HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 4 (2). 2021. 173-182 DOI: https://doi.org/10.17509/historia.v4i2.30410

Available online at HISTORIA; Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah website: https://ejournal.upi.edu/index.php/historia HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 4 (2). 2021. 173-182

RESEARCH ARTICLE

PEMBERONTAKAN JAWARA BANTEN PADA MASA AWAL KEMERDEKAAN TAHUN 1945 – 1946

Syadeli 1Prodi. Pendidikan Sejarah, Universitas Sultan Ageng Tirtayasa [email protected]

To cite this article: Syadeli. (2021). Pemberontakan jawara banten pada masa awal kemerdekaan tahun 1945 – 1946. HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 4 (2). 2021. 173-182, DOI: https://doi.org/10.17509/historia. v4i2.30410

Naskah diterima : 14 Desember 2020, Naskah direvisi : 6 April 2021, Naskah disetujui : 15 April 2021

Abstract “Jawara”is part of the subculture apart from “Kiai” and “ulama” which has a position in the eyes of the people of Banten. this position is not a formal labelling but an informal label which is formed by the community itself, where the “jawara” is a group that has a strong influence while penetrating the boundaries of the rural hierarchy in Banten. In the early days of independence, the “jawara” were involved in heroistic events with the people of Banten fighting to regain independence from the Dutch colonial government. In the midst of this struggle there was an act of rebellion carried out by the “jawara”, where this rebellion reflected the social action of the “jawara” to oppose the situation at that time. This event is interesting to study to provide an overview of the socio-political dynamics among the people of Banten during this period. The method used in this research is to use the historical method by following the research steps, namely heuristics, criticism, interpretation and historiography. Based on the results of the study, it can be concluded that the action in each rebellion that is carried out by “jawara”has its own characteristics, namely by committing various acts of violence that describe bandits. This violence is directed against people he does not like and will deter the ends of his interests. The acts of violence they commit such as kidnapping, intimidation, robbery and murder are the characteristics of the “jawara” style.

Keywords: Banten; Indonesian Revolution; Jawara; Rebellion.

Abstrak Jawara” menempati posisi istimewa dalam masyarakat Banten. Jawara merupakan bagian subkultur dalam masyarakat Banten yang memiliki kedudukan istimewa selain “Kiai” dan “Ulama”. Posisi Jawara dalam masyarakat Banten mempunyai pengaruh kuat yang menembus batas-batas hierarkhi pedesaan di Banten, sehingga Jawara mendapatkan pelabelan secara informal oleh masyarakat Banten. Pada masa awal kemerdekan, para “jawara” terlibat dalam peristiwa-peristiwa heroistik bersama masyarakat Banten berjuang merebut kembali kemerdekaan dari pemerintah kolonial Belanda. Di tengah-tengah perjuangan ini terjadi aksi pemberontakan yang dilakukan oleh para “jawara”, dimana pemberontakan ini merefleksikan aksi sosial para “jawara” untuk menentang situasi pada saat itu. Peristiwa ini menarik dikaji untuk memberikan gambaran tentang dinamika sosial politik di kalangan rakyat Banten pada kurun waktu tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode hstoris dengan mengikuti langkah-langkah penelitian yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Berdasarkan hasil kajian dapat disimpulkan bahwa aksi dalam setiap pemberontakan yang dilakukan “jawara” memiliki ciri tersendiri yaitu dengan melakukan berbagai tindakan kekerasan yang menggambarkan perbanditan. Kekerasan ini ditujukan terhadap orang-orang yang tidak disukainya dan akan menghalangi tujuan dari kepentingannya. Tindakan kekerasan yang mereka lakukan seperti penculikan, intimidasi, perampokan dan pembunuhan merupakan ciri khas yang menjadi gaya para “jawara”.

Kata Kunci: Banten; Jawara; Pemberontakan; Revolusi HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 173 Syadeli Pemberontakan Jawara Banten pada Masa Awal Kemerdekaan Tahun 1945 – 1946

