya Islam juga menjadi mercusuar di dunia, juga karena ilmu. Tetapi ilmu jika tanpa di dasari agama, maka pada akhirnya yang terjadi adalah kehancuran dan kerugian yang lebih banyak. Dalam surat al-Rum, Allah telah mengingatkan manusia agar senantiasa menjaga dirinya dengan agama.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 59 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

ِ ِ ِ ِ ِ ِ َِّ ِ ظََهَر الَْف َس ُاد ف الْبيَِّر َوالْبَ ْحر بَا َك َسبَ ْت أَ�ْدي النَّ ِاس ليُذ َ�قُه ْم بيَْع َض الذي َعملُوا ِ لََعلَُّه ْم �يَْرجعُ َون

Artinya: Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS. Ar-Rûm : 41) Ayat di atas barangkali cukup untuk menjelaskan bagaimana akibat perbuatan manusia yang tidak dilandasi dengan ajaran agama. Hal ini juga semakin menunjukkan bahwa agama tidak hanya berguna untuk kehidupan akhirat saja, tetapi lebih dari itu agama juga berguna untuk kehidupan dunia itu sendiri. Agama menjaga manusia dari keberingasan dan hawa nafsu, sehingga mereka tidak terjebak pada kehidupan sesaat. Ayat lain yang menunjukan konsep keseimbangan dan konsep intregitas pendidikan dalam Islam adalah surat al-Taubah ayat 122.

ِ ِ ِ ِ ِ ٍ ِ ِّ ِ َوَما َك َان الُْمْؤمنُ َون ليَنفُروا َكافَّةً فيَلَْوَل نيََفَر من ُك ِّل فْرقَة ِّمنيُْه ْم طَائَفةٌ ليَتيََفَّقُهوا ف ِ ِ ِ ِ ِ ِّالد ِ�ن َوليُنذُروا قيَْوَمُه ْم إَذا َرَجعُوا إلَْيه ْم لََعلَُّه ْم َْيَذُر َون

Artinya : Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya. (Qs. At-Taubah : 122) Fahrur Razi dalam kitab tafsirnya menjelaskan, bahwa pada waktu itu orang-orang Islam akan pergi (berangkat) jihad semuanya. Sedangkan Nabi Muhammad pada waktu itu berada di Madinah sendirian, kecuali

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 60 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi hanya bersama para wanita dan orang-orang yang sakit. Tetapi para sahabat tetap akan meninggalkannya karena jihad saat itu merupakan tugas mulia. Maka kemudian turunlah ayat di atas. Menurut Fahrur Razi ayat di atas bermakna bahwa tidak boleh semua umat Islam pergi berperang atau jihad, tetapi harus ada sebagian kelompok yang bersama Rasul untuk belajar ilmu syari’at supaya mereka nanti bisa mengajari orang-orang yang tidak tahu dan orang-orang yang baru pulang dari jihad.6 Sebaliknya ketika orang-orang muslim pergi semuanya untuk mencari ilmu, ini juga tidak dibenarkan dan tidak mungkin. Tetapi jika hal itu memunkinkan dan tidak memberikan mafsadah dan kerusakan maka hal tersebut tidak masalah, bahkan wajib, sebagaimana hadis yang menyatakan bahwa mencari ilmu adalah wajib bagi seluruh umat Islam, sebagai mana sabda Nabi Saw. Bahwa mencari ilmu wajib bagi muslim laki dan muslim perempuan.7 Dikotomi dalam pendidikan, memang menjadi perhatian yang besar bagi umat Islam, mengingat dampak negatif dari sistem pendidikan ini tidak kecil. Menurut Syamsul Ma’arif, pola dikotomi telah menimbulkan problem tersendiri. Diantaranya, pertama, munculnya ambivalensi orientasi pendidikan Islam. Kedua, kesenjangan antara pendidikan Islam dengan ajaran Islam. Ketiga, muncul disintegrasi sistem pendidikan Islam, sehingga saat ini boleh dikatakan kurang terjadi perpaduan. Keempat, dikotomi menyebabkan munculnya inferioritas para pengasuh lembaga pendidikan Islam.8 Menurut M Rusydi, dikotomi dalam pendidikan bisa melahirkan lembaga pendidikan yang lemah dalam hal metodologi dan kreatifitas. Selain itu dikotomi juga bisa melahirkan pendidikan yang doktrinal.9 Menurut Mulyadi Kertanegara, sistem dikotomi dapat menimbulkan efek yang tidak sedikit. Diantaranya adalah : Pertama, adanya klaim yang

6 Muhammad al-Razi Fahruddin ibnu Umar, Tafsir Fahrur Razi, juz 16 (Beirut: Dâr al-Fikr, tt), hlm. 231. 7 Abi al-Qasim Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf ‘an Haqâiqi Ghawamidzi al-Tanzîl fî Wujûhi al-Ta’wîl, juz 3 (tt: Maktabah Abaikan, 1998), hlm. 107. 8 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 15. 9 M Rusydi, Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan Islam dan Pengaruhnya,... hlm. 15.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 61 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi berlebihan antar setiap fans ilmu, serta mempertentangkan status ilmiah antara satu ilmu dengan yang lain, khususnya antara ilmu agama dan sains. Kedua, timbulnya kesenjangan antara sumber ilmu. Pendukung ilmu agama hanya menganggap valid wayu, sedangkan pendukung sains hanya menganggap valid logika. Ketiga, munculnya disintegrasi pada tatanan ilmu. dan keempat munculnya metodologi yang tidak sama dan bertentangan antara ilmu agama dan sains.10 Adapun akibat secara umum, menurut Amin Abdullah, pola pikir bipolar-dikotomis telah membawa akibat yang tidak nyaman bagi kehidupan dan kesejahteraan umat manusia. Sebab akan menjadikan manusia terasing dari nilai-nilai spiritualitas dan moralitas, terasing dari dirinya sendiri, keluarga dan masyarakat sekelilingnya. Selain itu ia juga akan terasing dari lingkungan alam dan ragam hayati yang menopang kehidupannya, serta terasing dari denyut nadi lingkungan sosial-budaya sekitarnya.11

C. Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia Pada Masa Reformasi Di Indonesia, dikotomi kebijakan pendidikan pada masa reformasi bisa dilihat dari masih dipertahankannya dualisme sistem pendidikan di Indonesia. Dimana antara pendidikan agama dan pendidikan umum tidak diatur dalam satu sistem. Sekolah umum seperti SD, SMP, SMA dan Universitas Umum berada di bawah kewenangan Kementrian Pendidikan, sedangkan sekolah yang bercirikan agama seperti MI, MTs, MA dan STAIN/IAIN/UIN berada di bawah kewenangan Kementrian Agama. Selain menjadi akibat, dualisme ini sekaligus menjadi wujud dari dikotomi itu sendiri dalam dunia pendidikan di Indonesia. Selanjutnya dualisme sistem pendidikan ini seolah menjadi payung hukum yang sah dalam melaksanakan kebijakan dikotomis.

10 Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekontruksi Holistik, (Jakarta: Penerbit Arasy PT Mizan Pustaka/ UIN Jakarta Press, 2005), hlm. 22. 11 Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hlm. 16.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 62 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

Dualisme sistem pendidikan antara Kemenag dengan Kemendiknas ini tidak hanya sekedar pembagian tugas saja. Lebih dari itu, dualisme ini sudah mengarah pada diskriminasi terhadap pendidikan agama di bawah naungan Kemenag. Hal ini terlihat bagaimana timpangnya perhatian pemerintah terhadap pendidikan yang berbasis agama dibanding dengan pendidikan yang berbasis umum. Pada masa awal kemerdekaan bahkan pendidikan yang berciri khas agama seperti madrasah tidak masuk ke dalam sub sistem pendidikan nasional. Tidak masuknya madrasah dalam sistem pendidikan nasional juga berarti minimnya anggaran pemerintah untuk lembaga pendidikan seperti madrasah Memang sejak diterbitkannya UU No. 2 tahun 1989 tentang sistem pendidikan Nasional. madrasah secara institusi telah diakui sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional. tetapi perwujudan makna pengakuan itu belum sesuai dengan jiwa undang-undang tersebut. Hal ini masih dirasakan sekarang misalnya alokasi pembinaan dan pengembangan mutu madrasah yang jumlahnya sangat sedikit. Kenyataan ini membuat umat Islam yang telah berkontribusi dalam mengemangkan pendidikan di Indonesia ini merasa kecewa.12 Menurut Bahrul Hayat, yang pada pertengahan tahun 2006 diangkat menjadi sekretaris jendral Departemen Agama. Ia mengatakan bahwa sebelum tahun 2004, perbedaan antara pendidikan yang dikelola oleh Depag dengan pendidikan yang dikelola Depdiknas sangat terasa, baik dari sisi regulasi, program maupun anggaran. Sebagai contoh pernah ada surat edaran dari salah satu Menteri yang isinya membatasi bantuan pemerintah daerah terhadap lembaga vertikal seperti Depag yang mengelola pendidikan semacam madrasah. Ini menjadi bukti bahwa selama ini memang ada diskriminasi antara lembaga pendidikan yang dikelola Depag dengan lembaga pendidikan yang dikelola Depdiknas.13

12 Siti Nurhidayati, “Kebijakan Pemerintah Tentang Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan”, dalam Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 12, No. 2, Desember 2009, hlm. 139. 13 Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI, Kebijakan Pembanguna Pendidikan Islam, Jakarta, 16 Februari 2009, hlm. 11.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 63 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

Sejak diberlakukannya UU otonomi daerah persolaan pendidikan merupakan bagian yang harus diotonimikan. Jika sistem pendidikan di bawah Kemndiknas sudah diotonomkan, justu pengelolaan pendidikan di Kemenag masih dibiarkan menggunakan sistem pengelolaan yang sentralistik. Akibatnya instansi-instansi pendidikan dibawah Kemenag seringkali mendapatka diskriminasi dari pemerintah daerah, hal ini yang menurut Husni Rahim sebagai bentuk diskriminasi baru bagi pendidikan keagamaan. Seperti misalnya sekolah-sekolah umum yang ada di Jakarta mendapat bantuan dana sekitar 2 juta – 2,5 juta dan agar tidak terlalu terlihat diskriminasinya maka madrasah diberi bantuan 500 ribu saja. dan di daerah lain misal di sekolah SMP A mendapat bantuan mobil dari pemerintah daerah sedangkan madrasah hanya mendapat motor . Para pemangku jabatan melakukan ini, barangkali karena mereka merasa tanggung jawab instansi pendidikan di bawah Kemenag bukan merupakan tanggung jawab pemerintah daerah, tetapi merupakan tanggung jawab pemerintah pusat.14 Yahya Umar berpendapat, sudah lama pendidikan agama diperlakukan sebagai lembaga kelas dua. Alokasi anggaran pun disebut-sebut hanya atas belas kasihan pendidikan umum yang dijadikan oleh negara sebagai lembaga kelas satu dengan berbagai keistimewaan yang menyertainya. Pendapat tersebut menurut Nur Ahid tepat jika dikaitkan dengan data anggaran tahun 2007 antara Depag dan Diknas. Dari data yang ada Diknas memperoleh anggaran sebesar sekitar 43,8 trilyun, sedangkan untuk Depag mendapat anggaran sekitar Rp 14,5 trilyun, itu pun masih harus dibagi- bagi dengan pos-pos yang lain. Berbeda dengan anggaran Diknas, yang semuanya diperuntukkan untuk pendidikan. Dari anggaran Depag 14,5 Trilyun, ternyata anggaran pendidikan di Depag tahun 2007 kurang dari separuhnya, atau hanya berkisar 46 persen dari total anggaran keseluruhan Depag (6,7 Tirlyun).15

14 Charis Asfiya, Otonomi: Diskriminasi Baru Pendidikan Keagamaan, diposkan pada Senin 29 Oktober 2012. 15 Nur Ahid, Problem Pengelolaan Madrasah Aliyah dan Solusinya, Jurnal Islamica, Vol IV,

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 64 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

Data tahun 2006/2007 mencatat, bahwa jumlah lembaga pendidikan di bawah Depag adalah 123.278 (33,05%), sedangkan jumlah lembaga pendidikan di bawah Depdiknas berjumlah 249.634 (66,95%). Adapun jumlah siswa yang berada di bawah Depag adalah 15.560.590 (33,05%), sedangkan jumlah siswa di bawah tanggung jawab Depdiknas adalah 46.098.608 (66,95%). Dari data tersebut, seharusnya pemerintah mengalokasikan untuk anggaran pendidikan di Depag 33% dari anggaran pendidikan keseluruhan. Namun kenyatannya, pada tahun 2007, anggaran untuk pendidikan di Depag ternyata hanya berkisar 6,7 T atau sekitar 11% saja dari total anggaran pendidikan keseluruhan di Depag dan Diknas.16 Selain masalah anggaran, dualisme sistem pendidikan juga mengakibatkan ketidak jelasan nasib sertifikasi guru-guru agama yang mengajar di sekolah umum. Guru-guru agama yang mengajar di sekolah umum memprotes ketidakjelasan nasib mereka pada pelaksanaan sertifikasi akibat dualisme birokrasi antara Departemen Pendidikan Nasional dan Depatemen Agama. Padahal, selama ini para guru agama di sekolah umum mendapat gaji dari dinas pendidikan kota/kabupaten, tetapi pada pelaksanaan sertifikasi justru diserahkan kepada Departemen Agama. Kebijakan itu dinilai tidak adil buat sekitar 170.000 guru agama yang mengajar di sekolah umum. Pasalnya, kesempatan mereka untuk mendapat kuota sertifikasi terbatas dan tunjangan profesi sebesar satu kali gaji pokok per bulan, paling tidak hingga April 2009 belum dibayarkan. Sedangkan guru-guru lain di bawah Depdiknas umumnya menjalani proses sertifikasi dan pembayaran tunjangan profesi yang lancar.17 Di Kabupaten Aceh Barat Daya, Ratusan Guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah umum (SD, SMP, SMP dan SMA/SMK) serta guru PNS umum yang mengajar di sekolah madrasah swasta (MIS, MTsS dan

No. 2, Maret 2010. 16 Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI, Kebijakan Pembanguna Pendidikan Islam, Jakarta, 16 Februari 2009, hlm. 11. 17 Kompas, Nasib Guru Agama Kemendiknas Terkatung-katung, Selasa 7 April 2009. Lihat juga Masedlolur, Guru dan Calon Guru vs Fakta Nasib Guru Diknas Yang Mesti Mengikuti Sertifikasi Guru di Depag, 08 April 2009.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 65 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

MAS) mempertanyakan dana tunjangan sertifikasi selama enam bulan, Januari-Juni 2012 (semester I) yang belum mereka terima hingga September ini. Beberapa guru PAI di sekolah umum ketika dihubungi Serambi, Kamis (6/9) kemarin, mengakui dana tunjangan sertifikasi sejak Januari hingga Juni 2012 (semester I) belum mereka terima sampai awal September ini. Sementara rekan mereka atau guru di sekolah umum, dimana tunjangan sertifikasi di bawah Dinas Pendidikan (Disdik) sudah menerima selama lima bulan (Januari-Mei 2012).18 Dualisme sistem pendidikan juga menimbulkan berbagai kerancaun. Fenomena akhir-akhir ini memperlihatkan mulai munculnya sekolah- sekolah berciri khas agama tetapi berasal dari manajemen Kemendiknas, seperti SD Islam Terpadu (SDIT), SMP Islam Terpadu (SMPIT) dan SMA Islam Terpadu (SMAIT). Namun kurikulum yang mereka gunakan ternyata serupa dengan kurikulum madrasah.19 Mereka menggunakan buku-buku madrasah dalam hal pelajaran agama. Mereka melakukan itu, tentu dengan berbagai alasan, diantaranya adalah mereka ingin mengembangkan pendidikan agama dan umum tetapi tidak mau berafiliasi dengan Kemenag atau Depag. Karena mereka menganggap bahwa Kemendiknas lebih baik dari Kemenag baik dari segi manajemen maupun fasilitasnya. Selanjutnya mereka juga beranggapan bahwa nama madrasah di banyak tempat, sudah terlanjur jelek dan dianggap sebagai lembaga pendidikan kelas dua di bawah sekolah umum. Problem dikotomi pendidikan di Indonesian memang tidak terlepas dari kebijakan politik pendidikan pada masa penjajahan Belanda. Dikotomi pendidikan di Indonesia mencuat semenjak adanya campur tangan yang berlebih oleh Belanda terhadap pendidikan di Indonesia. Pada abad 19 M, dengan dalih politik balas budi, pemerintah Belanda

18 Serambi Indonesia, Ratusan Guru PAI 6 Bulan Belum Terima Sertifikasi, 7 September 2012. 19 Anonim, Madrasah Ibtidaiyah Di Tengah Persaingan Dengan SDIT, diposkan oleh Madrasah Ibtidaiyah Al Islam Kartasura; Minggu, 30 November 2008.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 66 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi berinisiatif mendirikan sekolah untuk rakyat pribumi.20 Tetapi menurut Zuhairini mereka mendirikan sekolah hanya untuk menciptakan tenaga unggul dan murah bagi kepentingan Belanda. Tentu sangat berat, jika harus mendatangkan tenaga-tenaga terampil dari Barat, selain itu juga dibutuhkan biaya yang besar jika harus mendatangkan tenaga-tenaga tersebut. Sehingga untuk mengatasi hal ini, mereka berusaha membuka pendidikan di Indonesia, tapi dengan aturan yang ketat, terutama dalam hal pendidikan agama Islam.21 Selain itu, sekolah yang didirikan Belanda juga memebatasi peserta didiknya untuk kaum tertentu saja, seperti kaum bangsawan dan kelas menengah atas. Sistem pendidikan seperti ini, tidak hanya membodohi bangsa, tetapi juga memecah belah bangsa dengan menciptakan kaum antar kelas. Bangsa Indonesia kemudian semakin terpecah dengan identitas yang dikotomis seperti kaum dan hamba sahaya, kaum pribumi dan non pribumi, kaum bangsawan dan rakyat jelata dan sebagainya. Meskipun kemudian Belanda membuka akses pendidikannya kepada masyarakat yang lebih luas, tetapi diskriminasi pendidikan masih sangat tampak dalam politik dan kebijakan pemerintah Hindia Belanda. Bagaimanapun juga, kebanyakan dari rakyat Indonesia masih akan tetap bodoh, karena pendidikan yang diperkenankan bagi mereka terbatas pada sekolah rendah.22 Sistem pendidikan Belanda tidak hanya melahirkan diskriminasi terhadap kalangan pelajar pribumi, khususnya dari kalangan rakyat biasa, lebih dari itu sistem pendidikan Belanda juga menjadi sarana menancapkan ideologi sekuler dalam sistem pendidikan di Indonesia. Belanda berusaha menyingkirkan pelajaran-pelajaran agama, khususnya pelajaran agama Islam dalam setiap institusi pendidikan yang ia buat. Ada kekhawatiran

20 Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara modernisasi dan identitas, (Jakarta: Kencana, 2012). hlm. 99. 21 Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008). hlm. 146. 22 Maksum, Madrasah: Sejarah dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999). hlm. 96.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 67 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

Belanda untuk memberikan ruang yang lebih bagi pendidikan Islam. Belanda sangat khawatir akan munculnya militansi dalam diri umat Islam Indonesia. Untuk menekan pendidikan Islam, maka pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan kebijakan dengan menerbitkan Ordonansi Guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah. Tidak setiap orang, meskipun ahli ilmu agama, dapat mengajar di lembaga- lembaga pendidikan. Latar belakang Ordonansi Guru ini sepenuhnya bersifat politis untuk menekan sedemikian rupa sehingga pendidikan agama tidak menjadi faktor pemicu perlawanan rakyat terhadap penjajah. Pengalaman penjajah yang direpotkan oleh perlawanan rakyat di Cilegon tahun 1888 M., merupakan pelajaran serius bagi pemerintah Hindia Belanda untuk menerbitkan Ordonansi Guru itu.23 Bersamaan dengan itu, di Timur Tengah muncul ide pembaharuan Islam yang meliputi pembaharuan pendidikan. Ide ini kemudian dibawa oleh para sarjana Indonesia yang belajar di Timur Tengah, supaya diterapkan di Indonesia. Sehinga melahirkan produk baru dalam dunia pendidikan di Indonesia yang bernama “madrasah”. Sebenarnya sebelum ada madrasah, Indonesia telah memiliki lembaga pendidikan Islam yang khas, atau yang selama ini dikenal dengan nama pesantren. Tetapi lembaga ini hanya fokus menyediakan pendidikan agama, dan tidak menyediakan pendidikan umum seperti sains. Pesantren merupakan lembaga pendidikan agama Islam perkembangan dari sistem pendidikan masjid, , langgar, yang kemudian berkembang menjadi asrama-asrama. Paling tidak ada lima elemen penting dalam sebuah pesantren. Pertama , kedua , ketiga masjid, keempat asrama, dan kelima .24 Sistem pendidikan pesantren dianggap belum bisa memenuhi kebutuhan pendidikan di Indonesia, karena pesantren hanya memberikan pendidikan agama. Selain itu Pendidikan di Pesantren masih sangat

23 Maksum, Madrasah : Sejarah dan perkembangannya, ….. hlm. 115. 24 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3ES, 1990), hlm. 18.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 68 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi tradisional, pendidikan Islam tradisional dianggap kurang sistematis dan kurang memberikan kemampuan pragmatis yang memadai. Di sisi lain, laju perkembangan sekolah-sekolah ala Belanda di kalangan masyarakat cenderung meluas dan membawa watak sekulerisme sehingga harus diimbangi dengan sistem pendidikan Islam yang memiliki model dan organisasi yang lebih teratur dan lebih terencana. Dari sini madrasah muncul sebagai usaha untuk menyempurnakan pendidikan Islam sebelumnya, sekaligus sebagai respon yang aktif terhadap kebijakan pendidikan Belanda yang selalu menekan pendidikan agama Islam. Menurut Karel A. Steenbrink, Sekolah Islam semenjak itu mengambil jalan sendiri, lepas dari gubernen, tetap berpegang pada tradisinya sendiri, tetapi juga terbuka untuk perubahan dalam tradisi tersebut. Demikianlah semenjak permulaan abad ini, pendidikan mulai mengembangkan satu model pendidikan tersendiri, yang berbeda dan terpisah dari sistem pendidikan Belanda, maupun sistem pendidikan yang dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia.25 Menurut Maksum, ada dua faktor yang melatarbelakangi lahirnya madrasah di Indonesia. Pertama, berdirinya madrasah merupakan respon masyarakat Indonesia terhadap kebijakan politik pemerintah Hindia Belanda. Kedua, berdirinya madrasah merupakan wujud adanya pembaharuan dalam pendidikan Islam di Indonesia.26 Hanya saja yang menjadi catatan penting, ketika Indonesia mencapai kemerdekaannya, dan mempunyai kesempatan untuk mengatur sistem pendidikannya sendiri, pemerintah tidak mau mengambil kesempatan tersebut untu menyatukan sistem pendidikan Islam dan umum. pemerintah lebih senang mengambil sistem pendidikan warisan Belanda dan membiarkan sistem pendidikan agama seperti pesantren dan madrasah berjalan sendiri, sampai puluhan tahun lembaga pendidikan Islam, hidup lebih karena jasa swadaya masyarakat. Akhir-akhir ini pemerintah memang telah memberikan

25 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 7. 26 Maksum, Madrasah: Sejarah dan perkembangannya, ….. hlm. 82-92.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 69 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi perhatian yang lebih terhadap institusi pendidikan Islam seperti pesantren dan madrasah, hanya saja perhatiaan tersebut tidak serta menghilangkan dualisme dalam sistem pendidikan di Indonesia, sehingga kebijakan dikotomi dalam pendidikan di Indonesia masih bisa terjadi kapan saja.

D. Simpulan Usaha untuk menyatukan pendidikan agama dan umum di Indonesia sejatinya telah lama dilakukan pemerintah. Sayangnya usaha ini tampak kurang berhasil, sehingga dikotomi pendidikan di Indonesia masih tumbuh subur dan terjaga, bahkan hingga saat ini. Fakta yang ada memperlihatkan bahwa sampai dengan masa reformasi, pemerintah masih mempertahankan dualisme dalam sistem pendidikan nasional, yaitu antara Kemenag dan Kemendiknas, dan antara madrasah dengan skolah umum. Bagi penulis, dualisme sistem ini tidak terlalu menjadi masalah jika dimaknai sebagai pembagian tugas, misalnya Kemenag mengurus pendidikan agama dan Kemendiknas mengurus pendidikan umum, kemudia mereka bersama-sama membuat sistem pendidikan yang maju dan ideal. Akan tetapi dualisme sistem pendidikan ini justru seolah menjadi payung hukum yang sah untuk melakukan diskriminasi terhadap pendidikan agama. diskriminasi inilah yang menjadi inti dari pada dikotomi. Maka tidak heran, jika kita seringkali menemukan perlakuan yang tidak imbang antara madrasah dan sekolah umum, mulai dari diskriminasi anggaran, bantuan pemerintah, serta hak kesetaraan. Ada tiga hal yang menjadi penyebab munculnya dikotomi pendidikan di Indonesia. Ketiga hal tersebut adalah : Pertama, adanya kolonialisme Belanda terhadap bangsa Indonesia. Kedua, dikotomi pendidikan di Indonesia muncul karena ketidak mampuan bangsa Indonesia dalam menciptakan sistem pendidikan yang integral, tidak dikotomi dan bermutu tinggi.27 Ketiga, adanya pertarungan politik antara golongan nasionalis Islam dan nasionalis sekuler. Selain menjadi penyebab, pertarungan politik ini

27 Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah... hlm. 3.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 70 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi juga semakin melanggengkan praktik dikotomi di negara kita. Sebagaimana pendapat Dr. Nurhayati Djamas, MA, bahwa produk pendidikan di Indonesia beserta kebijakannya semata-mata adalah keputusan politik.28 Islam sangat menetang praktik dikotomi pendidikan. Menurutnya ilmu tanpa agama akan menjadi bencana. Allah SWT telah memperingatkan di dalam al-Quran surat al-Rum ayat 41 bahwa telah tampak kerusakan di dunia akibat tangan-tangan manusia yang tidak didasari dengan agama. Jika Barat berkembang pesat karena memisahkan diri dari agama, maka Islam justru menjadi mercusuar dunia karena memegang teguh agamanya. Ini terjadi karena sejak awal Islam tidak pernah menolak ilmu pengetahuan. Bagi Islam, Ilmu pengetahuan justru akan membuat agama menjadi kokoh tak tergoyahkan.

Daftar Pustaka Abdul Latief, Dikotomi Pendidikan Agama dan Umum di Indonesia, Jurnal al- Tarbiyyah, Edisi XX, Vol. 1 Juni 2007. Abi Abdillah bin Abi Bakar al-Qurtuby, Al-Jâmi’ li Ahkâmi al-Quran, tt: Muassasah al-Risalah, 2006. Abi al-Qasim Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf ‘an Haqâiqi Ghawamidzi al-Tanzîl fî Wujûhi al-Ta’wîl, tt: Maktabah Abaikan, 1998. Abi al-Qasim Mahmud bin Umar al-Zamakhsyari, Al-Kasyâf ‘an Haqâiqi Ghawamidzi al-Tanzîl fî Wujûhi al-Ta’wîl, tt: Maktabah Abaikan, 1998. Anonim, Madrasah Ibtidaiyah di Tengah Persaingan dengan SDIT, diposkan oleh Madrasah Ibtidaiyah Al Islam Kartasura; Minggu, 30 November 2008. Arief Subhan, Lembaga Pendidikan Islam Indonesia Abad ke-20; Pergumulan antara modernisasi dan identitas, Jakarta: Kencana, 2012.

28 Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), hlm. 165.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Muh Subhan Ashari 71 Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

Baharuddin, Umiarso, dan Sri Minarti, Dikotomi Pendidikan Islam ; Historitas dan implikasi pada masyarakat Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011. Charis Asfiya, Otonomi : Diskriminasi Baru Pendidikan Keagamaan, diposkan pada Senin 29 Oktober 2012 (diunduh dari internet) Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Jakarta: LP3ES, 1991. Kompas, Nasib Guru Agama Kemendiknas Terkatung-katung, Selasa 7April 2009. Masedlolur, Guru dan Calon Guru vs Fakta Nasib Guru Diknas yang Mesti Mengikuti Sertifikasi Guru di Depag, 08 April 2009. M Rusydi, Wacana Dikotomi Ilmu dalam Pendidikan Islam dan Pengaruhnya, Jurnal Al-Banjari, Vol 5, No. 9, Januari-Juni 2006. Maksum, Madrasah Sejarah dan perkembangannya, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Muhammad al-Razi Fahruddin ibnu Umar, Tafsir Fahrur Razi, juz 16, Beirut: Dâr al-Fikr, tt. Mulyadhi Kertanegara, Integrasi Ilmu : Sebuah rekontruksi holistik, Jakarta: Arasy PT Mizan Pustaka/UIN Jakarta Press, 2005. Nur Ahid, Problem Pengelolaan Madrasah Aliyah dan Solusinya, Jurnal Islamica, Vol IV, No. 2, Maret 2010. Nurhayati Djamas, Dinamika Pendidikan Islam di Indonesia Pasca Kemerdekaan, Jakarta: Rajawali Press, 2009. Pius A Partanto dan M Dahlan Al Barry, Kamus Populer Bahasa Indonesia, Surabaya: Arkola, tt. Sekretaris Jenderal Departemen Agama RI, Kebijakan Pembanguna Pendidikan Islam, Jakarta, 16 Februari 2009. Serambi Indonesia, Ratusan Guru PAI 6 Bulan Belum Terima Sertifikasi, 7 September 2012.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 72 Muh Subhan Ashari Kebijakan Dikotomi Pendidikan di Indonesia pada Masa Reformasi

Siti Nurhidayati, Kebijakan Pemerintah Tentang Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan, Jurnal Lentera Pendidikan, Vol. 12, No. 2, Desember 2009. Syamsul Ma’arif, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3ES, 1990. Zuhairini dkk., Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2008.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 73 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Mustapa IAIN Imam Bonjol Padang [email protected]

Abstrak Menurut Esack hermeneutika sudah ada dalam khazanah tafsir Qur’an abad tengah bahkan klasik, meskipun tidak dinyatakan secara defenitif tetapi telah ada secara aplikatif. Dari sini, artikel ini mencoba menelaah tafsir abad pertengahan, Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi. Untuk mengungkapkan kebenaran gagasan Esack tersebut, Apakah sebenarnya hermeneutika telah ada pada masa itu atau tidak? Artikel ini juga akan mengetengahkan manfaat apa yang bisa didapatkan dalam pengembangan kajian keislaman [According Esack hermeneutics that it is already there in the middle of the century repertoire tafsir even classical, though not declared definitive. From that point on, this article attempts to examine medieval interpretation in this case interpretation Mafatih al-Ghaib work Fakhruddin al-Razi. To reveal the truth of the idea Esack, Is hermeneutics actually been there at that time or not? After learning hermeneutic Fakhruddin al-Razi Islamic scholarship may have wealth and finding variants that are beneficial to acknowlege Islamic scholarship.] Kata Kunci: Hermenutika, Fakhruddin al-Razi, Tafsir Mafatih al-Ghaib

A. Pendahuluan Walaupun relevansi hermeneutika terhadap penafsiran al-Qur’an masih sangat muda dibanding perkembangan tafsir itu sendiri, ternyata sebahagian kalangan menganggap bahwa metode ini sangat layak untuk menjawab isu kontemporer saat ini, karena banyak ilmuan Muslim menilai bahwa ilmu tafsir yang selama ini dijadikan acuan dalam memahami al- Qur’an ternyata memiliki berbagai keterbatasan. Aktifitas dalam ilmu tafsir yang menekankan pemahaman teks semata, tanpa mau mendialogkannya

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 74 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi dengan realitas yang tumbuh ketika teks itu dikeluarkan dan dipahami oleh pembacanya, misalnya, mengandaikan bahwa ilmu tafsir tidak menempatkan teks dalam dialegtika konteks dan kontekstualisasinya. Teks al-Qur’anakansulit dipahami oleh berbagai pembaca lintas generasi. Oleh karenanya ilmuan muslim membutuhkan teori hermeneutika tersebut.1. Namun begitulah sebagai metode barang impor dari luar Islam, untuk mengimplementasikan metode ini sudah barang tentu menghadapi tantangan dan penolakan dari sebagian Muslim. Metode ini dicurigai sebagai benda asing yang dapat merusak tatanan keilmuan Islam, dan yang lebih ironisnya lagi sebagian Muslim beranggapan hermeneutika akan merusak ajaran Islam, karena menurut mereka metodologi hermeneutika ini adalah metologi Bibel. Memang benar yang menjadi obyek utama di dalam ilmu tafsir adalah teks al-Qur’an, sedangkan obyek utama hermeneutika pada awalnya adalah teks Bibel, di mana proses pewahyuan antara kedua kitab suci ini berbeda. Dalam hal ini tentu sebagian umat Islam yang menolak hermeneutika akan mempertanyakan dan meragukan kerelevanan dan kebenaran penerapan hermeneutika sebagai salah satu ilmu bantu dalam menafsirkan al-Qur’an. Menurut orang yang menolak hermeneutika ini, keraguan tersebut bisa di atasi dengan argumentasi bahwa meskipun al-Qur’an di yakini oleh sebagian besar umat Islam sebagai wahyu Allah secara verbatim, sementara Bibel diyakini umat Kristiani sebagai wahyu Tuhan dalam bentuk inspirasi, namun bahasa yang digunakan untuk mengkomunikasikan pesan Ilahi kepada manusia adalah bahasa manusia yang bisa diteliti baik melalui hermeneutika maupun ilmu Tafsir.2 Dan penulis pernah mengikuti perkuliahan bersama salah seorang dosen di UIN Sunan Kalijaga dimana tempat penulis menimba ilmu (Dr. phil. Sahiron Syamsuddin, M.A.), beliau mengatakan, hermeneutika tidak menggantikan Ulumul Qur’an, tapi hanya menjadi pelengkap saja. Kemudian beliau juga mengatakan al-Qur’an memang sakral, tetapi

1 Sibawaihi, Hermeneutika al-Quar’an Fazlur Rahman, (Yogyakarta: Jalustra, 2007), hlm.11. 2 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an…, hlm. 72-73.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 75 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi metode tidak ada yang sakral, Tafsir, Takwil atau yang kita kenal dengan Ulumul Qur’an juga tidak sakral. Jadi metode apapun jenisnya asalkan itu bisa mengintrepretasikan makna teks dengan baik maka boleh-boleh saja. Menurut Fakhruddin Faiz hermeneutika pada dasarnya merupakan satu metode penafsiran yang berangkat dari analisa bahasa, kemudian melangkah kepada analisa konteks, untuk selanjutnya ”menarik” makna yang didapat ke dalam ruang dan waktu saat pemahan dan penafsiran tersebut dilakukan.3 Jika pendekatan ini dipertemukan kata Fakhruddin Faiz, dengan kajian teks al-Qur’an maka persoalan dan tema pokok yang dihadapi adalah bagaimana teks al-Qur’an hadir di tengah masyarakat, lalu di pahami, ditafsirkan, diterjemahkan dan didialogkan dalam kerangka realitas historis yang menjadi konteksnya.4 Berangkat dari analisa makna dan bahasa inilah minimal akan ditemukan konteks ayat dan kontekstualisasinya dengan zaman sekarang. Kiranya dengan cara demikian, diharapkan pesan dan isi kandungan al-Qur’an dapat terungkap, sehingga dapat digunakan sebagai pedoman dan panduan hidup dalam Islam.5 Tanpa kesadaran mengenai urgensi interpretasi menggunakan hermeneutika, maka menurut hemat penulis seseorang akan kehilangan kesempatan untuk menemukan dimensi intan yang disetiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan yang yang terpancar dari sudut yang lain, dengan kata lain telah kehilangan kesempatan untuk mendapatkan berbagai dimensi makna yang relevan dalam al-Qur’an untuk konteks kontemporer.6

3 Fakhruddin Faiz, “Hermeneutika Moderen” dalam M. Amin Abdullah dkk, Tafsir Baru Studi Islam dalam Era Multi Kultural (Yogyakarta: Panitia Dies IAIN Sunan Kalijaga, 2002), hlm. 48. 4 Fakhruddin Faiz, “Hermeneutika Moderen…, hlm. 48. 5 Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks (Yogyakarta: eLSAQ, 2005) hlm. xvii. 6 Abdul Mustaqim, “Elemen-elemen Hermeneutika”, Upaya Integrasi Hermeneutika Dalam Kajian Qur’an dan Hadis Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm.72.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 76 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Gagasan Esack bahwasanya hermeneutika itu sebenarnya sudah ada dalam khazanah tafsir Qur’an klasik, meskipun ada hambatan-hambatan tertentu dan tidak dinyatakan secara defenitif. Dari pada itu, penulis dalam artikel ini mencoba menelaah tafsir abad pertengahan (dalam hal ini tafsir Mafatih al-Ghaib karya al-Razi, penulis mencoba menghadirkan hermeneutika dalam kitab Mafatih al-Ghaib, untuk mengungkapkan kebenaran gagasan Esack tersebut, Apakah sebenarnya hermeneutika telah ada pada masa itu atau tidak?. Namun demikian, secara teoritis, jelas bahwa hermeneutika pada masa tafsir abad pertengahan ini tentu belum dikenal di dunia interpretasi teks Islam, akan tetapi dalam ranah aplikatif penafsiran menurut hemat dan pemahaman penulis al-Raziy dalam hal ini juga sebenarnya sudah mencoba menafsirkan al-Qur’an lebih dari sekedar teks, namun telah melampaui apa yang ada diluar teks. Inilah yang membuat penulis tertarik untuk menelitihermeneutika dalam kitab Mafatih al-Ghaib atau kitab al-Kabir. Karena memang kalau ditelusuri lebih serius kitab ini bisa dikatakan sebuah kitab tafsir yang dekat dengan hermeneutika dan filsafat. kitab ini banyak memiliki kelebihan, dianntaranya di dalam kitab ini terdapat temuan-temuan ilmiah untuk menunjukkan kemukjizatan al- Qur’an dalam bidang sains.7Kemudian kitab ini juga banyak menghadirkan pandangan-pandangan Munasabah (korelasi) ayat-ayat dan korelasisurat. Kitab mafatih al-Ghaib ini lebih banyak menyebutkan korelasi satu ayat dengan ayat lainnya, dan juga menyebutkan korelasi surat dengan surat lainnya, kemudian terdapat ilmu-ilmu eksakta dan filsafat, ilmu falak, fisika, biologi metematika, astronomi didalam tafsir ini, dan didalam tafsir ini banyak ditemukan pendapat-pendapat filsof untuk mengemukan pendapatnya atau menolak suatu pendapat, yang semua ini merupakan unsur-unsur hermeneutika.8Oleh karenanya menurut penulis kitab mafatih al-Ghaib ini

7 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengenbangan Ulumul Qur’an... hlm.69. 8 Mani’ Abdul Halim Mahmud, Metodologi Tafsir Kajian komprehensif Metode Para ahli Tafsir (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), hlm.323, Lihat juga, Yunus Hasan Abidu, Tafsir Al-Qur’a>n ; Sejarah Tafsir dan Metode Para Mufassir, Judul asli, Dirasat wa Mabahits fi Tarikh al-Tafsir wa Manahij al-Mufassirun, trj: Qodirun Nur dan Ahmad Musyafiq(Jakarta: Media Utama, 2007), hlm.108.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 77 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi sangat relevan dikaji untuk mencoba mengungkaphermeneutika, untuk membuktikan kalau tokoh mufassir dahalu pun telah menghadirkan pandangan-pandangan hermeneutika9. Dan kenapa penulis fokuskan ke Surat al-Kautsar, karena menurut penulis Surat ini bisa merepresentasikan pemikaran hermeneutika dalam kitab Mafatih al-Ghaib, surat ini meskipun dikatakan sangat pendek tapi surat ini sangat menarik untuk diteliti sebut saja seperti terdapat korelasi surat dengan surat sebelumnya. penggunaan istilah Lathaif, Fawaid, dan Isyarhahyang berulang-ulang.10

B. Hermeneutika Fakhruddin al-Razi Dalam Kitab Mafatih al-Ghaib11 Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai hermenutika yang melingkupi dalamkitab Mafatihal-Gaib, ada hal penting yang harus diketahui terlebih dahulu mengenai penggunaan istilah yang ada dalam tafsir ini, Istilah-istilah yang digunakan adalah,fawaid, lathaif,dan isyarah. Ketiga istilah ini perlu dijelaskan untuk mengetahui pola psikologis berfikiryang dibangun oleh Fakhruddin al-Razi.

9 544-606 H, 1150-1210 M. lihat dalam Muhammad husein al-Azahabi, al-Tafiir wa al-Mufassirun, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2003), hlm.206. 10 Muhammad alRaziy Fakhruddin al-Din Ibn ‘Allamah, selanjutnya dikenal dengan al-Raziy, Mafatih al-Ghayb atau dikenal dengan tfsir al-Kabir (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid 32, hlm.135. 11 Fakhruddin al-Raziy adalah gelar (laqob) seorang ulama besar yang bernama Abu Abdillah ibn Umar ibn al-Husen ibn al-Hasan, ibn Ali al-Tamimi al-Bakri al-Qurasyi al- Thabarstani al-Raziy. Selain dikenal dengan gelarnya Fakhruddin ia juga dikenal dengan nama Ibn Khatib al-Ray, karena ayahnya terkenal sebagai seorang khatib di al-Ray. Ia dilahirkan di kota al-Ray pada tanggal 25 Ramadhan tahun 544 H. kemudian Ia wafat di Harrah pada hari senin tepatnya pada 1 syawal 606 H, pada saat idul fitri. Artinya Ia meninggal dunia pada umur 63 tahun.Dirinya dinisbahkan ke al-Bakri, karena ia adalah salah seorang keturunan sahabat Rasulullah sekaligus al-Khulafa al-Rasyidin yang pertama, yakni Abu Bakar al-Shidiq. Dan al-Raziy merupakan nisbah kepada tempat kelaahirannya yaitu al-Ray.Lihat Sholah ‘Abd al-Fattah Al-Khalidiy (selanjutnya disebut dengan al-Khalidiy), Ta’rif al-Darin bi Manahij al-Mufassirin (Damsyiq: Dar al-Qalm, 2002), hlm. 464, lihat juga Muhammad al-Raziy Fakhruddin Ibn al-‘Allamah (selanjutnya disebut dengan al-Raziy), Tafsir al-Fakhr al-Raziy (terkenal dengan Tafsir al-Kabir atau Mafatih al-Ghayb) (Beirut: Dar al-Fikr, 1995), jilid I, hlm. 4

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 78 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Istilah Fawa’id, sejauh pemahaman penulis, lebih pada pembahasansurat dari segi term. Artinya, Fakhruddin al-Razimencoba memahami makna yang terkandung dari setiap term. Dalam hal ini, Fakhruddin al-Razi menjelaskan berupa makna gramatikal12, makna asli dari sebuah term. Fakhruddin al-Razi mencoba memahamai makna gramatikal ‘inna, a’taina, al-Kausar, al-abtar, dan lain-lain. Sementara istilah Latha’ifberasal dari kata latafa-yaltafu-latfan. al- Latha’ifadalah salah satu dari nama dan sifat Allah Yang Maha Lemah Lembut. Menurut Ja’far bin Muhammad, bahwa kitab Allah swt terdiri dari empat hal yaitu, al-Ibarah, al-Isyarah, al-Latha’if, dan al-Haqaiq, al-Ibarah dapat dicapai oleh orang-orang awam, al-Isyarah dipahami orang-orang khawwas atau orang-orang khusus, al-Latha’ifdipahami oleh auliya’ atau para wali, sementara al-Haqaiqhanya bisa dipahami oleh para Nabi.13Selanjutnya ada istilah al-lathif min al-kalam, artinya adalah magmada min al-kalam (sesuatu yang tersirat dari ucapan).14 Dengan demikian, melalui istilah latha’if, Fakhruddin al-Razimenyatakan bahwa sebuah tafsir harus mampu mengambil atau memahami apa-apa yang tersirat dari sebuah teks, atau dengan istilah lain ‘makna di balik teks’. Dalam menjelaskan latha’if(makna di balik teks) inilah, Fakhruddin al- Razikemudian membaginya pada istilah munasabah dan isyarah. Singkatnya, sejauh pemahaman penulis, secara tidak langsung, Fakhruddin al- Razi menyebut bahwa makna di balik teks itu berkaitan dengan makna munasabahantara makna bathin dan makna isyari.

