M E M B E N D U N G A R U S

GERAKAN PRO TIMOR – LESTE DI 1991-1999

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun oleh: Nama Mahasiswa: Roserio Dwi Aprianto Savio Nomor Mahasiswa: 024314013

FAKULTAS SASTRA JURUSAN ILMU SEJARAH UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008 M E M B E N D U N G A R U S

GERAKAN PRO TIMOR – LESTE DI INDONESIA 1991-1999

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Sastra

Program Studi Ilmu Sejarah

Disusun oleh: Nama Mahasiswa: Roserio Dwi Aprianto Savio Nomor Mahasiswa: 024314013

FAKULTAS SASTRA JURUSAN ILMU SEJARAH UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2008

i

ii

iii

PERSEMBAHAN

Skripsi ini kupersembahkan buat:

Kedua orang tuaku: Duarte Savio dan Julieta da Costa Correia, akan cintanya yang tak terbatas.

Kakakku : Natercia Savitri Maria Correia

Adik-adikku : Lucio Josue Savio, Deonisio Duarte Savio, dan

Leonora Correia Savio

Almamaterku Universitas Sanata Dharma yang tercinta.

Para pejuang demokrasi dan solidaritas Indonesia untuk perjuangan

Timor-Leste.

iv

MOTTO

Menyatakan kebenaran adalah tindakan revolusioner. Antonio Gramsci (Aktivis Politik, 1891-1937)

Penindasan ikut membentuk kualitas yang ditindas yang akhirnya akan mengakibatkan kejatuhan sang penindas. Richard Wright , “The psychological Reactions of Oppresed People”.

Mereka yang tak mampu mengingat masa lampau, dikutuk untuk mengulanginya. George Santayana (Filosof, 1863-1952)

v

PERNYATAAN KEASLIAN

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian orang lain kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 22 Juli 2008

Penyusun

(Roserio Dwi Aprianto Savio)

vi

ABSTRAK

MEMBENDUNG ARUS (Gerakan Pro Timor-Leste di Indonesia 1991-1999)

Roserio D. Aprianto Savio UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

Judul dari tulisan ini yaitu, “Membendung Arus: Gerakan Pro Timor-Leste di Indonesia 1991-1999”. Tulisan ini mengkaji gerakan masyarakat sipil di Indonesia antara tahun 1991-1999, yang aktif dalam gerakan mendukung perjuangan rakyat Timor-Leste di Indonesia. Dalam hal ini, gerakan masyarakat sipil tersebut berseberangan dengan kebijakan resmi pemerintah Orde Baru yang menjadikan Timor-Leste sebagai propinsi Indonesia ke-27 melalui Integrasi Timor-Timur. Pada saat itu, penyatuan Timor-Leste masih menjadi masalah internasional, dan terus menghadapi perlawanan rakyat. Pada sisi lain, awal 1990-an di Indonesia, mulai muncul gerakan masyarakat sipil pro Timor-Leste. Beberapa faktor penting yang terkait erat, yaitu perkembangan situasi dunia pasca Perang Dingin, gerakan pro- demokrasi Indonesia yang makin kuat menentang rezim Orde Baru yang otoriter, dukungan masyarakat sipil internasional dan tentu saja perkembangan di Timor-Leste pasca peristiwa Santa Cruz 1991. Pada akhirnya, Timor-Leste lepas setelah referendum 1999. Dalam hal ini, gerakan pro Timor-Leste telah menjadi salah satu faktor penekan penting terhadap kebijakan Orde Baru di Timor-Leste. Data yang dipergunakan pada penulisan ini adalah data primer dan sekunder. Diperoleh dari media massa (surat kabar dan majalah), dokumen-dokumen (yang telah dibukukan), buku dan sumber tertulis dari internet. Selain itu, juga dari diskusi dan wawancara dengan beberapa tokoh aktivis pada waktu itu. Tidak begitu banyak yang tahu, bahwa dibalik upaya Orde Baru mempertahankan Timor-Leste sebagai propinsi Indonesia ke-27, sebagian masyarakat sipil Indonesia telah mendukung perjuangan bangsa Timor-Leste.

Kata Kunci: Timor-Leste, Masyarakat Sipil, Politik.

vii

Abstract

BLOCKING-UP THE FLOW (The Movement Pro in Indonesia 1991-1999)

Roserio D. Aprianto Savio SANATA DHARMA UNIVERSITY, YOGYAKARTA

The tittle of this writing is ‘Blocking-Up the Flow: The Movement Pro East Timor in Indonesia 1991-1999. This writing explores a civil movement in Indonesia between the years 1991-1999, which was active in the movement to support the people’s struggling of East Timor in Indonesia. In this case, the civil movement was opposited with the formal goverment policy of New Order, which became East Timor as the 27th province of Indonesia through East Timor Integration. At the moment, the unionization of East Timor still became international problem, and faced the people opposition continously. On the other hand, at the beginning of 1990s in Indonesia, it started to emerge the civil movement pro East Timor. Some important factors connected closely, namely the development of world situation after Cold War, the movement of Indonesia democracy which was much stronger to opposite the authoritative regime of New Order, international people supporting and of course the development in East Timor after Santa Cruz incident 1991. Finally, East Timor was free after referendum of 1999. In this case the movement pro East Timor had become one of underlined important factors toward the policy of New Order in East Timor. Data used in this writing was primer and secondary. It was obtained from mass media (newspaper, magazine), the documents (had been booked), book and literature sources from internet. Beside that, it was also from discussion and interview with some activities at the time. It was not too much to be known that the background effort of New Order to defend East Timor as the 27th of Indonesia, an half of Indonesia people had supported the struggling of East Timor nations.

Keywords: East Timor, Civil Society, Politics.

viii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :

Nama : Roserio Dwi Aprianto Savio

Nomor Mahasiswa : 024314013

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

M E M B E N D U N G A R U S GERAKAN PRO TIMOR – LESTE DI INDONESIA 1991-1999

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya.

Yogyakarta, 06 September 2008 Yang menyatakan

(Roserio Dwi Aprianto Savio) KATA PENGANTAR

Pertama-tama saya ingin mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang

Maha Esa atas segala kasih karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Demikian juga, tidak ada karya yang lahir dengan sendirinya, tanpa dukungan dan bantuan orang lain. Untuk itu saya ingin mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum., selaku dekan beserta staf kerja

yang sudah memberikan kesempatan serta ijin untuk menyelesaikan skripsi

ini.

2. Prof. Dr. P.J. Suwarno SH, yang dalam kesibukkannya senantiasa meluangkan

waktu untuk membimbing saya dalam penulisan skripsi ini.

3. Dosen-dosenku: Bapak Drs. Purwanto, M.A. Bapak Drs. G. Moedjanto M. A.

(Almarhum), Bapak Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Bapak Drs. Silverio R. L.

Aji. S. M. Hum, Bapak Drs. Hb. Hery Santosa, M.Hum, Romo Dr. F.X.

Baskara T. Wardaya SJ, Ibu Dra. Lucia Juningsih, M. Hum, Bapak Dr.

Budiawan, Bapak Dr. St. Sunardi, Romo Dr. G. Budi Subanar SJ, Bapak Drs.

Anton Haryono, M.Hum, dan Bapak Drs. Manu Joyoatmojo.

4. Mas Try di sekretariat Fakultas Sastra yang selalu melayani keperluan

administrasi mahasiswa Ilmu Sejarah dan Bapak Wahluyo atas kenyamanan

Wisma A.

5. Segenap staf kerja Perpustakaan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

6. Bonar Tigor Naipospos, Tri Agus Susanto Siswowihardjo, Yeni Rosa

Damayanti, Chotibul Umam Wiranu, Gimin Dwihartanto, Hilmar Farid,

ix

Mariatun, Lefidus Malau, Lexy J. Rambadeta, Romo Sandyawan Sumardi,

Tossy Santoso, dan Wilson yang bersedia meluangkan waktunya untuk

berdiskusi serta saya wawancarai.

7. Semua yang ada di Lembaga Jaringan Kerja Budaya (JKB), , di mana

saya memperoleh data dan buku-buku yang diperlukan.

8. Segenap keluarga besar Lo’olata, teristimewa Paman Ermenegildo Savio dan

Pedruco Savio. Demikian juga Paman Aleixo Aniçeto, Tiu Bosco, dan Tiu

Rui. Bibi-bibiku: Tia Anje, Tia Matilde, Tia Aurelia, Tia Maria, Tia Mena,

Tia Isaura, Tia Joaquina, Tia Anina, Tia Sica, Tia Elita, dan Tia Juvita. Kakek

Paulo Savio (Almarhum), Nenek Aititi (Almarhum), Nenek Madalena

Correia, Tiu Justino Vieira dan keluarga.

9. Lafai Calvario Savio, Lafai Bene Savio, Mana Sandra, Mana Mimi, Mana

Natalia, Liliana Monica Savio, Nini Moco ‘Zalde’, Adão Pires (Almarhum),

Juvidal Aniçeto, Quico, dan Heiso.

10. Maun Lito dan keponakanku Mazia.

11. Maun Fuca, Maun Bosco, Mana Sinta dan sahabat-sahabatku: Marino

Guterrez, Zenilton Zeneves, Alarico Bernadino, Neto Guterrez, Benedito

Savio, Alfredo da Luz Neto, Dulce Finela Guterrez, Junita Castanheira,

Amalia Passos, Ranucoro, Sorucoro, Maun Adanco, Ambelita, Alino,

Couquequer, Lacamalay, Abilio, Odino, Aquelina, Ceremalay, Sese Ipiray,

João Moco, Demistocles, dan Advento.

12. Sobat-sobat Papua (Longginus Pekey, Meky, Agus Degey, Jeremias Degey),

Ferdy Flores, Mateus Sumba serta teman-teman diskusi di Impiko (Ikatan

Mahasiswa Pikiran Kotor).

x

13. Teman-teman di Ilmu Sejarah: Yossy, Gusti, Fenny, Daniel, Markus, Eko,

Yuda, Opet, Ela, Eka, Ida, Nana, Devi, Vianey, Krisna, Bondan, Suster An,

Ada, Ineke, Yuhan, Nanto, Elang, Iyus, Vila, Tabuni, Halim, Mamik, dan

Karno. Semoga ketemu lagi!

14. Dan masih banyak pihak lainnya yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu,

yang telah membentuk saya seperti sekarang ini.

Karya ini tidaklah sempurna dan banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran membangun sangat penulis harapkan agar karya ini bisa lebih baik lagi.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis bercita-cita semoga hasil penelitian ini berguna bagi pembaca yang budiman.

Yogyakarta, 22 Agustus 2008

Penulis

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i

HALAMAN PERSETUJUAN...... ii

HALAMAN PENGESAHAN...... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ...... iv

HALAMAN MOTTO...... v

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA...... vi

HALAMAN ABSTRAK...... vii

HALAMAN ABSTRACK...... viii

KATA PENGANTAR...... ix

DAFTAR ISI...... xii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang...... 1 B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah...... 6 C. Perumusan Masalah...... 7 D. Tujuan Penulisan...... 7 E. Manfaat Penulisan...... 8 F. Kajian Pustaka ...... 9 G. Landasan Teori...... 15 H. Hipotesis ...... 20 I. Metode Penelitian...... 21 J. Sistematika Penulisan...... 22

BAB II MASALAH TIMOR-LESTE DAN HEGEMONI ORDE BARU...... 24 A. Orde Baru dan Pembasmian Kaum Kiri Indonesia ...... 24 B. Peran Kaum Agamawan dan Intelektual...... 30 1. Pandangan Golongan Katolik Indonesia...... 31 2. Peran CSIS (Center for Strategic and International Studies)... 35 3. Pandangan Golongan Islam dan Gereja Protestan...... 38 C. Penulisan Sejarah…...... 42 D. Rangkuman ...... 48

xii

BAB III TIMOR-LESTE DALAM LIPUTAN MEDIA INDONESIA...... 49 A. Perang Dingin dan Wacana Anti Komunis ...... 50 B. Propaganda Perang Saudara dan Inflitrasi Militer Indonesia...... 57 C. Integrasi Timor-Timur...... 62 D. Pendudukan dan Perang yang Disembunyikan...... 68 E. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)...... 74 F. Misi Kemanusiaan...... 79 G. Pahlawan Integrasi...... 81 H. Pembangunan Timor Timur ...... 84 I. Diplomasi Indonesia...... 87 J. Pengenalan Nilai-Nilai Indonesia...... 92 K. Rangkuman ...... 98

BAB IV TITIK BALIK MASYARAKAT SIPIL INDONESIA 1989-1995 ...... 100 A. Masalah Timor-Leste Pasca Perang Dingin dan Politik Keterbukaan 1989...... 100 B. Kunjungan Paus Yohanes Paulus II ...... 104 C. Peristiwa Santa Cruz 1991...... 106 D. Awal Dukungan Masyarakat Sipil Indonesia...... 108 E. Penangkapan Xanana Gusmão ...... 122 F. Munculnya Gerakan pro Timor-Leste ...... 123 G. Rangkuman ...... 143

BAB V ARUS PERUBAHAN: MENUJU PENENTUAN NASIB SENDIRI 1996-1999...... 145 A. Dukungan Masyarakat Sipil Internasional...... 145 B. Jaringan Yang Meluas ...... 150 C. Reformasi 1998 ...... 166 D. Menuju Referendum 1999...... 175 E. Rangkuman ...... 187

BAB VI K E S I M P U L A N...... 189

DAFTAR PUSTAKA...... 194

LAMPIRAN...... 206

xiii

BAB I

P E N D A H U L U A N

A. Latar Belakang

Timor Timur1 sebagai bekas jajahan selama ratusan tahun, harus menunggu 24 tahun untuk menjadi negara merdeka setelah referendum tahun

1999, 2 yang mengakhiri pendudukan Indonesia sejak tahun 1975. Pencapaian tersebut, melalui suatu proses panjang yang melibatkan berbagai pihak. Dalam hal ini, tanpa mengesampingkan peranan rakyat Timor-Leste dalam perjuangan mencapai cita-cita kemerdekaan, kiranya penting menghadirkan kajian sejarah tentang peranan yang dimainkan elemen-elemen masyarakat sipil, khususnya gerakan-gerakan non-pemerintah di Indonesia yang memberi dukungan bagi perjuangan bangsa Timor-Leste.

Hal ini merupakan suatu keunikan, karena gerakan-gerakan tersebut menempuh arah berlawanan dengan kebijakan resmi pemerintah, dan mengambil jalan yang sama dengan berbagai gerakan masyarakat sipil di belahan dunia lain, secara konsisten menentang pendudukan Indonesia di Timor-Leste.

1 Timor-Timur (Timtim) sebagai nama resmi propinsi Indonesia hanya dipakai berkaitan dengan Integrasi Timor Timur ataupun kutipan langsung. Selebihnya saya menggunakan Timor-Leste, sebagai nama resmi pada saat proklamasi unilateral Fretilin tentang Republik Demokratik Timor-Leste (República Democrática de Timor-Leste), 28 November 1975, dan direstorasi kembali pada tahun 2002 setelah lepas dari Indonesia. Selain itu, nama Timor Lorosa’e (bahasa Tetum) juga sering digunakan untuk menyebut wilayah tersebut. 2 Istilah yang digunakan Indonesia, sebetulnya adalah Jajak Pendapat untuk menghindari istilah referendum yang populer di kalangan pro-kemerdekaan. Dalam tulisan ini, saya memakai istilah referendum, yang umumnya digunakan masyarakat internasional.

1 2

Di mana gerak maju dari akumulasi berbagai bentuk penentangan tersebut, pada akhirnya bertransformasi menjadi gerakan oposisi yang kuat, dalam menentang pemerintahan Orde Baru. Ini fenomena yang menarik, sebab pada mulanya gerakan pro Timor-Leste ibarat ‘riak kecil’ di tengah arus besar opini publik di bawah kendali Orde Baru yang mengutamakan stabilitas nasional

Indonesia, dengan cara-cara represif yang berciri militeristik.

Di samping itu, Orde Baru menjalankan hegemoni untuk memperoleh legitimasi. Misalnya membangun wacana,3 bahwa pencaplokan wilayah Timor-

Leste adalah suatu keniscayaan sejarah, berdasar kebesaran ekspansi Majapahit,4 yang secara hiperbolis diungkapkan sebagai ‘kembalinya anak hilang ke dalam pangkuan ibu’ [baca: ibu pertiwi].5 Selama 24 tahun, ini dianggap sebagai kebenaran yang sebetulnya anakronis, namun dijejalkan lewat pendekatan persuasif melalui lembaga pendidikan, sebagai wacana resmi.

Bagaimana pun kajian ini cukup menarik, terutama mengikuti perbenturan pandangan masyarakat sipil dengan pemerintah bahwa Integrasi Timor-Timur, bukanlah solusi final dan merupakan kesalahan rezim, sehingga perlu pelaksanaan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor-Leste. Hal ini, baru terlaksana setelah gelombang perubahan memuncak menyusul jatuhnya Suharto, dan di bawah pemerintahan transisi Presiden B.J. Habibie, mengelindingkan format baru penyelesaian masalah Timor-Leste, melalui referendum tahun 1999.

3 Istilah wacana digunakan untuk menyebut pernyataan yang mengandung serangkaian gagasan. 4 Lihat majalah Jakarta-Jakarta. Tanggal 30 November-6 Desember 1991. 5 Lihat halaman awal buku resmi Integrasi Timor-Timur. Soekanto. 1976. Integrasi: Kebulatan Tekad Rakyat Timor-Timur. Yayasan Parikesit. Jakarta.

3

Hal ini, sekaligus meneguhkan dasar historis bahwa Timor-Leste sebagai bekas jajahan Portugal sejak semula berada di luar bayangan para nasionalis

Indonesia yang memproklamasikan NKRI tahun 1945, berdasar produk historis

Hindia-Belanda. Timor-Leste baru digabungkan setelah penyerbuan ilegal militer

Indonesia tahun 1975,6 dan memulai kancah perang yang lebih besar, sebagai ekses dari suasana Perang Dingin antara negara-negara adidaya yang menjalar ke negara berkembang, termasuk Indonesia dan Timor-Leste.

Invasi militer, diikuti pengesahan Timor-Leste sebagai provinsi ke-27,7 yang menghadapkan rakyat Timor-Leste pada realita ketertindasan selama hampir dua setengah dasawarsa. Keadaan ini, tercipta karena upaya militer Indonesia

[baca: Orde Baru] memberangus cita-cita kemerdekaan rakyat Timor-Leste yang digagas Fretilin,8 dengan membasmi perlawanan rakyat, melalui berbagai cara yang berciri koersif maupun persuasif, sebagaimana lazimnya di negara-negara otoriter, dan juga diterapkan terhadap rakyat Indonesia. Salah satunya dengan menyembunyikan cerita horor di Timor-Leste, dari rakyat Indonesia.

6 Dari perspektif hukum internasional, invasi militer Indonesia hingga tahun 1982 melanggar 10 Resolusi PBB, yang menyerukan penarikan pasukan TNI dari Timor-Leste. Lihat Timor-Leste: Sebuah Tragedi Kemanusiaan. 1999. Yayasan HAK dan Fortilos. Jakarta. 7 Sejak invasi hingga penyatuan Timor-Leste, tidak pernah dikonsultasikan secara terbuka dengan rakyat Indonesia ataupun wakil mereka di parlemen. Lihat Baskara T. Wardaya. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S. Galang Press. Yogyakarta. Hlm. 238. 8 Frente Revoluçionária de Timor-Leste Independente, Front Revolusioner untuk Kemerdekaan Timor-Leste, adalah partai terbesar di Timor-Leste. Partai ini, didirikan pasca Revolusi Bunga (Revoluçâo dos Cravos) Portugal 1974, ketika pemerintahan transisi di bawah Diktator Salazar memulai proses dekolonisasi bagi propinsi seberang lautan (wilayah jajahan) Portugal. Tentang Fretilin, lihat Helen Mary Hill. 2000. Fretilin: Gerakan Pembebasan Nasional Timor-Leste. Yayasan HAK & Sahe Institut for Liberation. Dili.

4

Setidaknya hegemoni Orde Baru, bisa kita lihat dalam pernyataan Antero

Bendito, mahasiswa Timor-Leste peraih International Student Peace Prize di

Trondheim, Norwegia 1999, bahwa selama Orde Baru sejarah Timor-Leste adalah sejarah terlarang (forbidden history).9 Hal ini secara tidak langsung membuat

Orde Baru lebih leluasa mengalang dukungan dalam negeri yang kuat, ketika menjalankan diplomasi politik luar negerinya.

Namun kegagalan Orde Baru meredam perlawanan rakyat di Timor-Leste, akhirnya menemukan titik balik pada penghujung dasawarsa 1980-an. Ketika itu, perlawanan rakyat mulai muncul dengan kualitas baru, yang tidak semata mengandalkan kekuatan senjata dan upaya diplomasi, namun mulai dipadukan dengan demonstrasi dan gerakan protes sosial perkotaan. Ini dimulai setelah masa- masa perang yang sulit, regenerasi dalam perlawanan berhasil melahirkan gerakan-gerakan pemuda radikal perkotaan. Salah satu peristiwa penting terkait perkembangan ini, berpuncak pada peristiwa pembantaian Santa Cruz tahun 1991.

Pada titik ini, awal kemunduran diplomasi Indonesia dimulai. Sementara bagi para petualang militer, Timor-Leste tidak lagi menjadi ajang yang mudah dalam promosi kepangkatan.

Pada akhirnya, seiring dinamika dan frekuensi letupan-letupan protes di

Timor-Leste, disambut gerakan-gerakan protes di Indonesia. Terutama oleh gerakan-gerakan yang memperjuangkan demokratisasi Indonesia dari kekuasaan rezim Orde Baru yang otoriter. Sejak saat itu, di kota-kota besar Indonesia, muncul gerakan solidaritas bagi perjuangan rakyat Timor-Leste, yang secara

9Asvi Warman Adam. 2004. Suharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Ombak. Yogyakarta. Hlm. 86-87

5

kontinu mengkampanyekan masalah Timor-Leste hingga referendum tahun 1999.

Kajian ini, setidaknya akan memberi kontribusi penting dalam penulisan sejarah Timor-Leste di Indonesia maupun di Timor-Leste. Seperti dikemukakan sejarawan Asvi Warman Adam, mengutip Akihisa Matsuno dari Osaka University of Foreign Studies, bahwa penulisan sejarah Timor-Leste perlu dikonsensuskan.

Sebab apabila bertolak belakang, jelas akan memiliki dampak buruk bagi hubungan bertetangga.10

Selain itu Asvi Warman Adam, juga mengatakan sejarah Timor-Leste penting bagi bangsa Indonesia, karena akan memperlihatkan bagaimana bangsa

Indonesia memandang orang atau bangsa lain dari sudut pandang Indonesia: 11

Betapa sulitnya menulis kembali sejarah Timor Timur. Bagaimana kita memandang masa seperempat abad di Timor-Timur: sebagai pendudukan, penjajahan, atau integrasi suatu wilayah dengan Indonesia. Selama ini dilakukan pembangunan fisik yang luar biasa di provinsi itu: apa arti semuanya itu. Apa gunanya anggaran pembangunan yang telah dikucurkan Jakarta demikian besar selama 25 tahun ini? Diplomasi kita tersita oleh perkara ini. Bagaimana kita menggangap tentara Indonesia yang tewas di sana, sebagai martir, pahlawan atau tentara penjajah (bandit?) mereka jelas telah gugur dalam menjalankan tugas Negara. Apakah perjuangan atau pengorbanan mereka sia-sia belaka? Bagaimana pula pelaksanaan HAM di Timor Timur sebelum dan sesudah jajak pendapat?

Berdasar uraian Asvi Warman Adam di atas, kajian ini kiranya memberi kontribusi baru, sebagai bahan sejarah dalam melihat dan menempatkan gerakan pro Timor-Leste di Indonesia. Bagaimana menempatkan mereka dalam sejarah?

Apakah mereka semata-mata sebagai pengkhianat?

10 Ibid., Hlm. 95. 11 Ibid., Hlm. 87-88

6

Sedangkan bagi bangsa Timor-Leste, topik ini penting dalam membangun citra positif rakyat Indonesia di mata rakyat Timor-Leste. Terutama menghadirkan sudut pandang alternatif dari sejarah buruk pendudukan militer Indonesia.

Demikian juga, kajian ini mencoba menghadirkan penulisan sejarah yang tidak semata menuliskan sejarah para penguasa, namun juga sejarah orang-orang biasa, yang aktif mendukung perjuangan Timor-Leste.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

Dari judul yang diajukan, yaitu Membendung Arus: Gerakan Pro Timor-

Leste di Indonesia 1991-1999, penulisan skripsi ini akan menfokuskan pada berbagai gerakan di Indonesia yang mendukung perjuangan rakyat Timor-Leste.

Pembatasan waktu antara rentang waktu 1991-1999, karena terkait beberapa peristiwa penting, di Indonesia dan di Timor-Leste yang berpengaruh langsung terhadap perkembangan gerakan pro Timor-Leste di Indonesia. Periode sebelum tahun 1991, dari invasi militer Indonesia tahun 1975 hingga 1988,

Timor-Leste adalah suatu wilayah tertutup, dan baru mengalami semacam

‘glasnot’ atau ‘politik keterbukaan (politik abertura),’ pada tahun 1989.12 Setelah peristiwa Santa Cruz 1991, rakyat Indonesia mulai memberi dukungan bagi perjuangan rakyat Timor-Leste hingga wilayah ini lepas tahun 1999. Meskipun demikian, tulisan ini juga mencakup kekuasaan Orde Baru tahun 1960-an, masa pertengahan 1970-an dan 1980-an ketika Timor-Leste dianeksasi dan diisolasi.

12 George J. Aditjondro. 6 Agustus 1993. Dari Memo ke Tutuala: Suatu Kaleidoskop Permasalahan Lingkungan di Timor Timur. Makalah pengantar diskusi lingkungan di Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), Salatiga.

7

Hal ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan latar belakang kemunculan gerakan pro Timor-Leste di Indonesia secara lebih menyeluruh.

C. Perumusan Masalah

Adapun pokok permasalahan yang dibahas dalam tulisan ini, yaitu:

1. Bagaimana hegemoni negara yang dijalankan Orde Baru untuk

memperoleh dukungan masyarakat Indonesia terhadap kebijakan

Integrasi Timor Timur ?

2. Bagaimana pemberitaan media massa Indonesia mengenai persoalan

Timor-Leste di bawah kekuasaan Orde Baru?

3. Apa dan bagaimana proses kemunculan masyarakat sipil Indonesia pro

Timor-Leste di Indonesia?

4. Apa dan bagaimana dukungan masyarakat sipil Indonesia

memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste?

D. Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan ini, yakni:

1. Mendeskripsikan upaya yang ditempuh Orde Baru untuk memperoleh

dukungan masyarakat Indonesia terhadap kebijakan Integrasi Timor

Timur.

2. Mendeskripsikan pemberitaan media massa Indonesia mengenai

persoalan Timor-Leste di bawah kekuasaan Orde Baru.

3. Mendeskripsikan proses munculnya masyarakat sipil pro Timor-Leste

di Indonesia.

8

4. Mendeskripsikan dukungan masyarakat sipil Indonesia dalam

memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste.

E. Manfaat Penulisan

Manfaat yang akan disumbangkan dari penelitian ini, sebagai berikut:

1. Menambah pengetahuan sejarah, dan pemahaman mengenai

munculnya gerakan pro Timor-Leste di Indonesia. Dengan mengkaji

latar belakang masalah Timor-Leste yang terisolasi karena hegemoni

dan represi pemerintahan Orde Baru, serta peranan masyarakat sipil

Indonesia dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat

Timor-Leste.

2. Secara umum penelitian ini, akan memperkaya pengetahuan sejarah

nasional terkait perbendaharaan historiografi Indonesia mengenai

Timor-Leste, terutama dari sudut pandang orang Timor-Leste.

Sedangkan bagi bangsa Timor-Leste, kiranya kajian ini lebih

memperkaya historiografi mengenai Timor-Leste, terutama

menawarkan suatu pandangan historis yang lebih menyeluruh dalam

hubungan dengan rakyat Indonesia, yaitu tentang solidaritas

perjuangan yang diberikan rakyat Indonesia.

3. Karya ini, juga dimaksudkan untuk memenuhi syarat tugas akhir

memperoleh sarjana di Jurusan Ilmu Sejarah Fakultas Sastra.

9

F. Kajian Pustaka

Tidak banyak buku yang ditulis mengenai Timor-Leste di Indonesia. Di antaranya yang menonjol, adalah karya aktivis lingkungan Indonesia terkemuka dan juga penentang invasi Indonesia di Timor-Leste, George J. Aditjondro, In The

Shadow of Mount Ramelau: The Impact of The Occupation of East Timor

(1995).13 Isi buku ini, sebagai berikut: (i), “Persamaan dan Perbedaan Kebudayaan

Timor-Leste dengan Indonesia”, yang dipaparkan berdasarkan perbedaan ekologis, keragaman penduduk dan bahasa, termasuk latar historis Timor-Leste yang berbeda; (ii), “Dampak Ekologis Pendudukan Indonesia”, membahas korban jiwa di kalangan penduduk, jatuhnya produksi beras, kopi, ternak, serta kehancuran hutan-hutan cendana di Timor-Leste; (iii), “Dampak Sosial

Pendudukan Indonesia”, membahas perkembangan budaya kekerasan di Timor-

Leste, dan akibat dari program pendudukan kembali dan akibat migrasi Indonesia;

(iv), “Dampak Pendudukan Timor-Leste Terhadap Kaum Perempuan”, membahas pembunuhan, pemerkosaan, perkawinan paksa dan pemuas birahi, pelacuran, pemaksaan KB (Keluarga Berencana) kepada perempuan dan tindakan represif terhadap kemunculan organisasi perempuan; (v), “Dampak Pendudukan Timor-

Leste Terhadap Remaja dan Pemuda”, membahas pembunuhan terhadap bayi selama 5 tahun pertama invasi, penghamilan yang dilakukan militer Indonesia dengan memperkosa perempuan Timor-Leste, penculikan anak-anak Timor-Leste

13 Edisi Indonesia terbit tahun 2000, berjudul Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor Lorosa’e dan Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia. Yayasan HAK dan Fortilos. Jakarta. Pada buku ini Aditjondro menggunakan nama Timor Lorosa’e, namun untuk keperluan keseragaman penulis menggunakan Timor-Leste.

10

oleh tentara Indonesia untuk dibesarkan di Indonesia atau di Timor-Leste yang memisahkan mereka dari keluarga dan komunitasnya, pemaksaan generasi Timor-

Leste yang masih sangat muda untuk masuk ke dunia kerja, sehingga tidak dapat meneruskan pendidikan yang lebih tinggi dan represi yang terus berlanjut terhadap kebebasan berkumpul dan berserikat serta kebebasan ekpresi remaja

Timor-Leste; (vi), “Biaya Operasional dan Biaya Sosial Penempatan ABRI di

Timor-Leste”, membahas anggaran perang maupun korban di pihak militer

Indonesia; (vii), “Berbohong Dengan Statistik: Perbandingan Sosial Ekonomi

Timor-Leste Dengan Bekas Koloni Portugal Lainnya dan Timor Portugal”, membahas keterpurukan ekonomi Timor-Leste di bawah Indonesia. Antara lain: kurangnya fasilitas kesehatan yang memadai dan kekurangan gizi, serta TBC di

Timor-Leste; (viii), “Dampak Ekonomis Pendudukan Timor-Leste”, membahas keadaan ekonomi Timor-Leste yang dikuasai sejumlah elit sipil dan militer yang menjalankan monopoli ekonomi di Timor-Leste; (ix), “Hubungan Tegang Antara

Negara Indonesia dan Gereja-Gereja Timor-Leste”, menguraikan bantahan terhadap pernyataan apologis Indonesia bahwa Integrasi Timor Timur dengan

Indonesia mendorong pertumbuhan jumlah umat gereja secara cepat; (x),

“Gerakan pro Timor-Leste di Indonesia”, membahas kemunculan gerakan masyarakat sipil di Indonesia yang mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat

Timor-Leste; (xi), “Pentungan dan Pemikat Dalam Diplomasi Indonesia”, membahas kemunduran diplomasi Indonesia, pasca Peristiwa Santa Cruz 1991.

11

Selain itu, buku lain yang patut dikemukakan yaitu buku saku tulisan Roy

Pakpahan, Mengenal Timor Timur Dulu dan Sekarang.14 Buku ini ditulis bagi masyarakat Indonesia yang awam akan masalah Timor-Leste dan terdiri dari 10 bab. Bab I hingga IV, membahas sejarah Timor-Leste secara singkat, pasca perubahan politik di Portugal 1975, hingga penangkapan Xanana Gusmão 1992.

Bab V dan VI, membahas masalah sosial ekonomi, politik transmigrasi, perempuan dan KB, terutama dampak langsung pendudukan Indonesia terhadap aspek-aspek tersebut. Bab VII dan VIII, membahas persepsi internasional dan peran PBB hingga dukungan masyarakat sipil internasional. Bab IX dan X, membahas masa depan Timor-Leste pasca rezim Orde Baru dan para pemimpin

Timor-Leste dan Portugal menolak otonomi yang diajukan Indonesia.

Sementara itu, buku yang ditulis untuk menyokong integrasi, perlu disebut pertama adalah karya Sukanto, Integrasi Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur,15 terbit 1976. Buku ini mengambarkan proses Timor-Leste berintegrasi dengan

Indonesia dari sudut pandang Orde Baru dan legitimasi yang menjadi dasar penyatuan Timor-Leste sebagai Propinsi Indonesia ke-27, dilengkapi dengan dokumen-dokumen menyangkut proses integrasi. Sayangnya, buku ini tidak menyertakan catatan bibliografis. Adapun dasar penyatuan Timor-Leste, Sukanto menguraikan alasan geopolitis berdasarkan alasan geografi, demografi, sosial, budaya dan ekonomi serta alasan pertahanan keamanan. Termasuk sejarah penjajahan di Timor-Leste dibahas secara sangat terbatas. Meliputi latar belakang

14 Roy Pakpahan. 1998. Mengenal Timor Timur Dulu dan Sekarang. Solidamor. Jakarta. 15 Soekanto. Op.Cit.

12

dekolonisasi di Timor-Leste dan pergolakannya, kebijaksanaan Pemerintah

Indonesia menyikapi perubahan tersebut, Pemerintah Sementara Timor Timur

(PSTT), peranan internasional, serta permulaan Timor-Leste menjadi propinsi

Indonesia.

Buku lainnya yang ditulis dalam rangka integrasi, adalah karya ekonom

Timor-Leste yang pro-integrasi, João Mariano de Sousa Saldanha, berjudul

Ekonomi Politik Pembangunan Timor Timur,16 terbit tahun 1994. Buku ini, sesuai latar belakang penulisnya sebagai sarjana ekonomi, memaparkan hasil-hasil pembangunan Indonesia di Timor-Leste sejak integrasi hingga awal tahun 1990- an. Saldanha antara lain membuat perbandingan tentang aspek-aspek yang berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi di Timor-Leste dari tahun ke tahun setelah integrasi, dengan masa kolonial Portugal maupun diperbandingkan dengan pertumbuhan ekonomi propinsi Indonesia lainnya dan ekonomi nasional

Indonesia, sejalan dengan program Repelita (Rencana Pembangunan Lima

Tahun) sejak 1982.

Di luar buku-buku tersebut, terdapat karya para sarjana asing yang jarang beredar di Indonesia, terutama berbahasa Portugis17 dan Inggris yang umumnya sangat kritis terhadap pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Di antaranya yang telah diterjemahkan, yaitu karya John G. Taylor, Indonesia’s Forgotten War: The

16 João Mariano de Sousa Saldanha. 1994. Ekonomi Politik Pembangunan Timor Timur. Sinar Harapan. Jakarta. 17 Karya-karya dalam bahasa Portugis, terutama sebelum abad ke-19. Pada abad ke-20, beberapa sejarawan Timor-Leste ikut menorehkan nama pena-nya dalam historiografi Timor-Leste yang menggunakan bahasa Portugis. Terutama Abilio Araújo, dan belakangan diikuti Jose Ramos-Horta, Xanana Gusmão dan Costançio Pinto (karya dalam bahasa Inggris).

13

Hidden History of East Timor,18 terbit tahun 1991. Buku ini merupakan karya yang cukup komprehensif yang menggunakan pendekatan sosiologis dalam mengkaji sejarah perlawanan rakyat Timor-Leste. Baik melawan kolonialisme

Portugal, maupun pendudukan Indonesia sejak 1975, berdasar struktur budaya masyarakat Timor-Leste yang direproduksi ulang berdasar jaringan kekerabatan dan sistem ekonomi komunitarian. Selain itu, Taylor menguraikan bagaimana upaya Indonesia melakukan kontrol atas perang di Timor-Leste, dari sorotan masyarakat internasional.

Buku lainnya adalah karya Geoffrey C. Gunn, Timor Loro Sae 500

Years,19 terbit tahun 1999. Sama halnya dengan Taylor, buku ini secara komprehensif menguraikan sejarah Timor-Leste, namun dengan kerangka 500 tahun. Diawali kehadiran pengaruh Latin oleh Portugal, masa pendudukan Jepang selama Perang Dunia II, dan masa pendudukan Indonesia menjelang akhir abad ke-20. Gunn menyusun buku ini, berdasar berbagai daftar kepustakaan Timor-

Leste yang pernah ditulis, terutama menggunakan sumber Portugis, maupun yang berbahasa Inggris atau aliran Anglo-Saxon hingga sumber-sumber dalam bahasa lain, seperti Perancis, Belanda dan Indonesia. Buku ini, mencoba menempatkan peran orang Timor-Leste dalam penulisan sejarah, mulai dari terbentuknya masyarakat Kristen pertama tahun 1515 di Solor dan Timor, serta mengupas satu

18 John Taylor. 1991. Indonesia’s Forgotten War: The Hidden History of East Timor, Zed Books. London. Edisi Indonesia, 1998. ’Perang Tersembunyi: Sejarah Timor Timur yang Dilupakan’. Fortilos. Jakarta. 19 Geoffrey C. Gunn. 1999. Timor Loro Sa’e 500 Years. Livros de Oriente. Macao. Edisi Indonesia. 2005. ”500 Tahun Timor Loro Sa’e”. Sa’he Institut for Liberation. Dili.

14

persatu pemberontakan yang terus berlangsung terhadap kolonial Portugal hingga abad ke-20. Sehingga dalam waktu lama Portugal terpaksa menerapkan pemerintahan protektorat di Timor-Leste. Selain itu, Gunn juga membahas secara singkat situasi politik di Timor-Leste setelah Revolusi Bunga Portugal hingga invasi Indonesia 1975.

Perlu disebut juga, adalah karya Michele Turner, Telling. Edisi Indonesia- nya berjudul Cerita Tentang Timor Timur: Kesaksian Pribadi 1942-1992,20 yang merupakan upaya rekonstruksi lisan tentang peristiwa-peristiwa dalam ingatan yang hidup.21 Buku ini, mengisahkan bagaimana rakyat Timor-Leste membantu pasukan Australia yang menjadikan Timor-Leste sebagai daerah pertahanan dalam menghadapi serbuan Jepang selama Perang Dunia II, dan masa pendudukan

Indonesia hingga awal 1990-an, berdasarkan kesaksian lisan para pengungsi

Timor-Leste di Australia, serta sejumlah warga Australia yang pernah bertugas atau berkunjung ke Timor-Leste.

Terakhir adalah laporan CAVR (Komisi Penerimaan, Kebenaran dan

Rekonsiliasi di Timor-Leste),22 yang diberi judul Chega! (Jangan Lagi! Berhenti!

Cukup!), terutama pada Bab 7.1. ’Hak Penentuan Nasib Sendiri’ yang membahas peran masyarakat sipil di berbagai negara dunia, termasuk di Indonesia yang ikut memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste.

Dari berbagai kajian tentang Timor-Leste tersebut, adapun isi dari skripsi

20 Michele Turner. 1992. Cerita Tentang Timor Timur: Kesaksian Pribadi 1942-1992. Pijar Indonesia. Jakarta. 21 Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 42. 22 Lihat Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR, Comissão de Acolhimento Verdade e Reconciliação). 2005. CAVR. Dili.

15

ini sedikit banyak telah ditulis oleh George J. Aditjondro dalam buku

Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor

Lorosa’e dan Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosa’e di Indonesia, maupun dibahas secara singkat dalam laporan CAVR, Chega!.

Kendati demikian, buku-buku di atas, belum ada yang secara rinci menggunakan analisa sejarah dalam membahas peran hegemonik Orde Baru untuk mendapatkan persetujuan publik Indonesia mengenai Integrasi Timor Timur dan penentangan masyarakat sipil Indonesia yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor-Leste, berdasarkan dinamika demokrasi di

Indonesia. Untuk itu, penelitian ini dilakukan.

G. Landasan Teori

Untuk memperjelas arah dan batasan tulisan ini, metodologi yang digunakan adalah pendekatan multidimensional, 23 dengan mengacu pada beberapa konsep sosiologis seperti teori gerakan sosial. Menurut sejarawan Inggris, Peter

Burke, bahwa kadang-kadang penentangan (resistensi) sehari-hari berubah menjadi perlawanan terbuka atau semacam Gerakan Sosial, yang dibedakan dalam dua tipe, yaitu gerakan itu pada dasarnya untuk memulai suatu perubahan atau gerakan tersebut merupakan reaksi atas perubahan yang terjadi. 24

Sementara, menggunakan istilah yang agak berbeda, Robert Marsel tidak

23 Penulis mengacu pada buku yang ditulis sejarawan, Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Gramedia. Jakarta. 24 Peter Burke. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Obor. Jakarta. Hlm. 132- 136.

16

menggunakan Gerakan Sosial namun menyebutnya sebagai Gerakan

Kemasyarakatan, yang disebutnya sebagai seperangkat keyakinan dan tindakan yang tak terlembaga (non instituonalised) yang dilakukan oleh sekelompok orang untuk memajukan atau menghalangi perubahan di dalam masyarakat.25 Lebih jauh

Marsel mengemukakan beberapa tema, yaitu pertama, Gerakan-Gerakan

Kemasyarakatan paling tepat dimengerti dalam hubungannya dengan organisasi dan perilaku organisatoris. Kedua, apapun yang menjadi tujuan atau cita-cita sebuah Gerakan Kemasyarakatan, strateginya [cara-cara mencapai tujuannya] biasanya rasional. Adanya strategi dengan menggunakan cara-cara rasional ini terlihat di dalam organisasi-organisasi gerakan yang bertingkah sama seperti organisasi lainnya. Ketiga, aktivitas utama dari organisasi gerakan adalah memobilisasi berbagai macam konstituensi dengan aneka cara guna memperoleh sumber-sumber daya yang dibutuhkan. Sumber-sumber daya dalam arti luas dapat mencakupi waktu dan tenaga para aktivis, dana, senjata, dukungan media dan sebagainya. Keempat, bentuk organisasi dan strategi-strategi penggalangan sumber daya dari sebuah gerakan kemasyarakatan membuatnya begitu serupa dengan bentuk-bentuk tindakan yang terlembaga. Selain itu, menurut Marsel, peran penting kaum profesional dalam gerakan kemasyarakatan, karena menjelang akhir abad ke-20, semua masyarakat adalah masyarakat yang berciri organisasi, di mana suatu tindakan perubahan sosial menuntut pula keahlian teknis tingkat tinggi, khususnya dalam mengelola sumber-sumber daya, merencanakan strategi, menghimpun dana, melakukan tekanan (pressure) terhadap kelompok elit dan

25 Robert Marsel. 2004. Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis. Resist Book. Yogyakarta. Hlm. 55

17

menggunakan kontak dengan media massa.26

Dalam hal ini, terkait dengan organisasi formal sebagai obyek kajian, Peter

Burke menuliskan: 27

Organisasi-organisasi yang sukses itu menulis sejarah resminya, sejarah ini sering memberi kesan seolah-olah organisasi-organisasi ini direncanakan dan dilembagakan secara sadar sejak awal berdirinya. Dengan cara begitu, sulit untuk tidak melihat masa kini berdasarkan masa lalu, tetapi kecenderungan ini harus dilawan, konsep tentang gerakan ini mendorong kita untuk mengetahui perubahan dan spontanitas di sekitar masa berdirinya organisasi, suatu ‘masa’ yang mungkin saja berlangsung selama satu generasi yang kemudian disusul oleh datangnya fase rutinisasi atau ‘kristalisasi’.

Apa yang dikemukakan Burke dan Marsel, cukup relevan dalam melihat peran masyarakat sipil yang memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat

Timor-Leste. Namun demikian belum sepenuhnya mencakup definisi yang dimaksudkan dengan masyarakat sipil dalam tulisan ini.

Istilah masyarakat sipil adalah konsep lama dalam pemikiran sosial politik, yang pada awal abad ke-20, oleh Antonio Gramsci diberi makna baru. Berdasar orientasi dasar Marxis, istilah masyarakat sipil dinyatakan sebagai bagian dari negara yang terlepas dari pemaksaan atau aturan-aturan formal, meskipun tetap mengandung unsur rekayasa seperti lazimnya institusi politik. Konsep ini juga diartikan sebagai wadah politik budaya. Lembaga-lembaga masyarakat sipil itu adalah institusi keagamaan (mesjid, pesantren, gereja), sekolah, serikat pekerja, dan berbagai organisasi lainnya yang dalam kenyataannya acapkali bisa dibelokkan menjadi sarana kelas penguasa dalam memelihara hegemoninya

26 Terdapat 8 tema yang dikemukakan Marsel, namun empat tema tersebut paling relevan dengan tulisan ini. Ibid., Hlm. 56-58. 27 Peter Burke. Loc.Cit., Hlm.132-136.

18

terhadap masyarakat. Di samping itu, masyarakat sipil juga merupakan arena di mana hegemoni itu sendiri dapat ditentang atau digoyahkan secara sah. 28

Dalam hal ini, terminologi masyarakat sipil dalam konteks Timor-Leste perlu mengacu pada 4 alasan yang dikemukakan dalam laporan CAVR, Chega! :29

Pertama, sebagai satu sektor istilah ini membedakan dari sektor-sektor penting lainnya, yang membentuk masyarakat demokrasi, seperti halnya pemerintah dan bisnis. Istilah ini mengakui timbulnya “sektor ketiga” dan perannya yang independen dalam menanggulangi masalah-masalah dunia. Dalam konteks Timor-Leste hal ini sangat relevan, karena…masyarakat sipil memainkan peran yang memiliki ciri khas tersendiri, dan dalam hal Timor- Leste biasanya berseberangan dengan pihak pemerintah dan bisnis. Kedua, istilah ini lebih luas dibanding “non-governmental organization” (NGO) dan “grup solidaritas,” yang sering digunakan dalam konteks ini, tapi tidak cukup luas untuk mencakup luas dan ragam individu, grup dan organisasi yang memberi dukungan Timor-Leste dalam penentuan nasib sendiri. Ketiga, istilah “masyarakat sipil”, tidak sekedar “non-governmental organization” (NGO), tetapi memiliki isi positif dan mewakili komitmen untuk membangun masyarakat yang beradab berdasarkan nilai-nilai perdamaian, hak asasi manusia dan demokrasi. Istilah ini pantas dalam pembelaannya terhadap Timor-Leste, dengan mempromosikan nilai-nilai dasar, dan umumnya beroperasi tanpa kekerasan, di dalam batas-batas hukum dan melalui jalur hukum. Terakhir, istilah masyarakat sipil direkomendasikan, karena telah diadopsi secara resmi oleh PBB, dan menandai pergeseran penting dalam pemikiran internasional. Telah tumbuh pengakuan di lingkungan pemerintah, bahwa masyarakat sipil memiliki peran dalam pemerintahan global, dan bahwa pekerjaan PBB bukan lagi monopoli pemerintah.

Sementara dalam membahas peran hegemoni Orde Baru, digunakan konsep hegemoni berdasar ide Antonio Gramsci, seperti dikutip Burke bahwa penguasa memerintah tidak dengan kekerasan (atau dengan kekerasan semata-

28 Adam Kuper dan Jessica Kuper, 2000. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial 1. Grafindo. Jakarta. Hlm. 113-115. 29 Lihat laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsiliasi (CAVR). 2005. Chega! (Jangan Lagi, Berhenti, Cukup), Bab 7.1. ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 104. http://www.cavr-timorleste.org/chegaFiles/,

19

mata) melainkan dengan persuasi. Persuasi bersifat tak langsung; kelas yang diperintah melihat masyarakat melalui cara pandang penguasa, berkat pendidikan dan juga posisi mereka dalam masyarakat.30

Dalam hal ini, definisi hegemoni harus ditempatkan dalam konteks historis

Indonesia, sebagaimana konsep hegemoni zaman Gramsci harus ditempatkan dalam konteks analisis historis Italia zaman Gramsci, terlebih analisis historis zaman Gramsci adalah upaya teoretis yang dilakukan sebagai produk pencarian hubungan teori dan praktek marxisme. Nezar Patria dan Andi Arief menulis tentang situasi Indonesia terkait dengan konsep hegemoni Gramsci bahwa: 31

Di Indonesia dapatlah dikatakan, fenomena kekuasaan di negeri ini tidaklah dalam bentuk hegemoni Gramsci, di mana masyarakat memberikan persetujuannya kepada penguasa untuk berkuasa. Idealnya konsep Gramsci penguasa menggunakan hegemoni total, tanpa harus menggunakan kekerasan.

Lebih lanjut Nezar Patria dan Andi Arief menuliskan: 32

Orde Baru justru lebih mengedepankan dominasi yang berarti penggunaan aparatus koersif untuk penggunaan hegemoni...sesungguhnya yang terjadi adalah dominasi politik besar oleh negara terhadap masyarakat sipil.

Namun dapat dilihat dari cara pandang yang berbeda, yaitu meskipun pemerintahan Orde Baru menjalankan dominasi melalui aparatus koersifnya, namun juga menggunakan kepemimpinan intelektual dalam mentransfer ide-ide penguasa melalui lembaga pendidikan dan juga mengambil alih kontrol atas pers sebagai upaya hegemoni. Sebagaimana menurut Gramsci bahwa kelas sosial akan

30 Peter Burke., Op.Cit., Hlm. 128. 31 Nezar Patria dan Andi Arief. 1998. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 184-185. 32 Ibid., Hlm. 185

20

memperoleh keunggulan (supremasi) melalui dua cara yaitu, pertama, dominasi/paksaan, kedua, kepemimpinan intelektual dan moral, dan yang terakhir inilah yang dimaksud Gramsci sebagai hegemoni. 33

Dalam mengidentifikasi peran masyarakat sipil, digunakan untuk mengkaji

Gerakan pro Timor-Leste di Indonesia sedangkan konsep hegemoni digunakan untuk mengkaji upaya-upaya persuasif Orde Baru.

H. Hipotesis

Adapun sebagai penuntun penulisan skripsi ini, diajukan hipotesis- hipotesis berikut, berdasarkan pokok permasalahan yang diajukan, yaitu:

1. Kalau Orde Baru menjalankan hegemoni, dengan mengkooptasi dan

merepresi institusi keagamaan serta mengkontrol lembaga pendidikan,

melalui penulisan ulang sejarah Timor-Leste, maka Orde Baru akan

mendapatkan dukungan masyarakat Indonesia mengenai kebijakan

Integrasi Timor Timur.

2. Kalau masyarakat Indonesia tidak memperoleh informasi yang sebenarnya

mengenai masalah Timor-Leste, maka Orde Baru melakukan kontrol atas

pers agar pemberitaannya sejalan dengan kebijakan Integrasi Timor Timur.

3. Kalau hegemoni pemerintahan Orde Baru dijalankan hingga dekade 1980-

an, maka Peristiwa Santa Cruz 1991, anti militerisme di Indonesia, serta

kampanye solidaritas internasional yang meluas, seiring HAM sebagai isu

33 Ibid., Hlm. 119.

21

global pasca Perang Dingin, mendorong munculnya gerakan pro Timor-

Leste di Indonesia, pada awal 1990-an.

4. Kalau perlawanan rakyat Indonesia semakin menguat menghadapi Orde

Baru yang otoriter, maka kesadaran akan persoalan Timor-Leste yang

sebenarnya, membuat masyarakat sipil Indonesia, mulai

mengkampanyekan penentuan nasib sendiri Timor-Leste sebagai bagian

dari perjuangan demokrasi menuju perubahan politik di Indonesia.

I. Metode Penelitian

Merekonstruksi sejarah masa lampau, dimulai dengan mengumpulkan dan merangkaikan serpihan-serpihan fakta sejarah. Sejarawan Indonesia terkemuka,

Kuntowijoyo menuliskan tentang definisi sejarah tautologis mengatakan sejarah adalah apa yang dikerjakan sejarawan. Dalam artian, sejarawan mempunyai kebebasan merekonstruksi, yang mengikat sejarawan hanyalah fakta sejarah. 34

Demikian pula penulisan ini adalah rangkaian fakta-fakta sejarah yang diolah menurut metode sejarah, yaitu metode deskriptif-analitis, melalui tahapan pengumpulan data (Heuristik), kritik sumber (verifikasi), interpretasi dan penulisan. 35 Sumber data yang digunakan adalah sumber primer, meliputi dokumen, wawancara dengan pelaku dan saksi serta dari media cetak (surat kabar dan majalah) pada masa itu. Sedangkan sumber sekunder yang dipakai, adalah buku-buku dan tulisan-tulisan internet.

34 Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Bentang. Yogyakarta. Hlm. 18. 35 Ibid., Hlm. 96-98.

22

Surat kabar terutama diperoleh dari koleksi kipling Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma, sedangkan dokumen diperoleh dari koleksi yang tersimpan di lembaga Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jakarta. Adapun wawancara dilakukan dengan beberapa aktivis Indonesia yang terlibat langsung dalam gerakan mendukung penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste, terutama dilakukan di Jakarta. Berasal dari kalangan pergerakan mahasiswa, aktivis

LSM/ornop, jurnalis, kalangan keagamaan, maupun kelompok solidaritas.

J. Sistematika Penulisan

Untuk memperoleh gambaran yang jelas, tepat dan komprehensif, skripsi ini, dibahas dalam 6 bab.

Pada bagian pertama, merupakan pendahuluan yang berisi latar belakang permasalahan, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, landasan teori, tinjauan pustaka, hipotesis, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bagian kedua, membahas hegemoni yang dijalankan negara Orde Baru.

Dimulai dari penjelasan awal berdirinya Orde Baru, kontrol atas institusi keagamaan, dan pendidikan melalui penulisan sejarah.

Bagian ketiga, membahas pemberitaan media massa Indonesia mengenai persoalan Timor-Leste di Indonesia.

Bagian keempat, membahas proses munculnya gerakan pro Timor-Leste di

Indonesia. Mulai dari dukungan awal organisasi-organisasi masyarakat sipil pro

Timor-Leste, dan dukungan sejumlah individu setelah Peristiwa Santa Cruz 1991, hingga pertengahan 1990-an.

23

Bagian kelima, membahas perkembangan dukungan masyarakat sipil di

Indonesia. Mulai dari penentangan dan dukungan yang meluas di Indonesia hingga kejatuhan Suharto 1998. Setahun kemudian, rakyat Timor-Leste menentukan nasibnya sendiri melalui referendum pada tahun 1999.

Bagian keenam, berisi kesimpulan yang adalah rangkuman penting dari skripsi ini.

