PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MERAYAKAN PEMBANTAIAN PREMAN:

FANTASI DALAM PENYERANGAN LAPAS CEBONGAN

Tesis

Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di

Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Disusun oleh:

Albertus Harimurti

NIM: 146322002

PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2017 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23 Juni 2016 23 Juni 2016

ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

.

iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Dengan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Albertus Harimurti (NIM: 146322002), menyatakan bahwa tesis berjudul: MERAYAKAN PEMBANTAIAN PREMAN: FANTASI DALAM PENYERANGAN LAPAS CEBONGAN merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri.

Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, 14 Februari 2017 Yang membuat pernyataan,

Albertus Harimurti

iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

MERAYAKAN PEMBANTAIAN PREMAN: FANTASI DALAM PENYERANGAN LAPAS CEBONGAN

Albertus Harimurti

ABSTRAK

Pada tanggal 23 Maret 2013, penjara Cebongan diserang oleh sekelompok orang yang kemudian teridentifikasi sebagai anggota (Komando Pasukan Khusus). Serangan termaksud menewaskan empat tahanan kasus pembunuhan terhadap seorang anggota Kopassus, Sersan Heru Santoso. Meskipun demikian, pembantaian ini justru diikuti dengan kemunculan dukungan oleh elemen masyarakat di Yogyakarta. Menggunakan pendekatan kualitatif, studi kasus ini mengeksplorasi proses dukungan terhadap pelaku pembantaian. Penelitian ini berusaha menguraikan wacana dan perubahannya dalam pembantaian Cebongan. Data etnografi diperoleh dari berita media online, media massa Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja, spanduk, stiker, dan wawancara dengan tokoh gerakan pendukung dan warga Yogyakarta. Data-data tersebut menunjukkan bahwa hadirnya otoritas kekuasaan justru melegitimasi terjadinya pembantaian dan ikut merayakannya. Perayaan pembantaian ini dilakukan dengan mengeksploitasi istilah “preman” untuk menyebut para tahanan yang mati dibantai. Para korban pembantaian ditempatkan sebagai pihak yang tidak bermoral dan lumrah untuk dibantai. Bahkan, para pembantai justru dielu-elukan sebagai para ksatria yang menyelamatkan masyarakat Yogyakarta dari aksi premanisme. Isu mengenai premanisme ini sendiri justru merambah dan sebutan preman diasosiasikan ke para pendatang dari daerah asal para korban pembantaian yaitu dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sisi lain, korban pembantaian dikenal sebagai orang yang masuk dalam arena kekuasaan sebagai salah satu bekking penguasa, sebab itu polemik keistimewaan dijadikan alasan para pegiat Keistimewaan untuk turut serta mendukung pembantaian. Psikoanalisis Lacanian melalui konsep fantasinya digunakan sebagai perspektif yang mampu menjelaskan munculnya rasa kehilangan akan Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tentram, sebagaimana diwacanakan para pendukung. Lacan mengakomodasi gagasan Freud dengan menekankan pada fungsi protektif dari fantasi. Karenanya, selain menurut Freud fantasi menunjukkan sebuah adegan yang dihadirkan ke dalam imajinasi dan ditempatkan dalam hasrat tidak sadar, Lacan mengklaim bahwa fantasi adalah pertahanan yang menyelubungi atau menutupi kastrasi. Fantasi sendiri menjanjikan resolusi harmonis dari antagonisme sosial, menutupi segala kekurangan dari suatu aksi-aksi politis atau gerakan sosial. Hanya dengan cara ini fantasi bisa menstimulasi hasrat. Strukturasi identitas lewat adanya objek yang hilang (the lost object) sebagai efek kastrasi dalam dunia simbolik ini disiasati para pendukung pembantaian lewat fantasi terhadap kehilangan rasa aman dan nyaman. Fantasi tersebut hadir dalam cara-cara orang berbahasa dalam kaitannya dengan pembantaian. Fantasi terhadap Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tentram menjadi pengetahuan yang menciptakan wacana pahlawan yang berhasil memberantas kelompok preman dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Isu kemudian merambah pada para pendatang yang difantasikan sebagai pengacau yang tidak njawani. Fantasi mengenai pengacau yang tidak njawani menjadi dalih penyingkiran yang kemudian menempatkan preman yang datang ke Yogyakarta laiknya penyusup yang pantas diberi pelajaran sebab membuat keistimewaan dan ketenteraman kacau.

Kata kunci: Yogyakarta, Preman, Penyingkiran, Fantasi

v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

CELEBRATING THE KILLING OF PREMAN: PHANTASM ON CEBONGAN PRISON MURDEROUS RAID

Albertus Harimurti

ABSTRACT

On March 23, 2013, Cebongan prison was attacked by a group of people, later identified as members of Kopassus (Indonesian Special Forces Command). This action causes four detainees in the murder case of a Koppasus member, Sergeant Heru Santoso, killed. However, this raid earned supports from some elements of society in Yogyakarta. By using qualitative approach, this study is going to explore the process of support towards the perpetrators. This study also tries to decipher the discourse and its changes in Cebongan murderous raid. Ethnographic data were gained from online news, local newspapers (Kedaulatan Rakyat and Tribun Jogja), banners, stickers, and some interviews with the figures of the supporting movement and Yogyakarta inhabitants. The data show that the presence of the authority actually legitimizes this action and involves in this supports. It is embodied by exploiting the term “preman” (thugs) to label the four killed detainees. They were placed as the immoral people and deserved to be slaughtered. In addition, the perpetrators were hailed as the ksatria (Javanese heroes) who saved the people from thuggery in Yogyakarta. This issue got broadens and designated the ‘thug’ label associated to the imigrants coming from the detainee origin which is East Nusa Tenggara (NTT). On the other side, the victims were known as the people who participated in the stage of political power as the defender of one dynastic authority in Yogyakarta. Therefore, the polemic of Special Status becomes the pretext for the supporters to take a side on the raid. Meanwhile, Lacanian psychoanalysis through his concept of phantasm (fantasy) is used to explain the occurence of the sense of losing about Yogyakarta which already known as a safe, comfortable, peaceful, and serene place, as discoursed by the murderous raid supporting the movement. Lacan accommodates Freud's notion by emphasizing the protective function of fantasy. Because of that, in addition to Freud fantasy showing a scene presented in the imagination and put into unconscious desire, Lacan claims that fantasy is a defense to veil or cover the castration. The fantasy itself promises a harmonious resolution of social antagonisms, to keep any lacks of political actions or social movements. On this way, it can stimulate the desire. The structuration of identity in the lost object, as the effect of castration in this symbolic world, is benefited by the slaughter supporters through the fantasy of losing the senses of security and comfort. The fantasy is present in the ways of people speaking (language) related to the case. The fantasy of Yogyakarta that is safe, comfortable, peaceful, and serene becomes the knowledge that creates a discourse of the heroes who succeeds to eradicate the thugs from East Nusa Tenggara (NTT). Later, the issue make the immigrants being fantasized as troublemakers and lack of njawani (the qualities of being a Javanese). The fantasies about them lead to exclusion which, then, put the preman as the person coming to Yogyakarta like the intruder who deserves to be punished because they make the idea of Yogyakarta special status and harmony into chaotic one.

Keywords: Yogyakarta, Preman, Othering, Fantasy

vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LEMBAR PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma NAMA : ALBERTUS HARIMURTI NIM : 146322002 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :

Merayakan Pembantaian Preman: Fantasi dalam Penyerangan Lapas Cebongan beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 14 Februari 2017 Yang menyatakan,

Albertus Harimurti

vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

KATA PENGANTAR

Saya ingin berterimakasih kepada Budi Susanto, S.J. yang darinya tidak banyak saya pahami, namun tidak sedikit saya belajar. Kepada Tri Subagya yang dengan ketelitian dan kesabarannya telah membuat saya menyadari adanya banyak celah di antara gagasan-gagasan saya. Tentu saja juga kepada yang saya kagumi Budi Subanar, S.J., St. Sunardi, Vissia Ita Yulianto, A. Supratiknya,

Katrin Bandel, dan Baskara Wardaya, S.J., dari dedikasi merekalah saya menyadari bahwa gagasan menjadi hidup lewat berupa-rupa perbedaan.

Banyak masukan dan kritik yang saya peroleh dari Heri Kusuma,

Nurcholis Kartiman, Timoteus Anggawan Kusno, Andreo Rajagukguk, Benardi

Darumukti, Karmelita Sesfaot, Riston Sihotang, Sektiyono Pinto, Linda Gusnita,

Yasin Azhari, Malcolm Smith, Wawan Kurniawan, Frans Awe, Bayu Rahardja,

Topan Akbar, Rahman, Martha Nur Dewati, Wahono, Wisnu Ari Tjokro dan terakhir, bukan berarti tidak penting, Putri Ayu Rezkiyana. Dari Windarto, Sophia

Widiati, Lukas Agus, Christina Desy, Hartoko, Samino, Agnes Dwityas Anindhita dan Mulyadi, saya mendapatkan banyak bantuan dengan caranya masing-masing.

Akhirnya, tidak diragukan lagi saya berhutang banyak kepada Lembaga

Studi Realino, yang dengan kemurahan hatinya membuat mata saya melihat jejak- langkah dengan lebih mungkin.

viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR ISI

Halaman Judul……...... i

Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing………...... ii

Halaman Pengesahan………...... iii

Pernyataan Keaslian Karya.…………...... iv

Abstrak...... v

Abstract...... vi

Lembar Persetujuan Karya Ilmiah……………………………...... vii

Kata Pengantar...... viii

Daftar Isi...... ix

Daftar Gambar...... xi

Daftar Tabel...... xi

Daftar Lampiran…...... xi

BAB I. PENDAHULUAN...... 1

A. Latar Belakang…………...... 1

B. Rumusan Masalah...... 8

C. Tujuan Penelitian...... 8

D. Manfaat Penelitian...... 9

E. Tinjauan Pustaka...... 9

F. Kerangka Teoritis...... 24

G. Metode Penelitian………...... 32

H. Sistematika Penulisan...... 37

ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II. LATAR BELAKANG YOGYAKARTA……………...... 39

A. Yogyakarta Pasca Reformasi...... 40

B. Preman di Yogyakarta...... 56

C. Kriminalitas di Yogyakarta...... 62

BAB III. PUJI-PUJIAN TERHADAP KEKEJIAN:

PENYINGKIRAN PREMAN & KEISTIMEWAAN...... 68

A. Penyerbuan Preman di Cebongan...... 72

B. Korban Dinilai Preman yang Tak Bermoral...... 81

C. Pembantai yang Menjadi Ksatria...... 87

D. Dukungan terhadap Pembantai: Kemanunggalan TNI-

Rakyat?……...... 95

E. Kelompok Pendatang yang Dituduh Preman...... 105

F. Pemberantasan Preman dan Keistimewaan Yogyakarta...... 108

BAB IV. FANTASI DALAM PEMBANTAIAN CEBONGAN...... 115

A. Pelaku yang Diperlakukan sebagai Pahlawan...... 117

B. Fantasi mengenai Ksatria Ber-Jiwa-Korsa...... 126

C. Fantasi mengenai Preman yang Mengotori Yogyakarta...... 130

D. Pendukung Pembantai dan Pelindung Paugeran Kraton...... 137

BAB V. PENUTUP...... ………………...... 144

DAFTAR PUSTAKA…...... 152

x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Daftar Gambar

Gambar 3.1. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 6 April 2013...... 93

Gambar 3.2. Spanduk Pro-Kopassus dan Anti-Premanisme...... …...... 96

Gambar 3.3. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 2 April 2013...... 105

Gambar 4.1. Ayo Jaga & Lestarikan Seni Budaya Kita...... 141

Daftar Tabel

Tabel 2.1. Komposisi Penduduk DIY berdasarkan Suku Bangsa...... 42

Tabel 2.2. Jumlah Mahasiswa di DIY, 2009-2014………………...…...... 43

Tabel 2.3. Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten...... 55

Daftar Lampiran

Lampiran 1. Pedoman Wawancara...... 166

xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagaimana mungkin sebuah kekejian justru dipuji-puji? Walter

Benjamin pernah menuliskan sebuah risalah mengenai kekejian.1 Bagi

Benjamin, sebuah kekejian bisa saja ilahiah (divine violence). Kekejian

dikatakan ilahiah sebab lewat kekejian ini hukum-hukum dihancurkan,

pengorbanan diperlukan, namun pertumpahan darah ditiadakan. Dalam

tulisan lain, ia mengatakan bahwa “tak ada dokumen peradaban yang

pada saat yang sama bukanlah dokumen barbarisme.”2 Kedua tulisan

termaksud tampak kontradiktif, namun pada kenyataannya, alih-alih

kekejian ilahiah terjadi, justru barbarisme dan pertumpahan darah yang

terang-terangan terjadi.

Bagi saya, yang lahir dan besar selama 27 tahun di Yogyakarta,

pertanyaan di atas tidak pernah terbayangkan sebelum saya bertemu

dengan seorang yang mengalami pergolakan nasional tahun 1965. Ia

adalah seorang bapak yang dikenal baik oleh keluarga dan para

tetangganya. Ia bercerita menggebu soal perannya di pembantaian massal

1965. Ceritanya menjadi menarik sebab tidak berisi pertumpahan darah,

1 Walter Benjamin, “Critique of Violence”, dalam Reflections. Essays, Aphorisms, Autobiographical Writings (New York: Shocken Books, 1986), hal. 297. 2 Walter Benjamin, “Theses on the Philosophy of History”, dalam Illuminations. Essays and Reflections (New York: Shocken Books, 1969), hal. 256.

1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

2

melainkan ia gambarkan seperti sebuah cerita kepahlawan dalam rangka

menyelamatkan negara, agama, ataupun orang-orang sekitarnya. Dengan

kata lain, saya justru menemui keanehan Yogyakarta yang tampak

lengang-lengang saja soal pertumpahan darah dan kekejian yang terjadi,

yang ada hanya soal menjadi pahlawan.

Delapan belas tahun setelah pembantaian 1965, di Yogyakarta

berlangsung Petrus 3 yang terkenal dengan nama Operasi Pemberantasan

Kejahatan (OPK). Operasi ini berawal dari Yogyakarta dan dipimpin

seorang Komandan Kodim 0734, Letkol M. Hasbi. Petrus kemudian

merambah ke kota-kota besar seperti Solo, Bandung, , dan Medan

dari bulan Maret 1983 hingga tahun 1984.4 Lima belas tahun setelah

reformasi, peristiwa berdarah dengan pola berbeda kembali terjadi dalam

pembantaian Cebongan. Mengapa pembantaian-pembantaian yang

melibatkan militer ini terjadi berulang di Yogyakarta?

Pada tanggal 22 Maret 2013, Serda Ucok Tigor Simbolon bersama

delapan anggota Kopassus Grup-2 Kandang Menjangan menyerbu penjara

Cebongan, Yogyakarta.5 Diki, Juan, Dedi dan Ade baru saja dipindah hari

3 Siegel menyebutkan bahwa Petrus merupakan neologisme dari penembak(an) dan misterius. Benedict Anderson menyebutnya sebagai “A grim joke of the time called the soldiers-in-mufti death-squads Petrus ― as in St. Peter ― an acronym derived from Penembak Misterius, Mysterious Killers.” Lihat dalam James T. Siegel, A New Criminal Type in Jakarta: Counter-Revolution Today (Durham, NC: Duke University Press, 1998), hal. 104; juga dalam Benedict Anderson, “Petrus Dadi Ratu”, dalam Indonesia, Volume 70 (October 2000), hal. 5. 4 Justus M. van der Kroef, “’PETRUS’ Pattern of Prophylactic Murder in Indonesia”, dalam Asian Survey, Vol. 25, No. 7 (Jul., 1985), hal. 747-749. 5 Pada dugaan awal diberitakan sebanyak 17 orang pasukan siluman. Meskipun demikian, dugaan ini penting untuk dipertimbangkan sebab saksi melihat ada truk yang ikut dalam rombongan pasukan siluman. Lihat majalah Detik, 1 April 2013.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

3

itu setelah ditahan selama empat hari di Polda DIY. Keempatnya

merupakan tersangka penganiayaan dan pembunuhan terhadap Serka

Heru Santoso di Hugo’s Cafe tangggal 19 Maret 2013. Mereka kemudian

ditembak mati di penjara Cebongan pada dini hari tanggal 23 Maret 2013

oleh Ucok dkk. Mengenai pemindahan, Kapolda DIY Brigjen Polisi Sabar

Rahardjo menyatakan bahwa para tahanan itu dipindah sebab ruang

tahanan Polda tengah direnovasi. Sementara itu, Kalapas Cebongan

Sukamto Harto mengaku bahwa pihak Polda tidak menitipkan pesan

khusus bahwa Diki dan kawan-kawannya merupakan tersangka kasus

penganiayaan dan pembunuhan Serka Heru Santosa yang merupakan

anggota Kopassus.

Meskipun penyerbuan dan pembunuhan tersebut dilakukan Ucok

dkk., namun yang terjadi justru dukungan terhadap Ucok dkk. Secara

khusus, “warga” Yogyakarta memberi label Ucok dkk. dan Kopassus

sebagai pahlawan dan Diki dkk. sebagai preman. Dukungan atas

penyerbuan ini dimulai pada tanggal 4 April 2013, setelah penyerahan

diri 11 anggota Kopassus. Dukungan muncul lewat Facebook, BBM (Black

Berry Messenger), maupun Twitter. Di Facebook misalnya, dalam 3 hari,

10.544 orang mendukung gerakan ini.6 Sebelumnya, muncul tulisan di

6 Lihat dalam Ramadhian Fadillah, “Usai Idjon Djanbi, kini muncul 1 miliar dukungan untuk Kopassus”, diunduh dari http://www.merdeka.com/peristiwa/usai-idjon-djanbi-kini- muncul-1-miliar-dukungan-untuk-kopassus.html pada 3 Agustus 2016. Sebagai informasi, Idjon Janbi adalah seorang bekas tentara khusus KNIL, ia bernama Belanda Rokus Bernardus Visser yang kemudian dikenal sebagai pendiri Kopassus.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

4

akun Facebook dengan nama Idjon Janbi.7 Kemudian pada tanggal 7 April

2013 muncul dukungan berupa long march dari tugu sampai depan

patung Soedirman di depan DPRD DIY. Spanduk mulai terlihat pada

dukungan ini dengan aneka jargon seperti; “Rakyat-TNI Bersatu Berantas

Preman dan Preman Berkedok Agama”, “Terimakasih Kopassus, Yogya

Aman Preman Meninggal”, “Preman Itu Pengecut Yang Tak Berperasaan”.

Menariknya, sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Suhud, Ketua

Paksi Katon, penangkapan Diki dkk. berdampak baik pada pendapatan

para penarik becak. Muncullah kemudian wacana pahlawan kontra

preman yang semakin kuat, diikuti dengan wacana bahwa kekejian

termaksud merupakan bentuk pemberantasan premanisme.

Dukungan tidak berhenti hingga proses pengadilan berlangsung,

bahkan jumlah nama elemen masyarakat pendukung Kopassus semakin

bertambah. Elemen masyarakat (tidak disebut ormas!) yang memiliki

komposisi kelas menengah 8 di Yogyakarta ini terafiliasikan dalam

Sekretariat Bersama Keistimewaan (Sekber Keistimewaan; selanjutnya

disebut Sekber). Elemen masyarakat ini tidak menyebut mereka sebagai

ormas karena mereka mengaku tidak terorganisir selayaknya ormas,

mereka hanya sekumpulan komunitas. Ketika diwawancarai, Widihasto

7 Banyak orang menduga tulisan yang bernada mendiskreditkan Brimob Polri ini digagas oleh keluarga Idjon Janbi. 8 Kelas menengah di sini merujuk pada istilah yang digunakan Gerry van Klinken & Ward Berenschot yang berupa konsep politik. Menurut van Klinken, kelas menengah di provinsi lebih terarah pada perlindungan ekonomi, menginginkan kekuasaan negara, dan mempraktekkan demokrasi patronase. Kelas ini berisi anggota komunitas bangsa yang menggerakkan kehidupan dalam masyarakat. Lihat dalam Gerry van Klinken & Ward Berenschot (Ed.), In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-kota Menengah (Jakarta: KITLV-Jakarta & YOI, 2016), hal. 2-3.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

5

Wasana Putra, ketua Sekber, mengaku bahwa jumlah elemen masyarakat

yang tergabung dalam Sekber pendukung Kopassus lebih dari 72.9

Beberapa nama elemen yang tercatat adalah Kawulo Ngayogyakarta

Hadiningrat, Paksi Katon, Forum Jogja Rembug (FJR), Jogja Otomotif,

Rembang Jogja, Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor), Pemuda Pancasila

(PP), Pemuda Panca Marga Bekasi, Forum Komunikasi Putra Putri

Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI), Koalisi Oganisasi

Masyarakat Sipil Peduli Hankam, Gerakan Nasional Anti Narkotika dan

Psikotropika (GANAS), Laskar Srikandi, tukang becak, dll. Di depan kantor

Pengadilan Militer Yogyakarta juga terdapat beberapa spanduk dan

banner bernada membela pembantaian termaksud, misalnya dari

Paguyuban Kawulo Mataram Ngayogyakarto menuliskan ”Jogja Needs

Kopassus and Never Needs Gangster” dan “Kopassus, Loved, and Needed”.

Menarik bahwa dukungan tersebut berbahasa Inggris, apakah dengan

demikian ingin menyuarakan ke dunia internasional?10 Dari PP Solo

menyatakan siap menggantikan hukuman para anggota Kopassus.

Sementara FJR mengklaim bahwa “Memecat Kopassus Sama Juga

Melawan Aspirasi Rakyat Jogja”.

9 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 12 September 2013. Sebelumnya, ketika ditanya apakah jumlah dari elemen masyarakat lebih dari seratus, Hasto mengatakan bahwa mungkin saja lebih. Namun, ketika dikonfirmasi ulang, ia menyebutkan “lebih dari 72.” 10 Beberapa berita dan pendapat mengenai pembantaian Cebongan muncul dalam media Indonesia yang berbahasa Inggris seperti The Jakarta Post dan Jakarta Globe, juga dalam media internasional seperti Inside Indonesia, ABC News dan Human Rights First.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

6

Sementara itu, belum sampai setahun sebelumnya, pada tanggal 31

Agustus 2012, status keistimewaan Yogyakarta dimaklumatkan. Sejak

berdirinya Forum Persekutuan Umat Beriman (FPUB) tahun 1997,

Yogyakarta digadang-gadang oleh masyarakatnya sebagai kota yang

toleran (The City of Tolerance 11 ), meskipun pada awal 2015 lalu

Yogyakarta menempati posisi kedua setelah Jawa Barat dalam perkara

intoleransi. 12 Juga, orang Yogyakarta telanjur dicitrakan dengan

kehalusan budi para priyayi yang mengelu-elukan kebudayaan supaya

dilestarikan. Lantas, melihat slogan dan ungkapan-ungkapan di atas,

dukungan terhadap pembantaian Cebongan menjadi perkara yang aneh,

bahkan ironis.

Masalahnya, kombinasi status keistimewaan, toleransi, dan

kebudayaan ini kemudian memungkinkan masalah kekejian dan

pelanggaran hukum dibaca sebagai masalah kultural mengenai

keistimewaan sehingga dikait-kaitkan bahwa “menjadi istimewa berarti

menjadi tanpa preman.” Lantas, perkara ketaksamarataan, eksploitasi,

dan ketidakadilan dalam pembantaian Cebongan menjadi makin kabur.13

11 Slogan ini muncul dalam percakapan di kalangan orang Jogja sejak 2002, kemudian pada tahun 2008 slogan ini muncul dalam sebuah sambutannya, dan secara resmi dideklarasikan oleh Pemda Yogyakarta sebagai city branding pada tahun 2011. 12 Laporan Tahunan Wahid Institute menemukan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi dengan tingkat intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama tertinggi dengan 55 kasus, sementara itu provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di nomor dua dengan jumlah 21 kasus. Lihat dalam http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/02/yogya- second-intolerance-religious-based-violence.html diakses tanggal 27 Oktober 2015. 13 Slavoj Žižek, “Tolerance as an Ideological Category”, dalam Violence (New York: Picador, 2008), hal. 140.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

7

Pengaburan kekejian ini terjadi karena hadirnya proses

penyingkiran suatu kelompok terhadap kelompok lain. Proses termaksud

menandai adanya kecemasan akan hilangnya identitas keistimewaan di

Yogyakarta. Proses penyingkiran ini berlangsung terhadap para korban

pembantaian yang dikategorikan di luar komunitas Yogyakarta yang

bersemboyan istimewa, toleran, serta berkebudayaan “njawani”. 14

Konsensus bahwa mereka berada di luar komunitas inilah yang

menjadikan wajar dan sah apabila para preman sebagai kriminal, yang

dipandang sadis, dan bukan Jawa ini dibantai. Konsensus bahwa ada yang

disebut sebagai preman memungkinkan bagaimana masyarakat

memfantasikan sang preman dan justru lupa pada kekejian pahlawan

yang menghadirkan preman. Pertanyaan “apa itu kejahatan?” dan “siapa

si penjahat?” musti diikuti dengan pertanyaan: di mata siapa dan dalam

kondisi melihat seperti apa kejahatan dan penjahat muncul?15

Studi ini berfokus pada bagaimana proses penyingkiran dalam

pembantaian Cebongan terjadi, bagaimana konteks sosio-kultural yang

memungkinkan wujud sesama yang lain dan disingkirkan ini

dimunculkan. Dan terakhir akan menunjukkan bahwa fantasi16 yang

14 ‘Njawani’ (mirip orang Jawa) berarti telah relevan untuk menjadi orang Jawa atau kualitas kejawaannya tidak lagi perlu dipertanyakan. Penyebutan ‘njawani’ menunjukkan bahwa Jawa asli tidak benar-benar ada, yang ada hanya mendekati Jawa. 15 Vincente L. Rafael, “Introduction: Criminality and Its Others”, dalam V.L. Rafael (Ed.), Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and the Colonial Vietnam (Ithaca: SEAP, 1999), hal. 10. 16 Istilah yang digunakan untuk fantasi sendiri cukup berbeda. Beberapa psikoanalis menuliskannya dengan fantasi, namun adapula yang menuliskannya dengan phantasy. Dalam tulisan ini akan digunakan istilah “fantasi” yang dipahami dalam konsep ketidaksadaran Freud. Sedangkan fantasi yang disadari dan semata-mata diimajinasikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

8

mendasari dukungan amatlah rapuh dan rawan untuk dimanfaatkan

pihak penguasa.

B. Rumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang tersebut, ada beberapa

permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini, yaitu:

1. Bagaimana premanisme berlangsung di Yogyakarta masa kini?

2. Mengapa dan bagaimana wacana pahlawan kontra preman muncul

dalam pembantaian Cebongan?

3. Bagaimana fantasi yang mendasari wacana pahlawan kontra preman

muncul dalam pembantaian Cebongan? Fantasi seperti apakah yang

mendasari wacana tersebut?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini berupaya menjelaskan proses terbentuknya

dukungan warga masyarakat Yogyakarta terhadap Kopassus dalam

pembantaian Cebongan. Dengan demikian, secara khusus penelitian ini

bertujuan untuk:

1. Menguraikan sebab dan proses penyingkiran yang muncul dalam

wacana pahlawan kontra preman.

seperti halnya saat orang melamun akan tetap disebut dengan “fantasi yang disadari”. Dalam bahasa Lacanian, fantasi disebutnya unconscious fantasy (phantasm). Lihat dalam James Ormrod, Fantasy and Social Movement (New York: Palgrave Macmillan, 2014).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

9

2. Menjelaskan fantasi gerakan pro-Kopassus yang hadir dalam wacana

pahlawan kontra preman.

3. Mengeksplorasi bagaimana Yogyakarta menciptakan kategori sesama

yang lain dan perlu disingkirkan.

D. Manfaat Penelitian

Dengan penelitian mengenai fantasi terhadap preman dalam

pembantaian Cebongan diharapkan:

1. Secara praktis memberikan pengetahuan sejarah mengenai proses

penyingkiran atas kelompok yang dikategorikan preman dan kekejian

berkelanjutan di Yogyakarta.

2. Memberi penjelasan mengenai bagaimana fantasi terbentuk seturut

dengan konteks lokal dan proses kultural dari masyarakat Yogyakarta.

E. Tinjauan Pustaka

Secara komparatif, bagian ini menguraikan bagaimana kriminal

yang diposisikan sebagai sesama-yang-lain yang disingkirkan, terkhusus

dalam politik kekuasaan terkait dengan militerisme. Dalam historiografi

bangsa Indonesia, pihak militer seringkali menciptakan penyingkiran

terhadap pihak yang menjadi sasaran operasi.17 Penyingkiran termaksud

17 Penyingkiran ini dilakukan lewat propaganda dan strategi perang yang oleh Davidson & Kammen (2002) dimulai sejak pembantaian 1965. Pola ini terus berulang pada masa Orde Baru, Davidson & Kammen (2002) menuliskan bahwa RPKAD menggunakan sistem “drain the water so the fish can’t swim.” Lihat dalam Jamie S. Davidson & Douglas Kammen, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan”,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

10

diikuti dengan penciptaan wacana tentang tindakan ksatria yang

dilakukan militer dan ancaman sosial-politik yang mungkin ditimbulkan

dari pihak yang tengah digambarkan sebagai ancaman. Penyingkiran

terhadap pihak yang disasar dilihat sebagai kriminal yang memang sudah

selayaknya dibantai. Kemudian, pada bagian selanjutnya akan ditinjau

mengenai penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya tentang

pembantaian Cebongan. Konteks sosial-politik pembantaian Cebongan ini

cukup unik, karena terjadi selepas rejim militer Orde Baru dan dilakukan

militer dengan menyerang institusi pemerintahan polisi yang mana

keduanya sudah tidak menjadi satu lembaga dan tidak lagi menjadi alat

kekuasaan untuk mengontrol masyarakat sipil. Meskipun, isu yang

dimainkan kemudian adalah sama, yakni didasarkan pada ancaman sosial

daripada sebagai sebuah agenda politik kekuasaan sebagaimana terjadi di

masa otoritarianisme Orde Baru. Bagian pertama tinjauan menguraikan

mengenai kaitan antara premanisme dengan otoritas. Bagian kedua

mendeskripsikan beberapa tipe kriminal yang sering dikait-kaitkan

dengan dunia preman. Terakhir, bagian ketiga menjelaskan bagaimana

pembantaian Cebongan dibicarakan dalam dunia akademis.

dalam Indonesia, Volume 73 (April 2002), hal. 53-87. Bandingkan dengan Benedict Anderson, Arief W. Djati, & Douglas Kammen, “Interview with Mário Carrascalão”, dalam Indonesia, Volume 76 (October 2003), hal. 1-22; James T. Siegel, “Jafar Siddiq Hamzah”, dalam Indonesia 70 (October 2000), hal. 167-170. Lihat juga dalam James T. Siegel, The Rope of God (Berkeley: The University of Michigan Press, 2000), hal. 336-442.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

11

Bandit, Preman, dan Otoritas

Orang tidak perlu heran mengapa sosok-sosok seperti Robin Hood,

Nardong Putik, Don Pepe Oyson, si Pitung, Sakam, Gantang, atau

Gagaklodra tidak henti-hentinya dinarasikan. Dalam The Godfather-nya

Mario Pusso 18 ada Don Corleone, dalam Lelaki Harimau-nya Eka

Kurniawan19 ada Margio, atau dalam sejarah Indonesia pasca Revolusi

1945-1949 ada sosok Kusni Kasdut20 yang muncul sekitar 1960-an.

Sosok-sosok ini dibutuhkan sebab mereka fantastis.21 Orang butuh

membayangkan bagaimana hukum yang mengungkung dengan batasan-

batasannya tetap bisa diterabas.

Apabila dirunut secara historis, ada dua model umum yang

terdapat pada sosok fantastis tersebut. Pertama adalah sosok yang

menerabas hukum namun tidak bertindak menjadi hukum itu sendiri.

Sosok ini menunjukkan bahwa ada ketimpangan yang terjadi dalam kelas

sosial. Sementara sosok kedua menerabas hukum dan menjadikan

dirinya sebagai hukum itu sendiri. Sosok kedua ini adalah sosok-sosok

yang kini disebut sebagai seorang kriminal.22 Sosok kedua merupakan

sosok yang menarik. Pada masa kolonial, sosok ini seringkali disebut,

meminjam istilah Eric Hobsbawm, bandit sosial.23

18 The Godfather, (Paramount Pictures, 1972), DVD. 19 Eka Kurniawan, Lelaki Harimau (Jakarta: Gramedia, 2004). 20 Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 36-51. 21 Ibid., hal. 8. Lihat juga dalam Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 13. 22 Marc de Kesel, Eros and Ethics. Reading Jacques Lacan's Seminar VII (New York: SUNY Press, 2009), hal. 197. 23 Eric Hobsbawm, Bandits (Middlesex: Penguin Books, 1972), hal. 17-18.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

12

Bandit sosial dikenal dengan istilah lain seperti jago(an) di Jawa.

Dalam masa feodalisme, mereka adalah petani yang dianggap oleh tuan

tanah dan negara sebagai kriminal. Namun, mereka juga hidup dalam

masyarakat petani dan menjadi sosok berpengaruh dalam masyarakat

termaksud. Tidak jarang mereka dianggap masyarakat sebagai pahlawan,

jawara, penuntut balas, pejuang keadilan, bahkan pemimpin

pembebasan.24 Anggapan ini menunjukkan bahwa para bandit sosial ini

dikagumi bahkan dibantu dan didukung oleh masyarakat. Para bandit ini

justru mengambil apa yang menjadi hak para petani sehingga mereka

akan sukar dikategorikan lagi sebagai bandit sosial.

Bandit sosial merupakan fenomena universal yang terjadi dalam

masyarakat petani seperti di China, Peru, Sicilia, Ukraina, dan Indonesia.

Secara geografis, fenomena bandit sosial muncul di Amerika, Eropa, Asia,

dan Australia. Hobsbawm menuliskan bahwa bandit sosial ada dalam

semua tipe masyarakat yang tengah berada dalam fase evolusioner dari

organisasi kesukuan dan kekerabatan, kekerabatan dengan kapitalisme

agraris, dan juga antara kapitalisme modern dengan masyarakat

industri.25 Kemunculan ini merupakan proyeksi dari kekacauan dalam

masyarakat, munculnya kelas baru dan struktur sosial, resistensi dari

komunitas atau orang-orang dari kehancuran cara hidup akibat adanya

relasi dominasi.

24 Ibid., hal. 17. 25 Ibid., hal. 18.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

13

Sosok fantastis kedua yang kemudian menjadikan dirinya sebagai

hukum, dan menjadi fokus dalam tulisan ini, muncul dalam kapitalisme

modern pada pemerintahan otoriter. Pada masa Orde Baru, orang-orang

yang tergabung dalam gangster, seringkali disebut preman, dirangkul

untuk tujuan mengembalikan mereka pada kesadaran nasional. Misalnya

saja pada tahun 1971 ketika Taman Mini Indonesia Indah (TMII) hendak

didirikan, Loren Ryter melaporkan bahwa Tien Soeharto mengeluarkan

pernyataan yang ditujukan secara khusus kepada para mahasiswa yang

menentang pembangunan kompleks miniatur Indonesia tersebut. Ia

mengatakan bahwa ia akan menantang mereka yang menolak paham

untuk mengerti pendirian TMII. Pernyataan ini disambut baik oleh geng

Berlan yang beranggotakan anak muda dari orang tua mantan anggota

Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL). Dalam demonstrasi tanggal

23 Desember 1971, sekelompok orang muda berambut gondrong

menyerang para demonstran dan menyebabkan dua orang demonstran

tertikam dan satu orang lain tertembak di paha dengan pistol berkaliber

45.26

Pada bulan Mei 1973, Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN),

kemudian memberikan pekerjaan lain bagi para anggota gangster ini.

Mereka diberi keahlian, secara khusus perbengkelan, dan

menghubungkannya dengan tentara. Alhasil, pada tahun 1990-an, salah

26 Loren Ryter, “Geng dan Negara Orde Baru (1): Preman dari Markas Tentara”, dalam Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”, diunduh dari http://etnohistori.org/geng- dan-negara-orde-baru-1-preman-dari-markas-tentara.html pada tanggal 18 April 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

14

satu dealer motor yang didirikan di Timor Timur

dipekerjakan para anggota geng yang telah dilatih. Selain menjadi

pekerja di dealer tersebut, mereka sekaligus menjadi informan bagi

tentara.27

Istilah preman sendiri memiliki sejarah yang cukup menarik

untuk ditelusuri. Sebelum tahun 1990, preman adalah sebutan untuk

polisi atau tentara yang sedang tidak bertugas atau sedang mengenakan

pakaian sipil. Tidak heran apabila sampai saat ini masih sering terdengar

orang mengatakan “polisi berpakaian preman”. Setelah penusukan

Letnan Satu Budi Prasetyo di Blok M, Kebayoran pada bulan Maret 1995,

istilah preman mulai dikait-kaitkan dengan kriminalitas. Setahun

sebelumnya, sekelompok pemuda berandalan juga dikabarkan telah

menyerang dan membunuh Brigadir Jendral Tampubolon dari Badan

Intelijen Strategis (BAIS). Preman yang tadinya menyerang secara

langsung orang-orang dengan otoritas tersebut kemudian mengalami

perubahan semantik dalam kosakata nasional lewat media: preman tidak

mengenal dan tentu saja tidak mematuhi hukum dan menyebabkan

kerusuhan sosial.28

27 Ibid. Douglas Kammen menjelaskan bahwa militia pro-integrasi Timor Timur direkrut dari lumpenproletariat seperti preman, penjudi, dan orang-orang penggangguran akibat urbanisasi. Tidak hanya tahun 1999 saja, namun sejarah para militia ini perlu ditelusuri sejak tahun 1975, di mana Timor Timur mulai menjadi bagian dari Indonesia. Di akhir 1970, mereka menjadi anggota Fretilin, bahkan Falintil untuk kemudian dipaksa menjadi informan bagi militer Indonesia. Lihat dalam Douglas Kammen, “Master-Slave, Traitor- Nationalist, Opportunist-Oppressed: Political Metaphors in East Timor”, dalam Indonesia, Number 76, Oct. 2003, hal. 82. 28 Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of ’s Order?”, dalam Anderson (Ed.), 2001, Op.Cit., hal. 127-128..

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

15

Preman yang digambarkan hidup dalam dunia-bawah sendiri

kemudian dikait-kaitkan dengan kelas sosial bawah. Sesekali para

pengusaha didatangi preman dan menilai bahwa para preman

mengintimidasi usaha mereka. Preman juga dipahami sebagai anggota

masyarakat yang dipaksa oleh keadaan pendidikan yang buruk dan

berkembang di antara para penghuni kota sebagai akibat dari

pengangguran. Padahal, preman-preman yang tergabung dalam partai

politik atau ikut bisnis dalam agen pemerintahan tidak bisa dikatakan

sebagai kelas sosial-bawah secara ekonomis.29 Orang bisa saja menyebut

Yorries Raweyai, Sumargono, Anton Medan, Yapto, dan Hercules. Tidak

jarang juga kemudian mereka justru menjadi seorang politisi.30 Preman,

dengan demikian, bisa digunakan untuk menyebut siapa saja tanpa

terbatas pada kelas tertentu.

