View metadata, citation and similar papers at core.ac.uk brought to you by CORE

provided by Jurnal-el Badan Bahasa (e-Jurnal Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa -... ISSN : 1829-9237

SEMIOTIKA DALAM KRITIK TEATER

Suyadi San Staf Teknis Balai Bahasa Medan dan Dosen Luarbiasa Sastra Indonesia FBS Universitas Negeri Medan

ABSTRAK : Kritik teater yang ideal adalah kritik yang mempunyai sikap keterbukaan dari pihak kritikus sendiri. Bukan orang yang mewakili tren atau ‘ideologi’ tertentu, tetapi seorang yang selalu menguji seleranya sendiri, mempertahankan kepekaannya yang normal, dan selalu berusaha atau melatih diri untuk bisa berapresiasi dengan sebanyak mungkin bidang maupun jenis ilmu lainnya. Seorang kritikus tidak cukup hanya berbekal apresiasi dan keinginan baik saja, tetapi juga mengerti bahasa objeknya, bahasa teknik teater. Karena itu, kritikus harus tumbuh dengan karya teater itu sendiri, bukan berada di luar teater. Kritikus harus fungsional sebagai jembatan antara seniman dan masyarakat. Dalam melaksanakan kritiknya, kritikus harus berpedoman pada realita, kriteria, dan tanggung jawab. Seorang kritikus teater sudah barang tentu harus pernah atau bersedia meluangkan waktu untuk berkeringat dan berdebu dengan para seniman teater, hingga ia tidak hanya memahami tetapi juga menghayati realitas (kenyataan) teater seperti yang dialami para senimannya. Kritikus teater juga harus mengenal betul peta-teater dalam masyarakatnya, suatu perspektif yang akan dipergunakannya di dalam memahami dan menilai setiap gejala dan perubahan dalam dunia tetaer. Agar menjadi kritikan yang ideal di tengah masyarakat dan senimannya, maka penulis kritik teater perlu memahami sejumlah persyaratan. Syarat-syarat seorang kritikus setidaknya harus melibatkan tiga unsur penting sekaligus, yakni kognitif, emotif, dan evaluatif. Sebab, kritikus memang pekerja yang bertugas mendekatkan karya dengan penikmat. Dengan analisis yang masuk akal, berdasarkan pengetahun yang mendalam serta selera yang terpercaya, dan kedewasaan apalagi tanggung jawab, ia diharapkan dapat mengajak penikmat sastra mengapresiasi suatu karya secara lebih baik. Masalah yang timbul adalah kriteria penilaian terhadap penilaian yng diberikan kritikus itu, sangatlah relatif dan subjektif.

Kata Kunci : kritik sastra, kritik teater, semiotika teater

Pengantar dibicarakan karena posisi kritik sering disalahgunakan sebagian orang untuk BENARKAH ―keberadaan kritik‖ belum terlalu ‗menghakimi‘ suatu pertunjukan membudaya di Indonesia? Bukankah kritik karya seni maupun karya sastra tanpa bisa menjadi jembatan seniman dengan menjelaskan interpretasi yang dapat masyarakat terhadap karya seni? Kedua mendidik masyarakat sekaligus pertanyaan ini menjadi sangat penting senimannya.

46 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237

Posisi kritik menjadi salah kaprah Dua kecenderungan itu ternyata juga karena makin mengaburkan nilai-nilai masih belum maksimal. Kritik yang hanya estetis suatu karya. Bahkan, gejala yang berkutat pada naskah dramanya masih timbul dari kritik yang salah kaprah itu justru belum memberikan pencerahan bagi dunia dapat ‗membunuh‘ kreativitas dan teater di Indonesia sebagai suatu bahasa kebebasan seniman dan sastrawan pertunjukan dan nilai-nilai kemanusiaan. Di berkarya. Kritikan tersebut mengakibatkan sisi lain, kritik yang juga hanya mengulas masyarakat atau publik malah menjauhi hasil pertunjukan dramatiknya bisa karya cipta seorang seniman dan menjebak penonton sebatas pada peristiwa sastrawan akibat penilaian emosional dan teaternya saja. sangat subjektif. Padahal, teater memiliki sejumlah Hampir semua pekerja teater dan pesan dan amanat untuk diejawantahkan sastrawan pada umumnya tidak puas dalam kehidupan sehari-hari. Teater adalah terhadap kritik yang ditulis orang di miniatur kehidupan. Karenanya, di berbagai surat kabar dan majalah umum dalamnya terdapat sejumlah makna tersirat dalam ruang-ruang budayanya. Keluhan itu yang bisa bermanfaat bagi kehidupan. muncul terutama pada mutu tulisan kritik dan dasar pandangan penulisan kritik yang Pengertian Dasar Kritik Teater kerap muncul di berbagai media massa tersebut. Kritik teater pada dasarnya adalah kritik Dewasa ini kritik terhadap karya teater terhadap karya-karya teater. Sumber- di Indonesia banyak ditulis oleh tiga sumber yang menjelaskan khusus kategori di media massa. Yakni, kritikan pengertian kritik teater memang sangat yang ditulis oleh wartawan (para pakar jarang didapati dalam bentuk buku. Yang menyebut kritik jurnalistik), oleh kalangan ada masih berupa uraian atau pengantar teater sendiri (kritik ekspresif/impresionistik) mengenai kritik sastra. dan kritik akademik oleh mahasiswa sastra Karena itu, meminjam dari ranah kritik dan bahasa/seni maupun staf sastra, masalah kritik teater dapat dirujuk pengajar/dosen. dalam buku Menjelang Teori dan Kritik Dari ketiga kategori kritik tersebut, kita Susastra Indonesia Yang Relevan (Esten, masih belum tahu yang paling ideal untuk 1988), Kritik Sastra Indonesia (Esten, mengangkat suatu karya teater yang dapat 1984), Kritik Sastra Sebuah Pengantar diterima dan dinikmati masyarakat. Rata- (Hardjana, 1994), Telaah Kritik Sastra rata penulis kritik masih menggunakan Indonesia (KS, 1986), Beberapa Teori kerangka rubrik budaya di media massa Sastra Metode Kritik dan Penerapannya menyebabkan karya kritik banyak dimuat di (Pradopo, 1995), Beberapa Gagasan dalam rubrik tersebut. Pementasan hari ini, bisa Bidang Kritik Sastra Indonesia Modern jadi tiga atau lima hari lagi hasilnya bisa (Pradopo, 1988), Kritik Sastra (Semi 1984), dibaca melalui tulisan-tulisan berupa kritik, Kritik Sastra dalam Kungkungan Akademis ulasan maupun resensi di surat kabar (Sastrowardojo, 1994), dan Apresiasi maupun majalah. Kesusasteraan (Sumardjo, 1994). Ada kecendrungan para penulis kritik Andre Hardjana (1994 : 1) menyatakan, lebih memusatkan kritiknya pada naskah istilah kritik yang sekarang sangat populer drama daripada peristiwa teater di mempunyai sejarah yang panjang, dan panggung. Kecenderungan untuk kegiatannya lebih lama daripada istilah mengupas ide di balik pementasan lewat tersebut. Ia mengutip sebuah pendapat sastra dramanya dinilai sebagian orang yang menyatakan kegiatan kritik pertama sudah lebih kuat. Sementara kritik yang kali di dunia dilakukan oleh orang Yunani ditulis oleh orang-orang teater sendiri, lebih bernama Xenophanes dan Heraclitus pada menekankan pada idiom dan makna sekitar tahun 500 Sebelum Masehi, yaitu pertunjukannya. ketika mereka mengecam keras pujangga

Medan Makna No. 3/2006 47 ISSN : 1829-9237 besar Homerus yang gemar mengisahkan Lalu, bagaimanakah sebenarnya kritik cerita-cerita tidak senonoh serta bohong teater itu? Menurut Bakdi Soemanto (2003), tentang dewa-dewi. jika audience atau penonton menduduki Dari tulisan Andre Hardjana (1994), kita posisi yang penting untuk membangun mengetahui kata kritik berasal dari kata teater, maka kritik teater sebenarnya, kritikos yang pada mulanya dipergunakan hakikatnya, datang dari penonton-penonton kaum Pergamon pimpinan Crates untuk itu. Gampangnya, penonton yang aktif, membedakannya dengan kaum ahli tata lebih aktif ketimbang penonton lainnya. bahasa atau kaum grammatikos dipimpin Kritikus, seperti penonton lainnya yang Alexandria. Namun, pada Abad II Sebelum duduk di sebelahnya, memperhatikan benar Masehi, kata criticos akhirnya searti dengan bagaimana pertunjukan berlangsung, grammatikos dan lama-kelamaan malah tetapi, mungkin berbeda dari penonton tidak dipakai lagi. biasanya lainnya, ia mencatat. Bahkan Dalam sastra Latin klasik, istilah criticus mempertanyakan. Bahkan lebih dari itu, juga jarang dipakai. Di sini, istilah criticus tatkala tiba di rumah, ia membuka-buka diartikan lebih tinggi daripada grammatikos referensi, foto-foto, tulisan-tulisan kritikus dengan penjelasan bahwa critikos sebagai lain, tentang pementasan lain oleh grup kritik – kata dalam khaza-nah sastra Inggris yang sama itu. Apakah di sana, dalam muncul karena jasa ahli retorika Quintilian tulisan itu, ditemukan hal-hal sama dan dan filsuf Aristoteles. yang baru saja ia lihat. Pada abad pertengahan di Eropa istilah Di samping itu, kritik teater juga bisa kritik akhirnya mengalami perkem-bangan. dipandang sebagai sambutan atau respons Dari bermula suatu istilah di bidang masyarakat terhadap dialog yang sudah kedokteran, yakni kritis, penger-tiannya dimulai oleh pertunjukan teater. Jangan berkembang menjadi pembetulan dan edisi, lupa bahwa satu kritik terhadap suatu pernyataan pengarang, sensor dan pentas bisa mengundang kritikus lainnya, penghakiman, serta sintaksis, mulai mungkin, untuk membela atau berlaku sejak tahun 1600 Masehi. Pada menyangatkan. Maka, jika kritik teater bisa perkembangannya yang kemudian, kritik berhasil didorong lebih hidup di negeri ini, berarti orang yang melakukan kritik, dan kebiasaan dialog kecendikiaan dalam juga berarti kegiatan kritiknya sekaligus. masyarakat tumbuh. Ini juga mendorong Sementara itu di Prancis dan Amerika masyarakat lebih kritis terhadap fenomena Serikat pada awal Abad 19, kedua yang muncul di sekelilingnya. pengertian kritik tersebut diartikan secara Jadi, apakah sebenarnya kritik teater? luas. Istilah critique menunjuk pembicaraan Suatu tulisan tentang teater yang bersifat tentang pengarang tertentu, sedangkan kritis. Dengan kata lain, sebenarnya, di criticism menunjuk teorinya. Di Jerman, sana ada unsur mengevaluasi pementasan istilah kritik disebut kritish yang berasal dari itu. renaisance Prancis di bidang kedokteran. Merujuk beberapa rumusan tersebut Kritik Teater dalam Pendekatan Semiotik jelas bahwa kritik teater merupakan kegiatan analisis dan penilaian yang Bagi seorang sastrawan, teater ditujukan pada karya teater. Tujuan kritik merupakan salah satu bentuk sastra di bukan hanya menunjukkan keunggulan, samping bentuk-bentuk lainnya seperti kelemahan, benar dan salahnya sebuah novel, roman, cerita pendek, puisi. karya dipandang dari sudut tertentu, tetapi Beberapa buku yang telah mengupas tujuan akhirnya adalah mendorong seniman bentuk dan pertunjukan teater di Indonesia untuk mencapai penciptaan karya setinggi antara lain ditulis Boen S. Oemarjati Bentuk mungkin dan juga mendorong penikmat Lakon dalam Sastra Indonesia (1971), untuk mengapresiasi karya teater secara Jacob Sumardjo Perkembangan Teater baik. Modern dan Sastra Drama Indonesia

