ْ ّٰ َّ ْ ٰ َّ بِسم ٱللهِ ٱلرحمنِ ٱلرحِيم ِ ِ

Pemikiran Hukum ‘Ali> Jum‘ah Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender

Penulis: Ahmad Musabiq Habibie, MA.

Pustakapedia Indonesia

Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender

©2020, Ahmad Musabiq Habibie Hak cipta dilindungi undang-undang

Penulis : Ahmad Musabiq Habibie, MA ISBN : 978-623-7641-27-8

Cetakan ke-I, Februari 2020

Diterbitkan oleh: Pustakapedia (CV Pustakapedia Indonesia) Jl. Kertamukti No.80 Pisangan Ciputat Timur, Tangerang Selatan 15419 Email: [email protected] Website: http://pustakapedia.com

Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari Penulis

بسم هللا الرحمن الرحيم PENGANTAR PENULIS

Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi atas segala limpahan rahmat, taufik, dan inayah-Nya sehingga kepenulisan buku ini telah selesai dengan sebagaimana mestinya. Buku ini merupakan hasil penelitian penulis untuk menyelesaikan jenjang pendidikan Magister Pengkajian Islam di Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan konsentrasi Syariah. Salawat serta salam penulis haturkan kepada junjungan dan panutan umat manusia, Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat beliau yang telah memberikan suri teladan, menuntun kita kepada jalan kebenaran, dan mengajarkan kita arti penting pengorbanan dalam berdakwah. Semoga keteladanan beliau selalu menjadi inspirasi langkah kita semua. Amin. Penyelesaian buku ini disusun melalui serangkaian upaya penelitian dan kajian yang cukup serius. Penyelesaian buku ini tidak akan terealisasi tanpa adanya bantuan dan jasa-jasa dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan dukungan baik moril maupun materil dalam menyelesaikan penelitian ini. Pertama, kepada Prof. Dr. Amany Lubis, MA. selaku rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Prof. Dr. Jamhari, MA. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. Hasan, Lc, MA. selaku Wakil Direktur, Prof. Dr. Didin Saepudin, MA. selaku Ketua Jurusan Program Doktor, Arif Zamhari, M. AG, PH. D. selaku Ketua Jurusan Program Magister, Dr. Asmawi, M.Ag. selaku Sekretaris Program Studi Doktor, Dr. Imam Sujoko, MA. Selaku Sekretaris Program Magister, seluruh staf, pustakawan-pustakawati dan seluruh

v Pengantar| Penulis

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ civitas akademika Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kedua, Prof. Dr. Huzaemah T. Yanggo, MA. selaku dosen pembimbing penulis. Teriring salam takzim dan salam hormat serta terima kasih yang tiada terkira penulis haturkan karena telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran, serta memberikan masukan-masukan dan ilmu-ilmu berharga di setiap pertemuan bimbingan dengan penuh kesabaran. Merupakan kebahagiaan tersendiri sekaligus kebanggaan dan kesyukuran bisa menjadi salah satu anak didik terkhusus mahasiswa bimbingan beliau yang notabene telah sejak lama penulis kagumi karena ketawadukan, kedalaman ilmu dan keakraban yang begitu hangat. Semoga Allah selalu menjaga beliau, memberikan kesehatan dan umur yang panjang agar bisa terus menebarkan limpahan keberkahan dan sumbangsih keilmuan yang begitu bermanfaat. Amin. Ketiga, para dosen pengajar dan penguji Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu dari awal hingga akhir perkuliahan, diantaranya adalah Prof. Dr. Azyumardi Azra, MA., Prof. Dr. Atho Mudzhar, MSPD., Prof. Dr. Iik Arifin Mansurnoor, MA., Prof. Dr. Yunasril Ali, MA., Prof. Dr. Salman Harun, MA., Prof. Dr. Quraish Shihab, MA., Prof. Dr. Zainun Kamaluddin Faqih, MA., Prof. Dr. Zaitunah Subhan, MA., Prof. Dr (HC). dr. MK. Tadjudin, Sp. And (alm), Prof. Dr. Drs. KH Muhammad Amin Suma, BA, SH, MA, MM.,Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum., Prof. Dr. Ahmad Rodoni, MA., Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag., M. Si., Dr. Yusuf Rahman, MA., Dr. Usep Abdul Matin, Ph.D., Dr. Fuad Jabali, MA., Dr. Kusmana, MA., Dr. Asrorun Niam Sholeh, MA., Asep Saepudin Jahar, MA. Ph. D., Dr. JM Muslimin, MA., Dr. Khalid Al-Kaf, MA., Dr. Yuli Yasin, MA., Rosita Tandos, MA, MCom.Dev, Ph.D, Dr. Kamarusdiana, MH., serta para dosen dan tenaga pengajar lainnya yang tidak bisa disebutkan satu-persatu. Jaza>kum Allah Ah}san al-jaza>’. Keempat, para sahabat dan teman-teman seperjuangan penulis khususnya Ikfil Chasan, Rizki Fauzi Iskandar, Arif vi Pengantar Penulis

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

Chaniago, Muhammad Reza al-Habsyi, Muhammad Nurul Hadi, Waki’ al-Tsaqofi, Wildan Munawwar, Dedi Saiful Anwar, Navida Syafaati, Radtria al-Kaf, Ahsana Fitria, Devi Mustika Sari, Suci Eryz Meryzka, dan teman seperjuangan lainnya. Begitu pula teman-teman kakak senior dan adik yunior Jehan Mayazanie, Mahmud Masri<, Muhammad Kamal, Agus Saipullah, Mutia Mikhazali, Achmad Zulfikar Fawzi, Muhammad Subki Al-Faqih dan lain-lain. Tak lupa pula, teman-teman Kosan 69 tempat tinggal penulis selama di Ciputat yaitu, Rais Hadi Iskandar, Ivan Habibullah, Rahmatullah, Zaimul Asror, Ach. Wildan al-Faizi, Rijal Fikri, Akhyar Riyanda, Pak Tabiin, Pak Ali, Pak Hafidz. Sahabat-sahabat Oraganisasi Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia yaitu Tuan Guru Bajang Zainul Majdi, Pak Muchlis , Pak Willy Octaviano, Pak Sayyid Zuhdi, Azka Muharram, Hendi Arfyansyah, Misbahul Munir, Naela Madhiya, Zahwa Shihab, Maulidatul Hidfdhiyah, Nadyatul Hujaj dan lainnya. Begitu juga Sahabat Rehlata, Muhammad Itho Athoilah, Rubie Hazinoto, Barik Azka, Riza Adzkia, Muhammad Minanullah, dan lainnya. Sahabat-sahabat Ikamasuta Jakarta, Gravart Jakarta serta keluarga serta organisasi keluarga lainnya. Terima kasih atas doa dan dukungan selama ini, semoga diberi kemudahan dalam setiap langkah untuk mencapai kesuksesan. Jaza>kum Allah Ahsan al- Jaza>’. Terakhir, yang paling khusus tentunya kedua orang tua abah Drs. Ahmad Imron, MM. dan ibunda Munasifah, S,Ag. M.Pd.I. serta adik-adik, Arvin Bayazid Habibie, Rafif Ahmad Zaidan Habibie dan Ahsin Sakataka Habibie. Tak terhitung lagi limpahan kebahagiaan dan ucapan terima kasih kepada mereka, terutama abah dan bunda yang selalu memberikan semangat dan dukungan tanpa henti, curahan doa yang tiada putus, dan bimbingan yang tak pernah selesai. Dari mereka, penulis mendapat pengalaman dan pelajaran yang sangat berharga. Tak lupa pula seluruh keluarga besar, kakek nenek, paman serta bibi, juga sepupu-sepupu semuanya. Kalianlah anugerah terindah dan kebahagiaan serta sahabat yang tak pernah tergantikan. Semoga vii Pengantar| Penulis

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

Allah selalu menjaga kalian, memberikan kesehatan dan usia yang panjang, memberikan limpahan rahmat dan keberkahan, memberikan ampunan dosa, memberikan limpahan rezeki yang halal. Amiin Ya Rabb. Akhirnya, tiada kata yang pantas selain lantunan doa nan tulus. Semoga Allah membalas pahala nan tulus bagi mereka yang telah memberikan konstibusi besar kepada penulis. Jaza>kum Allah Ahsan al-Jaza>’. Penulis juga menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran konstruktif kepada para pembaca semua agar tesis ini menjadi lebih baik. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca semua dan dapat memberikan sumbangsih dalam pengembangan keilmuan yang berkaitan secara khusus dan diskursus keislaman pada umumnya. Kepada Allah lah kita memohon perlindungan dan pertolongan serta ampunan dari segala khilaf dan salah.

Ciputat, 3 Januari 2020/ 7 Jumadal Awwal 1441 H

Ahmad Musabiq Habibie, Lc. MA.

viii Pengantar Penulis

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN Tesis ini menggunakan pedoman transliterasi Arab – Latin ALA-LC Romanization Tables, berikut penjelasannya: A. Daftar huruf Arab dan transliterasinya dengan huruf Latin sebagai berikut: Initial Name Romanization Initial Name Romanization }T}a>’ T ط Alif A ا }Z}a>’ Z ظ Ba>’ B ب ‘ Ayn‘ ع Ta>’ T ت Ghayn Gh غ Tha>’ Th ث Fa>’ F ف Jim J ج Qa>f Q ق }H{a>’ H ح Ka>f K ك Kha>’ Kh خ La>m L ل Da>l D د Mi>m M م Dha>l Dh ذ Nu>n N ن Ra>’ R ر Wa>w W و Za>y Z ز Si>n S Ha>, Ta>’ H, T Marbu>t}ah ة،ه س ’ Hamzah ء Shi>n Sh ش Ya>’ Y ي }S}a>d S ص }D}a>d D ض

ix Pengantar| Penulis

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

B. Vokal 1. Vokal Tunggal Tanda Nama Huruf Latin Nama Fath}ah A A َ D{amah U U َ Kasrah I I َ

2. Vokal Rangkap atau Diftong

Tanda Nama Gabungan Nama Huruf Fath}ah dan Ya>’ Ay A dan I اَ ... ي Fath{ah dan Aw A dan U Wa>w اُ ... و C. Vokal Panjang

Tanda Nama Gabungan Nama Huruf Fath}ah dan Alif a> A dan garis atas ىآ Kasrah dan Ya> ’ i> I dan garis ِ atas ىي D{amah dan u> U dan garis Wa>w atas ىُو

D. Ta>’ Marbu>t{ah

di akhir kata, bila dimatikan (ة) Transliterasi ta>’ marbu>t}ah ditulis h. Apabila dalam bentuk kata benda majemuk (mud}a>f wa mud{a>f ilayh) dilambangkan dengan huruf t.

x Pengantar Penulis

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

Contoh: Wiza>rat al-Tarbiyah :وزارة الرتبية Mar’ah :مرأة E. Kata Sandang Alif + La>m Contoh: al-Shams :الشمش al-H{adi>th :احلديث F. Pengecualian Transliterasi Ketentuan transliterasi tidak berlaku pada kata – kata Arab yang telah lazim digunakan dan diserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti : Allah, salat, zakat dan lain sebagainya, kecuali dihadirkan dalam konteks aslinya dan dengan pertimbangan konsistensi dalam penulisan.

xi Pengantar| Penulis

DAFTAR ISI

PENGANTAR PENULIS ...... v PEDOMAN TRANSLITERASI ...... ix DAFTAR ISI ...... xii

BAGIAN SATU ...... 1 PROLOG

BAGIAN DUA ...... 27 PRINSIP KESETARAAN GENDER DAN HUKUM ISLAM A. Diskursus Gender dan Feminisme ...... 27 1. Pengertian Gender ...... 27 2. Diskursus dan Perkembangan Gerakan Feminisme ...... 34 3. Gender Perspektif Historis ...... 42 B. Refleksi Hukum Islam Atas Wacana Gender ...... 46 1. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Epistimologi Hukum Islam ...... 48 2. Mas}lah}ah dalam Metodologi Hukum Islam ...... 52 C. Konstruksi Wacana Gender dan Otoritas Pemikiran Keagamaan; Studi Komparatif Argumen Tradisionalis dan Kontekstualis ...... 57

BAGIAN TIGA ...... 71 KARAKTERISTIK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ‘ALI< JUM‘AH A. Sketsa Kehidupan ‘Ali< Jum‘ah ...... 71 1. Profil ‘Ali< Jum‘ah ...... 71 2. Karya Ilmiah dan Gagasan ‘Ali< Jum‘ah ...... 73 B. Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ...... 78 1. Interferensi Sosio-Politik Mesir dan Intelektual ‘Ali< Jum‘ah ...... 78 2. Usu>l al-Fiqh dan Realitas Sosial Perspektif ‘Ali< Jum‘ah ...... 91 a. Pembaharuan Usu>l al-Fiqh Ke Arah Yang Ideal ...... 91 b. Idra>k al-Wa>qi>’ dalam Teori Ifta>’ ...... 100 3. Kedudukan Perempuan Perspektif Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dan Distingsi dibanding Pemikir Lain ...... 108

xii Daftar| Isi

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

BAGIAN EMPAT ...... 117 ANALISIS PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ‘ALI< JUM‘AHTENTANG WACANA GENDER A. Ekslusifitas H{ija>b (Cadar) ...... 117 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Ekslusifitas H{ija>b (Cadar) ...... 117 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ...... 127 B. Khita>n Perempuan ...... 134 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Khita>n Perempuan ...... 134 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ...... 140 C. Kepemimpinan Perempuan (Hak & Kontestasi Perempuan dalam Politik) ...... 146 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Politik ...... 146 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ...... 155 D. Konsep Keadilan 2:1 dalam Pembagian Warisan ...... 162 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Konsep Keadilan Pembagian Warisan ...... 162 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ...... 176 E. Kepemimpinan Perempuan Dalam Shalat ...... 185 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Kepemimpinan Perempuan dalam Shalat ...... 185 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender ...... 191

BAGIAN LIMA ...... 199 EPILOG DAFTAR PUSTAKA ...... 202 GLOSARIUM ...... 211 INDEKS ...... 219 BIOGRAFI PENULIS ...... 223

xiii | Daftar Isi

BAGIAN SATU PROLOG ------

Perkembangan dan perubahan sosial sudah tentu menimbulkan sebuah permasalahan baru dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan nas}s} tidak akan pernah bertambah, sehingga muncul adagium masyhur dikalangan para sarjana hukum Islam "al-nus}u>s mutana>hiyah, wa al- waqa>’i‘ ghayru mutana>hiyah".1 Dalam kondisi seperti ini, jelas kompleksitas permasalahan baru yang terus berkembang dalam kehidupan manusia tidak ditemukan secara eksplisit hukumnya dalam Al-Qur’an ataupun hadis, disisi lain Islam dituntut harus selalu mampu dalam memenuhi hajat kebutuhan manusia. Hukum Islam dengan sifatnya yang universal diyakini dapat memberikan problem solving terhadap fenomena-fenomena baru yang dihadapi masyarakat.2 Para sarjana dari intern muslim maupun outsider memberikan pengakuan terhadap urgensitas hukum Islam dalam menentukan gerak langkah dan mengarahkan pemikiran umat Islam. Abiri> misalnya, menyatakan bahwa hukum Islam satu- satunya disiplin ilmu yang dianggap representatif untuk mengartikulasikan karakter peradaban Islam dengan segudang kekayaan khazanah intelektual.3 Pengakuan tersebut tentunya berdasarkan pada kuantitas dan kualitas perhatian umat Islam terhadap fiqh. Dari segi kuantitas, hal tersebut dapat dilihat dari dominasi kekayaan khazanah intelektual Islam. Bahkan sebagaimana diungkapkan Khalid M. Abou El-Fadl bahwa hukum Islam memainkan peran sentral dalam Islam hingga banyak kalangan muslim

1Jala>l al-Diyut>{{i, Ta>isid, (Makkah: Maktabah al- Tija>riyah, 1982), 22. 2Muhamm{ad Iqbal, The Reconstruction of Religion Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1974), 148. 3Muhammad Abiri<, Takwi li al-‘Arabi<. (Beirut: Markaz Dirasah al-Wahdah al-Arabiyyah: 1990), 58.

1 |P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ meyakini bahwa tanpa hukum Islam agama Islam tidak ada.4 Hal senada juga diakui kalangan para outsider, Joseph Schacht misalnya, Ia menyebut bahwa hukum Islam sebagai ikhtisar dari pemikiran Islam, manifestasi way of life Islam yang sangat khas bahkan merupakan inti dari saripati Islam itu sendiri.5 Begitu pula J.N.D Anderson, Ia mempercayai akan kedudukan sentral hukum Islam dalam masyarakat muslim. Hukum Islam menurutnya, kebal terhadap segala perubahan. Karena selain mencakup bidang-bidang yang pure hukum, hukum Islam juga mencakup keseluruhan aspek dalam segala lini kehidupan manusia.6 Dalam kebanyakan literatur klasik kata hukum Islam tidak ditemukan, namun yang sering digunakan adalah syariat Islam, hukum shara‘, fiqh syariat atau shara‘. Sebagaimana ‘Ali< Jum‘ah memberikan pengertian hukum shar‘i> menurut us}u>l al-fiqh sebagai khita>b (tuntutan) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang berupa perintah atau pilihan. Sementara ulama fiqh, hukum syar‘i didefinisikan sebagai akibat atau pengaruh khita>b (tuntutan) Allah yang terwujud dalam perintah atau pilihan.7 Pendapat senada juga diungkapkan oleh Abd al-Waha>b Khalla>f, Muhammad Abu> Zahra> dan Wahbah al-Zuhayli<.8

4Khalid M. Abou El-Fadl, Speaking In God’s Name: Islamic Law, Authority and Women (Oxford: Oneworld Publication, 2003), 1. 5Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: Oxford at the Clarendon Press,1971), h. 1. 6J.N.D. Anderson, Islamic Law In The Modern World (New York University Press: 1959), 23. 7‘Ali< Jum‘ah, Al-Hukm Al-Shar‘i> ‘Inda Al-Us}u>liyyin, (Kairo: Da>r al- Salam, 2013), 45. 8Terdapat tambahan taq{ri>r atau ketetapan dalam definisi hukum shar‘i< sebagaimana diungkapkan Abd al-Waha>b Khalla>f, Muhammad Abu> Zahra> dan Wah}bah Al-Zuhayli<>. Sehingga definisi hukum shar‘i ialah khita>b (tuntutan) Allah yang berkaitan dengan perbuatan mukallaf yang berupa perintah, pilihan atau ketetapan. Berbeda dengan Abd Waha>b al-Kh}ala>f, Wah}bah Al- Zuhayli<, ‘Ali< Jum‘ah yang mengklasifikasikan pengertian berdasarkan ulama us}u>l al-fiqh dan ulama fiqh, sementara tidak demikian dengan Abu> Zahra. Dalam penjelasannya seraya menyetir ibn Ha>jib, Abu> Zahra menyebutkan bahwa pengertian hukum shar‘i> ini merupakan buah dari pemahaman terhadap

2 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

Lalu dalam perkembangan hukum Islam yang melibatkan pengaruh barat, bahwa yang dimaksud term Islamic law secara harfiyah disebut hukum Islam. Sebagaimana diungkapakan Joseph Schact, bahwa hukum Islam yaitu keseluruhan perangkat perintah kitab Allah yang mencakup peraturan-peraturan kehidupan muslim dalam segala aspeknya.9 Arti hukum Islam ini juga senada dengan kebanyakan para sarjana hukum muslim sebagaimana diungkapkan Mahmu>d Shaltu>t yang dikutip oleh Amir Syarifudin bahwa syariat menurut para ahli ialah hukum-hukum dan aturan-aturan yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya untuk diikuti dalam hubungannya dengan Allah dan hubungannya dengan sesama manusia. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa hukum Islam adalah hukum berdasarkan wahyu Allah begitu pula hukum Islam mencakup hukum shara‘ dan juga mencakup hukum fiqh karena arti shara‘ dan fiqh tercantum didalamnya.10 Dalam artian ini, hukum Islam lebih mendekat kepada arti syariat Islam bukan fiqh yang telah dikembangkan oleh fuqaha> yang hanya dalam situasi dan kondisi tertentu.11 Artinya keabsahan hukum Islam dalam merespon setiap perkembangan ruang dan waktu sangatlah elastis juga universal dalam mencakup umat sejagad raya.12 Dalam periodesasi historisnya, perkembangan hukum Islam amatlah dinamis sejak awal konsepsi hingga saat ini. Mayoritas para

us}u>l al-fiqh dan fiqh. Jika us}u>l al-fiqh berhubungan dengan metodologi dan sumber-sumber hukum, sementara fiqh terfokuskan pada hasil konklusi hukum berdasarkan apa yang telah digambarkan oleh us}u>l fiqh. Abd al- Wahha>b Khalla>f, ‘Ilm Us}u>l al-Fiqh (Kairo: Maktabah al-Da‘wah al- Isla>miyyah, 1956), 100. Lihat: Wahbah al-Zuh}ayli, Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi> (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986), 37-41. Lihat: Muh}ammad Abu Zahra>, Us}u>l al- Fiqh, (Kairo: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1958), 26. 9Joseph Schact, An Introduction to Islamic Law, 1. 10Muhammad Ismail Syah, et al., Filsafat Hukum Islam, (Jakarta: Bumi Aksara 1992), 17. 11Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh, (Jakarta: Kencana 2011), 8. 12M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an (Jakarta : Mizan,1996.), 23.

3 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ penulis Ta>ri al-Ra>shidid dalam permasalahan terjadi. Periode ketiga, Era yang diawali dari akhir Khulafa>’ al-Ra>shidil al-fiqh. Meskipun usu>l al-fiqh sebagai satu disiplin ilmu baru tersusun secara sistematis pada abad 2 H.14 Dan hal tersebut ditandai dengan kemunculan karya monumental al-Sh>afi‘, al-Risa>lah.15 Pada gilirannya, terbentuknya sekte-sekte mazhab atas insiatif para ahli sarjana hukum pula turut menegaskan universalitas hukum Islam sebagai suatu manifiestasi dari kekuatan dinamika dan

13‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Us}u>l al-Fiqh, (Kairo: Da>r al-Muq{attam Li al- Nashr Wa Al-Taw>zi>’, 2014), 15. 14Lihat : Satria Efendi M. Zein, Kata Pengantar, dalam M. Baqir al- Shadr dan Murtadha Muthahari dalam Pengantar Usu>l Fiqh dan Usu>l Fiqh Perbandingan (Jakarta : Pustaka Hidayah, 1993), 11. 15Dalam bukunya al-Risa>lah, al-Sha>fi>‘i> telah berhasil merumuskan metode penggalian hukum yang kemudian dikenal dengan usu>l al-fiqh, disebut pula bahwa al- al-Sha>fi>‘i> ialah seorang arsitek usu>l al-fiqh. Wael B. Hallaq ‚Was al-Sha>fi>‘i> the Master Architect of Islamic Jurisprudence‛ dalam International Journal of Middle East Studies, Vol. 25, No. 4 (Nov, 1993), 587 diakses pada 28 Desember 2018. https://www.jstor.org/stable/164536.

4 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ kreatifitas dalam perjalanannya. Begitu pula dalam kemunculannya memiliki ragam dan corak tersendiri sesuai dengan latar belakang sosio-kultural juga politik di mana mazhab hukum tersebut tumbuh. Tetapi dengan terjadinya kristalisasi 4 mazhab Sunni> di sekitar abad ke-3 H/9 M, hukum Islam lambat laun dianggap hukum ilahi yang tidak dapat diubah dan bersifat menyeluruh sehingga hak untuk berijtihad mulai dibatasi dan pada saatnya dinyatakan tertutup.16 Bahkan muncul gagasan bahwa hanya ulama-ulama terdahululah yang hanya berhak untuk melakukan ijtihad. Baru pada abad ke-19 beberapa orang golongan menganjurkan dibukanya kembali pintu ijtihad.17 Oleh karenanya, ijtihad tidaklah harus berhenti. Ijtihad seyogyannya mengikuti dinamika zamannya.18

16Bahkan menurut J.N.D Anderson sebagaimana dikutip oleh Atho Mudzhar, syariat Islam pada abad ke-9 dan ke-10 dianggap sebagai hukum ilahi yang tidak boleh diubah dan tidak membutuhkan tambahan-tambahan atau perubahan-perubahan. Dengan tercapainya finalitas perkembangan sistematisasi hukum Islam di tangan Sha>fi>‘i> Schacht sepakat dengan pendapat kebanyakan orientalis sebelumnya tentang tertutupnya pintu ijtihad (insida>d bab al-ijtiha>d) Lihat: Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, INIS; Jakarta, 1993), 1. Bandingkan: J.N.D Anderson, Islamic Law In The Modern World (New Yok University Press: 1959), 1. 17Menurut Wael B. Hallaq sekitar akhir abad ke-9, aktivitas ijtihad diasumsikan oleh banyak sarjana modern telah berhenti dengan persetujuan para ahli hukum Muslim sendiri. Proses ini menjadi paradigma baru yang dikenal sebagai " insida>d fi@ al-ba>b al-ijtiha>d (penutupan pintu Ijtihad)‛. Usaha untuk membuka kembali pintu ijtihad baru terdengar pada abad ke-19 yang dipelopori oleh Muhammad Abduh. Lihat: Wael B Hallaq, ‚Was the gate of ijtihad closed?‛, dalam International Journal of Middle East Studies, vol. 16, no. 1 (Maret, 1984), 3. Lihat: Atho Mudzhar, Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia, (Jakarta: INIS, 1993), 1. 18Meskipun demikian, Ahmad Hasan tegas menganggap bahwasannya al-Sha>fi‘>i< adalah orang yang bertanggung jawab atas tertutupnya pintu ijtihad. Karena atas karya fenomenalnya -al-Umm{- dengan ditetapkan syarat- syarat ijtihad yang dirasa sangat sulit dipenuhi untuk menjadi seorang mujtahid. Ahmad Hasan The Early Development of Isamic Juriprudence – bagian terakhir- (Islambad: Central Institut of Islamic Research, 1988). Berbeda dengan Fazlur Rahman, bahwa tidak ada seorangpun yang dituduh telah menutup ijtihad. Yang terang adalah memegang ijtihad telah mengalami

5 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

Peranan ijtiha>d menurut Ibrahim Hosen pada garis besamya dapat dibagi menjadi tiga segi, yaitu : pertama, ijtiha>d dilakukan untuk mengeluarkan hukum dari z}a>hir nas}s} manakala persoalan itu dapat dimasukan kedalam lingkungan nas}s}. Cara ini dilakukan setelah memeriksa tentang keadaan nas itu, 'a>m-kah ia atau kh}a>s, mutlaq-kah atau muqayyad, na>sikh}-kah atau mansu>kh}, dan hal-hal lain lagi yang bersangkutan dengan lafaz (kata). Kedua, ijtihād dilakukan untuk mengeluarkan hukum yang tersirat dari jiwa dan semangat nas}s} dengan memeriksa lebih dahulu apakah yang menjadi ‘illat bagi hukum nas}s} itu: ‘illat mans}u>s}ah ataukah mustanbat}ah, ‘illat qas}i>rah ataukah muta'addiyah, dan sebagainya. Cara ini dikenal dengan q}iya>s. Ketiga, ijtihad dilaksanakan untuk mengeluarkan hukum dari kaidah-kaidah umum yang diambil dari dalil-dalil yang tersebar dan terdapat didalam Al-Qur’an ataupun hadis. Cara ini terkenal dengan istis{ha>b, mas}a>lih mursalah, sadd al-dhara>’i‘, istihsa>n dan lain sebagainya. Dari ketiga segi ini teranglah bahwa ijtiha>d tidak akan dipergunakan manakala terdapat nass}} yang s}ari>h}.19 Perbedaan metode dalam berijtiha>d menghasilkan hasil ijtiha>d yang berbeda, perbedaan metode ijtiha>d yang menghasilkan perbedaan pendapat hukum dapat ditelusuri hingga imam empat mazhab yang paling populer. Perbedaannya bukan hanya dilihat dari segi dalil, tetapi dari segi manhaj atau metodologi istinba>t} ah}ka>m. 20 Yaitu sebuah metode yang merupakan logika dan alur berpikir untuk menghasilkan hukum fiqh dari sumber-sumber Al-Qur’an dan sunnah. Abu> Hani>fah misalnya, selain bersumber kepada Al-Qur’an dan hadis, Ia juga menggunakan ijma>’, qiya>s, istihsa>n dan ‘urf, yang karena itulah mazhab Hanafi> terkenal dengan sebutan mazhab ahl al-ra’yi>.

stagnasi dalam perjalanannya. Lihat: A. Qadri Aziziy, Reformasi Bermadzhab. (Bandung: penerbit teraju, 2003), 4. 19Ibrahim Hosen, Fikih Perbandingan, Masalah Pernikahan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2003), 15-16. 20Secara bahasa, kata ‚istinba>t}‛ berasal dari kata istanbat}a-yastanb}itu- istinba>t}an yang berarti al-istikhra>j (mengeluarkan). Dalam pengertian ini, kalimat istanbat}a al-faqi>h berarti mengeluarkan fikih (hukum) yang tersembunyi dengan ijtihad dan pemahaman. Lihat: Ibn Manz}u>r, Lisa>n al- ‘Arab ,vol 6, (Kairo: Da>r al-Ma‘a>rif, tt), 4325.

6 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

Sedangkan Imam Ma>lik, menggunakan ‘amal ahl al-Madi>nah. qawl s}aha>bi>, khabar aha>d, maslah}ah mursalah, sadd al-dhara>’i‘>, istis}ha>b. shar‘ man qablana>, selain sumber yang digunakan oleh Abu> Hani>fah. Oleh karenanya mazhab Ma>liki> dikenal dengan ahl al-hadi>th. Sementara al-Sha>fi‘i>, hanya menggunakan empat sumber, Al-Qur'an, al-sunnah, ijma>', dan qiya>s. Adapun al-Sha>fi>‘i> dikenal sebagai sintesa antara dua faksi ahl al-ra’yi dan ahl al-hadi>th, walaupun lebih cenderung pada ahl al-hadi>th. Sedangkan metode yang digunakan oleh Ah}mad bin H}anbal bersumberkan pada Al-Qur’an, Sunah, fatwa para sahabat nabi hadi>th mursal, d{a'i>f dan qiya>s. Adapun Ah}mad ibn H}anbal juga dimasukan dalam faksi ahl-hadi>th karena Ia seorang muhadith di samping itu juga Ia sebagai mujtahid mustaqil, di mana pola istinba>t}-nya lebih dekat pada metodologi gurunya, al-Sha>fi>‘i<.21 Dengan demikian, pemikiran dan metodologi istinba>t} ah}ka>m yang berbeda dari setiap mujtahid sangat mempengaruhi objek hukum yang dihasilkan. Dan perbedaan tersebut menunjukkan dinamika hukum Islam yang keberadaannya dapat menciptakan kehidupan yang dinamis sesuai perkembangan zaman. Menurut Al-Qara>d}a>wi<,22 ijtihad merupakan sebuah urgensitas bagi manusia untuk mengantisipasi fenomena-fenomena yang muncul sebagai akibat sifat evolusioner kehidupan manusia, begitu pula kondisi masyarakatnya yang senantiasa mengalami evolusioner seiring berkembangnya zaman. Kedudukan manusia sebagai khalifah Tuhan dituntut untuk berfikir,

21Muhammad ‘Ali> al-Says, Nash’ah al-Fiqh al-Ijtiha>di> (Kairo: Majma‘ al-Buhu>th al-Islamiyah, 1970), 10. Muhammad Harfin Zuhdi, ‚Karakteristik Pemikiran Hukum Islam‛ dalam Jurnal Ahkam Vol. XIV, No.2 (Juli, 2014), 174. 22 Menurut Al-Qara>d}a>wi<, ada 2 bentuk ijtihad yang dibutuhkan saat ini, yaitu : 1. Ijtiha>d intiqa>’i yaitu menyeleksi pendapat-pendapat ahli fiqh yang relevan dalam masalah tertentu, seperti yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik. Lalu memilih mana yang paling kuat dalilnya diantara pendapat- pendpat yang ada dan relevan untuk diterapkan saat ini. 2. Ijtiha>d insha>i yaitu menarik klonkusi dalam sebuah problematika yang tidak dilakukan oleh para ulama fiqh terdahulu. Yu>suf al-Qara>d}a>wi<, al-Ijtiha>d fi< al-Shari<‘ah al-Islara>t Tahli@li@yah Fi@ Ijtiha>d al-Mua>s}ir. (Kairo : Maktabah Wahbah, 1987), 69.

7 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ tetapi juga konteks berfikir ini masih dalam batasan-batasan frame bingkai Islam, yaitu senantiasa relevan dengan nas}s} shar‘i<.23 Hal senada juga diungkapakan Al-Zuhaylī, bahwa permasalahan kontemporer saat ini menyimpan banyak persoalan hukum yang belum dijelaskan oleh ulama terdahulu. Maka menurutnya perlu adanya gerakan pembaharuan dalam ijtihad. Karena tujuan dari adanya pembaharuan, untuk membuktikan bahwa sifat elastisitas hukum Islam selalu dapat merespon seiring berkembangnya zaman namun tidak bertentangan dengan nas}s} shar‘i.< 24 Dari pemaparan diatas, sangat menarik untuk mengkaji bagaimana dialektika hukum Islam berhubungan dengan realita sosial di mana hukum Islam itu senantiasa berkembang. Oleh karenanya, diperlukan berbagai upaya signifikan dari para sarjana hukum Islam untuk memberikan jawaban hukum guna menghilangkan kesimpangsiuran akan suatu kasus yang senantiasa berkembang di tengah masyarakat; baik karena tidak adanya penjelasan secara rinci dalam sumber pokok hukum Islam atau memang tidak adanya nas}s} yang mengatur akan hal itu atau karena ketidaktahuan seseorang akan suatu hukum pada sebuah permasalahan. Diantara isu-isu terkait perkembangan zaman kontemporer yang hampir selalu menjadi perdebatan adalah isu-isu berkaitan dengan gender. Diskursus seputar gender berkaitan dengan hak perempuan memang telah muncul semenjak lama dan menjadi sesuatu yang sangat urgen didunia manapun begitu semua lapisan masyarakat tak terkecuali masyarakat muslim. Sebagaimana diungkapkan Nasarudin Umar, bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan hingga saat ini masih menyimpan beberapa masalah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam masyarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang ditimbulkan akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan, karena ternyata perbedaan jenis kelamin secara biologis (seks) melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perrbedaan

23Yu>suf al-Qara>d}a>wi<, Fiqh Tajdimiyah, (Kairo: Muassasah al-Risalah,1996), 40. 24Wahbah Al-Zuhaylī, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, terj. M. Thahir, cet. 1 (Yogyakarta: Dinamika, 1996), 240.

8 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ jenis kelamin ini yang disebut gender.25 Demikian pula telah sekian lama hukum yang disebut hukum alam menjustifikasi bahwa perempuan hanyalah sebagai suatu komunitas kelompok tingkat dua secara sosial begitu pula hegemonitas mereka selalu menjaga kelestarian dalam keluarga.26 Sejumlah respon dan jawaban yang telah diberikan hingga ini, dapat dikatakan belum cukup menuntaskan masalah yang ada. Bahkan dalam banyak kasus, justru memicu ketidakpuasan. Terlebih isu ini dianggap sebagian kalangan semakin kompleks apabila kesetaraan gender didekati dengan pemaparan final doktrin-doktrin keagamaan saja. Hilary Charlesworth dan Christine Chinkin menegaskan bahwa terdapat dua tantangan utama dalam wacana kesetaraan gender di era modern ini, ialah ekstremisme agama dan globalisasi ekonomi.27 Howland menambahkan, bahwa fundamentalisme agama meredam ironi misognis paling akut terhadap wacana kesetaraan gender dengan berlindung pada doktrin-doktrin agama secara literal bias gender.28 Sejatinya permasalahan gender tidak dipersoalkan apabila turut pula mempertimbangkan hal-hal lain seperti aspek-aspek sosial budaya ataupun sensitifitas gender yang belakangan ini terus berkembang. Dalam relasi laki-laki dengan perempuan, pada dasarnya prinsip Al-Qur’an justru menunjukkan paradigma yang egaliter. Menurut ‘Ali< Jum‘ah, Islam memuliakan wanita sebagai manusia sama halnya dengan laki-laki dalam takli

25Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), 1. 26Masnun Tahir, ‚Perempuan dalam Bingkai Hak Asasi Manusia‛, dalam jurnal Musawa, Vol. 15, No. 1, (Januari 2016) diakses pada 17 Desember 2018. 27Hilary Charlesworth dan Christine Chinkin, The Boundaries of International Law: The Feminist Analysis (Manchester: Manchester Univ Press, Juris Publishing, 2000), 249. 28Courtney W. Howland, ‚Women And Religion Fundamentalism‛, Columbia Journal Transnational Law, Vol. 35, (1997), h. 271.

9 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ wanita untuk memikul tanggung jawab dalam meluruskan masyarakat.29 Ungkapan senada diamini al-Qara>d}a>wi< 30 juga diungkapkan oleh Mahmu>d Shaltu>t.31 Bahkan menurut Ashgar Ali Engineer, bahwa Al-Qur’anlah yang paling pertama memberikan hak wanita yang belum pernah didapat pada perangkat aturan manapun.32 Karen Amstrong dalam Islam: A Short History berpendapat bahwa dominasi laki-laki akan pengaruh budaya patriarki dengan menyatakan bahwa kaum perempuan pada zaman nabi tampaknya tidak pernah merasakan Islam sebagai agama penindas, walaupun kemudian, sebagaimana terjadi dalam Kristen juga, kaum laki-laki membajak agamanya dan membawanya ke jalur yang sesuai dengan semangat patriarki yang berkembang saat itu.33 Komentar Karen Amstrong tersebut membenarkan akan sebagian besar pandangan sarjana feminis muslim.34 Menurut sebagian mereka, perlakuan terhadap perempuan belum pernah sebaik ketika Muhamad memulai dakwahnya. Masa-masa tersebut merupakan masa kehidupan yang ideal bagi perempuan karena adanya kebebasan bagi perempuan yang dijamin oleh nabi. Harga diri perempuan diangkat dan emansipasi kaum perempuan diberikan. Melalui risalahnya, Muhammad telah mendorong para pengikutnya untuk senantiasa menghormati

29‘Ali< Jum‘ah, Qada>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, (Kairo: Nahdet Misr 2008), 3. 30Yu>suf al-Qara>d}a>wi<, Min Hady al-Isla>m: Fata>wa> Mu'as}irah, (al- Mansurah: Da>r al-Wafa>' li T{aba>‘ah wa al-Tawzi<', 1994), Vol. ke-. II, 255. 31Mahmu>d Shaltu>t, al-Isla>m Aq{i@datun wa Shari@atun (Beirut: Da>r al- Nafa>is, 1989), 227. 32Asghar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, terj. Agung Prihantoro (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 50. 33Karen Amstrong, Islam: A Short History (New York: Modern Library, 2002), h. 16. Diungkapkan pula hal senada oleh David S. Power bahwa kebebasan perempuan sangat terasa diberbagai bidang pada masa permulaan Islam, yang pada gilirannya perlahan mulai berangsur-angsur hilang. David S. Power, Studies In Qur'an and Haidth, The Formation of the Islamic Law of Inheritance (Berkeley: University of California Press, 1986), xii. 34Abdullah Saeed, Interpreting The Qur’an: Towards A Contemporary Approach (New York: Routledge, 2006), 116-119.

10 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ perempuan, memenuhi hak-hak asasinya, serta mendorong partisipasi mareka dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.35 Menurut Ausaf Ali, secara garis besar kontroversi perbincangan mengenai hak perempuan yang telah berkembang di negara bermasyarakat muslim dapat diidentifikasi pada dua golongan, diantaranya: Pertama, golongan konservatif, yaitu mereka yang membatasi hak-hak perempuan yang hanya pada tataran urusan domestik saja. Dalam hal ini, secara substansial kelompok ini memahami teks keagamaan hanya secara teksual tanpa memahami kontekstual secara komprehensif sehingga paradigma yang timbul adalah penolakan terhadap kesetaraan. Maka yang terjadi perempuan hanya dianggap sebelah mata juga bersifat stereotip. Kedua, golongan progresif, berbanding balik dengan golongan pertama, kelompok progresif ini lebih mengakui perempuan pada ruang-ruang publik. Kelompok ini lebih menjunjung akan kesetaraan dan dapat diklasifikasi sebagai golongan antagonis yang mempunyai daya kritik akan tekstualitas Al-Qur’an yang patriarkis, juga lebih melihat bahwa pada kebanyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an menarik benang merah akan kesetaraaan. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, kelompok kebalikan dari kelompok pertama, kelompok ini meyakini bahwa posisi laki-laki dan perempuan tidak dibedakan, mereka yang beriman dan bertakwa adalah setara dihadapan tuhan.36 Dan salah satu dari sekian banyak ulama berpengaruh dalam dunia Islam yang memperbincangkan tentang isu-isu perempuan dan relasi gender dari perspektif hukum Islam ialah ‘Ali< Jum‘ah. Ia merupakan ulama beraliran tradisional namun moderat dalam merespon persoalan-persoalan yang bersifat kekinian sehingga

35Norhidayat, Citra Perempuan dalam Perspektif Sufi, (Jakarta: Cakrawala Budaya, 2017), h. 5. Baca: Syafiq Hasyim, Bebas dari Patriarkisme Islam (Depok: Kata Kita, 2010), 92. 36Ausaf Ali, Modern Muslim Thought, vol. 1 (Karachi: Royal Book Company, 2000), 4.

11 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ pemikiran-pemikirannya banyak digandrungi oleh para intelektual muslim di negara-negara Islam.37 Mengomentari peran ‘Ali< Jum‘ah dalam dunia muslim saat ini, John L. Esposito dalam The Future of Islam mengungkapkan, bahwa ‘Ali< Jum‘ah merupakan representasi dari wajah Islam modern yang mampu menjawab tantangan maupun problematika kontemporer dengan ekstraksi hukum Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman. Bahkan sebagaimana diungkapkan oleh Ibra>hi

37Secara beruntun pada tahun 2009 & 2010, ‘Ali< Jum‘ah menduduki peringkat ke-10 sebagai tokoh yang paling berpengaruh didalam dunia Islam kontemporer. Selain itu, pengaruh intelektual ‘Ali< Jum‘ah banyak dirujuk di pusat-pusat lembaga hukum Islam terkemuka di dunia muslim saat ini. Lihat: The Most Influential Muslim-2009 & The Most Influential Muslim-2010. Jordan : The Royal Islamic Strategic Studies Centre, cet. 1 & 2, 46 & 40. Diakses pada 17 Desember 2018. Lebih dari itu, sebagaimana pernah dimuat dalam U.S. News & World Report dan The National bahwa ‘Ali< Jum‘ah adalah salah satu ahli hukum Islam internasional yang paling dihormati. Lihat: Jay Tolson "Finding the Voices of Moderate Islam". US News & World Report (Washington, D.C: 2 April 2008). Juga lihat: Al-Hashemi, Bushra Alkaf & Rym Ghaza. "Grand Mufti calls for dialogue about the internet". (Abu Dhabi, 21 : The National Newspaper, 21 February 2012). 38John L. Esposito -seorang profesor Universitas Georgetown dan penulis terkenal tentang Islam- memberikan penjelasan tentang sejumlah tantangan utama yang dihadapi umat Islam di zaman modern, juga menyoroti pandangan para pemikir Muslim kontemporer, termasuk ‘Ali< Jum‘ah. Esposito melihat bahwa ‘Ali< Jum‘ah sebagai simbol tokoh wajah Islam moderat yang mampu menegaskan pesan Islam yang membumi sesuai perkembangan zaman. Hal yang mengesankan bagi sejumlah pengamat barat, bahwa ‘Ali< Jum‘ah selalu menekankan pentingnya dialog dalam membangun perdamaian dan keharmonisan di Mesir bahkan di seluruh dunia. Sebagaimana keterlibatannya dalam sejumlah proyek amal di bawah naungan organisasi kesejahteraan sosialnya seperti Mis}r al-Kha>ir. Selain itu, pengaruh ketokohan

12 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

Selain itu, tak kalah menarik bagi penulis dari sosok ‘Ali< Jum‘ah karena Ia merupakan grand mufti Republik Arab Mesir 2003 hingga 2013. Berbagai jabatan dan keanggotaan bertaraf nasional dan internasional Ia duduki. Akan tetapi satu hal yang tak pernah terlewatkan dari ‘Ali< Jum‘ah adalah dalam bidang usu>l fiqh. Ilmu ini telah mengalir dalam darahnya sebagai akademisi tulen. Terbukti hampir kebanyakan dari karya-karyanya bertemakan usu>l al-fiqh. Penguasaannya terhadap literatur fiqh dan usu>l al-fiqh ini telah membentuk pribadinya sebagai sosok yang moderat. Sebagaimana dipaparkan penulis diatas, kajian ini hendak menelusuri pemahaman hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah akan isu-isu gender kontemporer. Maka masalah pokok yang akan dikaji adalah sebagaimana berikut: Pertama, Formulasi pemikiran hukum Islam yang ditawarkan ‘Ali< Jum‘ah. Kedua, Kontestasi ‘Ali< Jum‘ah dibandingkan ulama kontemporer lainnya. Ketiga, Konstruksi gender dan problematika wacana kesetaraan gender kontemporer. Keempat, Kontekstualisasi pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah terhadap isu gender kontemporer. Kelima, Konteks sosial hukum yang terjadi pada ‘Ali< Jum‘ah dalam mengeluarkan ijtihadnya. Keenam, Relevansi produk hukum yang diungkapkan oleh ‘Ali< Jum‘ah dengan aspek gender. Berdasarkan hal tersebut, kajian ini secara garis besar dapat dirangkum sebuah kalimat yang dapat mewakili keseluruhan substansi permasalahan yang sebelumnya telah disinggung, yaitu: "Bagaimana pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah merespon wacana kesetaraan gender?‛ Rumusan mayor ini selanjutnya dijabarkan dalam dua pertanyaan minor, yaitu: Pertama, Bagaimana metode dan posisi pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah? Kedua, Bagaimana relevansi

‘Ali< Jum‘ah sebagai simbol wajah Islam moderat dianggap Barat seharusnya diikuti oleh kaum muslim didunia saat ini, hal itu sebagaimana pernah diterbitkan di The Times pada Juni 2007, dalam artikel yang menyatakan ‚Must now follow Dr. Gomaa’s lead, and use the podium to denounce the radicals who have clouded so many of them.‛ Lihat: Ibra>hi

13 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah dengan aspek kesetaraan gender? Berdasarkan perumusan masalah yang dipaparkan di atas, agar tidak melebar terlalu jauh serta lebih terfokus pada masalah. Maka penulis membatasi kajian ini pada cara pengambilan hukum yang digunakan oleh ‘Ali< Jum‘ah beserta hal-hal yang melatarbelakangi pendapatnya tersebut. Mengingat pula banyaknya persoalan yang dibahas ‘Ali< Jum‘ah berkaitan dengan tema gender, dibatasi pula objek kajian ini hanya pada ekslusifitas h{ija>b (cadar), khita>n perempuan, kepemimpinan perempuan (hak & kontestasi perempuan dalam politik), konsep keadilan 2:1 dalam pembagian warisan dan kepemimpinan perempuan dalam shalat. Penulis memilih 5 objek kajian berkaitan perempuan diatas, karena persoalan tersebut seringkali menjadi topik perbincangan utama dalam masyarakat dan dianggap selalu up to date untuk dibahas karena seringkali diulang pembahasannya merespon fenomena realitas. Terkhusus di Indonesia sendiri –dimana penulis berdialog dengan konteks-, kelima 5 topik tersebut sering kembali diangkat dan diperdebatkan oleh organisasi- organisasi masyarakat di Indonesia. Seperti cadar, kepenulisan penelitian ini berbarengan dengan munculnya fenomena yang memicu kontroversi dalam masyarakat seputar perdebatan cadar, hal ini merujuk pernyataan yang dilayangkan oleh menteri agama Republik Indonesia tahun 2019-2024 terkait larangan cadar ditengah masyarakat. Setahun sebelumnya, cadar juga menjadi fenomena yang memicu kontroversi, hal tersebut berkaitan dengan larangan bercadar bagi mahasiswi yang kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Ini berdasarkan Surat Rektor No. B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar. Selajutnya, berkaitan dengan khita>n perempuan, dunia Internasional sedang tren dengan pelarangan khita>n perempuan bahkan beberapa negara mengeluarkan Undang- Undang tentang pelarangan khita>n perempuan. Selanjutnya, dalam dunia modern saat ini beberapa negara melahirkan seorang pemimpin dari kalangan perempuan yang dalam hal ini menurut sebagian ulama tidak sesuai dengan kodratnya dan terakhir munculnya fenomena beberapa perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki. Demikian pula pembatasan secara temporal terkait pendapat-pendapat yang dikeluarkan oleh ‘Ali< Jum‘ah, penelitian ini dibatasi pada periode saat

14 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

‘Ali< Jum‘ah menjabat sebagai grand mufti Republik Arab Mesir yaitu pada tahun 2003-2013. Kajian ini secara teoritis diharapkan dapat memperkaya khazanah pengetahuan Islam khususnya pemikiran hukum Islam dalam memahami permasalahan hukum Islam kontemporer juga dapat memberikan solusi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat dalam kontekstual modern. Sedangkan secara praktis, hasil kajian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh para sarjana hukum Islam atau akademisi pada umumnya untuk menganalisa hukum pada suatu permasalahan agar berjalan sesuai tuntunan zaman. Sejauh pengamatan penulis, dalam penelusuran terkait penelitian yang secara khusus membahas tentang pemikiran hukum Islam cukuplah banyak; baik pemikiran hukum maupun metodologinya karena gagasan tentang pembaharuan pemikiran hukum Islam akan terus menjadi wacana dan sebagai topik pembicaraan yang sangat hangat dari waktu ke waktu. Agar lebih terarah, maka penelitian ini difokuskan pada penelitian terdahulu yang dikelompokkan menjadi tiga bagian. Pertama, penelitian mengenai relevansi hukum Islam dengan permasalahan perempuan kontemporer. Kedua, penelitian mengenai metode isitnbat hukum berkaitan dengan permasalahan perempuan yang dilakukan oleh tokoh dan ulama tertentu. Ketiga, penelitian terdahulu yang memfokuskan ketokohan ‘Ali< Jum'ah dan karyanya sebagai objek kajian. Bagian Pertama, penelitian mengenai relevansi hukum Islam dengan wacana kesetaraan gender yang dapat diidentifikasi antara lain: Amir dalam Islamic Law and Gender Equality: Could There Be a Common Ground?39. Makalah ini berpendapat bahwa memburuknya hak-hak perempuan di banyak negara Islam tidak ada hubungannya dengan sifat Islam mereka tetapi dengan sifat patriarki mereka. Hukum Islam memperkenalkan sejumlah hak revolusioner kepada perempuan pada saat wahyu; Oleh karena itu, semangat Al-Qur'an menunjuk pada persamaan akhir antara kedua

39Amira Mashour, ‚Islamic Law and Gender Equality: Could There Be a Common Ground?‛, Human Rights Quarterly, Vol. 27, No. 2 (May, 2009), 562-596. Diakses pada 20 desember 2018. https://www.jstor.org/stable/20069797

15 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ jenis kelamin dalam proses bertahap, mirip dengan kasus perbudakan. Karena Al-Qur'an sangat menekankan pada hak untuk mencari keadilan dan kewajiban untuk melakukan keadilan, dan karena tujuan pertama dari syariah adalah untuk menjaga keadilan dan membela kesejahteraan publik, semua cara untuk mencapai keadilan dan kesejahteraan publik adalah bersifat Islami. Sifat dinamis dari ajaran Islam, karakter yang berkembang dari syariah, semangat Islam terhadap hak-hak perempuan, prinsip-prinsip keadilan dan kesejahteraan publik, dan esensial dari feminis ijtihad tidak meninggalkan ruang untuk keraguan bahwa kesamaan dapat ditemukan antara hukum Islam dan kesetaraan gender. Makalah menggunakan kerangka teoritis perbandingan dengan hukum yang diterapkan di Mesir dan Tunisia dalam upaya menunjukkan hubungan antara teks, yurisprudensi, dan peran ljtihad dalam menanggapi perubahan sosial. Dari penuturan penulis mengungkapkan bukti bahwa yurispuredensi Islam tentang peranan perempuan selalu menjadi wacana hangat dan selayaknya bahwa golongan perempuan mendapatkan posisinya secara profesional dalam ruang publik. Makalah ini berusaha untuk membahas apakah mungkin ada kesamaan antara menerapkan hukum Islam dan kesetaraan gender melalui pemeriksaan putusan syariah tekstual mengenai beberapa kasus seperti poligami, perceraian dan lain-lainnya. Sedangkan tesis ini mencoba untuk menganalisanya dari sudut fiqh bersandar pada pemikiran ‘Ali< Jum‘ah. Jurnal karya Muzdalifah Muhammadun dengan judul Fiqh Dan Permasalahan Perempuan Kontemporer.40 Tulisan ini berupaya mengungkap isu-isu perempuan kontemporer dengan membuka dinding fiqh perempuan yang bias gender. Muzdalifah Muhammadun menjelaskan, bahwa permasalahan paling asas yang berkaitan dengan perempuan ialah bertahannya patriarki dalam kehidupan masyarakat saat ini, yang pada suatu tingka tertentu, sejalan dengan sebagian besar latar belakang buku-buku fiqh klasik. Dilain sisi, modernisasi

40Muzdalifah Muhammadun, Fiqh Dan Permasalahan Perempuan Kontemprer. Jurnal Al-Maiyyah, Vol. 8 No. 1 Januari-Juni 2015 STAIN Parepare. Diakses pada 13 Desember 2018.

16 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ telah ikut andil memberikan kesempatan yang sepadan untuk pendidikan antara pria dan wanita, kemudian memberikan kesadaran baru tentang hak dan kewajiban mereka sebagai manusia. Ketika mereka mencoba membongkar belenggu dari implikasi perbudakan- budaya bagi perempuan, dengan cara yang sama, bias gender dalam buku-buku fiqh akan terungkap. Pada dasarnya, adanya batasan normatif yang terdapat pada hukum Islam, bila diteslusuri kembali, terdapat tatara sosiologis. Maka secara logis, konteks sosiologis akan terus mengalami perubahan dengan seiring perubahan ruang dan waktu dan melampaui batas ruang budaya itu sendiri. Maka, jikalau konsep keadilan dalam Al-Qur’an di blow up dengan mengisolasikan ‘status quo’ pada konsep-konsep lain, niscaya Al-Qur’an begitu fleksibel dalam mengakomodir keberagaman budaya dibumi manapun. Bagian Kedua, penelitian mengenai metode isitinba>t hukum berkaitan dengan permasalahan perempuan yang dilakukan oleh tokoh dan ulama tertentu dapat teridentifikasi antara lain: Muhammad Shah}ru>r dalam Nahwa Usu>l Al-Jadimi<41. Dalam buku ini penulis menyajikan pembahasan terkait isu perempuan dan ketidakadilan terhadap perempuan sepanjang sejarah Islam. Menurut Sharu>r alasan di balik kebuntuan pentasyriatan Islam dan motif historis di balik dinamika fluktuasi eksistensi ijtihad mengakibatkan perempuan kehilangan banyak hak mereka saat ini. Penulis menyoroti pemahaman ayat-ayat dalam kontekstualisasi pada permasalahan kontemporer, terutama ayat-ayat terkenal dari Surat al- Nisa> tentang hak-hak perempuan. Dalam melakukan pembaruan interpretasi dalam studi Al-Qur’an, Shah}ru>r menggunakan pendekatan hermeneutika dengan penekanan pada aspek filologi (fiqh al-lughah). Di mana prinsip yang Ia gunakan adalah keyakinannya kepada anti sinonimitas (ketidaksamaan) istilah dalam Al-Qur’an. Pendekatan bahasa yang dilakukan Shah}ru>r dalam mengkaji Al-Qur’an akhirnya membuat dia menarik suatu kesimpulan bahwa produk hukumnya sangat tergantung pada konteks sosio-kultural. Shah}ru>r menganggap perlu adanya reinterpretasi terhadap nas}s}-nas}s} Al-Qur’an dengan harapan terjadi sinkronisasi nash dengan realitas masyarakat kapanpun

41Muhammad Shahru>r, Nahwa Us}u>l Al-Jadimi< (Damaskus: Al-Aha>li> Li Al-Tawzi‘, 2008).

17 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ dan dimanapun. Fokus Shah}ru>r terhadap nas}s}-nas}s} Al-Qur’an membuat dia tidak mempercayai al-sunah al-nabawiyyah sebagai sumber hukum juga. Baginya, Al-Qur’an sudah cukup karena ayat-ayatnya telah memuat aturan-aturan untuk menjawab realita kehidupan. Untuk merealisasikan idenya itu Shah}ru>r mengkonsep teori limit (naz}ariya>t al-h}udu>d). Dapat dikatakan Shah}ru>r dalam buku ini menyajikan pandangan yang berbeda terkait pembahasan isu perempuan diantaranya warisan pluralisme, perkawinan dan pakaian wanita. Sebagaimana dikutip Quraish Shihab42, Muhammad Shah}ru>r walaupun seorang cendekiawan yang menampilkan pendapat baru, tapi karena kelemahannya dalam disiplin ilmu agama maka banyak apa yang dikemukannya sulit diterima. Sedangkan ‘Ali< Jum'ah telah diakui banyak kalangan akan kedalaman analisis tentang beberapa bidang ilmu pengetahuan terutama dalam penyelesaian permasalahan kontemporer dan kemampuannya dalam mengklarifikasi terhadap pendapat-pendapat para ulama.43 Saepuloh dalam Fiqh Perempuan dalam Perspektif Yu>suf al- Qara>d}a>wi<<. Penelitian ini mengeksplorasi bagaimana pandangan Yu>suf al-Qara>d}a>wi< akan fiqh perempuan dengan membandingkan beberapa pandangan berbagai ulama pemikir hukum Islam, sehingga penelitian ini mendapatkan jawaban komprehensif. Lebih lanjut, penulis menjabarkan bahwa Islam sangatlah menjunjung tinggi harkat dan martabat perempuan, bahkan kemuliaan perempuan diabadikan dalam sebuah surat Al-Qur'an yang disebut al-nisa’>. Adapun permasalahan perempuan yang diangkat dalam tesis ini dibatasi hanya pada permaslahan perempuan menjadi anggota parlemen, perempuan berpergian tanpa mahram dan kedudukan hukum suara perempuan di hadapan laki-laki. Dalam beberapa permaslahan tersebut, penulis menyimpulkan bahwa pada permasalahan pertama, perempuan dapat menjadi anggota parlemen selama dirinya menjaga adab-adabnya sesuai tuntunan shar‘i>. Tidak dengan bebasnya berinterkasi dengan laki-laki lain, lalu tidak mengabaikan

42M. Quraish Shihab, Jilbab, pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 118. 43Usa>mah Sayyid Al-Azhari<, Asa>nid al-Mash}riyi

18 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ kewajibannya kepada suami -jikalau telah menikah- serta keluarga anak-anak dan lingkungannya. Begitu pula dalam berpenampilan selalu menjaga kesopanan baik itu berpakaian, berjalan, bergerak, dan berbicara. Permasalahan kedua, perempuan berpergian tanpa mahram. al-Qara>d}a>wi< membolehkan hal tersebut dikarenakan berpergian pada zaman saat ini tidaklah sama dengan berpergian pada masa lampau, banyak kekhawatiran-kekhawatiran timbul dikarenakan kondisi pada saat itu seperti kebahayaaan melewati padang pasir, lalu juga hadangan perampok, dan lain sebagainya. Berbeda berpergian pada saat ini, alat-alat transportasi saat ini telah canggih, angkutan umum saat banyak menampung penumpang orang, seperti kapal laut, pesawat terbang, dan bus angkutan umum. Tentu, hal ini dapat menimbulkan rasa kepercayaan diri dan menghilangkan kekhawatiran terhadap kaum perempuan, karena ia tidak sendirian dalam berpergian. Permasalahan ketiga, kebolehan suara perempuan dihadapan laki-laki. Dalam berkomunikasi dengan pria, haruslah kondisi dimana mendatangkan mashlahat bagi perempuan, diantaranya transaksi jual-beli, kesaksiannya didepan pengadilan, belajar mengajar, dan dakwah Islam. juga beberapa kondisi dilarangnya perempuan untuk berbicara dengan laki-laki dengan bersikap diantaranya khud}u>’, yaitu suara sexy yang menyebabkan gairah seksual pria teransang. Lalu dari ketokohan al-Qara>d}a>wi< sendiri, penulis menyebutkan dalam merumuskan kompilasi hukum Islam tentang fiqh perempuan, sehendaknya para cendekiawan muslim saat ini dapat mempertimbangkan hukum yang diusung oleh al-Qara>d}a>wi<. Alasannya, dalam mengistinba>t}kan hukum Islam al-Qara>d}a>wi< senantiasa mempertimbangkan pendekatan manhaj al-wasath}iyyah dan kemaslahatan dalam menginterpretasikan nas}s} shar‘i secara tekstual dan kontektual. Sehingga sesuatu yang dihasilkan dari sebuah hukum tidak cenderung bersikap ekstrim dan ekslusif, begitu juga dalam penerapannya senantiasa bersikap seimbang dan adil. Pandangan yang sama terkait spesifik kasus penelitian diatas juga dinyatakan ‘Ali< Jum‘ah. ‘Ali< Jum‘ah juga membolehkan perempuan di parlemen dengan pengecualian kepemimpinan pada tugas seorang presiden karena kepemimpinan negara mencakup keseluruhan umat muslimin di sebuah negara sebagaimana tidak bolehnya kepempinan shalat hanya untuk seorang laki-laki. Dan secara

19 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ umum, ‘Ali< Jum‘ah dan al-Qara>d}a>wi< sama-sama menjunjung tinggi hak-hak perempuan diranah publik. Sebagaimana keduanya dikenal sebagai ulama moderat, pendapat-pendapat yang dikeluarkan keduanya tidak hanya terikat pada pendapat mazhab tertentu saja namun juga berpegang pada metode perbandingan mazhab-mazhab terdahulu. Juga masyhur, keduanya merupakan pendukung kuat golongan tradisional dan itu dilihat rujukan dari kitab-kitab tura>th yang amat sangat kuat dalam menentukan fatwa-fatwa. Dalam metode berfatwapun, pendapat-pendapat yang ditawarkan oleh al-Qara>d}a>wi< pun memliki kemiripan dibeberapa aspek pendekatan mazhab dengan ‘Ali< Jum‘ah. Terutama pendapat mazhab digunakan mengikut situasi dan bergantung kepada maslahat masyarakat. Distingsi yang menonjol keduanya adalah pengaruh keadaan sosio-politik yang membentuk pendapat-pendapat yang dikeluarkan keduanya. Tentu sosio-politik dapat menentukkan peranan yang penting dalam perubahan hukum. Bahwa al-Qara>d}a>wi< banyak sikap intelektual dan pemikiran-pemikirannya dipengaruhi oleh H{asan al- Banna> yang merupakan tokoh pendiri organisasi transnasional Islam sekaligus partai politik di Mesir yang bernama ‚Ikhwa>n al-Muslimid}a>wi< meninggalkan Mesir tahun 1961 menuju Qatar. Di Qatar, al-Qara>d}a>wi< lebih leluasa mengeksplor pemikiran-pemikirannya. Sebagai salah seorang pengikut Jama’ah Ikhwānal-Muslimi>n, Ia memiliki aktivitas besar dalam penyebaran dakwah jamaah ini di Mesir pada saat dia berada di Mesir, dan juga di luar Mesir, khususnya ketika ia berada di Qatar. Di saat itu, al-Qara>d}a>wi< mempunyai aktifitas yang besar dan pengaruh yang tidak dapat ditutup-tutupi terhadap masyarakat di sana. Sedangkan ‘Ali< Jum‘ah hampir setiap pendapat yang ditelurkan dari pemikirannya keseluruhannya terbentuk dari adat susasana di Mesir. Selain itu pula, sebelum menjabat sebagai Grand Mufti republik Arab Mesir hampir setiap umurnya didedikasikan untuk kelembagaan Al-Azhar baik itu di tingkat pendidikan formal maupun non-formal juga jabatan di kelembagaan Al-Azhar. Bagian ketiga, penelitian terdahulu yang memfokuskan ketokohan ‘Ali< Jum‘ah dan karyanya sebagai objek kajian dapat diidentifikasi antara lain:

20 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

Ulya Hikmah Sitorus Pane dalam Tesis Studi Analisis Fatwa ‘Ali< Jum‘ah Tentang Nika>h Urfi<’ dalam Kita>b al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah44. Penelitian ini lebih fokus menganalisa fatwa ‘Ali< Jum‘ah tentang nikah ‘urfi< dalam kita>b al-Kalim al-Ṭayyib Fatāwā Aṣriyah. Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, dan jenis penelitian kepustakaan (library research). Secara ringkas, peneliti merangkum dalam penelitian diantaranya: Pertama, bahwa pengertian nika>h‘urfi < sebagaimana dalam penelitian ini, yaitu nikah yang terpenuhi semua rukun dan syarat, akan tetapi tidak tercatat dalam lembaga pencatatan nikah dan pernikahan ini sah. Pada realitanya, nika>h ‘urfi < sudah dikenal dalam Islam sebelum adanya pencatatan secara resmi seperti pada masa sekarang ini, sedangkan pencatatan bukanlah rukun dan syarat dalam akad pernikahan. Kedua, fatwa ‘Ali< Jum‘ah menyatakan bahwa nika>h ‘urfi< merupakan nikah yang lengkap syarat dan rukunnya, nikah ini sah dan telah dilegalisasi oleh lembaga fatwa Mesir yaitu Dār al-Ifta>’ al-Miṣriyah, melalui fatwa muftinya ‘Ali< Jum‘ah. Latar belakang lahirnya fatwa ini karena maraknya praktik nika>h ‘urfi< yang terjadi di tengah masyarakat disebabkan mahalnya biaya pernikahan, maka dengan adanya fatwa pernikahan menjadi mudah dan tidak mendapatkan tantangan baik sanksi pemerintah maupun sanksi sosial. Ketiga, para ulama berbeda pandangan tentang hukum nika>h ‘urfi<, dalam hal ini ulama klasik tentunya membolehkan nika>h ‘urfi<, karena masalah pencatatan tidak ada di zaman sebelumnya, sementara menurut sebagian ulama kontemporer terdapat perbedaan pendapat, sebagian menghalalkan dan sebagian lagi mengharamkan dengan melihat kondisi yang berkembang saat ini. Wan Mohd Khairul Firdaus dalam Metode Fatwa ‘Ali< Jum‘ah dalam Kita>b al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah.45 Penelitian ini lebih

44Ulya Hikmah Sitorus Pane, Studi Analisis Fatwa ‘Ali< Jum‘ah Tentang Nikah Urfi<’ dalam kita>b al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Tesis Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Medan Sumatera Utara (UINSU), Medan, 2016. 45Wan Mohd Khairul Firdaus, Metode Fatwa ‘Ali< Jum‘ah Al-Kalim Al- Thayib Fatawa Ashriyah. Disertasi dari Universitas Malaya Kuala Lumpur, 2011.

