Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003

AKTUALISASI FILM SASTRA SEBAGAI MEDIA PENDIDIKAN MULTIKULTURAL

Ali Imron A.M. Pendidikan Bahasa, Sastra dan Daerah FKIP& Program Pascasarjana Universitas Muhammadiyah

ABSTRAK

Akhir-akhir ini kita jarang dapat menikmati film nasional dan sinema lainnya yang mampu menyuguhkan sesuatu yang khas Indonesia, yang membuka pemikiran dan memberikan makna berharga bagi kehidupan manusia.Di sisi lain minat baca karya sastra di masyarakat masih minim, artinya masih terbatas kalangan menengah ke atas. Perlu digagas untuk menciptakan film sastra yang merupakan film yang diangkat dari karya sastra literer, yang memiliki keharmonisan antara metode/ bentuk penceritaan dan ide/persoalan yang dikandungnya. Film sastra dapat mempresentasikan kesaksian tentang kehidupan sosial dan kehidupan budaya pada zamannya. Ia juga akan dapat mengembangkan rasa empati dan toleransi, mampu membuat penontonnya mengenal dirinya sendiri melalui tokoh-tokohnya. Pendeknya, film sastra dapat menjadi alternatif cultural engineering dalam pembangunan bangsa. Sebab, sebagai media massa, film sastra akan dapat memerankan fungsi: (1) memberi informasi, (2) mendidik, (3) menghibur, (4) mempenga- ruhi, (5) membimbing, dan (6) mengeritik. Aspek kemanfaatan film sastra yang mampu menawar- kan nilai-nilai kehidupan, menyampaikan pendidikan multikultural tanpa menggurui, dengan daya pikatnya yang menghibur dan enak ditonton, itulah kekuatan film sastra.

Kata kunci: Film sastra; media massa, pendidikan multikultural, mendidik sekaligus menghibur; pembangunan budaya.

1. Prawacana duksi film dengan sutradara dan pemain-pemain yang bagaimanapun hebatnya yang secara “Film suatu bangsa mencerminkan menta- logika teoretis tidak akan diminati khalayak litas bangsa itu lebih dari yang tercermin lewat penonton atau masyarakat. media artistik lainnya.” (Kracauer, 1974). Pendapat Kracauer itu dilandasi oleh dua Sementara itu, budaya sinema Indonesia alasan. Pertama, film adalah karya bersama tidak sama dengan masa dimulainya pembuatan (kolektif). Artinya, dalam proses pembuatan dan pemutaran film di bioskup dan penayangan film, sutradara memang memimpin suatu sinetron di televisi belum menjadi bagian sis- kelompok yang terdiri atas berbagai seniman tem budaya Indonesia, melainkan masih tum- dan teknisi. Namun, dalam proses kerja, sutra- buh sebagai permasalahan di kalangan insan dara tidak dapat menghindar dari mengakomo- perfilman Indonesia termasuk instansi resmi dasikan sumbangan pendapat dari berbagai pemerintah sebagai pembina formal yakni pihak. Kedua, film dibuat untuk orang banyak. Direktorat Jenderal Radio, Televisi, dan Film Karena memperhitungkan selera sebanyak Departemen Penerangan (sejak 1999 di bawah mungkin itulah maka film tidak dapat jauh Departemen Perhubungan). Karena itu, wajar beranjak dari masyarakat penontonnya. Sulit jika sinema termasuk di dalamnya film, sine- rasanya membayangkan seorang pemilik modal tron, telenovela, atau apa pun namanya selama berminat mengeluarkan dana untuk mempro- ini hanya berpredikat sebagai sarana hiburan

1 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 saja. Padahal sebenarnya sinema dapat dikem- kultural kiranya patut kita cuatkan ke bangkan menjadi sarana kultural yang serba permukaan. guna. Mungkin inilah salah satu sebab mengapa Harus diakui, bahwa selama ini pembinaan sinema Indonesia kini 'ditinggalkan' oleh sinema Indonesia dilakukan di bawah slogan- masyarakat penontonnya. slogan yang mentereng hebat. Sinema kita juga Sebagai tontonan, kebanyakan sinema kita dilindungi oleh kebijakan birokrasi yang cukup kecuali beberapa sinema seperti Tjut Nja’ ketat paling tidak selama pemerintahan Orde Dhien karya Eros Djarot, Langitku Rumahku Baru ( 1970-an hingga akhir dekade karya Slamet Raharjo, Taksi karya Teguh Kar- 1990-an). Namun demikian, fungsi sinema ya, Kejarlah Daku Kau Kutangkap karya Indonesia tidak dapat ditegakkan secara Chairul Umam, Daun di Atas Bantal karya kultural. Garin Nugraha, Keluarga Cemara karya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1992 pasal Arswendo Atmowiloto, Si Doel Anak Sekola- 2, 3, dan 4 jelas menyatakan tentang Dasar, han karya Rano Karno (diilhami oleh cerita Arah, dan Tujuan (Bab III) Perfilman Nasional. novel Si Doel Anak Betawi karya Aman Dt. Secara normatif, penyelenggaraan, pembinaan, Madjoindo), Pengemis dan Tukang Becak, dan pengembangan budaya sinema Indonesia Pasir Berbisik, Tiga Orang Perempuan, dan lebih ditekankan pada nilai-nilai budaya bangsa beberapa film/sinetron yang lain telah kehi- daripada nilai ekonomi. UU No.8/1992 tersebut langan daya atraktif dan teatrikalnya. merupakan undang-undang perfilman pertama Sedangkan sebagai sarana komunikasi kultural yang dibuat melalui proses demokratis. Hal ini sinema akiata tidak mampu menawarkan menunjukkan adanya kehendak politik persoalan-persoalan yang inovatif, yang khas (political will) bangsa Indonesia dalam mem- Indonesia, dan yang sesuai dengan mainstream bangun budaya sinema Indonesia. masyarakat Indonesia yang cita rasanya terus meningkat sejalan dengan tingkat pendidikan/ Di sisi lain minat membaca karya sastra di intelektualitasnya pada era global. kalangan masyarakat Indonesia hingga kini masih minim. Lebih-lebih pada zaman global Banyak fenomena yang memprihatinkan yang penuh kompetisi dalam segala bidang dan berkaitan dengan film sebagai media pendi- kehidupan serasa berjalan sangat cepat serta dikan budaya. Membanjirnya film-film asing kemajuan teknologi elektronik yang meman- baik di bioskup maupun persewaan VCD yang jakan masyarakat dengan berbagai media massa mewabah sebagai konsekuensi berlangsungnya elektronik dan produk teknologi komunikasi era global-- yang notabene sering bertentangan yang memberikan informasi dan hiburan murah dengan nilai budaya bangsa, kemudian miskin- seperti radio, tape recorder, televisi, video, nya perfilman nasional yang memiliki nilai VCD/DVD, telepon seluler (hand phone), edukatif kultural, terlebih film untuk anak-anak komputer, dan internet, maka minat dan (terakhir baru film Petualangan Sherina (2000) kesempatan membaca karya sastra agaknya dan Yoshua Oh Yoshua (2000), merupakan semakin memprihatinkan. Dalam arti tidak realitas memprihatinkan yang sekaligus men- banyak masyarakat Indonesia yang suka mem- cerminkan keterpurukan perfilman nasional. baca karya sastra. Jika ada itu pun terbatas pada Sementara itu televisi swasta di Indonesia kini kaum terpelajar atau kalangan intelektual sudah semakin banyak di samping TVRI tertentu dan ibu-ibu muda yang memiliki sehingga televisi sudah menjadi bagian dari tingkat sosial ekonomi yang memadai. Karya kehidupan masyarakat yang tak terhindarkan. sastra literer misalnya kebanyakan pembacanya Karena itu, gagasan untuk revitalisasi film adalah komunitas sastra yang pada umumnya sebagai media pengembangan nilai edukatif adalah para pecandu sastra yang berlatar