12 Hermeneutika gramatikal adalah penafsiran yang didasarkan pada analisa bahasa. Dalam hal ini seorang mufassir wajib memahami dan menguasai aspek-aspek bahasa. Hermeneutika ini dikenalkan oleh Schleiermacher sebagai hermeneutika yang berusaha untuk memahamai makna obyektif sebuah bahasa. Lihat dalam Sahiron Syamsudin, Hermeneutika dan Pengembangan (Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009), hlm. 35. 13 Burhanuddin Abul Hasan Ibrahim bin Umar al-Biqa’i, Nazmu al-Durar f Tanasubi al-ayat wa al-Suwar (Mesir: Dar al-Kitab al-Islami), Jilid I, hlm. 4. 14 Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, dalam CD Al-Maktabah al-Syamilah (Ridwana Media). Jilid 9, hlm. 316.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 79 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Contoh Hermeneutika Fakhruddin al-Razi yang terdapat dalam suarat al-Kausar adalah:

1. Penggunaan Asbab al-Nuzul (Konteks Eksternal Teks) Kesadaran untuk menghubungkan antara teks dan konteks masa lalu tersebut juga dimiliki oleh Fakhruddin al-Razi, sebagai seorang sosok mufassir kenamaan.Penggunaan asbab al-Nuzul oleh Fakhruddin al-Razi merupakan contoh hermeneutika dalam tafsirnya ketika menafsirkan ayat-ayat al-Qur’an. Asb>b al-Nuzul dalam hal ini penulis namakan dengan istilah konteks eksternal teks.15 Cara kerja Fakhruddin al-Razi dalam halasbabal-Nuzul salah satunya terlihat ketika beliau menafsirkan ayat: ِ ِ ِ ِ ( إنَّا أَْعطَييْنَ َاك الْ َكْو�يََر )1( فَ َص ِّل لَربِّ َك َوانَْْر )2( إ َّن َشانئَ َك ُهَ و ْاألَبيْتيَُر )3 Dalam menafsirkan ayat ini, ternyata Fakhruddin al-Razi sangat memperhatikan konteks disaat ayat ini diturunkan. Dengan metode ini, tentunya diharapkan makna sebuah teks bisa ditemukan (original meaning). Dalam ayat ini, yang menjadi fokus utama Fakhruddin al-Razi adalah pemaknaan term ‘al-abtar’. Dalam menjelaskan asbab al-Nuzul surat al-Kausar, Fakhruddin al- Razi mengutip beberapa riwayat. Namun demikian, dari beberapa riwayat tersebut, pada hakikatnya Nabi Muhammad disebut sebagai orang yang terputus ‘abtar’ dikarenakan anaknya ‘Abdullah meninggal. Diriwayatkan bahwa suatu ketika al-‘As bin Wa’il bertemu bersama Rasul ketika keluar dari masjid, kemudian mereka berdua mengobrol. Setelah itu, para kaum Quraisy bertanya pada Wa’il: “Siapa gerangan temanmu mengobrol”?.

15 Istilah ini biasa digunakan oleh Abdul Mustaqim, lihat, ‘Elemen-elemen Hermeneutika Tafsir al-Razi’, dalam Upaya Integrasi Hermeneutika dalam Kajian Qur’an dan Hadis Teori dan Aplikasi (Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009), hlm. 75.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 80 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Wa’il menjawab dia adalah ‘al-abtar’. Selanjutnya diriwayatkan juga bahwa al-‘As bin Wa’il berkata bahwa Muhammad adalah ‘al-abtar’ karena anaknya meninggal, sehingga tidak akan ada lagi yang menggantikan posisinya. Dari asbab al-Nuzul ayat di atas, Fakhruddin al-Razi mencoba memahami makna ‘al-abtar’. Dalam hal ini, Fakhruddin al-Razi menganalisanya dari segi penggunaan kata tersebut. Makna ‘al-abtar’ dijelaskan oleh Fakhruddin al-Razi dengan berbagai analogi. Pertama, menurut Fakhruddin al-Razi, pendapat yang menyatakan bahwa Muhammad dianggap ‘al-abtar’ karena anaknya meninggal, sehingga tidak ada lagi yang akan menggantikan posisinya, akan tertolak, karena pada hakikatnya, kafir Quraisylah yang ‘abtar’ karena tidak memiliki pengikut. Sedangkan pengikut Nabi Muhammad akan terus bertambah hingga hari Kiamat. Kedua, jika yang dimaksud adalah agama Islam yang tidak akan berkembang, ternyata pada kenyataannya bendera Islam sampai sekarang masih berkibar dan banyak diterima orang. Ketiga, jika Muhammad disebut abtarkarena tidak memiliki penolong, maka Allah, Jibril dan orang-orang shaleh adalah penolong baginya.16 Dari penjelasan mengenai makna ‘abtar’ di atas, Fakhruddin al- Razi sebenarnya sudah mencoba memaknainya dengan melampaui teks yang ada, atau bahkan melampaui makna konteks yang ada pada saat itu. Hal ini terlihat dari pemaknaan Fakhruddin al-Razi ‘abtar’yang lebih mengedepankan nilai yang dimaksud oleh Allah. Oleh sebab itu, hemat penulis, melalui asbab al-nuzulayat ini, Fakhruddin al-Razitelah mencoba mencari ‘makna objektif’ atau original meaning dari sebuah teks (dalam hal ini makna al-abtar). Lebih dari itu, ternyata Fakhruddin al-Razi juga telah mencoba memaknai teks sesuai dengan konteks pada saat itu. Fakhruddin al-Razi tidak hanya memaknai abtar sebagai orang yang terputus keturunannya, namun baginya yang dimaksud terputus di dalam ayat ini bukan Rasul, tapi mereka yang mencela Rasul karena tidak memiliki pengikut, sehingga mereka akan terputus dan tidak akan dikenang oleh

16 Lebih lengkapnya mengenai pemaknaan abtarselanjutnya bisa dilhat dalam Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafatih al-Gaib, hlm. 132-134.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 81 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi orang setelahnya. Sementara pengikut Rasul semakin marak di muka bumi ini, dan Rasul saw, akan selalu diingat dan dikenang hingga hari Akhir. Hal ini sejalan apa yang telah digambarkan oleh Schleiermacher bahwa salah satu aspek yang menjadikan tolok ukur untuk menemukan original meaning adalah memahami psikologi pengarang, karena ketika seorang penafsir hendak mendialogkan teks, maka problem hermeneutika akan segera muncul, yaknibahwa al-Quran hanya sebuah teks yang tersusun pada waktu lampau sehingga tidak familier atau asing dengan pembaca sekarang, tidak akan ada yang mengetahui secara maksud dibalik teks, kecuali pemilik teksnya sendiri.Sementara pemilik teks tidak ada sehingga tidak bisa dikomfirmasi. Oleh karenanya, dalam hermeneutika, seorang pembaca diharuskan dapat menyelami psikologi pemilik teks agar dapat memahami maksud si penulis teks.Dalam konteks al-Qur’an, bukan berarti pengarang al-Quran (Allah) itu sendiri, namun Muhammad sebagai media penghubung antara Allah dan manusia. Oleh sebab itu, penulis melihat bahwa konteks yang melingkupi Rasul, sebagai penerima wahyu, bisa dijadikan pertimbangan untuk memahami maksud wahyu dari Allah. Konteks semacam ini memang betul-betul harus menjadi pertimbangan dalam memaknai sebuah wahyu, agar wahyu ilahi bisa dipahami secara membumi.Banyak hal dalam al-Qur’an semuanya disandarkan kepada Muhammad saw; seperti: ِ ِ �َاأَ�يَُّها الُْمَّد�يُِّر )1( قُْم فَأَنْذْر )2( َوَربَّ َك فَ َكبيِّْر )3( َو�يَابَ َك فَطَِّهْر )4( َو ُّالرْجَز ِ ِ ِ ( فَ ْاه ُجْر )5( َوَل َتْنُ ْن �َ ْستَ ْكثُر )6( َولَربِّ َك فَ ْاص ْرب )7

Artinya: “Hai orang-orang yang berselimut.bangunlah dan berikanlah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaianmu bersihkanlah. Dan perbuatan dosa tinggalkanlah. Dan janganlah kamu member (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah”.(Q.S. Al-Mudassir: 1-7)

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 82 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

َّ ِ َّ ََّّ ََّّ َعبَ َس َو�يََول )1( أَْن َجاءَه ُ ْاألَ ْعَمى )2( َوَما �ُْدر َ�ك لََعلهُ �يَزكى )3( أَْو �َذكُر ِّ َّ فيَتيَنيَْفَعهُ الذْكَرى )4( أََّما َم ِن ْاستيَْغَن )5( فَأَنْ َت لَهُ �َ َصَّدى )6( َوَما َعلَْي َك أَل ) �يََّزَّكى )7( َوأََّما َم ْن َجاءََك �َ ْسَعى )8( َوُهَو َيْ َشى )9( فَأَنْ َت َعْنهُ �يَلََّهى )10 َّ ِ ِ ( َكل إنيََّها �َْذكَرةٌ )11

Artinya: “Dia (Muhammad bermuka masam) dan berpaling. Karena telah datang seorang buta kepadanya. Tahukah kamu barabg kali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu member manfaat kepadanya? Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup. Maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada (celaan ) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapaun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran). Sedang ia takut kepada (Allah). maka kamu mengabaikannya. Sekali-kali jangan (demikian) sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhanmu itu adalah suatu peringatan”.(Q.S. ‘Abasa: 1-11)

Selain kedua ayat di atas, banyak ayat lainnya yang menggambarkan bahwa Muhammad saw.sebagai media penghubung. Oleh karena itu, Rasul dan konteks yang meliputinya menjadi pertimbangan yang sangat penting.Inilah yang disebutkan Fazlurrahman sebagai asbab al-Nuzul makro dan asbab al-Nuzul mikro. 2. Penggunaan Ilmu Munasabah (Internal relationship)17

17 Langkah-langkah yang ditempuh Fakhruddin al-Razi untuk menemukan adanya munasabah ayat dan surat dalam al-Qur’an adalah: pertama, melihat tema sentral dari surat tertentu, kedua, melihat premis-premis yang diperlukan untuk mendukung tema sentral itu, ketiga, mengadakan kategorisasi premis-premis itu berdasarkan jauh dan dekatnya kepada tujuan, keempat, melihat kalimat-kalimat (pernyataan-pernyataan) yang asing mendukung di dalam premis itu. Lihat, Abdul Qadir Ahmad Atha, “Pengantar” dalam kitab Asrar Tartib al-Qur’an (Dar al-Itisam, 1978), dalam Tesis Endad Musadad, Munasabah dalam Tafsir Mafatih

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 83 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Menurut Abdullah al-Khatib dan Musthafa Muslim Orang yang pertama kali menjadikan munasabah sebagai alat atau perangkat adalah adalah Fakhruddin al-Razi. Kemudian dilanjutkan oleh al-Naisaburi yang hidup pada abad ke 7 hijriyah kemudian al-Zarkasyi.18 Fakhruddin al-Razi dikenal sebagai mufassir yang sangat memperhatikan urgensi munasabah, baik munasabah antar ayat, maupun antar surat. Bahkan Fakhruddin al- Razi tidak hanya menjelaskan satu aspek munasabah, melainkan lebih dari itu. Menurut al-Biqa’i bahwa munasabah itu banyak ditinggalkan oleh kebanyakan mufassir karena kerumitan untuk memperoleh maknanya, namun salah seorang sosok yang sangat mendalami munasabahini adalah Fakhruddin al-Razi.19 Inilah contoh lain elemen hermeneutika Fakhruddin al-Raziuntuk mempertajam analisis penafsirannya. Dalam hal ini penulis namakan dengan istilah “hubungan inrernal” (Internal Relationship).yaitu hubungan internal dalam al-Qur’an yang sering juga di istilahkan dengan al-Qur’an yufassiru ba’dhan (al-Quran menafsirkan ayat yang satu dengan ayat yang lain).20 Dalam Tulisan ini, penulis tidak mampu memaparkan secara panjang lebar pendapat Fakhruddin al-Razi mengenai munasabah, namun cara kerja munasabah juga telah terlihat pada pembahasan bab tersendiri di atas . Fakhruddin al-Razi adalah salah satu di antara mufassir yang hidup di abad pertengahan yang sangat memperhatikan munasabah dalam al- Qur’an.21 Oleh sebab itu, untuk mendukung pentingnya munasabah dan membuktikan bahwa Fakhruddin al-Razi memiliki perhatian khusus

al-Gaib, Tesis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2005, hlm. 119. 18 Abdullah al-Khatib, Musthafa Muslim, al-Munasabat wa as|saruha ‘ala tafsiri Qur’anu al-Karim, dalam majalah universitas asyariqoh lil ulum asyar ‘iyyah wa insaniyah, edisi II volume ke II, 2005, hlm. 4. 19 Burhanuddin Abul Hasan Ibrahim bin Umar al-Biqo’I, Jilid I, hlm. 6. 20 Istilah ini biasa dipakai oleh Yusuf Rahman dalam, “Unsur-unsur Hermeneutika Tafsir al-Baidhowi” dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur’an, Nomor 3/VII, 1997; hlm. 36. 21 Baca Muhammad Husein al-Zahabi, al-Tafsir wa al-Mufasirun..., hlm. 209.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 84 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi terhadap munasabah, maka penulis akan menyodorkan contoh munasabah mengenai penafsiran surat al-Kaus|ar. Meurut Fakhruddin al-Razi surat al-Kaus\aradalah penyempurna bagi surat-surat sebelumnya sekaligus menjadi dasar atau pondasi bagi surat-surat setelahnya.22 Menurutnya, jika dalam surat al-Ma’un lebih menekankan keempat sifat-sifat orang munafiq, seperti bakhil atau kikir ‘yadu’u al-yatim wa la yahuddu ‘ala tha’am al-miskin’, meninggalkan shalat ‘allazina hum ‘an shalatihim sahun’, ria dalam melaksanakan salat ‘allazina hum yura’un’, serta enggan mengeluarkan zakat ‘wa yamna’un al-ma’un’. Oleh sebab itu, dalam surat al-Kausar Allah juga memerintahkan empat hal, sebagai lawan dari sifat munafiq seperti dalam surat al-Ma’un. Ayat ‘inna a’t}ainaka al-Kausar’; sesungguhnya Kami telah memberimu banyak nikmat, maka banyak-banyaklah memberi dan jangan berprilaku bakhil, ‘fashalli’; selalulah mengerjakan shalat, ‘lirabbika’ shalatlah demi mencapai ridha Tuhanmu dan jangan karena riya untuk manusia, ‘wa inhar’; tunaikanlah selalu zakat atau berkurbanlah dan banyaklah bersedekah dengan daging kurban. Selanjutnya surat ini ditutup dengan jaminan bahwa orang-orang munafik yang memiliki keempat sifat jelek seperti dalam surat al-Ma’un akan terputus ‘abtar’ karena mereka akan meninggal tanpa meninggalkan bekas dan pengaruh bagi orang lain, sementara Nabi Muhammad dalam hal ini yang sering dicaci sebagai orang yang terputus ‘abtar’ malah akan selalu abadi dan dikenang selamanya karena segala kebaikannya.23 Dalam pemaknaan munasabah ini, Fakhruddin al-Razi juga mencoba melihat aspek yang membangun kenapa Allah menurunkan surat al- Kausarini. Menurutnya, Allah dalam hal ini bertujuan untuk menghibur Rasul yang sedang dalam kondisi sedih. Mengenai pemaknaan ini, Fakhruddin al-Razi mencoba memahami kondisi Rasul ketika itu. Tentunya untuk menjelaskan hal ini, Fakhruddin al-Razi mencoba memahami apa

22 Fakhruddin al-Razi. Tafsir Mafatih al-Gaib... jilid 32, hlm. 117. 23 Fakhr al-Din Fakhruddin al-Razi. Tafsir Mafatih al-Gaib... hlm. 117.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 85 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi yang diinginkan oleh Allah mengenai surat al-Kausarini. Dengan demikian, Fakhruddin al-Razi mencoba menarik runut surat-surat sebelumnya yang menurut Fakhruddin al-Razi adalah penguat bagi QS. al-Kaus|ar. Dalam hal ini, Fakhruddin al-Razi berkata bahwa sesungguhnya surat ini penyempurna bagi surat-surat sebelumnya dan sekaligus sebagai dasar atau pondasi bagi surat-surat setelahnya. Singkatnya penulis memahami bahwa Fakhruddin al-Razi ingin mengatakan bahwa Allah mencoba menghibur Rasul dan memberikan kedamaian serta ketenangan jiwa, kemudian pada akhirnya ditekankan bahwa Rasul benar-benar harus menghilangkan rasa takut dan rasa gentar terhadap musuh-musuhnya. Dalam surat sebelumnya al-}uha,al-Insyirah, al-Tin, al-‘Alaq, al-Qadr, lam yakun, dan surat al-Zalzalah, dan berbagai pujian lainnya dalam beberapa surat sebelumnya, maka Allah pun berfirman “inna a’tainaka al-Kausar”. Dengan kata lain Allah berkata, sesungguhnya Kami telah memeberimu beberapa kenikmatan yang banyak sebagaimana dalam beberapa surat sebelumnya, yang mana setiap nikmat tersebut lebih besar daripada kenikmatan dunia dan isinya. Dengan demikian, sibukkanlah dirimu dengan ibadah pada Allah, memberi bimbingan yang terbaik pada hamba-hamba-Nya. Melalui ayat ini pula, Allah mengingatkan Nabi, bahwa akan muncul perlawanan dan permusuhan bagi mereka yang tidak meyakini Nabi. Dengan demikian, ketika permusuhan muncul, maka wajar kalau Nabi akan mendapatkan ancaman, sehingga menyebabkan rasa takut dan gentar dalam diri Nabi. Oleh sebab itulah, Allah menurunkan QS. al-Kausarini yang berfungsi untuk menghilangkan rasa takut Rasul.24 Menurut Fakhruddin al-Razi pula suratal-Kausar ini berkaitan dengan tawaran kafir Quraisy ketika Rasul berdakwah. Pada saat itu, beliau ditawarkan menjadi orang terkaya, jika membutuhkan harta. Jika menginginkan wanita, akan dinikahkan dengan seorang wanita paling mulia. Dan jika ingin jabatan, akan dijadikan dan dinobatkan sebagai ketua. Maka Allah menurunkan ayat ini.

24 Fakhr al-Din Fakhruddin al-Razi. Tafsir Mafatih al-Gaib..., hlm. 120.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 86 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Pendapat Fakhruddin al-Razi ini juga disetujui oleh Sayyid Hawa dengan mengutip pendapat al-Alusi, Sayyid Hawa mengemukakan bahwa munasabah yang sama seperti yang di tulis Fakhruddin al-Razi di atas berkaitan dengan tema pokok kedua surat tersebut yang amat serasi (al-munasabah al-‘ajubiyah) dimana satu sama lain saling menjelaskan keterkaitannya. Sehubungan dengan itu Sayyid Hawa berpesan kepada para pembaca untuk tidak mengabaikan keterkaitan hubungan kedua surat ini.25

3. Fawaid Sebagai Gramatikal atau Original Meaning Dengan hermeneutika ini, seorang mufasir mencoba untuk memahami original meaning. Dalam hal ini, Fakhruddin al-Razi seringkali mencoba memaknai term yang ada dalam al-Qur’an. Misalnya dalam penafsirannya terhadap surat Al-Kaus\ar. Menurut Fakhruddin al-Razi, kata inna kadang dimaknai dengan jamak dan kadang dimaknai sebagai ta’zim. Namun karena ayat tersebut menunjukkepada Allah, maka tidak mungkin kata inna dimaknai dengan jamak, kecuali jika yang dimaksud adalah usaha yang telah dihasilkan oleh malaikat Jibril, Mikail dan para Nabi yang terdahulu. Sementara itu, jika dimaknai dengan ta’zim, maka yang dimaksud adalah besarnya nikmat yang diberikan oleh Allah. Yang memberi adalah Pencipta langit dan bumi, sedangkan yang diberi adalah al-Kausar. Al-kausaradalah isim mubalaghah dari al-kasrah.Adapun al-abtar adalah sesuatu yang ekornya terputus, disebut juga bagi orang yang tidak punya keturunan dan pengikut. Atau juga orang yang tidak punya kebaikan.26 Kemudian, Fakhruddin al-Razi juga berkata bahwa penggunaan term ‘a’thainaka’ sebagai wujud penghargaan kepada Rasul. Oleh sebab itu, Allah tidak menggunakan term ‘al-itha’. Selanjutnya fa yang ada dalam term

25 Sayyid Hawa, Asas al-Tafsir (Daelan al-Salam, 1989), dalam Tesis Endad Musadad, Munasabah dalam Tafsir Mafatih al-Gaib... hlm. 130-131. 26 Fakhruddin al-Razi. Tafsir Mafatih al-Gaib... hlm. 133.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 87 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

‘fashalli’ adalah fa sababiyah,yang berarti bahwa Rasul harus melaksanakan shalat demi mencapai ridha Allah, karena telah diberikan kenikmatan yang luar biasa banyaknya.27 4. Latha’if sebagai Makna di Balik Teks Dalam surat al-Kausar, Fakhruddin al-Razi membagilatha’ifmenjadi dua.Latha’if pertama, sebagaimana sudah dijelaskan pada sub bab munasabah. Artinya, bahwa ada makna yang tersirat antara penjelasan antara orang munafik, sebagaimana tertera dalam surat al-Ma’un dengan surat al-Kausarsebagai lawan dari perilaku orang munafik. Selanjutnya,latha’if yang kedua terdapat dalam makna spritual surat. Menurut Fakhruddin al-Razi, surat al-Kausaradalah surat yang menjelaskan tingkatan orang yang melakukan perjalanan menuju Allah. Dalam hal ini, ada tiga tingkatan. a. Tingkat paling tinggi, yaitu mereka yang hati dan ruhnya tenggelam dan larut bersama nuratau cahaya Allah. b. Tingkat kedua, yaitu mereka yang sibuk dengan ibadah pada Allah dengan berbagai bentuk ibadah jasmani. c. Tingkat ketiga, derajat paling rendah,yaitu mereka yang enggan jiwanya serta sibuk dengan hal-hal yang bersifat jasmani dan syahwat yang bersifat sementara dan duniawi.28

Menurut hemat penulis, penggunaan istilah latha’if terhadap penafsiran Fakhruddin al-Razimerupakan salah satu praktik hermeneutika. Jikalau meminjam metodologi yang telah digambarkan oleh Schleiermacher, seseorang tidak akan bisa memahami sebuah teks hanya sebatas konsentrasi pada aspek bahasa saja, melainkan juga dengan memperhatikan aspek ‘kejiwaan’ pengarangnya. Dalam mengklafikasikan corak tafsir al-

27 Fakhruddin al-Razi. Tafsir Mafatih al-Gaib... hlm. 131. 28 Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafatih al-Gaib... hlm. 117.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 88 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Qur’an, penafsir juga harus melihat aspek pendekatan lain yang berada di luar bahasa, yaitu aspek alam pikiran dan pra-anggapan sang penafsir itu sendiri, atau apa yang disebut oleh Richard E. Palmer dalam tradisi heremeneutiknya sebagai psychological side of interpretation. 29 Memang, seorang penafsir teks harus memahami seluk beluk pengarangnya. Demikian juga dalam posisinya sebagai pisau analisis, pendekatan bahasa tidak serta merta melahirkan keseragaman pemahaman maupun corak studi yang dihasilkan. Karena dibalik pendekatan tersebut, masih ada faktor dominan lain yang berpengaruh terhadap sebuah karya di bidang tafsir, yaitu alam pikiran (state of mind) dan pra anggapan (pre- assumtion) yang melingkupi sang pengkaji. Perbedaan yang melatarbelakangi corak suatu tafsir antara lain diakibatkan oleh alam pikiran yang melingkupi masing-masing penafsir,terutama metodologi yang digunakannya.30 Fakhruddin al-Razi hidup masyarakat Islam pada era abad pertengahan, dimana masa itu menjamur berbagai aliran pemikiran. Pada masa itu, banyak perseteruan intelektual antara berbagai macam aliran, baik filsafat, kalam, maupun lainnya. Dalam bidang teologi, lahir beberapa aliran pemikiran, seperti Syi’ah, Mu’tazilah, Karamiyyah dan sebagainya. Dengan kelompok-kelompok kaum teologi inilah, Fakhruddin al-Razi sering beradu argumen dalam rangka membela paham Ahlus Sunnah yang dihormati Imam al-Asy’ari. Dalam sebuah masjid di kota Hearat, misalnya, Fakhruddin al-Razi beradu pendapat dengan pemimpin Karamiyyah,Abdul Majid bin Qudwah. Selama dalam percakapan dengan pemimpin Karamiyyah tersebut, Imam Fakhruddin al-Razi mengkritik tajam pemahaman-pemahaman yang dikemukakan kaum Karamiyyah yang dinilainya lemah. 31 Dengan demikian, bisa dimengerti jika di dalam tafsirnya, Fakhruddin al-Razi telah memasukkan elemen-elemen hermeneutika untuk melakukan

29 Hilmat Latief, Nasr Hamid Abu Zaid... hlm. 2. 30 Hilman Latief, Nasr Hamid Abu Zaid... hlm. 2. 31 Fakhruddin al-Razi, Ruh dan Jiwa: Tinjauan Filosofis dalam Perspektif Islam, dalam Endad Musadad, Munasabah dalam Tafsir Mafatih al-Gaib... hlm. 69-70.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 89 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

“pembacaan” teks al-Qur’an secara kreatif, baik dalam konteks untuk menafsirkan ayat-ayat yang terkait dengan polemik teologi untuk membela madzhab teologinya, yang dalam persoalan kalam cendrung membela Faham ahlusunnahwaljama’ah,khsususnya Asy’ariyah. Untuk kepentingan tersebut, Fakhruddin al-Razi menguraikan berbagai pendapat ahli kalam dan kemudian membantahnya dengan pendapat Asy’ariyyah. Hal ini bisa dilihat, misalnya saat Fakhruddin al-Razi menafsirkan surat Fus}ilat ayat 2-4. Dalam kaitannya dengan ayat tersebut, muncul persolan mengenai apakah al-Qur’an itu qadim atau hadis, dan makhluk atau bukan makhluk. Fakhruddin al-Razi menjelaskan secara panjang lebar penafsiran orang Mu’tazilah tentang ayat tersebut. Berdasarkan ayat ini, kelompok Mu’tazilah berpendapat bahwa al-Qur’an itu makhluk dengan alasan:peratama, masalah mensifati al-Qur’an dengan keadaan turunnya secara berangsur- angsur itu dapat dirasakan dan dibuat dari suatu keadaan, kedua, al-tanzil adalah isim masdar, dan masdar adalah maf’ul mutlak, ketiga, Allah mensifati al-Qur’an dengan menggunakan bahasa Arab. Sehingga yang demikian itu tidak pantas disebut qadim. Fakhruddin al-Razi menanggapinya dengan ungkapan:

ان كل هذه الوه اليت ذكر توه عائدت ال اللغة وايل احلورف والكلمات وهي عندنا احمد�ة خملوق امنا الذي ندععو قدمه شيء اخري من هذه ال لفاط.32

semua yang dikemukakan oleh Mu’tazilah hanyalah وMaksudnya permasalahan bahasa, huruf, dan kata yang termasuk baru dan makhluk, padahal ke-qadim-anal-Qur’an merupakan sesuatu yang beda atau yang lain dari segi lafaz. Dalam masalah ini, Fakhruddin al-Razi cendrung mengikuti maz|hab Syafi’i. Hal ini bisa dilihat dari penafsirannya mengenai ayat-ayat yang menyangkut tentang hukum. Meskipun Fakhruddin al-Razi mengemukakan berbagai pendapat Fuqaha, namun kesimpulan akhirnya merujuk pada

32 Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafatih al-Gaib... Juz 19, hlm. 82-83.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 90 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi pendapat-pendapat Imam Syafi’i seperti terlihat ketika menafsirkan kata\ :dari surat al-Maidah ayat: 6 وامسحوا برءوسكم

َِّ ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِِ �َا أَ�يَُّها الذ َ�ن آََمنُوا إَذا قُْمتُ ْم إَل َّالصَلة فَ ْاغسلُوا ُوُج َوه ُك ْم َوأَ�ْد�َ ُك ْم إَل الَْمَرافق ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ َوْام َس ُحوا بُرءُوس ُك ْم َوأَْرُجلَ ُك ْم إَل الْ َكْعبيَْي َوإ ْن ُكْنتُ ْم ُجنُبًا فَاطَّهُروا َوإ ْن ُكْنتُ ْم ٍ ِ ِ ِ ِ ِ َمْر َضى أَْو َعلَى َسَفر أَْو َجاءَ أَ َحٌد مْن ُك ْم م َن الْغَائط أَْو َلَم ْستُ ُم النِّ َساءَ فيَلَ ْم َتُدوا ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ ِ َماءً فيَتيَيََّم ُموا َصع ًيدا طَيِّبًا فَ ْام َس ُحوا بُوُجوه ُك ْم َوأَ�ْد ُ�ك ْم مْنهُ َما �ُر ُ�د اللهُ ليَ ْجَع َل ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّ َعلَْي ُك ْم م ْن َحَرٍج َولَك ْن �ُر ُ�د ليُطَِّهَرُك ْم َوليُت َّم نْعَمتَهُ َعلَْي ُك ْم لََعل ُك ْم �َ ْش ُكُر َون

Artinya:Hai orang-orang yang beriman, apa bila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai siku. Dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki…” (Q.S. Al- Maidah:6) Dalam menafsirkan ayat ini, Fakhruddin al-Razi mengatakan:

قال الشافعى رمحه اهلل �عال : الواجب ىف مسح الرأس أقل شيئ �سمى مسحا للرأس : قال مالك جيب مسح الكل , و قال أبو حنيفة الواجب مسح ربع الرأس . وحجة الشافعى أنه لو قال مسحت املند�ل فهاذا ل�صدق ال عند مسح الكلية, أمالو قال مسحت �ده بااملند�ل فهاذا �كفى ىف صدقه مسح اليد�ن جيزء من أجزاء ذالك املند�ل , إذا أ�بت هذا فنقول: قوله )ومسحوابرءواسكم( �كفى ىف العمل �ه نسح اليد جيزء من أجزاء الرأس. مث ذالك اجلزء غري مقدر ىف ال�ة.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 91 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Menurut Imam Syafi’i, wajib mengusap kepala, sedikitnya pada salah satu bagian dari kepala. Sementara Imam Malik mewajibkan seluruhnya (kepala) terbasuh, dan Imam Abu Hanifah mengatakan seperempatnya (kepala). Argumentasi Syafi’i tentang mengusap salah satu bagian dari kepala diumpamakan dengan perkataan: “Saya mengusap sapu tangan.” Hal ini tidak benar kecuali apabila mengusap secarah keseluruhan. Adapun apabila seseorang mengatakan: “Saya mengusap tangan dengan sapu tangan, maka hal ini dianggap cukup dalam membenarkan mengusap dua tangan dengan salah satu bagian saputangan”. Apabila hal ini tetap, maka firman Allah “Wamsahu bi riusikum” cukup dilakukan dengan mengusap tangan pada salah satu bagian kepala dan hal ini dalam pembicaraan ayat tersebut tidak ditentukan ukurannya.33 Menurut hemat penulis, Fakhruddin al-Razi telah menyadari bahwa menafsirkan al-Qur’an tidak cukup hanya dengan menggunakan analisa bahasa saja, akan tetapi harus bisa melampaui makna teks. Oleh karenanya, dalam tafsirnya,ia tidak menggunakan analisisgramatikal semata, tetapi juga menggunakan latha’if(makna di balik teks). Selain itu, Fakhruddin al- Razibertujuan untuk membantah paham Karamiyyah dan Mu’tazilah pada saat itu sebagai paham rasionalis, meminjam istilah Hans Geog Gadamer yakni wirkungsgeschichtliches bewusstseinatau historically affected consciousness (kesadaran keterpengaruhan oleh sejarah),34 dalam artian, seorang penafsir ternyata sangat dipengaruhi oleh situasi hermeneutika tertentu yang melingkupinya. Fakhruddin al-Raziyang cenderung mengikuti paham Asy’ariyyah dan pengikut Syafi’i sudah barang tentu sangat bertolak belakang dengan paham Karamiyyah dan paham Mu’tazilah tersebut. Penafsiran Fakhruddin al-Razijuga memiliki corak kesufian.Walaupun demikian, tafsir Mafatih al-Gaib ini merupakan tafsir bil ra’yi,,dimana dominasi ra’yi (akal) jelas sangat kental dibanding dengan tafsir-tafsir bil ma’tsur yang lebih dominan aspek riwayatnya. Nah, perhatian terhadap asumsi-asumsi sosio-politik dan filosofis, baik eksplisit maupun implisit

33 Fakhr al-Din al-Razi, Tafsir Mafatih al-Gaib... Juz 11, hlm. 126. 34 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an... hlm. 45-46.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 92 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi seperti ini yang banyak menentukan dasar kecenderungan terhadap ciri khas produk tafsir merupakan perhatian kunci dalam hermeneutika kontemporer.35 Hanya saja menurut penulis Fakhruddin al-Razi masih terlihat ditunggangi oleh background-nya, yang sangat fanatik terhadap alirannya. Hal ini terlihat, meskipun Fakhruddin al-Razi banyak mengutip pendapat berbagai ulama, namun pada akhirnya Fakhruddin al-Razicendrung sepakat dengan pendapat As’ariyyah dan Imam Syafi’i. Hal yang samajuga dikatakan oleh Rasyid Ridha.36 4. Isyarah sebagai Makna Isyari Sebagai seorang mufasir, Fakhruddin al-Razi juga terpengaruh oleh keilmuan-keilmuan yang dikuasai sebelumnya. Ia ternyata tidak hanya berhenti pada makna batin (latha’if) saja, namun juga mencoba memaknai surat Al-Kaus\arlebih dalam lagi. Artinya pada makna isyariini, penulis melihat makna sebuah term menjadi lebih bersifat universal. Dalam hal ini sejalan dengan apa yang digagas oleh Gadamer yakni teori “Penerapan/ Aplikasi”(anwendung; application).37 Yakni, ketika seseorang membaca kitab suci, maka selain proses memahami dan menafsirkan, penafsir juga musti memperhatikan pesan-pesan atau ajaran-ajaran pada masa ketika teks kitab suci itu ditafsirkan, apakah makna obyektif teks harus dipertahankan dan diaplikasikan pada masa ketika seorang penafsir hidup? Atau pesan yang harus diaplikasikan pada masa penafsiran bukan makna literal teks saja, tetapi meaning ful sense (makna yang berarti) atau pesan yang lebih berarti dari pada sekedar makna literal.38 Sebagai contoh, misalnya, penafsiran Fakhruddin al-Razi terhadap ‘al- Abtar’. Dalam hal ini, ia tidak berhenti pada makna yang berlaku pada

35 Mamat. S. Burhanuddin, Hermeneutika Al-Qur’an ala Pesantren... hlm. 89. 36 Qurais Shihab, Studi kritis Tafsir al-Manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994), hlm. 126. 37 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an... hlm. 50. 38 Sahiron Syamsuddin, Hermeneutika dan Pengembangan Ulumul Qur’an... hlm. 50-52.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 93 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi saat teks tersebut turun, namun ia mencoba menggalinya lebih pada aspek isyarat yang ada dalam teks itu sendiri. Namun dalam hal ini, Fakhruddin al-Razi tetap bertitik tolak pada teks yang ada. Oleh karena itu, ayat yang berbunyi ‘inna a’thainaka al-Kaus|ar’, menurut Fakhruddin al-Razi, adalah isyarat atas tingkat atau maqam spritual pertama, yaitu jiwa yang suci dan unggul serta istimewa dibanding dengan jiwa-jiwa lainnya. Adapun ayat yang berbunyi ‘fashalli li rabika’ adalah isyarat untuk tingkat atau maqam yang kedua. Sementara itu lafal ‘wa inhar’ adalah isyarat untuk tingkat atau maqamspritual ketiga. Setelah menyebut tiga tingkat atau maqam spritual manusia, maka Allah menutup surat al- Kausar dengan ungkapan ‘inna syani’aka hua al-abtar’ untuk menekankan bahwa yang merugi pada hakikatnya adalah orang-orang yang jiwanya selalu menyeru pada kelezatan sementara dan kenikmatan duniawi yang bersifat jasmani, syahwat dan tidak akan kekal. Padahal yang abadi dan kekal hanyalah kebahagiaan ruhaniah dan ma’rifat rabbaniyah.39 Dengan demikian, makna al-Abtar dalam kaitannya dengan isyari lebih pada aspek spritual yang dibangun sebelumnya. Setelah Fakhruddin al-Razi selesai melakukan penafsiran dengan metode “internal relationship”(muna>sabah), kontekstualisasi eksternal teks (asba>b al-Nuzul), makna bathin (latha’if), makna isyari, maka langkah selanjutnya yang ditempuh oleh Fakhruddin al-Razi adalah mencoba memahami faedah setiap term, setiap ayat, kemudian faedah munasabah, dan lain-lain. Dalam hal ini, penulis melihat bahwa Fakhruddin al-Razi mencoba membuka tabir dibalik semua yang terjadi pada surat al-Kaus|ar. Demikianlah gambaran hermeneutika Fakhruddin al-Razidalam kitab Mafatih al-Gaib. Menurut hemat penulis,hermeneutika sebagai sebuah teori penafsiran sebenarnya sudah ada dan di praktikkan oleh ulama terdahulu, termasuk pada Fakhruddin al-Razi. Meskipun para ulama terdahulu, termasuk Fakhruddin al-Razi, belum menyebut istilah hermeneutika, namun dalam ranah aplikatif telah ada, karena pada hakikatnya

39 Fakhruddin al-Razi. Tafsir Mafatih al-Gaib... hlm.117-118.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 94 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi hermenutika adalah teori bagaimana menafsirkan teks, dan asumsi paling mendasar dari hermenutika ini sebenarnya telah jelas, yiatu adanya pluraritas dalam proses pemahaman manusia. Pluralitas yang dimaksud sifatnya niscaya, karena pluralitas tersebut bersumber dari keragaman konteks hidup manusia.40Sepanjang yang penulis temui, Fakhruddin al-Razi telah menyadari hal ini. Hal tersebut terlihat dari penjelasannya mengenai makna ‘abtar’. Fakhruddin al-Razi sebenarnya sudah memahami pluralitas ini. Hal ini terbukti bahwa bagi Fakhruddin al-Razi pemaknaan ‘abtar’tidak hanya memandang teksbegitu sempit. Melalui asbab al-Nuzul ayat ini, Fakhruddin al-Razi sudah mencoba mencari ‘makna objektif’ atau original meaning dari sebuah teks dengan kata lain. Fakhruddin al-Razijuga telah mencoba memaknai teks sesuai dengan konteks pada saat itu. Oleh karena itu, Fakhruddin al-Razi tidak hanya memaknai abtarsebagai orang yang terputus keturunannya, namun yang dimaksud ‘terputus’ di dalam ayat ini bukan Rasul, tapi mereka yang mencela Rasul, karena mereka tidak mempunyai pengikut. Sementara Rasul,pengikutnya semakin marak di muka bumi ini, dan Rasul saw.akan selalu diingat dan dikenang hingga hari Akhir. Adanya elemen-elemen hermeneutika Fakhruddin al-Razi memang sangatlah wajar, karena sebagaimana yang penulis sebutkan di atas, pada masa Fakhruddin al-Razi telah muncul berbagai aliran. Dan Persia pada masa Fakhruddin al-Razi merupakan lahan subur untuk perpaduan ilmu-ilmu keislaman dan apa yang dinamakan “ilmu-ilmu sekular”. Dengan warisan Persia ini, dengan pendekatan pengetahuan yang luas, memungkinkan Fakhruddin al-Razi untuk membiasakan dirinya dengan filsafat, ilmu-ilmu keislaman, “ilmu-ilmu sekular”.

Simpulan

40 Fakhruddin Faiz, Hermenutika al-Qur’an; Tema-tema Kontroversial (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005), hlm. 5.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 95 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Dengan mengetahui hermeneutika sebagai sebuah teori penafsiran yang sebenarnya telah dipraktikkan oleh ualama terdahulu. Termasuk Semua yang digagas oleh Fakhruddin al-Razi sangat relevan terhadap tafsir kekinian. Maka studi-studi seperti ini harus terus dikembangkan, agar keilmuan Islam memiliki kekayaan dan varia-varian temuan yang bermanfaat bagi eksitensi keilmuan Islam. Penelitian ini telah mengungkapkan hermenutika Fakhruddin al-Razi dalam kitab Mafatih al- Ghaib. Namun, ini hanya secuil dari lautan makna yang terkandung dalam al-Qur’an, hendaknya kita tidak merasa puas terhadap apa yang telah kita pahami.