BAB II

MASALAH TIMOR-LESTE DAN HEGEMONI ORDE BARU

Pada bagian ini, akan dibahas dominasi peran hegemonik Orde Baru dalam upaya penerimaan publik (public consent) terkait invasi Indonesia ke Timor-

Leste. Terdiri dari tiga bagian, yaitu pertama, pembahasan singkat mengenai masa sebelum invasi Indonesia ke Timor-Leste yang diawali dengan naiknya Orde Baru

1966; kedua, mengenai dukungan kaum agamawan dan intelektual Indonesia terhadap invasi Indonesia ke Timor-Leste 1975 sebagai bagian dari peran hegemonik yang dijalankan Orde Baru; dan ketiga, membahas penulisan sejarah

Timor-Leste versi Orde Baru, sebagai wacana satu-satunya yang diajarkan di sekolah Indonesia, dan diterima sebagai kebenaran umum.

A. Orde Baru dan Pembasmian Kaum Kiri Indonesia 36

Orde Baru didirikan dari kekisruhan politik yang terjadi pasca Gerakan 30

September 1965.37 Peristiwa ini, berawal dari penculikan terhadap beberapa jenderal pimpinan Angkatan Bersenjata yang dinilai tidak loyal terhadap Presiden

Sukarno yang populis, oleh para perwira muda Angkatan Darat (AD). Namun kegagalan gerakan tersebut, membawa Jenderal Suharto ke pucuk pimpinan AD

36 Sebagian besar informasi di bagian ini diambil dari Max Lane. 2007. Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia Sebelum dan Sesudah Soeharto. Reform Institut. Jakarta. 37 Istilah Gerakan 30 September digunakan sebagai nama dari gerakan tersebut, dari pada G 30 S/PKI yang diberikan Orde Baru atau Gestok yang diberikan Sukarno. Dua nama ini dilekatkan kemudian, sehingga bersifat anakronis. Lihat Asvi Warman Adam. 2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Ombak. Yogyakarta. Hlm. v. 24 25

ketika Presiden Sukarno yang tidak mempunyai kendali atas aparatus penindas yakni, polisi dan tentara, menyerahkan kewenangan kepada Jenderal Suharto untuk menertibkan kekacauan. 38 Ini dimanfaatkan oleh Suharto yang secara perlahan memangkas semua kekuatan yang mendukung Sukarno, sebelum akhirnya merebut jabatan presiden.

Setelah membentuk Kopkamptib (Komando Pemulihan Keamanan dan

Ketertiban), Suharto membubarkan PKI (Partai Komunis Indonesia), yang diikuti pemberlakuan sensor dan pembredelan terhadap 46 harian dari 163 surat kabar, serta pemenjaraan terhadap ratusan wartawan yang dituduh terlibat dalam

Gerakan 30 September 65. Terutama yang berhubungan dengan PKI, diadili tanpa pengadilan selama lebih dari 10 tahun. 39 Ini disambut gembira penerbit-penerbit yang berseberangan dengan PKI. Namun euforia ini, menjadi suatu ironi sejarah.

Daniel Dhakidae menuliskan: 40

Pada hari mereka menguburkan surat kabar dan penerbitan lain yang berhubungan dengan PKI dan hari tersebut diterima sebagai hari kemenangannya maka pada hari itulah mereka memukul palu ke atas paku peti mati dan mengayunkan sekop pencedok tanah untuk menggali liang kubur kebebasan pers di Indonesia.

Namun demikian, tidak sama halnya dengan surat kabar yang dikelola AD, seperti Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha tetap diijinkan terbit, yang

38 Max Lane. Op.Cit., Hlm. 26. 39 Fauzan. 2003. Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia. LKIS. Jakarta. Hlm. 101. 40 Daniel Dhakidae. 2003. Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Gramedia. Jakarta. Hlm. 367.

26

melancarkan propaganda citra jahat (demonisasi) terhadap PKI. Sejarawan

Baskara T. Wardaya, menuliskan: 41

Melalui koran-koran ini dan melalui berbagai cerita yang beredar di masyarakat dikisahkan mengenai macam-macam kekejaman PKI di Lubang Buaya, seperti “pesta harum bunga”, kisah pemotongan alat-alat vital, serta kisah pencungkilan mata sampai sekarang belum terbukti.

Berita-berita itu dipropagandakan media yang menuduh PKI sebagai dalang dari Gerakan 30 September. Namun sampai sejauh ini, para sejarawan menemukan fakta-fakta yang meragukan PKI sebagai dalang dari peristiwa tersebut. Walaupun demikian, selama Orde Baru berkuasa, hampir tidak ada ruang untuk mengajukan pandangan yang berbeda dari apa yang diklaim sebagai kebenaran tunggal. Seperti dinyatakan penulis dan aktivis Australia, Max Lane: 42

Semasa Orde Baru cerita-cerita tersebut kemudian diulang-ulang tanpa debat atau versi tandingan resmi dan diajarkan pada generasi baru yang dididik pada masa Orde Baru.

Dengan menuduh PKI dan unsur-unsur militer yang mendukungnya, Orde

Baru melancarkan pembasmian terhadap sayap kiri yang terorganisir dan juga kelompok yang mengikuti arah yang dianjurkan Sukarno. Max Lane mengatakan teror tersebut dimaksudkan untuk mengakhiri proses revolusi nasional di

Indonesia: 43

Itu artinya menghentikan politik pergerakan, yaitu semua gagasan dan metode yang telah menjadi bagian integral revolusi nasional Indonesia.

41 Baskara T. Wardaya. 2006. Op.Cit., Hlm. 176. ’Pesta Harum Bunga’ adalah nama yang diberikan untuk pesta orgi yang merupakan rekayasa Orde Baru. 42 Max Lane. Op.Cit., Hlm. 51. 43 Ibid., Hlm. 40.

27

Ini dimulai dengan pembunuhan terhadap kaum kiri antara tahun 1965-

1968, yang menurut sejumlah analis diperkirakan mencapai jumlah 500.000 sampai 2 juta orang dibantai oleh militer (AD), yang bergerak bersama milisi dari ormas Islam ikut menahan, menyiksa dan membunuh. 44 Pada saat yang sama untuk memberi gambaran wajah sipil, mahasiswa di bawah bendera Kesatuan

Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), yang kemudian dikenal sebagai Angkatan

66, bersama figur-figur PSI (Partai Sosialis Indonesia) dan Parmusi (Partai

Muslimin Indonesia), dimobilisasi di jalanan untuk menentang Sukarno dan PKI.

Kelompok-kelompok ini, bersekutu dengan militer dan memainkan peran penting dalam memonopoli wacana ideologis, di antaranya dengan menguasai media masa.45

Maka tidak mengherankan, kalau berbagai pembunuhan tidak pernah dipermasalahkan selama Orde Baru berkuasa. Namun media massa, sebaliknya memberi persetujuan ketika hampir semua struktur pemaksa diarahkan untuk menciptakan teror. Demikian juga dilakukan penyesuaian kurikulum sekolah pada tahun 1978 melalui penataran P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman

Pancasila), yang menjadi ‘benang merah’ pembenaran atas pembantaian massal di

Indonesia. Max Lane menuliskan: 46

Tahun 1978, labelisasi PKI sebagai ‘pengkhianat’ dan jahat merupakan satu-satunya wacana publik, yang ditanamkan selama 13 tahun dalam pengajaran sekolah dan monopoli media oleh Angkatan 66. Program

44 Ibid., Hlm. 39. 45 Max Lane. Op.Cit., Hlm. 98. 46 Idem. Tanggung jawab P4 pada tahun 1979 diserahkan kepada BP 7 (Badan Pembinaan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila).

28

kampanye jahat dan pengiblisan PKI dan Soekarnoisme benar-benar lengkap dan total.

Indoktrinasi juga dilakukan dengan menghilangkan ingatan terhadap politik pergerakan 1920-an, dan sebagai gantinya Orde Baru menonjolkan kisah kepahlawanan Suharto dan tentara.47 Sehingga menyisakan kekosongan politik mobilisasi massa di Indonesia selama hampir 10 tahun.

Baru pada tahun 1974, suatu demonstrasi besar sejak Orde Baru berkuasa, diorganisir mahasiswa menentang modal asing, terutama modal Jepang, bertepatan dengan kunjungan PM Jepang, Tanaka. Aksi ini, berkembang menjadi kerusuhan yang dengan cerdik oleh Orde Baru diberi nama Peristiwa Malari

(Malapetaka Lima Belas Januari), untuk mengingatkan orang pada nama penyakit.48

Orde Baru belajar dari peristiwa itu, sehingga keistimewaan mahasiswa untuk melakukan mobilisasi yang dihadiahkan kepada kampus saat mahasiswa- mahasiswa KAMI bersekutu dengan militer, ditarik kembali. Di kampus diberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi

Kampus (NKK/BKK), yang menjauhkan mahasiswa dari aktivitas politik dan diarahkan agar fokus pada aktivitas belajar dan menjadi kader pembangunan. Ini sesuai dengan konsep Jenderal Ali Murtopo, tentang ’massa mengambang

(floating mass)’ yang sepenuhnya bertolak belakang dengan situasi Indonesia pra-

47 Ibid., Hlm. 50-51. 48 Pada saat kerusuhan pecah, saluran politik telah lama tersumbat karena kebijakan politik ’massa mengambang.’ Dalam kerusuhan itu, paling tidak 11 orang meninggal, 17 orang luka serius, 120 luka ringan, dan 755 orang ditangkap. Sebanyak, 807 mobil dan 187 motor diperkirakan hancur, terutama karena dibakar serta 144 gedung dibakar. Ibid., Hlm. 85.

29

1965, yaitu menjauhkan massa rakyat, terutama rakyat pedesaan dari aktivitas politik. Namun diarahkan untuk bekerja dan berproduksi dalam kegiatan pembangunan. Max Lane menyebutnya mengingatkan orang pada gagasan

‘perkakas yang bersuara’ yang biasa dijumpai dalam masyarakat perbudakan. 49

Di bawah Orde Baru, Indonesia mengadopsi kebijakan pro-Barat.

Perubahan yang 10 tahun kemudian ikut menentukan perubahan politik di Timor-

Leste, dan hampir sangat unik, karena partai nasionalis Fretilin ketika merumuskan revolusi bagi kemerdekaan Timor-Leste, tidak dikonfrontir oleh

Portugal sebagai bekas negara penjajah, namun oleh tetangganya bekas koloni

Belanda yang militeristik.50 Pada titik ini, kita menjumpai kemiripan berbagai pola pembunuhan dan pembinasaan terhadap rakyat Timor-Leste dengan pembinasaan kaum kiri di Indonesia. Di mana Orde Baru mengawalinya dengan mengerahkan semua struktur negara untuk mengisolasi masalah Timor-Leste dari rakyat Indonesia.

Sejauh mana isolasi tersebut, diterapkan melalui kepemimpinan intelektual maupun kontrol atas arus informasi dan terhadap institusi negara dan masyarakat, selanjutnya dibahas peran hegemonik yang dijalankan pemerintahan

Orde Baru untuk mendapat persetujuan dari rakyat Indonesia terhadap Integrasi

Timor Timur.

49 Ibid., Hlm. 43. 50 Geoffrey C. Gunn. Op.Cit. Hlm. 427.

30

Dalam hal ini, akan dibahas dua perkara berikut, yaitu peran kaum agamawan serta intelektual, dan penulisan sejarah Timor-Leste.

B. Peran Kaum Agamawan dan Intelektual

Pada bagian ini akan dibahas tiga perkara, pertama, menyangkut pandangan golongan Katolik Roma di Indonesia, kedua, membahas peran sejumlah intelektual Katolik yang bergabung dengan CSIS (Center for Strategic and International Studies) yang tidak jarang menjadi actor intellectualis memberikan pikiran, metode, dan cara kerja operasional [meminjam istilah Daniel

Dhakidae] dalam invasi militer Indonesia ke Timor-Leste,51 ketiga, membahas pandangan golongan Islam dan Gereja Protestan secara sekilas. Pandangan keagamaan tersebut penting, karena institusi keagamaan merupakan lembaga masyarakat sipil yang tetap bertahan dan relatif independen, meskipun kenyataannya dibelokkan menjadi sarana kelas penguasa dalam memelihara hegemoninya terhadap masyarakat. Sementara lembaga masyarakat sipil seperti sekolah, serikat pekerja, dan berbagai organisasi lainnya hingga akhir 1980-an, nyaris semua telah terkooptasi ke dalam kekuasaan Orde Baru.

51 Peran golongan Katolik menjadi pusat perhatian karena memiliki kesamaan dengan latar belakang keagamaan di Timor-Leste, dan juga karena golongan Katolik Indonesia mempunyai kekuasaan besar, yang tidak sebanding dengan jumlah umat Katolik sebagai minoritas.

31

1. Pandangan Golongan Katolik Indonesia

Penganut Katolik maupun Gereja Katolik di Indonesia, berkembang di bawah iklim minoritas sehingga hampir selalu berjuang mencari celah-celah kekuasaan agar tetap bisa bertahan, 52 sekaligus mengidap kompleks rendah diri politik, baik pada zaman Belanda maupun setelah Indonesia merdeka.53

Keberadaan Gereja Katolik Indonesia mendapat pengakuan RI, terutama karena peran Mgr. Sugijapranata, Uskup Semarang, yang pada masa revolusi mendorong cita-cita nasionalisme Gereja Katolik Indonesia. Demikian juga, beberapa tokoh intelektual Katolik yang menonjol, menandai kehadiran politiknya, dengan mendirikan Partai Katolik yang ikut dalam Pemilu 1955, dengan tokoh sentralnya seperti Kasimo dan lain-lain, yang pada masa Orde Baru, garis kepemimpinannya mampu dilanjutkan oleh Frans Seda. 54

Menyaksikan hiruk pikuk politik Indonesia tahun 1960-an, dengan tampilnya PKI sebagai kekuatan besar setelah Pemilu 1955, membuat kaum

Katolik menjalin hubungan dengan golongan Islam dan PSI, dan berseberangan dengan PKI. Sehingga tidak mengherankan ketika terjadi pembantaian kaum komunis oleh militer, setelah kegagalan Gerakan 30 September 1965, golongan

Katolik maupun Gereja Katolik Indonesia berlaku pasif dan diam.

52 I. Sandyawan Sumardi SJ, Tanpa Tahun. Gereja Indonesia (Barat) Dalam Masyarakat Timor (Timur). Manuskrip Pribadi. 53 Daniel Dhakidae. Op.Cit., Hlm. 609. Ini merupakan cerminan dari situasi di negeri Belanda sendiri. Di mana Gereja Protestan dianggap prima dona dan kelompok Katolik tidak lebih sebagai underdog, yang baru lebih baik pada tahun 1854, setelah undang-undang penyebaran agama dibuat lebih longgar dan setara. Terutama setelah kemenangan Partai Katolik 1920-an dan memerintah di sana. Ibid., Hlm. 609-610. 54 Ibid., Hlm. 614.

32

Setelah naiknya Orde Baru dengan kekuasaan di tangan militer yang anti- komunis, membuat golongan Katolik Indonesia praktis terbagi dalam beberapa kelompok. Seperti dikategorikan dengan baik oleh Daniel Dhakidae: 55

Kelompok pertama, adalah kelompok “loyalis partai, Partai Katolik, yang pada umumnya terdiri dari para aktivis senior. Sikap kelompok ini sangat keras terhadap PKI dan komunisme, namun moderat terhadap Islam. Kelompok kedua, adalah kaum cendikiawan independen yang terdiri dari para cendikiawan bebas, pastor muda, dengan kecenderungan yang lebih kritis dan radikal dalam pandangan hidup. Merekalah golongan yang lebih bebas dari partai dan lebih mengabdikan dirinya kepada lingkungan profesional bebas di dunia media, lembaga-lembaga sosial masyarakat dan universitas dan perguruan tinggi pada umumnya. Sikapnya kritis terhadap Gereja dan sangat terbuka terhadap Islam, liberal dalam pandangan hidup…Kelompok ketiga, adalah mereka yang menjalin hubungan yang “sangat dekat dengan Angkatan Darat yang menjadi kekuatan inti dari regime Orde Baru. Kelompok yang dimaksudkan di sini adalah [the] Centre for Strategic and International Studies, CSIS, atau yang disingkat menjadi Center.

Dari pengkategorian tersebut, terlihat golongan Katolik Indonesia cenderung kompromistis terhadap penguasa. Sementara sikap anti-komunis membuat mereka sejalan dengan militer, termasuk ketika para jenderal garis keras di Jakarta menggunakan isu komunisme untuk menginvasi Timor-Leste tahun

1975.56 Dua tokoh Katolik, yaitu Frans Seda, yang ketika itu Dubes RI di Brussel

(Belgia) dan Ben Mang Reng Say, Dubes RI di Lisabon (Portugal), ikut membela

Integrasi Timor-Timur dengan melancarkan diplomasi ke Pemerintah Junta

55 Ibid., Hlm. 615-616. 56 Bahkan anti-komunisme merembes hingga wilayah yang relatif terpencil. Misalnya Mgr. Theodore van den Tillart SVD, Uskup Atambua yang berbatasan dengan Timor-Leste, menyebut kemungkinan bantuan komunisme internasional kepada Fretilin yang marxis kepada Kardinal Knox dari Australia. Lihat catatan kaki laporan Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 71.

33

Militer di Lisabon, dengan menyiapkan pendekatan yang dilakukan Jenderal Ali

Murtopo ke Lisabon. 57

Sehingga tidak terlalu mengherankan, bahwa golongan Katolik Indonesia bersikap diam ketimbang menunjukkan solidaritasnya dengan rakyat Timor-Leste, sekalipun disatukan oleh Gereja yang sama. Bahkan ketika invasi itu berpelepotan darah, masih disambut gembira, karena akan menambah jumlah umat Katolik

Indonesia yang masih kecil pada waktu itu. 58

Sikap bisu ini, terlihat dari bagaimana perang di Timor-Leste, hanya sayup-sayup muncul dalam buletin ordo Jesuit, Inter-Nos pada tahun 1979.59

Demikian juga, ketika Vatikan menilai perlunya penyelesaian masalah Timor-

Leste secara menyeluruh melalui PBB, sehingga menempatkan Gereja Katolik

Timor-Leste langsung di bawah Vatikan, para Uskup Indonesia tampaknya menerima tekanan dari pemerintahnya sendiri; agar Takhta Suci mempertimbangkan dan memikirkan ulang Gereja Katolik di Timor-Leste sehingga Gereja Timor-Leste dapat sepenuhnya masuk dalam Konferensi Wali

Gereja Indonesia (KWI). Namun Vatikan tetap pada prinsipnya dan menolak melakukan integrasi eklesiastis. 60

57 George J. Aditjondro, ‘Arus Balik Dari Oslo: Mengetuk Hati Nurani Gereja Katolik di Indonesia’ dalam Sindhunata (Editor). 1999. Mengenang Y. B. Mangunwijaya: Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Kanisius. Yogyakarta. Hlm. 206. 58 Sandyawan Sumardi SJ, Op.Cit. 59 Artikel tentang Timor-Leste ditulis Romo Alex Dirdja SJ. 60 Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1. Bagian ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’, Hlm. 76. Dikutip dari buku Patrick A. Smythe, 2004.‘The Heaviest Blow’ – The Catholic Church and The East Timor Issue, Lit Verlag, Munster.

34

Vatikan tetap berupaya menyeimbangkan tanggung jawabnya terhadap

Gereja Katolik Indonesia, sehingga tidak secara terbuka menyatakan penentangannya dan hanya melancarkan diplomasi diam-diam. Bahkan agak bertentangan, wakil Paus di Kementerian Luar Negeri, Kardinal Agostino Casaroli

(1979-80), dan Dubes Vatikan di Jakarta, Mgr Pablo Puente, yang dekat dengan

Jenderal Benny Murdani yang Katolik, mendukung pandangan Integrasi Timor

Timur dengan Indonesia.61 Ini membuat Gereja Katolik Timor-Leste, terkucilkan pada masa-masa yang paling sulit antara tahun 1978-79. Dalam laporan Chega! menunjuk pada kematian lebih dari 200.000 penduduk, selama 6 tahun sebelumnya, Administratur Apostolik Dili, Mgr Martinho Lopes, pada bulan Juli

1981, mengeluarkan pernyataan yang menyuarakan kepedihan: 62

Kami tidak mengerti, mengapa Gereja Katolik Indonesia dan Gereja Romawi Internasional hingga saat ini belum menyatakan secara terbuka dan resmi solidaritas mereka dengan gereja, penduduk dan agama di Timor- Leste. Mungkin ini adalah tamparan terkeras bagi kita…Kami terpana karena sikap diam ini yang membiarkan kita mati ditinggalkan.

Kebisuan ini, baru ‘terpecahkan’ 3 tahun kemudian dengan pernyataan solidaritas kepada Uskup Belo [mengantikan Mgr Lopes, tahun 1983, dan sebagai uskup Dili, 1988-2002], ketika ia menjelaskan persoalan Timor-Leste pada sidang

Konferensi Waligereja Indonesia, yang menuliskan: 63

61 Ibid., Hlm. 76-77. 62 Ibid., Hlm. 77. Dikutip Chega! dari The Church and East Timor: A Collection of Documents by National and International Church Agencies. 1993. Catholic Commission for Justice, Development and Peace Melbourne. 63 Ibid., Hlm. 83. Surat ditandatangani Mgr. F.X. Hadisumarta, O. Carm dan Mgr Leo Sukoto, SJ dengan mengatasnamakan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), tertanggal 17 November 1983.

35

Gereja Katolik Indonesia…meskipun menghadapi banyak hambatan telah berusaha semaksimal mungkin untuk mengekspresikan solidaritas dan rasa persahabatan kepada umat dan seluruh rakyat Timor-Leste, yang sedang dibanjiri cobaan yang dahsyat baik secara fisik maupun spiritual.

Meskipun demikian, keberadaannya sebagai minoritas dan adanya sejumlah intelektual maupun jenderal dan perwira ABRI yang Katolik, tampaknya ikut mempengaruhi sikap bisu Gereja Katolik, sehingga menerima

Integrasi Timor-Timur sepanjang tahun 1980-an.

2. Peran CSIS (Center for Strategic and International Studies)

CSIS adalah salah satu lembaga yang perlu dilihat secara khusus. Terkait perannya dalam menentukan kebijakan Orde Baru, dengan memberikan pembelaan terhadap pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Baik lewat forum ilmiah, di dalam negeri maupun di luar negeri, termasuk menyediakan hasil-hasil studi melalui penerbitan dan penelitian yang disediakan untuk siapapun yang membutuhkannya.

Dibentuk pada tahun 1971, para pendiri CSIS adalah politisi dan cendikiawan Katolik dan Angkatan Darat (AD), sehingga kelompok ini sangat berorientasi militer dan Orde Baru, karena persamaan pandangan yang anti- komunis dan sikap keras terhadap Islam. 64 Di mana hubungan dengan militer sudah terjalin melalui PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik

Indonesia) pada tahun 1960-an, ketika PKI tampil sebagai salah satu partai

64 Daniel Dhakidae. Op.Cit., Hlm. 616. Hal ini membuat Partai Katolik [sebelum difusikan 1971] yang mempunyai hubungan erat dengan Islam pada 1960-an, banyak berbeda pendapat dengan kelompok CSIS.

36

terbesar di Indonesia setelah Pemilu 1955. Kelompok cendikiawan Katolik dimotori oleh Harry Tjan Silalahi (Tjan Tjoen Hok), dan juga nama-nama seperti,

Sofyan Wanandi (Liem Bian Koen), Jusuf Wanandi (Liam Bien Kia), Hadi

Susastro, dan Sudjati Djiwandono.

Pada tahun 1972, jenderal Ali Murtopo dan Sujono Humardani, serta belakangan jenderal muda Benny Murdani yang seorang Katolik Jawa, ikut bergabung dengan CSIS. Seksi militer ini, merupakan gabungan dari dinas inteligen resmi seperti BAKIN (Badan Koordinasi Inteligen Negara) atau mereka yang terlibat dalam Opsus (Operasi Khusus),65 yang dipimpin Jenderal Ali

Murtopo; ia bersama Benny Murdani adalah arsitek invasi Indonesia ke Timor-

Leste 1975.

CSIS sendiri berperan semacam “think-tank” ataupun ideas factory (fabrik ide) dan Jenderal Ali Murtopo sebagai pelopornya.66 Dalam hal ini, CSIS berperan merencanakan propaganda perang dan diplomasi untuk menciptakan pendapat umum dunia dalam invasi Indonesia ke Timor-Leste,67 termasuk berperan dalam membentuk pendapat umum di Indonesia. Terutama karena CSIS mempunyai pengaruh dalam menentukan kebijakan pendidikan pada umumnya dan perguruan tinggi, setelah anggota CSIS Daud Jusuf, menjadi Menteri Pendidikan dan

65 Pada tahun 1950-an, Harry T. Silalahi dan Wanandi bersaudara, di bawah bimbingan pastor Jesuit Belanda yang karismatik, Jopie Beek (1917-1983), memainkan peran inti dalam Opsus dan CSIS. Lihat David Bourchier. 2007. Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara Organis (Integralistik). PSP UGM, PSSAT UGM dan P2D Jakarta. Yogyakarta. Hlm. 286. 66 Daniel Dhakidae. Op.Cit., Hlm. 673. 67 Jose Ramos-Horta. 1998. Funu: Perjuangan Timor Lorosa’e Belum Usai. Solidamor. Jakarta. Hlm. 218.

37

Kebudayaan, 68 dan menjadikan departemen tersebut sebagai satu-satunya ‘tuan’ dalam mengkontrol sistem pendidikan yang terbirokratisasi, melalui kebijakan

NKK/BKK. Peran yang sama, dijalankan Ali Murtopo dalam bidang informasi dan jurnalistik, ketika ia menjabat sebagai Menteri Penerangan (1978-83). Kontrol atas dua bidang ini, praktis membuat Orde Baru leluasa membentuk opini publik

Indonesia mengenai Integrasi Timor-Timur.

Pada satu sisi, keberadaan jenderal-jenderal dan perwira-perwira Katolik

[termasuk Protestan], yang berperan penting dalam proses invasi Indonesia di

Timor-Leste, tidak lain agar memiliki kesamaan latar belakang dengan kebanyakan penduduk Timor-Leste.69 Beberapa orang Katolik, misalnya Kolonel

Andreas Sugianto telah menyamar sebagai seorang pedagang dan melakukan tugas mata-mata di Dili sebelum invasi, termasuk pelibatan Louis Taolin, putera raja Insana di Kefa (NTT). Sedangkan puncak dari semuanya adalah pergantian

Mgr Lopes, Administratur Apostolik Dili, yang bersikap frontal menentang integrasi berkat lobi Jenderal Benny Murdani, kepada Dubes Vatikan di Jakarta,

Mgr. Puente.70

68 CSIS selain gabungan aktivis Angkatan 66, juga terdapat Fraksi Eropa yaitu, mahasiswa Indonesia di negara-negara Eropa Barat, termasuk Daud Jusuf berasal dari Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Belgia. Yang lainnya seperti Hadi Susastro berasal dari PPI Jerman. Daniel Dhakidae. Op.Cit., Hlm. 659-660. 69 Ken Comboy. 2004. Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service. Equinox Publishing Indonesia. Jakarta. Edisi Indonesia, ‘Intel: Menguak Tabir Dunia Inteligen Indonesia’. Pustaka Primatama. Jakarta. Hlm. 87. 70 Lihat laporan Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’, Hlm. 77-78.

38

3. Pandangan Golongan Islam dan Gereja Protestan

Indonesia adalah negara penganut Islam terbesar di dunia, dengan pemerintahan sekuler. Di mana pada tahun 1950-an, beberapa kali upaya mendirikan Negara Islam, berhasil digagalkan Pemerintahan Presiden Sukarno.

Meskipun demikian, Islam tetaplah kekuatan politik yang besar. Pada pemilu 1955, 3 partai Islam, yaitu Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia),

NU (Nadhatul Ulama) dan PSII (Partai Serikat Islam Indonesia) masuk dalam 5 yang terbesar, bersama 2 partai non-Islam, yaitu PNI (Partai Nasional Indonesia) dan PKI. Dalam hal ini, golongan Islam terlibat perseteruan yang berkelanjutan dengan PKI, sebelum partai itu dibubarkan pasca Gerakan 30 September 1965.71

Pandangan golongan Islam terhadap invasi Indonesia ke Timor-Leste, umumnya sejalan dengan wacana anti-komunis yang dikembangkan Orde Baru.

Ini karena golongan Islam tidak terlalu berkepentingan terhadap Timor-Leste yang latar belakang agamanya mayoritas Katolik. Namun opini umum, mengarah pada kelanjutan ide tentang pembasmian kaum komunis di Indonesia selama paruh akhir 1960-an.

71 Bagaimana perseteruan antara Islam dan kaum Komunis, lihat Budiawan. 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsilisasi Pasca Soeharto. Elsam. Jakarta. Hlm. 83-139. Di mana Budiawan memaparkan akar perseteruan secara historis. Bahwa dalam beberapa kasus, terjadi ‘sintesa’ antara Islam dan Komunis, dalam menghadapi kolonialisme Belanda yang ditopang sistem kapitalisme pada tahun 1920-an. Namun juga terjadi perang wacana mengenai ‘Muslim’ sejati, yang apakah bertentangan ataukah sejalan dengan ajaran Komunisme, sampai pada Peristiwa Madiun 1948, ketika kepemimpinan PKI, mulai dikuasai tokoh-tokoh sekuler. Perseteruan berlanjut hingga tahun 1960-an, sehubungan penerapan kebijakan land reform.

39

Pada akhirnya persetujuan golongan Islam terhadap pendudukan militer

Indonesia di Timor-Leste sepanjang tahun 1980-an, selain dibatasi informasi yang dikontrol oleh militer, juga karena kekuatan golongan Islam terlalu disibukkan oleh upaya melepaskan diri dari kontrol Orde Baru, yang mengekang Islam sebagai kekuatan politik. Hal ini karena Suharto yang hidup di antara Islam

Ortodoks yang populer dan semangat kebatinan Jawa, bersama Ali Murtopo yang dianggap anti-Islam;72 selalu mencurigai kekuatan Islam fundamentalis.73

Sehingga Orde Baru mengadopsi kebijakan Pemerintah Kolonial Hindia Belanda, berdasar nasihat seorang orientalis, Snouck Hurgronye, yaitu menekan praktik- praktik Islam yang berbau politik dan mentolerir praktik-praktik Islam kultural.74

Meskipun menjauhkan diri dari isu Timor-Leste, terdapat sejumlah organisasi Islam terlibat dalam penculikan anak-anak Timor-Leste dari komunitas

Katolik dan di-Islam-kan di Indonesia.75 Terutama setelah invasi, ulama Islam diundang oleh tentara Indonesia dari Divisi Brawijaya (Jawa Timur) dan

Siliwangi (Jawa Barat). Pada 18 Juli 1981, organisasi Islam utama, yang

72 M. C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Serambi. Jakarta. Hlm. 563, 587. Ini karena Ali Murtopo mendukung ide perkawinan baru yang mengizinkan wanita Muslim menikah dengan pria non-Muslim dan mengakui pernikahan sipil, yang ditentang golongan Islam. Idem. 73 Ketidaksukaan Suharto terhadap Islam, pada puncaknya memicu Peristiwa Tanjung Priok (12 September 1984). Di mana 28 orang dan mungkin lebih, tewas ditembak militer dalam suatu demonstrasi massa kalangan mesjid menentang pemerintah. Lihat M.C. Ricklefs., Ibid., Hlm. 615. Kebijakan anti Islam juga dijabarkan, dengan fusi partai-partai politik Islam ke dalam partai tunggal, yaitu PPP (Partai Persatuan Pembangunan) sejak 1973, sehingga mudah dikontrol. 74 Lihat catatan kaki Budiawan. Op.Cit., Hlm. 90. 75 George J. Aditjondro. 2000, Op.Cit., Hlm. 134-140.

40

bermarkas di Jakarta, DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) mulai melebarkan sayap ke Timor-Leste, dan mengatur pengiriman anak-anak dari Timor-Leste ke

Makasar, antara akhir dasawarsa 1980-an, dan awal 1990-an. 76 Diikuti pada tahun

1982, Yayasan Kesejahteraan Islam Nasrullah (Yayasan Yakin) didirikan di Dili, yang bersama beberapa yayasan lain seperti Hidayatullah, An-Nur dan Yayasan

Lemorai terlibat dalam pengiriman anak Timor-Leste ke Jawa untuk di-Islam- kan. 77

Berbagai upaya ini, pada tahun 1990-an, intensitasnya mengalami peningkatan, yang memicu isu Islamisasi di Timor-Leste. Alasan di balik ini, didasarkan pada konsep bahwa Katolikisme sama dengan nasionalisme Timor-

Leste, sehingga dengan meng-Islam-kan mereka, termasuk melaksanakan perintah

Tuhan, berdasar misi patriotisme untuk mengubah anak-anak yang diselimuti komunis menjadi warga negara Muslim Indonesia yang baik.78 Gagasan yang dikritik George J. Aditjondro bahwa: 79

Islam telah menjadi kekuatan gerakan pendorong dalam kemerdekaan Palestina, Bosnia, dan Checnya, sangat mengherankan bahwa para pemimpin Islam yang oportunistik ini membutakan matanya dari fakta bahwa agama Katolik juga memiliki fungsi serupa dalam gerakan kemerdekaan di Irlandia Utara, Polandia dan Republik Baltik. Ketidak acuhan terhadap peran revolusioner dalam agama lain ini terungkap dalam bagaimana para pemimpin agama ini berusaha mencemooh gerakan hak asasi manusia universal sebagai “konspirasi Kristen-Barat-Zionis”

76 Terdapat laporan yang mengatakan pengiriman dilaksanakan bekerja sama dengan anggota-anggota Bimbingan Mental dan Rohani militer. Lihat laporan Chega! Op.Cit., Bab 7.8 ‘Pelanggaran Hak Anak’. Hlm. 96. 77 Kelompok terbesar anak-anak Timor-Leste yang dikirimkan berada di Bandung dan Makasar. Idem. 78 George J. Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 140. 79 Ibid., Hlm. 263-264.

41

terhadap apa yang mereka anggap sebagai Negara Indonesia yang pro- Muslim. Dengan kerangka pemikiran ini, peran Portugal dalam mempertahankan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi rakyat Timor- Leste digambarkan sebagai neo-kolonialisme atau neo-imprealisme. Juga dalam kerangka ini, religiositas orang Indonesia yang terlibat dalam gerakan HAM global ini mereka pertanyakan, terutama bila mereka adalah Muslim. Ironisnya, meskipun mereka secara terang-terangan mendukung Palestina, mereka merupakan – atau tidak – tahu bahwa panglima Indonesia dalam invasi ke Timor-Leste Jenderal Benny Murdani, yang kemudian menjadi panglima ABRI, adalah pengagum pasukan elite Israel, Mossad, dan memiliki hubungan dekat dengan angkatan bersenjata Israel….Murdani bahkan melengkapi ABRI dengan senapan mesin Uzi buatan Israel dan 28 pesawat penyerang Skywak bekas milik Israel.

Sementara opini yang berkembang di Indonesia, mengambarkan Islam mengalami diskriminasi selama masa kolonial Portugal, dan baru menemukan kebebasan pada masa integrasi. Ini menutup fakta bahwa imigran Arab di Timor-

Leste, telah menjalin hubungan toleransi yang baik dengan Gereja Katolik pada masa itu. 80

Sementara itu, golongan minoritas Protestan yang bersekutu dengan militer dalam propaganda anti-komunis 1960-an, menyetujui Integrasi Timor

Timur yang dipandang positif bagi perkembangan Kristen di Indonesia. Sejumlah kecil, tentara dan perwira ABRI yang beragama Kristen Protestan, selama pendudukan di Timor-Leste, turut mendorong para penganut Katolik Timor-Leste, untuk beralih ke Gereja Protestan. Demikian juga PGI (Persatuan Gereja

Indonesia) selalu mengatasnamakan Gereja Kristen Protestan Timor-Leste, baik

80 Lihat ‘Islam Makin Berkembang di Timor Timur.’ Merdeka, 25 November 1988. Demikian juga sebuah buku tentang Islam di Timor-Leste, tidak memasukkan para pemimpin Fretilin yang berasal dari komunitas Muslim Arab, seperti Hamis Basarrewan yang biasa dipanggil Hatta (karena pengagum Mohammad Hatta, Wakil Presiden Indonesia yang pertama) [ia meninggal dalam perang melawan ABRI] dan Mari Alkatiri, Perdana Menteri Timor-Leste (2002- 05), dan Sekretaris Jenderal Fretilin hingga sekarang. Lihat Ambarak A. Bazher dan Euis Erinawat. 1995. Islam di Timor Timur. Gema Insani Press. Jakarta.

42

dalam forum nasional maupun internasional.81 Misalnya pada sidang raya Dewan

Gereja-Gereja Asia (DGA), tahun 1985, di Seoul (Korea Selatan), delegasi

Indonesia menentang setiap upaya memasukkan masalah Timor-Leste dalam agenda sidang. 82 Baru pada tahun 1995, Gereja Kristen Timor Timur (GKTT), di bawah kepemimpinan Pendeta Arlindo Marçal, yang merupakan lulusan pertama dari seminari Protestan Indonesia, mengeluarkan GKTT dari PGI, pada pertemuan

Dewan Gereja Dunia dan Konferensi Kristen Asia di Hongkong. 83

C. Penulisan Sejarah

Pengabungan Timor-Leste, membuat buku sejarah Indonesia yang diajarkan di sekolah-sekolah, mulai memasukkan Integrasi Timor Timur sebagai salah satu tema yang dipelajari. Ini membuat sejarah Timor-Leste, yang sekian lama absen dari sejarah nasional Indonesia, ditulis ulang dalam kerangka nasionalisme Indonesia. Untuk itu sebuah buku mengenai Timor-Leste segera disusun setelah pendudukan Indonesia, oleh Sukanto, seorang sejarawan amatir, dengan judul Integrasi: Kebulatan Tekad Rakyat Timor Timur, menandai kehadiran Timor-Leste dalam historiografi Indonesia.84 Penerbitan buku ini

81 George J. Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 264. 82 Lihat ‘Juga Di Seoul, Timor Timur Dipermasalahkan’ Sinar Harapan, 17 Juli 1985. 83 George J. Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 245-247. 84 Soekanto. Op.Cit. Tidak tanggung-tanggung dua tokoh arsitek invasi Indonesia ke Timor-Leste, Yoga Sugomo (Kepala BAKIN) dan Ali Murtopo, dalam kapasitasnya sebagai ketua kehormatan CSIS masing-masing memberikan kata sambutan dan kata pengantar. Buku ini tidak menyediakan catatan bibliografis.

43

terkesan dipaksakan, dan terlalu awal karena terbit pada tanggal 10 November

1976, hanya selang satu tahun setelah invasi Indonesia ke Timor-Leste. Namun menariknya, beberapa hal yang diajukan dalam buku tersebut, menjadi referensi dasar penulisan sejarah Timor-Leste selama 24 tahun pendudukan Orde Baru di

Timor-Leste.85

Empat hal yang layak diperhatikan dari buku ini, yaitu: pertama, landasan historis bahwa Timor-Leste, sejak dulu adalah bagian dari Nusantara yang kembali ke pangkuan ibu pertiwi; kedua, sama sekali tidak disinggung perang ilegal Indonesia di Timor-Leste yang dimotori Orde Baru (militer) dan dampaknya bagi penduduk Timor-Leste; ketiga, upaya melanggengkan Deklarasi

Balibo sebagai dasar penyatuan Timor-Leste dengan Indonesia; dan keempat, mencitrakan Orde Baru dan militer sebagai pihak yang berjasa dalam menangkal komunisme dan Perang Saudara di Timor-Leste serta membangun wilayah itu.

Pandangan-pandangan ini, disokong oleh pemberitaan pers yang menjalin sinergi negatif, karena berita-berita mengenai Timor-Leste, tidak melenceng jauh dari apa yang ditulis Sukanto.86 [Lihat Liputan Pers pada bab III. Bagian ini, khusus mengenai penulisan sejarah Timor-Leste versi Orde Baru].

85 Hingga saat ini buku-buku sejarah Indonesia mengenai Timor-Leste, belum mengalami revisi yang berarti. Seperti Deklarasi Balibo masih dianggap sebagai dasar Integrasi Timor Timur. Lihat G. Moedjanto. 1989. Indonesia Abad ke-20. 2 Dari Perang Kemerdekaan Pertama sampai Pelita III. Kanisius. Yogyakarta. Hlm. 164-167. Buku ini digunakan sebagai salah satu acuan pada pengajaran sejarah di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Juga lihat Anwar Kurnia dan Moh. Suryana. 2007. Sejarah SMP Kelas IX. Yudhistira. Jakarta. 86 Antara edisi 19 – 20 Januari 1978, secara berturut menulis sejarah penyatuan Timor-Leste dengan judul ‘Menengok Kembali Sejarah Integrasi Timor Timur ke Dalam RI: Perjuangan Menuju Kemerdekaan.’

44

Dalam hal ini, sejarah Timor-Leste versi Orde Baru, menurut Henk

Schulte Nordholt, mengunakan pendekatan negara dalam penulisan sejarah, 87 yang memperlihatkan perbedaan mencolok dengan penulisan sejarah Timor-Leste yang independen. Misalnya Sukanto, mencoba mengaitkan sejarah Timor-Leste dengan menarik ’benang merah’ hingga zaman Sriwijaya (abad 7-14) dan zaman

Majapahit (abad13-15); ini secara anakronis dipandang sebagai negara-nasional yang pernah ada di Nusantara, di mana NKRI mewarisi batas-batas geografis dari kedua kerajaan tersebut.88 Sedangkan sejarawan Australia, Geoffrey C. Gunn, yang sama-sama menggunakan sumber Tiongkok, yang ditulis Chau-Ju-Kua

(1225); tidak menyebut Timor-Leste sebagai wilayah bagian Sriwijaya dan hanya menyebut Timor terjalin dalam hubungan perdagangan-perupetian yang luas dengan Tiongkok. Di mana Sriwijaya menjadi bagian dari jalur pengangkutan kayu cendana dari Timor ke kawasan Malaka, sebelum ke Tiongkok dan India.89

Sebagai ahli Timor-Leste, Gunn tidak sependapat bahwa Timor dulunya masuk dalam wilayah kekuasaan kerajaan Hindu, seperti Majapahit di Jawa.

Demikian juga ahli Asia Tenggara asal Inggris, D.G. Hall, menuliskan bahwa bukti pengaruh Majapahit hanya ditemukan di Bali hingga Dompo, dan Lombok,

87 Prof. Henk Schulte Nordholt, dari Universitas Amsterdam, dikutip dalam Asvi Warman Adam. 2007. Op.Cit., Hlm. 87. 88 Soekanto. Op.Cit., Hlm. 16-17. M. R. Siregar menolak pandangan ini, ’yang dimuliakan bukan lagi moral dan tradisi luhur membenci penjajahan dan mencintai kemerdekaan, tetapi ’kebesaran jaman bahari’ dari kemaharajaan Majapahit, yang secara tersurat berarti ’kita jaya di lautan’, tapi secara bersirat berarti ’kita adalah penakluk bangsa-bangsa lain’. Lihat M. R. Siregar. 2007. Tragedi Manusia Dan Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah Nazi. Resist Book. Yogyakarta. Hlm. 498. 89 Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 77.

45

dalam gugusan kepulauan Nusa Tenggara dan tidak menyebut Timor.90 Ini diperkuat pendapat antropolog Amerika, Shepard Forman, yang melakukan penelitian di Timor-Leste bagian timur pada tahun 1973-74, seperti dikutip

Ramos-Horta, bahwa Timor-Leste tidak di bawah pengawasan kerajaan-kerajaan

Jawa/Islam…pengaruh Indo-Jawa dan Islam tidak terlihat, kecuali kemudian setelah kekuasaan Belanda mempengaruhi perkembangan ide, terutama pada bidang politik, ke Timor Barat. Timor-Leste di bawah kekuasaan Portugis tidak terkena pengaruh-pengaruh tersebut. 91

Fakta-fakta tersebut sekaligus membantah mitos yang diciptakan para akademisi Indonesia, bahwa Timor-Leste pernah disatukan dalam satu kerajaan di bawah Wehale yang berkedudukan di Atambua (Timor Barat – Indonesia).

Menurut Gunn harus disikapi secara hati-hati, bahwa gagasan Hindu – Budha dan

Islam tentang negara tersentralisasi tidak dikenal di Timor-Leste.92 Di Timor-

Leste justru berdiri kerajaan-kerajaan kecil (reinos), yang oleh Gubernur Timor-

Leste, de Castro, dalam tulisannya pada tahun 1867, disebut sebagai ’pequenos republicas” atau republik-republik kecil.93

Bagaimanapun, interpretasi ulang atas masa lalu pulau Timor maupun orang-orangnya, lebih jauh mulai mengesampingkan kontak ratusan tahun dengan

Portugal, yang cuma dilihat sebagai penindasan kolonial oleh bangsa Barat. Buku-

90 D. G. Hall. 1970. A History of South-East Asia. St Martin’s Press, Third Edition. New York. Hlm. 85. 91 Jose Ramos-Horta. Op.Cit., Hlm. 27. `92 Geoffrey C. Gunn, Op.Cit., Hlm. 438. 93 Ibid., Hlm. 54.

46

buku yang ditulis para ahli Timor-Leste, nyaris tidak ada yang digunakan sebagai referensi untuk menulis sejarah Timor-Leste. Selain karena jarang sekali sejarawan Indonesia yang bisa menjangkau sumber-sumber mengenai Timor-

Leste yang menggunakan bahasa Portugis; namun hal ini bukan alasan utama karena buku-buku mengenai Timor-Leste, berbahasa Inggris hingga akhir dekade

1980-an, tetap tidak tersedia di Indonesia, yang hampir sebagian besar sangat kritis terhadap invasi Indonesia di Timor-Leste. Termasuk di sini, para sejarawan

Timor-Leste di diaspora,94 yang nama penanya mulai digunakan dalam historiografi mengenai Timor-Leste, sama sekali tidak dikenal di Indonesia.95

Kekosongan ini, memudahkan Orde Baru menulis ulang sejarah Timor-

Leste, meskipun dengan sumber yang sangat minim. Misalnya, buku-buku yang ditulis hanya menyebut sedikit perbedaan antara Timor-Leste sebagai koloni

Portugal, dengan Indonesia sebagai jajahan Belanda, dan menitikberatkan pada persamaan bahwa keduanya dijajah oleh bangsa barat. Namun jika pemimpin perlawanan terhadap Belanda pra-Indonesia, seperti Pangeran Diponegoro, atau

Sultan Hasanudin, 96 diajarkan di sekolah-sekolah sebagai pahlawan nasional, maka pemimpin perlawanan Timor-Leste terhadap Portugal, seperti Dom

94 Kata diaspora berarti masa tercerai-berainya suatu bangsa yang tersebar di berbagai penjuru dunia dan bangsa tersebut tidak memiliki Negara. Lihat Hasan Alwi dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. 95 Di antaranya yang menonjol adalah karya sejarawan Fretilin, Abilio Araújo. 1977. Timor Leste: Os Loricos Voltaram a Cantar: Das Guerras Independentistas a Revolução do Povo Maubere (‘East Timor: The Lorico Sing Again’). Edição do Autor. Lisboa, dan Timorese Elites editor Jill Jollife dan B. Reece. 1975. CIET. Camberra. 96 Selama pendudukan Indonesia, orang-orang Timor-Leste diajarkan untuk menghafal para pahlawan Indonesia. Praktek yang sama telah dijalankan oleh kolonial Portugal jauh sebelumnya.

47

Boaventura, nyaris tidak disebut dalam sejarah Indonesia, yang oleh para nasionalis Timor-Leste awal, setidaknya dipandang sebagai pemula dari proto- nasionalisme Timor-Leste. Perbedaan penting lain, adalah kekuasaan Portugis di

Timor-Leste, terus-menerus menghadapi pemberontakan, sehingga dalam waktu lama, diperintah dalam bentuk pemerintahan protektorat.97 Hal ini membedakannya dari koloni Belanda lainnya, karena sistem produksi lokal berciri komunal di Timor-Leste tetap bertahan; tidak seperti di pulau Jawa yang mengalami penghancuran karena penerapan Sistem Tanam Paksa oleh Belanda.

Timor juga secara unik berhasil mengadu domba Belanda dan Portugal, dalam

Perang Penfui (1749) [dekat Kupang, Timor Barat] yang brutal. Sehingga usai perang, diadakan pembagian pulau Timor oleh kekuasaan Belanda di bagian barat dan Portugis di bagian timur. Hal ini jarang diakui dalam tulisan-tulisan sejarah kolonial, 98 seperti juga dalam sejarah Timor-Leste versi Orde Baru, yang memandang terbaginya pulau Timor-Leste, semata-mata kesalahan yang dipaksakan kolonialisme bangsa Barat. Sementara untuk menyokong pandangan integrasi, pada tahun 1991 diproduksi film Langit Kembali Biru yang mengisahkan seorang gerilyawan Fretilin, akhirnya menyesali kesalahannya menentang integrasi dan menikahi kekasihnya yang pendukung integrasi (UDT).99

Dalam hal ini, Orde Baru melakukan kontrol ketat atas penulisan sejarah, sehingga sangat sulit menulis sejarah Timor-Leste yang otonom, dan bebas dari

97 Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 438 98 John G. Taylor. Op.Cit., Hlm. 19. 99 Pemeran utama film ini, adalah Sonia Dora Carrascalão dan Ryan Hidayat. Lihat J.B. Kristanto. 2005. Katalog Film Indonesia 1926-2005. Nalar. Jakarta.

48

intervensi negara. Sehingga tepat, apa yang ditulis Geoffrey C. Gunn, bahwa sejarah Timor-Leste yang ditulis selama Orde Baru, lebih untuk melayani politik nasional Indonesia, dibandingkan akurasinya: 100

…tulisan-tulisan Indonesia tentang Timor setelah 1975 bahkan lebih mengabaikan sejarah otonom Timor-Leste…sejarah orang Timor, dengan pulau Timor dipandang sebagai kesatuan, yang dikecilkan menjadi salah satu aspek dari perjuangan Indonesia melawan Belanda dan perjuangan – secara anomali – melawan Portugis, sebagai bagian dari sejarah ABRI. Sejarah Timor, dibiaskan melalui prisma ideologi negara Pancasila, meminimalkan peran dan warisan setengah milenium kontak Latin, dan mencerminkan deLatinisasi aktif yang dilaksanakan oleh penguasa sipil dan militer sejak penyerbuan, perlawanan Timor-Leste…hanya ditampilkan sebagai bandit atau golongan separatis.

D. Rangkuman

Bab ini, telah memperlihatkan bagaimana Orde Baru menjalankan peran hegemonik untuk mendapatkan persetujuan publik Indonesia mengenai Integrasi

Timor Timur. Ini dimungkinkan karena tindakan represif maupun hegemoni yang dijalankan Orde Baru, yang berkuasa pasca Gerakan 30 September 1965, sehingga di Indonesia nyaris tidak ada kekuatan oposisi. Hegemoni dijalankan melalui kontrol atas institusi keagamaan maupun melalui lembaga pendidikan, seperti melalui penulisan ulang sejarah Timor-Leste yang banyak diperankan CSIS. Hal ini berefek panjang selama hampir satu dasawarsa, sebagai faktor utama yang menyebabkan publik Indonesia tidak mendapat informasi sebenarnya mengenai masalah Timor-Leste.

100 Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 41.

BAB III

TIMOR-LESTE DALAM LIPUTAN MEDIA INDONESIA

Pada bagian ini, akan dibahas pemberitaan media di Indonesia menjelang invasi ke Timor-Leste 1975 hingga keterbukaan Timor-Leste 1988. Dalam kurun waktu tersebut, media massa terutama surat kabar ikut membangun legitimasi yang mendukung Integrasi Timor-Timur dalam memori rakyat Indonesia,101 sehingga nyaris tidak memperoleh informasi mengenai keadaan Timor-Leste yang sebenarnya.

Kondisi ini, dimungkinkan karena pasca Gerakan 30 September 1965, pada tanggal 12 Desember 1966, penguasa Orde Baru mengeluarkan Undang-Undang

(UU) Pokok Pers, yang mewajibkan penerbitan koran memperoleh Surat Izin

Terbit (SIT), dan diperbaharui pada tahun 1982, digantikan UU No 21/1982, yang subtansinya tidak berubah. Bahwa penerbitan koran harus memiliki SIUPP (Surat

Izin Penerbitan Pers), yang dikendalikan Menteri Penerangan. 102 Undang-Undang ini, mutlak menjabarkan kontrol negara atas pemberitaan pers, sehingga pemerintah dapat membredel setiap surat kabar yang dianggap merugikan pemerintah dan masyarakat.

Di bawah kontrol demikian, peran pers dalam memberitakan masalah

Timor-Leste, tidak lebih sebagai corong propaganda Orde Baru. Adapun

101 Peran yang sama dilakukan hingga referendum 1999, namun pada periode 1990-an, di Indonesia mulai tumbuh gerakan yang mendukung penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste, sehingga relatif terdapat wacana-wacana alternatif sebagai tandingan. 102 Fauzan. Op.Cit., Hlm. 101-102.

49 50

pembahasan berikut, dimulai dengan beberapa tema pokok sehingga deskripsinya lebih bersifat tematis-kronologis.

A. Perang Dingin dan Wacana Anti Komunis

Propaganda yang dilakukan media massa Indonesia, kerapkali menyebarkan informasi yang menyebut Fretilin sebagai marxis/komunis.103

Sehingga mengaburkan peranan Fretilin dalam perjuangan melawan kolonialisme

Portugal dan sistem kapitalisme yang menopangnya. Penyesatan informasi ini, dilakukan menjelang invasi militer Indonesia dan pada tahun-tahun awal sesudahnya masih kerap dilekatkan dengan Fretilin sepanjang dekade 1980-an.

Komunisme adalah isu yang dominan dari suasana Perang Dingin ketika itu, di mana Amerika Serikat yang pada tahun 1974 baru saja kalah dan mundur dari kancah Perang Vietnam menginginkan agar prospek suatu “Kuba” kedua di Asia

Tenggara akan menjadi penghalang bagi jalur kapal selam nuklir melalui Selat

Ombai dan Wetar tidak terjadi. Geoffrey Gunn, menuliskan:104

103 Komunisme tidak mengakar di Timor-Leste, seperti di wilayah Asia Tenggara lainnya yang didukung gerakan komunis internasional. Sebagian besar pemimpin Fretilin adalah didikan Jesuit, sehingga pemahaman mengenai sosialisme bersumber dari ajaran keadilan sosial Gereja Katolik dan tradisi komunitarian di Timor-Leste. Marxisme meskipun berpengaruh, telah diadaptasi dengan situasi Timor-Leste diinspirasi oleh gagasan Amílcar Cabral di Guinea- Bissau. Namun, sebagai front Fretilin juga meliputi aliran sosial demokrat, maupun nasionalisme anti kolonial yang tajam dengan kemandirian ekonomi. Lihat Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 442; wawancara George Aditjondro dengan Ramos Horta ‘Saudara ini komunis?’ Tempo, 15 Juni 1974 dan Chega! Op.Cit., Bagian 3 ’Sejarah Konflik’. Hlm. 29; serta John Taylor. Op.Cit., Hlm. 83- 84. 104 Geoffrey Gunn. Op.Cit. Hlm. 416.

51

Washington bersama Canberra secara konsisten memberi dukungan penghargaan kepada Indonesia atas peranan subordinatnya sebagai polisi regional.

