PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MERAYAKAN PEMBANTAIAN PREMAN:
FANTASI DALAM PENYERANGAN LAPAS CEBONGAN
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di
Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Disusun oleh:
Albertus Harimurti
NIM: 146322002
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2017 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23 Juni 2016 23 Juni 2016
ii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
.
iii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini saya, mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Albertus Harimurti (NIM: 146322002), menyatakan bahwa tesis berjudul: MERAYAKAN PEMBANTAIAN PREMAN: FANTASI DALAM PENYERANGAN LAPAS CEBONGAN merupakan hasil karya dan penelitian saya sendiri.
Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai dengan peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 14 Februari 2017 Yang membuat pernyataan,
Albertus Harimurti
iv PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
MERAYAKAN PEMBANTAIAN PREMAN: FANTASI DALAM PENYERANGAN LAPAS CEBONGAN
Albertus Harimurti
ABSTRAK
Pada tanggal 23 Maret 2013, penjara Cebongan diserang oleh sekelompok orang yang kemudian teridentifikasi sebagai anggota Kopassus (Komando Pasukan Khusus). Serangan termaksud menewaskan empat tahanan kasus pembunuhan terhadap seorang anggota Kopassus, Sersan Heru Santoso. Meskipun demikian, pembantaian ini justru diikuti dengan kemunculan dukungan oleh elemen masyarakat di Yogyakarta. Menggunakan pendekatan kualitatif, studi kasus ini mengeksplorasi proses dukungan terhadap pelaku pembantaian. Penelitian ini berusaha menguraikan wacana dan perubahannya dalam pembantaian Cebongan. Data etnografi diperoleh dari berita media online, media massa Kedaulatan Rakyat dan Tribun Jogja, spanduk, stiker, dan wawancara dengan tokoh gerakan pendukung dan warga Yogyakarta. Data-data tersebut menunjukkan bahwa hadirnya otoritas kekuasaan justru melegitimasi terjadinya pembantaian dan ikut merayakannya. Perayaan pembantaian ini dilakukan dengan mengeksploitasi istilah “preman” untuk menyebut para tahanan yang mati dibantai. Para korban pembantaian ditempatkan sebagai pihak yang tidak bermoral dan lumrah untuk dibantai. Bahkan, para pembantai justru dielu-elukan sebagai para ksatria yang menyelamatkan masyarakat Yogyakarta dari aksi premanisme. Isu mengenai premanisme ini sendiri justru merambah dan sebutan preman diasosiasikan ke para pendatang dari daerah asal para korban pembantaian yaitu dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Di sisi lain, korban pembantaian dikenal sebagai orang yang masuk dalam arena kekuasaan sebagai salah satu bekking penguasa, sebab itu polemik keistimewaan dijadikan alasan para pegiat Keistimewaan untuk turut serta mendukung pembantaian. Psikoanalisis Lacanian melalui konsep fantasinya digunakan sebagai perspektif yang mampu menjelaskan munculnya rasa kehilangan akan Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tentram, sebagaimana diwacanakan para pendukung. Lacan mengakomodasi gagasan Freud dengan menekankan pada fungsi protektif dari fantasi. Karenanya, selain menurut Freud fantasi menunjukkan sebuah adegan yang dihadirkan ke dalam imajinasi dan ditempatkan dalam hasrat tidak sadar, Lacan mengklaim bahwa fantasi adalah pertahanan yang menyelubungi atau menutupi kastrasi. Fantasi sendiri menjanjikan resolusi harmonis dari antagonisme sosial, menutupi segala kekurangan dari suatu aksi-aksi politis atau gerakan sosial. Hanya dengan cara ini fantasi bisa menstimulasi hasrat. Strukturasi identitas lewat adanya objek yang hilang (the lost object) sebagai efek kastrasi dalam dunia simbolik ini disiasati para pendukung pembantaian lewat fantasi terhadap kehilangan rasa aman dan nyaman. Fantasi tersebut hadir dalam cara-cara orang berbahasa dalam kaitannya dengan pembantaian. Fantasi terhadap Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tentram menjadi pengetahuan yang menciptakan wacana pahlawan yang berhasil memberantas kelompok preman dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Isu kemudian merambah pada para pendatang yang difantasikan sebagai pengacau yang tidak njawani. Fantasi mengenai pengacau yang tidak njawani menjadi dalih penyingkiran yang kemudian menempatkan preman yang datang ke Yogyakarta laiknya penyusup yang pantas diberi pelajaran sebab membuat keistimewaan dan ketenteraman kacau.
Kata kunci: Yogyakarta, Preman, Penyingkiran, Fantasi
v PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
CELEBRATING THE KILLING OF PREMAN: PHANTASM ON CEBONGAN PRISON MURDEROUS RAID
Albertus Harimurti
ABSTRACT
On March 23, 2013, Cebongan prison was attacked by a group of people, later identified as members of Kopassus (Indonesian Special Forces Command). This action causes four detainees in the murder case of a Koppasus member, Sergeant Heru Santoso, killed. However, this raid earned supports from some elements of society in Yogyakarta. By using qualitative approach, this study is going to explore the process of support towards the perpetrators. This study also tries to decipher the discourse and its changes in Cebongan murderous raid. Ethnographic data were gained from online news, local newspapers (Kedaulatan Rakyat and Tribun Jogja), banners, stickers, and some interviews with the figures of the supporting movement and Yogyakarta inhabitants. The data show that the presence of the authority actually legitimizes this action and involves in this supports. It is embodied by exploiting the term “preman” (thugs) to label the four killed detainees. They were placed as the immoral people and deserved to be slaughtered. In addition, the perpetrators were hailed as the ksatria (Javanese heroes) who saved the people from thuggery in Yogyakarta. This issue got broadens and designated the ‘thug’ label associated to the imigrants coming from the detainee origin which is East Nusa Tenggara (NTT). On the other side, the victims were known as the people who participated in the stage of political power as the defender of one dynastic authority in Yogyakarta. Therefore, the polemic of Special Status becomes the pretext for the supporters to take a side on the raid. Meanwhile, Lacanian psychoanalysis through his concept of phantasm (fantasy) is used to explain the occurence of the sense of losing about Yogyakarta which already known as a safe, comfortable, peaceful, and serene place, as discoursed by the murderous raid supporting the movement. Lacan accommodates Freud's notion by emphasizing the protective function of fantasy. Because of that, in addition to Freud fantasy showing a scene presented in the imagination and put into unconscious desire, Lacan claims that fantasy is a defense to veil or cover the castration. The fantasy itself promises a harmonious resolution of social antagonisms, to keep any lacks of political actions or social movements. On this way, it can stimulate the desire. The structuration of identity in the lost object, as the effect of castration in this symbolic world, is benefited by the slaughter supporters through the fantasy of losing the senses of security and comfort. The fantasy is present in the ways of people speaking (language) related to the case. The fantasy of Yogyakarta that is safe, comfortable, peaceful, and serene becomes the knowledge that creates a discourse of the heroes who succeeds to eradicate the thugs from East Nusa Tenggara (NTT). Later, the issue make the immigrants being fantasized as troublemakers and lack of njawani (the qualities of being a Javanese). The fantasies about them lead to exclusion which, then, put the preman as the person coming to Yogyakarta like the intruder who deserves to be punished because they make the idea of Yogyakarta special status and harmony into chaotic one.
Keywords: Yogyakarta, Preman, Othering, Fantasy
vi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LEMBAR PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya Mahasiswa Universitas Sanata Dharma NAMA : ALBERTUS HARIMURTI NIM : 146322002 Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul :
Merayakan Pembantaian Preman: Fantasi dalam Penyerangan Lapas Cebongan beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian, saya memberikan Kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal: 14 Februari 2017 Yang menyatakan,
Albertus Harimurti
vii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
Saya ingin berterimakasih kepada Budi Susanto, S.J. yang darinya tidak banyak saya pahami, namun tidak sedikit saya belajar. Kepada Tri Subagya yang dengan ketelitian dan kesabarannya telah membuat saya menyadari adanya banyak celah di antara gagasan-gagasan saya. Tentu saja juga kepada yang saya kagumi Budi Subanar, S.J., St. Sunardi, Vissia Ita Yulianto, A. Supratiknya,
Katrin Bandel, dan Baskara Wardaya, S.J., dari dedikasi merekalah saya menyadari bahwa gagasan menjadi hidup lewat berupa-rupa perbedaan.
Banyak masukan dan kritik yang saya peroleh dari Heri Kusuma,
Nurcholis Kartiman, Timoteus Anggawan Kusno, Andreo Rajagukguk, Benardi
Darumukti, Karmelita Sesfaot, Riston Sihotang, Sektiyono Pinto, Linda Gusnita,
Yasin Azhari, Malcolm Smith, Wawan Kurniawan, Frans Awe, Bayu Rahardja,
Topan Akbar, Rahman, Martha Nur Dewati, Wahono, Wisnu Ari Tjokro dan terakhir, bukan berarti tidak penting, Putri Ayu Rezkiyana. Dari Windarto, Sophia
Widiati, Lukas Agus, Christina Desy, Hartoko, Samino, Agnes Dwityas Anindhita dan Mulyadi, saya mendapatkan banyak bantuan dengan caranya masing-masing.
Akhirnya, tidak diragukan lagi saya berhutang banyak kepada Lembaga
Studi Realino, yang dengan kemurahan hatinya membuat mata saya melihat jejak- langkah dengan lebih mungkin.
viii PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
Halaman Judul……...... i
Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing………...... ii
Halaman Pengesahan………...... iii
Pernyataan Keaslian Karya.…………...... iv
Abstrak...... v
Abstract...... vi
Lembar Persetujuan Karya Ilmiah……………………………...... vii
Kata Pengantar...... viii
Daftar Isi...... ix
Daftar Gambar...... xi
Daftar Tabel...... xi
Daftar Lampiran…...... xi
BAB I. PENDAHULUAN...... 1
A. Latar Belakang…………...... 1
B. Rumusan Masalah...... 8
C. Tujuan Penelitian...... 8
D. Manfaat Penelitian...... 9
E. Tinjauan Pustaka...... 9
F. Kerangka Teoritis...... 24
G. Metode Penelitian………...... 32
H. Sistematika Penulisan...... 37
ix PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II. LATAR BELAKANG YOGYAKARTA……………...... 39
A. Yogyakarta Pasca Reformasi...... 40
B. Preman di Yogyakarta...... 56
C. Kriminalitas di Yogyakarta...... 62
BAB III. PUJI-PUJIAN TERHADAP KEKEJIAN:
PENYINGKIRAN PREMAN & KEISTIMEWAAN...... 68
A. Penyerbuan Preman di Cebongan...... 72
B. Korban Dinilai Preman yang Tak Bermoral...... 81
C. Pembantai yang Menjadi Ksatria...... 87
D. Dukungan terhadap Pembantai: Kemanunggalan TNI-
Rakyat?……...... 95
E. Kelompok Pendatang yang Dituduh Preman...... 105
F. Pemberantasan Preman dan Keistimewaan Yogyakarta...... 108
BAB IV. FANTASI DALAM PEMBANTAIAN CEBONGAN...... 115
A. Pelaku yang Diperlakukan sebagai Pahlawan...... 117
B. Fantasi mengenai Ksatria Ber-Jiwa-Korsa...... 126
C. Fantasi mengenai Preman yang Mengotori Yogyakarta...... 130
D. Pendukung Pembantai dan Pelindung Paugeran Kraton...... 137
BAB V. PENUTUP...... ………………...... 144
DAFTAR PUSTAKA…...... 152
x PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Daftar Gambar
Gambar 3.1. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 6 April 2013...... 93
Gambar 3.2. Spanduk Pro-Kopassus dan Anti-Premanisme...... …...... 96
Gambar 3.3. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 2 April 2013...... 105
Gambar 4.1. Ayo Jaga & Lestarikan Seni Budaya Kita...... 141
Daftar Tabel
Tabel 2.1. Komposisi Penduduk DIY berdasarkan Suku Bangsa...... 42
Tabel 2.2. Jumlah Mahasiswa di DIY, 2009-2014………………...…...... 43
Tabel 2.3. Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten...... 55
Daftar Lampiran
Lampiran 1. Pedoman Wawancara...... 166
xi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bagaimana mungkin sebuah kekejian justru dipuji-puji? Walter
Benjamin pernah menuliskan sebuah risalah mengenai kekejian.1 Bagi
Benjamin, sebuah kekejian bisa saja ilahiah (divine violence). Kekejian
dikatakan ilahiah sebab lewat kekejian ini hukum-hukum dihancurkan,
pengorbanan diperlukan, namun pertumpahan darah ditiadakan. Dalam
tulisan lain, ia mengatakan bahwa “tak ada dokumen peradaban yang
pada saat yang sama bukanlah dokumen barbarisme.”2 Kedua tulisan
termaksud tampak kontradiktif, namun pada kenyataannya, alih-alih
kekejian ilahiah terjadi, justru barbarisme dan pertumpahan darah yang
terang-terangan terjadi.
Bagi saya, yang lahir dan besar selama 27 tahun di Yogyakarta,
pertanyaan di atas tidak pernah terbayangkan sebelum saya bertemu
dengan seorang yang mengalami pergolakan nasional tahun 1965. Ia
adalah seorang bapak yang dikenal baik oleh keluarga dan para
tetangganya. Ia bercerita menggebu soal perannya di pembantaian massal
1965. Ceritanya menjadi menarik sebab tidak berisi pertumpahan darah,
1 Walter Benjamin, “Critique of Violence”, dalam Reflections. Essays, Aphorisms, Autobiographical Writings (New York: Shocken Books, 1986), hal. 297. 2 Walter Benjamin, “Theses on the Philosophy of History”, dalam Illuminations. Essays and Reflections (New York: Shocken Books, 1969), hal. 256.
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2
melainkan ia gambarkan seperti sebuah cerita kepahlawan dalam rangka
menyelamatkan negara, agama, ataupun orang-orang sekitarnya. Dengan
kata lain, saya justru menemui keanehan Yogyakarta yang tampak
lengang-lengang saja soal pertumpahan darah dan kekejian yang terjadi,
yang ada hanya soal menjadi pahlawan.
Delapan belas tahun setelah pembantaian 1965, di Yogyakarta
berlangsung Petrus 3 yang terkenal dengan nama Operasi Pemberantasan
Kejahatan (OPK). Operasi ini berawal dari Yogyakarta dan dipimpin
seorang Komandan Kodim 0734, Letkol M. Hasbi. Petrus kemudian
merambah ke kota-kota besar seperti Solo, Bandung, Jakarta, dan Medan
dari bulan Maret 1983 hingga tahun 1984.4 Lima belas tahun setelah
reformasi, peristiwa berdarah dengan pola berbeda kembali terjadi dalam
pembantaian Cebongan. Mengapa pembantaian-pembantaian yang
melibatkan militer ini terjadi berulang di Yogyakarta?
Pada tanggal 22 Maret 2013, Serda Ucok Tigor Simbolon bersama
delapan anggota Kopassus Grup-2 Kandang Menjangan menyerbu penjara
Cebongan, Yogyakarta.5 Diki, Juan, Dedi dan Ade baru saja dipindah hari
3 Siegel menyebutkan bahwa Petrus merupakan neologisme dari penembak(an) dan misterius. Benedict Anderson menyebutnya sebagai “A grim joke of the time called the soldiers-in-mufti death-squads Petrus ― as in St. Peter ― an acronym derived from Penembak Misterius, Mysterious Killers.” Lihat dalam James T. Siegel, A New Criminal Type in Jakarta: Counter-Revolution Today (Durham, NC: Duke University Press, 1998), hal. 104; juga dalam Benedict Anderson, “Petrus Dadi Ratu”, dalam Indonesia, Volume 70 (October 2000), hal. 5. 4 Justus M. van der Kroef, “’PETRUS’ Pattern of Prophylactic Murder in Indonesia”, dalam Asian Survey, Vol. 25, No. 7 (Jul., 1985), hal. 747-749. 5 Pada dugaan awal diberitakan sebanyak 17 orang pasukan siluman. Meskipun demikian, dugaan ini penting untuk dipertimbangkan sebab saksi melihat ada truk yang ikut dalam rombongan pasukan siluman. Lihat majalah Detik, 1 April 2013.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3
itu setelah ditahan selama empat hari di Polda DIY. Keempatnya
merupakan tersangka penganiayaan dan pembunuhan terhadap Serka
Heru Santoso di Hugo’s Cafe tangggal 19 Maret 2013. Mereka kemudian
ditembak mati di penjara Cebongan pada dini hari tanggal 23 Maret 2013
oleh Ucok dkk. Mengenai pemindahan, Kapolda DIY Brigjen Polisi Sabar
Rahardjo menyatakan bahwa para tahanan itu dipindah sebab ruang
tahanan Polda tengah direnovasi. Sementara itu, Kalapas Cebongan
Sukamto Harto mengaku bahwa pihak Polda tidak menitipkan pesan
khusus bahwa Diki dan kawan-kawannya merupakan tersangka kasus
penganiayaan dan pembunuhan Serka Heru Santosa yang merupakan
anggota Kopassus.
Meskipun penyerbuan dan pembunuhan tersebut dilakukan Ucok
dkk., namun yang terjadi justru dukungan terhadap Ucok dkk. Secara
khusus, “warga” Yogyakarta memberi label Ucok dkk. dan Kopassus
sebagai pahlawan dan Diki dkk. sebagai preman. Dukungan atas
penyerbuan ini dimulai pada tanggal 4 April 2013, setelah penyerahan
diri 11 anggota Kopassus. Dukungan muncul lewat Facebook, BBM (Black
Berry Messenger), maupun Twitter. Di Facebook misalnya, dalam 3 hari,
10.544 orang mendukung gerakan ini.6 Sebelumnya, muncul tulisan di
6 Lihat dalam Ramadhian Fadillah, “Usai Idjon Djanbi, kini muncul 1 miliar dukungan untuk Kopassus”, diunduh dari http://www.merdeka.com/peristiwa/usai-idjon-djanbi-kini- muncul-1-miliar-dukungan-untuk-kopassus.html pada 3 Agustus 2016. Sebagai informasi, Idjon Janbi adalah seorang bekas tentara khusus KNIL, ia bernama Belanda Rokus Bernardus Visser yang kemudian dikenal sebagai pendiri Kopassus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4
akun Facebook dengan nama Idjon Janbi.7 Kemudian pada tanggal 7 April
2013 muncul dukungan berupa long march dari tugu sampai depan
patung Soedirman di depan DPRD DIY. Spanduk mulai terlihat pada
dukungan ini dengan aneka jargon seperti; “Rakyat-TNI Bersatu Berantas
Preman dan Preman Berkedok Agama”, “Terimakasih Kopassus, Yogya
Aman Preman Meninggal”, “Preman Itu Pengecut Yang Tak Berperasaan”.
Menariknya, sebagaimana disampaikan oleh Muhammad Suhud, Ketua
Paksi Katon, penangkapan Diki dkk. berdampak baik pada pendapatan
para penarik becak. Muncullah kemudian wacana pahlawan kontra
preman yang semakin kuat, diikuti dengan wacana bahwa kekejian
termaksud merupakan bentuk pemberantasan premanisme.
Dukungan tidak berhenti hingga proses pengadilan berlangsung,
bahkan jumlah nama elemen masyarakat pendukung Kopassus semakin
bertambah. Elemen masyarakat (tidak disebut ormas!) yang memiliki
komposisi kelas menengah 8 di Yogyakarta ini terafiliasikan dalam
Sekretariat Bersama Keistimewaan (Sekber Keistimewaan; selanjutnya
disebut Sekber). Elemen masyarakat ini tidak menyebut mereka sebagai
ormas karena mereka mengaku tidak terorganisir selayaknya ormas,
mereka hanya sekumpulan komunitas. Ketika diwawancarai, Widihasto
7 Banyak orang menduga tulisan yang bernada mendiskreditkan Brimob Polri ini digagas oleh keluarga Idjon Janbi. 8 Kelas menengah di sini merujuk pada istilah yang digunakan Gerry van Klinken & Ward Berenschot yang berupa konsep politik. Menurut van Klinken, kelas menengah di provinsi lebih terarah pada perlindungan ekonomi, menginginkan kekuasaan negara, dan mempraktekkan demokrasi patronase. Kelas ini berisi anggota komunitas bangsa yang menggerakkan kehidupan dalam masyarakat. Lihat dalam Gerry van Klinken & Ward Berenschot (Ed.), In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-kota Menengah (Jakarta: KITLV-Jakarta & YOI, 2016), hal. 2-3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
5
Wasana Putra, ketua Sekber, mengaku bahwa jumlah elemen masyarakat
yang tergabung dalam Sekber pendukung Kopassus lebih dari 72.9
Beberapa nama elemen yang tercatat adalah Kawulo Ngayogyakarta
Hadiningrat, Paksi Katon, Forum Jogja Rembug (FJR), Jogja Otomotif,
Rembang Jogja, Gerakan Pemuda Anshor (GP Anshor), Pemuda Pancasila
(PP), Pemuda Panca Marga Bekasi, Forum Komunikasi Putra Putri
Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (FKPPI), Koalisi Oganisasi
Masyarakat Sipil Peduli Hankam, Gerakan Nasional Anti Narkotika dan
Psikotropika (GANAS), Laskar Srikandi, tukang becak, dll. Di depan kantor
Pengadilan Militer Yogyakarta juga terdapat beberapa spanduk dan
banner bernada membela pembantaian termaksud, misalnya dari
Paguyuban Kawulo Mataram Ngayogyakarto menuliskan ”Jogja Needs
Kopassus and Never Needs Gangster” dan “Kopassus, Loved, and Needed”.
Menarik bahwa dukungan tersebut berbahasa Inggris, apakah dengan
demikian ingin menyuarakan ke dunia internasional?10 Dari PP Solo
menyatakan siap menggantikan hukuman para anggota Kopassus.
Sementara FJR mengklaim bahwa “Memecat Kopassus Sama Juga
Melawan Aspirasi Rakyat Jogja”.
9 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 12 September 2013. Sebelumnya, ketika ditanya apakah jumlah dari elemen masyarakat lebih dari seratus, Hasto mengatakan bahwa mungkin saja lebih. Namun, ketika dikonfirmasi ulang, ia menyebutkan “lebih dari 72.” 10 Beberapa berita dan pendapat mengenai pembantaian Cebongan muncul dalam media Indonesia yang berbahasa Inggris seperti The Jakarta Post dan Jakarta Globe, juga dalam media internasional seperti Inside Indonesia, ABC News dan Human Rights First.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
6
Sementara itu, belum sampai setahun sebelumnya, pada tanggal 31
Agustus 2012, status keistimewaan Yogyakarta dimaklumatkan. Sejak
berdirinya Forum Persekutuan Umat Beriman (FPUB) tahun 1997,
Yogyakarta digadang-gadang oleh masyarakatnya sebagai kota yang
toleran (The City of Tolerance 11 ), meskipun pada awal 2015 lalu
Yogyakarta menempati posisi kedua setelah Jawa Barat dalam perkara
intoleransi. 12 Juga, orang Yogyakarta telanjur dicitrakan dengan
kehalusan budi para priyayi yang mengelu-elukan kebudayaan supaya
dilestarikan. Lantas, melihat slogan dan ungkapan-ungkapan di atas,
dukungan terhadap pembantaian Cebongan menjadi perkara yang aneh,
bahkan ironis.
Masalahnya, kombinasi status keistimewaan, toleransi, dan
kebudayaan ini kemudian memungkinkan masalah kekejian dan
pelanggaran hukum dibaca sebagai masalah kultural mengenai
keistimewaan sehingga dikait-kaitkan bahwa “menjadi istimewa berarti
menjadi tanpa preman.” Lantas, perkara ketaksamarataan, eksploitasi,
dan ketidakadilan dalam pembantaian Cebongan menjadi makin kabur.13
11 Slogan ini muncul dalam percakapan di kalangan orang Jogja sejak 2002, kemudian pada tahun 2008 slogan ini muncul dalam sebuah sambutannya, dan secara resmi dideklarasikan oleh Pemda Yogyakarta sebagai city branding pada tahun 2011. 12 Laporan Tahunan Wahid Institute menemukan bahwa Jawa Barat merupakan provinsi dengan tingkat intoleransi dan pelanggaran kebebasan beragama tertinggi dengan 55 kasus, sementara itu provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berada di nomor dua dengan jumlah 21 kasus. Lihat dalam http://www.thejakartapost.com/news/2015/01/02/yogya- second-intolerance-religious-based-violence.html diakses tanggal 27 Oktober 2015. 13 Slavoj Žižek, “Tolerance as an Ideological Category”, dalam Violence (New York: Picador, 2008), hal. 140.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
7
Pengaburan kekejian ini terjadi karena hadirnya proses
penyingkiran suatu kelompok terhadap kelompok lain. Proses termaksud
menandai adanya kecemasan akan hilangnya identitas keistimewaan di
Yogyakarta. Proses penyingkiran ini berlangsung terhadap para korban
pembantaian yang dikategorikan di luar komunitas Yogyakarta yang
bersemboyan istimewa, toleran, serta berkebudayaan “njawani”. 14
Konsensus bahwa mereka berada di luar komunitas inilah yang
menjadikan wajar dan sah apabila para preman sebagai kriminal, yang
dipandang sadis, dan bukan Jawa ini dibantai. Konsensus bahwa ada yang
disebut sebagai preman memungkinkan bagaimana masyarakat
memfantasikan sang preman dan justru lupa pada kekejian pahlawan
yang menghadirkan preman. Pertanyaan “apa itu kejahatan?” dan “siapa
si penjahat?” musti diikuti dengan pertanyaan: di mata siapa dan dalam
kondisi melihat seperti apa kejahatan dan penjahat muncul?15
Studi ini berfokus pada bagaimana proses penyingkiran dalam
pembantaian Cebongan terjadi, bagaimana konteks sosio-kultural yang
memungkinkan wujud sesama yang lain dan disingkirkan ini
dimunculkan. Dan terakhir akan menunjukkan bahwa fantasi16 yang
14 ‘Njawani’ (mirip orang Jawa) berarti telah relevan untuk menjadi orang Jawa atau kualitas kejawaannya tidak lagi perlu dipertanyakan. Penyebutan ‘njawani’ menunjukkan bahwa Jawa asli tidak benar-benar ada, yang ada hanya mendekati Jawa. 15 Vincente L. Rafael, “Introduction: Criminality and Its Others”, dalam V.L. Rafael (Ed.), Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and the Colonial Vietnam (Ithaca: SEAP, 1999), hal. 10. 16 Istilah yang digunakan untuk fantasi sendiri cukup berbeda. Beberapa psikoanalis menuliskannya dengan fantasi, namun adapula yang menuliskannya dengan phantasy. Dalam tulisan ini akan digunakan istilah “fantasi” yang dipahami dalam konsep ketidaksadaran Freud. Sedangkan fantasi yang disadari dan semata-mata diimajinasikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
8
mendasari dukungan amatlah rapuh dan rawan untuk dimanfaatkan
pihak penguasa.
B. Rumusan Masalah
Berangkat dari latar belakang tersebut, ada beberapa
permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini, yaitu:
1. Bagaimana premanisme berlangsung di Yogyakarta masa kini?
2. Mengapa dan bagaimana wacana pahlawan kontra preman muncul
dalam pembantaian Cebongan?
3. Bagaimana fantasi yang mendasari wacana pahlawan kontra preman
muncul dalam pembantaian Cebongan? Fantasi seperti apakah yang
mendasari wacana tersebut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini berupaya menjelaskan proses terbentuknya
dukungan warga masyarakat Yogyakarta terhadap Kopassus dalam
pembantaian Cebongan. Dengan demikian, secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk:
1. Menguraikan sebab dan proses penyingkiran yang muncul dalam
wacana pahlawan kontra preman.
seperti halnya saat orang melamun akan tetap disebut dengan “fantasi yang disadari”. Dalam bahasa Lacanian, fantasi disebutnya unconscious fantasy (phantasm). Lihat dalam James Ormrod, Fantasy and Social Movement (New York: Palgrave Macmillan, 2014).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
9
2. Menjelaskan fantasi gerakan pro-Kopassus yang hadir dalam wacana
pahlawan kontra preman.
3. Mengeksplorasi bagaimana Yogyakarta menciptakan kategori sesama
yang lain dan perlu disingkirkan.
D. Manfaat Penelitian
Dengan penelitian mengenai fantasi terhadap preman dalam
pembantaian Cebongan diharapkan:
1. Secara praktis memberikan pengetahuan sejarah mengenai proses
penyingkiran atas kelompok yang dikategorikan preman dan kekejian
berkelanjutan di Yogyakarta.
2. Memberi penjelasan mengenai bagaimana fantasi terbentuk seturut
dengan konteks lokal dan proses kultural dari masyarakat Yogyakarta.
E. Tinjauan Pustaka
Secara komparatif, bagian ini menguraikan bagaimana kriminal
yang diposisikan sebagai sesama-yang-lain yang disingkirkan, terkhusus
dalam politik kekuasaan terkait dengan militerisme. Dalam historiografi
bangsa Indonesia, pihak militer seringkali menciptakan penyingkiran
terhadap pihak yang menjadi sasaran operasi.17 Penyingkiran termaksud
17 Penyingkiran ini dilakukan lewat propaganda dan strategi perang yang oleh Davidson & Kammen (2002) dimulai sejak pembantaian 1965. Pola ini terus berulang pada masa Orde Baru, Davidson & Kammen (2002) menuliskan bahwa RPKAD menggunakan sistem “drain the water so the fish can’t swim.” Lihat dalam Jamie S. Davidson & Douglas Kammen, “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan”,
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
10
diikuti dengan penciptaan wacana tentang tindakan ksatria yang
dilakukan militer dan ancaman sosial-politik yang mungkin ditimbulkan
dari pihak yang tengah digambarkan sebagai ancaman. Penyingkiran
terhadap pihak yang disasar dilihat sebagai kriminal yang memang sudah
selayaknya dibantai. Kemudian, pada bagian selanjutnya akan ditinjau
mengenai penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya tentang
pembantaian Cebongan. Konteks sosial-politik pembantaian Cebongan ini
cukup unik, karena terjadi selepas rejim militer Orde Baru dan dilakukan
militer dengan menyerang institusi pemerintahan polisi yang mana
keduanya sudah tidak menjadi satu lembaga dan tidak lagi menjadi alat
kekuasaan untuk mengontrol masyarakat sipil. Meskipun, isu yang
dimainkan kemudian adalah sama, yakni didasarkan pada ancaman sosial
daripada sebagai sebuah agenda politik kekuasaan sebagaimana terjadi di
masa otoritarianisme Orde Baru. Bagian pertama tinjauan menguraikan
mengenai kaitan antara premanisme dengan otoritas. Bagian kedua
mendeskripsikan beberapa tipe kriminal yang sering dikait-kaitkan
dengan dunia preman. Terakhir, bagian ketiga menjelaskan bagaimana
pembantaian Cebongan dibicarakan dalam dunia akademis.
dalam Indonesia, Volume 73 (April 2002), hal. 53-87. Bandingkan dengan Benedict Anderson, Arief W. Djati, & Douglas Kammen, “Interview with Mário Carrascalão”, dalam Indonesia, Volume 76 (October 2003), hal. 1-22; James T. Siegel, “Jafar Siddiq Hamzah”, dalam Indonesia 70 (October 2000), hal. 167-170. Lihat juga dalam James T. Siegel, The Rope of God (Berkeley: The University of Michigan Press, 2000), hal. 336-442.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
11
Bandit, Preman, dan Otoritas
Orang tidak perlu heran mengapa sosok-sosok seperti Robin Hood,
Nardong Putik, Don Pepe Oyson, si Pitung, Sakam, Gantang, atau
Gagaklodra tidak henti-hentinya dinarasikan. Dalam The Godfather-nya
Mario Pusso 18 ada Don Corleone, dalam Lelaki Harimau-nya Eka
Kurniawan19 ada Margio, atau dalam sejarah Indonesia pasca Revolusi
1945-1949 ada sosok Kusni Kasdut20 yang muncul sekitar 1960-an.
Sosok-sosok ini dibutuhkan sebab mereka fantastis.21 Orang butuh
membayangkan bagaimana hukum yang mengungkung dengan batasan-
batasannya tetap bisa diterabas.
Apabila dirunut secara historis, ada dua model umum yang
terdapat pada sosok fantastis tersebut. Pertama adalah sosok yang
menerabas hukum namun tidak bertindak menjadi hukum itu sendiri.
Sosok ini menunjukkan bahwa ada ketimpangan yang terjadi dalam kelas
sosial. Sementara sosok kedua menerabas hukum dan menjadikan
dirinya sebagai hukum itu sendiri. Sosok kedua ini adalah sosok-sosok
yang kini disebut sebagai seorang kriminal.22 Sosok kedua merupakan
sosok yang menarik. Pada masa kolonial, sosok ini seringkali disebut,
meminjam istilah Eric Hobsbawm, bandit sosial.23
18 The Godfather, (Paramount Pictures, 1972), DVD. 19 Eka Kurniawan, Lelaki Harimau (Jakarta: Gramedia, 2004). 20 Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 36-51. 21 Ibid., hal. 8. Lihat juga dalam Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 13. 22 Marc de Kesel, Eros and Ethics. Reading Jacques Lacan's Seminar VII (New York: SUNY Press, 2009), hal. 197. 23 Eric Hobsbawm, Bandits (Middlesex: Penguin Books, 1972), hal. 17-18.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
12
Bandit sosial dikenal dengan istilah lain seperti jago(an) di Jawa.
Dalam masa feodalisme, mereka adalah petani yang dianggap oleh tuan
tanah dan negara sebagai kriminal. Namun, mereka juga hidup dalam
masyarakat petani dan menjadi sosok berpengaruh dalam masyarakat
termaksud. Tidak jarang mereka dianggap masyarakat sebagai pahlawan,
jawara, penuntut balas, pejuang keadilan, bahkan pemimpin
pembebasan.24 Anggapan ini menunjukkan bahwa para bandit sosial ini
dikagumi bahkan dibantu dan didukung oleh masyarakat. Para bandit ini
justru mengambil apa yang menjadi hak para petani sehingga mereka
akan sukar dikategorikan lagi sebagai bandit sosial.
Bandit sosial merupakan fenomena universal yang terjadi dalam
masyarakat petani seperti di China, Peru, Sicilia, Ukraina, dan Indonesia.
Secara geografis, fenomena bandit sosial muncul di Amerika, Eropa, Asia,
dan Australia. Hobsbawm menuliskan bahwa bandit sosial ada dalam
semua tipe masyarakat yang tengah berada dalam fase evolusioner dari
organisasi kesukuan dan kekerabatan, kekerabatan dengan kapitalisme
agraris, dan juga antara kapitalisme modern dengan masyarakat
industri.25 Kemunculan ini merupakan proyeksi dari kekacauan dalam
masyarakat, munculnya kelas baru dan struktur sosial, resistensi dari
komunitas atau orang-orang dari kehancuran cara hidup akibat adanya
relasi dominasi.
24 Ibid., hal. 17. 25 Ibid., hal. 18.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
13
Sosok fantastis kedua yang kemudian menjadikan dirinya sebagai
hukum, dan menjadi fokus dalam tulisan ini, muncul dalam kapitalisme
modern pada pemerintahan otoriter. Pada masa Orde Baru, orang-orang
yang tergabung dalam gangster, seringkali disebut preman, dirangkul
untuk tujuan mengembalikan mereka pada kesadaran nasional. Misalnya
saja pada tahun 1971 ketika Taman Mini Indonesia Indah (TMII) hendak
didirikan, Loren Ryter melaporkan bahwa Tien Soeharto mengeluarkan
pernyataan yang ditujukan secara khusus kepada para mahasiswa yang
menentang pembangunan kompleks miniatur Indonesia tersebut. Ia
mengatakan bahwa ia akan menantang mereka yang menolak paham
untuk mengerti pendirian TMII. Pernyataan ini disambut baik oleh geng
Berlan yang beranggotakan anak muda dari orang tua mantan anggota
Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL). Dalam demonstrasi tanggal
23 Desember 1971, sekelompok orang muda berambut gondrong
menyerang para demonstran dan menyebabkan dua orang demonstran
tertikam dan satu orang lain tertembak di paha dengan pistol berkaliber
45.26
Pada bulan Mei 1973, Badan Koordinasi Intelijen (BAKIN),
kemudian memberikan pekerjaan lain bagi para anggota gangster ini.
Mereka diberi keahlian, secara khusus perbengkelan, dan
menghubungkannya dengan tentara. Alhasil, pada tahun 1990-an, salah
26 Loren Ryter, “Geng dan Negara Orde Baru (1): Preman dari Markas Tentara”, dalam Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”, diunduh dari http://etnohistori.org/geng- dan-negara-orde-baru-1-preman-dari-markas-tentara.html pada tanggal 18 April 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
14
satu dealer motor yang didirikan Prabowo Subianto di Timor Timur
dipekerjakan para anggota geng yang telah dilatih. Selain menjadi
pekerja di dealer tersebut, mereka sekaligus menjadi informan bagi
tentara.27
Istilah preman sendiri memiliki sejarah yang cukup menarik
untuk ditelusuri. Sebelum tahun 1990, preman adalah sebutan untuk
polisi atau tentara yang sedang tidak bertugas atau sedang mengenakan
pakaian sipil. Tidak heran apabila sampai saat ini masih sering terdengar
orang mengatakan “polisi berpakaian preman”. Setelah penusukan
Letnan Satu Budi Prasetyo di Blok M, Kebayoran pada bulan Maret 1995,
istilah preman mulai dikait-kaitkan dengan kriminalitas. Setahun
sebelumnya, sekelompok pemuda berandalan juga dikabarkan telah
menyerang dan membunuh Brigadir Jendral Tampubolon dari Badan
Intelijen Strategis (BAIS). Preman yang tadinya menyerang secara
langsung orang-orang dengan otoritas tersebut kemudian mengalami
perubahan semantik dalam kosakata nasional lewat media: preman tidak
mengenal dan tentu saja tidak mematuhi hukum dan menyebabkan
kerusuhan sosial.28
27 Ibid. Douglas Kammen menjelaskan bahwa militia pro-integrasi Timor Timur direkrut dari lumpenproletariat seperti preman, penjudi, dan orang-orang penggangguran akibat urbanisasi. Tidak hanya tahun 1999 saja, namun sejarah para militia ini perlu ditelusuri sejak tahun 1975, di mana Timor Timur mulai menjadi bagian dari Indonesia. Di akhir 1970, mereka menjadi anggota Fretilin, bahkan Falintil untuk kemudian dipaksa menjadi informan bagi militer Indonesia. Lihat dalam Douglas Kammen, “Master-Slave, Traitor- Nationalist, Opportunist-Oppressed: Political Metaphors in East Timor”, dalam Indonesia, Number 76, Oct. 2003, hal. 82. 28 Loren Ryter, “Pemuda Pancasila: The Last Loyalist Free Men of Suharto’s Order?”, dalam Anderson (Ed.), 2001, Op.Cit., hal. 127-128..
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
15
Preman yang digambarkan hidup dalam dunia-bawah sendiri
kemudian dikait-kaitkan dengan kelas sosial bawah. Sesekali para
pengusaha didatangi preman dan menilai bahwa para preman
mengintimidasi usaha mereka. Preman juga dipahami sebagai anggota
masyarakat yang dipaksa oleh keadaan pendidikan yang buruk dan
berkembang di antara para penghuni kota sebagai akibat dari
pengangguran. Padahal, preman-preman yang tergabung dalam partai
politik atau ikut bisnis dalam agen pemerintahan tidak bisa dikatakan
sebagai kelas sosial-bawah secara ekonomis.29 Orang bisa saja menyebut
Yorries Raweyai, Sumargono, Anton Medan, Yapto, dan Hercules. Tidak
jarang juga kemudian mereka justru menjadi seorang politisi.30 Preman,
dengan demikian, bisa digunakan untuk menyebut siapa saja tanpa
terbatas pada kelas tertentu.