2 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 belakang sastra seperti mahasiswa dan dosen karya Danarto (1974; 1982), dan lain-lain. Fakultas Sastra atau FKIP Program Studi Karya-karya sastra tersebut mengalami cetak Pendidikan Bahasa dan Sastra dan dipersempit ulang beberapa kali. lagi Bahasa dan Sastra Indonesia, dan sebagian Berpijak pada pemikiran dan realitas di atas, lagi adalah kalangan intelektual atau terpelajar dikaitkan dengan keterpurukan perfilman tertentu yang memiliki kegemaran membaca nasional Indonesia yang seolah-olah “hidup karya sastra yang jumlahnya relatif sedikit. segan mati tak mau”, kiranya sudah saatnya kita Adapun karya sastra populer (dalam pembagian memikirkan pemberdayaan film sastra sebagai genre sastra menurut Jakob Sumardjo, 1979) media pengembangan nilai edukatif kultural pembacanya kebanyakan adalah kaum muda yang strategis, baik di institusi pendidikan bahkan sebagian remaja belia (Anak Baru (sekolah, kampus) maupun di masyarakat pada Gedhe/ABG) dan ibu-ibu muda yang status umumnya tanpa harus mengguri dan meng- sosial ekonominya relatif tinggi. Jadi, pembaca indoktriniasi mereka. Permasalahannya adalah karya sastra kita sebagian besar adalah seberapa jauh film nasional telah melakukan masyarakat kota kelas menengah ke atas yang fungsi edukatif kultural itu; dan bagaimana terpelajar dan memiliki kesempatan serta dana peran kalangan sastrawan dan pendidik bekerja untuk membeli karya sastra atau menyewa di sama dengan para sineas dalam revitalisasi film tempat persewaan buku. nasional untuk mengembangkan nilai-nilai Keadaan tersebut terungkap dalam berbagai kultural. diskusi dan seminar sastra di samping dapat 2. Media Massa Film dilihat dari minimnya jumlah pembelian karya Sebagaimana karya sastra yang memiliki sastra di toko-toko buku dan sedikitnya cetak fungsi berguna dan menghibur (dulce and ulang karya sastra. Tentu saja ada pengecualian utile), film merupakan karya artistik. Namun dalam hal ini untuk beberapa karya sastra film juga merupakan karya sintetik (perpaduan fenomenal terutama novel seperti Pariyem berbagai cabang seni) dan karya kolektif. Film Dunia Batin Wanita Jawa karya Linus Suryadi melibatkan para seniman dari berbagai cabang A.G. (1981), Ronggeng Dukuh Paruk karya kesenian, seperti; seni rupa, seni desain, seni Ahmad Thohari (1983), Merahnya Merah karya musik, seni peran (acting), seni sastra, seni tari, Iwan Simatupang (1968), Khutbah di Atas Bukit dan lain-lain, di samping melibatkan para ahli karya Kuntowijoyo (1976), Detik-detik Cinta teknologi seperti; ahli elektronik, kamera, Menyentuh karya Ali Shahab (1981), Burung- komputer, dan teknologi canggih lainnya dalam burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya menampilkan adegan-adegan action dan adegan (1981), Sri Sumarah dan Bawuk serta Para atraktif lainnya dengan trik-trik yang menawan. Priyayi karya Umar Kayam (1975; 1992), Hati Karena itu kiranya tidak berlebihan jika film yang Damai (N.H. Dini, 1971), Royan Revolusi dan jenis sinema lainnya dikatakan sebagai (Ramadhan K.H., 1970), Saman karya Ayu media artistik yang paling kompleks. Utami (1998), Supernova karya Dewi (2001). Di jajaran novel-novel populer mencuatlah Media massa, termasuk film dan jenis Bukan Impian Semusim karya . (1966), sinema lainnya memiliki tiga fungsi utama Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar yakni; (1) memberi informasi (to inform), (2) (1974), Terminal Cinta Terakhir karya Ashadi mendidik (to educate), dan (3) menghibur (to Siregar, (1975), Cowok Komersil karya Deddy entertain). Di samping itu, ada tiga fungsi lain D. Iskandar (1977), Catatan Si Boy, Lupus, dan media massa yakni: (4) mempengaruhi (to lain-lain, lalu pada genre cerita pendek adalah influence), membimbing (to guide), dan kumpulan Cerpen Robohnya Surau Kami karya mengeritik (to criticise) (lihat Effendi, 1986). A.A. Navis (1967), Godlob dan Adam Ma’rifat Melihat keenam fungsi film tersebut, alangkah

