Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

ARENA (KRITIK) SASTRA : STUDI KASUS PADA JURNAL POETIKA FIB UNIVERSITAS GADJAH MADA

Dharma Satrya HD. Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan Hamzanwadi NTB Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini membahas tentang jurnal sebagai arena kritik sastra. Di dalam jurnal terjadi praktik legitimasi posisi, sebagai penulis, kritikus atau akademisi. Pendudukan dan pengambilan posisi dilakukan oleh agen-agen dalam jurnal tersebut. Dalam tulisan ini ditemukan bahwa akademisi melegitimasi penulis dan sebaliknya penulis yang menjadi akademisi melegitimasi penulis lainnya, dan bahkan akademisi mengkritik akademisi lainnya yang berada dalam arena lain, dan dimungkinkan juga dalam arena yang sama. Dalam arena kritik, pertukaran posisi terus berlangsung selama ada arena tergantung dari penguasa arena, yaitu Faruk sebagai agen dalam kekuasaan simbolik dan yang mana kekuasaan itu bahkan identik dengan dirinya. Dalam arena (kritik) sastra Indonesia, dan khususnya Universitas Gadjah Mada, Faruk membawa arena (kritik) sastra Indonesia ke arah baru dengan sudut pandang baru untuk membawa teks sastra ke arah perspektif yang lebih baru yang identik dengan kebaruan pandangannya dan yang merupakan bagian dari habitusnya dalam dunia sastra Indonesia. Kata kunci: Arena, Praktik, Posisi. Abstrack This paper discusses the journal as an arena for literary criticism. In the journal the practice of legitimacy is occurred, as a writer, critics or academics. Taking and making positions are conducted by the agents of the journal. This study found that in Jurnal Poetika, academics legitimize the writer and conversely the writer who became the academics legitimize the other writer and even criticize the other academics in their different arena, and it is also possible in the same arena. In the arena of criticism, the exchange of positions continues as long as the existence of the arena, depends on the authorities of the arena, with Faruk as the agent of symbolic power, and even the power is identical to himself. In the arena (criticism) of Indonesian literature especially in the University of Gadjah Mada, Faruk brings the arena (criticism) of Indonesian literature to a new direction with a new angle to bring the literary text towards newer perspective that is identical to the newer view which is a part of the habitus in Indonesian literature.

Keywords: Arena, Practice, Positions.

Pendahuluan ada atau hadir hanya jika dihadirkan. Tanpa ada Ada kalimat menarik dalam buku komentar, tanpa ada kritik, teks sastra bukanlah Metode Penelitian Sastra karya Faruk. Dalam apa-apa dan tak berarti apa-apa, sehingga buku itu Faruk (2012:178) mengatakan bahwa aktivitas kritik menjadi syarat keberadaan dan kritik sastra tidak lebih dari komentar yang kehadiran suatu teks. mempertanyakan persoalan apa yang dikatakan Dalam sejarah kesusastraan, teks- oleh teks, apa yang ingin dikatakan oleh teks, teks menjadi hidup dan dihidupkan oleh dan dengan demikian kritikus menyingkapkan kehadiran kritikus, misalnya bagaimana teks- makna yang lebih dalam yang menunjuk teks sastra tradisi Balai Pustaka diangkat kepada “kebenaran esensial”, kebenaran dan dihidupkan kembali melalui kritik Faruk yang sedang mati suri di dalam atau di balik (2012) dalam disertasinya dengan metode teks dan yang membutuhkan kritikus untuk dekonstruksinya, bagaimana teks-teks sastra menghidupkannya (kembali). Siapa yang akan diangkat kembali oleh Taum (2012) dalam mengatakan bahwa suatu teks itu hidup dan disertasinya dengan menyandingkannya dengan dihidupkan kalau bukan seorang kritikus, atau tek-teks nonsastra sebagai teks yang sejajar, kalau tidak melalui sebuah komentar. Kalau bagaimana kemudian Aprinus Salam (2010) melihat suatu teks secara ontologis, maka teks dalam disertasinya mengangkat teks-teks sastra