Salah seorang preman yang diwawancarai oleh Loren Ryter
mengatakan bahwa “Preman berarti seorang yang bebas, sungguh-
sungguh orang yang bebas. Salah satunya adalah saya. Seorang preman
adalah orang yang bebas, tak terikat dengan apapun, bebas untuk
menentukan hidup atau matinya, sepanjang dia memenuhi persyaratan
29 Benedict R. O'G. Anderson, “Indonesian Nationalism Today and in the Future”, dalam Indonesia, Number 67, April 1999, hal. 6; Douglas Kammen, “Notes on the Transformation of the East Timor Military Command and Its Implications for Indonesia”, dalam Indonesia, Number 67, April 1999, hal. 75. 30 Lihat misalnya tulisan Hatib Abdul Kadir, “GPK: Dari Hobi Bacok, Menuju Parlemen Lokal”, dalam Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”, Juli 2011, diunduh pada tanggal 18 April 2016 dari http://etnohistori.org/gpk-dari-hobi-bacok-menuju-parlemen- lokal.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
16
dan hukum negeri ini.” 31 Ketidakterikatan dengan apapun ini
mengisyaratkan bahwa preman merupakan orang asing yang bertindak
layaknya orang yang berkuasa. Dengan kepemilikan kuasa ini bisa
mematuhi bahkan melanggar hukum sebagaimana kehendaknya yang
bebas. Meskipun demikian, kekerasan yang dilakukannya tetap terbatas
pada otoritas lain yang lebih kuat, misalnya saja negara. Di Indonesia,
preman dikonstruksi oleh otoritas yang hidup pada masa Orde Baru dan
setelahnya serta memiliki sejarah panjang tentang kekerasan di
Indonesia.32
Sementara itu, menurut Geoffrey Robinson, pada masa kolonial
preman menjadi orang yang menentukan hukum sekaligus pelaku
tindakan kriminal. Selanjutnya, istilah tersebut berangsur-angsur
digunakan untuk menyebut kelompok geng anak muda yang dibentuk
oleh otoritas politik, secara khusus militer, serta elite-elite ekonomi
untuk kepentingan politik maupun kriminal.33 Pembentukan gangster
oleh elite politik dapat dilihat sebagaimana PP yang terbentuk dari dalam
Partai Golkar atau Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang memiliki
Gerakan Pemuda Ka’bah (GPK). Dengan kata lain, preman – sebagaimana
31 Ryter, 2001, Op.Cit., hal. 130. 32 Tony Day, “Introduction: Identifying with Freedom”, dalam Social Analysis: The International Journal of Social and Cultural Practice, Vol. 50, No. 1 (Spring 2006), hal. 151- 152. 33 Geoffrey Robinson, “People's war: militias in East Timor and Indonesia”, dalam South East Asia Research, Vol. 9, No. 3 (November 2001), hal. 287.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
17
juga jago, lasykar, dan militia – merupakan produk yang tak terpisahkan
dari kekuasaan negara.34
Beberapa Tipe Kriminal
Vincente L. Rafael menuliskan bahwa kemunculan gagasan
mengenai kriminalitas bersamaan dengan munculnya pengacau yang tak
diketahui atau tak diharapkan ke dalam kehidupan sehari-hari. Gagasan
ini menganggap kejahatan menjadi lokus dari kecemasan kolektif,
menyetir perhatian massa tak hanya karena kapasitasnya untuk
melibatkan hukum namun juga karena menafikan pengakuan hukum.
Dalam prototipe kolonial atau artikulasi nasionalis, kriminal (penjahat)
dicitrakan sebagai figur sumber rasa takut dan figur yang memiliki
kekuatan.35 Para penjahat ini dianggap asing dan selalu mengulangi
kehadirannya untuk membuat kekacauan dengan melampaui batas-batas
normatif. Efeknya, penggambaran individu yang berbeda oleh kelompok
bersama untuk membuat respon serentak. Penggambaran individual
yang figuratif ini menjadi aspek fantastis kejahatan yang mampu
merangsang perdebatan publik, dipolitisasikan oleh pihak-pihak yang
berkuasa, bahkan dalam beberapa hal menghibur dengan cerita-
34 Robinson, 2001, Op.Cit., hal. 288. 35 Henk Schulte Nordholt dan Margreet van Till, “Colonial Criminals in Java, 1870-1910”, dalam Rafael (Ed.), 1999, Op.Cit., hal. 47-69.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
18
ceritanya yang seringkali heroik bahkan di luar akal. Konstelasi ini
membuat kejahatan menjadi sukar dipahami dan tak pasti.36
Menurut Joshua Barker, apa yang disebut preman memiliki
konsentrasi khas dalam perebutan lahan berkaitan dengan pemerasan
jatah. 37 Apabila penjahat Tagalog 38 mencari akses patronase dan
ketergantungan satu sama lain yang menguntungkan, preman berfokus
pada bagaimana cara mengontrol teritori mereka dan memproyeksikan
aura kemerdekaan dari pihak penguasa atau pengusaha. Sesekali mereka
bersandar pada bantuan militer, meskipun demikian, sifatnya hanya
sementara.
Di Yogyakarta, sebagai sebuah bagian dari bangsa Indonesia,
kriminal juga menjadi perhatian yang tak bisa dilewatkan.39 Siegel, dalam
A New Criminal Type in Jakarta, menguraikan bahwa pola kejahatan dan
kekejian di Indonesia pada masa Orde Baru adalah “membunuh yang ada
dalam citra diri” atau sesama-yang-lain mengambil bentuk dalam orang
yang didaku warga negara-bangsa Indonesia. Bagi Siegel, para kriminal
muncul untuk menggantikan mangkirnya gagasan tentang rakyat yang
pada masa Soekarno hadir. Kehadiran para kriminal ini bertentangan
dengan nasionalisme yang muncul lewat lingua franca. Kriminalitas ini
36 Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 12-13. Sisi menghibur ini tampak misalnya dalam kasus Sakam (1886) dan Si Gantang (1903) yang menjadi bahan rumor dan menimbulkan sensasi dalam masyarakat. 37 Barker, 2001, Op.Cit., hal. 20-53. 38 John T. Sidel, “The Usual Suspects: Nardong Putik, Don Pepe Oyson, and Robin Hood”, dalam Rafael (Ed.), 1999, Op.Cit., hal. 70-94. 39 Lihat dalam Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 104-105.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
19
muncul untuk selanjutnya mengisi celah dalam rantai simbolik yang
menghubungkan keluarga dengan bangsa. Menurut Siegel, pada masa-
masa sebelumnya “keluarga pernah menjadi sumber legitimasi”40 namun
negara kemudian menggantikan sumber legitimasi hukum termaksud.
Lantas, gagasan rakyat dijinakkan lewat legitimasi negara.
Meskipun demikian, penjinakkan tidak sepenuhnya berhasil.
Nyatanya, para kriminal justru menghantui negara sebab mereka tidak
menggantungkan diri pada otoritas negara. Misalnya saja tentang Petrus
yang sebelumnya diorganisir oleh tentara, namun pada akhirnya karena
para kriminal dalam imajinasi Soeharto mengancam legitimasi, para
gali41 bertato kemudian dibunuh sampai berkali-kali, setelah dilukai dan
dibunuh kemudian dipertontonkan di depan khalayak. Dalam hal ini
para gali tersebut merupakan warga negara-bangsa Indonesia yang
energinya menyeruak masuk dan mengacaukan hukum (transgresi)
kemudian oleh negara dibantai.
Penelusuran tentang Petrus lebih lanjut dilakukan oleh Joshua
Barker. Pembantaian para gali bertato di Yogyakarta yang dimulai bulan
Maret 1983 melalui komando Letkol M. Hasbi dan menyebar ke kota-
kota besar seperti Solo, Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan, dan
Semarang. John Pemberton mengklaim bahwa sekitar 4.000 orang
40 Ibid., hal. 87. 41 Kata gali merupakan akronim dari “gabungan anak liar” yang seringkali juga merujuk pada keterlibatannya dalam perilaku kriminal. Kamus Besar Bahasa Indonesia menyetarakannya dengan pencoleng, penodong, dan perampok. Lihat dalam Anderson (Ed.), 2001, Op.Cit., hal. 245.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
20
bertato mati dibantai.42 Barker mengatakan bahwa setidaknya 5.000
orang dibantai dan sekitaran 10.000 orang dipenjara. Proses
pembantaian ini dilakukan dengan dua cara, yakni pengawasan
(surveillance) dan tato. 43 Pengawasan tidak diperlukan lagi ketika dalil
“tato adalah kriminal” sudah tertanam dalam struktur simbolik
masyarakat. Pembantaian yang diorganisir lewat tentara atas perintah
Presiden ini memberikan contoh baru mengenai tipe kriminalitas di
mana negara melakukan mimikri44 atas kekejian yang dilakukan oleh
figur gali sebagaimana didefinisikan oleh negara.45
Selanjutnya, dalam buku Naming The Witch (2005), Siegel
menganalisis mengenai bagaimana pada Februari hingga September
1998 sebanyak 120 orang yang dianggap sebagai dukun santet dibantai
oleh tetangga-tetangganya. Kebanyakan dari korban merupakan anggota
Nahdlatul Ulama (NU) yang kemudian mendorong NU membentuk tim
investigasi dan melakukan penyelidikan mengenai siapa aktor utama di
balik pembantaian ini. Menurut Siegel sentimen terjadi, alih-alih karena
42 John Pemberton, On the Subject of “Java” (Ithaca & London: Cornell University Press, 1994), hal. 311-318. 43 Barker, 2001, Op.Cit., hal. 30. 44 Mimikri yang dimaksud di sini sekadar perkara bagaimana kriminal didefinisikan sebagai figur keji, namun di sisi lain negara justru melakukan hal yang sama kejinya sebagaimana definisi negara terhadap kriminal itu sendiri. Berbeda dengan Homi Bhabha yang menyatakan bahwa mimikri bisa jadi sesuatu yang subversif, justru dalam konteks ini mimikri dipakai untuk melegitimasi kekuasaan. 45 Tim Lindsey menyebut Indonesia sebagai negara preman (preman state, lawless-state, the criminal state). Sebutan yang mengakrabkan istilah ‘preman’, ‘di atas hukum’, dan ‘kriminal’ ini menggambarkan bahwa ada pemain tersembunyi dalam tubuh negara bangsa Indonesia yang lewat tindakan kriminal dan kekerasan menegaskan otoritasnya. Lihat dalam Tim Lindsey, “From Soepomo to Prabowo: Law, Violence, and Corruption in the Preman State”, dalam C.A. Choppel (Ed.), Violent Conflicts in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution (New York: Routledge, 2006), hal. 29-33.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
21
rivalitas sektarian atau konspirasi tentara, jatuhnya struktur-lah yang
menyebabkan memunculkan identitas “dukun santet” ini kemudian
menciptakan gelora yang tak terjinakkan.46 Siegel melanjutkan bahwa
struktur politik yang dibangun Soeharto gagal untuk mencapai ranah
kehidupan pedesaan.47 Kegagalan ini, lagi-lagi, ditandai dengan adanya
tenaga yang menyeruak dan merasuk pada “dukun santet” namun tak
bisa diketahui atau dikontrol oleh negara. Mereka dikategorikan sebagai
kriminal yang harus disingkirkan.
Menyoal pembantaian di Jawa Timur termaksud, Fadjar I. Thufail
menunjukkan bahwa kekejian tidak hanya dilakukan oleh negara. Bahasa
kekejian disebarkan massa yang bertindak sebagai agen kekejian.
Keaktifan sebagai agen ini menunjukkan bahwa warga dari negara-
bangsa Indonesia hendak ambil bagian dalam perbincangan pada
wilayah publik-nasional. 48 Hasrat untuk mengambil bagian pada
perbincangan publik ini juga terjadi sebagaimana akan ditunjukkan
dalam dukungan terhadap pembantaian Cebongan.
Pembantaian Cebongan
Preman yang dilekati dengan kriminalitas dan kekerasan menjadi
sebutan yang mendominasi dalam wacana pembantaian Cebongan. Di
46 James T. Siegel, Naming The Witch (Stanford: Stanford University Press, 2005), hal 142. 47 Ibid., hal. 154. 48 Fadjar I. Thufail, “Local and National Violence in Post-Soeharto Indonesia”, dalam Mary S. Zurbuchen (ed.), Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present (Singapore & Seattle: Singapore University Press & University of Washington Press, 2005), hal. 150- 167;
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
22
Yogyakarta sendiri, setelah reformasi, model kekerasan dan kriminalitas
juga terjadi dalam gangsterisme sekolah yang beberapa di antaranya
memiliki hubungan dengan ormas yang kemudian terafiliasikan dengan
partai politik. Penelitian yang dilakukan Hatib Abdul Kadir menawarkan
adanya perubahan mengenai pola kekerasan yang pada masa Orde Baru
dilakukan negara ke massa-rakyat menjadi kekerasan yang terjadi antar
anggota komunitas bangsa. Di samping itu, identitas keagamaan menjadi
hal yang penting untuk membuat kategori mengenai siapa lawan dan
siapa kawan. Kekerasan dan kriminalitas yang dilakukan gangster
sekolah ini akan sangat berbeda dengan preman yang dalam
pembantaian Cebongan bukanlah sekumpulan preman yang dilekati
identitas keagamaan tertentu. 49 Tindakan kriminalitas dalam
pembantaian Cebongan bahkan melibatkan militer yang adalah institusi
negara. Dengan demikian, meskipun isu yang dihembuskan adalah
kekerasan horisontal, namun pada kenyataannya kekerasan terjadi
secara vertikal.50
49 Lihat dalam Hatib A. Kadir, “School Gangs of Yogyakarta: Mass Fighting Strategies and Masculine Charisma in the City of Students”, dalam The Asia Pacific Journal of Anthropology, 13:4, hal. 352-365; I Made Arsana Dwiputra, “Religious Nuance in School Gang Rivalries in Yogyakarta”, diunduh dari http://crcs.ugm.ac.id/articles/509/religious- nuance-in-school-gang-rivalries-in-yogyakarta.html pada 25 Juli 2016. 50 Bandingkan dengan Robert Cribb, “From Petrus to Ninja: Death Squads in Indonesia” dalam Bruce B. Campbell, Arthur D. Brenner (Ed.), Death Squads in Global Perspective: Murder with Deniability (New York & Hampshire: Palgrave Macmillan, 2002), hal. 193. Cribb menuliskan bahwa, setelah Petrus, fungsi pasukan kematian sebagai alat kontrol sosio-politik telah menghilang, namun dengan adanya kasus Marsinah dan pembunuhan dukun Santet di Jawa Timur menunjukkan bahwa kalangan militer masih perlu hadir untuk ‘menengahi’ masalah di tengah massa-rakyat. Lihat juga dalam tulisan Siegel, 2005, Op.Cit.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
23
Beberapa studi mengenai pembantaian Cebongan membahas
mengenai bagaimana media memberitakan pembantaian ini. Misalnya,
Latu & Ispandriarno yang menemukan bahwa Tribun Jogja membingkai
pemberitaan dengan menekankan kesalahan dan cenderung
menyudutkan Kopassus, sementara itu Kedaulatan Rakyat justru
mendukung pembantaian ini sebab ditempatkan dalam kerangka
pemberantasan preman.51 Masalahnya, penelitian-penelitian komunikasi
model demikian tidak mampu menjelaskan mengapa pemberantasan
preman muncul dalam wacana dan dengan demikian kepentingan seperti
apa yang mendasarinya.
Sementara itu, Made Supriatma menganalisis secara khusus
berkaitan dengan bagaimana mobilisasi mungkin terjadi lewat gabungan
elemen-elemen masyarakat Yogyakarta dalam Sekber.52 Analisis yang ia
tawarkan adalah adanya kepentingan yang saling menguntungkan antara
Sekber dengan Kopassus.
Sayangnya, dalam tulisan yang terbit dalam Inside Indonesia ini
tidak menganalisis lebih jauh berkaitan dengan proses pembentukan
sesama yang lain dan disingkirkan dalam pembantaian Cebongan;
bagaimana karakter demografis elemen masyarakat pendukung
Kopassus; perubahan-perubahan simbolik apa yang terjadi dalam
51 Mega Latu & Lukas Ispandriarno, “Pemberitaan Sidang Putusan Pembunuhan di Lapas Cebongan”, dalam http://e-journal.uajy.ac.id/6482/1/JURNAL%20MEGA%20LATU.pdf diunduh pada 21 Juli 2016. 52 Antonius Made Tony Supriatma, “Defending Murder”, dalam Inside Indonesia 115: Jan-Mar 2014 diunduh dari http://www.insideindonesia.org/defending-murder pada tanggal 6 November 2015.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
24
pewacanaan pembantaian Cebongan ini; konteks sosio-kultural
(etnisitas) seperti apa yang memungkinkan wacana pahlawan kontra
preman ini mungkin terjadi; dan bagaimana implikasinya dalam praktek
kehidupan sehari-hari masyarakat Yogyakarta, terutama fantasi yang
mendasarinya.
F. Kerangka Teoritis
Bagian ini menjelaskan dua sub-bagian, yakni otherness (sistem)
dan fantasi (subjek kultural) yang mampu untuk menjelaskan bagaimana
bentuk kekerasan saat ini didominasi kekerasan ideologis (ideological
violence; kekerasan; rasisme, hasutan, diskriminasi seksual) daripada
kekerasan fisik (direct physical violence; kekejian; pembantaian massal,
teror).53 Perubahan dominasi bentuk kekejian ke dalam kekerasan ini
menunjukkan bahwa barbarisme terus berlangsung dengan kekerasan
dijadikan dalih untuk kekejian. Di samping itu, logika aneh yang memuji-
muji kekejian dapat dijelaskan lewat konsep fantasi yang mana, secara
teoritis, kenyataan terstruktur lewat fantasi.
Istilah otherness dan fantasi dipinjam dari perspektif psikoanalisa
Lacanian yang bekerja atas dasar tatanan simbolik yang menjadi arena
perubahan posisi subjektif seseorang, terkhusus dari pemikiran Slavoj
Žižek, sebab perspektif tersebut memadai untuk menjelaskan bagaimana
subjek dibentuk dalam bahasa (simbolik), yang dalam penelitian ini
53 Lihat dalam Žižek, 2008, Op.Cit., hal. 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
25
berupa wacana pahlawan kontra preman. Cara orang berbahasa inilah
yang kemudian ditentukan oleh fantasinya.54
Ada tiga pemikir yang mempengaruhi karya Slavoj Žižek, yaitu
Georg Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831), Karl Marx (1818-1883),
dan Jacques Lacan (1901-1981). 55 Dari Hegel, Žižek mengambil
metodologi dialektik yang mana dialektika itu sendiri menjadi sebuah
proses yang terus berlangsung. Dari Marx, Žižek melakukan kajian dalam
kritik ideologi, dengan arena superstruktur yang secara khusus ide-ide
dan budaya. Lalu terakhir adalah Lacan yang ia gunakan untuk
menganalisis, terkhusus berkaitan dengan konsep imajiner, simbolik, dan
real. Real-simbolik-imajiner merupakan tiga tatanan yang digagas Lacan,
bukan berarti tatanan tersebut hadir secara material, namun jauh lebih
penting untuk dipahami bahwa tatanan tersebut merupakan bentuk
metafora optik (pemanfaatan ide tentang adanya ruang) untuk
menggambarkan sistem yang bekerja dalam ketidaksadaran. 56
Sebenarnya, ketiga tatanan termaksud saling berpadu dan tidak bisa
berdiri sendiri-sendiri. Misalnya saja, penanda (signifier) menjadi dasar
tatanan simbolik, sementara itu petanda (signified) dan penandaan
54 Jim Siegel, “Berbahasa”, dalam Henri Chambert-Loir (Ed.), Sadur. Sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia (Jakarta: KPG Bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme- Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa Universitas Padjadjaran), hal. 341. 55 Tony Myers, Slavoj Žižek. Routledge Critical Thinkers (London & New York: Routledge, 2003), hal. 15-20. Sebagai catatan, Lacan penulisan tatanan Imajiner, Simbolik, dan Real menggunakan huruf kapital untuk membedakannya dengan bahasa keseharian. Namun, dalam tulisan ini digunakan huruf kecil. 56 Alfredo Eidelsztein, The Graph of Desire: Using the Work of Jacques Lacan (London: Karnac Books, 2009), hal. 3.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
26
(signification) merupakan bagian dari tatanan imajiner57; atau tatanan
simbolik yang bekerja atas dasar tatanan real58.
Tatanan imajiner merancang proses pemahaman dan kelahiran
ego antara usia 6-18 bulan yang dikenal dengan fase cermin.59 Dalam
fase ini, kemampuan visual anak berkembang pesat dan mulai mengenal
liyan kecil (other) yang bisa berarti orang lain maupun pantulan dirinya
dalam cermin, meskipun masih belum mampu secara sepenuhnya
mengkoordinasi gerak tubuh. Pada era modern, tatanan imajiner
menampilkan manusia yang terobsesi dengan dirinya sendiri dan
melihat diri sebagai makhluk yang menguasai dunia. 60 Sementara itu,
untuk hidup di dunia, orang harus terlempar ke tatanan simbolik yang
merentang dari hukum hingga struktur, yang dipikirkan melalui bahasa
(dimensi linguistik).61 Hukum dan struktur ini menegaskan bahwa ada
pengendalian atau penjinakkan hasrat dalam tatanan simbolik.
Selanjutnya adalah tatanan real atau dunia yang hadir sebelum bahasa,
menentang adanya simbolisasi. Meskipun demikian, real dan simbolik
terikat satu sama lain. 62 Dengan melakukan perubahan dalam
57 Dylan Evans, An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis (London & New York: Routledge, 1996), hal. 84. 58 Myers, 2003, Op.Cit., hal. 25. 59 Jacques Lacan, Ecrits: A Selection (London & New York: Routledge, 2001), hal. 3. 60 Myers, 2003, Op.Cit., hal. 22. 61 Evans, 1996, Op.Cit., hal. 203. 62 Hubungan ini menciptakan trauma (Nachträglichkeit/afterwardness). Laplanche & Pontalis menyebut afterwardness sebagai “Istilah yang seringkali digunakan Freud dalam kaitan dengan pandangannya mengenai temporalitas dan kausalitas psikis: pengalaman, kesan, dan jejak memori mungkin direvisi di kemudian hari untuk menyesuaikannya dengan pengalaman yang baru saja terjadi atau dengan pencapaian tahap perkembangan yang baru. Dalam kejadian tersebut, mungkin saja peristiwa termaksud diberi tak hanya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
27
menafsirkan yang real, maka yang simbolik akan turut berubah. 63
Penelitian psikoanalisa sendiri memfokuskan diri pada tatanan real, yang
di dalam ruang simbolik digambarkan sebagai celah-retak dan
memungkinkan adanya pelanggaran melekat (inherent transgression).
Pelanggaran ini misalnya tampak dalam Ucok dkk. yang dikisahkan
dalam rangkaian kasus melawan garis komando.
Pembantaian Cebongan, yang dibahas dalam penelitian ini, berada
dalam ruang simbolik di mana hadir penggantian metonimik maupun
metaforik (metonymic-metaphoric displacement). Penggantian ini
menegaskan bahwa cara (ber)bahasa di ruang sosial senantiasa mencari
apa yang paling aman, apa yang paling tidak menimbulkan kecemasan-
diri (pleasure principle), apa yang paling tidak membuat rikuh.64 Kondisi
ini memungkinkan bahwa setiap percakapan atau komentar dalam
pembantaian Cebongan merupakan komentar yang telah diperhalus,
yang membuat orang saling mencerminkan65, meskipun bukan berarti
tanpa arti apapun. Penghalusan komentar tersebut menunjukkan bahwa
bahasa dilegitimasi sebagai hukum. Bahasa inilah yang kemudian
menentukan apa yang disebut liyan.
Lacan, kemudian diikuti Žižek, membedakan antara dua macam
liyan. Pertama adalah liyan kecil (the little other) yang berada dalam
makna baru namun juga keefektifan psikis.” Lihat dalam J. Laplanche & J.B. Pontalis, The Language of Psychoanalysis (London: Hogarth, 1967), hal. 111. 63 Lihat kasus Wolf-Man dalam Slavoj Žižek, The Metastases of Enjoyment: Six Essays on Woman and Causality (London & New York: Verso, 1994), hal. 31. 64 Siegel, 2009, Op.Cit., hal. 342. 65 Ibid., hal. 342.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
28
lingkup imajiner. Kedua adalah Liyan besar (the Big Other) yang berada
dalam tatanan simbolik, yakni bahasa itu sendiri. Sejauh institusi, artefak,
maupun konsep budaya terletak dalam tatanan Simbolik, maka bisa
disebut Liyan besar. Misalnya saja mengenai TNI yang mewakili sebuah
pertahanan dan keamanan negara, maka seorang anggota TNI
merupakan Liyan besar sebagai perwujudan pertahanan dan keamanan
negara. Meskipun demikian, rangkaian penanda di sekitarnya bisa saja
tidak selalu sebagaimana tertulis dalam hukumnya, misalnya “disiplin”,
“seragam”, “serdadu”, “lars”, bahkan “Cebongan”.
Baik Lacan maupun Žižek, dengan amat baik bisa menggambarkan
bagaimana bahasa berpengaruh dalam ketidaksadaran, peliyanan, dan
fantasi yang dengan demikian berpengaruh dalam praktek keseharian.
Namun, dari sudut pandang bahasa Indonesia, Lacan dan Žižek tidak
mampu menjelaskan bagaimana perbincangan dan komentar mengenai
pembantaian Cebongan terjadi. Cara berbahasa lingua franca Indonesia
yang menentukan kesadaran dan ketidaksadaran subjek bangsa
Indonesia, dapat dipahami dari kerangka James T. Siegel dan Benedict
Anderson lewat cara orang (ber)bahasa mampu memberikan gambaran
etnografis dan historis dari bangsa Indonesia.
Baik Siegel maupun Anderson menelusuri bagaimana bahasa
Indonesia menjadi sebuah bahasa yang revolusioner, bahasa yang
memungkinkan tumbuhnya nasionalisme, bahasa yang menjadi jalan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
29
untuk bergulat dengan kekuasaan Jawa sendiri.66 Masalahnya, bahasa
Indonesia sendiri mungkin untuk mengalami kramanisasi dengan
struktur dan sistemnya membuat hirarki antar kelas. Dengan
kramanisasi, berarti telah terjadi perubahan bahasa revolusioner
menjadi bahasa reaksioner publik yang sopan lagi santun. Ketika
berbicara krama, mau tidak mau berbicara mengenai bagaimana hasrat
dan keliaran secara bersamaan dikendalikan. Kesopanan dan kesantunan
memungkinkan pemisahan dari yang natural, yang dalam dekonstruksi
disebut sebagai voice, dengan apa yang disebut bahasa. 67 Bahasa krama
sendiri adalah bahasa yang dipelajari dan direka-reka. Dengan demikian,
seorang yang berbicara krama musti melakukan penerjemahan dari
bahasa otentiknya, yakni ngoko (voice).
Proses penerjemahan inilah yang kemudian meninggalkan celah
menganga dalam bahasa Jawa. Kekosongan celah ini membutuhkan
pengisian untuk menghindari kesia-siaan (fills the void) dari sifat
memalukan, bahkan melawan otoritas, apabila seseorang salah dalam
berbahasa.68 Pengisian untuk menghindari kesalahan traumatik ketika
berbahasa dalam istilah Lacan disebut sebagai fantasi. 69 Alih-alih muncul
dari pengalaman masa lalu yang bersifat biologis, Lacan menyatakan
66 Benedict R.O’G. Anderson, Kuasa-Kata: Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia (Yogyakarta: MataBangsa, 2000), hal. 409-495. 67 James T. Siegel, Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City (New Jersey: Princeton University Press, 1986), hal. 4. 68 Ibid., hal.30. 69 Evans, 1996, Op.Cit., hal. 61.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
30
bahwa fantasi berkaitan dengan apa yang dimaui Liyan dari subjek. 70 Di
sini, dapat dicermati bahwa krama bersesuaian dengan fantasi, yakni
digunakan bukan karena sesuai dengan isi apa yang hendak dikatakan,
melainkan demi kesesuaian dengan sensibilitas pendengar sehingga
wicara menjadi pantas. 71
Krama sendiri bukan melulu linguistik, namun juga fantastik.
Penggunaan kata fantastik menunjukkan bahwa krama sebagai aturan
yang mengajarkan pada subjek untuk berhasrat tanpa mengabaikan
kehadiran struktur solid, institusi ‘material’ dan bukan sekadar wacana
atau representasi belaka. 72 Kata-kata sebagaimana terpampang dalam
spanduk, misalnya “Terima Kasih Kopassus. Yogyakarta Aman Preman
Minggat” atau “Sugeng Rawuh di Jogja. Anda Sopan Kami Hormat, Anda
Preman Kami Sikat.” musti dilengkapi dengan kondisi historis dan
materialnya; Dalam kondisi seperti apa? Siapa yang mengucapkannya?
Demi kepentingan apa?
Tidak hanya spanduk itu sendiri, bahasa ngoko yang digunakan
dalam contoh tersebut menunjukkan hauntology Derridean bahwa ada
70 Lacan memperkenalkan dua macam liyan. Pertama adalah liyan kecil (the little other/ngoko) yang berada dalam lingkup Imajiner. Kedua adalah Liyan besar (the Big Other/krama) yang berada dalam tatanan simbolik, yakni bahasa itu sendiri. Lihat juga dalam Slavoj Žižek, The Plague of Fantasies (London & New York: Verso, 1997), hal. 10. 71 Siegel, 1986, Op.Cit., hal. 31-32. Lihat juga dalam Yannis Stavrakakis, Lacan and the political (London & New York, 1999), hal. 51. Stavrakakis menuliskan bahwa “fantasy does not belong to the individual level; fantasy is a construction that attempts, first of all, to cover over the lack in the Other. As such it belongs initially to the social world; it is located on the objective side, the side of the Other, the lacking Other.” Juga dalam Žižek, 1997, Op.Cit., hal. 48-49 dan Evans, 1996, Op.Cit., hal. 101. 72 Terry Eagleton, “Marxism, Structuralism and Post-Structuralism”, dalam Against the Grain (London & New York: Verso, 1986), hal. 95.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
31
sesuatu yang menghantui, yang mana sesuatu yang harus ‘minggat’
daripada kena ‘sikat’ laiknya hantu yang ada namun tidak mengada, yang
tidak hadir maupun mangkir. 73 Kedua kata tersebut dalam bahasa Jawa
“tidak hanya memiliki rasa tipikal Jawa dengan kelugasan dan
kesegeraan lewat bentukan kata berdasarkan bunyi, tapi juga hampir
selalu merupakan kata-kata yang secara tidak langsung menyatakan
bahaya, bencana, dan kekerasan” yang dalam soal lain akan
memunculkan pertanyaan mengapa ke-jawa-an orang Yogyakarta tidak
kunjung risih mendengarnya. Dalam spanduk tersebut, kata ngoko
“minggat” (pergi sana!) dan “sikat” (dihabisi) sekaligus diikuti kehalusan
krama “sugeng rawuh”, “terima kasih”, “hormat” dan “sopan”. Unsur
penggunaan ngoko tersebut menunjukkan bahwa krama adalah yang
selama ini mengontrol seseorang, namun sekali peristiwa dengan mudah
akan dilanggar oleh ngoko. Dalam pembantaian Cebongan dan gerakan
pro-Kopassus yang mengikutinya, konsep fantasi dalam psikoanalisa ini
mampu menguraikan bagaimana peristiwa di Cebongan dihadap-
hadapkan dengan Keistimewaan Yogyakarta. Penguraian yang dimaksud
di sini adalah mengenai latar belakang sejarah Keistimewaan Yogyakarta
mendasari adanya dukungan terhadap Kopassus. Penjelasan latar
belakang historis tersebut akan mampu menjelaskan mengapa gerakan
kewargaan yang antagonis terhadap pembantaian Cebongan tidak marak
sebagaimana gerakan pro-Kopassus.
73 Simon Critchley, Ethics-Poitics-Subjectivity: Essays on Derrida, Levinas, & Contemporary French Thought (London & New York: Verso, 2009), hal. 161.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
32
Mengenai fantasi, Siegel mengatakan bahwa orang asing (landa
atau foreigners) dipahami oleh masyarakat Solo sebagai orang yang tidak
bisa berbicara bahasa Jawa atau Indonesia. Artinya, orang asing
termaksud tidak memenuhi syarat untuk menampilkan perilaku yang
wajar, mereka bersesuaian dengan objek penghinaan. Meskipun
demikian, mereka dipandang atraktif. Ketidakmampuan berbahasa ini
menciptakan sebuah pemahaman bahwa orang asing ini, sebagaimana
pencoleng, merupakan pengacau yang masuk ke dalam teritori di mana
konvensi Jawa berlaku.74 Mereka berada di luar percakapan. Cara orang
Solo berfantasi mengenai orang asing atau pencoleng ini berbeda dengan
bagaimana preman difantasikan dalam pembantaian Cebongan. Dalam
kasus pembantaian Cebongan, preman, yang bisa disematkan kepada
siapa saja, membuat jelas bahwa tidak jelas mengenai siapa yang
dianggap warga negara bangsa Indonesia yang kemudian mengacaukan
konvensi lokal ‘Jawa’ di Yogyakarta. Preman berada dalam percakapan,
namun memiliki cara bercakap sendiri yang mengancam kelangsungan
konvensi lokal.
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menyoroti kasus pembantaian Cebongan. Dalam
Kajian Budaya, peneliti tidak bisa lepas dari konteks historis, sosial,
politik, dan lingkup teori. Dengan latar belakang ini, maka cara peneliti
74 Siegel, 1986, Op,Cit., hal. 120-121.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
33
berbahasa tidak mungkin akan netral. Kondisi ini berimplikasi pada
ketidakmungkinan dicapainya kebenaran dalam penelitian. Menjawab
permasalahan termaksud, maka penelitian ini menggunakan kombinasi
metodologi. Metodologi pertama adalah pendekatan hermeneutik
dengan validitas dialogisnya yang memungkinkan untuk menyajikan
pengalaman hidup subjek dengan sudut pandang subjek sendiri.75
Namun, bukan berarti penyajian sudut pandang subjek ini dilakukan
tanpa kritis. Dengan berjayanya wacana pahlawan kontra preman, maka
pendekatan hermeneutik ini musti dilakukan secara kritis, bahkan
de(kon)struktif, sebab wacana dengan pola dan penggunaan bahasa oleh
subjek membentuk pemahaman mengenai lingkungan sosio-kultural.
Lantas, pendekatan metodologis kedua dilakukan lewat kritik
de(kon)struktif – yang digagas Jacques Derrida – dengan
mempertanyakan oposisi biner dalam pengkonstruksian pahlawan
kontra preman.76 Kritik de(kon)struktif ini mengambil peran besar sebab
penelitian ini secara khusus menyoroti wacana biner berupa pahlawan
kontra preman. Namun kritik de(kon)struktif akan menjadi tidak
berguna ketika menafikan konteks sosio-politis yang membentuk oposisi
biner yang perlu dide(kon)struksikan. Tanpa adanya perhatian terhadap
konteks sosial, historis, dan budaya, tidak akan mungkin diidentifikasi
bentuk-bentuk realisme yang menggambarkan bagaimana masyarakat
75 Paula Saukko, Doing Research in Cultural Studies (London: Sage Publications, 2003), hal. 19-20. 76 Ibid., hal. 20-21.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
34
dan strukturnya berlangsung.77 Melihat hal termaksud, maka penting
untuk menempatkan validitas kontekstual dalam penelitian ini.78 Dengan
hadirnya dan penempatan penelitian dalam konteks, maka historisitas
tidak mungkin untuk dilepaskan dalam penelitian ini.79 Pengambilan
data penelitian ini dilakukan dengan dua cara, yakni lewat surat kabar
dan wawancara.
a. Surat Kabar
Penelitian dilakukan dengan melacak pemberitaan dari dua
koran cetak lokal; Kedaulatan Rakyat (KR) dan Tribun News (Tribun).
Pada tahun 2013, oplah koran lokal terbesar di DIY masih dipegang
KR yang berdiri pada 1945 dengan jumlah 109.221 eksemplar tiap
harinya. Sementara itu, beberapa agen koran menyebutkan bahwa
koran lokal kedua yang laku adalah Tribun Jogja yang terbit pada
tahun 2011 di bawah grup Kompas Gramedia. Oplah yang besar ini
menunjukkan bahwa koran cetak ini mampu memenuhi selera
pembaca sehingga dengan “mengkaji dan memahami isinya kira-kira
akan dapat juga mengungkapkan sedikit gambaran mengenai
pembacanya.”80
77 Ibid., hal. 33-34. 78 Ibid., hal. 21-23. 79 Dalam kategori Saukko dimasukkan pada paradigma dialogis yang bisa diperlihatkan dalam cerita hidup. Saukko menuliskan “a life-story is: (1) an expression of lived reality, to be understood dialogically; (2) shot through with social discourses that can be unravelled through deconstruction; and (3) articulates wide local, national and transnational politics, to be analyzed contextually.” Ibid., hal. 33. 80 Budi Susanto, SJ., Peristiwa Yogya 1992: Siasat Politik Massa Rakyat Kota (Yogyakarta: Lembaga Studi Realino & Kanisius, 1993), hal. 79.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
35
Pemberitaan merentang dari tanggal 24 Maret 2013 hingga
September 2013. Penelitian ini menekankan pada pembentukan
wacana pahlawan kontra preman yang terjadi sebelum pengadilan
perdana tanggal 20 Juni 2013. Setelah pengadilan berlangsung, data
dukungan mengalami perulangan serupa. Data dari kedua koran
cetak dipilah dengan mengutamakan data dari informan pemberitaan.
Pemberitaan di Kedaulatan Rakyat diambil sebanyak 20 berita,
sementara itu ada sebanyak 12 berita dari Tribun. Beberapa data dari
media lain juga diambil dengan alasan melengkapi informasi. Setiap
informan yang memberikan komentar dalam koran ditempatkan
dalam ranah simbolik, setidaknya ia merepresentasikan golongan
dengan politik bahasanya masing-masing. Misalnya saja Jendral
(Purn) A.M. Hendropriyono tidak bisa sekadar dibaca sebagai dirinya
sendiri, melainkan sebagai representasi sebuah sistem, misalnya
militer. Meskipun demikian, sebagai sebuah sumber sekunder,
verifikasi ke sumber berita tidak akan dilakukan. Meskipun dalam
penelitian ini diandaikan bahwa media-media yang dijadikan sumber
menganut prinsip tanggung jawab sosial dan tidak ada keluhan dalam
surat pembaca mengenai pemberitaan, namun pengambilan sumber
sekunder tanpa verifikasi ini menjadi kelemahan yang patut dijadikan
perhatian dalam penelitian selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
36
b. Wawancara
Dengan pertimbangan bahwa dokumen-dokumen penting
dalam kasus ini masih dirahasiakan dalam kurun waktu 50 tahun,
maka wawancara dibatasi terhadap pihak-pihak yang turut terlibat
dalam rangkaian kasus pembantaian Cebongan seperti elemen
masyarakat, saksi, dan warga pada umumnya. Di samping itu, karena
berfokus pada wacana penyingkiran lewat dukungan terhadap pelaku,
maka penelitian ini tidak mewawancarai pelaku, institusi Kopassus,
saksi pembantaian, atau hakim.
Secara khusus wawancara semi-terstruktur diarahkan ke
elemen masyarakat, sebab diasumsikan bahwa elemen masyarakat
ini berperan besar dalam pembentukan wacana pahlawan kontra
preman. Dari elemen masyarakat tersebut diwawancarai sebanyak
lima orang, yakni dua orang mewakili Sekber Keistimewaan, satu
orang mewakili Paksi Katon, satu orang mewakili Sunda Wiwitan dan
satu orang mewakili Laskar Srikandhi Mataram.81 Kelima orang
tersebut menjadi penggerak kunci baik dalam gerakan Keistimewaan
2011 maupun dalam dukungan terhadap pembantaian Cebongan,
berbeda dengan ormas lain seperti FKPPI atau PP yang dengan
mudah ditebak akan turut serta dalam dukungan terhadap
pembantaian Cebongan.
81 Pedoman wawancara yang digunakan untuk informan kunci disertakan di bagian lampiran.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
37
Lewat wawancara semi-terstruktur, interviewer dimungkinkan
untuk mengendalikan atmosfer serta alur dari wawancara lewat
pertanyaan sehingga data didapat secara lebih terstruktur.
Wawancara dilakukan hingga diperoleh data yang mencukupi untuk
menggambarkan bagaimana penyingkiran terhadap pahlawan terjadi
dan politik bahasa seperti apa yang mendasari penyingkiran. Data
wawancara kemudian diolah lewat proses pembuatan kode
berdasarkan aspek penyingkiran dan fantasi. Selain itu, wawancara
terhadap narasumber, yakni masyarakat awam Yogyakarta dan orang
dari NTT dan Papua, yang menyaksikan dan mengalami bagaimana
Yogyakarta berubah pasca pembantaian Cebongan.