3 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 baiknya jika kita dapat memanfaatkannya perfilman (lihat Wardhana, 1997). Karena itu, sebagai media pendidikan kultural bagi kaum diperlukan sikap lain dalam menilai dan terpelajar ataupun masyarakat pada umumnya. memahaminya. Film menggunakan media Sebab, dengan daya artistik dan kecanggihan audiovisual. Ini berarti, film dapat dilihat dan teknologinya, film tidak saja memberi penonton dinikmati oleh siapa saja, termasuk mereka hiburan melainkan juga memberi informasi yang berpendidikan rendah, belum dapat sekaligus mendidik secara persuasif. Sehingga, membaca dan menulis, bahkan mereka yang seperti halnya karya sastra, tanpa memaksa tau belum dapat membaca dan menulis. Akibatnya, sebaliknya memanjakan, film mengajak para dampak film dan karya sinema lainnya jauh pentonton memperoleh pendidikan kultural lebih luas dan jika ada dampak negatifnya lebih tanpa harus menggurui. mengkhawatirkan daripada sastra (Imron A.M., Seperti halnya karya sastra, film pada 1993). Karena itu, dibentuklah Badan Sensor hakikatnya menyangkut dua jenis ungkapan Film di Indonesia (kini Lembaga Sensor Film) sosial-budaya (Soebadio, 1993). Di satu sisi untuk menyensor adegan-adegan yang dipan- dang tidak mendidik. Jika kita melihat film dan film memberikan kesaksian tentang keadaan masyarakat (kehidupan sosial) pada zamannya kemungkinan disensor karena alasan pendi- dan di sisi lain film juga memberikan kesaksian dikan, maka sekali lagi perlu diperhitungkan akan pikiran dan perasaan yang hidup dalam tingkatan kependidikan dan keberadaban masyarakat yang bersangkutan (kehidupan masyarakat penonton ataupun kreativitas budaya). Dalam hal ini, film memberikan kalangan sineas. kesaksiaannya melalui gambar. bahkan, dulu 3. Asas Edukatif Kultural Film film sering disebut sebagai gambar hidup. 'For us, the most importance of all art, is Dengan kata lain, film menggunakan cara cinema', kata Vladimir Ilyich Lenin (dalam visual untuk mengungkapkan kehidupan sosial- Sumardjono, 1993). Pernyataannnya itu dilan- budaya masyarakat. dasai oleh pengertian bahwa sinema dapat Selanjutnya, landasan bagi ungkapan sosial- berfungsi sebagai guru sekaligus propagandis. budaya tersebut adalah keadaan kehidupan Di Indonesia, pencanangan fungsi edukatif sosial-budaya masyarakat yang bersangkutan. kultural sinema ini dimulai pada zaman Ali Artinya, keadaan suatu masyarakat tertentu, Murtopo ketika menjadi Menteri Penerangan RI dalam wilayah dan kurun waktu tertentu, (Sumardjono, 1993). Saat itu pemahaman mempengaruhi sifat ungkapan yang diutarakan. mengenai asas kultural edukatif sangat sempit. Dengan kata lain, dalam memberikan penilaian Seolah-olah asas itu hanya dasar pembinaan atas isinya, perlu diperhatikan keadaan sosial- produksi film Indonesia, sedangkan sektor budaya masyaakat bersangkutan. Implikasinya, perfilman lainnya tetap pada asas ekonomi yang bahwa isi film yang dihadapi pada suatu saat komersial. Menghadapi situasi yang kontro- tertentu tidak dapat dinilai terlepas dari jenis versial demikian para produser film mengeluh masyarakat yang berkaitan. Hal itu menyangkut bahwa asas kultural edukatif itu membuat film pula perhatian terhadap tingkatan masyarakat Indonesia sulit dipasarkan. Sayang sekali dalam pendidikan. bahwa “ruh” kebijakan Menpen Ali Murtopo tersebut tidak dijabarkan lebih jauh sehingga Film merupakan media modern dan baru asas kebijakan pembinaan film berdimensi berkembang pada abad XX, sehingga budaya eduaktif kultural yang begitu luhur tidak sinema pun belum berkembang dalam kehi- mencapai tujuan esensinya. dupan masyarakat kita. Artinya, persoalan film atau sinema pada umumnya masih menjadi Fungsi sinema sebagai sarana edukatif persoalan kalangan terbatas yakni para insan kultural hanyalah salah satu fungsi kultural