48 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237

(1992), Wahyu Sihombing dkk Pertemuan Sumardjo (1992), Soediro Satoto (1994), Teater 80 (1980), Goenawan Mohamad Bakdi Soemanto (2003). Sebuah Pembelaan untuk Teater Indonesia Semiotika adalah bidang ilmu yang Mutakhir dalam Mempertimbangkan Tradisi berurusan dengan pengajian tanda dan (1984), Teater Indonesia Sekarang (1981) proses yang berlaku bagi penggunaan ditulis Putu Wijaya, dan beberapa tanda. Sebagai salah satu pendekatan pertemuan atau forum teater lainnya. teater dan pendekatan kritik sastra, Boen S. Oemanjati mengetengahkan semiotika teater merupakan alternatif yang kritik teaternya ditujukan pada teks atau diharapkan dapat memberi kemungkinan- naskah lakon yang pada batas-batas kemungkinan baru cara memandang dan tertentu identik dengan roman, novel atau merebut makna teater sebagai suatu sistem cerita pendek dalam hal strukturnya. tanda. Yudiono KS (1986 : 69-70) menilai kritik Dalam pendekatan ini, analisis teater Boen tersebut hanya sebatas teks atau meliputi dua kajian, yakni teater sebagai naskah saja, sedang untuk melihat kritik teks dramatik dan teater sebagai teks hasil pementasan tak terdapat pada pertunjukan. Secara intertekstualitas, teks bukunya. dramatik dan teks pertunjukan membangun Dari buku itu juga dapat diketahui, teks yang lebih besar yaitu wacana teks bahwa Boen S. Oemarjati mengkritik atau teater. meneliti teks-teks lakon itu dengan metode Jika teks dramatik dipandang sebagai struktural, dalam arti kritiknya menekankan teks, maka pertunjukan adalah konteks.. pada aspek-aspek struktur setiap teks. S. Pada segi pertunjukan sebagai teks atau Effendi (1967) juga mengatakan, penilaian tanda, maka segala sesuatu yang disajikan terhadap drama sebagai karya sastra dapat kepada penonton dalam kerangka teaterikal ditujukan kepada strukturnya yang adalah tanda-tanda yang signifikan menyangkut aspek-aspek : pembinaan alur (mempunyai arti atau makna). dramatik, pembinaan perwatakan tokoh, Komponen-komponen yang disebut dan konflik yang merupakan esensi drama. struktur teks pertunjukan ini misalnya aktor Selanjutnya S. Effendi mengatakan : dan aktris sebagai tanda, dekorasi, baik interior maupun eksterior, properti, tata “Berdasarkan pendirian bahwa karya sastra panggung, tata lampu/cahaya, tata busana, dapat ditelaah, maka dilakukan orang beberapa tata rias, tata musik atau suara, sutradara pendekatan dan metode analisa tertentu untuk memahaminya. Pendekatan historik, yaitu suatu yang terkadang juga ikut tampil sebagai pendekatan sastra yang menekankan pada sejarah seorang pemain atau penata dan narator, suatu karya sastra dalam hubungannya dengan dan para teknisi baik yang sengaja maupun masalah kedudukan dan fungsinya. Pendekatan tidak berkeliaran di atas pentas; semuanya struktural, yaitu suatu pendekatan sastra yang memiliki fungsi sebagai suatu tanda, secara menekankan pada pemahaman terhadap struktur suatu ciptaan (karya sastra) pada saat tertentu”. struktural dan sistemik membangun makna (Effendi, 1967, via KS, 1986 : 50 ). lakon. Selanjutnya Aston via Satoto (1994:7) Selain itu, ada pendekatan kritik yang mengklasifikasikan empat unsur penting beberapa tahun belakangan tidak terlepas yang membangun struktur teks dramatik, dari konteks sastra, yaitu pendekatan yaitu : wujud atau bentuk dramatik, tokoh, semiotik. Di luar Indonesia, pendekatan dialog, dan petunjuk pemanggungan. semiotika teater ini dikembangkan oleh Wujud atau bentuk dramatik berkaitan pakar teater Jiri Veltrusky (1976), Keir Elam dengan babak dan adegan. Pembabakan (1980), Elaine Aston dan George Savona dan pengadeganan akan menandai adanya (1991), dan Aart van Zoest (1993). alur cerita dari awal hingga akhir peristiwa Sedangkan di Indonesia, dikembangkan yang membangun struktur alur dramatik. pula oleh Umar Junus (1982), Jacob Tokoh atau penokohan dalam struktur dramatik adalah ‗tokoh yang berwatak‘,

Medan Makna No. 3/2006 49 ISSN : 1829-9237 artinya tokoh yang hidup, berjiwa, ber-roh, mereka tenang atau bicara sendiri, lebih dan mempunyai kekuatan atau karakter banyak yang keluar gedung untuk merokok, dalam rangkaian dramatik. Propp via Satoto beli snack, dll. (1994:9) mengindentifikasi tujuh kekuatan Dengan kata lain, menurut Bakdi tokoh yang menjadi tanda, yaitu : (1) Soemanto (2003), seorang kritikus tidak penjahat, (2) dermawan, (3) pembantu, (4) hanya semata-mata mengandalkan putri dan ayahnya, (5) pesuruh/utusan/ kemampuannya sendiri dalam menonton pengirim, (6) wirawan/pahlawan, dan (7) pementasan itu, tetapi juga memperhatikan wirawan/pahlawan palsu. Dalam proses orang lain. Sebab, penonton bisa perkembangan alur dramatik, ada kemung- mempunyai pendapat sendiri-sendiri. kinan terjadi alih fungsi antarkekuatan atau Dengan memperhatikan penonton lain, antartokoh, sehingga konflik berkembang kritikus bisa melakukan kontrol kepada secara dinamis. dirinya sendiri; bahkan, di gedung itu, Pada unsur dialog, peranan bahasa terjadi ―dialog secara batin‖ antara kritikus, sebagai salah satu sistem tanda penonton lain, dan pementasan yang mempunyai peranan yang sangat penting. tengah berlangsung. Dalam teks dramatik, dialag berperan untuk membangun tokoh watak, ruang, dan ‖Kritikus harus menentukan posisi- akting. Umumnya, dialog prosais nya sendiri tatkala ia menulis kritik. Apakah kritiknya akan membela pentas menggunakan bahasa biasa, dialog lirik itu, dengan cara mendudukkan pentas itu menggunakan bahasa puitik, dialog lirik pada posisi mana dalam berbagai menggunakan bahasa artistik, khususnya kegiatan pentas teater atau sekadar metafor, smile, ritma, dan sebagainya. mencatatnya bahwa ada suatu peristiwa Secara tradisional, dialog lirik diasosiakan teater. Pencatatan-pencatatan seperti ini, saya kira, amat sangat penting, dengan drama komedi (Aston 1991:52, mengingat miskinnya dokumentasi Satoto 1994:12). pementasan teater (Soemanto, 2003:3). Unsur petunjuk pemanggungan sangat berkaitan dengan upaya seorang penulis Ada banyak resensi teater yang dimuat naskah yang memberi tanda-tanda khusus di media massa yang tidak menyebutkan pada naskahnya agar bisa dicerna kapan dan di mana peristiwa itu sutradara. Petunjuk pemanggungan berlangsung. Apalagi, sambutan dan reaksi berfungsi agar pembaca, sutradara, dan penonton. Padahal, kegiatan pentas segenap pekerja teater tidak salah dengan segala persiapannya amat sangat menafsirkan dan mementaskannya. Ada penting untuk mengukur ―daya juang‖ juga yang tidak memberikan petunjuk kelompok itu. Sebagai contoh tatkala seperti ini karena ia sadar, bahwa pembaca Bengkel Teater mementaskan Sekda naskah lakon, sutradara, dan para pekerja beberapa tahun lalu di sport hall Kridosono, teater yang hendak mementaskan naskah menunjukkan kebesaran grup itu; demikian tersebut mempunyai cara tersendiri pula tatkala Bengkel mementaskan menginterpretasi dan mereduksi naskahnya Panembahan Reso di Stadion Gelora Bung ke atas pentas. Karno, Senayan, . Dengan Sesuai dengan teori di atas, ada tiga demikian, kritik teater sebagai evaluasi bisa hal yang bisa dievaluasi. Pertama, materi merambah ke banyak wilayah, termasuk yang disajikan; kedua bagaimana materi unsur-unsur, yang mendukung pementasan disajikan dan bagaimana reaksi penonton. itu. Apa yang dimaksud dengan reaksi Untuk mengevaluasi kreativitas art penonton bukan bagaimana mereka director, misalnya, kritikus bisa naik berteriak-teriak seperti orang yang panggung, setelah pertunjukan usai untuk menonton pertandingan sepakbola tetapi, menyaksikan dari dekat ―hiasan-hiasan‖ di misalnya, seberapa mereka betah, apakah panggung terbuat dari apa saja. Di gedungnya penuh atau tidak, apakah Indonesia, almarhum Rudjito adalah