H. Sistematika Penulisan
Tesis ini dibagi ke dalam lima bab. Bab pertama berisi latar
belakang bagaimana secara berulang Yogyakarta menjadi tempat yang
berdarah-darah sehingga pembahasan mengenai pembantaian Cebongan
menjadi penting untuk diteliti. Bab dua membicarakan konteks sosio-
kultural Yogyakarta dan secara khusus mengenai sejarah preman di kota
itu. Bab tiga berisi mengenai wacana yang terbentuk serta bagaimana
penyingkiran (otherness) terjadi lewat koran cetak, spanduk, dan aksi
massa elemen pendukung pelaku pembantaian. Bagian keempat akan
mengeksplorasi fantasi yang terbentuk dalam masyarakat dan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
38
implikasinya dalam praktek hidup sehari-hari masyarakat Yogyakarta.
Terakhir, bagian lima akan berisi kesimpulan dari penelitian ini.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II
YOGYAKARTA SETELAH REFORMASI:
KRIMINALITAS DAN PREMANISME
Bagian ini menguraikan sejarah perkembangan Yogyakarta, terkhusus pada pasca-reformasi 1998. Pemilihan ini berdasarkan pada pembagian kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah dengan dikeluarkannya Undang Undang Otonomi Daerah Nomor 22 Tahun 1999 sebagai dampak dari tumbangnya kekuasaan Orde Baru menuju masyarakat yang lebih demokratis dan mengalami polarisasi. 82 Polarisasi ini menunjukkan bahwa kontrol pusat terhadap daerah semakin melemah.
Menurut Henk Schulte Nordholt, kontrol negara yang semakin melemah ini tidak melulu berarti tumbuhnya demokrasi dalam tingkat lokal. Bahkan sebaliknya, desentralisasi diikuti dengan kekuasaan otoriter yang berjalin dengan masyarakat dan pasar dalam struktur patrimonial. 83
Kemudian pada bagian selanjutnya dibahas mengenai bagaimana preman dan kategori kriminalitas hidup di Yogyakarta. Uraian mengenai latar belakang sosial-ekonomi-politik, menunjukkan bagaimana isu keamanan Yogyakarta menjadi penting baik untuk elite maupun masyarakat awam Yogyakarta terkait dengan pembantaian Cebongan.
82 Edward Aspinall, “A Nation in Fragments”, dalam Critical Asian Studies, Volume 45 (1), 2013, hal. 27-54. Lihat juga dalam Henk Schulte Nordholt, “Renegotiating Boundaries: Access, Agency, and Identity in Post-Soeharto Indonesia”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 159, No. 4 (2003), hal. 550-589. 83 Nordholt, 2003, Op.Cit., hal. 551-560.
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
40
A. Yogyakarta Pasca Reformasi
Perhatian mengenai isu lokal mulai menguat semenjak reformasi.
Pembangunan nasional yang digagas ketika Orde Baru berkuasa terbukti
tidak merata ke daerah-daerah. Ketidakmerataan ini menunjukkan
adanya kegagalan otoritas untuk membangun daerah-daerah terpencil.
Tuntutan perubahan arah pembangunan terjadi dari Jakarta yang adalah
pusat menuju pada desentralisasi lewat kebijakan otonomi daerah.
Munculnya istilah politik lokal menunjukkan bahwa desentralisasi ini
merengkuh hingga politik kekuasaan. Dengan demikian desentralisasi
kekuasaan mempengaruhi dinamika perekonomian, kebudayaan, serta
perubahan sosial dalam konteks lokal. Uraian berikut akan
mendeskripsikan mengenai demografi dan kepadatan sosial; dinamika
perekonomian; politik lokal dan kompleksitas proses budaya yang
berlangsung oleh semakin heterogennya penduduk di Yogyakarta.
Demografi dan Kepadatan Sosial
Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah
3.185,81 km2 ini memiliki penduduk sebesar 3.595.256 jiwa (Semester II
tahun 2015). Kepadatan penduduk terutama terpusat di kota dengan
12.579,17 jiwa/km2.84 Dalam tingkat nasional, DIY menjadi provinsi
paling padat se-Indonesia setelah DKI Jakarta dan Jawa Barat. Kepadatan
84 Lihat dalam Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Data Kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta Semester II Tahun 2015 (BPS DIY: Yogyakarta, 2015).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
41
dalam tingkat provinsi pada tahun 2010 meningkat tajam dibandingkan
tahun 2000 yang hanya 979 jiwa/km2 menjadi 1.085 jiwa/km2 yang
artinya meningkat sebanyak 106 jiwa/km2.
Kepadatan ini juga disertai dengan jumlah pendatang yang
semakin meningkat. Dalam rentang sepuluh tahun, yakni 2000-2010, ada
peningkatan laju pertumbuhan penduduk sebesar 1,04 persen per tahun.
Jumlah ini berkaitan dengan kecenderungan menurun dari angka
kematian, meningkatnya usia harapan hidup, dan semakin bertambahnya
migrasi masuk ke DIY untuk bersekolah maupun bekerja. Tercatat bahwa
angka migrasi neto85 di DIY pada tahun 2000 adalah 129.530, tahun 2005
sebanyak 87.741, tahun 2010 sebanyak 103.492, dan tahun 2015
sebanyak 84.915. Meskipun migrasi neto terjadi secara fluktuatif, namun
tren jumlah migrasi masuk di DIY selalu lebih tinggi daripada jumlah
migrasi keluar sejak tahun 1980 hingga tahun 2015.86
Para migran tersebut juga berasal dari berbagai latar belakang
kesukuan yang beragam. Apabila diperbandingkan antara data Sensus
Penduduk 2000 dan Sensus Penduduk 2010, maka jumlah masing-
masing penduduk berdasarkan kategori suku bangsa semakin meningkat.
Sementara itu ada dua kelompok suku bangsa yang kemudian masuk
dalam kategori 10 besar di DIY, yakni NTT dan Dayak. Meskipun
demikian, kategori penduduk berdasarkan suku bangsa ini rapuh dan
85 Migrasi netto merupakan selisih antara migrasi masuk dengan migrasi keluar. 86 Lihat dalam https://www.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/1273, diunduh pada 3 Agustus 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
42
rawan untuk dimanfaatkan untuk menciptakan segregasi dalam
masyarakat. Selain itu, identitas kesukuan ini hanya satu dari sekian
banyak identitas lain yang menempel pada tiap-tiap orang, misalnya
orang ‘Jawa’ tidak benar-benar merasa sebagai orang Jawa seutuhnya.
Tabel 2.1. Komposisi Penduduk DIY berdasarkan Suku Bangsa
Sensus Penduduk Sensus Penduduk No Suku Bangsa Suku Bangsa 2000 2010 1 Jawa 3.020.157 Jawa 3.331.355 2 Sunda 17.539 Sunda 23.752 3 Melayu 10.706 Melayu 15.430 4 Tionghoa 9.942 Tionghoa 11.545 5 Batak 7.890 Batak 9.858 6 Minangkabau 3.504 Madura 5.289 7 Bali 3.076 Minangkabau 5.152 8 Madura 2.739 NTT 4.238 9 Banjar 2.639 Dayak 3.790 10 Lain-lain 36.769 Lain-lain 40.597 Sumber: Sensus Penduduk Tahun 2000, Sensus Penduduk Tahun 2010
Kecenderungan meningkatnya jumlah pendatang di DIY ini juga
tampak dari kalangan mahasiswa. Misalnya saja tahun 2013 ada sekitar
310.860 mahasiswa dari seluruh Indonesia dengan sebanyak 78,7 persen
berasal dari luar DIY.87 Jumlah ini berarti menunjukkan ada sebanyak
244.739 mahasiswa yang masuk ke DIY, yang terpusat di Kota
Yogyakarta dan Kabupaten Sleman. Dengan jumlah mahasiswa rantau
yang sedemikian besar, isu mengenai pendatang di Yogyakarta tidak
jarang menjadi tema perbincangan masyarakat.
87 Lihat dalam tulisan Editor, “Pertahankan ‘Indonesia’ Mini di Yogyakarta”, diunduh dari http://nasional.kompas.com/read/2013/04/08/03164776/Pertahankan.Indonesia.Mini.di. Yogyakarta pada 22 Juli 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
43
Tabel 2.2. Jumlah Mahasiswa di DIY, 2009-2014
No Tahun PTN PTS Jumlah 1 2009 74.704 172.086 246.790 2 2010 78.992 154.222 233.214 3 2011 76.785 135.501 212.286 4 2012 84.790 57.402 142.192 5 2013 110.437 74.165 184.602 6 2014 106.973 77.355 184.328 Sumber: DIY dalam Angka 2010, DIY dalam Angka 2011, DIY dalam Angka 2012, DIY dalam Angka 2013, DIY dalam Angka 2014, DIY dalam Angka 2015.88
Padahal, pertemuan dari yang dianggap orang Yogyakarta dan
pendatang dari sesama anggota bangsa sudah terjadi sejak berabad-abad
lalu, misalnya dengan orang Tionghoa di Ketandan atau orang Bugis di
Bugisan, pada abad ke-17. Namun sebagai sebuah tempat berkumpulnya
para cendekiawan, Yogyakarta berpengaruh besar pada tahun 192089,
ketika mereka menuntut ilmu di perguruan Taman Siswa. Berkumpulnya
siswa-siswi ini menandai Yogyakarta sebagai tempat pertemuan dari
berbagai kebudayaan. Meskipun tidak lalu menjadi pusat pendidikan,
namun berdirinya Taman Siswa tersebut diingat warga negara-bangsa
Indonesia sebagai ‘kota pelajar’.
Pada masa kini, munculnya kelompok-kelompok mahasiswa
(bahkan asrama) berdasarkan identitas etnis menandai perantau yang
88 Apabila diperhatikan, jumlah pada tahun 2012 tampak ganjil dengan adanya penurunan yang besar. Padahal dilaporkan pada tahun 2012 terdapat 107 pts, sementara tahun 2013 terdapat 112 pts. 89 Kenji Tsuchiya, “The Taman Siswa Movement – Its Early Eight Years and Javanese Background”, dalam Journal of Southeast Asian Studies Vol. 6, No. 2, (Sep., 1975), hal. 164- 177.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
44
menempuh sekolah di Yogyakarta. Selain kelompok mahasiswa, mulai
tahun 2014 ditemukan beberapa indekos yang menolak mahasiswa asal
NTB, NTT, Ambon, dan Papua. Penolakan ini bahkan berlanjut dengan
dipasangnya papan bertuliskan “khusus Muslim” di beberapa indekos.
Kepadatan dan jumlah penduduk/warga yang semakin meningkat
diikuti dengan pembangunan pemukiman yang dengan luas halaman
yang tidak mencukupi untuk menjadi ruang bermain anak. Hal ini
tampak misalnya di kampung perkotaan atau masyarakat urban seperti
Babarsari. Sempitnya halaman ini menandai dibutuhkannya ruang
terbuka yang menyegarkan. Dengan demikian, dibutuhkan ruang publik
yang memadai dan rekreatif seperti daerah bawah jembatan layang
Lempuyangan atau nol kilometer. Minimnya ruang publik juga ditandai
dengan masalah-masalah seperti penggunaan alun-alun untuk
berpacaran atau penggunaan trotoar untuk membuka lapak dagang.
Kondisi ini mempengaruhi bagaimana masyarakat Yogyakarta
mempersepsikan kesesakan ruangnya lewat kepadatan yang terus
meningkat.
Sementara itu, berkaitan dengan kendaraan bermotor dan
kemacetan yang mulai dikeluhkan, tercatat bahwa pada tahun 2011
penggunaan kendaraan bermotor di DIY sebanyak 1.210.358, dengan
pertambahan 89.451 pada tahun sebelumnya. Pada tahun 2012
mengalami peningkatan sejumlah 60.429 kendaraan menjadi sebanyak
1.270.787. Tahun berikutnya, 2013, peningkatan sangat signifikan terjadi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
45
dengan bertambahnya sebanyak 126.180 kendaraan sehingga total
kendaraan di DIY menjadi 1.396.967 kendaraan bermotor. 90
Dengan peningkatan jumlah penduduk dan konsumsi kendaraan
tersebut, tidak heran apabila kemacetan dirasakan sebagai dampak
ruang yang semakin padat. Meningkatnya konsumsi akan kendaraan
menjadi masalah sehari-hari yang dihadapi masyarakat Yogyakarta.
Jumlah kendaraan ini juga memaksa bertambahnya lahan parkir yang
berarti juga menambah jumlah petugas parkir. Kondisi demikian
menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang oleh orang asal Yogyakarta
sendiri dirasa mulai sumpek (kesesakan meningkat). Ke-sumpek-an ini
nantinya akan memiliki hubungan yang dekat dengan bagaimana sebuah
frustrasi dikonstruksi yang salah satunya adalah isu mengenai pendatang
di Yogyakarta.
Dinamika Perekonomian
Salah satu daerah yang menjadi pusat perekonomian di
Yogyakarta adalah Malioboro, yang seringkali menjadi jalan protokol
untuk tamu kenegaraan atau acara kebudayaan. Daerah yang oleh Peter
Carey punya asal-usul dari kata Malyabhara ini menjadi sentra
pariwisata di Yogyakarta.91 Menjadi sentra pariwisata berarti membuka
90 Lihat dalam Pito Agustin Rudiana, “Mobil Murah Biang Kemacetan Yogyakarta” diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2014/08/19/058600783/mobil-murah- biang- kemacetan-yogyakarta pada 24 Oktober 2016. 91 Peter Carey, Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro (Depok: Komunitas Bambu, 2015). Dalam Statistik Pariwisata 2014, ditunjukkan bahwa kecenderungan jumlah wisatawan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
46
peluang untuk dibukanya sektor usaha lain, misalnya yang menjadi
perhatian publik seperti karaoke, panti pijat, salon ++, dan tempat
hiburan malam. Ketiganya menjadi usaha sektor hiburan yang erat
kaitannya dengan pihak aparat sebab secara hukum sah namun
seringkali terjadi tindak kriminalitas, dan dengan demikian juga muncul
kebutuhan pada sektor keamanan. Tempat hiburan malam di Yogyakarta
berpusat di sekitar Malioboro (ada Pasar Kembang dan Republic Positiva
Cafe & Lounge), jalan Magelang dengan dua diskotiknya yang terkenal
(Boshe VVIP Club dan Liquid Cafe), Hugo’s Cafe di jalan Solo yang
kemudian dicabut ijinnya karena kasus Cebongan, di Ambarukmo Plaza
ada Caesar Café and Lounge (ditutup), dan di Seturan ada Terrace Café
and Karaoke.
Selain hiburan dunia malam, bermunculan obyek wisata baru
yang biasanya dikembangkan oleh masyarakat lokal seperti Air Terjun
Srigethuk dan Goa Pindul di Kabupaten Gunung Kidul. Pembukaan lahan
ini tak jarang menimbulkan masalah berkaitan dengan pengelolaan dan
pemanfaatan lahan. Di Goa Pindul misalnya, sempat terjadi sengketa
pengelolaan tempat wisata (2013) dan polemik penggunaan Sultan
Ground untuk membuka lapak dagang (2016). Menurut pihak yang
melarang penggunaan lahan, di area Sultan Ground tidak diperkenankan
mendirikan bangunan. Padahal, penggunaan Sultan Ground sebagai pusat
mancanegara dan nusantara cenderung meningkat secara berturut-turut pada tahun 2010 sebanyak 1.456.980, tahun 2011 sebanyak 1.607.694, tahun 2012 sebanyak 2.360.173, tahun 2013 sebanyak 2.837.967, dan tahun 2014 sebanyak 3.346.180.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
47
perbelanjaan sudah menjadi rahasia umum bahkan disetujui oleh Sultan
sendiri.
Sementara itu, sektor industri rumahan terus berkembang
sebagai dampak dari perkembangan tempat wisata. Pabrik industri juga
makin menjamur dengan berbagai isu-isu miring yang menyertai,
misalnya dengan tambang pasir besi Kulon Progo atau pabrik gawai
Foxconn. Pabrik-pabrik ini menyerap tenaga kerja buruh dan biasanya
terletak di pinggiran kota, misalnya di Cangkringan, Piyungan, Berbah,
atau Godean. Di samping industri, beberapa bisnis besar di Yogyakarta
dimiliki oleh orang kaya dari Jakarta seperti Hartono Mall, Carrefour,
Hotel Tentrem, Hotel Sheraton, Hotel Hyatt, dan Bank BCA.92 Selain itu,
bisnis besar seperti Jogja Bay Waterpark, Ambarukmo Plaza dan Jogja
City Mall93, yang menggunakan Sultan Ground menjadi bagian dari bisnis
milik kraton.94 Selain tempat hiburan malam, jenis usaha urban tersebut
juga menarik pembukaan lahan parkir yang acapkali menjadi perebutan
wilayah kekuasaan antar preman.
Di samping industri dan jasa tersebut di atas, pertanian juga
masih menjadi pilihan untuk mencukupi kebutuhan finansial, meskipun
92 Subagya, 2015, Op.Cit., hal. 46. 93 Pusat perbelanjaan seluas 2,8 ha ini adalah milik PT Garuda Mitra Sejati dengan komisarisnya adalah KGPH Hadiwinoto, adik kandung HB X. Lihat dalam http://www.krjogja.com/web/news/read/215441/jadi_kebanggaan_baru_masyarakat_yog ya diunduh pada 2 Juni 2016. 94 Bisnis milik keluarga kraton ini pernah didata oleh Kus Sri Antoro. Lihat dalam http://www.aktual.com/10-kerajaan-bisnis-keraton-yogyakarta/ diunduh pada 22 Juli 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
48
lahan pertanian terus menyusut. 95 Sektor pertanian dikembangkan
misalnya di Ngireng-ireng (Bantul), Bleberan (Wonosari), atau Samigaluh
(Kulon Progo) yang cenderung berada menjauhi pusat perkotaan. Di DIY
sendiri, Bappeda melaporkan bahwa pada tahun 2013 luas lahan sawah
di DIY sebesar 55.829 ha. Diprediksikan kemudian pada tahun 2020
berkurang sebanyak 1.621 ha. 96 Penyusutan ini menggambarkan
bagaimana Yogyakarta tengah beranjak menjadi daerah yang semakin
padat pemukiman penduduknya.
Meskipun usaha-usaha kecil maupun bisnis terus berkembang,
namun tercatat bahwa jumlah pengangguran di DIY cenderung
mengalami kenaikan. Pada tahun 2014, sebanyak 67.000 orang adalah
pengangguran. Pada tahun 2015 jumlah tersebut mengalami
peningkatan menjadi 80.000 orang.97 Peningkatan jumlah pengangguran
ini dibarengi dengan peningkatan jumlah penduduk dan penurunan
persentase jumlah kemiskinan di DIY. Jumlah pengangguran makin tinggi
seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Misalnya pada bulan
September 2013, Maret 2014, September 2014, dan Maret 2015 secara
berturut-turut jumlah pengangguran naik, yaitu 541.950 orang, 544.870
orang, 532.590 orang, dan 550.230 orang. Isu peningkatan jumlah
95 Penyusutan ini merupakan implikasi dari meningkatnya jumlah penduduk di Yogyakarta dan berubahnya lahan pertanian menjadi bangunan, baik permukiman maupun usaha. 96 Lihat dalam “Setiap Tahun Yogya Kehilangan 245 Hektare Sawah”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2014/01/20/setiap-tahun-yogya-kehilangan-245-hektare- sawah pada 24 Oktober 2016. 97 Lihat misalnya dalam Tribunnews, “Jumlah Pengangguran DIY Capai 80.245 Orang”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2016/07/20/jumlah-pengangguran-diy-capai- 80245-orang pada 24 Oktober 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
49
pengangguran ini memungkinkan untuk dibukanya usaha dalam sektor
jasa terkait dengan pembangunan Yogyakarta sebagai tujuan wisata.
Dibukanya berbagai jenis usaha termaksud sejalan dengan
pertumbuhan pendidikan di DIY yang jumlah mahasiswanya mencapai
porsi 10% dari total jumlah penduduk. Pada tahun 2014 tercatat ada 10
perguruan tinggi negeri dengan jumlah 106.973 mahasiswa dan 106
perguruan tinggi swasta dengan jumlah 77.355 mahasiswa.98 Dengan
jumlah mahasiswa yang besar, maka potensi perekonomian, tidak hanya
dari pendidikan namun, jumlah mahasiswa yang besar ini mendatangkan
keuntungan dalam sektor pariwisata. 99 Isu berupa pendidikan dan
pariwisata yang diikuti dengan pertukaran budaya di Yogyakarta juga
meningkat semenjak reformasi dan ditanggapi dengan respon berupa
pengadaan kos, homestay, atau guest house serta pembangunan hotel
yang menjadi perhatian publik sejak 2013 hingga saat ini.
Dana keistimewaan (danais) tiap tahunnya digunakan untuk
mengelola (1) Urusan Tata Cara Pengisian Jabatan, Kedudukan, (2) Tugas
dan Wewenang Gubernur dan Wakil Gubernur, (3) Urusan Kelembagaan,
(4) Urusan Kebudayaan Urusan Pertanahan, dan (5) Urusan Tata Ruang.
Pada tahun 2013, DIY menerima danais sebesar Rp 231,39 miliar. Jumlah
98 Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik, Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2014 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2015), hal. 107. 99 Seorang penulis dari Yogyakarta, Tri Agus S. Siswowiharjo, mengatakan bahwa wisatawan sejati di Yogyakarta adalah mahasiswa, karenanya, tidak mungkin dibayangkan Yogyakarta tanpa mahasiswa. Lihat dalam Tri Agus S. Siwowiharjo, “Saya Tak Bisa Membayangkan Jogja Tanpa Mahasiswa”, diunduh dari http://www.indeksberita.com/tak-membayangkan-jogja-tanpa-mahasiswa/ pada 30 Juli 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
50
ini meningkat pada tahun 2014 sampai Rp 523,8 miliar. 100 Pada tahun
2015, diajukan danais sebesar Rp 1,02 trilyun, namun pemerintah pusat
memangkasnya hingga menjadi Rp 547,5 miliar dengan alasan anggaran
terlalu besar dan tidak sebagaimana tahun sebelumnya. Tidak heran
kemudian pada tahun 2016, masih dalam jumlah sebagaimana tahun
sebelumnya.101 Sedangkan pada tahun 2017, Pemda DIY mengusulkan
danais sebanyak Rp 1,537 trilyun102, yang berarti hampir tiga kali lipat
dibandingkan tahun-tahun sebelumnya dan hampir setengah dari APBD
DIY yang berkisar antara Rp 3-4 trilyun. Dana ini seringkali digunakan
untuk menyelenggarakan pertunjukan budaya tradisi, menyokong acara
kesenian tahunan seperti Festival Kesenian Yogyakarta (FKY), memberi
gaji abdi dalem, revitalisasi cagar budaya, sampai pencatatan Sultan
Ground dan Paku Alam Ground (SG/PAG).103
Politik Lokal
Kedudukan Sultan sebagai penguasa daerah sangat kuat di mata
masyarakat. Pada tahun 1998, reformasi yang dibarengi kerusuhan sosial
100 Lihat dalam “DIY Dapat Kucuran Danais Rp 523 Miliar pada 2014”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2013/12/20/diy-dapat-kucuran-danais-rp-523-miliar-pada- 2014 pada 24 Oktober 2016. 101 Lihat dalam “Tahun Depan, Alokasi Danais DIY Sebesar Rp 547 Miliar”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2015/07/15/tahun-depan-alokasi-danais-diy-sebesar-rp-547- miliar pada 24 Oktober 2016. 102 Lihat dalam “Danais DIY Tahun Ini Capai Angka Rp 1 Triliun”, diunduh dari http://jogja.tribunnews.com/2016/03/22/danais-diy-tahun-ini-capai-angka-rp-1-triliun pada 24 Oktober 2016. Menurut para pegiat keistimewaan, dana yang disetujui dan digelontorkan sebesar Rp 900 miliar. 103 Bagian ini telah saya tuliskan juga di dalam A. Harimurti, “Masa Lalu Sukses(i) untuk Dinasti Keistimewaan Masa Kini”, dalam Y. Apriastuti Rahayu, A. Windarto, & A. Harimurti, Sukses(i) Penguasa: Menyadur Kuasa Sastra Wayang Prasthanikaparwa (Sanata Dharma University Press & Lembaga Studi Realino, 2016), hal. 107-108.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
51
cenderung terjadi dalam skala yang lebih kecil dibanding kota besar
lainnya seperti Jakarta, Solo, Bandung, atau Surabaya. Gerakan
kerakyatan yang oleh media kemudian disebut Pisowanan Ageng
dianggap sebagai bukti bahwa otoritas Sultan masih kuat.
Pada tahun 2011, gerakan yang menuntut status keistimewaan
Yogyakarta diorganisir oleh Sekber Keistimewaan dan menegaskan
ketidaksetujuannya terhadap Presiden SBY yang dinilai mengusik
paugeran dalam keistimewaan Yogyakarta. Gerakan Keistimewaan ini
berakhir dengan dibuatnya UU 13/2012 tentang Keistimewaan yang
secara garis besar menegaskan bahwa Yogyakarta merupakan Daerah
Istimewa. Undang-undang yang menegaskan kekuasaan penuh Sultan
dan Paku Alam sebagai pemimpin tertinggi DIY menandai bahwa politik
dinasti menjadi basis politik kekuasaan diselenggarakan.
Namun, status keistimewaan yang disematkan DIY bukannya
tanpa konflik. Konflik ini terjadi dalam tubuh Pakualaman maupun
Kraton terkait dengan suksesi kepemimpinan yang memiliki hubungan
dengan jabatan gubernur dan wakil gubernur DIY. Di Pakualaman,
suksesi terus menjadi konflik yang tidak kunjung mereda sejak 1999.
Sementara itu, masalah suksesi muncul di pihak Kasultanan karena
keturunan HB X tidak satupun laki-laki. Padahal, dalam sejarah raja di
Yogyakarta, semua sultan adalah laki-laki. Meskipun demikian, polemik
suksesi Kraton telah terjadi semenjak tahun 1989 di mana Herjuno
Darpito diangkat menjadi KGPH Mangkubumi, untuk kemudian pada
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
52
tahun 1998 menjadi HB X. Lewat rapat keluarga, KGPH Mangkubumi
dipilih menjadi pengganti HB IX, meskipun bukan putra dari permaisuri
HB IX.
Pada tanggal 30 April 2015 lalu, HB X mengeluarkan Sabda Raja
yang menggantikan nama “Buwono” dengan “Bawana”, menghilangkan
gelar “Khalifatullah”, penyebutan “kaping sedasa” menjadi “kaping
sepuluh”, berakhirnya perjanjian Ki Ageng Giring dengan Ki Ageng
Pemanahan, dan menyempurnakan keris Kyai Ageng Gopek dengan Kyai
Ageng Joko Piturun. Wacana paling santer kemudian pada penghilangan
gelar “Khalifatullah” yang membuka kemungkinan untuk kelima putri
Sultan, terkhusus GKR Pembayun, untuk menggantikan kedudukan
ayahnya kelak.
Dari peristiwa Sabda Raja termaksud, pada bulan Juli muncul
gerakan yang mengukuhkan Prabukusumo, adik dari HB X, sebagai calon
HB XI. Selain itu, pada September 2015 muncul gerakan-gerakan yang
menyebarkan spanduk maupun stiker “Tolak Sabda Raja” yang dilakukan
oleh kelompok yang menamai diri Laskar Mangkusegoro dan Pejuang
Khalifatullah. Spanduk dan stiker tersebut, diperhatikan atau tidak,
muncul di tempat-tempat dari yang cukup ramai hingga relatif sepi,
misalnya di perempatan pertigaan Demangan, Jalan Kaliurang, Tugu Jogja,
daerah Kauman, sampai di sekitaran stadion Maguwoharjo. Keberadaan
spanduk dengan warna tulisan hijau tersebut disusul dengan spanduk
dengan tulisan berwarna merah yang di beberapa menggantikan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
53
spanduk sebelumnya. Spanduk yang mengatasnamakan Forum Peduli
Keistimewaan dan Forum Perempuan Istimewa ini menyampaikan
secara berturut-turut “Paugeran Harga Mati!” dan “Tolak Amandemen
UUK”. Sementara itu, muncul juga kelompok yang menyebarkan poster
bertuliskan “Saatnya Raja Jogja Perempuan, Kenapa Tidak?” dengan
gambar GKR Pembayun yang disebar oleh kelompok bernama Superpan.
Gerakan yang mengaku sebagai gerakan politik tanpa partai ini
menyertakan nomor kontak meskipun tidak memberi respon ketika coba
dikontak. Meskipun spanduk dan stiker tersebut tidak diikuti aksi
tindakan kekerasan, namun keduanya turut menciptakan wacana
mengenai bagaimana pemerintahan di Yogyakarta diselenggarakan dan
bagaimana paugeran menjadi perbincangan tersendiri bagi beberapa
kelompok. Kondisi ini tentu saja akan berbeda dengan daerah lain di
Indonesia yang penyelenggaraan pemerintahannya berdasarkan pada
partai politik.
Penegasan keistimewaan DIY yang dibarengi pertumbuhan
perekonomian dan padat-sesaknya ruang-ruang di Yogyakarta
memunculkan isu baru mengenai agraria dan lingkungan, terutama
dengan ditinjaunya kembali SG/PAG. Pada tahun 2006, muncul isu
mengenai penambangan pasir besi sepanjang 22 kilometer di Kecamatan
Temon, Wates, Panjatan, dan Galur Kabupaten Kulon Progo. 104
104 Warga Kulon Progo lainnya, yang berada di Glagah, mengakami konflik dengan aparat dan PT. Angkasa Pura I sebagai dampak rencana pembangunan bandara mulai 2011. Baik polisi maupun TNI diisukan terlibat dalam peneroran warga.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
54
Penambangan ini ditolak oleh warga yang sebagian besar telah
mendapatkan untung lewat pengolahan lahan di sebelah Selatan jalan
Daendels. Pada tanggal 1 April 2006, di-sesepuh-i Raden Mas Adjie
Kusumo yang adalah adik HB X, dibentuk Paguyuban Petani Lahan Pantai
Kulon Progo (PPLP KP) beranggotakan warga dari 10 desa yang
terancam oleh dampak buruk penambangan pasir besi.105
Isu mengenai lingkungan hidup semakin marak pada tahun 2013
berkaitan dengan pembangunan hotel dan surutnya air tanah. Gerakan
seperti Jogja Asat, Kota untuk Manusia, dan Jogja Ora Didol mendominasi
perhatian masyarakat publik, di samping isu lebih besar lain berkaitan
dengan pertanahan dalam RUUK DIY, yakni Sultan Ground dan Paku Alam
Ground yang dimanfaatkan sebagai aset bisnis pihak Kraton. Kepemilikan
tanah oleh pihak Kasultanan dan Pakualaman menciptakan polemik-
polemik seperti “Cina tidak boleh memiliki tanah di Jogja”, artinya
pertanahan bisa jadi menentukan mana yang bukan orang Yogyakarta
atau pribumi dan mana yang cuma pendatang. Meskipun kategori ini
sangat rawan dan rapuh karena perlu dipertanyakan: atas dasar apa?
105 Investor dari proyek penambangan pasir besi ini adalah PT Jogja Magasa Mining (JMM) yang adalah kerajaan bisnis keluarga Kraton Yogyakarta. Lihat dalam A.B. Widyanta, “Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya” juga dalam George Junus Aditjondro, “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
55
Tabel 2.2. Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten
Jumlah Target Kabupaten/ No. Bidang Luas (m²) Sertipikat s/d Pensertipikatan Kota Tahun 2015 Tahun 2016 1. Yogyakarta 339 613,345 m² 286 50 2. Bantul 3.074 7,031,574 m² 1.447 300 3. Kulon Progo 1.281 16,452,534 m² 312 240 4. Gunungkidul 4.046 26,656,191 m² 516 300 5. Sleman 4.486 7,465,502 m² 306 300 Jumlah 13.226 58,219,146 m² 2.867 1.190
Sumber: Bappeda DIY 2016
Pertemuan dari berbagai latar belakang dan konteks politik
nasional pasca reformasi kemudian memungkinkan pergolakan dalam
bidang kesukuan dan keagamaan. Munculnya kelompok primordial
kesukuan dan kelompok-kelompok atas nama agama adalah khas pasca
reformasi di Indonesia. Subagya (2015) menemukan bahwa masyarakat
Yogyakarta cenderung mengidentifikasi diri dengan agamanya alih-alih
etnisnya. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa ekspresi dan praktek
keagamaan cenderung meningkat dari dekade 1990.106 Ekspresi dan
praktek keagamaan ini tampak misalnya dengan munculnya figur
selebritis dalam agama107, gereja mall108, atau dalam ormas berbasis
agama.
Ormas-ormas, baik berbasis agama atau tidak, melakukan
beberapa pembubaran diskusi dan nonton bareng film Senyap pada tahun
2014 dan Pulau Buru Tanah Air Beta pada bulan Mei 2016 sempat terjadi
106 Subagya, 2015, Op.Cit., hal.224. 107 Joshua Barker, Johan Lindquist, et.al., “Figures of Indonesian Modernity” dalam Indonesia, Volume 87 (April 2009), hal. 35-72. 108 Di rooftop Jogja City Mall, pusat perbelanjaan yang “asli” milik keluarga Sultan, terdapat gereja yang digunakan oleh GBI Keluarga Allah.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
56
di Yogyakarta. 109 Meskipun, ormas-ormas atau gangster sisa Orde Baru
seperti FAKI, PP, dan FKPPI masih berperan menjadi aktor, namun
sebagian besar pembubaran kegiatan lain dilakukan oleh ormas yang
mengusung nama Islam110, misalnya seminar LGBTI di Fakultas Psikologi
Sanata Dharma111 dan Lady Fast di Bantul. Sayangnya, kecenderungan
fasis dari ormas tersebut tidak kunjung diikuti dengan ketegasan aparat
maupun otoritas di Yogyakarta. Bahkan, selain FUI dan FJI, pembubaran
Lady Fast yang dilakukan pada 2 April 2016 justru melibatkan polisi. Di
titik inilah kemudian mulai dipertanyakan hubungan antara ormas atau
gangster dengan aparat, yang dalam sejarah di Yogyakarta dikenal
sebagai preman atau gali.
B. Preman di Yogyakarta
Di Yogyakarta, orang-orang yang dikenal preman bergerak dari
milisi menuju parlemen.112 Sebagian dari mereka memiliki kedekatan
dengan tentara, bahkan dijadikan sebagai agen sipil tentara.113 Posisi
para preman ini, sebagaimana dideskripsikan oleh Ulil Amri, tampak
mendua. Selain terlibat dalam dunia hitam bisnis keamanan, orang-orang
109 Sementara itu, pembubaran acara nonton bareng sebagaimana terjadi di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) diikuti dengan pemasangan spanduk anti-komunis. 110 Nama ormas ini cukup beragam, ada misalnya GPK, Forum Umat Islam (FUI), dan Front Jihad Indonesia (FJI). Sebagai catatan, petinggi GPK Muhammad Fuad adalah sekaligus petinggi di FUI. 111 Seminar ini direncanakan pada tanggal 27 September 2014, namun pada tanggal 16 September 2014, FUI meminta pembatalan acara termaksud. 112 Lihat dalam Kadir, 2011, Op.Cit. 113 Lihat dalam Ulil Amri, Biografi Preman-Preman Yogyakarta (1) dalam http://etnohistori.org/biografi-preman-preman-jogjakarta-1-mas-joko-pemberani-badran- yang-terkenal.html
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
57
yang disebut preman juga menjadi penyumbang dalam kegiatan sosial,
misalnya pembangunan tempat ibadah.114 Hal tersebut menunjukkan
bahwa sosok-sosok preman di Yogyakarta cenderung memiliki
kemiripan dengan bandit sosial atau jagoan pada masa kolonial.115
Pada masa Orde Baru, preman di Yogyakarta direkrut oleh partai
politik. Perekrutan ini dilakukan untuk mempertahankan kedudukan dan
kekuasaan partai dan diorganisir ke dalam gangster. Di Yogyakarta
sendiri, ada dua nama gangster yang namanya melegenda, yakni QZRUH
(Q-ta Zuka Ribut Untuk Hiburan) yang berdiri tahun 1970-an dan Joxzin
(Joxo Zinthing) yang berdiri pada 1982.116 Sementara QZRUH didirikan
oleh RM Imam Kintoko, keponakan Letkol M. Hasbi yang memimpin
Petrus, Joxzin didirikan oleh Maman Sulaiman, seorang desertir marinir
yang juga menjadi Komandan PASKAM (pasukan Keamanan) PPP. Pasca
1998, setelah pada tahun 1980-an menjadi underbouw Golkar, massa
QZRUH banyak tergabung dengan partai PDIP, terkhusus dalam Banteng
Muda Indonesia (BMI). Pun dengan Kotikam yang kemudian ditengarai
menjadi pasukan keamanan KPH H. Anglingkusumo yang di dalamnya
tergabung Deki.
114 Dituliskan kemudian bahwa Mas Joko membangun karir dengan kuliah dan belajar bahasa Inggris, di samping juga memperdalam keahlian agamanya. 115 Lihat juga tulisan Ulil Amri yang lain dalam http://etnohistori.org/biografi-preman- preman-jogjakarta-2-mas-kris-preman-terban-berbasis-judi.html 116 Bagian ini bisa dilihat dalam Monica Adelina Dian, “Dilematis, Pemberantasan Premanisme di Yogyakarta”, 18 Agustus 2013 diunduh dari interseksi.org/archive/blog/files/premanisme.php pada tanggal 12 Juli 2016. Lihat juga dalam Henry Saputro, “Yogyakarta Antipreman”, 2 April 2013 diunduh dari http://budisansblog.blogspot.co.id/2013/04/yogyakarta-antipreman.html pada tanggal 12 Juli 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
58
Setelah reformasi, gangster sekolah kemudian muncul seakan-
akan mereproduksi model QZRUH dan Joxzin. Bukan berarti QZRUH dan
Joxzin kemudian bubar, namun justru gentho sekolah biasanya mengikuti
gangster-gangster besar seperti QZRUH, Joxzin, Ghemax, atau Phuxon.
Menjadi anggota gangster sekolah membuka kesempatan besar untuk
menjadi anggota gangster lebih besar yang terhubung dengan partai
politik. Namun, gangster sekolah ini tidak bertahan lama. Saat ini
tawuran, istilah yang biasa digunakan untuk menggambarkan
perkelahian antar sekolah, tidak marak sebagaimana sepuluh tahun yang
lalu.
Preman yang menjadi legenda di Yogyakarta adalah Agus Joko
Lukito, yang dikenal dengan nama Gun Jack. Ia adalah seorang yang
terdaftar dalam GPK dari PPP. Namanya melambung, setelah Gun Jack
membunuh seorang putra perwira. Meskipun ia melarikan diri, namun
akhirnya ia berhasil dibujuk kembali ke Yogyakarta untuk kemudian
mendapatkan bekking dari tentara dan dipersenjatai. Hal ini kemudian
menegaskan posisinya sebagai preman kawakan. Setelah Gun Jack
meninggal pada tahun 2011, kehidupan preman di Yogyakarta makin
tidak terkontrol. Seorang teman Gun Jack, Rudy Tri Purnama yang juga
adalah komandan GPK mengatakan bahwa konflik jalanan menjadi kerap
muncul sepeninggal Gun Jack.117
117 Lihat dalam Pito Agustin Rusdiana, “Generasi Penerus Preman Yogya”, diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2013/04/20/058474731/generasi-penerus-preman-yogya pada 22 Juli 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
59
Kematian Gun Jack memungkinkan untuk mencuatnya nama-
nama yang tenggelam semasa kekuasaan Gun Jack. Misalnya Santo dan
Harno yang menguasai daerah Godean, Sotong di daerah Jogokaryan,
Marcelinus Bhigu di sekitar Lempuyangan, dan nama lama seperti Yono
di pasar Terban. Masing-masing dari mereka menguasai tanah, lahan
parkir, perhotelan, dan keamanan area hiburan malam. Selain itu, jual
beli mobil yang kemudian dikenal dengan istilah “leasing” juga makin
marak, sebab beberapa dari mereka juga bekerja sebagai penagih utang
dan bekerjasama dengan pihak bank. Keterhubungan dengan bidang
politik praktis dan dunia usaha menunjukkan bahwa gangster bisa
menjadi pasukan pribadi maupun militia.118
Selain itu, kelompok preman di Yogyakarta, juga masih
menggunakan pola Orde Baru. Setiap kelompok preman memiliki
kedekatan dengan aparat pemerintahan, secara khusus polisi atau militer.