21 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ fokus pada mekanisme dan langkah-langkah sebelum mengeluarkan fatwa oleh ‘Ali< Jum‘ah dalam karya kumpulan fatwa-fatwa yaitu Al- Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah. Dalam penelelitian ini Fatwa dibatasi hanya dalam bidang ibadah dan nikah. Menurut penulis, terdapat pelbagai penetapan metode berfatwa pada masa kini. Pemilihan ini haruslah ada dasar kesesuaian metode ini untuk dipraktikkan pada masa kini. Selain itu, keselarasan ini juga untuk dijadikan landasan kepada para mufti atau institusi fatwa di seluruh dunia dalam menyelusuri berbagai-bagai persoalan dan juga satu asas dalam menjaga kemaslahatan ummah. Walaupun fatwa bukanlah suatu kewajiban untuk diikuti, namun penerapan metode tersebut seharusnya dititik beratkan demi mendapatkan hukum yang bersesuaian suasana kehidupan masyarakat Islam pada hari ini. Fajar dalam Metode Ijtihad ‘Ali< Jum‘ah dalam Masalah-Masalah Mua>mala>t Ma>liyah Mua>sh}irah.46 Dalam penelitian ini, penulis membatasi kasus pada problematika transaksi keuangan kontemporer yang mengalami perkembangan pesat seiring perkembangan zaman. Dalam penelitian ini penulis menyajikan tiga komponen pokok diantaranya pemikiran ‘Ali< Jum'ah tentang transaksi keuangan kontemporer, metode ijtihad yang digunakan dalam menentukan hukum serta pandangan umum ‘Ali< Jum'ah terkait ijtihad. Muhammad Zakir dalam Ijtihad ‘Ali< Jum‘ah Masalah-Masalah Kontemporer dalam Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah.47 Penelitian ini difokus pada satu buku yang didalamnya memuat mengenai fatwa- fatwa ‘Ali< Jum‘ah yaitu Kita>b al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah. Penelitian dibatasi pada empat kasus yaitu khitan banat, perempuan pergi haji tanpa mahram, keluarga berencana dan pengembalian selaput dara. Hasil penelitian ini dapat dapat disimpulkan bahwa Metode ijtihad yang ditetapkan oleh ‘Ali< Jum‘ah dalam menjawab permasalahan kekinian adalah pertama ia mencoba melihat metode-

46Fajar dalam Metode Ijtihad ‘Ali< Jum‘ah dalam Masalah-Masalah Mua>mala>t Ma>liyah Mua>sh}irah. Tesis dari program pascasarjana Universitas Islam Sunan Kalijaga, 2019. 47Muhammad Zakir, Ijtihad Ali> Jum'ah Masalah-Masalah Kontemporer dalam Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Tesis dari pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang, 2014.

22 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ metode ijtihad yang telah dikembangkan oleh ulama klasik dalam literatur-literatur yang begitu banyak. Setelah itu Ia melakukan penyeleksian dan memilih pendapat mana yang terkuat dan cocok untuk zaman sekarang ini. Kedua apabila tidak terdapat dalam pembahasan ulama-ulama terdahulu ia melakukan ijtiha>d bi al-ra’yi. Adapun distingsi kajian penelitian-penelitian terdahulu yang peneliti sebutkan bagian ketiga dengan penelitian ini antara lain sebagai berikut: Pertama, peneliti ingin memberikan pemahaman komprehensif tentang metode istinba>t} hukum yang digunakan oleh ‘Ali< Jum‘ah dalam memahami hukum. Sedangkan teridentifikasi beberapa penelitian diatas kurang komprehensif dalam membahas metode istinba>t yang digunakan oleh ‘Ali< Jum‘ah. Kedua, peneliti ingin melihat relevansi dari pemahaman hukum yang diungkapkan oleh ‘Ali< Jum‘ah dengan realita saat ini berkenaan dengan wacana gender kontemporer. Ketiga, penelitian ini menggunakan lebih dari satu karya ‘Ali< Jum‘ah sebagai sumber utama, sementara penelitian terdahulu yang peneliti sebutkan diatas hanya terfokus pada satu karya saja dan kesemuanya hanya menggunakan Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah. Hal ini dimaksudkan juga untuk mengetahui lebih jauh konsistensi ‘Ali< Jum‘ah dalam tiap karyanya, baik mengenai metode yang digunakannya maupun mazhab yang dianutnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif juga jenis penelitian ini library research. Sedangkan metode yang digunakan peneliti yaitu deksriptif-analitik.48 Deskriptif karena merupakan pemaparan pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ketika berhadapan dengan realitas sosial yang selalu berkembang dan ketika menjawab pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat akan suatu kasus hukum. Sedangkan analitis, dibutuhkan untuk mengetahui sejauh mana kevalidan, keabsahan serta kesesuaian pemikirannya itu dengan situasi

48Metode deskriptif sebagaimana diketahui, dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang keadaan-keadaan nyata sekarang. Dapat diartikan juga sebagai kegiatan yang meliputi pengumpulan data dalam rangka menguji hipotesis atau menjawab pertanyaanyang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian. Lihat: Consuelo G. Sevilla et.al., terj. Alimuddin Tuwu, Pengantar Metode Penelitian (Jakarta: UI Press, 2006), 71.

23 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ dan masalah yang sedang berkembang. Selain itu, metode dalam penelitian ini juga menggunakan interpretatif 49, yakni menyelami pemikiran seorang tokoh yang tertuang dalam karya-karyanya guna menangkap nuansa makna dan pengertian yang dimaksud hingga tercapai suatu pemahaman yang penulis komprehensif. Sedangkan pendekatan yang diterapkan ialah pendekatan gender, pendekatan usu>l fiqh serta pendekatan sosiologis. Pendekatan kesetaraan gender yang digunakan dalam kajian penelitian ini sebagaimana digunakan oleh para feminis muslim dan ilmu sosial selama ini sebagaimana pada umumnya, yaitu teori feminis yang menjelaskan bahwa semua laki-laki baik perempuan diciptakan seimbang dan semestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Pendekatan usu>l al-fiqh digunakan karena persoalan-persoalan yang dikaji dalam penelitian ini, disamping permasalahan perempuan juga termasuk persoalan hukum Islam yang perlu dijabarkan dengan metode istinba>t} hukum. Pendekatan sosiologis digunakan untuk melihat konteks sosial dan budaya ketika diformulasikan. Karena bagaimanapun pemikiran adalah hasil dialektika dari antara seseorang dengan konteks sosial dan objek yang diamati. Sesuai dengan obyek penelitian, pada dasarnya studi ini merupakan jenis kajian kepustakaan (library research) yaitu suatu metode yang dilakukan dengan mengumpulkan data dari buku-buku, ensiklopedi, majalah dan lain-lain, yang masih ada hubungan erat dengan tema yang dibahas. Berdasarkan hal tersebut, maka peneliti ini memerlukan dua data yaitu data primer dan data sekunder. Adapun sumber primer atau obyek utama dalam penelitian ini adalah karya ‘Ali< Jum‘ah sendiri terutama yang berkaitan dengan perempuan kontemporer, diantaranya: Q}ada>ya> al-Mar'ah Fi< Fiqh al- Isla>mi>, Al-Mar'ah Fi< al-Had}arah Al-Isla>miyah; Bayna Nusūs al-Shar‘i> wa Turāth al-Fiqh wa al-Wāqiʻ al-Maʻish, Fata>wa> Al-Mar’ah Al- Muslimah wa Rudt Hawla Q{ad}aya> al-Mar’ah, Fata>wa> Al-Nisa>, Al-Mar'ah Ba>ina Insha>f al-Islam wa Shubha>t Al-Akhar. Sedangkan data sekunder yang peneliti gunakan ialah seputar analisis terhadap pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah maupun yang berkaitan

49Sudarto, Metodologi Penelitian filsafat (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996), 42.

24 | P r o l o g

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ dengan pembaharuan hukum Islam secara umum maupun tulisan ulama dan penulis lainnya. Sebagai suatu penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif, untuk dapat menganalisis dan memberikan gambaran atas pemikiran hukum ‘Ali< Jum‘ah, maka peneliti melakukan pengumpulan data dengan analisis isi (content analysis)50 dari sumber primer dan sekunder. Selain itu, metode ini juga dipadukan dengan studi dokumentasi51 yang merupakan metode pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian. Lebih jelasnya, pengumpulan data ini dengan mengumpulkan literatur pribadi maupun resmi berupa bahan-bahan pustaka yang koheren dengan objek pembahasan. Dalam menganalis data, metode yang yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Miles dan Huberman. Yaitu data collection (pengumpulan data), lalu dilanjutkan dengan data reduction (mereduksi data) kemudian data displaying (penyajian data) dan diakhiri dengan conclusion (kesimpulan).52 Kepenulisan buku ini akan ditulis menjadi 5 bagian, dengan perincian sebagai berikut: Bagian satu, berupa prolog, yang merupakan kerangka dasar dalam penelitian ini, terdiri dari; latar belakang, identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah. Selain itu juga memuat didalamnya tujuan dan manfaat penelitian, penelitian terdahulu yang

50Analisis isi (content analysis) asal mulanya digunakan dalam ilmu sosiologi dan politik. Seiring dengan perkembangannya, metode ini dapat diterapkan untuk menganalisis isi teks apapun, termasuk dokumen-dokumen hukum semisal catatan undang-undang, peraturan, metode hukum dan pengambilan keputusan. Lihat: Mark A. H. dan Ronald F. Wright. ‚Systematic Content Analysis of Judicial Opinions,‛California Law Review, vol. 96, no. I (Feb. 2008), 67, diakses pada 3 Januari 2019. 51Penelitian kualitatif memiliki beberapa metode pengumpulan data, diantaranya metode wawancara, documenter, observasi, bahan visual, dan penelusuran online. Lihat H. M. Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif (Jakarta: Kencana, 2012), 110-130. 52Sugiyono, Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & D (Bandung: Alfabeta, 2012), 247.

25 | P r o l o g

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ relevan, metodologi penelitian, dan diakhiri dengan sistematika pembahasan. Bagian satu ini merupakan bentuk kerangka pikir dan kerangka kerja yang akan dilaksanakan dalam menyelesaikan penelitian ini. Bagian dua, membahas tentang prinsip kesetaraan gender dan hukum Islam yang mencakup: pengertian gender, gender perspektif historis, gender dalam epistemologi hukum Islam serta wacana gender dan otoritas pemikiran agama sebagai studi komparatif tokoh tradisionalis dan kontekstualis. Bagian tiga, pada bagian ini peneliti menjabarkan tentang sketsa hidup ‘Ali< Jum‘ah yang mencakup biografi ‘Ali< Jum‘ah, yang dimulai dari latar belakang keluarga, pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi serta aktifitasnya. Begitupula karya-karya yang pernah ditulis olehnya serta kontribusi pemikirannya terhadap hukum Islam baik berupa bentuk karya, fatwa, kelembagaan dan lainnnya. Disamping itu, dalam bagian ini dijelaskan pula interferensi kondisi sosio-politik serta interferensi intelektual ‘Ali< Jum‘ah yang melatarbelakangi pemikirannya. Dan hal tersebut dijabarkan kembali dalam karakteristik pemikiran hukum Islam serta posisi dan distingsi ‘Ali< Jum‘ah dibanding pemikir lainnya. Bagian empat, sebagaimana pembahasan pada bagian sebelumnya adalah karakteristik pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah yang terdiri dari ijtihad, fatwa serta respon realita sosial kontemporer. Pada pembahasan bagian ini penulis lebih lebih lanjut mendiskusikan penerapan teori yang bertujuan untuk melihat penerapan pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah dalam wacana kesetaraan gender yang meliputi analisis metodologi istinba>t} hukumnya. Disamping itu, pembahasan dalam bagian ini bertujuan untuk melihat relevansi pemikiran ‘Ali< Jum‘ah yang telah didiskusikan pada sebelumnya dalam merespon permasalahan wacana gender yang penulis batasi ekslusifitas h{ija>b (cadar), khita>n perempuan, kepemimpinan perempuan (hak & kontestasi perempuan dalam politik), khita>n perempuan, konsep keadilan 2:1 dalam pembagian warisan dan kepemimpinan perempuan dalam shalat. Bagian lima, berupa epilog yang merupakan akhir dari pembahasan penelitian ini sekaligus penutup yang berisikan kesimpulan dari temuan-temuan dalam penelitian ini.

26 | P r o l o g

BAGIAN DUA PRINSIP KESETARAAN GENDER DAN HUKUM ISLAM ------

Diskursus gender merupakan hubungan timbal balik antara satu pasangan dengan pasangan lainnya, termasuk suami istri. Laki-laki (suami) dan perempuan (istri) menjalankan fungsi dan perannya masing-masing. Laki-laki (suami) menjalankan perannya di luar rumah, sementara perempuan (istri) menjalankan peran domestiknya dalam rumah. Suami berhak menjadi pemimpin dalam rumah tangga, sementara istri berada di bawah kepemimpinan suami. Suami bertanggungajwab mencari nafkah, sementara istri tidak dibebankan mencari nafkah. Hal ini menjadi perdebatan dikalangan umat Islam baik dikalangan ulama beraliran tradisionalis sebagai kelompok yang pro, maupun dikalangan cendekiawan beraliran kontekstualis –yang selanjutnya penulis sebut diantaranya feminis muslim- sebagai kelompok yang kontra. Karena itu, pada bab ini akan dipaparkan tentang diskursus gender dari berbagai perspektif yang meliputi pembahasan mengenai pengertian gender dan perdebatan argumen terkait wacana kesetaraan gender. Pembahasan terkait diskursus ini dibutuhkan untuk memberikan gambaran secara komprehensif tentang tema gender yang menjadi obyek kajian. Pembahasan ini berperan sebagai pengantar yang menguatkan pandangan bahwa hukum Islam – yang menjadi kajian peneliti- tidak hanya didapatkan dengan bertumpu pada petunjuk tekstual an sich. Di samping otoritas teks, konteks turut serta memainkan peran yang signifikan dalam menegosiasikan makna. A. Diskursus Gender dan Feminisme 1. Pengertian Gender Secara fitrah dan tabiat manusia terdapat perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan sosial baik dari segi biologis maupun non biologis. Perbedaan ini melahirkan pemisahan fungsi dan tanggungjawab antara laki-laki dan

27 Prinsip| Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ perempuan. Perbedaan inilah yang sering disebut sebagai gender.1 Secara etimologi gender berasal dari bahasa inggris yang berarti jenis kelamin2. Sedangkan secara terminologi gender yaitu suatu konsep kultural yang serupa membuat perbedaan dalam hal peran, perilaku, mentalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.3 Masyarakat pada umumnya mengidentifikasi gender dengan jenis kelamin (seks). Karena ide gender tidak dapat dipisahkan dengan mudah dari ide tentang jenis kelamin.4 Dalam hal ini, kaum feminis menggugat pernyataan tersebut. Menurut analisis kaum feminis5,

1Rusdi Zubeir, Gender Dalam Perspektif Islam dalam Jurnal An-Nisa', Vol. 7, No. 2, (Desember 2012), 103. 2Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: Gramedia, 1993), 265. 3Helen Tierney, (Ed.), Women’s Studies Encyclopedia, (New York: Green World Press, tt), 153. Lihat: Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), 79. 4Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan, (Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre Pustaka, 1996), 2. 5Perlu dicatat, feminis adalah orangnya, sedangkan feminisme adalah fahamnya. Gerakan feminisme atau sering juga disebut ruh gerakan wanita adalah sebuah gerakan sosial dan politik yang terdiri dari sebagian besar wanita yang memperjuangkan keadilan gender. Demikianlah definisi yang dikemukakan Sonia E. Alvarez dalam bukunya Engendering Democracy in Brazil: Women’s Movements in Transitions Politics. Lihat: Yanti Muchtar, ‚Gerakan Perempuan Indonesia dan Politik Gender Orde Baru‛, dalam Jurnal Perempuan Nomor 14, (Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan), 8. Menurut Katherine Young, feminisme tidak hanya sekedar sebuah kritik terhadap sistem patriarki, tetapi juga merupakan pengakuan positif atas kebutuhan yang sudah terpola sejak dulu dan sebagai masukan bagi kaum perempuan sebagai sebuah kelompok, dan pada kenyataannya kaum perempuan adalah sebuah kelompok yang dapat menunjukkan jati dirinya sendiri; yang mampu berperan dalam lingkungan masyarakat, seperti: pekerjaan, pendidikan dan kepemimpinan, serta memiliki kebebasan untuk memutuskan pola hidup mereka sendiri. Garis dasar feminisme ini adalah fondasi bagi solidaritas perempuan sebagai kelompok. Kaum feminis telah membentuk sebuah partai politik bersama kelompok-kelompok lain yang tersubordinasikan.5 Lihat:

28 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ bahwa ketidakadilan gender tersebut muncul karena adanya kesalahpahaman terhadap konsep gender yang disamakan dengan konsep seks walaupun gender dan seks secara bahasa memang mempunyai arti makna jenis kelamin.6 Ann Oakley seorang sosiolog berasal dari Inggris ialah orang pertama yang memberikan perbedaan istilah seks dan gender.7 Menurutnya, gender adalah perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan. Gender merupakan perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan yang diciptakan baik oleh kaum laki-laki atau perempuan itu sendiri melalui proses sosial dan kultural yang cukup panjang sehingga melembaga dalam masyarakat.8 Hal senada juga diungkapkan Hilary M. Lips, mengartikan gender sebagai harapan- harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.9 Begitupula Linda L. Linsey, menganggap semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan adalah termasuk dalam bidang kajian gender.10 Lebih dari sekedar perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari konstruksi sosial-budaya, Elaine Showalter menekankan gender sebagai konsep analisis yang dapat digunakan untuk menjelaskan sesuatu.11 Menurut Showalter, wacana gender memang baru mulai ramai pada awal tahun 1977, ketika kelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist, tetapi menggantinya dengan wacana gender.

Fadlan Al-Hanif "Islam, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur'an‛ dalam Jurnal Karsa, Vol. 19. No. 2, (2011), 108. 6Kamla Bashin dan Nighat Said Khan, Persoalan Pokok Mengenai Feminisme Dan Relevansinya (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995), 5-6. 7Ratna Saptari, Briggte Holzner, Perempuan Kerja dan perubahan Soial; Sebuah Pengantar Studi Perempuan (Jakarta: Kalyana Mitra, 1997), 89. 8Ann Oakley, Sex, Gender and Society (New York: Yale University Press, 1972), 2. 9Hilary M. Lips, Sex & Gender; An Introduction (California: My Field Publsihing Company, 1993), 4. 10Linda L. Linsey, Gender Roles a Sociological Perspective, (New Jersey: Prentice Hall, 1990), 2. 11Elaine Showalter, (ed.), Speaking of Gender, (New York & London: Routledge, 1989), 3.

29 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

Lebih rinci mengenai klasifikasi gender dan seks, Siti Musdah Mulia mengatakan bahwa jenis kelamin laki-laki ditandai dengan adanya penis, testis, dan sperma, sedangkan perempuan mempunyai vagina, payudara, ovum, dan rahim.12 Mansour Faqih menambahkan alat-alat tersebut secara biologis melekat pada jenis perempuan dan laki-laki selamanya, secara biologis alat tersebut tidak dapat ditukar dan secara permanen tidak dapat berubah. Karena perbedaan tersebut bersifat kodrati, atau pemberian tuhan.13 Dengan demikian dalam proses pertumbuhan seorang laki-laki atau perempuan lebih dominan digunakan istilah gender dibanding daripada seks. Adapun istilah seks pada umumnya digunakan pada persoalan reproduksi dan aktivitas seksual. Untuk lebih jelas dapat dilihat tabel dibawah:14

Tabel Perbedaan Seks dan Gender No Karakteristik Seks Gender 1 Sumber Pembela Ciptaan Tuhan Manusia (Masyarakat) 2 Unsur Pembela Biologis Budaya 3 Sifat Kodrat Harkat, Martabat dan Dapat Dipertukar 4 Dampak Terciptanya nila- Terciptanya norma- nilai; Kesempurnaan, norma atau kenikmatan, ketentuan tentang kedamaian, dll. pantas atau tidak Sehingga tidak pantas

12Siti Musdah Mulia, Muslimah Sejati; Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi (Bandung: Marja, 2011), 65. 13Mansour Fakih, Analisa Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), 8. 14Trysakti Handayani dan Sugiarti, Konsep dan Teknik Penelitian Gender (Yogyakarta: UMM Press, 2002), 6.

30 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

menguntungkan kedua belah pihak 5 Keberlakuan Sepanjang masa dan Dapat Berubah tidak dapat berubah

Analisis gender sebagaimana teori sosial lainnya seperti analisis kelas, analisis kultural dan analisis diskursus adalah analisis yang mempertanyakan ketidakadilan sosial dari aspek hubungan antara jenis kelamin. Analisis yang menjadi alat bagi gerakan feminisme sebagai sebuah teori tugas utama analisis gender adalah member makna, konsepsi, ideologi dan praktik hubungan antara kaum laki-laki dan perempuan serta implikasinya terhadap kehidupan sosial yang lebih luas (sosial, ekonomi, politik, kultural) yang tidak dilihat oleh teori ataupun analisis sosial lainnya. Dengan kata lain keberadaan analisis gender merupakan kacamata baru untuk menambah dan melengkapi analisis sosial lainnya yang telah ada dan bukan menggantikannya.15 Dari penjelasan mengenai diskursus gender sebagaimana dipaparkan diatas, dapat disimpulkan bahwa makna gender sangat bervariasi dan para tokoh feminim sepakat dalam memberikan definisi tentang seks, yakni perbedaan seks adalah perbedaan atas dasar ciri- ciri biologis dari laki-laki dan perempuan, terutama yang menyangkut pro-kreasi dan merupakan kodrat. Sedangkan gender dapat disimpulkan mengutip pernyataan Nasarudin Umar16 merupakan suatu konsep yang digunkakan untuk mengidentifikasi perbedaan dalam peran, perilaku, dan lain sebagainya antara laki-laki dan perempuan

15Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), xii-xiii. 16Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999), 35. Menurutnya, perbedaan laki-laki dan perempuan sejatinya masih menyimpan sejumlah, baik dari segi substansi kejadian maupun peran yang diemban dalam mayarakat. Perbedaan anatomi biologis antara keduanya cukup jelas. Akan tetapi efek yang timbul akibat perbedaan itu menimbulkan perdebatan karena ternyata jenis kelamin secara biologis melahirkan seperangkat konsep budaya. Interpretasi budaya terhadap perbedaan jenis kelamin inilah yang disebut gender.

31 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ dilihat dari sosial-budaya yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Lebih lanjut, Nasarudin Umar menegaskan bahwa diskursus gender merupakan konsep yang melihat peran laki-laki dan perempuan dan sosial dan budaya, tidak dilihat dari jenis kelaminnya. Gender merupakan analisis yang digunakan dalam menciptakan posisi setara antara laki- laki dan perempuan untuk mewujudkan tatanan masyarakat sosial yang lebih egaliter. Jadi bisa dikategotrikan sebagai perangkat operasional dalam melakukan measure (pengukuran) terhadap persoalan laki-laki dan perempuan terutama yang terkait dengan peran dalam masyarakat yang dikonstruksi oleh masyarakat itu sendiri. Gender bukan hanya ditujukan kepada perempuan semata, tetapi juga kepada laki-laki. Hanya saja, yang dianggap mengalami posisi termarginalkan sekarang adalah pihak perempuan, maka perempuanlah yang lebih ditonjolkan dalam pembahasan untuk mengejar kesetaraan gender yang telah diraih oleh laki-laki beberapa tingkat dalam peran sosial.17 Keadilan gender sudah menjadi keharusan zaman. Setidaknya upaya itu telah dilakukan melalui berbagai diskursus hampir di semua belahan dunia. Di Indonesia juga telah diupayakan sejak tahun 1978 hingga sekarang yaitu dengan adanya sebuah institusi pemerintah yang kini bernama KPP & PA. Di berbagai perguruan tinggi seperti pusat- pusat kajian perempuan atau kajian gender pun tak ketinggalan.18 Indonesia telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan atau Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) sejak 22 tahun lalu, melalui Undang-undang No. 7 tahun 1984 (UU No. 7/1984). Dalam perjalanan pelaksanaan CEDAW pemerintah Indonesia menyadari masih kuatnya diskriminasi terhadap perempuan di segala

17Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender; Perspektif Al- Qur’an, 1. 18Zaitunah Subhban, Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan (Jakarta : el-Kahfi, 2008), 1.

32 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ bidang pembangunan. Disksriminasi ini mengancam pencapaian keadilan dan kesetaraan gender di Indonesia.19 Pada tahun 2000 Presiden RI, Abdurrahman Wahid, mengeluarkan Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan (Inpres PUG). Harapannya pembangunan nasional akan mengintegrasikan perspektif gender sejak proses perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, hingga evaluasi serta pemanfaatan hasil-hasilnya.20 Dari aspek filosifis, Pancasila sebagai falsafah Negara merupakan landasan filosofis pentingnya UU KKG, terutama Sila Kedua Pancasila ‚Kemanusiaan yang adil dan beradab‛ dan Sila Kelima Pancasila ‚Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia‛. Dalam Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab terkandung makna bahwa keadilan belaku bagi setiap manusia. Di sisi lain, pemerintah Indonesia telah menandatangani dokumen kesepakatan global tentang Sustainable Development Goals (SDG) atau istilah resmi pemerintah adalah Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), yang terdiri dari 17 Tujuan (Goal) dan 169 sasaran (target). Dalam TPB tersebut terdapat satu tujuan yaitu untuk: mencapai kesetaraan gender serta memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan.21

19Untuk memperkuat payung hukum Pengarusutamaan Gender, maka tahun 2006 Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyusun draft Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengarusutamaan Gender. Lihat: Situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1374/3 diakses pada 22 Januari 2020. 20Masthuriyah Sa'dan, "Pengarusutamaan Gender Dalam Pendidikan Pesantren: Kajian Feminisme Islam" dalam jurnal Harkat,. No. 2 Vol. 2 (2018), 97. 21Riant Nugroho, Gender dan Administrasi Publik; Studi tentang Kualitas Kesetaraan Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), 38.

33 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

Tujuan 5 SDG tentang mencapai kesetaraan gender serta memberdayakan semua perempuan dan anak perempuan, memiliki 5 target yaitu:22 - Mengakhiri segala bentuk diskriminasi - Menghapuskan segala bentuk kekerasan - Menghapuskan semua praktek-praktek yang membahayakan - Menyadari dan menghargai pelayanan dan pekerjaan - Memastikan bahwa semua perempuan dapat berpartisipasi penuh dalam kehidupan berpolitik, sosial dan ekonomi. 2. Diskursus dan Perkembangan Gerakan Feminisme Sebagaimana konstruksi gender bersifat sosial-kultural, studi gender lebih menekankan pada perkembangan aspek maskulinitas dan feminis seseorang yang merupakan hasil kontsruksi sosial. Secara tradisional diyakini perbedaan identitas maskulin dan feminin merupakan suatu bagian yang inherent dalam identitas jenis kelamin yang kemudian dianggap kodrat. Sehingga perlu dicatat bahwa diskursus gender tidak semata-mata masalah perbedaan dan pembedaan antara laki-laki dari perempuan. Lebih jauh dari itu, gender adalah tentang dominasi dan submisi dalam konteks relasi dan distribusi kekuasaan.23 Perbedaan inilah yang kerap kali menjadi menimbulkan perdebatan karena rentan terhadap isu ketertindasan terhadap perempuan. Seorang feminis, Alison Jaggar dalam bukunya Gender and Global Justice memberikan penjelasan terhadap ketertindasan perempuan sebagai berikut:24 1. Perempuan secara histori sebagai kelompok tertindas

22Lihat: Situs resmi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) di https://www.kemenpppa.go.id/index.php/page/read/31/1374/3 diakses pada 22 Januari 2020. 23Gregory M. Matoesian, Reproducing Rape: Domination Through Talk in The Courtroom, (Chicago: University of Chicago Press, 1993), 13. Noryamin Aini, ‚Rape and The Problems of Criminological Theories‛ Jurnal Hukum Islam, Edisi No. 6 Vol. II (Maret, 1995), 8. 24Gadis Arivia, Feminisme: Sebuah Kata Hati, (Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006), 4.

34 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

2. Ketertindasan perempuan sangat meluas sampai masyarakat manapun 3. Ketertindasan adalah bentuk yang paling dalam dan sekaligus bentuk yang sangat sulit untuk dihilangkan dan dihapuskan dengan perubahan sosial sebagaimana penghapusan kelas masyarakat tertentu. 4. Penindasan terhadap perempuan memberikan dampak kesengsaraan yang sangat dalam dan berat bagi korban baik secara kualitatif dan kuantitatif walaupun seingkali kesengsaraan itu tidak tampak karena adanya ketertutupan baik itu dari pihak pelaku maupun korban. 5. Pemahaman terhadap penindasan perempuan pada dasarnya memberikan model konseptual untuk dapat memahami bentuk- bentuk lain penindasan. Adanya ketidakpihakan pada perempuan diranah publik inilah kemudian yang menjadi agenda feminis, dimana pusat persoalan yang menjadi perhatian adalah tuntutan kesetaraan, keadilan dan penghapusan segala bentuk diskrimniasi terhadap perempuan. Usaha ini kemudian melahirkan sebuah kesadaran yang khas yaitu kesadaran feminisme. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya kelompok feminis memunculkan beberapa teori seperti teori liberal, teori Marxis- Sosialis dan teori Radikal yang secara khusus menyoroti kedudukan perempuan dalam kehidupan masyarakat.25 Feminis berupaya menggugat kemapanan patriarki dan berbagai bentuk stereotip gender lainnya yang berkembang luas di masyarakat.26 Menurut Nancy F.

25Fadlan Al-Hanif "Islam, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur'an‛ dalam Jurnal Karsa, Vol. 19. No. 2, (2011), 106. 26Seperti halnya Nasaruddin mengkategorikan aliran feminisme menjadi 3 yaitu diantaranya: a) Feminisme Liberal, dasar pemikiran kelompok ini adalah semua laki-laki dan perempuan, diciptakan seimbang dan serasi dan mestinya tidak terjadi penindasan antara satu dengan lainnya. Secara ontologi keduanya sama, hak-hak laki-laki dengan sendirinya juga menjadi hak perempuan; diantara tokoh aliran ini adalah Margaret Fuller (1810-1850), Haried Martineau (1802-1876) dan Susan Anthony (1820-1906). b) Feminisme Marxis-Sosialis Aliran ini berupaya menghilangkan struktur kelas dalam

35 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

Cott27 ada tiga komponen dalam kajian feminisme. Pertama, tidak ada perbedaan hak berdasarkan seks yakni menentang hierarkis diantara jenis kelamin. Kedua, suatu pengakuan dalam masyarakat telah menjadi konstruksi yang merugikan perempuan. Relasi laki-laki dan perempuan yang ada sekarang adalah hasil konstruksi sosial, bukan ditentukan oleh nature (kodrat ilahi). Ketiga, berkaitan dengan komponen kedua, adanya identitas dan peran gender feminisme menggugat perbedaan yang mencampuradukkan seks dan gender. Namun menurut Kamla Bhasin dan Nighat Said Khan, tidak mudah untuk merumuskan definisi feminisme oleh dan atau diterapkan dalam semua waktu dan disemua tempat. Karena feminisme tidak mendasarkan pada satu grand theory yang tunggal, tetapi lebih mendasarkan pada realitas kultural dan kenyataan sejarah yang konkrit dan tingkatan-tingkatan kesadaran, persepsi serta tindakan. Feminisme pada abad ke-17 dan feminisme pada 1980-an memiliki makna yang tidak sama. Ia juga dapat diungkapkan secara berbeda-beda di berbagai

masyarakat berdasarkan jenis kelamin dengan melontarkan isu bahwa perbedaan biologis laki-laki dan perempuan tidak dapat diterima sebagai dasar superioritas laki-laki diatas perempuan. Ketimpangan keduanya sesungguhnya lebih disebabkan oleh faktor budaya daripada alam. Aliran ini menolak anggapan tradisional dan para teolog bahwa status perempuan lebih rendah daripada laki-laki karena faktor biologis dan latar belakang sejarah. Aliran ini berkembang di Jerman dan Rusia dengan menampilkan beberpa tokohnya diantaranya seperti Clara Zetkin (1857-1933) dan Rosa Luxemburg (1871-1919). c) Feminis Radikal aliran ini menggugat semua term yang dianggap merugikan perempuan seperti term patriarki yang dinilai merugikan perempuan karena term ini jelas-jelas menguntungkan laki-laki. Lihat: Valerie Bryson, Feminist Political Theory: An Introduction, (London: Macmillan, 1992), 140. Caroline Ramazanoglu, Feminism and Contradiction (London: Routledge, 1989), 12. Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender; Perspektif Al-Qur’an, 35. 27Nunuk P. Muniarti, Getar Gender Perempuan dalam Perspektif Sosial, Politik, Ekonomi, Hukum dan HAM, (Jakarta: Yayasan Indonesia Tera IKAPI, 2004) h. 27.

36 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ bagian dunia atau dalam satu negeri, karena diungkapkan perempuan yang berlainan tingkat pendidikan, kesadaran dan sebagainya.28 Lanjut menurut Kamla dan Nighat, feminisme tetap harus didefinisikan secara luas dan jelas agar tidak lagi terjadi kesalahpahaman bahkan ketakutan terhadap feminisme. Dengan asumsi ini maka keduanya mengajukan definisi yang menurutnya memiliki pengertian yang lebih luas yaitu suatu kesadaran akan penindasan dan pemerasan terhadap perempuan dalam masyarakat ditempat kerja dan dalam keluarga serta tindakan sadar oleh perempuan maupun laki-laki untuk mengubah keadaan tersebut.29 Mansour Fakih mengatakan bahwa feminisme merupakan sebuah gerakan perjuangan untuk melakukan transformasi sistem dan struktur yang tidak adil menuju pada sistem yang lebih adil bagi perempuan maupun laki-laki. Sebenarnya, hakikat dari gerakan feminisme ini bukanlah semata-mata memperjuangkan kepentingan perempuan atau hanya untuk meminimalisir eksploitasi terhadap perempuan tetapi tujuan feminisme jangka panjang adalah untuk mewujudkan transformasi sosial kearah terciptanya sistem yang secara fundamental relatif baru dan lebih baik yang pernah ada sebelumnya.30 Feminisme digunakan sebagai konsep sosial yang digunakan untuk memahami keadaan yang menempatkan laki-laki lebih dominan dan superioritas dibanding perempuan. Sebagai ideologi, feminisme adalah penggabungan doktrin hak-hak yang sama bagi perempuan dan sebuah ideologi sebagai tujuan transformasi perubahan sosial untuk meciptakan suatu keadaan yang sama antara laki-laki dan perempuan.31 Jadi gerakan feminisme adalah suatu paham yang memperjuangkan kebebasan perempuan dari dominasi laki-laki. Namun secara leksikal pemaknaan feminisme tersebut menjadi keliru

28Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998), 40. 29Yunahar Ilyas, Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer, 41. 30Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999), 100. 31Aji Permada,dkk., Islam dan Negosiasi Relasi Gender (Medan: Perdana Publshing), 97.

37 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ karena hanya diartikan sebagai sebuah upaya pemberontakkan perempuan terhadap dominasi laki-laki untuk melawan pranata sosial dan kodrat. Dengan kata lain, feminisme tidak hanya sebatas sebuah gerakan akan tetapi lebih dari itu, feminisme adalah sebuah teori persamaan hak antara laki-laki dan perempuan dalam bidang sosial, ekonomi dan budaya.32 Gerakan feminis mulai muncul ketika masa Stamp Ampf ditahun 1760 kaum perempuan Amerika terlibat dalam penyebaran gejolak revolusioner tanpa pandang mereka dari desa atau kota. Pada tahun 1800 gerakan kesetaraan perempuan mulai berkembang ketika revolusi sosial dan politik terjadi diberbagai negara. Dalam bidang pendidikan dan ketenagakerjaan perempuan berangsur sampai tahun 1900. Pada tahun 1970 kampanye tentang hak-hak perempuan semakin giat dikumandangkan. Pada saat itu sudah banyak kaum perempuan yang memperoleh pendidikan diperguran tinggi sampai kejenjang pendidikan tertinggi. Mereka memiliki hak suara dan ikut menduduki jabatan-jabatan penting dipemerintahan dihampir semua negara yang mempunyai prosedur pemililhan umum. Kampanye gender sampai pula ke dunia Islam. Mesir sebagai tempat transformasi sebagai tempat transformasi eropa merupakan gerbang masuknya kampanye gender kedunia Islam.33

32Sugihastuti, Teori dan Apresisasi Sastra (Yogyakarta: Pustaka belajar, 2002), 140. 33Gerakan feminis di Barat penyebab utamanya adalah pandangan meremehkan bahkan membenci perempuan (misogoni), bermacam-macam anggapan buruk (stereotip) yang dilekatkan kepadanya, serta aneka citra negatif yang terwujud dalam tata nilai masyarakat, kebudayaan, hukum, dan politik. Feminisme sebagai filsafat dan gerakan dapat dilacak dalam sejarah kelahirannya dengan kelahiran Era Pencerahan di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet. Kata feminisme diperkenalkan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Feminisme mulai timbul pada abad ke-18 di Eropa, tepatnya di Perancis yang didorong oleh ideology pencerahan (Aufklarung) yang menekankan pentingnya peran rasio dalam mencapai kebenaran. Setelah terjadi revolusi sosial dan politik di Amerika Serikat, perhatian terhadap hak- hak kaum perempuan mulai mencuat. Gerakan ini pindah ke Amerika dan berkembang pesat disana sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of

38 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

Dalam dunia Islam sendiri, wacana emansipasi wanita terus digulirkan. Terdapat nama-nama reformis dalam dunia Muslim dinilai sebagai pelopor pembaharuan mengenai perempuan.34 Diantaranya sebagaimana menurut Andree Feillard35 ialah Rifa>‘at Ra>fi‘ al-T{ahta>wi< (1802-1873) seorang pemikir Mesir yang juga diidentifikasi seorang reformis pertama yang menulis mengenai perempuan dalam bukunya Takhli@s} al-Ibri@z Fi< Talkhi@s Ba>riz. Dalam bukunya tersebut, al-Taht}a>wi@ menyerukan agar kaum perempuan di dunia Islam secepatnya diberikan pendidikan sebagai prioritas utama dan diajak berkompromi

Women (1869). Tahun 1882 di Inggris ditetapkan undang-undang yang menetapkan perempuan berhak memiliki uang yang mereka peroleh. Feminisme sesungguhnya merupakan sebuah gerakan perempuan yang bergerak aktif dalam menuntut emansipasi (kesamaan hak) dengan pria dalam kehidupan sosial.Gerakan feminisme dicanangkan untuk pertama kalinya pada tahun 1785 oleh Lady Mary Wortley Mantagu dan Marquis de Condorcet di Middelburg, sebuah kota di Selatan Belanda. Pada kisaran abad 17-21 Masehi, gerakan ini telah melahirkan tokoh-tokoh feminis yang terkenal seperti Hillary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, Donna Haraway dan tokoh- tokoh feminis lainnya. Diskursus gender dalam agenda feminisme kontemporer lebih banyak difokuskan pada gerakan dalam memperjuangkan persamaan hak, partisipasi perempuan dalam dunia kerja, pendidikan maupun hak reproduksi. Dalam perjalanan sejarah feminisme, Islamlah yang paling banyak mendapatkan sorotan terkait dengan aturan yang ditetapkan Islam untuk kaum perempuan. Kadarusman, Agama relasi gender dean feminism, (Yogyakarta, Kreasi Wacana, 2005), 21. 34Sebagaimana dikutip dari Quraish Shihab, pada sekitar awal abad XX benih perubahan terjadi setelah sekian banyak para cendekiwan Mesir yang berkunjung dan belajar di Eropa, khususnya Prancis. Dapat dikatakan para cendekiawan Muslim ini membawa angin perubahan serta pandangan- pandangan baru yang belum dikenal oleh negara-negara Islam termasuk Mesir. Sejatinya, hal tersebut ditandai dengan perempuan yang menanggalkan pakaian tertutup akibat pergaulan mereka dengan perempuan barat khususnya Perancis yang datang ke Mesir dibawah pimpinan Napoleon (1798-1801), tetapi ajakan tersebut belum sistematis atas nama ajaran Islam. Quraish Shihab, Jilbab, Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2004), 113. 35Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender, Kata Pengantar: Andree Feillard. (Yogyakarta: LKis, 2001), xii.

39 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ dengan dunia kerja. Kedua, Qa>sim Ami>n, seorang Mesir keturunan Turki menulis dua buku mengenai pembebasan perempuan yaitu Tahri@r al-Mar’ah dan al-Mar’ah al-Jadi@dah. Qa>sim (1908) meyakini bahwa suatu bangsa tidak mungkin berkembang tanpa bantuan dari separuh populasinya yaitu perempuan. Diantara kampanye popular Qa>sim ialah pelepasan jilbab, meninggalkan poligami yang menurutnya dapat ditolerir hanya kalau sang istri mandul lalu aktivitas kerja perempuan dan talak. Kesemuanya dianggap mengandung pandangan baru.36 Reformis ketiga, T{a>hir al-H{addd harus mendapatkan hak yang sama atas pendidikan, tidak perlu berjilbab, perempuan mestinya boleh bekerja diluar rumah. Selain itu, Fatima Mernissi mengungkapkan bahwa ketidakpatuhan perempuan dianggap begitu menakutkan didunia muslim karena implikasinya sangat besar. Mereka mengacu pada bahaya paling ditakuti dalam Islam sebagai suatu psikologi kelompok individualisme. Masyarakat muslim menolak tuntutan perempuan untuk mengubah kedudukan mereka. Mayoritas muslim menindas kecenderungan feminis yang sesungguhnya merupakan sesuatu yang nyata diseluruh dunia muslim dengan mengutuknya sebgai pengaruh barat. Ini bukan semata-mata karena masyarakat tersebar takut pada perempuan melainkan karena takut pada individualisme. Pemberontakkan kaum dalam situasi sekarang yaitu keterkaitan integrasi dari tiga fenomena: Tuntutan terhadap perubahan, terpecahnya masyarakat tradisional dan serangan individualisme Barat yang kapitalis.37 Menurut Riffat Hassan, diskriminasi dan segala macam bentuk ketidakadilan gender yang menimpa kaum perempuan dalam

36Rifa>'ah al-T{aht{a>wi< dan Qa>sim Amin< dianggap sebagai ‚Bapak reformasi perempuan muslim di Timur Tengah, menentang norma sosial melalui bukunya yang berjudul ‚The Liberation of Women" Lihat: Philip Mattar, ed. ‚In Enclyclopedia of the Modern Middle East and North Africa‛ Vol. 2. 2nd ed. (New York: Macmillan Reference USA, 2004). 890-895. 37Fatima Mernissi dan Riffat Hasan, Equal Before Allah, terj. Tim LSSPA (Yogyakarta: LSSPA, 2000), 188

40 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ lingkungan umat Islam berakar dari pemahaman para fuqaha yang keliru dan bias gender terhadap sumber utama hukum Islam yaitu kitab suci Al-Qur’an.38 Menanggap hal tersebut, Asghar mengritik kaum muslim yang cenderung mensakralkan syariah dengan menganggap bahwa syariah bersifat Ila>hiyah, dan karenanya tidak dapat diubah. Padahal pada saat ini, ada hal-hal yang tidak sesuai dengan kondisi zaman, misalnya adanya perbudakan, kesaksian perempuan, poligami, dan perceraian. Karenanya, menurut Asghar, teori hukum Ila>hiyah ini tidak lagi dapat dipertahankan.39 Tidak hanya terbatas di negara-negara Timur Tengah tetapi wacana bias gender juga terus digaungkan para pemikir muslim hampir diseluruh belahan dunia. Diantaranya juga tokoh-tokoh feminis dari belahan dunia lainnya seperti Nawa>l Sa’da>wi<, Latit dan Inji< Aflatun dari Mesir, Ali Ashgar Engineer dari India, Riffat Hassan, Amina Wadud dari Amerika Serikat. Assia Djebar dari Al-Jazair, Furugh Farrukhzad dari Iran, Huda Namani, Ghadah Samman dan Hanan Al-Shaykh dari Lebanon, Fawziyah Abu> K}ha>lid dari Saudi Arabia Wardah Ha>fiz, Mansour Faqih dan Nasarudin Umar dari Indonesia.40 Sejarah juga mencatat bahwa gerakan feminisme dalam lingkungan umat Islam juga muncul dalam bentuk pendirian organisasi-organisasi feminis seperti Egyptian Feminist Union (EFU)

38Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Equal Before Allah, 39. 39Ashgar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994, 9. 40Selain itu, kesadaran ketidakadilan gender digaungkan dalam berbentuk lainnya seperti karya tulis bentuk puisi, cerita pendek, novel, artikel maupun kumpulan surat. Sebut saja diantara mereka yang terkenal ialah Aisyah Taimuriyah, Huda Syarawi, Nabawiyah Musa dan Hifni Nashif dari Mesir, Zainab Fawwaz dari Lebanon, Rokeyat Sakhwat Hossain dan Nazar Sajjad Haydar dari India, Raden Ajeng Kartini dari Jawa, Emilie Ruete dari Zinzibar, Taj al-Salthanah dari Iran dan Fatime Aliye dari Turki. Lebih lanjut baca: Margot Badron, Feminism dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995, cet. 2, 19.

41 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ di Mesir dipimpin oleh Huda Sha‘ra>wi@ (1923) yang memperjuangkan hak-hak pendidikan, profesi dan politik bagi perempuan, reformasi hukum keluarga dan regulasi prostitusi, The Turkish Women’s Federation di Turki dibawah pimpinan Latfie Bekir (1924), The Association of Revolutionary Women di India oleh Zandukht Shirazi (1927) dan organisasi-organisasi lainnya.41

3. Gender Perspektif Historis Berbincang mengenai kontruksi gender, penting untuk melihat potret historis bagaimana peradaban klasik juga agama-agama pra- Islam mempersepsikan perempuan. Hal tersebut perlu ditelusuri, karena dalam wacana kesejarahan\ selalu dipertanyakan antara kesinambungan dan perubahan. Fakta historis mencatat bahwa banyak dari bagian sejarah masa lalu yang terus berlanjut bahkan dilembagakan ulang. Bahkan terdapat perubahan, sisa-sisa dari tradisi, doktrin dan peradaban lama yang tetap bertahan. Hal yang sama juga terdapat pada Islam terkait dengan sikap dan perlakuan Islam terhadap perempuan.42 Islam berperan besar dalam mengangkat harakat dan martabat perempuan, Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, secara normatif menegaskan konsep kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan.43 Namun dalam kebanyakan literatur ditemukan bahwa dalam masyarakat pra-Islam kaum perempuan diperlakukan

41Margot Badron, Feminism dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995, cet. 2, 20. 42Noryamin Aini, ‚Gender dalam Diskursus KeIslaman: Relasi Gender dalam Pandangan Fiqh‛, dalam Jurnal Refleksi, Vol. III, No. 2, (2001), 3. 43Menurut Ashgar Ali Engineer, konsep kesetaraan mengisyarakatkan 2 hal. Pertama, dalam pengertian umum,berarti penerimaan martabat dua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang sosial, ekonomi dan politik, keduaya harus memiliki hak untuk memilih atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan yang lain. Ashgar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994, 57.

42 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ selayaknya barang dagangan yang hampir tidak mempunyai hak, maka ajaran Islam secara drastis memperlakukan perempuan sebagai manusia yang mempunyai hak-hak tertentu sebagaimana layaknya kaum laki-laki. Pada masa Yunani Kuno, martabat perempuan begitu amat rendah. Perempuan dalam kehidupan bangsa Yunani lebih mirip dengan barang dagangan yang dapat diperjualbelikan. Perempuan tidak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan atau sekedar upaya mencerdaskan diri juga tidak memiliki andil sama sekali dalam berbagai bidang kehidupan publik.44 Martabat perempuan hanya dipandang sebagai alat penerus generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual lelaki, karena itu perzinaan sangat merjalela. Hal ini tercermin sebagaimana pendapat Socrates (470-399 SM) bahwa dua sahabat setia haruslah meminjamkan istrinya satu sama lain, lalu juga Demosthenes (384-322 SM) berpendapat bahwa istri hanya berfungsi melahirkan anak, lebih lanjut Aristotales (384-322 SM) menganggap bahwa perempuan sederajat dengan hamba sahaya, sedangkan Plato (427-347 SM) menilai bahwa kehormatan lelaki pada kemampuannya memerintah sedangkan perempuan menurutnya adalah kemampuannya melakukan pekerjaan-perkerjaan yang sederhana (hina) sambil terdiam tanpa bicara.45 Tak jauh berbeda dengan Yunani Kuno, bangsa Romawi menganggap perempuan hanyalah sebagai alat yang dipergunakan setan untuk menggoda dan merusak hati manusia. Undang-undang Romawi tidak memberikan sebagian besar hak manusia kepada perempuan. Laki-laki memiliki kekuasaan mutlak terhadap kaum perempuan dan boleh menjualnya sebagai budak belian.46 Keadaan tersebut berlangsung hingga abad ke-6 Masehi. Segala hasil usaha perempuan menjadi hak milik laki-laki. Pada zaman Kekaisaran Constantine terjadi sedikit perubahan yaitu dengan diundangkannya

44Mus}ta}fa> Al-Siba>‘i@, Al-Mar’ah Bai@na Fiqh wa al-Qa>nu>n, (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 13. 45Muhammad Quraish Shihab, Perempuan (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 102. 46‘Ali< ‘Abd al-Wa>hid Wa>fi@, Al-Musa>wa> Fi< al-Isla>m (Kairo: Dar al- Ma’arif, 1983), 11.

43 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ hak kepemilikan hak kepemilikan terbatas bagi perempuan dengan catatan bahwa setiap transaksi harus disetujui oleh keluarga ayah atau suami.47 Walaupun terdapat sedikit perubahan, pada masa Romawi ini belum menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Bahkan cenderung terpojokkan. Sama halnya dengan Yunani dan Romawi kuno, peradaban Cina menganggap perempuan layaknya sumber air racun yang mengalir merusak kebahagian. Laki-laki berhak mengubur istrinya yang hidup, dan apabila istrinya mati mereka berhak mendapat warisan dari istri yang ditinggal. Di India, perempuan tidak berhak hidup jika ditinggal oleh suaminya. Akan tetapi harus dibakar bersama suaminya yang mati. Dalam masyarakat Arab pra-Islam sudah menjadi tradisi bahwa kaum perempuan diperlakukan secara tidak berprikemanusiaan, bagi mereka perempuan adalah sumber aib, fitnah dan malapetaka komunal. Akibatnya mereka dihinakan, dilecehkan bahkan dibunuh tanpa undang-undang yang melindunginya.48 Kalaupun dibiarkan hidup dibiarkan hiudp, bayi-bayi perempuan ini ditukarkan layaknya sapi dan kuda. Kaum wanita diperlakukan sebagai objek tidak memiliki hak dan sering disiksa. Bila suami mereka memperlakukan dengan tidak benar, tidak ada sesatu apapun yang bisa mereka lakukan. Jika mereka berasal dari keluarga yang sangat kuat, mereka mungkin beruntung dan mendapatkan sedikit keuntungan dari keluarga mereka. Adat dan tradisi tersebut telah tersebar luas ditanah arab pra-Islam. Bahkan Al- Qur’an menyebutkan bahwa bangsa arab pra-Islam telah terbiasa menguburkan anak perempuan mereka hidup-hidup.49 Dalam tradisi arab pra-Islam adalah hal lumrah jika bayi perempuan yang tidak berdosa dan sangat butuh kasih sayang dikubur hidup-hidup sebagai refleksi kegusaran khususnya Bani< Asa}d dan Bani< Tami

47 Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), 296. 48Abu> Sari Muhamad ‘Abd al-Ha>di, Wa Ahunna Bi al-Ma’ru>f (Kairo: Maktabah al-Turath al-Islami, 1988), 4. 49Qs. al-Nah}l (16): 58 dan Qs. al-Takwi>r (81): 9. 50Hasan Ibra>hirimi< Wa al-Dini al-Tha>qa>fi< wa al- Ijtiin Muhammad Yu>su>f mengatakan bahwa seorang perempuan pada masa

44 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

Pada dasarnya pandangan buruk terhadap perempuan tidak hanya muncul dalam wacana sosial budaya sebagaimana diatas, tetapi lebih jauh lagi merembes kedalam wacana ajaran dan norma keagamaan. Dalam konteks agama Samawi, sejarah tentang kehidupan dan peran wanita telah tertuang dalam kitab perjanjian lama yang diyakini sebagai kitab suci bagi kaum Yahudi. Kitab perjanjian lama menempatkan wanita sebagai sumber utama dari kesalahan. Hal itu terkisahkan dalam bentuk cerita atau kisah-kisah yang diyakini kebenarannya. Sebagaimana kisah Hawa51 yang menjadi penyebab dikeluarkannya Adam dari surga karena telah merayu adam untuk ikutserta memakan buah khuldi setelah sebelumnya dia terpesona oleh rayuan iblis.52 Sementara kaum Nasrani dengan perjanjian baru yang diyakini sebagai kitab suci Nasrani meyakini akan kebenaran posisi wanita sebagaimana tertera dalam perjanjian lama. Mereka meyakini bahwa wanita merupakan penyebab utama menjauhnya laki-laki dari tuhan. Mereka meyakini bahwa satu-satunya jalan menuju tuhan yaitu dengan menjauhkan diri dari wanita. Mereka meyakini bahwa Isa As yang

jahiliyah dapat diwariskan sebagaimana harta warisan. Apabila suami meninggal dunia, maka anak yang bukan dari istri yang ditinggalkan (anak tiri) dapat mewarisi ibu tiri menjadi istri, bahkan boleh juga keluarga dekatnya yang mewarisi tersebut sebagai istri tanpa mahar (maskawin) atau menikahinya dengan orang lain, tapi maharnya diambil oleh keluarga dekat tersebut. Apabila dia ingin membiarkannya, maka dia tidak mempedulikan dengan status tidak janda dan tidak menikah sampai dia menebus dirinya sendiri dari harta warisan suaminya yang meninggal atau dibiarkannya sampai meninggal, lalu dia mewarisi hartanya. Husa>in Muhammad Yu>su>f, Ahda>f al- Usrah al-Isla>m (Kairo: Da>r al-I’tis}am, 1977), 24. 51Menurut ajaran kaum Yahudi bahwa wanita adalah laknat atau kutukan. Wanita menurut ajaran Yahudi penyebab diturunkan Adam dari surga ke bumi. Pada kondisi tertentu wanita diperjualbelikan oleh ayahnya, dan ayah mempunyai hak preogratif dalam menentukkan perkawinan dengan laki-laki dikehendaki oleh ayahnya. 52As‘ad al-Sahamra>ni@, al-Mar’ah fi@ al-Ta>ri@kh wa al-Shari@‘ah (Beirut: Dar al-Nafais, 1989), 43.

45 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

terbunuh dalam keadaan tersalib diutus kebumi untuk menembus dosa- dosa adam yang disebabkan Hawa.53 Islam datang menentang ajaran ajaran yang diyakini oleh kaum Yahudi dan Nasrani yang menghegemoni kaum wanita. Islam menjawab bahwa peristiwa keluarnya Adam dan \Hawa dari surga adalah atas tipu daya yang dilakukan oleh iblis semata tanpa mencari justifikasi kepada Adam dan Hawa. Hal itu dapat dilihat dari bahasa Al-Qur’an yang sama sekali tidak menyebut Adam atau Hawa, melainkan dengan menggunakan gaya bahasa umum (baca: d{omi).54 Sebagaimana dipaparkan diatas, harus diakui bahwa Islam hadir menyejarah dalam konteks masyarakat yang sangat patriakis dan tidak berpihak pada perempuan. Islam memang secara literal tidak merombak secara total-formal isu-isu misoginis dalam relasi gender. Namun semangat nilai-nilai Islam memartabatkan perempuan sangat tampak jelas. Dalam hal ini Islam memperkenalkan niilai-nilai dan paradigma baru dalam menyikapi dan memperlakukan perempuan bahkan cara pandang ini tergolong sangat radikal pada zamannya untuk menentang hegemoni tradisi dan ideologi pra-Arab Islam yang melecehkan perempuan.

B. Refleksi Hukum Islam Atas Wacana Gender Pada dasarnya, Islam memberikan perlindungan kepada perempuan dengan cara memberikan hak-haknya sebagaimana diberikannya kepada laki-laki dan menghapus diskriminasi antara laki- laki dan perempuan dalam memenuhi hak-haknya karena derajat perempuan sama dengan hak laki-laki disisi Allah SWT kecuali hal-hal yang bersifat fungsi utama yaitu sesuai dengan kodrat masing- masing.55 Islam telah berperan dalam mengangkat harkat dan martabat perempuan, sedangkan dalam masyarakat pra-Islam sebagaimana telah

53‘Abd al-Muta‘a>li Muhamad Al-Jabari@, al-Mar’ah fi al-Tas}awwur al- Islami@ (Kairo: Maktabah Wahbah, 1994), 159. 54As’ad al-Sahamra>ni@, al-Mar’ah fi@ al-Ta>ri@kh wa al-Shari@‘ah, 103. 55Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemprer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 139.

46 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ dipaparkan sebelumnya bahwa kaum perempuan pra-Islam diperlakukan sebagai ‘barang’ yang hampir tidak pernah mempunyai hak. Walaupun istilah gender bukan dari istilah dari Islam, namun masalah gender telah menjadi masalah Islam juga. Alasannya masalah gender masih banyak dijumpai dalam pemahaman Islam. Bahkan Islam masih sering dituding sebagai salah satu institusi yang melenggangkan ketimpangan dan ketidakadilan gender. Nasaruddin Umar berusaha memberi warna baru melalui pendekatan analisis etimologi, hermeneutika dan menggunakan sejarah untuk meneliti banyak kata-kata dalam Al-Qur’an. Menurutnya, didapati dalam Al-Qur’an tidak ditemukan kata yang persis sepadan dengan istilah gender. Akan tetapi, jika yang dimaksud gender disini adalah istilah yang dipergunakan untuk menunjukkan perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan, maka terdapat beberapa istilah dan ayat-ayat di dalam Al-Qur’an yang dapat dihubungkan dengan istilah tersebut. Nasaruddin Umar melihat bahwa setiap kata dalam Al- Qur’an tidak hanya mempunyai makna literal, Ia mencoba menggunakan pendekatan hermeneutika, dan semantik dalam mengulas ayat-ayat yang berbicara tentang status dan peran laki-laki dan perempuan. Didapati kata kunci untuk mengetahuinya ialah istilah yang sering digunakan untuk menyebut laki-laki dan perempuan, seperti kata al-rija>l dan al-nisa,< al-zakr dan al-untha>, al-mar’/al-imru dan al-mar’ah, al-zawj (suami), al-zawjah (istri), al-ab (Ayah), al-umm (Ibu), kata sifat yag disandarkan pada bentuk muzakkar dan mu’anath, atau kata ganti (d}ami>r).56 Sebagai contoh oleh Nasaruddin Umar mengulas pada kata al- rija>l dan an-nisa, al-zakr dan al-untha>. Seperti istilah yang umum untuk laki-laki adalah al-rajul yang terulang sebanyak 57 kali, al-zakr yang terulang sebanyak 15 kali, dan untuk perempuan Al-Qur’an menggunakan beberapa istilah seperti imra’ah yang terulang sebanyak 26 kali dalam berbagi bentuk, yang masing-masing istilah tersebut mempunyai penekanan tersendiri.57

56Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al- Qur’an, 173-201 57Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al- Qur’an, 268-290

47 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

1. Prinsip Kesetaraan Gender dalam Epistimologi Hukum Islam Al-Qur’an mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan tetapi perbedaan tersebut bukanlah pembedaan yang menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak lainnya. Perbedaan tersebut dimaksudkan untuk mendukung misi pokok Al-Qur’an yaitu terciptanya hubungan harmonis yang didasari rasa kasih sayang dilingkungan keluarga. Hal tersebut merupakan cikal bakal terwujud komunitas ideal dalam suatu negeri yang damai penuh ampunan tuhan. Ini semua dapat terwujud manakala ada pola keseimbangan dan keserasian antara keduanya (laki-laki dan perempuan).58 Kalaupun ada perbedaan adalah akibat fungsi dan tugas-tugas utama yang dibebankan kepada masing-masing jenis kelamin sehingga perbedaan yang ada tidak mengakibatkan yang satu merasa memiliki kelebihan atas yang lain, melainkan mereka saling melengkapi dan saling bantu membantu.59 Al-Qur’an sebagai rujukan prinsip masyarakat Islam, secara normatif menegaskan konsep kesetaraan status antara laki-laki dan perempuan.60 Juga memperkenalkan konsep relasi gender yang mengacu pada ayat-ayat Al-Qur’an secara substantif sekaligus menjadi tujuan umum (maqa>s}id shari<‘ah\). Dalam hubungan antar jenis kelamin atau prinsip gender dalam Islam ditegaskan dalam Qs. Al-Ah}za>b (33): 35:

58Badriyah Fayumi dkk, Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam, (Jakarta: Tim pemberdayaan Perempuan Bidang Agama RI, 2001), 73. 59Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 83. 60Bagi Ashgar Ali Engineer, konsep kesetaraan mengisyrakatkan 2 hal. Pertama, dalam pengertian kesetaraan secara umum berarti penerimaan martabat kedua jenis kelamin dalam ukuran yang setara. Kedua, orang harus mengetahui bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak-hak yang setara dalam bidang ekonomi sosial dan politik, dan keduanya harus memiliki atau mengatur harta miliknya tanpa campur tangan orang lain.keduanya harus setara dalam tanggung jawab sebagaimana dalam hal kebebasan. Lihat: Ali Ashgar Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, 57.

48 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ َّ ْ م ْ َ َ ْ م ْ َ َ ْ م ْ َ َ ْ م ْ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ َّ َ إن الُسِل ِمين والسِلما ِت والؤ ِم ِنين والؤ ِمنا ِت والقاِه ِتين والقاِهتا ِت والصا ِد ِقين َ َّ َ َ َّ َ َ َّ َ َ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ْ م َ َ َ والصا ِدقا ِت والصاِب ِرين والصاِبرا ِت والخا ِش ِعين والخا ِشعا ِت والتص ِد ِقين َ ْ م َ َ َ َ َّ َ َ َّ َ َ ْ َ َ م م َ م ْ َ ْ َ َ َ َّ َ والتص ِدقا ِت والصاِئ ِمين والصاِئُما ِت والحا ِف ِظين فروجهم والحا ِفظا ِت والذا ِك ِرين َّ َ َ َ َّ َ َ َّ َّ م َ َ ْ ً َ َ ْ َ الله ك ِثي ًرا والذا ِك َرا ِت أعد الله ل مه ْم مغ ِف َرة وأج ًرا ع ِظي ًما ‚Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar‛. Ayat diatas menunjukkan bahwa status laki-laki dan perempuan adalah sama dihadapan Allah sebagai hamba yang dibebankan takli>f didunia ini. Selain itu pula, sebagaimana studi yang dilakukan Nasaruddin Umar terhadap Al-Qur’an menunjukkan adanya kesetaraan gender. Ia menemukan lima variabel yang mendukung pendapatnya, yakni: 1) Laki-laki dan perempuan sama-sama sebagai hamba. Hal ini bisa dilihat misalnya dalam Qs. al-Hujurāt (49): 13 dan al-Nah}l (16): 97; 2) Laki-laki dan perempuan sebagai khalifah di bumi. Hal ini terlihat dalam Qs. al-Baq}arah (2): 30 dan al-An‘ām (6): 165; 3) Laki- laki dan perempuan menerima perjanjian primordial seperti terlihat dalam Qs. al-’A‘rāf (7): 172; 4) Adam dan Hawa terlibat secara aktif dalam drama kosmis. Kejelasan ini terlihat dalam Qs. al-Baqarah (2): 35 dan 187, Qs. al-’A‘rāf (7): 20, 22, dan 23; dan 5) Laki-laki dan perempuan berpotensi meraih prestasi seperti yang terlihat dalam Qs. Āli Imrān (3): 195, Qs. al-Nisā(4): 124, Qs. al-Nahl (16): 97, dan Qs. al-Mu’min (40): 40.61

61Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Al- Qur’an, 248-269. Yūsuf Al-Qarad}āwi> menyimpulkan dari ayat-ayat al-Quran bahwa wanita memiliki kedudukan, hidup, berakal, dan berpikir seperti pria. Wanita diberi beban (taklīf) seperti pria. Segala kebaikannya akan dibalas, baik di dunia maupun di akhirat, seperti halnya pria. Seruan al-Quran tertuju kepada pria dan wanita. Meskipun demikian secara biologis (kodrati) wanita

49 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

Selanjutnya prinsip kesetaraan gender dalam tinjauan hadis. Sebagai sumber kedua hukum Islam, seluruh ajaran hadis nabi SAW juga ditujukan untuk semua umat Islam baik laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana wasiat nabi terhadap kaum muslimin secara umum untuk berbuat baik pada perempuan di akhir kehidupannya, dan hal itu saat pada haji Wada>’62. Lalu perintah nabi untuk berlemah lembut pada perempuan karena hal tersbut merupapkan bagian dari iman pada Allah dan hari kiamat.63 Dan lain sebagainya hadis berkaitan perintah lemah lembut kepada perempuan. Beberapa ayat dan hadis diatas menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai hak dan kewajiban yang sama dalam menjalankan peran khalifah dan hamba Allah. Adapun mengenai peran

dan pria tidak semua sama, ada perbedaan di antara keduanya dalam hal-hal tertentu. Lihat Yūsuf Al-Qarad}āwi>, Khuthāb wa Muhādarāt al-Qarādāwi> ‘an al-Mar’at, Alih bahasa oleh Tiar Anwar Bachtiar dengan judul ‚Qarad}a>wi> Bicara Soal Wanita‛, Bandung: Arasy, 2003, 90-92. Lihat juga Muhammad Qutub, Islam the Misunderstood Religion, Alih bahasa oleh Fungky Kusnaedi Timur dengan judul ‚Islam Agama Pembebas‛, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), 208-210. َ َ َ ْ َ ْ م ْ َ َ ْ ً 62 أال واستىصىا ِبال ِنسـا ِء خيرا Artinya: Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita. Lihat : Al-Tirmimi’ Al-Tirmi. No. 1163, Muslim dalam S}ah}i>h Muslim, No. 1091. Bukh{a>ri<, S}ah}i>h Bukha>ri< No. 1091. 63Hadis yang diriwayatkan Abu> Hurayrah: َ ْ َ َ م ْ م َ ْ َ ْ ْ َ َ م ْ ْ َ َ م َ ْ َ ْ م ْ َ َ ْ ً َ َّ م َّ م ْ َ ْ مـــن نـــان نـــؤ ِمن ِبـــامِ واليـــىِي ْ ِخـــ ِر فـــو نـــؤُِْ جـــاَِّء واستىصـــىا ِبال ِنســـا ِء خيـــراء فـــِئ ن خُِلقـــن ِمـــن َ َ َّ َ ْ َ َ َ ْ َ َ ْ َ م َ ْ َ َ ْ َ م ْ م م َ َ ْ َ م َ ْ َ َ ْ َ م َ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َ ْ َ ْ م ْ ِضــل ،ء وِإن أعــىَ شــِ ِضــَ ال ِأــل ِ، أعــوَء فــِئن ُ ــ ُ ِقيمــه كســر هء وِإن ركتــه لــم نــََ أعــىَء فاستىصــىا َ َ ْ ً ِبال ِنسا ِء خيرا Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita. Lihat: Muslim dalam S}ah}i>h Muslim, No. 60. Bukh{a>ri< dalam S}ah}i>h Bukha>ri< No. 5185.

50 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ sosial perempuan dalam masyarakat tidak ditemukan ayat atau hadis yang melarang kaum perempuan yang aktif didalamnya.64 Menurut Must{afa> al-Siba>‘I< seorang ahli hukum Islam mempunyai visi dan misi Islam dalam mengangkat martabat perempuan. Menurutnya, prinsip dasar dalam dasar ajaran Islam 65 terkait masalah gender harus dicermamti dengan sinergis. 1. Islam membawa ajaran korektif dan emansipatoris terhadap eksistensi diri perempuan dalam kehidupan pribadi dan publik. Disini Islam meralat tepatnya meluruskan banyak penyimpangan konsep teologis terdahulu yang menuduh perempuan sebagai akar dosa primodal pengusiran manusia dari surga. 2. Islam mendudukan perempuan setara dengan laki-laki dalam masalah substansi dan eksistensi kemanusiaan. 3. Islam sangat menghormati kaum perempuan sebagai anak, istri, ibu, saudara, kerabat, tetangga dan juga sahabat. Sebagai kelanjutannya Islam mengharamkan tradisi yang merestui pembunuhan bayi perempuan. 4. Islam memberikan hak-hak kodrati yng bersifat personal, sosial politik pada perempuan, mendudukan kewajiban yang setara bagi kaum laki-laki dan perempuan. 5. Islam mengatur norma relasi martial dengan cara meletakkan tanggungjawab kewajiban laki-laki dan perempuan, serta hak masing-masing individual secara adil dan proposional. 6. Islam menentang perkawinan tanpa batas jumlah istri. Dalam kasus ini, Islam membatasi jumlah istri dalam kasus poligami dengan syarat dan ketentuan yang berlaku dan dibenarkan syariat. Poligami adalah pintu darurat yang dikecualikan, hanya sebatas untuk misi kemanusian kepentingan perempuan. 7. Islam menempatkan perempuan yang belum dewasa dibawah pengawasan walinya. Namun inti perwalian dan pengawasan tersebut bukan dalam arti penguasaan dan pemaksaan. Tetapi ia sebagai wujud tanggungjawab moral sosial orangtua, penjagaan

64Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam: Agenda Sosio-Kultural dan Politik Perempuan, (Jakarta: El-\Kahfi, 2002), ixx. 65Mus}ta}fa> Al-Siba>‘i@, Al-Mar’ah Bai@na Fiqh wa al-Qa>nu>n, (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 25-29.

