Program Studi Diploma IV Pariwisata SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER 2017

INOVASI DAN PENGEMBANGAN PARIWISATA KREATIF SEBAGAI PENGGIAT EKONOMI MASYARAKAT

ISBN 978-602-2942-51-1

PROSIDING SEMINAR NASIONAL DAN CALL FOR PAPER 2017

PENYUNTING Dr. Putu Sucita Yanthy SS.,M.Par

REVIEWER Ida Bagus Ketut Astina, M.Si. Nyoman Jamin Ariana,M.Par Ni Putu Ratna Sari, SST.Par. M.Par AA Putri Sri, M.Si

TATA LETAK Vidya Santosa Willy Artha

DESIGN COVER Kevin Piring

PENERBIT:

Jl. Dr R Goris No 7 Program Studi Diploma IV Pariwisata Fakultas Pariwisata Universitas Udayana-

Cetakan I, Desember 2017

i

KATA PENGANTAR

Om Swastiastu Om Salam Sejahtera Bagi Kita Semua, Assalamualaikum Warahmatullohi Wabarakatuh,

Puji syukur kami panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan rahmatnya sehingga seminar dan call for paper 2017 dengan tema Inovasi dan Pengembangan Pariwisata Kreatif Sebagai Penggiat Ekonomi Masyarakat Indonesia yang diselenggarakan oleh Mahasiswa Program Studi Diploma IV Pariwisata sebagai implementasi mata kuliah MICE terlaksana dengan baik. Diwujudkan dengan menerbitkan prosiding yang memuat sejumlah artikel dengan berbagai topik terkait kepariwisataan Indonesia dan Bali secara khususnya. Buku prosiding ini terdiri dari artikel para pemakalah selingkung Universitas Udayana serta para pemakalah dari luar daerah. Sebagai rasa syukur, perkenankan kami mengucapkan terimakasih kepada seluruh pendukung kegiatan kami.

Semoga seminar dan prodising Call For Paper 2017, bermanfaat bagi kita semua.

Om Shanti, Shanti, Shanti Om Salam sejahtera bagi kita semua Wassalamualaikum Warahmatulohi Wabarokatuh

Denpasar 11 Desember 2017 Ketua CFP 2017

Dr. Putu Sucita Yanthy.,SS.M.Par

ii

DAFTAR ISI

1. KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA LINTAS BATAS: STUDI KASUS PERBATASAN INDONESIA-PAPUA NEW GUINEA Adhitia Pahlawan Putra ...... 3 2. KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM MENGENDALIKAN AROGANSI LOCAL TOUR GUIDE DI PURA BESAKIH Putri kusuma sanjiwani 1) W. Citra juwita sari2) ...... 13 3. DAMPAK PEMBANGUNAN HOTEL BERKONSEP CITY HOTEL DI SUNSET ROAD KUTA BALI Komang Ratih Tunjungsari1, Komang Shanty Muni Parwati2, I Made Trisna Semara3 ...... 22 4. PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS BUDAYA NASIONAL DAN PROMOSI PARIWISATA INDONESIA DI EROPA (STUDI KASUS DIASPORA BALI DI PERANCIS) Nararya Narottama1, A.A. Ayu Arun Suwi Arianty2 ...... 32 5. STRATEGI MENINGKATKAN PENJUALAN MAKANAN MENU ALA CARTE PADA RESTORAN WARUNG BALI DI DESA WISATA SANGEH BADUNG I Nyoman Tri Sutaguna1, Ni Made Ariani2 ...... 46 6. RESIPROKALITAS WANITA DAN PENGEMBANGAN HOMESTAY DI KAWASAN BROMO TENGGER SEMERU Putu Gede Eka Darmaputra1,. Putu Diah Sastri Pitanatri2 ...... 54 7. PARTISIPASI HOTEL-HOTEL BINTANG LIMA DALAM PENERAPAN GREEN TOURISM DI KAWASAN ITDC NUSA DUA Putu Ratih Pertiwi ...... 62 8. PENGEMBANGAN KULINER LOKAL UNTUK MENDUKUNG PARIWISATA BERKELANJUTAN DI DESA SANGEH KABUPATEN BADUNG Ni Nyoman Sri Aryanti1, Agus Muriawan Putra2 ...... 67 9. PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN HOMESTAY DI DESA WISATA TISTA, KECAMATAN KERAMBITAN, KABUPATEN TABANAN Agung Sri Sulistyawati1, Fanny Maharani Suarka2 ...... 87 10. PERILAKU WISATAWAN BERWISATA KULINER DI RESTORAN KAMPOENG KEPITING TUBAN BALI Ni Made Ariani1, I Nyoman Tri Sutaguna2 ...... 100 11. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN WISATAWAN BERKUNJUNG KE DESA WISATA BLIMBINGSARI JEMBRANA BALI Arnold Gautama Suryadinata1), I Wayan Ruspendi Junaedi2) ...... 109

1

12. FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI WISATAWAN MANCANEGARA DALAM PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI WISATA DI BALI Ni Gusti Ayu Susrami Dewi1), Luh Gede Leli Kusuma Dewi2) ...... 120 13. MEMBANGKITKAN SENI-BUDAYA DAN WIRAUSAHA RAKYAT DI DAERAH PARIWISATA (Studi Kasus Peran LPD Desa Adat Kuta dan Kerobokan) A.A Ngurah Gede Sadiartha ...... 129 14. PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN WISATA MICE DI BATAM I Wayan Thariqy Kawakibi Pristiwasa...... 138 15. MENGEMBANGKAN UBUD SEBAGAI DESTINASI WISATA GASTRONOMI Putu Sucita Yanthy1), Ni Nyoman Sri Aryanti2) ...... 144 16. FENOMENA BUDAYA TRAVELLING WISATAWAN JEPANG KE BALI Dian Pramita Sugiarti1), I Gede Anom Sastrawan2) ...... 152 17. HOTEL `S GUEST ACTIVITIES SEBAGAI ALTERNATIF KEGIATAN LEISURE BAGI WISATAWAN DI KAWASAN SEMINYAK BALI Fanny Maharani Suarka1), Agung Sri Sulistyawati2) ...... 159 18. PEMBANGUNAN PARIWISATA DI BALI : TRADE OFF PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN Ni Made Tisnawati1), Nyoman Sukma Arida2) ...... 168 19. POSITIF NEGATIF PARIWISATA: ANALISIS PERILAKU KONSUMTIF MASYARAKAT BALI I Nyoman Urbanus1), Febianti2) ...... 179

2

KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PARIWISATA LINTAS BATAS: STUDI KASUS PERBATASAN INDONESIA-PAPUA NEW GUINEA

Adhitia Pahlawan Putra Program Studi Magister Kajian Pariwisata, Fakultas Pariwisata Universitas Udayana email: [email protected]

Abstrak

Wilayah perbatasan dijadikan daya tarik wisata berbagai negara di dunia. Setiap negara bersaing untuk mengembankan potensi pariwisisata di perbatasan. Indonesia merupakan destinasi wisata yang memilki perbatasan, baik darat maupun laut. Salah satu wilayah yang menjadi proyeksi kebijakan pengembangan adalah perbatasan Indonesia – Papua New Guinea. Penelitian ini bertujuan memaparkan kajian tentang fenomena pariwisata lintas batas melalui identifikasi motivasi wisatawan dan peran stakeholder dalam pengembangan pariwisata perbatasan. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif. Teknik pengumpulann data meliputi observasi, studi kepustakaan, dan wawancara. Berdasrkan hasil penelitian, elemen pariwisata lintas batas Indonesia-Papua New Guinea terdiri dari lima kategori yakni kerjasama, kolaborasi, pengembangan pariwisata, isu-isu politik dan wisata belanja. Sementara itu, motivasi yang mendorong arus perjalanan adalah motivasi budaya dan wisata belanja sedangkan sektor publik menjadi aktor yang berperan dalam pengembangan pariwisata di pos perbatasan Skow, Indonesia-Papua New Guiena.

Kata Kunci: Pengembangan, Pariwisata Lintas Batas, Indonesia-Papua New Guinea.

Abstract

The border region is used as a tourist attraction of various countries in the world. Each country competes to develop tourism potential at the border. Indonesia is a tourist destination that has border, both land and sea. One of the areas that the projected development policy is the border of Indonesia - Papua New Guinea. This study aims to explain the study of the phenomenon of tourism across borders through the identification of tourist motivation and the role of stakeholders in the development of border tourism. The research method used is qualitative. Based on the research results, the elements of trans-boundary tourism Indonesia-Papua New Guinea consists of five categories namely cooperation, collaboration, tourism development, political issues and shopping. Meanwhile, the motivation that drives the flow of travel are culture and shopping , while the public sector becomes an actor who plays a role in the development of tourism at the border post Skow, Indonesia- Papua New Guinea.

Keywords : Development, Cross Border Tourism, Indonesia-Papua New Guinea

1. PENDAHULUAN

Wilayah perbatasan telah menjadi daya tarik wisata untuk kebanyakan wisatawan. Di beberapa negara di dunia bahkan daya tarik wisata biasanya berdekatan dengan wilayah perbatasan dan menjadi motivasi atau atraksi utama perjalanan wisatawan (Timothy, 2001). Keinginan untuk merasakan sensasi melihat kondisi perbatasan merupakan faktor pendorong yang menarik minat wisatawan. Berkunjung ke perbatasan tidak hanya sekedar berwisata, namun untuk mendapatkan prestise berada di area tersebut. Indonesia merupakan negara tujuan destinasi wisata yang memiliki wilayah perbatasan darat maupun laut. Wilayah perbatasan tersebar di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Di wilayah perbatasan darat, terdapat lima Provinisi yang berbatasan langsung dengan negara tetangga yaitu Provinsi Papua – Papua New Guinea, Provinsi Kalimantan Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat - Malaysia, dan Provinsi Nusa Tenggara Timur – Timor Leste. Dari

3 kelima perbatasan darat tersebut, perbatasan Indonesia-Papua New Guinea adalah perbatasan yang menarik untuk dikaji dalam perpekstif pariwisata, ekonomi, sosial-budaya, dan politik. Fenomena pengembangan perbatasan sebaga daya tarik wisata (cross border tourism) bukanlah hal yang baru. Dalam berbagai literarur mengenai pemanfaatan sektor pariwisata di wilayah perbatasan, terdapat beberapa negara yang menjadikan perbatasan sebagai daya tarik wisata seperti AS-Kanada, India-Pakistan, dan Korea Selatan- Korea Utara. Menurut Wolhuther dan Wintersteiner (2014) pariwisata adalah jalan untuk menciptakan perdamaian dan mewujudkan hubungan kerjasama pembangunan di level negara maupun non negara. Dengan berwisata aktor-aktor memiliki motif untuk menyaksikan keindahan alam dan keberagaman budaya. Melakukan pertukaran sosial dalam relasi antara tamu dan wisatawan. Menciptakan rasa saling memahami antara satu aktor dengan aktor sama lainnya. Dalam konteks perdamaian, pariwisata membawa misi perdamaian karena dapat menyatukan setiap orang dengan latar belakang negara yang berbeda di destinasi wisata. Dari sudut pandang pembangunan ekonomi, pariwisata dapat mensejahterakan negara dan masyarakat. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan yang menyebutkan bahwa penyelengaraan pariwisata bertujuan untuk mempererat persahabatan antarbangsa, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu wilayah perbatasan yang telah dijadikan sebagai lokasi pengembangan pariwisata terletak di Distrik Muara Tami Kampung Skouw, perbatasan Indonesia – Papua New Guinea. Kampung Skow ditetapkan sebagai daya tarik wisata pada tahun 2013 oleh Pemerintah Kota Jayapura. Daya tarik wisata yang ditawarkan kepada wisatawan adalah bentangan alam, pantai, budaya, dan tugu perbatasan Indonesia – Papua New Guinea (Disparda Kota Jayapura, 2013). Pariwisata lintas batas atau cross border tourism merupakan fenomena yang kompleks sehingga untuk memahamainya diperlukan identifikasi pada dua aspek. Pertama, motivasi dan pola perilaku wisatawan yang berkunjung ke area perbatasan. Kedua, peran stakeholder dalam pengelolaaan dan pengambangan pariwisata di perbatasan. Kerjasama pemangku kepentingan merupakan tuntutan utama dalam pengembangan pariwisata. Kerjasama diartikan sebagai hubungan bersifat kolaboratif dan saling mengutungkan di antara para aktor. Dalam konteks kebijakan pengembagan pariwisata, aktor-aktor yang berperan penting untuk mendukung kesuksesan destinasi wisata meliputi sektor pemerintah, sektor bisnis, wisatawan, akademisi, media dan masyarakat lokal. 2. TINJAUAN PUSTAKA

Pariwisata Lintas Batas

Pariwisata lintas batas atau Cross Border Tourism adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan oleh setiap individu atau kelompok individu untuk melintasi batas suatu negara atau negara tetangga dengan alasan dan tujuan tertentu. Suatu perbatasan dikatakan menjadi daya tarik wisata apabila memiliki atraksi dan keunikan, sehingga membuat orang melakukan perjalanan untuk mengujungi perbatasan tersebut. Berkaitan dengan Cross Border Tourism atau Pariwisata Lintas Bantas terdapat 5 kategori yang menjadi kajian para akademisi yaitu kerjasama, kolaorasi, pengembangan pariwisata, isu-isu politik dan wisata belanja. 1. Kerjasama Sebagai pendekatan pertama, kerjasama lintas batas dapat didefinisikan sebagai hubungan formal dalam hal bantuan atau bantuan antara otoritas di kedua sisi perbatasan, biasanya pada subnasional tingkat (Perkmann, 2003). Sedangkan untuk Timothy (2001), kerjasama juga bisa informal dibentuk antara pemerintah daerah, perusahaan atau individu pada kedua sisi perbatasan, tanpa dukungan hukum yang diperlukan melalui perjanjian resmi, norma-norma atau peraturan. Jadi, kedua argumen dapat dianggap pelengkap, dan itu harus menambahkan bahwa hubungan formal atau informal dapat berubah jika perubahan politik terjadi. 2. Kolaborasi Kolaborasi dapat dipahami sebagai langkah lanjutan setelah kerjasama telah ada diantara kedua belah pihak. Inilah sebabnya mengapa kolaborasi menempati posisi kedua dalam kategori. Menurut Timothy dan Kim (2013), pemahaman pasukan keamanan terhadap faktor politik dan ekonomi serta

4 kerjasama budaya akan membantu untuk memprediksi kolaborasi antara dua negara. Selain itu, faktor penting lain adalah kedekatan, fungsi dan kesamaan demografis. 3. Pengembangan Pariwisata Pengembangan pariwisata telah dilihat sebagai kesempatan yang baik untuk meningkatkan ekonomi daerah lintas batas. Dalam studi kasus Niagara Falls, studi Jayawardena et al. (2008), menunjukan bahwa mengembangkan pariwisata di daerah lintas batas ini bisa sangat sulit karena ada kompetisi di antara semua pemangku kepentingan. Hambatan utama di perbatasan Amerika dan Kanada meliputi (i) masalah tapal batas dan masalah kemacetan lalu lintas ; (ii) kurangnya pendanaan jangka panjang yang cukup untuk inisiatif pengembangan perbatasan; (iii) kurangnya sumber daya terlatih manusia; (iv) penelitian pariwisata masih kurang; dan (v) persaingan sengit sedang berlangsung antara mitra industri. 4. Isu-isu Politik dan Perdamaian Isu politik yang sangat penting ketika berhadapan dengan perbatasan, karena berkaitan erat dengan keputusan politik, konfrontasi politik, ancaman disintegrasi, perselesihan agama atau etnis. Menurut Park (2011), pariwisata dapat berfungsi sebagai cara yang efektif untuk mewujudkan perdamaian dengan memperkuat legitimasi wacana nasional dan identitas nasional. Pariwisata dapat aktif berperan dalam merekonstruksi politik dan manajemen konflik (Guo et al., 2006). 5. Wisata Belanja Adapun bentuk perjalanan ke daerah lintas batas, fakta bahwa mayoritas penelitian di daerah lintas batas menunjukan bahwa wisata belanja sebagai fokus utama dari studi mereka (Timothy & Tosun, 2003) yang melibatkan belanja untuk souvenir, belanja karena harga yang lebih rendah atau untuk pengalaman bersantap kuliner sehingga belanja dapat menjadi utama motivasi untuk perjalanan lintas batas.

Motivasi Wisatawan

Dalam konteks pariwisata, motivasi merujuk pada motive yang menyebabkan seseorang melakukan perjalanan. Menurut Mc intosh dan Goeldner (1986, dalam Soekadijo; 2000) motivasi wisatawan dibedakan menjadi empat yaitu: 1. Motivator fisik adalah motivasi yang berkaitan dengan aktivitas perjalanan secara fisik, misalnya olaharaga, rekreasi pantai, hiburan, dan motivasi lainnya yang berhubungan dengan kesehatan. 2. Motivator budaya adalah motivasi untuk mengetahui tentang budaya suatu daerah yang meliputi musik, seni, ceirta rakyat, tarian, lukisan dan agama di daerah tujuan wisata. 3. Motivator interpersonal adalah moetivasi yang berkaitan dengan hasrat untuk menemui orang abri, mengujungi teman atau keluarga, menjauhkan diri dari rutinitas atau mencari pengalaman baru yang berbeda. 4. Motivator prestise dan status adalah motivator yang berkaitan dengan kebutuhan ego dan pengembangan status sosial di masyarakat.

Stakholder Pariwisata

Stakeholder atau pemangku kepentingan adalah "Individu atau kelompok individu kelompok- kelompok yang memiliki hubungan saling ketergantungan" dan "setiap individu atau kelompok yang dapat mempengaruhi atau dipengaruhi oleh tindakan, keputusan, kebijakan, praktik atau tujuan organisasi" (Carroll 1993, dalam Timur 2008). Dengan demikian, stakeholder adalah setiap orang yang terlibat dalam domain pariwisata yaitu organisasi pemerintah (sektor public), pihak swasta (sektor privat), masyarakat lokal, akademisi dan media yang dapat mempengaruhi kebijakan pariwisata. Pemangku kepentingan yang mempunyai peranan dalam perumusan kebijakan pengembangan pariwisata di wialayah perbatasan merupakan tujuan utama dalam penelitian. 3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Dalam studi pariwisata, studi kasus adalah salah satu metode kualitatif yang memusatkan secara intensif atau mendalam sebuah fenomena sebagai studi kasus. Metode studi kasus biasanya digunakan oleh para jurnalis untuk menginvestigasi

5 kehidupan nyata (real-life) pada kasus-kasus tertentu yang kompleks (Sue Beeton, 2005). Stake (1995), dalam Cresswell (1998) mengungkapkan terdapat empat bentuk analisis data kualitatif dalam studi kasus, yaitu pengumpulan kategori, intrepetasi langsung, pola dan kesepadanan, serta generalisasi. Lokasi penelitian terletak di perbatasan Indonesia- Papua New Guinea, Distrik Muara Tami, Kampung Skouw Provisni Papua. Sumber data diperoleh secara langsung melalui observasi lapangan, wawancara, dan studi kepustakaan. Observasi lapangan bertujuan untuk mengetahui gambaran mengenai daya tarik wisata di perbatasan Indonesia – Papua New Guinea. Wawancara bertujuan untuk mengidentifikasi infroman melalui serangkaian tanya jawab secara langsung memberikan keterangan dan fakta-fakta yang menjadi temuan penelitian. Studi kepustakaan digunakan untuk membantu informasi terkait data penelitian yang didapat melalui dokumen kerjasama perbatasan Indonesia-Papua New Guinea dari Kementrian Luar Negeri dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Pariwisata Lintas Batas Indonesia–Papua New Guinea

Wilayah perbatasan telah dijadikan sebagai daya tarik wisata di dunia. Demikian halnya di Indonesia, wilayah perbatasan yang seringkali diartikan sebagai kawasan yang khusus diperuntukan untuk kegiatan militer kini telah bertransformasi sebagai tempat berwisata. Hal ini dapat dilihat dari kebijakan pemerintah Indonesia untuk mempercantik wilayah perbatasan Indonesia – Papua New Guinea di Skow, Kota Jayapura, Provinsi Papua. Dalam perspekif pariwisata, wilayah perbatasan dikatakan sebagai daya tarik wisata apabila memilki empat unsur utama yaitu atraksi, aksesibiltas, amenitas, dan. organisasi kepariwisataan. Atraksi (attractions), seperti alam yang menarik, kebudayaan daerah yang menawan dan seni pertunjukkan. Aksesibilitas (accessibilities) adalah tersedianya infrastruktur yang baik dan transportasi untuk menjagkau daya tarik wisata. Amenitas atau fasilitas (amenities) seperti tersedianya akomodasi, rumah makan, dan agen perjalanan. Ancillary services yaitu organisasi kepariwisataan yang dibutuhkan untuk pelayanan wisatawan. Dengan meninjau komponen daya tarik wisata di atas, perbatasan Indonesia – Papua New Guinea di Skow telah mempunyai unsur-unsur tersebut. Unsur atraksi dapat dilihat pada dua aspek. Pertama, atraksi dari sisi Indonesia. Atraksi yang ditawarkan berupa atraksi alam dan buatan. Atraksi alam yang ditawarkan ialah bentangan alam seperti hutan, pegunungan, perbukitan, dan vegetasi alam. Sementara itu, atraksi wisata buatan adalah tugu perbatasan Indonesia – Papua New Guinea yang berdiri kokoh diantara wilayah Skow (Papua, Indonesia) dan Wutung (Sandau, PNG). Kedua, atraksi dari sisi Papua New Guinea. Distrik Vanimo dan Wutung adalah dua wilayah distirk yang berbatasan langsung dengan Distirk Muara Tami, Skow. Vanimo merupakan distrik yang memiliki daya tarik wisata pantai yang berpasir putih (white sand). Apabila berada di tugu perbatasan, wisatawan dapat melihat dari kejauhan deburan ombak samudra Pasifik di pasir putih pantai Vanimo yang begitu memukau. Berkaitan dengan aksesibilitas, perbatasan Skow tidak seperti halnya perbatasan Indonesia di daerah lain di Papua seperti Kabupaten Pegunungan Bintang dan Kabupaten Keerom yang masih sulit diakses. Perbatasan Skow, secara infrastruktur sudah tergolong baik dengan kondisi jalan aspal hingga titik perbatasan. Transportasi yang digunakan juga beragam, wisatawan dapat menggunakan taksi, ojek, dan mobil rental. Menjangkau perbatasan Skow hanya dibutuhkan kurang lebih sekitar dua jam dari Bandara Sentani, Terminal Abepura dan Ibu Kota Jayapura. Fasilitas akomodasi yang terdapat di perbatasan Skow hanyalah rumah makan, dan tempat penukaran uang asing, sedangkan hotel dan agen perjlanan belum tersedia. Hotel hanya yang tersedia di Abepura dan Kota Jayapura. Kualitas hotel yang ditawarkan juga beragam tergantung pada fasilitas dan pelayanan yang diberikan. Sementara itu, agen perjalanan akan banyak ditemukan di Kota Jayapura dan beberapa di sekitar Abepura. Organisasi Kepariwisataan yang terdapat di Papua adalah Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Papua. Sementara itum organisasi yang menunjang kegiatan wisata sekaligus mempromosikan wilayah perbatasan Skow adalah para komunitas kendaraan bermotor seperti Komunitas Avanza Papua yang seirngkali mengadakan touring dengan titik akhir perbatasan Skow.

6

Pariwisata lntas batas belum banyak dikenal di aras lokal Papua dan masih kurang peminatnya. Hal ini dikarenakan suasana psikolgis masyarakat masih pada aktivitas yang dikatakan berwisata apabila berkunjung ke pantai atau ke daerah tujuan wisata popular di Indonesia seperti Bali dan Yogyakarta, sedangkan berkunjung ke daya tarik perbatasan bisa dikatakan bukan sebagai wisata. Oleh karena itu, untuk menunjang kegiatan wisata di perbatasan diperlukan strategi kebijakan yang implementatif seperti promosi di hotel-hotel dan event olahraga maupun budaya di area perbatasan, sehingga dapat mendorong arus kunjungan wisatawan ke daya tarik wisata tersebut. Fenomena pariwisata lintas batas Skow Indonesia – Papua New Guinea juga akan dianalisis pade lima aspek yaitu kerjasama, kolaorasi, pengembangan pariwisata, isu-isu politik dan wisata belanja. Kelima aspek ini menggambarkan proses kebijakan pengembangan pariwisata lintas batas di Skow, isu-isu politik yang menghiasi perbatasan dalam hubungan diplomatik antara Indonesia dan Papua New Guinea, serta wisata belanja sebagai fenomena dominan yang terjadi di Skow perbatasan Indonesia – Papua New Guinea. 1. Kerjasama Pendekatan kerjasama wilayah perbatasan Indonesia – Papua New Guinea (PNG) diatur melalui perjanjian bilateral diantara kedua belah pihak. Kedua negara sepakat untuk mengadakan perjanjian tentang pengaturan admnisitratif perbatasan pada tahun 1973 yang ditandantangani oleh Menlu Adam Malik dan perwakilan Britania Raya Mr. Michael T. Somare. Pada waktu itu, PNG masih berada dalam pemerintahan Britania Raya-Australia sehingga secara de jure belum memiliki pemerintahan yang berlandaskan asas hukum internasional. Pada akhirnya, pembaharuan perjanjian bilateral diantara kedua belah pihak dilakukan pada tahun 1979. Pada perjanjian ini, PNG telah menjadi negara yang berdaulat dan memiliki pemerintahan sendiri, sehingga diperlukan pembaharuan hukum yang dilaksanakan di Jakarta pada 17 Desember 1979. Substansi perjanjian tersebut berisi tentang pengaturan admnistratif bahwa kedua negara menepakan dua pos utama perbatasan yang berlokasi di Distrik Muara Tami, Skow, Kota Jayapura dan Distrik Sota, Kabupaten Merauke.

Gambar 1. Pos Perbatasan Skow Distrik Muara Tami, Jayapura, Sumber: Dokumentasi Penulis

Dua pos utama perbatasan inilah yang hingga saat ini memberikan layanan mobilitas warga kedua negara memasuki wilayah perbatasan untuk urusan bisnis, mengujungi relasi atau kerabat, dan transaksi perdagangan untuk kebutuhan ekonomi sehari-sehari. 1. Kolaborasi Rangkaian lanjutan antara Indonesia dan Papua New Guinea setelah perjanjian tahun 1979 melahirkan perjanjian/trakat yang terus diperbaharaui sebagai implikasi perkembangan yang dinamis hubungan kedua negara, baik dilevel pemerintah maupun non-pemerintah. Pada awalnya, Indonesia – PNG sepakat menjalin hubungan diplomatik melalui Treaty of Mutual Respect, Friendship, and Cooperation di tahun 1986. Perjanjain ini berisi aspek normatif hubungan bilateral kedua negara untuk menghormati prinsip non-intervention dalam politik domestik. Secara eksplisit pengelolaan perbatasan tidak dituangkan dalam perjanjian ini, namun menjadi titik awal kolaborasi diantara kedua negara tanpa adanya pihak ketiga sebagaimana pada perjanjian pengaturan administratif perbatasan tahun 1973.

7

Pada tahun 1990, kepentingan bersama Indonesia – PNG untuk mengelola perbatasan semakin terlihat dengan disetujuinya Agreement on Border Arangements. Terdapat empat aspek utama dalam perjanjian ini. Pertama, aspek demografis untuk sensus desa-desa di wilayah perbatasan dan karatina penduduk. Kedua, aspek tapal batas untuk survey demaraksi dan pemetaan wilayah perbatasan.Ketiga, aspek pengelolaan perbatasan. Aspek ini meliputi pengaturan pelintas batas tradisional dan non-tradisional, perpindahan kewarganegaraan, kegiatan adat, hak atas tanah dan air, perdagangan, konservasi lingkungan (flora dan fauna), pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam, tata kelola transportasi, komunikasi, dan asuransi. Terkahir, aspek pertahahan dan kemanan yang menyangkut pertukaran informasi, navigasi, dan faslitas navigasi. Memahami pentingnya keberlanjutan kerjasama kolaboratif, Indonesia-Papua New Guinea sepakat untuk menadantangani MoU Rencana Aksi tentang Penerapan Kerja Sama Komprehensif pada KTT 21 APEC di Nusa Dua Bali pada 7 Oktober 2013. Perjanjian tersebut menjabarkan secara rinci langkah-langkah yang mencerminkan kemitraan komprehensif antara kedua negara di bidang politik, keamanan, sosial, ekonomi dan hubungan antar masyarakat. Dalam konteks pengelolaan perbatasan, kerjasama kolaborasi difokuskan pada aspek mekanisme pengaturan antara lain sebagai berikut. 1. Kerjasama Konsultasi Perbatasan a. Joint Border Committee, Border Liaison Meeting and Border. b. Memfasilitasi pekerjaan Joint Technical Sub-Commitee on Survey, Demarkasi, dan Pemetaan Wilayah Perbatasan; 1. Kerjasama Tanggap Bencana Perbatasan: Meningkatkan kerja sama untuk meningkatkan efektivitas Search and Rescue dan Bantuan Darurat operasi di daerah perbatasan; 2. Kerjasama Perdagangan dan Investasi di Perbatasan a. Menjaga kelangsungan perdagangan lintas batas di daerah perbatasan dan meningkatkan kerja sama antara kedua negara untuk memfasilitasi perdagangan perbatasan, antara lain melalui peningkatan sarana dan prasarana pasar perbatasan di kedua sisi perbatasan; b. Proses untuk membentuk Joint Sub-commite on Trade, dan Investasi, dan Perdagangan di sepanjang wilayah perbatasan, dengan tujuan untuk mengintensifkan perdagangan yang saling menguntungkan sepanjang perbatasan bersama; 3. Kerjasama Konektivitas Perbatasan a. Memfasilitasi pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur jalan internasional yang menghubungkan provinsi yang berbatasan kedua negara, yaitu Provinsi Papua, Indonesia dan Provinsi Sandaun Papua New Guinea: b. Memfasilitasi proses negosiasi untuk halal transportasi lintas batas melalui Nota Kesepahaman tentang Trans-Border Crossing; c. Membentuk suatu perusahaan Joint Sub-commite on Telecommunication dan sesuai nota kesepahaman yang relevan, dalam rangka meningkatkan sistem komunikasi dan jaringan di wilayah perbatasan bersama; d. Menyediakan fasilitas navigasi di perairan batas Fly River Bulge 4. Kerjasama Imigrasi, Kesehatan, dan Fasilitas Karantina di Perbatasan a. Memfasilitasi proses negosiasi untuk Nota Kesepahaman tentang kerjasama dan pertukaran informasi Pabean; b. Memfasilitasi studi kelayakan bersama tentang pembentukan Border Posts, dengan maksud untuk mengatur entry dan exit point untuk gerakan manusia, hewan, tumbuhan, barang, kendaraan, dan kapal melintasi perbatasan; c. Mempercepat proses negosiasi atas 2 (dua) nota kesepahaman, masing-masing pada kesehatan dan bio-security dan sistem rujukan kesehatan dan jaringan surveilans epidemiologi; 5. Kerjasama Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Area Perbatasan a. Mempromosikan saling kerjasama dalam masalah yang berkaitan dengan penggunaan dan konservasi sumber daya alam, seperti air bersih, satwa liar, dan pohon-pohon hutan, di daerah yang berdekatan dengan perbatasan; b. Memfasilitasi penyediaan Nota Kesepahaman untuk melindungi lingkungan di daerah perbatasan, dan kemudian membentuk suatu perusahaan joint Sub-Komite Lingkungan.

8

2. Pengembangan Pariwisata Secara historis, pengembangan pariwisata di wilayah perbatasan dapat ditinjau dari kebijakan Presiden disetiap masa pemerintahan. Hal ini dikarenakan setiap pemimpin memiliki proyeksi kebjijakan yang berbeda, khususnya dalam konteks kebijakan pengembangan pariwisata lintas batas. Berdasarkan hasil penelusuran peneliti dalam kebijakan pengembangan pariwisata, proyeksi kebjakan lintas batas Skow Indonesia Papua New Guiena terjadi dalam dua tahapan. Pertama, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono yang merencanakan proses pengembangan proyek. Tahapan pada masa SBY hanya pada tataran perencanaan dan komitmen yang tertuang dalam kerjasama komprehensif antara Indonesia dan Papua New Guinea yang ditandatangani di Bali tahun 2014, namun tahapan implementasi belum terlaksana. Kedua, Jokowi menjadi pemimpin yang mengesekusi proyek pengembangan pariwisata lintas batas. Kebjiakan membangun dari pingggiran pemerintahan Jokowi pada akhirnya menjalankan komitmen di masa pemerintahan sebelumnya. Pengembangan Skow adalah satu dari tujuh pengembangan pariwisata lintas batas di Indonesia. Pengembangan tersebut dapat terlaksana berkat sinergi antara Pemerintah Daerah dengan Pemerintah Pusat melalui Kementerian Luar Negeri, Kementerian Pariwisata, dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan. Pengembangan perbatasan Skow juga dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jayapura tahun 2013-2025 sebagai wilayah pengembangan sektor perdagangan, pertanian dan pariwisata. Secara eskplisit, pengembangan sektor pariwisata tertuang dalam Rencana Kerja Pemernitah Daerah Kota Jayapura tahun 2015. Wilayah pengembangan meliputi kampung Skouw Yambe, Skouw Sae, Skow Mabo, dan Moso. Pengembangan ini bertujuan untuk meningkatkan indeks transaksi perdangangan, kesejahteraan masyarakat, dan interaksi atau pertukaran antara penduduk Papua dan PNG.

2. Isu-Isu Politik Kedekatan geografis antara Papua dan Papua New Guinea membuat negara ini tidak bisa lepas dari kepentingan nasional Indonesia. Pada titik inilah, negara yang tidak lepas dari Indonesia dalam masalah domsetik sepert konflik lokal yang mencuat menjadi isu internasional ialah Papua New Guinea. Isu self-determination yang digaungkan kelompok anti integrasi merupakan persoalan mendasar di wilayah perbatasan Indonesia-Papua New Guinea. Sebab, PNG adalah negara terdekat yang dijadikan wilayah pelarian kelompok anti integrasi. 3. Wisata Belanja Sebagaimana diketahui bahwa fakta perjalanan ke daerah lintas batas, mayoritas menunjukan bahwa wisata belanja sebagai fokus utama karena perbatasan dijadikan sebagai pusat perdagangan antara penduduk disekitar wilayah perbatasan. Pos perbatasan Skow merupakan wilayah yang dikunjungi penduduk asal Distirk Wutung dan Distrik Vanimo untuk berbelanja kebutuhan sandang dan papan. Mereka berbelanja di pasar Skow pada hari Selasa dan Kamis.

9

Gambar 2. Wisatawan Belanja asal Vanimo , Sumber: Dokumentasi Penulis

Salah satu penduduk asal distrik Vanimo, Tonggoh Hapta mengatakan bahwa hasrat yang mendorong dirinya berbelanja kebutuhan sehari-hari di pasar Skow karena tiga hal. Pertama, akses. Akses dari Vanimo menuju Skow lebih dekat ketimbang harus menuju ke Sandau atau Ibu Kota PNG, Port Morestby. Kedua, harga. Harga kebutuhan lebih murah dibandingkan berbelanja ditempat lain, termasuk di Provinsi Sandau. Ketiga, kemudahan. Penjaga pos perbatasan memberikan kemudahan untuk bagi para pelintas batas tradisioma; serta tersedianya penukaran uang Kina di pasar Skow dan pedagang juga menerima uang Kina. “…Saya datang ke Skow karena akses jalan dari Vanimo dekat, coba bayangkan kalau saya harus ke Port Moresby berapa biaya yang harus dikeluarkan. Barang juga lebih murah di Skow, misal harga buah pinang satu karung 400 ribu, sedangkan di PNG 700 ribu sampai 1 juta 200 ribu‖ (Wawancara tanggal 22 Nopember 2016)

Motivasi Wisatawan

Pos perbatasan Indonesia-Papua New Guinea menujukan fenomena perjalanan wisata yang menarik. Motivasi wisatawan yang berkunjung di pos perbatasan Skow dapat dikategorikan dalam dua jenis. Pertama, motivasi belanja. Segmen utama arus perjalanan ke perbatasan adalah pelintas batas tradisonal yang mengadakan kegiatan transasksi ekonomi di Pasar Skow. Kedua. Motivasi budaya. Motivasi pada segemen ini adalah wisatawan mancangeara. Hasrat yang medorong wisatwan mancanegara melewati perbatasan biasanya bertujuan untuk menyebrang ke Provinsi Sandau sebab mudah dijangkau dari Bandara Sentani ketimbang dari Port Moresby, Papua New Guinea.

Gambar 3. Wisatawan befoto di tugu perbatasan, Sumber: Dokemuntasi Penulis

Sebagai contoh, Claudia Israilev wisatawan asal Tucuman Argentina menjadikan Provinsi Papua sebagai daerah tujuan wisata dan transitnya. Cluadia menuturkan perjalanannya ke Papua

10 adalah untuk mengujungi Lembah Baliem di Wamena. Setelah itu, berkunjung ke Sandau dan Wewak di Papua New Guinea dengan melalui jalur perbatasan. Baginya, jalur perbatasan cenderung aman dan hemat daripada menggunakan jalur udara menuju Port Moresby (Wawancara, 23 Nopember 2016). Dalam sudut pandang pariwisata, perjalanan yang dikakukan oleh Cluadia dapat dikatakan sejalan dengan elemen dalam sebuah sistem pariwisata yang menyangkut daerah/negara asal wisatawan, daerah/negara tujuan wisata), dan tempat transit (Leiper, 1990).

Peran Stakholder Peran stakeholder dalam pengembangan pariwisata lintas batas didimonasi oleh sektor publik atau Pemeritnah. Artinya, sektor non pemerintah seperti penguasaha dan pihak swasta belum memiliki peran dalam pengembangan perbatasan Skow. Sektor publik yang berperan terdiri dari dua, yaitu Pemerintah pusat dan Pemerintah Daerah. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) merupakan pihak utama yang punya peran penitng dalam tata kelola Pos Skow. BNPP kemudian menggandeng kerjasama dengan berbagai stakeholder lembaga pemerintah lainnya seperti Kementrian Pariwisata, Kementrian Luar Negeri, dan TNI/Polri. Kementrian Pariwisata kemudian mengadakan program Event Cross Border Tourism Wonderful Indonesia di Pos Skow. Program Cross Border Tourism telah dilaksanakan sebanyak enam kali selama tahun 2016. Acara ini dinilai sukses karena berhasil meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan.

Gambar 4. Event Cross Border Tourism Wonderfull Indonesia, Sumber: Dokumentasi Peneliti

Menurut Suzana Wanggai selaku Kepala Badan Pengelola Perbatasan dan Kerjasama Luar Negeri penyelenggaraan Cross Border Tourism selain untuk mennigkatkan kunjungan di perbatasan, diharapkan juga akan menggerakan perekonomian masyarakat dengan adanya kegiatan seni dan musik seperti reagee dan dangdut, mob Papua, dan tarian adat Melanesia. Sementara itu, Hans B. Menanti selaku kepala seksi pengembangan prasana dan promosi pariwisata Provinsi Papua mengatakan Cross Border Tourism Wonderfull Indonesia merupakan agenda Kementrian Pariwisata untuk meningkatkan jumlah kunjungann wisatawan di perbatasan. Berdasarkan data kunjungan wisatawan pada bulan juni-Nopember 2016 mencapai 1300-1400 orang. Kunjungan ini berkat adanya event Cross Border Tourism yang diselanggarakan di Distrik Muara Tami, Pos Perbatasan Skouw (Antara New, 2016).

5. SIMPULAN

Kebijakan pengemembangan pariwisata lintas batas di pos perbatasan Skow dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu tahapan perencanaan dan tahapan implementasi. Tahapan perencanaan terjadi pada masa pemerintahan SBY, sedangkan tahapan impelemtasi dilakukan pada masa pemerintahan Jokowi. Motivasi yang mendorong wisatawan atau pelintas batas tradisional mengujungi perbatasan dilatarbelakangi oleh motif budaya dan wisata belanja. Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) dan Pemerintah Provinsi Papua adalah aktor dominan dalam kebijakan pengembangan pariwisata

11 lintas batas. Pada akhirnya, kebijakan pengembangan pariwisata lintas batas Skow mempunyai tiga elemen penitng, yaitu kerjasama antara Indonesia – Papua New Guinea, kolaborasi stakeholder; Badan Nasional Pengelola Perbatasan, Kementrian Luar Negeri, Kementrian Pariwisata, dan TNI, serta upaya mereduksi isu politik kemerdekaan Papua.

Ucapan Terima Kasih

Ucapan terima kasih dihaturkan dengan kepada LPDP-Kementrian Keuangan dan pihak yang membantu terselsaikannya makalah ini. Terima kasih kepada LPDP yang telah mensponsori penulis melanjutkan pendidikan pada Program Pascasarjana Kajian Pariwisata Universitas Udayana. Dukungan dana LPDP juga telah membantu penulis melaksanakan perjalanan ke perbatasan Indonesia-Papua New Guinea di Disrtik Muara Tami, Kampung Skow, Propinsi Papua. Selanjutnya, penulis mengucapkan terima kasih kepada Ketua Prodi Kajian Pariwisata Prof. I Nyoman Darma Putra, M.Litt, Sekretaris Prodi Prof. Syamsul Alam Paturusi, dan Staff admin Ibu Dayu dan I Nyoman Kariana. DAFTAR PUSTAKA

Beeton, Sue. 2005. The Case Study in Tourism Research: a Multi-method Case Study. School of Tourism and Hospitality, La Trobe University, 37-47. Creswell, John W. (1998). Qualitative Inquiry and Research Design: Choosing Among Five Traditions. London: SAGE Publications Guo, Y., Kim, S. S., Timothy, D.J. & Wang, K.C. 2006. Tourism and reconciliation between Mainland China dan Taiwan. Tourism Management, 27 (5), 407-420. Jayawardena, C., White, A., & Carcmichael, B. 2008. Binational Tourism in Niagara: insights challeges and the future. International Journal of Contemporary Hospitality Management, 20 (3), 347-359. Leiper, Neil. 1990. Tourism Systems: An Interdisciplinary Perspective. Department of Management Systems, Business Studies Faculty, Massey University, Palmerston North, New Zealand. Seldjan Timur, Donald Getz, (2008) "A network perspective on managing stakeholders for sustainable urban tourism", International Journal of Contemporary Hospitality Management, Vol. 20 Iss: 4, pp.445 – 461 Soekadijo, R.G 2000. Anatomi Pariwisata: Memahami Pariwisata Sebagai Systemic Linkage. Jakarta: Gramedia Park, H. Yu. 2011. Shared national memory as intangible heritage. Annals of Tourism research, 38(2), 520-539. Perkmann, M. 2003. Cross Border regionals in Europe:significance and drivers of regional cross border co-operation. European Urban and Regional Studies, 10(2), 153-171. Timothy, D.J. 2001. Tourism and Political Boundaries. London, New York. Routledge. Timothy, D.J., & Tosun, C.D. (2003). Tourists' perceptions of the Canada-USA border as a barrier to tourism at the International Peace Garden. Tourism Management, 24(4), 411-421. Wohlmuther, Cordula & Wintersteiner, Werner.2014. International Handbook on Tourism and Peace. Centre for Peace Research and Peace Education: Klagenfurt University Press. Dokumen Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwsataaa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Jayapura Rencana Kerja Pemernitah Daerah Kota Jayapura tahun 2015

Media

Antara News, Dipar Papua Target Seribu Pengujung Cross Border Wonderfull Indonesia. Diakses melalui http://www.antarapapua.com/berita/458062/dispar-papua-target-seribu-pengunjung- cross-border-wonderful 22 November 2016.

12

KEBIJAKAN PEMERINTAH PROVINSI BALI DALAM MENGENDALIKAN AROGANSI LOCAL TOUR GUIDE DI PURA BESAKIH

Putri kusuma sanjiwani 1) W. Citra juwita sari2) Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana Email: [email protected]

Abstrak Penelitian ini berjudul "Kebijakan Pemerintah Provinsi Bali dalam Mengendalikan Arogansi Local Tour Guide di Pura Besakih“. Dilatarbelakangi oleh pengembangan Kawasan Suci Pura Besakih sebagai Dayat Tarik Wisata. Pengelola Kawasan Suci Pura Besakih pada awalnya dikelola oleh masyarakat setempat, terjadi pergesekan yang cukup kuat antara local tour guide dengan travel agent serta antara local tour guide dengan wisatawan. Keluhan demi keluhan dari wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara dan tour guide di Bali terhadap sikap local tour guide (pemandu wisata lokal) di Pura Besakih semakin meningkat. Tindak arogansi ini memberikan pencitraan buruk dan berdampak meluas pada daya tarik wisata serta usaha pariwisata lainnya yang berkembang di Kabupaten Karangasem pada umumnya serta pariwisata yang terletak di seputar wilayah Besakih pada khususnya. Adapun permasalahan yang timbul di dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk kebijakan pemerintah provinsi dalam mengatasi aksi pemboikotan yang dilakukan travel agent atas tindakan arogan local tour guide di kawasan suci Pura Besakih? Penelitian ini menggunakan penelitian empiris dan menganalisis permasalahan yang terjadi di lapangan dengan teori kewenanga, konsep kebijakan, dan asas desentralisasi. Hasil penelitian ini menunjukkan kebijakan pemerintah memberikan dampak yang sangat luas untuk pengembangan pariwisata dan mampu mengendalikan efek negatif yang sudah mengakar kuat di masyarakat untuk kelanggengan sebuah daya tarik wisata.

Kata Kunci: kebijakan pariwisata, hukum pariwisata,moratorium pariwisata

Abstract Title of this research is “Bali Provincial Government Policy in Controlling Arrogance Arrogance of Local Tour Guides at Besakih Temple”. The background of this journal is started from the development of the Pura Besakih Sacred Area as a Tourist Attraction. The management of the Pura Besakih Sacred Area was initially managed by the community. There is a strong friction between local tour guide with travel agent and between local tour guide with tourists. So many complaints from foreign tourists and local tourists and tour guides in Bali against the attitude of local tour guide in Besakih temple. The arrogance provides poorly imaging and has an impact on tourism attractions and other tourism businesses that flourish in Karangasem regency in general as well as tourism located around the Besakih region in particular. The problem in this research is how the form of policy of provincial government in overcoming the action of boycott by travel agent for arogan action of local tour guide in sacred area of Besakih Temple? This research uses empirical research and analyzes the problems that occur in the field with theories of authority, policy concepts, and decentralization principles.The results of this research indicate that government policies have a very wide impact on tourism development and are able to control the negative effects that are already deeply entrenched in society for the sustainability of a tourist attraction.

Keyword : tourism law, tourism policy, tourism moratorium

13

1. PENDAHULUAN Kabupaten Karangasem merupakan Kabupaten yang masih menjaga nilai keaslian atau autentik kebudayaan Bali, sehingga wisatawan yang berkunjung masih dapat merasakan Bali dimasa lampau. Pariwisata budaya yang mengakar kuat bersinergi dengan sangat apik antara spiritual dan konservasi. Kawasan pariwisata di pegunungan memadukan basis spiritual dengan basis budaya dan kawasan pariwisata di pesisir memadukan basis budaya dengan konservasi. Kabupaten Karangasem merupakan Hulu Pulau Bali, dikatakan demikian karena Gunung Agung dan Pura Besakih berada di Kabupaten Karangasem. Gunung merupakan tempat beristananya para dewa menurut kepercayaan agama Hindu. Pergeseran komoditi perdagangan dari industri barang menuju industri jasa di Indonesia telah membawa Pura Besakih menjadi salah satu daya tarik wisata budaya yang sangat diminati wisatawan baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Mereka memandang bahwa Pura Besakih merupakan tempat untuk melihat secara langsung dan mempelajari sejarah Pulau Bali, aktivitas agama Hindu dan kebudayaan masyarakat di Bali, serta mempelajari filsafat/filosofi masyarakat Bali seperti Sad Kertih dan Tri Hita Karana. Nilai ekonomi yang dihasilkan dari berkembangnya usaha pariwisata di Kawasan Suci Pura Besakih pada awalnya memberikan efek positif dan citra positif bagi Pura Besakih. Citra positif timbul saat pariwisata mampu bersandingan dengan Kawasan Suci tanpa mengurangi makna kesucian Pura, masyarakat menjadi semakin sejahtera dan peningkatan pendapatan untuk kehidupan. Hal ini tidak berlangsung lama, untuk beberapa tahun belakangan ini, keseimbangan tersebut mulai goyah. Pariwisata telah membawa efek negatif berupa semakin matrealistisnya masyarakat lokal. Isu pariwisata yang muncul adalah berkembangnya sikap kurang arogan dari local tour guide di kawasan suci Pura Besakih terhadap wisatawan yang datang berkunjung. Keluhan demi keluhan bermunculan dari wisatawan. Bukan hanya wisatawan mancanegara, bahkan wisatawan domestik juga mengalami perlakuan yang sama, termasuk tour guide di Bali yang mengantar wisatawan mengunjungi Kawasan Suci Pura Besakih. Pertama, local tour guide menetapkan penarikan donasi dengan tarif minimum yang cukup tinggi kepada wisatawan dan bersifat wajib untuk dapat memasuki kawasan suci Pura Besakih. Kedua, tour guide diluar local tour guide dilarang memasuki kawasan suci Pura Besakih, wisatawan yang datang harus menggunakan jasa local tour guide dengan tarif jasa yang cukup tinggi. Beberapa keluhan yang disampaikan adalah 1: 1. Wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara harus membayar Rp.15.000 per-orang untuk tiket masuk dan Rp. 5.000 untuk setiap kendaraan roda empat saat melewati pintu tiket utama. Setelah melewati pintu tiket, wisatawan harus membayar lagi sejumlah uang dengan dalil uang kebersihan oleh oknum setempat; 2. Local tour guide bersikap arogan seperti melakukan pengusiran terhadap wisatawan yang mempertanyakan kemana aliran dana uang tiket dan uang kebersihan. Local tour guide sering mengeluarkan perkataan sebagai berikut, “Kalau tidak mau memberi uang donasi untuk desa, silahkan pulang” untuk mengusir wisatawan; 3. Wisatawan mancanegara diperas sebesar Rp. 500.000 untuk bisa berkeliling di kawasan suci Pura Besakih oleh oknum local tour guide; 4. Pada bulan Februari 2016 donasi wajib untuk wisatawan nusantara adalah sebesar Rp. 200.000 dan wisatawan mancanegara sebesar US$ 50. 5. Kawasan Suci Pura Besakih pernah mendapatan aksi boikot dari travel agent di Bali karena dianggap tidak aman lagi untuk dikunjungi oleh wisatawan. Tour guide dan travel di Bali merasa gerah dengan tindakan local tour guide Kawasan Suci Pura Besakih. Mereka mencoret Pura Besakih sebagai destinasi tujuan wisatawan dari paket yang mereka tawarkan. Apabila hal seperti ini terus terjadi maka otomatis Kawasan Suci Pura Besakih akan ditinggalkan wisatawan sebagai daya tarik wisata.

Isu-isu diatas menjadi suatu permasalahan yang sangat menarik untuk dikaji. Perlu adanya social control dalam pengembangan pariwisata agar nilai – nilai kebudayaan dan spiritual tidak tergerus oleh perkembangan zaman. Adapun permasalahan yang timbul di dalam penelitian ini adalah bagaimana bentuk kebijakan pemerintah provinsi dalam mengatasi aksi pemboikotan yang dilakukan travel agent atas tindakan arogan local tour guide di kawasan suci Pura Besakih? Permasalahan tersebut dikaji dengan teori

1 http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20160310114652-269-116495/ada-pungutan-liar-di-besakih- pariwisata-bali-tercoreng/

14 kewenangan sebagai pendelegasian kewenangan Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah yaitu pendistribusian tugas pengelolaan pariwisata yang sepenuhnya dipegang oleh daerah. Teori kewenangan didukung oleh konsep kebijakan dan asas desentralisasi sebagai penguatan pemahaman tentang pentingnya Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten bekerjasama dengan baik menyelesaikan isu-isu pariwisata yang terjadi di Provinsi Bali. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk kewenangan Pemerintah Provinsi Bali dalam mengeluarkan kebijakan pariwisata sesuai dengan asas Desentralisasi dalam menyelamatkan kawasan suci Pura Besakih sebagai daya tarik wisata. Urgensi penelitian ini adalah mengkaji isu pariwisata melalui kebijakan Pemerintah Daerah agar dapat memberikan option/pilihan dalam memecahkan permasalahan di masyarakat dan menyelamatkan citra positif Kawasan Suci Pura Besakih dari oknum- oknum tidak bertanggungjawab. Menjaga kesucian Pura Besakih dari tindakan-tindakan negatif menjadi prioritas utama yang perlu segera dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat setempat.

2. METODE Jenis penelitian ini dikategorikan sebagai penelitian hukum sosiologis atau penelitian hukum empiris. Penelitian ini mengaitkan hukum dengan perilaku nyata manusia. Bahan Hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer berupa bahan yang dihasilkan melalui wawancara secara mendalam dengan informan dan bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari bahan hukum pelengkap meliputi, buku-buku literatur yang menjadi referensi terhadap tema yang diangkat. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Teknik analisis bahan hukum menggunakan dua tahapan yaitu teknik analisis dan teknik evaluasi.

3. PEMBAHASAN Gambaran Umum Kawasan Suci Pura Besakih Pura Besakih merupakan Pura yang terletak di Kaki Gunung Agung, tepatnya berada di Desa Besakih, Kecamatan , Kabupaten Karangasem, Bali dengan titik koordinat 8°20′31″LS 115°30′00″BT.

Gambar. 1 Letak Pura Besakih di Provinsi Bali

15

Gambar. 2 Sketsa Pura Besakih, Tapak Atas Pura Besakih dikalsifikasikan menjadi tiga bagian yang disebut Tritunggal, mengambil filosofi Tri Murti. Tri Murti adalah tiga dewa utama yang ada dikepercayaan agama Hindu. Pura-pura yang termasuk kedalam Tritunggal tersebut adalah : 1. Pura Penataran Agung (posisi ditengah-tengah Pura Besakih) dengan bendera berwarna putih, tempat beristananya Dewa Iswara; 2. Pura Batu Madeg (pisisi di sayap kiri Pura Besakih) dengan bendera berwarna hitam, tempat beristananya Dewa Wisnu; 3. Pura Kiduling Kreteg (posisi di sayap kanan Pura Besakih) dengan bendera berwarna merah, tempat beristananya Dewa Brahma).

Gambar. 3 Sistem Arah Kardinal dan Topografis (Sumber David J. Struart-Fox)

Kawasan Suci Pura Besakih yang termasuk kedalam Pura Sad Kahyangan memiliki aturan dalam menjaga kesucian pura tersebut dimana kawasan tempat suci disekitar Pura Sad Kahyangan dengan radius sekurang-kurangnya apeneleng agung setara dengan 5000 (lima ribu) meter dari sisi luar tembok penyengker pura (batas tembok terluar pura) ditetapkan untuk radius kesucian Pura Besakih di Kecamatan Rendang.

2. Pengelolaan Tour Guide di Kawasan Suci Pura Besakih Pengembangan dan pengelolaan Pura Besakih menjadi perhatian utama masyarakat Bali. Kawasan Suci Pura Besakih merupakan salah satu kawasan strategis Provinsi Bali. Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Karangasem No. 17 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Karangasem Tahun 2012 – 2032 menyatakan bahwa skala pelayanan Kawasan Suci Pura Besakih tidak hanya untuk Kabupaten Karangasem dan Provinsi Bali pada umumnya namun juga untuk wilayah Nasional. Batas kata kepemilikan tersebut adalah menjaga dan melestarikan Kawasan Suci Pura Besakih dan melaksanakan ritual keagamaan yaitu agama Hindu.

16

Kawasan Pura Besakih secara teknis dikelola oleh Manajemen Operasional Pengelolaan Kawasan Pura Besakih. Yang merupakan perpanjangan tangan dari Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih. Sesuai Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih mempunyai tugas; merumuskan kebijakan pengelolaan kawasan Pura Agung Besakih, membentuk, mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan Manajemen Operasional (MO) Pengelolaan kawasan Pura Agung Besakih, dan melaporkan hasil pelaksanaan kegiatan kepada Gubernur melalui Biro Kesejahteraan Rakyat Setda Provinsi Bali. MO juga melakukan pengawasan terhadap local tour guide, pada tahun 2017 tercatat jumlah seluruh local tour guide yang ada di kawasan Kawasan Suci Pura Besakih adalah 416 local tour guide, dengan katagori remaja 20% dan dewasa 80%. Remaja disini termasuk anak-anak yang masih berstatus pelajar (SMA), ataupun anak putus sekolah. Dari 416 pramuwisata yang ada dikawasan Pura Agung Besakih hanya 252 local tour guide yang memiliki lisensi dan 164 local tour guide tidak berlesensi. Pramuwisata tersebut dibagi atas tiga regu, yang terdiri atas sift pagi, sift siang dan sift sore. Local tour guide memiliki standar operasional prosedur (SOP) yang menjadi acuan dasar bagi mereka, tidak ada lagi local tour guide yang melakukan pemerasan terhadap wisatawan seperti yang dahulu terjadi. Karena dapat memberikan dampak yang sangat negative terhadap angka kunjungan wisatawan ke Pura Besakih. Bahkan insiden tersebut sempat meciptakan image buruk dimata wisatawan dan masyarakat umum. Berikut merupakan SOP yang dijalankan oleh pramuwisata Pura Besakih. 1. Mengetahui sejarah dan tata ruang Pura Besakih 2. Menguasai bahasa nasional dan bahasa asing, terutama bahasa Inggris 3. Menggunakan pakaian adat yang sopan 4. Selalu menjaga nama baik Pura Besakih 5. Selalu menjaga kesucian Pura Besakih 6. Tidak mengenakan tariff kepada wisatwan diluar harga tiket masuk kecuali wisatawan memberikan uang tip secara sukarela Apapila ditemukan pramuwisata yang melanggar aturan akan dikenakan sanksi, adapun sanksi yang berlaku bagi para pramuwisata antara lain: a.Teguran/Peringatan b. Skorsing c. Pemecatan Jam operasional pramuwisata Pura Besakih yaitu menyesuaikan dengan jam operasional MO yaitu 12 jam setiap harinya, dari jam 07.00 sampai jam 17.00 dari hari seni sampai minggu.

Gambar. 4 Struktur Organisasi Badan Pengelola Kawasan Pura Besakih

3. Arogansi Local Guide (Pramuwisata Lokal) di Kawasan Suci Pura Besakih Daya tarik wisata pura-pura di Bali merupakan daya tarik wisata budaya yang banyak menarik perhatian wisatawan. Kawasan Suci Pura Besakih diarahkan untuk menjadi bagian dalam Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010 - 2025. Kawasan Suci Pura Besakih berada dibawah kewenangan Pemerintah Provinsi Bali. Penetapan tersebut masih

17 menjadi polemik di masyarakat dan Pemerintah Daerah, kekhawatiran Kawasan Suci yang dapat berlih fungsi pun semakin membuat resah. Isu sikap local tour guide sudah santer terdengar semenjak tahun 2012 hingga sampai saat ini. Berawal dari segelintir oknum yang bertindak arogan, menjadi meluas dan rata-rata para local tour guide melakukan praktik yang sama. Wisatawan asing memegang jumlah keluhan yang paling tinggi terhadap perlakuan local tour giude di Kawasan Suci Pura Besakih. Keluhan wisatawan sudah sampai ke dunia internasional melalui report online, review online, dan berita-berita media online (media yang khusus mengulas tentang daya tarik wisata atau perjalanan wisata). Keluhan juga diutarakan pada pelaku usaha pariwisata baik di daerah yang berdekatan dengan Kawasan Suci Pura Besakih maupun diluar Kawasan Suci Pura Besakih. Bentuk-bentuk keluhan yang diutarakan wisatawan diantaranya : 1. Pemaksaan jumah donasi yang ditetapkan sebesar USD 250; 2. Perbedaan harga tiket masuk, antara IDR. 15.000 – 30.000 bagi wisatawan mancanegara tanpa ada patokan kriteria; 3. Pembelian tiket masuk tidak termasuk parkir, penyewaan sarung dan jasa pemandu wisata; 4. Pemaksaan menggunakan jasa local tour giude bagi wisatawan yang masuk tanpa pemandu; 5. Pelarangan guide luar untuk masuk ke areal Pura Besakih; 6. Wisatawan eropa sebagian besar dikenakan charges 10 EURO untuk jasa guide yang dinegosiasikan secara personal oleh local tour giud. Banyak wisatawan yang sedih bahkan menangis sesampainya di usaha pariwisata berikutnya seperti rafting dan restaurant yang dekat dengan Pura Besakih. Sebagian pengusaha mengutarakan bahwa wisatawan kehabisan uang saat berkunjung ke Pura Besakih dan kejadian tersebut diluar ekspektasi atau harapan mereka. Dampak yang dapat terjadi apabila tindakan arogansi local tour guide masih terjadi di lapangan adalah :  Kawasan Suci Pura Besakih akan ditinggalkan sebagai Daya Tarik Wisata oleh wisatawan dan memasuki siklus decline pariwisata  Citra negatif akan menyebabkan Kawasan Suci Pura Besakih mengalami krisis kepercayaan dari sektor pariwisata 4. Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Menyelesaikan Permasalahan Local Tour Guide di Kawasan Suci Pura Besakih sebagai Daya Tarik Wisata Pemerintah Provinsi Bali memegang kewenangan delegasi dari Pemerintah Pusat dalam mengurus rumah tangga pemerintahan khususnya dalam pengembangan sektor kepariwisataan daerah melalui Dinas Pariwisata Provinsi Bali. Asas desentralisasi telah memberikan peluang bagi Pemerintah Provinsi Bali untuk merencanakan pengembangan pariwisata di Kawasan-Kawasan Strategis Pariwisata yang berada di bawah kewenangannya yang terdiri dari kawasan radius kesucian Pura Sad Kahyangan dan kawasan warisan budaya. Kawasan Suci Pura Besakih merupakan bagian dari Sad Kahyangan dan otomatis merupakan bagian dari Kawasan Strategis Pariwisata dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 - 2029. Pengelolaan, pengawasan dan perlindungan Kawasan Strategis Pariwisata merupakan kewajiban dari Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten sebagai Pemerintah Daerah. Pemerintah Provinsi Bali mengeluarkan kebijakan berupa Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 tentang Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih untuk menghadapi carut marutnya pariwisata di kawasan suci tersebut tetapi sampai saat ini berlum berhasil menekan arogansi local tour guide di Kawasan Suci Pura Besakih. Kebijakan pemerintah untuk sektor pariwisata harus memenuhi pembangunan empat pilar kepariwisataan sesuai dengan arahan Rencana Pembangunan Induk Pariwisata Daerah Provinsi Bali atau yang dikenal dengan RIPPARDA Provinsi Bali. Kebijakan pembangunan pariwisata adalah pembangunan empat pilar pariwisata yaitu terdiri dari: 1. Pembangunan destinasi pariwisata 2. Pembangunan pemasaran pariwisata 3. Pembangunan industri pariwisata 4. Pembangunan kelembagaan pariwisata Empat pilar pariwisata merupakan pedoman pembangunan kepariwisataan yang dicanangkan untuk seluruh destinasi pariwisata yang ada di Provinsi Bali. Usaha pemerintah dalam mengeluarkan

18

Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih adalah untuk : 1. Menghentikan pelaku industri pariwisata yaitu local tour guide yang seluruh anggotanya adalah masyarakat lokal untuk melakukan tindakan arogansi (berhubungan erat dengan pembangunan industri pariwisata); 2. Menekan citra negatif dan mengembalikan citra positif Kawasan Suci Pura Besakih untuk memulihkan krisis wisatawan (berhubungan erat dengan pembangunan pemasaran pariwisata); 3. Mengembalikan rasa aman dan nyaman serta kepercayaan wisatawan terhadap daya tarik wisata Pura Besakih (berhubungan erat dengan pembangunan destinasi pariwisata); 4. Manajemen Oprasional (MO) menjadi garda terdepan dalam pengelolaan Pura Besakih agar dapat membenahi manajemen Pura Besakih, dimana sebelumnya kurang terorganisir dengan baik (berhubungan erat dengan kelembagaan pariwisata). Banyak faktor yang telah membuat pengusaha usaha pariwisata di sekitar Pura Besakih, masyarakat di lingkaran terdekat Desa Besakih, wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara, serta pemerhati dan pelaku pariwisata lainnya yang memiliki hubungan erat atau melaksanakan kegiatan pariwisata di Kawasan Suci Pura Besakih merasa resah dan putus asa. Bentuk-bentuk keresahan tersebut antara lain : 1. Keluhan wisatawan sebagian besar ditumpahkan kepada usaha pariwisata lainnya yang berada dekat dengan Desa Besakih (masih dalam lingkup Kecamatan Rendang) seperti usaha jasa makanan dan minuman, usaha wisata tirta (rafting), usaha penyediaan akomodasi (homestay), daya tarik wisata dan lain-lain. Pemerasan yang dilakukan local tour guide telah membuat wisatawan kehabisan uang tunai saat sedang melakukan perjalan wisata. Kekecewaan wisatawan ditampung dengan baik oleh pengusaha usaha pariwisata. Pengusaha usaha pariwisata harus bersusah payah menunjukkan hospitalitas yang baik kepada wisatawan serta harga yang menarik agar dapat menutup citra negatif Kawasan Suci Pura Besakih. Mereka merasa pendapatan mereka lambat laun mengalami penurunan seiring dengan menurunnya jumlah kunjungan wisatawan di Kawasan Suci Pura Besakih; 2. Tindakan pemerasan local tour guide yang dinilai sebagai tindakan arogan oleh wisatawan tidak dapat dikendalikan, begitu juga tentang pembayaran retribusi dan yang cukup banyak jumlahnya dan dipungut disetiap tempat. Manajemen Operasional Pura Besakih yang seharusnya memiliki kewenangan penuh terhadap penanggulangan pemerasan tersebut menjadi nampak bermain kucing-kucingan dengan oknum local tour guide. Sampai saat ini masih belum dapat diatasi dengan baik sehingga masih saja terjadi kecolongan terhadap tindakan pemerasan; 3. Masyarakat di desa-desa lainnya yang masih berada dalam satu kawasan Kecamatan Rendang selalu berusaha untuk mengajak para elit dan pemuka adat Desa Besakih untuk duduk bersama. Mereka mencoba mencari solusi atas isu-isu negatif pariwisata, tetapi hasilnya nihil. Focus Group Disscussion (FGD) pada Tahun 2016 tentang Rancangan RIPPARDA Kabupaten Karangasem yang diadakan di Restaurant Maha Giri, Rendang juga mengundang para pemuka adat, pengelola Pura besakih (sebelum ditetapkannya Majamenen Operasional Pura Besakih) dan elit Desa Besakih, tetapi hasilnya pun nihil. Tidak ada satu undangan pun dari Besakih yang datang untuk hadir dalam FGD tersebut; 4. Pengusaha pariwisata di kawasan pesisir, khususnya Candi Dasa, Tulamben dan Amed merasa sangat khawatir dengan isu-isu negatif serta citra negatif Kawasan Suci Pura Besakih. Dampak dari hal-hal tersebut telah membuat wisatawan tidak melakukan kunjungan lagi (repeater) ke Kabupaten Karangasem; 5. Masyarakat di Desa-Desa Wisata yang terdapat di Kabupaten Karangasem turut resah karena daya tarik wisata utama Kabupaten Karangasem adalah sebagai simbol utama dari daya tarik wisata lainnya. Sebuah simbol akan memberikan pencitraan pertama atau kesan pertama yang sangat penting untuk menumbuhkan rasa dan keinginan untuk mengeksplorasi Kabupaten Karangasem. Apabila sebuah daya tarik wisata sedang mengalami kejenuhan, krisis atau ketidakmampuan melakukan peremajaan management pengelolaan maka sesuai siklus perkembangan pariwisata, fase tersebut merupakan fase stagnasi (stagnation).

19

Gambar. 5 Siklus Pariwisata Menurut Buttler Pilihan dalam kelanjutan masa stagnasi dapat berupa : 1. Rejuvination (Peremajaan) Menggali potensi baru atau mengembangkan produk baru dari sebuah daya tarik wisata untuk menghindari krisis. Membenahi sumber daya manusia, sumber daya budaya, sumber daya alam sebagai daya dukung utama sebuah daya tarik wisata. 2. Decline (Menurun) Penurunan kunjungan wisatawan secara bertahap dan pada akhirnya sebuah daya tarik wisata akan ditinggalkan oleh wisatawan, usaha pariwisata dan investor. Daya tarik wisata tersebut tidak mampu untuk bangkit dan industri pariwisata yang telah berkembang secara spontan mengalami swicht off mode. Fase Rejuvination (Peremajaan) yang dapat dilakukan untuk memberi efek jera pada local tour guide adalah melakukan moratorium Kawasan Suci Pura Besakih sebagai daya tarik wisata. Moratorium merupakan penangguhan, penundaan atau penghentian suatu kegiatan tertentu dalam periode waktu yang telah ditentukan. Ketika sebuah kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah memberikan hasil yang tidak sesuai dengan apa yang diharapkan maka dapat dilaksanakan kebijakan moratorium. Pada masa moratorium, Pemerintah Daerah dapat melakukan evaluasi kebijakan, seperti mengapa kebijakan tersebut tidak sesuai dengan harapan? Atau mengapa kebijakan tersebut menyimpang jauh dan tidak sesuai dengan sasaran utama. Moratorium Kawasan Suci Pura Besakih merupakan jalan terbaik untuk dapat menekan isu-isu negatif dan citra negatif yang selama ini selalu menghantui Kawasan Suci Pura Besakih dan berdampak meluas pada kawasan pariwisata dan daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Karangasem. Moratorium yang dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu diharapkan dapat memberikan perubahan berupa : 1. Penataan dan pengedukasian Sumber Daya Manusia (SDM) khususnya pengelola dari masyarakat Desa Besakih dan local tour guide untuk memperbaiki pola pikir dan pemahaman mereka tentang pentingnya citra positif pariwisata dan pembangunan destinasi pariwisata untuk pariwisata berkelanjutan; 2. Setiap local tour guide yang ingin menjadi tour guide di Kawasan Suci Pura Besakih haruslah memiliki sertifikat sebagai pemandu wisata / tour guide dari pelatihan yang bersertifikasi agar dapat menjamin etika dan profesionalitas tour guide dalam memandu wisatawan; 3. Pembenahan pengelolaan ticket dan retribusi satu pintu untuk dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan dan menghentikan tindakan pungli/pemerasan yang dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggungjawab; 4. Memberikan batasan-batasan dan pengelolaan satu pintu bagi donasi yang diberikan oleh wisatawan. Pemberian donasi tidak dipaksakan atau bersifat tidak wajib untuk menghindari pungli/pemerasan. Pemberian donasi yang bersifat tidak wajib atau suka rela tersebut dicantumkan pada sebuah pengumuman yang dapat dibaca oleh wisatawan dan dibuatkan peraturan yang sah oleh pihak MO Pura Besakih; Untuk dapat merealisasikan perubahan memerlukan waktu yang cukup lama karena merubah pola pikir sumber daya manusia jauh lebih berat dibandingkan hanya merubah sebuah struktur

20 bangunan atau merubah penataan suatu eksterior kawasan. Adanya evaluasi terus – menerus dari pihak Pemerintah Daerah Provinsi Bali dan pembuatan perencanaan management yang lebih baik lagi akan memerlukan kajian yang lebih mendalam dari sebelumnya karena permasalahan yang dihadapi Pemerintah Daerah Provinsi adalah permasalahan yang sudah mengakar kuat di Kawasan Suci Pura Besakih.

4. KESIMPULAN Suatu permasalahan yang terus- menerus terjadi dan sulit untuk diselesaikan dalam sebuah daya tarik wisata yang menjadi salah satu icon daerah akan memberikan dampak buruk baik pada internal daya tarik wisata atau eksternal daya tarik wisata. Penting untuk dipahami bahwa moratorium yang ditawarkan pada Kawasan Suci Pura Besakih bukanlah menghentikan Kawasan Suci Pura Besakih sebagai daya tarik wisata tetapi membekukan sementara Kawasan Suci Pura Besakih dari kegiatan pariwisata. Hal tersebut dilakukan untuk melakukan evaluasi lebih mendalam dimana Pemerintah Daerah dan masyarakat harus memiliki komitmen, visi, misi dan tujuan yang searah untuk pembangunan pariwisata dan pariwisata berkelanjutan di Kawasan Suci Pura Besakih. Apabila Pemerintah daerah berjibaku sendirian dalam memperjuangkan Kawasan Suci Pura Besakih untuk tetap eksis di kancah pariwisata Bali tanpa didukung oleh masyarakat yang aware akan keberlangsungan pariwisata Kawasan Suci Pura Besakih maka usaha Pemerintah Daerah akan sia-sia saja seperti apa yang dialami saat ini. Perlu adanya moratorium untuk dapat membangun kembali sumber daya manusia dan sistem kelola satu pintu sebagai sasaran utama melepas krisis Kawasan Suci Pura Besakih. Keamanan, kenyamanan dan kepercayaan wisatawan sangatlah penting untuk didapat dan dipelihara agar wisatawan baik wisatawan nusantara dan wisatawan mancanegara tetap datang berkunjung atau melakukan perjalanan repeater ke Kawasan Suci Pura Besakih. Pemerintah Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten Karangasem harus dapat meyakinkan masyarakat bahwa Kawasan Suci Pura Besakih sebagai hulu Pulau Bali harus menjadi contoh yang baik agar dapat memberikan kesan pertama bagi wisatawan bahwa Bali adalah sebuah pulau yang mampu menggabungkan basis spiritual dengan basis budaya sebagai sebuah nilai keunikan. Hal-hal tersebut tercermin pada kegiatan keagaaman, adat- istiadat, serta perilaku atau pola hidup dan tingkah laku masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA David J. Stuart Fox. 2010. Pura Besakih (Pura, Agama dan Masyarakat Bali). Pustaka Larasan, . Soerjono Soekanto. 1982. Kesadaran Hukum dan Kepatuhan Hukum. Rajawali, Jakarta Suherman Toha. 2011. Penelitian Hukum Eksistensi Hukum Adat dalam Pelaksanaan Pemerintah Desa (Studu Empiric di Bali). Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI. Budi Winarno. 2002. Teori dan Proses Kebijakan Publik. Media Pressindo,Yogyakarta. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali Tahun 2015-2029. Keputusan Gubernur Bali Nomor 1868/01-E/ HK/2016 tentang Badan Pengelola Kawasan Pura Agung Besakih.

21

DAMPAK PEMBANGUNAN HOTEL BERKONSEP CITY HOTEL DI SUNSET ROAD KUTA BALI

Komang Ratih Tunjungsari1, Komang Shanty Muni Parwati2, I Made Trisna Semara3 Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional, Jl. Kecak 12, Denpasar, 80239123 Email: [email protected]

Abstrak

Perkembangan akomodasi perhotelan yang dibangun untuk mendukung peningkatan pariwisata di daerah Bali awalnya hanya terfokus pada daerah kawasan pariwisata, umumnya di daerah pantai. Seiring dengan perkembangan pembangunan fasilitias pariwisata, utamanya akomodasi pariwisata ke daerah lain yang dekat dengan kawasan pariwisata, seperti daerah komersil di jalan Sunset Road Kuta Bali, juga mulai dikembangkan pembangunan akomodasi pariwisata. Setiap tahun perkembangan pembangunan akomodasi pariwisata tersebut berkembang pesat dan mencapai hingga 50an hotel hingga tahun ini. Pembangunan perkembangunan hotel tersebut disesuaikan dengan kawasan komersil, sehingga dibangunlah konsep city hotel dengan konosep bisnis di dalam pengelolaan maupun perancangannya. Setiap pembangunan pasti memiliki dampak positif dan dampak negatif dari pembangunan tersebut yang kemudian memberikan tujuan untuk penelitian ini. 1) Mengidentifikasi perkembangan pembangunan hotel berkonsep city hotel, 2) Mengidentifikasi dampak pembangunan hotel berkonsep city hotel. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif melalui studi literatur, observasi dan wawancara. Metode kualitatif juga digunakan karena objek yang diteliti adalah objek yang bersifat dinamis dan tidak dapat dilihat secara parsial. Sehingga melalui metode kualitatif dapat melihat hasil konstruksi pemikiran yang menyeluruh dan interpretatif terhadap gejala yang diamati karena nantinya akan berhubungan satu sama lain. Hasil penelitian yang didapatkan adalah teridentifikasinya perkembangan pembangunan hotel berkonsep city hotel di Sunset Road Kuta Bali serta teridentifikasinya dampak pembangunan hotel berkonsep city hotel di Sunset Road Kuta Bali dilihat dari ekonomi, sosial budaya dan lingkungan masyarakat. Hasil ini kemudian akan direkomendasikan kepada pemerintah setempat dalam mengambil kebijakan terkait dengan isu pariwisata tersebut.

Kata Kunci: dampak pembangunan, persepsi, city hotel

Abstract

Tourism in Bali is flourishing and so is the facilities, namely the accommodation such as hotel, villa, bungalows, losmen and others supporting facilities start to be build rapidly in almost of tourism area in Bali. Nowadays the accommodation are also spread near the commercial area, not only in the attraction area as in the previous time. For example, the distribution of hotel today is not only in the beach area of Kuta, but also into the main bypass road, Sunset Road Kuta. In addition, the number of growth of city hotel concepted in that area increase annually. The type of hotel developped in Sunset Road mostly city hotel since the need of the traveler nowadays regarding the price, place, product and promotion. While the number of the city hotel reached about 50ish, the business hotel managed and designated as business hotel. In accordance to that, the phenomenon also bring the possitive and negative effects toward economy, social culture and community environment. This reasearch aims to identify the development of city hotel concepted in Sunset Road area in Kuta Bali and to identify the effects toward economy, social culture, and community environment regarding the development of city hotel in Sunset Road Kuta Bali. Methodology of qualitative is used in this research in order to fulfil the holistic construction thoughts and to observe the situation of the research in a whole since the object is real and not partially viewed. The result of this research shows 1) The growth of development of built up city hotel in Sunset Road Kuta identified, 2) Effect of development of city hotel in Sunset Road, Kuta, Bali specifically in the sight of economy, social culture, and community environment are identified. Hence, there are some reccommendations that could be delivered to the

22 government related to the tourism issue and giving solution to accommodation that are local community environment friendly. keywords: development effect, perception, city hotel

1. PENDAHULUAN

Melalui seni budaya yang menarik, keindahan alam yang luar biasa membuat Bali menjadi menaruh pilar ekonominya di sektor pariwisata sebagai salah satu sektor pariwisata unggulan. Sektor pariwisata menjadi salah satu sektor unggulan untuk pembangunan perekonomian daerah. Selain itu potensi kekayaan alam dan budaya juga mendukung pembangunan pariwisata berkelanjutan. Hal-hal tersebut menjadikan Bali sebagai salah satu destinasi favorit dan bahkan paling populer di Indonesia. Pernyataan tersebut didukung oleh Menteri Pariwisata Arief Yahya yang mengatakan bahwa Bali adalah destinasi yang sudah punya pamor di peta pariwisata dunia. Sehingga Bali sangat layak untuk dijadikan ikon pariwisata Indonesia. Meskipun pasang surut pariwisata di Bali juga terjadi akibat situasi dalam negeri yang kondusif saat itu, terutama pada tahun 2002 saat terjadinya Bom Bali I dan kemudian disusul Bom Bali II pada tahun 2005. Dampak peristiwa tersebut sangat terasa di berbagai sektor perekonomian di Bali yang menurun drastis karena Bali bergantung pada sektor pariwisata baik mengandalkan wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara. Tragedi Bom Bali I dan Bom Bali II ataupun keadaan luar biasa di Indonesia sempat beberapa kali mengundang travel warning dari berbagai negara sehingga kondisi kedatangan wisatawan pada saat itu menurun. Akan tetapi kondisi tersebut tidak berlangsung lama karena pemerintah bersama masyarakat melakukan berbagai program pemulihan agar kondisi pariwisata Bali kembali normal. Hasilnya industri pariwisata Bali mengalami tingkat pertumbuhan secara segnifikan. Data Dinas Pariwisata Provinsi Bali menunjukan, tahun 2016 jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisama) ke Bali mencapai 4.927.937 kunjungan atau naik 23,14 persen dibandingkan jumlah kunjungan wisma pada tahun sebelumnya. Kenaikan jumlah kunjungan wisatawan baik mancanegara maupun domestik ke Bali juga diiringi dengan bertambahnya jumlah fasilitas pendukung pariwisata serta penyediaan akomodasi untuk wisatawan. Akomodasi seperti hotel, villa, losmen, bungalow; serta fasilitas pendukung pariwisata lainnya seperti restoran, cafe, souvenir shop, dan lain-lain tumbuh dan berkembang dengan cepat di daerah wisata seperti Kuta dan bahkan memunculkan daerah untuk pembangunan akomodasi baru seperti Canggu dan Seminyak. Hal ini juga didorong karena adanya potensi bisnis yang menarik banyak investor untuk menanamkan modal di industri pariwsiata. Pada awal mulanya, perkembangan pembangunan akomodasi seperti hotel dan fasilitas pendukung pariwisata hanya terfokus pada kawasan pariwisata yang berdekatan dengan atraksi wisata seperti di daerah Kuta, Nusa Dua, dan Sanur yang kebanyakan pembangunananya mengarah ke arah pantai. Namun, perkembangannya mulai menyebar di berbagai daerah lain, tidak terkecuali pada kawasan komersil dekat dengan akses jalan seperti ruas jalan Sunset Road Kuta Bali. Konsep pembangunananya pun tidak lagi mengarah kepada resort hotel melainkan ke arah konsep pembangunan city hotel (hotel kota). Pembangunan city hotel (hotel kota) di ruas jalan Sunset Road Kuta Bali pada tahun 2016 mengalami peningkatan yang sangat pesat. Rata-rata dalam jarak 100 meter di ruas jalan Sunset Road Kuta Bali terbangun hotel-hotel yang mengusung konsep pembangunan city hotel. Menurut Rutes and Partners (1985) City Hotel merupakan hotel yang terletak di bagian kota dengan karakteristik kegiatan perdagangan. Sehingga disediakan fasilitas-fasilitas pusat busana, bisnis, restoran, bar, konferansi, pusat kebugaran dan sebagainya. Menurut Neufert (1987: 211) City hotel atau hotel kota biasanya termasuk hotel mewah, hotel kepariwisataan. Karakteristiknya antara lain tingginya perbandingan pemakaian ruang-ruang, keteraturan pemanfaatan ruang-ruang yang disediakan, sehingga dalam pengembangannya memungkinkan keberhasilan hotel tersebut. Menurut Marlina (2008:60) City Hotel adalah hotel yang terletak di pusat kota biasanya ditujukan untuk pebisnis atau dinas. Letak hotel tidak selalu berada di tengah kota namun ada juga menyebar di seluruh bagian kota yang dekat dengan sentral bisnis ataupun pusat pemerintahan. Daya tarik utama hotel ini selain karena fasilitasnya yang lengkap untuk melakukan usaha dan kegiatan komersial, juga karena lokasi yang strategis dan harga sewa kamarnya yang murah.

