MATSURI

FESTIVAL ONBASHIRA

KERTAS KARYA

Oleh:

IGO SYAHPUTRA

132203023

PROGRAM STUDI DIII BAHASA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FESTIVAL ONBASHIRA ONBAHSIRA MATSURI KERTAS KARYA Kertas karya ini diajukan kepada panitia ujian program pendidikan Non-Gelar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat kelulusan Diploma III dalam bidang Bahasa Jepang.

Dikerjakan

OLEH:

IGO SYAHPUTRA NIM:132203023

Pembimbing, Pembaca

Drs. Amin Sihombing Zulnaidi, S.S., M.Hum NIP. 19600403 198412 1 001 NIP. 19670807 200501 1 1001

PROGRAM STUDI DIII BAHASA JEPANG FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN 2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Disetujui oleh :

Program Diploma Sastra dan Budaya

Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara

Medan

Program Studi DIII Bahasa Jepang

Ketua Program Studi

Zulnaidi S.S, M.Hum NIP. 196708072005011001

Medan, Juli 2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA PENGESAHAN Diterima Oleh Panitia Ujian Program Pendidikan Non-Gelar Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Medan, untuk melengkapi salah satu syarat Diploma III dalam Bidang Studi Bahasa Jepang. Pada : Tanggal : Hari : Program Diploma Sastra Budaya Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara Dekan,

Dr. Budi Agustono, M.S. Nip 196008051987031001

Panitia Ujian : No. Nama 1. Zulnaidi, S.S., M.Hum. ( )

2. Drs. Amin Sihombing ( )

3. Zulnaidi, S.S., M.Hum. ( )

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas berkah dan rahmat-Nya sehingga

Penulis dapat menyelesaikan kertas karya yang berjudul “Festival Onbashira”.

Dengan kerendahan hati penulis menyambut kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan kertas karya ini.

Dalam hal ini penulis menyadari bahwa apa yang telah tertulis dalam Kertas

Karya ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi dan pembahasan masalah. Demi kesempurnaan, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari para pembaca untuk kearah perbaikan.

Dalam penulisan kertas karya ini, penulis banyak menerima bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Untuk itu pada kesempatan ini Penulis menyampaikan rasa terima kasih yang tak terhingga, terutama:

1. Bapak Dr. Drs. Budi Agustono, M.S selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Zulnaidi,SS,M.Hum selaku Ketua Program Study Bahasa Jepang

DIII Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Drs. Amin Sihombing selaku dosen pembimbing yang dengan ikhlas

telah meluangkan waktu dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan juga

arahan kepada penulis dalam menyelesaikan Kertas Karya ini.

4. Bapak Zulnaidi, SS,.M.Hum selaku dosen pembaca yang telah memberikan

pengarahan, kritik, dan saran yang sangat bermanfaat bagi penyelesaian

kertas karya ini.

i

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 5. Seluruh staf pengajar pada program studi Bahasa Jepang Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Sumatera Utara, atas didikannya selama masa

perkuliahan.

6. Dari semuanya yang teristimewa untuk ibunda tercinta saya, Ibu Sri Rawati

dan Ayahanda saya Bapak Sakino yang telah memberikan segalanya serta

kasih sayang yang tiada putus kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan

kertas karya ini dengan baik. Serta Kakak dan Abang saya Rizki Yuniati,

S.Pd dan Riko Yunanda, yang telah memberikan doa, dukungan moril

maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan kertas karya ini.

7. Untuk teman Hinode angkatan 2013 yang telah menemani hari – hari

penulis dari junbi shuukan hingga pengerjaan ronbun serta melewati suka

duka perkuliahan. Terutama dede, nindi, dina, ferdi, aden dan dimas,

terimakasih telah memberi dukungan terhadap penulis.

8. Untuk senpaitachi dan kohaitachi hinode, terutama untuk abangda abdul

ghafur dan agung tirta yang telah menginspirasi serta membantu penulis

selama masa perkuliahan.

9. Untuk abang – abang dan teman – teman “BTM Tandingan” yang telah

banyak memberikan pelajaran hidup baik akademis, maupun rohani. Sedikit

cukup, banyak habis.

10. Untuk Devin dan Dwi yang telah tinggal bersama penulis selama masa

perkuliahan terimakasih atas perhatian, dan nasihat – nasihat berguna yang

telah diberikan

11. Spesial untuk Julia Pratiwi Tanjung terimakasih atas support, doa, serta

bantuan nya selama ini.

ii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 12. Kepada teman-teman serta semua orang yang telah ada dan peduli dengan

penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terimakasih telah

menorehkan pena pada kehidupan penulis sehingga penulis memiliki

berbagai cerita.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam kertas karya ini, sehingga kritik dan saran diharapkan oleh penulis. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih. Semoga Kertas Karya ini dapat berguna bagi kita semuanya dikemudian hari

Medan, Juni 2016

Penulis,

IGO SYAHPUTRA

132203023

iii

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i

DAFTAR ISI ...... iv

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

1.1. Alasan Pemilihan Judul ...... 1

1.2. Tujuan Penulisan ...... 3

1.3. Batasan Masalah ...... 4

1.4. Metode Penulisan ...... 4

BAB II GAMBARAN UMUM ...... 5

2.1. Gambaran Umum Matsuri ...... 5

2.2. Sejarah Onbashira Matsuri ...... 8

BAB III PELAKSANAAN DAN MAKNA ONBASHIRA MATSURI .. 11

3.1. Pelaksanaan Onbashira Matsuri ...... 11

3.1.1. Perayaan Onbashira Kamisha ...... 14

3.1.2. Perayaan Onbashira Shimosha ...... 17

3.2. Onbashira Matsuri sebagai Festival Budaya ...... 19

3.3. Onbashira Matsuri sebagai Tradisi Uji Keberanian ...... 21

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ...... 23

4.1. Kesimpulan ...... 23

4.2. Saran ...... 24

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

iv

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Alasan Pemilihan Judul

Jepang merupakan negara di asia yang memiliki dua unsur berbeda yang sangat menonjol. Kedua unsur ini dipadukan hingga membentuk suatu keunggulan, keunggulan yang menjadikan jepang dapat di katakan negara yang sangat maju.

Kedua unsur ini adalah teknologi dan kebudayaan tradisional. Dengan keunggulannya ini, Jepang di akui sebagai bangsa yang dapat membangun negri nya sehingga dapat dikatan setara dengan negara – negara barat terutama Amerika.