132 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 dengan menghubungkannya dengan negara Aprinus Salam yang mempertanyakan arah dan perubahan sosial, juga yang dilakukan perkembangan kritik sastra, juga tentang oleh Pujiharto (2010) dengan perspektif posisi dan arah perkembangan paradigma ilmu pascamodernnya. Kritik sastra muncul dalam sastra dalam menilai atau mengkritik teks- jurnal-jurnal seperti bagaimana teks sastra teks sastra. Persoalan kritik menjadi persoalan diangkat atau dihidupkan kembali dengan penting dalam melihat pergerakan teks-teks berbagai macam perspektif yang membuat sastra. Kritik menjadi sebuah arena perjuangan pembaca atau kritikus, dan bahkan penulisnya merebut posisi dan legitimasi atas teks sastra semakin hidup dan terus dihidupkan kembali yang hidup dan yang dihidupkan, dan bahkan dalam dan melalui teks sastra dengan cara perjuangan merebut legitimasi sebagai agen pandang baru seperti yang dilakukan Jurnal yang menghidupkan teks. Kasus Jurnal Poetika Poetika. memperlihatkan sebuah kekuasaan simbolik Pada 2013, Jurnal Poetika mengangkat dan kultural dari seorang ilmuan sastra teks-teks sastra dengan perspektif yang relatif yang menjadi pengelola studi S2 Sastra dan baru seperti tawaran kajian sosial dari Kukuh, pimpinan umum jurnal, yaitu Faruk. Dengan kajian budaya media dari Prasisko, dekonstruksi kekuasaannya, ia membawa dunia kritik, dunia dari Mashuri, Akmal dengan tawaran kritik akademik sastra ke arah sebuah pandangan baru marxisnya. Selanjutnya pada edisi berikutnya, atau paradigma baru, yaitu pascastrukturalisme, muncul kritik yang lebih baru seperti tawaran pascakolonialisme, dan pascamodernime, Purnomosasi dengan konsep Claudio Guillenya, yang semua itu terstruktur dalam diri Faruk Fawaid dengan etika Levinansiannya, Fathoni sebagai seorang ilmuan sastra, yang tercermin dengan tawaran Stephen Greenblattnya. pada hampir semua bukunya dengan titik Pada 2014, teks-teks sastra dihidupkan keberangkatan pada disertasinya. Persoalan kembali dengan munculnya kajian realism itu menjadi habitusnya yang membuatnya magis. Saputra mengangkat kembali novel membawa arena sastra ke arah keseimbangan Salman Rusdie, Alexander menghidupkan dunia, dunia penulis, kritik atau akademik, yang karya Maxine Hong Kingston, Kadir dengan dalam pergulatannya terjadi pertukaran posisi. novel Perempuan Poppo, dan Iswandari dengan Kritik sastra sebagai ruang yang di puisi Gendhing Pulebahasan. Pada edisi berikutnya dalamnya teks sastra (dan bahkan penulisnya dapat dilihat bagaimana Suciati menghidupkan atau pengkritiknya) mendapatkan legitimasi kembali The God of Smaal Things, Woodrich dirinya, posisinya sebagai karya kebudayaan yang mempermasalahkan Cina dengan masalah yang mempunyai arti. Kritik menjadi arena cinta, Adzani dengan konstruksi ruang kota mengangkat teks sastra ke atas kemudian dalam novel The Kite Runner, Raharyoso dengan menghidupkannya kembali ke permukaan paradoks ruang tubuhnya, dan Dwiwardani dan membawanya ke dunia yang lebih baru dengan ruang pascakolonial dalam Kitchen, hal dengan cara pandang baru. Dengan demikian, yang sama dengan kritik dari Purwanti. Semua legitimasi karya melalui kritik dan sekaligus kajian itu melihat teks sastra dalam satu bingkai, legitimasi penulisnya, dan bahkan melegitimasi yaitu pascakolonial. Hal demikian terjadi pada yang mengkritik. Implikasinya adalah teks edisi setelahnya dengan mengangkat persoalan sastra menemukan dirinya, identitasnya, dan nasionalisme, pergeseran kekuasaan, serta ruang bahkan keberadaannya dalam ruang yang dan kota beserta kemungkinan keberadaannya. terus bergerak, ruang yang tidak akan selesai Teks-teks dan kritik atas teks- didefinisikan selama kritik terus berkembang teks tersebut menjadi satu di antara dan bergerak, sehingga persoalan legitimasi juga banyak kemungkinan jawaban dari tulisan terus bergerak. Dengan demikian, arena sastra

133 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 adalah arena yang hidup dengan menjadikan kekuatan, tetapi juga arena pergulatan yang kritik sebagai sebuah arena sastra. cenderung mengubah atau melanggengkan Kritik adalah ruang pergulatan arena kekuatan ini (Bourdieu, 2012: 5). Konsep mendapatkan posisi-posisi. Melalui kritik, karya demikian memunculkan pertanyaan siapa yang sastra atau seni memperoleh legitimasi atas memiliki kekuatan dan bagaimana kekuatan keberadaannya. Legitimasi hanya bisa diberikan itu beroperasi atau mendapatkan kekuatannya. oleh seseorang atau sekolompok orang atau Di dalam arena tentunya akan ada perjuangan institusi tertentu yang memiliki banyak modal, memperebutkan posisi sebagai yang kuat dan baik kultural maupun simbolik dan bahkan atau ingin menjadi kuat, sehingga di dalam arena ekonomi. Dalam Jurnal Poetika, Faruk sebagai sering terjadi pengambilan posisi. Bourdieu pemegang modal yang menentukan apa dan (2012: 5) menjelaskan ada ruang pengambilan siapa yang akan dimasukkan. Dunia akademik dan pendudukan posisi di dalam sebuah seperti universitas melakukan praktik legitimasi. struktur. Posisi-posisi yang ada memungkinkan Dunia sastra membutuhkan akademisi atau terbentuknya arena yang lain dan dalam bentuk kritikus untuk memberikannya sebuah atribut yang lain. Sebenarnya adanya posisi inilah yang atau legitimasi berupa sebuah prestise sebagai memunculkan dan membentuk arena. karya atau penulis yang dalam perspektif Ilmu tentang arena adalah analisis tertentu mempunyai arti penting bagi situs yang menetapkan bahwa setiap posisi peradaban bersastra atau berkesenian. Dalam didefinisikan secara subjektif oleh sistem hal akademik, hal tersebut dicapai misalnya properti distingtif yang melaluinya satu posisi melalui jurnal ilmiah sastra. disituasikan di antara posisi yang lain (Bourdieu, Para intelektual Indonesia berlomba- 2012: 4). Persoalannya adalah apakah antara lomba mendapat posisi dalam arena sastra, yang menetapkan dan yang ditetapkan ada misalnya sastra FIB UGM yang dalam sejarah secara terpisah atau memiliki hubungan? Arena kajian sastra sangat berpengaruh. Hal tersebut hadir tidak dalam kondisi yang begitu adanya, dapat dilihat dari bagaimana kemudian capaian tetapi terstruktur dan distrukturkan. Bourdieu sastra FIB UGM ikut andil dalam mengantarkan (2012: 5) menjelaskan bahwa struktur arena UGM ke gerbang internasional pada tahun adalah ruang posisi-posisi, struktur distribusi 2006 yang berimplikasi pada legitimasi simbolik modal properti-properti spesifik yang mengatur kesarjanaan. Tidak hanya itu, dalam sejarah keberhasilan di dalam arena dan memenangkan kesusastraan, sastra UGM secara kultural dan laba spesifik (seperti prestise sastra) yang simbolik mencetak sastrawan dan kritkus sastra dipertaruhkan di dalamnya. Struktur bukanlah yang dalam perkembangan dan pergerakannya sesuatu yang tetap, melainkan sewaktu-waktu kemudian menjadi sebuah habitus. Implikasi bisa berubah. Untuk memahami praktik-prakik praktisnya, sastra FIB UGM dalam arena para penulis dan seniman, bukan cuma produk (kritik) sastra Indonesia memiliki posisi sentral mereka, kita harus mengerti kalau mereka dalam pasar ekonomi simbolik kesusastraan. adalah hasil pertemuan dua sejarah: sejarah Dia bukan saja mencetak sastrawan dan posisi-posisi mereka dan sejarah disposisi kritikus, tetapi juga ilmuwan sastra. Posisi mereka (Bourdieu, 2012: 52). Terdapat ruang yang demikian disebabkan karena UGM kemungkinan dalam sejarah posisi-posisi, memberikan sebuah arena dimana semua orang dan perubahannya, sebagaimana dijelaskan bersaing memperebutkan sebuah posisi menjadi Bourdieu (2012: 8), terjadi dalam ruang sastrawan, akademisi atau kritikus sastra, dan kemungkinan itu sebagai hasil dari perubahan bahkan menjadi ilmuwan sastra. relasi kekuasaan yang membentuk ruang Arena sastra atau seni adalah arena posisi-posisi. Posisi-posisi menjadi bagian dari