23

Setiap pembangunan akomodasi pariwisata tentu membawa dampak baik positif maupun negatif. Termasuk dengan pembangunan sejumlah hotel di ruas jalan Sunset Road Kuta Bali yang memberikan kontribusi secara ekonomi terhadap masyarakat sekitar, namun juga memberikan beberapa dampak negatif yang kemudian mempengaruhi persaingan harga hotel khususnya city hotel di Bali. Selain tambahan kepada jumlah fasilitas akomodasi, namun juga berdampak terhadap penurunan dari segi kualitas pelayanan yang diberikan kepada wisatawan mengingat persaingan harga sewa kamar yang relatif cukup ketat di daerah tersrebut. Fenomena demikian kemudian perlahan dapat mengarahkan Bali sebagai suatu destinasi yang murah sehingga yang muncul adalah wisatawan massal atau mass tourism bukan sebagai wisatawan yang berkualitas atau quality tourism. Selain itu, pembangunan fasilitas pariwisata seperti city hotel ini persebarannya tidak merata sehingga pertumbuhan jumlah akomodasi pariwisata juga meningkat meskipun tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan karena kualitas wisatawan yang datang dari tingkat menengah hingga ke bawah. Tidak terkendalinya pembangunan fasilitas pariwisata ini rentan menyebabkan pembangunan yang serat akan pelanggaran-pelanggaran sehingga menimbulkan kekhawatiran dari masyarakat. Hal ini tentu dilihat masyarakat sebagai dampak negatif karena pembangunan yang tidak terkendali tersebut dapat menyebabkan kemacetan lalu lintas, polusi air, tanah dan udara, keterbatasan sumber daya (misalnya air) karena terus digerus, berkurangnya lahan produktif untuk pertanian, hilangnya area-area resapan air hujan karena terus dibangun dan lambat laun akan mempengaruhi turunnya mutu lingkungan hidup. Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka penulis merumuskan beberapa permasalahan dari hasil studi sebelumnya yakni 1) Bagaimana perkembangan pembangunan hotel berkonsep City Hotel di Sunset Road Kuta dan 2) Bagaimana dampak pembangunan hotel berkonsep City Hotel di Sunset Road Kuta. Seperti pada pemaparan sebelumnya, terdapat beberapa urgensi di dalam penelitian ini yaitu tingkat perkembangan pembangunan hotel berkonsep city hotel di Sunset Road Kuta Bali tidak terkontrol, pembanguan hotel berkonsep city hotel berdampak negatif terhadap ekonomi, sosial budaya dan lingkungan masyarakat Kuta.

2. METODE PENELITIAN Pendekatan penelitian secara kualitatif digunakan untuk melakukan metode penelitian ini karena objek yang diteliti merupakan suatu realita yang tidak dapat dilihat secara parsial, harus dilihat secara menyeluruh (holistik), dengan objek yang bersifat dinamis, hasil konstruksi pemikiran dan interpretasi terhadap gejala yang diamati harus secara utuh dan menyeluruh. Selain itu, karena semua komponen yang ada dalam rangkaian penelitian tersebut saling terhubung satu sama lain (Sugiyono, 2010:10) maka penulis menggunakan metode penelitian kualitatif untuk dapat menjawab rumusan masalah pada sebelumnya. Penelitian ini digunakan untuk melihat urgensi dari pembangunan city ohtel di sepanjang jalan Sunset Road Kuta serta menggali persepsi masyarakat Kuta mengenai dampak dari pembangunan Hotel berkonsep City Hotel dengan melakukan pengamatan, wawancara dan dokumentasi. Jenis data yang dicari adalah data kualitatif dan kuantitatif. Yang dimaksud dengan data kualitatif adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kata, kalimat dan gambar. Ada dua jenis sumber data yaitu sumber data yang bersifat primer dan sekunder. Data primer adalah informasi yang diperoleh dari sumber-sumber primer yakni yang asli, informasi dari tangan pertama atau responden (Wardiyanta, 2006:28). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan alat (instrumen) berupa alat-alat tulis, alat rekam, kamera digital, dan buku catatan. Penggunaan metode wawancara juga didahului dengan penyusunan pedoman wawancara dengan mengacu pada penelitian yang dilakukan untuk mendapatkan informasi yang ingin didapatkan. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Deskriptif Kualitatif dengan melalui beberapa proses seperti verifikasi data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Perkembangan Hotel di Kabupaten Badung Bali menjadi salah satu tempat tujuan wisata favorit di dunia terbukti dari kenaikan angka wisatawan mancanegara pada bulan juli tahun 2017 ini mencapai 24,46 persen (CNN, 2017). Tidak hanya untuk wisatawan mancanegara, tetapi juga untuk wisatawan nusantara, pulau dewata menjadi

24 destinasi pariwisata favorit di Indonesia. Setiap tahun, banyak wisatawan baik domestik maupun mancanegara yang berkunjung guna menikmati keindahan pulau dewata ini. Sebagai salah satu Kota dengan letak wilayah yang tepat berada di tengah Pulau Bali, Kabupaten Badung biasanya pasti tidak luput menjadi destinasi andalan bagi para wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Selain karena menjadi pintu masuk dari pariwisata di Bali namun juga memiliki banyak pantai indah yang menjadi andalan untuk dikunjungi. Kondisi ini menjadikan sektor pariwsata di Badung berkembang sangat pesat dan menjadi leading sector bagi perekonomian Bali secara keseluruhan. Akomodasi pariwisata di Badung meningkat pesat seiring dengan kenaikan jumlah wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara yang datang ke Bali. Setiap tahun jumlah akomodasi pariwisata di Badung seperti hotel mengalami peningkatan. Pada tahun 2015 di Badung terdapat 651 hotel yang dapat diklasifikasi menjadi berbintang sebanyak 168 hotel dan 483 hotel non bintang. Kecamatan Kuta merupakan kawasan yang memiliki jumlah sarana jasa akomodasi yang terbanyak yakni dengan 409 hotel (104 hotel berbintang dan 305 hotel non bintang). Hal ini dikarenakan Kuta merupakan kawasan wisata yang sangat terkenal di seluruh dunia. Pertumbuhan akomodasi pariwisata tersebut juga tidak dapat dipungkiri karena letak bandara internasional I Gusti Ngurah Rai juga di kabupaten Badung. Peningkatan jumlah wisatawan juga memberi dampak peningkatan terhadap akomodasi pariwisata yang terdiri dari Hotel Bintang, Hotel Non-Bintang dan pondok wisata. Meningkatnya jumlah wisatawan tentu mempengaruhi tingkat hunian kamar hotel di Badung. Persentase tingkat penghunian kamar di Badung pada tahun 2015 untuk hotel berbintang sebesar 62.33 persen, sedangkan untuk hotel non bintang, persentase tingkat penghunian kamar hanya 43.73 persen. Hal ini menunjukan bahwa tingkat penghunian kamar hotel berbintang di kabupaten Badung lebih tinggi dibandingkan dengan hotel non bintang. Fenomena ini apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya mengalami kemiripan. Data yang didapatkan penulis mengenai rata-rata lama tamu menginap di hotel berbintang untuk wisatawan mancanegara di kabupaten Badung pada tahun 2015 mencapai 3,12 hari. Sedangkan pada akomodasi pariwisata non bintang di kabupaten Badung, rata-rata lama tamu menginap untuk wisatawan mancanegara adalah 3,84 hari. Jika dilihat dari rata-rata lama menginap tamu pada hotel berbintang dan non bintang, maka rata-rata lama menginap tamu pada hotel non bintang di kabupaten Badung ternyata lebih lama dibandingkan dengan hotel bintang. Sementara itu rata-rata lama tamu menginap untuk wisatawan nusantara (tamu domestik) pada tahun 2015 di hotel berbintang hanya 2.7 hari. Angka ini lebih singkat dibandingkan dengan rata-rata lama tamu domestik menginap di hotel non bintang yang mencapai 3.97 hari. Sebagai wilayah tujuan pariwisata, Kecamatan Kuta terdapat banyak fasilitas akomodasi karena juga letak wilayahnya dekat dengan bandara internasional. Pariwisata memiliki peran yang sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat Kuta, bahkan Kuta sudah menjadi ikon kepariwisataan di Kabupaten Badung terutama Pantai Kuta yang sudah sangat terkenal di seluruh dunia. Wisata alam inilah yang menjadi daya tarik utama di Kecamatan Kuta selain wisata lainnya yang ada. Selain pantai, saat ini rumah makan sebagai penyedia jasa makanan juga ramai dikunjungi oleh wisatawan serta adanya pusat perbelanjaan menjadikan wilayah Kuta menarik di mata wisatawan mancanegara maupun wisatawan nusantara. Pantai Kuta banyak dikunjungi wisatawan setiap tahunnya baik wisatawan asing maupun lokal. Sebanyak 36.75 persen hotel berbintang berada di kelurahan Legian, sementara di kelurahan Kuta 30.77 persen, untuk hotel non bintang terbanyak ada di kelurahan Kuta 47.69 persen kemudian kelurahan Seminyak 25.38 persen dan kelurahan Legian 23.46 persen sisanya ada di kelurahan Tuban dan Kedonganan. Dari jumlah hotel keseluruhan tenaga kerja yang terserap mencapai 17,195 orang berdasarkan Statistik Kecamatan Kuta 2016.

B. Perkembangan City Hotel Saat ini jenis-jenis akomodasi pariwisata telah berkembang sesuai dengan kebutuhan para wisatawan dan permintaan. Saat ini karena urusan dinas dan bisnis menjadi kegiatan yang lumrah di luar kota, sehingga muncullah banyak jenis city hotel untuk mengakomodasi tamu-tamu yang bepergian dengan tujuan dinas atau bisnis. City hotel biasanya terletak di pusat kota, dan juga menyebar di seluruh bagian kota. Oleh karena konsumen sasarannya adalah tamu pebisnis atau urusan dinas, lokasi yang dipilih sangat dekat dngan kantor-kantor, kampus atau area bisnis yang terdapat di kota tersebut. Jika dilihat dari tuntutan tamu yang datang untuk urusan bisnis, biasanya akan

25 berperilaku efisien dan menyediakan kebutuhan dari tamu tersebut yang utama. Demikian juga halnya dengan tamu yang bertujuan untuk urusan dinas. Namun, seperti halnya terdapat business hotel, fasilitas-fasilitas rekreasi standar (kolam renang, restoran, dan lain-lain) sebaiknya tetap disediakan. Oleh karena letaknya di daerah perkotaan, city hotel juga sering menjadi sasaran tamu yang bertujuan berwisata pada kota-kota dengan daya tarik wisata karena efisiensi fasilitas yang ditawarkan. Untuk hotel-hotel seperti ini, kelengkapan fasilitas kadang-kadang bukan pertimbangan utama daya tarik kunjungan, melainkan jarak hotel dengan pusat-pusat kota, atau obyek kunjungan wisata di kota tersebut. Jarak tempuh yang pendek dari pusat kota serta harga kamar yang relatif murah merupakan salah satu daya tarik utama pada city hotel. Menurut RTRW Kabupaten Badung tahun 2013-2033, kawasan Sunset Road merupakan kawasan perdagangan dan jasa. Sesuai dengan definisinya bahwa Kawasan perdagangan dan jasa merupakan kawasan yang diperuntukan untuk kegiatan perdagangan dan jasa, termasuk pergudangan, yang diharapkan mampu mendatangkan keuntungan bagi pemiliknya dan memberikan nilai tambah pada satu kawasan perkotaan. Sunset road berlokasi di kecamatan Kuta, yang merupakan kawasan pariwisata. Kawasan pariwisata adalah kawasan strategis pariwisata yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah administrasi desa/kelurahan yang di dalamnya terdapat potensi DTW, aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas pariwisata serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling mendukung dalam perwujudan kepariwisataan. Kedekatan antara kawasan perdagangan dan jasa serta kawasan pariwisata memberikan efek terhadap pertumbuhan pembangunan akomodasi pariwisata di Kabupaten Badung. Hal tersebut juga memberikan peningkatan angka pada pembangunan hotel di Sunset Road Kuta seperti yang terlihat pada data pembangunan hotel di Sunset Road Kuta berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Badung. Berdasarkan Dinas Pariwisata Badung mengenai direktori hotel bintang, jumlah hotel di sunset road Kuta sebanyak 6 hotel pada tahun 2014. Jika dibandingkan jumlah hotel pada tahun 2014 sampai tahun 2017, ada peningkatan yang sangat signifikan terjadi. Jika dihitung jumlahnya ada puluhan hotel berbintang sudah terbangun di sunset road pada tahun 2017. Dari pengamatan kami, berikut hotel bintang dan non bintang yang terbangun di Sunset Road Kuta.

Tabel 1. Daftar Hotel di Sunset Road, Kuta tahun 2017 No Nama Hotel Alamat 1 Adhi Jaya Sunset Hotel Jl. Sunset Road Kuta 2 Swiss-Belhotel Rainforest Jl. Sunset Road No. 101 Kuta 3 100 Sunset Hotel and Boutique Jl. Raya Sunset Road No.100 Kuta 4 Harris Sunset Jl. Pura Mertasari III/8X Sunset Road 5 Berry Biz Hotel Jl. Sunset Road No. 99 Legian Kaja 6 Steenkool Hotel Jl. Sunset Road Gang Baik-baik No. 1 Seminyak 7 Horison Sunset Road Kuta Jl. Sunset Road No. 140 Legian 8 Amaris Hotel Sunset Road Jl. Sunset Road No. 57 Kuta 9 Sun Butique Hotel Jl. Sunset Road No. 23 Kuta 10 Hotel Santika Jl. Sunset Road No. 17 Seminyak 11 Atanaya Hotel Jl. Susnet Road No. 88A Kuta 12 7 Days Premium Kuta Hotel Jl. Sunset Road No. 6 Kuta 13 Losari Sunset Hotel Jl. Sunset Road No. 169 14 Ramada Bali Sunset Road Kuta Jl. Sunset Road Bo. 9 Seminyak 15 D‟Lima Hotel & Villas Jl. Pura Mertasari I/9, Sunset Road Kuta 16 Fame Hotel Jl. Sunset Road No. 9 Legian Kuta

26

No Nama Hotel Alamat 17 Ramada Bali Sunset Road Jl. Sunset Road No.9, Kuta 18 The Harmony Hotel Jl. Sunset Road No. 88 - 99 19 Favehotel Sunset Seminyak Jl. Sunset Road No. 89 Seminyak 20 Golden Tulip Jineng Resort Jl. Sunset Road No. 98 Kuta 21 Airy Legian Sunset Road Nakula 9 Kuta Jl. Nakula No. 9 Badung 22 Al – Isha Hotel Jl. Pura Mertasari No. 27 Sunset Road Kuta 23 Sense Sunset Seminyak Jl. Sunset Road No. 88S Seminyak 24 Horison Legian Jl. Sunset Road No. 150 Legian 25 The Trans Resort Bali Jl. Sunset Road, Kerobokan Kuta Utara 26 GM Bali Guest House Jl. LBC Sunset Road, Lingkungan Abianbase Kuta 27 The Sunset Point Hotel Jl. Sunset Road No. 88, Seminyak 28 Sunset Residence Condotel Jl. Dewi Sri No. 11 Legian Kuta 29 Amaris Hotel Dewi Sri-Bali Jl. Dewi Sri No. 88X, Legian Kuta 30 Amaris Hotel Legian Bali Jl. Padma Utara, Legian Kuta 31 De‟Bhatara Bali Villas Gg. Baik-baik II Jl. Sunset Road No. 11 Seminyak Sumber: Hasil Pengamatan Lapangan Tahun 2017

Peningkatan jumlah hotel ini terjadi dikarenakan mulai peningkatan kegiatan bisnis dan bisnis akomodasi yang terjadi disekitar Sunset Road. Keberhasilan tersebut disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah, lokasi, fasilitas, pelayanan, kesan dan tarif yang dimiliki. Lokasi hotel di Sunset Road sangat memudahkan wisatawan dari segi aksesibilitas untuk menuju ke kawasan pariwisata Kuta maupun daerah Kabupaten Badung Selatan lainnya. Selain itu fasilitas transportasi udara maupun darat, kegiatan pariwisata, kawasan perdagangan dan jasa, bahkan jarak pencapaian relatif sangat dekat. Rata-rata jenis fasilitas yang disediakan oleh hotel-hotel tersebut berupa berupa ruang tidur, retoran dan bar, kolam renang, makan dan minum, ruang pertemuan dan lain-lainnya, dan kualitas fleksibilitas penggunaanya pun sangat baik. Sistem pelayanan hotel yang diberikan kepada pengunjung tamu hotel seperti kecepatan, keramahtamahan, waktu pelayanan yang diberikan pun sangat memuaskan dikarenakan sumber daya manusia yang dimiliki sudah memiliki kompetensi yang baik dalam melakukan pelayanan di bidang perhotelan. Kesan pengunjung tamu juga dipengaruhi oleh gaya arsitektur hotel, nama hotel, suasana ruang kamar maupun dari segi pelayanan. Faktor terakhir yang mempengaruhi keputusan pembelian dari tamu yang datang adalah tarif dari hotel yang cukup murah dengan fasilitas yang diberikan, namun tidak merugikan investor untuk mendapatkan keuntungan dengan modal yang telah ditanamkan pada hotel tersebut. Business Hotel, merupakan hotel yang dirancang untuk mengakomodasi tamu yang bertujuan bisnis, seperti rapat dan insentif. Mengetahui karakter konsumen sebelum merancang hotel dengan karakter konsumen yang merupakan tamu yang bertujuan bisnsi harus dirancang dengan tepat. Pada dasarnya, hotel memberikan tempat untuk bermukim dan melaksanakan kegiatan komersial menjual kamar dan pelayanan lainnya. Akan tetapi, dengan kebutuhan khusus, hotel yang sasaran tamunya adalah para pebisnis akan memerlukan fasilitas dan layanan yang berbeda, yang disesuaikan dengan karakter tamu tersebut. Secara umum, kaum pebisnis mempunyai karakter yang sangat efisien dari segi waktu. Bagi tamu yang bertujuan bisnis, waktu adalah uang karena padatnya kegiatan yang dilaksanakan dan waktu untuk pemenuhan melakukan kegiatan yang diinginkan. Akibatnya, sebagian besar waktu akan digunakan semaksimal mungkin untuk kelancaran hubungan bisnis dibandingkan dengan kegiatan wisata. Bagi kalangan ini, kualitas interaksi bisnis merupakan perhatian utama, jauh

27 lebih penting daripada kuantitasnya. Tamu akan berusaha menjalin interaksi sesingkat mungkin, tetapi dapat mencapai relasi secepat mungkin. Interaksi bisnis dapat dilakukan baik di luar hotel maupun di dalam hotel. Interaksi yang dilakukan di luar hotel akan menuntut tamu hotel untuk banyak beraktivitas di luar hotel sehingga tamu memanfaatkan fasilitas hotel dalam waktu yang sangat singkat, misalnya sekedar beristirahat. Interaksi yang dilakukan di dalam lingkungan hotel menuntut disediakannya ruang-ruang yang nyaman dengan privatisasi tinggi yang dapat mendukung proses pembentukan relasi bisnis yang diinginkan. Kegiatan semacam ini dapat saja dilakukan sambil makan malam, minum kopi, berolah raga, ataupun berbagai kegiatan santai yang lain. Untuk merespons tuntutan tersebut, hotel semacam ini memerlukan berbagai fasilitas, bersantai, jamuan makan maupun minum kopi serta fasilitas negosiasi yang lain dengan kenyamanan dan privatisasi yang tinggi. Selain itu, fasilitas standar ruang pertemuan juga perlu dipertimbangkan. Pihak hotel juga tentu akan memanfaatkan karakter tamu dengan ruang yang dimiliki sebaik-baiknya untuk mendapatkan hotel yang berkarakter sesuai dengan jenis konsumen yang datang ke hotel tersebut untuk tujuan bisnis.

C. Dampak Pembangunan City Hotel Pembangunan sekecil apapun pasti akan menimbulkan dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif. Sehingga pembangunan city hotel di daerah Sunset Road Kuta yang relatif cukup banyak juga pastinya akan memberikan dampak negatif dan positif bagi kegiatan perekomomian, sosial budaya serta lingkungan masyarakat Kuta. Dampak tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

1. Dampak Terhadap Ekonomi

Banyaknya hotel yang muncul di kawasan pariwisata, seperti di daerah Kuta, Kabupaten Badung menimbulkan ketatnya persaingan harga kamar di kawasan tersebut. Hal tersebut kemudian tidak berbanding lurus dengan biaya operasional dan kualitas pelayanan yang dikeluarkan oleh hotel. Sehingga mengharuskan hotel-hotel berbintang di Badung menurunkan tarif harga yang menyebabkan biaya operasional dan kualitas pelayanan terus menurun. Selain itu juga terjadinya penurunan tingkat hunian hotel disekitaran kawasan pariwisata Badung yang diakibatkan adanya pembangunan city hotel di Sunset Road. Pada tahun 2013 tingkat hunian hotel berbintang di Kabupaten Badung sebsar 67.10 dan untuk hotel non berbintang sebesar 47.62 persen. Pada tahun 2015 angka tersebut mengalami penurunan untuk tingkat hunian hotel berbintang sebesar 62.33 persen dan hotel non berbintang sebesar 43.73 persen. Penurunan tersebut berdampak kepada munculnya permasalahan baru bagi hotel-hotel yang ada, yakni berkurangnya pendapatan dari hotel- hotel tersebut. Karena kawasan Sunset Road juga termasuk di Kabupaten Badung, sehingga hotel- hotel di kawasan Sunset Road juga terkena dampak dari penurunan tersebut. Hal ini terbukti pada tahun 2013 di Kabupaten Badung, rata-rata lama menginap wisatawan mancanegara dan nusantara pada hotel berbintang sebesar 3.40 persen dan 3.33 persen, mengalami penurunan pada tahun 2015 dengan rata-rata lama menginap sebesar 3.12 persen dan 2.70 persen. Penurunan ini cukup menghawatirkan dan sangat berdampak langsung pada pengelolaan hotel di masa depan. Sesuai dengan pengamatan penulisan bahwa lahan yang digunakan dalam pembangunan city hotel rata-rata di kawasan Sunset Road sangat terbatas dan sangat dekat dengan jalan utama sunset road. Sehingga permasalahan berikutnya yakni ketersediaan lahan parkir menjadi hal utama dalam pembangunan. Selain itu, biaya perluasan juga mahal apabila diperuntukkan untuk pembangunan lahan parkir dikarenakan lahan di kawasan Sunset Road relatif sangat mahal. Pihak pengelola hotel lebih mengutamakan optimalisasi pembangunan akomodasi utama hotel untuk pembangunan kamar hotel dan fasilitas lainya yang menghasilkan keuntungan secara langsung. Dengan sendirinya hotel- hotel yang terbangun di kawasan Sunset Road tidak menyediakan area parkir yang memadai. Akibatnya muncul resiko kemacetan yang terjadi di ruas jalan Sunset Road ketika menampung bis-bis yang mengangkut tamu hotel. Jumlah akomodasi seperti contohnya hotel, di Bali sudah semakin meningkat, kemudian peningkatan pembangunan hotel di kawasan Sunset Road juga kemudian mengakibatkan persaingan yang sangat ketat dari segi harga dan pelayanan. Banyak hotel memberikan penawaran harga yang murah dengan fasilitas yang ditawarkan relatif cukup baik. Sehingga hal ini kemudian menyebabkan persentase peningkatan jumlah akomodasi lebih besar dari pada persentase peningkatan jumlah

28 wisatawan yang datang ke Bali. Hal itu secara langsung berdampak kepada penurunan tingkat hunian kamar. Terpusatnya pembangunan infrastruktur dan hotel di Bali Selatan, khusunya pada kawasan Sunset Road tentunya akan berdampak buruk apabila diteruskan. Tidak hanya bagi kawasan Sunset Road, tetapi juga untuk kawasan di Bali Utara, Timur maupun Barat. Karena kemudahan yang didapatkan dari segi aksesibilitas dan fasilitas yang dibangun di kawasan Bali Selatan sehingga wisatawan mancanegara akan lebih memilih untuk tinggal di kawasan Bali Selatan. Ketimpangan perekonomian juga tidak dapat dihindari sehingga muncul gelombang migrasi penduduk ke Bali Selatan dalam rangka untuk alasan peningkatan perekonomian. Peningkatan pembangunan hotel ini juga memberikan dampak positif bagi perekonomian kepada masyarakat sekitar Kuta karena terbukanya lahan pekerjaan setelah dibukanya hotel-hotel di kawasan Sunset Road tersebut. Sehingga masyarakat lokal dapat merasakan keuntungan dari adanya pembangunan city hotel di kawasan Sunset Road. Peningkatan taraf hidup juga disebabkan oleh adanya peningkatan pembangunan hotel dikawasan tersebut. Multiplier effect juga dirasakan oleh industri pariwisata yang lain serta usaha-usaha menengah dengan munculnya peluang bisnis bagi rumah makan, café, spa, laundry, transportasi dan lain-lain. Terbukti dengan laju pertumbuhan penduduk yang sebesar 2.77 persen, Kabupaten Badung mampu menurunkan angka pengangguaran pada tahun 2015 menjadi hanya sebesar 0.34 persen. Selain itu terjadi peningkatan UMK Kabupaten Badung sebesar 10.24 persen dari tahun sebelumnya, yang merupakan UMK tertinggi di Provinsi Bali. Selain untuk masyarakat lokal, dampak ekonomi juga berpengaruh bagi pemerintah daerah yang mendapatkan pendapatan dari pajak. Ini juga berdampak terhadap peningkatan pendapatan daerah. Selain itu, peningkatan pendapatan menyebabkan pembangunan perekonomian semakin ke arah yang lebih baik. Pengelola city hotel juga secara rutin memberikan bantuan dana pada saat kegiatan adat di sekitaran kawasan melalui pengurus banjar/adat. Hal ini merupakan kontribusi positif untuk dapat memajukan perekonomian sekitar kawasan Sunset Road.

2. Dampak Terhadap Sosial Budaya

Pembangunan city hotel berdampak positif terhadap sosial budaya masyarakat Kuta, seperti contohnya dengan adanya kegiatan conservation of cultural. Secara rutin pihak hotel memberikan bantuan dana kepada masyarakat untuk konservasi budaya seperti perlindungan untuk benda-benda kuno, bangunan sejarah, seni tradisi masyarakat. Selain dana iuran rutin yang diberikan kepada masyarakat Kuta, kegiatan conservation of cultural ini juga memberikan dampak positif bagi sosial budaya masyarakat Kuta. Hal ini bisa dibuktikan dari kondisi budaya masyarakat Kuta masih terjaga kelestariannya dan fisik bangunan budaya Bali seperti Pura maupun benda-benda budaya lainnya masih tetap utuh walaupun sedikit mengalami kerusakan akibat umur. Para kelompok seniman Bali seperti penari, pelukis, penabuh dan lain-lain turut serta dilestarikan. Pihak hotel memberikan ruang khusus dalam mengadakan pementasan kesenian Bali di Hotel secara rutin. City hotel yang terbangun di kawasan Sunset Road selain untuk tamu bisnis juga diperuntukan untuk tamu berwisata. Pembangunan city hotel ini pun secara langsung membangun pariwisata. Banyak wisatawan mancanegara menggunakan fasilitas akomodasi di kawasan Sunset Road yang menyebabkan adanya cross cultural exchange. Adanya pertukaran budaya dari wisatawan dengan masyarakat lokal, sehingga membuat para wisatawan mengerti dan mengenal budaya dan nilai-nilai dari tradisi masyarakat di sekitar kawasan Sunset Road. Hal ini dibuktikan dari pengenalan makanan tradisional Bali pada menu restoran hotel. Penamaan dari masing-masing ruang hotel yang menggunakan nama-nama Bali. Pakaian khas Bali yang selalu digunakan oleh para pengelola hotel termasuk atribut-atributnya yang selaluu muncul disetiap fasilitas umum di Hotel. Setiap tamu datang ke hotel, di lobby para pengelola selalu meberikan salam khas Bali dengan diperdengarkan alunan musik Bali. Sedangkan dampak negatif pembangunan city hotel terhadap sosial budaya untuk masyarakat Kuta adalah terjadinya cultural impacts. Ini diakibatkan dari gaya arsitektur bagunan city hotel yang terlalu berfokus pada upaya untuk menampilkan keunikan. Gaya arsitektur tradisional Bali sering kali tidak dimanfaatkan sebagai salah satu gaya bangunan city hotel di kawasan Sunset Road. Tanpa disadari budaya Bali mulai mengikis keberadaannya, dan nilai seni tradisinya semakin menghilang dari segi arsitektur.

29

Begitu banyaknya hotel yang terbangun di sunset road, tingkat kunjungan tamu pun meningkat. Peningkatan ini pun secara langsung mempengaruhi jumlah kebutuhan karyawan. Meningkatnya karyawan yang bekerja di sunset road mengakibatkan terjadinya migrasi ke kawasan ini. Banyak masyarakat berdatangan ke kawasan Sunset Road untuk bekerja. Hal ini berdampak pada tingkat kenyamanan kawasan Kuta yangberkurang dikarenakan ramai, padat, dan macet. Hal ini berpotensi kepada berkurangnya keamanan di kawasan ini sehingga mengurangi unsur rasa aman dan nyaman bagi masyarakat di sekitar Kawasan Sunset Road. Dengan banyaknya hotel di kawasan Kuta, tingkat kesejahteraan masyarakatnya mulai meningkat. Perilaku dan orientasi masyarakatnya mulai berubah. Perilaku konsumtif dan oriented money dialami oleh masyarakat Kuta. Hal ini terlihat dari perbandingan antara tingkat pendapatan dengan tingkat pengeluaran masyarakat Kuta berbanding terbalik. Tingkat pendapatan lebih kecil daripada tingkat pengeluaran. Perilaku yang berubah lainnya adalah kebiasaan masyarakat yang selalu melakukan kegiatan sosial tanpa pamrih. Namun dengan berubahnya orientasi masyarakat, tradisi dan budaya turun temurun mulai menghilang keberadaannya. Masyarakat terlalu sibuk untuk mengejar materi maupun penghasilan.

3. Dampak Terhadap Lingkungan

Dampak positif pembangunan city hotel pada lingkungan masyarakat Kuta adalah adanya konservasi terhadap area lingkungan. Adanya perbaikan lingkungan baik penataan tata ruang kota maupun infrastruktunya, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya penataan lingkungan untuk keindahan estetika pariwisata. Sedangkan dampak negatif pembangunan city hotel pada lingkungan masyarakat Kuta adalah terjadinya perubahan flora fauna hingga pencemaran serta menurunnya kualitas sumberdaya alam dan kualitas lingkungan kawasan. Kerusakan lainnya juga terjadi pada infrastruktur dan fasilitas pendukung yang menjadi kebutuhan masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Perusakan dan pencemaran antara lain terjadi pada air termasuk air tanah dan air permukaan, serta pada lapisan tanah dan udara. Selain itu juga perubahan pada penggunaan tanah, terutama alih fungsi lahan pertanian yang sulit dikendalikan. Hamparan lahan yang subur banyak yang telah berubah menjadi bangunan hotel. Kondisi demikian selain mengganggu keseimbangan ekosistem, juga mengakibatkan terjadinya perubahan pandangan terhadap tata guna lahan, baik di daerah perkotaan mapun pedesaan, sebagai akibat dari adanya pembangunan fisik yang sangat pesat. Meningkatnya jumlah kendaraan bermotor, mengakibatkan timbulnya polusi baik itu udara maupun suara bagi lingkungan di sekitar kawasan.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan mengenai permasalahan yang diangkat didapatkan bahwa perkembangan pembangunan hotel berkonsep city hotel di sunset road kuta sangat signifikan dengan banyak hotel yang telah terbangun. Pada tahun 2013 sampai tahun 2017 ada peningkatan yang sangat signifikan terjadi, ada puluhan hotel berbintang sudah terbangun di Sunset Road pada tahun 2017. Peningkatan jumlah hotel ini terjadi dikarenakan keberhasilan bisni hotel yang terjadi di kawasan Sunset Road. Dampak pembangunan hotel berkonsep city hotel di sunset road kuta terbagi menjadi tiga yakni sebagai berikut: 1) Dampak terhadap ekonomi; negatifnya adalah adaya persaingan tarif kamar, terjadinya penurunan tingkat hunian hotel, adanya penurunan lama tinggal, munculnya resiko kemacetan yang terjadi di ruas jalan sunset road akibat tidak tersedianya lahan parkir yang memadai, terjadinya ketimpangan perekonomian, munculnya migrasi penduduk ke kawasan Sunset Road dan positifnya adalah membuka lapangan pekerjaan yang baru, adanya peluang berbisnis, meningkatnya pendapatan dari pajak daerah, peningkatan pendapatan daerah serta pembangunan perekonomian. 2) Dampak terhadap social budaya; negatifnya adalah cultural impacts, tingkat kenyamanan kawasan menurun, terjadinya perilaku konsumtif, money oriented dan positifnya adalah conservation of cultural, cross cultural exchange. 3) Dampak terhadap lingkungan; negatifnya adalah terjadinya perubahan flora fauna, perusakan dan pencemaran pada infrastruktur dan fasilitas pendukung, alih fungsi lahan, timbulnya polusi baik itu

30

udara maupun suara dan positifnya adalah konservasi terhadap area lingkungan, adanya perbaikan lingkungan, meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap pentingnya lingkungan

DAFTAR PUSTAKA Anonim. 2014. Indonesia Tercatat Sebagai Negara G20 dengan Pertumbuhan Perjalanan dan Pariwisata Tercatat di Tahun 2013. www.infojakarta.net diunggah tanggal 20 Maret 2014. Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2015. Tingkat Penghunian Kamar Hotel Kabupaten Badung 2015. Badung: CV. Bhineka Karya. Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung. 2014. Direktori Hotel Bintang di Provinsi Bali 2014. Badung: CV. Bhineka Karya. CNN. 2017. https://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20170908153004-307-240401/jumlah- wisatawan-mancanegara-di-bali-melonjak/ Diunduh pada tanggal 16 Agustus 2017. Damanik, Janianton dan Weber, Helmut. 2006. Perencanaan Ekowista Dari Teori ke Aplikasi. Yogyakarta: PUSPAR UGM dan ANDI Fandeli, C. 2004. Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Prinsip Dasar Dalam Pembangunan. Yogyakarta: Liberty Offset. Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan Pembangunan Daerah: Reformasi, Perencanaan, Strategi, dan Peluang. Jakarta: Erlangga. Hardinoto, Kusudianto. 1996. Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwisata. Jakarta: UI Press Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Neufert, Ernst. 1987. Architect‘s Data, Secon Edition. New York: BlackwellPublishing Nugroho, Iwan. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Marlina, Endy. 2008. Panduan Perancangan Bangunan Komersial. Yogyakarta: ANDI Munir, Badrul. 2002. Perencanaan Daerah dalam Perspektif Otonomi Daerah. Mataram: Bappeda Propinsi NTB. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang Persyaratan Arsitektr Bangunan Gedung Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Provinsi Bali Tahun 2015-2029. Saragih, T.M. 2011. Konsep Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Peraturan Daerah Rencana Detail Tata Ruang dan Kawasan. Jurnal Sasi. 17(3): 11-20 Suardana, I M. 2016. Statistik Daerah Kecamatan Kuta 2016. Badung: CV. Bhineka Karya Sulastiyono, Agus. 2011. Manajemen Penyelenggaraan Hotel Seri Manajemen Usaha jasa Sarana pariwisata dan Akomodasi. Bandung: Alfabeta, cv Sugihartono, dkk. 2007. Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: UNY Press Sugiyono. 2010. Metode penelitian Kuantitatif kualitatif & RND. Bandung: Alfabeta Rakhmat, Jalaludin 2007. Persepsi Dalam Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Rajawali Pers Rustiadi, E. 2006. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah, edisi Mei 2006. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Rutes, Walter & Richard Penner. 1985. Hotel Planning and Design. New York: Atson Guptill Publication. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penataan Ruang. Veriasa, T. O. 2016. Partisipasi Masyarakat dalam Perencanaan Pembangunan Desa: Studi Kasus Perencanaan Pembangunan Desa di Desa Karang Tengah, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Buku Ajar. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Wardiyanta. 2006. Metode Penelitian pariwisata. Yogyakarta: ANDI Wardana, W.A. 2001. Dampak Pencemaran Lingkungan. Yogyakarta: ANDI Yoeti, O.A. 1997. Perecanaan dan Pengembagan Pariwisata. Jakarta: PT Pradnya Paramita

31

PROSES PEMBENTUKAN IDENTITAS BUDAYA NASIONAL DAN PROMOSI PARIWISATA INDONESIA DI EROPA (STUDI KASUS DIASPORA BALI DI PERANCIS)

Nararya Narottama1, A.A. Ayu Arun Suwi Arianty2 Program Studi Manajemen Kepariwisataan Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional Jl. Tari Kecak 12 Gatot Subroto Timur, Denpasar, Bali Email: [email protected]

Abstrak Para diaspora Bali yang tersebar di Eropa, memiliki peran ganda sebagai perantara/agen budaya, sekaligus agen pariwisata Bali dan Indonesia pada umumnya. Istilah diaspora merujuk pada suatu bangsa atau etnis yang terpaksa maupun dengan sukarela meninggalkan tanah air kelahiran atau etnis mereka, termasuk penyebaran mereka di berbagai belahan bumi, serta mencakup hasil sampingan dari penyebaran tersebut, yakni penyebaran, perkembangan kebudayaan, serta perubahan genetis. Dalam arti sempit, istilah diaspora adalah para perantau yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke daerah (atau negara) lain, untuk mencari kehidupan yang lebih baik daripada di tempat asalnya. Tujuan penelitian ini adalah menganalisa dan mengungkap bagaimana proses para dispora Bali tersebut membentuk identitas budaya Indonesia melalui pemertahanan serta implementasi nilai-nilai, tradisi dan budaya Bali di Eropa, serta sejauh mana peran mereka dalam promosi pariwisata Bali dan Indonesia secara umum. Fokus utama penelitian ini adalah para diaspora Bali di Eropa, khususnya di Paris, Prancis, sebuah destinasi pariwisata kelas dunia yang populer dan ternama. Metode yang dipakai dalam penelitian ini berbasis kualitatif. Pengumpulan data primer dilakukan dengan wawancara mendalam dengan para informan terpilih dan observasi partisipatif di lapangan, serta data sekunder yang dikumpulkan melalui berbagai referensi pustaka. Secara sadar, diaspora Indonesia menikmati peran mereka untuk turut berkontribusi positif memperomosikan pariwisata Indonesia di negara-negara Eropa melalui berbagai kegiatan seni dan budaya Indonesia. Kekhawatiran mengenai lunturnya identitas budaya pada generasi turunan diaspora Indonesia, dapat diminimalisir melalui berbagai kegiatan yang memerlukan keterlibatan aktif para diaspora beserta keluarganya. Pada berbagai kegiatan yang diadakan, sekat-sekat budaya, etnis maupun geografis dihilangkan menjadi sebuah identitas budaya Indonesia. Kebudayaan dan kesenian Indonesia telah menjadi simbol identitas nasional, yang kemudian dikenal oleh publik Eropa, hal ini juga memperkuat rasa nasionalisme di kalangan diaspora Indonesia di Eropa.

Kata kunci: diaspora, identitas, budaya, pariwisata, Bali, Eropa

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk yang sangat padat dan multi etnis. Indonesia terdiri dari ratusan ragam suku, agama, dan ras yang menyebar di berbagai pelosok tanah air. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada tahun 2016 jumlah penduduk Indonesia mencapai 258 juta jiwa (BPS, 2016). Selain di dalam negeri, penduduk Indonesia juga tersebar ke berbagai penjuru dunia. Mereka disebut sebagai diaspora Indonesia. Mohamad Al-Arief, Presiden IDN (Indonesian Diaspora Network) menyatakan bahwa pada tahun 2015, jumlah diaspora Indonesia yang tercatat sebanyak 7 juta jiwa di seluruh dunia (Ramadhan, 2015). Angka tersebut belum termasuk jumlah para diaspora Indonesia di luar negeri yang yang tidak tercatat, sehingga dapat diperkirakan jumlah totalnya sebesar 8 juta jiwa yang tersebar di berbagai benua, seperti Eropa, Amerika, Afrika, Asia dan Australia. Selain itu, pada tahun 2014 lalu, jumlah remitansi yang masuk ke Indonesia dari para diaspora sekitar US$ 8,4 atau sekitar Rp 115 triliun (Detik, 2015). Dengan demikian, diaspora Indonesia memiliki potensi ekonomi dan sosial yang luar biasa untuk turut membangun bangsa dari perantauan.

32

Para diaspora Indonesia tersebar di lebih dari 90 negara (Tempo, 2015). Secara kuantitas global, jumlah diaspora Indonesia cukup kecil jika dibandingkan dengan jumlah diaspora Cina/Tiongkok (sekitar 70 juta orang) dan India (sekitar 60 juta orang) yang berbanding lurus dengan jumlah populasi di kedua negara tersebut. Jusuf Kalla, Wakil Presiden Republik Indonesia, dalam pembukaan Congress of Indonesian Diaspora III menyatakan bahwa dilihat dari jumlah populasinya, Indonesia sebenarnya memiliki peluang menempati posisi ketiga sebagai penyumbang diaspora di dunia, walaupun saat ini masih kalah jumlah dengan Filipina (The Marketeers, 2015). Meskipun terbilang kecil dari segi kuantitas, para diaspora Indonesia tetap merupakan aset berharga bagi pembangunan negara. Hal senada sebelumnya pernah disampaikan oleh mantan Presiden RI, Susilo Bambang Yodhoyono, dalam Congress of Indonesian Dispora II di Jakarta. Beliau menyatakan bahwa diaspora Indonesia yang tersebar di seluruh dunia merupakan mitra pemerintah dan masyarakat yang sangat strategis dan tidak bisa diabaikan keberadaannya (Kompas, 2013). Istilah diaspora berasal dari bahasa Yunani Kuno: „speiro‟ yang merujuk pada „penyebaran atau penaburan benih‟. Istilah diaspora juga dekat dengan kata „dispersion‟ dalam bahasa Inggris yang bermakna „penyebaran‟ Pada berbagai literature ilmiah, berbagai kajian mengenai diaspora mulai muncul di sekitar akhir abad ke dua puluh. Istilah diaspora dapat juga diartikan para perantau yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke daerah (tempat, atau negara) lain, untuk mencari pendidikan, penghasilan dan kehidupan yang lebih baik daripada di tempat asalnya (Cohen, 1997; Mudji, 2007; dalam Narottama,2015). Di Eropa, para diaspora Indonesia berasal dari berbagai daerah dan beragam etnis dan agama. Eksistensi diaspora Indonesia dikenal melalui berbagai kegiatan seni dan budaya yang sekaligus menjadi sarana promosi pariwisata. Salah satu bagian dari keluarga besar diaspora Indoensia yang turut mengharumkan nama bangsa melalui kesenian adalah para perantau dari Bali, atau dikenal juga sebagai diaspora Bali Bali, hanya sebuah pulau kecil diantara ribuan pulau di negara Indonesia. Namun Bali memiliki keunikan budaya dan seni, yang kemudian mampu mengharumkan nama bangsa di mata dunia melalui pariwisata. Berdasarkan pangalaman penulis, di manca negara seringkali nama Bali lebih dikenal dari pada Indonesia. Bahkan dalam berbagai penemuan arkeologis, Bali ternyata sudah dikenal dan telah melakukan interaksi sejak jaman purbakala, hal ini dibuktikan dengan penemuan berbagai gerabah kuno India dan Cina (Ardika,1997:62). Hasil interaksi ini memberikan pengaruh yang besar bagi kehidupan masyarakat Bali, terutama dalam ranah agama, budaya dan kesenian. Semua ini bermuara pada eksistensi Bali sebagai sebuah destinasi wisata populer. Seiring perkembangan jaman, saat ini banyak orang Bali yang merantau keluar dari tanah kelahirannya. Mereka menyebar di berbagai pelosok wilayah di Indonesia hingga ke luar negeri, terutama ke negara-negara maju. Di Indonesia, sejak awal tahun 1970-an mereka terkonsentrasi pada daerah-daerah transmigrasi. Hal ini, terutama didorong oleh dampak bencana meletusnya Gunung Agung pada tahun 1963. Selain itu, mengingat latar belakang orang Bali yang sangat menguasai ilmu agrikultur dan peternakan. Sedangkan di luar negeri, orang Bali tersebar pada berbagai jenis bidang pekerjaan, baik di sektor pertanian, industri, pabrik, pendidikan, seni dan lain-lain. Setiap tahunnya, diperkirakan jumlahnya semakin meningkat. Para etnik Bali yang menyebar ke berbagai negara inilah yang kemudian dikenal sebagai diaspora Bali. Diaspora Bali dikenal memiliki hubungan kekerabatan yang kental dan sangat mencintai tanah kelahiran mereka. Kondisi ini tercipta karena kuatnya pengaruh agama, adat istiadat dan budaya yang tergambar secara jelas pada kehidupan masyarakatnya. Namun seringkali ketika diaspora Bali beranjak dari tanah asalnya, terjadi pergeseran identifikasi antara etnik Bali dengan tanah airnya (Narottama, 2015). Walaupun demikian, di antara orang Bali ada ungkapan “lekad di Bali, pang mati masih di Bali”, yang berarti “lahir di Bali, matipun juga di Bali”. Dengan demikian, tersirat adanya harapan dari para diaspora Bali yang tersebar untuk suatu saat bisa kembali ke tanah kelahirannya dan jika suatu saat meninggal, agar dilakukan upacara sebagaimana layaknya orang Bali.

33

Hal yang serupa juga dialami diaspora Indonesia etnis lainnya. Seringkali ketika para diaspora Indonesia meninggalkan tanah airnya dalam jangka waktu yang lama, terjadi pergeseran identifikasi antara identitas bawaan dengan tempat yang baru. Kebutuhan agar „diterima‟ di tempat yang baru dapat mengakibatkan pudarnya rasa kebanggaan pada budaya tanah air atau „cultural belonging‟. Biasanya hal ini tidak dialami oleh diaspora generasi pertama, namun terjadi pada generasi turunan selanjutnya. Mempertanyakan identitas budaya sebagai bagian dari eksistensi adalah hal yang lumrah dalam perjalanan panjang seorang diaspora. Mereka bertanya, “Who am I? Where do I belong?”, walaupun terkesan sederhana, sebenarnya mencari jawaban atas pertanyaan tersebut sangat rumit dan kompleks. Dewasa ini, para perantau Bali bukan hanya menyebar di Indonesia saja, namun telah menyebar ke berbagai negara. Penyebab yang dominan adalah pernikahan dengan orang asing, karena alasan pekerjaan, dan pendidikan. Negara-negara yang populer dengan keberadaan diaspora Bali antara lain di Jepang, Australia, Amerika dan berbagai negara-negara di benua Eropa. Dalam hal ini, para diaspora Bali menjadi sebuah „jembatan budaya‟ (Picard, 2006), sekaligus menjadi agen budaya kreatif dan pariwisata. Agar mereka bisa „diterima‟ dalam konteks lintas kultural, diperlukan penyesuaian pada psikis dan emosional oleh para pelakunya. Proses ini dapat terjadi tanpa harus mengikis identitas budaya lokal yang mereka bawa dari tempat asalnya. Di Eropa, keberadaan diaspora Bali cukup dikenal, terutama di negara Perancis, Belanda, Jerman dan Belgia. Diaspora Bali bersama-sama dengan para diaspora Indonesia lainnya senantiasa dengan bangga, berupaya untuk menujukkan identitas budaya nasional yang mereka miliki. Pada proses ini, sekat-sekat budaya kedaerahan dihilangkan untuk menjadi sebuah kesatuan budaya nasional yang utuh, kemudian mereka aplikasikan dalam berbagai kegiatan promosi pariwisata sebagai bentuk kontribusi aktif mereka terhadap pariwisata tanah air. Permasalahan utama penelitian ini adalah ingin mengungkapkan bagaimana para dispora tersebut berproses dalam upaya mereka membentuk identitas budaya nasional, serta bagaimana mereka berperan dalam promosi pariwisata Indonesia di Eropa? Diharapkan hasil dari penelitian ini dapat menjadi referensi baru dalam perkembangan studi diaspora, memperkuat identitas budaya nasional serta mengetahui peran diaspora Indonesia dalam upaya promosi pariwisata di Eropa, khususnya pada diaspora Bali yang ada di Perancis. Mengingat demikian luas dan kompleksnya permasalahan dalam meneliti tentang diaspora Bali, budaya dan pariwisata, maka secara rinci dirumuskan permasalahannya sebagai berikut: (1). Bagaimana eksistensi diaspora orang Bali di Eropa dalam membentuk identitas budaya nasional? (2). Bagaimana upaya para diaspora orang Bali di Eropa untuk mempromosikan pariwisata di Indonesia, dan pariwisata Bali pada khususnya? Demikian perumusan masalah yang diketengahkan dimaksudkan untuk lebih memfokuskan permasalahan yang muncul dalam penelitian ini. Dengan perumusan yang jelas lingkupnya, diharapkan pula penelitian ini dapat memberikan informasi baru dan menghasilkan temuan yang maksimal. Batasan dalam penelitian ini adalah pada keberadaan diaspora Indonesia, khususnya diaspora Bali di Eropa, terutama yang ada di negara Perancis, dalam aktifitas mereka di bidang seni, budaya dan pariwisata. Selain itu, penelitian ini merupakan pengembangan lanjutan dari penelitian eksploratori sebelumnya yang berjudul: The Existence of Balinese Diaspora in Europe: The Process of Formation of Cultural Identity and Tourism Promotion (Case Study of Sekar Jagat Indonesia in Paris, France) Narottama (2015) dan The Indonesian Diaspora in Europe: Culinary as Cultural Identity and Tourism Promotion in Paris, France (Narottama, 2016) yang telah dipublikasikan. Konsep Diaspora Pada berbagai literature ilmiah, konsep mengenai diaspora seringkali dibahas bersama-sama konsep migrasi internasional, perbudakan dan kolonialisme, serta hibridisasi. Agar memperoleh

34 batasan yang jelas, dipergunakan konsep dari Sutrisno, Mudji (2007:259) yang menyatakan bahwa diaspora adalah jejaring yang tersebar dari orang-orang yang secara kultur dan etnis saling terkait. Konsep-konsep yang terkait dengan istilah ini meliputi ide perjalanan, migrasi, ketersebaran, perpindahan (displacement), rumah dan batas. Meskipun tidak selalu demikian, umumnya istilah diaspora mempunyai konotasi makhluk asing (alienation), orang-orang yang tercabut dari tempat asalnya (displaced person), pengembara (wanderers), perpindahan secara paksa (forced migration). Sedangkan dalam arti sempit, istilah diaspora merujuk pada para perantau yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk pergi ke daerah dan/atau ke negara lain demi mencari kehidupan yang lebih baik daripada di tempat asalnya.

Konsep Identitas Budaya Nasional Umumnya, setiap suku bangsa memiliki karakter serta identitas budaya sesuai dengan wilayah dan kondisi geografisnya masing-masing. Dengan demikian, konsep identitas budaya tidak dapat dilepaskan dari konsep etnisitas atau kedaerahan yang lahir pada masing-masing kelompok etnis (etchnic group) yang kemudian berintegrasi secara sosial dan mampu ko-eksis (co-exist) dengan host di tempat tinggal mereka yang baru. Identitas merupakan kostruksi ideal dari pemikiran kita sendiri, yang dibentuk atas dasar asumsi dan struktur terhadap sesuatu yang kita ketahui serta sejauh mana kita bisa mengenalinya, kemudian kita menanggapinya sebagai realitas. Identitas budaya merupakan perasaan mengenai rasa memiliki, menjadi bagian pada suatu kelompok tertentu, sebuah konsepsi dan persepsi pribadi, serta terkait dengan kebangsaan, etnisitas, agama, kelas sosial, generasi, lokalisme ataupun kelompok sosial yang memiliki karakteristik budaya masing-masing. Jadi dalam konteks ini, identitas budaya merupakan rincian karakteristik individu sekaligus karakteristik kelompok yang memiliki persamaan secara kultural (Ennaji, 2005), serta dapat secara jelas tampak ketika dibandingkan dengan karakteristik budaya kelompok lain. Sedangkan identitas budaya nasional merupakan campuran berbagai karakteristik budaya yang dimiliki individu maupun kelompok yang dianggap mampu mewakili karakteristik suatu negara (nation) dan seluruh masyarakatnya, serta tampak secara jelas ketika dibandingkan dengan identitas budaya nasional negara lainnya. Konsep Pariwisata Dirunut dari asal kata-nya, kata wisata, pariwisata, wisatawan, dan kepariwisataan sesungguhnya berasal dari kata bahasa Sanskerta yang kini telah diserap menjadi kosa kata bahasa Indonesia. Titib (2006) menyatakan bahwa kata „wisata‟ berasal dari akar kata vis, yang artinya memasuki, menuju, mengelilingi dan sejenis dengan makna kata-kata tersebut. Aktivitas pariwisata seberanarnya sudah dilaksanakan oleh manusia sejak jaman dahulu, namun relatif baru dikenal sebagai sebuah fenomena penting dalam ranah ekonomi dan sosial (WTO, 1995). Pariwisata juga dianggap sebagai aktivitas esensial bagi negara, karena berpengaruh langsung terhadap sosial, budaya, pendidikan dan ekonomi masyarakat secara nasional, dan hubungan negara secara internasional. Mathieson dan Wall (1982) menyatakan bahwa pariwisata sebagai gerakan sementara orang untuk tujuan di luar tempat kerja dan tempat tinggal biasanya, kegiatan yang dilakukan selama mereka tinggal di destinasi tersebut, dan berbagai fasilitas diciptakan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Kedatangan wisatawan ke suatu negara, berimbas pada peningkatan neraca keuangan dan kesejahteraan masyarakat yang ada di negara tersebut, untuk itu berbagai negara selalu berupaya untuk memperomosikan pariwisata yang mereka miliki kepada khalayak internasional.

35

Teori Identitas Hall dalam Cultural Identity and Diaspora (1990) menjelaskan bahwa identitas budaya (atau juga disebut sebagai identitas etnis) sedikitnya dapat dilihat dari dua cara pandang, yaitu identitas budaya sebagai sebuah wujud (identity as being) dan identitas budaya sebagai proses menjadi (identity as becoming). Dalam cara pandang pertama diuraikan bahwa, identitas budaya dilihat sebagai suatu kesatuan yang dimiliki bersama, atau yang merupakan "bentuk dasar/ asli" sesorang dan berada dalam diri banyak orang yang memiliki kesamaan sejarah dan leluhur. Identitas budaya adalah cerminan kesamaan sejarah dan kode-kode budaya yang membentuk sekelompok orang menjadi "satu” walaupun dari “luar” mereka tampak berbeda (Hall, 1990). Terkait dengan hal ini dan juga paradigma cultural studies, maka identitas sendiri dipandang sebagai suatu 'hasil' yang tidak akan pernah selesai, selalu dalam proses dan selalu disusun dalam gambaran atau representasi atas sesuatu. (Prabowo, 2008). Woddward (1997; dalam Ennaji, 2005) menyatakan bahwa identitas sosial dalam dunia kontemporer saat ini berasal dari berbagai sumber seperti kebangsaan, etnisitas, kelas sosial, komunitas, gender, yang memberikan kita tempat di dunia ini, serta menyediakan sarana penghubung antara kita dan masyarakat dimana kita hidup.

Teori sInteraksi Simbolis Teori Interaksi Simbolis (atau Interaksionisme Simbolik) berasal dari pemikiran George Harbert Mead (1863-1931). Beliau adalah seorang profesor kelahiran Massachusetts, AS. Sebagian besar karirnya dihabiskan dengan mengajar di University of Chicago (Rogers. 1994: 166). Interaksi, didefinisikan sebagai proses saling mempengaruhi dalam bentuk perilaku atau kegiatan di antara anggota-anggota masyarakat, sedangkan „simbolik‟ adalah bersifat melambangkan sesuatu (Effendy, 1989: 184). Kamus Besar Bahasa Indonesia mendefinisikan interaksi sebagai hal yang saling melakukan aksi, berhubungan, mempengaruhi; antar hubungan. Sedangkan simbolis adalah sebagai lambang; menjadi lambang; mengenai lambang (KBBI, 2001). Teori Interaksi Simbolis adalah perspektif teoritis yang memandang masyarakat sebagai lambang-lambang (symbols) yang digunakan untuk membangun makna, mengembangkan pandangan mereka tentang dunia, dan berkomunikasi satu sama lainnya.

Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dengan penelitian ini antara lain: Manganalisis secara mendalam dan mendetail mengenai bagaimana para diaspora Indonesia, khususnya diaspora Bali membentuk identitas budaya nasional Indonesia melalui pariwisata. Mengkaji sejauh mana upaya promosi pariwisata yang dilakukan oleh para diaspora Bali di Eropa. Diharapkan kajian ini mampu menumbuhkan semangat jiwa nasionalisme dan kebanggaan terhadap pariwisata dan budaya nasional, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya promosi pariwisata Indonesia di luar negeri.

Manfaat Penelitian Manfaat yang hendak diperoleh dengan penelitian ini adalah adanya kajian mengenai proses pembentukan identitas budaya nasional Indonesia melalui pariwisata, sekaligus mengetahui sejauh mana upaya promosi pariwisata yang dilakukan oleh para diaspora Bali di Eropa. Diharapkan kajian ini mampu menumbuhkan semangat jiwa nasionalisme dan kebanggaan terhadap pariwisata dan budaya nasional, sekaligus membangun kesadaran akan pentingnya promosi pariwisata Indonesia di luar negeri.

36

2. METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian Lokasi utama penelitian ini adalah di Bali, walaupun data-data primer (via internet/on line) diperoleh dari Eropa, tepatnya di Prancis. Adapun yang melatar belakangi alasan dipilihnya Perancis adalah: 1. Di negara perancis, jumlah diaspora Indonesia cukup banyak dan terdapat komunitas diaspora Bali yang fokus pada seni dan budaya Indonesia 2. Pada negara tetangga Perancis, yakni di Belgia dan Berlin, terdapat dua Pura Hindu yang besar, dan kedua Pura tersebut mampu mempersatukan diaspora Bali di Eropa. 3. Diaspora Bali bersama-sama diaspora Indonesia lainnya secara aktif memperomosikan pariwisata Indonesia di Eropa Jenis dan Sumber Data Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif, sehingga data yang diperlukan sebagian besar adalah data kualitatif (hasil wawancara, observasi dll) dengan dukungan dari data kuantitatif (literatur dan data-data statistik). Metode Pengumpulan Data Untuk mengumpulkan data dan berbagai informasi mengenai diaspora Bali di Eropa, peneliti menggunakan beberapa metode, antara lain: observasi, studi pustaka, wawancara dan dokumentasi. Analisis Data Penelitian ini mempergunakan teknik analisis data kualitatif deskriptif. Analisis kualitatif deskriptif adalah suatu analisis terhadap data data yang tidak berbentuk nilai atau data yang tidak berupa angka–angka, melainkan data tersebut bersifat keterangan atau uraian- uraian yang sangat berhubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian, sehingga diperoleh gambaran jelas mengenai fenomena yang terjadi di lapangan.

2. HASIL DAN PEMBAHASAN

Eksistensi Diaspora Indonesia dan Bali di Eropa Indonesia merupakan sebuah negara yang kaya akan keragaman, baik keragaman bahasa, suku, agama dan adat istiadat. Pada era perjuangan kemerdekaan, para pendiri bangsa menyadari potensi konflik yang bisa muncul jika perbedaan-perbedaan tersebut tidak diakomodasi dengan baik, yang berdampak kemerdekaan yang dicita-citakan akan semakin sulit untuk diraih. Untuk itu, muncul ide- ide untuk menyatukan perbedaan yang terangkum dalam Sumpah Pemuda, sekaligus menjadi titik balik lahirnya rasa nasionalisme dan persatuan bangsa Indonesia. Saat ini, perasaan sebagai bagian dari satu bangsa masih tetap terbawa ketika para diaspora Indonesia merantau ke tempat yang baru. Tidak jarang, para diaspora Indonesia di tempat rantau turut berupaya berkontribusi bagi bangsa melalui wadah perkumpulan diaspora. Appadurai (1996), seorang antropolog India menyatakan bahwa manusia saat ini hidup di era globalisasi, yakni sebuah era dimana interaksi sosial, budaya dan modernitas berlangsung sangat intens. Sejak era 1990-an, globalisasi ini telah menjadi isu sosial - budaya kontemporer yang sangat populer. Menurutnya, salah satu tatanan dalam globalisasi adalah Ethnoscape, yakni konstruksi perspektif mengenai arus persebaran manusia beserta kebudayaannya ke berbagai penjuru dunia. Salah satu contoh riilnya dapat dilihat pada proses mobilisasi manusia besar-besaran di berbagai belahan dunia dalam beberapa dasawasa terakhir. Pada proses perpindahan ini, diperlukan proses adaptasi pada lingkungan dan tempat yang baru, dan perlahan namun pasti, manusia saling berinteraksi kemudian berupaya menunjukkan eksistensi mereka dengan berbagai cara.

37

Di Eropa, diaspora Indonesia tersebar ke berbagai negara, terutama di Perancis, Belanda, Jerman, Belgia. Mereka pada umumnya memiliki latar belakang pekerjaan yang berbeda-beda, contohnya antara lain sebagai ilmuwan, akademisi, pelajar/mahaiswa, tenaga ahli, pekerja profesional, seniman dan usahawan. Di negara-negara tersebut, biasanya diaspora Indonesia berkumpul bersama dalam berbagai komunitas-komunitas kecil. Pada umumnya, terbentuknya komunitas diaspora adalah berdasarkan pada etnis, asal daerah, pekerjaan ataupun hobi. Berbagai komunitas ini dianggap mampu mewadahi, memelihara sekaligus mewakili eksistensi diaspora Indonesia di tempat yang baru. Masing-masing komunitas memiliki kekhasan tersendiri, sebagai bagian dari karakteristik yang mereka coba pertahankan. Salah satu komunitas diaspora Indonesia yang cukup dikenal di Eropa adalah komunitas Sekar Jagat Indonesia (SJI) yang berbasis di kota Paris, Perancis. Pada awalnya, komunitas ini dibentuk oleh para diaspora Bali sebagai wadah berkumpul dan silaturahmi serta upaya pelestarian seni dan budaya Bali di kota Paris. Seiring waktu, anggota komunitas ini bertambah dan sebtidak saja berasal dari Bali, namun berkembang dan mencakup beragam etnis dari berbagai pelosok Indonesia. Seiring perkembangan organisasi dan heterogentitas anggotanya, SJI semakin fokus pada upaya pelestarian dan pengembangan seni budaya Indonesia. Komunitas SJI dipimpin oleh Ibu Putu Anggawati Sautelet, seorang diaspora Bali yang telah lama menetap di Perancis. SJI memiliki nama besar dalam diplomasi kesenian dan kebudayaan Indonesia di Eropa. Komunitas SJI seringkali diundang untuk pentas kesenian Nusantara di berbagai kota di berbagai negara Eropa. Selain komunitas seni budaya SJI, komunitas diaspora lainnya juga memberikan warna baru dalam upaya eksistensi diaspora Indonesia di Perancis, antara lain: PPI (Perhimpunan Pelajar Indonesia) Perancis sebagai wadah berkumpulnya para pelajar dan mahasiswa Indonesia yang sedang malanjutkan pendidikan mereka di Perancis, mereka bahkan mampu menyatukan diri dengan dengan membentuk wadah PPI Dunia dan menggelar event olimpiade sains internasional serta memberikan beasiswa bagi pelajar Indonesia. PPI lahir tahun 1958 dan saat ini diperkirakan anggotanya berjumlah 450 orang. Di Perancis, terdapat sekitar 20 cabang yang tersebar di di berbagai wilayah PPI secara aktif mengadakan kegiatan dengan tema pendidikan dan kebudayaan, yang bermuara pada promosi pariwisata Indonesia Selanjutnya adalah Asosiasi Sokasi Banten, sebuah asosiasi Franco-Indonesia (keturunan Indonesia) yang didirikan oleh Cathrene Chouard pada tahun 2009 untuk membantu keluarga- keluarga miskin di Indonesia, Asosiasi Pantcha Indra, komunitas seni tari dan musik tradisional Nusantara, dipimpin oleh Bapak Christophe Moure, Asosiasi Pencak Silat KBRI Paris, sebagai wadah pecinta seni beladiri Pencak Silat khas Indonesia, Association des Indonésiens de Brest (ASSINDO- BREST), sebagai wadah diaspora Indonesia di kota Brest, Asosiasi Amicale Franco-Indonésienne de Montpellier (AFIM), Asosiasi Rasa Sayang, dipimpin oleh Ibu Ade Champain, Asosiasi Badminton Nusantara Paris, Asosiasi ANAK (Aide aux Enfants d‟Indonésie), Asosiasi Peduli Alam, Asosiasi Bhineka Tunggal Ika, Asosiasi Enfance Sumatra, Asosiasi Danse le Monde, Asosiasi Sourires d‟Indonesie, Asosiasi Franco-Indonesia Khatulistiwa dan masih banyak lainnya. Berdasarkan data KBRI Paris, pada bulan Maret 2015, tercatat sekitar 44 komunitas diaspora Indonesia yang tersebar di Perancis saja (KBRI Perancis, 2015). Melalui berbagai wadah organisasi tersebut, para diaspora Indonesia memiliki peran ganda. Selain sebagai wadah berkumpul, silaturahmi, menyalurkan bakat dan hobi, para diaspora Indonesia juga berupaya untuk memperkenalkan kekayaan seni dan budaya Nusantara kepada masyarakat di Eropa. Selain itu, melalui komunitas yang mereka bangun, mereka turut berkontribusi terhadap upaya pengentasan kemiskinan, pendidikan dan peningkatan kesejahteraan anak-anak dan keluarga miskin di Indonesia.

Diaspora Bali Sebagai Katalis Pariwisata Indonesia di Eropa

38

Komunitas Sekar Jagat Indonesia (SJI) beranggotakan diaspora Bali dan diaspora Indonesia lainnya yang menetap di kota Paris, Perancis. Mereka berasal dari berbagai kalangan dan latar belakang profesi. Anggota SJI, selain orang asli Indonesia, ada pula keturunan Indonesia, dan orang Eropa asli. Disinilah sekat-sekat etnis maupun kedaerahan dihilangkan, diganti dengan rasa persatuan sebagai bagian dari Indonesia. Walaupun berbeda, mereka dipertemukan melalui rasa cinta terhadap kegiatan seni dan budaya Indonesia. Nama SJI cukup disegani di kalangan pecinta seni dan budaya Asia di Perancis, dan sering diundang mengisi acara pada berbagai tempat di Perancis, SJI bahkan pernah diundang hingga ke Belanda dan Belgia. Setiap minggu, komunitas SJI secara rutin berkumpul dan berlatih bersama. Sebagian besar anggota SJI membawa keluarga serta anak-anak mereka. Sementara anggota dewasa berlatih tari tingkat lanjuti, anak-anak diajarkan tari tingkat dasar. Walaupun anak-anak mereka merupakan keturunan Perancis, namun tetap mencintai kesenian dan kebudayaan Indonesia. Pada setiap pertemuan, setiap anggota diwajibkan membawa makanan khas Nusantara dan kemudian dinikmati bersama-sama di akhir acara. Tujuan pertemuan rutin ini, agar tali silaturahmi tetap terjaga dan anak- anak mereka tidak kehilangan rasa memiliki “akar budaya” Indonesia Para anggota SJI memiliki visi misi yang sama, yakni berupaya melestarikan kekayaan seni dan budaya Indonesia yang mereka cintai, sekaligus memperkenalkan kepada masyarakat Eropa. Mereka juga berusaha secara aktif mempromosikan pariwisata Indonesia melalui berbagai kegiatan pentas budaya. SJI memiiki hubungan yang baik dengan KBRI Perancis, sehingga tercipta simbiosis mutualisme dalam upaya promosi pariwisata Indonesia yang diadakan oleh KBRI Perancis. Di Belgia, terdapat sebuah pura (tempat sembahyang umat Hindu) bernama Pura Agung Santi Bhuwana. Pura ini berlokasi di Taman Pairi Daiza, sebuah taman rekreasi tematik seluas 55 hektar di Kota Brugelette atau sekitar 85 km dari Brussel. Pura ini dibangun oleh Eric Domb, seorang Belgia yang mencintai kebudayaan Bali, diresmikan tahun 2009 oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Arsitektur khas Bali tampak jelas dan megah, diantaranya: Candi Bentar, Kori Agung, Padmasana, Bale Piyasan, Bale Gong, Bale Kul-kul, Bale Paruman dan Pelinggih. Bahkan, taman yang ada disekelilingnya sengaja dibuat begitu indah menyerupai sawah berterasering (berundag-undag) layaknya di Bali. Bangunannya terbuat dari bahan batu hitam yang didatangkan langsung dari Yogyakarta dan Bali. Pura ini sangat identik dengan pura-pura yang ada di Bali, dan konon merupakan pura Hindu terbesar di luar Indonesia. Diaspora Bali di Belgia dan Luxemburg memiliki wadah komunitas yang mereka namakan Banjar Shanti Dharma Belgia-Luxembourg. Komunitas ini biasanya mengkoordinir setiap perayaan odalan (festival atau hari suci umat Hindu), seperti Purnama, Galungan, Kuningan, Nyepi, Saraswati dan Tumpek. Setiap ada kegiatan persembahyangan, pura ini selalu dipenuhi diaspora Bali dari Belgia, Perancis, Belanda dan penjuru Eropa lainnya, serta diaspora Indonesia lainnya yang bukan beragama Hindu. Di Jerman, terdapat dua buah pura Hindu dengan arsitektur khas Bali. Pertama, terletak di kota Berlin, berdiri sebuah pura yang bernama Pura Tri Hita Karana. Pada awalnya, pura ini merupakan bagian kecil dari taman rekreasi tematik bernama Balinesischer Garten atau Taman Bali. Pura ini kemudian direnovasi agar lebih megah dan luas karena tingginya antusiasme pengunjung, serta diubah namanya menjadi Tropenhalle. Uniknya, pura dengan konsep taman tropis ini dibangun di tengah- tengah rumah kaca yang besar, mencapai tinggi bangunan sekitar 12 meter. Sebagai pelengkap, di sekitar taman terdapat sebuah kafe dengan tematik Bali. Pura ini merupakan sumbangsih dari Pemerintah Kota Berlin bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk mempererat hubungan serta bagian dari promosi pariwisata kedua negara. Pura kedua bernama Pura Sangga Bhuana, berlokasi di halaman depan Museum kebudayaan Volkerkunde, kota Hamburg, Jerman. Pura ini merupakan tempat sembahyang diaspora Bali yang bermukim di Jerman.

39

Diaspora Bali di Jerman menyebut komunitas induknya dengan nama Nyama Braya Bali Jerman (berarti ikatan persaudaraan perantau Bali), sedangkan kelompok yang lebih kecil disebut Tempek, berdasarkan nama wilayah tempat tinggal mereka masing-masing. Komunitas ini secara aktif berupaya mempertahankan kesenian dan kebudayaan Bali di tanah rantau, sekaligus memperomosikan pariwisata Indonesia dengan mengundang grup kesenian dari Bali untuk pentas di kota-kota yang ada di Jerman. Melalui berbagai kegiatan seni dan budaya, diaspora Indonesia sebenaranya turut terlibat langsung dalam memperkenalkan dan mempromosikan pariwisata Indonesia di tengah-tengah masyarakat Eropa. Dengan demikian diaspora Indonesia memiliki peran penting dalam upaya diplomasi budaya dan pariwisata Indonesia di ranah internasional. Selain itu, kesadaran sebagai bagian dari bangsa Indonesia, menjadikan para diaspora di tanah rantau bersatu padu untuk menghilangkan sekat-sekat etnis ketika melakukan diplomasi kebudayaan ini. Seluruh proses di atas merupakan bagian dari proses pembentukan identitas budaya nasional yang pada akhirnya bisa memupuk rasa kebanggaan, nasionalisme dan cinta tanah air, yang kemudian diturunkan pada anak- anak mereka.

3. KESIMPULAN

Eksistensi diaspora Bali yang tersebar ke seluruh dunia seringkali menjadi rujukan bagi pengembangan kesenian dan kebudayaan Indonesia di luar negeri, khususnya di Eropa. Di tempat yang baru, diaspora Bali senantiasa menjaga nilai-nilai kultural yang mereka warisi dari tempat asalnya, yang kemudian mereka rekonstruksi bersama-sama diaspora Indonesia etnis lainnya. Pada proses ini, diaspora menjadi katalis bagi diaspora Indonesia lainnya, dalam upaya pelestarian seni dan budaya Indonesia yang bermuara pada upaya memperomosikan pariwisata Indonesia pada masyarakat Eropa. Diaspora Indonesia selalu berusaha menjaga identitas kultural mereka dengan berbagai cara, termasuk dalam kegiatan promosi seni, budaya dan pariwisata Indonesia. Secara regular, mereka mengadakan berbagai pertemuan sesuai wilayah geografisnya demi menjaga tali silaturahmi dan rasa persaudaraan di antara sesama mereka. Selain itu, mereka juga berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan publik. Berbagai pertemuan tersebut, biasanya selalu dihadiri oleh orang Eropa dari luar komunitas diaspora Indonesia. Secara sadar, diaspora Indonesia menikmati peran mereka untuk turut berkontribusi positif memperomosikan pariwisata Indonesia di negara-negara Eropa melalui berbagai kegiatan seni dan budaya Indonesia. Kekhawatiran mengenai lunturnya identitas budaya pada generasi turunan diaspora Indonesia, dapat diminimalisir melalui berbagai kegiatan yang memerlukan keterlibatan aktif para diaspora beserta keluarganya. Pada berbagai kegiatan yang diadakan, sekat-sekat budaya, etnis maupun geografis dihilangkan menjadi sebuah identitas budaya Indonesia. Kebudayaan dan kesenian Indonesia telah menjadi simbol identitas nasional, yang kemudian dikenal oleh public Eropa, hal ini juga memperkuat rasa nasionalisme di kalangan diaspora Indonesia di Eropa.

DAFTAR PUSTAKA Appadurai, Arjun. 1996. Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization Public Words1. University of Minnesota Press: Minneapolis. USA Ardika, I Wayan. 1997. 'Bali Dalam Sentuhan Budaya Global Awal Abad Masehi' dalam Dinamika Kebudayaan Bali. Ardika, I Wayan dan Sutaba, I Made (eds) Denpasar: Upada Sastra.

