UJI INFEKSI Phaeophleospora sp. PADA KLON HIBRID Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita

SKRIPSI

MARIO PRATAMA SIRAIT 101201093

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015

Universitas Sumatera Utara UJI INFEKSI Phaeophleospora sp. PADA KLON HIBRID Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita

SKRIPSI

MARIO PRATAMA SIRAIT 101201093 / Budidaya Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2015

Universitas Sumatera Utara LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Uji Infeksi Phaeophleospora sp. pada Klon Hibrid Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita Nama : Mario Pratama Sirait NIM : 101201093 Program Studi : Kehutanan

Disetujui oleh, Komisi Pembimbing:

Nelly Anna S.Hut., M.Si Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S Ketua Anggota

Mengetahui, Ketua Program Studi Kehutanan

Siti Latifah, S.Hut.,M.Si.,Ph.D Ketua Program Studi Kehutanan

Universitas Sumatera Utara ABSTRAK

MARIO PRATAMA SIRAIT. Uji Infeksi Phaeophleospora sp. Pada Klon Hibrid Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita. Di bawah bimbingan NELLY ANNA S.Hut, M.Si dan Dr. Ir. EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S.

Eucalyptus sp. merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman industri. Phaeophleospora adalah salah satu patogen yang menyerang daun tanaman muda Eukaliptus. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkarakterisasi gejala penyakit daun serta mengukur intensitas dan luas serangan yang disebabkan oleh Phaeophleospora sp. pada klon IND 32, IND 33, dan IND 45 turunan Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita. Inokulasi dilakukan dengan metode semprot. Gejala pada daun yang diakibatkan Phaeophleospora pada klon IND 32, IND 33, dan IND 45 menunjukkan gejala yang sama. Gejala awal yang muncul adalah adanya bercak kuning pada permukaan atas daun. Perkembangan gejala berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun. Berdasarkan kriteria pengukuran intensitas serangan, ketiga klon tergolong resisten, sedangkan pada kriteria pengukuran luas serangan tergolong agak resisten.

Kata kunci : Phaeophleospora, uji infeksi, gejala, resisten

Universitas Sumatera Utara ABSTRACT

MARIO PRATAMA SIRAIT. Infection Test of Phaeophleospora sp. on Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita Hybrid Clones. Under academic supervision by NELLY ANNA S.Hut, M.Si and Dr. Ir. EDY BATARA MULYA SIREGAR, M.S.

Eucalyptus sp is one of the that developed in forest plant industry development . Phaeophleospora is one of the pathogens that attack the leaves of young Eucalyptus plant. The purposes of this research were to characterize the leaf disease symptoms and to measure disease severity and disease incidence caused by Phaeophleospora sp. on IND 32, IND 33, and IND 45 Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita hybrid clones. Inoculation was implemented with spray method. The leaves symptoms caused by Phaeophleospora showed the same symptoms on clones IND 32, IND 33, and IND 45. The early symptoms were the yellow spots on the upperside of the leaves. The advanced symptoms were reddish spots on the upperside of the leaves and black spores on the underside of the leaves. Three clones were classified as resistant in disease severity measurement, meanwhile in disease incidence measurement, three clones were classified as moderately resistant.

Keywords : Phaeophleospora, infection test, symptoms, resistant

Universitas Sumatera Utara RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Balige pada tanggal 30 Juni 1992 dari ayah Drs. Jafar

Sirait dan ibu Tiurmaida Napitupulu. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara.

Tahun 2004 penulis lulus dari SD Swasta Indorayon Porsea. Penulis melanjutkan ke SMP Swasta Yayasan Bonapasogit Sejahtera tamat tahun 2007.

Kemudian melanjut ke SMA Negeri 2 Balige tamat tahun 2010.

Pada tahun 2010 penulis masuk Perguruan Tinggi Universitas Sumatera

Utara melalui jalur UMB dengan jurusan Kehutanan. Penulis melakukan penelitian dengan judul Uji Infeksi Phaeophleospora sp. Pada Klon Hibrid

Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita. Penulis masuk organisasi HIMAS

(Himpunan Mahasiswa Sylva) tahun 2010, mengikuti kegiatan P2EH (Praktek

Pengenalan Ekosistem Hutan) tahun 2012 di Taman Hutan Raya Bukit Barisan

Tongkoh selama 10 hari. Penulis melakukan PKL (Praktek Kerja Lapang) di PT.

Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat pada tanggal 31 Januari 2014-13 Maret

2014.

Universitas Sumatera Utara KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena rahmatNya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul “Uji

Infeksi Phaeophleospora sp. Pada Klon Hibrid Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita “ini dengan baik.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada,

Nelly Anna S.Hut, M.Si dan Dr. Ir. Edy Batara Mulya Siregar, M.S selaku Komisi

Pembimbing yang telah banyak mengarahkan dan memberikan saran kepada penulis dalam menyelesaikan hasil penelitian ini, dan penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan sejawat di Program Studi

Kehutanan Fakultas Pertanian USU yang selalu memberi semangat kepada penulis.

Penulis mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca demi kelancaran penelitian ini. Semoga penelitian ini akan memberi manfaat dan menyumbangkan kemajuan bagi ilmu pengetahuan, khususnya bidang kehutanan.

Medan, Maret 2015

Penulis

Universitas Sumatera Utara DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ...... i

ABSTRACT ...... ii

RIWAYAT HIDUP ...... iii

KATA PENGANTAR ...... iv

DAFTAR ISI ...... v

DAFTAR TABEL ...... vi

DAFTAR GAMBAR ...... vii

DAFTAR LAMPIRAN ...... viii

PENDAHULUAN Latar Belakang ...... 1 Tujuan Penelitian ...... 3 Manfaat Penelitian ...... 3

TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Eukaliptus (Eucalyptus sp.) ...... 4 Syarat Tumbuh Eucalyptus sp...... 5 Penyebaran dan Morfologi Eukaliptus ...... 6 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit...... 7 Penyakit Daun Phaeophleospora sp...... 11 Identifikasi Penyakit Tanaman ...... 13

METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ...... 15 Bahan dan Alat ...... 15 Prosedur Penelitian...... 15 Pengambilan Sampel Tanaman ...... 15 Isolasi Patogen...... 16 Pengamatan Patogen ...... 16 Penyiapan Inokulum ...... 16 Pelaksanaan Inokulasi ...... 17 Uji Infeksi ...... 17 Parameter Pengamatan ...... 17 Intensitas Serangan ...... 17 Luas Serangan ...... 19 Analisis Data ...... 19

Universitas Sumatera Utara HASIL DAN PEMBAHASAN Pengambilan Sampel Tanaman ...... 21 Isolasi dan Identifikasi Phaeophleospora sp...... 22 Gejala Penyakit Phaeophleospora sp. Pada Tanaman Eukaliptus spp...... 24 Uji Infeksi ...... 27

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ...... 32 Saran ...... 32

DAFTAR PUSTAKA ...... 33

LAMPIRAN ...... 35

Universitas Sumatera Utara DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman ...... 19

2. Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I-VI ...... 27

3. Rata-rata Luas Serangan (A) Pengamatan I- VI ...... 29

Universitas Sumatera Utara DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. a) Areal pembibitan eukaliptus di PT Toba Pulp Lestari, Tbk, b) Permukaan atas sampel daun berpenyakit, c) Permukaan bawah daun ...... 21

2. Tampilan makroskopis Phaeophleospora sp. pada media PDA ...... 23

3. Tampilan mikroskopis Phaeophleospora sp...... 23

4. Gejala awal berupa bercak kekuningan pada permukaan atas daun a) Klon IND 32, b) Klon IND 33, c) Klon IND 45 ...... 25

5. Perkembangan gejala ditandai dengan munculnya bercak kemerahan pada permukaan atas daun dan spora hitam pada permukaan bawah daun a) Klon IND 32, b) Klon IND 33, c) Klon IND 45 ...... 26

6. Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I-VI ...... 28 7. Rata-Rata Luas Serangan (A) Pengamatan I-VI ...... 30

Universitas Sumatera Utara DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Data Intensitas Serangan (IS) ...... 35

2. Data Luas Serangan (A) ...... 38

Universitas Sumatera Utara PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan Tanaman Industri (HTI) pada saat ini menghadapi tantangan yang cukup berat berkaitan dengan adanya ketimpangan kebutuhan bahan baku industri dengan kemampuan produksi kayu secara lestari. Permintaan kayu oleh industri hasil hutan yang semakin meningkat harus dapat dipenuhi oleh HTI.