4 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 sinema Indonesia. Namun dalam ruang lingkup kepada khalayak penonton tanpa harus memak- kebijakan mencerdaskan kehidupan bangsa, sa dengan doktrin atau dogmatis terlebih sinema sebagai sarana edukatif kultural tampak- bersifat menggurui. Dengan kata lain, sinema nya perlu kita kaji lebih mendalam. Sebab, tersebut memiliki nilai-nilai humaniora yang sinema sebagai salah satu media massa memi- tinggi sekaligus enak ditonton karena memiliki liki pengaruh yang sangat besar dalam perkem- daya artistik. bangan wawasan dan pembentukan persepsi Jadi, jika setiap hari kita disuguhi telenovela masyarakat sehingga pada gilirannya akan atau jenis sinema lain yang didatangkan dari dapat berpengaruh pada perilaku mereka. Hal negara Amerika Latin yang kadang-kadang ini dimungkinkan mengingat “khutbah- budayanya sering bertentangan dengan kepri- khutbahnya lebih sering didengar mereka badian bangsa Indonesia, mengapa kita tidak ketimbang khutbah para kyai di masjid atau memproduksi sendiri film sastra yang dapat pendeta di gereja, sebab langsung masuk di dipakai untuk mempresentasikan nilai-nilai kamar-kamar rumah di berbagai pelosok (lihat edukatif kultural. Padahal kita menyadari Rachmat, 1992). Pesan-pesan film yang dita- betapa besar pengaruh produk teknologi komu- yangkan media elektronik sering lebih didengar nikasi elektronik itu bagi masyarakat dalam daripada para khutbah para kyai di masjid atau membentuk image, persepsi, sikap, dan pada pendeta di gereja. gilirannya juga perilaku. Film sastra agaknya dapat menjadi alternatif Pengaruh budaya asing terhadap budaya dalam menginternalisasikan nilai-nilai edukatif nasional bukan lagi sekedar bersifat penetrasi, kultural dalam kehidupan masyarakat tanpa melainkan akan membanjir dalam kehidupan harus berkhutbah. Inilah kekuatan film sastra: masyarakat karena kini pintu terbuka lebar dan menghibur sekaligus menawarkan alternatif arus informasi tidak mungkin dibendung nilai-nilai untuk memperkaya khaza-nah batin dengan upaya politik sekalipun. Hal ini sebagai manusia. konsekuensi logis dari era globalisasi dan men- 4. Film Sastra sebagai Sarana Presentasi cuatnya era cyberspace yang memung-kinkan Nilai Humaniora manusia melihat dunia cukup melalui media Film sastra yang dimaksud dalam konteks ini elektronik khususnya internet sehingga arus adalah film atau jenis sinema yang lain seperti informasi kultural dari seluruh dunia akan film bioskup, film televisi (FTV), sinetron, dan melanda bangsa kita. Untuk mengantisipasi hal telenovela yang dibuat berdasarkan karya sastra itu, membangun bangsa Indonesia sesuai sehingga film itu memiliki bobot literer. dengan cita-cita kemerdekaan bangsa Indone- Sebagai sinema yang memiliki bobot literer sia, maka pendidikan dan pelajaran Humaniora maka sinema itu paling tidak memiliki kehar- (Ilmu-ilmu Kemanusiaan dan/atau Kebudayaan) monisan antara hakikat. dan metodenya, atau terasa sangat urgen dan aktual. antara bentuk dan isinya. Dari segi hakikat/ isi Salah satu cara terbaik --jika bukan satu- berarti aspek cerita yang terjalin dalam alur satunya sebagai peredam untuk menanggulangi kisah memiliki makna yang berguna bagi dampak negatif arus globalisasi terhadap kehidupan manusia dalam hal ini mampu keluhuran budaya bangsa Indonesia agaknya memperkaya khazanah batin manusia dengan adalah kepercayaan atas diri sendiri akan menawarkan alternatif nilai kultural. Adapun kebenaran falsafah hidup bangsa yang sarat dari segi metode/bentuk menyangkut bagaima- dengan nilai moral relegius. Sesuai dengan na cara mempresentasikan makna kehidupan keyakinan itu, maka aktualisasi nilai-nilai yang berupa mosaik-mosaik dan serpihan- Humaniora termasuk budi pekerti melalui serpihan yang digali dari dunia auniversal aitu sinema menjadi teramat penting.

5 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003

Selama ini pelajaran Pancasila atau PPKn yang mendapat sambutan luar biasa dari dan kini Bahasa dan Sastra Indonesia menjadi khalayak penonton dan dari segi bisnis hiburan “dititipi” untuk pendidikan budi pekerti di pun sukses luar biasa), Kadarwati Wanita sekolah dan mata kuliah Ilmu Budaya Dasar dengan Lima Nama karya Pandir Kelana dan (IBD) yang menjadi sarana pendidikan Huma- Kabut Sutra Ungu karya Ike Supomo (1980- niora di sekolah-sekolah lebih bersifat indok- an). Dari genre novel populer pernah difilmkan trinatif bahkan sering cenderung dogmatik. juga Cintaku di Kampus Biru (1975), Terminal Padahal nilai-nilai Humaniora yang merupakan Cinta Terakhir (1979), Gita Cinta dari SMA nilai fundamental untuk mencapai cita-cita karya Eddy D. Iskandar (1970-an), Arjuna luhur itu seyogyanya dilakukan secara persu- Mencari Cinta karya Yudhistira (1970-an), Ali asif, manusiawi, dan kultural. Untuk itu, film Topan (Turun Jalanan) karya Teguh Esha sastra dapat dimanfaatkan sebagai alternatif (1980-an), Detik-detik Cinta Menyentuh karya dalam melakukan pendidikan yang berdi-mensi Ali Shahab (1986). Demikian pula dari roman kognetif, afektif, dan psikomotorik itu agar lama ada Sitti Nurbaya (1990), Sengsara lebih efektif. Melalui film sastra yang menggu- Membawa Nikmat (1991), Salah Asuhan nakan bahasa visual sinematik, pesan-pesan (1987), dan masih banyak lagi yang lain. Dari edukatif kultural dapat disampaikan dengan karya-karya masterpeace atau mahakarya yang lebih gambaran yang konkrit. pernah difilmkan antara lain Mahabharata dan Nilai-nilai humaniora yang disampaikan Ramayana, keduanya epos dari India yang dengan media sinema niscaya akan mampu sukses mendapat sambutan antusias di berbagai menampilkan keterpaduan manusia (karakter), negara termasuk di Indonesia. ruang, dan waktu dalam aneka ragam peristiwa Sayang, sejalan dengan situasi nasional di kehidupan sebagai pencerminan pengalaman Indonesia dengan datangnya krisis politik dan dan manusia mencapai kesempurnaan seperti ekonomi, maka kini hampir tidak ada lagi terlihat dalam perkembangan budaya dan pera- sinema yang mengangkat karya sastra atau film dabannya. Pendeknya, menyaksikan manusia sastra. Yang dominan sekarang dalam tayangan menghadapi berbagai problema dan dialektika televisi --mungkin juga di bioskup, jika masih kehidupan yang dinamis dan tak mengenal ada-- adalah karya sinema yang sekadar banyak kelemahan individual adalah contoh pendidikan digandrungi penonton (berdasarkan pantauan dengan pendekatan kognetif. Penampilan Survey Research Indonesia) yang --berdasarkan Humaniora melalui teknologi komunikasi dapat realitas-- memang diminati banyak advertiser. dibuat dengan dimensi dramatik dan estetik Jadi, kecenderungan kriterianya adalah laku: yang memikat melalui sinema dan dapat ber- laku ditonton dan laku dipasangi iklan (lihat manfaat sebagai metode afektif yang efektif, Wardhana, 1997). Karena itu, sudah asaatnya bahkan aspek psikomotorik dapat pula diciptakan film sastra yang dapat menjadi terangkum dalam satu langkah. media sosialisasi dan internalisasi nilai edukatif Sebagai ilustrasi, sampai saat ini sudah ada kultural dalam kehidupan masyarakat yang haus beberapa karya sastra khususnya novel yang tontonan. Sekaligus akan dapat menjembatani difilmkan dan sempat mendapat sambutan antara kelangkaan dan minimnya minat positif dari masyarakat di samping cukup membaca sastra masyarakat dengan upaya sukses dari aspek bisnis hiburan. Beberapa apresiasi sastra di kalangan masyarakat. novel yang pernah difilmkan tersebut antara Mengapa film sastra ini perlu dilahirkan? lain Si Doel Anak Betawi karya Aman Dt. Ada beberapa alasan yang mendukung gagasan Madjoindo (1970-an yang kemudian ini. Pengembangan film sastra sebagai salah mengilhami lahirnya mega sinetron Si Doel satu cultural engineering masyarakat (memin- Anak Sekolahan garapan Rano Karno (1993) jam istilah Kuntowijoyo, 1987) berkaitan erat