50 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237 seorang art director yang hebat. Pemen- 1) Memelihara dan menyelamatkan tasan Dhemit oleh Teater Gandrik di karya teater. Singapura dan pamentasan Bottomless 2) Memberikan penilaian atas karya Well (Sumur Tanpa Dasar) di Manila teater berdasarkan teori dan menunjukkan kehebatan itu. Lalu, kritikus metode tertentu. dengan eksplisit bisa mengatakan kekuatan 3) Membantu penyusunan teori dan grup itu. sejarah teater di Indonesia. Evaluasi juga bisa diarahkan pada 4) Membantu masyarakat penikmat ketrampilan aktor dan aktris dalam memberi tentang karya teater yang bermutu makna alat-alat yang dibawanya, seperti atau tidak bermutu, yang baik dan pada pementasan Mas Tom produksi yang tidak baik, yang asli atau yang Teater Gandrik. Dalam pemen-tasan lakon saduran/terjemahan, dan ini yang berlangsung 2002 di Societet sebagainya. Jogjakarta, alat-alat aktor yang sederhana 5) Memberikan sumbangan pendapat seperti pentungan, yang juga bisa menjadi atau pertimbangan kepada penulis alu untuk lesungnya, disajikan dengan lakon dan sutradara tentang karya kreativitas tinggi. teaternya, sehingga penulis lakon Mula-mula, pentungan itu digunakan dan sutradara memanfaatkan kritik sebagai pemukul atau alu untuk sastra itu dengan mengembangkan memproduksi bebunyian, lalu digunakan dan meningkatkan mutu hasil karya sebagai alat untuk memukul lawan, menjadi teaternya pada masa-masa pintu dan akhirnya untuk menciptakan mendatang. jendela. Demikian pula lesungnya. Mula- mula sebagai alat musik kemudian menjadi Semiotika dalam Kritik Teater di meja, tempat tidur. Indonesia Demikian, kritik harus mengevaluasi pementasan, mulai dari naskahnya hingga Mengamati judul-judul karya kritik eksekusinya di panggung. Aktor bisa hebat teater Indonesia, beberapa di antaranya sekali tetapi eksekusinya bisa lemah sekali. seolah-olah tidak merupakan penilaian Bahkan, menampilkan kesalahan- karya teater. Judul ini lahir berasal dari kesalahan dasar. Misalnya, sejumlah simpulan penulisnya terhadap pertunjukan pemain tidak mendapatkan lampu, spot teater. Sejumlah judul yang sepertinya tidak yang menyorot tidak kena sasaran…… mencerminkan karya kritik teater itu, antara Kegiatan kritik teater dan pandangan lain, kritikus teater, biasanya, sadar atau tidak sadar, berangkat dari teori dasarnya (1) Dagelan Olong Sanai (Penulis: Rudi tentang teater. Jelasnya, bagaimana ia Daliskan) memandang teater itu. Dari sana, (2) Demokrasi adalah Kaleng Rombeng muncullah responsnya. (Afrizal Malna) Berangkat dari titik ini, jika ada satu (3) Gebrakan Si Jago Tua (Ch. Susilo pementasan yang dihadiri 1.000.000 Sakeh) kritikus, akan muncul sejuta pandangan (4) Gejala Kematian Teks Cerita di Atas juga. Bagaimana hal ini bisa terjadi. Di Pentas (Harta Pinem) kepala setiap kritikus ada apa yang oleh (5) Hitam dalam Ruang Gelisah (Tandi Wolfgang Iser disebut ―repertoire‖ untuk Skober) memahamai objek dan mencernakannya (6) Kesusastraan dengan Dua dalam pikirannya. Panggung (Afrizal Malna) Berkaitan itu, kritik teater dapat (7) Kisah para Nyari dari Teater UI (Ian) berfungsi sebagai berikut : (8) Masyarakat dalam Ekonomi yang Gelap (Afrizal Malna)

Medan Makna No. 3/2006 51 ISSN : 1829-9237

(9) Mencari Tradisi Teater Sumut karya-karya panggung teaternya. Kritik- (Suyadi San) kritik seperti itu seakan-akan tidak memberi (10) Mimpi Buruk tentang Kekuasaan di gambaran mengenai penilaian karya-karya Tembok Besar (Arie F. Batubara) teater Indonesia. (11) Pengkhianat Tetap Pengkhianat Berbeda dengan judul-judul tadi, (Suyadi San) beberapa judul berikut ini sudah (12) Perjalanan Panjang dengan Buah membayangkan penilaian terhadap karya Kearifan (Arie F. Batubara) teater, (13) Raja Kerdil di Mata Awang (Bersihar Lubis/Sapto Waluyo) 1) Bersama Teater Que, Biarkan (14) Rendra dan Naluri Seorang Aktor Manusia Murni dalam Tubuhnya (M/RR) Sendiri (Afrizal Malna) (15) ‘Saya Diincar Preman!‖ (Mh. 2) Ciluk...Ba Hendak Mencari Harmoni Subarkah) (Thompson HS) (16) Sebuah ‘Penawaran‘ dari Teguh 3) Dalam Graffito Teater Kartupat Karya (Arie F. Batubara) Tampak Lelah (YS. Rat) (17) Sepenggal Cinta pada Zaman yang 4) Dengan Istana Setan Warna Teater Berubah (Arie F. Batubara) Kita Jadi Lain (YS. Rat) (18) Sindiran yang Makin Telanjang 5) Dialog Kursi, sebuah Tontonan (Priyono BS/Putu Setia) Reflektif (ptg) (19) Tak Ada yang Perlu Dicatat (Budi P. 6) Inspektur Jenderal: Cemooh Hatees) Santun bagi Kemunafikan (Arie F. (20) Teater Kata-kata Berwarna Plesetan Batubara) (Arie F. Batubara) 7) Pesta Terakhir Ratna Sarumpaet (21) Tergagap dalam Dialog Politik (Jiwa (Muhammad Subarkah) Atmaja) Dari klasifikasi jenis kritik teater Kalau kita membaca judul /Demokrasi sebagaimana dipaparkan di atas, kita adalah Kaleng Rombeng/ ataupun masih belum melihat kritik teater yang /Masyarakat dalam Ekonomi yang Gelap/, dapat menjadi acuan bagi para seniman sekilas pandang tulisan itu akan dijejali sekaligus penontonnya. Kritik-kritik teater masalah perpolitikan dan perekonomian di tersebut masih belum menukik pada Indonesia, bukan pertunjukan teater. hakikat teater sebagai teks dramatik Pikiran kita akan dipenuhi gambaran (berkenaan dengan cerita ataupun ide pertanyan seperti: ada apa dengan garapan) dan teks pertunjukan (berkenaan demokrasi di Indonesia, mengapa dengan proses pemanggungan). demokrasi didefini-sikan sebagai kaleng Seperti halnya bahasa, teater dapat rombeng, apa hubungan demokrasi dengan menonjolkan atau membuat sesuatu yang kaleng rombeng, apakah demokrasi yang aneh, asing, atau lain unsur-unsur yang dianut di Indonesia memang seperti kaleng spesifik dari pemanggungan sebagai suatu rombeng; atau, apa itu ekonomi yang cara untuk menciptakan makna yang lain gelap, ada apa pada masyarakat ekonomi sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh kita, dan seterusnya. Sederetan pertanyaan pemberi tanda. Tradisi-tradisi teater Barat lain akan bermunculan dan menjadi luas pada abad 20-an, tanggung jawab sistem menyangkut masalah ekonomi dan politik, tanda teaterikal berada di tangan sutradara. bukan mengenai karya-karya teater Jika penulis naskah adalah perintis Indonesia. dalam pemakaian sistem tanda linguistik Judul karya wartawan Harian Merdeka (pada teks dramatik), maka sutradara kini berinitial RR, /Rendra dan Naluri Seorang memiliki kekuasaan penuh pada teaterikal Aktor/, sepertinya memberi penjelasan (teks pertunjukan, dan dipertentangkan mengenai keaktoran Rendra daripada dengan teks dramatik) dan sutradara