Jepang pada awal nya merupaka negara yang tertinggal disebatkan karena politik isolasi (menutup diri) yang berlangsung kurang lebih selama 200 tahun dibawah kepemimpinan keshougunan tokugawa. Politik isolasi ini dilatarbelakangi karena adanya ancaman dari bangsa – bangsa Eropa yang melakukan perdagangan di Jepang. Keberadaan bangsa Eropa dikhawatirkan akan menimbulkan kolonialisme dan imperialisme di Jepang. Jepang yang saat itu merupakan negara

‘kuno’ dan miskin akibat politik sakoku nya mulai tercerahkan dengan adanya

Restorasi . Restorasi Meiji terjadi pada tahun 1866 hingga tahun 1869, tiga tahun yang mencakup akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji. Restorasi Meiji merupakan babak baru menuju modernisasi Jepang.

Terlepas dari Restorasi Meiji sebagai awal modernisasi Jepang, masyarakat

Jepang yang pada masa pemerintahan Keshougunan Tokugawa sangat menjujung tinggi nilai budaya, tidak langsung melupakan pola kehidupan tradisionalnya.

1

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Bahkan kehidupan dan kebudayaan tradisional masyarakat jepang hingga saat ini masih berjalan sebagaimana mestinya. Masyarakat jepang dikenal sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi nilai tradisionalnya. Hal ini terlihat dari banyaknya masyarakat jepang yang masih melaksanakan ritual – ritual yang menitikberatkan terhadap perayaan baik itu di desa maupun perkotaan.

Menurut Edwin Reischauer Jepang sebagai negara maju, kurang memperhatikan peran agama dalam kehidupannya. Hal ini juga dijelaskan oleh

Ayip Rosidi yang mengatakan bahwa memang sukar mengukur keagamaan orang

Jepang dengan menggunakan tolok ukur agama-agama samawi, yaitu agama yang mengakui kemahaesaan Tuhan. Berdasarkan dua pendapat tersebut dan berdasarkan pola hidup orang Jepang yang dikenal sebagai manusia ekonomi yang tekun, gigih, sangat menghargai waktu, ternyata ada sisi lain dalam kehidupan masyarakat

Jepang yang menampakkan pola hidup religius, yaitu selalu mengawali segala kegiatan atau usaha yang baru dibuka dengan menyelenggarakan matsuri.

Contohnya, orang Jepang akan menyelenggarakan matsuri, seperti melakukan

Oharai (pengusiran roh-roh jahat) bagi mobil yang baru dibeli. Atau ketika sebuah perusahaan pesawat terbang yang baru membeli pesawat jet, maka merea akan menyelenggarakan matsuri sebelum mengoperasikan pesawat tersebut. Sebuah keluarga yang baru membeli rumah juga akan menyelenggarakan mune age, yaitu upacara mendirikan rumah.

Masyarakat Jepang di katakan penyuka matsuri. Hampir setiap harinya masyarakat jepang melaksanakan matsuri, baik itu yang merupakan berhubungan dengan kepercayaan, budaya, atau bahkan bersifat kedaerahan. Dalam hal ini, saya akan membahas mengenai salah satu matsuri yang ada di kawasan Prefekture

2

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Nagano, yaitu onbashira matsuri. Onbashira matsuri merupakan festival 6 tahunan yang dilaksanakan di kuil Suwa-taisha, Suwa-shi, Perfektur Nagano. Onbashira matsuri merupakan salah satu festival paling berbahaya di dunia.

Penulis memilih judul onbashira matsuri, dikarenakan penulis ingin mengetahui proses pelaksanaan, sejarah dan makna festival tersebut serta mengetahui hubungannya terhadap uji keberanian dalam kehidupan masyarakat

Jepang.

Dari pemaparan yang telah dijelaskan sebelumnya, penulis berminat ingin membahas onbashira matsuri ini , melalui kertas karya yang berjudul “FESTIVAL

ONBASHIRA”

1.2. Tujuan Penulisan

Tujuan penulis mengangkat Onbashira Matsuri sebagai judul kertas karya

adalah:

1. Untuk mengetahui proses pelaksanaan Onbashira Matsuri.

2. Mengetahui makna Onbashira Matsuri sebagai sebuah tradisi budaya.

3. Mengetahui makna Onbashira Matsuri sebagai tradisi uji keberanian

masyarakat Jepang.

1.3. Batasan Masalah

Pada kertas karya ini penulis hanya membahas mengenai arti matsuri di

Jepang secara umum, informasi, kuil Suwa-taisha dan Perfektur Nagano secara

3

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

umum, sejarah dan proses pelaksanaan Onbashira Matsuri, serta makna onbashira matsuri sebagai tradisi budaya dan uji keberanian masyarakat Jepang.

1.4. Metode Penulisan

Dalam penyusunan kertas karya ini menggunakan metode menggunakan metode studi kepustakaan (Library research). Yang dimaksud dengan studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan penulis untuk menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau sedang ditulis.

Informasi tersebut dapat diperoleh dari buku – buku ilmiah, laporan penelitian, karangan – karangan ilmiah, tesis atau disertasi, ensiklopedia, buku – buku, serta sumber -sumber tertulis baik tercetak maupun elektronik.

4

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB II

GAMBARAN UMUM

2.1. Gambaran Umum Matsuri

Masyarakat Jepang merupakan masyarakat penyuka matsuri. Hampir setiap harinya, masyarakat Jepang melaksanakan matsuri baik itu yang kecil atau pun matsuri yang berupa perayaan besar.

Menurut Kodansha Encyclopedia of , pengertian matsuri (祭り) adalah sebagai berikut:

The word matsuri includes the rites and festivals practiced in both Folk and institutionalized Shinto. A matsuri is basically a symbolic act whereby participants enter a state of active communication with Gods (); it is accompanied by communication among participants in the form of feast and festival. Istilah marsuri tediri atas dua pengertian yaitu upacara keagamaan dan perayaan yang dipraktekan dalam agama shinto (神道) atau institusi yang berafiliasi pada Shinto. Matsuri pada dasarnya adalah tindakan simbolik dimana seseorang atau kelompok orang memasuki atau berada dalam keadaan komunikasi aktif dengan dewa atau yang didewakan. Tindakan berkomunikasi aktif dengan dewa atau yang didewakan disertai juga dengan hubungan erat antar peserta matsuri dalam bentuk pesta dan perayaan. Dalam Febriyanti (2009:10), Miyake Hitoshi menjelaskan pengertian matsuri secara konkrit, yaitu;

祭は、神の来臨を持って、供え物を献じ、神意をうかがい、さら に神を持つ力を獲得することをさしている。 Matsuri wa, kami no rairin wo matte, sonaemono wo kenji, shini wo ukagai, sara ni kami no motsu chikara wo kakutokusuru koto wo sashiteiru. “Matsuri merupakan suatu tinda`kan yang menunjukan hal- hal antara lain, menunggu kedatangan dewa, menyuguhkan sesajen, memanggil dewa serta memperoleh kekuatan dewa.”