Penguasaan lahan di daerah Sleman oleh Harun, yang dikenal sebagai
tokoh Kotikam. Harun berkoordinasi dengan TNI maupun Polisi untuk
menguasai hiburan malam seperti Boshe VVIP Club, Hugo’s Cafe, Embassy
Platinum Jogja, Montana Cafe, dan salon ++ di Babarsari. Model kelompok
Harun ini berbeda dengan Paksi Katon yang sama-sama sering terlibat
kekerasan namun Paksi Katon secara jelas memiliki kedekatan dengan
118 Stein Kristiansen, “Violent Youth Groups in Indonesia: The Cases of Yogyakarta and Nusa Tenggara Barat”, dalam Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 18, No. 1 (April 2003), hal. 114.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
60
pemerintahan sementara kelompok gangster seperti Harun, Sotong, atau
Harno jarang muncul untuk bekerja atas nama pemerintah.
Komposisi gangster di Yogyakarta juga mengalami pendefinisian
dengan lebih jelas, yakni berdasarkan agama atau etnis. Stein Kristiansen
menunjukkan bagaimana identitas keagamaan menjadi penting dalam
membuat label dalam kelompok masyarakat.119 Tumbuhnya gangster
bernafaskan agama ini bukan berarti meningkatnya permintaan untuk
menegakkan hukum berdasar agama, melainkan lebih pada bagaimana
agama dijadikan sebagai alat kekuasaan. Gangster berdasarkan etnis
kemudian juga muncul dengan tokoh-tokoh seperti Marcelinus Bhigu,
Hendrik Angel Sahetapi, atau dari Pattimura Muda.120
Pada tahun 2013 lalu sempat muncul perbincangan mengenai
kelompok gangster NTT yang merangkak naik lewat jasa keamanan.
Seorang yang tidak mau disebut namanya mengatakan bahwa kelompok
NTT, juga kelompok dari luar Yogyakarta lainnya, tidak pernah
menguasai keamanan atau jalanan Yogyakarta. Kemanan dan jalanan
tetap dikuasai oleh preman-preman tua, sementara kelompok NTT hanya
diberi tugas preman-preman tua itu untuk menjaga keamanan cafe.
Keamanan cafe yang dijaga oleh kelompok NTT berada di sekitar
Condong Catur, jalan Solo yang masuk dalam Kabupaten Sleman, dan
119 Ibid., hal 118. Kristiansen menuliskan: “Religion is obviously an important identity marker for the young in Indonesia today, and probably more so for those marginalized from the national process of economic development and modernization.” 120 Kelompok Pattimura Muda sempat mendirikan posko di pertigaan Citrouli, Babarsari. Namun pada bulan Juli 2016, poosko tersebut berganti wajah menjadi warung kopi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
61
Babarsari. Tumbuhnya usaha di Babarsari dan terpusatnya jumlah orang
asal NTT di Babarsari membuat kelompok NTT ini terlibat dalam jasa
keamanan, meskipun “mereka tidak menguasai, hanya ikut gento-gento
tua sebagai keamanan kafe.” Sementara itu kawasan yang selama ini
menjadi pundi-pundi bagi gali di Yogyakarta masih tetap dikuasai oleh
preman asal Yogyakarta. Tempat ini merentang dari kota Yogyakarta dan
DIY bagian Selatan sampai ke Jalan Bantul dan Bantul Kota, tak terkecuali
juga Sleman Kota.121
Guna mempertahankan kekuasaan, tidak jarang kekerasan
digunakan. Penggunaan kekerasan ini kemudian dilekatkan dengan
kriminalitas, karena istilah seperti pembacokan, penusukan, atau
pembunuhan menjadi sangat akrab dengan kekerasan. Dengan demikian,
selain tidak terpisahkan dari otoritas pemerintahan, keberadaan preman
juga, sebagaimana disebut di awal, sangat lekat dengan kriminalitas.
Masalahnya sebutan preman, sebagai sebuah tanda tanpa marka dan bisa
dilekatkan ke siapa saja, yang jamak disebut kriminal ini juga
mengandung unsur kekuasaan yang berkepentingan. Oleh karenanya,
bagian selanjutnya diperbincangkan mengenai kriminalitas, di
Yogyakarta.
121 Lihat dalam “Kelompok NTT Bukan Penguasa Dunia Malam Jogja”, diunduh dari http://www.jpnn.com/read/2013/03/25/164327/Kelompok-NTT-Bukan-Penguasa-Dunia- Malam-Jogja pada 2 Agustus 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
62
C. Kriminalitas di Yogyakarta
Q: And so if this is normal, an open secret, and everybody knows it, then the term “criminal” properly refers to whom? A: They’re all criminals [semuanya kriminal]. [laughs] They’re all criminals, John. It’s just up to whoever has power to say who’s a criminal and who’s not.122
Apabila setiap orang bisa dianggap kriminal tergantung pada
kekuasaan yang mengucapkan, maka istilah kriminal sendiri merupakan
tanda tanpa marka yang siap dilekatkan pada siapapun. Demikian juga
dengan istilah preman yang bisa melekat pada setiap orang, tergantung
mata dan kepentingan apa yang mendasari. Istilah kriminal dan preman
sudah terlanjur akrab di kalangan masyarakat awam Yogyakarta sejak
peristiwa Petrus menandai bagaimana ketiganya berhubungan erat.
Bahwa orang yang disebut gali-gali adalah mereka yang dibentuk
otoritas dan dihabisi sebagai seorang kriminal yang menganggu
keamanan publik.
Petrus menunjukkan bahwa muncul kesulitan dalam memisahkan
antara preman, kriminalitas, dan penguasa. Pada masa kekuasaan Golkar,
para pemilik bisnis perjudian di Yogyakarta berlindung di bawah
penguasa, pentolan, atau satgas Golkar. Parpol, yang biasanya memiliki
ormas, dikenal dekat dengan aparat yang bisa menyelesaikan
permasalahan internal dunia preman. Misalnya ormas PP yang tergabung
dalam partai Golkar menjadi bekking perjudian dadu di Yogyakarta pada
tahun 1980-an. Golkar sendiri memiliki pendukung seperti Angkatan
122 John Pemberton, “Open Secrets: Excerpts from Conversations with a Javanese Lawyer and a Comment”, dalam Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 199.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
63
Muda Siliwangi (AMS) dan Angkatan Muda Diponegoro (AMD). Pada
masa Orde Baru, untuk mendapatkan pengaruh memiliki arti bahwa
kelompok tersebut menjadi underbow Golkar.123 Setelah terjadinya OPK
Petrus di Yogyakarta dan para gali yang berlindung di bawah Golkar
dibunuhi lewat kriminalitas oleh negara, munculah preman-preman baru
yang kemudian bergabung ke dalam ormas di bawah PPP. 124 Masalahnya,
tindakan kriminal yang dilakukan secara sistematis dalam Petrus ini,
tidak pernah disebut oleh negara sendiri sebagai sebuah bentuk
kriminalitas.
Sementara itu, dikatakan DIY dalam Angka125 bahwa kriminalitas
menggambarkan adanya “ketimpangan kehidupan sosial di masyarakat”
dan kriminalitas ini, bukan ketimpangan-nya, “memerlukan penanganan
yang serius.” Bisa juga dibaca; lebih penting untuk memberantas
kriminalitas dibanding mengatasi ketimpangan. Alih-alih adalah
kekacauan, kriminalitas justru ditempatkan dalam masalah kelas beserta
ketimpangan yang mengikutinya.126
Pada tahun 2012, tercatat sebanyak 6.780 kasus kriminalitas
terlapor ke Polda DIY, tahun 2013 laporan menurun menjadi 6513 kasus.
123 Ryter, 2001, Op.Cit., hal. 144. 124 Lihat dalam Tedy Novan, “Ada Parpol dan Golkar di Balik Bisnis Perjudian”, diunduh dari http://www.mail-archive.com/[email protected]/msg01345.html pada tanggal 3 Agustus 2016. 125 Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik (Eds.), Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2013 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2013), hal. 107. Juga dalam Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2014 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2014), hal. 109. 126 Lihat misalnya dalam James T. Siegel, “Thoughts on the Violence of May 13 and 14, in Jakarta”, dalam Anderson (Ed.), 2001, Op.Cit., hal. 90-123.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
64
Meskipun demikian, pada tahun 2014 jumlah tindak kriminalitas justru
meningkat sebesar 193,98%. 127 Selain jumlah kriminalitas yang
bertambah, peningkatan tajam tersebut bisa juga disebabkan dengan
adanya sistem pencatatan yang lebih rinci. Laporan-laporan termaksud
mendeskripsikan statistik perkara berupa penipuan, curat (pencurian
dengan pemberatan), pencurian, curanmor (pencurian kendaraan
bermotor), penggelapan, penganiayaan ringan, dan narkotika. Dalam
laporan yang disusun oleh pemerintah DIY bekerja-sama dengan
Bappeda tersebut, tidak ada jenis kriminalitas yang lazim ditemui dalam
keseharian media. Misalnya saja kasus berupa pembunuhan atau
pemerkosaan yang tidak dihadirkan dalam laporan tersebut namun
justru jarang dimangkirkan dalam koran-koran lokal.
Dalam perkembangannya, muncul isu-isu kriminalitas yang
terkesan berbeda. Misalnya isu mengenai pengendara motor Vario
berwarna putih yang mengejar orang-orang yang melewati Ringroad
Utara Maguwo pada pertengahan 2010. Pada tahun 2014, muncul geng
Raden Kian Santang (RKS) yang mengejar korban lalu mengeroyok
dengan senjata tajam dengan dalih membuktikan keberanian. Lalu, pada
tahun 2016 penyerangan terhadap tiga orang perempuan (salah satunya
anak SD) di tempat berbeda dengan menggunakan senjata tajam. Model-
model kriminalitas yang berkembang ini menjadi tampak ganjil ketika
127 Seksi Statistik Ketahanan Nasional & Bidang Statistik Sosial (Eds.), Statistik Politik dan Ketahanan Nasional Daerah Istimewa Yogyakarta 2014 (Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta, 2015), hal. 10.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
65
dihadapkan pada motif konsumsi sebagaimana terjadi sebelum-
sebelumnya. Meskipun demikian, teror yang dihasilkan jauh lebih besar
dibandingkan dengan kasus penjambretan maupun pencurian sebab
mengancam siapa saja, baik yang memiliki atau tidak memiliki barang
bawaan. Namun, dari akumulasi kasus tersebut, jalanan menjadi tempat
di mana kriminalitas diberikan ruangnya, Dengan kata lain, isu
keamanan menjadi perkara penting yang menjadi sorotan publik.
Representasi kriminalitas yang terjadi akibat adanya ketimpangan
dan memerlukan penanganan serius berimplikasi pada dinafikannya
kriminalitas yang dilakukan aparat pemerintahan. Setiap bentuk
kriminalitas terjadi secara horisontal dan masuk ke dalam kategori
kriminalitas ketika dilegitimasi oleh pemerintah. Aparat-pemerintahan-
lah yang kemudian berhak untuk membuat penanganan serius atas
ketimpangan tersebut. Tak heran apabila bentuk kekekejian yang
melibatkan pemerintah tidak dikategorikan sebagai tindakan kriminal.128
Dalam istilah bahasa Inggris, “crime” mengandung unsur
kejahatan yang melanggar hukum, namun pada penerapannya tak bisa
dipungkiri adanya impunitas terhadap para pembuat hukum atau aparat
hukum yang terlanjur melanggar hukum yang ia buat sendiri. Di
Yogyakarta, setidaknya ada tiga bentuk kejahatan yang dilakukan aparat
128 Lihat dalam Lindsey, Op.Cit., 2006, hal. 21-25.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
66
dan secara teoritis melanggar hukum (HAM), yakni: pembantaian
1965129, Petrus130, dan pembantaian Cebongan.
Dalam pembantaian Cebongan131, yang dibarengi dengan isu
keamanan di Yogyakarta, sebanyak sembilan orang anggota Grup 2
Kandang Menjangan, yang terletak sekitaran 50 kilometer dari
Yogyakarta, menyerbu dan menembaki empat orang tahanan. Berbeda
dengan pembantaian 1965 dan Petrus, pembantaian Cebongan tidak
menghadirkan negara yang melegitimasi pembantaian ini sebagaimana
terjadi sebelumnya. Hanya saja, pihak-pihak yang menjadi aparatur
negara turut berkomentar dalam pembantaian Cebongan, yang mana
menunjukkan bahwa peristiwa ini menjadi bukan melulu isu lokal. Dalam
konteks pembantaian ini, Kopassus juga tidak menjadi perwujudan alat
kekuasaan negara sebagaimana pembantaian 1965 dan Petrus. Apakah
pembantaian ini merupakan aksi militer? Ataukah kasus kriminalitas?
Apabila kriminalitas, mengapa kemudian pengadilan dilakukan di Dilmil?
Yang jelas, wacana pembantaian Cebongan ini menyedot istilah-istilah
seperti preman dan kriminalitas. Lantas, mengenai bagaimana
pembantaian termaksud terjadi, siapa saja pihak yang terlibat, serta
129 John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto (Jakarta: ISSI &Hasta Mitra, 2008), hal. 77-78. Woodward 130 Lihat dalam tulisan Kroef, 1985, Op.Cit., hal. 745-759; Siegel, 1998, Op.Cit.; Joshua Barker, “State of Fear: Controlling the Criminal Contagion in Soeharto’s New Order”, dalam Anderson (Ed.), 2001, Op.Cit., hal. 20-53; Yustina Devi-Ardhiani, “Potret Relasi Gali-Militer di Indonesia: Ingatan Masyarakat Yogyakarta tentang Petrus 1983”, dalam Retorik, Vol. 3 (1), Desember 2012, hal. 37-58. 131 Sultan Hamengku Buwono X bersikap ambigu dalam menanggapi pembantaian Cebongan. Hal ini sebagaimana ditunjukkan HB IX dalam menanggapi pembantaian 1965 dan Petrus. Lihat dalam Monfries, 2015, Op.Cit., hal 244-245.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
67
bagaimana para kriminal yang dibantai ini direpresentasikan, diuraikan
pada bagian selanjutnya.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III
PUJI-PUJIAN TERHADAP KEKEJIAN:
PENYINGKIRAN PREMAN & KEISTIMEWAAN
Bab ini membahas proses penyingkiran preman yang dilakukan lewat membalik gagasan preman yang pada awalnya digunakan media massa untuk menyebut pelaku pembantaian, tetapi kemudian digunakan untuk menyebut korban. Dalam wacana pembantaian Cebongan ini, gagasan pahlawan132 justru diberikan kepada para pembantai. Pembalikan tersebut juga diikuti dengan asosiasi antara preman dengan pendatang.133 Uraian mengenai penyingkiran dilakukan tanpa menafikan pihak mana saja yang memiliki kontribusi dan relasi dalam proses penyingkiran, di antaranya meliputi:
“Siapa yang menyingkirkan?”, “Dalam konteks seperti apa?”, dan “Demi kepentingan apa?” penyingkiran dilakukan.134
132 Dalam wacana pembantaian Cebongan secara bergantian digunakan istilah pahlawan dan ksatria untuk menyebut pelaku pembantaian. Ksatria merupakan bentuk domestikasi dari pahlawan yang menempatkan pelaku pada sosok dengan derajat dan fungsinya dalam kaitannya dengan negara. Peranan dalam negara ini tergolong samar sehingga para ksatria mungkin saja “memanfaatkan” keahlian perseorangannya sewaktu-waktu. Lihat dalam Benedict R.O’G. Anderson, Mitologi dan Toleransi Orang Jawa (Yogyakarta: Jejak, 2008), hal. 16; Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (Jakarta: Sinar Haarapan, 1988), hal. 26-27. 133 Pendatang digunakan untuk menyebut orang yang bukan berasal dari Jogja dan dianggap mengacau Jogja. Dalam wacana pembantaian Cebongan ini diarahkan bagi orang NTT yang dianggap preman atau dianggap tidak memberi kontribusi di Jogja. Dengan demikian, tidak melulu secara harafiah untuk menyebut setiap orang yang datang dan tinggal di Jogja. Meskipun demikian, beberapa jargon dalam spanduk yang akan disebut dalam bagian ini menunjukkan bahwa kategori pendatang cukup ambigu. 134 Rafael, 1999, Op.Cit., hal. 10.
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
69
Proses penyingkiran di sini terangkai dengan beberapa elemen penting sebagaimana Charles Tilly mengidentifikasi penyingkiran identitas. 135 Pertama adalah adanya batasan-batasan tertentu yang membedakan antara preman dengan pahlawan. Selanjutnya adalah adanya cerita-cerita yang muncul berkaitan dengan pahlawan dan preman. Ketiga adalah hubungan antara pihak yang disebut preman dengan gerakan pro-
Kopassus dan pahlawan. Sementara itu, yang terakhir dibahas bagaimana interaksi yang terjadi dalam gerakan pro-Kopassus untuk menunjukkan bahwa penyingkiran ini merupakan sesuatu yang terorganisir. Dari proses tersebut teridentifikasi rangkaian penandaan dalam wacana pembantaian
Cebongan ini. Dengan demikian, bahasa-bahasa yang digunakan dalam wacana menjadi penting untuk dijelaskan.
Dalam pembantaian Cebongan terjadi tiga proses penyingkiran lewat penyederhanaan yang terjadi dalam logika berbahasa terhadap korban pembantaian. Pada mulanya istilah preman yang dilekatkan oleh pemerintah,
TNI, ataupun gerakan pendukung pembantaian belum dimunculkan, hanya disebutkan bahwa ada orang yang memiliki rangkaian sifat aktual (series actual properties136) seperti bertindak tidak sopan, membuat tidak aman, membuat tidak nyaman, membuat rusuh dan mengotori Yogyakarta. Sifat- sifat ini dapat dirangkum dalam sebuah istilah berbahasa Indonesia, yakni
“mengacau”. Pengacau inilah yang kemudian disebut sebagai preman.
135 Charles Tilly, The Politics of Collective Violence (Cambridge: Cambridge Universiity Press, 2003), hal. 25. 136 Lihat dalam Žižek, 2005, Op.Cit., hal. 48-49.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
70
Penyebutan ini, pada prakteknya, mengalami penyederhanaan sehingga logika berbalik menjadi “preman adalah orang yang mengacau Yogyakarta”.
Pernyataan ini kemudian mengalami pembalikan makna awal sehingga muncul logika baru menjadi “orang mengacau Yogyakarta karena dia adalah preman”.
Proses pembalikan di atas kemudian diterapkan pada pendatang yang dilekatkan berdasarkan latar belakang Diki dkk yang berasal dari NTT ― yang mana isu mengenai kekerasan yang melibatkan orang asal NTT di
Yogyakarta sudah menjadi bahan perbincangan di kalangan masyarakat.137
Proses kedua ini mengalihkan preman pada orang bukan Yogyakarta yang didefinisikan sebagai pendatang yang secara khusus merujuk pada orang asal NTT. Hal ini dikuatkan dengan ancaman terhadap mahasiswa asal NTT yang kemudian “mengungsi” dari Yogyakarta ke berbagai daerah lain seperti
Solo, Malang, maupun Surabaya.138 Namun, kategori pendatang ini kemudian secara umum diterapkan kepada “yang bukan orang asal Yogyakarta” sebagaimana ditunjukkan dalam spanduk-spanduk. Penggantian preman dengan pendatang ini menyederhanakan pandangan bahwa karena tidak berasal dari Yogyakarta atau status pendatang, seseorang mengacau
Yogyakarta.
137 Beberapa orang yang secara acak saya tanyai soal orang asal NTT seringkali mengasosiasikan mereka dengan perkelahian. Di dalam komunitas NTT sendiri, ada orang yang tidak menyukai teman-temannnya sendiri yang menurutnya melakukan hal tidak penting lewat perkelahian. 138 Lihat Shinta Maharani, “Ribuan Mahasiswa asal NTT Eksodus dari Yogya”, 27 Maret 2013, diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2013/03/27/063469634/ribuan-mahasiswa- asal-ntt-eksodus-dari-yogya pada 22 Agustus 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
71
Proses penyingkiran terakhir terjadi dengan pembentukan kategori preman dan pendatang, yang keduanya di mayoritas masyarakat Yogyakarta diberi label dengan logika yang janggal, yakni mengacau. Proses pertama yang mendefinisikan preman sebagai yang mengacau Yogyakarta kemudian disederhanakan ke dalam istilah pendatang. Di sinilah kemudian terbentuk dasar tersembunyi yang menunjukkan bahwa pendatang ini memiliki sifat sebagaimana preman dan menciptakan logika pembalikan bahwa para pendatang ini mengacau, semata-mata karena mereka adalah preman. Ketiga proses aktual dari pembalikan gagasan tersebut dibahas di bagian selanjutnya.
Tetapi bagaimana pergeseran-pergeseran logika di atas mendominasi wacana pembantaian Cebongan? Dukungan berlanjut dengan wacana pemberantasan preman yang lewat cara ini Yogyakarta bisa menjadi tempat yang aman untuk dikunjungi. Wacana keamanan ini, meskipun tidak masuk dalam sektor formal UU Keistimewaan, menjadi salah satu kondisi yang membuat Yogyakarta menjadi istimewa. Di lain pihak, diketahui pula bahwa
Diki dkk. merupakan orang yang tergabung dalam pasukan keamanan KPH
Anglingkusumo yang dalam paugeran dikenal masyarakat sebagai orang yang berambisi merebut kursi Paku Alam. Situasi inilah yang kemudian mempermudah hadirnya wacana pemberantasan preman.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
72
A. Penyerbuan Preman di Cebongan
Pagi hari tanggal 24 Maret 2013, KR pertama kali meliput pembantaian Cebongan. Isinya amat mudah ditebak; kapan, bagaimana, dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Tanggapan-tanggapan mulai dihadirkan.
Terutama dari pihak Kepolisian, terkhusus pihak Lapas Cebongan. Kapolda
DIY saat pembantaian ini terjadi, Brigjen Pol Sabar Raharjo, “membantah anggapan bahwa pihaknya kecolongan, sehingga empat tersangka Polda DIY tewas saat dititipkan di Lapas Sleman.”139 Penggunaan istilah ‘kecolongan’ ini cukup menarik. Orang bisa kecolongan saat suatu kejadian yang berkaitan dengan dirinya berada di luar pengawasan dan pengetahuan. Namun, kecolongan ini tidak terjadi sebagaimana dialami oleh Kalapas Drs. Sukamto
Harto BcIP yang punya feeling140 sebelum kejadian.
Meskipun Kapolda mengaku sudah berkoordinasi dengan pihak Lapas, namun Sukamto sendiri mengatakan bahwa,
[S]aat koordinasi pemindahan itu, saya tidak tahu kalau yang dititipkan adalah tersangka pelaku pembunuhan di Hugos Kafe. Setelah mengetahui tahanan yang dititipkan tersebut, saya berencana pagi ini (23 Maret 2013) mengembalikan tahanan itu ke Polda DIY. Tapi rencana itu belum terlaksana, ternyata sudah terjadi insiden.141
139 Kedaulatan Rakyat, 24 Maret 2013, hal. 10. “Menkumham Minta Maaf. Kapolda Bantah Kecolongan” 140 Belakangan istilah feeling disadur ke dalam bahasa Indonesia dan digunakan dalam percakapan sehari-hari. Istilah ini mengacu pada ‘rasa seolah-olah mengetahui bahwa suatu hal akan terjadi’. Biasanya feeling digunakan untuk melegitimasi bahwa apa yang ‘seolah-olah dirasakan’ adalah hal yang telah sungguhan terjadi. Istilah ini memiliki kedekatan arti dengan ‘firasat’. 141 Kedaulatan Rakyat, 24 Maret 2013, hal. 1 & 10. “Firasat Tak Enak Kalapas”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
73
Sukamto mendapatkan feeling setelah mengetahui bahwa tahanan yang dititipkan terlibat pembunuhan Serka Heru Santosa di Hugos Cafe.
Liputan termaksud tidak menyebutkan siapakah dan bagaimana latar belakang Serka Heru Santosa yang merupakan anggota Kopassus. Justru hal tersebut menarik, sebab feeling yang muncul belakangan ini menimbulkan pertanyaan mengapa feeling baru muncul setelah mengetahui bahwa para korban yang dibantai merupakan tersangka pembunuhan di Hugos Cafe.
Lain halnya dengan Pangdam IV/Diponegoro, Mayjen Hardiono
Saroso142, yang menegaskan bahwa tidak ada prajurit di daerah militernya yang terlibat dalam pembantaian ini. Jendral lulusan Akmil 81 ini tidak mengungkapkan feeling sebagaimana dipunyai Sukamto. Mayjen Hardiono tidak mau berandai-andai siapa yang membantai, namun ia berani menegaskan bahwa tak seorangpun anggotanya terlibat, “Yang jelas, pelaku itu orang tidak dikenal.”, tegas Hardiono.143 Namun, bagaimana mungkin seorang Pangdam berani menegaskan dan mengaku tidak tahu menahu perbuatan anggota Kopassus di wilayah Kodam-nya? Penegasan ini juga sebagaimana disampaikan oleh Komandan Kopassus Grup 2 Kandang
Menjangan, Letkol Maruli Simanjuntak, yang mengatakan bahwa “anggota
142 Sebagai catatan, Mayjen Hardiono Saroso pernah bertugas di Timor Timur tahun 1983- 1999 (16 tahun). Ia bertugas di Korem 164 dengan pangkat Letnan Kolonel. Namanya masuk dalam daftar Masters of Terror. Lihat dalam Richard Tanter, Desmond Ball, & Gerry van Klinken, Masters of Terror. Indonesia’s Military and Violence in East Timor (Maryand: Rowman & Littlefield Publishers, 2006), hal. 134. 143 Kedaulatan Rakyat, 24 Maret 2013, hal. 10. “Menkumham Minta Maaf. Kapolda Bantah Kecolongan”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
74
Kopassus itu pasukan elite yang dididik disiplin tinggi.”144 Apabila dilihat pola dari kedua penyangkalan elite TNI, Pangdam dan Komandan Kopassus
Grup 2 Kandang Menjangan, penyerangan yang diikuti pembantaian
Cebongan tersebut sengaja ditutup-tutupi. Sebab, apabila mengikuti garis komando, maka perintah diketahui dan datang dari atasan. Kalaupun tidak diketahui oleh atasan, maka justru membuktikan adanya kelemahan dalam garis komando dalam TNI, anak buah dimungkinkan untuk melawan atasannya. Namun, dalam peristiwa ini keduanya bisa saja terjadi. Pangdam gagal untuk melindungi anak buah yang menyebabkannya dipindah dengan alasan habis masa jabatan, lalu menjadi pertanyaan sendiri mengapa Maruli
Simanjuntak justru mengatakan bahwa segala sesuatu mengenai penyerangan dan pembantaian ini telah dilaporkan ke Danjen Kopassus di
Jakarta, dan bukan terlapor ke Pangdam.145
Pada hari Kamis, dua hari sebelum kejadian, 21 Maret 2013 saat melintasi markas Batalyon Infanteri 403/Wirasada Pratista (Yonif
403/WP)146, seorang penduduk mengaku bahwa apa yang ia lihat pukul
06.00 pagi, saat mengantar anaknya sekolah, cukup mengherankan dan tidak seperti biasanya. Beberapa kali ia berpapasan dengan truk-truk militer antara Jalan Kaliurang Km.6,5; Kentungan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta
144 Pikiran Rakyat, “Komandan Kopassus Grup 2 Kandang Menjangan Bantah Anggota Serbu LP Cebongan”, diunduh dari http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2013/03/ 23/228118/komandan-kopassus-grup-2-kandang-menjangan-bantah-anggota-serbu-lp pada 6 Agustus 2013. 145 Ibid. 146 Di Mayonif 403/Wirasada Pratista terdapat monumen tank Pancasila Sakti yang menjadi miniatur monumen Lubang Buaya untuk memperingati peristiwa 1965, secara khusus kematian Brigjen Katamso dan Kolonel Sugiyono.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
75
hingga kelokan ke arah perumahan Pamungkas Karya Korem 072 di Jalan
Kaliurang Km.14,5.147 Ia lewat Jalan Damai lalu Jalan Kaliurang dan menuju arah Utara ke SMP Negeri 4 Pakem. Saat sampai di pertigaan Ngasem, ia melihat dua truk tentara menyisir jalan. Lalu sampai di pertigaan Candi, ada satu unit truk berhenti dengan tentara yang diturunkan namun tidak melihat ada bawa senjata. Polisi Lalu Lintas (Polantas) yang berjaga pun lebih banyak dari pagi-pagi biasanya, jumlahnya ada 3-5 personil di setiap gang yang terhubung dengan Jalan Kaliurang. Ketika sampai pertigaan Pandanaran, ia kembali melihat dua truk tentara berhenti namun para personil tidak atau belum turun. Sampai di pertigaan Pamungkas, ia menceritakan bahwa jalan agak macet dan dari kejauhan ia melihat tiga truk di jalan menuju ke perumahan Pamungkas. Baginya, situasi seperti ini hanya terjadi saat seorang penggedhe atau orang yang memiliki jabatan struktural hadir dalam acara termaksud.
Tiga jam setelahnya, ia kembali melewati perumahan Sawitsari yang berhadap-hadapan dan dipisahkan gang dengan markas batalyon infanteri yang berada di bawah struktur komando Korem 072/Pamungkas, Kodam
IV/Diponegoro ini.148 Suasana masih sama. Ia melihat pemandangan yang
‘tidak lazim’ sebab di tengah lapangan upacara monumen Pancasila Sakti
147 Wawancara dengan Kristio Budiasmoro, tanggal 28 November 2015. Jarak berjaga yang diterapkan tentara ini cukup menarik, yakni 8 kilometer. Perlu diketahui, Standar Operasional Prosedur (SOP) ini didasarkan pada pada pembagian yang dikenal dengan istilah ring. Semakin dekat dengan lokasi pertemuan, maka penjagaan dan kemanan akan semakin diperketat. Penjagaan dilakukan di jalan-jalan yang kemungkinan besar akan tercipta kemacetan seperti pertigaan atau perempatan. Selain penjagaan akan diperketat di daerah-daerah yang dinilai tidak aman, seperti tingkat kriminalitas yang tinggi. 148 Sebagai catatan, kini terdapat sebanyak 15 Kodam di Indonesia.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
76
sebuah helikopter terparkir. Selain itu, di tepi jalan Sawitsari ada sebuah truk barracuda yang juga telah terparkir. Ia kemudian berhenti dan menanyai salah seorang prajurit yang tengah berjaga perihal apa yang tengah terjadi.
Prajurit termaksud mengatakan bahwa akan ada pertemuan antara Pangdam
Mayjen TNI Hardiono Saroso, dengan Kapolda DIY Brigjen Pol. Sabar Raharjo.
Sementara terus mengendarai motor ke arah Condong Catur, ia melihat anggota Brimob berjaga di perumahan sebelum terminal Condong
Catur. Lokasi ini merupakan perumahan dinas Polda DIY, di mana Sabar
Raharjo tinggal. Berbeda dengan prajurit TNI, anggota Brimob ini menenteng senapan. Pertemuan ini bersifat rahasia dan baru pada 8 April 2013, Sabar
Raharjo mengaku bahwa pertemuan ini hanya sekadar melihat CCTV
Cebongan bersama Pangdam dan Danrem 072 Pamungkas membahas penyerangan Mapolres Ogan Komering Ulu (OKU), namun apa yang disampaikan Sabar cukup menarik untuk diamati, sebab Mapolres OKU terletak di Palembang, yang berarti berada di luar daerah militer Kodam
Diponegoro maupun Polda DIY. Mengapa Mayjen TNI Hardiono Saroso, dengan Brigjen Pol. Sabar Raharjo perlu bertemu sementara di sembilan wilayah Kodam lain tidak? Mengapa hanya Kodam IV/Diponegoro yang mengadakan pertemuan ini? Apakah telah muncul isu mengenai serangan tentara ke tempat penahanan Deki dkk. di kepolisian? Atau bahkan kesepakatan pemindahan lapas dan perencanaan penyerangan Cebongan terjadi dalam pertemuan ini?
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
77
Sementara itu, pada tanggal 24 Maret 2013, koran cetak Tribun Jogja menuliskan bahwa Pangdam menyatakan bahwa para pelaku jelas terlatih, namun bukan orang Kopassus. Pada artikel yang sama, pihak Kopassus Grup-
2 Kandang Menjangan, diwakili Kasi Intel-ya, Kapten (Inf) Wahyu Yuniartoto mengklaim bahwa anggotanya tidak terlibat dalam penyerangan dan pembantaian di Lapas Cebongan. “Saat kejadian, semua anggota di Markas
Kandang Menjangan, dan tidak ada kegiatan di luar.”, katanya.149 Pada hari selanjutnya, Tribun mewawancarai seorang bernama Hari Cahya dari Kreasi
Study Club Yogyakarta yang mengatakan bahwa diharapkan dalam kasus ini
“Pangdam berani menindak tegas.” Pernyataan tersebut sekaligus menegaskan bahwa pelaku penyerangan dan pembantaian berasal dari barak militer, namun bukti pasti belum tampak. Sudah menjadi rahasia umum masyarakat bahwa sebenarnya kelompok terlatih yang berani menyerang institusi keamanan milik negara, yakni polisi, adalah dari kesatuan militer tentara. Penunjukkan langsung ke Pangdam dikuatkan dengan adanya SMS yang sempat menyebar pada tanggal 22 Maret 2013, sebelum Cebongan diserang.150
Pada awal kejadian, Tribun mewawancarai istri Juan, Mbak Nona, yang mengatakan bahwa dalam keluarga, Juan adalah “sosok yang sangat
149 Tribun Jogja, 24 Maret 2013, hal. 1 & 7. “Eksekusi di Hadapan 31 Napi” 150 Lihat dalam Ninis Chairunnisa, “SMS Ini Beredar Sehari Sebelum Cebongan Diserang”, diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2013/06/10/063487141/sms-ini-beredar- sehari-sebelum-cebongan-diserang pada 4 Agustus 2016. Isi SMS tersebut adalah: “info dari wakapolresta yka., 3 pleton kopasus sudah berada di DIY mohon waspada n mohon di konsumsi kita kita aja, 86, 87 rekan rekan secara rapi, konsumsi corp baju coklat kemungkinan beraksi malam minggu karena aku sayang kalian”.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
78
bertanggungjawab dan sayang istri.” Sama halnya dengan Kalapas, Mbak
Nona juga mendapati gelisah sepanjang malam sebelum ia mengetahui bahwa pada paginya Juan dibunuh. Tribun menerjemahkan gelisah sepanjang malam ini sebagai suatu “firasat” bahwa suaminya akan meninggal secara tidak wajar.151
Orang tidak dikenal, sebagaimana dikatakan Sukamto, datang membuat tahanan lain menjadi takut dan syok. 152 Istilah syok, yang disadur dari shock, digunakan untuk menggambarkan bahwa ada kejutan yang tidak menyenangkan datang. Syok biasa digunakan dalam kondisi yang mengakibatkan seseorang menjadi trauma. Dalam pembantaian Cebongan, keterkejutan yang tidak menyenangkan ini dialami oleh sipir, tahanan, keluarga Diki dkk., bahkan juga pelaku penyerangan.
Menurut Mayjen Hardiono, orang yang tidak dikenal ini bukanlah TNI.
Dalam kasus-kasus kriminalitas, orang tidak dikenal adalah cara orang berbahasa untuk menunjukkan bahwa ada orang yang dicurigai, yang diduga kuat sebagai pelaku, diketahui namun tidak terpahami. Orang tidak dikenal ini memiliki bahasa yang berbeda dengan masyarakat yang diidealkan. Dalam hal ini tidak dikenal menekankan bahwa ada yang seharusnya hadir namun mangkir. Ketidakhadiran yang tidak dikenal menandai bahwa ada sejumlah manusia yang potensial akan menjadi pembantai dan tidak menjadi bagian
151 Tribun Jogja, 24 Maret 2013, hal. 1 & 7. “Istri Juan Gelisah” 152 Arti syok dalam kamus bahasa Indonesia justru: (1) sangat menarik hati; indah sekali; (2) sangat tertarik hatinya; sangat suka (akan); (3) berlagak (kaya, tahu, dsb); berpura-pura.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
79
masyarakat manapun. 153 Menjadi orang tidak dikenal berarti identitas pembantai dikaburkan dan dengan demikian justru menciptakan misteri dan menimbulkan pertanyaan yang meminta kesegeraan jawaban. Namun, tidak dikenalnya identitas pembantai ini juga menjadikan penyerangan dan pembantaian ini menjadi hal yang lumrah karena menjadi tidak dikenal berarti mengandaikan adanya orang asing yang bisa datang dari mana saja dan datang untuk menciptakan bahaya.
Tidak dikenalinya identitas pembantai ini sebagaimana juga terjadi pada keempat korban dalam kacamata Brigjen Pol Sabar. Sabar mengatakan bahwa di tubuh keempat tersangka terdapat 31 peluru. Sabar bingung menyebutkan mana tersangka dan mana korban. Baginya, keempat orang yang tewas dibantai itu merupakan tersangka. Mereka adalah orang tidak dikenal, yang kemudian diberi istilah preman.
Hadirnya kategori preman menegaskan bahwa telah muncul batasan definisi lain yakni preman sebagai orang tidak dikenal. Sampai di sini, orang boleh berpikir bahwa preman melakukan kejahatan yang tidak seharusnya dilakukan menurut hukum. Lantas, pembantaian Cebongan benar-benar dilihat sebagai sebuah kasus kriminalitas tanpa pembelaan dari pihak apapun.
Berbeda dengan KR, Tribun melansir berita mengenai temuan Komnas
HAM yang mulai memperkenalkan orang tidak dikenal termaksud. Menurut
Ketua Komnas HAM, Siti Noor Laila, orang tidak dikenal tersebut sudah
153 Lihat dalam Saya Sasaki Shiraishi, Pahlawan-Pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (Jakarta: Nalar, 2009), hal. 29.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
80
memiliki rencana penyerangan dan pembantaian dengan dipersiapkannya rompi yang seragam, letak granat di rompi, letak HT, dan pergerakannya yang cepat menunjukkan bahwa mereka sudah terlatih dan profesional.154
Tribun, sebagaimana Siti, seperti sudah akrab dengan orang tidak dikenal yang menjadi pelaku penyerangan dan pembantaian tersebut.
Jenderal (Purn) Wiranto membuka wacana untuk segera menjawab tanda tanya mengenai siapa si pelaku sebenarnya. Wiranto mengklaim bahwa tidaklah sulit mengungkap siapa sebenarnya sekelompok orang bersenjata yang telah menyerbu Cebongan. Bagi Menhankam/Pangab era
Soeharto tersebut pengungkapan “bukan persoalan bisa atau tidak, tetapi mau atau tidak. Sebenarnya ini merupakan persoalan mudah, tetapi dipersulit.” Calon Presiden 2014 tersebut juga mengatakan mampu mengusutnya dalam sehari.155
Di hari yang sama, 27 Maret 2013, Panglima TNI Jenderal TNI
Pramono Edhie Wibowo memerintahkan pembentukan tim investigasi di badan TNI-AD. Wiranto menyampaikan pada tanggal 27 Maret 2013 di pagi hari, sedangkan Pramono Edhie Wibowo sekitar siang-sore hari.
Pembentukan tim investigasi ini sendiri merupakan hal yang baru dalam
154 Kedaulatan Rakyat, 27 Maret 2013, hal. 7. “Saksi Disuruh Tepuk Tangan”. Selain itu, muncul isu kemudian ketika wawancara dilakukan bahwa penyerangan ini memang telah direncanakan sebelumnya, meskipun sumber wawancara mengakui bahwa perencanaan yang seperti apa belum bisa ia beberkan sampai saat tulisan ini dibuat. Ia mendapatkan isu bahwa lima hari sebelum penyerbuan dan pembantaian terjadi, sudah ada sekitar 1000-1500 prajurut Kopassus bersiap ke Jogja, dari Kandang Menjangan sendiri ada sekitar 100-150 prajurit. 155 Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2013, hal. 7. “Polri Mulai Temukan Titik Terang, Bukan Teroris. Ada Sandi Khusus Penyerbu Lapas”. Lihat juga Tribun Jogja, 28 Maret 2013, hal. 1 & 7. “Satu Hari Saya Bongkar”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
81
sejarah TNI, meskipun demikian di bagian lain akan dibahas bahwa pembentukan tim investigasi ini justru membuat pembantaian menjadi sebuah cerita kepahlawanan.
Sebutan preman mulai berada dalam wilayah orang tidak dikenal, membuat masyarakat Yogyakarta takut dan syok, serta menganggu
Yogyakarta yang ideal. Orang tidak dikenal adalah mereka, yang menurut
Ketua DPW PPP DIY, HM Syukri Fadholi SH, berkewajiban menghargai tata nilai budaya adiluhung DIY, dan tidak diperkenankan sekali-kali menodai dan mencederai budaya termaksud.156 Mereka yang ‘tidak dikenal’ dianggap potensial menyebabkan kecolongan, dan menjadi perusuh dari tata nilai budaya adiluhung. Bahkan, spanduk yang dipasang di pinggir jalan tiba-tiba berubah menjadi laiknya mata yang terus mengawasi aktivitas preman yang kemudian direduksi sebagai pendatang, misalnya dengan spanduk bertuliskan “Premanisme: Bukan Sifat Asli Orang Jogja, Pergi atau Kita Usir”.