6 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 dengan latar belakang struktural sebuah Permasalahannya kini adalah genre sastra masyarakat. Kemampuan memupuk dan yang bagaimana yang layak untuk difilmkan. mengembangkan rasa empati, toleransi, dan Memang tidak semua karya sastra dapat membuat penilaian etis –yang dapat diperoleh diangkat menjadi film. Dalam hal ini yang antara lain melalui penikmatan film sastra relatif mudah untuk diangkat ke dalam sinema merupakan modal penting yang sama sekali adalah genre novel, itu pun yang memenuhi tidak dapat diabaikan dalam pembangunan kriteria tertentu. Sejalan dengan pemikiran pada bangsa (nation building). awal bab ini tentang film sastra, maka novel Realitas menunjukkan bahwa pembangunan yang selayaknya difilmkan adalah novel literer. bangsa telah melahirkan pula sejumlah per- Sebab, novel literer memiliki keharmonisan soalan seperti perubahan nilai dan pilihan nilai. antara bentuk atau metode penceritaannya dan Sebagian persoalan ini timbul akibat terputus- isi atau hakikat persoalan yang dikemukakan. nya gaya hidup tertentu untuk digantikkan Atau, secara semiotik mengandung makna yang dengan gaya hidup baru yang sama sekali dalam kehidupan bagi manusia dan bermanfaat untuk memperkaya khasanah batinnya, baik berbeda karakternya sebuah diskontinuitas yang merupakan pelengkap yang nyaris tak dimensi kemanusiaan, kasih sayang, relegiusi- terhindarkan dalam pembangunan. Adapun tas, sosial, sejarah, politik, maupun nasionalis- sebagian masalah lain muncul sebagai efek dari me. Bagaimana dengan novel populer? ketimpangan yang makin meningkat antar Sebenarnya novel-novel populer pun sah-sah berbagai golongan masyarakat. Timbullah saja difilmkan. Hanya saja dari asas manfaat semacam rasa kecemburuan sosial yang telah relatif kurang bermakna bagi kehidupan tersebar cukup luas bahwa pembangunan telah masyarakat, kecuali sekadar berorientasi ,mendorong banyak manusia melampiaskan hiburan dan bisnis. Dan, ini pula yang selama sifat-sifat negatifnya, termasuk ketamakan dan ini mendorong para produser atau pemilik keserakahannya. Dalam konteks inilah film modal untuk melayarperakkan atau sastra dapat menjadi alternatif dalam mempre- mensinetronkannya. sentasikan nilai-nilai edukatif kultural kepada Sebagai contoh, novel-novel literer semacam masyarakat sambil memberikan hiburan untuk Para Priyayi karya Umar Kayam (1992), penyegaran kembali (refreshing) bagi fisik dan Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Thohari mental yang lelah sebagaimana fungsi karya (1983), Burung-burung Manyar karya Y.B. sastra pada umumnya. Mangunwijaya (Telegram karya Putuwijaya, Di sisi lain, kita sedang menuju suatu masda Dan Senja pun Turun karya Nasjah Djamin depan yang tidak dapat diramalkan (unpredic- (1981), Gaun Hitam Seorang Hostess karya Ali table). Kita harus mampu menghadapinya tanpa Shahab (1977), Keluarga Permana karya harus kehilangan arah tau bahkan menjadi Ramadhan K.H. (1976), Senja di Jakarta karya Mochtar Lubis (1975), Sang Guru karya Gerson teralienasi, tanpa kehilangan rasa sopan santun kita, identitas kita, rasionalitas kita, dan Poyk (1973), Kemarau karya A.A. Navis sumber-sumber inspirasi kita. Dalam konteks (1969). Dari angkatan 1945 layak difilmkan inilah, seperti dinyatakan Bennet (dalam misalnya Atheis karya Achdiat Kartamihardja. Moglen, 1984), agaknya film sastra sebagai Tentu masih banyak lagi novel yang dapat salah satu upaya pengembangan Ilmu-ilmu difilmkan yang tidak dapat disebut satu persatu. Humaniora-- dapat membantu kita dalam Dalam pelaksnaannya, judul novel terkadang penyusunan kerangka imajinatif untuk tindakan diadaptasi sedemikian rupa agar dari segi kita. sinamatografi memungkinkan, juga agar lebih memiliki daya pikat bagi khalayak penonton atau lebih marketable dari kacamata bisnis