Daftar Pustaka Al-Razi Muhammad Fakhruddin Ibn ‘Allamah, Mafatih al-Ghaib atau dikenal dengan Tafsir al-Kabir, Beirut: Dar al-Fikr, 1995. Abul Hasan Burhanuddin Ibrahim bin Umar al-Biqo’i, Naazmu al-Duror fi Tanasubi al-ayat wassuari, Mesir: Darul Kitab al-Islami, tt. Abd Muhammad al-‘Adzim al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulumi al-Qur’an, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1996. Abdul Ghafur Waryono, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, Yogyakarta: eL-SAQ, 2005. Abdullah M. Amin, “Kajian Ilmu Kalam di IAIN Menyongsong Perguliran Paradigma Keilmuan pada Era Melenium Ketiga”, dalam al-Jami’ah Journal Islamic Of Islamic Studies, No. 65, VI, 2000. ______, Islamic Studies di Perguruan Tinggi; Pendekkatan Integratif- Interkonektif, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cetakan ke II 2010. ______, Upaya Integrasi Hermenutika dalam Kajian Qur;an dan Hadis, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009 Abdul Qodir Syahin Muhammad, Asbab al-Nuzul, Beirut: Darul al-Kutub al-Ilmiyah, 1971.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 96 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Baidowi Ahmad, Studi al-Qur’an, Yogyakarta: Idea Press, 2009. Boullata Issa, Coming To Ters Qur’an, America: Islamic Publicationas Internasional, 2008. Bleicher Joseph, Contemporary Hermeneutics, London: Routledge and Kegan Paul, 1980. Burhanuddin. S. Mamat, Hermeneutika al-Qur’an ala Pesantren; Analisis terhadap Tafsir Labid Karya K.H Nawawi Banteni, Yogyakarta: Dana Bhakti Primayasa, 1998. Bukhari Umar, Hermeneutika Kebebasan Manusia dalam Tafsir al-Qur’an, Studi atas Pemikiran Aisyah bintu Shhati, Tesis UIN Sunan Kalijaga, 2003 Esack Farid, Qur’an, Liberation dan Pliralism, Oxford: One Wold, 1997. Sibawaihi, Hermenutika al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta: JalaSutra, 2007. Syamsuddin Sahiron, Hermmenutika dan Pengembanngan Ulumul Qur’an, Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009. ______, Tipologi dan Proyeksi Pemikiran Tafsir Kontemporer; Studii atas Ide Dasar Hermenutika Qur’an”, Yogyakarta: Sekretariat Diskusi Ilmiah Dosen Tetap UIN Sunan Kalijaga, 2008. ______, Hermeneutika Hans-Georg Gadamer dan Pengembangan Ulumul Qur’an dan Pembacaan al-Qur’an pada masa Kontemporer”, dalam Kumpulan artikel, Upaya Intergrasi Hermenutika dalam kajian Qur’an dan Hadis; Teori dan Aplikasi, Yogyakarta: Lembaga Penelitian UIN Sunan Kalijaga, 2009. Ghazali Moqsith, Assyaukkanie Luthfi, Abdallah Abshar Ulil, Metodologi Studi al-Qur’an, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009 Hanafi Syawaluddin, Metode Hermeneutika Muhammad Arkoun’ dalam Studi al-Qur’an; Metode dan Konsep, Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010. Ichwan Nur Moch, Hermenneutika al-Qur’an; Analisis Peta Perkembangan Metodologi Tafsir al-Qur’an Konntemporer, Yogyakkarta: UIN Sunan Kalijaga, 1995.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Mustapa 97 Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

Izutsu Toshihikko, Relasi Tuhan dan Manusia; Ananlisis Sematik terhadap Weltanschauung al-Qur’an, Yogyakkarta: Tiara Wacanna, 1997. Musadad Endad, Munasabbah dalam Tafsir Mafatih al-Ghaib, Tesis UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta: 2005. Muzir Ridwan Inyiak, Hermeneutika Filosofis Georg Gadamer, Yogyakarta: AR-RUZ MEDIA GROUP, 2008. Rahman Yusuf, Unsur Hermeneutikaa Dalam Tafsir al-Baydhawi, Jakarta: PT GRAFIMATRA TATAMEDIA, Nomor /VII, 1997; dalam Jurnal Kebudayaan dan Peradaban Ulumul Qur’an. Sibawaihi, Hermenutika al-Qur’an Fazlur Rahman, Yogyakarta: Jalasutra, 2007 Syamsuddin Sahiron, Hermenutika Pengembangan Ulumul Qur’an Yogyakarta: Pesantren Nawesea Press, 2009. W.M Hadi Abdul, Hermeneutika Estetika dan Religiusitas, Yogyakarta: Matahari, 2004. Wijaya Aksin, Teori Interpretasi al-Qur’an Ibnu Rusy; Kritik Ideologis Hermeneutis, Yogyakarta: PT Lkis Printing Cemerlang, 2009.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 98 Mustapa Hermeneutika Fakhruddin Al-Razi

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 99 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar di Pondok Pesantren Al-Fataa Bantul Yogyakarta

Munjahid STIQ An-Nur Yogyakarta [email protected]

Abstrak Implikasi Pendidikan Agama Islam pada anak jalanan dan anak terlantar di Pondok Pesantren al-Fataa adalah: Santri mampu menyebutkan nama-nama dan jenis ฀arakat, membaca bilangan Arab dari 1-500, membaca transliterasi Arab-Indonesia, membaca ayat-ayat Alquran dengan lancar, mengaplikasikan ilmu tajw฀d dan bacaan gar฀bdengan baik.Santri memiliki sikap dan kemampuan yang baik dalam hal: kesadaran diri, mengatasi krisis, belajar mandiri,hubungan yang baik dengan orang lain, dapat menilai dirinya sendiri,membangun identitas yang positif, mengendalikan diri, memfungsikan diri, berkomunikasi,memahami kebutuhan dan perasaan orang lain, peka dan terbuka dala mberkomunikasi,memusatkankesadaran, kreatif,menggabungkan tingkat belajar kognitif dan afektif. Sedangkan nilai humanis yang kurang dapat dimilikinya adalah kemampuan imajinatif. Dalam kaitannya dengan kemampuan ini, kebanyakan santri kurang dapat membaca Alquran dengan suara dan lagu yang baik. [Implications of Islamic Education on street children and abandoned children in al- Fataa children’s boarding school are: Pupils able to mention the names and types of vowel, reading Arabic numbers from 1-500, reading Arabic-Indonesian transliteration, reading passages from the Koran smoothly, apply the science of Tajweed and recitation Garib well. Pupils have an attitude and good skills in terms of: self-awareness, to overcome the crisis, independent study, a good relationship with other people, can judge for itself, establish the identity of a positive, self-controlled, functioning self, communicate, understand the needs and feelings of others, sensitive and open in communicating, concentrating consciousness, creative, combining cognitive and affective learning rate. While the humanist values that are less able to have is the ability imaginative. In conjunction with this ability, most students are less able to read the Qur’an with a good voice and songs.] Kata Kunci: Anak jalanan, anak terlantar, pendidikan agama Islam, sikap humanis

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 100 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

A. Pendahuluan Pasal 31 ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen keempat menyatakan bahwa “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”.1 Sedangkan Pasal 34 ayat 1 UUD 1945 hasil amandemen keempat juga menyatakan bahwa “Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh Negara”.2Ini artinya, anak jalanan berhak untuk dipelihara dan mendapatkan pendidikan.Namun demikian, dalam kehidupan sehari-hari, sering kita saksikan masih banyak anak jalanan yang melakukan aksinya di jalan. Baik sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, maupun anak-anak yang tidak jelas statusnya.Kondisi ini dapat membahayakan keselamatan dan kesehatan anak. Bahkan dalam jangka panjang, jika kondisi ini tidak segera diatasi, akan dapat melahirkan generasi penerus bangsa yang rapuh, baik dari segi ilmu, agama, akhlak, ekonomi, dan peradabannya. Berbagai upaya untuk mengatasi anak jalanan, telah dilakukan, baik berupa Peraturan Daerah (PERDA) hingga tindakan yang repressif, semisal penangkapan anak jalanan.Namun demikian usaha tersebut masih jauh dari harapan.Karena tidak ditanamkan kepada mereka nilai-nilai ajaran agama, sehingga mereka tidak memiliki kesadaran yang kuat untuk menjalankan ajaran agama dan peraturan daerah secara baik. KH.Achmadi al-Hafizadalah seorang kyai yang memiliki keahlian dalam bidang seni tari.Iapernah menjadi duta pertukaran pelajar di 58 negara karena prestasi dan keahliannya di bidang seni tari. Diilhami oleh pengalamannya mengelilingi 58 negara di dunia ini, muncullah kepeduliannya terhadap nasib anak-anak jalanan. KH.Achmadi al-Hafiz mulai mendirikan pondok pesantren anak-anak al-Fataa Dukuhan Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta pada tahun 1991.Melalui pesantren ini, KH.Achmadi berupaya dapat mengangkat harkat dan martabat anak- anak jalanan menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa serta memiliki

1 UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999-Keempat 2002), (Jakarta: Sinar Grafika, 2002), hlm. 25. 2 UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen .. hlm. 25.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 101 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar... kecerdasan dan akhlak mulia, sehingga mereka mampu mengarungi hidup ini sebagaimana layaknya anak-anak lain secara normal.3 Keahlian KH. Achmadi dalam bidang seni, berpengaruh terhadap metode penyampaian materi pelajaran agama Islam, pesan-pesan dan nasihatnya yang mudah diterima dan dicerna dalam lubuk hati anak-anak jalanan yang mondok di pesantrennya.4Hingga sekarang, sebagian besar para santri telah meninggalkan kebiasaannya menjadi anak jalanan dan berubah menjadi santri yang mendalami ajaran agama Islam. Pesantren al-Fataa memiliki 40 santri (11 santri putri dan 29 santri putra). Mayoritas santri adalah anak-anak usia Sekolah Dasar (SD), sebagaian SMP/MTs, dan sebagian lagi SMA/MA. Para santri berasal dari berbagai provinsi di Indonesia.Diantaranya adalah dari DIY, Jawa Tengah, Jakarta, dan NTB. Para santri yang belajar di pesantren ini, pada umumnya berasal dari titipan orang-orang yang peduli pada anak jalanan, dan orang- orang yang tidak dikenal identitasnya. Selain belajar di pesantren al-Fataa, mayoritas santri juga belajar di lembaga pendidikan formal baik di sekolah maupun madrasah.5 Materi pelajaran di pesantren al-Fataa meliputi: membaca Alquran, menghafal juz Amma, aqidah, akhlak, fiqh, dan bahasa Arab. Para santri yang belajar di pesantren ini tidak dipungut biaya. Bahkan biaya sekolah dan uang saku, dicukupi oleh pengasuh pesantren. Semua santri dianggap oleh pengasuh pesantren seperti anaknya sendiri, karena didorong oleh panggilan iman dan rasa kemanusiaan.6

3 Wawancara dengan KH. Achmadi (Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Anak- Anak Al-Fataa Dukuhan Dadapan Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta di rumahnya pada tanggal 10 Maret 2015 pada jam 16.00-17.00 Wib. 4 Riset pendahuluan di Pondok Pesantren Anak-Anak Al-Fataa Dukuhan Dadapan Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta pada tanggal 10 Maret 2015 pada jam 18.00-19.00 Wib. 5 Wawancara dengan KH. Achmadi (Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Anak- Anak Al-Fataa Dukuhan Dadapan Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta di rumahnya pada tanggal 11 Maret 2015 pada jam 16.00-17.00 Wib. 6 Wawancara dengan KH. Achmadi (Pendiri dan Pengasuh Pondok Pesantren Anak- Anak Al-Fataa Dukuhan Dadapan Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta di rumahnya pada

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 102 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

Kebanyakan para santri di pesantren ini telah mampu membaca Alquran dengan baik, menghafal juz ‘amm, shalat wajib dan shalat sunat, ber-zikir, mengumandangkan azan dan iqamat, serta melantunkan shalawat Nabi.7Inilah yang mendorong peneliti untuk mengangkat judul “Pendidikan Agama Islam (PAI) pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar di Pondok Pesantren Al-Fataa Dukuhan Timbulharjo Sewon Bantul Yogykarta” dalam penelitian ini.

B. Letak Geografis Pondok Pesantren Al-Fataa Pesantren anak-anak al-Fataa terletak di RT/RW 08/00 kampung Dukuhan Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta Telp.0274 7101553. Atau lebih tepatnya terletak di Jl. Parang Tritis Km. 8,2, atau di belakang swalayan Maga Jl. Parang Tritis. Pesantren al-Fataa berada pada 2 km sebelah Timur Laut kota Bantul. Mata pencaharian masyarakat sekitarnya adalah pedagang dan petani.+ 20 M sebelah Timur pesantren terdapat sederetan ruko sebagai sentral bisnis masyarakat sekitar.Sebelah Barat + 100 M dari pesantren, adalah sawah yang kebanyakan ditanami padi.

C. Sejarah Singkat Pondok Pesantren Anak-Anak Al-Fataa Pondok Pesantren al-Fataa didirikan oleh K.H. Achmadi al-฀afi฀ yang lahir pada tanggal 23 Oktober 1965.K.H. Achmadi al-฀af฀฀adalah seorang kyai yang pernah menjadi duta pertukaran pelajar di 58 negara, dalam program ”Arung Samudera” tahun 1984. Ia terpilih sebagai duta pelajar Indonesai karena prestasi dan keahliannya terutama di bidang seni tari ketika pengasuh Pondok Pesantren ini masih duduk di SMA 1 Bantul. Salah satu negara yang pernah ia kunjungi adalah Iran. Ketika Pengasuh tanggal 11 Maret 2015 pada jam 16.00-17.00 WIB. 7 Observasi awal di Pondok Pesantren Anak-Anak Al-Fataa Dukuhan Dadapan Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta pada tanggal 12 Maret 2015 pada jam 16.00-17.00 WIB.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 103 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

Pondok Pesantren ini menjadi duta pertukaran pelajar di negara Iran, di sana beliau tidak hanya menampilkan tariannya saja, akan tetapi beliau melihat dan mengamati lembaga pendidikan Islam. Pengasuh Pondok Pesantren ini terkejut dengan banyaknya anak-anak di Iran yang menghafal Alquran. Pengasuh pesantren ini berfikir ”mungkinkah anak-anak Indonesia mampu menghafal Alquran sebagaimana anak-anak di negara Iran?”. Pada saat ini dalam hati kecilnya sudah menjawab ”pasti mampu” asal ada usaha.8 Sekembalinya dari tugas sebagai duta pertukaran pelajar di 58 negara itu, pengasuh Pondok Pesantren ini mengalami kendala dalam menyelesaikan studinya, sehingga ia pindah studi ke MAN Gandekan Bantul dan menyelesaikan studinya dari MAN pada tahun 1985. Setelah menyelesaikan belajarnya di MAN Gandekan Bantul, beliau melanjutkan kuliah ke fakultas hukum UII Yogyakarta. Namun kuliahnya di fakultas hukum UII ini tidak diselesaikan. Pengasuh pesantren ini lebih tertarik untuk belajar di pesantren, karena terobsesi dengan keinginannya untuk menjadikan anak-anak Indonesia mampu menghafal Alquran. Pengasuh pesantren ini memilih masuk di pesantren al-Anwar Ngrukem Pendowoharjo Sewon kabupaten Bantul, yang jaraknya dengan rumah orang tua pengasuh pesantren ini kira-kira 0,5 Km. Dan jarak dengan Pondok Pesantren al-Fataa ini + 1 Km ke arah Barat Daya. Dipilihnya pesantren al-Anwar sebagai tempat menimba ilmu, karena di pesantren ini diajarkan menghafal Alquran dan ”kitab-kitab gundul”, yaitu kitab-kitab berbahasa Arab tanpa syakal yang ditulis di atas kertas berwarna kuning, yang lazim disebut dengan ”kitab kuning” Setelah menyelesaikan belajarnya di pesantren al-Anwar Ngrukem Pendowoharjo Sewon Bantul pada tahun 1988, pengasuh pesantren ini ikut mengelola dan mengajar pesantren anak-anak di Palembang pada tahun 1990. Setelah memiliki banyak pengalaman mengelola pesantren anak-anak di Palembang, pengasuh pesantren ini kembali ke Bantul

8 Wawancara dengan K.H. Achmadi (Pengasuh pesantren) pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 16.00-17.00 WIB di Pesantren al-Fataa.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 104 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

Yogyakarta pada tahun 1991. Pada saat itulah, ia mendirikan Pondok Pesantren al-Fataa pada saat pengasuh pesantren ini masih jejaka. Pesantren ini memperoleh sertifikat resmi dari Departemen Agama Kantor Wilayah Propinsi DI Yogyakarta pada tanggal 26 April 1996. Pondok Pesantren ini memiliki 40 santri (11 santri putri dan 29 santri putra). Santri berasal dari daerah Propinsi DIY, Jawa Tengah, Jakarta, dan NTB. Mayoritas santri berasal dari kabupaten Bantul dan Sleman. Santri-santri yang belajar di pesantren ini mayoritas adalah anak-anak SD/MI dan sebagian anak-anak TK yang berasal dari kalangan keluarga miskin, mantan anak jalanan, anak yatim, anak-anak yang ”tidak diketahui orang tuanya”, dan anak-anak autis mantan pasien R.S. Sardjito. Dari 7 santri autis yang ada di Pondok Pesantren ini, 6 diantaranya sudah sembuh dan normal seperti anak-anak lainnya.9 Para santri di Pondok Pesantren ini diajarkan membaca Alquran, Fiqh, dan Aqidah Akhlak. Santri yang dianggap sudah lancar bacaan Alqurannya, diarahkan untuk menghafal Alquran terutama juz ’Amma. Setelah santri hafal juz ’amma, lalu menghafal juz 1 dan selanjutnya juz-juz berikutnya. Mayoritas santri yang belajar di pesantren ini tidak dipungut biaya. Hanya ada sebagian kecil santri yang membayar. Semua santri dianggap seperti anaknya sendiri oleh pengasuh Pondok Pesantren, karena dilandasi oleh rasa kemanusiaan dan cintanya terhadap anak-anak. Bahkan bagi santri-santri yang belum mampu mandi sendiri, dimandikan oleh ustaz/ ustazah atau pengasuhnya. Semua kebutuhan santri dicukupi oleh pengasuh, mulai dari makan/minum, pakaian, buku, hingga uang jajan. Uniknya, pesantren ini tidak tertarik untuk mengajukan proposal bantuan ke berbagai instansi pemerintah maupun LSM. Bahkan bila ada calon donator yang akan memberikan bantuan ke pesantren ini, calon donator supaya datang sendiri, bukan meminta pengasuh untuk datang ke tempat calon donatur. Ini artinya pengasuh pesantren al-Fataa ini tidak mau

9 Wawancara dengan K.H. Achmadi (PengasuhPondok Pesantren) pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 16.00-17.00 WIB di Pesantren al-Fataa.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 105 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar... meminta-minta, namun jika ada donatur yang dengan ikhlas, datang dan memberi bantuan, pengasuh bersedia menerimanya. Biaya operasional Pondok Pesantren ini diperoleh dari usaha pribadi pengasuh. Pengasuh memiliki dua usaha rumah makan yang berada di wilayah Monumen Jogja Kembali (Monjali) dan satu Butik yang berada di Prawirotaman Yogyakarta. Hasil dari usaha rumah makan dan Butik inilah yang digunakan untuk mencukupi kebutuhan keluarga dan para santri di Pondok Pesantren al-Fataa.10 Pondok Pesantren ini memiliki 6 usta฀ (3 putri dan 3 putra), tiga diantara ustaz/ustazahnya hafal Alquran 30 juz.11 Proses pembelajaran membaca Alquran dilaksanakan setiap selesai shalat Magrib hingga kira- kira jam 20.00 WIB (sesuai dengan situasi dan kondisi).

D. Sistem Pembelajaran PAI di Pondok Pesantren Al-Fataa

1. Kurikulum Pondok Pesantren al-Fataa Kurikulum Pondok Pesantren al-Fataa terdiri dari membaca Alquran, menghafal Alquran, Fiqh (menggunakan kitab Matan Safînah an-Najah karya Salim bin Samr al-Hadramy, Fath al-Qarib karya asy- Syaikh Muhammad bin Qasim al-Gazzy, al-Mabâdi’ al-Fiqhiyah karya Umar bin Abd al-Jabbar), Aqidah (menggunakan kitab Aqîdah al-‘Awâm karya as-Sayyid Ahmad al-Marzuqi), Akhlâk(menggunakan Akhlâq lil- Banîn karya Umar bin Ahmad al-Barja’i), Nahwu (menggunakan kitab al-‘Imrîtî karya asy-Syaikh Syarif al-Din Yahya al-Imritî, dan al-Ajrumiyah

10 Wawancara dengan KH. Achmadi (Pengasuh pesantren) pada tanggal 3 Juli 2012 pukul 16.00-17.00 WIB di Pesantren al-Fataa. 11 Wawancara dengan K.H. Achmadi (Pendiri dan Pengasuh P.P. al-Fataa Dukuhan Timbulharjo Sewon Bantul Yogyakarta di rumahnya pada tanggal 13 Juli 2012 pada jam 16.00-17.00 WIB.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 106 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

karya Soun ‘Asim), Sharaf, (menggunakan Qawâid al-I’lal karya Munzir Nazir).12 Berdasarkan data di atas, menunjukkan bahwa Pondok Pesantren al-Fataa adalah lembaga pendidikan sejenis kuttâb.13yaitu tempat belajar membaca dan menulis Alquran pada masa Nabi saw. Pondok Pesantren al-Fataa juga sebagai lembaga pendidikan yang mirip dengan Dâr Al-Quran di Madinah, yaitu suatu lembaga tempat belajar dan menghafal Alquran.14 2. Proses Pembelajaran Pembelajaran dilakukan secara team teaching. Setiap lima menit menjelang pelaksanaan, diadakan koordinasi singkat dengan para ustaz/ustazah mengenai langkah dan strategi pembelajaran yang akan dilaksanakan. Pada saat itu pula, para santri mempersiapkan diri untuk berkonsentrasi mengikutipembelajaran. 3. Metode Pembelajaran Metode pembelajaran yang diterapkan di Pondok Pesantren al-Fataa berpusat pada santri. Ustaz/ustazah berperan sebagai pembimbing santri belajar. Sebelum pertemuan tatap muka, santri disarankan untuk membaca materi pelajaran yang akan dibahas pada pertemuan yang akan datang. Pembelajaran dilaksanakan secara team teaching. Pembelajaran juga menerapkan metode tanya jawab, belajar mandiri, simâ’i, demonstrasi, learning by doing, kuis, ilustrasi dengan gambar dan cerita, dan diskusi.

12 Sumber dokumen Pondok pesantren al-Fataa Dukuhan Timbulharjo, Sewon Bantul. 13 Kuttâb disebut juga Maktab berasal dari kata dasar yang sama yaitu kataba artinya menulis sedangkan kuttâb artinya orang-orang yang ahli menulis dan maktab artinya tempat menulis. Kurikulum pendidikan kuttâb berisi: pengajaran membaca dan menulis Alquran, kaligrafi, gramatika bahasa Arab, dan sejarah Nabi. Lihat Susari, Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam Sebelum Madrasah, dalam Abudin Nata “Sejarah Pendidikan Islam pada Periode Klasik dan Pertengahan” (Jakarta: P.T. Raja Grafindo Persada, 2004), hlm 33. 14 Susari, Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam... hlm. 22.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 107 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

4. Strategi Pembelajaran Strategi pembelajaran yang dilakukan di Pondok Pesantren al- Fataa adalah dengan kegiatan pembelajaran yang berdaya guna untuk memberdayakan pesantren melalui pemberdayaan para Santri dan ustaz/ustazahnya dalam mengembangkan nilai-nilai akhlak.Selain itu, dirobah paradigma lama pesantren al-Fataa dalam memahami masalah-masalah agama Islam yang cenderung normatif, menjadi logis aplikatif. Pengasuh Pondok Pesantren al-Fataa dapat memberdayakan para ustaz/ustazah al-Fataa dan Santri senior sebagai anggota team teaching dalam pelaksanaan, sekaligus sebagai model/uswah dalam mengimplementasikan nilai-nilai akhlak. Pembelajaran dimulai dengan berdoa yang dipimpin oleh santri secara bergantian setiap hari.Lalu ustaz menjelaskan bentukkegiatan, tujuan, prosedur, prosedur interaksi kelompok, bataswaktu, dan permintaanpada santriuntuk memahami pelajaran dengan baik.15 Santri diposisikan dengan membentuk huruf “U”. Dalam kesempatan yang lain, Santri diposisikan melingkar.16Pre test diberikan sebelum santri memperoleh tambahan materi pelajaran yang baru. Tujuannya adalah untuk membangkitkan minat Santri. Sebagaimana pendapat Mel Silberman yang menawarkan tiga cara untuk membangkitkan minat peserta didik, yaitu: memaparkan kisah atau tayangan yang menarik, mengajukan soal cerita, dan mengajukan pertanyaan.17Pembelajaran yang

15 Langkah-langkah ini dikemukakan oleh Elizabeth F Barkley dkk., Lihat Elizabeth F Barkley dkk., Collaborative Learning Techniques A Handbook for College Faculty (San Francisco: Jossey-Bass, 2005), hlm. 69-70.. 16 Mel Silberman menawarkan sepuluh tata letak untuk menyusun kelas, yaitu: Membentuk huruf “U”, gaya tim, meja konferensi, membentuk lingkaran, kelompok pada kelompok, menyerupai ruang kerja, pengelompokan berpencar, menyerupai tanda pangkat, menyerupai ruang kelas tradisional, dan menyerupai auditorium. Lihat Mel Silberman,Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject (United States of America: A Simon & Schuster Company, 1996), hlm. 10-15. 17 Mel Silberman, Active Learning…, hlm. 20.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 108 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

dilakukan adalah secara klasikal dan team teaching. Pembelajaran berpusat pada santri. Para Ustaz menerapkan metode belajar active learning dengan teknik belajar kolaboratif (collaborative learning techniques).18 Para ustaz/ustazah berfungsi sebagai pembimbing dan pengarah santri dalam belajar. Pembelajaran membaca Alquran juga dilakukan secara mandiri, disediakan juga DVD-R (Audio) yang berisi contoh-contoh bacaan Alquran beserta penjelasan tajwid dan garib-nya yang dapat digunakan setiap saat oleh para Santri al-Fataa. Metode ini juga diterapkan untuk mempraktikkan teori tajwid dalam membaca ayat-ayat Alquran yang dianggap sulit.Para ustaz juga menerapkannya untuk melatih keterampilan tertentu pada santri berkaitan dengan nilai-nilai akhlak. Misalnya dalam mengembangkan kemampuan cipta dan imajinasi santri, para ustaz menerapkan metode belajar mandiri dengan cara memberi tugas pada santri untuk membaca materi pelajaran yang akan diberikan pada pertemuan berikutnya. Setiap sub bab, santri diberi tugas secara berkelompok yang dibimbing oleh ustaz/ustazah. Ustaz membentuk kelompok belajar santri (Kejari) baik formal, informal, maupun dasar.19

18 Kelompok pembelajaran kolaboratif memiliki tipe yang bervariasi sesuai dengan tujuan Teknik-teknik pembelajaran kolaboratif mirip dengan resep dengan cara lain. Misalnya, jika guru telah menggunakan metode ceramah, maka menambahkannyadengan beberapa teknik yang bervariatif dengan memperkaya kesempatan belajar pada peserta didik. Lihat Elizabeth F Barkley dkk.,Collaborative Learning…, hlm. 95. 19 Kelompok dapat bersifat formal, informal, atau basa. Kelompok informal terbentuk dengan cepat, secara acak, dan bekerja sama untuk waktu yang singkat. Mereka diciptakan untuk menanggapi pertanyaan,brainstorming ide-ide, atau berpartisipasi dalam beberapa usaha lainnya yang berfungsi untuk merespon aktivitas kelas. Kelompok formal dibentuk untuk bekerja sama dalam mencapai tujuan yang lebih kompleks seperti menulis laporan atau mengembangkan presentasi. Kelompok-kelompok ini bekerja sama sampai tugas itu selesai, yang umumnya membutuhkan waktu beberapa sesi kelas atau bahkan berminggu-minggu. Kelompok dasar tetap bersama untuk jangka seluruh atau bahkan tahun akademik. Kelompok dasar dimaksudkan untuk membentuk sebuah komunitas pelajar yang bekerjapada berbagai tugas. Karena sifat jangka panjang dari kelompok-kelompok ini, tujuan merekaadalah untuk mencapai tujuan program menyeluruh dan menawarkan pada anggota tentang dukungan

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 109 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

Ustaz/ustazah juga membimbing Santri secara aktif dalam diskusi pada setiap menitnya. Salah satu Santri diperankan sebagai ketua kelompok diskusi, sedangkan yang lain sebagai anggota.20Ketua kelompok diskusi dipilih berdasarkan kesepakatan kelompok. Metode yang seperti ini dianggap oleh Mel Silberman sebagai cara yang paling popular dalam penentuan ketua kelompk.21Materi diskusi adalah tentang fenomena sosial. Pembelajaran nilai-nilai humanis dimulai dari proses memahamkan materi pelajaran pada santri, lalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Aktualisasi nilai humanis yang telah diberikan pada santri pada setiap bab, diefektifkan selama seminggu, Jika dalam kondisi tertentu, ustaz/ustazah menemukan sikap/tingkah laku santri yang menyimpang dari nilai humanis yang telah disampaikan, ustaz/ustazah langsung menegurnya dengan cara-cara yang humanis pula. Misalnya dengan menemui santri yang bersangkutan di tempat terpisah, lalu santri diajak bicara dari hati ke hati atau ustaz/ ustazah menegurnya dengan memberikan alasan-alasan yang logis. Prosedur yang dilakukan untuk menegur santri ini termasuk proses menginternalisasikan nilai humanis kepekaan sosial dari John P. Miller, dengan melatih santri pada sikap kepekaan memahami orang lain, transaksi sosial, dan relasi kemanusiaan atau pelatihan hubungan personal.Pengasuh dan para ustaz/ustazah memberikan catatan-catatan kecil setiap hari mengenai perkembangan/aktualisasi atau penyimpangan dan dorongannya. Lihat Elizabeth F Barkley dkk., Collaborative Learning…, hlm. 43-44. 20 Dalam diskusi kelas tradisional, guru memegang kendali dari prosedur menit demi menit, menentukan apa yang dibahas, kapan dan oleh siapa. Dalam pembelajaran kolaboratif, Gurumengatur situasi pembelajaran sehingga siswa dapat mengontrol proses pembelajaran. Lihat Elizabeth F Barkley dkk., Collaborative Learning…, hlm. 55. 21 Mel Silberman menawarkan sepuluh cara untuk menyeleksi ketua kelompok dan mengerjakan tugas berdasarkan: urutan abjad, hari kelahiran, lotre angka, lotre warna, perlengkapan busana, pemungutan suara, acak, jumlah binatang pairaan, jumlah anggota keluarga, dan hadiah kejutan. Lihat Mel Silberman, Active Learning…, hlm. 23-24.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 110 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

nilai-nilai humanis yang terjadi pada Santri al-Fataa.Menjelang pelaksanaan KBM, Ustaz selalu menanyakan materi pelajaran yang telah disampaikan pada hari-hari sebelumnya, baik mengenai teori maupun praktik. Setiap menjelang selesainya KBM, Ustaz menerapkan metode tanya jawab untuk melakukan post test. Selain itu, metode tanya jawab ini juga digunakan pada awal pembelajaran dengan memberikan pre test pada santri. 5. Evaluasi Pembelajaran Sistem evaluasi pembelajaran yang diterapkan di Pondok Pesantren al-Fataa meliputi: evaluasi jangka pendek, menengah, panjang. Evaluasi jangka pendek adalah evaluasi yang harus dilakukan oleh ustaz/ah setiap akhir kegiatan Belajar Mengajar (KBM).Adapun evaluasi dilakukan secara lisan, pengamatan dan tindakan.Sedangkan materi evaluasi adalah materi yang diberikan oleh ustaz/ah pada saat pertemuan tersebut. Adapun evaluasi jangka menengah adalah evaluasi yang dilakukan setiap akhir pembahasan setiap bab. Metode avaluasi ini adalah dengan mengerjakan soal-soal yang terdapat pada bab tersebut secara lisan. Evaluasi jangka panjang adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir tahun dengan memberikan soal-soal secara tertulis dan dinilai sesuai dengan petunjuk yang terdapat pada buku pegangan untuk pendidik.

E. Kemampuan Membaca Alquran Santri Pondok Pesantren al-Fataa Kemampuan santri al-Fataa dalam membaca Alquran adalah sebagai berikut: 1. Santri mampu mengaplikasikan teori bacaan nun sukun atau tanwin dalam membaca Alquran

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 111 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

Para santri mampu memahami bacaan nun sukun atau tanwin, namun masih sering lupa, karena kompleknya materi ini dan terlalu banyaknya bacaan dalam Alquran yang berkaitan dengan nun sukun atau tanwin. Setelah kurang lebih sepuluh hari materi ini diulang- ulang dan diperdalam, maka santri benar-benar mampu menguasai dan mengaplikasikan bacaan nun sukun atau tanwin dalam membaca Alquran.22Santri-santri yang sudah menguasai bacaan nun sukun atau diperankan pada untuk membimbing santri-santri yang kurang menguasai materi ini. 2. Santri mampu mengaplikasikan teori bacaan madd dalam membaca Alquran Pengulangan dan pendalaman materi bacaan madd ini dilakukan selama sembilan hari. Setelah itu, para santri telah mampu mengaplikasikan teori bacaan madd dalam membaca Alquran dengan benar dan lancar.23 3. Santri mampu mengaplikasikan teori bacaan garib dalam membaca Alquran Materi ini diberikan dan diperdalam selama lima hari, dimulai dengan pembahasan, lalu penugasan secara berulang-ulang, lalu diskusi dan mengerjakan latihan. Setelah pendalaman materi ini selesai, para santri al-Fata mampu memahami dan mengaplikasikan teori bacaan garib dalam membaca Alquran. Ustaz meminta kepada semua santri secara bergantian untuk menjawab pertanyaan dan mempraktikkan bacaan garib. Hasilnya adalah bahwa mayoritas santri mampu menjawab dan mempraktikkannya dengan baik.24 4. Kemampuan santri dalam membaca Alquran lancar dan fasih

22 Observasi terlibat di Pondok Pesantrenal-Fataa pada tanggal 3 November 2015 pukul 18.10– 20.00 WIB. 23 Observasi terlibat di Pondok Pesantrenal-Fataa pada tanggal 17 November 2015 pukul 18.10 – 20.00 WIB. 24 Observasi terlibat di Pondok Pesantrenal-Fataa pada tanggal 20 November 2015 pukul 18.10 – 20.00 WIB.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 112 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

Kemampuan santri dalam membaca Alquran lancar dan fasih.para santri diminta untuk mengulangi dalam membaca contoh-contoh ayat- ayat Alquran, sehingga kemampuan santri dalam membaca Alquran, semakin bertambah lancar dan fathh.25 5. Sikap Humanis Santri Pondok Pesantren al-Fataa Sikap humanis santri Pondok Pesantren Anak-Anak al-Fataa, dapat peneliti jelaskan sebagai berikut: a. Santri memiliki kesadaran yang mendalam tentang dirinya sebagai: 1) Makhluk Allah yang paling baik bentuk fisiknya 2) Makhluk Allah yang paling mulia kedudukannya. 3) Makhluk Allah yang dibekali fitrah beragama. 4) Khal฀fah Allah di muka bumi 5) Makhluk Allah yang mampu membiasakan diri dalam menjalankan ajaran agama Islam dengan baik. b. Santri mampu mengatasi krisis yang ada pada dirinya dengan baik 1) Santri mampu mengatasi masalah penyakit 2) Santri mampu menghindari sikap marah dan kasar 3) Santri mampu menjadi anak yang rajin, baik, dan memiliki keterampilan untuk belajar mandiri dengan baik 4) Santri mampu menjadi anak yang bermoral dengan baik terhadap orang tua/guru, kakak, adik, dan teman sejawat. 5) Santri mampu menilai dirinya sendiri dengan baik 6) Santri mampu membangun identitas yang positif pada dirinya, mengendalikan diri, dan membangun hubungan antara subyek didik dengan orang lain dengan baik

25 Observasi terlibat di Pondok Pesantrenal-Fataa pada tanggal 20 November 2015 pukul 18.10–20.00 WIB.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 113 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

7) Santri menyadari jati dirinya dengan baik melalui proses pengambilan keputusan secara bertanggung jawab 8) Santri mampu menjalin hubungan yang akrab dengan kelompok dan dapat menyelesaikan masalahnya dengan baik 9) Santri mampu dalam memfungsikan diri dengan baik 10) Santri mampu memiliki keterampilan berkomunikasi dengan baik 11) Santri mampu memahami kebutuhan dan perasaan orang lain dengan baik 12) Santri mampu memiliki kepekaan terhadap kelompok dan memiliki keterbukaan komunikasi dengan kelompoknya dengan sangat baik 13) Santri memiliki kepekaan pada kelompok dan mampu menjalin hubungan antara pribadi dengan baik 14) Santri mampu memusatkan kesadarannya dengan baik 15) Santri mampu bersikap kreatif namun kurang imajinatif 16) Santri mampu menggabungkan tingkat belajar kognitif dan afektif serta mampu meningkatkan tingkat tanggung jawabnya dengan baik 17) Santri mampu memperluas kesadarannya namun hasilnya belum maksimal

Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil kesimpulan, bahwa sikap humanis santri Pondok Pesantren al-Fataa adalah: santri memiliki kesadaran yang mendalam tentang dirinya sebagai: makhluk Allah yang paling baik bentuk fisiknya, paling mulia, dibekali fitrah, khal฀fah di muka bumi, menjalankan perintah agama dengan baik; santri mampu mengatasi krisis yang ada pada dirinya dengan baik; santri mampu menjadi anak yang pandai, rajin, baik, dan memiliki keterampilan untuk belajar mandiri dengan baik; santri memiliki moral yang baik terhadap orang tua/guru, kakak, adik, dan teman sejawat; santri aktif dan mampu menilai dirinya sendiri dengan baik; santri dapat membangun identitas yang positif pada dirinya, mengendalikan diri, dan membangun hubungan antara subyek didik dengan orang lain dengan baik; santri menyadari jati dirinya melalui

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 114 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar... proses pengambilan keputusan secara bertanggung jawab dengan baik; santri mampu menjalin hubungan yang akrab dengan kelompoknya dan dapat menyelesaikan masalah dengan baik; santri terbiasa memfungsikan diri secara penuh dengan baik; santri memiliki keterampilan berkomunikasi dengan baik; santri mampu memahami kebutuhan dan perasaan orang lain; santri memiliki kepekaan dan keterbukaan komunikasi dengan kelompoknya dengan baik; santri mampu menjalin hubungan antara pribadi dengan baik; santri mampu memusatkan kesadaran dengan baik; santri mampu bersikap kreatif namun kurang imajinatif; santri mampu menggabungkan tingkat belajar kognitif dan afektif serta mampu meningkatkan tingkat tanggung jawabnya dengan baik; santri mampu memperluas kesadarannya, namun hasilnya belum maksimal. Berdasarkan data di atas, menunjukkan bahwa jika dilihat dari jumlah sikap humanis yang dimiliki santri Pondok Pesantren al-Fataa, maka Santri telah memiliki 14-15 sikap humanis dengan baik. Sikap humanis santri Pondok Pesantren al-Fataa, yang belum mencapai predikat baik adalah: sikap imajinatif, peningkatan tanggung jawab, dan perluasan kesadaran. Ketiga nilai humanis tersebut termasuk model perluasan kesadaran (Consciusness-expansion model). Namun demikian, secara umum, santri Pondok Pesantren al-Fataa telah memiliki sikap Consciusness-expansion modeldengan cukup baik.

F. Simpulan Berdasarkan urian di muka, hasil penelitian ini dapat peneliti simpulkan sebagai berikut: 1. Sistem pembelajaran PAI pada anak jalanan dan anak terlantar di Pondok Pesantren al-Fataa berpedoman pada kurikulum yang meliputi: membacaAlquran, menghafalAlquran, Fiqh,Aqidah, Akhl฀k, Bahasa Arab (nahwu dan sharaf). Santri belajar terbimbing selama 24 jam setiap hari sesuai dengan jadwal yang telah disusun. Santri mulai tidur

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 115 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

setiap pukul 22.00-03.00 WIB. Mulai jam 03.00 WIB, santri bangun untuk melakukan shalat malam. Metode pembelajaran berpusat pada santri.Ustaz/ustazah berperan sebagai pembimbing santri belajar.Pembelajaran dilaksanakan secara team teaching. Pembelajaran juga menerapkan metode tanya jawab, belajar mandiri, sim฀’i, demonstrasi, learning by doing, kuis, ilustrasi dengan gambar dan cerita, dan diskusi.Sistem evaluasi belajar, meliputi: evaluasi jangka pendek, menengah, dan panjang. Pengasuh Pondok Pesantren al-Fataa memberdayakan para ustaz/ustazah al-Fataa dan Santri senior sebagai anggota team teaching dalam pelaksanaan, sekaligus sebagai model/uswah dalam mengimplementasikan nilai-nilai akhlak/nilai humanis. Pembelajarandimulai dan diakhiri dengan berdoa yang dipimpin oleh santri secara bergantian setiap hari. Pembelajaran nilai-nilai humanis dimulai dari proses memahamkan materi pelajaran pada santri, lalu diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Aktualisasi nilai humanis yang telah diberikan pada santri pada setiap bab, diefektifkan selama seminggu, Jika dalam kondisi tertentu, ustaz/ustazah menemukan sikap/tingkah laku santri yang menyimpang dari nilai humanis yang telah disampaikan, ustaz/ustazah langsung menegurnya dengan cara-cara yang humanis pula. Misalnya dengan menemui santri yang bersangkutan di tempat terpisah, lalu santri diajak bicara dari hati ke hati atau ustaz/ustazah menegurnya dengan memberikan alasan-alasan yang logis.Pengasuh dan para ustaz/ustazah memberikan catatan-catatan kecil setiap hari mengenai perkembangan/aktualisasi atau penyimpangan nilai-nilai humanis yang terjadi pada Santri al-Fataa.

2. Implikasi Pendidikan Agama Islam pada anak jalanan dan anak terlantar di Pondok Pesantren al-Fataa adalah:

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 116 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar... a Kemampuan membaca Alquran Mereka mampu menyebutkan nama-nama dan jenis ฀arakat, membaca bilangan Arab dari 1-500, membaca transliterasi Arab- Indonesia, membaca ayat-ayat Alquran dengan lancar, mengaplikasikan ilmu tajwid dan bacaan garib dengan baik. b. Sikap humanis santri Sikap humanis anak jalanan dan anak terlantar di Pondok Pesantren al-Fataa adalah: memiliki sikap dan kemampuan yang baik dalam hal: kesadaran diri, mengatasi krisis, belajar mandiri,hubungan yang baik dengan orang lain, dapat menilai dirinya sendiri,membangun identitas yang positif, mengendalikan diri, memfungsikan diri, berkomunikasi,memahami kebutuhan dan perasaan orang lain, peka dan terbuka dalamberkomunikasi,memusatkankesadaran, kreatif,menggabungkan tingkat belajar kognitif dan afektif. Sedangkan nilai humanis yang kurang dapat dimilikinya adalah kemampuan imajinatif. Dalam kaitannya dengan kemampuan ini, kebanyakan santri kurang dapat membaca Alquran dengan suara dan lagu yang baik.

Daftar Pustaka

Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1984.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 117 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

Freire, Paulo, Pendidikan Kaum Tertindas, diterjemahkan oleh Tim Redaksi Asosiasi Pemandu Latihan: Utomo Danajaya, dkk., Jakarta: LP3ES, 1985. Munjahid, Pendidikan Agama Islam di Tengah Gereja (Studi Kasus Bimbingan Keagamaan “KKN Peduli” Pada Pengungsi Merapi di Gereja Seminari St. Paulus Jalan Kaliurang Km 7 Yogyakarta), Yogyakarta: LP2M STIQ An-Nur, 2011. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011. UUD 1945 Hasil Amandemen & Proses Amandemen UUD 1945 Secara Lengkap (Pertama 1999-Keempat 2002), Jakarta: Sinar Grafika, 2002. Zakiah Daradjat dkk.,Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1985. Arifin, H.M., Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009. Bogdan, Robert C., dan Sari Knopp Biklen, Qualitative Researhc For Education: An Introduction to Theory and Methods, Boston London Sydney Toronto: Allyn and Bacon, Inc, 1982. Bukhari, Imam, Sahih Bukhari, juz I, hadis nomor 1319, dalam CD Maktabah al-Syamilah. CD al-Qur’an dan Terjemahnya. ______, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Asara, 2011. Decarvalho, Roy Jose, Abraham H. Maslow (1908-1970) An Intellectual Biography, dalam “Thought A Review of Culture and Idea” Volume LXVI 1991, No. 260, March, New York: Fordham University Press, 1990. Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, Edisi yang Disempurnakan, Jakarta, 2009. Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Filsafat Pendidikan Islam, ,Jakarta: Proyek Pembinaan Prasarana dan Sarana Perguruan Tinggi Agama/IAIN, 1983/1984. Freire, Paulo, Pedagogy of the Oppressed, United States of Amerika: The Continuum International Publishing Group Inc, 2005.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 118 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar... al-Gazali, Muhammad bin Muhammad, Mukasyafat al-Qulub, Beirut: Dar al Fikri, 1990. Gilbert, Nigel, (ed), Researching Social Life, Second edition, London: Sage Publications, 2001. al-Hasani, Muhammad bin Alawi al-maliki, Zubdah al-Itqan fi Ulum al- Qur’an, Jeddah: Dar al-Syuruq, 1983. Humam, As’ad, ’ Cara Cepat Belajar Membaca al-Qur’an, Yogyakarta: AMM, 2000. Ihya’ Ulum al-Din, babFadlat al-Aurad, juz 1 (Dalam CD al-Maktabah al- Syamilah versi 2.11). ______, bab Wa Bayanu alamati al-Ulami’, juz, 1, (Dalam CD al-Maktabah al-Syamilah versi 2.11). Al-Isti’dad lil mauti wasulil qabri, bab Sifatu Ainil huri, juz 1, (dalam CD al- Maktabah al-Syamilah versi 2.11). Ja’far, Abu, Tafsir at-Tabariy,bab 30, juz 1, (dalam CD al-Maktabah al-Syamilah versi 2.11). Al-Kasysyaf, bab 124, juz 1, (Dalam CD al-Maktabah al-Syamilah versi 2.11). Maslow, Abraham H., Toward A Psychology Of Being, New York: Van Nonstrand Reinhold Company, 1968. Miller, John P., HumanizingThe Classroom Model of Teaching in The Affective Education, New York Amerika Serikat: Praeger Publishers, 1976. Morgan, CliffordT., Introduction to Psychology” Second edition 1961, New York Toronto London, The University of Wisconsin, McGraw-Hill Book Company, INC, 1961. Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam; Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Cet. II, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002. Mulkhan, A. Munir, Cerdas di Kelas Sekolah Kepribadian Rangkuman Model Pengembangan Kepribadian dalam Pendidikan Berbasis Kelas hasil saduran buku Humanizing The Classroom karya John P. Muller, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2002.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Munjahid 119 Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

Mulyasa,H.E., Implementasi Kurikulum Tingkat satuan Pendidikan Kemandirian Guru dan Kepala Sekolah, Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009. Munjahid, “Buku Ajar Mata pelajaran Berbasis Nialai-Nilai Humanis Jilid 1”, Yogyakarta: PP. Azka, 2012. (belum diterbitkan). ______, “INSNIY Buku Panduan Pendidik Mata Pelajaran Membaca Alquran Berbasis Nilai-Nilai Humanis”, Yogyakarta: PP. Azka, 2013. (belum diterbitkan). Muslim, Imam, Sahih Muslim, Juz 2 (dalam CD al-Maktabah al-Syamilah). Muthawi’, Ibrahim ‘Ismat, Usul al-Tarbiyah, (Saudi Arabia: Dar al-Syuruq, 1982), hlm. 127. Al-Nawawi, Al-Imam, Al-Tibyan fi Adab Hamalat al-Qur’an, Damsyiq: Maktabah Dar al-Bayan, 1985. Rogers, Carl R., Freedom To Learn, (Columbus Ohio: Charles E Merril Publishing Company, 1969. Silberman, Mel, Active Learning 101 Strategies to Teach Any Subject,United States of America: A Simon & Schuster Company, 1996. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R & D, Bandung: Penerbit Alfabeta, 2011. al-Syaibany, Omar Muhammad al-Toumy, Falsafah Pendidikan Islam, alih bahasa Hasan Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 120 Munjahid Pendidikan Agama Islam pada Anak Jalanan dan Anak Terlantar...