Permasalahan yang timbul adalah persediaan kayu HTI semakin lama semakin menurun sebagai akibat kurangnya pohon yang layak untuk ditebang. Keadaan tersebut mendorong HTI untuk melakukan penanaman tanaman cepat tumbuh

(fast growing). Salah satu tanaman yang diajukan oleh Departemen Kehutanan sebagai tanaman pokok industri kehutanan adalah eukaliptus (Pratama, 2013).

PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. adalah salah satu HTI Indonesia yang berada di Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. PT. Toba

Pulp Lestari, Tbk. merupakan perusahaan HTI yang memproduksi pulp dengan bahan baku kayu yang berasal dari jenis Eucalyptus sp. Perusahaan ini memasok bibit Eucalyptus sp. dari kebun klonal milik sendiri. Dari kebun klon ini, akan diperoleh varietas baru hasil persilangan antara dua induk yang berbeda. Sebagai produsen pulp terbesar PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. harus mempunyai ketersediaan bahan baku kayu yang cukup untuk kelancaran produksinya. Untuk itu penanganan yang baik pada saat di areal pembibitan sangat perlu diperhatikan.

Pada areal pembibitan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. sering ditemukan adanya kematian pada bibit Eucalyptus sp. yang disebabkan oleh patogen.

Phaeophleospora sp. merupakan salah satu jenis fungi yang banyak dijumpai di areal pembibitan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. Berdasarkan hasil penelitian Silalahi

Universitas Sumatera Utara (2008) di lokasi pembibitan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk., terdapat beberapa jenis patogen berupa fungi. Kelima jenis patogen yang ditemukan tersebut adalah

Cylindrocladium reteaudii, Mycosphaerella sp., Cryptosporiopsis sp. dan ada dua spesies dari Phaeophleospora sp.

Phaeophleospora sp. (Kirramyces) adalah patogen yang menyerang daun

Eucalyptus sp. dimanapun tanaman tersebut tumbuh. P. epicoccoides ditemukan hampir di mana-mana yang menyebabkan bercak-bercak dan perubahan warna pada tajuk yang lebih rendah, tapi tidak sering menyebabkan kerusakan serius.

Namun pada tahun 1996 spesies Phaeophleospora sp. yang baru teridentifikasi pada Eucalyptus grandis di Sumatera dan tingkat keparahan hawar daun menyebabkan fungi ini disebut Kirramyces destructans. Empat tahun kemudian patogen ditemukan di timur Thailand di mana hal ini menyebabkan defoliasi sangat parah pada klon E. camaldulensis. Penyakit daun ini tergolong baru di daerah tersebut dan telah dimonitor secara intensif selama 5 tahun ke belakang

(Old, et al., 2003).

Penyakit daun yang menyerang pada saat tanaman di persemaian akan berakibat sangat buruk bagi tanaman. Terganggunya sistem metabolisme tanaman di daun akan mengganggu proses fotosintesis tanaman. Terganggunya proses fotosintesis akan mempengaruhi penyediaan dan penyebaran nutrisi penting ke seluruh bagian tanaman. Kondisi seperti ini akan berujung pada tanaman yang malnutrisi ataupun kematian sehingga menyebabkan terganggunya kegiatan produksi. Untuk mengantisipasi kondisi yang demikian, maka perlu dilakukan penelitian mengenai uji infeksi Phaeopleospora sp. terhadap tanaman Eucalyptus sp. Dalam penelitian ini digunakan tiga klon hibrid turunan Eucalyptus grandis x

Universitas Sumatera Utara Eucalyptus pellita, yaitu klon IND 32, IND 33 dan IND 45. Agar nantinya dapat dilakukan penanganan yang tepat pada tanaman yang terinfeksi patogen yang sama sehingga tidak menyebabkan kematian pada bibit tanaman yang akan menimbulkan kerugian.

Tujuan Penelitian

1. Melakukan karakterisasi gejala penyakit daun yang disebabkan oleh

Phaeophleospora sp. pada klon IND 32, IND 33, dan IND 45 turunan

Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita yang ada di pembibitan PT. Toba

Pulp Lestari, Tbk.

2. Mengukur intensitas dan luas serangan yang disebabkan oleh

Phaeophleospora sp. pada klon IND 32, IND 33, dan IND 45 turunan

Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita yang ada di pembibitan PT. Toba

Pulp Lestari, Tbk.

Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi atau masukan bagi PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. tentang

gejala penyakit daun yang disebabkan oleh Phaeophleospora sp. pada bibit

tanaman Eucalyptus sp. di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.

2. Sebagai informasi bagi perusahaan-perusahaan HTI yang akan menggunakan

Eucalyptus sp.

Universitas Sumatera Utara TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Eukaliptus (Eucalyptus sp.)

Taksonomi (Scientific Classification) dari tanaman Eucalyptus sp. adalah sebagai berikut, kingdom Plantae, divisi Angiosperms, subdivisi , ordo

Myrtales, famili . Tanaman Eucalyptus sp. terdiri dari kurang lebih 700 jenis dan yang dapat dimanfaatkan menjadi pulp sekitar 40% dari keseluruhan tanaman ini (Departemen Kehutanan, 1994).

Tanaman Eucalyptus sp. merupakan famili Myrtaceae, terdiri atas lebih kurang 700 jenis. Jenis Eucalyptus sp. dapat berupa semak dan perdu sampai mencapai ketinggian 100 meter. Batang umumnya bulat, lurus, tidak berbanir dan sedikit bercabang. Pohon pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan banyak meloloskan cahaya matahari. Cabangnya lebih banyak membuat sudut ke atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Daunnya berbentuk lanset hingga bulat telur memanjang dan bagian ujungnya runcing membentuk kait.

Beberapa jenis eukaliptus yang sudah dikenal umum antara lain E. deglupta, E. urophylla, E. camadulensis, E. grandis, E. pellita, E. tereticornis, dan E. torreliana (Latifah, 2004).

Eucalyptus sp. merupakan salah satu tanaman yang bersifat fast growing

(tanaman cepat tumbuh). Eucalyptus sp. juga dikenal sebagai tanaman yang dapat bertahan hidup pada musim kering. Tanaman ini mempunyai sistem perakaran yang dalam namun jika ditanam di daerah dengan curah hujan sedikit maka perakarannya cenderung membentuk jaringan rapat dekat permukaan tanah untuk memungkinkan menyerap setiap tetes air yang jatuh di cekaman tersebut.

Eucalyptus sp. merupakan salah satu jenis tanaman yang dikembangkan dalam

Universitas Sumatera Utara pembangunan hutan tanaman industri. Kayu eukaliptus digunakan antara lain untuk bangunan di bawah atap, kusen pintu dan jendela, kayu lapis, bahan pembungkus korek api, pulp dan kayu bakar. Beberapa jenis digunakan untuk kegiatan reboisasi (Poerwowidodo, 1991).

Syarat Tumbuh Eucalyptus sp.

Jenis-jenis eukaliptus banyak terdapat pada kondisi iklim bermusim

(daerah arid) dan daerah yang beriklim basah dari tipe hujan tropis. Jenis eukaliptus tidak menuntut persyaratan yang tinggi terhadap tempat tumbuhnya.

Tanaman eukaliptus dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa, secara periodik digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanah-tanah kering gersang sampai pada tanah yang baik dan subur (Departemen Kehutanan, 1994).

Jenis-jenis Eucalyptus sp. terutama menghendaki iklim bermusim (daerah arid) dan daerah yang beriklim basah dari tipe hujan tropis. Jenis Eucalyptus sp. tidak menuntut persyaratan yang tinggi terhadap tempat tumbuhnya.

Eucalyptus sp. dapat tumbuh pada tanah yang dangkal, berbatu-batu, lembab, berawa-rawa, secara periodik digenangi air, dengan variasi kesuburan tanah mulai dari tanah-tanah kurus, gersang, sampai tanah yang baik dan subur. Jenis

Eucalyptus sp. dapat tumbuh di daerah beriklim A sampai C dan dapat dikembangkan mulai dari dataran rendah sampai daerah pegunungan yang tingginya per tahun yang sesuai bagi pertumbuhannya antara 0-1 bulan dan suhu rata-rata pertahun 20-32oC. Jenis tanah yang digunakan dalam pertanaman

Eucalyptus sp. ini adalah jenis tanah litosol dan regosol podsolik (Darwo, 1997).