40

Boomgaard, Peter. 2004. „Human Capital, Slavery and Low Rates of Economic and Population Growth in Indonesia, 1600–1910‟. dalam Gwyn Campbell (ed). 2004. Studies In Slave And Post-Slave Societies And Cultures. Frank Cass Publishers: Inggris Chadwick, Bruce dkk. 1991. Metode Penelitian Ilmu Pengetahuan Sosial. Terjemahan Sulistyo dkk. : IKIP Semarang Press. Cohen, Erik. et al. 2008. Youth Tourism to Israel Educational - Experiences of the Diaspora. Great Britain: Cromwell Press Coles, T. E., dan D. J. Timothy. eds. 2004. Tourism, Diasporas and Space. London: Routledge. Coles, Tim, David Timothy Duval, dan C. Michael Hall. 2005. „Tourism, mobility, and global communities: new approaches to theorizing tourism and tourist spaces‟ dalam William. F (ed). 2005. Global Tourism: Third edition. Elsevier Effendy, Onong Uchjana. 1989. Kamus Komunikasi. Bandung: Mandar Maju Endrayadi, Eko Crys. 2013. „Perjuangan Identitas Komunitas Sedulur Sikep Di Kabupaten Pati Provinsi Jawa Tengah‟. Disertasi. Prodi Kajian Budaya. Denpasar: Universitas Udayana Ennaji, Moha. 2005. Multilingualism, Cultural Identity, and Education in Morocco. Springer Science & Business Media hal.19-23 Esman, Milton J. 2012. „Diasporas in the Contemporary World‟. Journal of International Sociology. . 2012 27: 240 versi online: http://iss.sagepub.com/content/27/2/240 Hall, Stuart. Cultural Identity and Diaspora. London: 1990. hal 393 KBBI. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi ke-3 – Cetakan 1. Jakarta: Balai Pustaka Kinasih, Ayu Windy. 2007. Identitas Etnis Tionghoa di Kota Solo.Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP UGM Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset Kompas, 2013. Diaspora Tuntut Dwiwarga Negara: Perubahan Disarankan Diperjuangkan Lewat UU. Senin 19 Agustus 2013 hal 9 Kompas, 2013. Kaji Pertimbangan Sejarah: Naskah Akademis Status Dwiwarga Negara Bisa Diajukan. Selasa 20 Agustus 2013 hal 10 Lewis, Jeff . 2006. „Paradise defiled: the Bali bombings and the terror of national identity‟. dalam European Journal of Cultural Studies 2006 9: 223 versi online: http://ecs.sagepub.com/content/9/2/223 Mansyur Amin (Ed), Moralitas Pembangunan Perspetif Agama-Agama, M.LKPSM NU : Yogyakarta Mathieson, A. and Wall, G. (1982) Tourism economic, physical and social impacts, Longman Group Limited Maulana, Achmad dkk., 2003. Kamus Ilmiah Populer Lengkap, Yogyakarta :Absolut McKean, Philip Frick. 1973. ‗Cultural Involution: Tourists, Balinese, and The Process of Modernization in Anthropological Perspective‘. Unpublished Ph. D dissertation. Brown University. Mudji, Sutrisno dan Putranto, Hendar (ed). 2007. Cultural Studies: Tantangan Bagi Teori-Teori Besar Kebudayaan. Depok: Penerbit Koekoesan Nababan, P.W.J. 1984. Sosiolinguistik: Sebuah Pengantar. Jakarta: PT Gramedia Narottama, Nararya. 2012. Spiritual Tourism: Case Study Of Foreigners Participation In The Pitrayajña Ceremony In Muncan Pakraman Village, Selat, Karangasem, Bali. Thesis. Master of Tourism Research. Udayana University, Bali and Université Paris 1 – Pantheon Sorbonne, Paris Narottama, Nararya. 2015. The Existence of Balinese Diaspora in Europe: The Process of Formation of Cultural Identity and Tourism Promotion (Case Study Of Sekar Jagat Indonesia In Paris, France). Proceedings of the Tourism and Hospitality International Conference (THIC 2015) Narottama, Nararya dan Sudarmawan, Eka. 2016. The Indonesian Diaspora in Europe: Culinary as Cultural Identity. Dalam Advances in Economics, Business and Management Research. doi:10.2991/ictgtd-16.2017.9 and Tourism Promotion in Paris, France Narwoko J. Dwi & Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004, hlm. 350

41

Natalegawa, Marty. 2013 (dalam Setkab. 2013. "3800 Diaspora Indonesia 'Pulang Kampung' Ikuti Kongres di Jakarta" Press Conference. http://setkab.go.id/berita-9890-3800-diaspora- indonesia-pulang-kampung-ikuti-kongres-di-jakarta.html Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata, Cetakan Pertama, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia (Version Originale: 1992. Bali: Tourisme culturel et culturel touristique, Paris: Editions l'Harmettan Relin, D.E. 2011. Pemertahanan Tradisi Ruwatan dalam Era Modernisasi Dalam Masyarakat Jawa, Di Desa Kumendung, Muncar, Banyuwangi, Jawa Timur. Desertasi. Denpasar : PS. Kajian Budaya Universitas Udayana Ritzer, George. Barry Smart. 2001. Handbook of Social Theory. London: SAGE Publications Ltd. Ritzer, George. Douglas J. Goodman. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta:Kencana Prenada Media Group Robin Cohen. 1997. Global Diasporas: An introduction. Routledge Rogers, Everett. M. 1994. A History of Communication Study: A Biographical Approach. New York: The Free Press. Setiadi, Elly M, dkk. 2006. Ilmu Sosial dan Budaya Dasar. Jakarta : Kencana. Soerjono Soekanto. 1990. Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990, hlm. 301 Titib, I Made. 1998. Kebudayaan Bali Sebagai Cerminan Ajaran Agama Hindu: Peranan Sekehe Taruna Untuk Melestarikannya. Makalah. Titib, I Made. 2006. Persepsi Umat Hindu di Bali tentang Svarga, Naraka, dan Moksa dalam Svargarohanaparva: Perspektif Kajian Budaya. Surabaya: Penerbit Paramita. Titib, I Made. 2006. Wisata Ritual dan Spiritual: Bagaimana Cara Mengemasnya Paper. Matrikulasi Program Studi Kajian Pariwisata, Universitas Udayana Denpasar. Vink, Markus. 2003. ‟The World‟s Oldest Trade”: Dutch Slavery and Slave Trade in the Indian Ocean in the Seventeenth Century‟. Journal of World History, Vol. 14, No. 2. University of Hawai„i Press VOC 1276, OBP 1671, fls. 684–1007, Notitie [Speelman] . . . tot Naerrichtinge voor den Ondercoopman Jan van Opijnen, 17.2.1670; J. Noorduijn, “De Handelsrelaties van het Makassaarse Rijk Volgens de Notitie van Cornelis Speelman uit 1670,” Nederlandse Historische Bronnen III (Amsterdam, 1983), pp. 96–123. dalam Vink, 2003 Op. Cit Wahab, Salah and Cooper, Chris (eds). 2001.Tourism in the Age of Globalization. New York : Routledge Wallace, Walter L,1990. Metode Logika Ilmu Sosial. Penerjemah Yayasan Solidaritas Gama. Jakarta: Bumi Aksara. Wesnawa, I B. Suandha. 1994. Aspek Teosofis Ajaran Hindu Dan Pembangunan Dalam Moralitas Pembangunan Perspetif Agama-Agama, M.Mansyur amin (Ed), LKPSM NU : Yogyakarta Woodward, K. 1997. (Ed.). Identity and Difference. London: Sage. World Tourism Organization. 1995. Technical Manual: Collection of Tourism Expenditure Statistics. WT0

SUMBER INTERNET:

Detik. 2015. Presiden Indonesian Diaspora Network: Diaspora Tuntut Kewarganegaraan Ganda. dalam https://news.detik.com/wawancara/2995530/presiden-indonesian-diaspora-network- diaspora-tuntut-kewarganegaraan-ganda dikunjungi tanggal 16 Juli 2017 Dwipayana, AAGN Ari. 2004. Diaspora Bali. http://balipublika.com/diaspora-bali/#more-138. dikunjungi tanggal 4 Maret 2013 George Ritzer dan Gouglas J. Goodman, Teori Sosiologi Modern, Jakarta http://library.binus.ac.id/eColls/eThesis/Bab2/2008-1-00130 IG% 20Bab% 202. pdf Harramain, M. Eric. 2009. Teori Interaksi Simbol (Symbolic Interaction Theory – SI) dalam http://eric-harramain.blogspot.com dikunjungi pada tanggal 2 Februari 2014

42

Hutasoit, Ramot. 2013. Paham Eksistensialisme. dalam http://ramothutasoit.blogspot.com/2013/06/paham-eksistensialisme.html diakses pada tanggal 2 Februari 2014 KBRI Perancis, 2015. Liste Des Associations Franco - Indonesiennes En France dalam https://ambassadeindonesie.fr/blog/2009/09/28/liste-des-associations-franco-indonesiennes-en- france-2/ diakses tanggal 20 Juli 2017 Prabowo, Aditya Ari. 2008. Konstruksi Identitas Budaya Masyarakat Imigran Turki di Jerman Dalam Film « Kebab Connection ». Skripsi. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya. Universitas Indonesia. http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/127003-RB11P361ki-Konstruksi%20identitas- Literatur.pdf dikunjungi tanggal 25 April 2013 Rahardjo, Mudjia. 2010. Diaspora dalam Pergeseran Budaya dan Bahasa. http://mudjiarahardjo.com/artikel/213-diaspora-dalam-pergeseran-budaya-dan-bahasa.html. dikunjungi tanggal 3 April 2013 Ramadhan, Bagus. 2015. Jumlah Diaspora Indonesia Dipercaya yang Terbesar Ketiga di Dunia dalam https://www.goodnewsfromindonesia.id/2015/08/24/jumlah-diaspora-indonesia- dipercaya-yang-terbesar-ketiga-di-dunia dikunjungi tanggal 19 Juli 2017 The Marketeers.com. 2005. Harusnya Diaspora Indonesia Terbesar Ketiga di Dunia dalam http://marketeers.com/harusnya-diaspora-indonesia-terbesar-ketiga-di-dunia/ diakses tanggal 20 Juli 2017 Tempo. 2015. Memanfaatkan Diaspora Indonesia. dalam http://www.tempo.co/read/opiniKT/2015/08/11/10672/memanfaatkan-diaspora-indonesia, diakses tanggal 11 Agustus 2015

43

Foto Dokumentasi Kegiatan Diaspora Indonesia di Eropa

Gambar 1. Gambar 2. Penulis (kiri) berpartisipasi dalam kegiatan seni Atraksi seni yang dipentaskan diaspora Bali budaya bersama para diaspora Bali dan Indonesia selalu menarik minat masyarakat Eropa di Pura Belgia (sumber : koleksi pribadi) (lokasi : Pura Belgia) (sumber : koleksi pribadi)

Gambar 4. Kantin KBRI Paris, Perancis yang menyediakan Gambar 3. makanan khas Nusantara, tempat berkumpul dan Diaspora Indonesia dalam oraganisasi Sekar Jagat bersantap bagi para diaspora Indonesia (sumber : Indonesia berkumpul bersama untuk mempererat tali KBRI) persaudaraan di perantauan (lokasi : Paris) (sumber : koleksi pribadi)

Gambar 5. Organisasi PPI Perancis, wadah berkumpulnya komunitas pelajar Indonesia (lokasi : Paris) (sumber : koleksi pribadi) Gambar 6. Kegiatan diaspora Bali diliput media komunitas para diaspora Indonesia di Jerman (sumber : indonesienmagazin.de)

44

Gambar 7. Poster promosi kegiatan seni dan budaya « Pasar Gambar 8. Hamburg » di Jerman (sumber : indonesienmagazin.de) Pentas budaya Indonesia, kolaborasi SJI dan PPI Caen, Perancis (sumber : FB Wulan Panyalai Chaniago)

Gambar 9. Keterlibatan orang Eropa dalam pentas budaya Indonesia Gambar 9. di KBRI Paris (sumber : FB Sekar Jagat Indonesia) Susunan acara dalam pentas budaya oleh diaspora Indonesia di Paris (sumber : FB Dhiena Racki)

Gambar 9. Diaspora Indonesia berfoto bersama seusai pawai Gambar 9. sekaligus promosi pariwisata di Paris, Perancis Promosi kegiatan seni budaya Couleurs Indonesia di (sumber : FB Sekar Jagat Indonesia) Perancis (sumber : FB Srikandi Ahak)

45

STRATEGI MENINGKATKAN PENJUALAN MAKANAN MENU ALA CARTE PADA RESTORAN WARUNG BALI DI DESA WISATA SANGEH BADUNG

I Nyoman Tri Sutaguna1, Ni Made Ariani2 Diploma IV Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana12 Jl. DR. R. Goris No. 7 Denpasar, Telp / Fax (0361) 223798, E-mail : [email protected]

Abstrak

Menu merupakan salah satu bagian yang dapat menentukan keberhasilan suatu restoran, sehingga pihak manajemen harus benar-benar memperhatikannya. Menyadari pentingnya menu bagi kelangsungan hidup restoran, maka Restaurant Warung Bali perlu melakukan analisa terhadap menu yang disajikan secara periodik agar dapat mengetahui kondisi menu serta keinginan konsumen. Dengan melakukan analisis terhadap menu yang ditawarkan secara periodik, diharapkan perusahaan mampu mendapatkan keuntungan yang optimal dan dapat digunakan untuk pengembangan usaha dimasa depan. Sebenarnya pihak manajemen di Restoran Warung Bali sudah melakukan evaluasi terhadap makanan yang disajiakan kepada wisatawan,namun target penjualan dan pendapat dari wisatawan terhadap menu makanan yang dinikmati tidak mencapai tujuan yang diinginkan. Berdasarkan latar belakang masalah tersebut maka dapat dirumuskan perasalahannya yaitu bagaimanakah menentukan posisi menu yang baik sehingga dapat dengan mudah untuk dianalisis memakai teknik analisis menu engineering dan akan meningkatkan penjualan makanan serta dicarikan strategi pemasaran yang baik. Berdasarkan pokok permasalahan serta hasil analisis data, dapat diketahui posisi dari masing-masing makanan yang ada dalam menu. Dari jenis makanan tersebut dapat dikelompokkan menjadi empat kategori dengan menggunakan strategi bauran pemasaran 4P (Product, Price, Promotion and Place) serta disimpulkan sebagai berikut: 1) Kategori Star sebanyak 32,73%, makanan kategori ini merupakan jenis makanan yang memiliki tingkat popularitas dan tingkat kontribusi margin yang tinggi sehingga perlu dipertahankan untuk menjaga tingkat penjualan yang tetap baik. 2) Kategori Plowhorse sebanyak 34,55%, jenis makanan kategori ini memiliki tingkat popularitas yang tinggi tetapi tingkat kontribusi marginnya rendah, sehingga harus dipikirkan cara agar harga jual dari makanan ini tidak terlalu mahal dan wisatawan mau menikmati menu tersebut. 3) Kategori Puzzle sebanyak 16,36%, jenis makanan kategori ini memiliki tingkat popularitas yang rendah tetapi tingkat kontribusi marginnya yang tinggi. Hal ini perlu dilakukan cara agar makanan yang disajikan dapat lebih terkenal atau menarik perhatian dari wisatawan yang menikmati menu tersebut, sehingga tujuan dari tingkat penjualan dapat tercapai. 4) Kategori Dog sebanyak 16,36%, jenis makanan ini memiliki tingkat popularitas dan kontribusi margin yang rendah. Menu jenis ini diperlukan perhatian khusus, apakah perlu diganti atau diperbaiki agar tingkat penjualan makanan dapat tercapai dengan baik. Kata kunci: Menu ala carte, enu engineering dan marketing mix

Abstract A menu is one of part that can determine the successful of a restaurant, so that the management party should take attention on it. Aware to the importance of the menu for continuation of the restaurant, hence the Restaurant Warung Bali should necessary to analyse the menu which presented periodically in order to know the condition of menu as well as the consumer desires. By analyzing the menu offered periodically, it will be expected the company able to get optimum profit and it can be used for future business development. Actually, the management at restaurant Warung Bali has been conducted an evaluation to the food which presented to tourists, but the sales target and income from tourist on the food menu that has been enjoyed not yet achieve the desired goal. Based on the background of the problem can be formulated the issues that are how is to determine the good position of menu so that it can be easily analyzed by menu engineering and it will increase sales of food and look for a good marketing strategy. Based on the main subject and the results of the data analysis, we can know the position of each available food in the menu. The foods can be grouped into four categories by using the 4P marketing mix (Product, Price , Promotion and Place ) and it can be summarized as follows : 1 ) star category are 32.73 %, this type of food have high levels of popularity and high level of contribution margin so that needs

46

to be maintained to keep the level of sales remain good category . 2 ) Plowhorse category are 34.55 %, this type of food has high level of popularity, but the level of contribution margin is low , so that it should be considered a way for the sale price of the food is not too expensive and tourists want to enjoy the menu. 3 ) Puzzles category are 16.36% , the type of food has a low popularity level but high level of contribution margin. It will be need to conduct a manner in order the food can be more famous or attract the attention of tourist who enjoy the menu, so that the goal of the level of sales can be achieved . 4) Dog categories are 16.36 %, these foods have high levels of popularity and contribution margin is low. This type of menu required special attention, whether it needs to be replaced or repaired so that the level of sales can be achieved with good category.

Keywords: ala carte menu, menu engineering and marketing mix

1. PENDAHULUAN

Pariwisata di Indonesia merupakan salah satu sumber devisa bagi negara dan juga membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pendapatan daerah, pemberdayaan perekonomian masyarakat, serta memperluas kesempatan kerja. Dengan berkembangnya pariwisata berkembang pula industri pendukung pariwisata seperti akomodasi perhotelan, restoran atau biro perjalanan wisata. Dari sekian banyak kebutuhan yang diinginkan wisatawan, yang dikenal salah satunya adalah fasilitas akomodasi perhotelan. Salah satu fasilitas yang diberikan kepada wisatawan seperti restoran, dimana fasilitas ini dapat memberikan keuntungan kepada pihak hotel ataupun sebaliknya, baik dari keuntungan penjualan maupun kepopuleran makanan tersebut. Perhatian yang serius perlu dilakukan oleh pihak manajemen hotel agar persaingan bisnis penjualan makanan dan minuman dapat memberikan keuntungan yang maksimal bagi hotel, karena saat ini sudah banyak hotel-hotel maupun restoran saling bersaing untuk memberikan yang terbaik bagi wisatawan untuk menikmati hidangan kuliner ditempat tersebut. Salah satu daerah tujuan wisata di Indonesia khususnya Bali, yang mulai berkembang dan menjadi desa wisata seperti desa Desa Sangeh, ingin meningkatkan sarana dan prasarana untuk kenyamanan wisatawan yang berkunjung ke daerah tersebut. Restoran Warung Bali adalah contoh penunjang kepariwisataan yang mendirikan sarana akomodasi serta restoran untuk kebutuhan wisatawan yang datang. Berbagai fasilitas yang diberikan oleh management Restoran Warung Bali ini dilakukan untuk menarik minat dan memberikan kenyamanan bagi wisatawan, salah satunya adalah meningkatkan mutu makanan dan minuman yang dijual kepada wisatawan. Untuk lebih meningkatkan kualitas dan kuantitas dari pelayanan terhadap wisatawan yang akan menginap dan menikmati hidangan makanan, maka pihak manajemen vila melakukan langkah-langkah seperti menerapkan strategi pemasaran terhadap vila dan mengevaluasi menu secara berkala dengan jalan menganalisis menu yang ada di Restoran Warung Bali. Khusus pada bagian Food and Beverage Department, pihak Food and Beverage Manager beserta bawahannya perlu melakukan evaluasi menu. Evaluasi biasanya dilakukan terutama pada kualitas dan standar harga makanan yang dijual kepada wisatawan. Menu-menu makanan yang terdapat pada suatu restoran dapat bertahan atau lebih diminati oleh konsumen jika selalu memberikan perhatian dan perbaikan yang sesuai dengan keinginan serta kebutuhan konsumen. Namun kadangkala target penjualan pada menu-menu yang ditawarkan tidak pernah tercapai sesuai harapan. Penjualan makanan di Restoran Warung Bali pada periode Januari – Desember 2016 secara keseluruhan belum mencapai target yang ditetapkan, deviasi mencapai rata-rata sebesar Rp. 371.415.304 (36,90 %) dari target penjualan yang telah ditetapkan oleh pihak manajemen rata – rata sebesar Rp. 832.862.183. Selain dilihat dari data penjualan makanan tersebut, persepsi wisatawan terhadap kualitas, variasi, harga dan pelayanan makanan terdapat masalah, dimana dapat dilihat cukup besar wisatawan yang memberikan tanggapan yang kurang baik terhadap makanan yang disajikan. Adapun persepsi wisatawan pada kriteria makanan yang kurang dari 1000 wisatawan yang memberikan tanggapan terhadap kualitas makanan mencapai 32,5%. Variasi makanan mencapai 59,8%, sedangkan dari harga mencapai 41,5% dan pelayanannya mencapai 25,5%. Disamping itu, tidak tercapainya target penjualan makanan di Restoran Warung Bali, selain dipengaruhi oleh faktor – faktor tersebut tadi, kemungkinan faktor yang lain juga bisa mempengaruhi seperti karena kurang populernya makanan yang disajikan kepada konsumen.

47

Semakin ketatnya persaingan dalam penjualan makanan, maka pihak manajemen vila perlu menganalisis produk, yaitu dengan cara menganalisis menu secara periodik dengan menggunakan analisis menu engineering. Keunikan dari menu engineering ini adalah kemampuannya untuk menggolongkan jenis menu, yang tidak hanya berdasarkan harga jual tetapi juga berdasarkan komposisi menu (Funnekotter, 1996: 97). Pihak manajemen Restoran Warung Bali jarang melakukan analisis terhadap menu karena hanya berpatokan pada sejarah penjualan (history of sale) saja, untuk menentukan nasib menu pada Vila ini. Langkah menggunakan analisis menu engineering ini dilakukan untuk mengetahui kondisi menu dan keinginan tamu terhadap menu yang ditawarkan. Alasan menerapkan teknik penyusunan menu (menu engineering), sebagai salah satu cara yang digunakan oleh pihak pengelola vila untuk menganalisis penjualan menu makanan yag ditawarkan di Restoran Warung Bali serta mempelajari sistem produksi makanan dan teknis penanganan mutu bahan maupun produk jadi dari masing-masing menu. Jadi menu engineering adalah suatu proses bertahap yang didesain untuk membantu manajemen dalam mengevaluasi harga menu saat ini maupun saat mendatang, komposisi menu dan merancang keputusan mengenai harga dan menu. Dari sekian banyaknya jenis-jenis menu yang terdapat di Restoran Warung Bali, menu Ala Carte yang akan dianalisis secara periodik. Alasan mengapa menu Ala Carte perlu dianalisis adalah karena dimana setiap makanan yang dicantumkan pada daftar makanan tersebut, disertai dengan harga tersendiri, serta menu Ala Carte memberikan peluang yang cukup luas pada pelanggan untuk memilih makanan yang sesuai dengan selera mereka. Untuk mengantisipasi kurang tercapainya target penjualan makanan sesuai dengan yang diharapkan, maka perlu diambil tindakan atau langkah-langkah dengan mengadakan penyempurnaan menu yang sudah ada. Dengan kata lain perlu dianalisis efektivitas dari setiap makanan yang disajikan dalam menu sebagai usaha untuk meningkatkan penjualan makanan di Restoran Warung Bali.

I. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, maka dapat dirumuskan pokok permasalahan, yaitu :

1. Bagaimanakah posisi menu-menu di Restoran Warung Bali, Desa Sangeh, Bali? 2. Bagaimanakah hubungan antara teknik rekayasa menu dengan tingkat penjualan makanan di Restoran Warung Bali, Desa Sangeh, Bali? 3. Bagaimanakah strategi bauran pemasaran menu untuk meningkatkan penjualan makanan di Restoran Warung Bali, Desa Sangeh, Bali?

II. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian ini dapat digolongkan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, yaitu:

Tujuan Umum

Penelitian ini secara umum memiliki tujuan untuk menentukan kategori makanan yang dijual di Restoran Warung Bali dan selanjutnya dicarikan strategi pemasaran yang baik agar tercapai peningkatan penjualan makanan.

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui posisi menu-menu di Restoran Warung Bali, Desa Sangeh, Bali.

2. Untuk mengetahui hubungan antara teknik rekayasa menu dengan tingkat penjualan makanan di Restoran Warung Bali, Desa Sangeh, Bali.

3. Untuk mengetahui strategi bauran pemasaran menu untuk meningkatkan penjualan makanan di Restoran Warung Bali, Desa Sangeh, Bali.

48

III. MANFAAT PENELITIAN Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik secara teoritis maupun praktis:

Manfaat Teoritis

Untuk memberikan manfaat akademis dan menambah wawasan serta memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya di bidang Ilmu Manajemen Food and Beverage, sekaligus sebagai sumbangan pemikiran bagi penelitian dimasa mendatang.

Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan dan penetapan kebijakan sehubungan dengan analisis menu yang diteliti di Restoran Warung Bali.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif yang menjelaskan serangkaian kegiatan yang menguraikan hasil dari analisis dengan uraian dan hitungan yang berupa angka-angka melalui observasi, wawancara, studi kepustakaan, dokumentasi atau kombinasi dari metode-metode ini (Sigit, 2001: 183). Jenis dan sumber data pada penelitian ini memiliki data yang berbeda, karena untuk mendapatkan informasi yang lebih akurat. Adapun jenis dan sumber data tersebut adalah :

Jenis data

1. Data Kuantitatif adalah data berupa angka-angka, seperti data kunjungan wisatawan ke Restoran Warung Bali serta data penjualan makanan. 2. Data Kualitatif adalah data berupa informasi-informasi yang diperoleh bukan merupakan angka- angka, melainkan pernyataan dan paparan data yang diperoleh pada penelitian, berupa struktur organisasi dan sejarah berdirinya Restoran Warung Bali, Desa Sangeh, Bali.

Sumber data

1. Sumber Data Primer adalah data yang diperoleh langsung, diolah, dan dicatat untuk pertama kalinya oleh peneliti. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan daftar pertanyaan yang bertujuan mengetahui pendapat responden mengenai menu yang disajikan ke wisatawan dan akan dianalisis. 2. Sumber Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil yang sudah diolah ataupun belum oleh pihak lain dan ada hubungannya dengan masalah yang diteliti seperti sejarah Restoran Warung Bali, struktur organisasi, menu mix, selling price atau food cost untuk digunakan sebagai landasan.

Data yang dikumpulkan dari hasil penelitian lapangan menggunakan pendekatan deskripsi kuantitatif yang disusun dan diperluas serta mendalam yaitu berupa angka-angka dengan menggunakan teknik analisis menu engineering. Menurut Kasavana (1984: 153) menyebutkan bahwa menu engineering adalah suatu alat evaluasi atau suatu cara evaluasi yang digunakan oleh manajemen atau pengelola jasa boga untuk membuat agar menu yang ditawarkan kepada calon pelanggan lebih sesuai dengan selera atau minat pelanggan, sehingga menu tersebut menjadi populer dan memberikan tingat keuntungan yang memadai.

49

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Posisi Menu di Restoran Warung Bali Desa Sangeh

Perencanaan dan penyusunan menu-menu sangatlah penting sebagai alat evaluasi yang digunakan oleh manajemen Restoran Warung Bali. Hal ini untuk membuat menu yang ditawarkan kepada calon pelanggan lebih sesuai dengan selera atau minat pelanggan, sehingga menu tersebut menjadi populer dan memberikan tingkat keuntungan yang memadai. Untuk menentukan posisi menu tersebut, harus didasarkan pada menu Ala Carte yang memiliki hidangan dan harganya tersendiri serta data sejarah penjualan (History of Sales). Ini dikarenakan History of Sales memberikan gambaran tentang nama makanan dan jumlah makanan yang dipesan pelanggan mulai dari starter sampai dessert.

3.2 Sejarah Penjualan (History of Sales)

History of Sales adalah catatan harian terhadap jumlah porsi yang mampu terjual. Catatan ini diperlukan oleh pihak manajemen Restoran Warung Bali, yang dapat dalam mengambil keputusan- keputusan untuk meningkatkan penjualan makanan dan minuman di restoran dan bar. Sejarah penjualan itu saja tidak cukup untuk menganalisis menu yang ada di Restoran Warung Bali. Harga jual dan harga pokok makanan juga sangat penting dalam penghitungan analisis ini, sehingga akan diperoleh keuntungan yang sesuai.

3.3 Harga Pokok dan Harga Jual Makanan

Harga pokok makanan adalah keseluruhan biaya yang digunakan untuk membuat satu porsi makanan yang siap dihidangkan kepada tamu. Sebelum menetapkan harga jual makanan, maka harga pokok makanan tersebut perlu dihitung secara cermat, sehingga harga jual yang ditampilkan benar- benar dapat diyakini tingkat keuntungannya serta fleksibel. Sedangkan harga jual makanan adalah harga yang dibebankan kepada konsumen karena biaya tersebut telah mencakup pertimbangan biaya, kompetisi, investasi, jenis pelanggan serta pertimbangan-pertimbangan lainnya guna mencapai keuntungan yang diinginkan perusahaan.

3.4 Rekapitulasi Hasil Analisis Menu

Dari sekumpulan data yang didapat dari analisis tersebut, maka untuk selanjutnya akan ditindak lanjuti dengan membuatkan rekapitulasi kelas menu hasil dari analisis menu pada Restoran Warung Bali pada Tabel 1. Tabel 1 Rekapitulasi Kelas Menu Analisis Menu Restoran Warung Bali Periode Januari – Juli 2017

No Kategori Jumlah Star % Puzzle % Horse % Dog %

1 Goreng Udang Ikan 6 3 50 0 0 2 33.33 1 16.67

2 Udang Goreng 3 2 66.67 0 0 0 0 1 33.33

3 Kuah/Soup Gurame 5 3 60 0 0 1 20 1 20

4 Gurame Panggang 4 1 25 1 25 1 25 1 25

5 /Panggang 12 2 16.67 3 25 7 58.33 0 0

6 Gurame Goreng 14 4 28.57 3 21.43 5 35.71 2 14.29

7 Vegetarian Pizza 4 1 25 1 25 1 25 1 25

8 Pancake Ice Cream 7 2 28.57 1 14.29 2 28.57 2 28.57

Total 55 18 32.73 9 16.36 19 34.55 9 16.36 Sumber : Restoran Warung Bali (data diolah), 2017

50

3.5 Strategi Bauran Pemasaran pada Restoran Warung Bali

Berdasarkan Tabel 1 tersebut, dapat dilihat kelas menu hasil analisis, maka selanjutnya hal-hal yang perlu dilakukan oleh pihak Manajemen Restoran Warung Bali adalah membuat strategi pemasaran yang baik. Untuk itu diperlukan pemasaran yang tepat agar kualitas makanan yang mencerminkan perbandingan antara tingkat layanan dapat disampaikan perusahaan jika dibandingkan dari ekspektasi pelanggan. Berikut strategi-strategi yang perlu dilakukan oleh pihak manajemen Restoran Warung Bali adalah sebagai berikut: A. Untuk menu yang tergolong star, hal – hal yang dapat dilakukan antara lain : 1. Product a. Mempertahankan kualitas dan kuantitas makanan. b. Mempertahankan penyajian makanan. 2. Price a. Mempertahankan harga jual. b. Mengatur harga yang disarankan. 3. Place a. Pertahankan dan bila memungkinkan tingkatkan kualitas penempatan menu. b. Mempertahankan fasilitas distribusi yang baik. 4. Promotion a. Promosi dilakukan dengan cara memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. b. Mempertahankan posisi menu. c. Menempatkan menu pada posisi lain yang strategis melalui table d‘hote menu atau special today. B. Untuk menu yang tergolong plowhorse, hal – hal yang dapat dilakukan sebagai berikut : 1. Product a. Perlu dilakukan pengawasan dan pengendalian food cost. b. Contribution margin dari kelompok ini dapat ditingkatkan melalui skill specialization atau pengurangan porsi yang mencolok. c. Mempertimbangkan pengurangan menu yang tergolong plowhorse. 2. Price a. Manajemen harus hati–hati dalam menaikkan harga jual. Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam menaikkan harga jual adalah : 1. CM jangan sampai melewati CM star. 2. Kenaikan jangan terlalu besar. 3. Pada periode selanjutnya perlu dicatat MM % nya. Apabila MM% tinggi, maka pertahankan harga jual. Namun bila MM% menurun, maka harga diturunkan. b. Bila menu ini merupakan trade mark restoran, maka pertahankan harga sejauh mungkin. Bila ada kenaikan dalam biaya, usahakan agar kenaikan harga hanya untuk menutupi kenaikan biaya. c. Mengabungkan menu plowhorse dengan menu yang memiliki daya makanan yang rendah, sehingga dapat menaikan tingkat keuntungan (contribution margin). 3. Place a. Menu plowhorse adalah menu yang cukup populer, jadi langkah yang perlu dilakukan adalah mempertahankan kualitas penempatan menu. b. Mempertahankan dan meningkatkan fasilitas penempatan menu yang memadai. c. Posisi menu yang kurang strategis harus disesuaikan dengan yang lainnya. 4. Promotion a. Promosi dapat dilakukan dengan cara memasukkan menu yang termasuk dalam kategori plowhorse dalam acara–acara yang diadakan oleh Restoran Warung Bali dengan pelayanan yang lebih baik. b. Tempatkan pada bagian menu yang kurang strategis, agar tidak menyaingi star, kecuali apabila menu ini akan ditingkatkan menjadi star dan harga jual ditingkatkan. c. Mengganti menu yang tergolong plowhorse dengan menu yang lebih menguntungkan.

51

C. Untuk menu yang tergolong puzzle, hal – hal yang dapat dilakukan adalah: 1. Product a. Menghapus menu yang penjualannya rendah. b. Bila menu ini merupakan beban bagi inventory dan membutuhkan kemampuan khusus untuk mempersiapkan dan menyajikannya, pertimbangkan untuk ditarik atau dihapus dari menu. c. Merevisi menu untuk mempengaruhi popularitas. 2. Price a. Mungkin sekali contribution margin terlalu tinggi dan ini dirasakan oleh konsumen. Dalam hal ini turunkan harga terutama bila item tersebut dirasakan memikat konsumen. b. Tetap berhati-hati, jangan sampai turunnya harga sedemikian rupa sampai mengganggu dan menyaingi star. c. Menghapus menu yang memiliki penjualan rendah. 3. Place a. Menu puzzle adalah menu yang kurang populer, jadi langkah yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas penempatan menu. b. Menempatkan menu item pada posisi yang strategis. 4. Promotion a. Promosi untuk menu yang tergolong puzzle dapat dilakukan dengan cara menonjolkan kekhasan menu yang termasuk dalam kategori ini disertai dengan foto untuk menunjang package. b. Dapat ditingkatkan popularitasnya dengan menempatkan item pada bagian menu table d‘hote beserta pelayanan yang baik. c. Dapat juga popularitasnya ditingkatkan dengan menempatkan item pada bagian menu yang strategis, melalui daily special dan promotional menu. D. Untuk menu yang tergolong dog, hal-hal yang dapat dilakukan sebagai berikut: 1. Product a. Memperbaiki menu dog dengan cara mengubah nama menu agar konsumen lebih tertarik pada menu tersebut. b. Perlu diperhatikan untuk dipromosikan. c. Jika setelah diperbaiki menu tersebut masih tergolong dog selama beberapa periode maka menu tersebut dihilangkan. 2. Price a. Menurunkan harga untuk menu yang termasuk dalam kategori dog. b. Kadang-kadang ada pelanggan yang minta adanya menu dog, tetapi jangan terpengaruh oleh permintaan 1 atau 2 orang pelanggan. Jalan keluar dalam hal ini adalah bisa menyediakan sesuai dengan permintaan tetapi tidak disebutkan dalam menu (special request). Hal ini bisa dilaksanakan bila tidak memerlukan inventory atau kemampuan tersendiri. Untuk menu special request seperti ini, harga jual harus dinaikkan. 3. Place a. Menu dog adalah menu yang kurang populer, jadi langkah yang perlu dilakukan adalah meningkatkan kualitas penempatan menu. b. Memperbaiki dan meningkatkan fasilitas penempatan menu untuk kelancaran kegiatan pelayanan terhadap pelanggan. 4. Promotion a. Meletakkan menu yang tergolong dog ditempat strategis dengan pelayanan yang lebih baik lagi. b. Menggabungkan menu dog dalam acara yang diadakan Restoran Warung Bali. c. Dapat dilakukan penempatan produk dengan harga murah dan promosi yang gencar, misalnya melalui discount atau special offer.

4. SIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa menu yang ditawarkan kepada pelanggan perlu dianalisis secara periodik, karena akan mampu mendapatkan

52

keuntungan yang optimal serta dapat digunakan untuk pengembangan usaha di masa depan. Latar belakang masalah pada Restoran Warung Bali dapat diatasi dengan melakukan teknik analisis menu engineering untuk menentukan tingkat keuntungan, kepopuleran dan kategori menu yang baik, sehingga target dan tujuan yang dicita-citakan dapat tercapai. Untuk melakukannya, maka diperlukan penentuan posisi menu-menu yang tepat . Dari sekian menu-menu yang dimiliki Restoran Warung Bali hanya jenis menu Ala Carte yang dipergunakan untuk menentukan kategori-kategori makanan, karena setiap jenis makanan pada menu ini tersendiri dan memiliki harganya masing-masing. Sehingga strategi pemasaran yang digunakan oleh Restoran Warung Bali untuk meningkatkan penjualan makanan adalah: a. Menu kategori Star dapat ditindak lanjuti dengan cara mempertahankan kualitas dan kuantitas makanan, mempertahankan harga jual, pertahankan dan bila meningkatkan kualitas penempatan menu lalu promosi dilakukan dengan cara memberikan pelayanan yang lebih baik kepada konsumen. b. Menu kategori Plowhorse memerlukan pengawasan dan pengendalian food cost, menaikkan harga tidak terlalu besar, menempatkan posisi yang kurang strategis lalu memasukkan menu ke dalam acara-acara khusus di Restoran Warung Bali. c. Menu kategori Puzzle perlu memperhatiakan serta merevisi menu untuk mempengaruhi popularitas, menghapus menu yang mempunyai penjualan rendah lalu menempatkan menu item pada posisi yang strategis. d. Menu kategori Dog harus memperbaiki menu dengan cara mengubah nama menu atau menggantinya dengan yang baru, menurunkan harga jual, meningkatkan kualitas penempatan menu dan kelancaran pelayanan lalu menempatkan produk dengan harga murah dan promosi yang gencar, misalnya melalui discount atau special offer.

DAFTAR PUSTAKA

Albers, C. H. 1974. Food and Beverage Controls. Massachusetts. Winchester: The Education Institute of Ahma Alma, Buchari. 2002. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa. Jakarta: Alfabeta Arnawa, I Gusti Putra. 1999. Diktat Pengantar Perhotelan. Badung: STIE Triatma Mulya Assauri, Sofjan. 2004. Manajemen Pemasaran Dasar Konsep dan Strategi. Jakarta: Raja Grafindo Persada Cullen, Paul. 1997. The Food and Beverage Management. Melbourne Australia: Hospitality Press Pty Ltd Damsar. 2011. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta: Kencana Dharmesta, Basu Swatha. 1999. Azas-Azas Marketing. Yogyakarta: Liberty Funnekotter, J. P. F. M. 1996. Food and Beverage Profit Engineering. Training and Consultancy, Hotel School the Hague, by order of PATA. Jakarta, Indonesia, September 2 - 5, 1996 Kasavana, M. L. And Donald I. S. 1982. Menu Engineering. Miami: Hospitality Publication Inc Kasavana, M. L. 1984. Computer System for Food Service Operation. New York: Van Nostrand Reinhold Company Inc Kotler, Philip. 1997. Manajemen Pemasaran Analisis Perencanaan Implementasi dan Pengendalian. Jakarta: LPFE Mantra, I. B. 1996. Landasan Kebudayaan Bali. Denpasar: Yayasan Dharma Sastra Mardalis. 2008. Metode Penelitian (Suatu Pendekatan Proposal). Jakarta: Bumi Aksara Maslow, A. H. 1943. A Theory of Human Motivation. Toronto: New York University Metelka, Charles J. 2001. The Dictionary of Hospitality, Travel and Tourism. New York USA: Delmal Ninemeier, Jack D. 1990. Management Food and Beverage Operation. Michigan USA: American Hotel and Motel Association Sigit, Soehardi. 2001. Pengantar Metodologi Penelitian. Yogyakarta: BPFE UST Sugiarto dan Sulartiningrum. 2001. Pengantar Akomodasi dan Restoran. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Yoeti, Oka A. 1999. Strategi Pemasaran Hotel. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

53

RESIPROKALITAS WANITA DAN PENGEMBANGAN HOMESTAY DI KAWASAN BROMO TENGGER SEMERU

Putu Gede Eka Darmaputra1,. Putu Diah Sastri Pitanatri2 Program Studi Manajemen Divisi Kamar, Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali1 Program Studi Adiministrasi Perhotelan, Sekolah Tinggi Pariwisata Nusa Dua Bali2 Jl. Darmawangsa Kampial, Nusa Dua- 80363 Bali - Indonesia Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui resiprokalitas wanita dalam pembangunan homestay di kawasan Bromo Tengger Semeru (BTS); dan faktor-faktor yang mendukung tingkat partisipasi wanita di kawasan tersebut. Data diperoleh dengan penyebaran kuesioner mempergunakan closed question dari self assessment responden. Responden dari penelitian ini terdiri dari 106 pemilik maupun pengelola Homestay di kawasan tersebut. Data dianalisis menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan membandingkannya pada literatur terkait untuk kemudian dilakukan in depth interview terhadap responden melalui metode purposive sampling. Hasilnya menunjukkan tingkat partisipasi wanita di BTS mencapai 44%. Tingginya resiprokalitas wanita berimplikasi terhadap tingkat literasi digital dan kebermanfaatan ekonomi masyarakat dalam pembangunan hometay di kawasan BTS

Kata Kunci: Homestay, resiprokalitas wanita, Literasi digital, keberlanjutan.

Abstract

This study aims to determine women reciprocity in homestay development of Bromo Tengger Semeru (BTS); and factors that support female participation in the region. Data with questionnaires were spread using closed- ended questions. Respondents from this study consist of 106 homestay owners or managers within the area. The data were then analyzed by using qualitative descriptive method; comparing it to related literature. The outcome then became tool for in-depth interviews to selected respondents. Results of the study have indicated that women participation has reached to 44%. This high reciprocity of women implicated on the level of digital literacy and the growth economic utilization of the community as part of the homestay development in the BTS area.

Keywords: Homestay, women reciprocity, digital literacy, sustainability.

1. PENDAHULUAN

Sebagai salah satu destinasi yang saat ini menjadi prioritas pembangunan kepariwisataan, Bromo Tengger Semeru (BTS) menjadi salah satu kawasan yang juga banyak dikaji oleh peneliti. Salah satu yang menjadi prioritas adalah pengembangan homestay sebagai bentuk usaha kerakyatan yang berimplikasi positif terhadap tidak hanya peningkatan kesejahteraan masyarakat lokal namun memiliki potensi yang besar bagi pengembangan kawasan. Meskipun bertajuk sebagai kawasan konservasi nasional, pembangunan homestay di kawasan ini masih dilakukan karena adanya permintaan pasar yang cukup besar. Daripada wisatawan harus menginap di Banyuwangi, lebih baik mereka menginap di rumah-rumah penduduk sehingga tidak usah terlalu jauh dari spot melihat sunrise yang menjadi ciri khas Bromo. Pembangunan homestay di kawasan Bromo Tengger Semeru pun saat ini telah menjadi prioritas utama kementerian pariwisata. Tidak hanya terpatri dalam kebijakan, program ini juga didukung oleh masayrakat lokal yang menyambut positif kebijakan tersebut. Salah satu contohnya adalah besarnya minat masyarakat untuk mengembangkan homestay di kawasan. Dalam observasi di lapangan, homestay menjadi peluang bagi mereka yang tidak memiliki skill dalam mengemudikan mobil Jeep atau berkuda. Disinilah yang menjadi peluang bagi wanita kawasan BTS untuk berkontribusi langsung terhadap pengembangan destinasi pariwisatanya.

54

Tidak dapat dipungkiri bahwa dominasi laki-laki dalam aktivitas ekonomi termasuk pariwisata juga terjadi di BTS. Meskipun demikian, wanita di kawasan BTS mulai memiliki tingkat partisipasi yang lebih pada pekerjaan-pekerjaan tertentu yang memiliki peranan penting dalam sistem maupun layanan pariwisata. Wanita memegang peranan penting dalam industri pariwisata. Berdasarkan data International Labor Organizational (ILO) Labour Inspection in Indonesia (2017) disebutkan bahwa industri jasa merupakan sektor utama bagi wanita. Tercatat jasa telah menjadi sumber utama pekerjaan wanita di Indonesia (46,7 persen) diikuti oleh pertanian (31,9 persen) dan perdagangan (22,5 persen). Tidak hanya tercatat di ILO, dalam laporan yang dirilis oleh UNWTO (2011) disebutkan bahwa keterlibatan wanita dalam pariwisata dapat mengurangi ketimpangan gender dalam pembangunan. Dalam laporan tersebut disampaikan terdapat sekurang-kurangnya lima alasan mengapa gender equity dapat tercapai melalui pariwisata, yakni: 1. Wanita memenuhi sebagian besar proporsi tenaga kerja pariwisata yang formal; artinya wanita dapat masuk ke lini manapun baik dari crew sampai general manager. 2. Wanita dapat terwakili dalam pekerjaan pelayanan, tingkat administrasi, tingkat profesional. 3. Sektor pariwisata manjadikan wanita sebagai pemilik usaha/majikan yang jumlahnya hampir dua kali lipat jika dibandingkan dengan sektor lainnya. 4. Saat ini satu dari lima menteri pariwisata di seluruh dunia adalah wanita. 5. Wanita yang bekerja di sektor pariwisata menjadi pekerja sendiri/mandiri dengan proporsi yang jauh lebih tinggi dari pada sektor lain. Dengan semakin banyaknya wanita yang terlibat terkait aktivitas pariwisata di kawasan BTS, maka perlu diidentifikasi bentuk partisipasi mereka sehingga bisa mendapatkan rekomendasi untuk meningkatkan peran wanita dalam pembangunan. Artikel ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap peran serta wanita dalam pembangunan destinasi wisata BTS dalam konteks pariwisata berkelanjutan. Atau, resiprokalitas pembangunan pariwisata melalui homestay dengan melihat peran wanita sebagai agensinya

2. METODELOGI Penelitian ini menggunakan metode mix method dimana sebanyak 106 kuesioner disebarkan pada pemilik dan pengelola homestay di kawasan Bromo Tengger Semeru. Hasil dari kuesioner tersebut kemudian direintepretasi untuk kemudian dilakukan sesi Focus Group Discussion (FGD) dengan menggunakan metode purposive sampling kepada 15 narasumber sehingga mendapatkan hasil seperti yang akan disampaikan pada pembahasan. Sebannyak 120 kuesioner disebarkan untuk kemudian menjadi data awal studi eksplorasi ini. Kuesioner disebarkan di kawasan Bromo Tengger Semeru dimana jumlah kuesioner yang valid dan datanya dapat dipertanggung jawabkan adanya sebanyak 103 (return rate sebesar 93,63%) Sebagai penelitian pendahuluan, pendekatan penelitian ini bersifat eksplorasi dengan menggunakan metode kuantitaif-kualitatif. Pendekatan kuantitatif diantaranya digunakan untuk mengetahui menilai reabilitas dan validitas data dari hasil kuesioner. Sementara pendekatan kualitatif digunakan untuk mengeksplorasi berbagai fakta dan data empiris yang terkait dengan partisipasi wanita dalam kegiatan pengelolaan homestay di kawasan BTS. Untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif terhadap data yang diperoleh, dilakukan juga review literatur kajian pariwisata yang khusus membahas mengenai partisipasi wanita dalam kegiatan pariwisata. Penelitian kemudian dilanjutkan dengan kajian lapangan dengan pedoman wawancara untuk memperdalam berbagai asumsi. Data statistik dalam bentuk angka maupun data sekunder lainnya dianalisis dan di cross check kembali dengan berbagai pendapat, argumen dari narasumber di lapangan

3. STUDI LITERATUR

Peran Wanita dalam Pariwisata Tidak dapat dipungkiri bahwa pariwisata memberikan kesempatan bagi wanita untuk memiliki panggungnya sendiri. Jika diibaratkan pada seni peran, wanita tidak hanya mendapatkan peran pengganti namun tidak sedikit yang menjadi pemeran utama. Di Bali contohnya, peranan wanita

55

terhadap pengembangan kuliner lokal terbukti berimplikasi positif terhadap pembentukan atribut baru sebuah destinasi (Pitanatri 2016, Pitanatri & Putra 2016). Dalam perspektif partisipatif, wanita di Bali memberikan manfaat pada aktor-aktor yang berinteraksi; baik dalam lingkungan keluarga maupun sosial. Semakin tinggi manfaat dari tindakan partisipatif ini maka relasi akan berlangsung semakin kuat. Partisipasi wanita dalam pekerjaan sebagai sebuah peranan dalam aspek ekonomi, menurut Fakih (1996; 2005) berkaitan dengan demokrasi politik, kultur, dan gender. Kegiatan pariwisata dan pengelolaan homestay di kawasan BTS memberikan kesempatan dan peluang kepada wanita untuk berpartisipasi dalam memberikan layanan pada wisatawan. Dari kegiatan tersebut, wanita di kawasan BTS tidak hanya berprofesi sebagai ibu rumah tangga, namun memiliki profesi tambahan sebagai pengelola maupun pemilik homestay. Dari kegiatan tersebut, wanita kemudian mendapatkan manfaat baik secara ekonomi maupun sosial budaya. Hal ini tentu selaras dengan konsep the three elements of susutainability (UNWTO 2015) dimana disebutkan bahwa setiap kegiatan pariwisata setidaknya harus memiliki prinsip-prinsip keberlanjutan terhadap sosial budaya (socio cultural sustainability), lingkungan (environmental sustainability) serta kesejahteraan (economic viability). Pemikiran Rush dan Althoff (1971; 2008) mengenai partisipasi politik kemudian dimodifikasi untuk mengetahui tingkat partisipasi wanita pada kegiatan wisata. Keempat sudut pandang tersebut adalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakan bentuk partisipasi yang dilakukan? 2. Seberapa luaskah partisipasi tersebut? 3. Siapakah yang ikut berpartisipasi dan siapa tidak? 4. Mengapa mereka turut berpartisipasi dan mengapa sebagaian tidak? Lebih lanjut, berikut disampaikan Tabel 1 yang merupakan ringkasan pemikiran Rush dan Althoff (1971; 2008: 121-180) tentang materi dan isi dari masing-masing sudut pandang.

Tabel 1. Sudut Pandang dan Materi Terkait Sudut Pandang Materi Terkait a. Bentuk Partisipasi a. Posisi atau jabatan yang diduduki, apakah mereka berperan sebagai pemimpin atau anggota, dan sebagainya. b. Tugas, fungsi, dan peran atas posisi atau jabatan masing-masing. c. Partisipasi dapat dilihat dari bentuknya yang aktif dan pasif. Partisipasi aktif terjadi secara terus menerus dan berkontribusi maksimal, sedangkan yang tidak aktif hanya berpartisipasi sewaktu- waktu saja. b. Luas partisipasi a. Bagaimana mereka memandang pentingnya partisipasi tersbut b. Sistem sosial budaya dan berbagai faktor lainnya dapat berpengaruh terhadap tingkat partisipasi. c. Minat dan tingkat partisipasi. c. Siapa saja yang berpartisipasi dan siapa a. Identifikasi terhadap mereka yang tidak yang tidak berpartisipasi. b. Mereka yang berpartisipasi tinggi seringkali merupakan minoritas dalam masyarakat c. Karakteristik ekonomi dan sosial budaya dapat dikaitkan dengan tingkat dan minat partisipasi

56

d. Mengapa ada yang berpartisipasi dan Pengelompokkan ke dalam empat sikap atas mengapa ada yang tidak orang-orang yang tidak berpartisipasi yaitu: apati, sinisme, alienasi, dan anomi dengan pengertian sebagai berikut:

a. Apati: “tidak punya minat atau tidak punya perhatian terhadap orang lain, situasi, atau gejala-gejala pada umumnya atau pada khususnya”. b. Sinisme: “perasaan yang menghayati tindakan dan motif orang lain dengan rasa kecurigaan, bahwa pesimisme adalah lebih realistis dari pada optimisme” c. Alienasi: ”perasaan keterasingan seseorang” d. Anomi: “perasaan kehilangan nilai dan arah” Sumber: Ringkasan Pemikiran Michael Rush dan Phillip Althoff (1971;2008: 121-180);

Wanita dan pengembangan pariwisata memang bukan menjadi sebuah dikotomi lagi. Banyak peneltian yang mengulas tentang keterlibatan wanita dengan pengembangan sebuah destinasi pariwisata. Pitanatri dan Putra (2016) dalam bukunya telah mengkaji wanita dalam perspektif pengembangan atribut baru wisata kuliner di Ubud. dalam perspektif yang berbeda, disampaikan bagaimana sebuah destinasi yang begitu kental akan budaya patrialisme membuka ruang bagi wanita untuk berkembang dan berkontribusi di dalamnya. Studi tentang wanita Bali dalam aspek gender dan pariwisata (gender and tourism) dipublikasikan oleh Long dan Kindon (1997). Lebih lanjut mereka menjelaskan bahwa ideologi, tipe, dan skala pariwisata sangat menentukan adanya pembagian pekerjaan yang digeluti oleh laki-laki maupun wanita. Perbedaan pembagian kerja tersebut diterima baik oleh masyarakat. “…ideologi, gender, tipe, dan skala pariwisata berkaitan sangat erat dengan pembagian kerja yang diakui dan ditentukan oleh masyarakat yang terjadi dalam pembangunan formal dan skala besar.” (Long dan Kindon, 1997:111).

Long dan Kindon (1997) dalam kesimpulannya juga mengasumsikan bahwa pariwisata skala kecil memberikan manfaat yang lebih besar dalam hal partisipasi wanita. Pariwisata skala kecil menyediakan lebih banyak pekerjaan sektor informal yang memungkikan dikerjakan wanita Bali dengan tetap menjalankan pekerjaan domestik maupun kewajiban agama dan budaya.

Transformasi Homestay di Indonesia Perkembangan industri pariwisata di Indonesia, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya sangatlah pesat. Pariwisata merupakan komoditas yang paling berkelanjutan dan menyentuh hingga ke level bawah masyarakat. Setiap tahun, performa pariwisata Indonesia menanjak di saat beberapa komoditas lain, seperti minyak, gas, batu bara, serta kelapa sawit terus merosot. Diprediksikan oleh The Telegraph (2017) pariwisata akan menjadi core economy negara ini ke depan. Perusahaan media di Inggris tersebut mencatat Indonesia menjadi salah satu dari 20 negara dengan pertumbuhan paling cepat di sektor pariwisata. Pertumbuhan pariwisata Indonesia dinilai empat kali lebih tinggi dibanding pertumbuhan regional dan global. Ada pun pertumbuhan pariwisata Indonesia dalam beberapa tahun terakhir mencapai 25,68 persen, sedangkan industri plesiran di kawasan ASEAN hanya tumbuh 7 persen dan di dunia hanya 6 persen. Dalam rilis yang dikeluarkan oleh Kementerian Pariwisata, sektor ini diproyeksikan mampu menyumbang produk domestik bruto sebesar 15%, Rp 280 triliun untuk devisa negara, 20 juta kunjungan wisatawan mancanegara, 275 juta perjalanan wisatawan nusantara dan menyerap 13 juta tenaga kerja pada 2019 (detik.finance, 2017; Ekbis.sindonews 2017; Suara NTB, 2017)

57

Lebih jauh, sektor pariwisata oleh Menteri Pariwisata, Arief Yahya diyakini mampu menciptakan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi yang lebih tersebar di seluruh negeri ini. Pariwisata diproyeksikan menjadi penghasil devisa tertinggi di 2019 (Tribun News, 2017). Pada 2016, devisa pariwisata sudah mencapai 13,5 miliar dollar AS per tahun. Hanya kalah dari minyak sawit mentah (CPO) yang sebesar US$ 15,9 miliar per tahun. Padahal pada 2015 lalu, pariwisata masih ada di peringkat keempat sebagai sektor penyumbang devisa terbesar. Saat itu pariwisata ada di bawah sektor migas sebesar US$ 18,5 juta, CPO US$16,4 juta, dan batubara US$14,7 juta. Namun akibat jatuhnya harga migas dan batu bara, konstelasi sektor penyumbang devisa berubah. CPO menjadi raja dan pariwisata menyodok ke atas sektor migas dan batubara. Salah satu upaya yang dilakukan oleh Kemenpar adalah mendorong pertumbuhan pariwisata di destinasi-destinasi lainnyadi Indonesia adalah dengan menciptakan 10 destinasi baru atau disebut sebagai “Bali Baru”. Di BTS dilakukan melalui percepatan pembangunan homestay. Hal ini sejalan dengan tiga program prioritas untuk menggenjot kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) yakni melalui program pemasaran go digital, air connectivity, dan homestay. Target jumlah homestay baru di 2019 ada di angka 100.000 tersebar di seluruh Indonesia, atau 10 Destinasi Prioritas. Program homestay Desa Wisata yang dilaksanakan mulai tahun ini (2017) merupakan kontribusi Kemenpar terhadap pendukungan program satu juta rumah terjangkau bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) yang dibuat Kementerian PUPR. Dalam konsep dasar pariwisata menurut Cooper dkk (2005), destinasi membutuhkan sekurang-kurangnya 4A (attractions, accessibilities, amenities dan ancillary) untuk dapat berkembang. Getz (1992) menjelaskan bahwa model pengembangan pariwisata mempunyai peranan penting dalam mendeskripsikan dan memahami kompleksitas lingkungan hidup dan memprediksi fenomena yang terjadi dalam dunia pariwisata. Peran model pengembangan pariwisata memiliki dampak untuk dapat memahami, meng-identifikasi serta memprediksi faktor yang mem-pengaruhi strategi pengembangan pariwisata diantaranya physical location and atribute, human agents, transport and access, local control and benefits dan Planning and Management (Ryan, 2009). MElihat beberapa teori tersebut pembangunan homestay mempunyai nilai strategis, terutama untuk memperkuat unsur amenitas keterlibatan masyarakat lokal dalam mendukung pengelolaan sebuah destinasi pariwisata. Konsep pengembangan wisata pedesaan dan perkotaan mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025; sebagai daya tarik wisata budaya (culture tourism) antara lain wisata perkotaan dan pedesaan, selain itu wisata sejarah dan religi serta kuliner, seni dan tradisi. Indonesia memiliki 74.745 desa yang tersebar di seluruh wilayah Tanah Air. Dari jumlah desa yang ada tersebut, sebanyak 1.902 berpotensi untuk dikembangkan sebagai desa wisata yang dapat dikembangkan sebagai daya tarik wisata untuk dikunjungi wisatawan. Selain itu, homestay menjadi gerbang peluang bisnis jasa yang baru. Peluang tersebut diikuti dengan bisnis lain seperti penyewaan kendaraan, jasa kuliner, jasa parkir, jasa pemandu wisata, jasa binatu dan cindera mata khas. Semua peluang tersebut membutuhkan SDM, sehinga homestay dinilai sebagai bisnis yang mampu membuka lowongan kerja dengan sendirinya. Keterlibatan masyarakat merupakan kunci sukses pengembangan destinasi, namun perlu dipertimbangkan keterlibatan masyarakat, sehingga pengembangan destinasi tidak mengganggu kualitas masyarakat dimana destinasi dikembangkan. Bentuk keterlibatan masyarakat berupa pertimbangan isu-isu yang berhubungan dengan keramaian di tempat tradisi, perubahan tatanan masyarakat, peningkatan komoditas dan perubahan lingkungan alam (Gutierrez, 2010).

4. PEMBAHASAN

Kondisi Homestay di Kawasan Bromo Tengger Semeru Penelitian ini mengkaji kondisi homemstay di kawasan BTS dari beberapa aspek sehingga secara umum dapat disimpulkan bahwa homestay di kawasan tersebut memenuhi syarat dasar kebutuhan. Dari perspektif pemilik, 94,17% menyatakan bahwa rumah mereka cukup representatif untuk dijadikan homestay. Studi observasi yang dilakukan di kawasan tersebut juga menunjukan hal yang sama. Yang menarik adalah ketersediaan amenitas dasar seperti meja, kursi, soket listrik, air minum, kipas angin, dan sebagainya juga direspon positif oleh responden (94.17%). Survey juga menunjukkan

58

hampir seluruh responden memiliki fasilitas dasar toilet/kamar yang dilengkapi dengan amenitas penunjang seperti handuk, sikat gigi, sabun dan sebagainya (90.29%). Hali ini menunjukkan dari segi produk, homestay di kawasan BTS telah cukup representatif untuk memuhi kebutuhan dasar wisatawan. Sebanyak 84,47% responden menyatakan bahwa Wisatawan tinggal bersama dengan pemilik dan sebanyak 85,44% memanfaatkan kamar lebih pemilik. Hal ini berarti ada sebagian kecil homestay yang khusus membuat bangunan baru sehingga wisatawan mendapat privasi yang lebih. Hal ini tentu tidak sepenuhnya sesuai dengan konsep homestay yang menyatakan bahwa wisatawan tinggal bersama pemilik rumah (host). Secara garis besar, berikut disampaikan kondisi homestay di kawasan BTS

Kondisi homestay yang ada di Kawasan Bromo Tengger Semeru 120.00%

100.00%

80.00%

e

s

a

t n

e 60.00%

s

r

e P 40.00%

20.00%

0.00% Rumah ini cukup Desain dan bahan bangunan Tersedianya amenitas dasar Tersedianya fasilitas dasar Homestay sengaja dibuat Persediaan air bersih di dalam Wisatawan nggal bersama representa f untuk dijadikan mencerminkan arsitektur dan (meja, kursi, soket listrik, air toilet/kamar mandi (handuk, ataukah memanfaatkan rumah memadai dengan pemilik homestay iden tas lokal. minum, kipas angin, dll). sikat gigi, sabun dll). kamar lebih pemilik YA 94.17% 80.58% 97.09% 94.17% 90.29% 84.47% 85.44% TIDAK 5.83% 19.42% 2.91% 5.83% 9.71% 15.53% 14.56% Gambar 1. Kondisi Homestay di Kawasan BTS. Hasil Penelitian 2017.

Homestay menjadi akomodasi favorit karena aktivitas wisatawan yang banyak dilakukan di desa tempat homestay tersebut berada (71.84%). Sayangnya baru 59,22% yang menyatakan bahwa ada paket khusus yang melibatkan wisatawan dengan keunikan lokal di desa ini (budaya, heritage/warisan/pusaka, alam). Padahal jika merujuk pada potensi yang dimilki, paket khusus sebenarnya sangat mudah untuk dibuat untuk wisatawan.

Partisipasi Wanita dalam Pengelolaan Homestay di Kawasan BTS

Hubungan resiporkal antara perkembangan homestay di kawasan BTS dengan wanita sangat kuat. Hal ini dapat dilihat dari besarnya tingkat partisipasi wanita dalam pengelolaan, Dalam penelitian ditemukan bahwa terdapat porsi wanita yang cukup besar dalam pengelolaan homestay. Hal ini tentu menarik mengingat homestay biasanya dikelola oleh kaum pria yang mengerti tata laksana pengelolaan sebuah akomodasi pariwisata. Dari total 103 kuesioner yang disebarkan, sebesar 44% dari keselruhan total homestay dikelola oleh wanita. Hal ini tentu selaras dengan upaya pemberdayaan masyarakat khususnya pemberdayaan wanita .Terkait dengan konsep partisipasi ini Soewando (1984) menyebutkan bahwa peranan atau partisipasi wanita dalam pembangunan itu dapat dilihat dari dua sudut pandangan, yaitu : (a) wanita sebagai warga Negara dalam hubunganya dengan hak-hak dalam bidang sipil, politik, dan lain-lain, termasuk perlakuan pada wanita dalam partisipasi tenaga kerja, yang disebut sebagai fungsi eksteren, dan (b) wanita sebagai ibu dalam keluarga dan sebagai istri dalam hubungan rumah tanggah, yang disebut fungsi interen. Di kawasan BTS wanita tidak hanya memiliki fungsi interen namun juga fungsi eksteren yang berimplikasi terhadap peningkatan kesejahteraan keluarga tersebut. Pemberdayaan dalam perspektif gender adalah pembangunan bagi wanita dalam pengertian kemandirian dan kekuatan internal, serta menekankan kesetaraan laki-laki dan wanita (Moose dalam Anwar, 2007). Dalam arti ada pengakuan makna produkti terhadap aktifitas wanita meskipun dilakukan dalam rumah tangga sepanjang dapat menambah pendapatan rumah tangga, pembangunan organisasi wanita, peningkatan kesadaran, dan pendidikan masyarakat seagai syarat penting perubahan sosial bagi kelompok wanita. Konsep

59

pemberdayan wanita ini lebih ditekankan pada keinginan atau tuntutan membagi kekuasaan, representasi dan partisipasi wanita dalam pengambilan keputusan. Merujuk pada Pitanatri (2017), penelitian ini juga menemukan adanya manfaat yang muncul dari resiprokalitas wanita dengan pengembangan homestay di kawasan BTS yaitu (1) menciptakan perluasan lapangan kerja, (2) mengurangi biaya transaksi, (3) mendorong pengusaha kreatif dan (4) penciptaan destinasi yang kompetitif. Penelitian ini menunjukkan adanya peran serta wanita yang kuat, tidak hanya berimplikasi pada peningkatan kesejahteraan keluarga dan masyrakat namun juga terhadap penciptaan keunggulan destinasi yang kompetitif dan berkelanjutan. Penelitian ini juga menunjukan bahwa wanita terbukti memiliki kemampuan untuk berperan ganda baik sebagai ibu Rumah Tangga sekaligus sebagai encari nafkah tambahan untuk menghidupi keluarga.

5. KESIMPULAN

Sektor pariwisata telah mampu menciptakan kesempatan kerja melalui berbagai jenis usaha yang terkait dengan kepariwisataan yang dapat dimanfaatkan oleh pekerja baik laki-laki maupun wanita. Utamanya di kawasan BTW, pengembangan homestay telah memberi ruang bagi wanita untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga termasuk mengurangi dampak marjinalisasi diskriminasi dan subordinasi yang tercermin pada kesenjangan upah atau gaji. Pengelolaan homestay di kawasan ini memberi bukti riil bahwa potensi wanita sebagai bagian dalam menunjang pembangunan sektor pariwisata sangatlah besar. Adanya peran serta dan resiprokal wanita terhadap pengelolaan hometay menjadikan rumah tinggal ini tidak hanya sebagai amenitas (akomodasi), tetapi juga sebagai atraksi wisata. Homestay memiliki daya tarik budaya yang sekaligus memungkinkan interaksi turis dengan penduduk setempat. Sementara sebagai amenitas, wanita berperan dengan menjadikan homestay dapat dijadikan tempat tinggal yang sehat, bersih, dan aman, bagi masyarakat sekaligus wisatawan, dengan pengelolaan berstandar internasional.

DAFTAR PUSTAKA

AntaraNews. 2016. Menpar: Pariwisata Diproyeksi Penghasil Devisa Terbesar 2019. https://www.antaranews.com/berita/659116/menpar-pariwisata-diproyeksi-penghasil-devisa- terbesar-2019 Anwar. 2007. Manajemen Pemberdayaan Perempuan. Bandung : Alfabeta. Bisnis.Temp. 2016. Bisnis Homestay di Bromo Tengger Semeru NAik Signifikanhttps://bisnis.tempo.co/read/853235/bisnis-homestay-di-bromo-tengger-semeru-naik- signifikan Cooper, C., Fletcher, J., Gilbert, D.G. and Wanhill, S, (2005). Tourism; Principle and Practive, Third Edition, Harlow. Prentice Hall. Fakih, Mansour. 1996, 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Getz (1992). The Tourism Area Lyfe Cycle Vol.1, Applications and Modifications. Channel View Publications. Gutierrez, E., Lamoureux, K., Matus S., dan Sebunya, K (2005). Linking communities, Tourism & Conservation. Conservation International and The George Washington University. Ritchie, Brent and Geoffry I. Crouch. A Model of Destination Competitiveness. Revista De Administracao Publica Long dan Kindon. 1997. Gender and Tourism Development in Baliese Villages, dalam: Gender, Work and Tourism (editor: M. Thea Sinclair), London: Routlegde. OECD. 2011. Women‟s Economic Empowerment: Issues paper. Paris: DAC Network on Gender Equality (GENDERNET). Pitana, I Gede dan Surya Diarta, I Ketut (2009). Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta. Andi Pitanatri, Putu Diah Sastri. 2017. Treat or Threat: Developing Local Homestay through Sharing Economy in Ubud Bali. Proceeding: World Conference on Business and Management. ISSN: 2384-3586

60

------. 2016. No Longer Invincible: Women‟s Role in Promoting Ubud as Culinary Destination in Bali. Journal of Tourism and Hospitality Management, May-June 2016, Vol. 4, No. 3, 114-122. doi: 10.17265/2328-2169/2016.06.002 ------.. 2016. Inovasi Dalam Kompetisi: Usaha Kuliner Lokal Menciptakan Keunggulan Kompetitif di Ubud. JUMPA Volume 3 Nomor 1 Juli 2016 ------.dan I Nyoman Darma Putra. 2016. Wisata Kuliner: Atribut Baru Destinasi Ubud. Jagat Press: Denpasar Putra, I Nyoman Darma. Empat Srikandi Kuliner Bali: Peran Wanita Dalam Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan. JUMPA Volume 01, Nomor 01, Juli 2014 Rush, M. dan Althoff, P. (1971, 2008). Pengnatar Sosiologi Politik (An Introduction to Political Sociology), Alih bahasa: Kartini Kartono. Jakarta: Rajawali Pers. Sutrisna, Endang. 2011. Problematika Wanita Bekerja di Sektor Pariwisata (Studi Kasus Perhotelan). Jurnal Aplikasi Bisnis Vol. 1 No. 2, April 2011. 97-102 TribunNews. 2017. Pertumbuhan Sektor Pariwisata Indonesia Kalahkan Malaysia http://www.tribunnews.com/nasional/2017/10/18/pertumbuhan-sektor-pariwisata-indonesia- kalahkan-malaysia?page=2 Finance.Detik 2017. Tiga Tahun Jokowi-JK Pariwiwata Sumbang Devisa Terbesar Kedua. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/3687715/tiga-tahun-jokowi-jk-pariwisata- sumbang-devisa-terbesar-kedua SindoNews. 2017. Kontribusi Pertumbuhan Pariwisata di Sektor Ekonomi TErbesar dan Tercepat. https://ekbis.sindonews.com/read/1231216/34/kontribusi-pertumbuhan-pariwisata-di-sektor- ekonomi-terbesar-dan-tercepat-1502940648 SuaraNTB. 2017. Pertumbuhan PAriwisata Tercepat di Dunia. http://www.suarantb.com/news/2017/10/23/247386/Pertumbuhan.Pariwisata.Indonesia.Tercepat .Didunia Soewondo, Nani. 1984. Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat. Ghalia: Indonesia, Jakarta. TheTelegraph. 2017. The Surprising Places Where Tourism is Growing Fastest. http://www.telegraph.co.uk/travel/lists/the-surprising-places-where-tourism-is-growing-fastest/ ------. 2017. Surprising Countries Where Tourism is Blooming in 2017. http://www.telegraph.co.uk/travel/news/surprising-countries-where-tourism-is-booming-in- 2017/ UNWTO dan UN Women. 2011. Global Report on Women in Tourism 2010: Preliminary Findings. Madrid: World Tourism Organization (UNWTO) and the United Nations Entity for Gender Equality and the Employment of Women (UN Women).

61

PARTISIPASI HOTEL-HOTEL BINTANG LIMA DALAM PENERAPAN GREEN TOURISM DI KAWASAN ITDC NUSA DUA

Putu Ratih Pertiwi Program Studi Diploma IV Pariwisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana Jl. DR. R Goris No. 7, Denpasar, 80234Telp/Fax : (0361) 223798 Email : [email protected]

Abstrak

Tujuan dari tulisan ini untuk mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh hotel-hotel bintang 5 di Kawasan ITDC Nusa Dua dalam menerapkan green tourism pada usaha akomodasi yang dijalankannya. Terkait pemahaman mengenai konsep green tourism yang mengedepankan kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan dan upaya mencapai kondisi ideal yang diharapkan. Untuk mengetahui hal tersebut diperlukan data dari beberapa hotel bintang lima yang memiliki chain internasional di Kawasan Nusa Dua Resort yang digunakan sebagai sampel. Dianalisis menggunakan teknik analisis deskriptif kualitatif dimana elemen-elemen ISO 14001 digunakan sebagai indikatornya yang dituangkan pada pedoman wawancara dan kuesioner, mencakup 1) adanya kegiatan yang terkait dengan kebijakan lingkungan; 2) kegiatan perencanaan; 3) kegiatan yang terkait implementasi EMS; 4) kegiatan yang terkait pemeriksaan dan tindakan koreksi; dan 5) kegiatan yang terkait tinjauan manajemen secara berkala. Data yang didapat, diolah, untuk mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh hotel-hotel bintang 5 di Kawasan ITDC Nusa Dua dalam menerapkan green tourism pada usaha jasa akomodasi. Adapun hasil yang didapat menunjukkan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan hotel- hotel tersebut guna menerapkan usaha ramah lingkungan dimulai dari 1) membuat komitmen dalam bentuk kebijakan maupun peraturan tertulis terkait lingkungan hidup; 2) memiliki program lingkungan jangka pendek, menengah, dan panjang; 3) melaksanakan program lingkungan berjangka tersebut seperti terlibat dalam aktifitas lingkungan berskala regional, nasional, maupun internasional, terlibat dalam sertifikasi lingkungan berskala regional, nasional, internasional, menggunakan produk eco – label, dan mengawasi pemisahan limbah sesuai jenisnya; 4) evaluasi lingkungan pada setiap departemen sesuai dengan jadwal, sosialisasi sitem manajemen lingkungan yang dianut kepada seluruh karyawan, 5) mengkaji secara periodik sistem manajemen lingkungannya, aktif mengikuti workshop dan seminar lingkungan, serta melaporkan hasil audit dan evaluasi pada manajemen.

Key Words: Partisipasi, hotel-hotel bintang 5, usaha ramah lingkungan, sustainable tourism development, ITDC Nusa Dua, ISO 14001.

Abstract

The purpose of this article is to identify the acitivities of five-stars hotel in ITDC Area, Nusa Dua in implementing the green tourism into their accomodation business. Related to the concept of green tourism that emphasizes the eco-friendly tourism activities and efforts to achieve the prospective ideal conditions. To discover it, the necessary data from several five star hotels that linked to international chains in Nusa Dua Resort area used as samples. Analyzed using descriptive qualitative analysis technique where the elements of ISO 14001 is used as the indicators, and guidelines for the interview and questionnaires, Such as 1) establishment of an appropriate environmental policy, 2) planning, 3) Implementation and operation of the EMS, 4) checking and corrective action procedures, 5) periodic management reviews of the overall EMS. The data that has been obtained, is processed to identify identify the acitivities of five-stars hotel in ITDC Area, Nusa Dua in implementing the green tourism into their accomodation business.As the result, this research shows that the activities has been done by five-stars hotel in ITDC Area, Nusa Dua in implementing eco-friendly business are: 1) making a commitment by a policy or regulation related to the environmental issue; 2) have some short-term, medium-term, and long-term environmental programs; 3) praticing those programs as involve to environmental activities in the regional, national, even in the internacional scale, using the eco-lable products, sewage separation controlling; 4) environmental evaluation in each departement according to the schedulle, environmental management system (EMS) sosialization for the staff; 5) a periodic review for the EMS, joining some workshops and environmetal seminar actively, reporting the audit and evaluation result to the management.

Key Words: Participation, five-stars hotels, green tourism, ITDC Nusa Dua, ISO 14001.

62

1. PENDAHULUAN

Salah satu tujuan kepariwisataan adalah untuk melestarikan alam, lingkungan, dan sumber daya yang ada. Hal ini tertuang dalam salah satu prinsip dilaksanakannya kepariwisataan yaitu memelihara kelestarian alam dan lingkungan hidup, sehingga sebagai konsekuensinya setiap pengusaha pariwisata dan wisatawan berkewajiban, memelihara lingkungan yang sehat, bersih, dan asri, memelihara dan melestariankan lingkungan, (UU-RI. No.10.tahun 2009 Tentang Kepariwisataan). Kini bukan hanya mengenai profit sacara ekonomi, tetapi kewajiban memelihara kelestarian atau keberlanjutan lingkungan juga menjadi prioritas bagi pengelola hotel. Hotel mengalami pertumbuhan yang pesat di Bali, dimana dengan meningkatnya jumlah hotel tentunya memberikan alternatif bagi wisatawan dalam memilih jasa akomodasi. Tetapi kondisi ini tentunya akan berpengaruh pada kondisi lingkungan di Bali, dengan meningkatnya permintaan akan kamar dan wisatawan yang datang maka penggunaan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan wisatawan pun meningkat. Ditambah lagi dengan pencemaran lingkungan sekitar usaha akomodasi yang disebabkan oleh sisa produksi dalam pemenuhan kebutuhan wisatawan selama tinggal di hotel. Fenomena tersebut secara perlahan telah berhasil memupuk kesadaran para pengelola bisnis hotel dan wisatawan akan pentingnya menjaga keseimbangan lingkungan terutama akibat dari pola konsumsi pada kegiatan pariwisata. Konsep green tourism merupakan salah satu kemajuan dalam bidang pariwisata untuk menjaga dan melestarikan lingkungan dan sosial. Dua dekade terakhir telah menjadi saksi mata tumbuhnya kepentingan dalam hubungan antara pembangunan pariwisata dan kualitas lingkungan (Erdogen and Tosun, 2009). Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, tujuan dari tulisan ini adalah untuk mengidentifikasi kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan oleh hotel – hotel bintang 5 di Kawasan ITDC Nusa Dua dalam menerapkan konsep green tourism pada usaha jasa akomodasinya. Terkait pemahaman mengenai konsep green tourism yang mengedepankan kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan dan upaya mencapai kondisi ideal yang diharapkan.

2. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan deskriptif kualitatif yang dilakukan dengan teknik pengumpulan data melalui literature review dengan mengkaji teori – teori yang berhubungan dengan penerapan usaha ramah lingkungan dan sustainable development,. Adapun indikator yang digunakan sebagai acuan dalam penerapan usaha ramah lingkungan tersebut yaitu International Organization for Standarization atau ISO 14001. Selain itu, untuk mendapatkan informasi dan data dari lokasi penelitian, digunakan juga teknik wawancara tertutup melalui penyebaran angket (kuesioner). Untuk mendapatkan informasi mengenai kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan oleh hotel – hotel bintang 5 di Kawasan ITDC Nusa Dua dalam menerapkan green tourism pada perusahaannya, penulis melakukan survei pada 3 hotel (Grand Hyatt Bali, The Laguna, dan Club Méd). Dalam menentukan sample pada penelitian ini, penulis mengadopsi purposive sampling approach, dimana pemilihan sample berdasarkan beberapa kriteria sesuai keperluan atau tujuan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 HASIL

Acuan yang digunakan dalam menentukan kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh hotel – hotel bintang 5 di Kawasan ITDC Nusa Dua dalam menerapkan green tourism pada perusahaannya yaitu ISO 14001, yang merupakan salah satu dari serangkaian standar pengelolaan lingkungan internasional yang muncul bertujuan untuk mempromosikan perbaikan yang berkelanjutan dalam mengukur performa manajemen sistem lingkungan perusahaan melalui adopsi (adoption) dan implementasi. Terdapat 5 elemen inti yang biasanya digunakan dalam EMS untuk menilai, mengukur, mengaudit pelaksanaan EMS pada sebuah perusahaan untuk mendapatkan sertifikasi atau self assessment walaupun ISO 14001 muncul bukan bermaksud untuk sertifikasi. Seperti yang dapat dilihat pada Gambar 1. dibawah ini.

63

Kebijakan Lingkungan

Tinjauan Fase Manajemen Perencanaan Berkala

Pemeriksaan Implementasi dan Tindakan Pelaksanaan Koreksi EMS

Gambar 1. Elemen Inti: Perencanaan, Implementasi, Audit & Evaluasi, Tinjauan Kembali Pelaksanaan EMS

Adapun 5 elemen inti tersebut adalah:

1. Kebijakan lingkungan (Establishment of an appropriate environmental policy) 2. Fase Perencanaan (A planning phase) 3. Implementasi Pelaksanaan EMS (Implementation and operation of the EMS) 4. Pemeriksaan dan Tindakan Koreksi (Checking and corrective action procedures) 5. Tinjauan Manajemen Berkala (Periodic management reviews of the overall EMS)

Adapun kegiatan – kegiatan yang dilaksanakan oleh hotel – hotel bintang 5 di Kawasan ITDC Nusa Dua dalam menerapkan green tourism pada perusahaannya adalah: (1) Membuat komitmen dalam bentuk kebijakan maupun peraturan tertulis terkait lingkungan hidup. Adapun salah satu bentuk kebijakan atau peraturan tertulis tersebut yakni Earth Check Policy, meskipun begitu terdapat 33% hotel yang menyatakan tidak memiliki komitmen dalam bentuk kebijakan atau peraturan tertulis mengenai sistem manajemen lingkungan tetapi hotel – hotel tersebut tetap melaksanakan komitmen dalam sistem manajemen lingkungan dengan cara memberikan training kepada staff mengenai sistem manajemen lingkungan. Contoh kebijakan yang dimiliki oleh Hotel – Hotel di Kawasan Nusa Dua Resort adalah kebijakan dalam pengurangan konsumsi energi, memastikan pemilahan sampah untuk melakukan daur ulang, dan limbah berbahaya dikelola dengan tepat agar tidak mencemari lingkungan, juga selain selalu mengingatkan tamu untuk menerapkan green-behaviour dengan menjaga lingkungan, pihak manajemen juga memberikan informasi kepada tamu bagaimana melakukan hal tersebut. (2) Memiliki program lingkungan jangka pendek, menengah, dan panjang. Adapun program – program lingkungan yang diterapkan tersebut adalah Mangrove Planting, Earth Hour, Tri Hita Karana, PROPER, EarthCheck, dan Green Globe Certification. Dimana program – program tersebut memiliki beberapa point tanggungjawab bersama yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Seperti hal – hal yang menyangkut air, limbah berbahaya, penggunaan produk lokal, pelestarian keanekaragaman hayati, penghematan energi, merekrut masyarakat lokal sebagai staff, kepedulian tamu terhadap lingkungan, sampah dan daur ulang, pelatihan, dan juga warisan budaya. (3) Melaksanakan program lingkungan berjangka tersebut seperti terlibat dalam aktifitas lingkungan berskala regional, nasional, maupun internasional, terlibat dalam sertifikasi lingkungan

64

berskala regional, nasional, internasional, serta menggunakan produk eco – label, dan mengawasi pemisahan limbah sesuai jenisnya. (4) Evaluasi lingkungan pada setiap departemen sesuai dengan jadwal, sosialisasi sitem manajemen lingkungan yang dianut kepada seluruh karyawan. Adapun seluruh responden memberikan pernyataan bahwa perusahaannya memiliki jadwal yang terencana dalam melakukan audit lingkungan pada setiap departemen dan melaksanakannya sesuai dengan jadwal tersebut. Evaluasi yang dilakukan mencakup evaluasi produksi air bersih dan minimisasi limbah, konservasi air, konservasi energi, kontaminasi lokasi, dan keselamatan dan kesehatan kerja. Selain itu pihak manajemen secara berkala melakukan sosialisasi mengenai kebijakan sistem manajemen lingkungan yang dianut, dan sosialisasi yang dilakukan antara lain environment training, sosialisasi program Tri Hita Karana, PROPER, dan Earth Check. (5) Mengkaji secara periodik sistem manajemen lingkungannya, aktif mengikuti workshop dan seminar lingkungan, serta melaporkan hasil audit dan evaluasi pada manajemen. 67% responden menyatakan bahwa perusahaannya mengkaji secara periodik sistem manajemen lingkungan secara keseluruhan untuk memastikan kesesuaian, kecukupan, efektifitas sistem manajemen lingkungan terhadap perubahan yang terjadi. Selanjutnya, hasil audit dan evaluasi mengenai sistem manajemen lingkungan dilaporkan kepada manajemen. Salah satu bentuk audit dan evaluasi sistem manajemen lingkungan tersebut adalah mengikuti sertifikasi Green Globe, dan bagaimanapun hasil dari sertifikasi tersebut akan selalu dilaporkan kepada pihak manajamen. 3.2 PEMBAHASAN

Berdasarkan data yang didapat, hotel – hotel bintang lima di Kawasan ITDC Nusa Dua telah berpartisipasi dalam menerapkan green tourism melalui kegiatan – kegiatan yang mengacu pada ISO 14001 dengan mengadopsi kelima elemen intinya. Walaupun penerapan yang hotel – hotel tersebut lakukan masih belum sempurna, tetapi hotel – hotel tersebut memiliki kesadaran untuk mempertimbangkan kepentingan lingkungan dalam menjalankan usaha akomodasinya. Hal tersebut sesuai dengan definisi green tourism yang merupakan sebuah aktifitas pariwisata yang ramah terhadap lingkungan dengan berbagai fokus dan arti (Furqan A., Mat Som A.P., & Hussin R, 2010). Sedangkan menurut Gabriela & Lupu (1998) dalam Juganaru et all (2007) walaupun masih banyak perdebatan mengenai definisinya terdapat beberapa pihak yang menyatakan bahwa green tourism adalah bentuk tertentu dari aktifitas pariwisata dengan arah membangun keseimbangan dengan alam dan lingkungan sosial-budaya di sebuah destinasi, yang pada akhirnya berujung pada peningkatan manfaat kepada masyarakat lokal, baik pada sisi ekonomi, budaya dan lingkungan. Selain green tourism, masih banyak istilah lain yang mengindikasikan kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan, seperti yang diterangkan oleh Font & Tribe (2001), bahwa istilah eco-tourism, green tourist, dan soft tourism sering digunakan secara bersamaan, dimana itu berarti banyak terdapat kemiripan dari aktifitas pariwisata yang dilakukan selama berorientasi pada kegiatan pariwisata yang ramah lingkungan. Kesadaran hotel – hotel bintang lima di Kawasan ITDC Nusa Dua terhadap isu green tourism di terapkan melalui kegiatan – kegiatan yang mengacu pada ISO 14001 untuk mengukur performa manajemen sistem lingkungan perusahaan. Tetapi masih ada hal yang perlu dijawab tentunya melalui penelitian selanjutnya, dimana pertanyaan yang kini hadir dewasa ini yaitu apakah praktik green tourism yang dilakukan oleh pengelola hotel murni merupakan kesadaran mereka akan lingkungan hidup ataukah semata – mata hanya sebagai alat promosi untuk meningkatkan penjualan kamar mereka, melihat semakin meningkatnya trend green consumer di kalangan wisatawan?