5

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Dari pengertian istilah matsuri diatas maka dapat disimpulkan bahwa arti istilah matsuri tersebut ialah suatu kegiatan yang bersifat keagamaan yang dilakukan dengan tujuan berkomunikasi kepada dewa atau yang didewakan melalui menyuguhkan sesajen guna menunjukan sikap mengabdikan diri kepada dewa atau yang didewakan.

Di dalam matsuri (祭り) terkandung empat unsur dasar yakni; harai (祓い) atau pensucian, shinsen (神饌) atau persembahan, (祝詞) atau doa, dan naorai (なおらい) atau festival suci. Dengan kata lain matsuri juga memiliki arti suatu festival suci yang dilaksanakan sebagai perwujudan doa dan persembahan kepada dewa.

Matsuri dapat dibagi menjadi tiga, yaitu tsukagirei (通過儀礼), ninigirei

(任意儀礼), dan nenchuugyouji (年中行事). Dari ketiga kategori matsuri di atas, nenchuugyouji (年中行事) merupakan perayaan terbesar. Adapun keterangan nya sebagai berikut:

Tsukagirei (通過儀礼) merupakan perayaan yang berhubungan dengan lingkaran kehidupan seseorang, dimulai sejak dalam kandungan hingga seseorang menjadi arwah. Sebagai contoh ialah perayaan obiiwai (帯祝い) atau perayaan yang dilaksanakan pada lima bulan pertama janin dalam kandungan hingga ke nenkihoyou (年期保養) atau upacara untuk memperingati kematian seseorang.

Ninigirei (任意儀礼) merupakan upacara yang diadakan pada saat ada tujuan dan kesempatan tertentu, diadakan sesuai dengan tujuan – tujuan atau rasa terimakasih kepada dewa. Salah satu contoh dari perayaan ninigirei (任意儀礼) adalah

6

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perayaan kelulusan atau shotsugyouiwai (卒業祝い) serta upacara pernikahan emas atau kinkoshki (金婚式).

Nenchuugyouji (年中行事) merupakan perayaan yang diadakan secara periodik setiap tahun dan waktunya sudah ditetapkan menurut kalender orang jepang. Matsuri ini merupakan matsuri terbesar yang membutuhkan partisipasi orang banyak dalam melakukannya. Matsuri yang paling meriah dari kategori nenchuugyouji (年中行事) disebut reitaisai (例大祭). Biasanya pada matsuri ini di adakan arak – arakan omikoshi dan dikunjungi banyak pengunjung baik dalam maupun luar negri. Reitaisai (例大祭) biasanya diadakan setahun sekali, namun adapula reitaisai (例大祭) yang diadakan tidak setiap tahunnya, matsuri ini disebut shikinensai (式年際). Salah satu shikinensai (式年際) tersebut ialah onbashira matsuri/ onbashirasai (御柱祭). onbashirasai (御柱祭) ini diadakan 7 tahun sekali di naganoken.

2.2. Sejarah Onbashira Matsuri

Onbashira matsuri atau bisa juga disebut onbashirasai merupakan salah satu perayaan besar dijepang. Perayaan ini di adakan di kuil suwa taisha, kota suwa, prefektur nagano. Onbashira matsuri merupakan perayaan yang bersifat keagamaan.

Nilai – nilai agama shinto atau shintoisme sangat mempengaruhi perayaan ini.

Shinto (神道) secara harfiah bermakna “jalan/jalur dewa”. Shinto sebagai agama asli bangsa Jepang memiliki sifat yang cukup unik. Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran – ajarannya memperlihatkan

7

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

perkembangan yang sangat ruwet. Di prefecture nagano sendiri, shinto dapat dikatakan berkembang sangat pesat, hal ini tampak pada banyak nya kuil shinto yang berada di prefecture tersebut.

Pasca Restorasi Taika pada tahun 645, Nagano mulanya dikenal sebagai

Provinsi Shinano atau disebut juga Shinshu. Pada era Sengoku, provinsi ini dipimpin oleh berbagai klan, seperti klan Uesugi dan Takeda. Provinsi ini kemudian berganti nama menjadi Prefektur Nagano seperti yang kita kenal sekarang ini pada tahun 1871. Batas – batas wilayah resmi terbentuk 1876.

Nagano berada di tengah – tengah wilayah Kansai dan Kantou sehingga budaya yang berkembang di prefektur ini adalah campuran Jepang timur dan barat.

Nagano mulai mendapat perhatian masyarakat dunia pada tahun 1998, tepatnya saat kota Nagano didaulat sebagai tuan rumah olimpiade musim dingin (1998 Winter

Olympics). Pada kesempatan ini pula, di kota Suwa, Onbashira matsuri di jadikan sebagai festival pembuka olimpiade musim dingin tersebut.

Onbashira matsuri sampai saat ini masih belum dapat dipastikan kapan mulai berlangsung. Namun sesuai dengan sejarah zaman muromachi, pada awal zaman Heian/ zaman Kaisar Kammu (781 – 806), diwilayah Suwa terdapat catatan pembangunan kuil pada tahun macan dan tahun kera. Dikota Suwa banyak terdapat kuil shinto, kuil – kuil shinto ini menjadi bagian dari Suwa Grand Shirine atau Kuil

Suwa Taisha. Onbashira matsuri diperkirakan sudah berlangsung sejak 1200 tahun yang lalu. Hal ini sejalan dengan pembangunan kuil suwa taisha tersebut. Oleh karena itu perkembangan Onbashira matsuri tidak dapat di pisahkan dari perkembangan kuil suwa taisha.

8

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Di Suwa Taisha terdiri dari dua bagian yaitu, kamisha dan shimosha.