B. Korban Dinilai Preman yang Tak Bermoral
Bukannya para pelaku yang menyerang dan melakukan pembantaian di Cebongan yang disebut preman adalah orang-orang yang dikategorikan tak bermoral karena membunuh Serka Heru secara sadis dan menghancurkan rencana keluarga korban dengan isterinya, Indria, yang tengah hamil delapan bulan. Harian KR menulis demikian,
156 Kedaulatan Rakyat, 25 Maret 2013, hal. 7. “Nyalakan Lilin, Padamkan Kekerasan”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
82
[I]a [Indria] sedang hamil 8 bulan. Sebenarnya, sudah siap-siap pindah ke Yogya. Sebab suaminya semula bertugas di Grup 2 Komando Pasukan Khusus, lalu ke Kodim Kota Yogyakarta. Sebagai PNS di Palembang, Ny Indria sudah lama menabung untuk kelahiran bayi dan rencana kepindahannya tersebut, karena diperkirakan akhir April anak pertamanya lahir. Sebelum meninggal, suaminya ditelepon agar jika anaknya lahir, namanya dimasukkan ke anaknya..... [Serka Santosa] Dianiaya sekitar 10 orang sebelum tewas. Tidak saja ia ditendangi, dipukuli dengan botol, ia juga ditusuk berkali-kali, termasuk dengan pecahan botol. Darah berceceran di sejumlah tempat, karena Sertu Santosa diseret.157
Kisah tragis Serka Heru dan Indria mengantar kita untuk menemukan siapa sebenarnya ‘orang tidak dikenal’ itu. Dalam kutipan di atas diceritakan bahwa Serka Heru mati mengenaskan dan cerita mengenai keluarganya ini sungguh pilu. Pemberitaan ini mengajak para pembaca turut meratapi kisah ini. Dalam wacana ini, preman dicitrakan sebagai orang yang melakukan kekejaman di luar batas perikemanusiaan.
Harian Tribun Jogja juga mengisahkan kesaksian istri Serka Heru
Santoso. Berbeda dengan KR, Tribun tidak menuliskannya sebagai seorang
‘Nyonya’ yang memberikan penghormatan berlebihan. Cerita yang dibikin pun berbeda. Tidak ada tendangan, pukulan dengan botol, penusukan berkali-kali, dan tidak ada darah berceceran. Kesadisan tidak diumbar di
Tribun. Juga, Indria tidak punya firasat apapun mengenai kematian suaminya, berbeda dengan Kalapas dan Mbak Nona, istri Juan. Apabila KR menggambarkan penderitaan dan kekejaman dalam beritanya mengenai
157 Kedaulatan Rakyat, 28 Maret 2013, hal. 1 & 7. “Kesedihan Sertu Santosa. Sudah Siap Pindah ke Jogja”. Harian KR menulis pangkat Heru Santosa sebagai Sersan Satu (Sertu), seharusnya Sersan Kepala (Serka).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
83
Nyonya Indria, Tribun menggambarkan suatu kekuatan dan ketabahan dalam diri Indria.
Pada tanggal 27 Maret 2013, KR mulai menampilkan rubrik SMS
Pembaca bertajuk “Jogja Anti Preman dan Korupsi.” Rubrik tersebut berisi keresahan warga Yogyakarta akibat premanisme dan mengharapkan aparat
Polisi-TNI untuk turut serta menjaga Yogyakarta supaya “aman, nyaman, damai, dan tentram.” Situasi aman mengandaikan bahwa tidak ada gangguan yang datang dari luar komunitas. Namun, tentu saja, istilah preman belum merujuk ke orang yang sudah pasti. Preman masih digunakan untuk menandai orang tidak dikenal.
Empat konsep “aman, nyaman, damai, dan tentram” tersebut di atas memiliki arti yang sedikit berbeda. Nyaman lebih pada bagaimana seseorang mengalami dunia kesehariannya, orang bisa saja merasa nyaman namun tidak aman. Ketika orang berbicara tentang damai, istilah ini merujuk pada keadaan yang menunjukkan mampu mengatasi atau menyelesaikan konflik.
Tentram memiliki kemiripan dengan damai, hanya penekanannya lebih pada keadaan yang tenang tanpa konflik. Keempatnya merupakan bahasa slogan yang seringkali digunakan pada masa Orde Baru, misalnya saja slogan
“Yogyakarta Berhati Nyaman” yang menunjukkan bahwa “antara keberadaan kata-kata atau huruf yang berbunyi tidak perlu harus bertepatan dengan kebenaran dan kenyataan hidup sehari-hari.”158 Keempat kata yang menjadi penekanan dalam SMS tersebut menunjukkan bagaimana rust en orde
158 Budi Susanto, SJ., Peristiwa Yogya 1992: Siasat Politik Massa Rakyat Kota (Yogyakarta: Kanisius & Lembaga Studi Realino, 1993), hal. 35.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
84
(ketertiban dan kedamaian) yang pernah menjadi kebijakan kolonial diterapkan kembali.159
Bersamaan dengan rubrik SMS, desas-desus mengenai kasus kriminalitas Diki mulai santer. KR misalnya menyajikan liputan yang menunjukkan bahwa Diki, seorang anggota Kotikam dari NTT, merupakan korban pembantaian yang memang tidak masuk dalam kategori orang yang menghargai budaya adiluhung. Diki diandaikan sebagai orang yang secara moral tidak mendapatkan tempat di Yogyakarta. Pernah suatu kali Diki pada tahun 2007, bersama Ito, dikabarkan memperkosa pacar temannya sendiri.
Menurut Kasatreskrim Polresta Yogya Kompol Dodo Hendro Kusuma SIK,
Diki memperkosa pacar temannya sebanyak dua kali dalam satu hari, saat di dalam mobil dan saat di asrama NTT kawasan Lempuyangan.160
Muhammad Suhud, ketua Paksi Katon, sebuah kelompok Keamanan
Kecamatan Kraton yang kemudian menjadi bagian resmi Forum Kemitraan
Polisi dan Masyarakat (FKPM), menyatakan bahwa seharusnya tidak hanya empat orang saja yang dibantai, melainkan kedua belas anggota Diki lainnya yang belum tertangkap.161 Ia kembali mengulang cerita-cerita buruk yang dilakukan Diki dkk. Anggota Diki dkk. ini terkenal sebagai preman yang sadis dan keji. Cerita-cerita mengenai kekejaman Diki dkk. mulai dibagikan dan berlanjut hingga pengadilan berlangsung. Misalnya saja ia sering memalaki
159 Lihat dalam Shiraishi, 2009, Op.Cit., hal. 138. 160 Kedaulatan Rakyat, 27 Maret 2013, hal. 1. “Saksi Disuruh Tepuk Tangan”. 161 Wawancara dengan Muhammad Suhud, 13 Mei 2016. Dalam sebuah buletin bernama “Malioboro” yang khusus diterbitkan oleh gerakan pro-Kopassus pada tanggal 24 Juni 2013, terdaftar sebanyak 14 orang anggota Diki cs.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
85
pedagang-pedagang kecil di Babarsari atau ia memotong telinga seorang anggota TNI AU. Bahkan, buletin Malioboro 162 merilis laporan daftar kejahatan yang dilakukan Diki dkk. dari tahun 2000-2013.
Sementara Diki dkk. mulai dikenal oleh masyarakat, ‘orang tidak dikenal’ yang menyerang dan membunuh Diki dkk. menjadi perbincangan yang semakin kabur sekaligus menimbulkan keingintahuan masyarakat mengenai siapa sebenarnya pelaku penyerangan. Pada 30 Maret 2013 sebuah facebook dengan nama akun Idjon Janbi menggunggah status ‘Pelaku
Penyerangan LP Sleman adalah Aparat Kepolisian’. Tidak hanya di facebook, publikasi ini juga menjangkau ranah-ranah yang lebih privat seperti BBM dan milis.163 Idjon Janbi jelas bukan orang yang masih berkeliaran. Dia ‘diangkat dari kuburnya’ dari pemakaman Kuncen, Yogyakarta. Idjon merupakan komandan pertama Kesatuan Komando Tentara Territorium
III/Siliwangi (Kesko TT) yang di kemudian hari, tanggal 26 Desember 1986, menjadi Kopassus.
Aparat kepolisian dituduh oleh ‘Idjon Janbi’ sebagai pelaku penyerangan, yang apabila benar berarti kepolisian justru melakukan tindakan bunuh diri dengan mempertontonkan konflik dalam institusinya sendiri.164 Alih-alih melakukan bunuh diri, ternyata pejabat kepolisian justru mendapatkan untung dengan pembantaian tahanan Diki dkk. termaksud.
162 Wawancara dengan Julius Felicianus, 19 April 2016. Buletin ini secara khusus dibuat oleh gerakan pro-Kopassus untuk kepentingan propaganda Cebongan. 163 Kedaulatan Rakyat, 31 Maret 2013, hal. 1. “Polri-Komnas HAM Kompak Membantah. Heboh ‘Facebook’ Penyerangan LP” 164 Kapolri Jenderal Timur Pradopo hanya berpendapat bahwa apa yang ditulis Idjon Janbi tidak bisa dipertanggungjawabkan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
86
Kapolresta Yogyakarta, Kombes Pol M Mustaqim SIK, menyampaikan bahwa semenjak adanya insiden Lapas Cebongan, Yogyakarta semakin kondusif. Ada nada-nada yang menyiratkan bahwa penyerangan Lapas ini mendekatkan pada capaian hasil sebagaimana diharapkan masyarakat supaya Yogyakarta menjadi aman, nyaman, damai, dan tentram. Kapolres Kulonprogo AKBP
Johanes Setiawan Wijanarko SIK MH berpendapat lebih menarik, baginya menurunnya angka kriminalitas di Yogyakarta pasca Cebongan adalah
“kebetulan saja.” Berbeda dengan feeling, kebetulan mengandung unsur menguntungkan. Namun kedua-duanya juga terjadi sebagai sebuah ketidaksengajaan. Bagi pihak kepolisian, kebetulan atau ketidaksengajaan ini justru mendatangkan semacam berkah yang tidak diharapkan namun secara ajaib muncul. Karakter ketidakterdugaan dari berkah menegaskan bahwa berkah datang dari sebuah kekuasaan yang berada di luar kuasa manusia namun manusia merasa senang untuk mendapatkannya.165
Tapi, apakah masyarakat Yogyakarta mendapatkan berkah sebagaimana disampaikan pihak kepolisian lewat menurunnya tingkat kriminalitas? Beberapa masyarakat Yogyakarta yang menganggap diri asli
Yogyakarta, mungkin merasakan berkah ini. Namun, tidak semua demikian.
Masyarakat di sekitar Cebongan justru terteror dengan kejadian ini.
Beberapa minggu setelah penyerbuan dan pembantaian Cebongan, tidak sedikit warga sekitar lapas Cebongan dan secara umum masyarakat yang merasakan teror tersebut. Beberapa orang yang tinggal di sekitar lapas
165 Benedict R.O’G. Anderson, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia (Ithaca & London: Cornell University Press, 1990), hal. 22-23.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
87
awalnya mengira bahwa suara suara senapan adalah suara petasan. Ketika mengetahui bahwa yang mereka dengar adalah bunyi senapan, seorang warga mengatakan bahwa suasana mencekam. Hari berikutnya mulai tersebar foto-foto korban lewat BBM yang menurut orang tersebut sadis disertai dengan razia.
C. Pembantai yang Menjadi Ksatria
Orang tidak dikenal yang dianggap oleh sekelompok warga masyarakat membuat Yogyakarta menjadi aman, nyaman, damai, dan tentram ini, akhirnya terungkap secara publik pada tanggal 4 April 2013, sedangkan tim investigasi telah mengetahuinya pada tanggal 29 Maret 2013, sehari setelah tim tersebut dibentuk. Ketua Tim Investigasi TNI AD, Brigjen
TNI Unggul Yudhoyono, menyatakan bahwa mereka adalah 11 oknum166 anggota Grup 2 Kopassus. Pengungkapan ini sekaligus menegaskan bahwa apa yang disampaikan oleh Pangdam dan Dan Grup 2 Kopassus tidak sedikitpun benar. Berbarengan dengan pengungkapan, istilah preman mulai muncul. Unggul mengatakan bahwa anggota Grup 2 Kopassus termaksud adalah yang “mengakibatkan terbunuhnya empat tahanan preman”.167 Harian
166 Oknum secara literal berarti anasir atau seseorang yang diarahkan kepada seseorang yang melakukan tindakan di luar mandat kelompok. Istilah ‘oknum’ biasa digunakan secara eksklusif dalam tidakan kriminalitas yang dilakukan oleh anggota ABRI yang terlibat dalam perampokan, penembakan, bekking. Penggunaan ini kemudian diperluas sampai ke penyebutan ‘oknum’ pelajar, ‘oknum’ wartawan, bahkan ‘oknum’ preman. Menurut Ryter, penggunaan ‘oknum’ preman menunjukkan bahwa preman berada dalam status yang semi-resmi. Lihat Ryter, 2001, Op.Cit., hal. 126; 146. 167 Kedaulatan Rakyat, 5 April 2013, hal. 1. “Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
88
KR menuliskannya sebagai headline: “Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui
Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab.”
Tribun melansir berita dengan memunculkan istilah preman dengan cara dan konteks yang berbeda. Mereka mengutip kembali ungkapan Mayjen
Hardiono Saroso pada tanggal 23 Maret 2013 setelah berkunjung ke Lapas
Cebongan. Tribun menulis bahwa,
Sesudah mengunjungi Lapas Cebongan bersama Menkumham Amir Syamsuddin Sabtu siang [23 Maret 2013], Hardiono Saroso mengulang bantahannya. Ia justru [penekanan] memberi peringatan keras kepada kelompok-kelompok preman.
“Saya peringatkan kepada para preman-preman, jangan menyakiti rakyat dan aparat baik itu TNI maupun Polri lagi. Kami jamin masalahnya ini akan tuntas.”168
Tribun menunjukkan kecurigaan terhadap institusi TNI yang pada awalnya mengira Hardiono Suroso akan kembali membantah keterlibatan anggota
TNI dalam pembantaian Cebongan. Namun ternyata Hardiono Saroso mengatakan bukan masalah apabila Kopassus yang menjadi pelaku, masalah justru muncul saat preman beraksi. Tribun menggunakan kata justru yang merujuk pada “malahan sebaliknya.” Alih-alih Hardiono Saroso mengatakan bahwa ada keterlibatan dari oknumnya, malahan sebaliknya preman-preman tidak boleh menyakiti rakyat dan aparat baik itu TNI maupun Polri. Tetapi, mengapa pelaku ini bukan lagi disebut preman? Apakah peringatan terhadap preman ini adalah sesuatu yang kebetulan? Mengapa ucapan ini disampaikan
168 Tribun Jogja, 30 Maret 2013, hal. 7. “Indikasi Pelaku Oknum Militer”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
89
tanggal 23 Maret 2013 dan baru disampaikan oleh Tribun dalam berita pada
30 Maret 2013 setelah dibentuk tim investigasi di badan TNI?
Letjen TNI Agus Sutomo, yang menjadi Komandan Jendral (Danjen)
Kopassus tahun 2012-2014, berpendapat agak lain. Menurut Letjen lulusan
Akmil 1984 ini, tindakan penyerangan tersebut tidak bisa dibenarkan meskipun didasari solidaritas dan rasa hormat terhadap rekannya. Mereka adalah prajurit yang jiwanya bangkit karena seorang temannya mati dan seorang lagi nyaris mati karena preman. Logika pernyataan ini seolah-olah ingin mengatakan bahwa korban pembantaian Cebongan mati akibat kebangkitan jiwa prajurit, akibat ulahnya sendiri, akibat kesadisannya dan bukan mati karena dibantai. Segera orang bisa menebak bahwa itu adalah bahasa basa-basi yang musti konstitusional atau bahasa kebapakan yang semu.169 Basa-basi konstitusional ini juga disampaikan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) yang mengatakan bahwa tindakan main-hakim sendiri itu, bagaimanapun, tidak bisa dibenarkan dengan adanya jiwa korsa170 terhadap Serka Heru yang telah dibunuh oleh “sekelompok orang sadis.”
169 Ben Abel & Benedict Anderson, “Wawancara Benedict Anderson: Tentang ‘Lengser Keprabon’”, 25 November 1997, diunduh dari https://ekosospol.wordpress.com/2011/08/16/wawancara-benedict-anderson-tentang- lengser-keprabon/ pada 24 Agustus 2016. 170 Jiwa korsa merupakan saduran dari bahasa latin ‘esprit de corps’ dari Samuel Huntington. Istilah ini dipinjam oleh Letjen Try Sutrisno dalam ceramahnya sebagai KASAD pada tanggal 31 Januari 1987. Dalam penerapan di dunia militer Indonesia, jiwa korsa merujuk pada kesetiaan terhadap Sapta Marga. Lihat dalam Honna, 2003, Op.Cit., hal 64-65. Pada tahun 2014, Dansekoad Mayjen TNI Agung Risdhianto, M.D.A., menuliskan bahwa jiwa korsa merupakan “semangat keakraban dalam korps atau corps geest. Jiwa korsa adalah kesadaran korps, perasaan kesatuan, perasaan kekitaan, suatu kecintaan terhadap perhimpunan atau organisasi. Tetapi kebanggaan itu secara wajar, tidak berlebihan, tidak
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
90
Jiwa, bagi orang yang dididik dalam tradisi Jawa, merupakan istilah yang dianggap luhur. Suatu jiwa adalah yang mendorong terjadinya suatu keutuhan. Orang kalau ingin menjadi satu dengan Tuhan (manunggaling kawula Gusti) mustilah mengetahui (weruh) jiwanya sendiri (kawruh jiwa atau dalam bahasa Inggris disebut science of the psyche).171 Orang akan lebih sering mendengar seseorang berjiwa pahlawan, daripada seseorang berjiwa preman. Bahkan, preman seringkali dikait-kaitkan dengan orang yang telah menghilangkan jiwa karena kejahatannya. Dalam percakapan sehari-hari, satu-satunya istilah yang secara moral positif mengenai jiwa preman adalah unsur solidaritas yang terkandung di dalamnya. Solidaritas inilah yang juga digunakan pihak TNI untuk mengatakan jiwa korsa yang berarti bersolidaritas namun berbeda dengan solidaritas para preman. Solidaritas preman merupakan solidaritas, yang menurut SBY, sadis – atau meminjam bahasa Soeharto; melebihi batas perikemanusiaan.172 Sementara itu, tidak muncul istilah sadis dalam pembantaian yang dilakukan para anggota Grup 2
Kopassus. Komentar SBY, sebagai seorang elite, mengenai pembantaian
Cebongan menganut logika demikian: “meskipun untuk membunuh 4 orang
membabi buta... Di dalam jiwa korsa terkandung di dalamnya loyalitas, motivasi, merasa ikut memiliki, merasa bertanggung jawab, ingin mengikuti pasang surut perkembangan korpsnya. Seorang yang memiliki jiwa korsa tinggi pasti penuh inisiatif, motivasi, tetapi tahu akan kedudukan, wewenang dan tugas-tugasnya. Jiwa korsa yang murni dan sejati akan menimbulkan sikap terbuka menerima saran dan kritik, tidak membela kesalahan tetapi justru mengusahakan sesuatu pada proporsi yang sebenarnya.” Lihat dalam Mayjen TNI Agung Risdhianto, M.D.A., “Profesionalisme Prajurit sebagai Faktor Penentu Soliditas dan Integritas TNI AD”, dalam Jurnal Yudhagama, Volume 34, No. 2, Juni 2014, hal. 13. 171 Istilah ini bisa dilihat dalam Marcel Bonneff, “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince an Philosopher (1892-1962)”, dalam Indonesia, Volume 57 (April 1994), hal. 49-70. 172 Lihat dalam G. Dwipayana & Ramadhan K.H., Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada, 1989), hal. 389.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
91
tahanan diperlukan 31 selongsong peluru, tindakan ini tidak ada kaitannya dengan kesadisan.”
Kategori orang tak dikenal yang menimbulkan rasa takut dan syok mulai dibalik pada saat para anggota Kopassus itu diketahui sebagai penyerang. Para preman yang sadis itu kini mengisi penanda mengambang
Orang Tidak Dikenal (OTD) yang dalam sejarah Indonesia diasosiasikan dengan Organisasi Tanpa Bentuk (OTB).173 Kesadisan para preman ini tidak berbeda dengan OTB yang ditakutkan para petinggi militer pada tahun 1990- an bisa menciptakan kerusuhan maupun ketidakstabilan politik.174 Meskipun demikian, perlu digarisbawahi bahwa penyebutan OTD mengaburkan sekaligus mementahkan bahwa ada kelompok-kelompok yang fragmentatif dalam suatu komunitas (OTB).
Kini para pembantai tersebut tidak lagi menjadi orang tidak dikenal atau preman, justru mereka adalah “ksatria [yang] telah mengakui perbuatannya” dan “siap mempertanggungjawabkan apapun risiko atas dasar kehormatan prajurit ksatria.”175 Dalam mitologi Jawa, seorang ksatria
(satrya) sejati tidak pernah meragukan tugasnya hanya karena sentimen pribadi atau perasaan keluarganya. Ksatria musti melaksanakan tugasnya
173 Penggunaan istilah OTB dipopulerkan oleh Kasum ABRI Letjen Soeyono pada tahun 1995 dalam rangka menanggapi isu politik berupa keterbukaan ABRI dan HAM. OTB merujuk pada dua bentuk organisasi komunis, yakni kelompok pertama yang menjadi pendukung PKI serta kelompok kedua yang terpengaruh dengan kelompok pertama dan sedang berusaha mendiskreditkan pemerintah lewat isu HAM, demokratisasi, dan perlindungan lingkungan. Meskipun awalnya diarahkan ke PKI, namun akhirnya OTB terarah kepada oknum. Lihat dalam Honna, 2003, Op.Cit., hal. 119-120. 174 Jun Honna, Military Politics and Democratization in Indonesia (Oxon & New York: RoutledgeCurzone, 2003), ha. 122. 175 Kedaulatan Rakyat, 5 April 2013, hal. 1. “Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
92
tanpa mengeluh atau ratapan yang tak berguna. 176 Dalam hal ini, moral – dengan demikian hukum177 – tidak lagi menjadi masalah utama. Dalam pembantaian ini, asal ksatria bisa melaksanakan tugasnya, pelanggaran
(hukum) layak dilakukan.
Ksatria jenis baru dalam pembantaian Cebongan ini justru lahir dari sebuah sentimen pribadi di mana Ucok mengatakan bahwa ia membantai karena ia merasa berhutang-budi dengan Serka Heru yang pernah menyelamatkannya saat operasi militer di Papua.178 Meskipun demikian, mereka juga muncul pada saat terjadi krisis, terkhusus keamanan, sebagai jawaban akan ancaman gangguan sosial. Dengan kondisi tersebut, ksatria menjadi figur baru yang dengan mudah “mendapatkan perhatian dan kewibawaan yang tak mungkin ada pada mereka dalam waktu-waktu damai.”179
Lantas, para ksatria ini, sebagaimana pahlawan, adalah tokoh teatral yang “mesti cukup agung, cukup dramatis, cukup fiktif [fantastik], namun cukup meyakinkan.”180 Tak heran apabila kehadiran ksatria dari Kopassus ini dalam rangka membantai karena rasa solidaritas terhadap kesatuan terutama setelah rekan mereka Serka Heru Santoso dibunuh secara keji dan sadis oleh preman. Mereka, dikatakan Unggul, ingin membela kehormatan
176 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 24-27. 177 Istilah ‘hukum’ digunakan bukan untuk menyebut legislasi, namun lebih pada prinsip yang mendasari relasi sosial. Lihat Evans, 1996, Op.Cit., hal. 101. 178 Tribun Jogja, 17 Juli 2013, hal. 1 & 7, “Sugeng Lihat Ucok Gemetar (Pengacara Ingin Hadirkan Sertu Sriyono)” 179 Anderson, 1988, Op.Cit., hal. 29. 180 Sanento Yuliman, “Dalam Bayangan Sang Pahlawan”, dalam Horison, Maret 1968, hal. 68. Beberapa ‘cukup’ yang ditunjukkan Sanento Yuliman merujuk pada bagaimana pahlawan dibacarakan dalam bahasa lisan dan percakapan sehari-hari.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
93
satuan yang telah dilecehkan preman. Tentu saja membela kehormatan satuan tidak kemudian sama dengan membela keamanan masyarakat.
Apabila diperhatikan, anggota Grup 2 Kopassus ini tak pernah ditangkap. Tidak ada penangkapan, yang ada adalah pengungkapan. Sebuah penangkapan mensyaratkan pihak lain yang bukan orang dalam. Sementara itu, Diki dkk. ditangkap karena datang mengacaukan stabilitas dan perlu diasingkan ke penjara. Tidak adanya penangkapan terhadap para pembantai
Diki dkk. seolah-olah menunjukkan bahwa para pembantai bukan lagi orang tak dikenal, mereka adalah orang yang telah lama dikenal.
Gambar 3.1. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 6 April 2013
Secara resmi, Sultan HB X mengapresiasi pengungkapan-diri para pelaku, “TNI patut diapresiasi. Sekarang tinggal bagaimana konsistensi aspek hukum di pengadilan militer,” kata Sultan di DPRD DIY.181 Pada tanggal 6
April inilah Sultan untuk pertama kalinya komentar soal TNI di Cebongan
181 Kedaulatan Rakyat, 6 April 2013, hal. 7. “Anak Buah Serbu Lapas, Danjen Kopassus Tanggung Jawab. 7 Penganiaya Santoso Masih Bebas”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
94
dalam harian KR. Sultan berbicara dalam dua kaki, sebagai pemimpin politik dan pemimpin budaya. Namun, secara umum, masyarakat Yogyakarta lebih cenderung menyebutnya Sultan dan bukan ‘gubernur’. Keakraban dengan sebutan Sultan ini menunjukkan bahwa ketika berbicara, posisi HB X, bagi masyarakat, cenderung dipahami sebagai pemimpin budaya. Komentar konstitusional tersebut menandai bahwa ada transisi dari yang tadinya melulu urusan militer dan HAM nasional, kini menjadi sah secara lokal.
Dengan demikian, wacana penyerangan dan pembunuhan Cebongan ini ditegaskan bukan melulu urusan otoritas dengan rakyat, melainkan urusan masyarakat dengan para preman.
Tidak jauh berbeda dengan Sultan, dan sangat bisa ditebak, Letjen
TNI (Purn) Sutiyoso berpendapat bahwa ini bukanlah salah institusi,
melainkan salah oknumnya saja. Ia mengatakan,
‘Masyarakat, media, kita, masih perlu TNI untuk menjaga negara, dan Kopassus diberi tugas khusus yang tidak bisa dijalankan oleh anggota (TNI) biasa. Sekelompok manusia saja ada oknum... Baret merah, saya tetap bangga dan cinta kepada kalian. Perbaiki Komando.’182
Oknum, dalam istilah bahasa Indonesia, terarah pada seseorang dengan arti yang kurang baik secara etis-moralis. Sutiyoso yang pernah menjadi Wakil Komandan Jendral (Wadanjen) Kopassus selama 1992-1993 seperti tidak paham bagaimana seorang oknum prajurit sehari-harinya hidup dalam institusi. Padahal, selama 30 tahun ia hidup dalam institusi militer dengan menghabiskan waktu sekitaran 22 tahun dalam kesatuan Kopassus.
182 Kedaulatan Rakyat, 7 April 2013, hal. 10. “Sikap Kopassus Diapresiasi. Pangdam IV/Diponegoro Diganti”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
95
Ia bertindak sebagai seorang bapak yang senantiasa mengayomi anak- anaknya. Ia tetap cinta dan bangga. Apakah berarti ia bangga bahwa pembantaian di Cebongan berhasil?
D. Dukungan terhadap Pembantai: Kemanunggalan TNI-Rakyat?
Pada hari Minggu, 7 April 2013, muncul gerakan solidaritas semiliar koin untuk Indria, istri Serka Heru. Selain solidaritas, aksi yang dipimpin
Irwan Cahya Nugraha ini memiliki agenda berupa “wujud kepedulian untuk situasi Kota Yogya yang aman dan nyaman.” Dalam aksi ini, spanduk-spanduk anti-premanisme mulai ditampilkan. Spanduk berasal dari kata berbahasa
Belanda, “spandoek”, “span” berarti “merentangkan” dan “doek” berarti
“kain”. Namun, karena penggunaannya yang cenderung mengandung unsur polusi visual, spanduk di-pleset-kan oleh André Möller, seorang penyusun kamus Swedia-Indonesia, menjadi spamduk dengan “spam” berarti “surat yang dikirim tanpa diminta melalui internet, biasanya berisi iklan.” Lantas, spamduk bisa diartikan “kain yang direntangkan tanpa diminta sepanjang jalan, biasanya berisi iklan.” 183 Spanduk yang terpasang di titik-titik strategis seperti perempatan Gondomanan, perempatan Jalan Kaliurang, dan Nol
Kilometer ini dikatakan Irwan beriklan supaya Yogya aman dan nyaman serta berisi seruan ‘anti premanisme dan usir preman dari Yogya. Irwan
183 Lihat dalam André Möller, “Spamduk”, dalam Kompas, 18 Januari 2014.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
96
dikenal sebagai pemilik Jogja Wall Nation, sebuah event organizer yang sering bekerjasama dengan TNI.184
Gambar 3.2. Spanduk Pro-Kopassus dan Anti-Premanisme
Berbeda dengan aksi yang dilakukan pada 28 Maret 2013, aksi kali ini sudah terarah ke siapa sang preman. Dalam aksi tanggal 28 Maret 2013, preman yang dimaksud masih mengambang belum tentu apakah Diki dkk. ataukah orang tak dikenal yang membantai Diki dkk. Namun, setidaknya, ormas Kotikam, di mana Diki bergabung, masih turut serta pada aksi tanggal
28 Maret 2013. Aksi tanggal 7 April 2013 ini lebih jelas siapa yang dianggap preman, Irwan melalui KR mengatakan, “Penggalangan dana juga dilakukan untuk Sertu Sriyono, anggota TNI yang juga menjadi korban kekerasan para preman.” Dengan demikian, yang dimaksud preman oleh Irwan maupun KR adalah pihak Diki dkk. – sebagaimana sudah disebutkan serupa oleh para perwira TNI.
Menteri Pertahanan (Menhan) Purnomo Yusgiantoro, yang tentu saja berbicara atas nama aparat pemerintahan, justru mengatakan bahwa pembantaian terhadap keempat tahanan ini bukanlah sebuah pelanggaran
184 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
97
HAM. Purnomo mengatakan bahwa aksi penyerbuan hanya dilakukan prajurit. Seolah-olah pelanggaran HAM hanya bisa terjadi apabila dilakukan oleh perwira-perwira tinggi. Ada sebuah penyingkiran yang dilakukan
Menhan ini terhadap prajurit yang hanya mengungkapkan aksi spontanitas belaka. Komentar yang muncul dalam harian KR tanggal 12 April 2013185 ini patut dicatat. Bagi Purnomo, penghilangan nyawa seseorang yang jelas-jelas melanggar HAM ini menjadi sekadar spontanitas belaka. Spontanitas bisa saja diartikan bahwa pembantaian tersebut merupakan hal yang wajar.
Dengan demikian, membantai orang dengan brutal adalah sepatutnya terjadi.
Kepatutan yang terjadi ini dilakukan oleh para prajurit, yang mana dalam komentar ini dilihat sebagai orang yang belum matang sehingga spontanitas itu mungkin terjadi.
Spontanitas membantai tersebut, menurut temuan TNI AD, didorong oleh pembalasan dendam terhadap Serka Heru.186 Menurut Priyo Budi
Santoso, pembalasan dendam ini adalah benar adanya. “Mereka bertindak salah, iya. Tetapi, mereka telah melakukan langkah yang diyakini secara moral itu benar. Karena itu, saya meminta kita semua harus adil.”, kata
Priyo.187 Apa yang dikatakan Priyo tidak lain adalah bahwa balas dendam dengan membunuh secara moral tidaklah salah. Baginya, keadilan hanya terjadi apabila pembunuhan terjadi, yang berarti hukum boleh dilanggar.
185 Kedaulatan Rakyat, 12 April 2013, hal. 1 & 7. “Tak Perlu Dewan Kehormatan Militer” 186 Kedaulatan Rakyat, 14 April 2013, hal. 1. “Proses Hukum 11 Oknum Kopassus. Panglima TNI Jamin Sidang Terbuka” 187 Kedaulatan Rakyat, 17 April 2013, hal. 1 & 7. “Priyo Budi Santoso Anggap Tak Adil. Komnas HAM Tumpul Hadapi Preman”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
98
Sementara itu, dalam tulisan yang sama, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN),
Hendropriyono, menyatakan dalam hari ulang tahun Kopassus ke-61 bahwa
Komnas HAM tidak berimbang dan terlalu menyudutkan Kopassus, KR menuliskan demikian,
Pada kesempatan berbeda, mantan Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Hendropriyono juga memberikan respons yang sama dengan Priyo terhadap kinerja Komnas HAM. Mantan Mentrans PPH itu memberi penilaian bahwa pernyataan Komnas HAM itu tidak berimbang dan terlalu menyudutkan Kopassus. "Komnas HAM suruh belajar dulu! Saya enggak percaya Komnas HAM berpikiran seperti itu. Kita prajurit dan dikirim ke medan pertempuran, tapi kita jadi salah di mana-mana karena politik," kata Hendropriyono, seusai menghadiri acara hari ulang tahun (HUT) ke-61 Kopassus, di Makopassus, Cijantung, Jakarta Timur.
Hendro menegaskan, dalam kasus penyerangan di Lapas Cebongan, yang melanggar HAM justru kelompok preman karena telah menyerang dan membunuh seorang anggota Kopassus di Hugos Cafe. Hal itu ia lontarkan berdasarkan rekaman CCTV yang jelas-jelas merekam penyerangan brutal pada anggota Kopassus. "Coba lihat (CCTV) orang bebas masuk ke mana saja, kok malah digebukin? Sampai mati pun diseret. Itu pelanggaran HAM. Kopassus secara hukum salah, tapi secara moral saya setuju," ujarnya.188
Pemberitaan tersebut menunjukkan bahwa Jenderal Hendropriyono yang diduga terlibat pembunuhan Munir, Talangsari, dan Operasi Seroja Timor
Timur189 mengatakan bahwa dia dan para prajurit justru diposisikan salah karena politik. Baginya ini pembunuhan Serka Heru dilakukan dengan cara brutal sebab saat Serka Heru sudah mati tetap saja Diki dkk. menyeretnya.
188 Ibid. 189 Lihat dalam http://syaldi.web.id/mot/Hendropriyono.htm diunduh pada 1 Desember 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
99
Danrem 072/Pamungkas, Brigjen TNI Adi Wijaya, meminta masyarakat untuk mempercayakan keamanan kepada polisi dan TNI, bukan kepada preman. Pernyataan ini menegaskan bahwa sebenarnya telah ada keamanan yang diurusi preman sebelumnya. Menjadi pertanyaan kemudian kenapa pernyataan ini baru dilontarkan ketika ada pembantaian Cebongan dan tidak sedari awal pembantaian terjadi. Kedua, pernyataan ini ia ucapkan dalam ‘dalam acara silaturahmi antara TNI dengan komponen masyarakat untuk memperkuat ketahanan nasional’ pada hari Rabu tanggal 17 April
2013 di Makorem. Pertemuan ini dihadiri Kapolda DIY yang baru, Brigjen Pol
Haka Astana, Lanud Adisutjipto, Ketua PWI Yogyakarta, Kapolres, Dandim se-
DIY, mahasiswa, ormas-ormas, dan, KR menuliskan, ‘lainnya.’ Silaturahmi adalah cara yang lazim untuk mempertahankan (bukan membangun saja) hubungan. Mudah ditebak dalam pertemuan ini menegaskan ulang kemanunggalan TNI dengan rakyat. Baik dari pihak TNI maupun Polda meminta dukungan masyarakat untuk mempertahankan NKRI, mempertahankan suatu konsep politis yang sifatnya diberikan dari atas ke bawah. Strategi ketahanan nasional ini dengan sendirinya menafikan sebagian anggota bangsa, dalam konteks ini preman, dengan menciptakan suatu negara.
Kemanunggalan TNI dengan rakyat, juga dengan polisi, juga ditegaskan ulang pada acara mubeng beteng (berjalan mengelilingi benteng kraton).
Pada acara rapat persiapan mubeng beteng tertanggal 24 April 2013,
Widihasto menuliskan di dalam halaman facebook-nya bahwa acara mubeng
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
100
beteng akan dilepas oleh Sultan, Danrem, dan Kapolda. Menarik bahwa dalam acara mubeng beteng ini Sultan HB X kembali angkat bicara,
Sultan mengatakan, kegiatan tersebut menunjukkan situasi keamanan di DIY kondusif dengan bersatunya rakyat, TNI dan Polri. "Keberangkatan personel TNI-Polri untuk menjalankan tugas negara mendapatkan restu dari masyarakat DIY. Mereka (TNI-Polri) kan bagian dari masyarakat juga. Jati diri TNI kan dari, oleh dan untuk rakyat," kata Sultan.190
Dukungan terhadap para anggota Kopassus ini terus berlanjut hingga persidangan dilakukan. Gubernur DIY Sultan HB X sendiri mengambil sikap yang ambigu dengan tidak mempermasalahkan adanya dukung tidak mendukung dari sekelompok masyarakat.191 Pada hari yang sama, KR juga menerbitkan artikel dengan seorang sosiolog UNY, Sugeng Bayu Wahyono
MSi. Tidak jauh berbeda dengan Sultan, ia juga mengambil sikap ambigu,
“Banyak dukungan terhadap aksi pemberantasan premanisme dengan pendekatan militerisme tersebut. Di sini masyarakat tidak mendukung oknum TNI-nya tetapi mereka mengapresiasi niat aparat keamanan yang ingin meringkus praktik premanisme di DIY.”192 Tentu saja sah-sah saja
Sultan bersikap demikian, kalau tidak, bisa-bisa dia kehilangan pengaruh dari salah satu pihak, entah yang melakukan dukungan atau yang justru antipati terhadap pelaku pembantaian. Namun, sikap ambigu Sultan ini justru terdengar aneh saat ia memberikan sambutan dalam acara penandatanganan
190 Kedaulatan Rakyat, 29 April 2013, hal. 1 & 7. “Wujud Kemanunggalan Rakyat-TNI-Polri. Ribuan Warga DIY Mubeng Beteng” Sebagai catatan, berita ini justru tidak muncul dalam Tribun Jogja. 191 Kedaulatan Rakyat, 4 Juni 2013, hal. 1 & 7. “Disiapkan Teleconference Cebongan. Sultan Persilakan Mendukung” 192 Ibid., 7.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
101
Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemda DIY, Polda DIY, Kejati
DIY, Korem 072 Pamungkas, dan Badan Intelijen negara (BIN) wilayah DIY di
Mapolda DIY tanggal 4 Juni 2013. Sultan mengatakan bahwa kekerasan di
DIY akhir-akhir ini didominasi konflik kepentingan antar ormas. Sekali konflik itu dibiarkan, dan demikian tidak ditanggapi secara konsisten, maka konflik serupa selanjutnya akan terjadi. Orang boleh menebak, cara menanggapi secara konsisten berarti sebagaimana terjadi di Lapas Cebongan, menanggapi kekerasan dengan kekerasan, kebrutalan dengan kebrutalan.
Tidak sekadar mendukung, Jendral TNI Moeldoko, Panglima TNI yang baru saja menggantikan Laksamana Agus Suhartono, justru menyampaikan bahwa negara juga hadir memberi dukungan. Menurut Moeldoko, para pelaku bersikap ksatria dengan mengakui kesalahannya. Moeldoko kemudian mengkait-kaitkan bahwa para anggota Grup 2 Kopassus ini dengan tulus mengabdi kepada negara. Apakah dengan demikian membantai preman ini merupakan ketulusan pengabdian prajurit terhadap negara? Sementara itu,
Ketua Paksi Katon, Muhammad Suhud, akan turut serta mengerahkan anggotanya untuk hadir. Paksi Katon ingin turut serta mewujudkan
Yogyakarta yang kondusif.