Salah seorang preman yang diwawancarai oleh Loren Ryter

mengatakan bahwa “Preman berarti seorang yang bebas, sungguh-

sungguh orang yang bebas. Salah satunya adalah saya. Seorang preman

adalah orang yang bebas, tak terikat dengan apapun, bebas untuk

menentukan hidup atau matinya, sepanjang dia memenuhi persyaratan

29 Benedict R. O'G. Anderson, “Indonesian Nationalism Today and in the Future”, dalam Indonesia, Number 67, April 1999, hal. 6; Douglas Kammen, “Notes on the Transformation of the East Timor Military Command and Its Implications for Indonesia”, dalam Indonesia, Number 67, April 1999, hal. 75. 30 Lihat misalnya tulisan Hatib Abdul Kadir, “GPK: Dari Hobi Bacok, Menuju Parlemen Lokal”, dalam Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”, Juli 2011, diunduh pada tanggal 18 April 2016 dari http://etnohistori.org/gpk-dari-hobi-bacok-menuju-parlemen- lokal.html

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

16

dan hukum negeri ini.” 31 Ketidakterikatan dengan apapun ini

mengisyaratkan bahwa preman merupakan orang asing yang bertindak

layaknya orang yang berkuasa. Dengan kepemilikan kuasa ini bisa

mematuhi bahkan melanggar hukum sebagaimana kehendaknya yang

bebas. Meskipun demikian, kekerasan yang dilakukannya tetap terbatas

pada otoritas lain yang lebih kuat, misalnya saja negara. Di Indonesia,

preman dikonstruksi oleh otoritas yang hidup pada masa Orde Baru dan

setelahnya serta memiliki sejarah panjang tentang kekerasan di

Indonesia.32

Sementara itu, menurut Geoffrey Robinson, pada masa kolonial

preman menjadi orang yang menentukan hukum sekaligus pelaku

tindakan kriminal. Selanjutnya, istilah tersebut berangsur-angsur

digunakan untuk menyebut kelompok geng anak muda yang dibentuk

oleh otoritas politik, secara khusus militer, serta elite-elite ekonomi

untuk kepentingan politik maupun kriminal.33 Pembentukan gangster

oleh elite politik dapat dilihat sebagaimana PP yang terbentuk dari dalam

Partai Golkar atau Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki

Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK). Dengan kata lain, preman – sebagaimana

31 Ryter, 2001, Op.Cit., hal. 130. 32 Tony Day, “Introduction: Identifying with Freedom”, dalam Social Analysis: The International Journal of Social and Cultural Practice, Vol. 50, No. 1 (Spring 2006), hal. 151- 152. 33 Geoffrey Robinson, “People's war: militias in East Timor and Indonesia”, dalam South East Asia Research, Vol. 9, No. 3 (November 2001), hal. 287.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

17

juga jago, lasykar, dan militia – merupakan produk yang tak terpisahkan

dari kekuasaan negara.34

Beberapa Tipe Kriminal

Vincente L. Rafael menuliskan bahwa kemunculan gagasan

mengenai kriminalitas bersamaan dengan munculnya pengacau yang tak

diketahui atau tak diharapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan

ini menganggap kejahatan menjadi lokus dari kecemasan kolektif,

menyetir perhatian massa tak hanya karena kapasitasnya untuk

melibatkan hukum namun juga karena menafikan pengakuan hukum.

Dalam prototipe kolonial atau artikulasi nasionalis, kriminal (penjahat)

dicitrakan sebagai figur sumber rasa takut dan figur yang memiliki

kekuatan.35 Para penjahat ini dianggap asing dan selalu mengulangi

kehadirannya untuk membuat kekacauan dengan melampaui batas-batas

normatif. Efeknya, penggambaran individu yang berbeda oleh kelompok

bersama untuk membuat respon serentak. Penggambaran individual

yang figuratif ini menjadi aspek fantastis kejahatan yang mampu

merangsang perdebatan publik, dipolitisasikan oleh pihak-pihak yang

berkuasa, bahkan dalam beberapa hal menghibur dengan cerita-

34 Robinson, 2001, Op.Cit., hal. 288. 35 Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till, “Colonial Criminals in Java, 1870-1910”, dalam Rafael (Ed.), 1999, Op.Cit., hal. 47-69.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

18

ceritanya yang seringkali heroik bahkan di luar akal. Konstelasi ini

membuat kejahatan menjadi sukar dipahami dan tak pasti.36

Menurut Joshua Barker, apa yang disebut preman memiliki

konsentrasi khas dalam perebutan lahan berkaitan dengan pemerasan

jatah. 37 Apabila penjahat Tagalog 38 mencari akses patronase dan

ketergantungan satu sama lain yang menguntungkan, preman berfokus

pada bagaimana cara mengontrol teritori mereka dan memproyeksikan

aura kemerdekaan dari pihak penguasa atau pengusaha. Sesekali mereka

bersandar pada bantuan militer, meskipun demikian, sifatnya hanya

sementara.

Di Yogyakarta, sebagai sebuah bagian dari bangsa Indonesia,

kriminal juga menjadi perhatian yang tak bisa dilewatkan.39 Siegel, dalam

A New Criminal Type in Jakarta, menguraikan bahwa pola kejahatan dan

kekejian di Indonesia pada masa Orde Baru adalah “membunuh yang ada

dalam citra diri” atau sesama-yang-lain mengambil bentuk dalam orang

yang didaku warga negara-bangsa Indonesia. Bagi Siegel, para kriminal

muncul untuk menggantikan mangkirnya gagasan tentang rakyat yang

pada masa Soekarno hadir. Kehadiran para kriminal ini bertentangan

dengan nasionalisme yang muncul lewat lingua franca. Kriminalitas ini

36 Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 12-13. Sisi menghibur ini tampak misalnya dalam kasus Sakam (1886) dan Si Gantang (1903) yang menjadi bahan rumor dan menimbulkan sensasi dalam masyarakat. 37 Barker, 2001, Op.Cit., hal. 20-53. 38 John T. Sidel, “The Usual Suspects: Nardong Putik, Don Pepe Oyson, and Robin Hood”, dalam Rafael (Ed.), 1999, Op.Cit., hal. 70-94. 39 Lihat dalam Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 104-105.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

19

muncul untuk selanjutnya mengisi celah dalam rantai simbolik yang

menghubungkan keluarga dengan bangsa. Menurut Siegel, pada masa-

masa sebelumnya “keluarga pernah menjadi sumber legitimasi”40 namun

negara kemudian menggantikan sumber legitimasi hukum termaksud.

Lantas, gagasan rakyat dijinakkan lewat legitimasi negara.

Meskipun demikian, penjinakkan tidak sepenuhnya berhasil.

Nyatanya, para kriminal justru menghantui negara sebab mereka tidak

menggantungkan diri pada otoritas negara. Misalnya saja tentang Petrus

yang sebelumnya diorganisir oleh tentara, namun pada akhirnya karena

para kriminal dalam imajinasi Soeharto mengancam legitimasi, para

gali41 bertato kemudian dibunuh sampai berkali-kali, setelah dilukai dan

dibunuh kemudian dipertontonkan di depan khalayak. Dalam hal ini

para gali tersebut merupakan warga negara-bangsa Indonesia yang

energinya menyeruak masuk dan mengacaukan hukum (transgresi)

kemudian oleh negara dibantai.

Penelusuran tentang Petrus lebih lanjut dilakukan oleh Joshua

Barker. Pembantaian para gali bertato di Yogyakarta yang dimulai bulan

Maret 1983 melalui komando Letkol M. Hasbi dan menyebar ke kota-

kota besar seperti Solo, Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan

Semarang. John Pemberton mengklaim bahwa sekitar 4.000 orang

40 Ibid., hal. 87. 41 Kata gali merupakan akronim dari “gabungan anak liar” yang seringkali juga merujuk pada keterlibatannya dalam perilaku kriminal. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyetarakannya dengan pencoleng, penodong, dan perampok. Lihat dalam Anderson (Ed.), 2001, Op.Cit., hal. 245.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

20

bertato mati dibantai.42 Barker mengatakan bahwa setidaknya 5.000

orang dibantai dan sekitaran 10.000 orang dipenjara. Proses

pembantaian ini dilakukan dengan dua cara, yakni pengawasan

(surveillance) dan tato. 43 Pengawasan tidak diperlukan lagi ketika dalil

“tato adalah kriminal” sudah tertanam dalam struktur simbolik

masyarakat. Pembantaian yang diorganisir lewat tentara atas perintah

Presiden ini memberikan contoh baru mengenai tipe kriminalitas di

mana negara melakukan mimikri44 atas kekejian yang dilakukan oleh

figur gali sebagaimana didefinisikan oleh negara.45

Selanjutnya, dalam buku Naming The Witch (2005), Siegel

menganalisis mengenai bagaimana pada Februari hingga September

1998 sebanyak 120 orang yang dianggap sebagai dukun santet dibantai

oleh tetangga-tetangganya. Kebanyakan dari korban merupakan anggota

Nahdlatul Ulama (NU) yang kemudian mendorong NU membentuk tim

investigasi dan melakukan penyelidikan mengenai siapa aktor utama di

balik pembantaian ini. Menurut Siegel sentimen terjadi, alih-alih karena

42 John Pemberton, On the Subject of “Java” (Ithaca & London: Cornell University Press, 1994), hal. 311-318. 43 Barker, 2001, Op.Cit., hal. 30. 44 Mimikri yang dimaksud di sini sekadar perkara bagaimana kriminal didefinisikan sebagai figur keji, namun di sisi lain negara justru melakukan hal yang sama kejinya sebagaimana definisi negara terhadap kriminal itu sendiri. Berbeda dengan Homi Bhabha yang menyatakan bahwa mimikri bisa jadi sesuatu yang subversif, justru dalam konteks ini mimikri dipakai untuk melegitimasi kekuasaan. 45 Tim Lindsey menyebut Indonesia sebagai negara preman (preman state, lawless-state, the criminal state). Sebutan yang mengakrabkan istilah ‘preman’, ‘di atas hukum’, dan ‘kriminal’ ini menggambarkan bahwa ada pemain tersembunyi dalam tubuh negara bangsa Indonesia yang lewat tindakan kriminal dan kekerasan menegaskan otoritasnya. Lihat dalam Tim Lindsey, “From Soepomo to Prabowo: Law, Violence, and Corruption in the Preman State”, dalam C.A. Choppel (Ed.), Violent Conflicts in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution (New York: Routledge, 2006), hal. 29-33.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

21

rivalitas sektarian atau konspirasi tentara, jatuhnya struktur-lah yang

menyebabkan memunculkan identitas “dukun santet” ini kemudian

menciptakan gelora yang tak terjinakkan.46 Siegel melanjutkan bahwa

struktur politik yang dibangun Soeharto gagal untuk mencapai ranah

kehidupan pedesaan.47 Kegagalan ini, lagi-lagi, ditandai dengan adanya

tenaga yang menyeruak dan merasuk pada “dukun santet” namun tak

bisa diketahui atau dikontrol oleh negara. Mereka dikategorikan sebagai

kriminal yang harus disingkirkan.

Menyoal pembantaian di Jawa Timur termaksud, Fadjar I. Thufail

menunjukkan bahwa kekejian tidak hanya dilakukan oleh negara. Bahasa

kekejian disebarkan massa yang bertindak sebagai agen kekejian.

Keaktifan sebagai agen ini menunjukkan bahwa warga dari negara-

bangsa Indonesia hendak ambil bagian dalam perbincangan pada

wilayah publik-nasional. 48 Hasrat untuk mengambil bagian pada

perbincangan publik ini juga terjadi sebagaimana akan ditunjukkan

dalam dukungan terhadap pembantaian Cebongan.

Pembantaian Cebongan

Preman yang dilekati dengan kriminalitas dan kekerasan menjadi

sebutan yang mendominasi dalam wacana pembantaian Cebongan. Di

46 James T. Siegel, Naming The Witch (Stanford: Stanford University Press, 2005), hal 142. 47 Ibid., hal. 154. 48 Fadjar I. Thufail, “Local and National Violence in Post-Soeharto Indonesia”, dalam Mary S. Zurbuchen (ed.), Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present (Singapore & Seattle: Singapore University Press & University of Washington Press, 2005), hal. 150- 167;

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

22

Yogyakarta sendiri, setelah reformasi, model kekerasan dan kriminalitas

juga terjadi dalam gangsterisme sekolah yang beberapa di antaranya

memiliki hubungan dengan ormas yang kemudian terafiliasikan dengan

partai politik. Penelitian yang dilakukan Hatib Abdul Kadir menawarkan

adanya perubahan mengenai pola kekerasan yang pada masa Orde Baru

dilakukan negara ke massa-rakyat menjadi kekerasan yang terjadi antar

anggota komunitas bangsa. Di samping itu, identitas keagamaan menjadi

hal yang penting untuk membuat kategori mengenai siapa lawan dan

siapa kawan. Kekerasan dan kriminalitas yang dilakukan gangster

sekolah ini akan sangat berbeda dengan preman yang dalam

pembantaian Cebongan bukanlah sekumpulan preman yang dilekati

identitas keagamaan tertentu. 49 Tindakan kriminalitas dalam

pembantaian Cebongan bahkan melibatkan militer yang adalah institusi

negara. Dengan demikian, meskipun isu yang dihembuskan adalah

kekerasan horisontal, namun pada kenyataannya kekerasan terjadi

secara vertikal.50

49 Lihat dalam Hatib A. Kadir, “School Gangs of Yogyakarta: Mass Fighting Strategies and Masculine Charisma in the City of Students”, dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology, 13:4, hal. 352-365; I Made Arsana Dwiputra, “Religious Nuance in School Gang Rivalries in Yogyakarta”, diunduh dari http://crcs.ugm.ac.id/articles/509/religious- nuance-in-school-gang-rivalries-in-yogyakarta.html pada 25 Juli 2016. 50 Bandingkan dengan Robert Cribb, “From Petrus to Ninja: Death Squads in Indonesia” dalam Bruce B. Campbell, Arthur D. Brenner (Ed.), Death Squads in Global Perspective: Murder with Deniability (New York & Hampshire: Palgrave Macmillan, 2002), hal. 193. Cribb menuliskan bahwa, setelah Petrus, fungsi pasukan kematian sebagai alat kontrol sosio-politik telah menghilang, namun dengan adanya kasus Marsinah dan pembunuhan dukun Santet di Jawa Timur menunjukkan bahwa kalangan militer masih perlu hadir untuk ‘menengahi’ masalah di tengah massa-rakyat. Lihat juga dalam tulisan Siegel, 2005, Op.Cit.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

23

Beberapa studi mengenai pembantaian Cebongan membahas

mengenai bagaimana media memberitakan pembantaian ini. Misalnya,

Latu & Ispandriarno yang menemukan bahwa Tribun Jogja membingkai

pemberitaan dengan menekankan kesalahan dan cenderung

menyudutkan Kopassus, sementara itu Kedaulatan Rakyat justru

mendukung pembantaian ini sebab ditempatkan dalam kerangka

pemberantasan preman.51 Masalahnya, penelitian-penelitian komunikasi

model demikian tidak mampu menjelaskan mengapa pemberantasan

preman muncul dalam wacana dan dengan demikian kepentingan seperti

apa yang mendasarinya.

Sementara itu, Made Supriatma menganalisis secara khusus

berkaitan dengan bagaimana mobilisasi mungkin terjadi lewat gabungan

elemen-elemen masyarakat Yogyakarta dalam Sekber.52 Analisis yang ia

tawarkan adalah adanya kepentingan yang saling menguntungkan antara

Sekber dengan Kopassus.

Sayangnya, dalam tulisan yang terbit dalam Inside Indonesia ini

tidak menganalisis lebih jauh berkaitan dengan proses pembentukan

sesama yang lain dan disingkirkan dalam pembantaian Cebongan;

bagaimana karakter demografis elemen masyarakat pendukung

Kopassus; perubahan-perubahan simbolik apa yang terjadi dalam

51 Mega Latu & Lukas Ispandriarno, “Pemberitaan Sidang Putusan Pembunuhan di Lapas Cebongan”, dalam http://e-journal.uajy.ac.id/6482/1/JURNAL%20MEGA%20LATU.pdf diunduh pada 21 Juli 2016. 52 Antonius Made Tony Supriatma, “Defending Murder”, dalam Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014 diunduh dari http://www.insideindonesia.org/defending-murder pada tanggal 6 November 2015.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

24

pewacanaan pembantaian Cebongan ini; konteks sosio-kultural

(etnisitas) seperti apa yang memungkinkan wacana pahlawan kontra

preman ini mungkin terjadi; dan bagaimana implikasinya dalam praktek

kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta, terutama fantasi yang

mendasarinya.

F. Kerangka Teoritis

Bagian ini menjelaskan dua sub-bagian, yakni otherness (sistem)

dan fantasi (subjek kultural) yang mampu untuk menjelaskan bagaimana

bentuk kekerasan saat ini didominasi kekerasan ideologis (ideological

violence; kekerasan; rasisme, hasutan, diskriminasi seksual) daripada

kekerasan fisik (direct physical violence; kekejian; pembantaian massal,

teror).53 Perubahan dominasi bentuk kekejian ke dalam kekerasan ini

menunjukkan bahwa barbarisme terus berlangsung dengan kekerasan

dijadikan dalih untuk kekejian. Di samping itu, logika aneh yang memuji-

muji kekejian dapat dijelaskan lewat konsep fantasi yang mana, secara

teoritis, kenyataan terstruktur lewat fantasi.

Istilah otherness dan fantasi dipinjam dari perspektif psikoanalisa

Lacanian yang bekerja atas dasar tatanan simbolik yang menjadi arena

perubahan posisi subjektif seseorang, terkhusus dari pemikiran Slavoj

Žižek, sebab perspektif tersebut memadai untuk menjelaskan bagaimana

subjek dibentuk dalam bahasa (simbolik), yang dalam penelitian ini

53 Lihat dalam Žižek, 2008, Op.Cit., hal. 10.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

25

berupa wacana pahlawan kontra preman. Cara orang berbahasa inilah

yang kemudian ditentukan oleh fantasinya.54

Ada tiga pemikir yang mempengaruhi karya Slavoj Žižek, yaitu

Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883),

dan Jacques Lacan (1901-1981). 55 Dari Hegel, Žižek mengambil

metodologi dialektik yang mana dialektika itu sendiri menjadi sebuah

proses yang terus berlangsung. Dari Marx, Žižek melakukan kajian dalam

kritik ideologi, dengan arena superstruktur yang secara khusus ide-ide

dan budaya. Lalu terakhir adalah Lacan yang ia gunakan untuk

menganalisis, terkhusus berkaitan dengan konsep imajiner, simbolik, dan

real. Real-simbolik-imajiner merupakan tiga tatanan yang digagas Lacan,

bukan berarti tatanan tersebut hadir secara material, namun jauh lebih

penting untuk dipahami bahwa tatanan tersebut merupakan bentuk

metafora optik (pemanfaatan ide tentang adanya ruang) untuk

menggambarkan sistem yang bekerja dalam ketidaksadaran. 56

Sebenarnya, ketiga tatanan termaksud saling berpadu dan tidak bisa

berdiri sendiri-sendiri. Misalnya saja, penanda (signifier) menjadi dasar

tatanan simbolik, sementara itu petanda (signified) dan penandaan

54 Jim Siegel, “Berbahasa”, dalam Henri Chambert-Loir (Ed.), Sadur. Sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: KPG Bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme- Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa Universitas Padjadjaran), hal. 341. 55 Tony Myers, Slavoj Žižek. Routledge Critical Thinkers (London & New York: Routledge, 2003), hal. 15-20. Sebagai catatan, Lacan penulisan tatanan Imajiner, Simbolik, dan Real menggunakan huruf kapital untuk membedakannya dengan bahasa keseharian. Namun, dalam tulisan ini digunakan huruf kecil. 56 Alfredo Eidelsztein, The Graph of Desire: Using the Work of Jacques Lacan (London: Karnac Books, 2009), hal. 3.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

26

(signification) merupakan bagian dari tatanan imajiner57; atau tatanan

simbolik yang bekerja atas dasar tatanan real58.

Tatanan imajiner merancang proses pemahaman dan kelahiran

ego antara usia 6-18 bulan yang dikenal dengan fase cermin.59 Dalam

fase ini, kemampuan visual anak berkembang pesat dan mulai mengenal

liyan kecil (other) yang bisa berarti orang lain maupun pantulan dirinya

dalam cermin, meskipun masih belum mampu secara sepenuhnya

mengkoordinasi gerak tubuh. Pada era modern, tatanan imajiner

menampilkan manusia yang terobsesi dengan dirinya sendiri dan

melihat diri sebagai makhluk yang menguasai dunia. 60 Sementara itu,

untuk hidup di dunia, orang harus terlempar ke tatanan simbolik yang

merentang dari hukum hingga struktur, yang dipikirkan melalui bahasa

(dimensi linguistik).61 Hukum dan struktur ini menegaskan bahwa ada

pengendalian atau penjinakkan hasrat dalam tatanan simbolik.

Selanjutnya adalah tatanan real atau dunia yang hadir sebelum bahasa,

menentang adanya simbolisasi. Meskipun demikian, real dan simbolik

terikat satu sama lain. 62 Dengan melakukan perubahan dalam

57 Dylan Evans, An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis (London & New York: Routledge, 1996), hal. 84. 58 Myers, 2003, Op.Cit., hal. 25. 59 Jacques Lacan, Ecrits: A Selection (London & New York: Routledge, 2001), hal. 3. 60 Myers, 2003, Op.Cit., hal. 22. 61 Evans, 1996, Op.Cit., hal. 203. 62 Hubungan ini menciptakan trauma (Nachträglichkeit/afterwardness). Laplanche & Pontalis menyebut afterwardness sebagai “Istilah yang seringkali digunakan Freud dalam kaitan dengan pandangannya mengenai temporalitas dan kausalitas psikis: pengalaman, kesan, dan jejak memori mungkin direvisi di kemudian hari untuk menyesuaikannya dengan pengalaman yang baru saja terjadi atau dengan pencapaian tahap perkembangan yang baru. Dalam kejadian tersebut, mungkin saja peristiwa termaksud diberi tak hanya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

27

menafsirkan yang real, maka yang simbolik akan turut berubah. 63

Penelitian psikoanalisa sendiri memfokuskan diri pada tatanan real, yang

di dalam ruang simbolik digambarkan sebagai celah-retak dan

memungkinkan adanya pelanggaran melekat (inherent transgression).

Pelanggaran ini misalnya tampak dalam Ucok dkk. yang dikisahkan

dalam rangkaian kasus melawan garis komando.

Pembantaian Cebongan, yang dibahas dalam penelitian ini, berada

dalam ruang simbolik di mana hadir penggantian metonimik maupun

metaforik (metonymic-metaphoric displacement). Penggantian ini

menegaskan bahwa cara (ber)bahasa di ruang sosial senantiasa mencari

apa yang paling aman, apa yang paling tidak menimbulkan kecemasan-

diri (pleasure principle), apa yang paling tidak membuat rikuh.64 Kondisi

ini memungkinkan bahwa setiap percakapan atau komentar dalam

pembantaian Cebongan merupakan komentar yang telah diperhalus,

yang membuat orang saling mencerminkan65, meskipun bukan berarti

tanpa arti apapun. Penghalusan komentar tersebut menunjukkan bahwa

bahasa dilegitimasi sebagai hukum. Bahasa inilah yang kemudian

menentukan apa yang disebut liyan.

Lacan, kemudian diikuti Žižek, membedakan antara dua macam

liyan. Pertama adalah liyan kecil (the little other) yang berada dalam

makna baru namun juga keefektifan psikis.” Lihat dalam J. Laplanche & J.B. Pontalis, The Language of Psychoanalysis (London: Hogarth, 1967), hal. 111. 63 Lihat kasus Wolf-Man dalam Slavoj Žižek, The Metastases of Enjoyment: Six Essays on Woman and Causality (London & New York: Verso, 1994), hal. 31. 64 Siegel, 2009, Op.Cit., hal. 342. 65 Ibid., hal. 342.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

28

lingkup imajiner. Kedua adalah Liyan besar (the Big Other) yang berada

dalam tatanan simbolik, yakni bahasa itu sendiri. Sejauh institusi, artefak,

maupun konsep budaya terletak dalam tatanan Simbolik, maka bisa

disebut Liyan besar. Misalnya saja mengenai TNI yang mewakili sebuah

pertahanan dan keamanan negara, maka seorang anggota TNI

merupakan Liyan besar sebagai perwujudan pertahanan dan keamanan

negara. Meskipun demikian, rangkaian penanda di sekitarnya bisa saja

tidak selalu sebagaimana tertulis dalam hukumnya, misalnya “disiplin”,

“seragam”, “serdadu”, “lars”, bahkan “Cebongan”.

Baik Lacan maupun Žižek, dengan amat baik bisa menggambarkan

bagaimana bahasa berpengaruh dalam ketidaksadaran, peliyanan, dan

fantasi yang dengan demikian berpengaruh dalam praktek keseharian.

Namun, dari sudut pandang bahasa Indonesia, Lacan dan Žižek tidak

mampu menjelaskan bagaimana perbincangan dan komentar mengenai

pembantaian Cebongan terjadi. Cara berbahasa lingua franca Indonesia

yang menentukan kesadaran dan ketidaksadaran subjek bangsa

Indonesia, dapat dipahami dari kerangka James T. Siegel dan Benedict

Anderson lewat cara orang (ber)bahasa mampu memberikan gambaran

etnografis dan historis dari bangsa Indonesia.

Baik Siegel maupun Anderson menelusuri bagaimana bahasa

Indonesia menjadi sebuah bahasa yang revolusioner, bahasa yang

memungkinkan tumbuhnya nasionalisme, bahasa yang menjadi jalan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

29

untuk bergulat dengan kekuasaan Jawa sendiri.66 Masalahnya, bahasa

Indonesia sendiri mungkin untuk mengalami kramanisasi dengan

struktur dan sistemnya membuat hirarki antar kelas. Dengan

kramanisasi, berarti telah terjadi perubahan bahasa revolusioner

menjadi bahasa reaksioner publik yang sopan lagi santun. Ketika

berbicara krama, mau tidak mau berbicara mengenai bagaimana hasrat

dan keliaran secara bersamaan dikendalikan. Kesopanan dan kesantunan

memungkinkan pemisahan dari yang natural, yang dalam dekonstruksi

disebut sebagai voice, dengan apa yang disebut bahasa. 67 Bahasa krama

sendiri adalah bahasa yang dipelajari dan direka-reka. Dengan demikian,

seorang yang berbicara krama musti melakukan penerjemahan dari

bahasa otentiknya, yakni ngoko (voice).

Proses penerjemahan inilah yang kemudian meninggalkan celah

menganga dalam bahasa Jawa. Kekosongan celah ini membutuhkan

pengisian untuk menghindari kesia-siaan (fills the void) dari sifat

memalukan, bahkan melawan otoritas, apabila seseorang salah dalam

berbahasa.68 Pengisian untuk menghindari kesalahan traumatik ketika

berbahasa dalam istilah Lacan disebut sebagai fantasi. 69 Alih-alih muncul

dari pengalaman masa lalu yang bersifat biologis, Lacan menyatakan

66 Benedict R.O’G. Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia (Yogyakarta: MataBangsa, 2000), hal. 409-495. 67 James T. Siegel, Solo in the : Language and Hierarchy in an Indonesian City (New Jersey: Princeton University Press, 1986), hal. 4. 68 Ibid., hal.30. 69 Evans, 1996, Op.Cit., hal. 61.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

30

bahwa fantasi berkaitan dengan apa yang dimaui Liyan dari subjek. 70 Di

sini, dapat dicermati bahwa krama bersesuaian dengan fantasi, yakni

digunakan bukan karena sesuai dengan isi apa yang hendak dikatakan,

melainkan demi kesesuaian dengan sensibilitas pendengar sehingga

wicara menjadi pantas. 71

Krama sendiri bukan melulu linguistik, namun juga fantastik.

Penggunaan kata fantastik menunjukkan bahwa krama sebagai aturan

yang mengajarkan pada subjek untuk berhasrat tanpa mengabaikan

kehadiran struktur solid, institusi ‘material’ dan bukan sekadar wacana

atau representasi belaka. 72 Kata-kata sebagaimana terpampang dalam

spanduk, misalnya “Terima Kasih Kopassus. Yogyakarta Aman Preman

Minggat” atau “Sugeng Rawuh di Jogja. Anda Sopan Kami Hormat, Anda

Preman Kami Sikat.” musti dilengkapi dengan kondisi historis dan

materialnya; Dalam kondisi seperti apa? Siapa yang mengucapkannya?

Demi kepentingan apa?

Tidak hanya spanduk itu sendiri, bahasa ngoko yang digunakan

dalam contoh tersebut menunjukkan hauntology Derridean bahwa ada

70 Lacan memperkenalkan dua macam liyan. Pertama adalah liyan kecil (the little other/ngoko) yang berada dalam lingkup Imajiner. Kedua adalah Liyan besar (the Big Other/krama) yang berada dalam tatanan simbolik, yakni bahasa itu sendiri. Lihat juga dalam Slavoj Žižek, The Plague of Fantasies (London & New York: Verso, 1997), hal. 10. 71 Siegel, 1986, Op.Cit., hal. 31-32. Lihat juga dalam Yannis Stavrakakis, Lacan and the political (London & New York, 1999), hal. 51. Stavrakakis menuliskan bahwa “fantasy does not belong to the individual level; fantasy is a construction that attempts, first of all, to cover over the lack in the Other. As such it belongs initially to the social world; it is located on the objective side, the side of the Other, the lacking Other.” Juga dalam Žižek, 1997, Op.Cit., hal. 48-49 dan Evans, 1996, Op.Cit., hal. 101. 72 Terry Eagleton, “Marxism, Structuralism and Post-Structuralism”, dalam Against the Grain (London & New York: Verso, 1986), hal. 95.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

31

sesuatu yang menghantui, yang mana sesuatu yang harus ‘minggat’

daripada kena ‘sikat’ laiknya hantu yang ada namun tidak mengada, yang

tidak hadir maupun mangkir. 73 Kedua kata tersebut dalam bahasa Jawa

“tidak hanya memiliki rasa tipikal Jawa dengan kelugasan dan

kesegeraan lewat bentukan kata berdasarkan bunyi, tapi juga hampir

selalu merupakan kata-kata yang secara tidak langsung menyatakan

bahaya, bencana, dan kekerasan” yang dalam soal lain akan

memunculkan pertanyaan mengapa ke-jawa-an orang Yogyakarta tidak

kunjung risih mendengarnya. Dalam spanduk tersebut, kata ngoko

“minggat” (pergi sana!) dan “sikat” (dihabisi) sekaligus diikuti kehalusan

krama “sugeng rawuh”, “terima kasih”, “hormat” dan “sopan”. Unsur

penggunaan ngoko tersebut menunjukkan bahwa krama adalah yang

selama ini mengontrol seseorang, namun sekali peristiwa dengan mudah

akan dilanggar oleh ngoko. Dalam pembantaian Cebongan dan gerakan

pro-Kopassus yang mengikutinya, konsep fantasi dalam psikoanalisa ini

mampu menguraikan bagaimana peristiwa di Cebongan dihadap-

hadapkan dengan Keistimewaan Yogyakarta. Penguraian yang dimaksud

di sini adalah mengenai latar belakang sejarah Keistimewaan Yogyakarta

mendasari adanya dukungan terhadap Kopassus. Penjelasan latar

belakang historis tersebut akan mampu menjelaskan mengapa gerakan

kewargaan yang antagonis terhadap pembantaian Cebongan tidak marak

sebagaimana gerakan pro-Kopassus.

73 Simon Critchley, Ethics-Poitics-Subjectivity: Essays on Derrida, Levinas, & Contemporary French Thought (London & New York: Verso, 2009), hal. 161.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

32

Mengenai fantasi, Siegel mengatakan bahwa orang asing (landa

atau foreigners) dipahami oleh masyarakat Solo sebagai orang yang tidak

bisa berbicara bahasa Jawa atau Indonesia. Artinya, orang asing

termaksud tidak memenuhi syarat untuk menampilkan perilaku yang

wajar, mereka bersesuaian dengan objek penghinaan. Meskipun

demikian, mereka dipandang atraktif. Ketidakmampuan berbahasa ini

menciptakan sebuah pemahaman bahwa orang asing ini, sebagaimana

pencoleng, merupakan pengacau yang masuk ke dalam teritori di mana

konvensi Jawa berlaku.74 Mereka berada di luar percakapan. Cara orang

Solo berfantasi mengenai orang asing atau pencoleng ini berbeda dengan

bagaimana preman difantasikan dalam pembantaian Cebongan. Dalam

kasus pembantaian Cebongan, preman, yang bisa disematkan kepada

siapa saja, membuat jelas bahwa tidak jelas mengenai siapa yang

dianggap warga negara bangsa Indonesia yang kemudian mengacaukan

konvensi lokal ‘Jawa’ di Yogyakarta. Preman berada dalam percakapan,

namun memiliki cara bercakap sendiri yang mengancam kelangsungan

konvensi lokal.

G. Metode Penelitian

Penelitian ini menyoroti kasus pembantaian Cebongan. Dalam

Kajian Budaya, peneliti tidak bisa lepas dari konteks historis, sosial,

politik, dan lingkup teori. Dengan latar belakang ini, maka cara peneliti

74 Siegel, 1986, Op,Cit., hal. 120-121.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

33

berbahasa tidak mungkin akan netral. Kondisi ini berimplikasi pada

ketidakmungkinan dicapainya kebenaran dalam penelitian. Menjawab

permasalahan termaksud, maka penelitian ini menggunakan kombinasi

metodologi. Metodologi pertama adalah pendekatan hermeneutik

dengan validitas dialogisnya yang memungkinkan untuk menyajikan

pengalaman hidup subjek dengan sudut pandang subjek sendiri.75

Namun, bukan berarti penyajian sudut pandang subjek ini dilakukan

tanpa kritis. Dengan berjayanya wacana pahlawan kontra preman, maka

pendekatan hermeneutik ini musti dilakukan secara kritis, bahkan

de(kon)struktif, sebab wacana dengan pola dan penggunaan bahasa oleh

subjek membentuk pemahaman mengenai lingkungan sosio-kultural.

Lantas, pendekatan metodologis kedua dilakukan lewat kritik

de(kon)struktif – yang digagas Jacques Derrida – dengan

mempertanyakan oposisi biner dalam pengkonstruksian pahlawan

kontra preman.76 Kritik de(kon)struktif ini mengambil peran besar sebab

penelitian ini secara khusus menyoroti wacana biner berupa pahlawan

kontra preman. Namun kritik de(kon)struktif akan menjadi tidak

berguna ketika menafikan konteks sosio-politis yang membentuk oposisi

biner yang perlu dide(kon)struksikan. Tanpa adanya perhatian terhadap

konteks sosial, historis, dan budaya, tidak akan mungkin diidentifikasi

bentuk-bentuk realisme yang menggambarkan bagaimana masyarakat

75 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies (London: Sage Publications, 2003), hal. 19-20. 76 Ibid., hal. 20-21.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

34

dan strukturnya berlangsung.77 Melihat hal termaksud, maka penting

untuk menempatkan validitas kontekstual dalam penelitian ini.78 Dengan

hadirnya dan penempatan penelitian dalam konteks, maka historisitas

tidak mungkin untuk dilepaskan dalam penelitian ini.79 Pengambilan

data penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yakni lewat surat kabar

dan wawancara.

a. Surat Kabar

Penelitian dilakukan dengan melacak pemberitaan dari dua

koran cetak lokal; Kedaulatan Rakyat (KR) dan Tribun News (Tribun).

Pada tahun 2013, oplah koran lokal terbesar di DIY masih dipegang

KR yang berdiri pada 1945 dengan jumlah 109.221 eksemplar tiap

harinya. Sementara itu, beberapa agen koran menyebutkan bahwa

koran lokal kedua yang laku adalah Tribun Jogja yang terbit pada

tahun 2011 di bawah grup Kompas Gramedia. Oplah yang besar ini

menunjukkan bahwa koran cetak ini mampu memenuhi selera

pembaca sehingga dengan “mengkaji dan memahami isinya kira-kira

akan dapat juga mengungkapkan sedikit gambaran mengenai

pembacanya.”80

77 Ibid., hal. 33-34. 78 Ibid., hal. 21-23. 79 Dalam kategori Saukko dimasukkan pada paradigma dialogis yang bisa diperlihatkan dalam cerita hidup. Saukko menuliskan “a life-story is: (1) an expression of lived reality, to be understood dialogically; (2) shot through with social discourses that can be unravelled through deconstruction; and (3) articulates wide local, national and transnational politics, to be analyzed contextually.” Ibid., hal. 33. 80 Budi Susanto, SJ., Peristiwa Yogya 1992: Siasat Politik Massa Rakyat Kota (Yogyakarta: Lembaga Studi Realino & Kanisius, 1993), hal. 79.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

35

Pemberitaan merentang dari tanggal 24 Maret 2013 hingga

September 2013. Penelitian ini menekankan pada pembentukan

wacana pahlawan kontra preman yang terjadi sebelum pengadilan

perdana tanggal 20 Juni 2013. Setelah pengadilan berlangsung, data

dukungan mengalami perulangan serupa. Data dari kedua koran

cetak dipilah dengan mengutamakan data dari informan pemberitaan.

Pemberitaan di Kedaulatan Rakyat diambil sebanyak 20 berita,

sementara itu ada sebanyak 12 berita dari Tribun. Beberapa data dari

media lain juga diambil dengan alasan melengkapi informasi. Setiap

informan yang memberikan komentar dalam koran ditempatkan

dalam ranah simbolik, setidaknya ia merepresentasikan golongan

dengan politik bahasanya masing-masing. Misalnya saja Jendral

(Purn) A.M. Hendropriyono tidak bisa sekadar dibaca sebagai dirinya

sendiri, melainkan sebagai representasi sebuah sistem, misalnya

militer. Meskipun demikian, sebagai sebuah sumber sekunder,

verifikasi ke sumber berita tidak akan dilakukan. Meskipun dalam

penelitian ini diandaikan bahwa media-media yang dijadikan sumber

menganut prinsip tanggung jawab sosial dan tidak ada keluhan dalam

surat pembaca mengenai pemberitaan, namun pengambilan sumber

sekunder tanpa verifikasi ini menjadi kelemahan yang patut dijadikan

perhatian dalam penelitian selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

36

b. Wawancara

Dengan pertimbangan bahwa dokumen-dokumen penting

dalam kasus ini masih dirahasiakan dalam kurun waktu 50 tahun,

maka wawancara dibatasi terhadap pihak-pihak yang turut terlibat

dalam rangkaian kasus pembantaian Cebongan seperti elemen

masyarakat, saksi, dan warga pada umumnya. Di samping itu, karena

berfokus pada wacana penyingkiran lewat dukungan terhadap pelaku,

maka penelitian ini tidak mewawancarai pelaku, institusi Kopassus,

saksi pembantaian, atau hakim.

Secara khusus wawancara semi-terstruktur diarahkan ke

elemen masyarakat, sebab diasumsikan bahwa elemen masyarakat

ini berperan besar dalam pembentukan wacana pahlawan kontra

preman. Dari elemen masyarakat tersebut diwawancarai sebanyak

lima orang, yakni dua orang mewakili Sekber Keistimewaan, satu

orang mewakili Paksi Katon, satu orang mewakili Sunda Wiwitan dan

satu orang mewakili Laskar Srikandhi Mataram.81 Kelima orang

tersebut menjadi penggerak kunci baik dalam gerakan Keistimewaan

2011 maupun dalam dukungan terhadap pembantaian Cebongan,

berbeda dengan ormas lain seperti FKPPI atau PP yang dengan

mudah ditebak akan turut serta dalam dukungan terhadap

pembantaian Cebongan.

81 Pedoman wawancara yang digunakan untuk informan kunci disertakan di bagian lampiran.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

37

Lewat wawancara semi-terstruktur, interviewer dimungkinkan

untuk mengendalikan atmosfer serta alur dari wawancara lewat

pertanyaan sehingga data didapat secara lebih terstruktur.

Wawancara dilakukan hingga diperoleh data yang mencukupi untuk

menggambarkan bagaimana penyingkiran terhadap pahlawan terjadi

dan politik bahasa seperti apa yang mendasari penyingkiran. Data

wawancara kemudian diolah lewat proses pembuatan kode

berdasarkan aspek penyingkiran dan fantasi. Selain itu, wawancara

terhadap narasumber, yakni masyarakat awam Yogyakarta dan orang

dari NTT dan Papua, yang menyaksikan dan mengalami bagaimana

Yogyakarta berubah pasca pembantaian Cebongan.