134 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 arena yang di dalamnya penulis mengambil pada volume III sebagai karya mutakhir dan bagian. Karya sastra atau seni menjadi bagian dilegitimasi sebagai penulis sastra perjalanan. dari arena, sebagaimana dijelaskan Bourdieu Pada volume I akademisi membicarakan (2012:13) bahwa ia adalah objek yang eksis dalam dua tulisan. lantaran keyakinan (kolektif) yang mengenali Zen Hae (2013: 117) mengatakan bahwa baru dan mengakuinya sebagai sebuah karya seni. Subagio lah yang sejak awal menegaskan betapa pentingnya intelektualisme dalam puisi. Pada Kritik sebagai Praktik Legitimasi tulisan berikutnya, Prasetyo (2013) memperkuat Kritik sebagai praktik legitimasi dapat posisi Subagio sebagai salah satu kritikus sastra dilihat pada bagaimana melegitimasinya dan Indonesia terpenting, cerdas, tekun, tapi juga siapa saja yang dilegitimasi. Dalam jurnal ilmu berani dan bertanggung jawab. Pada tulisan sastra Poetika, praktik legitimasi sebagai sebuah setelahnya, pada kasus Kris Budiman terjadi hal bentuk kekuasaan seringkali dilakukan terlebih yang sama, yaitu mengangkat kembali Rendra oleh institusi tertentu yang ingin memenangkan dengan melakukan pembacaan ulang karena sebuah arena. Kritik kemudian menjadi sebuah tidak sepakat pada kritik Teeuw terhadap alat legitimasi. Rendra. Menurut Teeuw sebagaimana dijelaskan Jurnal terbitan pertama, Juli 2013, Kris Budiman (2013: 143), Rendra dalam belum menemukan bentuknya. Artinya, jurnal puisi pamfletnya tidak banyak menyodorkan hadir tidak dengan karakteristik khas. Sajian- metafora dan perumpamaan, kalaupun ada sajian dalam kritik masih belum jelas ke arah menurutnya bersifat konvensional dan tidak mana akan dibawa. Arah itu seiring waktu mengejutkan, tidak membawa inovasi yang akan jelas dan diperjelas. Pada edisi pertama, merombak konvensi puisi. Kris Budiman (2013: muncul Ramayda Akmal dan Mashuri. Mereka 143) tidak sepakat dengan penilaian Teeuw, berdua hadir sebagai seorang kritikus sastra. sehingga membuatnya harus membaca ulang Di lain sisi, Akmal dan Mashuri berstatus Rendra dan menyatakan pendapatnya yang tidak hanya sebagai seorang kritikus tetapi juga berbeda, yaitu Rendra mempunyai kekuatan seorang novelis dan penyair. Sebagai kritikus grafis metafora dan figur retorik lain dalam ia harus melakukan praktik kritik. Mashuri “Sajak Sebatang Lisong.” Selain hal penting di dalam kepenyairan cukup mendapat tempat atas, pada volume itu muncul sebuah tawaran dalam arena sastra di Jawa Timur, sedangkan kajian, yaitu sastra banding Claudio Guillen, Akmal dalam hal karya sudah mendapatkan etika Levinansian, dan puitika kultural Stephen posisi dalam arena sastra nasional dengan Greenblatt. diberikannya penghargaan pada novelnya yang Pada volume yang kedua tahun 2014, berjudul Jatisaba tahun 2010. Sebagai seorang jurnal Poetika mengangkat isu baru dalam kajian akademisi, Mashuri mencoba menawarkan sastra, yaitu realisme magis. Pada jurnal itu, konsep dekonstruksi dalam membaca wayang, Salman Rusdie dan Toni Morrison diangkat lagi sedangkan Akmal, sebagai seorang akademisi, ke permukaan dengan perspektif yang lebih mencoba memperkenalkan teori Frederik baru. Iswandari dan Burhan Kadir mengangkat Jameson dan aplikasinya dalam kritik sastra. karya penulis Indonesia, Dul Abdul Rahman Pada edisi berikutnya, muncul Kris dan Badarudin Emce. Alexander dan Iswandari Budiman dengan mengangkat kembali dalam jurnal itu hadir sebagai akademisi yang puisi Rendra dan membacanya ulang. Kris mengkaji secara teoritis karya tersebut. Ada satu Budiman hadir dalam jurnal Poetika tidak hal yang pasti pada setiap edisi, yaitu adanya hanya sebagai seorang kritikus tetapi juga tawaran kajian baru dan adanya praktisi yang sebagai seorang novelis. Novelnya muncul sekaligus akademisi, sehingga praktik legitimasi