Ini dimulai ketika kebijakan anti-komunis Jakarta, berubah menjadi kekhawatiran. Pengamat politik Michael Leifer, seperti dikutip Bambang Cipto, mengatakan Jakarta mempunyai keprihatinan mendalam tentang ancaman terhadap keamanan Republik, yang mungkin muncul dari perubahan tidak pasti di Timor-

Leste.105 Meskipun kekhawatiran Jakarta, sebenarnya telah ditepis oleh Fretilin yang mengutus Jose Ramos Horta dan Alarico Fernandes ke Jakarta pada bulan

Juni 1974, dan diterima Menteri Luar Negeri Adam Malik, untuk menunjukkan keinginan menjalin hubungan baik dengan Indonesia sebagai negara tetangga.

Pada pertemuan itu, Adam Malik menulis sebuah surat kepada Ramos Horta, yang menganut prinsip-prinsip berikut: 106

I. Kemerdekaan setiap negara merupakan hak segala bangsa, tanpa terkecuali bagi rakyat Timor Timur juga. II. Pemerintah dan rakyat Indonesia tidak berminat menambah atau memperluas wilayah, ataupun menduduki wilayah lain, lebih dari pada konstitusi yang telah ditetapkan. III. Siapa saja yang akan memerintah di Timor di kemudian hari setelahnya kemerdekaannya, dapat diyakinkan bahwa Indonesia akan selalu berusaha untuk tetap mempertahankan hubungan baik, kekeluargaan, dan bekerja sama dalam hal-hal yang menguntungkan kedua negara.

Namun hampir pasti, para jenderal garis keras di Jakarta yang berpengaruh besar pada masa itu, mempunyai agenda yang berbeda, bersamaan dengan

105 Leifer menyebut kehadiran kelompok kiri di Timor-Leste menjadi alasan kekhawatiran Jakarta dan menyebut tidak ada ketamakan teritorial, lihat Bambang Cipto. 2003. Tekanan Amerika Terhadap Indonesia:Kajian Atas Kebijakan Luar Negeri Clinton Terhadap Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Hlm. 42-43. 106 Jose Ramos Horta. Op.Cit., Hlm. 64

52

propaganda anti komunis yang terus dilanggengkan. Hal ini terbilang unik, karena anti komunisme yang terus direproduksi Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaannya pada akhirnya menjadi alasan pembenar atas penyerbuan ke Timor-

Leste. Ketika hal ini berlangsung, kontrol atas ingatan publik di Indonesia telah berlangsung hampir 10 tahun. Media massa dikontrol ketat agar pemberitaan mengenai komunisme ditulis berdasarkan versi resmi Orde Baru. Begitu juga semua tulisan disensor dan buku-buku ditulis ulang, terutama buku pelajaran sekolah hingga produksi film untuk keperluan indoktrinasi. 107 Wacana anti- komunis di bawah Orde Baru mengalami reduksi besar-besaran, di mana komunisme sebagai ideologi diidentikkan sebagai ‘kaum atheis yang kejam’,

‘pengkhianat bangsa’, dan ‘anti Pancasila’.

Sementara itu, propaganda komunis terhadap Fretilin diawali oleh media massa Indonesia, yang melancarkan kampanye destabilisasi di Timor-Leste selama

Operasi Komodo, dengan tujuan menciptakan keadaan yang kacau, yang digunakan untuk intervensi militer.108 Ini diawali dengan penggarapan terhadap sejumlah tokoh politik Timor-Leste dari partai UDT, 109 oleh Opsus dan BAKIN.

107 Produksi film tentang kup komunis yang gagal pada tahun 1965, wajib ditonton oleh anak-sekolah di seluruh Indonesia, termasuk di Timor-Leste yang baru dimasukkan ke wilayah Indonesia sejak 1975. 108 Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 417. Operasi Komodo adalah operasi inteligen rahasia, yang dirancang Jenderal Ali Murtopo, Jenderal Benny Murdani dan Kepala BAKIN, Jenderal Yoga Sugomo. 109 Pemimpin UDT yang jatuh ke dalam persuasi Operasi Komodo, diawali F.X. Lopes da Cruz dan Mousinho, serta belakangan diikuti João Carrascalão. Setelah sebelumnya mereka diundang ke Jakarta, melihat-lihat pembangunan di Indonesia. Lihat John Taylor. 1998. Op.Cit., Hlm. 81, 88-89., dan F.X Lopes da Cruz. 1999. Kesaksian Aku dan Timor Timur. Yayasan Tunas Harapan Timor Lorosae. Jakarta. Hlm. 67.

53

Alhasil, beberapa pemimpin UDT ‘termakan’ isu anti-komunis sehingga memecah belah koalisi Fretilin-UDT yang mengarah kepada prospek kemerdekaan Timor-

Leste [Mengenai partai politik di Timor-Leste, lihat bagian Integrasi Timor-

Timur]. Meskipun langkah yang ditempuh, sebetulnya menyimpang dari platform

UDT sebagai partai nasionalis, maupun pandangan pribadi para pemimpinnya.

Lopes da Cruz, yang selama bertahun-tahun dipekerjakan sebagai diplomat

Indonesia, dalam otobiografinya menuliskan: 110

Kesan saya sejak semula amat buruk mengenai Indonesia, sebagai negara yang amat berambisi menjadi neo-kolonialis. Mereka akan menjajah tanah kami dengan pelbagai argumen historis, geografis, demografis, yang saya anggap cuma omong kosong belaka. Mengundangnya masuk ke Timor Timur dan kemudian menjadikannya majikan politik baru sungguh merupakan pengkhianatan tak terkira terhadap kepentingan seluruh rakyat.

Propaganda gencar media massa Indonesia mengenai ancaman komunisme, merupakan bagian dari perang urat syaraf, untuk menggambarkan kerentanan

Timor-Leste terhadap intervensi asing [baca: komunis]. Cendikiawan Muslim,

Abu Hanifah, pada harian yang dikelola sejumlah wartawan Protestan, Sinar

Harapan, menuliskan bahwa penasehat-penasehat militer bermata sipit dari RRC,

Korea Utara, atau Jepang konon membantu Fretilin.111 Harian Sinar Harapan juga secara mencolok, memuat foto Maria do Çeu Pereira dan suaminya, António

Carvarinho, mahasiswa Timor-Leste dari Lisabon dengan mencap mereka sebagai

110 F.X. Lopes da Cruz. Ibidem., Hlm. 41. 111 Abu Hanifah, ‘Laporan Sepihak tentang Timor Timur oleh Guicciardi kepada DK-PBB’, Sinar Harapan, 19 Maret 1976.

54

Maois dari Portugal.112 Sementara UDT juga tidak luput dari propaganda. Mula- mula digambarkan sebagai fasis, namun pada akhirnya Sinar Harapan, menyebut

Fretilin dan UDT tidak dapat dibedakan. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan diplomat Indonesia, bahwa UDT adalah gerakan sosialis, sehingga Timor-Leste akan dikuasai pemerintahan kiri.113 Sementara itu, Falintil (Forças Armadas de

Libertação Nacional de Timor-Leste, Angkatan Bersenjata Pembebasan Nasional

Timor-Leste) - sayap bersenjata Fretilin, digambarkan sebagai pasukan teroris yang dibentuk kolonial Portugal yang berlaku kriminal dan kejam,114 serta kerap melakukan perampokan terhadap ternak dan makanan penduduk hingga melintasi perbatasan Indonesia.115 Gambaran demikian, dihadirkan melalui seorang Partisan

Pejuang Integrasi [yang tanpa disebutkan namanya],116 ditampilkan sebagai representasi orang Timor-Leste mengisahkan kekejaman Fretilin: 117

Pembunuhan massal, dengan perlakuan di luar batas perikemanusiaan, pemenggalan leher, membunuh anak-anak kecil tak berdosa dengan cara dipegang kaki atau pun tangannya saja kemudian diangkat tinggi-tinggi dan

112 Sam Pardede, ‘Ekstrem Ketemu Ekstrem’, Sinar Harapan, Oktober 1974, Dikutip dari Helen Mary Hill. Op.Cit., Hlm. 82. 113 Lihat John Taylor. 1998. Op.Cit, Hlm. 93-94. 114 Mengutip James T. Siegel, Budiawan, menuliskan analisis tentang bagaimana negara menciptakan para kriminal. Selama Orba istilah komunis digunakan sebagai cara ‘mengkriminalisasi’ bagi yang lain, karena komunis adalah sama dengan kriminal (penjahat). Lihat Budiawan. Op.Cit., Hlm. 15-16. 115 ‘Keadaan Timor Timur Dewasa Ini’, Berita Buana, 25 Maret 1983. 116 Penghilangan nama dalam artikel tersebut, ingin menunjukkan kekejaman Fretilin sebagaimana adanya, dari sudut pandang seorang Partisan [Pasukan yang dibentuk militer Indonesia dengan merekrut pemuda Apodeti, tahun 1974 dan dilatih di Timor Barat]. 117 J. Supardjo, ‘Cerita Seorang Partisan Pejuang Integrasi Timor Timur’, Angkatan Bersenjata, 16 Desember 1977.

55

dibantingkan di depan mata orang tuanya adalah satu cara yang paling sadis yang selalu dilaksanakan oleh Fretilin.

Gambaran pola pembunuhan tersebut, sebenarnya tidak didukung fakta yang memadai, kecuali khas dilakukan oleh militer Indonesia selama pembantaian massal pasca Gerakan 30 September 1965, maupun terhadap rakyat Timor-

Leste.118

Bagaimana pun berita-berita tersebut, adalah cerminan dari situasi

Indonesia yang pro-barat pada era Perang Dingin ketika itu. Walaupun ini coba ditutupi pers dengan memberitakan kepalsuan ciri politik bebas aktif sejak zaman

Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Non-Blok. Demikian juga sengaja tidak diberitakan kunjungan PM Australia, Gough Whitlam (6 September 1975) dan

Presiden AS, Gerald Ford (6 Desember 1975), ke Indonesia untuk memberi restu kepada Suharto, dalam menjalankan skenario pencaplokan Timor-Leste, termasuk dukungan dari sejumlah pimpinan CIA (Central Intelligence Agency).119 Pers juga tidak banyak memberitakan sejumlah pertemuan diplomatik antara Pemerintah

Portugal dan Indonesia, sebagai upaya mencegah terjadinya pertumpahan darah di

Timor-Leste, namun sebaliknya menulis berita-berita yang mendukung skenario pencaplokan. 120 Harian Angkatan Bersenjata menuliskan bahwa andaikata Fretilin

118 Perbandingan pola pembunuhan ABRI, di Indonesia dan Timor-Leste, lihat George Aditjondro. 2000. Op,Cit., Hlm. 83-89. 119 Stanley, ’Nasionalisme Sempit Ubah Media Jadi Corong dan Alat Propaganda’, kata pengantar dalam Hotman Siahaan dkk. 2000. Pers Yang Gamang: Studi Jajak Pendapat Timor Timur. LKIS. Jakarta. Hlm. xxiiii. 120 Idem.

56

itu partai kiri, pasti tidak berakar di kalangan rakyat,121 dan dipertegas tajuk rencana harian Pelita: 122

…secara ideologis, Fretilin tidak mustahil merupakan bagian dari komunis internasional yang selamanya tidak mungkin bersahabat dengan Indonesia sebagai negara non-komunis yang paling konsekuen di wilayah Asia Pasifik ini.

Kebijakan anti-komunis Orde Baru, membuat negara-negara barat mendukung pencaplokan Timor-Leste, dan juga karena alasan-alasan pragmatis, untuk menjalin hubungan ekonomi yang menguntungkan dengan Indonesia.

Setidaknya dukungan konstan yang diberikan, membawa Orde Baru pada pencapaian pertumbuhan ekonomi yang pesat, dan gagal mencegah suatu intervensi militer ke Timor-Leste.

Namun seiring bergulirnya waktu, pada paruh pertama 1980-an, Indonesia mulai dihadapkan pada isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM), yang membuat wacana anti-komunis mulai memudar dan tidak lagi relevan. Lagi pula, PKI telah berhasil dihancurkan. 123 Pada periode ini, Orde Baru dalam mengelola isu Timor-

Leste, mulai mengalihkan ingatan kolektif publik, melalui kontrol atas bahasa dengan menggunakan eufemisme (penghalusan) seperti, ’kelompok anti-

Republik’, maupun disfemisme (pengkasaran) seperti, ’pasukan gerombolan liar’,

’gembong’, dan ’teroris’, hingga pelabelan akronim GPK (Gerakan Pengacau

121 Mohamad Irsyad Sudiro, ’(Catatan dan Kesan dari Timor Timur (IV – Habis): Bagaimana Yang Paling Baik’, Angkatan Bersenjata, 27 Januari 1975. 122 ‘Sikap Pemerintah Australia’, Pelita, 29 Juli 1983. 123 Akan tetapi reproduksi atas wacana anti-komunis dengan apa yang disebut bahaya laten komunis, acapkali masih digunakan untuk menyerang mereka yang dianggap sebagai musuh negara.

57

Keamanan) kepada semua yang berhubungan dengan Fretilin. Secara implisit, perubahan ini menandai ketidak relevansian dogma penting, bahwa Indonesia mencaplok Timor-Leste untuk menahan menyebarnya paham komunisme.

B. Propaganda Perang Saudara dan Inflitrasi Militer Indonesia

Operasi Komodo yang dilancarkan militer Indonesia, berujung pada Perang

Sipil di Timor-Leste. Dimulai oleh kup UDT 11 Agustus, dan dibalas kontra kup

Fretilin yang berlangsung singkat namun berdarah. 124 Pers Indonesia memberitakannya sebagai perang saudara dengan dampak kekacauan yang luas dan berlarut-larut. Sebenarnya, situasi Timor-Leste tidaklah seburuk itu. Jumlah korban dari kalangan sipil dan militer, menurut Gunn, mengutip koran Portugis

Diário de Noticias, dilaporkan lebih dari 2000 korban meninggal, namun lebih jauh ia mengatakan angka yang sebenarnya kurang dari itu. 125 Selama perang sipil,

Fretilin dengan dukungan orang-orang Timor-Leste yang tergabung dalam

Angkatan Bersenjata Portugal (Tropaz), mendapat kemenangan. Sedangkan UDT yang kalah dan terjebak di perbatasan, memperoleh izin masuk ke wilayah

Indonesia dan melanjutkan Movimento Anti Comunista Revolucinário (MACR,

Gerakan Revolusi Anti Komunis), dikoordinir F.X. Lopes da Cruz, yang pembentukannya diumumkan di Dili pada hari-hari setelah kup UDT. 126

Sementara Pemerintah kolonial Portugal setelah gagal mencegah perang sipil, menyingkir ke Ataúro, pulau kecil 25 km seberang laut kota Dili, sehingga praktis

124 Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 417-418. 125 Idem. 126 Helen Mary Hill. Op.Cit., Hlm. 183.

58

Fretilin mengendalikan situasi dan secara de facto menjalankan roda pemerintahan di Timor-Leste.

Namun harian Angkatan Bersenjata, memberitakan perang masih berlangsung di dekat perbatasan Indonesia, dan Timor-Leste sangat kacau sebagai daerah tak bertuan yang berlaku hukum rimba.127 Padahal perang sebenarnya, adalah menghadapi Operasi Komodo yang dilancarkan militer Indonesia, sejak bulan Oktober dan November 1975. Dalam serangan ke Balibo, 16 Oktober, militer Indonesia membunuh 5 wartawan asing media eletronik sebagai upaya menghilangkan saksi mata penyerbuan besar-besaran yang difilmkan. 128

Pembunuhan itu, membuat juru bicara Orde Baru, mulai dari Menlu Adam Malik sampai Menlu Ali Alatas menyebarkan kebohongan, bahwa ke-5 wartawan itu tewas ditengah-tengah tembak menembak antara pasukan Fretilin dan pasukan gabungan. 129 Harian Angkatan Bersenjata menuduh Fretilin-lah yang harus bertanggung jawab, karena sebagai pihak pengundang seharusnya dapat menjamin

127 Mohamad Irsyad Sudiro, ‘Catatan dan Kesan dari Timor Timur: de Facto di Tangan Siapa’, Angkatan Bersenjata, 20 November 1975. 128 Ke-5 wartawan itu antara lain, Greg Shackleton dan Tony Stewart (Australia), Gary Cunningham (Aotearoa/Selandia Baru), serta Malcom Rennie dan Brian Peters (Britania Raya). Pembunuhan itu terjadi di bawah komando Mayor Yunus Yosfiah dan sampai sekarang belum mendapatkan penjelasan yang memuaskan. Demikian juga wartawan Australia yang tersisa, Roger East dibunuh pada hari invasi ke Dili, 7 Desember 1975. 129 George Aditjondro. ‘Balibo I dan Balibo II: Dua Kebohongan Sebagai Alat Legitimasi Aneksasi Timor Lorosa’e Oleh Rezim Orde Baru’ kata pengantar dalam James Dunn. 1995. Insiden Balibo 1975 Terbunuhnya Lima Wartawan Itu. Fortilos dan Isai. Jakarta. Hlm.7. Kematian wartawan tersebut, selama bertahun- tahun didiamkan Pemerintah Australia, maupun Aotearoa/Selandia Baru dan Inggris, dengan pertimbangan hubungan ekonomi dengan Indonesia dianggap lebih penting.

59

keamanan para wartawan tersebut.130 Belakangan José Martins, salah seorang deklarator integrasi, membelot dan membeberkan pembunuhan para wartawan tersebut setelah berhasil ke luar negeri, membuat pers Indonesia menulis berita yang membela ABRI, dengan menampilkan para tokoh integrasi Timor-Leste sebagai sumber berita. Harian ABRI [sekarang TNI], Berita Yudha menuliskan: 131

Dalam laporannya, Panglima Tómas Gonçalves menyatakan, ketika pertempuran merebut Balibo berlangsung, suatu serangan gencar datang dari sebuah rumah. Pasukan gabungan melakukan pembalasan dengan tembakan2 senjata berat, sehingga rumah tsb mengalami kerusakan hebat. Ketika pasukan gabungan memeriksa rumah tsb. Ternyata para penyerang semuanya tewas dan terdapat 15 mayat di dalamnya. Di antara mereka terdapat orang kulit putih yang berada di dalam rumah tsb.

Berita-berita tersebut, memungkinkan peningkatan intensitas serangan

ABRI ke Timor-Leste, yang mendapat perlawanan sengit Fretilin.132 Sehingga baru berhasil merebut Atabae, kota kecil sekitar 20 km dari perbatasan Indonesia pada 25 November 1975, yang diliput sebagai kelanjutan dari perang saudara.

Sedangkan operasi yang sebenarnya, tidak diberitakan sebagai satu rangkaian dari langkah sistematis persiapan militer, yang mendahului pelaksanaan operasi besar- besaran untuk mengintegrasikan Timor-Leste lewat Operasi Seroja.133 Dalam hal

130 ‘Catatan dan Kesan dari Timor Timur (ii) ‘De Facto di Tangan Siapa’, Angkatan Bersenjata, 26 November 1975. 131 ’Jose Martins Pembohong Besar’, Berita Yudha, 6 Mei 1976. 132 Serangan dilakukan dengan tembakan artileri, dan pemboman dari laut dan udara. Sebuah laporan harian CIA, The National Intellience Daily, melaporkan bahwa pada tanggal 20 Oktober, serangan Indonesia terhenti karena Jakarta gagal menguasai kota perbatasan Lebos. Lihat Chega! Op.Cit., Bagian 3, ’Sejarah Konflik’. Hlm. 52-53. 133 Stanley, kata pengantar dalam Hotman Siahaan dkk, Op.Cit., Hlm. xxi.

60

ini, wartawan tidak diberi keleluasaan melakukan tugas jurnalistik, kecuali yang bekerjasama dengan militer yaitu, LKBN Antara, TVRI, dan Berita Yudha, yang ikut dipersenjatai dan menyusup ke perbatasan wilayah Timor-Leste dengan kesatuan-kesatuan kecil yang dibentuk ABRI.134 Wartawan-wartawan ini, menjadi sumber berita dan sering dikutip media-media di Indonesia, yang tidak mempunyai akses ke Timor-Leste, sehingga berita-berita yang ditulis hampir selalu menguntungkan operasi militer Indonesia.

Ini terlihat dari disinformasi dengan memberitakan serangan mortir ke wilayah Indonesia. Harian Kompas yang dikelola sejumlah wartawan Katolik, mengutip Kapuspen ABRI, Brigjen Ramhadi, memberitakan tujuh penduduk

Indonesia tewas karena serangan tersebut, dan menimbulkan reaksi keras di

Indonesia. Presiden Suharto pun memerintahkan agar pasukan RI di perbatasan diperkuat, dan Jenderal M. Panggabean di depan pers menyatakan: 135

Sikap kita adalah siapa yang melanggar perbatasan dan menyerang akan kita pukul sampai habis.

Kemudian diikuti Menteri Luar Negeri Adam Malik, yang menanggapinya sebagai provokasi Fretilin: 136

134 Kelompok wartawan ultra-nasionalis, antara lain: Junisaf Anwar (LKBN Antara), Hendro Subroto dan Maraden Tampubolon (TVRI) serta Djumaryo (Berita Yudha). Ibid., Hlm. xx. 135 John Taylor. 1998. Op.Cit. Hlm. 107. Juga lihat ‘Presiden Perintahkan Perkuat Pasukan di Perbatasan Timor Portugis’. Kompas, 27 September 1975. 136 ‘RI Tak Keberatan Timor Portugis Merdeka’, Sinar Harapan, 13 Juli 1975.

61

…hanya provokasi agar kita membalas dan kemudian Fretilin akan menggunakan alasan itu sebagai propaganda kepada dunia. Kita tahu itu, tapi kesabaran kita punya batas.

Lebih dari itu, John Taylor mengutip Antara, menyebutkan Fraksi ABRI juga marah, bahwa hal ini menunjukkan betapa terhormatnya UDT dan Apodeti, karena masih bertahan dalam kancah peperangan dan tidak bertindak di luar batas kemanusiaan. Sedangkan KNPI (Komite Nasional Pemuda Indonesia) mengatakan: 137

…anggotanya siap dan menunggu perintah presiden untuk membantu masalah di perbatasan dengan Timor Portugis…

Dalam hal ini, hampir semua berita yang diturunkan pers Indonesia, nyaris tidak mempunyai pembanding, setelah pembunuhan wartawan asing di Timor-

Leste. Mantan diplomat Australia di Dili, James Dunn menuliskan: 138

. ..laporan-laporan pers Indonesia berhasil mendapat kredibilitas, sesuatu yang sebenarnya bukan hak mereka. Kehadiran media Australia di Timor sangat sedikit dan lemah. Sementara laporan-laporan Antara, menjadi saluran berita utama, yang biasanya diterima begitu saja. Laporan-laporan itu terbukti dibuat tidak hanya untuk menciptakan kesan bahwa Timor Timur berada dalam keadaan kacau-balau dengan terus bergolaknya perang saudara, tetapi bahwa keadaan ini mendatangkan tekanan yang menyusahkan kepada Indonesia.

Akibat lebih jauh, menurut John Taylor informasi yang bias juga diperoleh masyarakat dunia, karena pers asing banyak mengutip media Indonesia: 139

137 John Taylor. 1998. Loc. Cit., Hlm. 107. 138 James Dunn. 1995. Op.Cit., Hlm. 7. 139 John Taylor. Loc.Cit., Hlm. 107-108.

62

Dengan semangat nasionalisme yang dibangkitkan BAKIN, ditambah dengan kesetiaan agen pers dalam menyiarkan berita, bagaimana mungkin meragukan kebenaran adanya ‘tindakan teroris’ (pernyataan DPR)? Konsekuensinya, pers asing pun memberitakan hal yang sama, yaitu terjadi penyerbuan Fretilin di daerah perbatasan yang sesungguhnya tidak pernah terjadi.

Berita-berita tersebut, sejalan dengan agenda yang direncanakan Jakarta, yaitu melegitimasi suatu intervensi militer. Di mana beberapa juru bicara pemerintah, secara tegas mulai menggunakan retorika bahwa Indonesia mempunyai kewajiban moral di Timor-Leste. Sebelas tahun kemudian, retorika yang sama digunakan Menteri Luar Negeri Mochtar Kusumaatmadja: 140

Indonesia menghadapi dilema, masuk dianggap agresi, tapi diam berarti kita menonton saja. Padahal di Timor Timur kala itu orang saling membunuh.

C. Integrasi Timor-Timur

Integrasi Timor-Timur didasarkan pada Deklarasi Balibo, yang ditandatangani oleh 4 partai politik di Timor-Leste, yaitu Apodeti, UDT, KOTA dan Trabalhista di Balibo, kota kecil dekat perbatasan Indonesia.141 Selama 24

140 ‘Mochtar Bantah Laporan Kantor Berita Asing’, Merdeka, 2 Agustus 1984. 141 Pasca Revolusi Bunga (Revolução dos Cravos) di Portugal 1974, yang diikuti kebijakan dekolonisasi mendorong munculnya partai politik di Timor- Leste. Partai terbesar adalah Fretilin, disusul UDT [União Democrática Timorense – Uni Demokrasi Timor, (merdeka di bawah federasi Portugal)] dan lebih kecil lagi adalah Apodeti [Associação Popular Democrática de Timor – Persatuan Rakyat Demokratik Timor (integrasi dengan otonomi di bawah RI)]. Dua partai lain, yaitu KOTA (Klibur Oan Timor Aswa’in – Kelompok Ksatria Timor)] dan Trabalhista (Partai Buruh) tidak mempunyai dukungan yang berarti. Sedangkan ADITLA (Associação Democrática para a Integração de Timor-Leste na Austrália – Persatuan Demokratik untuk Integrasi Timor-Leste dengan Australia), bubar setelah ditolak Australia.

63

tahun, legitimasi ini dibangun media massa dengan tidak memberi ruang bagi pandangan atau pun fakta yang berbeda, karena dianggap dapat mendelegitimasi keabsahan proses integrasi tersebut.

Sehingga fakta bahwa Opsus dan BAKIN berperan menyusun teks

Deklarasi Balibo,142 yang disusun secara mendadak setelah proklamasi unilateral

Fretilin, 28 November 1975,143 terus ditutup-tutupi. Indonesia sendiri, mengecam proklamasi unilateral Fretilin, bahkan sebelum akhir tahun 1974, Indonesia telah mengubah pandangannya mengenai hak penentuan nasib sendiri, bahwa hanya ada satu hasil yang dapat diterima. Laporan Chega! mengutip pernyataan Menlu Adam

Malik, bahwa: 144

…rakyat Timor hanya mempunyai dua pilihan: “tetap di bawah Portugis atau bergabung dengan Indonesia”...bahwa pilihan dengan Portugal tidak mungkin karena pilihan itu ”selain menambah beban Portugal juga akan merupakan bentuk baru kolonialisme”, dan menyatakan, bahwa

142 Akihisa Matsuno, profesor bahasa Indonesia di Universitas Bahasa- Bahasa Asing, di Osaka, Jepang ketika menyelidiki teks deklarasi tersebut, lucunya menemukan 10 teks Deklarasi Balibo yang serupa tapi tidak sama. 2 teks dalam bahasa Portugis, 5 teks dalam bahasa Inggris, dan 3 teks dalam bahasa Indonesia. Lihat Aditjondro, kata pengantar dalam James Dunn. 1995. Op.Cit., Hlm. 8-9. 143 Proklamasi Fretilin ditempuh karena pertimbangan militer, bahwa tentara di front, ingin bertempur membela tanah air yang merdeka, dari pada sebuah koloni Portugal; pertimbangan ekonomi dan diplomatik, karena 25 negara akan memberikan pengakuan langsung, setelah kunjungan Mari Alkatiri ke Afrika. Selain itu, Mozambik mencapai kemerdekaan dengan cara yang sama. Sementara Presiden pertama Fretilin, Fransisco Xavier do Amaral mengatakan: ’bahwa kekosongan politik...akan memberikan dalih bagi Indonesia, untuk melancarkan invasi besar-besaran...’ Lihat Helen Mary Hill. 2000. Op. Cit., Hlm. 198, dan Chega! Op.Cit., Bagian 3 ’Sejarah Konflik’. Hlm.54. 144 Dikutip dari Antara oleh laporan Chega! Op.Cit., Bagian 7 ’Hak Penentuan Nasib Sendiri’, Hlm. 18. Laporan ini juga menyimpulkan bahwa alasan ekonomi dan keterbelakangan tidak sah untuk menolak hak penentuan nasib sendiri. Ibid., Hlm. 24.

64

kemerdekaan akan “tidak realistis” karena “keterbelakangan dan kelemahan ekonomi penduduknya.

Demikian juga, ketika Portugal tidak mengakui Proklamasi Fretilin, sama halnya dengan Deklarasi Balibo, pers Indonesia memberitakan dukungan Portugal kepada Fretilin.145 Sementara Deklarasi Balibo tidak dilihat sebagai bukti keterlibatan militer Indonesia yang tidak mendapat dukungan rakyat, mengingat

Apodeti, partai pendukung integrasi hanyalah minoritas. Sebaliknya, logika yang dibangun media, umumnya berpendapat bahwa petisi integrasi dari gabungan ke-4 partai mewakili suara mayoritas,146 dan tidak menyinggung referendum sebagai cara yang paling demokratis.147 Ironinya ketika beberapa dari deklarator integrasi menarik tanda tangan mereka, dan membeberkan rekayasa militer Indonesia dalam proses kelahiran Deklarasi Balibo, mulai dari ancaman senjata, tempat penandatanganan yang dilakukan di Bali, hingga pembacaan deklarasi dihadapan

Menlu Adam Malik di Atambua, dan sekali lagi bukan di Balibo, tidak diberitakan pers Indonesia.148

145 Tempo, 6 Desember 1975. 146 Lihat tajuk rencana ‘MPR Timor Timur’, Angkatan Bersenjata, 6 Mei 1976. Ini kontradiktif dengan fakta bahwa Fretilin adalah partai paling populer dengan dukungan mayoritas rakyat. Pada pemilihan lokal di Lospalos (Maret 1975), menggabungkan cara tradisional dengan asas satu orang satu suara, 90% liurai (raja) baru yang terpilih, adalah anggota dan pendukung Fretilin. Lihat Helen Mary Hill. 2000. Op.Cit., Hlm. 125. 147 Ke-3 partai besar di Timor-Leste, menyetujui referendum, bahkan setelah Fretilin menguasai Dili (November 1975), referendum masih dibicarakan sebagai instrumen untuk mengungkapkan keinginan mayoritas rakyat. Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 3. 148 Orang pertama yang menarik tanda tangannya adalah José Martins, ketua partai KOTA awal 1980-an. Setelah hijrah ke Portugal, ia membeberkan latar belakang integrasi di PBB. Disusul Sekjen UDT, Domingos de Oliveira yang

65

Deklarasi tersebut banyak mendapat kritik. Misalnya Fernando Araújo, yang ketika itu sekjen Renetil (Resistênçia Nacional dos Estudantes de Timor-

Leste, Resistensi Nasional Mahasiswa Timor-Leste), dalam pleidoinya di depan

Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, awal 1990-an mengatakan: 149

Proklamasi Balibo tidak mempunyai kekuatan hukum karena: 1. Mereka yang menandatangani berstatus pengungsi. 2. Mengenai tempat Balibo sangat diragukan karena pada bulan dan tanggal tersebut seluruh wilayah Timor Timur termasuk Balibo dikuasai pasukan Fretilin. 3. Deklarasi tersebut tidak mencerminkan aspirasi rakyat karena rakyat tidak berkehendak berintegrasi. Fakta ini dapat dilihat pada saat rakyat memberi dukungan kepada partai-partai pada saat partai-partai itu berkampanye, partai yang hendak bergabung dengan Indonesia hanya mendapat enam persen dari suara rakyat. 4. Tandatangan tersebut tidak dilakukan di ibukota yang merupakan pusat dari segala aktivitas politik dan lain-lainnya. 5. Deklarasi tersebut ditandatangani dua hari setelah Fretilin bersama rakyat memproklamasikan kemerdekaan di ibukota Timor Timur. 6. Deklarasi tersebut sangat dan amat menyimpang dari partai-partai yang mereka (yang menandatangani) bawahi. Kalaupun benar dengan ikhlas menandatangani dokumen maka mereka itu telah mengkhianati rakyat Timor Timur karena deklarasi tersebut tidak sesuai dengan aspirasi rakyat dan mereka bertindak atas nama sendiri, tidak mewakili rakyat.

Selain itu, Araújo juga menambahkan: 150

hijrah ke Australia, dan Guilherme Maria Gonçalves, bekas ketua Apodeti dan Gubernur kedua Indonesia (1978-82) di Timor-Leste, tahun 1995 di Austria, pada perundingan antar orang Timor-Leste (AIETD, All Inclusive Intra East Timorese Dialogue). Lihat George J. Aditjondro. 2000. Ibid., Hlm. 9-10. Deklarasi ditandatangani di Hotel/Bungalow Peeneda View di Pantai Sanur, Denpasar (Bali), yang berada di bawah Tri Hasta Group, dan dipimpin Ir. Wisnoentoro Martoekoesomo. Menurut João Carrascalão adalah milik Opsus, di bawah supervisi Mayor Aloysius Sugianto. Lihat Aditjondro, kata pengantar dalam James Dunn. 1995. Op.Cit., Hlm. 6-8. 149 Lihat Aditjondro, kata pengantar dalam James Dunn. Op.Cit., Hlm. 10- 11. Fernando Araújo, dipenjara karena mengorganisir protes atas Peristiwa Santa Cruz 1991. Sejak tahun 2007, Araújo menjabat ketua parlemen Timor-Leste. 150 Idem.

66

Bukti lain bahwa deklarasi Balibo itu tidak sesuai dengan aspirasi rakyat dapat dilihat pada fakta 200 ribu lebih rakyat telah menyerahkan nyawanya untuk mempertahankan tanah airnya dari ambisi teritorial Indonesia, beribu- ribu orang harus pergi meninggalkan tanah tumpah darah mereka dan hidup mendekam di penjara, karena usaha mereka untuk membebaskan tanah air mereka.

Ini sangat kontras dengan berita-berita media yang terus mengsakralkan dan melakukan reproduksi atas Deklarasi Balibo, termasuk artikel-artikel yang ditulis para akademisi maupun intelektual Indonesia, hingga Timor-Leste lepas tahun 1999.151 Beberapa argumen yang dikemukakan antara lain menyebutkan: pertama, integrasi dilihat sebagai kemerdekaan yang diraih rakyat Timor dari kolonialisme Portugal, sehingga pandangan orang Timor-Leste yang menolak integrasi dan memandang pendudukan Indonesia sebagai neo-kolonialisme, atau pandangan bahwa masalah Timor-Leste adalah proses dekolonisasi yang tidak tuntas dianggap tidaklah relevan; kedua, Integrasi Timor Timur hanya dimungkinkan karena bangsa Indonesia memahami aspirasi rakyat Timor-Leste.

Pandangan ini, mengacu pada sejarah Indonesia sebagai negara anti-kolonial seperti tercantum pada pembukaan UUD 1945, maupun falsafah Pancasila yang sepenuhnya telah didasarkan pada tafsiran Orde Baru; 152 ketiga, pandangan bahwa partai politik sebagai cerminan aspirasi rakyat Timor-Leste adalah suatu gejala yang baru, 153 sehingga pemilihan hanya bisa dilakukan secara tradisional, melalui liurai (Raja) Timor-Leste sebagai wakil rakyat dan bukan melalui referendum atas

151 Idem. 152 ‘Mau Apa Dengan Timor Timur’, Berita Yudha, 28 Januari 1976. 153 ‘Catatan dan Kesan Dari Timor Timur III, de Facto di Tangan Siapa’, Angkatan Bersenjata, 26 November 1975.

67

dasar satu orang satu suara, kecuali di dua kota besar, Dili dan Baucau. Argumen ini didasarkan pada sidang MPR Timor Timur yang dipersiapkan militer dan anggotanya ditunjuk, termasuk 7 orang liurai Timor-Leste, untuk mengajukan petisi pengabungan separoh wilayah pulau Timor itu dengan Indonesia.154 Namun menurut Aditjondro, argumen tersebut tidak mempunyai legitimasi yang kuat, karena liurai yang mengajukan petisi, kurang dari jumlah liurai yang mencapai 35 orang (hanya 20%) pada masa sebelum perang. 155 Lagi pula, pamornya telah menurun dibandingkan ledakan massa yang mendukung partai-partai politik yang memperlihatkan peran penting di Timor-Leste, pasca Revolusi Bunga Portugal.

Namun Indonesia, segera tidak mengakui partai-partai asli di Timor-Leste, meskipun pemerintahan sementara yang dibentuk sebagian besar berasal dari partai Apodeti dan UDT, serta memperkenalkan 3 partai politik di Indonesia, yaitu

PPP (Partai Persatuan Pembangunan), Golkar (Golongan Karya) dan PDI (Partai

Demokrasi Indonesia) melalui pemilu tahun 1977. Di mana rakyat diintimidasi dan hasil suara dimanipulasi untuk memenangkan Golkar, yang dipropagandakan bahwa rakyat Timor-Leste mendukung integrasi melalui pilihan tersebut. Namun kenyataannya partai-partai itu, tidak mewakili siapa-siapa, seperti ditulis

Aditjondro: 156

154 Sidang dimulai pada 31 Mei 1976, dan disahkan dengan UU No 7 tahun 1976 oleh Presiden Suharto, pada 17 Juli 1976. Tanggal ini, di Timor-Leste selanjutnya rutin dirayakan sebagai hari Integrasi, dan disakralkan sebagaimana Proklamasi 17 Agustus di Indonesia. Pada perayaan ke-10, tahun 1986, dirayakan secara besar-besaran di Dili dan Jakarta. Lihat Kompas, 27 Juli 1986. 155 George Aditjondro. 2000. Ibid., Hlm. 5. 156 Ibid., Hlm. 6. Timor-Leste tetap mengalami Pemilu Indonesia pada tahun 1997 dan 1999.

68

Bilamana sistem referendum ”satu orang satu suara” tidak bisa dilaksanakan dengan kondisi sosial seperti Timor Lorosa’e...bagaimana mungkin dengan pemilu yang juga sama-sama ”satu orang satu suara”, dilaksanakan di Timor Lorosa’e pada 1977, 1982, 1987 dan 1992? Apakah Hasil keempat pemilihan umum itu valid? Bila ya, seharusnya rakyat Timor Lorosa’e telah siap untuk sebuah referendum sejak 1977. Dan bila tidak, kemenangan Golkar selama 4 pemilu tersebut sebenarnya tidak sah.

D. Pendudukan dan Perang Yang Disembunyikan

Seiring penyebutan Integrasi Timor Timur terhadap pendudukan militer

Indonesia di Timor-Leste, hampir tak ada media yang menulis mengenai invasi militer oleh pasukan resmi Indonesia, mulai dari perbatasan Timor-Leste (Operasi

Komodo [Inteligen] dan Operasi Flamboyan), hingga invasi dalam skala penuh ke

Dili (Operasi Seroja).

Berita pers menyebut Indonesia tidak mempunyai keinginan ekspansionis,157 dan menciptakan kebohongan lain bahwa penyatuan Timor-Leste ke dalam wilayah Indonesia, melalui proses yang damai, oleh pasukan gabungan dari keempat partai di Timor-Leste. Sebagai operasi rahasia, militer Indonesia menghapus tanda pengenal, untuk memberi kesan suatu pasukan gabungan dibantu sejumlah sukarelawan Indonesia,158 dengan tujuan menyangkal keterlibatan ABRI.

157 ‘Masalah Timor Portugis’, tajuk rencana Suara Karya, 3 Maret 1975. 158 Menlu Adam Malik mengatakan sukarelawan memberi bantuan teknis kesehatan dan pendidikan, seperti dalam perang Korea dan Vietnam yang tidak bisa disalahkan. Mereka dapat memperoleh senjata dari berbagai pihak, maka kehadiran mereka di Timor-Leste sangat tergantung dari kebutuhan Apodeti. Lihat Kompas, 2 Juli 1976, dan Merdeka, 12 Desember 1975.

69

Termasuk penggunaan senjata AK-47, yang dimaksudkan menghindari keterlibatan penyalur senjata utama ABRI, khususnya Amerika Serikat.159

Setelah invasi, di Timor-Leste diberlakukan politik isolasi. Sehingga hampir semua kunjungan dari luar dikontrol ketat, untuk meminimkan informasi mengenai perang di Timor-Leste ke dunia luar, atau dengan kata lain perang di

Timor-Leste adalah suatu perang rahasia. Ini membuat opini publik di Indonesia umumnya beranggapan bahwa Timor-Leste telah tertaklukan, dan Fretilin telah dikalahkan. Hampir tidak ada yang mengetahui bahwa kehadiran ABRI, hanya berhasil melakukan kontrol terhadap penduduk sipil, namun gagal menghentikan perlawanan. Sedangkan apa yang dianggap memalukan [bagi Orde Baru] sengaja tidak diberitakan. Seperti publikasi mengenai militer Indonesia Indonesia yang tewas di Timor-Leste, maupun anggaran perang yang tidak sedikit jumlahnya.160

Pers memberitakan invasi ke Dili, 7 Desember 1975, sebagai suatu operasi yang berhasil, dan kontras dengan kenyataan sesungguhnya. Militer Indonesia, menurut John Taylor, walaupun unggul dari segi persenjataan dan jumlah, akan tetapi logistik mereka sangat buruk, ditambah latihan perang yang tidak memadai serta peralatan yang tidak efisien. Demikian juga bayaran dalam dinas ketentaraan sangat sedikit, sedangkan korupsi para perwira berlangsung di depan mata, sehingga terjadi demoralisasi cepat di antara pasukan Indonesia dalam dinas ketentaraan. 161 Dari strategi militer, tidak ada data inteligen yang akurat membuat

159 Senjata AK-47 dipesan khusus untuk penyerbuan ke Timor-Leste. Lihat Chega! Op.Cit., Bagian 4 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 21. 160 Lebih jauh, lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 157-178. 161 John Taylor. 1998. Op.Cit., Hlm. 126.

70

para penerjun payung diturunkan di atas Fretilin sehingga menjadi sasaran tembak, hingga friendly fire di antara sesama tentara Indonesia.162 Seorang jurnalis

Australia yang dikutip Gunn, menyebutnya sebagai salah satu operasi pasukan payung terbesar setelah Perang Dunia II – sangat kacau, 163 dan belakangan diakui

Jenderal Benny Murdani: 164

Pasukan (kami) tidak menerapkan disiplin, mereka saling menembak satu sama lain. Ini memalukan...Dari perspektif militer kami tidak merasa bangga akan operasi militer tersebut.

Sementara kisah-kisah tragis seperti, eksekusi massal atas penduduk Dili, pemerkosaan dan perampokan oleh militer Indonesia dengan cara-cara primitif, tidak diberitakan pers. Demikian juga tidak ada berita mengenai perlawanan gigih dari pasukan Falintil165 serta antisipasi Fretilin yang bersama sebagian penduduk

Dili telah mundur ke wilayah pedalaman. Kekacauan dari penyerbuan ini, diawali kepongahan para jenderal Indonesia dengan ungkapan, sarapan di Dili, makan siang di Baucau dan makan malam di Los Palos,166 yang berarti semua akan

162 Hendro Subroto. 2005. Operasi Udara di Timor Timur. Sinar Harapan. Jakarta. Hlm.16-152. 163 Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 444. 164 Lihat laporan Chega! Op.Cit., Bagian 3 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 66. Demikian juga lihat Julius Pour. 1993. Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan. Yayasan Panglima Besar Sudirman. Jakarta. 165 Berdasar pengalaman operasi militer di Indonesia, strategi ABRI melancarkan serangan besar-besaran dengan maksud membuat Fretilin lari meninggalkan pertahanan, seperti pada operasi militer menumpas pemberontakan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia), di Padang dan Pekanbaru. Skenario ini, tidak terjadi di Dili. Menurut Hendro Subroto, meskipun Fretilin cuma mengandalkan senjata ringan, mampu memberi perlawanan yang gigih. Lihat Hendro Subroto. Op.Cit., Hlm.135. 166 Ini berarti menaklukan Timor-Leste, dari Dili menyusur kota paling timur, Los Palos dalam waktu singkat.

71

selesai dalam waktu 24 jam. Nyatanya perang berlanjut selama 24 tahun, dan mengorbitkan para jenderal Indonesia.

Namun mulai dari invasi ke Dili hingga masa pengepungan dan penghancuran (Operasi Seroja, Tahap Akhir, 1977-79), maupun operasi-operasi sesudahnya semua tertutup bagi pers, yang sibuk mengambarkan keberhasilan

ABRI, dan menciptakan wacana negatif mengenai ’takluk’ dan sadarnya ’orang gunung’.167 Sehingga berita seperti kematian Presiden Fretilin, Nicolao Lobato, diekspos luas oleh pers Indonesia.168 Bahkan harian Kompas dan Sinar Harapan, menuliskan kematian Lobato secara ironis sebagai ‘hadiah’ tahun baru bagi rakyat

Timor-Leste.169 Berita ini, memunculkan optimisme Presiden Suharto: 170

Saya yakin dengan operasi2 yang berhasil gemilang itu masalah keamanan di Timtim segera selesai dan usaha pembangunan di daerah tsb. yang sekarang telah kita mulai akan terus dapat sehat lagi. Saya ucapkan selamat tahun baru 1979.

Sementara menyusul hancurnya zona libertadas [wilayah bebas yang dikontrol Fretilin] dan kematian pemimpin Fretilin, Vicente Reis dan António

Carvarinho, pada Februari 1980, membuat militer Indonesia mulai bulan Maret, mengatakan Timor-Leste sudah ditaklukan. 171 Namun tampaknya harapan Suharto

167 Stanley, kata pengantar dalam Hotman Siahaan dkk. Op.Cit., Hlm. xxvii. 168 Nicolao Lobato disergap 6 batalyon di pegunungan selatan, dan tertembak setelah pertempuran sengit selama 4 hari. Lihat, Roy Pakpahan. Op.Cit., Hlm. 15. 169 Lihat ‘Presiden Fretilin Tertangkap dan Tewas’, Kompas, 2 Januari 1979, dan ‘Presiden Fretilin dan 22 Pengawal Tewas Disergap’, Sinar Harapan, 2 Januari 1979. 170 Sinar Harapan, 2 Januari 1979. Idem. 171 Chega! Op.Cit., Bagian 3 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 84.

72

dan ABRI, terlampau tinggi. Perlawanan berhasil direorganisir kembali di bawah kepemimpinan Xanana Gusmão dan kekuatan Fretilin yang selamat di sektor timur

(Ponta Leste), mulai menempuh strategi perang gerilya.

Suatu serangan terbuka, pertama kali dimulai ke ibukota Dili, bulan Juni

1981, namun tidak diberitakan pers Indonesia.172 Hal yang sama terjadi pada operasi militer Indonesia dengan sandi Operasi ‘Pagar Betis’ Kikis, tahun 1981, yang merupakan operasi besar-besaran gabungan personel ABRI dengan puluhan ribu penduduk sipil, yang dipaksa membentuk ‘pagar betis’ manusia. Namun serangan ini, gagal menghancurkan Fretilin dan menangkap Xanana Gusmão.

Kemampuan Fretilin untuk bertahan, membuat ABRI pada bulan Juni 1983, di bawah arahan komandan lokal, menempuh strategi baru dengan menyetujui perundingan gencatan senjata. Namun dibantah pers Indonesia, setelah pemimpin

Fretilin di luar negeri, Abilio Araújo dan Roque Rodrigues, menyiarkan gencatan senjata tersebut, pada konferensi pers di Australia. Sinar Harapan menuliskan: 173

Indonesia terpaksa mengadakan gencatan senjata dengan pasukan Fretilin di Timtim bukan saja karena ketidaksanggupan pasukan militer-nya, tapi juga karena faktor-faktor ekonomi, dan sosial-nya, dan karena solidaritas internasional Fretilin yang telah memberikan gambaran buruk mengenai Indonesia di seluruh dunia.

Lebih jauh wawancara Sinar Harapan dengan Abilio Araújo, isinya disensor, dengan meragukan bukti-bukti yang diajukan Araújo, sehingga kontradiktif dengan kepercayaan diri yang didapatkan Fretilin, dan menimbulkan

172 ABRI membalas serangan tersebut dengan membunuh lebih dari 100 penduduk sipil. Ibid., Hlm. 93. 173 ‘Sisa-Sisa Fretilin Mengacau di Kota-Kota Australia’, Sinar Harapan, 1 Agustus 1983.

73

keragu-raguan pada publik pembaca Indonesia. Di antaranya dengan mengutip pernyataan KBRI di Canberra, diberitakan tidak ada gencatan senjata di Timor-

Leste.174 Namun ini tidak mengejutkan, setelah naiknya Jenderal Benny Murdani, sebagai Panglima ABRI. Ia menyatakan: 175

Angkatan bersenjata kami siap untuk menaklukan kalian bila kalian tidak siap untuk bekerja sama dengan Republik kami...Kami tidak lagi main-main: Menyerahkan diri atau mati.

Pernyataan ini, mengawali serangan baru terhadap Fretilin mulai 8

Agustus, dan melanggar kesepakatan gencatan senjata secara sepihak, yang memuncak pada Peristiwa Kraras, 1983 [lihat bagian pelanggaran HAM]. Namun seperti operasi militer sebelumnya maupun sesudah itu yang ditujukan untuk menghancurkan perlawanan, meskipun berhasil menangkap dan membunuh orang

Timor-Leste, baik sipil maupun pejuang Falintil, namun secara subtansial gagal menghancurkan Falintil.176 Perang terus berlanjut. Namun berita pers kerap tidak mencerminkan situasi tersebut: 177

Tak ada perang atau tanda-tanda Timtim merupakan daerah perang. Tak ada kendaraan-kendaraan militer dengan muatan tentara bersenjata lengkap yang terlihat dan menempati salah satu pojok kota Dili. Kalaupun menjelang tengah malam terlihat satu dua mobil kendaraan polisi yang berpatroli...hal serupa juga terlihat dan ada di Jakarta sebagai suatu hal yang rutin.

174 Idem. 175 Barbedo de Magalhães, 2002. A nossa vitória é apenas questão de tempo: Memoria da Resistência do Povo de Timor-Leste. Fundação Mário Soares. Lisboa. Hlm. 30. 176 Chega! Op.Cit., Bagian 3 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 94. 177 ‘Kios Toko di Merkado Kota Dili Buka 24 Jam Tiap Hari’, Sinar Harapan, 1 Juli 1986. Bagaimanapun situasi Dili bukanlah cerminan situasi Timor-Leste ketika itu, dan tidak disadari adalah prosedur militer mengharuskan alat-alat perang disembunyikan dari wartawan.

74

E. Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)

Invasi Indonesia ke Timor-Leste 1975, diikuti perang berkepanjangan yang menimbulkan jatuhnya korban jiwa yang besar di kalangan penduduk sipil. Pada masa tiga tahun pertama pendudukan, jumlah kematian mencapai sepertiga dari persentase jumlah penduduk keseluruhan, yaitu dari 688.771 pada 1974 menjadi

329.271 pada Oktober 1978,178 dan merupakan angka tertinggi dalam sejarah dunia modern, pasca Perang Dunia II karena perang. 179

Sebagian besar kematian terjadi karena pembunuhan dan penghilangan oleh ABRI, sebagai kontrol agar penduduk sipil tidak memberi dukungan kepada

Fretilin. Selain itu, karena dampak tidak langsung dari perang, seperti penyakit dan kelaparan akibat penghancuran sumber-sumber makanan, maupun karena minimnya sarana kehidupan yang layak setelah pemindahan penduduk secara paksa ke pemukiman baru, serta pembatasan kebebasan bergerak.180 Dalam hal ini, berbagai pelanggaran HAM, mulai dari budaya kekerasan yang dilestarikan dengan menciptakan suasana saling memata-matai di antara warga Timor-Leste, represi sistematis terhadap kaum perempuan, pemaksaan sterilisasi KB (Keluarga

178 George J. Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm 33-34. 179 Perbandingan jumlah korban dengan total populasi di Timor-Leste dengan wilayah konflik di belahan dunia lain, lihat António Barbedo de Magalhães. 1997. Timor Leste e As Jornadas da Universidade do Porto. Universidade de Porto. Oporto. Hlm. 13-14. 180 Pemindahan penduduk tersebut, membuat arsitektur tradisional Timor- Leste tidak lagi digunakan, dan kesediaan tanah yang terbatas dan kebutuhan populasi yang tiba-tiba meledak, menyebabkan tingkat kematian yang luar biasa, menyaingi rekor Tragedi Biafra. Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 54-57. Program ini terutama membangun pemukiman di jalan utama untuk mempermudah kontrol militer, yang mendapat pujian. Lihat ‘Tugas Paling Berat Membangun Manusianya’, Sinar Harapan, 25 Januari 1983.

75

Bencana) maupun perekrutan anak-anak sebagai TBO (Tenaga Bantuan Operasi) dan berbagai dimensi lainnya, merupakan hal tabu untuk diberitakan pers

Indonesia.181 Ketika jumlah kematian penduduk Timor-Leste yang tinggi mendapat sorotan luas, pers Indonesia membentuk opini publik bahwa itu semua terjadi sebelum invasi Indonesia. Ini diamini gubernur ’boneka’ Mário

Carrascalão, bahwa Fretilin-lah yang bertanggung jawab atas bencana tersebut.182

Dengan demikian, pers secara tidak seimbang hanya memberitakan pembunuhan tahanan oleh Fretilin, dalam gerak mundur menghadapi serbuan tentara Indonesia yang dilebih-lebihkan. Sedangkan pembunuhan dan pembinasaan oleh ABRI terhadap penduduk sipil, tidak pernah diberitakan.

Kekejaman ABRI biasanya baru menjadi sorotan pers, apabila dipersoalkan di luar negeri. Sehingga perlu rentang waktu yang relatif lama, antara waktu terjadinya peristiwa di Timor-Leste, dengan yang diberitakan pers Indonesia.

Karena praktis informasi ke luar, hanya mengandalkan surat-surat yang diselundupkan, kesaksian para pengungsi, atau suara Gereja Katolik yang melancarkan protes,183 maupun liputan beberapa pengunjung [termasuk wartawan], yang berhasil menghindari pengawasan militer, ketika mendapat izin berkunjung. Namun ini agak jarang terjadi.

181 Dokumentasi pelanggaran HAM, sepenuhnya lihat laporan CAVR, Chega! Op.Cit. 182 “Tidak Ada Yang Tembak Menembak di Timor Timur’, Kompas, 2 Agustus 1983. Marío Carrascalão, menjadi Gubernur yang ke-3 (1982-92) di bawah pendudukan Indonesia. 183 Gereja Katolik di bawah Uskup Martinho da Costa Lopes dan Uskup Belo memainkan peran aktif menentang pendudukan dan kekejaman ABRI. Sebelumnya, gereja merupakan pembantu pemerintah kolonial Portugal yang ultra- konservatif. Lihat Chega! Op.Cit., Bagian 3 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 102.

76

Protes di luar negeri, biasanya direspons pers Indonesia dengan menurunkan berita yang membela ABRI, atau membuat opini untuk mengimbanginya.184 Ini terlihat pada dua peristiwa yang disorot pers Indonesia, pada dekade 1980-an, yaitu, pemindahan penduduk secara paksa ke Ataúro, pulau kecil dihadapan Dili sejak 1977, dan pembantaian Kraras pada Agustus 1983.