Kamisha terdiri dari kamisha honmiya dikota Suwa dan kamisha maemiya dikota

Chino. Sedangkan shimosha terdiri dari shimosha harumia dan shimosha akimia di kota Soma suwa. Disekitar jepang ada lebih dari 10 ribu cabang kuil. Ini salah satu kuil tertua di jepang. Pada zaman dahulu, orang – orang akan bersembahyang kepada dewa untuk berburu dan pertanian. Selama masa , mereka akan bersem bahyang untuk sukses dalam berperang. Pada masa sekarang orang orang akan bersembahyang untuk industri, keamanan dijalan, pernikahan, keamanan kelahiran, kesehatan, dan lain lain.

Onbashira matsuri diadakan dengan tujuan memperbaharui secara spiritual empat kuil suwa taisha. 16 batang kayu pohon cemara diarak dari gunung melalui jalanan desa dengan tujuan untuk memberikan berkah terhadap kawasan tersebut.

Keenambelas batang kayu tersebut diambil dari hutan purba di sekitaran Gunung

Moriya (Moriya-san). Menurut penduduk setempat, Gunung Moriya dipercaya sebagai tempat tinggal “Dewa Moriya” atau “Moriya no kami”.

Dalam matsuri ini, batang pohon dengan panjang 16 s/d 20 meter dengan diameter sekitar 1 – 1,5 meter dan berat sekitar 8 ton di ambil dari gunung dan dibawa atau di tarik secara beramai – ramai dengan tenaga manusia menuju kuil shinto/ jinja yang telah ditentukan. Usia rata – rata batan pohon ini sekiar 150 sampai dengan 170 tahun. Kemudian batang – batang pohon ini didirikan atau biasa disebut tatteonbashira mengelilingi empat sudut jinja tersebut. Batang – batang tersebut dijadikan sebagai pilar – pilar suci, guna memperbaharui secara spiritual kuil – kuil agama shinto tersebut.

9

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB III

PELAKSANAAN DAN MAKNA ONBASHIRA MATSURI

3.1. Pelaksanaan Onbashira Matsuri

Onbashira Matsuri diadakan setiap 7 tahun sekali yaitu pada tahun macan

dan kera, namun menurut perhitungan tahun masehi onbashira matsuri sendiri

diadakan setiap 6 tahun sekali. Pelaksanaan onbashira matsuri bertujuan untuk

memperbaharui kuil Suwa-taisha secara spiritual. Dalam festival ini batang kayu/

pilar digunakan sebagai sebuah objek upacara spiritual. Pilar – pilar tersebut

diambil dari gunung, dibawa menuju kuil, lalu didirikan mengelilingi kuil/ jinja

tersebut. Di agama shinto terdapat kepercayaan Tokowaka, yaitu suatu

kepercayaan untuk secara konsisten melakukan pembaharuan terhadap jiwa. Baik

itu jiwa manusia maupun jiwa benda atau bangunan, dalam hal ini memperbaharui

jiwa kuil/ jinja.

Onbashira (御柱) terdiri dari dua kata yaitu On (御)dan Bashira (柱). On

(御) berasal dari kata go (awalan untuk menghormat), Gyo (awalan untuk

menghormat kaisar), Gyo(suru) mengontrol; memimpin; memanipulasi;

memerintah; mengangani; mendorong (gerobak). O-, on-, mi- (awalan untuk

menghormati). Sedangkan Bashira (柱) berasal dari kata chuu (penahan kawat

(kecapi); pilar; tiang), Hashira (pilar; tiang ; penyanggang; penompang; penahan

alas kaki; penghitung bilangan untuk dewa dewa shinto), Ji (penompang senar

pada alat musik gesek/petik). Jadi dapat kita simpulkan secara harfiah onbashira

berarti pilar terhormat.

10

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

Onbashira matsuri merupakan festival terbesar di kuil Suwa-taisha. Suwa- taisha merupakan pusat dari lebih dari 10.000 kuil shinto di sekitaran Jepang.

Suwa-taisha terdiri dari dua kompleks utama yang didedikasikan kepada dewa

Takeminakata-no kami dan istrinya Yasakatome-no kami. Kamisha atau kuil atas, terdapat di bagian selatan Danau Suwa terdiri dari kuil Honmiya dan kuil maemiya.

Sedangkan Shimosha atau kuil bawah, terdiri dari kuil Akimiya (kuil musim gugur) dan kuil Harumiya (kuil musim semi) yang terdapat di utara Danau Suwa.

Pembagian terhadap kompleks Suwa-taisha ini juga mempengaruhi berlangsungnya festival onbashira matsuri, sehingga onbashira matsuri juga terbagi menjadi dua yaitu, Onbashira Kamisha dan Onbashira Shimosha.

Secara umum kedua perayaan Onbashira ini memiliki kesamaan, namun proses selama pelaksanaan memiliki beberapa perbedaan. Perbedaan ini di akibatkan kontur alam yang berbeda. Baik Onbashira Kamisha maupun Onbashira

Shimosha, terdiri dari dua proses utama, yaitu yamadashi dan satobiki.

Yamadashi terdiri dari proses pemotongan batang pohon di hutan yang berada di gunung yang akan di jadikan pilar, kiotoshi atau meluncurkan batang pohon menuruni bukit, dan kawagoshi atau menyebrangi sungai. Pohon cemara yang berusia 150 – 170 tahun dengan panjang sekitar 17 meter dan berat lebih dari

8 ton dipilih untuk dijadikan bagian dari festival ini. Proses selanjutnya ialah kiotoshi. Batang pohon yang telah di hias sedemikian rupa, dibawa menuruni lereng gunung dengan orang – orang yang duduk di atas batang – batang pohon tersebut. Proses yang terakhir adalah kawagoshi. Batang – batang pohon yang telah menuruni gunung selanjutnya dibawa melalui jalan – jalan kota dan diseberangkan

11

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

ke sungai. Penyebrangan melalui sungai ini merupakan bentuk pensucian terhadap batang – batang pohon tersebut. Yamadashi berlangsung pada bulan april.

Satobiki berlangsung sebulan setelah proses yamadashi. Satobiki merupakan puncak perayaan onbashira matsuri. Di dalam satobiki, terdapat suatu proses yang disebut tatte onbashira atau mendirikan batang pohon/ pilar di kuil.

Dimasing – masing kuil didirikan empat pilar. Sampai saat ini hal ini masih menjadi misteri, kenapa harus didirikan hanya empat pilar. Tapi sebagian orang percaya, pilar – pilar tersebut memberikan perlindungan terhadap kuil atau memiliki peran sebagai jembatan antara dewa dan kuil, serta sebagai pembatas antara dewa dan kuil. Satobiki erlangsung pada bulan mei.

