Relasi Agama Dan Negara (Studi Komparatif Pemikiran K.H A. Dan K.H )

Skripsi

Diajukan untuk melengkapi tugas-tugas dan syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana S.sos Dalam Ilmu Ushuluddin

Oleh: Ahmad Toyib NPM : 1531040124

Jurusan Pemikiran Politik Islam

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 2020 M/1441 H

RELASI AGAMA DAN NEGARA (Studi Komparatif Pemikiran K.H Abdul Wahid Hasyim Dan K.H Said Aqil Siradj)

Skripsi Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-SyaratGuna Mendapat Gelar Sarjana SI Dalam Ilmu Ushuluddin dan Studi Agama

Oleh AHMAD TOYIB NPM. 1531040124 Jurusan :Pemikiran Politik Islam

Pembimbing I : Drs. Effendi, M. Hum Pembimbing II : Abdul Qohar, M. Si

FAKULTAS USHULUDDIN DAN STUDI AGAMA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN INTAN LAMPUNG 1441 H/ 2020 M

ABSTRAK Relasi Agama dan Negara (Studi Komperatif K.H Abdul Wahid Hasyim Dan K.H. Said Aqil Siroj)

Oleh: Ahmad Toyib

Hubungan agama dan Negara memang bukan tergolong baru dalam politik, tapi kini mendapatkan aktualisasinya kembali setelah merebaknya fenomena fundamentalisme Islam yang mengintroduksir berdirinya negara Islam, kesatuan agama dan negara. Dalam Islam sendiri, hubungan agama dan Negara dalam Islam ada sejak kepemimpinan Nabi di Madinah. Namun, bagaimana seharusnya hubungan agama dan negara sepeninggalan nabi Muhammad dan berakhirnya masa kepemimpinan Khulafa rasyidun masih diperdebatkan. Sebab al-Quran ataupun sunah Nabi sendiri tidak pernah menggariskan secara tegak terkait sistem politik islam. K.H Wahid Hayim dan K.H Aqil Siroj memiliki kesamaan dan perbedaan dalam memandang relasi agama dan Negara. Berkaitan dengan hal tersebut, penelitian ini tertarik melihat pemikiran K.H Abdul Wahid Hasyim dan K.H. Said Aqil Siroj tentang relasi agama dan negara. Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah pertama Bagaimana Persamaan Pemikiran K.H A. Wahid Hasyim dan K.H. Said Aqil Siroj Mengenai Relasi Agama dan Negara?Kedua, Bagaimana Perbedaan Pemikiran K.H A. Wahid dan K.H. Sasid Aqil Siroj Aqil Mengenai Hubungan Agama dan Negara Di ?.Kerangka teoritik yang dipakai dalam penelitian ni adalah kategori paradigmatis pemikiran politik Islam dan sebagai suatu kajian yang bersifat literal, metode penelitian yang diterapkan adalah liberary research dan sifat penelitian deskriptif kualitatif. Persamaan pemkiran kedua tokoh terletak pada gagasan Relasi agama dan negara dalam pemikiran sebagai hubungan yang simbiosis mutualistik Dalam pandangann K.H Wahid Hasyim Negara sekedar melayani keperluan agama rakyat sesuai dengan dasar Pancasila terhadap persoalan yang bersifat individual sedangkan H. Said Aqil Siroj Sebagaimana yang diketahui bahwa lebih mempertahankan gagasan Darus Salam, bukan . Sedangkan perbedaan perbedaan sikap diantara K.H. Wahid Hasyim dan K.H Aqil Siraj yaitu hasim lebih demokratis untuk cita-cita tanah air sedangkan K.H Aqil Siraj Lebih moderat dan liberal dengan pernyataan-pernyatanya yang kontroversi pengakuan yang ekstream dan mempunyai paham akan kebebasan berfikir. Dengan melihat pemikiran atau gagasan K.H. Wahid Hasyim dan K.H Aqil Siraj yang sangat kontributif ini maka yang lebih penting adalah bagaimana mengaktualisakan gagasan tersebut dalam masyarakat dan negara. Hal ini menggingat masyakat Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim

MOTTO

خَ ي َ رََالنَ ا سََأَ ن َ فَعَ هَ مََلَلنَ ا سَ Artinya: “Sebaik-baiknya manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia” (HR.Ahmad)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini dipersembahkan sebagai cinta kasih saying dan hormat yang tak terhingga kepada :

1. Terimakasih teruntuk kedua orang tuaku Tercinta Abah Sarta Karim dan

Emak alm. Kamisah yang telah melindungi, mengasuh, menyayangi, dan

mendidik saya sejak dari kandungan hingga dewasa. Terutama Abahku orang

yang paling terhebat, teristimewa dan berjasa di kehidupanku, orang yang

selalu tidak pantang menyerah dan ikhlas dalam memberikan doa, bantuan,

kasih sayang, semangat, dukungan, kesabaran, pengorbanan serta selalu

memberikan inspirasi dan motivasi di setiap langkah perjalanan saya dalam

menuntut ilmu, serta Emakku yang telah melindungi, mengasuh, menyayangi,

dan mendidik aku sejak dari kandungan hingga dewasa, dan pastinya aku

yakin engkau selalu mendoakanku di Surgasana. Semoga semua ini

merupakan hadiah untuk kedua orang tuaku.

2. Terima kasih kepada Kakakku Tersayang Amirsah, Embakku Tercinta

Salikah, Adikku Tersayang Nuraini Saputri serta Sekeluarga besar Abdul

Karim yang selalu mendo’akan dan member semangat serta motivasi bagi

keberhasilan saya selama studi.

3. Terima kasih kepada sahabat-sahabatku tersayang Edo Fitri, Muhsinun, Rita

Ayudita, Winnardo dan LinaFaujiah yang telah mendukung, memberikan

motivasi, dan menyemangati penulis memberikan energy positif untuk terus

berjuang dalam menyelesaikan skripsi ini. 4. Teman seperjuangan sekaligus keluarga Pemikiran Politik Islam angkatan

2015 atas kebersamaannya dan kerjasamanya.

5. Teman-teman KKN 204 yang telah memberikan support dan dukungan dalam

menyelesaikan skripsi ini.

6. Almamater tercinta UIN RadenIntan Lampung.

RIWAYAT HIDUP

Penulis skripsi bernama lengkap Ahmad Toyib, merupakan anak ke 5 dari enam bersaudara dari pasangan yang sangat harmonis dan selalu bahagia yaitu bapak

Sarta Karim dan Ibu Kamisah. Lahir di Kota Bandar Lampung, pada tanggal 09

Oktober 1996.

Pendidikan yang penulis tempuh di mulai Pada Tahun 2003 penulis mengenyam pendidikan dasar di MI Madrasah Masyarikul Anwar Durian Payung

Kota Bandar Lampung lalu lulus di tahun 2009. Lanjut penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama di SMP Negeri 18 Kota Bandar Lampung lulus pada tahun 2013. Selanjutnya di tahun 2013 mengenyam pendidikan menengah atas di

SMA Negeri 3 Kota Bandar Lampung lulus pada tahun 2015.

Syukur alhamdulilah kemudian penulis melanjutkan pendidikan tingkat tinggi di Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung pada tahun 2015 tercatat sebagai salah satu mahasiswa fakultas ushuluddin dan studi agama, jurusan pemikiran politik

Islam dan terselesaikan pada tahun 2020.

Bandar Lampung, Yang Membuat

AHMAD TOYIB

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah Swt Tuhan yang maha Esaa atas berkat limpahannya serta rahmatnya dan karunia-nya, penyusunan skripsi dengan judul

“Relasi Agama Dan Negara ( Studi Komparatif Pemikiran K.H A. Wahid

Hasyim Dan K.H Said AqilSiradj)”. Skripsi ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh untuk mendapatkan gelar (S1) Jurusan Pemikiran Politik Islam

Fakultas Ushuluddin dan studi agama di Universitas Islam Negeri Raden Intan

Lampung.

Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini terdapat bantuan dari pihak lain berupa bimbingan, petunjuk, saran, kritik, informasi, dan pengarahan oleh penulis. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan berterimakasih tak terhingga kepada :

1. Bapak Prof. Dr. H. Mohammad Mukri, M.Ag selaku rektor UIN Raden Intan

Lampung yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menimba

ilmu pengetahuan di kampus tercinta.

2. Bapak Dr. H. M. Afif Anshori, M.A selaku dekan Fakultas Ushuluddin dan

Studi Agama UIN Raden Intan Lampung.

3. Bapak Drs. Effendi, M.Hum sebagai pembimbing I dan Bapak Abdul Qohar,

M. Si pembimbing II yang telah memberikan arahan, ilmu pengetahuannya,

saran terhadap skripsi ini menjadi lebih baik. 4. Bapak Dr. Himyari Yusuf, M. Hum selaku pembimbing akademik yang

memberikan arahan dan motivasi kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini.

5. Bapak dan Ibu dosen Fakultas Ushuluddin dan studi Agama yang telah

memberikan Ilmu pengetahuan kepada penulis selama menuntut ilmu di

Fakultas Ushuluddin dan studi Agama terkhususnya di jurusan pemikiran

politik Islam.

6. Seluruh Staff kepegawaian dari tingkat dekanat sampai tingkat paling bawah

fakultas ushuluddin dan studi Agama yang telah memberikan bantuan dalam

kelancaran skripsi ini.

7. Keluarga yang telah memberikan dukungan baik secara moril dan materil.

8. Perpustakaan Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung dan

perpustakaan Daerah Lampung yang telah perkenankan penulis untuk

meminjam literature dalam penulisan skripsi ini.

Penulis berharap semoga Allah SWT akan membalas kebaikan pihak-pihak tersebut atas segala bantuan yang telah diberikan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak serta almamate tercinta. Akhir kata, penulis meminta maaf jika dalam penulisan dan penyusunan ada kesalahan kepada Allah SWT penulis mohon ampun.