Ataúro menjadi pusat penahanan dan pemenjaraan orang Timor-Leste, setelah operasi pengepungan dan pembinasaan oleh ABRI (1977-79). Di mana fakta-fakta mengenai pulau tersebut, menunjukan para tahanan mengalami kondisi yang mengerikan. Namun Gubernur Carrascalão, menanggapinya dengan ’dingin’ ketika diwawancarai harian Suara Karya yang dimiliki partai penguasa, Golkar: 185

Mereka itu bukan tahanan politik, melainkan orang-orang yang melakukan tindakan kriminal yang merugikan pemerintah. Mereka juga diperlakukan dengan layak. Mereka diajukan ke pengadilan sesuai hukum dan dibantu pengacara dari NTT…Mereka adalah orang-orang yang keselamatannya terancam penduduk karena soal balas dendam perang saudara, ‘mereka itu mendapat jaminan kesehatan, makanan dan bebas bergerak serta bergaul dengan penduduk pulau Kambing.’

Demikian juga, simak berita yang ditulis Antara: 186

Mereka adalah keluarga-keluarga dari sisa-sisa GPK…Untuk mempercepat penyelesaian keamanan ini, maka garis suplai harus diputus dengan jalan memukimkan mereka di Atauro…Pada umumnya penghuni pemukiman ini jauh lebih segar dari saudara-saudara mereka di pedesaan di daratan Timtim sana, karena relatif kesejahteraan mereka jauh lebih baik.

184 Hal yang sama juga terjadi di luar negeri. Menurut John Taylor, pemerintah negara-negara barat, seperti AS dan Australia, meminimkan penyiaran berita yang buruk mengenai aneksasi atas rakyat Timor-Leste yang mengerikan. Lihat John Taylor. 1998. Op.Cit., Hlm. 312. 185 ‘Tidak Ada Masa depan Bagi Fretilin’, Suara Karya, 27 Februari 1982. Mengenai pengadilan hukum Indonesia di Timor-Leste sebagai formalitas belaka, lihat laporan Chega! Op.Cit., Bagian 7 ’Pengadilan Politik’. 186 Ridwan Suryhanta, ‘Cerita Dari Atauro’, Antara, 22 Januari 1983.

77

Dalam hal ini, prosedur umum militer Indonesia adalah menyiapkan kunjungan bagi tamu-tamu asing, 187 yang diliput pers dalam rangka membentuk opini publik di Indonesia. Harian Suara Karya memberikan bukti yang sahih: 188

Di buku tamu yang disodorkan kepada kami, terdapat nama-nama senator AS, anggota parlemen Australia, anggota parlemen Jerman Barat, wartawan- wartawan Australia, dan masih banyak lagi tamu-tamu asing dari berbagai negara dan badan internasional untuk menyaksikan sendiri keadaan di pulau Atauro. Mungkinkah suatu kamp konsentrasi untuk diperagakan kepada dunia? Tentu tidak, dan kesan para wartawan asing itu pun tampaknya tidak demikian.

Pemberitaan yang tidak jauh berbeda, juga tampak pada liputan mengenai

Peristiwa Kraras.189 Ketika itu, militer membakar 200 penduduk sipil hidup-hidup di dalam rumah, dan sisanya melarikan diri ke Gunung Bibileu, serta 500 orang lagi, dibunuh dalam serangan lanjutan operasi ‘sapu bersih’ di tepi sungai Be-

Tuku. Sedangkan sisanya ditempatkan kembali di desa baru, Klarerek Mutin.

187 Mengenai prosedur kunjungan tamu asing, militer akan mengatur tempat yang dikunjungi, siapa yang diajak bicara, dan bagaimana perjalanan dilakukan. Biasanya semua dipersiapkan agar kehadiran ABRI terlihat lebih manusiawi. Lihat John Taylor. 1998. Op.Cit., Hlm. 131-132. 188 ‘Pulau Atauro Bukan Kamp Konsentrasi’, Suara Karya, 1 Maret 1983. 189 Kraras, merupakan desa pemukiman yang dibentuk ABRI, setelah Operasi Persatuan 1983, dan disebut desa binaan pangkal perlawanan, berdasar pola pembangunan desa di Indonesia (UU no 5 /1975), Merdeka, 22 Januari 1985. Sementara beberapa pengamat internasional dan kesaksian orang Timor-Leste menggunakan istilah kamp konsentrasi. Lihat Chega! Op.Cit., Bagian 4 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 86, 254-255. Strategi ini, diterapkan dengan menarik hikmah dari taktik Amerika Serikat di Vietnam, yaitu memisahkan ikan dari air dengan membangun apa yang disebut desa-desa strategis, yang dipribumisasi menjadi Pemukiman Kembali. Bedanya, taktik ini lebih kejam dari AS di Vietnam, yaitu berupa pemerasan tenaga dan perusakan kesehatan penduduk. Lihat M.R. Siregar. Op.Cit., Hlm. 517.

78

Peristiwa ini menjadi berita di luar negeri setelah dilaporkan Gereja

Katolik kepada kantor berita asing, dan diberitakan pada Juni 1984.190 Untuk mengimbangi berita tersebut, Suara Karya mewawancarai Uskup Belo. Namun berita yang dimuat isinya memojokkan dan meragukan kesaksian Uskup Dili tersebut: 191

Apakah uskup melihat sendiri mayatnya? Dan menghitung sendiri kurang lebih jumlahnya?… ‘Jadi, uskup tidak menyaksikan sendiri melainkan mendapat keterangan dari orang lain?’ setelah berdiam sebentar dan tampak ragu-ragu, Belo mengiyakan, bahwa masalah pembunuhan massal itu, ia terima dari laporan penduduk, kemudian ia mendatangi tempat tersebut, tetapi semua sudah dirapikan.

Kemudian Suara Karya mengutip sumber pemerintah/ABRI, untuk membantah peristiwa tersebut. Mayor Syarif Hidayat, pejabat bupati Viqueque

[Kraras masuk Distrik Viqueque] ketika itu, mengatakan tidak ada yang dibunuh, atau paling tidak sedikitnya tidak ada mayat yang ditemukan. 192 Sedangkan

Gubernur Mário Carrascalão mengatakan: 193

Kalaupun 2-3 mayat, kita tidak mengetahui siapa pembunuhnya, sebab kejadiannya pada malam hari. Desa-desa di sini gelap-gulita, karena belum ada listrik. Bagaimana mungkin bisa dikatakan, pembunuhnya adalah pasukan keamanan.

Dalam hal ini, pemerintah Orde Baru menepis jauh-jauh isu HAM, dan mendapat sokongan mutlak dari media. Organisasi internasional yang bekerja di bidang HAM, seperti Amnesty International tidak diijinkan beroperasi di

190 ‘Pemerintah Berusaha Menjaga Hak Asasi Tidak Dilanggar’, Suara Karya, 1 Maret 1985. 191 Idem. 192 Idem. 193 Idem.

79

Indonesia, dan propaganda pers menyebut keburukan organisasi tersebut atas laporan-laporan rutinnya mengenai pelanggaran HAM, di Timor-Leste dan di

Indonesia. Harian Suara Karya, menuliskan: 194

AI telah gagal mencitrakan dirinya sebagai organisasi HAM yang menjunjung tinggi prinsip objektivitas...Didasarkan semata-mata pada desas- desus, kabar burung, dugaan-dugaan dan kisah-kisah yang dibuat-buat oleh para pengasingan politik demi kepentingan Timor.

F. Misi Kemanusiaan

Di antara mitos-mitos yang dikembangkan pers Indonesia, salah satunya adalah misi kemanusiaan yang dijalankan Indonesia di Timor-Leste. Termasuk para kontributor tulisan banyak mengemukakan pandangan yang sama. Harian

Sinar Harapan, misalnya memuat artikel Prof. Abu Hanifah, yang isinya menganjurkan agar pemerintah menerbitkan buku putih misi kemanusiaan

Indonesia di Timor-Leste. Terutama bantuan bagi pengungsi yang melintas ke wilayah Indonesia di Timor Barat ketika terjadi perang sipil di Timor-Leste.195

Bagaimanapun perspektif kemanusiaan, dalam pemberian bantuan kemanusiaan, bagi pengungsi Timor-Leste di Indonesia tahun 1975, bukanlah motif satu-satunya. Namun, dijalankan seiring dengan perspektif politik dalam rangka pencaplokan Timor-Leste. Dalam hal ini, Orde Baru dan militer Indonesia menafsirkan bahwa pengorbanan dan bantuan bagi para pengungsi, sebagai bukti tak terbantahkan akan diperlukannya suatu intervensi militer Indonesia ke Timor-

Leste. Kehadiran pengungsi dan bantuan kemanusiaan, dilihat sebagai ’pintu

194 ‘Konperensi Hak2 Asasi Manusia Tentang Timor Timur: Indonesia Menang’, Suara Karya, 13 Maret 1985. 195 Abu Hanifah, ‘Laporan Sepihak Tentang Timor Timur oleh Guicciardi- Waldheim kepada DK-PBB’, Sinar Harapan, 19 Maret 1976.

80

masuk’ bagi intervensi Indonesia, yang dijadikan indikasi kuat ke arah permintaan integrasi. 196 Sejalan dengan pandangan tersebut, pers mengutip angka-angka yang disebut pejabat Indonesia, bahwa jumlah pengungsi mencapai 40.000 - 50.000 orang. Namun laporan Chega! mengatakan jumlah yang sebenarnya menurut warga Timor-Leste yang diwawancarai jauh lebih rendah, sekitar 10.000 sampai

30.000 orang. 197 Ini karena jumlah perkiraan Indonesia, terutama dimaksudkan untuk membesar-besarkan skala dan parahnya konflik internal di Timor-Leste, dan juga untuk menarik bantuan internasional yang lebih besar.198

Ironisnya, pers tidak memberitakan dampak pendudukan Indonesia pada tahun 1978-79, yang menyebabkan kelaparan dan kemelaratan di Timor-Leste, maupun bantuan kemanusiaan internasional yang disalahgunakan oleh militer.

Namun memuji penanganan Indonesia yang diberitakan secara mengagumkan mengatasi kesengsaraan rakyat Timor-Leste.199 Demikian juga, setelah Orde Baru memulai pembangunan di Timor-Leste, sejak dekade 1980-an, pers memujinya bahwa hal itu akan meningkatkan hasrat manusiawi penduduk Timor-Leste yang baru saja terbebas dari penjajahan Portugal selama 4 abad lebih.200

196 Y. Edi Mulyono, SJ dan A. Bagus Laksana, SJ, ‘Manusia Pengungsi: Merebut Tafsir Kemanusiaan’, dalam Sindhunata. (Editor). 2003. Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur. Galang Press & JRS. Yogyakarta. Hlm. xviii. 197 Chega! Op.Cit., Bagian ke 4, ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 45. 198 Idem. 199 ‘Laporan Amnesty Internasional ttg Timtim dianggap Bohong di Australia’, Sinar Harapan, 1 Juli 1985. 200 ‘Pembangunan Kemanusiaan di Timor Timur’ Kompas, 11 Agustus 1977.

81

G. Pahlawan Integrasi

Integrasi Timor Timur, meminta tumbal nyawa ribuan prajurit ABRI yang nyaris tidak menyadari bahwa mereka berperang secara ilegal melawan rakyat

Timor-Leste, yang selama 4 abad lebih melawan penindasan kolonial Portugal.

Demikian juga menjadikan NKRI sebagai negara neo-kolonial baru, yang secara prinsip bertentangan dengan cita-cita bangsa yang dirumuskan dalam pembukaan

UUD 1945.

Para penguasa Orde Baru menyadari hal tersebut, sehingga di hadapan publik Indonesia, memberi emblem pahlawan terhadap mereka yang mengalami kematian karena perang di Timor-Leste, yang kira-kira merupakan pengalihan opini pada nasionalisme Indonesia. Kecenderungan ini, memunculkan identifikasi tentara yang gugur di medan perang sebagai pahlawan. Sehingga menimbulkan kerancuan karena dalam konteks ini, tujuan dari perang maupun kriteria yang menjadi dasar pemberian gelar pahlawan semata-mata ditentukan negara [baca: penguasa].201

Dalam perang di Timor-Leste, meskipun tidak ada yang secara resmi diangkat sebagai pahlawan nasional, namun penghargaan itu tetap diberikan melalui pembangunan Taman Makam Pahlawan (TMP) di seluruh distrik di

Timor-Leste, sejak pertengahan 1980-an, dibiayai dari dana pembangunan yang

201 Acuan pemberian gelar pahlawan adalah PP No 33 Tahun 1964 bahwa pahlawan adalah: a) warga negara RI yang gugur dalam perjuangan yang bermutu dalam membela bangsa dan negara; b) warga negara RI yang berjasa membela bangsa dan negara yang dalam riwayat hidup selanjutnya tidak ternoda oleh suatu perbuatan yang membuat cacat nilai perjuangannya. Lihat Asvi Warman Adam. 2007. Op.Cit., Hlm. 130-131.

82

disediakan Jakarta. Ini tampak ironis, karena penghargaan itu ditujukan untuk menghormati tentara yang membunuh rakyat setempat, bahkan terbilang unik karena setelah Timor-Leste merdeka, menjadi satu-satunya negara di dunia, yang terdapat Taman Makam Pahlawan Indonesia, di seluruh distrik.202 Selain itu, sebagai peringatan didirikan monumen bagi prajurit yang gugur, dan mendapat penghormatan seremonial. Dalam suatu kesempatan Jenderal Benny Murdani, mengatakan: 203

Mereka yang jasadnya terbaring di dalam pusara di sini, bukan sekedar prajurit ABRI yang terbaik, namun juga patriot, pejoang dan pahlawan bangsa yang harus dihormati…Di mana pun makam pahlawan itu berada adalah hak dan kewajiban seluruh masyarakat untuk memiliki dengan rasa bangga dan tanggung jawab untuk merawatnya…Pusara-pusara ini akan berada di tempat ini dan makam pahlawan ini akan tetap ada sebagai lambang perjoangan bangsa Indonesia.

Cara pandang ini, mencitrakan para prajurit yang menjadi tumbal atas perang di Timor-Leste, agar dihormati sebagai pahlawan termasuk oleh rakyat

Timor-Leste, yang bagi mereka tentara pendudukan Indonesia, adalah terdakwa atas penghancuran dan pembinasaan di Timor-Leste. Namun pandangan ini, tidak diberi ruang oleh pers. Sebaliknya pers cenderung mencitrakan para tokoh integrasi, sebagai pahlawan atau sebagai figur yang menonjol, cendikia dan berkepribadian tinggi. Berita-berita mengenai sosok Jose Osorio Soares, pendiri

Apodeti, mengambarkan hal itu, di mana ia dicitrakan sebagai pejuang integrasi

202 ‘Carascalao Tingkatkan Pengawasan Pembangunan di Kabupaten’, Antara, 1 Februari 1985. 203 ‘Mereka Yang Terbaring Di Sini Bukan Hanya Prajurit Terbaik’, Sinar Harapan, 28 Juli 1984.

83

yang melegenda.204 Demikian juga liputan tentang kematian gubernur pertama

Timor-Leste di bawah kekuasaan Orde Baru, Arnaldo dos Reis Araújo (1975-76), digambarkan sebagai pahlawan bagi rakyatnya. Atas permintaan Presiden Suharto ia diberi gelar pahlawan nasional tidak resmi, dan dimakamkan di TMP Seroja,

Dili, diiringi upacara kemiliteran. 205

Sedangkan citra mereka di mata mayoritas rakyat Timor-Leste [Arnaldo dos Reis Araújo dan Jose Osorio Soares berasal dari partai minoritas, Apodeti], tidak pernah diperhatikan, terutama reputasi mereka yang kelam. Arnaldo dos Reis

Araújo, adalah kolaborator Jepang dalam pasukan hitam (Colunas Negras) pada

Perang Dunia II, yang bertanggung jawab terhadap kematian ratusan orang Timor-

Leste, hingga perampokan dan perampasan harta rakyat untuk pasukan Jepang.

Sedangkan Osorio Soares dulunya adalah perwira kolonial Portugal yang dipecat karena tuduhan pemerkosaan. 206

204 ‘Tak Terlupa Jasa Pejuang ‘Integrassao’ Yang Gigih Jose Fernando Osorio Soares’, Sinar Harapan, 27 Juli 1986. Pencitraan sebagai pejuang dan pahlawan belakangan juga dilakukan terhadap pemimpin milisi, Eurico Guterres, Lihat Khairul Jasmi. 2002. Eurico Guterres Melintas Badai Politik Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta. 205 Araújo sendiri sebenarnya meminta agar dimakamkan di Ainaro, sebagai tempat asalnya. Lihat ‘Rakyat Timtim Kehilangan Pemimpin Integrasi’, Suara Pembaharuan, 30 Januari 1988. TMP Seroja hanya berjarak belasan meter dengan pekuburan Santa Cruz yang menjadi tempat pembantaian terhadap demonstran Timor-Leste, 12 November 1991. 206 Jose Ramos Horta. Op.Cit., Hlm. 48.

84

H. Pembangunan Timor Timur

Selama pendudukan atas Timor-Leste, Orde Baru menjalankan pembangunan yang disesuaikan dengan model pembangunan di Indonesia.207

Tahap pertama, meliputi rehabilitasi, konsolidasi, dan stabilisasi untuk mempersiapkan Timor-Leste bagi pembangunan selanjutnya. Setelah itu, sejak

1982 di bawah Gubernur Mário Carrascalão, dimulai program Repelita (Rencana

Pembangunan Lima Tahun), yang diarahkan oleh Jakarta. Tujuan pembangunan tersebut, seperti dipaparkan João Mariano de Sousa Saldanha, ekonom Timor-

Leste yang pro-integrasi, yaitu: 208

Pertama, sebagai legitimasi dari integrasi ke dalam Indonesia, Kedua, untuk merebut hati rakyat Timor Timur karena pemerintah sungguh-sungguh ingin membangun Timor Timur, ketiga, untuk menunjukkan kepada dunia internasional bahwa Timor Timur bukan dianeksasi tetapi dengan sukarela berintegrasi dengan Indonesia.

Sehingga tidak mengherankan, apabila media massa banyak menulis tentang pembangunan fisik di Timor-Leste, maupun anggaran yang dikucurkan.

Namun penilaian yang seksama, menunjukan bahwa apa yang dibangun lebih menekankan pada infrastruktur pendudukan, khususnya pembangunan jalan dan gedung pemerintahan. Sementara sektor penting lain yang dibangun Indonesia adalah pendidikan, yang dimaksudkan untuk menarik simpati kaum muda.209

207 Orba menjalankan Repelita sejak 1969, dan tahun 1970-an, disokong harga minyak yang melonjak. Negara-negara Barat cenderung memandang Indonesia sebagai negara pembangunan konservatif. Lihat M. C. Ricklefs. Op. Cit., Hlm. 582, 593, 622. Demikian juga lihat Hendro Asmara, ‘Prospek Pembangunan Daerah Timor Timur’, dalam Prisma, Juli, 1979. 208 João Mariano de Sousa Saldanha. Op.Cit., Hlm. 93. 209 Chega! Op.Cit., Bagian 3 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 112.

85

Semua ini, dipublikasikan secara teratur, dan melalui suatu gambaran yang hati- hati dibuat perbandingan keadaan Timor-Leste yang sejahtera di bawah Indonesia dengan keadaan sengsara di bawah kolonial Portugal. Termasuk kunjungan beberapa duta besar negara sahabat dan wartawan yang bersimpati dengan Orde

Baru ke Timor-Leste, komentar dan pujian mereka menjadi berita di halaman depan pers Indonesia.210 Namun, gambaran-gambaran itu tidak sepenuhnya benar.

Seperti ditulis Gerry Van Klinken: 211

Kurun waktu di bawah Portugal tidaklah sesuram, begitu pula waktu di bawah Indonesia tidaklah begitu gemerlap, seperti diungkapkan gambar- gambar itu...Pariwisata tidak pernah tumbuh subur, persediaan kerbau yang masih di bawah tahun 1975, dan swasembada beras yang belum dapat dipulihkan.

Kajian yang menyeluruh mengenai pembangunan di Timor-Leste, kemudian dibahas João Mariano de Sousa Saldanha dalam buku Ekonomi Politik

Pembangunan Timor Timur. Namun kelemahan utamanya ialah, ia hanya membuat perbandingan zaman kolonial Portugal dengan pendudukan Indonesia, tanpa membuat perbandingan dengan bekas jajahan Portugis lainnya yang telah merdeka, sehingga pembaca tidak menyadari kesempatan emas yang hilang. Hal ini pertamakali disoroti George J. Aditjondro, yang menilai pemberitaan media mengenai pembangunan di Timor-Leste selama masa Indonesia menyesatkan, karena data statistik yang digunakan lebih banyak berbohong. Dibandingkan

210 Salah satu yang dipublikasikan luas, yaitu tulisan wartawan Portugal, Nuno Rocha, yang dinilai menguntungkan Indonesia. Lihat Suara Pembaharuan, 3 November 1987. 211 Gerry van Klinken. 1996. Akar Perlawanan Rakyat: Timor Timur Masa Kini dan Prospek bagi Perdamaian. Elsam. Jakarta. Hlm. 16.

86

jajahan Portugis lain, yang tidak berbatasan dengan tetangga yang agresif dan ekspansif, seperti Tanjung Verde dan São Tome e Princípe,212 dalam hal pendapatan perkapita, tingkat bebas buta huruf, jumlah dokter yang tersedia dan angka kematian bayi, kedua negara itu jauh lebih baik dari Timor-Leste.213

Namun mengabaikan fakta-fakta tersebut, pers memuji pembangunan di

Timor-Leste, dan ketika gagal meraih simpati rakyat Timor-Leste, pada dekade

1990-an pers mulai menyoroti apa yang dinamakan ’kecemburuan propinsi- propinsi lain’ akan besarnya dana yang dikucurkan, bahwa ’Timor Timur terlalu dimanja’, ’tidak tahu berterima kasih’, padahal tidak pernah menyumbangkan apa- apa bagi Indonesia.214

Sementara fakta penting yang tidak disoroti pers adalah berbagai bisnis militer, maupun milik keluarga dan kroni Suharto, sehingga pembaca tidak menyadari bahwa dana yang dikucurkan di Timor-Leste, kembali mengalir ke

Jakarta melalui jaringan bisnis tersebut.215 Demikian juga, sebagian dari dana perang adalah hasil konsesi para pengusaha Indonesia dan militer dari

212 Pers seringkali memberitakan Timor-Leste akan bernasib sama dengan Angola dan Mozambik yang dilanda perang saudara, apabila tidak berintegrasi dengan Indonesia. Namun tidak diberitakan, bahwa Lisabon tidak bertanggung jawab secara langsung, namun Pretoria dan Washington memikul dosa paling besar selama konflik di dua negara bekas jajahan Portugis itu. Lihat Benedict Anderson. 2002. Hantu Komparasi: Nasionalisme Asia Tenggara dan Dunia. Qalam. Yogyakarta. Hlm. 234, dan ‘Mau Apa Portugis dengan Timor Timur’, Berita Yudha 28 Januari 1976. 213 George J. Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 195. 214 Stanley, kata pengantar dalam Hotman Siahaan dkk, Op.Cit., Hlm. xix. 215 Mengenai bisnis militer maupun keluarga dan kroni Suharto, lihat Aditjondro. Op.Cit., 2000. Hlm. 179-196 dan 2006. Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa. Lkis. Yogyakarta. Hlm. 117-128.

87

mengekploitasi kekayaan Timor-Leste,216 yang dalam banyak kesempatan dikorupsi oleh militer dan birokrat. Sementara pada tahun 1989, dengan tidak mengubris hak rakyat Timor-Leste, Indonesia menandatangani perjanjian eksploitasi minyak dan gas bumi di celah Timor dengan Australia.

I. Diplomasi Indonesia

Hal penting yang tidak menjadi titik acuan diplomasi Indonesia, maupun diabaikan pers, adalah fakta bahwa Timor-Leste sejak tahun 1975 hingga 1999 tidak diakui PBB sebagai wilayah Indonesia, dan dikategorikan sebagai wilayah tidak berpemerintahan sendiri.217 Hal ini mendapat pengakuan Indonesia, pada masa Orde Lama, yang pada tahun 1961, melalui Menteri Luar Negeri Indonesia,

Subandrio, mengatakan: 218

Mengenai pulau besar Borneo…yang bagian utaranya merupakan wilayah Inggris, dan sama halnya mengenai setengah pulau Timor, yang milik Portugis, kami tidak memiliki klaim teritorial apapun; karena yang kami anggap sebagai milik Indonesia dan milik wilayah Indonesia adalah tidak lain dan tidak bukan seluruh wilayah bekas koloni Hindia Belanda.

Kebijakan ini terus dipertahankan selama masa Orde Baru, hingga menjelang dekolonisasi di Timor-Leste. Namun rupanya lebih pada peryataan publik, setelah dipersiapkan keputusan rahasia tingkat tinggi untuk

216 Di antaranya Robby Sumampouw memonopoli kopi Timor-Leste lewat PT Denok Fernandes, dan memasok peralatan militer bagi ABRI. Lihat Chega! Op.Cit., Bagian 7.9. ‘Hak Ekonomi dan Sosial’. Hlm 12-13. 217 Chega! Op.Cit., Bagian 7.2. ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’, Hlm. 17. Ini didasarkan pada deklarasi PBB tahun 1960, mengenai pemberian kemerdekaan bagi negara-negara dan bangsa koloni. 218 Idem.

88

mengintegrasikan Timor-Leste dengan alasan-alasan kemanusiaan, keamanan regional, pertahanan, dan budaya.219 Pada mulanya penyatuan Timor-Leste, hendak disamakan dengan koloni Portugal, Goa, di India, yang pada tahun 1960, diduduki Nehru, tanpa setetes darah pun tertumpah. Namun ada perbedaan besar.

Benedict Anderson, mengatakan Nehru sebagai manusia yang manusiawi dan pemimpin yang terpilih secara demokratis; ia memberikan Goa pemerintahan negara otonom, yang dalam banyak hal Jenderal Suharto, kebalikan 180 derajat dari Nehru. 220 Demikian juga fakta penting lain menunjukan bahwa orang-orang

Goa memandang Nehru sebagai pembebas; sedangkan di Timor-Leste, hubungan dengan Indonesia nyaris tidak berkembang. 221 Selain itu, pers mengambarkan secara negatif ketidakhadiran Fretilin dalam Konferensi Tingkat Tinggi (Cimeira)

Makao, Juni 1975,222 dan setelah invasi, menyamakan Fretilin dengan kelompok

RMS (Republik Maluku Selatan) yang kasusnya berbeda dengan Timor-Leste, termasuk menyamakan Australia dengan Belanda yang menerima aktivis RMS, ketika delegasi Fretilin pada tahun 1983 diijinkan berkunjung ke Australia.223

Meskipun semua fakta-fakta tersebut menunjukkan ketidaksesuaian, namun pemerintah maupun pers, selalu menekankan bahwa keputusan rakyat Timor-

219 Ibid., Hlm. 24-25. 220 Benedict Anderson. 2002. Ibid., Hlm. 235. 221 Geoffrey Gunn. Op.Cit., Hlm. 409. 222 Fretilin menolak hadir karena Apodeti turut diundang, bahwa tidak masuk akal membahas dekolonisasi dengan sebuah partai yang hanya ingin mengubah status kolonial Timor-Leste [dari Portugal ke Indonesia]. Lihat Helen Mary Hill. Op.Cit., Hlm. 163. 223 Para wakil Fretilin sempat dilarang ke Australia, sampai kemenangan Partai Buruh 1983.

89

Leste, untuk bergabung dengan Indonesia, sudah selesai melalui proses yang adil dan benar. Berdasarkan pada prinsip ini, Indonesia menolak mematuhi 10 resolusi

PBB mengenai Timor-Leste, sejak tahun 1975 hingga 1982, yang dua di antaranya wajib dijalankan oleh semua negara anggota PBB. 224 Dalam hal ini, Indonesia berupaya mengalihkan opini pada sistem pemungutan suara di PBB, yang dianggap merugikan Indonesia, karena peran negara-negara mini. Seperti dikatakan Menteri Luar Negeri Adam Malik: 225

…kemungkinan adanya mayoritas yang menindas dari negara-negara kecil…menyerukan diadakannya “studi dan penelitian yang mendalam” untuk menentukan bagaimana memperbaiki badan dunia itu dan diperlukannya permufakatan mengenai apakah sistem perwakilan itu didasarkan pada jumlah penduduk/pun faktor-faktor lain…Indonesia yang merupakan negara ke-5 dan jumlah penduduk terpadat di dunia…ternyata disejajarkan dengan negara-negara yang jumlahnya hanya 1 pct dari 130 juta jiwa.

Sementara itu, pers tidak pernah menanggapi secara kritis pelanggaran

Resolusi PBB oleh Indonesia, dan sebaliknya memberikan persetujuan. Berita

Buana menuliskan: 226

Mayoritas anggota PBB sangat dogmatis terhadap dalil “hak-hak menentukan nasib sendiri” yang harus sama dengan kemerdekaan, dan tidak bisa lain, tidak peduli apakah negeri dan rakyat yang bersangkutan benar- benar mempunyai kemauan nasional, kemauan politik, untuk merdeka…Rakyat Timor Timur yang telah menyatakan kemauannya,

224 Resolusi No 31/50 yang diadopsi pada 1 Desember 1976, butir kelimanya menegaskan: menolak klaim bahwa Timor-Leste telah berintegrasi ke dalam negara Indonesia, karena rakyat wilayah ini belum bisa dengan bebas menjalankan hak penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan dan menolak keabsahan integrasi yang disahkan Indonesia dengan UU No 7/ 1976. 225 ‘Menlu Malik Kecam “Mayoritas Yang Menindas” di PBB’, Kompas, 2 Juli 1976. Pct asli, artinya persen. 226‘Timor Timur Jadi Masalah Abadi di PBB’, Berita Buana, 22 November 1977.

90

melaksanakan hak-hak menentukan nasib sendiri melalui prosedur yang demokratis menurut adat dan kebiasaan masyarakat setempat, dianggap tak pernah berbuat demikian.

Dalam hal ini, pernyataan para diplomat Indonesia, menjadi titik sentral pemberitaan pers, khususnya Menteri Luar Negeri, mulai dari Adam Malik (1966-

78), Mochtar Kusumaatmadja (1978-88), hingga Ali Alatas (1988-98); dan pada saat yang sama mengecilkan pandangan atau suara yang mengusung penentangan terhadap Integrasi Timor Timur dengan Indonesia. Sehingga hampir semua berita, menolak mentah-mentah seruan PBB, Portugal, dan beberapa negara yang mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste,227 termasuk para diplomat Fretilin, organisasi-organisasi non-pemerintah maupun sejumlah individu yang konsisten membela hak rakyat Timor-Leste. Sebaliknya pers Indonesia, menjadi corong utama dalam mengambarkan diplomat Fretilin sebagai pihak- pihak yang tidak bertanggung jawab; melarikan diri dari Timor-Leste dan hidup dari menjajakan masalah Timor-Leste. Media cetak seperti Suara Pembaharuan,

Jawa Pos dan Kompas, banyak terlibat dalam ’pembantaian pribadi’ (character assassination), menyusul kegagalan propaganda hitam terhadap upaya para diplomat Timor-Leste, yang reputasinya menanjak di mata internasional. 228

227 Dukungan terutama datang dari 5 negara Afrika berbahasa Portugis (Angola, Mozambique, Tanjung Verde, Guinea-Bissau, dan São Tome e Principe), Brazil dan sekutu-sekutunya. 228 Harian Kompas misalnya beberapa kali memuat kesaksian seorang perempuan Australia, Wendy Holland, yang mengaku bekas istri Jose Ramos- Horta. Di Australia, majalah picisan seperti New Idea yang memuat cerita serupa, digugat di pengadilan oleh Ramos-Horta, sehingga menganti rugi ribuan dollar, atas cerita isapan jempolnya. Lihat Aditjondro, dalam Sindhunata, (Editor). Mengenang Y. B. Mangunwijaya: Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Op.Cit., Hlm. 209-210. Sementara Xanana Gusmão ketika ditangkap tahun 1992,

91

Pers juga memberi label terhadap para penentang Integrasi Timor-Timur sebagai kelompok anti-Indonesia. Sedangkan negara-negara yang menentang integrasi, digambarkan sebagai solidaritas sosialis (komunis) internasional,229 dan menganggap upaya mereka sebagai campur tangan terhadap urusan dalam negeri

Indonesia, sehingga mengabaikan uraian yang jelas tentang prinsip anti-kolonial dalam menentang Integrasi Timor Timur.

Secara umum pemberitaan pers mencitrakan diplomasi Indonesia, dengan nada positif, seiring resolusi-resolusi yang dihasilkan di Dewan Keamanan PBB, dari tahun ke tahun sejak 1979 hingga 1982 tidak mendapat dukungan dari negara- negara besar [terutama negara-negara barat], seperti AS, yang lebih banyak menggunakan hak veto-nya menentang resolusi. Sementara jumlah suara bergeser dari mayoritas menentang integrasi mendekati titik seimbang pada tahun 1982, membuat isu Timor-Leste di PBB sementara ditunda, bahkan ‘dikecilkan’ ketika dialihkan sebagai masalah bilateral antara Portugal dan Indonesia. Ini membuat

Indonesia mulai menganggap masalah Timor-Leste sebagai non-issue di PBB, meskipun tetap diagendakan hingga 1999.230

Bagaimanapun diplomasi Indonesia, secara pragmatis mengedepankan hubungan ekonomi untuk mendapatkan dukungan, sehingga banyak negara besar jarang mendukung Timor-Leste yang ‘kecil’ dan dianggap tidak penting. Ini

digambarkan sebagai haus seks. Suatu tuduhan yang pernah dilakukan terhadap Gerwani pada 1966 di Indonesia. 229 Berita Buana, 10 Mei 1976. Hal ini tidak sebetulnya benar, sebab negara-negara non komunis/sosialis seperti Islandia, Aljazair, Brazil, dan Swedia turut menentang Indonesia. 230 ‘RI Balas Serangan Terhadap Timtim’, Kompas, 13 September 1985.

92

disadari betul oleh para diplomat Indonesia, yang terbiasa korup untuk menekan negara-negara lain, termasuk menggunakan bantuan secara finansial maupun material, dalam merayu kritikus mereka.231 Diplomasi ala Orde Baru ini, oleh

George J. Aditjondro, secara sarkastis disebutnya sebagai ‘pentungan dan pemikat dalam diplomasi Indonesia’.232

Pada masa ini, pencapaian-pencapaian Indonesia, mendapat pujian dari pers, bahwa masalah Timor-Leste tinggal menunggu waktu, dan akan terselesaikan dengan sendirinya. Sehingga memasuki paruh pertama 1980-an, opini pers mulai mengesampingkan isu hak penentuan nasib sendiri yang gaungnya ditelan berita pembangunan di Timor-Leste.

J. Pengenalan Nilai-Nilai Indonesia

Masuknya Indonesia ke Timor-Leste, diikuti pengenalan luas nilai-nilai yang mendasari kehidupan kebangsaan Indonesia, yang menurut John Taylor, merupakan proses resosialisasi, dimulai dari pendidikan dasar: 233

Sekolah-sekolah yang sudah ada itu, untuk memperkenalkan dan menanamkan nilai-nilai kebudayaan Jawa dan militer bagi murid-murid sekolah”.

Demikian juga simak apa yang ditulis harian Kompas: 234

Generasi muda, terutama anak-anak dan remaja dengan cepat menguasai bahasa Indonesia. Mereka menjadi penterjemah yang baik, dan pula menjadi

231 George. J. Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 271. Lihat juga buku Jose Ramos-Horta, 1998. Op.Cit. 232 Ibid., Hlm. 267-277. 233 John Taylor. 1998. Op.Cit., Hlm. 227. 234 ‘Pendidikan dan Kisah Loreano Gomes’, Kompas, 12 Agustus 1977.

93

media dalam mendekatkan generasi tua dengan situasi baru. Dalam rangka pembangunan Timtim anak-anak muda mendapat prioritas khusus.

Dalam hal ini, pers Indonesia seringkali membuat liputan luas mengenai proses orang Timor-Leste mengenal dan menjadi orang Indonesia. Namun tulisan- tulisan yang muncul, cenderung memandang Timor-Leste sebagai suatu wilayah yang asing,235 dan seringkali bernada chauvinistik menonjolkan superioritas ke-

Indonesia-an dengan menganggap rakyat dan budaya Timor-Leste sebagai terbelakang dan primitif. Suatu perbandingan yang tidak adil, mengingat Timor-

Leste baru bergabung dengan Indonesia, melalui perang yang menghancurkan setelah ratusan tahun dijajah Portugal.

Pers pun banyak memberitakan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa wajib di sekolah, atau berkaitan dengan aktivitas pemerintah, setelah pelarangan penggunaan bahasa Portugis, serta ketidak pedulian terhadap bahasa- bahasa asli Timor-Leste.236 Kebijakan ini, dalam waktu singkat memutus Timor-

Leste, dari masa lalu hubungan pertalian dengan budaya Latin di bawah bangsa

Portugis yang telah berusia ratusan tahun, sebagai bagian dari keunikan sejarah

235 Menurut Benedict Anderson kebiadaban dan kebrutalan militer Indonesia di Timor-Leste, didasari oleh ketidakhadiran wilayah itu dalam logo- logo Hindia (Timur) Belanda sampai tahun 1976. Lihat catatan kaki Benedict Anderson. 1991. Imagined Communities, Reflections on the Origines and Spread of Nationalism, Revised Edition, Verso. London, and New York. Hlm. 207. Edisi Indonesia. 2001. Komunitas-Komunitas Terbayang. Insist Press. Yogyakarta. 236 Lihat ‘Wajar Pencabutan Khusus bagi Timor Timur’, Kompas 18 Juli 1986. Di tengah keragaman bahasa di Timor-Leste yang mencapai ± 30 bahasa, dengan 6 bahasa yang paling banyak penuturnya, bahasa Tetum dipopulerkan oleh Fretilin, dalam pemberantasan buta huruf berdasarkan metode pedagogik pendidik radikal Brazil, Paulo Freire. Lihat Helen Mary Hill, 2000. Pada tahun 1983, Gereja Katolik menjadikan bahasa Tetum sebagai bahasa liturgi, yang ikut menentukan identitas budaya Timor-Leste.

94

Timor-Leste dengan kemandirian budayanya 237 [Lihat sejarah Timor-Leste pada

Bab II].

Hal ini tidak dipahami sejarawan militer, Nugroho Notosusanto (Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan pada masa itu), yang mengatakan: 238

Bahasa Indonesia sebagai identitas bangsa merupakan kunci untuk mengikat kembali erat-erat tali rantai yang putus oleh kolonialisme, sehingga menjadi kewajiban menguasakan bahasa Indonesia bagi seluruh rakyat Timor Timur.

Dalam hal ini, media massa menjadi pelopor dalam meng-Indonesia-kan orang Timor-Leste. Misalnya, harian Sinar Harapan, edisi Juli 1975, ketika berlangsung Pertemuan Makau, menuliskan: 239

Jika Osorio Soares tampil sebagai kepala pemerintahan dalam kerangka konstitusi RI, apakah ia akan menyatakan juga seperti Samora Machel, Presiden Republik Mozambik, pd tgl 26 Juni yl. Sehari setelah rakyatnya merdeka dari jajahan Portugis bahwa ia akan mengikis habis sisa-sisa dominasi budaya Portugis?

Perbandingan Jose Osorio dengan Samora Machel tersebut, dimaksudkan untuk menggambarkan citra pemimpin Apodeti tersebut sebagai tokoh pejuang kemerdekaan, dan menyembunyikan solidaritas Frelimo terhadap Fretilin.240

237 Apabila proses pemeradaban dimaksud sebagai modernisasi, maka bahasa Portugis telah berperan jauh lebih dulu sebelum bahasa Indonesia mulai digalakkan di Timor-Leste, mulai tahun 1980. Lihat Geoffrey Hull. 2001. Timor- Leste: Identidade, Língua e Política Educacional. Instituto Camões. Dili. Hlm. 13- 14. Sementara sebuah sekolah berkurikulum Portugis, Externato yang dikelola Jesuit, dibubarkan pasca Peristiwa Santa Cruz 1991. Mengenai kemandirian budaya Timor-Leste, lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 9-27, 228. 238 Achiruddin, ‘Bagaimana Timor Timur Pada Saat Tinggal Landas’ Merdeka’ 4 Juni 1984. 239 ’Macao (RRC), Timport dan Asia Tenggara yg Damai, Bebas dan Netral’, Sinar Harapan, 16 Juli 1975. 240 Program Fretilin banyak diinspirasi gagasan Frelimo (Frente da Libertação de Moçambique – Front Pembebasan Mozambik [jajahan Portugal di

95

Demikian juga, manifesto Apodeti mengenai pengajaran bahasa Indonesia tanpa dihapuskan bahasa Portugis, tidak pernah dipublikasikan, sehingga dengan sendirinya meniadakan agenda yang sama dari program partai politik lainnya.241

Apa yang diberitakan pers, meskipun terlihat anomali adalah nasionalisme semu pada orang Timor-Leste [terutama anak-anak sekolah], yang menyanyikan lagu,

’Indonesia Raya’, atau ’Satu Nusa Satu Bangsa’ dan mengibarkan bendera ’Merah

Putih’ menyambut setiap kunjungan pejabat Jakarta maupun tamu-tamu asing. Ini cukup ganjil, karena lagu-lagu tersebut, tidak mempunyai akar sejarah di Timor-

Leste, dan asing di telinga mayoritas penduduk yang tidak dapat berbahasa

Indonesia. Namun Antara mengembar-gemborkan gagasan nasionalisme tersebut:242

…nyanyian itu langsung menggugah perasaan, dan membangkitkan semangat rakyat Timor Timur hingga tertanam rasa persatuan yang kokoh, bangsa dari Sabang sampai Atauro.

Afrika Timur]), seperti mengikis dominasi budaya kolonial Portugis yang mengisap rakyat, namun tidak berarti semua yang berbau kolonial harus dihilangkan. Ini tampak ketika Timor-Leste merdeka, bahasa Portugis dan bahasa Tetum dijadikan bahasa resmi, di samping bahasa-bahasa pribumi lainnya. Sedangkan bahasa Indonesia di samping bahasa Inggris tetap diakui UU RDTL (Republik Demokratik Timor-Leste). Mengenai gagasan-gagasan Samora Machel dan Frelimo, lihat Samora Machel. 2001. Membangun Kekuatan Rakyat. SIL dan Yayasan HAK. Dili. 241 Manifesto partai politik Timor-Leste, dapat dilihat di lampiran Helen Mary Hill. 2000. Op.Cit. 242 ‘Indonesia Raya dan Satu Nusa Satu Bangsa terdengar di Atauro’, Antara, 22 Januari 1976. Ataúro, adalah satu dari dua pulau kecil yang masuk wilayah RDTL. Slogan sebenarnya berbunyi ‘Dari Sabang sampai Merauke’.

96

Sedangkan harian Pelita, meliput upacara bendera siswa sekolah yang memperingati hari Integrasi ke-10 di Remexio, kota kecil 30 km di sebelah selatan pegunungan Dili, menuliskan: 243

…menyanyikan lagu ini sudah merupakan kerutinan bagi anak-anak sekolah di Indonesia yang nyaris membosankan. Tetapi tidak demikian bila yang menyanyikan anak-anak Indonesia di Propinsi Timor. Terasa menyentuh kalbu, mengharukan, kembali membangkitkan rasa kebangsaan, kebersatuan dan kebersamaan yang kadang-kadang terlarut dalam rasa keakuan dan kesukuan. Alunan syair dari mulut-mulut kecil ini, tidak sekedar alunan suara yang kadang sumbang. Dia adalah cetusan perasaan kebangsaan, kebersatuan senasib, dan sepenanggungan rakyat Timor Timur yang kemarin tepat 10 tahun bergabung dengan saudara-saudara sebangsa dan setanah airnya dari propinsi-propinsi lain.

Berita yang kurang lebih sama, juga menyangkut pengajaran Pancasila, melalui indoktrinasi P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila), dan latihan kepanduan Pramuka yang bertujuan menanamkan nasionalisme

Indonesia.244 Termasuk tulisan-tulisan banyak menyorot pengenalan budaya

Indonesia kepada orang Timor-Leste. Misalnya pengenalan makanan khas

Indonesia, dari keberadaan ’warung Padang’ hingga menu ’nasi pecel’; serta kedunguan orang Timor-Leste yang tidak mengkomsumsi daun singkong sebagai sayuran; 245 atau pengenalan perangkat makan seperti sendok dan garpu;246 hingga

243 ‘Matahari Terbit di Timor Timur’, Pelita, 18 Juli 1986. 244 Lihat ‘Pendidikan dan Kisah Lorreano Gomes’, Kompas, 12 Agustus 1977. Pancasila hasil rumusan Sukarno, oleh Orde Baru diberi penafsiran yang hampir sama sekali bertentangan. Sementara Sukarno, menghubungkan konsultasi demokratik, kesatuan nasional, internasionalisme, keadilan sosial, dan monoteisme dengan perlawanan-perlawanan besar revolusioner dalam sejarah umat manusia, para ideolog Orde Baru menyaring prinsip-prinsip tersebut, dipersempit menjadi gagasan kepatuhan kepada kekuasaan. Lihat Max Lane. Op.Cit., Hlm. 47. 245 ‘Nama-nama di Timtim masih Kedengaran Asing’, Berita Buana, 27 Januari 1983.

97

cara bertani oleh pemukiman transmigran, serta paling modern yaitu masuknya siaran televisi.247 Gambaran-gambaran itu oleh pers Indonesia, dimaknai sebagai proses pemeradaban bagi orang Timor-Leste yang terbelakang, atau mission sacré, suatu kendala bagi Indonesia dalam membangun manusia Timor-Leste.248 Persis praktik Portugal dan Belanda sebagai kekuatan kolonial lama.

Namun dengan memunggungi sejarah, pemaknaan proses pemeradaban ala

Orde Baru tersebut, dikontraskan dengan masa kolonial Portugal yang dianggap merendahkan martabat orang Timor-Leste. Potret masa itu dihadirkan dengan budak-budak perempuan Timor-Leste yang hitam, 249 yang tunduk pada nyonya

Portugal-nya, ketika dihardik dalam bahasa Portugis ‘venha depressa! (cepat

246 Pandangan ini tidak memahami fakta sebagai koloni Portugal yang kecil, membuat para pemukim Eropa lebih terkonsentrasi hingga ke pedalaman Timor-Leste, sehingga pengaruh Eropa lebih kental. Misalnya pada rumah-rumah keluarga Timor-Leste, hampir tidak ada yang menggunakan tangan untuk makan, seperti pada orang Jawa. Sebagai perbandingan lihat ’Orang Jawa Tidak Kenal Konsep Ruang Makan,’ Kompas, 14 Desember 2007. 247 Stasiun TVRI mencapai seluruh pelosok Indonesia pada tahun 1976, setelah penggunaan satelit Palapa, bertepatan Integrasi Timor-Timur, sehingga relatif baru di wilayah RI yang luas. Menurut Dhakidae, meskipun banyak acara kebudayaan di TVRI, tontonan itu tidak mempertebal pengenalan satu sama lain, paling-paling menjadi dasar menemukan keanehan masing-masing. Lihat Daniel Dhakidae, ‘Memahami Rasa Kebangsaan dan Menyimak Bangsa sebagai komunitas-komunitas Terbayang’, kata pengantar dalam Benedict Anderson. 2001. Edisi Indonesia. Hlm. xvii. 248 ‘Bentakan ‘Venha Depressa’ dari Senhora Tak Mengusik Lagi’, Suara Karya, 30 Januari 1984. 249 Pers menggambarkan orang Timor-Leste berkulit hitam (mirip Papua), berbeda dengan orang Indonesia yang umumnya berkulit sawo matang. Gambaran ini, tidak sesuai ciri antropologis Timor-Leste dengan 4 tipe rasial. Mulai dari Melayu Kuno, Deutero Melayu, Melanesoida, dan Vedo Austroloida di mana tipe Melayu Kuno adalah yang terbanyak, sebaliknya bangsa Melanesia murni (Papua) tidak dijumpai. Lihat Geoffrey C. Gunn. Op.Cit., Hlm. 48-49.

98

kemari!)’ serta kebiasaan minum alkohol yang diwariskan Portugal. Ilustrasi yang kerap dihadirkan, seperti dimuat harian Suara Karya: 250

Orang-orang Portugis dengan sombong duduk di atas mobil-mobil mulus dengan wibawa yang khas, sementara penduduk asli lari terbirit-birit hampir rutin terlihat di jalan, ‘sumpah serapah’, si Portu di atas mobil sangat menyakitkan kuping andai saja melihat penduduk asli menyeberangi jalan, waktu mereka lewat.

Bagaimana pun ilustrasi itu, mengambarkan realita sepihak. Geoffrey C.

Gunn, menyebut Timor-Leste menonjol di antara kolonialisme, karena dalam waktu lama hingga Perang Dunia II, sikap Portugal tidak campur tangan dalam urusan budaya dan adat. Di mana ciri produksi komunitas terus dipertahankan.

Baru pada masa Indonesia, budaya Timor-Leste mengalami intervensi langsung dan penghancuran. Misalnya kepercayaan dan praktek animisme di Timor-Leste, nyaris mendapat cap jelek di bawah hukum Indonesia, selain 5 agama resmi yang diakui. 251

K. Rangkuman

Sebagaimana telah dibahas pada bab II, bab ini juga telah memperlihatkan hegemoni pemerintahan Orde Baru, yang dilakukan melalui kontrol atas media massa. Jadi, setelah berkuasa, Orde Baru melakukan kontrol ketat terhadap pemberitaan pers, yang tidak lebih sebagai corong bagi propaganda Orde Baru.

Terutama berita yang berkaitan dengan masalah Timor-Leste, umumnya dikontrol dengan maksud menyokong Integrasi Timor Timur. Sehingga dalam waktu lama,

250 ‘Bentakan ‘Venha Depressa’ dari Senhora Tak Mengusik Lagi’, Suara Karya, 30 Januari 1984. 251 Geoffrey Gunn. Op.Cit., Hlm. 348, 432.

99

publik Indonesia, tidak mendapat informasi mengenai masalah Timor-Leste yang sebenarnya, dan umumnya menggangap wajar Integrasi Timor-Timur ke dalam

Indonesia.

100

BAB IV

TITIK BALIK MASYARAKAT SIPIL INDONESIA 1989-1995

Pada bab ini, akan dibahas bagaimana masyarakat sipil Indonesia melihat persoalan Timor-Leste sebagai isu penentuan nasib sendiri dan mulai menentang keabsahan Integrasi Timor Timur yang dipropagandakan Orde Baru, seiring perlawanan rakyat yang makin menguat.

Alur dari bab ini, disusun berdasarkan urutan peristiwa yang sudah menjadi label dalam periodisasi sejarah Timor-Leste selama pendudukan

Indonesia. Dimulai dari keterbukaan Timor-Leste 1989 dan situasi dunia yang melingkupinya, perlawanan yang berlanjut, kunjungan Paus Yohanes Paulus II,

Peristiwa Santa Cruz 1991, penangkapan Xanana Gusmão 1992, serta munculnya dukungan masyarakat-sipil Indonesia.

A. Masalah Timor-Leste Pasca Perang Dingin dan Politik Keterbukaan 1989

Pada dasawarsa 1980-an, sebagian dari diplomat yang mengikuti perkembangan masalah Timor-Leste, di forum PBB maupun berbagai forum internasional lainnya, menilai bahwa masalah Timor-Leste tinggal menunggu waktu, untuk mendapat pengakuan internasional sebagai wilayah Indonesia yang sah. Demikian juga para pengamat Timor-Leste yang paling getol umumnya merasa yakin bahwa perjuangan rakyat Timor-Leste sudah berakhir.252 Di

Indonesia, selama penundaan pembicaraan masalah Timor-Leste di majelis umum

252 Benedict Anderson. 2002. Op.Cit., Hlm. 238.

100 101

PBB sejak 1983, membuat media massa Indonesia yakin bahwa masalah Timor-

Leste tidak lagi menjadi isu penting. Opini umum menyebutkan bahwa pembangunan yang terus dipacu, membuat rakyat Timor-Leste akan menerima integrasi, begitu juga komunitas internasional.

Sejalan dengan itu, Gubernur Carrascalão memprakarsai agar Timor-Leste dibuka bagi masyarakat internasional, setelah isolasi 15 tahun sejak 1975. Ide ini didukung oleh ABRI, dan secara resmi Timor-Leste dinyatakan terbuka, mulai 1

Januari 1989.253 Kebijakan ini diikuti peningkatan jumlah pemukim Indonesia dari

Bugis, Makasar, dan orang Jawa yang segera menguasai perekonomian lokal.

Pada saat yang sama Perang Dingin mendekati titik akhir, yang secara simbolis ditandai runtuhnya Tembok Berlin, November 1989, membawa ‘angin segar’ bagi prospek Indonesia yang terbuka dan demokratis, menyusul proses demokrasi di negara-negara Eropa Timur. Namun keruntuhan Uni Soviet sebagai negara multikultural, setelah Michael Gorbachev mengulirkan kebijakan reformasi (perestroika) dan keterbukaan (glasnot), mengkhawatirkan Indonesia akan potensi perpecahannya sendiri. Meskipun pembantaian Pemerintah Cina

(RRC) di lapangan Tiannamen, Mei 1989, memberi sinyal bahwa gerakan demokrasi Indonesia bisa dilibas oleh kekuatan militer.254 Sementara kejatuhan

Rezim Marcos di Filipina (1986), oleh ‘people power’, sayup-sayup menghantui.

253 Meskipun istilah keterbukaan populer pada masa itu, namun Panglima ABRI, Jenderal Try Sutrisno, bersikukuh bahwa yang terjadi adalah persamaan status Timor-Leste. Lihat ‘Situasi Keamanan Sudah Terkendali’ Merdeka, 27 Desember 1988. 254 M. C. Ricklefs. Op.Cit., Hlm. 625.

102

Pada masa ini, apa yang secara reguler disebut bahaya laten komunis semakin tidak relevan. Sehingga untuk menghindari tuduhan bahwa Indonesia sudah tertinggal atau sama buruknya dengan komunis, Suharto agak memperlonggar hambatan dalam berorganisasi dan menyatakan pendapat secara bebas. Sebagai awal dari politik keterbukaan, pada tanggal 16 Agustus 1990, ia menyampaikan apa yang menurut David Bourchier, nampaknya menjadi perintah formal untuk keterbukaan bahwa jika kita masih khawatir dengan keragaman pendapat, itu berarti kita meragukan Pancasila.255

Sebelum itu, intensitas perang di Timor-Leste mulai menurun, dan perlawanan Fretilin mulai beralih ke perang gerilya klasik yang dikembangkan

Falintil. Perlawanan di bawah kepemimpinan Xanana Gusmão, diarahkan sebagai gerakan nasionalis.256 Termasuk melibatkan Gereja Katolik dan pengorganisasian

255 Lihat David Bourchier. Op.Cit., Hlm. 393-394. 256 Fretilin mengalami pukulan hebat setelah kehilangan sebagian besar pemimpin seniornya maupun karena tentara Falintil banyak terbunuh pada masa operasi dan pembasmian oleh ABRI tahun 1978-79. Perlawanan kemudian diorganisir kembali oleh sejumlah kecil anggota Komite Sentral yang selamat dan bertahan di wilayah timur (Ponta-Leste). Pada tahun 1981, berkat dukungan Monsignor Lopes, Fretilin menerima langkah penting kearah persatuan nasional dengan menyertakan UDT dalam resistensi dengan mengesampingkan pertentangan antara kedua partai sejak 1975. Pada fase ini, Fretilin menanggalkan kebijakan garis keras sejak 1977, ketika Fretilin dinyatakan sebagai Partai Marxis- Leninis (Partido Marxista-Leninista Fretilin, PMLF). Pada bulan Maret 1981, reorganisasi perlawanan membentuk Dewan Revolusioner Perlawanan Nasional (CRRN, Conselho Revolucionário da Resistência Nacional), disusul tahun 1988 kelanjutan restrukturisasi membentuk Dewan Nasional Resistensi Maubere (CNRM, Conselho Nacional de Resistência Maubere), sebagai badan tertinggi dan Falintil dipisahkan dari Fretilin, termasuk panglimanya Xanana Gusmão mengundurkan diri dari partai untuk menunjukkan pendekatan inklusif. Lihat Chega! Op.Cit., Bagian 3 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 97-100, 111-112. CNRM, berubah menjadi, Dewan Perlawanan Nasional Timor (CNRT, Conselho Nacional de Resistência Timorense), setelah konvensi di Peniche, Portugal April 1998.