51 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

pengasuhan dan kepedulian wali untuk pengembangan potensi diri dan soial-ekonomi untuk kebaikan anak-anak.

2. Mas}lah}ah dalam Metodologi Hukum Islam Para ulama sepakat bahwa Al-Qur’an dan hadis menjadi sumber utama hukum Islam. Berkaitan dengan prinsip kesetaraan gender tinjauan kedua sumber utama hukum Islam sebagaimana dipaparkan diatas, keduanya memiliki visi dalam menjunjung prinsip universal dari pesan moral yang dapat dijadikan prinsip dalam berbagai aspek kehidupan. Namun dalam realitanya, dengan perkembangan Islam yang luas dan melampaui kurun waktu tertentu, konteks permasalahan senantiasa tumbuh dan tak pernah terhenti, sedangkan nas}s} shara‘ sangat terbatas. Fiqh sebagai hasil ijtiha>d seorang ulama atau mujtahid dalam istinba>t} hukum dari sumber baik Al-Qur’an maupun hadis menghasilkan hukum yang berbeda dari satu masa ke masa yang berbeda, meskipun mengambil dari sumber teks ayat maupun matan hadis yang sama. Tak terkecuali berkaitan dengan konteks wacana gender yang selalu berkembang dan selalu menjadi perdebatan. Adanya relevansi antara teks dan konteks tersebut membawa implikasi bahwa norma hukum Islam telah mengalami objektivikasi melalui aplikasi mas}lah}ah ke dalam struktur sosial. Pada dasarnya syariat Islam merupakan syariat mas}lah}ah. Norma hukum yang dikandung nas}s} pasti dapat mewujudkan mas}lah}ah, sehingga tidak ada mas}lah}ah di luar petunjuk al-nass, dan karena itu tidak ada pertentangan antara mas}lah}ah\ dan nas}s}. Karena itulah, shara‘ memberikan kepada manusia berpikir dengan jalan hukum yang dapat membantu memcahkan solusi dalam permaslahan. Salah satu metode yang dikembangkan ulama usu>l al-fiqh dalam istinba>t hukum dari nas}s}, yaitu mas}lah}ah. Secara etimologis, mas}lah}ah identik dengan al-khayr (kebajikan), al-naf‘ (kebermanfaatan), al-husn (kebaikan).66 Sedangkan mas}lah}ah secara terminologis shar‘i>, yaitu memelihara dan

66Jama>l al-Di>n Muhammad ibn Mukarram ibn Manzu>r al-Ifri>qi<, Lisa>n al-‘Arab, Vol. II, (Riya>d}: Da>r ‘Ala>m al-Kutub, 2003), 348.

52 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ mewujudkan tujuan shara‘ yang berupa memelihara agama, jiwa, akal budi, keturunan, kehormatan, dan harta kekayaan. Setiap sesuatu yang dapat menjamin dan melindungi eksistensi keenam hal tersebut dikualifikasi sebagai mas}lah}ah. Sebaliknya, setiap sesuatu yang dapat mengganggu dan merusak keenam hal tersebut dinilai sebagai mafsadah, maka mencegah dan menghilangkan sesuatu yang demikian dikualifikasi sebagai mas}lah}ah. Hal seupa juga didefiniskan ‘Izz al-Di>n Ibn Abd al-Sala>m, bahwa mas}lah}ah merupakan upaya untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak keusakan.67 Dalam arti shar‘i>, mas}lah}ah adalah sebab yang membawa kepada tujuan syariat, baik yang menyangkut ibadah maupun muamalah.68 Diakui bahwa mas}lah}ah merupakan tujuan yang dikehendaki oleh al-Sha>ri>‘ dalam hukum-hukum yang ditetapkan-Nya melalui nus}u>s} berupa Al-Qur’an dan hadis. Esensi mas}lah}ah itu adalah segala sesuatu yang berkontribusi bagi perwujudan dan pemeliharaan al-d}aru>riyya>t, al-ha>jiyya>t, dan al- tah}si>niyya>t, sehingga mas}lah}ah bertingkat-tingkat bobotnya. Pada dasarnya, mas}lah}ah yang tidak ditegaskan oleh nas}s} terbuka kemungkinan untuk berubah dan berkembang, dan ini merupakan sesuatu yang rasional dan riil.69 Sebagaimana diungkapkan al-Ghaza

  • , berdasarkan tingkatan prioritasnya, kemaslahatan dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu: Pertama, al-mas}lahah al-d}aru>riyah yaitu kemaslahatan pokok (primer) yang harus terpenuhi. Jika kemaslahatan pada tingkatan pertama ini tidak terpenuhi, maka akan menimbulkan kerusakan besar

    67‘Izz al-Di>n Ibn Abd al-Sala>m, Qawa>‘id al-Ah}ka>m Fi>> Mas}a>lih al- Ana>m (Kairo: Maktabah al-Kuliyat Al-Azhariyah, 1994), Vol. ke-1, 11. 68Abu> Ha>mid Muhammad al-Ghaza>li<, Al-Mus}t}asfa> min ‘Ilm al-Usu>l, Tahqi>q wa ta‘lî>q Muhammad Sulaima>n al-Ashq}ar, Vol. I, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1997), 416 - 417. Lihat juga Najm al-Di>n al-Tu>fi<, Sharh al-Arba‘i>n al-Nawawiyyah, 19, lampiran dalam Mustafâ Zaid, al-Mas}lah}ah Fi> al-Tashri>‘ al-Isla>mii> wa Najm al-Dîn al-Tu>fi>, (Beirut.: Da>r al-Fikr al-‘Arabi>, 1964 M), 211. 69Sa‘i>d Ramad}a>n al-Bu>t}i. D}awa>bit al-Mas}lahah Fi> al-Shari>‘ah al- Isla>miyyah, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah wa al-Da>r al-Muttahidah, 2000\), 69.

    53 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ bagi kehidupan manusia. Yang termasuk dalam kategori tingkatan ini, yakni terpeliharanya atau terjaganya lima tujuan hukum Islam (maqa>s}id al-shari>‘ah al-khamsah), yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta.70 Dalam perspektif HAM (Hak Asasi Manusia), memelihara kehormatan diri dapat dikategorikan sebagai kemaslahatan primer (al-mas}lah}ah al-d}aru>riyah) dalam rangka menghargai hak kebebasan manusia selama tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain, seperti hak untuk hidup, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan dan hak turut serta dalam pemerintahan. Selanjutnya tingkatan yang kedua, yakni al-mas}lah}ah al-ha>jiyah yaitu kemaslahatan sekunder. Jika kemaslahatan pada tingkatan kedua ini tidak terpenuhi, maka dapat menimbulkan kesukaran atas terwujudnya tingkatan kemaslahatan pertama atau primer (al-mas}lah}ah al-daruriyah). Ketiga, al-mas}lah}ah al-tahsi>niyah yaitu kemaslahatan yang bersifat tersier (pelengkap). Ketika kemaslahatan pada tingkatan ini terpenuhi, membuat kenyanmanan bagi terwujudnya kemaslahatan primer (d}aru>riyah) dan sekunder (h}ajiyah).71 Pada dasarnya dari ketiga kategori diatas, pemeliharaan prinsip dasar (al-usu>l al-sittah) yang berada pada level al-d}aru>riyyah merupakan level terkuat dan tertinggi dari al-mas}lah}ah. Keenam tujuan/prinsip dasar mencakup: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal pikiran, memelihara keturunan, memelihara kehormatan, dan memelihara harta kekayaan.72

    70Abu> Hâmid Muhammad al-Ghaz>li<, Al-Mus}t}asfa> min ‘Ilm al-Usu>l; Tahqi>q wa Ta‘lî>q Muhammad Sulaimân al-Ashqar, Vol. I, (Beirut: Mu’assasah al-Risa>lah, 1997), 416. 71Asmawi, ‚Teori Maslahat dan Relevansiya dengan Perundang- undangan Pidana Khusus di Indonesia‛, 43. Disertasi Sekolah Pascarasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2009. 72Shiha>b al-Difî<, Sharh Tanqi>h al-Fusu>l Fi> Ikhtis}a>r al-Mahsu>l fi> al-Usûl, (Kairo: al-Matba‘ah al-Khairiyyah,t.t) sebagaimana dikutip oleh ‘Abd al-‘Azi>z ibn ‘Abd al-Rahma>n ibn ‘Ali ibn Rabi>‘ah, ‘Ilm Maqa>sid al- Sha>ri‘, (Riya>d: Maktabah al-Malik Fahd al-Wat{aniyyah, 2002), 63.

    54 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Model aplikasi mas}lah}ah dalam pengembangan hukum Islam dapat dilakukan dalam kerangka interaksikognitif yang berorientasi mas}lah}ah terhadap nus}u>s} (al-ta‘a>mul al-maslahi> ma‘a al-nus}u>s}) yang mencakup dua langkah. Pertama, interpretasi al-nusûs yang berorientasi al-mas}lah}ah (al-fahm wa al-tafsi>r al-mas}lah}i li al-nus}u>s{) dan kedua, implementasi nus}u>s} yang berorientasi pada mas}lah}ah (al- tat}bi>q{ al-mas}lah}i> li al-nus}u>s}), yang notabenenya menyingkirkan interaksi-kognitif yang mengasumsikan adanya kontradiksi nus}u>s} dengan mas}lah}ah, dan juga menggusur interaksi-kognitif yang mengasumsikan adanya nas}s} yang nihil akan al-mas}lah}ah.73 Di samping itu, mas}lah}ah dapat ditemukan dan diaplikasikan melalui tiga cara. Petama, melalui penerapan analisis jalb al-mana>fi‘ wa daru al-mafa>sid. Kedua, melalui penerapan dalil shara‘ sekunder seperti al-qiya>s, al-mas}lah}ah al-mursalah, sadd al-dhari>‘ah, dan al-‘urf. Ketiga, melalui penerapan al-qawa>‘id al-fiqhiyyah (Islamic legal maxims). Dalam konteks ini, upaya mengkualifikasi sesuatu sebagai al-mas}lah}ah harus mengacu kepada parameter nas}s} yang berupa garis- garis besar haluan nas}s} sehingga terhindar dari kesimpulan hukum yang kontradiktif dengan nas}s}.74 Substansi mas}lah}ah itu mencakup dua unsur yang padu dan holistik, yakni jalb al-mana>fi>‘ wa dar’ al-mafa>sid yang mengandung arti ‚mewujudkan sesuatu yang bermanfaat atau yang mem bawa kemanfaatan, dan mencegah serta meng hilangkan sesuatu yang negatif-destruktif atau yang membawa kerusakan, di mana hal ini semua tetap dalam kerangka spirit nus}u>s}. Dalam hal ini, perlu dipertimbangkan segi yang menyangkut kepentingan individual (al- mas}lah}ah al-khass{ah) dan kepentingan umum/masyarakat luas (al- mas}lah}ah al-‘a>mmah), dan prioritas diberikan kepada kepentingan masyarakat luas. Selain itu, adanya korelasi yang nyata antara al-mas}lah}ah dan dalil-dalil atau sumber sumber sekunder hukum Islam, seperti qiya>s, al- mas}lah}ah al-mursalah, al-istihsa>n, sadd al-dhari>‘ah, dan al-‘urf.

    73Ah{mad al-Raysu>ni dan Muhammad Jama>l Barut, Al-Ijtiha>d: al-Nas}s{, wa al-Wa>qi>‘, wa al-Mas{lah}ah, (Dimaskus: Da>r al-Fikr, 2002), 50. 74‘Abd al-Waha>b Khalla>f, Mas}a>dir al-Tashri>‘ Fi> Ma La> Nas}s}a Fî>hi>, (Kuwait: Da>r al-Qalam, 1972), 47, 71, 145.

    55 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Korelasi al-mas}lah}ah dengan al-qiya>s terletak pada adanya aplikasi mas}lah}ah sehubungan dengan rasionalisasi dan identifikasi ‘illat (al- ta‘li>l), teknik identifikasi ‘illat (masa>lik al-’illat), dan persyaratan ‘illat. Korelasi antara al-mas}lah}ah dan al-mas}lah}ah al-mursalah terletak pada titik temu bahwa secara organis, al-mas}lah}ah al- mursalah merupakan salah satu varian al-mas}lah}ah yang nota bene elan vital, muara, sekaligus hulu dari penerapan hukum Islam. Korelasi antara al-mas}lah}ah dan al-istihsa>n terletak pada titik temu bahwa secara epistemologis, al-istihsa>n itu harus punya sanad al-istihsa>n, dan sanad al-Istihsân itu sesungguhnya berhulu dan bermuara pada al- mas}lah}ah. Korelasi antara al-mas}lah}ah dan sadd al-dhari>‘ah ditunjukkan oleh kenyataan bahwa kehadiran al-mas}lah}ah dalam aplikasi dalil sadd al-dhari>‘ah merupakan suatu keniscayaan. Korelasi antara al-mas}lah}ah dan al-‘urf ditunjukkan oleh kenyataan bahwa mas}lah}ah menjadi faktor yang ikut menentukan validitas al-‘urf, sehingga dalam kondisi ketiadaan nas{s} yang mendukung suatu al-‘urf, faktor mas}lah}ah menentukan validitas al-‘urf itu.75 Dari berbagai uraian penjelasan di atas dapat dipahami bahwa mas}lah}ah merupakan suatu hal yang menjadi tujuan pokok penetapan hukum Islam, yakni guna mewujudkan kemaslahatan dan menolak kemafsadatan bagi umat manusia. Selain itu, klasifikasi atau kategorisasi mas}lah}ah dalam implementasinya sebagai sumber penetapan hukum Islam memiliki berbagai karakter antara yang dapat dan tidak dapat dijadikan sebagai landasan penetapan hukum. Di samping itu, setiap mas}lah}ah juga memiliki tingkatan prioritas ketika dijadikan sebagai landasan penetapan hukum.

    75Selegngkapnya dapat dilihat: Muhammad Abu> Zahra, Usu>l al-Fiqh, (Beirut: Da>r al-Fikr al- ‘Arabi>, t.th.), 241, 274, 288; Mus}tafa> Ahmad al- Zarqa>’, al-Is}tisla>h wa al-Maslahah al-Mursalah Fi al-Shari>‘ah al-Isla>miyyah wa Usu>l Fiqhiyah, (Damaskus: Da>r al-Qalam, 1988), 39; Jala>l al-Dî>n ‘Abd al- Rahman, al-Masâlih al-Mursalah wa Maka>natuha> Fi> al-Tashrî>‘, (t.tp.: Dâr al- Kita>b al-Jâmi‘i>, 1983 M), 14; ‘Abd al-Waha>b Khalla>f, ‘Ilm ‘Us}u>l al-Fiqh, (Kuwait: al-Da>r al-Kuwaytiyyah, 1968), 80, 84 dan 89; Ahmad Muhammad al-‘Ulaimi, Usu>l al-Fiqh: Asa>siyya>t wa Maba>di>, (Beirut: Da>r Ibn Hazm, 2001), 118; Iskandar Usman, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), 19, 25-31 dan 47-62.

    56 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Memahami posisi perempuan dalam Islam tetap mengacu kepada sumber-sumber Islam yang utama, yakni Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja pemahaman terhadap kedua sumber tersebut tidak semata didasarkan pemaknaan tekstual, melainkan memperhatikan juga segi kontekstualnya, baik konteks makro berupa tradisi arab dan kondisi sosio-politik dan sosio-historis ketika itu maupun konteks mikro dalam wujud asba>b al-nuzu>l dan asba>b al-wuru>d. Pemaknaan non-literal terhadap teks-teks suci agama dalam Al-Qur’an dan sunah mengacu pada tujuan hakikat syariat atau yang lazim disebut maqa>s}id shari‘t al-khamsah) hak hidup (hifz} al-nafs) hak kebebasan beragama (hifz} al-di>n), hak beropini dan berekspresi (hifz al-aql) hak reproduksi (hifz al-nasl) dan hak properti (hifz al-ma>l) \menuju kesejahteraan dan kebahagiaan lahir dan batin, baik dunia dan akhirat. Adanya relevansi antara teks dan konteks tersebut membawa implikasi bahwa norma hukum Islam telah mengalami objektivikasi melalui aplikasi mas}lah}ah ke dalam struktur sosial. C. Konstruksi Wacana Gender dan Otoritas Pemikiran Keagamaan; Studi Komparatif Tekstualis dan Kontekstualis Tema keperempuanan dan relasi gender selalu menjadi perbincangan yang marak dan tema ini selalu menarik untuk dibahas. Seolah pembahasan tentang gender tidak ada habisnya. Bahwa Islam hadir antara lain sebagai upaya mengangkat harkat martabat perempuan namun tidak berarti perjuangan mewujudkan kesetaraan gender telah usai.76 Menurut Husein Muhammad, penelitian akan berbagai sumber otoritas pemikiran keagamaan sepenuhnya menyimpulkan bahwa pengertian tentang adanya perbedaan antara seks dan gender belum dapat diterima. Mayoritas besar ulama tetap memandang bahwa laki-laki menempati posisi superior diatas perempuan. Laki-laki lebih unggul daripada perempuan.77

    76Mus}ta}fa> al-Siba>’i@, Al-Mar’ah Bai@na Fiqh wa al-Qa>nu>n, (Kairo: Dar al-Salam, 2010), 9. 77Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender (Yogyakarta: LKis, 2001), 8.

    57 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Fiqh sebagai hasil ijtihad seorang ulama atau mujtahid dalam mengambil istinba>t hukum dari sumbernya baik Al-Qur'an maupun hadis. Dengan menggunakan pisau bedah usu>l al-fiqh, yaitu dengan pendekatan penalaran baya>ni<, ta‘li>li>, maupun istis}la>hi> akan menghasilkan hukum yang berbeda antara satu ulama dengan ulama yang lain, dari satu masa ke masa yang berbeda, meskipun mengambil dari sumber teks ayat maupun matan hadis yang sama. Hal itu terletak pada subjektivitas penafsir, latar belakang pendidikan, lingkungan yang melingkupinya, serta kondisi yang ada pada teks itu sendiri yang bersifat z}anniyah atau multitafsir. Para feminis muslim menggugat berbagai sistem patriarki dan berupaya mentransformasi konstruksi gender menjadi lebih egaliter. Bahkan mayoritas feminis secara terang-terangan menggugat kitab- kitab fiqh klasik. Karena pada dasarnya, gerakan feminisme muslim ada karena meliputi kesadaran perempuan akan pembatasan atas dirinya karena gender, penolakan perempuan terhadap ketidakadilan dan berusaha membangun sistem gender yang lebih adil, yang melibatkan peran baru perempuan dan hubungan lebih optimal di antara laki-laki dan perempuan. Bentuk pemikiran feminis muncul dalam masyarakat muslim yang mengalami modernisasi, pengembangan kota, pembentukan negara modern, kolonialisasi dan imperialisasi. gerakan kemerdekaan nasional, peperangan dan agresi serta demokratisasi.78. Namun dilain sisi, sebagian ulama berafiliasi tradisonalis tidak menyetujui feminisme yang menjustifikasi bahwa mujtahid dalam mengistinba>tkan hukum- dianggap mengekalkan ketidakadilan gender. Menurut Huzaemah Y. Tanggo, bahwa feminis muslim secara sepihak mencap fiqh klasik bias gender dan hanya bermaksud mengekalkan dominasi laki-laki atau penindasan perempuan. Mereka misalnya, menolak konsep penciptaan Hawa dari nabi Adam, konsep kepemimpinan rumah tangga bagi laki-laki, hukum kesaksian 1:2 (satu laki-laki, dua perempuan), hukum kewarisan, kewajiban berjilbab,

    78Margot Badran, Feminism dalam John L Esposito (ed.), Oxford Encyclopedia of Modern Islamic World, Vol. 2, (Oxford: Oxford University Press, 1995), 19-20.

    58 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ poligami dan sebagainya.79 Sebaliknya mereka justru membolehkan perempuan menjadi imam shalat yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Mereka membolehkan pula wanita memberikan khutbah jum’at. Untuk menjustifikasi penafsiran, mereka menggunakan metode historis-sosiologis untuk memahami nas}s}-nass} Al-Qur’an dan al- sunnah. Metode ini mengasumsikan bahwa kondisi sosial masyarakat merupakan ibu kandung yang melahirkan berbagai peraturan. Tegasnya, kondisi masyarakat adalah sumber hukum. Lahirnya hukum pasti tidak terlepas dari kondisi suatu masyarakat dalam konteks ruang (tempat) dan waktu (fase sejarah) tertentu. Sehingga jika konteks sosial berubah, maka peraturan dan hukum berubah. Dalam hal ini, para feminis memandang telah terjadi perubahan konteks sosial yang melahirkan hukum-hukum Islam seperti diatas. Karenanya bagi mereka hukum-hukum harus ditafsirkan ulang agar sesuai dan relevan dengan masyarakat modern saat ini. 80 Dalam hal ini, penulis akan mengungkapkan perdebatan argumen para tokoh muslim terkait wacana kesetaraan gender. Yang penulis bagi dua antara pandangan tektstual dan konstekstual. Selengkapnya sebagaimana berikut: 1. Tokoh Kontekstualis Khalid M. Abou El-Fadl dalam Inside The Gender Jihad memandang setidaknya ada 2 hal yang menjadi perhatian kajian gender; Pertama, Struktur Patriarki dalam gender. Kedua, Ketidakadilan gender yang menyertai budaya patriarki dalam masyarakat.81 Dalam kehidupan nyata, kedudukan perempuan dan laki- laki masih menyisakan banyak problem sebab ditemukan ketimpangan

    79Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemprer, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), 108. 80Ardika Fitrhrotul Aini, ‚Konstruksi Sosial Gender Dalam Teks Klasik Di Pesantren‛ dalam jurnal Palastren, Vol. 7, No. 2, (Desember, 2014), 295-300. 81Arfan Muammar dkk, Bias Gender dalam Penafsiran al-Qur’an; Memahami Pemikiran Nas}r Ha>mid Abu> Zay>d (Yogyakarta: Diva Press 2012), 213.

    59 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ diberbagai ranah kehidupan sosial, budaya hingga politik yang laki-laki lebih banyak diuntungkan sementara pihak perempuan selalu dinomor duakan. Sebenarnya perbedaan gender tidak menjadi masalah krusial jika tidak melahirkan struktur ketidakadilan gender. Akan tetapi pada realitanya, perbedaan gender justru melahirkan struktur ketidakadilan dalam berbagai bentuk diantaranya: dominasi marginalisasi dan diskriminasi yang secara ontologis merupakan modus utama kekerasan terhadap perempuan.82 Masyarakat Islam dalam hal ini kaum laki-laki dan perempuan gagal menyadari sisi negatif struktur patriarki tersebut. Mereka kurang peka dengan kenyataan bahwa patriaki adalah kelaliman dan secara moral menyerang keadaan masyarakat. Sebagai sebuah institusi, patriarkhi telah telah berimplikasi dan berkonsekuensi negatif. Pertama, menghapuskan peran perrempuan sebagai agen tuhan, artinya patriarki telah memarjinalkan perempuan. Kedua, secara signifikan menghilangkan potensi sebagai makhluk yang benar-benar pasrah kepada tuhan.83 Hal ini disebabkan karena baik itu aspek budaya hukum dan interpretasi agama masih belum banyak memberikan dukungan bahkan seringkali pemahaman agama terkesan larut dalam arus bias gender. Agama acapkali menjadi justifikasi kebenaran atas pelenggangan budaya patriaki yang meletakkan dominasi laki-laki atas perempuan yang didasarkan pada ayat-ayat Al-Qur’an yang dinilai cenderung kondusif dan mengukuhkan superioritas laki-laki terhadap perempuan. Hal ini akhirnya mendesak kalangan ulama, intelektual dan para aktivis untuk mendekonstruksi pemahaman atas gender dan bagaimana agama memandang permasalahan ini, apakah agama menjustifikasi konstruksi sosial dan ini menciptakan sikap mental yang membenci kaum perempuan (konsep misogini)84 atau terdapat kesalahan

    82Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial, 12. 83Amina Wadud, Al-Qur’an menurut Perempuan; Membaca Kembali Kitab Suci dengan Semngat Keadilan, 191 84Praktik misigoni telah dimulai pada abad ke-8 SM dizaman Yunani dan makin mengental di abad pertengahan. Praktik ini telah merugikan peradaban manusia. Pada waktu lalu, perempuan telah dibakar hidup-hidup karena dituduh sebagai perempuan sihir, dirajam, dicambuk, diperkosa,

    60 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ penafsiran yang justru dijustifikasi sebagai sebuah kebenaran yang sifatnya kodrati oleh masyarakat.85 Khalid M. Abou El-Fadl menyatakan bahwa adanya asumsi berbasis iman dan penetapan yang merendahkan perempuan sebagai akibat penetapan hukum yang dilakukan dengan ceroboh dan tidak bertanggung jawab. Sejalan dengan Khalid, Mernissi memandang secara tura>th secara negatif. Ia percaya bahwa model masa lalu tidak lagi aktual buat konteks modern. Oleh Karena itu, Ia meyakini bahwa persoalan yang dihadapi masyarakt sekarang sangat kompleks. Dalam hal ini, Ia menyalahkan struktur sosial yang telah menyengsarakan nasib perempuan. Struktur sosial ini termasuk doktrin ajaran agama yang menjadi fondasi penting masyarakat. Mernissi tidak sepenuhnya percaya pada sekelompok elit pemikir –kaum tradisionalis- yang turut membicarakan soal perempuan. Bahkan Ia menganggap diskusi-diskusi terkait tura>th sebagai omong kosong.86 Mernissi mengungkapkan bahwa agama harus dipahami secara progresif untuk memahami realitas sosial dan kekuatan-kekuatannya, karena agama telah dijadikan sebagai pembenar kekerasan. Menghindari hal-hal yang primitif dan irasional adalah cara untuk menghilangkan penindasan politk dan kekerasan. Menurutnya, bahwa campur aduknya antara yang profan dan yang sakral, antara Allah dan kepala negara, antara Al-Qur'an dan fantasi-fantasi imam harus didekonstruksi.87 Mernissi menggugat penafsiran terhadap ayat-ayat al- Qur'an seperti dalam Qs. al-Ahza>b (33): 53, yang oleh para ulama dijadikan dasar lembaga h}ija>b. Berdasarkan pemahaman ini terjadi pemisahan, bahwa hanya laki-laki yang boleh memasuki sektor publik. Sedangkan perempuan hanya berperan domestik. Menurut Mernissi penafsiran dipukul dan dibunuh hanya karena mereka perempuan. Sali Susiana, Perda Diskriminatif dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan data dan informasi SEKJEN DPR RI, 2011), 76. 85Zaitunah Subhan, Rekonstruksi Pemahaman Gender dalam Islam, vi. 86A. Lutfi Assyaukanie, ‚Tipologi dan Wacana Pemikiran Arab Kontemporer‛, dalam Jurnal Pemikiran Islam Paramadina, vol. 1, no. 1(Juli- Desember, 1998), 86-87. 87Fatima Mernissi dan Riffat Hassan, Equal Before Allah, 204

    61 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ semacam ini harus dibongkar dengan mengembalikan makna berdasarkan konteks historisnya. Pemahaman yang demikian ini, nampaknya dipengaruhi oleh pemikiran Qa>sim Amib dari masyarakat bukan merupakan sejarah Islam, tetapi merupakan konstruksi sosial dari masyarakat patriarkhi, karena tidak satu pun dalam naş yang tegas menyebutkannya.88 Hal yang demikian, terlihat bahwa Mernissi berusaha membangun kembali penafsiran dengan menghubungkan konteks sosialnya. Mernissi berusaha menelusuri khazanah keilmuan, baik berupa penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, hadis- hadis misoginis yang dimuat dalam S}ahi>h al-Bukh}a>ri> dan S}ahi>h Muslim ataupun karya-karya lain seperti Ta>rikh al- T}abari>, sharah S}ahi>h al-Bukha>ri> yaitu Fath al- Ba>ri>, Si>rah ibn Hisha>m dan lain-lain. Dengan menganalisis terhadap proses penafsirannya, maka nampak jelas metode yang digunakan adalah historis-sosiologis, dengan menggunakan analisis hermeneutik, atau lebih tepatnya disebut dengan pendekatan heurmeneutik hadis. Pengertian yang demikian ini didasarkan atas usahanya yang keras untuk membongkar hadis-hadis yang bernuansa misoginis.89 Amina Wadud menjelaskan bahwa kekeliru penafsiran terhadap ayat-ayat Al-Qur'an tentang perempuan lantar ditafsirkan oleh kaum pría, bukan ditafsirkan oleh kaum perempuan itu sendiri. Akibatnya, penafsiran yang dibuat hanya berdasarkan persepsi, pengalaman, dan pikiran kaum pria saja Akibat lebih lanjutnya adalah terjadinya kekeliruan penafsiran yang menyebabkan perempuan dalam posisi lemah, rendah, serta kurang dalam berbagai bidang dibanding kaum laki-laki. Hal jelas bertentangan dengan tujuan yang ada di dalam Al- Qur’an yang mengajak seluruh umat manusia untuk berlomba-lom

    88Fatima Mernissi dan Rifat Hasan, Equal Before Allah, 23 89Menurut Zygmant Bauman, Hermeneutik berkaitan dengan upaya menjelaskan dan menelusui pesan dan pengertian dasar dari seboah ucapan atau tulisan yang tidak jelas, kabur, remang-remang dan kostradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan kebingungan bagi pendengar atau pembaca, lihat: Komaruddin Hidayat, Memahami Basa Agama Sebuah Kajian Hermeneutik (Jakarta: Paramadina, 1996), 126. Dalam gagasan Islam liberal dikenal dengan pendekatan Hermeneutik Post Modern, dengan memahami seluruh proses.

    62 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ meraih sejumlah prinsip-prinsip kemanusiaan; keadilan persamaan, keharmonisan, tanggung jawab moral, kesadaran spiritual, dan perkembangan, tanpa membedakan laki-laki atau perempuan.90 Jika kita perhatikan uraian di atas, baik berdasarkan pandangan dari Amina Wadud dan para kritikus sebelumnya maka pandangan yang menginterpretasikan bahwa Islam menganggap perempuan itu lemah, tidak cerdas, tidak layak menjadi pemimpin, derajat perempuan di bawah tingkatan laki-laki, dan pandangan-pandangan lain yang meminggirkan perempuan pada dasarnya karena kesalahan dalam menginterpretasikan teks-teks agama yang bersifat diskriminatif. Amina Wadud sebagai pemikir Islam kontemporer menyumbangkan gagasan agar dalam menginterpretasikan ayat-ayat Al-Qur'an tidak keliru, maka perlu dengan dua cara, yaitu membaca dan menafsirkan yang dibentuk oleh sikap, pengalaman, ingatan, dan perspektif bahasa masing-masing pembaca, yakni prioritas teks. Untuk memperoleh kesimpulan makna, Amina Wadud juga berpendapat perlunya penafsiran hermeneutik, di samping menggunakan metode kajian holistik yang induktif, yang dipahami dengan turunnya ayat- ayat al- Qur'an.91 Sumber-sumber ketidakadilan terhadap perempuan dalam masyarakat Islam tidak berasal dari ajaran dasar agama, tetapi lebih pada salah tafsir terhadap agama seperti yang diperlihatkan para ulama besar Islam selama berabad-abad. Menurut Amina Wadud, tantangan yang dihadapi penafsir agama saat ini adalah bagaimana memahami implikasi dari pernyataan Al-Qur’an sewaktu diturunkan. Yang harus diperhatikan adalah bagaimana menangkap subtansi dari setiap ayat- ayat Al-Qur’an. Umat Islam kemudian harus membuat aplikasi praktis dari ayat-ayat tersebut sesuai dengan kondisi dan situasi kekinian mereka, dengan tetap bertanggung teguh pada subtansi ajarannya.92 Usaha interpretasi atas Al-Qur’an -termasuk hadis-, sebagaimana diucapkan Etin Anwar dalam Gender and Self In Islam, adalah gugusan

    90Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur'an,125-127. 91Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur'an, 24 92Amina Wadud, Wanita di dalam Al-Qur’an, 5.

    63 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ pemisahan tentang penjelasan yang bersifat kondisional dan partikular menuju pesan-pesan universal.93 Nas}r Ha>mid Abu> Zayd menambahkan perlunya pula pembacaan kritis atas teks-teks keagamaan, baik teks primer maupun teks sekunder. Pembacaan kritis perlu dikembangkan, sebab teks keagamaan adalah pusat dari sebuah perbincangan pengetahuan keagamaan disatu pihak dan keberadaannya sebagai teks juga berkaitan dengan kondisi budayanya dipihak yang berbeda.94 Pemikiran yang dikemukakan para pemikir diatas, seperti Khalid M. Abou El-Fadl, Nas}r Ha>mid Abu> Zayd, Amina Wadud, serta pemikir-pemikir lainnya yang sejalan dapat dijadikan acuan dan pertimbangan dalam menafsirkan ulang dalil-dalil agama (Al-Qur’an dan hadis) yang dianggap sebagai ayat patriarkal dan hadis-hadis misoginis. Dengan ini, pandangan yang memarginalkan kaum perempuan lambat laun akan berkurang. Reinterpretasi seperti ini turut menghiasi dinamika misi utama syariat Islam. 2. Argumen Tokoh Tekstualis Berbeda halnya dengan tokoh kontekstual yang menghendaki adanya transformasi pemahaman terhadap argumentasi teologis dan pendapat para ulama fiqh klasik terkait kesetaraan gender, para tokoh tektualis beranggapan bahwa argumen feminisme tidak dapat sepenuhnya diterima. Para feminis muslim, menggunakan metode historis-sosiologis khas kaum modernis untuk memahami nas}s}-nas}s} shar‘a. Mereka menjadikan fakta masyarakat sebagai dalil shar'i< yang menjadi landasan penetapan hukum. Para tokoh tekstualis umumnya berpendapat bahwa realitas sosial pada saat suatu ayat hukum turun, atau ketika suatu hukum disimpulkan dari ayat atau hadis oleh seorang mujtahid, adalah fakta yang kepadanya hukum diterapkan, bukan fakta yang darinya hukum dilahirkan, Jadi sebenarnya ada perbedaan tegas antara wahyu sebagai sumber hukum dengan realitas masyarakat sebagai objek penerapan

    93Etin Anwar, Gender and Self In Islam (Canada\: Routledge, 2006), 142. 94Nas}r Ha>mid Abu> Zayd, Dawa>ir al-Kha>wf: Qira>’ah Fi< Kh}ita>b al- Mar’ah (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi< al-Arabi>, 2000), 18.

    64 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ hukum. Karena itu, hukum Islam tidak perlu ditafsir ulang sebab selama man‘at al-hukmi (fakta yang menjadi obiek penerapan hukum) di masa sekarang sama dengan masa nabi dan sahabat, hukum tertentu untuk satu masalah tertentu tidaklah akan berbeda. Jika ada man’at al- hukmi di zaman sekarang yang tidak terdapat pada masa sebelumnya, yang harus dilakukan adalah ijtihad untuk menggali hukum baru bagi masalah baru, bukan mengubah hukum yang ada agar sesuai dengan realitas baru. Jadi pembatalan dan penggantian hukum seperti yang dilakukan para feminis muslim itu hakikatnya bukanlah ijtiha>d, melainkan suatu kelancangan terhadap hukum Allah SWT, sebab man’at al-hukmi yang ada sebenarnya tidak berubah.95 Perkembangan Islam yang amat luas dan melampaui kurun waktu tertentu, maka dengan sendirinya literatur fiqh banyak dipersoalkan masyarakat, terutama oleh kaum perempuan yang hidup dalam lingkup masyarakat tersebut. Keberatan mereka terhadap kitab fiqh karena masyarakat telah berubah, dengan demikian berapa ajaran fiqh itu tidak relevan lagi untuk diterapkan. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya distorsi dalam substansi hukum dan sejarah dalam perjalan perkembangan Islam. Namun disamping itu, dalam literatur- literatur sejarah betapa besar usaha para ulama terdahulu dalam mengembangkan pemahaman keIslaman. Inilah yang menjadi pijakan tokoh tradisionalis. Sebagaimana disebutkan diatas, penganut tradisionalis mengungkapkan argumen-argumen lain dalam penolakan ide feminisme yang menuntut pemahaman transformasi argumentasi teologis dan pendapat para ulama fiqh klasik, diantaranya sebagai berikut ini:96 Pertama, feminisme sebenarnya terlahir dalam konteks sosio- historis khas di negara-negara barat terutama pada abad 19-20 M ketika wanita tertindas oleh sistem masyarakat liberal kapitalistik yang cenderung eksploitatif. Maka dari itu mentransfer ide ini ke

    95Muhammad Thalib, 17 Alasan Membenarkan Wanita Menjadi Pemimpin dan Analisnya, (Bandung: Bait Salam, 2001), 19. 96Mohammad Nawir, ‚Kajian Tentang Hadis-Hadis Relasi Kesetaraan Gender Dalam Fatwa MUI‛ (Tesis UIN Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2016), 118.

    65 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ tengah umat Islam, yang memiliki sejarah dan nilai yang unik, jelas merupakan generalisasi sosiologis yang terlalu dipaksakan dan tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Klaim bahwa wawasan sosiologis bersifat universal, mengandung kepongahan yang dapat mengakibatkan dilema serius bagi para sosiolog. Robert M. Marsh menandaskan: sosiologi telah dikembangkan di sebuah sudut kecil dunia, dan dengan demikian, amat terbatas sebagai suatu skema universal.97 Kedua, feminisme bersifat sekularistik, yakni terlahir dari pemisahan agama dari kehidupan. Hal ini nampak jelas tatkala feminisme memberikan solusi-solusi terhadap problem yang ada, yang tak bersandar pada satu pun dalil shar‘i<. Jadi, para feminis telah memposisikan diri sebagai menjadi musyar'i (sang pembuat hukum), bukan Allah. Adapun para feminis muslim yang mencoba membenarkan ide-ide feminisme dengan dalil-dalil shar'i<, sesungguhnya tidak benar-benar menjadikan dalil sha>r‘i sebagai tumpuan ide feminism. Sebenarnya, yang mereka lakukan adalah mengambil asumsi asumsi feminisme apa adanya, lalu mencari-cari ayat atau hadis untuk membenarkannya. Kalau ternyata ada ayat atau hadis yang tidak sesuai dengan konsep kesetaraan gender yang mereka anut secara fanatik, maka ayat atau hadis itu harus diubah maknanya sedemikian rupa agar tunduk kepada konsep kesetaraan gender. Ketika tidak sesuai dengan konsep tersebut, seperti hukum waris 2:1 (dua bagian perempuan setara dengan satu bagian laki-laki), memperkosa ayat atau hadis tersebut agar sesuai dengan selera mereka. Ini artinya, sebenarnya ide feminismelah yang menjadi standar, bukan ayat atau hadis itu sendiri. Andaikata ayat atau hadis yang menjadi standar, níscaya mereka akan tunduk kepada makna yang terkandung dalam ayat atau hadis apa adanya, serta tidak akan melakukan berbagai reinterpretasi yang malah menghasilkan pendapat- pendapat rusak seperti yang telah disebutkan di atas. Ketiga, para feminis muslim gagal memahami kehendak Syari'at Islam dalam masalah hak dan kewajiban bagi lelaki dan perempuan.

    97Robert M. Marsh, Comparative Sociology (New York: Brace and World, 1957), 19.

    66 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Mereka menganggap bahwa kesetaraan lelaki dan perempuan, otomatis menyebabkan kesetaraan hak- hak antara laki-laki dan perempuan. Ini keliru. Karena, cara berpikir demikian adalah cara berpikir logika (mantiqi>) yang tidak berlandaskan pada dalil shar'i> manapun. Selain itu fakta syari'at Islam menunjukkan bahwa kedua ide itu (yaitu kesetaraan kedudukan dengan kesetaraan hak) tidaklah beralasan sebab akibat yang bersifat pasti (absolut) seperti dipaham feaminis muslim, yakni kesetaraan kedudukan lelaki dan iapuan, pasti menghasilkan kesamaan hak dan kewajiban di ntara keduanya. Memang benar, Islam memandang bahwa laki-laki dan perempuan itu setara, dan bahwa Allah secara umum memberikan hak dan kewajiban yang sama antara laki-laki dan parempuan.98 Maka, Islam memberikan beban hukum (takli>f shar‘i>) yang sama antara laki-laki dan perempuan dalam hal wajibnya shalat, puasa, zakat, haji, amar ma'ruf nahi munkar, dan sebagainya Ini ketentuan secara umum namun Islam menetapkan adanya takhs}i>s} (pengkhususan) dari hukum-hukum yang bersifat umum, jika memang terdapat dalil- dalil shar'i< yang mengkhususkan suatu hukum untuk laki-laki saja atau antuk perempuan saja. Dan takhs}i>s harus proposional, yakni hanya boleh ada pada masalah yang telah dijelaskan oleh dalil shar'i<. Kaidah ."العاا نبقى ااىبعمااىبعىلوااربواا لهبقااصيبيل اا بال اا " : usu>l al-fiqh menetapkan Lafaz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.99 Dengan demikian, dapat diterima apabila Islam mengkhususkan hukum-hukum kehamilan, kelahiran dan penyusuan hanya untuk perempuan, bukan lelaki, karena memang terdapat dalil-dalil shar'i> untuk itu. Dapat dibenarkan bila Islam mengkhususkan pakaian perempuan yang berbeda dengan laki-laki, karena terdapat dalil-dalil yang menunjukkan pengkhususan ini begitu selain itu. Pengkhususan inilah yang diingkari oleh para feminis, padahal pengkhususan ini semata berdasarkan dalil shar'i> dari Al-Qur’an dan sunnah, bukan mengikuti hawa nafsu para mufassir atau mujtahid, yang dicap oleh

    98Muhammad Thalib, 17 Alasan Membenarkan Wanita Menjadi Pemimpin dan Analisnya, 41. 99Taqi> al-Dini>, Muq{oddimah Dustu>r, 235

    67 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ kaum feminis sebagai laki-laki yang terkena bias gender dalam penafsirannya terhadap Al-Qur'an dan al-sunnah. Selain itu pula, pengkhususan hukum sama sekali tidak bermakna adanya penghinaan salah satu pihak oleh pihak lain, atau adanya dominasi dari satu pihak kepada pihak lain, sebagaimana biasa dikampanyekan feminisme. Kampanye tersebut logis bagi feminisme, karena feminisme beranggapan bahwa kemuliaan dan kehinaan lelaki ataupun wanita mutlak ditentukan oleh kesetaraan kesetaraan hak dan kewajiban yang berarti tolok ukurnya adalah kuantitas pelaksanaan suatu aktivitas, bukan kualitasnya. llusi ini timbul karena paham materialistik yang inheren dalam ideologi kapitalisme dan sosialisme. Selanjutnya, sebagai upaya untuk mengimplementasikan pesan- pesan teks Al-Qur’an dan hadis dalam sebuah rumusan hukum yang bersifat praktis-praktis juga terbentuk wacana fiqh.100 Arti fiqh dipandang sudut leksikologi arab berarti pemahaman dan pengetahuan tentang sesuatu. Dari segi terminologi, fiqh adalah pemahaman dan penafsiran secara kultural terhadap ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis- hadis rasul yang dikembangkan oleh ulama-ulama fiqh semenjak abad ke-2. Diantara para ulama fiqh tersebut ialah Abu> Hanilik, al-Sha>fi'i< dan Ah}mad Bin H}anbal yang pada masa perkembangan selanjutnya lebih dikenal dengan sebutan 4 imam mazhab. 101 Keempat imam mazhab tersbut tidak pernah memproklamirkan karya-karyanya sebagai mazhab abadi yang harus dipertahankan sepanjang sejarah. Hanya kalangan murid diantara mereka memperjuangkan karya-karya imam tersebut sehingga dianut dalam masyarakat. Bahkan untuk alasan keseragaman dan kepastian hukum, kalangan penguasa menetapkan salah satu mazhab sebagai mazhab resmi pemerintah atau negara. Sehingga fiqh yang disusun dan dikenal di dalam masyarakat yang dominan pada laki-laki tentunya akan melahirkan fiqh bercorak patriarki.

    100Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al- Qur’an, 265; dan lihat juga: Nasaruddin Umar, Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci , 29. 101Mesraini, Diskursus Gender Dalam Hukum Islam, dalam Jurnal Mizan Vol. 2 No. 1 2018, 7.

    68 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Setelah Islam berkembang luas dan melampui kurun waktu tertentu, maka dengan sendirinya kitab-kitab tersebut banyak dipersoalkan orang, terutama oleh kaum perempuan yang hidup luar lingkup masyarakat tersebut. Keberatan mereka terhadap kitab-kitab fiqh karena masyarakat telah berubah, dengan demikian beberapa ajaran itu tidak relevan lagi untuk diterapkan. Kalau dahulu hak-hak istimewa banyak diberikan kepada laki-laki mungkin dapat dibenarkan, karena tanggung jawab mereka lebih besar, tetapi dibeberapa dalam kurun waktu terakhir peranan perempuan dalam masyarakat banyak mengalami kemajuan. Para feminis muslim, seperti Fatima Mernissi dan Rifat Hasan secara terang-terangan menggugat kitab-kitab fiqh klasik. 102 Pembicaraan tentang fiqh dan bias gendernya dianggap penting, berangkat dari kenyataan dimasyarakat bahwa dalil-dalil agama yang telah dikemas ke dalam bentuk fiqh masih sering dijadikan dalih untuk menolak kesetaraan gender. Dalil-dalil agama pula yang dijadikan alasan untuk mempetahankan status-quo perempuan. Bahkan dijadikan pula sebagai referensi untuk melanggengkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Seakan kaum lelaki ditakdirkan untuk berkiprah diwilayah publik sedangkan kaum perempuan diwilayah domestik. Pemahaman agama yang yang mengadap ke alam bawah sadar perempuan yang berlangsung sedemikian lama ini, melahirkan kesan seolah perempuan memang tidak pantas sejajar dengan laki- laki.103 Dengan melihat aspek diatas, sangat wajar apabila keberadaan fiqh menjadi sasaran kritik. Fiqh adalah produk masa lalu disaat perspektif gender memang belum popular. Perspektif gender merupakan produk modernitas. Maka perlunya rekonstruksi fiqh kembali sebagai fiqh yang memiliki perspektif keadilan gender. Fiqh sebagai hasil ijtihad manusia tak lepas akan kekurangan dan kelebihan. Begitupula hasil ijtihad fiqh sangat tergantung pada konsep perubahan zaman, waktu dan tempat.

    102Fatima Mernissi, Beyond The Veil Male-Female Dinamics In Modern Muslim Society (Indiana: Indiana University Press, 1987), 49. 103Nasaruddin Umar, Paradigma Baru Teologi Perempuan, (Jakarta: Fikahati Aneska, 2000), 9.

    69 | Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Pada dasarnya dalam rangka menjawab problematika hukum yang senantiasa dinamis, para pakar hukum Islam kontemporer melakukan upaya guna mewujudkan prinsip kemaslahatan hukum Islam. Dan hal itu termanifiestasi untuk melakukan pengkajian dan pengembangan terhadap metodologi hukum Islam klasik yang sudah dirumuskan oleh para ulama fiqh terdahulu. Diantara tokoh yang memiliki kecenderungan corak ini antara lain ‘Abd al-Waha>b Kh}alla>f yang mencoba mereformulasi tiga metode hukum Islam klasik, yakni qiya>s, istis}la>h dan istih}sa>n menjadi teori hukum yang lebih sensitif terhadap perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat Selanjutnya, H{asan al-Tura>bi< yang merekonstruksi dua metode hukum Islam klasik, yakni qiya>s menjadi qiyas wa>si' (qiyas ekspansif) dan istis}h}a>b menjadi istis}h}a>b wa>si’ (istis}h}a>b ekspansif). H{asan al-Tura>bi< berpendapat bahwa kedua metode klasik tersebut) terlalu sempit untuk dijadikan sebagai metode hukum Islam dalam menjawab problematika. Dan tokoh-tokoh lainnya seperti Yu>suf al-Qarad}a>wi<, Wahbah al- Zuhayli>, dan lain sebagainya termasuk ‘Ali< Jum‘ah yang menjadi pembahasan tokoh dalam penelitian ini –yang akan penulis paparkan lebih detail pada bab setelah ini-.

    70 Prinsip Kesetaraan Gender dan Hukum Islam

    BAGIAN TIGA KARAKTERISTIK PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ‘ALI< JUM‘AH ------

    Dalam mengkaji pemikiran seorang tokoh pentingnya memperhatikan kondisi dan lingkungan tokoh tersebut dibesarkan. Karena interferensi kondisi dan lingkungan itulah pada umumnya menjadi background lahirnya frame gagasannya. Ibn Khaldu>n dalam Muq{oddimah mengungkapkan, ‚al-rajul ibn bi‛ (seseorang adalah anak zaman lingkungannya).1 Ungkapan Ibn Khaldu>n tersebut tampaknya relevan apabila penulis jadikan pijakan dalam menelusuri sosok ‘Ali< Jum‘ah dari sudut sosio-kultural, lingkungan pendidikan dan kondisi politik yang melatarbelakangi ‘Ali< Jum‘ah dalam membentuk ide-ide pemikirannya. A. Sketsa Kehidupan ‘Ali< Jum‘ah 1. Profil ‘Ali< Jum‘ah Nama lengkapnya ialah Abu> Uba>dah Nu>r Al-Diab ibn Sa>lim ibn Sulain, Al-Azhari< Al-Sha>fi>‘i> al-Ash‘ari>.2 Ia lebih masyhur dikalangan umat muslim hari ini dengan nama ‘Ali< Jum‘ah.3 ‘Ali< Jum‘ah dilahirkan Bani< Suwayf pada Senin, 3 Maret 1952 M/ 7 Jumadil Akhir 1371 H .4 ‘Ali< Jum‘ah merupakan anak tunggal hasil pernikahan ayahnya Jum‘ah ibn ‘Abd al-Waha>b bersama Fath}iah Hanim binti ‘Ali< ibn ‘Ai

    1‘Abd Al-Rahman Ibn K>{haldu>n, Muqadimah Ibn Kh}aldu>n (Alexandria: Dar , t.t), 30. 2Usa>mah al-Sayyid al-Azhari<, Asa>nir al- Faqin: Lima> Yashgal al-Adha>n (Kairo: Da>r al- Muqatam, 2005), 8. 4‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, (Kairo: Da>r al- Sala>m, 2010), Vol. ke-2, 417.

    71 Karakteristik| Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ ibn Sa>lim Al-Jundi al-Hamawi<.5 Dibesarkan dalam lingkungan keluarga terhormat, ‘Ali< Jum‘ah tumbuh mewarisi nilai-nilai keilmuan dan keagamaan yang kuat dari seorang ayah yang merupakan seorang praktisi juga guru besar dalam bidang shari‘ah dan hukum di Universitas Kairo, begitupula ibunya yang dikenal sangat religius. Dari faktor didikan keluarga yang terhormat ini banyak mempengaruhi kepribadian ‘Ali< Jum‘ah sehingga tumbuh dengan nilai penuh moral, termasuk dalam menjaga kehormatan dan ketekunannya menimba ilmu. Semenjak kecil ‘Ali< Jum‘ah telah terbiasa dengan kecintaan membaca buku, hal itu dilihat dari lingkungan keluarga dengan banyaknya buku di perpustakaan ayahnya, bahkan hingga saat ini banyak dari warisan buku ayahnya masih tersimpan dengan baik di perpustakaan ‘Ali< Jum‘ah .6 Pada usia 10 tahun, ‘Ali< Jum‘ah telah menghafal Al-Qur’an dan mengkhatamkan hafalannya tersebut dihadapan para gurunya. Sekalipun tidak menimba ilmu agama dan tidak mendapatkan pendidikan agama secara khusus, namun ‘Ali< Jum‘ah mendapat anugerah kecerdasan yang luar biasa sejak remaja dengan menghafal banyak kitab-kitab ilmu keislaman dan memahaminya dengan baik. Diantaranya : T{uh{fat al-At}fa>l, Alfiyah Ibn Ma>lik, Ahra>biyah (ilmu mawaris), Matan Abi> Shuja>', Al-Manz}u>mah al-Baiqu>niyah bahkan Ia mampu mempelajari kutub al-Sitta dan Fiqh Ma>liki< semenjak lulus dari bangku setingkat SMA dan lain sebagainya.7 ‘Ali< Jum‘ah mendapat gelar Bachelor of Commerce dari Universitas ‘Aisa>t al-Isla>miyah wa al-‘Arabiyah di Universitas Al-Azhar pada tahun 1979. Di Universitas Al-Azhar pula, Ia menyelesaikan pendidikan master di bidang Shari<‘ah wa al-Qa>nu>n dengan spesialis usu>l al-fiqh pada tahun 1985 dan meraih predikat cumlaude. Dan pada

    5‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke-2 418. 6Ibra>hihi

    72 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ tahun 1988, Ia memperoleh gelar doktoral dari universitas yang sama dengan predikat summa cumlaude.8 Selain perjalanan keilmuan yang didapatnya secara formal dalam bidang syariah, ‘Ali< Jum‘ah juga banyak menimba ilmu secara informal pada beberapa lembaga dan guru yang mumpuni dalam bidangnya. Hal ini turut pula mempengaruhi perjalanan intelektual ‘Ali< Jum‘ah dalam disiplin ilmu agama. Bahkan karena ketekunannya, Ia memiliki sanad tertinggi dalam ilmu syariah yang bersambung ke ulama-ulama terkemuka bahkan Ia memiliki sanad fiqh al-Sha>fi>‘i> yang bersambung ke Muhammad ibn Idrifi>‘i>< dan bersambung ke Imam Ma>lifi‘ dari Ibn ‘Umar hingga sampai kepada Nabi SAW. Diantara guru-gurunya ialah Abd Alla>h ibn Siddiri<, Abd al-Fatta>h Abu> Guddah, Muḥamamd Abu> al-Nu>r Zuhayd al-rabi Ramaḍān Jum‘ah, Ja>d al-Haq{ ‘Ali> Ja>d al-Haq, Abd al-Jaliwi< al-Māliki, Abd al-Azīz al-Zayy>at, Muhammad Ismāil al-Hamda>ni<, Aḥmad Muḥammad Mursī al-Naqshabandi<, Yasin al- Fadani, Al-Ḥusa>ini Yūsuf al-, Ibrāhīm Abū al- Khasyāb, Muḥammad al-Hafiẓ al-Tijani, Muḥammad Maḥmud Fargali, Al- Sayyid Ṣalih 'Awaḍ, Ismail al-Zaifi>‘i> <, Muhammad Alwi< al-Ma>liki<, ‘Awaḍ al-Zuba>idi, al Makki<, Ṣa>lih al- Ja'fari<, Aḥmad Ḥama>dah al-Sha>fi‘i< al-Naqsyabandi<, I Abduh Ibrāhīm, Yahya> Uwa>is, Ali Luth{fi<, Sami Madku>r, Hamdi Abd al- Rahman, Husei>n Nawāwi, Al-Jaziri, Uthma>wi<, Fathi< Muḥammad ‘Ali< dan Dāud Mansi.9

    2. Karya-Karya Dan Gagasan ‘A

  • 8Zareena Grewal, Islam Is a Foreign Country: American Muslims and the Global Crisis of Authority (New York: University Press, 2010), 191. 9Usa>mah al-Sayyid al-Azhari<, Asa>nir al- Faqi

    73 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ lembaga-lembaga riset internasional. ‘Ali< Jum‘ah telah menulis lebih dari 80 karya buku ilmiah yang mencakup banyak disiplin ilmu Islam\.10 Selain karyanya yang berupa buku, banyak pula tulisan-tulisan yang Ia tuangkan dalam bentuk artikel, jurnal, tahqiq, bahkan Ia banyak menulis dalam kolom mingguan di surat kabar Mesir membahas masalah-masalah kontemporer. Diantara karya-karyanya, antara lain: Us}u>l al-Fiq{h wa Ala>q{athu bi al-Falsafah Isla>miyah, At al-Ijtiha>d, An, al-Hukm al-Shar‘i<, al-Ijma>’ ‘inda al-Usu>liyyim al-Shafi’i wa Madrasatuhu al-Fiqhiyyah, al-Ima>m al-Buk{ha>ri<, al- Kalim al-Tayyib , Maba>hith al-Amr ‘inda al-Usu>liyyin, al-Madkhal ila> Dira>sah al-Mazha>hib al-Fiqhiyyah, al-Must{alah al-Usu>li wa al-T{atbis, al-Nad{zhariya>t al-Usu>liyyah wa Madkhal li Dira>sah ‘Ilm al-Usu>l, Qadiyah Tajdil al-Fiqh, al-Qiya>s ‘inda al- Usu>liyyin, al-Ru’yah wa Hujiyyatuha al-Usu>liyyah, Taqyih, al-Ṭarīq ilá al-turāth al-Islāmī: Muqadimāt Maʻrifīyah wa-Madākhil al-Manhajīyah. al-Dīn wa-al-ḥayāh: Al-Fatāwa> al-ʻAṣrīyah al- Yawmiyah. al-Nask{h ʻinda al-Uṣūlīyīn, al-Kāmin fī al-H{aḍārah al- Islāmīyah, al-Mar'ah fī al-Hạdārah al-Islāmīyah: Bail al-fiqh, sebagian besar karya ‘Ali< Jum‘ah bertemakan usu>l al-fiqh.11 Tentu hal ini turut merekam pelbagai refleksi pemikiran ‘Ali<

    10Ibra>hihihi

    74 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Jum‘ah dalam hukum Islam. Hal tersebut turut pula membentuk pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dalam mengeluarkan fatwa dalam berbagai kasus dan masalah. Menurutnya, teks apapun bentuknya (Al-Qur’an maupun hadis) merupakan bagian dari bahasa. Bahasa merupakan budaya, dan budaya tidak lepas dari unsur manusia. Memang telah diketahui bersama, bahwa teks shara‘ merupakan hal yang suci dan agung, akan tetapi ketika teks yang suci itu sampai kepada manusia, maka akal manusia akan mengalami proses terhadap teks, dan proses hasil pencernaan itu disebut pemahaman. Sebagaimana gajah dihadapkan kepada beberapa orang buta, kemudian mereka disuruh agar mendeskripsikannya, niscaya hasil deskrpsi masing-masing tentu berbeda, tergantung bagian mana yang disentuh dan bagaimana cara menyentuhnya. Yang ditekankan ‘Ali< Jum‘ah disini ialah teks lahir dan muncul dihadapan manusia agar dipahami sehingga mereka dapat menangkap maksud tuhan yang terdapat pada teks. Setelah mereka paham, mereka mengaplikasikannya dalam kehidupan. Hanya saja masalahnya bukan terletak pada teks, tetapi bagaimana pemahaman manusia terhadap teks. Sehingga banyak kaum muslimin saat ini paham tentang halal haram akan tetapi tak tahu darimana asal muasal halal-haram tersebut. Sehingga problematika yang dihadapi umat Islam adalah entah disengaja atau tidak telah jauh dari metodologi yang telah digariskan Allah dan Rasul sehingga banyak fenomena mengarah pada konservatif-tekstualis bahkan radikal. Dalam bukunya Responding from Tradition, ‘Ali< Jum‘ah mengapresiasi kebebasan beragama di beberapa negara barat termasuk umat muslim yang hidup didalamnya. Meskipun agama dan politik perspektif Islam berbeda dengan perspektif barat, ‘Ali< Jum‘ah mengakui bahwa sekularisme pada faktanya telah berhasil membangun stigma pluralistik yang mempunyai sisi sejalan dengan nilai-nilai Islam. Kebebasan dalam beragama mengekspresikan kepercayaan

    Excellence: A Journey into the Life and Thoughts of the Grand Mufti of Egypt, 127. ‘Ali< Jum‘ah dipandang sebagai guru besar usu>l al-fiqh. Bahkan dunia internasional mengakuinya sebagai seorang ahli hukum Islam yang terpandang. Lihat: Asthana, N. C. & Anjali Nirmal. Urban Terrorism: Myths and Realities. (Jaipur: Pointer Publishers, 2009), 117.

    75 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ secara terbuka mengisyaratkan bahwa barat tidak lagi dideskripsikan sebagai da>r al-harb atau da>r al-kufr.12 Selain itu, masalah perempuan turut menjadi perhatian ‘Ali< Jum‘ah dalam kajian yang Ia tuangkan karya karyanya –sebagaimana yang menjadi kajian dalam penelitian ini-. Ia menyatakan bahwa pria dan wanita dapat menikmati hak politik yang sama dalam Islam termasuk menjadi pemimpin.13 Dan tak jarang pula, ‘Ali< Jum‘ah mengeluarkan fatwa-fatwa dan pernyataan yang banyak berdampak besar bagi publik baik melalui media cetak, media elektronik, sosial media seperti chanel youtube maupun siaran televisi di Mesir. ‘Ali< Jum‘ah dipandang sebagai tokoh yang mempunyai konstribusi terhadap Mesir khususnya, dan dunia Islam modern pada umumnya. Puncaknya ialah ketika publik mengenalnya sebagai grand mufti< Republik Arab Mesir periode 2003-2013. Sejak ia ditunjuk sebagai grand mufti> pada tahun 2003, ‘Ali< Jum‘ah telah melakukan beberapa terobosan baru bagi lembaga fatwa Da>r Ifta> di Mesir seperti memodernisasi proses pengeluaran fatwa di Mesir salah satunya menjadikan teknologi dan sains sebagai sarana. Masyarakat Mesir dapat mengajukan permintaan fatwa pada suatu permaslahan melalui surel website Da>r al-Ifta>. Lebih dari itu, fatwa yang dikeluarkan oleh Da>r Ifta dapat menjangkau ke seluruh dunia dengan terjemahan fatwa ke berbagai bahasa.14 Sebelum menjadi mufti, Ia merupakan guru besar

    12Ibra>hir al-Ifta> al Mas}riyah merupakan lembaga\ penelitian hukum Islam yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan otoritas keputusan agama resmi di Mesir. Pada mulanya, lembaga fatwa Mesir tersebut merupakan salah satu lembaga yang berada di bawah naungan departemen kehakiman seperti mufti agung Republik Arab Mesir selalu diminta pendapatnya tentang vonis mati dan sebagainya. The Most Influential Muslim-2018. (Amman: The Royal Islamic Strategic Studies Centre, 2018) 64-65. Diakses di http://www.rissc.jo pada 9 Juni 2019.

    76 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ dalam bidang usu>l al-fiqh di universitas Al-Azhar. Selain keaktifan mengajar di universitas, Ia juga memberikan kajian ilmu (talaqqi) bagi para penuntut ilmu yang datang dari seluruh penjuru dunia di masjid Al-Azhar. Di masjid Al-Azhar ini pula, Ia memberikan berbagai materi disiplin ilmu Islam seperti aqiri>kh Islam dan lain sebagainya.15 Selain itu Ia turut pula menjadi penasehat kajian timur tengah di Universitas Harvard di Kairo. Dewan pembina mata kuliah studi Islam dan Bahasa Arab di Universitas Oxford di Timur Tengah dan menjadi dosen terbang diberbagai universitas baik dalam negeri maupun luar negeri. Mengomentari pendekatan modern dalam wacana keagamaan ‘Ali< Jum‘ah, Esposito mendeskripsikan ‘Ali< Jum‘ah akan usahanya membangkitkan pemikiran Islam yang mampu menjawab tantangan maupun problem pasca modernitas dengan metolodogi yang bijakn dalam mengekstraksikan hukum dan fatwa.16 Selain itu banyak lagi sumbangsih yang diberikan ‘Ali< Jum‘ah terhadap masyarakat muslim melalui keilmuwannya juga berbagai jabatan dan keanggotan bertaraf nasional maupun internasional telah Ia emban, antara lain: 17 1. Anggota Majma‘ al-Buhu>th al-Isla>miyah tahun 2004-2013. 2. Penasehat menteri wakaf Republik Arab Mesir semenjak 1998 hingga 2003. 3. Anggota Dewan pengawas Shari<’ah di International Islamic Bank For Investment and Development di Kairo sejak 1990. 4. Penasehat Akademik di International Institute of Islamic Thought juga direktur kantor cabang Kairo sejak 1992 hingga 2003. 5. Ketua Dewan Pengawas Shari<’ah di United Bank Of Egypt sejak tahun 1997 hingga 2003. 6. Anggota Penasehat Shari<’ah untuk Agricultural Development Bank sejak tahun 1997 sehingga 2003.

    15Gabriele Maranci, Studying Islam in Practice (New York: Routledge, 2013), 54. 16John J. Donahue and John L. Esposito, Islam in Transition, 4. 17‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib: Fata>wa> As}riyah, 417-422

    77 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    7. Anggota Dewan Pengawas Bank Timur Tengah dalam Muamalat Islam sejak tahun 1997 hingga tahun 2003. 8. Wakil Direktur Markaz Sa>lih Abd Alla>h Ka>mil Centre untuk bidang Ekonomi, Universitas al-Azhar sejak tahun 1993 hingga 1996. 9. Ketua Komite Fiqh di Majlis al-A‘la> li Shu’u>n al-Isla>miyah sejak tahun 1996 sehingga sekarang. 10. Anggota Fatwa Al-Azhar al-Sharif tahun 1995-1997 11. Ketua dewan direksi al-Jam’iyyah al-Kh}airiyyah Li al- Khidmah al-Thaqa>fah wa al-Ijtima’> iyyah di Kairo sejak tahun 1997. 12. Penasehat Umum untuk Masjid al-Azhar sejak tahun 2000. 13. Ketua Dewan Pengawas Mis}r al-Kh}aid, gelar penghargaan Egyptian Army Shield oleh menteri pertahanan Mesir, Abd al-Fatta>h al-Si>si,> dsb.18 B. Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah 1. Interferensi Sosio-Politik & Intelektual ‘Ali< Jum‘ah di Mesir Kultur akademik di Mesir pada dasarnya telah cukup lama memberikan peluang dalam kebebasan berfikir. Namun kebebasan

    18Lihat: www.draligomaa.com diakses pada 4 Agustus 2019 terkait berbagai penghargaan yang dianugerahi pada ‘Ali> Jum‘ah.

    78 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ berfikir tentunya bukan berarti tanpa batasan, sebab selain tumbuh sikap pluralistik juga masih banyak pemikir konservatif dan tradisionalis yang sulit diajak kompromi dalam melihat perkembangan dan realitas yang dihadapi oleh masyarakat Islam termasuk di Mesir dimana saat ini ‘Ali< Jum‘ah tumbuh dan berkembang sebagai da’i, tokoh dan pemikir Islam kontemporer. Tentu saja hal ini turut membentuk pola pemikiran ‘Ali< Jum‘ah terkait hukum Islam. Diawali pada abad XX yang dapat disebut pula sebagai zaman liberal (liberal age) di Mesir. Dengan berkembangnya paham liberal di Mesir, lahirlah apa yang disebut al-nahd{ah yaitu kebangkitan berkaitan berbagai aspek terkhusus kebangkitan politik dan budaya yang mendominasi Mesir. Hal tersebut dapat dilihat dari usaha penterjemahan peradaban Eropa. Secara garis besar ada tiga kecenderungan terkait hal tersebut. Pertama, The Islamic Trend (Kecenderungan pada Islam) yang diwakili Rashi@d Rid}a> (1865-1908) dan H{asan Al-Banna> (1906-1949). Kedua, The Sytentic Trend yaitu kecenderungan yang berusaha memadukan antara Islam dan kebudayaan barat, yang diwakili oleh Muhammad Abduh (1849-1905) dan Qa>sim Amiziq (1888-1966). Ketiga, The Rational Scientific and Liberal Trend yaitu kecenderungan rasional ilmiah dan pemikiran bebas dalam kelompok ini diantaranya Lut}fi< al-Sayyid.19 Dari tahun 1920 di Mesir berkembang liberalisme dan budaya barat dianggap sebagai sarana kompetisi. Pada periode ini, banyak penulis memberikan kontribusi penting bagi modernisasi Mesir.20 Dalam perjalanan kondisi iklim keagamaan dan ritual yang dijalankan masyarakat Mesir, dengan ditandai saat Mesir dibawah cengkraman kolonial Inggris, pada masa itu menjamurnya berbagai gerakan akan semangat reformasi agama yang diperkasai Muhammad Abduh dan Jama>l al-Dini<. Sebagaimana menurut Muhammad Abduh, hukum-hukum kemasyarakatan sangatlah perlu diperbaharui dan

    19Ibra>hi@m Abu> Rabi@, ‚Islam Liberalism In The Middle East Viable‛ dalam Hamdard Islamicus, Vol XII, No 4, (1989), 24. 20Mukhammad Zamzami, ‚Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam‛ dalam jurnal Al-Q{a>nu>n, Vol. 11, No.2, (Desember, 2008), 263.