Universitas Sumatera Utara Hampir semua jenis eukaliptus beradaptasi dengan iklim muson. Beberapa jenis bahkan dapat bertahan hidup di musim yang sangat kering, misalnya jenis- jenis yang telah dibudidayakan yaitu E. alba, E. camaldulensis, E. citriodora, E. deglupta adalah jenis yang beradaptasi pada habitat hutan hujan dataran rendah dan hutan pegunungan rendah, pada ketinggian hingga 1800 mdpl, dengan curah hutan tahunan 2500-5000 mm, suhu minimum rata-rata 23 dan maksimum 31 di dataran rendah, dan suhu minimum rata-rata 13 dan maksimum 29 di pegunungan

(Kapisa et al., 1999).

Penyebaran dan Morfologi Eukaliptus

Daerah penyebaran alaminya berada di sebelah Timur garis Wallace, mulai dari 7° LU sampai 43° 39’ LS meliputi Australia, New Britania, Papua dan

Tazmania. Beberapa spesies juga ditemukan di Kepulauan Indonesia yaitu Irian

Jaya, Sulawesi, Nusa Tenggara Timur, dan Timor- Timur. Genus eukaliptus terdiri atas 500 spesies yang kebanyakan endemik Australia. Hanya ada dua spesies yang tersebar di wilayah Malesia (Maluku, Sulawesi, Nusa Tenggara dan

Fillipina) yaitu Eucalyptus urrophylla dan Eucalyptus deglupta. Beberapa spesies menyebar di Australia bagian Utara menuju bagian Timur. Spesies ini banyak tersebar di daerah-daerah pantai New South Wales dan Australia bagian Barat

Daya. Pada saat ini beberapa spesies ditanam di luar daerah penyebaran alami, misalnya di benua Asia, Afrika bagian Tropika dan Subtropika, Eropa bagian

Selatan dan Amerika Tengah (Latifah, 2004).

Pohon eukaliptus pada umumnya bertajuk sedikit ramping, ringan dan banyak meloloskan sinar matahari. Percabangannya lebih banyak membuat sudut ke atas, jarang-jarang dan daunnya tidak begitu lebat. Ciri khas lainnya adalah

Universitas Sumatera Utara sebagian atau seluruh kulitnya mengelupas dengan bentuk kulit bermacam-macam mulai dari kasar dan berserabut, halus bersisik, tebal bergaris-garis atau berlekuk- lekuk. Warna kulit batang mulai dari putih kelabu, abu-abu muda, hijau kelabu sampai cokelat, merah, sawo matang sampai coklat. Eukaliptus merupakan jenis yang tidak membutuhkan persyaratan yang tinggi terhadap tanah dan tempat tumbuhnya. Jenis eukaliptus dapat berupa semak atau perdu sampai mencapai ketinggian 100 meter umumnya berbatang bulat, lurus, tidak berbanir dan sedikit bercabang. Sistem perakarannya yang masih muda cepat sekali memanjang menembus ke dalam tanah (Departemen Kehutanan, 1994).

Faktor- Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Penyakit

Jamur patogen dapat masuk ke dalam badan tumbuhan berupa (a) luka, (b) lubang alami seperti mulut kulit dan hidatoda, maka dengan langsung menembus permukaan tumbuhan yang utuh. Beberapa patogen hanya dapat masuk dengan satu cara, sedangkan lainnya dengan dua cara atau lebih. Luka dapat terjadi karena penyebab anorganik maupun organik (Djafaruddin, 2001).

Penyebab luka yang bersifat anorganik misalnya angin keras, petir, cahaya sinar matahari yang terlalu kuat. Bahkan untuk penyakit tertentu yang terjadi karena debu yang terbawa angin dapat dipakai sebagai jamur infeksi. Penyebab anorganik adalah hewan dan manusia sendiri. Manusia dengan sengaja atau tidak selalu menimbulkan luka pada tanaman misalnya pada penyadapan, pemangkasan, pemotongan setek, pendangiran, dan sebagainya (Semangun, 2003).

Penyakit dapat ditularkan melalui virus, medianya berupa jamur maupun serangga dan hewan lainnya yang mempunyai kontak dengan inang. Secara umum tanaman yang terinfeksi virus secara sistemik akan mengandung virus selama

Universitas Sumatera Utara tanaman itu masih hidup karena tanaman tidak mempunyai mekanisme untuk menghilangkan virus. Oleh sebab itu, setiap bagian tanaman yang digunakan menjadi tanaman baru melalui cara pembiakan vegetatif seperti okulasi, penyambungan, penanaman umbi, kultur jaringan, akan mengandung virus dari tanaman induk (Akin, 2006).

Tanaman eukaliptus pada habitat aslinya (native habitate) merupakan tanaman inang yang sangat luas jangkauan serangan patogen jamurnya, terutama patogen yang menyerang bagian daun, tunas serta batang. Pada umumnya bawaan genetika dari jenis individu dan peranannya dalam komunitas yang heterogen, bagaimanapun dilengkapi dengan perlindungan yang kuat dalam melawan wabah penyakit. Secara kontras, industri tanaman eukaliptus di Asia Tenggara membudidayakan satu spesies khas atau tanaman hibrid. Seringkali berasal dari beberapa klon yang mana asal-usulnya biasanya sama (Old et al., 2003).

Teknik perkembangbiakan secara modern, seperti perbanyakan tunas atau kultur jaringan, membuatnya mungkin untuk area-area tanaman yang luas dengan klon-klon yang sama. Dengan pengharapan adanya laju pertumbuhan yang seragam, dan kualitas produk yang tinggi. Seperti pengerjaan ini, sangat berbahaya dari serangan penyakit, seperti patogen termasuk fungi endemik, pengenalan yang baru ini pada suatu daerah penanaman, dapat menyebabkan wabah penyakit tersebar luas. Resiko ini dipertinggi oleh pergerakan dari perbaikan plasma basil di antara daerah pertumbuhan eukaliptus, dan bahkan lingkup internasional, seperti patogen yang dapat disebarkan oleh benih yang terinfeksi atau tanaman yang terinfeksi (Old et al., 2003).

Universitas Sumatera Utara Kelembapan tanah atau lengas tanah dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap tumbuhan. Tumbuhan membutuhkan kelembapan tanah yang cukup. Pada umumnya kekurangan air menyebabkan hambatan pertumbuhan, warna daun pucat, tumbuhan cepat masak (tua) atau rusak.

Sedangkan pengaruh terlalu banyak air pada umumnya bersifat tidak langsung.

Kelebihan air dalam tanah menghambat perkecambahan biji dan memperlemah tumbuhan dalam semua tingkat pertumbuhan. Sebenarnya air sendiri tidak merugikan, tetapi ini dapat mengurangi jumlah oksigen dalam tanah yang diperlukan oleh akar-akar (Semangun, 2003).

Struktur fisik tanah dapat langsung memberikan pengaruh langsung terhadap pertumbuhan, misalnya ada lapisan padat yang menghalangi perkembangan akar tumbuhan. Tanah yang mempunyai tekstur kasar biasanya tidak dapat menahan air, sehingga tumbuhan mudah menderita dan kekeringan

(Semangun, 2003).

Kebanyakan tumbuhan membutuhkan oksigen yang cukup di dalam tanah.

Aerasi tanah sangat dipengaruhi oleh struktur dan kelembapan. Kebutuhan oksigen berbeda-beda. Aerasi tanah sangat dipengaruhi struktur dan kelembapan

(Semangun, 2003).

Selain air, oksigen, dan asam arang, tumbuhan memerlukan nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, besi, mangan, belerang, tembaga, molibdenium (Mo), dan seng (Zn) serta beberapa unsur lainnya. Gejala kahat unsur-unsur hara dapat terjadi pada daun-daun dan jaringan bahkan pada daun- daun dan jaringan muda. Gejala pertama yang terjadi karena kahat unsur yang mobil, yang dapat diangkut dari jaringan ke jaringan muda, seperti nitrogen,

Universitas Sumatera Utara fosfor, dan kalsium. Sebaliknya unsur-unsur yang sukar terangkut, seperti kalsium

(Ca), seng (Zn) menyebabkan gejala pada jaringan muda (Semangun, 2003).