7 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 hiburan. Yang pasti, untuk memfilmkan novel dalam produksi sinema Indonesia. Dengan kata diperlukan kerja sama secara sinergis antara lain, sistem pembuatan sinema itu harus sastrawan, lalu jika perlu pendidik, dan sineas/ dijauhkan dari perhitungan perputaran modal insan perfilman yang menguasai sinematografi, secara komersial. Tegasnya, sudah sangat dan tentu saja produser/penyandang dana yang mendesak perlu dipikirkan kebijakan dapat berupa perorangan ataupun instritusi penyelenggara negara dalam penyediaan dana misalnya Perusahaan Film Nasional (PFN), atau secara khusus untuk memproduksi sinema yang Departemen Pendidikan Nasional. memiliki daya edukatif kultural. Ketika kita menyaksikan film sastra atau Berangkat dari pemikiran itu perlu dimun- membaca karya sastra, secara otonatis kita akan culkan paradigma baru dalam perfilman menerobos lingkungan ruang dan batas waktu anasional yang tidak saja memfokuskan pada yang ada di sekitar kita. Karya fiksi yang hegemoni pemilik modal melainkan juga pada termasuk dalam karya sastra literer adalah dimensi kulturalnya secara benar. Artinya, karya yang berhasil membangunkan manusia sumber daya manusia (SDM) sebagai faktor terhadap rasa empati dengan tokoh-tokoh dalam yang sangat esensial sebaiknya tidak dari sektor karya termaksud. Film sastra membuat kita produksi film komersial. Harus dibangun tradisi sanggup memahami segenap perjuangan tokoh- baru dalam penyediaan SDM, yakni SDM dari tokoh yang dilukiskannya, turut gembira sektor pendidikan yang dipercaya memiliki dengan kebahagiaan yang dicapainya, dan turut dedikasi kepada dunia pendidikan. Karena itu, bersedih dengan kemalangan yang dialaminya. SDM ini memang sudah harus bermuatan ilmu Kita juga dapat mengenali diri kita sendiri pada dan berkepribadian sebagai pendidik, paling tokoh-tokoh dalam film sastra yang kita tidak memiliki kepedulian terhadap nilai-nilai saksikan. Kita turut menghayati nasib yang edukatyif kultural, bukan sekadar bermuatan dialami tokoh-tokohnya. Dalam penghayatan bisnis. Secara sederhana mereka menguasai ini dunia kita diperluas, menembus batas-batas ilmu didaktik metodik, sistem pengajaran duniawi yang ada di sekitar kita. dengan strategi yang bertumpu pada aspek Kermampuan untuk memproyeksikan daya kognetif, afektif, dan psikomotorik, sekaligus imajinasi kita dalam pengalaman orang lain memiliki kapasitas dalam hal sinematografi. memupuk kesadaran kita akan adanya Perlu disadari bahwa sinema itu hanya media persamaan dalam pengalaman dan aspirasi seperti buku dan guru. Perbedaannya adalah manusia. Ini merupakan modal permulaan dan sinema memiliki prosedur kebahasaannya yang kemampuan untuk mengembangkan empati dan unik, kebahasaan piktorial yang dapat berfungsi toleransi. Sesuatu yang esensial yang kita universal. Buku dan guru menggunakan bahasa butuhkan dalam merfengkuh hidup ini. Inilah lisan atau tulisan dalam sistem linguistik kekuatan film sastra --juga karya sastra lainnya berdasarkan kepahaman bahasa yang secara -- yang rasanya tidak diperoleh dalam buku- kultural dikenal dan dipahami siswa sebagai buku ilmu pengetahuan. komunikan. Bahasa-bahasa dalam ragam tulisan dan lisan sbagai sarana komunikasi pendidikan 5. Film Sastra: Kerja sama Sastrawan dan memerlukan kekuatan daya penafsiran yang Sineas cukup canggih dari siswa (komunikan) untuk Terlebih dulu perlu dupahami dua faktor memahami pengertian pesan komunikatif baik penting dalam hal film sastra ini, yakni pertama secara denotatif maupun konotatif. Adapun pembuatan sarana (produk media) dan kedua daya tafsir para siswa sebagai sikap persep- adalah sistem penggunaan sarana (eksibisi sional dapat beragam berdasarkan kondisi media) Dalam sistem pembuatan sinema harus intelektual, kondisi sosial-kultural, dan mandiri dari asas ekonomi yang sudah lazim