135 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 terus berlangsung. Akademisi melegitimasi Kayam, Pradopo, dan Soemanto (Atmosudiro, praktisi, dan akademisi yang menjadi praktisi 2006). dilegitimasi oleh akademisi lagi. Akademisi Dalam dunia sastra Indonesia, Umar yang muncul kemudian mengangkat kembali Kayam lebih familiar sebagai seorang sastrawan ke permukaan praktisi sastra yang dalam daripada ilmuwan. Berbeda dengan Umar pengertian tertentu sedikit tenggelam. Bagimana Kayam, Pradopo lebih dikenal sebagai kritikus mengangkatnya? Kajian-kajian yang baru atau yang buku-bukunya menjadi bacaan wajib teori-teori kritik yang relatif baru memberikan bagi jurusan sastra Indonesia. Pradopo dalam peluang untuk mengangkat kembali praktisi disertasinya membicarakan tentang kritik sastra sastra yang tenggelam seperti pada kasus Toni Indonesia modern. Dengan semakin menuanya Morison, Salman Rushdie, dan Rendra. Kajian- Pradopo dan seiring berjalannya waktu, kajian yang baru mengangkat kembali akademisi muncul Faruk sebagai ilmuwan sastra. Sebagai yang menjadi praktisi di kemudian harinya ilmuwan, Faruk sudah tentu mempunyai seperti pada kasus Kris Budiman. Bukan pada modal yang signifikan sebagai penentu dan kasus praktisi yang mengakademis saja, tetapi bahkan pelegitimasi akademisi sastra. Dengan juga pada kritikus yang dikukuhkan lagi sebagai berkembangnya dunia intelektual Indonesia, kritikus, artinya diperkuat lagi posisinya seperti Faruk dengan akumulasi modalnya, baik modal pada kasus Subagio Sastrowardoyo. Begitulah sosial, kultural, dan bahkan modal simboliknya praktik legitimasi berlangsung antara penulis membuat sebuah ruang kritik dalam bentuk atau praktisi sastra dan akademisi sastra atau jurnal ilmiah sastra dimana ia menjadi pimpinan kritikus sastra. Untuk melanggengkan kekuasaan umumnya. Jurnal itu dibuatnya pada Juli 2013. seorang penulis, misalnya saja Salman Rushdie Poetika sebagai jurnal ilmu sastra adalah dan Toni Morrsion, praktik legitimasi harus sebuah situs yang di dalamnya posisi diberikan, tetap berlanjut di dalam sebuah arena (kritik). didefinisikan, ditentukan, dan bahkan Untuk melanggengkan kekuasaan seorang dipertukarkan. Tidak menutup kemungkinan akademisi atau kritikus, praktik legitimasi akan terjadi pengambilan atau pergeseran kritiknya harus diperbaharui seperti bagaimana posisi. Kondisi demikian akan memberikan Kris Budiaman memperkuat kembali Rendra ruang untuk terjadinya pertarungan. Apa yang dan seperti bagaimana Zen Hae dan Prasetyo dikejar? Sebuah legitimasi atau lebih tepatnya memperkuat posisi Subagio Sastrowardoyo sebuah prestise sebagai akademisi atau kritikus. sebagai kritikus. Dalam sejarah kesusastraan, Universitas Gadjah Mada memenangkan pertarungan itu Akademisi dan Praktisi dalam Dua Sejarah dan mengambil semua posisi itu. Dalam buku Praktik Legitimasi adalah sebuah hasil Repertoire Fakultas Ilmu Budaya, pada bab Kiprah pertemuan dua sejarah yang tentunya bersifat Alumni, Rendra dan Sapardi masuk sebagai habitus. Dalam sejarah berdirinya Fakultas alumni dengan kiprah yang meruang dan Ilmu Budaya, pendirinya adalah tokoh-tokoh mewaktu. Pertanyaannya, bagaimana sekarang? yang gagasan, prinsip, dan kiprahnya terpantul Siapa saja yang dicetak Universitas Gadjah terutama pada bidang sastra dan budaya. Mada? Adakah yang menandingi Umar Kayam, Beberapa di antaranya adalah R. Prijana Rendra, Sapardi? Hal itu bisa dipersoalkan dan sebagai ahli sastra dan filsafat Jawa, R.M.Ng bisa juga tidak. Dunia sastra sekarang sudah Poerbatjaraka sang pembuka misteri Sastra jauh berbeda dengan dunia sastra masa lalu. Jawa Kuno, P.J. Zoetmulder. Selain itu, muncul Perkembangan teori membuat praktik yang sesudahnya, Baroroh Baried, Sulastin Sutrisno, berbeda pada karakterisktik individu atau Chamamah Soeratno, Kuntowijoyo, Umar kelompok tertentu, misalnya saja bagaimana