    79 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ disesuaikan dengan tuntutan zaman yang berubah. Dengan demikian, taklid kepada ulama tidak diperlukan, karena hanya membuat kemunduran bagi umat Islam.21 Gerakan reformasi agama tersebut merespon kondisi keagamaan dan ritual yang dijalankan masyarakat Mesir dari berbagai bentuk ritual bid‘ah dan kh{ura>fa>t berkembang pesat diseluruh penjuru Mesir. Ajaran tasawuf yang terkontaminasi kian memicu berseraknya ritual aneh bahkan ditengah masyarakat. Menghadapi realita masyarakat kala itu terpecah menjadi dua kelompok. Kelompok pertama berpendapat, hendaknya masyarakat Mesir berkiblat kepada peradaban barat melepaskan diri dari segala ikatan dan peraturan, bahkan pemikiran Islam. Kelompok kedua berpendapat memperbaiki keadaan kaum muslimin dengan cara mengembalikan mereka kepada ajaran Islam yang benar, bersih dari khurafat, bid‘ah dan anggapan-anggapan yang keliru. Selain itu, juga dengan merevitalisasi ajaran-ajaran Islam sehingga relevan dengan roda kehidupan masa kini. Kelompok ini juga mencoba membuka diri dengan peradaban asing selama tidak bertentangan dengan Islam. Disaat bersamaan, munculpula gerakan -yang disebut beberapa pengamat- salafisme di Mesir yang turut menekankan Islam otentik lepas dari segala macam tradisi. Gerakan ini diperkasai oleh Rashi yang dalam perjalanannya berkembang menjadi gerakan pemikiran pembaruan ijtihad dalam Islam sebagaimana di Mesir berkembangnya Ikhwa>n al-Muslimi>n oleh Hasan Al-Banna> dan wahabisme yang dinisbatkan pada Muhammad ibn ‘Abd al-Waha>b di Arab Saudi. Tak dapat dipungkiri bahwa terdapat korelasi antara munculnya dua gerakan ini dengan dakwah reformasi keagamaan di Mesir. 22

    21Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam; Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 61-62. 22Muh. Khamdan, ‚Rethinking Deradikalisasi: Konstruksi Bina Damai Penanganan Terorisme‛ dalam jurnal Addin, Vol. 9, No. 1, Februari 2015, 185.

    80 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Menyoroti gerakan reformasi terpenting di Mesir, Ikhwa>n al- Muslimi>n yang didirikan H{asan Al-Banna>23>, menurut Raymond Beker, elaborasi Islam dengan sosial di Mesir terbukti merupakan warisan ikhwa>n al-muslimin al-Muslimi

    23Dalam rangka menekankan identitas politik sosial dan politik Islam dan untuk mengadaptasi prinsip Islam terhadap kebutuhan masyarakat modern, organisasi Ikhwa>n al-Muslimi>n muncul sebagai pandangan berbeda mengenai dua persoalan kunci strategi politik serta penerapan syariat Islam. Sebagaimana pendiri Ikhwa>n al-Muslimi>n, Hasan Al-Banna menyebarkan pemurnian prinsip-prinsip Islam dan seruan kembali pada Al-Qur’an dan kesalehan Islam. Ikhwa>n al-Muslimi>n juga muncul merespon pemikiran politik Mesir yang sejak awal abad XIX selalu didominasi pertentangan antara golongan nasionalis sekuler dan golongan Islam tradisional. Golongan berpendidikan barat berpendirian bahwa sistem politik Barat harus diterapkan di Mesir guna memajukan masyarakat Islam di masa mendatang. Golongan Islam tradisionalis yang mayoritas ulama menganggap dirinya selama ini sebagai penasehat pemerintah dalam aspek yang sangat luas termasuk kebijakan politik, tidak memiiki kesiapan baik pemikiran maupun sikap dalam menerima sistem politik barat. Kondisi demikian membuat penguasa dan intelektual berpendidikan barat menganggap ulama sebagai kendala modernisasi bahkan penyebab keterbelakangan dalam bidang politik, sosial dan ekonomi. Lihat : Deniel Crecelius, ‚The Course of Secularization In Modern Egypt‛ dalam John Esposito, Islam and Development: Religion and Sociopolitical Change (Syracuse: Syracuse University Press, 1980), 51 24Raymond Beker, Mesir dalam John Esposito (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern, (Bandung: Mizan, 2002), Vol. ke- IV, 55. 25Nathan J. Brown, ‚The Egyptian Muslim Brotherhood: Islamist Participation in a Closing Political Environment‛, dalam The Carnegie Middle East Center (Beirut No. 19 March 2010), 6.

    81 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ sangat cepat akhirnya gerakan ini muncul dengan pandangan yang berbeda mengenai dua persoalan strategi kunci politik dan perumusan serta penerapan syariat Islam.26 Pada tahun 1967, ikhwa>n al-muslimisuf al-Qarada>wi<, Ta>riq al-Bis}ri<, Kama>l Abu> al-Majd, dan Muhammad Sa>lim al-'Awa> telah mengembangkan rincian hukum dan doktrinal negara liberal Islam, membentuk pemikiran politik dan hukum yang dapat disebut ‘konstitusionalisme Islam’. 27 Menyoroti gerakan radikal di Mesir dalam beberapa tahun terakhir, Usa>mah Sayyid al-Azhari< mengatakan bahwa saat ini umat muslim menghadapi problematika yang sangat signifikan. Pemikiran radikal yang semula hanya sebuah pemikiran berevolusi menjadi sebuah organisasi, kelompok, dan aksi-aksi dilapangan. Bahkan dari pemikiran radikal lahirlah generasi kedua dan ketiga yang telah mengalami perkembangan pemikiran dan cara argumentasi hingga pada akhirnya melahirkan kelompok-kelompok yang melakukan aksi teror kemasyarakatan bahkan hingga pembunuhan.28 Usa>mah lebih lanjut, Hakimiyah merupakan persoalan utama yang menjadi pijakan kelompok radikal saat ini baik itu kelompok yang ada di Mesir yaitu

    26Tariq Ramadhan, ‚Hubungan antara Eropa dan Kelompok Islamis‛ dalam John Esposito et al, Dialektika Peradaban Modernisme Politik dan Budaya Di Akhir Abad ke-20 (Yogyakarta: Qalam, 2010), 187. 27Konstitusional Islam dimaksudkan bahwa negara sipil yang diperintah oleh Islam dalam berarti bahwa hukum itu sah hanya jika sesuai dengan prinsip-prinsip Syariah. Jika demokrasi, yang didalamnya terdapat konsultasi atau syura merupakan seperangkat institusi yang membatasi negara, menegakkan hukum, dan memungkinkan partisipasi publik dalam politik, maka konstitusionalisme Islam sepenuhnya kompatibel dengan demokrasi. Lihat: Bruce K. Rutherford, Egypt after Mubarak: Liberalism, Islam, and Democracy in the Arab World (New Jerse: Princeton University Press, 2008), 319-320. 28Usa>mah al-Sayyid al-Azhari<, Al-Haq al-Mubi Man Tala>ba Bi al-Di@n (Abu Dhabi: Dar a-Faqih, 2015), 8.

    82 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ ikhwa>n al-muslimil ‘Abd al-Nas}r, Anwar Sa>da>t hingga pecahnya revolusi Mesir pada tahun 2011. Gerakan Islamis mulai meraih simpati setelah turunnnya rezim Muba>rak. Bagaimanapun selama kurun ini gerakan Islamis tumbuh dan berkembang. Pada kasus ikhwa>n al-muslimi

    29Ideologi ekstremis ini tentu dipandang sebagai momok terpenting yang membagi dunia menjadi dua pihak yang bertikai, dunia Barat dan dunia Muslim, yang dibutuhkan adalah seluruh komunitas ulama Muslim, yang mengadvokasi pandangan yang seimbang dan implementasi yang tepat dari doktrin Islam - untuk mencoba dan menginstal kembali harmoni antara dua kutub dunia yang sedang sakit ini. Menurut mantan grand sheikh Al-Azhar, Ja>d al-Haq, bahwa mereka yang menggunakan kekerasan terhadap negara bukan Muslim karena mereka menyerang komunitas Muslim. Dalam sebuah pernyataan yang dibuat untuk memesan bagi pemerintah, ia kemudian menamai mereka sebagai orang-orang Khawarij, dan merekomendasikan hukuman sesuai Al-Quran. Pernyataan-pernyataan ini merujuk pada kelompok-kelompok Islamis yang melakukan kampanye militan untuk menjatuhkan pemerintah, yaitu Al-Jama>'ah Al-Isla>miyyah, Jiha>d Islam, dan Vanguard of Conquest. Secara signifikan, Ikhwanul Muslimin, meskipun dilarang, tidak membenarkan perubahan kekerasan dan karenanya tidak dicakup oleh kecaman Al-Azhar. Lihat: Usa>mah al-Sayyid al-Azhari<, Al-Haq al-Mubi Man Tala>ba Bi al-Di@n (Abu Dhabi: Dar a-Faqih, 2015), 9-10. 30Dilihat dari pemilihan parlemen pertama Mesir setelah jatuhnya Hosni Muba>rak, popularitas dan kekuatan organisasi Partai Ikhwan al- Muslimin dan al-Huriyah wa al-Ada>lah yang memenangkan 77 dari 156 kursi parlemen yang diperebutkan dalam putaran pemilihan pertama. Anehnya, itu juga mengungkapkan kekuatan aliansi Salafi yang tak terduga, didominasi oleh partai al-Nu>r, yang mengamankan 33 kursi. Sangat tidak nyaman bagi orang Mesir sekuler dan pemerintah Barat, partai-partai Islam sekarang mendominasi panggung politik Mesir. Lihat: Jonathan Brown, ‚Salafis and Salaf In Egypt‛, dalam jurnal Middle East The Carniege Papers, (Dec, 2011), 17.

    83 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Secara historis memang tidak dapat dipungkiri bahwa Mesir sebelum masa pemerintahan Husni< Muba>rak, tepatnya pada pemerintahan Presiden Anwar Sada>t tahun 1970-an, gerakan Islamisme tumbuh subur. Gerakan ini muncul disebabkan rezim Sadat yang dengan jelas mengarahkan Mesir menuju liberalisasi politik.31 Meski demikian, gerakan Islamisme belum dapat berkembang dengan baik. Pada tahun 1981, Presiden Sadat dibunuh oleh kelompok Islamis radikal takfi@r wa al-hijra, yang kemudian digantikan oleh Sufi< Abu> Ta>lib sebagai presiden. Tanpa proses yang lama, Sufi< Abu> Ta>lib digantikan oleh presiden resmi H{usni> Muba>rak yang kala itu menjabat sebagai wakil Presiden Sada>t. Lantas pada masa kepemimpinan H{usni> Muba>rak ini, menguatlah aktivisme Islam di kalangan kaum muda yang disebabkan pemberian panggung politik oleh H{usni>< Muba>rak bagi kelompok Islamis untuk tumbuh dan berkembang.32 Dengan meningkatnya daya tarik Islamisme di Mesir pada saat rezim H{usni> Muba>rak berkuasa, Muba>rak terus berusaha memproyeksikan kepemerintahannya sebagai legalitas yang sah secara agama. Sebagaimana diungkapkan oleh Rif‘at Sa‘i

    31Quintan Wiktorowicz, ‚Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus‛, terj.Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), 156 32Quintan Wiktorowicz, ‚Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus‛, terj.Tim Penerjemah Paramadina (Yogyakarta: Gading Publishing, 2012), 145-146. 33Steven Barraclough ‚Al-Azhar: Between the Government and the Islamists‛ dalam Middle East Journal, Vol. 52, No. 2 (Spring, 1998), 236.

    84 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Dalam iklim yang dihadapi Mesir seperti ini, ‘Ali< Jum‘ah merepresentatifkan sebagai cendekiawan pemikiran moderat sekaligus kritikus pemikiran ekstremisme dalam ranah intelektualitas muslim. Selain karena afiliasi yang begitu erat dengan Al-Azhar yang terkenal sebagai institut keilmuan Islam yang representatif juga sebagai kiblat Islam moderat umat muslim.34 Selain itu beberapa tokoh cendekiawan

    34Al-Azhar yang merupakan lembaga dan perguruan tinggi tertua di dunia membawa bendera moderasi Islam dan mencoba mengambil bagian dalam panggung publik seiring munculnya Islam radikal. Dalam konteks ideologi yang saat ini muncul dipermukaan publik gerakan Islam liberal dan gerakan Islam radikal, al-Azhar mampu menghadirkan wajahnya sebagai poros gerakan Islam moderat. Salah satu agenda utamanya adalah memperbaiki citra Islam di dunia internasional sembari membuktikan bahwa Islam adalah rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ’a>lamin). Garis-garis moderatisme yang dimaksud adalah: Pertama, memastikan bahwa paham Islam moderat tak akan melanggar atau melampaui garis-garis primer (al- thawa>bit). Kedua, membumikan toleransi. Ketiga, membangun dialog antar- agama. Al-Azhar dan para tokoh-tokohnya adalah bagian dari gagasan melawan para ekstremis dengan perspektif keagamaan moderat. Bahkan pemerintah Mesir sendiri menetapkan Al-Azhar sebagai simbol legimitasi Islam bagi negara Mesir. Hal tersebut dikukuhkan oleh H{usni< Muba>rak sejak dilantik sebagai presiden tahun 1981. Pada saat-saat maraknya trend Islamisme di Mesir, al-Azhar menjadi benteng terdepan dalam menghadapi kaum Islamis tersebut seperti Al-Jama>‘a al-Islamin al-Muslimi

    85 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ muslim juga banyak mempengaruhi perkembangan intelektualitasnya. Diantaranya Abd Alla>h ibn Siddiri<, Abd al-Fatta>h Abu> Guddah, Muḥammad Abu> al-Nu>r Zuhaiyr, Ja>d al-rabi Ramaḍān Jum‘ah, Ja>d al-Haq{ Ali> Ja>d al-Haq, Abd al-Jaliwi< al- Māliki dan lain sebagainya. ‘Ali< Jum‘ah yang berafiliasi Al-Azhar dan merupakan cendekiawan senior Al-Azhar35 dikenal sebagai tokoh yang populer dikalangan masyarakat Mesir bahkan dunia Islam sebagai seorang mufti semenjak Ia selalu muncul di media cetak maupun elektronik seperti siaran-siaran televisi, channel youtube dan lain sebagainya. Puncaknya adalah pernyataan-pernyatannya yang dianggap kontroversial berkaitan dengan Revolusi Mesir pada 25 Januari 2011. Karena beberapa pernyataannya menyebabkan mundurnya presiden Mesir, H{usni> Muba>rak pada 11 Februari 2011. Ia memperingatkan Muba>rak, jabatannya yang pada saat itu Ia emban, akan lebih berakibat pada potensi pertumpahan darah dan kekacauan dalam masyarakat Mesir. Akan tetapi disatu sisi, Ia memperingatkan massa yang memprotes Muba>rak bahwa demonstrasi yang mereka lakukan dapat merusak keberlangsungan kehidupan bernegara, terlebih apabila berpotensi menghilangkan nyawa satu sama lain, dan itu tidak diperbolehkan (haram) dari sudut pandang hukum Islam.36 Pernyataan tersebut berbanding balik ketika Revolusi Mesir ke-2 pada 3 Juli 2013 atau dikenal dengan sebutan ‚The 2013 Egyptian coup d'état‛37, Ia

    di dunia. Dalam bidang fiqh, Al-Azhar mengajarkan Fiqih ‘Ala Madha>hib al- Arba‘ah (Fiqh Mazhab) yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Shafiiyah dan Hanabilah. Selain itu, Al-Azhar tidak mengingkari adanya ijtihad individu atau golongan seperti Ibad}iyah, Zhahiriyah, Imamiyah dan Zaidiyah. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum (Kairo: Dar al-Muqatam, 2011), xxi. 35 Jonathan Brown, ‚Salafis and Salaf In Egypt‛, 17. 36Pernyataan ini disampaikan ‘Ali< Jum‘ah melalui saluran youtube berjudul ‚Fatwa> ‘Ali< Jum‘ah bi khus}us tad{ha>hara>ti yau>m al-jum‘ah‛ https://www.youtube.com/watch?v=7leQwsEB0&list=FLHfyNVWjX2twX7I cYPOURZA&index=32 diakses pada 24 Juli 2019. 37Kudeta Mesir 2013 berlangsung pada 3 Juli 2013. Panglima tentara Mesir saat itu, Abd al-Fata>h al-Si

    86 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ menyatakan dukungan penuh terhadap kudeta presiden sah Muhammad Mursi dan mendorong militer yang dipimpin Abd al- Fatta>h al-Si>si> untuk menindak mereka yang memprotes kudeta.38 Hal ini tentu menimbulkan reaksi berbagai kalangan, termasuk protes Yu>suf al-Qara>d}awi> terhadap ‘Ali< Jum‘ah. Bahkan al-Qara>dawi< mencap ‘Ali< Jum‘ah sebagai budak militer dan mereka yang berkuasa untuk melakukan kudeta pemerintah yang sah.39 ‘Ali< Jum‘ah menyatakan bahwa Mesir adalah masyarakat yang sangat religius, oleh karenanya, Islam akan mendapat tempat dalam tatanan politik yang demokratis. Namun, Ia meyakinkan umat Islam bahwa pada dasarnya hukum Islam menjamin kebebasan hati nurani, ekspresi dan persamaan hak setiap warga negara. Berkaitan dengan undang-undang Republik Arab Mesir, ‘Ali< Jum‘ah menyatakan bahwa Islam adalah agama resmi negara dan bahwa undang-undang didasarkan pada prinsip-prinsip hukum Islam serta menjamin

    lawan politik pemerintah Mohamed El-Baradei, Grand Sheikh Al Azhar Ahmed al-T{ayib, Ortodoks Koptik Paus Tawadros II untuk menjatuhkan Presiden Mesir, dari kekuasaannya dan menangguhkan konstitusi Mesir tahun 2012. Langkah itu dilakukan setelah ultimatum militer bagi pemerintah yang tidak berhasil menyelesaikan konflik dengan para demonstran secara nasional yang terus meluas. Militer menangkap Mursi dan para pemimpin Ikhwan al-Muslimin. Lihat: Ben Wedeman "Coup topples Egypt's Morsy; deposed president under house arrest'" dalam CNN, 4 July 2013. https://edition.cnn.com/2013/07/03/world/meast/egypt-protests diakses pada 25 Juli 2019. 38"Sheikh Ali Gomaa, former mufti of Egypt, cancels London visit for fear of prosecution". Dalam Middle East Monitor. https://www.middleeastmonitor.com/20140205-sheikh-ali-gomaa-former- mufti-of-egypt-cancels-london-visit-for-fear-of-prosecution/ diakses pada 25 Juli 2019. 39David Schenker, ‚Qara>d{awi< and the Struggle for Sunni Islam‛ dalam The Washington Institute pada 16 oktober 2013. Diakses dari https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/view/qaradawi-and-the- struggle-for-sunni-Islam pada 5 Agustus 2019.

    87 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ kewarganegaraan penuh di depan hukum kepada masyarakat Mesir tanpa memandang agama, ras atau kepercayaan.40 Sebagai seorang sarjana muslim, ‘Ali< Jum‘ah intens memberikan kritikan dan argumen terhadap para sarjana lain begitu pula dalam kapasitasnya sebagai cendekiawan moderat, ‘Ali< Jum‘ah menjadi banyak rujukan sebagai perdamaian antar agama banyak tulisan dan pendapatnya dimuat baik itu di Mesir sendiri maupun dunia Islam lainnya bahkan non-Islam sekalipun.41 Dalam buku The Future of Islam, John L. Esposito mengungkapkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah merupakan salah satu pemikir Islam kontemporer juga sebagai simbol pragmatis kebenaran Islam menghadapi tantangan zaman modern.42 Selain itu, ‘Ali< Jum‘ah dikenal pula sebagai guru tasawuf yang dihormati.43 Semenjak tahun 2001, ‘Ali< Jum‘ah seringkali menyampaikan serangkaian kuliah umum berkaitan tasawuf yang mana dari kuliah-kuliahnya tersebut dimodifkasi menjadi sebuah buku dengan judul The Path to God (al-T{arīq ila> Allah). Ia mengungkapkan

    40‘Ali< Jum‘ah, "In Egypt's Democracy, Room for Islam" dalam The New York Time, 1 April 2017. https://www.nytimes.com/2011/04/02/opinion/02gomaa.html?_r=1 diakses pada 25 Juli 2019. 41Dikutip dari majalah The Atlantic Monthly, ‘Ali< Jum‘ah mengambil sikap yang sangat jelas menentang interpretasi ekstrimis tentang Islam dan menobatkannya ulama paling anti-ekstremis di arus utama Islam Sunni.‚ juga beberapa juga tulisan artikel tentang ekstrimisme seperti artikel yang berjudul ‚Terorism Has Not Religion‛ diakses dari http://theamericanmuslim.org pada 26 Juni 2019. 42Ibra>hi

    88 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ pentingnya memahami esensi ibadah, yaitu kehadiran hati, yang tanpanya ibadah akan berubah menjadi ritual belaka dan hampa. Kehampaan yang kosong ini mengubah ritual menjadi sekadar penampilan dan simbol tanpa makna di hadapan Allah.44 Menurut ‘Ali< Jum‘ah juga, sufisme diperlukan untuk perbaikan moral yang tepat dan penciptaan hati yang murni dan manusia beradab yang bekerja untuk mengembangkan dan membangun masyarakat yang bermartabat dan tidak menimbulkan kerusakan. Sufisme pula turut ikut andil dalam mendekonstruksi ideologi teroris yang fenomenal saat ini. ‘Ali< Jum‘ah percaya bahwa puritanisme dan pembacaan ekstremis yang dilakukan oleh kaum radikal mewakili penyimpangan bagi Islam tradisional Mesir. Setelah pensiun dari jabatannya sebagai mufti, Ia terus menghidupkan tradisi kajian-kajian pembelajaran informal di Masjid Al-Azhar atau yang terkenal dengan sebutan talaqqi. Hal tersebut Ia lakukan semenjak tahun 1998, dengan sering menghadirkan sesi tanya jawab keagamaan setelah rangkaian ibadah shalat Jum’at di Masjid Sultan Hasan, di mana ‘Ali< Jum‘ah selalu menyampaikan pesan moderat dan menentang mereka yang memutarbalikkan ajaran Islam tanpa pengetahuan yang komprehensif. Dan ini membuatnya sangat populer di kalangan masyarakat yang tidak nyaman dengan ekstremisme. Di sisi lain, hal ini pula membuatnya sangat deras kecaman dari mereka yang berseberangan dengan ‘Ali< Jum‘ah, terlebih berkaitan dengan politik bahkan ‘Ali< Jum‘ah juga dijadikan target oleh kelompok Islamis ekstremis. Bahkan sempat lolos dari upaya pembunuhan terhadap hidupnya di luar masjid di Kairo.45 Mengomentari tipikal ekstrimis kontemporer, ‘Ali< Jum‘ah mengkritisi kesalahan paradigma mereka dalam bersikap merumuskan hukum. Dalam karya al-Mustashadidu>n46, ‘Ali< Jumah mengungkapkan

    44Ibra>hin; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 4-6.

    89 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ bahwa kaum ekstrimis sering mengkampanyekan nalar black conspiration (konspirasi hitam). Hal ini diaplikasikan seolah mereka dihinggapi adanya black conspiration terhadap mereka dari masyarakat sekitar. Sebagaimana seakan semua negara dunia membenci Islam, upaya ini direalisasikan melalui tiga sayap aliran perusak, yaitu zionisme (yahudi), kaum misionaris dan kaum sekuler dan itu membuat mereka berapi-api untuk menjadi musuh bagi mereka orang- orang disekitar mereka. Selain itu, kaum ekstrimis selalu menonjolkan kesombongan dan ujub. Implikasinya mereka meremehkan berbagai pendapat yang bertentangan dengan mereka. Sesuatu yang z{anni< (belum pasti) bisa berubah menjadi sesuatu yang qat}‘I< dalam pandangan mereka. Senantiasa menentang segala bentuk bentuk pembaharuan dalam agama dengan alasan bahwa setiap yang baru adalah bid‘ah dan setiap bid‘ah adalah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka. Sehingga mereka hanya hanya mengamati kulit luar saja mereka sulit melepaskan hawa nafsu ketika berintraksi dengan nas}s}-nas}s} Al-Qur’an maupun sunnah. 47 Secara garis besar ‘Ali< Jum‘ah menganggap bahwa kaum ekstrimis sangat sulit untuk menerima pemikiran atau pemahaman yang sehat. Mereka hanya percaya pada sebuah kelompok kecil yang mereka anggap sesuai dengan kehendak pemikiran mereka. Hal ini dapat berimplikasi tidak akan pernah dapat menerima pesan pengetahuan apapun dari masyarakat lain. Perdebatan ini setidaknya menggambarkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah merupakan seorang tokoh intelektual muslim yang ada saat ini. Dalam hal orientasi metodologis dan tipologis pemikiran, ‘Ali< Jum‘ah berpegang pada kedudukan sunni< dan ‘Ash‘ari< dalam mazhab teologis. Dalam kaitannya fiqh -meskipun ‘Ali< Jum‘ah memiliki kecenderungan khusus terhadap mazhab al-Sha>fi'i<, namun dalam banyak fatwa- fatwanya ‘Ali< Jum‘ah sering mengakomodir lintas mazhab pemikiran, dan mempertimbangkan maslahat dari masing-masing pendapat setiap mazhab. Bahkan tak segan pula ‘Ali< Jum‘ah mengambil pendapat

    47‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 7.

    90 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ mazhab selain Sha>fi>‘i>< sesuai kebutuhan realita yang lebih maslahat. Sehingga hukum-hukum yang dihasilkan dari fatwa-fatwanya terkesan adaptable dengan realita.

    2. Usu>l al-Fiqh dan Realitas Sosial Kontemporer a. Pembaharuan Usu>l al-Fiqh Ke Arah Yang Ideal Us}u>l al-fiqh merupakan pondasi utama dalam bangunan hukum Islam. Sebagaimana menurut ‘Ali< Jum‘ah, us}u>l al-fiqh dikategorikan sebagai ilmu alat yang berfungsi sebagai sebuah metodologi dalam rangka memahami nas}s} shar‘i< dan tata cara interaksi yang benar terhadap wahyu.48 Sebagai the queen of Islamic sciences, us}u>l al-fiqh memegang peranan penting dalam melahirkan ajaran Islam menjadi rahmatan lil ‘a>lami>n. Sebagaimana dimaklumi us}u>l al-fiqh sebagai mesin produksi fiqh selalu berdialektika dengan problem kontemporer.49 Hal ini sebagaimana diungkapakan oleh Muhamm{ad Abu> Zahra>, menurutnya secara metodologis, fiqh tidak akan terwujud tanpa ada metode istinba>t dan metode instinba>t itulah sebagai inti dari us}u>l fiqh.50 Bagi ‘Ali< Jum‘ah ilmu usu>l al-fiqh merupakan metodologi yang dapat berkembang sesuai dengan tempat dan waktu. Sebagai satu metodologi, tentu saja ilmu usu>l al-fiqh sangat terpengaruh oleh kondisi sosial yang melatarbelakangi pembentukan ilmu tersebut. Mengingat bahwa sejak pembukuan awal ilmu usu>l hingga saat ini telah berlangsung selama sekian abad, maka sudah menjadi satu keniscayaan untuk kemudian mengembangkan, mengkaji ulang dan menyesuaikan ilmu usu>l al-fiqh sesuai dengan konteks kekinian. Maka pembaharuan ilmu usu>l mejadi satu keniscayaan. Hanya yang

    48‘Ali< Jum‘ah, Us}u>l al-Fiqh wa Ala>qatuhu Bi al-Falsafah, (Kairo: Al- Ma'had Al-Ami<, 1996), 7. 49Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law; The Methodology of Ijtihad (Pakistan: Research Institute and International Institute of Islamic Islamic Thought, 1945), 1. 50Muhammad Abu> Zahra>, Us}u>l al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabiy 1958), 1

    91 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ dibutuhkan kemudian adalah standar yang jelas sehingga pembaharuan ilmu usu>l dapat berjalan sesuai dengan harapan.51 Banyak sekali fenomena realitas yang muncul di era modern, yang menurut para cendekiawan tidak cukup penjelasannya hanya dengan menggunakan perangkat metodologi hukum Islam klasik, bahkan menuding bahwa kerangka teoritis usu>l al-fiqh klasiklah penyebab kemunduran Islam dimasa sekarang. Oleh sebab itu menurut mereka formulasi tersebut harus menyentuh level yang fundamental yaitu dasar-dasar teoritis hukum Islam atau yang dikenal dengan usu>l al-fiqh. Al-Nail al-fiqh untuk memecahkan problem kontemporer.52 Oleh karenanya apabila para pemikir Islam hukum tidak memiliki kemampuan dan keberanian untuk memformulasikan dan mengantisipasi setiap persoalan dalam masyarakat dan menyelesaikan hukumnya, maka hukum Islam akan kehilangan aktualisasinya.53 Jama>l al-Banna> menyatakan, saat ini banyak sektor kehidupan yang telah berkembang dan melahirkan masalah-masalah baru yang belum disinggung oleh hukum Islam produk abad pertengahan. Selain itu, interaksi-interaksi sosial telah berganti, belum ada sistem hukum agama yang dapat mengekspresikan tujuan agama dalam realitas tersebut. Ini disebabkan fasilitas dan sarana kehidupan telah berubah dan berkembang, sehingga hasil keputusan hukum tertentu dalam format lamanya sudah tidak relevan lagi. Bersamaan dengan itu, ilmu pengetahuan mengalami perkembangan pesat, sementara hukum Islam lama berpijak pada pengetahuan terbatas ihwal metode perumusan

    51‘Ali< Jum‘ah, At al-Ijtiha>d (Kairo: Da>r al-Fikr, 2004), 98-99. 52Abdullahi Ahmed Al-Naim, Towards An Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right And International Law (New York: Syracusse University Press, 1990), 39. 53Sha>h Waliyullah bin Abd al-Rahm>an al-Dahlawi@, Hujjah Allah al- Ba>lighah, (Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, 2005), 19.

    92 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ sistem hukum yang mempunyai relevansi dengan realitas alam dan norma-norma sosial.54 Inilah yang menjadi kegelisahan dan keresahan intelektual ‘Ali< Jum‘ah, menurutnya, us}u>l al-fiqh bukanlah cabang ilmu yang sudah sempurna atau final, namun masih membutuhkan perbaikan agar lebih sesuai dengan perkembangan zaman. Us}u>l al-Fiqh klasik perlu mendapat kajian dan penulisan ulang agar dapat disesuaikan dengan konteks kekinian. Tidak hanya sampai disitu, Ia juga menghendaki terjadinya penambahan dalam muatan us}u>l al-fiqh.55 Lebih lanjut, ‘Ali< Jum‘ah menegaskan bahwa us}u>l fiqh merupakan cabang baru pada saat generasi salaf lambat laun mulai berangsur punah. Karena dahulu generasi salaf tidak membutuhkan ilmu tersebut, sebab pemahaman mereka terhadap teks shara‘ berasal dari keterampilan kebahasaan mereka. Selain itu, sebagian kaidah untuk memahami teks shara‘ dalam menyimpulkan hukum telah mereka kuasai dengan baik. Hingga pada abad ke-2 H, ilmu berubah menjadi profesi, maka para fuqaha dan mujtahid membutuhkan kaidah dan ketentuan untuk digunakan sebagai instrumen dalam merumuskan hukum dari teks-teks shara‘. Pada gilirannya mereka merumuskan kaidah-kaidah tersebut yang pada kemudian hari disebut us}u>l al-fiqh.56 Dalam perjalanan us}u>l al-fiqh selama kurun waktu 13 abad, us}u>l al-fiqh mengalami perubahan-perubahan mendasar, baik dari segi metodologi penulisan maupun dari segi materi pembahasan- pembahasan us}u>l al-fiqh sendiri.57 Kemudian pada abad ke-15 H

    54 Jama>l Al-Banna>, Nahw Fiqh Jadid (Kairo: Da>r al-Fikr al-Islami<, 2000), 299. 55‘Ali< Jum‘ah, Q}{a}diyah Tajdil al-Fiqh, (Kairo: Dar al-Hida>yah, 1993), 21-22 56‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 7 57Ditandai dengan kemunculan karya fenomenal al-Sha>fi>‘i> yaitu al-Risa>lah yang memuat tulisan us}u>l fiqh dengan metodologi sangat sederhana dan jauh dari sistematis, namun isinya begitu berbobot dan padat. Kemudian dikembangkan oleh ulama al-Sha>fi>‘iyyah, diantanya Ima>m al-Harama>in (478 H) yang mengkompilasikan metodologi mazhab al-Sha>fi>‘i> dan sisi ist}i>nba>t ulama mazhab al-Sha>fi>‘i> dalam adikaryanya Niha>yah al-Math{lab Fi< Dira>yat al-Mazhab, lalu al-Ghaza>li<

    93 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ sekarang ini, setelah melalui modifikasi dan perkembangan selama 13 abad lamanya, bermunculan buku-buku us}u>l al-fiqh yang metodologi penulisannya menggunakan pendekatan-pendekatan tertentu seperti pendekatan yang memudahkan para penuntut ilmu atau yang menekankan pada penelitian ataupun cenderung kepada studi komparatif ataupun yang cenderung mengambil fungsi awal us}u>l al- fiqh digunakan untuk memahami Al-Qur’an dan hadis. ‘Ali< Jum‘ah mengkritisi beberapa permasalahan yang muncul dalam ilmu us}u>l fiqh. ‘Ali< Jum‘ah menyatakan suatu hal yang aneh jika seseorang yang menguasai us}u>l al-fiqh dan fiqh secara bersamaan, akan tetapi hanya menguasai dalam pengajaran saja, dan hanya mengetahui fiqh dalam lingkup ruang materi pelajaran saja. Sebagaian besar karya-karya us}u>l al-fiqh telah membawa seseorang jauh dari tujuan mempelajari us}u>l al-fiqh itu sendiri, dan lebih banyak condong mendorong seseorang untuk menjadikannya sebagai tujuan dari memperkaya materi pelajaran itu sendiri, yaitu untuk menambah gelar bagi yang mengajar us}u>l al-fiqh sebagai ulama us}u>l.58 Oleh karenanya menurut ‘Ali< Jum‘ah perlunya tinjauan ulang kembali us}u>l al-fiqh agar lebih terarah sebagaimana semestinya tujuan dari mempelajari us}u>l al- fiqh itu sendiri dan memaksimalkan peran us}u>l al-fiqh dalam menyelesaikan permasalahan kontemporer. Sebagaimana diantaranya penulisan ulang secara metodologis dan sistematis penulisan agar

    (505 H) yang menyempurnakan apa yang telah dimulai gurunya Ima>m al-Harama>in, lalu pada gilirannya disusun secara sistematis oleh Fak{hr al-Ra>zi< (606 H) dan al-Afi@ (687 H) dalam karyanya al-Tanqiha>t. Disisi lain, ulama Hanifiyah seperti Abu> Mansu>r al-Maturidi< (333 H), Abu> Hasan al-Kara>kh{i< (340 H), Abu> Bakar al-Jas{a>h, Abu> Zayd al- Dabu>si< ( 430 H) Abu> Yusr al-Bazdawi< (482 H) telah menyusun us}u>l fiqh dengan metodologi sendiri. Disamping itu, terdapat ulama mutakhiri@n yang menulis us}u>l fiqh dengan menggabungkan dua metodologi diatas seperti al-Subki, ibn Qayim, Al-Sha>tibi<, al- Shawka>ni>, dan lainnya. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 5- 9. 58‘Ali< Jum‘ah, At al-Ijtiha>d, 61.

    94 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ dapat disesuaikan dengan konteks saat ini dengan dikemas dengan bahasa-bahasa kekinian agar mudah dipahami. Studi usu>l fiqih konvensional masih berputar pada pendekatan doktriner normative. Hal ini diakibatkan hukum Islam masih sangat didominasi oleh model penarikannya yang diderivasikan dari wahyu saja sedangkan realitas sosial yang hidup dan berlaku dimasyarakat kurang mendapatkan perhatian yang memadai dan tempat yang proposional dalam kerangka metodologi hukum Islam.59 Hal tersebut sebagaimana dilontarkan oleh Muhammad Sa‘iwi>, bahwa pembedaan antara agama sebagai ide murni dan sebagai pemikiran untuk menguraikan ide murni tersebut. Agama sebagai suatu ide atau sistem ide dan kepercayaan bersifat ketuhanan tidak dapat diletakkan dalam konteks kemanusiaan. Sementara pemikiran keagamaan adalah produk manusia dan berkaitan dengan masyarakat tidak dapat dipisahkan dari realitas sosial tertentu dan sejarah masyarakat60, Pandangan hampir serupa juga dikemukakan Kha>lid Abu> Sulain,61 Fazlur Rahman62 dan ‘Abd al-Hami Sulain63. Dilihat dari orientasi utama dalam kajian usu>l al-fiqh sebagaimana dikatakan T{a>hir Ibn Ashu>r. Betapa besar dalam persoalan usu>l al-fiqh tidaklah

    59Dalam hal ini, Imam al-Sha>tibi sebagaimana dikuti al-Ja>biri< menyatakan bahwa epistomologi ilmu usu>l fiqh yang telah ada sebelumnya mempunyai kekurangan karena hanya berputar pada mengutak-atik teks teks untuk mendapatkan kebenaran bayani. Abid Ali Al-Jabiri<, Bunyah al-‘Aq{l wa al-‘Arabi<, Dira>sah Tahliliyah Naqdiyah Li al-Niza>mi al-Ma’rifah al-Thaqafah al-A’rabiyah (Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi al-‘Arabi<, 1993), 540. 60Muhammad Sa’iwi, l al-Shari<’ah (Beirut: Da>r al-Iqra, 1983), 24. 61Kha>led Abu> al-Fad{l mengajak untuk melakukan pembongkaran- pembongkaran terhadap otoritarianisme dalam hukum Islam. Kha>led Abu> al- Fad{l Speaking In God’s Name: Islamic Law, Authority and Women, 18. 62Fazlur Rahman, Islam and Modernity Transformation of An Intellectual Tradition (Chicago: The University of Chichago Press, 1996), 7. 63Abd al-Hami Sulayma>n, Towards An Islamic Theory of International Relation: Directions For Methodology and Thought (Virginia: The International of Islamic Thought, 1993), 64.

    95 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ berorientasi pada pelayanan hikmah shar‘i> dan tujuannya tapi orientasinya berputar pada penarikan hukum dari lafal shar‘i<.64 Sebenarnya geliat ide pembaharuan marak dilakukan para sarjana dalam bidang usu>l al-fiqh, diantaranya Rifa>'at al-T{ahta>wi<, Meskipun secara umum pembaharuan bersifat umum untuk semua cabang ilmu melalui bukunya yang fenomenal al-Qa>ul sadil al-fiqh di era kontemporer saat ini, beberapa ulama telah mewacanakan permasalahan ini lebih mendalam seperti yang diwacanakan oleh H{asan Tura>bi<, Jama>l al-Di, T{aha> Ja>bir Al-‘Alwa>ni, Amr al-T{ala>bi< dan lain sebagainya. H{asan T{urabi< misalnya, menghendaki reformasi total dalam penggalian hukum Islam dalam hal ini usu>l al-fiqh. Ia menganggap bahwa usu>l al-fiqh saat ini sudah tidak relevan dengan perkembangan zaman. Baginya, usu>l al-fiqh klasik merupakan jawaban terhadap problematika umat yang berkembang pada saat itu yang masih sangat sederhana. Sementara permasalahan kontemporer semakin luas dan sangat kompleks. Jika memang ilmu usu>l al-fiqh adalah jawaban atas realitas sosial kemasyarakatan yang dipengaruhi ruang dan waktu, maka untuk menjawab berbagai tantangan yang terus meluas dibutuhkan usu>l al-fiqh yang lebih sesuai dengan perkembangan zaman. H{asan T{urabi< juga mengajak untuk menyelesaikan ketidakjelasan metodologis yang menimpa ilmu usu>l al-fiqh, ilmu usu>l al-fiqh perlu direkonstruksi dengan cara menyatukan antara ilmu-ilmu naql dengan ilmu-ilmu rasional.66 Berbeda halnya dengan Sali yang menginginkan agar rekonstruksi dapat dimulai dari analisa kritis terhadap penerapan ilmu usu>l al-fiqh tersebut. Dengan kata lain, Ia masih sepakat terhadap kandungan ilmu usu>l al-fiqh klasik, hanya saja ketika berhadapan dengan realita yang berbeda, maka usu>l al-fiqh harus menyesuaikan

    64Muhammad Ibn T{a>hir Ibn Ashu>r, Maqa>sid al-Sha>rir al-Salam, 2005), 4. 65‘Ali< Jum‘ah, Q}{a}diyah Tajdil al-Fiqh, 4. 66H{asan al-Tura>bi<, Tajdil al-Fiqh al-Isla>mi< (Kh}arto>um: Maktabah Da>r al-Fikr, 1980), 45-46. Lihat juga: H{asan al-Tura>bi>, Q}ad{a>ya> al-Tajdi>d Nahwa Manhaj Usu>l i (Beirut: Da>r al-Ha>di: 2000), 167-168.

    96 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ diri sehingga akan menghasilkan fiqh yang berbeda pula. Ilmu usu>l al- fiqh klasik masih dapat memberikan jawaban terhadap realitas kontemporer tanpa harus merubah bahkan menghancurkan kerangka dasar ilmu usu>l al-fiqh itu sendiri.67 Hal senada diungkapkan, Jama>l al-Dil al-Fiqh. Dalam hal ini, Jama>l al- Dil fiqh ini, bahwa sebagai metodologi dalam kajian hukum Islam, us}u>l al-fiqh merupakan cabang ilmu yang didalamnya berkaitan dengan bahasa arab, ilmu dan fiqh.69 us}u>l al-fiqh sebagai disiplin yang mengkaji hukum bukan hanya mempelajari masalah hukum dan legimitasi dalam suatu konteks sosial melainkan juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistimologis. Dengan kata lain, us}u>l al-fiqh tidak hanya berisi mengananlisa argumen dan penalaran hukum belaka, tetapi juga terdapat pembicaraan mengenai logika formal, teori linguistik dan epistimologi hukum.70 Diantara masalah yang perlu dikaji ulang adalah penyederhanaan bahasa terutama didalam membuat definisi tidak terlalu membesarkan masalah yang diperselisihkan ulama, membuang masalah yang tidak ada kaitannya dengan usu>l al-fiqh, seperti beberapa masalah tentang bahasa, ilmu kalam filsafat, mustalah hadith dan mengaplikasikan setiap masalah yang dibahas dengan contoh-contoh konkrit yang

    67Muhammad Sali, Al-Isla>mi< Fi< al-T{arimi<, 1998), 22. 68Jama>l al-Dir al- Fikr, 2000), 9. 69‘Ali< Jum‘ah, Q}{ad{iyah Tajdil al-Fiqh, 19. 70‘Ali< Jum‘ah, At al-Ijtiha>d, 61.

    97 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ dibutuhkan masyarakat serta berusaha menggunakannya untuk memahami Al-Qur’an dan hadis yang merupakan tujuan utama dari ilmu usu>l al-fiqh itu sendiri.71 Pada dasarnya, ‘Ali< Jum‘ah sendiri cenderung sepakat dengan rekonstruksi ilmu usu>l al-fiqh. Hanya saja Ia memberikan beberapa catatan, diantaranya adalah:  Perlu dibukukannya ilmu usu>l al-fiqh sesuai dengan susunan dan model pembukuan kontemporer.  Usu>l al-fiqh juga perlu dipermudah dan disederhanakan dengan menghindari berbagai perdebatan lafaz ulama klasik yang kiranya tidak berpengaruh pada penetapan hukum.  Terkadang apa yang dikehendaki ulama salaf tidak dapat dipahami oleh khalaf. Untuk itu, perlu dibentuk mu‘jam must}alaha>t us}u>liyyah yang dapat menerangkan secara jelas mengenai berbagai definisi dan persoalan usu>l lainnya.  Begitu pula, sedapat mungkin ilmu usu>l al-fiqh dapat mengambil pelajaran dari metodologi ilmu sosiologi, dan demikian juga sebaliknya, ilmu sosiologi dapat mengambil pelajaran dari metodologi ilmu usu>l al-fiqh. Sementara dari segi kandungan ilmu usu>l al-fiqh dapat diadakan kajian ulang sebagai berikut: Petama, Memasukkan ilmu maqa>s}id, ilmu qawa>‘id, furuq dan al-takhri>j dalam ilmu usu>l al-fiqh supaya lebih kelihatan dalam tataran praktis. Kedua, Membuang al-dakhil. Maksudnya adalah menghindari kajian yang tidak berkaitan erat dengan ilmu usu>l. Ilmu lain yang berkaitan dengan ilmu usu>l dapat dibukukan secara independen seperti ilmu kalam, logika dan ilmu bahasa. Ketiga, Membuat daftar isi yang jelas agar dalam berinteraksi dengan ilmu usu>l al-fiqh semakin mudah. Keempat, Menyusun kembali ilmu usu>l al-fiqh secara sederhana setelah membuang al-da>kh}il. Menerangkan perbedaan pendapat dari ulama usu>l serta mencantumkan pendapat yang dianggap paling ra>jih. Selain itu, pengembangkan dari tema kandungan ilmu usu>l al- fiqh sebagaimana berikut:

    71‘Ali< Jum‘ah, At al-Ijtiha>d, 48.

    98 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Pertama, Menerangkan inti-inti dari pembahasan yang perlu digunakan dan mengeluarkan permasalahan furu>’iyah (takhri’), mengkaitkan dengan kaidah fiqhiyyah dan disertakan keterangan mengenai manfaat yang dapat diambil dari berbagai perbedaan pendapat tersebut. Kedua, Menjadikan maqa>s}id shar‘iyah sebagai sandaran dalam fatwa. Ketiga, Mengembangkan dan mengkaji kembali sumber-sumber hukum dan metodologi yang perlu digunakan (mas}a>dir-mana>hij-adawa>t). Keempat, ijma>‘ dan ijtihad dirubah dalam bentuk lembaga-lembaga formal. Kelima, Menggunakan metodologi ilmu usu>l al-fiqh dalam ilmu-ilmu sosial. Keenam, Menggunakan metodologi ilmu-ilmu sosial dalam ilmu usu>l al-fiqh. Ketujuh, Memanfaatkan berbagai cabang ilmu baru yang dapat membantu dalam pengembangan ilmu usu>l al-fiqh.72 Berdasarkan pengamatan penulis, disini dapat disimpulkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah dalam pendapatnya terkait pembaharuan cenderung pada prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulama klasik. Hanya saja pembaharuan lebih pada format dan isi usul al-fiqh adalah kritikannya terhadap sarjana pengusung teori pembaharuan us}u>l al-fiqh semisal H}asan al-Tura>bi<, Jama>l al-Di. ‘Ali< Jum‘ah mengkritik bahwa apa yang dilontarkan al-Tura>bi< hanya sebatas wacana dan tidak menyentuh rekonstruksi dalam usu>l al- fiqh sama sekali. Terdapat inkonsistensi antara konsep dan implementasi, karena H{asan al-T{urabi< tidak menjelaskan tema mana saja yang sudah tidak sesuai dengan konteks kekinian dan juga tema apa yang perlu ditambahkan agar lebih sesuai dengan situasi dan kondisi. Konsep pembaharuan yang Ia wacanakan hanya ingin membebaskan kerangka berfikir dari keterikatan oleh nas}s} tapi pada nyatanya banyak kebijakan-kebijakan H{asan al-T{ura>bi< sebagai politisi dan posisinya dipemerintahan yang terksesan tektualis seperti kebijakannya tidak membolehkan perempuan menduduki jabatan publik.

    72‘Ali< Jum‘ah, Q}{ad{iyah Tajdil al-Fiqh, 53.

    99 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Lalu, menanggapi Jama>l al-Dil al-fiqh dari segi format dan isi kandungan, tapi tak lepas kritikan dari ‘Ali< Jum‘ah, bahwa Jama>l al- Dil al-fiqh, namun tidak mampu keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulama sebelumnya. b. Idra>k Al-Wa>q{i>‘ dalam Teori Ifta>’ Muncul adagium masyhur dikalangan para sarjana hukum Islam ‚yajibu ala> al-mufti< an yudrika al-wa>qi<‘‛ dalam hal ini menurut ‘Ali< Jum‘ah teoritis dalam Ifta> (penyimpulan hukum) merupakan poros usu>l al-fiqh yang menuntut pemahaman terhadap realitas sebagai unsur paling pokok. Fatwa tidak akan menghasilkan hukum yang adaptable sesuai zaman kecuali didasarkan pada pemahaman yang benar terhadap suatu kejadian atau permasalahan yang dimintakan fatwanya atau hukumnya. Dalam hal ini perlunya pemahaman yang komprehensif terhadap semua sisi realitas.73 Hubungan antara teori hukum dan realitas merupakan salah satu materi pokok dalam diskursus hukum Islam. Terkadang, dampak perubahan yang begitu besar dapat mempengaruhi bangunan teori, sehingga memunculkan suatu konsep baru dalam falsafat hukum Islam.74 Dalam kata pengantar al-Muwa>faqa>t, ‘Abd Alla>h Dara>z mengungkapkan bahwa dampak yang diberikan oleh perubahan realitas menghasilkan perbedaan hasil pemikiran hukum. Terkadang, begitu besarnya efek yang ditimbulkan juga akan mempengaruhi bangunan

    73‘Ali< Jum‘ah, Us}u>l al-Fiqh wa Ala>qatuhu Bi al-Falsafah. 40. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Ushu>l al-Fiqh, 206. 74Muh}ammad Kha>lid Mas‘}u>d, Shat{ibi’s Philoshophy of Islamic Law (Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1995), 1.; Majid Khadduri, ‚From Religion to Natural Law,‛ dalam J.H Thomson & R.D. Reischauer, (eds.), Modernization of the Arab World (Princeton: Nostrand, 1966), 38.

    100 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ metodologi,75 sehingga para us}u>li< (khususnya ulama kontemporer) mencoba menelaah kembali dan merekontruksi ulang bangunan metodologi hukum guna menciptakan produk hukum yang signifikan dan relevan. Bagi ‘Ali< Jum‘ah, memahami realitas adalah permasalahan akhir yang terdapat dalam teori ifta>‘ dan berhubungan dengan prosesi pemberian fatwa itu sendiri. Dalam literatur usu>l al-fiqh, pembahasannya diletakkan setelah seorang us}uli> paham cara menyelesaikan kontradiksi antar nas}s} dan paham maqa>s}id shari<’ah. Para usu>li< generasi awal tidak memaparkan pembahasan ini dalam paparan yang luas bagaimana memahami konteks. Jelaslah bahwa hal ini, dikatakan sesautu yang tertinggal dalam kecakapan amaliah personal, dan para usu>li< tidak menganggap perlu untuk menuliskanya dalam sebuah karya, dengan pertimbangan bahwa hal itu sudah dipelajari langsung secara individual-mandiri mereka masing-masing.76 Secara garis besar, ‘Ali< Jum‘ah membagi tiga poin yang wajib dikuasai agar produk hukum dapat betul-betul bersifat fungsional, yaitu kecakapan dalam memahami nas}s} (idra>k al-nus}u>s}), memahami realitas (idra>k al-wa>qi’), dan kemampuan menghubungkan antara nas}s} yang mutlak dengan kejadian yang relatif.77 Hal senada diungkapkan pula oleh Ibn al-Qayyim yang mengemukakan bahwa fatwa ditetapkan setelah mujtahid atau ahli fatwa melewati dua proses analisa, yaitu analisa terhadap realitas (fahm alwa>qi‘) dan analisa terhadap nas}s} (fahm al-wa>jib fi> al-wa>qi‘).78 Maka dari itu, pemahaman manusia terhadap realitas tentu berbeda-beda sesuai zaman dan informasi yang diperoleh. Dengan memahami realitas suatu yang berkembang, ahli istinba>t} akan lebih berhati-hati dalam mengeluarkan hukum dan meletakkan hukum yang adaptable sesuai kebutuhan. Menurut ‘Ali< Jum‘ah, realitas adalah segala hal yang pasti dihadapi oleh manusia dengan panca inderanya yang normal. Dengan

    75Lihat pengantar ‘Abd Alla>h Dara>z dalam al-Sha>t}ibi<, al-Muwa>faqa>t fi Us}u>l al-Shari>‘ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiri>kh Usu>l al-Fiqh, 133. 77‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 133. 78Ibn Qayyim al-Jawzi>, I‘la>m al-Muwa>qi‘i>n ‘an Rabb al-‘Ala>mi>n, (Dammam: Da>r Ibn al-Jawziyyah, 2002), Vol. 4, 337.

    101 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ pemaknaan ini, maka antara nabi Adam As dengan manusia modern normal saat ini adalah sama. Dalam setiap perubahan masa, ruang dan waktu dan orang, manusia menemukan kebenaran baru yang bersebrangan dengan realita sebelumnya atau bahkan memperkuat kenyataan sebelumnya. Dengan demikian maka nas}s} shar‘ dalam k}hita>b Allah untuk semua orang sejalan dengan realita yang ada.79 Yu>suf al-Qara>d}a>wi<> mengungkapkan bahwa fatwa merupakan solusi terbaik bagi para mujtahid dalam menjawab masalah-masalah aktual umat Islam. Namun, sebelum mengeluarkan fatwa, seorang mufti atau ahli fatwa terlebih dahulu wajib memahami hakikat realitas yang melatarbelakangi terjadinya sebuah kasus hukum.80 Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa salah satu aspek terpenting yang harus diketahui dan dipahami oleh seseorang yang hendak mengeluarkan fatwa adalah pemahaman terhadap realita agar hukum yang dikeluarkan adaptable sesuai tuntunan zaman. Maka realita harus dilihat dari segala seperti aspek sosial, budaya, ekonomi politik, dan lain sebagainya yang kemudian dihubungkan pada nass untuk memahami itu semua. Dalam hal ini, ‘Ali< Jum‘ah memperlihatkan wajah baru pada istinba>t hukum (teori ifta>) dalam mengkaji permasalahan, dan tentu permasalahan tersebut harus dipahami secara komprehensif. ‘Ali< Jum‘ah memetakan subjek kajian usu>l al-fiqh dalam 3 kelompok besar: Pertama, teori hujiyyah, thubu>t dan dalalah dapat dirangkum dalam satu wadah dengan sebutan "pemahaman". Kedua, teori q{at}‘i>-z}anni<, Qiya>s dan teori istidla>l ditampung dalam satu wadah dengan sebutan ‚menyelesaikan kontradiksi dengan tarjish}id, semuanya harus dipahami sebagai teori yang saling melengkapi, bukan sebagai teori yang terpisah-pisah. Bahkan, teori- teori ini ibarat jaring yang tali-talinya saling bertautan sehingga membentuk pola pikir seorang faqih dan usuli, pada saat yang sama akan berproses membentuk daya nalarnya sebagai seorang mujtahid. Dan Ketiga, yaitu fatwa> dan mufti<’ atau peneliti sesuai sebutan zaman

    79‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 134 80Yu>suf al-Qara>d}a>wi>, Al-Fatwa> Bayna al-Ind{iba>t} wa al-Tasayyub (Beiru>t: al-Maktab al- Isla>mi>, 1995), 67.

    102 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ sekarang. Dan poin ketiga ini menjadi poin inti dari pembahasan pada sub judul ini.81 Selengkapnya, ketiga kelompok besar ini penulis jabarkan dalam tujuh teori yang diusung ‘Ali< Jum‘ah dalam membahas mengenai bagaimana kerangka berfkir para ulama usu>l al-fiqh dalam beristinba>t sehingga sampai pada sebuah kesimpulan hukum yang adaptable. Tujuh teori tersebut memiliki urutan yang sistematis, rasional dan logis. Namun demikian, hal tersebut tersebut bukan sesuatu yang sifatnya paten dengan kata lain tujuh yang dipaparkan oleh ‘Ali< Jum‘ah ini bisa saja diintergrasikan antara teori satu dengan yang lainnnya. Adapun ketujuh teori yang diusung ‘Ali< Jum‘ah tersebut diantaranya:82 Pertama, teori otoritatif. Yaitu memastikan sumber otoritatif yang mendasari suatu pemikiran dimana dalam konteks pemikiran hukum Islam kaitannya erat dengan dasar teologis. Sumber hukum utama dalam Islam adalah Al-Qur’an yang merupakan nas}s} (}teks) terbebas dari penyimpangan, Sumber setelahnya yaitu sunnah yang menjelaskan dan melengkapi apa yang tidak dijelaskan secara rinci dalam Al-Qur’an. Dengan demikian haruslah seorang muslim meyakini bahwa apa yang disampaikan Rasulullah dijamin terbebas dari kekeliruan dalam penetapan shari<‘ah. Kedua, teori otentisitas. Pada langkah selanjutnya, memastikan otentisitas sumber otoritatif tersebut sehingga bisa dijadikan dasar hukum. Hal ini lebih banyak diterapkan dalam kasus sunnah Rasulullah Saw. Suatu perkataan Rasulullah Saw. (hadis) bisa disebut sunnah ketika ia disampaikan secara lisan dari waktu ke waktu oleh para periwayat yang adil dan terpercaya. Meski sunnah disepakati sebagai teks yang otoritatif, namun tidak akan berguna jika ternyata tidak benar-benar bersumber dari Rasulullah Saw. Terdapat sejumlah ilmu bantu yang dapat digunakan untuk menuju otentisitas, yaitu -Ilm Mus}t}olah} al-Hadi

    81‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 52-53. 82‘Ali< Jum‘ah, Us}u>l al-Fiqh wa Ala>qatuhu Bi al-Falsafah, 34-40. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Al-Madkh}al Ila> Dira>sa>t al-Maza>hib al-Fiqhiyah (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2012), 387-390.

    103 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Ketiga, teori pemahaman. Setelah teks dianggap otoritatif dan otentik menjadi sebuah dalil. Maka langkah selanjutnya bagaimana teks tersebut untuk dipahami. Hal tersebut dapat dipahami melalui di antaranya lewat pemahaman kebahasaan, seperti kaidah, makna leksikal setiap kata, makna yang khas pada teks itu, hingga bercermin kepada hukum apa yang sudah muncul dari penafsiran teks itu. Keempat, teori qat}‘i < wa z{anni>. Setelah tahap pengambilan hukum dilalui melalui teori otoritatif, otentik dan pemahaman pada nas}s}. Selanjutnya, diperlukan tambahan perangkat lain dalam memehami nas}s, seperti ijma>‘ dan lain sebagainya. Semisal ‘Ali< Jum‘ah mendeskripsikan sebagaimana dalam kasus ayat wud}u>’. Secara kebahasaan, dalam ayat Qs. al-Ma>idah (5): 6, Fa idha> qumtum ila> al- s}ola>t faghsilu> wuju>hakum dapat dipahami kalau wud}hu> justru dilakukan setelah shalat. Hal ini, bukan yang dikehendaki oleh ayat ini. Maka, peran ijma>’ ulama pada bagian ini berperan besar untuk memastikan apakah pasti hukum yang ditelurkan dari teks itu demikian, atau masih memiliki kemungkinan lain. Kelima, teori analogi hukum (q{iya>s). Tidak semua hukum disebutkan secara eksplisit maupun implisit dalam nas}s}. Bagaimana jika ada permasalahan yang membutuhkan status hukum, sementara teks tidak ada yang berbicara soal itu. Solusinya, teks yang hadir pada suatu zaman tertentu itu, bisa menjadi analogi untuk permasalahan- permasalahan lain yang memiliki ‘illat hukum yang sama sehingga bisa memiliki kesamaan dasar hukum. Keenam, teori al-istidla>l. Mungkin, hanya dua sumber itu (Al- Qur’an dan Sunnah) yang disepakati ulama sebagai dalil yang absah dalam istinba>t hukum. Namun, terdapat sumber lain yang memungkinkan untuk menempati posisi keduanya, meski masih menjadi perdebatan diantara para ulama. Seperti ‘urf, ‘a>dat, Qawl al- S}aha>bi<, hingga hukum yang sudah ada sebelum muncul khazanah hukum Islam. Dengan segala perdebatan yang ada soal keabsahannya, setidaknya sumber yang mendukung tersebut dapat menjadi pertimbangan sebagai referensi pengambilan hukum, paling tidak untuk mendukung kedua dalil yang otoritatif tadi. Ketujuh, teori Ifta> (penyampaian fatwa). Teori pada dasarnya menjadi inti dari pembahasan sub bab pada teori dalam usu>l fiqh.

    104 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Dalam khazanah hukum Islam, dalam satu topik tertentu tidak memiliki hukum yang tunggal. Kadang, hukumnya beragam. Di antara keputusan hukum itu, ada yang kedudukannya kuat, ada juga yang lemah. Berkaitan dengan hal ini, ulama usu>l al-fiqh memiliki kedudukan yang disebut mufti< (pemberi fatwa). Seorang mufti dapat memutuskan hukum yang berbeda untuk permasalahan yang sama, karena objek hukum yang memintanya (mustafti<) juga berbeda kondisinya. Untuk mewujudkan hal itu, mufti perlu mempertimbangkan banyak aspek, seperti sisi maqa>s}id al-shari<‘ah hingga apakah ada dalil yang saling bertentangan soal hukum itu sehingga perlu dipilah mana dalil yang bisa digunakan karena lebih kuat dan mana yang tidak (al- ta’a>rud{ wa al-tarjit ketika Ia menguasai hujjah bagaimanapun Ia harus tahu kondisi secara riil dalam mewujudkan maq{a>sid al-shari<‘ah ataupun menghilangkan kontradiksi dengan tarjih<, ataupun kontekstualisasi wahyu terhadap realitas. Hal ini ni semua yang melatarbelakangi terbentuknya naz}ariyat ifta> (teori fatwa) yang mana mempunyai konsekuensi lain, yaitu persyaratan apa saja yang harus dipenuhi oleh seorang peneliti atau mujtahid, dan seperti apakah orangnya sehingga d\apat memberikan fatwa? Jawabnya adalah orang yang mampu memahami realitas, paham terhadap nas shara', dan juga paham bagaimana kontekstualisasi nass terhadap realitas itu sendiri. Inilah hakikat seorang mujtahid.83 Bagi ‘Ali< Jum‘ah seorang mujtahid dalam memahami sebuah hukum dalam syariat Islam, diperlukan kepahaman terhadap realita dengan melihat faktor-faktor yang mempengaruhi, diantaranya: ‘A‘la>m al-Ahda>th (instrumen peristiwa), ‘A‘la>m al-Ashh}a>s (instrumen personal), ‘A‘la>m al-Afka>r (instrumen pemikiran) dan ‘A‘la>m al- Ashya’ (instrumen objek). Agar sampai pada pemahaman yang tepat akan suatu realitas, perlunya memahami faktor-faktor tersebut yang

    83‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Usu>l al-Fiqh, 52-53.

    105 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ kesemuanya saling berkaitan juga selalu berubah. Firman Allah Swt. ‚Setiap waktu Dia dalam kesibukan‛ QS. Ar-Rahma>n (55): 29. ‘A<’lam Ashya’ (Objek Benda) dalam memahami objek benda, maka seseorang membutuhkan sebuah metodologi. Tentu metodologi ini tidak dibiarkan liar tanpa adanya batasan dan harus dipahami dengan ketentuan-ketentuan berikut: Batasan Pertama: Syariat tidak memberikan batasan apapun terhadap riset ilmiah. Syariat memberikan cakrawala manusia seluas- luasnya dalam berpikir dari yang kecil sampai paling terbesar terhadap apa saja yang terdapat pada alam semesta. Allah menginsyaratkan secara umum akan hal ini, sebagaimana firman-Nya, ‚Katakanlah:, ‚Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?‛ Sesungguhnya orang yang berakal yang dapat menerima pelajaran‛ Qs. al-Zumar (39): 9. Dalam kata ‚ilm‛ pada ayat diatas, megindikasikan bahwa ilmu shara‘ dan ilmu alam berada dalam satu tingkat dalam hasil yang disimpulkan dari dua ilmu tersebut, yaitu memberi manfaat bukan mendatangkan mud}arat. Hal tersebut ditegaskan bahwa Al-Qur’an mengangkat derajat para ulama (ilmuwan) dengan dominasi takutnya mereka kepada Allah. Allah berfirman ‚sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hambaya, hanya ulama‛ Qs. Fa>th}ilagah (hiperbola) tidak seperti isim fa>‘il sebagaimana kata a>lim, dalam firman ‚Wa Fau>q dzi< ilmin ‘ali

    106 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ dalam berinteraksi dengan realitas, tidak pula berpedoman pada sumber pengetahuan yang dapat dipertanggungjawabkan. Mentalitas seperti biasanya berupa cara pandang acak dan pembinasaan. Seperti konsep intiha>r (bunuh diri), inhisa>r (terpesona), in‘iza>l (ekslusifitas) igtira>r (kepuasan nafsu). Semua pandangan ini jelas ditolak. Dari paparan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut: pertama, metode yang benar, dalam kaitannya dengan pemahaman terhadap realitas adalah metode yang menghormati sumber-sumber hukum Islam, mempertajam kehujjahannya dengan cara menautkan dengan realitas, instrumen-instrumen untuk memahami seperti qat}‘i> dan z}anni>, mana yang tetap dan mana yang berubah, metode qiya>s, tarjili<. Atribut usu>l al- fiqh sebagai sebuah metode ilmiah tersebut dapat dilihat dari makna dan pengertian terminologisnya. Al-Ba>id{a>wi<84 misalnya, mengartikan ilmu usu>l al-fiqh dengan "pengetahuan atas dalil-dalil fiqh secara umum dan langkah-langkah prosedural pengambilan faedah dari dalil- dalil tersebut, serta keadaan peneliti". Fakhr al-Dizi<85 menjelaskan pengertian usu>l al-fiqh dengan: "rangkaian metode fiqh secara umum dan langkah- langkah prosedural penelitian, serta keadaan peneliti". Maksudnya membahas sumber-sumber data dala riset fiqih kemudian langkah-langkah riset berkut tahapan-tahapannya, kemudian juga membahas syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pelaku istinba>t, tegasnya ini adalah tiga rukun yang nantinya dijadikan metode ilmiah

    84Muhammad ibn al-H}asan Al-Badakhshi<, Mana>hil al-Uqu>l: Syarh} al- Badakhsi< wa ma‘ahu Niha>yat al-Su>l li al-Asna>wi (Kairo: Maktabah al- Azhariyyah Li al-Tura>th, ttp), 13-17. 85Fakhr al-Dizi<, Al-Mahsu>l, ed. Thaha Jabir al Fayya>d al- ‘Alwa>ni< (Kairo: Mu’assasah al-Risalah, ttp), 80.