Festival yang dilaksanakan lebih dari 200.000 ujiko atau peserta matsuri yang berasal dari kota maupun desa di daerah suwa ini memakan waktu selama dua bulan. Festival ini diadakan pada bulan april dan mei pada tahun macan dan kera menurut perhitungan penanggalan Cina. Tahun ini merupakan pelaksaan festival onbashira. Festival yang termasuk salah satu festival paling berbahaya di dunia ini tidak jarang memakan korban dalam pelaksanaannya.

3.1.1. Perayaan Onbashira Kamisha

Onbashira Kamisha di adakan di kuil atas, yaitu di kuil honmiya dan

maemiya yang berada di kota Suwa dan kota Chino. Kuil Suwa-taisha kamisha

didedikasikan kepada dewa laki – laki. Adapun berikut penjelasan proses

onbashira kamisha serta hal – hal yang perlu diperhatikan didalamnya.

12

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

a. Yamadashi

Di bulan april, teriakan dan nyanyian kiyari atau orang – orang yang

sedang menarik kayu besar/ barang berat menggema. Onbashira akan

dimulai dari harayama (tempat diletakkannya/ disimpannya tali

besar/tambang). Peserta matsuri beramai – ramai menarik tali besar dengan

memakai apron dan seragam matsuri atau happi yang bercorak sama sambil

berteriak “yoisa, yoisa”. Bentuk dari kamisha onbashira mempunyai ciri –

ciri khusus dimana didepan atau dibelakang onbashira(pilar) tersebut

dipasang kayu berbentuk V yang menyerupai tanduk atau disebut mododeko,

dan anak – anak muda naik diatasnya sambil berteriak – teriak memimpin

matsuri.

Di hari pertama, area yang berbahaya dan menarik adalah anayama

no oomagari. Jalanan yang dilalui perayaan onbashira disebut onbashira

kaido. Di wilayah anayama di kota Chino jalanan menjadi sempit. Di saat

ujung dari mododeko hampir menyentuh dan menabrak rumah – rumah

penduduk, disitulah mulai memasuki area anayama no oomagari. Di jalan

yang menikung tajam ini, butuh teknik yang handal untuk melewati area

tersebut. Dengan dipandu kiyari, perlahan – lahan melewati daerah

berbahaya ini.

Dihari kedua area yang berbahaya adalah kiotoshi zaka. Kiotoshi

zaka terletak di kota Chino, disebelah SD Miyagawa dengan kemiringan 27

derajat. Ketika kiyari meneriakan “inilah saatnya menuruni lereng”, anak –

nak muda muda dengan naik diatas pilar – pilar tersebut, seketika meluncur

13

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

mnuruni lereng sambil diikuti tepuk tangan dan sorak yang meriah. Di

sinilah tempat mempertunjukan keberanian laki – laki penduduk setempat.

Selesai dari kiotoshi zaka, area berbahaya di yamadshi yang terakhir

adalah kawagoshi atau proses menyebrangi sungai Miyagawa untuk

membersihkan dan mensucikan onbashira yang airnya berasal dari cairan

salju. Para ujiko berebutan masuk kedalam sungai yang suhu airnya

mencapai 10 derajat celsius. Mododeko berayun perlahan – lahan dengan

sekaligus turun ke air. Hal ini menyebabkan percikan air yang dahsyat dan

membasahi seluruh ujiko. Selanjutnya onbashira menyebrangi sungai.

Setelah kawagoshi selesai, 8 batang onbashira dibawa ke onbashira yashiki

dan disimpan sampai pelaksanaan satobiki di bulan Mei.

b. Satobiki

1 bulan setelah yamadashi, matsuri semakin hari semakin meriah.

Onbashira yang telah disimpan di onbashira yashiki dibawa beramai –

ramai dengan pelahan ke masing – masing kuil/ jinja. Onbashira kaido

menjadi sangat ramai dan meriah. Nuansa tradisional sangat mencolok dan

meriah dengan iringan penunggang kuda dan orang – orang yang memikul

nagamochi. Selain itu juga diiringi hanaga odori dan juga nyanyian

tradisional nagamochi.

Tibalah pada akhir matsuri. Mendirikan onbashira di pelataran jinja

atau disebut tatte onbashira. Onbashira yang dibawa ke Honmiya dan

Maemiya, mododekonya dilepas, ujungnya dibentuk runcing seperti pensil

atau disebut kanmuri otoshi serta menganggap atau menjadikan onbashira

14

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sebagai kami/ dewa dan pilar -pilar suci. Setelah melakukan kanmuri otoshi,

onbashira diikat dengan tali dan kawat, lalu didirikan beramai – ramai. Di

ujungnya naik seorang ujiko dengan memegang onbe. Onbe merupakan

tongkat yang ujungnya berjumbai dan diyakini tempat berdiamnya kami.

Panjangnya 1,5 meter dan jika dipukulkan maka pohon cemara besar di

hutan akan menjadi kami.

3.1.2. Perayaan Onbashira Shimosha

Onbashira Shimosha di adakan di kuil bawah, yaitu di kuil Akimiya dan

Harumiya yang berada di kota . Kuil Suwa-taisha Shimosha

didedikasikan kepada dewa perempuan. Adapun berikut penjelasan proses

onbashira Shimosha serta hal – hal yang perlu diperhatikan didalamnya.

a. Yamadashi

“turun ke desa dan menjadi kami/ pilar suci” teriak kiyari yang

menggema di kota Shimo Suwa Higashi Matagawa tempat dibawanya

shimosha onbashira di lereng gunung Tanakoba pada bulan April yang

masih dingin, onbashira di hari pertama dan kedua berturut – turut dibawa

menuju zaka (turunan terjal).

Di area berbahaya sebelumnya, setelah melewati hagikura oomagari,

selanjutnya akan melewati kiotoshi zaka yang terkenal dengan kemiringan

sampai 35 derajat dan panjang 100 meter. Ketika onbashira

memperlihatkan bentuknya, dengan serempak tepuk tangan dan sorak

penonton menggema. Jika dilihat dari atas, tampak lereng yang terjal dan

curam. Selanjutnya para ujiko berteriak “sekarang waktunya, sekarang

15

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

waktunya”. Anak – anak muda langsung menunggangi onbashira tanpa rasa

takut dan dengan eksresi tegang menunggu saat – saat mendbarkan itu. Di

kiotoshi zaka, onbashira meluncur hebat seperti ular raksasa atau naga.