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 121 The End of History and The Last Man

The End of History and The last Man1 (Sebuah Studi Deskriptif atas Pemikiran Francis Fukuyama)2

1 Menurut pengakuan penulisnya, “The Enad of History and The Last Man” tidak akan pernah terlahir, baik sebagai artikel maupun dalam bentuk buku, tanpa undangan penyampai kuliah dengan tajuk tersebut, yang diselenggarakan oleh Profesor Nathan Tarcor dan Allan Bloom, dari Jhon Olin Centre for Inquiry into Theory and Practice of Democracy, selama periode tahun akademik 1988-1989. Lihat dalam Francis Fukuyama, The End of History and Tthe Last Man, (New York: Avon Books, 1992), hlm ix. 2 Yoshihiro Francis Fukuyama (born October 27, 1952, Chicago, Illinois) is an Asian- American philosopher, political economist and author. Early Life, Francis Fukuyama was born in the Hyde Park neighborhood of Chicago. His father, Yoshio Fukuyama, a second- generation Japanese American, was trained as a minister in the Congregational Church and received a doctorate in sociology from the University of Chicago. His mother, Toshiko Kawata Fukuyama, was born in Kyoto, Japan, and was the daughter of Shiro Kawata, founder of the Economics Department of Kyoto University and first president of Osaka Municipal University in Osaka, Japan. Fukuyama’s childhood years were spent in New York City. In 1967 his family moved to State College, Pennsylvania, where he attended high school. Education, Francis Fukuyama is currently the Bernard L. Schwartz Professor of International Political Economy and Director of the International Development Program at the Paul H. Nitze School of Advanced International Studies at the Johns Hopkins University. He received his B.A. in classics from Cornell University, where he studied political philosophy under Allan Bloom. He earned his Ph.D. from Harvard in Political Science. He has been affiliated with the Telluride Association since his undergraduate years at Cornell, an educational enterprise that was home to other significant leaders and intellectuals, including the Nobel Laureate Steven Weinberg and the former defense and foreign affairs official, Paul Wolfowitz. Writings, Fukuyama is best known as the author of The End of History and the Last Man, in which he argued that the progression of human history as a struggle between ideologies is largely at an end, with the world settling on liberal democracy after the end of the Cold War and when the Berlin Wall fell in 1989. Fukuyama predicts the eventual triumph of political and economic liberalism. He has written a number of other books, among them Trust: The Social Virtues and the Creation of Prosperity and Our Posthuman Future: Consequences of the Biotechnology Revolution. In the latter, he qualified his original “end of history” thesis, arguing that since biotechnology increasingly allows humans to control their own evolution, it may allow humans to alter “human nature”, thereby putting Liberal Democracy at risk. One possible outcome could be that an altered human nature could end in radical inequality. The current revolution in biological sciences leads him to theorize in an environment in which as he says history is not at an end because science and technology are not at an end. Also among them is The Great Disruption: Human Nature and the Reconstruction of Social Order. In this book, he explores where social norms come from and talks about how the current disruption, due to the shift from the manufacturing age to the information age, is normal and will correct itself due to the need for humans to have social norms and rules… See http://www.brothersjudd.com/index.cfm/fuseaction/reviews.detail/book_id/988

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 122 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man

Abdul Jabpar STIQ An-Nur Yogyakarta [email protected]

Abstrak “Akhir sejarah” merupakan sebuah tesis dari Francis Fukuyama. Sebuah teori yang mengafirmasi kemenangan demokrasi liberal terhadap ideolog-ideologi tandingannya, seperti fasisme dan komunisme. Asumsi Fukuyama tersebut didasarkan atas ajaran filsafat “sejarah universal” ala Hegel, yang bersifat terarah dan berjalan dialektis menuju kesempurnaan. Bagi Fukuyama, menjelaskan sejarah manusia tidak cukup melalui interpretasi ekonomi, sebab manusia bukan semata-mata makhluk ekonomi. Melainkan, bagi Fukuyama, melalui analisa terhadap apa yang disebutnya sebagai “perjuangan untuk memperoleh pengakuan”, proses sejarah yang paralel dapat dijelaskan secara gamblang. [“The end of history” is a thesis of Francis Fukuyama. A theory which affirms the victory of liberal democracy against unmatchable ideologies, such as fascism and communism. Fukuyama assumptions are based on the doctrine of the philosophy of “universal history” a la Hegel, which is directed and run dialectical toward perfection. For Fukuyama, explaining human history is not simply through economic interpretation, because human beings are not solely economic beings. Rather, for Fukuyama, through the analysis of what he calls the “struggle for recognition”, the historical parallel can be explained clearly.] Kata kunci: akhir sejarah, perjuangan untuk memperoleh pengakuan.

A. “Akhir Sejarah”: Sebuah Kontroversi Pertama kali Fukuyama menyampaikan Tesisnya tentang “Akhir Sejarah” dalam sebuah artikel yang dipublikasikan pada jurnal The Internasional Interest, di Musim Panas tahun 1989, dengan judul “The End of History?”. Dalam artikel terbut, ia berpendapat bahwa ada fenomena luar biasa terkait dengan legitimasi demokrasi liberal sebagai sistem pemerintahan, seakan sebuah consensus di seluruh dunia. Ia telah mengalahkan ideologi-ideologi tandingannya, misalnya fasisme dan komunisme. Fenomena tersebut, membawa Fukuyama pada sebuah dugaan bahwa demokrasi liberal mungkin merupakan “titik akhir dari

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 123 The End of History and The Last Man evolusi ideologi umat manusia” dan “bentuk final pemerintahan manusia”, sehingga ia bisa disebut sebagai “Akhir Sejarah”.3 Menurutnya, pelbagai ideologi dan sistem pemerintahan lain—termasuk di dalamnya monarkhi, fasisme, dan komunisme—mengalami kegagalan karena kerusakan dan irrasionalitas internal. Sebaliknya, demokrasi liberal terbebas dari berbagai kontradiksi dan anomaly internal yang fundamental seperti itu. Namun saat ini, tidak berarti bahwa praktik demokrasi itu stabil, terbebas dari persoalan keadilan dan problema-problema serius lainya—tak terkecuali di Amerika Serikat, Perancis, dan Swiss. Perlu dicatat, persoalan-persoalan tersebut muncul disebabkan penerapan yang tidak lengkap dari dua prinsip kembar yakni kebebasan (liberty) dan persamaan (equality), sebagai pondasi bangunan demokrasi modern.4 Sementara beberapa Negara masa kini gagal mencapai demokrasi liberal5 yang stabil, yang lainnya mungkin memilih bentuk-bentuk pemerintahan yang lebih primitif seperti sistem teokrasi dan sistem diktator militer, di mana cita-cita demokrasi liberal tidak bisa berkembang di dalamnya. Tesis Fukuyama tersebut, banyak mengundang komentar dan kontroversi luar biasa di berbagai belahan dunia. Kritik dan sanggahan tersebut, bisa dilihat dalam dua bentuk, pertama terkait dengan pemahaman

3 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…,, hlm. xi. 4 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…,, hlm. xi. 5 Liberalisme merupakan faham yang meletakkan kebebasan individu sebagai nilai politik yang tertinggi. Walaupun liberalisme berakar dari Zaman Kebangkitan Barat, ia sekarang mengandungi pemikiran politik yang luas dan kaya dari segi sumber. Seseorang yang menerima fahaman liberalisme dipanggil seorang liberal. Walau bagaimanapun, maksud perkataan liberal mungkin berubah mengikut konteks sesebuah negara. Secara umumnya, liberalisme mengutamakan hak-hak peribadi serta kesamarataan terhadap peluang untuk semua. Faham ini ingin membentuk satu masyarakat yang mempertahankan pemikiran yang bebas untuk setiap orang, batasan kepada kuasa khususnya kuasa kerajaan dan agama, kedaulatan undang-undang, pendidikan awam yang percuma, kebebasan bertukar fikiran, ekonomi pasaran yang memberikan kebebasan menjalankan perusahaan peribadi dan sistem kerajaan yang terbuka yang melindungi hak-hak semua rakyat secara adil dan saksama.[2] Di dalam masyarakat moden, mereka yang liberal mengemari sistem yang adil dan terbuka di dalam sistem demokrasi liberal di mana semua rakyat mempunyai hak-hak yang sama rata di bawah undang-undang dan peluang yang saksama untuk hidup. Lihat dalam http:// en.wikipedia.org/wiki/liberalisme

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 124 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man dan definisi yang keliru tentang “history”, sedangkan yang lainnya secara lebih cerdas menyerang inti argumentasi Fukuyama.6 Fukuyama tidak memahami sejarah dalam pengertian konvensional sebagai kejadian dari berbagai peristiwa, misalnya runtuhnya tembok Berlin, pembantain komunis Cina di lapangan Tiananmen, dan invasi Irak ke Kuwait sebagai bukti “sejarah yang sedang berlangsung” (history was continuing). Karena dengan nalar ini, secara ipso facto akan membuktikan tesis Fukuyama salah.7 Namun, apa yang dimaksudnya dengan sebuah “Akhir Sejarah”, bertolak dan menunjuk pada sejarah yang dipahami sebagai sebuah proses tunggal, koheren, evolusioner, dengan memperhitungkan pengalaman keseluruhan umat manusia di setiap zaman.8 Pemahaman sejarah tersebut,

6 Menurut para pendukung Fukuyama, misinterpretasi yang lain ialah anggapan bahwa argumentasi Fukuyama merepresentasikan kepentingan Amerika Serikat, yakni bahwa model demokrasi ala Amerika merupakan satu-satunya sistem politik yang benar, karenanya setiap negara tak tehindarkan harus mengadopsi sistem pemerintahan tersebut. Argumentasi Fukuyam hanya memprediksi bahwa di masa depan akan lebih banyak pemerintahan yang menggunakan bingkai kerja (framework) demokrasi parlementer dan termasuk di dalamnya sistem pasar. Dalam konteks ini, beberapa negara seperti Swedia, Venezuela, Turkey, India, dan Ghana merupakan deskripsi yang tepat dari pada pada—atau lebih baik dari pada— Amerika Serikat. Karenanya, Fukuyama berkata: “The End of History was never linked to a specifically American model of social or political organisation. Following Alexandre Kojève, the Russian-French philosopher who inspired my original argument, I believe that the European Union more accurately reflects what the world will look like at the end of history than the contemporary United States. The EU’s attempt to transcend sovereignty and traditional power politics by establishing a transnational rule of law is much more in line with a “post-historical” world than the Americans’ continuing belief in God, national sovereignty, and their military.”The Guardian, 3 April 2007” lihat dalam http://en.wikipedia. org/wiki/The_End_of_History_and_the_Last_Man”. 7 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…, hlm. xii. 8 Dalam konteks ini dapat dikatakan bahwa sejarah dalam pemahaman Fukuyama, ialah sejarah dalam perspektif (filsafat) sejarah spekulatif yang berpretensi menjawab persoalan sejarah secara universal. biasanya ada tiga pokok studi yakni; pertama, menjelaskan irama atau pola proses sejarah. Kedua, menelaah “motor” penggerak proses sejarah. Ketiga, sasaran sejarah yang dituju oleh proses sejarah. Lihat F.R. Ankersmit, Refleksi tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terjem. Oleh dick Hartokolm, (Jakarta: PT Gramedia, 1987), hlm. 7.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 125 The End of History and The Last Man merupakan warisan intelektual filsuf besar Jerman, yakni G.W.F. Hegel.9 Dan atas jasa Karl Marx10, hal itu telah menjadi atmosfer intelektual kita—dialah yang membawa konsep sejarah Hegel—sehingga secara implisit mempengaruhi kita dalam penggunaan istilah-istilah seperti “primitive” atau “maju”, “tradisonal” atau “modern”, ketika menunjuk pada tipologi masyarakat. Kedua pemikir besar tersebut, berpandangan bahwa ada sebuah perkembangan yang koheren dalam berbagai masyrakat dari suku-suku sederhana yang didasarkan atas perbudakan dan subsistensi, melalui

9 Georg Wilhelm Hegel (1770-1831), merupakan filsuf Jerman. Hegel lahir di Stuttgart, dia belajar di Tübingen. Pada tahun 1801 ia medapatkan lisensi tutor sebagai Privatdozent dalam bidang filsafat, ia mengajar di di Jena. Namun, pada tahun 1907 ia terpaksa meninggalkan Jena karena “Perang napoleon”, dan selama 8 tahun dia tinggal di Nürnberg sebagai direktur Gymnasium. Pada tahun 1816 ia mendapat gelar Profesor dalam bidang Filsafat di Heidelberg. Dua tahun kemudian ia menggantikan Fichte sebagai Profesor di Berlin. Adapun karya-karnya ialah phänomenologie des Geites atau Phenomenology of Mind (1910), The phenomenology of Spirit (1977), Wissenschaft der Logik atau The Science of Logic (1874), Enzyklopädie der Philosophischen Wissenschaften in Grundisse atau The Encyclopedia of the Philosophical Science (1816), dan Grundlinien der Philosophie des Rechts atau Philosophy of Right (1821). Lihat Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy,(New York: Oxford University Press, 1994), hlm. 168-169. lihat juga Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat, terjem. oleh H.M. Rasjidi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm223. 10 Karl Marx (1818-1883), lahir di Trier, dan belajar hukum di Universitas Bonn, kemudian belajar sejarah dan filsafat di Berlin. Dari tahun 1841 ia bekerja di Koran beraliran radikal, the Reinische Zeitung. Pada 1843 Marx menikah dan pindah ke Paris, dan bertme dengan Engels. Pada masa ini, aktivitas pentingnya ialah menulis, hingga lahir karyanya yang dikenal dengan The Economic and Philosophical Manuscripts of 1844, dipubilikasikan pada tahun 1930. Pada periode ini pula ia menjauhkan dirinya dari para Hegelian muda, dan mulai tertarik mempelajari karya para ahli ekonomi dan politik Inggris, seperti Adam Smith, David Ricardo, dan James Mill. Dalam Manuscripts Marx memperkenalkan konsep alienasi , dan mengangkat isu tradisi ekonomi politik yang tidak adil sebagai fakta alamiah, kegagalan dalam memahami pembentuk sosialnya. Sedangkan Theses on Feuerbach (ditulis 1845) dan German Ideology (1845) Marx mulai concern dalam mengkaji perbedaan bentuk masyarakat, dan suksesi perkembangan mereka dalam reaksinya terhadap “kontradiksi” atau ketegangan antara kelas-kelas berbeda, atau kekuatan-kekuatan produktif dalam masyrakat. Di tahun 1848, ia tinggal di London, saat itu pula karyanya yang terkenal rampung ia tulis, yaitu The Communist Manifesto. Sedangkan teori Marx yang mendeskripsikan tentang masyarakat dan ekonominya bias ditemukan pada karya monumentalnya, yaitu Capital, terbit dalam tiga volume pada tahun 1867, 1885, dan 1893. lihat Simon Blackburn, The Oxford Dictionary of Philosophy…, hlm. 231-232.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 126 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man bermacam-macam teokrasi, monarki, dan aristokrasi feodal, hingga lahir demokarsi liberal modern dan teknologi yang dimotori oleh kapitalisme.11Proses evolusioner ini bukan sesuatu yang acak dan tidak dapat dipahami, namun demikian ia tidak berjalan pada garis lurus, dan bahkan mungkin sekali diajukan pertanyaan apakah manusia lebih gembira atau lebih baik sebagai implikasi dari sifat sejarah yang progresif. Baik Hegel maupun Marx percaya bahwa evolusi masyrakat tidaklah “open ended” tetapi ia akan berakhir bila manusia telah mencapai suatu bentuk masyrakat yang sempurna. Kemudian, kedua tokoh tersebut mewartakan suatu “akhir sejarah” yaitu: Hegel menyebutnya “negara liberal”, sedangakan Marx menunjuknya sebagai “masyrakat komunis”12. Namun demikian, tidak bisa dipahami bahwa perputaran alami dari kelahiran, hidup, dan kematian, akan berakhir. Tetapi, ini berarti bahwa tidak akan ada perkembangan dalam prinsip-prinsip penting dan lembaga- lembaga, karena semua pertanyaan besar telah terjawab dan terselesaikan.13

11 Terkait dengan perkembangan sejarah, hegel berpendapat bahwa secara abstrak bisa dipikirkan, yakni bahwa perubahan dalam sejarah bisa dipahami secara umum, sebagai keterkaitan yang progresif menuju sesuatu yang lebih baik, sesuatu yang lebih sempurna. Dalam hal ini Hegel menulis: “Abstracly considered, historical change has long beeb understood in general as involving a progress to something better, something more perfect…a drive toward perfectibility…”, lihat G.W. F. Hegel, Introduction to The Philosophy of History, with Selection fiom “The Philosophy of Right, translated by Leo Rauch (Indianapolis & Cambridge: Hackett Publishing Company, 1988, hlm. 57. 12 Bagi Marx, masyarakat komunis merupakan visi tentang kemakmuran material karena ia percaya bahwa produksi ilmiah modern dapat dengan baik menyediakan lebih daripada sekedar sarana-sarana kelangsungan hidup memadai. Masyarakat komunis merupakan masyarakat yang kurang lebih bersifat egaliter, walaupun dia memberi sedikit memberi tekanan pada kesamaan dalam arti sempit, sebuah cita-cita yang tidak punya arti apapun bila setiap orang meminati kesejahateraan orang lain, dan sadar bahwa perkembangannya sebagai manusia dapat sepenuhnya terwujud hanya dengan memberi bantuan bagi sesame secara sukarela. Dengan kata lain, nilai utama yang dilihat oleh Marx yang terkadung dalam kehidupan sosial komunis ialah nilai kebebasan, yang diartikan sebagai kemampuan untuk mengontrol lingkungan manusia dan membuatnya melayani kebutuhan-kebutuhan manusia. Lihat Tom Campbell, Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perandingan, terjem. oleh F. Budi Hardiman, (Yogyakarta: Kanisius, 1994), hlm. 156. 13 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…, hlm. xii.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 127 The End of History and The Last Man

Selanjutnya, terlepas apakah merupakan suatu justifikasi dan afirmasi— atau bukan--atas tesisnya akan “akhir sejarah”, Fukuyama dalam Buku THE END OF HISTORY AND THE LAST MAN, mengetengahkan fenomena politik pasca perang dingin, yang mengantarkanya pada pertanyaan klasik: apakah, pada akhir abad XX, itu akan memberikan arti bagi kita untuk membicarakan tentang sebuah sejarah yang koheren dan direksional, yang pada akhirnya membawa sebagia besar umat manusia menuju demokrasi liberal? Bagi Fukuyama, jawabannya adalah “ya”, dengan dua alasan. Salah satunya telah dilakukan oleh sector ekonomi, sedangkan yang lainnya dilakukan oleh apa yang dinamakan dengan “perjuangan untuk memperoleh pengakuan” (the struggle for recognition).14 Namun, tidaklah cukup hanya dengan mengaitkan otoritas Hegel dan Marx, atau beberapa pengikut kontemporer mereka untuk menentukan validitas sebuah sejarah yang direksional. Mayoritas pemikir pada abad ke 20 secara lansung menyerang ide bahwa sejarah adalah proses yang koheren dan dapat dipahami; mereka menyangkal bahwa beberapa aspek kehidupan manusia secara filosofis dapat dipahami. Misalnya, masyarakat Barat sepenuhnya pesimis dengan kemungkinan perkembangan menuju terciptanya secara keseluruhan institusi yang demokratis. Sikap tersebut, tidaklah muncul secara tiba-tiba, namun itu bertolak dari peristiwa- peristiwa politik yang mengerikan pada paro pertama abad XX, yaitu; dua perang dunia yang menghancurkan, munculnya ideologi totalitarian, berbaliknya sains melawan manusia dalam bentuk senjata nuclear, dan pelbagai kerusakan lingkungan. Maka, lumrah jika korban kekerasan politik di beberapa abad yang lalu—orang-orang yang selamat dari kekejaman, Hitler, Stalin, dan Pol-pot—akan menyangkal bahwa ada yang disebut dengan kemajuan sejarah (historical progress). Tak khayal jika kita akan terbiasa menduga bahwa masa depan akan dipenuhi oleh berbagai berita buruk terkait dengan bidang kesehatan, keamanan, dan mungkin praktik-praktik politik demokrasi liberal.

14 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man… hlm. xvi.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 128 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man

Dalam seperempat abad terakhir pada abad ke-20, ada fenomena yang mencengangkan dan memberikan harapan baru akan tataan dunia baru di masa depan. Yakni, terkuaknya kelemahan-kelemahan sistem pemerintahan militer-otoritarian kanan, maupun totalitarian-komunis kiri. Saat mereka tidak menemukan jalan menuju demokrasi liberal yang lebih stabil. Demokrasi liberal tetap merupakan pilihan utama aspirasi politik yang koheren dan menjangkau perbedaan wilayah dan budaya di dunia. Di lain pihak, prinsip-prinsip ekonomi liberal—“pasar bebas”—telah menyebar, dan telah berhasil memproduksi kesejahteraan material yang belum pernah dicapai sebelumnya oleh negara-negara berkembang, yang menjelang Perang Dunia ke II masih merupakan negara-negara Dunia Ketiga yang masih miskin. Menurut Fukuyama, fenomena tersebut bertolak belakang dengan sejarah kelam pada paro pertama dari abad itu, ketika pemerintahan totalitarian kanan dan kiri masih berkuasa. Hal ini melahirkan sebuah pertanyaan apakah ada hubungan yang kuat di antara mereka, atau hanya merupakan suatu yang sifatnya aksidental dan kebetulan. Adalah sine qua non munculnya kembali diskusrsus tentang kemunkian adanya “sejarah universal manusia”, yang sudah di mulai pada awal abad ke-19. Bertolak dari ide dan pertanyaan para filsuf seperti Hegel,15 Fukuyama ingin memberikan reinterpretasi dan pembacaan ulang sebagai sebuah argumentasi afirmatif terhadap padangan mereka, berpijak pada fenomena kekinian tentang kemungkinan laju sejarah yang direksional dan koheren.16

15 Disini perlu digaris bawahi bahwa di jajaran filsuf sejarah, Hagel memiliki keunikan tersendiri, adapun keunikannya antara lain ialah; pertama, ia berpendapat bahwa sejarah merupakan suatu proses yang rasional dan oleh karena itu universal. Hal ini berarti bahwa makna sejarah yang dikemukakannya itu tidak saja menyangkut bangsa-bangsa tertentu atau lapisan tertentu, tetapi menyangkut setiap orang yang ada, pernah ada, dan yang akan ada, tidak ada penegecualiaan. Karena itu filsafat sejarahnya disebut “Sejarah Universal”. Kedua, bahwa proses sejarah umat manusia menuju tujuan tertentu atau sejarah yang terarah (direksional). Ketiga, proses sejarah itu berjalan secara dialektis menuju kesempurnaan. 16 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xiv.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 129 The End of History and The Last Man

B. Sejarah Universal: Sebuah Interpretasi Perspektif Sains Modern dan Ekonomi Untuk mendukung validitas tesis tentang “Sejarah Universal”, pertama-tama Fukuyama memilih sains modern sebagai mekanisme untuk menjelaskan tentang arah dan keherensi sejarah. Baginya, Sain modern merupakan titik tolak penting, karena ia merupakan satu-satunya aktivitas sosial yang menurut consensus umum (common sense) bersifat kumulatif dan direksional. Meskipun pengaruhnya bagi manusia bersifat ambigu. Pada abad ke-16 sampai 17, telah terjadi penaklukan alam secara progresif, bersamaan dengan pengembangan metode-metode ilmiah yang berproses menurut hukum-hukum tertentu, yang tak ditentukan oleh manusia, tetapi oleh alam dengan hukum-hukumnya. Perkembangan sains modern memiliki implikasi yang seragam pada seluruh masyarakat yang telah mengalaminya, karena dua alasan, yaitu: pertama, teknologi telah memberikan keuntungan militer tertentu bagi negara-negara yang memilikinya, yang memungkinkan bagi mereka untuk melanjutkan perang. Dalam sistem negara internasional, tidak ada negara yang menghargai kemerdekaannya dengan mengabaikan kebutuhan akan modernisasi. Kedua, sains modern terutama dengan teknologi memungkinkan akumulasi kekayaan tak terbatas dan pemuasan hasrat manusia yang lebih luas.17 Akibatnya, semua negara yang tengah melakukan modenisasi ekonomi harus semakin meningkatkan kemampuan mereka: mereka harus bersatu secara nasional atas dasar negara yang terpusat, menggantikan bentuk-bentuk organisasi social yang tradisional; misalnya, suku, sekte, dan keluarga. Sebagai penggantinya ialah organisasi-oraganisasi yang rasional secara ekonomi berdasarkan fungsi dan efiensi, serta memberikan pendidikan universal bagi warga negaranya. Masyarakat-masyarakat ini semakin dihubungkan satu dengan lainya melalui pasar global dan penyebaran budaya konsumerisme. Terlebih lagi, “logika sains modern”

17 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xiv.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 130 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man nampaknya mendikte evolusi universal dari arah kapitalisme.18 Hal ini bias dilihat pada negara-negara sosialis—misalnya Uni Soviet dan Cina—dengan sistem ekonomi yang terpusat bias menjangkau tingkat industrialisasi seperti yang dicontohkan oleh Eropa, namun tidak cukup memadai dalam menciptakan apa yang disebut ekonomi “pasca-industial” yang kompleks, karena inovasi dan informasi teknologi memainkan peran yang lebih vital. Mekanisme sejarah yang ditampilkan oleh sains modern cukup menjelaskan suatu jarring hubungan besar mengenai karakter perubahan sejarah dan keseragaman pertumbuhan masyrakat modern, namun ia tidak cukup menjelaskan fenomena demokrasi. Karena faktanya, tidak ada alasan secara ekonomi korelasi kemajuan industrialisasi bias menghasilkan kebebasan politik. Misalnya, ada contoh histories dan kontemporer mengenai kemajuan teknologi kapitalisme yang hidup berdampingan dengan otoritarianisme politik, mulai dari Meiji di Jepang dan Bismarckian di Jerman, hingga Singapura dan Thailand pada saat ini. Dan dalam beberapa kasus, negara-negara otoritarian mampu menghasilkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tidak bisa diraih dalam masyarakat yang demokratis. Jadi, menurut Fukuyama sains modern hanya sebagian saja berhasil menjelaskan dasar sejarah direksioanl. Apa yang disebut dengan “logika

18 Kapitalisme adalah sistem perekonomian yang menekankan peran kapital (modal), yakni kekayaan dalam segala jenisnya, termasuk barang-barang yang digunakan dalam produksi barang lainnya (Bagus, 1996). Ebenstein (1990) menyebut kapitalisme sebagai sistem sosial yang menyeluruh, lebih dari sekedar sistem perekonomian. Ia mengaitkan perkembangan kapitalisme sebagai bagian dari gerakan individualisme. Sedangkan Hayek (1978) memandang kapitalisme sebagai perwujudan liberalisme dalam ekonomi.Menurut Ayn Rand (1970), kapitalisme adalah "a social system based on the recognition of individual rights, including property rights, in which all property is privately owned". (Suatu sistem sosial yang berbasiskan pada pengakuan atas hak-hak individu, termasuk hak milik di mana semua pemilikan adalah milik privat).Ayn Rand dalam Capitalism (1970) menyebutkan tiga asumsi dasar kapitalisme, yaitu: (a) kebebasan individu, (b) kepentingan diri (selfishness), dan (c) pasar bebas. Lihat Husain Heriyanto, Kapitalisme: Sebuah Modus Eksistensi, dalam http://media.isnet.org/islam/Etc/ Kapitalisme.html.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 131 The End of History and The Last Man sains modern” kalau ditelaah lebih lanjut hanya merupakan interpretasi ekonomi mengenai perubahan sejarah, yang akhirnya lebih mengarah pada kapitalisme ketimbang sosialisme sebagai hasil akhirnya.19 Misalnya, dalam kehidupan nyata kita lebih senang sebagai pekerja-pekerja kantor dari pada para petani yang hidup susah payah dari tanah air, kita lebih mematuhi otoritas birokrasi dari pada mematuhi seorang “pendeta”, dan mungkin kita lebih suka menjadi anggota organisasi professional dari pada menjadai anggota suku-suku atau marga. Tetapi, interpretasi-interpretasi ekonomi terhadap sejarah adalah tafsir yang tidak lengkap dan tidak memuaskan, karena manusia bukan binatang ekonomi (an economic animal) semata-mata. Interpretasi ekonomi tidak bisa menjawab secara riil mengapa kita menjadi democrat, yakni; menjadi para pendukung prinsip kedaulatan popular dan jaminan terhadap hak-hak asasi sesuai aturan hukum. Karena alasan itulah, Fukuyama mengetengahkan “perjuangan untuk memperoleh pengakuan” (struggle for recognition), untuk menjelaskan proses sejarah yang paralel, dengan memahami manusia secara utuh tidak hanya dari aspek ekonomi.

C. “Struggle for Recognition”: Sebagai “Motor” Penggerak Sejarah “Struggle for recognition” merupakan penjelasan sejarah nonmateralis a la Hegel. Menurutnya, manusia layaknya binatang, yang memiliki kebutuhan alami dan hasrat terhadap benda-benda di luar dirinya, seperti makanan, minuman, tempat berlindung, dan segala sesuatu pemeliharaan fisiknya. Tetapi, secara fundamental manusia berbeda dengan binatang, karena di samping manusia memiliki hasrat terhadap “sesuatu” yang di luar dirinya, ia juga ingin “diakui” (to be recognized) oleh orang lain. Terutama, dia ingin diakui sebagai seorang manusia dengan martabat dan penghargaan. Gairah untuk memperolah pengakuan pada awalnya mengendalikan dua pejuang primordial sebagai upaya untuk membuat manusia lain “mengakui” martabat kemanusiaan mereka dengan menjalani

19 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xvi.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 132 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man kehidupan dalam sebuah perang yang mematikan. Ketika ketakutan alami terhadap kematian mengarahkan salah satu pejuang untuk tunduk, maka lahirlah hubungan antara tuan dan budak. Tujuan dalam peperangan berdarah pada awal sejarah bukanlah makanan, temapt berlindung atau keamanan, tetapi semata-mata untuk prestise. Bagi Hegel, tujuan perang tidak ditentukan oleh aspek biologis, namun di dalam perang terdapat cahaya kebebasan manusia.20 Sebenarnya “hasrat untuk diakui” (the desire for recognition) sudah sama tuanya dengan tradisi filsafat politik Barat. Ia pertama kali dideskripsikan oleh Plato21, dalam Republic, ketika ia menjelaskan tiga bagian dari jiwa manusia, yaitu: hasrat (desire), akal (reason), dan thymos atau “gairah” (spiritedness). Banyak perilaku manusia dapat dijelaskan sebagai perpaduan dari hasrat dan akal; hasratlah yang mendorong menusia untuk mencari sesuatu di luar dirinya, sementara akal memberikan petunjuk terbaik bagi menusia untuk mencapainya. Di lain pihak, manusia mencari pengakuan akan martabat mereka sendiri, kecenderungan untuk merasakan penghargaan diri (self-esteem) muncul dari bagian jiwa manusia yang disebut bagian jiwa manusia yang disebut thymos. Misalnya, “rasa keadilan” sebagai sifat bawaan. Orang-orang percaya bahwa mereka memiliki nilai-nilai tertentu, dan apabila ada oknum yang mengancam meraka, walaupun mereka memiliki status yang lebih rendah, akan memunculkan reaksi marah

20 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xiv. 21 Plato (427-347 SM), dilahirkan di Athena, di tengah-tengah lingkungan aristocrat. Waktu masih muda ia merencanakan untuk memasuki kehidupan politik tetapi ia membatalkan maksudnya tersebut ketika Socrates yang ia kagumi, dihukum mati oleh negara. Setelah Socrates meninggalkan Athena dan melakukan perjalanan sampai tahun 387 SM. Pada tahun itu ia kembali ke Athena dan mendirikan sekolah yang tersohor dengan nama Academy; ia memimpinnya selama 40 tahun. Seperti muridnya yang brilian, Aristoteles, ia adalah salah satu pemikir dan penulis yang sangat besar pengaruhnya dalam sejarah masyrakat Barat. Karya-karyanya yang terkenal, antara lain; Apology dan Crito, keduanya membicrakan tentang peradilan Socrates dan percakapan-percakapannya yang terakhir; Euthyphro yang membicarakan tentang ketakwaan (piety); Phaedo yang memusatkan pembicaraan tentang “ Idea of the Good”; dan Republic, karangan terbaik dari Plato yang membicarakan tentang keadilan dan negara ideal. Titus dkk., Persoalan-persoalan Filsafat…, hlm. 320.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 133 The End of History and The Last Man

(anger) bagi mereka. Saat mereka gagal menjalani hidup sesuai dengan nilai- nilai atau martabat mereka sendiri, mereka merasa malu (shame), dan jika mereka dinilai telah sesuai dengan martabatnya, mereka merasa bangga (pride). Kebutuhan manusia akan pengakuan, yang dibarengi oleh perasaan marah, malu, dan bangga, merupakan bagian kepribadian manusia yang bersifat kritis terhadap kehidupan politik. Menurut Hegel, hal itulah yang mengendalikan seluruh proses sejarah.22 Terkait dengan pembagian masyarakat manusia ke dalam kelas tuan dan budak, sebagai implikasi dari pertarungan manusia untuk memperoleh pengakuan pada awal sejarah. Namun hubungan antara penguasa dan budak, yang syarat dengan ketidakadilan dalam bentuk masyrakat ariktokratis, ternyata gagal memberikan kepuasan hasrat mereka untuk diakui, baik sebagai tuan mau pun sebagai budak. Budak, kurang dihargai sebagai manusia dalam pelbagai hal. Begitu pun, pengakuan bagi para tuan juga tidak sempurna, karena dia tidak diakui oleh para tuan yang lain. Ketidakpuasan terhadap pengakuan cacat ini memunculkan “kontradiksi” yang menimbulkan tahap-tahap sejarah lebih lanjut. Menurut Hegel revolusi-revolusi demokratis—termasuk di dalamnya revolusi Perancis dan Amerika—menghapuskan perbedaan antara tuan dan budak dengan menjadikan para budak sebagai tuan untuk diri mereka sendiri, dan dengan menetapkan prinsip-prinsip kedaulatan dan aturan hukum bersama. Pengakuan akan perbedaan posisi yang melekat pada para tuan dan para budak itu digantikan dengan pengakuan yang lebih universal dan timbale balik, dalam mekanisme setiap warga negara mengakui martabat dan kemanusiaan dari tiap warga Negara yang lain, dan martabat itu pada akhirnya diakui oleh Negara melalui penjaminan hak. Pandangan Hegel tentang makna kontemporer demokrasi liberal sangat jauh berbeda dengan sudut pandang pemikir Anglo-Saxon yang mengakui adanya dasar teoritis dari liberalisme di negara-negara seperti Inggris dan

22 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…, hlm. xvii.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 134 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man

Amerika. Dalam tradisi tersebut, “gairah” akan pengakuan diri, haruslah berada di bawah subordinasi kepentingan pribadi yang mencerahkan— yang merupakan kombinasi hasrat dan rasio—terutama hasrat untuk memelihara diri sendiri. Misalnya, Hobbes dan Lock—keduanya dalam tradisi inggris—serta para pendiri Amerika Serikat yakni Jefferson dan Madison, mereka percaya bahwa hak-hak pada tingkat etrtentu harus diadakan untuk melindungi wilayah pribadi, dengan demikian manusia dapat memperkaya dirinnya dan memuaskan hasrat-hasratnya. Namun bagi Hegel hak berada inheren dalam diri manusia, karena yang sebenarnya memuaskan diri mereka tidak hanya kesejahteraan secara material, tetapi juga pengakuan atas status martabat mereka. Dengan revolusi Perancis dan Amerika Serikat, Hegel yakin bahwa sejarah akan berakhir karena spirit yang mengendalikan proses sejarah—struggle for recognition—telah terpenuhi dalam bentuk suatu masyarakat yang memiliki pengakuan universal dan pengakuan timbale balik. Tidak ada tataan lain dari lembaga- lembaga sosial manusia yang lebih mampu memberikan pemuasan bagi kerinduan akan pengakuan diri manusia, karenanya, tidak mungkin ada perubahan sejarah progresif lebih lanjut.23 Jadi, hasrat untuk memperoleh pengakuan, dapat mengembalikan mata rantai yang hilang antara ekonomi liberal dan politik liberal. Hasrat dan akal cukup menjelaskan proses industrialisasi dan bagian besar dari kehidupan ekonomi secara lebih umum. Namun demikian keduanya tidak bias mengekang perjuangan demi demokrasi liberal, yang muncul dari thymos, bagian dari jiwa yang menuntut akan pengakuan. Perubahan- perubahan sosial yang mengiringi kemajuan industri, khususnya pendidikan universal, muncul untuk membebaskan tuntutan tertentu akan pengakuan yang tidak ada di kalangan masyarakat miskin dan kurang terdidik. Setelah standar hidup meningkat, setelah populasi menjadi lebih kosmopolit dan terdidik dengan lebih baik, dan seluruh masyarakat mencapai kehidupan yang lebih baik, mereka mulai menuntut, bukan

23 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xviii.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 135 The End of History and The Last Man hanya kekayaan yang lebih banyak, melainkan juga pengakuan atas status mereka. Jika masyarakat tidak lebih dari sekedar hasrat dan akal, mereka akan puas dengan di negara-negara otoritarian yang berorientasi pasar, misalnya korea selatan—di bawah kekuasaan militer. Namun mereka juga memiliki kebanggaan tymotic atas penghargaan diri mereka sendiri, dan hal ini menyebabkan mereka menuntut pemerintahan yang demokratis yang memperlakukan mereka sebagai manusia dewasa dibandingkan sebagai anak-anak, yang mengakui otonomi mereka sebagai individu yang bebas. Maka lumrah jika pada zaman kita, komunisme digantikan oleh demokrasi liberal, karena komunisme tidak memberikan bentuk pengakuan yang sempurna.

D. Desire for Recognition: Interpretasi Problem Kemanusiaan melalui Thymos Bagi Fukuyama, “hasrat untuk memperoleh pengakuan” bisa menjadi alat reinterpretasi pelbagai fenomena kemanusiaan, seperti: kebudayaan, agama, pekerjaan, nasionalisme, dan perang. Seorang yang taat beragama, misalnya mencari pengakuan atas tuhan-tuhan atau ritual-ritual suci yang dilakukan, sementara seorang nasionalis menuntut pengakuan atas bahasa, budaya, dan kelompoknya. Kedua bentuk pengakuan itu, kurang rasional dibandingkan pengakuan universal dari negara liberal, karena keduanya perbedaan arbitrer antara yang sakral dan profan, atau di antara kelompok-kelompok sosial manusia. Karena itulah, agama, nasionalisme, dan berbagai kompleksitas yang dimiliki manusia—termasuk di dalamnya kebiasaan-kebiasaan, etika, dan adat-istiadat—secara tradisional ditafsirkan sebagai penghalang untuk menegakkan instusi-institusi politik yang demokratis dan ekonomi pasar bebas.24 Namun kebenaran merupakan suatu yang rumit, karena keberhasilan politisk liberal dan ekonomi liberal sering kali bersandar pada bentuk- bentuk pengakuan irasional yang diduga telah dilampaui oleh liberalisme. Agar demokrasi bisa berjalan, warga negara perlu mengembangkan suatu

24 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xix.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 136 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man kebanggaan yang irrasional atas lembaga-lembaga demokratis yang mereka miliki, dan juga harus mengembangkan apa yang disebut Tocqueville sebagai “seni berasosiasi” (art of associating), berdasarkan keterikan berlebihan pada komunitas-komunitas kecil. Komunitas tersebut biasanya didasari oleh agama, etnik, yang tidak mencukupi pengakuan universal sebagai landasan negara liberal. Dalam ekonomi liberal pun demikian, “kerja” secara tradisional dipahami dalam tradisi ekonomi liberal Barat sebagai suatu aktivitas yang secara esensial tidak menyenangkan, tetapi biasanya dilakukan untuk sekedar memuaskan hasrat manusia dan menghindari penderitaan manusia. Namun, dalam budaya-budaya tertentu dengan etika kerja yang kuat seperti para wiraswastawan Protestan yang telah membangun kapitalisme Eropa, atau golongan elite yang melakukan modernisasi di Jepang setelah restorasi Meiji, kerja juga dilakukan demi memperoleh pengakuan. Hal di atas memberi kesan bahwa ekonomi liberal tidak hanya berjalan menurut prinsip-prinsip liberal, tetapi juga membutuhkan bentuk-bentuk thymos yang irrasional.25 Menurut Fukuyama, dalam dunia politik internasional pun tidak terlepas dari perjuangan untuk memperolah pengakuan. Hubungan antar tuan dan budak pada level domestik, secara alami ditiru pada tingkat negara, yakni bangsa-bangsa sebagai suatu keseluruhan mencari pengakuan dan masuk dalam perjuangan berdarah demi kemenangan. Nasionalisme, sebagai bentuk pengakuan modern belum sepenuhnya rasional, dan telah lama menjadi sarana perjuangan untuk memperoleh pengakuan lebih dari seratus tahun yang lalu, serta menjadi akar munculnya konflik-konflik hebat pada abad ini. Begitulah dunia “kekuasaan politik”, yang digambarkan oleh para pemikir “realis” kebijakan politik luar negeri seperti Henry Kissinger. Fukuyama menyimpulkan, jika perang secara fundamental dikendalikan oleh hasrat untuk memperoleh pengakuan, ia bisa menjadi alasan bahwa revoilusi liberal yang menghapusken hubungan antara tuan dan budak dengan menjadikan para bekas budak sebagai tuan atas diri

25 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xx.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 137 The End of History and The Last Man mereka sendiri, niscaya mempunyai akibat yang kurang lebih sama pada hubungan antara negara.Demokrasi liberal menggantikan hasrat irrasional untuk diakui--lebih besar dari pada yang lain—dengan hasrat rasional untuk diakui sederajat. Sebuah dunia yang menegakkan demokrasi liberal, seharusnya mengurangi dorongan untuk perang , karena seluruh bangsa secara timbal balik akan mengakui legitimasi yang dimiliki negara lain. Secara empiris ini bisa dibuktikan, bahwa beberapa ratus tahun yang lalu bahwa demokrasi liberal tidak memperlakukan negara-negara lain secara imprealistis, sekalipun mereka secara sempurna mampu berperang dengan negara-negara yang tidak demokratis dan tidak memiliki persamaan nilai- nilai fundamental yang mereka yakini.