H. Sistematika Penulisan

Tesis ini dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama berisi latar

belakang bagaimana secara berulang Yogyakarta menjadi tempat yang

berdarah-darah sehingga pembahasan mengenai pembantaian Cebongan

menjadi penting untuk diteliti. Bab dua membicarakan konteks sosio-

kultural Yogyakarta dan secara khusus mengenai sejarah preman di kota

itu. Bab tiga berisi mengenai wacana yang terbentuk serta bagaimana

penyingkiran (otherness) terjadi lewat koran cetak, spanduk, dan aksi

massa elemen pendukung pelaku pembantaian. Bagian keempat akan

mengeksplorasi fantasi yang terbentuk dalam masyarakat dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

38

implikasinya dalam praktek hidup sehari-hari masyarakat Yogyakarta.

Terakhir, bagian lima akan berisi kesimpulan dari penelitian ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB II

YOGYAKARTA SETELAH REFORMASI:

KRIMINALITAS DAN PREMANISME

Bagian ini menguraikan sejarah perkembangan Yogyakarta, terkhusus pada pasca-reformasi 1998. Pemilihan ini berdasarkan pada pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan dikeluarkannya Undang Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 sebagai dampak dari tumbangnya kekuasaan Orde Baru menuju masyarakat yang lebih demokratis dan mengalami polarisasi. 82 Polarisasi ini menunjukkan bahwa kontrol pusat terhadap daerah semakin melemah.

Menurut Henk Schulte Nordholt, kontrol negara yang semakin melemah ini tidak melulu berarti tumbuhnya demokrasi dalam tingkat lokal. Bahkan sebaliknya, desentralisasi diikuti dengan kekuasaan otoriter yang berjalin dengan masyarakat dan pasar dalam struktur patrimonial. 83

Kemudian pada bagian selanjutnya dibahas mengenai bagaimana preman dan kategori kriminalitas hidup di Yogyakarta. Uraian mengenai latar belakang sosial-ekonomi-politik, menunjukkan bagaimana isu keamanan Yogyakarta menjadi penting baik untuk elite maupun masyarakat awam Yogyakarta terkait dengan pembantaian Cebongan.

82 Edward Aspinall, “A Nation in Fragments”, dalam Critical Asian Studies, Volume 45 (1), 2013, hal. 27-54. Lihat juga dalam Henk Schulte Nordholt, “Renegotiating Boundaries: Access, Agency, and Identity in Post-Soeharto Indonesia”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 159, No. 4 (2003), hal. 550-589. 83 Nordholt, 2003, Op.Cit., hal. 551-560.

39

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

40

A. Yogyakarta Pasca Reformasi

Perhatian mengenai isu lokal mulai menguat semenjak reformasi.

Pembangunan nasional yang digagas ketika Orde Baru berkuasa terbukti

tidak merata ke daerah-daerah. Ketidakmerataan ini menunjukkan

adanya kegagalan otoritas untuk membangun daerah-daerah terpencil.

Tuntutan perubahan arah pembangunan terjadi dari Jakarta yang adalah

pusat menuju pada desentralisasi lewat kebijakan otonomi daerah.

Munculnya istilah politik lokal menunjukkan bahwa desentralisasi ini

merengkuh hingga politik kekuasaan. Dengan demikian desentralisasi

kekuasaan mempengaruhi dinamika perekonomian, kebudayaan, serta

perubahan sosial dalam konteks lokal. Uraian berikut akan

mendeskripsikan mengenai demografi dan kepadatan sosial; dinamika

perekonomian; politik lokal dan kompleksitas proses budaya yang

berlangsung oleh semakin heterogennya penduduk di Yogyakarta.

Demografi dan Kepadatan Sosial

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah

3.185,81 km2 ini memiliki penduduk sebesar 3.595.256 jiwa (Semester II

tahun 2015). Kepadatan penduduk terutama terpusat di kota dengan

12.579,17 jiwa/km2.84 Dalam tingkat nasional, DIY menjadi provinsi

paling padat se-Indonesia setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kepadatan

84 Lihat dalam Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Data Kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta Semester II Tahun 2015 (BPS DIY: Yogyakarta, 2015).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

41

dalam tingkat provinsi pada tahun 2010 meningkat tajam dibandingkan

tahun 2000 yang hanya 979 jiwa/km2 menjadi 1.085 jiwa/km2 yang

artinya meningkat sebanyak 106 jiwa/km2.

Kepadatan ini juga disertai dengan jumlah pendatang yang

semakin meningkat. Dalam rentang sepuluh tahun, yakni 2000-2010, ada

peningkatan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,04 persen per tahun.

Jumlah ini berkaitan dengan kecenderungan menurun dari angka

kematian, meningkatnya usia harapan hidup, dan semakin bertambahnya

migrasi masuk ke DIY untuk bersekolah maupun bekerja. Tercatat bahwa

angka migrasi neto85 di DIY pada tahun 2000 adalah 129.530, tahun 2005

sebanyak 87.741, tahun 2010 sebanyak 103.492, dan tahun 2015

sebanyak 84.915. Meskipun migrasi neto terjadi secara fluktuatif, namun

tren jumlah migrasi masuk di DIY selalu lebih tinggi daripada jumlah

migrasi keluar sejak tahun 1980 hingga tahun 2015.86

Para migran tersebut juga berasal dari berbagai latar belakang

kesukuan yang beragam. Apabila diperbandingkan antara data Sensus

Penduduk 2000 dan Sensus Penduduk 2010, maka jumlah masing-

masing penduduk berdasarkan kategori suku bangsa semakin meningkat.

Sementara itu ada dua kelompok suku bangsa yang kemudian masuk

dalam kategori 10 besar di DIY, yakni NTT dan Dayak. Meskipun

demikian, kategori penduduk berdasarkan suku bangsa ini rapuh dan

85 Migrasi netto merupakan selisih antara migrasi masuk dengan migrasi keluar. 86 Lihat dalam https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1273, diunduh pada 3 Agustus 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

42

rawan untuk dimanfaatkan untuk menciptakan segregasi dalam

masyarakat. Selain itu, identitas kesukuan ini hanya satu dari sekian

banyak identitas lain yang menempel pada tiap-tiap orang, misalnya

orang ‘Jawa’ tidak benar-benar merasa sebagai orang Jawa seutuhnya.

Tabel 2.1. Komposisi Penduduk DIY berdasarkan Suku Bangsa

Sensus Penduduk Sensus Penduduk No Suku Bangsa Suku Bangsa 2000 2010 1 Jawa 3.020.157 Jawa 3.331.355 2 Sunda 17.539 Sunda 23.752 3 Melayu 10.706 Melayu 15.430 4 Tionghoa 9.942 Tionghoa 11.545 5 Batak 7.890 Batak 9.858 6 Minangkabau 3.504 Madura 5.289 7 Bali 3.076 Minangkabau 5.152 8 Madura 2.739 NTT 4.238 9 Banjar 2.639 Dayak 3.790 10 Lain-lain 36.769 Lain-lain 40.597 Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2000, Sensus Penduduk Tahun 2010

Kecenderungan meningkatnya jumlah pendatang di DIY ini juga

tampak dari kalangan mahasiswa. Misalnya saja tahun 2013 ada sekitar

310.860 mahasiswa dari seluruh Indonesia dengan sebanyak 78,7 persen

berasal dari luar DIY.87 Jumlah ini berarti menunjukkan ada sebanyak

244.739 mahasiswa yang masuk ke DIY, yang terpusat di Kota

Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Dengan jumlah mahasiswa rantau

yang sedemikian besar, isu mengenai pendatang di Yogyakarta tidak

jarang menjadi tema perbincangan masyarakat.

87 Lihat dalam tulisan Editor, “Pertahankan ‘Indonesia’ Mini di Yogyakarta”, diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2013/04/08/03164776/Pertahankan.Indonesia.Mini.di. Yogyakarta pada 22 Juli 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

43

Tabel 2.2. Jumlah Mahasiswa di DIY, 2009-2014

No Tahun PTN PTS Jumlah 1 2009 74.704 172.086 246.790 2 2010 78.992 154.222 233.214 3 2011 76.785 135.501 212.286 4 2012 84.790 57.402 142.192 5 2013 110.437 74.165 184.602 6 2014 106.973 77.355 184.328 Sumber: DIY dalam Angka 2010, DIY dalam Angka 2011, DIY dalam Angka 2012, DIY dalam Angka 2013, DIY dalam Angka 2014, DIY dalam Angka 2015.88

Padahal, pertemuan dari yang dianggap orang Yogyakarta dan

pendatang dari sesama anggota bangsa sudah terjadi sejak berabad-abad

lalu, misalnya dengan orang Tionghoa di Ketandan atau orang Bugis di

Bugisan, pada abad ke-17. Namun sebagai sebuah tempat berkumpulnya

para cendekiawan, Yogyakarta berpengaruh besar pada tahun 192089,

ketika mereka menuntut ilmu di perguruan Taman Siswa. Berkumpulnya

siswa-siswi ini menandai Yogyakarta sebagai tempat pertemuan dari

berbagai kebudayaan. Meskipun tidak lalu menjadi pusat pendidikan,

namun berdirinya Taman Siswa tersebut diingat warga negara-bangsa

Indonesia sebagai ‘kota pelajar’.

Pada masa kini, munculnya kelompok-kelompok mahasiswa

(bahkan asrama) berdasarkan identitas etnis menandai perantau yang

88 Apabila diperhatikan, jumlah pada tahun 2012 tampak ganjil dengan adanya penurunan yang besar. Padahal dilaporkan pada tahun 2012 terdapat 107 pts, sementara tahun 2013 terdapat 112 pts. 89 Kenji Tsuchiya, “The Taman Siswa Movement – Its Early Eight Years and Javanese Background”, dalam Journal of Southeast Asian Studies Vol. 6, No. 2, (Sep., 1975), hal. 164- 177.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

44

menempuh sekolah di Yogyakarta. Selain kelompok mahasiswa, mulai

tahun 2014 ditemukan beberapa indekos yang menolak mahasiswa asal

NTB, NTT, Ambon, dan Papua. Penolakan ini bahkan berlanjut dengan

dipasangnya papan bertuliskan “khusus Muslim” di beberapa indekos.

Kepadatan dan jumlah penduduk/warga yang semakin meningkat

diikuti dengan pembangunan pemukiman yang dengan luas halaman

yang tidak mencukupi untuk menjadi ruang bermain anak. Hal ini

tampak misalnya di kampung perkotaan atau masyarakat urban seperti

Babarsari. Sempitnya halaman ini menandai dibutuhkannya ruang

terbuka yang menyegarkan. Dengan demikian, dibutuhkan ruang publik

yang memadai dan rekreatif seperti daerah bawah jembatan layang

Lempuyangan atau nol kilometer. Minimnya ruang publik juga ditandai

dengan masalah-masalah seperti penggunaan alun-alun untuk

berpacaran atau penggunaan trotoar untuk membuka lapak dagang.

Kondisi ini mempengaruhi bagaimana masyarakat Yogyakarta

mempersepsikan kesesakan ruangnya lewat kepadatan yang terus

meningkat.

Sementara itu, berkaitan dengan kendaraan bermotor dan

kemacetan yang mulai dikeluhkan, tercatat bahwa pada tahun 2011

penggunaan kendaraan bermotor di DIY sebanyak 1.210.358, dengan

pertambahan 89.451 pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2012

mengalami peningkatan sejumlah 60.429 kendaraan menjadi sebanyak

1.270.787. Tahun berikutnya, 2013, peningkatan sangat signifikan terjadi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

45

dengan bertambahnya sebanyak 126.180 kendaraan sehingga total

kendaraan di DIY menjadi 1.396.967 kendaraan bermotor. 90

Dengan peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi kendaraan

tersebut, tidak heran apabila kemacetan dirasakan sebagai dampak

ruang yang semakin padat. Meningkatnya konsumsi akan kendaraan

menjadi masalah sehari-hari yang dihadapi masyarakat Yogyakarta.

Jumlah kendaraan ini juga memaksa bertambahnya lahan parkir yang

berarti juga menambah jumlah petugas parkir. Kondisi demikian

menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang oleh orang asal Yogyakarta

sendiri dirasa mulai sumpek (kesesakan meningkat). Ke-sumpek-an ini

nantinya akan memiliki hubungan yang dekat dengan bagaimana sebuah

frustrasi dikonstruksi yang salah satunya adalah isu mengenai pendatang

di Yogyakarta.

Dinamika Perekonomian

Salah satu daerah yang menjadi pusat perekonomian di

Yogyakarta adalah Malioboro, yang seringkali menjadi jalan protokol

untuk tamu kenegaraan atau acara kebudayaan. Daerah yang oleh Peter

Carey punya asal-usul dari kata Malyabhara ini menjadi sentra

pariwisata di Yogyakarta.91 Menjadi sentra pariwisata berarti membuka

90 Lihat dalam Pito Agustin Rudiana, “Mobil Murah Biang Kemacetan Yogyakarta” diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2014/08/19/058600783/mobil-murah- biang- kemacetan-yogyakarta pada 24 Oktober 2016. 91 Peter Carey, Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro (Depok: Komunitas Bambu, 2015). Dalam Statistik Pariwisata 2014, ditunjukkan bahwa kecenderungan jumlah wisatawan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

46

peluang untuk dibukanya sektor usaha lain, misalnya yang menjadi

perhatian publik seperti karaoke, panti pijat, salon ++, dan tempat

hiburan malam. Ketiganya menjadi usaha sektor hiburan yang erat

kaitannya dengan pihak aparat sebab secara hukum sah namun

seringkali terjadi tindak kriminalitas, dan dengan demikian juga muncul

kebutuhan pada sektor keamanan. Tempat hiburan malam di Yogyakarta

berpusat di sekitar Malioboro (ada Pasar Kembang dan Republic Positiva

Cafe & Lounge), jalan Magelang dengan dua diskotiknya yang terkenal

(Boshe VVIP Club dan Liquid Cafe), Hugo’s Cafe di jalan Solo yang

kemudian dicabut ijinnya karena kasus Cebongan, di Ambarukmo Plaza

ada Caesar Café and Lounge (ditutup), dan di Seturan ada Terrace Café

and Karaoke.

Selain hiburan dunia malam, bermunculan obyek wisata baru

yang biasanya dikembangkan oleh masyarakat lokal seperti Air Terjun

Srigethuk dan Goa Pindul di Kabupaten Gunung Kidul. Pembukaan lahan

ini tak jarang menimbulkan masalah berkaitan dengan pengelolaan dan

pemanfaatan lahan. Di Goa Pindul misalnya, sempat terjadi sengketa

pengelolaan tempat wisata (2013) dan polemik penggunaan Sultan

Ground untuk membuka lapak dagang (2016). Menurut pihak yang

melarang penggunaan lahan, di area Sultan Ground tidak diperkenankan

mendirikan bangunan. Padahal, penggunaan Sultan Ground sebagai pusat

mancanegara dan nusantara cenderung meningkat secara berturut-turut pada tahun 2010 sebanyak 1.456.980, tahun 2011 sebanyak 1.607.694, tahun 2012 sebanyak 2.360.173, tahun 2013 sebanyak 2.837.967, dan tahun 2014 sebanyak 3.346.180.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

47

perbelanjaan sudah menjadi rahasia umum bahkan disetujui oleh Sultan

sendiri.

Sementara itu, sektor industri rumahan terus berkembang

sebagai dampak dari perkembangan tempat wisata. Pabrik industri juga

makin menjamur dengan berbagai isu-isu miring yang menyertai,

misalnya dengan tambang pasir besi Kulon Progo atau pabrik gawai

Foxconn. Pabrik-pabrik ini menyerap tenaga kerja buruh dan biasanya

terletak di pinggiran kota, misalnya di Cangkringan, Piyungan, Berbah,

atau Godean. Di samping industri, beberapa bisnis besar di Yogyakarta

dimiliki oleh orang kaya dari Jakarta seperti Hartono Mall, Carrefour,

Hotel Tentrem, Hotel Sheraton, Hotel Hyatt, dan Bank BCA.92 Selain itu,

bisnis besar seperti Jogja Bay Waterpark, Ambarukmo Plaza dan Jogja

City Mall93, yang menggunakan Sultan Ground menjadi bagian dari bisnis

milik kraton.94 Selain tempat hiburan malam, jenis usaha urban tersebut

juga menarik pembukaan lahan parkir yang acapkali menjadi perebutan

wilayah kekuasaan antar preman.

Di samping industri dan jasa tersebut di atas, pertanian juga

masih menjadi pilihan untuk mencukupi kebutuhan finansial, meskipun

92 Subagya, 2015, Op.Cit., hal. 46. 93 Pusat perbelanjaan seluas 2,8 ha ini adalah milik PT Garuda Mitra Sejati dengan komisarisnya adalah KGPH Hadiwinoto, adik kandung HB X. Lihat dalam http://www.krjogja.com/web/news/read/215441/jadi_kebanggaan_baru_masyarakat_yog ya diunduh pada 2 Juni 2016. 94 Bisnis milik keluarga kraton ini pernah didata oleh Kus Sri Antoro. Lihat dalam http://www.aktual.com/10-kerajaan-bisnis-keraton-yogyakarta/ diunduh pada 22 Juli 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

48

lahan pertanian terus menyusut. 95 Sektor pertanian dikembangkan

misalnya di Ngireng-ireng (Bantul), Bleberan (Wonosari), atau Samigaluh

(Kulon Progo) yang cenderung berada menjauhi pusat perkotaan. Di DIY

sendiri, Bappeda melaporkan bahwa pada tahun 2013 luas lahan sawah

di DIY sebesar 55.829 ha. Diprediksikan kemudian pada tahun 2020

berkurang sebanyak 1.621 ha. 96 Penyusutan ini menggambarkan

bagaimana Yogyakarta tengah beranjak menjadi daerah yang semakin

padat pemukiman penduduknya.

Meskipun usaha-usaha kecil maupun bisnis terus berkembang,

namun tercatat bahwa jumlah pengangguran di DIY cenderung

mengalami kenaikan. Pada tahun 2014, sebanyak 67.000 orang adalah

pengangguran. Pada tahun 2015 jumlah tersebut mengalami

peningkatan menjadi 80.000 orang.97 Peningkatan jumlah pengangguran

ini dibarengi dengan peningkatan jumlah penduduk dan penurunan

persentase jumlah kemiskinan di DIY. Jumlah pengangguran makin tinggi

seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Misalnya pada bulan

September 2013, Maret 2014, September 2014, dan Maret 2015 secara

berturut-turut jumlah pengangguran naik, yaitu 541.950 orang, 544.870

orang, 532.590 orang, dan 550.230 orang. Isu peningkatan jumlah

95 Penyusutan ini merupakan implikasi dari meningkatnya jumlah penduduk di Yogyakarta dan berubahnya lahan pertanian menjadi bangunan, baik permukiman maupun usaha. 96 Lihat dalam “Setiap Tahun Yogya Kehilangan 245 Hektare Sawah”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2014/01/20/setiap-tahun-yogya-kehilangan-245-hektare- sawah pada 24 Oktober 2016. 97 Lihat misalnya dalam Tribunnews, “Jumlah Pengangguran DIY Capai 80.245 Orang”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2016/07/20/jumlah-pengangguran-diy-capai- 80245-orang pada 24 Oktober 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

49

pengangguran ini memungkinkan untuk dibukanya usaha dalam sektor

jasa terkait dengan pembangunan Yogyakarta sebagai tujuan wisata.

Dibukanya berbagai jenis usaha termaksud sejalan dengan

pertumbuhan pendidikan di DIY yang jumlah mahasiswanya mencapai

porsi 10% dari total jumlah penduduk. Pada tahun 2014 tercatat ada 10

perguruan tinggi negeri dengan jumlah 106.973 mahasiswa dan 106

perguruan tinggi swasta dengan jumlah 77.355 mahasiswa.98 Dengan

jumlah mahasiswa yang besar, maka potensi perekonomian, tidak hanya

dari pendidikan namun, jumlah mahasiswa yang besar ini mendatangkan

keuntungan dalam sektor pariwisata. 99 Isu berupa pendidikan dan

pariwisata yang diikuti dengan pertukaran budaya di Yogyakarta juga

meningkat semenjak reformasi dan ditanggapi dengan respon berupa

pengadaan kos, homestay, atau guest house serta pembangunan hotel

yang menjadi perhatian publik sejak 2013 hingga saat ini.

Dana keistimewaan (danais) tiap tahunnya digunakan untuk

mengelola (1) Urusan Tata Cara Pengisian Jabatan, Kedudukan, (2) Tugas

dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, (3) Urusan Kelembagaan,

(4) Urusan Kebudayaan Urusan Pertanahan, dan (5) Urusan Tata Ruang.

Pada tahun 2013, DIY menerima danais sebesar Rp 231,39 miliar. Jumlah

98 Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2014 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2015), hal. 107. 99 Seorang penulis dari Yogyakarta, Tri Agus S. Siswowiharjo, mengatakan bahwa wisatawan sejati di Yogyakarta adalah mahasiswa, karenanya, tidak mungkin dibayangkan Yogyakarta tanpa mahasiswa. Lihat dalam Tri Agus S. Siwowiharjo, “Saya Tak Bisa Membayangkan Jogja Tanpa Mahasiswa”, diunduh dari http://www.indeksberita.com/tak-membayangkan-jogja-tanpa-mahasiswa/ pada 30 Juli 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

50

ini meningkat pada tahun 2014 sampai Rp 523,8 miliar. 100 Pada tahun

2015, diajukan danais sebesar Rp 1,02 trilyun, namun pemerintah pusat

memangkasnya hingga menjadi Rp 547,5 miliar dengan alasan anggaran

terlalu besar dan tidak sebagaimana tahun sebelumnya. Tidak heran

kemudian pada tahun 2016, masih dalam jumlah sebagaimana tahun

sebelumnya.101 Sedangkan pada tahun 2017, Pemda DIY mengusulkan

danais sebanyak Rp 1,537 trilyun102, yang berarti hampir tiga kali lipat

dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan hampir setengah dari APBD

DIY yang berkisar antara Rp 3-4 trilyun. Dana ini seringkali digunakan

untuk menyelenggarakan pertunjukan budaya tradisi, menyokong acara

kesenian tahunan seperti Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), memberi

gaji abdi dalem, revitalisasi cagar budaya, sampai pencatatan Sultan

Ground dan Paku Alam Ground (SG/PAG).103

Politik Lokal

Kedudukan Sultan sebagai penguasa daerah sangat kuat di mata

masyarakat. Pada tahun 1998, reformasi yang dibarengi kerusuhan sosial

100 Lihat dalam “DIY Dapat Kucuran Danais Rp 523 Miliar pada 2014”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2013/12/20/diy-dapat-kucuran-danais-rp-523-miliar-pada- 2014 pada 24 Oktober 2016. 101 Lihat dalam “Tahun Depan, Alokasi Danais DIY Sebesar Rp 547 Miliar”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2015/07/15/tahun-depan-alokasi-danais-diy-sebesar-rp-547- miliar pada 24 Oktober 2016. 102 Lihat dalam “Danais DIY Tahun Ini Capai Angka Rp 1 Triliun”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2016/03/22/danais-diy-tahun-ini-capai-angka-rp-1-triliun pada 24 Oktober 2016. Menurut para pegiat keistimewaan, dana yang disetujui dan digelontorkan sebesar Rp 900 miliar. 103 Bagian ini telah saya tuliskan juga di dalam A. Harimurti, “Masa Lalu Sukses(i) untuk Dinasti Keistimewaan Masa Kini”, dalam Y. Apriastuti Rahayu, A. Windarto, & A. Harimurti, Sukses(i) Penguasa: Menyadur Kuasa Sastra Wayang Prasthanikaparwa (Sanata Dharma University Press & Lembaga Studi Realino, 2016), hal. 107-108.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

51

cenderung terjadi dalam skala yang lebih kecil dibanding kota besar

lainnya seperti Jakarta, Solo, Bandung, atau Surabaya. Gerakan

kerakyatan yang oleh media kemudian disebut Pisowanan Ageng

dianggap sebagai bukti bahwa otoritas Sultan masih kuat.

Pada tahun 2011, gerakan yang menuntut status keistimewaan

Yogyakarta diorganisir oleh Sekber Keistimewaan dan menegaskan

ketidaksetujuannya terhadap Presiden SBY yang dinilai mengusik

paugeran dalam keistimewaan Yogyakarta. Gerakan Keistimewaan ini

berakhir dengan dibuatnya UU 13/2012 tentang Keistimewaan yang

secara garis besar menegaskan bahwa Yogyakarta merupakan Daerah

Istimewa. Undang-undang yang menegaskan kekuasaan penuh Sultan

dan Paku Alam sebagai pemimpin tertinggi DIY menandai bahwa politik

dinasti menjadi basis politik kekuasaan diselenggarakan.

Namun, status keistimewaan yang disematkan DIY bukannya

tanpa konflik. Konflik ini terjadi dalam tubuh Pakualaman maupun

Kraton terkait dengan suksesi kepemimpinan yang memiliki hubungan

dengan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Di Pakualaman,

suksesi terus menjadi konflik yang tidak kunjung mereda sejak 1999.

Sementara itu, masalah suksesi muncul di pihak Kasultanan karena

keturunan HB X tidak satupun laki-laki. Padahal, dalam sejarah raja di

Yogyakarta, semua sultan adalah laki-laki. Meskipun demikian, polemik

suksesi Kraton telah terjadi semenjak tahun 1989 di mana Herjuno

Darpito diangkat menjadi KGPH Mangkubumi, untuk kemudian pada

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

52

tahun 1998 menjadi HB X. Lewat rapat keluarga, KGPH Mangkubumi

dipilih menjadi pengganti HB IX, meskipun bukan putra dari permaisuri

HB IX.

Pada tanggal 30 April 2015 lalu, HB X mengeluarkan Sabda Raja

yang menggantikan nama “Buwono” dengan “Bawana”, menghilangkan

gelar “Khalifatullah”, penyebutan “kaping sedasa” menjadi “kaping

sepuluh”, berakhirnya perjanjian Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng

Pemanahan, dan menyempurnakan keris Kyai Ageng Gopek dengan Kyai

Ageng Joko Piturun. Wacana paling santer kemudian pada penghilangan

gelar “Khalifatullah” yang membuka kemungkinan untuk kelima putri

Sultan, terkhusus GKR Pembayun, untuk menggantikan kedudukan

ayahnya kelak.

Dari peristiwa Sabda Raja termaksud, pada bulan Juli muncul

gerakan yang mengukuhkan Prabukusumo, adik dari HB X, sebagai calon

HB XI. Selain itu, pada September 2015 muncul gerakan-gerakan yang

menyebarkan spanduk maupun stiker “Tolak Sabda Raja” yang dilakukan

oleh kelompok yang menamai diri Laskar Mangkusegoro dan Pejuang

Khalifatullah. Spanduk dan stiker tersebut, diperhatikan atau tidak,

muncul di tempat-tempat dari yang cukup ramai hingga relatif sepi,

misalnya di perempatan pertigaan Demangan, Jalan Kaliurang, Tugu Jogja,

daerah Kauman, sampai di sekitaran stadion Maguwoharjo. Keberadaan

spanduk dengan warna tulisan hijau tersebut disusul dengan spanduk

dengan tulisan berwarna merah yang di beberapa menggantikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

53

spanduk sebelumnya. Spanduk yang mengatasnamakan Forum Peduli

Keistimewaan dan Forum Perempuan Istimewa ini menyampaikan

secara berturut-turut “Paugeran Harga Mati!” dan “Tolak Amandemen

UUK”. Sementara itu, muncul juga kelompok yang menyebarkan poster

bertuliskan “Saatnya Raja Jogja Perempuan, Kenapa Tidak?” dengan

gambar GKR Pembayun yang disebar oleh kelompok bernama Superpan.

Gerakan yang mengaku sebagai gerakan politik tanpa partai ini

menyertakan nomor kontak meskipun tidak memberi respon ketika coba

dikontak. Meskipun spanduk dan stiker tersebut tidak diikuti aksi

tindakan kekerasan, namun keduanya turut menciptakan wacana

mengenai bagaimana pemerintahan di Yogyakarta diselenggarakan dan

bagaimana paugeran menjadi perbincangan tersendiri bagi beberapa

kelompok. Kondisi ini tentu saja akan berbeda dengan daerah lain di

Indonesia yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan pada

partai politik.

Penegasan keistimewaan DIY yang dibarengi pertumbuhan

perekonomian dan padat-sesaknya ruang-ruang di Yogyakarta

memunculkan isu baru mengenai agraria dan lingkungan, terutama

dengan ditinjaunya kembali SG/PAG. Pada tahun 2006, muncul isu

mengenai penambangan pasir besi sepanjang 22 kilometer di Kecamatan

Temon, Wates, Panjatan, dan Galur Kabupaten Kulon Progo. 104

104 Warga Kulon Progo lainnya, yang berada di Glagah, mengakami konflik dengan aparat dan PT. Angkasa Pura I sebagai dampak rencana pembangunan bandara mulai 2011. Baik polisi maupun TNI diisukan terlibat dalam peneroran warga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

54

Penambangan ini ditolak oleh warga yang sebagian besar telah

mendapatkan untung lewat pengolahan lahan di sebelah Selatan jalan

Daendels. Pada tanggal 1 April 2006, di-sesepuh-i Raden Mas Adjie

Kusumo yang adalah adik HB X, dibentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai

Kulon Progo (PPLP KP) beranggotakan warga dari 10 desa yang

terancam oleh dampak buruk penambangan pasir besi.105

Isu mengenai lingkungan hidup semakin marak pada tahun 2013

berkaitan dengan pembangunan hotel dan surutnya air tanah. Gerakan

seperti Jogja Asat, Kota untuk Manusia, dan Jogja Ora Didol mendominasi

perhatian masyarakat publik, di samping isu lebih besar lain berkaitan

dengan pertanahan dalam RUUK DIY, yakni Sultan Ground dan Paku Alam

Ground yang dimanfaatkan sebagai aset bisnis pihak Kraton. Kepemilikan

tanah oleh pihak Kasultanan dan Pakualaman menciptakan polemik-

polemik seperti “Cina tidak boleh memiliki tanah di Jogja”, artinya

pertanahan bisa jadi menentukan mana yang bukan orang Yogyakarta

atau pribumi dan mana yang cuma pendatang. Meskipun kategori ini

sangat rawan dan rapuh karena perlu dipertanyakan: atas dasar apa?

105 Investor dari proyek penambangan pasir besi ini adalah PT Jogja Magasa Mining (JMM) yang adalah kerajaan bisnis keluarga Kraton Yogyakarta. Lihat dalam A.B. Widyanta, “Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya” juga dalam George Junus Aditjondro, “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

55

Tabel 2.2. Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten

Jumlah Target Kabupaten/ No. Bidang Luas (m²) Sertipikat s/d Pensertipikatan Kota Tahun 2015 Tahun 2016 1. Yogyakarta 339 613,345 m² 286 50 2. Bantul 3.074 7,031,574 m² 1.447 300 3. Kulon Progo 1.281 16,452,534 m² 312 240 4. Gunungkidul 4.046 26,656,191 m² 516 300 5. Sleman 4.486 7,465,502 m² 306 300 Jumlah 13.226 58,219,146 m² 2.867 1.190

Sumber: Bappeda DIY 2016

Pertemuan dari berbagai latar belakang dan konteks politik

nasional pasca reformasi kemudian memungkinkan pergolakan dalam

bidang kesukuan dan keagamaan. Munculnya kelompok primordial

kesukuan dan kelompok-kelompok atas nama agama adalah khas pasca

reformasi di Indonesia. Subagya (2015) menemukan bahwa masyarakat

Yogyakarta cenderung mengidentifikasi diri dengan agamanya alih-alih

etnisnya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekspresi dan praktek

keagamaan cenderung meningkat dari dekade 1990.106 Ekspresi dan

praktek keagamaan ini tampak misalnya dengan munculnya figur

selebritis dalam agama107, gereja mall108, atau dalam ormas berbasis

agama.

Ormas-ormas, baik berbasis agama atau tidak, melakukan

beberapa pembubaran diskusi dan nonton bareng film Senyap pada tahun

2014 dan Pulau Buru Tanah Air Beta pada bulan Mei 2016 sempat terjadi

106 Subagya, 2015, Op.Cit., hal.224. 107 Joshua Barker, Johan Lindquist, et.al., “Figures of Indonesian Modernity” dalam Indonesia, Volume 87 (April 2009), hal. 35-72. 108 Di rooftop Jogja City Mall, pusat perbelanjaan yang “asli” milik keluarga Sultan, terdapat gereja yang digunakan oleh GBI Keluarga Allah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

56

di Yogyakarta. 109 Meskipun, ormas-ormas atau gangster sisa Orde Baru

seperti FAKI, PP, dan FKPPI masih berperan menjadi aktor, namun

sebagian besar pembubaran kegiatan lain dilakukan oleh ormas yang

mengusung nama Islam110, misalnya seminar LGBTI di Fakultas Psikologi

Sanata Dharma111 dan Lady Fast di Bantul. Sayangnya, kecenderungan

fasis dari ormas tersebut tidak kunjung diikuti dengan ketegasan aparat

maupun otoritas di Yogyakarta. Bahkan, selain FUI dan FJI, pembubaran

Lady Fast yang dilakukan pada 2 April 2016 justru melibatkan polisi. Di

titik inilah kemudian mulai dipertanyakan hubungan antara ormas atau

gangster dengan aparat, yang dalam sejarah di Yogyakarta dikenal

sebagai preman atau gali.

B. Preman di Yogyakarta

Di Yogyakarta, orang-orang yang dikenal preman bergerak dari

milisi menuju parlemen.112 Sebagian dari mereka memiliki kedekatan

dengan tentara, bahkan dijadikan sebagai agen sipil tentara.113 Posisi

para preman ini, sebagaimana dideskripsikan oleh Ulil Amri, tampak

mendua. Selain terlibat dalam dunia hitam bisnis keamanan, orang-orang

109 Sementara itu, pembubaran acara nonton bareng sebagaimana terjadi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) diikuti dengan pemasangan spanduk anti-komunis. 110 Nama ormas ini cukup beragam, ada misalnya GPK, Forum Umat Islam (FUI), dan Front Jihad Indonesia (FJI). Sebagai catatan, petinggi GPK Muhammad Fuad adalah sekaligus petinggi di FUI. 111 Seminar ini direncanakan pada tanggal 27 September 2014, namun pada tanggal 16 September 2014, FUI meminta pembatalan acara termaksud. 112 Lihat dalam Kadir, 2011, Op.Cit. 113 Lihat dalam Ulil Amri, Biografi Preman-Preman Yogyakarta (1) dalam http://etnohistori.org/biografi-preman-preman-jogjakarta-1-mas-joko-pemberani-badran- yang-terkenal.html

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

57

yang disebut preman juga menjadi penyumbang dalam kegiatan sosial,

misalnya pembangunan tempat ibadah.114 Hal tersebut menunjukkan

bahwa sosok-sosok preman di Yogyakarta cenderung memiliki

kemiripan dengan bandit sosial atau jagoan pada masa kolonial.115

Pada masa Orde Baru, preman di Yogyakarta direkrut oleh partai

politik. Perekrutan ini dilakukan untuk mempertahankan kedudukan dan

kekuasaan partai dan diorganisir ke dalam gangster. Di Yogyakarta

sendiri, ada dua nama gangster yang namanya melegenda, yakni QZRUH

(Q-ta Zuka Ribut Untuk Hiburan) yang berdiri tahun 1970-an dan Joxzin

(Joxo Zinthing) yang berdiri pada 1982.116 Sementara QZRUH didirikan

oleh RM Imam Kintoko, keponakan Letkol M. Hasbi yang memimpin

Petrus, Joxzin didirikan oleh Maman Sulaiman, seorang desertir marinir

yang juga menjadi Komandan PASKAM (pasukan Keamanan) PPP. Pasca

1998, setelah pada tahun 1980-an menjadi underbouw Golkar, massa

QZRUH banyak tergabung dengan partai PDIP, terkhusus dalam Banteng

Muda Indonesia (BMI). Pun dengan Kotikam yang kemudian ditengarai

menjadi pasukan keamanan KPH H. Anglingkusumo yang di dalamnya

tergabung Deki.

114 Dituliskan kemudian bahwa Mas Joko membangun karir dengan kuliah dan belajar bahasa Inggris, di samping juga memperdalam keahlian agamanya. 115 Lihat juga tulisan Ulil Amri yang lain dalam http://etnohistori.org/biografi-preman- preman-jogjakarta-2-mas-kris-preman-terban-berbasis-judi.html 116 Bagian ini bisa dilihat dalam Monica Adelina Dian, “Dilematis, Pemberantasan Premanisme di Yogyakarta”, 18 Agustus 2013 diunduh dari interseksi.org/archive/blog/files/premanisme.php pada tanggal 12 Juli 2016. Lihat juga dalam Henry Saputro, “Yogyakarta Antipreman”, 2 April 2013 diunduh dari http://budisansblog.blogspot.co.id/2013/04/yogyakarta-antipreman.html pada tanggal 12 Juli 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

58

Setelah reformasi, gangster sekolah kemudian muncul seakan-

akan mereproduksi model QZRUH dan Joxzin. Bukan berarti QZRUH dan

Joxzin kemudian bubar, namun justru gentho sekolah biasanya mengikuti

gangster-gangster besar seperti QZRUH, Joxzin, Ghemax, atau Phuxon.

Menjadi anggota gangster sekolah membuka kesempatan besar untuk

menjadi anggota gangster lebih besar yang terhubung dengan partai

politik. Namun, gangster sekolah ini tidak bertahan lama. Saat ini

tawuran, istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan

perkelahian antar sekolah, tidak marak sebagaimana sepuluh tahun yang

lalu.

Preman yang menjadi legenda di Yogyakarta adalah Agus Joko

Lukito, yang dikenal dengan nama Gun Jack. Ia adalah seorang yang

terdaftar dalam GPK dari PPP. Namanya melambung, setelah Gun Jack

membunuh seorang putra perwira. Meskipun ia melarikan diri, namun

akhirnya ia berhasil dibujuk kembali ke Yogyakarta untuk kemudian

mendapatkan bekking dari tentara dan dipersenjatai. Hal ini kemudian

menegaskan posisinya sebagai preman kawakan. Setelah Gun Jack

meninggal pada tahun 2011, kehidupan preman di Yogyakarta makin

tidak terkontrol. Seorang teman Gun Jack, Rudy Tri Purnama yang juga

adalah komandan GPK mengatakan bahwa konflik jalanan menjadi kerap

muncul sepeninggal Gun Jack.117

117 Lihat dalam Pito Agustin Rusdiana, “Generasi Penerus Preman Yogya”, diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2013/04/20/058474731/generasi-penerus-preman-yogya pada 22 Juli 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

59

Kematian Gun Jack memungkinkan untuk mencuatnya nama-

nama yang tenggelam semasa kekuasaan Gun Jack. Misalnya Santo dan

Harno yang menguasai daerah Godean, Sotong di daerah Jogokaryan,

Marcelinus Bhigu di sekitar Lempuyangan, dan nama lama seperti Yono

di pasar Terban. Masing-masing dari mereka menguasai tanah, lahan

parkir, perhotelan, dan keamanan area hiburan malam. Selain itu, jual

beli mobil yang kemudian dikenal dengan istilah “leasing” juga makin

marak, sebab beberapa dari mereka juga bekerja sebagai penagih utang

dan bekerjasama dengan pihak bank. Keterhubungan dengan bidang

politik praktis dan dunia usaha menunjukkan bahwa gangster bisa

menjadi pasukan pribadi maupun militia.118

Selain itu, kelompok preman di Yogyakarta, juga masih

menggunakan pola Orde Baru. Setiap kelompok preman memiliki

kedekatan dengan aparat pemerintahan, secara khusus polisi atau militer.