52 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237 memiliki tugas untuk menyususn sistem- pemanggungan dan teks naskah sistem penanda pada teater (mencakup (dramatik). Kritik seperti ini tidak diragukan pencahayaan, dekorasi, properti, dan lagi keobjektifannya karena telah memiliki sebagainya) ke dalam suatu proses sejumlah perangkat yang mendukung pengodean yan cocok untuk produksi teks kritikan tersebut. pertunjukan. Jika sutradara gagal dalam melaksanakan tugas ini, maka pertunjukan 1.1. Gebrakan si-Jago Tua yang disajikan tidak akan dapat dipahami penonton. Penulis : Ch. Susilo Sakeh Berdasarkan teori semiotika, petanda Media : Harian Analisa, Medan kritik teater seharusnya menyampaikan Edisi : ? pesan-pesan atau penanda teks dramatik dan teks pertunjukan dengan jelas, dan Nama lengkap penulis ini adalah penanda yang disampaikan berjalan se- Choking Susilo Sakeh, pernah dikenal cara hierarkis. Misalnya dalam dunia film, sebagai penyair dan wartawan di antaranya semiotika telah dijelaskan secara luas pada Harian Waspada, Mimbar Umum, sebagai alat kritik, ‘mata‘ kamera lensa reporter lepas TPI (Televisi Pendidikan membantu untuk menunjukkan makna. Indonesia) perwakilan Medan, dan Media Mata lensa tersebut memilih sasaran mana Indonesia, kini staf redaksi pada Harian yang dapat dilihat. Sumut Pos. Dengan demikian, dapat memfokuskan Kritikan Choking ini berasal dari perhatian kita dalam proses peebutan pementasan kelompok Teater Nasional makna. Sedangkan dalam dunia teater, (TENA) Medan. Selama dua malam tidak terdapat mediator seperti dalam dunia berturut-turut, 17 dan 18 Januari 1987, film. Segala sesuatunya ditempatkan di Choking dengan tekun menyaksikan lakon depan mata kita, dan kita dapat melihat Tok Tok Tok karya Ikranegara, sutradara sebuah pemandangan di atas panggung Burhan Piliang di gedung utama Taman yang memiliki makna tertentu. Tanda-tanda Budaya Medan (TBM). Keterangan ini yang mempunyai fungsi dan peranan di diperoleh dari alinea kedua pengantar dalam kerangka teaterikal itu perlu tulisannya. Pada alinea pertama dia dihierarkikan guna membantu kritikus membuka kritikannya dengan simpulan dalam proses penilaiannya. sementara hasil pengamatannya, seperti Dari 35 karya kritik teater yang penulis terlihat pada kutipan berikut. teliti ini, ternyata hanya 5 (lima) kaya yang memiliki kaidah semiotika teater secara INI perdebatan panjang, lengkap, artinya telah memenuhi syarat bahkan melelahkan, tentang si-tua yang jago: Keadilan, di ruang sebagai penilaian yang dilengkapi dengan kepala seorang hakim. Perdebatan sistem petunjuk atau pengodean teks dari dua sosok berbeda; Karoman ramatik dan teks pertunjukan. Sebanyak 24 sang penyair (diperankan oleh tidak menggunakannya secara utuh dan Yan Amarni Lubis) dan Atma selebihnya sama sekali tidak menggunakan sang hakim (Raswin Hasibuan). Panjang, meletihkan, eeh, malah metode semiotika sehingga kritik tersebut verbal-tanpa gigitan yang sreg! diragukan penilaiannya. Dilihat dari kode teks dramatik, 1. Kritik Teater Semiotik secara Utuh Choking mengkritik masalah ide cerita yang ditulis Ikranegara dan dikaitkan dengan Kritik teater semiotik secara utuh latar belakang dipentaskannya lakon maksudnya adalah kritik teater yang tersebut. Menurut Choking, bentuk-gaya menggunakan metode semiotika teater pengungkapan kisah Tok Tok Tok kurang secara lengkap, yaitu teater dinilai mampu mendukung isi. Ikra terlalu berdasarkan kode-kode atau petunjuk ambisius pada isi/tema naskah. ‖Bisa jadi,

Medan Makna No. 3/2006 53 ISSN : 1829-9237 ini memang naskah pesanan, dalam rangka Kritikan Choking ini memang terkesan memasyarakatkan hukum di kalangan subjektif, tetapi dia melengkapinya dengan masyarakat,‖ tulis Choking. bukti-bukti teks dramatik dan teks Choking juga tidak lupa menyebutkan pertunjukan sekaligus, sehingga nama-nama tokoh yang diciptakan Ikra, penilaiannya dapat menghasilkan masukan seperti Karoman, Atma, Sidik, Tuk Syam, yang berharga bagi sutradara dan pekerja Matondang, Mak Olong, Murni, dan teater itu sendiri, khususnya TENA. Narator. Dia juga amencontohkan cuplikan dialog yang diucapkan salah seorang 1.2. Hitam dalam Ruang Gelisah pemain, yaitu: Penulis : Tandi Skober ‖Tetapi, aku cuma se-orang Media : Harian Prioritas, Jakarta hakim-sebatang lidi di dalam Edisi : 1 Pebruari 1987 sebuah sapu. Untuk bisa menyapu dengan bersih, haruslah disatukan beberapa Kritikan Tandi Skober ini juga tentang batang sapu yang bersih untuk hasil pertunjukan drama Tok Tok Tok karya kemudian digerakkan oleh Ikranegara dimainkan Teater Nasional sebuah tangan. Seorang hakim Medan, sutradara Burhan Piliang, 17 dan cuma sebatang lidi. Bisa saja dipatahkan dan dicampakkan 18 Januari 1987 di gedung utama Taman ke tempat sampah,‖ jerit pak Budaya Medan. Berbeda dengan Choking, Hakim. (alinea ke-10) Skober menilai hasil pertunjukan tidak terlalu emosional. Dengan teknik deduktif, Dari segi teks pertunjukan, Choking Skober coba mengangkat pementasan menyebutkan nama-nama pemeran dan drama Tok Tok Tok sebagai sesuatu yang dukungan penata artistik-desain panggung. patut disimak dan ditonton. Nama-nama aktor dituliskannya di dalam Skober pada awal kritikannya mengulas kurung setelah menyebutkan para tokoh, makna yang terkandung dalam naskah Tok yakni Yan Amarni Lubis (memerankan Tok Tok dan memperlihatkan bentuk tokoh Karoman), Raswin Hasibuan (Hakim dramatik sesungguhnya pada lakon Atma), Kuntara DM (Sidik), Sabarto (Tuk tersebut. Berlandaskan makna tersebut Syam), Syahrial Felani (Matondang), Emma yang menjadi kriteria penilaiannya, Tandi (Mak Olong), Yanti (Murni), dan Burhan Skober secara halus ‘mencincang‘ Folka (Narator). pertunjukan Teater Nasional yang bekerja Pada pengodean sisi desain-artistik, sama dengan Lembaga Bantuan Hukum Choking mengkritik penataan lampu yang (LBH) Medan. ditata D. Rifai Harahap dan musik (Mukhsin Tampaknya, Tandi Skober merasa Lubis). Dalam penilaiannya, Choking perlu menilai pertunjukan lakon TENA memadukan unsur pemanggungan dan Medan ini dengan berpijak pada apa yang perangkat yang ditampilkan Burhan Piliang terlihat di atas panggung beserta elemen di atas pentas. Dengan cara seperti ini, teater lainnya. Melalui unsur artistiknya, Choking memperlihatkan kritikannya Tandi Skober menilai kelebihan dan seobjektif mungkin disertai dengan ide dan kekurangan para pemain dan hal pengungkapannya endiri selaku seorang penyutradaraan. Dari pengodean keaktoran kritikus. pula, Tandi Skober mengalirkan tokoh- Kritik Choking yang juga bersifat tokoh drama Tok Tok Tok-nya Ikra. Dia pragmatik ini karena melibatkan unsur juga tidak lupa mengutip sepenggal dialog penonton, ditulis dengan apa adanya, salah seorang tokoh dan menambahkan sehingga dengan bahasanya sendiri dia bobot kritikannya dengan referensi yang menilai keberhasilan sutradara dalam ada padanya. mewujudkan karakter tokoh dan pengembangan lakon Ikranegara tersebut. .... Namun akting terasa kering. Tontonan yang

54 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237

dipertunjukkan tidak pendekatan sosial, politik, dana membersitkan, misalnya saja ekonomi. Ini berbeda dengan harapan yang disetir Nietzsche Teater Mandiri di tangan Putu dalam ‖Frohliche Wijaya yang memilih gaya Wissenechaft‖, yaitu tentang Artodian (dengan pendekatan lentera dalam kerumunan antropologis). (alinea 9) materialisme kumuh. Padahal ada satu kebutuhan roh nan Dan, pada kritikannya, mereka sama dengan diri ... dst. (alinea 9) mengatakan:

Bumbu-bumbu seperti itu 1.3. Kudeta Teater Koma juga selalu diberikan oleh N. Riantiarno. Bedanya, Penulis : A. Nisha/Ahmadun Yosi barangkali, N. Riantiarno lebih Herfanda terbuka, lebih langsung Media : Harian Republika, Jakarta (bahkan kadang terasa kasar) dalam melontarkan kritik lewat Edisi : 25 April 1993 teaternya. Sedang Joshua tampak bisa mengemasnya Dua orang wartawan Harian Republika, secara lebih halus, lebih hati- Jakarta, ini mengkritik hasil pertunjukan hati, dan tentu, resikonya, Teater Koma Jakarta dengan lakon Raja terkesan kurang berani. .... dst. Ubu karya Alfred Jarry (Perancis), (alinea 11) sutradara Yoshua D.P. di Gedung Kode-kode aktor dan tokoh yang tidak Kesenian Jakarta, 23 April s.d. 6 Mei 1993. luput dari kritikan mereka adalah Sebagai wartawan, Nisha dan Ahmadun memasukkan nama-nama aktor sekaligus coba mengkritik seobjektif mungkin, penokohannya, seperti : Raja Ubu (Dudung dilengkapi dengan data dan fakta. Maka, Hadi), Raja Panceleos (Budi Sobar), Istri tak pelak kritikan mereka ini bisa disebut Ubu (Rita Manu Mona), Kapten Borduri representatif dan bisa berterima oleh (Taufan S. Chandra-negara), dan Balas semua orang. (Idris Pulungan). Hal itu mereka buktikan dari adanya bingkai cerita yang dipaparkan Alfred Jarry. 1.4. ’Pesta Terakhir’ Ratna Sarumpaet Beranjak dari suasana panggung dan keadaan ruang pertunjukan yang tiba-tiba Penulis : Muhamad Subarkah menjadi awal pergelaran Teater Koma itu. Media : Harian Republika, Jakarta Objek aktor dan setting yang menjadi Edisi : 4 April 1997 penanda kritikannya berkembang melalui bingkai cerita yang dikemas Yoshua selaku Sesuai judulnya, Muhamad Subarkah sutradara. sepertinya memang secara khusus menanti Bentuk pemanggungan Teater Koma garapan Ratna Sarumpaet, pimpinan mereka kritik melalui pendekatan simile sekaligus sutradara Teater Satu Merah (perbandingan), baik mengenai konsep Panggung, Jakarta, dalam lakon Pesta penggarapan teater modern/mutakhir pada Terakhir di Taman Ismail Marzuki (TIM) umumnya maupun pergelaran Teater Jakarta, 2 s.d. 6 April 1997. Meski bermula Koma terdahulu. Mereka juga mengkritik dari suasana pementasan, Subarkah tetap persoalan bahasa yang dipakai para berpijak dari ide dan konsep garapan pemain. Persoalan bahasa biasanya sering Ratna yang sekaligus sebagai penulis luput dari objek atau amatan kritikan cerita. seorang kritikus. Dari 11 alinea kritikannya, enam di Sebagaimana pernah antaranya ditujukan atau difokuskan untuk dikatakan oleh Saini KM, teater Ratna. Subarkah mengkritik lewat Brechtian selalu mengangkat perbandingan ide atau konsep problem kehidupan dengan