4. KESIMPULAN

Untuk berpartisipasi dalam menerapkan green tourism, hotel – hotel bintang lima di kawasan ITDC Nusa Dua melaksanakan kegiatan – kegiatan yang mengacu pada 5 elemn inti ISO 14001 yaitu (1) Membuat komitmen dalam bentuk kebijakan maupun peraturan tertulis terkait lingkungan hidup, (2) Memiliki program lingkungan jangka pendek, menengah, dan panjang, (3) Melaksanakan program lingkungan berjangka tersebut seperti terlibat dalam aktifitas lingkungan berskala regional, nasional, maupun internasional, terlibat dalam sertifikasi lingkungan berskala regional, nasional, internasional,

65

serta menggunakan produk eco – label, dan mengawasi pemisahan limbah sesuai jenisnya, (4) Evaluasi lingkungan pada setiap departemen sesuai dengan jadwal, sosialisasi sitem manajemen lingkungan yang dianut kepada seluruh karyawan, dan (5) Mengkaji secara periodik sistem manajemen lingkungannya, aktif mengikuti workshop dan seminar lingkungan, serta melaporkan hasil audit dan evaluasi pada manajemen.

Ucapan Terima Kasih

Artikel ini terselesaikan tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu kami ucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana, Ketua LPPM Universitas Udayana, dan Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana yang telah memberikan kesempatan kepada tim peneliti untuk ikut mendesiminasi hasil penelitian sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

DAFTAR PUSTAKA

Erdogen, N. and Tosun, C. 2009. Environmental Performance of Tourism Accommodation in The Protected Areas: Case of Goreme Historical National Park. International Journal of Hospitality Management. (28), pp. 406-414. Font, X., and Tribe, J. 2001. Promoting Green Tourism: The Future of Environmental awards. International Journal of tourism Research, (3), pp. 9-21. Furqan A., Mat Som A.P., & Hussin R. 2010. Promoting Green Tourism for Future Sustainability. Theoritical and Empirical Research in Urban Management Number (8/17), pp. 64-74. Juganaru, I-D., Juganaru, M., and Anghael, A. 2007. Politici S‟i Strategii in Turismul Mondial, Editura Expert, Bucharest. Retrieved on 22 May 2017 from http://feaa.ucv.ro/AUCSSE/0036v2-024.pdf ISO 14001: Environmental Management System Self-Assessment Checklist. UU-RI. No.10.tahun 2009 Tentang Kepariwisataan.

66

PENGEMBANGAN KULINER LOKAL UNTUK MENDUKUNG PARIWISATA BERKELANJUTAN DI DESA SANGEH KABUPATEN BADUNG

Ni Nyoman Sri Aryanti1, Agus Muriawan Putra2 Program Studi Diploma IV Pariwisata, Fakultas Pariwisata Universitas Udayana12 Email: [email protected]

Abstrak Desa Sangeh dari dulu sudah dikenal oleh wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Tetapi, perkembangan Desa Sangeh sebagai daya tarik wisata mengalami pasang surut. Di mana, Desa Sangeh sebagai daya tarik wisata hanya mengandalkan Hutan Pala beserta kera-kera penghuninya. Masyarakat Desa Sangeh akhirnya cepat tanggap terhadap situasi tersebut, sehingga keberadaan Hutan Sangeh dan kera-keranya tersebut pengelolaannya kemudian diambil alih oleh Desa Adat, di mana hasilnya sangat positif, terjadi peningkatan kunjungan wisatawan. Untuk memberikan alternatif wisata yang lebih beragam lagi, maka perlu direncanakan paket/produk wisata lokal yang dapat dikemas oleh masyarakat Desa Sangeh menjadi daya tarik pilihan kepada wisatawan yang berkunjung. Potensi-potensi lokal tersebut yang merupakan bagian hidup dan aktivitas sehari-hari masyarakat Desa Sangeh perlu untuk diperkenalkan kepada wisatawan agar perkembangan kepariwisataan di Desa Sangeh dapat menampilkan sesuatu yang berbeda daripada daya tarik wisata yang sejenis yang mengandalkan daya tarik hutan beserta keranya. Potensi yang dapat dikembangkan tersebut adalah potensi kuliner lokal, di mana di Desa Sangeh dapat ditemukan berbagai kuliner lokal masyarakat yang sangat beragam dari berbagai olahan dan berbagai cita rasa. Pendekatan kualitatif digunakan untuk menemukan model secara naturalis sesuai dengan keadaan serta potensi yang dimiliki Desa Sangeh yang merupakan salah satu daya tarik wisata yang sedang berkembang di Kabupaten Badung untuk mengembangkan potensi kuliner lokal dalam menunjang pariwisata kerakyatan berkelanjutan dan dikombinasikan dengan Metode Focus Group Discussion (FGD), Matrik SWOT, serta Analisis Skala Likert. Hasil-hasil analisis data akan ditampilkan secara deskriptif kualitatif yang menyajikan pendapat/persepsi masyarakat dan wisatawan, kekuatan dan kelemahan pengembangan kuliner lokal, peluang dan tantangan pengembangan kuliner lokal, hasil observasi, teori, dan konsep yang ditemukan di lapangan berdasarkan sudut pandang informan yang kemudian diinterpretasi oleh Tim Peneliti.

Kata Kunci: Kuliner Lokal, Pariwisata Berbasis Masyarakat, Pariwisata Berkelanjutan

Abstract Sangeh village has been known by tourists, both domestic tourists and foreign tourists. However, the development of Sangeh Village as a tourist attraction has its ups and downs. Where, Sangeh Village as a tourist attraction only relies on forest of and its inhabitants. The community of Sangeh Village is quickly responsive to the situation, so that the existence of Sangeh Forest and its monkeys is then taken over by Adat Village, where the result is very positive, there is an increase of tourist visit. To provide a more diverse alternative tourism again, it is necessary to plan a package/ local tourism products that can be packed by the community of Sangeh Village become the attraction of choice to tourists who visit. These local potentials which are part of life and daily activities of Sangeh Village people need to be introduced to tourists so that the development of tourism in Sangeh Village can show something different than the similar tourist attraction that relies on the attractiveness of the forest along with the monkeys. The potential that can be developed is the local culinary potential, where in the village of Sangeh can be found a variety of local culinary community is very diverse from various preparations and flavors. Qualitative approach is used to find the model is naturalist in accordance with the situation and potential of Sangeh Village which is one of the developing tourist attraction in Badung Regency to develop local culinary potency in supporting sustainable populist tourism and combined with Focus Group Discussion Method (FGD) , SWOT Matrix, and Likert Scale Analysis. The results of data analysis will be presented descriptively qualitatively presenting perceptions of the community and tourists, the strengths and weaknesses of local culinary development, opportunities and challenges of local culinary development, observations, theories, and concepts found in the field based on the perspectives of informants interpreted by the Research Team.

Key Words: Local Culinary, Community Based Tourism, Sustainable Tourism

67

1. PENDAHULUAN Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (PROPERNAS), khususnya Bab VII tentang Pembangunan Sosial dan Budaya ditetapkan bahwa pembangunan kebudayaan dan pariwisata dilaksanakan melalui Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan dan Program Pengembangan Pariwisata. Tujuan Program Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan adalah untuk menanamkan nilai-nilai budaya bangsa dalam rangka menumbuhkembangkan pemahaman dan penghargaan masyarakat kepada warisan budaya bangsa, keragaman budaya dan tradisi, meningkatkan kualitas berbudaya masyarakat, dan menumbuhkan sikap kritis terhadap nilai-nilai budaya. Tujuan Program Pengembangan Pariwisata adalah mengembangkan dan memperluas diversifikasi produk dan kualitas pariwisata nasional yang berbasis kepada pemberdayaan masyarakat, kesenian, dan kebudayaan, serta sumber daya (pesona) alam lokal dengan tetap mempertahankan kelestarian seni dan budaya tradisonal serta kelestarian lingkungan hidup. Salah satu daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Badung yang dikelola oleh desa adat adalah Daya Tarik Wisata Sangeh. Daya Tarik Wisata Sangeh berada di Desa Sangeh, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung. Daya Tarik Wisata Sangeh dirintis 1 Januari 1969, namun tahun 1971 baru memiliki sumber pembiayaan pembangunan dari sumbangan sukarela (dana punia) setiap pengunjung, sebelumnya Daya Tarik Wisata Sangeh berkembang secara alami tanpa ada pengelolaan yang profesional. Barulah sejak tahun 1996 daya tarik wisata ini dikelola oleh Desa Adat Sangeh, dan mulai dikenakan retribusi berdasarkan Perda Tk. II Badung No. 20 tahun 1995. Pengelolaan yang dilakukan oleh Desa Adat Sangeh tentunya akan dapat memberikan dampak yang positif kepada masyarakat Sangeh dan juga alam serta budaya Sangeh karena peran serta dan partisipasi masyarakat yang dikedepankan sebagai sumber daya pendukung utama dalam menjaga dan melestarikan lokalitas dan kearifan lokal Desa Sangeh. Untuk dapat memberikan berbagai pilihan alternatif wisata di Desa Sangeh, selain Hutan Pala dengan keranya di Desa Sangeh perlu digali dan dikembangkan potensi-potensi wisata lainnya (potensi kuliner lokal) yang tetap bercirikan Desa Sangeh dan melibatkan masyarakat Desa Sangeh di dalam pengelolaan dan pengembangannya yang merupakan bagian dari kehidupan dan aktivitas sehari-hari masyarakat Desa Sangeh.

2. METODE PENELITIAN

2.1. Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan dilakukan menggunakan teknik purposive sampling untuk mendapatkan ketepatan dan keterpercayaan data yang dapat di uji keabsahan dan kredibilitasnya, di mana informan mengetahui kedalaman informasi sehubungan dengan masalah yang diteliti dan mereka dapat diterima oleh berbagai kelompok yang terkait dengan pengelolaan serta memiliki pengetahuan tentang pariwisata. Penentuan informan berdasarkan ketentuan (Koenjaraningrat, 1997 : 164):

1. Orang tersebut merupakan tokoh.

2. Orang tersebut memiliki pengetahuan dan informasi luas sesuai dengan topik.

3. Orang tersebut memiliki kemampuan menghubungkan dengan informan lain.

Informan kunci (key informan) dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh yang dianggap mengetahui mengenai objek penelitian yang dilakukan. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu: Kepala Desa, Bendesa Adat, Tokoh Masyarakat, Rohaniawan, Kelompok Sadar Wisata, Kepala Dusun, Industri Pariwisata, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Badung, dan Pihak-Pihak Terkait.

2.2. Teknik Penentuan Sampel

Dalam penelitian ini yang dijadikan sampel, yaitu masyarakat Desa Sangeh. Dalam pengambilan sampel untuk masyarakat menggunakan Metode Accidental Sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil jumlah sampel secara acak terhadap para pedagang kuliner lokal Sangeh yang kebetulan dikunjungi, sehingga didapatkan data yang mewakili penjual kuliner lokal yang ada di Desa Sangeh.

68

Teknik penentuan sampel pada penelitian ini mengacu pada Rumus Slovin (Jongker, dkk, 2011) menyatakan bahwa:

Keterangan: N : Jumlah Populasi

n : Jumlah Sampel

e : Tingkat Kesalahan

Penentuan jumlah sampel dengan populasi (N) sebanyak 300 orang, dengan asumsi tingkat kesalahan (e) = 10% maka jumlah sampel (n) adalah:

300

n = ______

1 + 300 (18%)2

= 300

______

300 (0,0324)

n = 30 orang.

Untuk sampel wisatawan, pengambilan sampel menggunakan Metode Quota Sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil jumlah sampel yang telah ditentukan sebelumnya.

Teknik penentuan sampel pada penelitian ini mengacu pada Rumus Slovin (Jongker, dkk, 2011) menyatakan bahwa:

Keterangan: N : Jumlah Populasi

n : Jumlah Sampel

e : Tingkat Kesalahan

Penentuan jumlah sampel dengan populasi (N) sebanyak 500 orang, dengan asumsi tingkat kesalahan (e) = 15 % maka jumlah sampel (n) adalah:

500

n = ______

1 + 500 (15%)2

= 500

______501 (0,0225)

n = 50 orang (dibulatkan).

69

2.3. Teknik Analisis Data Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan beberapa teknik, sebagai berikut: 1. Analisis Deskriptif Kualitatif Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data (Nazir, 1988: 438). Dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan suatu fenomena kemudian mengkaitkannya dengan fenomena lain melalui interpretasi untuk dideskripsikan dalam suatu kualitas yang mendekati kenyataan (Muhajir, dalam Suryasih, 2003: 39). Dari hasil analisis yang digunakan tentang penelitian ini dipakai suatu pedoman untuk menentukan sasaran yang akan dicapai dan memberikan gambaran yang jelas. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Reduksi data dilakukan dengan pemilihan, pemusatan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data mentah yang muncul dari hasil catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu analisis guna mempertajam, mengklasifikasi, membuang yang tidak perlu, dan mengkategorisasi data, sehingga dapat ditarik simpulan. 2. Penyajian data dilakukan dengan mengkonstruksi kembali data yang telah direduksi dan disajikan dalam bentuk teks naratif. 3. Penarikan simpulan dilakukan dengan melakukan penafsiran mengenai isi ringkasan dari pembahasan. Menurut Miles dan Huberman (1992), kegiatan analisis terdiri dari beberapa alur, yaitu: komparasi data, verifikasi, penyajian data dengan argumentasi, dan interpretasi memakai kerangka budaya masyarakat setempat. Hubungan beberapa alur tersebut secara sejajar membentuk wawasan umum yang disebut analisis. Analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang, dan terus- menerus.

2. Skala Likert

Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2010:132). Setiap jawaban dari kuesioner mempunyai bobot atau skor nilai dengan Skala Likert sebagai berikut:

Tabel 1. Skala Likert

Jawaban Bobot Skor Interval

Sangat Setuju 5 4,21 – 5,00

Setuju 4 3,41 – 4,20

Cukup 3 2,61 – 3,40

Tidak Setuju 2 1,81 – 2,60

Sangat Tidak Setuju 1 1,00 – 1,80

Sumber : Sugiyono (2004:86)

Pengembangan skor dengan menggunakan metode pengukuran Skala Likert pada jawaban- jawaban wisatawan yang memiliki bobot nilai yang berbeda, yang memiliki 5 (lima) pilihan alternatif jawaban, sebagai berikut: 1. Skor lima untuk jawaban atau tanggapan yang sangat baik atau sangat setuju. 2. Skor empat untuk jawaban atau tanggapan yang baik atau setuju. 3. Skor tiga untuk jawaban atau tanggapan yang cukup baik atau cukup setuju. 4. Skor dua untuk jawaban atau tanggapan yang tidak baik atau tidak setuju.

70

5. Skor satu untuk jawaban atau tanggapan yang sangat tidak baik atau sangat tidak setuju. Seperti dalam Tabel 1. dibuat kategori sikap untuk mengetahui intensitas sikap wisatawan dengan mencari terlebih dahulu rentang nilainya dengan rumus sebagai berikut:

Skor Tertinggi – Skor Terendah ______= Rentang / Interval Jumlah Kelas 5 – 1 ______= 0,8 5 Berdasarkan rumus tersebut, ini berarti bahwa masing-masing kategori memiliki rentang nilai (interval) sebesar 0,8.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Desa Sangeh merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung dan secara geografis terletak pada posisi 08029‟LS dan 115012‟-115013‟ BT dan mempunyai wilayah seluas 13,969 ha, jumlah penduduk 4.392 orang dengan jumlah Kepala Keluarga 1.180 serta berjarak + 25 km dari Kota Denpasar. Adapun batas-batas wilayah Desa Sangeh secara administratif adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Desa Carangsari

Sebelah Timur : Desa Selat

Sebelah Selatan : Desa Blahkiuh

Sebelah Barat : Desa Cau Belayu

Desa Sangeh merupakan wilayah dataran sedang dengan ketinggian antara 100-150 m dpl dan menurut klasifikasi iklim Schmidt & Ferguson termasuk tipe iklim C dengan curah hujan rata-rata 2700-3200 mm per tahun, suhu udara berkisar antara 180-280C. Secara administratif Desa Sangeh terbagi menjadi 8 (delapan) wilayah banjar, yaitu Banjar Batusari, Banjar Brahmana, Banjar Sibang, Banjar Pemijian, Banjar Muluk Babi, Banjar Pacung, Banjar Batulumbang, dan Banjar Tengah. Di samping itu wilayah ini juga terdiri dari 2 (dua) Desa Adat, yaitu Desa Adat Sangeh dan Desa Adat Gerana (Profil Desa dan Kelurahan Desa Sangeh, 2010).

3.2. Sejarah Sangeh Berdasarkan mitologi yang diyakini oleh masyarakat Sangeh dan sekitarnya nama Sangeh erat kaitannya dengan keberadaan “Hutan Pala“, yang mana Sangeh berasal dari dua kata “Sang“ berarti “orang“ dan “Ngeh“ berarti “melihat“, Sangeh artinya orang yang melihat. Konon kayu-kayu (Pala) dalam perjalanan dari Gunung Agung (Bali Timur) menuju salah satu tempat Bali Barat, karena dalam perjalanannya ada yang melihat, akhirnya pohon-pohon tersebut berhenti di satu tempat yang sampai sekarang disebut “Sangeh“. Di dalam Hutan Pala terdapat suatu bangunan suci, yaitu Pura Bukit Sari. Menurut sejarah keberadaan Pura Bukit Sari sangat erat kaitannya dengan Kerajaan Mengwi, di mana Pura Bukit Sari dibangun oleh Anak Agung Anglurah Made Karang Asem Sakti, anak angkat Raja Mengwi “Cokorda Sakti Blambangan”. Konon Beliau (Anak Agung Anglurah Made Karang Asem Sakti) melakukan tapa “Rare“, yaitu bertapa sebagaimana layaknya bayi/anak-anak. Beliau mendapatkan pawisik (ilham) agar membuat Pelinggih (Pura) di Hutan Pala Sangeh, maka sejak itulah Pura Bukit Sari berdiri pas di tengah-tengah Hutan Pala. Hutan Pala Sangeh dihuni oleh kera abu ekor panjang (Macaca Fascicularis) yang jumlahnya + 600 ekor dan keberadaan merekapun tidak terlepas dari keyakinan masyarakat yang menganggap mereka adalah jelmaan Prajurit Putri yang dirubah bentuknya menjadi monyet-monyet yang menghuni Hutan Pala Sangeh. Oleh karena itu, masyarakat sekitar tidak akan berani mengganggu keberadaan

71

kera-kera karena mereka dianggap Kera Suci yang disakralan yang membawa berkah bagi masyarakat Sangeh dan sekitarnya. Kehidupan kera-kera tersebut layaknya kehidupan masyarakat di Bali yang mana mereka mempunyai kelompok (banjar) yang terbagi dalam 3 (tiga) kelompok (banjar), yaitu: timur, tengah, dan barat, dan masing-masing kelompok akan mempunyai pemimpin masing-masing. Yang unik dari kehidupan mereka, adanya persaingan diantara pejantan-pejantan yang akan selalu bersaing di kelompoknya memperebutkan jadi Raja/Ketua dan dengan kelompok lain akan memperebutkan daerah kekuasaan, kelompok siapa yang paling kuat akan menguasai kelompok tengah, yang paling banyak sumber makananya. Karena keberadaan Daya Tarik Wisata Sangeh sangat disakralkan oleh masyarakat Sangeh dan sekitarnya, maka bagi yang datang bulan atau yang ada kecuntakan (keluarganya ada yang meninggal) diharapkan tidak memasuki Kawasan Suci (Pura). Setiap pengunjung akan selalu ditemani berkeliling oleh pemandu-pemandu lokal guna menjaga keamanan dan kenyamanan (Profil Desa dan Kelurahan Desa Sangeh, 2010).

3.3. Pendapat Masyarakat Tentang Kuliner Lokal Sangeh Daftar pertanyaan yang ditujukan kepada masyarakat terdiri dari 7 pertanyaan, di mana skor yang terendah adalah 1 x 7 = 7 dan skor tertinggi adalah 5 x 7 = 35. Jumlah masyarakat yang dijadikan sampel adalah 30 orang. Untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang kuliner lokal Sangeh dapat dijelaskan sebagai berikut:

3.4.1. Jenis-Jenis Kuliner Di Desa Sangeh

Untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang jenis-jenis kuliner di Desa Sangeh, dapat dilihat pada Tabel 2. berikut ini.

Tabel 2.Jenis-Jenis Kuliner Di Desa Sangeh No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sate dan Babi 36 36% 2. Babi Guling 16 16% 3. Babi 12 12% 4. Nasi Sela 8 8% 5. Kuwir 8 8% 6. Lawar Sapi 6 6% 7. Lawar Kebo 5 5% 8. Sate Ayam 4 4% 9. 3 3% 10. Lawar Kambing 2 2% Jumlah 100 100%

Dari Tabel 2. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan Sate dan Rawon Babi merupakan kuliner lokal Sangeh sebanyak 36 orang atau 36%, yang menyatakan Babi Guling sebanyak 16 orang atau 16%, menyatakan Pepes Babi sebanyak 12 orang atau 12%, menyatakan Nasi Sela sebanyak 8 orang atau 8%, menyatakan Lawar Kuwir sebanyak 8 orang atau 8%, menyatakan Lawar Sapi sebanyak 6 orang atau 6%, menyatakan Lawar Kebo sebanyak 5 orang atau 5%, dan menyatakan Sate Ayam sebanyak 4 orang atau 4%.

72

3.4.2. Paket Kuliner Yang Disukai Wisatawan Untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang paket kuliner yang disukai wisatawan, dapat dilhat pada Tabel 3. berikut ini.

Tabel 3. Paket Kuliner Yang Disukai Wisatawan No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sate dan Rawon Babi 23 46% 2. Babi Guling 11 22% 3. Sate dan Ayam 6 12% 4. Nasi Sela 4 8% 5. Lawar Kuwir 3 6% 6. Pepes Babi 3 6% Jumlah 50 100%

Dari Tabel 3.4. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan Sate dan Rawon Babi merupakan paket kuliner yang disukai wisatawan sebanyak 23 orang atau 46%, yang menyatakan Babi Guling sebanyak 11 orang atau 22%, menyatakan Sate dan sebanyak 6 orang atau 12%, menyatakan Nasi Sela sebanyak 4 orang atau 8%, menyatakan Lawar Kuwir sebanyak 3 orang atau 6%, dan menyatakan Pepes Babi sebanyak 3 orang atau 6%.

3.4.3. Jenis Penyuluhan Dan Pelatihan Tentang Kuliner Untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang jenis penyuluhan dan pelatihan tentang kuliner, dapat dilhat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Jenis Penyuluhan Dan Pelatihan Tentang Kuliner No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Penyuluhan Tentang Penggunaan 7 23% Bahan Pengawet 2. Penyuluhan Tentang Sadar Wisata 3 10% 3. Tidak Menjawab 20 67% Jumlah 30 100%

Dari Tabel 4. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan Penyuluhan Tentang Penggunaan Bahan Pengawet untuk jenis penyuluhan dan pelatihan tentang kuliner sebanyak 7 orang atau 23%, yang menyatakan Penyuluhan Tentang Sadar Wisata sebanyak 3 orang atau 10%, dan tidak menjawab sebanyak 20 orang atau 67%. Jadi, untuk jenis penyuluhan dan pelatihan tentang kuliner perlu lebih banyak dilaksanakan di Sangeh oleh pihak-pihak terkait.

3.4.4. Yang Menjadi Daya Tarik Kuliner Lokal Sangeh Untuk mengetahui pendapat masyarakat yang menjadi daya tarik kuliner lokal Sangeh, dapat dilihat pada Tabel 5 berikut ini.

73

Tabel 5. Yang Menjadi Daya Tarik Kuliner Lokal Sangeh No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Rasa 25 50% 2. Harga 10 20% 3. Kombinasi Menu 10 20% 4. Porsi 5 10% Jumlah 50 100%

Dari Tabel 5. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan Rasa yang menjadi daya tarik kuliner lokal Sangeh sebanyak 25 orang atau 50%, yang menyatakan Harga sebanyak 10 orang atau 20%, menyatakan Kombinasi Menu sebanyak 10 orang atau 20%, dan menyatakan Porsi sebanyak 5 orang atau 10%.

3.4.5. Kuliner Lokal Sangeh Sebagai Keperluan Upacara Agama

Untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang kuliner lokal Sangeh sebagai keperluan Upacara Agama, dapat dilhat pada Tabel 6 berikut ini.

Tabel 6. Kuliner Lokal Sangeh Sebagai Keperluan Upacara Agama No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Manusa Yadnya 9 30% 2. Dewa Yadnya 7 23% 3. Bhuta Yadnya 5 17% 4. Tidak Menjawab 9 30% Jumlah 30 100%

Dari Tabel 3.7. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan Manusa Yadnya merupakan kuliner lokal Sangeh sebagai keperluan Upacara Agama sebanyak 9 orang atau 30%, yang menyatakan Dewa Yadnya sebanyak 7 orang atau 23%, menyatakan Bhuta Yadnya sebanyak 5 orang atau 17%, dan masyarakat yang tidak menjawab sebanyak 9 orang atau 30%.

3.4.6. Festival Kuliner Atau Event Lainnya Untuk mengetahui pendapat masyarakat tentang festival kuliner atau event lainnya, dapat dilhat pada Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Festival Kuliner Atau Event Lainnya No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Festival Pertanian Plaga 5 17% 2. Pesta Kesenian Bali 3 10% 3. Lomba 2 7% 4. Tidak Menjawab 20 66% Jumlah 30 100%

74

Dari Tabel 7 terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan Festival Pertanian Plaga merupakan festival kuliner atau event lainnya sebanyak 5 orang atau 17%, yang menyatakan Pesta Kesenian Bali sebanyak 3 orang atau 10%, menyatakan Lomba Sate Lilit sebanyak 2 orang atau 7%, dan masyarakat yang tidak menjawab sebanyak 20 orang atau 66%. Jadi, festival kuliner atau event lainnya perlu lebih banyak lagi diadakan untuk menjadi media/saluran memperkenalkan kuliner lokal Sangeh.

3.5. Tanggapan Wisatawan Terhadap Kuliner Lokal Sangeh Daftar pertanyaan yang ditujukan kepada masyarakat terdiri dari 7 pertanyaan, di mana skor yang terendah adalah 1 x 7 = 7 dan skor tertinggi adalah 5 x 7 = 35. Jumlah masyarakat yang dijadikan sampel adalah 50 orang. Untuk mengetahui pendapat wisatawan tentang kuliner lokal Sangeh dapat dijelaskan sebagai berikut:

3.5.1. Yang Menjadi Daya Tarik Berkunjung Ke Sangeh Untuk mengetahui pendapat wisatawan yang menjadi daya tarik berkunjung ke Sangeh, dapat dilihat pada Tabel 8 berikut ini.

Tabel 8. Yang Menjadi Daya Tarik Berkunjung Ke Sangeh No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Kuliner Lokal Sangeh 25 50% 2. Hutan Pala dan Kera 21 42% 3. Taman Mumbul 4 8% Jumlah 50 100%

Dari Tabel 8 terlihat bahwa wisatawan yang menyatakan Kuliner Lokal Sangeh yang menjadi daya tarik berkunjung ke Sangeh sebanyak 25 orang atau 50%, yang menyatakan Hutan Pala dan Kera sebanyak 21 orang atau 42%, dan menyatakan Taman Mumbul sebanyak 4 orang atau 8%.

3.5.2. Tetap Memilih Menu Lokal Sangeh Ketika Berkunjung Untuk mengetahui pendapat wisatawan tetap memilih menu lokal Sangeh ketika berkunjung, dapat dilihat pada Tabel 9. berikut ini.

Tabel 9. Tetap Memilih Menu Lokal Sangeh Ketika Berkunjung No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Ya 43 86% 2. Tidak 1 2% 3. Tidak Menjawab 6 12% Jumlah 50 100%

Dari Tabel 9 terlihat bahwa wisatawan yang menyatakan Ya, tetap memilih menu lokal Sangeh ketika berkunjung sebanyak 43 orang atau 86%, yang menyatakan Tidak sebanyak 1 orang atau 2%, dan wisatawan yang tidak menjawab sebanyak 6 orang atau 12%. Jadi, terlihat bahwa wisatawan yang datang ke Sangeh akan tetap memilih menu lokal Sangeh untuk kebutuhan makan dan minum mereka.

3.5.3. Memberikan Rekomendasi Untuk Mencoba Menu Lokal Sangeh

Untuk mengetahui pendapat wisatawan akan memberikan rekomendasi untuk mencoba menu lokal Sangeh, dapat dilihat pada Tabel 10 berikut ini.

75

Tabel 10. Memberikan Rekomendasi Untuk Mencoba Menu Lokal Sangeh No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Ya 44 88% 2. Tidak - - 3. Tidak Menjawab 6 12% Jumlah 50 100%

Dari Tabel 10 terlihat bahwa wisatawan yang menyatakan Ya, untuk memberikan rekomendasi untuk mencoba menu lokal Sangeh sebanyak 44 orang atau 88% dan wisatawan yang tidak menjawab sebanyak 6 orang atau 12%. Jadi, kualitas menu dan kualitas pedagang perlu dijaga dan ditingkatkan agar wisatawan tetap memilih menu lokal Sangeh.

3.5.4. Kebersihan Dan Sanitasi Menu Lokal Sangeh

Untuk mengetahui pendapat wisatawan tentang kebersihan dan sanitasi menu lokal Sangeh, dapat dilihat pada Tabel 11 berikut ini.

Tabel 11. Kebersihan Dan Sanitasi Menu Lokal Sangeh No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Baik 10 20% 2. Baik 29 58% 3. Cukup 11 22% 4. Tidak Baik - - 5. Sangat Tidak Baik - - Jumlah 50 100%

Dari Tabel 11 terlihat bahwa wisatawan yang menyatakan Sangat Baik kebersihan dan sanitasi menu lokal sangeh sebanyak 10 orang atau 20%, yang menyatakan Baik sebanyak 29 orang atau 58%, dan menyatakan Cukup sebanyak 11 orang atau 22%.

3.5.5. Kenyamanan Tempat Menikmati Menu Lokal Sangeh

Untuk mengetahui pendapat wisatawan tentang kenyamanan tempat menikmati menu lokal Sangeh, dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 12. Kenyamanan Tempat Menikmati Menu Lokal Sangeh No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Nyaman 11 22% 2. Nyaman 27 54% 3. Cukup 12 24% 4. Tidak Nyaman - - 5. Sangat Tidak Nyaman - - Jumlah 50 100%

76

Dari Tabel 12 terlihat bahwa wisatawan yang menyatakan Sangat Nyaman untuk tempat menikmati menu lokal Sangeh sebanyak 11 orang atau 22%, yang menyatakan Nyaman sebanyak 27 orang atau 54%, dan menyatakan Cukup sebanyak 12 orang atau 24%.

3.5.6. Pelayanan Dari Pedagang Menu Lokal Sangeh Untuk mengetahui pendapat wisatawan tentang pelayanan dari pedagang menu lokal Sangeh, dapat dilihat pada Tabel 12 berikut ini.

Tabel 12. Pelayanan Dari Pedagang Menu Lokal Sangeh No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Baik 13 26% 2. Baik 32 64% 3. Cukup 5 10% 4. Tidak Baik - - 5. Sangat Tidak Baik - - Jumlah 50 100%

Dari Tabel 12 terlihat bahwa wisatawan yang menyatakan Sangat Baik pelayanan dari pedagang menu lokal Sangeh sebanyak 13 orang atau 26%, yang menyatakan Baik sebanyak 32 orang atau 64%, dan menyatakan Cukup sebanyak 5 orang atau 10%.

3.5.7. Daya Tarik Menu Lokal Sangeh

Untuk mengetahui pendapat wisatawan tentang daya tarik menu lokal Sangeh, dapat dilhat pada Tabel 13 berikut ini.

Tabel 13.Daya Tarik Menu Lokal Sangeh No. Kuliner Sangeh Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Rasa 18 36% 2. Harga 14 28% 3. Kombinasi Menu 13 26% 4. Porsi 3 6% 5. Penampilan Menu 2 4% Jumlah 50 100%

Dari Tabel 13 terlihat bahwa wisatawan yang menyatakan Rasa sebagai daya tarik menu lokal Sangeh sebanyak 18 orang atau 36%, yang menyatakan Harga sebanyak 14 orang atau 28%, menyatakan Kombinasi Menu sebanyak 13 orang atau 26%, menyatakan Porsi sebanyak 3 orang atau 6%, dan menyatakan Penampilan Menu sebanyak 2 orang atau 4%.

3.6. Kendala Pengembangan Kuliner Lokal Dalam Menunjang Pariwisata Kerakyatan Berkelanjutan Di Desa Sangeh

77

Untuk mendukung pengembangan kuliner lokal dalam menunjang pariwisata kerakyatan berkelanjutan di Desa Sangeh masih banyak hal yang perlu diperbaiki dan dibenahi, seperti: peningkatan kualitas kuliner dan sumber daya manusianya, fasilitas pendukung, sarana/prasarana, pelatihan, dan sebagainya. Untuk lebih jelasnya sesuai dengan hasil analisis data yang diperoleh di lapangan, ada beberapa kendala dalam pengembangan kuliner lokal Sangeh, sebagai berikut:

3.6.1. Kurangnya Pembeli

Wisatawan yang datang ke Sangeh tujuannya adalah untuk melihat keberadaan Monyet dan Hutan Pala yang ada di Sangeh, sehingga wisatawan yang berkunjung ke Sangeh hanya membutuhkan waktu beberapa menit, kurang lebih 45-60 menit untuk dapat mengelilingi Hutan Pala dan melihat keberadaan monyet-monyet yang ada di dalamnya. Wisatawan yang datang sebagian besar menggunakan Biro Perjalanan untuk datang ke Sangeh. Setelah mereka berkunjung ke Sangeh akan melanjutkan lagi perjalanan wisatanya ke daya tarik wisata yang lainnya, sesuai paket yang ditawarkan oleh Pihak Biro Perjalanan. Dari Biro Perjalanan tentunya sudah diatur tentang jadwal perjalanan wisatawan termasuk kebutuhan makan dan minumnya selama melaksanakan Paket Tour tersebut.

Kuliner lokal yang ada di Desa Sangeh sebagian besar dikelola oleh masyarakat lokal yang tentunya dari segi pengetahuan dan pemahaman tentang penyediaan, pelayanan kuliner untuk wisatawan masih minim, sehingga untuk standar internasional yang diisyaratkan belum secara optimal dapat diterapkan, sehingga belum dapat menarik minat wisatawan, khususnya wisatawan asing untuk dapat menikmati kuliner lokal di Desa Sangeh termasuk juga paket dari Biro Perjalanan belum banyak memasukkan kuliner lokal Sangeh sebagai paket makan dan minum ketika wisatawan berkunjung ke Sangeh. Hal ini, menyebabkan kendala masih kurangnya pembeli terhadap kuliner lokal Sangeh, di mana hal ini perlu kajain yang lebih mendalam lagi untuk dapat menjadikan kuliner lokal Sangeh sebagai kuliner lokal tetapi bercita rasa internasional dan pelayanan internasional.

3.6.2. Harga Bahan Baku Yang Tidak Stabil

Masalah harga bahan pokok di Indonesia menjadi hal yang perlu untuk dicarikan solusi yang tepat, karena harga bahan pokok kadang-kadang tidak menentu dan tidak stabil, tidak terkecuali di Bali. Hal ini, juga berpengaruh terhadap para penjual menu kuliner lokal di Sangeh yang mengandalkan bahan baku untuk diolah dan dijual dari pasar yang menyediakan bahan baku tersebut. Sedikit dari para penjual menu lokal Sangeh yang menyediakan bahan bakunya langsung dari mereka sendiri, seperti misalnya untuk daging babi mereka pelihara babi, untuk daging kambing mereka pelihara kambing, dan sebagainya, mereka tidak lakukan seperti itu, para penjual kuliner lokal membeli bahan baku di pasar.

Harga kuliner yang mereka tawarkan sesuai dengan harga bahan baku yang ada di pasar. Karena bahan baku yang kadang-kadang tidak stabil, para penjual kuliner biasanya bermain di porsi untuk tetap bisa mempertahankan harga yang sudah berlaku atau mereka menaikkan harga kulinernya. Hal ini, menjadi kendala untuk para penjual karena para pelanggan menjadi tidak puas ketika harga yang ditawarkan selalu berubah dan porsi menu yang ditawarkan juga sering berubah. Padahal yang menjadi daya tarik para pelanggan untuk kuliner lokal Sangeh adalah harga, di samping daya tarik yang lain sesuai hasil analisis data. Artinya, harga yang ditawarkan sesuai dengan porsi dan kemampuan para pelanggan yang datang ke Sangeh.

3.6.3. Persaingan Antar Pedagang

Di Desa Sangeh terdapat banyak penjual kuliner lokal, dengan berbagai jenis menu yang ditawarkan, seperti daging babi, daging ayam, daging kambing, daging kuwir, daging kerbau, dan sebagainya. Dengan banyaknya variasi menu yang ditawarkan, berbagai strategi dilakukan oleh para pedagang untuk dapat menarik minat pelanggan untuk memilih menu yang ditawarkan para penjual kuliner ini. Dari variasi harga, kombinasi menu, penampilan menu, rasa, pelayanan kepada pelanggan, dan sebagainya, menyebabkan terjadinya persaingan diantara para penjual kuliner di Sangeh. Hal ini, menjadi kendala dalam pengembangan menu kuliner lokal Sangeh karena akan dapat mengurangi

78

kualitas dan kuantitas menu demi mendapatkan keuntungan jangka pendek dan menjadi permasalahan untuk kelangsungan kuliner lokal Sangeh untuk jangka panjang.

3.6.4. Kurangnya Promosi

Sebuah produk untuk dapat dikenal oleh pelanggan atau wisatawan tentunya harus melalui promosi yang efektif dan efisien yang dilakukan dengan berbagai media, seperti: internet, media massa, brosur, pamphlet, dari mulut ke mulut, dan sebagainya, yang tujuannya adalah untuk memperkenalkan suatu produk yang dihasilkan. Kuliner lokal Sangeh sebagai sebuah produk lokal dalam pemasarannya masih menggunakan sistem tradisional dan konvensional untuk memperkenalkan produk, yaitu hanya diperkenalkan melalui pelanggan atau wisatawan yang datang membeli kuliner dari penjual, apalagi dengan persaingan antar pedagang yang begitu ketat menyebabkan jangkauan pemasaran kuliner lokal Sangeh menjadi terbatas. Promosi yang dilakukan oleh pihak-pihak terkait terhadap kuliner lokal Sangeh belum banyak dilakukan, sehingga hal ini menjadi kendala dalam pemasaran produk kuliner lokal Sangeh, sehingga masih kalah bersaing dengan produk-produk kuliner lokal daerah lainnya.

3.6.5. Tempat Berjualan Kurang Strategis

Para penjual kuliner lokal Sangeh masih mendapatkan kendala dalam membuka usaha mereka untuk berjualan kuliner lokal Sangeh, yaitu dalam mencari tempat untuk berjualan, di mana kebanyakan dari masyarakat yang berjualan kuliner menggunakan rumahnya sebagai tempat berjulaan, di mana kebanyakan rumah-rumah mereka berada di daerah yang kurang strategis untuk membuka usaha. Dari kurangnya promosi, persaingan antar pedagang, dan tempat berjualan yang kurang strategis menjadikan perkembangan kuliner lokal Sangeh menjadi terkendala dan akan kalah bersaing dengan kuliner lokal daerah lain. Karena tempat berjualan yang kurang strategis menjadikan pula pelayanan yang kurang baik, kenyamanan para pelanggan dan wisatawan menjadi kurang.

3.6.6. Kurangnya Pelatihan Dan Pemahaman Berkaitan Kuliner Lokal

Dari hasil analisis kuesioner, didapatkan hasil bahwa pelatihan berkaitan dengan kuliner lokal di Sangeh masih sangat kurang dan media-media untuk mempromosikan kuliner lokal Sangeh juga masih kurang, sehingga hal ini, menjadi kendala dalam peningkatan kualitas dan pemahaman masyarakat tentang kuliner, berkaitan dengan kebersihan, sanitasi/hygiene, cara pengolahan, cara pelayanan, kandungan gizi, cara-cara penyimpanan, dan sebagainya. Padahal variasi menu lokal yang ada di Sangeh sangat banyak dan beragam, di mana sebenarnya hal ini, dapat menjadi kekuatan dan peluang untuk dapat mengembangkan kuliner lokal Sangeh bahkan skala internasional. Diperlukan pemahaman dan pengetahuan dari masyarakat untuk dapat mengembangkan kuliner lokal Sangeh lebih profesional lagi, langkah atau usaha yang perlu dilakukan adalah lebih sering mengadakan pelatihan berkaitan dengan kuliner serta lebih banyak diadakan event-event yang berkaitan dengan kuliner, seperti: festival kuliner, pameran produk kuliner lokal, bahkan dapat mengikuti event kuliner sampai skala nasional dan skala internasional untuk memperkenalkan keunikan dan kekhasan dari kuliner lokal Sangeh.

3.7. Peran Serta Dan Partisipasi Masyarakat Desa Sangeh Dalam Mengembangkan Kuliner Lokal Di Desa Sangeh

Masyarakat Desa Sangeh dalam mengembangkan kuliner lokal Sangeh dilakukan dengan beberapa usaha yang tentunya masih dengan cara yang konvensional, karena pemahaman yang dimiliki masyarakat masih sebatas tingkat yang standar, di mana peran serta masyarakat dan partisipasi masyarakat Desa Sangeh didasari oleh kemampuan berdasarkan pengalaman yang mereka dapatkan dan rasakan ketika mengembangkan kuliner lokal menjadi pendukung daya tarik wisata di Sangeh. Peran serta dan partisipasi masyarakat Sangeh dalam mengembangkan kuliner lokal di Desa Sangeh, sebagai berikut:

79

3.7.1. Faktor Niskala

Masyarakat Desa Sangeh dalam mengembangkan usaha kuliner mereka sangat percaya dengan keyakinan terhadap hal-hal yang bersifat niskala, di mana dalam pengembangan setiap usaha apapun harus tetap memohon tuntunan dan anugerah dari niskala, dalam hal ini keyakinan masyarakat Desa Sangeh adalah terhadap Leluhur, sehingga masyarakat dalam menjalankan usahanya sangat percaya bahwa keberuntungan dan nasib menjalankan usahanya sudah diatur sesuai dengan karma masing- masing, hal inilah yang menjadi dasar masyarakat untuk mengembangkan kuliner lokal, dengan hal yang mendasar adalah tetap menjalankan keyakinan mereka untuk percaya kepada Leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pengatur alam dan sebagai penentu setiap gerak dari makhluk hidup yang ada di alam ini.

Masyarakat Desa Sangeh tetap akan mengembangkan kuliner lokal Sangeh karena kuliner juga sebagai persembahan terhadap Leluhur dalam berbagai kegiatan keagamaaan yang dilaksanakan oleh masyarakat Sangeh. Dengan banyaknya tempat-tempat untuk menyediakan kuliner lokal Sangeh dengan berbagai jenis, dengan berbagai variasi menu, dengan berbagai rasa, dan sebagainya, tetapi masyarakat tetap menjalankan usaha kuliner dengan baik dan dengan sebuah keyakinan bahwa rejeki sudah ada yang mengatur, manusia hanya bisa berusaha dan berdoa sesuai dengan keyakinan masing- masing. Hal inilah yang menjadikan usaha kuliner masyarakat Sangeh berkembang secara mengalir dan pasar yang menilai sesuai dengan usaha masing-masing dan tidak terkecuali juga dengan keberuntungan masing-masing.

3.7.2. Menjaga Kualitas Menu dan Bahan

Masyarakat Desa Sangeh dalam mempertahankan kualitas kuliner lokal Sangeh melakukan usaha tetap menjaga kualitas menu dan kualitas bahan yang digunakan, meskipun dari segi keuntungan yang didapat tidak terlalu banyak, tetapi mereka mempunyai prinsip bahwa kuliner atau makanan adalah merupakan persembahan atau yadnya yang akan memberikan dampak terhadap kelangsungan atau daya tarik kuliner lokal atau usaha kuliner masyarakat apabila dijalankan dengan kejujuran. Hal ini, yang mendorong masyarakat untuk tetap menggunakan bahan yang baik dan pengolahan yang baik, sehingga kualitas menu yang dihasilkan menjadi halal, baik halal secara nyata dan halal secara spiritual.

Pelanggan atau wisatawan yang menikmati kuliner lokal Sangeh akan mendapatkan kepuasan dan keinginan untuk tetap menikmat kuliner Sangeh dengan didukung kualitas menu yang disajikan, sehungga banyak daerah-daerah lain yang menyajikan masing-masing kuliner lokalnya tetapi tetap pelanggan atau wisatawan datang ke Sangeh untuk menikmati kuliner lokal Sangeh.

3.7.3. Realistis Dalam Menentukan Target Pasar

Masyarakat Desa Sangeh dalam memperkenalkan menu lokal Sangeh tidak membuat target tertentu untuk wisatawan tertentu yang disasar, di mana mereka berpikiran realistis dalam menentukan target pasar dikarenakan menu lokal berbeda dengan menu internasional yang harganya ditentukan dan cenderung lebih tinggi dari kuliner lokal Sangeh, sehingga masyarakat dengan menentukan harga yang tidak terlalu tinggi akan dapat menarik pelanggan dari kalangan masyarakat biasa atau wisatawan lokal, yang mana pelanggan tersebut sangat potensial dan tentunya akan secara berulang-ulang akan menikmati kuliner lokal Sangeh. Kalau hanya menyasar wisatawan asing, maka kuantitas menu yang laku akan rendah karena wisatawan asing tidak sebanyak pelanggan lokal yang datang ke Sangeh untuk menikmati menu lokal, hal ini juga dikarenakan dari travel agent yang memandu wisatawan asing juga sudah mempunyai tempat-tempat khusus untuk makan wisatawan tersebut.

3.7.4. Mempertahankan Ciri Khas Menu

Beragam kuliner lokal Sangeh yang disajikan oleh masyarakat, sehingga untuk dapat menarik pelanggan atau wisatawan untuk memilih menu yang mereka sajikan adalah dengan cara mempertahankan ciri khas menu karena menu-menu yang disajikan beragam serta banyak menu sejenis yang disajikan di banyak tempat, masyarakat Sangeh menyikapi dengan tidak meniru atau

80

sama dengan menu lain yang disajikan meskipun sejenis, mereka tetap membawa ciri khas menu mereka masing-masing, baik dari segi rasa, tekstur, cara penyajian, kombinasi menu, porsi, dan sebaginya, sehingga pelanggan atau wisatawan dapat memilih menu sesuai selera mereka masing- masing yang bisa dipilih berdasarkan cita rasa dan ciri masing-masing menu lokal yang disajikan masyarakat. Hal ini, sangat memberikan keberagaman dan khasanah menu yang berbeda dengan sentuhan keterampilan masing-masing masyarakat dalam mengolah dan menyajikan menu lokal Sangeh.

3.7.5. Menentukan Harga Yang Terjangkau

Sangeh sebagai sebuah daya tarik wisata sudah sangat dikenal oleh wisatawan, baik wisatawan lokal maupun wisatawan asing. Selain daya tarik kera beserta hutan pala, Sangeh kini sudah mempunyai daya tarik alternatif, yaitu Taman Mumbul dan kuliner lokal Sangeh, sehingga banyak wisatawan yang berkunjung ke Sangeh untuk menikmati keindahan daya tarik Sangeh juga mereka sekaligus menikmati sajian menu kuliner lokal Sangeh. Masyarakat Sangeh untuk dapat menarik pelanggan atau wisatawan menikmati usaha kuliner lokal yang mereka jalankan, dengan cara menentukan harga yang terjangkau, maksudnya adalah terjangkau untuk kalangan biasa tidak menentukan harga dengan level harga untuk wisatawan asing karena target pasar yang potensial adalah pelanggan lokal atau wisatawan lokal. Selain rasa yang menjadi penarik dari kuliner lokal Sangeh adalah harga. Masyarakat berprinsip bahwa untuk menjalankan kegiatan usaha kuliner lokal adalah “kecil tetapi panjang” tidak “besar tapi pendek”, maksudnay adalah meskipun keuntungan yang didapat tidak terlalu besar tetapi usaha mereka tetap diminati oleh pelanggan untuk jangka waktu yang lama. Karena keberlanjutan ini yang diharapkan oleh masyarakat dan juga keberlanjutan dari perkembangan daya tarik Sangeh.

3.7.6. Kecenderungan Promosi Dari Mulut ke Mulut

Mayarakat Sangeh masih mengandalkan cara mempromosikan kuliner lokal Sangeh dengan cara dari mulut ke mulut. Menu lokal ini diperkenalkan kepada pelanggan atau wisatawan yang datang dan menikmati kuliner lokal tersebut dari pelanggan atau wisatawan yang datang sebelumnya, sehingga kualitas menu, ciri khas menu, cita rasa, dan sebagainya sangat diperhatikan oleh masyarakat. Pelanggan akan tetap datang ke suatu tempat kuliner yang sesuai dengan selera mereka dan bahkan hal tersebut terjadi secara berulang-ulang atau bahkan menjadi pelanggan tetap dan pelanggan setia. Di samping itu, informasi yang diberikan oleh pelanggan setia ini kepada orang lain akan memberikan dampak yang besar terhadap menu yang disajikan karena tidak saja hanya memberikan informasi bahkan juga yang tergolong pelanggan setia tersebut akan mengajak orang lain untuk datang ke tempat usaha kuliner masyarakat untuk menikmati kuliner lokal yang disajikan. Kecenderungan ini memberikan nuansa yang berbeda terhadap perkembangan dan keberlanjutan masing-masing kuliner lokal di Sangeh karena ada beberapa usaha kuliner yang dijalankan bahkan mempunyai pelanggan fanatik, jadi ketika mereka membicarakan kuliner langsung muncul di benak mereka adalah satu tempat yang menjadi favorit mereka, hal ini dalam jangka panjang dapat menjadi sebuah branding kuliner dari masing-masing tempat yang ada sesuai dengan pola dan tipe masyarakat dalam memberikan pelayanan dan memberikan emphati kepada pelanggan.

3.7.7. Menaikkan Harga Secara Berkala

Pelanggan atau wisatawan yang menikmati menu kuliner lokal Sangeh adalah dominan wisatawan lokal, sehingga faktor harga menjadi daya tarik pelanggan untuk menikmati menu kuliner Sangeh karena masih terjangkau menurut kemampuan para pelanggan. Tetapi, di sisi lain harga-harga bahan pembuatan menu kuliner Sangeh juga tidak stabil, kadang-kadang naik, kadang-kadang turun, sehingga terjadi kesulitan dari masyarakat untuk menentukan harga karena situasi tersebut. Untuk tetap dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan wisatawan, maka masyarakat tidak serta merta menaikkan harga kuliner tersebut meskipun ketika itu harga bahan-bahan untuk pembuatan dan mengolah kuliner lokal sedang naik tetapi tetap mempertahankan harga karena ketika harga bahan- bahan untuk mengolah kuliner turun, di sana masyarakat mengkompensasikan untuk mendapat keuntungan. Secara jangka panjang, masyarakat Sangeh berkaitan dengan harga kuliner akan

81

menaikkan harga secara berkala, misalnya dalam hitungan tahun harga kuliner yang mereka tawarkan akan naik tetapi kenaikan harganya tidak drastis. Hal inilah, yang dilakukan oleh masyarakat untuk tetap eksis dalam menarik minat pelanggan atau wisatawan untuk tetap memilih menu kuliner lokal Sangeh.

3.7.8. Penataan Tempat dan Kualitas Pelayanan

Masyarakat Sangeh di dalam mempertahankan para pelanggan atau wisatawan untuk memilih kuliner lokal, selain berfokus pada menu kulinernya sendiri juga memperhatikan faktor lain, seperti penataan tempat untuk menerima pelanggan dan memperhatikan kualitas pelayanan. Di mana tempat yang strategis, terdapat lahan parkir yang memadai, tersedianya toilet, tertatanya meja yang dapat menimbulkan kenyamanan, dan sebagainya menjadi hal yang diperhatikan oleh masyarakat Sangeh serta bersikap ramah, cepat memberikan pelayanan, menjaga kebersihan, dan sebagainya juga sangat berpengaruh di dalam memikat hati para pelanggan atau wisatawan untuk senantiasa memilih kuliner yang mereka tawarkan. Apalagi persaingan saat ini sangat ketat dan sangat kompetitif, sehingga membutuhkan hal-hal yang khusus untuk dapat memenangkan persaingan tersebut. Jadi, masyarakat di dalam menata tempat dan memberikan kualitas pelayanan berdasarkan dengan kemampuan dan pemahaman yang mereka miliki, selanjutnya tergantung dari pelanggan atau wisatawan yang menentukan pilihan mereka.

3.7.9. Mengefektifkan Media Sosial

Media sosial ini sangat digandrungi oleh masyarakat luas, bukan hanya dari kalangan anak muda saja termasuk orang-orang tua sangat menggandrungi media sosial tersebut. Ada banyak media sosial yang dikenal masyarakat, yaitu: facebook, whatsapp, line, twitter, instragram, dan lain-lain. Masyarakat Sangeh untuk memperkenalkan kuliner lokal Sangeh, selain yang banyak dilakukan adalah dari mulut ke mulut, juga masyarakat memanfaatkan media sosial ini sebagai media promosi. Apalagi media sosial yang ada saat ini bisa memberikan informasi secara berantai dari satu pengguna ke pengguna lainnya. Dengan demikian, masyarakat Sangeh memasukkan konten tentang kuliner yang disiapkan, tentang harga, tampilan menu, dan sebagainya kemudian akan dapat dilihat oleh masyarakat umum, sehingga ada rasa ingin mencoba dan datang ke Sangeh untuk menikmati menu kuliner lokal Sangeh. Dari beragam pilihan kuliner lokal di Sangeh pada akhirnya pelanggan atau wisatawan yang dapat menentukan pilihan mereka sesuai selera dari masing-masing pelanggan ketika menikmati kuliner lokal Sangeh meskipun konten yang dimasukkan di media sosial semuanya baik dan kompetitif tetapi antara di media sosial dengan kenyataan pasti akan berbeda dan pelanggan atau wisatawan yang menjadi penentunya di lapangan.

3.7.10. Menerima Paket Menu Untuk Acara Khusus

Kuliner lokal Sangeh di dalam perkembangannya, tidak hanya dinikmati oleh pelanggan atau wisatawan yang datang langsung ke Sangeh, baik secara perorangan, berkelompok atau rombongan tetapi juga menjadi keperluan untuk acara-acara khusus yang diadakan, baik di Desa Sangeh maupun sampai di luar Desa Sangeh. Hal ini, sebagai langkah atau usaha masyarakat memperkenalkan kuliner lokal Sangeh. Pelanggan yang memesan paket menu kuliner Sangeh ada yang datang secara langsung untuk mengambil paket menu tersebut dan ada juga yang diantar paket menu tersebut ke tempat acara tertentu. Ada beberapa acara tertentu yang biasanya menggunakan paket menu kuliner Sangeh, seperti: Dewa Yadnya, Manusa Yadnya. Dengan adanya penjualan paket menu kuliner tersebut akan memberikan keuntungan kepada masyarakat karena kegiatan upacara tersebut biasanya dilakukan secara rutin dan diadakan di berbagai daerah, sehingga pelayanan yang baik tentunya akan dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan dan pada nantinya secara berkelanjutan akan tetap membutuhkan paket kuliner lokal Sangeh yang sekaligus memperkenalkan kuliner lokal Sangeh ke berbagai daerah dan ke berbagai kesempatan.

82

3.8. Pengembangan Kuliner Lokal Untuk Menunjang Pariwisata Kerakyatan Berkelanjutan Di Desa Sangeh Kabupaten Badung

Untuk mempertahankan eksistensi kuliner lokal Sangeh sebagai penunjang pariwisata di Sangeh, maka diperlukan usaha atau strategi agar kuliner lokal Sangeh dapat eksis di tengah perkembangan modernisasi yang melanda hampir sebagian besar Pulau Bali, sehingga kuliner lokal Sangeh dapat mempertahankan ciri khasnya dan esensinya tetapi di sisi lain kuliner lokal juga bisa beradaptasi dengan modernisasi atau dengan kata lain menu lokal tetapi bercita rasa internasional. Strategi dari masyarakat Sangeh untuk mengembangkan kuliner lokal untuk menunjang pariwisata berkelanjutan di Desa Sangeh Kabupaten Badung, yaitu:

3.8.1. Mengadakan Pelatihan Tentang Kuliner Lokal

Kualitas sumber daya manusia untuk mempertahankan kuliner lokal Sangeh sangat diperlukan karena kuliner lokal banyak juga ditemukan di berbagai daerah di Bali, sehingga untuk mempertahankan dan mengembangkan kuliner lokal diperlukan sumber daya yang kuat dan terampil. Program pelatihan kepada masyarakat Sangeh berkaitan dengan kuliner lokal adalah tentang sanitasi/hygiene, tentang rasa, cara penyajian, kandungan gizi, cara pelayanan, dan sebagainya. Dengan berbagai program pelatihan yang diberikan kepada masyarakat Sangeh diharapkan akan memberikan kepuasan dan kenyamanan kepada pelanggan atau wisatawan menikmati kuliner lokal Sangeh, sehingga kuliner lokal Sangeh tetap dapat menjadi kuliner masyarakat dan dapat dikenal dan diminati oleh wisatawan.

Pelatihan tentang kuliner lokal bekerja sama dengan Perguruan Tinggi, pihak industri, praktisi, dan pihak pemerintah daerah. Pelatihan dilaksanakan secara berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat, khususnya karang taruna, Ibu-Ibu PKK, serta industri kuliner di Sangeh, sehingga potensi kuliner lokal Sangeh dapat lebih banyak dikembangkan dan dikelola oleh masyarakat Sangeh sendiri, sehingga membuka lapangan kerja seluas-luasnya bagi masyarakat. Dengan didukung hospitality yang baik, Sangeh sebagai sebuah daya tarik wisata dapat menjadi kenangan yang tidak akan pernah dilupakan dan wisatawan akan selalu datang bekunjung ke Sangeh sekaligus menikmati kuliner lokal Sangeh.

3.8.2. Tetap Mempertahankan Ciri Khas Kuliner Lokal Sangeh

Sebagai kuliner lokal, tentunya mempunyai ciri khas tersendiri yang menjadi identitas dari kuliner lokal Sangeh. Sehingga, ciri khas tersebut yang membedakan kuliner lokal Sangeh dengan kuliner- kuliner lokal daerah-daerah lainnya. Cita rasa dari kuliner lokal Sangeh merupakan hasil turun- temurun dari Para Tetua Sangeh, di mana fungsi utama dari kuliner lokal Sangeh dipergunakan sebagai Yadnya atau persembahan di dalam Upacara Keagamaan. Dalam perkembangannya, kuliner lokal menjadi pendukung pengembangan kepariwisataan di Sangeh, apalagi Sangeh menjadi daya tarik wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan nusantara maupun wisatawan mancanegara. Termasuk kuliner lokal Sangeh ini menjadi daya tarik untuk menarik wisatawan datang berkujung ke Sangeh. Hal ini, menjadikan kuliner lokal sebagai produk wisata yang perlu dikembangkan dan dikelola dengan baik dan profesional. Agar dapat menjadi daya tarik khusus, maka kuliner lokal Sangeh yang mempunyai cita rasa tertentu harus dipertahankan ciri khasnya, sehingga kalau pelanggan atau wisatawan menginginkan cita rasa seperti yang dimiliki kuliner lokal Sangeh, maka pelanggan atau wisatawan mesti datang ke Sangeh, dan termasuk juga masing-masing daerah mempunyai cita rasa kuliner masing-masing. Strategi inilah yang diterapkan oleh masyarakat Sangeh untuk mengembangkan kuliner lokal Sangeh, tetap menjaga Warisan Leluhur terhadap kuliner lokal, dan menyajikan kepada pelanggan aau wisatawan sesuai dengan cita rasa dan ciri khas tersebut, sehingga tidak meniru atau menduplikasi dari kuliner lokal daerah lain dan tetap bangga dengan kuliner lokal Sangeh.

3.8.3. Membentuk Pengelola Kuliner Lokal Sangeh

Pengembangan kuliner lokal Sangeh memerlukan perencanaan yang baik dengan melibatkan

83

masyarakat sebagai inti dalam pengembangan dan pengelolaannya. Mulai dari penyiapan sumber daya manusia, bahan-bahan yang diperlukan, kebersihan dan sanitasi, tata cara pengolahan, dan sebagainya. Hal ini, diperlukan pengelola khusus untuk kuliner lokal Sangeh yang bertugas merencanakan, mempersiapkan, dan mengkoordinir aktivitas pengembangan kuliner lokal Sangeh. Pengelola dibentuk dari masyarakat Sangeh, sehingga akan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk dapat memahami dan mendapat pengetahuan tentang kuliner dan juga lebih meningkatkan partisipasi masyarakat. Di samping itu, juga memudahkan dalam hal koordinasi antar masyarakat karena mereka merasa menjadi bagian dari pengembangan dan pengelolaan kuliner lokal Sangeh serta secara aktif mengembangkannya sebagai pelaku yang akan mendapatkan manfaat dari perkembangan kuliner lokal Sangeh.

Pengelola kuliner lokal Sangeh akan dapat mengontrol pengembangan dan pengelolaan kuliner Sangeh secara langsung, sehingga dampak dan kebutuhan dalam implementasinya akan segera bisa diatasi dan dipersiapkan dan juga dapat mengkomunikasikan kebutuhan dan pemanfaatannya secara baik kepada masyarakat dan membuat aturan-aturan yang dapat diterima seluruh masyarakat Sangeh untuk kesejahteraan masyarakat Sangeh.

3.8.4. Rutin Mengadakan dan Mengikuti Festival atau Pameran Kuliner Lokal

Untuk memperkenalkan kuliner lokal Sangeh diperlukan media-media yang menjadi sarana untuk memperkenalkannya, seperti pameran-pameran atau festival-festival yang berkaitan dengan kuliner. Karena dalam perkembangannya, kuliner lokal Sangeh yang esensinya adalah merupakan persembahan atau Yadnya tetapi dalam perkembangannya menjadi daya tarik yang diminati oleh pelanggan atau wisatawan. Juga kuliner bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan primer saja tetapi kuliner juga sebagai sebuah prestise atau tingkatan kelas seseorang yang menikmati kuliner tersebut. Hal inilah yang dijadikan peluang oleh masyarakat Sangeh untuk menangkap peluang tersebut untuk memperkenalkan dan mengembangkan kuliner lokal Sangeh sebagai salah satu daya tarik Desa Sangeh, sehingga di Sangeh wisatawan mempunyai banyak alternatif pilihan untuk melakukan kegiatan wisatanya. Degan rutin mengikuti pameran atau festival yang berkaitan dengan kuliner, maka kuliner lokal Sangeh akan dikenal secara luas dan menjangkau pemasaran secara internasional, hal ini menjadikan kuliner lokal Sangeh sebagai sebuah produk wisata yang perlu diperhitungkan keberadaannya yang menjadi kebanggaan masyarakat Sangeh. Di samping itu, perkembangan kuliner lokal Sangeh dapat memberikan dampak positif kepada masyarakat Sangeh dalam memberikan peningkatan pendapatan kepada masyarakat Sangeh dan dapat membuka lapangan kerja lokal yang sangat diperlukan untuk mengurangi dan menekan angka pengangguran serta sekaligus mendukung program pemerintah berkaitan dengan perkembangan kewirausahaan lokal dengan memanfaatkan potensi lokal Sangeh. Potensi lokal Sangeh, khususnya kuliner lokal Sangeh dapat menjadi produk atau bidang usaha yang dapat membangkitkan perekonomian lokal Desa Sangeh.

3.8.5. Mengadakan Promosi

Untuk memperkenalkan dan menyebarluaskan kuliner lokal Sangeh diperlukan kegiatan promosi sebagai jembatan produk kuliner lokal dan layanan yang langsung menuju ke konsumen. Program pengembangan kuliner lokal Sangeh adalah melakukan promosi yang efektif. Sangeh sebagai daya tarik sudah sangat dikenal bahkan oleh Dunia Internasional tetapi produk kuliner lokal Sangeh dan paket kuliner lokal yang perlu dipromosikan kepada pelanggan atau wisatawan. Sehingga, perlu dibuatkan program promosi yang efektif. Promosi yang dilakukan masyarakat Sangeh adalah melalui media brosur, media internet, sosial media, mengadakan dan mengikuti pameran atau festival kuliner, dan secara langsung promosi di Sangeh atau dari mulut ke mulut melalui wisatawan yang datang dan melalui travel agent yang datang ke Sangeh.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, yang berjudul: ”Pengembangan Kuliner Lokal Untuk Menunjang Pariwisata Kerakyatan Berkelanjutan Di Desa Sangeh Kabupaten Badung”, dapat disimpulkan sebagai berikut:

84

4.1. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan kuliner lokal Sangeh untuk mendukung pariwisata kerakyatan berkelanjutan Desa Sangeh Kabupaten Badung, yaitu: 1. Kurangnya pembeli. 2. Harga bahan baku yang tidak stabil. 3. Kurangnya promosi. 4. Tempat berjualan kurang strategis. 5. Kurangnya pelatihan dan pemahaman berkaitan dengan kuliner lokal. 4.2. Peran serta dan partisipasi masyarakat Sangeh dalam pengembangan kuliner lokal Sangeh, yaitu: 1. Faktor Niskala. 2. Menjaga kualitas menu dan bahan. 3. Realistis dalam menentukan target pasar. 4. Mempertahankan ciri khas menu. 5. Menentukan harga yang terjangkau. 6. Kecenderungan promosi dari mulut ke mulut. 7. Menaikkan harga secara berkala. 8. Penataan tempat dan kualitas pelayanan. 9. Mengefektifkan media sosial. 10. Menerima paket menu untuk acara-acara khusus. 4.3. Pengembangan kuliner lokal Sangeh untuk mendukung pariwisata kerakyatan berkelanjutan di Desa Sangeh Kabupaten Badung, yaitu: 1. Mengadakan pelatihan tentang kuliner lokal. 2. Tetap mempertahankan ciri khas kuliner lokal Sangeh. 3. Membentuk pengelola kuliner lokal Sangeh. 4. Rutin mengadakan dan mengikuti festival/pameran kuliner. 5. Mengadakan promosi.

Ucapan Terimakasih Pertama-tama Puja dan Puji Syukur Kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Guru Utama dalam kehidupan di alam semesta ini. Selanjutnya, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Panitia Call for Paper Universitas Udayana atas usaha dan kerja kerasnya, sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar, di mana kami juga dapat turut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Juga terima kasih kepada Dekan Fakultas Pariwisata beserta Para Wakil Dekan serta Kaprodi Program Studi D-IV Pariwisata beserta jajarannya yang sudah memberikan kesempatan kepada kami untuk dapat berkiprah dalam Hibah Unggulan Program Studi serta tidak lupa rasa terima kasih kami kepada Ketua LPPM Universitas Udayana beserta jajarannya pula yang selalu memotivasi kami untuk selalu mengikuti berbagai Skim yang disediakan, di mana dalam hal ini kami diberi kesempatan pada Skim Hibah Unggulan Program Studi. Semoga program-progam yang positif tersebut selalu dapat memotivasi Dosen untuk dapat berkarya lebih baik dan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Fagence, Michael, 1997. Approches to Planning for Rural and Village Tourism Realizing The Potential of Rural Areas an Village. Proceedings on the training and workshop on Planning Sustainable Tourism, ed. Minnery, John, Gunawan Myra, P. Penerbit: ITB, Bandung. Gardner, William C. 1996. Tourism Development: Principles, Processes, and Policies. Van Nostrand Reinhold. New York Hermantoro, Henky, dkk. 2010. Pariwisata Mengikis Kemiskinan. Jakarta: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kepariwisataan.

Inskeep, Edward, 1991. Tourism Planning as Integrated and Sustainable Development Approach. Van Nostrand Reinhold. USA.

85

Kusumahadi, M. 2007. Practical Challenge to the Community Empowerment Program. Yogyakarta: Experience of Satunama Foundation of Yogyakarta. Korten dan Syahrir (ed.) 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mikkelsesn, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mathieson, A. dan Wall, G, 1982. Tourism Economic, Physical and Social Impacts. Longman Group Limited. New York. Page, S.J. dan D. Getz (eds.). 1997. The Business of Rural Tourism. London: International Thomson Business Press. Picard, Michel. 2006. Bali Pariwisata Budaya Dan Budaya Pariwisata. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Pujaastawa, dkk. 2005. Pariwisata Terpadu (Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali Tengah). Denpasar: Universitas Udayana. Sutrisno, 1999. Pemberdayaan Masyarakat. www.pemberdayaan.com. Accessed on Pebruari 2013. Tashakkori, Abbas. 2010. Handbook of Mixed Methods in Social & Behavioral Research. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Tjiptono, Fandy. 2011. Service, Quality & Satisfaction. Yogyakarta: Andi Offset. Woodley, A. 1993. Tourism and Sustainable Development: The Community Perspective, dalam J.G. Nelson, R. Butler dan G. Wall (ed.), Planning, Managing. Waterloo: Dept. of Geography, University of Waterloo.

86

PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP PENGEMBANGAN HOMESTAY DI DESA WISATA TISTA, KECAMATAN KERAMBITAN, KABUPATEN TABANAN

Agung Sri Sulistyawati1, Fanny Maharani Suarka2 Program Studi Diploma IV Pariwisata, Fakultas Pariwisata Universitas Udayana12 Email: [email protected]

Abstrak Desa Tista mempunyai potensi yang sangat beragam untuk dikembangkan menjadi daya tarik wisata, yaitu potensi alam, potensi budaya, potensi kuliner, potens spiritual, dan tentunya potensi Sumber Daya Manusia (SDM). Potensi-potensi tersebut yang menjadi modal Desa Tista menjadi desa wisata, di mana Desa Tista ditetapkan sebagai desa wisata oleh Bupati Tabanan Nomor: 180/319/03/HK & HAM/2016, Tanggal 26 Oktober 2016, di samping itu Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Tista juga ditetapkan oleh Bupati Tabanan Nomor: 180/27403/HK & HAM/2016, Tanggal 19 September 2016. Daya tarik wisata yang dimiliki Desa Tista tentunya memerlukan beberapa konsep pengembangan dan pengelolaan yang akan dapat menahan kunjungan wisatawan lebih lama tinggal di Desa Wisata Tista. Selain menyediakan berbagai variasi produk dan atraksi wisata dengan mengkemas menjadi paket wisata yang menarik dan atraktif, maka perlu juga direncanakan tempat menginap (homestay) untuk wisatawan yang berkunjung ke Desa Tista agar wisatawan dapat lebih lama tinggal di desa untuk menikmati berbagai daya tarik dan produk wisata yang ditawarkan termasuk juga dapat menikmati dan berbaur langsung dengan kehidupan sehari-hari masyarakat pedesaan (kehidupan masyarakat agraris). Dengan disiapkannya penginapan lokal (homestay), maka akan dapat memberikan peningkatan pendapatan kepada masyarakat dalam mendukung Desa Wisata Tista, di mana menjadi kebanggaan bagi masyarakatnya dan membuka lapangan kerja lokal serta mengurangi pengangguran. Pendekatan kualitatif dan Analisis Skala Likert digunakan untuk menemukan model secara naturalis sesuai dengan keadaan serta potensi yang dimiliki Desa Tista untuk pengembangan penginapan lokal (homestay). Hasil-hasil analisis data akan ditampilkan secara deskriptif kualitatif yang menyajikan pendapat, hasil observasi, hasil studi lapangan, teori, dan konsep yang ditemukan di lapangan berdasarkan sudut pandang informan yang kemudian diinterpretasi oleh Tim Peneliti.

Keywords: Persepsi Masyarakat, Homestay, Desa Wisata

Abstract

Tista village has a very diverse potential to be developed into a tourist attraction, namely the potential of nature, cultural potential, culinary potential, spiritual potential, and of course the potential of Human Resources. These potentials are the capital of Tista Village to be a tourist village, where Tista Village is designated as a tourist village by the Regent of Tabanan Number: 180/319/03/HK & HAM/2016, 26 October 2016. The rural tourism of Tista certainly requires some concept of development and management that will be able to withstand longer tourist visits staying in rural tourism of Tista. In addition to providing a variety of products and tourist attractions by packing into attractive and attractive tour packages, it is also necessary to plan a homestay for tourists visiting Tista Village so that tourists can stay longer in the village to enjoy the various attractions and tourism products which are offered including also can enjoy and blend directly with the daily life of rural communities (the life of agrarian society). With the preparation of a homestay, it will be able to provide increased income to the community in support of rural tourism, where to be a pride for the community and open local employment and reduce unemployment. A qualitative and quantitative approach with Likert Scale Analysis is used to know community perception about homestay in Tista Village for the development of homestay. The results of data analysis will be presented descriptively qualitative presenting opinions, observations, field studies, theories and concepts found in the field based on the perspective of the informant which is then interpreted by the Research Team.

Keywords: Community Perception, Homestay, Rural Tourism

87

1. PENDAHULUAN

Wacana mengenai pembangunan berwawasan kerakyatan muncul sebagai reaksi terhadap kebijakan pembangunan konglomerasi. Pembangunan berwawasan kerakyatan lebih mengedepankan peningkatan ekonomi rakyat dan pemberdayaan masyarakat. Para pemikir dan praktisi pembangunan pedesaan telah lama menyadari bahwa pembangunan konglomerasi kerap merugikan masyarakat setempat. Masyarakat sebagai pemilik sah atas sumber daya setempat justru kerap mengalami marginalisasi, sehingga kualitas hidupnya justru menurun dibandingkan sebelum adanya pembangunan. Atas dasar itu beberapa ahli lain menekankan pentingnya pembangunan dari bawah, pembangunan sebagai social learning, dan pembangunan harus mulai dari belakang (Korten dan Sjahrir, 1988; Soetrisno, 1995). Pembangunan dengan paradigma yang dibalik ini menuntut adanya partisipasi masyarakat lokal dalam berbagai tahap pembangunan, hal ini dilandasi 3 (tiga) alasan, yaitu: adanya local variety (variasi lokal), adanya local resources (sumber daya lokal), dan local accountability (tanggung jawab lokal), sehingga pengelolaan pembangunan benar-benar dilakukan oleh mereka yang hidup dan kehidupannya paling dipengaruhi oleh pembangunan tersebut atau yang dikelola dengan community based resource management atau community management (Korten, 1986). Salah satu daya tarik pedesaan adalah Desa Wisata Tista yang terletak di Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan. Sebagai desa wisata yang sedang berkembang, Desa Tista terus berbenah untuk dapat menyediakan dan memberikan pelayanan prima (excellent service) kepada wisatawan yang berkunjung. Desa Tista terdiri dari empat dusun/banjar, yaitu: Dusun Dangin Pangkung, Dusun Dauh Pangkung, Dusun Carik, dan Dusun Lebah. Terletak pada daerah dataran rendah yang sedikit bergelombang terutama di bagian selatan dan barat desa. Seperti halnya dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Tabanan, Desa Tista merupakan daerah pertanian yang sebagian besar penduduknya terdiri dari petani penggarap tanah sawah. Ketinggian dari permukaan laut + 3 M, suhu udaranya berkisar 27° C sampai 40° C. Desa Tista memiliki luas lahan 52,00 Ha, dengan perincian luas sawah 32,99 Ha, tanah pekarangan 7,03 Ha, dan tanah ladang 11, 98 Ha (Monografi Desa Tista, 2015). Masyarakat Desa Tista masih sangat kuat di dalam mempertahankan tradisi-tradisi yang diwariskan oleh leluhur mereka. Budaya pertanian menjadikan masyarakat Desa Tista tetap menghormati alam lingkungannya dan tetap menghormati budayanya, sehingga kehidupan masyarat Tista sangat harmonis dan mengedepankan kekeluargaan dan kegotongroyongan di di dalam kehidupan bermasyarakat. Dari keunikan tersebut, Desa Tista ditetapkan sebagai desa wisata oleh Bupati Tabanan Nomor: 180/319/03/HK & HAM/2016, Tanggal 26 Oktober 2016. Sebagai desa wisata yang sedang berkembang, pihak pengelola terus melengkapi fasilitas dan infrastruktur untuk dapat memberikan kenyamanan dan kemudahan bagi wisatawan yang berkunjung, baik wisatawan domestik maupun wisatawan asing yang tentunya memerlukan penginapan ketika wisatawan menikmati berbagai produk dan atraksi desa wisata yang ditawarkan, sehingga dapat menahan wisatawan lebih lama tinggal di Desa Tista. Untuk menyediakan kebutuhan penginapan lokal (homestay) bagi wisatawan memerlukan strategi pengembangan dan pengelolaan yang matang serta peran serta aktif masyarakat Desa Tista.

2. METODE PENELITIAN

2.1. Teknik Penentuan Informan

Penentuan informan dilakukan menggunakan teknik purposive sampling untuk mendapatkan ketepatan dan keterpercayaan data yang dapat di uji keabsahan dan kredibilitasnya, di mana informan mengetahui kedalaman informasi sehubungan dengan masalah yang diteliti dan mereka dapat diterima oleh berbagai kelompok yang terkait dengan pengelolaan serta memiliki pengetahuan tentang pariwisata. Penentuan informan berdasarkan ketentuan (Koenjaraningrat, 1997 : 164): 4. Orang tersebut merupakan tokoh. 5. Orang tersebut memiliki pengetahuan dan informasi luas sesuai dengan topik. 6. Orang tersebut memiliki kemampuan menghubungkan dengan informan lain. Informan kunci (key informan) dalam penelitian ini adalah tokoh-tokoh yang dianggap mengetahui mengenai objek penelitian yang dilakukan. Tokoh-tokoh tersebut, yaitu: Kepala Desa,

88

Bendesa Adat, Rohaniawan, Ketua Pengelola Desa Wisata, Ketua Kelompok Sadar Wisata, Kepala Dusun, Industri Pariwisata, Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Tabanan, dan Pihak-Pihak Terkait.

2.2. Teknik Penentuan Sampel

Dalam penelitian ini yang dijadikan sampel, yaitu masyarakat Desa Tista. Dalam pengambilan sampel untuk masyarakat menggunakan Metode Accidental Sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan mengambil jumlah sampel secara acak terhadap masyarakat yang kebetulan dikunjungi, sehingga didapatkan data yang mewakili masyarakat Desa Tista. Teknik penentuan sampel pada penelitian ini mengacu pada Rumus Slovin (Jongker, dkk, 2011) menyatakan bahwa:

Keterangan: N : Jumlah Populasi n : Jumlah Sampel e : Tingkat Kesalahan Penentuan jumlah sampel dengan populasi (N) sebanyak 1.000 orang, dengan asumsi tingkat kesalahan (e) = 10% maka jumlah sampel (n) adalah: 1.000 n = ______1 + 1.000 (10%)2 = 1.000 ______1.000 (0,01) n = 100 orang.

2.3. Teknik Analisis Data

Data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan beberapa teknik, sebagai berikut:

1. Analisis Deskriptif Kualitatif Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurutkan ke dalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja, seperti yang disarankan oleh data (Nazir, 1988: 438). Dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu menggambarkan suatu fenomena kemudian mengkaitkannya dengan fenomena lain melalui interpretasi untuk dideskripsikan dalam suatu kualitas yang mendekati kenyataan (Muhajir, dalam Suryasih, 2003: 39). Dari hasil analisis yang digunakan tentang pengembangan Kampung Internasional dipakai suatu pedoman untuk menentukan sasaran yang akan dicapai dan memberikan gambaran yang jelas. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut: 1. Reduksi data dilakukan dengan pemilihan, pemusatan, penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data mentah yang muncul dari hasil catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data merupakan suatu analisis guna mempertajam, mengklasifikasi, membuang yang tidak perlu, dan mengkategorisasi data, sehingga dapat ditarik simpulan. 2. Penyajian data dilakukan dengan mengkonstruksi kembali data yang telah direduksi dan disajikan dalam bentuk teks naratif. 3. Penarikan simpulan dilakukan dengan melakukan penafsiran mengenai isi ringkasan dari pembahasan. Menurut Miles dan Huberman (1992), kegiatan analisis terdiri dari beberapa alur, yaitu: komparasi data, verifikasi, penyajian data dengan argumentasi, dan interpretasi memakai kerangka budaya masyarakat setempat. Hubungan beberapa alur tersebut secara sejajar membentuk wawasan umum yang disebut analisis. Analisis data kualitatif merupakan upaya berlanjut, berulang, dan terus- menerus.