    107 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ seperti Roger Bacon: dalam tiga kelompok besar sumber, cara dan pelaku.86 3. Kedudukan Perempuan Perspektif Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dan Distingsi di Tengah Pemikir Lain Pada bab II yang lalu berkaitan dengan relasi gender penulis telah memaparkan gambaran tentang dinamika permasalahan perempuan yang muncul seiring berkembangnya zaman. Pada sub judul ini, penulis akan memaparkan relasi gender perspektif pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dan tanggapannya terhadap fenomena tersebut serta persamaan dan perbedaannya dengan para kaum tokoh emansipasi wanita. Menurut ‘Ali< Jum‘ah, dalam konteks historis pada masyarakat pra-Islam, posisi perempuan dianggap amat sangat rendah. Struktur sosial masyarakat dalam semua perdaban kuno memberikan status wanita sebagai sesuatu amat hina dan penuh dengan penindasan. Baik itu peradaban Yunani Kuno, Eropa Kuno, Romawi Kuno bahkan hingga Arab sebelum Islam. Seperti halnya Yunani kuno yang menganggap bahwa wanita layaknya pohon beracun. Juga masyarakat Persia boleh menikahi perempuan siapa saja tanpa pengecualian atau orang yahudi menganggap wanita hai

    86Lynn Thorndike, Roger Bacon and Experimental Method in the Middle Ages, dalam The Philosophical Review, Vol. 23, No. 3 (May, 1914), 281. Diakses di https://www.jstor.org/stable/2178622 diakses pada 27 Oktober 2019. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Ta>ri>kh Ushu>l al-Fiqh, 138. 87‘Ali> Jum‘ah, Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akha>r, (Kairo: Wiza>ra>t al-Awqa>f al-Majlis al-’A‘la> Li al-Shuu>n al-Isla>miyah, 2006), 9.

    108 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ nabi (sunnah) dilihat dari konteks praktek kaum jahiliah maka tampak bahwa hukum Islam merupakan sebuah revolusi. Melalui ayat-ayat Al- Qur'an meningkatkan status sosial perempuan dan meletakkan norma- norma yang jelas sebagai penentangan terhadap adat kebiasaan.88 Dalam dunia Islam memasuki era modern yang ditandai dengan adanya kontak adanya budaya timur dan Barat. Seiring dengan kontak ini turut pula berkembang pemikiran tentang perempuan. Begitupula para pemikir Islam tentang perempuan di dunia Islam terus berkembang. Merespon fenomena tersebut, tokoh reformis Mesir, Muhammad Abduh yang hidup dalam masyarakat muslim yang sedang bersentuhan dengan perekmbangan yang dicapai oleh Eropa, menekankan pentingnya anak-anak perempuan dan kaum wanita mendapatkan pendidikan formal di sekolah dan perguruan tinggi, supaya mereka mengerti hak-hak dan tanggung-jawabnya sebagai seorang Muslimah dalam pembangunan Umat. Pandangan serupa juga dinyatakan oleh H{asan al-Tura>bi<. Menurutnya, Islam mengakui hak-hak perempuan di ranah publik,89 seperti kebebasan mengemukakan pendapat dan memilih, berdagang, menghadiri shalat berjama'ah, ikut ke medan perang dan lain-lain. Cendekiawan lain yang berpandangan kurang lebih sama adalah Mahmu>d Shaltu>t90, Sayyid Q{utb91, Yu>suf al-Qaradawi92, Jama>l A.

    88‘Ali> Jum‘ah, Fata>wa> Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Rudt Hawla Q{ad}aya> al-Mar’ah, (Kairo: Nahd{ Mas{r, 2010), 262-263. Lihat juga: ‘Ali> Jum‘ah , Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 399-400. ‘Ali> Jum‘ah, Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akhar, 10. 89Peter Woodward, ‚Hasan al-Turabi‛, dalam John L. Esposito, The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World, (New York: Oxford University Press, 1995), h. 240-241 90Mahmu>d Shaltu>t, al-Isla>m Aq{i@datun wa Shari@atun, 227. 91Sayyid Qut{b, Tafsir< Fi< Zila>l al-Qur’a>n, (Kairo: Da>r al-Shuru>q{, 2011), Vol. ke-. 1, 11. 92Yu>suf al-Q{arad}a>wi<, Muslimah al-Gha>di<, (Beirut: Da>r al-Wafa>: 1995), h. 5-10. Lihat juga: Yu>suf al-Qara>d}a>wi<, Min Hady> al-Isla>m: Fata>wa> Mu'as}irah, 255.

    109 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Badawi<93, Mahmu>d Hamdi< Zaqzu>q94 dan lain sebagainya. Sudah tentu para tokoh ini mendasari pendapatnya pada ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis. Namun ada juga yang menggunakan pendekatan sekular, seperti Qa>sim Amin, Ashgar Ali, Amina Wadud, Fatima Mernissi, Jama>l Al- Banna> dan lain sebagainya. Qa>sim Asim Asim Asim Amin, Jama>l al-Banna> yang menjadikan adat menjadi sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an dan sunnah, Ia mengatakan Al-Qur’an tidak membatasi kewajiban yang harus ditutupi dalam berh}ija>b. Adat dan kebiasaan setempat sangat berperan, maka bentuk pakaian merupakan adat suatu bangsa menurut iklim dan negeri yang dipengaruhi oleh ruang dan waktu. Bagi al-Banna>, melalui adat yang salah satu kategori menjadi unsur penting merupakan bagian dalam reformasi hukum Islam tentu hal tersebut melandasi reformasi terhadap emansipasi wanita. 97

    93Jama>l A. Bayda>wi, Gender Equity In Islam Basic Principle (Durban: Islamic Dakwah Movement Publications, 2016), 1. 94Mahmu>d Hamdi< Zaqzu>q, H{aq}{a>iq Isla>miyah Fi< Muwa>jaha>t Hamala>t al-Tahqira>t al-Awqa>f al-Majlis al-’A‘la> Li al-Shuu>n al- Isla>miyah, 2005), h. 81-85) 95Qasim al-Amil Al-Banna>, Al-Mar’ah Al-Muslimah Bayna Tahri (Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>mi<, 1999), 184.

    110 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Pemikir lainnya yang merupakan perempuan seperti Amina Wadud98 misalnya, menyatakan bahwa melalui pendekatan lingustik mengenai relasi gender, bahwa setiap penggunaan muannath dan mudhakkar tidak berarti pembatasan jenis kelamin. Hal ini perlu untuk memahami keuniversalan pesan al-Qur’an pembaharuan hukum personal Islam. Menurut Fatima Mernissi, terjadi perubahan secara gradual atas status perempuan. Perubahan ini dirumuskan ke dalam hukum-hukum shari<‘ah oleh fuqaha yang kemudian melarang perempuan untuk keluar rumah. Akibatnya kondisi perempuan pasca Nabi dapat dikatakan menjauh dari kondisi ideal.99 Fatima termasuk seorang feminis muslim yang secara terang-terangan menggungat fiqh klasik yang ada dan menanggap fiqh yang selama ini perlu ditafsirkan ulang. Seperti halnya dengan tokoh-tokoh di atas, Menurut ‘Ali< Jum‘ah, seluruh ide tentang perempuan dalam Al-Qur’an, dimaksudkan untuk menjunjung tinggi martabat perempuan dan mempersamakan hak dan kewajibannya dengan laki-laki melalui proses pembebasannya dari kungkungan adat dan kebudayaan serta kelembagaan sosial Arab Jahiliyah. Proses pembebasan itu dapat dikenali dengan jelas isu dalam kitab suci yang menyangkut pengecaman dan pengutukan atas praktik-praktik Arab Jahiliyah berkenaan dengan perempuan.100 ‘Ali< Jum‘ah menyatakan kaum perempuan pada masa rasulullah dapat dideskripsikan sebagai perempuan yang aktif tetapi tetap terpelihara akhlaknya. Islam memberikan kebebasan yang amat besar bagi perempuan untuk berkiprah diruang publik. Maka tidak mengherankan dizaman nabi terdapat sejumlah perempuan yang mempunyai kemampuan dan prestasi. Data historis menunjukkan pada awal masa Islam perempuan diberikan kesempatan mengekspresikan dirinya, beragumentasi, ikut hijrah, melakukan ba‘iat dan aktif dalam

    98Amina Wadud Muhsin, Wanita dalam Al-Qur’an, 12. 99Fatima Mernissi, Women and Islam: a Historical and Theological Enquiry, 79. 100‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar'ah Fi< al-Had}arah Al-Isla>miyah; Ba>ina Nusūs al- Shar‘i> wa Turāth al-Fiqh wa al-Wāqiʻ al-Maʻish, 65.

    111 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ masalah kegiatan musyawarah.101 Pada masa nabi, perempuan dapat berpartisipasi secara bebas dalam urusan perang yang secara ketat merupakan wilayah yang didominasi oleh kaum laki-laki. Tokoh muslimah penting diawal peradaban Islam antara lain adalah Siti Khadijah istri pertama nabi Muhammad. Di dalam hadis s}ahi>h dikisahkan bahawa Siti Khadijah adalah penasihat utama Nabi Muhammad dan sekaligus donatur utama dalam seluruh kerja dakwah sang suami.102 ‘Ali< Jum‘ah dalam bukunya menunjukkan data historis dimana lebih dari 50 wanita yang memerintah negara-negara Islam di zaman yang berbeda. Para perempuan ini tidak hanya dengan istilah khalifah, sultan, dimulainya dari Sitt al-Mulk di Mesir dinasti Fatimiyah abad ke-5, Arwa Al-Sulayhi> dari Yaman akhir abad ke-5, Zaenab al-Nafzaweya dari Andalus, Razeya al-Din Ratu dari New Delhi pada pertengahan abad ke-7, Shajar al-Durr dari Mesir abad ke-7 dan lain sebagainya.103 Dalam karyanya Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akha>r ‘Ali< Jum‘ah membahas pandangan nas}s} shar‘a terhadap perempuan. Menurut ‘Ali< Jum‘ah terdapat dua benang kesimpulan yang dapat dipahami dari pesan shar‘a, yaitu:104 Pertama, bahwa nas}s{ shar‘a menegaskan kedatangannya bertujuan untuk menyerukan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam pembebanan sebagai mukallaf, hak dan kewajiban. Sebagaimana kesamaan hak dalam menerima balasan amal perbuatan, hak sama dalam meraih prestasi, hak kesetaran warisan dan lain sebagainya. Hal ini ditunjukkan dalam ayat-ayat Al-Qur’an yang menunjukkan kesetaraan keduanya, diantaranya:

    101‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Rudt Hawla Q{ad}aya> al-Mar’ah, 270. 102Jama>l Al-Banna>, Al-Mar’ah Al-Muslimah Bayna Tahri, 9. 103‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar'ah Fi< al-Had}arah Al-Isla>miyah; Ba>ina Nusūs al - Shar‘i> wa Turāth al-Fiqh wa al-Wāqiʻ al-Maʻish, 65-70 104‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akha>r, 19.

    112 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Qs. al-Gha>fir (40): 40105, Qs. ‘Ali< ‘Imra>n (3): 195106, Qs. al-Nisa> (4): 124107, Qs. al-Nah{l (16): 97108, Qs. al-Nisa> (4) : 8109.# Kedua, wasiat untuk laki-laki agar bersikap lemah lembut kepada wanita dan memberikan perlindungan kepada mereka dengan penunh kasih sayang. Hal ini ditunjukkan dalam nas}s} diantaranya: Qs. Al-Baqarah (2): 228110, Qs. Al-Nisa> (4): 19111, Qs. Al-Baqarah (2):

    ٰۤ َ َ َ َ َ َل َ ج َ َ م َ ا َ َ َ َ ل َ َ َ َ َ َ ج َل َ َ َ َ َ م َ ا َ م َ م َ َ م ا َ 105 منننً ِ َنننا َننن َ ُ زنننّلِا ًِننننشۚ َ معملنننا حمنننً ِ َنننا ْنننا ثىا مننننً ٌِننن وز ح ه ننن ح ننن مننن مً زا حل ِٕىنننن َ َ م م َ َ َ َ َ َ م َ َ م َ َ َ َ َ َ َ ًدخم ن ثجى ُ ًزسق ن زيها بغي ر حسا وب Artnya: Barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka dia akan dibalas sebanding dengan kejahatan itu. Dan barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedangkan dia dalam keadaan beriman, maka mereka akan masuk surga, mereka diberi rezeki di dalamnya tidak terhingga. َ َ َ َ َ َ م َ َ ُّ م َ َ َل َ َ م َ م َ َ َ َ َل َ م َ َل َ َ َ َ َ م َ ا َ َ م م َ َل َْۢ َ َ 106 زاَتِاب للم ربهم وي َل ضيع َِا ِا م وا مىكم مً ٌِ وز ح ه ل بعضكم مً ب ع وض Artinya: Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman), ‚Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki maupun perempuan, (karena) .sebagian kamu adalah (keturunan) dariٰۤ sebagian yang lain َ َ َ َ َ َ َ َ ّٰ ا َ َ َ َ َ م َ ا َ م َ م َ َ م ا َ َ َ م م َ َ َ َ َ َ َ َ م َ َ م َ َ َ َ ج 107 حمً ٌعَا مً لص لى ت مً ٌِ وز ح ه ح م مً زاحل ِٕى ًدخم ن ثجىُ حَل ًظمَ ن ه قير Artinya: Dan barangsiapa mengerjakan amal kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan sedang dia beriman, maka mereka itu akan masuk ke dalam surga dan mereka tidak dizalimi sedikit pun. َ َ َ َ َ ج َل َ َ َ َ َ م َ ا َ م َ م َ َ َ م َ َ َ َ ا ج َ َل َ لج َ َ َ َ َ َ م َ َ َ َ م َ َ َ َ 108 مً ِ َا ْا ثىا مً ٌِ وز ح ه ح م مً زمىح يَىنٗ حين ي يةنُ حلىِن شٍمهم ن ز م ِاحسن ً َ م م َ َما كاه َ ٌَ َع ََم َ ن Artinya: Barangsiapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. َل َ َ َ َل َ َ َ َ َ َ ا َ َ َ َ َ م َ ََۖ َ َل َ ٰۤ َ َ َل َ َ َ َ َ َ ا َ َ َ َ َ م َ َ َ 109 لم ز ا ل ه صَب مَا تزك ل لد ن حَق زب ن ح لم يسا ء ه صَب مَا تزك ل لد ن حَقزب ن مَا َ َ م َ َ َ م َ َ َ ج َ َ َ ج ق َا مىٗ ح ٌثر ۗ ه صَةا مف مزحضا Artinya: Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan kedua orang tua dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bagian yang telah ditetapkan. َ َ م َ َ م َ َ َ َ َ َ َ َ َ م َ َۖ َ َل َ َ َ َ َ َ َ َ َ ّٰ م َ َ َ َ 110 حللً معا ل ذي ِمي هً ِاْلعزح ف ح لم ز ا ل ِمي هً در ُ ۗ ح لمٗ ِ شٍش ح كيم

    113 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    236112, Qs. Al- Nu>r (24): 33113, Qs. Al-Nisa> (4): 24114. Begitu juga berdasarkan hadis nabi yang begitu banyak mengenai perintah bersikap lemah lembut dan kasih sayang pada perempuan diantaranya sebagaimana diriwatkan oleh al-Tirmi’115. Hadis nabi yang menjadikan lemah lembut pada wanita bagian dari iman pada Allah dan hari kiamat.116 Dan lain sebagainya hadis berkaitan perintah lemah lembut kepada wanita.

    Artinya: Dan mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Tetapi para suami mempunyai .Mahaperkasa, Mahabijaksana جkelebihan di atas mereka. Allah َ َ م َ م َ َ َ َ م َ َ َ َ َ م م َ م َ َ َ ا َ َ َ َ َ م َ َ َ َ َ َ َ َ ّٰ م َ َ َ ج َ َ ج 111 حِا شزح ً ِاْلعزح ف ل ز ان ٌ ز تَ ً زع س ن تكز شينا حٍِعا لمٗ زي ٗ خير ٌ عير Artinya: Dan bergaullah dengan mereka menurut cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak padanya. َ َ َل م َ م َ َ َ َ م َ َ َ م َ َ َ َ م َ َ َ م َ َ ج َ َ َ م َ ل َ ًّ َ َ َ م َ َ َ 112 حم تع ً ِلى ْل َ ع قدره حِلى ْلق ت ر قدره ل متاِا ْۢ ِاْلعزح ف حقا ِلى ْلح س ىين Artinya: Dan hendaklah kamu beri mereka mut‘ah, bagi yang mampu menurut kemampuannya dan bagi yang tidak mampu menurut kesanggupannya, yaitu pemberian dengan cara yang patut, yang merupakan kewajiban bagi orang-orang yang berbuat kebaikan. َ م َ م َ َل َ َ ّٰ َ َ ا ا م َ 113 حآت م مً ما ل لم ٗ ل ذي تىكم Artinya: dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu َ ا م َ م َ م م َ َ م َ َ َ َ ج 114 زات ً ر ً ز زٍضُ Artinya: berikanlah maskawinnya kepada mereka sebagai suatu kewajiban ِ ِ 115 أَالَ َوا ْستَـْو ُصْوا بالنِّ َسـاء َخيْـًرا Artinya: Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita. Lihat : Al-Tirmimi’ Al-Tirmih Muslim, No. 1091. Bukh{a>ri<, S}ah}i>h Bukha>ri< No. 1091. َ َ َ َ م َ م َ َ َ َ َ َ َ م َ َ َ َ م َ َ َ َ م َ َل َ َ َ ج َ َ م َ م َ َ َ 116 مً كان ً مً ِاهلل ح لي م لْا خن ز زنّلِا ًن ِي ناره ، ح َت ْن ِال يسنا ء خينر ، زن هنهً خ مقنً منً َ َ َ َ َ َ َ َ َ َل َ َ َ َ م َ َ َ َ َ َ م َ م م َ َ َ َ م َ َ َ َ َ َ م َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ َ م َ ضننم وع، ح نن عِنن َ شننِو ضننَ ل ضننم ع عِننّلِاه، زنن هن ِ ةننت ت قيَننٗ ٌسننزتٗ، ح نن تزٌتننٗ لننم ًننشل عِنن َ، زاَت ْنن َل َ َ َ ج ِال يسا ء خير

    114 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Dari dua poin benang kesimpulan yang terdiri dari berbagai variabel ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis di atas, ‘Ali< Jum‘ah menegaskan bahwa nas}s shar‘a menjunjung tinggi prinsip kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan. Prinsip kesetaraan gender tersebut dapat dikatakan sebagai nilai universal yang menjadi pesan moral untuk dapat diimplementasikan dalam segala aspek kehidupan. ‘Ali< Jum‘ah juga menyatakan bahwa sesungguhnya syariat Islam berkaitan gender ini tidak didapatkan dalam syariat samawi sebelumnya. Pada dasarnya para tokoh melalui pemikiran-pemikirannya diatas mempunyai tujuan yang sama mendasar yaitu menjunjung tinggi martabat perempuan dan hak dan kewajibannya antara laki-laki dan perempuan. Namun, disitngsi yang melandasi mereka adalah interpretasi mereka dalam kontekstualisasi teks terhadap permasalahan kontemporer saat ini. Terlebih pendekatan mereka yang berbeda adalah interferensi intelektual serta interferensi sosio-histori-politik mereka yang menyebabkan perbedaan ini. Dalam hal ini, ‘Ali< Jum‘ah memposisikan pemikirannya berkaitan dengan isu gender pada pemikiran yang semi-tekstual. Karena dilihat dari pemikiran ‘Ali< Jum‘ah sangat mempertimbangkan konsteksual yang disini berarti dapat disebut lebih banyak mempertimbangkan maslahat. Akan tetapi pada banyak konteks, Ia tidak sependapat dengan sekularisme dan liberalisme. Di lain sisi pula, meskipun pada banyak pendapatnya terkesan tekstualis namun ‘Ali< Jum‘ah juga menolak pemikiran tradisional-konservatif. Semisal berkaitan dengan warisan –yang akan penulis bahas lebih terperinci pada bagian selanjutnya-, sebagian tokoh feminis muslim menuntut reinterpretasi keadilan 2 banding 1 dalam warisan, bagi mereka konsep 2 banding 1 yang selama ini ada dianggap

    Artinya: Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia menganggu tetangganya, dan berbuat baiklah kepada wanita. Sebab, mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling bengkok adalah bagian atasnya. Jika engkau meluruskannya, maka engkau mematahkannya dan jika engkau biarkan, maka akan tetap bengkok. Oleh karena itu, berbuat baiklah kepada wanita. Lihat: Muslim dalam S}ah}i>h Muslim, No. 60. Bukh{a>ri< dalam S}ah}i>h Buk{ha>ri< No. 5185.

    115 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ menguntungkan anak laki-laki sehingga harus diubah menjadi 1 banding 1 sehingga anak laki-laki menjadi sama dengan hak anak perempuan. Berbeda dengan ‘Ali< Jum‘ah, baginya pengertian keadilan yang dimaksud Islam yaitu konsep 2:1, karena perbedaan tanggung jawab, hak dan tanggung jawab laki-laki dengan perempuan. Tentu hal ini tidak sejalan dengan pemikiran ‘Ali< Jum‘ah yang cenderung tekstual. Namun pada kasus lain, semisal berkaitan cadar, ‘Ali> Jum‘ah menolak anggapan cadar bagian dari teologis, begitu juga menolak pendapat ulama klasik mengenai kewajiban menutup wajah selain kedua mata. Karena cadar bagian dari budaya. Dalam konteks Mesir – dimana ‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks- tidak relevan seorang perempuan memakai cadar dalam bermasyarakat. Bahkan bersama Sayyid T{ant}awi- saat itu sebagai grand shaykh al-Azhar-, Mahmu>d Zaqzu>q –menteri waqaf Republik Arab Mesie-, melarang aktifitas cadar dalam dunia pendidikan di Mesir. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Ali> Jum‘ah juga mempunyai kecenderungan bersikap kontekstual- progresif pada banyak kasus. Selengkapnya berkaitan dengan kasus akan penulis jelaskan secara terperinci pada bagian pembahasan selanjutnya.

    116 | Karakteristik Pemikiran Hukum Islam ‘Ali Jum‘ah<

    BAGIAN EMPAT ANALISIS PEMIKIRAN HUKUM ISLAM ‘ALI< JUM‘AH TENTANG WACANA KESETARAAN GENDER ------

    Bab ini mengulas lebih lanjut pemikiran hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah yang terdiri dari ijtiha>d, fatwa> serta respon realitas sosial kontemporer. Pembahasan yang diangkat berupaya untuk melihat relevansi pemikiran ‘Ali< Jum‘ah -yang telah didiskusikan sebelumnya- dalam merespon permasalahan wacana gender yang penulis batasi pada ekslusifitas h{ija>b (cadar), khita>n perempuan, kepemimpinan perempuan (hak & kontestasi perempuan dalam politik), konsep keadilan 2:1 dalam pembagian warisan dan kepemimpinan perempuan dalam shalat. Dalam hal ini, penelusuran tersebut dimaksudkan juga untuk mengetahui cara pengambilan hukum dan keterkaitannya dengan realitas yang melingkupinya sehingga bisa diketahui latar belakang munculnya sebuah produk pemikiran hukum itu serta relevansinya dengan masa kini. Analisa dalam bab ini menggunakan pendekatan usu>l al-fiqh yang dipadukan dengan aspek gender dan sosiologis. A. Ekslusifitas H{ija>b (Cadar) 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Ekslusifitas H{ija>b ‘Ali< Jum‘ah merupakan ulama yang meyakini bahwa menutup rambut bagi perempuan adalah perkara yang diwajibkan. Dalam hal ini, Ia menggunakan istilah h{ija>b sebagai pakaian yang menutupi aurat bagi perempuan. Adapun h{ija>b secara etimologi, Ibn Manzūr mengartikan kata ini dengan al-sitr (penutup).1 Sedangkan secara terminologi Abu> al-Baqa>’ al-Kafawi> al-H{anafi> mendefinisikan h{ija>b sebagai setiap yang menutupi hal-hal yang dituntut untuk ditutupi atau menghalangi hal-hal yang terlarang untuk digapai.2 Dengan demikian

    1Ibn Manz}u>r, Lisa>n al-‘Arab , Vol. ke-2, 298. 2Abu> al-Baqa>’ al-Kafawi> al-H{anafi>, Kulliya>t, (Beirut: Muassasat al- Risa>lah, 1998), vol. 1, 360.

    117 Analisis| Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ h{ija>b dalam konteks pakaian bagi perempuan merupakan segala sesuatu yang menutupi hal-hal yang dituntut untuk ditutupi bagi seorang perempuan. Jadi h}ija>b mencakup semua yang menutupi aurat, lekuk tubuh dan perhiasan perempuan dari ujung rambut sampai kaki. Lebih spesifik, Al-Mawdu>di> mengartikan h{ija>b dengan pakaian yang tertutup rapat kecuali yang biasa terlihat yaitu wajah dan tangan.3 Berbeda halnya dengan kewajiban h{ija>b bagi perempuan, niqa>b bagi ‘Ali< Jum‘ah merupakan bagian dari budaya dan bukan merupakan suatu kewajiban. Arti niqa>b sendiri yaitu sesuatu yang digunakan perempuan untuk menutupi wajahnya. Niqa>b merupakan kerudung yang diletakkan perempuan diwajahnya sehingga tidak ada yang terlihat kecuali kedua matanya. 4 Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa h}ija>b diartikan sebagai penutup secara umum sedangkan niqa>b ialah penutup untuk wajah atau yang sering disebut dengan cadar. Setelah diketahui definisi dari h}ija>b dan niqa>b, selanjutnya istilah h{ija>b dan niqa>b tersebut akan digunakan untuk menguraikan pembahasan pada poin ekslusifitas h}ija>b ini. Sebagaimana ‘Ali< Jum‘ah menganggap h}ija>b sebagai kewajiban bagi perempuan, ‘Ali< Jum‘ah juga menganggap h}ija>b bagian dari keyakinan teologis. Hal tersebut sebagaimana telah jelas hukumnya berdasarkan Al-Qur’an,5 hadis6 dan konsesus para ulama baik dari

    3Abu> ’A‘la> al-Mawdu>di>, H}ija>b, (Damaskus: Da>r al-Fikr, 1963), 300. 4Pengertian ini dirumuskan oleh lembaga fatwa di Mesir, Da>r Ifta> al- Mis{riyah. Kementerian Waqaf Republik Arab Mesir,‚Al-Niqa>b Adah @(Kairo: Da>r al-Kutub al-Mas}riyah, 2008), 1. 5Sebagaimana dimaksud dalam Qs. al-Ah}za>b (33): 59 dan Qs. al-Nu>r (24): 31. ٓ َ ُّ َ َّ ُّ ُ ْ ّ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ۤ ْ ُ ْ ْ َ ُ ْ ْ َ َ َ ْ َّ ْ َ َ ْ َّٰ َ َ ْ ٓ َ ْ ُّ ْ َ ْ َ َ َ ُ ْ َ ْ َٰ يايها النِبي قل ِّلزوا ِجك وبناِتك وِنسا ِء اْلؤ ِم ِنين يدِنين عليِْهَّ ِميَّ جبِيبيِِِهَّ ِِليك اىنين ان َْي ََّ َيب يؤِيَّ َ َ َ ّٰ ُ َ ُ ْ ً ْ وكان الله غفىرا َّر ِحب ًما Artinya, ‚Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang".

    118 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    ُ ْ ّ ْ ُ ْ َ ْ ُ ْ َ ْ َ ْ َ َّ َ َ ْ َ ْ َ ُ ُ ْ َ ُ َّ َ َ ُ ْ ْ َ ْ َ َ ُ َّ َّ َ َ َ َ ْ َ َ ْ َ ْ ْ َ قيييييل ِللمؤ ِمنييييي ِْ َِْْيييييَّ ِميييييَّ ايْصيييييا ِر ِوَّ وَْففيييييَّ َييييي وجَِّ وّل يتييييي ِديَّ ِزَنييييينهَّ َِّل ميييييا ِييييي ِم هيييييا ولبْييييي ِ بَّ ُ ُ َّ َ ُ ُ ْ ََّّۖ َ َ ُ ْ ْ َ ْ َ َ ُ َّ َّ ُ ُ ْ َ َّ َ ْ َ ۤ َّ َ ْ َ ۤ ُ ُ ْ َ َّ َ ْ َ ْ َ ۤ َّ َ ْ َ ْ َ ۤ ُ ُ ْ َ َّ َ ْ ِيخم ِ ِوَّ على جبىِبِهَّ وّل يت ِديَّ ِزَننهَّ ِّلِا ِلتْىلِنِهَّ او ايإًِ َِِّ او ايا ِء بْىلِنِهَّ اْو اينيإًِ َِِّ او اينيا ِء بْيىلِنِهَّ او ْ َ َّ َ ْ َ ْٓ ْ َ َّ َ ْ َ ْٓ َ َ َّ َ ْ َ ۤ َّ َ ْ َ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ ُ َّ َ َّ ْ َ َ ْ ُ ْ ْ َ َ ِاخييييىاِنِهَّ او يِْٓييييي ِاخييييىاِنِهَّ او يِْٓييييي اخييييىِهِهَّ او ِنسييييإًِ َِِّ او مييييا مل ييييْ ايمييييانهَّ اْ ِو التيييياِب ِْين غ يييي ِى اوِْييييى ِّلِاربيييي ِ ِمييييَّ ّ َ َ ّ ْ َّ ْ َ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ ّ َ ۤ َ َ َ ْ ْ َ َ ْ ُ َّ ُ ْ َ َ َ ُ ْ ْ َ ْ ْ َ َّٰ ال ِ جييا ِ ا ِو ال ِِّفييي ِل الييي ِْيَّ ليييْ يفِييي وا عليييى عيييىر ِۖ ال ِ سييا ِء َّۖوّل يْييي ِ بَّ ِيييارجِل َِِّ ِليييبْلْ ميييا يخ ِفيييين ِميييَّ ِزَنيييِنِهَّ َ ُ ْ ُ ْٓ َ ّٰ َ ْ ً َ ُّ َ ْ ُ ْ ُ ْ َ َ َ َّ ُ ْ ُ ْ ُ ْ َ وتىبىا ِاْى الل ِه ج ِمبْا ايه اْلؤ ِمنىن لْل ْ تفِلحىنْ Artinya ‚Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra- putra suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara perempuan mereka, atau para perempuan (sesama Islam) mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki (tua) yang tidak mempunyai keinginan (terhadap perempuan) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung‛. Dari kedua ayat diatas menunjukkan bahwa menampakkan rambut bagi wanita merupakan perbuatan yang dilarang oleh agama, karena rambut juga termasuk aurat, sebagaimana hukum yang berlaku pada sebagian besar tubuh wanita. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah, Vol. 1, 463- 464. 6Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ‘A’ binti Abu> Bakar menemui Rasulullah SAW. Ia mengenakan baju tipis, maka Rasul pun memalingkan pandangannya dan bersabda, ‚Hai Asma’! Seorang wanita yang telah baligh tidak boleh menampakkan seluruh tubuhnya kecuali ini dan ini‛, Ia memberi isyarat pada wajah dan kedua telapak tangannya.‛ (HR. Abu> Da>wu>d dalam Sunan Abu> Da>wu>d no. 4104 dan al-Bayhaqi> Riwayat al-Bayhaqi> dalam Sunan Al-Kubra>, no. 3218, hadis ini di S}ah}i>hkan oleh al-Ba>ni<). Lihat: ‘Ali> Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke-1, 462.

    119 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ kalangan salaf maupun khalaf. Dalam kewajiban h}ija>b bagi perempuan ‘Ali< Jum‘ah tidak memberi sedikitpun celah bagi siapapun yang mempertentangkan kewajibannya untuk ditanggalkan, demikian pula karena alasan tidak ada ruang bagi akal untuk mengaturnya. Pengertian kata al-kh}ima>r dalam ayat Qs. al-Nu>r (24): 31 yaitu menutup rambut kepala sangat sh}ari@h (jelas) dan tidak perlu ta’wi@l untuk dimaknai.7 Hal senada diungkapkan Wahbah al-Zuhayli< dalam karya monumentalnya ‚al-Fiqh al-Islāmi> wa Adillatuhu>, Ia menyatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.8 Dan hal ini sejalan dengan mayoritas ulama fiqh dari kalangan H}anafi>, Ma>liki>, Sha>fi‘i> kecuali mazhab Ah}mad bin H}anbal.9 Bahkan Abu> Hanirat yaitu

    7‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>, 415. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 463- 464. 8Wahbah al-Zuhayli<, Al-Fiqh al-Islami< wa Adillatuhu>, 19. 9Ah}mad bin Hanbal menganggap bahwa setiap bagian tubuh wanita adalah aurat -yaitu wanita merdeka- bahkan hingga kukunya. Abu al-Fara>j al- Jawzi>, Za>d al-Mas}i>r Fi> `Ilm al-Tafsi>r, (Beirut: Da>r Ibn Hazm, 2002), Vol. ke-4, h. 31. Sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n bahwa pendapat yang ra>jih{ (kuat) mazhab H}anbali> dalam masalah ini adalah wajib hukumnya bagi wanita untuk menutup wajah dari pada lelaki ajnabi. Lihat: Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n, Risa>lat al-H{ija>b, (Madinah: Muassasat Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n, 2007), 15. Bandingkan dengan Ah}mad bin Abu> Bakar al-Q{urtu>bi<, Al-Jāmi‘ li Ahkām al-Qur’ān, (Beirut: Muassasah Risa>lah, 2006), 213. 10‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 142-143.

    120 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ menutup kehancuran dan meniadakan kematian.11 Hal tersebut sejalan dengan batasan al-Suyu>t}i< dalam arti d{aru>rah, Ia menempatkan d{aru>rah pada posisi seseorang yang sudah berada dalam batas maksimal jika seseorang tersebut tidak mengerjakan sesuatu yang dilarang agama maka bisa mati atau hampir mati.12 Dalam hal ini disimpulkan bahwa mengerjakan sesuatu terlarang karena darurat adalah untuk menolak tehadap bahaya dan bukan hal lain. Maka jika tidak ada darurat maka h}ija>b menjadi haram untuk dilepas. Ketika ditanyai fatwa terkait inkonsistensi perempuan dalam mengenakan h}ija>b, ‘Ali< Jum‘ah berpendapat bahwa inkonsistensi perempuan yang telah baligh dalam memakai h}ija>b tidak dapat diterima. Karena h}ija>b merupakan kewajiban dan merupakan bagian dari teologis dengan kondisi apapun, sekalipun keadaan struktur sosial masyarakat di suatu tempat telah berkembang dan berubah termasuk di Mesir -dimana ‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks-. Pun demikian kewajiban h}ija>b berlaku sampai kapanpun. Maka konsistensi perempuan dalam urusan h}ija>b haruslah berkesinambungan. Sebaliknya, inkonsistensi perempuan dalam pemakaian h}ija>b seperti terkadang memakai dan terkadang melepasnya begitupula seterusnya, bagi ‘Ali< Jum‘ah hal tersebut merupakan pembangkangan terhadap agama dan wajib taubat bagi pelakunya.13 Dalam kumpulan fatwanya Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah, ‘Ali< Jum‘ah berpendapat bahwa seorang perempuan yang bekerja di negara mayoritas non-muslim dimana pegawainya dilarang memakai h}ija>b, maka perempuan tersebut tetap tidak ditolerir menanggalkan h}ija>b. Karena nas}s } yang memerintahkan untuk memakai h}ija>b bersifat qat}‘i> kecuali dalam keadaan darurat seperti apabila dengan tanpa pekerjaan tersebut dapat membahayakan hidupnya. ‘Ali< Jum‘ah menekankan keadaan darurat yang mengakibatkan pelakunya benar- benar dalam keadaan terdesak bagi keberlangsungan hidupnya. Artinya, jikalau dengan sesuatu yang dilarang tidak dapat

    11‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>, 415. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 463- 464. 12Jala>l al-Di@n al-Suyu>t{i@, Al-Ashba>h wa al-Nad}za>ir (Beirut: Da>r al- Kutub al Ilmiyah, 1983), 60-61. 13‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 464.

    121 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ melangsungkan hidup, maka h}ija>b boleh dilepas sebagaimana seseorang yang memakan daging babi dalam keadaan darurat.14 Dalam tingkatan d}aru>rah, Bin Bayah dalam memahami ayat Qs. al-Nu>r (24): 31 mengungkapkan bahwa pelarangan (al-nahy) yang terdapat dalam nas}s} tersebut bukanlah pada tingkatan larangan maqa>s}id, melainkan dalam takaran larangan wasa>’il atau dhara>’i‘. Sehingga bagi Bin Bayah, teks-teks keagamaan tentang menutup rambut kepala perempuan baik perintah menggunakannya dan larangan untuk melepaskannya adalah teks hukum yang bersifat sarana untuk menuju maksud dan tujuan hukum yang sebenarnya.15 Al-Qara>fi< membagi hukum menjadi dua; Pertama, hukum yang bersifat maqa>s}id, yaitu pemberlakuan sebuah hukum disebabkan adanya tujuan mutlak. Apabila itu sebuah perintah, maka di dalam tujuan tersebut terdapat kemaslahatan yang sangat besar, yang harus digapai oleh manusia. Dan apabila itu sebuah larangan, maka di dalamnya terdapat kemudaratan, yang harus dihindari karena dapat mencederai manusia. Kedua, hukum yang bersifat wasa>‘il, yaitu pemberlakuan hukum disebabkan statusnya sebagai wasilah yang mengantarkan kepada tujuan maqa>s}id. Wasi>lah adalah jalan dan sarana yang ditempuh menuju perwujudan perkara tertentu. Hukum yang berlangsung pada wasa>‘il dapat disamakan dengan hukum yang berlaku pada maqa>s}id.16 Sebagaimana kaidah al-fiqhiyyah yang berbunyi ‚al-wasa>’il laha> ah}ka>m al-maqa>s}id‛ (hukum wasi>lah tergantung pada tujuan-tujuannya). Sehingga memakai h}ija>b merupakan kewajiban kecuali dalam keadaan darurat. Secara keseluruhan pemikiran Bin Bayah mempunyai kesamaan dengan ‘Ali< Jum‘ah walaupun berbeda dalam takaran darurat. Hal tersebut dilatarbelakangi interferensi sosio-politik dari keduanya yang mempunyai distingsi, karena Bin Bayah berdialog dengan konteks di Eropa, sedangkan ‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks di Mesir

    14‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 2, 346-348. 15Bin Bayyah, S}ina>‘ah al-Fatwa wa Fiqh al-Aqalliyya>t (Beirut: Da>r al- Minha>j, 2007), 319. 16Abu> Isha>q al-Sha>t}ibi<, al-Muwa>faqa>t fi< Us}u>l al-Shari<‘ah (Beirut: Da>r al-Kutub al-‘Ilmiyyah, tt), iii, 209. Lihat juga: Bin Bayyah, S}ina>‘ah al-Fatwa wa Fiqh al-Aqalliyya>t, 319.

    122 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ dimana Ia tidak komprehensif dalam memahami kondisi sosial Eropa yang notabe mayoritas negara penduduknya merupakan non-muslim. Masalah kewajiban memakai h}ija>b, Ibn Ar menyatakan bahwa adat kebiasaan suatu kaum tidak dapat dipaksakan kaum lain atas nama agama. Contohnya adalah pemakaian h}ija>b yang dianggapnya sebagai ajaran yang mempertimbangkan adat oang Arab. Selanjutnya Ia menyatakan bahwa cara pemakaian h}ija>b berbeda-beda sesuai adat istiadat setempat. Yang menjadi tujuan agar mereka dikenal sebagai wanita muslimah yang baik dan tidak diganggu terpenuhi.17 Berbeda halnya dengan h}ija>b yang dianggap bagian dari syariat, namun tidak demikian dengan niqa>b (cadar), ‘Ali< Jum‘ah menolak pandangan cadar bagian dari syariat tetapi menganggap cadar sebagai bagian dari budaya.18 ‘Ali< Jum‘ah mengkritik para kaum ekslusif19 yang beranggapan bahwa cadar termasuk sunnah nabi SAW yang wajib dilakukan. Dalam hal ini ‘Ali< Jum‘ah menduga bahwa para kaum ekslusif salah menggunakan istilah sunnah diluar konteksnya, dimana mereka kerap mencampuradukkan antara istilah sunnah versi ahli

    17Muhammad T{a>hir Ibn Ar, Maqa>sid al-Shari@ah al- Isla>miyah‛(Kairo: Da>r al-Sala>m, 2007), 233. 18Pada tahun 2008, Kementerian Wakaf Mesir meluncurkan sebuah buku yang berjudul ‘al-Niqab ‘Adah. Buku ini ditulis oleh para ulama terkemuka Mesir, diantaranya Grand Sheikh Al-Azhar –ketika itu- Muhammad Sayyid T{ant{a>wi< dan ‘Ali> Jum‘ah, Grand Mufti Republik Arab Mesir –ketika itu-. Secara khusus, Mahmu>d Hamdi< Zaqzu>q, Menteri Wakaf Mesir memberikan kata pengantar dalam buku ini. Dalam kata pengantarnya, langkah yang diambil Kementerian Wakaf Mesir ini bukan sebuah kebijakan yang bersifat tiba-tiba, melainkan sebagai respons terhadap fenomena publik terkait hukum menggunakan cadar. Selain itu, hal ini juga mersepon terhadap menguatnya arus politik identitas dan kelompok-kelompok ekstremis di Mesir, cadar menjadi salah satu isu yang mulai mencuat di permukaan, umumnya fenomena tersebut berlaku di kampung-kampus umum universitas di Mesir. Lihat: Kementerian Waqaf Repbulik Arab Mesir,‚Al-Niqa>b Adah @(Kairo: Dar al-Kutub al-Masriyah, 2008), 1. 19‘Ali< Jum‘ah menggunakan istilah Mutashadidu>n yang berarti kelompok yang keras dan kaku dalam beragama. Dalam hal ini penulis menggunakan istilah kaum ekslusif untuk menamai kelompok tersebut.

    123 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ hadi>th dengan istilah sunnah versi ahli fiqh dan ahli usu>l al-fiqh. Karena ketidakpahaman istilah sunnah tersebut menjadikan adat istiadat atau kebiasaan yang dikatakan termasuk sunnah oleh para ahli hadis ke dalam kategori sunnah menurut ahli fiqh yang berarti sunnah termasuk bagian dari hukum shar‘a.20 Jikalau memang anggapan niqa>b bagian dari agama, hal tersebut merupakan salah kaprah dan termasuk melampaui batas karena melebih-lebihkan perintah agama. Dari segi sosial, ‘Ali< Jum‘ah mengkategorikan niqa>b termasuk pakaian shuhrah (mencari popularitas) apabila dalam adat kebiasaan masyarakat dalam suatu negara tidak biasa mengenakan pakaian tersebut. Bahkan ulama Ma>likiyah menganggapnya sebagai bid‘ah karena termasuk perbuatan melampaui batas dalam beragama.21 Berkaitan dengan masalah niqa>b, sebagian ulama menyatakan kewajiban menutup wajah dan telapak tangan. ‘Ali< al-S}abu>ni< melandaskan pendapatnya pada ayat Qs. al-Nu>r (24): 31 yang mengharuskan seorang perempuan untuk tidak menampakkan perhiasannya. Hal tersebut sebagaimana tertera dalam penggalan ayat ,bahwa asal dari segala bentuk perhiasan adalah wajah ِ ِ (َوَّلِِياُبْاِيْ َ ِِزيْانَا َاُه َ ِ) maka menutupinya adalah sebuah keharusan.22 Abu> A‘la> al-Mawdu>di>

    20Sunnah menurut ahli usu>l al-fiqh merupakan sumber hukum Islam yang mempunyai kedudukan setelah Al-Qur’an. Sedangkan menurut ahli fiqh, sunnah merupakan salah satu hukum shar‘i< yang berbeda dengan wajib, mubah, makruh dan haram yang didefinisikan sebagai sesuatu yang bila dikerjakan mendapatkan pahala, jikalau ditinggalkan tidak berdosa‛. Sedangkan menurut ahli hadis, sunnah yaitu ‚sesuatu yang dilakukan rasuullah baik perkataan, perbuatan, pengakuan sifat penciptaan atau sifat budi perkerti baik sebelum atau sesudah menjadi nabi‛. Lihat: Adh{d al-Din al- I Sharh} Mukhtas}ar Ibn al-Ha>jib‛ (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 2000), h. 290. Muhammad Ibra>hi@m al-H{ifna>wi@, ‚Dira>sa>t Us}u>liyah Fi@ al-Sunah al-Nabawiyah‛ (Kairo: Da>r al-Wafa>’, 1991), 12. 21‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 144. 22‘Ali< al-S}abu>ni<, Rawa>’>i<‘ al-Baya>n Fi< Tafsit al-Ah}ka>m, (Beirut: Da>r al-Fikr, 2000), Vol. ke- II, 310.

    124 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ juga diikuti Bakar bin Abu> Zayd 23 Muhammad bin S}a>lih al- ‘Uthaymi>n24 berpendapat bahwa seluruh tubuh perempuan adalat aurat yang wajib ditutupi termasuk wajah dan kedua telapak tangan ketika berhadapan dengan yang bukan muhrim, konsekuensinya adalah kewajiban memakai cadar atau penutup bagi perempuan. Mereka menyandarkan hadis tentang kewajiban cadar juga qiya>s. Dalam qiya>s, jikalau perempuan wajib menutupi telapak kakinya, lehernya, dan lainnya karena dikhawatirkan akan menimbulkan godaan, maka menutup wajah perempuan lebih wajib. Hal ini senada dengan al- T{{abari< sebagaimana dikutip Abu> Hayya>n meriwayatkan dari Ibn

    َ َ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ ُ ْ ُ َ َّ ُّ َ ُّ ُ َّ َّ ْ َ َ َ َ ْ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ُ َ َ َّ 23 وقيييييد كيييييان -صيييييفىان يييييَّ اْلِّْييييي ِل السيييييل ِِي بيييييْ اليييييْكىاِن ُّ ْ- ي اِنييييي قتيييييل أن يْييييي اَّ ِ يييييا علييييي َ ْ َ ْ َ ْ ُ ْ ْ َ َ َ َ َ َ َ َّ ْ ُ َ ْ ْ َ َاكتبقفْ ِياكِتىجا ِع ِه ِحين ع َِْٓي َخم ۖ وجِهي ِي ِجلتاِ “Dia (S{awfa>n bin Al-Mu‘at}al) dahulu pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena perkataannya: ‚Inna lillaahi…‛ ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi wajahku dengan jilbabku‛ (HR. Muslim) Menurut Bakar bin Abu> Zayd, hadis Ini merupakan kebiasaan ummaha>t al-mu’mini>n, yaitu menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana dalam masalah h}ija>b. Lihat: Bakar bin Abu> Zayd, Hira>sah al-Fad{i>lah, (Riya>d}: Da>r al-‘A>s}imah, 2005), 72. 24‘Alih al-‘Uthaymi>n menyebutkan bahwa wanita yang ihram dilarang memakai penutup wajah dan kaos tangan. Sehingga kebanyakan ulama berpendapat, wanita yang ihram wajib membuka wajah dan tangannya. Sedangkan yang wajib tidaklah dapat dilawan kecuali dengan yang wajib pula. Maka kalau bukan karena kewajiban menutup wajah bagi wanita, niscaya tidak boleh meninggalkan kewajiban ini (yakni membuka wajah bagi wanita yang ihram). Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n, Risa>lat al-H{ija>b, (Madinah: Muassasat Muhammad bin S}a>lih al-‘Uthaymi>n, 2007), 15

    125 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    ‘Abba>s dan Qata>dah, bahwa seorang perempuan harus mengulurkan jilbabnya sampai di atas dahi kemudian mengaitkannya ke hidung.25 Dalam karya ‚Hija>b al-Mar’ah al-Muslimah Fi@ al-Kita>b wa al-Sunnah‛ meskipun tidak mewajibkan cadar, Al-Ba>ni@ menganggap bahwa cadar merupakan sunnah dimana hal tersebut ditempuh ummaha>t al- mu’mini>n (istri-istri Rasulullah) juga merupakan kebiasaan para sahabat wanita dalam menutupi wajah mereka.26 Pada dasarnya bagi ‘Ali< Jum‘ah, menyesuaikan bentuk pakaian sesuai dengan masanya adalah termasuk bagian dari menjaga muru’ah (kehormatan) selagi pakaian tersebut tidak mendatangkan dosa. Sebaliknya, tampil dalam pakaian yang berbeda dimasanya termasuk bagian dari bergaya (mencari popularitas). Jenis dan pakaian yang sedang tren di tengah masyarakat selama masih dalam lingkaran umum pakaian shar‘I ni> mengatakan ketika pakaian yang dikenakan adalah mencari popularitas di tengah masyarakat, maka tidak ada bedanya dengan apakah pakaian itu baik atau buruk. Karena yang menjadi standar adalah apakah pakaian tersebut sesuai atau beda dengan yang umum dikenakan masyarakat pada waktu itu. Sebab, keharaman shuhrah berputar pada ‘illat (sebab) mencari popularitas. Yang menjadi

    25Abu> Hayya>n al-Andalu>si<, Al-Bah{r al-Muhir al-Kutub Ilmiah,1993), Vol. ke- VII, 240. 26Muhammad Na>sir al-Dini@. Hija>b al-Al-Mar’ah al-Muslimah Fi@ al-Kita>b wa al-Sunah (Beiut: al-Maktabah al-Islami, 1987), 3. 27‘Ali< Jum‘ah memberikan kriteria pakaian yang digunakan perempuan untuk menutupi aurat yang wajib dilakukan sebagaimana berikut: Pertama, tidak terlalu pendek sehingga membuat sebagian auratnya terlihat. Kedua, tidak terlalu sempit sehingga memperlihatkan lekuk-lekuk tubuh yang merupakan aurat. Ketiga, tidak terlalu tipis sehingga bisa terlihat warna kulit dan anggota tubuh yang merupakan aurat. Apabila pakaian perempuan - apapun namanya dan modelnya- telah memenuhi kriteria-kriteria di atas, maka bisa disebut dengan h}ija>b shar‘i>. Akan tetapi, apabila ada salah satu dari kriteria-kriteria di atas tidak terpenuhi, maka tidak bisa disebut dengan h}ija>b shar‘i>. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 140-143.

    126 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ standar hukum adalah maksud dari perbuatan sekalipun maksud tersebut tidak sesuai dengan kenyataan yang ada.28 Selain itu, masalah pakaian memiliki hubungan yang kuat dengan adat dan budaya masyarakat setempat. Adapun mengenai masyarakat dinegara lain yang secara umum penduduknya menjadikan cadar bagian tradisinya semisal penduduk Saudi Arabia yang menerapkan mazhab Ah}mad bin H{anbal, maka bagi ‘Ali< Jum‘ah hal tersebut diperkenankan karena mengacu pada hukum ‘a>dat setempat dan tidak ada kaitannya dengan landasan keagamaan.29 Penulis menyimpulkan mengenai pandangan h{ija>b, secara umum ‘Ali< Jum‘ah lebih mengedepankan pendapat mayoritas ulama yang membolehkan perempuan untuk membuka wajah dan kedua telapak tangan. Maka selain dari wajah dan telapak tangan maka wajib ditutupi. Di sisi lain, ‘Ali< Jum‘ah melemahkan pendapat yang mewajibakan menutup wajah dan telapak tangan. Selain itu, dalam kaitannya dengan pakaian yang mempertimbangkan kondisi sosial, sebagaimana diuraikan diatas bahwa pakaian haruslah menyesuaikan pakaian adat atau kebiasaan setempat. Pendapat niqa>b ini termanifestasi dari pemikiran ‘Ali< Jum‘ah yang telah diuraikan pada bagian tiga lalu berkaitan usu>l al-fiqh dan realitas sosial bahwa Ia konsisten mempertimbangkan hukum dengan melihat berbagai faktor realitas yang mengitarinya, antara lain: waktu, tempat, kondisi dan personal. Maka kondisi, tempat dan personal di Mesir tidak mendukung masyarakat Mesir untuk menggunakan niqa>b, namun dalam niqa>b, Ia sangat mendukung untuk diterapkan bagi penduduk di Saudi Arabia. 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah Dengan Aspek Gender Perdebatan yang selalu muncul di dunia Islam kontemporer antara kalangan tradisionalis dan modernis; antara pendukung h}ija>b dan yang tidak. Itulah mengapa studi tentang wacana gender menjadi

    28Al-Shawka>ni<, Nai@l al-Awt}a>r (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1986), 111. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 143. 29‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 143.

    127 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ urgen dan relevan. Dalam dunia Islam umumnya dan Mesir –dimana ‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks- khususnya, apa yang dikemukan ‘Ali< Jum‘ah bertolak belakang dengan apa yang diungkapkan oleh para feminis muslim seperti Qa>sim Amil Al-Banna>. Menurut Qa>sim Amin, tidak ada nas}s} s}arib. Sejalan dengan pendapat Qa>sim Amil al-Banna> menyatakan masyarakat Arab mempunyai pandangan yang salah terhadap h}ija>b sehingga mereka bersikeras mempertahankan tradisi ini. H}ija>b hanya dianggap sebagai pesan syariat sehingga agama dijadikan legitimasi atas kewajiban memakai h}ija>b.30 Pada sisi sosial al-Banna>, menyatakan bahwa h}ija>b dalam beberapa hal justru menjadi kendala bagi pemakainya untuk dapat berinteraksi sosial dengan masyarakat luas. Sebagaimana dalam hal kriminalitas dan kesaksian dalam pengadilan, h{ija>b terlebih niqa>b dapat menimbulkan kemungkinan-kemungkinan yang memanipulasi keadaan. Begitu juga dalam keadaan lain, seperti perdagangan dan pertanian. Masyarakat pertanian di pedesaan dimana kaum perempuan banyak ikut bercocok tanam akan lebih banyak menemukan kesulitan daripada mereka yang tidak memakai h}ija>b. Bahkan secara radikal lagi, Qa>sim Amib akan lebih terisolasi dari pada kaum perempuan yang melepasnya.31 Pada awal abad ke-20, jutaan perempuan muslim memutuskan untuk menanggalkan h}ija>b yang digunakan oleh para ibu atau nenek mereka. Kemudian setengah abad setelahnya, jutaan perempuan muslim yang menyebar diberbagai belahan dunia kembali mengenakan h}ija>b, bagaimana dan mengapa fluktuasi ini dapat terjadi dan menyebar ke berbagai penjuru dunia. Menurut Leila Ahmad, di Mesir pada tahun 1940, pada kala itu, h}ija>b dianggap terbelakang dan membatasi otonomi perempuan. Tetapi menurutnya, meskipun tidak mengenakan h}ija>b, mereka tergolong taat terhadap agamanya. Akan tetapi kembalinya h}ija>b bukan hanya sebagai bentuk dari kealiman atau menurut Leila Ahmad tidak ada hubungannya dengan ketaatan

    30Jama>l Al-Banna>, Al-Mar’ah Al-Muslimah Bayna Tahri , 25-26. 31Mufidah Saggaf Aljufri, Pembaruan Hukum Islam Menurut Jama>l Al- Banna>, (Jakarta: Gaung Persada, 2011), 234.

    128 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ keimanan seseorang melainkan hampir sebagai bentuk aktivitas sosial dimana waktu munculnya berbarengan dengan kehadiran gerakan Islamisme terutama bangkitnya gerakan Islamisme tahun 1970 yang dipelopori oleh ikhwa>n [email protected] Pada masa pemerintahan Husni< Muba>rak, perkembangan Islamisme di Mesir berkaitan erat dengan dengan pola pikir perempuan muda muslim kelas menengah. Mereka memiliki pandangan bahwa prioritas seorang perempuan itu berada di rumah. Mereka akan bekerja ketika memenuhi empat syarat yang oleh mereka dijadikan pegangan, yaitu; ketika seorang perempuan tidak diperlukan di rumah, pekerjaannya memiliki nilai inheren, suaminya menyetujui dan pekerjaannya tersebut tidak mengharuskannya bercampur dengan lawan jenis.33 Disamping adanya fakta bahwa gerakan Islamisme berkembang pada masa Husni< Muba>rak, gerakan feminisme juga turut berkembang, hal itu disebabkan terdapat persinggungan antara keduanya, dan memiliki kepentingan politik yang bisa dicapai jika dilakukan bersama.34 H}ija>b menurut Fatima Mernissi mempunyai 3 dimensi. Pertama, dimensi visual menyembunyikan sesuatu dari pandangan (to hide). Kedua, dimensi ruang (to separate). Ketiga, dimensi spiritual sebagai fungsi secara etika. Jadi, penggunaan h}ija>b berhubungan dengan makna secara visual, berhubungan dengan ruang dan berhubungan dengan makna abstrak.35

    32Leila Ahmed, A Quiet Revolution: The Veil's Resurgence from Middle East to America (New Heaven: Yale University Press, 2011), 19 33Leila Ahmed, A Quiet Revolution: The Veil's Resurgence, 20. 34Asef Bayat, ‚Post-Islamism; The Changing Faces of Political Islam‛ (New York: Oxford University Press, 2013), 90 – 91. 35Fatima Mernissi ‚Women and Islam: a Historical and Theological Enquiry‛ diterj oleh Yaziar Radianti, Wanita dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1994), h. 79. Lihat Pula: Fatima Mernissi, ‚Women’s Rebellion & Islamic Memory‛ diterj oleh Rahmani Astuti, ‚Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah Muslim‛ (Bandung: Mizan, 1999), 107.

    129 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Jika pemakaian h}ija>b bertujuan menghindari fitnah, maka menurut Qa>sim Amib dalam konteks masyarakat Mesir lengkap dengan atribut niqa>b (cadar) justru menimbulkan fitnah. Sebab seorang yang yang memakai h}ija>b cenderung lebih bebas dan bertindak melanggar sosial tanpa ada rasa khawatir untuk diketahui khalayak ramai. Pernyataan mengenai niqab tersebut senada dengan ‘Ali< Jum‘ah yang mengatakan aneh dalam kehidupan masyarakat Mesir modern apabila perrempuan menutup wajahnya (niqa>b). Menurut ‘Ali< Jum‘ah tindakan menutup wajah apabila dijadikan sebagai alasan untuk hidup ekslusif terpisah dari komunitas masyarakat luas ataupun menganggap syiar dalam beragama maka hukumnya telah keluar dari sunnah dan menjadi bid‘ah yang terlarang.36 Berbeda dengan pandangannya terkait pemakaian h}ija>b yang terkesan tekstualis yang menganggap bahwa h}ija>b merupakan kewajiban yang tidak bisa ditolerir oleh keadaan sosial, sedangkan dalam cadar ‘Ali< Jum‘ah dengan tegas menolak pandangan cadar bagian dari agama. Dalam perumusan hukum h}ija>b, ‘Ali< Jum‘ah menganggap telah final bersifat qat}‘I< sesuai Al-Qur’an, sunnah dan ijma>‘. Sedangkan ekslusifitas cadar tampak menggunakan tarji>h, ‘illat hukum dan metode istih{sa>n (bi al-‘urf) dalam argumennya. Dalam tarjib. Sebaliknya ‘Ali< Jum‘ah melemahkan dalil beserta hujjah yang digunakan para ulama yang pro cadar. Dalam Illat hukmi, secara bahasa, ‘illat adalah suatu sebab dimana hukum itu diterapkan. Adapun syarat utamanya adalah suatu ‘illat hukum mesti jelas, konsisten dan sesuai dengan maqa>s}id al- shari>’ah, yaitu membawa kemaslahatan. ‘Ali< Jum‘ah menggunakan metode ini untuk memahami maksud dalam Qs. al-Ah}za>b (33): 21 dan Qs. al-Nu>r (24): 31. Kedua ayat ini saling menyempurnakan dalam menentukan sesuatu yang wajib dipakai seorang muslimah, yaitu pakaian yang

    36‘Ali< Jum‘ah, Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum, 143.

    130 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ menutup tubuhnya dan tidak membukanya kecuali sesuatu yang tampak. Menurut Quraish Shihab, perintah wanita mengulurkan jilbab dengan tujuan membedakan antara wanita merdeka dengan hamba sahaya, atau antara wanita terhormat dengan yang tidak terhormat pada masa turunnya ayat tersebut, agar wanita terhormat tidak diganggu oleh lelaki usil.37 Pada konteks masyarakat tertentu keterhormatan atau ketidakterhormatan tidak disimbolkan dengan pakaian yang nyeleneh dari sekitarnya. Maka jika demikian, yang penting dalam konteks pakaian perempuan adalah memakai pakaian yang terhormat -sesuai dengan perkembangan budaya positif masyarakat terhormat- dan yang mengantar mereka tidak diganggu atau mengganggu dengan pakaiannya itu. Sebaliknya tampil dalam pakaian yang berbeda pada bentuk masanya termasuk pada bagian dari shuhrah (mencari popularitas) dan ekslusif, bahkan aneh dari kebiasaan masyarakat umum. Sehingga berpakaian shuhrah bagi perempuan tidak dapat dibenarkan. ‘Illat seperti ini termasuk dalam dala>lah s}ara>h}ah, yaitu ‘illat yang disebutkan secara jelas oleh ayat jilbab tersebut. Metode istihsa>n bi ‘urf, dalam hal ini sangat penting untuk menjadikan adat kebiasaan sebagai pertimbangan dalam menetapan hukum (dengan catatan adat tersebut tidak lepas kendali dari prinsip- prinsip ajaran agama serta norma-norma umum), dan menggunakan alasan cenderung aneh apabila melihat cara berpakaian perempuan muslimah masyarakat Mesir yang yang memakai cadar. Maka dalam hal ini ‘Ali< Jum‘ah tampak menggunakan metode istihsan bi al-‘urf. Di Indonesia, kasus berkaitan dengan cadar sering kali muncul ke publik dan menimbulkan reaksi yang beragam dari berbagai kalangan dan elemen masyarakat. Pada akhir tahun 2019, isu cadar kembali mencuat seiring pernyataan yang dilontarkan oleh menteri agama Republik Indonesia, Fachrul Razi, terkait larangan penggunaan cadar di instansi pemerintah.38 Satu tahun sebelumnya, tepatnya pada

    37M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, 23. 38Pernyataan Fachrul Razi ini sebagaimana dimuat media elektronik CNN Indonesia dalam ‚Menag Fachrul Razi Akan Larang Cadar di Instansi Pemerintah‛ pada 5 November 2019. Diakses di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20191030194509-20-444279/menag-

    131 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ awal tahun 2018, isu cadar juga mencuat serta menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat Indonesia. Hal tersebut merujuk pada keputusan rector terkait larangan bercadar bagi mahasiswi yang kuliah di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta sebagaimana berdasarkan Surat Rektor No B-1301/Un02/R/AK.00.3/02/2018 tentang Pembinaan Mahasiswi Bercadar. Di tahun yang sama juga terjadi dengan adanya penon-aktifan dosen bahasa Inggris yang bercadar di IAIN Bukit Tinggi.39 Pelarangan pada kasus diatas didasari atas keamanan juga cadar sejatinya hanya berkaitan dengan tradisi atau budaya bukan kewajiban agama. Selain itu berkaitan dengan kebijakan pelarangan cadar di kampus, pelarangan tersebut dimaksudkan untuk kepentingan umum dan kampus serta kebaikan mahasiswi itu sendiri. Sedangkan bagi yang menolak kebijakan larangan bercadar di kampus, mereka beralasan bahwa larangan tersebut bertentangan dengan hak asasi manusia, di samping itu tidak ada satu pun dalil dari Al-Qur’an dan hadis yang melarang muslimah bercadar. Di Mesir pada tahun 2008, isu cadar mencuat dan menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat Mesir bahkan dunia Arab lantaran pernyataan 3 tokoh terkemuka di Mesir yaitu Mahmu>d Hamdi> Zaqzu>q -menteri waqaf Republik Arab Mesir-, Sayyid T{ant}a>wi -Grand Shaiykh al-Azhar- dan ‘Ali> Jum‘ah –grand mufti Republik Arab Mesir- terkait larangan penggunaan cadar dalam dunia pendidikan di Mesir. Hal tersebut didasari atas menguatnya arus politik identitas dan kelompok-kelompok ekstremis di Mesir, dan cadar menjadi salah satu isu yang mulai mencuat di permukaan, umumnya fenomena tersebut berlaku di kampus-kampus umum. Bahkan T}ant}a>wi> mengukuhkan

    fachrul-razi-akan-larang-cadar-di-instansi-pemerintah pada 29 Desember 2019. 39Pelarangan cadar di dua kampus tersebut sebagaimana dimuat dalam media elektronik CNN Indonesia pada ‚Pelarangan Cadar di Kampus Dinilai Langgar HAM‛ pada 3 Maret 2018. Diakses di https://www.cnnindonesia.com/nasional/20180307125206-20- 281105/pelarangan-cadar-di-kampus-dinilai-langgar-ham 29 Desember 2019.

    132 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ larangan cadar pada sekolah-sekolah yang berafiliasi dengan instansi lembaga Al-Azhar.40 Penulis berpendapat jika melihat konteks struktur masyarakat Indonesia dan Mesir tampaknya sulit diterapkan penggunaan cadar dalam bermasyarakat. Jikalau cadar dimaksudkan untuk keamanan sebaliknya cadar justru menimbulkan ketidakamanan dan kenyamanan bukan hanya untuk si pemakai tetapi orang disekeliling pemakai pula. Terlebih ketika isu-isu radikalisme dan ekstremisme mencuat. Konteks dan zaman saat ini telah berubah, sebagaimana dalam konteks Indonesia dan Mesir, keamanan negara tersebut juga dapat dikatakan aman. Maka jikalau cadar untuk alasan keamanan tampaknya tidak dapat diterima. Lebih dari itu, apabila cadar diklaim sebagai kewajiban ataupun sunnah agama tentu hal ini salah kaprah. Maka dalam hal ini penulis berpegang pada pendapat ‘Ali< Jum‘ah terkait pemikirannya mengenai cadar juga berdasarkan ulama terdahulu karena pada prinsip agama adalah maslahat. Selain itu menurut penulis, cadar hanya termasuk bagian dari kategori masalah khila>fiyah. Agaknya terlalu berlebihan jikalau masalah cadar dibesar-besarkan seolah bagian dari permasalahan yang inti dari agama (us}ul). Berkaitan dengan pelarangan cadar di beberapa kampus -sebagaimana fenomena disebutkan diatas- penulis mengacu pada sadd al-dhari>ah, sebagai langkah preventif dan antisipatif untuk mencegah potensi bahaya dan kerusakan (mud}arat dan mafsadat) yang akan ditimbulkan dari pemakaian cadar tersebut selama di kampus. Dalam kaitannya dengan pemakaian h}ija>b dan niqa>b, pendapat ‘Ali< Jum‘ah cenderung tekstualis ketika menguraikan dalih serta kehujjahan h}ija>b dengan berpegang teguh nas}s} shar‘I < yang bersifat qat}‘I< dan mengunggulkan ulama yang mewajibkan h}ija>b tanpa bisa dita’wi>l dengan dalih lain. Dalam hal ini, tentu saja Ia mengunggulkan otoritas teks keagamaan dibanding pertimbangkan konteks sosio-

    40Pernyataan larangan cadar dilontarkan 3 tokoh ternama di Mesir yaitu Sayyid Tant}a>wi -Grand Shaiykh al-Azhar-, Mahmu>d Hamdi> Zaqzu>q – menteri waqaf Republik Arab Mesir-, dan ‘Ali< Jum‘ah sebagaiman dimuat berita elektronik al-Jazeera dalam ‚‘Ulama> Mas}riyu>n Yuayyidu>na Khat}r al- Niqa>b‛. Diakses di https://www.aljazeera.net/news/arabic/2009/12/23/ pada 29 Desember 2019.

    133 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    histori-politik Mesir. Sedangkan dalam cadar, ‘Ali< Jum‘ah menyampingkan otoritas teks dan lebih banyak berbicara budaya Mesir yang tidak relevan dengan konteks sosial masyarakat Mesir terkait cadar. ‘Ali< Jum‘ah menolak anggapan cadar bagian dari teologis, begitu juga menolak pendapat ulama mengenai kewajiban menutup wajah. Karena cadar bagian dari budaya dan bukan bagian dari agama. Hal ini mengindikasikan bahwa Ia cenderung kontekstualis dan membela realitas dengan menganggap bahwa cadar bukan suatu kewajiban bahkan dianggap bid‘ah apabila pelakunya menggangapnya sebagai syiar agama. Dalam hal ini, penulis menduga bahwa pendapat kontradiktif tersebut agaknya dipengaruhi inteferensi sosio-politik Mesir dan intelektual ‘Ali< Jum‘ah sebagai akademisi al-Azhar. Karena dari segi histori-sosio-politik al-Azhar sangat kontras sekali dengan salafi> –yang dalam hal ini Ikhwa>n al-Muslimir-, hal ini penulis jelaskan panjang lebar pada bagian sebelumnya tentang interferensi kondisi sosial Mesir yaitu pada bagian tiga. Tampaknya interferensi tersebut mempengaruhi pendapat ‘Ali< Jum‘ah dalam dialognya dengan teks dan konteks mengenai cadar. Bahkan bersama Sayyid Tant}a>wi<- saat itu sebagai grand shaykh al-Azhar- dan Mahmu>d Hamdi> Zaqzu>q –menteri waqaf Republik Arab Mesir-, ‘Ali< Jum‘ah melarang penggunaan cadar dalam aktifitas pendidikan di Mesir. Hal ini menunjukkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah juga mempunyai kecenderungan bersikap kontekstual-progresif pada kasus cadar dengan pelarangan tersebut.