Medan Makna No. 3/2006 55 ISSN : 1829-9237 penyutradaraan Ratna, makna lakon, dan kritiknya menjadi dua bagian sekaligus. hasil pertunjukan secara keseluruhan. Apa- Inilah wujud kritik semiotika teater. Sebagai apa yang muncul dari kritikan Subarkah, seorang sastrawan sekaligus seniman semuanya beranjak dari obsesi Ratna sejati, kritikannya terlihat sangat tajam dan Sarumpaet. Teks dramatik dan teks menukik ke persoalan. Dia memang sangat pertunjukan dikritik melalui penuangan menguasai bentuk lakon yang disajikan gagasan Ratna sendiri. Teater Kecil itu dan memiliki sejumlah Dari konsep Ratna pula, Subarkah referensi yang mendukung kritikannya. mengkritik : Pada bagian pertama, Leon cende-rung memperhatikan makna yang terdapat Tapi sekali lagi, entah dalam naskah Sumur tanpa Dasar. Dalam kenapa peran mereka diputus daya apresiasinya, ia mengupas masalah begitu saja. Dan, sebagai hasilnya, kesan penokohan dan dibuktikannya dengan ‘pengguntingan‘ alur adegan dialog-dialog penting tokoh utama Djumena secara paksa pun timbul. serta dipadu perbandingan Arifin C. Noer Jalinan adegan menjadi secara pribadi. Hal itu seperti terlihat pada bercabang atau berbalik lagi penggalan alinea berikut ini. menjadi penuh keseriusan dan ketegangan. Cara bertutur Pesta Terakhir yang di bagian .... Walhasil, Arifin oleh Arifin depan sudah terasa hangat menjadi semacam peringatan dan bergairah, akhirnya tanpa pemahaman bagaimana berubah lesu. Pertunjukan manusia bisa berubah menjadi tidak efektif karena pandangan dan sikap hanya bermaksud mengulur hidupnya. Untuk yang terakhir dialog atau adegan. (alinea 10) ini, diperlukan penalaran yang lebih kuat dasar-dasar pertimbangannya. STD sangat Untuk mendukung kritikannya, kaya dengan retorik yang Subarkah mencuplikkan beberapa dialog komikal dan komunikatif; satu pemain yang dinilai plesetan dan bergaya kekuatan yang memelihara Srimulat, juga menyebutkan nama-nama rasa betah para penonton .... dst. (alinea 3) pemain, seperti Abi Wiranda, Deddy, Joel

Taher, dan Didik Pepeng. Dalam segi pertunjukan, Leon lebih

banyak mengkritik hal penataan artistik, 1.5. Sumur tanpa Dasar yang khususnya pencahayaan dan komposisi Kemiskinan Aktor panggung, serta masalah aktor. Antara

penataan artistik dan penyutradaraan, Penulis : Leon Agusta menurut Leon, berjalan sendiri-sendiri dan Media : Harian Berita Buana, bertentangan dengan konsep naskah. Dari Jakarta segi aktor, Leon sangat memuji peran Edisi : 19 Oktober 1987 Djumena yang diperankan Ikranegara,

selebihnya dia menilai pemeran lainnya , Ditilik dari judulnya, kritikan Leon seperti Cok Simbara, Totti Priyongko Agusta yang lebih dikenal sebagai penyair (Nyai), dan Cini Gurnawan (Euis), sebagai ini terbagi atas dua bagian, yakni kritik tokoh yang gagal berperan. terhadap teks lakon Sumur tanpa Dasar karya Arifin C. Noer dan kritik terhadap 2. Kritik Teater Semiotik Tidak Utuh hasil penyutradaraan Arifin, khususnya masalah keaktoran. Lakon ini dipentaskan 2.1. Bersama Teater Que, Biarkan Teater Kecil di Gedung Kesenian Jakarta. Manusia Murni dalam Tubuhnya Dibanding kritik sebelumnya dalam Sendiri peneliian ini, kritikan Leon Agusta adalah yang terlengkap dan akurat. Dia membagi Penulis : Afrizal Malna

56 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237

Media : Harian , Jakarta menjadi yatim-piatu pada tubuh, Edisi : 8 Nopember 1992 teater akan tertinggal selamanya pada bahasanya sendiri yang terbelah. Seakan-akan teater Kritik Afrizal Malna ini sebenarnya bisa bukanlah sebuah bahasa; dikategorikan kritik teater semiotik (utuh). sebagaimana kita maklumi adanya Namun, karena nama para aktor dan bahasa puisi dan masochin... dst. cuplikan dialog sebagai petanda tidak (alinea 10 dan 11) dipergunakan, menjadikan kritikannya kurang sempurna. Padahal secara 2.2. Dagelan Olong Sanai impresionistis, dia sudah menelusuri bentuk lakon Teater Que Medan yang Penulis : Rudhi Faliskan membawakan ‘teater mini kata‘ berjudul Media : Harian Waspada, Medan Obsesi Bah dan Dialog Kursi di pendopo Edisi : 26 September 1990 Bengkel Teater Rendra, Cipayung, Depok, Jawa Barat. Secara struktur dramatik dan Afrizal secara detil mengulas dua pertunjukan, sebenarnya kritikan wartawan pertunjukan Teater Que sebagai lakon Harian Waspada Medan terbilang unggul. yang hanya lebih mengedepankan peran Dia sudah coba menyebutkan alur cerita, tubuh daripada kata-kata. Dalam penokohan dan aktor serta desain penilaiannya, Afrizal sebenarnya mengkritik pertunjukan. Hanya saja, karena tidak dua pergelaran Teater Que habis-habisan. melibatkan unsur dialog sebagai salah satu Namun, karena dibalut dengan bahasanya penanda dramatik, kritik Rudhi ini masih yang menawan, kritikan pedas Afrizal kurang sempurna. Andai saja Rudhi mau Malna ini tidak kentara. Afrizal betul-betul mengutip penggalan dialog pementasan ‘menelanjangi‘ Teater Que baik secara Lembaga Studi Tari Patria (LSTP) konsep, ide maupun segi pertunjukannya. Tanjungmorawa itu ke dalam kritikannya, Secara konseptual, Afrizal menilai ide maka kritikannya akan makin kuat. Porman Wilson selaku sutradara sangat Kritikan Rudhi ini ditulis setelah menarik. Porman coba melepaskan diri dari menyaksikan pergelaran drama Musang bahasa verbal atau kata-kata, berganti Berbulu Ayam naskah dan sutradara Amir dengan nyaris total bahasa tubuh. Porman Arsyad Nasution, dilakonkan Amir Arsyad bermaksud mengedepankan esensi tubuh Nasution (Pak Sungsang), Kamaliani (Bu sebagai media teaternya. Namun, menurut Sungsang), Sri Astuty (Fatimah), S. Yono Afrizal, justru hal itu menyebabkan (Olong Sanai), Amruzal (Sai), Syahrial putusnya komunikasi antara bahasa tubuh Felani (Pak Ongah), dan murid-murid LSTP dan tema yang ingin ditampilkan Porman. Tanjungmorawa, 15 September 1990. Kritikannya yang paling pedas, yakni: Ketika di akhir kritiknya, Rudhi menyimpulkan: Tidak terpecahkannya masalah dualisme dari pertunjukan Dalam pementasan tersebut, kita Teater Que di atas, bila dijelaskan memang tidak perlu membicarakan dengan menggunakan anggapan - bagaimana suasana pentas, -yang mungkin menghantui Teater misalnya tata lampu, dekorasi dan Que juga – bahwa ‖kata‖ adalah lain-lainnya karean untuk lebih sebagai media rasionalisasi, membicarakan dialeknya saja sementara ‖tubuh‖ hanya sebagai masih harus buang enerji. media ekspresi. Anggapan ini bisa Barangkali ini pula yang harus melahirkan basis komunikasi yang dituntut kepada anak-anak Patria terbelakang dalam dunia teater, di untuk belajar lebih banyak mana individualisasi dianggap menempatkan su-atu cerita. lebih memungkinkan pada tubuh (alinea 16) daripada pada kata. Apabila anggapan itu telah 2.3. Dalam ”Graffito ” Teater Kartupat menjadi hantu, yang membuat kata Tampak Lelah