E. Makhluk Akhir Sejarah: “Men without Chests”? Banyak orang berasumsi bahwa kemungkinan akhir sejarah berkisar pada persoalan apakah ada alternatif-alternatif keberlangsungan eksistensi demokrasi liberal yang nyata dalm kontek dunia ke kinian. Ada pelbagai kontroversi, misalnya apakah komunisme benar-benar telah mati, apakah agama atau ultransionalisme mungkin kembali, dan pernyaan-pertayaan semacam itu. Namun persoalan yang lebih besar, ialah berkaitan dengan kebaikan dan keistimewaan dari demokrasi liberal itu sendiri, dan bukan hanya pada persoalan apakah ia berhasil mengalahkan lawan-lawannya saat ini. Dengan asumsi bahwa demokrsi liberal—untuk sementara— selamat dari musuh-musuh ekternalnya, apakah kita bisa berasumsi bahwa masyarakat demokratis yang berhasil, akan tetap pada jalurnya dalam waktu yang tak terbatas? Atau apakah demokrasi liberal mengandung pelbagai pertentangan internal yang serius, yang pada akhirnya akan meruntuhkannya sebagai sebuah sistem politik? Terkait dengan hal itu, Fukuyama berpendapat bahwa memang tidak ada keraguan bahwa negara-negara demokrasi kontemporer menghadapi pelbagai persoalan serius, mulai dari obat bius, gelandangan, dan kejahatan yang merusak lingkungan, sampai tingkah laku konsumerisme. Tetapi problem-problem

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 138 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man tersebut secara nyata bukannya tidak bisa dipecahkan atas dasar prinsip- prinsip liberal, juga tidak sedemikian serius sehingga mengarah pada keruntuhan seluruh masyarakat seperti runtuhnya komunisme pada tahun 1980-an.26 Fukuyama mempertegas tesisnya bahwa “demokrsi Liberal” merupakan ideologi terakhir, dengan meminjam argumentasi Alexandre Kojève—sebagai penafsir besar Hegel. Kojève berpendapat bahwa sejarah telah berakhir karena apa yang disebut sebagai “negara homogen dan universal” secara terbatas memberikan jawaban terhadap permasalahan “pengakuan” dengan menggantikan hubungan antara raja dan budak dengan pengakuan yang universal dan sederajat. Apa yang dicari manusia selama perjalanan tahap-tahap sejarah ialah pengakuan. Di dunia modern, akhirnya dia menemukannya, dan “terpuaskan sepenuhnya”. Klaim Kojève ini merupakan pernyatan serius dan sungguh-sungguh, dan bagi Fukuyama harus kita terima secara sungguh-sungguh juga. Karena mungkin pemahaman terhadap persoalan politik selama masa ribuan tahun sejarah manusia bisa disebut sebagai usaha untuk memecahkan problem pengakuan. Pengakuan ialah sentral problem politik, karena ia merupakan asal-usul dari tirani, imprealisme, dan hasrat utnuk mendominasi. Namun demikian, meskipun “recognition” memiliki sisi gelap, ia tidak dapat dihapuskan dari dunia politik, karena secara simultan ia merupakan dasar psikologis untuk memunculkan kebajikan-kebajikan politik seperti keberanian (courage), semangat untuk kepentingan umum (public-spiritedness), dan keadilan (justice). Seluruh masyarakat politik harus mempergunakan hasrat untuk memperoleh pengakuan, dan pada saat yang bersamaan harus melindungi diri dari penegaruh-pengaruh negatifnya yang merusak. Akhirnya, jika pemerintahan konstitusional kontemporer telah menemukan sebuah formula di mana semuanya diakui, serta merta menghindari lahirnya tirani, maka ia sesunggunya memiliki klaim khusus

26 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xxi.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 139 The End of History and The Last Man terciptanya stabilitas dan umur yang panjang di antara reim-rezim yang pernah muncul di dunia. Kemudian, pertanyaan terkhir ialah; apakah pengakuan itu bisa diterapkan pada warga Negara demokrasi liberal kontemporer “yang sepenuhnya memuaskan”? Masa depan demokrasi liberal sangat bergantung pada jawaban-jawaban pertanyaan ini. Kelompok Kiri mengatakan bahwa pengakuan universal dalam demokrasi liberal sangat tidak sempurna karena kapitalisme menciptakan ketidakadilan ekonomi dan memerlukan pembagian kerja yang ipso facto mengimplikasikan pengakuan tidak sama. Dalam hal ini, tingkat kemakmuran absolut sebuah bangsa tidak mampu memberikan solusi, karena orang-orang yang relative miskin, tidak akan kelihatan sebagai manusia di antara anggota warga negara mereka. Jadi demokrasi liberal, dengan kata lain, tetap mengakui masyarakat yang sederajat (equal) secara tidak sederajat (unequal). Kritik yang lebih tajam atas pengakuan universal datang dari Kelompok Kanan yang sangat konsen dengan plbagai akibat dari komitmen Revolusi Perancis terhadap persamaan manusia. Mereka menemukan juru bicaranya yang paling brilian pada seorang filsuf besar, yakni Nietzsche27—฀

27 Nietzsche lahir di Rochen pada 15 Oktober 1844. Hari kelahirannya sama dengan hari kelahiran Raja Prusia saat itu, Friedrich Wilhelm. Karenanya, sang ayah memberi nama baptis Friedrich pada bayinya. Saat yang paling membahagiakan bagi Nietzsche, ialah kurun waktu kebersamaanya dengan sang ayah. Namun fase bahagia itu, nampak terlalu singkat karena di usia Nietzsche menginjak empat tahun, tiba-tiba ayahnya sakit keras dan meninggal tahun 1849. Kakeknya, Friedrich August Ludwig (1756-1862), merupakan pejabat penting dalam Gereja Lutheran, posisinya disejajarkan dengan seorang uskup dalam Gereja Katolik. Ayahnya, Karl Ludwig Nietzsche (1813-1849), merupakan pendeta saleh di desa Rocken, dekat Lutzen. Sedangkan ibunya, ialah Franziska Oehler (1826-1879), juga merupakan seorang Lutheran yang berasal dari keluarga pendeta. Sikap Franziska sering bertentangan dengan Nietzsche, namun tragisnya, dialah orang yang paling dekat dengan Nietzsche. Dia adalah seorang filsuf eksistensialis terkenal dengan jargon yang paling fenomenal yang dikumandangkannya yakni”Tuhan sudah mati” (bahasa Jerman: ”Gott ist tot”).Karya-karyanya antara lain Die Geburt de Tragodie aus dem Geiste der Musik (The Birth of Tragedy out of The Spirit of Music, lahirnya tragedi dari Semangat Musik), 1872; Unzeitgemasse Betrachtungen (Untimely Medition, Permenungan yang Terlalu Awal) 1873 dan 1876; Menschliches, Allzumenschliches (Human, All- Too—Human) 1878; serta pada tahun 1879, ia menulis dua buku yakni Vermischte

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 140 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man dalam banyak hal pandangannya ditentang oleh pengamat masyarakat demokratis, yakni Alexis de Tocqueville. Nietzsche percaya bahwa dengan demokrasi modern tidak merepresentasikan penguasaan diri bekas para budak, tetapi kemenangan tanpa syarat dari para budak dan jenis moralitas yang memperbudak. Tipikal masyarakat demokrasi liberal ialah “manusia terakhir”, setelah dididik oleh para pendiri liberalisme modern, ia menyerahkan kepercayaanya yang berlebihan pada nilainya sendiri yang superior demi mendukung pemeliharaan diri yang menyenangkan. Demokrasi liberal memproduksi “manusia tanpa dada” (men without chests), yang terdiri dari hasrat dan akal, tetapi kehilangan thymos, pandai menemukan cara-cara baru untuk memuaskan pelbagai keinginan melalui kalkulasi kepentingan pribadi jangka panjang. Manusia terakhir tidak memiliki hasrat untuk diakui sebagai yang lebih besar daripada yang lain, dan hasrat ini, tidak mungkin ada keunggulan dan pencapaian. Dia puas dengan kebahagiaannya dan tidak mampu merasakan rasa malu apa pun karena tidak mampu meningkatkan diri melebihi keinginan-keinginan itu, manusia terakhir berhenti menjadi manusia.28 Dengan mengikuti alur pemikiran Nietsche, kita dipaksa untuk mengajukan pertayaan-pertanyaan berikut: tidakkah manusia yang terpuaskan secara sempurna hanya dengan pengakuan universal ialah manusia yang kurang utuh, sungguh suatu yang menjijikkan, “manusia terakhir” tanpa perjuangan dan tanpa inspirasi? Tidak adakah sisi dari kepribadian manusia yang secara sengaja menempuh perjuangan, bahaya, resiko, dan tantangan, serta sisi ini tetap tidak terpenuhi oleh “perdamaian dan kemakmuran” dari demokrasi liberal kontemporer?

Meinungen und Spruche (Mixed Opions and Maxims; Kumpulan Gagasan dan Pepatah), dan Der wanderer und Sein Schatten (The Wander and His Shadow, Petualang dan Bayang- bayangnya). St. Sunardi, Nietzsche, (Yogyakarta: LKiS, 1999), hlm. 3-22, lihat juga Marc Sautet, Nietzsche untuk Pemula, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), hlm. 6-7, juga Sindhunata, “Kritik Humanisme Ateis” dalam Basis Nomor 11-12, Tahun Ke-49, November-Desember 2000, Yogyakarta, hlm. 3. juga Nietzsche, dalam http://www. edinformatics.com/great_thinkers/nietzsche.html, juga Nietzsche, dalam http:// www.rightsphilosophyforum.org/Nietzsche.html. 28 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…, hlm.. xxii.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 141 The End of History and The Last Man

Tidakkah kepuasan dari manusia-manusia tertentu tergantung pada pengakuan yang secara inheren tidak sama? Tidakkah hasrat terhadap pengakuan yang tidak sama merupakan dasar kehidupan yang langgeng, bukan hanya untuk masyarakat aristokratik yang sudah berlalu, tetapi juga di negara-negara demokrasi liberal modern? Tidakkah masa depan mereka tergantung pada level di mana para warga negaranya berupaya untuk diakui bukan hanya sebagai sama, tetapi sebagai yang unggul dibangding yang lain? Dan mungkin tidak adanya rasa takut menjadi “manusia terakhir” hina, yang tidak mengarahkan manusia untuk menegaskan diri mereka dengan cara-cara terbaru dan tidak terduga, bahkan sampai pada tahap tertentu kembali menjadi “manusia-manusia pertama” yang terlibat dalam peperangan berdarah demi gengsi, pada zaman ini mempergunakan senjata-senjata modern. Bagi Fukuyama, pertanyaan-pertanyaan ini secara alami muncul, ketika kita bertanya adakah sesuatu yang disebut kemajuan, dan apakah kita dapat mengkonstruksi sebuah sejarah universal yang koheren dan direksional tentang umatb manusia. Dan buku The End of History And The Last Man” berpretensi untuk menjawab persoalan-persoalan tersebut di atas.29

F. Respon dan Kritik terhadap Tesis “Akhir Sejarah” Tesis Fukuyama tentang “Akhir Sejarah” sebagai symbol kemenangan sistem demokrasi liberal, mendapat banyak keberatan dari berbagai pihak. Terkait dengan persoalan-persoalan “demokrasi liberal” ada beberapa kritik yakni di antaranya: Pertama, para pendukung feminisme meragukan demokrasi liberal—meskipun lebih baik dari pendahulunya—bisa menciptakan kesetaraan gender secara sempurna.30

29 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xxiii. 30 Lihat dalam http://en.wikipedia.org/wiki/The_End_of_History_and_the_ Last_Man

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 142 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man

Kedua, Jacques Derrida dalam buku “Specters of Marx” (1993) berpendapat bahwa Fukuyama—dengan bukunya yang termasyhur— merupakan salah satu gejala ketakutan yang dibawa oleh “hantu-hantu Marx”31. Bagi Derrida Fukuyama adalah pembacaan lebih lanjut dari Alexandre Kojève; orang yang telah menggambarkan masyarakat Amerika Serikat pada tahun 1950an sebagai “realisasi komunisme”.32 Ketiga, Environmentalism. Ialah gerakan gerakan para pencinta lingkungan, mereka membantah bahwa ekonomi kapitalis mengalami pertumbuhan yang tak memperdulikan konflik secara langsung mengakibatkan sumber daya alam Bumi yang langka. Beberapa gangguan radikal di dalam situasi ekonomi-sosial dunia dikembangkan dan harus terjadi.33 Keempat, Libertarianism. Beberapa libertarian radikal (yang diwakili oleh Hans-Hermann Hoppe) menyatakan bahwa demokrasi mengagalkan tradisi liberal klasik dengan merendahkan hak individu (terutama harta pribadi) terhadap kepentingan publik, dan demokrasi adalah

31 terkait dengan hegemony liberal ia berkomentar:…”For it must be cried out, at a time when some have the audacity to neo-evangelise in the name of the ideal of a liberal democracy that has finally realised itself as the ideal of human history: never have violence, inequality, exclusion, famine, and thus economic oppression affected as many human beings in the history of the earth and of humanity. Instead of singing the advent of the ideal of liberal democracy and of the capitalist market in the euphoria of the end of history, instead of celebrating the ‘end of ideologies’ and the end of the great emancipatory discourses, let us never neglect this obvious macroscopic fact, made up of innumerable singular sites of suffering: no degree of progress allows one to ignore that never before, in absolute figures, have so many men, women and children been subjugated, starved or exterminated on the earth. A reply is that it is misleading to look at absolute numbers instead of percentage living in poverty when the world’s population has rapidly increased, that worldwide poverty is rapidly declining (see the Poverty article), and that it is mainly nondemocracies that have such problems to extreme degrees…”. Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xxiii. 32 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xxiii. 33 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xxiii.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 143 The End of History and The Last Man satu kemunduran peradaban jika dibandingkan dengan kerajaan (lihat Democracy: The God Failed).34 Terakhir, merupakan fenomena menarik, Fukuyama mengakui bahwa tesisnya tidak lengkap kecuali dengan satu alasan yang berbeda:“tidak akan ada akhir sejarah tanpa akhir teknologi dan sains (alam) modern” (“there can be no end of history without an end of modern natural science and technology”). Dikutip dari Our Posthuman Future. Fukuyama memprediksi bahwa penguasaan manusia atas evolusinya akan berpengaruh sangat besar dan mungkin sangat mengerikan bagi demokrasi liberal.35

G. Epilog: Sebuah Refleksi terhadap “Akhir Sejarah” Fukuyama Menurut hemat penulis, “The End of History” Fukuyama yang menegaskan demokrasi liberal sebagai kemungkinan dari “titik akhir dari evolusi ideologi umat manusia” dan “bentuk final pemerintahan manusia”, sehingga ia bisa disebut sebagai “Akhir Sejarah”; merupakan suatu penjelasan yang rasional mengenai perkembangan global mutakhir. Penjelasan Fukuyama bahwa perjalanan sejarah dipengaruhi oleh factor ekonomi dan thymos, memberikan penjelasan yang menyeluruh tentang kondisi sekarang. Namun pandangan ini sangat determistik karena menempatkan manusia dalam suatu kerangka umum yang telah ditentukan oleh sebelumnya dan yang memastikan pada perkembangan menuju suatu akhir yang telah digarikan sebelumnya. Hal ini merupakan sebuah konsekuensi logis dari pilihan Fukuyama mendasarkan analisisnya di atas filsafat sejarah Hegel. Meskipun demikian, terlepas dari sifat sejarah spekulatif yang deterministic ala Hegel, harus diakui bahwa di jajaran filsuf sejarah, Hagel memiliki keunikan tersendiri, adapun keunikannya antara lain ialah; pertama, ia berpendapat bahwa sejarah merupakan suatu proses yang rasional dan oleh karena itu universal. Hal ini berarti bahwa makna sejarah

34 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xxiii. 35 Francis Fukuyama, The End of History and the Last Man…. hlm. xxiii.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 144 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man yang dikemukakannya itu tidak saja menyangkut bangsa-bangsa tertentu atau lapisan tertentu, tetapi menyangkut setiap orang yang ada, pernah ada, dan yang akan ada, tidak ada penegecualiaan. Karena itu filsafat sejarahnya disebut “Sejarah Universal”. Kedua, bahwa proses sejarah umat manusia menuju tujuan tertentu atau sejarah yang terarah (direksional). Ketiga, proses sejarah itu berjalan secara dialektis menuju kesempurnaan. Terkait dengan pandangan Fukuyama secara menyeluruh, yang menarik (perlu dicatat!) ialah ketika ia merevesi pandangannya tentang “Akhir Sejarah” tersebut, ketika dia mengatakan: “there can be no end of history without an end of modern natural science and technology”. Sikap ini mencerminkan tanggung jawab ilmuan sejati yang selalu melakukan penelitian, dan dengan jujur melakukan kritik, bahkan terhadap pandangan pribadinya yang sebelumnya. Akhirnya, terlepas dari pelbagai kontroversi tentang sejarah, harus diakui dengan penuh legowo bahwa Filsafat Sejarah memiliki peranan yang sangat signifikan bagi kehipan manusia. Karena bagaimapun manusia takkan pernah lepas dari sejarahnya sendiri. Karena itu, perlu kita renungkan bahwa pemahaman dan pengertian apa pun tentang sejarah perlu dikritisi untuk lebih meningkatkan humanitas kita. Finally, penulis akhiri tulisan ini dengan ungkapan Nietzsche: “Tak ada fakta, yang ada hanya tafsir…”

Daftar Pusraka Ankersmit, F.R. 1987. Refleksi tentang Sejarah, Pendapat-pendapat Modern tentang Filsafat Sejarah, terjem. Oleh dick Hartokolm. PT Gramedia, Jakarta. Blackburn, Simon. 1994. The Oxford Dictionary of Philosophy. Oxford University Press, New York.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Abdul Jabpar 145 The End of History and The Last Man

Campbell, Tom. 1994. Tujuh Teori Sosial, Sketsa, Penilaian, Perandingan, terjem. oleh F. Budi Hardiman. Kanisius,Yogyakarta. Fukuyama, Francis. 1992. The End of History and Tthe Last Man. Avon Books, New York.. F. Fukuyama, http://www.brothersjudd.com/index.cfm/fuseaction/ reviews.detail/book_id/988 Hegel, G.W. F. 1988. Introduction to The Philosophy of History, with Selection fiom “The Philosophy of Right, translated by Leo Rauch. Hackett Publishing Company, Indianapolis & Cambridge. Heriyanto, Husain. Kapitalisme: Sebuah Modus Eksistensi, dalam http:// media.isnet.org/islam/Etc/Kapitalisme.html. Nietzsche, dalam http://www.edinformatics.com/great_thinkers/ nietzsche.html, ______, dalam http://www.rightsphilosophyforum.org/Nietzsche. html. Liberalisme , dalam http://en.wikipedia.org/wiki/liberalisme Sautet, Marc. 2001. Nietzsche untuk Pemula. Kanisius Yogyakarta. Sunardi, St. 1999. Nietzsche. LkiS, Yogyakarta. Sindhunata, “Kritik Humanisme Ateis” dalam Basis Nomor 11-12, Tahun Ke-49, November-Desember 2000, Yogyakarta. The End of History, dalam http://en.wikipedia.org/wiki/The_End_of_ History_and_the_Last_Man Titus dkk., 1984. Persoalan-persoalan Filsafat, terjem. oleh H.M. Rasjidi, Bulan Bintang, Jakarta.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 146 Abdul Jabpar The End of History and The Last Man

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 147 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi, Pendidikan Inklusif, dan Pendidikan Integrasi (Studi Pendidikan di Perguruan Tinggi Yogyakarta)

Aris Nurlailiyah STIQ An-Nur Yogyakarta [email protected]

Abstrak Ayat-ayat Al-Qur’an menjadikan Islam kaya dengan teori. Teori yang terkandung di dalamnya dijadikan kutipan oleh Sarjana Pendidikan Islam sebagai dasar Pendidikan Islam. Teori membawa kritik penafsiran yang ada di Indonesia memiliki konsep besar. Konsep penafsiran Quran menjadi ruang penelitian bagi permasalahan living Al Qur’an. Penafsiran Al-Qur’an tentang pendidikan mengakibatkan ahli pendidikan Islam yang menafsirkan ayat pendidikan di dibagi ke dalam tiga konsep pendidikan. Tiga konsep bahwa praktisi pendidikan digunakan membuat penafsiran al-Quran menjadi bermasalah. Tulisan ini mencoba untuk melihat kritik penafsiran yang ada dalam living Quran pada konsep pendidikan yang digunakan praktisi pendidikan dalam menerapkan model pembelajaran. [Qur’an verses with making Islam is rich with theory. The theory contained in it made the quote by scholars of Islamic education as the basis of Islamic education. The theory brought criticism of the interpretation that exists in Indonesia had a great concept. The concept of exigesis Quran examines on every problem raised in the living Qur’an. Exsigesis of the living Qur’an about education resulted in Islamic education experts interpret the education in his divided into three concept of education. Three concepts that used educational practitioners make exsigesis al-Quran becomes problematic. This paper tried to see criticism of the interpretation that exists in living Quran on the concept of education which used educational practitioners in applying the model of learning.] Kata Kunci: ayat-ayat pendidikan, pendidikan segregasi, pendidikan inklusif, pendidikan integratif.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 148 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

A. Pendahuluan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, menjamin tidak adanya perbedaan bagi setiap warga negara Indonesia untuk mendapatkan pendidikan di jenjang pendidikan tinggi. UU no. 4 tahun 1997 bahwa difabel berhak mendapatkan layanan pendidikan yang layak pada semua level. Hal ini menunjukkan bahwa setiap anak berhak memperoleh kesempatan yang sama dengan anak lainnya dalam pendidikan. Pendidikan merupakan hak semua warga Indonesia tanpa melihat agama, suku, kulit, fisik atau kemampuan otak. Setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, berhak untuk mendapatkan perhatian yang sama sebagai peserta didik, berhak menyatu dengan lingkungannya dan menjalin kehidupan sosial yang harmonis serta berhak di pandang sama dan tidak mendapatkan diskriminasi dalam pendidikan. Realitanya, pendidikan untuk difabel di Indonesia masih termarjinalkan, khususnya pada pendidikan tinggi.1 Di Yogyakarta yang menjadi icon pendidikan inklusif hanya ada 2 kampus, yaitu UIN Sunan Kalijaga dan Univ. Negeri Yogyakarta yang mau menerima mahasiswa difabel dengan berbagai peraturannya. Secara filosofi inklusi diartikan sebagai affirmative action untuk mengakomodasi pendidikan bagi peserta didik dengan difabilitasnya. Pengertian luas ini, secara fundamental menunjukkan kepada praktek integrasi di mana peserta berkebutuhan khusus dituntut untuk menyesuaikan diri dengan mainstream.2 Pelaksanaan pendidikan inklusif masih belum mampu menjawab kebutuhan serta kualitas pendidikan itu sendiri. Di satu pihak kesiapan perguruan tinggi juga perlu ditanyakan ulang, terkait dengan ketersediaan

1 Andayani Rof’ah dan Muhrisun Afandi, Inklusi pada Pendidikan Tinggi: Best Practices Pembelajaran dan Pelayanan Adaptif bagi Mahasiswa Difabel Netra (Yogyakarta: Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), 2010), hlm. 1. 2 Andayani Rof’ah dan Muhrisun Afandi, Inklusi pada Pendidikan Tinggi... hlm. 7.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 149 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi... media belajar, infra struktur, serta berbagai fasilitas yang aksesibel. Sementara di pihak lain, pengayaan soft resources yang berupa penguasaan pemahaman pengajar serta manajemen lembaga pendidikan, kemampuan mengelola pembelajaran dalam setting inklusi, melakukan sistem penilaian, serta modivikasi kurikulum yang menjadi konsekwensi logis dari pendidikan inklusif juga masih menjadi problem perdebatan yang panjang. Dipandang dari perspektif Islam, dalam Al Qurandiambil 27 ayat pendidikan populer yang dikumpulkan oleh penulis, disini baik secara tersurat ataupun tersirat tidak nampak lafadz yang menjelaskan tentang pendirian sebuah instansi pendidikan,meskipun ayat-ayat ini ditarik dan digunakan sebagai dasar dari pendidikan Islam dan komponen- komponennya. Menurut analisis penulis, ayat-ayat tersebut hanya berisi tentang semangat untuk menjadi orang yang berilmu, contohnya saja lafadz yaddabbaru pada surat Shod: 29, lafadz ‘alama pada surat al Alaq: 1-5, al Mujadalah: 11, Arrahman: 1-4 dan lain sebagainya. Istilah pendidikan memiliki penyebutan yang berbeda di beberapa Negara, di Indonesia sendiri term ini lebih terkenal dengan kata “tarbiyah”, di Malaysia “ta’dib” di timur tengah “tadris” dan “ta’lim”. Perbadaan ini menjadi perdebatan tersendiri pada masanya, namun ada hal-hal yang fundamental untuk diketahui yaitu ayat al Quran yang menjadi dasar untuk pelaksanaan pendidikan Islam terkhusus pelaksanaan pendidikan inklusif.

B. Pembahasan

1. Istilah Pendidikan Pendidikan Islam memiliki beberapa istilah yang disandarkan kepada etimologi pembahasaannya, di antaranya tarbiyah, ta’lim, ta’dib3. Sebenarnya. Tidak hanya tiga kata ini, ada beberapa kalimat

3 Irsyad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam (Jakarta: Karsa Utama Mandiri

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 150 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

yang secara bahasa di artikan pendidikan “riyadah, tazkiyah, tabyin” dan lain sebagainya. Namun, pembahasan kali ini hanya akan dibahas tiga kalimat yang sering menjadi perdebatan di antara pakar pendidikan. Sebagaimana Athiyah Al Abrasy dengan konsep “tarbiyah”, Muhammad Naquib Al Attas dengan konsep “ta’dib” dan Abd. Fattah Jalal dengan konsep “ta’lim”.Sebagaimana konfrensi pertama di Makkah yang menyatakan,

The meaning of educational in it totality in the context of Islam is inheren in the connotation of the terms tarbiyah, taklim, and tadib taken together.What each of these terms conveys cocrening man and his society and environment in relation to God is related to the others, and together they represent the scope of education in Islam, both formal and non formal.4 Sehingga istilah tarbiyah digunakan untuk menyebut pendidikan Islam. Akan tetapi ada beberapa Negara seperti Malaysia yang sering menggunakan istilah ta’dib dalam menyebut pendidikan Islam.

a) Kata tarbiyah Istilah tarbiyah dalam bahasa Arab berasal tiga kata, pertama, berasal dari kata “rabba yarbu” yang berarti “bertambah dan tumbuh. Kedua, berasal dari kata “rabiya-yarba” tumbuh dan berkembang. Ketiga, berasal dari kata “rabba-yarubbu” yang artinya memperbaiki, menguasai urusan, menuntut, menjaga dan memelihara.5 Berbagai makna dalam lafadz tarbiyah, secara garis besar memberikan arti memperbaiki secara bertahap dan berkesinambungan. Dalam proses pendidikan, pendidik dan segala komponen-komponennya berusaha

dan PB. Mathlo’ul Anwar, 1998), hlm. 4. 4 Tim Dosen IAIN , Dasar-Dasar Kependidikan Islam: Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam (Surabaya: Karya Abdiyatama, 1996), hlm. 13. 5 Ali Anas Nasution, “Konsep Dasar Pendidikan Islam: Istilah Term Pendidikan Islam Dalam Al-Qur’an”, Jurnal Thariqah Ilmiah Vol. 01, hlm. 5. Lihat juga Abdurrahman an- Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam (Bandung: Dipenogoro, 1996), hlm. 30-33.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 151 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi... membantu peserta didik untuk menjadi manusia yang berakhlak baik, berilmu, bertakwa dan mandiri. dengan jumlah1241 pada 1069 ayat6 رب Al Quran menyebutkan kata Arrahman: 17, Al Waqiah: 37,55, Al Mudatsir: 3, 7, Al Muthoffin: 28, Assyuara’: 26, Asshoffat: 126, dll-- denga berbagai bentuk kalimatnya. Menurut Muhammad Athiyah Al Abrasy, istilah tarbiyah lebih tepat digunakan,7 karena mencakup keselurushan aspek dan komponen- komponen pendidikan, berbeda dengan ta’lim yang memberikan makna pendidikan hanya pada batas tertentu yaitu transfer of knowledge. Sementara, pendidikan Islam tidak hanya menjadikan peserta didik menjadi anak yang berilmu, namun juga harus memiliki kecerdasan emosional dan ketakwaan yang baik.

b) Kata ta’lim Istilah ta’lim berasal dari kata dasar “alama – ya’lamu” yang berarti mengecap atau memberi tanda. Berasal dari kata dasar “alima- ya’lamu” yang berarti mengerti atau memberi tanda. Dalam alQuran istilah ini berjumlah 582 kata di 484 ayat.8 Bentuk katanya bervariasi ada fiil madhi, mudlorek, isim tafdhil dan sebagainya. lafadz-lafadz ini bisa ditemui pada Arrahman: 2,4, al Alaq: 5, Attakasur: 5, Al Insyiqaq: 23, al Anbiyah: 11, al Kahfi: 66 dan lain sebagainya. Ta’lim adalah proses penyampaian pengetahuan dan penyadaran diri akan fitrah beserta tugas-tugas kemanusiaan yang diaplikasikan dalam kehidupan real-nya.9Begitu juga menurut Abdul Fatah Jalal, ta’lim memiliki cakupan yang lebih luas dari tarbiyah yaitu mencakup seluruh

6 Softwer Zekr 7 Muhammad 'Athiyah al-Abrasyi, at-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fafasifatuha (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1975), cet. 3, hlm. 34. 8 Softwer Zekr 9 Irsyad Djuwaeli, Pembaruan Kembali Pendidikan Islam .. hlm. 4.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 152 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi... fase kehidupan manusia.10Istilah ini memiliki keywords memelihara dan mendidik peserta didik mulai ia bayi hingga lansia.

c) KataTa’dib Secara etimologi ta’dib adalah bentuk masdar dari kata addaba yang berartiberadab, mendidik.11Adab berhubungan dengan sopan santun yang didasarkan atas aturan agama,sehingga akan mencerminkan kepribadian. Istilah ini dikemukakan oleh Muhammad Naquib Al-Attas,12 menurutnya istilah ini dianggap tepat karena pendidikan Islam adalah menanamkan adab pada manusia yang mencakup ilmu dan amal. Istilah ini dianggap penting oleh Al Attas, karena istilah tarbiyah mengacu kepada kepemilikan pengetahuan bukan penanamannya dan istilah ta’lim lebih berorientasi kepada pengenalan saja yang berarti “pengajaran”.Sedangkan ta’dib mencakup unsur pengetahuan, pengajaran dan pengasuh yang baik (tarbiyah). Karenanya, al-Attas menganggap istilah ta’dib lebih cepat dalam memberi makna pendidikan Islam.13 Sehingga istilah ini ditujukan hanya kepada manusia yang menerima pengajaran dan pendidikan.

2. Tiga Konsep Pendidikan dalam Definisi Pendidikan

a) Pendidikan Segregasi Segregasi secara etimologi berasal dari kata segregate yang artinya memisahkan, para pakar menjelaskan segregasi adalah pemisahan

10 Abdul Fatah Jalal, Azas-azas Pendidikan Islam (Bandung: CV. Diponegoro, 1988), hlm. 28. 11 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta : Hidakarya Agung, 1992), hlm. 37. 12 Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 60. 13 Muhammad Naquib Al-Attas, Konsep Pendidikan dalam Islam... hlm. 64-65.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 153 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

satu golongan dengan golongan yang lain.14 Sistem pendidikan yang penyelengggaraannya dilaksanakan secara khusus dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikananak normal yaitu pemisahan difabel dari sistem pendidikan reguler. Di Indonesia bentuk sekolah segregasi ini adalah Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan jenis difabelnya. SLB A untuk anak tunanetra, SLB B untuk anak tunarungu, SLB C untuk anak tunagrahita, SLB D untuk anak tunadaksa, SLB E untuk anak tunalaras dan SLB F untuk difabel ganda. Dalam pendidikan segregasi dibutuhkan alat-alat bantu belajar yang dirancang khusus untuk siswa. Contohnya untu difabel netra disediakan buku-buku Braille, alat bantu hitung taktual, peta timbul dan lain sebagainya, Jumlah siswa dalam satu kelas tidak lebih dari delapan orang, lingkungan yang memiliki mainstream ramah difabel, fisik aksesibel seperti kamar mandi, gedung dan lain sebagainnya dan adanya modelling (contoh difabel sukses). Diantara kelebihan sistem pendidikan ini adalah memudahkan pendidik dalam menyampaikan materi, sarana dan prasarana yang sesuai, siswa tidak menjadi bahan ejekan dari siswa lain yang normal. Sedangkan kelemahannya, biaya relative mahal, egoistik dalam kesenjangan kualitas pendidikan, efektif dan efisien untuk kepentingan individu, kurang sosialisasi dengan khalayak umum. Minimnya SLB, menjadikan difabel harus tinggal di asrama jauh dari orang tua sehingga anak tidak belajar dengan dunia nyata yang memiliki tetangga dan masyarakat secara umum serta anak difabel akan terkelompok dengan jenis difabel yang sama sehingga kurang adanya sosialisasi dengan siswa yang memiliki jenis difabel yang berbeda dan lain sebagainya.

14 Mimin Casmini, Pendidikan Segregasi, http://file.upi.edu/Direktori/FIP/JUR._ PEND._LUAR_BIASA/195403101988032-MIMIN_CASMINI/Pendidikan_Segregasi.pdf, diakses pada 2 Januari 2015

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 154 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

b) Pendidikan inklusif Inklusif secara etimologi diambil dari bahasa Inggris yakni inclusion yang memiliki arti termasuknya atau pemasukan. Secara istilah adalah mewujudkan suatu kehidupan yang ramah tidak diskriminatif dalam segala aspek kehidupan masyarakat,15 dengan demikian inklusi tidak hanya menyangkut aspek kepercayaan, sosial, ekonomi namun juga aspek pendidikan. Inklusi merupakan cita-cita untuk menuju kehidupan adil dan makmur serta sejahtera yang harus dicapai dalam suatu tatatan negara. Sehingga, falsafah pendidikan inklusif merupakan upaya untuk mewujudkan sekolah yang ramah dalam pembelajaran. Ramah disini adalah menghargai hak dasar manusia, memperhatikan kebutuhan individual, menerima keanekaragaman, tidak deskriminatif, menghindari labelisasi dan pendidikan untuk semua. Setiap anak berhak untuk mengakses dan mendapatkan fasilitas pendidikan yang layak, belajar hidup bersama dan bersosialisasi, perhatian yang sama sebagai peserta didik, integrasi pada lingkungan, Penerimaan terhadap perbedaan dan lain sebagainya. Sekolah ramah menuntut perubahan pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang membutuhkan kesiapan siswa, guru dan orang tua juga kesiapaninfrastruktur. Secara garis besar pendidikan inklusif adalah instansi pendidikan yang menerima difabel dengan kurikulum dan sistem pendidikan sesuai dengan jenis kelainannya. Jika diterapkan dalam sebuah sistem pendidikan, maka harus disiapkan kondisi kelas yang hangat, ramah, menerima keanekaragaman dan menghargai perbedaan, siap mengelola kelas yang heterogen dengan menerapkan kurikulum dan pembelajaran yang bersifat individual, guru pada sekolah inklusif

15 Richard J. Mouw dan Sander Griffon, Pluralism dan Horizons (Eerdsmans Publishing company: 1993), hlm. 2.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 155 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

dituntut melakukan kolaborasi dengan profesi atau sumberdaya lain dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Perkembangan pendidikan inklusifdi Indonesia masih berujung pro dan kontra, sampai saat ini belum ada bukti empirik bahwa SLB merupakan satu-satunya sistem terbaik untuk pendidikan difabel, biaya relative lebih mahal dibanding dengan sekolah regular, akses SLB yang jauh dan tidak terjangkau, SLB (terutama yang berasrama) merupakan sekolah yang memisahkan anak dari kehidupan sosial yang nyata, di sekolah reguler terdapat anak berkebutuhan khusus yang tidak mendapatkan layanan yang sesuai, penyelenggaraan SLB berimplikasi adanya labelisasi anak ‘cacat’ yang dapat menimbulkan stigma sepanjang hayat, proses edukasi kepada masyarakat agar menghargai adanya perbedaan.16 Namun, UU memberikan kesempatan pendidikan khusus bagi anak berkebutuhan khusus, beberapa masyarakat masih memilih SLB karena jauh lebih efektif, belum siapnya sekolah reguler terutama menyangkut sumberdaya yang terbatas.17 Bagaimanapun untuk menciptakan pendidikan inklusif diperlukan pemikiran yang serius, bagaimana memodifikasi materi, soal, penilaian, evaluasi dan lain sebagainya. Sehingga praktek dilapangan banyak intansi yang berlebel pendidikan inklusif dengan sarana sistem pendidikan integrasi. Tujuan Pendidikan inklusif memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak untuk mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan kebutuhannya, mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar, menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif, serta ramah terhadap pembelajaran.

16 Syukron Zahidi, “Perbedaan Pendidikan Inklusif, Segregasi dan Reguler”, dalam izzaucon.blogspot.com/2014/06/perbedaan-pendidikan-inklusi-segregasi.html, diakses pada 2 Januari 2015. 17 Syukron Zahidi, “Perbedaan Pendidikan Inklusif, Segregasi...”

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 156 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

Landasan pendidikan inklusif berasal dari beberapa sumber yaitu, pertama, filosofis bangsa Indonesia “bhinneka tunggal ika”. Kedua, andangan Agama, dalam Islam ada beberapa sumber yang ditegaskan bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci, kemuliaan seseorang di hadapan Tuhan (Allah) bukan karena fisik tetapi taqwanya, Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri, manusia diciptakan berbeda-beda untuk saling silaturahmi (inklusif’) dan lain sebagainya. Ketiga, hak asasi manusia, setiap manusia mempunyai hak untuk hidup layak, hak pendidikan, hak kesehatan, hak pekerjaan. Keempat, landasan Yuridis UUD 1945 (Amandemen) Ps. 31, UU No. 23 Tahun 2002, UU No. 20 Tahun 2003,Ps. 5 ayat 1, 2, 3, 4, Pasal 11 ayat 1 dan 2 dan lain sebagainya. Kelima, peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang standar Nasional Pendidikan. Pasal 2 ayat (1) Lingkungan Stándar Nasional Pendidikan meliputi standar isi, standar proses, standar kompetensi lulusan, standar pendidik dan kependidikan, standar sarana prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan, dan standar penilaian pendidikan. Dalam PP No. 19/2005 tersebut juga dijelaskan bahwa satuan pendidikan khusus terdiri atas SDLB, SMPLB dan SMALB. Keenam,Surat Edaran Dirjen Dikdasmen Depdiknas No. 380/C.C6/ MN/2003. Proses sudut pandang masyarakat terhadap difabel yang bersifatremedial dan charity, lambat laun bergeser dengan diawalinya konvensi PBB dunia tentang penyandang disabilitas yang memberikan perubahan cara pandang menjadi HAM yaitu difabel memiliki hak yang sama dengan non difabel dalam segala aspek.18 Sehingga difabel tidak lagi dipandang sebagai obyek tetapi subyek yang memiliki hak yang sama dan berperan aktif di masyarakat.

18 Michael Yudha Winarno DKK, Towards an Inclusive Society in Indonesia: A Bridge Over Troubled Water (Yogyakarta: Caritas Germany Country Office Indonesia, 2010), hlm. 107.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 157 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

c) Pendidikan Integrasi Pendidikan integrasi yaitu sekolah reguler (Sekolah untuk anak- anak normal) yang menerima ABK dengan kurikulum dan sistem pendidikan reguler/biasa.19 Jenis pendidikan ini tidak membedakan antara kurikulum anak normal dan difabel, guru tidak harus lulusan dari PLB, sarana dan prasarana sama, sejara garis besar perlakuan yang akan diterima siswa difabel tidak ada bedanya dengan yang normal. Sehingga menjadi salah satu kelebihan ketika anak difabel bisa bersosialisasi dengan teman-temannya yang non difabel, akan tetapi menjadi salah satu kendala tersendiri dalam hal teknis semisal siswa difabel tidak bisa mengikuti materi secara menyeluruh seperti siswa non difabel dan guru kurang berpengalaman dalam menangani siswa difabel.