Penguasaan lahan di daerah Sleman oleh Harun, yang dikenal sebagai

tokoh Kotikam. Harun berkoordinasi dengan TNI maupun Polisi untuk

menguasai hiburan malam seperti Boshe VVIP Club, Hugo’s Cafe, Embassy

Platinum Jogja, Montana Cafe, dan salon ++ di Babarsari. Model kelompok

Harun ini berbeda dengan Paksi Katon yang sama-sama sering terlibat

kekerasan namun Paksi Katon secara jelas memiliki kedekatan dengan

118 Stein Kristiansen, “Violent Youth Groups in Indonesia: The Cases of Yogyakarta and Nusa Tenggara Barat”, dalam Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 18, No. 1 (April 2003), hal. 114.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

60

pemerintahan sementara kelompok gangster seperti Harun, Sotong, atau

Harno jarang muncul untuk bekerja atas nama pemerintah.

Komposisi gangster di Yogyakarta juga mengalami pendefinisian

dengan lebih jelas, yakni berdasarkan agama atau etnis. Stein Kristiansen

menunjukkan bagaimana identitas keagamaan menjadi penting dalam

membuat label dalam kelompok masyarakat.119 Tumbuhnya gangster

bernafaskan agama ini bukan berarti meningkatnya permintaan untuk

menegakkan hukum berdasar agama, melainkan lebih pada bagaimana

agama dijadikan sebagai alat kekuasaan. Gangster berdasarkan etnis

kemudian juga muncul dengan tokoh-tokoh seperti Marcelinus Bhigu,

Hendrik Angel Sahetapi, atau dari Pattimura Muda.120

Pada tahun 2013 lalu sempat muncul perbincangan mengenai

kelompok gangster NTT yang merangkak naik lewat jasa keamanan.

Seorang yang tidak mau disebut namanya mengatakan bahwa kelompok

NTT, juga kelompok dari luar Yogyakarta lainnya, tidak pernah

menguasai keamanan atau jalanan Yogyakarta. Kemanan dan jalanan

tetap dikuasai oleh preman-preman tua, sementara kelompok NTT hanya

diberi tugas preman-preman tua itu untuk menjaga keamanan cafe.

Keamanan cafe yang dijaga oleh kelompok NTT berada di sekitar

Condong Catur, jalan Solo yang masuk dalam Kabupaten Sleman, dan

119 Ibid., hal 118. Kristiansen menuliskan: “Religion is obviously an important identity marker for the young in Indonesia today, and probably more so for those marginalized from the national process of economic development and modernization.” 120 Kelompok Pattimura Muda sempat mendirikan posko di pertigaan Citrouli, Babarsari. Namun pada bulan Juli 2016, poosko tersebut berganti wajah menjadi warung kopi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

61

Babarsari. Tumbuhnya usaha di Babarsari dan terpusatnya jumlah orang

asal NTT di Babarsari membuat kelompok NTT ini terlibat dalam jasa

keamanan, meskipun “mereka tidak menguasai, hanya ikut gento-gento

tua sebagai keamanan kafe.” Sementara itu kawasan yang selama ini

menjadi pundi-pundi bagi gali di Yogyakarta masih tetap dikuasai oleh

preman asal Yogyakarta. Tempat ini merentang dari kota Yogyakarta dan

DIY bagian Selatan sampai ke Jalan Bantul dan Bantul Kota, tak terkecuali

juga Sleman Kota.121

Guna mempertahankan kekuasaan, tidak jarang kekerasan

digunakan. Penggunaan kekerasan ini kemudian dilekatkan dengan

kriminalitas, karena istilah seperti pembacokan, penusukan, atau

pembunuhan menjadi sangat akrab dengan kekerasan. Dengan demikian,

selain tidak terpisahkan dari otoritas pemerintahan, keberadaan preman

juga, sebagaimana disebut di awal, sangat lekat dengan kriminalitas.

Masalahnya sebutan preman, sebagai sebuah tanda tanpa marka dan bisa

dilekatkan ke siapa saja, yang jamak disebut kriminal ini juga

mengandung unsur kekuasaan yang berkepentingan. Oleh karenanya,

bagian selanjutnya diperbincangkan mengenai kriminalitas, di

Yogyakarta.

121 Lihat dalam “Kelompok NTT Bukan Penguasa Dunia Malam Jogja”, diunduh dari http://www.jpnn.com/read/2013/03/25/164327/Kelompok-NTT-Bukan-Penguasa-Dunia- Malam-Jogja pada 2 Agustus 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

62

C. Kriminalitas di Yogyakarta

Q: And so if this is normal, an open secret, and everybody knows it, then the term “criminal” properly refers to whom? A: They’re all criminals [semuanya kriminal]. [laughs] They’re all criminals, John. It’s just up to whoever has power to say who’s a criminal and who’s not.122

Apabila setiap orang bisa dianggap kriminal tergantung pada

kekuasaan yang mengucapkan, maka istilah kriminal sendiri merupakan

tanda tanpa marka yang siap dilekatkan pada siapapun. Demikian juga

dengan istilah preman yang bisa melekat pada setiap orang, tergantung

mata dan kepentingan apa yang mendasari. Istilah kriminal dan preman

sudah terlanjur akrab di kalangan masyarakat awam Yogyakarta sejak

peristiwa Petrus menandai bagaimana ketiganya berhubungan erat.

Bahwa orang yang disebut gali-gali adalah mereka yang dibentuk

otoritas dan dihabisi sebagai seorang kriminal yang menganggu

keamanan publik.

Petrus menunjukkan bahwa muncul kesulitan dalam memisahkan

antara preman, kriminalitas, dan penguasa. Pada masa kekuasaan Golkar,

para pemilik bisnis perjudian di Yogyakarta berlindung di bawah

penguasa, pentolan, atau satgas Golkar. Parpol, yang biasanya memiliki

ormas, dikenal dekat dengan aparat yang bisa menyelesaikan

permasalahan internal dunia preman. Misalnya ormas PP yang tergabung

dalam partai Golkar menjadi bekking perjudian dadu di Yogyakarta pada

tahun 1980-an. Golkar sendiri memiliki pendukung seperti Angkatan

122 John Pemberton, “Open Secrets: Excerpts from Conversations with a Javanese Lawyer and a Comment”, dalam Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 199.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

63

Muda Siliwangi (AMS) dan Angkatan Muda Diponegoro (AMD). Pada

masa Orde Baru, untuk mendapatkan pengaruh memiliki arti bahwa

kelompok tersebut menjadi underbow Golkar.123 Setelah terjadinya OPK

Petrus di Yogyakarta dan para gali yang berlindung di bawah Golkar

dibunuhi lewat kriminalitas oleh negara, munculah preman-preman baru

yang kemudian bergabung ke dalam ormas di bawah PPP. 124 Masalahnya,

tindakan kriminal yang dilakukan secara sistematis dalam Petrus ini,

tidak pernah disebut oleh negara sendiri sebagai sebuah bentuk

kriminalitas.

Sementara itu, dikatakan DIY dalam Angka125 bahwa kriminalitas

menggambarkan adanya “ketimpangan kehidupan sosial di masyarakat”

dan kriminalitas ini, bukan ketimpangan-nya, “memerlukan penanganan

yang serius.” Bisa juga dibaca; lebih penting untuk memberantas

kriminalitas dibanding mengatasi ketimpangan. Alih-alih adalah

kekacauan, kriminalitas justru ditempatkan dalam masalah kelas beserta

ketimpangan yang mengikutinya.126

Pada tahun 2012, tercatat sebanyak 6.780 kasus kriminalitas

terlapor ke Polda DIY, tahun 2013 laporan menurun menjadi 6513 kasus.

123 Ryter, 2001, Op.Cit., hal. 144. 124 Lihat dalam Tedy Novan, “Ada Parpol dan Golkar di Balik Bisnis Perjudian”, diunduh dari http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg01345.html pada tanggal 3 Agustus 2016. 125 Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik (Eds.), Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2013 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2013), hal. 107. Juga dalam Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2014 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2014), hal. 109. 126 Lihat misalnya dalam James T. Siegel, “Thoughts on the Violence of May 13 and 14, in Jakarta”, dalam Anderson (Ed.), 2001, Op.Cit., hal. 90-123.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

64

Meskipun demikian, pada tahun 2014 jumlah tindak kriminalitas justru

meningkat sebesar 193,98%. 127 Selain jumlah kriminalitas yang

bertambah, peningkatan tajam tersebut bisa juga disebabkan dengan

adanya sistem pencatatan yang lebih rinci. Laporan-laporan termaksud

mendeskripsikan statistik perkara berupa penipuan, curat (pencurian

dengan pemberatan), pencurian, curanmor (pencurian kendaraan

bermotor), penggelapan, penganiayaan ringan, dan narkotika. Dalam

laporan yang disusun oleh pemerintah DIY bekerja-sama dengan

Bappeda tersebut, tidak ada jenis kriminalitas yang lazim ditemui dalam

keseharian media. Misalnya saja kasus berupa pembunuhan atau

pemerkosaan yang tidak dihadirkan dalam laporan tersebut namun

justru jarang dimangkirkan dalam koran-koran lokal.

Dalam perkembangannya, muncul isu-isu kriminalitas yang

terkesan berbeda. Misalnya isu mengenai pengendara motor Vario

berwarna putih yang mengejar orang-orang yang melewati Ringroad

Utara Maguwo pada pertengahan 2010. Pada tahun 2014, muncul geng

Raden Kian Santang (RKS) yang mengejar korban lalu mengeroyok

dengan senjata tajam dengan dalih membuktikan keberanian. Lalu, pada

tahun 2016 penyerangan terhadap tiga orang perempuan (salah satunya

anak SD) di tempat berbeda dengan menggunakan senjata tajam. Model-

model kriminalitas yang berkembang ini menjadi tampak ganjil ketika

127 Seksi Statistik Ketahanan Nasional & Bidang Statistik Sosial (Eds.), Statistik Politik dan Ketahanan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2015), hal. 10.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

65

dihadapkan pada motif konsumsi sebagaimana terjadi sebelum-

sebelumnya. Meskipun demikian, teror yang dihasilkan jauh lebih besar

dibandingkan dengan kasus penjambretan maupun pencurian sebab

mengancam siapa saja, baik yang memiliki atau tidak memiliki barang

bawaan. Namun, dari akumulasi kasus tersebut, jalanan menjadi tempat

di mana kriminalitas diberikan ruangnya, Dengan kata lain, isu

keamanan menjadi perkara penting yang menjadi sorotan publik.

Representasi kriminalitas yang terjadi akibat adanya ketimpangan

dan memerlukan penanganan serius berimplikasi pada dinafikannya

kriminalitas yang dilakukan aparat pemerintahan. Setiap bentuk

kriminalitas terjadi secara horisontal dan masuk ke dalam kategori

kriminalitas ketika dilegitimasi oleh pemerintah. Aparat-pemerintahan-

lah yang kemudian berhak untuk membuat penanganan serius atas

ketimpangan tersebut. Tak heran apabila bentuk kekekejian yang

melibatkan pemerintah tidak dikategorikan sebagai tindakan kriminal.128

Dalam istilah bahasa Inggris, “crime” mengandung unsur

kejahatan yang melanggar hukum, namun pada penerapannya tak bisa

dipungkiri adanya impunitas terhadap para pembuat hukum atau aparat

hukum yang terlanjur melanggar hukum yang ia buat sendiri. Di

Yogyakarta, setidaknya ada tiga bentuk kejahatan yang dilakukan aparat

128 Lihat dalam Lindsey, Op.Cit., 2006, hal. 21-25.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

66

dan secara teoritis melanggar hukum (HAM), yakni: pembantaian

1965129, Petrus130, dan pembantaian Cebongan.

Dalam pembantaian Cebongan131, yang dibarengi dengan isu

keamanan di Yogyakarta, sebanyak sembilan orang anggota Grup 2

Kandang Menjangan, yang terletak sekitaran 50 kilometer dari

Yogyakarta, menyerbu dan menembaki empat orang tahanan. Berbeda

dengan pembantaian 1965 dan Petrus, pembantaian Cebongan tidak

menghadirkan negara yang melegitimasi pembantaian ini sebagaimana

terjadi sebelumnya. Hanya saja, pihak-pihak yang menjadi aparatur

negara turut berkomentar dalam pembantaian Cebongan, yang mana

menunjukkan bahwa peristiwa ini menjadi bukan melulu isu lokal. Dalam

konteks pembantaian ini, Kopassus juga tidak menjadi perwujudan alat

kekuasaan negara sebagaimana pembantaian 1965 dan Petrus. Apakah

pembantaian ini merupakan aksi militer? Ataukah kasus kriminalitas?

Apabila kriminalitas, mengapa kemudian pengadilan dilakukan di Dilmil?

Yang jelas, wacana pembantaian Cebongan ini menyedot istilah-istilah

seperti preman dan kriminalitas. Lantas, mengenai bagaimana

pembantaian termaksud terjadi, siapa saja pihak yang terlibat, serta

129 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: ISSI &Hasta Mitra, 2008), hal. 77-78. Woodward 130 Lihat dalam tulisan Kroef, 1985, Op.Cit., hal. 745-759; Siegel, 1998, Op.Cit.; Joshua Barker, “State of Fear: Controlling the Criminal Contagion in Soeharto’s New Order”, dalam Anderson (Ed.), 2001, Op.Cit., hal. 20-53; Yustina Devi-Ardhiani, “Potret Relasi Gali-Militer di Indonesia: Ingatan Masyarakat Yogyakarta tentang Petrus 1983”, dalam Retorik, Vol. 3 (1), Desember 2012, hal. 37-58. 131 Sultan Hamengku Buwono X bersikap ambigu dalam menanggapi pembantaian Cebongan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan HB IX dalam menanggapi pembantaian 1965 dan Petrus. Lihat dalam Monfries, 2015, Op.Cit., hal 244-245.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

67

bagaimana para kriminal yang dibantai ini direpresentasikan, diuraikan

pada bagian selanjutnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB III

PUJI-PUJIAN TERHADAP KEKEJIAN:

PENYINGKIRAN PREMAN & KEISTIMEWAAN

Bab ini membahas proses penyingkiran preman yang dilakukan lewat membalik gagasan preman yang pada awalnya digunakan media massa untuk menyebut pelaku pembantaian, tetapi kemudian digunakan untuk menyebut korban. Dalam wacana pembantaian Cebongan ini, gagasan pahlawan132 justru diberikan kepada para pembantai. Pembalikan tersebut juga diikuti dengan asosiasi antara preman dengan pendatang.133 Uraian mengenai penyingkiran dilakukan tanpa menafikan pihak mana saja yang memiliki kontribusi dan relasi dalam proses penyingkiran, di antaranya meliputi:

“Siapa yang menyingkirkan?”, “Dalam konteks seperti apa?”, dan “Demi kepentingan apa?” penyingkiran dilakukan.134

132 Dalam wacana pembantaian Cebongan secara bergantian digunakan istilah pahlawan dan ksatria untuk menyebut pelaku pembantaian. Ksatria merupakan bentuk domestikasi dari pahlawan yang menempatkan pelaku pada sosok dengan derajat dan fungsinya dalam kaitannya dengan negara. Peranan dalam negara ini tergolong samar sehingga para ksatria mungkin saja “memanfaatkan” keahlian perseorangannya sewaktu-waktu. Lihat dalam Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (Yogyakarta: Jejak, 2008), hal. 16; Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Jakarta: Sinar Haarapan, 1988), hal. 26-27. 133 Pendatang digunakan untuk menyebut orang yang bukan berasal dari Jogja dan dianggap mengacau Jogja. Dalam wacana pembantaian Cebongan ini diarahkan bagi orang NTT yang dianggap preman atau dianggap tidak memberi kontribusi di Jogja. Dengan demikian, tidak melulu secara harafiah untuk menyebut setiap orang yang datang dan tinggal di Jogja. Meskipun demikian, beberapa jargon dalam spanduk yang akan disebut dalam bagian ini menunjukkan bahwa kategori pendatang cukup ambigu. 134 Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 10.

68

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

69

Proses penyingkiran di sini terangkai dengan beberapa elemen penting sebagaimana Charles Tilly mengidentifikasi penyingkiran identitas. 135 Pertama adalah adanya batasan-batasan tertentu yang membedakan antara preman dengan pahlawan. Selanjutnya adalah adanya cerita-cerita yang muncul berkaitan dengan pahlawan dan preman. Ketiga adalah hubungan antara pihak yang disebut preman dengan gerakan pro-

Kopassus dan pahlawan. Sementara itu, yang terakhir dibahas bagaimana interaksi yang terjadi dalam gerakan pro-Kopassus untuk menunjukkan bahwa penyingkiran ini merupakan sesuatu yang terorganisir. Dari proses tersebut teridentifikasi rangkaian penandaan dalam wacana pembantaian

Cebongan ini. Dengan demikian, bahasa-bahasa yang digunakan dalam wacana menjadi penting untuk dijelaskan.

Dalam pembantaian Cebongan terjadi tiga proses penyingkiran lewat penyederhanaan yang terjadi dalam logika berbahasa terhadap korban pembantaian. Pada mulanya istilah preman yang dilekatkan oleh pemerintah,

TNI, ataupun gerakan pendukung pembantaian belum dimunculkan, hanya disebutkan bahwa ada orang yang memiliki rangkaian sifat aktual (series actual properties136) seperti bertindak tidak sopan, membuat tidak aman, membuat tidak nyaman, membuat rusuh dan mengotori Yogyakarta. Sifat- sifat ini dapat dirangkum dalam sebuah istilah berbahasa Indonesia, yakni

“mengacau”. Pengacau inilah yang kemudian disebut sebagai preman.

135 Charles Tilly, The Politics of Collective Violence (Cambridge: Cambridge Universiity Press, 2003), hal. 25. 136 Lihat dalam Žižek, 2005, Op.Cit., hal. 48-49.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

70

Penyebutan ini, pada prakteknya, mengalami penyederhanaan sehingga logika berbalik menjadi “preman adalah orang yang mengacau Yogyakarta”.

Pernyataan ini kemudian mengalami pembalikan makna awal sehingga muncul logika baru menjadi “orang mengacau Yogyakarta karena dia adalah preman”.

Proses pembalikan di atas kemudian diterapkan pada pendatang yang dilekatkan berdasarkan latar belakang Diki dkk yang berasal dari NTT ― yang mana isu mengenai kekerasan yang melibatkan orang asal NTT di

Yogyakarta sudah menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat.137

Proses kedua ini mengalihkan preman pada orang bukan Yogyakarta yang didefinisikan sebagai pendatang yang secara khusus merujuk pada orang asal NTT. Hal ini dikuatkan dengan ancaman terhadap mahasiswa asal NTT yang kemudian “mengungsi” dari Yogyakarta ke berbagai daerah lain seperti

Solo, Malang, maupun Surabaya.138 Namun, kategori pendatang ini kemudian secara umum diterapkan kepada “yang bukan orang asal Yogyakarta” sebagaimana ditunjukkan dalam spanduk-spanduk. Penggantian preman dengan pendatang ini menyederhanakan pandangan bahwa karena tidak berasal dari Yogyakarta atau status pendatang, seseorang mengacau

Yogyakarta.

137 Beberapa orang yang secara acak saya tanyai soal orang asal NTT seringkali mengasosiasikan mereka dengan perkelahian. Di dalam komunitas NTT sendiri, ada orang yang tidak menyukai teman-temannnya sendiri yang menurutnya melakukan hal tidak penting lewat perkelahian. 138 Lihat Shinta Maharani, “Ribuan Mahasiswa asal NTT Eksodus dari Yogya”, 27 Maret 2013, diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2013/03/27/063469634/ribuan-mahasiswa- asal-ntt-eksodus-dari-yogya pada 22 Agustus 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

71

Proses penyingkiran terakhir terjadi dengan pembentukan kategori preman dan pendatang, yang keduanya di mayoritas masyarakat Yogyakarta diberi label dengan logika yang janggal, yakni mengacau. Proses pertama yang mendefinisikan preman sebagai yang mengacau Yogyakarta kemudian disederhanakan ke dalam istilah pendatang. Di sinilah kemudian terbentuk dasar tersembunyi yang menunjukkan bahwa pendatang ini memiliki sifat sebagaimana preman dan menciptakan logika pembalikan bahwa para pendatang ini mengacau, semata-mata karena mereka adalah preman. Ketiga proses aktual dari pembalikan gagasan tersebut dibahas di bagian selanjutnya.

Tetapi bagaimana pergeseran-pergeseran logika di atas mendominasi wacana pembantaian Cebongan? Dukungan berlanjut dengan wacana pemberantasan preman yang lewat cara ini Yogyakarta bisa menjadi tempat yang aman untuk dikunjungi. Wacana keamanan ini, meskipun tidak masuk dalam sektor formal UU Keistimewaan, menjadi salah satu kondisi yang membuat Yogyakarta menjadi istimewa. Di lain pihak, diketahui pula bahwa

Diki dkk. merupakan orang yang tergabung dalam pasukan keamanan KPH

Anglingkusumo yang dalam paugeran dikenal masyarakat sebagai orang yang berambisi merebut kursi Paku Alam. Situasi inilah yang kemudian mempermudah hadirnya wacana pemberantasan preman.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

72

A. Penyerbuan Preman di Cebongan

Pagi hari tanggal 24 Maret 2013, KR pertama kali meliput pembantaian Cebongan. Isinya amat mudah ditebak; kapan, bagaimana, dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Tanggapan-tanggapan mulai dihadirkan.

Terutama dari pihak Kepolisian, terkhusus pihak Lapas Cebongan. Kapolda

DIY saat pembantaian ini terjadi, Brigjen Pol Sabar Raharjo, “membantah anggapan bahwa pihaknya kecolongan, sehingga empat tersangka Polda DIY tewas saat dititipkan di Lapas Sleman.”139 Penggunaan istilah ‘kecolongan’ ini cukup menarik. Orang bisa kecolongan saat suatu kejadian yang berkaitan dengan dirinya berada di luar pengawasan dan pengetahuan. Namun, kecolongan ini tidak terjadi sebagaimana dialami oleh Kalapas Drs. Sukamto

Harto BcIP yang punya feeling140 sebelum kejadian.

Meskipun Kapolda mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak Lapas, namun Sukamto sendiri mengatakan bahwa,

[S]aat koordinasi pemindahan itu, saya tidak tahu kalau yang dititipkan adalah tersangka pelaku pembunuhan di Hugos Kafe. Setelah mengetahui tahanan yang dititipkan tersebut, saya berencana pagi ini (23 Maret 2013) mengembalikan tahanan itu ke Polda DIY. Tapi rencana itu belum terlaksana, ternyata sudah terjadi insiden.141

139 Kedaulatan Rakyat, 24 Maret 2013, hal. 10. “Menkumham Minta Maaf. Kapolda Bantah Kecolongan” 140 Belakangan istilah feeling disadur ke dalam bahasa Indonesia dan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Istilah ini mengacu pada ‘rasa seolah-olah mengetahui bahwa suatu hal akan terjadi’. Biasanya feeling digunakan untuk melegitimasi bahwa apa yang ‘seolah-olah dirasakan’ adalah hal yang telah sungguhan terjadi. Istilah ini memiliki kedekatan arti dengan ‘firasat’. 141 Kedaulatan Rakyat, 24 Maret 2013, hal. 1 & 10. “Firasat Tak Enak Kalapas”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

73

Sukamto mendapatkan feeling setelah mengetahui bahwa tahanan yang dititipkan terlibat pembunuhan Serka Heru Santosa di Hugos Cafe.

Liputan termaksud tidak menyebutkan siapakah dan bagaimana latar belakang Serka Heru Santosa yang merupakan anggota Kopassus. Justru hal tersebut menarik, sebab feeling yang muncul belakangan ini menimbulkan pertanyaan mengapa feeling baru muncul setelah mengetahui bahwa para korban yang dibantai merupakan tersangka pembunuhan di Hugos Cafe.

Lain halnya dengan Pangdam IV/Diponegoro, Mayjen Hardiono

Saroso142, yang menegaskan bahwa tidak ada prajurit di daerah militernya yang terlibat dalam pembantaian ini. Jendral lulusan Akmil 81 ini tidak mengungkapkan feeling sebagaimana dipunyai Sukamto. Mayjen Hardiono tidak mau berandai-andai siapa yang membantai, namun ia berani menegaskan bahwa tak seorangpun anggotanya terlibat, “Yang jelas, pelaku itu orang tidak dikenal.”, tegas Hardiono.143 Namun, bagaimana mungkin seorang Pangdam berani menegaskan dan mengaku tidak tahu menahu perbuatan anggota Kopassus di wilayah Kodam-nya? Penegasan ini juga sebagaimana disampaikan oleh Komandan Kopassus Grup 2 Kandang

Menjangan, Letkol Maruli Simanjuntak, yang mengatakan bahwa “anggota

142 Sebagai catatan, Mayjen Hardiono Saroso pernah bertugas di Timor Timur tahun 1983- 1999 (16 tahun). Ia bertugas di Korem 164 dengan pangkat Letnan Kolonel. Namanya masuk dalam daftar Masters of Terror. Lihat dalam Richard Tanter, Desmond Ball, & Gerry van Klinken, Masters of Terror. Indonesia’s Military and Violence in East Timor (Maryand: Rowman & Littlefield Publishers, 2006), hal. 134. 143 Kedaulatan Rakyat, 24 Maret 2013, hal. 10. “Menkumham Minta Maaf. Kapolda Bantah Kecolongan”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

74

Kopassus itu pasukan elite yang dididik disiplin tinggi.”144 Apabila dilihat pola dari kedua penyangkalan elite TNI, Pangdam dan Komandan Kopassus

Grup 2 Kandang Menjangan, penyerangan yang diikuti pembantaian

Cebongan tersebut sengaja ditutup-tutupi. Sebab, apabila mengikuti garis komando, maka perintah diketahui dan datang dari atasan. Kalaupun tidak diketahui oleh atasan, maka justru membuktikan adanya kelemahan dalam garis komando dalam TNI, anak buah dimungkinkan untuk melawan atasannya. Namun, dalam peristiwa ini keduanya bisa saja terjadi. Pangdam gagal untuk melindungi anak buah yang menyebabkannya dipindah dengan alasan habis masa jabatan, lalu menjadi pertanyaan sendiri mengapa Maruli

Simanjuntak justru mengatakan bahwa segala sesuatu mengenai penyerangan dan pembantaian ini telah dilaporkan ke Danjen Kopassus di

Jakarta, dan bukan terlapor ke Pangdam.145

Pada hari Kamis, dua hari sebelum kejadian, 21 Maret 2013 saat melintasi markas Batalyon Infanteri 403/Wirasada Pratista (Yonif

403/WP)146, seorang penduduk mengaku bahwa apa yang ia lihat pukul

06.00 pagi, saat mengantar anaknya sekolah, cukup mengherankan dan tidak seperti biasanya. Beberapa kali ia berpapasan dengan truk-truk militer antara Jalan Kaliurang Km.6,5; Kentungan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta

144 Pikiran Rakyat, “Komandan Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan Bantah Anggota Serbu LP Cebongan”, diunduh dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2013/03/ 23/228118/komandan-kopassus-grup-2-kandang-menjangan-bantah-anggota-serbu-lp pada 6 Agustus 2013. 145 Ibid. 146 Di Mayonif 403/Wirasada Pratista terdapat monumen tank Pancasila Sakti yang menjadi miniatur monumen Lubang Buaya untuk memperingati peristiwa 1965, secara khusus kematian Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

75

hingga kelokan ke arah perumahan Pamungkas Karya Korem 072 di Jalan

Kaliurang Km.14,5.147 Ia lewat Jalan Damai lalu Jalan Kaliurang dan menuju arah Utara ke SMP Negeri 4 Pakem. Saat sampai di pertigaan Ngasem, ia melihat dua truk tentara menyisir jalan. Lalu sampai di pertigaan Candi, ada satu unit truk berhenti dengan tentara yang diturunkan namun tidak melihat ada bawa senjata. Polisi Lalu Lintas (Polantas) yang berjaga pun lebih banyak dari pagi-pagi biasanya, jumlahnya ada 3-5 personil di setiap gang yang terhubung dengan Jalan Kaliurang. Ketika sampai pertigaan Pandanaran, ia kembali melihat dua truk tentara berhenti namun para personil tidak atau belum turun. Sampai di pertigaan Pamungkas, ia menceritakan bahwa jalan agak macet dan dari kejauhan ia melihat tiga truk di jalan menuju ke perumahan Pamungkas. Baginya, situasi seperti ini hanya terjadi saat seorang penggedhe atau orang yang memiliki jabatan struktural hadir dalam acara termaksud.

Tiga jam setelahnya, ia kembali melewati perumahan Sawitsari yang berhadap-hadapan dan dipisahkan gang dengan markas batalyon infanteri yang berada di bawah struktur komando Korem 072/Pamungkas, Kodam

IV/Diponegoro ini.148 Suasana masih sama. Ia melihat pemandangan yang

‘tidak lazim’ sebab di tengah lapangan upacara monumen Pancasila Sakti

147 Wawancara dengan Kristio Budiasmoro, tanggal 28 November 2015. Jarak berjaga yang diterapkan tentara ini cukup menarik, yakni 8 kilometer. Perlu diketahui, Standar Operasional Prosedur (SOP) ini didasarkan pada pada pembagian yang dikenal dengan istilah ring. Semakin dekat dengan lokasi pertemuan, maka penjagaan dan kemanan akan semakin diperketat. Penjagaan dilakukan di jalan-jalan yang kemungkinan besar akan tercipta kemacetan seperti pertigaan atau perempatan. Selain penjagaan akan diperketat di daerah-daerah yang dinilai tidak aman, seperti tingkat kriminalitas yang tinggi. 148 Sebagai catatan, kini terdapat sebanyak 15 Kodam di Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

76

sebuah helikopter terparkir. Selain itu, di tepi jalan Sawitsari ada sebuah truk barracuda yang juga telah terparkir. Ia kemudian berhenti dan menanyai salah seorang prajurit yang tengah berjaga perihal apa yang tengah terjadi.

Prajurit termaksud mengatakan bahwa akan ada pertemuan antara Pangdam

Mayjen TNI Hardiono Saroso, dengan Kapolda DIY Brigjen Pol. Sabar Raharjo.

Sementara terus mengendarai motor ke arah Condong Catur, ia melihat anggota Brimob berjaga di perumahan sebelum terminal Condong

Catur. Lokasi ini merupakan perumahan dinas Polda DIY, di mana Sabar

Raharjo tinggal. Berbeda dengan prajurit TNI, anggota Brimob ini menenteng senapan. Pertemuan ini bersifat rahasia dan baru pada 8 April 2013, Sabar

Raharjo mengaku bahwa pertemuan ini hanya sekadar melihat CCTV

Cebongan bersama Pangdam dan Danrem 072 Pamungkas membahas penyerangan Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), namun apa yang disampaikan Sabar cukup menarik untuk diamati, sebab Mapolres OKU terletak di Palembang, yang berarti berada di luar daerah militer Kodam

Diponegoro maupun Polda DIY. Mengapa Mayjen TNI Hardiono Saroso, dengan Brigjen Pol. Sabar Raharjo perlu bertemu sementara di sembilan wilayah Kodam lain tidak? Mengapa hanya Kodam IV/Diponegoro yang mengadakan pertemuan ini? Apakah telah muncul isu mengenai serangan tentara ke tempat penahanan Deki dkk. di kepolisian? Atau bahkan kesepakatan pemindahan lapas dan perencanaan penyerangan Cebongan terjadi dalam pertemuan ini?

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

77

Sementara itu, pada tanggal 24 Maret 2013, koran cetak Tribun Jogja menuliskan bahwa Pangdam menyatakan bahwa para pelaku jelas terlatih, namun bukan orang Kopassus. Pada artikel yang sama, pihak Kopassus Grup-

2 Kandang Menjangan, diwakili Kasi Intel-ya, Kapten (Inf) Wahyu Yuniartoto mengklaim bahwa anggotanya tidak terlibat dalam penyerangan dan pembantaian di Lapas Cebongan. “Saat kejadian, semua anggota di Markas

Kandang Menjangan, dan tidak ada kegiatan di luar.”, katanya.149 Pada hari selanjutnya, Tribun mewawancarai seorang bernama Hari Cahya dari Kreasi

Study Club Yogyakarta yang mengatakan bahwa diharapkan dalam kasus ini

“Pangdam berani menindak tegas.” Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan bahwa pelaku penyerangan dan pembantaian berasal dari barak militer, namun bukti pasti belum tampak. Sudah menjadi rahasia umum masyarakat bahwa sebenarnya kelompok terlatih yang berani menyerang institusi keamanan milik negara, yakni polisi, adalah dari kesatuan militer tentara. Penunjukkan langsung ke Pangdam dikuatkan dengan adanya SMS yang sempat menyebar pada tanggal 22 Maret 2013, sebelum Cebongan diserang.150

Pada awal kejadian, Tribun mewawancarai istri Juan, Mbak Nona, yang mengatakan bahwa dalam keluarga, Juan adalah “sosok yang sangat

149 Tribun Jogja, 24 Maret 2013, hal. 1 & 7. “Eksekusi di Hadapan 31 Napi” 150 Lihat dalam Ninis Chairunnisa, “SMS Ini Beredar Sehari Sebelum Cebongan Diserang”, diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2013/06/10/063487141/sms-ini-beredar- sehari-sebelum-cebongan-diserang pada 4 Agustus 2016. Isi SMS tersebut adalah: “info dari wakapolresta yka., 3 pleton kopasus sudah berada di DIY mohon waspada n mohon di konsumsi kita kita aja, 86, 87 rekan rekan secara rapi, konsumsi corp baju coklat kemungkinan beraksi malam minggu karena aku sayang kalian”.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

78

bertanggungjawab dan sayang istri.” Sama halnya dengan Kalapas, Mbak

Nona juga mendapati gelisah sepanjang malam sebelum ia mengetahui bahwa pada paginya Juan dibunuh. Tribun menerjemahkan gelisah sepanjang malam ini sebagai suatu “firasat” bahwa suaminya akan meninggal secara tidak wajar.151

Orang tidak dikenal, sebagaimana dikatakan Sukamto, datang membuat tahanan lain menjadi takut dan syok. 152 Istilah syok, yang disadur dari shock, digunakan untuk menggambarkan bahwa ada kejutan yang tidak menyenangkan datang. Syok biasa digunakan dalam kondisi yang mengakibatkan seseorang menjadi trauma. Dalam pembantaian Cebongan, keterkejutan yang tidak menyenangkan ini dialami oleh sipir, tahanan, keluarga Diki dkk., bahkan juga pelaku penyerangan.

Menurut Mayjen Hardiono, orang yang tidak dikenal ini bukanlah TNI.

Dalam kasus-kasus kriminalitas, orang tidak dikenal adalah cara orang berbahasa untuk menunjukkan bahwa ada orang yang dicurigai, yang diduga kuat sebagai pelaku, diketahui namun tidak terpahami. Orang tidak dikenal ini memiliki bahasa yang berbeda dengan masyarakat yang diidealkan. Dalam hal ini tidak dikenal menekankan bahwa ada yang seharusnya hadir namun mangkir. Ketidakhadiran yang tidak dikenal menandai bahwa ada sejumlah manusia yang potensial akan menjadi pembantai dan tidak menjadi bagian

151 Tribun Jogja, 24 Maret 2013, hal. 1 & 7. “Istri Juan Gelisah” 152 Arti syok dalam kamus bahasa Indonesia justru: (1) sangat menarik hati; indah sekali; (2) sangat tertarik hatinya; sangat suka (akan); (3) berlagak (kaya, tahu, dsb); berpura-pura.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

79

masyarakat manapun. 153 Menjadi orang tidak dikenal berarti identitas pembantai dikaburkan dan dengan demikian justru menciptakan misteri dan menimbulkan pertanyaan yang meminta kesegeraan jawaban. Namun, tidak dikenalnya identitas pembantai ini juga menjadikan penyerangan dan pembantaian ini menjadi hal yang lumrah karena menjadi tidak dikenal berarti mengandaikan adanya orang asing yang bisa datang dari mana saja dan datang untuk menciptakan bahaya.

Tidak dikenalinya identitas pembantai ini sebagaimana juga terjadi pada keempat korban dalam kacamata Brigjen Pol Sabar. Sabar mengatakan bahwa di tubuh keempat tersangka terdapat 31 peluru. Sabar bingung menyebutkan mana tersangka dan mana korban. Baginya, keempat orang yang tewas dibantai itu merupakan tersangka. Mereka adalah orang tidak dikenal, yang kemudian diberi istilah preman.

Hadirnya kategori preman menegaskan bahwa telah muncul batasan definisi lain yakni preman sebagai orang tidak dikenal. Sampai di sini, orang boleh berpikir bahwa preman melakukan kejahatan yang tidak seharusnya dilakukan menurut hukum. Lantas, pembantaian Cebongan benar-benar dilihat sebagai sebuah kasus kriminalitas tanpa pembelaan dari pihak apapun.

Berbeda dengan KR, Tribun melansir berita mengenai temuan Komnas

HAM yang mulai memperkenalkan orang tidak dikenal termaksud. Menurut

Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, orang tidak dikenal tersebut sudah

153 Lihat dalam Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (Jakarta: Nalar, 2009), hal. 29.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

80

memiliki rencana penyerangan dan pembantaian dengan dipersiapkannya rompi yang seragam, letak granat di rompi, letak HT, dan pergerakannya yang cepat menunjukkan bahwa mereka sudah terlatih dan profesional.154

Tribun, sebagaimana Siti, seperti sudah akrab dengan orang tidak dikenal yang menjadi pelaku penyerangan dan pembantaian tersebut.

Jenderal (Purn) Wiranto membuka wacana untuk segera menjawab tanda tanya mengenai siapa si pelaku sebenarnya. Wiranto mengklaim bahwa tidaklah sulit mengungkap siapa sebenarnya sekelompok orang bersenjata yang telah menyerbu Cebongan. Bagi Menhankam/Pangab era

Soeharto tersebut pengungkapan “bukan persoalan bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak. Sebenarnya ini merupakan persoalan mudah, tetapi dipersulit.” Calon Presiden 2014 tersebut juga mengatakan mampu mengusutnya dalam sehari.155

Di hari yang sama, 27 Maret 2013, Panglima TNI Jenderal TNI

Pramono Edhie Wibowo memerintahkan pembentukan tim investigasi di badan TNI-AD. Wiranto menyampaikan pada tanggal 27 Maret 2013 di pagi hari, sedangkan Pramono Edhie Wibowo sekitar siang-sore hari.

Pembentukan tim investigasi ini sendiri merupakan hal yang baru dalam

154 Kedaulatan Rakyat, 27 Maret 2013, hal. 7. “Saksi Disuruh Tepuk Tangan”. Selain itu, muncul isu kemudian ketika wawancara dilakukan bahwa penyerangan ini memang telah direncanakan sebelumnya, meskipun sumber wawancara mengakui bahwa perencanaan yang seperti apa belum bisa ia beberkan sampai saat tulisan ini dibuat. Ia mendapatkan isu bahwa lima hari sebelum penyerbuan dan pembantaian terjadi, sudah ada sekitar 1000-1500 prajurut Kopassus bersiap ke Jogja, dari Kandang Menjangan sendiri ada sekitar 100-150 prajurit. 155 Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2013, hal. 7. “Polri Mulai Temukan Titik Terang, Bukan Teroris. Ada Sandi Khusus Penyerbu Lapas”. Lihat juga Tribun Jogja, 28 Maret 2013, hal. 1 & 7. “Satu Hari Saya Bongkar”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

81

sejarah TNI, meskipun demikian di bagian lain akan dibahas bahwa pembentukan tim investigasi ini justru membuat pembantaian menjadi sebuah cerita kepahlawanan.