    B. Khita>n Perempuan 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Khita>n Perempuan Menurut ‘Ali< Jum‘ah, khita>n merupakan tradisi masyarakat masa lalu dan sejak awal sejarah manusia telah diketahui praktek tersebut. Mereka melakukan praktek khita>n terus-menerus hingga datangnya Islam, baik laki-laki maupun perempuan. Khita>n perempuan pertama kali dilakukan di Mesir kuno sebagai bagian dari upacara adat yang diperuntukkan khusus bagi perempuan yang sudah beranjak dewasa. Tradisi tersebut merupakan akulturasi budaya antara penduduk Mesir dan orang-orang Romawi yang saat itu tinggal di

    134 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Mesir. Hingga datangnya Islam, tradisi ini menyebar ke Madinah pada masa nabi tapi tidak dengan Mekkah. Di Madinah, khita>n perempuan sudah menjadi tradisi sehingga ketika nabi SAW berkunjung ke Madinah, Ia selalu menasehati mereka yang melakukan praktek ini agar tidak berlebihan. Sebagaimana diriwayatkan dari Umm ‘At}iyah, \terdapat seorang perempuan yang berprofesi sebagai juru khita>n perempuan di Madinah pernah suatu ketika Rasulullah s}alla allahu> ‘alayhi wa sallam bersabda kepadanya:

    ِ ِ ِ ِ ِ ِ ِ َّلِتَاْنهكيِفَإ َنِذَل َكِأَ ْحظَىِلْل َمْ أَة،َِوأَ َح ُّبِإََلِالْبَاْعِلِ ‚(Jika Engkau mengkhita>n), jangan dihabiskan. Karena hal itu lebih menyenangkan untuk perempuan, dan lebih dicintai suami.‛41 Memperhatikan teks hadis Umm ‘At}iyah, jikalaupun hadis tersebut s}ahih maka mayoritas ulama’ mazhab memahami -baik tersurat maupun tersirat- perintah untuk mengkhita>n anak perempuan, namun pada realitanya tidak demikian adanya. Sesuatu yang tersurat berupa tuntunan dan peringatan nabi SAW. kepada juru khita>n perempuan agar mengkhita>n dengan cara yang baik dan tidak merusak. Ia mendiamkan praktek khita>n perempuan berjalan di Madinah, namun disyaratkan dengan tidak berlebihan dan tidak merusak. Apabila saat ini dijadikan dasar maka khita>n bisa menjadi tidak diperkenankan apabila berlebihan, atau ternyata merusak dan tidak memberikan kenikmatan seksual bagi perempuan.42 Dalam literatur fiqh tidak satupun ditemukan satupun ulama mazhab fiqh yang mu‘tabar melarang praktek khita>n perempuan. Bahkan ada kesepakatan bahwa khita>n perempuan adalah bentuk keutamaan. Hanya saja, terdapat perbedaan hukum fiqhnya, antara

    41Hadis ini diriwayatkan Abu> Da>wu>d dalam Al-Sunan, Vol. 4 h. 365 dan Al-Haim dalam al-Mustadrak, Vol. 3, h. 603. ‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 61. 42Ahmad Anwar, Ārā’ Ulamā’ al-Dīn al-Islāmi Fi> al-Kh}itān al-Unthā, (Kairo: tp., 1989), 8-9.

    135 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ sunnah dan wajib.43 Ulama kontemporer seperti Yu>suf al-Q{arad{a>wi< menambah ketentuan hukum mubah, hal tersebut merujuk pada kenetralan makna tersirat dari kata ‛makrumah‛ dalam hadis nabi ‛Al- Khita>n sunnatan li al-rija>l makru>matun li al-nisa>‛. Khita>n merupakan sunnah (ketetapan Rasul) bagi laki-laki, dan makru>mah (kemuliaan) bagi wanita.44 Para ulama tidak sependapat tentang hukum khita>n. Sebagaimana diungkapkan H{asanayn Muhammad Makhlu>f, bahwasannya sebagian fuqaha berbeda pendapat dalam menetapkan status hukum khita>n bagi setiap laki-laki dan perempuan. Dalam mazhab sha>fi>‘i>yyah misalnya, sebagaimana disebutkan oleh al-Nawawi@> dalam al-Majmu>‘, bahwa khita>n wajib hukumnya bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan. Pendapat semacam ini merupakan pendapat yang banyak diikuti kebanyakan ulama. Sedangkan mazhab H{ana>bilah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibn Quda>mah dalam kitab al- Mughni>, mengatakan wajib hukumnya bagi laki-laki, dan tidak wajib ataupun sunnah tetapi lebih baik bagi perempuan. Nampaknya pendapat inilah yang diikuti oleh kebanyakan ahli ilmu kesehatan.45 Adapun khita>n bagi perempuan yang ditetapkan oleh mazhab H}anafi>, Ma>likiyah dan Hana>bilah yaitu sunnah berdasarkan hadis Umm ‘At}iyyah. Mengomentari kepada seluruh teks hadis yang berkaitan dengan kewajiban khita>n baik untuk laki-laki maupun untuk perempuan, al-Shawka>ni@ mengatakan: ‚Yang benar adalah bahwa tidak ada dasar hukum yang s}ahi>h, yang menunjukkan kewajiban khita>n. Dan Ia membagi tiga pendapat menurut klasifikasi ulama, yaitu wajib bagi laki-laki dan perempuan, sunnah bagi keduanya dan wajib bagi laki-laki dan sunnah bagi perempuan.46

    43Jama>l Abu> Surur, dkk, Khita>n al-Ina>th, (Kairo: Jam‘iyat al-Azhar al- Markazi al-Daw>li> al-Islami> Li al-Dira>sa>t wa al-Buhu>th al-Sakaniyah, 2013), 15. 44Yu>suf al-Qarad{a>wi>, ‚Hukm al-Shar‘a Fi> al-Khita>n‛ Diakses di https://www.al-qaradawi.net/node/4263 pada 29 Desember 2019 45H{usayn Muhammad Makhlu>f, Fatāwa> Shar‘iyyah wa Buhūth al- Islāmiyyah, (Kairo: al-Madani, 1971), Vol. I, 145. 46Al-Shawka>ni<, Nayl al-Awt}a>r, 111.

    136 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Bagi ‘Ali< Jum‘ah mengenai hukum khita>n perempuan dapat disimpulkan bahwa para fuqaha sebenarnya menafikan sifat wajib, begitu juga mereka menafikan sifat sunnah. Maka benang merah yang diambil adalah mereka menafikan pentasyri‘an khita>n perempuan dan menjadikan khita>n bagian dari adat tradisi. Dan sifat kemuliaan yang ditunjukkan dari hadis dapat dikatakan merujuk pada pengetahuan medis yang berlaku dan kesesuaian adat pada waktu itu dan bukan bagian dari syariat Islam.47 ‘Ali< Jum‘ah menjustifikasi bahwa semua hadis yang berkaitan dengan perintah khita>n perempuan adalah d}a‘if (lemah) dan tidak ada satupun hadis yang dapat dijadikan landasan h{ujjah. Berkaitan dengan hadis Umm ‘At}iyah yang banyak dikutip oleh para ulama, hadis tersebut tidak mengindikaikan adanya unsur kewajiban, kecuali hanya unsur legalitas (pengakuan) nabi Saw. terhadap perbuatan perempuan yang melakukan praktek khita>n di Madinah ketika itu.48 Hal tersebut juga diamini Ibn al-Mundhi>r, al-Shawka>ni>, Mahmu>d Shaltu>t, Sayyid Sa>biq, Wahbah al-Zuha>yli<, Muhammad al-Banna> dan Anwar Ah{mad.49 Jika demikian, maka label hukum khita>n perempuan yang ada dalam fikih adalah murni hasil ijtihad ulama dan bukan perintah atau tuntunan agama secara langsung. Bahkan mengenai khita>n laki-laki pun sebagian ulama juga tetap memahaminya demikian. Oleh karena itu, mayoritas ulama mazhab fiqh terkait dengan masalah khita>n perempuan, lebih memilih kepada predikat ‚kemuliaan‛ daripada sunnah terlebih tidak sampai kepada wajib. Menurut ‘Ali< Jum‘ah, pada dasarnya khita>n perempuan yang menjadi adat hingga saat ini dan sebagaimana pula hadis nabi yang mengindikasikan bukan bagian dari syariat itu hanya untuk alasan emergensi medis.50 Dan ini yang menurut ‘Ali< Jum‘ah harus dipahami oleh umat muslim saat ini karena untuk alasan medis semata. Hal

    47‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 61 48‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 62. 49Agus Hermanto, ‚Khita>n Perempuan antara tradisi dan Syariah‛ dalam Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam. Vol. 10, No. 1, (Juni, 2016), 262-263. 50‘Ali< Jum‘ah, ‚The Islamic view on female circumcision‛ dalam African Journal of Urology. Vol. 19, No. 3, (September, 2011), 122.

    137 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ senada diungkapkan Mah{mu>d Shaltu>t51 bahwa kaidah fiqh yang dapat dijadikan rujukan dalam menentukan kebijakan khita>n perempuan, ataupun melukai anggota badan makhluk hidup (seperti memotong anggota badan bagian seks), hukum dasarnya adalah haram, kecuali kalau dalam hal itu ada kemaslahatan yang kembali kepadanya. Maka hukum asal khita>n adalah haram karena termasuk kategori melukai anggota tubuh. Apabila laki-laki diperbolehkan khita>n karena pencapaian kesehatan yang lebih baik (selain karena ada teks hadis) maka pengambilan keputusan untuk mengkhita>n perempuan harus didasarkan pada alasan medis yang kuat. Jika tidak ada alasan medis maka hukum khita>n kembali keasalnya, yaitu haram. Mempertimbangkan perdebatan seputar khita>n perempuan diatas, ‘Ali< Jum‘ah menetapkan keharaman khita>n perempuan untuk zaman saat ini. Karena sunat kelamin perempuan yang dipraktekkan saat ini membahayakan perempuan secara psikologis dan fisik. Baginya praktik khita>n bagi perempuan harus dihentikan sebagaimana kaidah ‚La> d{ara>ra wa la> d{ira>ra‛ agar tidak menyakit diri sendiri maupun menyakiti orang lain. Selain itu hal tersebut sejalan pula dengan perintah nabi SAW.52 Melalui Konferensi Internasional berkaitan dengan FGM (Female Genital Mutilation) yang diselenggarakan Da>r Ifta>’ al- Mis}riyah pada November 2006. ‘Ali< Jum‘ah -yang saat itu merupakan grand mufti Republik Arab Mesir- mengajak para cendekiawan dari berbagai elemen yangterdiri dari para sarjana hukum Islam, ahli kesehatan dan para aktivis dari berbagai organisasi di Mesir dan seluruh dunia membahas larangan praktik khita>n perempuan. Konferensi tersebut menyimpulkan bahwa mutilasi yang saat ini diterapkan di beberapa bagian Mesir, Afrika dan di tempat lain merupakan kebiasaan yang menyedihkan yang tidak menemukan pembenarannya dalam sumber hukum Islam, baik Al-Qur’an dan sunnah nabi Muhammad.53

    51Mahmud Shaltut, Al-Fata>wa>, 333. 52‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> al-Mar’ah al-Muslimah, 294. 53‘Ali< Jum‘ah, Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. 1, 253.

    138 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Secara etimologi istilah khita>n berarti memotong. Berbagai literatur fiqh klasik menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan khita>n adalah memotong kuluf (menghilangkan sebagian kulit) yang menutupi kashafah atau ujung kepala penis. Adapun khita>n perempuan dalam bahasa Arab disebut khifad} yang berasal dari kata khafd{, artinya memotong ujung klitoris pada vagina. Khita>n merupakan ajaran dari nabi Ibra>hi>m As. yang turun temurun dianut oleh umat setelahnya sampai dikuatkan kembali dalam ajaran Islam. Sebagaimana disampaikan oleh Abu> Isha>q bahwa nabi Ibrahim dikhita>n di Qudum,54 yaitu nama suatu desa yang berada di wilayah negeri Syam. Selanjutnya khita>n tersebut juga diterapkan kepada anaknya yaitu nabi Isha>q dan nabi Isma>‘i>l. Sebagaimana juga dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jawzi> yang mengatakan bahwa: ‚Nabi Ibrahim mengkhita>n anaknya yang bernama Ishaq ketika berumur 7 hari, dan mengkhita>nkan Isma>‘il ketika berumur 13 tahun‛.55 Pelaksanaan khita>n laki-laki hampir sama di setiap tempat, yaitu dengan memotong sebagian kulit yang menutupi kepala penis (kashafah). Sedangkan khita>n peremuan pelaksanaannya berbeda di setiap tempat. Ada yang dilakukan hanya secara simbolis saja atau membuang sebagian klentit (klitoris) dan ada yang memotong bibir vagina (labia minora).56 Ada yang dilakukan dengan mengiris kulit yang paling atas pada alat kelamin yang berbentuk seperti biji-bijian, atau bagaikan jengger ayam jago. Dan yang menjadi kewajiban adalah mengiris kulit bagian atas alat tersebut dengan tidak melepaskan potongannya.57

    54Abu> Ishaq al-Shi>ra>zi>, al-Muhadhdhab, juz ke-1, (Kairo: Isa> al-Ba>bi al-Halabi, tt.), 14. 55Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Zādu al-Ma‘ād fī Hādi Khayr al-Ibād Muhammad Khatam al-Nabiyyīn wa al-Imām al-Mursalīn, juz ke-1, 2, (Kairo: Matba’at al-Mushriyyah, tt.), 40. 56Elga Sarapung, dkk., Agama dan Kesehatan Reproduksi, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1999), 118. 57H}asanayn Muhammad Makhlu>f, Fatāwa> Shar‘iyyah wa Buhūth al- Islāmiyyah, 145.

    139 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Wahbah al-Zuhayli<@ dalam kitab al-fiqh al-Isla>mi< wa Adilatuhu>, khita>n pada perempuan berarti memotong sedikit mungkin dari kulit yang terletak pada bagian atas farj. Lebih utamanya adalah tidak memotong jengger yang paling atas dari farj demi tercapainya kesempurnaan kenikmatan waktu bersenggama.58 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Kesetaraan Gender Sebagaimana telah penulis uraikan dinamika perdebatan para ulama seputar khita>n perempuan, pada dasarnya dalam literatur fiqih tidak ditemukan satupun ulama mazhab fiqh yang mu‘tabar melarang praktek khita>n perempuan. Bahkan, ada kesepakatan bahwa khita>n perempuan adalah bentuk keutamaan. Namun permasalahan khita>n perempuan menjadi permasalahan kontemporer karena permasalahan yang justru "baru" adalah adanya tren pelarangan terhadap khita>n perempuan secara umum dan menjadi peraturan internasional seperti PBB, bahkan dibeberapa negara sudah dituangkan dalam kebijakan pemerintahan sekalipun itu hanya berbentuk surat edaran. Di negara Mesir telah ditetapkan undang-undang yang melarang keras pelaksanaan sunat perempuan. Undang-undang tersebut merujuk kepada fatwa ulama Mesir tahun 2007 yang melarang melaksanakan sunat perempuan. Di Indonesia, sebagai negara yang berpenduduk muslim terbesar di dunia, melalui Kementerian Kesehatan telah menerapkan peraturan melalui Dirjen Kesehatan tentang pelarangan praktek medikalisasi sunat perempuan sejak tahun 2004. Demikian juga di tingkat International, PBB melalui pasal 12 CEDAW (Konvensi PBB tahun 1979 tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi dan kekerasan terhadap perempuan) secara tegas melarang praktek khita>n perempuan dan menganggapnya sebagai bentuk nyata kekerasan terhadap perempuan. WHO mengatakan bahwa khita>n pada perempuan tidak memiliki manfaat kesehatan sama

    58Wah{bah al-Zuhayli<, al-Fiqh al-Isla>miy wa Adilatuhu>, Vol.1, 356.

    140 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ sekali bahkan khita>n pada perempuan justru menambah reksiko untuk kaum perempuan terkena penyakit berbahaya seperti HIV.59 WHO sebagai agen khusus kesehatan PBB telah membagi klasifikasi praktek khita>n perempuan kedalam empat tipe: (1). Pemotongan ‚prepuce‛ dengan atau menggores bagian atau seluruh klitoris (2) pemotongan klitoris dengan disertai sebagian atau seluruh labia minora: (3) pemotongan bagian atau seluruh alat kelamin luar disertai penjahitan atau penyempitan lubang vagina (infibulasi); dan (4) tidak terklasifikasi, yakni: penusukan, pelubangan, pengirisan, atau penggoresan terhadap klirotis dan/atau labia, pemotongan vagina, pemasukan bahan jamu yang bersifat korosif ke dalam vagina. Dorongan untuk pelarangan vagina semakin menguat dengan kampanye yang sistematis dengan WHO serta beberapa lembaga donor.60 Menurut WHO, terdapat sekitar 200 juta perempuan di dunia yang mengalami tindakan sunat.61 Khita>n perempuan dalam realita sosiologis banyak dilakukan di negara-negara Islam atau wilayah yang berpenduduk mayoritas muslim. Paling tidak, khususnya masyarakat muslim mazhab Sha>fi>‘i>< di Afrika, seperti Mesir, Kamerun, Kenya, Tanzania, Ghana, Mauritania, Sierra Loene, Chad, Botswana, Mali, Sudan, , Eithopia, dan Negeria. Sedangkan di Asia, praktek ini umumnya dilakukan di lingkungan masyarakat muslim, seperti Pakistan, Filipina Selatan, Malaysia, Brunei, dan Indonesia. Menarik dicatat, tradisi khita>n juga dilakukan umat Islam yang tinggal di Amerika Latin, seperti Brazil, Meksiko bagian Timur, dan Peru. Masyarakat muslim yang bermukim di beberapa negara barat, seperti Belanda, Swedia, Inggris, Prancis, Amerika, Kanada, Australia,

    59Lihat: Situs resmi World Health Organization tentang Female Genital Mutilation di https://www.who.int/en/news-room/fact- sheets/detail/female-genital-mutilation diakses pada 28 Oktober 2019. 60Cut Riani Oetari, ‚Peran World Health Organization (WHO) Mengatasi Female Genital Mutilation Di Mesir Tahun 2008-2012‛, dalam jurnal Jom Fisip, Vol. 3, No. 1 (Feb, 2016), 3. 61https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/female-genital- mutilation. Diakses pada 22 September 2019.

    141 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ juga masih melakukan khita>n perempuan, meskipun undang-undang setempat telah melarangnya. Selain itu, khita>n perempuan juga dipraktekkan di Uni Emirat Arab, Yaman Selatan, Bahrain, dan Oman. Perlu dicatat, praktek khita>n perempuan bukan hanya ditemukan di kalangan muslim, melainkan juga non muslim, seperti penganut Kristen Koptik di Mesir dan penganut Yahudi di Palestina. Tetapi menarik juga diungkapkan bahwa praktek khita>n perempuan justru tidak umum dilakukan di wilayah asal-usulnya Islam, yaitu Saudi Arabia. Demikian juga wilayah Islam lainnya. Seperti Suriah, Libanon, Iran, Iraq, Yurdania, Maroko, Aljazair dan Tunisia. Bahkan Turki yang mayoritas mazhab H}anafi>> tidak mengenal khita>n perempuan. Begitu juga di Afghanistan dan negara-negara Afrika lainnya.62 Berkaitan dengan dalil hukum khita>n terutama khita>n bagi perempuan, kebanyakan didasarkan pada tuntutan untuk mengikuti ajaran Ibra>hi>m As., dan keterangan lain yang disebutkan sebagai sunnah serta peluang meraih kemuliaan. Anggapan ini cenderung disebabkan pada keadaan pelaksanaan khita>n pada saat itu yang lebih mengarah pada faktor perilaku, yaitu kebiasaan yang menggejala dan kemudian berkembang sebagai nilai-nilai di tengah masyarakat.63 Berangkat dari hal tersebut pembahasan mengenai khita>n perempuan tidak lagi berkutat pada hukum, karena secara fiqh, ketentuan tersebut telah lama panjang lebar dijelaskan dalam berbagai literatur baik klasik maupun kontemporer. Permasalahan yang justru baru sebagaimana telah diungkapkan adalah adanya tren larangan terhadap khita>n perempuan secara umum. Di Mesir -di mana ‘Ali< Jum‘ah berdialog dengan konteks-, pada dasarnya permasalahan pelarangan khita>n perempuan telah lama dibahas oleh para ulama hingga pemerintah Mesir mengeluarkan peraturan-peraturan terkait khita>n perempuan. Hal ini pula yang menjadikan landasan ‘Ali< Jum‘ah menegaskan keharaman khita>n

    62Marlinda Oktavia Erwanti, ‚Kajian Yuridis Female Genital Mutilation (FGM) dalam perspektif HAM‛ dalam jurnal Diponegoro Law Review, Vol. 1, No. 4, (November, 2012), 9. 63H}usayn Muhammad Makhlu>f, Fatāwa> Shar‘iyyah wa Buhūth al- Islāmiyyah, 146.

    142 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ perempuan. Pertama kali pelarangan khita>n perempuan diterbitkan melalui peraturan menteri No. 74 pada tahun 1959. Dimana dalam peratutan tersebut melibatkan cendekiawan agama Islam dan praktisi medis, termasuk wakil menteri Kesehatan, Must}afa> Abd al-Khaliq, grand mufti Mesir pada saat itu, Hassan Ma’mun, dan Mufti sebelumnya, Hasanayn Muhammad Makhlu>f. Begitu juga fatwa Mahmud Shaltu>t yang dikeluarkan pada tahun 1959.64 Pada kenyataannya praktek khita>n perempuan meningkat dan menyebabkan kenaikan tingkat keadaan yang memprihatinkan pada kesehatan perempuan. Menteri kesehatan mengeluarkan peraturan No. 261 untuk tahun 1996 yang menyatakan: ‚Sunat perempuan dilarang, terlepas dari apakah itu dilakukan dalam rumah sakit atau klinik kesehatan umum atau swasta. Kinerja penyunatan pada perempuan tidak diizinkan kecuali mendapatkan izin medis yang harus ditentukan oleh kepala departemen penyakit dan kelahiran perempuan di rumah sakit dan berdasarkan rekomendasi dari dokter pasien.65 Pada tahun 2007 ‘Ali< Jum‘ah mengeluarkan fatwa mengutuk FGM dan dewan tertinggi Azhar riset Islam mengeluarkan pernyataan yang menjelaskan bahwa FGM tidak memiliki dasar dalam inti syariat Islam. Begitupula dalam kurun waktu beberapa tahun, pemerintah Mesir mengeluarkan beberapa keputusan peraturan perundang- undangan untuk sepenuhnya menerapkan hukum anti-FGM, dan hal tersebut berkesinambung hingga usaha kampanye pemerintah yang komprehensif yang telah dilakukan sejak tahun 2007 melalui larangan melakukan FGM baik di rumah sakit maupun klinik medis.66 Tampaknya, pendapat-pendapat ataupun fatwa yang dikeluarkan ‘Ali< Jum‘ah dan usaha pemerintah Mesir beberapa tahun terkahir begitu juga para sarjana Hukum Islam turut andil ke arah penghentian praktek FGM di Mesir. Meskipun tingkat prevalensi masih tinggi, namun pemerintah Mesir terus mengkampenyakan anti-FGM dan kampanye tersebut tampaknya menunjukan penurunan prevalensi. Hasil survey dari Demografi Health Survey untuk tahun 2012

    64‘Ali< Jum‘ah, A. Responding from Traditions, 100. 65‘Ali< Jum‘ah, A. Responding from Traditions.,101. 66‘Ali< Jum‘ah, ‚The Islamic view on female circumcision‛, 123–126.

    143 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ menunjukkan bahwa prevalensi anak perempuan antara 15-19 tahun dari 93% di tahun 2008 menjadi 74% di tahun 2012. Dari total keselurahan prevalensi antara 15-49 terjadi perubahan signifikan terhadap persentase prevalensi tahun 2008 yaitu 96% menjadi 91% ditahun 2012, dan perubahan signifikan dari sikap ibu, karena dari 92% ibu yang mengalami FGM hanya 35% dari mereka yang berniat menyunat anak perempuan mereka. 67 Berbeda halnya di Indonesia, menyikapi perkembangan -tren- pelarangan khita>n perempuan -sebagaimana telah penulis jelaskan diatas- juga dikuatkan oleh penelitian yang dilakukan oleh Population Council terhadap pelaksanaan sunat perempuan di Indonesia yang dibiayai oleh USAID dan Ford Foundation. Disamping itu juga peraturan kementerian kesehatan, melalui Dirjen kesehatan tentang pelarangan praktek medikalisasi sunat perempuan sejak tahun 2004. MUI (Majelis Ulama Indonesia) kemudian mengeluarkan Fatwa No. 9A Tahun 2008 tertanggal 7 Mei 2008.68

    67United Nations Population Fund Egypt. (n.d.). National Legislation, Decrees and Statements Banning FGM/C. Diakses di http://egypt.unfpa.org/english/fgmStaticpages/3f54a0c6-f088-4bec- 86715e9421d2adee/National_Legislations_Decrees_and_Statements_banning _fgm.aspx pada 18 Oktober 2019. 68Keputusan fatwa MUI (majelis ulama Indonesia) No. 9 A tahun 2008 tentang hukum pelarangan khita>n terhadap perempuan, yang diketuai oleh Anwar Ibrahim, sekretaris Hasanudin. Fatwa tentang hukum pelarangan khita>n terhadap perempuan. Pertama, status hukum khita>n perempuan. 1) Khita>n, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. 2) Khita>n terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaannya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan. Kedua, hukum pelarangan khita>n terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari'ah karena khita>n, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam. Ketiga, batas atau cara khita>n perempuan dalam pelaksanaannya, khita>n terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Khita>n perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaldah/colum/praeputium) yang menutupi klitoris. 2. Khita>n perempuan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan d{arar. Keempat, Rekomendasi, Pemerintah cq. Kementerian Kesehatan untuk menjadikan

    144 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Jika dicermati, agaknya fatwa MUI ini berada pada posisi netral. Fatwa tersebut tidak mewajibkan ataupun melarang pelaksanaan khita>n perempuan. Oleh karena itu, kementerian kesehatan kemudian menerbitkan peraturan menteri kesehatan RI No. 1636 Tahun 2010 yang mengatur pelaksanaan khita>n perempuan.69 ‘Ali< Jum‘ah dalam kaitannya khita>n perempuan lebih melihat konteks sosiologis masyarakat dibanding otoritas teks keagamaan. Dalam hal ini, ‘Ali< Jum‘ah melihat konteks di Mesir dan negara-negara muslim lainnya terkhusus Afrika yang dianggap memprihatinkan. Berlandaskan kaidah fiq}hiyah ‚La> D{arara wa la> D{ira>ra‛ ‘Ali< Jum‘ah menganggap konteks masyarakat lebih maslah}ah. Karena menurut hasil pengamatannya, khita>n perempuan tidak mendatangkan manfaat bagi perempuan, justru hal tersebut dapat merusak organ perempuan dengan cara memotong, melukai dan menghilangkan sebagian dari alat vital dan alat reproduksi perempuan. Apalagi kalau terbukti praktek khita>n dapat meninggalkan trauma psokologis bagi mereka. Diluar konteks sebagian ulama menganggap khita>n perempuan sebagai suatu kemuliaan, ‘Ali< Jum‘ah justru melarang praktek khita>n bagi perempuan. Terlebih tingkat kemud}aratan yang ditimbulkan khita>n di Mesir cukup tinggi terbukti sebagaimana hasil survey Demografi Health Survey diatas. Berbeda halnya dengan Indonesia yang agaknya masih dalam batas norma khitan perempuan yang tidak menimbulkan mud}arat tingkat terlalu tinggi pada praktek dalam masyarakat, beberapa ulama di Indonesia juga menjunjung hormat hadis berkaitan kemuliaan khitan perempuan. Dari dua konteks Mesir dan Indonesia agaknya kesesuaian fatwa dalam merespon realitas harus juga dilihat dari sosiolgis atau tempat yang mengitari dan hal ini tampaknya yang ‘Ali Jum‘ah pertimbangkan dalam fatwanya mengenai pelarangan khitan perempuan tersebut. fatwa ini sebagai acuan dalam penetapan peraturan/regulasi tentang masalah khita>n perempuan. 2) Menganjurkan kepada Pemerintah cq. Departemen Kesehatan untuk memberikan penyuluhan dan pelatihan kepada tenaga medis untuk melakukan khita>n perempuan sesuai dengan ketentuan fatwa ini. 69Lihat: Asrorun Ni’am Sholeh, ‚Fatwa Majelis Ulama Tentang Khita>n Perempuan‛, dalam jurnal Ahkam, Vol. XII. No. 2 (Juli, 2012), 36.

    145 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Penulis menyimpulkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah menyampingkan pendapat fuqaha atas kemuliaan khita>n perempuan sebagai validasi hukum, sebaliknya ‘Ali< Jum‘ah tampak menggunakan ‘illat hukum khita>n perempuan dari berbagai aspek, seperti aspek historis, aspek medis, sosiologis, antropologis, psikis secara interdisipliner, juga dari segi kekuatan dasar baik Al-Qur’an maupun hadi>th secara tekstual maupun kontekstual. Jikalau demikian, maka ‘Ali< Jum‘ah mempertimbangankan kemaslahatannya yang menjadi hukum.

    C. Kepemimpinan Perempuan (Hak & Kontestasi Perempuan dalam Politik) 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Kepemimpinan Perempuan Menurut ‘Ali< Jum‘ah suatu hal yang pasti dan tidak mungkin dipungkiri, bahwa Allah menciptakan perempuan dengan tabiat yang berbeda dengan laki-laki. Karena itu, syariat datang dengan hukum- hukum yang sesuai dengan kondisinya. Islam menetapkan hak dan kewajiban perempuan sesuai fitrahnya, semuanya untuk menjaga keseimbangan dan keselarasan fitrah manusia itu sendiri. Berkaitan dengan kontestasi perempuan dalam ruang politik, pada prinsipnya agama tidak membatasi hak perempuan dalam mengurus kepentingan publik. Hanya saja perlu disesuaikan dengan kemampuan dan kehormatan perempuan itu sendiri. 70 ‘Ali< Jum‘ah menambahkan, selama perempuan tersebut dapat mengkompromikan kewajiban pekerjaannya dengan kewajibannya kepada suami juga dengan sesuatu yang menjadi kewajibannya sebagai istri maka hal tersebut tidak dilarang. Akan tetapi pada faktanya seringkali perempuan yang berkarir tidak selaras dengan tabiatnya, seperti keberadaannya yang jarang dirumah dengan mengadakan perjalanan jauh, hal ini menjadikannya tidak sesuai dengan syariat sebagaimana hak dan kewajibannya. Maka dalam hal ini, alangkah baiknya perempuan cukup menjadi voter dalam pemilihan umum dan

    70‘Ali> Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>’, 438.

    146 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ menyerahkan urusannya kepada laki-laki, karena ini termasuk bab al- shaha>dah dan begitupula lebih mas}lahah.71 Hal senada diungkapkan Sayyid T{anta>wi>72< dan Qara>d{a>wi<73, bagi Qara>d{a>wi tidak ada satupun nas}s{ Al-Qur’an maupun hadis yang melarang perempuan untuk menduduki jabatan apapun dalam ruang publik baik diparlemen maupun di pemerintahan. Namun, Ia mewanti bahwa perempuan dalam pekerjaan tersebut harus mengikuti aturan yang telah ditentukan syariat, seperti: 1) tidak boleh ada khalwat (berduaan dalam ruangan tertutup) dengan lawan jenis bukan mahram. 2) tidak boleh melupakan tugas utamanya sebagai seorang ibu yang mendidik anak-anaknya. dan 3) harus tetap menjaga perilaku secara Islami baik dalam berpakaian, berkata, berperilaku, dan lain-lain.74 Dalam kontestasi di ruang politik, ‘Ali< Jum‘ah membatasi kebolehan perempuan pada haknya dalam pemilihan umum, pencalonan di parlemen, jabatan di lembaga-lembaga kepemerintahan seperti hakim, menteri dan jabatan-jabatan lainnya kecuali kepala negara (presiden, perdana menteri, kanselir, dan lain-lain). Karena urusan kepala negara selain mencakup urusan negara juga mencakup urusan umat Islam secara keseluruhan, dalam hal ini kepemimpinannya bersentuhan langsung dengan urusan agama seperti mencakup kepemimpinan dalam shalat yang tentu saja bertentangan dengan syariat.75 Ketidakbolehan perempuan menjadi pemimpin dalam shalat tersebut akan penulis uraikan secara khusus pada bagian keempat ini pada poin E tentang kepemimpinan perempuan dalam shalat. Sejalan

    71‘Ali> Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 2, 349-350. 72Sayyid al-T{ant{a>wi<, Tawlia> al-Mar'ah Ria>sah al-Dau>lah La> Yukh{lif al- >h. Dalam Okaz Arab Saudi, edisi 28 Muharram 1429 H. Diakses di https://www.okaz.com.sa/article/161980 pada 18 Oktober 2019. 73Yusu>f al-Qarad}a>wi><, Min Hadyi al-Isla>m Fatwa> Mua>s}irah, 381 74Yusu>f al-Qarad}a>wi><, Min Hadyi al-Isla>m Fatwa> Mua>s}irah, 382. Mengenai syarat-syarat kebolehan perempuan kebolehan wanita karier juga dikemukakan oleh Nu>r al-Dithiha> wa Dau>ruha> Fi> Bina>’ al-Mujtama’. Lihat Nu>r al-Dithiha> wa Dau>ruha> Fi> Bina>’ al-Mujtama‘, (Damaskus: Da>r al-Buhu>th li al-dira>sah al-Isla>miyah Wa Ihya>’ al-Tura>th, 2001), 61-70. 75‘Ali> Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah, Vol. ke- 2, 351.

    147 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ dengan pendapat tersebut, Wahbah al-Zuh}aiyli> menambahkan kepemimpinan sebuah negara hendaknya dijalankan oleh seorang laki- laki. Menurutnya, laki-laki merupakan syarat dalam menjadi pemimpin karena beban pekerjaan menuntut kemampuan besar yang umumnya tidak ditangggung perempuan. Perempuan juga tidak sanggup mengemban tanggung jawab yang timbul atas jabatan ini baik pada masa damai atau perang dan situasi berbahaya.76 Pada dasarnya para ulama berbeda pendapat mengenai kepemimpinan perempuan di ruang politik. Akan tetapi dinamika perbedaan ulama tersebut banyak dijumpai pada ulama kontemporer sehingga permasalahan ini dikategorikan dalam permasalahan kontemporer . Di sisi lain juga kajian literatur klasik belum banyak dijumpai dalam membahas tentang kepemimpinan perempuan diruang politik. Karena di era klasik struktur sosial dan konteks dalam masyarakat muslim memaklumkan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab ekonomi dibanding perempuan. Secara politis pun, perempuan sama sekali tidak memiliki peran signifikan untuk menjalankan urusan klan, kota, negara dan lain-lain sehingga kurangnya kajian untuk membahas peran perempuan dalam ranah ini. Mengacu pada sebagian ulama kontemporer,77 secara umum mayoritas ulama klasik tidak membolehkan perempuan diruang politik terkhusus menjadi pemimpin negara. Pendapat tersebut berdasarkan Qs. al-Nisa>’ (4): 3478 dan hadis

    76Wahbah al-Zuhayli<, Al-Fiqh al-Islami< wa adillatuhu>, Vol. 8, 302. 77Diantara ulama kontemporer yang tidak membolehkan kepemimpinan perempuan ialah Wahbah al-Zuhayli> yang mengutip ijma>‘ ulama bahwa salah satu syarat mengemban jabatan imam adalah laki-laki (dhuku>rah). Lihat: Wahbah al-Zuhayli<, Al-Fiqh al-Islami< wa adillatuhu>, Vol. 8, 302. Lebih dari itu, Abd al-‘Azi>z bin ‘Abd Alla>h bin Ba>z dalam Fata>wa> Abd Alla>h bin Ba>z mengharamkan perempuan menduduki jabatan tinggi apapun dalam pemerintahan terlebih kepala negara. Lihat: Abd al-‘Azi>z bin ‘Abd Alla>h bin Baz, Majmu‘ Fata>wa> Ibn Ba>z, no. fatwa: 3046, Vol. 1, 424. Pendapat serupa juga dapat dilihat pada Fata>wa> Al-Lajnah Al-Da>imah, no. fatwa: 11780,13. 78QS.al-Nisa>’ (4) :34:

    148 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ dari Abu> Bakrah.79 Dari kedua nas{s} tersebut kalangan ahli fiqih salaf, termasuk mazhab empat berpendapat bahwa imam harus dipegang seorang laki-laki dan tidak boleh diduduki seorang perempuan.80 Adapun perbedaan ulama kontemporer berkaitan seorang perempuan menjadi kepala negara didasari atas perbedaan definisi dan level kepemimpinan dikalangan para ulama. Kepemimpinan dalam bahasa Arab dapat disebut al-wila>yah yang secara etimologis berarti suatu negara yang diatur oleh kepala pemerintahan. Al-wila>yah juga bermakna penguasa atau pejabat negara itu sendiri.81

    ّ َ ُ َ َّ ُ َ َ َ ّ َ َ َ َّ َ َّ ُ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ ْ َ ْ اِل ِ جييييييا قىامييييييىن علييييييى ال ِ سييييييا ِء ِيمييييييا َْييييييل اللييييييه بْْييييييِْ علييييييى بْيييييي ي وِبمييييييا أنفقييييييىا ِمييييييَّ أمييييييىاِل ِِ ْ ۚ َ َّ َ ُ َ َ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َّ ُ َ َّ َ َ ُ َ ُ ُ َ ُ َّ َ ُ ُ َّ َ ْ ُ ُ ُ َّ َالصيياَِّحاۖ قاِنتيياۖ حا َِفيياۖ ِللِبيي ِ ْ ِيمييا ح ِفييل اللييه ۚ والبِخيي تخيياَىن ن ييىزوَّ َ ِْفييىوَّ واي يي ووَّ ِ يي ْ َ َ َ ْ ُ ُ َّ َ ْ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ َّ َ ً َّ َّ َ َ َ َ ًّ َ ً اْلْا ِج ِا واض ِ بىوَّ َّۖ َِ ن أطْن ْ َب تتِىا علِْهَّ ك ِببب ٰ َِن الله كان عِلبا ك ِتيْىا ْ Artinya: ‚Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kem udian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar‛. 79Hadis Abd al-Rahma>n bin Abu> Bakrah: َ ْ ْ َ َ َ َّ َ ُ َ ً لَّ ُيفِل ق ْى م ول ْىا أ ْم َ و ُْ ا ْم َ أاْ . "Tidak akan bahagia suatu kaum apabila mereka menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita". (HR. Bukha>ri>) 80Isma>‘il bin ‘Umar Al-Dimashqi>, Tafsi>r Ibn Kathi>r, (Beirut: Da>r Ibn H}azm, 2000), 293. Bandingkan dengan Muhammad al-Ra>zi> Fakhr al-Di>n, Tafsi>r al-Fakhr al-Ra>zi>, (Beirut: Da>r al-Fikr, 1981), Vol. 1, 88. Ibnu Rushd merinci perbedaan pendapat ini dalam kitab Bidayatul Mujtahid, bahwa Abu> Hani>fah berkata: boleh wanita menjadi qad}i dalam masalah harta. Al-T}abari> berkata: Wanita boleh menjadi hakim secara mutlak dalam segala hal. Lihat: Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid wa al-Niha>yah al-Muq{tas}id, Vol. 4. 1678. البال ُد التي :81Lihat: Mu‘jam Al-Ma‘a>ni< dan Mu‘jam Al-Wasi

    149 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Secara istilah al-wila>yah terbagi menjadi tiga yaitu al-wila>yah al-uz}ma> al-kubra>, al-wila>yah al-a>mmah dan al-wila>yah al-s}ughra> al- kh{as}s}ah. Al-wila>yah al-a>mmah berarti jabatan yang memiliki otoritas untuk melaksanakan tiga jabatan yaitu eksekutif (tanfiiyah) dan legislatif (tashri<’iyah).82 Yang dimaksud al-wilaya>h al- uz{ma> al-kubra> yaitu wilayah negara yang dipimpin oleh kepala pemerintahan yang sekarang disebut dengan presiden, perdana menteri, kanselir, atau raja. Namun, ada juga perbedaan penafsiran dalam mendefinisikan kata al-wilaya>h al-uz{ma> al-kubra> dan al-wila>yah al- s}ughra>. Yu>suf al-Qarad}awi> menyatakan bahwa yang dimaksud dengan al-wilayah al-kubra> adalah kekuasaan khilafah yang mencakup seluruh negara Islam di seluruh dunia yang pemimpinnya disebut dengan al- imamah al-uz{ma>.83 Dalam pengertian ini, maka sebenarnya al-imamah al-uz{ma> atau al-khila>fah al-‘a>mmah yang menjadi pemimpin tertinggi dalam al-wilayah al-uz}ma> saat ini pada dasarnya tidak ada. Yang ada saat ini adalah kepala negara dalam level al-wila>yah al-s}ughra.> Dari uraian diatas, disini penulis menemukan perbedaan pendapat dan fatwa yang dikeluarkan oleh ‘Ali< Jum‘ah pada 2

    Dalam kamus Ar-Ra>id, kata al-wilayah bisa bermakna wali yakni penguasa yang mengatur negara. 82Al-Ma>wardi< dalam Al-Ah}ka>m Al-Sult}a>niyyah membagi kekuasaan al-wilayah al-a>mmah yang berada di bawah kepala negara (al-wila>yah al- kubra>) ke dalam empat bagian: Pertama, orang yang kekuasaannya umum dalam urusan umum. Mereka adalah para menteri karena mereka bertanggung jawab atas semua perkara tanpa kekhususan. Kedua, pejabat yang kekuasaannya umum dalam tugas-tugas khusus. Mereka adalah pejabat daerah dan kota, karena melihat pada tugas yang dikhususkan pada mereka itu umum dalam segala urusan. Ketiga, pejabat yang kekuasaannya khusus dalam urusan yang umum. Mereka seperti hakim, komandan tentara, penarik pajak dan zakat. Keempat, pejabat yang tugasnya khusus untuk urusan khusus. Seperti hakim kota atau daerah, penarik pejak atau zakat, penegak hukum, dan lain- lain. Karena masing-masing memiliki pengawasan khusus dan tugas khusus. Lihat Al-Ma>wardi<, Al-Ah{ka>m Al-Sult}a>niyyah, (Kairo: Da>r al-Hadif al-Qara>d{a>wi<, Li al-Mar’ah Tawliyah al-Ifta>' wa Ri'a>sah al- Dawlah dalam https://www.al-qaradawi.net/node/4384 diakses pada 30 Desember 2019.

    150 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ karyanya yaitu Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah dan Fata>wa al- Nisa>’. Dalam karya Al-Kallim al-T{ayib Fata>wa> ‘As}riyah Ia melarang perempuan menduduki jabatan kepala negara karena urusannya mencakup kepemimpinan shalat yang mana hal tersebut bertentangan dengan syariat. Sedangkan dalam karya Fata>wa al-Nisa>’84, bagi ‘Ali< Jum‘ah dalam kepemimpinan perempuan menjadi kepala negara perlu dibedakan antara tugas jabatan khila>fah al-isla>m dan kepemimpinan kepala negara modern. Ia menjelaskan bahwa khila>fah al-isla>m merupakan pemimpin yang mencakup urusan agama yang didalamnya terdapat kepemimpinan shalat. Dalam literatur fiqh klasik, para ‘ulama menetapkan syarat-syarat tertentu dimana perempuan tidak diperbolehkan mengemban tugas ini. Akan tetapi menurut ‘Ali< Jum‘ah khilafah yang dimaksud sudah tidak ada lagi sekarang. Terhitung sejak ditumbangkannya khilafah Turki Uthma>ni> di tahun 1924 yang lalu, maka istilah khilafah al-isla>m ini sudah tidak relevan pada zaman modern saat ini. Semenjak abad ke-21 dan runtuhnya khilfah Turki ‘Uthma>ni> tersebut tugas jabatan kepala negara bertransformasi menjadi urusannya hanya pada urusan rakyat sipil. Sehingga kepemimpinan perempuan dalam suatu negara pada zaman modern ini tidak bertentangan dengan syariat. Menyetir klasifikasi level kepemimpinan yang dikemukan oleh Yu>suf al-Qarad}a>wi> –sebagaimana telah diuraikan sebelumnya- penulis menyimpulkan bahwa ‘Ali< Jum‘ah melarang perempuan dari al- wila>yah al-uz}ma> al-kubra>, dan membolehkan al-wila>yah al-‘a>mmah dan al-wila>yah al-s}ughra> al-kh{as}s}ah. Jika kepala negara yang dimaksud adalah al-wila>yah al-uz}ma> al-kubra, maka istilah tersebut sudah tidak ada dan tidak relevan dengan zaman sekarang. Maka bagi ‘Ali< Jum‘ah juga diamini al-Qarad}a>wi dan T{ant{a>wi> bahwa kepala negara seorang perempuan diperbolehkan. Dengan demikian pendapat ini selaras dengan adagium yang dicanangkan para ulama bahwa hukum dapat berubah sesuai dengan kondisi, tempat, zaman dan lain sebagainya. Hal tersebut juga menandakan bahwa hukum Islam bersifat elastis dan fleksibel menampung permasalahan kontemporer yang sangat kompleks. Demikian pula kontradiktif fatwa yang dikeluarkan ‘Ali<

    84‘Ali> Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>’, 438-440.

    151 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Jum‘ah dalam 2 karyanya mengindikasikan bahwa hukum Islam tidaklah kaku dan jumu>d merespon konteks yang selalu berkembang. Untuk menjelaskan masalah kepemimpinan perempuan diruang publik, Menurut ‘Ali< Jum‘ah pada dasarnya hak politik bagi seorang muslim –baik laki-laki maupun perempuan- dalam partisipasi bernegara secara global sebagai berikut; 1. Memilih seorang hakim dan rid}o dengannya. Hal ini disebut dalam literatur fiqh dengan cara bai‘at. 2. Berpartisipasi dalam permaslahan- permasalahan negara secara umum karena hal tersebut termasuk dalam prinsip shu>ra> yang mana hal tersebut bagian dari prinsip dasar Islam. 3. Ambil bagian politik dalam pemerintahan atau lembaga-lembaga negara. 4. Menasehati pemerintah dan segala kebijakannya dengan berlandaskan al-amr bi al-ma‘ru>f wa al- nahi< ‘an al-munkar.85 Poin diatas berdasarkan Qs. al-Fath} (48): 1086 yang menunjukkan bai’at secara umum tanpa pengecualian baik dari laki- laki maupun perempuan dan Qs. al-Mumtahanah (40): 1287 yang

    85‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 65-66. َّ َّ َ ُ َ ُ َ َ َّ َ ُ َ ُ َ َّ َ َ ُ َّ َ ْ َ َ ْ ْ َ َ ْ َ َ َ َ َّ َ َ ْ ُ ُ َ َ َ ْ 86 َِن ال ِْيَّ يتاَِْىنك َِنما يتاَِْىن الله يد الل ِه َىق أي ِديِهْ ۚ َمَّ ن ث َِ نما ين ث على نف ِس ِه َّۖ َ َ ْ َ ْ َ َ َ َ َ َ َ ْ ُ َّ َ َ َ ُ ْ َ ْ ً َ ومَّ أو ى ِيما عاود علبه اللْه َسبؤِتب ِه أج ا ع ِفبما Artinya: ‚Bahwasanya orang-orang yang berjanji setia kepada kamu sesungguhnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka, maka barangsiapa yang melanggar janjinya niscaya akibat ia melanggar janji itu akan menimpa dirinya sendiri dan barangsiapa menepati janjinya kepada Allah maka Allah akan memberinya pahala yang besar‛

    َ َ ُّ َ َّ ُّ َ َ َ َ ْ ُ ْ َ ُ ُ َ ْ َ َ َ َ َ ْ َ ُ ْ ْ َ َّ َ ْ ً َ َ َ ْ ْ َ َ َ َ ْ َ 87 يا أيهيا النِبيي َِِا جياءَ اْلؤ ِمنياۖ يتاَِْنيك عليى أن ّل َ ي ِ كَّ ِياللي ِه شيَاا وّل َسي ِ قَّ وّل ي ِنين َ َ َ ْ ُ ْ َ َ ْ َ َ ُ َّ َ َ َ ْ َ ُ ْ َ َ ْ َ َ ُ َ ْ َ َ ْ َّ َ َ ْ ُ َّ َ َ َ ْ َ َ َ ْ ُ َ َ ْ ُ َّ وّل يقيييييييتلَّ أوّلىويييييييَّ وّل يييييييأِتين ِيِهتيييييييا ن يفت ِىينيييييييه يييييييين أ ييييييي ِديِهَّ وأرجِل ِِيييييييَّ وّل َْ ِصيييييييَنْك ِ ييييييي مْييييييي و ْ ۙ َتييييييياََِِّْ َ ْ َ ْ ْ َ ُ َّ َّ َ َّ َّ َ َ ُ َ واكتِ ِف لَِّ الله َّۖ َِن الله غفىر ر ِحب ْ Artinya: ‚Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk mengadakan janji setia, bahwa mereka tiada akan menyekutukan Allah, tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan

    152 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ menunjukkan perintah pada perempuan dalam pembaia’tan. Dan hal ini berlaku penetapan pada hakim perempuan sebagaimana pembaiatan hakim seorang laki-laki. Maka suara perempuan dalam pemilihan suara laki-laki tanpa membedakan diantara keduanya. Begitu juga hadis nabi yang mengikutkan Umm Salamah dalam musyawarah pada suatu kejadian setelah ditandatanganinya perjanjian hudaybiyah pada tahun ke-6 H. Pada waktu itu, Rasulullah dan umat Islam hendak menjalankan umrah di Mekkah. Namun, kaum musyrik tidak mengizinkan umat Islam masuk Mekkah. Setelah melalui negosiasi yang alot, kaum musyrik dan umat Islam sepakat untuk menandatangani perjanjian hudaibiyah. Isinya, pada tahun itu umat Islam tidak diperbolehkan memasuki kota Mekkah. Mereka baru diizinkan memasuki kota Mekkah dan menunaikan umrah pada tahun berikutnya.88 Selain itu, kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum perempuan yang terlibat dalam soal politik praktis. Bahkan istri Nabi saw. sendiri, yakni 'Alib yang ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Isu tersebar dalam peperangan tersebut adalah soal eksekusi setelah terbunuhnya khali>fah ketiga, ‘Uthma>n ibn 'Affa>n. Peperangan itu dikenal dalam sejarah Islam dengan nama perang Unta. Keterlibatan ‘A

    153 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ perempuan berhak untuk menasehati akan amr bi al-ma‘ru>f wa nahi> an al-munkar mencakup segala segi kebaikan, termasuk memberi masukan dan kritik terhadap penguasa. Di samping karena ditunjang oleh fakta historis pada masa Rasulullah saw. banyak kaum perempuan terlibat dalam peran-peran politik dan bahkan terlibat dalam soal politik praktis termasuk istri Rasulullah saw., sendiri yaitu Alib.89 Berlandas pernyataan diatas, ‘Ali< Jum‘ah mengungkapkan bahwa pada zaman modern sekarang ini, tampaknya tidak ada ulama yang kontra atas pencalonan perempuan di parlemen yang merepresentatifkan rakyat dan partisipasinya dalam pemberlakuan undang-undang negara. Diterbitkan fatwa Da>r Ifta> al-Mis}riyah No. 852 Tahun 1997 tentang Hukum kebolehan Perempuan menjadi anggota parlemen wakil rakyat atau majlis permusyawartan rakyat yang berbunyi ‚Tidak ada larangan bagi seorang perempuan yang mencalonkan dirinya sebagai anggota wakil rakyat atau majlis permusyawartan rakyat apabila orang-orang disekelilingnya ridha menjadi wakil rakyat untuk mereka‛.90 Begitu juga dalam permasalahan peradilan tertinggi dalam suatu negara, meskipun para ulama berbeda pendapat, namun ‘Ali< Jum‘ah membolehkan perempuan mempunyai kekuasaan dalam kepemimpinan lembaga peradilan suatu negara. Pendapat ‘Ali< Jum‘ah mengikuti pendapat ulama klasik yang membolehkan perempuan menduduki jabatan q{a>d{i< atau hakim diantaranya lain Abu> Hanisuf al-Qarad}a>wi> bahwa kedudukan al-ima>mah al-uz}ma> yang membawahi seluruh umat Islam dunia harus dipegang oleh laki-laki karena salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat. Akan tetapi konteks al-ima>mah al-uz}ma> sudah tidak relevan dengan zaman saat ini.

    89M. Quraish Shihab, Membumikan al Qur’an, 274-275. 90‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 66. 91‘Ali> Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>’, 438.

    154 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Sehingga saat ini kepemimpin perempuan dalam jabatan apapun diperbolehkan selama tidak mencakup urusan agama yang dalam hal ini kepemimpinan dalam shalat yang bertentangan dngan syariat (sebagaimana bagian ini telah penulis bahas terperinci pada pembahasan sebelumnya tentang kepemimpinan perempuan dalam shalat). 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah Dengan Aspek Gender Kepemimpinan perempuan merupakan persoalan yang selalu menjadi isu sentral perdebatan dikalangan para feminis. Banyak dikalangan mereka menggugat paham kepemimpinan hanya milik laki- laki yang selama ini sudah mapan di kalangan kaum muslim. Bagi mereka, paham yang menempatkan laki-laki sebagai pemimpin -baik dalam wilayah domestik ataupun publik- tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme, yaitu kesetaraan laki-laki dan perempuan. Sebagai konsekuensi logis dari konsep kesetaraan tersebut, maka status perempuan harus setara dengan status laki-laki dalam segala bidang baik dalam ruang domestik maupun publik. Berkaitan dengan hak perempuan dalam kontestasi politik, kebanyakan dari para ulama klasik tidak memberikan kesempatan bagi perempuan untuk bisa berdiri sejajar (egaliter) dengan laki-laki. Terlebih dalam persoalan politik Islam, sudah hampir dipastikan banyak sejarawan yang kurang tertarik untuk membahas peran perempuan dalam ranah ini. Memang, di era klasik struktur sosial dan konteks dalam masyarakat muslim memaklumkan bahwa laki-laki memiliki tanggung jawab ekonomi dibanding perempuan. Secara politis pun, perempuan sama sekali tidak memiliki peran signifikan untuk menjalankan urusan klan, kota, dan lain-lain.92 Akan tetapi, konteks di atas sudah berubah. Di mana banyak perempuan era sekarang yang ternyata memiliki kemampuan yang bahkan bisa melebihi laki-laki di ranah publik dan politik. Fenomena kepala negara perempuan sudah pernah dan sedang terjadi yaitu di Pakistan dan Bangladesh. Perdana Menteri (PM) Benazir Bhutto menjadi kepala negara Pakistan dua periode yang pertama pada tahun

    92Abdullah Saeed, Interpreting the Qur’an: Towards a Contemporary Approach, (New York; Routledge, 2005),121.

    155 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    1988-1990 dan yang kedua pada tahun 1993-1996.93 Bangladesh, negara yang memisahkan diri dari Pakistan pada 1971, dipimpin oleh dua kepala negara perempuan yaitu Khaleda Zia 1991-1996 kemudian dilantik kembali pada tahun 2001-2006 dan Sheikh Hasina.yang berkuasa pada tahun 1996-2001 dan kembali dilantik dari tahun 2009 hingga sekarang.94 Di Indonesia sendiri, tepatnya sejak tahun 2001, yakni saat lengsernya Abdurrahman Wahid dari tahta kepresidenan dan naiknya Megawati Soekarnoputri menjadi presiden perempuan pertama di Indonesia. Dan tokoh-tokoh pemimpin lainnya seperti Eleanor Rosevelt (pendamping Franklin D. Rosevelt), Hillary Clinton, Margareth Thatcher (pemimpin Inggris sejak 1970-1990), dan lain- lain. Menjadi bukti bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tidak kalah dibanding laki-laki. Perdebatan yang terjadi tentang kepemimpinan ini di dasarkan pada QS.al-Nisa>’ (4) :34 ini bahwa laki-laki mutlak menjadi pemimpin. Larangan perempuan menjadi imam, baik dalam salat bahkan merambat dalam kehidupan sosial, sepertinya telah menjadi kesepakatan kitab fiqh.95 Penafsiran tersebut memberikan reaksi kepada sebagian kalangan cendekiwan Islam dan feminis bahwa Islam diskriminatif terhadap perempuan yang dapat menjadi pemimpin. Oleh karenanya ada bias pemahaman yang menyebabkan ketidakadilan dalam kepemimpinan bagi perempuan. Sebelum masuk pada pembahasan kepemimpinan perempuan diruang politik, menarik dikaji terlebih terdahulu pengertian dan penafsiran ulama> dalam penggalan ayat al-Rija>lu Qawwa>muna ala> Nisa> pada QS.al-Nisa> (4) :34. Dalam hal ini penulis memaparkan pendapat para tokoh feminis muslim yang menggugat ketidakadilan gender

    93Libby Hughes, Benazir Bhutto: From Prison to Prime Minister (Universe: 2000), xii. 94Willem Van Schendel, A History of Bangladesh (Cambridge University Press 2009), 1. Lihat juga: Nation, Fox edisi 31 Juli 2017 dalam "Circa: Prime Minister of Bangladesh Says Clinton Personally Pressured Her to Help Donor". Diakses di https://nation.foxnews.com/ pada 29 Desember 2019. 95Sa‘di< Abu> Habisu>‘ah Fi< al-Fiqh al-Isla>mi<, Terj. Sahal Mahfudz, ‘Ensiklopedi Ijma>‘, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), 771.

    156 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ melalui penggalan ayat tersebut. Karena penekanan pada kalimat tersebut sebenarnya inti dari pro-kontra yang menjadikan sebagian ulama bependapat bahwa kepemimpinan mutlak dipegang oleh laki- laki dan sebagian berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi pemimpin baik diranah publik maupun domestik. Pada dasarnya istilah-istilah gender dalam Al-Qur'an mempunyai makna yang signifikan untuk diluruskan. Dalam ayat Qs al-Nisa> (4):34, kata al-rija>l dikaitkan dengan al-nisa’> dan kata al-nisa> dikonotasikan sebagai feminim, domestikal, lemah lembut, bahkan banyak lupa. Sementara rija>l bisa bermakna orang yang berjalan kaki, jadi makna sosiologis dalam pengertian di atas, laki-laki berjalan mencari nafkah dan perempuan tinggal di rumah.96 Zaitunah Subhan menjelaskan bahwa yang dimaksud kata qawwa>mun di dalam ayat ini bisa saja diartikan laki-laki dan bisa juga diartikan untuk perempuan. Karena secara sosiologis siapa pun yang mampu (baik laki-laki maupun perempuan) untuk berupaya imengayomi nafkah keluarga maka dialah qawwa>mun, dialah al-rija>l.97 Menurut Amina Wadud, dalam ayat QS.al-Nisa> (4) :34 digunakan kata "bi" sehingga ayat ini diartikan laki-laki Qawwa>muna adalah pemimpin perempuan "hanya jika" dia memiliki dua syarat: Pertama, jika laki-laki sanggup membuktikan kelebihannya. Kedua, jika laki-laki memberi natkah dengan harta bendanya, dan jika kedua persyaratan ini tidak terpenuhi maka laki- laki tidak berhak menjadi pemimpin bagi perempuan. Kelebihan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kelebihan material. Karena itu bertanggungjawab memberi nafkah dan kebutuhan kepada perempuan. Jadi terdapat hak istimewa yang diterima laki-laki dengan tanggungjawab yang dipikulnya.98 Hal senada diungkapkan Quraish Shihab, bahwa q{awwa>mun, dapat dipahami dalam ayat ini Allah menunjuk laki-laki sebagai pemimpin dalam rumah tangga, karena laki-laki memang memiliki kelebihan

    96Luwif Al-Yasu>‘i<, Al-Munjid Fi< al-Lughah wa al-Am (Beirut: al-Kathulikiyah, 1986), 807. 97Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al- Qur’an (Jakarta: Lentera Hati, 2008), Vol II, 404. 98Ashgar Ali Engineer, The Right of (New York: St. Martin’s Press: 1992), 46.

    157 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ secara fisik maupun psikis, dan adanya perintah kewajiban bagi suami untuk menafkahi istri dan keluarga.99 Menurut Ashgar kepemimpinan laki-laki dalam keluarga bersifat kontekstual, terkait dengan keunggulan fungsional laki-laki pada masa ayat ini diturunkan. Pada waktu itu, laki-laki diangap unggul karena kekuasaan dan keampuannya mencari nafkah. Sementara kesadaran perempuan pada saat itu sangat rendah dan pekerjaan domestik dianggap sebagai kewajiban perempuan. Lebih jauh Ashgar mengatakan laki-laki sebagai qawwa>mu>n (pemberi nafkah atau pengatur urusan rumah tangga), dan tidak mengatakan harus menjadi qawwa>mun dapat dilihat bahwa qawwa>mu>n merupakan sebuah pernyataan kontekstual, bukan normative. Seandainya Al-Qur’an mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi qawwamu>n, maka dia akan menjadi sebuah pernyataan normatif, dan pastilah akan mengikat bagi semua perempuan pada semua zaman dan dalam semua keadaan. Tetapi Allah tidak menginginkan hal semacam ini.100 Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan konteks ayat Qs. al-Nisa >(4): 34, maka kepemimpinan dalam rumah tangga berada di tangan laki-laki sebagai suami dengan kelebihan yang dimiliki. Namun, bagaimana jika melihat realitas dan fakta saat ini banyak perempuan (istri) menanggung biaya hidup menjadi (tulang punggung) keluarga karena laki-laki (suami) tidak mampu bekerja karena beberapa alasan, misalnya karena mengidap penyakit menahun yang tidak bisa disembuhkan, otomatis suami tidak dapat menunaikan tanggung jawabnya sebagai pemimpin dan kepala rumah tangga serta kelebihan yang dimiliki juga tidak bisa difungsikan. Atau karena suami kemampuan berusaha, atau karena suami sudah meninggal dunia, dalam kondisi seperti ini tanggung jawab sebagai kepala rumah tangga boleh diambil alih perempuan (istri). Karena itu sejatinya ayat ini dipahami secara kontekstual sehingga tidak terjadi ketimpangan dalam relasi gender.

    99Amina Wadud, Qur’an and Women (Kuala Lumpur: Fajar Bakti SDN, 1994), 70. 100Ashgar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, 55.

    158 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Sebagian ulama menjadikan QS. al- Nisa> (4) :34 tersebut sebagai argumen menolak perempuan menjadi pemimpin dalam ranah publik. Menurut mereka kepemimpinan berada di tangan laki-laki, sehingga hak-hak berpolitik pun berada di tangan mereka. Pandangan ini tidak sejalan dengan makna sebenarnya yang diamanatkan oleh ayat yang discbutkan itu. Sebagaimana diungkapkan Nasaruddin Umar yang menyatakan bahwa QS. al- Nisa> (4) :34 tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak perempuan menjadi pemimpin di daiam masyarakat.101 Dia juga mendukung pendapat Muhammad Abduh dalam al-Mana>r yang menjclaskan bahwa laki-laki tidaklah mutlak sebagai pemimpin bagi perempuan, karena ayat ini tidak menggunakan kata "ma faddalahum bihinna atau bi fadhilim alaihinna ‚ oleh karena Allah memberikan kelebihan pada laki-laki atas perempuan), tetapi menggunakan ungkapan: bi ma faddalallahu ba'duhum ala ba'd (Allah memberikan kelebihan sebagian mercka terhadap sebagian yang lain). Argumen ini cukup beralasan karena ayat ini berbicara dalam konteks urusan keluarga, tidak ada hubungannya dengan soal hak politik perempuan. Demikian juga kepemimpinan dalam masyarakat tidak ada kaitannya dengan kewajiban memberi nafkah terhadap masyarakat yang dipimpinnya, tetapi hanya berkaitan dengan kewajiban melaksanakan tanggungjawabnya dan menegakkan keadilan terhadap masyarakat yang dipimpinnya. Mereka juga berdalih bahwa dalam sejarah Islam tercatat keterlibatan perempuan dalam jabatan penting peradilan dan pemerintahan. Salah satu diantaranya dalah Sumala al-Qahra Manah.

    101Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender; Perspektif Al- Qur’an (Jakarta: Paramadina, 1999) h. 150. Kepemimpinan laki-laki terhadap perempuan yang terkandung dalam QS.al-Nisa> (4):34 adalah kepemimpinan dalam keluarga, itu hak yang tidak diragukan lagi, karera itu hukum syar'i dan realitas kehidupan dalam segala zaman. Namun perempuan itu harus di rumah jangan kita menjadıkan dia selalu ada di rumah, tetapi harus diarahkan ke tempat di mana dia melakukan pekerjaannya dan tempat menyampaikan misinya yang inulia dalam kehidupan. Apabila dia ikut serta dalam urusan masyarakat. maka harus keluar dari rumahnya untuk menyempurnakan risalahnya. Jama>l al-did, Huqu>q al-Mar'ah (Kairo: al- Ha>iah al-Mis{riyah al- Ab, 1986), 65.

    159 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Ia menjabat sebagai Qa>d}i@ al-Maza>lim, yang majlisnya dihadiri para hakim dan fuqaha. Demikian juga Shifa> al-Alu Qawwa>muna ala> Nisa> hendaknya diuraikan sebagai deskripsi keadaan struktur dan norma sosial masyarakat pada waktu itu, dan bukan suatu norma ajaran yang harus dipraktekan.103 Ketika ide-ide feminisme tersebar dan diadopsi oleh sebagian kaum muslimin, merekapun lalu membuat analisis sendiri mengenai sebab sebab terjadinya ketidakadilan gender. Para feminisme Muslim lalu mengajukan konsep keseteraan sebagai jawaban terhadap problem ketidaksetaraan gender tersebut. Salah satunya Asghar Ali Engineer yang mengatakan bahwa terjadinya ketidakadilan gender adalah akibat asumsi asumsi teologis bahwa memang diciptakan lebih rendah derajatnya daripada laki-laki, misalnya asumsi bahwa perempuan memang tidak cocok memegang kekuasaan, perempuan tidak memiliki kemampuan yang dimiliki laki-laki, perempuan dibatasi kegiatannya di rumah dan di dapur. Asumsi-asumsi ini menurut Asghar adalah hasil penafsiran laki-laki terhadap Al-Qur'an untuk mengekalkan dominasi laki-laki atas perempuan.104 Secara ringkas, substansi ide feminis muslim ini menurut Taq{ini< ialah menjadikan kesetaraan (al-musa>wah/equality) sebagai batu loncatan atau jalan untuk meraih hak-hak perempuan. 105 Dengan kata lain, feminisme itu ide dasarnya adalah kesetaraan kedudukan laki-laki dan perempuan. Sementara ide cabang yang di

    102Ibn H{azm, Naqt al-Aru>s, (Beirut: al-Muassah al-Arabiyah Li al- Dirasa>t wa al-Nashr, 1987), 98 103Kaukab Siddique, The Struggle of Muslim World, terj. Arif Maftuhin, Menggugat Tuhan Yang Maskulin. (Jakarta: Paramadina, 2002), 11-13. 104Ashgar Ali Engineer, Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, (Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994), 55. 105Taq{ini<, Al-Niz}a>m al-Ijtima>‘i< Fi< al-Isla>m (Beirut: Da>r al-Ummah, 1990), 77.