2. Perguruan Tinggi Inklusi

a) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta PLD (Pusat Layanan Difabel) merupakan lembaga layanan struktural di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP2M) berdiri pada tanggal 2 Mei 2007 dengan nama Pusat Studi dan Layanan Difabel (PSLD) dan berubah menjadi PLD pada tanggal 19 Juli 2013.20 Berdirinya PSLD berawal dari pengalaman tiga orang dosen UIN Sunan Kalijaga yang sedang menempuh S2 Social Work di McGill University, Montreal, Kanada. Di universitas tempat mereka belajar itulah mereka menemukan apa yang hingga saat itu belum mereka jumpai di UIN Sunan Kalijaga yaitu para difabel yang mendapatkan

19 Lizza Suzanti, S.Pd., M.Si, http://fidiupiserang.blogspot.co.id/2014/10/ pengertian-pendidikan-inklusif.html?m=1, diakses pada 2 Januari 2015. 20 Brosur PSLD cetakan lama.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 158 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

berbagai layanan dan fasilitas kuliah. Mereka adalah Ro’fah, Ph.D, Andayani, MSW dan Muhrison, Ph. D.21 Sekitar tahun 2007 itu, UIN Sunan Kalijaga memiliki dan sudah meluluskan sejumlah tunanetra. Akan tetapi mahasiswa difabel tersebut tidak mendapatkan layanan dan fasilitas apa pun. Saat itu mereka mengandalkan tekad pribadi dan bantuan kebaikan hati orang-orang di sekitarnya. Pelaksanaan pendidikan inklusi di UIN Sunan Kalijaga tidak dapat dilepaskan dari adanya kebijakan pendidikan inklusi itu sendiri. Karena kebijakan sebagai legalitas formal atas upaya pemberdayaan mahasiswa difabel. Melalui kebijakannya, manajemen puncak mendorong diimplementasikannya hak pendidikan yang sama bagi seluruh mahasiswa tanpa terkecuali, dan memberikan aksesibilitas bagi penyandang difabel di UIN Sunan Kalijaga. Ketika penerimaan mahasiswa baru sasaran pendidikan inklusi secara umum adalah seluruh mahasiswa, dan difabel khususnya. Mahasiswa keseluruhan harus memahami dan menerima keanekaragaman dan perbedaan individual di UIN. Tidak hanya mahasiswa difabel, tapi mahasiswa normal. Mereka secara keseluruhan adalah peserta didik pada jenjang pendidikan tinggi. Keberadaan mahasiswa akan menentukan hidup tidaknya suatu perguruan tinggi, bahkan kredibilitas suatu perguruan tinggi juga sangat ditentukan oleh kuantitas dan kualitas yang dimiliki oleh mahasiswa dari perguruan tinggi yang bersangkutan.22 Dalam penerimaan mahasiswa baru, UIN tidak membatasi calon mahasiswa, baik itu kaya atau miskin, difabel ataupun nondifabel. Dalam penentuan kuotanya mengacu pada keadaan sarana dan tenaga pendidik yang tersedia. Sedangkan terkait pemilihan program studi, tidak semua program

21 Sejarah PLD,http://pld.uin-suka.ac.id/p/sejarah.html, diakses pada 04 November 2014. 22 Syahrizal Abbas, Manajemen Perguruan Tinggi: Beberapa Catatan, (Jakarta: Prenada Media Group, Cet. 2, 2009) hlm. 154.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 159 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

studi dapat dipilih calon mahasiswa difabel, karena terdapat program studi yang memiliki persyaratan khusus, misalnya saintek. Sebagaimana tercantum dalam brosur penerimaan mahasiswabaru UIN Sunan Kalijaga bahwasannya untuk Fakultas Sains dan Teknologi; Prodi Biologi, Pendidikan Biologi, Kimia, Pendidikan Kimia, Fisika, Pendidikan Fisika, Teknik Industri, Teknik Informatika dan Fakultas Sosial-Humaniora; Prodi Psikologi disyaratkan tidak memiliki buta warna. sehingga secara otomatis, mahasiswa difabel netra tidak memenuhi persyaratan tersebut.

b) Univ. Negeri Yogyakarta Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) sebagai perguruan tinggi yang menerima mahasiswa berkebutuhan khusus (difabel). Mahasiswa ini mendapat pendidikan yang sama dengan siswa lain namun dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) merupakan salah satu fakultas yang menerima mahasiswa difabel khususnya di Prodi Pendidikan Luar Biasa (PLB). Telah tercatat banyak mahasiswa difabel baik alumni maupun mahasiswa aktif yang menempuh pendidikan di prodi PLB ini. Meski demikian, layanan aksesibilitas bagi penyandang difabel belum maksimal. Baik itu akses pendidikan, fasilitas dan sarana maupun metode pembelajaran. Minimnya aksesibilitas ini bahkan sudah sejak dari dulu hingga sekarang belum ada perbaikan yang terlihat nyata untuk memberikan layanan yang bermutu bagi mahasiswa difabel. UNY salah satu kampus yang mendeklarasikan sebagai kampus inklusif memang menerima mahasiswa difabel, tapi penerimaan tersebut tidak ke semua jurusan, mereka disendirikan dalam satu jurusan Pendidikan Luar Biasa (PLB), berbeda dengan UIN yang difabel bisa masuk ke beberapa jurusan kecuali yang membutuhkan syarat khusus.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 160 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

2. Analisis Tafsir 27 Ayat Pendidikan dalam 3 Konsep Pendidikan Bagi seorang muslim terdapat keyakinan tentang apa yang dilakukannya hendaklah memiliki dasar yang bersumber dari Al Quran dan al Hadist, apalagi Islam adalah ajaran yang sudah mendunia, segala aspek kehidupan telah diislamisasikan dengan dasar teks-teks agama, begitu juga soal pendidikan. Pendidikan merupakan upaya sadar yang dilakukan oleh manusia untuk manusia dengan berbagai perangkat, karakter dan eksistensinya. Hakikat pendidikan adalah penyerapan sebuah pengetahuan tanpa batas sehingga berhubungan langsung dengan perkembangan fisik dan psikis.23 Term inilah yang menjadi perbincangan berlarut-larut mengenai istilah pendidikan dan pengajaran. Ada banyak ayat yang disebut sebagai ayat pendidikan, disini penulis melakukan penelusuran dari beberapa buku-buku pendidikan yang sudah dicetak dan situs blogg, penulis mengambil 27 ayat al Quran yang sering dikutip kebanyakan ahli pendidikan yang akan digunakan sebagai acuan penulisan makalah ini. Ayat-ayat tersebut adalah: Mujadalah: 11 Lukman: 14-17. Al Lukman: 13 Muhammad: Thoha: 114 As Shafaat: 102 Al Khaaf: 66 38 Al Alaq: 1-5 Shod: 29 Ar Rahman: 1-4 Asy Syu’ara: 214 Al A’raaf: 35 Al Baqarah: 31 Al Imran: 7 Al Imran: 18 Al Ankabut: 43 Al Kahfi: 66 Huud: 24 An Nisa’: 83 Fatiir: 28 Azzumar: 9 An Nahl: 125 Al Mujadilah: 11 Abasa: 1-3 Al Ankabut: 19-20 At Taubah: 122 Ar Rahman: 47-48

23 Ahmad Izzan dan Saehudin, Tafsir Pendidikan: Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan (Banten: Pustaka Aufa Media, 2010), hlm, 57.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 161 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

Ayat-ayat di atas memiliki istilah yang berbeda dalam menyebut proses belajar, diantaranya:

Ayat Teks Muhammad: 38 Yastabdiil Al Alaq: 1-5 ‘alama Mujadalah: 11 ‘alama Thoha: 114 ‘alama Shod: 29 Yatadabbaru, atadzakkaru Lukman: 14-17 ‘alama As Shafaat: 102 Undhur Ar Rahman: 1-4 ‘alama Asy Syu’ara: 214 Andzir Al Ankabut: 19-20 Yaraa At Taubah: 122 Tafaqaahu An Nahl: 125 Mauidzoh bil hikmah, ‘alama Ar Rahman: 47-48 Rabbun Al A’raaf: 35 Yaqussuu Al Baqarah: 31 ‘alama Al Imran: 18 ‘ilmi Al Imran: 7 ‘alama An Nisa’: 83 ‘alama Huud: 24 Dzakara Al Ankabut: 43 ‘alama Fatiir: 28 ‘alama- ulama’ Azzumar: 9 ‘alama, ulul albab Al Mujadilah: 11 ‘alama

Dari 27 ayat diatas, disini akan dibahas satu ayat yang secara tersurat menyebutkan lafadz “’alama”, yaitu surat Azzumar: 9

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 162 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

ِ َّ ِ ِ ِ ِ أََّم ْن ُهَو قَان ٌت آنَاءَ اللْيِل َساجًدا َوقَائًما َْيَذُر ْالخَرةَ َو�يَْرُجو َرْمحَةَ َربِّه قُ ْل َه ْل ِ َِّ َِّ َِّ ِ �َ ْستَوي الذ َ�ن �يَْعلَُم َون َوالذ َ�ن َل �يَْعلَُم َون إمنَا �يَتََذَّكُر أُولوُ ْاألَلْبَاب

Artinya: Apakah kamu Hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: “Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?” Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran.

Makna teks: taat, tunduk dan ) مطيع, خاضع, عابد اهلل تعالى : ِ .(beribadah kepada Allah ُهو قَان ٌت : َ waktunya bersujud dan berdiri dan mengharap) ساعته َّ ِ .(rahmat Tuhannya آنَاءَ اللْيل

Ayat ini menerangkan perbedaan antara orang kafir dengan orang yang selalu taat menjalankan ibadah kepada Allah dan takut dengan siksa akhirat yang selalu mengharapkan rahmat (surga) yaitu antara orang yang mempunyai ilmu pengetahuan dan mengesakan Allah. Ayat di atas menunjukkan keutamaan ilmu daripada harta, karena orang yang mempunyai ilmu mengetahui kemanfaatan harta dan orang yang tidak berilmu belum tentu mengetahui kemanfaatan ilmu. Berdasarkan uraian tersebut, ada beberapa nilai yang bisa disimpulkan, yaitu: pertama, al Quran mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, hal ini terlihat dari beberapa ayat-ayat yang mengajak untuk menggunakan akal (membaca, belajar, mengamati, berfikir).Kedua, lebih dari 600 ayat al Quran yang mendukung perkembangan ilmu pengetahuan, baik berupa pujian, motivasi dan keniscayaan. Ketiga, berbagai bidang ilmu pengetahuan yang

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 163 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi... sejalan dengan ayat-ayat al Quran, ia tetaplah bukan buku ilmu pengetahuan. Keempat, hasil penemuan manusia harus dihargai. Kelima, al Quran berisi petunjuk dalam pengembangan ilmu pengetahuan. Keenam, kemajuan ilmu pengetahuan harus berimplikasi terhadap kebahagiaan manusia. Sedangkan istilah difabel dalam al Quran ada di beberapa tempat, diantaranya surat Annur: 61, Al Fath: 17, ‘Abasa: 1-2 dll

Term umum: Marad, marid, uli al-darani, dll

Istilah difabel Term khusus: A’ma, asum, abkam, a’raj, dll

Term sosial: Da’if, mustadafin, faqir, miskin, yatim, dll

Isi bagan diadopsi dari thesis Sri Handayana24 Mengarah ke pendidikan inklusif, tidak ada teks secara jelas yang menyebut pendidikan inklusi akan tetapi prinsip-prinsip dari pendidikan inklusi ada dalam beberapa ayat. Di antara prinsip-prinsipnya yaitu equality, active participator, keseimbangan dan persamaan. Misalnya secara tersirat bisa dilihat pada surah al Hujarat: 13 ِ ٍ ِ ِ ِ �َا أَ�يَُّها النَّ ُاس إنَّا َخلَْقنَ ُاكم ِّمن ذََكر َوأُنثَ ٰى َوَجَعْلنَ ُاك ْم ُشعُوبًا َوقيَبَائ َل لتيََع َارفُوا إ َّن ِ َِّ ِ َّ ِ ِ أَ ْكَرَم ُك ْم ع َند الله أَ�يَْق ُاك ْم إ َّن اللهَ َعل ٌيم َخبريٌ

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang

24 Sri Handayana, Kajian tentang Difabel dalam Al-Quran (Thesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2012), hlm. 41-79.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 164 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.

Dalam tafsir al Qurtubi dijelaskan bahwa ayat ini mengandung tujuh ulasan, pertama, manusia diciptakan dari Adam dan Hawa, kedua, manusia diciptakan dari laki-laki dan perempuan, ketiga, manusia diciptakan dari persilangan antara laki-laki dan perempuan, keempat, Janin terbentuk dari sperma laki-laki saja (ikhtilaf), kelima, manusia diciptkan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa, keenam, orang yang paling mulia adalah orang yang bertakwa. Ketujuh, orang yang paling mulia adalah ketakwaan bukan harta.฀ Allah menciptakan manusia dan menjadikannya berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling menghina diantara satu dengan yang lain tetapi untuk saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan atau kekayaan karena yang mulia diantara manusia disisi Allah hanyalah orang yang bertakwa kepada-Nya. Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu ada sangkut pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang mulia itu adalah orang yang paling bertakwa kepada Allah. Mengapa manusia saling merendahkan sesama saudara hanya karena Allah menjadikan mereka bersuku-suku dan berkabilah-kabilah yang berbeda-beda, sedangkan Allah menjadikan seperti itu agar manusia saling mengenal dan saling tolong menolong demi kemaslahatan. Namun tidak ada kelebihan bagi seseorangpun atas yang lain, kecuali dengan taqwa dan keshalihan, disamping kesempurnaan jiwa bukan dengan hal-hal yang bersifat keduniaan yang tidak pernah abadi.

C. Simpulan Ayat-ayat al Quran yang ditarik menjadi ayat yang berdimensi pendidikan secara tersurat tidak menunjukkan secara jelas tentang konsep

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Aris Nurlailiyah 165 Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi... pendidikan, begitu juga dengan pendidikan inklusif yang menjadi isu baru di dunia pendidikan sekarang ini. Sehingga nampak beberapa ayat yang dipaksakan untuk menjadikannya sebagai dasar islamisasi pengetahuan. Perguruan-perguruan tinggi di Yogyakarta memang ada yang mendeklarasikan sebagai kampus inklusi, akan tetapi dilihat dari segi prakteknya belum secara penuh menjadi inklusif, bahkan masih terkesan bersistem pendidikan integrative, sebab aksesibilitas yang belum disesuaikan dengan kebutuhan difabel masing-masing.

Daftar Pustaka Abbas, Syahrizal. Manajemen Perguruan Tinggi: Beberapa Catatan, Jakarta: Prenada Media Group, 2009. Al-Abrasyi, Muhammad ‘Athiyah at-Tarbiyah al-Islamiyah wa Fafasifatuha. Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1975. Al-Attas, Muhammad Naquib. Konsep Pendidikan dalam Islam, Terj. Haidar Bagir. Bandung: Mizan, 1994. Al Qurthubi, Imam. Tafsir Al Qurthubi, terj. Akhmad Khatib. (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008). An-Nahlawi, Abdurrahman. Prinsip-prinsip dan Metoda Pendidikan Islam. (Bandung: Dipenogoro, 1996). Casmini, Mimin. “Pendidikan Segregasi.” http://file.upi.edu/Direktori/ FIP/JUR._PEND._LUAR_BIASA/195403101988032-MIMIN_ CASMINI/Pendidikan_Segregasi.pdf, diakses pada 2 Januari 2015. Djuwaeli, Irsyad. Pembaruan Kembali Pendidikan Islam. (Jakarta: Karsa Utama Mandiri dan PB. Mathlo’ul Anwar. 1998). Handayana, Sri. Kajian tentang Difabel dalam Al Quran. Thesis UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 2012. Jalal, Abdul Fatah. Azas-azas Pendidikan Islam. (Bandung: CV. Diponegoro. 1988).

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 166 Aris Nurlailiyah Kritik Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan terhadap Pendidikan Segregasi...

Izzan, Ahmad dan Saehudin. Tafsir Pendidikan: Studi Ayat-Ayat Berdimensi Pendidikan. (Banten: Pustaka Aufa Media, 2010). Lizza Suzanti, Pendidikan Inklusif, http://fidiupiserang.blogspot. co.id/2014/10/pengertian-pendidikan-inklusif.html?m=1, diakses pada 2 Januari 2015. Mouw, Richard J. dan Sander Griffon. Pluralism and Horizons. Eerdsmans Publishing company. 1993. Nata, Abuddin. Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan: Tafsir Al-Ayat Al-Tarbawiy. (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Nasution, Ali Anas. Konsep Dasar Pendidikan Islam: Istilah Term Pendidikan Islam Dalam Al-Qur’An. Jurnal Thariqah Ilmiah Vol. 01. Rof’ah, Andayani dan Muhrisun Afandi. Inklusi Pada Pendidikan Tinggi: Best Practices Pembelajaran dan Pelayanan Adaptif bagi Mahasiswa Difabel Netra. (Yogyakarta: Pusat Studi dan Layanan Disabilitas (PSLD), 2010.) Sejarah PLD, http://pld.uin-suka.ac.id/p/sejarah.html, diakses pada 04 November 2014. Tim Dosen IAIN Sunan Ampel. Dasar-dasar Kependidikan Islam: Suatu Pengantar Ilmu Pendidikan Islam. (Surabaya: Karya Abdiyatama, 1996). Winarno, Michael Yudha DKK. Towards an Inclusive Society in Indonesia: A Bridge Over Troubled Water. (Yogyakarta: Caritas Germany Country Office Indonesia, 2010). Yunus, Mahmud. Kamus Arab Indonesia. (Jakarta: Hidakarya Agung, 1992). Zahidi, Syukron. Perbedaan Pendidikan Inklusif, Segregasi dan Reguler, izzaucon. blogspot.com/2014/06/perbedaan-pendidikan-inklusi-segregasi.html, diakses pada 2 Januari 2015.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 167 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Kisah Teladan Kaum Perempuan di Seputar Al-Qur’an: Sebuah Inspirasi dalam Membentuk Pendidikan Karakter1

Anisah Indriati Fakultas Dakwah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta [email protected]

Abstrak Perempuan telah menjadi objek kajian tiada henti dari masa ke masa. Isu perempuan selalu menarik untuk diperbincangkan. Perempuan memiliki peran yang sangat penting dalam membangun kebudayaan. Sejarah telah mencatat bahwa peran perempuan dalam ranah publik tidak bisa diabaikan begitu saja. Banyak perempuan yang telah dicatat sejarah dalam perannya yang terus diperjuangkan ditengah-tengah didominasi kaum adam. Baik itu dalam ranah publik maupun ranah domestik. Peran perempuan dalam membangun bangsa yang berpendidikanpun tidak bisa diabaikan. Perempuan memiliki peran yang sangat fital dalam menentukan maju dan mundurnya suatu bangsa. Begitupun dalam hal pendidikan. Banyak kisah-kisah teladan yang telah dicatat sejarah yang bisa diambil pelajarannya. Namun sayangnya kisah itu sering kali diabaikan bahkan dilupakan. Artikel ini mengkaji tentang kisah-kisah keteladanan kaum perempuan yang digambarkan al-Qur’an. Al- Qur’an telah menegaskan bahwa perempuan juga memiliki peran yang sama dengan laki- laki. Al-Qur’an juga menegaskan bahwa perempuan bisa bersaing baik dalam berpolitik, kebebasan dalam berpendapat, kemandirian dalam ekonomi/berkarir dan juga hak dalam berpendidikan. Penegasan al-Qur’an ini telah membuktikan bahwa kaum perempuan memiliki kemampuan dan juga hak yang sama dengan laki-laki. Dari penegasan al-Qur’an ini jelaslah bahwa al-Qur’an menjunjung tinggi martabat kaum perempuan yang selama ini masih terus terabaikan. [Women have become the object of endless study from time to time. The issue of women is always interesting to be discussed. Women have a very important role in developing culture. History has noted that the role of women in the public sphere can not be ignored. Many women who have recorded the history of the role that continues to be fought in the midst dominated Adam. Both in the public and in the domestic sphere. The role of women in

1 Terselesaikannya artikel ini penulis dibantu oleh asisten penulis, yaitu M. Nurdin Zuhdi. Oleh sebab itu, dalam kesempatan ini penulis menghaturkan terimakasih atas bantuan dan terselesaikannya artikel sederhana ini.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 168 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran building an educated nation could not be ignored. Women have a vital role in determining the development level of a nation. Likewise in the case of education. Many stories have been recorded examples in history to take lessons. Unfortunately, the story is often ignored or even be forgotten. This article examines the stories of exemplary women who described the Qur’an. The Qur’an has been asserted that women also have a role similar to that of men. It also confirms that women can compete well in politics, freedom of opinion, independence in economic / career and also the right to education. Affirmation of the Qur’an has been proven that women have the ability and also the same rights as men. From the affirmation of the Qur’an is it clear, that the Qur’an upholds the dignity of women that still continues ignored.]

Abstrak: Perempuan, Gender, Politik, Karir dan Pendidikan

A. Pendahuluan Keteladanan merupakan pendidikan yang paling fital dalam membentuk karakter seseorang. Namun sayangnya tidak semua pendidik— guru, dosen, ustadz—mampu menjadi teladan. Para pendidik yang ada masih sebatas pengajar, belum menjelma sebagai teladan yang pantas ditiru tindak tanduknya. Ini merupakan bentuk keperihatinan tersendiri. Krisis keteladanan dalam sosok pengajar merupakan cermin kroposnya pendidikan. Karena keteladanan merupakan salah satu metode dalam mendidik yang paling efektif. Dengan keteladanan seorang pelajar akan cenderungkan meniru yang mengajar. Anak-anak akan cenderung meniru apa yang telah dilakukan oleh orang tuanya. begitupun dengan pendidik. Para pendidikan seharunya bukan hanya mengajar, namun mereka juga seharunya mampu menghadirkan sikap dan perbuatan sebagai bentuk keteladanan. Pada era modern sekarang keteladanan cenderung menghilang dan dianggap tidak penting. Bahkan, pada era sekarang sosok pemimpin yang pantas di jadikan teladan sulit untuk ditemukan. Para anak didik malah cenderung meneladani para artis-artis yang mereka idolakan. Irosnisnya lagi, pada saat yang sama kita disuguhkan para pemimpin yang meberikan “teladan negatif” dalam bentuk korupsi yang membabi buta.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 169 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Pendidikan karakter yang digembor-gemborkan pemerintah pada akhir-akhir ini sepertinya susah terealisasikan tanpa adanya keteladanan yang menjelma pada sosok para pendidik dan pemimpin. Namun hakikatnya tanggung jawab keteladanan ini bukan hanya tanggung jawab para pendidik semata, namun para orang tua hingga pemerintah sebagai pemimpin wajib dan harus mampu menghadirkan keteladanan yang baik. Di sini perempuan, baik sebagai ibu atau pendidik, merupakan sosok yang penting dalam membentuk karakter anak atau pelajar. Perempuan memiliki peran yang cukup besar dalam menciptakan generasi yang unggul dan hebat. Perempuan sudah seharusnya tidak takut bersaing secara global. Perempuan sudah saatnya “mengganggu” dominasi kaum adan yang selama ini “menyisihkan” kaum hawa. Kisah-kisah kaum perempuan yang telah dicatat oleh sejarah Islam sebenarnya bisa menghadirkan sebuah keteladanan dalam membetuk pendidikan karakter. Kisah-kisah tersebut bisa dijadikan teladan yang mampu meberikan inspirasi dalam membangkitkan motifasi kaum perempuan dalam berprestasi,baik dalam ranah politik, sosial, ekonomi hingga dalam hal pendidikan. Namuan sayangnya kisah-kisah kaum perempuan yang telah diceritakan di seputar al-Qur’an tersebut masih sering diabaikan, bahkan yang lebih memperihatinkan lagi sampai dilupakan. Artikel ini mengkaji kembali kisah-kisah kaum permpuan dalam Islam yang tertuang rapih di dalam ayat-ayat al-Qur’an. Bagaimana kisah keteladanan kaum perempuan yang di gambarkan al-Qur’an? Sejauhmana kisah-kisah keteladanan di dalam al-Quur’an tersebut dalam penegasan kesetaraan gender? Artikel sederhana ini berusaha untuk kembali mengorek kisah- kisah kaum perempuan di seputar al-Qur’an yang seharusnya dihadirkan kembali sebagai teladanan, terutama dalam membangun budaya yang berpendidikan dan berkarakter.

B. Membincang Kisah Perempuan dalam Lintas Sejarah

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 170 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Perempuan selalu menjadi isu yang menarik untuk diperbincangkan. Namun sayangnya, perbincangan tentang perempuan dalam Islam selalu berujung pada kesimpulan bahwa Islam kurang atau bahkan tidak ramah terhadap perempuan. Hal ini terbukti bahwa selama ini posisi perempuan yang lemah dan inferior tergambar jelas dalam fakta empirik di masyarakat Islam maupun dalam lembaran-lembaran historis kitab-kitab ke-Islaman.2 Selama ini, terutama dalam perbincangan isu-isu aktual posisi perempuan selalu menjadi pihak yang diperebutkan (contested). Lihat saja, misalnya dalam perbincangan organisasi keagamaan Islam, terutama dalam diskursus gerakan revivalisme Islam.3 Mengapa perempuan selalu diperebutkan? Para pemerhati perempaun sepakat menyebutkan, bahwa perempuan diperebutkan tidak lain karena ia merupakan perwujudan dari berbagai simbol: simbol kehidupan; simbol kekuasaan, simbol kebenaran, simbol moralitas, dan simbol kemurnian ajaran agama.4 Dari berbagai simbol yang strategis inilah perempuan menjadi objek yang menarik untuk diperebutkan, baik oleh kalangan sekularis terlebih lagi bagi kalangan revivalis. Alasannya adalah dengan menaklukkan perempuan berarti telah mengusai kehidupan, mengontrol kekuasaan, membela kebenaran, menjaga moralitas dan mengembalikan kemurnian ajaran agama. Maka sangatlah wajar jika perempuan menjadi isu yang hangat dan menarik untuk diperbincangkan. Namun sayangnya isu-isu perbebincangan tentang kaum perempuan ini lagi-lagi berujung kepada kisah sedih kaum perempuan yang terbelenggu. Hampir semua kisah tentang perempuan ini berakhir dengan

2 Lihat misalnya tentang catatan keterpurukan kaum perempuan dalam, Budi Wahyuni, “Keterpurukan Perempuan dalam Bingkai Agama dan Demokrasi: Sebuah Catatan pengalaman” dalam M. Subkhi Ridho (ed.), Perempuan Agama dan Demokrasi (Yogyakarta: LSIP, 2007), hlm. 69-80. 3 Lihat, M. Nurdin Zuhdi, “Perempuan dalam Revivalisme: Gerakan Revivalisme Islam dan Politik Anti Feminisme di Indonesia,” Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2010; lihat juga, M. Nurdin Zuhdi, “Kritik terhadap Pemikiran Gerakan Revivalisme Islam di Indonesia”, dalam Akademika Jurnal Pemikiran Islam,Vol. XVII, No. 02, 2012. 4 Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender (Yogyakarta: Kibar Press, 2007), 28.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 171 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran cerita keterpurukan dan penindasan kaum perempuan. Sejarah pun telah mencatat bahwa kisah-kisah kaum prempuan ini berujung kepada dikebirinya hak-hak kaum perempuan, baik itu dalam ranah domestik dimana perempuan menjadi budak dan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Dalam ranah publik pun kisah perempuan ini tidak lebih baik dari ranah domestik, dimana kaum perempuan sering—untuk tidak megnatakan tidak—diberikan hak dalam berpendapat, berpolitik, memperoleh pendidikan yang layak hingga diharamkannya perempuan menjadi pemimpin negara. Sebelum al-Qur’an diturunkan, posisi perempuan sungguh sangat termarjinalkan. Bukan hanya di kawasan semenanjung Arab Jahiliyyah saja, namun hampir di semua agama dan peradaban. Quraish Shihab menjelaskan bahwa pada puncak peradaban Yunani, perempuan merupakan alat pemenuhan naluri seks laki-laki.5 Kaum laki-laki pada masa itu memiliki kebebasan yang tidak terbatas dalam menindas kaum perempuan. Kaum perempuan pada masa itu benar-benar sebagai alat dalam memenuhi hasrat seksual kaum laki-laki. Kaum perempuan dianggap sebagai barang yang dipuja namun terhina. Maka tidak heran jika pada masa-masa itu banyak ditemukan patung-patung telanjang. Patung-patung tersebut menandakan pola pikir dan kebiasan peradaban Yunani saat itu pada orientasi seksual. Selain peradaban Yunani, peradaban Romawi juga menjadikan kaum perempuan sepenuhnya berada di bawah kekuasaan ayahnya. Ayahnya memiliki kekuasaan mutlak dalam mengatur dan menentukan hidup anak perempuannya. Ketika seorang anak perempuan telah menikah maka sang ayah memberikan alih kekuasaan kepada suaminya. Menurut Quraish Shihab, kekuasaan ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiyaya dan membunuh. Ini berlasung hingga abad V Masehi. 6

5 M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar Kesetaraan Jender dalam Islam”, dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm. xxiii. 6 M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar Kesetaraan...”, hlm. xxiii.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 172 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Lebih parah lagi adalah peradaban Hindu dan Cina. Kedua peradaban ini sungguh kejam dalam memperlakukan kaum perempuan. Pada peradaban Hindu dan Cina, hak hidup bagi seorang perempuan yang bersuami harus berakhir pada saat kematian suaminya. Dalam tradisi dua peradaban tersebut, ketika seorang suami mati maka mayatnya harus dibakar, dan pada saat mayat suami tersebut dibakar maka sang istri harus ikut dibakar dalam keadaan hidup-hidup. Tradisi ini baru berakhir pada abad XVII Masehi.7 Masih ingat dengan cerita seorang dokter perempuan pertama dari Geneve University bernama Elizabeth Blackwill pada tahun 1849? Orang- orang di sekitarnya memboikotnya dengan alasan bahwa perempuan tidak layak memperoleh pendidikan. Inggris juga pernah menjadi Negara yang terkenal dengan kebiasaan para suami yang menjual istrinya. Hal tersebut bisa dilihat dari lukisan karya Thomas Rowlandson yang berjudul “Menjual Istri (1812-1814).

Karya Thomas Rowlandson, “Menjual Istri” (1812-1814). Sumber http:// id.wikipedia.org

7 M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar Kesetaraan...”, hlm. xxiii.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 173 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Lukisan karya Thomas tersebut menggambarkan kebiasaan laki-laki Inggris menjual istrinya kepada laki-laki lain. Kebiasaan itu telah menjadi budaya yang mengakar. Penjualan istri pada masa itu seolah-olah seperti pelelangan barang. Terlihat jelas dalam lukisan tersebut bahwa penjualan perempuan pada masa itu seperti menjual barang dagangan saja. Penjualan istri pada saat itu dengan cara dipamerkan ditengah kerumunan laki- laki, bahkan dalam lukisan tersebut tampak ada dua ekor anjing yang ikut mengeruminya. Genderang musikpun tampak menghiasai dalam penjualan istri tersebut. Bahkan menurut catatan sejarah digambarkan istri yang dijual pada masa itu dengan cara diikat leher dan tangannya. Kemudian penjualan istri tersebut diberikan kepada penawar yang lebih tinggi. Siapa yang nilai tawarnya lebih tinggi maka dialah yang memenangkannya. Bahkan penjualan istri pada masa itu yang tergambar dalam kuisan Thomas penuh dengan gelak tawa.8 Kebiasaan laki-laki Ingris dalam menjual istrinya merupakan suatu cara untuk mengakhiri pernikahan yang tidak memuaskan. Gambaran keterpurukan perempuan akibat dominasi laki-laki juga tercermin dalam novel karya Nawal el-Saadawi yang berjudul Women at Point Zero.9 Novel ini diangkat dari kisah nyata seroang perempuan Mesir yang dipenjara dan sedang menanti hukuman mati akibat kasus pembunuhan germo. Namun ironisnya Firdaus sang tokoh utama dalam novel ini menyambut gembira hukuman mati tersebut. Bahkan dengan tegas ia menolak grasi kepada presiden yang diusulkan oleh dokter penjara.

8 Lihat,Rachel Anne Vaessen, “Humour, Halters and Humiliation: Wife Sale as Theatre and Self-divorce”, Thesis In the Departement of History, Simon Fraser University, 2006. 9 Nawal el-Saadawi, Women at Point Zero, (London: Zed Book Ltd., 1983). Pada tahun 1989 novel ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Amir Sutaarga dengan judul Perempuan di Titik Nol yang diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 174 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Menurut Firdaus, vonis itu justru merupakan satu-satunya jalan menuju kebebasan sejati.10 Itulah gambaran sekilas kisah kaum perempuan sebelum Islam datang. Kaum perempuan pada masa sebelum Islam datang sungguh tidak ada nilainya dimata kaum adam. Laki-laki sewenang-wenang dalam memperlakukan kaum perempuan. Namun bukan berarti pada masa sekerang sisa-sisa perlakukan tidak manusiawi itu hilang. Lihat saja misalanya penjualan kaum perempuan yang bermodus TKW, penganiayaan TKW di beberapa Negara seperi Arab Saudi dan Malaysia yang berujung cacat dan bahkan kematian. Bahkan banyak TKW asal Indonesia yang saat ini sedang menanti vonis mati dengan berbagai macam kasus. Misalnya saja kasus pada awal 2014 tentang penyiksaan TKW asal Ngawi Jawa Timur bernama Erwiana Sulistiyanigsih yang mengguncang dunia yang disiksa oleh majikannya di Hong Kong. Negara dengan mayoritas penduduknya Muslim seperti Indonesia, Malaysia hingga Arab Saudi pun masih belum ramah terhadap kaum perempuan. Perbudakan terhadap kaum perempuan di tiga Negara tersebut masih saja terjadi. Misalnya saja kasus trafficking yang dilaporkan oleh Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Jawa Barat telah menangani 338 kasus yang melibatkan perempuan dan anak pada tahun 2012. Dan masih banyak lagi fakta-fakta miris yang menimpa kaum perempuan. Yang memperihatinkan justru pemerintah kurang peduli dengan fakta-fakta tersebut, pemerintah terlalu disibukkan dengan para pejabat yang rakus memakan uang rakyat.

C. Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Qur’an Perbincangan seputar perempuan dari masa klasik hingga sampai era kontemporer selalu menarik perhatian. Selama ini perempuan cenderung di posisikan sebagai pihak yang termarjinalkan. Jika menyimak kembali sejarah perempuan sebelum Islam datang, nasib kaum hawa sangat

10 Nawal el-Saadawi, Perempuan di Titik Nol, cet. 9, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006).

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 175 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran memprihatinkan. Perempuan pada masa sebelum Islam datang seperti harta benda yang juga diperjual belikan. Jangankan mendapatkan warisan, bahkan perempuan pada masa jahiliyah justru diwariskan. Laki-laki pada masa itu memiliki lebih dari satu isteri, atau bahkan jumlahnya ratusan istri adalah sebuah kebiasaan yang telah menjadi budaya poligamisme. Budaya poligamisme tersebut pada masa-masa sebelum Islam datang sangatlah kuat. Sehingga sangatlah sulit untuk menghilangkan budaya yang sudah megngakar tersebut. Namun situasinya berubah setelah Islam datang. Perempuan yang awalnya tidak mendapatkan warisan mendapatkan bagian warisan. Walaupun jumlah harta warisan bagi perempuan tidak sama, yaitu satu banding dua, namun hal tersbut merupakan perubahan yang luar biasa. Poligamipun dibatisi minimal empat isteri, itupun dengan syarat- syarat yang telah ditentukan.11 Selain mendapatkan hak harta warisan dan pembatasan jumlah maksimal poligami, Islam juga memberikan gambaran bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama sebagaimana kaum pria dalam berpendapat, kesempatan dalam menjadi pemimpin, berkarir dan bahkan Islampun menganjurkan bahwa perempuan juga berhak dalam memperoleh pendidikan yang layak sebagaimana kaum pria. Ada beberapa kisah-kisah perempuan yang telah disebutkan di dalam al-Qur’an yang menggambarkan kesetaraan perempuan. 1. Kisah Perempuan dalam Berpendapat Sebelum Islam datang, sejarah telah membuktikan bahwa kaum perempuan tidak memiliki hak dalam bermusyawarah, terutama dalam masalah pemerintahan. Bahkan ketika Islam sudah datang pun masih banyak anggapan bahwa perempuan tidak memiliki kepantasan dalam berpendapat. Padahal al-Qur’an telah memberikan kisah teladan tentang perempuan yang juga diberikan kesempatan dalam berpendat. Jika melihat kembali pada catatan sejarah di zaman Rasulullah saw., kaum

11 Lihat, Q.S. al-Nisa [4]: 2, 3 dan 129.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 176 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran perempuan digambarkan sebagai perempuan yang aktif, sopan, namun tetap terpelihara akhlaknya. Bahkan di dalam al-Qur’an digambarkan bolehnya perempuan berbeda pendapat dalam berdiskusi dengan lelaki termasuk suami dan atau ayahnya sekalipun. Contohnya adalah ketika al- Qur’an mengabadikan peristiwa diskusi seorang perempuan dengan Rasul Muhammad saw., yang ketika itu terkesan bahwa Nabi saw. masih hendak memberlakukan adat yang mengurangi hak-hak perempuan.12 Di dalam ayat ini, Allah membenarkan pendapat perempuan tersebut. Q.S. Al-Mujadalah [58]: 1-3:

ِ َّ َّ ِ ِ ِ ِ ِ َِّ َّ قَْد َس َع اللهُ قيَْوَل الِيت ُتَادلُ َك ف َزْوجَها َو�َ ْشتَكي إَل الله َواللهُ �َ ْسَم ُع َتَ ُاوَرُكَما ِ َّ ِ ِ ( َِّ ِ ِ ِ ِ ِِ ِِ ِ إ َّن اللهَ َس ٌيع بَصٌري )1 الذ َ�ن �ُظَاهُر َون مْن ُك ْم م ْن ن َسائه ْم َما ُه َّن أَُّمَهات ْم إ ْن َِّ َّ ِ ِ ِ ِ ِ َّ أَُّمَها�يُُه ْم إل اللئي َولَْدنيَُه ْم َوإنيَُّه ْم لَييَُقولُ َون ُمْن َكًرا م َن الَْقْول َوُز ًورا َوإ َّن اللهَ لََعُفٌّو ( َِّ ِ ِ ِ ِِ ِ ِ ٍ ِ َغ ُف ٌور )2 َوالذ َ�ن �ُظَاهُر َون م ْن ن َسائه ْ م ُمثَّ �يَعُ ُود َون لَما قَالُوا فيَتَ ْحرُ�ر َرقيَبَة م ْن قيَْبِل ِ ِِ ِ ِ ( أَْن �يَتََم َّاسا َذل ُك ْم �ُ َوعظُ َون به َواللَّهُ َبا �يَْعَملُ َون َخبٌري )3 Artinya:

(1.) Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat. (2.) Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (3.) Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan,

12 M. Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta Sampi Seks, Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah,Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), 338.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 177 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

Latar belakang turunya ayat ini adalah tentang persoalan seorang perempuan bernama Khaulah binti Tsa´labah yang telah dizhihar oleh suaminya, Aus ibn Shamit. Kata zhihar merupakan pecahan dari kata zhahrun yang berarti punggung. Dari pecahan kata tersebut maka zhihar diartikan suatu ungkapan dari suami kepada isterinya yang menyerupakan istri dengan punggung ibunya. Dalam konteks ayat ini Shamit mengatakan kepada isterinya: “kamu bagiku seperti punggung ibuku” dengan maksud dia tidak boleh lagi menggauli istrinya, sebagaimana ia tidak boleh menggauli ibunya. Menurut adat Jahiliyah, kalimat Zhihar seperti itu sudah sama dengan menthalak istri. Maka Khaulah mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Rasulullah menjawab, bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah. dan pada riwayat yang lain Rasulullah mengatakan: “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia”. Kemudia Khaulah berkata: “Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak”. Khaulah pun k emudian berulang kali mendesak Rasulullah supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat ini dan ayat- ayat berikutnya. Dalam ayat ini jelas bahwa kaum perempuan diberikan hak untuk memiliki pendapat yang berbeda, bahkan kaum perempuan dibolehkan untuk mengkritik suatu pendapat yang bertentangan dengan maqashid al- Syari’ah. Apa yang telah dicontohkan oleh Kaulah membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kecerdasan dan hak untuk berpendapat sekalipun harus berdebat dengan suami atau ayahnya. Selama itu masih dalam jalur yang dibenarkan menurut ketentuan syar’i. Kisah Kaulah menegaskan bahwa seorang perempuan jangan tinggal diam ketika melihat suatu perkara yang bertentangan dengan maqashid al-Syari’ah, terutama yang dapat merugikan dan merendahkan hak-hak kaum perempuan.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 178 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Tidak sedikit para perempuan yang hanya diam saja melihat kesewenangan para kaum laki-laki. Karena menganggap bahwa melawan suami itu sama saja dengan mengundang kemurkaan Tuhan yang menyebabkan para malaikat dan semua penghuni langit mengutuknya. Anggapan ini masih saja diyakini oleh kaum perempuan. Memang benar, istri harus taat kepada ayah dan sumainya, namun selama itu tidak menerjang rambu-rambu agama. Jika ketaatan berujung kepada kesewenang- wenangan yang menyebabkan kepatuhan yang menakutkan maka disutlah terjadi perbudakan. Padahal perempuan dizaman Rasulullah saw. sudah tidak dilarang untuk bersikap dan berpendapat. Dengan demikian budaya patriarkhi yang selama ini mendominasi bisa dikalahkan, atau minimal bisa diimbangi.

2. Kisah Perempuan dalam Berpolitik Al-Qur’an juga menegaskan bahwa kaum perempuan juga memiliki hak dalam berpolitik. Bahkan al-Qur’an juga menegaskan dengan memberikan gambaran bahwa perempuan juga bisa menjadi pemimpin suatu Negara. Kisah kepemimpinan Ratu Balqis pada masanya yang telah dikisahkan di dalam surat An-Naml ayat 44 telah menegaskan bahwa kaum perempuan juga memiliki potensi yang sama dengan kaum adam dalam memimpin suatu Negara. Q.S. An-Naml (27): 44 ِ ِ ِ ِ ق َيل َلَا ْاد ُخلي َّالصْرَح فيَلََّما َرأَ�ْهُ َحسبَْته ُ ُجلَّةً َوَك َشَف ْت َع ْن َساقيَييَْها قَ َال إنَّهُ َصْرٌح ِ ِ ِ ِ َِِّ ُمََّرٌد م ْن قيََوارَ�ر قَالَ ْت َر ِّب إ ِّين ظَلَْم ُت نيَْفسي َوأَ ْسلَْم ُت َم َع ُسلَْيَم َان لله َر ِّب ِ ( الَْعالَم َي )44 Artinya:

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 179 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana”. Maka tatkala Dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya. berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca”. Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, Sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam”.

Ayat di atas mengajarkan sekaligus menegaskan bahwa dalam memimpin suatu Negara tidak hanya kaum pria saja yang bisa, kaum perempuan pun juga memiliki potensi yang sama dalam memimpin Negara. Perempuan juga memiliki kesempatan yang sama dengan kaum laki-laki. Kisah Ratu Balqis yang memimpin Negri Saba’ bisa dijadikan teladan sekaligus inspirasi kaum perempuan pada era sekarang. Dengan pendidikan dan pengalaman yang memadahi maka perempuan juga bisa bersaing dengan kaum pria. Hanya dengan pendidikanlah derajat kaum hawa dapat terangkat. Maka perjuangan kesetaraan dalam hal pendidikan bagi kaum perempuan juga mesti dilakukan. Karena bukan hanya kaum adam saja yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak. Kaum perempuan juga sudah saatnya mendapatkan pendidikan yang sama dengan kaum pria. Kepemimpinan perempuan dalam Islam memang masih menjadi perdebatan dikalangan para mufasir, terutama mufasir klasik. Terlebih para ormas Islam garis revivalis bahkan menentang kepemimpinan kaum perempuan. Para penentang kepemimpinan perempuan ini banyak menyetir hadis-hadis yang seolah-olah menyudutkan kaum perempuan. Misalnya saja hadis yang diriwayatkan oleh Abu Bakrah yang artinya :”Barang siapa menyerahkan urusan pada wanita, maka mereka tidak akan mendapat kemakmuran”. Sebab keluarnya hadis ini adalah ketika Rasulullah mengetahui orang-orang Persia mengangkat seorang wanita untuk menjadi pemimpin mereka. Pada saat itu Rasulullah bertanya: “Siapakah yang telah menggantikannya sebagai pemimpin?”. Jawab Abu Bakrah: “Mereka

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 180 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran menyerahkan kekuasaan kepada putrinya”. Lalu Rasulullah bersabda sebagaimana bunyi hadis di atas. Memang banar hadis ini dimuat dalam Shahih Bukhari, namun dalam hal ini Fatima Mernissi mengkritiknya. Mernissi mengklaim seolah-olah ada faktor politik terhadap sebab munculnya hadis ini. Salah satunya adalah faktor sosial historis yang mengitari munculnya hadis ini, yaitu hadis ini mncul ketika Aisyah mengalami kekakahan dalam Perang Jamal saat perang melawan Ali ibn Abi Thalib. Padahal menurut beberapa keterangan sikap awal yang diambil Abu Bakrah adalah bersikap netral. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa Abu Bakrah justru mengungkapkan hadis tersebut yang seolah-olah menyudutkan Aisyah? Selain konteks historis yang dikritik oleh Mernissi, yaitu kritik yang berkenaan dengan siapa itu Abu Bakrah? Menurut Mernissi Abu Bakhrah pada mulanya merupakan seorang budak yang kemudian dimerdekakan. Oleh karena itu, ada kesulitan ketika hendak melacak silsilahnya. Dalam tradisi kesukuan dan aristokrasi bangsa Arab, apabila seseorang tidak memiliki sislsilah yang jelas, maka secara sosial orang tersebut tidak bisa diakui statusnya.13 Bahkan, Imam Ahmad yang melakukan penelitian biografi para sahabat telah melewatkan Abu Bakrah sebgai salah satu biografi par sahabat. Diluar semua perdebatan tentang hadis-hadis yang menyudutkan kaum perempuan, al-Qur’an sebagai sumber utama melalui kisah-kisah kaum perempuan yang mampu menjadi pemimpin sutau Negara telah cukup menegaskan bahwa perempuan pun bisa dan juga berhak memimpin suatu Negara. Memang benar ada ayat al-Qur’an yang menegaskan bahwa: “Para laki-laki (suami) adalah pemimpin para perempuan (sitri)”. (Q.S. al-Nisa [4]: 34), namun menurut Quraish Shihab, kepemimpinan ini tidak boleh mengantarkannya kepada kesewenang-wenangan.14 Dari sisi yang lainpun al-Qur’an juga menegaskan antara laki-laki dan perempuan juga diharuskan

13 Lihat, Fatima Mernissi, The Veil and Male Elite, terjemahan M. Masyhur Abadi, (Surabaya; Dunia Ilmu, 1997), hlm. 54-74. 14 M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar Kesetaraan Jender dalam Islam”, hlm. XXXII.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 181 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran untuk saling musyawarah dan tolong menolong.15 Menurut para mufasir kontemporer konteks kepemimpinan dalam ayat tersebut adalah konteks rumah tangga atau keluarga. Bukan kepemimpinan dalam konteks Negara. Ayat tersebut tidak menjelaskan secara detail mengenai larangan kaum perempuan dalam memimpin suatu Negara. 3. Kisah Perempuan dalam Kemandirian Ekonomi Selama ini banyak para ulama yang berbeda pendapat tentang boleh tidaknya perempuan dalam berkarir. Bahkan tidak sedikit beberapa ormas- ormas Islam garis keras sangat melarang kaum perempuan untuk bekerja di luar rumah. Padahal al-Qur’an telah menegaskan bahwa perempuan juga dibolehkan dalam berkarir selama masih dalam batas kewajaran. Q.S. al-Qashash (28): 23 ِ ِ ِ ِِ ِ َولََّما َوَرَد َماءَ َم ْد�ََن َوَجَد َعلَْيه أَُّمةً م َن النَّ ِاس �َ ْسُق َون َوَوَجَد م ْن ُدون ُم ْامَرأ�يَْي ِ ِ ِ ِ �َُذ َودان قَ َال َما َخطْبُ ُكَما قَالَتَا َل نَ ْسقي َحَّت �ُ ْصدَر ِّالرَعاءُ َوأَبُونَا َشْي ٌخ َكبريٌ )23( Artinya:

Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia men- jumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah maksudmu (dengan berbuat at begitu)?” kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami),

15 Kewajiban dalam bermusyawarah ini digambarkan di dalam surat al-Syura [42]: 38:: Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang Kami berikan kepada mereka. Surat at-Taubah ayat 71 menegaskan tentang tolong-menolong: Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 182 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

sebelum pengembala-pengembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak Kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya”.