Kelebihan kemikalia secara langsung dapat menyebabkan keracunan dan merusak tumbuhan. Secara tidak langsung ini dapat mempengaruhi pelarutan dan penyerapan unsur-unsur lain. Kelebihan kemikalia ini dapat menyebabkan pertumbuhan yang abnormal. Kelebihan besi menyebabkan nekrosis, hambatan pertumbuhan dan rusaknya pertanaman. Kelebihan tembaga di tanah dapat menghambat pertumbuhan yang dapat mematikan (Semangun, 2003).

Seringkali kekurangan sinar tidak dapat dipisahkan dari pengaruh faktor- faktor lain dari lingkungan. Pada tanaman atau daun yang biasanya terlindung, intensitas matahari yang berlebihan dapat merangsang terjadinya reaksi fotokimia yang menyimpang yang dapat juga menginaktifkan beberapa enzim dan mengoksidasi klorofil. Proses fotooksidasi seperti itu dapat menyebabkan terjadinya klorosis, bahkan dapat mematikan daun. Kekurangan sinar menyebabkan etiolasi. Tumbuhan menjadi pucat, lemah, tumbuh memanjang dan mudah diserang oleh bermacam-macam patogen (Semangun, 2003).

Suhu yang terlalu tinggi dan rendah dapat merusak tumbuhan.

Kelembapan rendah dan angin kering dapat meningkatkan kekeringan karena suhu tinggi. Pohon-pohon yang belum rimbun atau pohon-pohon yang habis dipangkas pangkal batangnya sering gosong matahari ”sun scorch” (terbakar matahari), ini disebabkan oleh sinar matahari yang dipantulkan tanah. Pada siang hari yang cerah suhu lapisan atas tanah dapat mencapai 60-650C, sehingga dapat merusak jaringan tanaman (Semangun, 2003).

Universitas Sumatera Utara Secara langsung angin dapat merusak karena tumbuhan mudah patah, dan sebagainya, terutama jika disertai dengan hujan serta petir. Ketiga hal ini jika terjadi cukup mempengaruhi adanya kerusakan jaringan tanaman, terutama di kawasan beriklim tropis (Semangun, 2003).

Penyakit Daun Phaeophleospora sp.

Penyakit daun Phaeophleospora sp. biasanya terdapat di pembibitan dan menyerang tanaman jenis tertentu. Gejala berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada permukaan daun (Old et al., 2003).

Phaeophleospora destructans juga dikenal sebagai Kirramyces destructans terkait dengan penyakit hawar daun pada E. grandis berusia satu tahun hingga tiga tahun di Sumatera Utara, Indonesia. Spesies ini adalah patogen agresif yang dapat menyebabkan hawar daun yang luas pada daun muda dan gugurnya daun pada usia muda sebagai akibat dari nekrosis daun dan tangkai daun. Patogen ini ditemukan pada tahun 2000, menyerang perkebunan klonal E. camaldulensis di timur Thailand dan pada tahun 2002 ditemukan untuk pertama kalinya di beberapa lokasi, meliputi selatan, tengah dan utara Vietnam, pada spesies E. camaldulensis, E. urophylla dan klon hibrid. Penyebaran yang cepat menunjukkan adanya serangan patogen ke tanaman hingga bahkan menyerang benih, dan hal ini berpotensi sebagai ancaman serius bagi eukaliptus di Asia Tenggara dan, mungkin, vegetasi asli dan perkebunan di utara Australia yang berdaerah tropis.

Dalam rangka untuk membantu mengatasi penyakit ini, klon toleran dipilih dan ditempatkan di Sumatera (Barber, 2004).

Universitas Sumatera Utara Fungi Phaeophleospora epicoccoides merupakan salah satu patogen daun yang paling banyak dilaporkan dan diteliti di dunia, terjadi pada berbagai spesies di banyak negara termasuk dari daerah subtropis. Dianggap sebagai patogen yang menyerang pembibitan di Australia dan India, menyebabkan kematian tanaman di

Malawi dan Afrika Selatan, defoliasi perkebunan di Australia, dan kerusakan yang signifikan di pembibitan dan perkebunan di Indonesia. Gejala yang ditimbulkan bervariasi, spora dapat tersebar, dan menginfeksi bibit dan kebun klonal di pembibitan dengan sanitasi yang buruk (Barber, 2004).

Penyakit ini disebabkan oleh fungi Phaeophleospora sp. yang biasanya terdapat pada pembibitan dan menjangkit penanaman jenis tertentu. Gejala yang ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun. Apabila satu daun tanaman telah terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan penyakit pada daun yang berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit tanaman. Penularan sering kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman hingga mencapai daun bagian ujung tanaman. Patogen ini biasanya berada di bawah tajuk pohon dan dapat menyebabkan penghancuran secara signifikan pada semai di pembibitan (Old et al., 2003).

Tampilan dan tingkat keparahan luka pada daun eukaliptus umumnya digunakan untuk mengenali spesies Phaeophleospora yang menyebabkan penyakit. Namun, gejala infeksi yang disebabkan oleh P. epicoccoides, P. eucalypti dan P. destructans hampir identik dan sering terjadi kesalahan analisis, tergantung pada inang dan iklim. Selain itu, identifikasi P. eucalypti dan P. destructans berdasarkan morfologi konidia agak sulit karena ukuran spora

Universitas Sumatera Utara bervariasi tergantung pada spesies inang. Sebuah teknik diagnostik molekuler yang sederhana dan akurat akan sangat membantu dalam membedakan antara spesies ini dibandingkan dengan teknik konvensional melalui pangamatan morfologi (Andjic et al, 2007).

Penyakit dapat dikendalikan dengan teknik pembibitan yang tepat

(pengontrolan kualitas tanah, kadar air dan kondisi lingkungan sekitar persemaian) dan pemberian fungisida pada saat dibutuhkan. Pada tingkatan bibit dan pancang penyakit bercak daun dapat disebabkan oleh berbagai macam fungi

(Nair, 2000).

Identifikasi Penyakit Tanaman

Diagnosis merupakan proses untuk mengidentifikasi suatu penyakit tanaman melalui gejala dan tanda penyakit yang khas, termasuk faktor- faktor lain yang berhubungan dengan proses pembentukan penyakit tersebut. Diagnosis penyakit yang benar diperlukan untuk merekomendasikan cara pengendalian yang tepat dan harus dilakukan dalam suatu survei penyakit tanaman (Sinaga, 2003).

Gejala dapat terlihat karena adanya perubahan, bau, rasa, atau rabaan.

Gejala dalam, penting artinya untuk penelitian anatomi patologi, sedangkan gejala luar bersifat morfologis. Gejala ini adalah keadaan penyakit yang ditunjukkan oleh bagian tubuh tanaman atau seluruh tubuh tanaman. Gejala adalah keadaan patologi dan fisiologi yang merupakan respon tanaman terhadap aktivitas patogen atau faktor yang lain (Satrahidayat, 1990).

Tanda penyakit adalah struktur dari suatu patogen yang berasosiasi dengan tanaman yang terinfeksi. Beberapa tipe struktur patogen tidak harus selalu ada pada tanaman yang sakit karena pembentukannya berdasarkan kondisi

Universitas Sumatera Utara lingkungan. Kebanyakan tanda penyakit dapat dilihat dan dibedakan dengan bantuan mikroskop. Misalnya penyebab penyakit berupa miselium, spora, tubuh buah fungi, sel atau lendir bakteri, tubuh karena penggumpalan hifa fungi

(sklerotial bodies), nematoda dengan berbagai fase telur, juvenil dan imago serta berbagai bagian tumbuhan parasit (Sinaga, 2003).