    160 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ atas dasar itu, ialah kesetaraan hak-hak antara laki-laki dan perempuan. Walaupun pada dasarnya, pendapat ‘Ali< Jum‘ah terkesan tekstualis dengan banyak berpegang teguh berdasarkan pada Al- Qur’an, Sunah, Ijma>’ dan Qiya>s sebagai metodologi utama dalam penetapan hukum -sebagaimana dipaparkan diatas pemikiran ‘Ali< Jum‘ah berkaitan dengan kepemimpinan-. Akan tetapi dilain sisi, pada banyak kasus dalam masalah kepemimpinan perempuan ‘Ali< Jum‘ah lebih banyak sejalan dengan ide-ide feminisme sebagaimana penulis paparkan diatas. ال جيا قىاميىن ) Pada penafsirannya terkhusus pada penggalan ayat dalam Qs. al-Nisa>’ (4) :34, ‘Ali> Jum‘ah menyatakan bahwa (عليى ال سياء para lelaki yakni jenis kelamin laki-laki adalah qawwa>mah yang bisa berarti pemimpin dan penanggung jawab atas para perempuan. Qawwa>mah bisa berarti ihsa>n al-isroh, al-ria>'yah wa al-ina>yah, al- nafaqah, tahqi fad}d}ala Allahu ba’d}ahum ‘ala> ba’d }wa bima> anfaqu> min amwa>lihim yang dapat ditafsirkan bahwa Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka yakni laki-laki secara umum atau suami telah menafkahkan sebagian dari harta mereka untuk membayar mahar dan biaya hidup untuk istri dan anak anaknya. Berdasarkan pernyataan diatas, ‘Ali< Jum‘ah menganggap masalah Qiwa>mah sebagai masalah yang berkaitan dengan keluarga. Ia membatasi keutamaan kepemimpinan laki-laki atas perempuan hanya sebatas pada lingkup keluarga. Sedangkan berkaitan dengan ruang lingkup politik, Ia menyatakan perempuan mempunyai hak politik dan peran dalam kontestasi diruang publik dengan perlu adanya catatan, diantaranya terdapat komunikasi dengan keluarga antara dirinya dengan suami, terlebih perannya sebagai ibu untuk anak-anaknya, juga diataranya tidak boleh adanya khalwat. Bagi ‘Ali< Jum‘ah, keputusan perempuan untuk menempati jabatan publik adalah keputusan pribadi antara dirinya dan suaminya. Islam tidak melarang kontestasi perempuan di ruang publik selama hal berkaitan keluarga terpenuhi

    161 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    dan memperhatikan hak dan kewajibannya sebagai istri serta tidak bersebrangan dengan syariat Islam.

    D. Konsep Keadilan 2:1 dalam Pembagian Warisan 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Pembagian Warisan Dalam pembahasan mengenai pembagian warisan, ‘Ali< Jum‘ah menekankan perlunya dogma yang harus dimiliki seorang muslim secara teologis, bahwa ketentuan Allah berkaitan dengan keadilan adalah mutlak dalam syariat, timbangan yang ditetapkan Allah tidak seperti timbangan ukuran manusia dan harus diterapkan dalam setiap menjalankan syariatnya. Ketidakadilan dalam syariat-Nya merupakan hal yang mustahil sebagaimana dijelaskan dalam penggalan redaksi ( اليظ مل تتليال) ,Qs. al-Kahfi< (18): 49 ( اليظ ل ببلأ دالدا) :ayat diantaranya ملكلل هللا ) ,Qs. Al-H{ajj (22): 10 (د هللاليب بظال ل يبيلد) ,Qs. Al-Isra> (17): 73 :(Qs. al-Nisa>’ (4 ( ال يظ ملل يريللبا ) ,Qs. Al-‘Ankabu>t (29): 40 (للليظ ما 124.106 Adapun masalah pembagian harta warisan dalam Islam telah diatur dalam ilmu fara>id} yaitu ilmu yang berkaitan dengan harta peninggalan, cara menghitung pembagiannya serta bagian masing- masing ahli waris.107 Warisan secara etimologi perpindahan harta benda dari seseorang kepada seseorang yaitu ahli waris setelah kematian pewaris dengan hukum syariat. Perpindahan harta kepemilikan ahli waris yang terjadi berdasarkan hubungan keturunan, pernikahan yang sah, dan semacamya.108

    106‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al-Nus{u>s al-Shar‘i< wa Tura>th al-Fiqh, 19. Lihat juga: ‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 9. 107Wahbah al-Zuh}a>ili<, Al-Fiqh al-Isla>mi< wa Adillatuhu> (Beirut: Da>r al- Fikr, 2004), Vol. ke-10, 7440. 108Pada masa jahiliah disebutkan tiga penyebab utama saling mewarisi. Pertama, karena nasab, yakni anak laki-laki dewasa yang sudah teruji mampu mengangkat senjata dan sama sekali tidak melibatkan perempuan dewasa sekalipun dan anak-anak, sekalipun anak-anak laki. Kedua, anak angkat, yakni pengangkatan anak laki-laki dari orang lain oleh sescorang yang secara de facto diakui sebagai anak layaknya seorang anak kndung yang mendapatkan hak waris. Ketiga, perjanjian atau sumpah setia, di mana seorang berjanji

    162 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Persoalan warisan erat kaitannya dengan kewajiban seorang laki-laki (suami) memberikan nafkah kepada perempuan (istri). Laki- laki mendapatkan warisan dua kali bagian perempuan karena laki-laki berkewajiban memberikan nafkah kepada istri (keluarga) yang menjadi tanggungannya. Dalam hukum waris Islam ditetapkan bahwa laki-laki mendapatkan dua bagian dibanding perempuan. Ayat yang menjelaskan tentang pembagian terdapat dalam Qs. al-Nisa> (4): 11 dan 12.109 Menanggapi ayat ini, ‘Ali< Jum‘ah berpendapat bahwa ketentuan seraya bersumpah dengan mengatakan kepada yang lain balwa "darahku adalah juga darahmu, dan kehancuranku adalah juga kehancuranmu" dan karena itu kamu berhak mewarisi aku dan aku pun berhak mewarisi kamu. Ketika salah satunya wafat, maka yang masih hidup otomatis menjadi ahli warisnya. Lihat: Ah}mad Mus}t}afa> al-Mara>ghi<, Tafsighi< (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t.), Vol. ke- 2, 194-195. 109QS. Al-Nisa (4): 11-12: ُ ُ ُ َّ ُ َ ْ َ ُ ْ َّ َ ْ ُ َ ّ ْ ُ ْ َ َ ْ َ ْ ُ َّ َ ً َ ْ َ ْ َ َ ْ َ َ ُ َّ ُ ُ َ َ َ َ َ َ ْ يى ِصيب ْ الليه ِ ي أوّل ِىكيْ ِللييْك ِ ِمحيل حي ِل ينِبيي ِن َييِ ن كيَّ ِنسياء َيىق اب تييي ِن َلِيَّ بلحيا ميا تيي َ وَِن َ َ ْ َ َ ً َ َ َ ّ ْ ُ َ َ َ َ ْ ُ ّ َ ْ ُ َ ُّ ُ ُ َّ َ َ َ ْ َ َ َ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ُ َ َ كانيْ وا ِحيدا َلِييا ال ِنصيِل وِويىَي ِه ِلويي ِل وا ِحي د ِم هميا السييدَ ِمميا تيي َ َِن كيان ليه ولييد َيِ ن ليْ ي ييَّ ليه ولييد َ َ َ ُ َ َ َ ُ َ ُ ّ ُّ ُ ُ َ ْ َ َ َ ُ ْ َ َ ُ ّ ُّ ُ ُ ْ َ ْ َ َّ ُ َ َ ْ َ ْ َ ُ ُ ْ وو ِربييييه أ ييييىاه َِ ِمييييي ِه الحلييييث َييييِ ن كيييييان لييييه َِخييييىا َِ ِمييييي ِه السييييدَ ِمييييَّ بْييييي ِد و ِصييييب يى ِ ييييأي ِبهيييييا أو ى يييي َّ ؤ يييييا كْ َ َ ْ َ ُ ُ ْ َ َ ْ ُ َ َ ُّ ُ ْ َ ْ َ ُ َ ُ ْ َ ْ ً َ َ ً َ َّ َّ َّ َ َ َ َ ً َ ً وأينا كْ ّل تدرون أيهْ أق ل ْ نفْا َْ ِ َْ ِمَّ الل ِه َِن الله كان عِلبما ح ِ بما )11( َ َ ُ ْ ْ ُ َ َ َ َ َ ْ َ ُ ُ ْ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ُ َّ َ َ َ ْ َ َ َ ُ َّ َ َ َ َ ُ ْ ُّ ُ ُ َّ َ َ ْ َ ْ َ ْ ول ْ ِنصِل ما ت َ أزواج يْ َِن ليْ ي يَّ لِيَّ وليد َيِ ن كيان لِيَّ وليد َل يْ ال يا ِمميا تي كَّ ِميَّ بْي ِد َ َّ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ َ ُ َّ ُّ ُ ُ َّ َ َ ْ ُ ْ ْ َ ْ َ ُ ْ َ ُ ْ َ َ َ ْ َ َ َ ُ ْ َ َ َ َ ُ َّ ُّ ُ ُ َّ و ِصييب يى ِصييين ِبهييا أو ى يي َّ ولِييَّ ال ييا ِممييا تيي كتْ َِن لييْ ي ييَّ ل ييْ ولييد َييِ ن كييان ل ييْ ولييد َلِييَّ الييحمَّ ِممييا َ َ ْ ُ ْ ْ َ ْ َ َّ ُ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ َ َ ُ ُ َ ُ َ َ ً َ ْ ْ َ َ َ َ ُ َ َ ْ ُ ْ َ ُ ّ َ تيي كتْ ِمييَّ بْيي ِد و ِصييب تىصييىن ِبهييا أو ى يي َّ وَِن كييان رجييل ييىرَ كبليي أو اميي أا ولييه أ أْو أخييْ َِلْويي ِل وا ِحيي د ْ ُ َ ُّ ُ ُ َ ْ َ ُ َ ْ َ َ ْ َ َ َ ُ ْ ُ َ َ ُ ُّ ُ ْ َ ْ َ َّ ُ َ َ َ ْ َ ْ َ ْ َ ُ َ ّ ِم همييا السييدَ َييِ ن كييانىا أكْييى ِمييَّ ِِلييك َِييْ شيي كاء ِ يي الحليي ِث ِمييَّ بْيي ِد و ِصييب يى ييأ ِبهييا أْو ى يي َّ غ ييى مْييا ر َ َّ ً ْ َّ َ َّ ُ َ َ و ِصب ِمَّ الل ِه والله عِلب ْ حِلب ْ )11( ْ Artinya, "Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu, yaitu bagian seorang laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yng ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu- bapak, bagi masing masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia mewarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (pembagian-pembagian tersebut di atas)

    163 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ yang Allah tetapkan bukan berarti sikap pilih kasih berdasarkan jenis kelamin, akan tetapi ketentuan ini justru menunjukkan keseimbangan dan keadilan, karena perbedaan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga dan dalam sistem sosial Islam. 110 Hal senada dikemukakan oleh al-Sha‘ra>wi<, bahwa kandungan ayat diatas tidak mendiskreditkan perempuan, justru memuat penghargaan lebih kepada perempuan dengan alsan perempuan mendapat bagian setengah dari laki-laki dalam hal warisan. Dengan kata lain, laki-laki memperoleh bagian lebih dari perempuan disebabkan tugas yang diemban laki-laki, yaitu memberi nafkah istri sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaat bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana". "Dan bagimu (suami-istri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Para istri memperoleh seperempat harta yang kanmu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para istri memperoleh seperdelapan dari harta kamu yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki- laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam bagian yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudarat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syariat yang benar-benar dari Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun‛. 110‘Ali> Jum‘ah, Tafsin al-Karirah Al-Nisa> 11, diakses di https://www.youtube.com/watch?v=S15eWrRs9z8&list=PLxQnfwkf6 ksirv4PiZ-Y8WTZocyK05Kvr&index=27 pada 12 Oktober 2019.

    164 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ dan anaknya. Sedangkan perempuan tidak mengemban tugas sebagian laki-laki.111 Memperhatikan pernyataan ‘Ali< Jum‘ah dan al-Sha‘ra>wi diatas dapat dipahami bahwa ayat yang disebut diatas berisi pesan kepada manusia terkait pembagian warisan sebagaimana yang telah ditetapkan Allah dalam ayat tersebut tidak boleh dirubah, karena sudah ketentuan dari Allah. Manusia tidak pantas mengubah ketentuan pembagian harta dan pusaka kepada anak dan keturunan mereka. Pembagian warisan yang telah ditetapkan allah lebih baik dari pada yang ditetapkan orang tua kepada anak-anaknya. Apa yang disyariatkan Allah terhadap anak keturunan mereka adalah lebih bermanfaat kehidupan mereka. Al-Ra>zi< menjelaskan hikmah pelipatan bagian laki-laki 2:1 adalah: Pertama, karena perempuan lebih lemah dibanding dibanding laki-laki, sehingga mereka jarang keluar untuk berperang dan berjuang. Lagi pula dari segi nafkah perempuan sudah diberikan oleh suaminya. Oleh karena kebutuhan dan tanggungjawab laki-laki lebih besar untuk istri dan anak-anaknya maka dia membutuhkan harta yang lebih banyak. Kedua, Laki-laki lebih sempurna keadaannya dari pada perempuan, baik dari segi moral, intelektual, maupun agama, misalnya ia boleh menjadi hakim dan imam. Demikian juga kesaksian perempuan separo dari kesaksian laki-laki, schingga wajar untuk mereka harus ditambah bagian harta warisan. Ketiga, Perempuan sedikit akal tetapi banyak keinginan, jika harta ditambah lagi untuk perempuan, maka akan semakin banyak peluang untuk terjadi kerusakan. Manusia akan berlebihan apabila ia memiliki banyak harta. Keempat, laki-laki karena kesempurnaan intelektualnya ia mampu membelanjakan harta yang dimiliki untuk hal-hal bermanfaat. Misalnya, membangun pesantren (lembaga pendidikan), menolong orang menderita, dan menafkahi anak-anak yatim dan janda. Laki-laki mampu berbuat seperti itu, karena dia banyak bergaul dengan orang

    111Muhammad Mutawali< Sha‘ra>wi<, Mukh{tas{ar Tafsir< al-Sha‘ra>wi <(Kairo: Dar al-Tau>fith, 2011), 20-25.

    165 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ lain, sementara perempuan lebih sedikit bergaul dengan orang lain, sehingga dia tidak mampu berbuat demikian.112 Menurut ‘Ali< Jum‘ah, perbedaan dalam besar kecilnya bagian waris tidak ditentukan oleh jenis kelamin, baik itu laki-laki atau perempuan, tapi lebih ditentukan oleh faktor-faktor berikut ini: Pertama, tingkat kekerabatan antara ahli waris (baik itu laki-laki maupun perempuan) dan orang yang meninggal. Semakin dekatnya hubungan kekerabatan, maka semakin besar juga warisan bagian warisan yang diterima. Kedua, kedudukan tingkat generasi. Generasi muda dari kalangan pewaris yang masa depannya masih panjang terkadang memperoleh bagian warisan yang lebih besar dibanding generasi tua tanpa memandang lelaki maupun perempuan. Sebagai contoh anak perempuan (bint) mendapatkan warisan yang lebih banyak dari ibunya atau ayahnya; anak laki-laki (ibn) mendaptkan warisan lebih banyak dari ayahnya (ab). Ketiga, tanggung jawab untuk menanggung kehidupan keluarga. Poin inilah yang terkadang membuahkan perbedaan bagian hak waris antara laki-laki dan perempuan, walaupun berada pada tingkat kekerabatan yang sama. Sebab kedudukan anak laki-laki menanggung nafkah istri dan keluarganya. Sedangkan anak perempuan tidak diberi tanggung jawab sepeti laki-laki.113 Lebih lanjut ‘Ali< Jum‘ah menambahkan, hak waris perempuan tidak selamanya lebih sedikit dari laki-laki. Sebaliknya dalam banyak hal, perempuan mendapatkan bagian harta waris lebih banyak dari laki-laki, bahkan beberapa keadaan perempuan mendapat bagian warisan sedangkan laki-laki tidak. Seperti halnya berikut ini: a. Ada empat keadaan, di mana bagian waris perempuan lebih sedikit dari bagian waris laki-laki. b. Dalam banyak kasus, perempuan mendapatkan bagian waris yang persis sama dengan bagian waris laki-laki.

    112Fakhr al-Dizi<, al-Tafsitih al-Ghayib (Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1990), Vol. ke- 9, cet 1, 168. 113‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Al-Al-Mar’ah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, (Kairo: Nahdet Mis{r, 2008), 10.

    166 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    c. Beberapa kasus bagian waris perempuan lebih banyak dari bagian waris laki-laki. d. Dalam banyak kasus, perempuan mendapatkan bagian waris yang tidak didapatkan oleh laki-laki. Adapun sebagai penjelasan singkat keempat poin di atas penulis uraikan sebagaimana halnya berikut: A. Keadaan yang membuat bagian waris perempuan lebih sedikit dari bagian waris laki-laki adalah sebagai berikut:  Ahli waris hanya anak laki-laki (ibn) dan anak perempuan (bint), ataupun juga furu>‘ kebawah cucu laki-laki (ibn al- ibn) dan cucu perempuan (bint al-ibn) yaitu seperti yang terkandung dalam firman-Nya: "Allah mensyari’at kan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan". QS. (4): 11.  Ahli waris hanya kedua orang tua mayit (al-ab wa al-umm), dan si mayit tidak mempunyai anak maupun suami/istri, yaitu seperti yang difirmankan Allah: .jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu- bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga QS. (4): 11.  Ahli waris hanya saudara dan saudari kandung mayit, yaitu seperti yang difirmankan Allah: ‚Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan‛ QS. (4): 176.  Ahli waris hanya saudara dan saudari kandung mayit saudara dan saudari seayah dari si mayit.

    Tabel A.1 Bagian waris perempuan lebih sedikit dari bagian waris laki-laki Ahli Waris Bagian Saudara Kandung (akh li ab): Saudari 2:1 Kandung (ukht li ab) Anak Laki-laki (ibn) Anak :Perempuan (bint) 2:1

    167 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Saudara Kandung (Akh Shaq{i>q{) : Saudari 2:1 Kandung (Ukht Shaq{i>q{) Ayah (al-ab) : Ibu (al-Umm) 2:1

    B. Keadaan yang membuat bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki adalah sebagai berikut:  Ayah dan ibu dalam keadaan si mayit mempunyai furu’ anak laki-laki Tabel B. 1 Bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki Ahli Waris Bagian Ayah (Ab) 1/6 Ibu (Umm) 1/6 Anak As}abah (Sisa)

     Saudara/saudari Seibu atau lebih dari 2 saudara/saudari Seibu

    Tabel B. 2 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki Bagian Jumlah Ahli Waris Suami (al-Zawj) ½ 3 Ibu (al-Umm) 1/6 1 Saudara Seibu (Akh li 1 al-Umm) Bersekutu dalam Saudari Seibu (Ukht li 1/3 1 al-Umm)

     Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudari perempuan (seibu saja), maka bagi kedua jenis tersebut adalah 1/6.

    168 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Tabel B. 3 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki Bagian Jumlah Ahli Waris Suami ½ 3 Ibu 1/3 2 Saudara Seibu (Akh li 1/6 1 al-Umm) Bandingkan Ahli Waris Bagian Jumlah Suami ½ 3 Ibu 1/3 2 Saudara Seibu (Akh li 1/6 1 al-Umm)

     Saudara kandung dan 2 saudari perempuan mendapatkan bagian yang sama dengan bersekutu dalam 1/3. Sebagaimana seorang suami dan ibu dan 2 saudari seibu dan saudara kandung. Hal ini sesuai pendapat Umar Ibn Khat{a>b, Zayd bin Tha>bit dan Uthma>n ibn Affa

    Tabel B. 4 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki Ahli Waris Bagian Jumlah Suami ½ 3 Ibu 1/6 2 2 Saudara Seibu 1 (Ukh{ta>ni li al-Umm) Bersekutu dalam 1/3 Saudara Kandung 1 (Akh Shaq{i

     Bagian warisan ketika laki-laki atau perempuan dalam keadaan tunggal. Sebagaimana seorang mayit yang mewaris anak laki-laki tunggal, maka ahli waris mendapat bagian As}abah (Sisa). Ataupun mewarisi anak perempuan tunggal, maka bagian anak adalah ½ + As}abah (Sisa) dari pembagian harta warisan.

    169 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Tabel B. 5 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki Ahli Waris Bagian Suami (al-zawj) ¼ Anak laki-laki Sisa Bandingkan Ahli Waris Bagian Istri (al-zawjah) 1/8 Anak perempuan ½ + Sisa

     Suami dengan saudari kandung. Hal ini sama dengan pembagian jikalau posisi saudari kandung adalah seorang laki-laki (saudara kandung). Sebagaimana seorang perempuan mati meninggalkan suami dan saudari kandungnya, maka bagi suami ½ dan saudari kandung mendapatkan As}abah (Sisa).

    Tabel B. 6 bagian warisan perempuan sama dengan laki-laki Ahli Waris Bagian Suami (al-Zawj) ½ Saudari Kandung (Ukh}t al- ½ + Sisa Shaqi

     Hak persamaan antara seorang perempuan dan seorang laki- laki ketidak terhalangi dari warisan. Yaitu terdapat 6 persamaan kondisi yang tidak akan pernah terhalangi mendapat warisan dimana 3 orang dari laki-laki terdiri suami (al-zawj), anak laki-laki (al-ibn) dan ayah (al-ab) dan 3 orang dari perempuan terdiri dari istri (al-zawjah), anak perempuan (bint) dan ibu (al-umm).

    170 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    C. Keadaan yang membuat bagian waris perempuan lebih banyak dari bagian laki-laki adalah sebagai berikut:

    Tabel C.1 Perincian bagian warisan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Bagian Ahli Waris 2 Anak Perempuan (Binta>ni<) 2 Cucu Pr dari anak laki-laki (Binta>ni al-ibn) 2/3 2 Saudari Kandung (ukhta>ni< shaqini) 2 saudara seayah (ukh{ta>ni li al-ab) 1 anak perempuan (bint) 1 cucu perempuan dari anak laki-laki (bint al- ibn) ½ 1 saudari kandung (ukht shaq{i

    Dari tabel diatas dapat dipahami sebagai berikut: i. Bagian terbesar dalam hukum waris yaitu (2/3) hanya diperuntukkan perempuan.

    171 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    ii. Bagian ½ tidak didapati, kecuali hanya suami pada kasus yang jarang terjadi, diantaranya karena mayit (istri) tidak memiliki anak maupun tidak adanya ahli waris lainnya yang mengurangi hak ½nya, sedangkan selabihnya, bagian ½ didapatkan oleh para perempuan dalam 4 kasus. iii. Bagian terkecil 1/8 diperoleh istri karena adanya para ahli waris lainnya yang mengurangi hak ¼ nya. Namun demikian dalam ketentuan bagian ahli waris yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunnah, terdapat 17 kasus dimana penerimanya adalah perempuan, dibanding laki-laki yang hanya enam kasus. Misal lebih rinci sebagai berikut: 1). Misal ada perempuan mati dan meninggalkan uang 60 juta dengan bandingan ahli waris yang ada 2 kasus sebagaimana berikut diantaranya: Tabel C. 2 contoh bagian waris perempuan lebih banyak dari bagian laki-laki Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan Suami (al-zawj) ¼ 3 12 juta Ayah (al-ab) 1/6+sisa 2+0 8 juta Ibu (al-umm) 1/6 2 8 juta 2 anak perempuan 2/3 8 32juta (binta>ni<) Bandingkan Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan Suami ¼ 3 15 juta Ayah 1/6 2 10 juta Ibu 1/6 2 10 juta 2 anak lai-laki (ibna>ni) ‘Asa}bah/Sisa 5 25 juta

    Jadi dalam dua kasus diatas, 1 anak perempuan dapat 16 juta: Sedangkan anak laki-laki mendapat 12,5. 2). Misal seorang perempuan dan meninggalkan warisan 48 juta dengan ahli waris sebagai berikut:

    172 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Tabel C. 3 contoh bagian waris perempuan lebih banyak dari bagian laki-laki Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan Suami (al-zawj) ½ 3 18 juta Ibu (al-umm) 1/6 1 48 juta/8 (‘awl) = 6 juta 2 saudari 2/3 4 24 juta kandung (shaqini<) (‘awl)

    Jadi, dalam dua kasus diatas, 2 saudari kandung mendapatkan 24 juta: Sedangkan 2 saudara kandung laki-laki mendapat 16 juta. D. Keadaan yang membuat harta warisan hanya didapatkan perempuan dan tidak dapat oleh laki-laki, terdapat 2 contoh seperti tabel dibawah ini: 1). Bila seorang perempuan mati dan meninggalkan harta 195 hektar dengan ahli waris sebagaimana berikut: Tabel D. 1 contoh harta warisan hanya didapatkan perempuan dan tidak dapat oleh laki-laki Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan Suami (al-zawj) ¼ 3 39 ha Ayah (al-ab) 1//6 + sisa 2 26 ha Ibu (al-umm) 1/6 2 26 ha anak perempuan ½ 6 78 ha (bint) Cucu perempuan 1/6 2 26 ha

    173 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    dari anak laki (bint al-ibn) Bandingkan

    Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan Suami (al-zawj) ¼ 3 45 ha Ayah (al-ab) 1//6 + sisa 2 30 ha Ibu (al-umm) 1/6 2 30 ha anak perempuan ½ 6 90 ha (bint) Cucu laki-lki dari Sisa - Nol anak laki (bin al- ibn)

    2). Bila seorang perempuan mati dan meninggalkan harta 84 dengan ahli waris sebagaimana berikut: Tabel D. 2 contoh harta warisan hanya didapatkan perempuan dan tidak dapat oleh laki-laki Ahli Waris Bagian Jumlah Jumlah Warisan Suami (al- ½ 3 36 ha zawj) Saudari ½ 3 36 ha kandung (ukht} shaqi

    174 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Saudara seayah ‘Asa}bah/Sisa - Nol (akh{ li al-ab)

    Dari paparan diatas terlihat dengan seksama bahwa hak perempuan tidak selamanya harus lebih sedikit dari laki-laki. Sebaliknya dalam banyak hal, perempuan justru mendapatkan bagian hak warisnya lebih banyak daripada laki-laki. Bahkan dalam beberapa keadaan harta warisan hanya didapatkan perempuan sedangkan hal tersebut tidak didapatkan oleh laki-laki. Selain itu, besar atau kecilnya bagian warisan tidak ditentukan oleh jenis kelamin, akan tetapi lebih ditentukan oleh beberapa faktor diantaranya: Pertama, tingkat kekerabatan antara ahli waris (baik laki-laki maupun perempuan dan orang yang meninggal. Kedua, kedudukan tingkat generasi. Dan ketiga, tanggung jawab untuk menanggung kehidupan keluarga. Mengomentari pembagian warisan sebagaimana tabel diatas, ‘Ali< Jum‘ah berpendapat bahwa seharusnya berkaitan dengan perincian pembagian warisan sebagaimana diatas dapat menghilangkan shubha>t dan keraguan konsep kadilan 2;1 pembagian warisan dari mereka yang mengkritik akan ketidakadilan pembagian warisan, karena Allah SWT menetapkan sebaik-baikya keadilan.114 Bagi ‘Ali< Jum‘ah, bahwasannya Allah SWT telah menetapkan ketentuan bagian waris dengan rinci, maka apabila Allah SWT menyebutkan suatu hukum dengan rinci berarti tidak ada ijtihad untuk hukum tersebut. Sebagaimana kaidah yang dicetuskan ulama "La> Ijtiha>da Ma‘a al-Nas}s{" selama ada nas}s} maka nas}s} ini tidak perlu ta’wi al-thubu>t maupun dala>lah maka tidak dapat diijtihadi lagi. Akan tetapi hanya al-ittiba>'.

    114‘Ali< Jum‘ah, Al-Al-Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al- Nus{u>s al-Shar‘i< wa Tura>th al-Fiqh, h. 28. Lihat juga: ‘Ali> Jum‘ah, Al-Al- Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al-Nus{u>s al-Shar‘i< wa Tura>th al- Fiqh, 28.

    175 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Maka hukum warisan Islam adalah hukum yang mutlaq sesuai nas}s}} shar‘i yang tidak perlu ijtihad.115 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender Masalah pembagian waris merupakan salah satu masalah yang senantiasa menjadi objek pembicaraan di kalangan umat Islam. Hal ini disebabkan antara lain karena pembagian warisan merupakan masalah yang langsung bersentuhan dengan praktek kehidupan juga berkaitan dengan harta. Pada masa kontemporer saat ini, konstruks hukum waris Islam selalu mendapat kritikan dari cendekiawan muslim terutama dari aktifis gender. Dengan begitu mereka menuntut adanya transformasi berkaitan dengan keadilan 2:1 ini menjadi 1:1. Selain para cendekiawan yang banyak melontarkan rekonstruksi keadilan terdapat pula lembaga yang dalam banyak kasus memutuskan keadilan 1:1 dalam pembagian warisan. Banyak diantara mereka yang menyatakan bahwa agama Islam menempatkan hak asasi manusia perempuan lebih rendah daripada kaum laki-laki berkaitan dengan kewarisan. Hal itu dapat dilihat dari aturan yang diterapkan dalam Islam tentang pembagian harta warisan konsep keadilan 2:1 laki-laki atas perempuan. Mereka mempersoalkan perbandingan yang tidak adil antara laki-laki dan perempuan terutama ketika melihat penggalan ayat dalam surah al-Nisa (4): 11 ‚Li al-dhakari mitslu haz{ al-unthaya>y

    115‘Ali> Jum‘ah, Tafsin al-Karirah Al-Nisa> 11, diakses di https://www.youtube.com/watch?v=S15eWrRs9z8&list=PLxQnfwkf6 ksirv4PiZ-Y8WTZocyK05Kvr&index=27 pada 12 Oktober 2019.

    176 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ perempuan adalah dua banding satu sesuai dengan Qs. al-Nisa>' (4): 11. Akan tetapi ketentuan tersebut bukan harga mati karena realitas menghendaki porsi dua bagi laki-laki dan porsi satu bagian perempuan sewaktu-waktu berubah sesuai dengan perubahan ‘illat hukum.116 Sebelumnya pernyataan kontroversial serupa juga pernah dilontarkan oleh Munawar Sjadzali dan memicu perdebatan dikalangan para cendekiawan muslim. Munawir Sjazdzali melontarkan perubahan pembagian 1:1 antara anak-laki-laki dan perempuan yang semula 2:1. Munawir Sjadzali menggugat pola penafsiran secara tekstual selama ini terhadap ayat-ayat Al-Qur’an mengenai hukum waris. Ia menggugat konsep keadilan yang sudah mapan, lalu dihadapkan kepada konsekuensi-konsekuensi zaman yang baru dan berkembang dalam kehidupan sosial yang berbeda dengan masa lalu.117 Dalam hal ini penulis merangkum argumen Munawir Sjadzali terkait konsep pembagian waris antara anak laki-laki dan anak perempuan menjadi 1:1 tersebut. Diantaranya: Pertama, sosio-histori konteks Arab saat diturunkannya ayat. Bahwa sebelum Islam, budaya bangsa Arab ja>hiliyyah pada waktu itu sangat memarjinalkan kaum perempuan, hanya kaum laki-laki saja yang mendapatkan bagian harta warisan dan kaum perempuan tidak mendapatkannya. Lalu dengan datangnya Islam, Nabi Muhammad turut merombak keseluruhan sistem kewarisan bangsa Arab jahiliyyah subjek penerima waris dengan konsep 2:1 untuk anak laki-laki dan anak perempuan. Alasan dan tujuan dari formula 2:1 tersebut cocok pada waktu itu, dikarenakan budaya bangsa Arab ketika itu masih membatasi dimensi ruang gerak kaum perempuan. Atho Muzhar menambahkan, ajaran Islam sering diberlakukan secara bertahap –

    116Abdul Mukhsin ‚Pergeseran Sikap Hakim Peradilan Agama di Kota Medan‛ dalam jurnal Miqot Vol. XXXV No. 1 (Januari-Juni, 2014), 97. 117Namun demikian, menurut pandangan Munawir Sjadzali tentunya bukan dialah yang mengatakan bahwa hukum waris Islam seperti yang telah ditentukan oleh Al-Qur’an itu tidak adil, menurutnya, justru Munawir hanya menyoroti sikap dan perilaku masyarakat yang tampak sudah tidak percaya lagi kepada keadilan dari pada ketentuan hukum fara>id. Lihat : Munawir Sjadzali, Polemik Reaktualisasi Ajaran Islam, (Jakarta, Pustaka Panjimas: 1988), 5.

    177 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ sebagaimana hukum keharaman khamr-, maka dapat dipahami bahwa terkait ayat waris, pada dasarnya usaha meningkatkan hak dan derajat perempuan harus terus diberlakukan dan tidak boleh berhenti.118 Kedua, Pemahaman q{at}’i> dilalah al-nas}s} kewarisan Munawar Sjadzali. Bagi Sjadzali, dalil qat}’i> merupakan hukum yang mengatur bukan hukum yang mengikat. Sebagaimana menurut sebagian ulama, q{at}’i> dilalah al-nas}s} kewarisan tidak mutlak diberlakukan. Ia mencotohkan pada banyak kasus khalifah Umar bin Khat}ab yang tidak melaksanakan hukum potong tangan yang seperti halnya terdapat pada al-Ma>idah (5): 38 terhadap seorang pencuri. Lalu, Ia melarang penjualan umm al-walad yang diberlaukan pada masa nabi bahkan sampai ke masa Khalifah Abu Bakar, lalu Ia tidak lagi memberikan bagian zakat kepada para al-muallafa>t qulu>buhum, sebagaimana praktek ini telah dirintis oleh nabi Muhammad yang ditunjukkan dalam Al-Qur’an dalam Qs. al-Tau>bah (9):60 dan juga contoh lain yang berlakukan Umar. Dalam pandangan Munawir Sjadzali, sebagai umat Islam tidak bisa mengatakan bahwa dengan kebijaksanaan- kebijaksaan yang meninggalkan nas}s} s}ari>h atau dalil q{at}’i> itu Umar Ibnu Kh{at{a>b telah melakukan suatu hal yang keliru dan digolongkan ke dalam kelompok sembarangan, yang disebut juga sebagai kelompok inka>r al-sunnah.119 Ketiga, Bersandar pada alur kebijakan nabi Muhammad terkait pemberian izin penggunaan terhadap budak-budak hamba sahaya sebagai penyalur alternatif kebutuhan biologis kaum pria selain istri sebagaimana yang dimaksud dalam Qs. al-Nisa> (4): 3. Dalam hal ini, Munawir Sjadzali mencoba membela atas realitas bahwa sampai pada saat nabi Muhammad wafat belum menghilangkan dan menghapuskan perilaku perbudakan secara tuntas, dalam pendapatnya ada diantara para mujtahid yang menyatakan bahwa hal itu disebabkan karena nabi

    118‘Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam dalam Sulastomo dkk, Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA. (Jakarta: IPHI dan Paramdina, 1995), 311. 119Munawir Sjadzali, Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, (Jakarta,Paramadina: 1997), 123-125.

    178 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ masih khawatir terhadap reaksi masyarakat pada waktu itu, jika Ia tegas menghapuskan perbudakan tersebut. Dalam pandangan Munawir Sjadzali, jika metode penalaran tersebut bisa diterima, maka ia akan memunculkan pertanyaan: kalau dalam hal yang sedemikain mendasar seperti perbudakan, nabi Muhammad masih memperhitungkan ketermungkinan reaksi dan sikap masyarakat Arab pada waktu itu, maka apakah kita sebagai umat nabi Muhammad bukannya seharusnya belajar dari kebijaksanaannya dalam mempertimbangkan penyelesaian suatu hal permasalahan. Dari pernyataan Munawir tersebut, secara tersirat ia ingin mengutarakan bahwa sepatutnya melalui contoh dari alur kebijakan nabi Muhammad tersebut.120 Hal tersebut diperkuat kembali dari segi pemahaman struktur sosial. Sebagaimana diungkapkan Atho’ Mudzhar121 bahwa dalam masyarakat Arab menganut sistem patrilinial maka aturan bagian lebih kepada laki-laki memang sesuai dan berfungsi postif dalam melestarikan kekerabatan. Tetapi masyarakat Islam didunia tidak selamanya menggunakan kekerabatan patrilinial. Di Masyarakat tertentu di Indonesia misalnya -spesifiknya di Sumatera Barat, sistem kekerabatan yang berlaku adalah matrilinial. Sebagai akibatnya banyak hak dan tanggung jawab juga berada pada kaum perempuan. Dalam masyarakat modern dengan aspek gender yang menuntut kesetaraan gender -atau sebagaimana bahasa yang digunakan Atho Mudhzar: bilateral-, maka wajar saja kalau aspirasinya mengenai hak dan kewajiban juga seimbang dalam hal ini termasuk dalam warisan. Melihat konteks perbedaan antara konteks Indonesia dan Arab, melalui pemikiran ‘Ali< Jum‘ah yang juga berdialog dengan konteks – Mesir khususnya- penulis berpendapat, perempuan bangsa Arab pada umumnya mendapatkan mahar sangat tinggi, diantaranya berupa rumah beserta isinya, mobil dan pembantu-pembantu yang selalu siap

    120Munawir Sjadzali, Ijtihad dan Kemaslahatan Umat, (Jakarta: Paramadina: 1997), 120. 121‘Atho Mudzhar, Letak Gagasan Reaktualisasi Hukum Islam Munawir Sjadzali di Dunia Islam dalam Sulastomo dkk, Kontekstualisasi Ajaran Islam: 70 Tahun Prof. Dr. Munawir Sjadzali, MA. (Jakarta: IPHI dan Paramdina, 1995), 311.

    179 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ sedia mengurusi segala keperluan mereka. Dikarenakan adanya mahar yang tinggi, maka perempuan bangsa Arab kehidupannya menjadi terjamin karena umumnya mahar yanga mereka terima adalah seperangkat rumah. Selain itu, penulis setuju kekerabatan yang diungkapakan ‘Atho Mudzhar bahwa kekerabatan patrilinial Arab yang kental mengakibatkan sistem 2:1 cocok diterapkan di negara- negara yang mempunyai kekerabatan patrilineal. Perdebatan seputar keadilan 2:1 perempuan tak hanya di Indonesia, pernyataan tersebut seringkali dilontarkan para cendekiawan muslim mancanegara. Seperti pernyataan Amina Wadud yang secara emplisit terkesan menolak formula pembagian waris prinsip keadilan 2:1. Amina Wadud berpendapat bahwa pembagian waris menurutnya, harus dilihat dari berbagai faktor yang lain, seperti keadaan orang yang meninggal dan orang-orang yang ditinggal. Sebelum warisan dibagi perlu dilihat seluruh anggota keluarganya yang berhak, kombinasinya, dan kemanfatannya. Amina memberikan contoh misalnya, jika dalam keluarga terdapat seorang anak laki-laki juga orang anak perempuan, seorang ibu yang harus dirawat dan ditanggung kehidupannya oleh salah seorang anak perempuannnya, maka apakah anak laki-laki harus menerima bagian yang lebih besar? Jadi menurut Amina Wadud, dalam masalah warisan haruslah mempertimbangkan hal-hal berikut: Pembagian untuk keluarga dan kerabat laki-laki dan perempuan yang masih hidup, sejumlah kekayaan yang bisa dibagikan. Pembagian kekayaan juga harus mempertimbangkan manfaatnya bagi yang ditinggalkan, dan manfaat harta warisan itu sendiri. Dengan cara berpikir seperti itu dan juga berdasarkan kemungkinan cara pembagian warisan yang dijelaskan oleh al-Qur’an, maka pembagian warisan tersebut sangatlah fleksibel, bisa berubah, dan yang pasti harus memenuhi asas manfaat dan keadilan.122 Selanjutnya, komentar meragukan konsep keadilan warisan 2:1 datang dari Muhammad Shah}ru>r, Ia menyatakan bahwa penggalan ayat ini merupakan batasan maksimal yang berlaku bagi (للاكر ِملالِحاألِاييل ان)

    122Amina Wadud, Wanita dalam Al-Qur’an, Terj. Yaziar Radianti (Bandung: Pustaka, 1994), 117-118.

    180 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ laki-laki dan batasan minimal yang berlaku bagi perempuan. Jika beban ekonomi keluarga sepenuhnya atau seratus persen ditanggung pihak laki-laki, kondisi batasan hukum Allah dapat diterapkan yaitu memberikan dua bagian pada laki-laki dan satu bagian bagi perempuan. Dengan begitu Ia menyatakan bahwa dari sisi persentase bagian minimal bagi perempuan adalah 33,3 %, sedangkan bagian maksimal bagi laki-laki adalah 66,6 %. Oleh karenanya jika memberi laki-laki sebesar 75 % dan perempuan diberi 25 %, maka telah melanggar batasan yang telah ditetapkan Allah. Namun jika membagi 60 % bagi laki-laki dan 40 % bagi perempuan, maka tidak melanggar batasan hukum Allah karena masih berada dalam lingkup batas-batas hukum Allah.123 Jama>l al-Banna> dalam Al-Mar’ah al-Muslimah Bayna Tah}ri>r Al- Qur’an wa Taqyi>d al-Fuqaha berpendapat bagian waris 2:1 sekilas memang kurang adil bagi perempuan. Jika melihat realita kehidupan saat ini di mana dunia sudah tidak mengenal lagi perbedaan antara laki-laki dan perempuan karena keduanya memiliki kesempatan yang sama baik dalam ruang publik maupun dalam ruang domistik, tentunya ayat bagian tersebut sudah tidak relevan lagi. Namun hal yang perlu dipahami bahwa nilai keadilan yang terdapat dalam ayat tersebut adalah bagaimana proses Al-Qur’an memberikan hak waris bagi perempuan yang dulunya bahkan dijadikan sebagai benda yang dapat diwariskan.124 Walaupun terkesan ketidaksetujuan konsep 2:1 akan tetapi Jama>l lebih mengedapankan aspek lain bahwa keadilan tersebut terletak pada betapa Islam telah memberikan hak kepada anak perempuan yang dulunya tidak mendapatkan waris. Hal yang menjadi pertimbangan tentang keadilan dalam bagian waris 2:1 adalah bagaimana proses Al-Qur’an mengupayakan agar perempuan berhak memperoleh harta waris sebagaimana laki-laki. Perlu penulis tekankan bahwa apa yang ditetapkan dalam Qs. al-Nisa> (4): 11, ini tidak serta merta diterima oleh umat muslim pada saat itu. Dalam hal ini dasar

    123Muh{ammad Shahru>r, Al-Kita>b wa al-Qur’a>n Qira>’ah Mua>s{irah (Damaskus: Al-Aha>li< Li al-Tau>zi<‘ wa al-T{iba‘ah, 1990), 458. 124Jama>l al-Banna>, Al-Mar’ah al-Muslimah Bayna Tah}ri>r al-Qur’a>n wa Taqyi>d al-Fuqaha, (Kairo: Dar al-Fikr, 1998), 113-115.

    181 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ hukum yang dipakai Jama>l al-Banna> dalam melahirkan sebuah hukum adalah akal, nilai-nilai universal Al-Qur’an, sunnah dan kebiasaan.125 Pendapat kontras juga dikemukan Zaitunah Subhan dengan mempertanyakan, apakah benar pembagian warisan 2:1 yang dirumuskan Al-Qur'an itu, sepenuhnya mencerminkan keadilan? Dengan mengutip pandangan Masdar F. Mas'udi, dia memahami pembagian itu sebagai batasan kuantitatif yang telah diberikan setelah minus yang pada dasarmya bukan merupakan nilai maksimal. Menurutnya, apa yang digariskan Allah bukanlah angkanya, tetapi semangat keadilan dan kemitraannya sebagai subyek yang sama-sama mewarisi, setelah sebelumnya diperlakukan hanya sebagai obyek yang diwariskan.126 Secara literal, pandangan-pandangan para tokoh yang penulis sebutkan diatas tentu bertentangan dengan ayat al-Nisa>’ (4): 7, padahal dalam ayat tersebut menyatakan bahwa bagian laki-laki dan perempuan, sedikit atau banyak, merupakan bagian yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan Allah. Juga ketika melihat dan menelaah ayat-ayat lain akan ditemukan pembagian yang berbeda dalam Al-Qur’an untuk perempuan. Hal tersebut dapat dilihat sebagaimana ‘Ali< Jum‘ah jabarkan dalam Qada>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al- Isla>mi< dan Al-Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al-Nus{u>s al- Shar‘i< wa Tura>th al-Fiqh yang penulis paparkan dipembahasan sebelumnya.127 Dari pendapat ‘Ali< Jum‘ah dalam karyanya tersebut, nampaknya ‘Ali< Jum‘ah mencounter kurangnya pemahaman mereka secara komprehensif pada teks tentang kewarisan yang mengakibatkan salah kaprah bahkan menganggap hal tersebut bagian dari ketidakadilan gender bahkan menganggap tidak berdasarkan HAM (Hak Asasi Manusia).

    125Jama>l Al-Banna>, Nahw Fiqh Jadid (Kairo: Da>r al-Fikr al-Islami<, 2000), 195. 126Zaitunah Subhan, Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’a>n (Yogyakarta: LKIS, 1999), 127-128. 127Lihat tabel pembagian warisan tabel A. 1, B.1-B.6, C.1-C.3, dan D.1-D.2 pada pembahasan poin pemikiran ‘Ali< Jum‘ah tentang pembagian warisan.

    182 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Berkaitan dengan HAM, Mah{mu>d Shaltu>t menjawab bahwa persoalan hak waris dalam Islam bukan dititikberatkan pada persoalan hak asasi manusia yang harus sama rata antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi lebih melihat pada aspek kebutuhan dan tanggungjawab laki-laki yang jauh lebih banyak daripada perempuan. Laki-laki dalam Islam memiliki kewajiban untuk menafkahi istri, anak dan sanak saudaranya, sedangkan perempuan tidak memiliki tanggungjawab itu. Begitu juga laki-laki dalam Islam memiliki kewajiban memberi maskawin atau mahar kepada istri, sementara istri diberi hak untuk menentukan nominasi maharnya. Sehingga bagi Mah{mu>d Shaltu>t, pembagian harta warisan yang diterima oleh laki- laki melebihi jatah perempuan tidak bisa dikatakan sebagai pelanggaran hak asasi manusia.128 Rashi menambahkan dalam karyanya Huq{u>q{ al-Nisa> fi< al- Isla>m bahwa tanggungjawab dan kebutuhan laki-laki terhadap harta benda jauh lebih banyak dibanding perempuan. Ia memaparkan bahwa laki-laki memiliki kewajiban membayar mahar ketika akan menikah dan memiliki kewajiban untuk menafkahkan sebagian hartanya kepada fakir miskin sebagaimana Mahmiu>d Shaltu>t jelaskan. ‘Ali< Jum‘ah menambahkan bahwa laki-laki juga memiliki tanggung jawab istri walaupun istri sudah mempunyai harta benda.129 Warisan dalam Islam tidak hanya dipandang sebagai pembagian harta tapi sebagai salah satu bentuk distribusi kekayaan dalam masyarakat. Ajaran Islam menegaskan bahwa warisan dan nafkah adalah dua hal yag saling terkait dan saling melengkapi.130 Ini berarti bahwa pesan yang ingin disampaikan Al-Qur’an adalah transformasi hukum berupa disyariatkannya hak waris bagi perempuan yang sebelumnya tidak dikenal dalam tradisi jahiliyah.131

    128Mah{mu>d Shaltu>t, Al-Isla>m Aq{ir al- Shuru>q{, 2001), 237-239. 129 ‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar’ah Fi< al-Had{a>rah al-Isla>miyah bayna al-Nus{u>s al-Shar‘i< wa Tura>th al-Fiqh (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2006), 28. 130Muhammad Balta>ji <, Maka>nah al-Al-Mar’ah Fi< Al-Qur’an al-Az}i>m (Kairo: Da>r al-Sala>m, 2000), 205. 131 Muhammad al-T}a>hir bin Ashur, Al-Tahri Ba>b al-Hala>bi<, 1963), 345.

    183 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Dalam konteks sosiologis, pembagian ini merupakan prinsip keadilan yang diberikan oleh Islam. Sebab, pada zaman jahiliyah, jangankan mendapakan warisan, perempuan justru menjadi obyek yang diwariskan. Hal ini tidak didasarkan pada status seseorang melainkan atas dasar tugas dan tanggung jawab. Laki-laki mendapat bagian lebih besar dibanding perempuan, karena dia mendapat beban lebih berat dari yang dipikul perempuan.132 Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah di atas dalam mengintepretasikan hukum tampak menggunakan pendekatan tekstual sebagaimana para fuqaha (ahli hukum Islam) telah menetapkan bahwa ayat-ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang bagian-bagian ahli waris merupakan ayat yang qat}’i> al-dila>lah (penunjukkan hukumnya sudah pasti), sehingga tidak membuka peluang untuk berijtihad di dalamnya. Meski begitu penulis lebih mendukung apa yang dipaparkan ‘Ali< Jum‘ah dibanding para aktifis keseteraan gender yang mengkritik tentang konsep 2:1 dalam waris, karena menurut penulis mengikuti ketentuan pembagian hukum waris adalah wajib bukan sunnah. Pembagian warisan diserahkan pada pilihan dan kebebasan seseorang. Warisan dalam pandangan Islam sangat penting karena Al-Qur’an menerangkannya dengan sangat rinci dan detail supaya menjadi acuan dan pedoman. Karena itu, pembagian warisan merupakan tuntutan syariat yang wajib diikuti. Hal ini dapat dibuktikan dengan redaksi ayat-ayat Al-Qur’an yang mewajibkan :(Qs. al-Nisa> (4 (يص ب ِمف وض ) :pembagian warisan sesuai ketetapan Allah تلاكِ) ,Qs. al-Nisa> (4): 12 (وصا ِما ِاه) ,Qs. al-Nisa> (4): 11 (ف يضا ِما ِاه) ,7 .Qs. al-Nisa> (4): 13 dan Qs. al-Nisa> (4):7 (حِودِاه Namun, pendapat ‘Ali< Jum‘ah diatas tak luput dari pertanyaan dan kritik dari penulis, bahwa ‘Ali< Jum‘ah terlihat tidak menjelaskan pembagian dua banding satu secara mendalam. Karena bisa saja hal tersebut berbeda ketika laki-laki dan perempuan mempunyai kesepakatan pembagian waris, sehingga pemikiran ‘Ali< Jum‘ah terkesan masih tekstual dalam masalah kewarisan perempuan. ‘Ali< Jum‘ah hanya melihat sisi tinjauan interpretasi hukum terhadap

    132Wahbah al-Zuha>ili<, Al-Tafsi>r wa al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al- Shari<‘ah wa al-Manhaj, Vol. ke- 4 (Beirut: Da>r al-Fikr, 1998), 282-283.

    184 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    pembagian harta waris ketika ayat ini turun dan tidak mengangkat isu- isu kontemporer tentang kewarisan juga tidak menghubungkan dengan kondisi perempuan terutama yang sudah mulai berkembang. Semisal mungkin saja, formula 2:1, yakni bagian laki-laki yang besarnya dua kali lipat dari bagian perempuan, bisa saja perempuan mendapat bagian yang sama dengan bagian laki-laki atau lebih banyak dari bagian perempuan berdasarkan kebijakan hasil musyawarah antar keluarga yang mana kebijakan tersebut tidak merubah ketentuan yang ditetapkan Allah SWT. Akan tetapi penulis berpendapat, jika melihat konteks Mesir yang menganut sistem kekerabatan patrilineal- sebagaimana budaya Arab umumnya-, tentu hal tersebut berimbas pada aspek gender dan aspek sosiologis struktur masyarakat di Mesir. Misalnya seperti adat yang masih mengakar di Mesir yaitu tingginya mahar dalam pernikahan, sehingga banyaknya para lelaki membutuhkan biaya lebih banyak untuk mahar. Hal ini mengakibatkan konsekuensi lain dari aspek sosiologis dan gender. Kekhawatiran kebanyakan para pemuda yang semakin bertambah usia namun kesiapan biaya untuk mahar yang sangat tinggi tidak mencukupi. Sehingga banyak dari mereka, menikah secara rahasia -atau disebut dalam istilah di Mesir dengan nika>h ‘urfi < - dan menghindari biaya- biaya yang menyebabkan mahalnya biaya pernikahan di Mesir. Tentu saja hal ini dari aspek gender tidak memihak kepada perempuan, karena apabila ditinggalkan perempuan tidak punya hak hukum untuk meminta cerai dengan alasan bahwa nika>h ‘urfi < dianggap ilegal berdasarkan status hukum yang berlaku di Mesir. Keadaan istri akan semakin sulit, apabila suami menikah lagi, berbeda dengan keadaan istri, apabila menikah lagi dalam keadaan ditinggal suami, maka bisa dituduh poliandri dan bisa dijatuhi hukuman berat yaitu dipenjara selama tujuh tahun. Penulis berpendapat, tampaknya kondisi sosial di Mesir ini mempengaruhi pemikiran ‘Ali< Jum‘ah berkaitan pembagian warisan.

    E. Kepemimpinan Perempuan dalam Shalat 1. Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah Tentang Kepemimpinan Perempuan dalam Shalat

    185 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Menurut ‘Ali< Jum‘ah, para cendekiawan muslim dibelahan dunia manapun sepakat keharusan menjunjung tinggi kehormatan martabat perempuan. Melarang perempuan dari kepemimpinan laki-laki dalam shalat bukan berarti merendahkan derajat perempuan justru hal tersebut bagian dari menjunjung derajat mereka. Islam memerintahkan perempuan berdiri dibelakang laki-laki dalam shalat. Karena dalam shalat terdapat gerakan sujud yang berpotensi terbukanya aurat perempuan dan dapat mengganggu kekhusyuan dalam shalat. Keberadaan .إيملل درلبأ ليرلدمأ‚ Sebagaimana pepatah Arab mengatakan barisan perempuan dibelakang shaf laki-laki bukanlah penurunan martabat perempuan, melainkan dalam rangka menjunjung kemuliaan mereka. Selain itu pula, untuk mempertimbangkan adab serta saling menjaga pandangan antara laki-laki dan perempuan dari adanya kh}awf al-fitnah seperti hal-hal yang menimbulkan rangsangan bagi laki- laki.133 Hal senada juga diungkapkan Sayyid T{anta>wi> yang mengatakan bahwa tubuh perempuan adalah aurat dan dikhawatirkan mengganggu kekhusyukan shalat apabila perempuan mengimami laki- laki.134 Sebenarnya dalam realitas kepemimpinan perempuan dalam shalat, dapat ditinjau dari dua sisi. Pertama, dari sisi historis bahwa kenyataan sepanjang sejarah umat muslim sejak zaman nabi Muhammad SAW tidak diketahui adanya shalat jama‘ah dimana imamnya perempuan dan makmumnya laki-laki. Kedua, dari sisi realitas rasionalitasnya, bahwa dalam warisan fiqh tidak ada pendapat ulama melegalkan imamnya perempuan dan makmumnya laki-laki.135

    133‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 47. Lihat Juga: ‘Ali< Jum‘ah, Fata>wa> al-Nisa>, 167-169. ‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 56. 134Pendapat Sayyid al-T{anta>wi> tersebut dikutip oleh media online al- Sharq al-Au>sat}, dengan judul ‚Shaykh al-Azhar: Ima>mah al-Mar’ah Li al- Rija>l Ghairu Ja>’izah‛ diakses di http://archive.aawsat.com/details.asp?issueno=9532&article=289131WDwM bk-Dxk8 pada 23 Desember 2019. 135‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 48.

    186 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Menurut Yu>suf al-Qarad{a>wi>136> sekaligus diamini ‘Ali< Jum‘ah137, bahwa umat muslim di belahan dunia manapun tidak pernah menyetujui atas perempuan untuk adzan, berkhutbah terlebih menjadi imam shalat dalam jama’ah jum’at. Dalam realita sejarahnya, tidak terdeteksi kondisi seperti ini lebih dari 14 abad. Disebutkan dalam sejarah, bahwa seorang ratu yang terkemuka dalam sejarah dinasti , Shajar al-Durr yang mempunyai otoritas dalam permasalahan negarapun tidak pernah berkhutbah dalam shalat jum’at terlebih mengimami laki-laki. Akan tetapi penyelenggaraan khutbah dan shalat jum’at dipimpin oleh laki-laki.138 Hal ini mengindikasikan ketidakbolehan perempuan menjadi imam shalat berdasarkan kesepakatan ulama salaf maupun kh{alaf. Dari sisi nas}s} shar‘i< dan pendapat para ulama klasik hingga saat ini bahwasannya para ulama mendefinisikan ‘ima>mat al-s{ala>t’ yaitu keterikatan seorang yang mengerjakan shalat dengan orang lain yang mengerjakan shalat dengan syarat adanya syariat yang mengikat antara mereka. Seorang imam tidak menjadi imam kecuali jikalau ada yang mengikuti dalam shalatnya. Para ulama dalam banyak karya memberikan banyak kriteria dan syarat untuk menjadi seorang imam dalam shalat. Wahbah al-Zuhayli> dalam al-Fiqh al-Isla>mi< wa Adillatuhu> setidaknya menyebutkan 9 syarat yang harus dipenuhi oleh seorang imam dalam shalat, diantaranya imam haruslah seorang laki- laki.139 ‘Ali< Jum‘ah mengemukakan terdapat 2 hadis berkaitan dengan kepemimpinan perempuan dalam shalat bagi laki-laki. Hadis pertama yang diriwayatkan Ja>bir ibn ‘Abd Alla>h yang banyak disandarkan para ulama dalam ketidakbolehan perempuan menjadi imam dalam shalat dan hadis Umm Waraqah binti ‘Abd Alla>h ibn al-Ha>rith yang membolehkan perempuan menjadi imam shalat.

    136Yu>suf al-Qarad{a>wi>, ‚Mata> Taju>z Ima>mah al-Mar’ah Fi< al-S}ala>t‛ Diakses di http://www.qaradawi.net/new/Articles-1361 pada 21 Desember 2019. 137‘Ali< Jum‘ah, Al-Mar’ah Fi< al-Had}arah Al-Isla>miyah; Bayna Nusūs al-Shar‘i> wa Turāth al-Fiqh wa al-Wāqiʻ al-Maʻish, 40. 138‘Ali< Jum‘ah, Q{ad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 48. 139Wahbah al-Zuhayli<, Al-Fiqh al-Islami< wa adillatuhu>, Vol. 1, 174.

    187 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    احلِيثِايولِ:ِحِيثِج ب ِبا ِبباِِاهِ-رضايِاهِبنهما -ِقا ل:ِطببنا ِرلاالِاهِ- صلىِاهِبل هِوللم-ِفق ل:ِّلِتؤمِام أةِرجاً،،ِوّلِأبا امِمها ج ا،،ِوّلِفا ج ِمؤمنا ،،ِإّلِأنِيقها ِ 140 بسلب نِخي فِلاطهِول فه Hadis pertama: Dari Ja>bir bin Abd Allah, dari Nabi SAW bersabda: ‚Janganlah sekali-kali perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki, orang Arab Badui bagi orang-orang Muhajir (mereka yang ikut hijrah bersama nabi ke Madinah), dan orang jahat bagi orang mukmin kecuali karena paksaaan dari penguasa yang ditakuti cambuknya atau pedangnya‛.

    احلِيثِالل ينِ:ِحِيثِأمِورق ِِأنِالنيبِصلىِاهِبل هِوللمِر نِيزورها ِ ِب ها ِوجعالِ 141 هل ِمؤذي، ِيؤذنِهل ،ِوأم ه ِأنِتؤمِأهلِداره Hadis kedua: Rasulullah pernah mengunjungi Umm Waraqah di rumahnya. Ia bahkan mengangkat mu'adzin untuknya dan menyuruhnya mengimami keluarganya. ‘Ali< Jum‘ah bersandar pada H{ajar al-‘Asq{}ala>ni> dalam melemahkan hadis pertama, bahkan kebanyakan ahli hadis melemahkan hadis kedua.142 Ibn Quda>mah menjadikan hadis pertama sebagai argumentasi ketidakbolehan perempuan menjadi imam bagi laki-laki dalam shalat berjama’ah. Akan tetapi permasalahannya, pada hadis tersebut terdapat dua orang perawi yang dinilai lemah oleh kritikus hadis. Dua orang perawi yang dimaksud adalah ‘Ali< ibn Zayd ibn Jud‘a>n dan ‘Abd Alla>h ibn Muhammad al-'Ada>wi>.143

    140Riwayat dalam Sunan Ibn Majah, Riwayat al-Baihaqi dalam Sunan Al-Kubra>, al-Thabra>ni< dalam Al-Au>sat}>. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, (Kairo: Nahdet Mis{r 2008), 49. 141Riwayat Abu> Da>wud dalam Sunan Abu> Da>wud, Riwayat Ahmad bin H{anbal dalam Al-Musnad, Riwayat al-Ha>kim dalam al-Mustadrak 'ala> Shahi dalam Sunan Al-Kubra>. Lihat: ‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al- Isla>mi<, (Kairo: Nahdet Mis{r 2008), 48. 142‘Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 49. 143Ibn Quda>mah, Al-Mughni<, (Kairo: Da>r al-Hadi

    188 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Menurut Ali Mustafa Ya‘qub, kendati hadis ini dinilai lemah oleh sebagian ahli hadis, namun hadis d}a‘i>f (lemah) belum tentu ditolak dan tidak boleh diamalkan. Terlebih lagi, substansi dan kandungan hadis di atas dapat diterima dan diamalkan para ulama sepanjang masa, sejak masa nabi SAW sampai sekarang. Oleh sebab itu, hadis ini tetap diterima dan dijadikan dalil keharaman perempuan menjadi imam salat laki-laki.144 Dengan demikian, sebagaimana diungkapkan Ibnu Rushd bahwa hadis ini menjadi sandaran mayoritas ulama bahwa perempuan tidak boleh menjadi imam shalat bagi laki- laki.145 Berbeda halnya dengan mayoritas ulama, sebagian ulama membolehkan perempuan menjadi imam shalat bagi laki-laki. Sebagaimana dikemukakan oleh Abu> Thawr, al-Muzani>, Al-T{abari>146, juga diikuti Muhyi< al-Dir).148 Hadis ini disahihkan oleh Ibn Khuzaymah dan al-Ba>ni> menilai-nya sebagai hadis h}asan. Terkait al- Wali>d ibn Juma>i‘>, salah satu perawi yang dipermasalahkan, Muslim ibn al-Hajjāj tetap menganggapnya kredibel (ta‘di>l). Al-S}an‘a>ni> mengatakan hadis ini sebagai dalil keabsahan perempuan mengimami keluarganya. Meskipun dalam keluarga tersebut terdapat laki-laki.

    144Ali Mustafa Ya‘qub, Imam Perempuan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006), 25. 145Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid wa al-Niha>yah al-Muq{tas}id, Vol. ke-1. 155 146Wiza>rat al-Auqa>f wa al-Su’u>n al-Islamiyah. Mau>su>‘ah al-Fiqhiyah al- Islamiyah, Vol. ke-21 (Kuwait: 1992). 267. Abu> Zakariya> Muhy al-Din Al- Nawawi>, Al-Majmu>: Sharh} al-Muhadhdhab, Vol. ke-4 (Jeddah: Maktabah al- Irsya>d),152. Ibn Quda>mah, Al-Mughni<, (Kairo: Da>r al-Hadiyah al-Mujtahid wa al-Niha>yah al- Muq{tas}id, Vol. ke-. 1. 155. Muhammad Ibn Isma>‘ini<, Subul al- Sala>m, Vol. ke-2 (Beirut: Da>r al-Ihya> al-Tura>th al-Arabi>, 1995), 581. 147Ali< Jum‘ah, Qad{a>ya> Marah Fi< Al-Fiqh al-Isla>mi<, 49. 148Ibnu Khuzaymah, S}ahi>h Ibnu Khuzaymah, Vol. ke-3, No. 1676, 89.

    189 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Sebab dalam riwayat Umm Waraqah ini dikisahkan bahwa Ia memiliki seorang muadzin laki-laki dan Ia mengimaminya beserta budak laki- laki.149 Menurut Mustafa Ya‘qub, hadis Umm Waraqah ini tidak menjadi pertimbangan untuk membolehkan perempuan untuk menjadi imam shalat karena lemahnya periwayatan baik sanad maupun matan.150 Ibn Quda>mah dalam al-Mughni< memberikan penjelasan penafsirannya tentang berkaitan hadis Umm Waraqah. Pertama, Umm Waraqah diizinkan nabi untuk mengimami jama’ah perempuan. Kedua, kalaupun diantara jam’ah perempuan terdapat laki-laki, maka sesungguhnya peristiwa ini berkaitan dengan shalat sunnah karena sebagian fuqaha mazhab Hambali memang membolehkan perempuan menjadi imam dalam shalat tarawih. Ketiga, apabila kisah Umm Waraqah benar-benar berkaitan dengan shalat wajib, maka ketentuan tersebut tidak pernah disyariatkan pada perempuan lain sehingga bermakna khusus untnuk keluarga saja.151 Perdebatan seputar boleh tidaknya perempuan sebagai imam telah ada dalam pemikiran-pemikiran ulama terdahulu. Keempat imam mazhab secara tegas menolak kepemimpinan perempuan atas laki-laki. Imam Ma>lik dan Abu> Hani‘i< dan Ah}mad bin H}anbal, membolehkan perempuan menjadi imam terbatas pada sesama perempuan saja.152 Bagi ‘Ali< Jum‘ah imam shalat perempuan dibelakang barisan laki-laki tidak dapat diterima. Sebagaimana konsesus para ulama baik salaf maupun khalaf karena kuatnya dalil juga alasan yang tidak dapat diterima dengan akal. ‘Ali< Jum‘ah tidak menerima pendapat mereka yang membolehkan imam shalat perempuan, karena pendapat ini menurut ‘Ali< Jum‘ah pendapat yang cacat dan mengaggapnya sebagai pemikiran yang melenceng. Adapun hikmah dari menjauhkan

    149Muhammad Ibn Isma>‘ini<, Subul al-Sala>m, Vol. ke- 2, 381. 150Ali Mustafa Ya’qub, Imam Perempuan, 38. 151Ibn Quda>mah, Al-Mughni<, (Kairo: Da>r al-Hadin al-Nu>r Alwi< Abba>s al-Mala>ki<, Iba>nat Al-Ahka>m, (Beirut: Da>r al-Thaqa>fah al-Islamiyah, 1909), 41.

    190 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ perempuan dalam imamah shalat merupakan perintah Islam yang menjaga konsistensi tatanan Islam dalam kesucian. Karena perempuan semua badannya aurat kecuali telapak tangan dan wajah. Maka perintah berdiri dibelakang laki-laki karena shalat mencakup sujud yang dengan sujud dapat perempuan terlihat auratnya.153 2. Relevansi Pemikiran ‘Ali< Jum‘ah dengan Aspek Gender Masalah imam perempuan bagi laki-laki dalam kajian hukum Islam terus menjadi perbincangan dikalangan para cendekiawan muslim. Karena para feminis muslim terus menggugat perbedaan penafsiran dan keabsahan terhadap dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah tersebut. Terlebih kasus tersebut selalu bermunculan dan menjadi fenomena kontroversial yang berulang dalam masyarakat muslim modern. Masalah imam perempuan bagi laki-laki mencuat kepermukaan dan menghebohkan publik pada tahun 2018, ketika Jamida Beevi memimpin shalat jum’at sekaligus berkhutbah di sebuah masjid di Kerala, India. Menurutnya, tidak ada ayat suci yang menghambat seorang perempuan untuk menjadi imam. Baginya Al- Qur’an tidak diskriminatif terhadap perempuan, Gagasan yang diajukan dalam teks adalah kesetaraan gender dan bukan diskriminasi.154 Pertama kali dunia Islam dihebohkan pada tahun 2005 oleh Amina Muhsin Wadud, -seorang Asisten Professor Studi Islam- di Virginia University, New York, Amerika Serikat yang menjadi imam sekaligus merangkap sebagai kh}a>tib dan makmunya kurang lebih sekitar 50-an orang yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Jama’ah berbeda jenis kelamin tersebut berdiri sejajar tanpa ta’bir pemisah.155 Pasca peristiwa ini, muncul polemik dan mengundang reaksi beberapa tokoh ulama diseluruh dunia diantaranya Sayyid T{anta>wi,

    153‘Ali< Jum‘ah, Al-Kalim al-T{ayib Fata>wa> As}riyah, Vol. ke- 1, 56. 154https://www.memri.org/reports/indian-muslim-woman-leads-all- male-friday-prayer-indias-kerala-state diakses pada 30 Desember 2019. 155Respon ulama kontemporer terhadap Amina Wadud dapat dibaca dalam penelitian Ahmed Elewa dan Lary Silvers, ‚I Am the One of The People‛: A Survey And Analysis of Legal Arguments on Woman Led Prayer in Islam‛, dalam Journal of Law and Religion, Vol. 26, No. 1 (2010), 114.