89

2. Skala Likert

Skala Likert digunakan untuk mengukur sikap, pendapat, dan persepsi seseorang atau sekelompok orang tentang fenomena sosial (Sugiyono, 2010:132). Setiap jawaban dari kuesioner mempunyai bobot atau skor nilai dengan Skala Likert sebagai berikut:

Tabel 1. Skala Likert Jawaban Bobot Skor Interval Sangat Setuju 5 4,21 – 5,00 Setuju 4 3,41 – 4,20 Cukup 3 2,61 – 3,40 Tidak Setuju 2 1,81 – 2,60 Sangat Tidak Setuju 1 1,00 – 1,80 Sumber : Sugiyono (2004:86)

Pengembangan skor dengan menggunakan metode pengukuran Skala Likert pada jawaban- jawaban wisatawan yang memiliki bobot nilai yang berbeda, yang memiliki 5 (lima) pilihan alternatif jawaban, sebagai berikut: 5 Skor lima untuk jawaban atau tanggapan yang sangat baik atau sangat setuju. 4 Skor empat untuk jawaban atau tanggapan yang baik atau setuju. 3 Skor tiga untuk jawaban atau tanggapan yang cukup baik atau cukup setuju. 2 Skor dua untuk jawaban atau tanggapan yang tidak baik atau tidak setuju. 1 Skor satu untuk jawaban atau tanggapan yang sangat tidak baik atau sangat tidak setuju.

Seperti dalam Tabel 1. dibuat kategori sikap untuk mengetahui intensitas sikap wisatawan dengan mencari terlebih dahulu rentang nilainya dengan rumus sebagai berikut:

Skor Tertinggi – Skor Terendah ______= Rentang / Interval Jumlah Kelas 5 – 1 ______= 0,8 5 Berdasarkan rumus tersebut, ini berarti bahwa masing-masing kategori memiliki rentang nilai (interval) sebesar 0,8.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian Sejarah Desa Tista Tista berasal dari kata “Ngetis”. Nama tersebut bermula dari pengembaraan seorang Putra Raja Tabanan. Pengembaraan Beliau tersebut banyak melintasi daerah-daerah pegunungan yang medannya berbukit-bukit dan melintasi banyak sungai karena pada waktu itu belum ada terbuka jalan- jalan seperti sekarang ini. Dalam perjalanan tersebut Beliau bertemu dengan seorang Pertapa Sakti. Kemudian atas petunjuk Pertapa tersebut, Beliau melanjutkan perjalanan ke selatan, akhirnya Beliau sampai pada satu tempat yang dituju. Oleh karena tempat itu medannya bergelombang, maka Beliau kembali ke utara untuk mencari tempat yang datar untuk mendirikan Istana, kemudian dipilihlah tempat yang sekarang yang disebut Kerambitan. Pada suatu saat Daerah Bali terjadi huru-hara, rakyat yang ketakutan banyak datang ke Daerah Kerambitan untuk meminta perlindungan. Oleh Putra Raja, rakyat yang datang itu diperintahkan untuk mencari tempat istirahat (ngetis) di sebelah barat Sungai Lating. Akhirnya, setiap rakyat yang minta perlindungan diperintahkan istirahat (ngetis) di sebelah barat Sungai Lating, yang kemudian tempat itu disebut Tista (ngetis-ditu) yang diambil suku akhirnya saja dan karena pengaruh dialek menjadi Tista.

90

Perkembangan selanjutnya sebagaimana asal mula terbentuknya sebuah desa, maka penduduk yang mendiami tempat ini pada mulanya hanya berlokasi di sebelah Timur Pangkung dan sebagian di sebelah Barat Pangkung yang sekarang disebut Tista Dangin Pangkung dan Tista Dauh Pangkung. Lama kelamaan Desa Tista semakin berkembang dan sebagian penduduk desa pindah ke selatan di sebelah Timur Pangkung yang mana tempat itu sangat rendah (lebah) dan sebagian lagi pindah ke utara di sebelah Barat Pangkung yang dikelilingi oleh sawah (carik). Sehingga dikenal dengan Tista Lebah dan Tista Carik. Dengan demikian, sampai saat ini Desa Tista terdiri dari empat dusun /banjar, yaitu: 1. Dusun /Banjar Dangin Pangkung. 2. Dusun/Banjar Dauh Pangkung. 3. Dusun/Banjar Carik. 4. Dusun/Banjar Lebah.

Letak Geogafis Desa Tista Secara geografis Desa Tista terletak pada daerah dataran rendah yang sedikit bergelombang terutama di bagian selatan dan barat desa. Seperti halnya dengan desa-desa lainnya di Kabupaten Tabanan, Desa Tista merupakan daerah pertanian yang sebagian besar penduduknya terdiri dari petani penggarap tanah sawah. Ketinggian dari permukaan laut lebih kurang 3 m, suhu udaranya berkisar 27°C sampai 40°C.

Batas Desa Desa Tista terletak di wilayah Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan. Jarak dari Kota Tabanan lebih kurang 7 km, dapat dikatakan daerah yang strategis karena dilintasi jalan raya dan memiliki luas wilayah sekitar 52,00 ha. Secara administrasi batas Desa Tista adalah: Sebelah Utara : Subak Buluh. Sebelah Timur : Sungai Yeh Lating. Sebelah Selatan : Sungai Yeh Lating. Sebelah Barat : Desa Belumbang. Dan terdiri dari 4 (empat) Banjar Dinas, yaitu: 1. Banjar Dinas Carik. 2. Banjar Dinas Dauh Pangkung. 3. Banjar Dinas Dangin Pangkung. 4. Banjar Dinas Lebah.

Rincian Tata Guna Lahan Desa Tista memiliki luas lahan 52,00 ha, dengan perincian sebagai berikut: Luas Tanah Basah (Sawah) : 32,99 ha. Luas Tanah Pekarangan : 7,03 ha. Luas Tanah Ladang (Tegalan): 11, 98 ha. Desa Tista memiliki jalan sepanjang 3.680 km, dengan perincian: 0,300 km Jalan Kabupaten, 3.380 km Jalan Desa. Dengan kondisi beraspal sepanjang 1.240 km, beton 1.240 km, dan jalan tanah sepanjang 0,900 km.

Penggolongan Penduduk Jumlah Penduduk Desa Tista 1.799 jiwa, tediri dari 890 jiwa penduduk laki-laki dan 909 jiwa penduduk perempuan yang terdiri dari 512 KK.

Berdasarkan Mata Pencaharian Penggolongan penduduk berdasarkan mata pencaharian menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk menggantungkan sumber kehidupannya di sektor pertanian sebesar (64%), sektor perdagangan sebesar (0,01%), dan sektor lainnya, seperti: Pegawai Negeri Sipil, buruh bangunan, karyawan swasta dari berbagai sektor sebesar (53%).

Berdasarkan Tingkat Pendidikan Penggolongan penduduk berdasarkan tingkat pendidikan menunjukkan bahwa penduduk di Desa

91

Tista didominasi oleh tamatan SLTA/sederajat dan terdapat 1 buah Sekolah Dasar dan 1 Sekolah Taman Kanak-Kanak. Kelompok Pendidikan: a) Lulusan Pendidikan Umum: 1. Taman Kanak-Kanak : - 2. Sekolah Dasar : 908 orang. 3. SMP/SLTP : 618 orang. 4. SMA/SLTA : 986 orang. 5. Akademi/D1- D3 : 105 orang. 6. Sarjana : -

Berdasarkan Umur Penggolongan penduduk berdasarkan tingkat umur di Desa Tista sebagai berikut: 1. 0- 12 bulan : 18 orang. 2. >1 - <5 tahun : 109 orang. 3. ≥7 - <7 tahun : 221 orang. 4. ≥7 – 15 tahun : 182 orang. 5. >15 – 56 tahun : 948 orang. 6. >56 tahun : 321 orang.

Berdasarkan Agama Penggolongan penduduk berdasarkan agama sebagai berikut: 1. Hindu : 1.170 orang. 2. Islam : 10 orang. 3. Kristen : 19 0rang.

3.2. Persepsi Masyarakat Tista

A. Persepsi Masyarakat Apabila Rumah Mereka Dijadikan Tempat Menginap Wisatawan Untuk mengetahui persepsi masyarakat apabila rumah mereka dijadikan tempat menginap wisatawan, dapat dilhat pada Tabel 1. berikut ini.

Tabel 2 Persepsi Masyarakat Apabila Rumah Mereka Dijadikan Tempat Menginap Wisatawan No. Sikap Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Setuju 12 12% 2. Setuju 60 60% 3. Ragu-Ragu 18 18% 4. Tidak Setuju 2 2% 5. Sangat Tidak Setuju - - Jumlah 100 100%

Dari Tabel 2 terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju rumah masyarakat dijadikan tempat menginap wisatawan sebanyak 12 orang atau 12%, yang menyatakan setuju sebanyak 60 orang atau 60%, menyatakan ragu-ragu sebanyak 18 orang atau 18% dan menyatakan tidak setuju sebanyak 2 orang atau 2%. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 358 dan nilai skor rata- rata adalah 3,58 yang dikategorikan setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat terhadap rumah masyarakat dijadikan tempat menginap wisatawan.

B. Persepsi Masyarakat Apabila Rumah Mereka Ditata Dan Dibersihkan Untuk Tempat Menginap Wisatawan Untuk mengetahui persepsi masyarakat apabila rumah mereka ditata dan dibersihkan untuk tempat

92

menginap wisatawan, dapat dilihat pada Tabel 3.2. berikut ini.

Tabel 3. Persepsi Masyarakat Apabila Rumah Mereka Ditata Dan Dibersihkan Untuk Tempat Menginap Wisatawan No. Sikap Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Setuju 20 20% 2. Setuju 60 60% 3. Ragu-Ragu 13 13% 4. Tidak Setuju 7 7% 5. Sangat Tidak Setuju - - Jumlah 100 100%

Dari Tabel 3. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju rumah mereka ditata dan dibersihkan untuk tempat menginap wisatawan sebanyak 20 orang atau 20%, yang menyatakan setuju sebanyak 60 orang atau 60%, menyatakan ragu-ragu sebanyak 13 orang atau 13% dan menyatakan tidak setuju sebanyak 7 orang atau 7%. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 393 dan nilai skor rata- rata adalah 3,93 yang dikategorikan setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat terhadap rumah mereka ditata dan dibersihkan untuk tempat menginap wisatawan. C. Persepsi Masyarakat Apabila Diadakan Pembinaan Dan Pelatihan Terhadap Penyediaan Dan Pengembangan Akomodasi Lokal Untuk Wisatawan Di Tista Untuk mengetahui persepsi masyarakat apabila diadakan pembinaan dan pelatihan terhadap penyediaan dan pengembangan akomodasi lokal untuk wisatawan di Tista, dapat dilihat pada Tabel 4 berikut ini.

Tabel 4. Persepsi Masyarakat Apabila Diadakan Pembinaan Dan Pelatihan Terhadap Penyediaan Dan Pengembangan Akomodasi Lokal Untuk Wisatawan Di Tista No. Sikap Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Setuju 24 24% 2. Setuju 67 67% 3. Ragu-Ragu 6 6% 4. Tidak Setuju 3 3% 5. Sangat Tidak Setuju - - Jumlah 100 100%

Dari Tabel 4. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju diadakan pembinaan dan pelatihan terhadap penyediaan dan pengembangan akomodasi lokal untuk wisatawan di Tista sebanyak 24 orang atau 24%, yang menyatakan setuju sebanyak 67 orang atau 67%, menyatakan ragu- ragu sebanyak 6 orang atau 6% dan menyatakan tidak setuju sebanyak 3 orang atau 3%. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 412 dan nilai skor rata-rata adalah 4,12 yang dikategorikan setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat terhadap diadakan pembinaan dan pelatihan terhadap penyediaan dan pengembangan akomodasi lokal untuk wisatawan di Tista.

D. Persepsi Masyarakat Apabila Rumah Mereka Selain Sebagai Tempat Menginap Juga Diadakan Aktivitas Sehari-Hari Yang Bisa Dilakukan Oleh Wisatawan Untuk mengetahui persepsi masyarakat apabila rumah mereka selain sebagai tempat menginap juga diadakan aktivitas sehari-hari yang bisa dilakukan oleh wisatawan, dapat dilhat pada Tabel 5 berikut ini.

93

Tabel 5. Persepsi Masyarakat Apabila rumah Mereka Selain Sebagai Tempat Menginap Juga Diadakan Aktivitas Sehari-Hari Yang Bisa Dilakukan Oleh Wisatawan No. Sikap Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Setuju 14 14% 2. Setuju 53 53% 3. Ragu-Ragu 23 23% 4. Tidak Setuju 10 10% 5. Sangat Tidak Setuju - - Jumlah 100 100%

Dari Tabel 5. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju rumah mereka selain sebagai tempat menginap juga diadakan aktivitas sehari-hari yang bisa dilakukan oleh wisatawan sebanyak 14 orang atau 14%, yang menyatakan setuju sebanyak 53 orang atau 53%, menyatakan ragu- ragu sebanyak 23 orang atau 23% dan menyatakan tidak setuju sebanyak 10 orang atau 10%. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 371 dan nilai skor rata-rata adalah 3,71 yang dikategorikan setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat terhadap rumah mereka selain sebagai tempat menginap juga diadakan aktivitas sehari-hari yang bisa dilakukan oleh wisatawan.

E. Persepsi Masyarakat Ketika Wisatawan Menginap Di Rumah Mereka, Melakukan Komunikasi Dan Interaksi Berkaitan Dengan Aktivitas Sehari-Hari Masyarakat Atau Tentang Budaya Tista

Untuk mengetahui persepsi masyarakat ketika wisatawan menginap di rumah mereka, melakukan komunikasi dan interaksi berkaitan dengan aktivitas sehari-hari masyarakat atau tentang Budaya Tista, dapat dilhat pada Tabel 3.5. berikut ini.

Tabel 6. Persepsi Masyarakat Ketika Wisatawan Menginap Di Rumah Mereka, Melakukan Komunikasi Dan Interaksi Berkaitan Dengan Aktivitas Sehari-Hari Masyarakat Atau Tentang Budaya Tista No. Sikap Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Setuju 17 17% 2. Setuju 61 61% 3. Ragu-Ragu 14 14% 4. Tidak Setuju 8 8% 5. Sangat Tidak Setuju - - Jumlah 100 100%

Dari Tabel 6.. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju wisatawan menginap di rumah mereka, melakukan komunikasi dan interaksi berkaitan dengan aktivitas sehari-hari masyarakat atau tentang Budaya Tista sebanyak 17 orang atau 17%, yang menyatakan setuju sebanyak 61 orang atau 61%, menyatakan ragu-ragu sebanyak 14 orang atau 14% dan menyatakan tidak setuju sebanyak 8 orang atau 8%. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 387 dan nilai skor rata-rata adalah 3,87 yang dikategorikan setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat terhadap wisatawan menginap di rumah mereka, melakukan komunikasi dan interaksi berkaitan dengan aktivitas sehari-hari masyarakat atau tentang Budaya Tista.

94

F. Persepsi Masyarakat Apabila Dibuatkan Aturan Untuk Wisatawan Yang Menginap Di Rumah Mereka

Untuk mengetahui persepsi masyarakat apabila dibuatkan aturan untuk wisatawan yang menginap di rumah mereka, dapat dilhat pada Tabel 7 berikut ini.

Tabel 7. Persepsi Masyarakat Apabila Dibuatkan Aturan Untuk Wisatawan Yang Menginap Di Rumah Mereka No. Sikap Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Setuju 30 30% 2. Setuju 63 63% 3. Ragu-Ragu 5 5% 4. Tidak Setuju 2 2% 5. Sangat Tidak Setuju - - Jumlah 100 100%

Dari Tabel 7. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat setuju apabila dibuatkan aturan untuk wisatawan yang menginap di rumah mereka sebanyak 30 orang atau 30%, yang menyatakan setuju sebanyak 63 orang atau 63%, menyatakan ragu-ragu sebanyak 5 orang atau 5% dan menyatakan tidak setuju sebanyak 2 orang atau 2%. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 421 dan nilai skor rata-rata adalah 4,21 yang dikategorikan setuju. Hal ini, menunjukkan dukungan masyarakat apabila dibuatkan aturan untuk wisatawan yang menginap di rumah mereka.

G. Persepsi Masyarakat Berkaitan Dengan Perasaan Apabila Rumah Mereka Dijadikan Tempat Menginap Wisatawan

Untuk mengetahui persepsi masyarakat berkaitan dengan perasaan apabila rumah mereka dijadikan tempat menginap wisatawan, dapat dilhat pada Tabel 8. berikut ini.

Tabel 8. Persepsi Masyarakat Berkaitan Dengan Perasaan Apabila Rumah Mereka Dijadikan Tempat Menginap Wisatawan No. Sikap Jumlah (Orang) Persentase (%) 1. Sangat Senang 13 13% 2. Senang 66 66% 3. Ragu-Ragu 14 14%% 4. Tidak Senang 7 7% 5. Sangat Tidak Senang - - Jumlah 100 100%

Dari Tabel 8. terlihat bahwa masyarakat yang menyatakan sangat senang berkaitan dengan perasaan apabila rumah mereka dijadikan tempat menginap wisatawan sebanyak 13 orang atau 13%, yang menyatakan senang sebanyak 66 orang atau 66%, menyatakan ragu-ragu sebanyak 14 orang atau 14% dan menyatakan tidak senang sebanyak 7 orang atau 7%. Jadi, secara keseluruhan diperoleh skor 385 dan nilai skor rata-rata adalah 3,85 yang dikategorikan setuju. Hal ini, menunjukkan perasaan masyarakat berkaitan dengan perasaan apabila rumah mereka dijadikan tempat menginap wisatawan.

95

3.3. Kendala Pengembangan Penginapan Lokal (Homestay) Desa Tista Sebagai Desa Wisata, Desa Tista masih memerlukan berbagai fasilitas pendukung Desa Wisata untuk dapat menerima kunjungan wisatawan, di mana yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah berkaitan dengan penginapan lokal (homestay). Untuk pengembangan penginapan lokal (homestay) di Desa Wisata Tista sesuai dengan hasil analisis data terdapat beberapa kendala, yaitu:

3.3.1. Kurangnya Pelatihan dan Pemahaman Tentang Homestay Pengelolaan akomodasi lokal memerlukan kemampuan dan keterampilan tertentu untuk dapat dikelola dan dikembangkan dengan baik. Sebagian besar masyarakat Tista merupakan petani, di mana mereka kesehariannya fokus pada pekerjaan mengolah lahan-lahan pertanian mereka. Perkembangan pariwisata di Tista tidak serta-merta merubah kebiasaan dan aktivitas masyarakat sehari-hari, padahal di sisi lain perkembangan kepariwisataan di Tista yang merupakan desa wisata memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang mempunyai pengetahuan dan keterampilan tentang kepariwisataan. Karena di dalam perkembangan kepariwisataan memerlukan daya dukung dan fasilitas yang memadai serta manajemen yang baik, sehingga faktor SDM ini sangat penting. Salah satu daya dukung yang diperlukan dalam perkembangan Desa Wisata Tista adalah akomodasi lokal. Pembinaan dan pelatihan yang masih sangat minim dan didukung oleh pola pikir serta keseharian masyarakat yang masih cenderung tradisional dan fokus dalam pengolahan lahan pertanian, maka menjadi kendala tersendiri untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan masyarakat Tista dalam pengelolaan dan pengembangan akomodasi lokal khususnya.

3.3.2. Bahasa Untuk menerima kedatangan wisatawan di Desa Wisata Tista diperlukan hospitality yang baik. Komponen utama yang diperlukan adalah bahasa, khususnya Bahasa Inggris. Bahasa diperlukan untuk menyampaikan dan menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan aktivitas keseharian masyarakat, potensi wisata, budaya dan keunikan di Desa Wisata Tista. Termasuk juga interaksi komunikasi akan terjadi ketika tamu menginap di rumah-rumah penduduk. Demi kelancaran komunikasi dan interaksi sosial tersebut diperlukan bahasa sebagai sarana untuk berkomunikasi, sehingga perlu dipersiapkan masyarakat Tista untuk dapat menguasai Bahasa Inggris sebagai sarana berkomunikasi secara internasional. Selain bahasa, hal lain yang juga perlu diperhatikan adalah pemahaman masyarakat tentang kepariwisataan. Banyak keunikan yang dapat dijumpai pada Desa Wisata Tista, sehingga memerlukan penjelasan yang benar dan akurat kepada wisatawan yang menginap di Tista. Hal ini, masih sangat kurang dan bahkan masyarakat menghindari wisatawan asing yang datang maupun yang mendekat yang memerlukan informasi dikarenakan minimnya penguasaan masyarakat Tista terhadap Bahasa Asing, khususnya Bahasa Inggris.

3.3.3. Kekurangan Kamar dan Rumah Sempit Sistem kehidupan masyarakat Tista adalah hidup dengan keluarga besar, di mana dalam satu rumah terdiri dari beberapa Kepala Keluarga (KK) atau terdiri dari beberapa anggota keluarga. Hal ini, disebabkan karena kepemilikan lahan perumahan yang terbatas dan sebagian besar lahannya dipergunakan untuk lahan pertanian dan perkebunan serta peternakan. Rata-rata kepemilikan kamar dari masyarakat Jatiluwih adalah 3 kamar tidur, 1 kamar tamu, 1 dapur, 1 atau 2 kamar mandi, dan halaman rumah. Mereka menjalani kehidupan rutin mereka di rumah tersebut. Segala kebutuhan dan keperluan keluarga mereka dipersiapkan di rumah tersebut, sehingga setiap kamar yang tersedia berisi barang-barang dan peralatan anggota keluarga masing-masing. Tidak ada tempat kosong yang tidak digunakan, karena tempat yang mereka miliki terbatas dibandingkan dengan jumlah anggota keluarga di masing-masing rumah tersebut. Untuk tempat dan kamar yang tersedia mereka pergunakan secara optimal dan berbagi secara kekeluargaan, sehingga keadaan ini dapat berlangsung lama tanpa ada pertentangan dan pertengkaran. Hal ini, menjadi salah satu kendala dalam mengembangkan rumah penduduk menjadi akomodasi lokal di Desa Wisata Tista.

3.3.4. Kurangnya Kebersihan Rumah bagi masyarakat Tista dipergunakan untuk melaksanakan kegiatan sehari-hari dan

96

untuk tempat beristirahat. Kegiatan agraris yang dilaksanakan sebagian besar masyarakat Tista banyak menyita waktu mereka di sawah atau di ladang, sehingga waktu mereka untuk di rumah sedikit dan waktu untuk khusus menata rumah mereka juga sedikit. Pada saat waktu efektif kerja, mereka akan berada di sawah atau di ladang mereka masing- masing untuk mengolah dan menanami berbagai tanaman pertanian masyarakat dan ada beberapa anggota keluarga yang bekerja di sektor lainnya, sehingga kesibukan dan aktivitas mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka menjadi prioritas dari masyarakat. Setelah mereka pulang dari aktivitas rutin tersebut hanya ada sedikit waktu luang untuk menata dan membersihkan rumah-rumah mereka secara khusus. Hal inilah yang menjadi salah satu kendala pengembangan akomodasi lokal Tista karena masyarakat tidak percaya diri untuk menggunakan rumah mereka untuk menginap wisatawan karena kondisi rumah yang kurang tertata dan kurang terawat serta kurang bersih.

3.3.5. Fasilitas Pendukung Tidak Lengkap Pengembangan rumah-rumah penduduk untuk dijadikan akomodasi lokal Tista juga mengalami kendala pada fasilitas pendukung untuk memberikan kenyamanan kepada wisatawan yang menginap. Fasilitas yang ada pada rumah-rumah penduduk kurang memadai untuk memberikan kenyamanan pada wisatawan yang menginap. Hal ini, disebabkan karena masyarakat hanya menyediakan fasilitas yang pokok untuk kelengkapan rumahnya. Masyarakat hanya menyediakan fasilitas yang dibutuhkan untuk keperluan sehari-harinya saja, seperti: tempat tidur, alat-alat rumah tangga, kelengkapan kamar mandi, alat-alat pembersih yang kesemuanya itu fasilitas yang pokok dan yang terpenting dapat digunakan dan tidak ada fasilitas yang standar internasional yang dibutuhkan wisatawan, seperti: alat pemanas, kolam renang, kelengkakan kamar mandi yang modern, dan lain- lain. Hal ini membuat masyarakat tidak percaya diri untuk menjadikan rumah mereka sebagai tempat menginap wisatawan.

3.3.6. Promosi Kurangnya promosi yang dilakukan berkaitan dengan perkembangan Desa Wisata Tista menyebabkan wisatawan yang datang hanya mengandalkan informasi dari pihak Biro Perjalanan. Di samping menyasar kepada wisatawan group untuk datang ke Desa Wisata Tista juga perlu menyasar wisatawan individu (walk-in guest), sehingga promosi yang intensif perlu dilakukan oleh masyarakat Tista dengan menggunakan beberapa media, seperti: brosur, pamplet, baliho, media elektronik, media cetak, dan internet. Tetapi, kenyataannya hal tersebut tidak dilaksanakan dengan alasan pengelolaan yang belum baik, Sumber Daya Manusia (SDM) yang kurang, pengetahuan tentang promosi kurang, dan banyak lagi alasan-alasan lain. Padahal, kearifan lokal masyarakat yang sudah secara turun-temurun dengan mengedepankan keseimbangan perlu untuk diketahui yang kaitannya dengan paradigma pariwisata saat ini, yaitu: back to nature, environmental conservation, cultural tourism, community involment, sustainable tourism, and alternative tourism.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil pembahasan dalam penelitian ini, yang berjudul: ”Persepsi Masyarakat Terhadap Pengembangan Penginapan Lokal (Homestay) Untuk Mendukung Desa Wisata Tista, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan”, dapat disimpulkan sebagai berikut: 4.1. Secara keseluruhan diperoleh skor 358 dan nilai skor rata-rata adalah 3,6 yang dikategorikan setuju rumah masyarakat dijadikan tempat menginap wisatawan; secara keseluruhan diperoleh skor 393 dan nilai skor rata-rata adalah 3,9 yang dikategorikan setuju rumah mereka ditata dan dibersihkan untuk tempat menginap wisatawan; secara keseluruhan diperoleh skor 412 dan nilai skor rata-rata adalah 4,1 yang dikategorikan setuju diadakan pembinaan dan pelatihan terhadap penyediaan dan pengembangan akomodasi lokal untuk wisatawan di Tista; secara secara keseluruhan diperoleh skor 371 dan nilai skor rata-rata adalah 3,7 yang dikategorikan setuju yang menunjukkan dukungan masyarakat terhadap rumah mereka selain sebagai tempat menginap juga diadakan aktivitas sehari-hari yang bisa dilakukan oleh wisatawan; secara keseluruhan diperoleh skor 387 dan nilai skor rata-rata adalah 3,9 yang dikategorikan setuju wisatawan menginap di rumah mereka, melakukan komunikasi dan interaksi berkaitan dengan

97

aktivitas sehari-hari masyarakat atau tentang Budaya Tista; secara keseluruhan diperoleh skor 421 dan nilai skor rata-rata adalah 4,2 yang dikategorikan setuju apabila dibuatkan aturan untuk wisatawan yang menginap di rumah mereka; secara keseluruhan diperoleh skor 385 dan nilai skor rata-rata adalah 3,9 yang dikategorikan setuju masyarakat berkaitan dengan perasaan apabila rumah mereka dijadikan tempat menginap wisatawan. 4.2. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pengembangan penginapan lokal untuk mendukung Desa Wisata Tista Kabupaten Tabanan, yaitu: 1. Kurangnya pelatihan dan pemahaman tentang penginapan lokal (homestay). 2. Bahasa. 3. Kekurangan kamar dan rumah sempit. 4. Kurangnya kebersihan. 5. Fasilitas pendukung tidak lengkap. 6. Promosi.

Ucapan Terimakasih Pertama-tama Puja dan Puji Syukur Kehadapan Tuhan Yang Maha Esa sebagai Guru Utama dalam kehidupan di alam semesta ini. Selanjutnya, terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Panitia Call for Paper Universitas Udayana atas usaha dan kerja kerasnya, sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik dan lancar, di mana kami juga dapat turut berpartisipasi dalam kegiatan ini. Juga terima kasih kepada Dekan Fakultas Pariwisata beserta Para Wakil Dekan serta Kaprodi Program Studi D-IV Pariwisata beserta jajarannya yang sudah memberikan kesempatan kepada kami untuk dapat berkiprah dalam Hibah Unggulan Program Studi serta tidak lupa rasa terima kasih kami kepada Ketua LPPM Universitas Udayana beserta jajarannya pula yang selalu memotivasi kami untuk selalu mengikuti berbagai Skim yang disediakan, di mana dalam hal ini kami diberi kesempatan pada Skim Hibah Unggulan Program Studi. Semoga program-progam yang positif tersebut selalu dapat memotivasi Dosen untuk dapat berkarya lebih baik dan lebih baik lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2009. Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. Departemen Kebudayaan Dan Pariwisata Republik Indonesia. 2006. Bali Bangkit Kembali. Denpasar: Universitas Udayana. Fagence, Michael, 1997. Approches to Planning for Rural and Village Tourism Realizing The Potential of Rural Areas an Village. Proceedings on the training and workshop on Planning Sustainable Tourism, ed. Minnery, John, Gunawan Myra, P. Penerbit: ITB, Bandung. Gardner, William C. 1996. Tourism Development: Principles, Processes, and Policies. Van Nostrand Reinhold. New York Hermantoro, Henky, dkk. 2010. Pariwisata Mengikis Kemiskinan. Jakarta: Pusat Penelitian Dan Pengembangan Kepariwisataan. Inskeep, Edward, 1991. Tourism Planning as Integrated and Sustainable Development Approach. Van Nostrand Reinhold. USA. Kusumahadi, M. 2007. Practical Challenge to the Community Empowerment Program. Yogyakarta: Experience of Satunama Foundation of Yogyakarta. Korten dan Syahrir (ed.) 1988. Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mikkelsesn, Britha. 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-Upaya Pemberdayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Mathieson, A. dan Wall, G, 1982. Tourism Economic, Physical and Social Impacts. Longman Group Limited. New York. Monografi Desa Tista, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan. 2016 Paeni, Mukhlis, dkk. 2006. Bali Bangkit Bali Kembali. Unud–Departemen Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia. Page, S.J. dan D. Getz (eds.). 1997. The Business of Rural Tourism. London: International Thomson Business Press. Tashakkori, Abbas. 2010. Handbook of Mixed Methods in Social & Behavioral Research. Yogyakarta:

98

Pustaka Pelajar. Woodley, A. 1993. Tourism and Sustainable Development: The Community Perspective, dalam J.G. Nelson, R. Butler dan G. Wall (ed.), Planning, Managing. Waterloo: Dept. of Geography, University of Waterloo.

99

PERILAKU WISATAWAN BERWISATA KULINER DI RESTORAN KAMPOENG KEPITING TUBAN BALI

Ni Made Ariani1, I Nyoman Tri Sutaguna2 1 Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Kampus Bukit Jimbaran, Badung Telp/Fax : 0361 223798, E-mail : [email protected]

Abstrak

Kajian ini difokuskan pada restoran merupakan suatu usaha komersial yang menyediakan jasa pelayanan makan dan minum bagi umum dan dikelola secara professional. Keberadaan restoran sebagai salah satu sarana penting dalam kegiatan pariwisata. Beragamnya restoran yang berkembang saat ini perlu untuk mengidentifikasi klasifikasi dari restoran tersebut, karakteristik wisatawan dan faktor yang mendorong wisatawan untuk berwisata kuliner di daerah Tuban. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui karakteristik restoran yang berkembang di tuban dan profil wisatawan yang berwisata kuliner. persepsi dan faktor pendorong wisatawan yang menikmati wisata kuliner di Restoran kampoeng Kepiting. Penelitian ini dikaji secara deskriptif interpretatif dan kuantitatif analisis faktor komfirmatori. Pengumpulan data melalui observasi, kuisioner dan dokumentasi. Teknik penentuan sampel pada penelitian ini mengacu pendapat J. Supranto dengan teknik Quota sampling dan responden dengan accidental sampling. Hasil dari penelitian ini bahwa restoran yang berkembang di Tuban dengan katagori restoran informal. Profil wisatawan yang berwisata kuliner di dominasi oleh laki-laki dengan usia 26-35 tahun dan tingkat pendidikan diploma dan master serta pekerjaannya sebagai pengusaha dengan asal wisatawan mayoritas Indonesia. Tanggapan wisatawan terhadap keberadaan restoran Kampoeng Kepiting baik dengan indikator cita rasa makanan, variasai menu dan tingkat kebersihan serta kesehatan makanan yang diasajikan sebagai indikator tertinggi. Indikator terrendah terletak pada kesehatan dan kebersihan lingkungan restoran. Faktor pendorong secara intrinsik karena rasa ingin tahu dan mencari pengalaman sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor letak yang strategis pada kawasan wisata , faktor harga yang terjangkau, informasi yang memadai dan iklan yang menarik.

Kata Kunci :Perilaku Wisatawan, Kuliner, Restoran

Abstract

This study focused on the restaurant is a commercial business that provides services for public eating and drinking and professionally managed.The existence of the restaurant as one of the important vehicles for tourism activities. The diversity of restaurants is growing at this time need to identify the classification of those restaurants, tourist characteristics and factors that encourage travelers to a culinary tour in the Tuban area. The purpose of this study to determine the characteristics that develop in Tuban restaurants and tourists who travel the culinary profile. Perception and driving factors of tourists who enjoy a culinary tour in kampoeng Crab Restaurant. This study assessed descriptively interpretative and quantitative analysis of factors komfirmatori. The collection of data through observation, questionnaire and documentation. Sampling technique in this study refers to the opinion of J. Supranto Quota sampling techniques and respondents with accidental sampling. Results from this study that the restaurant thriving in Tuban with an informal restaurant category. Traveler profile is a culinary tour of domination by men with 26-35 years of age and education level diploma and master as well as his work as a businessman with the origin of the majority of Indonesian travelers. Traveler responses to the presence of good restaurants with indicators Kampoeng crab flavor of food, variasai menu and level of cleanliness and health food diasajikan as the highest indicator. Lowest indicator lies in t he health and hygiene of the restaurant environment. The driving factor is intrinsically because of curiosity and experience whereas extrinsic factor is the factor of a strategic location in the tourist areas, the price factor affordable, adequate information and ads of interest.

Keywords: Behavior Travellers, Culinary, restaurants

100

1. PENDAHULUAN

Dewasa ini pariwisata merupakan suatu komoditas yang dibutuhkan oleh hampir setiap individu, di mana dengan melaksanakan aktivitas kepariwisataan dapat meningkatkan daya kreativitas, mengurangi kejenuhan kerja, membuka wawasan mengenai suatu budaya, relaksasi, mengetahui peninggalan yang berhubungan dari suatu bangsa, serta melakukan bisnis (Wiyasa, 1997). Selain itu, pariwisata sangat berpengaruh terhadap penerimaan negara melalui devisa dan pajak, di samping itu juga berpengaruh terhadap peningkatan pendapatan penduduk setempat (Widoyono, 2006). Restoran adalah suatu usaha komersial yang menyediakan jasa pelayanan makan dan minum bagi umum dan dikelola secara professional. Keberadaan restoran sebagai salah satu sarana penting dalam kegiatan pariwisata ada yang berdiri sendiri dan ada yang menjadi satu dengan lingkungan hotel. Beragamnya restoran yang tumbuh dan berkembang saat ini perlu kiranya untuk mengidentifikasi klasifikasi dari restoran tersebut. Keberagaman restoran yang berkembang disuatu destinasi wisata merupakan pilihan yang sulit bagi wisatawan untuk melakukan pembelian terhadap produk yang ditawarkan oleh berbagai restoran yang berada di suatu destinasi tersebut. Menurut Pendit (2002: 100), seni kuliner merupakan salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara untuk mengadakan perjalanan dengan harapan dapat makan enak,minum enak dan tidur nyenyak. Lebih lanjut wisata kuliner merupakan industri untuk menyediakan makanan bagi wisatawan dari Negara, wilayah atau daerah, tujuan wisata dan sekarang dianggap sebagai komponen penting dalam industri pariwisata. Pada daerah Tuban terdapat berbagai sarana penunjang kepariwisataan seperti toko souvenir, sarana akomodasi dan restoran. Restoran yang berkembang di Tuban sangat bervariasi, sehingga merupakan pilihan bagi wisatawan yang ingin berwisata kuliner di daerah ini. Wisatawan yang menikmati kuliner di daerah ini mempunyai banyak pilihan terhadap restoran yang dikunjunginya. Bervariasinya keberadaan restoran tersebut menjadi pola perilaku bagi wisatawan yang berwisata kuliner di daerah Tuban. Pola perilaku wisatawan dalam berwisata kuliner merupakan pengambilan keputusan konsumen, karena konsumen akan melakukan pembelian atau tidak melakukan pembelian. Konsep tentang pengambilan keputusan konsumen telah menjadi bahasan penelitian terkait dengan perilaku konsumen. Model ini diawali dengan munculnya kebutuhan wisatawan terhadap produk yang akan dibelinya atau dikunjunginya. Ini merupakan hal penting untuk dikaji sehingga kita dapat menyediakan produk sesuai dengan kebutuhan wisatawan. Berkaitan dengan konsep tersebut maka pada penelitian ini akan mengkaji tentang perilaku wisatawan berwisata kuliner di Tuban Kuta Bali. Hal ini menarik untuk dikaji dan diteliti sebagai suatu objek penelitian yang bersifat akademis. Oleh karena itu dari penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan suatu kajian yang memperlihatkan bahwa perilaku wisatawan berwisata kuliner tersebut diminati oleh karakteristik wisatawan yang bagaimana dan faktor apa yang mendorong wisatawan untuk berwisata kuliner di daerah Tuban tersebut dan Bali pada umumnya serta mengidentifikasi klasifikasi restoran yang berkembang di Tuban.

2. METODE PENELITIAN

Rancangan penelitian yang digunakan adalah penggabungan antara kuantitatif serta kualitatif. Penelitian ini berfokus pada pendekatan observasi, kuisioner dan dokumentasi. Penelitian ini dilakukan di daerah Tuban, instrumen yang dipakai mengacu pada permasalahan 1 dan 2 menggunakan teknik deskriptif kualitatif dan permasalah yang ketiga dan keempat menggunakan kuisioner untuk mengetahui persepsi serta faktor yang mendorong wisatawan berwisata kuliner di restoran Tuban Kuta Bali yang terdiri dari sekumpulan pertanyaan untuk mengukur variabel yang telah ditentukan. Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Sumber data terdiri data primer d a n s e k u n d e r . Bila dilihat dari teknik pengumpulan data, maka teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan cara observasi (pengamatan), kuesioner (angket), dan dokumentasi. Populasi dalam penelitian ini adalah wisatawan baik mancanegara maupun nusantara yang

101

berkunjung ke daerah Tuban dan melakukan kuliner di restoran yang tersebar di daerah tersebut. Adapun sampel pada penelitian ini adalah restoran yang tersebar di daerah Tuban Kuta Bali dan ditentukan berdasarkan metode purposive sampling. Artinya, pemilihan restoran yang dianggap sesuai dengan topik penelitian berdasarkan pengetahuan dan pertimbangan tertentu dari penelitian, misalnya kesediaan waktu dan tenaga termasuk kemudahan dalam mendapatkan data. Penentuan responden untuk wisatawan digunakan metode quota sampling, Menurut Supranto, (1997), untuk memperoleh hasil yang baik dalam suatu analisis faktor, maka banyaknya responden yang diambil untuk mengisi kuesioner adalah sebanyak lima sampai sepuluh kali dalam variabel yang dimuat dalam kuesioner. Pada penelitian ini digunakan 12 variabel, jadi banyaknya sampel yang diambil adalah 12 x 5 yaitu 60 responden. Untuk menentukan anggota populasi yang akan diambil sebagai sampel penelitian digunakan metode accidental sampling. Analisis dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, ini diartikan sebagai metode dengan memberikan ulasan atau interpretasi terhadap data dan informasi yang diperoleh, sehingga menjadi lebih bermakna, meskipun demikian penelitian ini juga didukung dengan data kuantitatif dengan analisis faktor konfirmatori dari nilai kuisioner yang diperoleh.

3. PEMBAHASAN DAN HASIL PENELITIAN

3.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian 3.1.1 Desa Tuban Desa/Kelurahan Tuban merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Kuta Selatan yang berbatasan dengan Kelurahan Kuta yang berada di sisi sebelah utara. Disebelah timur berbatasan dengan Kota Denpasar dan di sisi sebelah setan berbatasan dengan Desa Adat Kelan /Kelurahan Kedonganan. Desa Tuban merupakan desa yang pertama memiliki lapangan terbang internasional Ngurah Rai yang dulunya bernama pelabuhan udara (PELUD) Tuban. Di desa Tuban merupakan pintu masuk ke Bali yang terkenal di dunia. Berikut gambar lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1. berikut :

Gambar 1. Lokasi Penelitian 3.1.2 Keadaan Demografis Keberadaan penduduk di suatu daerah dapat menjadi modal pembanguanan jika diberdayakan dengan baik dan optimal maka dapat pula menjadi beban bila di kaitkan dengan masalah sosial lain. Jumlah penduduk di Kelurahan Tuban sebanyak 554 kepala keluarga yang merupakan masyarakat adat tuban teridi dari 276 kepala keluarga dari banjar Pesalakan dan 278 kepala keluarga dari banjar Tuban Gria. Dari kedua banjar tersebut memiliki 4556 orang yang terdiri dari 2051 orang laki-laki sedangkan 2505 orang terdiri dari perempuan. Sedangkan masyarakat dinas terdiri dari 2299 kepala keluarga atau 6832 orang sedangkan yang laki-laki sebanyak 3074 orang yang perempuan 3758 orang.

3.1.3 Potensi Penunjang Pariwisata Selain itu desa adat tuban juga memiliki fasilitas penunjang antara lain restoran mapun rumah makan yang memberikan kontribusi yang sangat besar bagi perekonomian bahkan merupakan ujung

102

tombak. Restoran sebagai salah satu fasilitas pariwisata yang sekaligus juga mampu menjadi salah satu daya tarik wisata. Berikut pembahasan mengenai masing-masing restoran yang tersebar di Desa Tuban a. Restoran Bebek Tepi Sawah Restoran Bebek Tepi Sawah merupakan usaha restoran untuk santap makan siang dan makan malam. Selain menyediakan menu bebek, hidangan laut dan hidangan ayam. b. Restoran Kuliner Krisna Restoran kuliner krisna merupakan usaha restoran makan untuk santap malam dan santap siang. Restoran kuliner krisna menyediakan berbagai jenis makanan khas daerah seperti : men , makanan mbok lombok dari yogyakarta, makanan be sanur. c. Restoran Kampoeng Kepiting Restoran kampung kepiting merupakan usaha restoran untuk santap siang dan santap malam. Selain menyedikan makanan seefood. Restoran kampoeng kepiting juga menyediakan rekreasi air dan budidaya kepiting. d. Restoran Subak Restoran subak merupakan restoran makan untuk santap siang dan santap malam hari. Restoran ini menyedia hidangan seefood.

3.2. Karakteristik Restoran yang berkembang di Tuban Restoran yang berkembang dan tersebar di Desa Tuban secara umum merupakan restoran dengan karakteristik dengan jenis restoran informal. Restoran tersebut melayani santap siang dan malam hari dan menu yang ditawarkan bervariasi bagi setiap restoran serta menghidangkan menu special sebagai penciri dari masing-masing restoran yang berkembang di Tuban. Berikut nama restoran beserta menu yang ditawarkan seperti nampak pada Tabel 1.berikut :

Tabel 1. Nama Restoran dan Menu yang ditawarkan di Tuban No Nama Restoran Menu yang ditawarkam Jam Buka 1 Bebek Tepi Sawah Olahan Bebek Siang dan malam 2 Krisna Wisata Kuliner Khas Daerah Siang dan malam 3 Kampoeng Kepiting Kepiting Siang dan malam 4 Subak Seefood Siang dan malam Sumber : Hasil Penelitian,2016. Berdasarkan pada Tabel 1. tersebut diatas dapat dilihat bahwa restoran yang berkembang di Tuban adalah bervariasi dengan cirinya masing-masing. Kampoeng Kepiting merupakan restoran dengan konsep ekowisata dimana restoran ini berada di daerah mangrove yang merupakan daerah konservasi. Aktivitas yang dapat dilakukan wisatawan pada Kampoeng Kepiting ini antara lain : 1. Canoe Tour dimana wisatawan dapat melakukan aktivitas kano diantara sela-sela mangrove sambil melihat mobil yang lalu lalang di Tol Mandara Ngurah Rai ataupun sesekali melihat pesawat yang take off, aktivitas ini dapat dilakukakan apabila debit air tinggi. 2. Crab Nursery 3. Raising Crab Information 4. Mangrove Trees Nursery 5. Mangrove Trees Plantation 6. Mangrove Tour 7. Fishing Trip 8. A Floating Restaurant in the Midlle of Mangrove Forest With Seafood Menu Menu yang dihidangkan di Kampoeng Kepiting merupakan produk yang dihasilkan oleh para nelayan yang tergabung didalamnya dengan nama Wana Sari. Produk tersebut diolah dan dipasarkan oleh para nelayan tersebut dengan kelompoknya bernama Wana Lestari yang terdiri dari kelompok nelayan dan para istri nelayan. Adapun produk yang dihasilkan oleh POKLAHSAR (Kelompok Pengolahan dan Pemasaran)“WANA LESTARI” ini antara lain :

103

1. Kepiting 2. Syrup Mangrove 3. Selei Mangrove 4. Coklat Mangrove 5. Sabun Mangrove 6. Permen Mangrove 7. Juice Mangrove 8. Lulur Mangrove 9. Cookies 10. Disamping produk tersebut diatas kampoeng kepiting juga menawarkan produk diluar mangrove, karena pada daerah mangrove tersebut juga ditumbuhi tanaman lain seperti Buah Pidada (Sonneratia Caseolaris) dan Buah Api-Api (Xylocarpus Granatum) buah ini bentuknya seperti bola dengan kulit berwarna hijau kecoklatan dan susunan biji menyerupai puzzle sehingga buah ini diberi nama dalam bahasa inggrisnya puzzle fruit . selain itu terdapat juga Buah Lindur (Bruguiera Gimnorrhiza) merupakan jenis buah yang dominan di hutan mangrove. Produk yang dihasilkan dari Buah Lindur ini adalah Beras Lindur dan Tepung Lindur.

3.3 Profil Demografis Wisatawan Berwisata Kuliner di Kampoeng Kepiting Tuban Secara demografi wisatawan yang berkunjung ke Kampoeng Kepiting untuk berwisata kuliner dilihat dari aspek kebangsaan, umur, status, jenis kelamin, tingkat pendidikan, pekerjaan. Berdasarkan kuisioner yang disebarkan kepada responden yang menikmati hidangan kuliner dikampung kepiting sebanyak 60 responden dapat dilihat profil secara demografi nampak pada Tabel 2. berikut :

Tabel 2. Profil Demografi Wisatawan yang Menikmati Hidangan Kuliner di Kampoeng Kepiting Tuban No Aspek Demografi Jumlah (orang) Persentase (%) 1 Kebangsaan a Indonesia 57 95 b Eropa 3 5 Total 60 100 2 Umur (Tahun) a 15-25 15 25 b 26-35 25 42 c 36-45 12 20 d 46-65 8 13 Total 60 100 3 Status a Menikah 38 63 b Tidak menikah 22 37 Total 60 100 4 Jenis Kelamin a Laki-Laki 38 63 b Perempuan 22 37 Total 60 100 5 Tingkat Pendidikan a SMP 1 1 b SMA 7 12 c Diploma 25 42 d Master 22 37 e Doktor 0 0 f Lain-lain 5 8 Total 60 100

104

6 Pekerjaan a Pelajar 3 5 b Pegawai Swasta 12 20 d Pegawai Negeri 9 15 e Pengusaha 20 33 f Pensiunan 0 0 g Lain-lain 16 27 Total 60 100 Sumber : Hasil Penelitian, 2016.

Berdasarkan pada tabel tersebut diatas bahwa wisatawan yang menikmati hidangan kuliner dari aspek demografi berdasarkan pada kebangsaan di dominasi Indonesia dengan persentase 95%. Sedangkan ditinjau dari umur di dominasi dari usia 26-35 tahun yang merupakan usia mapan dan produktif untuk melakukan wisata kuliner. Status wisatawan yang berwisata kuliner adalah yang menikah sedangkan untuk tingkat pendidikan di dominasi oleh Diploma dan Master. Tingkat pekerjaan di dominasi oleh pengusaha dan pegawai swasta, karena pengusaha lebih banyak melakukan aktivitasnya di laur perusahaannya.

3.4 Persepsi Wisatawan terhadap Keberadaan Restoran yang Dikunjungi Tanggapan wisatawan yang menikmati hidangan kuliner di Kampoeng Kepiting terhadap keberadaan restoran ini ditinjau dari aspek Tangible merupakan aspek yang dapat dilihat wisatawan secara detail melalui indra penglihatannya. Kemampuan Waiter/s dalam memberikan pelayanan makan dan minum serta kemampuan berkomunikasi, serta memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi wisatawan selama menikmati hidangan kuliner di Kampoeng Kepiting. Aspek harga merupakan hal yang sangat penting menjadi pertimbangan wisatawan ketika menikmati hidangan kuliner sebagai salah satu faktor yang perlu diperhatikan. Persepsi wisatawan terhadap aspek tangible keberadaan restoran Kampoeng Kepiting dilihat dari indikator sebagai berikut : 1. tersedianya peralatan makan yang layak dan bersih 2. kebersihan area restoran 3. design restoran yang atraktif 4. tersedianya area parkir yang luas 5. tersedianya kamar mandi yang standar 6. Kesehatan dan kebersihan lingkungan restoran 7. Waiter/s terlihat rapi dan bersih 8. terdapat informasi yang jelas tentang makanan dan minuman yang disediakan 9. presentasi atau penyajian makanan dan minuman 10. rasa makanan dan minuman yang tersedia 11. variasi menu yang disediakan 12. kebersihan dan kesehatan makanan dan minuman yang disajikan

Persepsi wisatawan terhadap aspek kemampuan Waiter/s dalam memberikan pelayanan makan dan minum serta kemampuan berkomunikasi, dan memberikan solusi terhadap masalah yang dihadapi wisatawan selama menikmati hidangan kuliner di Kampoeng Kepiting dilihat dari indikator sebagai berikut : 1. Waiter/s memberikan perhatian kepada tamu 2. waiter/s memahami permintaan tamu 3. waiter/s dapat memberikan rekomendasi terhadap menu yang tersedia 4. kemampuan berkomunikasi dari waiter/s

Persepsi wisatawan terhadap aspek harga dilihat dari indikator sebagai berikut : 1. harga makanan dan minuman yang terjangkau 2. harga makanan dan minuman sesuai dengan kualitas dan porsi yang disajikan

105

Berdasarkan kuisioner yang disebarkan kepada 60 responden yang menikmati hidangan kuliner di Kampoeng Kepiting terhadap keberadaannya secara umum memberikan tanggapan dengan katagori Baik dengan skor rata-rata 4,10. Ditinjau dari aspek kesehatan dan kebersihan restoran perlu diperhatikan lagi karena restoran tersebut berada di hutan mangrove oleh karena itu perlu diadaakan penataan kembali terkait dengan lingkungannya.Aspek rasa makanan dan minuman yang disajikan, variasi memu yang tersedia dan kebersihan dan kesehatan makanan dan minuman yang disajikan memperoleh skor tertinggi dengan rata-rata 4,25. Ini berarti Kampoeng Kepiting telah mampu mengolah produk yang dihasilkan dengan baik dan sesuai dengan selera dari wisatawan yang menikmati hidangan kuliner di restoran tersebut.

3.5 Faktor Pendorong Wisatawan Berwisata Kuliner di Kampoeng Kepiting Tuban Faktor yang mendorong wisatawan berwisata kuliner ini ditinjau dari motivasi secara intrinsik yang merupakan dorongan yang timbul dari dalam diri wisatawan dan motivasi secara ekstrinsik yaitu dorongan yang timbul dari luar diri wisatawan. Berdasarkan hasil persepsi wisatawan terhadap faktor pendorong melakukan wisata kuliner dari kuisioner yang disebarkan terhadap 60 responden yang dijadikan sampel diperoleh hasil secara umum mendapat tanggapan baik dari responden dengan skor 3,77. Faktor pendorong secara intrinsik wisatawan untuk berkuliner di Kampoeng Kepiting skor tertinggi di motivasi oleh faktor rasa ingin tahu dan faktor ingin mendapat pengalaman dengan skor masing-masing 4,3 dan 4,2. Faktor terrendah adalah faktor gengsi dengan skor 2,68. Hal ini berarti gengsi bukan menjadi alasan utama wisatawan untuk berwisata kuliner tapi karena faktor kebutuhan, rasa ingin tahu dan faktor pengalaman. Aspek ekstrinsik yang mendorong wisatawan berkuliner skor tertinggi tanggapan wisatawan jatuh pada faktor letaknya yang strategis dikawasan wisata dengan skor masing-masing 3,9 dan 3,8. Faktor branding merupakan faktor terrendah dari wisatawan untuk melakukan wisata kuliner dengan skor 3,5. Faktor harga yang terjangkau, informasi yang memadai dan iklan yang menarik merupakan faktor ekstrinsik yang mendorong wisatawan untuk menikmati hidangan kuliner di Kampoeng Kepiting disamping didukung dengan letaknya yang strategis dikawasan wisata karena restoran ini terletak diantara kawasan wisata menuju Nusa Dua dan Kuta. Berdasarkan hasil analisis faktor diperoleh hasil bahwa terdapat 3 komponen pembentuk faktor yang mendorong wisatawan berwisata kuliner di Kampoeng Kepiting faktor 1 yang dibentuk oleh 6 faktor yang terdiri dari rasa ingin tahu sebagai faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik terdiri dari terletak di tempat wisata, terletak strategi di kawasan pariwisata, harga yang terjangkau, informasi yang memadai dan iklan yang menarik. Berdasarkan faktor ekstrinsik faktor tertinggi adalah harga yang terjakau dengan faktor loading 0,862. Faktor ke 2 dibentuk oleh 3 faktor terdiri dari ingin mendapatkan pengalaman dan mencari sesuatu yang unik sebagai faktor intrinsik. Faktor ekstrinsik adalah merupakan rekomendasi dari teman. Faktor ke 3 dibentuk 3 faktor yang terdiri dari faktor intrinsik terdiri dari merupakan suatu kebutuhan dan karena gengsi, sedangkan faktor ekstrinsik adalah faktor branding. Berdasarkan pada nilai eigen value dapat dilihat nilai dari 3 faktor tersebut bahwa faktor 1 mempunyai presentasi variasi sebesar 50,919% yang berarti bahwa 50,919% informasi yang diharapkan terdapat dari faktor 1 terkait dengan faktor yang mendorong wisatawan untuk melakukan wisata kuliner di Kampoeng Kepiting. Nilai eigen value faktor 2 dan 3 secara berturut-turut adalah 10,335% dan 8,644%. Variasi total dari faktor yang mendorong wisatawan untuk melakukan wisata kuliner di Kampoeng Kepiting sebesar 69,898%. Berdasarkan hasil persepsi dan analisis factor konfirmatori memperoleh hasil yang sama bahwa faktor yang mendorong wisatawan berwisata kuliner di Restoran Kampoeng Kepiting terdiri dari faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik.

4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis dan pengujian yang dilakukan dengan kuantitatif maupun kualitatif, secara terperinci simpulan dari penelitian sebagai berikut :

106

Karakteristik restoran yang berkembang di daerah Tuban adalah restoran yang bersifat informal di mana wisatawan yang menikmati hidangan kuliner tersebut dapat dilakukan tanpa melalui pemesanan dan mengutamakan kecepatan dalam pelayanan makanan dan minuman. Profil secara demografi wisatawan yang berkunjung ke Kampoeng Kepiting dari asal wisatawan mayoritas wisatawan dari Indonesia. Usia didominasi dari usia 26-35 tahun yang merupakan usia mapan dan produktif untuk melakukan wisata kuliner. Jenis kelamin di dominasi oleh laki-laki dengan tingkat pendidikan diploma dan master dengan pekerjaan sebagai pengusaha dan pegawai swasta. Persepsi wisatawan terhadap keberadaan restoran Kampoeng Kepiting secara umum memberikan tanggapan yang baik yang ditinjau dari aspek tangible, kemampauan waiter/s dan aspek harga. Tanggapan tertinggi terletak pada aspek tangible dengan indikator cita rasa makanan, variasi menu dan kebersihan dan kesehatan makanan dan minuman yang disajikan kepada wisatawan yang menikmati hidangan di restoran tersebut. Aspek terrendah juga terdapat pada tangible dengan indikator kesehatan dan kebersihan lingkungan restoran karena restoran Kampoeng Kepiting ini terletak di kawasan konservasi hutan mangrove. Faktor pendorong wisatawan untuk berwisata kuliner di Kampoeng Kepiting terdiri dari faktor intrinsik dengan faktor rasa ingin tahu dan mendapatkan pengalaman yang tertinngi dan faktor gengsi terrendah sedangkan faktor ekstrinsik di dominasi oleh letaknya yang strategis di kawasan wisata karena merupakan daerah yang terletak diantara kawasan wisata Nusa Dua dan Kuta serta dekat dengan Bandara Internasional Ngurah Rai.

Ucapan Terima kasih

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan ini antara lain : Dekan Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, Ketua LP2M beserta staf, Kepala Desa Mengwi, Responden yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

DAFTAR PUSTAKA

Arif Rachman. 2005. Pengantar Ilmu Perhotelan dan Restoran. Yogyakarta: Graha Ilmu

Alghamdi. 2007. Explicit and Implicit Motivation Toward Outbound Tourism : a Study of Saudy Tourist. As a Thesis for Degree of Doctor of Philosophy in Marketing. University of Glasgow, School of Business and Management.

Gray, Jerry . 1984. Organizational Behavior, Concepts and Applications. Columbus : Charles E. Merrill Publishing Company.

Gee, Chuck Y. And Sola. 1997. International Tourism : A Global Perspective. Madrid : World Tourism Organization.

Kotler, Philips dan Keller, K Lane. 2009. Marketing Management. Thirteen Edition. Upper Saddle River, New Jersey : Person Education, Inc.

Mathieson A,and Wall, Geoffey. 1992. Tourism Economic, Physical, and Social Impact. New York : Longman Scientific & Technical.

Marsum. 2005. Restoran dan segala Permasalahannya. Yogyakarta : ANDI

Moller. 2006. Self –Determination Theory and Public Policy : Improving the Quality of Consumer Decisions Without Using Coercion. American Marketing Association. Vol. 26 (1), 104-116.

Pitana. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta : ANDI.

Soewkresno. 2000. Manajemen Foob & Beverage Service Hotel. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Sujatha, Ketut. 2001. (Seni Kuliner Bali sebagai Aspek Kebudayaan dalam Menunjang

107

Industri Pariwisata). Laporan Penelitian Universitas Udayana

Setiadi,Nugroho.2003. Perilaku Konsumen : Perspektif Kontemporer Pada Motif, Tujuan dan Keinginan Konsumen. Jakarta : Kencana

Sadjuni, L. G. S. 2006. Ekspektasi dan Persepsi Wisatawan terhadap Gastronomi Makanan Bali. (tesis) Denpasar: Universitas Udayana Swarbrooke John. and Susan Horner. 2007. The Power of Empathy in Leadership (to Enhance Long Term Company Performance). Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama

Suriani. 2008. Seni Kuliner Bali Sebagai Salah Satu Daya Tarik Wisata Mengungkap Tentang Ketertarikan Wisatawan Terhadap Makanan Tradisional Bali (Babi Guling). Laporan Penelitian Universitas Udayana

Ryan,R.M. and Deci, E.L.2000. Intrisic and Extrinsic Motivations: Classic Definitions and New Directions. Contemporary Educational Psychology 25. pp 54-67.

Vallerand, Robert.J. 2004. Intrinsic and Extrinsic Motivation in Sport. Encyclopedia of Applied Psychology. Vol.2. Elsevier.

108

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPUTUSAN WISATAWAN BERKUNJUNG KE DESA WISATA BLIMBINGSARI JEMBRANA BALI

Arnold Gautama Suryadinata1), I Wayan Ruspendi Junaedi2) Program studi manajemen12) Fakultas ekonomika dan humaniora Universitas dhyana pura

Abstract

Blimbingsari Tourism Village is one of the villages which one hundred percent of the population is Christian Protestant but still maintains the Balinese tradition through the celebration and architecture of the building which is the main attraction for tourists to make Blimbingsari village as a tourist attraction. Fluctuations in the level of visits from year to year changes but in 2016 experienced a drastic decline. Based on this, the formulation of this research problem are: (1) What factors affect the interest of tourists visiting Blimbingsari Tourism Village? (2) Which factors dominantly determine the interest of tourists visiting Blimbingsari Tourism Village ?. The purpose of research to determine the factors that influence the interest of tourists visiting Blimbingsari Tourism Village.The research was conducted in Blimbingsari Village with 75 samples determined with non probability sampling. The research data was collected by distributing questionnaires. Data analysis techniques used are the validity test, reliability test and factor analysis.Based on factor analysis, the price factor and accessibility, comfort, facilities and accommodation and tourism committee of Blimbingsari are factors influencing the decision of tourists visiting Blimbingsari tourist village of Jembrana Bali. Price factors and accessibility consisting of equipment rental prices, food and beverage prices, internet, access to tourism, room rental rates and waterfall grojogan is the dominant factor affecting the decision of tourists visiting the tourist village of Blimbingsari Jembrana Bali. So to the Tourism Committee in order to maintain good performance supported by the community, and also maintain friendliness in socializing with tourists.

Keywords: product, price, place, promotion, process, people, physical evidence

Abstrak Desa Wisata Blimbingsari adalah salah satu desa yang seratus persen penduduknya beragama Kristen Protestan akan tetapi tetap mempertahankan tradisi Bali melalui perayaan dan arsitektur bangunan yang menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan menjadikan desa Blimbingsari sebagai objek wisata. Fluktuasi tingkat kunjungan dari tahun tahun mengalami perubahan namun pada tahun 2016 mengalami penurunan yang cukup drastis. Berdasarkan hal tersebut maka rumusan masalah penelitian ini yaitu : (1) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari ? (2) Faktor manakah yang dominan menentukan minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari ?. Tujuan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari.Penelitian dilakukan di Desa Wisata Blimbingsari dengan jumlah sample sebanyak 75 yang ditentukan dengan non probability sampling. Pengumpulan data penelitian dilakukan dengan penyebaran kuisioner.Teknik analisis data yang digunakan adalah uji validitas, uji reliabilitas dan analisis faktor.Berdasarkan hasil analisis faktor diperoeh faktor harga dan aksesbilitas, kenyamanan, fasilitas dan akomodasi dan komite pariwisata Blimbingsari merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan wisatawan berkunjung ke desa wisata Blimbingsari Jembrana Bali.Faktor harga dan aksesbilitas yang terdiri dari harga sewa peralatan, harga makanan dan minuman, internet, akses daya wisata, harga sewa kamar dan air terjun grojogan merupakan faktor dominan ang mempengaruhi keputusan wisatawan berkunjung ke desa wisata Blimbingsari Jembrana Bali.Sehingga kepada Komite Pariwisata agar dapat mempertahankan kinerja yang sudah baik yang didukung oleh masyarakat, dan juga mempertahankan keramahan dalam bersosialisasi dengan wisatawan.

Kata kunci : product, price, place, promotion, process, people, physical evidence

109

1. PENDAHULUAN

Sektor pariwisata sebagai kegiatan perekonomian telah menjadi andalan dan prioritas pengembangan bagi sejumlah Negara, terlebih bagi Negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki potensi wilayah dan daya tarik wisata yang luas, banyaknya keindahan alam, aneka warisan sejarah budaya dan kehidupan masyarakat. Pengembangan di bidang Pariwisata di Indonesia akan berhasil dengan baik jika ditunjang oleh semua potensi daerah tujuan wisata yang berupa obyek wisata alam maupun buatan manusia. Pembangunan dan pengembangan suatu daerah tujuan wisata harus memperhatikan berbagai faktor yang berpengaruh terhadap keberadaan suatu daerah tujuan wisata tersebut seperti keindahan alam, tempat yang memiliki nilai sejarah, kebudayaan yang ada di dalam masyarakat. Dalam potensinya Indonesia memiliki banyak daya tarik wisata yang merupakan kebanggan Indonesia yang sudah dikenal mendunia contohnya Pulau Bali, Lombok, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan lain-lain.Terlebih setiap daerah di Indonesia memiliki keunikan dan daya tarik wisata yang beragam baik dari segi keindahan alamnya, adat istiadatdan juga kebudayaan yang ada di daerah tersebut sehingga menarik minat wisatawan untuk mengunjunginya. Diantara banyak daerah tujuan wisata di Indonesia, Pulau Bali merupakan daya tarik wisata yang dikenal di mata dunia karena keindahan alamnya, dan adat istiadat yang ada pada masyarakat Bali.Bali juga dikenal dengan sebutan The Island of Thousand Temples. Pulau Bali yang dikenal luas oleh dunia memiliki banyak potensi dan keunggulan dalam daya tarik wisata mulai dari keindahan alam yang masih alami ataupun buatan manusia, kebudayaan yang masih kental dari dulu sampai saat ini, kesenian yang sudah menjadi darah masyarakat Bali, dan juga daya tarik buatan lainnya, yang dapat dilihat berdasarkan jumlah kunjungan wisatawan Manca Negara yang datang ke Bali setiap tahunnya mengalami peningkatan jumlah kunjungan dimana peningkatan tertinggi terjadi pada tahun 2014 sebesar 12,72% dan peningkatan paling rendah terjadi pada tahun 2012 sebesar 4,68%. Karena banyaknya daya tarik wisata di Bali ini membuat jumlah wisatawan setiap tahunnya semakin meningkat, sehingga pariwisata di Bali terus digalakkan di berbagai penjuru Pulau Bali diantaranya terdapat di Kabupaten Jembrana Desa Wisata Blimbingsari, namun masih banyak wistawan yang belum mengetahui adanya Desa Wisata Blimbingsari ini, oleh karena perlu adanya penjelasan kepada khalayak umum mengenai Desa Wisata Blimbingsari. Desa Wisata Blimbingsari adalah salah satu desa yang berada di Kabupaten Jembrana dan mayoritas masyarakatnya pemeluk Nasrani tetapi nuansa adat budaya Bali sangat mendarah daging pada Desa Wisata Blimbingsari yang merupakan kekayaan budaya di Kabupaten Jembrana, Bali. Seratus persen masyarakat Blimbingsari beragama Kristen Protestan akan tetapi mereka merupakan penduduk asli Bali. Sementara, sebagian besar penduduk di Bali adalah pemeluk agama Hindu. Sama seperti desa tradisional lainnya di Bali, aktivitas warga Desa Blimbingsari sangat kental dengan seni, adat, dan budaya Bali, mulai dari bentuk bangunan yang khas Bali, pakaian adat, bahasa, bahkan nama penduduk juga menggunakan nama Bali. Walaupun penduduk Blimbingsari beragama Kristen, mereka tetap mempertahankan identitas asli Bali.Indentitas tersebut meliputi prosesi budaya, kesenian, bentuk bangunan, serta gereja yang menjadi tempat bersembayang juga berasitektur Bali. Belakangan ini, Blimbingsari menjadi salah satu tujuan wisata yang menarik, karena di Desa Wisata Blimbingsari terdapat kurang lebih 5 jenis produk wisata yaitu ; wisata rohani, wisata budaya, wisata alam, wisata agro dan wisata pendidikan. Kemudian untuk akomodasi tamu menginap, Blimbingsari telah memiliki 85 homestay. “Untuk wisatawan, Blimbingsari menyediakan 20 kamar dengan rincian tiga kamar Suite dan 17 kamar Deluxe dan sisanya kamar standard. Kunjungan wisatawan domestik pun tidak kalah banyak dengan wisatawan mancanegara yang menginap. Di desa ini, wisatawan yang berkunjung ataupun menginap bisa melakukan aktivitas, seperti work camp, menjadi relawan di panti asuhan, trekking mengelilingi desa (melihat kebun kakao,

110

kelapa), melihat warga yang berternak hewan serta dapat mengunjungi wisata tambahan yang bekerja sama dengan Desa Wisata Blimbingsari yaitu Taman Nasional Bali Barat dan langsung berbaur dengan masyarakat setempat. Rata-rata wisman yang mengunjungi Blimbingsari berasal dari Australia, Jerman, Amerika, Belanda, Kanada, Afrika, Korea, China, Jepang, Singapura, dan Malaysia. Desa Blimbingsari ditetapkan menjadi Desa Wisata Blimbingsari pada tanggal 16 Desember 2011 oleh Gubernur Bali dan diresmikan pada tanggal 25 Desember 2011 oleh Bupati Jembrana. Sejak 2005 Blimbingsari benar-benar dikelola sebagai desa wisata berbasis masyarakat oleh Komite Pariwisata Blimbingsari yang dibentuk oleh Pemerintah Desa Blimbingsari, GKPB Pniel Blimbingsari, dan Paguyuban/Diaspora Blimbingsari, Komite Pariwisata Blimbingsari dibentuk dan dipilih secara resmi oleh Pemerintah Desa Blimbingsari, GKPB Blimbingsari dan Diaspora Blimbingsari, Komite Pariwisata bertugas untuk berkomunikasi secara langsung terhadap wisatawan yang akan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari dalam menyusun program pariwisata yang disepakati terlebih dahulu oleh para wisatawan, contohnya membuat itinerary yang diinginkan wisatawan dengan pilihan kegiatan yang sudah ada dan berjalan baik dalam program pariwisata di Blimbingsari, Banyak wisatawan yang datang berkunjung ingin menikmati keaslian alam serta budaya bali yang melekat erat pada masyarakat kristiani di Blimbingsari. Jumlah kunjungan wisatawan ke Desa Wisata Blimbingsari terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, dimana jumlah kunjungan tertinggi terjadi pada tahun 2015 dan jumlah kunjungan terendah terjadi pada tahun 2010. Berdasarkan uraian latar belakang rumusan masalah yaitu 1) Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari ? 2) Faktor manakah yang dominan menentukan minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari ?. Tujuan penelitian untuk : 1) Untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari. 2) Untuk mengetahui Faktor mana yang dominan mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari.

Pengertian Pariwisata

Menurut Meyers (2009;5), Pariwisata adalah aktivitas perjalanan yang dilakukan sementara waktu dari tempat tinggal semula ke daerah tujuan dengan alasan bukan untuk menetap atau mencari nafkah melainkan hanya untuk memenuhi rasa ingin tahu, menghabiskan waktu senggang ataupun liburan. Menurut Dharmawan (2007;1), Pariwisata adalah fenomena campuran yang mencakup semua kejadian yang dilakukan wisatawan sebagai orang asing pada suatu tempat yang dikunjungi serta menunjukan tingkah laku yang berbeda dari penduduk aslinya. Menurut Suwantoro (2009:3) pada hakikatnya berpariwisata adalah suatu proses kepergian sementara dari seorang atau lebih menuju tempat lain diluar tempat tinggalnya, dorongan kepergian adalah karena kebudayaan, politik, agama, kesehatan, maupun kepentingan lainnya. Seperti karena sekedar ingin tahu, menambah wawasan ataupun untuk belajar. Menurut Undang – undang no. 10 tahun 2009, Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung dengan berbagai kegiatan aktifitas, berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Dari beberapa pendapat para ahli diatas dapat dikatakan bahwa pariwisata adalah kegiatan perjalanan wisata ke daerah lain ataupun ke negara lain untuk memenuhi keinginan yang bermacam – macam, yang mana dalam perjalannya itu tidak menyebabkan tempat tinggal permanen sebagai usaha mencari kerja atau nafkah dan kegiatan tersebut dilakukan diluar aktifitas sehari – hari.

Pengertian Daya Tarik Wisata

Daya Tarik Wisata merupakan kata lain dari obyek wisata yang menurut peraturan pemerintah Indonesia tahun 2009 kata obyek wisata sudah tidak relevan untuk menyebutkan atau menggambarkan suatu daerah tujuan wisatawan maka diberlakukan kata “Daya Tarik Wisata”.

111

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No. 10 tahun 2009, Daya Tarik Wisata dijelaskan sebagai segala sesuatu yang memiliki keunikan, kemudahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau kunjungan wisatawan. Yoeti dalam bukunya “Pengantar Ilmu Pariwisata” tahun 1985 menyatakan bahwa daya tarik wisata atau “tourist attraction”, istilah yang lebih sering digunakan, yaitu segala sesuatu yang menjadi daya tarik bagi orang untuk mengunjungi suatu daerah tertentu Pendit dalam bukunya “ Ilmu Pariwisata” tahun 1994 mendefiniskan daya tarik wisata sebagai segala sesuatu yang menarik dan bernilai untuk dikunjungi dan dilihat.

Pengertian Desa Wisata

Menurut Wiendu (1993;34), desa wisata merupakan suatu bentuk integrasi antara atraksi, akomodasi dan fasilitas pendukung yang disajikan dalam suatu struktur kehidupan masyarakat yang menyatu dengan tata cara dan tradisi yang berlaku. Desa wisata biasanya memiliki kecenderungan kawasan pedesaan yang memiliki kekhasan dan daya tarik sebagai tujuan wisata. Menurut Adiyoso (2009;4) menegaskan bahwa partisipasi masyarakat merupakan komponen terpenting dalam upaya pertumbuhan kemandirian dan proses pemberdayaan, pengabaian partisipasi masyarakat lokal dalam pembangunan desa wisata menjadi awal dari kegagalan tujuan pembangunan desa wisata. Pariwisata Inti Rakyat (PIR) (Hadiwijoyo, 2012;2) mendefinisikan desa wisata sebagai suatu kawasan pedesaan yang mencerminkan keaslian pedesaan baik dari kehidupan sosial ekonomi, sosial budaya, adat istiadat, kehidupan sehari-hari, memiliki arsitektur bangunan dan struktur tata ruang desa yang khas, atau kegiatan perekonomian yang unik dan menarik serta mempunyai potensi untuk dikembangkannya berbagai komponen kepariwisataan, misalnya : atraksi, akomodasi, makanan minuman, dan kebutuhan wisata lainnya.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan di Desa Wisata Blimbingsari, Melaya, Jembrana, Bali.Kode Pos 82252 dengan bekerjasama dengan Komite Pariwisata Blimbingsari. Adapun identifikasi dan definisi variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah variabel-variabel yang menarik wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari yang didasari oleh pendapat para ahli yang disesuaikan dengan objek yang diteliti Kotler (2009;24) dalam tabel 1 sebagai berikut :

Tabel 1. Tabel Variabel dan Indikator Variabel Kode Indikator Definisi Operasional Variabel Rumah para penduduk Desa Blimbingsari yang sekaligus X1.1 Homestay digunakan untuk menginapnya para wisatawan yang Product berkunjung. X1 X1.2 Gereja Tempat masyarakat Blimbingsari beribadah Air terjun Objek wisata tambahan yang berupa air tejun yang berada di X1.3 Grojogan Desa Blimbingsari Harga Sewa Harga yang ditetapkan oleh komite pariwisata blimbingsari X2.1 Kamar pada setiap kamar yang disewakan Price Harga Makanan X2.2 Harga makanan dan minuman yang dijual oleh warga X2 dan Minuman Harga Sewa Harga sewa peralatan di blimbingsari bisa berupa sepeda X2.3 Peralatan motor ataupun mobil

112

Place Akses Daya Tarik Akses yang mudah dijangkau oleh wisatawan untuk X3.1 X3 Wisata mengelilingi Desa Wisata Blimbingsari Tersediannya akses informasi mengenai Desa Wisata X4.1 Internet Blimbingsari di Internet dan juga memudahkan untuk Promotion berkomunikasi dengan komite pariwisata Blimbingsari X4 Tersediannya informasi mengenai sejarah berdirinya Desa X4.2 Media Cetak Wisata Blimbingsari berupa buku Proses pelayanan yang dirasakan langsung oleh wisatawan X5.1 Pelayanan Process ketika berkunjung oleh komite pariwisata Blimbingsari X5 Kelancaran lalu lintas yang jauh dari kepadatan lalu lintas di X5.2 Lalu Lintas kota Komite Pariwisata Pelayanan yang diberikan oleh pengurus ini dari booking X6.1 People Blimbingsari wisata, pembagian homestay dan membuat itinerary X6 Keramahan Masyarakat yang sangat ramah terhadap siapapun yang X6.2 Masyarakat berkunjung ke Blimbingsari Rasa aman yang dikarenakan seluruh elemen masyarkat ikut Physical X7.1 Keamanan serta menjaga keamanan Desa Wisata Blimbingsari Evidence Kebersihan merupakan budaya di Blimbingsari didukung X7 X7.2 Kebersihan dengan adanya kerja bakti rutin Sumber : Kotler (2009;24) yang disesuaikan dengan Obyek

Data Kualitatif adalah data yang terdiri dari keterangan atau informasi serta uraian- uraian yang berhubungan karakteristik responden (nama, jenis kelamin, pekerjaan dan status). Data Kuantitatif adalah merupakan kumpulan data-data yang berbentuk angka matematika atau statistic seperti misalnya jumlah wisatwan yang berkunjung ke Desa Blimbingsari. Data Primer adalah data yang dikumpulkan, diamati, dan dicatat oleh peneliti dari sumber yang terpercaya mengetahui seluk beluk sejarah object penelitian, serta bisa didapat dari kusioner yang diberikan pada responden.Data Sekunder adalah data yang di kumpulkan dan diperoleh dari buku-buku ataupuncatatan yang sudah berhasil dikumpulkan oleh sumber-sumber lainnya, dengan penelitian ini (Malhotra, 2007) data sekunder dapat diperoleh dari artikel-artikel terkait, website, jurnal yang bermanfaat dalam mendukung perumusan masalah secara lebih akurat dan dapat memberikan data perbandingan terhadap data primer agar dapat diinterpretasikan secara lebih akurat. Penentuan sampel akan diambil menggunakan teknik non propability yaitu dengan teknik Sampling aksidental, teknik sampling aksidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu siapa saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel, bila dipandang orang yang kebetulan ditemui itu cocok sebagai sumber data (Sugiyono, 2001;60). Menurut Margono (2004;27) menyatakan bahwa dalam teknik ini pengambilan sampel tidak ditetapkan lebih dahulu. Peneliti langsung mengumpulkan data dari unit sampling yang ditemui. Supranto (2001:99) mengatakan bahwa untuk memperoleh hasil yang baik, maka banyaknya responden yang diambil untuk menjawab kusioner adalah sebanyak 5 atau 10 kali dari variabel / Indikator yang dimuat dalam kusioner, dengan demikian dalam penelitian ini digunakan 15 indikator, jadi banyaknya sampel yang diambil adalah sebanyak 15 x 5 yaitu 75 responden. Dimana observasi ialah teknik pengumpulan data dengan melakukan pengamatan dan penelitian secara langsung pada lingkungan (social dan atau material) (Sutoyo, 2012:85-86) pada penelitian ini di Desa Wisata Blimbingsari. Adalah teknik pengumpulan data dengan mengadakan tanya jawab dengan pihak- pihak yang berkompeten dengan masalah yang diteliti dan menyiapkan pertanyaan yang informasinya belum didapat pada saat observasi.Metode kusioner merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan memperoleh data dengan cara memberikan daftar pertanyaan yang akan diisi atau dijawab oleh para responden (Sugiyono, 2004). Dokumen adalah data yang diperoleh secara langsung dari tempat penelitian meliputi brosur, peta, pamphlet dokumentasi

113

objek (Moh. Pabundu Tika 1996:80). Dokumentasi adalah mencari data mengenai hal-hal atau variable yang berupa catatan, transkrip,prasasi,notulen,rapat,lengger,agenda dan sebagainnya (Arikunto1997;206). Berdasarkan uraian diatas dokumen dan dokumentasi itu berupa catatan dan berbagai hal yang berhubungan dengan kunjyngan, pengelolaan, pemasaran serta promosi. Dalam penelitian ini akan menggunakan analisis faktor. Menurut Santoso (2002:93), Analisis faktor adalah proses analisis faktor-faktor dan menemukan hubungan antar sejumlah variable variable yang saling berkaitan secara independen satu dengan yang laiinya sehingga bisa dibuat satu atau beberapa kumpulan variable yang lebih sedikit dari jumlah variable awal.

3. PEMBAHASAN

Analisis faktor merupakan independent technique yaitu teknik analisis multivariate untuk melacak (exploratory) hubungan dari seluruh independent variable (butir item) dengan variabel lainnya.Analisis faktor adalah serangkaian prosedur yang digunakan untuk mengurangi dan meringkas data tanpa kehilangan informasi penting dengan beberapa tahapan-tahapan. Berdasarkan metode penelitian yang digunakan, maka untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat wisatawan mengunjungi desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali dipergunakan analisis faktor. Berdasarkan tahapan-tahapan analisis faktor maka proses analisis dilakukan dengan seleksi terhadap item-item yang mendukung minat wisatawan, yang tidak mempunyai pengaruh kuat dan mengeluarkannya sehingga dapat ditemukan sejumlah variabel yang benar-benar berpengaruh. Hasil analisis faktor yang diperoleh dapat dijelaskan sebagai berikut :

1. Tahapan Pertama : Masalah Penelitian

Dalam hal ini harus dirumuskan tujuan dari penggunaan analisis faktor. Melalui analisis faktor maka akan diketahui faktor-faktor yang mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali yang diidentifikasikan dari 15 indikator. Responden yang digunakan berjumlah 75 orang yang dipilih dari wisatawan yang berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali.