Ayat ini menggambarkan seorang perempuan yang memiliki kemandirian dalam ekonomi. Ayat ini juga memberikan gambarkan bahwa seorang perempuan juga memiliki kesempatan yang sama dalam berkarir sebagaimana umumnya laki-laki. Namun masih banyak para ulama tafsir, terutama para mufasir yang berparadigma qaul qadim, yang mengharamkan wanita bekerja atau berkarir. Ayat ini menegaskan bahwa permpuan juga memiliki potensi yang sama dalam berkarir sebagaimana laki-laki.

4. Kisah Perempuan Berpengetahuan Luas Di dalam Islam juga dikisahkan bahwa kaum perempuan juga bisa bersaing dengan kaum laki-laki dalam hal kecerdasan. Islam melalui al- Qur’an telah menegaskan bahwa kaum perempuan juga memiliki hak dalam meraih pendidikan yang layak. Tidak hanya laki-laki yang selalu mendapatkan pendidikan tinggi. Perempuan juga memiliki hak dalam menempuh pendidikan tinggi. Di dalam al-Qur’an juga digambarkan bagaimana kecerdasan perempuan juga mampu menandingi laki-laki. Hal tersebut menggambarkan bahwa perempuan juga memiliki potensi kecerdasan yang sama dengan laki-laki. Maka dalam hal ini dapat ditegaskan bahwa pendidikan juga penting bagi kaum perempuan. Dalam hal ini al-Qur’an memberikan contoh yang dicatat oleh sejarah bagaimana kecerdasan seorang perempuan sehingga ia berani membantah pandangan Umar Ibnu al-Khaththab ra. menyangkut hak perolehan mas kawin—tanpa pembatasan—yang tadinya hendak diterapkan oleh kepala negara dan khalifah yang kedua tersebut. Suatu ketika, Umar Ibnu al-Khaththab ra. berpidato menganjurkan agar kaum muslimin jangan mempermahal mas kawin (mahar), dan dalam

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 183 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran pidatonya terkesan bahwa beliau bermaksud menetapkan pembatasan maksimal mas kawin. Ketika itu, seorang perempuan mengingatkan Umar akan firman Allah dalam QS. An-Nisa [2]: 20: ِ ِ ِ ِ ِ َوإ ْن أََرْدُتُ ْاستْبَد َال َزْوٍج َم َك َان َزْوٍج َوآَ�يَْيتُ ْم إ ْحَد ُاه َّن قْنطَ ًارا فيََل �َأْ ُخ ُذوا مْنهُ َشْيئًا ِ ِ ( أَ�َأْ ُخ ُذونَهُ بيُْهتَانًا َوإْثًا ُمبينًا )20 Artinya:

Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang Dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata?

Kata kinthar yang diterjemahkan dengan harta yang banyak menurut Quraish Shihab pada mulanya berarti kulit binatang yang telah disamak, antara lain digunakan sebagai wadah menyimpan harta. Dahulu kata kinthar digunakan untuk menunjuk harta yang dihimpun dalam kulit sapi yang telah disamak. Tentu saja, harta itu cukup banyak karena wadah yang digunakan adalah wadah yang besar, yakni kulit sapi bukan kulit kambing atau kulit kelinci. Kata tersebut kemudian dipahami dalam arti harta yang banyak. Dari ayat ini, dipahami bahwa tidak ada batas maksimal dari mas kawin sehingga perempaun tersebut menegur beliau dengan berkata: “Engkau tidak boleh membatasinya kerena Allah berfirman: Kamu telah memberikan kepada salah seorang di antara mereka qinthar (harta yang banyak).” Umar ra. membatalkan niatnya sambbil berkata: “Seorang perempuan berucap benar dan seorang lelaki keliru”.16 Kaum perempuanpun diizinkan oleh al-Qur’an untuk melakukan gerakan perubahan terhadap berbagai kebobrokan dalam segala hal

16 Lihat, M. Quraish Shihab, Perempuan…, hlm. 338-339.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 184 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran tidak terkecuali dalam sistem politik pemerintahan yang terjadi dan menyampaikan kebenaran. QS. At-Taubah [9]: 71: ِ ِ ِ ِ ِ َوالُْمْؤمنُ َون َوالُْمْؤمنَ ُات بيَْع ُضُه ْم أَْوليَاءُ بيَْع ٍض �َأُْمُر َون بالَْمْعُروف َو�يَنيَْهْوَن َع ِن ِ ِ ِ َّ ِ َّ الُْمْن َكر َو�ُق ُيم َون َّالصَلةَ َو�يُْؤ�ُ َون َّالزَكاةَ َو�ُطيعُ َون اللهَ َوَرُسولَهُ أُولَئ َك َسييَْرَمحُُه ُم اللهُ ِ ِ ( إ َّن اللَّهَ َعِزٌ�ز َحك ٌيم )71

Artinya:

Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.

Gerakan-gerakan perubahan yang dapat dilakukan oleh kaum perempuan dalam mengatasi berbagai kebobrokan bangsa bisa dengan berbagai cara. Misalnya saja dengan menjadi penegak hukum, baik itu polisi, hakim, jaksa dan pengacara. Perempuan juga bisa menjadi seorang pemimpin yang kekuasannya dapat merombak sistem keburukan yang ada baik itu sebagai menteri atau presiden. Perempuan juga bisa menjadi tenaga pendidik dalam mencerdaskan bangsa. Hal-hal semacam ini bisa dilakukan oleh kaum perempuan tentunya dengan bekal pendidikan yang tinggi. Nah, Islam melalui al-Qur’an telah memberikan sinyal tersebut. Al- Qur’an telah mendorong sekaligus menegaskan bahwa pendidikan tidak bisa diabaikan dalam memajukan sutu bangsa. Dan perempuan memiliki andil yang besar dalam memajukan bangsa. Kuncinya adalah pendidikan.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 185 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

D. Keteladanan sebagai Dasar Pendidikan Karakter Pengertian pendidikan karakter adalah suatu proses pendidikan yang berusaha untuk menanmkan nilai-nilai moral, etika atau akhlak yang dapat melekat pada kepribadian seseorang sehingga karakter tersebut melekat dalam setiap pikiran, ucapan dan tindakan. Thomas Lickona menyatakan bahwa pendidikan karakter adalah suatu usaha yang disengaja untuk membantu seseorang sehingga ia dapat memahami, memperhatikan, dan melakukan nilai-nilai etika yang inti. Dalam pendidikan karakter terkandung beberama unsur melibatkan beberapa aspek diantarnaya adalah aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action).17.Dalam mewujudkan pendidikan karakter setidaknya harus ada beberapa unsur yang terlibat diantaranya keteladanan, kurikulum, ekstrakurikuler, pembiasaan dan rutinitas.

No. Unsur Pendidikan Karakter 1. Teladan 2. Kurikulum 3. Ekstrakurikuler 4. Pembiasaan 5. Pembiasaan

Teladan memiliki posisi yang sangat sentral dalam pembentukan karakter siswa. Siswa atau anak akan cenderung meniru setiap pikiran, ucapan dan tindakan guru atau orang tunya. Maka dalam konteks pendidikkan, guru memiliki peran yang sangat fital dalam menciptakan siswa yang berkarakter. Guru harus bisa menjadi teladan bagi siswa yang dididik.maka guru harus memiliki sikap yang pantas untuk ditiru. Beberapa sikap atau karakter yang harus dimiliki seorang guru diantaranya adalah berakhlak mulia, sikap yang tegas namun santun, arik dan bijak sana dan seterusnya. Karakter-karakter etika yang tinggi ini harus dimiliki oleh seorang pendidikan. Namuan sayangnya tidak banyak guru yang mampu

17 Jejen Musfah, “Pendidikan Karakter Melalui Teladan”, makalah tidak diterbitkan, t.th. hlm. 1.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 186 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran tampil sebagai teldan yang baik. Mungkin banyak guru yang mengajar, tapi sedikit guru yang mampu mendidik. Sedikit sekali guru yang bisa tampi sebagai idola untuk diteladani siswanya. Selain lewat sikap, seorang guru atau pendidik bisa menghadirkan keteladan lewat kisah-kisah inspiratif dari para tokoh yang dapat dijadikan teldan. Cerita tau kisah sangat efektif dalam menanmlan nilai-nilai etika yang termuat dalam kisah atau cerita tertentu. Untuk menanamkan nilai-nilai karakter kepada anak salah satunya adalah dengan menceritakan kisah-kisah tokoh inspiratif. Salah satu cara untuk membangkitkan motifasi dalam membangkitkan semangat adalah mengenal kisah-kisah inspiratif. Indoneisa sendiri memiliki cerita-cerita lokal yang cukup menginspiratif. Sebut saja misalnya cerita tokoh-tokoh pewayangan seperti Gatot Kaca, Pandawa Lima dan seterusnya. Dalam membangun karakter kurikulum saja tidak cukup. Dalam mewujudkan pendidikan karakter yang maksimal dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak. Salah satunya adalah keteladanan yang dicontohkan oleh para pendidik. Keteladanan ini bisa berupa moral dan sikap yang mencerminkan akhlak mulia. Sehingga pendidik tidak hanya mengajar dikelas saja, namuan di luar kelas seorang pendidik wajib memberikan keteladanan yang mulia. Tanpa adanya keteladanan sulit sebuah pendidikan karekter dapat tertanam dengan baik. Keteladanan merupakan cara yang efektif dalam menamkan nilai-nilia moral kepda anak didik. Anak-anak cenderung melihat dan meniru apa yang ia saksikan disekelilingnya. Anak mudah sekali dalam meniru setiap tingkah laku dari orang tua atau gurunya. Maka dalam hal ini keteladanan sangat penting dalam menciptakan pendidikan karakter. Tanpa danya keteladan yang di contohkan rasanya sulit terwujudnya pendidikan karakter. Dalam hal ini kisah inspiratif para perempuan yang pernah ada yang telah dibahas dalam kajian ini hendaknya bisa membangkitkan gairah untuk menghadirkan semangat baru khususnya pda diri kaum perempuan pada era sekarang. Dalam konteks kejian ini kisah-kisah inspiratif yang telah digambarkan dan dikisahkan dengan baik di dalam al-Qur’an hendaknya

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 187 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran bisa membangkitkan inspirasi tersendiri bagi umat Islam. Kususnya bagi kaum perempuan, kisah-kisah keteladanan kaum perempuan yang ada pada masa lalu hendaknya dijadikan inspiratif dalam perjuangan membangkitkan kaum perempuan. Kusunya dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender. Kaum perempuan sudah saatnya bangkit dalam berprestasi, baik dalam ranah domestik hingga dalam ranah publik yang selama ini didominasi oleh kauk laki-laki. Al-Qur’an telah mengisahkan dengan sangat apik bagaimana seorang perempuan juga berhak dalam berpendapat. Diskusi seorang perempuan dengan Rasul Muhammad saw., yang telah diabadikan di dalam Q.S. Al- Mujadalah [58]: 1-3 adalah sebuah kisah inspiratif yang dapat dijadikan teladan bagi kaum perempuan dalam berpendapat. Dalam ayat tersebut dikisahkan bagaimana seorang perempuan berani menegur Rasulullah yang ketika itu seolah-olah terkesan bahwa Nabi saw. masih hendak memberlakukan adat yang mengurangi hak-hak perempuan. Surat Al-Mujadalah [58]: 1-3 berbicara tentang persoalan seorang perempuan bernama Khaulah binti Tsa´labah yang telah dizhihar oleh suaminya, Aus ibn Shamit, dengan kata-kata: “kamu bagiku seperti punggung ibuku”. Dalam adat Jahiliyah, kalimat Zhihar seperti itu sudah sama artinya dengan menthalak istri. Sehingga suami dianggap haram bercampur dengan isteri yang telah dizhihar. Dalam kaus ini kemudian Khaulah mengadu kepada Rasulullah s.a.w. Rasulullah menjawab, bahwa dalam hal ini belum ada keputusan dari Allah—dalam riwayat yang lain Rasulullah mengatakan: “Engkau telah diharamkan bersetubuh dengan dia”. Kemudia Khaulah berkata: “Suamiku belum menyebutkan kata-kata thalak”. Khaulah pun kemudian berulang kali mendesak Rasulullah supaya menetapkan suatu keputusan dalam hal ini, sehingga kemudian turunlah ayat tentang zhihar ini. Di dalam ayat ini, Allah membenarkan pendapat perempuan tersebut dengan berfirman: “Sesungguhnya Allah telah mendengar Perkataan wanita yang mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah. dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha melihat. Orang-

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 188 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh- sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. Selain itu, al-Qur’an juga telah mengkisahnya bagaimana seorang perempuan juga bisa mendiri secara ekonomi.18 Perempuan bisa berkarir sesuai dengan kemampuan dan bidang yang digelutinya. Tidak ada larangan bagi perempuan berkarir selama hal tersebut dilakukan tanpa melanggar syar’i. Sejarah telah mencatat bagaimana para perempuan/isteri pada zaman Nabi dan sahabat yang yang aktif bekerja. Sebut saja misalanya Ummu Satim binti Malhan yang berkerja sebagai perias pengantin. Bahkan salah satu yang dirias adalah isteri Nabi yang bernama Shafiyah binti Huyay. Istri Nabi saw. yang bernama Zainab binti Jahesy juga pernah aktif berkerja menyimak kulit binatang. Raithah, istri sahabat Nabi Abdullah Ibnu Mas’ud juga aktif bekerja karena suami dan akanya waktu itu tidak mampu mencukupi kebutuhan keluarga.19 Sejarah juga telah mencatat bagaimana seorang perempuan telah aktif dalam ranah publik baik dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dakwah hingga pendidikan. Sebut saja misalnya Khadijah binti Khuwailid istri Nabi saw. yang memiliki peran social sebagai pedagang. Isteri Nabi saw yang lain bernama Saudah binti Zam’ah yang memiliki peran soail dimana beliau ikut hijrah ke Haabayah dan ke Madinah. Penelitian yang dilakukan oleh M. Hadi Masruri juga menyebutkan banyak kaum perempuan yang aktif dalam ranah public, sebut saja misalnya seorang perempuan bernama

18 Q.S. al-Qashash (28): 23 19 M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar Kesetaraan Jender dalam Islam…, hlm. xxxv .

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 189 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Asy-Syifa binti Abdillah ibn Syams ibn Khalaf al-Quraisyiyyah yang aktif sebagai peserta baiat dan ikut hijrah ke Madinah. Pada masa Nabi periode Mekkah umat Islam juga mengenal seorang perempuan tangguh bernama Umm ‘Imarah (Nusaibah bint Ka’ab) selain sebagai peserta baiat, ia juga pernah aktif mengikuti dalam dalam berbgai peperangan, seperti perang badar, perang uhud, perang hudaibiyyah, perang Khaibar, perang Hunain dan juga perang al-Yamamah.20 Dalam risetnya Masruri juga menjelaskan banyak perempuan yang aktif dalam ranah publik pada masa Nabi periode Madinah. Sebut saja misalanya Aisyah bint Abi Bakar dan Hafsah bint ‘Umar, keduanya merupakan isteri Nabi yang aktif dalam berbagai bidang social keagamaan. Ada juga sosok peempuan bernama Laila al-Ghifariyyah yang aktif sebagai perawat yang ikut dalam banyak peperangan. Juga seorang perawat bernama Rufaidah al-Anshariyyah seorang perawat yang juga ikut dalam banyak peperangan. Bahkan ketika periode al-Khulafa’a al-Rasyidun Aisyah bint Abi Bakar pernah menjadi panglima perang dan juga sebagai perawi hadis. Pada masa ini juga Hafsah bint ‘Umar pernah ikut terlibat dalam penghimpunan naskah al-Qur’an. Pada masa itu juga tercatat banyak perempuan yang aktif dalam sosial kemasyarakatan seperti Ummu Salamah sebagai perawi hadis, Ummu Darda’ yang dikenal sebagai pendidik, dan seterusnya. Berikut ini adalah gambar cara kerja bagaimana keteladanan bisa membetuk pribadi yang berkarakter:

20 M. Hadi Masruri, “Sejarah Sosial Perempuan dalam Islam: Masa Nabi dan al- Khulafa’a ar-Rasyidun”, dalam Ringkasan Disertasi PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015, hlm. 17

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 190 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

PENDIDIKAN KARAKTER

Kisah Perempuan Teladan Sikap/Tindakan Inspiratif

 Khatijah binti  Kemandirian  Karir/pekerjaan Khuwailid Ekonomi  Aktif di LSM atau  Khaulah binti  Keberanian ormas Tsa´labah Berpendapat  Terlibat aktif di  Ratu Balqis  Kepemimpinan / politik (partai)  Aisyah bint Abi Politik  Pendakwah / Bakar  Keilmuan / pendidik  Ummu Salamah keagamaan  Aktif dalam  Ummu Darda’  Sosial kegiatan sosial  Dll. Kemasyarakatan kemasyarakatan  Pendidikan  Guru/dosen  Dll  Dll

Pribadi Berkarakter: Moral, Akhlak,

Berani, Tegas, Bijak, Mandiri,

Gambar Cara Kerja Keteladanan dalam Membentuk Karakter

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 191 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Fakta bahwa banyak kaum perempuan yang telah dicatat dalam sejarah Islam ini telah membuktikan kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa perempuan Arab dalam struktur masyarakat Arab sebelum Islam tidak mempunyai peran yang berarti.21 Fakta ini juga menegaskan bahwa perempuan di masa awal Islam memiliki kebebasan dalam berperan secara aktif dalam berbagai bidang sosial kemasyarakatan. Walaun kenyataannya semakin ke sini fakta bahwa Islam telah memberikan partisipasi dan otoritas kepada kaum perempuan ini mulai merosot dastis. Bahkan pada era sekrang masih banyak kaum perempuan yang termarjinalkan oleh dominasi kaum laki-laki dalam berbagai bidang baik sosial, politik, ekonomi dan bahkan pendidikan dan kesehatan. Hal ini tentu memprihatinkan. Kisah-kisah perempuan inspiratif yang telah dicata oleh sejarah tersebut hendaknya bisa dijadikan pondasi yang kokoh sebagai teladan dalam membangun generasi perempuan yang unggul pada masa kini. Kish-kisah tersebut hendaknya dibuka kembali sebagai teladan dalam membangun semangat berprestasi kaum perempuan dalam persaingannya di era dominasi laki- laki saat ini. Dengan menjadikan kisah-kisah tersebut sebagai teladan dan sumber isnpiatif diharapkan pendidikan karakter dapat terbentuk pada diri perempuan era kini yang mulai kehilangan sumber inspirasi. Munculnya para tokoh perempuan di dunia baik dari mulai masa klasik hingga kontemporer telah membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan yang setara dengan laki-laki. Sebut saja misalnya kisah isteri Nabi Muhmmad saw. yang pernah mempin perang; ada juga kisah klasik seorang perempuan bernama Ratu Balqis yang memimpin Negeri Saba’. Juga ada tokoh sufi kenamaan yang bernama Rabi’ah al-Adawiyah, sufi pertama yang memperkenalkan ajaran Mahabbah (Cinta) dan seterusnya. Pada era modern juga banyak tokoh perempuan berpengaruh yang bermunculan, seperti tokoh dari India bernama Indira Gandhi, Perdana Mentri perempuan pertama India yang terkenal tegas dan berani dalam mengambil keputusan di saat-saat sulit. Masih dari India yaitu Sonia

21 M. Hadi Masruri, “ Sejarah Sosial Perempuan…” hlm. 9.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 192 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Gandhi, Pemimpin Partai Kongres India; Margaret Thatcher, Perdana Menteri Britania Raya yang dikenal sebagai “Wanita Besi” karena dikenal dengan sikapnya yang tegas dan keras dalam melawan bekas Uni Soviet. Kita juga mengenal sosok fenomenal, Benazir Bhutto, Perdana Menteri Pakistan yang menjabat dari tahun 1988-1990 dan 1993-1996. Ada juga Corazon Aquino, Presiden Filipina, ia juga merupakan perempuan pertama yang menjadi presiden di Asia; Christina Fernandez, Presiden Argentina yang terpilih pada tahun 1997; Dilma Rousseff, Presiden perempuan pertama Brazil; Sirimavo Bandarnaike, Perdana Menteri Sri Lanka yang merupakan perempuan pertama yang menjadi presiden di seluruh dunia; Julia Gillard, Perdana Menteri Perempuan pertama Australia; Sheik Hasina Wajed, Perdana Menteri Banglades dan seterusnya. Bahkan ada juga sosok wanita bernama Bashaeer Otman yang terkenal sebagai wali kota perempuan termuda di dunia. Ia menjabat sebagai wali kota Allar—sebuah kota kecil di tebi barat utara Palestina. Indonesia sendiri juga memiliki para perempuan tangguh yang menjadi sosok inspiratif dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebut saja misalnya RA. Kartini, Cut Nyak Dien (1848-1908) dikenal sebagai pahlawan nasional Indonesia dari Aceh; Dewi Sartika (1884-1947), Pahlawan Nasional dari Bandung. Bahkan Dewi Sartika dikenal sebagai tokoh perintis pendidikan untuk kaum perempuan di Indonesia. Pada era sekarang kita juga mengenal Megawati Soekarno Putri yang merupakan presiden Indonesia ke 5. Ia menjabat sebagai presiden Indonesia pada kurun waktu tahun 2001-2004. Ia merupakan presiden perempuan pertama Indonesia. Indonesia juga pernah memiliki mentri keungan terbaik se-Asia yaitu Sri Mulyani. Sri Mulyani menjabat sebagai mentri keuangan pada era pemerintahan Presiden SBY pada kurun waktu 2005-2010. Ia dinobatkan sebagai mentri keungan terbaik Asia oleh Emerging Markets pada tahun 2006. Karena prestasinya, sejak 1 Juni 2010 peraih gelar Ph.D dari University of Illionis Urbana-Champaign, U.S.A. ini sekarang menjabat sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Ia merupakan perempuan sekaligus orang Indonesia pertama yang menjabat

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 193 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran sebagai Direktur Pelaksana Bank Dunia. Majalah Forbes juga pernah mengganjarnya sebagai perempuan paling berpengaruh ke 23 pada tahun 2008. Dalam beberapa tahun terkahir ini Indonesia juga patut berbangga dengan munculnya beberapa tokoh perempuan yang mampu tampil sebagai kepala daerah.22 Munculnya para tokoh perempuan dipanggung politik di Indonesia pada akhir-akhir ini sebenarnya merupakan kabar baik. Hal tersebut menandakan bahwa perempuan juga bisa membuktikan bahwa mereka juga pantas dan layak bersaing dengan kaum adam yang selama ini cenderung mendominasi. Tokoh-tokoh perempuan di atas merupankan bukti bahwa perempuan juga mampu menjelma sebagai sosok yang patut untuk dijadikan teladan, baik itu dalam berdemokrasi, kemandirian ekonomi, kepemimpinan hingga dalam hal pendidikan. Namun sayangnya banyak para tokoh perempuan Indonesia saat ini tidak sedikit yang terjebak dalam pusaran kasus korupsi yang sangat memprihatinkan.23

22 Sebut saja misalnya Ratu Atus Chosiyah gubernur Banten; Airin Rachmi Diany wali kota Tangerang Selatan (2011-2016); Rita Widyasari, Bupati Kutai Kartanegara (2010-2015); Widya Kandi Susanti, Bupati Kendal, Jateng (2010-2015); Christiany Eugenya Paruntu, Bupati Minahasa Selatan (2010-2015); Idza Priyanti, Bupati Brebes, Jateng (2012-2017); Illiza Sa’aduddin Djamal, Wali Kota Banda Aceh (2014-2019); Juliarti Djuhari, Bupati Sambas Kalimantan Barat (2011-2016); Tri Rismaharini, Wali Kota Surabaya (2010-2015); Ni Putu Eka Wiryastuti, Bupati Tabana, Bali (2010-2015); Sri Suryawidati, Bupati Bantul (2010- 2015); dan seterusnya. 23 Sebut saja misalnya Angelina Sondakh, ia merupakan politisi Partai Demokrat yang terjebak kasus korupsi Wisma Atlet Palembang. Sejak terpilih sebagai Putri Indonesia pada tahun 2001. Namanya mulai dikenal luas hingga kemudian ia merambah kebidang politik. Ia menjabat sebgai Anggota DPR dari Faraksi Partai Demokrat pada priode 2004-2009 dan 2009-2014. Ada lagi sosok perempuan bernama Miranda Goeltom, ia merupakan mantan Debuti Senior Gubernur Bank Indonesia pada kurun waktu 2004-2008. Ia dicurigai telah melakukan suap kepada anggota DPR yang berkaitan mengenai kemenangannya sebagai Debuti Senior Gubernur Bank Indonesia. Ada lagi kasus korupsinya Wa Ode Nurhayati. Ia merupakan anggota DPR Komisi VII dari Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN). Pada tahun 2011 KPK menetapkan Nurhayati sebagai tersangka kasus dugaan korupsi Dana Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal (DPPIDT). Juga kausus yang menyita perhatian adalah ditetapkannya Ratu Atut Chosiyah pada 17 Desember 2013 oleh KPK sebagai tersangka karena dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan di Banten. Kasus Atut ini kemudian juga berbuntut dengan ditetapkannya Bupati Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, sebagai tersangka dan masih banyak lagi lainnya.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 194 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

Krisis keteladanan kaum perempuan dalam ranah publik pada era sekarang sangat memprihatinkan. Pada era-era sekarang kita disuguhkan keteladan para pemimpin yang negatif, tidak terkecuali para tokoh perempuan. Sebagaimana halnya para tokoh perempuan yang terjebak dalam kasus korupsi yang telah disebutkan di atas. Dari krisis keteladanan kaum perempaun pada era sekarang, masyarakat merindukan sosok-sosok perempuan hebat yang berkarakter. Indonesia selayaknya menjadi ikon dan inspirasi lahirnya tokoh-tokoh perempuan yang hebat tersebut. Mengingat Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduknya beragama Islam, seharusnya Indonesia mampu menjadikan kitab sucinya al-Qur’an sebagai kitab inspiratif, terutama dalam membangun bangsa yang bermoral dan berkarakter. Namun sayangnya para umat Islam di Indonesia cenderung meninggalkan ajaran agamanya yang mulia. Padahal Islam memiliki banyak kisah-kisah kaum perempaun yang hebat. Namun sayangnya kisah para perempaun hebat dalam Islam tersebut telah dilupakan atau bahkan sama sekali tidak dikenal. Kaum muda pada era sekarang lebih bangga menjadikan para artis sebagai idolanya. Maka tidak heran jika penelitian yang telah dilakukan oleh Guru Besar Hukum Internasional dari Universitas George Washinton bernama Prof. Hussein Askari dan Dr. Scheherazde S. Rehman yang menyebutkan bahwa Negara yang penduduknya mayoritas non muslim justru lebih taat dalam menerapkan nilai-nilai al-Qur’an dari pada Negara dengan mayoritas penduduknya muslim. Penelitian ini telah menemukan secara tidak terduga Negara seperti Denmark, Swedia dan Inggris menempati posisi tiga besar Negara yang menerapkan nilai-nilia al-Qur’an. Adapun nilai-nilia al-Qur’an yang diterapkan mencakup standar ekonomi, hukum, sosial, hak asasi dan politik. Dalam penelitian ini tidak satupun Negara dengan mayoritas penduduknya muslim ada di posisi 25 besar. Hanya Malaysia (posisi 33) dan Qatar (posisi 42) masuk dalam 50 besar.24

24 Lihat, Ardini Maharani, “Penelitian Sebut Negara Non Muslim Lebih Islam”, dalam http/m.merdeka.com/dunia/penelitian-sebut-negara-non-muslim-lebih-islami.html/selasa 10 Juni 2014/diakses 13 Januari 2015.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Anisah Indriati 195 Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

E. Simpulan Dari pemaparan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kisah-kisah kaum perempuan yang tertuang di dalam ayat-ayat al-Qur’an di atas menegaskan sebuah konsep kesetaraan gender yang ideal. Kisah- kisah kaum perempuan yang telah dikaji juga menegaskan bahwa suatu prestasi baik dalam bidang spiritual maupun karier professional tidak harus didominasi salah satu jenis kelamin saja. Selama ini laki-laki terlalu mendominasi sehingga hak kaum perempuan termarjinalkan. Karena dominasi kaum laki-lakilah keberadaan kaum perempuan seolah-olah tidak diperhitungkan, bahkan kaum perempuan menjadi pihak yang tertindas oleh dominasi tersebut. Kajian ini ingin menegaskan bahwa kaum perempuan juga memiliki kesempatan dan kemampuan yang setara dengan kaum laki-laki. Kajian ini juga ingin menegaskan bahwa baik laki-laki maupun perempuan memiliki kesempatan yang sama dalam berprestasi, baik dalam bidang politik, sosial, ekonomi hingga dalam hal pendidikan dan karir professional. Kisah-kisah perempuan inspiratif yang dibahas dalam kajian ini bisa dijadikan teladan dalam membentuk pendidikan karakter. Dengan menghadirkan dan menggali kembali nilai- nilai moral sosial kisah para perempuan inspiratif ini diharapkan para kaum perempuan pada era sekarang mampu menghadirkan semangat baru dalam membangun bangsa yang cerdas dan berkarakter. []

Daftar Pustaka Ardini Maharani, “Penelitian Sebut Negara Non Muslim Lebih Islam”, dalam http/m.merdeka.com/dunia/penelitian-sebut-negara-non-muslim- lebih-islami.html/selasa 10 Juni 2014/ diakses 13 Januari 2015. Fatimah Mernissi, The Veil and Male Elite, terj. M. Masyhur Abadi, Surabaya: Dunia Ilmu, 1997.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 196 Anisah Indriati Kisah Teladan Kaum Perempuan dalam Al-Quran

M. Hadi Masruri, “Sejarah Sosial Perempuan dalam Islam: Masa Nabi dan al-Khulafa’a ar-Rasyidun”, dalam Ringkasan Disertasi PPs UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2015. M. Nurdin Zuhdi, “Kritik terhadap Pemikiran Gerakan Revivalisme Islam di Indonesia”, dalam Akademika Jurnal Pemikiran Islam,Vol. XVII, No. 02, 2012. M. Nurdin Zuhdi, “Perempuan dalam Revivalisme: Gerakan Revivalisme Islam dan Politik Anti Feminisme di Indonesia”, Musawa Jurnal Studi Gender dan Islam, Vol. 9, No. 2, Juli 2010. M. Quraish Shihab, “Kata Pengantar Kesetaraan Jender dalam Islam”, dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al- Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999. M. Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta Sampi Seks, Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah Sunnah,Dari Bias Lama Sampai Bias Baru, Jakarta: Lentera Hati, 2006. M. Subkhi Ridho (ed.), Perempuan Agama dan Demokrasi, Yogyakarta: LSIP, 2007. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999. Nawal el-Saadawi, Perempuan di Titik Nol, cet. 9, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006. Rachel Anne Vaessen, “Humour, Halters and Humiliation: Wife Sale as Theatre and Self-divorce”, Thesis In the Departement of History, Simon Fraser University, 2006. Siti Musdah Mulia, Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender, Yogyakarta: Kibar Press, 2007.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 197 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda1

M. Nasrudin STIQ An-Nur Yogyakarta [email protected]

Abstrak Kajian ini berupaya menggambarkan silang kuasa dalam pengelolaan zakat pada era Kolonial Belanda dengan mengkaji literatur yang terkait. Satu hal menarik adalah bahwa sejak awal Pemerintah Kolonial tidak mau mengurusi zakat karena tak paham Islam dan tak mau dianggap merecoki Islam. Semenjak Hurgronje datang, ia mengarahkan agar zakat sebagai ibadah tetap berlangsung dengan batas-batas tertentu. Adapun zakat sebagai ekspresi Islam politik ia larang secara tegas. Meski demikian, sikap pemerintah Kolonial terhadap zakat justru mendua. Di satu sisi pemerintah tidak mau campur tangan, tapi di sisi lain pemerintah melantik penghulu (ulama tasyri’ wa al-qadha) yang salah satu tugasnya adalah mengurusi zakat dan dana kas masjid. Meski penghulu adalah pejabat negara, gajinya tidak bersumber dari kas negara melainkan dari kas masjid. Hal ini membuat pengelolaan zakat menjadi rumit dan rentan penyelewengan sehingga masyarakat lebih memilih membayar zakat ke ulama tarbiyah wa ad-dakwah. [This paper describes power relations in almsgiving managerial at Dutch Colonial era with reviewing related works. Referring to the historical record, Dutch Colonial was not want to manage almsgiving practices from the first time coming. Colonial was not want to be judged as disturber to Islam, besides they have not knowledge regarding Islam. But after Snouck Hurgronje’s coming, one basic policy was decided regarding almsgiving. As obedience practices, almsgiving was allowed with restrictions, but as political practices almsgiving was not allowed. Dutch Colonial has an ambivalent view in order to almsgiving. Colonial was not want to be judged as disturber, but in another hand, Colonial has inducted penghulu (legal clerics), who was manage almsgiving and mosque finance. Penghulu was a government official, but their salary was not taken from State Budget but mosque budget. This almsgiving management was confusing and tends to mismanagement. So public tends to pay their almsgiving to tarbiyah (education) and dakwah (mission) clerics.]

1 Artikel ini dikembangkan dan disajikan ulang dari subsubbab tesis penulis. Lihat M. Nasrudin, "Keberterimaan Amil Zakat di Yogyakarta atas Hegemoni Negara dalam Pengelolaan Zakat Melalui UU No 23 tahun 2011" tesis Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia (Yogyakarta: MH UII, 2015).

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 198 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

Kata kunci: Zakat, kuasa, Kolonial Belanda, penghulu.

A. Pendahuluan Ketika dihadapkan dengan sesuatu yang betul-betul asing, seseorang akan dengan serta-merta menolaknya. Tetapi jika dihadapkan dengan hal yang sudah lazim namun dimuati dengan nilai-nilai yang baru, seseorang relatif mudah bisa menerimanya. Hal inilah yang juga terjadi dengan penerimaan Islam di Nusantara. Islam hadir di Indonesia bukan dengan wajah yang asing. Oleh para pendakwah, pada mulanya Islam dihadirkan bukan sebagai sebuah ritual, melainkan sebagai nilai-nilai. Medianya adalah hal-hal yang akrab dan sesuai dengan jiwa zaman masyarakat Nusantara waktu itu. Maka tidak mengherankan jika pada era awal Islam masuk ke Indonesia, dimensi esoteris lebih banyak mewarnai ketimbang dimensi eksoteris. Tasawuf yang merangkum serangkaian nilai-nilai dan pesan- pesan Islam menjadi aspek Islam yang lebih dulu diterima. Karena berupa nilai, maka tasawuf memiliki tingkat toleransi dan fleksibilitas yang sangat sempurna untuk disampaikan dengan medium yang paling mudah diterima oleh masyarakat Nusantara, yakni seni dan budaya. Dalam perkembangan selanjutnya, setelah dimensi esoteris masyarakat tergarap, aspek amaliah fikih baru masuk. Karakter fikih memang relatif lebih kaku dan lempeng, sehingga ia butuh pribadi yang sudah kuat fondasi imannya. Jika melalui tasawuf jiwa manusia diajak untuk mengenal ‘yang tak terbatas’ dan dibebaskan dari belenggu-jiwa, sebaliknya dalam fikih, fisik dan jiwa manusia dibebani taklif (pembebanan syariat). Pribadi yang sudah siap dibebani disebut mukallaf. Beban ini terikat dengan lima hukum taklif yakni (wajib, sunah, mubah, makruh, dan haram) yang berlaku pada amaliah jiwa, fisik, dan materi sekaligus.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 199 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

Salah satu ajaran fikih adalah pensyariatan zakat. Dalam kerangka taklif, zakat adalah pembebanan terhadap jiwa dan harta yang dikuasai oleh seorang muslim. Pada masa awal Islam masuk di Nusantara, ketika dimensi fikih belum begitu dipahami secara mendalam oleh masyarakat, zakat yang paling populer adalah zakat fitrah. Dalam praktiknya di Nusantara, zakat fitrah ini dikeluarkan dan didistribusikan tanpa tunduk pada aturan fikih secara kaku. Bahkan beberapa kalangan terkesan menyederhanakan zakat sebagai zakat fitrah semata. Snouck Hurgronje sebagaimana dikutip Arskal Salim menuturkan bahwa proses islamisasi Nusantara berbeda dengan islamisasi di Arab yang melibat kuasa pedang. Di jazirah Arab, pembayaran zakat adalah wujud ketundukan dan kepatuhan kepada penguasa muslim, dan memang zakat dipungut oleh penguasa. Sedangkan di Nusantara proses islamisasi tidak melibatkan kuasa politik-militer yang represif, sehingga penunaian zakat juga lepas dari kuasa tersebut. Ini pula yang turut menyebabkan informasi mengenai praktik zakat pada era awal Islam diterima menjadi sangat minim.2

B. Kuasa dan Praktik Pengelolaan Zakat Era Pra-Kolonial Bagi masyarakat Jawa awam, berderma itu penting. Mereka meyakini itu sebagai kewajiban agama dan membawa keberkahan. Tetapi derma dilakukan lebih dalam kerangka saling menolong antar sesama dan tanggung jawab sosial, ketimbang dalam kerangka fikih yang rigid. Maka derma kemudian diberikan bisa dalam wujud bahan makanan atau makanan masak, atau uang tunai. Tak heran jika tradisi selamatan terasa lebih penting ketimbang kewajiban zakat yang terikat banyak aturan main. Namun bagi kalangan santri, mereka relatif menguasai ajaran zakat dan lebih perhatian dengan praktik dan renik pembayaran zakat.3

2 Arskal Salim, Challenging the Secular State, The Islamisation of Law in Modern Indonesia, (Honolulu, University of Hawaii Press, 2008), hlm. 120. 3 Lebih lanjut, Woodward juga menyebutkan bahwa selametan atau kenduren juga ditradisikan di Indo-Persia (kenduri), Aceh (kenduri), Melayu (kenduri) dalam latar dan

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 200 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

Zakat fitrah seorang bayi biasa diberikan kepada dukun yang membantu persalinan. Zakat seorang remaja biasa diberikan kepada kiai pesantren tempat ia mengaji, atau guru mengaji di surau. Seterusnya, zakat fitrah seorang dewasa biasa diserahkan kepada kiai masjid, modin desa, lebai, pembaca doa, atau pemuka agama tanpa ada catatan untuk disalurkan kepada para mustahik.4 Snouck Hurgronje sebagaimana dilansir Fauzia mencatat bahwa biasanya pemuka agama menerima dan membagikan sebagian zakat kepada mustahik, sebagian zakat ia manfaatkan sendiri sebagai bayaran atas jasa mengurus keagamaan masyarakat.5 Praktik semacam ini di beberapa masyarakat muslim di Jawa masih berlangsung hingga kini. Selain zakat fitrah, jenis zakat lain yang mulai populer adalah zakat pertanian. Setelah panen, biasanya para petani akan menyerahkan sebagian hasil panennya kepada kiai desa. Sehingga di kalangan masyarakat tertentu, populer istilah zakat padi dan kadangkala menimbulkan salah persepsi bahwa zakat adalah zakat padi.6 Sedangkan zakat emas dan perak, zakat perniagaan, atau zakat ternak belum begitu populer, kendatipun dipraktikkan oleh saudagar muslim yang taat atau saudagar yang juga sekaligus juru dakwah. Pada era ini, zakat masih berada pada domain kewajiban yang bersifat individu. Zakat kurang dimaknai dalam kerangka hak si miskin yang harus diserahkan dari tangan yang mampu melalui kuasa agama- kerangka yang berbeda-beda. Mark Woodward, Java, Indonesia, and Islam, (London & New York: Springer, 2011), hlm. 114-115. 4 Tradisi ini bahkan masih dilakukan saat Indonesia sudah merdeka. Terutama dilakukan oleh masyarakat yang disebut oleh Geertz sebagai Islam . Bahkan berdasarkan pengamatan peneliti, di beberapa tempat di Jawa tradisi pembayaran zakat semacam ini masih diberlakukan seperti di Purwodadi, Jawa Tengah. Lihat Clifford Geertz, The Religion of Java, diterjemahkan, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, cetakan kedua, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1983). hlm. 13-18. 5 Amelia Fauzia, “Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya.” http://decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di-indonesia-peran.html. Diakses 25 November 2013 pukul 12.02 WIB. 6 Amelia Fauzia, “Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya.... .