Pada tanggal 18 Juni 2013, sebanyak 27 prajurit Grup 2 Kandang
Menjangan berziarah ke Taman Makam Pahlawan Yogyakarta. Figur pahlawan memiliki sejarah panjang di Indonesia. Sejarah panjang ini memungkinkan pahlawan untuk dimitoskan, melegitimasi suatu bangsa, bahkan melegitimasi kekuasaan. Pada masa Soekarno, pahlawan merupakan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
102
mereka yang turut berjuang pada masa revolusi 1945. Soeharto, yang menjadi presiden menggantikan Soekarno, memperluas jangkauannya dengan membawa-bawa pada masa sebelum “Indonesia” lahir seperti
Diponegoro, Pattimura atau Imam Bonjol. Pemitosan pahlawan dari berbagai daerah ini mendukung pembayangan bangsa sebagai sebuah keluarga.
Namun, menarik untuk dicatat bahwa apa yang dilakukan 27 prajurit yang berziarah tersebut adalah “berharap para tersangka mendapat hukuman yang ringan” dan bukan berharap para tersangka dihukum secara adil.193
Harapan ini seperti menempatkan para pahlawan sebagai sebuah kematian yang memiliki kekuatan ajaib dengan mampu mengabulkan permohonan.
Widihasto menceritakan bahwa ia ketemu dengan seorang Kapten dari Grup-
2 Kandang Menjangan yang mengatakan bahwa Kopassus dididik untuk membunuh, tapi demi keselamatan lebih banyak orang.194
Dukungan yang digagas oleh elemen masyarakat195 mulai muncul ke wacana pada 22 Mei 2013. Harian KR mengklaim ada sekitaran 150 orang yang datang ke Denppom IV/Diponegoro. Pemberangkatan “150 orang dari berbagai elemen” diurusi sebuah kepanitiaan. Harian tersebut menuliskan demikian,
Menurut panitia, Julius Felecianus, rombongan yang dipimpin Widihasto akan mengadakan acara ritual sekaligus membesuk
193 Kedaulatan Rakyat, 19 Juni 2013, hal. 1. “Bentuk Solidaritas dan Dukungan. Kopassus Ziarah ke Makam Pahlawan” 194 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016. 195 Tidak diragukan lagi bahwa penggunaan istilah ‘elemen masyarakat’ ini hanya sekadar domestikasi istilah ‘ormas’ yang telah mendapatkan nama buruknya di hadapan masyarakat. Sebelum Sekber bergabung dalam pengorganisiran dukungan, dukungan muncul dari ormas-orams yang sudah tidak asing lagi di masa Orde Baru.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
103
12 orang anggota Kopassus yang ditahan karena kasus Lapas Cebongan. "Kami akan memberikan dukungan moral kepada mereka," kata Julius. Menurut rencana rombongan akan berkumpul di Alun-alun Utara pukul 08.00 menggunakan 8 bus.196
Sejumlah 150 orang dari berbagai elemen tersebut di hari berikutnya oleh KR disebut sebagai “ratusan warga Yogya.” Apabila elemen adalah suatu lapisan atau bagian yang ada di masyarakat, maka warga mengambil bentuk yang lebih pasti, warga adalah mereka yang sudah dikenal dan menjadi anggota sebuah komunitas bernama Yogya. Istilah yang digunakan KR pun menarik, KR menulis ratusan yang berarti merentang antara seratus sampai kurang dari seribu. Pengaburan jumlah ini mengesankan bahwa banyak elemen. Elemen yang tergabung dalam warga Yogya ini terdiri dari Sekber
Keistimewaan DIY, Srikandi Mataram, Paksi Katon, GP Ansor, FKPPI,
Paguyuban Pedagang Kaki Lima Malioboro, Pareanom, Paguyuban Tukang
Becak Malioboro dan Banser.
Elemen-elemen masyarakat tersebut menggelar ritual doa bersama di halaman Denpom IV/5 Semarang, Para pemimpin doa seakan-akan sudah tersegmen mewakili para pemeluk agama di DIY. KH Muhammad Jazir dari majelis Dakwah MUI Yogyakarta yang mewakili pemeluk agama Islam. Kedua adalah Julius Felicianus yang mendaku Katolik dan Kristen. Dan terakhir adalah Ki Demang Wang Safyudin dari Sunda Wiwitan yang barangkali mewakili kaum kebatinan yang di dalam laporan resmi pemerintah daerah
196 Kedaulatan Rakyat, 22 Mei 2013, hal. 7. “Berkas Cebongan Lengkap, Tak Ada Granat. Tersangka Bertambah Jadi 12 Orang”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
104
tidak tercatat jumlahnya, tapi ada. Menurut Julius, pertemuan sekejap itu
“berarti mendalam.” Pertemuan ini memiliki kemiripan dengan menjenguk saudara.197 Katanya,
Kami semua terharu bertemu dalam ruangan sel khusus. Kami menyampaikan bahwa masyarakat Yogyakarta secara moril mendukung pemberantasan terhadap premanisme. Kami tidak mendukung upaya kekerasannya, namun kami akui bahwa apa yang mereka lakukan berdampak positif bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat Yogyakarta.198
Lagi-lagi aksi balas dendam pembantaian terhadap keempat tahanan itu dipahami sebagai sebuah awal bagi tujuan lebih panjang yang dinamakan pemberantasan terhadap premanisme. Julius mengulangi lagi bahwa, sebagaimana pimpinan-pimpinan polisi, penyerangan Cebongan “berdampak positif bagi keamanan dan kenyamanan masyarakat Yogyakarta.”
Pada waktu selanjutnya, selama persidangan sampai tanggal 5
September 2013, dukungan-dukungan terhadap para terdakwa pembantaian terus mengalir dari elemen-elemen masyarakat yang berafiliasi dalam Sekber
Keistimewaan. Dukungan dari elemen masyarakat ini berpotensi untuk mengalihkan kasus pembantaian ini menjadi model pemberantasan preman, meskipun sebagaimana diakui para pelaku dari Grup 2 Kopassus bahwa penyerbuan Lapas Cebongan didorong oleh rasa balas dendam terhadap
Serka Heru dan Sertu Sriyono.
197 Wawancara Julius Felicianus, 19 April 2016; Muhammad Suhud, 13 Mei 2016; dan Ani Sudaryati, 16 Mei 2016. 198 Kedaulatan Rakyat, 23 Mei 2013, hal. 1 & 7. “Gudeg Yogya Untuk 12 Tersangka”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
105
E. Kelompok Pendatang yang Dituduh Preman
Tepat sepuluh hari setelah terjadinya pembantaian Cebongan, halaman pertama KR menuliskan judul headline yang cukup menarik,
“Pascainsiden, Lapas Cebongan Dijaga Brimob. Kriminalitas di DIY Menurun”.
Di atas judul tersebut ditampilkan dua foto berwarna. Foto pertama menggambarkan Brimob Polda DIY yang tengah berjaga di Lapas Cebongan dan foto kedua bergambar poster imbauan bertuliskan “Ke Jogja Belajarlah yang Baik dan jadilah warga yg baik. Jogja Nyaman Tanpa Preman
#savejogja” (lihat Gambar 3.1). Dari kacamata seorang pembaca, headline dan foto yang ditampilkan ini bukanlah sesuatu yang main-main. Mengapa preman diarahkan pada warga pendatang?
Gambar 3.3. Halaman Depan Kedaulatan Rakyat tanggal 2 April 2013
Sebagai sebuah kota menengah dan urban199, Yogyakarta mengalami pergolakan lewat perjumpaan berbagai budaya dengan tata nilainya masing-
199 Lihat dalam tulisan Gerry van Klinken, “Introduction: Democracy, Markets and the Assertive Middle”, dalam Gerry van Klinken & Ward Berenschot (Eds.), In Search of
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
106
masing. Sebagai salah satu pusat orientasi budaya jawa, penyaringan dan pembuatan kategori mengenai bagaimana menjadi orang yang njawani dan tidak njawani berlangsung dalam proses sosial. 200 Menjadi njawani mengandung pengertian bahwa seseorang bisa disebut demikian apabila memahami hubungannya dengan otoritas. Dengan demikian, bisa memahami bagaimana cara menghormati otoritas. Menghormati dalam konteks ini bisa berarti mampu untuk menekan segala macam hasrat yang menimbulkan kekacauan, misalnya membuat tatanan yang tadinya sudah mantap menjadi goyah. Tatanan ini muncul dalam bentuk tata hidup keseharian seperti sopan, menjaga kenyamanan, atau menjaga keamanan. Tidak njawani berarti belum sepenuhnya menjadi wong Jogja, atau belum sepenuhnya memiliki sifat, tata- krama (ungah-ungguh) dan sikap sebagaimana orang Yogyakarta. Kata tersebut juga merujuk pada kondisi belum matang, belum beradab, dan belum bisa mengendalikan diri sebagai orang dewasa, yang berarti tidak terpatok pada usia. Istilah njawani dan tidak njawani ini menunjukkan bahwa pendatang tidak pernah benar-benar menjadi seorang Jawa.
Namun, agaknya kondisi Yogyakarta berbeda dengan konsep kematangan dalam hubungan sosial pada keluarga Jawa yang digambarkan
Middle Inndonesia: Middle-Classes in Provincial Towns (Leiden & Boston: Brill, 2014), hal. 6. Gerry van Klinken menuliskan bahwa demokrasi dan desentralisasi menciptakan kota menengah dengan karakter kelas menengah bergaji pas-pasan, jejaring lokal menguat, dan pandangan keagamaan cenderung konservatif. Singkat kata, cara pandang cenderung parokial. 200 Mengenai konsep njawani akan dibahas lebih panjang di bab selanjutnya. Bandingkan juga dengan konsep kematangan Jawa dalam Hildred Geertz, Keluarga Jawa (Jakarta: Grafiti Pers, 1993), hal. 111; Ben Anderson, Revoloesi Pemoeda (Jakarta: Sinar Harapan, 1988), hal. 22-23; Benedict Anderson, Mythology and the Tolerance of the Javanese (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project, 1965), hal. 16.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
107
oleh Hildred Geertz. Apabila Geertz mengatakan bahwa seseorang tidak dihukum atas kesalahannya yang tak bisa dimengerti, poster di atas bicara sebuah hukuman lewat sebuah peringatan. Pembantaian bisa terjadi pada siapa saja yang datang ke Yogyakarta kalau dia tidak atau belum menjadi warga (Yogyakarta) yang baik. Dengan demikian, belum menjadi orang
Yogyakarta mengisyaratkan bahwa masih ditemui kegagalan dari penyesuaian orang yang diandaikan akan menjadi orang Yogyakarta tersebut.
Meskipun, arti ‘menjadi orang Yogyakarta’ sendiri merupakan perkara yang terus diperdebatkan.201
Bersamaan dengan terungkapnya orang yang tadinya tak dikenal ini, rubrik SMS dengan judul “Suara Rakyat” mengelu-elukan Kopassus dan menyuarakan supaya preman segera dibasmi, disikat. Tidak hanya demikian, adapula yang mengirim sambil menunjuk suatu daerah tertentu.
Hak Azasi Kami Terinjak-injak. Sebelum bicara soal HAM, silakan tinggal di wilayah Tambakbayan, Babarsari dan sekitarnya. Selama ini hak azasi kami terinjak-injak. Tiap malam ribut, mabuk. Silakan cek tulisan saya. Silakan wawancarai penduduk Tambakbayan dan sekitarnya. +628180419 XXXX
Penyebutan Tambakbayan dan Babarsari langsung merujuk pada daerah yang keseharian masyarakat Yogyakarta dianggap dan diperbincangkan sebagai daerah kos-kos-an yang seringkali diwarnai dengan perselisihan.
201 Misalnya mengenai identitas orang Tionghoa di Jogja yang masih dianggap pendatang dan ditakutkan untuk menguasai perekonomian di Jogja. Isu mengenai diskriminasi Tionghoa ini muncul pada tahun 2015 lalu dalam sengketa tanah yang melibatkan PKL dengan seorang pengusaha Tionghoa. Sengketa tanah ini disusul dengan isu mengenai WNI non-pribumi, atau secara khusus Tionghoa, tidak berhak memiliki tanah di Jogja, Lihat misalnya dalam Mawa Kresna, “WNI keturunan Tionghoa tidak boleh punya tanah hak milik di Yogyakarta”, 17 September 2015, diunduh dari http://www.rappler.com/indonesia/106231-wni-keturunan-tidak-bisa-punya-shm pada 24 Agustus 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
108
Secara implisit, SMS tersebut merujuk pada mahasiswa dari “Timur” yang berarti orang asal NTT, NTB, Papua, atau Maluku. Isi SMS di atas justru berisi rasisme terhadap mahasiswa dari Timur di Tambakbayan. Tentu saja tidak semua orang dari Timur suka ribut atau mabuk. Sama halnya seperti tidak semua orang Yogyakarta tidak sering ribut atau mabuk. Namun, dalam rangkaian pembantaian Cebongan ini, terlepas dari beberapa kasus perkelahian yang melibatkan mahasiswa dari Timur, penyederhanaan terhadap siapa saja orang yang berasal dari Timur berubah menjadi lompatan kesimpulan bahwa mereka yang berasal dari ‘Timur adalah orang- orang yang mengacau.
Penyederhanaan dan lompatan kesimpulan tersebut membuat rangkaian penanda berupa membuat kacau yang dilekatkan pada preman kemudian juga dilekatkan pada pendatang. Asosiasi ini sekali lagi menyederhanakan penanda preman yang menunjuk pada pendatang. Dengan lompatan logika ini, hadirnya kategori pendatang kemudian bisa saja ditempelkan kepada siapa saja yang bukan “wong Jogja.” Mereka yang bukan
“wong Yogyakarta” inilah yang kemudian berpotensi membuat kekacauan.
F. Pemberantasan Preman dan Keistimewaan Yogyakarta
Sampai saat ini, wacana berita yang muncul di KR mengalami perubahan, dari urusan mana preman mana bukan menjadi bagaimana sesungguhnya “hubungan antara aparat TNI dengan rakyat sudah manunggal” bahkan sebelum pembantaian Cebongan terjadi. Bagaimana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
109
hubungan rakyat dengan aparat kepolisian? Citra polisi di masyarakat cukup buruk, seseorang yang berurusan dengan polisi seringkali melibat adanya ancaman terhadap suatu permasalahan.202 Widihasto mengatakan bahwa aparat kepolisian bekerja tidak sesuai harapan, misalnya saja mengenai patroli dan razia yang jarang ia temui ketika keluar malam. Dengan demikian, polisi seakan-akan membiarkan keamanan menjadi perkara yang boleh dijadikan kekhawatiran bersama.
Namun, wacana pemberantasan preman dihadirkan bukan karena alasan ketidak-amanan Yogyakarta. Wacana tersebut baru muncul setelah pembantaian Cebongan terjadi yang menunjukkan bahwa pemberantasan preman hanya menjadi dalih untuk memperkuat dukungan terhadap pelaku pembantaian. Pertanyaannya kemudian bukan mengapa wacana pemberantasan preman muncul, namun lebih pada mengapa pembantaian ini sesegera mungkin dapat beralih ke pemberantasan preman? Diikuti dengan apa saja yang memungkinkan wacana pemberantasan preman hadir? Guna menjawab dua pertanyaan tersebut, ada dua hal yang bisa menjelaskan, yakni memori pada pemberantasan gali dalam Petrus tahun 1980-an dan bertemunya dua kepentingan dengan musuh yang sama, yakni Diki dkk.
Sebab Petrus sudah menjadi bahasan yang sangat luas dalam ilmu sosial, maka tulisan ini akan lebih mengarahkan pada bagaimana pembantaian
202 Bandingkan dengan Shiraishi, 2009, Op.Cit., hal 47; Pada masa Orde Baru, Shiraishi menjelaskan bahwa di Jakarta polisi menjadi bagian dari jalanan yang potensial untuk mendatangkan bahaya. Misalnya saja seseorang memakai helm bukan karena kesadaran akan keselamatan, melainkan karena takut ditangkap polisi. Kesadaran bahwa berurusan dengan polisi merupakan hal yang ribet masih terus hadir di masyarakat. Lihat juga Pemberton, 1999, Op.Cit., hal. 196-197.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
110
Cebongan menjadi perpaduan dua kepentingan besar, yakni keistimewaan dan korps.
Dalam isu keistimewaan, Diki dkk. adalah orang-orang yang disewa
Anglingkusumo, keluarga Pakualaman, yang dalam isu keistimewaan menjadi orang yang berusaha merebut kursi Paku Alam. Perebutan kursi Paku Alam ini masuk dalam kategori Keistimewaan yang salah satu perhatiannya adalah jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur DIY diisi oleh Sultan dan Paku Alam
(PA) sesuai dengan paugeran Keraton serta Pura Pakualaman. Sebenarnya, konflik ini terjadi semenjak tahun 1999, berkaitan suksesi yang memenangkan putra dari ratu muda Paku Alam VIII, yakni KPH
Ambarkusumo. Sementara itu, pihak KPH Anglingkusumo yang merasa diri lebih pantas mendapatkan kursi Paku Alam IX, karena putra Permaisuri
Purnomoningrum.
Polemik suksesi ini menjadi makin rumit dengan tidak jelasnya paugeran Pakualaman. Dikabarkan selanjutnya bahwa Anglingkusumo menyewa Diki dkk. sebagai backbone keamanan.203 Pola-pola ini yang oleh
Tilly dijelaskan seringkali antara preman dengan politisi tidak bisa terpisahkan. 204 Untuk mempertahankan atau memperoleh kekuasaan, kekerasan dibutuhkan.
Masuknya Diki dkk. ke dalam lingkup kekuasaan Pakualaman ini kemudian menjadi masalah yang cukup serius. Suksesi berjalan dalam dua perkara, pertama adalah masalah internal keluarga, dan kedua adalah
203 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016. 204 Tilly, 2003, Op.Cit., hal. 28.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
111
masalah eksternal politis. Kondisi ini memungkinkan untuk dibawanya konteks keluarga ke dalam konteks politik. Sengkarut inilah yang membuka pintu selebar-lebarnya bagi emosi untuk menggerakkan politik kekuasaan dalam sebuah dinasti. Diki dkk. sendiri dianggap sebagai orang luar yang tiba-tiba masuk ke dalam kekuasaan dinastik yang dianggap sakral. Pertama dia adalah pendatang dan kedua dia masuk ke dalam ranah yang seharusnya orang Yogyakarta saja yang boleh urus.
Ketergabungan Diki dkk. menyebabkan tersangkutnya ia ke dalam polemik keistimewaan yang pada tahun 2012 lalu berhasil ditetapkan UU
Keistimewaan Yogyakarta. Lantas, karena berurusan dengan kekuasaan yang istimewa, yakni Pakualaman, Diki dkk. dijadikan musuh bersama dari para pegiat keistimewaan yang tergabung dalam Sekber Keistimewaan. Padahal, apabila dilihat dari sejarah ormas Kotikam di mana Diki bergabung, Kotikam telah menjadi tangan kanan dari Kraton maupun Pakualaman sejak tahun
1976. RM Imam Kintoko diberi tugas oleh HB IX dan Paku Alam VII untuk merekrut massa bagi Golkar yang kemudian terkenal dengan nama Angkatan
Muda Diponegoro yang pada tahun 1978 bersama angkatan muda lainnya menggabungkan diri dalam Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI).
Pada masa Petrus, Kotikam melakukan protes ditujukan pada Operasi
Pemberantasan Kejahatan (OPK) karena merasa terancam dengan operasi tersebut. Kotikam mengaku-diri sebagai sahabat ABRI yang tidak seharusnya ikut diberantas. Setelah RM Imam Kintoko meninggal pada 19 Februari 1993,
Harun Al Rasyid menggantikan kedudukan di ketua Kotikam, kemudian
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
112
dilanjutkan oleh Ronny Kintoko, yang adalah putra RM Imam Kintoko. Pada tahun 2014 lalu, Ronny Kintoko menyatakan dukungannya kepada PAN, meskipun kemudian ada isu Kotikam kembali ke PDIP. Sementara itu, dalam dunia preman, kelompok Diki dkk. dikenal sebagai pemain baru, meskipun bukan berarti menguasai. Keikutan-sertaan Diki dkk. dalam Pakualaman kemudian dijadikan dalih munculnya gerakan pro-Kopassus yang diorganisir
Sekber.205
Apabila dilihat secara kronologis, Sekber baru menjadi salah satu bagian gerakan pro-Kopassus pada tanggal 22 Mei 2013. Sebagaimana telah disebut di awal, pengorganisiran spanduk dilakukan oleh ormas-ormas yang menjadi binaan tidak langsung TNI sejak Orde Baru, seperti FKPPI, PP,
Kokam, atau Pemuda Panca Marga. Jadi, ada sedemikian besar rentang celah yang terbuka dari tanggal 7 April 2013 hingga 22 Mei 2016. Di mana dalam perkembangannya terjadi penambahan jumlah pengorganisiran dengan masuknya Sekber.
Dalam kehidupan kelompok preman di Yogyakarta, Diki dkk. terkenal sebagai preman yang tengah naik daun. Dunia preman memiliki rumusnya sendiri, si preman akan mendapatkan penghormatan tertinggi apabila mampu untuk melawan aparat. Diki dkk. telah memiliki sejarah panjang berurusan dengan aparat, sekali pernah mereka melukai seorang anggota
TNI AU lalu kedua mereka menganiaya dan membunuh sorang anggota
205 Wawancara dengan Julius Felicianus, 19 April 2016; dan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
113
Kopassus. Cerita-cerita yang beredar mengenai Diki dkk. pun sangat beragam, dari pemalakan hingga pengabaian nasehat dari tetua NTT di Yogyakarta.
Selain itu, peta perebutan lahan untuk mencari uang lewat keamanan pun berubah. Sudah menjadi rahasia umum bahwa aparat TNI atau
Kepolisian juga menyediakan jasa keamanan sebagaimana dilakukan para preman. Isu yang beredar mengabarkan bahwa Hugo’s Cafe menjadi lahan rebutan yang bergulir dari TNI AD, TNI AU, dan Kepolisian.206
Ada beberapa catatan penting dalam wacana yang muncul dan berusaha direpresentasikan dalam pembantaian Cebongan. Pertama adalah perubahan antara rangkaian penandaan orang tidak dikenal, preman, kriminal sebagai pelafalan yang ditujukan kepada para pelaku pembantaian.
Namun, penanda preman dan kriminal kemudian dilafalkan untuk korban pembantaian Cebongan. Pembalikan gagasan kemudian terjadi, para penyerang yang tadinya berada dalam kategori preman, mengalami alih peran (transubstantiation207) menjadi pahlawan, bahkan ksatria.
Kedua, pahlawan ini membantai karena ikatan emosional yang sebagian besar ikatan ini mendefinisikan bagaimana menjadi orang dalam identitas politiknya.208 Cukup menarik bahwa aktor-aktor sentral yang terlibat dalam pembantaian Cebongan bukan orang yang dikategorikan
206 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra, 11 Mei 2016. 207 Perubahan yang menggambarkan bahwa istilah ‘pelaku’ tidak lagi menggambarkan orang yang melakukan tahanan dan membunuhnya, lebih dari itu pelaku merupakan subjek dengan jiwa pahlawan-ksatria. Lihat dalam Žižek, 2005, Op.Cit., hal. 49; Slavoj Žižek, The Indivisible Remainder: An Essay on Schelling and Related Matters (London & New York, 1996), hal. 126. 208 Wawancara dengan Guntur Prabawanto dan Athonk Sapto Rahardjo, 11 April 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
114
bukan Jawa. Misalnya Komandan Grup 2 Kopassus Kandang Menjangan saat terjadi pembantaian adalah Letkol (Inf) Maruli Simanjuntak, yang mana adalah menantu dari Jendral Luhut Panjaitan. Selepas menjadi Komandan
Grup Dua Kandang Menjangan, ia dipindahkan menjadi Komandan Grup A
Paspampres (2014-2016) lalu Danrem 074/Warastratama (2016 s/d
Sekarang), Solo. Sementara itu, pelaku penyerangan yang paling sering disebut adalah Serda Ucok Tigor Simbolon. Maruli dan Ucok memiliki kesamaan latar belakang etnis yang dalam sejarah Indonesia teramat mudah memicu prasangka.
Kembali pada bagian awal bahwa terdapat tiga tahap penyingkiran yang mana mengaitkan istilah preman dengan pendatang yang mengacau
Yogyakarta. Tentu saja bagian ini hanya bisa menjawab bagaimana preman dan pendatang ini menjadi kategori yang disingkirkan dalam pembantaian
Cebongan. Maka, bagian selanjutnya akan menjawab apa yang mendasari penyingkiran dengan melihat bagaimana njawani menjadi fantasi yang menandai kemangkiran Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tentram.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV
FANTASI DALAM PEMBANTAIAN CEBONGAN
Mengapa pembantaian Cebongan memperoleh dukungan sekaligus pengabaian dari sebagian kalangan warga Yogyakarta? Mengapa muncul dalih bahwa kriminalitas di Yogyakarta meningkat sebelum terjadi pembantaian dan menurun setelahnya? Mengapa pembantaian Cebongan menegaskan bahwa Yogyakarta memang sebenar-benarnya istimewa sehingga keamanan dan ketenteramannya perlu dijaga? Bagian ini menguraikan bagaimana kondisi fantasmatik dalam bahasa-bahasa kekuasaan yang digunakan para pendukung pembantaian Cebongan.
Dalam wacana pembantaian Cebongan ada empat bentuk fantasi yang mendasari terjadinya dukungan terhadap pembantaian tersebut. Pertama berkaitan dengan pelaku pembantaian yang difantasikan sebagai pahlawan.
Kedua adalah fantasi mengenai pembelaan kepentingan orang banyak, yang dalam hal ini terkait dengan ‘jiwa korsa’ yang merupakan istilah militer untuk membela kesetiakawanan terhadap sesama anggota korps. Kedua fantasi yang berkaitan dengan pelaku pembantaian tersebut didukung dengan formasi fantasi ketiga yang berkaitan dengan pendatang yang secara khusus merujuk pada para preman asal NTT. Lantas, bentuk fantasi keempat dapat ditemukan dalam kaitannya dengan bagaimana menjadi subjek
Yogyakarta yang ideal, yang menurut gerakan pendukung pembantaian
115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
116
menjadi subjek yang njawani. Meskipun demikian, fantasi mengenai subjek ideal ini berlangsung bukan hanya saat riuhnya wacana pembantaian
Cebongan, namun juga dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Dalam keempat bentuk fantasi tersebut, hasrat terhadap Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan tentram atau Yogyakarta yang ideal sebagaimana dibayangkan oleh para pendukung pembantaian Cebongan muncul sebagai dampak adanya keterpisahan dengan kondisi ideal tersebut.
Kondisi ideal yang dipilih sebagai objek libidinal, yang mana hasrat diarahkan, menanggung frustrasi keterpisahan. Hasrat akan kesatuan (desire for unity) ini kemudian memunculkan fantasi akan menjadi Yogyakarta yang aman dan tenteram. Fantasi keutuhan ini diperoleh lewat hubungan dengan objek eksternal (Other) yang dalam pembantaian Cebongan ini didefinisikan preman atau pendatang.209 Pendefinisian preman atau pendatang lewat bahasa kekuasaan ini didasari dengan adanya skenario bahwa mereka mengacaukan Yogyakarta. 210 Dalam kondisi ini, bukan kenyataan yang membangun fantasi, melainkan fantasi yang menyusun kenyataan.
209 Bandingkan dengan Yannis Stavrakakis, Lacan & the Political (London & New York: Routledge, 1999), hal. 45-54. 210 Slavoj Žižek, How to Read Lacan (London & New York: W.W. Norton, 2007), hal. 59. Lihat juga dalam Slavoj Žižek, Less than Nothing (London & New York: Verso, 2013), hal. 685. “Fantasy in its destabilizing dimension whose elementary form is envy – all that ‘irritates’ me about the Other, images that haunt me of what he or she deceives me and plots against me, of how he or she ignores me and indulges in an enjoyment so intense it lies beyond my capacity to represent it , and so on.”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
117
A. Pelaku yang Diperlakukan sebagai Pahlawan
Mengapa sebuah tindakan pembantaian diceritakan sebagai
sebuah kisah kepahlawanan? Apakah pembantai ini adalah pahlawan?
Sebagai sebuah istilah yang butuh kesepakatan dalam dunia simbolik,
seorang pahlawan menjadi benar-benar pahlawan ketika orang-orang
memperlakukannya laiknya pahlawan. Orang tersebut tidak menjadi
pahlawan semenjak lahir, melainkan ia menduduki tempat pahlawan
dalam rangkaian hubungan sosio-simbolik. Masyarakat dianggap sebagai
subjek yang diandaikan percaya bahwa mereka adalah pahlawan.
Pahlawan ini mampu menggantikan masyarakat Yogyakarta untuk
melakukan tindakan primitif yang melibatkan fisik sehingga orang
lainnya mendapatkan ruang untuk menikmati kebebasannya (primordial
substitution). Dalam pembantaian Cebongan ini, dapat diamati bahwa
perubahan dari awal ketika belum terungkap identitas pembantai adalah
Kopassus, mereka tidak diperlakukan selayaknya pahlawan. Bahkan
sebaliknya, awalnya mereka adalah pengacau yang menebar teror. Tidak
bisa dipungkiri bahwa pertanyaan-pertanyaan di atas berujung pada,
mengapa terjadi alih ubah dari pembuat teror menjadi pahlawan?
Pahlawan dalam pembantaian Cebongan merupakan sosok yang
mengalami mistifikasi. Bahkan, para pembantai justru ditempatkan
sebagai penyelamat yang mendatangkan berkah dengan membuat
Yogyakarta menjadi aman. Tidak diketahui kapan muncul, namun
membawa aman, nyaman, damai, dan tentram. Pahlawan dalam wacana
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
118
seputar pembantaian Cebongan ini berada dalam momen saat
Yogyakarta membutuhkan “tokoh, entah perorangan entah institusi, yang
bisa menyelamatkan Jogja dari kriminalitas” 211 seperti sudah diuraikan
dalam bab dua. Meskipun demikian, tindak kriminalitas yang meningkat
tajam, yakni 193,98% pada tahun 2014 212 , menunjukkan bahwa
pembantaian Cebongan bukannya mengatasi kriminalitas di Yogyakarta.
Perlu dicatat bahwa gagasan balas dendam yang dilakukan
prajurit Kopassus, yakni Serda Ucok dkk., awalnya dilihat sebagai bentuk
kriminalitas. Namun, ketika mendapatkan dukungan, balas dendam ini
menjadi sesuatu yang terampuni – sesuatu yang lumrah-lumrah saja.
Terjadi perubahan saat aksi balas dendam ini ditempatkan dalam sebuah
konteks individu dan kemudian menjadi sebuah aksi kolektif. Sesuatu
yang tadinya tabu menjadi sebuah prestasi heroik atau bahkan
kewajiban mulia seorang prajurit yang mengangkat tinggi jiwa korsa
mereka.213
Setidaknya ada dua kategori penting terkait dengan peristiwa
pembantaian dan dukungan yang mengikuti, yakni keistimewaan dan
jiwa korsa.214 Menjadi Yogyakarta yang aman, nyaman, damai, dan
211 Wawancara dengan Julius Felicianus. 212 Lihat dalam Seksi Statistik Ketahanan Nasional & Bidang Statistik Sosial, 2015, Op.Cit., hal. 10. 213 Ruth Stein, For Love of the Father: A Psychoanalytic Study of Religious Terrorism (Meridian: Crossing Aesthetics) (California: Stanford University Press, 2010), 108. 214 Istilah Jiwa Korsa menjadi populer dalam wacana pembantaian Cebongan setelah sidang tanggal 20 Juni 2013. Mereka berteriak bahwa yang dilakukan para terdakwa tidak terencana seperti dakwaan. "Yang dilakukan para terdakwa disemangati jiwa korsa," kata salah seorang anggota ormas. Jiwa korsa adalah solidaritas kelompok yang ditanamkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
119
tentram mewakili apa yang dinamakan oleh gerakan pendukung
pembantaian Cebongan sebagai keistimewaan. Sementara “ksatria [yang]
telah mengakui perbuatannya” dan “siap mempertanggungjawabkan
apapun risiko atas dasar kehormatan prajurit ksatria” mewakili apa yang
disebut sebagai jiwa korsa-nya Kopassus. Keduanya berpadu membentuk
sebuah introyeksi 215 mengenai bagaimana Yogyakarta menjadi
‘Yogyakarta’ simbolik atau Yogyakarta-yang-ideal. Introyeksi ini
menciptakan sebuah moralitas paling tinggi yang mengganti dan
meruntuhkan sistem moralitas demi kepentingan Yogyakarta. 216
Bagaimana dengan jiwa korsa sendiri? Pendefinisian dan
munculnya konsep preman dihadapkan dengan jiwa korsa – yang
didefinisikan sebagai semangat untuk “membantu, melindungi, berbagi,
mengingatkan, menjaga [atau] dengan kata lain senasib, sepenanggungan
untuk bersama dalam satu unit memenangkan pertempuran.”217 Frase
“dalam satu unit memenangkan pertempuran” mengindikasikan bahwa
jiwa korsa merupakan sentimen solidaritas kelompok. Penggunaan
istilah jiwa korsa menunjukkan bahwa terdapat retakan dalam ruang
sosio-simboliknya bahwa jiwa korsa bisa ditafsir sesukanya, bahwa jiwa
dalam pendidikan kemiliteran untuk saling melindungi dan membantu bahkan hingga mempertaruhkan nyawa. Lihat dalam Honna, 2003, Op.Cit., hal. 65. 215 Dalam fantasi, intoyeksi berarti pengubahan kualitas objek luar untuk kemudian diinternalisir ke dalam diri subjek. Lihat dalam Laplanche & Pontalis, 1988, Op.Cit., hal. 229. 216 Ibid., hal. 110. 217 TB Hasanudin dalam http://www.viva.co.id/ramadan2016/read/403014-jiwa-korsa- kopassus-apa-itu. Lihat juga kesaksian dalam johanheru.blogspot.com oleh seorang saksi pembunuhan di Hugo’s Café yang justru mempertanyakan semangat solidaritas. Dalam perkelahian di Hugo’s Cafe diceritakan bahwa Serka Heru datang bersama empat orang lainnya yang kemudian meninggalkan Serka Heru sendiri.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
120
korsa menjadi penanda mengambang yang bisa diisi berdasarkan
kepentingan pihak penafsir. Retakan inilah yang memungkinkan jiwa
korsa menjadikan lumrah apa yang di depan moralitas kebanyakan
dinilai salah. Orang dengan mudah akan berpikir bahwa penyerangan
Lapas Cebongan tidak direncanakan218, perbuatan pelaku merupakan
respon atas pembacokan Sertu Sriyono (kemudian Serka Heru Santoso)
yang dilandasi jiwa korsa.
Bagaimana jiwa korsa itu diwujudkan oleh para pelaku
pembantaian dapat diamati dalam kisah Sertu Tri Juwanto dan Serda
Ucok Simbolon. Salah seorang prajurit yang terlibat dalam pembantaian
Cebongan, Sertu Tri Juwanto, mengungkapkan bahwa secara pribadi dia
terganggu dengan berita yang menimpa Sertu Sriyono.219 Serda Ucok
Simbolon juga mengaku bahwa Sertu Sriyono adalah sahabat sejatinya,
selain itu Ucok merasa kesatuannya dilecehkan.220 Pelecehan Sriyono
adalah berarti pelecehan korps, kesamaan-arti antar keduanya
memunculkan emosi yang meluap jadi agresi. Sekali lagi, emosionalitas,
dengan demikian sebagai kewajaran karena didahului jiwa korsa,
menyeruak hadir menjadi agresi yang destruktif. Menjadi seorang
218 Dalam persidangan pembantaian Cebongan ini dikatakan tidak terencana, namun akan sulit untuk mempercayaianya apabila mendengar isu mengenai prajurit Kopassus yang lima hari sebelumnya bersiap ke Jogja dan ada pertemuan antara Pangdam dengan Kapolda. 219 Kedaulatan Rakyat, 18 Juli 2013, “Saksi Kasus Cebongan: Penyerangan Didasari Jiwa Korsa” 220 Tribun Jogja, 24 Juli 2013, “Serda Ucok Mengaku Menyesal”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
121
prajurit mustilah memegang teguh apa yang disebut dengan jiwa korsa
yang tidak sama artinya dengan memegang teguh hukum yang berlaku.
Istilah keistimewaan dan jiwa korsa yang ditafsirkan oleh gerakan
pendukung pembantaian Cebongan dengan demikian melegitimasi dan
membalikkan gagasan mengenai kriminalitas. Dengan adanya
pembantaian Cebongan, ancaman dari musuh yang sama, yakni Diki dkk.,
menjadikan pembantaian ini suatu hal yang mulia baik bagi Kopassus
maupun gerakan elemen masyarakat Yogya yang mendukungnya.
Pembantaian ini justru menjadi cara memberikan pelajaran bagi orang-
orang yang tidak bisa diatur sehingga kegusaran para pendukung
pembantaian bisa terpuaskan.221
Keadaan yang menunjukkan bahwa pembantaian ini adalah
sesuatu yang mulia oleh Ruth Stein disebut sebagai kondisi perkecualian
(state of exception) dikarenakan adanya superlaw (hukum di atas
hukum). 222 Kondisi perkecualian ini memungkinkan terjadinya
pelanggaran hukum, solidaritas, maupun hak asasi manusia.
Pembantaian menjadi bukan lagi sekadar pembantaian, melainkan
sebuah cerita kepahlawanan yang dielu-elukan.
Namun, mengapa pemahaman bahwa sebuah pembantaian adalah
berarti pelanggaran terhadap HAM justru dinafikan? Dalam tubuh TNI
sendiri, sejarah buruk pelanggaran HAM menjadi persoalan yang sampai
221 Di perkampungan, orang Jawa memberi pelajaran kepada pencuri atau kriminal lain dengan menyiksa/menghukum seberat-beratnya untuk membuat kapok. Pola demikian juga muncul dalam perayaan pembantaian Cebongan. 222 Stein, 2010, Op.Cit., hal. 121.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
122
saat ini diperdebatkan. Meskipun penghormatan terhadap HAM juga
mulai tertanam di TNI, namun pandangan bahwa HAM menjadi musuh
utama TNI juga masih hadir. Seorang anggota Kostrad mengatakan
bahwa ‘musuh utama kami [TNI] adalah HAM’223 atau Kapten Kopassus
yang berziarah ke makam Jendral Sudirman mengatakan kepada
Widihasto bahwa mereka dididik untuk membunuh, namun demi
kepentingan orang banyak. Dalam pengertian ini, ada gagasan yang
tampak tumpang-tindih, “jangan membunuh, kecuali demi kepentingan
orang banyak.” Dengan kata lain, “membunuhlah apabila dibutuhkan
oleh sebagian besar anggota masyarakat.”
Beberapa anggota gerakan pro-Kopassus menyampaikan bahwa
musti ada pemisahan antara HAM dan kepentingan keistimewaan yang
mana menunjukkan bahwa HAM di sini memang menjadi isu yang
penting.224 Bahkan ketua HAM, Siti Noor Laila sempat diusir dari
Yogyakarta karena menyatakan bahwa pembantaian tersebut
bertentangan dengan HAM. Hal tersebut menunjukkan adanya penarikan
diri, bahwa ada suara lain yang dengan sengaja ditekan supaya tidak lagi
menimbulkan kebimbangan (disavowal of an uncomfortable
223 Lihat juga dalam Douglas Kammen, “Where are They now?: The Carreers of Army Officers who Served in East Timor, 1998-99”, dalam Indonesia , Number 94, October 2012, hal. 111-130. Kammen menuliskan bahwa: Colonel Burhanudin Siagian, who was the district military commander in Bobonaro in 1999, was appointed sub-regional military commander of Abefura, Papua, where further reports of human rights abuses have surfaced. In defense of his hard-line approach to the Free Papua Organization, Siagian is reported to have stated publicly “[w]hat is absolutely certain is that anyone who tends towards separatism will be crushed by TNI,” adding, “we are not afraid of human rights.” 224 Wawancara dengan Julius Felicianus dan Widihasto Wasana Putra. Meskipun demikian, dalam wawancara dengan Ani Sudaryati, pemimpin Laskar Srikandhi, dikatakan bahwa Widihasto tidak menyetujui penggunaan kekerasan.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
123
proximity). 225 Mangkirnya suara lain ini membentuk penyangkalan
bahwa apa yang menjadi pengetahuan bersama tidak perlu diketahui
(fetishistic disavowal). Lantas, gerakan pro-Kopassus sebenarnya
mengetahui telah terjadi pelanggaran HAM, namun karena tidak mau
tahu kalau mereka tahu, maka mereka bertindak seolah-olah mereka
tidak tahu.226 Ke-tidak-mau-tahu-an ini boleh jadi sebagai dampak dari
adanya musuh bersama dan mengikuti logika jiwa korsa yang dilakukan
oleh pelaku pembantaian. Dengan tidak-mau-tahu ini, maka penciptaan
rasa kapok terhadap preman yang dianggap menganggu Yogyakarta
dapat ternyatakan.