2. Tahapan Kedua : Proses Matrik Korelasi

Pada matrik korelasi akan dapat diidentifikasikan variabel-variabel mana yang saling berhubungan dari 15 variabel yang diteliti. Untuk menguji bahwa 20 variabel yang diteliti saling berhubungan maka dilakukan uji Barllet, uji KMO dan uji MSA.Berdasarkan pengujian yang disajikan pada Tabel 1 diperoleh hasil sebagai berikut.

Tabel 1 Nilai KMO dan Barllet Test

Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .773

Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 514.311

Df 105

Sig. .000

114

a. Uji Barllet (Barllet Test of Sphericity) Nilai Barllet Test of Sphericity yang diperoleh adalah 514.311 dengan signifikasi 0,000. Hal ini berarti peluang terjadi kesalahan untuk variabel tidak independent sebesar 0% dengan demikian antar variabel memiliki korelasi. b. Uji Kaiser Meyer Olkin (KMO) Nilai KMO yang diperoleh adalah 0,773, angka ini sudah melebihi 0,5 berarti ukuran sampel terpenuhi sehingga dapat memenuhi kritera untuk diproses lebih lanjut. c. Uji Measure of sampling Adequancy (MSA) Uji MSA dilakukan untuk mengukur derajat korelasi antar variabel, dimana setiap variabel dianalisis untuk mengetahui variabel mana yang dapat diproses lebih lanjut dan mana yang harus dikeluarkan. Variabel yang dapat diproses lebih lanjut adalah variabel dengan nilai MSA > 0,5. Hal ini dapat dilihat pada angka yang membentuk tanda “a” pada Anti-image Matrices.Untuk lebih jelas nilai MSA setiap indikator dapat dilihat pada Tabel 2 berikut.

Tabel 2 Nilai MSA setiap variabel pada Anti-image Matrices

No Indikator Nilai MSA Nilai Standar Minimum 1 Homestay 0,744 0,5 2 Gereja 0,812 0,5 3 Air terjun Grojogan 0,794 0,5 4 Harga Sewa Kamar 0,691 0,5 5 Harga Makanan dan Minuman 0,824 0,5 6 Harga Sewa Peralatan 0,771 0,5 7 Akses Daya Tarik Wisata 0,776 0,5 8 Internet 0,730 0,5 9 Media Cetak 0,810 0,5 10 Pelayanan 0,873 0,5 11 Lalu Lintas 0,873 0,5 12 Komite Pariwisata Blimbingsari 0,629 0,5 13 Keramahan Masyarakat 0,828 0,5 14 Keamanan 0,703 0,5 15 Kebersihan 0,737 0,5

Pada Tabel 2. dapat dilihat bahwa semua indikator memiliki nilai MSA > 0,5 sehingga tidak ada indikator yang dikeluarkan.

3. Tahapan Ketiga: Menentukan Jumlah Faktor

Penentuan jumlah faktor yang masing-masing merupakan gabungan dari beberapa variabel yang saling berhubungan (berkorelasi) didasarkan atas nilai Eigenvalue, yang merupakan penjumlahan variance nilai-nilai korelasi setiap faktor terhadap tiap-tiap variabel yang membentuk faktor yang bersangkutan.Semakin besar nilai Eigenvalue suatu faktor, maka semakin representative faktor tersebut sebagai wakil dari sekelompok variabel.Meski demikian, faktor yang dipilih untuk dianalisis lebih lanjut adalah terbatas pada faktor dengan nilai Eigenvalue> 1.Dengan batasan ini, seperti yang ditunjukan pada lampiran 5 terdapat 4 (enam) faktor yang mempunyai nilai Eigenvalue> 1 Adapun faktor-faktor tersebut dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3 Banyaknya Faktor dengan Nilai Eigenvalue > 1

115

Faktor Nilai Eigenvalue Persentase (%) of Variance Kumulatif Variance (%) 1 5,842 38.947 38.947 2 1,693 11.288 50.235 3 1.200 8.001 58.236 4 1.036 6.906 65.142

4. Tahapan Keempat : Rotasi Faktor

Rotasi faktor adalah penyederhanaan dari Matrix faktor.Matrix faktor yang terbentuk sebelum dilakukan rotasi masih menunjukan hasil yang tidak jelas bedanya sehingga masih sulit untuk diidentifikasi.Masalah tersebut dapat diupayakan dengan melakukan rotasi faktor untuk memudahkan penjelasan faktor yang dianalisis dalam model. Pada penelitian ini digunakan rotasi varimax, dimana rotasi varimax dipilih karena memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan teknik rotasi lainnya serta lebih mudah dianalisis secara teori (Tenaya, 2009 : 65). Dengan menggunakan rotasi varimax yang mampu mengurangi jumlah indikator yang memiliki loading tinggi pada suatu faktor, maka matrik faktor menjadi lebih jelas dan mudah diinterpretasikan. Setelah dilakukan rotasi, dapat dilihat bahwa indikator yang berjumlah 15 tersebut tersebar dalam 4 faktor, dimana pengelompokan tersebut terdiri atas indikator-indikator yang mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali seperti terlihat pada Tabel 4 berikut.

Tabel 4 Hasil Rotasi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Minat wisatawan Berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali setelah indikator dengan loading factor< 0,5 dikeluarkan

No Indikator Faktor Eigen Loading Percent Of Value Factor Variance (%) 1 Harga sewa peralatan 0,712 Harga makanan dan 0,710 minuman Internet Price 5.842 0,677 38,947 Akses daya wisata 0,635 Harga sewa kamar 0,635 Air terjun Grojogan 0,625 2 Keamanan 0,853 Keramahan Physical 0,760 1.693 11.288 Kebersihan Evidence 0,674 Gereja 0,590 3 Lalu Lintas 0,777 Pelayanan 0,706 Process 1.200 8.001 Media cetak 0,611 Homestay 0,521 4 Komite Pariwisata People 1.036 0,834 6.906

Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa semua indikator yang mempunyai nilai loading factor> 0,5 dan tergabung dalam 4 (empat) faktor yang mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali.

116

5. Tahapan Kelima : Penamaan Faktor Interpretasi Faktor dilakukan dengan mengelompokan indikator yang memiliki loading factor minimal 0,5, pada Tabel 4.8 dapat dilihat bahwa semua indikator yang memiliki loading factor diatas 0,5. Keseluruhan indikator tersebut tersebar ke empat faktor, dengan total kumulatif variannya dari seluruh faktor mencapai 65.142% yang berarti tingkat minat wisatawan yang berkunjung di Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali sebesar 65.142% dan sisanya sebesar 34.858% adalah faktor pengaruh diluar dari kajian yang dianalisis. Hal ini menunjukan bahwa penelitian ini mampu menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali secara signifikan dipengaruhi oleh 15 indikator. Faktor yang merupakan gabungan dari beberapa indikator harus diberi nama. Pemberian nama harus mengacu pada indikator-indikator yang membentuk faktor yang bersangkutan. Penjelasan masing-masing faktor adalah sebagai berikut. 1) Faktor 1 ( Harga dan Aksesbilitas ) Faktor ini memiliki Eigenvalue sebesar 5.842 dan memiliki variance 38.947%, merupakan faktor pertama yang mempengaruhi minat wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali. Faktor ini terbentuk dari 7 indikator yaitu : a. Harga sewa peralatan dengan loading factor sebesar 0,712 b. Harga makanan dan minuman dengan loading factor sebesar 0,710 c. Internet dengan loading factor sebesar 0,677 d. Akses daya wisata dengan loading factor sebesar 0,635. e. Harga sewa kamar dengan loading factor sebesar 0,635. f. Air terjun grojogan dengan loading factor sebesar 0,625. Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui indikator harga sewa peralatan menjadi prioritas utama karena merupakan indikator yang memiliki loading factor tertinggi. 2) Faktor 2 ( Kenyamanan ) Faktor ini memiliki Eigenvalue sebesar 1.693 dan memiliki variance 11.288%, merupakan faktor kedua yang mempengaruhi keputusan wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali. Faktor ini terbentuk dari 3 indikator yaitu : a. Keamaan dengan loading factor 0,853 b. Keramahan .dengan loading factor 0,760 c. Kebersihan dengan loading factor 0,674 d. Tempat ibadah dengan loading factor 0,590 Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui indikator keamanan merupakan indikator yang memiliki loading factor tertinggi. 3) Faktor 3 ( Fasilitas dan Akomodasi ) Faktor ini memiliki Eigenvalue sebesar 1.200 dan memiliki variance 8.001%, merupakan faktor ketiga yang mempengaruhi keputusan wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali. Faktor ini terbentuk dari 4 indikator yaitu : a. Lalu lintas dengan loading factor 0,777 b. Pelayanan dengan loading factor 0,706 c. Media cetak dengan loading factor 0,611 d. Homestay dengan loading factor 0,521 Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui indikator lalu lintas merupakan indikator yang memiliki loading factor tertinggi. 4) Faktor 4 ( Komite Pariwisata Blimbingsari ) Faktor ini memiliki Eigenvalue sebesar 1.036 dan memiliki variance 6.906%, merupakan faktor keempat yang mempengaruhi keputusan wisatawan berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari Jembrana Bali . Faktor ini terbentuk dari 1 indikator yaitu : a. Komite pariwisata dengan loading factor 0,834

117

Berdasarkan uraian tersebut dapat diketahui indikator komite pariwisata merupakan indikator yang memiliki loading factor tertinggi. 6. Tahapan Keenam : Menentukan Ketetapan Model Pada tahapan ini, ketetapan model dapat diketahui dari besarnya Residual yang terjadi yaitu perbedaan korelasi yang diamati dengan korelasi yang diproduksi berdasarkan hasil estimasi Matriks Faktor.Analisis faktor menunjukan persentase Residual adalah 15% dengan nilai absolute > 0.05. Hal ini mengidentifikasikan bahwa model memiliki ketepatan sebesar 65% dengan tingkat kesalahan 5%. (Lampiran 5). Berdasarkan hasil analisis faktor yang dipergunakan untuk menganalisis 15 variabel, diketahui bahwa Eigenvalue tertinggi yakni 5.842 terdapat pada faktor harga yang meliputi : harga sewa peralatan, harga makanan, internet, akses daya wisata, harga sewa kamar, air terjun grojogan dan harga sewa perlatan merupakan faktor utama yang menjadi daya tarik wisatawan mengunjungi desa Wisata Blimbingsari Jembrana Negara Bali karena memiliki loading factor tertinggi yaitu 0,712.

4. SIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut. 1. Faktor harga dan aksesbilitas dengan nilai eigen value sebesar 5,842 (38,947%), kenyamanan dengan nilai eigen value sebesar 1,693 (11,288), fasilitas dan akomodasi dengan nilai eigen value sebesar 1,200 (8,001) dan komite pariwisata Blimbingsari dengan nilai eigen value 1,036 (6,906) merupakan faktor yang mempengaruhi keputusan wisatawan berkunjung ke desa wisata Blimbingsari Jembrana Bali. 2. Faktor harga dan aksesbilitas yang terdiri dari harga sewa peralatan, harga makanan dan minuman, internet, akses daya wisata, harga sewa kamar dan air terjun grojogan merupakan faktor dominanang mempengaruhi keputusan wisatawan berkunjung ke desa wisata Blimbingsari Jembrana Bali.

Saran Adapun dari kesimpulan diatas, ada beberapa saran yang dapat diberikan diantaranya yaitu : 1. Kepada Kepala Desa Blimbingsari dan Komite Pariwisata Blimbingsari agar mempertahankan segi harga yang bersaing dari daya tarik wisata lainnya dikarenakan faktor harga mempunyai nilai yang sangat berpengaruh terhadap minat wisatawan dalam mengunjungi Desa Wisata Blimbingsari. 2. Kepada Pihak yang berwenang di Desa Wisata Blimbingsari beserta seluruh anggota masyarakat agar dapat mempertahankan faktor keamanan dan kebersihan lingkungan Desa Wisata Blimbingsari agar dapat terus terjaga bahkan selalu meningkat dikarenakan faktor keamanan dan kebersihan bisa menjadi nilai tambah bagi Desa Wisata Blimbingsari. 3. Kepada Komite Pariwisata agar dapat memberikan pelayanan semaksimal mungkin terhadap wisatawan yang berkunjung ke Desa Wisata Blimbingsari. 4. Kepada Seluruh anggota masyarakat Desa Wisata Blimbingsari agar dapat tetap mempertahankan keramahan dalam bersosialisasi kepada wisatawan yang berkunjung.

DAFTAR PUSTAKA

Adisasmita, H.R. 2010 Pembangunan dan Tata Ruang.Yogyakarta : Graha Ilmu

Ayub, I Ketut Suyaga.1999. Sejarah Gereja Bali Dalam Tahap Permulaan. Malang: Departemen Literatur YPPII

118

Ayub, I Ketut Suyaga. 2014. Blimbingsari The Promised Land.Yogyakarta: Andi.

Bagyono. 2012. Pariwisata dan Perhotelan. Bandung: Penerbit Alfabeta.

Bukart dan Medlik.Pengembangan Pariwisata. Jakarta : Gramedia Pustaka

Damardjati, RS. 2001. Istilah – Istilah Dunia Pariwisata. Jakarta : Pradnya Paramita.

Dharmawan. 2007. Anatomi Pariwisata. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Handoko, T.Hani.2002. Manajemen ; Edisi Kedua, Cetakan ketigabelas. Yogyakarta : BPFE

Hidayat Wahyu. 2011. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kunjungan Wisata Ditaman Nasioal Way Kembas Di Provinsi Lampung. Tesis. Fakultas Ekonomi. Universitas Indonesia. Jakarta.

Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran, Jilid 1 dan 2. Jakarta : PT. Indeks. Kelompok Gramedia. Irawan.Hanadi.

Liem An Nie. 2007. Faktor-Faktor Yang Menjadi Pertimbangan Wisatawan Untuk Mengunjungi Obyek Wisata Tanah Lot Di Desa Adat Beraban-Kediri-Tabanan. STIM Dhyana Pura

Mubyarto, dkk. 1996. Membahas Pembangunan Desa. Yogyakarta: Aditya Media.

Muljadi, A.J. 2012.Kepariwisataan dan Perjalanan.Cetakan Ke-3. Jakarta: Rajagrafindo Persada.

Musanef.2000. Manajemen Pariwisata Indonesia. Rieke Cipta. Jakarta

Musanef. 2002. Manajemen Usaha Pariwisata di Indonesia.Jakarta. P.T. Toko Gunung Agung

Nitisusastro, Mulyadi.2012. Perilaku Konsumen. Jakarta : CV. Alvabeta Pendit, Nyoman S. 2003. Ilmu Pariwisata, Sebuah Pengantar Perdana.Jakarta : Pradnya Paramita

Pitana, I. Gede dan Surya Diarta, I Ketut. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset.

Putri, Yuniari Eka, I Gusti Ayu. Faktor-Faktor Yang Dipertimbangkan Wisatawan Domestik Berkunjung Ke Pantai Pandawa Kuta Selatan Nusa Dua. Skripsi Universitas Dhyana Pura.

Santoso, Singgih dan Fandy Tjiptono. 2000. Konsep dan Aplikasi dengan SPSS. Jakarta: Gramedia.

Soekadijo. 2000. Anatomi Pariwisata. Jakarta : Gramedia.

Suwantoro, G. 1997. Dasar-Dasar Pariwisata.Penerbit Andi. Yogyakarta.

Suparjan dan Hempri Suyatno.2003. Pengembangan Masyarakat dari pembangunan sampai Pemberdayaan. Yogyakarta: Aditya Media.

Yoeti, Oka A. 2000. Pengantar Ilmu pariwisata.Edisi Bandung.

119

FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MOTIVASI WISATAWAN MANCANEGARA DALAM PEMILIHAN MODA TRANSPORTASI WISATA DI BALI

Ni Gusti Ayu Susrami Dewi1), Luh Gede Leli Kusuma Dewi2) Prodi. S1 Industri Perjalanan Wisata, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana12 Jl. DR. Goris No. 7 Denpasar. Telp/Fax. +62361-223798 Email: [email protected], [email protected]

Abstrak

Transportasi menjadi salah satu permasalahan dari tiga permasalahan utama yang dihadapi Bali sebagai suatu destinasi wisata. Kurangnya ketersediaan transportasi umum dan ukuran jalan yang sempit menyebabkan wisatawan mancanegara harus mempertimbangkan beberapa faktor dalam pemilihan jenis moda transportasi wisata yang digunakan. Oleh karena itu, ingin diketahui tiga faktor pendorong dan penarik dominan yang mempengaruhi motivasi wisatawan mancanegara dalam pemilihan moda transportasi wisata di Bali. Teknik pengumpulan data yang digunakan antara lain: observasi, penyebaran masing-masing 50 kuesioner pada empat lokasi (Ubud, Kintamani, Sanur, dan Kuta), studi pustaka, serta dokumentasi. Teknik analisis data menggunakan teknik deskriptif kualitatif. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa tiga faktor pendorong (push factor) yang dominan yakni indikator 1) kenyamanan dalam penggunaan sebesar 43%, 2) alternative rute yang akan digunakan sebesar 33%, dan 3) daya tarik wisata yang dituju sebesar 28%. Berdasarkan pada faktor penarik (pull factor) tiga faktor yang mendominasi antara lain: 1) jarak dari akomodasi menuju daya tarik wisata sebesar 44%, 2) lamanya perjalanan menuju daya tarik wisata dan biaya yang dikeluarkan memperoleh persentase yang sama yakni sebesar 36%, 3) ketersediaan/kemudahan dalam memperolehnya sebesar 35%.

KataKunci: Faktor Penarik, Faktor Pendorong, Motivasi, Moda Transportasi Wisata, Wisatawan Mancanegara

Abstract

Transportation has been one of three problems that faced by Bali as a main tourist destination. The lack of public transport avialibility and narrow road made foreign tourist had to consider some factors in choosing their transportation. The aims of this article are to analysis three dominant factors that influence the motivation of foreign tourist in choosing type of their tourist transportation in Bali. Data collecting technique used were observation; questioners divided 50 questioners in each location (Ubud, Kintamani, Sanur, and Kuta). Data analyzing technique which used in this article is qualitative descriptive. Result shows that there were three dominant factors that influence foreign tourist motivation in push factors: 1) the comfort in used (43%); 2) the alternative route that choose (33%), and 3) tourist destination their visit (28%). Based on the other factor in foreign tourist motivation in pull factors three dominant factors: 1) distance from accommodation to tourist destination (44%), 2) time that needed to reach the tourist destination and price (36%), 3) the availability of the transportation (35%). Conclusions of this article are three factors in push factors that matter by the foreign tourist are comfortableness, alternative routes, tourist destination that liked to visit and in the other side there are three factors in pull factors that consider by the foreign tourist in choosing transportation are distance, time and price, and the availability of the transportation.

Key words: Push Factors, Pull Factors, Motivation, Tourist Transportation, Foreign Tourist

120

1. PENDAHULUAN Bali merupakan salah satu destinasi wisata favorit dunia. Sebagai salah satu destinasi wisata favorit, sudah menjadi keharusan bagi Bali untuk menyediakan sarana dan prasarana wisata yang memadai sehingga dapat memberikan kenyamanan dan kelancaran aktivitas wisata bagi wisatawan. Namun terdapat tiga hal yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang dihadapi oleh Bali. Salah satu permasalahan tersebut adalah transportasi. Seperti dilansir pada media online Tribunenews.com tertanggal 06 Januari 2016 dalam tulisan yang berjudul “Tiga Keluhan Yang Sering Disampaikan Wisatawan Mengenai Pariwisata Bali” Gubernur Bali I Made Mangku Pastika mengungkapkan bahwa salah satu dari tiga keluhan wisatawan yang berlibur di Bali adalah kemacetan. Beliau juga menyatakan bahwa kemacetan itu terjadi dikarenakan pertumbuhan kendaraan yang tidak sebanding dengan pertumbuhan jalan di Bali (www.tribunenews.com). Selain itu, minimnya informasi mengenai pelayanan transportasi wisata, ruas jalan yang sempit juga menjadi beberapa faktor yang mempengaruhi ketidaknyamanan wisatawan dalam menggunakan transportasi di Bali. Banyaknya permasalahan yang timbul pada aspek transportasi di Bali secara tidak langsung berdampak pada wisatawan dalam berwisata. Dampak yang nyata adalah wisatawan harus mempertimbangkan banyak hal khususnya dalam pemilihan moda transportasi untuk berwisata sehingga nantinya wisatawan merasa aman dan nyaman selama berwisata di Bali. Dalam melakukan pemilihan moda transportasi yang akan digunakan oleh wisatawan mancanegara (wisman) untuk berwisata tentunya didasarkan pada beberapa pertimbangan, maka menarik untuk mengetahui faktor- faktor tersebut. Terdapat beberapa tulisan terdahulu mengenai pemilihan moda transportasi seperti yang dilakukan Widiarta (2010), Djakfar dkk. (2010), pada tulisan tersebut penulis lebih menekankan pada pemilihan transportasi umum yang digunakan untuk kegiatan sehari-hari seperti perjalanan kerja dan menuju kampus. Namun pada artikel ini akan lebih ditekankan pada kegiatan berwisata yang dilakukan oleh wisatawan mancanegara khususnya pada faktor-faktor yang menjadi pertimbangan wisman dalam pemilihan moda transportasi wisata mereka didasarkan atas motivasi. Pada tulisan ini akan menganalisis mengenai tiga faktor yang dominan memotivasi wisatawan mancanegara baik pada dimensi push factor dan pull factor.

2. METODE PENELITIAN

Terdapat empat daya tarik wisata yang dijadikan lokasi penyebaran kuesioner. Adapun lokasi tersebut antara lain: Ubud, Kintamani, Sanur, dan Kuta. Lokasi-lokasi ini dipilih untuk dapat mewakili topografi dari masing-masing daya tarik yang dimiliki Bali. Berdasarkan pada topografi dari masing- masing lokasi, Ubud dimasukkan pada kategori topografi dataran dengan kepadatan lalu lintas yang cukup padat, sedangkan untuk Kintamani mewakili topografi dataran tinggi atau pegunungan sedangkan untuk Sanur dan Kuta mewakili kawasan pesisir pantai. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, studi pustaka dan, penyebaran kuesioner dengan teknik quota sampling dengan menetapkan sebanyak 200 buah kuesioner yang disebarkan dengan jumlah pembagian yang sama rata pada setiap daya tarik wisata, yakni sebanyak 50 buah kuesioner per daya tarik wisata. Metode analisis yang digunakan adalah metode analisis deskriptif kualitatif-kuantitatif dengan bantuan perhitungan persentase sederhana.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN 3.1 Hasil Sebelum penyajian hasil mengenai tiga faktor dominan yang mempengaruhi wisman dalam pemilihan moda transportasi wisata di Bali, maka akan ditampilkan terlebih dahulu mengenai karakteristik wisman yang menjadi responden. Adapun untuk karakteristik wisman akan dibagi ke

121

dalam dua kategori berdasarkan pada konsep yang dikemukakan oleh Seaton and Bennet (1996), yakni kategori trip descriptor dan tourist descriptor.

Tabel 1. Karaktersitik Wisman Berdasarkan Trip Descriptor TRIP DESCRIPTOR 1. Frekuensi kunjungan ke a. 1 kali 79% Bali b. 2-3 kali 11% c. > 3 kali 10% 2. Lama tinggal di Bali a. 1-2 hari 1% b. 3-4 hari 4% c. > 4 hari 95% 3. Jenis akomodasi a. Hotel 4* – 5* 41% b. Hotel 2* - 3* 14% c. Hotel non bintang 10% d. Homestay 6% e. Rumah kolega 27% f. Lainnya 2% 4. Lokasi akomodasi a. Sanur 20% b. Ubud 40% c. Kuta 29% d. Denpasar 6% e. Uluwatu, Jimbaran 10% f. Nusa Dua 6% g. Lainnya 11% 5. Perencanaan perjalanan a. Travel agent 32% b. Pribadi 68% 6. Moda transportasi A. Operator mengunjungi daya tarik a. Travel agent 18% wisata b. Sewa 65% c. Umum 4% d. Online 2% e. Kaki 11% B. Tipe Moda Transportasi a. Transportasi berat 0% b. Transportasi ringan 62% c. Motor 21% d. Tidak bermotor 5,5% e. Berjalan kaki 11,5% Sumber : Data yang telah diolah, 2017

Berdasarkan pada Tabel 1, maka karakteristik wisman yang menjadi responden berdasarkan pada kategori Trip Descriptor didominasi oleh wisman yang baru pertama kali berkunjung ke Bali atau first timer dengan persentase sebesar 79%, dengan lama tinggal > 4 hari yaitu sebesar 95%, jenis akomodasi yang digunakan sebagian besar adalah hotel bintang 4* - 5* dengan persentase sebesar 41%, dengan lokasi akomodasi terbanyak berada di Ubud sebesar 40%, melakukan perencanaan wisata secara individual sebesar 68%, dan menggunakan moda transportasi wisata dari segi operator

122

didominasi menggunakan transportasi sewa sebesar 65% dengan jenis moda transportasi berupa transportasi ringan/kecil dalam hal ini mobil sebesar 62%. Sedangkan untuk karakteristik wisman berdasarkan pada tourist descriptor dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Karakteristik Wisman Berdasarkan pada Tourist Descriptor No Dimensi Pilihan Jumlah Persentase 1. Umur a. 15-24 61 30,5% b. 25-44 97 48,5% c. 45-65 38 19% d. > 65 4 2% 2. Asal negara a. Australia 13 6% b. Eropa 112 56% c. Asia 48 24% d. UAE 3 2% e. Lainnya 24 12% 3. Jenis kelamin a. Laki-laki 105 53% b. Perempuan 95 47% 4. Status a. Belum Menikah 112 56% b. Menikah 88 44% 5. Pendidikan terakhir a. D1-D3 35 18% b. S1 91 45% c. S2 63 31% d. S3 7 4% e. Lainnya 4 2% 6. Pekerjaan a. Pelajar 57 32% b. Pegawai Negeri 14 6% c. Profesional 124 60% d. Lainnya 3 2% 7. Pendapatan a. < USD 75 40 20% b. USD 75 -225 35 18% c. > USD 225 119 59% d. Lainnya 6 3% Sumber: Data yang telah diolah, 2017

Berdasarkan pada Tabel 2, diketahui bahwa karakteristik wisman berdasarkan pada tourist descriptor didominasi oleh wisman yang berusia 25–44 tahun dengan persentase sebesar 48,5%, sedangkan untuk asal negara sebagian besar berasal dari Eropa sebesar 56%, untuk jenis kelamin didominasi pria sebanyak 53%, dengan status belum menikah sebesar 56%, pendidikan terakhir adalah S1 sebesar 45%, memiliki pekerjaan sebagai profesional sebanyak 60% dengan pendapatan > USD 225 sebanyak 59%.

3.2 Pembahasan Keputusan seseorang untuk melakukan perjalanan wisata dipengaruhi oleh kuatnya faktor- faktor pendorong (push factor) dan faktor-faktor penarik (pull factor). Faktor pendorong dan penarik ini sesungguhnya merupakan factor internal dan eksternal yang memotivasi wisatawan dalam mengambil keputusan untuk melakukan sebuah perjalanan. Faktor pendorong umumnya bersifat sosial- psikologis, atau merupakan person-spesific motivation, sedangkan faktor penarik merupakan

123

destination-spesific atributes (Richardson dan Fluker dalam Pitana dan Gayatri, 2005). Adapun untuk indikator push factor terdiri dari 6 (enam) indikator dan untuk indikator pull factors terdiri dari 10 indikator. Berikut akan diuraikan secara jelas mengenai hasil dari faktor-faktor yang mempengaruhi wisman dalam pemilihan moda transportasi wisata di Bali, baik dari dimensi push factor maupun pull factor pada Tabel 3 berikut ini.

Tabel 3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Motivasi Wisman Dalam Pemilihan Moda Transportasi Wisata di Bali NO PERNYATAAN TS KS S SS

PUSH FACTOR

Pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan 1. 6% 11% 55% 28% pada daya tarik wisata yang dituju Pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan 2. 6% 14% 55% 25% pada waktu perjalanan (pagi, siang, sore, malam) Pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada 3. 9% 15% 52% 24% jumlah keluarga/teman dalam perjalanan Pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan 4. pada kesenangan/ketertarikan terhadap jenis moda 5% 25% 45% 25% transportasi tertentu Pemilihan moda transportasi berdasarkan pada 5. pemilihan alternative rute yang digunakan menuju ke 7% 18% 42% 33% daya tarik wisata Pemilihan jenis moda transportasi didasarkan pada 6. 5% 13% 38% 44% kenyamanan dalam penggunaanya PULL FACTOR Pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan 1. pada jarak dari tempat menginap menuju ke daya tarik 2% 13% 42% 43% wisata Pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan 2. 2% 11% 51% 36% pada lamanya perjalanan menuju ke daya tarik wisata Pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan 3. 4% 15% 45% 36% pada biaya yang dikeluarkan Pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan 4. 3% 19% 43% 35% pada ketersediaan/kemudahan dalam memperolehnya Pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan 5. 4% 23% 39% 34% pada keandalan dan ketepatan waktu sampai di tujuan Pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan 6. 20% 42% 21% 17% pada kesediaan lahan dan tarif parkir Pemilihan moda transportasi yang digunakan ke daya 7. tarik wisata ini berdasarkan atas keamanan 4% 30% 44% 22% penggunaannya Pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada 8. 5% 24% 46% 25% kepadatan lalu lintas / rute menuju ke daya tarik wisata Pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada 9. topografi daya tarik wisata yang dituju 10% 30% 36% 24% (gunung,laut/pantai,perkotaan)

124

Pemilihan jenis moda transportasi didasarkan pada 10. fasilitas dan pelayanan yang dimiliki oleh jenis moda 8% 17% 47% 28% transportasi Sumber : Data yang telah diolah, 2017

Dari data yang tersaji pada Tabel 3 mengenai faktor–faktor yang mempengaruhi motivasi Wisman dalam pemilihan moda transportasi di Bali dengan mengambil empat lokasi berdasarkan topografi destinasi wisata yakni Kuta dan Sanur (daerah pesisir), Ubud (daratan) dan Kintamani (pegunungan) dapat ditarik kesimpulan bahwa dari ketiga variabel motivasi wisatawan dalam pemilihan moda transportasi di wilayah tersebut memperoleh hasil variabel Push Factor yang terbagi kedalam 6 indikator, yang pertama pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan pada daya tarik wisata yang dituju dengan hasil 55% wisatawan menyatakan setuju, 28% wisatawan menyatakan sangat setuju, 11% wisatawan menyatakan kurang setuju sedangkan sisa 6% wisatawan menyatakan tidak setuju. Untuk indikator kedua yaitu pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada waktu perjalanan (pagi, siang, sore, atau malam) dengan hasil 55% wisatawan menyatakan setuju, 25% wisman yang menyatakan sangat setuju dan 14% wisatawan menyatakan kurang setuju. Adapun wisman yang menyatakan tidak setuju ialah sebesar 6%. Indikator ketiga dengan pernyataan pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada jumlah keluarga atau teman dalam perjalanan dengan hasil 52% wisman menyatakan setuju, 24% wisman menyatakan sangat setuju dan 15% wisman menyatakan kurang setuju. Sedangkan wisman yang menyatakan tidak setuju ialah sebesar 9%. Indikator selanjutnya pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada kesenangan ataupun ketertarikan terhadap jenis moda transportasi tertentu. Indikator tersebut memperoleh hasil yaitu 45% wisman menyatakan setuju, 25% wisman menyatakan sangat setuju dan 25% wisman menyatakan kurang setuju. Sedangkan wisman yang menyatakan tidak setuju ialah 5%. Selanjutnya pernyataan bahwa pemilihan moda transportasi berdasarkan pada pemilihan alternative rute yang digunakan menuju ke daya tarik memperoleh hasil bahwa 42% wisman menyatakan setuju, 33% wisman menyatakan sangat setuju, 4% wisman menyatakan kurang setuju dan sisanya ialah 2% menyatakan tidak setuju. Indikator keenam yaitu pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada kenyamanan dengan hasil 44% wisman menyatakan sangat setuju, 38% wisman menyatakan setuju dan 14% wisman menyatakan kurang setuju. Sedangkan wisman yang menyatakan kurang setuju ialah 13% dan sisanya memilih tidak setuju dengan presentase 5%. Berdasarkan pada hasil data yang tersaji pada Tabel 3 di atas, untuk dimensi pull factors dibagi ke dalam sepuluh indikator. Untuk indikator pertama pada dimensi pull factor ialah pemilihan jenis moda transportasi wisata didasarkan pada jarak dari tempat menginap menuju daya tarik wisata diperoleh hasil bahwa 43% wisman menyatakan sangat setuju, 42% wisman menyatakan setuju, 13% wisman menyatakan kurang setuju dan 2% wisman menyatakan tidak setuju. Sementara untuk indikator pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada lamanya perjalanan menuju ke daya tarik wisata dengan hasil bahwa 51% wisman menyatakan setuju, 36% wisman menyatakan sangat setuju, 11% wisman menyatakan kurang setuju dan 2% wisman menyatkan tidak setuju. Indikator ketiga pada pull factor yaitu pemilihan jenis moda transportasi didasarkan pada jenis biaya yang dikeluarkan. Dari penilaian terhadap 200 responden yang tersebar di beberapa wilayah Bali diperoleh hasil bahwa 45% wisman menyatakan setuju, 36% menyatakan sangat setuju, 15% menyatakan kurang setuju dan sisanya sebesar 4% memilih tidak setuju Sementara untuk indikator pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada ketersediaan atau kemudahan dalam memperolehnya dengan hasil bahwa 43% wisman menyatakan setuju, 35% wisman menyatakan sangat setuju,19% wisman menyatakan kurang setuju dan 3% wisman menyatakan tidak setuju. Selanjutnya yaitu indikator pemilihan jenis moda transportasi didasarkan pada keandalan dan ketepatan waktu sampai di tujuan dengan hasil bahwa 39% wisman menyatakan setuju, 34% wisman menyatakan sangat setuju, 23% wisman menyatakan kurang setuju dan 4% menyatakan tidak setuju. Indikator keenam indikator pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada ketersediaan lahan dan tarif parkir dengan hasil

125

bahwa 42% wisman menyatakan kurang setuju, 21% wisatawan menyatakan setuju, 17% wisatawan menyatakan sangat setuju dan sisanya 20% menyatakan sangat setuju. Selanjutnya mengenai pernyataan bahwa pemilihan moda transportasi wisata yang digunakan ke daya tarik wisata ini didasarkan pada keamanan penggunaannya dengan hasil 44% wisman menyatakan setuju, 30% wisman menyatakan kurang setuju dan 22% wisman menyatakan sangat setuju. Sedangkan wisman yang menyatakan tidak setuju ialah 4%. Sementara untuk indikator pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada kepadatan lalu lintas menuju ke daya tarik wisata dengan hasil bahwa 46% wisman menyatakan setuju, 25% wisman menyatakan sangat setuju, 24% wisman menyatakan kurang setuju dan wisatawan yang menyatakan tidak setuju ialah 5%. Indikator selanjutnya ialah pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada topografi daya tarik wisata yang dituju dengan hasil bahwa 36% wisatawan menyatakan setuju, 30% wisatawan menyatakan kurang setuju, 24% wisman menyatakan sangatsetuju dan sisanya 10% menyatakan tidak setuju. Sementara untuk pernyataan pemilihan moda transportasi wisata didasarkan pada fasilitas dan pelayanan yang dimiliki oleh jenis moda transpotasi dengan hasil bahwa 47% wisman menyatakan setuju, 28% wisman menyatakan sangat setuju, 17% wisman menyatakan kurang setuju dan sisanya 8% menyatakan tidak setuju. Berdasarkan pada hasil data yang diperoleh, dari dimensi push factors, tiga faktor yang dominan menjadi faktor yang mempengaruhi wisman dalam pemilihan moda transportasi berdasarkan jumlah persentase terbesar pada kategori sikap sangat setuju terletak pada tiga indikator yakni: 1) Pemilihan jenis moda transportasi didasarkan pada kenyamanan dalam penggunaanya sebesar 43%, 2) alternative rute yang akan digunakan sebesar 33% dan 3) daya tarik wisata yang dituju sebesar 28%. Berdasarkan pada faktor penarik (pull factors) tiga faktor yang mendominasi antara lain: 1) jarak dari akomodasi menuju daya tarik wisata sebesar 44%, 2) lamanya perjalanan menuju daya tarik wisata dan biaya yang dikeluarkan memperoleh persentase yang sama yakni sebesar 36%, 3) ketersediaan/kemudahan dalam memperolehnya sebesar 35%. Apabila dianalisis lebih lanjut, maka data ini menunjukkan bahwa kenyamanan dalam berkendara menjadi faktor pendorong (push factors) terpenting bagi wisman yang dapat mempengaruhi keputusan mereka untuk menggunakan salah satu moda transportasi wisata selama berwisata di Bali. Jika kita kaitkan dengan karaktersitik wisman yang menjadi responden, maka dapat disimpulkan bahwa wisman first timer yang berkunjung ke Bali lebih memilih untuk menggunakan moda trasnportasi ringan (mobil) dalam melakukan perjalanan wisata disebabkan oleh kenyamanan dalam penggunaannya. Kemacetan lalu lintas dan udara yang cukup panas membuat mereka memutuskan untuk menggunakan mobil sebagai moda transportasi yang mereka gunakan, yang mana faktor utamanya adalah mencari kenyamanan selama perjalanan. Masih dalam dimensi push factors, indikator kedua yang menjadi faktor penting bagi wisman dalam memilih moda transportasi wisata di Bali adalah alternative rute yang akan digunakan untuk mencapai suatu destinasi atau daya tarik wisata yang diinginkan. Untuk mencapai suatu destinasi atau daya tarik wisata, tidak hanya terpaku pada jalur-jalur umum yang sudah terbiasa digunakan, namun tidak menutup kemungkinan bagi wisman untuk menempuh jalur baru dalam perjalanan ke suatu destinasi atau daya tarik wisata. Berdasarkan pada karakteristik wisman pada dimensi trip descriptor, dari data yang menunjukkan bahwa didominasi oleh penggunaan moda transportasi dengan operator sewa. Jika dikaitkan dengan hasil wawancara terhadap beberapa wisman yang menggunakan moda transportasi sewa mobil dengan sopir, dikatakan bahwa menyewa mobil dan sopir selama di Bali memberikan mereka beberapa keuntungan, salah satunya mereka dapat mengetahui rute-rute baru menuju suatu destinasi sesuai dengan saran dari sopir yang mengantarkan mereka. Biasanya rute-rute yang dipilihkan disesuaikan dengan keinginan dari wisman dan menghindari kemacetan. Faktor pendorong ketiga yang mendominasi wisman dalam memilih moda trasnportasi wisata selama berlibur di Bali pada dimensi push factor adalah faktor daya tarik wisata yang ingin dituju. Pemilihan daya tarik wisata yang ingin dikunjungi juga menjadi pertimbangan ketiga yang mempengaruhi wisman dalam memilih jenis moda transportasi yang digunakan.

126

Faktor pendorong (pull factors) merupakan faktor yang berasal dari luar diri wisman, yang jika dikaitkan dengan tulisan ini maka faktor ini berasal dari moda transportasi wisata itu sendiri. Adapun dari sepuluh indikator yang ada dalam dimensi ini, terdapat tiga faktor utama yang berpengaruh bagi wisman untuk menentukan pilihan mereka terhadap salah satu jenis moda transportasi yakni 1) jarak dari akomodasi menuju ke daya tarik wisata yang ingin dikunjungi, 2) lamanya perjalanan menuju daya tarik wisata dan biaya yang dikeluarkan memperoleh persentase yang sama yakni sebesar, 3) ketersediaan / kemudahan dalam memperolehnya. Indikator faktor yang menjadi paling dominan dalam dimensi pull factor ini terletak pada indikator jarak. Jarak menjadi faktor terpenting yang dipertimbangkan oleh wisman dalam memilih jenis moda transportasi yang akan digunakan untuk berwisata. Hal ini dapat diperkuat dengan hasil wawancara dengan beberapa wisman yang ditemui dilokasi yang menyatakan bahwa, jarak yang jauh ataupun dekat akan sangat menentukan jenis moda transportasi yang mereka pilih. Jika jarak dari akomodasi menuju daya tarik wisata yang dituju cukup dekat, maka mereka lebih memilih untuk menggunakan transportasi motor ataupun sepeda bahkan berjalan kaki. Indikator faktor penarik (pull factors) kedua yang menjadi faktor yang mempengaruhi pemilihan moda transportasi wisata wisman di Bali adalah lamanya perjalanan menuju daya tarik wisata yang akan dikunjungi. Hal ini disebabkan karena lamanya perjalanan menuju suatu daya tarik wisata juga dapat berpengaruh pada waktu lamanya wisman berada di atas kendaraan. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke tempat tujuan juga akan berpengaruh pada biaya yang akan dikeluarkan terutama pada bahan bakar yang akan dihabiskan. Indikator faktor penarik (pull factors) ketiga yang menjadi faktor yang mempengaruhi wisman dalam memilih moda transportasi yang akan digunakan adalah ketersediaan atau kemudahan dalam memperolehnya. Ketersediaan atau kemudahan bagi wisman dalam memperoleh transportasi menjadi salah satu dari tiga faktor utama yang menjadi pertimbangan wisman dalam memilih jenis moda. Seperti yang diungkapkan oleh beberapa wisman yang diwawancara, menyatakan bahwa memilih untuk menggunakan transportasi mobil sewa berbasis aplikasi atau online dikarenakan kemudahan dalam memperolehnya. Selain itu, dominasi pemilihan moda transportasi ringan yakni berjenis mobil dengan operator sewa oleh wisman selama berwisata di Bali disebabkan pula kemudahan dalam perolehannya, hal ini disebabkan hampir di setiap Tourist Information Center (TIC) yang tersebar di seluruh Bali, menyediakan informasi mengenai penyewaan mobil atau yang disebut dengan rent car.

4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tiga faktor pendorong (push factors) yang dominan yakni indikator 1) kenyamanan dalam penggunaan sebesar 43%, 2) alternative rute yang akan digunakan sebesar 33%, dan 3) daya tarik wisata yang dituju sebesar 28%. 2. Tiga faktor penarik (pull factors) antara lain: 1) jarak dari akomodasi menuju daya tarik wisata sebesar 44%, 2) lamanya perjalanan menuju daya tarik wisata dan biaya yang dikeluarkan memperoleh persentase yang sama yakni sebesar 36%, 3) ketersediaan/kemudahan dalam memperolehnya sebesar 35%.

Ucapan Terima Kasih Melalui artikel ini kami ingin menyampaikan ucapan terima kasih, atas dukungan moral dan material kepada kami guna penyelesaian artikel ini yaitu: 1. Tuhan Yang Maha Esa/Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menganugerahkan kesehatan kepada kami guna menyelesaikan artikel ini, 2. Keluarga kami yang telah dengan sabar memberikan dukungan moral dalam penyelesaian artikel ini,

127

3. Civitas akademika Fakultas Parwisata, Universitas Udayana atas dukungan berupa ide-ide dalam diskusi guna penyempurnaan artikel ini, 4. Seluruh responden atas kerelaannya memberikan informasi kepada kami yang dapat kami tampilkan dalam artikel ini, 5. Serta seluruh panitia CFP yang telah memberikan kesempatan kepada kami untuk menampilkan tulisan ini.

DAFTAR PUSTAKA Djakfar, Ludfi, Amelia Kusuma Indriastuti, Akhmad Sya‟ban Nasution. 2010. “Studi Karakteristik Dan Model Pemilihan Moda Angkutan Mahasiswa Menuju Kampus (Sepeda Motor atau Angkutan Umum)”, Jurnal Rekayasa Sipil, Vol. 4, No. 1, Hal. 37-51.

Pitana, I. G. Dan P. G. Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata. Yogyakarta: Penerbit ANDI

Seaton, A.V, Bennet. 1996. Marketing Tourism Product. UK: Cengage Leaming

Widiarta. 2010. “Analisis Pemilihan Moda Transportasi Untuk Perjalanan Kerja. (Studi Kasus: Desa Dalung, Kecamaan Kuta Utara, Badung, Bali)”. Jurnal Ilmiah Teknik Sipil, Vol 14, No. 2, Hal. 218-226

Artikel Website http://www.tribunnews.com/travel/2016/01/06/tiga-keluhan-yang-paling-sering-disampaikan- wisatawan-soal-pariwisata-bali (diakses pada Rabu, 1 Febuari 2017, pkl. 20.00 WITA)

128

MEMBANGKITKAN SENI-BUDAYA DAN WIRAUSAHA RAKYAT DI DAERAH PARIWISATA (Studi Kasus Peran LPD Desa Adat Kuta dan Kerobokan)

A.A Ngurah Gede Sadiartha Dosen Fakultas Ekonomi, Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar Email: [email protected]

Abstract

Developing the village community is one of the government's priority programs. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) as a financial institution belonging to pakraman village proved effective in supporting the empowerment of rural community in Bali. This paper discusses the existence of LPD Desa Adat Kerobokan and Kuta, and its work in generating arts and culture and entrepreneurship of local villagers. This paper was the result of qualitative research with data obtained from observation, documentation study and interview with 12 informants, ie community leaders, LPD credit recipients, practitioners and observers of LPD. Data analysis was done descriptively qualitative- interpretive by applying economic management theory and social practice theory (Bourdieu). The results showed that the asset and profit LPD Desa Adat Kerobokan was established in 1991 and LPD Desa adat Kuta which was established in 1995 continues to grow. The support of development funds (20%) and social funds (5%) of the two LPDs' profits are capable of generating art and culture of the local village community. In addition, LPD credit disbursement has also grown local entrepreneurial activities. The role of LPDs that empower villagers in the center of tourism needs to be maintained and developed. Keywords: art-culture, entrepreneurship, tourism, LPD

Abstrak

Membangun perekonomian masyarakat Desa merupakan salah satu prioritas program pemerintah. Lembaga Perkreditan Desa (LPD) sebagai lembaga keuangan milik desa pakraman terbukti efektf dalam mendukung pemberdayaan masyarakat desa di Bali. Karya ilmiah ini membahas keberadaan LPD Desa Adat Kerobokan dan Kuta serta kiprahnya dalam membangkitkan seni-budaya dan wirausaha masyarakat desa setempat. Makalah ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang datanya diperoleh dari hasil observasi, studi dokumentasi dan wawancara dengan 12 informan, yakni pemuka masyarakat, penerima kredit LPD, praktisi dan pemerhati LPD. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif-intepretatif dengan menerapkan teori manajemen ekonomi dan teori praktik sosial (Bourdieu). Hasil penelitian menunjukkan bahwa asset dan laba LPD desa adat Kerobokan yang didirikan tahun 1991 dan LPD Desa adat Kuta yang didirikan pada tahun 1995 terus berkembang. Dukungan dana pembangunan (20%) dan dana sosial (5%) keuntungan kedua LPD tersebut mampu membankitkan seni-budaya masyarkat desa setempat. Selain itu kucuran kredit LPD juga telah menumbuhkan kegiatan wirausaha masyarakat setempat. Peran LPD yang memberdayakan masyarakat desa di pusat pariwisata ini perlu dipertahankan dan dikembangkan. Kata Kunci: seni-budaya, wirausaha, Pariwisata, LPD

1. PENDAHULUAN Sebagai realisasi visi pembangunan „nawa-cita‟, kehadiran negara harus mampu menyejahterakan kehidupan sosial-ekonomi masyarakatnya. Kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat desa terus ditingkatkan, antara lain dengan mengembangkan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). LKM yang dikembangkan pemerintah sejak tahun 1990 bertujuan untuk membangkitkan usaha masyarakat yang berpenghasilan rendah. LKM merupakan sebuah kesatuan dari tata kelola yang dibuat sesuai dengan lingkungan sosial dan ekonomi lokal. Masyarakat pedesaan yang belum tersentuh bank umum

129

komersial bisa dilayani melalui lembaga keuangan yang memiliki aturan-aturan tidak rumit serta mekanisme penyimpanan dan peminjaman kredit yang sederhana (Arsyad, 2008). Dalam upaya peningkatan kesejahteraan masyarakatnya, berbagai daerah di Indonesia telah mengembangkan lembaga keuangan tradisionalnya. Diantaranya adalah Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah yang didirikan tahun 1970, serta Lembaga Perkreditan Kecamatan (LPK) Jawa Barat dan Lumbung Pitih Nagari (LPN) Sumatra Barat yang keduanya didirikan Tahun 1972 (Arsyad 2008: 72), serta Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali yang didirikan tahun 1984. Pengembangan lembaga di daerah lain seperti BKK di Jawa Tengah dan LPK di Jawa Barat didasari oleh kebijakan pemerintah pusat, yakni SKB tiga menteri dan Gubernur Bank Indonesia 2009 dan Undang-undang RI Nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Hal ini berbeda dengan LPD yang pendiriannya didasari oleh Peraturan Daeran Provinsi Bali (No. 8 tahun 2012) serta kebijakan lokal (awig-awig). Sesuai dasar pendiriannya ini, maka LPD sebagai lembaga keuangan milik desa adat bersifat unik dan otonom, tidak tunduk pada kebijakan pemerintah pusat dan hanya mengacu pada kebijakan lokal yang diorientasikan untuk menguatkan kehidupan ekonomi dan sosial-budaya masyarakat adat di Bali. Selama lebih dari dari 30 tahun (sejak pendiriannya tahun 1984), LPD telah menunjukkan perkembangan yang sangat pesat, baik dari sisi jumlah maupun dari sisi perkembangan usahanya. LPD yang dicetuskan oleh Gubernur Bali, Ida Bagus Mantra sejak tahun 1980-an, kini telah berkembang dengan pesat, dari 8 unit LPD pada tahun 1985, sampai akhir tahun 2016 telah menjadi 1433 unit LPD tersebar di sebagian besar (96%) desa pakraman di Bali. Keseluruhan aset LPD se-Bali kini telah mencapai Rp 15,5 trilyun melibatkan pengurus dan karyawan LPD sebanyak 7.882 orang (LP-LPD Provinsi Bali, 2017). LPD terus tumbuh dan berkembang menjadi lembaga intermediasi, yakni sebagai pengumpul sekaligus penyalur dana masyarakat adat di Bali. Keberadaan LPD secara umum tujuannya LPD adalah untuk menyimpan dan menyalurkan dana kepada krama desa di daerah lingkup LPD tersebut. Selain itu, LPD memiliki beberapa tujuan khusus yaitu: (a) mendorong pembangunan ekonomi masyarakat desa melalui kegiatan menghimpun tabungan dan deposito dari krama desa; (b) memberantas ijon, gadai gelap, dan lain-lain; (c) menciptakan pemerataan kesempatan berusaha dan perluasan kesempatan kerja bagi krama desa; dan (d) meningkatkan daya beli dan melancarkan lalu lintas pembayaran dan peredaran uang desa (Biro Hukum Setda Prov Bali, 2010). Diantara LPD yang cukup sehat untuk mendukung kegiatan sosialekonomi masyarakat desa setempat adalah LPD Desa Adat Kerobokan dan LPD Desa Adat Kuta. Eksistensi kedua LPD ini mampu melestarikan kegiatan seni-budaya serta mampu menggairahkan wirausaha masyarakat setempat. Makalah ini membahas dua hal: Masalah yang diangkat: (1) bagaiman eksistensi Desa Adat Kerobokan dan LPD Desa Adat Kuta? (2) sejauhmana kiprak kedua LPD ini dalam membangkitkan seni-budaya dan wirausaha masyarakat desa setempat. Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian kualitatif yang datanya diperoleh dari hasil observasi, studi dokumentasi dan wawancara mendalam dengan 12 informan, yakni pemuka masyarakat, penerima kredit LPD, praktisi dan pemerhati LPD. Analisis data dilakukan secara deskriptif kualitatif-intepretatif dengan menerapkan teori manajemen ekonomi dan teori praktik sosial (Bourdieu). Hasil kajian ini diharapkan menjadi bagian dari publikasi tentang eksistensi lembaga keuangan tradisional (LPD) Desa Adat Kerobokan dan Kuta serta kiparnya dalam menggairahkan kehidupan seni-budaya dan wirausaha masyarakat desa setempat.

PENGUATAN SENI-BUDAYA KRAMA DESA SETEMPAT

Sebagaimana Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali pada umumnya, keberadaan LPD Desa Adat Kerobokan dan LPD Desa Adat Kuta telah memperkuat kehidupan sosial-ekonomi dan budaya masyarakat desa pakraman setempat. LPD Desa Adat Kerobokan didirikan pada tahun 1991 dengan pengawas internal A.A. Ngurah Bagus, selaku bendesa adat Kerobokan dan I Gst Made Suwitra selaku

130

ketua LPD Kerobokan. Modal awal LPD sebesar Rp 14.175.000,00 bersumber dari dana Pemerintah Provinsi Bali, Pemerintah Kabupaten Badung, dan Desa Adat Kerobokan. Selanjutnya, LPD Desa Adat Kuta didirikan sejak 1995, dengan penggagas I Made Wendra selaku Bendesa Adat Kuta. Pendirian LPD Desa Adat Kuta diawali dengan modal awal sebesar Rp 31.600.000,00 berasal dari Desa Adat Kuta sebesar Rp 25.000.000,00 dan bantuan Pemerintah Daerah Tingkat I Bali sebesar Rp 5.000.000,00 serta bantuan Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Badung sebesar Rp 1.600.000,00. LPD Desa Kerobokan dan LPD Desa Adat Kuta terus berkembang dan memberikan manfaat sosial, ekonomi, dan budaya pada anggotanya. Kedua LPD ini tetap eksis dan mampu bersaing dengan bank-bank komersial lainnya karena terus melakukan inovasi-inovasi untuk memberikan pelayanan yang berkualitas kepada nasabahnya. Sesuai dengan tujuan awal pendirian LPD, LPD Desa Adat Kerobogan dan Kuta terus berkembang selaran dengan kemajuan masyarakat desa pendukungnya. Melalui pemanfaatan keuntungan LPD berupa dana pembangunan (20%) dan dana sosial (5%), LPD mampu menggairahkan kehidupan adat-keagamaan krama desa setempat. Peran nyata LPD dalam memperkuat kehidupan adat dan agama antara lain tercermin dalam bantuan LPD untuk pembangunan dan pemeliharan bangunna fisik pura. Pura desa adat Kerobokan dan Pura desa desa adat Kuta memperleh dukungan dana dari LPD setempat. Contoh: LPD Desa Adat Kuta yang telah merenovasi Pura Dalem Penataran di Kuta (Gambar 1).

Gambar 1: Pura Dalem Penataran Kuta Sumber: Dokumentasi Peneliti

Area Pura Dalem Penataran yang berdiri kokoh, direnovasi pada tahun 2000. Pura ini terletak di depan Pasar Seni Kuta dekat dengan Kuta Square yang merupakan daerah pertokoan. Bantuan LPD Desa Adat Kuta selain dalam pembangunan juga meringankan biaya upacara piodalan di desa setempat.Selain, mendukung kegiatan keagamaan, dana sosial dan dana pembangunan LPD juga untuk membantu penguatan seni-budaya krama desa setempat. Di kedua desa adat (Kerobokan dan Kuta), kegiatan seni-budaya yang memperoleh bantuan LPD antara lain adalah: (a) seni gong, (b) kegiatan pesantian ibu-ibu PKK, serta (c) kegiatan olah raga yang diprakarsai oleh perkumpulan muda-mudi (sekehe teruna-teruni) desa setempat. Menurut Buda Artha, Kepala LPD Desa Adat Kuta, dukungan LPD kepada sekeha teruna-teruni berupa bantuan dana sebagai sponsor dalam kegiatan olah raga, seperti volley, ping-pong, catur. Selain untuk merangsang minat remaja terhadap olahraga, maka dalam setiap acara ulang tahun LPD Desa Adat Kuta diadakan berbagai pertandingan, salah satu diantaranya adalah pertandingan sepak bola pantai (Gambar 2). -

131

- Gambar 2: Pertandingan Sepak Bola Pantai di Pantai Kuta Dokumen : LPD Desa Adat Kuta

Keterlibatan LPD dalam menguatkan seni-budaya telah menempatkan LPD sebagai bagian dari modal budaya milik desa Adat setempat. Sesuai teori praktik sosial Bourdieu (1990), LPD telah menjadi modal budaya sekaligus sebagai modal ekonomi yang memberdayakan masyarakat Bali. LPD telah menguatkan seni-budaya dan tradisi masyarakat Hindu Bali. Berkat dukungan dana sosial dan dana pembangunan hasil keuntungan LPD, beragam seni kerajian, seni-budaya rakyat Bali (yang tergabung dalam sekaa gong, sekaa pesantian) serta kehidupan adat–keagamaan masyarkat Hindu Bali di tiap-tiap desa adat dapat dikembangkan. Keberadaan LPD dewasa ini tetap pada jati diri kediriannya, membesarkan dan menguatkan induknya, yaitu desa adat setempat yang melaksanakan Tri Hita Karana.

MEMBANGKITKAN WIRAUSAHA KRAMA DESA SETEMPAT

Eksistensi dan perkembangan LPD tercermin dengan produk dan layanan yang dikembangkan. Secara umum produk layanan LPD adalah tabungan dan deposito, kredit usaha kecil, dan layanan jasa. Beberapa produk LPD desa adat Kerobokan dan Kuta terus dikembangkan sesuai trend pelayanan perbankkan modern. Tabungan dan deposito dikembangkan sesuai haraopan masyarakat setempat. Di LPD Kuta misalnya dikembangkan beberapa produk simpanan, yaitu (a) Simpanan Desa Adat Kuta (SIDESAKU), (b) Simpanan Masa Depan (SIMADE), (c) Simpanan Cerdas Anak Sekolah (SICERDAS), (d) Taksu Punia, yakni tabungan khusus krama Desa Adat Kuta yang berfungsi sebagai dana sosial dan non profit. Pesertanya hanya satu kali menyetor tabungannya sebesar Rp 100.000,00. Manfaatnya adalah yang bersangkutan akan mendapatkan santunan dari LPD Desa Adat Kuta sebesar Rp 2.500.000,00 pada saat meninggal dunia. Konsep produk ini sesuai dengan falsafah orang Bali yakni menyama braya atau tolong- menolong, dari LPD Desa Adat Kuta kepada krama Desa Adat Kuta.

LPD Desa adat Kerobokan dan Kuta juga mengembangkan berbagai produk pinjaman (kredit) untuk usaha masyarakat desanya, termasuk Pinjaman Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) Krama LPD dan Pinjaman Program Community Base Development (CBD). Selain itu LPD juga memberikan pelayanan jasa yang amat dibutuhkan oleh nasabahnya. Diantara layanan jasa yang dikembangkan oleh LPD Desa adat Kerobokan dan Kuta adalah pembayaran listrik, telepon, pembayaran rekening air PDAM, dan pembayaran samsat kendaraan Kabupaten Badung dan Kota Denpasar, jasa fotocopy, dll. Pinjaman atau kredit yang dikucurkan kepada nasabah LPD terus meningkat seiring dengan respons positif masyarakat dalam memanfaatkan „jasa perbankan LPD‟. Dalam mengucurkan kredit, LPD Desa Adat Kerobokan dan Kuta mengacu kepada ketentuan Bank Indonesia, yakni LKM di Indonesia termasuk LPD harus mempertahankan rasio pinjaman terhadap dana yang dihimpun (loan to deposit ratio/LDR) sekitar 95 persen dan rasio kecukupan modal (CAR) minimal 10 persen untuk

132

menjamin keamanan dana masyarakat yang ditempatkan di LPD (Arsyad, 2008:159). Evaluasi terkait Loan to deposit ratio (LDR) terhadap LPD Desa Adat Kerobokan menunjukkan bahwa jumlah kredit yang diberikan pada tahun 2008 sebesar Rp.36.093.379.150,00 sedangkan simpanan berjumlah Rp.53.783.706.992,00, sehingga LDR tahun 2008 sebesar 67,11 persen, sedangkan pada tahun 2009 jumlah kredit yang diberikan sebesar Rp.48.157.705.350,00 dan jumlah simpanan sebesar Rp.63.822.836.904,00 dengan tingkat LDR sebesar 75,46 persen. Selanjutnya, jumlah kredit yang disalurkan LPD Desa Adat Kuta pada tahun 2008 sebesar Rp 91.227.039.855,00, sedangkan simpanan berjumlah Rp.125.584.909.641,00, sehingga LDR tahun 2008 sebesar 72,64 persen, sedangkan pada tahun 2009 jumlah kredit sebesar Rp.131.864.220.430,00 dan jumlah simpanan sebesar Rp.159.640.168,00 sehingga LDR tahun 2009 sebesar 82,60 persen (Sadiartha, 2016). Keberadaan LPD berdampak positif bagi pengembangan usaha masyarakat setempat, termasuk Ni Luh Putu Sri Winanti, seorang nasabah penerima kredit puluhan juta rupiah dari LPD Desa Adat Kerobokan untuk pengembangan usaha kargo. Usaha kargo yang berlokasi di Padangsambian Klod telah melayani pengiriman barang dengan daerah tujuan utama ke Australia. Usaha Winanti terus berkembang, memperkejakan sebanyak 25 orang karyawan. Ia menjadi nasabah yang loyal terhadap LPD Kerobokan seperti penuturannya berikut ini:

“Saya memilih LPD Desa Adat Kerobokan karena saya sudah kenal baik dengan pengurusnya. Tempat tingal saya dekat dengan LPD, saya lebih mudah untuk menarik dan menyetor uang. Apalagi hari sabtu LPD buka, tidak seperti bank umum sehingga saya sangat terbantu apabila kekurangan modal untuk menarik dana saya di LPD. Banyak bank umum yang menawarkan produknya kepada saya, akan tetapi saya tetap memilih LPD Desa Adat Kerobokan karena sudah sejak lama saya dibantu dan saya tetap menyimpan dan mempergunakan kredit dari LPD Kerobokan (Sadiartha, 2016).

Ungkapan Sri Winanti menggambarkan loyalitas seorang nasabah LPD. LPD dianggap cepat memberikan pelayanan pada waktu ia membutuhkan dana. Dalam waktu dua hari kredit sudah dicairkan sehingga nasabah merasa terbantu pada saat mengalamai kesulitan keuangan.Pilihan Ni Luh Putu Sri Winanti untuk memilih layanan jasa keuangan LPD ini sesuai teori praktik sosial (Bourdieu, 1990) bahwa ranah operasional LPD di desa adat memang dibutuhkan oleh masyarakat desa adat setempat. Kehadiran LPD telah dirasakan manfaatnya oleh krama desa setempat untuk mendukung pengembangan usahanya. Nasabah lainnya yang menikmati fasilitas kredit LPD Kerobokan adalah I Nyoman Sadrah Indrayana, pemilik Indra Mart yang berlokasi di Jalan Sember, Kerobokan. Pemilik Indra Mart ini telah sepuluh tahun menjadi nasabah LPD Desa Adat Kerobokan, menyerap tenaga kerja sebanyak 75 orang karyawan. Berbagai kebutuhan rumah tangga untuk konsumsi masyarakat yang dekat dan yang lewat disediakan roti, minuman kaleng, gula, kopi, pakaian dan juga alat-alat rumah tangga tersedia di mini market yang berlokasi di Banjar Semer, Kerobokan ini. Mini market ini mampu menyediakan kebutuhan pokok masyarakat di sekitarnya. Selain mendukung usaha mini market, kredit LPD Kerobokan juga mendukung usaha jasa akomodasi. I Made Ariyasa misalnya menjadi penerima kredit LPD Kerobokan yang memanfaatkan lahannya untuk apartemen lengkap dengan kolam renangnya (Gambar 3).

133

Gambar 3: Apartemen yang dibantu dari Kredit LPD Sumber: Dokumentasi Peneliti

Apartemen I Made Ariasa terdiri dari dua puluh kamar dengan sewa mencapai Rp10.000.000,00 sebulan per kamar dan Rp 450.000,00. Per hari Apartemen ini menyerap tenaga kerja sebanyak 50 orang, berasal dari warga setempat. Bangunan apartemen ini terdiri atas dua lantai, yaitu di lantai pertama terdapat sepuluh kamar dan lantai dua sepuluh kamar. Asaha kargo, mini market dan jasa akomodasi (apartemen, villa) memang bisa dikembangkan di sekitar wilayah pusat pariwisata Kuta dan kerobokan. LPD setempat turut andil mdalam meberikan pembiayaan usaha yang terkait dengan sektor pariwisata ini. Kucuran kredit LPD Desa Adat Kuta dan LPD Desa adat kerobokan telah menggairahkan wirausaha krama desa setempat. Wirausaha ekonomi yang dikembangkan masyarakat Desa adat Kuta dan Kerobokan antara lain diwujudkan dengan membuka toko seni, warung sembako, toko asesoris, souvenir, pedagang kaki lima dan berjualan di kios-kios pasar-pasar tradisional. Dua pasar tradisional yang didukung LPD adalah pasar Seni Kuta, Kecamatan Kuta dan krama Desa Adat Kerobokan yang berjualan di Pasar Taman Sari, Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara Kabupten Badung. Kedua pasar tradisional di pusat aktivitas pariwisata Kuta ini memang dikelola oleh desa adat setempat. Para pedagang yang berjualan di Pasar Taman Sari Kerobokan mendapatlan modal usaha dari LPD Desa Adat Kerobakan, sedangkan ratusan pedagang di Pasar Seni Kuta mendapatkan dukungan permodalan (kredit usaha) dari LPD Desa Adat Kuta.

Gambar 4: Pasar Taman Sari Kerobokan Sumber: Dokumentasi Peneliti

Lokasi Pasar Taman Sari berada di pinggir jalan. Pasar ini milik pribadi, sehingga fasilitas kredit yang diberikan dipergunakan untuk membangun kios-kios dengan jumlah

134

kurang lebih 30 kios. Di dalam pasar terdapat rumah makan masakan Bali, dan ayam, dan beberapa masakan dari daerah Jawa. Selain itu di dalam pasar dijual pula kebutuhan rumah tangga dan jenis daging seperti ayam dan sapi. Kebutuhan tas, pakaian, serta beberapa penjual canang dari Bali ada di kelompok sisi sebelah dalam. Sebagian besar pedagang di pasar Taman Sari mejadi nasabah LPD Desa Adat Kerobokan.

Gambar 5: Pasar Seni Kuta, Sumber: Dokumentasi Peneliti

Selain itu, di wilayah Kuta terdapat Pasar Seni Kuta. Gambar 5 menunjukkan papan nama LPD Desa Adat Kuta dan pasar seni Kuta. Tulisan ini mencerminkan bahwa LPD Desa adat Kuta memang menjadi mitra potensial bagi para pedagang yang berjualan di Pasar Seni Kuta yang banyak dikunjungi para turis ini. Salah satu nasabah LPD Desa Adat kuta yang berjualan di Pasar Seni Kuta adalah Ni Nyoman Ariani, 42 tahun. Ia telah menjadi nasabah LPD Desa Adat Kuta lebih dari 10 tahun. Ia bersama teman-teman pedagang di Pasar Seni Kuta lainnya memperoleh kredit dari LPD Desa adat Kuta. Ia merasa terlayani karena bisa menabung tiap hari kepada petugas LPD yang datang tiap hari ke kiosnya, seperti uangkapannya sebagai berikut:

“Saya dilayani dengan baik karena petugas LPD Kuta datang menjemput tabungan. Rata-rata saya menabung Rp 50.000,00-Rp 100.000,00 per hari. Sebagian tabungan yang saya setorkan, dipergunakan untuk membayar kredit pada akhir bulan. Tanpa terasa, saya selalu bisa melunasi kredit LPD yang saya pinjaman” (Sadiartha, 2016)”.

Itulah testimoni terkait pelayanan LPD Desa Adat Kuta. Ariani dan puluhan pegang di Pasar Seni Kuta lainnya bisa mengembangkan wirausahanya berkat kucuran kredit LPD desa setempat. “Budaya melayani konsumen sepenuh hati” seperti yang diterapkan oleh bank-bank komersial umum lainnya, juga diterapkan oleh LPD. LPD berperan dalam mengatasi permasalahan masyarakat desa adat di Bali. Strategi pencairan kredit LPD yang relatif cepat telah menguatkan citra postif LPD bagi krama desa setempat (Sadiartha, 2016). Pelayanan LPD telah berhasil membangun kepuasan dan loyalitas para nasabahnya. LPD telah menguatkan kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat desa adat setempat (Yoni, 2005; Sadiartha, 2016). LPD telah mampu menopang penguatan adat, budaya dan kehidupan sosial masyarakat Bali.

135

2. SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan Aset dan laba LPD desa adat Kerobokan yang didirikan tahun 1991 dan LPD Desa adat Kuta yang didirikan pada tahun 1995 terus berkembang. Dukungan dana pembangunan (20%) dan dana sosial (5%) keuntungan kedua LPD tersebut mampu membankitkan seni-budaya masyarkat desa setempat. Selain itu kucuran kredit LPD juga telah menumbuhkan kegiatan wirausaha masyarakat setempat.

Saran Peran LPD yang memberdayakan masyarakat desa di pusat pariwisata ini perlu dipertahankan dan dikembangkan.

DAFTAR PUSTAKA Arsyad, lincolin, 2008. Lembaga Keuangan Mikro Institusi, Kinerja, dan Sustanabilitas. Yogyakarta: ANDI Bourdieu, Pierre. 1990. (Habitus X Modal) + Ranah= Praktik : Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Bourdie. Bandung: Jalasutra. Sumber terjemahan An Introduktion to the work of Pierre Bourdie: The Practice Theory. Editor Richard Harker. 1990. The Macmillan Press Ltd: London. LP-LPD. 2017. Neraca Lembaga Perkreditan Desa periode 2011 – 2016. Dendawijaya, Lukman. 2005. Manajemen Perbankan, Edisi Kedua. Jakarta: Ghalia Indonesia. Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Dalam Negeri, Menteri Koperasi dan UKM, dan Gubernur Bank Indonesia, dengan Nomor: 351.1/KMK.010/2009, Nomor: 009-639 A Tahun 2009, Nomor: 01/SKB/M.KUKM/2009, dan Nomor: 11/43A/KEP.GBI/2009, tanggal 7 September 2009, tentang Strategi Pengembangan Lembaga Keuangan Mikro. Pemerintah Provinsi Bali. 2002. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 8 Tahun 2002 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2012 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Sadiartha, Anak Agung Ngurah Gede. 2016. Implementation of Tri Hita Karana - Based Organizational Culture by Lembaga Perkreditan Desa at Kuta Traditional Village. Discovery, Vol. 52, No. 252, December 1, 2016. Diakses 1 Desember 2016. Sadiartha, Anak Agung Ngurah Gede. 2016. Hegemoni dan Kontra Hegemoni Pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa. Denpasar: Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denasar. Rosyad, Soleh dkk. 2012. Pengaruh Human Relation Terhadap Prestasi Kerja Pegawai Dinas Pendapatan Dan Pengelolaan Keuangan Daerah Di Kabupaten Lebak, E-jurnal Management, Volume 1 Nomor 2, Tahun 2012, hlm., 2. Undang-Undang Pemerintah RI No. 1 Tahun 2013 tentang Lembaka Keuangan Mikro (LKM) Yoni, I Gusti Ayu. 2005. ”Peran Serta Lembaga Perkreditan Desa (LPD) Desa Parakyatn Ubung, Denpasar dalam Menunjang Kewirausahaan Nasabahnya: Perspektif Kajian Budaya” Tesis. Denpasar: Universitas Udayana. Biodata Penulis: Dr. Anak Agung Ngurah Gede Sadirtha, MSi, MM, kelahiran Denpasar pada tanggal 5 Mei 1961. Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi dan Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar. Penulis menamatkan sarjana S1 Jurusan Manajemen Perbankan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi ABI di Surabaya (1986), lulus Program Magister Manajemen Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar (2005), tamat doktor di bidang Kajian Budaya, Pascasarjana Universitas Udayana, Denpasar (2011). Sebelum menjadi akademisi, penulis juga sebagai praktisi perbankan: tenaga honorer di Dolog Bali 1986, bekerja di Bank Duta Denpasar (1989-2002), Pengajar di sekolah Kepribadian

136

John Robert Power Denpasar (2003-2007), menjadi tim penyempurnaan Peraturan Daerah Pemerintah Provinsi Bali No. 4 Tahun 2012 tentang Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Penulis aktif menjadi narasumber di berbagai petemuan lokal maupun nasional seputar masalah manajemen, Lembaga Perkreditan Desa dan budaya Bali. Karya ilmiah penulis antara lain diwujudkan dalam bentuk buku, yaitu: Hegemoni dan Kontra Hegemoni Pengelolaan Lembaga Perkreditan Desa (2016) dan Budaya Entrepreneurship Dalam Tradisi Masyarakat Hindu Bali (2016) yang diterbitkan oleh Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar; Email: [email protected]

137

PELUANG DAN TANTANGAN PENGEMBANGAN WISATA MICE DI BATAM

I Wayan Thariqy Kawakibi Pristiwasa Politeknik Pariwisata Batam, 1028098303 [email protected]

Abstract

This study aims to find the opportunity components and development of mice tourism in the form of strategic plans that can be developed to determine the challenges of mice tourism development and improve the welfare of the community. This research uses descriptive qualitative research method with reference to the concept of tourism development mice. Population in this research is in the form of social situation with the participant that is in it that is Government and perpetrator of tourism, tourist and community. Intruments in this study are observation, and interviews using model coding, interpretation and congrulation. The results of this study indicate that the development of mice tourism can bring positive and negative impacts. Positive impact can be seen in the improvement of the community's economy and also contributes to the acquisition of local revenue while negative impacts such as availability of accessibility and amenity.

Keywords: Tourism Mice, accessibility, amenity, government, stakeholder, community

1. PENDAHULUAN Pariwisata merupakan salah satu sektor utama dalam sumber penerimaan devisa Negara di Indonesia disamping minyak dan gas bumi, kelapa sawit, batu bara, dan karet olahan. Keberagaman pariwisata dimiliki oleh Indonesia, seperti wisata alam, wisata buatan, dan wisata minat khusus. Salah satunya yaitu Wisata MICE yang pada saat ini menjadi tren baru yang berbasis pada aktifitas untuk pemenuhan keinginan wisatawan secara spesifik. Wisata MICE dapat menjadi sebuah indikator kuat bagi pembangunan pariwisata di Indonesia, dalam penyelenggaraannya membutuhkan infrastruktur dan pengelolaan yang baik terutama jika event ini diadakan secara nasional maupun internasional. Pengembangan wisata mice di batam propinsi kepulauan riau masih berjalan di tempat seperti masih minimnya fasilitas dan amenitas . peluang dan tantangan menjadikan batam sebagai daerah tujuan wisata mice membuka lapangan kerja dan mempengaruhi peningkatan pendapatan daerah dan memiliki kepedulian terhadap pengembangan pariwisata ,melibatkan masyarakat local dan menjaga kelestarian budaya masyarakat setempat. Beberapa ahli mendefenisikan pengertian wisata mice adalah akronim meetings,incentives,conventions dan exhibitions ( Webber dan zhang 2012). kegiatan wisata mice melibatkan berbagai sektor seperti transportasi, perjalanan, rekreasi, akomodasi, makanan dan minuman, tempat penyelenggaraan acara ,teknologi informasi, perdagangan dan keuangan sehingga wisata mice dapat di gambarkan sebagai industri multi faset.di banyak daerah kegiatan mice di kategorikan di bawah payung industri event ( Dwyer dan mistilis 2000;getz,2008 dalam seebaluck et al,2013). Setiap istilah di dalam kegiatan wisata mice memiliki arti yang berbeda-beda walaupun kegiatan mice itu sendiri merupakan kegiatan jangka pendek yang memiliki signifikansi ekonomi yang besar bagi pariwisata ( law 1987 pearson dan mckanna dalam Hall :2003). Istilah meeting dalam mice

138

dapat didefenisikan sebagai suatu acara terstruktur yang dapat menyatukan sekumpulan orang secara kolektif untuk mendiskusikan topik yang menjadi kepentingan bersama.( seebaluck at al:2013). Menurut mair ( 2009) meting umumnya membahas masalah dengan substansi yang relatif kecil dengan jumlah delegasi dan biasanya dapat di selenggarakan di lingkungan perusahaan ,hotel atau ruang pertemuan. Meeting juga dapat di defenisikan sebagai berikut It‘s a gathering of 10 or more participants for a minimum of 4 hours in a hired venue. The term ‗meetings‘ include conventions, conferences, congresses, trade shows and exhibitions, incentive events, corporate and business meetings, and other meetings and all exclude social activities (wedding receptions, holiday parties, etc.), permanently established formal educational activities (primary, secondary or university level education), purely recreational activities (such as concerts and shows of any kind), political campaign rallies, or gatherings of consumers or would-be customers by a company for the purpose of presenting specific goods or services for sale (consumer shows), which would rather fall under the scope of retail or wholesale trade.(UNWTO dalam Seebaluck et al., 2013, p.2).

Incentives travel dalam MICE adalah kegiatan perjalanan yang semua biaya perjalanannya ditanggung oleh organisasi sehingga dapat digunakan sebagai faktor yang memotivasi karyawan untuk meningkatkan produktivitas dan kinerja dalam memenuhi tujuan yang diinginkan organisasi, seperti target penjualan (Rogers, 2003; Campiranon dan Arcodia, 2008 dalam Seebaluck et al., 2013). Istilah incentive mengacu kepada jenis perjalanan di mana sebuah perusahaan membayar karyawannya untuk bepergian, untuk menghadiri konferensi atau pameran, untuk kesenangan, sebagai penghargaan atas kinerja yang berhubungan dengan pekerjaan (Mair, 2009). Conferences merupakan elemen ketiga dari wisata MICE yang dapat diartikan sebagai suatu pertemuan partisipatif yang dirancang terutama untuk tujuan diskusi, mencari dan berbagi informasi, memecahkan masalah dan konsultasi. Conferences biasanya memiliki keterbatasan waktu dan memiliki tujuan khusus (Seebaluck et al., 2013). Conference mirip dengan meeting di mana suatu acara conference melibatkan 10 orang atau lebih selama minimal empat jam dalam satu hari atau lebih dan kegiatan conference diadakan di luar perusahaan itu sendiri (CIC, 2011 dalam Seebaluck et al., 2013). Istilah exhibitions digunakan untuk menggambarkan event yang dirancang untuk mempertemukan pemasok produk, peralatan industri dan jasa di suatu tempat di mana para peserta dapat mendemonstrasikan dan mempromosikan produk dan jasa yang mereka tawarkan (Montgomery dan Strick, 1995 dalam Hall, 2003). Exhibitions dapat berkaitan dengan perdagangan dari industri tertentu saja di mana seluruh pengunjung bekerja dalam industri terkait yang sedang dipamerkan, atau exhibitions bisa terbuka untuk umum sehingga setiap orang dapat menghadiri exhibitions tersebut (Mair, 2009). Exhibitions juga dikenal sebagai exposition karena exposition memiliki tujuan untuk mempertemukan pemasok yang berbeda di dalam suatu lingkungan di mana para suplier tersebut dapat mempromosikan produk atau jasa mereka kepada peserta exhibitions (Seebaluck et al., 2013). Fokus utama dari kegiatan ini adalah menciptakan hubungan antar bisnis – business to business relationship - baik untuk mempromosikan produk baru maupun untuk mendapatkan klien baru (Fenich, 2005; Jurisevic, 2002 dalam Seebaluck et al., 2013). Menurut ( Crouch dan Ritchie , 1998 dalam crouch dan louviere 2004) di dalam Pengembangan wisata mice terdapat faktor utama yang mempengaruhi pelaksanaan kegiatan tersebut yaitu: 1. Aksesbilitas 2. Dukungan lokal 3. Peluang kegiatan tambahan 4. Fasilitas akomodasi 5. Fasilitas rapat

139

6. Informasi 7. Keadaan lokasi 8. Kriteria lainnya

Ketersediaan faktor utama yang mempengaruhi kegiatan tersebut dapat mempengaruhi pengambilan keputusan mengenai lokasi diadakannya wisata MICE. Bahkan faktor keamanan di lokasi rapat dapat memberikan dampak yang signifikan terhadap peringkat suatu destinasi potensial untuk diselenggarakannya wisata MICE. Batam sebuah kota terbesar di Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia. Wilayah Kota Batam terdiri dari Pulau Batam, Pulau Rempang dan Pulau Galangdan pulau-pulau kecil lainnya di kawasan Selat Singapura dan Selat Malaka. memiliki Visi Pariwisata terwujudnya “Batam Sebagai Kawasan Budaya Bangun Bangsa dan Menjadi Pintu Gerbang Pariwisata Indonesia Bagian Barat ” dan memiliki Misi “ Mengembangkan Industri Pariwisata yang Berdaya Saing, Destinasi yang unggul serta pemasaran dan promosi pariwisata yang berkelanjutan ” Peluang dan tantangan pengembangan wisata mice di batam mengacu terhadap UU no 9 tahun 1990 menjelaskan bahwa wisata mice merupakan suatu kegiatan yang di selenggarakan oleh suatu badan atau lembaga tertentu dan mitra untuk membahas suatu pertemuan untuk mencapai suatu hasil dari pertemuan tersebut.