136 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

Denny JA menjadi satu di antara 33 tokoh sastra yang baru atau perspektifnya, dengan kata lain berpengaruh yang dengan modal ekonominya cara mengobjektivasinya. Yang diobjektivasi mau mengubah atau memperbaharui peta bukanlah permasalahan jika ia sesuatu yang sejarah sastra Indonesia dengan memasukkan baru atau lama. Dengan sudut pandang yang dirinya sebagai salah satu tokoh. Perkembangan baru, akan dapat dilihat arah perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi membuat arena sastra Indonesia. Dengan memakai sudut orang-orang bisa dengan cepat mencetak dan pandang yang baru, dunia sastra dan kritiknya atau mempublikasikan novel atau bukunya. berjalan terus ke arah dan tempat yang baru. Dengan banyaknya modal, arah perkembangan Implikasinya, ia membuka sebuah tempat dunia sastra bisa saja dibelokkan atau diganti atau wilayah yang baru sebagai alternatif bagi dan dengan mudahnya akses media, orang tempat lama atau dunia lama. Pada fase itu akan dengan mudah melakukan kritik sehingga dimungkinkan arena (kritik) sastra Indonesia tidak terpusat pada satu pusat, misalnya saja yang baru pula dengan pertarungan yang baru atau . Apa yang terpenting dan tentunya dengan orang yang baru. sekarang adalah mengedepankan kepentingan Pada akhirnya nanti, sudut pandang dan kebutuhan pemilik modal. Pada kasus baru ini akan menjadi sudut pandang lama. jurnal Poetika, yang terpenting adalah selera dari Tetapi yang penting di sini, dalam arena pemilik modal, yaitu Faruk. produksi kultural adalah sebuah kekuatan atau Orang-orang di balik jurnal berselera pertarungan, yaitu bertarung untuk mencapai pada sesuatu yang baru dan sesuatu yang atau memiliki yang baru. Pada level ini jurnal harus dibarukan. Hal tersebut bisa sesuatu Poetika menunjukkan kekuatannya untuk bisa yang diobjektivasi dan bisa sesuatu yang sampai pada cara pandang baru melihat penulis mengobjektivasi. Konsep ini ditawarkan atau kritik baru dan penulis atau kritik lama Bourdieu dalam eksperimen sosiologisnya yang kemudian dibarukan. dengan mempergunakan apa yang diajarkan oleh ilmu sosial tersebut tentang dunia sosial dimana Kepentingan dalam Jurnal Poetika ilmu sosial diproduksi untuk mengontrol efek- Bourdieu (2011: 136) mengatakan efek determinisme yang mempengaruhi semesta bahwa kepentingan akan selalu ada selama ada tersebut, sekaligus terhadap ilmu sosial tersebut arena sebagai ruang permainan yang terbentuk (Bourdieu, 2011: 121). Di sini akan dilihat secara historis beserta institusi spesifiknya sudut pandang yang mengobjektivasi. Sudut dan hukum-hukum keberfungsiannya pandang dalam jurnal tersebut adalah melihat sendiri. Artinya, kepentingan menyebabkan sesuatu yang baru dan yang akan dibarukan. terbentuknya sebuah arena. Arena dalam dunia Penerbitan yang pertama sampai yang terakhir akademik sastra adalah pertarungan di dalam adalah sudut pandang baru untuk melihat sebuah jurnal untuk mendapatkan legitimasi yang baru dan yang lama. Hal ini bisa dilihat dan bahkan menjadi prasyarat untuk dapat dari Kukuh dengan teori Bourdieu, Mashuri menyelesaikan sebuah program akademik, dengan dekonstruksi, Akmal dengan Jameson, baik pada level lokal, nasional, dan bahkan Fawaid dengan Levinansian, Fatoni dengan internasional. Sejak 2008 Universitas Gadjah Greenblat, Purnomosasi dengan Guillion, Mada diberi wewenang untuk memberikan Volume II dengan kajian realisme magis dan legitimasi kesarjanaan yang menginternasional pascakolonial Sara Upstone, dan Volume III seperti master of art dan master science. Dalam dengan kajian Travel Writing. Kalau melihat beberapa tahun terakhir UGM menduduki pola yang terbentuk dalam jurnal tersebut, predikat sebagai universitas terbaik yang diakui maka yang terpenting adalah sudut pandangnya oleh beberapa pihak.