PENDAHULUAN Sosok jawara juga menunjukkan corak kepahlawanan sejak jaman penjajahan. Bersama dengan para dan Banten dalam lintasan sejarah Indonesia cukup masyarakat Banten, para jawara ikut terlibat aktif dalam dikenal karena di daerah ini pernah berkembang upaya menumpas penjajahan Belanda. Jawara pada kesultanan Islam Pengaruh terbentuknya kesultanan awalnya hadir sebagai pengawal kiai dalam membela Banten melekatkan simbol-simbol keislaman yang kebenaran, Jawara adalah termasuk juga pengawal banyak dijumpai pada berbagai aspek kehidupan para kyai yang melakukan pemberontakan terhadap di Banten, termasuk dalam pembentukan struktur kekuasaan Hindia Belanda. Dengan demikian jawara pemerintahan dan masyarakatnya. Para penguasa menempati posisi penting dalam masyarakat Banten. Banten seringkali menggunakan gelar keagamaan yang Jawara dengan atribut budaya dan kekhasannya masih dipakai untuk melegitimasi dirinya sebagai orang yang dipertahankan dalam masyarakat Banten. Jawara telah mencapai derajat kewalian. Karena itu ia bukan merupakan bagian dari subkultur selain Kiai dan Ulama saja memiliki legitimasi kuat untuk mengurusi hal- yang memiliki kedudukan di mata masyarakat Banten. hal duniawi tetapi juga berkaitan dengan soal-soal kedudukan itu bukan pelabelan formal melainkan keagamaan. pelabelan informal yang dibentuk oleh masyarakat Jawara merupakan salah satu golongan dalam itu sendiri dimana jawara adalah kelompok yang masyarakat Banten yang mampu menembus batas- mempunyai pengaruh kuat sekaligus menembus batas- batas hierarki pedesaan. Bagi masyarakat Banten, batas hierarki pedesaan di Banten. Jawara dianggap memiliki sejumlah keunggulan Masyarakat Banten sangat menjaga apa yang menjadi terutama keunggulan fisik dan kekuatan-kekuatan peninggalan budayanya. Mereka juga mempertahankan untuk memanipulasi kekuatan spiritual. Keunggulan peranan turun menurun pada jawara, misalnya sebagai yang dimiliki oleh Jawara menyebabkan Jawara tampil guru silat, guru ilmu batin (magi), pemain debus, bahkan menjadi sosok yang memiliki karakter yang khas. Salah sebagai tentara wakaf atau biasa di sebut “khodim kiyai”. satu keunggulan yang dimiliki jawara adalah dalam Dengan berjalannya kehidupan sosial dalam masyarakat penggunaan jimat. Jimat dipercaya dapat memberikan Banten, aktivitas dalam komunitas jawara juga berjalan harapan dan memenuhi kebutuhan praktis para jawara, di dalamnya. Para jawara terlibat dalam peristiwa- salah satunya adalah kekebalan tubuh dari benda- peristiwa heroistik. Jawara bersama masyarakat Banten benda tajam, sehingga para jawara dianggap memiliki berjuang untuk merebut kembali kemerdekaan dari kekebalan. Sosok jawara juga terkenal dengan seragam pemerintah kolonial Belanda. hitamnya dan kecenderungan terhadap penggunaan Kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan kekerasan dalam menyelesaikan setiap persoalan. pada tanggal 17 Agustus 1945 bukanlah suatu puncak Sehingga bagi sebagian masyarakat, jawara dipandang tercapainya suatu tatanan sosial politik yang mantap, sebagai sosok yang memiliki keberanian, agresif, tetapi lebih merupakan awal dari pencarian identitas baru sompral, terbuka (blak-blakan) dan bersenjatakan golok, yaitu untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. untuk menunjukan bahwa ia memiliki kekuatan fisik kenyataan membuktikan bahwa revolusi bukan saja dan magis. menghasilkan kesamaan tujuan mempertahankan Terdapat pendapat yang mengatakan bahwa jawara kemerdekaan tetapi juga konflik internal diantara terbagi dalam dua kelompok, pertama kaum jawara individu dan kekuatan-kekuatan kelompok sosial yang memegang teguh ilmu agama yang disebut “Jawara yang ada. Konflik-konflik tersebut berwujud dalam Ulama”, dan kedua, kelompok yang menggunakan perbedaan-perbedaan pandangan, kepentingan, latar “elmu hideung” (ilmu hitam).Penggunaan istilah “elmu belakang, organisasi sosial, dan tidak terorganisasinya hideung” bagi orang Banten adalah ilmu kepandaian kesatuan komando dan sebagainya (Ricklefs, 1994). untuk memperoleh kekebalan (kadugalan) yang tidak Di wilayah Banten mulai muncul gejala konflik berdasarkan ajaran Islam (Sunatra dalam Lubis, 2002. internal tersebut sejak residen Tirtasuyatna melarikan Meskipun menurut sejarah kerasnya jawara hanya diri dari Banten. Akibatnya jabatan residen menjadi terhadap kompeni saja. Jawara berangkat dari sikap kosong sedangkan waktu itu belum ada penunjukan kepahlawanan tapi dikondisikan menyimpang dari sikap sebagai gantinya (Michrob, 1993). Dalam kondisi itu. Ketika tidak ada lagi musuh bersama di masyarakat vakum kekuasaan itu mulai ada usaha untuk mengambil Banten berupa penjajah terjadi pergeseran peran jawara, alih kekuasaan oleh kelompok jawara. Pada masa awal awalnya sebagai tentara kiyai menjadi pemimpin dalam kemerdekaan, jawara-jawara ini memiliki peranan masyarakat sosial.

HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 174 HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 4 (2). 2021. 173-182 DOI: https://doi.org/10.17509/historia.v4i2.30410 yang sangat penting baik sebagai pemimpin dalam mencoba melakukan revolusi sosial dengan cara perjuangan untuk melucuti tentara Jepang maupun menculik dan membunuh para pejabat pemerintah sebagai pemimpin birokrasi. Jawara biasanya direkrut yang dianggap merintangi tujuannya dan menggantikan oleh ulama yang merupakan pemimpin kharismatik pemerintahan yang sah serta membentuk pemerintahan dalam masyarakat Banten, khususnya di pedesaan. sendiri dengan mendirikan Dewan Rakyat yang Selain itu, para jawara seringkali bertindak sebagai berumur singkat yaitu dari bulan Oktober 1945 sampai pengawal pejabat desa dan pelindung milik desa dan Januari 1946. Sekalipun kekuasaan para jawara ini tidak dengan sendirinya bertindak di luar hukum, hanya sebentar, mereka meninggalkan “capnya” pada namun kebebasannya secara relative dari pembatasan- masa itu, memberikan kepada revolusi awal itu watak pembatasan secara konvensional menyebabkan bahwa khususnya dan membentuk suatu hubungan yang ia seorang rekrut yang potensial bagi banditisme (Reid, penting antara tradisi lama pemberontakan petani 1996). Jawa dan radikalisme terorganisasi dari generasi Setelah runtuhnya kesultanan Banten dan tidak kemudian (Anderson,1988;367). Dalam pemberontakan efektifnya kekuasaan kolonial di Banten pada abad ke- tersebut, tokoh Ce Mamat menjadi simbol pemimpin 19 M mendorong munculnya peranan jawara dalam “Bapak Rakyat” yang dianggap sebagai orang yang kehidupan masyarakat Banten. Setelah Daendels memiliki pengaruh besar di kalangan jawara. menghapus pemerintahan kesultanan Banten, Sebagaimana pemberontakan-pemberontakan yang masyarakat pribumi semakin mendapat tekanan dari terjadi sebelumnya di Banten, pemberontakan inipun pemerintah Hindia Belanda. Hal ini yang pada akhirnya tidak terlepas dari sifat dan watak yang radikal dan memicu konflik di masyarakat. Di sejumlah wilayah revolusioner serta sifat-sifat millenarian, mesianisme Banten terjadi kekosongan pemerintahan. Kondisi ini dan terutama nativisme. menyebabkan terjadinya konflik dan kekacauan dalam Penulis beranggapan bahwa dalam kajian sejarah bentuk pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin sosial terutama yang mengambil tema tentang dunia oleh tokoh masyarakat khususnya para kyai. perbanditan sangat menarik untuk dikaji. Dalam Dari kondisi seperti inilah jawara muncul dan pengkajian sejarah Banten juga jarang sekali mengangkat tampil bersama para kyai sebagai pemimpin informal masalah ini, padahal kelompok jawara selalu mewarnai masyarakat. Hal ini dimungkinkan karena jawara kehidupan masyarakat Banten dari dahulu hingga saat memiliki keterampilan beladiri, silat, ilmu magis ini baik dalam dinamika sosial, politik, ekonomi dan sebagai keterampilan untuk menghadapi situasi yang budaya. Untuk itu penulis merasa tertarik untuk menulis kacau dalam menghadapi pemberontakan terhadap tentang jawara ini terutama tentang pemberontakan pemerintah Hindia Belanda (Alamsyah, 2010). Selain yang mereka lakukan pada awal kemerdekaan Republik itu posisi jawara sebagai murid khodam kyai dianggap Indonesia. relevan dalam membantu perjuangan kyai. Lain halnya dengan pendapat sejarawan Sartono Kartodirdjo, jawara muncul akibat dari hancur dan ambruknya METODE tatanan sosial masyarakat akibat dihapusnya kesultanan Dalam mengkaji “Pemberaontakan Jawara Banten”, sehingga memunculkan perilaku kriminal dan bandit penulis menggunakan metode historis dengan studi sosial (Kartodirjo, 1984). Selain itu para jawara memiliki literatur, dokumenter serta wawancara sebagai teknik paguron (padepokan silat) dan jaringan antar paguron pengumpulan data. Metode historis adalah suatu proses yang kemudian menjadi basis sosial utamanya. Sebagai pengkajian, penjelasan dan penganalisisan secara kritis pemimpin informal, jawara berupaya untuk memulihkan terhadap rekaman serta penginggalan masa lampau keadaan, tidak sedikit diantara mereka kemudian ada (Gottschalk, 1975;32). yang berprofesi sebagai jaro, baik pada masa kolonial, Penulis menganggap bahwa metode historis pasca kemerdekaan, Orde Baru bahkan sampai saat ini. merupakan metode yang cocok dalam penelitian ini. Berbagai tindakan yang mereka lakukan dengan Hal ini disebabkan karena data-data yang dibutuhkan mengandalkan agitasi, provokasi dan intimidasi untuk penyusunan penelitian ini pada umumnya berasal terhadap orang-orang yang dianggap akan menghambat dari masa lampau dan hanya dapat diperoleh dengan keinginannya, terutama terhadap pihak pangreh praja menggunakan metode ini. Metode historis mengandung setempat dengan melakukan tindakan “pendaulatan”, empat langkah penting, yaitu : yaitu penculikan dan pembunuhan. Kelompok jawara

HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 175 Syadeli Pemberontakan Jawara Banten pada Masa Awal Kemerdekaan Tahun 1945 – 1946

1. Heuristik, yaitu mencari dan mengumpulkan sekali orang yang memberikan interpretasi tentang sumber-sumber yang diperlukan untuk bahan jawara dari sudut pandang yang mereka gunakan. penelitian. Pada tahapan ini penulis mencari Menurut bahasa, Jawara berasal dari kata juara berbagai sumber literatur yang berkaitan dengan (djoeara) yang berarti orang yang berani (Thaib,1947). jawara terutama pada kurun waktu kemerdekaan Jawara adalah nama setempat untuk istilah jago, yaitu Indonesia. orang-orang yang sellau memainkan peranan yang 2. Kritik, yaitu melakukan penelitian terhadap penting dalam setiap kerusuhan di Banten dan sudah sumber-sumber sejarah yang telah terkumpul baik biasa dikejar-kejar, diawasi atau bahkan ditangkap dan isi maupun bentuknya. Pada tahap kritik, penulis dipenjarakan oleh penguasa (Anderson, 1988). Jawara memilih dan memilah sumber-sumber yang akan adalah orang-orang yang sulit dikuasai oleh kepolisian digunakan dalam penelitian ini dengan mengkaji dan selalu bergerak kalau ada kegentingan di masyarakat aspek validitas dan reliabilitas dari sumber yang Banten (Frederick, 1984). Jawara adalah jagoan di telah didapatkan. Banten yang sudah biasa “memanfaatkan: kesenjangan 3. Interpretasi, yaitu memberikan penafsiran terhadap antara kaum petani dan pangreh praja (Williams, data-data yang diperoleh selama penelitian 1990;61). Jawara atau jagoan adalah orang-orang yang berlangsung. Pada tahapan ini penulis melakukan berpengaruh katrena ditakuti seperti suatu mafia yang penafsiran terhadap informasi yang didapatkan dari mengandalkan kekuatan fisik dan “kesaktian” dalam sumber-sumber yang digunakan oleh penulis. melakukan perampokan, pembunuhan dan kriminalitas 4. Historiografi yaitu merupakan proses penyusunan (Satrio, 1986). dan penuangan seluruh hasil penelitian ke dalam Dari berbagai interpretasi yang dikemukakan bentuk tulisan yang di dalamnya berisi tentang di atas, penulis melihat bahwa penafsiran yang pemberontakan jawara Banten pada masa awal mengemukan hampir semuanya memberikan suatu kemerdekaan tahun 1945 – 1946 konotasi yang kurang baik. Namun demikian penulis Pendekatan merupakan suatu hal yang sangat memakluminya karena dilihat dari kurun waktu tulisan penting dalam sebuah penelitian. Pendekatan (interpretasi) itu dibuat, semuanya meninjau jawara yang digunakan oleh penulis adalah pendekatan dari masa kini (setelah kemerdekaan RI). Setidaknya multidimensional, yakni dengan melakukan pendekatan penulis juga bisa melihat beberapa persamaan tentang yang lazim digunakan dalam penelitian ilmu-ilmu sosial. interpretasi mengenai jawara tersebut seperti kedekatan Pendekatan multidimensional seperti ini misalnya pada jawara mengenai hal yang berhubungan dengan sifat penulisan disertasi yang ditulis oleh Sartono Kartodirdjo keberanian, anti kemapanan, berhubungan dengan tentang pemberontakan petani Banten. Penyusunan magis dan tindakan kekerassan. penelitian ini dilakukan dengan cara meninjau konsep- Tidak diketahui secara pasti kapan dan bagaimana konsep dari ilmu-ilmu sosial lain seperti sosiologi, jawara mulai muncul dan dikenal di lingkungan antropologi dan politik. Hal ini bertujuan agar dapat masyarakat Banten. Namun demikian berdasarkan terungkap suatu peristiwa sejarah secara utuh dan hasil wawancara penulis dengan berbagai kalangan menyeluruh (Kartodirdjo, 1992;87). masyarakat Banten seperti ulama, jawara, aparat birokrasi maupun tokoh-tokoh masyarakat setidaknya memberikan titik terang tentang hal ini. Pendapat yang PEMBAHASAN pertama mengatakan bahwa jawara mulai muncul dan Jawara dalam Masyarakat Banten dikenal sejak jaman kesultanan Banten. Namun mereka Dalam masyarakat Banten, istilah atau sebutan lebih dikenal sebagai tentara atau pasukan sultan dengan tentang jawara bukanlah merupakan sesuatu yang berlandaskan pada pemikiran bahwa karakter dan sifat dianggap aneh, karena sebutan tersebut merupakan yang dimiliki oleh pasukan sultan itu sama dengan hal yang biasa didengar dalam percakapan sehari- jawara yang biasa dikenal yaitu orang-orang yang hari. Sebutan untuk jawara biasanya ditujukan kepada memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, keahlian orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan dalam dalam bermain silat dan juga terkadang memiliki ilmu- keahlian bermain silat dan juga kepada orang-orang ilmu yang dianggap gaib seperti ilmu kekebalan tubuh, yang dianggap memiliki berbagai ilmu kebatinan seperti ilmu perdukunan, bahkan kepada hal yang irasional ilmu kekebalan tubuh, ilmu pelet, ilmu bisa menghilang, sekalipun seperti ilmu menghilang dan ilmu teluh. ilmu perdukunan dan berbagai ilmu lain yang masih Pendapat yang kedua mengatakan bahwa jawara berhubungan dengan mistik. Namun demikian banyak mulai muncul sejak mulai dihapuskannya kesultanan

HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 176 HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 4 (2). 2021. 173-182 DOI: https://doi.org/10.17509/historia.v4i2.30410

Banten oleh Daendels. Kesultanan Banten dihapus jawara adalah elite kultural yang mengetahui segala seluk oleh Daendels pada tahun 1812 (Kartodirdjo, 1988). beluk kultur pedesaan. Ia adalah tempat bertanya semua Pendapat yang kedua ini berlandaskan pada pemikiran masalah di pedesaan baik masalah yang sifatnya spiritual bahwa ketika kesultanan Banten dihapuskan, maka maupun fisik. perlawanan terhadap kolonial tidak pernah berhenti dan dilanjutkan secara sporadis oleh berbagai kelompok Pemberontakan Jawara 1945-1946 masyarakat pengikut sultan Banten yang didukung oleh Proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia masyarakat. Mereka biasanya dipimpin oleh orang-orang yang dikumandangkan pada tanggal 17 Agustus 1945 yang memiliki keberanian yang luar biasa dan dianggap merupakan puncak perjuangan bangsa Indonesia memiliki kelebihan baik dalam ilmu keagamaan (Islam) dalam melepaskan diri dan merebut kemerdekaan maupun ilmu peperangan yang biasa dimiliki oleh dari penjajah. Setelah kemerdekaan dikumandangkan pasukan sultan seperti halnya ilmu kesaktian dalam dilakukan usaha-usaha dalam mensosialisasikan dan berbagai bentuk seperti yang diungkapkan oleh pendapat menyebarkan berita kemerdekaan tersebut ke daerah- yang pertama. Para pemimpin kelompok ini biasanya daerah. Di Banten, muncul tanggapan dan reaksi yang disamping seorang jawara juga merangkap seorang guru berbeda-beda dari berbagai kelompok masyarakat yang mengaji (Kyai) sebagai tumpuan harapan dan tempat ada di daerah tersebut. Salah satunya adalah kelompok berlindungnya masyarakat setelah sultan. Ulama telah jawara yang beranggapan bahwa kemerdekaan diartikan menjadi panutan rakyat sebagai pemimpin kharismatik sebagai suatu proses pembersihan Banten secara tuntas setelah lenyapnya pemimpin elit sultan dan elit birokrasi dari sisa-sisa kolonial dan unsur-unsur yang masih kerajaan (Ambary, 1988). memiliki hubungan dengan kolonial harus dihapuskan. Pada masa kekuasaan kolonial Belanda, terjadi Namun cara-cara yang dilakukan adalah dengan berbagai gerakan perlawanan dari rakyat Banten. melakukan berbagai tindakan kekerasan seperti Pemimpin-pemimpin kelompok perlawanan yang ada penculikan, pendaulatan, provokasi, intimidasi, di Banten biasanya berasal dari kalangan orang-orang perampokan dan bahkan sampai pembunuhan. Hal ini yang dianggap memiliki kemmapuan yang lebih dari banyak menimbulkan keprihatinan dan juga keresahan anggota kelompoknya terutama kemampuan dalam di berbagai kalangan masyarakat terutama di kalangan ilmu kanuragan (silat) dan kesaktian. Peranan seorang pemerintah, yang melihat bahwa tindakan tersebut sudah pemimpin dalam kelompok sangat penting apakah ia mengarah kepada tindakan pemberontakan yang ingin seorang counter elite, kepala desa atau orang kebanyakan. menggulingkan kekuasaan yang sah dan menggantinya Perlawanan terhadap kaum colonial di Banten biasanya dengan pemerintahan yang mereka inginkan. dipimpin oleh seorang kyai yang sekaligus juga seorang Pemberontakan Jawara Banten pada awal kemerdekaan jawara. Hal ini bisa terjadi karena hampir semua ini tercermin dari terjadinya beberapa peristiwa seperti yang ada di Banten di samping sebagai peristiwa Cinangka, penyerangan markas kampetai dan tempat mempelajari ilmu agama (islam) juga sekaligus aksi Dewan Rakyat. merangkap sebagai tempat latihan ilmu silat. Dipastikan Peristiwa Cinangka dilatarbelakangi oleh situasi di bahwa seorang kyai di Banten berperan sebagai Banten yang semakin memburuk secara mencolok pada seorang guru mengaji juga merangkap sebagai guru tahun 1945. Kekurangan sandang pangan di kalangan silat. Jawara-jawara di Banten yang menjadi pemimpin masyarakat khususnya para petani yang merupakan dalam kelompoknya adalah termasuk elite pedesaan dan mayoritas penduduk terlihat semakin menjadi-jadi dan berasal dari lapisan sosial yang berada. Mereka memiliki cukup parah. Tanda pertama dalam peristiwa ini adalah otoritas yang bersumber dari wibawa pribadi yang pada terjadinya ketegangan sosial antara petani dengan dasarnya berasal dari charisma yang mereka miliki. (pamongpraja), kemungkinan akan menjadi kekacauan Dari sini dapat diketahui bahwa pengikutnya yang meluas kemana-mana terjadi pada bulan Agustus mempunyai commitment tanpa reserve terhadap pimpinan 1945. Waktu itu di kawedanaan Anyer sedang timbul sehingga tercipta solidaritas kelompok makin kuat berbagai kerusuhan yang kemungkinan akan menyebar dan tidak diragukan lagi keberadaannya (Kartodirdjo, ke daerah-daerah sekitarnya. 1987). Otoritas yang dimiliki para pemimpin “jawara’ Pada tanggal 16 Agustus 1945, para petani Cinangka dapat digunakan untuk merekrut pengikut berdasarkan mendatangi camat setempat, Tubagus Muhammad loyalitasnya pada pimpinan sehingga mereka dapat Arsyad, untuk meminta agar bahan sandang yang dimobilisasikan untuk tujuan tertentu yaitu melawan dia kuasai diserahkan kepada mereka. Ketika camat penguasa (penjajah). Disamping itu seorang pemimpin menolak, rumahnya segera dirampok sehingga ia kabur

HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 177 Syadeli Pemberontakan Jawara Banten pada Masa Awal Kemerdekaan Tahun 1945 – 1946 ke Anyer untuk meminta bantua kepada wedana. Wedana Khatib adalah seorang pimpinan yang paling diharapkan Anyer, Raden Sukrawardi, diantar oleh camat dan kelak di kemudian hari akan menggantikan kedudukan dua orang polisi datang ke Cinangka yang maksudnya kesultanan Banten, karena ia merupakan keturunan untuk menenangkan masyarakat dan mengajak terakhir dari kesultanan Banten yang berhak mewarisi mereka berunding. Tetapi begitu mereka masuk ke tahta kesultanan. desa, terssebut segera diserang oleh penduduk yang Upaya yang dilakukan pertama kali adalah bersenjatakan tongkat. Dalam peristiwa tersebut Raden berunding dengan pihak kampetai agar menyerahkan Sukrawardi terbunuh sedsngkan yang lainnya dapat kekuasaan dan senjatanya ke pihak pemerintah. Hal ini meloloskan diri. Pada tanggal 18 Agustus 1945, ketika disetujui dengan catatan setelah proses evakuasi orang- 30 orang polisi bersama serdadu Jepang memasuki desa orang Jepang yang ada di Banten telah berkumpul di tersebut, mereka diserang dan terjadilah perkelahian Serang tanpa gangguan. Namun suatu insiden terjadi secara massal yang mengakibatkan seorang polisi dan yang mengakibatkan Jepang membatalkan perjanjian 7 orang petani tewas. Dalam banyak hal, peristiwa ini ini. Insiden tersebut adalah BKR mengutus Abdul Mukti dianggap sebagai pembuka jalan dan juga awal dari dan Juhdi untuk melakukan penjemputan pasukan rangkaian pemberontakan-pemberontakan yang terjadi angkatan darat Jepang (kaigun) di Sajira Rangkasbitung, di Banten pada awal kemerdekaan. Peristiwa tersebut mereka dikawal 9 orang tentara Jepang. Namun di telah menumbuhkan kekhawatiran pihak Jepang dan perjalanan mereka dihadang oleh rakyat di lintasan para pejabat pamongpraja setempat yang menjadi jalan kereta api di Warunggunung (Michrob, 1993). sasaran utama dalam kerusuhan tersebut. Dengan pembatalan tersebut, maka tidak ada jalan Peristiwa berikutnya adalah penyerangan markas lain kecuali melakukan penyerangan. Para pemimpin kampetai. Pada penyerangan ini, berbagai kelompok pasukan dari kecamatan-kecamatan Ciomas, Pabuaran, masyarakat Banten terlibat secara bersama-sama Baros, Taktakan, Padarincang, Karamatwatu, Cilegon, walaupun mereka memiliki kelompok sendiri-sendiri. dan Ciruas datang ke Kota serang untuk membicarakan Beberapa kelompok yang terlibat dominan adalah rencana rinci penyerangan itu (Michrob, 1993). barisan pemuda dan kelompok yang menamakan dirinya Dalam peristiwa penyerangan markas kampetai dengan laskar rakyat yang terdiri dari para jawara. Para tersebut penulis melihat besarnya peran dari para jawara jawara yang tergabung ke dalam kelompok laskar ini yang ikut serta melakukan aksi. Hal ini bisa dilihat dari ikut melakukan penyerangan terhadap markas kampetai keberanian dan kenekatan aksi yang mereka lakukan. sebagai pertahanan terakhir Jepang di Banten. Ini dibuktikan dengan luapan kemarahan yang tidak Diawali dengan aksi penurunan bendera Jepang terkendali bahkan oleh kelompok pasukannya sendiri. di berbagai instansi pemerintah yang ada di Banten Juga para pimpinan yang terlibat langsung seperti khususnya kota Serang sebagai pusat pemerintahan Salim Nonong, Soelaiman Gunungsari dan Jaro Kamid. sebagai tanda penyerahan kekuasaan dari Jepang Gema takbir yang berkumandang dan menyertai kepada rakyat. Hal ini menimbulkan keresahan di pemberontakan tersebut merupakan suatu ungkapan kalangan para pejabat sipil Jepang dan juga para dalam mengagungkan kebesaran Allah dengan pegawai pamongprajany, yang segera meninggalkan senantiasa mengharap ridho-Nya dan perlindungan- Bnaten menuju Jakarta. Jabatan residen dari Yuki Yoshii Nya dalam perang jihad yang mereka lakukan melawan diserahkan kepada Raden Tirtasujatna. Namun Raden orang-orang yang dianggap kafir dan harus disingkirkan. Tirtasujatna sendiri akhirnya meninggalkan Banten Pada situasi ini terjadi konflik internal terutama terjadi karena pada saat itu terjadi desas desus di masyarakat setelah K.H. Akhmad Khatib mulai mengumumkan bahwa aka nada pembunuhan aparat pemerintah yang susunan aparatur pemerintahan di seluruh wilayah dianggap sebagai kaki tangan Jepang sehingga jabatan Banten. K.H. Akhmad Khatib tetap mempertahankan residen menjadi kosong. para bupati di tiga kabupaten yaitu Serang, Pandeglang Akhirnya rakyat berinisiatif untuk mengangkat dan Lebak. Alasannya didasarkan bahwa tenaganya K.H. Akhmad Khatib sebagai residen Banten pada masih bisa dipakai dan mereka dianggap memiliki tanggal 19 September 1945 dengan dukungan penuh kecakapan dalam menjalankan pemerintahan. Susunan dari seluruh rakyat Banten. Tokoh K.H. Akhmad Khatib aparatur ini ternyata menimbulkan ketidakpuasan di adalah seorang ulama yang cukup disegani masyarakat. kalangan sebagian rakyat Banten, terutama di kalangan Ia alumni pesantren Kadupiring, yang kemudian para pimpinan jawara. Mereka berpendirian bahwa melanjutkan ke pesantren Caringin, keduanya berada dalam penyusunan pemerintahan di Banten harus di Pandeglang. Pada masyarakat Banten, K.H Akhmad dihapuskan segala unsur kolonial karena mereka adalah

HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 178 HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 4 (2). 2021. 173-182 DOI: https://doi.org/10.17509/historia.v4i2.30410 para pengkhianat dan harus dilenyapkan. Kelompok terhadap keberadaan jawara dalam masyarakat Banten jawara ini dipimpin oleh Ce Mamat, seorang jawara pasca peristiwa pemberontakan jawara yang dipimpin yang pernah dibuang ke Boven Digul karena terlibat Ce Mamat. Karena keberadaan jawara yang selama ini pemberontakan PKI tahun 1926. Dengan ketidakpuasan cenderung untuk “netral” telah terpengaruh oleh anasir- tersebut, Ce Mamat berusaha menghimpun kekuatan anasir politik yang ada pada saat itu, yang cenderung untuk menggulingkan pemerintahan yang lama. merugikan. Sehingga penulis bisa melihat kenapa dewasa Namun begitu, kedudukan K.H. Akhmad Khatib akan ini istilah atau sebutan jawara dalam masyarakat Banten tetap dipertahankan karena disamping kharisma yang cenderung berkonotasi negatif. dimiliki dalam masyarakat, kemungkinan akan terjadi pergolakan yang lebih besar terjadi kalau ia diganti. Kajian Kritis Terhadap Pemberontakan Jawara Jadi yang akan diturunkan adalah pamongpraja yang Pemberontakan jawara Banten sebagai salah satu merupakan orang-orang lama yang berkuasa pada masa peristiwa gerakan sosial di Indonesia tidak terlepas kolonial Belanda dan Jepang. dari ideologi gerakan yang ada dan berkembang Ternyata keberadaan dewan rakyat ini bukannya dalam masyarakat pada saat peristiwa tersebut terjadi. menentramkan masyarakat melainkan membuat Baik ideology gerakan yang bersifat tradisional rakyat kebingungan karena harus kepada siapa mereka sebagaimana yang lazim diungkapkan oleh Sartono menuruti perintah. Terjadi dualisme kepemimpinan, Kartodirdjo (1984) dengan tipologi gerakan sosial, yaitu yaitu di satu pihak ada residen dan di pihak lain ada millenarianisme, messianisme, nativisme dan perang Dewan Rakyat yang lebih mendominasi pemerintahan. suci maupun ideology yang bersifat transisi sebagaimana Terjadi pula keresahan di masyarakat karena keberadaan diungkapkan oleh Cribb (1990) yang menerangkan pasukan Dewan Rakyat ternyata membuat masyarakat tentang aspek-aspek ideoologi tradisional yang diikuti ketakutan disebabkan oleh berbagai aksi perampokan dengan masuknya ideology yang lebih modern. dan perampasan mereka terhadap penduduk. Penulis Aspek millenarianisme menunjukkan suatu jaman melihat dengan adanya gerakan dewan ini sebenarnya yang menyatakan bahwa semua ketidakadilan akan gerakan kelompok jawara mulai terpolarisasi menjadi diakhiri, dan keharmonisan akan dipulihkan. Dalam dua kekuatan. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya peristiwa pemberontakan jawara Banten pada awal pemahaman para pimpinan jawara terhadap situasi kemerdekaan Indonesia ditandai dengan disebarkannya politik yang berkembang pada saat itu. Terjadi persaingan berita tentang kemerdekaan RI dari belenggu penjajahan. antara kelompok Soekarno dengan kelompok Tan Malaka Berita ini baru bisa diterima oleh masyarakat Banten yang berimbas juga ke daerah-daerah termasuk juga ke tiga hari setelah peristiwa proklamasi dikumandangkan Banten. Jadi keberpihakan jawara selama ini kepada karena keterbatasan sarana transportasi dan komunikasi rakyat mulai dimanfaatkan oleh kelompok-kelompok yang ada serta situasi Banten pada saat itu masih kepentingan yang punya ambisi tertentu untuk berkuasa berada dalam penjajahan Jepang. Masyarakat Banten di Banten. mempercayai bahwa setelah sekian lama hidup dalam Aksi dewan rakyat akhirnya ditumpas dengan masa penjajahan akan datang masa dimana masyarakat tertangkapnya Ce Mamat dan para pimpinan yang Banten akan mendapatkan kebebasan dan keleluasaan lainnya seperti Alirakhman dan Ahmad Bassaif. untuk menentukan nasibnya sendiri tanpa intervensi Selanjutnya adalah pembubaran Dewan rakyat beserta penjajah yang selama ini memperlakukan masyarakat seluruh unsur yang ada. Dengan tertangkapnya Ce secara tidak adil dan sewenang-wenang. Mamat dan dibubarkannya Dewan Rakyat maka segera Aspek messainisme sebagai salah satu dari ideologi pemerintahan dikembalikan kepada K.H. Akhmad gerakan sosial yang menerangkan tentang harapan akan Khatib. munculnya seorang messias yang akan menjadi juru Penulis berpendapat dengan adanya penumpasan selamat bagi masyarakat yang akan menetapkan keadilan terhadap gerakan Dewan Rakyat tersebut terlihat dan perdamaian dalam suatu masyarakat yang telah bahwa ulama bagi masyarakat Banten lebih mendapat mengalami kekacauan. Dalam peristiwa pemberontakan tempat dibandingkan dengan jawara. Tidak menutup jawara banten, messias ditandai dengan muculnya kemungkinan bahwa konotasi yang negatif terhadap tokoh K.H Akhmad Khatib sebagai seorang “Ratu jawara dalam pandangan masyarakat Banten Adil”. Masyarakat Banten menganggap K.H Akhmad berkembang setelah terjadinya pemberontakan ini, Khatib sebagai seorang tokoh yang bisa diterima untuk karena sebelumnya masyarakat Banten tidak pernah menyelamatkan masyarakat Banten pasca kemerdekaan memandang jawara sebagai sesuatu yang negatif. Hal Indonesia. ini menunjukkan mulai ada pergeseran pandangan HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 179 Syadeli Pemberontakan Jawara Banten pada Masa Awal Kemerdekaan Tahun 1945 – 1946