Bandar Lampung, Penulis

AHMAD TOYIB DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...... i ABSTRAK ...... ii HALAMAN PERSETUJUAN...... iii HALAMAN PENGESAHAN ...... iv MOTTO ...... v PERSEMBAHAN ...... vi RIWAYAT HIDUP ...... vii KATA PENGANTAR ...... viii DAFTAR ISI ...... ix BAB I PENDAHULUAN A. Penegasan Judul ...... 1 B. Alasan Memilih Judul ...... 3 C. Latar Belakang Masalah ...... 4 D. Rumusan Masalah ...... 10 E. Tujuan Penelitian ...... 10 F. Manfaat Penelitian ...... 10 G. Metode Penelitian ...... 11 H. Tinjauan Pustaka ...... 13

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA A. Sejarah Munculnya Relasi Agama dan Negara ...... 15 B. Pengertian Agama Dan Negara ...... 31 C. Konsep Negara Dalam Islam ...... 34

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN K.H ABDUL WAHID HASYIM DAN K.H SAID AQIL SIROJ A. Profil K.H. Abdul Wahid Hasyim

1. Biografi K.H. Abdul Wahid Hasyim ...... 40 2. Karier Politik K.H. Abdul Wahid Hasyim ...... 44

3. Pemikiran K.H Abdul Wahid Hasyim ...... 47

B. Profil K.H. Said Aqil Siroj

1. Biografi K.H. Said Aqil Siroj ...... 54

2. Karir Politik K.H. Said Aqil Siroj...... 57

3. Pemikiran K.H. Said Aqil Siroj ...... 58

BAB IV PERBANDINGAN PEMIKIRAN K.H A. WAHID HASYIM DAN K. H SAID AQIL SIRAJ MENGENAI RELASI AGAMA DAN NEGARA A. Persamaan Pemikiran K.H A. Wahid Hasyim dan K.H. Said Aqil Siroj

Mengenai Relasi Agama dan Negara ...... 63

B. Perbedaan Pemikiran K.H A. Wahid dan K.H. Sasid Aqil Siroj Aqil

Mengenai Hubungan Agama dan Negara Di Indonesia ...... 76

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ...... 86 B. Saran ...... 86

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

BAB 1

Relasi Agama dan Negara

(Studi Komparatif Pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim dan K.H. Said Aqil Siroj)

A. Penegasan Judul

Judul merupakan hal yang sangat penting dari karya ilmiah, karena judul ini

akan memberikan gambaran tentang keseluruhan isi skripsi. Adapun judul karya

ilmiah yang penulis bahas dalam skripsi ini adalah. “Relasi Agama Dan Negara

(Studi Komparatif Pemikiran K.H. A. Wahid Hasyim dan K.H. Said Aqil

Siroj”.

Untuk memahami maksud judul proposal ini, terlebih dahulu penulis akan

uraikan beberapa istilah pokok yang terkandung dalam judul tersebut. Hal ini

selain dimaksudkan untuk lebih mempermudah pemahaman, juga untuk

mengarahkan pada pengertian yang jelas sesuai dengan yang dikehendaki

penulis. Berikut ini dapat dijelaskan beberapa istilah yang terkandung dalam

judul.

Relasi dalam penelitian ini diartikan sebagai hubungan, perhubungan, dan

pertalian1.Relasi di sini berarti sebuah hubungan, yang kemudian melahirkan

beberapa pendapat yang berbeda menyikapi pola relasi agama (Islam)

dengan negara. Sebuah keniscayaan yang keluar seperti negara harus tunduk di

bawah dogma agama atau agama harus terkooptasi oleh negara bahkan negara

1 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , Edisi II, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h.830. dan agama harus berhadapan secara frontal, tanpa harus saling mencampuri satu

sama lainnya. Agama dan negara diposisikan dalam ruang yang berbeda, namun

saling menguntungkan atau agama dan negara harus dipersatukan.

Menurut Elizabet K. Nottingham dalam buku Abuddin Nata Agama dan

Masyarakat berpendapat bahwa agama berkaitan dengan usaha-usaha manusia

untuk mengukur dalamnya makna dari keberadaaannya sendiri dan keberadaan

alam semesta.2

Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa islam mempunyai tuntutan

kebutuhan manusia dimana saja berada sebagai pedoman hidup baik bagi

kehidupn duniawi, maupun bagi kehidupan sesudah mati. Dimensi ajaran islam

memberikan aturan bagaimana cara berhubungan dengan tuhan atau khaliknya,

serta aturan bagaimana caranya berhubungan dengan sesama makhluk, termasuk

hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan kehidupan.3

Logemann berpendapat bahwa negara adalah suatu organisasi

kemasyarakatan yang bertujuan dengan kekuasaannya mengatur serta

menyelenggarakan sesuatu masyarakat.4 Organisasi itu sesuatu pertambatan

jabatan-jabatan atau lapangan-lapangan kerja.Pengertian ini mengandung nilai

konstitutif dari sebuah negara yang meniscayakan adanya unsur dalam sebuah

negara, yakni adanya sebuah masyarakat (rakyat), adanya wilayah (daerah), dan

adanya pemerintah yang berdaulat.

2 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta : RajaGrafindo Persada, 2006), h.10 3 R.Abuy,Shadikin,Sumber-Sumber Ajaran Islam,( : Fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, 1983), h.15. 4Solly Lubis, Ilmu Negara, (Bandung : Mandar Maju, 2002),h.1. Komparatif adalah suatu hal yang bersifat dapat diperbandingkan dengan

suatu hal lainnya.5 Komparatif disini dimaksud adalah membandingkan

pemikiran tentang relasi agama dan Negara menurut K.H. Abdul Wahid Hasyim

dengan K.H. Said Aqil Siroj.

K.H. Abdul Wahid Hasyim salah satu tokoh jamiah (NU),

ia tiga kali berturut-turut menjadi mentri agama pertama dalam Kabinet Hatta

(19 Desember 1949 – 16 Januari 1950), kedua dalam Kabinet Natsir (6

September 1950 – 26 April 1951) dan ketiga dalam Kabinet Sukiman (26 April

1961 – April 1962).6 K.H. Said Aqil Siroj adalah tokoh Organisasi Nahdlatul

Ulama yang menjabat sebagai ketua umum PBNU priode 2010 sampai

sekarang.7 Nilai- nilai karakter Pemikiran yang sama diantara K.H Wahid

Hasyim dan K.H Aqil Siraj yaitu tentang pemikiran Pada masa menjelang

kemerdekaan, tentang bagaimana relasi agama dan negara

B. Alasan Memilih Judul

1. Adanya perbedaan dan persamaan karakteristik diantara K.H. Abdul Wahid

Hasyim dan K.H. Said Aqil Siroj dalam pandangan mengenai relasi agama dan

negara.

2. Kajian tentang agama dan negara selalu tak pernah usai dikarnakan

banyaknya teori yang dikeluarkan oleh para ilmuwan sampai saat ini.

5“Pengertian Komparatif” (On-line), tersedia di: https://www.pengertianmenurutparaahli.net/pengertian-komparatif-dan-contohnya/ (18 mei 2019) 6 Sofiyullah Mz, Revitalisasi Humanisme Religius dan Kebangsaan KH. A. Wahid Hasyim BukuSatu,(Yogyakarta: Tebuireng, 2011), h.284. 7 Said Aqil Siroj, Dialog Tasawuf Kiai Said:Akidah, Tasawuf dan Relasi Antar Umat Beragama,(Surabaya: Khalista Surabaya, 2014), h.132. 3. Pandangan atau pemikiran para tokoh tentang relasi agama dan negara

selalu menarik untuk dikembangkan di bidang politik. Selain perbedaan

masa pola karakter mereka berdua berbeda walaupun dilatar belakangi

oleh organisasi yang sama.

4. Judul ini berkaitan dengan program studi yang sedang ditempuh oleh

penulis, yaitu Pemikiran Politik Islam, khususnya mata kuliah Pemikiran

dan Gerakan Politik Islam di Indonesia.

5. Data-data yang dibutuhkan tersedia baik berupa buku-buku dan karya-

karya ilmiah seperti jurnal yang akan dijadikan sumber primer dan

sekunder.

C. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang mayoritas masyarakatnya beragama

Islam, keterlibatan agama dalam merespon berbagai masalah kehidupan sosial

semakin jelas dan signifikan, termasuk dalam menempatkan hubungan yang

memungkinkan antara Islam dan negara.Karena masalah ini seringkali menjadi

problem yang bersifat mendasar. Oleh karenanya tidaklah mengherankan kalau

pemikiran tentang Islam dan negara ini sudah menjadi diskusi dan perdebatan

ulama sejak tempo dulu. Mendiskusikan Islam dan politik di Indonesia

melibatkan kekhawatiran dan harapan lama yang mencekam. Daerah ini penuh

dengan ranjau kepekaan dan kerawanan8

8 Abdul Kohar, Politik dan Islam di Indonesia,(Jurnal Tapis Vol. 14 No.01 Januari - Juni 2017). Pemikiran politik tentang hubungan agama dan negara telah menjadi

persoalan yang paling banyak diminati oleh masyarakat muslim, terutama pada

abad 19 hingga abad 21. Wacana hubungan agama dan negara selalu menjadi hal

yang menarik bagi para pemikir politik Islam.

Agama Islam oleh pemeluknya diyakini akan dapat menyelesaikan

berbagai masalah, baik yang bersifat mental spiritual maupun fisik material. Oleh

karena itu, agama selalu dilibatkan oleh para pemeluknya untuk merespon

berbagai masalah aktual yang dihadapinya, sehingga kehadiran agama secara

fungsional dapat dirasakan.