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 201 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda politik. Kuasa atas zakat lebih banyak berada pada pemuka agama dengan seringnya mereka mengajak umat untuk membayar zakat. Pengelolaan zakat dilakukan oleh para pemuka agama secara personal dan sporadis di wilayah masing-masing. Status pemuka agama di sini tidak terdefinisikan secara tegas, apakah ia amil ataukah mustahik. Muzaki tidak menuntut kepada pemuka agama untuk menentukan posisinya, pemuka agama juga tidak menjelaskan posisi dirinya. Setelah komunitas muslim cukup kuat, mereka kemudian membentuk sistem politik dan tata pemerintahan, baik dalam wujud Kerajaan atau Kesultanan Islam. Pada era ini, praktik zakat semakin marak dan terorganisir. Sultan dalam Bustan as-Salatin dikisahkan sering memberikan sedekah dan infak kepada para fakir miskin terutama setiap akan melaksanakan salat Jumat. Namun demikian, tidak jelas, apakah itu derma biasa ataukah itu bagian dari pembayaran zakat. Tidak banyak catatan yang cukup detil terkait pola penyerapan serta pengelolaan zakat bagi masyarakat luas, baik yang dilakukan oleh Sultan atau masyarakat.7 Dalam Bustan as-Salatin, Nuruddin ar-Raniri menyebutkan bahwa di Samudera Pasai, ada lembaga negara Baitul Mal yang mula-mula didirikan oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Lembaga ini dipimpin oleh pejabat yang bergelar Orang Kaya Seri Maharaja Bendahara Raja Wazir Dirham. Lembaga ini bertugas mengelola harga kekayaan negara, termasuk upeti, zakat, infak, dan sedekah dari masyarakat. Sultan Iskandar Muda juga menetapkan ‘usur (kemungkinan zakat pertanian yang jumlahnya sepersepuluh dari hasil panen), dan cukai pekan di pasar. Sayangnya, naskah Bustan as-Salatin tidak banyak berbicara mengenai bagaimana kebijakan khusus terkait hal ini.8 Bahkan Undang-Undang Malaka, kompilasi teks

7 Kendati demikian, secara garis besar Sultan mempromosikan kegiatan derma. Naskah Taj Salatin seperti dikutip Fauzia menyebutkan bahwa Sultan haruslah menjadi pelopor dalam berderma, karena berderma menjadi salah satu tanda bahwa ia adalah Sultan yang baik dan adil. Lihat Amelia Fauzia, Faith and The State, a History of Islamic Philanthropy in Indonesia. (Leiden: Brill, 2013). hlm. 73. 8 Amelia Fauzia, Faith and The State... hlm.76-78.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 202 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda hukum di seluruh Kerajaan Islam di sekitar Selat Malaka, tidak membahas pengelolaan zakat secara spesifik.9 Hal ini mengindikasikan bahwa pada abad ke-16-17, dimensi religius zakat (terutama zakat fitrah) lebih dominan ketimbang dimensi sosiopolitik dan sosioekonomi. Kendati secara resmi negara yang berdiri adalah negara Islam, negara menganggap zakat sebagai kewajiban religius yang bersifat personal, alih-alih publik. Setiap warga menyalurkan zakatnya secara tradisional langsung secara sukarela kepada mustahik atau tokoh agama yang ia segani, di Aceh ada Teungku. Namun, negara melalui hulubalang (Aceh: uleebalang) memungut ‘ushr dan pajak dalam kerangka sosiopolitik dan sosioekonomi, sehingga pengaturannya lebih jelas.10 Selanjutnya, pada masa Kerajaan Demak penulis belum mendapatkan informasi yang memadai terkait praktik berzakat. Sama halnya dengan Kerajaan Pajang dan Mataram Islam. Hanya saja, di Kerajaan Mataram Islam ada satu pranata negara yang bernama Abdi Dalem Pametakan atau Abdi Dalem Kapengulon. Ia bertugas menjalankan fungsi-fungsi keagamaan di Kerajaan. Hal ini tidak lepas dari Kerajaan yang menempatkan Islam sebagai fondasi penting dari Kerajaan. raja bergelar khalifatullah. Kendati demikian, Rouffair sebagaimana dikutip Arskal Salim menyebutkan bahwa Sultan Agung (c. 1625) atau Panembahan Senopati (c. 1590) dilaporkan pernah menyerahkan 25 cacah tanah kepada para pemuka agama dalam rangka wakaf, tanah perdikan, dan zakat dari Sultan. Yang terakhir ini bisa dipersoalkan karena tidak sesuai dengan fikih. Dalam syariat, tidak ada ketentuan zakat dalam bentuk tanah. Yang ada adalah zakat dari hasil tanah pertanian yang diolah. Dari sini, bisa dilihat bahwa

9 Undang-Undang Malaka memuat hukum kelautan, hukum perkawinan Islam, hukum dagang Islam, dan hukum acara, tetapi tidak membahas hukum administrasi zakat. Amelia Fauzia, Faith and The State.., hlm. 81. 10 Kebijakan semacam ini pada beberapa sisi kemudian dilanjutkan oleh kolonial Belanda di Indonesia. Amelia Fauzia, Faith and The State... hlm. 85.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 203 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda besar kemungkinan, Kerajaan tidak memiliki pranata untuk mengelola zakat, setidaknya zakat tidak dikelola dengan melibatkan negara.11

C. Sikap Negara terhadap Pengelolaan Zakat pada Era Kolonial Sejak kali pertama menginjakkan kakinya di Nusantara, kolonial Belanda —saat berbentuk VOC (1602-1800) hingga negara Hindia Belanda (1800-1942)— mengambil jarak dengan Islam. Kolonial Belanda tidak mau berurusan dan tidak mau mencampuri Islam, agama yang dipeluk oleh nyaris seluruh penduduk Nusantara. Baik VOC maupun pemerintah Hindia Belanda pada tahun-tahun awal, keduanya memberikan keleluasaan dan iklim yang relatif kondusif bagi perkembangan dan penerapan hukum Islam.12 Pada era VOC, teori receptie in complexu dari Salomon Keyzer diberlakukan. Teori ini menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi masyarakat Hindia Belanda disesuaikan dengan agama yang mereka anut.13 Namun dalam perjalanannya, terutama pada medio pertama abad ke-19, Belanda melihat kecenderungan bahwa pemberontakan yang paling sengit selalu terkait dengan Islam, misalnya, perang Jawa dengan Pangeran Diponegoro sebagai panglimanya (1825- 1830), Perang Padri di Minangkabau (1821-1837), pemberontakan Kiai Ripangi Kalisalak (1850), pemberontakan Kiai Zainal Abidin Sukamanah, juga perang Aceh (1873). Islam tidak bisa dipisahkan dari perlawanan tersebut.14

11 Lihat Arskal Salim, Challenging the Secular State... hlm. 120-121. 12 Kepentingan kolonial adalah berdagang dan mencari untung. Buat apa mencampuri urusan rumah tangga orang lain sepanjang ia bisa berdagang dan untung besar. Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum islam dari Fikih, UU No 1/1974, sampai KHI, (Jakarta, Prenada Media: 2004), hlm. 8. 13 . Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum islam dari Fikih..., hlm. 9. 14 Motif pemberontakan ini bisa berbeda-beda. Tetapi yang jelas ajaran Islam turut menjadi justifikasi teologis yang cukup ampuh untuk menggerakkan massa melawan

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 204 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

Sejak saat itulah, kecurigaan dan ketakutan Kolonial Belanda terhadap Islam dan umat Islam mencapai titik kulminasi. Akan tetapi, mereka tidak bisa berbuat banyak terkait hukum Islam, karena pemahaman mereka terhadap Islam amat minim. Meski demikian, Belanda berupaya membatasi gerak aktivis muslim.15 Menjelang akhir abad ke-19, datanglah Snouck Hurgronje yang melakukan penelitian mendalam terhadap Islam, mulai dari Mekkah, kemudian Aceh, dan terakhir di Jawa. Ia kemudian mengusulkan pendirian dan sekaligus kelak menjadi kepala Kantoor voor Inlandsche Zaken yang mengurusi masalah agama penduduk pribumi. Hasil temuan Snouck adalah bahwa Kolonial Belanda harus melihat Islam dalam tiga dimensi, yakni (i) Islam dalam ibadah personal, (ii) Islam dalam ibadah yang bersifat sosial kemasyarakatan, dan (iii) Islam sebagai politik. Terhadap ajaran Islam terkait ibadah, Kolonial Belanda tidak perlu turut campur, karena umat Islam hanya beribadah. Begitu juga saat mereka naik haji. Yang perlu diwaspadai adalah dimensi ketiga, yakni Islam sebagai politik.16 Dalam aspek hukum, Snouck mengusulkan teori receptie. Hukum Islam diterima pemerintahan kolonial. Ulasan menarik terkait kisah Kiai Rifai (kadang dieja Ripangi) Kalisalak dalam menggunakan instrumen hukum Islam untuk melawan kolonial Belanda bisa dibaca dalam M. Nasrudin, “Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Analisis Pergeseran Pemikiran Jamiyah Rifaiyah tentang Keabsahan Pernikahan yang Diakadkan oleh Penghulu” skripsi (Semarang: Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2009). Lihat pula Abdul Jamil, Perlawanan Kiai Desa, (Yogyakarta: LKiS, 2001). 15 Upaya pembatasan terhadap gerakan ulama terjadi di setidaknya dua level: ulama yang bergerak pada tataran tarbiyah wa ad-da’wah (pendidikan dan dakwah, yakni kiai atau tradisional) dan ulama di level tasyri’ wa al-qadhâ (pembuat hukum dan pengambil keputusan hukum, yakni penghulu). Sejak 1825 sampai 1859, pemerintah menjalankan berbagai ordonansi yang membatasi gerakan ulama dan masyarakat yang naik haji. Untuk memudahkan pendataan dan pengawasan, Kolonial Belanda mulai menerapkan gelar Haji bagi mereka yang sudah pernah naik haji. H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta: LP3ES, 1986), hlm. 11. Lihat juga Juga Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya di Masa Kolonial, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997), hlm. 53. 16 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda... hlm 11-12. Lihat juga Iir Hariman. “POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA.” http://kancanaasli.blogspot. com/2009/09/politik-islam-pemerintah-hindia-belanda.html. Diakses pada 12 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 205 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda dan berlaku bagi masyarakat muslim, dengan catatan sepanjang sudah diresepsi oleh hukum adat.17 Jika menggunakan klasifikasi yang dibuat oleh Snouck di atas, maka zakat masuk ke dalam klasifikasi ibadah personal sekaligus sosial. Sebab itu, zakat tidak pernah dipersoalkan dan dicampuri oleh negara. Sikap Kolonial ini sudah dijalankan sejak awal hingga saat teori receptie ini diterapkan. Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan larangan tegas, tertanggal 18 Agustus 1866 no 216 yang melarang dan menghapus segala bentuk campur tangan pemerintah daerah atas pungutan sukarela keagamaan. Sikap kolonial ini dilatari oleh setidaknya dua hal. Pertama, ketidaktahuan mereka akan dunia , karena mereka adalah nonmuslim dan minimnya pejabat kolonial yang mengenal Islam. Kedua, Pemerintah Kolonial tidak mau dipandang mengganggu dan merusak tatanan pranata keagamaan.18 Dalam iklim semacam ini, peran-peran pranata sosial keagamaan (kiai, pesantren, madrasah, masjid) atau sosial politik keagamaan lokal (penghulu) tetap eksis dalam upaya pengelolaan zakat. Namun demikian, teori reseptie ini pada dasarnya diusulkan Snouck Hurgronje untuk melemahkan hukum Islam dengan membenturkannya dengan hukum adat. Banyak kiai penghulu yang menolak menerapkan hal ini, terutama terkait hukum waris. Namun tidak ada catatan apakah ada penolakan terhadap pelaksanaan zakat, lantaran zakat memang secara langsung berkaitan dengan dimensi sosial masyarakat yang sudah mentradisi dan menjadi semacam hukum adat. Besar kemungkinan, tidak ada penolakan zakat di sini.

17 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia... hlm. 11. Teori receptie ini kemudian dikembangkan dan disistematisasi oleh van Vollenhoven yang belakangan terkenal dengan teori hukum adatnya. 18 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia”, dalam dkk, Berderma untuk Semua; Wacana dan Praktik Filantropi Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Teraju, 2003), hlm. 168.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 206 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

Snouck Hurgronje dalam nasihat-nasihatnya mencatat bahwa zakat sudah ditradisikan oleh masyarakat dengan pola, praktik, dan basis pemahaman yang berbeda dari satu daerah ke daerah yang lain. Di Jawa dan Madura, misalnya, zakat ternak bisa dikatakan tidak pernah dibayarkan, apalagi zakat logam mulia dan perdagangan. Di Jawa Tengah dan Timur, di mana politik taman paksa dan sewa tanah diberlakukan, zakat pertanian hampir tidak pernah dibayarkan.19 Sementara di Priangan zakat pertanian sangat digalakkan. Zakat maal boleh dikatakan tidak ditradisikan di Jawa, tapi sangat populer di Madura. Berbeda dengan praktik zakat maal yang beraneka dan tidak merata, praktik zakat fitrah relatif seragam dan merata di seluruh wilayah umat Islam. Kewajiban zakat fitrah ini dikenakan kepada setiap kepala sehingga mengikat setiap dan seluruh individu. Zakat fitrah dilaksanakan secara serentak sehingga menimbulkan tekanan sosial dengan gelombang kejut yang bersifat viral dan pada akhirnya melibatkan banyak pihak. Jumlah harta yang dibayarkan relatif ringan, sehingga memungkinkan bagi nyaris setiap orang untuk menunaikannya. Adapun praktik dan pemahaman masyarakat terhadap zakat fitrah ini tidak jauh berbeda dengan kondisi pada era pra-kolonial. Snouck mencatat bahwa zakat fitrah dianggap sebagai tebusan dosa selama satu tahun. Fitrah seorang anak diberikan kepada dukun bayi yang membantu kelahiran anak tersebut. Jika si anak sudah mengaji, maka fitrah diberikan kepada guru mengaji di mesjid, madrasah, atau surau. Jika ia sudah dewasa, fitrah diberikan kepada modin, juru doa, lebai, amil, kiai, atau penghulu. Seperti pada era sebelumnya, tidak ada pengawasan dan pertanggungjawaban dari pengelolaan zakat tersebut.20

19 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia"... hlm. 166. Lihat sumber aslinya, Snouck Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, dikumpulkan oleh E.Gobee dan C. Andriaanse, Seri Khusus INIS jilid VII, Jakarta: INIS, 1992, hlm. 1357-1364. 20 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia"... hlm. 167. Snouck Hurgronje,

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 207 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

Yang agak berbeda terjadi di Priangan. Zakat dikoordinir dan dikumpulkan oleh kiai-kiai di desa untuk diserahkan kepada penghulu kecamatan atau kawedanan. Setelah dipotong oleh penghulu kawedanan, zakat kemudian diserahkan kepada penghulu afdeling dan uang zakat ini disebut sebagai penghasilan agama. Mereka yang bertugas mengumpulkan zakat disebut amil. Secara khusus, amil ini diangkat oleh pejabat agama. Namun sejak 1892, jabatan khusus ini tidak lagi difungsikan.21 Lalu bagaimana praktik berzakat di luar Jawa dan Madura? Jika mengacu pendapat GJ. Resink bahwa kuasa Kolonial tidak bersifat mutlak dan berlaku di seluruh wilayah Nusantara,22 maka dalam masyarakat yang berada di bawah kekuasaan negeri yang tidak tunduk kepada Kolonial, pengaruh Kolonial dalam pengelolaan zakat bisa dikatakan tidak ada. Negara-negara ini di antaranya adalah Makassar, Kesultanan Aceh, Kesultanan Ternate, Kesultanan Tidore, Kesultanan Jambi, dan vorstenlanden (Kesultanan Ngayogyakarta, Kadipaten Pakualaman, Kasunanan, dan Mangkunegaran Surakarta). Fungsi-fungsi pranata sosial keagamaan dalam pengelolaan zakat tetap berjalan, baik secara swadaya oleh masyarakat atau melalui pranata politik keagamaan. Pada wilayah-wilayah tersebut dan nyaris di seluruh wilayah Nusantara yang didominasi oleh masyarakat muslim (meski diperintah oleh Kolonial) dan di mana masyarakat muslim memegang kendali politik, setidaknya terdapat dua klasifikasi pemegang kuasa agama (ulama). Yakni, ulama yang berada di jalur tarbiyah wa ad-da’wah dan ulama dalam jalur tasyri’ wa al- qadha. Yang pertama adalah ulama yang bergerak di bidang pengajaran melalui mesjid, surau, langgar, meunasah, pesantren, dan menjalankan dakwah melalui pengajian baik umum ataupun khusus, terbuka ataupun tertutup. Yang kedua adalah ulama yang diangkat oleh penguasa untuk

Snouck Hurgronje, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa... hlm. 1367. 21 Amelia Fauzia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia"..., hlm. 168. 22 Lihat G.J Resink, Indonesian History Between the Myths, Essays in Legal History and Historical Theory, terj. Tim Komunitas Bambu, Bukan 350 Tahun Dijajah, cetakan kedua, (Jakarta: Komunitas Bambu, 2013).

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 208 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda mengurus urusan Islam dalam pembentukan hukum (tasyri’, ifta’) dan pengadilan (qadha).23 Ulama yang diangkat penguasa ini bisa diberi gelar qadhi (hakim). Pada era Sultan Agung Hanyakrakusuma pada Kerajaan Mataram Islam, ulama ini diberi nama Dewan Parampa. Pada era Kesultanan dan Kasunanan, mereka disebut kapengulon, yang diisi oleh Abdi Dalem Pamethakan atau Abdi Dalem Yogaswara. Di wilayah gubernemen yang dikuasai Kolonial, fungsi kapengulon tetap dipertahankan dan diangkat sebagai pejabat negara oleh Kolonial melalui Bupati atau Gubernur Jenderal.

Pranata kapengulon ini memiliki struktur yang bersifat vertikal dan paralel dengan kuasa dan distribusi administrasi sosial politik dari tingkat pusat, kabupaten, kawedanan, kecamatan, hingga tingkat desa. Seorang kiai penghulu afdeeling, penghulu kabupaten, atau penghulu kawedanan berkantor di mesjid jami’ setempat dan dibantu orang perangkat kapengulon yang jumlahnya bisa mencapai 40 orang. Makin ke bawah, jumlah mereka semakin sedikit. Pada tingkat desa, kapengulon memiliki pranata yang disebut modin, kaum, kayim, lebai, atau amil.24 Amil inilah yang bertugas mengelola zakat. Kendati jabatan yang disebut amil ini berada hanya pada wilayah desa, pada kenyataannya fungsi amil zakat juga berlaku pada seluruh jajaran kapengulon dari tingkat pusat sampai tingkat bawah. Namun fungsi amil zakat ini bukanlah fungsi primer bagi kapengulon. Karena tugas utama mereka adalah menjalankan fungsi tasyri’ dan qadha’. Kapengulon bertugas menyelesaikan perkara di antara umat, umumnya NTCR (nikah, talak, cerai, rujuk), zakat, wakaf, infak, waris, dan sedekah. Mereka menjalankan fungsi ini di serambi masjid, sehingga lazim sebutan Pengadilan Serambi Masjid.25 Selain itu, kiai penghulu juga menjalankan tugas sebagai imam salat lima waktu di masjid utama di wilayah yurisdiksinya. Untuk menjalankan

23 Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya... hlm. 52. 24 Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya..., hlm. 67. 25 Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya..., hlm. 73.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 209 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda fungsi kemakmuran masjid sekaligus fungsi kapengulon, penghulu menggalang dana dari masyarakat lewat kutipan atau biaya perkara yang ia tangani, termasuk juga biaya nikah, zakat, infak, wakaf, dan sedekah.26 Dari sinilah, kapengulon mendapatkan gaji bulanan, karena meskipun ia adalah pejabat negara, ia tidak mendapatkan gaji dari negara. Hanya jika penghulu merangkap sebagai mufti negara, ia mendapatkan gaji 75 gulden per bulan. Atau ketika menghadiri sidang landraad sebagai penasihat agama, ia baru mendapat gaji tambahan.27 Ada sebuah laporan menarik terkait dengan penghasilan seorang penghulu di Sumenep Madura, yang saat itu berada di bawah kekuasaan Kolonial. Dalam Algemeen Verslag Regantschap Soemenep over 1811 disebutkan bahwa:

Itoe pangoeloe serta katibnya dia poenja kalakowan periksa orang bitjara kawin, bitjarie dan bagi barangnya orang mathie. ... Saban boelan poeassa dia trima Vietra 4: katie Beras 1: orang dan lagi 1: atawa 2: doeit, lagie saban boelan haji trima koerban darie kepala sendiri roepa sampai hidoep dan lagie Jekat dari padie jagoon dan jawawoet dari 10: satoe. Ini njang roepa oewang pangoeloe bagi dengan katibnya 2: bagian dia ampoenya sendiri njang 1: bagian dibagie sama katibnya sama rata.28

Dari informasi di atas tampak bahwa di Madura (dan nyaris seluruh wilayah yang mayoritas muslim), penghulu mendapatkan zakat fitrah 4 kati dari setiap warga. Setiap bulan haji penghulu mendapatkan kepala hewan kurban, bahkan ada hewan kurban yang masih hidup. Pada setiap panen padi, jagung, atau jawawut, penghulu mendapatkan 1/10 dari hasil panen. Sampai di sini, dalam Algemeen di atas tidak ada informasi lebih lanjut

26 Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya..., hlm. 75 27 Karel A. Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta: Bulan Bintang, 1984), hlm. 224. Lihat juga Ibnu Qoyum Ismail, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya..., hlm. 75. 28 Ibnu Qoyim Ismail, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya..., hlm. 76, Dikutip dari “Madoera Boendel” 5d Arsip Nasional.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 210 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda terkait bagaimana pengelolaan zakat. Yang ada hanyalah informasi bahwa zakat tersebut jika dalam bentuk uang, ia manfaatkan untuk dirinya sendiri dan katibnya (sekretaris, atau tukang khutbah Jumat). Jika mengacu pada laporan di atas, penghulu Sumenep pada 1811 tidak memosisikan diri sebagai amil, melainkan sebagai mustahik atas zakat. Tampaknya kondisi semacam ini menjadi semacam kelumrahan di kalangan penghulu. Fungsi amil tidak berjalan secara efektif, kecuali (tampaknya) zakat fitrah. Kendati tidak ada informasi lebih lanjut yang mengenai apakah zakat fitrah ini ia bagikan kepada para mustahik atau tidak, logika terbalik bisa digunakan, bahwa yang ia manfaatkan dan dibagi dengan katib adalah jika zakat dalam bentuk uang. Maka, ada kemungkinan zakat fitrah ini dibagikan kepada masyarakat, meski tidak tertutup kemungkinan ia manfaatkan sendiri sepenuhnya. Namun demikian, peran penghulu atas zakat ini abu-abu sekaligus mutlak. Abu-abu dalam artian posisinya tidak jelas apakah ia amil atau mustahik. Mutlak dalam makna bahwa ia berhak menerima zakat tanpa perlu menjelaskan posisinya, dan sudah mentradisi dalam masyarakat. Kalau penghulu ini berstatus sebagai amil, ia tidak bertanggung jawab kepada muzakki atas zakat yang dibayarkan. Apalagi, barang zakat yang dibayarkan lebih banyak dalam bentuk dan dalam nuansa barang konsumsi (costumer goods), bukan dalam kerangka produksi. Dari informasi di atas terlihat bahwa negara relatif bersifat independen dalam pengelolaan zakat. Kendati penghulu adalah pejabat negara, membayar zakat adalah tindakan yang bersifat teologis-personal ketimbang politis. Negara juga tidak pernah meminta pertanggungjawaban atas pengelolaan zakat yang dilakukan oleh pejabatnya, dalam hal ini adalah penghulu. Hal ini karena meskipun penghulu adalah pejabat dan diangkat oleh negara (terutama untuk wilayah Gubermenen setelah berlaku Staatsblad van netherlandsch Indie nomor 152 tahun 1882), penghulu

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 211 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda tidak mendapatkan gaji bulanan dari pemerintah.29 Gaji yang didapat adalah dari uang kutip nikah, biaya sidang, zakat, infak, dan sedekah. Satu informasi lagi yang didapat dari laporan di atas adalah bahwa zakat yang populer dan berjalan pada masa itu adalah zakat fitrah dan zakat pertanian, dalam hal ini adalah padi, jagung, dan jawawut. Tiga komoditas pertanian ini dikeluarkan zakatnya karena termasuk klasifikasi bahan makanan pokok (quut balad). Ini sesuai dengan ajaran fikih mazhab Syafi’i yang berlaku di masyarakat. Sedangkan bentuk-bentuk zakat lain, seperti zakat perniagaan, zakat ternak, zakat pertambangan, atau zakat barang mulia bisa dikatakan tidak populer dan tidak dipraktikkan oleh masyarakat. Selain itu, di Preanger (mungkin Periangan) ada satu lagi bentuk zakat yang dipungut, yakni zakat haji. Penghulu di Preanger diketahui menarik 2,5% dari biaya haji sebagai zakat dari para calon jamaah haji. Menurut penghulu, haji yang tidak dibayarkan zakatnya maka uangnya tidak halal dan hajinya tidak sah. Snouck Hurgronje membantah pendapat penghulu ini. Menurut Snouck, zakat hanya wajib dibayarkan dari emas atau perak yang mencapai nisab dan dimiliki selama setahun penuh. Dalam praktiknya, calon jamaah haji hanya menjual tanahnya menjelang naik haji sehingga jarang sekali yang memiliki uang (emas dan perak) yang disimpan selama setahun penuh. Snouck mengusulkan agar dikeluarkan larangan kutipan zakat haji.30 Dari berbagai laporan di atas, zakat hanya menjadi satu dari sekian banyak perkara yang ditangani kapengulon. Tentu saja zakat kurang mendapatkan perhatian yang cukup dan pemanfaatannya kurang maksimal. Karena bagaimanapun, masjid jami’ hanya ada satu di satu wilayah yurisdiksi yang cukup luas. Di satu kabupaten hanya ada satu masjid jami’ kabupaten. Di satu kecamatan hanya ada satu masjid jami’ kecamatan. Di

29 Kecuali penghulu yang juga menjadi penasihat di Pengadilan Negeri (Landraad), ia mendapatkan gaji 75 gulden per bulan. Lihat Ibnu Qoyim, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya..., hlm. 75. Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia..., hlm. 225. 30 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia..., hlm. 243-244.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 212 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda luar itu masih ada banyak masjid lain yang juga menjalankan fungsi amil zakat. Selain itu, ada banyak ulama tarbiyah wa ad-da’wah di surau, musala, madrasah, dan pesantren yang juga menjalankan fungsi amil zakat. Peran mereka dalam menjalankan fungsi amil dan mendayagunakan zakat jauh lebih intensif ketimbang kapengulon tadi. Bagi ulama tarbiyah wa ad-da’wah, zakat difungsikan tidak hanya untuk menghidupkan dan memakmurkan masjid, melainkan juga untuk menyelenggarakan pendidikan murah dan berkualitas di surau, madrasah, dan pesantren. Zakat juga digunakan untuk memberikan beasiswa kepada para santri. Tetapi memang pengelolaan zakat masih sangat sektoral dan sporadis, tidak terintegrasikan dalam satu lembaga besar yang melintasi dan mengayomi seluruh pranata sosial keagamaan. Baru pada awal abad ke-20 muncul lembaga yang dalam turut mengelola zakat seperti Muhammadiyah, , atau Persatuan Islam. Lembaga-lembaga inilah yang kemudian menjalankan pengelolaan zakat secara lebih terorganisir. Zakat yang dibayarkan masyarakat melalui penghulu biasanya dimasukkan ke dalam dana kas masjid bercampur dengan sedekah, wakaf, serta persentase biaya nikah, talak, rujuk, dan cerai. Di Jawa dan Madura, dana kas masjid ini dikelola oleh sebuah panitia yang dibentuk dan diketuai oleh bupati. Sehingga, dana kas masjid sering kali dianggap sebagai lembaga pemerintah yang bisa dimanfaatkan oleh bupati sebagai gaji para pegawainya dan kepentingan bupati yang lainnya. Padahal, kas masjid pada dasarnya adalah lembaga keagamaan. Karenanya, Snouck Hurgronje pada 4 Maret 1893 menyarankan agar administrasi kas masjid diawasi secara ketat.31 Campur tangan dalam pengawasan ini menurut Snouck Hurgronje adalah hal baik dan perlu. Ia menggarisbawahi bahwa dana kas masjid adalah milik umat, bukan milik bupati atau penghulu. Ia juga mengusulkan agar bupati tidak sampai mengelola dana kas masjid karena hal tersebut bukanlah kewenangannya. Bila perlu, Snouck Hurgronje menambahkan,

31 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda..., hlm. 162.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 213 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda bupati Pasuruan harus ditegur keras karena telah membentuk lembaga dana kas masjid.32 Jika ditarik dalam sebuah garis besar, sikap pemerintah kolonial terhadap dana kas masjid ini mendua. Di satu sisi pemerintah tidak mau campur tangan dalam hal agama pribumi seperti yang ditekankan sebagai prinsip dasar kebijakan umumnya.33 Tetapi di sisi lain, pemerintah mengangkat penghulu sebagai pejabat kolonial yang bertugas mengelola dana masjid. Dalam pengelolaannya, pengeluaran kas masjid dalam jumlah besar harus atas persetujuan pemerintah.34 Pemerintah juga ingin agar dana kas masjid ini secukupnya saja, tidak terlalu besar35 karena kas yang besar berpotensi dikorupsi36 dan bisa membuat dinamika Islam menjadi lebih maju.37 Pemerintah kolonial Belanda di beberapa wilayah malah menggunakan kuasanya untuk mengarahkan pemanfaatan dana kas masjid yang besar demi kepentingan mereka. Di beberapa tempat, residen memerintah

32 H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda..., hlm. 162-163. 33 Prinsip dasarnya adalah netralitas dan kebebasan beragama. Prinsip ini sangat didukung oleh Snouck Hurgronje. Lihat Arskal Salim, Challenging the Secular State..., hlm. 121. 34 Pada 1926, masyarakat Pekalongan hendak membangun kembali masjid. Anggaran yang dibutuhkan adalah f. 26.000. meskipun dana yang tersimpan di bank diperkirakan jauh lebih banyak ketimbang angka tersebut, masyarakat hanya dizinkan untuk menggunakan dana sebesar f 6.000. Kekurangannya dipenuhi dengan sumbangan wakaf dan sedekah. Lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda..., hlm. 168. Namun demikian, pemerintah justru mengizinkan penggunaan dana kas masjid Pekalongan sebesar f 3.000 untuk membangun gedung pertemuan di Pemalang. H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda..., hlm. 165. 35 Ketentuan ini diatur dalam Surat Edaran Sekretaris Pemerintah tanggal 28 Agustus 1923. Lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda..., hlm. 163. 36 Holle melaporkan bahwa bupati Karawang dan pembantunya digaji dari kas masjid. Bupati dilaporkan sering mengambil kas masjid untuk kepentingan pribadinya. Laporan Holle ini bertanggal 12 Agustus 1873 dalam Geheim, Bt 29 September 1873, No C7. Dimuat juga di Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam..., hlm. 228. Lihat Ibnu Qoyum Ismail, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya..., hlm. 79. 37 Snouck Hurgronje pada sisi lain berkeinginan agar dana yang terkumpul berpotensi membangkitkan Islam politik. Snouck berupaya agar dana masjid secukupnya saja. Lihat H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda..., hlm. 168.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 214 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda bupati untuk menyetir penggunaan kas masjid. Di antara pemanfaatan ini tercantum dalam catatan Binnenlandsch Bestuur. Disebutkan bahwa Residen Surabaya memerintahkan agar masjid-masjid memasukkan anggaran pengeluaran untuk membiayai rumah sakit zending J. Kruyt di Mojowarno. Atas dasar perintah ini, Masjid Sedayu, misalnya, menganggarkan f 90,- per bulan untuk rumah sakit tersebut. Belum lagi dari masjid lain, karena dilaporkan juga, masjid di Rembang turut menyumbang rumah sakit tersebut.38 Dalam upaya melakukan pengawasan kas masjid, pemerintah dalam sidang Volksraad 1928 menyatakan bahwa umat Islam perlu diikutsertakan. Pada 1931, Gobee, penasihat di Kantoor voor Inlandsche Zaken, menyatakan bahwa kas masjid, termasuk zakat adalah semata- mata milik umat Islam. Sebelumnya, terjadi simpang siur terhadap kas masjid. Sebagian besar menganggap bahwa kas masjid adalah lembaga pemerintahan, sehingga pemerintah bisa memanfaatkannya. Selain itu, kewenangan lembaga politik (bupati) sangat besar, sehingga memunculkan potensi penyelewengan atau penyalahgunaan. Dua hal ini bisa terjadi atas inisiatif bupati atau atas perintah dari residen, atasan bupati.39 Sejatinya pada 1866, pemerintah sudah mengeluarkan Bijblad No 1892 yang melarang keras kepala desa sampai bupati untuk turut campur dalam pengumpulan zakat. Peraturan ini diperkuat dengan Bijblad No 1962 tanggal 4 Agustus 1893 dan Bijblad No 6200 tahun 1905. Larangan ini terkait dengan dua hal, yakni pembebanan rakyat dan isu penyalahgunaan/korupsi.40 Peraturan ini turut menyebabkan penduduk

38 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam ...., hlm. 228. Ibnu Qoyum Ismail, , hlm. 79. Snouck Hurgronje menolak keras praktik ini. Menurutnya, kendatipun penyaluran dana tersebut dalam rangka kemanusiaan yang juga dinikmati oleh umat Islam dan nonmuslim, praktik semacam itu bisa memantik protes keras dari umat Islam. Dan ini berbahaya bagi stabilitas pemerintah. Lihat H. Aqib Suminto. Kiai Penghulu Jawa; Peranannya ..., hlm. 164-165. 39 H. Aqib Suminto, Kiai Penghulu Jawa; Peranannya..., hlm. 166. 40 Lihat Amelia Fauzia, Faith and The State..., hlm. 113.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 215 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda enggan membayarkan zakat kepada pejabat. Mereka lebih memilih menyalurkan zakatnya kepada mustahik langsung atau ulama tarbiyah wad-dakwah.41 Kendati demikian, peraturan ini kurang diindahkan. Buktinya, pada akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20 pelanggaran dan penyelewengan masih tetap terjadi seperti yang peneliti ungkap di atas. Pembatasan jumlah dana kas masjid juga dimaksudkan untuk mengganjal gerakan dinamika Islam. Karena sampai pada taraf tertentu zakat yang dikumpulkan ini juga bisa digunakan untuk modal perlawanan kepada kolonial. Strategi menjadikan zakat sebagai modal perlawanan ini benar-benar dieksekusi oleh Kiai Ahmad Rifai (Ripangi) Kalisalak di Batang. Ia beserta para pengikutnya melakukan perlawanan kepada kolonial, salah satunya dengan tidak membayarkan zakat melalui penghulu yang diangkat oleh kolonial. Mereka beranggapan penghulu adalah seorang alim namun fasik (tidak adil), sehingga tidak memenuhi syarat sebagai pemuka agama, termasuk amil zakat atau naib wali dalam nikah.42 Setelah Belanda hengkang, selanjutnya wilayah Nusantara dikuasai oleh balatentara Jepang. Kondisi negara yang sedang dalam suasana Perang Asia Timur Raya di Perang Dunia II menyebabkan fokus negara untuk mengurus hal-hal yang terkait dengan sosial agama kemasyarakatan sangat minim. Ketika segala sumber daya yang ada diarahkan untuk tujuan perang, tentu sangat sulit mewujudkan kemakmuran bagi masyarakat. Ketika kondisi masyarakat tidak makmur, maka jumlah muzakki berkurang dan pada gilirannya jumlah dana zakat yang terakumulasi menjadi tidak maksimal. Apalagi masa penjajahan Jepang sangat singkat, sekira 3,5 tahun. Penerapan hukum Jepang juga tidak massif dan hanya sebentar.

41 Karel Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam ..., hlm. 230. 42 Abdul Jamil, Perlawanan Kiai Desa.... Lihat juga manuskrip KH. Ahmad Rifai, “Thibyan al-Ishlah li Murid an-Nikâh”. Baca pula, M. Nasrudin, “Hukum Islam dan Perubahan Sosial”....

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 216 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

D. Simpulan Praktik berzakat di kalangan umat Islam Indonesia sangat unik untuk dikaji. Hal ini tidak terlepas dari faktor masuknya Islam di Indonesia yang minim campur tangan kuasa politik. Berbeda dengan Timur Tengah di mana Islam tersebar dengan bantuan kuasa politik, zakat bisa berjalan dengan baik karena ia dipandu oleh negara, lantaran menjadi salah satu sumber pendapatan negara. Sementara di Indonesia zakat dibayarkan sekenanya dengan pola yang sporadis bahkan terkesan menyalahi pakem syariat. Praktik semacam ini baru bergeser tatkala kuasa politik Islam maupun sekuler berkuasa di Nusantara. Ketika kerajaan Islam berdiri, zakat turut dikelola oleh Kerajaan melalui berbagai aparatusnya. Kemudian saat kolonial Belanda hadir, zakat masih berjalan apa adanya lantaran Belanda tidak mau dianggap merecoki Islam, apalagi mereka tidak paham Islam. Tetapi kondisi ini berubah tatkala Snouck Hurgronje, seorang orientalis cum organisatoris datang ke Nusantara. Ia memilah Islam dalam tiga bidang: ibadah, sosial, dan politik. Selama zakat dikelola sebagai ibadah murni maka Pemerintah Kolonial beserta seluruh jajarannya hingga kepala desa tidak boleh mencampuri urusan zakat. Tetapi ketika zakat sudah menyinggung urusan politik, maka harus dikendalikan. Kendati demikian, Pemerintah Kolonial bersifat mendua saat mengangkat Penghulu, pejabat negara yang bertugas mengelola urusan keperdataan umat Islam, yang salah satunya adalah pengelola zakat dan dana kas masjid jamik. Meski penghulu adalah pejabat negara, tetapi gaji bulanannya tidak berasal dari Pemerintah, melainkan dari uang kutip nikah, biaya sidang, zakat, infak, dan sedekah, juga dari dana kas masjid. Dari sinilah penyelewengan dan penyalahgunaan zakat menjadi marak di beberapa tempat, karena pengawasan yang kurang dan peluang korupsi yang besar. Akhirnya Pemerintah memperketat pengawasan terhadap dana masjid dan zakat, termasuk agar jumlahnya tidak terlalu banyak.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 M. Nasrudin 217 Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

Daftar Pustaka Fauzia, Amelia dan Ary Hermawan, “Ketegangan antara Kekuasaan dan Aspek Normatif Filantropi dalam Sejarah Islam di Indonesia, dalam Azyumardi Azra dkk, Berderma untuk Semua; Wacana dan Praktik Filantropi Islam, Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah dan Teraju, 2003. ______. “Filantropi Islam di Indonesia: Peran dan Perkembangannya.” http://decarlefamily.blogspot.com/2006/05/filantropi-islam-di- indonesia-peran.html. Diakses 25 November 2013 pukul 12.02 WIB. ______. Faith and The State, a History of Islamic Philanthropy in Indonesia. Leiden: Brill, 2013. Geertz, Clifford. The Religion of Java, terjemah, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, cetakan kedua, Jakarta: Pustaka Jaya, 1983. Hariman, Iir. “POLITIK ISLAM PEMERINTAH HINDIA BELANDA.” http://kancanaasli.blogspot.com/2009/09/politik-islam-pemerintah- hindia-belanda.html. Diakses pada 12 Agustus 2013 pukul 11.00 WIB. Hurgronje, Snouck, Nasihat-nasihat C. Snouck Hurgronje Semasa Kepegawaiannya kepada Pemerintah Hindia Belanda 1889-1936, dikumpulkan oleh E.Gobee dan C. Andriaanse, Seri Khusus INIS jilid VII, Jakarta: INIS, 1992. Ismail, Ibnu Qoyim. Kiai Penghulu Jawa; Peranannya di Masa Kolonial, Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Jamil, Abdul. Perlawanan Kiai Desa, Yogyakarta: LKiS, 2001. Nasrudin, M. “Hukum Islam dan Perubahan Sosial, Analisis Pergeseran Pemikiran Jamiyah Rifaiyah tentang Keabsahan Pernikahan yang Diakadkan oleh Penghulu” skripsi, Semarang: Fakultas Syariah IAIN Walisongo, 2009. Nuruddin, Amiur dan Azhari Akmal Tarigan. Hukum Perdata Islam di Indonesia, Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No 1/1974, sampai KHI, Jakarta, Prenada Media: 2004.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 218 M. Nasrudin Silang Kuasa dalam Pengelolaan Zakat Era Kolonial Belanda

Resink, G.J. Indonesian History Between the Myths, Essays in Legal History and Historical Theory, terj. Tim Komunitas Bambu, Bukan 350 Tahun Dijajah, cetakan kedua, Jakarta: Komunitas Bambu, 2013. Rifai, Ahmad, “Thibyan al-Ishlah li Murid an-Nikâh”. Manuskrip tulisan tangan, tidak diterbitkan, ditulis ca. 1850. Salim, Arskal. Challenging the Secular State, The Islamisation of Law in Modern Indonesia, Honolulu: University of Hawaii Press, 2008. Steenbrink, Karel A. Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad ke-19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984. Suminto, H. Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1986. Woodward, Mark. Java, Indonesia, and Islam, London & New York: Springer, 2011.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Ketentuan Penulisan 219

KETENTUAN PENULISAN

Naskah yang dikirimkan ke redaksi An-Nur Jurnal Studi Islam akan dipertimbangkan pemuatannya apabila memenuhi kriteria berikut: 1. Bersifat ilmiah, berupa kajian keislaman (tafsir, hadits, kependidikan, dan wawasan keislaman), gagasan-gagasan orisinil, dan ringkasan hasil penelitian. 2. Naskah yang dikirimkan merupakan naskah yang belum pernah dipublikasikan dalam penerbitan apa pun dan/atau tidak sedang dalam proses atau dikirimkan kepada media lain. 3. Naskah yang ditulis, secara berurutan terdiri dari judul, nama penulis, abstrak, kata kunci, isi, dan daftar pustaka; a. Judul harus ringkas dan lugas. b. Penulis tidak perlu mencantumkan semua bentuk gelar. c. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris jika naskah berbahasa Indonesia, dalam bahasa Indonesia dan Inggris jika naskah ditulis dalam bahasa Arab, dan dalam bahasa Indonesia dan Arab jika naskah ditulis dalam bahasa Inggris. Abstrak ditulis antara 100 s/d 150 kata dengan memuat tujuan, metode, dan hasil penelitian (jika naskah berupa hasil penelitian); dan latar belakang masalah, bahasan, dan kesimpulan (jika naskah berupa artikel). d. Kata kunci maksimal 4 kata yang mencerminkan isi naskah. e. Isi naskah terdiri atas 5000 s.d. 6000 kata atau 20 s.d. 25 halaman kertas ukuran kwarto diketik dengan spasi satu setengah. 4. Isi naskah terdiri atas pendahuluan kemudian langsung masuk ke pembahasan, diakhiri dengan simpulan yang singkat-padat, serta ditutup dengan daftar pustaka. Dalam hal naskah hasil penelitian, penulis tidak perlu membahas detil metodologi penelitian dalam

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 220 Ketentuan Penulisan

subbab tersendiri. Aspek metodologi cukup disinggung secara singkat tapi padat di bagian pendahuluan. 5. Naskah ditulis dengan menggunakan catatan kaki yang memuat nama penulis, judul buku/judul artikel majalah/jurnal, kota tempat penerbitan, nama penerbit, tahun penerbitan, dan halaman. Format yang digunakan adalah footnote gaya Chicago. 6. Catatan kaki tidak menggunakan model ibid, op.cit, dan sejenisnya. Jika ada catatan kaki yang berulang, cukup cantumkan nama penulis, penggalan judul tulisan yang diakhiri dengan titik tiga (...), lalu nomor halaman. a. Contoh catatan kaki berupa buku: Robert Audi, Religious Commitment and Secular Reason, (New York: Cambridge University Press, 2000), hlm. 10. b. Contoh catatan kaki berupa jurnal/majalah: M. Nurdin Zuhdi, “Maqashid as-Syariah sebagai Metodologi Penafsiran al-Quran Alternatif ala Jaringan Islam Liberal, An-Nur Jurnal Studi Islam, Vol. IV No. 2, Agustus 2012: 12. 7. Daftar pustaka disusun secara alfabetis dengan memuat nama penulis, tahun penerbitan, judul buku/majalah/jurnal, nama penerbit, dan kota tempat penerbitan. a. Contoh daftar pustaka berupa buku: Nasrudin, M. Fikih For Teens, Yogyakarta: Jauza, 2010. b. Contoh daftar pustaka berupa jurnal/majalah: Machali, Imam. “Peace Education Dan Deradikalisasi Agama,” dalam Jurnal Pendidikan Islam, Vol 2, No. 1, 2013: 41–64, DOI:10.14421/ JPI.2013.21.41-64. 8. Naskah diketik dalam bentuk Microsoft Word Format RTF (Rich Text Format) atau Doc. (Word Document) dikirim ke langsung ke redaksi atau melalui [email protected] (attachment file). 9. Teks Arab ditulis secara manual, tidak menggunakan aplikasi Quran for Word atau sejenisnya.

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 Ketentuan Penulisan 221

10. Tidak keberatan jika naskah yang dikirim mengalami penyuntingan atau perbaikan tanpa mengubah isinya. 11. Naskah yang masuk redaksi dikategorikan dalam tiga hal: a. Diterima tanpa revisi. b. Diterima dengan revisi. c. Ditolak. 12. Naskah yang dimuat atau tidak dimuat, akan diberitahukan kepada penulisnya via surat atau e-mail. 13. Penulis bersedia merevisi tulisan sesuai yang diminta tim reviewer dalam tenggat waktu yang ditentukan. 14. Naskah yang dimuat akan mendapatkan versi online. Versi off-print bisa didapat dengan mengganti biaya cetak dan pengiriman.

Alamat Redaksi Sekolah Tinggi Ilmu al-Qur’an (STIQ) An-Nur Pondok Pesantren al-Qur’an An-Nur Bantul Yogyakarta T/F: (0274) 6469012 CP Pengelola 081313668047 (Nurdin) 081542036039 (Nasrudin) http://jurnalannur.stiq.ac.id/ [email protected] P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587 222 Ketentuan Penulisan

An-Nûr Jurnal Studi Islam, Vol. VII No. 2 Desember 2015 P-ISSN: 1829-8753 e-ISSN: 2502-0587