    191 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    <‘Ali< Jum‘ah melalui lembaga yang dipimpinnya kala itu Da>r Ifta> al- Mis}riyah, walaupun pada awalnya ‘Ali< Jum‘ah156 tidak mempermasalahkan fenomena kontroversial tersebut akan tetapi karena dirasa meresakan publik, pada akhirnya Ia turut pula mengecam fenomena tersebut bersama para ulama al-Azhar lainnya.157 Termasuk juga diantaranya Yu>suf al-Q{ara>d}a>wi> yang< mengecam Amina telah menyimpang dari tradisi Islam yang telah berjalan 14 abad. Sementara ‘Abd al-Azi>z bin Ba>z, mufti agung Arab Saudi, menganggap Amina sebagai musuh Islam yang menentang hukum tuhan. Beberapa koran di Mesir dan Arab Saudi menempatkan berita itu di halaman utama, dan menganggap Amina sebagai perempuan sakit jiwa yang berkolaborasi dengan barat untuk menghancurkan Islam.158 Sebaliknya, Jama>l al-Banna> justru mengkritik pendapat Sayyid T{anta>wi<, ‘Ali< Jum‘ah, Yu>suf Q{ara>d}a>wi dan ulama al-Azhar lainnya yang tidak membolehkan perempuan mengimami laki-laki. Jama>l menulis buku khusus terkait persoalan ini dan disebarkan secara gratis lewat internet. Dalam karyanya yang berjudul Jawa>z Ima>mat al- Mar’ah al-Rija>l, Ia tidak mempermasalahkan praktek ibadah yang dilakukan oleh Amina Wadud. Menurutnya kasus ini perlu ditinjau dari dua aspek: naq{l (teks) dan ‘aql (rasio). Kedua aspek ini perlu dipertimbangkan dan tidak mungkin bertentangan, sekalipun dalam masalah ibadah.159

    156Pendapat kebolehan tersebut dimuat dalam al-Arabiya dengan judul ‚Mufti Diya>r al-Mis}riyah al-Shaikh ‘Ali> Jum‘ah: Ikhtilaf al-Ulama>' Yuji>z Li al-Duktu>rah Aminah Wadu>d An Taum Li al-RIja>l‛ Selengkapnya dapat diakses di media online al-Arabiya pada 16 aret 2005 https://www.alarabiya.net/articles/2005/03/16/11294.html diakses pada 23 Desember 2019. 157Fathi< al-Bayumi, Ula>ma Al-Azhar Yastankiruna Ima>mah Amid Li- al-Shala>t, dalam berita hariann di lahaonline pada 20 Maret 2005 https://www.lahaonline.com/articles/view/8055.htm diakses pada 18 Oktober 2019. 158Jocelyne Cesari dan Jose Casanova, Islam, Gender, and Democracy in Comparative Perspective (New York: Oxford University Press, 2017), 121- 122. 159Jama>l Al-Banna>, Jawa>z Ima>mah al-Mar’ah al-Rija>l (Tt: Tp, tt). Resensi ini dapat dica dalam artikel Faragh Isma‘il ‚Shaqi>q Hasan al-Banna>

    192 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Menurut Jama>l al-Banna>, ahli fiqh belum sepenuhnya mampu keluar dari budaya patriarkis yang memposisikan perempuan sebagai kelas kedua. Agar keluar dari budaya tersebut, ahli fiqh mestinya melihat perempuan sebagai manusia, posisinya setara dengan laki-laki sebagaimana dikatakan Al-Qur’an dan melihatnya sebagai makhluq yang diistimewakan Allah SWT: mereka dapat hamil, menyusui, mendidik, dan surga berada dibawah telapak kaki mereka.160 Senada dengan Jama>l al-Banna>, Khaled Abou el-Fad}l ketika ditanya hukum perempuan mengimami shalat laki-laki, Ia mengatakan bahwa tidak adil apabila perempuan dilarang mengimami shalat dikarenkan Ia seorang perempuan. Seharusnya persyaratan dan standar kelayakan iman difokuskan pada penguasaan terhadap ilmu agama dan kesepakatan komunitas.161 Pada dasarnya, jika hadis Umm Waraqah dikaji lebih jauh, kesempatan untuk mendapatkan posisi imam dapat diperoleh siapapun, baik laki-laki maupun perempuan, sepanjang Ia memiliki kualifikasi sebagai imam. Namun, karena di antara orang- orang yang ada di rumah Umm Waraqah, hanya Ia yang memiliki kualitas dan kemampuan dalam agama dan membaca Al-Qur'an dengan baik, maka Nabi mengizinkannya menjadi imam. Dalam hal ini, pertimbangan Nabi didasarkan bukan pada apa jenis kelaminnya, tapi bagaimana kemampuannya. Argumentasi ini pula yang digunakan oleh jama’ah Amina Wadud ketika menunjuknya agar mengambil andil sebagai khatib dan imam salat jum'at.162 Mohammad Nawir dalam Kajian Hadis Relasi Kesetaraan Gender Dalam Fatwa MUI,163 mengungkapkan bahwa kaum feminis

    Ima>mah al-Mar’ah al-Rija>l. https://www.Al- Arabiya.net/articles/2005/08/19/16015.html diakses pada 23 November 2019. 160Jama>l Al-Banna>, Jawa>z Ima>mah al-Mar’ah al-Rija>l, 67. 161Lihat pendapat Khaled Abou el-Fadl di http://www.scholarofthehouse.org/onwolepr.html . Diakses pada 25 November 2019. 162Mohammad Nawir, ‚Kajian Tentang Hadis-Hadis Relasi Kesetaraan Gender Dalam Fatwa MUI‛ (Tesis UIN Sekolah Pascasarjana, UIN Syarif Hidayatulla, Jakarta, 2016), 118. 163Mohammad Nawir, Kajian Tentang Hadis-Hadis Relasi Kesetaraan Gender Dalam Fatwa MUI, 120-121.

    193 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ muslim umumnya berpendapat bahwa diskursus para ulama tentang ima>mah perempuan mencerminkan keberpihakan mereka kepada kepentingan patriarkhi. Hal ini terlihat dari adanya inkonsistensi rasional dalam pemikiran mereka, di satu sisi dalam persyaratan imam secara umum, pemahaman agama dalam bacaan Al-Qur'an dijadikan sebagai kriteria utama. Namun, di sisi lain ketika membahas tentang kepemimpinan perempuan, kriteria yang substansial itu justru tidak diterapkan. Penolakan mereka tidak didasarkan pada pertimbangan apakah perempuan memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan, tetapi justru pada ‘karena Ia perempuan’. Sementara itu, Abu> Thawr, al- T}abari< dan al-Muzani<, merupakan wakil ulama yang membolehkan secara mutlak perempuan sebagai imam. Pendapat tersebut di perkuat oleh hadis Umm Waraqah yang di riwayatkan oleh Abu> Da>wu>d, dalam sarahnya al-S{an’a>ni< mengatakan bahwa kepemimpinan perempuan dalam salat adalah sah sekalipun diantara makmum ada laki-laki dewasa. Namun, pandangan kelompok ini sering tidak muncul kepermukaan, bahkan hampir tenggelam dalam diskursus pemikiran Islam.164 Bersandar pada Qa>sim Ami

    164Ibn Rushd, Bida>yah al-Mujtahid wa al-Niha>yah al-Muq{tas}id, 175. Bandingkan Muhammad Ibn Isma>‘ini<, Subul al-Sala>m, ditahqiq oleh Abd al-Azirat al-Auqa>f wa al-Su’u>n al- Islamiyah. Mau>su>‘ah al-Fiqhiyah al- Islamiyah, Vol. ke-21 (Kuwait: 1992). 267. Abu> Zakariya> Muhy al-Din Al-Nawawi>, Al-Majmu>: Sharh} al- Muhadhdhab, Vol. ke- 4 (Jeddah: Maktabah al-Irsya>d),152. Ibn Quda>mah, Al- Mughni<, (Kairo: Da>r al-Hadi

    194 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ mendapatkan kembali kejayaan Islam tidak ada jalan lain kecuali memberikan kemerdekaan kepada kaum perempuan.165 Di era sekarang dengan adanya emansipasi wanita ataupun kesetaraan gender yang menuntut adanya kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki. Imam umumnya yang sudah disebut dalam kitab-kitab klasik atau modern adalah seorang laki-laki. Perbedaan antara tokoh tradisionalis dimana mereka berpendapat bahwa seorang perempuan tidak boleh menjadi imam dalam shalat yang termaktub dalam kitab-kitab fiqih klasik berbeda dengan kaum postra mereka berpendapat bahwa seorang perempuan boleh menjadi imam dalam shalat karena adanya kualitas yang lebih tinggi dibanding kaum laki- laki. Tentu, ide-ide feminisme diatas tidak sesuai dengan pemikiran ‘Ali< Jum‘ah. ‘Ali< Jum‘ah tidak sependapat kepemimpinan perempuan di ranah ibadah. Fatwa ini pada dasarnya terlihat mempertegas hukum tentang imam seorang perempuan dalam shalat bagi jama’ah laki-laki. يصل Fatwa ‘Ali< Jum‘ah konsisten mengikut pendapat para ulama fiqh Karena sebagaimana penulis paparkan bahwa . يى الْتياىا التىْقبيِل وّلِاتتيا para ulama telah panjang lebar membicarakan terkait hal ini. Disamping itu pula, panjang lebar ‘Ali< Jum‘ah memaparkan perbedaan para ulama beserta dalil mereka dalam mengemukakan pendapatnya. Berkaitan dengan kedua kelompok hadis yang ‘Ali< Jum‘ah paparkan sebagai pegangan dalil yang saling kontradiktif (ta’arud}), dapat ditarik kesimpulan bahwa sebenarnya hadis yang melarang perempuan mengimami laki-laki sanadnya adalah lemah (d}a‘i>f), tidak shahih. Di lain sisi, hadis Umm Waraqah yang sering dipakai kalangan feminis seperti Amina Wadud untuk menjustifikasi pemikiran mereka tentang bolehnya seorang perempuan mengimami shalat laki-laki, hadis tersebut juga tidak sahih. Maka disini ‘Ali< Jum‘ah merajihkan kontradiksi literal tersebut ditinjau dari hukum Islam yaitu maslahah karena efek yang ditimbulkan dari sosiologi masyarakat. Dengan demikian, penulis berpendapat dengan mengacu pada pemikiran ‘Ali< Jum‘ah, dilihat sosio-histori terkait dengan

    165Qasim al-Ami Li al-Bah}th wa Al-Nashr, 1948), 98.

    195 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ kontektualisasi kedua hadis tersebut dalam memposisikan perempuan sebagai imam shalat laki-laki, hal tersebut hanya akan menyulut keresahan di tengah-tengah masyarakat. Dalam hal ini, ketika kedua hadis tersebut telah jelas-jelas tidak bisa dikatakan seratus persen s}ahi>h, alias sama-sama terdapat perawi yang bermasalah, maka kaidah fiqh yang berbunyi al-‘a>dah muhakkamah (adat kebiasaan itu dipandang sebagai hukum), maka larangan masalah perempuan mengimami shalat laki-laki adalah lebih tepat dan lebih selamat. Selain itu, kaidah daf‘ul mafa>sid muqaddamun ‘ala> jalbi al- mas}alih} juga relevan untuk diterapkan dalam masalah ini. Perempuan yang di depan publik mengimami shalat berjamaah, dimana di dalamnya terdapat laki-laki, hanya akan menimbulkan efek negatif di tengah masyarakat luas. Terlepas dari mereka tahu ataukah tidak tentang shahih tidaknya dua hadis tersebut di atas, hal ini akan dipandang sebagai sebuah penyimpangan agama dan keresahan publik.

    196 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Diagram Genealogi Pemikiran ‘Ali> Jum‘ah Tentang Wacana Kesetaraan Gender

    197 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Tabel Pembagian Pembahasan Gender dari Sumber Primer Rujukan Karya ‘Ali> Jum‘ah

    198 | Analisis Pemikiran Hukum Islam ‘Ali < Jum‘ah tentang Wacana Kesetaraan Gender

    BAGIAN LIMA EPILOG ------

    ‘Ali< Jum‘ah merupakan ulama kontemporer yang telah berusaha memanfaatkan hasil ilmu kontemporer (antropologi) ketika mengijtihadkan hukum-hukum fiqh dalam rangka menciptakan sebuah sistem yang lebih padu dan komprehensif. ‘Ali< Jum‘ah dalam berijtihad tidak berbeda dengan ulama kontemporer lainnya yang menjadi rujukan umat muslim saat ini seperti Yu>suf al-Qarad}a>wi<, Wahbah al-Zuhay

  • , Sain al-Bu>ti> dan lain ulama kontemporer lainnya. Dimana metode yang biasa digunakan seperti metode ijtiha>d baya>ni<, ta‘li>li> dan istis}la>hi< serta tarji>hi> atau intiqa>’i>. Begitu juga ‘Ali< Jum‘ah tidak berbeda dengan ulama terdahulu yang dalam banyak karya-karyanya, ‘Ali< Jum‘ah cenderung menukil pendapat yang telah ada dan telah disebutkan dalam literatur-literatur fiqh, khususnya dalam mazhab al-Sha>fi>‘i><. Walaupun Ia menganut mazhab al-Sha>fi>‘i <, tak lantas ‘Ali< Jum‘ah segan mengikuti mazhab lain sesuai konteks maslahat yang dihadapi realita. Dalam kebanyakan fatwa yang Ia keluarkan, Ia cukup banyak mengikuti mazhab lain dibanding mazhab yang Ia anut. Dalam kaitannya dengan usu>l al-fiqh sebagai landasan epistimologi hukum Islam, dimana para pengusung teori pembaharu marak mengkampanyekan rekonstruksi secara komprehensif seperti H}asan al-Tura>bi<, Jama>l al-Di. ‘Ali Jum‘ah menolak teori tersebut dengan alasan bahwa betapapun seriusnya para ulama saat ini dalam upaya pembaharuan terhadap usu>l al-fiqh, namun tidak mampu keluar dari prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh para ulama klasik. Selain itu, hal tersebut juga bentuk ketidakhormatan terhadap warisan para ulama terdahulu. Dalam hal ini ‘Ali< Jum‘ah tidak merombak konstruksi yang selama ini telah mapan dibangun oleh para ulama klasik, justru menurut ‘Ali Jum‘ah, sebagai bentuk penghormatan warisan ulama klasik seharusnya yang perlu diperbaharui adalah kritik terhadap tura>th dengan cara meninjau kembali metodologi, sitematika penulisan, kesesuaian materi

    199 Epilog|

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ kaitannya dalam isi materi agar relevan dengan zaman kontemporer saat ini dan memaksimalkan peran usu>l fiqh dalam menyelesaikan problematika umat saat ini. Perihal relevansi pemikiran hukum Islam ‘Ali Jum‘ah dengan wacana kesetaraan gender, dapat disimpulkan bahwa ‘Ali Jum‘ah memposisikan pada pemikiran semi-tekstual-moderat, karena dilihat dari beberapa kasus, Ia bersikap tekstualis namun tidak sependapat dengan pemikiran tradisional-konservatif. Pada kasus lain, Ia bersikap konsteksual namun tidak sependapat dengan pemikiran sekular ataupun liberal. Pemikirannya termanifestasi pada kasus isu gender yang penulis batasi dalam penelitian ini pada lima kasus, antara lain: berkaitan dengan h}ija>b. Pendapat ‘Ali< Jum‘ah terkait h}ija>b cenderung tekstualis dengan pegang teguh nas}s} shar‘i>< yang bersifat q}at‘i< dan mengunggulkan para ulama yang mewajibkan h}ija>b. Pemikiran tekstualis serupa juga teraplikasi pada pembagian warisan, ‘Ali> Jum‘ah memandang bahwa pengertian keadilan yang dimaksud Islam yaitu konsep 2:1 (laki-laki: perempuan), hal tersebut didasari atas perbedaan tanggung jawab, hak dan tanggung jawab laki-laki dengan perempuan. Juga ‘Ali< Jum‘ah tidak menerima pendapat mereka yang membolehkan imam shalat perempuan, karena pendapat ini menurut ‘Ali< Jum‘ah pendapat yang cacat dan pemikiran yang melenceng. Berbeda halnya dengan pendapat diatas yang cenderung tekstualis, pendapat ‘Ali< Jum‘ah juga mempunyai kecenderungan kontektualis. Dalam cadar, ‘Ali< Jum‘ah lebih banyak berbicara terkait budaya Mesir yang mana cadar tidak relevan dengan konteks sosial masyarakat Mesir. Penulis menduga bahwa pendapatnya terkait cadar dipengaruhi inteferensi sosio-politik Mesir serta intelektualitas ‘Ali< Jum‘ah sebagai akademisi Al-Azhar. Karena Al-Azhar secara ideologi pemikiran, keagamaan serta politik kontradiktif dengan ikhwa>n al- muslimi>n. Pemikiran kontekstualis serupa juga diaplikasikan pada kepemimpinan perempuan diruang publik, Ali< Jum‘ah berpendapat kebolehan perempuan menjadi kepala negara dan jabatan tinggi apapun seperti hakim, menteri, anggota parlemen, dan lain-lain. Selama tidak mencakup urusan agama - dalam hal ini kepemimpinan dalam shalat- yang bertentangan dengan syariat. Istilah ini dikenal dengan al- ima>mah al-uz}ma> yang berarti kekuasaannya membawahi seluruh umat Islam dunia dan salah satu tugasnya adalah menjadi imam shalat. Akan

    200 | Epilog

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ tetapi konteks al-ima>mah al-uz}ma> sudah tidak relevan dengan zaman saat ini. Bahkan pemikiran ‘Ali> Jum‘ah berkaitan khita>n perempuan lebih terkesan kontekstual-progresif dengan pelarangan ‘Ali> Jum‘ah terhadap praktek khita>n yang telah mengakar pada budaya masyarakat Mesir.

    201 | Epilog

    DAFTAR PUSTAKA

    Buku Ahmed, Leila. A Quiet Revolution: The Veil's Resurgence from Middle East to America. New Haven: Yale University Press, 2011 Ali, Ausaf. Modern Muslim Thought. vol. 1. Karachi: Royal Book Company, 2000. Al-Andalu>si<, Abu> Hayya>n. Al-Bah{r al-Muhir al-Kutub Ilmiah,1993. Al-Ashma>wi<, Muhammad Sa’il al-Shari<’ah. Beirut: Da>r al-Iqra>, 1983 Al-At}iyah, Jama>l al-Dir al-Fikr, 2000. Al-Azhari<, Usa>mah Sayyid. Asa>nid al-Mash}riyimah Sayyid Al-Haq al-Mubi Man Tala>ba Bi al-Di@n (Abu Dhabi: Dar a-Faqih, 2015. Al-Awa>, Muhammad Salimi< Fi< al-T{arimi<, 1998. Al-Banna>, Jama>l. Nahw Fiqh Jadid. Kairo: Da>r al-Fikr al-Islami<, 2000. ______. Al-Mar’ah Al-Muslimah Bai. Kairo: Da>r al-Fikr al-Isla>mi<, 1999. Al-Ba>ni@, Muhammad Na>sir al-Dib al-Al-Mar’ah al-Muslimah Fi@ al-Kita>b wa al- Sunah Beiut: al-Maktabah al-Islami, 1987. Al-Dahlawi, Sha>h Waliyullah bin Abd al-Rahm>an @, Hujjah Allah al-Ba>lighah. Kairo: Maktabah Da>r al-Tura>th, 2005. Al-Fad{l, Kha>led Abu.> Speaking In God’s Name: Islamic Law, Authority and Women. Oxford: Oneworld Publication, 2003. Al-Ha>di, Abu> Sari Muhamad Abd. Wa Ahunna Bi al-Ma’ru>f. Kairo: Maktabah al- Turath al-Islami, 1988. Al-Hashemi, Alkaf, Bushra & Ghaza, Rym. Grand Mufti calls for dialogue about the internet. Abu Dhabi, 21 : The National, February, 2012. Al-H{ifna>wi@, Muhammad Ibra>hi@m. Dira>sa>t Us}u>liyah Fi@ al-Sunah al-Nabawiyah. Kairo: Da>r al-Wafa>, 1991. Al-I, Adh{d al-Din. Sharah al-Adh{d Ala> Sharh} Mukh{tas}ar Ibn al-Ha>jib. Beirut: Da>r al- Kutub al-Ilmiyah, 2000 Al-Jabari@, Abd al-Muta’a>li Muhamad. Al-Mar’ah fi al-Tas}awwur al-Islami@ Kairo: Maktabah Wahbah, 1994. Al-Ja>biri<, Asah Tahliliyah Naqdiyah Li al- Niza>mi al-Ma’rifah al-Thaqafah al-A’rabiyah Beirut: al-Markaz al-Thaqa>fi al- ‘Arabi<, 1993. ______. Takwim al-Muwa>qi‘i>n ‘an Rabb al-‘Ala>mi>n. Dammam: Da>r Ibnu al-Jauziyyah, 2002. Al-Mala>ki<, Hasan Sulain al-Nu>r Alwi< Abba>s. Iba>nat Al-Ahka>m. Beirut: Da>r al- Thaqa>fah al-Islamiyah, 1909. Al-Mara>ghi<, Ah}mad Mus}t}afa.> Tafsighi<. Beirut: Da>r al-Fikr, t.t. Al-Ma>wardi<, Abu> Hasan. Al-Ah{ka>m Al-Sult}a>niyyah. Kairo: Da>r al-Hadi

    202 Daftar| Pustaka

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Al-Nabha>ni<, Taq{im al-Ijtima>’i< Fi< al-Isla>m. Beirut: Da>r al-Ummah, 1990. Al-Naim, Abdullahi Ahmed. Towards An Islamic Reformation; Civil Liberties, Human Right And International Law. New York: Syracusse University Press, 1990. Al-Qara>d}a>wi>, Yu>suf. Al-Fatwa> Bait} wa al-Tasayyub Beiru>t: al-Maktab al- Isla>mi>, 1995 ______. Al-ijtiha>d Fi< al-Sharimiyah Ma'a Naza>ra>t Tahlid al-Muasir. Kairo: Maktabah Wahbah, 1987. ______. Fiqh Tajdimiyah. Kairo: Muassasah al- Risalah, 1996. ______. Min Hady> al-Isla>m: Fatawa Mua'shirah. Manshurah: Dar al-Wafa li Thaba'ah wa al-Tauzi, 1994. ______. Muslimah al-Gha>di. Beirut: Da>r al-Wafa>: 1995. ______. Khuthāb wa Muhādarāt al-Qarādāwi ‘an al-Mar’at, Alih bahasa oleh Tiar Anwar Bachtiar dengan judul ‚Qardawi Bicara Soal Wanita‛, Bandung: Arasy, 2003. Al-Q{urtu>bi<, Ah}mad bin Abi< Bakar Al-Jāmi’ li Ahkām al-Qur’ān. Beirut: Muassasah Risa>lah, 2006. Al-Ra>zi<, Fakhr al-Ditih al-Ghayib. Beirut: Da>r al-Kutub al-Ilmiyah, 1990. Al-S}abu>ni<, Ali< Rawa>’>i< al-Baya>n Fi< Tafsit al-Ahka>m. Beirut: Da>r al-Fikr, 2000. Al-S{an’a>ni<, Muhammad Ibn Isma>’im,ditahqiq oleh Abd al-Azir al-Ihya> al-Tura>th al-Arabi<, 1995. Al-Siba>’i@, Mus}ta}fa.> Al-Mar’ah Bai@na Fiqh wa al-Qa>nu>n. Kairo: Dar al-Salam, 2010. Al-Shadr, M. Baqir dan Muthahari, Murtadha. Pengantar Ushul Fiqh dan Ushul Fiqh Perbandingan. Jakarta : Pustaka Hidayah, 1993. Al-Sha‘ra>wi<, Muhammad Mutawali<. Mukh{tas{ar Tafsir< al-Sha‘ra>wi. < Kairo: Dar al- Tawfith, 2011. Al-Sahamra>ni@, As’ad. Al-Mar’ah fi@ al-Ta>ri@kh wa al-Shari@ah. Beirut: Dar al-Nafais, 1989. Al-Suyu>ti@, Jala>l al-Di@n. Al-Ashba>h wa al-Nad}za>ir. Beirut: Da>r al-Kutub al Ilmiyah, 1983. ______. Taisi>r al-Ijtiha>d. Makkah: Maktabah Tija>riyah, 1982 Al-Tura>bi<, H{asan.Tajdil al-Fiqh al-Isla>mi<. Kh}arto>um: Maktabah Da>r al-Fikr, 1980. ______. Q}ad{aya al-Tajdid Nahwa Manhaj Ushuli. Beirut: Da>r al-Ha>di: 2000. Al-Yasu>’i<, Luwif. Al-Munjid Fi< al-Lughah wa al-Am Beirut: al- Kathulikiyah, 1986. Al-Zuhaylī, Wahbah. Al-Qur'an dan Paradigma Peradaban. Yogyakarta: Dinamika, 1996. Diterjemahkan oleh M. Thahir. ______. Al-Fiqh al-Islami< wa adillatuhu>. Damaskus: Da>r al-Fikr ala- Isla>mi<, 1996. ______. Al-Tafsi>r wa al-Muni>r fi> al-‘Aqi>dah wa al-Shari<’ah wa al- Manhaj, Beirut: Da>r al-Fikr, 1998. ______. Us}u>l al-Fiqh al-Isla>mi>. Damaskus: Da>r al-Fikr, 1986.

    203 | Daftar Pustaka

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Amisim. Tahrir al-Al-Mar’ah. Kairo: Al-Markaz al-Arabi< Li al-Baht wa Al-Nashr, 1948.

    Anderson, J.N.D. Islamic Law In The Modern World, Islamic Law In The Modern World. New York University Press: 1959. Anwar, Etin. Gender and Self In Islam. Canada\: Routledge, 2006. Arivia, Gadis. Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2006. Ar, Muhammad Ibn T{a>hir. Maqa>sid al-Sha>rir al-Salam, 2005. ______. Al-Tahri Ba>b al- Hala>bi<, 1963. Aziziy, A. Qadri. Reformasi Bermadzhab. Bandung: Penerbit teraju, 2003. Badron, Margot. Feminism dalam John L. Esposito (ed.), The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World. New York: Oxford University Press, 1995. Baiwi, Jama>l A. Gender Equity In Islam Basic Principle. Durban: Islamic Dakwah Movement Publications, 2016. Balta>ji <, Muhammad. Maka>nah al-Al-Mar’ah Fi< al-Qur’a>n al-Az}ir al- Sala>m, 2000. Bashin, Kamla & Khan, Nighat Said. Persoalan Pokok Mengenai Feminisme Dan Relevansinya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 1995. Bayyah, Abdallah Bin. S}ina>’ah al-Fatwa wa Fiqh al-Aqalliyya>t.Beirut: Da>r al-Minha>j, 2007. Bayat, Asef. Post-Islamism; The Changing Faces of Political Islam. New York: Oxford University Press, 2013. Bungin, H. M. Burhan. Penelitian Kualaitatif . Jakarta: Kencana, 2012. Bryson, Valerie. Feminist Political Theory: An Introduction. London: Macmillan, 1992. Cesari, Jocelyne dan Casanova, Jose. Islam, Gender, and Democracy in Comparative Perspective. New York: Oxford University Press, 2017. Elaine Showalter, (ed.), Speaking of Gender. London: Routledge, 1989. Engineer, Ashgar Ali. Hak-Hak Perempuan dalam Islam, Terj. Farid Wajidi dan Cici Farkha Assegaf, Yogyakarta: Yayasan Benteng Budaya, 1994. ______. Islam dan Teologi Pembebasan. Diterj. Agung Prihantoro. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. ______. The Right of Women In Islam. New York: St. Martin’s Press: 1992. Esposito, John L. (Ed), Ensiklopedi Oxford Dunia Islam Modern. Bandung: Mizan, 2002. ______. Islam and Development: Religion and Sociopolitical Change. Syracuse: Syracuse University Press, 1980. ______. The Oxford Encyclopedia of The Modern Islamic World. New York: Oxford University Press, 1995. Fakih, Mansour. Analisa Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Fayumi, Badriyah dkk. Keadilan dan Kesetaraan Jender Perspektif Islam, Jakarta: Tim pemberdayaan Perempuan Bidang Agama RI, 2001.

    204 | Daftar Pustaka

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Gregory M. Matoesian, Reproducing Rape: Domination Through Talk in The Courtroom. Chicago: University of Chicago Press, 1993. Grewal, Zareena. Islam Is a Foreign Country: American Muslims and the Global Crisis of Authority. New York: University Press, 2010. Handayani, Trysakti & Sugiarti. Konsep dan Teknik Penelitian Gender. Yogyakarta: UMM Press, 2002. Hasan, Ibra>hirimi< Wa al-Dini al-Tha>qa>fi< wa al-Ijtis. Beirut: al-Muassah al-Arabiyah Li al-Dirasa>t wa al-Nashr, 1987. Tierney, Helen (Ed.). Women’s Studies Encyclopedia. New York: Green World Press, tt), Vol. I. Lips, Hilary M. Sex & Gender; An Introduction. California: My Field Publsihing Company, 1993. Iqbal, Muhammad. The Reconstruction of Religion Thought in Islam. New Delhi: Kitab Bhavan, 1930. Ilyas, Yunahar. Feminisme dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998. J. Donahue, John and L. Esposito, John. Islam in Transition. Jhon M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: Gramedia, 1993. Julia Cleves Mosse, Gender & Pembangunan. Yogyakarta: Rifka Annisa Women’s Crisis Centre Pustaka, 1996. Jum‘ah,‘Ali<. A. Responding from traditions. Kairo: al-Muqatam Publication: 2008. ______. Al-Baya>n: Lima> Yashgal al-Adha>n. Kairo: Da>r al-Muqatam, 2005. ______. Al-Kalim al-T{ayib: Fata>wa> As}riyah, Jilid. 1. Kairo: Da>r al-Salam, 2010. ______. Al-Kalim al-T{ayib: Fata>wa> As}riyah, Jilid. 2. Kairo: Da>r al-Salam, 2010. ______. At al-Ijtiha>d Kairo: Da>r al-Fikr, 2004. ______. Al-Mar'ah Ba>ina Ins}h>af al-Isla>m wa Shubha>t Al-Akha>r. Kairo: Wiza>ra>t al-Awqa>f al-Majlis al-A’la> Li al-Shuu>n al-Isla>miyah, 2006. ______. Fata>wa> Al-Mar’ah Al-Muslimah wa Rudt Hawla Q{ad}aya> al-Mar’ah. Kairo: Nahd{ Mas{r, 2010. ______. Mutashadidu>n; Manh}ajuhum wa Muna>q{ashat Aha{mm Q{ad{a>yahum. Kairo: Da>r al-Muqatam, 2011. ______. Ta>ri>kh Ushu>l al-Fiqh. Kairo: Da>r al-Muq{attam Li al-Nashr Wa Al-Tawzi>, 2014. ______. Us}u>l al-Fiqh wa Ala>qatuhu Bi al-Falsafah. Kairo: Al-Ma'had Al-Ami<, 1996. ______. Qad} Marah Fi< Al-Fiqh al-Islami>. Kairo: Nahdet Mis}r, 2008. ______. Q}{a}diyah Tajdil al-Fiqh. Kairo: Dar al-Hida>yah, 1993. Khairuddin, Wan Mohd Khairul Firdaus Bin Wan. ‛Metode Fatwa ‘Ali> Jum‘ah dalam Kitab Kallim al-Tayyib‛. Disertasi: Fakultas Dirasat Islamiyah Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 2011. Kementrian Waqaf Repbulik Arab Mesir,‚Al-Niqa>b Adah @(Kairo: Dar al-Kutub al-Masriyah, 2008 Linda L. Linsey, Gender Roles a Sociological Perspective. New Jersey: Prentice Hall, 1990.

    205 | Daftar Pustaka

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞ Mak}hlu>f, Husayn Muhammad, Fatāwa> Shar‘iyyah wa Buhūth al-Islāmiyyah. Kairo: al- Madani, 1971. Maranci, Gabriele. Studying Islam in Practice. New York: Routledge, 2013. Mas’u>d, Muh}ammad Kha>lid. Shat{ibi’s Philoshophy of Islamic Law. Kuala Lumpur: Islamic Book Trust, 1995. Mernissi, Fatima. Beyond The Veil Male-Female Dinamics In Modern Muslim Society. Indiana: Indiana University Press, 1987 ______. Women and Islam: a Historical and Theological Enquiry. Diterj oleh Yaziar Radianti, Wanita dalam Islam, Bandung: Pustaka, 1994. ______. Women’s Rebellion & Islamic Memory. Diterj oleh Rahmani Astuti, Pemberontakan Wanita: Peran Intelektual Kaum Wanita Dalam Sejarah Muslim. Bandung: Mizan, 1999. Mernissi, Fatima dan Hasan, Riffat. Equal Before Allah, terj. Tim LSSPA Yogyakarta: LSSPA, 2000. Muammar, Arfan dkk, Bias Gender dalam Penafsiran Al-Qur’an; Memahami Pemikiran Nasr Hamid Abu Zayd. Yogyakarta: Diva Press, 2012. Mudzhar, Atho. Fatwa-Fatwa Majelis Ulama Indonesia. Jakarta: INIS, 1993. Muhsin, Amina Wadud. Wanita dalam Al-Qur’an, Terj. Yaziar Radianti. ______. Qur’an and Women. Kuala Lumpur: Fajar Bakti SDN, 1994. Mulia, Siti Musdah. Islam dan Inspirasi Kesetaraan Gender .Yogyakarta: Kibar Press, 2007. ______. Muslimah Sejati; Menempuh Jalan Islami Meraih Ridha Ilahi. Bandung: Marja, 2011. Najm, Ibra>hil al-Qur’a>n, Kairo: Da>r al-Shuru>q{, 2011. Qutub, Muhammad. Islam the Missunderstood Religion, Alih bahasa oleh Fungky Kusnaedi Timur dengan judul ‚Islam Agama Pembebas‛, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 2001.

    206 | Daftar Pustaka

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Rahman, Fazlur> Islam and Modernity Transformation of An Intellectual Tradition. Chicago: The University of Chichago Press, 1996. Ramazanoglu, Caroline. Feminism and Contradiction, London: Routledge, 1989. Ratna Saptari, Briggte Holzner, Perempuan Kerja dan perubahan Soial; Sebuah Pengantar Studi Perempuan. Jakarta: Kalyana Mitra, 1997. Rushd, Abu> al-Waliyah al-Mujtahid wa al-Nihayah al-Muq{tashid. Amman: Bayt al-Afka>r al-Dawliyah, 2007 Rutherford, Bruce K. Egypt after Muba>rak: Liberalism, Islam, and Democracy in the Arab World New Jersey: Princeton University Press, 2008. Saeed, Abdullah. Interpreting The Qur’an: Towards A Contemporary Approach. New York: Routledge, 2006. Schacht, Joseph. An Introduction to Islamic Law. London: Oxford at the Clarendon Press,1971. Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Buku Pedoman Akademik 2016-2020. Sevilla, Consuelo G. et.al,. Metode Penelitian. Jakarta: UI Press, 2006. Diterjemahkan oleh Alimuddin Tuw. Shah}ru>r, Muhammad. Nahwa Ushu>l Al-Jadimi. Damaskus: Al- Aha>li Li Al-Tauzi wa al-T{iba>’ah, 2008. ______. Al-Kita>b wa al-Qur’a>n Qira>’ah Mua>s{irah.Damaskus: Al-Aha>li< Li al-Tawzi<’ wa al-T{iba>’ah, 1990. Shihab, M. Quraish. Jilbab, pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati, 2005. ______. Membumikan al Qur’an. Jakarta : Mizan,1996. ______.Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Jakarta: Lentera Hati, 2008 ______. Perempuan. Jakarta: Lentera Hati, 2005. Shaltu>t, Mahmu>d. al-Isla>m Aqi>datun wa Sharir al-Nafa>iwi, Mutawali<. Al-Fiqh Al-Muslimah Al-Mar’ah. Kairo: Maktabah al-Tawfikia). Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana, 2011. Subhan, Zaitunah. Menggagas Fiqh Pemberdayaan Perempuan. Jakarta : el-Kahfi, 2008. ______. Rekonstruksi Pemahaman Jender Dalam Islam: Agenda Sosio- Kultural dan Politik Perempuan. Jakarta: El-\Kahfi, 2002. ______. Tafsir Kebencian: Studi Bias Gender dalam Tafsir al-Qur’a>n. Yogyakarta: LKIS, 1999. Sudarto. Metodologi Penelitian Filsafat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1996. Sugiyono. Metode Penelitian Kualitatif, Kuantitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta, 2012. Sugihastuti, Teori dan Apresisasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka belajar, 2002. Sulain, Abd al-Hami Towards An Islamic Theory of International Relation: Directions For Methodology and Thought. Virginia: The International of Islamic Thought, 1993. Suru>r, Jama>l Abu> dkk, Khita>n al-Ina>th. Kairo: Jam’iyat al-Azhar al-Markazi al-Dauli al-Islami Li al-Dirasat wa al-Buhuth al-Sakaniyah, 2013

    207 | Daftar Pustaka

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    The Most Influential Muslim-2009. Jordan : The Royal Islamic Strategic Studies Centre, cet. 1 & 2, 2009. The Most Influential Muslim-2010. Jordan : The Royal Islamic Strategic Studies Centre, Vol. 1 & 2, 2010. \ Umar, Nasaruddin. Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 1999. ______. Bias Jender dalam Penafsiran Kitab Suci. Jakarta: Fikahati Anesha, 2000. ______. Paradigma Baru Teologi Perempuan. Jakarta: Fikahati Aneska, 2000. Wa>fi@, Ali< Abd al-Wa>hid. Al-Musa>wa> Fi< al-Isla>m. Kairo: Dar al-Ma’arif, 1983. Wiktorowicz, Quintan ‚Gerakan Sosial Islam: Teori, Pendekatan dan Studi Kasus‛, terj.Tim Penerjemah Paramadina. Yogyakarta: Gading Publishing, 2012. Yanggo, Huzaemah Tahido. Fikih Perempuan Kontemporer. Bogor: Ghalia Indonesia, 2010. Yu>su>f, Husa>in Muhammad. Ahda>f al-Usrah al-Isla>m. Kairo: Da>r al-I’tis}am, 1977. Zahra>, Muhammad Abu.> Us}u>l al-Fiqh. Kairo: Da>r al-Fikr al-Arabi< 1958. Zaqzu>q, Mahmu>d Hamdi.< H{aq}{a>iq Isla>miyah Fi< Muwa>jaha>t Hamala>t al-Tahqira>t al-Awqa>f al-Majlis al-A’la> Li al-Shuu>n al-Isla>miyah, 2005. Zayd, Nasr Hamid Abu. Dawa>ir al-Kha>wf: Qira>’ah Fi< Khita>b al-Mar’ah Beirut: al- Markaz al-Thaqa>fi al-Araby, 2000.

    Jurnal Aini, Noryamin. ‚Rape and The Problems of Criminological Theories‛ Jurnal Hukum Islam, No. 6 Vol. II Maret, 1995 Alrawi, Karim, "Goodbye to the Enlightenment," dalam Index on Censorship 23, nos. 1 Vol. 2 (1994). Barraclough, Steven. ‚Al-Azhar: Between the Government and the Islamists‛ dalam Middle East Journal, Vol. 52, No. 2 (1998). https://www.jstor.org/stable/4329188 Brown, Jonathan. ‚Salafis and Salaf In Egypt‛, dalam Middle East The Carniege Papers, (Dec, 2011). https://www.jstor.org/stable/resrep13019 Brown, Nathan J. ‚The Egyptian Muslim Brotherhood: Islamist Participation in a Closing Political Environment‛, dalam The Carnegie Middle East Center (9 March 2010). https://www.jstor.org/stable/resrep12813 Fadlan Al-Hanif "Islam, Feminisme dan Konsep Kesetaraan Gender Dalam Al-Qur'an‛ dalam Jurnal Karsa, Vol. 19. No. 2, (2011). Hallaq, Wael B. Was al-Shafi’I the Master Architect of Islamic Jurisprudence. International Journal of Middle East Studies, Vol. 25, No. 4. (November, 1993). Hallaq, Wael B. Was the gate of ijtihad closed?. International Journal of Middle East Studies, vol. 16, no. 1, Maret, 1984. Hermanto, Agus. ‚Khitan Perempuan Antara Tradisi dan Syari’ah‛ dalam jurnal Kalam: Studi Agama dan Pemikiran Islam, Vol. 10, No. 1, (Juni, 2016). Khamdan Muh., ‚Rethinking Deradikalisasi: Konstruksi Bina Damai Penanganan Terorisme‛ dalam jurnal Addin, Vol. 9, No. 1, Februari 2015. Mark A. Hall dan Ronald F. Wright. ‚Systematic Content Analysis of Judicial Opinions‛. California Law Review, vol. 96, no. I (Feb. 2008).

    208 | Daftar Pustaka

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Mashour, Amira. ‚Islamic Law and Gender Equality: Could There Be a Common Ground?‛. Human Rights Quarterly, Vol. 27, No. 2. May, 2005. Mesraini ‚Diskursus Gender Dalam Hukum Islam‛ dalam Jurnal Mizan Vol. 2 No. 1 2018. Muhammadun, Muzdalifah. Fiqh Dan Permasalahan Perempuan Kontemprer. Jurnal Al- Maiyyah, Vol. 8 No. 1, Januari-Juni 2015. Muhammad, Husein. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai Atas Wacana Agama dan Gender. Yogyakarta: LKis, 2001. Muzani, Ahmad. ‚Wanita Menjadi Imam Shalat; Diskursus dalam Perspekif Kesetaraan Gender‛ dalam jurnal Sawwa, Vol. 10, No. 1, Oktober 2014 Oetari, Cut Riani. ‚Peran World Health Organization (WHO) Mengatasi Female Genital Mutilation Di Mesir Tahun 2008-2012‛, dalam jurnal Jom Fisip, Vol. 3, No. 1 (Feb, 2016). Rabi@, Ibra>hi@m Abu.> ‚Islam Liberalism In The Middle East Viable‛ dalam Hamdard Islamicus, Vol XII, No 4, 1989. Rofiq, Muhammad. Otoritas, Keberlanjutan Dan Perubahan Fiqh. Novelity; Jurnal Hukum, Vol.7, No.1 Februari 2016. Tolson, Jay. Finding the Voices of Moderate Islam. US News & World Report. Washington D.C.: 2 April, 2008. Tahir, Masnun. Perempuan dalam Bingkai Hak Asasi Manusia. Jurnal Musawa, Vol. 15, No. 1 Januari 2016. Thorndike, Lynn. ‚Roger Bacon and Experimental Method in the Middle Ages‛, dalam The Philosophical Review, Vol. 23, No. 3 (May, 1914). https://www.jstor.org/stable/2178622 Zakariyah,Nur Mukhlis "Kegelisahan Intelektual Seorang Peminis: Telaah Pemikiran Fatima Mernissi Tentang Hermeneutika Hadith‛ dalam jurnal KARSA, Vol. 19 No. 2 (2011) Zamzami, Mukhammad ‚Rekonstruksi Nalar Fikih dalam Perspektif Studi Islam‛ dalam jurnal Al-Q{a>nu>n, Vol. 11, No.2, (Desember, 2008). Zubeir, Rusdi. ‚Gender Dalam Perspektif Islam‛ dalam Jurnal An-Nisa'a, Vol. 7, No. 2, Desember 2012.

    Website www.draligomaa.com Al-Banna>, Jama>l. Jawa>z Ima>mah al-Mar’ah al-Rija>l. https://www.Al- Arabiya.net/articles/2005/08/19/16015.html Al-T{ant{a>wi<, Sayyid. Tawlia> al-Mar'ah Ria>sah al-Dawlah La> Yukh{lif al-Sharia>h. Dalam Okaz Arab Saudi, edisi 28 Muharram 1429 H. https://www.okaz.com.sa/article/161980 Issandr El Amrani, ‚Mufti not against women presidents after all?‛ artikel diakses pada 1 Agustus 2019 https://web.archive.org/web/20070510023418/http://arabist.net/archives/2007/02 /04/mufti-not-against-women-presidents-after-all/ Jum‘ah, ‘Ali.< "In Egypt's Democracy, Room for Islam" dalam The New York Time, pada 1 April 2017. https://www.nytimes.com/2011/04/02/opinion/02gomaa.html?_r=1

    209 | Daftar Pustaka

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    ______‚Fatwa> ‘Ali< Jum‘ah bi khus}us tad{ha>hara>ti yawm jum‘ah‛ https://www.youtube.com/watch?v=7leQwsEB0&list=FLHfyNVWjX2twX7IcYPOUR ZA&index=32 ______‚The Islamic view on female circumcision‛ dalam African Journal of Urology. Vol. 19, No. 3, (September, 2011). http://www.dar-lifta.gov.eg/Foreign/ViewArticle.aspx?ID=40&CategoryID=5 ______Tafsin al-Karirah Al-Nisa> 11, diakses di https://www.youtube.com/watch?v=S15eWrRs9z8&list=PLxQnfwkf6ksirv4PiZ- Y8WTZocyK05Kvr&index=27 ______."Ali Gomaa, former mufti of Egypt, cancels London visit for fear of prosecution". Dalam Middle East Monitor 5 Februari 2014. https://www.middleeastmonitor.com/20140205-sheikh-ali-gomaa-former-mufti-of- egypt-cancels-london-visit-for-fear-of-prosecution/ ______‚Mufti Diya>r al-Mis}riyah al-Shaikh ‘Ali> Jum‘ah: Ikhtilaf al-Ulama>' Yuji>z Li al-Duktu>rah Aminah Wadu>d An Taum Li al-RIja>l‛. Dalam media online al-Arabiya pada 16 Maret 2005 https://www.alarabiya.net/articles/2005/03/16/11294.html Mu’jam Al-Ma’a>ni< dan Mu’jam Al-Wasid{awi< and the Struggle for Sunni Islam‛ dalam The Washington Institute pada 16 oktober 2013. Diakses dari https://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/view/qaradawi-and-the- struggle-for-sunni-Islam Terorism Has Not Religion‛ diakses dari http://theamericanmuslim.org pada 26 Juni 2019. The 500-Most Influential Muslim 2009-2018. (Amman: The Royal Islamic Strategic Studies Centre, 2009-2018). http://www.rissc.jo Ula>ma Al-Azhar Yastankiruna Ima>mah Amid Li- al-Shala>t, 20 Maret 2005 https://www.lahaonline.com/articles/view/8055.htm United Nations Population Fund Egypt. (n.d.). National Legislation, Decrees and Statements Banning FGM/C. Diakses di http://egypt.unfpa.org/english/fgmStaticpages/3f54a0c6-f088-4bec- 86715e9421d2adee/National_Legislations_D ecrees_and_Statements_banning_fgm.aspx Wedeman, Ben. "Coup topples Egypt's Morsy; deposed president under house arrest'" dalam CNN, 4 July 2013. https://edition.cnn.com/2013/07/03/world/meast/egypt- protests World Health Organization tentang Female Genital Mutilation di https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/female-genital-mutilation

    210 | Daftar Pustaka

    GLOSARIUM

    Fiqh Secara bahasa, fiqh berarti pemahaman. Sedangkan menurut istilah, fiqh diartikan sebagai ilmu yang menerangkan tentang hukum- hukum syara' yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh/digali dari dalil-dalil tafs}i>l (jelas).

    H{ad Had asal artinya sesuatu yang membatasi di antara dua benda. Bentuk jamaknya adalah hudu>d. Secara etimologi, berarti daya usaha, kekuatan, dan kesulitan. Diartikan pula sebagai pengerahan daya upaya untuk mencapai sesuatu. Sedangkan secara terminologi, ijtihad berarti mengerahkan segala kemampuan dan daya upaya dalam rangka memperoleh hukum-hukum shar’i<.

    Istinba>t} Secara etimologi, kata istinba>t} bermakna air yang pertama kali memancar pada sumur yang digali. Bermakna pula mengeluarkan. Apabila dikaitkan dengan hukum, istinba>t} berarti sebuah upaya menarik hukum dari al-Qur’an dan Sunnah dengan jalan ijtihad. Adapun secara terminologi, al-Jurjani mendefinisikan istinba>t} dengan pengertian mengeluarkan makna-makna (hukum-hukum) dari teks-teks (baik al-Qur’an dan Sunnah) dengan ketajaman nalar dan kemampuan yang maksimal.

    Maqa>s}id al-Shari>‘ah Maqa>s}id al-Shari>‘ah merupakan gabungan dari dua kata maqa>s}id dan al-shari>‘ah. Secara bahasa maqa>s}id merupakan bentuk jamak dari maqs}u>d yang berarti tujuan-tujuan, dan al-Shari>‘ah berarti jalan (dalam arti luas ajaran Islam). Tujuan syariah pada intinya adalah kemaslahatan yang bersifat langgeng, universal, dan umum. Dalam konteks hukum Islam, pengertian maqa>s}id al-shari>‘ah merujuk pada nilai-nilai filosofis yang ingin dicapai oleh syariat atas pemberlakuan ketentuan-ketentuan. Karena sejatinya setiap tujuan (maqa>s}id)

    211 |Glosarium

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ merupakan dasar dan prinsip utama dalam setiap sendi kehidupan manusia. Pada umumnya, maqa>s}id al-shari>ah dirumuskan para ulama ke dalam perlindungan lima prinsip universal yang popular disebut al- kulliyyah al-khamsah, yaitu h}ifz} al-di>n (melindungi agama, dan kebebasan berkeyakinan), h}ifz} al-nafs (melindungi kehidupan/jiwa), h}ifz} al-nasl (melindungi keturunan, generasi dan berkembangnya komunitas), h}ifz} al-ma>l (melindungi kepemilikan, dan harta benda), dan h}ifz} al-‘aql (melindungi eksistensi akal, kebebasan berpikir dan berpendapat). Kelima prinsip universal ini adalah al-umu>r al- d}aru>riyyah (kebutuhan mendasar) bagi manusia.

    Mukallaf Mukallaf adalah orang yang diberi beban takli>f/ ketentuan- ketentuan syarak / hukum agama.

    Usu>l al-Fiqh Secara bahasa, usu>l al-fiqh merupakan gabungan dari dua kata yaitu ushul dan fikih. Usu>l berarti asal; landasan tempat membangun sesuatu; dalil; kaidah umum. Sedangkan fiqh berarti pemahaman; ilmu yang menerangkan tentang hukum-hukum syara' yang berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-dali tafsil (jelas). Adapun pengertian usu>l al-fiqh secara istilah adalah pengetahuan tentang dalil-dalil fiqh secara global, cara meng- istinba>t} (menarik) hukum dari dalil-dalil itu, dan tentang hal ihwal pelaku istinba>t}.

    Hukum (shara‘) Menurut terminologi usu>l al-fiqh, hukum diartikan sebagai khitab (kalam) Allah yang mengatur amal perbuatan orang mukallaf, baik berupa iqtida>’ (perintah, larangan, anjuran untuk melakukan atau anjuran untuk meninggalkan), takhyi>r (kebolehan bagi orang mukallaf untuk memilih antara melakukan dan tidak melakukan/ pilihan), atau wad}‘ (ketentuan yang menetapkan sesuatu sebagai sebab, syarat, atau penghalang).

    Dalil Aqli>

    212 | Glosarium

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Bukti rasional.Unsur dalam analisis hukum yang digalı dari bukti atau petunjuk rasional.

    Dalil Naq{li> Bukti atau isyarat tekstual. Bukti yang digali dari sebuah sumber tekstual. Disebut juga dalil Nas}s}i.

    Dar’u al-mafsadah awla> min jalb al-maşlahah Menghindari kerusakan lebih utama dari mengambil manfaat.

    D{aru>riya>t (tunggal:d}aru>rah) Kepentingan manusia yang paling mendasar yang harus dijadikan acuan dalam mengambil kesimpulan hukum.

    Al-d{aru>riyat al-kh}amsah Lima nilai dasar yang dijaga oleh agama yaitu agama, kehidupan, akal, kehormatan dan harta.

    As}l (Jamak: uşu>l) Sumber, asal atau dasar. Dalam konteks hukum Islam berarti prinsip dasar teologis uang tidak boleh diperselisihkan

    Furu>‘ (tunggal far’) Cabang, sub bagian yang dibedakan dengan asl. Dalam konteks hukum Islam berarti cabang atau sub bagian yang boleh diperselisihkan.

    Ma‘Iu>ma>t Informasi

    Majma' Buhu>th al-Isla>miyah Lembaga Riset Islam al-Azhar-Kairo

    Maşa>lih al-mursalah Disebut juga istis}lah yaitu menetapkan hukum dalam hal yang tidak disebutkan dalam nass}} dengan pertimbangan untuk

    213 | Glosarium

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞ kepentingan hidup manusia yang bersendikan asas menarik manfaat dan menghindari mudarat.

    Maşlahah Kepentingan publik. Asumsi hukum yang mempertimbangkan kepentingan publik dan kesejahteraan dalam menerapkan ketentuan hukum.

    Matn Substansi. Dalam konteks hukum Islam berarti analisis kandungan substansi sebuah hadis. Salah satu segi yang diteliti dalam membedah otentitas sebuah hadis. ljtiha>d intiqa>’i> Dalam arti upaya bersungguh-sunguh untuk memilih dan mentarjihkan salah satu pendapat ulama yang ditemukan.

    Ijtiha>d Insha>’i> Yaitu menetapkan hukum pada masalah baru yang tidak sama dengan ketetapan hukum yang ditemukan dalam literatur yang ada baik masalahnya baru maupun lama.

    Insida>d ba>b al-ijtiha>d Tertutupnya pintu ljtiha>d

    Jam'iyah al-Ikhwa>n al-Muslimi di Mesir.

    Khila>fah al-Rashi bakar, Umar, Uthma>n dan Ali< bin Abi< Ta>lib.

    H}ajiya>t Kebutuhan yang ada di bawah peringkat d{aru>riya>t.

    214 | Glosarium

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    H{ija>b Secara literal hajaba bermakna menyembunyikan/ menutup. Kerudung yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh perempuan.

    Ijma>’ Secara literal berarti konsensus, persetujuan. Dalam konteks hukum Islam berati konsensus pendapat hukum. Masih diperdebatkan tentang kekuatan hukumnya, syarat keberlakuan dan penggugurannya apakah dibatasi waktu dan tempat dan sebagainya.

    Ijma> ahl al-Madiliki yang mengakui arti penting adat atau tradisi lokal yang terlembaga.

    Mukallaf Dalam konteks hukum Islam berati orang yang diberi beban hukum atau kewajiban yang ditetapkan oleh Allah atas orang yang berakal dan sehat dan telah mencapai usia puberitas.

    Mujaddid Modernis

    Naskh Ajaran bahwa Tuhan telah menghapus atau mengganti teks atau kandungan hukum ayat-ayat tertentu dalam al-Qur'an. Masih diperdebatkan kemungkinan terjadinya naskh.

    Naz}ariyyat al-H{udu>d Suatu teori untuk memahami ayat-ayat dan mengambil kesimpulan hukum. Teori ini dinyatakan oleh Muhammad Shahru>r.

    Nus}u>s (tunggal: Nas{s{) Teks-teks dalam al-Qur’an atau Hadis

    Qau>l jadifi'i< yang Ia keluarkan setelah berdomisili di Mesir.

    215 | Glosarium

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Sa>lih fi< kulli zaman wa maka>n Sesuai dan dapat beradaptasi di segala zaman dan tempat.

    Salafiah Tradisionalis

    Shari<’ah Secara literal berarti jalan, sumber air atau jejak langkah. Dalam konteks hukum dan teologi Islam berarti jalan yang diberikan Tuhan kepada manusia, jalan untuk menemukan kehendak Tuhan. Pada umumnya istilah ini disalah pahami sebagai hukum Islam.Syariah mengandung makna yang lebih luas dari pada keseluruhan kategorisasi perbuatan manusia

    Shi<’ah Secara literal berarti partai atau golongan. Secara historis adalah sekolompok muslimin yang mendukung kekhalifaan Ali< setelah nabi wafat sunnah Secara literal berarti jalan atau prilaku nabi. Dalam konteks hukum Islam berarti contoh dari nabi yang dalam bentuk pernyataan, perbuatan, atu persetujuan seperti yang dituturkan dalam literatur hadis.

    Shura> Prinsip atau nilai yaitu dialog dalam menyelesaikan suatu masalah

    Tajdi

    Tarji

    216 | Glosarium

    ۞ Studi Atas Wacana Kesetaraan Gender ۞

    Tasa>muh Sikap toleransi.

    Qa>nu>n Dapat juga berarti hukum, undang-undang, dan peraturan. Ada beberapa istilah yang sinonim dengan qanun yaitu dustu>r (konstitusi), rasm (jamak: rusu>m), hukm (jamak: ahka>m). Dalam penggunaannya, Mahmasani menyebut bahwa qa>nu>n mempunyai tiga makna, yaitu: pertama, kumpulan peraturan hukum atau undang- undang, kedua, istilah yang merupakan padanan dari kata hukum, ketiga, Undang-undang.

    Taq{li

    Talfi

    Tura>th Tradisi. Produk materil dan pemikiran yang diwariskan oleh. para pendahulu yang mana produk tersebut memainkan peran vital dalam pembentukan kepribadian baik dalam rasional maupun prilaku.

    Teori Hudu>d Teori yang dicetuskan Shahrur yang menyatakan bahwa Allah hanya memberikan batasan saja dalam persoalan hukum dan manusia bebas menciptakan hukum sesuai dengan nalarnya dengan tanpa melanggar batas yang telah ditentukan oleh Allah

    Uli> al-Amri> Pemimpin, pemerintah.

    ‘Urf

    217 | Glosarium

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Tradisi suatu tempat. Nilai-nilai yang disepakati dan berlaku dalam suatu masyarakatyang dijadikan sebagai sumer pengambilan hukum.

    218 | Glosarium

    INDEKS

    Al-Zuhayli>, 2, 72, 124, 145, 153, 193 8 A Amina Wadud, 42, 62, 65, 113, 114, 162, 163, 185, 186, 199, 201 ‘A Al-Ja>biri>, 1 Amir Syarifudin, 3 Aan Oakley, 30 Andree Feillard, 41 ‘Abbas Mahmu>d, 80 Ann Oakley, 30 ‘Abd al-Fatta>h al-Si>si>, 80 Anwar Sada>t, 85, 86 ‘Abd Alla>h bin Siddiri, 74, Atho Mudzhar, 5, 5 88 Ausaf Ali, 12 Abd Waha>b al-Kh}alla>f, 2 Abdullah Saeed, 11 Abdullahi Ahmed Al-Naim, 95 B Abu> H{anini<, 207 87, 91, 128, 139, 197 Ali Ashgar Engineer, 42, 50, 114 ‘Ali< Jum‘ah, 2, 4, 10, 12, 13, 14, 15, C 17, 20, 21, 22, 23, 24, 25, 26, 27, 72, 73, 74, 75, 76, 77, 78, 79, 80, Charlesworth, 9, 10 81, 87, 88, 87, 89, 90, 91, 92, 93, Chinkin, 9, 10 94, 95, 96, 97, 96, 97, 99, 100, 101, Constantine, 45 102, 103, 104, 105, 106, 109, 111, Courtney W. Howland, 10 112, 115, 116, 118, 119, 121, 122, 122, 124, 122, 124, 125, 126, 127, 128, 129, 130, 131, 132, 134, 135, D 136, 138, 139, 140, 142, 143, 144, 145, 147, 148, 150, 151, 152, 156, D}aru>rat, 125 157, 159, 160, 166, 167, 168, 170, Da>r al-harb, 77 171, 172, 180, 181, 188, 189, 190, Da>r al-kufr, 77 191, 192, 193, 194, 193, 194, 195, Dār al-Ifta>’ al-Miṣriyah, 22 196, 197, 198, 201, 207, 208 Demosthenes, 45 Al-Muwa>faqa>t, 104, 127 Dinasti Fatimiyah, 115 Al-Qara>d}a>wi>, 5, 8, 10, 19, 20, 21, 106, 113, 133 E al-Sh>afi>‘i>, 5 al-Ta’a>rud{, 108 Egyptian coup d'état, 89 al-T{ahta>wi, 41 Egyptian Feminist Union, 43

    219 |I n d e k s

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Ekstremisme, 9, 87, 92 Huda Sha’ra>wi, 43 H{usni< Muba>rak, 86 F I Fatima Mernissi, 41, 42, 63, 71, 113, 114, 134 Ibn Ashu>r, 98, 127 Fazlur Rahman, 5, 98 Ibn K{haldu>n, 72 Female Genital Mutilation, 34, 35, Ibn Jarihi, 22, 78, 103, 108, 122, 159, 197 Feminisme, 29, 32, 36, 37, 38, 39, 39, Ijma>’, 107, 135 43, 134, 160, 165, 166, 201 Ijtiha>d, 4, 5, 5, 8, 17, 18, 23,24, 27, Fiqh, 2, 3, 4, 5, 8, 14, 17, 18, 19, 20, 71, 82, 87, 100, 102, 106, 121, 142, 70, 74, 76, 78, 93, 94, 95, 96, 97, 181, 207 98, 99, 100, 101, 102, 103, 104, Ikhwa>n al-Muslimilik, 70 Furu>’, 102, 172 Inji< Aflatun, 42 Furu>’iyah, 102 Islamic law, 3 Furugh Farrukhzad, 43 Islamisme, 85, 86, 133, 134 Istidla>l, 106, 108 Istis}la>hi, 207 G

    Gender, 9, 14, 17, 25, 27, 28, 29, 30, J 31, 32, 33, 35, 36, 39, 39, 42, 43, J.N.D Anderson, 2 48, 50, 51, 52, 59, 60, 61, 62, 71, Ja>d al-Haq{ Ali Ja>d al-Haq, 75, 88 111, 114, 118, 119, 132, 162, 164, Jama>l Abd al-Nas}r, 85 165, 181, 188, 189, 200 Jama>l al-Banna, 95, 114 Ghadah Samman, 43 Jama>l al-Di

    H K H{asan al-Banna, 21 Kamla Bhasin, 37 H{asan Tura>bi, 99 Kha>lid Abu> al-Fad}l, 1 Hanan Al-Shaif, 141 Khita>b, 2 Howland, 10

    220 | I n d e k s

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    Khulafa> al-Ra>shidimid Abu> Zai>d, 65 Latit, 42 nas}s} shar’i, 8, 20, 93 Liberal, 36, 36, 81 Nasarudin Umar, 33, 43 Linda L. Linsey, 30 Nasrani, 47 London, 2, 31, 36, 89 Nathan J. Brown, 84 Lut}fi< al-Sayyid, 81 Nawa>l Sa’da>wi, 42 Naz}ariya>t al-Hudu>d, 18 Nighat Said Khan, 30, 37 M

    Ma>lik, 74, 196 P Mahmu>d Hamdi< Zaqzu>q, 113, 128 Mahmu>d Shaltu>t, 3, 10, 113, 142 patriarki, 10, 16, 17, 29, 36, 36, 61, 70 Majma’ al-Buhu>th al-Isla>miyah, 79 Plato, 45 manhaj, 20, 87 Pra-Arab, 48 Mansour Fakih, 31, 32, 38, 61 Progresif, 12, 120, 139 Maqa>s}id shari>‘sim An, 41 115, 119, 122, 125, 127, 128, 132, Qad{a>iyah, 155 133, 134, 136, 139, 143, 144, 146, Qat‘i><, 93, 107, 135 147, 148, 150, 198 Qau>l al-Sa}ha>bi, 108 Misognis, 10 Qiya>s, 76, 106, 107, 110, 166 Muḥamamd Abu> al-Nu>r Zuhaibiri, 1 136, 159, 162, 163 Muhammad Abduh, 5, 81, 82, 112, 164 R Muhammad Abu> Zahra, 2, 94 Muhammad Alwi< al-Ma>liki, 75 Radikal, 36, 36 Muhammad Mutawali< Sha’ra>wi, 170 Raymond Beker, 83 Muhammad Sa’iwi, 98 Rifa>’ah Ra>fi Al-T{ahta>wi, 41 Muhammad Sa>lim al-'Awa, 84 Riffat Hassan, 42 Muhammad Shahru>r, 18, 186 Risa>lah, 5, 96, 124 Must{afa> al-Siba>’I, 52 Romawi, 45, 111, 140

    221 | I n d e k s

    ۞ Pemikiran Hukum Islam ‘Ali< Jum‘ah ۞

    S Y salaf, 96, 101, 124, 196 Yahudi, 47, 147 Sayyid al-T{anta>wi, 152 Yahya> Uwa>is, 75 Sayyid Q{utb, 113 Sayyid Sa>biq, 142 Sexist, 31 Z Socrates, 44 Sufi< Abu> Ta>lib, 86 Z{hanni, 93, 107 Sunni, 5, 90 Zaitunah Subhan, 52, 62, 162, 187 Zandukht Shirazi, 43 T

    T{aha> Ja>bir, 99 T{ahar al-Haddririq al-Bis}ri, 84 Tajdili>, 207 Tanfith, 21, 208

    U

    Universal, 1, 4, 65, 118 ‘Urf, 7, 57, 136, 108, 136 Usa>mah Sayyid Al-Azhari, 19, 84 Us{u>l fiqh, 4, 14, 25, 108, 128 Us{uli><, 103

    W

    Wael B. Hallaq, 5 Wah}bah al-Zuhai>li, 2 Women’s Federation di Turki, 43

    222 | I n d e k s

    BIOGRAFI PENULIS

    Ahmad Musabiq Habibie lahir di Pekalongan, 14 Oktober 1994. Riwayat pendidikan formal dimulai dari MIN Karang Asih, Bekasi (2000-2006), kemudian dilanjutkan ke jenjang pendidikan SLTP di sebuah pondok pesantren modern di Bekasi, yaitu Ponpes Daruttakwien (2006-2009). Selepas lulus dari ponpes Daruttakwien, penulis melanjutkan pendidikan di tanah Jawa Tengah, yaitu Solo tepatnya di MAPK MAN 1 Surakarta (2009- 2012). Ditahun yang sama setelah lulus dari MAPK, penulis berkesempatan mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi Timur Tengah dan berhasil lulus dengan tujuan Universitas al-Azhar, . Di akhir 2012, penulis berangkat ke Cairo untuk melanjutkan pendidikan S1 di Universitas al-Azhar. Dan tercatat sejak tahun 2012 tersebut penulis resmi menjadi mahasiswa jurusan Syariah Islamiyah Fakultas Syariah & Hukum, Universitas al-Azhar, Cairo-Mesir hingga selesai pada tahun 2016. Sekembalinya ke tanah air, penulis kemudian melanjutkan pendidikan pada jenjang strata dua pada Program Studi Pengkajian Islam Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Konsentrasi Syariah (2017-sekarang). Adapun pengalaman organisasi penulis sejak dari pondok pesantren hingga sekarang: Bagian Pembinaan Bahasa MAPK MAN 1 Surakarta (2010-2011), Ketua Billingual Bulletin Languadrenaline 2010-2011, Ketua Language Fair 2011, Bagian Pendanaan MAPK Fair tingkat Jawa Tengah (2011), Manajer Personalia Griya Jawa Tengah di Kairo (2013-2015), Sekretaris Redaksi Buletin Prestasi KSW Mesir (2011-2012), Anggota kelompok kajian Walisongo Studi Center (WSC) Kairo 2012- 2013. Anggota kelompok kajian Misykati di Kairo (2012-2016). Petugas Haji di Kantor Teknis Urursan Haji Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah-Saudi Arabia (2016). Koordinator Tim Legalisasi Pemberkasan & Tim Penerjemah OIAAI (Organisasi Ikatan Alumni Al-Azhar Indonesia) 2017-sekarang. Koordiantor Studi Timur Tengah Rehlata (2017-sekarang). Saat ini penulis berdomisili di Jl. Kertamukti Gang Telaga Hijau No. 69 RT/RW.003/008 Kel. Pisangan. Ciputat Timur. Tangerang Selatan-Banten. 15419. Untuk korespondensi bisa melalui surel: [email protected].

    223 Biografi| Penulis