103

pemuda/i Timor-Leste ke dalam resistensi, yang membentuk gerakan bawah tanah

(klandestin), dan berfungsi menghubungkan resistensi dengan masyarakat internasional sepanjang dasawarsa 1990-an. Perkembangan ini, sangat vital karena nantinya membangun jaringan dengan masyarakat sipil Indonesia yang luas, sekaligus meredam propaganda Orde Baru, bahwa Fretilin adalah gerakan komunis yang terisolir.

Pengorganisasian pemuda dimulai dengan pendirian OJECTIL

(Organização de Juventude Católica de Timor-Leste, Organisasi Pemuda Katolik

Timor-Leste), sekitar tahun 1986, oleh para aktivis pelajar yang berbasis di sekolah menengah Externato de São Jose, dan berkembang menjadi organisasi berbasis nasional. Dua tahun kemudian, mahasiswa klandestin di Indonesia membentuk Renetil (Resistência Nacional dos Estudantes Timor-Leste, Resistensi

Nasional Pelajar Timor-Leste), berdiri pada tahun 1988 di Bali, yang wilayah operasinya meliputi Jawa dan Bali.257 Mereka umumnya adalah mahasiswa

Timor-Leste yang dikirim pada tahun 1985, oleh Gubernur Carrascalão, agar berasimilasi dengan masyarakat Indonesia dan menerima integrasi. Namun kesadaran nasionalisme dan pengalaman masa-masa buruk di bawah pendudukan

Indonesia, serta fakta sebagian mahasiswa pernah menjadi kader Fretilin, membuat harapan itu tidak tercapai.

257 Ibid., Hlm. 113-114.

104

B. Kunjungan Paus Yohanes Paulus II

Laporan Chega! menulis bahwa politik keterbukaan membuat Timor-

Leste, meskipun berada dari luar jaringan pariwisata Asia, namun antara tahun

1989 dan 1991, lebih dari 3000 orang internasional datang berkunjung. Termasuk wartawan, pekerja LSM dan aktivis yang berkunjung dengan visa turis, dan membawa informasi masuk dan keluar Timor-Leste.258 Hal ini memungkinkan beberapa ilmuwan sosial dari Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), seperti

Mubyarto dan Lukman Sutrisno, melakukan penelitian ke Timor-Leste, yang hasilnya mengambarkan keadaan traumatik yang dihadapi penduduk setelah konflik berkepanjangan, dan menyarankan semacam gagasan otonomi dengan melibatkan badan-badan konsultasi khusus maupun gereja Katolik. Namun laporan ini, beredar sangat terbatas karena dilarang oleh militer.259

Kunjungan paling penting adalah kedatangan Paus Yohanes Paulus II, sebagai pemimpin tertinggi agama Katolik, sekaligus sebagai kepala negara pertama yang berkunjung ke Timor-Leste selama masa pendudukan Indonesia.

Kunjungan yang disertai kontingen besar media internasional, memberi kesempatan publisitas mengenai keinginan rakyat Timor-Leste yang tidak pernah

258 Ibid., Hlm. 117-118. 259 Gerry van Klinken. Op.Cit., Hlm. 22-23 Juga lihat Mubyarto et.al. 1991. East Timor: The Impact of Integration An Indonesian Socio- Anthropological Study. IRIP. Melbourne. Laporan senasib, meskipun dilandasi semangat integrasionis, salah satunya dibuat Tim P3PK. 1990. ‘Masyarakat Desa Timor Timur: Laporan Penelitian Sosio-Antropologis, PPPPK. Yogyakarta, dilarang ABRI ketika akan diseminarkan. Alasannya, akan menimbulkan keresahan sosial dalam masyarakat Timor Timur yang sedang giat-giatnya membangun. Lihat Sandyawan Sumardi SJ, Op.Cit.

105

ada sebelumnya selama 14 tahun pendudukan. 260 Sehingga begitu misa yang diselenggarakan Paus, di Tacitolu (Dili) usai, momentum ini digunakan gerakan klandestin pemuda untuk melancarkan demonstrasi dengan merentangkan sejumlah spanduk dan meneriakkan slogan kemerdekaan dan hak asasi manusia.

Ini menyulut bentrokan antara para demonstran dengan aparat keamanan dan polisi, yang memalukan Indonesia dihadapan pers internasional.261

Resistensi pemuda memperlihatkan kegagalan Orde Baru, untuk mendidik ulang generasi muda Timor-Leste melalui pendidikan Indonesia, yang diharapkan bisa menerima integrasi. Sehingga militer Indonesia, menjadikan gerakan klandestin pemuda sebagai target yang harus ditumpas. Namun di bawah represi, para pemuda menemukan keberanian. Pada kunjungan Duta Besar AS, John

Monjo, ke Timor-Leste, Januari 1991, dalam misi pencarian fakta mengenai dugaan penyiksaan dan penahanan yang terjadi sesudah demonstrasi kunjungan

Paus, di luar Hotel Turismo, tempat Monjo menginap, para pemuda mengorganisir demonstrasi dan meneriakkan slogan menentang pendudukan

Indonesia, serta menyerahkan sebuah pernyataan tertulis kepada PBB untuk menjalankan referendum mengenai status politik Timor-Leste.262

260 Lihat Chega! Op. Cit., Bagian 3 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 116-117. 261 Idem. 262 Mereka yang terlibat mengalami penangkapan dan penyiksaan oleh militer Indonesia, Idem.

106

C. Peristiwa Santa Cruz 1991

Setelah sepanjang dasawarsa 1980-an isu Timor-Leste nyaris terlupakan, maka pembantaian brutal oleh militer Indonesia, pada peristiwa Santa Cruz, 12

November 1991, menjadi titik balik perjuangan rakyat Timor-Leste.

Peristiwa ini, bermula ketika para aktivis pemuda Timor-Leste menyiapkan demonstrasi menyambut rencana kunjungan parlemen Portugal ke

Timor-Leste dalam kerangka perundingan Pemerintah Portugal dan Indonesia.

Pada saat itu, beredar desas-desus tentang rencana pertemuan antara delegasi tersebut dengan Xanana, dengan harapan yang sangat tinggi.263 Satu kelompok pemuda menyiapkan spanduk untuk demonstrasi, di Gereja Motael, di tepi pantai

Dili, berhasil dipantau inteligen Indonesia, dan memicu keributan, yang menyebabkan kematian Sebastião Gomes Rangel, karena ditembak militer

Indonesia. Meskipun kunjungan parlemen Portugal dibatalkan, 264 namun untuk mengenang pembunuhan tersebut, gerakan klandestin melakukan arak-arakan untuk menaburkan bunga di makam Sebastião, di pemakamam Santa Cruz, setelah misa pagi 12 November 1991, yang berubah menjadi demonstrasi terbuka.

Demonstrasi damai, menjadi menegangkan karena provokasi militer

Indonesia, dan berubah menjadi peristiwa berdarah ketika para demonstran dihadang dan ditembak serdadu Indonesia. Perkiraan independen menyebut

263 Ibid., Hlm. 120. 264 Pembatalan ini dikarenakan pemerintah Indonesia, tidak menyetujui keikutsertaan wartawati Australia, Jill Joliffe, dengan alasan ia sering menulis artikel yang tidak menguntungkan Indonesia. Sementara Portugal tetap mempertahankan sikapnya, yaitu wartawan harus diikutsertakan sesuai dengan kesepakatan PBB. Lihat Fernando Araújo. Op.Cit., Hlm. 30.

107

jumlah orang yang terbunuh mencapai 271 orang, 250 orang dinyatakan hilang dan 382 luka-luka.265 Pembantaian itu, dilakukan dihadapan kamera para wartawan asing, dan diabadikan dalam bentuk film oleh wartawan Inggris, Max

Stahl yang diselundupkan wartawati Belanda, Saskia Kouwenberg, dari Timor-

Leste ke Amsterdam. Bukti yang kuat ini, ditambah dengan foto-foto yang diambil oleh fotografer Inggris, Steve Cox, termasuk kehadiran dua jurnalis AS,

Alan Nairn dan Amy Goodman menjadi saksi penting peristiwa itu. 266

Hasil rekaman foto di media cetak maupun penayangan suara dan gambar- gambar hidup di radio dan televisi di berbagai negara, membuat Indonesia menuai kecaman internasional. Laporan Chega! menyebutkan bahwa peristiwa ini menjadi bukti kunci bagi masyarakat dunia, akan penindasan terhadap rakyat

Timor-Leste yang mengekpresikan harapan mereka akan penentuan nasib sendiri dan kemerdekaan yang berdampak internasional. 267 Sejak itu masyarakat internasional lebih menyadari bahwa Timor-Leste ada dalam cengkraman ketegangan, bahwa penindasan militer Indonesia adalah realitas, dan bahwa penentuan nasib sendiri adalah kunci untuk mencapai perdamaian. 268

265 Lihat M. C. Ricklefs. Op.Cit., Hlm. 636. Versi Orde Baru pada awalnya menyebut 19 yang orang terbunuh. Namun menghadapi kecaman internasional angkanya naik menjadi 50 orang. 266 Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 119. Keberhasilan para jurnalis tersebut membayar lunas pembunuhan 5 wartawan di Balibo, dalam upaya menfilmkan infiltrasi Indonesia tahun 1975. Dalam Peristiwa Santa Cruz, mereka hanya mengalami babak belur karena dianiaya. Dari hasil karya mereka, setidaknya diproduksi 3 buah film yang menonjol pada tahun 1990-an, yaitu Cold Blood, Death of The Nation dan Sometime I Must Speak Loudly. 267 Ibid., Hlm.121-122. 268 Idem.

108

D. Awal Dukungan Masyarakat Sipil Indonesia

Kontrol dan hegemoni pemerintahan Orde Baru, terhadap segala informasi mengenai Timor-Leste, membuat masyarakat sipil Indonesia nyaris tidak mengetahui apa yang terjadi di Timor-Leste.269 Keadaan ini, merupakan kebalikan dari apa yang dialami masyarakat Indonesia di luar negeri, terutama mereka yang menghindar dari cengkeraman Orde Baru.

Laporan Chega! mencatat orang-orang Indonesia yang mula-mula menentang invasi Indonesia, adalah masyarakat sipil Indonesia di luar negeri.

Umumnya mereka adalah anggota PKI dan orang-orang kiri lainnya, yang menghindari penangkapan rezim Orde Baru, pasca Gerakan 30 September 1965.

Sebagian dari mereka berdomisili di Eropa, dan umumnya bergabung dengan grup-grup pendukung di Jerman, Perancis, Belgia, Denmark, Norwegia, Swedia dan Belanda (Komite Indonesia). Tercatat nama-nama seperti Kusni Sulang aktif di Paris (Perancis), Hendrik Amahorseja di Swedia, Siauw Tiong Djin, Goei Hok

Gie (Andrew Gunawan) dan Ernst Utrecht di Belanda. Pada tahun 1981, Jusfiq

Hadjar dan Liem Soei Liong menjadi orang Indonesia pertama yang secara terbuka menentang invasi dan mendukung kemerdekaan Timor-Leste, ketika memberikan kesaksian pada pengadilan masyarakat permanen di Lisabon. 270

269 Di Asia Pasifik, dukungan kuat masyarakat sipil untuk Timor-Leste, terutama di Australia. Di Asia, pertama di Jepang pada tahun 1981, oleh kelompok perempuan di Hiroshima, dipimpin oleh Jean Inglis. Ibid., Hlm. 111- 112. Baik pemerintah Australia dan Jepang, adalah pendukung rezim Orde Baru. Sementara di Eropa, berbasis di Portugal, di mana gerakan pro Timor-Leste, sangat dipengaruhi kehadiran komunitas Timor-Leste. Ini menunjukkan secara umum isu Timor-Leste tetap terpinggirkan sampai peristiwa Santa Cruz 1991. 270 Ibid., Hlm. 128. Di Perancis, Ramos-Horta, pernah diterima dan menginap di Restoran Indonesia. Lihat J.J. Kusni. 2005. Membela Martabat Diri

109

Laporan Chega! menulis bahwa sebagai balasan pemerintah Suharto menyatakan mereka sebagai persona non grata, dan dicekal kembali ke Indonesia.271

Demikian juga orang-orang yang diasingkan lainnya, tidak pernah secara terbuka menunjukkan dukungan mereka dan diperbolehkan kembali ke Indonesia dengan selamat. Dukungan mereka bagi Timor-Leste diwaspadai sebagai usaha memperlihatkan sikap dan perhatian dari PKI yang terlarang. 272 Laporan Chega! mencatat bahwa Liem Soei Liong dan Carmel Budiardjo [orang Inggris, bersuamikan orang Indonesia, yang menjalani tahanan politik setelah Peristiwa

Gerakan 30 September 1965] dari Tapol menyangkal pekerjaan mereka, didorong oleh agenda seperti itu. 273 Meskipun demikian, Tapol yang dibentuk pada bulan

Juni 1973 di Inggris untuk memperjuangkan hak asasi manusia di Indonesia, secara reguler mulai menerbitkan laporan-laporan tentang Timor-Leste. Publikasi laporan berkala Tapol, regularitas dan profesionalitasnya dikagumi para aktivis lain, yang merupakan inisiatif dan dedikasi Carmel Budiardjo dan Liem Soei

Liong. 274 Selain itu, kolaborasi mereka, juga menghasilkan buku tentang Timor-

Leste, The War Against East Timor (Perang Melawan Timor-Leste), terbit tahun

1984 di London, Inggris, yang beredar di luar negeri. 275

Indonesia dan Koperasi Restoran Indonesia di Paris. Ombak. Yogyakarta. Hlm. 67. 271 Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 127. 272 Idem. 273 Idem. 274 Ibid., Hlm. 188. 275 Publikasi mengenai Timor-Leste, lihat ‘East Timor: A Bibliography’ dalam Peter Carey and G. Carter Bentley (Ed). 1995. East Timor at the

110

Sementara kesadaran yang meluas di Eropa, mengenai pembantaian- pembantaian dan hadirnya beberapa organisasi yang kritis seperti Komite

Indonesia dan Tapol, membuat masyarakat sipil Indonesia di Eropa, di luar pelarian politik 1965, juga menyadari betul akan kesalahan Suharto. Di antaranya para jurnalis Indonesia di Radio Belanda, seperti Tossy Santoso dan Yoss

Wibisono.276 Ketika mahasiswa Portugal yang tergabung dalam Forum Estudante dan Missão Paz por Timor, mengalang dana untuk menyewa kapal feri Portugis,

Lusitania Expresso, dan berlayar ke Timor-Leste, setelah peristiwa Santa Cruz

1991, dua orang Indonesia yang menetap di Belanda, Aeri Harapan dan Reza

Muharram, ikut bergabung pada bulan Maret 1992. Akibatnya paspor mereka dibatalkan oleh pemerintah Indonesia sebagai hukuman. 277

Dalam hal ini, keberadaan masyarakat sipil Indonesia di luar negeri mempunyai peran penting. Terutama dalam memberi informasi alternatif tentang

Timor-Leste kepada para aktivis Indonesia. Seperti mengirim laporan berkala

Tapol atau melakukan kunjungan rahasia seperti Liem Soei Liong, yang memberikan ceramah mengenai masalah Timor-Leste kepada para aktivis

Indonesia; maupun melalui pancaran siaran Radio Belanda yang diterima di

Indonesia.278 Wartawan radio itu, Tossy Santoso, ketika melakukan perjalanan

Crossroads the Forging of a Nations. Cassel and Research Council. New York. Hlm. 199-237. 276 Wawancara Tossy Santoso, Jakarta, 22 Mei 2007. Juga lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 127. 277 Chega!., Idem. 278 Menurut Tossy Santoso, Radio Nederland berfungsi mengimbangi atau menembus kebebasan pers yang ditindas...memberi fakta dan pandangan yang berbeda tentang Timor-Leste...Misalnya dengan mendatangkan Robert Domm

111

jurnalistik ke Indonesia untuk membuat dokumenter mengenai Timor-Leste, menggunakan kesempatan itu untuk memberikan ceramah mengenai masalah

Timor-Leste secara diam-diam di sejumlah kota di Indonesia.279 Demikian juga berkat jaringan dan kontak dengan LSM Indonesia seperti Skephi (Indro

Cahyono), dan Yopie Lasut yang ketika itu koresponden Radio Belanda, aktivis

Timor-Leste Jose Amorim Dias dan bekas komandan Falintil, Paulinho Gama

(Mauk Muruk), mendapat bantuan ketika mengungsi ke Eropa.280

Namun secara umum, dukungan masyarakat sipil Indonesia di luar negeri, tidak berdampak besar di Indonesia. Terutama karena kesulitan dalam membangun hubungan dengan jaringan masyarakat sipil di Indonesia, yang memang belum terbangun kokoh, dan juga karena ketakutan akan represi. Seperti dikatakan Liem Soei Liong: 281

Timor-Leste merupakan isu sensitif, dan mungkin pada awal 1980-an merupakan isu yang lebih sensitif dibanding isu PKI/1965.

untuk diwawancarai, sebagai orang asing pertama yang mewawancarai Xanana pada tahun 1990. Akibatnya ia ditekan dalam bentuk pengendalian paspor dan pembatasan daya laku paspor. Wawancara Tossy Santoso, Jakarta, 23 Mei 2007. 279 Idem. Dokumenter tentang Timor-Leste, disiarkan langsung ke seluruh Indonesia oleh Radio Nederland, yang kemudian dibukukan. Lihat Aboeprijadi Santoso. 1996. Jejak-Jejak Darah: Tragedi Pengkhianatan di Timor Timur. Stichting. Amsterdam. dan Pijar Yogyakarta. 280 Idem. Jose Amorim Dias di Eropa menjadi Dubes CNRM selama masa perlawanan dan berkedudukan di Brussel (Belgia). Setelah Timor-Leste merdeka, ia menjadi Dubes untuk Uni Eropa. Sedangkan Paulinho Gama, setelah tinggal di Portugal pindah ke Belanda, di mana ia mendirikan dan menjadi presiden International Timorese Secretariat for Human Rights. Mengenai kisah hidupnya, lihat ‘The war in the Hills, 1975-85: A Fretilin Commander Remembers’ dalam Peter Carey and G. Carter Bentley (Ed). Op.Cit. Hlm. 97-105. 281 Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm.127.

112

Demikian juga generasi aktivis yang lebih muda dihadapkan pada problem yang sama. Laporan Chega! menulis bahwa Yeni Rosa Damayanti 282 mengilustrasikan maksud pernyataan ini dalam praktek, ketika ia diinterogasi oleh seorang Mayor Bakorstanas (Badan Koordinasi Stabilitas Nasional) pada tahun

1991 menyusul sebuah protes terhadap Perang Teluk, yang dikaitkan para aktivis

Indonesia dengan invasi Indonesia ke Timor-Leste: 283

Sang Mayor meletakkan pistolnya di hadapan saya dan berkata: “Kamu boleh berbicara tentang apa saja, tapi kamu tidak boleh berbicara tentang Timor Timur. Ribuan tentara telah meninggal di Timor Timur dan saya tidak akan membiarkan satu pun orang Indonesia untuk berbicara tentang Timor Timur. Ribuan orang telah meninggal dan kamu hanyalah satu orang lagi, dan nyawa satu orang Indonesia tidak ada artinya...

Praktis keterbukaan Timor-Leste, pada tahun 1989, tidak membuat masyarakat Indonesia lebih memahami situasi yang dihadapi rakyat Timor-Leste.

Karena dipersulit oleh kontrol dan represi terhadap kebebasan pers maupun kebebasan akademik. Sehingga ketika masyarakat sipil Indonesia muncul, terlalu disibukkan dengan isu-isu tanah, tenaga kerja, dan hanya memiliki sedikit kebebasan dan sumber-sumber yang dimiliki organisasi-organisasi komunitas di negara-negara demokratis.284 Dalam hal ini, isu Timor-Leste bukanlah isu penting, seperti dituturkan Bonar Tigor (Coki) Naipospos: 285

282 Yeni Rosa Damayanti, memulai aktivitas politiknya dari Universitas Nasional (Unas), Jakarta, dan kemudian aktif di Infight. Setelah Suharto tumbang, aktif di Solidamor. 283 Chega! Op.cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 128. Penuturan yang sama dikemukakan dalam wawancara dengan penulis. 284 Idem. 285 Wawancara Bonar Tigor Naipospos, Jakarta, 23 Mei 2007. Naipospos, memulai aktivitas politiknya dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia bergabung dalam Kelompok Studi Palagan, dan bersama dua aktivis mahasiswa

113

Bagi aktivis mahasiswa tahun 1980-an dan 90-an awal, isu Timor-Leste sama sekali tidak terpikirkan. Kita tidak tahu sebetulnya apa yang terjadi karena media massa tercabik-cabik...tertutup. Pemerintah menguasai betul pemberitaan media massa...[sehingga] isu Timor-Leste tidak pernah menjadi isu kunci bagi gerakan rakyat Indonesia, maupun gerakan mahasiswa di Indonesia sampai periode 1990-an awal.

Kontrol atas media, juga dilakukan terhadap liputan Peristiwa Santa Cruz, yang disensor. Namun berita pembantaian bocor, setelah dipublikasikan wartawan majalah Jakarta-Jakarta, Seno Gumira Ajidarma, yang menyelidiki sendiri pembantaian tersebut, dan segera menarik perhatian publik Indonesia, berkaitan dengan perjuangan melawan militerisme.286 Majalah tersebut kemudian dibredel, namun laporan-laporan yang telah diubah dalam bentuk cerita-cerita pendek, tanpa menyebut Timor-Leste, dimuat di sejumlah surat kabar Jakarta. Menurut

Benedict Anderson, cerita-cerita itu merupakan ekpresi aram-temaram suatu masyarakat yang rusak, yang nantinya dikumpulkan dalam buku Saksi Mata,287

lainnya ditangkap karena menjual dan mendiskusikan buku-buku terlarang, karya Pramoedya Ananta Toer, Rumah Kaca. Ia dihukum pada tahun 1990, 8 tahun, 6 bulan penjara, namun diberi pembebasan bersyarat pada Mei 1994. Selanjutnya ia aktif di Pijar dan setelah Suharto tumbang aktif di Solidamor. 286 Wawancara Hilmar Farid, Jakarta, 9 Juni 2007. 287 Benedict Anderson. 2000. Op.Cit., Hlm. 244. Juga lihat Seno Gumira Ajidarma. 2002. Saksi Mata. Bentang. Yogyakarta. Cetakan pertama 1994. SGA diberhentikan dari redaktur pelaksana Jakarta-Jakarta karena laporannya tersebut. Saksi Mata mempunyai sekuel yaitu novel Jazz, Parfum dan Insiden dan Ketika Jurnalisme Dibungkam, Sastra Berbicara. Keduanya diterbitkan tahun 1996 oleh Bentang. Saksi Mata terdiri dari 16 cerita pendek, beberapa telah diterjemahkan dalam bahasa Inggris, Belanda dan Jepang, serta ke bahasa Tetum oleh Triana Oliveira, dan Portugis oleh João Paulo Esperança. Esperança, menyebut Saksi Mata sebagai literatura denunçia (karya sastra yang melaporkan) dalam karya sastra tentang Timor-Leste. Lihat João Paulo Esperança, Um Brevíssimo Olhar Sobre a Literatura de Timor. http://www.sul.online.org/ficheiros/Literatura Timorense artigo.

114

dan menjadi referensi alternatif.288 Dampak dari peristiwa Santa Cruz, membuat masalah Timor-Leste untuk pertama kalinya menjadi isu terbuka di Indonesia, yang dimasukkan ke dalam daftar masalah-masalah sosial dan hak asasi manusia dan lingkungan yang sangat mendesak oleh sejumlah aktivis Indonesia.289

Termasuk penangkapan terhadap sejumlah orang Timor-Leste, pasca

Peristiwa Santa Cruz, yang diproses oleh pengadilan Indonesia di Dili, mulai melibatkan sejumlah pengacara dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

(YLBHI)290 dan Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN). Di antaranya Luhut P.

Pangaribuan, Artidjo Alkostar, Domi Vos Atok dan Nur Ismanto (LBH

Yogyakarta).291 Namun upaya mereka dihalang-halangi pengadilan dan penguasa militer Dili. Sehingga LBH mengajukan protes dan lobi-lobi gencar ke Mahkamah

Agung agar melakukan intervensi langsung, memastikan para terdakwa menerima bantuan hukum yang independen, walaupun upaya pembelaan itu tetap

288 Wawancara Gimin Dwihartanto, Jakarta, 1 Mei 2007. Mantan aktivis KPRP/PRD (Komite Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Perubahan/Partai Rakyat Demokratik). 289 Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 129. 290 LBH adalah LSM yang didirikan di Jakarta pada tahun 1991 atas inisiatif Adnan Buyung Nasution. Mula-mula dilarang beroperasi di luar Jakarta, namun sejak 1978, diperbolehkan membuka cabang regional. Lihat Anders Uhlin. 1998. Oposisi Berserak: Arus deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Mizan. Bandung. Hlm. 102. Meskipun beberapa cabang LBH aktif membela perjuangan Timor-Leste, namun Adnan Buyung Nasution, adalah pendukung integrasi yang konservatif. Wawancara Wilson, Jakarta, 7 Mei 2007. 291 Lihat laporan Chega! Op.Cit., Bab 7.6 ‘Pengadilan Politik’. Hlm. 32.

115

dipersulit,292 dan seringkali beresiko. Kesaksian ibu Ade Rostina Sitompul yang aktif mengunjungi para tahanan, mengatakan: 293

Itu bukanlah pekerjaan yang mudah karena aparat keamanan sangat represif, dan kita selalu dibuntuti kemanapun kita pergi...Para pengacara, seperti pak Luhut [Pangaribuan], diteror di Hotel Turismo...Kita menerima panggilan- panggilan telepon yang menyuruh kita pulang atau akan dibunuh dan saya takut sekali waktu itu.

Namun demikian, laporan Chega! menuliskan bahwa upaya para pengacara LBH, patut dipuji atas komitmen yang ditunjukkan pada nilai-nilai keadilan dan hak asasi manusia dalam menghadapi ancaman, intimidasi dan gangguan-gangguan. 294 Keterlibatan ini, diikuti advokasi berkelanjutan terhadap para aktivis Timor-Leste yang diajukan ke pengadilan Indonesia, maupun yang ditahan dan dipenjarakan sepanjang tahun 1990-an. Pada tahun 1993, sebuah buklet yang diterbitkan LBH, bertolak belakang dengan propaganda Orde Baru menyebut perjuangan Timor-Leste sebagai gerakan kemerdekaan yang berjuang untuk membebaskan diri mereka sendiri dari penindasan Indonesia.295

Sementara itu, peristiwa Santa Cruz juga mendapat publikasi luas, setelah

100 orang mahasiswa Timor-Leste yang belajar di kota-kota besar Indonesia, seperti Denpasar, Surabaya, Malang, Yogyakarta, Semarang, Solo, Salatiga,

Bandung dan Jakarta melancarkan demontrasi dan protes di depan kantor perwakilan PBB di Jakarta, pada tanggal 19 November, di mana polisi menangkap

31 orang demonstran. Aksi ini diorganisir oleh Renetil dan Felectil (Frente

292 Ibid., Hlm. 33. 293 Ibid., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 130. 294 Ibid., Bab 7.6 ‘Pengadilan Politik’. Hlm. 44. 295 Anders Uhlin. Op.Cit., Hlm. 225.

116

Estudantil Clandestina de Timor-Leste, Front Klandestin Pelajar Timor-Leste), yang mendapat dukungan sejumlah organisasi non-pemerintah, yang bergerak di bidang HAM. Terutama Infight (Indonesian Front for The Defence of Human

Rights) yang dibentuk pada tahun 1990, sebagai tanggapan atas keputusan pemerintah untuk mengeksekusi sejumlah tahanan politik bermasa tahanan lama.

Kelompok ini meliputi LPHAM (Lembaga Penegakan Hak Asasi Manusia), dan

Skephi (Jaringan Konservasi Hutan), aktivis mahasiswa dan kaum muda lainnya, sekelompok petani dan perempuan, seniman, jurnalis, serta aktivis Timor-Leste dan Papua.296 Pada saat itu LPHAM dipimpin oleh Haji Johanes Cornelius

Princen (1925-2002),297 seorang pengkritik yang lantang terhadap rezim Orde

Baru. Anders Uhlin mencatat bahwa setelah pembantaian Santa Cruz, Infight mengirim satu delegasi ke parlemen mengajukan protes. Termasuk merencanakan misi pencari fakta ke Timor-Leste,298 dengan mengutus ibu A. Rani Yunsih, ibu

Amartiwi Saleh, H.J.C. Princen dan Jopie Lasut, namun dicegah oleh militer

296 Ibid., Hlm. 114-116. 297 Dilahirkan di Belanda, Princen adalah perintis HAM terkemuka di Indonesia sejak kemerdekaan; sebagai serdadu Belanda, ia berperang di pihak Indonesia. Ia melindungi banyak orang Timor-Leste, termasuk para pencari suaka politik ke luar negeri. Rakyat Timor-Leste mengadakan upacara di Taman Borja da Costa, Dili, menandai kematiannya pada tahun 2002. Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 128. Pada ulang tahunnya yang ke- 70, tahun 1995 diterbitkan buku dan Xanana yang ikut menyumbangkan tulisan menyebut ‘Princen adalah titik terang yang hidup menerangi jiwa para progresif, yang memberi kehangatan dan menanamkan keberanian pada demokrat-demokrat Indonesia’, lihat Kay Rala Xanana Gusmão, Princen Um Perfil no Tempo (Princen Profil Masa Kini) dalam Sri Bintang Pamungkas dkk. (Editor). 1995. H.J.C. Princen 70 Tahun: Gerilya Yang Tak Pernah Selesai. Panitia 70 Tahun H.J.C. Princen. Hlm. 72-86. Sayang sekali, penulis tidak mendapatkan otobiografi Xanana, To Resist is To Win yang memuat beberapa pesan kepada Princen. 298 Anders Uhlin. Op.Cit., Hlm. 223.

117

[Laksus (Pelaksana Khusus)], sehingga hanya sampai di bandara Cengkareng,

Jakarta.299

Anggota-anggota Infight, LPHAM dan Hidup Baru dari Jakarta, yang ikut serta dalam demonstrasi para mahasiswa Timor-Leste,300 umumnya adalah generasi LSM baru yang radikal dan vokal yang berfokus secara khusus pada demokrasi dan hak asasi manusia pada akhir 1980-an dan awal 1990-an.

Organisasi-organisasi ini, mulai mempertautkan isu Timor-Leste dengan isu HAM dan demokrasi di Indonesia. Aktivis Infight, Indro Tjahyono mengatakan Infight mendukung usulan PBB melakukan sebuah referendum: 301

Di Infight kami tidak hanya memberikan perhatian kepada hak-hak individu, tetapi juga hak-hak kolektif, termasuk hak satu kelompok etnik untuk melestarikan budayanya sendiri dan bahkan hak untuk menentukan nasib sendiri…Seringkali hak asasi manusia didiskusikan dalam konteks bangsa yang baru muncul. Dalam arti bahwa bangsa dianggap sebagai kondisi yang telah ditakdirkan. Di Infight kami memandang hak asasi manusia sudah ada sebelum dan melampaui konstelasi bangsa. Oleh karena itu, kita mesti mengakui hak orang untuk menentukan kondisi keberadaan mereka sendiri. Kami menghargai semua perjuangan demi kebebasan.

299 A. Rani Yunsih, ‘H.J.C. Princen Seorang Humoris, Politisi Yang Sarat Pengalaman’ dalam Sri Bintang Pamungkas dkk. (Editor). H.J.C. Princen 70 Tahun: Gerilya Yang Tak Pernah Selesai. Op.Cit., Hlm. 27. 300 Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 249. Salah satu pendiri Infight adalah Jose Amorim Dias aktivis Timor-Leste bekas mahasiswa teologi. Idem. 301 Anders Uhlin. Op.Cit., Hlm. 224. Dikutip dari Inside Indonesia, November 1991, No 29: 19.

118

Sementara itu, bersamaan dengan demontrasi mahasiswa Timor-Leste di

Jakarta, Ikatan Mahasiswa Yogyakarta menyebarkan fax petisi mereka tentang pembantaian di Dili: 302

Demi kemanusiaan dan kesejahteraan kami meminta pemerintah untuk mempertimbangkan kembali proses palsu integrasi, yang tampaknya menimbulkan semakin banyak korban, tidak sebanding dengan dukungan terhadap integrasi di masyarakat Timor Lorosa’e. Kami menyarankan agar sebuah referendum diawasi PBB segera diadakan untuk mengetahui keinginan sebenarnya rakyat Timor Lorosa’e.

Empat hari kemudian, 12 senat mahasiswa menyebarkan petisi melalui faksimile, dan berkumpul di kampus Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, mengadakan aksi protes: 303

Kami menuntut agar pemerintah RI menarik semua pasukannya secepatnya dari Timor Lorosa’e, dan memberikan hak penuh dan bebas untuk menentukan nasibnya sendiri kepada rakyat Timor Lorosa’e, untuk mencegah hilangnya nyawa yang sia-sia.

Kedua belas senat mahasiswa berasal dari Universitas Parahyangan

Bandung, Universitas Indonesia (Jakarta), Institut Teknologi Bandung (Bandung),

Universitas Gadjah Mada (Yogyakarta), Universitas Diponegoro (Semarang),

Universitas Pancasila (Jakarta), Universitas Ibnu Khaldun (Bogor), Universitas

Negeri Surakarta, Universitas Padjadjaran (Bandung), Institut Teknologi

Indonesia (Jakarta), dan Institut Teknologi Surabaya. Dalam aksi ini, 9 aktivis

302 Dikutip dari George J. Aditjondro. Op.Cit., Hlm. 250. 303 ‘Peristiwa ini dilaporkan secara takut-takut oleh mingguan Tempo...menunjukkan poster yang di bawah para mahasiswa pada suatu foto selebar 2 halaman tanpa keterangan Dili atau Timor Lorosa’e’. Lihat Tempo, 30 November 1991, dikutip dari George J. Aditjondro. Idem.

119

mahasiswa ditahan, termasuk penggagas mereka, Pius Lustrilanang, tetapi dibebaskan beberapa hari kemudian oleh aparat keamanan Bandung. 304

Demikian juga, sebelum protes terbuka, sebuah organisasi bahwa tanah telah menyebarkan pamflet-pamflet pro Timor-Leste yang diterjemahkan dari edisi aslinya dalam bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.305 Termasuk terjemahan buletin Tapol terbitan London yang penerbitnya menggunakan nama ‘Front Islam untuk Demokrasi dan Hak Asasi Manusia di Indonesia’. Pada edisi November

1991, menurunkan wawancara Robert Domm dengan Xanana Gusmão di pegunungan Timor-Leste.306

Demonstrasi di Jakarta, merupakan aksi pertama, dari kehadiran orang- orang Timor-Leste di jantung kota-kota Indonesia, dan memberi dimensi baru bagi perkembangan resistensi. Di mana mahasiswa Timor-Leste di Indonesia, mulai lebih mengetahui situasi politik Indonesia, sebagai peluang untuk memperkenalkan secara langsung masalah Timor-Leste kepada publik Indonesia.

Upaya kearah itu, juga dirintis setelah interaksi dengan para aktivis HAM

Indonesia, ketika sejumlah tahanan politik Timor-Leste yang dipenjarakan dikirim ke luar Timor-Leste, antara lain ke Kupang, Bali, dan Jawa sebagai upaya isolasi.307 Laporan Chega! menulis bahwa aktivis HAM, ibu Ade Rosa Sitompul,

304 Ibid., Hlm. 251. 305 Idem. 306 Idem. Selain itu, Tapol juga menurunkan berita mengenai serangan militer Indonesia tahun 1990/1991 di Timor-Leste dan berita para korban bercerita tentang pengalamannya. Lihat Tapol No. 01 November 1991. 307 Misalnya pada tahun 1983, 69 tahanan yang diduga terlibat dalam pemberontakan Kraras dipindahkan dari penjara Balide (Dili), ke Kupang (Timor Barat, Indonesia). Lihat Chega! Op.Cit., Bagian 3 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 42.

120

yang menjadi pengunjung reguler tahanan Timor-Leste yang dipenjara di LP

Cipinang, menilai kondisi pengamanan terhadap mereka jauh lebih ketat dibandingkan para tahanan yang lain.308

Belakangan mereka yang terlibat dalam Peristiwa Santa Cruz, dan demonstrasi di Jakarta, pada 19 November 1991, ikut dipenjara di LP Cipinang

(Jakarta) dan Semarang. 309 Pemenjaraan mereka, membawa perkenalan lebih jauh dengan oposan Indonesia, yang dipenjarakan Orde Baru, dan menjadi sumber informasi langsung dalam memperkenalkan masalah Timor-Leste. Bonar Tigor

Naipospos, menjelaskan: 310

Ketika di Jakarta...dipindahkan ke LP Cipinang, saya bertemu dengan sejumlah tahanan politik dari Timor-Leste. Termasuk Fernando Araújo, Virgilio Guterrez dan juga beberapa lainnya...kita mulai aktif berdiskusi...di Cipinang itu tahanan politik banyak. Mulai dari tahanan politik kasus Islam, kasus Timor-Leste, kasus Tanjung Priok, kasus G-30-S/PKI...kita berdiskusi ya tentang situasi politik Indonesia, termasuk juga tentang Timor- Leste...sejarah Timor-Leste...perjuangan Timor-Leste.

Hal ini secara perlahan, mulai menguak selubung rahasia mengenai perang ilegal militer Indonesia, yang secara brutal menindas perlawanan rakyat di Timor-

Leste. Aktivis Yeni Rosa Damayanti menuturkan: 311

308 Idem. 309 Persidangan atas aksi di Jakarta, seperti terhadap Fernando Araújo, salah satu penasehat hukumnya adalah Munir Said Thalib (1965-2004), yang sebagai pejuang HAM yang gigih, banyak menentang pelanggaran HAM oleh ABRI di Timor-Leste. Pada tahun 2004, ia meninggal dalam pesawat Garuda dari Jakarta menuju Amsterdam (Belanda), karena diracun. Sampai saat ini, kasusnya belum terungkap tuntas. Lihat Tim Redaksi LP3S. 2007. Api Dilawan Air: Sosok dan Pemikiran Munir. LP3S. Jakarta. 310 Wawancara Bonar Tigor Naipospos, Jakarta, 23 Mei 2007. 311 Wawancara Yeni Rosa Damayanti, Jakarta, 26 April 2007.

121

Tahun 1991...saya mendapat cerita-cerita langsung. Pengalaman kawan- kawan [Timor-Leste]. Saya ingat salah satu cerita...si Virgilio Guterrez...dia cerita apa yang terjadi saat itu. Pengalaman pribadi dia pada saat invasi...dia sempat trauma dengan pesawat...yang bisa terbang rendah...tiap sebentar...harus masuk bunker. Pengalaman, cerita-cerita langsung dari kawan-kawan...kita mendapat gambaran mengenai apa yang sebetulnya terjadi di Tim-Tim [Timor-Leste]. Jadi, sebetulnya itu lebih pengalaman empirik, karena mendengar cerita langsung dari para korban dan pelaku. Jadi, nggak banyak dari buku, kita nggak punya buku tentang Tim- Tim...betul-betul pada saat itu, [tahun] 91, kita mengandalkan...interaksi personal dengan kawan-kawan itu. Jadi, pada saat militer begini...begitu...negasinya tidak kami dapatkan dari buku, negasinya...dari hasil ngobrol dan diskusi...dengar cerita...tukar menukar cerita dengan kawan-kawan itu.

Andil para mahasiswa Timor-Leste, terlihat dari strategi Renetil mengembangkan apa yang disebut sebagai ‘Indonesianisasi’ konflik

(Indonesiação do Conflito). Sehingga mahasiswa Timor-Leste menjadi aktif dalam gerakan pro-demokrasi Indonesia yang mulai tumbuh, 312 ketika masih segelintir orang Indonesia yang menaruh perhatian terhadap masalah Timor-Leste.

Aktivis HAM, Nugroho Katjasungkana, dalam laporan Chega! menceritakan kesibukan para aktivis Indonesia untuk menjatuhkan rezim Suharto dan keterlibatan orang Timor-Leste: 313

Keterlibatan orang Timor dalam perjuangan demokrasi di Indonesia mendahului keterlibatan orang Indonesia dalam perjuangan penentuan nasib sendiri Timor-Leste.

Demikian juga, Yeni Rosa Damayanti, bertanya secara retoris: 314

Di mana rakyat Indonesia ketika rakyat Timor-Leste sedang menderita? Dia menjawab “Jawabannya kami tidak tahu apa yang terjadi di sana”.

312 Lihat Chega! Op.Cit., Bagian Ketiga ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 124. 313 Ibid., Hlm 123. 314 Ibid., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri.’ Hlm. 128.

122

E. Penangkapan Xanana Gusmão

Xanana Gusmão, yang ketika itu presiden CNRM dan panglima Falintil, diadili Pengadilan Indonesia di Dili, setelah tertangkap pada tanggal 20 November

1992. Pada saat ia membaca pembelaannya (17 Mei 1993), hakim pengadilan menghentikannya hanya selang beberapa menit, karena dianggap tidak relevan.

Namun pleidoi Xanana diselundupkan dari penjara dan mendapat publisitas luas di luar negeri.315 Di Indonesia, media massa memberitakan penangkapan Xanana dan persidangannya dari awal sampai akhir, yang disensor secara ketat. Ia digambarkan sebagai pemberontak kriminal, seorang ‘maniak seks’ dan ditekan untuk mengakui integrasi. Dalam wawancara dengan televisi Indonesia, ia sepertinya menyatakan menolak perjuangan resistensi pada 25 November. Namun kampanye internasional, berhasil menekan Indonesia agar menjamin keselamatannya, mulai dijalankan. 316

YLBHI yang diberi kuasa hukum oleh keluarga Xanana untuk menjadi pembelanya menemui kegagalan, karena berulangkali pihak berwenang Indonesia menghalangi Xanana menunjuk pengacara yang independen. 317 Xanana kemudian dijatuhi hukuman penjara seumur hidup, lalu 20 tahun dan dipenjara di LP

Semarang sebelum dipindahkan ke LP Cipinang, Jakarta. Ironisnya, pemenjaraan tersebut, justru memungkinkan dia bisa berinteraksi dengan masyarakat sipil

315 Ibid., Bab 7.6 ‘Sejarah Konflik’. Hlm. 122. 316 Ibid., Hlm 123. Selama dipenjara Indonesia, Xanana didampingi pengacara Indonesia, seperti Luhut Pangaribuan (LBH), dan Hendardi dari PBHI (Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia). 317 Idem. YLBHI pada masa ini, mulai terlibat dalam Joint Commitee.

123

Indonesia dan komunitas internasional, dibanding pada saat ia berada di pengunungan terpencil di Timor-Leste.318 Ini karena kehadiran Xanana, secara nyata mulai menarik perhatian yang lebih besar. Bonar Tigor Naipospos mengutip

Benedict Anderson, mengatakan bahwa kehadiran Xanana adalah lebih riil sebagai tekanan, ketimbang ketika dia [bergerilya] di hutan. 319 Di mana terbuka ruang yang lebih luas untuk menjalin hubungan dengan masyarakat sipil

Indonesia. Demikian juga pencitraan Xanana mengalami perubahan signifikan, seiring aksi kampanye para aktivis Timor-Leste di Indonesia. Lexy Junior

Rambadeta menuturkan: 320

Ketika Xanana ditangkap, kita mulai mengenal...ada pikiran [kalau] Xanana itu ngeri, kriminal...bukan orang beradab. Tapi, dalam hati masih...[tanda tanya]. Lalu ada demonstrasi mahasiswa...isu-isunya suksesi Suharto. Ada kelompok-kelompok orang Timor-Leste yang belum aku kenal, belum dekat [ketika itu]. Aku bawah kamera dan merekam peristiwa tahun 1994/1995...Tiba-tiba ada yang teriak Viva [hidup] Panglima Besar Kayrala Xanana Gusmâo!...kita semua merasa ngeri sekali...kok ada orang-orang yang Viva Panglima Besar Kayrala Xanana Gusmâo! Berkali-kali. Itu merekonstruksi pemikiranku mengenai Xanana yang kriminal. Lalu diubah...jadi dipertanyakan lagi.

F. Munculnya Gerakan Pro Timor-Leste

Sebagai respons terhadap Peristiwa Santa Cruz, di Jakarta, pada awal

1992, sejumlah lembaga seperti YLBHI, Lembaga Penelitian dan Pengembangan

Sosial (LPPS) KWI – Caritas Indonesia, Departemen Partisipasi Pembangunan

318 Lihat Chega. Op.Cit., Bab 7.6 ‘Pengadilan Politik’. Hlm. 76. 319 Wawancara Bonar Tigor Naipospos, Jakarta, 23 Mei 2007. 320 Wawancara Lexy J. Rambadeta, Jakarta, 20 April 2007. Lexy Rambadeta sebelumnya sebagai mahasiswa UGM Yogyakarta, aktif di KPRP/PRD (Komite Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Perubahan/Partai Rakyat Demokratik).

124

(Parpem) PGI (Persatuan Gereja Indonesia), Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat) dan Pokja PGI bersepakat menyelenggarakan program bersama bagi masyarakat Timor-Leste, untuk membela yang diadili serta memberikan beasiswa bagi mereka yang dicabut beasiswanya, karena kegiatan yang dianggap politis.

Program bersama ini, dilaksanakan oleh sebuah organisasi yang diberi nama

Komite Indonesia untuk Pembelaan Masyarakat Timor Timur atau Joint

Committee for the Defense of East Timorese, disingkat Joint Committee atau JC

[Para pendiri JC lihat lampiran].321

Tidak lama berselang, masyarakat sipil di Indonesia mulai aktif melakukan kampanye mendukung perjuangan Timor-Leste. Di antaranya adalah aktivis lingkungan terkemuka, George J. Aditjondro,322 yang pada bulan Mei 1974 menjadi koresponden Tempo mengunjungi Timor-Leste adalah salah satu yang paling konsisten. Pada 10 Desember 1992, ia mulai mengkampanyekan perjuangan Timor-Leste dari lingkungan kampusnya di Universitas Kristen Satya

Wacana (UKSW), Salatiga, lalu secara pelan melebar ke kampus-kampus lain di

Jawa. Ia menulis sebuah artikel berisi kritik publik berjudul Prospek

321 Wiladi Budiharga dan Fauzi Abdulah. 1997. Laporan Evaluasi Komite Indonesia untuk Pembelaan Masyarakat Timor Timur 1992-1997. Remdec Swaprakarsa. Jakarta. 322 George J. Aditjondro adalah anggota sebuah grup Katolik Indonesia muda yang pada tahun 1974 berusaha memformulasikan kebijakan Timor-Leste yang demokratis dan non-militer untuk Dewan Uskup Indonesia. Ia juga dipercaya telah menulis laporan non-pemerintah pertama dari dalam Indonesia, setelah invasi dalam bentuk sebuah surat kepada Fr Mark Raper, SJ, yang diterima Asian Bureau Australia, pada tanggal 21 April 1976. Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm.126. Dikutip dari appendix 1 dalam East Timor: An Indonesian Intellectual Speaks Out’, diedit Herbert Feith, Emma Baulch dan Pat Walsh, AFCOA, Mei 1994.

125

Pembangunan Timor Timur Sesudah Penangkapan Xanana Gusmão, yang dimuat

Dian Ekonomi, buletin Fakultas Ekonomi, UKSW.323 Pada tahun 1993, ia juga menulis sebuah paper yang menyorot kerusakan lingkungan di Timor-Leste sebagai dampak dari pendudukan militer Indonesia, berjudul Dari Memo ke

Tutuala: Suatu Kaleidoskop Permasalahan Lingkungan di Timor Timur. Paper ini disampaikan pada diskusi lingkungan Satuan Tugas Lingkungan, LPM UKSW, 6

Agustus 1993, yang merupakan hasil penelitian lapangan ke Timor-Leste.

Tulisan-tulisan tersebut segera mengisi kekosongan referensi alternatif mengenai

Timor-Leste di Indonesia.

Tidak lama kemudian, pers alternatif mulai melaporkan pembantaian

Santa Cruz dan penangkapan Xanana Gusmão secara lebih kritis, dengan kritik- kritik pedas yang membuat penguasa gerah, di tengah media umum yang tunduk dalam kendali Orde Baru. Hayam Wuruk, buletin mahasiswa sastra Universitas

Diponegoro, Semarang (Jawa Tengah), misalnya menerbitkan tulisan Aditjondro,

Prospek Pembangunan Timor Timur Sesudah Penangkapan Xanana Gusmão, pada tahun 1994 dan pembelaan Xanana Gusmão yang telah diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia.324 Sedangkan buletin Fakultas Filsafat UGM,

Yogyakarta, Pijar, dalam kata-kata Aditjondro, secara terus menerus meningkatkan kesadaran publik mengenai efek merusak pendudukan Indonesia di

323 George J. Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 250. Di kampus UKSW, dua intelektual, Ariel Heryanto dan Arief Budiman, juga menjadi oposisi terhadap rezim Orde Baru, dan concern dalam persoalan demokrasi dan masalah Timor- Leste. Lihat Wilson. 1996. Rakyat Dua Bangsa Menghadang Kekuasaan Otoriter yang Sama. Hlm. 15. (Pleidoi). http://www.xs4all.nl/~peace/pubeng/mov/movto/ekswil.html 324 Ibid., Hlm. 255.

126

Timor-Leste.325 Pada tahun 1993, Pijar menerbitkan sebuah karangan antropolog muda pada masa itu, Aries Arief Mundayat,326 membandingkan penangkapan

Pangeran Diponegoro pada masa penjajahan Belanda dengan penangkapan

Xanana Gusmão, untuk mengambarkan fenomena militerisme Indonesia.327 Ini disusul keberanian Lembaga Kajian Hak-Hak Masyarakat (Lekhat), Yogyakarta, menerbitkan jurnal tentang Timor-Leste, Suara Rakyat Maubere, pada tahun

1994. Empat edisinya berisi surat Xanana Gusmão dari LP Cipinang kepada kelompok solidaritas di Indonesia, pembelaan Aleixo da Silva ‘Cobra’ di Dili, pembelaan Juvençio do J. Martins di Jakarta dan versi singkat pembelaan Xanana

Gusmão.328 Bagaimana peran penting pers mahasiswa pada periode itu, Hilmar

Farid, menjelaskan: 329

Majalah-majalah kampus menjadi tempat [menyebarkan] informasi yang kita peroleh dari lembaga-lembaga seperti Infight, Joint Committee, dan lain-lain. Semacam saluran bagi kita untuk menerbitkan artikel-artikel atau informasi yang kita peroleh...dalam bentuk buletin-buletin yang sederhana. Di Yogyakarta, seingat saya paling meriah. Ada...[Suara Rakyat] Maubere...terbitan aktivis-aktivis Timor di Yogya, kombinasi dengan aktivis Indonesia.

325 Idem. 326 Aries A. Mundayat, pada awal 1990-an, menjadi dosen jurusan Antropologi pada Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pada tahun 1994-96, ia menjadi ketua Litbang di pengurus pusat PRD. 327 Wilson. 1996. Op.Cit. 328 Ibid., Hlm. 253-254. 329 Wawancara Hilmar Farid, Jakarta, 9 Juni 2007. Farid memulai aktivitas politiknya dari kampus UI, Jakarta. Sebagai mahasiswa sejarah, ia aktif di Buletin Sastra, Lentera; tahun 1993 dan selanjutnya di Jaringan Kerja Budaya (JKB), sampai sekarang. JKB adalah pusat intelektual yang kecil, tapi aktif memimpin perkembangan marxisme akademik di Indonesia. Pada tahun 1994, Farid bergabung dengan JC dan tahun 1998, ikut memprakarsai berdirinya Fortilos (Forum Solidaritas Untuk Masyarakat Timor Lorosa’e).

127

Disela maraknya penerbitan kampus, dukungan gerakan mahasiswa

Indonesia, lebih menguat dengan didirikannya SMID (Solidaritas Mahasiswa

Indonesia untuk Demokrasi),330 pada 1992 yang memberi dukungan bagi perjuangan Timor-Leste di tingkatan mahasiswa. Pada mulanya, SMID bergerak secara sembunyi-sembunyi, dan pada bulan Agustus 1994 dideklarasikan secara terbuka sebagai organisasi mahasiswa yang berbasis massa dan memasukkan tuntutan kemerdekaan Timor-Leste dalam perjuangannya. Pada bulan Maret

1994, SMID bersama PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia) berinisiatif membentuk PRD (Persatuan Rakyat Demokratik), yang di dalam deklarasinya mengenai Timor-Leste mengatakan: 331

Mendorong jalan keluar damai kasus Timor Timur (tanpa intervensi militer), menghargai hak asasi dan berdemokrasi bagi bangsa Timor Timur.

Tiga bulan kemudian, perwakilan masyarakat sipil Indonesia, tampil di forum internasional mendukung penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste,

330 SMID didirikan oleh komite-komite mahasiswa, setelah pertemuan di Megamendung (Jawa Barat), 1992, dan mempunyai cabang di Jabotabek, Bandung, Semarang, Solo, Yogyakarta, Purwokerto, Surabaya, Malang, Medan, Lampung, Manado dan Palu. Program SMID meliputi tuntutan dicabutnya Dwifungsi ABRI dan 5 paket UU politik 1985. Lihat Endiq Pratama. 1999. Generasi yang Terus Resah di Tengah Sistem Kapitalisme: Sejarah Gerakan Mahasiswa Kerakyatan. Makalah untuk pendidikan LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi). SMID juga menerbitkan buletin Progress, yang kritis terhadap pendudukan Indonesia di Timor-Leste. 331 Max Lane. Op.Cit., Hlm. 148. Pada catatan kaki, Lane menulis bahwa kata-kata tersebut merupakan penyelewengan dari resolusi Konggres Luar Biasa PRD yang asli oleh ketua dan sekjen PRD terpilih, (ketua: Sugeng Bahagio, sekjen: Tumpak Sitorus, periode 1994-96) Beberapa bulan kemudian Konggres Luar Biasa PRD diselenggarakan dan memilih kepemimpinan baru diketuai oleh Budiman Sudjatmiko. Mengenai PRD, lihat Miftahuddin. 2004. Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani. Desantara. Jakarta.