Apabila diperhatikan, hubungan antara Kopassus dengan gerakan
pro-Kopassus ini merupakan hubungan layaknya penonton dengan para
pemain ketoprak. Proses pengadilan para pelaku pembantaian
diperlakukan layaknya pertunjukkan drama dengan ritual yang penuh
sorak-sorai perayaan pembantaian. Perayaan dan ritual dukungan
dilakukan bukan hanya di jalanan, melainkan juga di dalam persidangan
dengan saksi dari beberapa pihak yang sebenarnya tidak berkaitan
langsung dengan pembantaian. 227 Berbeda dengan FKPPI, PP, atau
Kokam yang memang melibatkan pihak militer dalam pembentukannya,
225 Žižek, 2013, Op.Cit., hal. 660. Dalam obrolan dengan seorang prajurit Kostrad, ia mengatakan mengatakan bahwa “musuh kami ya cuma HAM.” 226 Lihat dalam Žižek, 2008, Op.Cit., hal. 53. Lihat juga Slavoj Žižek, The Sublime Object of Ideology (London and New York: Verso, 1989), hal. 32. 227 Dalam wawancara dengan Muhammad Suhud, FKPM Paksi Katon ditugasi untuk menjaga persidangan, Suhud mengatakan demikian, “Mengapa Paksi Katon yang dipilih? Padahal ada FKPPI yang lebih besar? Kalau tentara atau polisi nanti dikira mempengaruhi persidangan.” Dalam tradisi militer di Indonesia, model ini disebut dengan proxy war.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
124
Sekber Keistimewaan merupakan elemen masyarakat yang berdiri dalam
kepentingan keistimewaan. Artinya, hubungan antara Sekber dengan
Kopassus lebih lentur dan bisa renggang kapan saja. Beberapa anggota
Sekber bahkan lahir dari aktivis yang anti rezim militer Orde Baru. Boleh
jadi, dalam momen selanjutnya, Sekber berada di pihak yang
bertentangan dengan Kopassus, tapi mungkin saja pertalian berbasis
kepentingan yang sama kembali terjadi.
Penciptaan hubungan ini juga terjadi lewat ziarah yang secara
khusus terjadi dalam rangkaian pembantaian Cebongan. Pada tanggal 18
Juni 2013, 12 Tersangka dipindahkan dari Mako Denpom IV/5 Semarang
ke Denpom IV/2 di Jalan Magelang. Pada hari yang sama, para prajurit
Kopassus melakukan ziarah ke makam Jendral Sudirman di Taman
Makam Pahlawan (TMP) Kusumanegara. Tidak hanya prajurit, gerakan
pro-Kopassus juga turut serta dalam peziarahan ini. Menurut para
prajurit, ziarah dilakukan sebagai wujud solidaritas dan dukungan moril.
Ziarah merupakan salah satu strategi politik dengan tujuan yang sangat
beragam. Pada jaman Soekarno, ziarah menjadi “praktik populer untuk
mengenang dan menghormati korban-korban perang kemerdekaan.”228
Karena perang kemerdekaan yang terjadi tidak terpusat, maka ziarah
dilakukan di lingkup komunitas lokal di mana pejuang anti-kolonial
dimakamkan. Tujuannya adalah “membawa ke permukaan suatu
228 Klaus H. Schreiner, “Nenek Moyang Nasional”, dalam Henri Chambert-Loir & Anthony Reid (Ed.), Kuasa Leluhur: Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan di Indonesia Kontemporer (Medan: Bina Media Perintis, 2002), hal. 375.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
125
penyatuan secara nasional melalui simbol-simbol baru.” Tujuan tersebut
akan sangat berbeda dengan ziarah yang terpusat seperti di Lubang
Buaya, Kalibata, atau Kusumanegara, yang arahnya adalah “mendominasi
simbol-simbol kekuasaan.” 229 Ziarah adalah ritual yang
“merepresentasikan mode memori untuk menciptakan suatu arti
komunitas.”230 Dengan ziarah, maka ingatan dapat terorganisir dan
membentuk ingatan bersama sesama anggota komunitas yang mengingat.
Cara menggunakan simbol kekuasaan lewat ziarah ke makam
Jendral Soedirman ini menunjukkan bahwa figur-figur nenek moyang ini
sebenarnya tidak mati atau lebih tepatnya tidak bisa mati. Mereka hanya
ada berada di suatu tempat yang “tidak di sini” namun sewaktu-waktu
bisa dipanggil ulang. Pemanggilan ulang lewat ziarah ini diharapkan akan
meringankan hukuman para pelaku, artinya figur kematian ini
diandaikan memiliki kuasa untuk merubah. Di sinilah kemudian
pembalikan fetisistik terjadi, bahwa bukan kenyataan bahwa figur
kematian yang salah dimengerti, melainkan fantasi mengenai figur
kematian ini yang menyusun kenyataan. 231 Dalam hal ini, fantasi
membangun sebuah dunia di mana figur kematian tidak melakukan
apapun untuk memperingan hukuman, namun, meskipun demikian
mereka diyakini akan melakukannya.
229 Ibid., hal. 377. 230 Ibid., hal. 375. Lihat juga tulisan Victor Turner, The Ritual Process: Structure and Anti- Structure (Ithaca: Cornell University Press, 1991), hal. 94-130. 231 Slavoj Žižek, Sublime Object of Ideology (London & New York: Verso, 2009), hal. 9.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
126
Dari tulisan di atas, dapat diketahui bahwa pembantaian ini dielu-
elukan karena Yogyakarta dianggap berada dalam kondisi perkecualian.
Kondisi perkecualian ini memungkinkan pihak otoritas Kopassus sebagai
institusi negara masuk sebagai pahlawan. Kondisi perkecualian ini
memunculkan pihak-pihak yang justru menegaskan kekuasaan lama,
yakni dengan cara menjaga tatanan tidak berubah. Demi kepentingan
tatanan keamanan dan ketertiban tersebut, maka pengetahuan mengenai
HAM tidak lagi penting dan tidak-mau-tahu bahwa tatanan musti
tersusun rapi.
B. Fantasi mengenai Ksatria Ber-Jiwa-Korsa
Selain pahlawan, dalam tradisi pewayangan Jawa dikenal pula
istilah Ksatria yang direpresentasikan lewat Pandawa. Meskipun
demikian, dari kelima Pandawa, adalah Bima (Wrekudara) yang secara
ideal menggambarkan figur Ksatria dalam tradisi Jawa. Figur Bima
sendiri dikenal sebagai satria “yang paling ditakuti…. menembus hutan
dan gurun, melompati gunung dan menyebrang samudera tanpa
kesulitan.”232 Selain itu, “kejujuran, kesetiaan, kegigihan dan kemampuan
militernya” menjadikan Bima tokoh yang kondang dalam dunia
pewayangan.233
232 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 28. 233 Tokoh wayang Bima juga seringkali dijadikan alegori dalam dunia perpolitikan nasional, misalnya pada rangkaian Pemilu 2014, Ki Manteb Sudarsono memberikan Bima kepada Prabowo yang dianggapnya tegas dan tidak menggak-menggok. Lihat dalam
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
127
Dalam sejarah resmi Indonesia, ksatria merujuk pada sebuah sifat,
bukan sebuah sosok. Sifat ksatria sendiri biasanya berada dalam
rangkaian penandaan yang sama dengan keberanian dan kerelaan-
berkorban. Ketiganya tercakup dalam sosok yang kemudian dikenal
dengan pahlawan. Ia menjadi figur bayangan, sebagai sebuah jiwa (spirit)
sekaligus menjadi sesuatu yang menghantui (specter). 234 Meskipun
secara ketubuhan pahlawan sudah mati, namun bagi bangsa Indonesia,
pahlawan ditempatkan sebagai figur yang mempengaruhi kelahiran
bangsa Indonesia, dan dirayakan dalam upacara dan ruang kelas sekolah.
Meskipun demikian, berbeda dengan pahlawan dalam pembantaian
Cebongan, dalam keseharian amatlah jarang orang bisa membayangkan
seorang pahlawan yang menakut-nakuti, main hakim sendiri, atau
membangga-banggakan kekuataannya.
Tapi pembantaian Cebongan telah menkonstruksikan pengertian
pahlawan dari perbuatan keji. Ucok dkk. semula disebut-sebut hanya
prajurit yang main-hakim sendiri dan tidak bisa dibenarkan ketika
melakukannya atas nama jiwa korsa. Mereka menjadi pahlawan karena
memperjuangkan jiwa korsa yang telah ditanamkan di dalam korps-nya.
jiwa korsa-nya muncul setelah melihat CCTV di Hugo’s Cafe, yang mana
Serka Heru dianiaya tanpa perlawanan. Di sini ditemukan jenis baru
pahlawan yang digambarkan sedikit mendekati seorang yang
http://www.tribunnews.com/pemilu-2014/2014/05/29/ki-manteb-prabowo-ibarat-bima- jokowi-layaknya-yudhistira 234 Tom Lewis, “The Politics of ‘Hauntology’ in Derrida’s Specters of Marx”, dalam J. Derrida, T. Eagleton et.al., Ghostly Demarcations (London & New York: Verso, 2008), hal. 137.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
128
berperilaku tanpa mengindahkan hukum dan tatanan yang berlaku. Jenis
ini jelas tampak ganjil dalam kategori pahlawan yang selama ini dikenal
oleh bangsa Indonesia.
Dalam rangkaian pembantaian Cebongan, “melihat” menjadi
perkara yang penting. Gerakan pro-Kopassus, juga Hendropriyono,
merujuk bahwa pembantaian adalah wajar adanya apabila seseorang
melihat terlebih dahulu isi CCTV. Sementara itu, Maruli Simanjuntak
mengatakan bahwa apa yang terlihat di CCTV sangat sadis.235 Demikian
pula bagi Ucok cerita mengenai meninggalnya Serka Heru menjadi hal
yang menggerakkannya secara emosional untuk melakukan balas
dendam.
Setelah Serda Tri Juwanto memberikan info kepada Ucok
berkaitan pembunuh Serka Heru dan pembacok Sertu Sriyono236, Ucok
dikabarkan terlihat berubah. Ucok tidak percaya bagaimana Serka Heru
bisa terbunuh dan bagaimana caranya. Serka Heru sendiri pernah
menolong dan menyelamatkan Ucok ketika di Papua.237 Kemudian dia
mendengar lagi Sertu Sriyono, yang pernah menyelamatkan hidupnya di
Aceh, juga dibacok oleh kelompok Marcel dkk.. Emosi Ucok pun semakin
menjadi-jadi. 238 Singkatnya, dengan emosinya yang digambarkan
meledak-ledak, Ucok menjadi seorang prajurit yang mampu melanggar
235 Tribun Jogja, 12 Juli 2013, “Maruli Saksikan Rekaman CCTV Insiden Hugo’s” 236 Tribun Jogja, 18 Juli 2013, “Serda Tri Juwanto Pasok Info ke Ucok di Kantin (Serda Ucok Simbolon Kasih Isyarat Jempol Tangan Sebelum Berangkat ke Yogyakarta)” 237 Tribun Jogja, 17 Juli 2013, “Sugeng Lihat Ucok Gemetar (Pengacara Ingin Hadirkan Sertu Sriyono)” 238 Tribun Jogja, 17 Juli 2013, “Ucok Galau Serka Heru S Terbunuh”
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
129
disiplin apabila dibutuhkan. Cerita menjadi lebih masuk akal dan terarah
pada masalah personal, karena kedekatan Ucok dengan Sertu Sriyono
maupun Serka Heru Santoso.
Alih-alih mendengar dan melihat, justru penyerangan dan
pembantaian terjadi sebagai sesuatu yang berlandaskan jiwa korsa. Ada
satu idealisasi tersendiri dalam diri seorang prajurit bahwa ia musti
menjadi prajurit sejati, yakni prajurit yang ber-jiwa-korsa. Video CCTV
dan cerita-cerita didahului oleh kerangka acuan yang dinamakan jiwa
korsa, artinya alih-alih ‘Jiwa Korsa’ sesuatu yang bersifat personal, justru
tampak bahwa jiwa korsa merupakan sesuatu yang membangun sebuah
sistem. Sebagai sebuah kerangka acuan, jiwa korsa bertindak sebagai
aturan tidak tertulis (unwritten rules) dalam lingkup prajurit dan
membuat prajurit menjadi tidak nyaman dalam posisinya, apa yang
diceritakan itu membuat marah dan apa yang terlihat di CCTV itu sadis.
Atau “sebagai seorang prajurit yang mendengar cerita itu, saya akan
marah” dan “sebagai seorang prajurit yang melihat CCTV, hal tersebut
menjengkelkan dan sadis.” 239 Warga masyarakat, terutama para
pendukung penyerangan ini diajak untuk memahami pembantaian itu
atas dasar rasa kesetia-kawanan dan pengorbanan yang semula hanya
dikenal di kalangan militer. Oleh karenanya, mereka yang memahami
konsep itu kemudian memberikan dukungan sepenuhnya bagi para
pelaku pembantaian, dan bahkan mempahlawankannya.
239 Bandingkan dengan Slavoj Žižek, Looking Awry: An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture (Massachusetts: The MIT Press, 1991), hal. 125-126.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
130
C. Fantasi mengenai Preman yang Mengotori Yogyakarta
Kematian empat tahanan preman diikuti dengan cerita-cerita
yang beredar di kalangan masyarakat umum mengenai Diki dkk. yang
seringkali menganggu wong cilik. Namun, duduk permasalahan seperti
apa yang terjadi, orang tidak begitu peduli. Cerita-cerita kesadisan
tersebut bukan untuk dicari tahu lebih jauh, melainkan untuk secara
emosional ditanggapi (fait divers).240 Tanggapan secara emosional ini
menghadirkan formasi fantasi mengenai preman yang merujuk kepada
para pendatang dari NTT.
Di pihak lain, dari kolega dan keluarga Diki berpendapat lain. Diki
bukan seorang preman, melainkan bekerja pada sektor pengamanan.
Artinya, ia dibayar untuk menjadi petugas keamanan. Sebenarnya tempat
hiburan malam seperti Hugo’s Café sudah ada petugas keamanan sendiri,
namun Diki dkk. bertugas sebagai petugas keamanan yang hanya
dipanggil ketika ada kasus khusus, sebagaimana ketika Serka Heru
Santoso datang dan petugas keamanan merasa tidak mampu
menghadapi. Penyebutan preman dinilai oleh keluarga Diki sebagai
sesuatu yang problematis, sebab di dalamnya mengandung kepentingan
untuk melegitimasi pembantaian.241
240 Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 9. 241 Lihat wawancara dengan orang tua Diki, Max Felipus Sahetapy, dalam https://johanheru.wordpress.com/2013/07/24/ diunduh pada 22 Juni 2016. Dituliskan demikian “Ya kami kepingin mengetahui sebenarnya kasusnya bagaimana sehingga dia sampai dieksekusi begitu. Kalo bisa secara terbuka lah semua. Supaya kita tahu anak kita salahnya sampai dmn. Ya kan pak. Kasihan kita orangtua terkatung2 dengan berita yg simpang siur... Saya anggap itu [penyebutan premanisme] pelecehan. Krn mereka bukan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
131
Sebenarnya kategori seperti apa yang dimaksud preman dalam
bayangan orang-orang Yogyakarta, terkhusus dalam pembantaian ini?
Memperbincangkan preman dalam konteks ini berarti berbicara
bagaimana konsep preman atau dengan kata lain berbicara dalam ranah
fantastik. Orang boleh saja ingat dengan Gun Jack yang terkenal dalam
sejarah ke-preman-nan di Yogyakarta. Ia memiliki sejarah berkelahi dan
membunuh seorang TNI yang juga adalah seorang putra perwira tinggi.
Alih-alih ia ganti dibunuh, justru ia direkrut dan dipersenjatai oleh pihak
militer. Pun dengan Diki dkk., mengapa ia tidak lalu direkrut oleh militer?
Apakah pola premanisme di Yogyakarta sendiri mengalami perubahan?
Mengapa hanya Diki dkk. yang dibantai? Bagaimana dengan orang-orang
yang selama ini dikenal sebagai preman seperti Cak Harno, Sotong, dan
Harun?242
Sebagai sebuah figur kategoris, preman tidak mungkin
menghilang. Mereka adalah kategori masyarakat yang muncul sebagai
efek dari beranjaknya daerah urban. Para pengusaha membutuhkan
mereka untuk tenaga keamanan usahanya. Sudah menjadi rahasia umum
bahwa aparat juga terlibat dalam bisnis-bisnis tersebut. Makanya, dalam
dunia keamanan usaha dikenal adanya “bisnis resmi” yang merujuk
adanya ijin dari aparat, sekalipun itu sebuah tempat prostitusi.
preman. Mereka ini bekerja. Kan kasus hugos ini lahannya mereka. Bukan lahannya kopassus itu. Lahan mereka, mereka mesti mengamankan lahan mereka.” 242 Lihat sepak terjang preman-peman yang ditokohkan di Jogja seperti Gun Jack, Cak Harno, Sotong, dan Harun dalam Rudiana, 2013, Op.Cit. Lihat juga dalam “Wawancara dengan Michael” dalam https://johanheru.wordpress.com/2013/07/24/wawancara-dengan- michael/ diunduh pada 21 November 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
132
Pertemuan yang tidak terhindarkan antara tenaga keamanan tidak resmi
dengan aparat negara memungkinkan terciptanya kerjasama bahkan
konflik antara kedua belah pihak. Misalnya saja Gun Jack yang dekat
dengan tentara dan Diki dkk. yang dikenal sebagai ATM atau sumber
pemasukkan bagi polisi namun juga menjadi musuh dari tentara.243
Diki dkk. sendiri membentuk jaringan preman dengan model
berbeda. Karena keberaniannya, mereka direpresentasikan sebagai
orang yang masuk dalam kategori preman namun tidak bisa diatur oleh
aparat polisi maupun tentara. Boleh dikata, jaringannya merupakan
pengacau keamanan yang tidak bisa diajak bekerja-sama. Kendatipun
demikian, bagi orang dari NTT ia dikenal sebagai orang yang suka
membantu apabila orang dari NTT mengalami masalah di Yogyakarta.
Sekali waktu pernah John S. Keban, tetua NTT di Yogyakarta sekaligus
wakil ketua DPD Partai Golkar DIY, mengingatkan Diki namun justru
diceritakan bahwa John S. Keban dimaki-maki oleh Diki.244
Sebagaimana disebutkan sebelumnya isu keistimewaan yang
berpadu dengan jiwa korsa Kopassus membuat kategori preman menjadi
semakin kabur. Tindakan kekejian yang ditegaskan dengan adanya
gerakan memberikan sinyal bahwa preman dengan kebebasannya dari
aparat (bahkan berani terhadap aparat) dan berani terhadap orang lain
yang dituakan semakin menunjukkan preman sebagai orang yang gagal
berkomunikasi dalam masyarakat, gagal bergaul, tidak bisa hidup di
243 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra. 244 Wawancara dengan Julius Felicianus.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
133
masyarakat. Mereka adalah orang bebal yang belum mengerti dan tidak
mau menghargai etiket Jawa, atau dengan kata lain bukan Jawa.245
Konsep melawan orang yang dituakan ini merupakan hal yang tidak
masuk dalam nilai-nilai kejawaan seperti patuh dan hormat. Lantas, tidak
heran kemudian Diki dkk. dianggap sebagai “anak nakal” yang kualat
oleh salah satu pengorganisir gerakan dukungan terhadap pelaku
pembantaian.246 Penyebutan “anak nakal yang kualat” ini adalah cara
untuk menunjukkan pada orang-orang di Yogyakarta bahwa mereka
yang tidak bisa menghargai etiket Jawa di Yogyakarta akan mendapatkan
pelajaran.
Bicara soal preman, apabila menggunakan kategori sosial, bisa
berarti memperbincangkan perkara “sampah masyarakat” atau “tidak
memberi kontribusi yang produktif bagi masyarakat.” 247 Namun,
kategori tersebut berlaku hanya dalam kelas menengah di Yogyakarta.
Dalam kategori masyarakat kelas bawah atau yang tersingkirkan,
preman layaknya seseorang yang memikat dan fantastik.248 Preman
layaknya subjek yang mampu menembus batas-batas dan aturan-aturan
yang tertulis maupun tidak tertulis. Kedekatan dan keberaniannya
dengan aparat sebagai suara hukum menjadi privilese yang sukar
dibayangkan masyarakat pada umumnya. Dalam hal ini Hukum dilihat
sebagai sebuah ancaman bagi seseorang, kegagalan dalam
245 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 10. 246 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra. 247 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra. 248 Bandingkan dengan Siegel, 1998, Op.Cit., hal. 8.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
134
mengidentifikasi diri dengan Hukum yang berlaku justru menunjukkan
bahwa hukum tidak mampu menawarkan identitas yang menetap dan
tidak bisa menyokong hasrat yang dimiliki subjek dalam masyarakat.249
Segera setelah pembantaian Cebongan terjadi, Sultan HB X
mengundang tokoh-tokoh Yogyakarta untuk mengadakan makan siang
bersama dan sarasehan di Tamanan. Dalam pertemuan tersebut, seorang
warga yang hadir mengatakan bahwa beliau menyampaikan orang-orang
itu (Diki dkk.) “seharusnya sekolah baik-baik di Yogyakarta, bukan malah
datang dan membawa senjata tajam, kalau seperti itu, ya keluar dari
Jogja saja.” Hal serupa juga disampaikan oleh adik Sultan, Gusti Prabu.
Banyak orang kemudian dianggap kurang ajar karena datang hanya
untuk mengacaukan ketentraman Yogyakarta. Bahkan sempat muncul
istilah yang sentimentil dari seorang aktor gerakan pendukung
pembantaian, yakni “mengotori”. Penggunaan istilah “mengotori” ini
membuat asosiasi yang tumpang tindih antara mana preman dan mana
pendatang. Keduanya menjadi gagasan yang maknanya saling tumpang
tindih.
Dalam perbincangan tersebut, preman kemudian muncul sebagai
sesuatu yang disematkan kepada orang yang datang dan mengotori
Yogyakarta. Mengotori tidak lain adalah untuk mengganti atau
menyingkat keadaan yang tidak aman, nyaman, damai, dan tentram. Para
preman ini seakan-akan datang sebagai seorang pencuri yang
249 Yannis Stavrakakis, Lacan and the Political (London & New York: Routledge, 1999), hal. 45.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
135
mengacaukan tata nilai dan cara hidup orang Yogyakarta.250 Mereka
tidak pernah bisa menjadi orang sebagaimana orang Yogyakarta, namun
pada saat yang sama mereka mengancam identitas Yogyakarta.
Masalah mengenai pendatang menjadi makin rumit dengan
hadirnya rangkaian penandaan (free-floating dispersion of signifiers)
antara “orang kulit hitam” dan berambut keriting entah dari NTT, NTB,
Papua, atau Ambon, dengan preman. Orang-orang tersebut dikabarkan
suka berkelahi dan rusuh, orang-orang tersebut suka mabuk dan tidak
terkontrol, orang-orang tersebut bisa seenaknya tidak pakai helm di
jalanan, orang tersebut suka bicara keras walaupun malam hari, atau
kulturnya temperamental, yang adalah kebalikan dari apa yang
didefinisikan sebagai orang Yogyakarta dalam gerakan mendukung
pembantaian Cebongan. Dengan demikian, para pendatang ini justru
memperjelas ketidakjelasan identitas orang Yogyakarta bagi orang-orang
Yogyakarta sendiri, atau lewat para pendatang ini identitas Yogyakarta
bisa terdefinisikan. Para pendatang ini berfungsi sebagai sebuah fiksi
yang membuat subjek Yogyakarta terus merepresi krisis Yogyakarta
yang kini dianggap tidak lagi aman, nyaman, damai, dan tentram untuk
kemudian diarahkan ke figur pendatang. Cara-cara memasukkan figur
pendatang ini tampak misalnya dalam spanduk bertuliskan
“PREMANISME: Bukan Sifat Asli Orang Yogya, Pergi atau Kita Usir” atau
250 Slavoj Žižek, “Eastern Europe’s Republics of Gilead”, dalam Chantal Mouffe, Dimensions of Radical Democracy: Pluralism, Citizenship, Community (London & New York: Verso, 1995), hal. 196.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
136
dalam sebuah poster bertuliskan “Pelajar/mahasiswa merantau ke Yogya
tugasnya… a. Belajar; b. Ke Diskotik; c. Jadi Preman” dengan memberi
tanda silang pada huruf a.251
Permasalahan sikap rasis terhadap para pendatang pun semakin
naik ke permukaan. Muncul cerita-cerita berkaitan dengan penolakan
orang dari NTT, NTB, Ambon atau Papua. Dalam lingkup sosio-politik,
penolakan aksi orang-orang Papua untuk memperjuangkan demokrasi
yang diorganisir Paksi Katon yang menyatakan bahwa “OPM [Organisasi
Papua Merdeka] bisa-bisanya menghina negara tapi dibiarkan.” Atau
dalam ruang-ruang sosial yang lebih sempit, misalnya seorang
mahasiswa yang mencari kos akan ditanyai asalnya dari mana, ada
ketakutan kalau-kalau mereka dari NTT, NTB, Ambon, atau Papua. Ada
sembilan orang mahasiswa NTT dan Papua yang mengungkapkan telah
mengalami sikap rasisme saat di Yogyakarta. Misalnya saja berkaitan
dengan saat ia mencari kos, ia mengatakan bahwa ketika mencari kos
ditanyai daerah asal, ketika ia bilang dari NTT si pemilik indekos
mengatakan tidak ada kamar kosong. Kemudian, seorang temannya dari
Solo bertanya di hari berikutnya dan pemilik indekos mengatakan bahwa
masih ada kamar kosong. Adapula cerita dari seorang lain dari NTT yang
ditanyai soal Diki dkk. ketika pada bulan Juni 2013, tiga bulan setelah
pembantaian Cebongan, ia datang ke Yogyakarta. Ia mengatakan bahwa
lebih lanjut ditanyai apakah kenal dengan Diki dkk., apakah rumahnya
251 Pada kenyataannya, keempat tahanan yang tewas tidak satupun mahasiswa. Deki, Adi dan Dedi adalah pekerja swasta, sementara Juan adalah desersi polisi.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
137
dekat dengan mereka. Sejak tahun 2004, penolakan-penolakan kos yang
mulai terjadi di Yogyakarta semakin diperkuat dengan adanya
pembantaian Cebongan.
Bukan berarti bahwa hal tersebut tidak rasional, justru sikap
rasisme ini memiliki rasionalitasnya sendiri, yang mana kertersingkiran
tersebut justru cara untuk memasukkan orang-orang yang disingkirkan
ke dalam komunitas Yogyakarta. Dengan menyingkirkan para pendatang
ini, maka “kita sebagai orang asli Yogyakarta” bisa dibedakan dengan
“mereka yang bukan orang asli Yogyakarta”. Lewat penyingkiran ini,
identitas Yogyakarta semakin terkategorikan, dan dengan demikian
terdefinisikan sementara bagi kalangan tertentu.
D. Pendukung Pembantai dan Pelindung Paugeran Kraton
Diki dkk. yang masuk dalam lingkar pergaulan dalam Pakualaman
menjadi alasan utama mengapa dukungan terhadap Kopassus mesti
dilakukan. Diki dkk. adalah orang yang kualat karena masuk ke dalam
konflik yang seharusnya tidak ia masuki.252 Dengan kata lain, Diki dkk.
masuk ke dalam konflik yang bersentuhan langsung dengan paugeran
kesultananan Yogyakarta. Singgungan dengan perkara paugeran inilah
yang kemudian membuat Diki dkk. kualat dan pantas diberi pelajaran
oleh para pendukung pembantaian Cebongan.
252 Wawancara dengan Widihasto Wasana Putra.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
138
Dalam pengertian ini, “kualat” sebagai wujud pemberian pelajaran
menciptakan penyingkiran bagi orang-orang yang mengusik kedudukan
Kraton. Mengapa demikian? Mengapa bukan karena mengusik
kedudukan Sultan? Padahal, kritik-kritik yang dilayangkan kepada Sultan
sudah sangat berjibun di media sosial, misalnya seperti ketika
pembangunan hotel-hotel di Yogyakarta atau permasalahan bandara
Kulon Progo yang Sultan mengakui tidak tahu bahwa AMDAL mesti
dilakukan sebelum pembangunan dilakukan. 253 Bukankah dengan
demikian bukan Sultan, melainkan Kraton sebagai sebuah tatanan
hukum, moral, struktural yang menyangga Yogyakarta sebagai sebuah
Yogyakarta yang sesungguhnya?
Ki Demang Wangsyafudin mengatakan bahwa bukan Sultan dan
keluarganya, melainkan konstitusi Kraton yang dijaga. Ia mengatakan
bahwa dalam permasalahan Kraton, ia dan orang-orang di Sekber yang
mendukung pembantaian Cebongan tidak ikut-ikut. Ada pembedaan
antara urusan internal Kraton dengan Keistimewaan Yogyakarta.
Masyarakat hanya dapat mengurusi bagian Keistimewaan Yogyakarta,
sementara berkaitan dengan paugeran adalah urusan Sultan dan
keluarganya. Misalnya saja mengenai polemik suksesi dari HB X ke HB XI
yang akan berlangsung.
253 Lihat dalam Pito Agustin Rusdiana, “Gubernur DIY Tak Tahu Amdal Harus Ada Sebelum Izin Proyek”, diunduh dari https://m.tempo.co/read/news/2016/05/31/058775492/ gubernur-diy-tak-tahu- amdal-harus-ada-sebelum-izin-proyek pada 21 November 2016.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
139
Polemik dan politik paugeran menunjukkan betapa penting
pewarisan nilai. Pewarisan nilai-nilai seperti kesopanan, halus, dan tahu
unggah-ungguh menjadi penanda bahwa definisi orang Yogyakarta
berhasil diidentifikasi oleh para subjek-subjek di Yogyakarta. Hal
tersebut senada dengan kecenderungan esensialis untuk kembali ke
kultur Yogyakarta yang “sebenarnya.” Ketika berbicara mengenai
Yogyakarta yang “sebenarnya”, orang merujuk pada tata nilai yang
mencerminkan sifat njawani dari seorang subjek Jawa. Apabila ada hal
yang hilang dalam orang Yogyakarta, maka sifat njawani itulah yang
kemudian hilang.
Menjadi orang yang njawani menurut Sekber Keistimewaaan atau
pendukung pembantaian Cebongan berarti menjadi orang yang punya
“unggah-ungguh, nrima ing pandum, tahu budayanya, tahu dirinya.”
Istilah kebudayaan Jawa yang njawani dan Yogyakarta yang
“sebenarnya’’ ini menjadikan tidak jelas model Jawa yang begitu
beragam dengan menjadikannya seragam sebagaimana dibayangkan
oleh para pendukung pembantaian. Imajinasi mengenai Jawa yang
esensialis tersebut, justru membuat kehilangan ini juga makin terasa
dengan dibawanya sifat njawani ini ke dalam tingkat birokrasi. Usaha
untuk mengadopsi sifat njawani ke dalam struktur birokrasi ini
menandai bahwa pewarisan sifat tersebut tidak cukup berhasil sehingga
perlu ditegaskan dalam struktur.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
140
Hasrat untuk kembali ke sifat yang njawani ini dalam pemahaman
Slavoj Žižek dikenal dengan istilah nostalgia. Sebuah nostalgia, menurut
Žižek, merupakan keadaan yang memunculkan sesuatu yang hilang atau
sesuatu saat seseorang tidak lagi bisa mengidentifikasi dirinya dengan
keadaan termaksud. Keadaan ini menghadirkan objek yang memikat
dengan cara menyembunyikan antara mata saat ini dengan tatapan di
masa lalu.254 Misalnya saja ketika melihat baliho bergambar Candi
Prambanan dengan orang menari berpakaian tradisional. Bagi orang
yang masa kecilnya akrab dengan gambaran tersebut, ia mungkin saja
melihat dirinya di masa lalu pada saat ini. Model-model demikian
digunakan dalam aksi yang dilakukan Sekber Keistimewaan, misalnya
dengan long bumbung, berpakaian Srikandhi, memakai blangkon, dengan
ketapel, atau slametan.
Model ini serupa dengan apa yang dijabarkan Saya Shiraishi
sebagai sebuah selendang yang mampu menggantikan hilangnya sensasi
kehangatan orang tua. Pun dengan berbagai macam aksi yang
menggunakan gaya tradisional tersebut justru menegaskan bahwa
pengalaman dan sensasi rasa akrab, saling menghargai, atau syukur
sesungguhnya terasa mangkir. Dengan demikian, apa yang sudah hilang
terasa menjadi begitu asli dan nyata.255
254 Žižek, 1991, Op.Cit., hal. 114. 255 Lihat dalam Shiraishi, 2009, Op.Cit., hal. 82-90.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
141
Gambar 4.1. Ayo Jaga & Lestarikan Seni Budaya Kita
Apabila konstitusi Kraton − dengan contoh seperti nilai-nilai di
atas − digagas sebagai sesuatu yang njawani, maka apa yang berasal dari
Kraton dianggap selayaknya diterima oleh rakyat: baik itu kebijaksanaan,
keadilan, nilai-nilai, dan kekuasaan. Kraton di sini tidak berfungsi sebagai
sesuatu yang melarang untuk melakukan kegiatan tertentu, melainkan
Kraton dijadikan penanda yang memiliki kekuasaan untuk menjaga
Yogyakarta yang njawani. 256 Kraton menjadi jimat yang menandai
otentisitas dan menjaga aura kekeramatan Yogyakarta dalam gerakan
terhadap pembantaian Cebongan. Tentu saja dalam praktek sehari-hari
bukan kraton yang menentukan kebudayaan rakyat, melainkan interaksi
sosial dalam masyarakat.
Perubahan mengenai Yogyakarta yang njawani menurut gerakan
pendukung Kopassus juga terjadi sebagaimana dalam branding kota
Yogyakarta sebagai The City of Tolerance. Sebagai sebuah kota yang
256 Lihat juga dalam Slavoj Žižek, For They Know Not What They Do (London & New York: Verso, 2013), hal. 250. Žižek menulis demikian, “the King: his wisdom, justice and power are to be trusted, yet not too severely..... in the power of the signifier, not in the immediate force of coercion.” Dalam istilah psikoanalisa Lacanian, istilah ini dikenal dengan Master Signifier, yakni penanda yang tidak memiliki perbedaan lain secara esensial, namun penanda ini menguasai dan dijadikan referensi dari keseluruhan penanda lain karena sifatnya yang menjamin keberlangsungan mana.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
142
dimaklumatkan menjadi The City of Tolerance, bukan lalu berarti
Yogyakarta adalah kota yang toleran. Yogyakarta yang toleran berfungsi
secara imperatif untuk mewujudkan kota yang memang diandaikan
toleran oleh masyarakat. Lalu, kapan sebenarnya Yogyakarta itu menjadi
kota yang toleran? Tentu saja dengan adanya kekejian-kekejian yang
terulang sebagaimana dalam pembantaian Cebongan menjukkan bahwa
toleransi hanya hadir dalam sebuah kemangkiran. Toleransi menjadi
bahasa untuk mengatakan betapa Yogyakarta ini berubah tidak lagi
njawani. Dengan kata lain, identitas Yogyakarta yang toleran merupakan
sesuatu yang belum tercapai, namun terus diciptakan dan ditemukan. Di
sinilah kemudian tidak perlu heran bahwa gerakan sebagaimana
dukungan terhadap pembantaian Cebongan mendapatkan tempat untuk
dirayakan.
Dalam bab tiga, telah dibahas bagaimana penyingkiran terhadap para korban pembantaian di Cebongan muncul dalam wacana preman kontra pahlawan dan asosiasi preman dengan para pendatang asal NTT.
Penyingkiran tersebut, dalam bab ini, dijelaskan dengan kondisi fantasmatik dalam gerakan pendukung pelaku pembantaian maupun para pelaku pembantaian. Fantasi-fantasi mengenai pahlawan, ksatria, pendatang dan subjek ideal yang njawani membangun sebuah dunia kenyataan mengenai kota Yogyakarta yang seharusnya bisa aman, nyaman, damai, dan tentram kalau tidak ada preman pendatang asal NTT. Penjelasan ini menunjukkan
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
143
bahwa realitas keseharian dikonstitusikan oleh dunia simbolik (bahasa) yang kemudian disangga oleh fantasi.
Meskipun demikian, kondisi aman, nyaman, damai, dan tentram atau masyarakat yang seutuhnya harmonis hanyalah sebuah khayalan belaka dari masyarakat yang tersusun dengan orang-orang yang memiliki fantasi berbeda. Apabila fantasi tentang masyarakat yang seutuhnya harmonis ini disertai dengan menutup kemungkinan adanya antagonisme yang terwujudkan dalam nilai dan budaya baru yang dibawa para pendatang, maka tidak terhindarkan lagi penyangkalan-penyangkalan fetisistik akan terus terjadi sambil melihat bahwa “budaya kami adalah yang terbaik.”
Penyangkalan ini juga diikuti selendang-selendang baru yang menawarkan mangkirnya masyarakat harmonis yang justru diidamkan tanpa peduli bahwa semuanya hanyalah salinan dari apa yang sudah hilang.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V
PENUTUP
Keseluruhan tulisan ini berusaha untuk menjabarkan mengenai premanisme di Yogyakarta pasca reformasi, khususnya dari wacana pembantaian Cebongan. Ada tiga hal yang dijawab dalam penelitian ini, yakni
(1) kaitan premanisme dengan proses sosial di Yogyakarta; (2) bagaimana wacana pahlawan kontra preman muncul dalam pembantaian Cebongan; dan
(3) Fantasi seperti apakah yang mendasari wacana tersebut. Dari ketiga pertanyaan tersebut, ditunjukkan bahwa preman dalam pembantaian
Cebongan muncul dan dihadap-hadapkan dengan pahlawan. Tentu saja wacana ini tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan berkaitan dengan bagaimana kondisi keseharian dan relasi sosial yang terjadi antar warga masyarakat di Yogyakarta disertai kebutuhan untuk menegaskan kembali hal-hal yang sebenarnya sudah hilang di Yogyakarta.
Semenjak reformasi yang diikuti otonomi daerah, migrasi penduduk masuk ke DIY semakin meningkat. Tidak hanya migrasi yang bertujuan untuk tinggal di Yogyakarta, migrasi ini juga ditunjukkan dengan jumlah mahasiswa rantau yang kemudian menempati daerah-daerah tertentu di sekitar kampus.
Perjumpaan antar masyarakat ini kemudian diikuti dengan makin sesaknya ruang di Yogyakarta. Di sisi lain, banyaknya pendatang – entah migran, mahasiswa, maupun wisatawan – ke Yogyakarta menjadi peluang
144
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
145
perekonomian Yogyakarta yang ditandai dengan munculnya tempat wisata, mall, hotel, juga tempat hiburan malam. Kesesakan dan kepadatan di
Yogyakarta beriringan dengan wacana kriminalitas di jalanan. Wacana pembantaian Cebongan bersinggungan dengan dua wacana lain, yakni mengenai pendatang dan kriminalitas yang pada akhirnya juga ditumpangi wacana keistimewaan yang saat itu tengah santer diperjuangkan di
Yogyakarta.
Ketiga wacana tersebut – yakni pendatang, kriminalitas, dan keistimewaan – membenarkan penyingkiran terhadap para korban penyerbuan lapas Cebongan. Penyingkiran ini dilakukan lewat hadirnya institusi, artefak (benda-benda seperti spanduk atau gambar tempel), maupun konsep-konsep yang dihadirkan baik dalam penyampaian berita maupun hasil wawancara. Lewat pembalikan penanda-penanda mengambang yakni pengacau, preman, dan pendatang, pembantaian semakin dilegitimasi layaknya kisah kepahlawanan yang memang dianggap perlu disaksikan masyarakat Yogyakarta.
Kemasyhuran para pahlawan dalam pembantaian ini menunjukkan adanya kegagalan warga Yogyakarta dalam mewujudkan sebuah masyarakat plural yang bebas struktur kekuasaan. Hadirnya otoritas TNI, Sekber
Keistimewan, dan beberapa pejabat dalam komentarnya mengenai pembantaian ini menunjukkan bahwa otoritas baru muncul di Yogyakarta.