Secara global di dunia Islam terdapat tiga aliran tentang hubungan Islam

dan ketatanegaraan: Pertama, aliran pertama berpendapat bahwa Islam adalah

agama yang lengkap, yang mencakup pengaturan bagi semua aspek manusia

termasuk ketatanegaraan. Kedua, aliran kedua ini berpendapat bahwa Islam

adalah agama dalam pengertian Barat, Islam tidak ada hubungannya dengan

ketatanegaraan karena Nabi Muhammad SAW bukanlah sebagai kepala negara

melainkan hanya seorang utusan Allah SWT.Ketiga, aliran ketiga ini berpendapat

bahwa aliran ini menolak Islam adalah agama yang lengkap, namun juga menolak

pendapat bahwa Islam tidak ada hubungan sama sekali dengan ketatanegaraan,

aliran ini mengatakan bahwa dalam Islam terdapat seperangkat tata nilai etika

bagi kehidupan bernegara.9

9 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, (Jakarta:UI Press, 1993), h. 1. Hubungan antara Islam dan negara di Indonesia pada sebagaian besar babakan sejarahnya adalah kisah antagonis dan kecurigaan satu sama lain.

Hubungan yang tidak mesra ini terutama, tapi tidak seluruhnya, disebabkan oleh perbedaan pandangan pada pendiri Republik Indonesia yang sebagian besarnya umat Muslim mengenai hendak dibawa kemanakah negara Indonesia yang baru merdeka.Salah satu butir terpenting dalam perbedaan pendapat di atas itu adalah apakah negara ini bercorak “Islam” atau “nasionalis”.10Konsep kenegaraan pertama mengharuskan Islam harus diakui dan diterima sebagai dasar ideologi negara.

Sementara itu konsep kenegaraan kedua mendesak agar negara ini didasarkan pada Pancasila sebagai dasar ideologi negara.Perbedaan pendapat di

Indonesia tentang agama dan negara menjadi permasalah yang serius, salah satu tokoh pemikir Islam yang pro terhadap Islamsebagai ideologi negara adalah

Mohammad Natsir, ia berpendapat bahwa Islamtidak dapat dipisahkan dari negara. Menurutnya, urusan kenegaraan pada dasarnya merupakan bagian integral

Islam, yang di dalamnya mengandung falsafah hidup atau ideologi seperti kalangan Kristen, Fasis atau Komunisme.11

Dalam Islam, hubungan agama dan Negara masih menjadi perdebatan diantara pakar-pakar Islam hingga kini, yang diilhami oleh hubungan agak canggung antara Islam sebagai agama dan negara. Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa islam merupakan system kepercayaan dimana agama

10 Bahtiar Effendy, Op. Cit. h. 66. 11 , Capita Selecta, (Jakarta: Bulan Bintang,1973), h. 436. memiliki hubungan erat dengan politik. Islam memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang politik.Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan dengan konsep hubungan agama dan Negara.

Pertama, Paradigma Integralistik, menurut paradigm ini konsep hubungan agama dan Negara merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu.Ini memberikan pengertian bahwa Negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.

Konsep ini menegaskan bahwa islam tidak mengenal pemisah antara agama dan politik(Negara).

Kedua, Paradigma Simbiotik. Menurut paradigm simbiotik, hubungan agama dan Negara dipahami saling membutuhkan dan bersifat timbal balik.agama membutuhkan negara sebagai instrument dalam melestarikan dan mengembangkan agama.Begitu juga sebaliknya, Negara memerlukan agama, karena agama juga membantu Negara dalam pembinaan moral, etika, dan spiritual.

Ketiga, Paradigma Sekularistik. Menurut paradigm ini, ada pemisah antara agama dan Negara .agama dan Negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain memiliki garapan dibidangnya masing-masing, sehingga keberadaanya harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur tangan).

Mengenai hubungan islam dan Negara di Indonesia secara umum digolongkan kedalam dua bagian yakni: 1. Hubungan yang bersifat antagonistik. Hubungan antagonistik merupakan sifat

hubungan yang mencirikan adanya ketegangan antara negara dengan Islam

sebagai sebuah agama.

2. Hubungan yang bersifat akomodatif. Hubungan akomodatif lebih dipahami

sebagai sifat hubungan dimana negara dan agama satu sama lain saling

mengisi, bahkan ada kecenderungan memiliki kesamaan untuk mengurangi

konflik.

KH. Abdul Wahid Hasyim salah seorang intelektual muda pesantren dan tokoh NU,termasuk dalam barisan nasionalis Islam dalam BPUPKI bersama

Abikusno Tjokrosujoso (), Kahar Muzakkir (), Agus

Salim (PII), mereka memplopori disahkannya piagam Jakarta, setelah melalui perdebatan panjang, keempat orang ini, secara idiologis bersebrangan dengan kelompok nasionalis sekuler seperti Soekarno, M. Hatta, M. Yamin, A.

Soebardjo, serta AA Maramis.12 Kita dapat melihat apa yang dilakukan KH.

Abdul Wahid Hasyim sangat penting dan menarik, sebab di antara beberapa usulnya adalah dicantumkannya Islam secara formal sebagai agama Negara disertai syarat bahwa presiden harus orang islam. Selain itu, upaya formalisasi

Islam sebagai agama Negara juga tampak dalam proses perumusan dan pengesahan piagam Jakarta.

Meski sebelumnya bersikukuh menepatkan Islam sebagai dasar negara,

KH.Abdul Wahid Hasyim justru menyetujui penghapusan tujuh kata itu dari

UUD 1945 karena beliau mementingkan persatuan umat menghindari terjadinya

12 B.J. Boland, Pergumulan Islam Di Indonesia 1945-1972,(Jakarta:Grafiti Press, 1985),h.29. konflik. Terlepas dari polemikdan kontroversi yang seputar kehadiran

KH.AbdulWahid Hasyim pada 18 Agustus itu, tak dapat diragukan bahwa peran

dan kontribusi KH.Abdul Wahid Hasyim dalam perumusan dasar negara menjadi

sangat signifikan.

Said Aqil menjelaskan, jika politik dan agama dihubungkan, maka politik

akan menjadi radikal. Ketika ada oposisi, maka oposisi akan disingkirkan atas

nama kafir, murtad dan lain sebagainya. Peristiwa seperti ini terus terjadi

sepanjang sejarah. Jika ada ada ulama yang kritis terhadap pemerintahnya

langsung dituduh zindiq (munafik), murtad, dan lainnya. Hal ini terjadi karena

agama dijadikan alat politik. Sehingga agama dan politik memang sebaiknya

dipisahkan. Untuk itu, dia meminta, para politikus tidak berpolitik atau

berkampanye dengan mengikutsertakan Allah.13

Penjelasan seperti pada di atas melihat bahwasanya adanya perbedaan

pemikiran antara Abdul Wahid Hasyim dan Said Aqil Siroj, sedangkan dari

asalnya mereka menganut ideology Nahdatul Ulama, disinilah terlihat gambaran

yang terjadi antara dua tokoh nasional yang sama-sama menganut prinsip yang

sama namun perbedaan pemikiran mengenai ralasi agama dan negara.

Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik membahas lebih jauh

mengenaihubungan agama dan negara dalam lingkup pemikiranmengenai relasi

agama dan negara menurut Abdul Wahid Hasyim dan Said Aqil Siroj.

13http://m.republika.co.id, Said Aqil Siroj: Politik dan Agama Tidak Boleh Saling Bersama (28 Maret 2017).

D. Rumusan Masalah

Dari permasalan serta persoalan-persoalan yang telah di gambarkan dalam

latar belakang masalah maka penulis dapat merumuskan sebagai berikut:

1. Bagaimana persamaan pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim dan K.H. Said

Aqil Siroj mengenai relasi agama dan Negara?

2. Bagaimana perbedaan pemikiran K.H. Abdul Wahid Hasyim dan K.H. Said

Aqil Siroj mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui:

a. Persamaan pemikiran K.H Abdul Wahid Hasyim dan K.H. Said Aqil Siroj

tentang relasi agama dan Negara?

b. Perbedaan pemikiran K.H Abdul Wahid Hasyim dan K.H. Said Aqil Siroj

mengenai hubungan agama dan negara di Indonesia.

F. Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka manfaat dari penelitian iniadalah :

1. Untuk memperkaya pengetahuan tentang relasi agama dan negara serta

diharapkan dapat menambah referensi untuk penelitian-penelitian sejenis

dimasa yang akan dating 2. Untuk mencapai gelar s1 dalam bidang politik sebagai persyaratan dalam

menyelesaikan studi di Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas

Ushuludin.

3. Penulisan skipsi ini dapat digunakan sebagai tolak ukur bagi penulis untuk

mengetahui seberapa besar pengetahuan dan kemampuan si penulis dalam

menganalisis, serta menyajikannya dalam suatu karya ilmiah yang

objektif.

G. Metode Penelitian

1. Jenis dan Sifat Penelitian

a. Jenis penelitian

Dilihat dari pembahasanya jenis penelitian yang digunakanAdalah

jenis penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu mengumpulkan

data atau karya tulis ilmiah yang bertujuan dengan objek penelitian atau

mengumpilkan data yang bersifat kepustakaan, atau telah yang

dilaksanakan untuk memecahkan suatu permasalahan tertentu pada

dasarnya tertumpu pada penelaahan kritis dan mendalam terhadap bahan-

bahan putuskan yang relevan

b. Sifat Penelitian

Sifat penelitian ini bersifat deskripsif kualitatif yang bertujuan untuk

mengungkapkan berbagi informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang

sangat teliti.14

14 Nana Syaodih Sukmandinata, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung : Remaja Rosdakarya, 2007), h.60-61. 1. Sumber Data

a. Data Primer

Data primer adalah data yang langsung dikumpulkan oleh peneliti dari

sumber pertama.Yang menjadi data primer dalam penulisan ini adalah data

yang diperoleh langsung dari buku asli.Said Aqil Siradj dari buku Tasawuf

Sebagai Kritik Sosial.

b. Data Sekunder

Data sekunder merupakan data yang sudah jadi, biasanya telah

tersusun dalam bentuk dokumen. Data sekunder diperoleh dengan cara

mengambil data dari buku, jurnal, serta aturan-aturan yang berkaitan dengan

judul penelitian. Seperti buku Sang Mujtahid , karya Aguk

Irawan, M.N.

2. Alat Pengumpulan Data

Penelitian ini termasuk penelitian kepustakaan maka dari itu alat yang

digunakan adalah pengumpulan data literature yaitu bahan-bahan pustaka

yang koheren dan objek pembahasan yang dimaksud.15 Data yang ada

dalamkepustakaan tersebut diolah dengan cara:

a. Editing yaitu pemeriksaan kembali data terutama dari segi kelengkapan

kejelasan makna.

b. Organizir yaitu mengorganizir data yang sudah diperoleh dengan kerangka

yang sudah diperlukan.

15 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h.24. c. Penemuan hasil penelitian yaitu menemukan analisi lanjutan terhadap

hasil perorganisasian data dengan kaidah-kaidah, teori dan metode yang

telah ditentukan sehingga diperoleh kesimpulan tertentu yang merupakan

hasil dari rumusan masalah.

H. Tinjauan Pustaka

Sebagai upaya untuk menghindari terjadinya pengulangan hasil temuan

yang membahas permasalahan yang sma dari seseorang yang baik dalam bentuk

buku ataupun dalam bentuk tulisan yang lain, maka peneliti akan memaparkan

karya ilmiah yang menjelaskan tentang relasi agama dan negara dan menjadi

acuan dalam penelitian ini, diantaranya yaitu:

Skripsi dengan judul “Relasi Agama Dan Negara Perbandingan UUD

1945, Islam Dan Barat”.Karya Imbuh Thobiin mahasiswa Fakultas Ilmu Agama

Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.Dalam skripsi ini membahas

mengenai hubungan agama dan Negara berdasarkan perbandingan dari sudut

pandang UUD 1945 Islam dan Barat.16

Jurnal dengan judul “Relasi Agama dan Negara Dalam Perspektif

Islam”.Karya Abd. Salam Arief. Dalam jurnal ini membahas tentang hubungan

Negara dan agama dari sudut pandang islam.17

16Imbuh Thobiin, “Relasi Agama Dan Negara Perbandingan UUD 1945, Islam Dan Barat”.(Skripsi Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018). 17Abd. Salam Arief, Relasi Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, (Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol.2 No.2 Juli-Desember 2003). Jurnal dengan judul “Politik dan Islam di Indonesia”.Karya Abdul Kohar.

Dalam jurnal ini membahas mengenai perkembangan politik dan islam yang ada di Indonesia dari orde lama sampai era revormasi.18

Pada proposal yang peneliti susun tentunya akan berbeda dengan tinjauan pustaka diatas yang telah membahas hubungan agama dan Negara berdasarkan perbandingan dari sudut pandang UUD 1945 islam dan barat dan hubungan agama dan Negara dalam sudut pandang islam serta mengenai perkembangan politik dan islam di Indonesia. Sedang pada proposal ini peneliti lebih melihat hubungan agama dan Negara berdasarkan pemikiran Abdul Wahid Hasyim dan

Said Aqil Siroj

18 Abdul Kohar, Politik dan Islam di Indonesia. Ibid. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG RELASI AGAMA DAN NEGARA

A. Sejarah Munculnya Relasi Agama dan Negara

Masalah hubungan agama dengan negara telah muncul kepermukaan dalam

serangkaian polemik dan perdebatan pada dasawarsa-dasawarsa pertama abad ini.

Perdebatan ini tampaknya diawali dengan terjadinya revolusi kaum muda Turki di

bawah pimpinan Mustafa Kemal Pasya tahun 20- an. Yang berpuncak dengan

dihapuskannya khilafat di Turki, dilepaskannya Islam sebagai agama resmi negara,

dan dihapuskannya syariah sebagai sumber hukum tertinggi dalam negara. Turki

lahir sebagai sebuah republik sekuler yang dengan tegas memisahkan urusan

keagamaan dengan urusan kenegaraan19

Tahun yang hampir bersamaan dengan revolusi di Turki itu, seorang hakim

Mahkamah Syariah di Mesir, Syeikh Ali Abd al-Raziq menulis buku dengan judul,

al-Islam wa Usul al-hukmi (Islam dan Asas-asas Pemerintahan) yang tidak saja

menimbulkan kegaduhan di kalangan ulama-ulama al-Azhar, tetapi gaung

perdebatannya terdengar pula di Indonesia Kesimpulan akhir dari kajian Abd. Al-

Raziq dalam bukunya itu, tertera dalam bab terkahir dengan menjelaskan sebagai

berikut: Kenyataan yang sebenarnya adalah bahwa agama Islam tidak mengenal

lembaga kekhilafaan (kenegaraan) seperti yang selama ini dikenal oleh kaum

muslimin. Lembaga kekhilafaan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan

19 Berkes, Niyazi, The DDevelopment of Secularism in Turkey (Montreal:McGill University Press, 1964) h. 23 ajaran agama. Demikian pula halnya dengan masalah pemerintahan dan fungsi- fungsi kenegaraan. Semua itu adalah masalah-masalah yang berkenaan dengan politik, dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Agama tidak mengenal lembaga serupa itu, tetapi juga tidak menolak eksistensinya, tidak memerintahkan, dan tidak pula melarang. Semuanya terserah kepada kita untuk kita pertimbangkan dengan akal kita, dengan pengalaman-pengalaman dan kaidah-kaidah politik yang ada disekitar kita.

Paham Ali Abd al-Raziq di Indonesia kelihatannya mendapat sambutan baik di kalangan kelompok nasionalis sekuler terutama dalam tulisan-tulisan Ir.

Soekarno. Namun, paham ini mendapat tantangan keras dari kalangan modernis muslim terutama oleh Mohammad Natsir, karena raziqisme, menurut Natsir, tidak lain adalah sekularisme dalam kehidupan kenegaraan yang tidak sejalan dengan asas-asas Islam.20 sendiri menurut penuturannya telah menelaah sis buku

Raziq pada tahun 1926, di bawah bimbingan ayahnya Dr. yang memperoleh buku itu dalam perjalanannya ke Timur Tengah. Namun begitu, barulah tahun 1970-an Hamka memberikan komentar tentang buku Raziq, setelah buku itu disalin oleh M. Tgk Ide dan dimuat bersambung oleh harian Waspada di

Medan.21

Islam sebagai agama merupakan satu mata rantai ajaran Tuhan (wahyu Allah) yang menyatu dan kehadirannya di muka bumi telah dinyatakan final dan

20 Natsir, Mempersatukan Umat,( Bandung : W. Van Hove, 1968). h. 58 21 Ibid. sempurna hingga akhir zaman. Ajaran Islam merupakan satu kesatuan yang terdiri atas keimanan dan amal yang dibangun di atas prinsip ibadah hanya kepada Allah, bahkan ajaran tentang tauhid (prinsip ke-Esa-an Tuhan) merupakan sistem kehidupan (manhaj al-hayat) bagi setiap muslim kapan dan di mana pun. Pendek kata, Islam itu satu kesatuan yang menyeluruh dan tidak dapat dipecah-pecah, al-

Islām kullu lā yatajaza. 22

Konsepsi tentang negara dan pemerintahan telah menimbulkan diskusi panjang dikalangan para pemikir muslim dan memunculkan perbedaan pendapat serta pandangan yang cukup panjang, yang tidak hanya berhenti pada tataran teoritis konseptual, tetapi juga memasuki wilayah politik praktis, sehingga acapkali membawa pertentangan dan perpecahan dikalangan umat Islam.

Perbedaan pandangan selain disebabkan sosio-historis dan sosio kultural, juga disebabkan oleh faktor yang bersifat teologis yakni tidak adanya keterangan tegas

(clear cut explanation) tentang negara dan pemerintahan dalam sumber-sumber

Islam (Alquran dan Sunnah). Memang terdapat beberapa istilah yang sering dihubungkan dengan konsep negara, seperti khalīfah, dawlah dan hukūmah, namun istilah tersebut berada dalam kategori ayat-ayat zanniyah yang memungkinkan penafsiran. Alquran tidak membawa keterangan yang jelas tentang bentuk negara, konsepsi tentang kekuasaan, kedaulatan, dan ide tentang konstitusi.

Perbedaan tentang negara dan pemerintahan, dapat dilacak sejak Nabi

Muhammad saw wafat. Dalam hal ini terdapat perbedaan pandangan tentang

22 Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat Edisi Revisi, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1993) h.278. masalah suksesi kepemimpinan yang terjadi di sekitar kewafatan Nabi Muhammad saw. walaupun sebagain kelompok umat Islam (kelompok syiah) meyakini bahwa

Nabi Muhammad saw telah mewariskan kepemimpinannya kepada Ali bin Abi

Thalib melalui peristiwa Gahdir Khum.

Karya Hamka yang pertama tentang Politik dan Revolusi Agama, menjelaskan “dengan menyebut nama Islam saja, kita teringat pada suatu agama, yang mengatur hidup dunia dan akhirat, diri dan masyarakat bersama. Pendeknya suatu agama-negara, suatu negara-agama.23

Dalam pemikiran politik Islam, pembicaraan tentang negara dan pemerintahan oleh para ulama politik mengarah kepada dua tujuan. Pertama menemukan idealitas Islam tentang negara atau pemerintahan (menekankan aspek teoritis dan formal), yaitu mencoba menjawab pertanyaan “apa bentuk negara menurut Islam?’.

Kedua, melakukan idealisasi dari perspektif Islam terhadap proses penyelenggaraan negara atau pemerintahan (menekankan aspek praksis dan subtansial), yaitu mencoba menjawab pertanyaan bagaimana isi negara menurut

Islam?24

Jika pendekatan pertama bertolak dari anggapan bahwa Islam memiliki konsep tertentu tentang negara dan pemerintahan, maka pendekatan kedua bertolak dari anggapan bahwa Islam tidak membawa konsep tertentu tentang negara dan pemerintahan, tetapi hanya membawa prinsip-prinsip dasar berupa nilai etika dan moral.

23 Hamka, Sejarah Hamka, (Jakarta: Sinar Harapan, 1984) h.89-90. 24 Ibid. Islam, menurut Hamka, bukanlah sekadar agama, tetapi juga sebuah ideologi dan sebuah weltanschaung yang meliputi langit bumi, benda nyawa, dan dunia akhirat. Bila saja ajaran-ajaran Islam itu dipelajari dengan sungguh- sungguh dan disertai kecintaan, bukan dengan kebencian, nyatalah bahwa ajaran Islam tidak mengenal sama sekali apa yang disebut perpisahan agama dan negara.

Istilah perpisahan agama dengan negara yang dipergunakan Hamka, tampaknya adalah terjemahan dari kata-kata separation of church and state dalam bahasa Inggris sheiding van kerk en staat dalam bahasa Belanda. Yang seringkali menjadi bahan pertikaian antara golongan modernis muslim di Indonesia dengan golongan kebangsaan yang sekuler. Gagasan pemisahan ini sebenarnya berhubungan erat dengan teori “dua pedang” atau “dua kekuasan” dari Paus Glasius pada abad kelima Masehi, yang menegaskan adanya pemisahan yang tajam antara kekuasaan gereja Katolik yang menangani urusan ruhaniah, dengan kekuasan kaisar (negara) yang menangani urusan duniawiah. Adanya teori pemisahan ini bukan saja dikarenakan adanya kekuasaan gereja Katolik bersifat hierarkis, tetapi juga mendapatkan argumentasi berdasarkan ayat-ayat kitab Injil. Bila disimak baik-baik isitlah yang dipergunakan oleh bahasa Inggris dan Belanda di atas, jelaslah bahwa yang dipisahkan dengan negara adalah church atau kerk (gereja), dan sama sekali bukanlah religion atau goddienst agama). Pemikir-pemikir politik

Kristen sendiri berpendapat tidaklah mungkin akan memisahkan etika dan nilai- nilai Kristen dari kehidupan bernegara.

Islam sendiri, tentulah tidak mengenal adanya hierarki kekuasaan rohaniah seperti lembaga gereja yang dimiliki agama Katolik. Hamka sendiri, maupun

Mohammad Natsir yang pernah berpolemik dengan Ir. Soekarno tentang masalah ini, bukannya tidak menyadari bahwa Islam tidaklah mempunyai institusi kegerejaan, tetapi kekeliruan ini nampaknya timbul dikalangan golongan kebangsaan yang sekuler, yang dikarenakan pendidikan Barat yang mereka peroleh, mengira bahwa teori pemisahan kerk dan staat seperti dalam agama

Kristendi Eropa, haruslah diartikan bahwa agama haruslah dipisahkan dari negara

Indonesia yang mereka cita-citakan pada zaman pergerakan itu. Jadi, apa yang ditulis oleh Hamka atau Natsir, tidaklah sia-sia walau seolah- olah membicarakan masalah yang tidak relevan dengan Islam. Tetapi paling tidak mereka ingin mendudukkan masalah ini pada proporsi yang sebenarnya untuk menghilangkan kesalahpahaman golongan nasionalis sekuler di Indonesia.

Sekalipun agama dengan negara haruslah disatukan, namun Hamka berulang kali menegaskan bahwa penyatuan itu tidaklah membawa implikasi berdirinya sebuah negara teokratis, sebuah istilah yang lagi-lagi dipergunakan oleh golongan nasionalis sekuler dalam menentang ide negara Islam di Indonesia. Hamka menjelaskan, “Agama Islam adalah kepunyaan tiap-tiap orang yang beriman.

Dalam Islam tidak ada jabatan kepala agama. Tidak ada Bapak Domine yang harus menjadi perantaraan di antara manusia dengan Allah. Golongan yang disebut ulama, tidaklah diberi hak untuk menguasai agama. Dan tidak ada satu kasta yang semata-mata hanya mengurus agama, sehingga orang banyak harus menuggu keputusan beliau. Kalau suatu agama dikuasai oleh seseorang, padahal dia tidak mendapat beslit (surat keputusan) dari Tuhan buat mengatur itu, maka orang lain berhak merampas agama itu dari tangannya dan mendemokrasikannya kembali.

Suatu paham dari seorang ulama Islam, boleh ditolak oleh ulama yang lain. Arti

sejati dari perkataan ulama ialah orang yang berilmu. Hanya tradisi buatan

manusialah yang mempersempit daerah (wilayah pemahaman) itu.25

Paham penyatuan agama dengan negara yang dianut Hamka, membawa

implikasi kewajiban bagi kaum muslimin untuk membentuk negara berdasarkan

pertimbangan akal atau penalaran rasional manusia dan bukan berdasarkan atas nas

syariah yang tegas baik di dalam Alquran maupun hadis Nabi. Negara menurut

Hamka diperlukan manusia karena pertimbangan- pertimbangan praktis, tetapi

negara itu bukanlah institusi keagamaan itu sendiri secara langsung. Negara

menurut pandangan Islam, kata Hamka, tidak lain daripada alat untuk

melaksanakan hukum kebenaran dan keadilan bagi rakyatnya. Selanjutnya, Hamka

berkata, kebenaran dan keadilan yang yang mutlak ialah dari Allah. Ada yang

mengatakan bahwa al-Din wa al-Daulah (Islam adalah agama dan negara).

Rumusan ini pun kurang tepat, yang tepat ialah Islam adalah negara.

Dalam memahami hubungan agama dan negara, ada beberapa konsep

hubungan agama dan negara menurut beberapa aliran/paham, antara lain : a. Paham Teokrasi

Dalam paham teokrasi, hubungan agama dan negara digambarkan sebagai

dua (2) hal yang tidak dapat dipisahkan. Negara menyatu dengan agama, karena

pemerintahan menurut paham ini dijalankan berdasarkan firman-firman Tuhan.

25 Ibid. h.101. Segala tata kehidupan dan masyarakat, bangsa dan negara dilakukan atas titah

Tuhan. Urusan kenegaraan atau politik diyakini sebagai manifestasi firman Tuhan.

Dalam perkembangannya, paham teokrasi terbagi ke dalam dua (2) bagian,

yakni paham teokrasi langsung dan paham teokrasi tidak langsung. Menurut paham

teokrasi langsung, pemerintah diyakini sebagai otoritas Tuhan secara langsung.

Adanya negara di dunia ini adalah atas kehendak Tuhan. Oleh karena itu, yang

memerintah adalah Tuhan pula. Sedangkan menurut paham teokrasi tidak langsung,

yang memerintah bukanlah Tuhan sendiri, melainkan raja atau kepala negara yang

memiliki otoritas (kekuasaan) atas nama Tuhan. b. Paham Sekuler

Paham sekuler memisahkan dan membedakan antara agama dan negara.

Dalam paham ini, tidak ada hubungan antara sistim kenegaraan dengan agama.

Negara adalah urusan hubungan manusia dengan manusia lain, atau urusan dunia.

Sedangkan agama adalah hubungan manusia dengan Tuhan. Dua hal ini menurut

paham sekuler tidak dapat disatukan. Dalam negara sekuler, sistim dan norma

hukum positif dipisahkan dengan nilai dan norma agama. Norma hukum ditentukan

atas kesepakatan manusia dan tidak berdasarkan agama atau firman-firman Tuhan,

seperti paham teokrasi, meskipun mungkin norma-norma tersebut bertentangan

dengan norma-norma agama. Sekalipun paham ini memisahkan antara agama dan

negara, akan tetapi pada lazimnya negara sekuler membebaskan warga negaranya

untuk memeluk agama apa saja yang mereka yakini dan negara tidak intervensi

(campur tangan) dalam urusan agama. c. Paham Komunis

Menurut paham komunis, agama dianggap sebagai suatu kesadaran diri bagi

manusia sebelum menemukan dirinya sendiri. Kehidupan manusia adalah dunia

manusia itu sendiri yang kemudian menghasilkan masyarakat negara. Gama

dipandang sebagai realisasi fantastis (perwujudnyataan angan-angan) makhluk

manusia, dan agama merupakan keluhan makhluk tertindas. Karena itu, agama

harus ditekan, bahkan dilarang.nilai tertinggi dalam negara adalah materi. Karena

manusia sendiri pada hakikatnya adalah materi.

Dalam Islam, hubungan agama dan negara masih menjadi perdebatan di

antara pakar-pakar Islam hingga kini, yang diilhami oleh hubungan yang agak

canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah) menurut

Azzumardi Azra.

Banyak para ulama tradisional yang berargumentasi bahwa Islam merupakan

sistim kepercayaan di mana agama memiliki hubungan erat dengan politik. Islam

memberikan pandangan dunia dan makna hidup bagi manusia termasuk bidang

politik. Dari sudut pandang ini, maka pada dasarnya dalam Islam tidak ada pemisahan

antara agama dan politik. Akhirnya ditemukan beberapa pendapat yang berkenaan

dengan konsep hubungan agama dan negara.

Dalam kaitannya dengan masalah negara dan pemerintahan, serta prinsip-prinsip

yang mendasarinya, maka paling tidak terdapat tiga paradigma tentang pandangan

Islam tentang negara, yaitu: 1. Paradigma Integratif

Paradigma integratif, yaitu adanya integrasi antara Islam dan negara, menurut

paradigma ini, konsep hubungan agama dan negara merupakan suatu kesatuan

yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu

(integrated). Ini memberikan pengertian bahwa negara merupakan lembaga

politik dan keagamaan sekaligus. Pemerintahan negara didasarkan atas

kedaulatan Ilahi, atau dengan kata lain, paradigma ini meniscayakan adanya

negara bagi umat Islam dalam corak negara teokratis, biasanya dengan

menegaskan Islam (syariah) sebagai konstitusi negara dan modus suksesi

kepemimpinan cenderung bersifat terbatas dan tertutup.

Paradigma seperti ini dianut oleh kelompok syi’ah, yang dalam hal ini bahwa

paradigma pemikiran syi’ah memandang bahwa negara (istilah yang relevan

dengannya adalah Imamah atau kepemimpinan) adalah lembaga keagamaan dan

mempunyai fungsi keagamaan. Menurut pandangan syi’ah berhubung legitimasi

keagamaan berasal dari Tuhandan diturunkan lewat garis keturunan Nabi

Muhammad saw, legitimasi politik harus berdasarkan keagamaan dan hal itu

hanya dimiliki oleh keturunan Nabi saw.

Berbeda dengan paradigma pemikiran politik sunni yang menenkankan ijma’

dan baiat kepada kepala negara (khalīfah), paradigma syi’ah menekankan wilayah

(kecintaan dan pengabdian Tuhan) dan „ismah (kesucian dan dosa) yang hanya

dimiliki oleh keturunan Nabi sebagai yang berhak dan berabsah untuk menjadi kepala negara (imam).26

Sebagai lembaga politik yang didasarkan atas legitimasi keagamaan dan

mempunyai fungsi menyelenggarakan “kedaulatan Tuhan”, negara dalam

perspektif Syi’ah bersifat teokrasi. Negara teokrasi mengandung unsur pengertian

bahwa kekuasaan mutlak berada di tangan Tuhan dan konstitusi negara

berdasarkan pada wahyu Tuhan (syariah). Sifat teokrasi dapat ditemukan

dalam pemikiran banyak ulama politik Syi’ah, Khomaeni umpamanya

mengatakan bahwa dalam negara Islam wewenang menetapkan hukum berada

pada Tuhan. Tiada seorang pun berhak menetapkan hukum dan yang boleh

berlaku hanyalah hukum dari Tuhan.27 Kendati demikian, pemikiran politik Iran

kontemporer penisbatan Republik Islam Iran dengan negara teokrasi. Sistem

kenegaraan Iran memang menyiratkan watak demokratik seperti yang

ditunjukkan oleh penerapan asas distribusi kekuasaan berdasarkan prinsip trias

political dan pemakaian istilah republik dari Negara itu sendiri.

2. Paradigma simbiotik

Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara dipahami saling

membutuhkan dan bersifat timbal balik. Agama membutuhkan negara sebagai

instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga

sebaliknya, negara memerlukan agama, karena agama juga membantu negara

dalam pembinaan moral, etika, dan spiritualitas. Antara agama dan negara

26 Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syiah, Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad 20, (Bandung: Pustaka, 1988) h. 68. 27 Ibid. merupakan dua identitas yang berbeda. Tetapi saling membutuhkan oleh

karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari

adanya social contract, tetapi bisa saja diwarnai oleh hukum.(agama (syariat )

3. Paradigma sekularitas

Menurut paradigma sekularitas, ada pemisahan (disparitas) antara agama dan

negara. Agama dan negara merupakan dua (2) bentuk yang berbeda dan satu

sama lain memiliki garapan bidangnya masing-masing, sehingga keberadaannya

harus dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi (campur

tangan).

Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain

memiliki garapan bidangnya masing-masing. Sehingga keberadaannya harus

dipisahkan dan tidak boleh satu sama lain melakukan intervensi berdasar pada

pemahaman yang dikotomis ini. Maka hukum positif yang berlaku adalah hukum

yang betul-betul berasal dari kesepakatan manusia. Berbicara mengenai

hubungan agama dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik

untuk dibahas, penyebabnya bukan karena penduduk Indonesia mayoritas Islam

tetapi karena persoalan yang muncul sehingga menjadi perdebatan dikalangan

beberapa ahli.

Keterangan perdebatan tentang hubungan agama dan negara ini diilhami oleh

hubungan yang agak canggung antara Islam. Sebagai agama (din) dan negara

(dawlah), agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat

dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga politik dan sekaligus lembaga agama.

Untuk mengkaji lebih dalam mengenai hal tersebut, maka hubungan agama dan negara dapat digolongkan menjadi dua:

1. Hubungan agama dan negara yang bersifat antagonistik.

Hubungan antagonistik adalah sifat hubungan yang mencirikan adanya

ketegangan antara negara dengan Islam sebagai sebuah agama. Contohnya

pada masa kemerdekaan sampai pada masa revolusi politik Islam pernah

dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan

negara. Sehingga persepsi tersebut membawa implikasi keinginan negara

untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestika terhadap idiologi

politik Islam. Hal ini disebabkan pada tahun 1945 dan dekade 1950-an ada

dua kubu idiologi yang memperebutkan negara Indonesia, yaitu gerakan

Islam dan nasionalis.

Di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik antara Islam dan

negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman

keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat

ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat

dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka.

Upaya untuk menciptakan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam

dan negara terus bergulir hingga periode kemerdekaan dan pasca-revolusi.

Kendatipun ada upaya-upaya untuk mencarikan jalan keluar dari ketegangan

ini pada awal 1970-an, kecenderungan legalistik, formalistik dan simbolistik itu masih berkembang pada sebagian aktivis Islam pada dua dasawarsa

pertama pemerintahan orde baru (kurang lebih pada 1967-1987).

Hubungan agama dan negara pada masa ini dikenal dengan

antagonistik, di mana negara betul-betul mencurigai Islam sebagai kekuatan

potensial dalam menandingi eksistensi negara. Di sisi lain, umat Islam sendiri

pada masa itu memiliki ghirah atau semangat yang tinggi untuk mewujudkan

Islam sebagai sumber ideologi dalam menjalankan pemerintahan.

2. Hubungan akomodatif.

Hubungan akomodatif adalah sifat hubungan di mana negara dan agama

satu sama lain saling mengisi bahkan ada kecenderungan memiliki

kesamaan untuk mengurangi konflik. Pemerintah menyadari bahwa umat

Islam merupakan kekuatan politik yang potensial, sehingga negara

mengakomodasi Islam. Jika Islam ditempatkan sebagai out side negara maka

konflik akan sulit dihindari yang akhirnya akan mempengaruhi NKRI.

Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara

Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif.

Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya wacana politik Islam

serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian

(besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada

yang bersifat: 1. Struktural, yaitu dengan semakin terbukanya kesempatan bagi para aktivis

Islam untuk terintegrasikan ke dalam negara.

2. Legislatif, misalnya disahkannya sejumlah undang-undang yang dinilai

akomodatif terhadap kepentingan Islam.

3. Infrastruktural, yaitu dengan semakin tersedianya infrastruktur-

infrastruktur yang diperlukan umat Islam dalam menjalankan tugas- tugas

keagamaan.

4. Kultural, misalnya menyangkut akomodasi negara terhadap Islam yaitu

menggunakan idiom-idiom perbendaharaan bahasa pranata ideologis

maupun politik negara.

Melihat sejarah di masa orde baru, hubungan Soeharto dengan

Islam politik mengalami dinamika dan pasang surut dari waktu ke waktu.

Namun, harus diakui Soeharto dan kebijakannya sangat berpengaruh dalam

menentukan corak hubungan negara dan Islam politik di Indonesia. Alasan

negara berakomodasi dengan Islam: pertama, karena Islam merupakan

kekuatan yang tidak dapat diabaikan jika hal ini dilakukan akan menimbulkan

masalah politik yang cukup rumit. Kedua, dikalangan pemerintahan sendiri

terdapat sejumlah figur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan

mempunyai dasar keislaman yang sangat kuat sebagai akibat dari latar

belakangnya. Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap, dan orientasi politik

dikalangan Islam itu sendiri. Sedangkan alasan yang dikemukakan menurut

Bachtiar, adalah selama dua puluh lima tahun terakhir, umat Islam mengalami proses mobilisasi-sosial-ekonomi-politik yang berarti dan

ditambah adanya transformasi pemikiran dan tingkah politik generari baru

Islam. Hubungan Islam dan negara berawal dari hubungan antagonistik yang

lambat laun menjadi akomodatif. Adanya sikap akomodatif ini muncul ketika

umat Islam Indonesia ketika itu dinilai telah semakin memahami kebijakan

negara, terutama dalam masalah ideologi Pancasila. Sesungguhnya sintesa

yang memungkinkan antara Islam dan negara dapat diciptakan. Artikulasi

pemikiran dan praktik politik Islam yang legalistik dan formalistik telah

menyebabkan ketegangan antara Islam dan negara.

Sementara itu, wacana intelektualisme dan aktivisme politik Islam

yang substansialistik, sebagaimana dikembangkan oleh generasi baru Islam,

merupakan modal dasar untuk membangun sebuah sintesa antara Islam.28

B. Pengertian Agama dan Negara

1. Pengertian Agama

Agama menurut etimologi berasal dari kata bahasa sanskerta dalam kitap upadeca tentang ajaran-ajaran agama hindu disebutkan bahwa perkataan agama berasal dari bahasa sanskerta yang tersusun dari kata “A” berarti tidak dan “gama” berarti pergi dalam bentuk harfiah yang terpadu perkataan agama berarti tidak pergi tetap ditempat, langgeng, abadi, diwariskan secara terus menerus dari generasi ke generasi Pada umumnya perkataan agama diartikan tidak kacau yang secara analitis di uraikan dengan cara di memisahkan kata demi kata yaitu “A”

28 Bachtiar Effendi, Islam dan Negara Transformasi Gagasan dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Emocracy Project, 2011). h.9. berarti tidak dan “gama” berarti kacau maksudnya orang yang memeluk suatu agama dan mengamalkan ajaran-ajarannya dengan sungguh-sungguh hidupnya tidak akan kacau.29 Agama selalu diterima dan dialami secara subjektif. Oleh karena itu orang sering mendifinisikan agama sesuai dengan pengalamannya dan penghayatannya pada agama yang di anutnya. menurut “”, mantan menteri agama Indonesia menyatakan bahwa agama adalah percaya akan adanya tuhan yang esa. Dan hukum-hukum yang di wahyukan kepada kepercayaan utusan-utusannya untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di akhirat Sedangkan menurut ”James Martineau” agama adalah kepercayaan kepada tuhan yang selalu hidup. Yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia Friedrich Schleiermacer, menegaskan bahwa agama tidak dapat di lacak dari pengetahuan rasional, juga tidak dari tindakan moral, akan tetapi agama berasal dari perasaan ketergantungan mutlak kepada yang tak terhingga (feeling of absolute dependence) 30 Di samping itu, agama merupakan pedoman hidup atau arahan dalam menentukan kehidupan, sebagaimana dalam hadist. “kutinggalkan untuk kamu dua perkara tidaklah kamu akan tersesat selama- lamanya, selama kamu masih berpegang kepada keduanya yaitu kitabullah dan sunnah rasul” 31 Secara sosiologis menurut “johnstone” “Religion can be defined as a system of beliefs and practices by which a group of people interprets and responds to what they feel is sacred

29K. Sukardji, Agama-agama yang berkembang di dunia dan pemeluknya (Bandung:Angkasa,1993) h.2 30 , Psikologi Agama sebuah pengantar (Bandung: PT. MIizan Pustaka, 2004) h. 20-22 31Waqiatul Azra, Buku ajar civic education (Pamekasan, STAIN Pamekasan Press,2006) h. 48 and usually supernatural swell” lebih lanjut johnstune menyatakan that by employing this definition weare, for purposes of sociological investigation at least, adopting the position, of the hardnosed relativist and agnostiec (saya kira dengan jujur kita harus mengakui masih sangat sulit mencari orang atau pakar-pakar yang mengkaji atau bergulat dengan agama tertentu di Indonesia, tetapi sekaligus merupakan relativis dan agnostik.32

2. Pengertian Negara

Istilah negara diterjemahkan dari kata-kata asing yaitu staat” (bahasa belanda dan jerman) “state” (bahasa inggris) “etat” (bahasa prancis) kata “staat”(state,etat) itu diambil dari kata bahasa latin yaitu “status” atau statum, yang artinya keadaan yang tegak dan tetap atau suatu yang memiliki sifat yang tegak dan tetap. Negara merupakan integrasi dari kekuatan politk, ia adalah organisasi pokok dari kekuasaan politik negara adalah agency (alat) dari masyarakat yang mempunyai kekuasaan untuk mengatur hubungan-hubungan manusia dalam masyarakat dan menertibkan gejala-gejala kekuasaan dalam masyarakat Negara adalah organisasi yang dalam suatu wilayah dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan kekuasaanlainnya dan yang dapat menetapkan tujuan-tujuan dari kehidupan bersama itu negara menetapkan cara-cara dan batas-batas sampai dimana kekuasaan itu dapat digunakan dalam kehidupan bersama itu, baik oleh individu maupun golongan atau asosiasi, ataupun juga oleh negara sendiri.33 Negara merupakan konsep yang paling penting dalam ilmu politik. Negara selalu menjadi wilayah kajian karena di sana terdapat pergulatan

32Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara (Jakarta: Kompas Meida Nusantara,2002) h.33 33Dede Rosyada, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani, (Jakarta: IAN Jakarta Press, 2000) h., 31-33 politik dan kekuasaan yang paling mudah untuk dilihat dan dikenali. Negara merupakan integrasi dari kekuasaan politik.34 C. Relasi Agama dan Negara Dalam Islam

Dalam Islam, hubungan agama menjadi perdebatan yang cukup hangat dan

berlanjut hingga kini di antara para ahli. Bahkan menurut Azzumardi Azra,

perdebatan itu telah berlangsung sejak hampir satu abad, dan berlangsung hingga

dewasa ini. Ketegangan perdebatan tentang hubungan (agama dan negara diilhami

oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara

(dawlah). Dalam bahasa lain, hubungan antara agama dengan politik (siyasah)

dikalangan umat Islam, terlebih- lebih dikalangan sunni yang banyak diatur oleh

masyarakat Indonesia, pada dasarnya bersifat ambigous atau ambivalen. Hal

demikian itu karena ulama sunni sering mengatakan bahwa pada dasarnya dalam

Islam tidak ada pemisahan antara agama dan negara. Sementara terdapat pula

ketegangan pada tataran konseptual maupun tataran praktis dalam politik, sebab

seperti itu yang dilihat terdapat ketegangan dan tarik ulur dalam hubungan agama

dan politik.35

Sumber dari hubungan yang canggung di atas, berkaitan dengan kenyataan

bahwa din dalam pengertian terbatas pada hal-hal yang berkenaan dengan

bidang-bidang ilahiyah, yang bersifat sakral dan suci. Sedangkan politik

kenegaraan (siyasah) pada umumnya merupakan bidang prafon atau keduniaan.36

34 Abu Bakar Abyhara, Pengantar Ilmu Politik, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h229.

35 H. Moh. Thariqudin, Lc. M.H.I, Relasi Agama dan Negara, (Malang: UIN Malang Press, 2009), h.12. 36 Ibid. Selain hal-hal yang disebutkan di atas, kitab suci Alquran dan hadis tampaknya juga merupakan inspirasi yang dapat menimbulkan pemahaman yang berbeda. Kitab suci sendiri menyebutkan dunya yang berarti dunia dan din yang berarti agama. Ini juga menimbulkan kesan dikotomis antara urusan dunia dan akhirat, atau agama dan negara yang bisa diperdebatkan oleh kalangan para ahli.

Tentang hubungan antara agama dan negara dalam Islam, menurut Munawir

Sjadzali, ada tiga aliran yang menanggapinya. Pertama, aliran yang menganggap bahwa agama Islam adalah agama paripurna yang mencakup segala-galanya, termasuk masalah-masalah negara. Oleh karena itu, agama tidak dapat dipisahkan dari negara, dan urusan negara adalah urusan agama serta sebaliknya.37

Aliran kedua, mengatakan bahwa Islam tidak ada hubungannya dengan negara, karena Islam tidak mengatur kehidupan bernegara atau pemerintahan.

Menurut aliran ini Nabi Muhammad saw tidak punya misi untuk mendirikan negara. Aliran ketiga berpendapat bahwa Islam tidak mencakup segala- gelanya, tapi mencakup seperangkat prinsip dan tata nilai etika tentang kehidupan bermasyarakat termasuk bernegara. Oleh karena itu, dalam bernegara, umat Islam harus mengembangkan dan melaksanakan nilai-nilai dan etika yang diajarkan secara garis besar oleh Islam.

Hussein Muhammad, menjelaskan bahwa dalam Islam ada dua model hubungan antara agama dan negara. Model pertama, ia disebut sebagai hubungan integralistik, dan yang kedua disebut hubungan simbiosis mutualistik.

37 M. Diaudin Rais, Teori Politik Islam, (Jakarta: Gema Insan Press, 2001), h.4. Hubungan integralistik dapat diartikan sebagai hubungan totalitas, di mana agama dan negara mempunyai hubungan yang merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Kedua merupakan dua lembaga yang menyatu (integral).

Ini juga memberikan pengertian bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali dalalm Islam bahwa tidak mengenal pemisahan agama, politik atu negara. Konsep seperti ini sama dengan konsep teokrasi.

Model hubungan kedua adalah hubungan simbiosis-mutualistik. Model hubungan agama dan negara model ini, menurut Hussein Muhammad, menegaskan bahwa antara agama dan negara terdapat hubungan yang saling membutuhkan. Menurut pandangan ini, agama harus dijalankan dengan baik dan tertib. Hal ini hanya terlaksana bila ada lembaga yang bernama negara. Sementara itu, negara juga tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri tanpa agama. Sebab tanpa agama, akan terjadi kekacauan dan amoral dalam bernegara. a. Islam dan Demokrasi

Konsep demokrasi dewasa ini dipahami secara beragam oleh berbagai

kelompok kepentingan yang melakukan teoritisasi dan perspektif untuk tujuan

tertentu. Keragaman konsep tersebut meskipun terkadang juga sarat dengan

aspek-aspek subjektif dari siapa yang merumuskannya, sebenarnya bukan

sesuatu yang harus dirisaukan. Karena hal itu sesungguhnya mengisyaratkan

esensi demokrasi itu sendiri yaitu adanya perbedaan pendapat.

Pada tataran praktis, rekonsiliasi tuntutan kelompok (mayoritas dan minoritas) ini seringkali tidak tercapai. Akibatnya, kualitas demokrasi itu

sendiri menjadi tidak sejati. Jika demikian, apakah demokrasi seperti tersebut?

Abraham Lincolum (negarawan Amerika) mengistilahkan demokrasi sebagai

“government of the people, by the people, for the people.

Ada dua problem tentang hubungan Islam dan demokrasi. Pertama,

problem filosofis yakni jika klaim agama terhadap pemeluknya sedemikian

total, maka akan menggeser prinsip-prinsip demokrasi. Kedua, problem

historis sosiologis, yakni ketika kenyataannya peran agama tidak jarang

digunakan oleh penguasa untuk mendukung kepentingan politiknya.

Bagi kalangan Neo-Modernis Islam, demokrasi dan agama sesungguhnya

dapat dipertemukan. Demokrasi dipandang sebagai aturan politik yang paling

layak, sementara agama diposisikan sebagai wasit moral dalam

mengaplikasikan demokrasi.38

Abdurrahman Wahid menyatakan bahwa nilai demokrasi ada yang

bersifat pokok dan ada yang bersifat derivasi atau lanjutan. Menurutnya, ada

tiga hal pokok demokrasi yaitu kebebasan, keadilan, dan musyawarah.

Nurcholis Majid mengatakan bahwa kita memiliki demokrasi sebagai

idiologi, tidak hanya karena pertimbangan-pertimbangan prinsipil yaitu karena

nilai-nilai demokrasi itu dibenarkan dan didukung semangat ajaran Islam,

tetapi juga karena fungsinya sebagai aturan permainan politik yang terbuka.

Analisi mengenai seluk beluk demokrasi ini, banyak berlandaskan Alquran,

38 Yusuf AL-Qardawi, Al-Ijtihad Al-Mu‟atsir baina al-Inzibat wa al-Infirat (Kairo: Dar al- Tawzi wa al-Nasr Al-Islamiyah, 1994), h.80. seperti tentang kebebasan dan tanggung jawab individual, sikap kebijaksanaan, tentang keadilan, dan tentang musyawarah.

Demokrasi menganut pandangan dasar kesetaraan manusia, sehingga hak- hak individu dapat dijamin kebebasannya, kata kuncinya adalah adanya kesepakatan dengan tujuan kebaikan bersama. Gagasan-gagasan demokrasi pada intinya bahwa agama baik secara idiologi maupun sosiologis sangat mendukung proses demokratisasi. Agama lahir dan berkembang untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia. Karena itu, meskipun agama tidak secara sistematis mengajarkan praktek demokratis, namun agama memberi spirit dan muatan doktrinal yang mendukung bagi terwujudnya kehidupan demokratis. 39

39 Ibid. DAFTAR PUSTAKA

A. Buku:

Abyhara, Abu Bakar, Pengantar Ilmu Politik, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010

AL-Qardawi, Yusuf Al-Ijtihad Al-Mu‟atsir baina al-Inzibat wa al-Infirat Kairo: Dar al-Tawzi wa al-Nasr Al-Islamiyah, 1994.

Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta: Rineka Cipta, 1990.

Astuti, Ngudi Pancasila dan Piagam Madinah (Konsep Teori dan Analisis Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia), Jakarta: Media Bangsa, 2012. Atjeh, Aboebakar Sejarah Hidup K.H A. Wahid Hasjim, Jawa Timur: Pustaka Tebuireng, 2015.

Azra, Azyumardi, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Jakarta: Kompas Meida Nusantara,2002.

------Menteri-Menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, Jakarta: PPIM, 1998.

Azra, Waqiatul, Buku ajar civic education Pamekasan, STAIN Pamekasan Press,2006.

Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat Edisi Revisi, Yogyakarta: Fakultas Hukum UII, 1993.

Boland, B.J, Pergumulan Islam Di Indonesia 1945-1972,Jakarta:Grafiti Press, 1985.

Effendy, Bahtiar, Islam Dan Negara: Transformasi Gagasan Dan Praktik Politik Islam Di Indonesia,Jakarta: Democracy Project, 2011. el-Affendi, Abdelwahab Mayarakat Tak Bernegara: Kritik Teori Politik Islam,Yogyakarta: LKiS, 2001.

Enayat, Reaksi Politik Sunni dan Syiah, Pemikiran Politik Islam Modern Menghadapi Abad 20, Bandung: Pustaka, 1988.

Feillard, Andree NU Vis a Vis Negara, Yogyakarta: LKis Yogyakarta, 2007.

Hamka, Sejarah Hamka, Jakarta: Sinar Harapan, 1984.

Hasyim, Wahid, ”Abdullah Oebayd Sebagai Pendidik”, dalam Aboebakar, Sedjarah Hidup. 1999. ------Kemadjuan Bahasa, Berarti Kemadjuan Bangsa, Jogjakarta: Garasi, 2009

------Pendidikan Ketuhanan, Jogjakarta: Garasi, 2009

------Perguruan Tinggi Islam, “idem, “Perguruan Tinggi Agama Islam, Jogjakarta: Garasi, 2009

Hatta, Mohammad, Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945, Jakarta: Kinta, 1972.

K. Sukardji, Agama-agama yang berkembang di dunia dan pemeluknya Bandung:Angkasa,1993.

Lubis, Solly, Ilmu Negara, Bandung :Mandar Maju, 2002.

Ma’ruf Asrori, dan Imam Ghazali Said dan Solusi Problematika Aktual Hukum Islam: Keputusan Muktamar, Munas, dan Konbes NU (1926-1999), Surabaya: Diantama, 2004.

Mz, Sofiyullah, Revitalisasi Humanisme Religius Dan Kebangsaan KH. A. Wahid Hasyim Bukusatu,Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, 2011.

Nafiqah adalah istri ketiga dan tujuh wanita yang dikawin oleh K.H. Hasyim Asy’ari. Lihat Solichin Salam, K.H. Hasjim Asj‟ari Ulama Besar Indonesia Jakarta: Djaja Murni, 1963.

Nata, Abuddin, Metodologi Studi Islam, Jakarta : Rajagrafindo Persada, 2006.

Natsir, Mohammad, Capita Selecta,Jakarta: Bulan Bintang,1973.

Ngudi Astuti, Pancasila dan Piagam Madinah Konsep Teori dan Analisis Mewujudkan Masyarakat Madani di Indonesia, Jakarta: Media Bangsa, 2012.

Niyazi, Berkes, The DDevelopment of Secularism in Turkey Montreal:McGill University Press, 1964.

Nugroho, Notosusanto, Marwati Djoenoed &, Sejarah Nasional Indonesia VI, (Jakarta, Departemen Pendidikan & Kebudayaan dan PT. Balai Pustaka. 2001.

R.Abuy,Shadikin Sumber-Sumber Ajaran Islam, Fakultas Tarbiyah, IAIN Sunan Gunung Jati Bandung, 1983.

Rais, M. Diaudin, Teori Politik Islam, Jakarta: Gema Insan Press, 2001.

Rakhmat, Jalaluddin, Psikologi Agama sebuah pengantar Bandung: PT. MIizan Pustaka, 2004.

Rifai, Mohammad Wahid Hasyim Biografi Singkat 1914-1953 Jogjakarta: Garasi, 2009.

Rosyada, Dede, Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, HAM, dan masyarakat madani, Jakarta: IAN Jakarta Press, 2000.

Siroj, Said Aqil, Dialog Tasawuf Kiai Said:Akidah, Tasawuf Dan Relasi Antar Umat Beragama,Surabaya: Khalista Surabaya, 2014.

------Islam Kebangsaan Fiqh Demokratik Kaum , Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999.

Sjadzali, Munawir, Islam Dan Tatanegara: Ajaran Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta:UI Press, 1993.

Sukardi, Mohammad Dawam, NU sejak Lahir (Dari Pesantren Untuk Bangsa; Kado Buat Kyai Said), Jakarta: SAS Center, 2010.

Sutarto, Ayu Menjadi NU Menjadi Indonesia: Pemikiran K.H.A Muchith Muzadi, Surabaya: Khalista, 2008.

Thariqudin, H. Moh., Lc. M.H.I, Relasi Agama dan Negara, Malang: UIN Malang Press, 2009.

Thobiin, Imbuh, “Relasi Agama Dan Negara Perbandingan UUD 1945, Islam Dan Barat”. Skripsi Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Ilmu Agama Islam Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2018.

Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia ,Edisi II, Jakarta: Balai Pustaka, 1994.

Wahid, Abdurrahman Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: PT Grasindo, 1999.

Yahya, Ali Sama Tapi Berbeda “Potret Keluarga Besar K.H.A Wahid Hasyim Jombang:Yayasan K.H.A Wahid Hasyim, 2007.

Zaid, Wahyudi, Relasi Agama dan Negara yang Terus Digugat, Kompas, Selasa 26 Juni 2007

Zaidan, Abdul Karim Al-Wajiz 100 Kaidah Fikih Dalam Kehidupan sehari-hari, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.

Zuhri, Saifuddin Berangkat dari Pesantren, Jakarta: Gunung Agung, 1987.

------Keleidoskop Politik Indonesia, Jilid I, (Jakarta: Gunung Agung, 1987.

B. Jurnal:

Arief, Abd. Salam, Relasi Agama Dan Negara Dalam Perspektif Islam, Hermeneia, Jurnal Kajian Islam Interdisipliner Vol.2 No.2 Juli-Desember 2003.

Kohar, Abdul, Politik Dan Islam Di Indonesia,Jurnal Tapis Vol. 14 No.01 Januari - Juni 2017.

Rijal Mumazziq, “Relasi Agama dan Negara Perspektif K.H Wahid Hasyim” Al- Daulah. Vol. 5 No. 2, Oktober 2015.

C. Sumber On-Line:

“Pengertian Komparatif” (On-Line), Tersedia Di: Https://Www.Pengertianmenurutparaahli.Net/Pengertian-Komparatif-Dan- Contohnya/ (18 Mei 2019)

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,44-id,41148-lang,id- c,nasional- t,Kang+Said+Jadi+Tokoh+Muslim+Berpengaruh+Dunia- .phpx.

Hubungan Islam dan Pancasila pada munas NU (on-line), tersedia di : https://www.nu.or.id/post/read/64325/teks-deklarasi-hubngan-islam- pancasila-pada munas-nu-1983 di akses pada 1 Agustus 2019 dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Muslim Al-Faqoth, “Sisi Positif Antara Pemikiran KH Said Aqil Siradj dan Sidogiri”, http://www.muslimoderat.net/2016/04/sisi-positif- antara-pemikiran-kh- said.html, diakses 4 Januari 2018.

Wildan Hasan, “Sampeyan Muslim”, Direktur WH Foundation, http://www.voa- islam.com/jurnalism/2017/kh-said-aqil-siradj-sampeyan- muslim/;#sthash.uicjEEAt.dpbs, diakses 1 Januari 2018.