8 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 mungkin kondisi pribadi dalam fenomena pamasaran, dan lain-lain. Kedua, masyarakat psikologis. kita yang rata-rata kelas menengah ke bawah Dibandingkan dengan bahasa tulisan dan perlu diberikan apresiasi film; termasuk juga lisan yang hanya mampu menyajikan bentuk perlu didirikannya Cine Club-Cine Club untuk abstrak (imajiner), maka bahasa sinema mampu membentuk komunitas film dan budaya film. menyajikan bentuk secara konkrit. bahasa Ketiga, pihak produser mestinya tidak hanya sinema atau bahasa piktorial membantu para mengejar profit melulu, melainkan juga siswa menafsirkan pesan praktis dan mudah. berorientasi pada aspek edukatif kultural dan Namun, sebenarnya bahasa sinema dipandang berorientasi kebangsaan (nasionalisme) dari aspek semiotik juga memerlukan kemam- sehingga mau membiayai film-film bermutu puan membaca atau mengeja bentuk sebagai (lihat Said, 1991), dan keempat pihak unsur visual untuk mencapai kepahaman secara pemerintah, sudah semestinya membuat optimal. Itu sebabnya James Monaco membuat kebijakan proteksi terhadap masuknya film-film judul bukunya tentang tinjauan berbagai asing (ini yang sulit dengan berlangsungnaya era globalisasi dan datangnya era pasar bebas masalah sinematografi bukan How to See Film melainkan How to Read a Film. yang dimulai dengan AFTA pada 2003) untuk memberi kesempatan kepada film nasional Untuk mencapai kepahaman optimal menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Kita terhadap misi pesan yang disampaikan dengan dapat belajar dari India dan Filipina dalam hal sarana komunikasi sinematik, tidak cukup ini (Imron A.M., 1999). Jika keempat pihak hanya menonton tetapi juga harus membaca yang saling terkait tersebut dapat menjalankan lambang-lambang komunikasi yang terwujud fungsi masing-masing secara optimal maka dengan beragam bentuk fisik dan mungkin juga bukan tidak mungkin film nasional akan dapat berbagai ciri eksistensi makhluk terutama bangkit kembali dalam beberapa tahun manusia tentang karakter dan latar belakag mendatang. pribadinya. Memang dalam paham yang paling sederhana, sinema edukatif diartikan sebagai Di sinilah terlihat betapa penting kerja sama merekam dan menayangkan kegiatan sang guru antara sastrawan sebagai kreator cerita di depan kelas. Dalam pengertian yang maju, berbobot, pendidik yang menguasai metode sinema edukatif harus diartikan sebagai edukasi, dan sineas yang memiliki kompetensi transformasi pelajaran yang biasa disampaikan di bidang sinematografi. Dengana kerja sama oleh guru ke dalam bentuk sinematik atau ketiga komponen tersebut tentu saja ditambah melalui pendekatan sinematografik. dengan produser/pemilik modal atau institusi penyandang dana bukan tidak mungkin akan Mengapa di tengah lesunya film nasional lahir banyak sinema yang mampu melakukan kita perlu memikirkan pentingnya film yang fungsi pengembangan nilai-nilai kultural. berwawasan edukatif kultural? Justru inilah salah satu peluang untuk mengisi dan 6. Sosialisasi Nilai Kultural dengan Bahasa membangkitkannya. Bukankah kini banyak Sinematik televisi swasta yang dapat diajak bekerja sama Sejalan dengan Kracauer, Hauser (1982) untuk menggulirkan gagasan tersebut. Selain menyatakan, bahwa semua media ekspresi itu, sebenarnya ada beberapa solusi untuk artistik mempunyain ciri-ciri nasional. Tidak menggairahkan kembali film nasional. Paling seorang pun seniman yang sanggup menggu- tidak ada empat pihak terkait yang dapat nakan bahasa universal, bahasa yang meremeh- melakukannya; Pertama, yakni pihak insan film kan bahasa nasional, tetapi dari semula mereka sendiri harus meningkatkan profesionalitasnya, juga tidak hanya mengurung diri dalam baik dalam acting, manajemen, teknologi, kungkungan satu bahasa nasional. Semua karya

9 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 seni, tidak hanya kesusatraan, mengekspresikan dengan SMU/SMTA, pelajaran Kesenian diri lewat idiom dari bahasa-bahasa nasional diajarkan sebagai muatan lokal (mulok). Akan (1984). Bahasa kesenian, menurut Hauser, tetapi sinema yang diakui dapat berpengaruh adalah hasil sebuah proses dialektik yang besar terhadap kehidupan masyarakat dari bertolak dari idiom nasional dalam usaha dan dimensi sosial, kultural, dan psikologis justru perjalanannya menjadi suatu karya yang tidak disentuh dalam kurikulum pendidikan universal ini. apresiasi seni. Alasannya klasik yakni beban Shakespeare dan pengarang-pengarang kelas siswa sudah terlalu banyak. Argumen semacam dunia lainnya, semuanya menciptakan karya itu tidak komplementer dan tidak populer yang mereka dalam semangat bahasa ibu mereka. bersumber pada terbatasnya pemahaman Karena itu, tanpa pengetahuan yang memadai mengenai fungsi sinema sebagai sarana akan rasa bahasa dalam suatu karya yang kultural. ditulis, sulit untuk sepenuhnya mengerti karya Sebagai ilustrasi, kini di beberapa TK tersebut.' Favorit Jakarta misalnya Al-Azhar, para Bahasa sinematik sebagai sarana komunikasi siswanya sudah diberi apresiasi sinema, bahkan pada hakikatnya juga berbentuk seperti isyarat mulai dikenalkan proses produksi sinema. dan lambang. Sebagai aspek semiotik, bahasa Demikian juga di beberapa perguruan tinggi – sinematik juga dilengkapi dengan unsur Ikon, meskipun perguruan tinggi tersebut tidak Indeks, dan Simbol. Tiga unsur itu tercermin memiliki Fakultas Sastra/Ilmu-ilmu Budaya) dari berbagai unsur visual yang terdapat pada seperti Universitas Muhammadiyah Malang tiap film. Menciptakan, memilih, menghimpun, (UMM), Universitas Muhammadiyah Surakarta menyusun, dan merakit usur-unsur visual (UMS) baik melalui kegiatan intrakurikuler dengan metode sinematografi, apakah itu dalam maupun ekstrakurikuler mulai dilakukan konsep penyutradaraan atau dalam proses pelatihan pembuatan atau proses produksi film penyuntingan film (editing) adalah prosedur tersebut dari pembuatan skenario cerita, casting fundamental dalam bertutur sinematik. pemain, acting, pengambilan gambar dengan kamera, trik-trik kamera, hingga proses penyun- Seperti halnya dalam proses komunikasi tingan film dengan menghadirkan beberapa pada umumnya, perlu ada kesepakatan dan pakar dari insan perfilman. Di banyak konsensus serupa itu. Cara yang paling perguruan tinggi misalnya Universitas Gadjah sederhana untuk mencapai konsensus itu adalah Mada (UGM) terdapat Cine Club, di UMS ada mengajarkan kepada komunikan, dalam hal ini Unit Sastra dan Film, atau sejenisnya sebagai para pelajar (siswa dan mahasiswa) dan salah satu unit kegiatan kemahasiswaan ekstra- masyarakat pada umumnya, pengertian atau kurikuler yang banyak melakukan kegiatan- penguraian lambang-lambang sinematik yang kegiatan yang memfokuskan perhatiannya pada lazim digunakan sebagai unsur bahasa film atau sinema pada umumnya baik melalaui sinematik. dialog, diskusi, sarasehan, pemutaran film Untuk itulah perlu digagas dan diusulkan dengan mengha-dirkan para insan film baik kembali adanya pelajaran apresiasi film dalam pemain, sutradara, penulis skenario, produser, kurikulum pendidikan dan pengajaran dan lain-lain. Indonesia. Gagasan ini tidak berlebihan, 7. Purna Wacana mengingat dalam kurikulum yang sudah lazim terdapat pelajaran apresiasi seni pada berbagai Mengakhiri pembicaraan mengenai film bidang dan program studi di perguruan tinggi “sastra” sebagai media edukatif kultural, dan pelajaran Kesenian juga diajarkan di kiranya layak dikemukakan bahwa di tengah sekolah. Bahkan di berbagai sekolah SD sampai minimnya produksi film nasional bermutu dan