137 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

Kondisi demikian membutuhkan modal atau investasi modal, baik yang sifatnya usaha untuk mempertahankan dan mengisi simbolik maupun kultural, tidak menutup pengakuan tersebut dengan tanggung jawab kemungkinan juga modal ekonomi. Tidak hanya akademik yang tinggi. Sebagai bentuk tanggung itu, strategi demikian menjadi cara menemukan jawab dalam bidang ilmu sastra, mahasiswa sifat hakikinya dalam sebuah sejarah. Bourdieu pascasarjanan ilmu sastra di bawah pengelolaan (2011: 140) mengatakan bahwa agen tinggal Faruk menghadirkan jurnal itu sebagai media membiarkan dirinya mengikuti hakikat sosialnya atau alat akademik dan bahkan sebagai sendiri, yaitu hakikat mereka sebagaimana yang sebuah strategi dalam mendudukkan posisi- telah dibentuk sejarah, membiarkan diri mereka posisi. Pendudukan Kris Budiman sebagai secara alamiah sesuai dengan dunia historis kritikus dan sebagai penulis, pendudukan yang mereka hadapi untuk berbuat apa yang Akmal sebagai akademisi dan novelis, adalah harus mereka perbuat, untuk mewujudkan sebuah strategi reproduksi peningkatan kemungkinan masa depan yang telah termaktub modal bagi mereka sebagai seorang agen. dalam dunia tempat dimana mereka nyaman Bagaimana Kris Budiman mengobjektivasi seperti ‘ikan dalam air’. Tanpa melakukan Rendra dalam tulisannya, dan bagaimana Zen kritik, tanpa ada media atau alat dalam bentuk Hae dan Prasetyo mengobjektivasi Subagio jurnal, maka dunia akademik, dunia kritik, dan Sastrowardoyo, bagimana kemudian Akmal dunia teoritis akan berada dalam dunia ‘ikan mengobjektivasi Frederic Jameson, bagimana tanpa air’ dan dengan dengan demikian dunia kemudian mahasiswa pascasarjanan ilmu sastra universitas menjadi dunia tanpa arena, tanpa pada volume II, nomor 1, 2, dan 3 berbicara struktur arena. Bagaimana dunia universitas isu baru tentang realisme magis Faris dan dimungkinkan? Sastra dengan dunia kritiknya pascakolonial Sara Upston, dan bagaimana menjadi akan termultimediakan, seperti isu pada volume III dengan tawaran teoritis bagaimana kritik melalui multimedia bisa tentang Travel Writing Carl Thomson, semua itu merekam dan kemudian mempublikasikannya tidaklah begitu adanya dengan sendirinya, tetapi dalam dunia maya yang semua orang bisa tergantung pada kepentingan sang sosiolog mengambilnya dan menjadikan strategi, ilmuwan sastra, yaitu Faruk sebagai pengelola sehingga akan muncul strategi kritik melalui program pascasarjana Ilmu Sastra dan sebagai multimedia berbasis teknologi. Kasus di atas pimpinan umum jurnal Poetika. Praktik tersebut membawa dunia kritik dan sosiologi kritik ke sebagaimana dijelaskan Bourdieu (2011: dalam dua arah yaitu, kritik yang terliterasikan 140) merupakan hasil dari pertemuan antara dan kritik yang termultimediakan. Implikasinya, habitus dengan arena, yaitu antara dua sejarah arena sastra menjadi semakin luas dan orang- yang disesuaikan kurang lebih secara lengkap. orang bisa bertarung dalam dua arah tersebut. Dalam hal ini, habitus Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada dan posisinya dalam Sastra UGM dan Kuasa Simbolik arena sastra nasional, dan arena (kritik) sastra Studi sastra harus bisa menjadikan teks Yogyakarta khususnya. sastra dan penulisnya sebagai fakta yang terus Agen-agen yang diobjektivasi dan hidup, dan tentunya bukan dianggap sebagai yang mengobjektivasi juga terikat pada sebuah benda mati. Menjadikannya fakta yang terus kepentingan, yaitu legitimasi diri sebagai sang hidup dan dihidupkan membuatnya menjadi sosiolog kritik atau sosiolog akademik dengan objek kemanusiaan atau sosial kemanusiaan. memaparkan sebuah teks sebagai entitas Ilmu sosial sebagaimana dijelaskan Bourdieu yang terus bergerak dan digerakkan. Hal itu (2011: 165) bisa mereduksi dunia sosial menjadi dilakukan dalam rangka sebuah akumulasi representasi yang dimiliki agen-agennya,

138 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 dan tugas ilmu sosial selanjutnya adalah dengan terbitnya dua volume dengan kajian memproduksi sebuah laporan dari berbagai sastra mutakhir. Terbitnya dua volume terakhir laporan yang diproduksi subjek-subjek sosial. tidaklah bebas dari selera pemilik modal atau Ilmu sosialnya sastra beserta dengan praktiknya kekuasaan. adalah sebuah representasi dari subjek ilmuwan Dalam jagad akademik, Faruk juga sosial sastra. Jurnal ilmu sastra Fakultas Ilmu dikenal sebagai ilmuwan yang intens meneliti Budaya adalah representasi dari ilmuwan sosial dengan teori pascakolonial. Dalam buku sastra, yaitu Faruk. Belenggu Pasacakolonial, Hegemoni dan Resistensi Buku sosiologi sastra menjadi buku dalam Sastra Indonesia, Faruk memakai teori- yang selalu dipakai mahasiswa sastra dalam teori pascakolonial dan teori hegemoni untuk mempelajari persoalan sosial kesusastraan. membaca teks-teks sastra. Beberapa bukunya, Tetapi sayang dalam buku itu teori Bourdieu seperti Perlawanan Tak Kunjung Usai, Novel belum dimasukkan ke dalam bukunya. Sebagai Indonesia: Kolonialisme dan Ideologi Emansipatoris, ilmuwan sastra, Faruk giat juga membahas dan Belenggu Pascakolonial, adalah buku- teori sosial sastra. Entah disadari atau tidak, buku yang secara metodis menggunakan beberapa teori sosial belum dimasukkan dekonstruksi dalam praktik analisisnya. Dalam dan dieksprerimentasikan dalam buku dan perkembangan akademiknya, Faruk sudah penelitiannya. Pada volume pertamanya, jurnal sampai pada paradigma pascastrukturalisme, itu menawarkan tiga teori sosial, yaitu Pierre pascakolonialisme, dan bahkan Bourdieu, Alan Swingewood, dan Frederic pascamodernisme yang dapat dilihat pada buku Jameson. Sastra dalam Masyarakat (Ter-)multimedia(-kan): Selain sebagai teoritikus sosial sastra, Implikasi teoritik, metodologis, dan edukasionalnya. Faruk juga mendalami persoalan kefilsafatan Posisinya yang demikian, yang sebagai yang dapat dilihat dalam buku awalnya tentang sebuah modal secara simbolik dan kultural epistemologi sastra yang diterbitkan tahun sudah terakumulasi sejak lama dan menjadi 1988. Sekarang ia mengampu mata kuliah sebuah habitus, kemudian menstrukturasi filsafat dan paradigma ilmu sastra. Minatnya dirinya dalam menentukan dan memilih mana yang mendalam dalam studi sastra, kefilsafatan, yang penting dan mana yang tidak penting dan bahkan kesejarahan sastra, menstrukturasi untuk diangkat. Kajian realisme magis Faris, bagaimana ia memilih. Pada volume I nomor pascakonial Sara Upstone, dan travel writing 2 muncul etika Levinas dari tulisan Fawaid, Carl Thomson adalah kajian yang berawal dari Stephen Greenblat dari Fatoni, Guillen dari kajian pascakolonial. Realisme magis lahir dari Purnamasari, dan tiga tulisan lain membahas proyek pascakolonial, juga Upstone, terlebih sejarawan kritik. lagi travel writing yang muncul dari kebiasaan Sebagai ilmuwan sastra, Faruk terus kolonial dalam mencari dan menguasai wilayah mengembangkan kajian sastra dan terus atau dunia baru. Sebagai ilmuwan sastra, Faruk mengikuti perkembangan kajian sastra. Kondisi berada dalam ruang kajian pascastrukturalisme, yang demikian membuat ia melakukan upaya pascamodernisme, dan pascakolonialisme. pengembangan yang tercermin pada jurnal Ruang kajian yang demikian menjadi ruang Poetika volume II dan III. Sebagai dosen pada sosial keilmuannya. Dengan ruang itu, Faruk program doktoral, Faruk mengajak mahasiswa hadir sebagai pemegang kekuasaan simbolik pascasarjana baik yang program doktoral dan kultural. maupun yang master untuk mengikuti kajian Kondisi di atas, sebagaimana dikatakan mutakhir sastra dengan menjadikan teori Bourdieu (2011: 182), adalah kondisi dimana mutakhir sebagai alat analisis. Usaha itu berhasil kekuasaan simbolik bisa menjadi kekuasaan