2. METODE PENELITIAN Hal yang di kaji penulis dalam penelitian ini adalah mengenai peluang dan tantangan pengembangan wisata mice di Batam. Penelitian ini di lakukan berdasarkan observasi langsung oleh peneliti langsung di lokasi objek penelitian. Sedangkan, untuk data sekunder, peneliti juga mendapatkan bantuan dari Satuan Kerja Pemerintah Daerah (SKPD) yang berkutat di masalah pariwisata yaitu Dinas Pariwisata. Wawancara, observasi, dan studi dokumentasi adalah berbagai macam cara dan metode yang digunakan oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Dalam rangka pengumpulan data sekunder maka peneliti menggunakan wawancara. Sedangkan dalam rangka pengumpulan data primer, peneliti melakukan observasi langsung dan juga melakukan studi dokumentasi selama beberapa hari di lapangan. Dalam proses ini, peneliti juga melakukan wawancara tidak terstruktur terhadap warga sekitar kawasan wisata. Pengolahan data dilakukan setelah data terkumpul. Dalam proses pengolahan data ini dilakukan proses pemilahan dan pengelompokan terhadap data yang diperoleh langsung di lapangan serta data sekunder. Hasil dari pengklasisfikasian tersebut kemudian dibuatkan ke dalam narasi data yang untuk kemudian ditarik menjadi kesimpulan. Kesimpulan ini diharapkan akan mewakili perspektif masyarakat, organisasi kelembagaan, wisatawan, dan keseluruhan stakeholder yang terpaut di kawasan tersebut.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dalam mengkaji peluang dan tantangan pengembangan wisata mice , perlu dibedakan antara elemen fisik dan non fisik. Elemen fisik yang ada dapat di kuantifikasi seperti aksesbilitas, amenitas,adapun elemen non fisik meliputi elemen yang tidak dapat di hitung pada umumnya berkaitan dengan sosial budaya masyarakat setempat yaitru cara hidup dan tata nilai dan perilaku.berikut ini adalah hasil analisis peluang dan tantangan pengembangan wisata mice:

140

Tabel 1. Peluang dan Tantangan Pengembangan Wisata Mice di Batam

ASPEK PENILAIAN KONDISI KETERSEDIAAN KELENGKAPAN PENGEMBANGAN WISATA FISIK MICE ADA TIDAK MEMADAI TIDAK BAIK TIDAK PELUANG Pemerintah V V V DAN Pelaku usaha V V V TANTANGAN Pariwisata Masyarakat V V V Wisatawan V V V AKSESBILITAS V V V

AMENITAS V V V Rekomendasi V V V

( Sumber : Hasil Pengamatan 2017 )

Berdasarkan hasil pengidentifikasian dan olah data yang dilakukan pada saat peneliti berada di lapangan, terdapat beberapa peluang dan tantangan pengembangan wisata mice di batam .Adapun Faktor yang dianalisis adalah empat buah faktor yaitu (1) Pemerintah , (2) Pelaku Pariwisata, (3) Masyarakat, dan (4) Wisatawan, ( 5) Aksesbilitas,(6) Amenitas Faktor-faktor tersebut bisa dikatakan sebagai wujud abstrak dari nilai usaha dalam rangka (1) meningkatkan daya saing dan nilai tambah bagi produk wisata daerah (kawasan destinasi wisata); (2) dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat; serta (3) mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya pariwisata. Ketiga hal ini diharapkan dapat meningkatkan dan menjadikan kawasan tersebut sebagai daerah tujuan wisata mice di batam propinsi kepulauan riau. Analisis tersebut juga menemukan bahwa faktor-faktor yang ada sebenarnya dapat ditingkatkan melalui peranan sumber daya manusia, regulasi dan mekanisme operasional yang efektif dan efisien dalam rangka mendorong terwujudnya pengembangan wisata mice sebagai daerah tujuan wisata. Hal ini juga merupakan salah satu bagian dari strategi yang dicanangkan oleh pemerintah daerah terkait dengan pengembangan kawasan pariwisata.

4. KESIMPULAN

Dari hasil temuan dan analisis peluang dan tantangan pengembangan wisata mice di kota batam secara keseluruhan dapat disimpulkan dua hal. Kesimpulan yang pertama bahwa secara umumtelah memiliki aksesbilitas terkait pengembangan wisata mice. Kesimpulan yang kedua adalah bahwa masih belum banyak amenitas terhadap penunjang kegiatan wisata mice . Sehingga secara langsung perlu di tambah amenitas dan sarana penunjang kegiatan wisata mice yang dapat memberikan kontribusi secara langsung bagi masyarakat dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Peluang dan tantangan Ke depannya dalam hal ini perlu di tambah amenitas yaitu (1) sarana conventions berstandar internasional untuk pengembangan (2) melakukan koordinasi antar lembaga kepariwisataan daerah.(3) Merencanakan konsep Pengembangan wisata mice dengan melibatkan lintas sektoral Terkait dengan peningkatan kapasitas sumber daya bisa dilakukan melalui kegiatan pelatihan dan workshop terkait wisata mice. Pelatihan bisa berbentuk pelatihan pemandu (guide) bagi para remaja dan pemuda yang ada. Selain memberikan mereka pendapatan hal ini juga bisa membantu peningkatan kualitas destinasi. Selain itu sumber daya lainnya juga perlu diperbaiki seperti peningkatan amenities bagi wisatawan.

141

Keberadaan rumah makan, perbaikan sarana berupa penanda (signage) dan juga pembuatan saran informasi lainnya bisa juga meningkatkan kualitas dari kawasan destinasi wisata.(3) Dalam rangka meningkatkan koordinasi antara lembaga kepariwisataan yang ada di kawasan ini bisa dilakukan dengan pelaksanaan berbagai aktivitas seperti melalui pembentukan focus group discussion, mendukung peran serta asosiasi pariwisata seperti Assosiasi Travel Agent, Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia, Badan Promosi Pariwisata dan Himpunan Pramuwisata Indonesia untuk pengembangan kawasan tersebut. Dengan adanya koordinasi antar lembaga yang baik bisa saja kedepannya dibuatkan satu paket perjalanan yang saling mendukung. Selain itu, dukungan tersebut bisa saja didorong dalam bentuk promosi kawasan bersama dengan destinasi lainnya di lingkungan Provinsi Kepulauan riau . Hal-hal tersebut apabila dilakukan ke depannya akan menjadi penting dalam rangka membantu sinergisitas antara stakeholder untuk meningkatkan peranan antara stakeholder di batam. Selain itu konsep pengembangan tersebut dapat didorong melalui intensifikasi dan penekanan atas keterlibatan serta peran dari berbagai institusi yang ada di dalam lingkungan destinasi seperti sekolah atau perguruan tinggi yang bercirikan kepariwisataan, perusahaan swasta dalam bentuk corporate social responsibility secara langsung bagi masyarakat dan juga melalui penyerapan atau pelatihan tenaga kerja putera daerah yang memiliki keahlian atau minat untuk bekerja di bidang pariwisata. Dus, hal-hal ini akan menjadi peningkatan yang lebih berkualitas dalam pengembangan wisata mice di batam propinsi kepulauan riau .

DAFTAR PUSTAKA

Butler, R. & Hinch, T. (2007). Tourism and Indigenous People: Issues and Implication. Amsterdam: Butterworth Heinemann. Cascante, D.M, Brennan, M.A, & Luloff, A.E. (2010). Community Agency and Sustainable Tourism Development: The Case La Fortuna of Costarica, Journal Sustainable Tourism, 18 (6), 735– 756. Cooper, C., Shoprherd, R. & Westlake, J. (1996). Educating the Educators in Tourism: A Manual of tourism and Hospitality Education. World Tourism Organization: University of Surrey Cannon, F. D. (2013). Training and Development for the Hospitality Industry. US: American Lodging Crouch dan Ritchie , (1998 dalam crouch dan louviere 2004) Convention Site Selection Research: A Review, Conceptual Model, and Propositional Framework. Journal of Convention and Exhibition Management. Vol. 1. Hal. 49-69. Damardjati, R. S. (2002). Istilah-Istilah Dunia Pariwisata. Jakarta: Pradnya Paramita Dinas Pariwisata dan Kebudayaan. (2015). Data Potensi, Kebijakan dan daya Tarik Bidang Destinasi Pariwisata Kota Batam Dodds, R. & Butler, R. (2010). Barries To Implementing Sustainable Tourism Policy in Mass Tourism Destination. Tourimos: An International Multidisplinary Journal of Tourism 5(1), Spring 2010. Pp, 35-53 Godfrey, K. & Clarke, J. (2000). The Tourism development handbook: A pratical Approach To planning and marketing. London: Continuum. Gunn, Clare A. (1988). Tourism planning. New York, US Hadinoto, K. (1996). Perencanaan Pengembangan Destinasi Pariwisata. Jakarta: UI Press. Kesrul (2004). Penyelenggaraan Operasi Perjalanan Wisata.Jakarta PT.Grasindo Mathieson, A. & Wall, G. (1982). Tourism: Economic, physical, and social impacts. Michele, H. (1999). A Christian View of Hospitality. Canada: Heral Press London and New York: Longman

142

Montgomery dan Strick, 1995 dalam Hall, 2003). Meetings, conventions, and expositions-An introduction to the industry. New York: Van Nostrand Reinhold. Pendit,Nyoman (1999).Ilmu Pariwisata,Jakarta,Akademi Pariwisata Trisakti Pitana, I. G., & Diarta, I. K. S. (2009). Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Andi. Poerwadarminta. (2002). Kamus Umum dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka (Rogers, 2003; Campiranon dan Arcodia, 2008 dalam Seebaluck et al., 2013). Soegiyono. (2009). Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Research & Development. Bandung: Alfabeta Strauch, A. (1993). The Hospitality Commands. Dallas Texas, US UU Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 Tentang Kepariwisataan UNWTO. (2013). UNWTO Tourism Highlight Edition. UNWTO

143

MENGEMBANGKAN UBUD SEBAGAI DESTINASI WISATA GASTRONOMI

Putu Sucita Yanthy1), Ni Nyoman Sri Aryanti2) DIV Pariwisata Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana12) Jl. DR. R. Goris No. 7 Denpasar, Telp / Fax (0361) 223798 Email: [email protected]

Abstrak

Penelitian ini mengkaji destinasi Ubud untuk dikembangkan sebagai destinasi Wisata Gastronomi. Sumber- sumber literatur dikumpulkan untuk menggali informasi mengenai gastronomi dan potensi Ubud. Hasil studi literatur ini menunjukkan beberapa langkah awal yang dapat dilakukan pihak terkait untuk membentuk destinasi gastronomi yaitu melakukan aktivitas gastro diplomacy dan gastro attraction. Hasil berikutnya terdapat indikator- indikator yang menjadi langkah sukses pengembangan wisata gastronomi yang diperkuat dengan indikator tokoh kuliner yang mempopulerkan makanan lokal di Ubud. Ubud sangat berpotensi menjadi wisata gastro karena memiliki kekuatan budaya. Aktivitas seperti cooking class, ragam kuliner lokal berbahan bebek, babi dan ayam. Menu beragam seperti ,nasi ayam dan babi guling yang diolah secara tradisional. Menu-menu organik kian menarik wisatawan wisata gastronomi yang diperkenalkan Ubud dikaitkan dengan sejarah, asal makanan dan menekankan Bumi Seni adalah kunci sukses pengembangan wisata gastronomi di Ubud.

Kata Kunci: Wisata Gastronomi, Ubud

Abstract

This study examines Ubud destinations to be developed as a Gastronomic Region. Literary sources were collected to extract information on gastronomy and Ubud's potential. The results of this literature study show some initial steps that can be done related parties to form a gastronomic region are gastro diplomacy and gastro attraction. The next results are indicators that became a successful step development of gastronomic tourism reinforced by indicators of culinary figures who popularized local food in Ubud. Ubud is very potential to become gastro tourism because it has cultural power. Activities such as cooking class, the numerous local culinary made from ducks, pigs, and chickens. The menu is betutu, chicken rice, and traditional suckling pork. Organic menus increasingly attract tourists. The introducing of Gastronomic tourism in Ubud is associated with history, food origin and emphasize Bumi Seni (Land of Art) is the key to the successful development of gastronomic tourism in Ubud.

Key words: Gatsronomy Tourism, Ubud

1. PENDAHULUAN

Food is one of the essential elements of the tourist experience kutipan dari buku Food and Tourism yang ditulis oleh Hall dan Sharples (2003:1) menekankan dengan jelas bahwa makanan adalah elemen kuat yang menciptakan pengalaman berkesan bagi wisatawan ketika berkunjung pada suatu destinasi. Wisatawan akan melakukan perjalanan ke destinasi-destinasi yang memiliki kuliner bereputasi dunia untuk mencicipi produk-produk kuliner berkualitas. Kepuasan wisatawan terhadap kuliner adalah kekuatan destinasi untuk mempromosikan destinasi wisata. Bali adalah destinasi yang menjadi kiblat destinasi-destinasi lain di Indonesia. Apapun yang berkembang di Bali juga sangat mempengaruhi destinasi lainnya yang memiliki kesamaan ataupun perbedaan atraksi wisata. Semakin banyak wisatawan yang datang berkunjung membuka peluang berbagai usaha untuk berkembang menjadi bagian pendukung pariwisata bali. Wisatawan datang tidak hanya menikmati keindahan alam

144

tetapi mencari yang autentik. Budaya dan tradisi telah menjadi konsumsi wisatawan sejak pertama kali Bali dikenal sebagai destinasi wisata. Berbagai atraksi selalu dikaitkan dengan budaya dan tradisi, tapi salah satu pendukung pariwisata yaitu makanan dan minuman tidak begitu banyak mendapat perhatian. Makanan dan minuman semestinya sekarang mendapat ruang lebih besar dalam perkembangan pariwisata, mau tidak mau dua poin penting ini tidak bisa dikesampingkan karena wisatawan butuh makan dan minum. Makanan Bali khususnya masakan lokal (authentic balinese food) mempunyai daya tarik yang tinggi, terutama dibidang pariwisata. Pada pelancong luar negeri ataupun domestik selalu penasaran dan tertarik untuk mencoba makanan lokal Bali. Masakan Bali kaya dengan rasa, dengan berbagai cara penyajiannya akan tetap mengundang selera, namun sekarang ini penampilan sajian makanan sudah menjadi point interest untuk penikmat kuliner, dan masakan lokal Bali sehingga para pengusaha kuliner mencoba untuk menyajikan masakan dengan baik dan terlihat menggiurkan. Usaha-usaha tersebut cenderung menjadi yang disebut fusion, karena adalah kebanyakan usaha kuliner di Bali menyesuaikan menu-menunya dengan selera wisatawan walau ada sentuhan Bali. Berkaitan dengan kondisi perkembangan makanan lokal di destinasi Ubud memang selayaknya dilakukan pemetaan terhadap potensi makanan lokal dimulai dengan mengidentifikasi rumah makan legendaris dan hits, menetapkan makanan lokal Ubud untuk dijadikan Ikon populer. Saat ini yang banyak terlibat sebagai penggiat secara personal untuk mempopulerkan makanan Bali adalah para pengusaha kuliner dan organisasi non profit seperti Ikatan Chef Indonesia dan Asosiasi Gastronomi Indonesia. Untuk mengembangkan gastronomy tourism perlu diadakan kajian untuk meneliti langkah- langkah apa saja yang dapat ditempuh guna mengetahui seberapa jauh Ubud dapat berkembang sebagai gastronomi region melalui inventarisasi data dari pemerintahan hasil-hasil wawancara yang dapat mengungkapkan aktivitas gastronomy di Ubud. Bangkitnya konsumsi makanan lokal oleh para wisatawan tampak dari kesadaran akan nilai-nilai lokal sebuah destinasi pariwisata. Faktor-faktor yang memotivasi wisatawan untuk mengkonsumsi makanan lokal adalah kualitas rasa, pengalaman otentik, pengembangan pedesaan, kepedulian kesehatan dan pengetahuan belajar. Dari sisi kualitas wisatawan termotivasi pada kesegaran makanan, makanan yang sehat, penyesuaian restoran terhadap selera wisatawan. Selain itu, menu restoran yang didominasi makanan lokal menjadi daya tarik wisatawan, para wisatawan biasanya mencari makanan lokal ataupun restoran berdasarkan identitas destinasi yang mereka kunjungi Yurtseven, Kaya (2011:272-271) “Internationalization of the local” and “localization of the international” (laurence et al, 2012:10) Salah satu strategi yang dapat dikembangkan oleh pemerintah saat ini untuk membentuk Ubud sebagai destinasi wisata gastronomy. Pemerintah dapat memulai dengan membentuk organisasi-organisasi yang mempromosikan kuliner secara international, mempromosikan restoran serta warung-warung yang memiliki standar pelayanan, merencanakan festival khusus kuliner untuk mengangkat image makana Bali secara khusus dikawasan Ubud hal ini tentu saja akan menjadi kebanggaan orang-orang Bali terutama para chef atau ahli memasak makanan Bali. Kegiatan gastro-tourism mencakup makanan dan aktivitas kuliner yang luas, yang tujuannya untuk meningkatkan pengalaman wisatawan selama berkunjung ditempat tujuannya. Kegiatan ini termasuk diantaranya mengunjungi pabrik-pabrik produksi makanan, restoran, bar kafe dan pasar petani; workshop dan ceramah; pengalaman mencicipi anggur dan minuman lainnya; dan kebun anggur dan kebun wisata. Sebenarnya fenomena gastro-tourism kini banyak dikenal sebagai segmen industri pariwisata yang didefinisikan sebagai sebuah studi yang menekankan konsep meningkatkan pengalaman selama mencicipi makanan yang disertakan sudut pandang para wisatawan dalam mengkonsumsi makanan. faktor-faktor yang mempegaruhi wisatawan dipengaruhi oleh lingkungannya, pelayanan, penyajian makanan, suasana restoran. Para ahli juga mengungkapkan bahwa dengan memahami tradisi makanan dan keragaman makanan lokal memungkinkan wisatawan melihat situasi dimasa lalu. Kenyataannya moderenitas telah mengubah traidisi secara terus-menerus. Makanan juga menjadi alat promosi yang memberi pengaruh jkunjungan meningkat dari biasanya, karena makanan membentuk identitas destinasi. Rekomendasi

145

mereka terhadap tim pengembangan dan pemasaran tujuan meliputi:• Mengembangkan kemitraan untuk meningkatkan pariwisata gastronomi sebagai "niche" atau bagian dari produk destinasi yang dipromosikan, seperti menghubungkan makanan dan wisata anggur di suatu daerah. Gunakan makanan yang tidak biasa untuk mengembangkan identitas destinasi Mengembangkan tema yang menghubungkan makanan dengan kegiatan lain seperti warisan budaya Memahami karakter wisatawan yang tertarik dengan gastronomy. Hong dan Tsai (2015:75) tipe wisatawan yang tertarik terhadap gastronomi dapat dikategorikan mnejadi 4 tipe wisatawan, wisatawan yang dikategorikan sebagai gastronomy tourist adalah orang-orang yang mencari keunikan dan menemukan kepuasan terhadap makanan pada restoran-restoran, paket tur yang menyuguhkan perjalanan gastronomy. 1. Tipe satu: Peran penting makanan untuk menciptakan pengalaman yang berkesan bagi turis dan wisatawan secara aktif mencari informasi tentang kuliner lokal, keunikan makanan dan kualitas makanan. 2. Tipe dua: Peran makanan penting, namun wisatawan tidak secara aktif mencari informasi yang relevan. Karena itu, mereka hanya menanggapi pesan tentang wisata kuliner yang diterima terlebih dahulu. 3. Tipe tiga: Wisatawan tidak menganggap makanan sebagai elemen penting dalam perjalanan mereka, tapi mungkin ikut serta dalam aktivitas makanan jika mereka menikmati makanan lezat sepanjang tur. 4. Tipe empat: Wisatawan tidak tertarik pada makanan walaupun mereka mendapatkan informasi lengkap diawal. Poin kunci untuk meningkatkan minat wisatawan pada makanan lokal adalah dengan meningkatkan jumlah wisatawan yang mengklaim dirinya sebagai pecinta makanan lokal yaitu tipe satu, dua dan tiga dengan strategi meningkatan informasi-informasi jenis makanan populer dan legendaris sehingga meningkatkan minat wisatawan dengan tipe tersebut. Informasi yang dibutuhkan wisatawan diantaranya adalah tempat atau lokasi yang jelas dicantumkan pada website, promosi gastronomi melalui budaya yang terdapat dalam website pemerintah, informasi pada website sangat penting karena wisatawan akan lebih banyak mengunjungi situs-situs yang menyediakan informasi mengenai makanan lokal destinasi yang dikunjungi.

Bali has become a symbol of this kind of tourism. Accordingly when the image of an exotic Southeast Asian atmosphere comes to mind,Bali is foremost in peoples‟ thoughts. This may be referred to as the “Bali factor” in the ethnic restaurant industry, which normally implies the use of “orientalistic” Balinese-style décor in interior and exterior design, the skill of presenting food for foreign customers (including the notion of starters, the main course, desserts), and so on (Yoshino:2010)

Kawasan Ubud adalah simbul pariwisata Bali, kolaborisme budaya dan turisme memperkuat Ubud sebagai kawasan pariwisata. Citra ubud sebagai kawasan gastronomy dapat dibentuk dengan mengangkat “Bali Factor” yang didefinikasan dengan mudah sebagai segala hal yang menyangkut Bali atau berorientasi bali seperti eksterior dan interior design termasuk adalah makanan Bali. Kebudayaan Bali inilah menjadi peran penting dalam memperkenalkan restoran atau makanan Bali keseluruh dunia.

2. METODE PENELITIAN

Metode kulitatif dengan teknik pengumpulan data melalui teknik kajian kepustakaan yang memanfaatkan sumber-sumber literatur, literatur, teks, data melalui perpustakaan. Teknik kepustakaan ini juga dikenal dengan istilah library research karena dilakukan di perpustakaan atau desk research.

146

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Sebagai langkah awal pengembangan Ubud sebagai gastronomy tourism maka beberapa langkah yang dapat mewujudkan aktivitas wisatawan dalam mengenal makanan lokal Ubud dapat dimulai dengan memperkenalkan Makanan tersebut melalui gastonomy diplomacy, gastronomy attraction. Untuk mengembangkan gastronomy tourism langkah-langkah yang dapat ditempuh oleh pemerintah sehingga dapat mewujudkan pelestarian dan keberlanjutan kuliner Bali adalah sebagai berikut:

gastronomi diplomacy GASTRONOMI gastronomi attraction TOURISM

Gatsronomy Diplomacy, Branding makanan lokal Ubud

Food brings people together. Throughout time, national cuisines have spread organically through migration, trade routes, and globalization. Others have been deliberately packaged and delivered to foreign audiences—both by state and non-state actors—as a means of expressing a country‘s culture and values. This form of cultural diplomacy, whether deliberate or unintentional, has been coined ―gastrodiplomacy.‖(Gastronomy Diplomacy:2014)

Gastro diplomacy adalah cara praktis untuk memperkenalkan kebudayaan melalui makanan lokal. seperti negara Korea selatan, Thailand dan malaysia memperkenalkan makanan dengan mengedepankan kualitas makanan, mengangkat hal unik,dan menjadikan kegiatan gastro diplomacy sebagai bagian dalam kegiatan perdagangan, perekonomian dan pariwisata. sesungguhnya mnejadi peluang besar untuk Ubud memperkenalkan destinasinya secara luas dari sisi makanan lokal melalui branding destinasi Ubud sebagai destinasi wisata gastro. Cara efektif meningkatkan kegiatan gastro diplomacy adalah berkomunikasi melalui makanan dengan informasi yang akurat mengenai asal-usul makanan dan cerita dibalik keunikan makanan dan nilai-nilai budaya yang terkadung dalamnya. Berkolaborasi dengan musik, interior, cara pengolahan dan emosi penciptanya dapat menghubungkan seseorang terhadap suatu budaya. Alasannya, karena wisatawan mendapatkan pengalaman mencicipi makanan melalui indera perasanya, sentuhan dan pandangan yang menguhubungkan seseorang dengan makanan dan kebudayaan. Tujuan utama gatsro diplomacy adalah makanan dapat mempererat hubungan international dan pemahaman budaya. Gastronomy diplomacy atau gastro diplomacy melalui program-program yang mendukung promosi makanan lokal Ubud. Perlu juga mencontoh negara lain seperti yang diuangkapkan oleh Rasyidah, Resa (2015) untuk mempromosikan kuliner perlu mencontoh strategi yang diterapkan oleh negara atau kawasan pariwisata lainnya. Contoh Malaysia mulai mengembangkan gastro-tourism pada tahun 2006 Pemerintah Malaysia mengadakan kampanye untuk mempromosikan brand Malaysia sebagai pusat makanan halal bagi masyarakat muslim di dunia. Lalu tahun 2010 mengadakan Malaysia External Trade Development Corporation (MATRADE) merilis program bertajuk “Malaysian Kitchen for the World” yang merupakan sebuah kampanye gastrodiplomacy dengan tujuan meningkatkan kesadaran masyarakat dunia akan Malaysia sekaligus memperkenalkan masakan- masakan khas Malaysia. Program ini mempromosikan brand Malaysia sebagai negara multikultur, dinamis dan bersemangat melalui keanekaragaman masakannya. Indonesia telah melakukan beberapa kali gastro diplomacy pada event-event tertentu yang secara khusus memperkenalkan kuliner Indonesia secara keseluruhan 2012 kementrian pariwisata kreatif

147

menetapkan 30 ikon kuliner indonesia, salah satunya sate lilit Bali. Berikut daftar makanan yang menjadi ikon tersebut, Ayam Panggang Rujak, Gado-Gado Jakarta, Kampung, Bandung, Sarikayo Minangkabau, Es Dawet Ayu Banjarnegara, Sayuran Yogyakarta, Sayur Nangka Kapau, Semarang, Yogyakarta, Lumpur Jakarta, Soto Ayam Lamongan, Rawon Surabaya, Jakarta, Sate Ayam Madura, Sate Maranggi Purwakarta, Klapertaart Manado, Tahu Telur Surabaya, Sate Lilit Bali, Rendang Padang, Nasi , Orak-Arik Buncis Solo, Patin Palembang, Asam Padeh Tongkol Padang, Solo, Es Jakarta, Pisang Ubi Bandung, Ayam Goreng Lengkuas Bandung, Bogor, dan Kunyit Asem Solo2. Logo dan slogan negara berikut adalah salah satu upaya melakukan pengenalana makanan lokal, namuan Ubud belum menyusun dan hal ini dapat menjadi agenda dalam persiapan Ubud sebagai destinasi wisata gastro.

Logo dan slogan gastrodiplomacy di dunia, Sumber: Zang (2015:7)

Penyelenggaraan gastro diplomacy untuk memperkenalkan kuliner Ubud yang difasilitasi oleh pemerintah melalui kerjasama dan event yang dapat mendatangkan wisatawan. Kenyataannya memang belum ada program-program khusus yang dilakukan pemerintah untuk memperkenalkan kuliner Bali dalam bentuk diplomacy seperti meluncurkan atau menetapkan jenis-jenis kuliner bali yang dapat diklaim sebagai ciri khas masakan Bali. Selama ini yang telah dilakukan adalah menjadikan kuliner sebagai pendukung sebuah festival yang aktivitasnya disebut sebagai gastro atraction

2 https://www.femina.co.id/article/30-masakan-ikon-nusantara

148

Gastronomy Atrraction, Festival kuliner

Bali memiliki potensi mengembangkan gastro atrraction Yanthy, Yuliarsa (2015) mengungkapkan dua festival yang disebut sebagai gastro atrraction seperti Denpasar festival dan Sanur Village festival adalah contoh kompleks aktivitas gatronomi. Zona baru dibidang pariwisata yang memfasilitasi promosi kuliner Bali. Denpasar festival misalnya adalah momen untuk merasakan beragam jenis makanan dan minum yang berasal dari masing-masing kabupaten di Bali seperti serombotan, lawar, sate dan minuman khas bernama loloh dan daluman. Serangkaian aktivitas Sanur Village Festival seperti lomba melilit satai, pengolahan anggur untuk menjadi minuman dapat dikaitkan dengan kegiatan gastronomy karena para pengunjung akan mendapat pengetahuan mengenai budaya penyajian dan pengolahan masakan Bali. Scarparto (2001:132) produk-produk gastronomi dapat diperkenalkan melalui event, sebagai produk tentunya diperkenalkan dan disajikan tidak sama dengan rumah makan akan tetapi membentuk sebuah kreatifitas dan inovasi. Aktivitas ini akan memperkenalkan makanan lokal sekaligus keragaman budaya dan tradisi destinasi. Contohnya The melbourne Food festival and Wine di Australia, The New Asia Cuisene in Singapore, dan The slow food award di Italy. Gastro atrraction. Festival kuliner di Bali harus sering dilaksanakan saat ini festival yang memang khusus memfasilitasi masyarakat yang berkecimpung pada dunia kuliner khususnya di Bali adalah Ubud Food Festival, selain itu tradisi budaya yang mengusung tema kuliner seperti Ngusaba dan Ngusaba Babi Guling harus lebih mendapat perhatian oleh pemerintah sehingga dapat dikemas sebagai sebuah festival kuliner lokal yang mengglobal. Kegiatan gatsro atrraction di Ubud salah satunya yang terkenal adalah Ubud Food dan Festival, Ubud food festival adalah kegiatan tahunan yayasan Mudra Swari Saraswati dengan visi memperkaya khasanah kehidupan bangsa Indonesia melalui pembangunan masyarakat dan program-program budaya. Kegiatan Ubud food festival yang dirangkai dengan kegiatan ubud writer & readers festival dan Bali emerging writers festival. Ubud festival adalah kegiatan yang dikhususkan bagi para pecinta makanan dari seluruh dunia yang sasaran kegiatannya adalah untuk ajang bertukar pikiran dan ide-ide untuk mengembangkan kuliner khas Indonesia dan negara lainnya. Sebagai penyelenggara Janet Defenee adalah seorang perempuan yang berkecimpung dalam dunia kuliner. Aktivitas gastro diplomacy dan gastro attraction nantinya akan meningkatkan gastro tourism dimana Ubud akan lebih dikenal sebagai destinasi wisata gastro bagi para wisatawan peminat masakan khas Bali. Pengembangan makanan lokal sebagai produk wisata akan membuka peluang bagi pengusaha kuliner untuk lebih spesifik lagi dalam memproduksi makanan yang dari bahan baku hingga ke proses penyajian memperhatikan lingkungan serta menutrisi tubuh dan pikiran yang mengkonsumsi. Scarpato (2001:139) juga mengungkapkan bahwa gastronomy dan pariwisata yang berkelanjutan memberi dampak yang positif kepada destinasi seperti bertahannya produksi makanan lokal, warung dan pasar lokal; keberlangsungan masakan rumahan; transmisi pengetahuan mengenai kuliner melalui edukasi; terdapat hak untuk menikmati keragaman;dan dampaknya terhadap makanan yang autentik dan kesejahteraan masyarakat. Hal yang diungkapkan Scarpato (2001) telah mendekati dari apa yang merupakan tujuan dari pariwisata berkelanjutan karena unsur-unsur yang mempengaruhi keberlanjutan makanan lokal merupakan peningkatan kualitas, keseimbangan, dan keberlanjutan dari makanan lokal sebagai bagian dari pariwisata. Adapun indikator-indikator yang penting yang patut diperhatikan dalam pengembangan wisata gastro menurut Ghorgea (2014:15), adalah wisata gastro merupakan segmen pasar yang sedang berkembang, kebutuhan produk yang berasal dari bahan-bahan originnya destinasi, pengalaman yang diperoleh wistawan dari aktivitas wisata gastro yang memperkenalkan budaya, memperkuat keberlanjutan destinasi karena peningkatan ekonomi, lingkungan dan budaya. Kualitas produk juga menjadi indikator penting karena wisata gastro sangat mengutamakan perlindungan originalitas produk, logo atau slogan yang menjadi penciri destinasi wisata gastro, keterlibatan berbagai pihak melalui kerjasama pengelolaan wisata gastro dan motivasi wisatawan. Hanya saja untuk mengkritisi

149

hasil penelitian Georgea (2014), penulis menambahkan dua indikator lagi yaitu tokoh kuliner, yang juga berperan dalam memperkenalkan makanan lokal khususnya di Ubud. Hak Kekayaan Intelektual untuk makanan lokal Bali yang dapat dimulai dari brand makanan, buku-buku yang menulis menu hingga rahasia dagang para pengusaha kuliner di Ubud secara khususnya Gambar 2 berikut ini adalah indikator penting dalam pengembangan wisata gastro.

Warisan budaya Segmen Produk Pasar

Keberlanjutan Kualitas

Wisata Gastro

Komunikasi HKI (Media) Tokoh Kuliner Kerjasama Motivasi

Wisatawan

Gambar 2. Indikator pembentuk wisata gastro

4. KESIMPULAN

Ubud sangat berpotensi mnejadi wisata gastro karena memiliki kekuatan budaya. Aktivitas seperti cooking class, ragam kuliner lokal berbahan bebek, babi dan ayam. Menu beragam seperti betutu ,nasi ayam dan babi guling yang diolah secara tradisional. Menu-menu organik kian menarik wisatawan wisata gastronomi yang dipekernalkan Ubud dikaitkan dengan sejarah, asal makanan dan menekankan Bumi Seni. Bagaimana mengemas makanan produk dengan kaca mata international, dengan menciptakan presentasi penyajian yang international sehingga orang yang menyajikan akan bangga dengan kuliner lokal dan memperkuat identitas makanan lokal Ubud.

DAFTAR PUSTAKA

Rasyidah, Resa, 2015, Promoting gastro-tourism to increase indonesia‟s foreign tourist arrivals: lesson from malaysia, Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur PAHMI International Conference Scarpato, Rosario. 2001. Gastronomy as Tourist product: the Perspective of gastronomy studies (eds) Annete-Mette Hjlager and Greg Richards, Tourism and Gastronomy pp 51-68. London: Routledge UNWTO, 2011. Tourism and Sustainability, sdt.unwto.org

150

Yanthy, Putu Sucita, Yuliarsa, Made Sandhi. 2015. Gastro-Attractions in Bali. Bali Tourism Forum (2015) Diplomacy, Gastro. 2014. “Public Diplomacy Diplomacy.” (11). Zhang, Juyan. 2015. “The Foods of the Worlds : Mapping and Comparing Contemporary Gastrodiplomacy Campaigns.” International Journal of Communication 9: 568–91. Gheorghe, Georgică, Petronela Tudorache, and Puiu Nistoreanu. 2014. “Gastronomic tourism , a new trend for contemporary tourism, Cactus Tourism Journal 9(1): 12–21. Horng, Jeou-shyan, and Chen-tsang Simon Tsai. 2015. “Government Websites for Promoting East Asian Culinary Tourism : A Cross-National Analysis Government Websites for Promoting East Asian Culinary Tourism :” Tourism Management 31(1): 74–85. http://dx.doi.org/10.1016/j.tourman.2009.01.009. Lan, Lawrence W, Wei-wen Wu, and Yu-ting Lee. 2012. “Promoting Food Tourism with Kansei Cuisine Design.” Procedia - Social and Behavioral Sciences 40: 609–15. http://dx.doi.org/10.1016/j.sbspro.2012.03.238. Yoshino, Kosaku. 2010. Malaysian Cuisine: A Case of Neglected Culinary Globalization. In Globalization, Food and Social Identities in the Asia Pacific Region, ed. James Farrer. Tokyo: Sophia University Institute of Comparative Culture. URL: http://icc.fla.sophia.ac.jp/global%20food%20papers/html/yoshino.html Hall, C. Michael, Liz Sharples. 2010. The consumption of experiences or the experience of consumption? An introduction to the tourism of taste, Ed: Edited by:C. Michael Hall, Liz Sharples, Richard Mitchell, Niki Macionis and Brock Cambourne. 2003. “Food Tourism Around The World Development, management and markets, Elsevier

151

FENOMENA BUDAYA TRAVELLING WISATAWAN JEPANG KE BALI

Dian Pramita Sugiarti1), I Gede Anom Sastrawan2) Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana Email: [email protected]

Penelitian ini diberikan judul “Tabi No Bunka : Fenomena Budaya Travelling Wisatawan Jepang ke Bali” bertujuan untuk mendeskripsikan budaya travelling yang dilakukan oleh wisatawan Jepang ke Bali khususnya di daerah Seminyak, Kuta Kabupaten Badung. Masyarakat Jepang memiliki ciri khas masyarakatnya yang memiliki jam kerja tersibuk, sehingga mereka memilih untuk melakukan travelling dalam kurun paling sedikit setahun sekali. Budaya Travelling ini sudah ada sejak jaman Heian (794-1185) yang dikenal sebagai perjalanan mengunjungi kuil-kuil di Jepang. Pembangunan daerah wisata Jepang baru di mulai sejak jaman Edo (1603-1867) yang dibuktikan dengan adanya sistem Sankin Kotai. Wisatawan Jepang merupakan wisatawan yang memiliki tingkat keamanan dan fasilitas standard internasional untuk memilih daerah tujuan wisata. Pemilihan Bali sebagai destinasi pariwisata wajib bagi wisatawan Jepang menjadi daya tarik penelitian ini. Potensi daya tarik Bali yang memiliki budaya kearifan lokal, tempat wisata spiritual dan alamnya yang masih alami yang menjadi pusat perhatian wisatawan Jepang yang ingin melakukan perjalanan atau travelling selepas mereka lelah dengan rutinitas pekerjaan. Untuk memperoleh data yang akurat tentunya akan diperoleh data yang diambil dari suatu metode pengumpulan data dengan harapan agar data atau fakta bersifat valid serta tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari keadaan sebenarnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini dengan cara Teknik Observasi, Wawancara, Studi Kepustakaan, dan Studi Dokumentasi. Menentukan informan dalam penelitian ini maka peneliti memilih teknik snowball sampling yang artinya dengan memilih narasumber yang mengetahui tingkah laku wisatawan Jepang yang datang ke Bali. Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan dari penelitian ini adalah meneliti daya tarik yang dimiliki Bali (khususnya Seminyak) sebagai destinasi pariwisata Jepang dan budaya travelling yang diterapkan untuk standarisasi travelling bagi wisatawan Jepang di Bali.

Kata Kunci: Budaya Travelling, Wisatawan Jepang, Potensi Daya Tarik

1. PENDAHULUAN

Perjalanan wisata merupakan kebutuhan manusia setelah kebutuhan pokok terpenuhi. Perjalanan wisata banyak di awali dengan perjalanan domestik dan daerah sekitar wilayah tinggal pelaku wisata. Kegiatan berwisata dewasa ini dianggap mampu memberikan efek relaksasi bagi pelaku wisata. Selain dapat mengenal budaya suatu daerah atau negara berwisata juga dapat mengembangkan kepribadian dan cara pandang yang lebih terbuka. Destinasi pariwisata yang akan dikunjungi oleh wisatawan sangat berdampak pada kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh pelaku wisata baik bersifat hiburan semata atau mengenal budaya wisata secara langsung. Menurut Undang-Undang RI No.10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan menjelaskan pengertian wisata sebagai „kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik wisata yang dikunjungi dalam angka waktu sementara. Kegiatan wisata erat kaitannya dengan budaya travelling yang banyak dilakukan oleh negara- negara maju. Budaya travelling biasa dilakukan 2-3x dalam setahun untuk mengunjungi berbagai negara. Jepang merupakan salah satu negara yang memiliki budaya travelling sejak jaman Heian (794- 1185) bagi kalangan kaum bangsawan yang mulai mengunjungi beberapa kuil. Menurut Kato

152

(1994:57) kunjungan ke beberapa kuil di Jepang mengalami peningkatan sejak jaman Edo, budaya travelling juga di dorong dengan adanya sistem Sankin Kotai yaitu sistem yang ditunjukkan kepada Bakufu (Pemerintahan Tokugawa) untuk melakukan perjalanan ke Edo sembari membangun infrastruktur penghubung antar kota yang disebut Gokaidou atau 5 jalan utama. Pembangunan infrastruktur ini yang menunjang terbentuknya kawasan wisata yang menunjang kegiatan wisata. Pulau Bali merupakan ikon pariwisata di Indonesia juga menjadi salah satu destinasi tujuan wisata dunia. Bali juga dikenal dengan sebutan Pulau Dewata dan Pulau Seribu Pura. Dengan beraneka ragam keindahan sumber daya alam, seni, budaya serta kekhasan dan keunikan tradisi masyarakat Bali, sehingga hal tersebut mampu memberikan daya tarik tersendiri kepada wisatawan baik wisatawan domestik maupun wisatawan mancanegara (Arianto: 2015). Berdasarkan penjelasan di atas, Bali memiliki pesona Pura Seribu Pura dalam aspek mampu memberikan efek ketenangan, kebaikan dan pencerahan bagi wisatawan Jepang. Hal ini dapat dipadukan dengan banyaknya kuil-kuil agama Buddha dan Shinto yang tumbuh di Jepang. Pergeseran agama yang terjadi di Jepang tidak serta membuat budaya turun temurun ikut tergeser yang hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat Jepang. Kedatangan wisatawan Jepang ke Bali tidak luput dari kunjungan wisata yang mereka lakukan di daerah wisata spiritual, sejarah dan budaya seperti Goa Gajah, Tirta Empul dan Puri Ubud. Namun ada hal menarik yang terjadi setelah mengunjungi daerah wisata spiritual, wisatawan memilih berkunjung ke daerah Seminyak untuk menikmati hiburan malam.

2. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode dalam mengumpulkan data dan metode dalam menganalisa data. Teknik Observasi yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengadakan suatu pengamatan langsung secara teliti serta pencatatan secara sistematis, meneliti atau mengukur kejadian yang sedang berlangsung (Kusmayadi, 2000:84). Teknik observasi ini dilakukan dengan pengamatan langsung yang langsung menuju lokasi penelitian agar mengetahui keadaan atau potensi daya tarik, tingkat aksesibilitas dan fasilitas yang sudah tersedia seperti sarana dan prasarana wisata yang ada di Seminyak Kuta untuk dan identifikasi budaya travelling wisatawan Jepang. 1. Studi Kepustakaan Studi Kepustakaan adalah pengumpulan data dari literatur-literatur, laporan-laporan penelitian, dan bahan tertulis lainnya yang memiliki relevansi dengan masalah yang dikaji serta digunakan sebagai landasan teori yang sifatnya menunjang laporan ini. 2. Studi Dokumentasi Pengumpulan data yang diperoleh dengan cara mengambil gambar daya tarik penelitian dengan tujuan untuk memudahkan penelitian mendiskripsikan hasil observasinya yang berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang (Sugiyono, 2009:82).

Teori perilaku wisatawan

Menurut Morrisan (2007:64) perilaku wisatawan adalah proses dan kegiatan yang terlibat ketika orang mencari, memilih, menggunakan, mengevaluasi, dan membuang produk dan jasa untuk memuaskan kebutuhan dan keinginan mereka. Menurut Loudon dan Della Bitta (Buchari Alma, 2008:236) “Tourist behavior may be defined as the decision process and physical activity individuals engage in when evaluating, acquiring, using, or disposing of goods and services―. (Perilaku wisatawan adalah proses pengambilan keputusan dan kegiatan fisik individu-individu yang semuanya ini melibatkan individu dalam menilai, mendapatkan, menggunakan, atau mengabaikan barang-barang dan jasa-jasa). Perilaku wisatawan menurut Ali Hasan (2008:129) adalah respon psikologis yang kompleks yang muncul dalam bentuk perilaku atau tindakan yang khas secara perseorangan yang langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan produk serta menentukan proses pengambilan keputusan dalam melakukan pembelian produk termasuk dalam melakukan pembelian ulang, yang

153

dimaksud adalah wisatawan berkunjung ke daerah tujuan wisata, membeli souvenir, dan suatu saat wisatawan tersebut kembali berkunjung karena merasa nyaman dan percaya. Perilaku wisatawan juga dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang dikemukakan Kotler dan Keller (2009:190) yaitu, faktor budaya, faktor sosial, faktor personal dan faktor psikologi. Faktor- faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Faktor Budaya Budaya, subbudaya dan kelas sosial merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi perilaku kunjungan pada wistawan. Budaya merupakan sesuatu yang dasar dari keinginan dan kebutuhan seseorang. Masing-masing budaya terdiri dari bagian yang lebih kecil yaitu sub budaya yang mampu menyediakan identifikasi yang lebih spesifik dan sosialisasi bagi anggotanya. Sub budaya terdiri dari dari kebangsaan, kepercayaan, ras, dan area geografi. 2. Faktor Sosial Faktor sosial sebagai tambahan dari faktor budaya, faktor sosial terdiri dari referensi keluarga, kelompok, dan aturan sosial dan status berdampak pada perilaku kunjungan. 3. Faktor Personal Keputusan berkunjung juga dipengaruhi oleh karakteristik personal, yang termasuk dalam kategori ini adalah umur dan daur hidup, pekerjaan dan ekonomi, kepribadian dan konsep diri, dan gaya hidup dan nilai. Karena beberapa karakteristik ini memiliki dampak yang langsung dalam perilaku wisatawan, hal ini sangat penting untuk pemasar dalam mendekati wisatawan. 4. Faktor Psikologi Langkah utama dalam memahami perilaku wisatawan adalah model tanggapan rangsangan. Pemasar dan lingkungan mempengaruhi untuk masuk dalam kesadaran wisatawan dan mengatur proses kejiwaannya yang menggabungkan dengan karakteristik keyakinan wisatawan untuk menghasilkan proses keputusan dan keputusan berkunjung. Tugas pemasar adalah untuk memahami apa yang terjadi pada kesadaran wisatawan antara kedatangan stimuli pemasaran yang masuk dan keputusan berkunjung total. Terdapat empat kunci proses psikologi yaitu, motivasi, persepsi, pembelajaran dan memori yang merupakan hal dasar untuk mempengaruhi tanggapan wisatawan. Teori perilaku wisatawan pada penelitian ini mengarah pada tingkah laku dan motivasi wisatawan Jepang yang memiliki konsep budaya travelling ketika mengunjungi Bali khususnya Seminyak, Kuta Kabupaten Badung.

3. PEMBAHASAN

Fenomena Budaya Travelling Wisatawan Jepang

Sejak awal abad ke-20, perjalanan wisata di Jepang berkisar pada agama dan urusan keagamaan (ziarah). Ishimori (1989) berpendapat bahwa perjalanan 'kesenangan' di Jepang berasal pada akhir abad ketujuh ketika Permaisuri Jito melakukan lebih dari 30 perjalanan ke kediaman Keluarga Kekaisaran di Yoshino, serta melakukan perjalanan ke mata air panas (onsen). Graburn (1983) menambahkan, ketika penganut agama Buddha memantapkan dirinya di Jepang pada abad ke tujuh dan delapan, agama menjadi sebuah tujuan dan sarana perjalanan. Pada abad kesepuluh, kuil Buddha dan kuil Shinto membuat pengaturan perjalanan bagi anggota sekte mereka untuk mengunjungi tempat-tempat suci mereka. Vaporis (1994) menambahkan bahwa agama merupakan motivasi kuat dan alasan mendasar wisata Jepang dari zaman kuno sampai akhir abad kesembilan belas. Bentuk utama wisata keagamaan adalah ziarah mengunjungi tempat-tempat suci. Terdapat tiga jenis: 1) honzon (dewa tertentu) junrei (ziarah), ziarah tersebut hanya bertujuan untuk keagamaan; 2) junrei soshi, ziarah untuk mengunjungi kuil-kuil yang didirikan atau ditempati oleh aliran tertentu untuk tujuan menyembah pendirinya; 3) meiseki junrei, ziarah untuk mengunjungi tempat-tempat terkenal, seperti tujuh kuil besar Nara atau dua puluh satu kuil dari sekte Nichiren. Jenis yang ketiga Memiliki daya tarik yang besar karena

154

memiliki unsur -unsur yang ada di dalam pariwis pada umumnya. Ziarah paling terkenal dan termegah adalah Okage-mairi, istilah tersebut digunakan untuk menggambarkan ziarah secara besar-besaran untuk kuil agung Ise. Pada musim semi 1705 merupakan tahun ziarah besar-besaran pertama, anak- anak di daerah Osaka, Kyoto dan Sakai yang berusia antara tujuh dan lima belas tahun meninggalkan rumah dan berangkat ke Ise.Sekitar 33.000 wisatawan dari Edo melakukan perjalanan melewati pos stasiun Hakone pada hari tersebut. Pada periode Heian (794-1185) muncul perjalanan ke Gunung Koya dan Kuil Kumano. Perjalanan pulang pergi antara ibukota Kyoto dan Kuil Kumano memakan waktu sekitar satu bulan, mencakup 600 kilometer, dan melibatkan 1.000 orang termasuk penjaga dan kuli. Namun sampai Periode Azuchi-Momoyama (1568-1602), sangat sulit untuk menempuh jarak yang jauh karena kualitas jalan yang buruk. Adapun serangkaian pos pemeriksaan (di darat dan laut) yang mengharuskan wisatawan membayar biaya izin. Pada saat itu, seorang pedagang yang naik kapal dari Kyoto ke Osaka di sepanjang Sungai Yodogawa harus membersihkan 660 pos pemeriksaan (Ishimori, 1989). Pada periode Tokugawa (1603-1867) membawa perubahan revolusioner pada masyarakat Jepang. Kemenangan Tokugawa Ieyasu pada Pertempuran Sekigahara pada tahun 1600 mengakhiri perang selama bertahun-tahun dan mengantarkan periode damai, periode yang dikelola oleh sebuah rezim militer otoriter yang berbasis di Edo (Tokyo). Otoritas Tokugawa melembagakan sejumlah kebijakan utama yang memiliki dampak besar pada masyarakat dan dengan memperpanjang melakukan perjalanan. Yang pertama adalah sistem yang disebut sankin kôtai, di mana bangsawan feodal harus tinggal di Edo satu tahun setiap dua tahun akan meninggalkan keluarga mereka di Edo. Mengingat bahwa ada sekitar 300 daimyo di seluruh Jepang, ini mewakili sejumlah besar perjalanan yang menuju ke dan dari ibu kota negara tersebut. Untuk mengatasi kenaikan perjalanan ini, pemerintah mulai memperbaiki infrastruktur, terutama jalan. Dengan membangun lima jalan raya utama (gokaidō), yang terbentang dari Edo seperti jari-jari pada roda. Kualitas sistem perjalanan membawa beberapa pengamat Eropa berkesimpulan bahwa Tokugawa Jepang melampaui Eropa dalam hal infrastruktur perjalanan. (Vaporis, 1994). Keputusan kedua dari Keshogunan Tokugawa adalah kebijakan sakoku atau penutupan negara. Kebijakan ini cetuskan pada tahun 1639 ketika pemerintah Edo melarang penyebaran agama Kristen, ha ini diakibatkan adanya ancaman politik terhadap kekuasaannya. Orang Jepang dilarang bepergian ke luar negeri dan orang-orang yang sudah di luar negeri dilarang masuk kembali ke tanah air. Berdasarkan penjelasan di atas budaya travelling mulai muncul ketika adanya perjalanan wisata ziarah ke kuil-kuil yang dilakukan oleh kaum bangsawan. Kegiatan berziarah ini di lakukan untuk mendapatkan ketenangan dan menjadi pengaruh yang positif bagi peziarah. Sejak diberlakukannya sistem sankin kotai pada era Tokugawa yang mengharuskan para utusannya untuk melakukan perjalanan panjang pemerintah meningkatkan infrastruktur dengan dibangunnya penginapan, rumah makan dan tempat hiburan sehingga munculnya perjalanan wisata. Dewasa ini wisatawan Jepang melakukan perjalanan baik dalam negri maupun luar negri guna mendapatkan pengalaman baru atau sekedar melepaskan penat dari tuntutan pekerjaan. Pengaruh cuaca juga membuat wisatawan Jepang melakukan perjalanan wisata mengingat Jepang memiliki 4 musim dalam 1 tahun.

Daya Tarik Bali (khususnya daerah Seminyak) bagi Wisatawan Jepang

Undang Undang Republik Indonesia No 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan: Pasal 1 Ayat 5 menyatakan bahwa Daya Tarik Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan. Sementara dalam Bab I, pasal 10, disebutkan kawasan strategis pariwisata adalah kawasan yang memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek,

155

seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan. Ada tiga syarat yang harus dipenuhi oleh suatu daerah atau daya tarik tujuan wisata yaitu: a. Something to see. Daerah atau tempat tersebut harus ada daya tarik dan daya tarik wisata yang berbeda dengan yang dimiliki oleh daerah lain atau daya tarik khusus untuk dapat dilihat atau dinikmati oleh wisatawan. Kawasan Seminyak memiliki berbagai macam atraksi wisata, dimana wisatawan tidak hanya dapat menikmati pantai yang indah namun Seminyak memiliki area shopping centre dan restaurant-restauran yang unik dan terkenal. b. Something to do. Selain banyak dapat dilihat dan disaksikan, harus pula disediakan fasilitas rekreasi atau sesuatu yang dapat dilakukan di tempat tersebut. Fasilitas-fasilitas menarik yang ditawarkan di kawasan wisata Seminyak seperti salah satunya SuperHero Factory Bali yang merupakan pusat kebugaran yang tidak biasa. Wisatawan diajak untuk melatih kebugaran dan ditantang untuk melawan rasa takut dan was-was agar menjadi pribadi yang lebih kuat dan pemberani. c. Something to buy. Tempat tersebut harus tersedia fasilitas untuk berbelanja (shopping) terutama barang-barang souvenir dan kerajinan rakyat, selain itu juga tersedia pula sarana-sarana pendukung atau pembantu lainnya. Kawasan wisata Seminyak merupakan kawasan yang memiliki banyak tempat membeli oleh-oleh seperti shooping centre yang terletak dipinggir sepanjang jalan Seminyak. Dari barang khas produk lokal hingga brand-brand ternama. d. Something to share. Sebuah kegiatan atraksi wisata yang dilakukan oleh wisatawan berdampak kepada informasi serta pengalaman yang mereka dapatkan sehingga hal tersebut dapat diinformasikan yang tentu berguna bagi wisatawan lainnya. Segala kegiatan yang bisa dilakukan oleh wisatawan di kawasan wisata Seminyak Bali akan di bagikan dalam media sosial, sehingga akan memudahkan wisatawan yang datang ke Seminyak. e. Something to learn Sebagai media pembelajaran baru sehingga memberikan informasi atau pengalaman yang lebih kepada wisatawan terhadap suatu objek atau daya tarik wisata yang dikunjungi. Hal-hal baru yang dapat dipelajari adaah kearifan lokal budaya yang ada di kawasan wisata Seminyak, seperti adanya Pura Petitenget yang sering mendapati kunjungan dari wisatawan untuk melihat budaya lokal masyarakat Bali yang tidak tergerus oleh perkembangan pariwisata. Bali merupakan salah satu destinasi pariwisata incaran para wisatawan domestic maupun internasional. Disebut sebagai “Pulau Seribu Pura” Bali tak hanya memiliki daya tarik dari segi spiritual tetapi juga memiliki daya tarik karena keindahan alam dan panoramanya. Memiliki alam yang indah berupa pantai-pantai, tebing dan segala aktifitas luar lainnya menjadi tantangan bagi wisatawan yang datang. Sebagai contoh keindahan alam Nusa Penida dan Nusa Lembongan yang memiliki banyak spot menantang karena kondisi tempat yang sedikit sulit dijangkau namun memiliki alam yang indah sebagai gantinya. Daerah Seminyak Kuta yang terletak dikabupaten Badung menjadi salah satu destinasi yang sering dikunjungi wisatawan karena menyuguhkan pantai yang indah beserta fasilitas lengkap seperti hotel, bar, restaurant dan spa yang berstandar internasional. Pemilihan daerah kunjungan wisatawan sanat dipenagruhi oleh perilaku wisatawan masing-masing negara. Adapun perilaku wisatawan dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti yang dikemukakan Kotler dan Keller (2009:190) yaitu, faktor budaya, faktor sosial, faktor personal dan faktor psikologi. Faktor- faktor tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Faktor Budaya Budaya, subbudaya dan kelas sosial merupakan faktor yang paling banyak mempengaruhi perilaku kunjungan pada wistawan. Budaya merupakan sesuatu yang dasar dari

156

keinginan dan kebutuhan seseorang. Masing-masing budaya terdiri dari bagian yang lebih kecil yaitu sub budaya yang mampu menyediakan identifikasi yang lebih spesifik dan sosialisasi bagi anggotanya. Sub budaya terdiri dari dari kebangsaan, kepercayaan, ras, dan area geografi. 2. Faktor Sosial Faktor sosial sebagai tambahan dari faktor budaya, faktor sosial terdiri dari referensi keluarga, kelompok, dan aturan sosial dan status berdampak pada perilaku kunjungan. 3. Faktor Personal Keputusan berkunjung juga dipengaruhi oleh karakteristik personal, yang termasuk dalam kategori ini adalah umur dan daur hidup, pekerjaan dan ekonomi, kepribadian dan konsep diri, dan gaya hidup dan nilai. Karena beberapa karakteristik ini memiliki dampak yang langsung dalam perilaku wisatawan, hal ini sangat penting untuk pemasar dalam mendekati wisatawan. 4. Faktor Psikologi Langkah utama dalam memahami perilaku wisatawan adalah model tanggapan rangsangan. Pemasar dan lingkungan mempengaruhi untuk masuk dalam kesadaran wisatawan dan mengatur proses kejiwaannya yang menggabungkan dengan karakteristik keyakinan wisatawan untuk menghasilkan proses keputusan dan keputusan berkunjung. Tugas pemasar adalah untuk memahami apa yang terjadi pada kesadaran wisatawan antara kedatangan stimuli pemasaran yang masuk dan keputusan berkunjung total. Terdapat empat kunci proses psikologi yaitu, motivasi, persepsi, pembelajaran dan memori yang merupakan hal dasar untuk mempengaruhi tanggapan wisatawan. Berdasarkan penjelasan di atas perilaku wisatawan Jepang sangat dipengaruhi oleh kebudayaan mereka sendiri. Mereka umumnya datang ke Bali dengan kelompok dan cenderung menggunakan jasa tour leader dan guide. Daya tarik Bali bagi wisatawan Jepang khususnya daerah Seminyak yakni karena kawasan Seminyak dikenal sebagai tempat untuk mencari villa dan hotel dari harga terendah hingga tertinggi serta ditambah adanya restaurant, bar, shopping centre dan spa yang berstandar internasional. Tempat wisata di Seminyak memberikan kesan elegan dan modern yang juga menyuguhkan pantai-pantai indah yang tenang dan sepi.

4. SIMPULAN

Penelitian ini mengkaji fenomena budaya travelling wisatawan Jepang dengan kearifan lokal budaya Bali. Fenomena budaya travelling wisatawan Jepang sudah terjadi sejak masa pemerintahan Tokugawa dengan adanya sistem Sankin Kotai dan perjalanan berziarah ke kuil-kuil. Yang pertama adalah sistem yang disebut sankin kôtai, di mana bangsawan feodal harus tinggal di Edo satu tahun setiap dua tahun akan meninggalkan keluarga mereka di Edo. Mengingat bahwa ada sekitar 300 daimyo di seluruh Jepang, ini mewakili sejumlah besar perjalanan yang menuju ke dan dari ibu kota negara tersebut. Untuk mengatasi kenaikan perjalanan ini, pemerintah mulai memperbaiki infrastruktur, terutama jalan. Dengan membangun lima jalan raya utama (gokaidō), yang terbentang dari Edo seperti jari-jari pada roda. Kualitas sistem perjalanan membawa beberapa pengamat Eropa berkesimpulan bahwa Tokugawa Jepang melampaui Eropa dalam hal infrastruktur perjalanan. (Vaporis, 1994).

Kedua keputusan pemerintah Jepang Sankin Kotai dan Sakoku menciptakan kebiasaan bepergian masyarakat Jepang kala itu, dengan melakukan perjalanan ziarah dan perjalanan atas perintah pemerintahan Tokugawa. Kebiasaan bepergian tersebut menjadi budaya bepergian bagi orang Jepang hingga saat ini. Bali menjadi salah satu tempat kunjungan wisata wisatawan Jepang karena dianggap memiliki persamaan budaya dengan budaya Jepang. Terbukti dengan adanya banyak pura di Bali yang dianggap mirip dengan di Jepang yang memiliki banyak kuil. Selain itu, Pariwisata Bali memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan Jepang yang memiliki tipe wisatawan Pyschocentric, yaitu wisatawan yang hanya mau mengunjungi daerah tujuan wisata yang sudah memiliki fasilitas dengan standard yang sama dengan di negaranya sendiri. Mereka

157

melakukan perjalanan wisata dengan program yang pasti, dan memanfaatkan fasilitas dengan standar internasional. Seminyak merupakan salah satu kawasan wisata yang sering dikunjungi wisatawan Jepang. Kawasan wisata Seminyak kaya akan pantai yang indah, restaurant yang unik dan shopping centre yang menawarkan barang dari kerajinan tradisional hingga brand terkenal. Penelitian ini membahas fenomena budaya travelling wisatawan Jepang ke Bali. Dimana wisatawan Jepang melakukan perjalanan setiap tahunnya sebagai cara menghibur diri setelah bekerja sepanjang tahun. Budaya travelling wisatawan Jepang ke Bali mengingat intensitas kedatangan wisatawan Jepang ke Bali dan adanya hubungan kerjasama dari berbagai bidang antara Jepang dengan Indonesia. Penelitian ini dapat dijadikan referensi bagi peneliti lain yang ingin meneliti tentang budaya travelling wisatawan Jepang ke Bali dalam konteks lain.

DAFTAR PUSTAKA Bernard, H. Russell. 1994. Research Methods in Anthropology. Qualitative and Quantitative Approaches. London: Sage Publications. Fromanek,S.1998.Pilgrimage in the Edo Period. The Culture of Japan as Seen Through its Leasure.S.Linhartdan S.Fruhstuck.Albany:State University of New York Press. Graburn, Nelson (1983) To Pray, Pay and Play: The Cultural Structure of Japanese Domestic Tourism, Series B, No.26, Centre Des Hautes Touristiques Intosch, Mc & Goldner. 1986. Tourism Principlies Practise, Philosophies. New York : John Wiley & Sons Inc.

Ishimori, S. (1989) ”Popularization and Commercialization of Tourism in Early Modern Japan", Senri Ethnological Studies No.26, 179-194 Kusmayadi dan Sugiarto, Endar. 2000. Metodelogi Penelitian dalam Bidang Kepariwisataan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Lofland, Jhon & Lyn H. Lofland. 1984. Analyzing Social Setting : A Guide To Qualitive Observation And Analysis, Belmont, Cal Wadsworth Publishing Company. Moleong, Lexy. 2005. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : PT.Remaja Rosdakarya. Narisawa.H.,Kishi,R.and Sisido,M.1995.Macromol.Chem.Phys. Pitana, I Gede.2005.Sosiologi Pariwisata.Yogyakarta:Andi Offset. Pitana, I Gede. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Andi Offset. Pendit, I Nyoman S. 1999. Ilmu Pariwisata Sebuah Pengantar Perdana. Jakarta : Pradnya Paramita. Reader,Ian.1987.From Asceticsm to The Package Tour: The Pilgrim‟s Progress.Religion 17/2:133-4. Sugiyono. (2009). Metode Penelitian Bisnis. CV.Alfabeta, Bandung. Vaporis, C.N. (1994) Breaking Barriers: Travel and the State in Early Modern Japan, Council on East Asian Studies, Harvard University

158

HOTEL `S GUEST ACTIVITIES SEBAGAI ALTERNATIF KEGIATAN LEISURE BAGI WISATAWAN DI KAWASAN SEMINYAK BALI

Fanny Maharani Suarka1), Agung Sri Sulistyawati2) Program Studi Diploma IV, Fakultas Pariwisata, Universitas Udayana, Jln. DR.R. Goris. No. 7 Email: [email protected]

Abstrak

Kawasan Seminyak Badung – Bali adalah salah satu kawasan wisata pilihan wisatawan selain Kuta, Jimbaran, Sanur, maupun Nusa Dua. Paper ini membahas aktivitas leisure bagi wisatawan yang ditawarkan hotel atau Hotel`s Guest Activities yang dapat menjadi alternatif dan variasi kegiatan wisatawan di hotel stempat menginap ataupun di seputaran hotel saja.Data diperoleh melalui wawancara dengan Recreational /Guest Activities Departement dari 8 sampel hotel bintang 4 dan bintang 5 Seminyak. Akomodasi yang ada di Seminyak merupakan klasifikasi hotel bintang, bungalow maupun jenis villa didukung dengan banyaknya restoran, café, maupun souvenir shop yang dapat menjadi pilihan wisatawan. Wisatawan di Seminyak umumnya adalah wisatawan yang sedang berlibur dengan berbagai rentang usia serta mengorganisir sendiri liburan mereka. Kawasan Seminyak memiliki karakteristik mewah, sedikit formal dan modern sehingga variasi aktivitas leisure yang mendukung akan memberikan kesan baik dan harapan mereka akan kembali ke Seminyak. Hotel-hotel di kawasan Seminyak saat ini semakin berlomba untuk menciptakan program-program leisure yang dikenal dengan Guest Activities bagi wisatawan baik wisatawan yang sedang menginap di hotel mereka maupun wisatawan di seputar Seminyak maupun masyarakat lokal. Penawaran Guest activities oleh hotel utamanya diharapkan tetap dapat memberikan pengalaman dan hiburan bagi wisatawan pada saat mereka sedang tidak ada tour atau program lain yang mereka pilih pada hari tertentu. Guest activities yang dirancang dan ditawarkan dengan tema-tema tertentu dengan yang meminta biaya tambahan untuk setiap partisipasi namun ada juga yang sudah merupakan paket menginap.Jenis program yang ditawarkan ada yang merupakan paket daily, paket budaya, paket kegiatan indoor maupun outdoor. Guest Activities cukup diminati dan kedepannya perancangan guest activities di hotel- hotel seputaran Seminyak dibuat tidak monoton sesuai perkembangan jaman dan teknologi.

Kata kunci : Hotel, Guest Activities, Leisure, Wisatawan, Alternatif

Abstract

Instead of Sanur, Kuta, and Nusa Dua, Seminyak Badung has became the one choice tourism area in Bali. This paper discussed about the alternative activities that chosen by tourist surrounding the hotel at Seminyak. Data obtained by interviewed with Recreational / Guest Activities Departement staffs from 8 Hotels around Seminyak area. The classification accommodation at Seminyak is star hotels,villas and supported by the souvenir shops.Tourist at Seminyak comes from every stage of age and organize their travel by itself as a free traveler. Formal, luxury and modern are the characteristic of Seminyak area that why variant guest activities can be offered in order to attract them to be the repeater one. The competition in offering guest activities can be seen at hotels surrounding both for tourist who is inhouse gguest and also local community. Guest activities are offred to the guest during they are not dealing with outside travel programs in order to build new experience and also the new konwledge about Balinese culture. Guest activities are designed with several themes both leisure, culture, and others tourism topics. The program are divided into daily package, culture package, indoor and outdoor activities package. Some activities need to add surcharge for the programe. This program is interesting enogh for the guest surrounding, the suggestion given is the improvement the theme.

Kata kunci : Hotel, Guest Activities, Leisure, tourist, Alternative

159

1. PENDAHULUAN Aktivitas Leisure atau waktu luang adalah kebutuhan dan hak masing-masing individu, dan tourism atau aktivitas pariwisata adalah salah satu perwujudan pemanfaatan waktu luang bagi masing- masing individu. Pariwisata adalah implementasi leisure yang direncanakan dengan baik oleh pelakunya yang disebut wisatawan pada destinasi pilihan untuk berwisata. Bali adalah slah satu destinasi pilihan wisatawan baik mancanegara maupun wisatawan nusantara dari Indonesia sendiri, dalam pemilihan Bali sebagai destinasi wisatanya tentunya Salah satu sektor pariwisata yang berperan besar dalam membangun perekonomian adalah dari industri perhotelan. Industri perhotelan adalah salah satu komponen sektor pariwisata yang mendapat perhatian besar dari pemerintah, karena merupakan salah satu penghasil devisa negara. Industri perhotelan tidak hanya sebagai sarana tempat tinggal sementara bagi orang-orang yang melakukan perjalanan tetapi sudah berkembang menjadi pemenuhan kebutuhan manusia lainnya seperti, makan, minum, olahraga, rekreasi, konvensi, pertemuan profesi, jamuan serta pesta pernikahan dan lain-lain.Seiring semakin ketatnya persaingan industri perhotelan di Bali pada khususnya, maka hotel-hotel di balipun semakin menyediakan diversifikasi fasilitas yang dapat ditwarkan kepada calon tamu yang akan menginap. Selain beberapa kawasan yang sudah berkembang di Kabupaten Badung dan Kota Denpasar seperti Kuta, Sanur, Nusa Dua, dan Jimbaran, kawasan Seminyak Badung, telah berkembang pesat dengan pembangunan sarana akomodasi dan prasarana pendukung aktivitas Leisure wisatawan seperti restoran dan cafe, pusat perbelanjaan, galeri seni, pusat hiburan dan lain sebagainya Seminyak merupakan daerah yang terletak di kabupaten Badung, Bali. Membutuhkan waktu sekitar 35 menit dari bandara Ngurah Rai menuju ke Seminyak. Kawasan Seminyak memiliki pesona pantai yang hampir sama dengan Pantai Kuta maupun pantai Legian yang memiliki pasir putih dan kebersihan yang terjaga, dengan jumlah pengunjung yang relatif lebih sedikit dari pantai Kuta maupun pantai Legian. Oleh sebab itu pantai Seminyak memiliki kesan yang lebih private , tenang dan nyaman. Di kawasan ini terdapat beberapa jenis akomodasi dengan klasifikasi hotel berbintang, private villa, bungalow. Begitupun dengan berbagai pilihan restoran yang selain menawarkan makanan dan minuman juga menawarkan berbagai hiburan sebagai aktivitas leisure mereka tentunya dengan tujuan tamu lebih lama tinggal d restoran tersebut.

Tabel 1 Rata-rata Lama Tamu Menginap di Hotel – hotel Kawasan Wisata Seminyak Bulan September 2016 – Agustus 2017

Bulan 1-7 Hari 7-14 Hari 2 minggu – 1 bulan > 1 bulan September 74 33 6 - Oktober 85 32 3 - Nopember 77 26 7 6 Desember 62 38 2 10 JAnuari 79 29 16 - Februari 86 16 5 - Maret 65 34 11 - April 97 17 9 - Mei 95 11 15 - Juni 72 25 7 15 Juli 64 37 9 8 Agustus 59 28 14 - Total 915 326 104 39 Sumber : Data Observasi Lapangan

160

Pada Tabel 1 merupakan data rata-rata lama tamu menginap berdasarkan data yang didapat dari Hotel – Hotel yang ada di Kawasan Seminyak baik itu hotel bintang 4 maupun bintang 5, yaitu hotel T.S Suites Bali and Villas, IZE Hotel, Villa Lumbung, L Hotel Seminyak, Katamana Hotel, The Legian Bali Hotel, Seminyak Lagoon Hotel, dan The One Boutique Hotel. Hotel-hotel yang dijadikan sampel untuk mengetahui rata-rata lama tinggal wisatawan di Kawasan Seminyak ini merupakan Hotel yang suah beroperasi selama lebih dari 10 tahun dan ada juga hotel yang belum berumur 10 tahun. Berikut adalah pertumbuhan Hotel Bintang 4 dan 5 di Seminyak :

Tahun Jumlah Pertumbuhan (%) 2012 46 - 2013 49 6,53 2014 52 6,13 2015 54 3,85 2016 60 11,11 Jumlah 261

Dari data pertumbuhan hotel – hotel bintang 4 dan 5 di kawasan Seminyak, dapat dilihat bahwa persaingan pembangunan hotel-hotel juga terjadi di kawasan Seminyak, dan tentunya hotel-hotel di kawasan Seminyak selain berkompetisi dengan Hotel sekawasan juga berkompetisi dengan hotel kawasan lain. Pendapatan hotel atau hotel revenue selain didapat dari penjualan kamar, tentunya juga dihasilkan dari penjualan makanan dan minuman serta penawaran-penawaran aktivitas lainnya yang dikenal dengan istilah Guest Cativities yang bisa ditawarkan kepada tamu, terutama tamu yang datang dengan cara mengatur sendiri perjalan mereka, tamu yang datang dengan pasangan ataupun keluarga. Guest Activities saat ini sudah memiliki bagian tersendiri di beberapa Hotel di Bali yaitu ada pada Departemen Rekreasi / Recreation Departement, ataupun ada di bawah Departemen Kantor Depan maupun Departemen Tata Graha. Tamu yang datang dengan moda group juga tidak menutup kemungkinan menjadi target pasar hotel dalam penawaran aktivitas tambahan / Guest activities di hotel. Tamu Hotel yang moda perjalanannya diatur oleh biro perjalanan mereka tentunya sudah memiliki kegiatan yang teragenda selama mereka berada di Bali, mereka tidak banyak menghabiskan waktunya di hotel karena umumnya mereka sudah membayar satu paket perjalanan dan akomodasi selama berwisata di Bali. Namun di sela-sela waktu jeda tamu berwisata bersama travel agent, penawaran alternatif aktivitas leisure dapat ditawarkan kepada para tamu, baik itu tamu yang datang dengan teman, pasangan, keluarga, ataupun datang sendiri. Dari hasil wawancara dengan staf guest activity dapat digali informasi bahwa bentuk aktivitas rekreasi tamu di hotel umumnya sudah sangat bervariasi dan telah disesuaikan juga dengan tingkat usia dan kebutuhan tamu. Setiap tahunnya bersama Departemen Sales and Marketing dan Departemen Kantor Depan, Guest Activity departemen merancang program leisure activity bedasarkan history karakteristik tamu yang menginap di Hotel mereka. Mengingat Bali memiliki beberapa hari raya terkait budaya Bali yang berlandaskan Agama Hindu dan juga beberapa hari raya agama-agama selain Hindu di Bali juga dijadikan tema dalam merancang program rekreasi bagi tamu yang menginap di hotel. Selain tema budaya Bali, program daily leisure yang bersifat lebih singkat waktunya dan dapat dilakukan berulang-ulang oleh tamu juga dirancang oleh departemen rekreasi masing-masing hotel. Bentuk kegiatan / guest activity yang ada di hotel berupa out door ataupun in door activities, dan tidak semua kegiatan / program dipungut biaya oleh hotel, jika kegiatan tersebut masih menggunakan fasilitas yang memang telah ada di hotel, maka tamu hanya perlu membayar untuk penambahan pembelian makan dan minuman pendaping saja. Namun jika program yang dipilih adalah program dengan tema tertentu ataupun program tersebut merupakan program outdoor maka tamu biasanya dikenakan biaya tambahan. Biaya tambahan program rekreasi bagi tamu tentunya diharapkan

161

membawa peningkatan pendapatan hotel secara keseluruhan, namun terkadang hal ini belum dapat maksimal terlaksana. Tamu hotel terkadang masih ragu-ragu untuk memilih guest activities yang ada di hotel, maupun ada tamu juga yang merasa belum mendapat informasi yang lengkap tentang adanya aktivitas alternatif ini bagi mereka, sehingga mereka lebih memiliki variasi kegiatan saat tinggal di hotel. Untuk itu diperlukan kesigapan dan koordinasi yang lebih baik dalam penyampaian program rekreasi yang dimiliki hotel oleh berbagai departemen terkait di hotel yang bersangkutan sehingga dapat dijadikan pilihan oleh tamu. Dikarenakan setiap hotel atau berbagai bentuk penginapan lainnya berusaha memberikan nilai tambah yang berbeda terhadap produk dan jasa serta layanan yang diberikan kepada tamunya, yang membedakan suatu hotel berbeda dari lainnya dan hal tersebut juga dilakukan oleh hotel-hotel di kawasan Seminyak Bali. Berdasarkan latar belakang tersebut maka permasalahan dalam penelitian ini adalah : “Apa saja bentuk aktivitas rekreasi tamu / Guest Activities sebagai alternatif Leisure activities hotel-hotel di Kawasan Seminyak Bali ?. Adapun Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui Jenis-jenis guest activities yang ditawarkan kepada tamu yang menginap di hotel sebagai alternatif leisure activities bagi tamu hotel di kawasan Seminyak Bali.

2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan di 8 ( delapan ) hotel – hotel bintang 4 dan bintang 5 yang ada di kawasan Seminyak Bali yaitu : T.S Suites Bali and Villas, IZE Hotel, Villa Lumbung, L Hotel Seminyak, Katamana Hotel, The Legian Bali Hotel, Seminyak Lagoon Hotel, dan The One Boutique Hotel. Adapun batasan operasional variable pada penelitian ini adalah pada Produk Guest Activities Guest activities merupakan Program kegiatan leisure and recreation yang ditawarkan kepada tamu- tamu yang menginap di hotel-hotel sekitar seminyak, yang dalam hal ini dibatasi pada jenis program yang ditawarkan oleh Hotel Bintang 4 dan 5 di Kawasan Seminyak Bali, baik itu kegiatan indoor maupun outdoor. Disesuaikan dengan karakteristik tamu yang menginap di hotel yang bersangkutan. Jenis data adalah data kualitatif dan kuantitatif, sumber data adalah data primer dimana data dikumpulkan langsung ke lokasi penelitian, dan data sekunder yang diperoleh dari berbagai referensi. Teknik Pengumpulan data dilaksanakan dengan observasi, wawancara, dan studi dokumentasi. Teknik purposive sampling digunakan untuk menentukan informasi kunci yang akan diwawancarai. Penggunaan purposive sampling diharapkan dapat memperoleh informasi atau data-data yang lebih lengkap dan valid.Dalam teknik ini informan ditentukan dengan sengaja oleh peneliti (Gorda, 1994).Dalam penelitian ini penulis melakukan wawancara dengan menggunakan pedoman wawancara informan yaitu informan kunci dan informan ahli. Penentuan Penentuan informan ahli yaitu kepada salah satu staff guest activities di Hotel – hotel bintang 4 dan 5 di Seminyak terkait pertanyaan tentangguest activities. Analisa data yang digunakan dalam laporan ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu penggambaran sifat suatu keadaan yang berjalan pada saat penelitian.Prinsip pokok metode ini adalah mengolah dan menganalisis data-data yang terkumpul menjadi data sistematis, teratur dan terstruktur, dan mempunyai makna (Sarwono dan Lubis, 2007: 110).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Hotel Hotel-hotel bintang 4 dan bintang 5 di Kawasan Seminyak yang menjadi sampel dalam penelitioan ini yaitu T.S Suites Bali and Villas, IZE Hotel, Villa Lumbung, L Hotel Seminyak, Katamana Hotel, The Legian Bali Hotel, Seminyak Lagoon Hotel, dan The One Boutique Hotel umumnya adalah hotel yang memiliki luxurious fasilitas dengan jumlah kamar yang tidak terlalu banyak namun kisaran harga cukup tinggi. Fasilitas kamar disesuiakan dengan klasifikasi kamar, baik itu villa, bungalow, dan family. Untuk restoran, dari ke delapan sampel restoran di kawasan Seminyak ini, untuk fasilitas restoran yang mereka miliki, menyediakan breakfast, lunch, dinner bagi tamu yang menginap, service yang mereka berikan kepada tamu berdasarkan pilihan layanan kamar yang mereka

162

pilih, hanya makan pagi, atau makan pagi sampai makan malam mereka membayar untuk semua pelayanan hotel, berdsasarkan permintaan tamu dan tentunya harga kamar akan menyesuaikan. Adapun fasilitas-fasilitas lain yang dimiliki hotel adalah A long free from swimming pool, Internasional TV Channels (e.g. CNN, Discovery, MTV, ABN) & Local Channels, Fitness & Spa, Broadband Internet Connections available, Tour and Transport desk, Doctor On-Call 24 Hours, Shuttle Service , arcade for souvenir.

Guest Activities atau Recreation Departement Guest activities atau Recreation merupakan outlet atau section yang menangani bidang rekreasi dan kegiatan kegiatan yang bersifat rekreasi untuk tamu.Guest activities tidak berperan secara langsung dalam hal memasarkan hotel, tetapi guest activities membantu menginformasikan dan bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pelaksanaan program. Guest Activities / recreational department inilah yang akan menangani tamu-tamu yang memutuskan untuk membeli atau bergabung dengan program hotel ini. Dalam penawaran dan informasi kepada tamu yang menginap, recreational / Guest Activities Departement berkoordinasi dengan Departemen Kantor Depan. Departemen kantor depan telah memiliki perkiraan tamu yang akan datang dan berapa lama mereka akan tinggal, serta status tamu tersebut apakah tamu datang dengan group atau mengorganisir kedatangan mereka dengan mandiri. Bagian kantor depan yang dalam hal ini yang bertugas adalah information section akan membantu pihak departemen rekreasi untuk menginformasikan kepada tamu bahwa hotel memiliki beberapa program kegiatan leisure and recreation yang dapat menjadi alternatif pilihan kegiatan tamu selama ada di Seminyak. Dalam hal ini, hotel-hotel di Seminyak memang juga memiliki kerjasama dengan beberapa travel agent dalam kesepakatan kontrak untuk membantu menawarkan dan memasarkan paket tour mereka kepada para tamu hotel, dan pihak information centre di kantor depan wajib melaksanakan tugas tersebut. program hotel dikemas dengan cara tersendiri sesuai seni kreativitas dari pihak departemen rekreasi sehingga tamu memiliki lebih banyak alternatif pilihan. Jam kerja / shift karyawan guest activities dari masing-masing hotel umumnya adalah sebagai berikut: 1. Untuk shift pagi dari pukul 08.00 pm – 16.00 pm dengan waktu istirahat selama 1 jam 2. Untuk shift siang dari pukul 12.00 pm – 20.00 pm dengan waktu istirahat selama 1 jam Berdasarkan jumlah jam kerja/shift karyawan disetiap bagian front office department dalam satu hari adalah 8 jam dengan waktu istirahat selama 1 jam. Selain jam kerja, diatur juga tentang cuti maupun hari libur lainnya untuk setiap karyawan yang memerlukan. Pembagian kerja section guest activitiesdalam seminggu untuk koordinator yaitu 5 hari kerja karena coordinator mengikuti jadwal kerja bagian back of the house management dan 2 hari libur, untuk staff 6 hari kerja dan 1 hari libur, namun untuk Daily Worker atau DW juga mendapatkan 1 kali libur. Dalam hal ini jam bertugas staff guest activities / recreational department disesuaikan denganprogram yang dilaksanakan untuk tamu. Jika memang sedang ada program tour yang ada diluar hotel, maka jam kerja staff disesuaikan. Demikian juga jika ada daily program yang sekiranya samapai malam disesuaikan tema maka jam kerja staff juga disesuaikan sampai acara selesai dengan baik. Departemen ini akan mengadakan koordinasi dengan departemen tata graha, departemen kantor depan, bagian pemeliharaan dan engineering serta tentunya adalah food and beverages sehingga kegiatan dapat berjalan lancar.