10 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003 di pihak lain membanjirnya film-film asing di terpulang kepada kemauan dan tekad kita tengah kehidupan bangsa kita, kiranya perlu bersama untuk menjawabnaya. dipikirkan pentingnya memproduksi film-film yang berdimensi edukatif kultural. Dengan Daftar Pustaka kerja sama kalangan sastrawan, sineas, dan pendidik yang dikomandani Pusat Tekonologi Effendi, Onong Uchjana. 1986. Dinamika Komunikasi (Pustekkom) Departemen Pendidi- Komunikasi. Bandung: Remaja Karya. kan Nasional, atau Perusahaan Film Nasional Hauser, Arnold. 1982. The Sociology of Art. (PFN), serta lembaga lainnya yang terkait, Chicago and London: The University of sudah saatnya berbagai kalangan dan institusi Chicago Press. memikirkan hal ini. Imron A.M., Ali. 1999. “Mengurai Benang Selanjutnya, bagi Departemen Pendidikan Kusut Perfilman Nasional”. Makalah pada Nasional dan institusi pendidikan yang Dialog Perfilaman Nasional pada memiliki komitmen terhadap pengembangan tanggal 28 April 1999 di Universitas nilai-nilai edukatif klultural dalam pengemba- Muhammadiyah Surakarta. ngan bangsa, sudah saatnya memikirkan upaya kerja sama sinergis antara berbagai pihak di ______. 1993. “Revolusi Televisi: atas dengan memasukkannya dalam kebijakan Imperialisme Budaya Masyarakat Modern”. yang terprogram, terarah, dan berkseinambu- Makalah dalam Seminar Nasional tentang ngan. Hal ini diperkuat oleh realitas keringnya “Era Televisi Swasta di Indonesia” Fakultas film nasional dari unsur edukatif kultural, Psikologi Universitas Muhammadiyah terlebih minimnya film anak-anak yang kaya Surakarta, 30 Oktober 1993. nilai moral, edukatif, dan relegius. Kracauer, Sigfried. 1974. From Caligary to Institusi pendidikan tinggi sudah saatnya Hitler: A Psychological History of the melakukan kajian-kajian mendalam mengenai German Film. New Yersey: Princeton mengenai film-film “sastra” dengan berbagai University Press. aktivitas akademik seperti penelitian, diskusi, Moglen, Helena. 1984. “Erosion in seminar, sarasehan, dialog, dan lain-lain. theHumanities” dalam Change, Volume 16 Pembentukan unit kajian film semacam Cine No. 7, Oktober 1984. Club merupakan salah satu alternatif untuk mewujudkan kegiatan-kegiatan yang memfo- Rachmat, Djalaluddin. 1992. Islam Aktual: kuskan kajiannya pada sinema-sinema. Selain Refleksi Seorang Cendekiawan Muslim. itu perguruan tinggi dapat pula berperan Bandng: Mizan. sebagai mediator atau fasilitator dalam Said, Salim. 1991. Pantulan Layar Putih. menjajaki berbagai kemungkinan untuk pelak- Jakarta: Sinar Harapan. sanaan kerja sama berbagai pihak terkait agar gagasan untuk melahirkan film sastra: tersebut Soebadio, Haryati. 1993. “Memahami Sastra dapat terwujud. dan Film sebagai Ungkapan Sosial-Budaya dan Konsekuensinya untuk Pendidikan”. Akhirnya, beberapa gagasan mengenai Makalah pada Seminar Internasional dengan revitalisasi film “sastra” dalam upaya sosialisasi tema Sastra, Film, dan Pendidikan pada dan pengembangan nilai-nilai edukatif kultural tanggal 19-20 November 1993 di Fakultas tersebut baru merupakan kajian awal yang lebih Sastra Universitas Indonesia, Jakarta. merupakan wacana sehingga perlu dilakukan kajian lebih mendalam. Realisasinya tentu saja

11 Akademika Jurnal Kebudayaan Vol. 1 No. 1 April 2003

Sumardjo, Jakob. 1979. Novel Indonesia Pendidikan pada tanggal 19-20 November Mutakhir Sebuah Kritik. : Nur 1993 di Fakultas Sastra Universitas Cahaya. Indonesia, Jakarta. Sumardjono. 1993. “Sinema sebagai Sarana Wardhana, Veven Sp. 1997. Kapitalisme Edukatif”. Makalah pada Seminar Televisi dan Strategi Budaya Massa. Internasional dengan tema Sastra, Film, dan Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

ooOoo

12