Aspek nativisme dalam gerakan protes sosial terhadap kaum kolonial Belanda yang dimulai dari awal menunjukkan keinginan akan adanya suatu masyarakat abad ke-19. Dilihat dari pelaku perbanditan di Banten yang bersih dari pengaruh asing dan keinginan terutama dilakukan oleh orang-orang baik perorangan untuk menghidupkan kembali keadaan pra jajahan maupun kelompok yang biasa dikenal dalam masyarakat dan hadirnya suatu dinasti. Penulis pahami sebagai banten dengan sebutan jawara. suatu sikap ingin mengembalikan kejayaan masa lalu Pada masa pasca kemerdekaan, jawara banyak atau mendirikan suatu kekuasaan baru yang berasal terlibat dalam usaha untuk meraih ambisi kekuasaan dari kalangan pribumi. Ada hal menarik yang dapat baik politik maupun ekonomi. Hal ini dibuktikan dilihat oleh penulis dari aspek nativisme di Banten, dengan upaya dari beberapa elit jawara dan para yaitu beberapa tokoh jawara ternyata memanfaatkan pengikut setianya untuk merebut kekuasaan di Banten kurangnya pemahaman sebagian besar masyarakat dengan jalan menyingkirkan lawan-lawan politiknya Banten dalam meaknai istilah pribumi. yang tentunya dengan berbagai upaya untuk menarik Para elit jawara seperti Ce mamat dan Sulaiman simpati masyarakat setempat agar mendukung mereka. Gunungsari beserta pendukungnya berusaha melakukan Jadi pada masa tersebut sudah ada pergeseran dari propaganda untuk menanamkan perasaan fanatisme jawara yang tidak mempunyai kepentingan dan ambisi kedaerahan untuk menyingkirkan orang-orang yang menjadi jawara yang dipenuhi dengan kepentingan dan selama ini menghalang-halangi atau menghambat ambisi untuk meraih kekuasaan. Upaya yang mereka ambisinya untuk meraih kekuasaan di Banten. Usaha lakukan adalah dengan cara provokasi dan intimidasi yang dilakukan adalah dengan menyebarkan isu anti seperti penyebaran isu anti non-pribumi, penculikan dan Priangan dalam masyarakat Banten yang memang diakui pembunuhan terhadap lawan-lawannya yang dianggap pada saat itu sangat sensitif terhadap hal yang bersifat akan menghalang-halani jawara untuk berkuasa. “kepribumian”. Sifat kepribumian yang dipahami oleh Masa ketika Indonesia baru merdeka, para jawara masyarakat Banten lebih merupakan sifat kedaerahan banyak yang melakukan pekerjaannya lebih karena yang lebih sempit. Sehingga banyak pejabat di Banten dipengaruhi oleh factor-faktor dan situasi politik yang yang berasal dari Priangan yang meninggalkan tugasnya berkembang pada saat itu dan lebih berorientasi pada karena kselematannya terancam. kekuasaan sehingga bisa digolongkan ke dalam kategori Penulis melihat bahwa pemanfaatan anti Priangan bandit politik. Namun sebenarnya mereka hanya ini lebih merupakan ambisi politik dari beberapa tokoh dijadikan alat oleh kepentingan politik tertentu yang jawara dengan memanfaatkan situasi setempat yang lebih dominan. Srgumentasi ini didasari oleh data yang sedang kacau. Karena dalam kenyataannya tidak sedikit penulis peroleh tentang terjunnya kelompok jawara tokkoh-tokoh Priangan ini juga banyak berpihak pada ke dalam perpolitikan di Banten pada saat terjadinya masyarakat Banten terutama dalam perjuangan mengusir kekosongan kekuasaan dan keruhnya kehidupan politik penjajaha, seperti Raden Tirtasuyatna dan Zulkarnaen di tingkat nasional yang juga berpengaruh di daerah- Surya Kartalegawa. Jadi dalam setiap kesempatan dan daerah lain khususnya di Banten. Sebagai contoh momentum sekecil apapun, beberapa tokoh jawara selalu tindakan yang dilakukan oleh Ce Mamat dan kawan- memanfaatkannya untuk kepentingan kelompoknya. kawan dari elit jawara yang terpengaruh dengan ideologi Penulis melihat ada tujuan-tujuan tertentu dari para elit komunis. Dengan tindakan nyata mereka membentuk jawara dengan berlindung di balik keberpihakan mereka Dewan Rakyat dan tentara sendiri seperti Polisi Jawara terhadap masyarakat Banten. dan Laskar Gulkut, sebagai pengganti Komite Nasional Aspek “banditisme” sebagaimana dikemukakan Indonesia Daerah (KNID) dan Tentara Keamanan oleh Hobsbawm (1984), Sartono Kartodirdjo (1988) Rakyat (TKR). Tindakan ini jelas merupakan wujud dari dan Suhartono (1993) merupakan salah satu aspek penentangan mereka terhadap pemerintahan yang sah yang mewarnai kehidupan sosial masyarakat pedesaan dan diakui secara nasional. sebagaimana yang terjadi di dalam masyarakat Banten. Fenomena sekarang ini jawara lebih merupakan Perbanditan dianggap sebagai suatu cara dari suatu kelompok masyarakat yang cenderung untuk keyakinan untuk melakukan tindakan kekerasan memanfaatkan sifat kejawaraannya dengan “menjual” terhadap orang-orang yang merupakan lawan-lawan tenaganya kepada orang-orang yang mau membayarnya, yang akan menghalang-halangi pelaku banditisme yang untuk menjadi pelindung atau pengawal, debt collector, juga terkadang melawan atau melanggar tertib sosial dan tenaga yang setiap saat dibutuhkan oleh yang yang berlaku dalam masyarakat. Suasana perbanditan di membayarnya, yang tentunya dengan harga yang Banten bisa dilihat dari berbagai peristiwa pemberontakan telah disepakati. Jawara ini memang tidak mempunyai

HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 180 HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, 4 (2). 2021. 173-182 DOI: https://doi.org/10.17509/historia.v4i2.30410 pekerjaan lain kecuali menjual tenaganya sebagai satu- Adiyanto, E. (2015). Pemuda dan perubahan sosial- satunya sumber penghidupan mereka. politik di banten (1926-1955). Doctoral dissertation, Universitas Gadjah Mada. Adas, Michael. 1988. Ratu adil: tokoh dan gerakan SIMPULAN milenarian mennetang kolonialisme eropa. Jakarta: Jawara Banten mulai muncul dan dikenal luas di Rajawali Press kalangan masyarakat terutama setelah keruntuhan Ekadjati, Edi S, Et all. (1987). Monumen perjuangan kesultanan Banten. Keberadaan mereka pada saat itu rakyat jawa barat. Jakarta: Depdikbud, Dorjen sangat dominan sebagai kelompok masyarakat yang Kebudayaan, Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi terkenal karena pembangkangannya terhadap kaum Sejarah Nasional. kolonial. Hampir dalam setiap keributan dan kerusuhan Fitriah, A. (2019). Oyok djumaiyah: pejuang perempuan yang terjadi dalam masyarakat, jawara selalu mengambil banten masa revolusi tahun 1945-1949. Doctoral peranan yang penting terutama kerusuhan dalam dissertation, UIN SMH BANTEN. melawan dan mmebrontak terhadap kaum kolonial. Frederick, W. H dan Soeroto, S. (1984). Pemahaman Karenanya jawara sering menjadi musuh utama bagi sejarah indonesia sebelum dan sesudah revolusi. kaum kolonial karena dianggap sebagai kelompok Jakarta : LP3ES masyarakat yang sering menimbulkan kerusuhan dan Ghazali, Z. (1995). Sejarah lokal: kumpulan makalah keonaran. Namun dalam masyarakat Banten pada saat diskusi. Jakarta: Depdikbud Dirjen Kebudayaan itu tidak jarang mereka dianggap sebagai pahlawan Gilang, M. I. (2016). Local history in developing karena keberpihakannya terhadap rakyat. patriotism (study on the history of the physical Pemberontakan di Banten pada masa awal revolution in banten 1945-1949. Candrasangkala: kemerdekaan lebih merupakan suatu ungkapan dari Jurnal Pendidikan dan Sejarah, 2(1), 37-44. keinginan masyarakat Banten untuk keluar dari Gottschalk, L. (1985). Mengerti sejarah. Jakarta : kesengsaraan akibat penindasan yang selama ini mereka Universitas Indonesia Press alami. Aksi mereka dengan cara merebut kekuasaan Guillot, K. C. (2009). Membaca sejarah banten dari dan membersihkan Banten dari sisa-sisa kaum kolonial sumber Asing. Jurnal Lektur Keagamaan, 7(2), 313- dan aparat birokrasi yang selama ini dianggap sebagai 330. pengikut kaum kolonial. Bagi jawara, hal ini merupakan Hobsbawm, J.C. (1984). Bandit sosial, dalam Kartodirdjo, kesempatan yang ditunggu-tunggu untuk membalas Sartono. kepemimpinan dalam dimensi sosial. segala perlakuan kaum kolonial yang telah menjadikan Yogyakarta: LP3ES mereka kelompok masyarakat yang terpinggirkan oleh Hudaeri, M, dkk (2003). Tasbih dan golok: studi tentang sebab tindakan diskriminatif dan intimidatif dari kaum kharisma kyai dan jawara di Banten. Jurnal Istiqro kolonial terhadap jawara. volume 02 no. 1 Aksi dalam setiap pemberontakan yang dilakukan Ismaun. (1992). Pengantar ilmu sejarah. Bandung : IKIP jawara memiliki ciri tersendiri yaitu dengan melakukan Kamilah, H. (2019). Peran kh. ahmad khaerun pada masa berbagai tindakan kekerasan sebagaimana yang revolusi di tangerang tahun 1945-1946. Doctoral diistilahkan oleh Hobsbawm dengan istilah perbanditan. dissertation, UIN SMH BANTEN). Kekerasan ini ditujukan terhadap orang-orang yang Karomani. (2008). Prasangka jawara terhadap ulama tidak disukainya dan akan menghalangi tujuan dari dan umaro di banten selatan. Al Qalam Vol 25 no.3 kepentingannya. Tindakan kekerasan yang mereka (September- Desember 2008) lakukan seperti penculikan, intimidasi, perampokan dan Laura, R., & Waluyo, L. S. (2019). Komunikasi non verbal pembunuhan merupakan ciri khas yang menjadi gaya dalam budaya banten (studi etnografi komunikasi mereka. pada jawara banten). Global Komunika, Vol 1, no, 1, Desember 2019 REFERENSI Leirissa, R. Z., Ambary, H. M., Lapian, A. B., Rauf, M., Anderson, B. (1988). Revolusi pemuda, pendudukan & Gonggong, A. (2001). Banten masa revolusi 1945- jepang dan perlawanan di jawa 1944- 1946. Jakarta : 1949 proses integrasi dalam negara kesatuan republik Pustaka Sinar Harapan Indonesia.

HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 181 Syadeli Pemberontakan Jawara Banten pada Masa Awal Kemerdekaan Tahun 1945 – 1946

Lubis. N. H. (2004). Banten dalam pergumulan sejarah. Shofariyanto, A. (2017). Pemberontakan dewan rakyat Jakarta: LP3S di banten (1945). Doctoral dissertation, Universitas Lubis. N. H. (2005). Apa dan siapa orang banten. Serang: Pendidikan Indonesia. Biro Humas Setda Provinsi Banten Suharto, S. (2009). Banten pasca agresi militer belanda kedua. Makara Hubs-Asia, 13(2), 4410.

HISTORIA: Jurnal Pendidik dan Peneliti Sejarah, p-issn:2620-4789 | e-issn:2615-7993 182