Medan Makna No. 3/2006 57 ISSN : 1829-9237

Penulis : YS. Rat Teater Kartupat kali ini cuma Media : Harian Analisa, Medan dibopong oleh personel yang sama sekali minim pengetahuan Edisi : 12 Agustus 1990 dan pengalaman berteater. (alinea 12) YS. Rat, kritikus yang penyair dan wartawan Harian Medan Bisnis Medan ini 2.4. Gejala Kematian Teks Cerita di menilai, pertunjukan Teater Kartupat Atas Pentas Medan secara teknis sekali. Dalam membedah drama Graffito karya Akhudiat Penulis : Harta Pinem disutradarai Raswin Hasibuan ini, YS. Rat Media : Harian Mimbar Umum, bertubi-tubi menilai segi fisik pemain. Medan Menurutnya, sutradara menemui kegagalan Edisi : 6 Pebruari 1994 dalam hal pemain. Pemain-pemain Kartupat dianggapnya tidak menguasai Kritikan Harta Pinem ini sebenarnya panggung dan kurang memiliki karakter terbilang basi, lantaran objek yang suara yang cocok dengan tokoh yang dikritiknya sudah berlangsung selama tujuh dmainkan. bulan, yaitu 31 Juli 1993. Begitupun Rat memang memasukkan unsur cerita, kritikannya masih menarik karena penokohan, aktor, dan penataan artistik membicarakan masalah konsep suatu lampu, tetapi dia tidak melengkapinya pertunjukan yang dilakukan sutradara. dengan unsur yang lain dalam konsep Kritikan Harta Pinem ini sebenarnya hanya semiotika teater, yakni cuplikan dialog. masalah perbedaan penafsiran tokoh-tokoh Apalagi, dalam kritikannya dia ada dalam lakon Setan dalam Bahaya karya menyebutkan ‘dialog yang sarat dengan Taufik Al-Hakim yang dimainkan Teater penonton‘. Sebagai pembaca awam LKK IKIP Medan, sutradara Suyadi San, di maupun kritis, tentunya kita akan Gelang-gang Mahasiswa IKIP Medan. mengetahui contoh dialog yang ia Karena Pinem bukan ‖orang teater‖, maksudkan. mengakibatkan dirinya kurang mengerti Yang lebih fatal lagi, tanpa alasan yang mengenai garapan teater. Pinem jelas ia langsung menilai Teater Kartupat memaksakan, tokoh Setan (diperankan dari luar konteks pertunjukan. Seperi pada Yusni Khairul Amri) seharusnya seperti judul kritiknya, Rat langsung menuding mitos, yakni seram dan menakutkan. Kalau pergelaran Teater Kartupat merupakan saja Pinem menyadari konsep wujud ‘kelelahan‘ dari perjalanan panjang penyutrdaraan – yang juga sudah grup tersebut. Sebenarnya penilaian di luar diberitahukan melalui forum diskusi – teks ini, baik teks dramatik maupun teks sesungguhnya tokoh Setan memang bisa pertunjukan, tidak etis dilakukan seorang diadaptasi dan diversikan sutradara. Bisa kritikus. Apalagi dasar kritiknya hanya jadi, tokoh Setan hanya diambil oleh berkisar pada keadaan fisik pemain. Kalau sutradara sifat-sifat atau watak yang saja dia berpegang teguh pada teks dan menyerupai setan. Akan tetapi, Pinem melengkapinya dengan unsur dialog, malah menanggapi sebagai berikut: kritikan YS Rat ini bisa terbilang representatif. ... Maka seusai pementasan, Kritikan YS Rat yang berada di luar teks ketika diadakan diskusi mengenai itu seperti contoh alinea berikut ini. hasil pementasan itu, hal pertama yang menjadi pertanyaan penonton yaitu mengenai figur Jadilah Teater Kartupat yang telah Setan yang nampak seperti berusia 14 tahun dan memiliki pelawak itu. Lalu mereka jawab nama besar lewat pementasan dengan argumentasi yang kurang Graffito karya Akhudiat ini nampak terpertanggungjawabkan secara lelah. Kelelahan itu setidaknya rasional, karena mitos yang sudah akibat nama besar yang dimiliki terbangun selama ini di benak

58 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237

penonton bahwa setan itu Selanjutnya, kritik yang tanpa dilengkapi bertubuh besar, hotam, seram, penggalan dialog dan unsur desain artistik dan menakutkan. Sedangkan mereka menjawab bahwa figur tersebut sangat menyayangkan Setan tak harus seram, boleh ketidakberanian Teguh Karya lebih biasa-biasa saja seperti manusia. menghidupkan pertunjukannya. Sehingga, Tapi penonton tetap merasa Arie Batubara mengeluhkan: terkecoh dan kecewa berat berhubung figur Setan yang Ah, mereka masih terlalu dipertunjukkan itu kehilangan santun. Bahkan, sang Inspektur referensi kognitifnya. (alinea 5) Jenderal yang dimainkan Zainal Abidin Domba, 2.5. Inspektur Jenderal : Cemooh sesungguhnya masih memiliki Santun bagi Kemunafikan peluang besar untuk lebih ‖mengedepankan‖ lakonnya. Paling tidak, dengan unikum Penulis : Arie F. Batubara yang lebih khas, seperti Media : Harian Republika, Jakarta dipertontonkan Slamet Rahar- Edisi : 31 Oktober 1993 djo untuk sosok Wan Janggut. (alinea 19) Pergelaran lakon Inspektur Jenderal karya Nikolai Gogol (1809-1852) oleh 2.6. Kisah Para Nyai dari Teater UI Teater Populer, disutradarai Teguh Karya, merupakan peristiwa ‘sakral‘ bagi Teguh Penulis : Ian dan Teater Populer. Karena, di saat itulah Media : Harian Republika, Jakarta mereka merayakan HUT ke-25 grupnya Edisi :18 Maret 1997 secara besar-besaran. Pementasan dilaksanakan selama satu minggu, 25 s.d. Kritikan wartawan Harian Republika ini 31 Oktober 1993, di Teater Arena TIM lebih banyak membicarakan teks dramatik (Taman Ismail Marzuki). Karena itu, kritikan daripada teks pertunjukan. Meski Ian ada Arie F. Batubara juga sangat penting, menyelipkan unsur dialog dan khususnya untuk sejarah Teater Populer memajangkan nama-nama tokoh serta ide tersebut. pengarangnya, Kwee Tek Hoay, tetapi ia Dari 19 alinea yang ditulisnya, 11 di melupakan unsur penting dalam semiotika antaranya terpusat pada penilaian teks teater, yakni aktor dan desain artistik. dramatik, berkisar tentang kisah, Padahal, kalau unsur itu ada penokohan, dan Nikolai Gogol sendiri ditampilkannya ke dalam kritik, maka selaku pengarang. Sisanya, sebanyak kritikannya tidak akan mengaburkan makna delapan alinea merupakan penilaian dan dapat dimengerti serta berterima oleh terhadap teks pertunjukan. seniman dan pengarangnya. Menurut Arie, cerita Nikolai Gogol itu Kritikan Ian itu berasal dari pertunjuk-an diangkat Teater Populer secara utuh. Teater UI (Universitas Indonesia) di Selama 150 menit pertunjukan, Erasmus Huis, Jakarta, 14 s.d. 15 Maret pementasan tersebut murni milik Nikolai 1997, dengan naskah Boenga Roos dari Gogol, bukan Teguh selaku sutradara. Di Tjikembang, karya Kwee Tek Hoay, sini, Arie memuji kekonsisenan Teguh yang sutradara Yoesoev. Untuk memasukkan secara total melepaskan kepribadian kritiknya, Ian malah meminjak ungkapan Teguh sebagai Teguh. Tentu saja penonton seperti pada penggalan berikut. kekonsistenan Teguh itu mengakibatkan peluang pemain untuk berimprovisasi Yang patut dihargai adalah keberanian mereka menggali sangat tipis. Dengan mpdel panggung naskah-naskah Melayu yang arena pula, menurut Arie, seharusnya kurang dikenal, yang memiliki permainan dapat lebih berkembang lagi. kekhasan bahasa dan tematiknya. Tak kurang dari sutradara

Medan Makna No. 3/2006 59 ISSN : 1829-9237

kondang Teguh Karya pun dan paling fatal lagi lampu menghargai usaha ini. (lighting) yang ditata Sugianto Menurutnya, saat ini ada dua tersendat-sendat... Sehingga pada kelompok teater yang berusaha pementasan 2 malam berturut- mengangkat naskah lama. Salah turut suasana ceritanya buyar satunya adalah Teater Pagupon karena hanaya lampu yang tidak ini. Dengan menggali naskah dari mampu menopang suasana mada Melayu, Teater Pagupon pementasan ini... dst. (alinea 7 memperoleh manfaat lebih dari dan 8) khasanah sastra yang lain. ‖Apalagi dengan dialognya,‖ kata 2.8. Pengkhianat tetap Pengkhianat Teguh. (alinera 13 dan 14)

Penulis : Suyadi San 2.7. Pementasan Bisul-bisul Media : Harian Mimbar Umum,

Medan Penulis : Surya Hardi Edisi : 19 Nopember 1995 Media : SKM Taruna Baru, Medan

Edisi : ? Berbeda dengan kritikus sebelumnya,

kritikan Suyadi ini hanya tidak dilengkapi Kekurangan kritikan Surya Hardi alias dengan kode aktor. Meski ia telah Murdok ini hanya terletak pada unsur memadukan unsur teks dramatik dan teks dialog, sedangkan unsur yang lain sudah pertunjukan melalui konsep digambarkannya dan memperkuat daya penyutradaraan, namun ia tidak kritiknya. Surya telah melakukan kritiknya melengkapinya de-ngan menyebutkan dengan cukup jeli dan akurat. Dia sudah nama-nama pemeran. Padahal, unsur memasukkan konsep penyutradaraan dan penting ini sangat berguna bagi teks dramatik. Meski kritiknya kurang pengembangan grup, pemain, dan dilengkapi kode dialog, tetapi ia sudah masyarakat penonton. mampu mencerna pergelaran yang ia Kritikan Suyadi ini berasal dari tonton. pertunjukan Teater Bola Banda Aceh Kritikan Surya tersebut berasal dari dalam rangkaian Festival Drama Epos pertunjukan Teater Patria Medan di gedung Perjuangan RI 1945, 3 s.d. 10 Nopember utama Taman Budaya Medan, 18 s.d. 19 1995 di gedung utama Taman Budaya November 1989, membawakan lakon Bisul- Sumut, mengusung lakon Malam bisul karya Vreddy Kastam Marta, Pengantin di Bukit Kera, karya Motinggo disutradarai Amiruddin AR. Pementasan ini Boesje, sutradara Junaidi Yacob. Grup ini didukung pemain, antara lain, Ujang Adnan keluar sebagai juara pertama festival Nur, Irwan Dame, Adek, Haris Fadhilah, tersebut. Nila Ernita, Yussal Fenny, Suyadi San, Antara lain dia menilai: Herman Hutapea, dan lain-lain.