Secara khusus, otoritas baru ini hadir dalam bentuk wacana keistimewaan dalam pembantaian Cebongan. Dari pembantaian Cebongan ini, hadirnya
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
146
otoritas hanya menunjukkan bahwa balas dendam dan memberi pelajaran adalah sah-sah saja, yang dengan demikian menyingkirkan perjuangan hak asasi yang akhir-akhir ini menguat. Padahal, pengalaman Yogyakarta pada
Pisowanan Ageng menunjukkan bahwa tanpa hadirnya otoritas, massa- rakyat mampu mengatasi kekacauan tanpa kekerasan.257
Sebagaimana dijelaskan dalam bab sebelumnya, hadirnya wacana keistimewaan ini menguatkan fantasi-fantasi mengenai kepahlawanan, ke- ksatria-an, pendatang, dan sifat yang ‘njawani’. Dalam wacana keistimewaan, fantasi mengenai identitas njawani menandai betapa Yogyakarta saat ini terpisah dari Yogyakarta dulu. Perselisihan yang digerakkan oleh fantasi, atau hal yang tidak pernah ada ini, bisa dihindari dengan cara melampaui fantasi termaksud (traversing the fantasy), atau bahwa fantasi-fantasi tersebut hanyalah bikinan aktor-aktor atau agen-agen sosial dalam masyarakat Yogyakarta.
Kemunculan fantasi tersebut dalam pembantaian Cebongan menunjukkan bahwa dengan mudah orang berpikir bahwa sebuah komunitas yang harmonis, rukun, seia-sekata, damai, aman, dan tentram menjadi kunci dari kesejahteraan bersama (common good). Padahal, pada kenyataannya, komunitas tersebut hanyalah komunitas yang tidak pernah ada. Komunitas utopia yang sarat akan kesatuan ini bahkan sangat rapuh dan mudah terjebak dalam kekerasan-kekejian demi keutuhannya. Kerapuhan ini
257 Bandingkan dengan James T. Siegel, “Perempuan Pala: Kisah-Kisah dari Era Konflik”, dalam Azhari, Perempuan Pala & Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi (Sleman: Buku Mojok, 2015), hal. xiii-xiv.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
147
menandai bahwa perkembangan suatu komunitas diikuti dengan kendornya tali-tali yang mengikat anggota komunitas termaksud.258
Masalah hanya akan terus menjadi makin runyam dengan kekuasaan yang, meskipun tidak secara koersif, mengandaikan bahwa suatu komunitas memiliki standar tertentu yang mustinya dicapai. Masyarakat bisa menjadi sangat totalitarian ketika memandang hanya ada satu solusi dalam mencapai kemaslahatan komunitasnya, misalnya “boleh datang ke Yogyakarta asal tidak membuat rusuh” atau “kalau tidak bisa dibina ya dibinasakan.” Menjadi rumah bersama bisa dibaca dengan cara lain yang justru bersemi dari rasa hormat sejati akan keanekaragaman dan kepribadian manusia.259
Belum lagi hadir kepentingan-kepentingan intersubjektif yang saling berbeda dalam sebuah arena sosial-budaya. Ada yang ingin mendapatkan uang, ada yang ingin mendapatkan kekuasaan, ada pula yang mendambakan diri bisa memiliki pengaruh.260 Kompleksitas ini mengandung resikonya sendiri, kepenuhan yang tergambar dalam aman, nyaman, damai, dan tentram akan menciptakan pemindahan yang terus-menerus (continuous displacement).261 Pemindahan yang sinambung ini menjadi dampak dari ketidaktercapaian masyarakat sebagaimana diidealkan. Setelah pembantaian
Cebongan, orang bisa saja ingat dengan Flo yang dimaki-maki oleh mereka yang mengaku diri wong Jogja, dengan orang-orang Papua yang
258 Yannis Stavrakakis, “(I Can’t Get No) Enjoyment: Lacanian Theory and the Analysis of Nationalism”, dalam Psychoanalysis, Culture & Society, 11, 2006, hal. 144-163. 259 Anderson, 2008, Op.Cit., hal. 74. 260 Žižek, 2008, Op.Cit., hal. 252. 261 Stavrakakis, 1999, Op.Cit., hal. 45.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
148
memperjuangkan demokrasi namun oleh Paksi Katon disebut OPM, dengan
LGBT yang oleh ormas FUI, GPK, dan Kokam ditekan habis; atau juga dengan
Gafatar yang coba dijinakkan dengan diberikan pelajaran agama setelah dipulangkan dari Mempawah. Gerakan penolakan-penolakan tersebut sekadar menunjukkan betapa peliknya kaitan antara premanisme, keistimewaan dan gagasan njawani dalam sistem sosial di Yogyakarta.
Dalam penolakan-penolakan tersebut, ada ke-tidak-sesuai-an dalam lingkup fantasi antara yang menolak dengan yang melakukan aksi. Dunia luar dan sesama-yang-lain 262 dianggap sebagai yang menghalang-halangi mencapai sebuah masyarakat yang dihasratkan bersama, tidak ada pengakuan terhadap sesama-yang-lain. Apabila tidak jeli, kecenderungan halusinatif bahwa istimewa merupakan sebuah status (bukan proses!).
Kecenderungan tersebut hanya akan menciptakan sebuah masyarakat yang narsistik263, yang memandang masyarakatnya sendiri adalah masyarakat yang paling ideal. Padahal, jumlah dan beragamnya pendatang atau bisnis- bisnis kapitalistik yang dilakukan baik oleh elite kraton maupun pengusaha lain akan merombak masyarakat dengan elite tradisionalnya, artinya perubahan tata nilai adalah sebuah keniscayaan. Karakteristik njawani yang selama ini juga ditantang oleh pergolakan-pergolakan termaksud, termasuk dengan hadirnya ormas-ormas reaksioner di Yogyakarta yang memiliki jalur
262 Di sinilah kerapuhan dari sebuah identitas tampak, bahwa hanya dengan mengandaikan adanya sesama-yang-lain, identitas bisa mafhumkan. Lihat misalnya dalam tulisan James T. Siegel, “Once Again: Nationalism and Revolution”, dalam Indonesia, No. 101 (April 2016), hal. 36. 263 Ormrod, 2014, Op.Cit., hal. 136.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
149
ke pemerintah lokal. Kondisi tidak terdamaikannya fantasi ini bisa diatasi dengan kehadiran otoritas bukan sebagai sosok kekuasaan yang memihak, melainkan menjadi penyangga antar fantasi-fantasi dalam masyarakat dengan melindungi hak-hak dan memperjuangkan kesejahteraan bersama, misalnya dengan tidak mengabaikan suara-suara rakyat yang dianggap bising.
Kesegeraan untuk menjadi penyangga ini juga patut disadari baik oleh kelas menengah maupun aparat negara, termasuk TNI.
Gerakan pro-Kopassus sebagaimana terjadi dalam pembantaian
Cebongan 264 dimungkinkan dengan adanya peran kelas menengah di
Yogyakarta. Peran kelas menengah di provinsi yang “lebih terarah pada perlindungan ekonomi, menginginkan kekuasaan negara, dan mempraktekkan demokrasi patronase” 265 hanya akan menjadikan pemerintahan lokal sebagai sebuah panggung sandiwara. Padahal, anggota kelas termaksud diharap-harapkan menggerakkan kehidupan dalam masyarakat. Kalau tidak, boleh jadi di masa depan Yogyakarta akan menjadi
264 Sementara tulisan ini dibuat, muncul kriminalitas baru di Bandung yang menewaskan seorang prajurit Kopassus bernama Pratu Galang. Dikabarkan bahwa pada tanggal 7 Juni 2016, Pratu Galang dicegat, dikeroyok, dan ditusuk oleh kelompok geng motor. Meskipun demikian, motifnya belum jelas sampai tulisan ini dibuat. Pangdam III/Siliwangi, Mayjen TNI Hadi Prasojo, mengatakan bahwa begal-begal “akan kita sikat. Dalam artian kita tembak atau lumpuhkan. Tapi bukan kepala, melainkan kaki atau badan ya.” Jelas pernyataan ini membawa teror baru bagi kehidupan malam di Bandung. Lihat dalam http://www.merdeka.com/peristiwa/seruan-perang-kodam-siliwangi-lawan-geng- motor.html 265 Demokrasi patronase ini merupakan bentuk demokrasi yang menjalankan konsensus berdasarkan kepentingan pihak tertentu dan berbeda dengan sasaran demokrasi radikal yang menekankan pada konsensus yang egaliter dan bukan milik kelompok kepentingan manapun. Lihat model demokrasi radikal dalam Ernesto Laclau & Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics (London & New York: Verso, 1985).
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
150
sebuah theatre state ala Geertz266, atau bahkan preman state yang justru berkebalikan dengan apa yang dicita-citakan oleh orang Yogyakarta sendiri.
Penelitian ini menegaskan bahwa dengan institusi yang meniru model penyelesaian ala preman juga tidak serta-merta membuat premanisme hilang.
Dukungan terhadap para pelaku penyerbuan Cebongan didasarkan pada sejarah Yogyakarta yang dianggap istimewa dan utuh sejak berdirinya pada 1755. Sebab itu, kebutuhan akan data historis mengenai perkara istimewa dan utuh inilah yang kemudian mampu mengisi kekurangan perspektif psikoanalisa. Penelitian selanjutnya bisa digali lebih jauh dengan menekankan konteks historis tanpa meninggalkan perspektif psikoanalisa yang mampu menjelaskan bagaimana hasrat diorganisir.
Penggalian data dalam penelitian ini dilakukan dengan mewawancarai elite tertentu yang memang menjadi organisator atau tokoh dalam gerakan dukungan terhadap pelaku pembantaian Cebongan. Seorang tokoh menempati posisi seorang elite yang telah atau perlahan-lahan sedang tumbuh. Tentunya akan berbeda dengan orang-orang biasa yang cenderung lebih terbuka untuk berpendapat dan membuka kemungkinan lebih luas untuk melihat subjek Yogyakarta dengan kacamata baru, yang tidak bisa diwakili oleh para elite.
266 Istilah ini digunakan Clifford Geertz untuk menunjukkan bahwa pihak otoritas (Geertz mengatakan “Negara” di Bali pada masa sebelum kolonial) menjalankan kekuasaannya menyerupai permainan teater yang mana menjadikan rakyat sebagai kumpulan penonton yang secara sistematis diarahkan pada ritual atau dramatisasi peristiwa sosial. Lihat dalam Clifford Geertz, Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali (Princeton: Princeton University Press, 1980), hal. 13.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
151
Terakhir adalah berkaitan dengan institusi TNI yang sadar-tidak- sadar tengah mereformasi diri, baik karena permasalahan internal maupun tekanan eksternal. Permintaan terhadap perbincangan bertema tragedi 1965 dan peran ABRI/TNI selama Orde Baru mendorong dan/atau menekan TNI untuk terus menghadapi tegangan di badan institusi termaksud, terkhusus
TNI AD. Perbincangan soal HAM atau pelanggaran hukum misalnya hanya akan berakhir dengan pembalikan fetisistik sebagaimana terjadi dalam pembantaian Cebongan bahwa “melanggar HAM tidak masalah, asal.....” yang berarti tanpa disertai adanya revolusi sosial menuju dinamika masyarakat yang egaliter. Meskipun demikian, muncul harapan terhadap reformasi TNI ketika beberapa Jendral yang berkomentar soal pembantaian Cebongan saling bersilang pendapat. Barang tentu sekadar harapan, proses pengadaptasian dengan struktur yang lebih “nasionalis” akan mengorbankan tatanan dalam tubuh militer. “Kisah runtuhnya sebuah hirarki”, tulis Siegel,
“pada saat yang sama adalah kisah sebuah reformasi.”267
267 James T. Siegel, Fetish, Recognition, Revolution (New Jersey: Princeton University Press,1997), hal. 6.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR PUSTAKA
Ajidarma, S.G. (2007). Penembak Misterius. Yogyakarta: Galangpress.
Althusser, L. (2008). On Ideology. London & New York: Verso.
Anderson, B. R. O'G. (1988). Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Jakarta: Sinar Harapan.
Anderson, B. R. O'G. (1999). “Indonesian Nationalism Today and in the Future”. Indonesia, Number 67, hal. 1-11.
Anderson, B. R. O'G. (2000). Kuasa-kata: Jelajah Budaya-budaya Politik di Indonesia. Yogyakarta: MataBangsa.
Anderson, B. (2000). “Petrus Dadi Ratu”, Indonesia, Volume 70, hal. 1-7.
Anderson, B. R. O'G. (2006). Imagined Communities: Reflections on the Origin and Spread of Nationalism (Ed.Rev.). London & New York: Verso.
Anderson, B. R. O'G. (2008). Mitologi dan Toleransi Orang Jawa. Yogyakarta: Jejak.
Anderson, B. R. O'G. (2013). “Impunity and Reenactment: Reflections on the 1965 Massacre in Indonesia and its Legacy”, The Asia-Pacific Journal, Vol. 11, Issue 15, No. 4.
Anderson, B. R. O'G. (2013). “Kebal Hukum dan Pemeranan Kembali”, IndoProgress, http://indoprogress.com/2013/06/kebal-hukum-dan- pemeranan-kembali/
Anderson, B. R. O'G., ed. (2001). Violence and the State in Suharto’s Indonesia. Ithaca: SEAP Cornell University.
Anderson, B. R. O'G., A.W. Djati, & D. Kammen. (2003). “Interview with Mário Carrascalão”, Indonesia, Volume 76, hal. 1-22.
Anderson, B.R.O’G. & R. McVey. (1971). A Preliminary Analysis of the October 1, 1965 Coup in Indonesia. Ithaca: SEAP.
Aspinall, E. (2013). “A Nation in Fragments”. Critical Asian Studies, Volume 45 (1), hal. 27-54.
152
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Aspinall, E. & M.U. (2015). “The Patronage Patchwork. Village Brokerage Networks and the Power of the State in an Indonesian Election”, Bijdragen Tot De Taal-, Land- En Volkuenkunde, 171, hal. 165-195.
Atmakusumah, et.al., ed. (2011). Takhta untuk Rakyat: Celah-celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX (Ed. Rev.). Jakarta: Gramedia.
Azhari. (2015). Perempuan Pala & Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi. Sleman: Buku Mojok.
Barker, J. & V.L. Rafael. (2012). “The Event of Otherness: An Interview with James T. Siegel”. Indonesia, Volume 93, hal. 33-52.
Barker, J., J. Lindquist, et.al. (2009). “Figures of Indonesian Modernity”. Indonesia, Volume 87, hal. 35-72.
Benjamin, W. (1986). Reflections: Essays, Aphorisms, Autobiographical Wiritings. New York: Shocken Books.
Benjamin, W. (1969). Illuminations: Essays and Reflections. New York: Shocken Books.
Bonneff, M. (1994). “Ki Ageng Suryomentaraman, Javanese Prince an Philosopher (1892-1962)”. Indonesia, Volume 57, hal. 49-70.
Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2011). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2010. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.
Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2012). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2011. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.
Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2013). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2012. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.
Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2014). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2013. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.
Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2015). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2014. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.
153 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2015). Statistik Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta 2014. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.
Bidang Integrasi Pengolahan Data Statistik. (2016). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2015. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.
Biro Tata Pemerintahan Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta. (2015). Data Kependudukan Daerah Istimewa Yogyakarta Semester II Tahun 2015. Yogyakarta: BPS Provinsi D.I. Yogyakarta.
Campbell, B.B. & A.D. Brenner, ed. (2002). Death Squads in Global Perspective: Murder with Deniability. New York & Hampshire: Palgrave Macmillan.
Carey, P. (2015). Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro. Depok: Komunitas Bambu.
Chambert-Loir, H. & A. Reid, ed. (2002). Kuasa Leluhur: Nenek Moyang, Orang Suci, dan Pahlawan di Indonesia Kontemporer. Medan: Bina Media Perintis.
Choppel, C.A., ed. (2006). Conflicts in Indonesia: Analysis, Representation, Resolution. New York: Routledge.
Creswell, J.W. (2007). Qualitative Inquiry and Research Design Choosing Among five Traditions. California: Sage Publications.
Critchley, S. (2009). Ethics-Poitics-Subjectivity: Essays on Derrida, Levinas, & Contemporary French Thought. London & New York: Verso.
Crouch, H. (1998). Army and Politics in Indonesia. Ithaca: SEAP Cornell University Press.
Davidson, J.S. & D. Kammen. (2002). “Indonesia’s Unknown War and the Lineages of Violence in West Kalimantan”. Indonesia, Volume 73, hal. 53-87.
Day, T. (2006). “Introduction: Identifying with Freedom”. Social Analysis: The International Journal of Social and Cultural Practice, Vol. 50, No. 1, hal. 147-157. de Kesel, M. (2009). Eros and Ethics. Reading Jacques Lacan's Seminar VII. New York: SUNY Press.
154 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Derrida, J., T. Eagleton et.al. (2008). Ghostly Demarcations. London & New York: Verso.
Devi-Ardhiani, Y. (2012). “Potret Relasi Gali-Militer di Indonesia: Ingatan Masyarakat Yogyakarta tentang Petrus 1983”. Retorik, Vol.3 (1), hal. 37- 58).
Dwipayana, G. & Ramadhan K.H. (1989). Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya. Jakarta: Citra Lamtoro Gung Persada.
Eidelsztein, A. (2009). The Graph of Desire: Using the Work of Jacques Lacan. London: Karnac Books.
Eagleton, T. (1986). Against the Grain. London & New York: Verso.
Evans, D. (1996). An Introductory Dictionary of Lacanian Psychoanalysis. London & New York: Routledge.
Geertz, C. (1980). Negara: The Theatre State in Nineteenth-Century Bali. Princeton: Princeton University Press.
Hobsbawm, E. (1972). Bandits. Middlesex: Penguin Books.
Kadir, H.A. (2012). “School Gangs of Yogyakarta: Mass Fighting Strategies and Masculine Charisma in the City of Students”. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 13:4, hal. 352-365.
Kammen, D. (1999). “Notes on the Transformation of the East Timor Military Command and Its Implications for Indonesia”. Indonesia, Number 67, hal. 61-76.
Kammen, D. (2003). “Master-Slave, Traitor-Nationalist, Opportunist- Oppressed: Political Metaphors in East Timor”. Indonesia, Number 76, hal. 69-85.
Kammen, D. (2012). “Where are They now? The Carreers of Army Officers who Served in East Timor, 1998-99”. Indonesia, Number 94, hal. 111- 130.
Kristiansen, S. (2003). “Violent Youth Groups in Indonesia: The Cases of Yogyakarta and Nusa Tenggara Barat”. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 18, No. 1, hal. 110-138.
Kurniawan, E. (2004). Lelaki Harimau. Jakarta: Gramedia.
155 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lacan, J. (2001). Ecrits: A Selection. London & New York: Routledge.
Laclau, E. & C. Mouffe. (1985). Hegemony and Socialist Strategy: Towards a Radical Democratic Politics. London & New York: Verso.
Laplanche, J. & J.B. Pontalis. (1967). The Language of Psychoanalysis. London: Hogarth.
Latu, M. & L. Ispandriarno. “Pemberitaan Sidang Putusan Pembunuhan di Lapas Cebongan”. E-journal UAJY.
Monfries, J. (2015). A Prince in a Republic. Singapore: ISEAS.
Mouffe, C. (1995). Dimensions of Radical Democracy: Pluralism, Citizenship, Community. London & New York: Verso.
Myers, T. (2003). Slavoj Žižek. Routledge Critical Thinkers. London & New York: Routledge.
Nordholt, H.S. (2003). “Renegotiating Boundaries: Access, Agency, and Identity in Post-Soeharto Indonesia”. Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Vol. 159, No. 4, hal. 550-589.
Ormrod, J. (2014). Fantasy and Social Movements. London: Palgrave Macmillan.
Pemberton, J. (1994). On the Subject of “Java”. Ithaca & London: Cornell University Press.
Pour, J. & N. Adji, ed. (2012). Sepanjang Hayat Bersama Rakyat. 100 Tahun Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Rafael, V.L., ed. (1999). Figures of Criminality in Indonesia, the Philippines, and the Colonial Vietnam. Ithaca: SEAP.
Rafael, V.L. (2000). White Love and Other Events in Filipino History. Durham & London: Duke University Press.
Rahayu, Y.A., A. Windarto & A. Harimurti. (2016). Sukses(i) Penguasa: Menyadur Kuasa Sastra Wayang Prasthanikaparwa. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press & Lembaga Studi Realino.
Robinson, G. (2000). “Violence in an Era of Reform: For Jafar Siddiq Hamzah”. Indonesia 70, hal. 167-170.
156 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Robinson, G. (2001). “War: Militias in East Timor and Indonesia”. South East Asia Research, Vol. 9, No. 3, hal. 271-318.
Roosa, J. (2008). Dalih Pembunuhan Massal. Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto. Jakarta: ISSI & Hasta Mitra.
Saukko, P. (2003). Doing Research in Cultural Studies. London: Sage Publications.
Shiraishi, S.S. (2009). Pahlawan-pahlawan Belia: Keluarga Indonesia dalam Politik (cet. ke-2). Jakarta: Nalar.
Siegel, J.T. (1986). Solo in the New Order: Language and Hierarchy in an Indonesian City. New Jersey: Princeton University Press.
Siegel, J.T. (1997). Fetish, Recognition, Revolution. New Jersey: Princeton University Press.
Siegel, J.T. (1998). A New Criminal Type in Jakarta: Counter-Revolution Today. Durham, NC: Duke University Press.
Siegel, J.T. (2000). The Rope of God. Berkeley: The University of Michigan Press.
Siegel, J.T. (2000). “Jafar Siddiq Hamzah”. Indonesia 70, hal. 167-170.
Siegel, J.T. (2005). Naming the Witch. Stanford: Stanford University Press.
Siegel, J. (2009). “Berbahasa”. Henri Chambert-Loir (Ed.), Sadur. Sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Jakarta: KPG Bekerjasama dengan Ecole francaise d’Extreme-Orient, Forum Jakarta-Paris, Pusat Bahasa Universitas Padjadjaran.
Siegel, J.T. (2011). Objects and Objections of Ethnography. New York: Fordham University Press.
Siegel, J.T. (2016). “Once Again: Nationalism and Revolution”. Indonesia, No. 101, hal. 29-38.
Stavrakakis. (1999). Lacan and the Political. London & New York: Routledge.
Stavrakakis, Y. (2006). “(I Can’t Get No) Enjoyment: Lacanian Theory and the Analysis of Nationalism”. Psychoanalysis, Culture & Society, 11, hal. 144- 163.
157 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Stein, Ruth. (2010). For the Love of the Father. California: Stanford University Press.
Subagya, Y.T. (2015). Support for Ethno-religious Violence in Indonesia. Yogyakarta: Sanata Dharma University Press & Radbound University.
Susanto, B. (1993). Peristiwa Yogya 1992: Siasat Politik Massa Rakyat Kota. Yogyakarta: Lembaga Studi Realino & Kanisius.
Tanter, R., D. Ball, & G. van Klinken, ed. (2006). Masters of Terror. Indonesia’s Military and Violence in East Timor. Maryland: Rowman & Littlefield Publishers.
Tilly, C. (2003). The Politics of Collective Violence. Cambridge: Cambridge Universiity Press.
Toer, P.A. (2001). Cerita dari Blora (cet. ke-2). Jakarta: Hasta Mitra.
Tsuchiya, K. (1973). “The Taman Siswa Movement – Its Early Eight Years and Javanese Background”. Journal of Southeast Asian Studies, 6 (2), hal. 164-177.
Turner, V. (1991). The Ritual Process: Structure and Anti-Structure. Ithaca: Cornell University Press. van der Kroef, J.M. (1985). “‘PETRUS’ Pattern of Prophylactic Murder in Indonesia”. Asian Survey, Vol. 25, No. 7, hal. 745-759. van Klinken, G, & W. Berenschot, ed. (2016). In Search of Middle Indonesia: Kelas Menengah di Kota-kota Menengah. Jakarta: KITLV-Jakarta & YOI.
Widyanta, A.B. (2011). “Konflik Mega Proyek Tambang Pasir Besi Kulon Progo (Anatomi, Eskalasi, dan Resolusinya)”.
Žižek, S. (1991). Looking Awry: An Introduction to Jacques Lacan through Popular Culture. Massachusetts: The MIT Press.
Žižek, S. (1994). The Metastases of Enjoyment: Six Essays on Woman and Causality. London & New York: Verso.
Žižek, S. (1996). The Indivisible Remainder: An Essay on Schelling and Related Matters. London & New York.
Žižek, S. (1997). The Plague of Fantasies. London & New York: Verso.
158 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Žižek, S. (2007). How to Read Lacan. London & New York: W.W. Norton.
Žižek, S. (2008). Violence. New York: Picador.
Žižek, S. (2008). “Language, Violence and Non-Violence”. International Journal of Žižek Studies, Vol. 2, No. 3.
Žižek, S. (2008). Less than Nothing: Hegel and the Shadow of Dialectical Materialism. London & New York: Verso.
Žižek, S. (2013). For They Know not What They Do. London & New York: Verso.
Zurbuchen, M.S. (ed.). (2005). Beginning to Remember: The Past in the Indonesian Present. Singapore & Seattle: Singapore University Press & University of Washington Press.
SUMBER MEDIA
Aditjondro, G.J. “SG dan PAG, Penumpang Gelap RUUK Yogyakarta”. Sinar Harapan. 31 Januari 2011.
Amri, U.. “Biografi Preman-Preman Yogyakarta (1)”. Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”. (2011, Juli). http://etnohistori.org/biografi- preman-preman-jogjakarta-1-mas-joko-pemberani-badran-yang- terkenal.html
Amri, U.. “Biografi Preman-Preman Yogyakarta (2)”. Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”. (2011, Juli). http://etnohistori.org/biografi- preman-preman-jogjakarta-2-mas-kris-preman-terban-berbasis- judi.html
Antoro, S.K. “10 Kerajaan Bisnis Keraton Yogyakarta. Aktual. 18 Juli 2016. http://www.aktual.com/10-kerajaan-bisnis-keraton-yogyakarta/
Armandhanu, D. “Jiwa Korsa Kopassus, Apa Itu?”. Viva News. 6 April 2013. http://www.viva.co.id/ramadan2016/read/403014-jiwa-korsa- kopassus-apa-itu
Dian, M.A. “Dilematis, Pemberantasan Premanisme di Yogyakarta”. Interseksi. 18 Agustus 2013. interseksi.org/archive/blog/files/premanisme.php
159 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dwiputra, I.M.A. “Religious Nuance in School Gang Rivalries in Yogyakarta”. CRCS. 16 Oktober 2012. http://crcs.ugm.ac.id/articles/509/religious- nuance-in-school-gang-rivalries-in-yogyakarta.html Editor. “Pertahankan ‘Indonesia’ Mini di Yogyakarta”. Kompas. 8 April 2013. http://nasional.kompas.com/read/2013/04/08/03164776/Pertahankan. Indonesia.Mini.di.Yogyakarta
Elsam. “Peristiwa Talangsari Lampung 1989”. Elsam. 7 Februari 1989. http://dokumentasi.elsam.or.id/mobile/reports/view/296?c=67&p=1
Elsam. “Penculikan dan pembunuhan terhadap Theys Hiyo Eluay 11 November 2001.” Elsam. 13 Desember 2001. http://dokumentasi.elsam.or.id/mobile/reports/view/55?c=86&p=1
ETAN. “Timor Leste Daily Media News”. ETAN. 17 September 2008. http://www.etan.org/et2008/9september/20/dailym17.htm
Fadillah, Ramadhian. “Usai Idjon Djanbi, kini muncul 1 miliar dukungan untuk Kopassus”. Merdeka. 7 April 2013. http://www.merdeka.com/peristiwa/usai-idjon-djanbi-kini-muncul-1- miliar-dukungan-untuk-kopassus.html
Gunawan, D., M. Rizal, E. Tresnawati, B. Rifai, & I. Hikmat. “Teror Pasukan Siluman di Cebongan”. Detik. 1 April 2013.
Heru, J. “Investigasi dan In-Depth Report”. Diunduh 22 Juni 2016 dari https://johanheru.wordpress.com/2013/07/24/
JPNN. “Kelompok NTT Bukan Penguasa Dunia Malam Jogja”. JPNN. 25 Maret 2013. http://www.jpnn.com/read/2013/03/25/164327/Kelompok-NTT- Bukan-Penguasa-Dunia-Malam-Jogja
Kadir, H.A. “GPK: Dari hobi bacok, menuju parlemen lokal”. Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara”. (2011, Juli). http://etnohistori.org/gpk-dari- hobi-bacok-menuju-parlemen-lokal.html
Kedaulatan Rakyat. “Menkumham Minta Maaf. Kapolda Bantah Kecolongan”. 24 Maret 2013, 10.
Kedaulatan Rakyat. “Firasat Tak Enak Kalapas”. 24 Maret 2013, 1 & 10.
Kedaulatan Rakyat. “Menkumham Minta Maaf. Kapolda Bantah Kecolongan”. 24 Maret 2013, 10.
160 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kedaulatan Rakyat. “Nyalakan Lilin, Padamkan Kekerasan”. 25 Maret 2013, 7.
Kedaulatan Rakyat. “Saksi Disuruh Tepuk Tangan”. 27 Maret 2013, 7. Kedaulatan Rakyat. “Kesedihan Sertu Santosa. Sudah Siap Pindah ke Jogja”. 28 Maret 2013, 1 & 7.
Kedaulatan Rakyat. “Polri Mulai Temukan Titik Terang, Bukan Teroris. Ada Sandi Khusus Penyerbu Lapas”. 28 Maret 2013, 7.
Kedaulatan Rakyat. “Polri-Komnas HAM Kompak Membantah. Heboh ‘Facebook’ Penyerangan LP”. 31 Maret 2013, 1.
Kedaulatan Rakyat. “Oknum Kopassus Turun Gunung, Akui Eksekusi Preman. Penyerang Lapas Siap Tanggung Jawab”. 5 April 2013, 1.
Kedaulatan Rakyat. “Anak Buah Serbu Lapas, Danjen Kopassus Tanggung Jawab. 7 Penganiaya Santoso Masih Bebas”. 6 April 2013, 7.
Kedaulatan Rakyat. “Sikap Kopassus Diapresiasi. Pangdam IV/Diponegoro Diganti”. 7 April 2013, 10.
Kedaulatan Rakyat. “Tak Perlu Dewan Kehormatan Militer”. 12 April 2013, 1 & 7.
Kedaulatan Rakyat. “Proses Hukum 11 Oknum Kopassus. Panglima TNI Jamin Sidang Terbuka”. 14 April 2013, 1.
Kedaulatan Rakyat. “Priyo Budi Santoso Anggap Tak Adil. Komnas HAM Tumpul Hadapi Preman”. 17 April 2013, 1 & 7.
Kedaulatan Rakyat. “Wujud Kemanunggalan Rakyat-TNI-Polri. Ribuan Warga DIY Mubeng Beteng”. 29 April 2013, 1 & 7.
Kedaulatan Rakyat. “Berkas Cebongan Lengkap, Tak Ada Granat. Tersangka Bertambah Jadi 12 Orang”. 22 Mei 2013, 7.
Kedaulatan Rakyat. “Gudeg Yogya Untuk 12 Tersangka”. 23 Mei 2013, 1 & 7.
161 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kedaulatan Rakyat. “Disiapkan Teleconference Cebongan. Sultan Persilakan Mendukung”. 4 Juni 2013, 1 & 7.
Kedaulatan Rakyat, “Bentuk Solidaritas dan Dukungan. Kopassus Ziarah ke Makam Pahlawan”, 19 Juni 2013, hal. 1.
Kedaulatan Rakyat. “Saksi Kasus Cebongan: Penyerangan Didasari Jiwa Korsa”. 18 Juli 2013, 1 & 7.
Kedaulatan Rakyat. “Jadi Kebangaan Baru Masyarakat Yogya”. Kedaulatan Rakyat. 9 Mei 2014. http://www.krjogja.com/web/news/read/215441/ jadi_kebanggaan_baru_masyarakat_yogya
Kresna, M. ““WNI keturunan Tionghoa tidak boleh punya tanah hak milik di Yogyakarta”. Rappler. 17 September 2015. http://www.rappler.com/indonesia/106231-wni-keturunan-tidak-bisa- punya-shm
Novan, T. “Ada Parpol dan Golkar di Balik Bisnis Perjudian”. http://www.mail-archive.com/indonews@indo- news.com/msg01345.html
Maharani, S. “Ribuan Mahasiswa asal NTT Eksodus dari Yogya”. Tempo. 27 Maret 2013. https://m.tempo.co/read/news/2013/03/27/063469634 /ribuan-mahasiswa-asal-ntt-eksodus-dari-yogya
Muryanto, B. “Yogya second for intolerance, religious-based violence”. The Jakarta Post. 2 Januari 2015. http://www.thejakartapost.com/news/ 2015/01/02/yogya-second-intolerance-religious-based- violence.html#sthash.eeZqvoKK.
Mohamad, G. “Kekejaman”. Tempo. 11 Oktober 2015.
The Godfather. Paramount Pictures, 1972. DVD.
Ryter, L. “Geng dan Negara Orde Baru (1): Preman dari markas tentara”. Etnohistori, edisi “Jago, Preman dan Negara” (25 Juni 2012). http://etnohistori.org/geng-dan-negara-orde-baru-1-preman-dari- markas-tentara.html pada tanggal 18 April 2016.
Rudiana, P.A. “Generasi Penerus Preman Yogya”. Tempo. 20 April 2013. https://m.tempo.co/read/news/2013/04/20/058474731/generasi- penerus-preman-yogya
162 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Rudiana, P.A. “Mobil Murah Biang Kemacetan Yogyakarta”. Tempo. 19 Agustus 2014. https://m.tempo.co/read/news/2014/08/19/ 058600783/mobil-murah-biang-kemacetan-yogyakarta pada 24 Oktober 2016.
Rudiana, P.A. “Gubernur DIY Tak Tahu Amdal Harus Ada Sebelum Izin Proyek”. Tempo. 31 Mei 2016. https://m.tempo.co/read/news/2016/05/31/058775492/ gubernur-diy- tak-tahu- amdal-harus-ada-sebelum-izin-proyek
Sadikin, R. “Ki Manteb: Prabowo ibarat Bima, Jokowi layaknya Yudhistira”. Tribun. 29 Mei 2014. http://www.tribunnews.com/pemilu- 2014/2014/05/29/ki-manteb-prabowo-ibarat-bima-jokowi-layaknya- yudhistira
Saptohutomo, A.P. “Seruan 'perang' Kodam Siliwangi lawan geng motor”. Merdeka. 15 Juni 2016. http://www.merdeka.com/peristiwa/seruan- perang-kodam-siliwangi-lawan-geng-motor.html
Siegel, J.T. “Yang hilang dari zaman Bung Karno”. Basis, Tahun ke 50 (Maret- April 2001), 18-19.
Saputro, H. “Yogyakarta Antipreman”. Koran Sindo. 2 April 2013. http://budisansblog.blogspot.co.id/2013/04/yogyakarta- antipreman.html
Supriatma, A.M.T. “Defending murder”. Inside Indonesia 115. Januari-Maret 2014. http://www.insideindonesia.org/defending-murder
Supriatma, A.M.T. “Melacak Tim Mawar”. Indoprogress. 27 Mei 2014. http://indoprogress.com/2014/05/melacak-tim-mawar/
Tirto.id. Abdullah Makhmud Hendropriyono. Tirto.id https://tirto.id/mereka/abdullah-makhmud-hendropriyono-117
Tribun Jogja. “Eksekusi di Hadapan 31 Napi”. 24 Maret 2013, 1 & 7.
Tribun Jogja. “Istri Juan Gelisah”. 24 Maret 2013, 1 & 7.
Tribun Jogja. “Satu Hari Saya Bongkar”. 28 Maret 2013, 1 & 7.
Tribun Jogja. “Indikasi Pelaku Oknum Militer”. 30 Maret 2013, 7.
163 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Tribun Jogja. “Mutasi Jenderal Hukuman Berat”. 7 April 2013, 1.
Tribun Jogja. “Hari ini 12 Tersangka Kasus Cebongan Tiba”. 19 Juni 2013, 1 & 7.
Tribun Jogja. “Timur Minta Brigjen Haka Sikat Preman”. 9 April 2013, 1.
Tribun Jogja. “Maruli Saksikan Rekaman CCTV Insiden Hugo’s”. 12 Juli 2013, 1 & 7.
Tribun Jogja. “Sugeng Lihat Ucok Gemetar: Pengacara Ingin Hadirkan Sertu Sriyono”. 17 Juli 2013, 1 & 7.
Tribun Jogja. “Ucok Galau Serka Heru S Terbunuh”. 17 Juli 2013, 1 & 7.
Tribun Jogja. “Serda Tri Juwanto Pasok Info ke Ucok di Kantin: Serda Ucok Simbolon Kasih Isyarat Jempol Tangan Sebelum Berangkat ke Yogyakarta”. 18 Juli 2013, 1 & 7.
Tribun Jogja. “Serda Ucok Mengaku Menyesal”. 24 Juli 2013, 1 & 7.
Tribunnews. “Jumlah pengangguran DIY capai 80.245 orang”. Tribunnews.com. 20 Juli 2016. http://jogja.tribunnews.com/2016/07/20/jumlah-pengangguran-diy- capai-80245-orang. van Klinken, Gerry. “Prabowo and human rights”. Inside Indonesia 116. April- Juni 2014. http://www.insideindonesia.org/prabowo-and-human-rights
Wilson, I. The rise and fall of a gangster. Inside Indonesia 93. Agustus-Oktober 2008. http://www.insideindonesia.org/the-rise-and-fall-of-a-gangster
Yuliman, S. “Dalam bajangan sang pahlawan”. Horison. Maret 1968.
Žižek, S. “Slavoj Žižek on The Act of Killing and the modern trend of ‘privatising public space’”. Newstatesman. 12 Juli 2013. http://www.newstatesman.com/culture/2013/07/slavoj-zizek-act- killing-and-modern-trend-privatising-public-space pada 12 Juli 2016. http://syaldi.web.id/mot/Hendropriyono.htm diunduh pada 1 Desember 2016.
164 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
L A M P I R A N
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
LAMPIRAN
P E D O M A N W A W A N C A R A
GERAKAN a. Organisasi (sejarah, aktivitas, kontribusi, arah/tujuan, keanggotaan) b. Gerakan di Jogja (pendahulu, model gerakan, arah gerak, aktor, pisowanan ageng) c. Relasi dalam kelompok (perkembangan, pertemuan, rutinitas, renggang kohesivitas) d. Ideologi kelompok (politik, kultural, keagamaan, kemajuan, kebertumbuhan ekonomi, kemakmuran, ke-slamet-an, kenyamanan, keamanan)
PATRONASE DALAM GERAKAN (penghasratan, dinastik, kontrak, ikatan, imbalan, kepatuhan, hutang budi, perlindungan, jasa patron kolektif, subsistensi klien) a. Dukungan (dana, ijin, tenaga) b. Relasi (kelompok, elite kraton, warga Jogja, media, TNI, Polisi, pengusaha) c. Ikatan terhadap kraton (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) d. Ikatan terhadap pakualaman (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) e. Ikatan terhadap warga Jogja (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) f. Ikatan terhadap media (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) g. Ikatan terhadap TNI (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) h. Ikatan terhadap polisi (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi) i. Ikatan terhadap pengusaha (perkembangan, kedekatan, figur, interaksi)
YANG TER/DI-SINGKIRKAN (merayakan keistimewaan, menjadi satu namun terpisah dengan sesama, dihasratkan oleh sesama) a. Hubungan antar-kelompok (intensitas komunikasi, aktivitas bersama, perubahan) b. Prasangka terhadap pendatang (agama, etnik, ras, kelompok sosial, luar negeri) c. Identitas orang Jogja (kewargaan, ideal, istimewa, nilai-nilai, eksklusi, Jogja- bukan Jogja) d. Ingatan berkaitan dengan kasus serupa (Petrus, Flo, Gafatar, LGBT)
FANTASI (kastrasi, terkecewakan oleh Yogyakarta, kenikmatan hidup di Jogja, imaginary transitivity, agresivitas): a. Konsep (kerukunan, keamanan, ke-slamet-an, harmoni, toleransi, tanah, spiritualitas) b. Ancaman (internal, pendatang, golongan tertentu, perubahan, politik, sosial, ekonomi, kultural, keagamaan) c. Orientasi nasionalis dan regionalis (pendapat tentang kebangsaan, pemerintahan lokal, perubahan posisi sultan) d. Ingatan berkaitan dengan pahlawan Jogja (SHB IX, pahlawan keistimewaan, aktivis, seniman, intelektual, aparat, pisowanan ageng)
166