Sebutan preman mulai berada dalam wilayah orang tidak dikenal, membuat masyarakat Yogyakarta takut dan syok, serta menganggu

Yogyakarta yang ideal. Orang tidak dikenal adalah mereka, yang menurut

Ketua DPW PPP DIY, HM Syukri Fadholi SH, berkewajiban menghargai tata nilai budaya adiluhung DIY, dan tidak diperkenankan sekali-kali menodai dan mencederai budaya termaksud.156 Mereka yang ‘tidak dikenal’ dianggap potensial menyebabkan kecolongan, dan menjadi perusuh dari tata nilai budaya adiluhung. Bahkan, spanduk yang dipasang di pinggir jalan tiba-tiba berubah menjadi laiknya mata yang terus mengawasi aktivitas preman yang kemudian direduksi sebagai pendatang, misalnya dengan spanduk bertuliskan “Premanisme: Bukan Sifat Asli Orang Jogja, Pergi atau Kita Usir”.

B. Korban Dinilai Preman yang Tak Bermoral

Bukannya para pelaku yang menyerang dan melakukan pembantaian di Cebongan yang disebut preman adalah orang-orang yang dikategorikan tak bermoral karena membunuh Serka Heru secara sadis dan menghancurkan rencana keluarga korban dengan isterinya, Indria, yang tengah hamil delapan bulan. Harian KR menulis demikian,

156 Kedaulatan Rakyat, 25 Maret 2013, hal. 7. “Nyalakan Lilin, Padamkan Kekerasan”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

82

[I]a [Indria] sedang hamil 8 bulan. Sebenarnya, sudah siap-siap pindah ke Yogya. Sebab suaminya semula bertugas di Grup 2 Komando Pasukan Khusus, lalu ke Kodim Kota Yogyakarta. Sebagai PNS di Palembang, Ny Indria sudah lama menabung untuk kelahiran bayi dan rencana kepindahannya tersebut, karena diperkirakan akhir April anak pertamanya lahir. Sebelum meninggal, suaminya ditelepon agar jika anaknya lahir, namanya dimasukkan ke anaknya..... [Serka Santosa] Dianiaya sekitar 10 orang sebelum tewas. Tidak saja ia ditendangi, dipukuli dengan botol, ia juga ditusuk berkali-kali, termasuk dengan pecahan botol. Darah berceceran di sejumlah tempat, karena Sertu Santosa diseret.157

Kisah tragis Serka Heru dan Indria mengantar kita untuk menemukan siapa sebenarnya ‘orang tidak dikenal’ itu. Dalam kutipan di atas diceritakan bahwa Serka Heru mati mengenaskan dan cerita mengenai keluarganya ini sungguh pilu. Pemberitaan ini mengajak para pembaca turut meratapi kisah ini. Dalam wacana ini, preman dicitrakan sebagai orang yang melakukan kekejaman di luar batas perikemanusiaan.

Harian Tribun Jogja juga mengisahkan kesaksian istri Serka Heru

Santoso. Berbeda dengan KR, Tribun tidak menuliskannya sebagai seorang

‘Nyonya’ yang memberikan penghormatan berlebihan. Cerita yang dibikin pun berbeda. Tidak ada tendangan, pukulan dengan botol, penusukan berkali-kali, dan tidak ada darah berceceran. Kesadisan tidak diumbar di

Tribun. Juga, Indria tidak punya firasat apapun mengenai kematian suaminya, berbeda dengan Kalapas dan Mbak Nona, istri Juan. Apabila KR menggambarkan penderitaan dan kekejaman dalam beritanya mengenai

157 Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2013, hal. 1 & 7. “Kesedihan Sertu Santosa. Sudah Siap Pindah ke Jogja”. Harian KR menulis pangkat Heru Santosa sebagai Sersan Satu (Sertu), seharusnya Sersan Kepala (Serka).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

83

Nyonya Indria, Tribun menggambarkan suatu kekuatan dan ketabahan dalam diri Indria.

Pada tanggal 27 Maret 2013, KR mulai menampilkan rubrik SMS

Pembaca bertajuk “Jogja Anti Preman dan Korupsi.” Rubrik tersebut berisi keresahan warga Yogyakarta akibat premanisme dan mengharapkan aparat

Polisi-TNI untuk turut serta menjaga Yogyakarta supaya “aman, nyaman, damai, dan tentram.” Situasi aman mengandaikan bahwa tidak ada gangguan yang datang dari luar komunitas. Namun, tentu saja, istilah preman belum merujuk ke orang yang sudah pasti. Preman masih digunakan untuk menandai orang tidak dikenal.

Empat konsep “aman, nyaman, damai, dan tentram” tersebut di atas memiliki arti yang sedikit berbeda. Nyaman lebih pada bagaimana seseorang mengalami dunia kesehariannya, orang bisa saja merasa nyaman namun tidak aman. Ketika orang berbicara tentang damai, istilah ini merujuk pada keadaan yang menunjukkan mampu mengatasi atau menyelesaikan konflik.

Tentram memiliki kemiripan dengan damai, hanya penekanannya lebih pada keadaan yang tenang tanpa konflik. Keempatnya merupakan bahasa slogan yang seringkali digunakan pada masa Orde Baru, misalnya saja slogan

“Yogyakarta Berhati Nyaman” yang menunjukkan bahwa “antara keberadaan kata-kata atau huruf yang berbunyi tidak perlu harus bertepatan dengan kebenaran dan kenyataan hidup sehari-hari.”158 Keempat kata yang menjadi penekanan dalam SMS tersebut menunjukkan bagaimana rust en orde

158 Budi Susanto, SJ., Peristiwa Yogya 1992: Siasat Politik Massa Rakyat Kota (Yogyakarta: Kanisius & Lembaga Studi Realino, 1993), hal. 35.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

84

(ketertiban dan kedamaian) yang pernah menjadi kebijakan kolonial diterapkan kembali.159

Bersamaan dengan rubrik SMS, desas-desus mengenai kasus kriminalitas Diki mulai santer. KR misalnya menyajikan liputan yang menunjukkan bahwa Diki, seorang anggota Kotikam dari NTT, merupakan korban pembantaian yang memang tidak masuk dalam kategori orang yang menghargai budaya adiluhung. Diki diandaikan sebagai orang yang secara moral tidak mendapatkan tempat di Yogyakarta. Pernah suatu kali Diki pada tahun 2007, bersama Ito, dikabarkan memperkosa pacar temannya sendiri.

Menurut Kasatreskrim Polresta Yogya Kompol Dodo Hendro Kusuma SIK,

Diki memperkosa pacar temannya sebanyak dua kali dalam satu hari, saat di dalam mobil dan saat di asrama NTT kawasan Lempuyangan.160

Muhammad Suhud, ketua Paksi Katon, sebuah kelompok Keamanan

Kecamatan Kraton yang kemudian menjadi bagian resmi Forum Kemitraan

Polisi dan Masyarakat (FKPM), menyatakan bahwa seharusnya tidak hanya empat orang saja yang dibantai, melainkan kedua belas anggota Diki lainnya yang belum tertangkap.161 Ia kembali mengulang cerita-cerita buruk yang dilakukan Diki dkk. Anggota Diki dkk. ini terkenal sebagai preman yang sadis dan keji. Cerita-cerita mengenai kekejaman Diki dkk. mulai dibagikan dan berlanjut hingga pengadilan berlangsung. Misalnya saja ia sering memalaki

159 Lihat dalam Shiraishi, 2009, Op.Cit., hal. 138. 160 Kedaulatan Rakyat, 27 Maret 2013, hal. 1. “Saksi Disuruh Tepuk Tangan”. 161 Wawancara dengan Muhammad Suhud, 13 Mei 2016. Dalam sebuah buletin bernama “Malioboro” yang khusus diterbitkan oleh gerakan pro-Kopassus pada tanggal 24 Juni 2013, terdaftar sebanyak 14 orang anggota Diki cs.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

85

pedagang-pedagang kecil di Babarsari atau ia memotong telinga seorang anggota TNI AU. Bahkan, buletin Malioboro 162 merilis laporan daftar kejahatan yang dilakukan Diki dkk. dari tahun 2000-2013.

Sementara Diki dkk. mulai dikenal oleh masyarakat, ‘orang tidak dikenal’ yang menyerang dan membunuh Diki dkk. menjadi perbincangan yang semakin kabur sekaligus menimbulkan keingintahuan masyarakat mengenai siapa sebenarnya pelaku penyerangan. Pada 30 Maret 2013 sebuah facebook dengan nama akun Idjon Janbi menggunggah status ‘Pelaku

Penyerangan LP Sleman adalah Aparat Kepolisian’. Tidak hanya di facebook, publikasi ini juga menjangkau ranah-ranah yang lebih privat seperti BBM dan milis.163 Idjon Janbi jelas bukan orang yang masih berkeliaran. Dia ‘diangkat dari kuburnya’ dari pemakaman Kuncen, Yogyakarta. Idjon merupakan komandan pertama Kesatuan Komando Tentara Territorium

III/Siliwangi (Kesko TT) yang di kemudian hari, tanggal 26 Desember 1986, menjadi Kopassus.

Aparat kepolisian dituduh oleh ‘Idjon Janbi’ sebagai pelaku penyerangan, yang apabila benar berarti kepolisian justru melakukan tindakan bunuh diri dengan mempertontonkan konflik dalam institusinya sendiri.164 Alih-alih melakukan bunuh diri, ternyata pejabat kepolisian justru mendapatkan untung dengan pembantaian tahanan Diki dkk. termaksud.

162 Wawancara dengan Julius Felicianus, 19 April 2016. Buletin ini secara khusus dibuat oleh gerakan pro-Kopassus untuk kepentingan propaganda Cebongan. 163 Kedaulatan Rakyat, 31 Maret 2013, hal. 1. “Polri-Komnas HAM Kompak Membantah. Heboh ‘Facebook’ Penyerangan LP” 164 Kapolri Jenderal Timur Pradopo hanya berpendapat bahwa apa yang ditulis Idjon Janbi tidak bisa dipertanggungjawabkan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

86

Kapolresta Yogyakarta, Kombes Pol M Mustaqim SIK, menyampaikan bahwa semenjak adanya insiden Lapas Cebongan, Yogyakarta semakin kondusif. Ada nada-nada yang menyiratkan bahwa penyerangan Lapas ini mendekatkan pada capaian hasil sebagaimana diharapkan masyarakat supaya Yogyakarta menjadi aman, nyaman, damai, dan tentram. Kapolres Kulonprogo AKBP

Johanes Setiawan Wijanarko SIK MH berpendapat lebih menarik, baginya menurunnya angka kriminalitas di Yogyakarta pasca Cebongan adalah

“kebetulan saja.” Berbeda dengan feeling, kebetulan mengandung unsur menguntungkan. Namun kedua-duanya juga terjadi sebagai sebuah ketidaksengajaan. Bagi pihak kepolisian, kebetulan atau ketidaksengajaan ini justru mendatangkan semacam berkah yang tidak diharapkan namun secara ajaib muncul. Karakter ketidakterdugaan dari berkah menegaskan bahwa berkah datang dari sebuah kekuasaan yang berada di luar kuasa manusia namun manusia merasa senang untuk mendapatkannya.165

Tapi, apakah masyarakat Yogyakarta mendapatkan berkah sebagaimana disampaikan pihak kepolisian lewat menurunnya tingkat kriminalitas? Beberapa masyarakat Yogyakarta yang menganggap diri asli

Yogyakarta, mungkin merasakan berkah ini. Namun, tidak semua demikian.

Masyarakat di sekitar Cebongan justru terteror dengan kejadian ini.

Beberapa minggu setelah penyerbuan dan pembantaian Cebongan, tidak sedikit warga sekitar lapas Cebongan dan secara umum masyarakat yang merasakan teror tersebut. Beberapa orang yang tinggal di sekitar lapas

165 Benedict R.O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca & London: Cornell University Press, 1990), hal. 22-23.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

87

awalnya mengira bahwa suara suara senapan adalah suara petasan. Ketika mengetahui bahwa yang mereka dengar adalah bunyi senapan, seorang warga mengatakan bahwa suasana mencekam. Hari berikutnya mulai tersebar foto-foto korban lewat BBM yang menurut orang tersebut sadis disertai dengan razia.

C. Pembantai yang Menjadi Ksatria

Orang tidak dikenal yang dianggap oleh sekelompok warga masyarakat membuat Yogyakarta menjadi aman, nyaman, damai, dan tentram ini, akhirnya terungkap secara publik pada tanggal 4 April 2013, sedangkan tim investigasi telah mengetahuinya pada tanggal 29 Maret 2013, sehari setelah tim tersebut dibentuk. Ketua Tim Investigasi TNI AD, Brigjen

TNI Unggul Yudhoyono, menyatakan bahwa mereka adalah 11 oknum166 anggota Grup 2 Kopassus. Pengungkapan ini sekaligus menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Pangdam dan Dan Grup 2 Kopassus tidak sedikitpun benar. Berbarengan dengan pengungkapan, istilah preman mulai muncul. Unggul mengatakan bahwa anggota Grup 2 Kopassus termaksud adalah yang “mengakibatkan terbunuhnya empat tahanan preman”.167 Harian

166 Oknum secara literal berarti anasir atau seseorang yang diarahkan kepada seseorang yang melakukan tindakan di luar mandat kelompok. Istilah ‘oknum’ biasa digunakan secara eksklusif dalam tidakan kriminalitas yang dilakukan oleh anggota ABRI yang terlibat dalam perampokan, penembakan, bekking. Penggunaan ini kemudian diperluas sampai ke penyebutan ‘oknum’ pelajar, ‘oknum’ wartawan, bahkan ‘oknum’ preman. Menurut Ryter, penggunaan ‘oknum’ preman menunjukkan bahwa preman berada dalam status yang semi-resmi. Lihat Ryter, 2001, Op.Cit., hal. 126; 146. 167 Kedaulatan Rakyat, 5 April 2013, hal. 1. “Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

88

KR menuliskannya sebagai headline: “Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui

Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab.”

Tribun melansir berita dengan memunculkan istilah preman dengan cara dan konteks yang berbeda. Mereka mengutip kembali ungkapan Mayjen

Hardiono Saroso pada tanggal 23 Maret 2013 setelah berkunjung ke Lapas

Cebongan. Tribun menulis bahwa,

Sesudah mengunjungi Lapas Cebongan bersama Menkumham Amir Syamsuddin Sabtu siang [23 Maret 2013], Hardiono Saroso mengulang bantahannya. Ia justru [penekanan] memberi peringatan keras kepada kelompok-kelompok preman.

“Saya peringatkan kepada para preman-preman, jangan menyakiti rakyat dan aparat baik itu TNI maupun Polri lagi. Kami jamin masalahnya ini akan tuntas.”168

Tribun menunjukkan kecurigaan terhadap institusi TNI yang pada awalnya mengira Hardiono Suroso akan kembali membantah keterlibatan anggota

TNI dalam pembantaian Cebongan. Namun ternyata Hardiono Saroso mengatakan bukan masalah apabila Kopassus yang menjadi pelaku, masalah justru muncul saat preman beraksi. Tribun menggunakan kata justru yang merujuk pada “malahan sebaliknya.” Alih-alih Hardiono Saroso mengatakan bahwa ada keterlibatan dari oknumnya, malahan sebaliknya preman-preman tidak boleh menyakiti rakyat dan aparat baik itu TNI maupun Polri. Tetapi, mengapa pelaku ini bukan lagi disebut preman? Apakah peringatan terhadap preman ini adalah sesuatu yang kebetulan? Mengapa ucapan ini disampaikan

168 Tribun Jogja, 30 Maret 2013, hal. 7. “Indikasi Pelaku Oknum Militer”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

89

tanggal 23 Maret 2013 dan baru disampaikan oleh Tribun dalam berita pada

30 Maret 2013 setelah dibentuk tim investigasi di badan TNI?

Letjen TNI Agus Sutomo, yang menjadi Komandan Jendral (Danjen)

Kopassus tahun 2012-2014, berpendapat agak lain. Menurut Letjen lulusan

Akmil 1984 ini, tindakan penyerangan tersebut tidak bisa dibenarkan meskipun didasari solidaritas dan rasa hormat terhadap rekannya. Mereka adalah prajurit yang jiwanya bangkit karena seorang temannya mati dan seorang lagi nyaris mati karena preman. Logika pernyataan ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa korban pembantaian Cebongan mati akibat kebangkitan jiwa prajurit, akibat ulahnya sendiri, akibat kesadisannya dan bukan mati karena dibantai. Segera orang bisa menebak bahwa itu adalah bahasa basa-basi yang musti konstitusional atau bahasa kebapakan yang semu.169 Basa-basi konstitusional ini juga disampaikan Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengatakan bahwa tindakan main-hakim sendiri itu, bagaimanapun, tidak bisa dibenarkan dengan adanya jiwa korsa170 terhadap Serka Heru yang telah dibunuh oleh “sekelompok orang sadis.”

169 Ben Abel & Benedict Anderson, “Wawancara Benedict Anderson: Tentang ‘Lengser Keprabon’”, 25 November 1997, diunduh dari https://ekosospol.wordpress.com/2011/08/16/wawancara-benedict-anderson-tentang- lengser-keprabon/ pada 24 Agustus 2016. 170 Jiwa korsa merupakan saduran dari bahasa latin ‘esprit de corps’ dari Samuel Huntington. Istilah ini dipinjam oleh Letjen Try Sutrisno dalam ceramahnya sebagai KASAD pada tanggal 31 Januari 1987. Dalam penerapan di dunia militer Indonesia, jiwa korsa merujuk pada kesetiaan terhadap Sapta Marga. Lihat dalam Honna, 2003, Op.Cit., hal 64-65. Pada tahun 2014, Dansekoad Mayjen TNI Agung Risdhianto, M.D.A., menuliskan bahwa jiwa korsa merupakan “semangat keakraban dalam korps atau corps geest. Jiwa korsa adalah kesadaran korps, perasaan kesatuan, perasaan kekitaan, suatu kecintaan terhadap perhimpunan atau organisasi. Tetapi kebanggaan itu secara wajar, tidak berlebihan, tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

90

Jiwa, bagi orang yang dididik dalam tradisi Jawa, merupakan istilah yang dianggap luhur. Suatu jiwa adalah yang mendorong terjadinya suatu keutuhan. Orang kalau ingin menjadi satu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti) mustilah mengetahui (weruh) jiwanya sendiri (kawruh jiwa atau dalam bahasa Inggris disebut science of the psyche).171 Orang akan lebih sering mendengar seseorang berjiwa pahlawan, daripada seseorang berjiwa preman. Bahkan, preman seringkali dikait-kaitkan dengan orang yang telah menghilangkan jiwa karena kejahatannya. Dalam percakapan sehari-hari, satu-satunya istilah yang secara moral positif mengenai jiwa preman adalah unsur solidaritas yang terkandung di dalamnya. Solidaritas inilah yang juga digunakan pihak TNI untuk mengatakan jiwa korsa yang berarti bersolidaritas namun berbeda dengan solidaritas para preman. Solidaritas preman merupakan solidaritas, yang menurut SBY, sadis – atau meminjam bahasa Soeharto; melebihi batas perikemanusiaan.172 Sementara itu, tidak muncul istilah sadis dalam pembantaian yang dilakukan para anggota Grup 2

Kopassus. Komentar SBY, sebagai seorang elite, mengenai pembantaian

Cebongan menganut logika demikian: “meskipun untuk membunuh 4 orang

membabi buta... Di dalam jiwa korsa terkandung di dalamnya loyalitas, motivasi, merasa ikut memiliki, merasa bertanggung jawab, ingin mengikuti pasang surut perkembangan korpsnya. Seorang yang memiliki jiwa korsa tinggi pasti penuh inisiatif, motivasi, tetapi tahu akan kedudukan, wewenang dan tugas-tugasnya. Jiwa korsa yang murni dan sejati akan menimbulkan sikap terbuka menerima saran dan kritik, tidak membela kesalahan tetapi justru mengusahakan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya.” Lihat dalam Mayjen TNI Agung Risdhianto, M.D.A., “Profesionalisme Prajurit sebagai Faktor Penentu Soliditas dan Integritas TNI AD”, dalam Jurnal Yudhagama, Volume 34, No. 2, Juni 2014, hal. 13. 171 Istilah ini bisa dilihat dalam Marcel Bonneff, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince an Philosopher (1892-1962)”, dalam Indonesia, Volume 57 (April 1994), hal. 49-70. 172 Lihat dalam G. Dwipayana & Ramadhan K.H., Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 389.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

91

tahanan diperlukan 31 selongsong peluru, tindakan ini tidak ada kaitannya dengan kesadisan.”

Kategori orang tak dikenal yang menimbulkan rasa takut dan syok mulai dibalik pada saat para anggota Kopassus itu diketahui sebagai penyerang. Para preman yang sadis itu kini mengisi penanda mengambang

Orang Tidak Dikenal (OTD) yang dalam sejarah Indonesia diasosiasikan dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).173 Kesadisan para preman ini tidak berbeda dengan OTB yang ditakutkan para petinggi militer pada tahun 1990- an bisa menciptakan kerusuhan maupun ketidakstabilan politik.174 Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa penyebutan OTD mengaburkan sekaligus mementahkan bahwa ada kelompok-kelompok yang fragmentatif dalam suatu komunitas (OTB).

Kini para pembantai tersebut tidak lagi menjadi orang tidak dikenal atau preman, justru mereka adalah “ksatria [yang] telah mengakui perbuatannya” dan “siap mempertanggungjawabkan apapun risiko atas dasar kehormatan prajurit ksatria.”175 Dalam mitologi Jawa, seorang ksatria

(satrya) sejati tidak pernah meragukan tugasnya hanya karena sentimen pribadi atau perasaan keluarganya. Ksatria musti melaksanakan tugasnya

173 Penggunaan istilah OTB dipopulerkan oleh Kasum ABRI Letjen Soeyono pada tahun 1995 dalam rangka menanggapi isu politik berupa keterbukaan ABRI dan HAM. OTB merujuk pada dua bentuk organisasi komunis, yakni kelompok pertama yang menjadi pendukung PKI serta kelompok kedua yang terpengaruh dengan kelompok pertama dan sedang berusaha mendiskreditkan pemerintah lewat isu HAM, demokratisasi, dan perlindungan lingkungan. Meskipun awalnya diarahkan ke PKI, namun akhirnya OTB terarah kepada oknum. Lihat dalam Honna, 2003, Op.Cit., hal. 119-120. 174 Jun Honna, Military Politics and Democratization in Indonesia (Oxon & New York: RoutledgeCurzone, 2003), ha. 122. 175 Kedaulatan Rakyat, 5 April 2013, hal. 1. “Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

92

tanpa mengeluh atau ratapan yang tak berguna. 176 Dalam hal ini, moral – dengan demikian hukum177 – tidak lagi menjadi masalah utama. Dalam pembantaian ini, asal ksatria bisa melaksanakan tugasnya, pelanggaran

(hukum) layak dilakukan.

Ksatria jenis baru dalam pembantaian Cebongan ini justru lahir dari sebuah sentimen pribadi di mana Ucok mengatakan bahwa ia membantai karena ia merasa berhutang-budi dengan Serka Heru yang pernah menyelamatkannya saat operasi militer di Papua.178 Meskipun demikian, mereka juga muncul pada saat terjadi krisis, terkhusus keamanan, sebagai jawaban akan ancaman gangguan sosial. Dengan kondisi tersebut, ksatria menjadi figur baru yang dengan mudah “mendapatkan perhatian dan kewibawaan yang tak mungkin ada pada mereka dalam waktu-waktu damai.”179

Lantas, para ksatria ini, sebagaimana pahlawan, adalah tokoh teatral yang “mesti cukup agung, cukup dramatis, cukup fiktif [fantastik], namun cukup meyakinkan.”180 Tak heran apabila kehadiran ksatria dari Kopassus ini dalam rangka membantai karena rasa solidaritas terhadap kesatuan terutama setelah rekan mereka Serka Heru Santoso dibunuh secara keji dan sadis oleh preman. Mereka, dikatakan Unggul, ingin membela kehormatan

176 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 24-27. 177 Istilah ‘hukum’ digunakan bukan untuk menyebut legislasi, namun lebih pada prinsip yang mendasari relasi sosial. Lihat Evans, 1996, Op.Cit., hal. 101. 178 Tribun Jogja, 17 Juli 2013, hal. 1 & 7, “Sugeng Lihat Ucok Gemetar (Pengacara Ingin Hadirkan Sertu Sriyono)” 179 Anderson, 1988, Op.Cit., hal. 29. 180 Sanento Yuliman, “Dalam Bayangan Sang Pahlawan”, dalam Horison, Maret 1968, hal. 68. Beberapa ‘cukup’ yang ditunjukkan Sanento Yuliman merujuk pada bagaimana pahlawan dibacarakan dalam bahasa lisan dan percakapan sehari-hari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

93

satuan yang telah dilecehkan preman. Tentu saja membela kehormatan satuan tidak kemudian sama dengan membela keamanan masyarakat.

Apabila diperhatikan, anggota Grup 2 Kopassus ini tak pernah ditangkap. Tidak ada penangkapan, yang ada adalah pengungkapan. Sebuah penangkapan mensyaratkan pihak lain yang bukan orang dalam. Sementara itu, Diki dkk. ditangkap karena datang mengacaukan stabilitas dan perlu diasingkan ke penjara. Tidak adanya penangkapan terhadap para pembantai

Diki dkk. seolah-olah menunjukkan bahwa para pembantai bukan lagi orang tak dikenal, mereka adalah orang yang telah lama dikenal.

Gambar 3.1. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 6 April 2013

Secara resmi, Sultan HB X mengapresiasi pengungkapan-diri para pelaku, “TNI patut diapresiasi. Sekarang tinggal bagaimana konsistensi aspek hukum di pengadilan militer,” kata Sultan di DPRD DIY.181 Pada tanggal 6

April inilah Sultan untuk pertama kalinya komentar soal TNI di Cebongan

181 Kedaulatan Rakyat, 6 April 2013, hal. 7. “Anak Buah Serbu Lapas, Danjen Kopassus Tanggung Jawab. 7 Penganiaya Santoso Masih Bebas”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

94

dalam harian KR. Sultan berbicara dalam dua kaki, sebagai pemimpin politik dan pemimpin budaya. Namun, secara umum, masyarakat Yogyakarta lebih cenderung menyebutnya Sultan dan bukan ‘gubernur’. Keakraban dengan sebutan Sultan ini menunjukkan bahwa ketika berbicara, posisi HB X, bagi masyarakat, cenderung dipahami sebagai pemimpin budaya. Komentar konstitusional tersebut menandai bahwa ada transisi dari yang tadinya melulu urusan militer dan HAM nasional, kini menjadi sah secara lokal.

Dengan demikian, wacana penyerangan dan pembunuhan Cebongan ini ditegaskan bukan melulu urusan otoritas dengan rakyat, melainkan urusan masyarakat dengan para preman.

Tidak jauh berbeda dengan Sultan, dan sangat bisa ditebak, Letjen

TNI (Purn) Sutiyoso berpendapat bahwa ini bukanlah salah institusi,

melainkan salah oknumnya saja. Ia mengatakan,

‘Masyarakat, media, kita, masih perlu TNI untuk menjaga negara, dan Kopassus diberi tugas khusus yang tidak bisa dijalankan oleh anggota (TNI) biasa. Sekelompok manusia saja ada oknum... Baret merah, saya tetap bangga dan cinta kepada kalian. Perbaiki Komando.’182

Oknum, dalam istilah bahasa Indonesia, terarah pada seseorang dengan arti yang kurang baik secara etis-moralis. Sutiyoso yang pernah menjadi Wakil Komandan Jendral (Wadanjen) Kopassus selama 1992-1993 seperti tidak paham bagaimana seorang oknum prajurit sehari-harinya hidup dalam institusi. Padahal, selama 30 tahun ia hidup dalam institusi militer dengan menghabiskan waktu sekitaran 22 tahun dalam kesatuan Kopassus.

182 Kedaulatan Rakyat, 7 April 2013, hal. 10. “Sikap Kopassus Diapresiasi. Pangdam IV/Diponegoro Diganti”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

95

Ia bertindak sebagai seorang bapak yang senantiasa mengayomi anak- anaknya. Ia tetap cinta dan bangga. Apakah berarti ia bangga bahwa pembantaian di Cebongan berhasil?

D. Dukungan terhadap Pembantai: Kemanunggalan TNI-Rakyat?

Pada hari Minggu, 7 April 2013, muncul gerakan solidaritas semiliar koin untuk Indria, istri Serka Heru. Selain solidaritas, aksi yang dipimpin

Irwan Cahya Nugraha ini memiliki agenda berupa “wujud kepedulian untuk situasi Kota Yogya yang aman dan nyaman.” Dalam aksi ini, spanduk-spanduk anti-premanisme mulai ditampilkan. Spanduk berasal dari kata berbahasa

Belanda, “spandoek”, “span” berarti “merentangkan” dan “doek” berarti

“kain”. Namun, karena penggunaannya yang cenderung mengandung unsur polusi visual, spanduk di-pleset-kan oleh André Möller, seorang penyusun kamus Swedia-Indonesia, menjadi spamduk dengan “spam” berarti “surat yang dikirim tanpa diminta melalui internet, biasanya berisi iklan.” Lantas, spamduk bisa diartikan “kain yang direntangkan tanpa diminta sepanjang jalan, biasanya berisi iklan.” 183 Spanduk yang terpasang di titik-titik strategis seperti perempatan Gondomanan, perempatan Jalan Kaliurang, dan Nol

Kilometer ini dikatakan Irwan beriklan supaya Yogya aman dan nyaman serta berisi seruan ‘anti premanisme dan usir preman dari Yogya. Irwan

183 Lihat dalam André Möller, “Spamduk”, dalam Kompas, 18 Januari 2014.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

96

dikenal sebagai pemilik Jogja Wall Nation, sebuah event organizer yang sering bekerjasama dengan TNI.184

Gambar 3.2. Spanduk Pro-Kopassus dan Anti-Premanisme

Berbeda dengan aksi yang dilakukan pada 28 Maret 2013, aksi kali ini sudah terarah ke siapa sang preman. Dalam aksi tanggal 28 Maret 2013, preman yang dimaksud masih mengambang belum tentu apakah Diki dkk. ataukah orang tak dikenal yang membantai Diki dkk. Namun, setidaknya, ormas Kotikam, di mana Diki bergabung, masih turut serta pada aksi tanggal

28 Maret 2013. Aksi tanggal 7 April 2013 ini lebih jelas siapa yang dianggap preman, Irwan melalui KR mengatakan, “Penggalangan dana juga dilakukan untuk Sertu Sriyono, anggota TNI yang juga menjadi korban kekerasan para preman.” Dengan demikian, yang dimaksud preman oleh Irwan maupun KR adalah pihak Diki dkk. – sebagaimana sudah disebutkan serupa oleh para perwira TNI.

Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro, yang tentu saja berbicara atas nama aparat pemerintahan, justru mengatakan bahwa pembantaian terhadap keempat tahanan ini bukanlah sebuah pelanggaran

184 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

97

HAM. Purnomo mengatakan bahwa aksi penyerbuan hanya dilakukan prajurit. Seolah-olah pelanggaran HAM hanya bisa terjadi apabila dilakukan oleh perwira-perwira tinggi. Ada sebuah penyingkiran yang dilakukan

Menhan ini terhadap prajurit yang hanya mengungkapkan aksi spontanitas belaka. Komentar yang muncul dalam harian KR tanggal 12 April 2013185 ini patut dicatat. Bagi Purnomo, penghilangan nyawa seseorang yang jelas-jelas melanggar HAM ini menjadi sekadar spontanitas belaka. Spontanitas bisa saja diartikan bahwa pembantaian tersebut merupakan hal yang wajar.

Dengan demikian, membantai orang dengan brutal adalah sepatutnya terjadi.

Kepatutan yang terjadi ini dilakukan oleh para prajurit, yang mana dalam komentar ini dilihat sebagai orang yang belum matang sehingga spontanitas itu mungkin terjadi.

Spontanitas membantai tersebut, menurut temuan TNI AD, didorong oleh pembalasan dendam terhadap Serka Heru.186 Menurut Priyo Budi

Santoso, pembalasan dendam ini adalah benar adanya. “Mereka bertindak salah, iya. Tetapi, mereka telah melakukan langkah yang diyakini secara moral itu benar. Karena itu, saya meminta kita semua harus adil.”, kata

Priyo.187 Apa yang dikatakan Priyo tidak lain adalah bahwa balas dendam dengan membunuh secara moral tidaklah salah. Baginya, keadilan hanya terjadi apabila pembunuhan terjadi, yang berarti hukum boleh dilanggar.

185 Kedaulatan Rakyat, 12 April 2013, hal. 1 & 7. “Tak Perlu Dewan Kehormatan Militer” 186 Kedaulatan Rakyat, 14 April 2013, hal. 1. “Proses Hukum 11 Oknum Kopassus. Panglima TNI Jamin Sidang Terbuka” 187 Kedaulatan Rakyat, 17 April 2013, hal. 1 & 7. “Priyo Budi Santoso Anggap Tak Adil. Komnas HAM Tumpul Hadapi Preman”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

98

Sementara itu, dalam tulisan yang sama, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN),

Hendropriyono, menyatakan dalam hari ulang tahun Kopassus ke-61 bahwa

Komnas HAM tidak berimbang dan terlalu menyudutkan Kopassus, KR menuliskan demikian,

Pada kesempatan berbeda, mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Hendropriyono juga memberikan respons yang sama dengan Priyo terhadap kinerja Komnas HAM. Mantan Mentrans PPH itu memberi penilaian bahwa pernyataan Komnas HAM itu tidak berimbang dan terlalu menyudutkan Kopassus. "Komnas HAM suruh belajar dulu! Saya enggak percaya Komnas HAM berpikiran seperti itu. Kita prajurit dan dikirim ke medan pertempuran, tapi kita jadi salah di mana-mana karena politik," kata Hendropriyono, seusai menghadiri acara hari ulang tahun (HUT) ke-61 Kopassus, di Makopassus, Cijantung, Jakarta Timur.

Hendro menegaskan, dalam kasus penyerangan di Lapas Cebongan, yang melanggar HAM justru kelompok preman karena telah menyerang dan membunuh seorang anggota Kopassus di Hugos Cafe. Hal itu ia lontarkan berdasarkan rekaman CCTV yang jelas-jelas merekam penyerangan brutal pada anggota Kopassus. "Coba lihat (CCTV) orang bebas masuk ke mana saja, kok malah digebukin? Sampai mati pun diseret. Itu pelanggaran HAM. Kopassus secara hukum salah, tapi secara moral saya setuju," ujarnya.188

Pemberitaan tersebut menunjukkan bahwa Jenderal Hendropriyono yang diduga terlibat pembunuhan Munir, Talangsari, dan Operasi Seroja Timor

Timur189 mengatakan bahwa dia dan para prajurit justru diposisikan salah karena politik. Baginya ini pembunuhan Serka Heru dilakukan dengan cara brutal sebab saat Serka Heru sudah mati tetap saja Diki dkk. menyeretnya.

188 Ibid. 189 Lihat dalam http://syaldi.web.id/mot/Hendropriyono.htm diunduh pada 1 Desember 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

99

Danrem 072/Pamungkas, Brigjen TNI Adi Wijaya, meminta masyarakat untuk mempercayakan keamanan kepada polisi dan TNI, bukan kepada preman. Pernyataan ini menegaskan bahwa sebenarnya telah ada keamanan yang diurusi preman sebelumnya. Menjadi pertanyaan kemudian kenapa pernyataan ini baru dilontarkan ketika ada pembantaian Cebongan dan tidak sedari awal pembantaian terjadi. Kedua, pernyataan ini ia ucapkan dalam ‘dalam acara silaturahmi antara TNI dengan komponen masyarakat untuk memperkuat ketahanan nasional’ pada hari Rabu tanggal 17 April

2013 di Makorem. Pertemuan ini dihadiri Kapolda DIY yang baru, Brigjen Pol

Haka Astana, Lanud Adisutjipto, Ketua PWI Yogyakarta, Kapolres, Dandim se-

DIY, mahasiswa, ormas-ormas, dan, KR menuliskan, ‘lainnya.’ Silaturahmi adalah cara yang lazim untuk mempertahankan (bukan membangun saja) hubungan. Mudah ditebak dalam pertemuan ini menegaskan ulang kemanunggalan TNI dengan rakyat. Baik dari pihak TNI maupun Polda meminta dukungan masyarakat untuk mempertahankan NKRI, mempertahankan suatu konsep politis yang sifatnya diberikan dari atas ke bawah. Strategi ketahanan nasional ini dengan sendirinya menafikan sebagian anggota bangsa, dalam konteks ini preman, dengan menciptakan suatu negara.

Kemanunggalan TNI dengan rakyat, juga dengan polisi, juga ditegaskan ulang pada acara mubeng beteng (berjalan mengelilingi benteng kraton).

Pada acara rapat persiapan mubeng beteng tertanggal 24 April 2013,

Widihasto menuliskan di dalam halaman facebook-nya bahwa acara mubeng

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

100

beteng akan dilepas oleh Sultan, Danrem, dan Kapolda. Menarik bahwa dalam acara mubeng beteng ini Sultan HB X kembali angkat bicara,

Sultan mengatakan, kegiatan tersebut menunjukkan situasi keamanan di DIY kondusif dengan bersatunya rakyat, TNI dan Polri. "Keberangkatan personel TNI-Polri untuk menjalankan tugas negara mendapatkan restu dari masyarakat DIY. Mereka (TNI-Polri) kan bagian dari masyarakat juga. Jati diri TNI kan dari, oleh dan untuk rakyat," kata Sultan.190

Dukungan terhadap para anggota Kopassus ini terus berlanjut hingga persidangan dilakukan. Gubernur DIY Sultan HB X sendiri mengambil sikap yang ambigu dengan tidak mempermasalahkan adanya dukung tidak mendukung dari sekelompok masyarakat.191 Pada hari yang sama, KR juga menerbitkan artikel dengan seorang sosiolog UNY, Sugeng Bayu Wahyono

MSi. Tidak jauh berbeda dengan Sultan, ia juga mengambil sikap ambigu,

“Banyak dukungan terhadap aksi pemberantasan premanisme dengan pendekatan militerisme tersebut. Di sini masyarakat tidak mendukung oknum TNI-nya tetapi mereka mengapresiasi niat aparat keamanan yang ingin meringkus praktik premanisme di DIY.”192 Tentu saja sah-sah saja

Sultan bersikap demikian, kalau tidak, bisa-bisa dia kehilangan pengaruh dari salah satu pihak, entah yang melakukan dukungan atau yang justru antipati terhadap pelaku pembantaian. Namun, sikap ambigu Sultan ini justru terdengar aneh saat ia memberikan sambutan dalam acara penandatanganan

190 Kedaulatan Rakyat, 29 April 2013, hal. 1 & 7. “Wujud Kemanunggalan Rakyat-TNI-Polri. Ribuan Warga DIY Mubeng Beteng” Sebagai catatan, berita ini justru tidak muncul dalam Tribun Jogja. 191 Kedaulatan Rakyat, 4 Juni 2013, hal. 1 & 7. “Disiapkan Teleconference Cebongan. Sultan Persilakan Mendukung” 192 Ibid., 7.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

101

Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemda DIY, Polda DIY, Kejati

DIY, Korem 072 Pamungkas, dan Badan Intelijen negara (BIN) wilayah DIY di

Mapolda DIY tanggal 4 Juni 2013. Sultan mengatakan bahwa kekerasan di

DIY akhir-akhir ini didominasi konflik kepentingan antar ormas. Sekali konflik itu dibiarkan, dan demikian tidak ditanggapi secara konsisten, maka konflik serupa selanjutnya akan terjadi. Orang boleh menebak, cara menanggapi secara konsisten berarti sebagaimana terjadi di Lapas Cebongan, menanggapi kekerasan dengan kekerasan, kebrutalan dengan kebrutalan.