Dia antara lain menilai: Upaya inilah yang harus dilakukan segenap calon sutradara Adegan yang cukup tergarap jika ingin pementasannya ditonton pantas kita puji adalah pada Raja masyarakat. Di samping segi Gamet (Irwan/Ujang) dibunuh tematik kemasan ini menjadi Tanca/Dokter (Suyadi San) karena berharga karena dilengkapi istrinya (Tetty) diperkosa oleh identitas kultur, penafsiran, tenaga Raja. Takaran emosi, permainan, pemain, dan peralatan yang dialog serta akting mampu sederhana, tetapi memadai. Hal ini menggugah penonton dan terseret justru memperkuat adegan yang dalam permaianan, seakan-akan telah disunting sutradara. (alinea kita berada dalam kisah yang 12) sebenarnya...... Selain itu kelemahan yang terlihat adalah musik yang selalu 2.9. Raja Kerdil di Mata Awang kosong setiap adegan permainan,

60 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237

Penulis : Bersihar Lubis dan Sapto Edisi : Minggu I Pebruari 1994 Waluyo (Edisi Khusus) Media : Majalah Gatra, Jakata Edisi : 10 Mei 1997 Kritikan wartawan Harian Merdeka ini juga sebenarnya sudah cukup lengkap. Kritikan kedua wartawan ini Namun lantaran tidak memasukkan salah sesungguhnya hanya beripa ekspos satu unsur semiotika teater, kritikannya mengenai keberadaan Teater Makyong, menjadi kurang sempurna. Padahal, dia sebagai suatu bentuk kesenian tradisional sudah sangat baik menilai pertunjukan Riau, yang hampir punah. Berawal dari Bengkel Teater Rendra lewat lakon Hamlet, hasil pementasan grup Teater Makyong karya William Shakespeare, sutradara Batam yang tampil pada Festival Teater Rendra, pada 26 Januari s.d. 4 Pebruari Tradisi se-Asia Pasifik di Pekanbaru, Maret 1994 di Graha Bakti Budaya Taman Ismail 1997, serta siap dimainkan lagi pada acara Marzuki (TIM) Jakarta. Gendang Nusantara, 1 s.d. 5 Mei 1997 di Sesuai judul, wartawan Merdeka ini Malaka, Malaysia. menilai Rendra secara khusus dari segi Sebagaimana kritikan wartawan lain keaktoran yang berpadu dengan dalam penelitian ini, Bersihar dan Sapto kepenyairan Rendra. Wartawan ini juga juga mengambil data kritiknya dari pakar di sangat jeli memperhatikan akting pemain bidangnya, yakni Basri, 60 tahun, pewaris secara detil dan unsur musik serta desain Makyong yang masis bisa mereka temukan panggung yang mendukung pementasan di Riau. Berpijak dari keterangan Basri, Bengkel Teater Rendra secara mereka menyarankan agar seni tradisi itu keseluruhan. Hanya saja, kritikannya tidak dapat diwarisi dan dikembangan generasi dilengkapi oleh unsur dialog sebagai penerusnya. Hal itu seperti terlihat pada penanda teks dramatik. kutipan alinea berikut ini. Antara lain dia mengkritik:

Cerita Makyong memang Kata ‘baru‘ dan ‘lama‘ dalam berpusat pada dongeng. Tapi bisa berkesenian sulit disembunyikan terasa kontekstual. Siput gondang untuk memperlihatkan kematangan itu tak ada dalam kenyataan, seseorang. Dalam hal ‘lama‘ ini, karena dicirikan memakai sayap – Rendra memang cukup matang. atau barangkali sebuah spesies Kematangan Rendra sebagai yang punah? Namun apa yang dramawan ma-kin kentara di antara terjadi pada masa monarki purba, anak bu-ahnya yang masih baru atau pada dongeng dan legenda, berke-cimpung di dunia teater. bisa saja hadir kembali di zaman (alinea 15) mana pun. Relevansi makna menjadi penting. Yang tak kalah 2.11. Sindiran yang Makin Telanjang pen-tingnya adalah, bagaimana Mak-yong bisa berkembang sebelum terlanjur punah. (alinea Penulis : Priyono B Sumbogo dan 14) Putu Setia Media : Najalah Tempo, Jakarta Sayangnya, kritik semiotik mereka Edisi : 6 Oktober 1990 tidak lengkap karena tidak menandakan unsur aktor dan desain artistik panggung. Kedua orang wartawan ini menilai, Bahkan, kritik Bersihar dan Sapti ini hanya pertunjukan Suksesi karya/sutradara Nano sebatas pengantar pertunjukan. Riantiarno yang dimainkan Teater Koma, Jakarta, 28 September s.d. 11 Oktober 2.10. Rendra dan Naluri Seorang Aktor 1990 di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta berkesan terlalu Penulis : M/RR vulgar untuk menyindir persoalan di luar Media : Harian Merdeka, Jakarta panggung. Berbeda dengan pergelaran

Medan Makna No. 3/2006 61 ISSN : 1829-9237

Nano pada naskah-naskah sebelumnya menonjolkan bunyi kursi yang dihentak- yang dikemas secara apik, pementasan hentak berirama ke lantai, sesekali Suksesi selama dua pekan itu dilakukan ditingkahi suara pemain yang hanya Nano secara terbuka dan blak-blakan. mengaum, kali lain serentetan bunyi vokal Dengan gaya seorang wartawan pula, dan konsonan tak berstruktur. Priyono dan Putu melengkapi kritikannya Model drama mini kata bahkan minus dengan wawancara langsung kepada kata ini dikritik sebagai berikut: sutradara sehingga datanya terbilang lengkap. Begitupun, kritikan mereka dalam ... Pentas seakan terpilah sorotan semiotika teater masih belum menjadi dua, yakni arus atas dan arus bawah, yang boleh jadi sempurna karena tidak dilengkapi dengan dimaksudkan sebagai simbol unsur aktor sebagai kode teks pertunjukan. struktur politik birokratis. Lebih lanjut Priyono dan Putu mengkritik: Sayangnya, perilaku makhluk pada arus atas tidak dibedakan dengan Jadi, memang sulit yang di bawah. Kostum pemainnya membedakan lakon-lakon Teater pun sama, yakni mengenakan Koma belakangan ini dengan lakon- cawat loreng seperti suku primitif lakonnya terdahulu, katakanlah di yang masih hidup di hutan. (alinea zaman Opera Ikan Asin atau Bom 4) Waktu, misalnya. Karya Nano belakangan begitu encer dan cair – Kesimpulan dan Saran tak ada ‖kekayaan rohani‖ yang diperoleh setelah meninggalkan panggung per-tunjukan. Tapi apa a. Simpulan jawab Nano? ‖Masyarakat adalah sumber ilham bagi saya. Apa yang Beberapa simpulan dari penelitian terjadi di masyarakat sata serap Semiotika dalam Kritik Teater di Indonesia dan saya berikan kepada ini adalah sebagai berikut: masyarakat lagi. Jadi, siapa sebenarnya ayang cair. Saya atau masyarakat?‖ (alinea 9) 1. Kritik teater sampai sekarang masih banyak ditulis orang, terutama di 2.12. Tergagap dalam Dialog Politik media massa surat kabar dan majalah. Kritik teater ini muncul Penulis : Jiwa Atmaja seiring dengan perjalanan teater di Media : Majalah Editor, Jakarta Indonesia. Karenanya, kehadiran Edisi : No. 22/Thn. VI/20 Pebruari kritik teater sangat menggembirakan 1993 bagi seniman dan masyarakat sebagai-mana yang diharapkan Pementasan yang dikritik Jiwa Atmaja semua ka-langan ini memang tanpa unsur dialog, karenanya 2. Dunia teater di Indonesia terus dapat dimaklumi kritikannya tidak berkembang sesuai perjalanannya menggunakan unsur dialog para tokoh. sendiri di tengah arus pemikiran Begitu-pun, dia tidak menyebutkan nama- masyarakat dan zamannya. Dalam nama aktor sebagai penanda teks per- perkembangannya, teater di tunjukan. Indonesia tetap beranjak dari tradisi Teater Que Medan yang dikritiknya kultur setempat walaupun dalam membawakan lakon berjudul Dialog Kursi berbagai versi dan keadaan. Yang karya/sutradara Porman Wilson, dimainkan perlu dikaji dalam perkembangan di Auditorium Universitas Udayana teater Indonesia ialah peningkatan Denpasar, 30 Januari 1993. lakon ini, mutu karya teater itu sendiri dan menurut Porman dalam kritikan Atmaja, apresiasi masyarakatnya. tidak ada cerita, tanpa ikatan tematis, tanpa 3. Kritik teater di Indonesia beraneka dialog verbal. Pementasannya hanya ragam, didasarkan atas proses