Selanjutnya menjadi tenang dan dibawa/ ditarik ke shimekake dimana

onbashira tersebut akan beristirahat dengan tenang sampai satobiki di bulan

Mei.

b. Satobiki

Ketika gunung dan hutan mulai menghijau di bulan Mei, sebentar

lagi perayaan onbashira memasuki tahap akhir yaitu shimosha satobiki. 8

batang onbashira yang telah beristirahat di shimekake akan diberangkatkan.

Barisan onbashira dari Akimiya Suwa-taisha shimosha menuju Harumiya

juga akan melewati kota. Dari jalan raya 142, masuk ke jalan lama atau

kyunaka sendo, melewati jalan turunan dan akhirnya dibawa/ ditarik

kepelataran Harumiya, menyeberangi jembatan Kababashi, jembatan yang

dibangun di zaman Muromachi. Tidak seperti di yamadashi, satobiki di

Shimosha penuh dengan keramaian dan hiasan. Di wilayah Higashi Yamada

kota Shimo Suwa, Nagamochinya masih sangat tradisional seperti zaman

Edo.

Di hari kedua, ditempat keberangkatan/ kababashi (merupakan

wilayah jinja dimana dulu Tono-sama penguasa zaman feodal, pernah turun

dari kudanya). Setelah menyeberangi jembatan, Akimiya onbashira

perlahan menuju Shimo Suwa, naik melewati tanjakan panjang atau taisha

16

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

dori. 4 batang onbashira beristirahat di pelataran jinja , yang kemudian ke

perayaan onbashira di hari terakhir Akimiya tatte onbashira.

Seperti di kamisha, setelah upacara kanmuri otoshi, onbashira diikat dengan

kawan dan tali dengan menggunakan alat kurumaji. Para ujiko menarik ramai –

ramai mendirikan onbashira dan dengan bangga naik di ujungnya sambil

mengayunkan onbe dan selanjutnya kayu besar tersebut menjadi pilar suci atau

kami. Inilah proses terakhir dari seluruh rangkaian acara festival onbashira.

3.2. Onbashira Matsuri sebagai Festival Budaya

Menurut Ienaga Saburo dalam Situmorang (2006: 2), membedakan arti kebudayaan atau bunka dalam arti luas dan dalam arti sempit. Dalam arti luas kebudayaan adalah seluruh cara hidup manusia (人間の生活の営み方) ningen no seikatsu no itonami kata. Dia menjelaskan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan hal yang bukan alamiah. Sedangkan pengertian kebudayaan dalam arti sempit, menurut Ienaga adalah terdiri dari Ilmu pengetahuan, sistem kepercayaan, dan seni.

Matsuri sebagai hasil dari sebuah kebudayaan tentu tidak dapat kita pisah kan dari bentuk awal kebudayaan yaitu seni dan sistem kepercayaan. Hal ini disebabkan karena, sebagian besar matsuri merupakan sebuah bentuk peribadatan yang berhubungan dengan suatu sistem kepercayaan. Dalam hal ini, onbashira matsuri merupakan salah satu matsuri yang sangat dipengaruhi oleh nilai – nilai agama shinto.

Matsuri pada umumnya memiliki dua makna yakni sebagai makna peribadatan terhadap kami (dewa) dan sebagai sebuah hiburan. Seperti yang di katakan Kunio Yanagita, bahwa matsuri sebagai nihonjin rashisa atau kekhasan

17

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

orang jepang dan kokoro zuku koto atau kesadaran yang selalu ada dalam diri orang

Jepang. Maksud kekhasan dan kesadaran diri ini ada pada orang Jepang karena dengan berbagai kegiatan matsuri yang selalu mendampingi orang Jepang yang tampak dalam penyelenggaraan matsuri yang bersifat ritual dan priodik yang mengandung unsur keagamaan karena dilakasanakan untuk menyembah dewa dan untuk memohon kepada dewa.

Makna kedua yaitu sebagai sebuah hiburan, matsuri ini biasanya diadakan di kota – kota yang diselenggarakan oleh orang – orang yang tinggal di kota tersebut.

Yang membedakan dengan matsuri sebagai makna peribadatan yaitu, adanya kelompok penonton yang melihat penyelenggaraan matsuri ini. Menurut Kunio

Yanagita, kelompok – kelompok penonton yang datang meramaikan matsuri ini bukan untuk berdoa, melainkan hanya untuk melihat keindahan dari hiasan – hiasan dan perlenkapan matsuri yang ditampilkan dalam sebuah penyelenggaraan.

Onbashira matsuri sendiri jika kita tinjau dari sudut pandang sebuah festival budaya, tentu juga memiliki kedua makna ini. Onbahsira matsuri yang diselenggaran dengan tujuan memperbaharui secara spiritual kuil Suwa-taisha merupakan bentuk dari makna peribadatan terhadap dewa. Hal ini tampak dari sebagian masyarakat yang mempercayai bahwa dengan meletakkan pilar – pilar tersebut disekitar kuil dapat menjadikan jembatan antara dewa dan kuil.

Selain itu dari makna sebuah hiburan, onbashira matsuri tentu sangat menghibur orang – orang yang datang untuk menonton. Karena dalam matsruri ini diadakan banyak kegiatan – kegiatan menarik dan menantang. Salah satu contohnya, ketika proses yamadashi. Penonton akan sangat terhibur ketika batang – batang pohon yang akan dijadikan sebagai pilar di kuil – kuil, meluncur dari atas gunung

18

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

melalui lereng gunung. Proses peluncuran ini menimbulkan sorak meriah dari seluruh penonton.

Selain itu onbashira matsuri yang telah dijadikan sebagi event ikonik daerah nagano, juga merupakan bentuk promosi wisata yang banyak menarik wisatawan mancanegara. Hal ini tampak ketika tahun diadakanya onbashira matsuri kunjungan wisatawan asing ke daerah Nagano meningkat pesat. Sehubungan dengan peningkatan kunjungan, maka akan sejaalan dengan penignkatan transaksi ekonomi yang dapat membantu perekonomian penduduk setempat.

3.3. Onbashira Matsuri sebagai Tradisi Uji Keberanian

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), berani berarti mempunyai hati yang mantap dan rasa percaya diri yang besar dalam menghadapi bahaya, kesulitan, dan sebagainya; tidak takut (gentar). Sedangkan keberanian berarti keadaan berani; kegagahan. Sedangkan Aristoteles mengatakan “The

Conquering of fear is the begining of wisdom” atau menaklukan ketakutan adalah awal dari kebijaksanaan.