139 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015 konstitusi, dalam pengertian ganda istilah sudut pandang resmi, yaitu sudut pandang ini sebagaimana menurut Dewey, yakni para pejabat yang diekspresikan dalam wacana pengertian filosofis dan sekaligus politik, yaitu resmi. Jurnal Poetika adalah bentuk ekspresi sebuah kekuasaan untuk melestarikan atau wacana resmi kesusastraan dan kritik sastra. mentranspormasikan prinsip-prinsip objektif Sudut pandangnya terlembaga, dan melalui penyatuan dan pemisahan, perkawinan dan lembaga itu ia mendapatkan kepercayaan dari perceraian, asosiasi dan disasosiasi yang masyarakatnya. Masyarakat akademik menjadi berlaku di dunia sosial; sebuah kekuasaan untuk agen bagi kekuasaan kultural dan simbolik dari melestarikan atau mentransformasi klasifikasi pejabat tersebut. Implikasinya, akan terbangun aktual soal jenis kelamin, bangsa, wilayah, sebuah kelompok, sebuah dunia, dan sebuah umur, dan status sosial. Dalam dunia akademik tatanan. Itulah yang disebut Bourdieu (2011: dan dunia kritik akan terjadi hal yang demikian, 182) sebagai sebuah kekuasaan simbolik dalam yaitu kekuasaan untuk melestarikan sebuah pengertian kekuasaan dalam membuat dunia. prinsip dalam mempersepsi sebuah realitas Pembangunan atau pembentukan atau mendefinisikan dan bahkan mereproduksi sebuah dunia ini adalah upaya Faruk realitas sosial keakademikan. menyatukan dunia yang terpisah, antara masa Usaha itu dilakukan dan dimulai ketika lalu dan masa kini, antara tua dan muda, Faruk menjadi pengelola program pascasarjana antara akademisi dan praktisi. Upaya tersebut Ilmu Sastra dan membuat jurnal ilmu sastra. pada arena yang lain membuatnya melakukan Bourdieu (2011: 183) mengatakan bahwa untuk penyatuan antara penulis generasi tua dengan mengubah dunia, orang harus mengubah cara penulis generasi muda, dan bahkan dengan membentuk dunia, yakni visi tentang dunia dan akademisi muda, juga akademsi tua. Dalam operasi-operasi praktis dalam memproduksi dan arena yang lain, pada sebuah diskusi bulanan mereproduksi kelompok. Dunia akademik atau sastra terjadi penyatuan antara teori yang relatif kritik sastra akan diubahnya ke arah yang lebih baru dengan teori lama, diperbicangkannya baru yang berbeda dengan sebelumnya, yakni atau didiskusikannya kembali, baik pada level ketika Pradopo dan kemudian Kun Zahrun ontologis maupun pada level epistemologis. menjadi pengelola program pascasarjana Semua itu adalah upaya sampai pada dunia ideal dengan paradigma strukturalisnya. Faruk yang faktual sebagaimana dijelaskan sendiri oleh mencoba melakukan perubahan cara pandang Faruk (2012) dalam buku terakhirnya, Novel dan cara membentuk dunia sastra dan arenanya Indonesia: Kolonialisme dan Ideologi Emansipatoris. dalam jagad akademik atau kritik sastra. Hal Faruk bersama intelektual muda berusaha itu dimungkinkan, melihat posisinya dalam membuat dan mencapai bersama dunia ideal ruang sosial keakademikan atau keilmuannya itu. Dengan sudut pandangnya sebagai pejabat, sebagai pemegang kekuasaan. Posisi demikian semua itu memungkinkan untuk diraih dalam membuatnya tidak bisa menghindar dari arena (kritik) sastra yang ada dan yang mungkin sebuah relasi dengan sifat kekuasaan yang diadakan. cenderung, sebagaimana dikatakan Bourdieu (2011: 179), mereproduksi dan memperkuat Kesimpulan relasinya dalam ruang sosial. Dalam konteks Teks sastra dan penulisnya berada dalam jurnal itu, kekuatan dimiliki oleh Faruk sebagai sebuah arena, yaitu kritik sastra. Dalam dunia pejabat, pengelola program pascasarjana Ilmu kritik, sebagai arena, ia hidup dan dihidupkan Sastra, dan pimpinan umum jurnal. Bourdieu kembali. Sebagai contoh, Rendra dan Subagio (2011: 181) mengatakan bahwa di antara Sastrowardoyo dihidupkan kembali ketika sekian banyak sudut pandang, terdapat satu ia diobjektivikasi oleh kritikus, Rushdie dan