Tidak sekadar mendukung, Jendral TNI Moeldoko, Panglima TNI yang baru saja menggantikan Laksamana Agus Suhartono, justru menyampaikan bahwa negara juga hadir memberi dukungan. Menurut Moeldoko, para pelaku bersikap ksatria dengan mengakui kesalahannya. Moeldoko kemudian mengkait-kaitkan bahwa para anggota Grup 2 Kopassus ini dengan tulus mengabdi kepada negara. Apakah dengan demikian membantai preman ini merupakan ketulusan pengabdian prajurit terhadap negara? Sementara itu,

Ketua Paksi Katon, Muhammad Suhud, akan turut serta mengerahkan anggotanya untuk hadir. Paksi Katon ingin turut serta mewujudkan

Yogyakarta yang kondusif.

Pada tanggal 18 Juni 2013, sebanyak 27 prajurit Grup 2 Kandang

Menjangan berziarah ke Taman Makam Pahlawan Yogyakarta. Figur pahlawan memiliki sejarah panjang di Indonesia. Sejarah panjang ini memungkinkan pahlawan untuk dimitoskan, melegitimasi suatu bangsa, bahkan melegitimasi kekuasaan. Pada masa Soekarno, pahlawan merupakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

102

mereka yang turut berjuang pada masa revolusi 1945. Soeharto, yang menjadi presiden menggantikan Soekarno, memperluas jangkauannya dengan membawa-bawa pada masa sebelum “Indonesia” lahir seperti

Diponegoro, Pattimura atau Imam Bonjol. Pemitosan pahlawan dari berbagai daerah ini mendukung pembayangan bangsa sebagai sebuah keluarga.

Namun, menarik untuk dicatat bahwa apa yang dilakukan 27 prajurit yang berziarah tersebut adalah “berharap para tersangka mendapat hukuman yang ringan” dan bukan berharap para tersangka dihukum secara adil.193

Harapan ini seperti menempatkan para pahlawan sebagai sebuah kematian yang memiliki kekuatan ajaib dengan mampu mengabulkan permohonan.

Widihasto menceritakan bahwa ia ketemu dengan seorang Kapten dari Grup-

2 Kandang Menjangan yang mengatakan bahwa Kopassus dididik untuk membunuh, tapi demi keselamatan lebih banyak orang.194

Dukungan yang digagas oleh elemen masyarakat195 mulai muncul ke wacana pada 22 Mei 2013. Harian KR mengklaim ada sekitaran 150 orang yang datang ke Denppom IV/Diponegoro. Pemberangkatan “150 orang dari berbagai elemen” diurusi sebuah kepanitiaan. Harian tersebut menuliskan demikian,

Menurut panitia, Julius Felecianus, rombongan yang dipimpin Widihasto akan mengadakan acara ritual sekaligus membesuk

193 Kedaulatan Rakyat, 19 Juni 2013, hal. 1. “Bentuk Solidaritas dan Dukungan. Kopassus Ziarah ke Makam Pahlawan” 194 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016. 195 Tidak diragukan lagi bahwa penggunaan istilah ‘elemen masyarakat’ ini hanya sekadar domestikasi istilah ‘ormas’ yang telah mendapatkan nama buruknya di hadapan masyarakat. Sebelum Sekber bergabung dalam pengorganisiran dukungan, dukungan muncul dari ormas-orams yang sudah tidak asing lagi di masa Orde Baru.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

103

12 orang anggota Kopassus yang ditahan karena kasus Lapas Cebongan. "Kami akan memberikan dukungan moral kepada mereka," kata Julius. Menurut rencana rombongan akan berkumpul di Alun-alun Utara pukul 08.00 menggunakan 8 bus.196

Sejumlah 150 orang dari berbagai elemen tersebut di hari berikutnya oleh KR disebut sebagai “ratusan warga Yogya.” Apabila elemen adalah suatu lapisan atau bagian yang ada di masyarakat, maka warga mengambil bentuk yang lebih pasti, warga adalah mereka yang sudah dikenal dan menjadi anggota sebuah komunitas bernama Yogya. Istilah yang digunakan KR pun menarik, KR menulis ratusan yang berarti merentang antara seratus sampai kurang dari seribu. Pengaburan jumlah ini mengesankan bahwa banyak elemen. Elemen yang tergabung dalam warga Yogya ini terdiri dari Sekber

Keistimewaan DIY, Srikandi Mataram, Paksi Katon, GP Ansor, FKPPI,

Paguyuban Pedagang Kaki Lima Malioboro, Pareanom, Paguyuban Tukang

Becak Malioboro dan Banser.

Elemen-elemen masyarakat tersebut menggelar ritual doa bersama di halaman Denpom IV/5 Semarang, Para pemimpin doa seakan-akan sudah tersegmen mewakili para pemeluk agama di DIY. KH Muhammad Jazir dari majelis Dakwah MUI Yogyakarta yang mewakili pemeluk agama Islam. Kedua adalah Julius Felicianus yang mendaku Katolik dan Kristen. Dan terakhir adalah Ki Demang Wang Safyudin dari Sunda Wiwitan yang barangkali mewakili kaum kebatinan yang di dalam laporan resmi pemerintah daerah

196 Kedaulatan Rakyat, 22 Mei 2013, hal. 7. “Berkas Cebongan Lengkap, Tak Ada Granat. Tersangka Bertambah Jadi 12 Orang”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

104

tidak tercatat jumlahnya, tapi ada. Menurut Julius, pertemuan sekejap itu

“berarti mendalam.” Pertemuan ini memiliki kemiripan dengan menjenguk saudara.197 Katanya,

Kami semua terharu bertemu dalam ruangan sel khusus. Kami menyampaikan bahwa masyarakat Yogyakarta secara moril mendukung pemberantasan terhadap premanisme. Kami tidak mendukung upaya kekerasannya, namun kami akui bahwa apa yang mereka lakukan berdampak positif bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat Yogyakarta.198

Lagi-lagi aksi balas dendam pembantaian terhadap keempat tahanan itu dipahami sebagai sebuah awal bagi tujuan lebih panjang yang dinamakan pemberantasan terhadap premanisme. Julius mengulangi lagi bahwa, sebagaimana pimpinan-pimpinan polisi, penyerangan Cebongan “berdampak positif bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat Yogyakarta.”

Pada waktu selanjutnya, selama persidangan sampai tanggal 5

September 2013, dukungan-dukungan terhadap para terdakwa pembantaian terus mengalir dari elemen-elemen masyarakat yang berafiliasi dalam Sekber

Keistimewaan. Dukungan dari elemen masyarakat ini berpotensi untuk mengalihkan kasus pembantaian ini menjadi model pemberantasan preman, meskipun sebagaimana diakui para pelaku dari Grup 2 Kopassus bahwa penyerbuan Lapas Cebongan didorong oleh rasa balas dendam terhadap

Serka Heru dan Sertu Sriyono.

197 Wawancara Julius Felicianus, 19 April 2016; Muhammad Suhud, 13 Mei 2016; dan Ani Sudaryati, 16 Mei 2016. 198 Kedaulatan Rakyat, 23 Mei 2013, hal. 1 & 7. “Gudeg Yogya Untuk 12 Tersangka”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

105

E. Kelompok Pendatang yang Dituduh Preman

Tepat sepuluh hari setelah terjadinya pembantaian Cebongan, halaman pertama KR menuliskan judul headline yang cukup menarik,

“Pascainsiden, Lapas Cebongan Dijaga Brimob. Kriminalitas di DIY Menurun”.

Di atas judul tersebut ditampilkan dua foto berwarna. Foto pertama menggambarkan Brimob Polda DIY yang tengah berjaga di Lapas Cebongan dan foto kedua bergambar poster imbauan bertuliskan “Ke Jogja Belajarlah yang Baik dan jadilah warga yg baik. Jogja Nyaman Tanpa Preman

#savejogja” (lihat Gambar 3.1). Dari kacamata seorang pembaca, headline dan foto yang ditampilkan ini bukanlah sesuatu yang main-main. Mengapa preman diarahkan pada warga pendatang?

Gambar 3.3. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 2 April 2013

Sebagai sebuah kota menengah dan urban199, Yogyakarta mengalami pergolakan lewat perjumpaan berbagai budaya dengan tata nilainya masing-

199 Lihat dalam tulisan Gerry van Klinken, “Introduction: Democracy, Markets and the Assertive Middle”, dalam Gerry van Klinken & Ward Berenschot (Eds.), In Search of

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

106

masing. Sebagai salah satu pusat orientasi budaya jawa, penyaringan dan pembuatan kategori mengenai bagaimana menjadi orang yang njawani dan tidak njawani berlangsung dalam proses sosial. 200 Menjadi njawani mengandung pengertian bahwa seseorang bisa disebut demikian apabila memahami hubungannya dengan otoritas. Dengan demikian, bisa memahami bagaimana cara menghormati otoritas. Menghormati dalam konteks ini bisa berarti mampu untuk menekan segala macam hasrat yang menimbulkan kekacauan, misalnya membuat tatanan yang tadinya sudah mantap menjadi goyah. Tatanan ini muncul dalam bentuk tata hidup keseharian seperti sopan, menjaga kenyamanan, atau menjaga keamanan. Tidak njawani berarti belum sepenuhnya menjadi wong Jogja, atau belum sepenuhnya memiliki sifat, tata- krama (ungah-ungguh) dan sikap sebagaimana orang Yogyakarta. Kata tersebut juga merujuk pada kondisi belum matang, belum beradab, dan belum bisa mengendalikan diri sebagai orang dewasa, yang berarti tidak terpatok pada usia. Istilah njawani dan tidak njawani ini menunjukkan bahwa pendatang tidak pernah benar-benar menjadi seorang Jawa.

Namun, agaknya kondisi Yogyakarta berbeda dengan konsep kematangan dalam hubungan sosial pada keluarga Jawa yang digambarkan

Middle Inndonesia: Middle-Classes in Provincial Towns (Leiden & Boston: Brill, 2014), hal. 6. Gerry van Klinken menuliskan bahwa demokrasi dan desentralisasi menciptakan kota menengah dengan karakter kelas menengah bergaji pas-pasan, jejaring lokal menguat, dan pandangan keagamaan cenderung konservatif. Singkat kata, cara pandang cenderung parokial. 200 Mengenai konsep njawani akan dibahas lebih panjang di bab selanjutnya. Bandingkan juga dengan konsep kematangan Jawa dalam Hildred Geertz, Keluarga Jawa (Jakarta: Grafiti Pers, 1993), hal. 111; Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hal. 22-23; Benedict Anderson, Mythology and the Tolerance of the Javanese (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1965), hal. 16.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

107

oleh Hildred Geertz. Apabila Geertz mengatakan bahwa seseorang tidak dihukum atas kesalahannya yang tak bisa dimengerti, poster di atas bicara sebuah hukuman lewat sebuah peringatan. Pembantaian bisa terjadi pada siapa saja yang datang ke Yogyakarta kalau dia tidak atau belum menjadi warga (Yogyakarta) yang baik. Dengan demikian, belum menjadi orang

Yogyakarta mengisyaratkan bahwa masih ditemui kegagalan dari penyesuaian orang yang diandaikan akan menjadi orang Yogyakarta tersebut.

Meskipun, arti ‘menjadi orang Yogyakarta’ sendiri merupakan perkara yang terus diperdebatkan.201

Bersamaan dengan terungkapnya orang yang tadinya tak dikenal ini, rubrik SMS dengan judul “Suara Rakyat” mengelu-elukan Kopassus dan menyuarakan supaya preman segera dibasmi, disikat. Tidak hanya demikian, adapula yang mengirim sambil menunjuk suatu daerah tertentu.

Hak Azasi Kami Terinjak-injak. Sebelum bicara soal HAM, silakan tinggal di wilayah Tambakbayan, Babarsari dan sekitarnya. Selama ini hak azasi kami terinjak-injak. Tiap malam ribut, mabuk. Silakan cek tulisan saya. Silakan wawancarai penduduk Tambakbayan dan sekitarnya. +628180419 XXXX

Penyebutan Tambakbayan dan Babarsari langsung merujuk pada daerah yang keseharian masyarakat Yogyakarta dianggap dan diperbincangkan sebagai daerah kos-kos-an yang seringkali diwarnai dengan perselisihan.

201 Misalnya mengenai identitas orang Tionghoa di Jogja yang masih dianggap pendatang dan ditakutkan untuk menguasai perekonomian di Jogja. Isu mengenai diskriminasi Tionghoa ini muncul pada tahun 2015 lalu dalam sengketa tanah yang melibatkan PKL dengan seorang pengusaha Tionghoa. Sengketa tanah ini disusul dengan isu mengenai WNI non-pribumi, atau secara khusus Tionghoa, tidak berhak memiliki tanah di Jogja, Lihat misalnya dalam Mawa Kresna, “WNI keturunan Tionghoa tidak boleh punya tanah hak milik di Yogyakarta”, 17 September 2015, diunduh dari http://www.rappler.com/indonesia/106231-wni-keturunan-tidak-bisa-punya-shm pada 24 Agustus 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

108

Secara implisit, SMS tersebut merujuk pada mahasiswa dari “Timur” yang berarti orang asal NTT, NTB, Papua, atau Maluku. Isi SMS di atas justru berisi rasisme terhadap mahasiswa dari Timur di Tambakbayan. Tentu saja tidak semua orang dari Timur suka ribut atau mabuk. Sama halnya seperti tidak semua orang Yogyakarta tidak sering ribut atau mabuk. Namun, dalam rangkaian pembantaian Cebongan ini, terlepas dari beberapa kasus perkelahian yang melibatkan mahasiswa dari Timur, penyederhanaan terhadap siapa saja orang yang berasal dari Timur berubah menjadi lompatan kesimpulan bahwa mereka yang berasal dari ‘Timur adalah orang- orang yang mengacau.

Penyederhanaan dan lompatan kesimpulan tersebut membuat rangkaian penanda berupa membuat kacau yang dilekatkan pada preman kemudian juga dilekatkan pada pendatang. Asosiasi ini sekali lagi menyederhanakan penanda preman yang menunjuk pada pendatang. Dengan lompatan logika ini, hadirnya kategori pendatang kemudian bisa saja ditempelkan kepada siapa saja yang bukan “wong Jogja.” Mereka yang bukan

“wong Yogyakarta” inilah yang kemudian berpotensi membuat kekacauan.

F. Pemberantasan Preman dan Keistimewaan Yogyakarta

Sampai saat ini, wacana berita yang muncul di KR mengalami perubahan, dari urusan mana preman mana bukan menjadi bagaimana sesungguhnya “hubungan antara aparat TNI dengan rakyat sudah manunggal” bahkan sebelum pembantaian Cebongan terjadi. Bagaimana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

109

hubungan rakyat dengan aparat kepolisian? Citra polisi di masyarakat cukup buruk, seseorang yang berurusan dengan polisi seringkali melibat adanya ancaman terhadap suatu permasalahan.202 Widihasto mengatakan bahwa aparat kepolisian bekerja tidak sesuai harapan, misalnya saja mengenai patroli dan razia yang jarang ia temui ketika keluar malam. Dengan demikian, polisi seakan-akan membiarkan keamanan menjadi perkara yang boleh dijadikan kekhawatiran bersama.

Namun, wacana pemberantasan preman dihadirkan bukan karena alasan ketidak-amanan Yogyakarta. Wacana tersebut baru muncul setelah pembantaian Cebongan terjadi yang menunjukkan bahwa pemberantasan preman hanya menjadi dalih untuk memperkuat dukungan terhadap pelaku pembantaian. Pertanyaannya kemudian bukan mengapa wacana pemberantasan preman muncul, namun lebih pada mengapa pembantaian ini sesegera mungkin dapat beralih ke pemberantasan preman? Diikuti dengan apa saja yang memungkinkan wacana pemberantasan preman hadir? Guna menjawab dua pertanyaan tersebut, ada dua hal yang bisa menjelaskan, yakni memori pada pemberantasan gali dalam Petrus tahun 1980-an dan bertemunya dua kepentingan dengan musuh yang sama, yakni Diki dkk.

Sebab Petrus sudah menjadi bahasan yang sangat luas dalam ilmu sosial, maka tulisan ini akan lebih mengarahkan pada bagaimana pembantaian

202 Bandingkan dengan Shiraishi, 2009, Op.Cit., hal 47; Pada masa Orde Baru, Shiraishi menjelaskan bahwa di Jakarta polisi menjadi bagian dari jalanan yang potensial untuk mendatangkan bahaya. Misalnya saja seseorang memakai helm bukan karena kesadaran akan keselamatan, melainkan karena takut ditangkap polisi. Kesadaran bahwa berurusan dengan polisi merupakan hal yang ribet masih terus hadir di masyarakat. Lihat juga Pemberton, 1999, Op.Cit., hal. 196-197.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

110

Cebongan menjadi perpaduan dua kepentingan besar, yakni keistimewaan dan korps.

Dalam isu keistimewaan, Diki dkk. adalah orang-orang yang disewa

Anglingkusumo, keluarga Pakualaman, yang dalam isu keistimewaan menjadi orang yang berusaha merebut kursi Paku Alam. Perebutan kursi Paku Alam ini masuk dalam kategori Keistimewaan yang salah satu perhatiannya adalah jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diisi oleh Sultan dan Paku Alam

(PA) sesuai dengan paugeran Keraton serta Pura Pakualaman. Sebenarnya, konflik ini terjadi semenjak tahun 1999, berkaitan suksesi yang memenangkan putra dari ratu muda Paku Alam VIII, yakni KPH

Ambarkusumo. Sementara itu, pihak KPH Anglingkusumo yang merasa diri lebih pantas mendapatkan kursi Paku Alam IX, karena putra Permaisuri

Purnomoningrum.

Polemik suksesi ini menjadi makin rumit dengan tidak jelasnya paugeran Pakualaman. Dikabarkan selanjutnya bahwa Anglingkusumo menyewa Diki dkk. sebagai backbone keamanan.203 Pola-pola ini yang oleh

Tilly dijelaskan seringkali antara preman dengan politisi tidak bisa terpisahkan. 204 Untuk mempertahankan atau memperoleh kekuasaan, kekerasan dibutuhkan.

Masuknya Diki dkk. ke dalam lingkup kekuasaan Pakualaman ini kemudian menjadi masalah yang cukup serius. Suksesi berjalan dalam dua perkara, pertama adalah masalah internal keluarga, dan kedua adalah

203 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016. 204 Tilly, 2003, Op.Cit., hal. 28.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

111

masalah eksternal politis. Kondisi ini memungkinkan untuk dibawanya konteks keluarga ke dalam konteks politik. Sengkarut inilah yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi emosi untuk menggerakkan politik kekuasaan dalam sebuah dinasti. Diki dkk. sendiri dianggap sebagai orang luar yang tiba-tiba masuk ke dalam kekuasaan dinastik yang dianggap sakral. Pertama dia adalah pendatang dan kedua dia masuk ke dalam ranah yang seharusnya orang Yogyakarta saja yang boleh urus.

Ketergabungan Diki dkk. menyebabkan tersangkutnya ia ke dalam polemik keistimewaan yang pada tahun 2012 lalu berhasil ditetapkan UU

Keistimewaan Yogyakarta. Lantas, karena berurusan dengan kekuasaan yang istimewa, yakni Pakualaman, Diki dkk. dijadikan musuh bersama dari para pegiat keistimewaan yang tergabung dalam Sekber Keistimewaan. Padahal, apabila dilihat dari sejarah ormas Kotikam di mana Diki bergabung, Kotikam telah menjadi tangan kanan dari Kraton maupun Pakualaman sejak tahun

1976. RM Imam Kintoko diberi tugas oleh HB IX dan Paku Alam VII untuk merekrut massa bagi Golkar yang kemudian terkenal dengan nama Angkatan

Muda Diponegoro yang pada tahun 1978 bersama angkatan muda lainnya menggabungkan diri dalam Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI).

Pada masa Petrus, Kotikam melakukan protes ditujukan pada Operasi

Pemberantasan Kejahatan (OPK) karena merasa terancam dengan operasi tersebut. Kotikam mengaku-diri sebagai sahabat ABRI yang tidak seharusnya ikut diberantas. Setelah RM Imam Kintoko meninggal pada 19 Februari 1993,

Harun Al Rasyid menggantikan kedudukan di ketua Kotikam, kemudian

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

112

dilanjutkan oleh Ronny Kintoko, yang adalah putra RM Imam Kintoko. Pada tahun 2014 lalu, Ronny Kintoko menyatakan dukungannya kepada PAN, meskipun kemudian ada isu Kotikam kembali ke PDIP. Sementara itu, dalam dunia preman, kelompok Diki dkk. dikenal sebagai pemain baru, meskipun bukan berarti menguasai. Keikutan-sertaan Diki dkk. dalam Pakualaman kemudian dijadikan dalih munculnya gerakan pro-Kopassus yang diorganisir

Sekber.205

Apabila dilihat secara kronologis, Sekber baru menjadi salah satu bagian gerakan pro-Kopassus pada tanggal 22 Mei 2013. Sebagaimana telah disebut di awal, pengorganisiran spanduk dilakukan oleh ormas-ormas yang menjadi binaan tidak langsung TNI sejak Orde Baru, seperti FKPPI, PP,

Kokam, atau Pemuda Panca Marga. Jadi, ada sedemikian besar rentang celah yang terbuka dari tanggal 7 April 2013 hingga 22 Mei 2016. Di mana dalam perkembangannya terjadi penambahan jumlah pengorganisiran dengan masuknya Sekber.

Dalam kehidupan kelompok preman di Yogyakarta, Diki dkk. terkenal sebagai preman yang tengah naik daun. Dunia preman memiliki rumusnya sendiri, si preman akan mendapatkan penghormatan tertinggi apabila mampu untuk melawan aparat. Diki dkk. telah memiliki sejarah panjang berurusan dengan aparat, sekali pernah mereka melukai seorang anggota

TNI AU lalu kedua mereka menganiaya dan membunuh sorang anggota

205 Wawancara dengan Julius Felicianus, 19 April 2016; dan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

113

Kopassus. Cerita-cerita yang beredar mengenai Diki dkk. pun sangat beragam, dari pemalakan hingga pengabaian nasehat dari tetua NTT di Yogyakarta.

Selain itu, peta perebutan lahan untuk mencari uang lewat keamanan pun berubah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aparat TNI atau

Kepolisian juga menyediakan jasa keamanan sebagaimana dilakukan para preman. Isu yang beredar mengabarkan bahwa Hugo’s Cafe menjadi lahan rebutan yang bergulir dari TNI AD, TNI AU, dan Kepolisian.206

Ada beberapa catatan penting dalam wacana yang muncul dan berusaha direpresentasikan dalam pembantaian Cebongan. Pertama adalah perubahan antara rangkaian penandaan orang tidak dikenal, preman, kriminal sebagai pelafalan yang ditujukan kepada para pelaku pembantaian.

Namun, penanda preman dan kriminal kemudian dilafalkan untuk korban pembantaian Cebongan. Pembalikan gagasan kemudian terjadi, para penyerang yang tadinya berada dalam kategori preman, mengalami alih peran (transubstantiation207) menjadi pahlawan, bahkan ksatria.

Kedua, pahlawan ini membantai karena ikatan emosional yang sebagian besar ikatan ini mendefinisikan bagaimana menjadi orang dalam identitas politiknya.208 Cukup menarik bahwa aktor-aktor sentral yang terlibat dalam pembantaian Cebongan bukan orang yang dikategorikan

206 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016. 207 Perubahan yang menggambarkan bahwa istilah ‘pelaku’ tidak lagi menggambarkan orang yang melakukan tahanan dan membunuhnya, lebih dari itu pelaku merupakan subjek dengan jiwa pahlawan-ksatria. Lihat dalam Žižek, 2005, Op.Cit., hal. 49; Slavoj Žižek, The Indivisible Remainder: An Essay on Schelling and Related Matters (London & New York, 1996), hal. 126. 208 Wawancara dengan Guntur Prabawanto dan Athonk Sapto Rahardjo, 11 April 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

114

bukan Jawa. Misalnya Komandan Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan saat terjadi pembantaian adalah Letkol (Inf) Maruli Simanjuntak, yang mana adalah menantu dari Jendral Luhut Panjaitan. Selepas menjadi Komandan

Grup Dua Kandang Menjangan, ia dipindahkan menjadi Komandan Grup A

Paspampres (2014-2016) lalu Danrem 074/Warastratama (2016 s/d

Sekarang), Solo. Sementara itu, pelaku penyerangan yang paling sering disebut adalah Serda Ucok Tigor Simbolon. Maruli dan Ucok memiliki kesamaan latar belakang etnis yang dalam sejarah Indonesia teramat mudah memicu prasangka.

Kembali pada bagian awal bahwa terdapat tiga tahap penyingkiran yang mana mengaitkan istilah preman dengan pendatang yang mengacau

Yogyakarta. Tentu saja bagian ini hanya bisa menjawab bagaimana preman dan pendatang ini menjadi kategori yang disingkirkan dalam pembantaian

Cebongan. Maka, bagian selanjutnya akan menjawab apa yang mendasari penyingkiran dengan melihat bagaimana njawani menjadi fantasi yang menandai kemangkiran Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tentram.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB IV

FANTASI DALAM PEMBANTAIAN CEBONGAN

Mengapa pembantaian Cebongan memperoleh dukungan sekaligus pengabaian dari sebagian kalangan warga Yogyakarta? Mengapa muncul dalih bahwa kriminalitas di Yogyakarta meningkat sebelum terjadi pembantaian dan menurun setelahnya? Mengapa pembantaian Cebongan menegaskan bahwa Yogyakarta memang sebenar-benarnya istimewa sehingga keamanan dan ketenteramannya perlu dijaga? Bagian ini menguraikan bagaimana kondisi fantasmatik dalam bahasa-bahasa kekuasaan yang digunakan para pendukung pembantaian Cebongan.

Dalam wacana pembantaian Cebongan ada empat bentuk fantasi yang mendasari terjadinya dukungan terhadap pembantaian tersebut. Pertama berkaitan dengan pelaku pembantaian yang difantasikan sebagai pahlawan.

Kedua adalah fantasi mengenai pembelaan kepentingan orang banyak, yang dalam hal ini terkait dengan ‘jiwa korsa’ yang merupakan istilah militer untuk membela kesetiakawanan terhadap sesama anggota korps. Kedua fantasi yang berkaitan dengan pelaku pembantaian tersebut didukung dengan formasi fantasi ketiga yang berkaitan dengan pendatang yang secara khusus merujuk pada para preman asal NTT. Lantas, bentuk fantasi keempat dapat ditemukan dalam kaitannya dengan bagaimana menjadi subjek

Yogyakarta yang ideal, yang menurut gerakan pendukung pembantaian

115

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

116

menjadi subjek yang njawani. Meskipun demikian, fantasi mengenai subjek ideal ini berlangsung bukan hanya saat riuhnya wacana pembantaian

Cebongan, namun juga dalam praktek kehidupan sehari-hari.

Dalam keempat bentuk fantasi tersebut, hasrat terhadap Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tentram atau Yogyakarta yang ideal sebagaimana dibayangkan oleh para pendukung pembantaian Cebongan muncul sebagai dampak adanya keterpisahan dengan kondisi ideal tersebut.

Kondisi ideal yang dipilih sebagai objek libidinal, yang mana hasrat diarahkan, menanggung frustrasi keterpisahan. Hasrat akan kesatuan (desire for unity) ini kemudian memunculkan fantasi akan menjadi Yogyakarta yang aman dan tenteram. Fantasi keutuhan ini diperoleh lewat hubungan dengan objek eksternal (Other) yang dalam pembantaian Cebongan ini didefinisikan preman atau pendatang.209 Pendefinisian preman atau pendatang lewat bahasa kekuasaan ini didasari dengan adanya skenario bahwa mereka mengacaukan Yogyakarta. 210 Dalam kondisi ini, bukan kenyataan yang membangun fantasi, melainkan fantasi yang menyusun kenyataan.

209 Bandingkan dengan Yannis Stavrakakis, Lacan & the Political (London & New York: Routledge, 1999), hal. 45-54. 210 Slavoj Žižek, How to Read Lacan (London & New York: W.W. Norton, 2007), hal. 59. Lihat juga dalam Slavoj Žižek, Less than Nothing (London & New York: Verso, 2013), hal. 685. “Fantasy in its destabilizing dimension whose elementary form is envy – all that ‘irritates’ me about the Other, images that haunt me of what he or she deceives me and plots against me, of how he or she ignores me and indulges in an enjoyment so intense it lies beyond my capacity to represent it , and so on.”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

117

A. Pelaku yang Diperlakukan sebagai Pahlawan

Mengapa sebuah tindakan pembantaian diceritakan sebagai

sebuah kisah kepahlawanan? Apakah pembantai ini adalah pahlawan?

Sebagai sebuah istilah yang butuh kesepakatan dalam dunia simbolik,

seorang pahlawan menjadi benar-benar pahlawan ketika orang-orang

memperlakukannya laiknya pahlawan. Orang tersebut tidak menjadi

pahlawan semenjak lahir, melainkan ia menduduki tempat pahlawan

dalam rangkaian hubungan sosio-simbolik. Masyarakat dianggap sebagai

subjek yang diandaikan percaya bahwa mereka adalah pahlawan.

Pahlawan ini mampu menggantikan masyarakat Yogyakarta untuk

melakukan tindakan primitif yang melibatkan fisik sehingga orang

lainnya mendapatkan ruang untuk menikmati kebebasannya (primordial

substitution). Dalam pembantaian Cebongan ini, dapat diamati bahwa

perubahan dari awal ketika belum terungkap identitas pembantai adalah

Kopassus, mereka tidak diperlakukan selayaknya pahlawan. Bahkan

sebaliknya, awalnya mereka adalah pengacau yang menebar teror. Tidak

bisa dipungkiri bahwa pertanyaan-pertanyaan di atas berujung pada,

mengapa terjadi alih ubah dari pembuat teror menjadi pahlawan?

Pahlawan dalam pembantaian Cebongan merupakan sosok yang

mengalami mistifikasi. Bahkan, para pembantai justru ditempatkan

sebagai penyelamat yang mendatangkan berkah dengan membuat

Yogyakarta menjadi aman. Tidak diketahui kapan muncul, namun

membawa aman, nyaman, damai, dan tentram. Pahlawan dalam wacana

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

118

seputar pembantaian Cebongan ini berada dalam momen saat

Yogyakarta membutuhkan “tokoh, entah perorangan entah institusi, yang

bisa menyelamatkan Jogja dari kriminalitas” 211 seperti sudah diuraikan

dalam bab dua. Meskipun demikian, tindak kriminalitas yang meningkat

tajam, yakni 193,98% pada tahun 2014 212 , menunjukkan bahwa

pembantaian Cebongan bukannya mengatasi kriminalitas di Yogyakarta.

Perlu dicatat bahwa gagasan balas dendam yang dilakukan

prajurit Kopassus, yakni Serda Ucok dkk., awalnya dilihat sebagai bentuk

kriminalitas. Namun, ketika mendapatkan dukungan, balas dendam ini

menjadi sesuatu yang terampuni – sesuatu yang lumrah-lumrah saja.

Terjadi perubahan saat aksi balas dendam ini ditempatkan dalam sebuah

konteks individu dan kemudian menjadi sebuah aksi kolektif. Sesuatu

yang tadinya tabu menjadi sebuah prestasi heroik atau bahkan

kewajiban mulia seorang prajurit yang mengangkat tinggi jiwa korsa

mereka.213

Setidaknya ada dua kategori penting terkait dengan peristiwa

pembantaian dan dukungan yang mengikuti, yakni keistimewaan dan

jiwa korsa.214 Menjadi Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan

211 Wawancara dengan Julius Felicianus. 212 Lihat dalam Seksi Statistik Ketahanan Nasional & Bidang Statistik Sosial, 2015, Op.Cit., hal. 10. 213 Ruth Stein, For Love of the Father: A Psychoanalytic Study of Religious Terrorism (Meridian: Crossing Aesthetics) (California: Stanford University Press, 2010), 108. 214 Istilah Jiwa Korsa menjadi populer dalam wacana pembantaian Cebongan setelah sidang tanggal 20 Juni 2013. Mereka berteriak bahwa yang dilakukan para terdakwa tidak terencana seperti dakwaan. "Yang dilakukan para terdakwa disemangati jiwa korsa," kata salah seorang anggota ormas. Jiwa korsa adalah solidaritas kelompok yang ditanamkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

119

tentram mewakili apa yang dinamakan oleh gerakan pendukung

pembantaian Cebongan sebagai keistimewaan. Sementara “ksatria [yang]

telah mengakui perbuatannya” dan “siap mempertanggungjawabkan

apapun risiko atas dasar kehormatan prajurit ksatria” mewakili apa yang

disebut sebagai jiwa korsa-nya Kopassus. Keduanya berpadu membentuk

sebuah introyeksi 215 mengenai bagaimana Yogyakarta menjadi

‘Yogyakarta’ simbolik atau Yogyakarta-yang-ideal. Introyeksi ini

menciptakan sebuah moralitas paling tinggi yang mengganti dan

meruntuhkan sistem moralitas demi kepentingan Yogyakarta. 216

Bagaimana dengan jiwa korsa sendiri? Pendefinisian dan

munculnya konsep preman dihadapkan dengan jiwa korsa – yang

didefinisikan sebagai semangat untuk “membantu, melindungi, berbagi,

mengingatkan, menjaga [atau] dengan kata lain senasib, sepenanggungan

untuk bersama dalam satu unit memenangkan pertempuran.”217 Frase

“dalam satu unit memenangkan pertempuran” mengindikasikan bahwa

jiwa korsa merupakan sentimen solidaritas kelompok. Penggunaan

istilah jiwa korsa menunjukkan bahwa terdapat retakan dalam ruang

sosio-simboliknya bahwa jiwa korsa bisa ditafsir sesukanya, bahwa jiwa

dalam pendidikan kemiliteran untuk saling melindungi dan membantu bahkan hingga mempertaruhkan nyawa. Lihat dalam Honna, 2003, Op.Cit., hal. 65. 215 Dalam fantasi, intoyeksi berarti pengubahan kualitas objek luar untuk kemudian diinternalisir ke dalam diri subjek. Lihat dalam Laplanche & Pontalis, 1988, Op.Cit., hal. 229. 216 Ibid., hal. 110. 217 TB Hasanudin dalam http://www.viva.co.id/ramadan2016/read/403014-jiwa-korsa- kopassus-apa-itu. Lihat juga kesaksian dalam johanheru.blogspot.com oleh seorang saksi pembunuhan di Hugo’s Café yang justru mempertanyakan semangat solidaritas. Dalam perkelahian di Hugo’s Cafe diceritakan bahwa Serka Heru datang bersama empat orang lainnya yang kemudian meninggalkan Serka Heru sendiri.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

120

korsa menjadi penanda mengambang yang bisa diisi berdasarkan

kepentingan pihak penafsir. Retakan inilah yang memungkinkan jiwa

korsa menjadikan lumrah apa yang di depan moralitas kebanyakan

dinilai salah. Orang dengan mudah akan berpikir bahwa penyerangan

Lapas Cebongan tidak direncanakan218, perbuatan pelaku merupakan

respon atas pembacokan Sertu Sriyono (kemudian Serka Heru Santoso)

yang dilandasi jiwa korsa.

Bagaimana jiwa korsa itu diwujudkan oleh para pelaku

pembantaian dapat diamati dalam kisah Sertu Tri Juwanto dan Serda

Ucok Simbolon. Salah seorang prajurit yang terlibat dalam pembantaian

Cebongan, Sertu Tri Juwanto, mengungkapkan bahwa secara pribadi dia

terganggu dengan berita yang menimpa Sertu Sriyono.219 Serda Ucok

Simbolon juga mengaku bahwa Sertu Sriyono adalah sahabat sejatinya,

selain itu Ucok merasa kesatuannya dilecehkan.220 Pelecehan Sriyono

adalah berarti pelecehan korps, kesamaan-arti antar keduanya

memunculkan emosi yang meluap jadi agresi. Sekali lagi, emosionalitas,

dengan demikian sebagai kewajaran karena didahului jiwa korsa,

menyeruak hadir menjadi agresi yang destruktif. Menjadi seorang

218 Dalam persidangan pembantaian Cebongan ini dikatakan tidak terencana, namun akan sulit untuk mempercayaianya apabila mendengar isu mengenai prajurit Kopassus yang lima hari sebelumnya bersiap ke Jogja dan ada pertemuan antara Pangdam dengan Kapolda. 219 Kedaulatan Rakyat, 18 Juli 2013, “Saksi Kasus Cebongan: Penyerangan Didasari Jiwa Korsa” 220 Tribun Jogja, 24 Juli 2013, “Serda Ucok Mengaku Menyesal”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

121

prajurit mustilah memegang teguh apa yang disebut dengan jiwa korsa

yang tidak sama artinya dengan memegang teguh hukum yang berlaku.

Istilah keistimewaan dan jiwa korsa yang ditafsirkan oleh gerakan

pendukung pembantaian Cebongan dengan demikian melegitimasi dan

membalikkan gagasan mengenai kriminalitas. Dengan adanya

pembantaian Cebongan, ancaman dari musuh yang sama, yakni Diki dkk.,

menjadikan pembantaian ini suatu hal yang mulia baik bagi Kopassus

maupun gerakan elemen masyarakat Yogya yang mendukungnya.

Pembantaian ini justru menjadi cara memberikan pelajaran bagi orang-

orang yang tidak bisa diatur sehingga kegusaran para pendukung

pembantaian bisa terpuaskan.221

Keadaan yang menunjukkan bahwa pembantaian ini adalah

sesuatu yang mulia oleh Ruth Stein disebut sebagai kondisi perkecualian

(state of exception) dikarenakan adanya superlaw (hukum di atas

hukum). 222 Kondisi perkecualian ini memungkinkan terjadinya

pelanggaran hukum, solidaritas, maupun hak asasi manusia.

Pembantaian menjadi bukan lagi sekadar pembantaian, melainkan

sebuah cerita kepahlawanan yang dielu-elukan.

Namun, mengapa pemahaman bahwa sebuah pembantaian adalah

berarti pelanggaran terhadap HAM justru dinafikan? Dalam tubuh TNI

sendiri, sejarah buruk pelanggaran HAM menjadi persoalan yang sampai

221 Di perkampungan, orang Jawa memberi pelajaran kepada pencuri atau kriminal lain dengan menyiksa/menghukum seberat-beratnya untuk membuat kapok. Pola demikian juga muncul dalam perayaan pembantaian Cebongan. 222 Stein, 2010, Op.Cit., hal. 121.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

122

saat ini diperdebatkan. Meskipun penghormatan terhadap HAM juga

mulai tertanam di TNI, namun pandangan bahwa HAM menjadi musuh

utama TNI juga masih hadir. Seorang anggota Kostrad mengatakan

bahwa ‘musuh utama kami [TNI] adalah HAM’223 atau Kapten Kopassus

yang berziarah ke makam Jendral Sudirman mengatakan kepada

Widihasto bahwa mereka dididik untuk membunuh, namun demi

kepentingan orang banyak. Dalam pengertian ini, ada gagasan yang

tampak tumpang-tindih, “jangan membunuh, kecuali demi kepentingan

orang banyak.” Dengan kata lain, “membunuhlah apabila dibutuhkan

oleh sebagian besar anggota masyarakat.”