128

ketika 2 aktivis Pijar (Pusat Informasi dan Jaringan Aksi untuk Reformasi),

Rachland Nashidik dan Tri Agus Susanto Siswowihardjo (TASS) menghadiri pertemuan APCET (Asia Pacific Coalition for East Timor) pada bulan Juni 1994 di Filipina, yang disponsori IID (Initiatiaves for International Dialogue) dengan mengundang LSM se-Asia Pasifik.

Kepergian kedua aktivis tersebut dipersulit, pemerintah Orde Baru, yang melalui pers, gencar memberitakan akan menindak tegas siapapun yang hadir.

Namun Rachland Nashidik dan Tri Agus Susanto Siswowihardjo, pergi secara diam-diam melalui Singapura dan kembali ke Indonesia melalui Mindanao

(Filipina Selatan).332 Kehadiran mereka menunjukkan dukungan masyarakat sipil

Indonesia pada solidaritas internasional terhadap hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste dan harapan akan demokrasi di Indonesia. Seperti dijelaskan

Rachland Nashidik: 333

Kami hadir di konferensi ini karena kami tidak dapat menolak bahwa Timor Timur adalah bagian dari perjuangan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia. Kekerasan, penindasan dan pemaksaan Timor Timur harus dihentikan demi kemanusiaan kita, dan demi hidup itu sendiri, dan demi korban-korban yang telah berjatuhan di kedua belah pihak.

332 Wawancara Tri Agus Susanto Siswowihardjo, Jakarta, 25 Mei 2007. TASS diundang melalui ibu Ade R. Sitompul. Mereka yang diundang termasuk Aditjondro, Princen, LPHAM, LBHI, dan Infight, serta Bonar T. Naipospos, juga diminta hadir oleh Fernando Araújo, namun terhalang aturan bebas bersyarat. TASS ke Filipina membawa film mengenai perjuangan Princen; perjuangan HAM dan demokrasi di Indonesia. Ia sendiri lolos dari hadangan aparat Filipina karena ciri fisiknya mirip dengan orang Filipina, ketika Suharto meminta Fidel Ramos (Presiden Filipina) mendeportasi peserta dari Indonesia. TASS memulai aktivitas politiknya ketika menjadi mahasiswa Unas, Jakarta. Ia selanjutnya aktif di Pijar dan Solidamor. 333 Anders Uhlin. Op.Cit., Hlm. 224.

129

Pada masa ini, Pijar yang didirikan pada tahun 1989, dalam kata-kata

Uhlin, adalah organisasi yang paling high-profile dan vokal dari kelompok baru pro-demokrasi dan HAM, dan salah satu yang terdepan dalam berurusan dengan isu Timor-Leste.334 Di mana markas Pijar, sering menjadi tempat transit bagi para aktivis Timor-Leste, yang melakukan aksi ‘lompat pagar’ di kedutaan-kedutaan asing. Pijar juga menyebarkan informasi melalui surat kabarnya Kabar dari Pijar

(KDP) yang dieditori TASS. Uhlin menyebut dua peran penting Pijar dalam perjuangan demokrasi Indonesia, yaitu: 335

Pertama, menyebarkan informasi kritis dan alternatif dan kedua, sebagai sebuah jaringan aksi, yang mengorganisasi rakyat dan kampanye-kampanye.

Pada tahun 1993, ketua Pijar, Nuku Sulaiman (1965-2003), dipenjara karena mengedarkan stiker yang memplesetkan kupon berjudi SDSB (Sumbangan

Dana Sosial Berhadiah), sebagai ‘Soeharto Dalang Segala Bencana’ yang di antaranya menyebut peristiwa ‘Dili-Timor-Timur’ dan ia harus mendekam di penjara. Tahun 1995, giliran TASS, yang diadili karena menerbitkan pernyataan yang menghina Suharto, dalam tulisannya. Pada pengadilannya di Jakarta Pusat,

17 Juli 1995, ia secara terbuka menolak pendudukan rezim Suharto di Timor-

Leste.336

334 Pijar didirikan oleh berbagai aktivis mahasiswa dari berbagai kelompok di Jakarta, oleh sejumlah aktivis terkenal seperti Bambang Beathor Suryadi, Bambang Subeno dan Nuku Sulaiman. Ibid., Hlm.116. 335 Idem. 336 Tri Agus Susanto Siswowihardjo. 1995. Jaman Edan: Sak Beja-Bejane Wong Waras Isih Luwih Beja Wong Edan Ning Kuasa, 17 Juli 1995. [Ironisnya tanggal ini, tanggal resmi masuknya Indonesia ke Timor-Leste]. Di dalam penjara TASS tetap aktif melakukan wawancara dan menulis feature tentang Timor-Leste,

130

Sementara itu, pada persidangan aktivis Timor-Leste, Jose Antonio das

Neves, dari tahun 1994 hingga awal 1995, para pengacara Jawa Timur memberikan pembelaan yang kuat, memberikan alasan mengapa Timor-Leste memiliki hak untuk merdeka dan pengadilan tersebut tidak sah. Dalam persidangan tersebut, LBH Surabaya mulai berhubungan dengan para aktivis

Timor-Leste di Jawa Timur, yang menyediakan bahan-bahan dan literatur mengenai masalah Timor-Leste. Termasuk melalui JC, George J. Aditjondro, dilibatkan sebagai saksi ahli.337

Selain dukungan dari organisasi-organisasi sekuler di atas, 2 organisasi yang mendapat inspirasinya dari agama, juga mulai memperlihatkan dukungannya terhadap perjuangan rakyat Timor-Leste. Antara lain, Yapipham, sebuah organisasi yang dirintis oleh Agus Edi Santoso, mantan pemimpin Himpunan

Mahasiswa Islam, yang sebelumnya secara diam-diam mengajarkan rekan- rekannya mengenai masalah Timor-Leste. Sementara Institut Sosial Jakarta (ISJ), yang semula sebagai institut pelatihan pengorganisasian masyarakat untuk para novisiat Jesuit (Katolik), oleh Romo Sandyawan Sumardi, sejak 1990 diubah menjadi LSM yang mengurus kaum miskin urban di Jakarta. Dalam kapasitas itu,

ISJ terlibat dalam membantu buruh Timor-Leste yang direkrut oleh anak

yang diselundupkan ke luar penjara oleh rekan aktivis Pijar. Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 252. 337 Aditjondro. 2000. Ibid., Hlm. 256. Penasehat hukum Neves, antara lain Indro Sugianto, Luhut M.P. Pangaribuan, Eko Nuryanto dan Eko Sasmito.

131

perempuan Suharto, Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut), untuk bekerja di pabrik milik keluarga Suharto, sejak awal tahun 1991.338

Dukungan yang meningkat dari masyarakat sipil Indonesia, membuat rezim Orde Baru mengusik para aktivis pro Timor-Leste di Indonesia. Laporan

Chega! mencatat pada tahun 1994, aktivis HAM, ibu Ade Rosa Sitompul terpaksa meninggalkan Indonesia selama 6 bulan agar tidak tertangkap.339 Demikian juga

George J. Aditjondro, setelah sebuah surat kabar Australia, memuat laporan- laporannya mengenai Timor-Leste pada tahun 1994, dicap sebagai pengkhianat oleh tokoh-tokoh pemerintah dan rumahnya di Salatiga, dilempari batu. Ia terpaksa meninggalkan Indonesia untuk periode yang panjang, 340 dan mengungsi ke Australia. Di sana ia menyusun perlawanan dan secara aktif membangun kerjasama dengan gerakan-gerakan solidaritas Timor-Leste.

Pada periode ini, informasi yang diperoleh masyarakat sipil Indonesia, tentang Timor-Leste, menjadi lebih mudah, seiring apa yang dikatakan Benedict

Anderson, bahwa keruntuhan monopoli negara atas informasi mendekati titik nadir, berkat jasa CNN (Cable News Network) diikuti revolusi faksimile dan e- mail beberapa tahun kemudian. Sehingga perkembangan di Timor-Leste dan aksi-

338 Ibid., Hlm. 252-253. Juga berdasar wawancara Sandyawan Sumardi, Jakarta, 16 Mei 2007. 339 Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 130. 340 Ibid., Hlm. 130-131. Alasan utama Aditjondro pergi adalah untuk menghindari pengadilan politis karena artikel-artikel yang ia tulis tentang bisnis- bisnis yang berhubungan dengan Suharto, tetapi pandangan-pandangan tentang Timor-Leste juga mempersulit hubungan dengan rezim Suharto (Dikutip dari Herb Feith, Emma Baulch and Path Walsh (ed), East Timor: An Indonesian Intellectual Speaks Out).” Idem.

132

aksi solidaritas di Indonesia tidak lagi dapat disembunyikan oleh pemerintah. 341

Apa yang terjadi di Timor-Leste segera menjadi sorotan masyarakat sipil

Indonesia, baik oleh LSM/ornop demokrasi dan hak asasi manusia hingga gerakan mahasiswa, yang mulai memperluas kampanye penentuan nasib sendiri di

Indonesia. Terdapat aktivis Indonesia, yang dalam rangka menyusun perlawanan terhadap militerisme di Indonesia, secara diam-diam menyelidiki sendiri ‘iklim’ perlawanan di Timor-Leste. Lefidus Malau, pada saat melakukan penelitian di

Nusa Tenggara Timur (NTT) tahun 1994, memanfaatkan kesempatan itu untuk mengunjungi Timor-Leste: 342

Pertamakali datang ke Timtim [Timor-Leste], saya keliling dua hari di sekitar Santa Cruz. Membayangkan di sini [Santa Cruz] orang ditembak, di sini orang berlarian. Saya nggak pernah membayangkan, bakalan ada peristiwa seperti itu. Saya berusaha mendapat [pelajaran]...bagaimana militer suatu saat...melakukan hal seperti itu. Itu bisa terjadi di mana saja di Indonesia. Jadi, saya berusaha memahami situasi itu, agar suatu saat begitu menghadapinya...siap gitu. Gerakan mahasiswa pada waktu itu sudah melakukan...perlawanan segala macam. Nah...situasi Timtim mengambarkan sebuah perlawanan yang kemudian ditindas oleh militer. Jadi, dalam satu titik, militer bisa melakukan hal seperti ini. Kalau kita merencanakan sesuatu harus siap menghadapi situasi seperti itu.

Sementara di tingkatan internasional, pada bulan Oktober 1994, sejumlah aktivis pro-demokrasi menghadiri konferensi mengenai Timor-Leste di Porto

(Portugal), dan memberi dukungan yang kuat: 343

341 Benedict Andersson. 2002. Hlm. 244. 342 Wawancara Lefidus Malau, Jakarta, 23 Juni 2007. Lefidus Malau aktif di Joint Committee, dan pada tahun 1998 ikut memprakarsai berdirinya Fortilos (Forum Solidaritas Untuk Rakyat Timor Lorosa’e). 343 Anders Uhlin. Op.Cit., Hlm. 244. Kutipan tersebut, paragraf pertama dikutip dari Rachland Nashidik dan kedua dari Abdulah Saleh. Keduanya adalah aktivis Pijar Indonesia.

133

Demokrasi sejati di Indonesia tidak mungkin terwujud tanpa sebuah penyelesaian bagi isu Timor Timur. Perjuangan demokrasi di Indonesia berjalan bergandengan tangan dengan perjuangan anti kolonialisme di Timor Timur. Inilah sebabnya gerakan demokrasi di Indonesia telah dengan tegas memasukkan Timor Timur dalam agenda politik Indonesia. Para demokrat Indonesia semakin menyadari bahwa perjuangan demi demokrasi di Indonesia berjalan seiring dengan perjuangan keadilan demi penentuan nasib sendiri rakyat Timor Timur.

Dukungan satu sama lain, dan strategi yang dibangun antara para aktivis/pemuda Timor-Leste dan masyarakat sipil Indonesia, belakangan memunculkan aksi-aksi radikal dan mencapai beberapa titik kemajuan. Ini terjadi ketika isu Timor-Leste mulai mereda, pasca Peristiwa Santa Cruz. Di mana bertepatan dengan momentum Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC (Asia-

Pacific Economic Cooperation) di Bogor, November 1994, 29 pemuda dan mahasiswa Timor-Leste, melakukan pendudukan spektakuler dan mendadak atas

Kedubes AS di Jakarta, pada tanggal 12 November [tanggal Peristiwa Santa

Cruz]. Aksi ini diliput luas oleh media dunia yang sedang berkumpul di Jakarta. dan beritanya menghiasi halaman depan berbagai surat kabar Jakarta dan dunia.344

Dalam aksi itu, para aktivis Timor-Leste dari berbagai kota [terutama Malang dan

Surabaya (Jawa Timur)], mendapat dukungan dari SMID yang memberi tempat perlindungan bagi beberapa yang gagal meminta suaka politik. Wilson menuliskan: 345

344 Benedict Anderson. 2002, Op.Cit., Hlm. 244-245. Aksi ini, berujung dipecatnya Pangdam Jaya, Hendropriyono. Sementara bagi para peminta suaka, tidak ada jalan lain, kecuali mendapat suaka politik menuju pembuangan di Portugal. Idem. 345 Patria ou Morte lebih tepat diartikan tanah air atau mati. Lihat Wilson. 1996. Op.Cit., Hlm. 21. Wilson memulai aktivitas politiknya pada saat menjadi

134

Beberapa orang Timor, yang mengikuti aksi namun gagal untuk meloncati pagar lalu datang ke sekretariat PRD untuk menyerahkan tuntutan aksi. Pada saat itulah kami melihat dan berkenalan langsung dengan para pemuda belasan tahun, yang dengan militansinya telah gagal dikalahkan oleh kekuatan ABRI dengan dukungan inteligennya. PRD merasa kecil dibandingkan dengan kualitas perlawanan para pemuda Timor-Leste dengan slogannya Patria ao Morte (Merdeka atau Mati)...persis dengan slogan para pejuang Republik kita harus mempertahankan revolusi kemerdekaan tahun 1945 dahulu.

Setelah aksi tersebut, evaluasi bersama antara para aktivis Timor-Leste dengan aktivis Indonesia, melihat perlunya koordinasi antara gerakan di Timor-

Leste pendukung kemerdekaan, dengan pemuda dan mahasiswa di Jawa dengan gerakan demokrasi di Indonesia menghadapi rezim Orde Baru. Sehingga disepakati suatu pertemuan di Depok, antara gerakan demokrasi yang terdiri dari

PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia), SMID (Solidaritas Mahasiswa

Indonesia untuk Demokrasi), STN (Serikat Tani Nasional) dan Jakker (Jaringan

Kerja Kesenian Rakyat) dengan aktivis Timor-Leste, yang terdiri dari para aktivis

Renetil, AST (Associação Socialista de Timor, Perhimpunan Sosialis Timor), dan tiga hingga lima kelompok mahasiswa lainnya, bergabung membentuk SPRIM

(Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Maubere),346 yang berdiri pada bulan Maret 1995. Wilson terpilih sebagai koordinator karena pertimbangan lebih mempunyai makna politik kalau dipimpin orang Indonesia, yang bertindak

mahasiswa sejarah, di fakultas sastra UI, sebagai redaktur pelaksana majalah sastra Lentera (1989), dan aktif di SMID pengurus nasional (1993-94), PPBI (1994-96), koordinator SPRIM (1995-99), anggota APCET (1996-97) dan pengurus pusat PRD (1998-2000). 346 Wawancara Wilson, Jakarta, 7 Mei 2007. Kata maubere (dengan bibere sebagai bentuk feminimnya) berasal dari idiom mambae, yang diangkat Fretilin sebagai identitas Timor-Leste. Mirip dengan marhaen ciptaan Sukarno, namun ini lebih diinspirasi oleh pemikir Afrika, Amilcar Cabral.

135

sebagai juru bicara. Dalam hal ini, SPRIM menjadi organisasi terbuka pertama yang secara terbuka menentang pendudukan Indonesia: 347

Kemerdekaan Timor Timur [Timor-Leste] adalah tuntutan dari gerakan demokrasi Indonesia. Karena tuntutan kemerdekaan adalah demokratis sebetulnya. Jadi, perlu ada suara dari Indonesia untuk melawan klaim-klaim dari negara, bahwa negara separatis Timor Timur saja yang mau merdeka. Kedua, ada satu gerakan sistematis, terprogram, mengkampanyekan kemerdekaan Timor Timur di gerakan demokrasi Indonesia.

Dibentuknya SPRIM, memungkinkan peningkatan kampanye soal Timor-

Leste, di tingkatan mahasiswa: 348

Kalau kita [SPRIM] buat pendidikan mahasiswa, misalnya di SMID...selalu ada kawan-kawan Timor Timur yang kita undang untuk bicara soal Timor Timur. Kalau tidak akan kita bicarakan paper soal Timor Timur. Intinya untuk menjelaskan, mengapa mesti kita mendukung perjuangan di sana [Timor-Leste]...jadi, ada satu gerakan misalnya melalui penerbitan, pendidikan, workshop, seminar, khusus soal...mengintegrasikan persoalan Timor Timur kedalam semua kegiatan-kegiatan kawan-kawan, terutama yang berjaringan dengan PRD.

Kehadiran gerakan pro Timor-Leste di Indonesia, memungkinkan pembelaan dan publikasi terhadap beberapa insiden di Timor-Leste. Misalnya

Peristiwa Liquiça, yaitu penembakan ABRI terhadap 6 warga sipil di kota di sebelah barat Dili, pada bulan Januari 1995. Sebuah laporan yang disusun JC, yang dipublikasikan, memperlihatkan liputan surat kabar umum tidak lagi menjadikan laporan versi ABRI, sebagai satu-satunya acuan. 349

347 Idem. 348 Idem. 349 Komite Bersama Pembelaan Masyarakat Timor Timur 1995. Kronologis Dan Rekonstruksi Insiden 12 Januari 1995 Di Liquica Timor Timur.

136

Suatu protes keras juga dilancarkan sebuah koalisi ad hoc antara mahasiswa dan dosen Universitas Kristen Satya Wacana, Salatiga (Jawa Tengah).

Inti kelompok ini adalah Yayasan Gemi Nastiti (Geni), yang telah mempublikasikan pandangannya mengenai Timor Leste lebih lanjut dalam buletin mereka Asap.350 Pada edisi September 1995, ketika marak demontrasi anti Uskup

Belo, Asap menerbitkan wawancara dengan Aditjondro yang mengkritik demontrasi tersebut, bersama artikel lain untuk memperingati Tragedi 12

November 1991.351

Sementara publikasi mengenai Timor-Leste di Indonesia yang dirintis setelah Peristiwa Santa Cruz, segera disusul penerbitan lainnya. Tahun 1992,

Tapol menerjemahkan buku Barbedo Magalhães, Timor Timur Pendudukan

Indonesia dan Pembantaian Terencana, diikuti Pijar yang menerbitkan pembelaan Fernando Araújo,352 dan laporan khusus PBB, Bacre Waly Ndiaye,353 serta buku Michele Turner, Telling, yang ditulis berdasar wawancara dengan para pengungsi Timor-Leste di Australia. Selain itu, sebuah buku yang ditulis untuk pengenalan awal masalah Timor-Leste kepada publik Indonesia, berjudul Timor

Timur: Sekarang Waktunya Untuk Bicara, diterbitkan oleh kelompok yang

350 Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 254. 351 Idem. Salah satu mahasiswa Timor-Leste yang bergabung dengan Geni adalah Aderito de Jesus Soares, yang kemudian aktif di Elsam (Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat). Setelah reformasi ia aktif di Sahe Study Club yang didirikan oleh gabungan aktivis Indonesia dan Timor-Leste. 352 Fernando Araújo. 1994. Anak Muda Timor Timur Melihat Persoalan Bangsanya. Pijar. Jakarta. 353 Ini adalah laporan yang disusun selama kunjungan ke Timor-Leste, 3- 13 Juli 1994 untuk menyelidiki pembantaian Santa Cruz. Lihat Bacre Waly Ndiaye. 1994. Timor Timur Laporan Resmi Perutusan PBB. Pijar. Jakarta.

137

menyebut dirinya ‘Gerakan Anti Pembodohan’. Sebuah kelompok lain bernama

‘The East Solidarity (Solidaritas Timur)’, menerbitkan edisi dwi-bahasa otobiografi Xanana Gusmão pada awal tahun 1996.354 Ini disusul George J.

Aditjondro yang menulis buku In The Shadow of Mount Ramelau: The Impact of

The Occupation of East Timor (1995), termasuk karya M.R. Siregar, Tragedi

Manusia Dan Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah Nazi (1995), isinya antara lain mengecam pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Demikian juga, beredar beberapa buletin berbahasa Indonesia tentang Timor-Leste, seperti Funu,

Kayrala Lian dan buletin Renetil, Lariguto. Sementara memasuki pertengahan

1990-an, film Death of Nation (Matinya Satu Bangsa), karya John Pilger, secara sembunyi-sembunyi mulai beredar di kalangan mahasiswa Indonesia.355

Pada periode ini, setelah APCET II di Filipina, aktivis Indonesia, George

J. Aditjondro yang eksil di Australia, menghadiri forum internasional mengenai

Timor-Leste yang diselenggarakan Universidade Porto, November 1994 di

Portugal. Sedangkan di Australia pada tanggal 10-12 Juli 1995, diadakan konferensi mengenai Timor-Leste secara maraton di berbagai universitas, dengan tema Peacemaking Initiatives for East Timor.356 Mereka yang diundang dari

Indonesia, yaitu Herbin Siahaan (Joint Commitee), George J. Aditjondro dan

354 George J. Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 256-257. 355 Wawancara Lexy J. Rambadeta, Jakarta, 20 April 2007. Film itu diperoleh dari mahasiswa asing yang kuliah di UGM, Yogyakarta, dan diputar pada beberapa diskusi kampus. 356 East Timor Talks Campaign. Peacemaking Initiatives for East Timor: Report on a Conference on East Timor Helds at the Australian National University 10-12 Juli 1995.

138

Liem Sioe Liong sebagai pembicara. Gus Dur juga turut diundang, yang menyatakan pendekatan persuasif menuju otonomi sebagai jalan pemecahan masalah Timor-Leste.357 Selain itu, di tahun 1995, Carmel Budiardjo dari Tapol, menerima Right Livelihood Award dari pemerintah Swedia, atas pengabdiannya bagi penegakan HAM di Timor-Leste.

Sementara dalam perayaan peringatan peristiwa Santa Cruz, 12 November

1995, di kampus psikologi Universitas Indonesia, SPRIM mengadakan doa menyalakan lilin perdamaian, di tengah guyuran hujan lebat. Pernyataan SPRIM menyatakan: 358

…empat tahun sesudah tragedi Santa Cruz, di bawah tekanan internasional atas rejim Orde Baru, rejim melanjutkan penindasan atas rakyat Timor Timur. Persoalan politik yang sensitif diciptakan oleh rejim untuk membenarkan kekuasaan militerisnya. SPRIM menuntut: (1) pemerintah Indonesia harus menghentikan perang di Timor Timur; (2) pemerintah Indonesia harus menarik mundur semua personil militer dari Timor Timur; (3) pemerintah Indonesia harus membentuk pemerintahan otonom yang sepenuh-penuhnya di Timor Timur; (4) menghormati hak rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri melalui referendum; (5) untuk tujuan tersebut harus juga dicabut paket 5 UU politik 1985…

Hadir pada aksi ini, Budiman Sudjatmiko (ketua Presidium Sementara-

PRD), Dita Indah Sari (ketua PPBI), Garda Sembiring (ketua SMID Jabotabek),

Kurniawan (PRD) dan LPHAM, serta beberapa pemuda Timor-Leste. Wilson menuliskan: 359

Salah seorang pemuda Timor Timur menunjukkan sebuah telinganya yang hilang terkena peluru. Ia menganggap diri dan bangsanya dilakukan bukan

357 Suara Independen, No 02/1, Juli 1995 358 Wilson. 1996. Op.Cit., Hlm. 27. 359 Idem.

139

seperti manusia oleh rejim pendudukan Suharto. Di akhir ceritanya tentang Santa Cruz, ia menyerukan pada para pejuang demokrasi di Indonesia agar juga menghubungkan perjuangannya dengan solusi Timor Timur.

Pada penghujung tahun 1995, menyusul momen penting lainnya. Kali ini, publik dihentakkan oleh aksi radikal para pemuda dan mahasiswa Timor-Leste bersama aktivis mahasiswa Indonesia dari PRD, SPRIM, dan SMID berjumlah hampir 200 orang menduduki kedutaan Belanda dan Rusia pada tanggal 7

Desember 1995 [bertepatan hari invasi Indonesia ke Timor-Leste],360 ketika

Special Repporteur PBB sedang berkunjung ke Jakarta. Bagaimana aksi itu direncanakan, Wilson salah satu pemimpin aksi, menjelaskan: 361

Aksi itu bukan usulan dari kawan-kawan Timor Timur, dari kita [aktivis Indonesia]...jadi, evaluasi terhadap gerakan loncat pagar di kedutaan awal- awal itu, betul menarik perhatian internasional. Artinya, ketika direpresi di Timor Timur, karena aksi-aksi politik, ya kita mesti mencari strategi agar situasi Timor Timur tetap menjadi opini...tapi banyak kawan-kawan oportunis yang sebetulnya tidak di bawah koordinasi gerakan, melakukan juga hal yang sama, untuk bisa ke Portugal...ke Eropa dengan alasan minta suaka politik. Sehingga...lama-kelamaan, makna politiknya hilang...sehingga kemudian menjadi cara untuk menyelamatkan diri dari Timor Timur, dari kehidupan sehari-hari di Timor Timur...akhirnya kita kritik...bahwa kelihatannya tidak terorganisir [seperti] awal- awalnya...[sehingga] melegitimasi propaganda dari Indonesia, bahwa mereka tidak mempunyai masalah di Indonesia, mereka pengangguran...tidak punya kerja, orang-orang kriminal...[sehingga] aksi- aksi itu malah serangan balik buat Timor Timur.

Aksi yang dipersiapkan hampir 3 bulan tersebut, mendatangkan para aktivis Timor-Leste dari Dili, Malang dan Surabaya. Di mana pendudukan

360 Aksi ini dipimpin, Puto (Timor-Leste), Wilson (SPRIM), dan Petrus (SMID/PS-PRD) serta Budiman (PRD) di kedubes Rusia. Lihat Wilson. 1996 Op.Cit., Hlm. 28. 361 Wawancara Wilson, Jakarta, 7 Mei 2007.

140

kedutaan dimulai pada pagi buta 03.00, dan menjadi berita di seluruh dunia, karena diliput media asing di Jakarta, yang telah dihubungi sebelumnya. Aksi kali ini, hanya menduduki kedutaan asing selama mungkin, tanpa meminta suaka politik.362 Dengan maksud opini publik yang diciptakan, memungkinkan pada tingkatan diplomasi internasional isu Timor-Leste kembali hangat dibicarakan.

Termasuk Special Repporteur PBB tidak sekedar mengunjungi para pejabat di

Jakarta.363 Pada aksi ini, pernyataan sikap PRD, menyatakan: 364

…di tengah-tengah bangsa Indonesia memperingati 50 tahun kemerdekaannya, sudah 20 tahun bangsa Timor Timur ‘dijajah Indonesia’ dan kini mereka sedang berjuang untuk memperoleh haknya untuk merdeka…Presidium Sementara Persatuan Rakyat Demokratik (PS-PRD) menyerukan: (1) referendum di Timor Timur di bawah pengawasan PBB; (2) cabut 5 UU Politik 1985, referendum bagi Timor Timur; (3) bebaskan Xanana Gusmão dan seluruh tahanan politik di Timor Timur dan Indonesia.

Reaksi militer di bawah Jenderal Prabowo Subianto, mengerahkan para preman pimpinan Hercules 365 serta orang-orang Indonesia timur lainnya (Ambon dan Flores), menyerbu kedutaan Belanda dengan tidak mengindahkan ketentuan diplomatik. Sehingga memicu perkelahian antara para demonstran dengan preman yang dipersenjatai dengan kelewang dan tongkat. Duta besar Belanda yang terluka

362 Idem. 363 Idem. 364 Wilson. 1996. Op.Cit., Hlm. 27. 365 Hercules R. Marçal, adalah pemuda Timor-Leste yang tertembak dalam perang melawan ABRI di Timor-Leste. Ia diobati di Jakarta, namun setelah ditelantarkan, ia malang melintang di kawasan Tanah Abang, Jakarta, pada pertengahan 1980-an. Ia seringkali diperalat oleh ABRI untuk aksi demonstrasi tandingan terhadap kelompok pro-kemerdekaan di Jakarta, pada tahun 1990-an. Setelah tampil di Kick Andy, Metro TV, Juni 1997, beberapa media menyebutnya sebagai The Godfather dari ‘dunia hitam’ di Indonesia. Lihat Bahtera, edisi 06, September 2007.

141

karenanya, terpaksa meninggalkan kedutaan karena merasa tidak ada gunanya berkompromi. Aksi ini baru berakhir, ketika pihak kedutaan mengijinkan kesatuan

Brimob untuk menangkap para demonstran di dalam kedutaan yang telah dikosongkan. Wilson mengenangkan aksi tersebut: 366

Aksi paling penting, yang menurutku sangat luar biasa. Kalau aku pribadi adalah aksi paling militan dalam sejarah gerakan kita [SPRIM], dalam sejarah PRD.

Aksi ini disusul pemogokan umum 14.000 buruh PT Sritex di Solo, Jawa

Tengah, di antaranya terdapat 100 orang buruh Timor-Leste,367 pada tanggal 15

Desember 1995, yang dipimpin Budiman Sudjatmiko. Mereka menuntut upah yang rendah dan tunjangan yang tidak diberikan penguasa, serta menyerukan pembebasan aktivis PS-PRD dan Timor-Leste yang ditangkap dalam aksi 7

Desember di kedutaan Belanda dan Rusia. Wilson menuliskan: 368

Inilah untuk pertama kalinya kaum buruh Timor Timur yang jauh dari tanah airnya, mengikuti sebuah aksi pemogokan dan berjuang bersama buruh- buruh Indonesia, yang ditindas oleh penguasa. Dalam aksi tersebut, mereka bisa melihat bahwa militer menyiksa kaum buruh tanpa kenal belas kasihan. Inilah suatu pendidikan politik yang berharga untuk menunjukkan bahwa buruh Indonesia juga ditindas oleh penguasa yang menindas rakyat Timor Timur.

366 Wawancara Wilson, Jakarta, 7 Mei 2007. 367 Para buruh Timor-Leste, dikirim oleh Yayasan Tiara, milik Siti Hardiyanti Rukmana, pada tahun 1992, yang ironisnya dipekerjakan untuk memproduksi pakaian seragam para penindas seperti, baju Golkar, Korpri dan seragam militer. Lihat Wilson, 1996, Op.Cit. Upaya ini untuk memisahkan para pemuda Timor-Leste dari ‘terkontaminasi’ dengan ide kemerdekaan. 368 Pada aksi ini, aktivis PRD, Garda Sembiring mengalami gegar otak karena diinjak-injak sepatu lars dan popor senapan. Sedangkan Wiji Thukul, pimpinan Jakker harus merelakan sebuah biji matanya menjadi buta serta Dita Sari, ketua PPBI ditangkap dan mengalami pelecehan dari aparat. Idem.

142

Dukungan penting yang juga diberikan para aktivis PRD, yaitu perlindungan dan akomodasi bagi gerilyawan Falintil yang melakukan kerja klandestin hingga ke Jakarta. Misalnya pada tahun 1995, aktivis Timor-Leste,

Puto, membawa Komoro (Afonso Nunes) yang tertembak oleh ABRI untuk berobat, dan tinggal bersama para aktivis PRD selama dua tahun sebelum meminta suaka politik. Demikian juga seorang gerilyawan bernama Allende tinggal bersama para aktivis PRD ketika berkunjung ke Jakarta secara diam-diam.

Berbagai pengalaman dan aksi bersama para aktivis Timor-Leste tersebut, menjadi bahan refleksi dalam melihat sejauh mana kualitas perjuangan melawan rezim Orde Baru. Mengenangkan perkawanan dengan aktivis Timor-Leste, Puto

(Naldo Rei), Wilson menuliskan: 369

Mengenal Puto adalah mengikuti pengalaman politik saya untuk secara emosional mendukung perjuangan rakyat Timor Timur [Leste], untuk menentukan nasib sendiri. Mendengar cerita perjuangannya yang masih muda, aku merasa belum banyak berbuat dan berkorban untuk menegakan kedaulatan bersama rakyat Indonesia yang sedang tertindas. Pertama mengenalnya, tampak kesan orang yang keras dan tidak mudah percaya pada orang lain, khususnya bangsa Indonesia. Psikologis ini muncul dari pengalaman dirinya yang melihat, merasakan nasib keluarga, rakyat dan dirinya sendiri yang dihinakan sebagai manusia dan sebagai sebuah bangsa oleh rezim agresor Suharto. Ini merupakan kesadaran nasionalisme yang hanya bisa muncul melalui peristiwa-peristiwa yang di luar batas-batas manusia biasa. Dan Puto menjadi tumbuh dalam kesadaran tersebut, menjadi sadar akan identitas bangsanya karena penindasan yang begitu ekstrim, selama puluhan tahun...Melihat militansi Puto yang tak kunjung padam, aku sadar bahwa kualitas perjuangan kami masihlah kelewat manja dan inkonsisten. Mungkin karena gerakan kami belum mendapat represi sedashyat para pejuang Maubere maka kualitas perjuangan kami belum melahirkan manusia-manusia unggul seperti Puto. Aku sangat beruntung telah mengenal orang muda yang luar biasa ini. Ia telah menanamkan suatu

369 Wilson. 2005. Dunia Dibalik Jeruji: Kesaksian Perlawanan. Resist Book. Yogyakarta. Hlm. 92-93.

143

mental bahwa gerakan kami masih suka cengeng dan mengemis-ngemis rasa kasihan dari penguasa bila ditindas.

G. Rangkuman

Jelaslah, kontrol Orde Baru membuat publik Indonesia, menerima

Integrasi Timor-Timur. Sehingga baru pada akhir dekade 1980-an, publik

Indonesia mendapat informasi mengenai kenyataan sesungguhnya setelah beberapa peristiwa politik penting. Faktor penting adalah politik keterbukaan

1989, yang menjadi momentum bagi rakyat Timor-Leste untuk memperlihatkan penolakan dan perlawanan terhadap pendudukan militer Indonesia. Di antaranya kunjungan Paus Yohanes Paulus II, pada tahun 1989 menjadi ajang penting untuk mengkampanyekan aspirasi kemerdekaan. Ini disusul Peristiwa Santa Cruz 1991 yang membawa perubahan pesat. Di mana masyarakat sipil Indonesia, mulai bergerak melancarkan protes terhadap pembantaian tersebut, dan memperkuat oposisi masyarakat sipil Indonesia di luar negeri yang lebih dulu menentang pendudukan Indonesia di Timor-Leste. Faktor lainnya yaitu semakin banyak aktivis Timor-Leste yang melakukan studi maupun di penjarakan di Indonesia, sehingga menjadi sumber informasi penting, sekaligus sebagai rekan seperjuangan bagi gerakan oposisi masyarakat Indonesia menentang kekuasaan Orde Baru.

Hal ini, berakibat langsung terhadap terbentuknya kesadaran masyarakat sipil Indonesia, yang mulai memperjuangkan isu Timor-Leste sebagai bagian dari program kampanye dalam menuntut perubahan politik di Indonesia, yang

144

berujung pada lahirnya gerakan solidaritas masyarakat sipil pro Timor-Leste di

Indonesia.

145

BAB V

ARUS PERUBAHAN: MENUJU PENENTUAN NASIB SENDIRI 1996-1999

Bab ini membahas arus perubahan yang memuncak pada paruh kedua dasawarsa 1990-an. Pada periode ini, perjuangan rakyat Timor-Leste, mulai mendapat dukungan luas dari masyarakat internasional, ditandai pemberian hadiah Nobel Perdamaian tahun 1996, kepada dua wakil Timor-Leste dengan peran berbeda, yaitu Jose Ramos Horta (wakil CNRM) dan Uskup Dili, Carlos

Filipe Ximenes Belo. Tidak lama setelah itu, krisis ekonomi melanda Asia, dan di

Indonesia gelombang demokrasi tidak lagi terbendung. Pada tahun 1998,

Presiden Suharto tumbang, dan Indonesia memasuki era reformasi. Sehingga jalan menuju hak penentuan nasib sendiri mulai terbuka lebar, yang akhirnya diwujudkan melalui referendum pada tahun 1999, di bawah pemerintahan

Presiden B.J Habibie. Selama proses tersebut, gerakan pro Timor-Leste di

Indonesia, bersama oposisi yang luas dan beragam ikut memperjuangkan demokrasi di Indonesia dan melakukan kampanye bagi referendum di Timor-

Leste, secara terbuka. Pembahasan pada bab ini, meliputi alur berikut: dukungan masyarakat sipil internasional, jaringan yang meluas, reformasi 1998 dan referendum 1999.

A. Dukungan Masyarakat Sipil Internasional

Jaringan gerakan pro Timor-Leste di Indonesia, dengan solidaritas internasional, menjalin kolaborasi yang secara efektif memberi tekanan bagi rezim

145 146

Orde Baru, dan ikut memberi kontribusi bagi perjuangan demokrasi di Indonesia, sebagai pra-kondisi menuju penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste. Seperti dijelaskan Bonar Tigor Naipospos: 370

Jaringan [solidaritas internasional]…lebih dulu ada, ketimbang jaringan internasional tentang Indonesia. Mereka lebih tahu tentang Timor-Leste lebih dulu ketimbang bangsa Indonesia…mereka [solidaritas internasional] terlibat masalah Indonesia, karena…sadar bahwa persoalan Timor-Leste tidak akan terpecahkan kalau tidak ada perubahan politik di Indonesia, tidak ada demokrasi di Indonesia. Karena itulah mereka [solidaritas internasional] juga bicara tentang Indonesia. Dan itu, menguntungkan bagi Indonesia…sekarang kelompok-kelompok di luar negeri yang bicara tentang Indonesia, tentang Aceh, tentang Papua, adalah tadinya gerakan-gerakan yang peduli tentang Timor-Leste…jaringan yang dibangun teman-teman Horta [Jose Ramos Horta]…setelah terlibat begitu lama, mereka berbicara banyak hal [termasuk] demokrasi di Indonesia.

Demikian juga bagi organisasi seperti PRD, solidaritas internasional memberi ruang untuk memgembangkan jaringan internasional yang luas: 371

Penerimaan luas PRD di dunia internasional, karena mendukung soal Timor Timur….artinya, menjadi terbuka ruangnya untuk bersolidaritas…didukung gerakan-gerakan lain, karena faktor Timor Timur. Karena hanya faktor radikal dan kiri, kita punya jaringan yang tetap…tapi itu lebih bermakna ideologis. Tapi untuk solidaritas soal Timor Timur, membuat PRD mendapat tempat yang lebih [luas] dalam gerakan internasional. Itu jasa gerakan perjuangan Timor Timur.

Dalam hal ini, kolaborasi masyarakat sipil internasional untuk Timor-

Leste, selama dasawarsa 1990-an secara optimal mengaitkan perjuangan penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste dengan gerakan demokrasi di

Indonesia. Misalnya demonstrasi di Jerman, pada bulan April 1995. Ketika itu,

370 Wawancara Bonar Tigor Naipospos, Jakarta, 23 Mei 2007. Salah seorang Indonesianis yang memperkenalkan masalah Timor-Leste dengan Naipospos, adalah Herbert Feith yang mengajarkan masalah Timor-Leste kepada para mahasiswa-nya selama menjadi dosen UGM. 371 Wawancara Wilson, Jakarta, 7 Mei 2007.

147

delegasi tingkat tinggi Indonesia yang dipimpin langsung Presiden Suharto, menghadiri Pekan Hannover Fair ke-95, harus pontang-panting menghindari aksi kelompok solidaritas Jerman dan CNRM [berintikan Renetil], yang dikenal di

Indonesia sebagai Peristiwa Dresden. Aksi itu, membuat Suharto marah, sehingga menjadikan oposan Indonesia yang hadir pada waktu itu, sebagai ‘kambing hitam’.372 Sri Bintang Pamungkas dihukum 4 tahun penjara, dan Yeni Rosa

Damayanti terpaksa dibatalkan paspornya, dan baru memperolehnya kembali setelah Suharto jatuh. 373 Pada bulan November 1997, Suharto juga didemo, pada pertemuan APEC di Vancouver (Kanada). Ketika itu, beberapa orang Indonesia dan 13 orang Timor-Leste yang diasingkan, 10 hari sebelumnya melakukan tur di

Kanada, mengimbau pihak berwenang untuk ‘menghalangi Suharto atau penjarakan dia’ atas kejahatannya di Timor-Leste dan Indonesia.374

Dalam hal ini, gerakan pro Timor-Leste di Indonesia menjalin hubungan kontinu dengan solidaritas-solidaritas Australia, melalui jaringan Action in

Solidarity with Indonesia dan East Timor (ASIET), pimpinan Max Lane, maupun

372 Para oposan Indonesia, yang hadir, atas undangan beberapa Universitas Jerman. Di antaranya Goenawan Muhammad, Sri Bintang Pamungkas dan Yeni Rosa Damayanti. Selama peradilan Sri Bintang, CNRM menyurati Menlu Ali Alatas, bahwa para oposan Indonesia tersebut tidak terlibat dalam pengorganisiran dan secara langsung terlibat dalam demonstrasi di Jerman. Selengkapnya lihat Stanley (Penyunting). 1997. Sri Bintang Pamungkas: Saya Musuh Politik Soeharto. Pijar Indonesia. Jakarta. Hlm. 232. 373 Selama eksil, Yeni Rosa Damayanti, menghadiri seminar internasional mengenai Timor-Leste di Portugal dan melakukan studi tur ke beberapa negara Eropa dan Jepang. Wawancara Yeni Rosa Damayanti, Jakarta, 26 April 2007. 374 Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 124.

148

Indonesia Australia Program for Cooperating for Indonesia (IAPC).375 SPRIM misalnya melalui PRD, terlibat beberapa kali dalam kampanye solidaritas internasional soal Timor-Leste bersama ASIET di Australia.376 Sementara sebuah majalah triwulan Australia, Inside Indonesia dibentuk pada tahun 1983. Laporan

Chega! menuliskan bahwa majalah tersebut menjadi sebuah media pertukaran informasi yang dihormati dan menjadi sumber informasi alternatif satu lagi tentang Timor-Leste untuk para pembaca Indonesia.377

Selain itu, para aktivis Indonesia secara reguler menjadi partisipan dalam pertemuan APCET, yang memulai konferensi pertamanya di Filipina pada tahun

1994. Pada pertemuan ke-2 di Kuala Lumpur (Malaysia, 9-11 November 1996), yang dibubarkan paksa pemerintah Malaysia, 8 orang aktivis Indonesia dideportasi, bersama semua peserta dari luar negeri. Termasuk panitia APCET, dan aktivis LSM Malaysia sempat ditahan beberapa hari, demi menjaga solidaritas

ASEAN, walaupun sebenarnya menurut hukum setempat tindakan pembubaran itu melanggar hukum dan merusak citra Malaysia dalam pergaulan

375 ASIET mengalakkan hubungan antara grup klandestin mahasiswa Timor-Leste, dengan organisasi sosialis yang menuntut perubahan di Indonesia. Sedangkan IAPC didirikan Australian Council for Overseas Aid (ACFOA, sekarang AFCID), untuk menumbuhkan hubungan rakyat ke rakyat antara Indonesia dan Australia, dan sebagian untuk menutup kelemahan persepsi di Indonesia yang menganggap NGO-NGO Australia terlalu fokus ke Timor-Leste. Kontribusinya pada International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan organisasi Indonesia lainnya, memungkinkannya untuk mengangkat Timor-Leste dalam lingkungan yang lebih positif. Pada tahun 1992, sekretarisnya, Pat Walsh, diusir dari Indonesia, dan dicekal selama beberapa tahun, setelah disebut dalam pengadilan pembantaian Dili. Ibid., Hlm. 122, 130. 376 Hubungan SPRIM/PRD, lihat surat-surat Wilson untuk Max Lane, dalam Wilson, 2005. Op.Cit. 377 Idem., Editor majalah ini terdiri dari sejumlah aktivis dan intelektual seperti Path Walsh, Gerry Van Klinken, dan Max Lane.

149

internasional.378 Sementara APCET ke-3 di Bangkok (Thailand) 1998, meskipun mendapat tekanan Indonesia dan ancaman pembubaran dari pemerintah Thailand, dapat berlangsung penuh. Demikian juga menyusul jatuhnya Suharto, pada bulan

Agustus 1998 sebuah pertemuan APCET, akhirnya diselenggarakan di Jakarta.

Jaringan yang lebih luas, juga dibangun dengan organisasi seperti ETAN

(East Timor Action Network) dan lembaga Amnesty International serta kelompok- kelompok solidaritas Eropa. JC misalnya, menjalin hubungan dengan Amnesty

International Belanda, Australian Council of Human Rights dan Human Rights

Watch. Sejumlah aktivis Indonesia, juga secara reguler diundang dalam berbagai pertemuan internasional tentang Timor-Leste. Di antaranya George J. Aditjondro, menjadi pembicara pada seminar internasional (1997) di Universitas Porto, yang diprakarsai Prof. Barbedo Magalhães;379 serta Anom Astika (PRD) dan Profesor

Lukman Sutrisno (dosen Universitas Gadjah Mada),380 pada seminar internasional di Sydney, Australia, Juni 1996. Sedangkan Bonar Tigor Naipospos (Pijar), bersama Roque Rodrigues (wakil CNRM di Portugal) melakukan ‘speaking tour’ ke beberapa negara Amerika Latin, seperti Brasil, Argentina dan Uruguay (3

378 Roy Pakpahan. Op.Cit., Hlm. 47-48. 379 Seminar yang diprakarsai Prof. Barbedo Magalhães di Portugal, menyatukan aktivis dan kaum akademisi, termasuk dari Indonesia; berbagi informasi, mengembangkan kebijakan dan strategi tentang Timor-Leste. Lihat Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm.122. 380 Menurut Aditjondro, Prof. Lukman Sutrisno sudah lama memperjuangkan perbaikan nasib rakyat Timor-Leste, namun dalam kerangka integrasi. Lihat Aditjondro, dalam Sindhunata, (Editor). Mengenang Y.B. Mangunwijaya: Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Op.Cit., Hlm. 205.

150

Agustus – 3 September 1996).381 Antara tahun 1996-97, beberapa aktivis

Indonesia juga ikut berpartisipasi dalam acara yang sama, dan tampil sebagai pembicara di beberapa negara Eropa dan Jepang, dengan komposisi yang lebih beragam. Misalnya aktivis buruh independen, Mochtar Pakpahan 382 dari SBSI

(Serikat Buruh Sejahtera Indonesia), dan Wilson dari SPRIM tahun 1996. Nama terakhir mendapat hadiah Michele Turner Award, dari East Timor Relief

Association (ETRA), Melbourne, pada tahun 1998 untuk esainya tentang Xanana

Gusmão.383 Pada tahun 1997, Tri Agus Susanto Siswowihardjo (Pijar) dan

Chotibul Umam Wiranu dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII),384 juga diundang ke konferensi tentang Timor-Leste di Portugal.

B. Jaringan Yang Meluas

Seiring meningkatnya suhu politik di Indonesia, pada periode ini, gerakan pro Timor-Leste ikut memperbaharui strateginya. PRD misalnya dari persatuan mendeklarasikan diri sebagai partai yang berasas sosialisme kerakyatan pada 22

381 Lihat Barbedo de Magalhães. 1997. Op.Cit., Hlm. 82-83. 382 Aditjondro menulis bahwa Pakpahan mendukung pelaksanaan referendum yang diawasi PBB di Timor-Leste, dan menuangkan pandangannya dalam buku Potret Negara Indonesia, yang diterbitkan Yayasan Forum Adil Sejahtera. Pada lawatan ke Kanada 1996, Pakpahan mengulang dukungannya untuk referendum di Timor-Leste. Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 259. 383 Matebian News, December 1998. 384 PMII berdiri pada tahun 1962, dan pada masa kejatuhan Sukarno, bergabung dalam KAMMI/KAPPI (Kesatuan Aksi Pelajar Pemuda Indonesia). Organisasi ini awalnya berinduk pada NU, namun sejak 1973 mendeklarasikan diri sebagai organisasi mahasiswa independen.

151

Juli 1996. Ketika itu, ikut hadir perwakilan CNRM sebagai observer, yang dalam pidatonya, mengatakan: 385

Sudah 21 tahun rakyat Maubere memperjuangkan hak kemerdekaannya yang telah dirampas oleh rejim Soeharto. Rakyat Maubere menolak penjajahan, rakyat Maubere mempunyai aspirasi dan ingin berdiri di atas kaki sendiri. Begitu pula rakyat Indonesia, karena mereka senasib dengan kami. Perlawanan yang terus menerus dilakukan oleh rakyat Maubere dan rakyat tertindas di Indonesia menginginkan perubahan dan kesejahteraan…Rakyat Maubere dan khususnya pemuda-pemudi Timor Timur berjuang bagi tercapainya kemerdekaan dan demokrasi bangsa Maubere. Tanpa kemerdekaan bangsa Maubere, tidak akan pernah ada demokrasi dan hak asasi manusia di belahan dunia ini, suatu kenyataan yang menyedihkan bahwa rakyat Maubere hingga kini masih hidup dalam penjajahan pemerintah kolonial Indonesia. Oleh karena itu sudah saatnya bangsa Indonesia dalam hal ini gerakan pro-demokrasi menunjukkan sikapnya atas dirampasnya hak kami - hak untuk merdeka.

Sementara dalam manifesto politiknya PRD menuliskan: 386

…penjajahan atas Timor Timur haruslah menjadi Bab dari program perjuangan kita, bukan sekedar embel-embel solidaritas – dalam makna tabo terhadap rakyat Maubere untuk menentukan nasibnya sendiri: MERDEKA. Perjuangan demokrasi Indonesia tidaklah lengkap dan palsu bila tidak menghubungkan dengan tuntutan kemerdekaan bagi rakyat Maubere. Partai Rakyat Demokratik (PRD) menghindari chauvinis-nasionalisme dan menganggap persaudaraan internasional sebagai watak pokok dari perjuangan rakyat.

Namun kemajuan ini, terus dirongrong oleh rezim Orde Baru, yang memuncak pada peristiwa 27 Juli 1996. Ini bermula dari upaya Orde Baru mendongkel pemimpin PDI, Megawati Sukarnoputri, yang popularitasnya menanjak dan muncul sebagai simbol demokrasi. Sebelum itu, Megawati mengadakan pertemuan kader di Timor-Leste, dihadiri ribuan orang. Wilson menilai dukungan yang diberikan rakyat Timor-Leste untuk menunjukkan

385 Wilson. 1996. Op.Cit., Hlm. 9. 386 PRD Tetap Melawan. 1996. Direpro Oleh: Komite Pimpinan Pusat PRD (KPP-PRD).

152

ketidaksukaan kepada partai penguasa, yaitu Golkar dan juga karena Bung Karno

[ayah dari Megawati], proklamator dan presiden pertama RI terkenal sebagai penentang yang konsisten atas segala bentuk kolonialisme.387

Sehingga dukungan para pemuda Timor-Leste, diwujudkan dengan terlibat aktif dalam aksi mendukung Megawati. Misalnya aksi di Gambir (Jakarta, 18 Juni

1996), yang diikuti 20.000 orang dan berakhir dengan bentrokan berdarah.

Puluhan pemuda Timor-Leste, memilih berada di barisan depan, posisi yang harus siap clash dengan aparat keamanan: 388

Mereka tampak dengan energi yang luar biasa meneriakkan yel-yel ‘ABRI pembunuh rakyat’, sambil menerjang maju dengan batu atau tongkat di tangan. Sebuah keberanian yang secara sukarela mereka sumbangkan untuk mendukung Megawati Sukarnoputri dengan terlibat aktif, merasakan pukulan militer, serta satu barisan dengan ribuan pendukung Megawati Sukarnoputri.

Kemudian, pada aksi mimbar bebas, tanggal 27 Juli 1996, di kantor DPP

PDI (Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrasi Indonesia), Jln Diponegoro,

Jakarta, seorang pemuda Timor-Leste memperkenalkan diri dengan nama Lopez, naik ke podium meneriakkan yel-yel, ‘Hidup Megawati!’, ‘Hidup Xanana!’, dan mengatakan: 389

...‘penguasa yang memukuli para pendukung Megawati di Gambir, penguasa yang mengulingkan Megawati melalui Konggres Medan, adalah penguasa yang sama, yang telah merampas hak bangsa Timor-Leste untuk menentukan nasibnya sendiri’, dan menyimpulkan ‘karena perlakuan ABRI kepada Megawati Sukarnoputri dan para pendukungnya, rakyat Timor-Leste

387 Wilson. 1996. Op.Cit. 388 Idem. 389 Idem.

153

menyatakan solidaritasnya dan siap menghadapi musuh bersama dalam barisan’.

Aksi ini, diserbu sekelompok orang yang mengaku sebagai anggota PDI resmi, tapi memiliki ciri-ciri seperti preman dan mungkin tentara, menyerang dan mengambil gedung-gedung, yang disusul kerusuhan selama dua hari di Jakarta.390

Pada masa ini ‘politik massa mengambang’ sedang menuju titik akhir, dan rezim

Orde Baru menanganinya secara represif. Max Lane, menuliskan: 391

Rezim melancarkan serangan langsung terhadap agen utama yang mempromosikan aksi: PRD; yang dituduh mengorganisir kerusuhan. Propaganda Orde Baru mencap PRD sebagai komunis dan versi baru PKI.

Sehingga praktis pada tahun ini, SPRIM/PRD hanya mencatat satu momen penting, yaitu aksi demonstrasi bersama 755 delegasi pemuda Timor-Leste memprotes pembunuhan pemuda Timor-Leste, Manuel Soares oleh Polisi Jakarta, karena menolak menjadi informan tentara.392

Represi membuat PRD dan organisasi underbow-nya, seperti SPRIM, memulai perjuangan bawah tanah yang singkat, selama dua tahun sebelum

Suharto tumbang. Dalam masa-masa sulit tersebut, pengalaman rakyat Timor-

Leste yang menghadapi represi keras selama pendudukan ABRI, sedikit banyak memberi ilham bagi gerakan pro-demokrasi Indonesia, untuk tetap bertahan:393

390 Konflik antara Suharto dan Megawati, berkembang menjadi konfrontasi pada bulan Juni 1996, saat pemerintah memutuskan hanya mengakui Konggres PDI yang diorganisir oleh faksi yang anti-Megawati dan pro-rezim. Selengkapnya lihat Max Lane. Op.Cit., Hlm. 166-173. 391 Ibid., Hlm. 173. 392 Lihat Aditjondro. Op.Cit., Hlm. 258. 393 Wawancara Wilson, Jakarta, 7 Mei 2007.

154

Setelah Juni 1996, boleh dikatakan kita diasingkan oleh gerakan demokrasi Indonesia…yang takut menghadapi resiko yang sama. Kita dilarang, dibubarkan oleh negara sebagai organisasi terlarang resmi. Setelah itu, PRD membuat komite-komite aksinya, gabung sama kawan-kawan Timor Timur di mana-mana. Justru ketika saat-saat sulit…kawan-kawan Timor Timur ini memberi inspirasi banyak hal, bahwa kita belum semenderita kalian [kawan- kawan Timor-Leste]. Banyak kerja-kerja yang bisa dilakukan dengan kawan-kawan Timor Timur bersama-sama justru pada saat itu.