Menurut Sinaga (2003) agar hasil diagnosa akurat, diperlukan pembuktian dengan menggunakan Postulat Koch. Kaidah-kaidah Postulat Koch adalah sebagai berikut :

1) patogen yang diduga harus selalu berasosiasi dengan tanaman yang sakit

2) patogen tersebut harus dapat diisolasi dan ditumbuhkan sebagai biakan murni

3) biakan murni tersebut jika diinokulasikan ke tanaman sehat harus

menghasilkan gejala dan tanda penyakit yang sama

4) bila penyebab penyakit direisolasi dari tanaman yang diinokulasi tersebut,

akan dihasilkan biakan murni yang sama dengan penyebab yang diisolasi dari

tanaman sakit yang didiagnosis

Universitas Sumatera Utara METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di lokasi pembibitan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.,

Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, dan di Laboratorium

Bioteknologi Program Studi Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara. Penelitian dilakukan pada bulan Juli sampai Desember 2014.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah IND 32, IND 33, dan

IND 45 turunan Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita dari pembibitan PT. Toba

Pulp Lestari, alkohol 70%, air steril, top soil, spritus, tisu dan kapas, serta PDA

(Potatoe Dextrose Agar). Alat yang digunakan dalam penelitian adalah kamera digital, autoklaf, Laminar Air Flow, cawan petri, erlenmeyer, pinset, gunting, gelas ukur, mikroskop, kaca objek dan kaca penutup, plastik sampel/amplop, sarung tangan, masker, polybag, timbangan analitik, kaca preparat, lampu bunsen, gunting, alat tulis, sungkup plastik, plastik clingwrap dan sprayer.

Prosedur Penelitian

Tahapan prosedur penelitian adalah:

1. Pengambilan sampel tanaman

Tanaman yang sakit atau bergejala diambil sebanyak-banyaknya, sedangkan

tanaman Eucalyptus sp. yang sehat atau yang tidak bergejala diambil

sebanyak klon yang dibutuhkan dengan ulangan sebanyak 10 kali. Tanaman

Eucalyptus sp. yang sakit atau bergejala digunakan sebagai bahan isolasi

Universitas Sumatera Utara untuk mencari patogen Phaeophleospora sp. Bibit tanaman yang sehat atau

tidak bergejala digunakan sebagai bahan pengamatan setelah patogen

Phaeophleospora sp. diperoleh dan disemprotkan ke tanaman.

2. Isolasi patogen

Daun tanaman yang sakit atau bergejala dibersihkan dengan menggunakan

alkohol 70%, setelah dibersihkan diambil dengan menggunakan pinset dan

dikeringkan lalu dipotong-potong dengan ukuran 1x1 cm, kemudian diisolasi

ke dalam cawan petri dengan media PDA (Potatoe Dextrose Agar). Setelah 3

hari dilakukan kembali pengisolasian tetapi isolasi yang dilakukan adalah

isolasi biakan murni dengan ketentuan tidak mengalami kontaminasi lagi.

Setelah 14 hari dan tidak terjadi kontaminasi maka dapat dilakukan

identifikasi fungi dengan menggunakan mikroskop.

3. Pengamatan patogen

Jamur yang telah berumur 14 hari diambil dengan cara dipotong dan diambil

dengan pinset yang steril. Dimasukkan ke dalam cawan petri kemudian

diletakkan di atas preparat dan ditutupi dengan kaca objek lalu diamati di

bawah mikroskop.

4. Penyiapan inokulum

Biakan Phaeophleospora sp. (dengan kerapatan 18,75 x 106 CFU/ml) yang

telah murni diambil dan dimasukkan aquadest ke dalam cawan petri sebanyak

10 ml dan kemudian dikikis dengan menggunakan pengait, bagian atas biakan

dikikis tanpa mengenai medianya setelah semua bagian permukaan terkikis

lalu disaring dengan menggunakan kain kassa. Hal ini dilakukan sebanyak 30

Universitas Sumatera Utara kali sesuai dengan jumlah tanaman yang ada setelah selesai dimasukkan ke

dalam tabung reaksi dan diberi label.

5. Pelaksanaan inokulasi

Sebelum inokulasi dilakukan, bibit tanaman sehat dipindahkan ke dalam

polybag yang telah diisi top soil lalu dipindahkan ke dalam rumah kaca.

Tanaman dipelihara selama satu minggu untuk penyesuaian di rumah kaca.

Inokulasi dilakukan dengan metode penyemprotan inokulum (campuran 10

ml aquades dengan spora Phaeophleospora sp.) ke tanaman. Inokulasi

dilakukan menggunakan hand sprayer.

Setiap tanaman disemprotkan 10 ml inokulum dan dilakukan secara

bergantian terhadap tanaman. Setelah penyemprotan inokulan, tiap tanaman

disungkup selama 1 x 24 jam. Keesokan harinya sungkup dibuka dan dimulai

pengamatan gejala yang muncul di daun pada tanaman. Pengamatan terhadap

infeksi fungi Phaeophleospora sp. pada tanaman Eucalyptus sp. dilakukan

selama 30 hari dengan selang pengamatan enam kali.

6. Uji infeksi

Dilakukan untuk mengetahui ketahanan tanaman Eucalyptus sp. terhadap

Phaeophleospora sp. dengan mengamati intensitas serangan dan luas

serangan Phaeophleospora sp. terhadap tanaman Eucalyptus sp.

Parameter pengamatan

Parameter yang diamati adalah: a. Intensitas Serangan

Universitas Sumatera Utara Parameter yang diamati adalah intensitas serangan Phaeophleospora sp.

Pengamatan intensitas serangan dimulai pada saat bercak sudah kelihatan tetapi pengamatan dan penghitungan intensitas setelah sungkup dibuka yaitu setelah dua minggu. Gejala yang diamati adalah gejala bercak yang terjadi setelah inokulasi. Pengamatan dilakukan terhadap lima tangkai daun teratas.

Daun yang diamati diberi tanda dan disesuaikan dengan skala bercak daun (0-

5).

Skala bercak terdiri dari:

Skala 0: tidak ada bercak pada daun

Skala 1: terdapat bercak daun 1/16 bagian

Skala 2: terdapat bercak daun 1/8 bagian

Skala 3: terdapat bercak daun 1/4 bagian

Skala 4: terdapat bercak daun 1/2 bagian

Skala 5: terdapat bercak daun pada seluruh bagian permukaan daun

Nilai intensitas serangan ditentukan dengan rumus:

( n × v ) IS = N × n x 100% ∑ Towsend dan Heiiberger (1943) dalam Sinaga (2003).

Keterangan: IS : Intensitas serangan n : jumlah daun pada skala ke-i v : skala ke-i N : jumlah total daun setiap tanaman V : skala tertinggi

Universitas Sumatera Utara b. Luas Serangan

Luas serangan ditentukan dengan cara menghitung jumlah daun yang

terserang yaitu pada setiap bibit kemudian membaginya dengan jumlah daun

yang diamati.

Adapun luas serangan penyakit ditentukan dengan rumus :

n A = N x 100 %

Keterangan: A : luas serangan n : jumlah tanaman yang terserang spesies penyakit ke-I N : jumlah seluruh tanaman yang diamati

Tabel 1. Penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman No Nilai Intensitas dan Luas Serangan (%) Kategori Reaksi Tanaman 1 0% Imun 2 1 % - 25 % Resisten (R) 3 26 % - 50 % Agak Resisten (AR) 4 51 % - 75 % Agak Rentan (Ar) 5 76 % - 100 % Rentan (r) Sumber : Sembiring (1985) dalam Sinaga (2003)

Analisis Data

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian ini menggunakan meodel rancangan acak lengkap (RAL) non faktorial dengan model linier sebagai berikut:

Yij = μ + τi + εij

Keterangan: Yij = pengamatan pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j μ = rataan umum τi = pengaruh perlakuan ke-i εij = pengaruh acak pada perlakuan ke-i dan ulangan ke-j

Klon yang digunakan adalah Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita sebanyak tiga klon dengan umur 2 bulan setiap klonnya. Setiap perlakuan diulang sebanyak

10 kali sehingga diperoleh 30 satuan percobaan.

Universitas Sumatera Utara Data yang diperoleh dari lapangan ditransformasikan menggunakan transformasi logaritma. Jika diperoleh rancangan berbeda nyata pada interaksi antara tanaman dengan kelas umur akan dilanjutkan dengan menggunakan rancangan DMRT (Duncan’s Multiple Range Test) (Sastrosupadi, 2000).