62 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237

pendekatan, metode, dan teknik Walaupun data-data untuk penya-jiannya. Kritik teater memperkuat penilaiannya masih merupakan kegiatan analisis dan belum begitu cukup, namun pada penilaian yang ditujukan pada karya umumnya kritikus sudah melakukan teater. Tujuan kritik teater bukan teknik yang cukup baik. Hanaya untuk memperlihatkan keunggulan, saja, jika tidak menggunakan kelemahan, benar dan salahnya metode semiotika teater secara sebuah karya, te-tapi adalah utuh, kritikan tersebut masih belum mendorong seniman untuk representatif dan diragukan mencapai penciptaan karya setinggi kebenarannya. Alangkah lebih baik mungkin dan mendorong penikmat jika kritik teater bisa dibuktikan untuk mengapresiasi karya teater dengan data dan fakta agar secara baik. pembaca dan seniman menyadari 4. Pendekatan semiotika teater kelemahan dan kelebihannya merupakan hal baru di Indonesia. dengan lapang dada. Melalui pendekatan ini, antara kesusasteraan, sastra drama dan B. Saran teater, saling mendukung. Dalam pendekatan ini, analisa teater Dari simpulan di atas, peneliti meliputi dua kajian, yakni teater menyarankan sebagai berikut: sebagai teks dramatik dan teater sebagai teks pertunjukan. 1. Kritikus teater sudah seharusnya Pendekatan semiotika teater ini menggunakan metode semiotika teater dimaksudkan untuk keperluan kajian agar kritiknya bisa dipertanggungjawabkan teks sebagai sistem tanda guna serta menjembatani seniman dan memperoleh makna lakon yang masyarakat dengan karyanya. Metode mendekati keobjektifan, karena semiotik adalah proses pendekatan kritik memang tidak ada makna atau nilai teater untuk menilai karya teater yang objektif mutlak dalam karya seni, representatif dan utuh. termasuk teater atau drama. 2. Penelitian tentang kritik teater, 5. Kritik teater yang baik dan wajar pertunjukan teater, dan pengajarannya adalah kritik yang ditulis perlu terus dilakukan agar perkembangan berdasarkan sejumlah kerangka pikir kritik sastra bisa kondusif dan seorang kritikus terhadap suatu menghasilkan sumbangan berharga bagi bentuk pertunjukan teater secara dunia sastra di Indonesia. *** utuh untuk dipahami dan dimengerti audiens. Kritikus harus fungsional DAFTAR PUSTAKA sebagai jembatan antara seniman dan masyarakat. Dalam Ahmad, A. Kasim, 1977. Sebuah melaksanakan kritiknya, kritikus Pengantar tentang Teater harus berpedoman pada realitas, Tradisional di Indonesia. Majalah kriteria, dan tanggung jawab yang Budaya Jaya No. 114 Tahun penuh. Kesepuluh—Nopember 1977 6. Dari 35 (tiga puluh lima) karya kritik Ahmadi, Mukhsin, 1990, Strategi Belajar teater di Indonesia yang penulis Mengajar Keterampilan Berbahasa teliti, banyak yang belum dan Apresiasi Sastra. Malang : menggunakan metode semiotika Yayasan Asih Asah Asuh teater secara baik. Rata-rata kritikus Atmazaki, dan WS, Hasanuddin, 1990. sudah berupaya semaksimal Pembacaan Karya Susastra sebagai mungkin melakukan penilaian suatu Seni Pertunjukan. Padang : terhadap pertunjukan teater. Angkasa Raya

Medan Makna No. 3/2006 63 ISSN : 1829-9237

Berger, Arthur Asa, 2000. Signs in Masyarakat Seni Pertunjukan Contemporary Culture : An Indonesia. Jakarta : MSPI dan Introduction to Semiotics, Gramedia terjemahan M. Dwi Marianto, Sunarto K.S., Yudiono, 1986. Telaah Kritik Sastra Tanda-tanda dalam Kebudayaan Indonesia. Bandung : Angkasa Kontemporer. : Tiara Kratz, E. Ulrich, 2000. Sumber Terpilih Wacana Sejarah Sastra Indonesia Abad XX. Brook, Peter, 2002. Shifting Point Jakarta : Gramedia (Percikan Pemikiran tentang Teater, Masinambow, E.K.M., dan Hidayat, Rahayu Film, dan Opera). Yogyakarta : MSPI S, 2001. Semiotik: Mengkaji Tanda dan arti dalam Artifak. Jakarta : Balai Pustaka Endraswara, Suwardi, 2003. Metodologi Mitter, Shomit, 2002. Stanilavsky, Brecht, Penelitian Sastra : Epistemologi, Grotowski, Brook : Sistem Pelatihan Model, Teori, dan Aplikasi. Lakon. Yogyakarta : MSPI dan arti Yogyakarta : Pustaka Widyatama Mohamad, Goenawan, 1980. Seks, Sastra, Esten, Mursal (Ed.), 1988. Menjelang Kita. Jakarta : Sinar Harapan Teori dan Kritik Susastra Indonesia Moleong, Lexy J., 2004. Metode Penelitian yang Relevan. Bandung : Angkasa Kualitatif. Bandung: Remaja Rosda ……………., 1984. Kritik Sastra Karya Indonesia. Padang : Angkasa Raya Moody, H.L.B., 1993. The Teaching of Grotowski, Jerzy, 2002. Toward Poor Literatur, saduran bebas B. Theatre (Menuju Teater Miskin). Rahmanto Metode Pengajaran Yogyakarta : MSPI dan arti Sastra. Yogyakarta: Kanisius Hadi, Wisran, 1997. Naskah Drama Neelands, Jonathan, 1993. Making Sense Indonesia Akhir Abad 20 dalam of Drama, saduran bebas Dean Praty Perspektif Sejarahnya dalam Rahayuningsih Pendidikan Drama : Panorama Sastra Indonesia Dewan Pedoman Mengajarkan Drama. Kesenian Sumatera Barat dan Dewan Semarang : Dahara Prize Kesenian Jakarta. Jakarta : Balai Poespowardojo, Soerjanto, 1993. Strategi Pustaka Kebudayaan : Suatu Pendekatan Hardjana, Andre, 1994. Kritik Sastra Filosofis. Jakarta : Gramedia sebuah Pengantar. Jakarta : Pradopo, Rachmat Djoko, 1993. Gramedia Pengkajian Puisi. Yogyakarta : Haryono, Edi (Ed.), 2000. Rendra dan Gadjah Mada University Press Teater Modern Indonesia : Kajian ------, 2002. Kritik Sastra Memahami Rendra Melalui Kritikus Indonesia Modern. Yogyakarta : Seni. Yogyakarta : Kepel Press Gama Media Junus, Umar, 1981. Mitos dan Ratna, Nyoman Kuta, 2004. Teori, Metode, Komunikasi. Jakarta : Sinar Harapan dan Teknik Penelitian Sastra. Junaedhie, Moha, 1994. Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Ujungpandang : Badan Penerbit IKIP Rendra, 1984. Mempertimbangkan Ujungpandang Tradisi. Jakarta : Gramedia Kartakusuma, Muh. Rustandi, 1977. ……………, t.t. Tentang Bermain Drama. Menjajagi Teater Tradisional Menuju Jakarta : Pustaka Jaya Teater Indonesia. Majalah Budaya Riantiarno, N, 2003. Menyentuh Teater : Jaya No. 114 Tahun Kesepuluh— Tanya Jawab Seputar Teater Kita. Nopember 1977 Jakarta : PT HM Sampoerna Tbk K.M., Saini, 1993. Dramawan dan San, Suyadi, 2004. Telaah Drama : Karyanya. Bandung : Angkasa Konsep Teori dan Kajian. Medan: …………..,1994. Budaya Teater dalam Mimbar Umum dan GENERASI Seni Pertunjukan Indonesia. Jurnal

64 Medan Makna No. 3/2006 ISSN : 1829-9237

...... , 2004. Stilistika : Sebuah Kebudayaan Dirjen Kebudayaan Pengantar Awal. Medan: GENERASI Depdikbud RI Sastrowardojo, Subagio, 1971. Bakat Alam Sudjiman, Panuti, 1993. Bunga Rampai dan Intelektualisme. Jakarta : Pustaka Stilistika. Jakarta : Grafiti Jaya Sumardjo, Jacob, 1993. Ikhtisar Sejarah Satoto, Soediro, 1994. Teater sebagai Teater Barat. Bandung : Angkasa Sistem Tanda dalam Seni Pertunjukan …………………., 1992 Perkembangan Indonesia. Jurnal Masyarakat Seni Teater Modern dan Sastra Drama Pertunjukan Indonesia. Jakarta : MSPI Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti dan Gramedia …………………, dan K.M., Saini, 1988. Semi, M. Atar, 1993. Metode Penelitian Apresiasi Kesusasteraan. Jakarta : Sastra. Bandung : Angkasa Gramedia ………………, 1989. Kritik Sastra. Supriyanto, Henri, 1980. Pengantar Studi Bandung : Angkasa Teater untuk SMA. Malang : Lembaga Sikana, Mana, 1990. Drama Penantian. Penerbitan Universitas Brawijaya Darul Ehsan, Selangor, Malaysia : Teeuw, A, 2002. Sastra dan Ilmu Sastra. Karyawan Jakarta : Pustaka Jaya Siregar, Ahmad Samin dkk, 1985. Kamus TWH, Muhamad, 1992. Sejarah Teater Istilah Drama. Jakarta : Pusat dan Film Sumatera Utara. Medan : Pembinaan dan Pengembangan Yayasan Pelestarian Fakta Perjuangan Bahasa Depdikbud RI Kemerdekaan RI Sitorus, Eka D, 2002. The Art of Acting : Umry, Shafwan Hadi, 1997. Apresiasi Seni Peran untuk Teater, Film, dan Sastra. Medan : Pustaka Wina TV . Jakarta : Gramedia Waluyo, Herman J, 2003. Drama : Teori Sondari, Koko, dan MT, Wahdat, 2001. dan Pengajarannya. Yogyakarta : Ubrug (Teater Rakyat ). Hanindita Jakarta : Proyek Pengembangan Media WS., Hasanuddin, 1996. Drama : Karya dalam Dua Dimensi. Bandung : Angkasa

Medan Makna No. 3/2006 65 ISSN : 1829-9237

46 Medan Makna No. 3/2006