Dalam situasi represif, para aktivis PRD mendapat perlindungan dan pembelaan dari Romo Sandyawan yang juga pendukung kemerdekaan Timor-

Leste. Oleh majalah Gatra ia dituduh sebagai penganut ajaran teologi pembebasan sesudah peristiwa 27 Juli. 394 Ia pun disidang di Pengadilan Tinggi Bekasi, namun akhirnya dibebaskan. Ketika itu, Uskup Belo yang belum dikenalnya secara pribadi, mengiriminya surat menyatakan dukungan, sementara Gereja Katolik

Indonesia bersikap menjauhi, dan curiga bahwa ia telah terlibat lebih jauh dalam politik praktis: 395

Saya diperiksa secara legal…[berdasarkan] hukum gereja, bahwa saya terlibat dalam politik praktis. Romo Mangun [almarhum], mengalami hal yang sama. Tetapi saya bersyukur, pada saat [itu], Mgr. Leo Sukoto [uskup Jakarta], sikapnya independen dan kritis terhadap pemerintah. Justru pada saat akhir Orde Baru, Uskup Leo meninggal, digantikan Mgr. Kardinal Darmaatmadja…agak susah. Ini uskup militer, uskup titular yang ditugaskan untuk mengurus militer.

Namun Romo Sandyawan menampik tudingan tersebut, bahwa apa yang dilakukannya tidak bertentangan dengan ajaran Gereja Katolik: 396

Saya yakin, apa yang saya lakukan menjalankan semangat dari gereja, semangat Injil dan saya berdialog [secara] terbuka…dan saya tidak pernah membawa nama gereja. Tapi kalau kemudian baik, diklaim sebagai milik

394 Lihat Gatra, 31 Agustus 1996. 395 Wawancara Sandyawan Sumardi, Jakarta, 16 Mei 2007 396 Idem.

155

gereja. Saya tidak minta diperhatikan…tapi kadang-kadang kita [gereja Katolik], terlalu dikooptasi oleh kekuasaan…Gereja itu harus benar-benar independen, bahkan mengambil sikap yang membela korban, terutama orang miskin. Terkooptasinya gereja Indonesia itu, ketahuan dari misalnya…pastor-pastor projo yang dikirim oleh militer, untuk menyadarkan orang Katolik Timor-Leste waktu itu [untuk menerima integrasi]. Saya kira suatu tindakan yang ditentang keras oleh Romo Mangun, tetapi dikirim [terus] sampai tahun 1999…sampai Indonesia selesai di sana.

Pandangan Romo Sandyawan tersebut, dalam praktek diwujudkan dengan menerima sejumlah anak muda Timor-Leste yang mendatanginya sebagai penanggung jawab ISJ, sejak tahun 1993 yang salah satunya menjadi sekretaris pribadinya dalam kerja kemanusiaan. 397 Sementara budayawan dan rohaniwan

Katolik, Y.B. Mangunwijaya, juga secara eksplisit mulai menunjukkan dukungan terhadap perjuangan Timor-Leste di tengah cibiran pemerintah terhadap pemberian hadiah Nobel Perdamaian kepada Jose Ramos-Horta dan Uskup Belo tahun 1996,398 yang secara moril memperkuat gerakan pro Timor-Leste di

397 Idem. Dua anak muda Timor-Leste yang tinggal bersamanya, yaitu Helio Freitas (sekretaris pribadi) dan Celso Oliveira. Celso, sebelumnya direkrut Jenderal Prabowo Subianto, dibiayai sekolahnya dan sejak kecil tinggal di markas Kopassus, Cijantung. Namun akhirnya menyeberang dalam aksi minta suaka politik di kedubes asing. Atas aktivitasnya, Romo Sandyawan acap diteror, dikirimi granat, dan diancam dibunuh. Pada tahun 1999, mobilnya masuk jurang ditabrak tentara di kawasan Puncak (Bogor), namun ia selamat. 398 Uskup Belo dikecam di Indonesia, sejak tahun 1989, karena mengirim sepucuk surat kepada Sekjen PBB, Javier Perez de Cuellar, meminta pelaksanaan referendum. Dalam suratnya, tertanggal 6 Februari 1989, Belo menuliskan ‘The People of Timor must be consulted about its future through a plebiscite. Up to now, the people have yet to be consulted. Others speak in the people’s name: Indonesia declares that the people of Timor have already chosen integration, but the people of Timor have never said so; Portugal wishes that time will take care of this problem. Meanwhile, we are dying as a people and as a nations. Lihat Inside Indonesia, Oktober 1989. Kecaman juga datang dari majalah Katolik Hidup, 18 Juni 1989. Sementara sebuah buku yang ditulis mengenai Uskup Belo pada tahun 1997, menyensor surat tersebut, termasuk sejumlah surat pastoral yang

156

Indonesia. Ketika itu beberapa media Islam, memberi tanggapan negatif. Harian

Republika misalnya menuliskan bahwa Pemerintah Indonesia sebenarnya yang patut mendapat nobel, karena telah membuat upaya nyata untuk membangun kesejahteraan penduduk Timor-Leste.399

Namun gerakan pro Timor-Leste, yang kian merebak di Indonesia, mendukung pemberian nobel tersebut. PRD mengeluarkan statemen yang menyatakan: 400

Penghargaan Nobel…tersebut sekaligus juga merupakan tamparan bagi pemerintah yang mendukung Orde Baru yang menduduki Timor Timur, dan menghambat proses demokratisasi di Indonesia.

Dukungan juga datang dari Romo Mangunwijaya yang hadir di Oslo

(Norwegia), pada saat pemberian hadiah nobel atas undangan Uskup Belo, dan

George J. Aditjondro atas undangan Jose Ramos-Horta. Setelah itu, Romo

Mangunwijaya mulai aktif menulis artikel yang membela perjuangan Timor-

Leste. Ia mengkritik tanggapan Gereja Katolik Indonesia yang pada saat detik- detik penerimaan hadiah nobel, ‘sedingin es kutub utara’, dan membandingkan mengecam berita-berita yang berat sebelah mengenai Peristiwa Santa Cruz; surat kepada ketua KWI, Mgr. Julius Darmaatmadja SJ, menolak menghadiri sidang tahunan KWI (13-12 November 91), sebagai tanda protes terhadap kesombongan ABRI. Demikian juga karena liputan TVRI yang menyudutkan Gereja Katolik Timor-Leste sebagai ‘kambing hitam’. Lihat Aditjondro, Mengenang Y. B. Mangunwijaya: Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Op.Cit., Hlm 208-209. Buku yang dimaksud adalah Peter Tukan dan Domingos de Sousa. (Editor). 1997. Demi Keadilan dan Perdamaian Diosis Dili: Dom Carlos Filipe Ximenes Belo SDB, Uskup Diosis Dili Timor-Timur. Komisi Perdamaian dan Keadilan Diosis Dili dan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian KWI. Jakarta/Dili. Kata pengantarnya diberikan oleh Frans Seda. 399 Republika, 13 November 1996. Harian ini dimiliki oleh ICMI (Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia). 400 Statemen atas pemberian penghargaan Nobel Perdamaian kepada Uskup Belo dan Jose Ramos-Horta. No: 03/A/Statpol/X/1996.

157

invasi Indonesia di Timor-Leste, yang disamakan dengan agresi Belanda terhadap

Republik Indonesia pada tahun 1948.401 Selain itu, ia aktif mendampingi para mahasiswa Timor-Leste, yang bermukim di Yogyakarta. Sebuah surat pembaca setelah kematiannya pada tanggal 10 Februari 1999, ditulis aktivis Renetil,

Hortensio Pedro Vieira menyebutkan: 402

Kepeduliannya [Romo Mangun] yang besar terhadap masyarakat Maubere membuat saya sangat terharu, ternyata penderitaan saudara-saudara saya di Tim-Tim ikut juga dirasakan oleh orang Indonesia, yang penguasanya secara langsung menciptakan penderitaan di bumi Lorosae… Romo-lah satu- satunya dari kalangan rohaniawan Katolik di Indonesia yang secara berani terbuka dan jujur memihak rakyat Maubere dan Uskup Belo saat kasus Der Spiegel dan Nobel Perdamaian. Romo Mangun, selalu ikhlas dan tulus memenuhi permintaan para mahasiswa Tim-Tim khususnya di Yogyakarta, baik dalam acara religius ataupun ilmiah. Bahkan Romo Mangun pernah mengadakan misa kemerdekaan Timor-Leste di Yogyakarta, yang dihadiri mahasiswa Timor Timur yang kuliah di Jawa dan Bali, saat menjelang akan diadakan aksi demonstrasi di Deplu, Jakarta pada bulan Juni tahun yang lalu. Ada kesan yang ditinggalkan beliau yang bagi saya sulit dilupakan adalah dia memohon kepada Tuhan agar umurnya diperpanjang untuk bisa menghadiri perayaan hari kemerdekaan Timor Leste...saya pernah bertamu ke kediamannya yang sangat indah dan beliau mengatakan kepada saya, bahwa, rakyat Maubere hidupnya sangat susah sama halnya dengan rakyat Indonesia yang mendapat tekanan dari sebuah rezim. Dan Romo menangis pada saat itu sambil memeluk saya dengan bisikannya yang sangat indah bahwa kamu tidak perlu patah hati yang penting selalu berjuang dan belajar banyak bagaimana membebaskan manusia.

401 Frans Sihol Siagian dan Peter Tukan (Editor). 1997. Voice of the Voiceless (Suara Kaum Tak Bersuara). Obor. Jakarta. Hlm. 257. Kumpulan tulisan Y.B. Mangunwijaya tentang Timor-Leste, selengkapnya lihat Y.B. Mangunwijaya. 1997. Politik Hati Nurani. Grafi Asri Mukti. Jakarta. 402 Lihat Talitakum, 3 Maret – April 1999. Hortensio Pedro Vieira dan rekannya Calvario Savio, adalah aktivis Timor-Leste, yang ikut memanggul peti jenazah Romo Mangun pada saat terakhirnya. Kasus Der Spiegel, adalah majalah Jerman, yang wawancaranya dengan Uskup Belo dikecam di Indonesia, karena dinilai mengkritik pemerintah Indonesia. Pembelaan Uskup Belo lihat Frans Sihol Siagian dan Peter Tukan (Editor). 1997. Voice of the Voiceless (Suara Kaum Tak Bersuara). Op.Cit., Hlm. 233-240.

158

Selain itu, beberapa tapol Orde Baru, yang mendekam di LP Cipinang, 403 seperti Sri Bintang Pamungkas mulai mendukung perjuangan Timor-Leste.

Dukungan yang juga menjadi program Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI) yang didirikannya, meskipun dianggap ilegal oleh pemerintah Orde Baru. Hal ini tidak mengherankan, mengingat dua veteran dalam demonstrasi paling awal menentang peristiwa Santa Cruz 1991, di Jakarta, Jopie Lasut (Yayasan Hidup

Baru) dan Saleh Abdullah (Infight), merupakan pengurus PUDI.404 Sementara aktivis tua yang pertama berbicara mengenai masalah Timor-Leste, termasuk

Gunawan Muhamad, redaktur majalah Tempo yang sempat dibredel pada tahun

1994. Ia bersama para jurnalis lain, mendirikan AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia) dan menerbitkan buletin Oposisi, Independen kemudian Suara Independen pada masa itu.405

Pergeseran pandangan terhadap persoalan Timor-Leste, juga dari mereka yang dulunya beranggapan bahwa Integrasi Timor Timur tidak dapat diganggu gugat. Misalnya Amien Rais, 406 pemimpin organisasi Muslim terbesar kedua di

403 Dukungan bagi perjuangan Timor-Leste, juga telah menyeret Mochtar Pakpahan, Budiman Sujatmiko, Petrus Haryanto (Sekjen PRD), Coen Husain Pontoh, Dita Indah Sari, Wilson, dan 16 pemimpin PRD lainnya ke meja hijau. Mereka dituduh melakukan subversi, yang menurut hukum Indonesia dapat dijatuhi hukuman mati. Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 259-260. Beberapa di antaranya, seperti Wilson dalam pembelaannya secara terang-terangan menentang invasi Indonesia di Timor-Leste. 404 Ibid., hlm. 259-260. 405 Ibid., Hlm. 259. Aditjondro, menyebut buletin tersebut pernah menyerang diplomasi yang dijalankan Tutut dalam masalah Timor-Leste dan juga terhadap eksploitasi buruh perempuan Timor-Leste di pabrik Sritex di Jawa Tengah. Idem. 406 Amien Rais, pernah mengkritik keras Uskup Belo pada saat kerusuhan etnik, September 1995 di Timor-Leste. Lihat Aditjondro. 2000. Ibid., Hlm. 282.

159

Indonesia, Muhammadiyah. Dalam wawancaranya dengan The Australian, ia menyatakan mendukung hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste. Seperti ditulis ulang oleh Aditjondro, bahwa Amien Rais menyatakan: 407

Timor Lorosa’e pada waktunya, seharusnya diijinkan untuk memisahkan diri dari Indonesia, bila itu memang kehendak rakyatnya…meskipun secara tersirat, Amien Rais, masih menyalahkan rakyat Timor Lorosa’e atas terjadinya segala masalah yang dialami Indonesia...ia percaya Jakarta telah melakukan sejauh mungkin apa yang bisa ia lakukan untuk Timor-Lorosa’e, misalnya dengan investasi infra-struktur seperti sekolah dan rumah sakit...jika perkembangan dalam 3 atau 4 tahun berikut masih belum jelas, dan rakyat Timor-Lorosa’e masih menginginkan referendum, maka menurut saya lebih baik bila mereka diberi kesempatan melaksanakan referendum. Bahkan bila mereka ingin memisahkan diri dari Indonesia. Biarkan saja. Itu lebih baik bagi mereka dan bagi Indonesia.

Dua minggu sebelum pernyataan Amien Rais tersebut, pada bulan

November 1996, Profesor Muladi, rektor Universitas Diponegoro, Semarang,

Jawa Tengah, menyatakan pendapat yang senada, seperti ditulis Aditjondro: 408

Indonesia harus mempercepat usahanya untuk memecahkan masalah Timor Lorosa’e yang menyebabkannya rentan terhadap kritik di forum-forum internasional...Ia juga mengakui nama baik Indonesia tercoreng dengan pemberian hadiah Nobel Perdamaian bagi Uskup Belo.

Sebelumnya, ia mengkritik upaya Portugal melibatkan Masyarakat Ekonomi Eropa dalam masalah Timor-Leste, yang disebutnya sebagai upaya menegakkan benang basah. Lihat Suara Karya, 30 Juli 1986. Amien Rais bergabung dengan ICMI [berdiri bulan Desember 1990] yang berasosiasi dengan Orde Baru. Termasuk Sri Bintang Pamungkas, pernah menjadi aktivis ICMI dan baru keluar seiring kontradiksi yang meningkat terhadap kekuasaan Suharto. Amien Rais juga menjadi dosen pada Fakultas Sosial Politik, UGM. Setelah pemilu demokratis tahun 1999, ia menjabat ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR, 1999- 2005) 407 Lihat Aditjondro. 2000. Op.Cit., Hlm. 282-283. Dalam hal ini, aktivis yang penulis wawancarai, umumnya memandang perubahan sikap politik Amien Rais, lebih sebagai politik oportunis untuk meraih simpati internasional menjelang pemilu 1999. 408 Ibid., Hlm. 281.

160

Pada saat demikian, secara berlawanan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), pemimpin organisasi Muslim terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama (NU), menilai Timor-Leste sebaiknya tetap bergabung dengan NKRI. Dalam hal ini, minimnya informasi, tampaknya menjadi kendala utama dalam penyikapan isu

Timor-Leste. Penulis biografi Gus Dur, Greg Barton menuliskan: 409

Seperti kebanyakan intelektual di Jakarta, Gus Dur tidak mendapat informasi cukup mengenai apa yang sedang terjadi di Timtim. Oleh pihak militer berita yang mencapai Jakarta telah disensor dan mengalami distorsi. Namun demikian, ia tahu bahwa ada perwira-perwira tertentu yang memperlakukan sebuah propinsi sebagai wilayah kekuasaan pribadinya dan mereka ini terbiasa memerintah dengan kejam dan keras. Mereka bukan saja mencuri kekayaan alam dari propinsi tempat mereka ditugaskan, melainkan mereka juga menjadikan daerah operasi mereka sebagai ajang untuk kenaikan karir militer banyak perwira. Lebih lagi, Gus Dur tahu benar reputasi bekas Komandan di Timor Timur, seperti Prabowo Subianto. Mereka ini, demikian Gus Dur suka sekali merekrut milisi, sama seperti mereka melanggar hak azazi manusia secara mengerikan. Gus Dur khawatir bahwa bila referendum diadakan sebelum reformasi berdiri kokoh di Indonesia, maka militer Indonesia akan menjadi jengkel dan akan terdapat kemungkinan terjadinya kekacauan besar di Timtim.

Sehingga keikutsertaan Chotibul Umam Wiranu (PMII),410 pada Jornadas ke-8 tentang Timor-Leste di Porto, tahun 1997, memberi arti penting, solidaritas

Islam Indonesia untuk Timor-Leste. Termasuk hadirnya IMCTL (Indonesian

Muslim Community for East Timor) sesudah reformasi tahun 1998, yang berbasis di pesantren-pesantren NU di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebelum itu, isu

409 Greg Barton, 2003. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. LKIS. Yogyakarta. Hlm. 234. 410 Kepada Chotibul U. Wiranu dititipkan buku berisi pidato Jose Ramos Horta pada saat menerima Nobel Perdamaian 1996, kepada Gus Dur, yang menerimanya dengan komentar yang tidak begitu bersimpatik terhadap Ramos Horta. Wawancara Chotibul U. Wiranu, Jakarta, 26 Mei 2007.

161

Timor-Leste nyaris tidak mendapat perhatian. Chotibul Umam Wiranu menjelaskan: 411

Organisasi semacam NU yang dipimpin Gus Dur, belum pernah [memberikan] peryataan eksplisit tentang advokasi terhadap Timor-Timur. Tapi secara umum Muhammadiyah, NU dan ormas-ormas besar Islam itu tidak pernah memberikan statement resmi atas nama organisasi untuk memberikan dukungan terhadap proses pemerdekaan Timor-Leste. Secara umum, organisasi mahasiswa Islam tidak punya satu sikap yang begitu [jelas] mengenai masalah Timor Timur. Karena sudah diberi informasi yang sedikit ideologis…[oleh] pemerintah [Orde Baru]…bahwa Timor-Timur itu mayoritas adalah kelompok-kelompok berbasis komunis. Itu argumentasi… yang dikembangkan ke publik…Organisasi besar Islam, termasuk organisasi mahasiswa Islam, dipercaya begitu saja…[namun] dengan teman-teman aktivis di luar organisasi mahasiswa Islam, saya mendapat banyak informasi, bahwa adalah salah memberikan legitimasi [bahwa] Timor Timur harus diambil semata-mata karena membahayakan kawasan Asia Tenggara, khususnya Indonesia….Masalah Timor Timur bukan lagi masalah ideologis soal komunisme atau bukan komunisme, tetapi…kesalahan prosedur di dalam memetakan masalah…oleh pemerintah Indonesia…[Misalnya] Aceh yang nyata-nyata mayoritas Islam juga ditangani secara militer…itu mengugurkan argumentasi yang sudah dipahami oleh banyak pihak [kelompok Islam] di Indonesia.

Sementara kelompok pendukung Timor-Leste, pada periode ini mulai merintis beberapa pekerjaan penting, seperti pendirian kantor bantuan hukum

[berstatus kantor pengacara], yang difasilitasi Joint Committee (JC), untuk memberikan pelayanan kepada para tahanan atau aktivis politik, awal Agustus

1996 di Dili. Lembaga ini, menjadi cikal bakal Yayasan HAK (Hukum, Hak

Asasi, dan Keadilan), sebuah organisasi pelayanan hukum dan hak asasi pertama di Timor-Leste, yang didirikan dan disahkan pada 23 Maret 1997. Ketika itu, mereka yang bekerja terdiri dari 4 orang Timor-Leste, dibantu Hilmar Farid dari

JC. Kehadiran Yayasan HAK mempunyai arti penting, dalam penyebaran

411 Idem.

162

informasi mengenai situasi Timor-Leste, mengingat selama dekade 1980-an

Timor-Leste tertutup untuk masyarakat luar, dan terus menghadapi represi militer

Indonesia sepanjang tahun 1990-an. Yayasan HAK kemudian berkembang menjadi mitra kerja efektif dengan organisasi masyarakat sipil Indonesia, hingga referendum 1999, melaporkan pelanggaran HAM di Timor-Leste.

Namun demikian, Yayasan HAK bekerja dalam kesulitan karena diawasi militer Indonesia. Untuk itu agar pekerjaan mereka efektif, jaringan dibangun dengan organisasi resistensi pada tingkat akar rumput (grass roots),412 sehingga mendapat kritik, karena dianggap keluar dari rel kerja mereka di bidang HAM.

Hilmar Farid mengatakan: 413

Ini juga persoalan. Banyak orang bilang [orang Indonesia]…ini sudah terlibat dalam gerakan [kemerdekaan]…kalau mau mengerjakan HAM di Timor, tidak ada pilihan lain…tidak bisa kita penelitian HAM, terus tidak mau tahu sama sekali kenapa urusan itu [persoalan politik Timor-Leste]. Kita masuk kampung…Tanya kepada korban apakah kamu disiksa? Mereka mungkin mencurigai kita ini tentara atau intel…[mereka] nggak [akan] mau memberi keterangan? Satu-satunya cara agar orang memberikan keterangan adalah melalui jaringan yang bisa dipercaya. Awalnya kita sendiri tidak membayangkan…sampai belakangan setelah merdeka, baru kita tahu…Oh ternyata sudah menjadi tokoh-tokoh hebat.

Salah satu advokasi penting dan sulit yang ditangani Yayasan HAK, yaitu kasus pemerkosaan terhadap Aliança Henrique dos Santos oleh militer Indonesia,

412 Wawancara Hilmar Farid, Jakarta, 9 Juni 2007. Dalam hal ini, jaringan dibangun dengan organisasi seperti região, sub-região dan Nurep (Núcleo Resistençia Popular, Satuan Perlawanan Rakyat). Sementara informasi, diperoleh dari pastor, guru (mestre), ataupun dari katekis di kampung-kampung. 413 Idem.

163

di Atabae, Ermera, pada 5 November 1996. Hilmar Farid yang ikut dalam upaya advokasi kasus pemerkosaan tersebut, mengenangkan: 414

Banyak orang yang mengalami kekerasan seksual di Timor, tapi ini satu dari sedikit yang bisa diangkat dan korbannya mau bicara, berani bersaksi. Aliança kemudian melahirkan anak, sudah besar kemudian dipelihara oleh gereja. Tapi seluruh proses…mengerjakan kasus ini…memperlihatkan betapa sulitnya untuk mengadvokasi satu kasus seperti itu di Timor-Leste. Kalau sebelumnya gampang…catat saja informasinya, kita kirim keluar berarti beres. Tapi ternyata mengadvokasi secara langsung di lapangan itu jauh lebih berat.

Kasus ini dipublikasikan di Indonesia oleh 14 organisasi hak asasi manusia di KomNas HAM Jakarta, pada 22 Januari 1997, dan menjadi kasus pemerkosaan pertama di Timor-Leste yang mendapat sorotan nasional di Indonesia.

Sebelumnya kasus kekerasan seksual yang dilakukan secara sistematis oleh militer Indonesia selama pendudukan, tidak pernah mendapat publikasi. Selain karena kontrol dan represi militer yang berlangsung bertahun-tahun, juga karena budaya bisu akibat penghinaan yang diterima sebagai dampak dari pemerkosaan, sehingga kasus kekerasan seksual jarang mendapat pembelaan hukum. Demikian juga, ketika fakta-fakta kekerasan seksual, mulai muncul samar-samar dalam publikasi di luar negeri, termasuk George J. Aditjondro, ikut memberi kontribusi melalui tulisan-tulisannya, di Indonesia tetap tidak mendapat sorotan. Sehingga praktis, kasus Aliança Henrique, meretas jalan bagi dukungan solidaritas organisasi perempuan di Indonesia. Seperti pada publikasi Yayasan Tjoet Njak

Dien (Yogyakarta), dan Kalyanamitra (Jakarta), mulai mengangkat kasus-kasus

414 Idem. Mengenai advokasi kasus Aliança, Farid mengatakan ‘peristiwa penting yang mempengaruhi cara kerja, dalam melakukan advokasi. Saya ingat ke Ermera [wilayah tengah Timor-Leste] karena waktunya sudah sore, terpaksa pinjam mobil uskup…kita masuk bisa diterima orang…karena semua tahu itu mobil uskup. Jadi, soal-soal seperti itu, juga saya belajar.' Idem.

164

kekerasan seksual di Timor-Leste,415 dan mengaitkannya dengan dampak pendudukan Orde Baru.

Sementara dinamika perubahan politik Indonesia dengan tuntutan demokrasi yang meluas, membuat organisasi seperti Joint Committee, sebagai pionir gerakan pro Timor-Leste di Indonesia, melakukan penyesuaian yang berujung bubarnya JC, pada bulan Oktober 1997. Lefidus Malau mengatakan: 416

Karena ‘darah-darah’ baru masuk tahun 1994-96, Fay [Hilmar Farid], Nug [Nugroho Katjasungkana]…ada yang dulu di Elsam. Itu basisnya dulu di Elsam…Di situ muncul Stanley dari AJI (Aliansi Jurnalis Indonesia), diskusinya lebih kental dan usulan-usulan kerjanya juga lebih progresif. Misalnya kritik terhadap JC, ‘nggak mungkin kita membantu pengembangan ekonomi di [Timor] Leste, bila dilakukan dari Jakarta. Salah satu kegiatannya adalah membangun kelompok usaha, kaya kelompok ibu-ibu dari istri-istri yang ditangkap, bukan sekedar memberikan beasiswa. Mulai dipersoalkan…apa…efektivitas dari kegiatan itu. Bantuan hukum [diperlukan], karena memang belum ada. Tapi, kalau beasiswa segala macam itu, terlalu pemborosan. Karena biaya pulang pergi kesana itu berapa? [ke Timor-Leste] Kemudian, pada satu titik ada perdebatan yang sangat keras di JC, kemudian dilikuidasi. Dibentuk organisasi yang baru dengan mandat solidaritas. Yang sebelumnya, mandatnya lebih ke bantuan.

Sehingga JC dibubarkan atas kesepakatan semua lembaga pendukungnya, namun dengan kesadaran bahwa masalah pelanggaran HAM di Timor-Leste masih jauh dari selesai. Berdasar komitmen tersebut, pada tanggal 11 Maret 1998,

6 orang individu dan 11 lembaga membentuk Fortilos (Forum Solidaritas Untuk

415 Lihat paper yang tulis Aida Milasari (Yayasan Tjoet Njak Dien). Tanpa tahun. Kekerasan Terhadap Perempuan di Timor Timur. 416 Wawancara Lefidus Malau, Jakarta, 23 Juni 2007. Program JC yang sifatnya karitatif, seperti bantuan usaha kecil, bagi mereka yang terbentur masalah politik tidak semua berjalan efektif. Namun banyak mahasiswa Timor-Leste di Jawa yang beasiswanya dicabut, tertolong oleh bantuan JC. Meskipun ada pula kasus seperti mahasiswa yang meminta biaya pengobatan, ternyata menderita penyakit menular seksual sehingga tidak dipenuhi. Wawancara Mariatun (aktif di JC), Jakarta, 16 Juni 2007.

165

Masyarakat Timor Lorosa’e) [pengurus Fortilos lihat lampiran], dengan sasaran kerja yang lebih luas meliputi seluruh masyarakat Timor-Leste, yang berada di wilayah Timor-Leste, maupun di luar terutama bagi masyarakat non Timor-Leste, khususnya masyarakat Indonesia.417 Demikian juga, beberapa aktivis terlibat dalam Pokastim (Kelompok Kerja untuk Kesejahteraan dan Pendidikan

Masyarakat Timor Timur), yang menurut Laporan Chega!, melakukan koordinasi longgar bekerja menyediakan bantuan kemanusiaan dan menjadi organisasi pertama yang mengadakan pertemuan publik di Timor-Leste tentang isu penentuan nasib sendiri, yang diadakan di sebuah universitas pada akhir 1997.418

Sementara itu, Fortilos melanjutkan beberapa program Joint Committee, yang cakupan program kerjanya diperluas. Ringkasannya sebagai berikut: 419

Pemantauan HAM yaitu dengan melakukan penilaian terhadap kuantitas dan kualitas penegakan pemulihan dan HAM masyarakat Timor Lorosa’e yang disebarkan tiga (3) bulan sekali dalam berbagai macam bentuk seperti pernyataan pers, konferensi pers, leaflet, pamflet, poster dan lain sebagainya yang disebarkan masyarakat Indonesia secara luas; Pelatihan HAM, ini diadakan bagi kelompok-kelompok masyarakat Timor Lorosa’e agar mampu melakukan pemantauan dan pelaporan terhadap pelanggaran HAM…dan menghubungi lembaga-lembaga HAM yang ada di Indonesia maupun internasional, sekaligus sebagai bekal dalam pembelaan dan perjuangan hak-haknya; Jaringan kerja, yaitu upaya bersama para anggota Fortilos untuk menggalang semua kapasitas yang dimiliki dalam usaha penegakan hak rakyat Timor Lorosa’e untuk menentukan nasibnya sendiri dan membicarakan

417 Dokumen Fortilos, 1998. Nama Fortilos dikembangkan dari Tilos, artinya Timor Lorosa’e yang diusulkan Xanana, kepada Hilmar Farid. Di Dili seorang mengusulkan Forsatil (Forum Solidaritas untuk Timor-Leste), namun diputuskan menggunakan Timor Lorosa’e, untuk menunjukkan identitas asli Timor, ketimbang istilah Portugis. Wawancara dengan Hilmar Farid, Jakarta, 9 Juni 2007. 418 Lihat laporan Chega! Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’, Hlm. 129. 419 Dokumen Fortilos. 1998.

166

kemerdekaannya. Termasuk…menambah jumlah anggota untuk memperkuat dukungan solidaritas dari masyarakat Indonesia yang pada gilirannya akan memperkuat Forum dalam mendukung penegakan HAM bagi rakyat Timor Lorosa’e. Pengelolaan Informasi dan Dokumentasi, ini dilakukan terutama karena kelangkaan materi tentang Timor Lorosa’e di Indonesia, yang umumnya didasarkan pada hasil pemantauan, penelitian dan berbagai laporan tentang berbagai soal yang berkaitan dengan hak rakyat Timor Lorosa’e untuk menentukan nasibnya sendiri. Di mana sebuah resource center tentang Timor Lorosa’e dipersiapkan sekretariat Fortilos yang dibuka untuk masyarakat umum. Penyebaran Informasi dan Kampanye, yaitu penyebaran informasi kepada masyarakat Indonesia tentang kesengsaraan dan kekerasan yang dihadapi oleh masyarakat Timor Lorosa’e dalam memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri dan berbicara tentang kemerdekaannya yang mendesak. Adalah kenyataan yang menyedihkan bahwa gambaran umum yang dimiliki oleh masyarakat Indonesia tentang masalah Timor Lorosa’e masih jauh dari memadai untuk memahami bahwa masalah itu juga masalah rakyat Indonesia…Forum akan melancarkan kampanye kepada masyarakat Indonesia untuk memberikan dukungan bagi rakyat Timor Lorosa’e menentukan nasibnya sendiri dan berbicara tentang kemerdekaannya dan meminta pertanggungjawaban negara terhadap segala tindakan yang dilakukan di Timor Lorosa’e.

Demikian juga, hubungan kerjasama dengan rakyat Timor-Leste, diperluas, dari apa yang telah dirintis semasa Joint Commitee; dengan Yayasan

HAK, lembaga Komisi Keadilan dan Perdamaian Keuskupan Dili dan Baucau yang berada di bawah Gereja Katolik, Sinode Gereja Kristen Timor Timur

(GKTT), Universitas Timor Timur serta Pusat Pendidikan Institut Sekular Maun

Alin iha Cristo, yang berpusat di Dare (Dili).420

C. Reformasi 1998

Ketika gerak maju masyarakat sipil Indonesia mulai memuncak, harapan akan penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste masih samar-samar. Sehingga

420 Idem.

167

jatuhnya Suharto bulan Mei 1998, membawa ‘angin segar’ bagi kemungkinan perubahan yang lebih cepat. Laporan Chega! menuliskan: 421

Akhir kekuasaan Suharto datang secara mendadak. Dipicu oleh krisis moneter Asia Timur yang melanda hebat seperti tsunami pada tahun 1997, dan mengekspos betapa rawan Orde Baru di balik mistifikasi tentang Orde Baru yang tidak bisa dihancurkan.

Pada saat yang sama dukungan nyata dari rakyat Indonesia semakin meluas dan meninggi bersama dengan pasang naiknya perjuangan rakyat

Indonesia untuk menuntaskan reformasi total.422 Pada aksi-aksi mahasiswa di

Yogyakarta, Jakarta, dan kota-kota lainnya sejak tahun 1996, seringkali mulai mencantumkan tuntutan referendum dan mengibarkan bendera Timor-Leste beriringan dengan bendera Indonesia.423

Strategi ‘Indonesianisasi konflik’, menempatkan aktivis-aktivis Timor-

Leste pada garis yang sama, dengan gerakan demokrasi di Indonesia. Misalnya di kota pergerakan, Yogyakarta, dibentuk KPRP (Komite Perjuangan Rakyat

Indonesia untuk Perubahan). Elemen pergerakan seperti PRD, Serikat Pengamen

Indonesia (SPI), Dewan Pelajar Yogyakarta (DPY), dan mahasiswa Timor-Leste dari Impettu (Ikatan Mahasiswa Pelajar Timor Timur) ikut bergabung. Di mana dalam aksi KPRP, mahasiswa Timor-Leste selalu mendapat giliran mempopulerkan gagasan kemerdekaan Timor-Leste. Majalah Talitakum

421 Lihat laporan Chega, Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 124. 422 Lihat Kiswondo, ‘Perjuangan Rakyat Maubere: Perjuangan Suatu Bangsa Untuk Menentukan Nasibnya Sendiri’. Dalam Odi Shalahuddin dan Joko Utomo (Editor). 2000. Indonesia Berkaca: Refleksi Kritis Atas Perubahan. Forum LSM DIY-YAPPIKA.Yogyakarta. Hlm. 13. 423 Idem.

168

menuliskan bahwa aksi KPRP tersebut, membuat masyarakat Indonesia, khususnya di Yogyakarta dapat memperoleh informasi mengenai masalah Timor-

Leste.424

Demikian juga, aksi-aksi KPRP, dengan dukungan mahasiswa Timor-

Leste, terlibat beberapa kali bentrok dengan ABRI. Aksi terpenting, yaitu pembakaran patung Suharto, di kampus UGM (11 Maret 1998), dengan membentangkan spanduk berukuran besar, bertuliskan ‘Tolak Suharto’, sehingga harus bersitegang dengan organisasi kemahasiswaan yang menolak isu Suharto dimunculkan dalam aksi. 425

Namun beberapa mahasiswa Timor-Leste dan aktivis PRD, mengarak patung Suharto, hasil kreasi mahasiswa Institut Seni Yogyakarta, dari kampus filsafat UGM yang membuat aksi menjadi menegangkan. Panitia aksi berjaket almamater, melalui pengeras suara meminta patung Suharto tidak dibakar. Namun tiga aktivis PRD dan dua mahasiswa Timor-Leste, yaitu Hortensio Pedro Vieira dan Lirio Fonseca, menyiramkan bensin dan membakar patung Suharto di depan

Balairung, UGM. Aksi itu diliput wartawan lokal dan asing, sehingga menjadi berita menghebohkan keesokan harinya.426

Selain itu, pada demonstrasi mahasiswa Timor-Leste di Departemen Luar

Negeri, Jakarta (12 Juni 1998), KPRP memberikan solidaritas dengan

424 Talitakum, edisi 2 Januari – Februari 1999. Majalah ini, diterbitkan mahasiswa Timor-Leste di Yogyakarta. Sedangkan di kota-kota lain di pulau Jawa, juga menjadi basis penting, namun pada penulis tidak terdapat data yang cukup. Di Jember (Jawa Timur) misalnya ada FKMJ (Forum Komunikasi Mahasiswa Jember), yang mendukung perjuangan Timor-Leste. 425 Idem. Ide pembakaran patung Suharto datang dari PRD. 426 Idem.

169

mengirimkan beberapa utusan ke Jakarta. Termasuk pada aksi peringatan 7 tahun pembantaian Santa Cruz, 12 November 1998, dan 23 tahun invasi Indonesia ke

Timor-Leste, 7 Desember 1998 [aksi ini digelar di depan kantor perwakilan PBB di Jakarta]. Sebaliknya aksi KPRP di Boulevard UGM (Yogyakarta), dengan mendirikan kemah ‘Anti-Dwifungsi ABRI’, mahasiswa Timor-Leste ikut memberikan dukungan. Di depan kemah mahasiswa Timor-Leste, berdiri tegak bendera Falintil, dan sejumlah spanduk bertuliskan ‘Gerakan Revolusioner

Pemuda Timor-Leste untuk Kemerdekaan’, dan yel-yel ‘Viva Falintil’, ‘Viva

Povo Maubere (rakyat Maubere)’, ‘Viva Xanana’, ‘Viva Konis Santana’, dan

‘Viva Taur Matan Ruak’. Demikian juga, acara pentas seni digunakan untuk memperkenalkan akar perlawanan yang berciri kultural. Mulai dari pementasan tarian perlawanan, seperti ‘Tebedai’, maupun lagu-lagu perjuangan seperti

‘Olarinda’, yang syairnya dirubah menjadi oh…he…le…le…oh…he…le…la, Ami

Isin Maubere, Klamar Mós Maubere [oh…he…le…le…oh…he…le…la, Jiwa kami Maubere dan Raga Kami Maubere], dikenal luas dan dihafal para aktivis

KPRP.427

Pada akhirnya, ketika gelombang rakyat yang dipelopori mahasiswa meluas menuntut Suharto mundur, gerakan pro Timor-Leste di Indonesia, bersama mahasiswa dan pemuda Timor-Leste ikut memberi andil. Mulai dari tahap awal gerakan demokrasi, maupun pada puncak-puncak aksi massa menentang Orde Baru. Ketika terjadi penembakan mahasiswa, pada bulan Mei di

Jakarta oleh tentara, di Dili, Dewan Solidaritas Mahasiswa Pemuda Pelajar Timor

427 Idem.

170

Timur (DSMPPTT) mengelar aksi solidaritas, 4 butir pernyataannya menyebutkan: 428

· Turut berduka cita atas gugurnya sejumlah mahasiswa, para pejuang demokrasi dan rakyat Indonesia yang telah menjadi korban tindakan tidak manusiawi ABRI. · Mendukung dan menghargai upaya penegakan iklim demokrasi yang diperjuangkan para mahasiswa Indonesia. · Mengutuk sikap tidak manusiawi ABRI yang diwujudkan dalam pembantaian terhadap mahasiswa, pejuang demokrasi, yang merupakan rakyat Indonesia sendiri. · Mendesak pemerintah transisi Habibie, agar menindak personel ABRI yang melakukan pembantaian sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku. DSMPPTT berharap semoga Indonesia dan Timor-Leste lebih berani memperjuangkan demokrasi dan kemerdekaan bagi negaranya masing-masing.

Namun akhir dari gaung reformasi, tidak lantas menjadikan isu Timor-

Leste sebagai isu penting. Tidak seperti halnya isu-isu menyangkut suksesi kepresidenan, anti-militerisme atau praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan

Nepotisme). Hilmar Farid menuturkan: 429

Gerakan reformasi 1998 itu, memang sangat-sangat moderat…demonstrasi mahasiswa memang militan, meriah. Slogan-slogannya hebat-hebat, tetapi secara politik…dipandu oleh kekuatan yang moderat tuntutannya. Jangankan pembebasan Timor Timur [Timor Leste], waktu itu menyerukan pembebasan Tapol, itu pun tidak disambut. Jadi, masih ada Tapol yang dipenjara pada saat itu. Budiman dan lain-lain masih dipenjara, apalagi Tapol PKI 65. [Ini] memperlihatkan sekali keterbatasan gerakan massa 1998.

Hal ini, tidak terlepas dari hegemoni Orde Baru yang ditanamkan bertahun-tahun bahwa NKRI sebagai kesatuan yang utuh, termasuk Timor-Leste diterima luas. Opini yang berkembang, menyebutkan lepasnya Timor-Leste, akan berefek domino bagi lepasnya daerah-daerah lain, yang umumnya didasarkan

428 Novas, 19 November 1998. 429 Wawancara Hilmar Farid, Jakarta, 9 Juni 2007.

171

pada kecurigaan terhadap pihak asing. Tenggelamnya isu Timor-Leste, terlihat pada waktu pendudukan kantor DPR/MPR di Jakarta, oleh ribuan mahasiswa, yang sama sekali tidak menyinggung hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat

Timor-Leste. Demikian juga, ketika duapuluhan hingga tigapuluhan mahasiswa

Timor-Leste yang hadir, oleh sejumlah aktivis mahasiswa Indonesia, diminta meninggalkan lokasi. Tampaknya ada keengganan untuk melibatkan mahasiswa

Timor-Leste dalam proses reformasi, karena dianggap memecah belah keutuhan

NKRI. Hilmar Farid mengatakan, hal itu mengingatkan bahwa Timor-Leste tidak pernah menjadi bagian dari perjuangan reformasi Indonesia.430 Sehingga demonstrasi seribuan mahasiswa Timor-Leste menuntut referendum di Deplu,

Jakarta (10-12 Juli 1998), tidak mendapat dukungan aktivis mahasiswa Indonesia.

Kecuali para aktivis yang berkecimpung dalam gerakan pro Timor-Leste.431

Lefidus Malau mengatakan kenyataan itu di luar bayangan semula: 432

Bayangannya dulu…momentumnya justru dari [Timor-Leste]. Ternyata dari Jakarta, tapi ketemu juga situasinya. Bayangannya adalah legitimasi militer dari [Timor] Leste…membongkar semua kebusukan dari awal sampai akhir…Aneksasi yang tidak melalui konsultasi dengan DPR, tidak ada pernyataan perang…kekacauan dalam managemen negara. Ini harus ditata kembali. Nah…ketika reformasi, ada delegitimasi negara. Dalam artian, tentara ketakutan jalan-jalan. Sebelumnya mereka, kalau pakaian seragam petentang-petenteng. Pada saat reformasi itu, di jalanan polisi juga nggak ada. Tapi, bukan dalam artian delegitimasi yang mendasar. Jadi, lebih kepada kebencian-kebencian personal…yang selama ini tidak di bawah masuk kedalam…kerangka konstitusional.

430 Idem. 431 Idem. 432 Wawancara Lefidus Malau, Jakarta, 23 Juni 2007.

172

Sehingga reformasi Mei 1998, yang diwarnai demonstrasi besar-besaran mahasiswa dengan dukungan kelas menengah, tidak lantas menjadikan masalah

Timor-Leste, sebagai isu penting dalam koridor perjuangan demokrasi Indonesia.

Sejumlah elit yang tampil sebagai tokoh reformis, justru tidak memberikan dukungan bagi perjuangan Timor-Leste. Pandangan Megawati Sukarno Putri, dari

PDIP (Partai Demokrasi Indonesia-Perjuangan), mencerminkan hal itu, dan tidak mengherankan mengingat salah seorang pengurus PDIP adalah jenderal

(purnawirawan), Theo Syafei, yang tangannya ikut berlumuran darah di Timor-

Leste.

Namun keterbukaan pasca tumbangnya Suharto, memberi peluang bagi kampanye penentuan nasib sendiri Timor-Leste. Laporan Chega! menuliskan jatuhnya Suharto merupakan ‘keuntungan moral.’433 Termasuk kalangan masyarakat sipil Indonesia, menyebutkan kemerdekaan Timor-Leste, tergantung pada demokratisasi di Indonesia, atau paling tidak pada perubahan kepemimpinan. 434 Yeni Rosa Damayanti mengatakan: 435

Saya mendengar dari mahasiswa Timor Timur di Jawa, bahwa Xanana sendiri mengatakan kemerdekaan Timor Timur akan tergantung pada proses demokratisasi Indonesia. Akan sulit untuk mencapai kemerdekaan tanpa demokrasi di Indonesia [yang berarti Soeharto harus jatuh].

Bergulirnya reformasi, membuat beberapa gerakan pro Timor-Leste, menyesuaikan strateginya, lebih lanjut. Suatu masa di mana persoalan Timor-

433 Lihat laporan Chega, Loc..Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 124. Dikutip dari Bernard Williams dalam Carlos Santiago Nino, Radical Evil on Trial. Yale University Press. Pricenton, New Jersey 1999. 434 Idem. 435 Idem. Tulisan dalam kurun asli.

173

Leste mulai diperdebatkan secara terbuka. Salah satu grup solidaritas yang baru tetapi lama, yaitu Solidamor (Solidaritas Perjuangan untuk Penyelesaian Damai

Timor-Leste), berdiri pada bulan Juli 1998. Diketuai Bonar Tigor Naipospos, yang sebagian anggotanya berasal dari aktivis pergerakan tahun 1990-an awal, yang aktif di Pijar. Solidamor didirikan sebagai organisasi advokasi, informasi dan aksi yang bersifat independen dan peduli pada masalah dan nasib Timor-

Leste, dengan menghimpun anggota orang Indonesia, dari berbagai profesi dan latar belakang. Bidang pekerjaannya, meliputi:

· Membangun kepedulian publik, support serta kampanye terhadap masalah Timor Timur. · Menganalisa dan membentuk jaringan kerja advokasi, aksi dan informasi mengenai Timor Timur. · Memproduksi buletin, buku, film, brosur dan dokumen lainnya mengenai semua aspek masalah Timor Timur. · Membangun solidaritas dan kerjasama dengan lembaga-lembaga advokasi hak asasi manusia dan demokratisasi. · Pendampingan terhadap rakyat Timor Timur yang membutuhkan bantuan advokasi sosial dan non advokasi · Support terhadap rakyat Timor Timur untuk menentukan nasibnya sendiri. · Fund Rising untuk membangun rakyat Timor Timur

Menurut Bonar Tigor Naipospos, ada beberapa alasan penting yang menjadi bagian dari kampanye Solidamor, yaitu pertama, masa-masa akhir sebelum reformasi, isu Timor-Leste telah menjadi ganjalan untuk meraih kepercayaan internasional hampir di semua forum internasional; kedua, masalah

Timor-Leste telah menjadi beban untuk rakyat Indonesia, karena kenyataannya sebagian biaya pemerintahan di Timor-Leste, ditanggung Jakarta; ketiga, biaya operasi militer yang besar dan ketiadaan transparansi. Sementara, untuk memulihkan kepercayaan internasional, Indonesia harus memperbaiki kinerjanya

174

di Timor-Leste. Alasan-alasan ini, kemudian dipadatkan dalam slogan kampanye

Solidamor, yaitu BEBASKAN INDONESIA DARI TIMOR TIMUR. 436

Sampai pada referendum 1999, Solidamor melakukan beberapa kampanye penting. Di antaranya dengan pendekatan popular, melalui penyelenggaraan

Timor-Leste Fair (8-10 Desember 1998); seminar dengan mengundang pembicara dari kalangan, aktivis, akademisi dan tokoh-tokoh Timor-Leste. Misalnya diadakan seminar akbar bertaraf internasional (30-31 Desember 1998), bekerja sama dengan Universitas Islam, Paramadina Mulya, Jakarta, bertema

‘Demokratisasi Indonesia dan Masalah Timor Timur’.437 Demikian juga diadakan dialog dengan sejumlah partai politik yang bermunculan setelah reformasi. Di mana selain PRD dan PUDI (lahir sebelum reformasi), dua partai baru yaitu PAN

(Partai Amanat Nasional) pimpinan Amien Rais dan Partai Buruh Sosial

Demokrat (PBSD) pimpinan Mochtar Pakpahan, menyatakan mendukung referendum. Selain itu, diadakan survei terhadap pandangan masyarakat kampus mengenai persoalan Timor-Leste di kota-kota besar di pulau Jawa.438

Pada masa ini, di Timor-Leste, organisasi masyarakat sipil bertambah dengan dibukanya cabang Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan

436 Wawancara Bonar Tigor Naipospos, Jakarta, 23 Mei 2007. 437 Tampil sebagai pembicara antara lain, Nurcholis Madjid, T. Mulya Lubis, Sabam Sirait, Dino Patti Djalal, Lukman Sutrisno, Gerry van Klinken, Harold Crouch, Olle Tornquist, James Dunn, Anders Uhlin, Pat Walsh, Lord Avebury dan lain-lain. Sedangkan dua nama dari luar yang dicekal yaitu Akihisa Matsuno, yang diusir dari Bandara Soekarno-Hatta, dan Barbedo Magalhães dipersulit visanya. Lihat Solid, Volume 03, Februari – Maret, 1999. 438 Sebagian dari hasil survei itu, 66,9% menyatakan informasi pemerintah mengenai Timor-Leste tidak layak dipercayai, dan 65,5% menerima penyelesaian masalah Timor-Leste, ditentukan rakyat Timor-Leste sendiri. Lihat Solidamor. 1998. Timor Timur Di Mata Masyarakat Kampus. Solidamor. Jakarta.

175

(Kontras, berdiri 20 Maret 1998) di Dili, termasuk dua organisasi perempuan, yaitu Fokupers (Forum Komunikasi Perempuan Lorosa’e [Juli 1997]) dan Gertak

(Gerakan Perempuan Timor-Leste Anti Kekerasan [November 1998]), di mana kehadiran organisasi-organisasi tersebut, turut memperkuat kerja Yayasan Hak.439

D. Menuju Referendum 1999

Turunnya Suharto, tidak serta merta membuat kekuasaan Orde Baru yang sistematik selama 32 tahun seketika luruh. B. J. Habibie yang muncul sebagai presiden baru, masih senada dengan pemerintahan Orde Baru. Namun latar belakangnya dari kalangan sipil, serta setumpuk persoalan yang dihadapi seiring krisis ekonomi dan politik, membuat ia menawarkan format baru penyelesaian masalah Timor-Leste, meskipun tetap dalam kerangka NKRI. Sehingga menghadapi desakan internasional maupun masyarakat sipil Indonesia, pada bulan

Juni 1998, pemerintahan Habibie secara unilateral mengajukan konsep otonomi luas kepada PBB untuk dibahas bersama mitranya, Portugal dalam pertemuan segitiga di New York, (AS).440

Ketika perundingan mengenai naskah persetujuan tentang otonomi luas masih berlangsung, dan memasuki tahap-tahap akhir, berbagai pihak baik pemerintahan negara Barat, LSM/ornop, tokoh-tokoh perlawanan Timor-Leste, termasuk gerakan pro Timor-Leste di Indonesia, terus menyuarakan penilaian-

439 Kontras diketuai Isabel Ferreira, Gertak diketuai Maria Olandina Caeiro dan Fokupers diketuai Micato Alves. Ketiga organisasi ini, perlu disebut karena mempunyai relasi dengan organisasi masyarakat sipil Indonesia. Di samping organisasi perlawanan Timor-Leste yang lebih dulu ada. 440 Talitakum, edisi 4, April – Mei 1999.

176

penilaian negatif terhadap usul otonomi dan upaya perundingannya.441 Misalnya,

Konvensi Nasional Organisasi Non-Pemerintah se-Indonesia di Bogor, 18-20

Oktober, mengeluarkan sebuah resolusi mengenai Timor-Leste, yang ditandatangani 45 ornop. Dalam seruannya, mendesak pemerintah Indonesia untuk membuka diri, membicarakan status politik Timor-Leste, dan mendukung rakyat Timor-Leste dalam melaksanakan hak untuk menentukan nasib sendiri lewat proses referendum. 442 Demikian juga, pada bulan Agustus 1998, Romo

Mangunwijaya, menulis surat terbuka, yang dimuat Kompas, mendesak Habibie untuk membebaskan rakyat Maubere dari penderitaannya yang berkepanjangan.443

Menghadapi desakan yang silih berganti, pada tanggal 27 Januari 1999, pemerintah Habibie menyatakan posisinya yang jelas, dengan mengeluarkan dua opsi bagi penyelesaian masalah Timor-Leste, yaitu otonomi luas atau merdeka.

Sehingga disepakati mekanisme Jajak Pendapat, untuk menguji apakah rakyat

Timor-Leste mau menerima atau menolak otonomi, yang ditandatangani di New

York (AS), pada tanggal 5 Mei 1999. Kebijakan ini, membuat Habibie banyak menuai kecaman, terutama dari kubu nasionalis, seperti PDIP, dan juga tidak didukung Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dari PKB (Partai Kebangkitan Bangsa),

441 Idem. 442 Resolusi Konvensi Nasional Organisasi Non-Pemerintah Mengenai Penyelesaian Damai Persoalan Timor-Timur. 18-20 Oktober 1999. 443 Aditjondro, dalam Sindhunata (Editor). Mengenang Y.B. Manguwijaya: Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Op.Cit., Hlm. 203. Juga lihat Frans. M. Parera dkk. 1999. Mengenang Romo Mangun: Surat Bagimu Negeri. Kompas. Jakarta.

177

yang berdiri pasca reformasi. Ini dikecam PRD, yang dalam pernyataannya, menyatakan: 444

Sikap PDIP dan PKB…menghambat penyelesaian masalah Timor-Leste secara damai dan demokratis, karena meningkatkan moral pihak pro- penjajahan, sehingga berani bertindak semena-mena.

Pernyataan PRD, tersebut berkaitan dengan pernyataan perang Xanana

Gusmão, yang dikecam di Indonesia, karena Xanana memberi komando kepada

Falintil, untuk mengambil tindakan bersenjata, melindungi rakyat dari serangan

ABRI dan milisi paramiliter, setelah pembantaian di Gereja Liquiça, 5-6 April

1999. Ketika itu, Romo Sandyawan, yang sedang berada di Dili, menjadi saksi langsung kebohongan pemerintah menutup-nutupi pembantaian itu: 445

Saya sedang bersama dengan korban-korban yang luka-luka [di Rumah Sakit Dili]. Kami menonton TV…ada siaran pak Wiranto sebagai Pangab, menyatakan bahwa tidak terjadi tragedi penembakan seperti diduga. Di bilang yang meninggal hanya 3 orang…padahal di situ, saya sendiri melihat korban itu. Jadi, cerita bohong dari pemerintah Indonesia, nyata sekali saat itu. Di depan mata saya korban bergeletakan dengan luka…berdarah…begitu dinyatakan tidak terjadi penembakan, dan itu hanya dengan [menggunakan] peluru karet, hanya [tembakan] peringatan dan sebagainya.