Program Guest Activities Hotel-Hotel di Seminyak

Pada tabel 2 dan tabel 3 merupakan gabungan program aktivitas rekreasi bagi tamu / guest activities di 8 hotel yang menjadi sampel, dari hasil wawancara dapat ditabulasi jenis-jenis program yaitu program paket dan program daily / aktivitas leisure harian. Program paket biasanya ditawarkan kepada tamu yang memiliki lama tinggal lebih dari 3 hari, karena program ini biasanya mengambil waktu sehari penuh atau lebih dari satu hari jika program tersebut dikaitkan bagian dari kegiatan MICE dari hotel.

163

Berikut adalah deskripsi masing-masing guest activities yang ditawarkan hotel-hotel di kawasan Seminyak sebagai alternative kegiatan leisure mereka :

Tabel 2 : Guest Activities Hotel Package di Seminyak

Healing touch / massage merupakan program yang terkait dengan healing, relaxation, dan rejuvenation yang ditawarkan kepada tamu yang berupa paket, sering juga disebut paket wellness dengan kisaran harga 150.000 – 250.000 per orang sekali perawatan. Organic Farm Tour , pada paket program ini, hotel biasanya bekerjasama dengan pihak perkebunan organik yang ada di beberapa kabupaten di Bali, tamu akan diajak untuk mengunjungi perkebuanan tersebut dengan kisaran harga 100.000 sampai 155.000 per orang Animal Farm, seperti halnya program perkebunan organik, program ini juga dilaksanakan dengan adanya kerjasama dengan peternakan dan tamu diajak langsung untuk datang berkunjung. dengan kisaran harga 100.000 sampai 155.000 per orang Pony Riding, biasanya disukai oleh anak-anak, bekerjasama dengan peternakan Lake view trek bagian dari aktivitas outdoor yang bisa dilakukan bersama keluarga dengan kisaran rp. 75.000 – rp. 100.000 per orang Balinese Costume Photo berfoto dengan menggunakan pakian adat Bali dengan latar belakang bisa di studio foto maupun di mobjek wisata atau sekitar hotel. Untuk kisaran harga bergantung pada pilihan kelengkapan atribut pakaian adat Bali yang dipilih untuk berfoto dan lokasi pengambilan foto. Aerobic Class merupakan kegiatan yang dapat dilakukan pada fasilitas gym yang dimiliki hotel dengan pilihan dengan didampingi instruktur atau berlatih sendiri sehingga gratis dalam penggunaan alat-alat olah raga yang ada. Adventure zone merupakan aktivitas outbound / outdoor yang dilakukan di beberapa objek wisata yang ditawarkan kepada tamu, dengan kisaran biaya berdasarkan tingkat kesulitan aktivitas dan objek yang dipilih Mountain Bike trek aktivitas yang dilakukan di daerah pegunungan, dimana phak hotel yang menyediakan sepeda dan atribut keamanan yang terjamin bagi tamu dengan lokasi di objek-objek wisata dengan karakter pegunumgan.

A day in the life of a farmer tamu hotel diajak menikmati kegiatan pertanian dan mengenal bagaimana pertanian di Bali dan tentunya berinteraksi langsung dengan para petani Balinese cooking kegiatan ini dilakukan di hotel namun dengan bahan-bahan memasak masakan Bali yang memang dikhususkan untuk kegiatan ini. Balinese Offering (mejejaitan) kegiatan belajar membuat “banten” yang dilatih oleh mereka yang tentunya paham akan makna dari persembahan tersebut. Kiddies happy hours aktivitas yang ditujukan khusus bagi keluarga dengan anak- anak mereka Visiting Traditional Market biasanya dilaksanakan pada pagi sampai siang hari dan tamu juga dipersilahkan untuk berbelanja di pasar, hotel menyediakan kendaraan dan pemandu Tree planting kegiatan menanam pohon dan tumbuhan-tumbuhan lain yang juga dikaitkan dengan kegiatan CSR dari hotel

164

Yoga and meditation aktivitas ini dapat dilaksanakan di hotel maupun di sekitar pantai daerah Seminyak yang juga dibimbing oleh seorang instruktur Printing and Painting aktivitas yang dapat dipilih wisatawan dan biasanya disesuikan dengan tema budaya Bali Fun and Colouring Competition aktivitas untuk anak-anak yang dapat dilakukan di sekitar kolam maupun taman hotel Seasional / theme program aktivitas ini adalah program yang disesuaikan dengan tema tertentu ataupun dengan perayaan hari-hari raya tertentu, baik itu terkait keagamaan maupun terkait perayaan internasional. Sumber: wawancara di lapangan

Tabel 3 : Daily Guest Activities Hotel Program at Seminyak

Daily Yoga Origami Class Flower Arrangement Marble and Coin Contest Fitness introduction Pool Games Water aerobic Basket Three on Three Legong Dance ―KEBEN‖ on head Balinese dress up and dancing Art and Craft Beach Volleyball Indonesian Language Lesson Cookie Baking at Kids Club Finding Ball at the Pool Stretching and Flexibility Pool Games Bike Tour Sack Race Tai bo Visit Night Market Beach Soccer Card Creation Coffee and Tea Processing Face Painting Kiddy bike Chess Fun Games Paintball Balinese Costumed Photo Kiddy Golf Dart Games Pond fishing Feeding Bird Sunrie watching Basket Ball Finger Nature Art Eating Contest Pizza Making Soccer and Basket Ball Nature art Snorkling Lesson Introductory Yoga Marble on Spoon Contest Karaoke Teasure Hunt Ping Pong tournament Hula Hup Sumber: wawancara di Lapangan

Pilihan alternative guest activities pada tabel 3 merupakan aktivitas leisure harian yang dapat dilakukan tamu dengan berbagai rentang usia dan biasanya tamu bisa mendapatkan informasi di bagian informasi kantor depan atau langsung menghubungi bagian rekreasi. Ada beberapa aktivitas yang memang tidak dibebankan biaya tambahan lagi kepada tamu karena diperhitungkan dari jenis kamar dan lama tamu mengin ap. Jika hotel mampu menjual program guest activities mereka kepada tamu yang menginap tentunya mereka dapat menjadi sumber pendapatan hotel selain produk kamar dan makan minum. Program ini juga akan memberikan dampak penjualan makan dan minum karena otomatis tamu lebih lama beraktivitas di hotel. Hal ini menjadi tantangan bagi hotel-hotel di Seminyak, baik itu klasifikasi bintang maupun non bintang.

165

Gambar 1. Pilihan program guest activities yang dapat ditawarkan oleh departemen kantor depan kepada tamu.

Gambar 2. Venue atau tempat pelaksanaan program yang ditawarkan kepada tamu hotel.

4. KESIMPULAN Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa untuk tetap mempertahankan eksistensi dari ketatnya persaingan dalam aktivitas kepariwisataan, terutama pertumbuhan akomodasi yang cukup pesat di kawasan Seminyak, maka hotel-hotelmklasifikasi bintang 4 dan bintang 5 memiliki program leisure and recreation yang dapat ditawarkan kepada tamu yang menginap. Program ini biasa diistilahkan dengan Guest Activities yang dikelola oleh departemen rekreasi / guest activities department, dimana berkoordinasi terutama dengan bagian kantor depan dan bagian hosekeeping dan tentunya bagian food and beverages. Dari data tabulasi hasil wawancara dengan staff guest activities 8 hotel bintang 4 dan 5 yang menjadi sampel, guest activities program yang ditawarkan ada yang berupa paket / package program ada juga yang berupa acara harian / daily leisure program. Program ini selain untuk menambah revenue hotel karena biasanya ada biaya tambahan yang dikenakan kepada tamu yang berpartisipasi juga dapat menambah lama tinggal tamu jika dari awal tamu sudah memilih akan berpartisipasi pada program apa. Kisaran harga ada yang Rp 50.000 sampai Rp. 150.000 per orang untuk daily guest activities, dan kisaran Rp.150.000 sampai Rp 2. 000. 000 untuk program paket. Adapunklasifikasi aktivitas yang ditawarkan adalah indoor dan outdoor aktivitas, pengetahuan budaya Bali, aktivitas untuk anak-anak dan orang tua, dan aktivitas-aktivitas rekreasi harian yang tidak memerlukan waktu dan fasilitas yang berlebihan.

166

DAFTAR PUSTAKA

Christopher R. Edgnitor, C.J. Hanson, dkk. 1992. Leisure programming Concepts, trends and professional, practice J. Murphy 1997. Delivery of Community leisure service ; An. Holistic approach. tourism and recreation. Stephen William. 2003. Leitner, J Michael dan F, Sara. 2012. Leisure in Later Life. Sagamore Publishing Permata Budi, Agung. 2013. Manajemen Marketing Perhotelan.Yogyakarta: Andi Pitana, I Gede dan Surya Diarta, I Ketut.2009.Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: Andi Wahyu Antara Putra, A.A Gede. 2014. Analisis Kualitas Pelayanan Concierge Terhadap Kepuasan Wisatawan di Seminyak LAgoon Al Suites Denpasar Bali.

167

PEMBANGUNAN PARIWISATA DI BALI : TRADE OFF PERTUMBUHAN EKONOMI DAN PENCEMARAN LINGKUNGAN

Ni Made Tisnawati1), Nyoman Sukma Arida2) Fakultas Ekonomi Bisnis, Universitas Udayana Email: [email protected]

Abstrak

Peningkatan pertumbuhan ekonomi adalah salah satu indikator keberhasilan kebijakan ekonomi suatu pemerintahan. Kepemimpinan nasional saat ini yang memprioritaskan pemerataan pembangunan melalui pembiayaan pembangunan di bidang infrastruktur di berbagai daerah. Strategi untuk memenuhi pembiayaan tersebut dilakukan dengan meningkatkan kontribusi masing-masing sektor ekonomi dalam pertumbuhan nasional, salah satunya adalah sektor pariwisata. Pesatnya pembangunan sektor pariwisata, khususnya di Provinsi Bali tidak hanya menimbulkan pengaruh positif bagi pertumbuhan ekonomi, namun juga menyisakan eksternalitas negatif. Peran pemerintah perlu ditingkatkan untuk meminimalisir dampak negatif eksternalitas.

Kata Kunci : Sektor pariwisata, eksternalitas negatif 1. PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi yang berkelanjutan pada prinsipnya adalah pembangunan yang meletakkan manusia sebagai subyek pembangunan. Mulai dari perencanaan, pelaksanaan hingga pengawasan, selalu dilaksanakan untuk kepentingan manusia di mana daerah dan negara tersebut berasal. Karakteristik dari lokasi geografis, budaya dan kondisi sosial ekonomi, membuat pembangunan satu daerah dengan daerah lain berbeda. Pembangunan berkelanjutan tidak hanya melihat keberhasilan suatu kebijakan dari sisi pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di Indonesia dicatat, dihitung dan dipublikasikan oleh BPS secara kontinyu. Pertumbuhan ekonomi tidak hanya dilihat dari nilai output saja, namun juga kontribusi masing-masing sektor dalam total nilai output nasional Indonesia. BPS mencatat pertumbuhan ekonomi nasional tahun 2017 pada triwulan ke III tahun 2017 mengalami pertumbuhan sebanyak 5,06 persen meningkat dibandingkan tahun 2016 yang tercatat tumbuh sebanyak 5,02 persen (BPS, 2017). Gambar 1 menunjukkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III tahun 2017 didominasi sektor industri sebanyak 19,93 persen. Sektor pertanian sebagai sektor primer memberikan kontribusi yang masih signifikan yakni sebesar 13,96 persen. Meskipun jika dilihat pertumbuhan sektor ini hanya 2,92 persen. Sektor perdagangan memberikan kontribusi terbesar ketiga yakni sebanyak 12,98 persen. Selain sektor konstruksi dan pertambangan, sektor jasa tercatat memberikan kontribusi sebesar 20.33 persen. Sektor jasa yang tersebar dalam bentuk jasa keuangan dan asuransi, informasi dan komunikasi, jasa pendidikan, jasa kesehatan. Namun jika dilihat dari pertumbuhan masing-masing sektor ekonomi, maka sektor jasa perusahaan, sektor jasa lainnya dan sektor informasi dan komunikasi mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dibandingkan sektor lain. Semakin meningkatnya penggunaan teknologi komunikasi dan informasi dalam segala aspek kehidupan masyarakat, mulai dari transportasi hingga perdagangan (e-commerce), membuat sektor ini tumbuh sebanyak 9,35 persen. Efisiensi dan debirokratisasi pelayanan publik nampaknya berpengaruh pada rendahnya pertumbuhan sektor administrasi pemerintahan, yakni sebesar 0,43 persen.

168

Gambar 1. Struktur PDB dan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Lapangan Usaha Triwulan III Tahun 2017 sumber : BPS (2017)

Jika dilihat dari pendekatan pengeluaran, pertumbuhan ekonomi Triwulan III masih didominasi pertumbuhan konsumsi rumah tangga, sebagaimana terlihat pada gambar 2 .

Gambar 2. Struktur PDB dan Pertumbuhan Ekonomi Menurut Pengeluaran Triwulan III Tahun 2017 Sumber : BPS(2017)

169

Meskipun kontribusi konsumsi rumah tangga paling tinggi dibandingkan investasi, ekspor, impor dan konsumsi pemerintah, namun pertumbuhannya hanya 4,93 persen. Investasi yang ditandai dengan Nilai PMTB tumbuh sebesar 7,11 persen. Pertumbuhan ekspor menunjukkan kondisi yang sangat menggembirakan yaknik 17,27 persen. Penurunan pertumbuhan konsumsi rumah tangga pada sektor riil diduga sebagai akibat pergeseran perilaku konsumen yang didominasi konsumen kelas menengah di Indonesia. Konsumen kelas menengah pada khususnya mengalokasikan konsumsinya untuk melakukan kegiatan rekreasi (pariwisata) dibandingkan berbelanja barang konsumsi. Sektor pariwisata menjadi salah satu dari lima sektor prioritas pembangunan Indonesia. Sektor pariwisata ini ditargetkan akan menghasilkan devisa 260 Trilyun. Di Tahun 2017 sektor pariwisata secara konsisten menjadi program prioritas, yaitu pembangunan pariwisata Indonesia “Wonderful Indonesia”. Pariwisata merupakan salah satu dari 5 (lima) sektor prioritas pembangunan 2017, yaitu pangan, energi, maritim, pariwisata, kawasan industri dan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Beberapa alasan untuk menjadikan sektor pariwisata sebagai the leading sector dalam perekonomian Indonesia didukung kontribusinya terhadap beberapa variabel ekonomi makro. Pertama, dengan meningkatnya destinasi dan investasi pariwisata di Indonesia, menjadikan Pariwisata sebagai faktor kunci dalam pendapatan ekspor, penciptaan lapangan kerja, pengembangan usaha dan infrastruktur. Kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB dalam lima tahun terakhir yaitu tahun 2010 hingga tahun 2015 selalu mengalami peningkatan. Menurut sumber BPS/Kementerian Pariwisata, tahun 2010 kontribusi sektor pariwisata terhadap PDB sebesar Rp 261,05 T menjadi Rp 461,36 T. Kontribusi sektor pariwisata terhadap Devisa sebesar 7.603,45 juta dollar pada tahun 2010 menjadi 12.225,89 juta dollar (2015) dan kontribusi terhadap Tenaga Kerja sebesar 4 juta orang tahun 2010 menjadi 12,1 juta orang atau 10,6% dari total tenaga kerja nasional. Kedua, Pariwisata telah mengalami ekspansi dan diversifikasi secara berkelanjutan di dunia dan menjadi salah satu sektor ekonomi yang terbesar dan mengalami pertumbuhan tercepat di dunia. Hal ini dibuktikan bahwa meskipun negara- negara di dunia mengalami krisis global beberapa kali, nanun jumlah orang yang melakukan perjalanan wisatawan di tingkat internasional menunjukkan pertumbuhan yang positif dari tahun ke tahun. Jika dilihat dari perkembangan jumlah kunjungan wisatawan asing di Indonesia periode 2007 – 2015 menunjukkan adanya peningkatan jumlah wisatawan. BPS (2015) menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan asing meningkat dari 9,44 persen pada tahun 2014 meningkat menjadi 9,73 persen pada tahun 2015. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025, pertumbuhan sektor pariwisata sangat ditentukan oleh pembangunan daya Tarik wisata. Pembangunan daya tarik wisata dilaksanakan berdasarkan prinsip menjunjung tinggi nilai agama dan budaya, serta keseimbangan antara upaya pengembangan manajemen atraksi untuk menciptakan daya tarik wisata yang berkualitas, berdaya saing, serta mengembangkan upaya konservasi untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan sumber daya. Pembangunan daya Tarik wisata mensyaratkan adanya pembangunan pariwisata yang berkelanjutan. Teori dasar ekonomi mikro Case, Fair, Oster: “Principles of Economics” (2015) menjelaskan kondisi keseimbangan pasar yang diasumsikan sempurna, selalu menghasilkan kondisi keseimbangan. Pada gambar 3 menunjukkan bagaimana aliran barang dan jasa antar pelaku ekonomi pada akhirnya akan menimbulkan kondisi keseimbangan pasar barang dan jasa.

170

Gambar 3. Keseimbangan Pasar Barang dan Jasa Input yang berasal dari sektor rumah tangga dan perusahaan terserap dengan efisien untuk bertemu dalam pasar barang dan jasa. Pertemuan antara permintaan dan penawaran di pasar barang dan jasa menimbulkan terciptanya keseimbangan. Produsen dalam pasar persaingan sempurna diasumsikan memiliki keterbukaan informasi, berproduksi secara efisien, memberikan konsumen barang yang relative homogen, konsumen memiliki banyak pilihan dan bebas menentukan pilihannya. Sehingga kondisi produsen dalam pasar persaingan sempurna terlihat dalam gambar 4 berikut ini.

Gambar 4. Kondisi Produsen Pasar Persaingan Sempurna Saat Berada dalam Kondisi Untung dan Rugi Gambar 4 menunjukkan peningkatan jumlah permintaan konsumen yang diikuti dengan keterbatasan produksi akhirnya akan menimbulkan kenaikan harga dari PoX ke P1X. Kondisi produsen berada dalam posisi meraih profit tercipta karena produsen berproduksi pada saat MR bersinggungan dengan MR=AR=D sesuai dengan karakteristik pasar persaingan sempurna. Sehingga harga menjadi

171

lebih tinggi dari biaya yang dikeluarkan, sehingga memberikan profit bagi produsen. Kondisi sebaliknya terjadi pada saat produsen diasumsikan mengalami kerugian. Akan tetapi pada kenyataannya kondisi pasar persaingan sempurna juga dinilai sangat sulit direalisasikan dan memiliki beberapa kelemahan, antara lain kemungkinan produsen melakukan efisiensi biaya sebagai akibat harga yang tidak mungkin dinaikkan karena konsumen akan beralih dengan cepat ke produsen lain. Efisiensi yang dilakukan misalnya dengan melakukan tindakan yang dapat merugikan kepentingan umum. Sehingga timbullah apa yang dinamakan kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar terjadi ketika sumber daya dialokasikan secara tidak tepat, atau tidak secara efisien. Berakibat pada pemborosan nilai. Penyebabnya antara lain adalah; 1. Struktur pasar yang tidak sempurna atau perilaku yang tidak bersaing secara wajar 2. Keberadaan barang publik 3. Munculnya manfaat dan biaya eksternal 4. Informasi yang Tidak Sempurna Nicholson (2000) mendefinisikan eksternalitas (eksternality) adalah dampak dari aktivitas satu pelaku ekonomi terhadap kesejahteraan pelaku ekonomi lainnya yang tidak diperhitungkan oleh mekanisme sistem harga yang normal. Definisi tersebut ditekankan pada dampak non pasar yang secara langsung berpengaruh pada satu pelaku dari pelaku lainnya , jadi tidak termasuk pengaruh yang terjadi melalui pasar. Eksternalitas dapat terjadi di antara dua pelaku ekonomi, bisa pengaruh positif dan negatif. Pola eksternalitas dapat terjadi pada hubungan berikut ini: 1. Eksternalitas Antar Perusahaan output satu perusahaan berakibat pada penurunan kualitas perusahaan yang lain. Sebaliknya eksternalitas positif terjadi bila output perusahaan satu berdampak pada peningkatan output yang lain. Contoh eksternalitas negatif adalah perusahaan arang dengan pencemaran udaranya dan perusahaan kacamata yang sangat tergantung pada ketelitian penglihatan. Contoh eksternalitas positif adalah perkebunan apel dan peternakan lebah. Hasil produksi buah apel meningkatkan hasil peternakan lebah dan sebaliknya. 2. Eksternalitas antara Perusahaan dan orang Aktivitas produksi perusahaan dapat berpengaruh secara langsung terhadap kesejahteraan individu. Pencemaran air akibat produksi suatu pabrik dapat menurunkan kualitas hidup individu. Sebaliknya individu juga dapat mengurangi produktifitas petani. Pesatnya pertumbuhan pertokoan memberikan konsekuensi bagi meningkatnya jumlah sampah di perkotaan. 3. Eksternalitas Antar Orang Merokok di tempat umum sembarangan atau membunyikan keras sehingga komunitas terganggu adalah bentuk eksternalitas negative. Sebaliknya menjaga kebersihan lingkungan di tempat publik adalah bentuk eksternalitas positif. Perusahaan yang memproduksi polusi mempunyai dorongan yang sama untuk memilih tingkat output yang efisien sebagaimana dorongan pada perusahaan yang dirugikan. Kemampuan dari kedua perusahaan untuk tawar menawar secara bebas menyebabkan biaya sosial yang sebenarnya dari eksternalitas diketahui oleh setiap perusahaan dalam pengambilan keputusannya. Teorema Ronald Coase menyebutkan jika tawar menawar tidak berbiaya, biaya sosial dari eksternalitas akan diperhitungkan oleh kedua belah pihak dan alokasi sumberdaya akan sama, terlepas dari siapa pun yang diberi hak milik.

172

Hasil dari teorema Coase sangat tergantung pada asumsi bahwa biaya tawar menawar tersebut adalah nol. Jika biaya untuk melakukan tawar menawar tersebut tinggi, bekerjanya sistem pertukaran sukarela (voluntary) ini mungkin tidak dapat mencapai hasil yang efisien. Secara umum diyakini bahwa pasar kelihatannya gagal (failure) untuk menangani begitu banyak eksternalitas yang terkait dengan lingkungan. Perusahaan dan individu secara rutin memproduksi polusi udara dan air melalui aktivitas pembuangan limbah. Tingkat kebisingan perkotaan seringkali merugikan kesehatan penduduk. Tayangan iklan atau poster di jalan menimbulkan apa yang disebut sebagai polusi visual. Dalam pandangan Teorema coase, pertanyaan alami yang muncul pertama kali tentang eksternalitas ini adalah mengapa hal tersebut tidak diselesaikan melalui tawar menawar. Sehingga terlihat bahwa mereka yang dirugikan oleh eksternalitas tersebut dan pada akhirnya meningkatkan alokasi sumberdaya. Alasan prinsip kesempatan tipe Coase tidak terjadi pada kasus ini adalah karena biaya tawar menawar yang tinggi seringkali dikaitkan dengan sebagian besar eksternalitas lingkungan. Seringkali sulit untuk mengorganisasi orang yang dirugikan oleh eksternalitas ini ke dalam suatu unit bargain yang efektif dan untuk menghitung nilai moneter dari kerugian setiap orang yang terkena dampaknya. Kebanyakan sistem legal telah dibuat terutama untuk menyelesaikan perselisihan antara dua penggugat daripada mewakili hak dari grup yang lebih besar dan lebih tersebar. Seperti kelompok orang yang mungkin terkena dampak dari kerusakan lingkungan. Faktor faktor tersebut membuat biaya tawar menawar menjadi sangat tinggi, pada beberapa kasus. Dalam kasus yang dicirikan biaya transaksi atau biaya tawar menawar yang tinggi, pemberian hak kepemilikan dapat menghasilkan efek alokasi yang signifikan. Jika seperti yang umumnya menjadi kasus, pembuangan ke udara dan air diperlakukan sebagai properti umum, maka hal ini seolah-olah memberikan hak penggunaan kepada setiap perusahaan. Perusahaan mungkin menggunakan udara dan air disekitarnya dengan cara apa pun yang dipilihnya dan biaya yang tinggi akan mencegah perusahaan tersebut untuk menginternalisasi setiap biaya eksternal ke dalam keputusannya. Aktivitas yang memproduksi polusi dapat beroperasi pada tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat optimal kecuali diterapkan tipe mekanisme kontrol yang spesifik. Melalui pengenaan pajak, pemerintah dapat menyebabkan output perusahaan dikurangi, sehingga mengalihkan sumberdaya kepada penggunaan lain. Pertama kali diperkenalkan sebagai penyelesaian masalah eksternalitas oleh A.CPigou (1920). Reksohadiprodjo (1992) menjelaskan aplikasi pemaksimalan utilitas konsumen dalam terapan ekonomi lingkungan. Beberapa asumsi yang dipergunakan antara lain: 1. Suatu pedoman yang disebut value judgement atau penilaian subyektif terhadap nilai-nilai perlu ditentukan. Keberhasilan suatu sistem ekonomi dinilai dari kemampuan sistem tersebut memenuhi kebutuhan serta keinginan manusia 2. Kebutuhan serta keinginan manusia dapat dilihat dari segi konsumsi dan segi produksi 3. Dari segi konsumsi manusia mempunyai pilihan di antara barang-barang konsumsi dan jasa- jasa yang tersedia. Fungsi kegunaan menjadi ukuran seberapa jauh pilihan ini dipenuhi. 4. Dari segi produksi, manusia menilai suatu pekerjaan berdasar pada besarnya upah dan kondisi kerja 5. Setiap individu menilai kebutuhan dan keinginannya. Dalam hal lingkungan ada orang yang menilai tinggi lingkungan, ada yang menilai rendah keadaan tersebut.

173

6. Pemerintah dapat menjadi wakil pandangan masyarakat karena individu individu sering tidak dapat mengemukakan penilaiannya terhadap sesuatu hal. Oleh karena itu campur tangan pemerintah pada satu hal dan lain hal dapat dibenarkan. Pada beberapa dampak pencemaran yang ditimbulkan oleh suatu perusahaan dalam proses produksinya, terjadilah ketidakefisienan ekonomi. Masalah pencemaran lingkungan merupakan aspek yang banyak diteliti terutama sehubungan dengan adanya eksternalitas ekonomi yang sifatnya negative atau external diseconomies yaitu kegiatan ekonomi yang mempengaruhi kesejahteraan manusia. Hal lain yang dapat diamati adalah pada pasar persaingan sempurna, tanpa campur tangan pemerintah, adanya external diseconomies yang ditimbulkan oleh sebuah industry menyebabkan atau memungkinkan semakin parahnya derajat pencemaran dan semakin beratnya biaya eksternal yang ditimbulkannya. Kesimpulan ini juga berlaku pada sistem pasar selain pasar persaingan sempurna. Sebuah perusahaan yang memperhitungkan biaya sosial pada pasar persaingan tanpa campur tangan pemerintah, akan terdesak keluar dari industri karena harga barangnya lebih tinggi dibandingkan harga barang dari perusahaan pesaingnya. Hal inilah yang menyebabkan perusahaan mengabaikan kualitas lingkungan. Apabila biaya eksternal tidak diperhitungkan ke dalam harga hasil maka harganya menjadi lebih murah. Konsumen memperoleh keuntungan dari kondisi ini. Pada prinsipnya jalan keluar dari eksternalitas ini adalah menginternalisasikan biaya eksternal, yaitu memperhitungkan semua biaya eksternal seperti bila menghitung biaya pekerja atau biaya modal ke dalam perhitungan biaya produksi. Sehingga posisi alokasi sumberdaya yang maksimum dan keadilan pembagian beban pencemaran dapat tercapai kembali. Kesulitan yang dihadapi dalam menyelesaikan masalah pencemaran lingkungan anara lain disebabkan oleh mahalnya biaya informasi, biaya transaksi, dan perundingan antara pihak. Keberadaan barang publik, dan pengukuran manfaat dan biaya penanggulangan pencemaran sulit dilakukan apalagi dengan ketidakpastian. 3. PEMBAHASAN Kontribusi sektor pariwisata dalam perekonomian Indonesia diharapkan semakin besar. Mengingat sektor ini memiliki dampak pengganda pendapatan dan penyerapan tenaga kerja pada semua sektor ekonomi yang terkait. Yakni sektor pertanian, industri dan jasa. Kondisi ini tergambar dalam data yang menunjukkan potensi, dan peluang pengembangan pariwisata berikut ini.

Tabel 1. Kondisi Industri Pariwisata Indonesia

2016 2017 2018 2019

Kontribusi terhadap PDB 11 13 14 15 (%)

Penerimaan Devisa 172.8 182.0 223.0 275.0 (Rp trillion)

Penyerapan Tenaga Kerja 11.7 12.4 12.7 13.0 (juta orang)

Indeks Daya Saing n.a. 40 n.a. 30 (WEF)

174

Kunjungan Wisman 12 15 17 20 (juta)

Perjalanan Wisnus 260 265 270 275 (juta)

Sumber : Kementerian Pariwisata (2016) Pentingnya pertumbuhan di sektor pariwisata tidak hanya membuat pembangunan sarana penunjang dan destinasi wisata menjadi diprioritaskan, namun juga membuat semua penyerapan tenaga kerja terutama terdidik diarahkan bagi pengembangan sektor ini. Pada upaya peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara, semua fasilitas penunjang dipersiapkan untuk meningkatkan daya saing Indonesia di bidang sektor pariwisata. Upaya peningkatan sektor pariwisata menjadi sektor andalan dalam pembangunan ekonomi Indonesia membuat semua input dalam rumah tangga dan produsen dimaksimalkan dalam upaya memenuhi pembangunan sektor pariwisata. Sektor ini diharapkan dapat berkontribusi lebih banyak dalam perbaikan variabel ekonomi makro, salah satunya adalah penyerapan tenaga kerja dan penurunan jumlah pengangguan, yang kondisi saat ini tergambar dalam Gambar 5.

Gambar 5. Kondisi Penduduk Usia Kerja di Indonesia Gambar 5 menunjukkan jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,04 juta orang (5,5 persen) dari angkatan kerja. Sementara dari 121,02 penduduk yang bekerja, hanya 72 persen yang berstatus pekerja penuh. Sisanya berstatus pekerja paruh waktu dan setengah menganggur. Dalam Travel & Tourism Competitiveness Report dari World Economic Forum, yang "mengukur sejumlah faktor dan kebijakan yang memungkinkan perkembangan berkelanjutan dari sektor travel & wisata, yang pada gilirannya, berkontribusi pada pembangunan dan daya kompetitif negara ini,” Indonesia melompat dari peringkat 70 di tahun 2013 menjadi peringkat 50 di tahun 2015. Peningkatan ini disebabkan pertumbuhan cepat dari kedatangan turis asing ke Indonesia, prioritas nasional untuk industri pariwisata dan investasi infrastruktur (contohnya jaringan telepon selular kini mencapai sebagain besar wilayah di negara ini, dan transportasi udara telah meluas). Laporan ini

175

menyatakan bahwa keuntungan daya saing Indonesia adalah harga yang kompetitif, kekayaan sumberdaya alam (biodiversitas), dan adanya sejumlah lokasi warisan budaya. Kurangnya infrastruktur yang layak di Indonesia adalah masalah yang berkelanjutan, bukan hanya karena hal ini sangat meningkatkan biaya-biaya logistik sehingga membuat iklim investasi kurang menarik namun juga mengurangi kelancaran perjalanan untuk pariwisata. Kurangnya konektivitas di dalam dan antar pulau berarti ada sejumlah besar wilayah di Indonesia dengan potensi pariwisata yang tidak bisa didatangi dengan mudah. Masalah lain yang dihadapi adalah kualitas pendidikan pekerja yang dituntut fasih berbahasa asing. Halangan bahasa ini adalah alasan mengapa sejumlah warga Singapura lebih memilih Malaysia ketimbang Indonesia sebagai tempat tujuan wisata mereka. Kebanyakan turis asing yang datang ke Indonesia berasal dari Singapura, diikuti oleh Malaysia dan Australia. Masalah lain yang dihadapi pengembangan sektor pariwisata adalah masalah pencemaran lingkungan sebagai dampak dari pesatnya pembangunan pariwisata khususnya di Provinsi Bali. Akibat dari pemaksimalan semua potensi pelaku ekonomi untuk diarahkan bagi pengembangan sektor pariwisata menimbulkan dampak eksternalitas negatif yang sangat serius yakni pencemaran lingkungan. Isu utama yang mempengaruhi kualitas lingkungan hidup di Provinsi Bali pada tahun 2014 dan hampir keseluruhan terjadi lagi di tahun 2015 dan perlu mendapat perhatian serius yaitu (1) kawasan negative list atau terjadinya alih fungsi lahan, (2) permasalahan sanitasi, (3) peningkatan pertumbuhan penduduk, (4) Permasalahan abrasi pantai akibat meningkatnya aktivitas di wilayah pesisir, (5) permasalahan kawasan kumuh perkotaan, (6) penurunan kualitas udara, (7) kritisnya penyediaan air. Alih fungsi lahan terbangun pada kawasan negative list wilayah perkembangan permukiman di Kota Denpasar mayoritas terjadi pada kawasan RTH, dimana luas alih fungsi lahan sebanyak 32,38 Ha. Banyaknya wilayah yang terbangun pada kawasan RTH disebabkan negative list RTH di Kota Denpasar merupakan lahan terbanyak. Indikasi alih fungsi lahan pada kawasan negative list disebabkan tingginya pertumbuhan penduduk di Kota Denpasar yang berkorelasi dengan kebutuhan lahan untuk permukiman. Kurangnya pengawasan dan lemahnya penegakan peraturan pada kawasan yang terlarang untuk dibangun menjadi salah satu penyebab tidak sesuainya pembangunan dengan rencana pola ruang yang telah disusun. Alih fungsi lahan terbangun di Kabupaten Badung terbanyak pada kawasan hortikultura dan perkebunan yaitu 29,18 Ha, kawasan perlindungan setempat sebanyak 15,85 Ha, pertanian pangan lahan basah sebanyak 4,47 Ha dan RTH sebanyak 0,45 Ha. Adanya indikasi alih fungsi lahan pada kawasan negative list disebabkan tingginya pertumbuhan penduduk di Kabupaten Badung serta kegiatan pariwisata dan akomodasi pariwisata yang mengakibatkan kebutuhan akan lahan untuk pembangunan yang cukup tinggi. Faktor utama penyebab terjadinya pelanggaran pola ruang ini adalah akibat lemahnya pengawasan. Meningkatnya penduduk di sebagian wilayah Provinsi Bali telah menyebabkan terjadinya tekanan terhadap lingkungan hidup berupa meningkatnya jumlah sampah dan limbah, meningkatnya bahan pencemar, serta meningkatnya alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian. Sanitasi yang merupakan perilaku disengaja dalam pembudayaan hidup bersih dengan maksud mencegah manusia bersentuhan langsung dengan kotoran dan bahan buangan lainnya dengan harapan usaha ini akan menjaga dan meningkatkan kesehatan manusia tidak hanya perlu diterapkan di lingkungan sekolah atau tempat umum lainnya namun harus bermula dari diri dan lingkungan sendiri. Masalah sampah dan limbah di Provinsi Bali akibat pesatnya pembangunan ekonomi memberikan dampak negatif bagi kualitas pembangunan pariwisata di Bali. Masalah lingkungan yang timbul sebagai akibat pembangunan pariwisata di Bali adalah tingginya abrasi di pantai Bali. Kondisi abrasi di Bali diperkirakan mencapai 20 persen dari 436,5 km pantai di Bali. Berdasarkan pengamatan data tahun 2001 paling tidak terdapat 35 lokasi di Bali yang mengalami erosi pantai dengan panjang 64 km. Kerusakan pantai yang terjadi terus mengalami

176

peningkatan dimana berdasarkan data tahun 2007 terdapat 41 lokasi dengan panjang tererosi sebesar 91 km. Beberapa aktivitas yang menyebabkan pantai mengalami erosi di Bali disebabkan salah satunya oleh pembangunan struktur pantai. Pembangunan jetty Hotel The Grand Ina Bali Beach menyebabkan erosi/abrasi Pantai Sanur di bagian Utara Jetty. Penambangan pasir dan pengambilan batu karang untuk pembangunan hotel dan bungalow dalam jangka panjang dapat berakibat sangat buruk pada kondisi abrasi pantai. Penyebab erosi lain adalah adanya pelanggaran pola ruang akibat berdirinya bangunan wisata di sempadan pantai. Seperti restoran dan hotel di sepanjang Pantai Candidasa Kabupaten Karangasem. Maraknya pariwisata masal dalam pembangunan pariwisata juga menimbulkan adanya kerusakan pada terumbu karang. Wisatawan yang melakukan aktivitas menyelam terlalu banyak, tanpa dibekali pengetahuan yang cukup, dapat berpotensi merusak keberadaan terumbu karang yang berfungsi menghambat abrasi. Pembuangan limbah hotel dan sampah yang tidak dikelola dengan baik, menimbulkan pencemaran pada pertumbuhan terumbu karang (coral reef). Padahal terumbu karang sangat diperlukan bagi tempat ikan untuk berkembang biak. Kegiatan reklamasi di Kelurahan Serangan akibat pembangunan resor wisata hingga kini menimbulkan pendangkalan (sedimentasi) yang menyebabkan nelayan di pesisir kehilangan mata pencahariannya. Meningkatnya industri pariwisata dan industry lainnya juga berpengaruh pada pembagian air untuk kepentingan masyarakat, kepentingan pariwisata dan industry lainnya. Selain itu meningkatnya fungsi daerah aliran sungai sebagai media penerima limbah padat dan cair dari berbagai aktivitas seperti kegiatan domestik maupun industry memberi dampak negative pada kualitas dan kuantitas air yang ada. Pencemaran lingkungan yang ditimbulkan akibat pembangunan sektor pariwisata di Provinsi Bali tidak bisa diselesaikan hanya dengan memperhitungkan kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi daerah maupun nasional. Williams (2002), pertumbuhan ekonomi melalui pembangunan pariwisata memang seringkali menimbulkan konflik antara perlindungan lingkungan. Sangat jarang ditemui pertumbuhan ekonomi disertai pelestarian lingkungan. Upaya untuk menimbulkan kondisi saling menguntungkan sangat sulit dilakukan, apalagi di negara berkembang. Upaya untuk menyelesaikan trade off antara pertumbuhan ekonomi dan peningkatan kualitas lingkungan hidup perlu dilakukan dengan melibatkan peran pemerintah sebagai pengawas dan pembuat peraturan kebijakan publik. Beberapa kebijakan yang dilakukan tidak hanya melalui pelarangan atau pembuatan aturan, namun pada penerapan tegas pola tata ruang yang menjadi rambu bagi ekspansi pembangunan pariwisata yang dilakukan. Sektor pariwisata adalah sektor unik yang mengutamakan hospitality sebagai andalan utamanya. Sektor ini juga sangat rentan pada kondisi eksternal. Erupsi Gunung Agung misalnya, telah menimbulkan kerugian ekonomi pada sektor pariwisata. Jumlah wisatawan yang berkunjung menjadi berkurang, pekerja di sektor pariwisata terancam kehilangan pendapatan, bahkan hotel pun terancam penurunan pendapatan. Pada kondisi penuh ancaman dan pesimisme seperti ini, peran pemerintah sebagai pemangku kebijakan public, harus dapat searif mungkin mengajak segenap komponen pelaku sektor pariwisata, melakukan refleksi untuk melakukan introspeksi bagi pengembangan sektor pariwisata agar menjadi lebih baik lagi. Seperti misalnya menata rambu rambu pengembangan pariwisata agar lebih menghormati lingkungan, memikirkan strategi pemasaran pariwisata yang ramah lingkungan yang menghormati bencana sebagai peluang untuk mengadakan pendekatan „cultural‟ bagi wisatawan yang memiliki karakteristik seperti itu. Bencana ini juga mengingatkan pentingnya pembangunan pariwisata yang mampu lebih menginternalisasikan biaya pencemaran lingkungan dalam penentuan harga outputnya. Tidak hanya mengembangkan pariwisata yang murahan namun bersifat merusak, namun lebih pada pariwisata yang berkualitas namun berkelanjutan.

177

4. KESIMPULAN Pembangunan priwisata di Provinsi Bali dan Indonesia memberikan kontribusi sangat signifikan bagi pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja. Namun mengambil kasus di Bali, pesatnya pembangunan pariwisata ternyata menimbulkan dampak negative bagi kualitas lingkungan. Mulai dari abrasi hingga kualitas air. Eksternalitas negative yang ditimbulkan perlu diminimalisir dengan mengambil momentum bencana erupsi Gunung Agung saat ini. Pariwisata di Bali harus memperhatikan pembangunan ekonomi pariwisata yang berkelanjutan sebagai suatu keharusan dan dalam bentuk kebijakan yang lebih tegas. DAFTAR PUSTAKA http://www.mongabay.co.id/2016/12/29/inilah-gringgo-aplikasi-android-pengelolaan-sampah-di-bali/ BI (2017). Berita Resmi Statistik 6 November 2017, BPS Williams Peter (2002). Sustainable Tourism A Global Perspective. Elsevier Reksohadiprodjo, Sukanto (1992). Ekonomi Lingkungan Suatu Pengantar. BPFE Yogyakarta Statistik Lingkungan Hidup Provinsi Bali (2015) Case, Fair, Oster: “Principles of Economics” (2015)

178

POSITIF NEGATIF PARIWISATA: ANALISIS PERILAKU KONSUMTIF MASYARAKAT BALI

I Nyoman Urbanus1), Febianti2) Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional12) Jl. Tari Kecak No. 12, Gatot Subroto Timur, Denpasar – Bali, Telp/Fax: 0361-426699, 427800 E-mail: [email protected]

Abstrak

Perkembangan industri akibat adanya pertumbuhan pariwisata yang pesat pada era globalisasi ini membuat penyediaan barang di kawasan pariwisata menjadi berlimpah. Banyak fasilitas komersil mulai terbangun di kawasan pariwisata, mulai dari mall, supermarket sampai pusat oleh-oleh. Dengan begitu masyarakat akan dengan mudah tertarik untuk mengkonsumsi barang karena banyak sekali pilihan yang ada. Kebiasaan dan gaya hidup masyarakat berubah dalam waktu yang relatif singkat menuju ke arah kehidupan mewah dan cenderung berlebihan yang pada akhirnya menimbulkan pola hidup konsumtif. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi perilaku konsumtif masyarakat. Metodologi penelitian yang digunakan adalah metodologi penelitian kualitatif. Hal ini dikarenakan objek yang diteliti merupakan suatu realita yang tidak dapat dilihat secara parsial, objek yang bersifat dinamis, hasil konstruksi pemikiran dan interpretasi terhadap gejala yang diamati harus secara utuh dan menyeluruh (holistik), karena semua komponen yang ada dalam rangkaian penelitian tersebut saling terhubung satu sama lain. Teknik pengumpulan data melalui pengamatan secara langsung/observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi/ studi literatur. Hasil dari penelitian ini adalah memperlihatkan faktor penyebab dan dampak yang ditimbulkan akibat dari perilaku konsumtif masyarakat. Rekomendasi dari penelitian ini memberikan masukan kepada Pemerintah dalam mengantisipasi perkembangan sarana akomodasi yang sangat dinamis, sehingga bermanfaat di dalam mensejahterakan masyarakat dan membantu pemerintah dalam mengkaji ulang rencana tata ruang untuk mengatasi permasalahan pembangunan akomodasi serta memperbaiki pola prilaku masyarakat.

Kata Kunci: dampak, pariwisata, perilaku konsumtif, masyarakat bali

1. PENDAHULUAN Pariwisata merupakan salah satu sektor prioritas yang memiliki peran penting dalam perekonomian di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dan Asisten Deputi Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Pariwisata Kementrian Pariwisata, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia pada Januari-Agustus 2015 sebanyak 6.322.592 orang atau tumbuh 2,71 persen dibandingkan periode yang sama Januari-Agustus 2014 sebanyak 6.155.553 orang. Hal ini memperlihatkan adanya perkembangan pariwisata Indonesia yang menunjukan peningkatan kunjungan wisatawan yang cukup tajam. Adanya pertumbuhan kunjungan ini dikarenakan pariwisata Indonesia dinilai memiliki keunggulan dari sisi destinasi dan harga. Pariwisata pada umumnya adalah sebuah industri yang kelangsungan hidupnya sangat ditentukan oleh baik buruknya lingkungan dan sangat peka dalam kerusakan (Soemarwoto, 2001). Tanpa lingkungan yang baik tidak mungkin pariwisata berkembang. Oleh karena itu pengembangan pariwisata haruslah memperhatikan terjaganya mutu lingkungan, sebab dalam indutri pariwisata lingkungan itulah yang sebenarnya di jual. Pembangunan pariwisata merupakan salah satu pembangunan yang perlu dikembangkan karena dari sektor ini dapat meningkatkan penerimaan devisa negara, menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam menyediakan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasikan faktor-faktor produksi yang lainnya. Tujuan pembangunan pariwisata di Indonesia

179

tertuang dalam instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1969, khususnya Bab II Pasal 3, yang menyebutkan ”Usaha-usaha pengembangan pariwisata di Indonesia bersifat suatu pengembangan serta kesejahteraan masyarakat dan Negara”. Berdasarkan instruksi Presiden tersebut, dikatakan bahwa tujuan pembangunan pariwisata di Indonesia adalah untuk meningkatkan pendapatan devisa pada khususnya dan pendapatan negara dan masyarakat pada umumnya, perluasan kesempatan serta lapangan kerja, dan mendorong kegiatan-kegiatan industri penunjang dan industri-industri sampingan lainnya. Pembangunan pariwisata memunculkan berbagai kegiatan-kegiatan ekonomi dalam suatu daerah pariwisata seperti hotel, penginapan, biro perjalanan, restoran, indutri kerajinan, art shop, serta berbagai fasilitas pendukung lainnya. Namun di era ini terjadi paradigma baru dalam bidang pariwisata yang dulunya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui peluang kerja di semua lini ternyata terbukti dapat menyebabkan malapetaka terhadap kehidupan sosial, budaya dan lingkungan. Masalah-masalah sosial banyak ditemui di masyarakat setelah mengembangkan kepariwisataan. Pengembangan pariwisata berdampak pada perubahan tata nilai hidup manusia. Yang pertama adalah sifat individualisme, yaitu sifat yang mementingkan diri sendiri. Hal ini sangat bertentangan dengan budaya Indonesia yang lebih mengutamakan kebersamaan. Sifat individualisme mengingkari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Yang kedua adalah hedonisme, yaitu gemar hura-hura. Kehidupan hanya digambarkan sebagai kesenangan belaka dan tidak ada kerja keras. Ketiga sekularisme, yaitu sikap yang memisahkan antara agama dan urusan dunia. Agama hanya di pandang sebagai proses ritual yang kadang-kadang bertentangan dengan kesenangan dunia. Dan yang terakhir adalah konsumerisme, yaitu sifat menghambur-hamburkan uang untuk sesuatu yang tidak perlu yang ditentukan oleh gaya bukan fungsinya (Sutardi, 2007). Perkembangan industri akibat adanya pertumbuhan pariwisata yang pesat pada era globalisasi ini membuat penyediaan barang di kawaan pariwisata menjadi berlimpah. Banyak fasilitas komersil mulai terbangun di kawasan pariwisata, mulai dari mall, supermarket sampai pusat oleh-oleh. Dengan begitu masyarakat akan dengan mudah tertarik untuk mengkonsumsi barang karena banyak sekali pilihan yang ada. Barang-barang yang dahulu dianggap kebutuhan sekunder, berubah menjadi kebutuhan primer. Sama halnya dengan barang-barang kebutuhan tersier, pada saat ini juga telah banyak yang menjadi kebutuhan utama, yang biasanya berupa fasilitas-fasilitas yang membuat kesenangan semata seperti tempat karaoke, tempat hiburan malam dan lain sebagainya (Chatijah dan Purwadi, 2007). Lina dan Rosyid (Wahyudi, 2013) menyatakan bahwa kebiasaan dan gaya hidup masyarakat berubah dalam waktu yang relatif singkat menuju ke arah kehidupan mewah dan cenderung berlebihan yang pada akhirnya menimbulkan pola hidup konsumtif. Pola hidup yang konsumtif sangat terlihat dari perilaku pembelian masyarakat. Konsumen membeli barang-barang ataupun jasa yang kurang atau tidak diperlukan sehingga sifatnya menjadi berlebihan. Artinya, seseorang menjadi lebih mementingkan faktor keinginan (want) daripada kebutuhan (need) dan cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata (Sumartono, 2002). Robbers dan Jones (Naomi dan Mayasari 2008) berpendapat bahwa perilaku konsumtif yang ditunjukkan dengan perilaku berbelanja yang berlebihan telah membawa dampak buruk bagi lingkungan hidup. Pertama, dari segi input dalam memproduksi suatu produk berarti penggunaan sumber daya yang boros, karena melebihi takaran yang seharusnya diperlukan. Dampak kedua adalah tingginya aktifitas, terakhir perilaku konsumsi yaitu disposisi sebuah produk. Artinya pembuangan produk yang dilakukan oleh konsumen telah berlebihan sehingga lingkungan harus menerima buangan pemakaian produk yang cukup tinggi (Naomi dan Mayasari 2008). Dampak negatif perilaku konsumtif lainnya yaitu terjadinya pemborosan dan infisiensi biaya. Secara psikologis perilaku konsumtif menyebabkan seseorang mengalami kecemasan dan rasa tidak aman. Hal ini disebabkan individu selalu merasa adanya tuntutan untuk membeli barang yang diinginkannya akan tetapi kegiatan pembelian tidak ditunjang dengan finansial yang memadai sehingga timbulnya rasa cemas karena keinginannya tidak terpenuhi (Suyasa dan Fransiska 2005).

180

Kecenderungan perilaku konsumtif dipengaruhi oleh beberapa faktor yang pada intinya dapat dibedakan menjadi dua faktor, yaitu faktor eksternal dan faktor internal (Engel, Blackwell & Miniard, 1995; Kotler, 2006). Salah satu faktor internal yang mempengaruhi perilaku konsumtif adalah gaya hidup. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Triyaningsih bahwa kebanyakan orang yang melakukan perilaku konsumtif dikarenakan keinginan mengikuti trend gaya hidup. (Triyaningsih, 2011) . Gaya hidup adalah fungsi dari karakteristik individu yang telah terbentuk melalui interaksi sosial. Secara sederhana, gaya hidup juga dapat diartikan sebagai cara yang ditempuh seseorang dalam menjalani hidupnya, yang meliputi aktivitas, minat, kesukaan/ketidaksukaan, sikap, konsumsi dan harapan. Gaya hidup merupakan pendorong dasar yang mempengaruhi kebutuhan dan sikap individu, juga mempengaruhi aktivitas pembelian dan penggunaan produk. Dengan demikian, gaya hidup adalah aspek utama yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan seseorang dalam membeli produk. Gaya hidup sering dihubungkan dengan kelas sosial ekonomi dan menunjukan citra seseorang. Gaya hidup yang ditunjukkan dalam variasi keputusan citra rasanya. Dalam hal merek, merek bukanlah sekedar nama. Di dalamnya terkandung sifat, makna, arti dan isi produk bersangkutan. Bahkan dalam perkembangannya lebih lanjut merek akan menandai simbol dan status dari produk tersebut (Anggraini, 2012). Gaya hidup adalah pola dimana orang hidup dan menghabiskan waktu serta uang. Seorang yang cenderung berpenghasilan besar akan dengan mudah mengalokasikan uangnya untuk kesenangan dan kemewahan tanpa memikirkan nominal. Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan, maka dapat dirumuskan permasalahannya adalah mengenai 1) dampak perkembangan pariwisata Bali terhadap aspek ekonomi, sosial budaya dan lingkungan masyarakat Bali, dan 2) perilaku konsumtif masyarakat akibat perkembangan pariwisata.

2. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilakukan dengan mengunakan pendekatan kualitatif. Menurut Poerwandari (2001), untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam dan khusus atas suatu fenomena serta untuk dapat memahami manusia dalam segala kompleksitasnya sebagai makhluk subjektif, maka pendekatan kualitatif merupakan metode yang paling sesuai untuk digunakan. Penelitian ini menggunakan suatu pendekatan yang bertujuan untuk mempertahankan keutuhan dari objek penelitian. Data yang terkumpul dipelajari sebagai satu kesatuan yang tujuannya adalah untuk mengembangkan pengetahuan yang mendalam mengenai objek yang diteliti. Pendataan dan penentuan tingkat perkembangan dilakukan dengan metode pengumpulan data secara observasi, wawancara dan dokumentasi. Observasi adalah pengamatan langsung ke lapangan untuk mengetahui kelayakan suatu permasalahan untuk diteliti. Suatu permasalahan layak diteliti apabila tersedianya data, informasi dan referensi yang memadai. Wawancara merupakan cara yang digunakan dalam penelitian ini untuk mendapatkan keterangan dan data secara lisan dari responden. Wawancara dilakukan dengan bercakap-cakap langsung atau dengan tanya jawab kepada responden. Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam. Wawancara dilakukan terhadap beberapa informan yang dianggap mengetahui data yang mendekati kebenaran dan mempunyai wawasan yang luas terhadap objek penelitian. Studi Dokumen merupakan suatu teknik pengumpulan data melalui arsip-srsip dan buku-buku tentang pendapat, teori dan lainnya yang berhubungan dengan masalah penelitian. Studi dokumen dilakukan untuk menggali teori-teori dasar, konsep-konsep relevan dalam penelitian serta untuk memperoleh orientasi yang lebih luas mengenai topik penelitian. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan Deskriptif Kualitatif dengan melalui beberapa proses seperti verifikasi data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Sedangkan untuk penggalian informasi kolektif masyarakat dilakukan dengan Focus Group Discussion (FGD) yang diikuti oleh seluruh stakeholder. Tujuan Focus Group Discussion (FGD) adalah untuk memperoleh masukan maupun informasi mengenai suatu permasalahan yang bersifat lokal dan spesifik. Penyelesaian tentang masalah ini ditentukan oleh pihak lain setelah masukan diperoleh dan dianalisa.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

181

PERKEMBANGAN PARIWISATA BALI Bali memiliki objek wisata yang sangat beragam, baik wisata alam, wisata budaya, dan wisata bahari. Bali dianugerahkan memiliki alam yang indah dan bervariatif, dari mulai pantai, laut, sungai, danau, gunung dan hutan. Semua objek alam ini sangat potensial untuk dijadikan objek wisata. Objek wisata alam yang menarik di Bali, yaitu pantai. Objek wisata alam lain adalah keindahan panorama Gunung dan Danau yang terletak di bagian tengah Bali. Objek wisata yang tidak kalah menarik, yaitu budaya masyarakatnya. Kehidupan masyarakat Bali sangat erat dengan agama Hindu sehingga setiap upacara keagamaan merupakan objek yang sangat khas. Pura merupakan tempat ibadah umat hindu yang menarik tersebar di seluruh pelosok Bali. Selain obyek budaya yang berupa bangunan, di Bali sangat terkenal dengan keseniannya, yaitu seni tari, seni lukis, seni rupa, wayang kulit dan berbagai upacara adat atau upacara keagamaan. Bali dikenal dengan julukan Pulau Dewata dengan pariwisata merupakan salah satu bagian dari motor penggerak ekonominya. Memasuki tahun 2016, jumlah kunjungan wisman ke Bali mencapai 4.927.937 orang atau meningkat sebesar 23,14 persen dari tahun sebelumnya. Sarana dan prasaran pendukung seperti hotel, restauran, cafe, kolam renang, pusat souvenir dan sarana oleh raga merupakan fasilitas pendukung yang sangat penting dalam kegiatan pariwisata. Pariwisata Bali memiliki sarana dan prasaran yang lengkap. Sejak 2009 jumlah hotel berbintang di Bali mengalami peningkatan hampir dua kali lipat. Selama periode tahun 2015 jumlah hotel berbintang meningkat dari 249 menjadi 281 hotel. Selain adanya Hotel, Bali juga memiliki fasilitas pendukung lainya seperti restauran, bar, dan penyedia jasa lainnya. Jumlah restoran/rumah makan, dari tahun- ketahun mengalami kecenderungan meningkat. Dilihat prasaran pendukung pariwisata yang disediakan, jalan adalah contoh infrastruktur transportasi yang paling sering dibangun di Bali. Meskipun demikian panjang jalan tidak banyak yang berubah pada tahun 2015. Pembangunan lebih ditekankan pada peningkatan kualitas dan perbaikan kondisi jalan. Di tahun 2016 jumlah kedatangan wisman mencapai angka 4,927,937 orang. Dengan jumlah ini berarti jumlah wiaman ke Bali berkontribusi sekitar 42,77 persen terhadap total kunjungan ke Indonseia. Jumlah kunjungan wisman ke Indonesia di tahun 2016 mencapai 11,52 juta kunjungan. Jumlah kunjungan wisman 2016 tumbuh 10,69 pesen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, yang hanya 10,41 juta. Badan Pusat Statistik Bali mencatat bahwa kunjungan wisatawa mancanegara ke Bali tumbuh sebesar 23,14 persen dari tahun yang lalu yang berjumlah 4,001,835 orang. Menurut Kepala Dinas Pariwisata Bali jumlah kunjungan wisman tersebut melampaui target sebesar 4,2 juta wisatawan. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir, setiap tahunya selalu mengalami peningkatan dengan rata-rata peningkatan 494,651 orang pertahun. Penigkatan terbesar terjadi pada tahun 2015 ke tahun 2016 yang mencapai 926,102 orang. Minat wisatawan untuk berkunjung atau berwisata ke Bali terus meningkat, terbukti dengan peningkatan jumlah kunjungan wisaman yang cukup tajam. Pada tahun 2012 ke 2013 pertumbuhan tercatat sebesar 11,16 persen, pada periode 2013 – 2014 pertumbuhan wisman meningkat menjadi 14,89 persen dan mencapai puncaknya wisaman pada periode 2015 ke 2016. Kunjungan wisman ke Bali sebagaian besar melalui pintu masuk bandara udara Ngurah Rai Tuban yaitu mencapai 4,852,634 orang atau 98,47 persen. Disisi lain yang melalui pelabuhan laut hanya sebesar 75,303 orang atau 1,53 persen. Pangsa pasar utama tahun 2016 tidak jauh berbeda dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Terdapat dua Negara yang pada tahun 2015 masuk lima besar harus keluar pada tahun 2016 ini yaitu Singapura dan Malaysia. Untuk posisi lima besar kali ini, ditempati oleh wisatawan yang berasal dari negara Australia, Tiongkok, Jepang, Inggris dan India. Pangsa wisman dari kelima negara tersebut mencapai 2,777,809 orang atau sebesar 56.37 persen dari total wisman yang datang langsung ke Bali. Apabila dilihat dari tren kunjungan selama lima tahun terakhir dari lima negara kontributor wisaman terbesar, terlihat bahwa kelima negara tersebut menunjukan tren yang meningkat. Tiongkok menunjukan peningkatan absolut yang paling tajam, yaitu sebanyak 212.38 persen selama lima tahun terakhir dengan rata-rata pertumbuhan 33.70 persen pertahun.

182

PERILAKU KONSUMTIF Dewasa ini, perkembangan pariwisata telah membawa dampak pada berubahnya tata nilai hidup manusia yang salah satunya adalah menjadi bersifat konsumtif. Dimana kebiasaan dan gaya hidup masyarakat telah berubah menuju ke arah kehidupan mewah dan cenderung berlebihan (Pusporiny, 2016). Hal tersebut akan menimbulkan pola hidup masyarakat yang konsumtif yang lebih mementingkan keinginan daripada kebutuhan serta cenderung dikuasai oleh hasrat keduniawian dan kesenangan material semata (Sumartono, 2002). Rostow dalam Arwani (2007) menyatakan bahwa konsumsi tinggi inilah yang telah berjangkit dan hegemoni negara maju terhadap politik dan ekonomi negara berkembang yang terdapat di dunia demi kepentingan sendiri. Secara umum pola hidup konsumtif dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam diri individu, termasuk motivasi, harga diri, observasi, proses belajar, kepribadian, dan konsep diri. Sedangkan, faktor eksternal adalah faktor di luar individu, termasuk kebudayaan, kelas sosial, kelompok-kelompok sosial dan referensi serta keluarga. (Sumartono, 2002). Pratiwi (2014) menyatakan, nilai-nilai dari pemaknaan dan harga diri menjadikan sesuatu yang dikonsumsi menjadi semakin penting dalam pengalaman personal dan kehidupan sosial masyarakat. Secara nyata, aktivitas konsumsi pada masyarakat modern dapat dilihat dan dibuktikan melalui bagaimana rasionalitas, konsumsi telah beroprasi pada masyarakat budaya konsumtif. Masyarakat, khususnya yang berada dalam kawasan pariwisata, tidak luput dari pola hidup konsumtif, dilihat dari pertumbuhan ekonomi masyarakat, berbagai pusat perbelanjaan, akomodasi, maupun produk makanan dan minuman yang dibangun di kawasan pariwisata. Salah satu kawasan pariwisata yang memiliki konsentrasi pariwisata tertinggi, khususnya di Pulau Bali, adalah Kabupaten Badung (Patria, 2014). Patera (2016), menyatakan bahwa dalam perkembangan pariwisata Kabupaten Badung, menyebabkan pergeseran pola hidup masyarakat yang mengikuti pola hidup konsumtif. Masyarakat lokal di beberapa daerah Kabupaten Badung sebagian besar memiliki etos kerja yang rendah dibandingkan dengan masyarakat pendatang yang memiliki etos kerja tinggi, hidup hemat, dan ulet. Dengan etos kerja yang tinggi, memungkinkan masyarakat pendatang memiliki pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan masyarakat lokal. Dengan pola hidup konsumtif yang dimiliki, di masa yang akan datang dapat menyebabkan tersisihnya masyarakat lokal dari tempat kelahirannya dan tidak menjadi tuan di rumahnya sendiri. Menurut Jumiati (2009), perilaku konsumtif memiliki dampak-dampak negatif, seperti dapat membiasakan seseorang untuk memiliki pola hidup boros, dapat membuat orang menjadi tidak lagi membedakan antara kebutuhan atau sekedar keinginan, dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tidak terpuji seperti mencuri, menodong, menjadi pemeras, dan apabila perilaku ini berkelanjutan bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang merugikan negara. Sedangkan, dampak positif perilaku konsumtif menurut Anugrahati (2014), dapat menghilangkan stres dan mengikuti perkembangan jaman. Selain itu, Hurriyati (2010) menyatakan, bahwa orang seringkali memilih produk yang menunjukkan statusnya dalam masyarakat. Masyarakat menilai, dengan membeli barang dengan harga yang mahal serta dari brand ternama akan memperoleh pengakuan dari lingkungan sosial sehingga menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi. Akan tetapi dengan adanya tindakan-tindakan yang dipicu oleh pola hidup konsumtif masyarakat, cenderung memberikan pengaruh tidak baik, baik bagi lingkungan, ekonomi, maupun sosial budaya termasuk di kawasan pariwisata Kabupaten Badung. Berikut adalah dampak-dampak dari pola hidup konsumtif masyarakat Kabupaten Badung: a) Dampak bagi ekonomi Badung merupakan kabupaten yang memiliki jumlah usaha terbesar di Bali (Sensus Ekonomi, 2016). Kepala Badan Pusat Statistik Badung, Dewa Suambara, menyatakan jumlah usaha yang terdapat di Kabupaten Badung berdasarkan sensus ekonomi 2016, berjumlah sebanyak sebanyak 78.499 usaha yang terdiri atas 73.026 UMK (Usaha Menengah Mikro) atau 93,03 persen dan 5.473 UMB (Usaha

183

Menengah Besar) atau 6,97 persen dari total jumlah usaha di Bali yang mencapai total 482.480 usaha (Antara Bali, 2017). Dimana usaha yang mendominasi adalah usaha dalam bidang pariwisata, seperti hotel, resort, restaurant, pusat perbelanjaan, dan lain sebagainya. Pemaparan tersebut menunjukkan, pertumbuhan ekonomi masyarakat Badung cukup tinggi. Dengan adanya perkembangan pariwisata di Kabupaten Badung, dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat. Namun, seiring dengan perkembangan pariwisata yang pesat, masyarakat cenderung mengikuti pola hidup modern yang konsumtif. Menurut Astuti (2013), apabila pola hidup konsumtif terjadi terus menerus maka akan mengakibatkan tidak terkontrolnya kondisi keuangan dan akan menimbulkan tindakan pemborosan yang berakibat pada menumpuknya barang karena pembelian dilakukan secara berlebihan. Menurut Statistik Daerah Provinsi Bali 2016, masyarakat Bali mengeluarkan uang lebih banyak untuk pengeluaran bukan makan dibandingkan pengeluaran untuk kebutuhan makanan. Pada tahun 2015, proporsi pengeluaran bukan makanan sebesar 59.7 persen dari total pengeluaran atau setara dengan Rp623 ribu per kapital per bulan. Sedangkan, pengeluaran makanan hanya Rp421 ribu atau 40.3 persen dri total pengeluaran. Dengan tidak terkontrolnya kondisi keuangan, dapat mendorong individu untuk melakukan tindakan kriminal demi memenuhi keinginan dari sifat konsumtif itu sendiri. Adanya tindakan-tindakan tersebut dapat memberikan dampak buruk bagi kawasan pariwisata, dimana wisatawan menilai bahwa kawasan tersebut tidak aman lagi yang dapat menyebabkan berkurangnya tingkat kunjungan wisatawan. Menurut Alfitri (2007), dengan adanya pertumbuhan ekonomi dapat meningkatkan daya beli masyarakat. Dengan tumbuh dan berkembangnya pusat-pusat perbelanjaan modern, hotel, maupun produk makanan minuman, dapat mempengaruhi perilaku konsumtif masyarakat untuk pergi ke pusat perbelanjaan dan membeli barang-barang bukan atas kebutuhun, melainkan keinginan. Masyarakat banyak yang memilih berbelanja di supermarket atau minimarket karena berbagai fasilitas yang memadai, seperti adanya AC atau pendingin ruangan dan ATM. Disisi lain, pasar tradisional masih dalam masalah manajemen yang kurang profesional dan ketidaknyamana bagi pengunjung, yang mengakibatkan turunnya minat pengunjung bahkan pembeli. Sehingga dapat mematikan kegiatan jual beli di pasar tradisonal dan juga ekonomi penjual atau pedagang di pasar tradisonal. Adanya perilaku konsumtif masyarakat yang mengikuti pola hidup pendatang, secara ekonomis dapat menghambat peran masyarakat dalam pariwisata. Hal ini dikarenakan masyarakat cenderung memperhatikan keinginan individu dan fokus untuk memenuhinya, dibandingkan dengan mengembangkan dan meningkatkan kualitas hidupnya. Dampak yang paling signifikan dialami adalah melemahkan usaha mikro masyarakat seperti pedagang kecil, home industry, mematikan usaha dalam negeri karena banyak barang yang dijual pusat-pusat perbelanjaan modern di mall ataupun swalayan adalah barang impor. b) Dampak bagi sosial dan budaya Menurut Nugraha, et al (2015), pariwisata dapat menimbulkan berbagai masalah, yang mengakibatkan perubahan sosial di masyarakat seperti perubahan gaya hidup, pergaulan, sikap atau perilaku yang ditunjukan oleh anggota-anggota masyarakat telah keluar dari nilai ataupun norma yang berlaku. Dalam hal ini, masyarakat dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat akibat dari perkembangan pariwisata serta memiliki daya beli yang tinggi memiliki pola hidup yang konsumtif. Dimana masyarakat ingin menunjukkan status sosial yang lebih tinggi, dengan memiliki barang-barang mewah untuk memenuhi keinginan pribadi. Hal ini dapat menumbuhkan rasa individualisme dan mengurangi solidaritas antar makhluk sosial. Dengan berkembangnya pariwisata saat ini di Bali, masyarakat tergoda untuk bersaing dengan pikiran dan tindakan yang kalut penuh keserakahan, dan kebutaan, mayarakat terlalu berfokus mengejar harta dengan berbagai cara yang sering melanggar tatanan moral, nilai-nilai luhur, dan etika agama. Banyak hasil karya seni yang dijual untuk cinderamata mengalami penurunan kualitas, baik dari bahan maupun detail pengerjaannya. Bahkan nilai seninya sangat berkualitas rendah, seperti cinderamata berbentuk alat kelamin pria yang banyak dijual di pasar-pasar tradisional Bali termasuk

184

kawasan suci. Hal ini menurunkan moral para seniman yang tidak lagi berpikir terhadap nilai seni dan budaya melainkan hanya diperuntukan untuk nilai komersial saja. Pariwisata juga mengakibatkan pola perilaku pengusaha industri pariwisata menggunakan berbagai cara buruk untuk memasarkan produk pariwisatanya, dengan kecerdikan bahkan melupakan etika dan tata susila. Masyarakat yang tidak jernih, tidak bijak berpikir, yang sudah terpengaruhi pola perilaku konsumtif akan tidak mampu melihat cara-cara kotor yang sering digunakan oleh para pengusaha kotor ini. Sehingga seiring waktu kualitas hidup masyarakat maupun kualitas pariwisata mengalami penurunan. c) Dampak bagi lingkungan Degradasi lingkungan merupakan penurunan kualitas lingkungan yang diakibatkan oleh kegiatan pembangunan yang dicirikan oleh tidak berfungsinya secara baik komponen-komponen lingkungan sebagaimana mestinya. Degradasi lingkungan disebabkan oleh adanya campurtangan manusia yang berlebihan terhadap keberadaan lingkungan secara alami. Pembangunan pariwisata mengakibatkan menikatnya kebutuhan akan sumber daya manusia. Meningkatnya sumber daya manusia pada suatu kawasan mengakibatkan pembangunan pemukiman semakin meningkat. Menurut statistik Daerah Provinsi Bali 2016 menyatakan bahwa pengeluaran non makanan masyarakat seperti kelompok sewa, kontrak dan perkiraan sewa rumah milik sendiri memegang porsi tertinggi dibandingkan kelompok pengeluaran lainnya. Ini membuktikan bahwa tingkat kebutuhan akan tempat tinggal sangat tinggi di Bali. Dengan adanya peningkatan pemukiman maka kebutuhan akan air bersih dan listrik. Disisi yang sama pembangunan pariwisata juga membutuhkan air bersih dan listrik, yang menyebabkan penggunaannya semakain banyak dan berdampak menurunnya jumlah sumber daya alam. Ditambah dengan adanya perilaku konsumtif masyarakat akan memperparah kondisi yang bisa menyebabkan degradasi lingkungan. Perubahan alam ke arah yang tidak baik maka dengan sendirinya pariwisata Bali akan terancam keberadaanya.

4. KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan mengenai permasalahan yang diangkat didapatkan hasil bahwa perkembangan pariwisata Bali mengalami tingkat perkembangan yang sangat signifikan. Bali memiliki objek wisata yang sangat beragam, baik wisata alam, wisata budaya, dan wisata bahari. Alam yang indah dan bervariatif, pantai, laut, sungai, danau, gunung dan hutan, seni tari, seni lukis, seni rupa, wayang kulit dan berbagai upacara adat atau upacara keagamaan merupakan objek yang sangat khas. Sarana dan prasaran pendukung seperti hotel, restauran, cafe, kolam renang, pusat souvenir dan sarana oleh raga merupakan fasilitas pendukung sudah sangat lengkap yang dimiliki Bali. Pasar wisata lima besar berasal dari negara Australia, Tiongkok, Jepang, Inggris dan India. Pangsa wisman dari kelima negara tersebut mencapai 2,777,809 orang atau sebesar 56.37 persen dari total wisman yang datang langsung ke Bali. Jumlah kunjungan wisman ke Bali mencapai 4.927.937 orang atau meningkat sebesar 23,14 persen dari tahun sebelumnya. Sedangkan perilaku konsumtif masyarakat akibat perkembangan pariwisata telah membawa dampak pada berubahnya tata nilai hidup manusia. Dimana kebiasaan dan gaya hidup masyarakat telah berubah menuju ke arah kehidupan mewah dan cenderung berlebihan. Pola hidup konsumtif dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor dari dalam diri individu, termasuk motivasi, harga diri, observasi, proses belajar, kepribadian, dan konsep diri. Sedangkan, faktor eksternal adalah faktor di luar individu, termasuk kebudayaan, kelas sosial, kelompok-kelompok sosial dan referensi serta keluarga. Dampak-dampak negatif dari perilaku konsumtif, seperti dapat membiasakan seseorang untuk memiliki pola hidup boros, dapat membuat orang menjadi tidak lagi membedakan antara kebutuhan atau sekedar keinginan, dapat mendorong seseorang untuk melakukan tindakan tidak terpuji seperti mencuri, menodong, menjadi pemeras, membunuh dan melacur, dan apabila perilaku ini berkelanjutan bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya Korupsi Kolusi dan Nepotisme yang merugikan negara. Sedangkan, dampak positif perilaku konsumtif, dapat menghilangkan stres dan mengikuti perkembangan jaman.

185

Ucapan terima kasih Pertama-tama perkenalkan penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena hanya atas asung wara nugraha-Nya/ karunia-Nya, laporan tahun terakhir ini dapat diselesaikan. Pada kesempatan ini perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Drs. I Wayan Pantiyasa, M.M., Ketua LPPM Sekolah Tinggi Pariwisata Bali Internasional yang dengan penuh perhatian telah memberikan dorongan, semangat, dan arahan selama penulis dalam penyelesaian artikel ilmiah ini. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus disertai penghargaan kepada tim pencacah yang telah bekerja keras dalam pengambilan data penelitian. Ucapan yang sama ditunjukan kepada para informan yang telah memberikan banyak informasi dalam penyelesaiaan penelitian ini. Juga ucapan terima kasih kepada Keluarga, selaku pemberi dorongan moral selama berlangsungnya proses pengerjaan artikel ilmiah ini. Akhir kata saya ucapkan banyak terima kasih kepada masyarakat dan pemerintah Bali atas kerjasamanya dalam penyelesaian artikel ilmiah ini. Diharapkan, artikel ilmiah ini dapat berguna sebagaimana mestinya dan bermanfaat bagi semuanya. Serta saran maupun kritik sebagai bahan pertimbangan dan penyempurnaan artikel ilmiah nantinya. Atas perhatiannya, diucapkan banyak terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA Alfitri. 2007. Budaya Konsumerisme Masyarakat Perkotaan. Majalah Empirika. 11(1): 1-9 Al-Ghifari, Abu. 2003. Remaja Korban Mode. Bandung: Mujahid. Anggraini, Elvira. 2012. Pengalaman Komunikasi Konsumen Wanita Dengan Gaya Hidup Brand Minded. Skripsi. Universitas Diponegoro, Semarang. Anugrahati, R.D.S. 2014. Gaya Hidup Shopaholic Sebagai Bentuk Perilaku Konsumtif Pada Kalangan Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Skripsi. Jurusan Pendidikan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Yogyakarta. Astuti, E.D. 2013. Perilaku Konsumtif dalam Membeli Barang pada Ibu Rumah Tangga di Kota Samarinda. eJournal Psikologi. 1(2): 148-156. Badudu dan Zain. 1994. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Sinar Harapan. Chaplin, J.P. 1997. Kamus Lengkap Psikologi : Alih Bahasa. Jakarta: PT. Raya Grafindo Persada Chatijah, Siti dan Purwadi. 2007. Hubungan Antara Religiusitas Dengan Sikap Konsumtif Remaja. Jurnal Humanitas. 4(2): 110-123 Ediwarsyah. 1987. Pengaruh Pengembangan Obyek Pariwisata terhadap Pendapatan Masyarakat di lingkungan Obyek Pariwisata (Suatu Penelitian di Kelurahan Parapat Kecamatan Girsang Sipanganbolon Kabupaten Dati II Simalungun Propinsi Dati I Sumatera Utara), Yogyakarta. Tesis. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogyakarta. Engel, J., R. D. Blackwell and P. W. Miniard. 1995. Perilaku Konsumen. Jakarta: Binarupa Aksara. Engel, J., R. D. Blackwell and P. W. Miniard. 2008. Perilaku Konsumen. Jakarta: Binarupa Aksara. Falk, Pasi. 1994. The consuming body. London: Sage. Hurriyati, Ratih. 2010. Bauran Pemasaran dan Loyalitas Konsumen. Bandung : Alfabeta. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 1969, khususnya Bab II Pasal 3 Jumiati. 2009. Perubahan Perilaku Konsumtif Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Akibat Value-Added Telepon Seluler (HP) (Studi Penelitian Mahasiswa Angkatan 2005 - 2006 UIN Sunan Kalijaga). Skripsi. Fakultas Ushuliddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta. Lina, & Rosyid. 1997. Perilaku Konsumtif Berdasarkan Locus Locus Of Control Control Pada Remaja Putri. Jurnal psikologika. 4. Mahyar, Suara. 2010. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta : TM Marpaung. 2002. Pengetahuan Kepariwisataan. Bandung: Alfabeta

186

Naomi, Prima. dan Mayasari, Iin. 2008. FaktorFaktor Yang Mempengaruhi Siswa SMA Dalam Perilaku Pembelian Kompulsif : Perspektif Psikologi. Portal Jurnal UPI Tahun VII Ino. VIII oktober 2008. Nugroho, Adi. 2016. Statistik Wisatawan Mancanegara ke Bali 2016. Bali: CV. Bhinneka Nugroho, Adi. 2016. Tingkat Penghunian Kamar Akomodasi Provinsi Bali 2016. Bali: CV. Bhinneka Nugroho, Adi. 2016. Statistik Daerah Provinsi Bali 2016. Bali: CV. Bhinneka Nugroho, Adi. 2017. Provinsi Bali Dalam Angka 2017. Bali: CV. Bhinneka Nugraha, H. at al. 2015. Perubahan Sosial dalam Perkembangan Pariwisata Desa Cibodes Kecamatan Lembang. Jurnal Sosietas. 5(1): 1-7. Patera, I Made. 2016. www.pps.unud.ac.id/.../i-made-patera-pariwisata-dan-kemiskinan-di-kab. diakses tanggal 9 Agustus 2017 Pukul 19.00 pm Patria, T.A. 2014. Tinjauan Sistem dan Elemen Pariwisata di Kabupaten Badung, Bali, melalui Sistem Pariwisata Leiper. Binus Busness Review. 5(1): 66-79 Peter, J. P., Olson. J. C. 1999. Perilaku konsumen dan strategi pemasaran, Edisi keempat (terjemahan). Jakarta: Erlangga. Poerwandari, E. K. 2001. Pendekatan kualitatif Untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : Lembaga Pengembanagn Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Pratiwi, G.I. 2014. Perilaku Konsumtif dan Bentuk Gaya Hidup, Studi Fenomenologi pada Anggota Komunitas Motor Bike of Kawasaki R iders Club (BKRC) Chapter Malang. http://jmsos.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jmsos/article/view/71 diakses tanggal 9 Agustus 2017 Pukul 19.00 pm Pusporiny, V. 2016. Gaya Hidup Pramugari, Gaya Hidup Konsumtif pada Pramugari Maskapai Penerbangan Garuda Indonesia. Tugas Akhir. Universitas Airlangga. Sarwono, S. W. 1992. Psikologi Lingkungan, Cetakan Pertama. Jakarta: PT Gramedia Grasindo. Soekadijo, R. G. 1996. Anatomi Pariwisata. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama Soemarwoto, O. 2001. Ekologi Lingkungan dan Pembangunan. Jakarta: Djambatan Sumartono. 2002. Terperangkap dalam Iklan: Meneropong Imbas Pesan Iklan. Televisi. Bandung: Alfabeta. Sutardi, T. 2007. Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung: PT Setia Purna Inves Suyasa, T.Y.S. dan Fransisca. 2005. Perbandingan Perilaku Konsumtif Berdasarkan Metode Pembayaran. Jurnal Phronesis. Triyaningsih, SL. 2011.Dampak Online Marketing melalui Facebook terhadap Perilaku Konsumtif Masyarakat. Jurnal Ekonomi dan Kewirausahaan. 3(2): 172-17

187