140 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

Morrison diangkat kembali dengan perspektif Atmosudiro, Sumijati dkk. 2006. Repertoire yang lebih baru, dan Kris Budiman hadir sebagai Fakultas Ilmu Budaya. Yogyakarta: Unit yang diobjektivikasi dan mengobjektivikasi. Penerbitas dan Perpustakaan Universitas Praktisi dan akademisi dihadirkan sebagai Gadjah Mada. agen dalam dua tradisi dan dua sejarah, seperti Bourdieu, Pierre. 2011. Chose Dites; Urain dan dimunculkannya Akmal, Mashuri, Raharyoso. Pemikiran. Rochan Sjams (penerjemah). Universitas Gadjah Mada mempunyai sejarah Yogyakarta: Kreasi Wacana. dalam posisi dan disposisinya. Universitas Bourdiu, Pierre. 2012. Arena Produksi Kultural, Gadjah Mada dalam sejarah dirintis oleh Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Yudi sebagian mahaguru sastra yang kemudian Santosa (penerjemah). Yogyakarta: Kreasi membawa sastra Indonesia dalam kancah Wacana. internasional. Dalam arena lain, Universitas Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra, Sebuah Gadjah Mada mencetak atau melahirkan Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka ilmuwan sastra, akademisi, praktisi sastra yang Pelajar. 2012. Novel Indonesia, Kolonialisme semua itu menjadi habitus Universitas Gadjah dan Ideologi Emansipatoris. Yogyakarta: Mada yang menstrukturkan tindakan atau Ombak. praktiknya dalam arena kritik sastra Indonesia. _____2012. Pengantar Sosiologi Sastra dari Dalam perkembangannya, salah satu strukturalisme Genetik sampai Post- strategi dalam reproduksi dunia arena (kritik) modernisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. sastra Indonesia adalah strategi menjadi 2011. Sastra dalam Masyarakat (Ter-) pemilik modal atau pemegang kekuasaan, yaitu Multimedia (-kan). Ypgyakarta: Pustaka kekuasaan simbolik. Dalam jurnal Poetika, Faruk Pelajar. menjadi pejabat yang dengan sudut pandangnya _____2007. Belenggu Pascakolonial, Hegemoni dan melakukan pergerakan ke arah dunia kritik Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: yang berbeda dengan pejabat terdahulu, yaitu Pustaka Pelajar. kritik dengan paradigma pascastrukturalisme, _____1995. Perlawanan Tak Kunjung Usai, Sastra pascakolonialisme, dan pascamodernisme. Politik Dekonstruksi. Yogyakarta: Pustaka Paradigma itu secara eksplisit muncul dalam Pelajar. hampir semua bukunya dan yang kemudian Fawaid, Achmad.2013. Perjumpaan Etis dengan membuatnya memasukkan paradigma tersebut Wajah Yang-Lain: Membaca Karya Sastra ke dalam jurnal Poetika, sehingga tulisan-tulisan dengan Etika Levinasian. Poetika, Vol 1 No yang dipilih kemudian adalah tulisan dengan 2 Desember 2013 pp 158-170. UGM: paradigma tersebut. Munculnya kritik sastra Program Studi S2 Sastra dengan teori Bourdieu adalah sebuah kontrol Kris Budimam. 2013. Membaca (-Ulang) sebuah kritik atas fenomena sosial kesusastraan dan Puisi Pamplet Rendra “Sajak Sebatang kritik sastra, yang dalam cara pandang tertentu Lisong”. Poetika, Vol 1 No 2 Desember membuat kita curiga atas fenomena yang 2013 pp. 138-144. UGM: Program Studi mengemuka. S2 Ilmu Sastra. Mashuri, 2013. Dekonstruksi Wayang dalam Novel Daftar Pustaka Durga Umayi. Poetika, Jurnal Ilmu Sastra, Akmal, Ramaida. 2013. Kririk Sastra Marxis Vol 1 No 1, Juli 2013, pp 16-36. UGM: Frederik Jameson: Teori dan Aplikasinya. Pascasarjana Ilmu Sastra. Poetika, Jurnal Ilmu Sastra. Volume 1 Mashlihatin, Anis. 2014. Penggambaran Dunia Nomor 1, Juli 2013, pp. 73-87. UGM: dalam Novel Perjalanan “99 Cahaya di Langit Program Studi S2 Ilmu Sastra. Eropa.”Vol III Nomor 1 Juli 2015, pp

141 Jurnal Poetika Vol. III No. 2, Desember 2015

1-21.UGM: Program Studi Ilmu Sastra. Prasetyo, Arif Bagus. 2013. Metakritik Untuk Subagio Sastrowardoyo. Poetika, Vol 1 No 2, Desember 2013. Pp. 119-137. UGM: Program Studi S2 Ilmu Sastra. Raharyoso, Dwi. Paradoks Ruang Tubuh dalam Puisi Sakramen Karya Joko Pinurbo Kajian Pascakolonial Tubuh Sara Upston. Vol II No 2 Agustus 2014 pp 157-169. UGM Program Studi S2 Ilmu Sastra. Saputra, Imam Hendra. 2013. Realisme Magis dalam Novel The Satanic Verses karya Salam Rushdie. Vol II No 1 April 2014 pp 1-11. UGM: Program Studi S2 Ilmu Sastra. Zen Hae. 2013. Pembicaraan Ringkas Puisi-Puisi Subagio Sastrowardoyo. Poetika, Vol 1 No 2, Desember 2013, pp. 107-118. UGM: Program Studi S2 Ilmu Sastra.

142