Keberadaan milisi, adalah hasil bentukan ABRI untuk menciptakan konflik horizontal antar sesama rakyat Timor-Leste. Sementara ABRI, bak

‘Pilatus yang mencuci tangan’ mendadak mengklaim diri sebagai pihak yang netral. Namun dunia internasional, tidak lagi dapat dikelabuhi, seiring arus informasi yang cepat menyebar luas di era internet. Di Indonesia, jaringan masyarakat sipil pro-Timor Leste mulai meluas, dengan makin banyak dukungan

444 Pernyataan Sikap KPW PRD DI Yogyakarta, 12 April 1999. 445 Wawancara Sandyawan Sumardi, Jakarta, 16 Mei 2007.

178

dari kalangan ornop. Sebuah Petisi Rakyat Indonesia, yang ditandatangani 13 ornop, dan 6 individu, menyerukan: 446

· Agar pemerintah Indonesia, khususnya Panglima TNI, memenuhi janjinya sendiri untuk melucuti senjata semua kelompok milisi pro-integrasi. Selanjutnya, agar para pelaku kejahatan ini, baik di pihak milisi pro- integrasi, TNI maupun Polri di bawah ke pengadilan dan dijatuhi hukuman setimpal atas kejahatan yang mereka lakukan. · Agar pemerintah Indonesia, khususnya panglima TNI dan Kapolri, segera memerintahkan pasukan-pasukan TNI dan Polri untuk menghentikan tindak kekerasan terhadap penduduk Timor-Leste selanjutnya, pasukan- pasukan yang telah terbukti tidak dapat menciptakan situasi damai di Timor-Leste ini agar secepatnya ditarik, karena kehadirannya hanya menghamburkan uang negara yang tengah dilanda krisis dan menghambat proses penyelesaian masalah Timor-Leste secara adil, damai dan menyeluruh. · Agar sekjen PBB bersikap dan bertindak lebih tegas menghadapi semua bentuk pelanggaran terhadap perjanjian Portugal – Indonesia yang ditandatangani tanggal 5 Mei 1999 di New York. Melihat ketidakmampuan TNI maupun Polri menjaga masyarakat Timor-Leste, maka kami menghimbau PBB untuk sesegera mungkin mengirimkan pasukan perdamaian.

Petisi ini, disebarkan ke seluruh Indonesia melalui 120 jaringan, hingga menyebar ke Australia dan Amerika. Selain itu penyebaran petisi memanfaatkan jasa internet, bisa diakses dari semua penjuru dunia. Pada periode ini, kampanye juga dibangun melalui lobi politik. Misalnya Solidamor, memfasilitasi pertemuan

Amien Rais dengan Xanana Gusmão, (20 November 1998), di mana Amien Rais, mengatakan mendukung referendum di Timor-Leste, dan disusul pertemuan

Abdurrahman Wahid (Gus Dur), dengan Xanana (10 Februari 1999). Aktivis

Solidamor, Tri Agus Susanto Siswowihardjo, menyebut momen pertemuan Amien

Rais dan Gus Dur dengan Xanana sangat penting, karena publikasinya yang luas

446 Petisi Rakyat Indonesia Mengenai Penyelesaian Damai Masalah Timor Timur, 12 Mei 1999.

179

membuat isu Timor-Leste, yang sebelumnya seolah-olah isu internasional, menjadi isu publik.447 Sebelum itu, ketika menerima Uskup Belo, yang datang bersilahturami (15 Juni 1998), Gus Dur menyepakati penyelesaian masalah

Timor-Leste secara damai.

Upaya Solidamor yang lain, adalah mempertemukan kubu nasionalis

Indonesia, dengan para pemimpin Timor-Leste, yaitu jenderal (purnawirawan)

Theo Syafei dengan Xanana. Setelah sebelumnya pada tahun 1997, ketika masih di Pijar, suatu kerja sama dengan Tapol, telah diupayakan dengan mempertemukan tokoh-tokoh Orde Baru seperti Emil Salim, Anwar Nasution, dan

Susilo Bambang Yudhoyono dengan dua tokoh Timor-Leste, Jose Ramos-Horta dan Roque Rodrigues di London (Inggris). Bonar Tigor Naipospos mengatakan:448

Hal ini, diperlukan sebagai upaya komunikasi. Perubahan politik dan isu Timor-Leste, tidak bisa diselesaikan di jalanan…lewat demonstrasi massa. Demonstrasi massa, memang salah satu tekanan, tapi penyelesaian sesungguhnya itu…membuka komunikasi adalah jauh lebih penting.

Sementara itu, program Fortilos dalam banyak hal, berbeda dengan apa yang dikembangkan Solidamor. Lefidus Malau, yang sebelumnya di Solidamor, tetapi keluar dan fokus di Fortilos, mengatakan: 449

Kita [gerakan demokrasi], membangun kekuatan di sini [Indonesia], di sisi lain kita punya kepentingan dengan pembebasan Timor- Leste…Postulasinya, ‘TIDAK ADA DEMOKRASI DI INDONESIA, TANPA PEMBEBASAN TIMOR-LESTE.’ Jadi, kita membangun kerjasama yang saling menguatkan…kita berhubungan dengan organisasi- organisasi lain, misalnya, dengan gerakan pembebasan [Timor] Leste, yang lebih tinggi. Misalnya, kita [Fortilos] nggak membangun kontak dengan

447 Wawancara Tri Agus Susanto Siswowihardjo, Jakarta, 25 Mei 2007. 448 Wawancara Bonar Tigor Naipospos, Jakarta, 23 Mei 2007. 449 Wawancara Lefidus Malau, Jakarta, 23 Juni 2007.

180

[Ramos] Horta…dengan Falintil, walaupun kita kesana, mereka [Falintil], mau bertemu. Kita nggak berhubungan secara organisasional, walaupun secara personal kita bisa bertemu kapan saja. Tapi, kita nggak mau. Diskusi- diskusi Fortilos itukan pembebasan rakyat, basisnya adalah kekuatan massa…kita belajar tentang perkembangan militer di Indonesia…kita bayangkan di Leste, militer kemudian akan menguat. Situasinya, kemungkinan akan seperti itu…kita berusaha agar suatu saat Timor merdeka, basis massanya tetap kuat dan tidak terjadi pengulangan sejarah militer yang kemudian berkuasa…atau tidak tokoh-tokoh yang punya basis militer, yang kemudian mengkooptasi, mengendalikan kekuatan politik di sana. Makanya, kita dukung, misalnya ketemu kelompok-kelompok di Nurep, kita mau. Kalau diundang kita datang. Tapi, kalau lebih tinggi, tidak!

Sementara untuk memenuhi ketersediaan informasi bagi masyarakat

Indonesia, tentang Timor-Leste, penerbitan-penerbitan tentang Timor-Leste, mulai dilakukan secara lebih terbuka. Solidamor misalnya, menerbitkan majalah

Solid. Sedangkan Fortilos bersama Kontras, Pokastim dan JKB, menerbitkan buletin Avante!. Beberapa buku juga diterbitkan pada periode ini, antara lain,

Timor Timur Untuk Pemula (Pijar: 1997), Penjualan Senjata Kepada Rejim

Militer Indonesia (Pijar: 1997), karya Jose Ramos-Horta, Funu: Perjuangan

Timor Lorosae Belum Usai (Solidamor:1998), dan karya John Taylor, Perang

Tersembunyi: Sejarah Timor Timur Yang Dilupakan (Fortilos:1998), serta James

Dunn, Insiden Balibo 1975 Terbunuhnya Lima Wartawan Itu (Fortilos dan Isai:

1999). Selain itu aktivis Solidamor, Roy Pakpahan menulis buku saku Mengenal

Timor Timur Dulu dan Sekarang (Solidamor: 1998), dan Tri Agus Susanto

Siswowihardjo, mengeditori kumpulan wawancara Xanana Gusmão, berjudul

Xanana Gusmão: Timor-Leste Merdeka Indonesia Bebas (Solidamor: 1998).

Demikian juga pada beberapa kesempatan Fortilos memutar film dokumenter tentang Uskup Belo, berjudul ’Dom Carlos: Kadangkala Saya Harus Berbicara

181

Keras’ dalam upaya memperkenalkan masalah Timor-Leste kepada publik

Indonesia.

Suatu hal yang tidak mungkin pada zaman Orde Baru pada masa ini, yaitu masyarakat sipil Indonesia, mulai secara bebas meningkatkan kampanye publiknya.450 Misalnya, dihadapan ribuan orang di Dili, pada pertemuan yang diselenggarakan Impettu (Ikatan Mahasiswa Pelajar Timor Timur) dan DSMPPTT

(Dewan Solidaritas Mahasiswa Pelajar Pemuda Timor Timur),451 mengundang 3 aktivis Indonesia, Yeni Rosa Damayanti (Solidamor), Wilson (SPRIM), dan

Romo Mangunwijaya, yang menyatakan dukungan mereka bagi perjuangan

Timor-Leste dan berziarah ke makam Santa Cruz.

Setelah itu, Wilson bersama aktivis AST dan Renetil mengelar aksi memprotes Pemilu Indonesia 1999 di Timor-Leste. Sedangkan Yeni Rosa

Damayanti dan beberapa mahasiswa UI, melakukan kunjungan ke kamp gerilyawan Falintil. Komandan Falintil, Falur Rate Laek, secara informal mengatakan kepada mereka bahwa wilayah Indonesia sebagai região (region) ke-

5 yang tugasnya diserahkan kepada mahasiswa Timor-Leste dan gerakan pro- demokrasi di Indonesia.452 Kunjungan tersebut, disusul aktivis Solidamor, Roy

Pakpahan, yang mewawancarai Komandan Lere Anan Timor.453 Pakpahan juga

450 Lihat laporan Chega, Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 131-132. 451 Impettu adalah organisasi resmi, yang semula diprakarsai Jenderal Benny Murdani, namun dalam perjalanannya organisasi ini disusupi para aktivis Renetil. DSMPPTT berbasis di Timor-Leste, terutama di Universitas Timor Timur (Untim). 452 Wawancara Yeni Rosa Damayanti, Jakarta, 26 April 2007. 453 Solid, Volume 4, Mei 1999.

182

mewakili Solidamor, menghadiri pemberian penghargaan Students Peace Prize

1998, kepada aktivis mahasiswa Timor-Leste, Antero Bendito da Silva, (Maret

1999) di Trondheim (Norwegia), yang diselingi study tour ke beberapa negara

Eropa.

Selain itu, secara diam-diam beberapa aktivis dari kalangan pro- demokrasi, juga mengunjungi Timor-Leste, setelah reformasi 1998. Misalnya

Anas Alatas, dan dua aktivis Indonesia yang di antaranya dari PUDI, serta disusul

3 aktivis KPRP/PRD Yogyakarta, yaitu Dita Chaturani, Lexy Rambadeta dan

Gimin Dwihartanto, mengunjungi kamp Falintil di Los Palos (Ponta Leste).

Kunjungan itu, digunakan untuk mendokumentasikan kebertahanan gerilyawan

Falintil serta merasakan langsung kehidupan di Timor-Leste dan resistensi terhadap pendudukan ABRI.454

Sementara pemerintahan Habibie, gencar mengkampanyekan otonomi luas di Timor-Leste, dengan mendukung kelompok integrasi, para aktivis Fortilos dan sejumlah mahasiswa Timor-Leste, mendirikan Sahe Study Club (SSC),455 yang mengadakan pertemuan pertama pada tanggal 18 sampai 20 Juni 1998. Dengan tujuan merevitalisasi teori dan praktek pembebasan yang dikembangkan pelopor perjuangan dan pembebasan nasional Timor-Leste. Di mana para aktivis

Indonesia menunjukkan antusiasme. Nugroho Katjasungkana salah satu pendiri

454 Wawancara Gimin Dwihartanto, Jakarta, 1 Mei 2007. Perjalanan itu dikoordinir aktivis klandestin Timor-Leste, Calvario Savio. 455 Nama Sahe diadaptasi dari Vicente Reis yang membuang nama Portugis-nya dan menggunakan nama Timor, Bieki Sahe. Ia bersama para pemikir dan praktisi Fretilin berusia muda, seperti Antonio Carvarinho, Nicolao Lobato, Rosa Bonaparte, Fransisco Borja, Hamis Bassarewan, gugur dalam perang menghadapi pendudukan Indonesia.

183

SSC, mengatakan tahun 1980-an, orang-orang Indonesia yang tertarik pada pendidikan, kesehatan, dan koperasi alternatif menjadi tertarik…ketika mereka mengetahui bahwa Fretilin juga mempunyai perhatian pada bidang-bidang tersebut, juga pada tahun 1975.456 SSC antara lain menerbitkan buku saku yang secara kritis mengupas kelemahan-kelemahan dari otonomi luas yang ditawarkan

Jakarta, dan dua buku yang mengupas teori dan praktek pembebasan para pemikir

Afrika melawan kolonialisme, yang banyak menginspirasi pembentukan Fretilin pada tahun 1975, yaitu Pembebasan Nasional Menentang Imprealisme: Teori dan

Praktek Revolusioner Amilcar Cabral, karangan Ronald Chilcote 457 dan

Membangun Kekuatan Rakyat karangan Samora Machel. Selain itu, dilakukan pengorganisasian terhadap mahasiswa Timor-Leste di Indonesia, agar kembali ke

Timor-Leste mengambil peran aktif dalam kampanye menolak otonomi.

Pada masa ini, di Kupang (Timor Barat), berdiri Forsalidereste (Forum

Solidaritas Timor-Leste), serta ornop Indonesia seperti INFID (International NGO

Forum on Indonesian Development), sebuah koalisi dari 100 organisasi non- pemerintah Indonesia dan internasional, juga mulai lebih sering membuat pernyataan-pernyataan tentang Timor-Leste, dalam resolusi-resolusi setiap konferensi yang diselenggarakannya. Laporan Chega! menuliskan: 458

Dengan alasan hak asasi manusia dan demokratisasi sangat penting untuk pembangunan berkelanjutan, Infid menentang ‘pendekatan keamanan’

456 Lihat laporan Chega, Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 128. 457 Lihat Ronald Chilcote. 1998. Pembebasan Nasional Menentang Imprealisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral. SSC. Dili, 458 Laporan Chega, Loc.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 131.

184

secara militer dan mengimbau komunitas internasional untuk menghentikan segala bentuk bantuan militer, sebelum TNI berada di bawah kontrol kekuatan sipil.

Kekhawatiran INFID, juga menjadi gambaran umum dari organisasi yang solider dengan perjuangan Timor-Leste. Pada bulan Juli 1993, sebuah pernyataan yang ditandatangani 8 LSM, memprotes penyalahgunaan dana JPS (Jaring

Pengaman Sosial) kepada Badan Perencanaan Nasional (Bapenas) karena digunakan membiayai keberadaan milisi bersenjata di Timor-Leste. Dalam

Laporan Chega!, aktivis Nugroho Katjasungkana, mengatakan: 459

Berdasarkan pengalaman penindasan di tangan aparat keamanan selama bertahun-tahun, sangat terkejut ketika PBB menyerahkan soal keamanan kepada militer dan polisi Indonesia pada tahun 1999.

Fakta terkait lainnya, seperti ditulis laporan Chega! : 460

Pada bulan April 1999, sebagai contoh, kelompok-kelompok pendukung Indonesia terpaksa menyembunyikan teman-teman Timor Timur di rumah- rumah aman, ketika Kopassus membawa 150 orang milisi pro-integrasi ke Jakarta untuk mencari orang-orang yang berkampanye untuk penentuan nasib sendiri.

Meskipun dalam situasi represif, masyarakat sipil Indonesia tetap aktif memantau proses pelaksanaan referendum di Timor-Leste. Sekitar 600 masyarakat sipil Indonesia, mengunjungi Timor-Leste pada bulan Agustus 1999, yang dikoordinasi Kiper (Komite Independen Pemantau Suara, Independent

Committee for Direct Ballot Monitoring). Laporan Chega! menuliskan bahwa kelompok ini membentuk grup pengamat eksternal terbesar dan menolak klaim

Indonesia yang mengatakan bahwa PBB telah memanipulasi jumlah suara.

459 Idem. 460 Idem.

185

Dengan kehadirannya, mereka menawarkan perlindungan bagi para pemilih

Timor-Leste dan membantu memfasilitasi tindakan penentuan nasib sendiri bersejarah tersebut.461

Pada akhirnya, hasil referendum 78,5% menolak otonomi dan hanya 21% rakyat Timor Leste yang menerima. Konsekuensinya, Timor-Leste lepas dari

NKRI dan menjadi wilayah merdeka. Hasil tersebut, segera memicu kekerasan dan pembumihangusan di seantero Timor-Leste, yang dilakukan milisi dan didukung ABRI. Beberapa dari aktivis Indonesia, ikut terjebak dan menjadi saksi langsung huru-hara tersebut. Seperti Yeni Rosa Damayanti, dan sejumlah aktivis

Kiper, harus dievakuasi dari Lapangan Udara Baucau. Sedangkan aktivis HAM, terutama dari Fortilos yang tetap berupaya bertahan di kantor Yayasan HAK, diteror dan dievakuasi paksa dari Dili.462

Dua orang Indonesia, ikut menjadi korban kekerasan milisi dan ABRI.

Romo Dewanto SJ, dibunuh milisi ketika berupaya memberi perlindungan kepada pengungsi di Gereja Ave Maria, Suai. Sedangkan Agus Mulyawan, yang bekerja untuk media Jepang mendokumentasikan kekerasan dan pembumihangusan pasca referendum, juga dibunuh milisi, di Apikuru-Lautém (Los Palos). Sementara pada bulan Mei 2000, sekitar 50 orang Timor-Leste pro-integrasi menyerang kantor

461 Idem. 462 Teror milisi dan ABRI, terhadap para pekerja hak asasi manusia menjelang referendum, dapat dibaca dalam Pratiwi, Catatan Perjalanan di Bumi Lorosa’e, http://apchr.murdoch.edu.ou/minihub/siarlist/msg, 0425. html. Juga baca Yohanes Sukandar dkk. (Editor). 2000. Selamat Tinggal Timor Timur. Insist Press. Yogyakarta.

186

Solidamor di Jakarta, mencuri berkas-berkas dan uang serta mencederai beberapa aktivis, termasuk Bonar Tigor Naipospos, ketua Solidamor.463

Hasil referendum membuat Presiden Habibie dikecam. Opini yang berkembang menyebut Habibie sebagai pembuka jalan bagi kemerdekaan Timor-

Leste. Namun sesungguhnya tidak demikian. Laporan Chega! menuliskan: 464

Presiden Habibie, bukanlah orang pertama di Indonesia yang berbicara tentang referendum bagi Timor Timur, dan mereka itu pun tidak mendengarnya pertama kali dari Perdana Menteri Australia, John Howard. Masyarakat sipil Indonesia telah membela ide tersebut, jauh-jauh sebelum 1999.

Pandangan yang sama, datang dari sastrawan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer: 465 Habibie yang legitimasinya sebagai presiden, sangat rapuh karena mendapat jabatan itu tidak lewat parlemen atau proses konstitusional yang wajar, memang membutuhkan suatu stunt politik spektakuler yang mampu mengukuhkan legitimasi jabatan kepresidenan dan posisi politiknya. Menyelenggarakan referendum berarti meraih langsung dua bintang gemerlapan dalam sekali gapai. Di mata dunia internasional, di mata Amerika, di mata negara-negara Eropa Barat dan PBB, dia mengharapkan namanya terangkat oleh sikapnya yang ‘demokratis’ tersebut, sampai- sampai seteru Indonesia sekalipun, yaitu Portugal terperanjat oleh tawaran Habibie itu. Di jurus lain pada level nasional dia memperhitungkan sanjungan dan acungan jari jempol karena dia yakin sesuai kalkulasi politiknya hasil referendum akan dimenangkan oleh mayoritas masyarakat Timor Timur yang mendambakan tetap menjadi bagian dari Indonesia. Dia kecelé! Kecelé yang tidak kepalang tanggung!...Sebodoh-bodohnya rakyat, referendum bagi mereka sudah jelas sekali artinya. Dua opsi yang ditawarkan Habibie jelas berarti memilih dinjak-injak hak-hak azasi oleh kekuasaan militeris yang munafik atau bebas merdeka mengurus diri sendiri, maka dengan sendirinya mudah diterka sebelumnya bagaimana jadinya hasil referendum itu.

463 Laporan Chega, Op.Cit., Bab 7.1 ‘Hak Penentuan Nasib Sendiri’. Hlm. 129. 464 Ibid., Hlm. 132. 465 Pramoedya Ananta Toer ‘Tragedi Sisa-Sisa Perang Dingin’, Talitakum, edisi 41, 1-7 Juni 2000.

187

Lebih jauh, Pramoedya Ananta Toer menuliskan apa yang paling tidak menjadi harapan dari rakyat Timor-Leste yang menjadi korban, dan juga bagi masyarakat sipil Indonesia yang telah bahu-membahu memperjuangkan hak-hak penentuan nasib sendiri bagi Timor-Leste: 466

Saya berbahagia dan mengucapkan selamat atas kekalahan politik Suharto – Habibie di Timor Timur, selamat kepada rakyat Timor Timur membangun suatu negara merdeka: Republik Demokratik Timor-Leste. Itulah negara dan tempat yang tepat untuk mengadili Suharto dan para jenderal yang mempunyai tangan berlumuran darah sebagai penjahat kemanusiaan.

Namun harapan tersebut, tidak tercapai. Setelah Timor-Leste merdeka, pengadilan Ad Hoc Indonesia, membebaskan semua perwira militer yang tangannya berlumuran darah di Timor-Leste. Demikian juga pemerintah Indonesia dan Timor-Leste, membentuk Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) yang mengesampingkan pengadilan bagi para penjahat perang di Timor-Leste, yang bertentangan dengan harapan para korban, dan masyarakat sipil internasional termasuk tuntutan masyarakat sipil Indonesia.

E. Rangkuman

Bab ini, memperlihatkan bagaimana masyarakat sipil Indonesia mengalami perkembangan pesat, seiring arus oposisi yang menentang Orde Baru kian bertambah kuat. Demikian juga, dukungan dan kampanye masyarakat sipil

Indonesia, membuat isu Timor-Leste terus bergulir di tengah isu perubahan politik di Indonesia. Sehingga pada pertengahan dekade 1990-an, dukungan bagi perjuangan Timor-Leste di Indonesia makin meluas.

466 Idem.

188

Pada akhirnya, reformasi 1998, memberi peluang yang lebih luas bagi masyarakat sipil Indonesia untuk mengkampanyekan referendum. Ini menjadi faktor penekan penting dan rintangan politik bagi pemerintahan transisi B.J.

Habibie, sehingga ia memutuskan untuk menyelenggarakan referendum pada tahun 1999.

Dalam hal ini, masyarakat sipil Indonesia telah memainkan peran penting dan konsisten. Mencakup sejumlah aktivis individu, gerakan pro demokrasi, gerakan mahasiswa, gerakan kemanusiaan dan HAM; maupun dari partai politik serta para pembela hukum; secara intens mengkampanyekan dan menyebarluaskan informasi mengenai Timor-Leste kepada publik Indonesia dan juga kepada khalayak internasional. Termasuk memonitor referendum di Timor-

Leste.

189

BAB VI

K E S I M P U L A N

Pendudukan militer Indonesia di Timor-Leste tahun 1975, membuat

Pemerintah Orde Baru dihadapkan pada persoalan Timor-Leste selama 24 tahun, hingga akhirnya Timor-Leste lepas setelah referendum 1999. Selama itu Orde

Baru tidak berhasil mendapatkan dukungan dari masyarakat sipil internasional, dan juga mulai mendapat oposisi dari kalangan masyarakat sipil Indonesia.

Untuk memahami perkembangan dari dinamika tersebut, uraian-uraian dari karya ini, berkaitan langsung dengan kebijakan Orde Baru mengenai masalah

Timor-Leste. Terdapat 4 pokok permasalahan yang disoroti, yaitu: pertama, bagaimana hegemoni negara yang dijalankan Orde Baru untuk memperoleh dukungan masyarakat Indonesia terhadap kebijakan Integrasi Timor Timur; kedua, bagaimana pemberitaan media massa Indonesia mengenai persoalan

Timor-Leste di bawah kekuasaan Orde Baru. Sementara berkaitan dengan oposisi masyarakat sipil Indonesia, pokok permasalahan yang disoroti, yaitu: pertama, apa dan bagaimana proses kemunculan masyarakat sipil Indonesia pro Timor-Leste di

Indonesia, kedua, apa dan bagaimana dukungan masyarakat sipil Indonesia memperjuangkan hak penentuan nasib sendiri rakyat Timor-Leste.

Berdasarkan 4 pokok permasalahan tersebut, hipotesis yang diajukan sebagai berikut: pertama, kalau Orde Baru menjalankan hegemoni, dengan mengkooptasi dan merepresi institusi keagamaan serta mengkontrol lembaga pendidikan, melalui penulisan ulang sejarah Timor-Leste, maka Orde Baru akan

189 190

mendapatkan dukungan masyarakat Indonesia mengenai kebijakan Integrasi

Timor Timur; kedua, kalau masyarakat Indonesia tidak memperoleh informasi yang sebenarnya mengenai masalah Timor-Leste, maka Orde Baru melakukan kontrol atas pers agar pemberitaannya sejalan dengan kebijakan Integrasi Timor

Timur; ketiga, kalau hegemoni pemerintahan Orde Baru dijalankan hingga dekade

1980-an, maka Peristiwa Santa Cruz 1991, anti militerisme di Indonesia, serta kampanye solidaritas internasional yang meluas, seiring HAM sebagai isu global pasca Perang Dingin, mendorong munculnya gerakan pro Timor-Leste di

Indonesia, pada awal 1990-an; keempat, kalau perlawanan rakyat Indonesia semakin menguat menghadapi Orde Baru yang otoriter, maka kesadaran akan persoalan Timor-Leste yang sebenarnya, membuat masyarakat sipil Indonesia, mulai mengkampanyekan hak penentuan nasib sendiri Timor-Leste sebagai bagian perjuangan demokrasi menuju perubahan politik di Indonesia.

Adapun berdasarkan rumusan masalah dan hipotesis tersebut, kesimpulan umum dari karya ini sebagai berikut: Pertama, situasi Perang Dingin menjadi faktor penting dari hegemoni yang dijalankan Orde Baru. Ini dikarenakan kebijakan Orde Baru yang menjadikan wacana anti-komunis sebagai pembenaran bagi invasi atas Timor-Leste. Sehingga institusi-institusi keagamaan maupun kaum agamawan yang sejalan dengan kebijakan tersebut, memberi persetujuan terhadap Integrasi Timor Timur. Termasuk pandangan dari kaum Katolik, Islam dan Protestan umumnya menerima invasi atas Timor-Leste, sejalan dengan politik pemberangusan komunis di Indonesia. Faktor lain yaitu kaum Katolik dan

Protestan sebagai minoritas membuat keduanya cenderung berkompromi dengan

191

penguasa, apalagi pencaplokan Timor-Leste yang mayoritas Katolik dinilai akan menambah daya tawar sebagai minoritas. Sementara pada agama Islam sebagai mayoritas, terdapat kelompok-kelompok yang secara aktif terlibat dalam upaya meng-Islam-kan orang Timor. Di mana Islam sebagai institusi independen, umumnya tidak mempunyai perhatian khusus dalam mencermati persoalan Timor-

Leste. Karena Islam sebagai kekuatan politik, selalu dihadapkan pada represi dan kooptasi oleh pemerintah Orde Baru.

Selain itu, hegemoni Orde Baru dilakukan dengan mengontrol lembaga pendidikan, yang diperankan CSIS (Center for Strategic and International

Studies). Lembaga ini, terdiri dari sejumlah intelektual Katolik dan Angkatan

Darat, yang berperan penting dalam menentukan maupun mengintervensi sistem pendidikan di Indonesia. Termasuk berperan dalam penulisan sejarah Timor-Leste untuk melegitimasi Integrasi Timor Timur.

Kedua, faktor penting yang juga membuat publik Indonesia menerima

Integrasi Timor Timur, adalah minimnya informasi mengenai persoalan Timor-

Leste yang sebenarnya. Agar tujuan ini tercapai, Orde Baru menjalankan kontrol dalam segala pemberitaan mengenai masalah Timor-Leste. Di mana anti- komunisme maupun keabsahan integrasi Timor-Leste menjadi wacana dominan.

Hal ini dimungkinkan karena aturan yang berlaku tidak memungkinkan keberadaan pers yang independen.

Ketiga, munculnya gerakan pro Timor-Leste di Indonesia, tidak terlepas dari faktor-faktor baru yang bergulir susul menyusul menjelang akhir dasawarsa

1980-an dan awal 1990-an, yang membuka mata publik Indonesia mengenai

192

persoalan Timor-Leste yang sebenarnya. Faktor seperti keterbukaan Timor-Leste tahun 1989, menandai momentum yang berkelanjutan bagi rakyat Timor-Leste untuk memperlihatkan penolakan dan perlawanan terhadap pendudukan

Indonesia. Disusul kunjungan Paus Yohanes Paulus II pada tahun yang sama, dan setelah peristiwa Santa Cruz 1991 yang berdampak internasional, menjadi titik balik yang menentukan bagi kemunculan masyarakat sipil Indonesia pro Timor-

Leste. Pada masa ini, Perang Dingin memasuki tahap akhir, dan isu hak asasi manusia dan demokrasi menjadi isu penting dalam percaturan internasional, yang memberi kesempatan bagi masyarakat sipil Indonesia, untuk mengambil peran oposisi terhadap rezim Orde Baru, termasuk mulai mempertanyakan ulang proses

Integrasi Timor Timur. Hal ini, memperlihatkan kontinuitas dari oposisi masyarakat sipil Indonesia dengan masyarakat Indonesia yang tersebar di luar negeri yang lebih dulu menentang Invasi Indonesia di Timor-Leste. Faktor-faktor seperti kehadiran para aktivis Timor-Leste di Indonesia yang sebagian besar adalah mahasiswa, pemenjaraan para pejuang Timor-Leste di Indonesia, aksi demonstrasi massa, peran media internasional dan pers alternatif di Indonesia, serta dukungan jaringan internasional, secara akumulatif mendorong gerakan pro

Timor-Leste di Indonesia, menjadi aktif mendukung perjuangan rakyat Timor-

Leste. Di mana pada paruh pertama 1990-an, mulai muncul gerakan solidaritas pro Timor-Leste di Indonesia.

Keempat, faktor penting pada paruh kedua dasawarsa 1990-an, adalah konsistensi kelompok solidaritas Indonesia pro Timor-Leste memasukkan persoalan Timor-Leste sebagai agenda penting dari perjuangan demokrasi di

Indonesia. Dalam hal ini isu Timor-Leste, dilihat sebagai bagian penting dalam

193

menuntut perubahan politik di Indonesia. Pada fase ini, hubungan antara jaringan masyarakat sipil Indonesia pro Timor-Leste dengan jaringan internasional semakin meningkat dalam mengkampanyekan referendum untuk Timor-Leste dan demokrasi bagi Indonesia. Lengsernya Suharto pada tahun 1998, menjadi perubahan penting menandai reformasi di Indonesia, meskipun isu Timor-Leste, tetap tidak mendapat dukungan luas dari kalangan reformis Indonesia. Namun perubahan ini, menjadi titik balik yang menentukan bagi masyarakat sipil

Indonesia pro Timor-Leste, dalam mengkampanyekan referendum bagi rakyat

Timor-Leste. Di mana beberapa aktivis Indonesia, baik secara individu, maupun sebagai grup solidaritas tampil sebagai pembela aspirasi rakyat Timor-Leste di tingkatan nasional dan internasional. Sementara faktor penting lain, yaitu informasi mengenai Timor-Leste yang makin beragam dengan berbagai penerbitan, hingga penguatan organisasi mahasiswa Timor-Leste di Indonesia dan beberapa organisasi masyarakat sipil di Timor-Leste, memperlihatkan keterlibatan aktif dari aktivis Indonesia. Semua ini, pada akhirnya terjalin dengan tekanan masyarakat sipil internasional dalam menuntut hak penentuan nasib sendiri bagi rakyat Timor-Leste.

Akumulasi berbagai protes dan penentangan tersebut, membuat Presiden

Habibie pada tahun 1999, memutuskan menyelenggarakan referendum di Timor-

Leste, yang berkesudahan dilepasnya Timor-Leste sebagai negara merdeka.

Selama proses tersebut, masyarakat sipil Indonesia, telah menjadi faktor penting yang ikut menentukan dan memperjuangkan kemerdekaan Timor-Leste di

Indonesia. Dalam hal ini, hipotesis awal yang diajukan dari karya ini sesuai dengan bukti-bukti yang diteliti.

194

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Aboeprijadi Santoso. 1996. Jejak-Jejak Darah: Tragedi Pengkhianatan di Timor Timur. Stichting Amsterdam dan Pijar Yogyakarta.

Aditjondro, George J. 2000. Menyongsong Matahari Terbit di Puncak Ramelau: Dampak Pendudukan Timor Lorosae dan Munculnya Gerakan Pro-Timor Lorosae di Indonesia. Yayasan HAK dan Fortilos. Jakarta.

------2006. Korupsi Kepresidenan Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa. Lkis. Yogyakarta.

Anderson, Benedict. 1991. Imagined Communities, Reflections on the Origines and Spread of Nationalism. Revised Edition, Verso. London and New York.

------2002. Hantu Komparasi: Nasionalisme Asia Tenggara dan Dunia. Qalam. Yogyakarta.

Anwar Kurnia dan Moh. Suryana. 2007. Sejarah SMP Kelas IX. Yudhistira. Jakarta.

Asvi Warman Adam. 2004. Soeharto Sisi Gelap Sejarah Indonesia. Ombak. Yogyakarta.

------2007. Seabad Kontroversi Sejarah. Ombak. Yogyakarta.

Bambang Cipto. 2003. Tekanan Amerika Terhadap Indonesia: Kajian Atas Kebijakan Clinton Terhadap Indonesia. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Barbedo de Magalhães, António. 1997. Timor Leste e As Jornadas da Universidade do Porto. Universidade de Porto. Oporto.

------2002. (Coordenação Cientifica). A nossa vitória é apenas questão de tempo: Memoria da Resistência do Povo de Timor-Leste. Fundação Mario Soares. Lisboa.

195

Barton, Greg. 2003. Biografi Gus Dur: The Authorized Biography of Abdurrahman Wahid. LKIS. Yogyakarta.

Baskara T. Wardaya. 2006. Bung Karno Menggugat: Dari Marhaen, CIA, Pembantaian Massal ’65 hingga G 30 S. Galang Press. Yogyakarta

Bazher, Ambarak A. dan Euis Erinawat. 1995. Islam di Timor Timur. Gema Insani Press. Jakarta.

Bourchier, David. 2007. Pancasila Versi Orde Baru dan Asal Muasal Negara Organis (Integralistik). PSP UGM, PSSAT UGM dan P2D Jakarta. Yogyakarta.

Broek, Martin. (Editor). 1997. Penjualan Senjata Kepada Rejim Militer Indonesia. Pijar. Jakarta.

Budiawan. 2004. Mematahkan Pewarisan Ingatan: Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsilisasi Pasca Soeharto. Elsam. Jakarta.

Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Obor. Jakarta.

CAVR (Comissão de Acolhimento Verdade e Reconciliação). 2005. Laporan Komisi Penerimaan, Kebenaran dan Rekonsialiasi (CAVR) di Timor Leste, Ringkasan Eksekutif. CAVR. Dili.

Carey, Peter and G. Carter Bentley (Edited). 1995. East Timor at the Crossroads the Forging of a Nations. Cassel and Research Council. New York.

Chilcote, Ronald. 1998. Pembebasan Nasional Menentang Imprealisme: Teori dan Praktek Revolusioner Amilcar Cabral. SSC. Dili.

Comboy, Ken. 2004. Intel: Inside Indonesia’s Intelligence Service. Equinox Publishing Indonesia. Jakarta.

Dhakidae, Daniel. 2003. Cendikiawan dan Kekuasaan Dalam Negara Orde Baru. Gramedia. Jakarta.

196

Dunn, James. 1999. Insiden Balibo 1975: Terbunuhnya Lima Wartawan Itu. Fortilos dan Isai. Jakarta.

Edi Cahyono (Penyunting). 1999. Indonesia: Demokratisasi Di Era Globalisasi. Konferensi INFID ke- 11, Bonn – Jerman, 4-6 Mei 1998. INFID. Jakarta.

Fauzan. 2003. Mengubur Peradaban: Politik Pelarangan Buku di Indonesia. LKIS. Jakarta.

Gerakan Anti Pembodohan. Tanpa Tahun. Timor Timur Sekarang Waktunya Untuk Bicara. Gerakan Anti Pembodohan.

Gunn, Geoffrey C. 2005. 500 Tahun Timor Lorosae. Sa’he Institut for Liberation. Dili.

Hall, D. G. 1970. A History of South-East Asia. St Martin’s Press, Third Edition. New York.

Hasan Alwi dkk. 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.

Hendro Subroto. 2005. Operasi Udara di Timor Timur. Sinar Harapan. Jakarta.

Hill, Helen Mary. 2000. Fretilin: Gerakan Pembebasan Timor Lorosae. Yayasan HAK dan SIL. Dili.

Hull, Geoffrey. 2001. Timor Leste: Identidade, Língua e Política Educacional. Instituto Camões. Dili.

J.J. Kusni. 2005. Membela Martabat Diri Indonesia dan Koperasi Restoran Indonesia di Paris. Ombak. Yogyakarta.

Khairul Jasmi. 2002. Eurico Guterres Melintas Badai Politik Indonesia. Sinar Harapan. Jakarta.

197

Klinken, Gerry van. 1996. Akar Perlawanan Rakyat: Timor Timur Masa Kini dan Prospek Bagi Perdamaian. Elsam. Jakarta.

Kristanto, J.B. 2005. Katalog Film Indonesia 1926-2005. Nalar. Jakarta.

Kuntowijoyo. 2001. Pengantar Ilmu Sejarah. Bentang. Yogyakarta.

Kuper, Adam, dan Jessica Kuper. 2000. Ensiklopedia Ilmu-Ilmu Sosial 1. Grafindo. Jakarta.

Lane, Max. 2007. Bangsa Yang Belum Selesai: Indonesia, Sebelum dan Sesudah Soeharto. Reform Institut. Jakarta.

Lopes da Cruz, F.X. 1999. Kesaksian Aku dan Timor Timur, Yayasan Tunas Harapan Timor Lorosae. Jakarta.

Machel, Samora. 2001. Membangun Kekuatan Rakyat. SIL dan Yayasan HAK. Dili.

Mangunwijaya, Y.B. 1997. Politik Hati Nurani, Grafi Asri Mukti. Jakarta.

Marsel, Robert. 2004. Teori Pergerakan Sosial: Kilasan Sejarah dan Catatan Bibliografis. Resist Book. Yogyakarta.

Miclat, Gus. (Penyunting). 1997. Timor-Timur Untuk Pemula. Pijar. Semarang.

Miftahuddin. 2004. Radikalisasi Pemuda: PRD Melawan Tirani. Desantara. Jakarta.

Moedjanto, G. 1989. Indonesia Abad ke-20. 2 Dari Perang Kemerdekaan Pertama Sampai Pelita III. Kanisius. Yogyakarta.

Mubyarto et.al. 1991. East Timor: The Impact of Integration An Indonesian Socio- Anthropological Study. IRIP. Melbourne.

198

Nezar Patria dan Andi Arief. 1998. Antonio Gramsci: Negara dan Hegemoni. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.

Odi Shalahuddin dan Joko Utomo (Editor). 2000. Indonesia Berkaca: Refleksi Kritis Atas Perubahan. Forum LSM DIY-YAPPIKA. Yogyakarta.

Pakpahan, Roy. 1998. Mengenal Timor Timur Dulu dan Sekarang. Solidamor. Jakarta.

Parera. Frans. M. dkk. 1999. Mengenang Romo Mangun: Surat Bagimu Negeri. Kompas. Jakarta.

Pour, Julius. 1993. Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan. Yayasan Panglima Besar Sudirman. Jakarta.

Ramos Horta, Jose. 1998. Funu: Perjuangan Timor Lorosae Belum Usai. Solidamor. Jakarta.

Ricklefs, M. C. 2005. Sejarah Indonesia Modern 1200-2004. Serambi. Jakarta.

Saldanha, João Mariano de Sousa. 1994. Ekonomi Politik Pembangunan Timor Timur. Sinar Harapan. Jakarta.

Sartono Kartodirdjo. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah. Gramedia. Jakarta.

Seno Gumira Ajidarma. 2002. Saksi Mata. Bentang. Yogyakarta.

Siagian, Frans Sihol dan Peter Tukan (Editor). 1997. Voice of the Voiceless (Suara Kaum Tak Bersuara). Obor. Jakarta.

Siahaan, Hotman dkk. 2001. Pers Yang Gamang: Studi Jajak Pendapat Timor Timur. LSPS dan ISAI. Jakarta.

Sindhunata. 1999. (Editor). Mengenang Y. B. Mangunwijaya: Pergulatan Intelektual Dalam Era Kegelisahan. Kanisius. Yogyakarta.

199

------2003. (Editor). Jembatan Air Mata: Tragedi Manusia Pengungsi Timor Timur. Galang Press & JRS. Yogyakarta.

Siregar, M.R. 2007. Tragedi Manusia Dan Kemanusiaan: Holokaus Terbesar Setelah Nazi. Resist Book. Yogyakarta.

Soekanto. 1976. Integrasi: Kebulatan Tekad Rakyat Timor-Timur. Yayasan Parikesit. Jakarta.

Sri Bintang Pamungkas dkk. (Editor). 1995. H.J.C. Princen 70 Tahun: Gerilya Yang Tak Pernah Usai. Panitia 70 Tahun H.J.C. Princen. Jakarta.

Stanley dkk (Penyunting). 1997. Sri Bintang Pamungkas: Saya Musuh Politik Soeharto. Pijar Indonesia. Jakarta.

Taylor, John. 1998. Perang Tersembunyi: Sejarah Timor Timur Yang Dilupakan. Fortilos. Jakarta.

Tim Redaksi LP3S. 2007. Api Dilawan Air: Sosok dan Pemikiran Munir. LP3S. Jakarta.

Tri Agus Susanto Siswowihardjo (Editor). 1998. Xanana Gusmão: Timor-Leste Merdeka Indonesia Bebas. Solidamor. Jakarta.

Tukan, Peter dan Domingos de Sousa. (Editor). 1997. Demi Keadilan dan Perdamaian Diosis Dili: Dom Carlos Filipe Ximenes Belo SDB, Uskup Diosis Dili Timor-Timur. Komisi Perdamaian dan Keadilan Diosis Dili dan Sekretariat Keadilan dan Perdamaian KWI. Jakarta/ Dili.

Turner, Michele. 1992. Cerita Tentang Timor Timur: Kesaksian Pribadi 1942-1992. Pijar Indonesia. Jakarta.

Uhlin, Anders. 1998. Oposisi Berserak: Arus deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Mizan. Bandung.

200

Wilson. 2005. Dunia Dibalik Jeruji: Kesaksian Perlawanan. Resist Book. Yogyakarta.

Yohanes Sukandar. Dkk. (Editor). 2000. Selamat Tinggal Timor Timur. Insist Press. Yogyakarta.

B. Dokumen, Makalah dan Publikasi Lainnya

Aditjondro, George. J. 1993. Dari Memo ke Tutuala: Suatu Kaleidoskop Permasalahan Lingkungan di Timor Timur’ disampaikan dalam diskusi lingkungan UKSW (Salatiga 6 Agustus 1993).

Aida Milasari (Yayasan Tjoet Njak Dien). Tanpa tahun. Kekerasan Terhadap Perempuan di Timor Timur.

Araújo, Fernando. 1994. Anak Muda Timor Timur Melihat Persoalan Bangsanya. Pijar. Jakarta. (Pleidoi).

Dokumen Fortilos. 1998.

East Timor Talks Campaign. 1995. Peacemaking Initiatives for East Timor: Report on a Conference on East Timor Helds at the Australian National University 10-12 Juli 1995.

Endiq Pratama. 1999. Generasi yang Terus Resah di Tengah Sistem Kapitalisme: Sejarah Gerakan Mahasiswa Kerakyatan. Makalah untuk pendidikan LMND (Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi).

Komite Bersama Pembelaan Masyarakat Timor Timur. 1995. Kronologis Dan Rekonstruksi Insiden 12 Januari 1995 Di Liquica Timor Timur. Publikasi: Komite Bersama Pembelaan Masyarakat Timor Timur. Jakarta.

Ndiaye, Bacre Waly. 1994. Timor Timur: Laporan Resmi Perutusan PBB. Pijar. Jakarta.

PRD Tetap Melawan. 1996. Direpro Oleh: Komite Pimpinan Pusat PRD (KPP-PRD).

Pernyataan Sikap KPW PRD DI Yogyakarta. Tanggal 12 April 1999.

201

Petisi Rakyat Indonesia Mengenai Penyelesaian Damai Masalah Timor Timur. Tanggal 12 Mei 1999.

Resolusi Konvensi Nasional Organisasi Non-Pemerintah Mengenai Penyelesaian Damai Persoalan Timor-Timur. Tanggal 18-20 Oktober 1999.

Sandyawan Sumardi SJ, Tanpa Tahun. Gereja Indonesia (Barat) Dalam Masyarakat Timor (Timur). Manuskrip Pribadi.

Solidamor. 1998. Timor Timur Di Mata Masyarakat Kampus. Solidamor. Jakarta.

Tri Agus Susanto Siswowihardjo. 1995. Jaman Edan: Sak Beja-Bejane Wong Waras Isih Luwih Beja Wong Edan Ning Kuasa, 17 Juli 1995 (Peidoi).

Wiladi Budiharga dan Fauzi Abdulah. 1997. Laporan Evaluasi Komite Indonesia untuk Pembelaan Masyarakat Timor Timur 1992-1997. Remdec Swaprakarsa. Jakarta.

C. Jurnal dan Majalah

Bahtera, edisi 06, September 2007. Gatra, 31 Agustus 1996. Hidup, 18 Juni 1989. Inside Indonesia, Oktober 1989. Jakarta-Jakarta. No 283, 30 November – 6 Desember 1991. Matebian News, December 1998 Prisma, Juli, 1979. Solid, Volume 03, Februari – Maret, 1999. ------, Volume 4, Mei 1999. Talitakum, edisi 2, Januari – Februari 1999. ------, edisi 3, Maret – April 1999. ------, edisi 4, April – Mei 1999. ------, edisi 41, 1-7 Juni 2000. Tapol, No 01 November 1991. Tempo, 15 Juni 1974. ------, 6 Desember 1975. Timor Leste: Sebuah Tragedi Kemanusiaan. 1999. Yayasan HAK dan Fortilos. Jakarta.

202

D. Surat Kabar

Angkatan Bersenjata, 27 Januari 1975. ------, 20 November 1975. ------, 26 November 1975. ------, 6 Mei 1976. ------, 16 Desember 1977. Antara,15 Desember 1975. ------, 22 Januari 1976. ------, 22 Januari 1983. ------, 8 Maret 1985. Berita Buana, 10 Mei 1976. ------, 22 November 1977. ------, 27 Januari 1983. ------, 25 Maret 1983. Berita Yudha, 28 Januari 1976. ------, 6 Mei 1976. Kompas, 27 September 1975. ------, 2 Juli 1976. ------,11 Agustus 1977. ------,12 Agustus 1977. ------, 6 Maret 1982. ------, 6 Agustus 1983. ------, 13 September 1985. ------, 18 Juli 1986. ------, 27 Juli 1986. ------, 14 Desember 2007. Merdeka, 12 Desember 1975. ------, 16 Juli 1983. ------, 4 Juni 1984. ------, 2 Agustus 1984. ------, 22 Januari 1985. ------, 27 Desember 1988. Novas, 11 November 1998. Pelita, 18 Juli 1976. ------, 29 Juli 1983. ------, 18 Juli 1986. Sinar Harapan, 13 Juli 1975. ------, 16 Juli 1975. ------, 19 Maret 1976. ------, 25 Januari 1983. ------, 1 Juli 1985. Suara Independen, No 02/1 Juli 1995. Suara Karya, 3 Maret 1975. ------, 27 Februari 1982. ------, 1 Maret 1983.

203

------, 30 Januari 1984. ------, 1 Maret 1985. ------, 13 Maret 1985. ------, 30 Juli 1986.

E. Sumber Elektronik

Esperança, João Paulo. 2004. Um Brevíssimo Olhar Sobre a Literatura de Timor. http://www.sul.online.org/ficheiros/Literatura_Timorense_artigo.

Laporan CAVR (Comissão de Acolhimento Verdade e Reconciliação). 2005. Chega! http://www.cavr-timorleste.org/chegaFiles/

Pratiwi, 2001. Catatan Perjalanan di Bumi Lorosa’e, http://apchr.murdoch.edu.ou/minihub/siarlist/msg.

Wilson. 1996. Rakyat Dua Bangsa Menghadang Kekuasaan Otoriter yang Sama. http://www.xs4all.nl/~peace/pubeng/mov/movto/ekswil.htm

F. Wawancara

Nama : Bonar Tigor Naipospos, Jakarta, 23 Mei 2007. Umur : 42 Tahun. Pekerjaan Dulu : Aktif di Pijar Indonesia dan Solidamor (Solidaritas Untuk Penyelesaian Damai Timor-Leste). Pekerjaan Sekarang : Aktif di Setara Institut for Democracy and Peace. Jln Danau Diatas No 98 Bendungan Hilir, Jakarta Pusat.

Nama : Chotibul Umam Wiranu, Jakarta, 26 Mei 2007. Umur : N/A Pekerjaan Dulu : Aktif di organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII). Pekerjaan Sekarang : Ketua Lembaga Pengembangan Demokrasi (LPD) DPP PKB.

Nama : Gimin Dwihartanto, Jakarta, 1 Mei 2007. Umur : 32 Tahun Pekerjaan Dulu : Aktif di KPRP/PRD (Komite Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Perubahan/ Partai Rakyat Demokratik), Yogyakarta.

204

Pekerjaan Sekarang : Wartawan Metro TV Jakarta, Jln. Pilar Mas Raya, Kav. AD. Kedoya, Kebun Jeruk, Jakarta.

Nama : Hilmar Farid, Jakarta, 9 Juni 2007. Umur : 40 tahun. Pekerjaan Dulu : Aktif di Joint Committee for the Defense of East Timorese (JDCET) dan Fortilos (Forum Solidaritas Untuk Masyarakat Timor Lorosa’e). Pekerjaan Sekarang : Aktif di lembaga Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jln. Pinang Ranti No 3 Jakarta Timur.

Nama : Lefidus Malau, Jakarta, 23 Juni 2007. Umur : 46 tahun. Pekerjaan Dulu : Pekerjaan Dulu: Aktif di Joint Committee for the Defense of East Timorese (JDCET) dan Fortilos (Forum Solidaritas Untuk Masyarakat Timor Lorosa’e). Alamat Sekarang : Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jln. Pinang Ranti No 3 Jakarta Timur.

Nama : Lexy J. Rambadeta, Jakarta, 20 April 2007. Umur : 34 Tahun Pekerjaan Dulu : Aktif di KPRP/PRD (Komite Perjuangan Rakyat Indonesia untuk Perubahan/Partai Rakyat Demokratik), Yogyakarta. Pekerjaan Sekarang : Video Archives, JDC bld 6th floor JDC bussiness center Jl Gatot Subroto kav 53 Jakarta.

Nama : Mariatun, Jakarta, 16 Juni 2007. Umur : N/A Pekerjaan dulu : Aktif di Joint Committee for the Defense of East Timorese (JDCET), Pokastim (Forum Komunikasi Timor Timur) dan Fortilos (Kelompok Kerja untuk Kesejahteraan dan Pendidikan Masyarakat Timor Timur Lorosa’e). Pekerjaan Sekarang : Aktif di Jaringan Kerja Budaya (JKB), Jln. Pinang Ranti No 3 Jakarta Timur.

Nama : Sandyawan Sumardi, Jakarta, 16 Mei 2007. Umur : 49 tahun. Pekerjaan Dulu & Sekarang : Pastor Katolik, dan aktif di ISJ (Institut Sosial Jakarta). Jalan Arus Dalam No. 1 RT 001/RW 012, Cawang, Jakarta Timur.

Nama : Tri Agus Susanto Siswowihardjo, Jakarta, 25 Mei 2007. Umur : 42 Tahun. Pekerjaan Dulu : Aktif di Pijar Indonesia, dan Solidamor (Solidaritas Untuk Penyelesaian Damai Timor-Leste).

205

Pekerjaan Sekarang : Penulis Lepas dan aktif di Solidaritas Nasional Untuk Papua. Jln Pulo Asem Utara III No 1B Jatirawamangun, Jakarta Timur.

Nama : Tossy Santoso, Jakarta 22 Mei 2007. Umur : 59 tahun. Pekerjaan Dulu dan Sekarang: Wartawan Radio Nederland, Hilversum (Belanda).

Nama : Wilson, Jakarta, 7 Mei 2007. Umur : 38 Tahun. Pekerjaan Dulu : Aktif di SMID (Solidaritas Mahasiswa Indonesia untuk Demokrasi) 1993-94, SPRIM (Solidaritas Perjuangan Rakyat Indonesia Untuk Maubere) 1995-99, PPBI (Pusat Perjuangan Buruh Indonesia)1994-96, dan Pengurus Pusat Partai Rakyat Demokratik (1998-2001) Pekerjaan Sekarang: Aktif di Lembaga Riset dan Manajemen PRAXIS. Jln Salemba No 39-BB Jakarta.

Nama : Yeni Rosa Damayanti, Jakarta, 26 April 2007. Umur : 37 Tahun. Pekerjaan Dulu : Aktif di Skephi (Jaringan Konservasi Hutan) dan Solidamor (Solidaritas Untuk Penyelesaian Damai Timor-Leste).

LAMPIRAN 206

207

208

209

210

211

212

213

214

215

216

217

218 219

220

221

222

Mamau 125° Airpanas 126°Wetar Island Hahoho Tuputi Mahuan 127° Horan Pillipuang Sesen 0 10 20 30 km Aimau Hiai H D Ilmedo 0 5 10 15 20 mi Hatutau a ir t ku Luna TIMOR-LESTE Kara pa un 8° as 8° Lirah Lebelau Kisar Island AlorNational capital Island IslandDistrict seat Wonreli Atauro Town, village Island Strait of Wetar Biquele Airport Maumeta Cape Cape Lutra Aimoco International boundary Vali Berau Cape Meno District boundary Lautem Com Usso Tutuala Cape Issi Mehara Road Cape Bondura Mainal Cape Cutcha Matolana Baucau Laivai Jaco Run Bucoli Baucau Fuiloro Island Laga Atelari Comoro Metinaro Manatuto Luro Lospalos Dili Laleia Vermasse Liquica Bazar DILI Kelikai LAUTEM Savu Sea Maubara Tete Laklo Cai Rui BAUCAU Baguia Cape Corimbala Railaco Venilale Aba Loré LIQUICA Gleno AILEU MANATUTO Uato Carabau Iliomar Cape Lissapote Ossu De Loré Uatolari Ermera Aileu Laclubar Lacluta Cape Cape Hatolina VIQUEQUE Ima Bauc Atabae Letetoho Barique Cape Cape Maubisse Turiscai Viqueque Caissae Fotocapo Luli ERMERA Hato Beacu BOBONARO Builico Batugade Atsabe Natarbora Cape MANUFAHI Fato Deilubun 9 Balibo Maliana 9 ° Atapupu Same Berliu ° Bobonaro Ainaro Alas Atambua Mape AINARO Lolotoe Hotudo Zumalai Cape Timor Sea 124 00' 124 30' Fato Metidot ° ° Mean Fatolulic Cape Halilulik COVA LIMA Cacetec 9°00' 9°00' Fohorem Suai Savu Sea INDONESIA Tilomar Cape Kotafun Suai Pante Cape Macassar Tafara Wini OECUSSI Citrana Nitibe Oe Silo Kefamenanu

Passabe 9°30' INDONESIA 9°30' The boundaries and names shown and the designations 124 30' used on this map do not imply official endorsement or 124°00' ° acceptance by the United Nations. 125° 126°

Map No. 4111 Rev. 8 UNITED NATIONS Department of Peacekeeping Operations March 2007 Cartographic Section