Universitas Sumatera Utara HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengambilan Sampel Tanaman

Fungi Phaeophleospora sp. diperoleh dari daun berpenyakit yang diambil dari areal pembibitan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk., Desa Sosor Ladang,

Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Toba Samosir, Sumatera Utara. Daun sampel berpenyakit yang diambil memiliki ciri-ciri adanya bercak merah pada permukaan daun dan adanya spora hitam pada permukaan bawah daun.

(a)

(b) (c) Gambar 1. (a) Areal pembibitan eukaliptus di PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. (b) Permukaan atas sampel daun berpenyakit (c) Permukaan bawah daun

Pengambilan sampel daun berpenyakit dilakukan dengan cara mengamati gejala yang muncul pada tanaman Eucalyptus sp. yang terdapat di areal pembibitan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk. lalu membandingkannya dengan ciri-ciri tanaman Eucalyptus sp. yang terserang fungi Phaeophleospora sp. pada buku A

Manual of Diseases of Eucalyptus in South-East Asia (Old et al., 2003). Menurut

Old et al. (2003), gejala yang ditunjukkan Phaeophleospora sp. berupa bercak

Universitas Sumatera Utara daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan adanya spora berwarna hitam pada permukaan bawah daun. Sampel daun bibit berpenyakit tersebut diambil untuk selanjutnya dibiakkan.

Bibit yang digunakan sebagai sampel untuk uji infeksi adalah hasil persilangan dari Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita yaitu klon IND 32, IND

33 dan IND 45 dengan sepuluh ulangan tiap klonnya, sehingga dibutuhkan 30 bibit sampel. Umur tiap bibit seragam yakni 2 bulan.

Isolasi dan Identifikasi Phaeophleospora sp.

Sampel daun berpenyakit yang diperoleh dari pembibitan PT. Toba Pulp

Lestari, Tbk. dibawa ke laboratorium Bioteknologi Kehutanan, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara untuk kemudian dibiakkan. Hasil dari biakan tersebut dilakukan identifikasi dengan pengamatan secara makroskopis dan mikroskopis sehingga diperoleh biakan murni dari fungi Phaeophleospora sp.

Tampilan makroskopis fungi Phaeophleospora sp. dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Tampilan makroskopis Phaeophleospora sp. pada media PDA

Biakan murni fungi Phaeophleospora sp. memiliki penampilan berwarna kemerahmudaan, bertekstur lembut seperti bulu halus dan tebal, serta

Universitas Sumatera Utara pertumbuhannya merata ke segala arah. Ciri-ciri biakan murni ini sesuai dengan salah satu jenis fungi Phaeophleospora sp. yang dikemukakan oleh Burgess et al.

(2006) bahwa P. destructans berwarna kemerahmudaan, pertumbuhannya lambat, dan agak lembut. Dari hasil isolasi biakan murni diperoleh isolat dengan ciri fisik yang sama yaitu berwarna kemerahmudaan dan bertekstur lembut seperti bulu.

Selain pengamatan makroskopis dilakukan juga pengamatan mikroskopis.

Pengamatan mikroskopis dilakukan dengan mengamati fungi dengan menggunakan mikroskop. Pengamatan ini dilakukan untuk memastikan bahwa biakan murni yang kita dapat memang benar jenis Phaeophleospora sp.

Identifikasi dilakukan dengan cara memerhatikan bentuk konidia lalu membandingkan visual konidia biakan murni di bawah mikroskop dengan karakteristik Phaeophleospora sp. pada buku A Manual of Diseases of Eucalyptus in South-East Asia (Old et al., 2003).

Hasil pengamatan tampilan mikroskopis dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Tampilan mikroskopis Phaeophleospora sp.

Tanpilan mikroskopis pada biakan murni Phaeophleospora sp. menunjukkan bahwa konidianya berbatang panjang, berbentuk ramping dan memiliki sekat.

Karakteristik ini mirip dengan karakteristik yang digambarkan dalam buku A

Manual of Diseases of Eucalyptus in South-East Asia (Old et al., 2003). Menurut

Universitas Sumatera Utara Old et al. (2003) spora-spora fungi Phaeophleospora sp. berbentuk silindris ataupun berbentuk batang ramping spora secara berkelompok. Pada setiap spora terdapat berupa dinding-dinding kasar yang terdiri dari beberapa buah sekat. Hal ini dipertegas dengan pernyataan Burgess et al. (2006) tentang fungi

Phaeophleospora destructans, bahwa konidiaspora Phaeophleospora destructans berbentuk panjang dan tipis. Jadi, melalui pengamatan makroskopis dan mikroskopis yang telah dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa biakan murni yang ditemukan adalah jenis Phaeophleospora destructans.

Gejala Penyakit Phaeophlespora sp. pada Tanaman Eucalyptus sp.

Gejala awal yang disebabkan oleh fungi Phaeophleospora sp. adalah berupa bercak berwarna kuning pada permukaan atas daun yang ukuran dan letaknya berbeda-beda pada setiap daun. Pada awal munculnya bercak berwarna kuning ini belum terdapat spora hitam pada permukaan bawah daun.

(a) (b) (c) Gambar 4. Gejala awal berupa bercak kekuningan pada permukaan atas daun pada klon (a) IND 32, (b) IND 33, dan (c) IND 45

Selanjutnya perkembangan gejala menunjukkan berkembangnya bercak kuning yang diikuti munculnya bercak kemerahan. Setelah beberapa hari kemudian muncul spora berwarna hitam pada permukaan bawah daun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Old et al. (2003) bahwa gejala Phaeophleospora sp. yang ditunjukkan berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas

Universitas Sumatera Utara daun dan adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun.

Kemunculan gejala yang disebabkan oleh fungi Phaeophleospora sp. pada ketiga klon ini tidak berbeda yaitu adanya bercak kuning yang diikuti munculnya bercak merah dan terdapat spora hitam pada permukaan bawah daun.

(a) (b)

(c) Gambar 5. Perkembangan gejala ditandai dengan munculnya bercak kemerahan pada permukaan atas daun dan spora hitam pada permukaan bawah daun pada klon (a) IND 32, (b) IND 33, dan (c) IND 45

Karakteristik lain dari gejala yang ditimbulkan oleh fungi

Phaeophleospora sp. adalah munculnya gejala awal selalu dimulai dari daun yang paling bawah atau paling pangkal. Bila daun paling bawah sudah terjangkiti, biasanya setelah beberapa hari akan diikuti oleh munculnya awal gejala pada daun

Universitas Sumatera Utara di atasnya. Hal yang sama sudah dipaparkan oleh Old et al. (2003) apabila satu daun tanaman telah terinfeksi patogen ini maka akan terjadi penularan penyakit pada daun yang berdekatan hingga dapat mengakibatkan kematian bibit tanaman.

Penularan sering kali terlihat dimulai dari bagian pangkal bibit tanaman hingga mencapai daun bagian ujung tanaman. Maka dari itu fungi ini tergolong sebagai patogen yang agresif yang dapat menyebabkan gugurnya daun pada usia muda, seperti yang diungkapkan Barber (2004) spesies ini adalah patogen agresif yang dapat menyebabkan hawar daun yang luas pada daun muda dan gugurnya daun pada usia muda sebagai akibat dari nekrosis daun dan tangkai daun.

Uji Infeksi

Pengamatan terhadap infeksi fungi Phaeophleospora sp. pada bibit tanaman klon hibrid Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita dilakukan selama 30 hari dengan selang pengamatan enam kali. Uji infeksi ini dilakukan dengan mengamati daun yang terserang penyakit pada bibit tanaman sehingga diperoleh nilai intensitas dan luas serangan. Berdasarkan nilai intensitas dan luas serangan tersebut akan diperoleh tingkat resistensi bibit tanaman Eucalyptus sp.

Pengukuran intensitas serangan dilakukan terhadap lima tangkai daun teratas. Daun yang diamati diberi tanda dan disesuaikan dengan skala bercak daun

(0-5) (Sinaga, 2003). Hasil scoring kemudian ditransformasikan ke dalam formula nilai intensitas serangan. Luas serangan ditentukan dengan cara menghitung jumlah daun yang terserang yaitu pada setiap bibit kemudian membaginya dengan jumlah daun yang diamati. Selanjutnya dilakukan penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman.

Universitas Sumatera Utara a. Intensitas Serangan (IS)

Hasil scoring dari pengamatan intensitas serangan yang telah dihitung menggunakan formula nilai intensitas serangan (IS) dapat dilihat pada Tabel 2 dan

Gambar 6. Data Tabel 2 diperoleh dengan mengambil rata-rata dari nilai intensitas serangan setiap ulangan yang dilakukan selama 30 hari dengan jumlah pengamatan sebanyak enam kali.

Tabel 2. Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I-Pengamatan VI Intensitas Serangan (IS) (%) No Klon I II III IV V VI 1 IND 32 0.24 1.60 6.72 12.32 14.80 17.76 2 IND 33 1.04 2.80 8.48 14.48 18.72 20.32 3 IND 45 0.80 3.28 11.20 19.28 22.00 23.60

25

20

15 IND 32 IND 33 10 IND 45

5

0 I II III IV V VI Gambar 6. Rata-rata Intensitas Serangan (IS) Pengamatan I- VI

Pada pengamatan I (± lima hari setelah inokulasi) bibit tanaman IND 32, IND 33 dan IND 45 sudah menunjukkan gejala serangan Phaeophleospora sp. dengan nilai intensitas serangan sebesar 0.24%, 1.04% dan 0.8%. Nilai dari intensitas serangan terus meningkat dari pengamatan I sampai pengamatan VI. Dari grafik

Gambar 6 dapat dilihat serangan meningkat dengan pesat pada pengamatan II

Universitas Sumatera Utara sampai pengamatan IV (pada hari kelima sampai hari keduapuluh). Dan nilai intensitas serangan tetap meningkat sampai akhir pengamatan.

Berdasarkan hasil dari tabel dan grafik dimulai dari pengamatan II sampai pengamatan IV menunjukkan peningkatan yang signifikan. Menurut Yunasfi

(2007) bagi penyakit yang disebabkan oleh faktor yang dapat menular, berhasil atau tidaknya suatu penyakit berkembang pada suatu pohon atau tanaman bergantung pada tiga faktor, yaitu sifat genetik, keganasan (virulensi) patogen dan kondisi lingkungan tempat tumbuh. Dari hasil tersebut dapat diasumsikan bahwa fungi Phaeoleophspora sp. telah masuk pada tahap menginfeksi bibit tanaman

Eucalyptus sp. dan bibit tanaman mengalami penurunan imunitasnya. Dalam hal ini adanya patogen yang semakin kuat dan inang yang semakin melemah.

Pada akhir pengamatan dilakukan penilaian resistensi tanaman berdasarkan nilai intensitas serangan terhadap tabel penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman berdasarkan intensitas serangan

(Tabel 1). Nilai intensitas serangan pada pengamatan VI berturut-turut mulai dari

IND 32, IND 33, dan IND 45 adalah 17.76%, 20.32% dan 23.6%. Nilai intensitas tertinggi pada pengamatan VI adalah klon IND 45 yaitu 23.6%. Berdasarkan nilai intensitas serangan yang ditunjukkan pada pengamatan VI dan dibandingkan dengan tabel penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman (Tabel 1) klon IND 32, IND 33, dan IND 45 termasuk ke dalam kategori resisten (R) karena nilai intensitas serangan pada semua klon berada dalam kisaran 1%-25%.

Universitas Sumatera Utara b. Luas Serangan (A)

Luas serangan ditentukan dengan cara menghitung jumlah daun yang terserang yaitu pada setiap bibit kemudian membaginya dengan jumlah daun yang diamati. Nilai luas serangan (A) dapat diliat pada tabel 3 dan gambar 7 berikut.

Tabel berikut diperoleh dari rata-rata nilai luas serangan setiap ulangan yang dilakukan selama 30 hari dengan jumlah pengamatan sebanyak enam kali.

Hasil dari pengamatan luas serangan dapat dilihat pada Tabel 3 dan Gambar 7.

Tabel 3. Rata-rata Luas Serangan (A) Pengamatan I-Pengamatan VI Luas Serangan (A) (%) No Klon I II III IV V VI 1 IND 32 1.12 10.42 28.21 37.65 40.62 41.84 2 IND 33 4.51 13.99 26.84 36.23 40.28 40.69 3 IND 45 4.55 18.41 35.23 45.66 43.94 44.06

50 45 40 35 30 IND 32 25 IND 33 20 IND 45 15 10 5 0 I II III IV V VI Gambar 7. Rata-rata Luas Serangan (A) Pengamatan I- VI

Bibit tanaman sudah klon IND 32, IND 33 dan IND 45 sudah menunjukkan gejala serangan fungi Phaeophleospora sp. pada pengamatan I (± lima hari setelah inokulasi) dengan nilai luas serangan (A) berturut-turut sebesar

1.12%, 4.51 % dan 4.55%. Berdasarkan grafik Gambar 8, nilai luas serangan terus

Universitas Sumatera Utara meningkat secara signifikan mulai dari pengamatan I sampai pengamatan IV.

Pada pengamatan IV sampai VI klon IND 45 mencapai puncak luas serangan dan mengalami penurunan nilai luas serangan. Dua klon lainnya (IND 32 dan IND 33) belum mencapai puncak serangan namun nilai dari luas serangan sudah tampak mengalami penurunan.

Pada akhir pengamatan dilakukan penilaian resistensi tanaman berdasarkan nilai luas serangan terhadap tabel penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman (Tabel 1) berdasarkan nilai luas serangan.

Nilai luas serangan pada pengamatan VI berturut-turut mulai dari IND 32, IND

33, dan IND 45 adalah 41.84%, 40.69% dan 44.06%. Nilai luas serangan pada pengamatan VI adalah klon IND 45 yaitu 44.06%. Berdasarkan nilai yang ditunjukkan pada pengamatan VI dan dibandingkan dengan tabel penilaian tingkat intensitas dan luas serangan penyakit dan reaksi tanaman berdasarkan intensitas serangan (Tabel 1) klon IND 32, IND 33, dan IND 45 termasuk ke dalam kategori agak resisten (AR) karena nilai luas serangan pada semua klon berada dalam kisaran 26%-50%.

Universitas Sumatera Utara

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Gejala pada daun yang disebabkan Phaeophleospora sp. pada klon hibrid

turunan Eucalyptus grandis x Eucalyptus pellita yaitu IND 32, IND 33, dan

IND 45 menunjukkan gejala yang sama. Gejala awal yang muncul adalah

adanya bercak berwarna kuning pada permukaan atas daun. Gejala lanjutan

berupa bercak daun berwarna kemerahan pada permukaan atas daun dan

adanya spora berwarna hitam pada bagian permukaan bawah daun.

2. Hasil pengamatan terakhir menunjukkan klon IND 32, IND 33, dan IND 45

merupakan klon-klon yang tergolong resisten (R) pada pengukuran intensitas

serangan (IS). Pada pengukuran luas serangan (A), ketiga klon tergolong agak

resisten (AR).

3. Hasil analisis data pada intensitas serangan dan luas serangan dari klon IND

32, IND 33 dan IND 45 menunjukkan tidak adanya perbedaan tingkat

resistensi yang berbeda nyata.

Saran

Dilakukan penelitian uji resistensi klon hibrid Eucalyptus sp. terhadap patogen lainnya agar diperoleh persentase resistensi tanaman dan daya serang dari masing-masing patogen.

Universitas Sumatera Utara DAFTAR PUSTAKA

Akin, M. H. 2006. Virologi Tumbuhan. Kanisius. Yogyakarta.

Andjic, V., Hardy, G.E., Cortinas, M.N., Wingfield, M.J., Burgess, T.I. 2007. Multiple Gene Genealogies Reveal Important Relationships Between Species of Phaeophleospora Infecting Eucalyptus leaves. FEMS Microbiol Lett. Australia.

Barber, P.A. 2004. Forest Pathology: The Threat of Disease to Plantation Forests in Indonesia. Plant Pathology Journal, 3 (2). pp. 97-104. Murdoch University. Australia.

Burgess, T.I., et al. 2006. First Report of Phaeophleospora destructans in China. Institute of Tropical Forestry, Londong, Guangzhou. China.

Darwo. 1997. Evaluasi Hasil Inventarisasi Tegakan Eucalyptus urophylla di HTI. PT. Inti Indorayon Utama, Sumatera Utara. Jurnal Konifera No.1/Thn. XIII/April/1997.

Departemen Kehutanan, 1994. Eucalyptus. Pedoman Teknis Penanaman Jenis- Jenis Kayu Komersial. Badan Litbang Departemen Kehutanan. http://www.indonesiaforest.com/tanaman_andalan/eucalyptus.PDF [01 juni 2014]

Djafaruddin. 2001. Dasar- Dasar Perlindungan Tanaman. Bumi Aksara. Jakarta.

Kapisa. N., H. A. F. Mashud dan R. Harahap. 1999. Pemilihan Jenis Eucalyptus sp. Laporan Satu Tahun Setelah Penanaman. Buletin Penelitian Kehutanan. Balai Penelitian Kehutanan. Pematang Siantar.

Latifah, S. 2004. Pertanaman dan Hasil Tegakan Eucalyptus grandis di Hutan Tanaman Industri. [http://www.libraryusu.ac.id] [3 Mei 2014]

Nair, K. S. S. 2000. Insects Pest and Diseases in Indonesian Forest an Assessment of the Major Threats, Research Efforte and Literature. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Old, K.M., Wingfield, M.J. and Z.Q. Yuan, 2003. A Manual of Diseases of Eucalypts in South-East Asia. Center for International Forestry Research (CIFOR). Bogor.

Poerwowidodo. 1991. Gatra Tanah dalam Pembangunan Hutan Tanaman di Indonesia. Penerbit Rajawali. Jakarta.

Pratama, T. D. 2013. Pemetaan Potensi Simpanan Karbon Hutan Tanaman Industri Tegakan Eucalyptus sp. (Studi Kasus di Hutan Tanaman Industri

Universitas Sumatera Utara PT. Toba Pulp Lestari, Tbk., Sektor Aek Nauli). Skripsi. Universitas Sumatera Utara. Medan.

Sastrosupadi, A. 2000. Rancangan Percobaan Praktis Bidang Pertanian. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Satrahidayat, I. R. 1990. Ilmu Penyakit Tanaman. Usaha Nasional. Surabaya.

Semangun, H. 2003. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.

Sinaga, S. N. 2003. Ilmu Penyakit Hutan. Penebar Swadaya. Jakarta.

Yunasfi, 2007. Permasalahan Hama, Penyakit Dan Gulma Dalam Pembangunan Hutan Tanaman Industri dan Usaha Pengendaliannya. USU Repository. Medan.

Universitas Sumatera Utara

LAMPIRAN

Lampiran 1. Data Intensitas Serangan (IS)

Pengamatan I Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 0.8 0 0 0.8 0 0 0 0 0 0.8 0.44 2 IND 33 3.2 0 0 0 0 1.6 2.4 0 0 3.2 1.89 3 IND 45 1.6 1.6 1.6 0 1.6 0 0 0 0 1.6 1.46 Total 3.78

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 3.370667 1.685333 1.768657 3.354131 Galat 27 25.728 0.952889

Total 29 29.09867

Pengamatan II Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 33 4 0 0 4 4 0 0 0 0 4 1.60 2 IND 32 8 0 0 0 0 4 8 0 0 8 2.80 3 IND 45 7.2 4 6.4 0.8 4 2.4 1.6 2.4 0 4 3.28 Total 7.68

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 14.976 7.488 0.93628 3.35413 Galat 27 215.936 7.99763 Total 29 230.912

Pengamatan III Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 8 0 4 4 4 11.2 2.4 12.8 10.4 10.4 6.72 2 IND 33 17.6 6.4 0 3.2 4 9.6 11.2 7.2 4 21.6 8.48 3 IND 45 16 12.8 8 6.4 12 13.6 7.2 18.4 5.6 12 11.20 Total 26.40

Universitas Sumatera Utara

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 101.888 50.944 1.84196 3.35413 Galat 27 746.752 27.6575

Total 29 848.64

Pengamatan IV Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 12.8 3.2 8 7.2 7.2 16 4 18.4 23.2 23.2 12.32 2 IND 33 20 16 2.4 4 5.6 19.2 15.2 16.8 16.8 28.8 14.48 3 IND 45 22.4 18.4 11.2 12.8 28 22.4 19.2 25.6 8.80 24 19.28 Total 46.08

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 253.824 126.912 2.29573 3.35413 Galat 27 1492.61 55.2818

Total 29 1746.43

Pengamatan V Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 16 4.8 8.8 8 12.8 16.8 4.8 20 28 28 14.80 2 IND 33 20 20.8 7.2 8 15.2 24 16 20 20 36 18.72 3 IND 45 28 20 12 16 32 24 24 28 12 24 22 Total 55.52

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 259.883 129.941 2.07067 3.35413 Galat 27 1694.34 62.7532

Total 29 1954.22

Universitas Sumatera Utara Pengamatan VI Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 20 11.2 12 11.2 19.2 20 8 20 28 28 17.76 2 IND 33 24 24 8 8 20 27.2 16 20 20 36 20.32 3 IND 45 32 20 12 16 32 27.2 27.2 28 17.6 24 23.6 Total 61.68

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 171.392 85.696 1.53029 3.35413 Galat 27 1512 56

Total 29 1683.39

Universitas Sumatera Utara Lampiran 2. Data Luas Serangan (A)

Pengamatan I Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 3.64 0 0 2.5 2.22 0 0 0 0 2.86 1.12 2 IND 33 8.89 0 0 0 0 6.67 6.67 0 0 22.86 4.51 3 IND 45 5 8 8.89 0 10 0 0 10 0 3.63 4.55 Total 10.18

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 77.4696 38.7348 1.53549 3.354131 Galat 27 681.1113 25.22635

Total 29 758.5809

Pengamatan II Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 17.88 3.33 2 17.5 20.85 10 2 10 2.5 18.1 10.42 2 IND 33 33.61 2 0 2 5 13.33 26.67 6 18.73 32.57 13.99 3 IND 45 26 19.27 30.56 10 26.43 6 11.82 32 5 17.06 18.41 Total 42.82

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 321.0043 160.5022 1.456617 3.354131 Galat 27 2975.084 110.1883

Total 29 3296.089

Pengamatan III Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 21.28 11.67 22 31.67 22.31 28 18 47.5 33.89 45.83 28.21 2 IND 33 44.17 17.64 2 12 18.64 23.06 48 28 28.89 46 26.84 3 IND 45 51.33 35.96 42.5 27.22 37.14 30.89 29.27 36 35.23 26.79 35.23 Total 90.28

Universitas Sumatera Utara Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 405.5285 202.7643 1.419401 3.354131 Galat 27 3857.004 142.852

Total 29 4262.533

Pengamatan IV Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 26.15 23.08 33.33 32.67 29.1 39.64 26.67 50 53.33 62.5 37.65 2 IND 33 38.18 36.36 26 18.57 25.45 44.09 40 38.33 43.64 51.67 36.23 3 IND 45 53.33 51.11 50 29.09 47.09 53.33 54.91 40 36.82 40.95 45.66 Total 119.54

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 517.6038 258.8019 2.202599 3.354131 Galat 27 3172.458 117.4984

Total 29 3690.062

Pengamatan V Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 28 38.46 34.29 37.82 40 42.8 35.71 50 49.09 50 40.62 2 IND 33 41.67 45.45 26.67 26.15 35.71 49.09 33.33 48.57 46.15 50 40.28 3 IND 45 50.14 45.45 35.71 42.94 48.33 40.48 50.91 38.57 36.9 50 43.94 Total 124.84

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 82.01683 41.00842 0.71381 3.354131 Galat 27 1551.152 57.45007

Total 29 1633.169

Universitas Sumatera Utara Pengamatan VI Ulangan (R) No. Klon Rataan R1 R2 R3 R4 R5 R6 R7 R8 R9 R10 1 IND 32 31.67 41.98 40 33.21 47.33 47.69 37.36 44.29 49.89 45 41.84 2 IND 33 30.48 41.67 33.57 27.49 43.33 54.55 33.33 50 42.46 50 40.69 3 IND 45 49.23 49.51 33.04 39.57 35.42 38.57 52.31 50.11 35.71 57.14 44.06 Total 126.59

Tabel ANOVA Sumber Derajat Jumlah Kuadrat F Hitung F Tabel Keragaman Bebas Kuadrat Tengah Perlakuan 2 58.80186 29.40093 0.452387 3.354131 Galat 27 1754.747 64.99063

Total 29 1813.549

Universitas Sumatera Utara