Beberapa anggota gerakan pro-Kopassus menyampaikan bahwa

musti ada pemisahan antara HAM dan kepentingan keistimewaan yang

mana menunjukkan bahwa HAM di sini memang menjadi isu yang

penting.224 Bahkan ketua HAM, Siti Noor Laila sempat diusir dari

Yogyakarta karena menyatakan bahwa pembantaian tersebut

bertentangan dengan HAM. Hal tersebut menunjukkan adanya penarikan

diri, bahwa ada suara lain yang dengan sengaja ditekan supaya tidak lagi

menimbulkan kebimbangan (disavowal of an uncomfortable

223 Lihat juga dalam Douglas Kammen, “Where are They now?: The Carreers of Army Officers who Served in East Timor, 1998-99”, dalam Indonesia , Number 94, October 2012, hal. 111-130. Kammen menuliskan bahwa: Colonel Burhanudin Siagian, who was the district military commander in Bobonaro in 1999, was appointed sub-regional military commander of Abefura, Papua, where further reports of human rights abuses have surfaced. In defense of his hard-line approach to the Free Papua Organization, Siagian is reported to have stated publicly “[w]hat is absolutely certain is that anyone who tends towards separatism will be crushed by TNI,” adding, “we are not afraid of human rights.” 224 Wawancara dengan Julius Felicianus dan Widihasto Wasana Putra. Meskipun demikian, dalam wawancara dengan Ani Sudaryati, pemimpin Laskar Srikandhi, dikatakan bahwa Widihasto tidak menyetujui penggunaan kekerasan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

123

proximity). 225 Mangkirnya suara lain ini membentuk penyangkalan

bahwa apa yang menjadi pengetahuan bersama tidak perlu diketahui

(fetishistic disavowal). Lantas, gerakan pro-Kopassus sebenarnya

mengetahui telah terjadi pelanggaran HAM, namun karena tidak mau

tahu kalau mereka tahu, maka mereka bertindak seolah-olah mereka

tidak tahu.226 Ke-tidak-mau-tahu-an ini boleh jadi sebagai dampak dari

adanya musuh bersama dan mengikuti logika jiwa korsa yang dilakukan

oleh pelaku pembantaian. Dengan tidak-mau-tahu ini, maka penciptaan

rasa kapok terhadap preman yang dianggap menganggu Yogyakarta

dapat ternyatakan.

Apabila diperhatikan, hubungan antara Kopassus dengan gerakan

pro-Kopassus ini merupakan hubungan layaknya penonton dengan para

pemain ketoprak. Proses pengadilan para pelaku pembantaian

diperlakukan layaknya pertunjukkan drama dengan ritual yang penuh

sorak-sorai perayaan pembantaian. Perayaan dan ritual dukungan

dilakukan bukan hanya di jalanan, melainkan juga di dalam persidangan

dengan saksi dari beberapa pihak yang sebenarnya tidak berkaitan

langsung dengan pembantaian. 227 Berbeda dengan FKPPI, PP, atau

Kokam yang memang melibatkan pihak militer dalam pembentukannya,

225 Žižek, 2013, Op.Cit., hal. 660. Dalam obrolan dengan seorang prajurit Kostrad, ia mengatakan mengatakan bahwa “musuh kami ya cuma HAM.” 226 Lihat dalam Žižek, 2008, Op.Cit., hal. 53. Lihat juga Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London and New York: Verso, 1989), hal. 32. 227 Dalam wawancara dengan Muhammad Suhud, FKPM Paksi Katon ditugasi untuk menjaga persidangan, Suhud mengatakan demikian, “Mengapa Paksi Katon yang dipilih? Padahal ada FKPPI yang lebih besar? Kalau tentara atau polisi nanti dikira mempengaruhi persidangan.” Dalam tradisi militer di Indonesia, model ini disebut dengan proxy war.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

124

Sekber Keistimewaan merupakan elemen masyarakat yang berdiri dalam

kepentingan keistimewaan. Artinya, hubungan antara Sekber dengan

Kopassus lebih lentur dan bisa renggang kapan saja. Beberapa anggota

Sekber bahkan lahir dari aktivis yang anti rezim militer Orde Baru. Boleh

jadi, dalam momen selanjutnya, Sekber berada di pihak yang

bertentangan dengan Kopassus, tapi mungkin saja pertalian berbasis

kepentingan yang sama kembali terjadi.

Penciptaan hubungan ini juga terjadi lewat ziarah yang secara

khusus terjadi dalam rangkaian pembantaian Cebongan. Pada tanggal 18

Juni 2013, 12 Tersangka dipindahkan dari Mako Denpom IV/5 Semarang

ke Denpom IV/2 di Jalan Magelang. Pada hari yang sama, para prajurit

Kopassus melakukan ziarah ke makam Jendral Sudirman di Taman

Makam Pahlawan (TMP) Kusumanegara. Tidak hanya prajurit, gerakan

pro-Kopassus juga turut serta dalam peziarahan ini. Menurut para

prajurit, ziarah dilakukan sebagai wujud solidaritas dan dukungan moril.

Ziarah merupakan salah satu strategi politik dengan tujuan yang sangat

beragam. Pada jaman Soekarno, ziarah menjadi “praktik populer untuk

mengenang dan menghormati korban-korban perang kemerdekaan.”228

Karena perang kemerdekaan yang terjadi tidak terpusat, maka ziarah

dilakukan di lingkup komunitas lokal di mana pejuang anti-kolonial

dimakamkan. Tujuannya adalah “membawa ke permukaan suatu

228 Klaus H. Schreiner, “Nenek Moyang Nasional”, dalam Henri Chambert-Loir & Anthony Reid (Ed.), Kuasa Leluhur: Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan di Indonesia Kontemporer (Medan: Bina Media Perintis, 2002), hal. 375.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

125

penyatuan secara nasional melalui simbol-simbol baru.” Tujuan tersebut

akan sangat berbeda dengan ziarah yang terpusat seperti di Lubang

Buaya, Kalibata, atau Kusumanegara, yang arahnya adalah “mendominasi

simbol-simbol kekuasaan.” 229 Ziarah adalah ritual yang

“merepresentasikan mode memori untuk menciptakan suatu arti

komunitas.”230 Dengan ziarah, maka ingatan dapat terorganisir dan

membentuk ingatan bersama sesama anggota komunitas yang mengingat.

Cara menggunakan simbol kekuasaan lewat ziarah ke makam

Jendral Soedirman ini menunjukkan bahwa figur-figur nenek moyang ini

sebenarnya tidak mati atau lebih tepatnya tidak bisa mati. Mereka hanya

ada berada di suatu tempat yang “tidak di sini” namun sewaktu-waktu

bisa dipanggil ulang. Pemanggilan ulang lewat ziarah ini diharapkan akan

meringankan hukuman para pelaku, artinya figur kematian ini

diandaikan memiliki kuasa untuk merubah. Di sinilah kemudian

pembalikan fetisistik terjadi, bahwa bukan kenyataan bahwa figur

kematian yang salah dimengerti, melainkan fantasi mengenai figur

kematian ini yang menyusun kenyataan. 231 Dalam hal ini, fantasi

membangun sebuah dunia di mana figur kematian tidak melakukan

apapun untuk memperingan hukuman, namun, meskipun demikian

mereka diyakini akan melakukannya.

229 Ibid., hal. 377. 230 Ibid., hal. 375. Lihat juga tulisan Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti- Structure (Ithaca: Cornell University Press, 1991), hal. 94-130. 231 Slavoj Žižek, Sublime Object of Ideology (London & New York: Verso, 2009), hal. 9.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

126

Dari tulisan di atas, dapat diketahui bahwa pembantaian ini dielu-

elukan karena Yogyakarta dianggap berada dalam kondisi perkecualian.

Kondisi perkecualian ini memungkinkan pihak otoritas Kopassus sebagai

institusi negara masuk sebagai pahlawan. Kondisi perkecualian ini

memunculkan pihak-pihak yang justru menegaskan kekuasaan lama,

yakni dengan cara menjaga tatanan tidak berubah. Demi kepentingan

tatanan keamanan dan ketertiban tersebut, maka pengetahuan mengenai

HAM tidak lagi penting dan tidak-mau-tahu bahwa tatanan musti

tersusun rapi.

B. Fantasi mengenai Ksatria Ber-Jiwa-Korsa

Selain pahlawan, dalam tradisi pewayangan Jawa dikenal pula

istilah Ksatria yang direpresentasikan lewat Pandawa. Meskipun

demikian, dari kelima Pandawa, adalah Bima (Wrekudara) yang secara

ideal menggambarkan figur Ksatria dalam tradisi Jawa. Figur Bima

sendiri dikenal sebagai satria “yang paling ditakuti…. menembus hutan

dan gurun, melompati gunung dan menyebrang samudera tanpa

kesulitan.”232 Selain itu, “kejujuran, kesetiaan, kegigihan dan kemampuan

militernya” menjadikan Bima tokoh yang kondang dalam dunia

pewayangan.233

232 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 28. 233 Tokoh wayang Bima juga seringkali dijadikan alegori dalam dunia perpolitikan nasional, misalnya pada rangkaian Pemilu 2014, Ki Manteb Sudarsono memberikan Bima kepada Prabowo yang dianggapnya tegas dan tidak menggak-menggok. Lihat dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

127

Dalam sejarah resmi Indonesia, ksatria merujuk pada sebuah sifat,

bukan sebuah sosok. Sifat ksatria sendiri biasanya berada dalam

rangkaian penandaan yang sama dengan keberanian dan kerelaan-

berkorban. Ketiganya tercakup dalam sosok yang kemudian dikenal

dengan pahlawan. Ia menjadi figur bayangan, sebagai sebuah jiwa (spirit)

sekaligus menjadi sesuatu yang menghantui (specter). 234 Meskipun

secara ketubuhan pahlawan sudah mati, namun bagi bangsa Indonesia,

pahlawan ditempatkan sebagai figur yang mempengaruhi kelahiran

bangsa Indonesia, dan dirayakan dalam upacara dan ruang kelas sekolah.

Meskipun demikian, berbeda dengan pahlawan dalam pembantaian

Cebongan, dalam keseharian amatlah jarang orang bisa membayangkan

seorang pahlawan yang menakut-nakuti, main hakim sendiri, atau

membangga-banggakan kekuataannya.

Tapi pembantaian Cebongan telah menkonstruksikan pengertian

pahlawan dari perbuatan keji. Ucok dkk. semula disebut-sebut hanya

prajurit yang main-hakim sendiri dan tidak bisa dibenarkan ketika

melakukannya atas nama jiwa korsa. Mereka menjadi pahlawan karena

memperjuangkan jiwa korsa yang telah ditanamkan di dalam korps-nya.

jiwa korsa-nya muncul setelah melihat CCTV di Hugo’s Cafe, yang mana

Serka Heru dianiaya tanpa perlawanan. Di sini ditemukan jenis baru

pahlawan yang digambarkan sedikit mendekati seorang yang

http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/05/29/ki-manteb-prabowo-ibarat-bima- jokowi-layaknya-yudhistira 234 Tom Lewis, “The Politics of ‘Hauntology’ in Derrida’s Specters of Marx”, dalam J. Derrida, T. Eagleton et.al., Ghostly Demarcations (London & New York: Verso, 2008), hal. 137.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

128

berperilaku tanpa mengindahkan hukum dan tatanan yang berlaku. Jenis

ini jelas tampak ganjil dalam kategori pahlawan yang selama ini dikenal

oleh bangsa Indonesia.

Dalam rangkaian pembantaian Cebongan, “melihat” menjadi

perkara yang penting. Gerakan pro-Kopassus, juga Hendropriyono,

merujuk bahwa pembantaian adalah wajar adanya apabila seseorang

melihat terlebih dahulu isi CCTV. Sementara itu, Maruli Simanjuntak

mengatakan bahwa apa yang terlihat di CCTV sangat sadis.235 Demikian

pula bagi Ucok cerita mengenai meninggalnya Serka Heru menjadi hal

yang menggerakkannya secara emosional untuk melakukan balas

dendam.

Setelah Serda Tri Juwanto memberikan info kepada Ucok

berkaitan pembunuh Serka Heru dan pembacok Sertu Sriyono236, Ucok

dikabarkan terlihat berubah. Ucok tidak percaya bagaimana Serka Heru

bisa terbunuh dan bagaimana caranya. Serka Heru sendiri pernah

menolong dan menyelamatkan Ucok ketika di Papua.237 Kemudian dia

mendengar lagi Sertu Sriyono, yang pernah menyelamatkan hidupnya di

Aceh, juga dibacok oleh kelompok Marcel dkk.. Emosi Ucok pun semakin

menjadi-jadi. 238 Singkatnya, dengan emosinya yang digambarkan

meledak-ledak, Ucok menjadi seorang prajurit yang mampu melanggar

235 Tribun Jogja, 12 Juli 2013, “Maruli Saksikan Rekaman CCTV Insiden Hugo’s” 236 Tribun Jogja, 18 Juli 2013, “Serda Tri Juwanto Pasok Info ke Ucok di Kantin (Serda Ucok Simbolon Kasih Isyarat Jempol Tangan Sebelum Berangkat ke Yogyakarta)” 237 Tribun Jogja, 17 Juli 2013, “Sugeng Lihat Ucok Gemetar (Pengacara Ingin Hadirkan Sertu Sriyono)” 238 Tribun Jogja, 17 Juli 2013, “Ucok Galau Serka Heru S Terbunuh”

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

129

disiplin apabila dibutuhkan. Cerita menjadi lebih masuk akal dan terarah

pada masalah personal, karena kedekatan Ucok dengan Sertu Sriyono

maupun Serka Heru Santoso.

Alih-alih mendengar dan melihat, justru penyerangan dan

pembantaian terjadi sebagai sesuatu yang berlandaskan jiwa korsa. Ada

satu idealisasi tersendiri dalam diri seorang prajurit bahwa ia musti

menjadi prajurit sejati, yakni prajurit yang ber-jiwa-korsa. Video CCTV

dan cerita-cerita didahului oleh kerangka acuan yang dinamakan jiwa

korsa, artinya alih-alih ‘Jiwa Korsa’ sesuatu yang bersifat personal, justru

tampak bahwa jiwa korsa merupakan sesuatu yang membangun sebuah

sistem. Sebagai sebuah kerangka acuan, jiwa korsa bertindak sebagai

aturan tidak tertulis (unwritten rules) dalam lingkup prajurit dan

membuat prajurit menjadi tidak nyaman dalam posisinya, apa yang

diceritakan itu membuat marah dan apa yang terlihat di CCTV itu sadis.

Atau “sebagai seorang prajurit yang mendengar cerita itu, saya akan

marah” dan “sebagai seorang prajurit yang melihat CCTV, hal tersebut

menjengkelkan dan sadis.” 239 Warga masyarakat, terutama para

pendukung penyerangan ini diajak untuk memahami pembantaian itu

atas dasar rasa kesetia-kawanan dan pengorbanan yang semula hanya

dikenal di kalangan militer. Oleh karenanya, mereka yang memahami

konsep itu kemudian memberikan dukungan sepenuhnya bagi para

pelaku pembantaian, dan bahkan mempahlawankannya.

239 Bandingkan dengan Slavoj Žižek, Looking Awry: An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture (Massachusetts: The MIT Press, 1991), hal. 125-126.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

130

C. Fantasi mengenai Preman yang Mengotori Yogyakarta

Kematian empat tahanan preman diikuti dengan cerita-cerita

yang beredar di kalangan masyarakat umum mengenai Diki dkk. yang

seringkali menganggu wong cilik. Namun, duduk permasalahan seperti

apa yang terjadi, orang tidak begitu peduli. Cerita-cerita kesadisan

tersebut bukan untuk dicari tahu lebih jauh, melainkan untuk secara

emosional ditanggapi (fait divers).240 Tanggapan secara emosional ini

menghadirkan formasi fantasi mengenai preman yang merujuk kepada

para pendatang dari NTT.

Di pihak lain, dari kolega dan keluarga Diki berpendapat lain. Diki

bukan seorang preman, melainkan bekerja pada sektor pengamanan.

Artinya, ia dibayar untuk menjadi petugas keamanan. Sebenarnya tempat

hiburan malam seperti Hugo’s Café sudah ada petugas keamanan sendiri,

namun Diki dkk. bertugas sebagai petugas keamanan yang hanya

dipanggil ketika ada kasus khusus, sebagaimana ketika Serka Heru

Santoso datang dan petugas keamanan merasa tidak mampu

menghadapi. Penyebutan preman dinilai oleh keluarga Diki sebagai

sesuatu yang problematis, sebab di dalamnya mengandung kepentingan

untuk melegitimasi pembantaian.241

240 Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 9. 241 Lihat wawancara dengan orang tua Diki, Max Felipus Sahetapy, dalam https://johanheru.wordpress.com/2013/07/24/ diunduh pada 22 Juni 2016. Dituliskan demikian “Ya kami kepingin mengetahui sebenarnya kasusnya bagaimana sehingga dia sampai dieksekusi begitu. Kalo bisa secara terbuka lah semua. Supaya kita tahu anak kita salahnya sampai dmn. Ya kan pak. Kasihan kita orangtua terkatung2 dengan berita yg simpang siur... Saya anggap itu [penyebutan premanisme] pelecehan. Krn mereka bukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

131

Sebenarnya kategori seperti apa yang dimaksud preman dalam

bayangan orang-orang Yogyakarta, terkhusus dalam pembantaian ini?

Memperbincangkan preman dalam konteks ini berarti berbicara

bagaimana konsep preman atau dengan kata lain berbicara dalam ranah

fantastik. Orang boleh saja ingat dengan Gun Jack yang terkenal dalam

sejarah ke-preman-nan di Yogyakarta. Ia memiliki sejarah berkelahi dan

membunuh seorang TNI yang juga adalah seorang putra perwira tinggi.

Alih-alih ia ganti dibunuh, justru ia direkrut dan dipersenjatai oleh pihak

militer. Pun dengan Diki dkk., mengapa ia tidak lalu direkrut oleh militer?

Apakah pola premanisme di Yogyakarta sendiri mengalami perubahan?

Mengapa hanya Diki dkk. yang dibantai? Bagaimana dengan orang-orang

yang selama ini dikenal sebagai preman seperti Cak Harno, Sotong, dan

Harun?242

Sebagai sebuah figur kategoris, preman tidak mungkin

menghilang. Mereka adalah kategori masyarakat yang muncul sebagai

efek dari beranjaknya daerah urban. Para pengusaha membutuhkan

mereka untuk tenaga keamanan usahanya. Sudah menjadi rahasia umum

bahwa aparat juga terlibat dalam bisnis-bisnis tersebut. Makanya, dalam

dunia keamanan usaha dikenal adanya “bisnis resmi” yang merujuk

adanya ijin dari aparat, sekalipun itu sebuah tempat prostitusi.

preman. Mereka ini bekerja. Kan kasus hugos ini lahannya mereka. Bukan lahannya kopassus itu. Lahan mereka, mereka mesti mengamankan lahan mereka.” 242 Lihat sepak terjang preman-peman yang ditokohkan di Jogja seperti Gun Jack, Cak Harno, Sotong, dan Harun dalam Rudiana, 2013, Op.Cit. Lihat juga dalam “Wawancara dengan Michael” dalam https://johanheru.wordpress.com/2013/07/24/wawancara-dengan- michael/ diunduh pada 21 November 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

132

Pertemuan yang tidak terhindarkan antara tenaga keamanan tidak resmi

dengan aparat negara memungkinkan terciptanya kerjasama bahkan

konflik antara kedua belah pihak. Misalnya saja Gun Jack yang dekat

dengan tentara dan Diki dkk. yang dikenal sebagai ATM atau sumber

pemasukkan bagi polisi namun juga menjadi musuh dari tentara.243

Diki dkk. sendiri membentuk jaringan preman dengan model

berbeda. Karena keberaniannya, mereka direpresentasikan sebagai

orang yang masuk dalam kategori preman namun tidak bisa diatur oleh

aparat polisi maupun tentara. Boleh dikata, jaringannya merupakan

pengacau keamanan yang tidak bisa diajak bekerja-sama. Kendatipun

demikian, bagi orang dari NTT ia dikenal sebagai orang yang suka

membantu apabila orang dari NTT mengalami masalah di Yogyakarta.

Sekali waktu pernah John S. Keban, tetua NTT di Yogyakarta sekaligus

wakil ketua DPD Partai Golkar DIY, mengingatkan Diki namun justru

diceritakan bahwa John S. Keban dimaki-maki oleh Diki.244

Sebagaimana disebutkan sebelumnya isu keistimewaan yang

berpadu dengan jiwa korsa Kopassus membuat kategori preman menjadi

semakin kabur. Tindakan kekejian yang ditegaskan dengan adanya

gerakan memberikan sinyal bahwa preman dengan kebebasannya dari

aparat (bahkan berani terhadap aparat) dan berani terhadap orang lain

yang dituakan semakin menunjukkan preman sebagai orang yang gagal

berkomunikasi dalam masyarakat, gagal bergaul, tidak bisa hidup di

243 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra. 244 Wawancara dengan Julius Felicianus.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

133

masyarakat. Mereka adalah orang bebal yang belum mengerti dan tidak

mau menghargai etiket Jawa, atau dengan kata lain bukan Jawa.245

Konsep melawan orang yang dituakan ini merupakan hal yang tidak

masuk dalam nilai-nilai kejawaan seperti patuh dan hormat. Lantas, tidak

heran kemudian Diki dkk. dianggap sebagai “anak nakal” yang kualat

oleh salah satu pengorganisir gerakan dukungan terhadap pelaku

pembantaian.246 Penyebutan “anak nakal yang kualat” ini adalah cara

untuk menunjukkan pada orang-orang di Yogyakarta bahwa mereka

yang tidak bisa menghargai etiket Jawa di Yogyakarta akan mendapatkan

pelajaran.

Bicara soal preman, apabila menggunakan kategori sosial, bisa

berarti memperbincangkan perkara “sampah masyarakat” atau “tidak

memberi kontribusi yang produktif bagi masyarakat.” 247 Namun,

kategori tersebut berlaku hanya dalam kelas menengah di Yogyakarta.

Dalam kategori masyarakat kelas bawah atau yang tersingkirkan,

preman layaknya seseorang yang memikat dan fantastik.248 Preman

layaknya subjek yang mampu menembus batas-batas dan aturan-aturan

yang tertulis maupun tidak tertulis. Kedekatan dan keberaniannya

dengan aparat sebagai suara hukum menjadi privilese yang sukar

dibayangkan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini Hukum dilihat

sebagai sebuah ancaman bagi seseorang, kegagalan dalam

245 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 10. 246 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra. 247 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra. 248 Bandingkan dengan Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 8.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

134

mengidentifikasi diri dengan Hukum yang berlaku justru menunjukkan

bahwa hukum tidak mampu menawarkan identitas yang menetap dan

tidak bisa menyokong hasrat yang dimiliki subjek dalam masyarakat.249

Segera setelah pembantaian Cebongan terjadi, Sultan HB X

mengundang tokoh-tokoh Yogyakarta untuk mengadakan makan siang

bersama dan sarasehan di Tamanan. Dalam pertemuan tersebut, seorang

warga yang hadir mengatakan bahwa beliau menyampaikan orang-orang

itu (Diki dkk.) “seharusnya sekolah baik-baik di Yogyakarta, bukan malah

datang dan membawa senjata tajam, kalau seperti itu, ya keluar dari

Jogja saja.” Hal serupa juga disampaikan oleh adik Sultan, Gusti Prabu.

Banyak orang kemudian dianggap kurang ajar karena datang hanya

untuk mengacaukan ketentraman Yogyakarta. Bahkan sempat muncul

istilah yang sentimentil dari seorang aktor gerakan pendukung

pembantaian, yakni “mengotori”. Penggunaan istilah “mengotori” ini

membuat asosiasi yang tumpang tindih antara mana preman dan mana

pendatang. Keduanya menjadi gagasan yang maknanya saling tumpang

tindih.

Dalam perbincangan tersebut, preman kemudian muncul sebagai

sesuatu yang disematkan kepada orang yang datang dan mengotori

Yogyakarta. Mengotori tidak lain adalah untuk mengganti atau

menyingkat keadaan yang tidak aman, nyaman, damai, dan tentram. Para

preman ini seakan-akan datang sebagai seorang pencuri yang

249 Yannis Stavrakakis, Lacan and the Political (London & New York: Routledge, 1999), hal. 45.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

135

mengacaukan tata nilai dan cara hidup orang Yogyakarta.250 Mereka

tidak pernah bisa menjadi orang sebagaimana orang Yogyakarta, namun

pada saat yang sama mereka mengancam identitas Yogyakarta.

Masalah mengenai pendatang menjadi makin rumit dengan

hadirnya rangkaian penandaan (free-floating dispersion of signifiers)

antara “orang kulit hitam” dan berambut keriting entah dari NTT, NTB,

Papua, atau Ambon, dengan preman. Orang-orang tersebut dikabarkan

suka berkelahi dan rusuh, orang-orang tersebut suka mabuk dan tidak

terkontrol, orang-orang tersebut bisa seenaknya tidak pakai helm di

jalanan, orang tersebut suka bicara keras walaupun malam hari, atau

kulturnya temperamental, yang adalah kebalikan dari apa yang

didefinisikan sebagai orang Yogyakarta dalam gerakan mendukung

pembantaian Cebongan. Dengan demikian, para pendatang ini justru

memperjelas ketidakjelasan identitas orang Yogyakarta bagi orang-orang

Yogyakarta sendiri, atau lewat para pendatang ini identitas Yogyakarta

bisa terdefinisikan. Para pendatang ini berfungsi sebagai sebuah fiksi

yang membuat subjek Yogyakarta terus merepresi krisis Yogyakarta

yang kini dianggap tidak lagi aman, nyaman, damai, dan tentram untuk

kemudian diarahkan ke figur pendatang. Cara-cara memasukkan figur

pendatang ini tampak misalnya dalam spanduk bertuliskan

“PREMANISME: Bukan Sifat Asli Orang Yogya, Pergi atau Kita Usir” atau

250 Slavoj Žižek, “Eastern Europe’s Republics of Gilead”, dalam Chantal Mouffe, Dimensions of Radical Democracy: Pluralism, Citizenship, Community (London & New York: Verso, 1995), hal. 196.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

136

dalam sebuah poster bertuliskan “Pelajar/mahasiswa merantau ke Yogya

tugasnya… a. Belajar; b. Ke Diskotik; c. Jadi Preman” dengan memberi

tanda silang pada huruf a.251

Permasalahan sikap rasis terhadap para pendatang pun semakin

naik ke permukaan. Muncul cerita-cerita berkaitan dengan penolakan

orang dari NTT, NTB, Ambon atau Papua. Dalam lingkup sosio-politik,

penolakan aksi orang-orang Papua untuk memperjuangkan demokrasi

yang diorganisir Paksi Katon yang menyatakan bahwa “OPM [Organisasi

Papua Merdeka] bisa-bisanya menghina negara tapi dibiarkan.” Atau

dalam ruang-ruang sosial yang lebih sempit, misalnya seorang

mahasiswa yang mencari kos akan ditanyai asalnya dari mana, ada

ketakutan kalau-kalau mereka dari NTT, NTB, Ambon, atau Papua. Ada

sembilan orang mahasiswa NTT dan Papua yang mengungkapkan telah

mengalami sikap rasisme saat di Yogyakarta. Misalnya saja berkaitan

dengan saat ia mencari kos, ia mengatakan bahwa ketika mencari kos

ditanyai daerah asal, ketika ia bilang dari NTT si pemilik indekos

mengatakan tidak ada kamar kosong. Kemudian, seorang temannya dari

Solo bertanya di hari berikutnya dan pemilik indekos mengatakan bahwa

masih ada kamar kosong. Adapula cerita dari seorang lain dari NTT yang

ditanyai soal Diki dkk. ketika pada bulan Juni 2013, tiga bulan setelah

pembantaian Cebongan, ia datang ke Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa

lebih lanjut ditanyai apakah kenal dengan Diki dkk., apakah rumahnya

251 Pada kenyataannya, keempat tahanan yang tewas tidak satupun mahasiswa. Deki, Adi dan Dedi adalah pekerja swasta, sementara Juan adalah desersi polisi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

137

dekat dengan mereka. Sejak tahun 2004, penolakan-penolakan kos yang

mulai terjadi di Yogyakarta semakin diperkuat dengan adanya

pembantaian Cebongan.

Bukan berarti bahwa hal tersebut tidak rasional, justru sikap

rasisme ini memiliki rasionalitasnya sendiri, yang mana kertersingkiran

tersebut justru cara untuk memasukkan orang-orang yang disingkirkan

ke dalam komunitas Yogyakarta. Dengan menyingkirkan para pendatang

ini, maka “kita sebagai orang asli Yogyakarta” bisa dibedakan dengan

“mereka yang bukan orang asli Yogyakarta”. Lewat penyingkiran ini,

identitas Yogyakarta semakin terkategorikan, dan dengan demikian

terdefinisikan sementara bagi kalangan tertentu.

D. Pendukung Pembantai dan Pelindung Paugeran Kraton

Diki dkk. yang masuk dalam lingkar pergaulan dalam Pakualaman

menjadi alasan utama mengapa dukungan terhadap Kopassus mesti

dilakukan. Diki dkk. adalah orang yang kualat karena masuk ke dalam

konflik yang seharusnya tidak ia masuki.252 Dengan kata lain, Diki dkk.

masuk ke dalam konflik yang bersentuhan langsung dengan paugeran

kesultananan Yogyakarta. Singgungan dengan perkara paugeran inilah

yang kemudian membuat Diki dkk. kualat dan pantas diberi pelajaran

oleh para pendukung pembantaian Cebongan.

252 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

138

Dalam pengertian ini, “kualat” sebagai wujud pemberian pelajaran

menciptakan penyingkiran bagi orang-orang yang mengusik kedudukan

Kraton. Mengapa demikian? Mengapa bukan karena mengusik

kedudukan Sultan? Padahal, kritik-kritik yang dilayangkan kepada Sultan

sudah sangat berjibun di media sosial, misalnya seperti ketika

pembangunan hotel-hotel di Yogyakarta atau permasalahan bandara

Kulon Progo yang Sultan mengakui tidak tahu bahwa AMDAL mesti

dilakukan sebelum pembangunan dilakukan. 253 Bukankah dengan

demikian bukan Sultan, melainkan Kraton sebagai sebuah tatanan

hukum, moral, struktural yang menyangga Yogyakarta sebagai sebuah

Yogyakarta yang sesungguhnya?

Ki Demang Wangsyafudin mengatakan bahwa bukan Sultan dan

keluarganya, melainkan konstitusi Kraton yang dijaga. Ia mengatakan

bahwa dalam permasalahan Kraton, ia dan orang-orang di Sekber yang

mendukung pembantaian Cebongan tidak ikut-ikut. Ada pembedaan

antara urusan internal Kraton dengan Keistimewaan Yogyakarta.

Masyarakat hanya dapat mengurusi bagian Keistimewaan Yogyakarta,

sementara berkaitan dengan paugeran adalah urusan Sultan dan

keluarganya. Misalnya saja mengenai polemik suksesi dari HB X ke HB XI

yang akan berlangsung.

253 Lihat dalam Pito Agustin Rusdiana, “Gubernur DIY Tak Tahu Amdal Harus Ada Sebelum Izin Proyek”, diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2016/05/31/058775492/ gubernur-diy-tak-tahu- amdal-harus-ada-sebelum-izin-proyek pada 21 November 2016.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

139

Polemik dan politik paugeran menunjukkan betapa penting

pewarisan nilai. Pewarisan nilai-nilai seperti kesopanan, halus, dan tahu

unggah-ungguh menjadi penanda bahwa definisi orang Yogyakarta

berhasil diidentifikasi oleh para subjek-subjek di Yogyakarta. Hal

tersebut senada dengan kecenderungan esensialis untuk kembali ke

kultur Yogyakarta yang “sebenarnya.” Ketika berbicara mengenai

Yogyakarta yang “sebenarnya”, orang merujuk pada tata nilai yang

mencerminkan sifat njawani dari seorang subjek Jawa. Apabila ada hal

yang hilang dalam orang Yogyakarta, maka sifat njawani itulah yang

kemudian hilang.

Menjadi orang yang njawani menurut Sekber Keistimewaaan atau

pendukung pembantaian Cebongan berarti menjadi orang yang punya

“unggah-ungguh, nrima ing pandum, tahu budayanya, tahu dirinya.”

Istilah kebudayaan Jawa yang njawani dan Yogyakarta yang

“sebenarnya’’ ini menjadikan tidak jelas model Jawa yang begitu

beragam dengan menjadikannya seragam sebagaimana dibayangkan

oleh para pendukung pembantaian. Imajinasi mengenai Jawa yang

esensialis tersebut, justru membuat kehilangan ini juga makin terasa

dengan dibawanya sifat njawani ini ke dalam tingkat birokrasi. Usaha

untuk mengadopsi sifat njawani ke dalam struktur birokrasi ini

menandai bahwa pewarisan sifat tersebut tidak cukup berhasil sehingga

perlu ditegaskan dalam struktur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

140

Hasrat untuk kembali ke sifat yang njawani ini dalam pemahaman

Slavoj Žižek dikenal dengan istilah nostalgia. Sebuah nostalgia, menurut

Žižek, merupakan keadaan yang memunculkan sesuatu yang hilang atau

sesuatu saat seseorang tidak lagi bisa mengidentifikasi dirinya dengan

keadaan termaksud. Keadaan ini menghadirkan objek yang memikat

dengan cara menyembunyikan antara mata saat ini dengan tatapan di

masa lalu.254 Misalnya saja ketika melihat baliho bergambar Candi

Prambanan dengan orang menari berpakaian tradisional. Bagi orang

yang masa kecilnya akrab dengan gambaran tersebut, ia mungkin saja

melihat dirinya di masa lalu pada saat ini. Model-model demikian

digunakan dalam aksi yang dilakukan Sekber Keistimewaan, misalnya

dengan long bumbung, berpakaian Srikandhi, memakai blangkon, dengan

ketapel, atau slametan.

Model ini serupa dengan apa yang dijabarkan Saya Shiraishi

sebagai sebuah selendang yang mampu menggantikan hilangnya sensasi

kehangatan orang tua. Pun dengan berbagai macam aksi yang

menggunakan gaya tradisional tersebut justru menegaskan bahwa

pengalaman dan sensasi rasa akrab, saling menghargai, atau syukur

sesungguhnya terasa mangkir. Dengan demikian, apa yang sudah hilang

terasa menjadi begitu asli dan nyata.255

254 Žižek, 1991, Op.Cit., hal. 114. 255 Lihat dalam Shiraishi, 2009, Op.Cit., hal. 82-90.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

141

Gambar 4.1. Ayo Jaga & Lestarikan Seni Budaya Kita

Apabila konstitusi Kraton − dengan contoh seperti nilai-nilai di

atas − digagas sebagai sesuatu yang njawani, maka apa yang berasal dari

Kraton dianggap selayaknya diterima oleh rakyat: baik itu kebijaksanaan,

keadilan, nilai-nilai, dan kekuasaan. Kraton di sini tidak berfungsi sebagai

sesuatu yang melarang untuk melakukan kegiatan tertentu, melainkan

Kraton dijadikan penanda yang memiliki kekuasaan untuk menjaga

Yogyakarta yang njawani. 256 Kraton menjadi jimat yang menandai

otentisitas dan menjaga aura kekeramatan Yogyakarta dalam gerakan

terhadap pembantaian Cebongan. Tentu saja dalam praktek sehari-hari

bukan kraton yang menentukan kebudayaan rakyat, melainkan interaksi

sosial dalam masyarakat.

Perubahan mengenai Yogyakarta yang njawani menurut gerakan

pendukung Kopassus juga terjadi sebagaimana dalam branding kota

Yogyakarta sebagai The City of Tolerance. Sebagai sebuah kota yang

256 Lihat juga dalam Slavoj Žižek, For They Know Not What They Do (London & New York: Verso, 2013), hal. 250. Žižek menulis demikian, “the King: his wisdom, justice and power are to be trusted, yet not too severely..... in the power of the signifier, not in the immediate force of coercion.” Dalam istilah psikoanalisa Lacanian, istilah ini dikenal dengan Master Signifier, yakni penanda yang tidak memiliki perbedaan lain secara esensial, namun penanda ini menguasai dan dijadikan referensi dari keseluruhan penanda lain karena sifatnya yang menjamin keberlangsungan mana.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

142

dimaklumatkan menjadi The City of Tolerance, bukan lalu berarti

Yogyakarta adalah kota yang toleran. Yogyakarta yang toleran berfungsi

secara imperatif untuk mewujudkan kota yang memang diandaikan

toleran oleh masyarakat. Lalu, kapan sebenarnya Yogyakarta itu menjadi

kota yang toleran? Tentu saja dengan adanya kekejian-kekejian yang

terulang sebagaimana dalam pembantaian Cebongan menjukkan bahwa

toleransi hanya hadir dalam sebuah kemangkiran. Toleransi menjadi

bahasa untuk mengatakan betapa Yogyakarta ini berubah tidak lagi

njawani. Dengan kata lain, identitas Yogyakarta yang toleran merupakan

sesuatu yang belum tercapai, namun terus diciptakan dan ditemukan. Di

sinilah kemudian tidak perlu heran bahwa gerakan sebagaimana

dukungan terhadap pembantaian Cebongan mendapatkan tempat untuk

dirayakan.

Dalam bab tiga, telah dibahas bagaimana penyingkiran terhadap para korban pembantaian di Cebongan muncul dalam wacana preman kontra pahlawan dan asosiasi preman dengan para pendatang asal NTT.

Penyingkiran tersebut, dalam bab ini, dijelaskan dengan kondisi fantasmatik dalam gerakan pendukung pelaku pembantaian maupun para pelaku pembantaian. Fantasi-fantasi mengenai pahlawan, ksatria, pendatang dan subjek ideal yang njawani membangun sebuah dunia kenyataan mengenai kota Yogyakarta yang seharusnya bisa aman, nyaman, damai, dan tentram kalau tidak ada preman pendatang asal NTT. Penjelasan ini menunjukkan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

143

bahwa realitas keseharian dikonstitusikan oleh dunia simbolik (bahasa) yang kemudian disangga oleh fantasi.

Meskipun demikian, kondisi aman, nyaman, damai, dan tentram atau masyarakat yang seutuhnya harmonis hanyalah sebuah khayalan belaka dari masyarakat yang tersusun dengan orang-orang yang memiliki fantasi berbeda. Apabila fantasi tentang masyarakat yang seutuhnya harmonis ini disertai dengan menutup kemungkinan adanya antagonisme yang terwujudkan dalam nilai dan budaya baru yang dibawa para pendatang, maka tidak terhindarkan lagi penyangkalan-penyangkalan fetisistik akan terus terjadi sambil melihat bahwa “budaya kami adalah yang terbaik.”

Penyangkalan ini juga diikuti selendang-selendang baru yang menawarkan mangkirnya masyarakat harmonis yang justru diidamkan tanpa peduli bahwa semuanya hanyalah salinan dari apa yang sudah hilang.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

BAB V

PENUTUP

Keseluruhan tulisan ini berusaha untuk menjabarkan mengenai premanisme di Yogyakarta pasca reformasi, khususnya dari wacana pembantaian Cebongan. Ada tiga hal yang dijawab dalam penelitian ini, yakni

(1) kaitan premanisme dengan proses sosial di Yogyakarta; (2) bagaimana wacana pahlawan kontra preman muncul dalam pembantaian Cebongan; dan

(3) Fantasi seperti apakah yang mendasari wacana tersebut. Dari ketiga pertanyaan tersebut, ditunjukkan bahwa preman dalam pembantaian

Cebongan muncul dan dihadap-hadapkan dengan pahlawan. Tentu saja wacana ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berkaitan dengan bagaimana kondisi keseharian dan relasi sosial yang terjadi antar warga masyarakat di Yogyakarta disertai kebutuhan untuk menegaskan kembali hal-hal yang sebenarnya sudah hilang di Yogyakarta.

Semenjak reformasi yang diikuti otonomi daerah, migrasi penduduk masuk ke DIY semakin meningkat. Tidak hanya migrasi yang bertujuan untuk tinggal di Yogyakarta, migrasi ini juga ditunjukkan dengan jumlah mahasiswa rantau yang kemudian menempati daerah-daerah tertentu di sekitar kampus.