Kedua arti keberanian ini sejalan dengan konsep keberanian atau yuu (勇) yang dianut dalam ajaran Bushido yang menjadikan keutamaan yang menyangkut keberanian. Dalam konsep Bushido, seorang Samurai bukanlah orang yang tidak mengenal takut, termasuk rasa takut kepada kematian. Keberanian sejati adalah keberanian yang mengenal rasa takut, namun dapat mengatasi rasa takut tersebut.

Konsep yuu dalam ajaran bushido inilah yang juga melatarbelakangi bangsa Jepang

19

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

menjadi maju. Nilai keberanian tersebut lah yang diimplementasikan dalam industrialisasi sehingga mencapai sebuah modernisasi.

Orang Jepang dapat diartikan sebagai orang yang pemberani. Selain tampak dari konsep ajaran bushido diatas, keberanian orang Jepang juga tercatat sejarah dengan sebutan kamikaze. Kamikaze merupakan sekelompok prajurit pada masa

Perang Dunia II yang rela mati demi kehormatan negara. Para prajurit ini memiliki kepercayaan kuat terhadap ajaran yang dianutnya. Hingga sekarang arwah para prajurit dipercayai menjadi dewa.

Hubungan onbashira matsuri dengan keberanian sangat tampak jelas dalam setiap pelaksanaanya. Baik itu mulai dari proses yamadashi sampai ke proses satobiki, keberanian sangat lah diperlukan dalam menjalani proses – proses ini.

Onbashira matsuri juga merupakan bentuk uji keberanian pemuda setempat.

Pemuda – pemuda tersebut akan naik diatas onbashira lalu meluncur dari atas gunung/ bukit ataupun meluncur masuk kedalam sungai. Hal ini tentu membutuhkan keberanian yang sangat besar dikarenakan dalam setiap tahapan – tahapannya mengandung resiko bahaya yang sangat besar pula. Tak jarang dalam setiap prosesnya ada yang mengalami luka – luka, cedera, atau bahkan kehilangan nyawa. Namun menurut penduduk setempat hal ini dapat mendatangkan berkah dari dewa.

Selain itu onbashira matsuri juga merupakan salah satu festival paling berbahaya didunia. Festival ini dinobatkan sebgai festival paling berbahaya di dunia karena resiko yang sangat besar dalam pelaksanaanya. Pada pelaksanan tahun

2016 tercatat satu orang meninggal dikarenakan terjatuh dari puncak pilar yang

20

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

didirikan dikuil, pada tahun 2010 tercatat 4 orang juga meninggal pada proses yang sama. Sedangkan pada tahun 2004, 2 orang di laporkan meninggal karena tenggelam disungai pada proses kawagoshi. Kematian dalam pelaksanaan onbashira matsuri dipercayai penduduk setempat sebagai kematian yamg terhormat.

21

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1. Kesimpulan

1. Matsuri atau dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai festival menurut

masyarakat Jepang merupakan salah satu bentuk peribadatan terhadap kami

(dewa). Matsuri dibagi menjadi 3 bagian yaitu tsukaigirei, ninigirei, dan

nenchugyouji. Dalam hal ini onbashira matsuri merupakan matsuri yang

dikategorikan sebagai nechugyouji. Nechuugyouji merupakan perayaan yang

dilaksanakan secara tahunan ataupun periodik. Namun, untuk onbashira

matsuri sendiri diadakan setiap 6 tahun sekali atau tepatnya pada tahun kera

dan tahun macam menurut perhitungan kalender cina.

2. Onbashira matsuri merupakan perayaan yang dilaksanakan dikuil Suwa-taisha,

Suwa-shi, Perfektur Nagano pada bulan April dan Mei Setiap 6 tahun sekali.

Kuil Suwa-taisha merupakan kuil kepala yang membawahi sekitar 10.000 kuil

cabang di seantero Jepang. Dalam hal ini, kuil Suwa-taisha dibagi menjadi dua

kompleks kuil, yaitu kuil atas atau Kamisha dan kuil bawah atau Shimosha.

Pembagian ini juga mempengaruhi pelaksanaan onbashira matsuri.

3. Dalam pelaksanaannya, onbashira matsuri mempunyai dua proses utama yaitu

yamadashi dan satobiki. Yamadashi terdiri atas proses kiotoshi zaka atau

menuruni lereng gunung dengan menaiki onbashira dan kawagoshi atau

menyebrangi sungai dengan onbashira. Sedangkan satobiki terdiri dari proses

tatte onbashira atau mendirikan onbashira (pilar) mengelilingi setiap kuil yang

22

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

sudah ditentukan. Pelaksanaan onbashira matsuri bertujuan untuk

memperbaharui kuil Suwa-taisha secara spiritual.

4. Onbashira matsuri memiliki makna sebagai festival budaya dikarekan

memiliki dua hal utama yaitu sebagai bentuk peribadatan dan sebagai hiburan.

Pilar – pilar yang didirikan dalam onbashira matsuri dipercaya menjadi

jembatan antara kami dan kuil, sedangkan kan dalam segi hiburan onbashira

matsuri merupakan hal yang menarik untuk disaksikan sehingga dijadikan

event ikonik Perfektur Nagano yang dapat mendatangkan banyak wisatawan.

5. Onbashira matsuri memiliki makna sebagai tradisi uji keberanian dikarenakan

dalam setiap prosesnya membutuhkan keberanian yang besar. Onbashira

matsuri merupakan festival yang memiliki resiko bahaya yang besar ini

dijadikan ajang uji keberanian pemuda setempat. Proses utama yang dijadikan

tolok ukur uji keberanian ialah proses kiotoshi zaka, dimana para pemuda ini

harus naik diatas onbashira yang meluncur menuruni lereng gunung. Kematian

dalam proses onbashira matsuri dipercaya sebagai sebuah kehormatan.

4.2. Saran

1. Memiliki budaya khas merupakan sebuah kebanggaan terhadap diri bangsa.

Dalam hal ini matsuri sebagai ke khasan bangsa Jepang dapat terpelihara apik

hingga sekarang dan secara tidak langsung menjadikan negara Jepang negara

maju yang tetap memegang nilai tradisional yang kuat. Hal ini seharusnya

dapat kita contoh dan terapkan bagi bangsa kita sendiri sehingga kita nantinya

dapat sejajar dengan Jepang. Indonesia sendiri juga memiliki potensi budaya

23

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

tradisional yang besar untuk dikembangkan. Sehingga masih memungkinkan

indonesia dapat sejajar dengan Jepang dalam hal perayaan budaya.