Perjumpaan antar masyarakat ini kemudian diikuti dengan makin sesaknya ruang di Yogyakarta. Di sisi lain, banyaknya pendatang – entah migran, mahasiswa, maupun wisatawan – ke Yogyakarta menjadi peluang

144

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

145

perekonomian Yogyakarta yang ditandai dengan munculnya tempat wisata, mall, hotel, juga tempat hiburan malam. Kesesakan dan kepadatan di

Yogyakarta beriringan dengan wacana kriminalitas di jalanan. Wacana pembantaian Cebongan bersinggungan dengan dua wacana lain, yakni mengenai pendatang dan kriminalitas yang pada akhirnya juga ditumpangi wacana keistimewaan yang saat itu tengah santer diperjuangkan di

Yogyakarta.

Ketiga wacana tersebut – yakni pendatang, kriminalitas, dan keistimewaan – membenarkan penyingkiran terhadap para korban penyerbuan lapas Cebongan. Penyingkiran ini dilakukan lewat hadirnya institusi, artefak (benda-benda seperti spanduk atau gambar tempel), maupun konsep-konsep yang dihadirkan baik dalam penyampaian berita maupun hasil wawancara. Lewat pembalikan penanda-penanda mengambang yakni pengacau, preman, dan pendatang, pembantaian semakin dilegitimasi layaknya kisah kepahlawanan yang memang dianggap perlu disaksikan masyarakat Yogyakarta.

Kemasyhuran para pahlawan dalam pembantaian ini menunjukkan adanya kegagalan warga Yogyakarta dalam mewujudkan sebuah masyarakat plural yang bebas struktur kekuasaan. Hadirnya otoritas TNI, Sekber

Keistimewan, dan beberapa pejabat dalam komentarnya mengenai pembantaian ini menunjukkan bahwa otoritas baru muncul di Yogyakarta.

Secara khusus, otoritas baru ini hadir dalam bentuk wacana keistimewaan dalam pembantaian Cebongan. Dari pembantaian Cebongan ini, hadirnya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

146

otoritas hanya menunjukkan bahwa balas dendam dan memberi pelajaran adalah sah-sah saja, yang dengan demikian menyingkirkan perjuangan hak asasi yang akhir-akhir ini menguat. Padahal, pengalaman Yogyakarta pada

Pisowanan Ageng menunjukkan bahwa tanpa hadirnya otoritas, massa- rakyat mampu mengatasi kekacauan tanpa kekerasan.257

Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, hadirnya wacana keistimewaan ini menguatkan fantasi-fantasi mengenai kepahlawanan, ke- ksatria-an, pendatang, dan sifat yang ‘njawani’. Dalam wacana keistimewaan, fantasi mengenai identitas njawani menandai betapa Yogyakarta saat ini terpisah dari Yogyakarta dulu. Perselisihan yang digerakkan oleh fantasi, atau hal yang tidak pernah ada ini, bisa dihindari dengan cara melampaui fantasi termaksud (traversing the fantasy), atau bahwa fantasi-fantasi tersebut hanyalah bikinan aktor-aktor atau agen-agen sosial dalam masyarakat Yogyakarta.

Kemunculan fantasi tersebut dalam pembantaian Cebongan menunjukkan bahwa dengan mudah orang berpikir bahwa sebuah komunitas yang harmonis, rukun, seia-sekata, damai, aman, dan tentram menjadi kunci dari kesejahteraan bersama (common good). Padahal, pada kenyataannya, komunitas tersebut hanyalah komunitas yang tidak pernah ada. Komunitas utopia yang sarat akan kesatuan ini bahkan sangat rapuh dan mudah terjebak dalam kekerasan-kekejian demi keutuhannya. Kerapuhan ini

257 Bandingkan dengan James T. Siegel, “Perempuan Pala: Kisah-Kisah dari Era Konflik”, dalam Azhari, Perempuan Pala & Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi (Sleman: Buku Mojok, 2015), hal. xiii-xiv.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

147

menandai bahwa perkembangan suatu komunitas diikuti dengan kendornya tali-tali yang mengikat anggota komunitas termaksud.258

Masalah hanya akan terus menjadi makin runyam dengan kekuasaan yang, meskipun tidak secara koersif, mengandaikan bahwa suatu komunitas memiliki standar tertentu yang mustinya dicapai. Masyarakat bisa menjadi sangat totalitarian ketika memandang hanya ada satu solusi dalam mencapai kemaslahatan komunitasnya, misalnya “boleh datang ke Yogyakarta asal tidak membuat rusuh” atau “kalau tidak bisa dibina ya dibinasakan.” Menjadi rumah bersama bisa dibaca dengan cara lain yang justru bersemi dari rasa hormat sejati akan keanekaragaman dan kepribadian manusia.259

Belum lagi hadir kepentingan-kepentingan intersubjektif yang saling berbeda dalam sebuah arena sosial-budaya. Ada yang ingin mendapatkan uang, ada yang ingin mendapatkan kekuasaan, ada pula yang mendambakan diri bisa memiliki pengaruh.260 Kompleksitas ini mengandung resikonya sendiri, kepenuhan yang tergambar dalam aman, nyaman, damai, dan tentram akan menciptakan pemindahan yang terus-menerus (continuous displacement).261 Pemindahan yang sinambung ini menjadi dampak dari ketidaktercapaian masyarakat sebagaimana diidealkan. Setelah pembantaian

Cebongan, orang bisa saja ingat dengan Flo yang dimaki-maki oleh mereka yang mengaku diri wong Jogja, dengan orang-orang Papua yang

258 Yannis Stavrakakis, “(I Can’t Get No) Enjoyment: Lacanian Theory and the Analysis of Nationalism”, dalam Psychoanalysis, Culture & Society, 11, 2006, hal. 144-163. 259 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 74. 260 Žižek, 2008, Op.Cit., hal. 252. 261 Stavrakakis, 1999, Op.Cit., hal. 45.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

148

memperjuangkan demokrasi namun oleh Paksi Katon disebut OPM, dengan

LGBT yang oleh ormas FUI, GPK, dan Kokam ditekan habis; atau juga dengan

Gafatar yang coba dijinakkan dengan diberikan pelajaran agama setelah dipulangkan dari Mempawah. Gerakan penolakan-penolakan tersebut sekadar menunjukkan betapa peliknya kaitan antara premanisme, keistimewaan dan gagasan njawani dalam sistem sosial di Yogyakarta.

Dalam penolakan-penolakan tersebut, ada ke-tidak-sesuai-an dalam lingkup fantasi antara yang menolak dengan yang melakukan aksi. Dunia luar dan sesama-yang-lain 262 dianggap sebagai yang menghalang-halangi mencapai sebuah masyarakat yang dihasratkan bersama, tidak ada pengakuan terhadap sesama-yang-lain. Apabila tidak jeli, kecenderungan halusinatif bahwa istimewa merupakan sebuah status (bukan proses!).

Kecenderungan tersebut hanya akan menciptakan sebuah masyarakat yang narsistik263, yang memandang masyarakatnya sendiri adalah masyarakat yang paling ideal. Padahal, jumlah dan beragamnya pendatang atau bisnis- bisnis kapitalistik yang dilakukan baik oleh elite kraton maupun pengusaha lain akan merombak masyarakat dengan elite tradisionalnya, artinya perubahan tata nilai adalah sebuah keniscayaan. Karakteristik njawani yang selama ini juga ditantang oleh pergolakan-pergolakan termaksud, termasuk dengan hadirnya ormas-ormas reaksioner di Yogyakarta yang memiliki jalur

262 Di sinilah kerapuhan dari sebuah identitas tampak, bahwa hanya dengan mengandaikan adanya sesama-yang-lain, identitas bisa mafhumkan. Lihat misalnya dalam tulisan James T. Siegel, “Once Again: Nationalism and Revolution”, dalam Indonesia, No. 101 (April 2016), hal. 36. 263 Ormrod, 2014, Op.Cit., hal. 136.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

149

ke pemerintah lokal. Kondisi tidak terdamaikannya fantasi ini bisa diatasi dengan kehadiran otoritas bukan sebagai sosok kekuasaan yang memihak, melainkan menjadi penyangga antar fantasi-fantasi dalam masyarakat dengan melindungi hak-hak dan memperjuangkan kesejahteraan bersama, misalnya dengan tidak mengabaikan suara-suara rakyat yang dianggap bising.

Kesegeraan untuk menjadi penyangga ini juga patut disadari baik oleh kelas menengah maupun aparat negara, termasuk TNI.

Gerakan pro-Kopassus sebagaimana terjadi dalam pembantaian

Cebongan 264 dimungkinkan dengan adanya peran kelas menengah di

Yogyakarta. Peran kelas menengah di provinsi yang “lebih terarah pada perlindungan ekonomi, menginginkan kekuasaan negara, dan mempraktekkan demokrasi patronase” 265 hanya akan menjadikan pemerintahan lokal sebagai sebuah panggung sandiwara. Padahal, anggota kelas termaksud diharap-harapkan menggerakkan kehidupan dalam masyarakat. Kalau tidak, boleh jadi di masa depan Yogyakarta akan menjadi

264 Sementara tulisan ini dibuat, muncul kriminalitas baru di Bandung yang menewaskan seorang prajurit Kopassus bernama Pratu Galang. Dikabarkan bahwa pada tanggal 7 Juni 2016, Pratu Galang dicegat, dikeroyok, dan ditusuk oleh kelompok geng motor. Meskipun demikian, motifnya belum jelas sampai tulisan ini dibuat. Pangdam III/Siliwangi, Mayjen TNI Hadi Prasojo, mengatakan bahwa begal-begal “akan kita sikat. Dalam artian kita tembak atau lumpuhkan. Tapi bukan kepala, melainkan kaki atau badan ya.” Jelas pernyataan ini membawa teror baru bagi kehidupan malam di Bandung. Lihat dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/seruan-perang-kodam-siliwangi-lawan-geng- motor.html 265 Demokrasi patronase ini merupakan bentuk demokrasi yang menjalankan konsensus berdasarkan kepentingan pihak tertentu dan berbeda dengan sasaran demokrasi radikal yang menekankan pada konsensus yang egaliter dan bukan milik kelompok kepentingan manapun. Lihat model demokrasi radikal dalam Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (London & New York: Verso, 1985).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

150

sebuah theatre state ala Geertz266, atau bahkan preman state yang justru berkebalikan dengan apa yang dicita-citakan oleh orang Yogyakarta sendiri.

Penelitian ini menegaskan bahwa dengan institusi yang meniru model penyelesaian ala preman juga tidak serta-merta membuat premanisme hilang.

Dukungan terhadap para pelaku penyerbuan Cebongan didasarkan pada sejarah Yogyakarta yang dianggap istimewa dan utuh sejak berdirinya pada 1755. Sebab itu, kebutuhan akan data historis mengenai perkara istimewa dan utuh inilah yang kemudian mampu mengisi kekurangan perspektif psikoanalisa. Penelitian selanjutnya bisa digali lebih jauh dengan menekankan konteks historis tanpa meninggalkan perspektif psikoanalisa yang mampu menjelaskan bagaimana hasrat diorganisir.

Penggalian data dalam penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai elite tertentu yang memang menjadi organisator atau tokoh dalam gerakan dukungan terhadap pelaku pembantaian Cebongan. Seorang tokoh menempati posisi seorang elite yang telah atau perlahan-lahan sedang tumbuh. Tentunya akan berbeda dengan orang-orang biasa yang cenderung lebih terbuka untuk berpendapat dan membuka kemungkinan lebih luas untuk melihat subjek Yogyakarta dengan kacamata baru, yang tidak bisa diwakili oleh para elite.

266 Istilah ini digunakan Clifford Geertz untuk menunjukkan bahwa pihak otoritas (Geertz mengatakan “Negara” di Bali pada masa sebelum kolonial) menjalankan kekuasaannya menyerupai permainan teater yang mana menjadikan rakyat sebagai kumpulan penonton yang secara sistematis diarahkan pada ritual atau dramatisasi peristiwa sosial. Lihat dalam Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (Princeton: Princeton University Press, 1980), hal. 13.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

151

Terakhir adalah berkaitan dengan institusi TNI yang sadar-tidak- sadar tengah mereformasi diri, baik karena permasalahan internal maupun tekanan eksternal. Permintaan terhadap perbincangan bertema tragedi 1965 dan peran ABRI/TNI selama Orde Baru mendorong dan/atau menekan TNI untuk terus menghadapi tegangan di badan institusi termaksud, terkhusus

TNI AD. Perbincangan soal HAM atau pelanggaran hukum misalnya hanya akan berakhir dengan pembalikan fetisistik sebagaimana terjadi dalam pembantaian Cebongan bahwa “melanggar HAM tidak masalah, asal.....” yang berarti tanpa disertai adanya revolusi sosial menuju dinamika masyarakat yang egaliter. Meskipun demikian, muncul harapan terhadap reformasi TNI ketika beberapa Jendral yang berkomentar soal pembantaian Cebongan saling bersilang pendapat. Barang tentu sekadar harapan, proses pengadaptasian dengan struktur yang lebih “nasionalis” akan mengorbankan tatanan dalam tubuh militer. “Kisah runtuhnya sebuah hirarki”, tulis Siegel,

“pada saat yang sama adalah kisah sebuah reformasi.”267

267 James T. Siegel, Fetish, Recognition, Revolution (New Jersey: Princeton University Press,1997), hal. 6.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

DAFTAR PUSTAKA

Ajidarma, S.G. (2007). Penembak Misterius. Yogyakarta: Galangpress.

Althusser, L. (2008). On Ideology. London & New York: Verso.

Anderson, B. R. O'G. (1988). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Sinar Harapan.

Anderson, B. R. O'G. (1999). “Indonesian Nationalism Today and in the Future”. Indonesia, Number 67, hal. 1-11.

Anderson, B. R. O'G. (2000). Kuasa-kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: MataBangsa.

Anderson, B. (2000). “Petrus Dadi Ratu”, Indonesia, Volume 70, hal. 1-7.

Anderson, B. R. O'G. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Ed.Rev.). London & New York: Verso.

Anderson, B. R. O'G. (2008). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Jejak.

Anderson, B. R. O'G. (2013). “Impunity and Reenactment: Reflections on the 1965 Massacre in Indonesia and its Legacy”, The Asia-Pacific Journal, Vol. 11, Issue 15, No. 4.

Anderson, B. R. O'G. (2013). “Kebal Hukum dan Pemeranan Kembali”, IndoProgress, http://indoprogress.com/2013/06/kebal-hukum-dan- pemeranan-kembali/

Anderson, B. R. O'G., ed. (2001). Violence and the State in Suharto’s Indonesia. Ithaca: SEAP Cornell University.

Anderson, B. R. O'G., A.W. Djati, & D. Kammen. (2003). “Interview with Mário Carrascalão”, Indonesia, Volume 76, hal. 1-22.

Anderson, B.R.O’G. & R. McVey. (1971). A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia. Ithaca: SEAP.

Aspinall, E. (2013). “A Nation in Fragments”. Critical Asian Studies, Volume 45 (1), hal. 27-54.

152

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Aspinall, E. & M.U. (2015). “The Patronage Patchwork. Village Brokerage Networks and the Power of the State in an Indonesian Election”, Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkuenkunde, 171, hal. 165-195.

Atmakusumah, et.al., ed. (2011). Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Ed. Rev.). Jakarta: Gramedia.

Azhari. (2015). Perempuan Pala & Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi. Sleman: Buku Mojok.

Barker, J. & V.L. Rafael. (2012). “The Event of Otherness: An Interview with James T. Siegel”. Indonesia, Volume 93, hal. 33-52.

Barker, J., J. Lindquist, et.al. (2009). “Figures of Indonesian Modernity”. Indonesia, Volume 87, hal. 35-72.

Benjamin, W. (1986). Reflections: Essays, Aphorisms, Autobiographical Wiritings. New York: Shocken Books.

Benjamin, W. (1969). Illuminations: Essays and Reflections. New York: Shocken Books.

Bonneff, M. (1994). “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince an Philosopher (1892-1962)”. Indonesia, Volume 57, hal. 49-70.

Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2011). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2010. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.

Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2012). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2011. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.

Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2013). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2012. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.

Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2014). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2013. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.

Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2015). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2014. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.

153 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2015). Statistik Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta 2014. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.

Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2016). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2015. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.

Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. (2015). Data Kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta Semester II Tahun 2015. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.

Campbell, B.B. & A.D. Brenner, ed. (2002). Death Squads in Global Perspective: Murder with Deniability. New York & Hampshire: Palgrave Macmillan.

Carey, P. (2015). Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro. Depok: Komunitas Bambu.

Chambert-Loir, H. & A. Reid, ed. (2002). Kuasa Leluhur: Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan di Indonesia Kontemporer. Medan: Bina Media Perintis.

Choppel, C.A., ed. (2006). Conflicts in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution. New York: Routledge.

Creswell, J.W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among five Traditions. California: Sage Publications.

Critchley, S. (2009). Ethics-Poitics-Subjectivity: Essays on Derrida, Levinas, & Contemporary French Thought. London & New York: Verso.

Crouch, H. (1998). Army and Politics in Indonesia. Ithaca: SEAP Cornell University Press.

Davidson, J.S. & D. Kammen. (2002). “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan”. Indonesia, Volume 73, hal. 53-87.

Day, T. (2006). “Introduction: Identifying with Freedom”. Social Analysis: The International Journal of Social and Cultural Practice, Vol. 50, No. 1, hal. 147-157. de Kesel, M. (2009). Eros and Ethics. Reading Jacques Lacan's Seminar VII. New York: SUNY Press.

154 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Derrida, J., T. Eagleton et.al. (2008). Ghostly Demarcations. London & New York: Verso.

Devi-Ardhiani, Y. (2012). “Potret Relasi Gali-Militer di Indonesia: Ingatan Masyarakat Yogyakarta tentang Petrus 1983”. Retorik, Vol.3 (1), hal. 37- 58).

Dwipayana, G. & Ramadhan K.H. (1989). Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.

Eidelsztein, A. (2009). The Graph of Desire: Using the Work of Jacques Lacan. London: Karnac Books.

Eagleton, T. (1986). Against the Grain. London & New York: Verso.

Evans, D. (1996). An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London & New York: Routledge.

Geertz, C. (1980). Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton: Princeton University Press.

Hobsbawm, E. (1972). Bandits. Middlesex: Penguin Books.

Kadir, H.A. (2012). “School Gangs of Yogyakarta: Mass Fighting Strategies and Masculine Charisma in the City of Students”. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 13:4, hal. 352-365.

Kammen, D. (1999). “Notes on the Transformation of the East Timor Military Command and Its Implications for Indonesia”. Indonesia, Number 67, hal. 61-76.

Kammen, D. (2003). “Master-Slave, Traitor-Nationalist, Opportunist- Oppressed: Political Metaphors in East Timor”. Indonesia, Number 76, hal. 69-85.

Kammen, D. (2012). “Where are They now? The Carreers of Army Officers who Served in East Timor, 1998-99”. Indonesia, Number 94, hal. 111- 130.

Kristiansen, S. (2003). “Violent Youth Groups in Indonesia: The Cases of Yogyakarta and Nusa Tenggara Barat”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 18, No. 1, hal. 110-138.

Kurniawan, E. (2004). Lelaki Harimau. Jakarta: Gramedia.

155 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Lacan, J. (2001). Ecrits: A Selection. London & New York: Routledge.

Laclau, E. & C. Mouffe. (1985). Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. London & New York: Verso.

Laplanche, J. & J.B. Pontalis. (1967). The Language of Psychoanalysis. London: Hogarth.

Latu, M. & L. Ispandriarno. “Pemberitaan Sidang Putusan Pembunuhan di Lapas Cebongan”. E-journal UAJY.

Monfries, J. (2015). A Prince in a Republic. Singapore: ISEAS.

Mouffe, C. (1995). Dimensions of Radical Democracy: Pluralism, Citizenship, Community. London & New York: Verso.

Myers, T. (2003). Slavoj Žižek. Routledge Critical Thinkers. London & New York: Routledge.

Nordholt, H.S. (2003). “Renegotiating Boundaries: Access, Agency, and Identity in Post-Soeharto Indonesia”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 159, No. 4, hal. 550-589.

Ormrod, J. (2014). Fantasy and Social Movements. London: Palgrave Macmillan.

Pemberton, J. (1994). On the Subject of “Java”. Ithaca & London: Cornell University Press.

Pour, J. & N. Adji, ed. (2012). Sepanjang Hayat Bersama Rakyat. 100 Tahun Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Rafael, V.L., ed. (1999). Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and the Colonial Vietnam. Ithaca: SEAP.

Rafael, V.L. (2000). White Love and Other Events in Filipino History. Durham & London: Duke University Press.

Rahayu, Y.A., A. Windarto & A. Harimurti. (2016). Sukses(i) Penguasa: Menyadur Kuasa Sastra Wayang Prasthanikaparwa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press & Lembaga Studi Realino.

Robinson, G. (2000). “Violence in an Era of Reform: For Jafar Siddiq Hamzah”. Indonesia 70, hal. 167-170.

156 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Robinson, G. (2001). “War: Militias in East Timor and Indonesia”. South East Asia Research, Vol. 9, No. 3, hal. 271-318.

Roosa, J. (2008). Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: ISSI & Hasta Mitra.

Saukko, P. (2003). Doing Research in Cultural Studies. London: Sage Publications.

Shiraishi, S.S. (2009). Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (cet. ke-2). Jakarta: Nalar.

Siegel, J.T. (1986). Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City. New Jersey: Princeton University Press.

Siegel, J.T. (1997). Fetish, Recognition, Revolution. New Jersey: Princeton University Press.

Siegel, J.T. (1998). A New Criminal Type in Jakarta: Counter-Revolution Today. Durham, NC: Duke University Press.

Siegel, J.T. (2000). The Rope of God. Berkeley: The University of Michigan Press.

Siegel, J.T. (2000). “Jafar Siddiq Hamzah”. Indonesia 70, hal. 167-170.

Siegel, J.T. (2005). Naming the Witch. Stanford: Stanford University Press.

Siegel, J. (2009). “Berbahasa”. Henri Chambert-Loir (Ed.), Sadur. Sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG Bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa Universitas Padjadjaran.

Siegel, J.T. (2011). Objects and Objections of Ethnography. New York: Fordham University Press.

Siegel, J.T. (2016). “Once Again: Nationalism and Revolution”. Indonesia, No. 101, hal. 29-38.

Stavrakakis. (1999). Lacan and the Political. London & New York: Routledge.

Stavrakakis, Y. (2006). “(I Can’t Get No) Enjoyment: Lacanian Theory and the Analysis of Nationalism”. Psychoanalysis, Culture & Society, 11, hal. 144- 163.

157 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Stein, Ruth. (2010). For the Love of the Father. California: Stanford University Press.

Subagya, Y.T. (2015). Support for Ethno-religious Violence in Indonesia. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press & Radbound University.

Susanto, B. (1993). Peristiwa Yogya 1992: Siasat Politik Massa Rakyat Kota. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino & Kanisius.

Tanter, R., D. Ball, & G. van Klinken, ed. (2006). Masters of Terror. Indonesia’s Military and Violence in East Timor. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.

Tilly, C. (2003). The Politics of Collective Violence. Cambridge: Cambridge Universiity Press.

Toer, P.A. (2001). Cerita dari Blora (cet. ke-2). Jakarta: Hasta Mitra.

Tsuchiya, K. (1973). “The Taman Siswa Movement – Its Early Eight Years and Javanese Background”. Journal of Southeast Asian Studies, 6 (2), hal. 164-177.

Turner, V. (1991). The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Ithaca: Cornell University Press. van der Kroef, J.M. (1985). “‘PETRUS’ Pattern of Prophylactic Murder in Indonesia”. Asian Survey, Vol. 25, No. 7, hal. 745-759. van Klinken, G, & W. Berenschot, ed. (2016). In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-kota Menengah. Jakarta: KITLV-Jakarta & YOI.

Widyanta, A.B. (2011). “Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya)”.

Žižek, S. (1991). Looking Awry: An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture. Massachusetts: The MIT Press.

Žižek, S. (1994). The Metastases of Enjoyment: Six Essays on Woman and Causality. London & New York: Verso.

Žižek, S. (1996). The Indivisible Remainder: An Essay on Schelling and Related Matters. London & New York.

Žižek, S. (1997). The Plague of Fantasies. London & New York: Verso.

158 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Žižek, S. (2007). How to Read Lacan. London & New York: W.W. Norton.

Žižek, S. (2008). Violence. New York: Picador.

Žižek, S. (2008). “Language, Violence and Non-Violence”. International Journal of Žižek Studies, Vol. 2, No. 3.

Žižek, S. (2008). Less than Nothing: Hegel and the Shadow of Dialectical Materialism. London & New York: Verso.

Žižek, S. (2013). For They Know not What They Do. London & New York: Verso.

Zurbuchen, M.S. (ed.). (2005). Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present. Singapore & Seattle: Singapore University Press & University of Washington Press.

SUMBER MEDIA

Aditjondro, G.J. “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”. Sinar Harapan. 31 Januari 2011.

Amri, U.. “Biografi Preman-Preman Yogyakarta (1)”. Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”. (2011, Juli). http://etnohistori.org/biografi- preman-preman-jogjakarta-1-mas-joko-pemberani-badran-yang- terkenal.html

Amri, U.. “Biografi Preman-Preman Yogyakarta (2)”. Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”. (2011, Juli). http://etnohistori.org/biografi- preman-preman-jogjakarta-2-mas-kris-preman-terban-berbasis- judi.html

Antoro, S.K. “10 Kerajaan Bisnis Keraton Yogyakarta. Aktual. 18 Juli 2016. http://www.aktual.com/10-kerajaan-bisnis-keraton-yogyakarta/

Armandhanu, D. “Jiwa Korsa Kopassus, Apa Itu?”. Viva News. 6 April 2013. http://www.viva.co.id/ramadan2016/read/403014-jiwa-korsa- kopassus-apa-itu

Dian, M.A. “Dilematis, Pemberantasan Premanisme di Yogyakarta”. Interseksi. 18 Agustus 2013. interseksi.org/archive/blog/files/premanisme.php

159 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Dwiputra, I.M.A. “Religious Nuance in School Gang Rivalries in Yogyakarta”. CRCS. 16 Oktober 2012. http://crcs.ugm.ac.id/articles/509/religious- nuance-in-school-gang-rivalries-in-yogyakarta.html Editor. “Pertahankan ‘Indonesia’ Mini di Yogyakarta”. Kompas. 8 April 2013. http://nasional.kompas.com/read/2013/04/08/03164776/Pertahankan. Indonesia.Mini.di.Yogyakarta

Elsam. “Peristiwa Talangsari Lampung 1989”. Elsam. 7 Februari 1989. http://dokumentasi.elsam.or.id/mobile/reports/view/296?c=67&p=1

Elsam. “Penculikan dan pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluay 11 November 2001.” Elsam. 13 Desember 2001. http://dokumentasi.elsam.or.id/mobile/reports/view/55?c=86&p=1

ETAN. “Timor Leste Daily Media News”. ETAN. 17 September 2008. http://www.etan.org/et2008/9september/20/dailym17.htm

Fadillah, Ramadhian. “Usai Idjon Djanbi, kini muncul 1 miliar dukungan untuk Kopassus”. Merdeka. 7 April 2013. http://www.merdeka.com/peristiwa/usai-idjon-djanbi-kini-muncul-1- miliar-dukungan-untuk-kopassus.html

Gunawan, D., M. Rizal, E. Tresnawati, B. Rifai, & I. Hikmat. “Teror Pasukan Siluman di Cebongan”. Detik. 1 April 2013.

Heru, J. “Investigasi dan In-Depth Report”. Diunduh 22 Juni 2016 dari https://johanheru.wordpress.com/2013/07/24/

JPNN. “Kelompok NTT Bukan Penguasa Dunia Malam Jogja”. JPNN. 25 Maret 2013. http://www.jpnn.com/read/2013/03/25/164327/Kelompok-NTT- Bukan-Penguasa-Dunia-Malam-Jogja

Kadir, H.A. “GPK: Dari hobi bacok, menuju parlemen lokal”. Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”. (2011, Juli). http://etnohistori.org/gpk-dari- hobi-bacok-menuju-parlemen-lokal.html

Kedaulatan Rakyat. “Menkumham Minta Maaf. Kapolda Bantah Kecolongan”. 24 Maret 2013, 10.

Kedaulatan Rakyat. “Firasat Tak Enak Kalapas”. 24 Maret 2013, 1 & 10.

Kedaulatan Rakyat. “Menkumham Minta Maaf. Kapolda Bantah Kecolongan”. 24 Maret 2013, 10.

160 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kedaulatan Rakyat. “Nyalakan Lilin, Padamkan Kekerasan”. 25 Maret 2013, 7.

Kedaulatan Rakyat. “Saksi Disuruh Tepuk Tangan”. 27 Maret 2013, 7. Kedaulatan Rakyat. “Kesedihan Sertu Santosa. Sudah Siap Pindah ke Jogja”. 28 Maret 2013, 1 & 7.

Kedaulatan Rakyat. “Polri Mulai Temukan Titik Terang, Bukan Teroris. Ada Sandi Khusus Penyerbu Lapas”. 28 Maret 2013, 7.

Kedaulatan Rakyat. “Polri-Komnas HAM Kompak Membantah. Heboh ‘Facebook’ Penyerangan LP”. 31 Maret 2013, 1.

Kedaulatan Rakyat. “Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab”. 5 April 2013, 1.

Kedaulatan Rakyat. “Anak Buah Serbu Lapas, Danjen Kopassus Tanggung Jawab. 7 Penganiaya Santoso Masih Bebas”. 6 April 2013, 7.

Kedaulatan Rakyat. “Sikap Kopassus Diapresiasi. Pangdam IV/Diponegoro Diganti”. 7 April 2013, 10.

Kedaulatan Rakyat. “Tak Perlu Dewan Kehormatan Militer”. 12 April 2013, 1 & 7.

Kedaulatan Rakyat. “Proses Hukum 11 Oknum Kopassus. Panglima TNI Jamin Sidang Terbuka”. 14 April 2013, 1.

Kedaulatan Rakyat. “Priyo Budi Santoso Anggap Tak Adil. Komnas HAM Tumpul Hadapi Preman”. 17 April 2013, 1 & 7.

Kedaulatan Rakyat. “Wujud Kemanunggalan Rakyat-TNI-Polri. Ribuan Warga DIY Mubeng Beteng”. 29 April 2013, 1 & 7.

Kedaulatan Rakyat. “Berkas Cebongan Lengkap, Tak Ada Granat. Tersangka Bertambah Jadi 12 Orang”. 22 Mei 2013, 7.

Kedaulatan Rakyat. “Gudeg Yogya Untuk 12 Tersangka”. 23 Mei 2013, 1 & 7.

161 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Kedaulatan Rakyat. “Disiapkan Teleconference Cebongan. Sultan Persilakan Mendukung”. 4 Juni 2013, 1 & 7.

Kedaulatan Rakyat, “Bentuk Solidaritas dan Dukungan. Kopassus Ziarah ke Makam Pahlawan”, 19 Juni 2013, hal. 1.

Kedaulatan Rakyat. “Saksi Kasus Cebongan: Penyerangan Didasari Jiwa Korsa”. 18 Juli 2013, 1 & 7.

Kedaulatan Rakyat. “Jadi Kebangaan Baru Masyarakat Yogya”. Kedaulatan Rakyat. 9 Mei 2014. http://www.krjogja.com/web/news/read/215441/ jadi_kebanggaan_baru_masyarakat_yogya

Kresna, M. ““WNI keturunan Tionghoa tidak boleh punya tanah hak milik di Yogyakarta”. Rappler. 17 September 2015. http://www.rappler.com/indonesia/106231-wni-keturunan-tidak-bisa- punya-shm

Novan, T. “Ada Parpol dan Golkar di Balik Bisnis Perjudian”. http://www.mail-archive.com/indonews@indo- news.com/msg01345.html

Maharani, S. “Ribuan Mahasiswa asal NTT Eksodus dari Yogya”. Tempo. 27 Maret 2013. https://m.tempo.co/read/news/2013/03/27/063469634 /ribuan-mahasiswa-asal-ntt-eksodus-dari-yogya

Muryanto, B. “Yogya second for intolerance, religious-based violence”. The Jakarta Post. 2 Januari 2015. http://www.thejakartapost.com/news/ 2015/01/02/yogya-second-intolerance-religious-based- violence.html#sthash.eeZqvoKK.

Mohamad, G. “Kekejaman”. Tempo. 11 Oktober 2015.

The Godfather. Paramount Pictures, 1972. DVD.

Ryter, L. “Geng dan Negara Orde Baru (1): Preman dari markas tentara”. Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara” (25 Juni 2012). http://etnohistori.org/geng-dan-negara-orde-baru-1-preman-dari- markas-tentara.html pada tanggal 18 April 2016.

Rudiana, P.A. “Generasi Penerus Preman Yogya”. Tempo. 20 April 2013. https://m.tempo.co/read/news/2013/04/20/058474731/generasi- penerus-preman-yogya

162 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Rudiana, P.A. “Mobil Murah Biang Kemacetan Yogyakarta”. Tempo. 19 Agustus 2014. https://m.tempo.co/read/news/2014/08/19/ 058600783/mobil-murah-biang-kemacetan-yogyakarta pada 24 Oktober 2016.

Rudiana, P.A. “Gubernur DIY Tak Tahu Amdal Harus Ada Sebelum Izin Proyek”. Tempo. 31 Mei 2016. https://m.tempo.co/read/news/2016/05/31/058775492/ gubernur-diy- tak-tahu- amdal-harus-ada-sebelum-izin-proyek

Sadikin, R. “Ki Manteb: Prabowo ibarat Bima, Jokowi layaknya Yudhistira”. Tribun. 29 Mei 2014. http://www.tribunnews.com/pemilu- 2014/2014/05/29/ki-manteb-prabowo-ibarat-bima-jokowi-layaknya- yudhistira

Saptohutomo, A.P. “Seruan 'perang' Kodam Siliwangi lawan geng motor”. Merdeka. 15 Juni 2016. http://www.merdeka.com/peristiwa/seruan- perang-kodam-siliwangi-lawan-geng-motor.html

Siegel, J.T. “Yang hilang dari zaman Bung Karno”. Basis, Tahun ke 50 (Maret- April 2001), 18-19.

Saputro, H. “Yogyakarta Antipreman”. Koran Sindo. 2 April 2013. http://budisansblog.blogspot.co.id/2013/04/yogyakarta- antipreman.html

Supriatma, A.M.T. “Defending murder”. Inside Indonesia 115. Januari-Maret 2014. http://www.insideindonesia.org/defending-murder

Supriatma, A.M.T. “Melacak Tim Mawar”. Indoprogress. 27 Mei 2014. http://indoprogress.com/2014/05/melacak-tim-mawar/

Tirto.id. Abdullah Makhmud Hendropriyono. Tirto.id https://tirto.id/mereka/abdullah-makhmud-hendropriyono-117

Tribun Jogja. “Eksekusi di Hadapan 31 Napi”. 24 Maret 2013, 1 & 7.

Tribun Jogja. “Istri Juan Gelisah”. 24 Maret 2013, 1 & 7.

Tribun Jogja. “Satu Hari Saya Bongkar”. 28 Maret 2013, 1 & 7.

Tribun Jogja. “Indikasi Pelaku Oknum Militer”. 30 Maret 2013, 7.

163 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Tribun Jogja. “Mutasi Jenderal Hukuman Berat”. 7 April 2013, 1.

Tribun Jogja. “Hari ini 12 Tersangka Kasus Cebongan Tiba”. 19 Juni 2013, 1 & 7.

Tribun Jogja. “Timur Minta Brigjen Haka Sikat Preman”. 9 April 2013, 1.

Tribun Jogja. “Maruli Saksikan Rekaman CCTV Insiden Hugo’s”. 12 Juli 2013, 1 & 7.

Tribun Jogja. “Sugeng Lihat Ucok Gemetar: Pengacara Ingin Hadirkan Sertu Sriyono”. 17 Juli 2013, 1 & 7.

Tribun Jogja. “Ucok Galau Serka Heru S Terbunuh”. 17 Juli 2013, 1 & 7.

Tribun Jogja. “Serda Tri Juwanto Pasok Info ke Ucok di Kantin: Serda Ucok Simbolon Kasih Isyarat Jempol Tangan Sebelum Berangkat ke Yogyakarta”. 18 Juli 2013, 1 & 7.

Tribun Jogja. “Serda Ucok Mengaku Menyesal”. 24 Juli 2013, 1 & 7.

Tribunnews. “Jumlah pengangguran DIY capai 80.245 orang”. Tribunnews.com. 20 Juli 2016. http://jogja.tribunnews.com/2016/07/20/jumlah-pengangguran-diy- capai-80245-orang. van Klinken, Gerry. “Prabowo and human rights”. Inside Indonesia 116. April- Juni 2014. http://www.insideindonesia.org/prabowo-and-human-rights

Wilson, I. The rise and fall of a gangster. Inside Indonesia 93. Agustus-Oktober 2008. http://www.insideindonesia.org/the-rise-and-fall-of-a-gangster

Yuliman, S. “Dalam bajangan sang pahlawan”. Horison. Maret 1968.

Žižek, S. “Slavoj Žižek on The Act of Killing and the modern trend of ‘privatising public space’”. Newstatesman. 12 Juli 2013. http://www.newstatesman.com/culture/2013/07/slavoj-zizek-act- killing-and-modern-trend-privatising-public-space pada 12 Juli 2016. http://syaldi.web.id/mot/Hendropriyono.htm diunduh pada 1 Desember 2016.

164 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

L A M P I R A N

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

LAMPIRAN

P E D O M A N W A W A N C A R A

GERAKAN a. Organisasi (sejarah, aktivitas, kontribusi, arah/tujuan, keanggotaan) b. Gerakan di Jogja (pendahulu, model gerakan, arah gerak, aktor, pisowanan ageng) c. Relasi dalam kelompok (perkembangan, pertemuan, rutinitas, renggang kohesivitas) d. Ideologi kelompok (politik, kultural, keagamaan, kemajuan, kebertumbuhan ekonomi, kemakmuran, ke-slamet-an, kenyamanan, keamanan)

PATRONASE DALAM GERAKAN (penghasratan, dinastik, kontrak, ikatan, imbalan, kepatuhan, hutang budi, perlindungan, jasa patron kolektif, subsistensi klien) a. Dukungan (dana, ijin, tenaga) b. Relasi (kelompok, elite kraton, warga Jogja, media, TNI, Polisi, pengusaha) c. Ikatan terhadap kraton (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) d. Ikatan terhadap pakualaman (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) e. Ikatan terhadap warga Jogja (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) f. Ikatan terhadap media (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) g. Ikatan terhadap TNI (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) h. Ikatan terhadap polisi (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) i. Ikatan terhadap pengusaha (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi)

YANG TER/DI-SINGKIRKAN (merayakan keistimewaan, menjadi satu namun terpisah dengan sesama, dihasratkan oleh sesama) a. Hubungan antar-kelompok (intensitas komunikasi, aktivitas bersama, perubahan) b. Prasangka terhadap pendatang (agama, etnik, ras, kelompok sosial, luar negeri) c. Identitas orang Jogja (kewargaan, ideal, istimewa, nilai-nilai, eksklusi, Jogja- bukan Jogja) d. Ingatan berkaitan dengan kasus serupa (Petrus, Flo, Gafatar, LGBT)

FANTASI (kastrasi, terkecewakan oleh Yogyakarta, kenikmatan hidup di Jogja, imaginary transitivity, agresivitas): a. Konsep (kerukunan, keamanan, ke-slamet-an, harmoni, toleransi, tanah, spiritualitas) b. Ancaman (internal, pendatang, golongan tertentu, perubahan, politik, sosial, ekonomi, kultural, keagamaan) c. Orientasi nasionalis dan regionalis (pendapat tentang kebangsaan, pemerintahan lokal, perubahan posisi sultan) d. Ingatan berkaitan dengan pahlawan Jogja (SHB IX, pahlawan keistimewaan, aktivis, seniman, intelektual, aparat, pisowanan ageng)

166