2. Perkembangan perayaan budaya sendiri dapat menjadikan daya tarik

kunjungan wisatawan asing ke negara tersebut. Dalam hal ini dibuktikan

bahwa kunjungan wisatawan asing ke Jepang meningkat ketika perayaan

onbashira matsuri diadakan. Hal ini dapat dicontoh Pemerintah Indonesia

dengan mengkatalogkan perayaan – perayaan yang ada di Indonesia serta

menyebarkan informasinya secara luas.

3. Nilai keberanian yang terkandung dalam onbashira matsuri dapat dijadikan

contoh sebagai bentuk implementasi sikap pemuda dan juga sebagai bukti

bahwa seseorang manusia dapat dikatakan dewasa. Selain itu, mengajak

pemuda sebagai bagian dari pelaksanaan perayaan tradisional ini juga

bermanfaat agar perayaan tradisional tidak hilang nantinya dimasa depan

dikarenakan kurang nya pemuda yang tahu dan paham mengenai pelaksanaan

perayaan tersebut.

24

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA DAFTAR PUSTAKA

Lawanda, Ike Lestari. 2004. Matsuri: Upacara Sosial Masyarakat Jepang.

Jakarta: Wedatama Widya Sastra

Otto, Tohiko. 1983. Kodansha Encyclopedia of Japan No. 4 (Ensiklopedia Jepang

Jilid 4). Tokyo: Kodansha Ltd

Situmorang, Hamzon. 2006. Ilmu Kejepangan 1. Medan: USU Press

Suyohardjodiprojo, Sayidiman. 1982. Manusia dan Masyarakat Jepang. Jakarta:

UI-Press

Febriyanti, Hara. 2009. Matsuri NenchuuGyouji. Skripsi Sarjana. Jakarta

Wulandari, Anisa Windupeni. 2008. Perubahan makna dalam hinamatsuri.

Skripsi Sarjana. Jakarta

Andriani, Sri Dewi. 2007. “Eksistensi Agama Shinto dalam Pelaksanaan Matsuri

di Jepang”. Jurnal Lingua Cultura. Jakarta: Volume 1, Nomor 2,

November 2007

Halo Okaya, 2010. “Perayaan Onbashira”. Lembaga Pertukaran Budaya Okaya.

Terbitan 15 April 2010.

Onbashira Special Guide. 2016. “How to Enjoy Onbashira Festival”. Shimosuwa

Tourism Association. Shimosuwa-shi: 2016

Discover Shimosuwa. 2016. Shimosuwa Tourism Association. Shimosuwa-shi:

2016

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA The Onbashira Festival. 2016. “Our Great Septennial Festival”. Shimosuwa

International Frienship Association. Shimoshuwa-shi: 2016

Sumber dari Internet www.go-nagano.net www.onbashira.jp en.wikipedia.org/wiki/Onbashira

Jp.wikipedia.org/wiki/御柱 www.tofugu.com/japan/onbashira indoculture.wordpress.com/2012/onbashira jfuin.blogspot.com/Japan Freak UIN/culture/Event/Festival/Sosial.html www.anibee.tv/onbashirafestivalpalingberbahayadidunia.html

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA ABSTRAK

Onbashira matsuri merupakan salah satu perayaan yang berlandaskan ajaran shinto. Onbashira matsuri dilaksanakan setiap 7 tahun sekali tepatnya pada tahun macan dan tahun kera. Perayaan ritual besar ini merupakan pemotongan 16 batang kayu cemara besar yang berasal dari gunung dan dibawa/ ditarik menuju jinja yang telah di tentukan. Selanjutnya 16 batang pohon itu di jadikan pilar – pilar mengelilingi 4 jinja. Hal ini bertujuan sebagai bentuk pembaharuan kuil secara spiritual.

Festival ini diadakan di kota suwa, perfektur nagano, tepatnya di kompleks kuil Suwa-taisha. Di Suwa-taisha terdiri dari dua bagian yaitu, kamisha dan shimosha. Kamisha terdiri dari kamisha honmiya dikota Suwa dan kamisha maemiya dikota Chino. Sedangkan shimosha terdiri dari shimosha harumia dan shimosha akimia di kota Shimoasuwa.

Dalam pelaksanaannya onbashira matsrui memiliki dua acara inti yaitu

Yamadashi terdiri dari proses pemotongan batang pohon di hutan yang berada di gunung yang akan di jadikan pilar, kiotoshi atau meluncurkan batang pohon menuruni bukit, dan kawagoshi atau menyebrangi sungai. Satobiki berlangsung sebulan setelah proses yamadashi. Satobiki merupakan puncak perayaan onbashira matsuri. Di dalam satobiki, terdapat suatu proses yang disebut tatte onbashira atau mendirikan batang pohon/ pilar di kuil. Yamadashi berlangsung pada bulan april, sedangkan satobiki pada bulan mei.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA Melalui sudut pandang sebagai festival budaya, onbashira matsuri memiliki dua makna utama yaitu sebagai sebuah bentuk pribadatan dan sebagai sebuah hiburan. Festival yang menjadi ikon perfektur nagano ini juga merupakan festival yang paling berbahaya didunia. Hal ini karena dalam pelaksanaan onbashira matsuri terdabat beberapa hal berbahaya. Contohnya pada yamadashi terdapat proses kiotoshi zaka. Dalam kiotoshi zaka peserta matsuri harus naik diatas pilar pilar yang meluncur menuruni lereng gunung. Jika tidak memiliki keberanian yang besar serta teknik yang handal tentu proses ini mustahil untuk dilakukan. Proses ini juga dijadikan sebagai tolak ukur kedewasaan bagi pemuda – pemuda setempat. Tidak jarang pada setiap prosesnya, onbashira matsuri memakan korban. Baik itu luka luka ataupun kematian. Kematian dalam setiap prosesnya dipercaya sebagai kematian yang terhormat.

Festival yang telah berusia sekitar 1200 tahun ini di ikuti lebih dari 200 ribu peserta. Tahun 2016 ini diselenggarakan mulai dari 1 April hingga 15 Juni. Pada tahun ini dilaporkan 1 orang meninggal dalam pelaksanaan festival. Selain itu, festival onbashira juga merupakan bagian dari upacara pembuka olimpiade Nagano pada tahun 1998. Olimpiade ini merupakan olimpiade ke 18 yang di ikuti sebanyak

2176 atlit. Pada 2020 mendatang Jepang juga akan menjadi tuan rumah olimpiade yang akan dilaksanakan di tokyo.

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA