PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Politik Kuliner “Indonesia Indah”: Kontestasi Wacana Keistimewaan Yogyakarta dalam Produk Kuliner Jogja Scrummy
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Disusun oleh:
Hugo Sistha Prabangkara
NIM: 166322014
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Politik Kuliner “Indonesia Indah”: Kontestasi Wacana Keistimewaan Yogyakarta Dalam Produk Kuliner Jogja Scrummy
Tesis
Untuk memenuhi persyaratan mendapat gelar Magister Humaniora (M.Hum.) di Program Magister Ilmu Religi dan Budaya, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
Disusun oleh:
Hugo Sistha Prabangkara
NIM: 166322014
PROGRAM MAGISTER ILMU RELIGI DAN BUDAYA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2019
i a PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
IIALAMAN PERSETUJUAN DOSBN PEMBIMBING
TESIS
Politik Kuliner o'Indonesia Indah": Kontestasi Wacana Keistimewaan Yogyakarta Dalam Produk Kuliner Jogia Scrummy
5 Agustus 2019 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Dengan ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma Yogyakarta yang bernama Hugo Sistha Prabangkara (NIM: 166322014), menyatakan bahwa tesis berjudul: POLITIK KULINER ..INDONESIA INDAH,,: KONTESTASI WACANA KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA DALAM PRODUK KULINER JOGJA SCRUMMY merupakan hasil karya penelitian saya sendiri. Di dalam tesis ini tidak terdapat karya peneliti lain yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu pergurLlan tinggi lain. Pemakaian, peminjaman/pengutipan dari karya peneliti lain di dalam tesis ini saya pergunakan hanya untuk keperluan ilmiah sesuai peraturan yang berlaku, sebagaimana diacu secara tertulis dalam daftar pustaka.
Yogyakarta, 5 Agustus 2019 Yang membuat p ernyataan
Hugo Sistha Prabangkara
IV PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan di bawah ini, penulis mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Hugo Sistha Prabangkara NIM : 166322014
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah penulis yangberjudul:
Politik Kuliner "Indonesia Indah,,: Kontestasi wacana Keistimewaan yogyakarta Dalam Produk Kuliner Jogia Scrummy
Beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian penulis memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharmahakauntuk menyimpurr, -.ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkal an data,mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin dari penulis maupun memberikan royalty kepada penulis selama ietap mencantumkan namapenul is sebagai penulis.
Demikian pernyataan ini yang penulis buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 5 Agustus 2019:
Yang Menyatakan
Hugo Sistha Prabangkara PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
POLITIK KULINER “INDONESIA INDAH”: KONTESTASI WACANA KEISTIMEWAAN YOGYAKARTA DALAM PRODUK KULINER JOGJA SCRUMMY
Hugo S. Prabangkara
ABSTRAK
Jogja Scrummy (JS), merupakan produk kuliner hadir di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) pada tahun 2016. JS digunakan sebagai studi kasus penelitian ini karena penggunaan gagasan tradisi budaya Jawa dan konsep keistimewaan Yogyakarta dalam visual advertorial mereka di media sosial (Instagram dan Youtube) guna merangsang perasaan nostalgia para (calon) konsumen atau siapa saja yang melihat advertorial JS. Perasaan nostalgia dan gagasan kuliner yang khas, yang asli, dan yang istimewa versi JS berkelindan dengan konsep colonial Mooi Indie atau “Hindia Belanda Indah” yang dikontekstualisasikan menjadi “Yogyakarta Indah” (Mooi Yogyakarta). Visual “Yogyakarta Indah” yang dihadirkan di media sosial menjadi sebuah “selendang” yang tidak hanya berkelindan dengan budaya kuliner Yogyakarta, tetapi juga dengan identitas Jawa. Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan dengan kritis bahwa ada upaya menghadirkan pengalaman dan gagasan tunggal Yogyakarta melalui visual advertorial JS. Menggunakan pendekatan semiotika Roland Barthes, ditemukan bahwa JS mengulang-ulang visual ikonik Yogyakarta seperti Tugu, Blangkon, Jalan Malioboro, dan Jadah Tempe. Visual beserta caption yang dihadirkan memberikan rasa nyaman dan gembira untuk para konsumen pesolek modern. Analisis Wacana Foucault membantu mencermati pembentukan wacana Yogyakarta ideal JS melalui respons informan terkait visual JS; tradisonal tetapi modern, sangat “Jawa” tetapi hibrid Gagasan ini juga didukung melalui hadirnya restu dari otoritas kebudayaan DIY yang dapat dilihat sebagai bentuk “Bahasa Kosong”. Gagasan “Bahasa Kosong” beserta dengan “selendang” menjadi kombinasi yang mendorong konsumen untuk menjadikan JS sebagai sumber referensi pengalaman budaya Yogyakarta, yang dibayangkan sebagai yang “asli”, yang nyaman dan aman. Apa yang terjadi dibalik “selendang” tersebut seakan-akan diabaikan, tetapi sebenarnya dapat dilihat sebagai suatu distraksi sementara dari konflik dan ketidak-nyamanan di Yogyakarta.
Kata kunci: Jogja Scrummy, media sosial, Daerah Istimewa Yogyakarta, keistimewaan, Mooi Indie, semiotika, analisis wacana, bahasa kosong
vi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“BEAUTIFUL INDONESIA” FOODS POLITICS: THE CONTESTATION OF DISCOURSE OF “KEISTIMEWAAN” AS SEEN IN JOGJA SCRUMMY FOODS PRODUCT
Hugo S. Prabangkara
ABSTRACT
Jogja Scrummy (JS) is culinary products established in 2016 in Special Region of Yogyakarta (DIY). JS used as case study for this research because their heavily uses of Javanese traditional culture and the concept of “keistimewaan” (special status) of Yogyakarta in their visual-based advertising in social media (Instagram and Youtube) to draw nostalgic feelings to their (potential) consumers or those who view the advertorial. The nostalgic feelings and the idea of the authenticity, the real, and the special culinary product according to JS also entangled with colonial concept of “Beautiful (East) Indies” or known as Mooi Indie which then contextualized as “Beautiful Yogyakarta”. The visual of “Beautiful Yogyakarta” presented in social media becomes “selendang” which not only entangled with the Yogyakarta’s culinary culture, but also with the Javanese identity itself. Acknowledging and critically analysing that there are efforts to promote singular experience and ideas of Yogyakarta through JS visual advertisings becomes the purpose of this thesis research. Using Roland Barthes’ semiotics approach, Yogyakarta’s iconic visual repetitions such as Tugu, Blangkon, Malioboro Street, and Jadah Tempe can be found. Those visuals along with captions giving sense of comfort and joy for the modern “dandy” consumers. Foucault’s discourse helps carefully reviewed the discursive formation of JS’s ideal Yogyakarta concept through informants’ response to JS’s visual advertising; traditional yet modern, very “Javanese” yet hybrid. This idea also supported by the cultural authorities in Yogyakarta which can be seen as “empty words” (Bahasa Kosong). The “empty words” along with the “selendang” becomes potent combination which affected those who consume their products or just view their advertising visuals as source of reference to “experiencing” the culture of Yogyakarta, which imagined as the authentic, the “special”, and comfortable and everything seems alright (“nyaman dan aman”). What happened behind the “selendang” of social media seems being ignored by the consumers and the viewers. However, the reality is the “selendang” and the “empty words” can be seen as temporarily distraction from the conflicts that brewing in Yogyakara and the “unfomfortable-ness”.
Keyword: Jogja Scrummy, social media, Special Region of Yogyakarta, keistimewaan, Mooi Indie, semiotics, discourse analysis, empty words
vii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
KATA PENGANTAR
“Pada awal mulanya ialah perlawanan”. Ungkapan tersebut rasa-rasanya selalu menggema di telinga saya – layaknya kredo – menjadi mantra dan sumpah untuk menjunjung mazhab penelitian (spirit) kajian budaya di IRB. Akan tetapi, pada kenyataanya memang segala bentuk halangan mengharuskan seseorang harus bersikap kompromis, masih tetap progresif tetapi diplomatis, yang pada akhirnya menjadi sebuah batasan diri dalam melakukan penelitian. Kalau tidak, pada akhirnya malah jadi discouraged dan “mati” menjadi gumpalan debu idealis. Sikap tersebut di satu sisi memang dapat berpotensi melemahkan substansi tesis ini, akan tetapi, dari pengalaman personal – lived experience – pikiran saya cendrung lebih terbuka dan menghargai segala keragaman (pluralitas) budaya kuliner yang ada di Yogyakarta. Yogyakarta sebagai latar penelitian pula menunjukkan rasa cinta saya, yang terasa klise, terhadap kuliner dan Daerah (yang) Istimewa ini. Tentu penelitian ini juga penuh dukungan dari keluarga yang sungguh mendukung dan mencintai saya. Terima kasih kepada Bapak yang kesehariannya menjadi pembimbing bayangan saya, Ibu yang mendukung dengan kasih, Mayang, adik yang menjadi teman curhat, Mas Iwang dan Mbak Yossi beserta kedua ponakan lucuku Senja dan Aruna yang selalu menghibur dikala kejenuhan menulis. Ucapan terima kasih tak terhingga juga diberikan kepada Mbah Ti Slamet dan Mbah Ti Karno yang selalu giat mendoakan cucu-cucunya. Penelitian ini tentu tak luput dari dukungan-dukungan dari segala pihak. Terima kasih kepada informan yang berkenan bercerita dan berbagi pengalaman ke-Yogyakarta-an mereka. Terima kasih kepada kawan-kawan IRB USD yang tak henti-hentinya menelurkan gagasan- gagasan aneh yang sangat membantu pengembangan karakter saya. Terima kasih kepada Romo Budi Susanto yang dalam bimbingannya mengenalkan saya kepada gagasan-gagasan imajinatif yang sungguh berpotensi menyambung segala pikiran dan juga memberi ruang berpikir dan berpendapat dalam semangat Lembaga Studi Realino (LSR). Terima kasih juga kepada Romo Banar yang mengenalkan saya kepada wilayah-wilayah unik yang sempat saya abaikan, kepada Pak Nardi yang mengenalkan sikap kritis, dan juga kepada dosen-dosen IRB, Romo Bas, Pak Tri, Bu Devi, Pak Pratik, dan Mbak Katrin yang telah membantu membentuk pola pikir akademis yang lebih dewasa. Dukungan juga banyak dikucurkan dari kawan-kawan staf IRB seperti Mbak Desi dan Mbak Dita yang selalu sabar mengingatkan mahasiswa untuk mengumpulkan tugas maupun mengurus perkara administrasi. Pak Mul dengan makanan dagangannya yang memastikan bahwa logistik itu tidak perlu mahal dan jauh. Kawan-kawan LSR, Mbak Menik, Pak Hartoko, Mbah Samino, Mas Albert dan Mas Heri, juga selalu membikin saya optimis dan nyaman dalam penulisan tesis. Selain itu juga rekan-rekan Pusdep yang membantu mempersiapkan ujian tesis saya. Selain itu kawan-kawan “perang” saya, Tola, Eko, Gaplek, Matheus, Jo, Dita, Vania, beserta kawan-kawan komunitas diskusi ringinan, Nita, Marino, Anin, Brito, Ceper, Sitong dan kawan-kawan lain yang tak bisa saya sebut satu-satu. Mereka selalu meyakinkan saya bahwa semuanya akan baik-baik saja asalkan ada keluarga dan kawan yang menemani.
viii
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
DAFTAR ISI
Halaman Judul ...... i Halaman Persetujuan Dosen Pembimbing ...... ii Halaman Pengesahan ...... iii Pernyataan Keaslian Karya ...... iv Lembar Persetujuan Karya Ilmiah ...... v Abstrak ……...... vi Abstract ……...... vii Kata Pengantar ...... viii Daftar Isi ……...... ix
BAB I: PENDAHULUAN ...... 1 A. Latarbelakang ...... 1 B. Rumusan Masalah ...... 7 C. Tujuan Penelitian ...... 7 D. Manfaat Penelitian ...... 7 E. Tinjauan Pustaka ...... 8 1. Makan, Makanan, dan Kuliner ...... 8 2. Kuliner dan Identitas ...... 13 3. Bahasa dan Kosmopolitanisme Kuliner ...... 19 F. Kerangka Teori ...... 23 1. Budaya Kuliner para Pesolek yang Kosmopolitan ...... 23 a. Kosmopolitanisme Tjamboek Berdoeri ...... 23 b. Para Pesolek (Dandy) Indonesia ...... 24 2. Wacana dan Kekuasaan ...... 27 a. Teori Wacana Foucault ...... 27 b. Kekuasaan dan Bahasa ...... 28 c. Konsep Lingua Franca ...... 29 3. “Selendang” dan “Kehilangan” ...... 31 a. Konsep “Selendang” ...... 31 b. Konsep “Kehilangan” ...... 32 G. Metode Penelitian ...... 34 H. Sistematika Penulisan ...... 36
BAB II: PEMBENTUKAN BUDAYA KULINER YOGYAKARTA ...... 36 A. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda ...... 36 1. Keraton, Belanda, dan Gula ...... 36 2. Rijsttafel ...... 39 B. Kuliner Jejepangan ……...... 41 1. Masa Pendudukan Jepang ……………………………………………………….. 41 2. Kuliner Jejepangan Masa Kini …………………………………………………… 44
ix
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
C. Kuliner “Nusantara” Sukarno ……...... 46 D. Fast Food Global, Rasa Lokal ...... 49 E. Jogja Tradisional dalam Konteks Global ...... 50 1. Gudeg dan Keraton ...... 51 2. Bakpia dan Tionghoa Perantauan ...... 53 3. Jajanan Pasar yang Belum Dilupakan ...... 55 4. Kuliner Tradisional sebagai Komoditas ...... 57 F. Kuliner yang Kosmopolitan ...... 59
BAB III: YOGYAKARTA YANG (BELUM) HILANG ...... 64 A. Anatomi Scrummy …………………………………………………………………... 65 B. Artikel Situs Web JS ...... 66 1. Artikel Versi Pertama ...... 67 2. Artikel Versi Kedua ...... 68 C. Iklan Baliho ...... 71 D. Posting Instagram JS ...... 72 1. Blangkon ...... 72 2. Tugu Jogja (Tugu Paal Putih) ...... 73 3. Jalan Malioboro ...... 74 4. Jadah Tempe ...... 75 E. Video Iklan JS ...... 76 1. Video iklan JS “Yogyakarta” Versi Vidi Aldiano ...... 76 2. “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy” ...... 79 F. Video acara Festival Bregada Jaga Jogja Scrummy Tahun 2018 ...... 84 G. Video Ucapan Selamat dari Perwakilan Otoritas Kebudayaan DIY ...... 85 1. Perwakilan Dinas Pariwisata dan Asisten Keistimewaan DIY ...... 85 2. Gusti Kanjeng Bendoro Raden Ayu Pakualam X ...... 86 H. Hasil Wawancara Informan ...... 87 1. Barkah ...... 88 2. Arum ...... 91 I. Komentar Warganet ...... 94 1. Komentar Video iklan JS, “Yogyakarta”, di Youtube dan Facebook ...... 94 a. Youtube ...... 94 b. Facebook ...... 95 2. Komentar Video Iklan JS, “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy” ...... 96 I. Ke-Yogyakarta-an yang Ideal ...... 96
BAB IV: YOGYAKARTA INDAH JOGJA SCRUMMY ...... 98 A. Pembentukan Wacana Yogyakarta Indah Jogja Scrummy (JS) ...... 98 1. Narasi Situs Web JS ...... 98
x
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Simbol-simbol Ikonik Jogja di Baliho dan Instagram ...... 102 a. Blangkon ...... 103 b. Tugu Jogja ...... 105 c. Jalan Malioboro ...... 108 d. Jadah Tempe ...... 111 3. Wacana “Yogyakarta Indah” JS ...... 113 B. “Selendang” Indah Jogja Scrummy ...... 114 1. Pembedahan Video Iklan Jogja Scrummy ...... 114 2. Pembedahan Video Dokumentasi Festival Bregada Jaga tahun 2018 ...... 115 3. Selendang “Yogyakarta Indah” Jogja Scrummy ...... 116 C. Dibalik Selendang “Yogyakarta Indah” ...... 118 1. Dukungan “Otoritas” Kebudayaan DIY ...... 118 2. Teknologi Visual untuk Generasi Pesolek Kekinian ...... 120
BAB V: PENUTUP ...... 127 A. Simpulan ...... 127 B. Saran-Saran ...... 130
DAFTAR PUSTAKA
xi
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latarbelakang
Pada bulan Januari 2019, peneliti berkeliling di seputar Jalan Malioboro untuk
melakukan pengamatan lapangan untuk penelitian ini. Pada pukul 10.00, jalan
Malioboro masih cukup sepi, tetapi tetap dapat ditemukan beberapa pedagang kaki
lima yang mendorong gerobak berisi pakaian batik yang mereka jual, ada juga yang
sudah sampai ke tempat yang biasa mereka gunakan untuk menjual dagangannya.
Beberapa yang telah sampai terlihat sedang menata barang dagangannya sambil
bercakap-cakap dengan “tetangga” sebelahnya. Di sisi lain jalan dapat dilihat juga
beberapa tukang becak yang sedang mengayuh pelan, lalu dengan parkir di sudut-
sudut jalan yang biasa mereka gunakan untuk mangkal, ada yang di dekat benteng
Vredeburg dan ada yang di dekat Mall Malioboro-nya.
Saat berjalan di tengah-tengah pedagang kain batik dan segala pernak-pernik
suvenir Yogyakarta, terdengar bahwa percakapan yang dilakukan para pedagang
tersebut tidak hanya menggunakan bahasa Jawa ataupun bahasa Indonesia, tetapi
bahasa yang sudah bercampur-aduk – ada yang berbahasa Indonesia, berbahasa
Banyumasan, berbahasa Batak, Manado, Minang. Barang yang mereka dagangkan
agak kontras dibandingkan dengan toko Polo Ralph Lauren yang merupakan retailer
kaos berkerah high-end yang harganya relatif mahal, yang kebetulan ada di sisi
selatan jalan Malioboro.
Lalu apabila mengamati ujung jalan Malioboro, yang perlahan mulai ramai
dengan kendaraan bermotor, ada beberapa pemuda-pemudi berswafoto bersama di
depan papan jalan Malioboro. Mengapa papan jalan yang berukuran kira-kira 1 meter
dengan latar belakang warna hijau pari anom Keraton Mataram, dan bertuliskan Jalan
1
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Malioboro berwarna putih dalam huruf latin serta tulisan aksara Jawa berwarna putih dibawahnya dirasa istimewa?
Menurut Clifford Geertz (1976) konsep slamet merupakan pemujaan terhadap ketiadaan musibah, atau yang diungkapkan oleh orang Jawa sebagai “gak ana apa- apa” atau “tidak ada apa-apa”1. Menariknya, Geertz juga mengungkapkan bahwa dalam konsep slametan, makanan-lah yang menjadi intinya, bukan doa-doa yang dipanjatkan, karena orang Jawa percaya bahwa pada slametan, semua makhluk halus hadir, duduk, dan turut makan sajian yang disiapkan. Roh-roh tersebut mengkonsumsi aroma dari makanan tersebut sedangkan para pelaku ritual tersebut menikmati sisa makanannya – yang tentu berupa fisiknya.2
Corak budaya Jawa sebagaimana dapat dilihat melalui papan nama jalan
Malioboro di atas dan melalui slametan menjadi contoh kecil betapa pentingnya identitas Jawa di Yogyakarta. Identitas tersebut dihidupi sebagian besar warga di
Yogyakarta, yang notabene dilihat dari masih banyaknya penggunaan kosakata Jawa, tradisi ritual Jawa, dan tentunya dengan kepempimpinan Sri Sultan
Hamengkubuwowo X sebagai gubernurnya. Menariknya, yang “menghidupi” identitas tersebut tidak semata-mata orang Yogya “asli”, tetapi para pendatang pun merasa demikian.
Maka tidak aneh apabila ornament-ornamen Jawa bertebaran di Yogyakarta, dan pemaknaanya pun semakin plural dan inovatif seperti situasi masyarakatnya.
Contoh kecilnya dapat dilihat dari ornament aksara Jawa, yang memang sempat menjadi model penulisan di Jawa, yang kemudian bergeser menjadi salah satu model visual pariwisata Yogyakarta, kuliner dalam slametan dan gudeg juga berubah dari asosiasi yang cenderung lekat dengan tradisi, menjadi sajian yang dengan mudah
1 Geertz, Clifford.1976. The Religion of Java, Chicago University Press, hlm. 14 2 Ibid., hlm. 15
2
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ditemukan di rumah makan di Yogyakarta. Perbedaan mendasarnya terletak dari cara
penyajiannya. Misalnya, gudeg yang semula disajikan ala kadarnya – bahkan terlihat
semrawut – di make up menjadi lebih tertata, dan bahkan berinovasi menjadi gudeg
kaleng yang sudah dieskpor ke luar Indonesia.
Dari sedikit pemaparan hasil pengamatan peneliti di atas, dan membandingkan
dengan konsep Masyarakat Plural (plural society) J.S. Furnivall (1939)3, dapat dilihat
bahwa keramaian Malioboro menjadi salah satu contoh – yang umum dibicarakan –
gambaran kantung komunitas plural yang ada di Yogyakarta dan cukup sering
dihadirkan dalam visualisasi iklan pariwisata, entah yang dikelola pemerintah maupun
yang dikelola swasta. Gencarnya iklan pariwisata DIY juga semakin kencang setelah
munculnya Dana Keistimewaan yang dimulai dari ditetapkannya UU Nomor 13 tahun
2012 tentang Keistimewaan DIY alias UU Keistimewaan (UUK).
Hadirnya Danais (Dana Keistimewaan) menjadi angin segar bagi industri
kreatif yang bergabung dengan UMKM DI Yogyakarta. Pada tahun 2018, Danais
dianggarkan 800 miliar rupiah dan bahkan ditingkatkan hingga 1 triliun rupiah dengan
memprioritaskan penurunan tingkat kemiskinan. Selain itu juga ada Dana Desa yang
dialokasikan untuk pengembangan desa yang pada tahun 2019 dianggarkan sejumlah
Rp 423,785 miliar untuk 392 desa di DIY.
Apabila dibandingkan dengan data statistik Bekraf dan BPS pada bulan Mei
2018, DI Yogyakarta menjadi salah satu dari lima provinsi yang menjadi fokus
pemetaan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Ekonomi Kreatif. Dari data
Bekraf dan BPS, kontribusi PDB (Produk Domestik Bruto) Ekonomi Kreatif 2016
dipimpin oleh industri kreatif kuliner (41,40%), yang disusul fashion (18,01%) dan
kriya (15,40%), sedangkan dalam urusan ekspor, industri kreatif kuliner menduduki di
3 Wahlke, John C. (ed). 1972. Politics in Plural Society, a Theory of Democratic Instability. Charles E. Merill Publishing Company, hlm 10-21
3
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
peringkat ketiga di bawah kriya dan fashion. Dari jumlah pemetaan unit usaha industri
kreatif di Indonesia, kuliner juga memimpin dengan jumlah 5.550.960 unit usaha
(67,66%) dari total 8.203.826 unit usaha kreatif di Indonesia.
Dari data infografis Bekraf dan BPS menjadi variabel menarik yang melandasi
argumen bahwa industri kreatif di bidang kuliner memang sedang hangat
diperbincangkan dan dikembangkan. Lihat saja Kompas yang menghadirkan
suplemen ‘Retas’ volume 5, November 2017 yang membicarakan program “Food
Startup4 Indonesia 2017” di Yogyakarta.
Dari suplemen ‘Retas’ tersebut dijelaskan bahwa program food startup
diadakan untuk membangun ekosistem bisnis, tetapi yang menjadi permasalahan
adalah standardisasi dan sertifikasi pemilihan yang kurang jelas dan kriteria yang
memang menguntungkan usaha yang sudah memiliki modal cukup untuk
mendaftarkan diri dalam proses penilaian program Food Startup tersebut. Dengan
adanya kriteria-kriteria tertentu, industri kuliner kreatif yang belum berbadan hukum
dengan modal kecil di Yogyakarta semakin sulit berkembang, dan kemungkinan lebih
memilih jalur lain melalui Danais melalui Dana Desa Budaya DI Yogyakarta.
Hadirnya Dana Desa Budaya dalam naungan Danais, seharusnya juga menjadi
katalis perkembangan ekonomi kreatif akar rumput DIY. Tetapi, ironisnya, sejak
tahun 2015 sampai tahun 2019, dana tersebut molor dan bahkan ada yang belum cair
sebagaimana dikabarkan di Jogja.TribunNews dan Harian Jogja daring5 serta
informasi dari informan penelitian yang membantu penilaian Dana Desa Budaya.
Alasan pengunduran waktu pencairan tersebut adalah banyaknya Desa yang belum
terdaftar dalam program Dana Desa.
4Istilah startup lebih umum ditemukan pada program-progam pengembangan produk Teknologi Informasi. Arti harafiahnya ialah, “memulai”. 5http://jogja.tribunnews.com/2019/03/08/dana-desa-termin-pertama-di-gunungkiful-molor- pencairannya,dan https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2019/03/08/513/976722/kepala-desa-keluhkan- molornya-pencairan-dana-desa-
4
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kompetisi antar indusri kuliner di lapangan bisa jadi semakin sulit karena
hadirnya produk oleh-oleh kuliner yang diproduksi secara massal, dengan modal
besar, yang dijual menggunakan premis kepopuleran selebritis, perkawinan antara
yang tradisonal dengan yang modern, dan dengan visualisasi landmark, produk
tradisional, dan atribut ikonik daerah. Salah satu produk yang hadir di Yogyakarta
ialah Jogja Scrummy (JS) yang diprakarsai pada tahun 20166 oleh Dude Harlino,
seorang aktor sinetron – Aisyah (2007) dan Manohara (2009) – dan aktor layar lebar –
Di sini ada Setan (2003) dan Ketika Cinta Bertasbih 2 (2009).
JS hadir di Yogyakarta pada bulan Juni 2016. Nama “Scrummy” diambil dari
istilah bahasa Inggris, scrumptious dan yummy, yang berarti enak atau lezat. JS
mendistribusikan produknya di beberapa outlet yang berada di kota Jogja, outlet di
Jalan Kaliurang, Jalan Brigjend Katamso (pusat produksi), Malioboro, dan Stasiun
KA Tugu Yogyakarta.
Fenomena JS ini tentu menjadi hal yang sangat menarik karena dalam
kehadiran yang berusia lebih dari 2 tahun, JS jor-joran melakukan promosi melalui
advertorial media sosial dan baliho. Aktivitas advertorial JS di media sosial dan
baliho diwarnai dengan nuansa Yogyakarta (arsitektur, objek wisata, dan pakaian
tradisional) ikonik yang dikombinasikan dengan unsur-unsur modernitas seperti
keterbukaan terhadap budaya asing (lagu dalam video iklan JS dinyanyikan dengan
gaya rap), dan klaim JS bahwa produk mereka merupakan produk yang “kekinian”.
Penggunaan unsur-unsur kedaerahan seperti di atas, apakah menjadi usaha JS untuk
mengakomodasi celah sejarah JS dalam merayu dan menggaet konsumen, mengingat
produk JS sulit bersaing dengan bakpia yang sudah ada sejak dulu?
6 Selain JS, di Yogyakarta juga ada Mamahke Jogja milik Hanung Bramantyo, sutradara film nasional, dan Jogja Cushy Cheese milik Ria Ricis, aktris sinetron, layar lebar, dan sosialita.
5
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Nuansa kedaerahan yang dihadirkan JS di atas sepertinya juga menunjukkan adanya kurangnya jelajah Danais dan Dana Desa terhadap UMKM bermodal kecil dan industri rumahan di Yogyakarta, serta pluralitas mengenai wacana keistimewaaan di Yogyakarta. Hal tersebut dapat dilihat dari atribut kedaerahan yang sebenarnya produk budaya kolektif masyarakat, tapi justru digunakan untuk mengakomodasi produk JS yang ahistoris dan berpusatkan pada kepentingan kapital. Di satu sisi memang, ada geliat positif yang membuka ruang produk-produk tradisonal untuk semakin berinovasi demi kepentingan ekonomi pariwisata, tetapi di sisi lain, apakah wacana kedaerahan yang “istimewa” ini justru malah memberi kesan eksploitasi budaya yang berdampak pada eksotisme dan romantisme belaka?
Asumsi yang muncul melalui pengamatan yang dilakukan peneliti ialah, konsumen yang membeli produk JS dimotivasi oleh “rasa penasaran” terhadap produk tersebut yang muncul karena visualisasi Yogyakarta, narasi daerah tersebut, dan bahkan karena memanfaatkan Dude Harlino sebagai “wajah” produk tersebut yang pada akhirnya kembali ditentukan oleh pengalaman indra pengecap para konsumen
JS. Mungkin, bisa jadi, visualisasi Yogyakarta ditonjolkan JS untuk mengakomodasi para pesolek yang ingin mengalami budaya Yogyakarta yang kekinian.
Dalam penelitian ini, fenomena JS digunakan sebagai studi kasus karena ditemukan adanya wacana besar mengenai keistimewaan Yogyakarta yang semakin aktif digunakan JS di media sosial. Pemanfaatan wacana tersebut semakin terlegitimasi karena adanya negosiasi antara kuasa-kuasa hegemonis manajemen JS,
Keraton, Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan Jogja walaupun usia JS sendiri masih terbilang muda, yakni 2 tahun lebih. Lantas melalui wacana keistimewaan
Yogyakarta dan sokongan dari Keraton, Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan, gambaran Yogyakarta seperti apakah yang ingin dihadirkan JS, dan bagaimana
6
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengaruh gambaran Yogyakarta versi JS terhadap pola-pola ekonomi (kreatif)
kerakyatan di Yogyakarta?
B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana perubahan budaya kuliner di Yogyakarta dari produksinya yang
berguna dalam aktivitas keseharian hingga menjadi bentuk dari gaya hidup yang
konsumtif?
2. Bagaimana JS memanfaatkan teknologi untuk mengkonstruksi wacana produk
kuliner Jogja melalui iklan yang dipublikasikan? Bagaimana wacana tersebut
ditawarkan JS?
3. Bagaimanakah Jogja versi JS mempengaruhi cara konsumen Jogja yang sangat
majemuk memaknai pengalaman ke-Yogyakarta-annya dengan keberagamannya?
C. Tujuan Penelitian Secara umum, penelitian ini bertujuan menjawab pertanyaan yang tertera di
rumusan masalah. Apabila dijelaskan secara elaboratif, penelitian ini bertujuan untuk,
1. Menjelaskan secara deskriptif dan mendalam mengenai masa lalu pembentukan
budaya kuliner populer di Yogyakarta masa kini.
2. Menjelaskan dan mengkritisi konsep Jawa di Yogyakarta (dalam fetis
“Selendang”) yang dimanupulasi dan dieksploiyasi JS dalam iklan-iklan visual
produknya.
3. Menyandingkan narasi yang diproduksi JS dengan narasi yang diapropriasi
konsumen JS melalui pengalaman mengkonsumsi dan pengalaman beriwisata dan
tinggal di Yogyakarta
D. Manfaat Penelitian
Penelitian mengenai kuliner telah cukup banyak dilakukan dan buku-buku
yang membahas mengenai kuliner juga cukup banyak. Manfaat penelitian ini dapat
dibagi menjadi tiga.
7
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Penelitian ini memberi sudut pandang yang berbeda mengenai
pembahasan kuliner dalam konteks Yogyakarta yang menitik beratkan
pada bagaimana reaksi apropriasi masyarakat terhadap produk kuliner
yang menghadirkan konsep-konsep yang unik dan modern seperti JS.
2. Mengkritisi program pemerintah daerah dalam menemukan potensi pasar
kuliner daerah tanpa membatasi gerak industri rumahan dengan
standardisasi yang cenderung mengabaikan produk kuliner yang tidak
populer.
3. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan akademis dan pemerhati
kuliner dalam dialog antara praktisi, perajin kuliner tradisional, dan
wisatawan dalam mengeksplorasi kuliner di Yogyakarta. Tidak hanya
eksplorasi permukaan saja, tetapi juga masuk ke dalam sektor budaya, dan
produksi, distribusi, serta konsumsi.
E. Tinjauan Pustaka
Dari hasil pembacaan artikel, jurnal, dan buku, penulis menempatkan temuan-temuan ke dalam dua domain (makan, makanan, dan kuliner, serta kuliner dan identitas). Kedua poin tersebut menghadirkan benang merah yang menjadi pedoman bagi pembahasan rumusan masalah.
1. Makan, Makanan, dan Kuliner
Pada bagian ini, konsep makan, makanan, dan kuliner menjadi studi
pembanding dan data sekunder dari argumen peneliti bahwa ada kebutuhan
untuk mendefinisikan ulang budaya kuliner (makan) dari kapital (pemerintah,
tenaga ahli, dan pemilik usaha) sesuai dengan konteks (minat) masyarakat
(konsumen) dalam sebuah komunitas tertentu.
8
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Makan, menurut Stephen Mennell (1987)7 dapat ditelusuri melalui dua
poin, nafsu makan, dan rasa lapar. Rasa lapar menurut Mennell merupakan
dorongan biologis yang secara wajar dirasakan oleh manusia. Sedangkan nafsu
makan cenderung, dipengaruhi aspek psikologis manusianya. Mennell,
membahasakan David Cappon (1973), nafsu makan merupakan kondisi
kesadaran mental seseorang yang merujuk pada rasa lapar dan mendorong orang
itu untuk mengkonsumsi nafsu makan. Dengan kata lain, makan dalam konteks
nafsu makan menjadi bukan semata-mata sebagai pemenuhan biologis. Namun
justru menjadi pemuasan – bahkan pelampiasan – psikis seseorang. Maka dari
itu, dari nafsu makan berlebihan, orang dapat mengalami obesitas. Pola makan,
yang berujung pada obesitas tersebut bisa jadi karena hasil konstruksi kapital,
dalam kasus ini, rumah makan cepat saji seperti KFC, McDonald, dan Pizza
Hut.
Contoh kasus obesitas karena kontrsuksi kapital dapat dilihat dalam sebuah
artikel di New York Times yang menjelaskan korelasi antara tren
berkembangnya rumah makan cepat saji, dalam kasus ini KFC, dengan
meningkatnya kasus obesitas di Ghana, Afrika Barat.8 Dalam artikel tersebut
dapat dilihat bahwa ada anggapan bahwa mengkonsumsi makanan di rumah
makan cepat saji tersebut menempatkan mereka (konsumen) sebagai bagian dari
masyarakat kelas atas. Maka dari itu muncul logika bahwa negara yang
masyarakatnya memiliki akses mudah dalam mengkonsumsi makanan cepat saji
tersebut merupakan negara yang ekonominya kuat (makmur). Anggapan-
7 Mennell, Stephen (1987), ‘On the Civilising Appetite’, dalam Featherstone, Mike, et al (eds). (1991) The Body, Social Process and Cultural Theory (London: Sage Publications) 8 Searcey, Dionne dan Matt Richtel (2017). ‘Obesity Was Rising As Ghana Embraces Fast Food. Then Came KFC, https://www.nytimes.com/2017/10/02/health/ghana-kfc-obesity.html, ditullis 2 Oktober 2017, diakses 26 Oktober 2017.
9
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
anggapan tersebut jelas memengaruhi konsumen dalam memaknai makanan
yang mereka konsumsi.
Di Indonesia, rumah makan cepat saji gaya “Barat” seperti McDonald dan
KFC juga memunculkan bayangan yang serupa. Konsumen produk cepat saji
seringkali dianggap orang yang sejahtera – notabene harga makanan yang
disajikan dibanderol dengan harga yang relatif mahal. Selain itu, ada juga
anggapan bahwa orang yang makan di sana berarti orang yang modern atau
yang mengikuti tren rumah makan tersebut selalu memberi paket-paket menarik
yang murah. Akan tetapi, hal menarik lainnya, di Indonesia, rumah makan
seperti itu justru lebih banyak dikonsumsi oleh anak kecil, kemudian anak muda
usia SMA hingga Mahasiswa. Contoh kasus obesitas di atas relevan dengan
penelitian ini karena menjadi pertanda bahwa aktivitas makan sudah tidak lagi
demi pelepas rasa lapar, tetapi menjadi gaya hidup – mengafirmasi status sosial
seseorang di dalam masyarakat.
Selain konstruksi dari kapital berupa industri makanan cepat saji,
konstruksi makan juga dapat ditemukan di media (sebagai perpanjangan
kapital), sebagaimana dapat dilihat di tulisan Ikma Citra Ranteallo dan
Immanuella Romaputri Adilolo (2017)9. Dalam artikel tersebut, dengan
mengutip Hartley (2012), budaya makan dapat dikonstruksi melalui peran
media. Peran media sangatlah krusial dalam konstruksi makanan dalam berbagai
wilayah, salah satunya merupakan wilayah wisata kuliner. Konstruksi ini
9 A. Saufi et al. (eds.), 2017. Balancing Development and Sustainability in Tourism Destinations, Springer Science+Business Media Singapore, DOI 10.1007/978-981-10-1718-6_13
10
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
kemudian diimplementasikan ke dalam program-program televisi yang memiliki
daya untuk mengajak penonton untuk berpartisipasi secara langsung.10
Kegiatan makan yang dikonstruksi media, dapat disandingkan dengan
penjelasan mengenai makanan dan kuliner. Pengertian kuliner sendiri muncul
dalam ranah pariwisata. Menurut Kivela dan Crotts (2016) yang dikutip dari
tulisan Ranteallo dan Andilolo, kuliner adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan makanan dalam konteks gastronomi seperti makanan khas
suatu negara atau daerah.
Selain itu, dari tulisan Jeou-Shyan Horng & Chen-Tsang (Simon) Tsai
(2010), mengutip dari Ignatov & Smith (2006), istilah kuliner merupakan
bentuk adjektif dari cuisine (yang berarti dapur dalam bahasa Prancis) tetapi
istilah ini lebih fokus ke urusan praktis, gaya penyajian, dan konsumsi
makanannya, serta konteks sosial makanannya (bagaimana diperoleh, Istilah
‘kuliner’, maka dari itu, dapat merujuk pada bahan-bahan yang digunakan,
penyiapan/penghidangan makanan (prepared foods)11, minuman (beverages),
sektor produksinya (food productions), struktur institusinya (institutional
structures), dan sektor wisatanya (culinary tourisms). Lalu apa itu culinary
tourism? Kapan istilah itu muncul?
Culinary Tourism atau Wisata Kuliner menurut penjelasan Long (2004)
yang dikutip dari Ranteallo & Adilolo dan Horng & Tsai, merupakan istilah
yang muncul pada tahun 199812 dan merujuk pada wisatawan mancanegara
10 Ranteallo, I.C and I.R Andilolo (2017), Food Representation and Media: Experiencing Culinary Tourism Through Foodgasm and Foodporn. Diambil dari Balancing Development and Sustainability in Tourism Destinations, Springer Science+Business Media Singapore, DOI 10.1007/978-981-10-1718-6_13 11 Contoh menarik dapat diamati dari kreasi makanan yang selalu diberi tambahan keju, selain produk makanan italia seperti pizza dan pasta-pastanya, seperti sayap ayam yang diberi lelehan keju, nasi yang dihidangkan dengan lelehan keju dimakan bersama steak. Bahkan, produk ayam goreng KFC ada yang dihidangkan dengan cokelat pedas. 12 Mungkin di Indonesia, istilah wisata kuliner mulai booming setelah acara Wisata Kuliner, yang dibawakan oleh Bondan Winarno, mulai tayang di layar kaca.
11
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang berwisata dengan premis ingin mencoba pengalaman kuliner dan tradisi
yang berbeda dan eksotis. Cara mengartikulasikan konsepnya yakni dengan
pengalaman bertemu langsung dengan kebudayaan lokal melalui makanan khas
atau lokal dan aktivitas yang berkaitan dengan makanan tersebut. Dari
penjelasan Long (2004), dapat dilihat bahwa ada konteks sosial dan budaya
yang dilibatkan dalam wisata kuliner. Bahkan, Ignatov & Smith juga
mengatakan bahwa wisata kuliner merupakan bagian dari wisata budaya yang
tidak hanya berwisata sambil icip-icip, namun juga mengalami langsung budaya
kuliner di sebuah daerah dan juga menemukan ‘local knowledge’ secara
langsung.
Konstruksi makan melalui negara dapat diamati melalui politik pangan
Soekarno melalui Mustika Rasa. Di buku Jejak Rasa Nusantara, selain
penyebutan Mustika Rasa sebagai salah satu bentuk politik pangan yang muncul
di Indonesia, wacana ‘Empat Sehat Lima Sempurna’ juga termasuk dalam
bentuk politik pangan Indonesia. ‘Empat Sehat Lima Sempurna diwacanakan
oleh Soedarmo pada tahun 1950-an.13
Wacana ini dimulai pada saat Soedarmo mencanangkan propaganda
pembiasaan minum susu untuk anak-anak. Akan tetapi, dalam program ini,
Soedarmo justru lebih menitik beratkan konsumsi Susu Kedelai atau saridele
(sari kedelai) daripada susu sapi. Dalam buku Jejak Rasa Nusantara,
diungkapkan bahwa, “…susu sapi lebih mahal dan tidak terbeli oleh
kebanyakan masyarakat.”14 Dari kutipan di atas, pola pendisiplinan seperti yang
diungkapkan Mennell dapat terlihat jelas. Lebih lagi, propaganda Soedarmo ini
lantas menjadi inspirasi Soekamto dalam penyusunan buku Ilmu Makanan pada
13 Rahman, Fadly (2016), Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta., hlm 245. 14 Ibid.
12
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tahun 1951 yang lalu pada tahun 1952 diperbaharui atas saran Soedarmo dan
didistribusikan ke murid-murid sekolah.15 Propaganda Soedarmo dan Soekamto
di atas mencerminkan adanya pemasangan standar dari kapital untuk rakyat
berupa anjuran tentang makan yang seimbang dan yang sehat.
Kajian-kajian kepustakaan yang telah dijelaskan di atas, dapat diletakkan
dalam konteks penelitian ini yang melihat JS sebagai sosok kapital yang
berupaya mengkonstruksi sebuah budaya kuliner yang berkelindan di
Yogyakarta.
2. Kuliner dan Identitas
Definisi (pengaturan) makan, makanan, dan kuliner yang merupakan hasil
dari konstruksi kapital tentu berhubungan dengan urusan identitas, khususnya
identitas Jawa di Yogyakarta sebagai konteks penelitian ini. Pada bagian ini
pula peneliti berupaya mengumpulkan gagasan kuliner dan identitas dari
berbagai sumber kepustakaan.
Sebelum memulai mengaitkan urusan identitas dalam ranah kuliner, perlu
ada pemahaman mengenai konsep identitas. Apa itu identitas? Seperti apa
praktek identitas dalam realitanya? Dalam tulisan Sheldon Stryker dan Peter J.
Burke (2000)16, dijelaskan bahwa Identitas menurut Calhoun (1994),17 merujuk
pada kebudayaan sebuah kelompok dan tidak membedakan antara identitas dan
etnisitasnya. Sedangkan menurut Tajfel (1982),18 identitas merujuk pada
common identification (identif kemiripan) yang ditemukan secara kolektif pada
sebuah kelompok. Dari sini, dapat ditemukan common culture (kemiripan
15 Rahman, Fadly (2016). Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm 246 16 Stryker, Sheldon dan Peter J. Burke (2000). ‘The Past, Present, and Future of an Identity Theory’. (Social Psychology Quarterly, Vol. 63, No. 4, Special Millenium Issue on the State of Sociological Social Psychology. American Sociological Association, hlm. 284 – 297) 17 Ibid., hlm. 284 18 Ibid
13
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
budaya) di dalam relasi antar individu dalam kelompok. Gagasan ini juga dapat
ditemukan dalam gerakan-gerakan aktivis (Snow dan Oliver 1995).
Gagasan common identification di atas memang menarik untuk diulas lebih
panjang. Akan tetapi, akan menjadi bermasalah apabila membayangkan
identitas itu sama saja bahkan dalam sebuah komunitas karena pada dasarnya
tiap individu memiliki cara ekspresi identitas yang beragam. Selain itu,
pengertian bahwa identitas itu cair juga mendorong seorang individu merancang
strategi dalam tatanan sosial yang berlapis-lapis dan memungkinkan identitas
individu tersebut untuk bergerak dinamis. Gagasan mengenai imajinasi
identifikasi yang serupa juga dapat ditemukan dalam ‘komunitas terbayang’ Ben
Anderson (1991).
Ben mengungkapkan bahwa ekspresi nasionalitas seseorang disatukan
melalui gagasan pemersatu, yakni bahasa, yang dibayangkan. Dalam segi
bahasa, gagasan berbahasa lingua franca yang dicetus oleh James Siegel (2009)
menjadi solusi pemersatu imajinasi-imajinasi tersebut, terutama dalam konteks
kemerdekaan Indonesia. Gagasan dari Ben dan Siegel tersebut digunakan untuk
mengidentifikasi dan menjabarkan peran kata-kata (bahasa) dalam narasi
identitas produk kuliner di Yogyakarta. Akan tetapi, ekspresi identitas nasional
atau daerah seseorang tidak melulu diungkapkan melalui bahasa dan juga
seringkali menjadi konsumsi pribadi. Sebagai contohnya, kita dapat kembali
membicarakan Geertz dengan konteks ritual dari Victor Turner (1969)19.
Turner mengungkapkan bahwa ritual merupakan tindakan simbolis, yang
dapat berupa objek benda mati, aktvitas-aktivtas khusus, ungkapan-ungkapan
(jampi-jampi), perayaan-perayaan khusus, tempat-tempat sakral, dan gestur
19 Turner, Victor, 1969, The Ritual Process, Structure and Anti-structure, New York: Cornell University Press
14
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tertentu. Tindakan simbolis tersebut dirayakan sebagai devosi khusus terhadap
hal-hal yang melampaui kekuatan manusia (mistis). Tindakan ritual inilah
menjadi salah satu contoh ekspresi identitas seseorang.
Salah satu bentuk ekspresi identitas dapat dilihat dalam pencatatan budaya
kuliner dalam karya sastra Jawa klasik, Serat Centhini, yang juga bisa dianggap
sebagai ensiklopedia kebudayaan Jawa karena di dalam karyanya banyak
membahas seluk beluk budaya Jawa, salah satunya budaya kuliner Jawa. Serat
Centhini ditulis mulai tahun 1814 – 1823 Masehi oleh tim yang dipimpin
Adipati Anom Amangkunagara III (Sunan Pakubuwana V) yang terdiri dari
Kyai Ngabehi Ranggasusastra, Kyai Ngabehi Yasadipura II, dan Kyai Ngabehi
Sastradipura (Kyai Haji Muhammad Ilhar).20
Dalam Serat Centhini, banyak produk kuliner Jawa Tengah (Keraton
Mataram) yang dibicarakan dalam perjalanan seorang tokoh bernama Cebolang.
Dalam perjalanan Mas Cebolang, makanan diletakkan di dalam konsep tradisi
mistis Jawa, seperti tradisi sesaji adang (menanak nasi), sesaji untuk
menyimpan beras, sesaji memule, sesasi slametan, dan sesaji sepasaran. Selain
itu, juga ditemukan data-data mengenai kemunculan kuliner yang menjadi ikon
Yogyakarta seperti sambel krecek yang biasa ditemukan pada menu gudeg.
Serat Centhini menjadi contoh manifestasi budaya kuliner lama yang masih
diperbincangkan sampai sekarang dan menyatu dengan ekspresi identitas Jawa
di Yogyakarta.
Konsep ekspresi identitas yang selalu terpatri dalam memori dan terus
dibayangkan juga muncul dalam penelitian Almerico (2014). Dalam tulisannya,
mengutip Kitter, Sucher, dan Nems (2012), Makan merupakan tindakan afirmasi
20 Sunjata, Wahyudi P, et al. 2014. Kuliner Jawa dalam Serat Centhini. Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta, hlm.13
15
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
ulang hariann oleh seseorang dengan identitas budaya tertentu. (Almerico,
2014).21 Melalui kutipan ini, Almerico ingin mengungkapkan bahwa yang
namanya individu selalu ingin mengaitkan dirinya dengan identitas
kebudayaannya. Hal ini mungkin berkaitan dengan memori masa kecilnya atau
unsur nostalgianya. Maka dari itu, yang dia makan itu merupakan bagian dari
jati dirinya. Almerico mencontohkan dengan pengalaman dirinya sendiri
sebagai seorang Italian American22, bahwa apa yang dia makan, dan
bagaiamana dia makan pada waktu kecil membentuk jati dirinya. Hal yang
sama juga diungkapkan Patrizia La Trecchia (2012).
La Trecchia, yang juga seorang warga Amerika Serikat keturunan Italia,
mengungkapkan bahwa ekspresi identitas dalam urusan kuliner dibentuk
melalui pembelajaran yang dia temukan di dapur. Dari pemilihan bahan
makanannya, hingga tata cara makannya.23 Pembentukan identitas dari aktivitas
di dapur ini membuat dia menghindari mengkonsumsi makanan Italia di luar
kampung halamannya karena dia merasa bahwa kualitas bahan-bahan yang
ditemukan di Amerika Serikat jauh dibawah bahan-bahan yang ditemukan di
kampung halamannya. Dalam tulisannya ini, La Trecchia mengaitkan kenangan,
makanan dan identitasnya dengan menarik. Dari kedua contoh di atas, kita dapat
sedikit menyimpulkan bahwa yang namanya identitas, dalam makan sekalipun,
adalah konstruk sosial. Setidaknya konstruk yang dialami secara domestik.24
21 Lihat Almerico, M. Gina. 2014. Food and identity: Food studies, cultural, and personal identity yang diambil dari Journal of International Business and Cultural Studies Volume 8 – June, 2014, hlm.5 22 Istilah untuk mengidentifikasi warga Amerika Serikat yang mempunyai keturunan Italia. 23 Lihat La Trecchia, Patrizia. 2012. Identity in the Kitchen: Creation of Taste and Culinary Memories of an Italian-AmericanIdentity yang diambil dari Italian Americana, Vol. 30, No. 1 (Winter 2012), hlm. 44-56 24 Stereotipe yang menarik mengenai hal ini ialah, segala makanan yang dikonsumsi oleh orang italia, dia selalu membandingkannya dengan masakan mamanya. Karena menurut mereka, masakan mama tidak ada yang dapat mengalahkan.
16
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konstruk makanan, yang dialami secara domestik oleh tiap-tiap individu
dengan ragam etnisnya, merasuk ke dalam keseharian masyarakat Indonesia
bahkan dunia. Hal ini lalu menimbulkan temuan-temuan produk kuliner yang
mirip, yang lantas menimbulkan aksi saling klaim kuliner khas antarbangsa.
Melihat fenomena ini, Rachel Slocum25 berpendapat bahwa, dalam artikelnya
mengenai fenomena makanan etnis, muncul dan berkembangnya makanan etnis
(khas), merupakan gejala tumbuhnya rasisme yang tidak disadari berkembang di
dalam kehidupan sehari-hari. Tambah lagi, urusan gizi dan nutrisi, ketahanan,
dan diversifikasi pangan justru belum menjadi fokus utama. Menanggapi
Slocum, Fadly Rahman26 mengungkapkan bahwa masalah tersebut banyak
ditemukan di Indonesia dan perlu dilacak dengan sejarah makanan bangsa itu
sendiri.
Urusan kuliner, maka dari itu, tak lepas dari konstruksi identitas nasional,
yang tentu mempengaruhi wajah sejarah kuliner bangsa, Gagasan mengenai
kuliner yang memiliki keterkaitan dengan identitas dan politik nasional
disampaikan oleh Atsuko Ichijo dan Ronald Ranta (2016). Dalam bukunya,
Ichijo dan Ranta menantang gagasan-gagasan ‘nasionalisme sehari-hari’
(everyday nationalism)27 yang dianggap banal (Banal Nationalism)28 yang kerap
dimunculkan dalam kajian-kajian kuliner. Nasionalisme yang banal tersebut
dapat ditemukan dalam pembicaraan yang berkutat pada keaslian atau asal
muasal produk kuliner tersebut.
25 Slocum, Rachel. 2010. Race in the Study of Food. Sage Publication. 26 Rahman, Fadly (2016). Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 8 27 Ichijo, Atsuko, Ronald Ranta. 2016. Food and National Identity and Nationalism from Everyday to Global Politics. Palgrave MacMllan, hlm. 1 28 Ibid., hlm. 6
17
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gagasan nasionalisme tersebut, menurut Ichijo dan Ranta, menjadi rumit
apabila dikaitkan dalam membaca produk kuliner seperti Pasta Gaya Jepang
(Japanese-Style Pasta).29 Membaca produk kuliner tersebut menurut Ichijo dan
Ranta perlu dimulai dari pertanyaan konstruksi anatomi (bahan-bahan) yang
memunculkan ke-Jepang-an (Japaneseness) dari Pasta Gaya Jepang tersebut.
Maka dari itu, perlu pembedahan konstruksi makanan Jepang dan konstruksi
Pasta yang hadir di masyarakatnya (konsumen, dan tukang masaknya).
Kemunculan inovasi bernuansa lokal tapi global menjadi bukti arah inovasi
kuliner yang pada akhirnya tidak mem-banal-kan nasionalisme, tapi justru
merayakannya dalam skala global. Akan tetapi, identitas nasional masih sangat
dibutuhkan karena suatu bangsa masih merasa perlu memiliki keunikan sendiri
agar dapat menonjol di tengah masyarakat global.
Gagasan Nasionalisme Sehari-hari tersebut cukup terbatas, karena
kemunculan konsensus mengenai bahan makanan apa yang menjadi khas
bangsa tertentu, tidak dengan mudahnya muncul tanpa pertentangan dan
perdebatan, yang jelas ada kesadaran untuk melakukan usaha inovasi untuk
menciptakan produk yang hibrid – yang dapat diterima lidah tempat tujuan
produk.
Dari kajian kepustakaan di atas, dapat ditemukan bahwa kuliner dan
identitas dapat dilihat sebagai pemahaman bahwa aktivitas makan merupakan
tindakan yang tidak dapat lepas dari konstruksi identitas nasional yang muncul
melalui konsensus sebuah komunitas (memori kolektif) dan dijadikan referensi
pengalaman selera seseorang dalam mengkonsumsi sebuah produk makanan.
Lantas, apabila diletakkan di dalam konteks penelitian ini, bayangan
29 Ichijo, Atsuko, Ronald Ranta (2016). Food and National Identity and Nationalism from Everyday to Global Politics. Palgrave MacMllan, hlm. 21
18
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pengalaman Yogyakarta yang seperti apa yang ditawarkan JS kepada yang
mengkonsumsi, atau setidaknya yang menyaksikan advertorial visualnya,
mengingat kehadiran JS yang masih tergolong baru.
3. Bahasa dan Kosmopolitanisme Kuliner
Pembahasan mengenai kuliner dan identitas di atas memberikan gambaran
bahwa hubungan antara keduanya cukup kompleks, apalagi disandingkan
dengan penghadiran atribut, narasi, dan simbol identitas kedaerahan tertentu.
Dalam penghadiran beberapa aspek tersebut, selalu ditemukan permainan
bahasa dengan klaim-klaim mengenai mana yang “khas”dan mana yang “asli”,
terlebih mengingat Yogyakarta merupakan salah satu contoh kantung
masyarakat plural. Tentu gagasan Furnivall di atas perlu diimbangi dengan
pengetahuan bahwa dia sendiri merupakan seorang ahli ekonomi yang
berspektif kolonial. Walaupun begitu, perlu kita perhatikan dengan jeli apakah
konsep tersebut memang mencerminkan situasi Yogyakarta pada masa kini.
Fenomena di atas dapat disandingkan dengan apa yang telah dibahas
Massimo Montanari (2004) dalam bukunya “Food is Culture” yang berangkat
dari gagasan Claude Levi-Strauss, dalam esainya “The Raw and the Cooked”,
dan esai Roland Barthes yang berjudul “Towards Psychosociology of the
contemporary food”. Montanari mengidentifikasi adanya hubungan antara
makanan, bahasa, dan identitas merupakan hubungan yang saling terkait.
Dinamika dalam budaya kuliner membentuk corak bahasa (dialek) yang
berkisar di antara urusan perdapuran. Misal, bahasa Italia untuk “Mari kita
pulang” , yaitu andiamo in casa, dalam dialek tradisional dari kawasan
19
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Romagna dapat berarti “Mari kita ke dapur.”30 Ekspresi tersebut muncul dari
budaya makan bersama di keluarga biasa yang kehidupannya memang
dipusatkan ke urusan perdapuran. Dan urusan tersebut pun diwarnai dengan
aturan sosial yang cukup menarik, misalnya mengenai urutan tempat duduk dan
siapa yang mengambil makan terlebih dulu. Saking mendarah daging, budaya
itupun (makan bersama) seperti ritual yang harus rutin dilakukan.
Dari budaya kuliner yang sungguh terstruktur bagai ritual dan beserta
komposisi kuliner yang cukup kompleks, Montanari mengungkapkan bahwa
struktur makan dan makanan dapat disandingkan dengan struktur bahasa. Hal
ini dapat dilihat di sub bab “The Grammar of Food” atau “Tata Bahasa”
Makanan. Montanari mengungkapkan bahwa setiap komponen yang ada di
dalam produk kuliner memiliki peran penting untuk menjelaskan produk
tersebut. Layaknya bahasa, komposisi seperti daging dan sayur mayur berfungsi
seperti morfem dalam sebuah kalimat. Layaknya bahasa pula, kuliner memiliki
sifat morfologis yang serupa seperti bahasa, yakni terus berkembang dan
berubah dinamis sesuai dengan kondisi masyarakatnya. Karena kemiripan
dengan bahasa tersebut, Montanari juga berargumen bahwa budaya kuliner
merupakan budaya yang sangat komunikatif.31 Tapi pertanyaanya, apakah
mungkin ditemukan suatu kesepahaman komunikasi kuliner di dalam suatu
bangsa? Mengingat corak-corak identitas yang selalu dihadirkan di dalam
“bahasa” kuliner, walaupun begitu, dalam gagasannya Montanari sedikit
menyisihkan konteks sejarah produk kuliner.
Argumen kuliner yang tidak mungkin dapat diletakkan di dalam konteks
berbahasa, telah dijawab oleh argumen Montanari di atas. Apabila melihat
30 Montanari, Massimo (ter. Albert Sonnenfeld. 2006). 2004. Food is Culture. New York: Columbia University Press, hlm. 93-94 31 Ibid., hlm. 99-102
20
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
argumen di atas dan disaningkan oleh gagasan Jim T. Siegel perihal “Lingua
Franca”, yang memiliki dua syarat, tidak mencerminkan dan tidak membuat rikuh (malu) mungkinkah ada kuliner yang memiliki daya pemersatu layaknya bahasa pemersatu bangsa Indonesia, bahasa Indonesia?
Barthes (2008), dalam esai yang berjudul Toward a Psychosociology of
Contemporary Food Consumption, mengungkapkan bahwa diskusi perihal makanan (kuliner) tidak lagi melulu soal fungsi makanan. Tapi juga menyangkut aktivitas perdapuran (bahan-bahannya, estetika penyajian, cara memasak), aktivitas produksi, dan aktivitas konsumsi. Secara sederhana, membicarakan makanan tidak melulu dibicarakan seperti kajian makanan kebanyakan, yakni hanya memusatkan diskusi pada satu sisi saja, misalnya membicarakan suatu produk kuliner hanya pada sisi sejarahnya saja.
Makanan diperbincangkan sudah melebihi tahapan itu, yakni sudah dianggap berisi informasi-informasi mengenai produk tersebut. Apalagi makanan sudah dianggap sebagai produk budaya yang menjadi sarana seorang individu atau sebuah komunitas untuk menentukan sikap politik (identitas) mereka. Maka dari itu, makanan selalu disertai narasi identitas suatu bangsa atau komunitas. Narasi identitas ini dapat disandingkan dengan identifikasi yang ditemukan Montanari bahwa produk kuliner ini dapat dimasukkan ke dalam konteks bahasa, selain karena adanya penggunaan bahasa, kuliner dapat dilihat sebagai suatu usaha penyampaian informasi (dikomunikasikan, diartikulasikan, atau bahkan di-bahasa-kan). Informasi yang seperti di atas tadi, mengenai identitas bangsa, dorongan untuk mengkonsumsi dari kapital (advertorial).
Budaya kuliner Yogyakarta yang penuh dengan inovasi dan juga kesetiaan dengan tradisi, menunjukkan betapa besarnya potensi kuliner sebagai sarana
21
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
komunikasi antar budaya – mengingat banyaknya produk kuliner asing yang
dapat dengan mudahnya ditemui dan dikonsumsi. Ben Anderson (2004) dalam
kata pengantar di Indonesia Dalem Api dan Bara, menceritakan tentang kisah
hidup Kwee Thiam Tjing32 dengan cukup detail. Intinya Ben mengungkapkan
bahwa Kwee Thiam Tjing, yang menguasai bahasa Belanda, Jawa, Madura, dan
Hokkian, merupakan sosok yang kosmopolitan – sosok yang multilingual,
berwawasan luas, yang mampu membuka jalan untuk menerima budaya-budaya
berbeda.
Dari poin-poin di atas, dapat dipahami bahwa budaya kuliner itu
merupakan budaya yang sangat komunikatif yang semakin membuka segala
kemungkinan-kemungkinan baru (inovasi, akulturasi, hibriditas, dan asimilasi).
Pada praktiknya dapat ditemukan suatu pemahaman mengenai kuliner yang
disepakati oleh banyak orang. Bakpia menjadi contoh yang bagus karena semua
orang, khususnya di Yogyakarta telah paham mengenai produk kuliner bakpia
(entah bentuknya atau rasanya) yang membedakan hanyalah selera rasa dan
merek yang diamini masing-masing individu. Sama juga dengan kasus Soto dan
Bakso yang semua orang sudah mengerti. Maka dalam kasus di atas, bakpia,
Soto, dan Bakso, menjadi produk kuliner yang sudah mencapai tahapan “Lingua
Franca” sebagaimana diungkapkan James T. Siegel.
Walaupun begitu, kompleksitas informasi dalam produk kuliner juga dapat
menghadirkan interpretasi yang ambigu. Misalnya, rendang, sebagai salah satu
produk yang ikonik di Indonesia, sampai saat ini masih menjadi produk yang
klaim “keasliannya” menjadi rebutan Indonesia dan Malaysia. Hal yang serupa
32 Kwee, atau lebih akrab disebut Opa Kwee, merupakan seorang jurnalis Tionghoa peranakan di Indonesia. Karya Opa Kwee yang paling terkenal ialah Indonesia Dalem Api dan Bara, ditulis dengan nama pena Tjamboek Berdoeri. Pertama kali diterbitkan tahun 1947 dan diterbitkan kembali oleh Ben Anderson dkk pada tahun 2004.
22
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sebenarnya juga dapat diamati di produk kuliner JS, yang apabila disebut
menimbulkan banyak kebingungan, mengingat produknya yang unsur
kelokalannya tidak terlihat secara eksplisit.
F. Kerangka Teori
1. Budaya Kuliner para Pesolek (Dandy) yang Kosmopolitan
a. Kosmopolitanisme Tjamboek Berdoeri
Ben Anderson (2004) dalam kata pengantar di Indonesia Dalem Api dan
Bara, menceritakan tentang kisah hidup Kwee Thiam Tjing33 dengan cukup
detail. Intinya Ben mengungkapkan bahwa Kwee Thiam Tjing, yang menguasai
bahasa Belanda, Jawa, Madura, dan Hokkian, merupakan sosok yang
kosmopolitan – sosok yang multilingual, berwawasan luas, yang mampu
membuka jalan untuk menerima budaya-budaya berbeda.
Dalam sebuah wawancara dengan Chyntia Foo di Columbia University,
New York (1 Oktober 2008), Ben Anderson juga mengungkapkan bahwa orang
yang berjiwa kosmopolitan itu adalah orang yang memiliki pandangan seluas
dunia; bukan berarti karena keliling dunia, tetapi karena pengalaman dan
keterlibatannya dengan budaya lain.34
Konsep kosmopolitanisme berarti fokus pada seberapa luas seseorang –
atau sebuah komunitas – terpapar budaya lain. Maka dari itu, kita dapat melihat
bahwa masyarakat Yogyakarta, sudah dapat dikatakan sangat kosmopolitan dan
kemungkinan hal ini tentu mempengaruhi budaya kulinernya. Hal ini dilihat dari
fakta bahwa kebanyakan warga Yogyakarta lahir dengan dua bahasa berbeda.
33 Kwee, atau lebih akrab disebut Opa Kwee, merupakan seorang jurnalis Tionghoa peranakan di Indonesia. Karya Opa Kwee yang paling terkenal ialah Indonesia Dalem Api dan Bara, ditulis dengan nama pena Tjamboek Berdoeri. Pertama kali diterbitkan tahun 1947 dan diterbitkan kembali oleh Ben Anderson dkk pada tahun 2004. 34 Lihat Cynthia Foo, Invisible Culture, 5. no.13, 2008, dan Lorenz Khazaleh, Anthropology Info, 2009, dalam wawancara mereka dengan Benedict Anderson. Lihat juga Ben Anderson, Hidup di Luar Tempurung (Serpong, Tangerang Selatan: Marjin Kiri, 2016), hlm.24-25
23
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bahasa Ibu – bahasa Jawa, yang digunakan dalam kesehariannya dan lingua
franca – bahasa Indonesia, yang di ajarkan di sekolah. Terlebih apabila
memperhitungkan warga yang menguasai bahasa asing seperti bahasa Inggris,
sebagai bahasa internasional. Kemampuan berbahasa tersebut membuka potensi
masyarakatnya untuk lebih mudah menerima budaya asing. Walaupun begitu,
gagasan tersebut menjadi bermasalah apabila dikaitkan dengan konsep hibriditas
yang merupakan inspirasi dari gagasan Rudolf Mrazek (2006) mengenai Dandy
Society (Kaum Pesolek).
b. Para Pesolek (Dandy) Yogyakarta
Rudolf Mrazek (2006), dalam buku Engineers of Happyland, mengatakan
istilah Dandy Society (Kaum Pesolek) sebagai gambaran mengenai orang pribumi
yang mendukung gaya hidup di Hindia Belanda. Mereka merupakan perwujudan
tiruan “barat” yang mengenakan pakaian modern gaya “barat” sebagai identitas
dan sebagai bukti kelas sosial sebagai cara untuk masuk ke dalam kelompok
sosial masyarakat kulit putih Kolonial Belanda. Praktek diatas dapat diartikan
sebagai bentuk usaha untuk mengejar ketertinggalan yang dilakukan dengan cara
membeli produk-produk terbaru dari Paris, yang diiklankan melalui majalah-
majalah yang mengiklankan gaya hidup bangsa Eropa, yang kemudian dijadikan
referensi gaya hidup mereka.35
Mrazek juga berargumen bahwa gaya hidup yang berkutat di urusan
pakaian memperlihatkan bahwa fashion memiliki “suara” yang lantang dan jelas,
tidak memerlukan bobot (gagasan berat, akademis, dan ilmiah), dan tawaran-
tawaran untuk mengikuti gaya hidup tersebut menjadikan para pesolek semakin
35 Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happyland: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 197)
24
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
“takut telanjang”36. “Takut Telanjang” yang berarti takut ketinggalan zaman.
Konsep dandy society dapat diletakkan dalam nuansa yang dihadirkan JS dalam
advertorial di media sosialnya, bagaimana sosok-sosok yang modis, dan yang
rupawan – yang kekinian – ditonjolkan untuk memberikan pesan sugestif kepada
yang melihat iklan tersebut.
Konsep pesolek yang takut telanjang di atas dapat dikaitkan dengan
gagasan “hibriditas” dari Homi Bhabha (1994) yang merupakan sebuah
pemahaman bahwa selalu ada pertemuan antara satu budaya dengan budaya yang
lain dan dari pertemuan tersebut selalu ada hasil campuran yang selalu berproses
secara berkelanjutan.
Ruang pertemuan tersebut disebut sebagai ruang liminal atau Bhabha
menyebutnya sebagai ruang ketiga (third space). Dalam ruang inilah kaum
“pribumi” sebagai kaum terjajah menggunakan perselingkuhan budaya sebagai
bentuk perlawanan yang subversif. Dalam prakteknya pencampuran budaya ini
menjadi corak identitas tiruan (mimikri) dan menjadi cara untuk memperolok
budaya “barat” (mockery). Maka, para “pribumi” menggunakan proses hibriditas
budaya tersebut sebagai cara mempertahankan diri dan perlawanan terhadap
gempuran budaya kolonial “barat”37.
Apabila melihat konsep di atas dalam konteks penelitian ini, justru
imajinasi yang ditawarkan bukan identitas kolonial sebagai wujud dominasi
terhadap “pribumi” yang dijajah, tetapi identitas kedaerahan Yogyakarta yang
diapropriasi oleh orang Indonesia sendiri dengan produk kuliner yang merupakan
pencampuran kuliner “Barat”. Lantas, corak hibriditas semacam apa yang
muncul?
36 Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happyland: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. 181-182) 37 Bhabha, Homi. 1994. The Location of Culture. Routledge, London, hlm.5
25
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Konsep Mooi Indie (Hindia Belanda Indah) Onghokham dapat membantu
mengaitkan konsep-konsep di atas. Konsep Mooi Indie Onghokham, yang
berangkat dari Edward Said (1979), ditulis dalam esai yang berjudul “Hindia
yang Dibekukan: Mooi Indie dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial”38. Onghokham
mengungkapkan bahwa gagasan Hindia Belanda Indah merupakan gambaran
alam dan masyarakat Hindia Belanda yang tenang, harmonis, dan damai buatan
pemerintahan Kolonial Belanda. Menurut Onghokham, gambaran tersebut
merupakan bentuk proyek kolonialisme yang menciptakan “Bangsa Timur” yang
eksotis dan yang menguntungkan pemerintahan kolonial.
James T. Siegel (1997) juga pernah menyandingkan konsep “keindahan”
dalam Mooi Indie dengan konsep Taman Mini Indonesia Indah (TMII) yang
dicetuskan oleh Ibu Tien Suharto39. Siegel mengungkapkan bahwa ada upaya
melabeli unsur “yang asli” dalam konteks TMII, walaupun begitu ada
kekecewaan bahwa hadirnya teknologi kontemporer dalam TMII, dalam konteks
ini adalah adanya miniatur Pesawat Terbang di TMII yang notabene berisikan
rumah-rumah yang merepresentasi kebudayaan dari Sabang sampai Merauke.
Argumen Siegel beserta konsep-konsep di atas, maka dari itu, dapat
digunakan sebagai alat untuk menjawab pertanyaan pertama mengenai perubahan
budaya kuliner di Yogyakarta yang bermula sebagai kebutuhan yang membuat
konsumennya produktif, menjadi makan sebagai gaya hidup, yang pada
prakteknya dihadirkan upaya merepresentasikan budaya tertentu dalam konteks
modernitas dan menghadirkan kekecewaan-kekecewaan mengenai pencampuran
38 Tulisan ini pada mulanya dipublikasikan di Jurnal Kebudayaan Kalam, edisi 3, 2005, kemudian dimuat dalam Bachtiar, Harsja W., Peter B.R. Carey, Onghokham, Raden Saleh: Anak Belanda, Mooi Indie dan Nasionalisme. (Jakarta: Komunitas Bambu, 2009) 39 Siegel, James T. 1997. Fetish, Recognition, Revolution (New Jersey: Princeton University Press), hlm. 3-10)
26
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut. Walaupun begitu, apakah kekecewaan yang muncul itu memang karena
adanya unsur hibriditas dalam sebuah produk?
2. Wacana dan Kekuasaan
a. Teori Wacana Foucault
Teori wacana Foucault dalam penelitian ini digunakan untuk membaca
praktek usaha konstruksi wacana yang dilakukan JS melalui visual advertorial
media sosialnya. Wacana menurut Foucault merupakan suatu susunan aturan,
regulasi, yang melatarbelakangi pembicaraan objek atau praktek sosial. Wacana
dalam kontek ini tidak fokus pada unsur linguistiknya, tapi justru pada implikasi
wacana terhadap subjek. Foucault, maka dari itu, mengungkapkan bahwa
wacana bukan berarti pembicaraan soal makna atau pemaknaan (signification),
tapi lebih sebagai satuan fungsi (unities of function).
Dalam buku Archeology of Knowledge, Foucault mengembangkan
gagasannya mengenai hubungan antara wacana dan praktik lainnya. Gagasan ini
dikenal dengan ‘praktek wacana’ (discursive practice). Secara sederhana
Foucault menjelaskan bahwa ‘praktik wacana’ merupakan ‘bicara adalah untuk
melakukan sesuatu’.
‘Praktek wacana’ ini tentu perlu memperhitungkan aspek, ruang, waktu,
dan kulturalnya karena mengingat praktik ini merupakan praktik yang bergerak
dengan aturan main yang spesifik – sesuai dengan kondisi masyarakatnya,
produksi wacananya pun bisa jadi berbeda-beda setiap zamannya. Foucault juga
cukup gamblang menyatakan bahwa makna bahasa bukanlah faktor yang
penting dalam gagasannya, yang justru penting untuk diperhatikan adalah cara
kerja wacana dalam suatu masyarakat dengan kebudayaan tertentu.
27
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam konteks penelitian ini, wacana dihadirkan melalui media visual
advertorial yang menyajikan bayangan-bayangan pengalaman ke-Yogyakarta-an
dalam konteks Yogyakarta sebagai plural society. Maka dari itu, penggunaan
konsep “Kekuasaan” Ben Anderson (2000) membantu meletakkan gagasan
Foucault dalam konteks Jawa di Yogyakarta.
b. Kekuasaan dan Bahasa
Gagasan Foucault cukup menarik apabila disandingkan dengan pemikiran
‘Kuasa’ dan ‘bahasa’ yang dapat ditemukan di buku Kuasa Kata tulisan Ben
Anderson. Ben cukup panjang lebar membahas dan membandingkan konsep
kekuasaan menurut perpektif barat dengan kekuasaan menurut perspektif Jawa.
Ben secara sederhana mengungkapkan bahwa kekuasaan menurut perspektif
orang Jawa adalah “...sesuatu nyata, homogen, jumlah keseluruhannya tetap,
dan tanpa implikasi moral yang inheren.”40 Berbeda dengan perspektif barat
kontemporer yang memandang bahwa kekuasaan merupakan suatu yang
abstrak, heterogen, tidak inheren, dan ambigu.41
Gagasan kekuasaan Ben Anderson dapat dikaitkan dengan gagasan
Foucault. Foucault melihat kekuasaan sebagai manifestasi pengetahuan dan
wacana. Kekuasaan yang tidak memenjarakan sesorang, tapi lebih
memperlihatkan bahwa orang dapat berpikir di luar kekuasaan tersebut.
Kekuasaan menurut Foucault adalah, 1) Kekuasaan tidak dapat dimonopoli oleh
orang tertentu dan kekuasaan itu bersifat menyebar, 2) Kekuasaan bersifat
produktif, 3) Kekuasaan itu kontekstual, 4) Kekuasaan memiliki strategi dengan
target yang jelas tapi bukan berarti ada seseorang yang membuat dan
menjalankannya, 5) Di mana ada kekuasaan, di situ pasti ada perlawanan.
40 Anderson, Benedict. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Mata Bangsa, Yogyakarta, hlm. 49. 41 Ibid., hlm. 46.
28
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dalam gagasan kekuasaan Jawa, ditemukan juga kepercayaan mengenai
roda kehidupan – sebagaimana dipengaruhi oleh kebudayaan Hindu-Buddha –
kepercayaan ini memandang sejarah dibaca sebagai daur era (yuga). Daur era
tersebut bermula dari Zaman Keemasan (Krtayuga) lalu ke era Tretayuga dan
Dyapata Yuga, yang merupakan era yang kurang membahagiakan. Hingga ke
zaman kehancuran (Kaliyuga), lalu roda berputar kembali ke era keemasan yang
telah mengalami pembaharuan.42 Menurut Ben Anderson, konsep sejarah di atas
merupakan suatu cara untuk membaca psikologi politik Jawa yang cenderung
pesimis namun terdapat kecenderungan tertarik dengan gagasan mesianistis.43
Dari pemahaman mengenai konsep kekuasaan tersebut, dapat dilihat bahwa
konsep kekuasaan menurut Jawa merupakan proses yang dinamis. Berbeda
dengan konsep Eropa mengenai Sang Juruselamat (mesias) yang memang
merupakan akhir dari segalanya, konsep kekuasaan Jawa justru melihat mesias
sebagai pembaharu dari hal-hal yang tidak baik – yang tidak membahagiakan.
c. Konsep Lingua Franca (Berbahasa) Bangsa yang terbayangkan dalam gagasan Ben merupakan bangsa yang
bersatu karena bahasa yang mudah dipahami atau disebut sebagai Lingua Franca.
Konsep ini digunakan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi penggunaan
bahasa dalam produk kuliner. Mulai dari bahasa Indonesia (lingua franca bangsa
Indonesia), dan bahasa daerah sebagai bahasa ibu.
Konsep lingua franca yang digunakan dalam penelitian ini merupakan
konsep yang diungkapkan oleh James T. Siegel (2009) dalam tulisan ‘Berbahasa’.
Siegel memulai dari contoh kasus di Aljazair yang disana terdapat tiga bahasa
yang banyak digunakan, bahasa Tamazir, bahasa Aljazair, dan bahasa Arab
42 Anderson, Benedict. 2000. Kuasa Kata, Jelajah Budaya-Budaya Politik di Indonesia. Mata Bangsa, Yogyakarta, hlm. 72. 43 Ibid., hlm. 75.
29
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Klasik. Dari contoh tersebut, berbahasa di Aljazair berarti beridentitas. Selain itu,
ada kecenderungan penggunaan bahasa tanpa memahami benar-benar makna
yang sesungguhnya. Siegel mencontohkannya dalam pertemuannya dengan
beberapa anak-anak Indonesia. Siegel melontarkan kalimat bahasa Jawa, tapi
justru malah dilempari batu. Dari pertemuan tersebut, ada kecenderungan
penggunaan bahasa secara mentah-mentah. Misalnya, orang Indonesia yang
menyapa dengan bahasa Inggris ke wisatawan asing (khususnya bule) tanpa
mengetahui dari mana wisatawan itu berasal.
Dari pengalaman dan pertemuan di atas, Siegel mengungkapkan dua syarat
lingua franca, 1) tidak membuat rikuh, dan 2) tidak mencerminkan. Maksud dari
syarat yang pertama ialah, bahasa bersama sebaiknya tidak menimbulkan batasan
hierarkis. Misalnya dalam bahasa Jawa dapat ditemukan tata cara berbahasa yang
dilatarbelakangi usia dan kedudukan (kelas) sosial. Maka menjadi aneh apabila
kita mengumpat, “asu!” (yang berarti anjing dalam bahasa Indonesia) tetapi
menggunakan krama inggil (bahasa yang digunakan untuk berbicara dengan
orang yang lebih tua atau yang “dituakan”), “segawon!” (artinya sama, tetapi
dengan kedudukan bahasa yang lebih tinggi), umpatan tersebut justru malah tidak
“berbunyi” dan tidak dimengerti.
Konteks bahasa seperti di atas merupakan contoh dari “bahasa kosong”
(empty words).44 “Bahasa kosong” itu layaknya ungkapan yang dilontarkan oleh
pemerintah rezim Orde Baru demi mengontrol dan menentramkan hati rakyat,
yang menurut Saya Siraishi, memungkinkan sang “bapak” untuk
mengungkapkan, “ya begitulah”.45 Bahasa tersebut tidak ada substansinya dan
44 Siraishi, Saya Sasaki.2001. Pahlawan-pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik. KPG, Jakarta, hlm. 194. 45 Ibid.
30
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
cenderung bersifat basa-basi yang sebenarnya menjadi selubung persoalan besar
di balik ungkapan tersebut.
Siegel juga pernah membicarakan “bahasa kosong”, yang dia samakan
dengan wacana kediktatoran, katanya, “Bahasa kediktatoran adalah kebohongan.
Bahasa Orde Baru (OrBa) dan bahasa OrBa alah mengatakan apa yang benar
tetapi sekaligus mengabaikan akibat-akibatnya”.46 Siegel juga berargumen
bahwa bahasa Indonesia sebagai lingua franca dapat menjamin terciptanya
toleransi dalam suatu masyarakat yang plural – dengan bahasa ibu yang majemuk.
Konsep wacana dan kekuasaan, serta kekuasaan dan bahasa yang telah
dijelaskan di atas menjadi alat untuk menjawab pertanyaan kedua mengenai
praktek JS dalam memanfaatkan teknologi untuk mengkonstruksi wacana produk
kuliner melalui visual advertorial. Peletakkan konsep di atas dibantu dengan
metode analisis semiotika Roland Barthes.
3. “Selendang” dan “Kehilangan”
a. Konsep “Selendang”
Konsep selendang dalam konteks ini merupakan gambaran “...totalitas
kasih sayang seorang ibu....(selendang) menggambarkan perlindungan yang
menyeluruh.”47 Dengan selendang, seorang anak dapat merasakan kehangatan,
Konsep tersebut muncul dari kutipan Hildred Geertz (1961) saat mengamati
budaya menggendong bayi di keluarga Jawa.
Dari kutipan Hildred Geertz di atas, Saya Shiraishi (2001)
mengungkapkan bahwa perlakuan menggendong anak dengan selendang
menimbulkan keyakinan bahwa rasa “hangat” hanya dapat didapatkan dari
46 James T. Siegel, “Yang Hilang dari Zaman Bung Karno, “Basis, No.03-04, Tahun ke 50, Maret - April 2001; diterjemahkan dari “Kolom,” dalam Indonesia (no.69, April 2000), Cornell Modern Indonesian Project, Ithaca, New York. 47 Shiraishi, Saya Sasaki. 2001 (1997. Young Heroes, the Indonesian Family in Poliltics. Cornell South East Asia Program) Diterjemahkan tim Jakarta Jakarta, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal.83
31
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sesosok ibu (atau mungkin bapak). Dalam argumen Geertz jika dimasukkan
kedalam psikoanalisa Sigmund Freud, aktivitas menggendong ini mungkin saja
merupakan cara untuk menahan letusan psikologis (menangis, atau histeris).
Shiraishi berargumen bahwa “hangat” dalam konteks ini merupakan
simbol “...ketidakberdayaan atau ketergantungan mereka..”.48 Lepasnya seorang
anak dari selendang tersebut menjadi tanda awal kemandirian seorang anak.
Sensasi rasa ‘hangat’ sendiri tidak hanya rasa yang ditimbulkan dari ‘selendang’
atau dari keluarga. Siraishi mengungkapkan juga bahwa selendang merupakan
lambang perlindungan menyeluruh yang selalu hadir sebagai memori kolektif
untuk menghadirkan kembali sensasi hangat dari selendang gendongan seorang
ibu yang sudah tidak bisa dirasakan lagi.
Konsep “selendang” Saya Shiraishi ini memang masih dapat dipersoalkan,
karena memulainya dari Hildred Geertz, hasil pengamatan yang dirasakan
cenderung mengarah pada perspektif orientalis yang meng-ekstotis-kan liyan,
layaknya cara pandang pemerintah kolonial Belanda yang menghasilkan gagasan
mooi indie (Hindia Belanda Indah). Walaupun begitu, konsep “selendang” sendiri
sangat relevan untuk membaca reaksi konsumen terhadap iklan visual JS karena
konsep Jogja yang dihadirkan JS itu bisa jadi merupakan manifestasi dari usaha
untuk menghadirkan yang “sudah hilang” tersebut.
b. “Kehilangan”
Dalam iklan visual yang dirilis JS, tidak sedikit atribut kedaerahan
Yogyakarta yang disertakan. Selain menggunakan konsep “selendang”dalam
pembacaan penghadiran atribut kedaerahan Yogyakarta melalui iklan visual JS,
konsep rasa ‘kehilangan’ yang juga dituliskan oleh Saya Shiraishi.
48 Shiraishi, Saya Sasaki. 2001 (1997. Young Heroes, the Indonesian Family in Poliltics. Cornell South East Asia Program) Diterjemahkan tim Jakarta Jakarta, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal.83
32
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Siraishi berangkat dari cerpen Pramoedya Ananta Toer yang berjudul
“Yang Sudah Hilang”. Rasa ‘kehilangan’ yang dihadirkan Pram, menurut Shraishi
merupakan rasa yang “...menyesakkan dada akibat lenyapnya sesuatu...”49, rasa
yang menjadi tanda hilangnya suatu kepolosan yang indah. “Kehilangan itu
menyublim karena terjadi di luar kekuasaan manusia...”50, yang juga
menghadirkan masa lalu yang terasa asli dan nyata.
Konsep “selendang” berproses bersamaan dengan konsep “kehilangan”
yang apabila diletakkan dalam penelitian ini dimunculkan melalui visual-visual
Yogyakarta “yang sudah hilang” (tradisional) yang dihadirkan JS. Rasa
“kehilangan” tersebut dialam bagaikan seorang anak yang sudah tidak digendong
lagi – tidak lagi merasakan kehangatan, kenyamanan, dan rasa aman dari
“selendang” ibu – lalu berusaha dihadirkan melalui ingatan-ingatan kolektif,
dalam kasus ini ingatan kolektif mengenai Yogyakarta.
Konsep lingua franca dan “Bahasa kosong” dapat menjadi pendukung
gagasan “selendang” dan “kehilangan”, serta konsep wacana dan Bahasa. Konsep
tersebut diletakkan dalam konteks pertanyaan ketiga mengenai upaya JS
menghegemoni konsumen di Yogyakarta dalam mengkonsumsi budaya
kulinernya dengan bayangan Yogyakarta versi JS melalui visual advertorial di
media sosial. Argumen peneliti ialah visual advertorial JS tersebut merupakan
manifestasi “bahasa kosong” yang bertindak sebagai “selendang” bagi konsumen
yang memberi sugesti “kehilangan” (nostalgia).
49 Shiraishi, Saya Sasaki. 2001 (1997. Young Heroes, the Indonesian Family in Poliltics. Cornell South East Asia Program) Diterjemahkan tim Jakarta Jakarta, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, hal.89 50 Ibid.
33
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
G. Metode Penelitian
Penelitian dalam prakteknya menemui beberapa kesulitan, antara lain pihak JS yang enggan melakukan interview. Oleh karena itu, penelitian ini “membaca” narasi JS melalui data primer berupa aktivitas advertorial di media sosial (Instagram, Facebook, dan
Youtube). Beberapa komentar warganet atas advertorial JS juga digunakan sebagai data sekunder penelitian ini. Guna mempertajam analisis, peneliti juga melakukan wawancara dengan tiga informan, Barkah, Arum, dan Bayu sebagai informan utama. Sebagai catatan, ketiga informan tersebut sudah mengetahui topik penelitian peneliti, walau begitu, dalam prakteknya, peneliti memulai pertanyaan secara normatif, yang kemudian diikuti dengan temuan lapangan yang memberikan reaksi spontan informan, yang kemudian cenderung mengungkapkan hal-hal yang kontradiktif dengan reaksi awal saat diberi pertanyaan normatif. Kontradiksi-kontradiksi tersebut yang dirasa berguna sebagai data penelitian ini.
Ketiga informan tersebut dipilih atas dasar latar belakang yang menurut peneliti dapat memberikan wawasan dan komentar dalam membedah wacana yang dihadirkan JS melalui aktivitas advertorialnya. Dalam prakteknya, ketiga informan memberikan komentar yang memang menarik tetapi penuuh dengan kontradiksi. Misalnya, Barkah, selaku peracik kopi, dipilih karena dalam kesehariannya mengidentifikasi dirinya sebagai orang Jawa tradisional, tetapi juga membuka pintu inovasi-inovasi, dalam interview, pada awalnya menilai JS sebagai contoh yang positif dalam mempromosikan Yogyakarta dan tidak menemukan kekeliruan terhadap penggunaan atribut Jawa. Tetapi saat diberi informasi mengenai kekeliruan penggunaan atribut Jawa JS, Barkah mulai bimbang dan mempertanyakan pengetahuannya mengenai tradisi Jawa, dan mulai bersikap kritis terhadap advertorial JS. Tetapi pada saat diperlihatkan video ucapan selamat dari pihak
“otoritas” budaya DIY (GKBRA Pakualam X, Asisten Keistimewaan, dan Dinas
34
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pariwisata), Barkah menutup dengan ungkapan-ungkapan yang diplomatis – mendukung tetapi penuh kebimbangan.
Berbeda dengan Arum yang memiliki latar belakang Pendidikan Sastra dan Budaya
Jawa. Sedari awal melihat aktivitas advertorial JS, Arum sudah bersikap kritis dan memberikan kritikan-kritikan mengenai kesalahan-kesalahan yang dilakukan JS dalam penggunaan atribut Jawa. Serupa dengan Barkah, Arum juga menutup interview dengan ungkapan diplomatis, terlebih setelah menyaksikan video ucapan selamat dari “otoritas” budaya DIY.
Berbeda dengan kedua informan di atas, Bayu, selaku asisten review penilaian Desa
Budaya, menceritakan apa yang terjadi di lapangan, terlebih dalam konteks inovasi produk budaya daerah. Bayu memberikan data berupa form “Review Identifikasi Potensi Budaya
Desa / Kelurahan Budaya. Kegiatan Pendampingan Masyarakat Pecinta Seni dan Budaya,
Program Pengembangan Nilai Budaya, tahun 2016” digunakan untuk melihat konteks perkembangan kuliner Yogyakarta yang berkelindan dengan Dana Istimewa Yogyakarta, data dari Dinas Kebudayaan DIY yang pada kenyataanya memang cukup runyam karena hingga tahun 2018 dana yang dijanjikan belum cair juga, selain itu praktek penilaiannya juga bermasalah karena pemasangan standar yang abai dengan dinamika desa tujuannya.
Selain ketiga informan tersebut, peneliti juga secara sporadis dan spontan melakukan obrolan singkat dengan beberapa orang di daerah Tugu, Stasiun Tugu, Malioboro, dan gerai
JS, diantaranya adalah pemuda-pemudi, kelompok wisatawan, sopir Grab, dan tukang becak. Sumber-sumber kepustakaan seperti Mustika Rasa, Jejak Rasa Nusantara, dan artikel dari Tempo, serta artikel ilmiah juga digunakan guna mempertajam analisis penelitian. Pencarian artikel yang relevan dengan konteks Kuliner Yogyakarta cukup sulit, pada akhirnya kajian-kajian historis kuliner Indonesia dan kajian politik kuliner dengan
35
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
konteks luar negeri digunakan sebagai pengaya penelitian ini, tentu dikontekstualisasikan dengan topik dan objek penelitian ini.
Secara singkat, penelitian ini menggunakan metode etnografi yang didampingi dengan pendekatan semiotika dalam “membaca” visual yang dihadirkan JS melalui advertorialnya. Hasil “pembacaan” visual dan interview dibedah menggunakan konsep- konsep yang telah dituliskan pada kerangka teori dan kajian pustaka.
H. Sistematika Penulisan
Penelitian ini dibagi menjadi lima bab, Bab I, merupakan pendahuluan, berisikan latar belakang penelitian yang berangkat dari fenomena selebritis yang menjual produk kuliner dengan menggunakan narasi identitas dan atribut kedaerahan. Selain itu rumusan masalah yang berisi tiga pertanyaan. Setelah itu penjelasan mengenai relevansi penelitian dan sumbangannya dalam dunia akademis. Penelitian ini juga mencantumkan dan mendiskusikan pustaka-pustaka sebagai pembanding dan referensi penelitian. Untuk kejelasan bagaimana peneliti melaksanakan penelitian dan mengolah data, dituliskan pula metode dan kajian teoretis yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab II, berisikan latar belakang sosio-historis, dengan judul Pembentukan Budaya
Kuliner Yogyakarta. Bab ini merupakan jawaban dari pertanyaan rumusan masalah yang pertama, yakni penyajian data etnografis dan elaborasi perubahan budaya kuliner masyarakat Yogyakarta dari masa pemerintahan kolonial Belanda, hingga era media sosial.
Dari produk gudeg, bakpia yang tradisional, hingga inovasi-inovasinya.
Bab III berisikan elaborasi kritis data advertorial JS (data visual dari posting di media sosial, dan video iklan YouTube) dan hasil wawancara dari informan. Bab IV merupakan pembedahan dekonstruktif data-data yang telah dielaborasi di Bab sebelumnya guna menjawab rumusan masalah ketiga yang fokus pada perbandingan temuan pengalaman ke-Yogyakarta-an yang ditawarkan JS dengan pengalaman pribadi konsumen
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
JS dan analisis dari komentar-komentar yang disampaikan informan. Bab V merupakan penutup yang berisikan simpulan penelitian dan saran-saran untuk penelitian mendatang.
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB II PEMBENTUKAN BUDAYA KULINER YOGYAKARTA
Bagian ini berguna untuk menelaah data kepustakaan dari beberapa buku seperti, Seri
Buku Tempo, Antropologi Kuliner Nusantara, Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang
Bumbu Makanan Nusantara, Jejak Rasa Nusantara; Sejarah Nusantara dan Mustika Rasa.
Dari buku-buku tersebut, dapat ditemukan konsep-konsep yang melatarbelakangi budaya
kuliner Yogyakarta, dari kebijakan-kebijakan perkebunan dan pertanian kolonial Belanda,
hingga sentuhan-sentuhan kreativitas masyarakat modern Yogyakarta.
A. Masa Pemerintahan Kolonial Belanda
Bagian ini terinspirasi dari pembahasan yang dilakukan Tempo mengenai Kuliner
Nusantara.1 Dalam satu bagian sub bab buku tersebut, latar belakang kuliner Solo/Jawa
Tengah dibahas dengan cukup baik. Pengaruh Keraton atas kuliner Yogyakarta dapat
dideteksi dari menu-menu yang hadir di dalam tembok keraton. Misalnya, apem, dan gudeg,
yang kemudian mempengaruhi selera masyarakat Yogyakarta secara umum. Dalam bagian
ini pula dihadirkan penjelasan menarik terkait munculnya stereotip selera manis masyarakat
Jawa pada masa kolonial Belanda.
1. Keraton, Belanda, dan Gula
Dalam seri buku Tempo, diungkapkan oleh Heidi Hinzler bahwa, “di Jawa
Kuno, manis memang dikenal sebagai salah satu rasa yang wajib ada dalam
makanan, tapi tidak dominan.”2 Hinzler menambahkan lagi bahwa dapat
ditemukan pula pengaruh Hindu di dalam selera kuliner Jawa. Dalam teks Jawa
kuno ada ajaran yang sering disebut mengenai sad rasa (enam rasa), manis, asin,
1 Seri Buku Tempo, Antropologi Kuliner Nusantara, Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara. KPG, 2015 2 Seri Buku Tempo, Antropologi Kuliner Nusantara, Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara. KPG, 2015. Halaman 74
36
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
asam, pedas, pahit, dan sepat. Hidangan dianggap lebih nikmat apabila
mengandung enam rasa itu. Pernyataan di atas mungkin sudah sedikit menjawab
citaras kuliner Jawa, namun belum menjawab kecenderungan manisnya. Janoe
Arijanto dari Research and Culinary Culture di Komunitas Aku Cinta Masakan
Indonesia, punya jawabannya.3
Janoe Arijanto mengaitkan selera manis Jawa dengan industri gula. Hubungan
yang erat ini didukung sumber literatur, Semerbak Bunga di Bandung Raya
karangan Haryoto Kunto yang terbit pada tahun 1986. Dalam literatur tersebut
dituliskan bahwa pada tahun 1830, Gubernur Jenderal Van Den Bosch
memberlakukan Culturstelsel4 sebagai solusi penambahan kas Belanda yang habis
karena perang melawan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (De Java
Orloog), yang berlangsung pada tahun 1825-1830.
Dalam kebijakan tanam paksa tersebut, petani diperintahkan untuk menanam
tanaman untuk komoditas seperti tebu dan kopi. Petani Jawa Barat harus menanam
teh, sedangkan Jawa Tengah dan Jawa Timur wajib menanam tebu. Selama sistem
tanam paksa tersebut, pemerintah kolonial Belanda mendirikan seratus pabrik gula
di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sekitar sejuta petani tebu dan 60 ribu buruh pabrik
dipekerjakan untuk memenuhi kebutuhan pasar gula global Belanda. Penanaman
komoditas politik ekonomi global di atas tersebut juga dapat ditemukan dalam
buku Eric Wolf5 yang berpendapat bahwa komoditas di atas, ditambah dengan
opium dan ganja, menjadi penting karena merupakan komoditas stimulan yang
memberi tenaga untuk bekerja.
3 Seri Buku Tempo, Antropologi Kuliner Nusantara, Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara. KPG, 2015, hlm. 74 4 Culturstelsel sendiri sebenarnya berarti sistem pertanian, tapi kerap diartikan sebagai tanam paksa karena memang pada praktiknya pemerintah kolonial Belanda melakukannya dengan paksa ke masyarakat Indis. 5 Wolf, R Eric. 2010. Europe and The People Without History. University of California Press, Berkeley and Los Angeles, California.
37
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain memperkerjakan petani dan buruh, Belanda mengganti 70 persen sawah
menjadi ladang tebu. Hal ini mengakibatkan menipisnya stok beras dan asupan
karbohidrat untuk rakyat. Untuk mengatasinya, mereka memanfaatkan air perasan
tebu untuk memasak, khususnya dalam pengawetan produk pangan. Dari
pemanfaatan air perasan tebu tersebut dapat diamati mengapa masakan Jawa
memiliki kecenderungan manis.
Pada tahun 1870 culturstelsel6 dihapuskan dan bisnis gula beralih ke swasta
Belanda, Tionghoa, dan raja-raja Jawa. Dari pabrik gula inilah, tiap keraton
memperoleh kemakmuran. Dalam buku ini Tempo mengutip budayawan
Onghokham yang menjelaskan bahwa keraton di Jawa menghapuskan sistem
pembayaran para priayi dan abdi dalem dengan tanah dan menjadikan tanah
tersebut sebagai perkebunan gula dan pabrik. Para abdi dalem Keraton digaji dari
penghasilan tersebut. Memang pada krisis ekonomi 1930, bisnis gula meredup.
Akan tetapi, hasil dari kemakmuran yang tercipta dari pabrik-pabrik gula tersebut
mempengaruhi gaya hidup bangsawan di Yogyakarta.7 Selera bangsawan tersebut,
pada masa kini, dapat dinikmati kembali di beberapa restoran di Yogya-Solo. Bale
Raos, dan Gadri Resto di Yogyakarta. Lalu, Omah Sinten, dan Royal Dinner
Mangkunegaran di Solo, Jawa Tengah.
Dari pembacaan Tempo tersebut, dapat dikatakan bahwa wacana manis yang
hadir dalam masyakarat Jawa, khususnya Yogyakarta, dewasa ini, dibentuk dari
pengaruh elitis Keraton dan pemerintah Kolonial Belanda yang menjadi referensi
rakyat biasa dalam mengkonsumsi makanan. Di samping itu, budaya makan pada
6 Cultuurstelsel seringkali dipahami sebagai kebijakan tanam paksa. Padahal, pengertiannya sendiri merupakan sistem pertanian. Pemahaman ini kemungkinan besar terkait dengan kebijakan Belanda yang memperkerjakan masyarakat Indis pribumi jelata secara paksa di perkebunan dan ladang pertanian pemerintah kolonial Belanda. 7 Seri Buku Tempo, Antropologi Kuliner Nusantara, Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara. KPG, 2015. Halaman 75
38
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
masa tersebut juga dibentuk oleh budaya pertanian dan perkebunan yang gencar
dicanangkan pemerintah kolonial Belanda. Mulai dari rentetan kebijakan tersebut,
mungkin saja kita dapat mencoba membayangkan “kosmologi” budaya kuliner di
Yogyakarta.
2. Rijsttafel8
Budaya kuliner Rijsttafel merupakan suatu contoh menarik bagaimana
pengaruh budaya asing, dalam kasus ini Belanda (Eropa), terhadap corak kuliner
Indonesia masa kini. Pengaruh Belanda terhadap kuliner Indonesia sebenarnya juga
bagian dari negosiasi orang Belanda dengan kondisi budaya, alam, dan etika makan
di Indonesia (Hindia Belanda). Warga Belanda di Indonesia memodifikasi bahan
makanan dan etika makan di antara kedua budaya (Indonesia dan Eropa).9
Dalam bukunya, Fadly Rahman mengungkapkan bahwa asal usul Rijsttafel
dapat ditarik dari seorang penulis roman Belanda, Victor Ido, yang menuliskan
bahwa rijsttafel merupakan hidangan nasi yang disajikan secara istimewa. Rahman
juga menuliskan bahwa dibukanya terusan Suez pada 1869 menyebabkan semakin
banyaknya orang-orang Eropa, Belanda khususnya, datang ke Hindia Belanda.
Onghokham juga menambahkan bahwa hal ini membentuk berbagai gaya hidup
baru di kalangan orang Belanda.10
Rijsttafel dianggap budaya makan yang ideal konstruksi Belanda yang
diwacanakan melalui majalah rumah tangga kolonial, fotogrofi kolonial, dan buku-
buku masakan kolonial yang menjadikan nasi sebagai pusatnya dan dipadukan
8 Terjemahan lepasnya berarti hidangan nasi di atas meja. Rijs (Nasi) dan Tafel (meja). 9 Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel, Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 5 10 Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel, Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 38
39
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan penyajian gaya Eropa.11 Budaya makan ini dominan ditemukan di Pulau
Jawa karena pemerintah kolonial Belanda memang memusatkan segala
kepentingan pemerintahannya di sana. Kondisi ini pula yang mendorong perubahan
budaya, entah untuk pihak pribumi maupun pihak Belanda. Perantaranya pun
berasal dari budaya kumpul kebo antara laki-laki Eropa dengan para nyai12 yang
bekerja di rumah para bangsawan Belanda sebagai pengurus rumah tangga.13
Pengaruh dari para nyai inilah yang menyebabkan hadirnya corak hidangan
yang bercita rasa pribumi. Misalnya nasi dengan tambahan kuah-kuahan, sayur
mayur, daging, ikan laut, udang, telur, dan bahkan sambal. Hal yang menarik dari
makanan yang disajikan adalah adanya pengaruh dari India, Arab, dan Sri Lanka,
rendang menjadi salah satu contohnya.
Budaya makan ini pun menjadi kegiatan istimewa karena memang tidak
dikonsumsi secara terus menerus. Orang Eropa tetap mempertahankan kegiatan
makan gaya Eropa untuk tetap setia dengan identitas mereka dan dalam praktiknya,
hidangan rijsttafel sendiri tetap mengedepankan pemisahan hidangan. Hal ini
karena orang Eropa tetap perlu menguatkan status mereka sebagai bangsa yang
paling besar. Tapi, oleh karena keistimewaannya tersebut, rijsttafel menjadi
budaya makan yang mencerminkan kemewahan.
Gambaran kemewahan rijsttafel menurut Onghokham, memiliki kemiripan
dengan tradisi dan kebiasaan makan di keraton Jawa pada masa lalu. Duta VOC
Rijklofs van Goens yang berkunjung ke Keraton Mataram pada 1656, terkesima
11 Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel, Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 5-6 12 Perempunan pribumi yang menjadi simpanan Belanda. Hal ini disebabkan karena pemerintah Belanda melarang orang Belanda yang bertugas di Indonesia untuk mengajak istri mereka. Pelarangan ini didasari atas besarnya resiko perjalanan yang dilakukan dengan kapal layar atau kapal api. 13 Rahman, Fadly. 2011. Rijsttafel, Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 23
40
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
melihat jenis masakan dari berbagai daging ayam dan ikan, serta sayur mayur yang
diolah. Semua itu dihidangkan di meja raja. Fadly Rahman berasumsi bahwa,
Rijsttafel, jangan-jangan juga hasil inspirasi dari kebiasan makan raja-raja di Jawa.
Dari hasil pembacaan tersebut, rijsttafel menjadi salah satu contoh budaya
kuliner hibrid Belanda hasil dari apropriasi, dan asimilasi produk kuliner Indis.
Mungkin budaya kuliner ini juga merupakan produk negosiasi bangsawan Belanda
dengan keadaan alam dan sosial Indis pada waktu itu14. 70 tahun kemudian budaya
makan tersebut masih dapat ditemukan jejak-jejaknya di beberapa rumah makan di
Jakarta, salah satunya adalah Tugu Kunstring Paleis di Menteng. Selain itu, opsi
budaya makan rijsttafel yang tergolong murah masih dapat ditemukan di beberapa
rumah makan Padang di Yogyakarta, salah satunya Restoran Sederhana di Jalan
Kaliurang.
B. Kuliner Jejepangan
1. Masa Pendudukan Jepang
Setelah meletusnya Perang Dunia II, peta kuliner Indonesia berubah drastis.
Terutama saat Jepang hadir dengan propaganda 3A (Nippon (Jepang) Pemimpin
Asia, Nippon Pelindung Asia, dan Nippon Cahaya Asia) dan klaim bahwa mereka
(Jepang) merupakan saudara tua Indonesia. Setelah berhasil merebut hati rakyat
Indonesia, Jepang dengan tangan besi membuat kebijakan-kebijakan yang
merugikan rakyat Indonesia (wajib serah beras, romusha (kerja paksa), dan tanam
paksa tanaman jarak untuk keperluan perang Jepang). Lantas, bagaimana tepatnya
peta kuliner Indonesia (khususnya Yogyakarta pada masa pendudukan Jepang?
14 Dari sini dapat dilihat sebagai cara pandang khas kolonial Belanda mengenai masyarakat Hindia Belanda pada waktu itu (mooi indies).
41
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari hasil pembacaan buku Aiko Kurasawa, Kuasa Jepang di Jawa, dan juga
dari hasil interview informan, dapat ditemukan bahwa budaya kuliner yang dapat
ditemukan sangat erat dengan politik pangan (beras) Jepang. Jepang secara
sistematis melakukan kebijakan anti “Barat” dengan melengserkan segala
kebijakan yang dicetuskan pemerintah kolonial Belanda seperti culturstelsel.
Jepang justru menerapkan homogenisasi pertanian dengan memaksa rakyat
Indonesia untuk menanam beras dan kemudian menyetorkannya ke Jepang untuk
memenuhi kebutuhan logistik bala tentara Jepang. Tanaman Tebu dan kopi
kehilangan pamor, dan hal ini menyebabkan tutupnya pabrik-pabrik gula yang ada
di Yogyakarta.
Politik monopoli beras Jepang sangat mempengaruhi hierarkis perkampungan
di Indonesia hingga dibentuk pusat penyetoran dan pembagian jatah beras warga.15
Pembagian jatah beras warga pun sangat sedikit. Jatah yang diberikan itupun tidak
selalu rutin. Protein hewani pun juga sangat terbatas dan kalaupun ada, diwajibkan
dijual ke Jepang dengan harga yang sangat murah untuk keperluan konsumsi
prajurit perang Jepang.
Salah satu informan bercerita bahwa karena jatah beras yang sangat sedikit
dan jam kerja paksa yang sungguh menyiksa, beras yang dijatah tersebut pada
akhirnya diolah menjadi bubur yang disebutnya bubur podhomoro16.
Kurasawa (2015) mengungkapkan bahwa petani yang sengaja dibiarkan lapar,
diberi saran menu untuk pemenuhan kekurangan makanan mereka yang disebut
“menu perjuangan” oleh kaum propaganda (Kurasawa, 2015: 116). Salah satu yang
paling populer adalah bubur campuran yang disebut “bubur perjuangan” yang
15 Dulu bernama tonarigumi, sekarang dikenal sebagai RT (Rukun Tetangga) dan RW (Rukun Warga). 16 Informan dan keluarganya menyebutnya sebagai bubur ‘podhomoro’ karena apa yang dimakan dan dimasukkan ke dalam bubur tersebut bervariasi tergantung dengan ketersediaan pangan yang ada.
42
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terbuat dari campuran ubi, singkong, dan katul. Selain itu ada pula “bubur Asia
Raya”, roti bernama to-a pan (roti Asia) yang dibuat dari tepung ketela dan tepung
kedelai. Menu-menu yang berbahan dasar ketela, jagung, dan kedelai memang
menjadi anjuran pemerintah oleh karena pembatasan konsumsi beras. Walaupun
begitu, harga-harga komoditas anjuran tersebut pun harganya semakin mahal
karena panen yang menurun dan permintaan yang semakin banyak. (Kurasawa,
2015: 116).
Selain itu, demi memenuhi kebutuhan makan, rakyat yang kelaparan pun
terpaksa mengkonsumsi bahan makanan yang tidak biasa mereka makan. Di
antaranya ialah bonggol beserta batang pohon pisang dan pepaya, daun singkong,
dan daun pepaya. Memasak dedaunan tersebut pun harus menggunakan kapur
(kalsium) untuk menghilangkan rasa pahit. Untuk pemenuhan protein, bekicot pun
dianjurkan untuk dikonsumsi. Menu beserta cara pemasakannya pun gencar
disosialisasikan oleh fujinkai. Walaupun begitu, makanan tersebut dirasa tidak
memuaskan karena nasi begitu penting dan sampai ada perkataan, “kalau belum
makan nasi, belum makan” (Kurasawa, 2015: 117).
Oleh sebab kebijakan Jepang yang mewajibkan warga Jawa pada saat itu untuk
menyetorkan beras ke pemerintahan Jepang guna mendukung aktivitas militer
mereka, Sukarno mendorong warga untuk mulai menanam Jagung. Sukarno yang
memang sudah memiliki aura kepempimpinan pada masa itu mulai menyuruh
istrinya untuk menanam Jagung. Setelah beberapa lama, seluruh halaman rumah
warga mulai dipenuhi tunas-tunas Jagung.17 Jagung, ubi dan ketela pun menjadi
solusi tambahan pangan rakyat Indonesia pada masa sulit tersebut. Akan tetapi,
17 Dari hasil pembacaaan Jejak Rasa Nusantara, wawancara dengan informan, dan pencarian di Google, muncul asumsi bahwa Ibu Soed (Saridjah Niung), pencipta lagu anak Indonesia, menciptakan lagu ‘Menanam Jagung’ karena terinspirasi kebijakan Sukarno pada masa itu. Asumsi ini muncul karena informan bercerita bahwa pada pertengahan 1940an lagu tersebut sudah mulai dinyanyikan anak-anak Indonesia.
43
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dikarenakan tanah yang minim (karena pemaksaan penanaman tanaman jarak),
penanaman pangan alternatif tersebut pun sulit direalisasikan.
Gejolak kekurangan gizi yang disebabkan kelaparan yang merata tersebut
lantas menjadi alasan perombakan pangan Indonesia yang dimulai beberapa tahun
setelah Jepang meninggalkan Indonesia. Presiden Sukarno bersama dengan
menteri penerangan dan pertanian membentu beberapa gagasan yang diharapkan
dapat membantu perbaikan gizi rakyat Indonesia.
2. Kuliner Jejepangan Masa Kini
Tirto18, sumber tulisan infografis daring Indonesia, sempat menulis artikel dan
membuat infografis mengenai makanan Jepang di Indonesia. Dalam artikelnya
tersebut Tirto membagi periodisasi makanan Jepang di Indonesia ke dalam empat
generasi. Generasi pertama mulai dari awal kehadiran makanan Jepang di
Indonesia pada tahun 1969, yang dimulai oleh restoran Kikugawa, yang merupakan
restoran Jepang pertama di Indonesia. Generasi kedua mulai tahun 1970 sampai
dengan 1980an yang ditandai dengan hadirnya rumah makan cepat saji Jepang,
Keyaki dan Hoka-Hoka Bento. Generasi ketiga mulai tahun 1990 – 2000 dengan
rumah makan Ajihara di Melawai dan Tempura Hana di Yogyakarta. Generasi
keempat, 2000an ke atas, ditandai sebagai puncak kepopuleran masakan Jepang di
Indonesia.
Temuan-temuan Tirto di atas memang menarik. Akan tetapi, ada beberapa lini
masa yang belum diulas, yakni pengaruh Jepang terhadap kuliner pada masa 3,5
tahun kependudukannya di Indonesia (1942-1945) yang sudah dijelaskan pada
awal bab ini. Budaya makan yang sangat lekat dengan kesengsaraan dan
18 Tirto, “Makanan Jepang Menyerbu Indonesia” kontributor; Nuran Wibisono, ditulis 20 April 2017(https://tirto.id/makanan-jepang-menyerbu-indonesia-cm1t).
44
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
diwariskan oleh kaum penyintas yang menghasilkan obsesi terhadap beras (nasi) dan kemampuan untuk beradaptasi dengan mengkonsumsi komoditas yang tidak lazim. Namun, ada hal menarik yang dapat dilihat apabila membandingkan artikel
Tirto, buku Kuasa Jepang, dan Jejak Rasa Nusantara.
Pada masa pendudukannya, Jepang yang menyingkirkan segala budaya warisan kolonial Belanda, mencoba menanamkan ideologi setia dengan kaisar
Jepang mereka melalui Hinomaru Bento atau “kotak makan siang Matahari Terbit”
(Rahman, 2016: 209). Dalam buku Jejak Rasa Nusantara, Fadly Rahman mengungkapkan bahwa Hinomaru Bento secara harafiah memang mengacu pada kotak bekal makan siang persegi panjang berisi nasi dan acar yang ditempatkan sedemikian rupa sehingga membentuk bendera Jepang (Hinomaru).
Kotak makan siang ini diharapkan menanamkan rasa patriotik, dan rasa kesederhanaan. Di Jepang, pada tahun 1937, kotak makan ini selalu dibawa pada hari Senin sebagai simbol dukungan murid-murid sekolah di seluruh negeri kepada tentara yang sedang bertempur di Tiongkok. Menurut Rahman, simbol ideologi itulah yang berkesan ingin diterapkan di Indonesia. Tetapi, usaha propaganda
Jepang ini gagal karena kurangnya bahan makanan dan wabah kelaparan yang melanda seluruh Indonesia.
Kembali ke tulisan Tirto, Hoka-Hoka Bento, yang menjadi salah satu rumah makan cepat saji Jepang pertama yang hadir di Indonesia, menyajikan gaya makan
“Bento” yang jarak waktunya terpaut kurang lebih 38 tahun dari usaha propaganda
Jepang pada masa kependudukannya. Menilik ke masa Sukarno, bahan bahan yang lekat dengan kesengsaraan pada masa Jepang seperti daun singkong, daun pepaya, keladi, ubi-ubian kembali dimunculkan ke dalam program Mustika Rasa.
45
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lalu menilik jauh ke pasca reformasi, bahan baku seperti ubi-ubian menjadi
opsi populer pengganti beras karena alasan kesehatan dan komoditas Bekicot, yang
menjadi pengganti protein pada masa Jepang karena unsur keterpaksaan, justru
menjadi komoditas kuliner yang wajar dimakan dan bahkan eksotis di Indonesia
dengan ragam seperti sate bekicot, kripik bekicot, dan oseng-oseng bekicot. Maka,
dapat disimpulkan bahwa ada perubahan cara pandang masyarakat terhadap
komoditas makanan.
C. Kuliner “Nusantara” Sukarno
Pasca Perang Dunia kedua dan setelah kemerdekaan Indonesia, Presiden Pertama
Republik Indonesia, Ir. Sukarno menghadirkan kebijakan-kebijakan nasionalisasi
produk-produk mentah Indonesia. Kebijakan-kebijakan yang dianggap masih
mencerminkan gagasan kolonialisme dihapuskan dan Indonesia pun berusaha untuk
berdikari. Salah satunya melalui kebijakan-kebijakan pangan yang mencerminkan
identitas bangsa Indonesia.
Dalam kurun waktu 1950-1967, atau pasca kemerdekaan Indonesia, politik pangan
Sukarno yang memang fokus pada pertanian (agriculture) dikaitkan dengan urusan
identitas bangsa. Gagasan ini diungkapkan oleh Iwan Tirta, yang dikutip oleh Fadly
Rahman (2016), “…. yang pokok untuk dipikirkan dari persoalan boga haruslah
terhubung dengan penguasaan, pengetahuan, sejarah, geografi, dan pertanian.”19 Dari
kutipan ini, dapat disimpulkan bahwa persoalan makanan dan identitas itu cukup
kompleks. Dapat dikatakan juga bahwa faktor kedatangan pedagang-pedagang asing ke
Nusantara mengubah wajah pasar di Indonesia karena datangnya bahan makanan baru
dari pedagang dari Tiongkok dan Gujarat, yang kemungkinan bermula dari Columbian
19 Rahman, Fadly.2016. Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal.5
46
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Exchange20. Gelombang perdagangan ini juga mengubah wajah makanan yang ada di
Indonesia dari abad 19 hingga masa kemerdekaan.21
Selain dari Iwan Tirta, Onghokham dan Umar Kayam mengungkapkan pentingnya
pemahaman mengenai konsep one-dish-meal dalam makanan Indonesia.22 Konsep ini
mengungkapkan bahwa tahapan makan yang ada di Eropa (Amouse Bouche, Appetizer,
Main Dish (hidangan utama), Desert) hanya populer di kalangan bangsawan saja. Secara
garis besar, cara makan di Indonesia lebih sederhana. Gampangannya, makan di
Indonesia hanya main dish (makanan sehari-hari) yang berisikan karbohidrat, sayur, dan
protein. Konsep ini, jelas dilatar belakangi oleh faktor ekonomi-sosial masyarakat
Indonesia.
Faktor ekonomi-sosial masyarakat Indonesia dapat dikaitkan dengan konsep
Fetishme Commodities Marx. Fetisme terhadap komoditas tersebut muncul karena
adanya obsesi terhadap suatu jenis produk, yang kemudian mendorong globalisasi gula,
kopi, teh, dan tembakau. Hal tersebut juga mendorong globalisasi produk kuliner
Indonesia. Akan tetapi, apakah obsesi pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap
makanan khas atau makanan yang Indonesia, tidak hanya mencakup urusan materiil saja,
tapi juga mencakup urusan identitas suatu bangsa?
Pertanyaan di atas dapat ditarik dari hadirnya buku Mustika Rasa (1967).
Komoditas makanan dalam buku ini menjadi cara pendisiplinan masyarakat melalui
politik pangan. Akan tetapi, selain itu buku ini juga memunculkan gejolak politik pangan
melalui identitas pangan. Seperti yang terlihat dalam kutipan Sudjarwo S.H, yang
mengungkapkan bahwa politik pangan pada era Soekarno tersebut mengedepankan
20Persebaran produk-produk pangan (hewan dan tumbuhan), kebudayaan, teknologi, dan pemikiran melalui pelayaran Christopher Columbus pada abad ke 15 dan ke 16. 21 Rahman, Fadly.2016. Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal.6 22 Rahman, Fadly.2016. Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal.55
47
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pemeliharaan identitas Indonesia dengan berbagai macam daerah dan suku.23 Akan
tetapi, Indonesia seperti apa yang dibayangkan Soekarno lewat buku ini? Karena
sebagian besar resep yang muncul dalam Mustika Rasa diragukan familier di telinga
masyarakat Indonesia, terutama yang bermukim di pedesaan.
Dari kata pengantar J.J. Rizal, Menteri Pertanian, dan Menteri Teknologi pangan
yang ada di buku Mustika Rasa, dapat ditemukan bahwa Sukarno menulis buku ini
karena ingin rakyat Indonesia tidak hanya bergantung pada satu makanan pokok saja,
yakni beras – yang bahkan menurut Sukarno sendiri dikonsumsi secara berlebihan dan
terus menerus. Dibalik kegelisahan Sukarno terhadap konsumsi beras yang berlebihan
tersebut, sebenarnya ada polemik besar mengenai pangan di Indonesia, masa peralihan
dari pendudukan Jepang tersebut, serta ketergantungan rakyat Indonesia terhadap beras,
menyebabkan menipisnya stok beras nasional.
Pola yang serupa juga dapat dilihat di dalam tulisan Fadly Rahman yang
mengungkapkan bahwa pada tahun 2013 ada proyek pemilihan makanan tradisional
yang diadakan Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif berjudul The 30 Indonesian
Traditional Culinary Icons.24 Dari penjelasan Rahman, di dalam proyek yang dirilis
dalam format video tersebut menyajikan kumpulan 30 ikon tradisional yang terdiri dari
“…22 ikon dari Pulau Jawa, lima dari Sumatra, dan masing-masing satu ikon dari
Sulawesi dan bali, serta dua “ikon nasional” yaitu tumpeng dan nasi goreng
kampung.”(2016:3). Namun proyek tersebut menemui kritik karena, “Ada beberapa
penanggap yang menilai seleksi itu tidak berimbang karena banyak makanan dan
minuman khas dari daerah lainnya tidak masuk di dalamnya.” (2016:3).
23 Sukarno, dkk. 2016[1967]. MUSTIKA RASA, Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno. Penyunting; Tim Komunitas Bambu, Komunitas Bambu. Hal. xxvi 24 Rahman, Fadly.2016. Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal.3
48
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari buku Mustika Rasa, propaganda ‘Empat Sehat Lima Sempurna’, dan proyek
The 30 Indonesian Traditional Culinary Icons, dapat diamati bahwa penentuan makanan
khas atau tradisional dan makanan nasional tidak sesederhana itu. Kompleksnya
hubungan masyarakat di Indonesia dengan identitas suku, etnis, dan agama membuat
tindakan penyederhanaan dan bahkan pendisiplinan, yang dilakukan Soekarno dalam
buku Mustika Rasa, mustahil dilakukan. Apabila sebuah makanan dapat disebut
makanan “khas” karena namanya saja, bagaimana dengan klappertaart yang disebut
sebagai makanan khas Manado? Dari pertanyaan tersebut, penelitian ini melayangkan
kritik terhadap klaim produk kuliner yang “khas” dan mempertanyakan cara
mengidentifikasi dan mengklasifikasi sebuah produk kuliner, sehingga dapat disebut
“khas” atau bahkan “asli” daerah tertentu.
Konsep politik pangan Sukarno yang disandingkan dengan gagasan identitas
nasional bangsa, menghadirkan hubungan paradoks Sukarno dengan gagasan politik
pangan Belanda (Barat). Di satu sisi, Sukarno ingin memberikan pembuktian bahwa
Indonesia, yang notabene baru saja merdeka, sanggup mandiri dalam hal pangan.
Namun, di sisi lain, politik yang dicanangkan Sukarno sendiri menghadirkan relasi kuasa
yang mirip dengan masa pemerintahan kolonial Belanda yang berwujud dalam kontrol
masyarakat (rakyat) dengan kebutuhan pangan (perkebunan, pertanian, dan peternakan).
Secara gamblang dapat dikatakan bahwa politik pangan Sukarno merupakan program
kelanjutan dari politik pertanian dan perkebunan Belanda.
D. Fast Food Global, Rasa Lokal
Setelah lengsernya Sukarno dan naiknya Suharto sebagai presiden RI pintu bagi
investor asing, khususnya dari Amerika Serikat, terbuka lebar. Produk waralaba cepat
saji pertama yang hadir di Indonesia adalah KFC (Kentucky Fried Chicken) yang hak
waralabanya dimiliki oleh PT Fast Food Indonesia tbk, pada tahun 1978.
49
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gerai pertama KFC dibuka pada bulan Oktober tahun 1979 di Jalan Melawai,
Jakarta. Pada tahun 1990 Salim Group bergabung sebagai salah satu pemegang saham
utama yang kemudian menambah ekspansi KFC ke kota-kota besar lain seperti Medan,
Bandung, Surabaya, Semarang, dan Yogyakarta. Selain KFC, McDonald yang terkenal
karena produk hamburgernya menyusul pada tahun 1983, kemudian disusul produk-
produk lain seperti Pizza Hut, Wendy’s, dan A’n’W. Dilihat dari latarbelakang
kepemilikan rumah makan cepat saji di atas, jelas ditemukan pengaruh lokal dalam
masuknya produk tersebut di Indonesia.
Makanan cepat saji A.S yang digemari masyarakat Indonesia lantas memengaruhi
munculnya makanan cepat saji waralaba bikinan lokal yang menyajikan produk gaya
KFC dan McDonald, seperti Jogja Fried Chicken dan Olive Fried Chicken. Bahkan
selain produk kuliner yang gaya “Barat”, gudeg yang notabene makanan tradisional
Jogja, juga dibikin oleh menjadi produk waralaba gaya fast food yang sudah disebut di
atas. Contohnya yaitu, gudeg Yu Djum dan Gudeg Bu Citro 1925 yang populer dengan
gudeg kalengnya. Gudeg yang jadi produk waralaba itu pun menjadi indikasi perihal
kesadaran pentingnya menempatkan produk kuliner tradisional sebagai produk yang
mengglobal.
E. Jogja Tradisional dalam konteks Global
Kesadaran tentang pentingnya penempatan kuliner tradisional dalam konteks
global menyebabkan kehadiran bayangan-bayangan mengenai identitas kedaerahan
sebagai daya tariknya. Sebagaimana komunikasi yang selalu dilakukan terus menerus,
penyampaian identitas dalam produk kuliner juga perlu dilakukan berulang-ulang. Tapi
pertanyaannya apakah penggunaan narasi atau simbol-simbol identitas kedaerahan
tersebut memang untuk menyalurkan pengetahuan atau jangan-jangan yang dibutuhkan
justru recognition saja seperti yang dikatakan Jim Siegel dalam bukunya?
50
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Hal ini dapat diamati dalam aktivitas-aktivitas penggunaan teknologi, khususnya
media sosial. Media sosial dalam penelitian ini dilihat sebagai aspal (yang
kelihatannya) mulus25, yang memperlancar arus pasar (produksi, distribusi, dan
konsumsi). Kita dapat berkaca pada dinamika budaya kuliner Indonesia yang kerap
berkelindan dengan urusan identitas daerah, entah dengan klaim mana yang “asli” dan
yang “khas”, atau dengan kata lain menawarkan konsep kuliner yang otentik di produk
kuliner masing-masing dengan menempelkan nama daerah yang diyakini sebagai asal
produk tersebut (Gudeg Jogja, Soto Betawi, dan Bakmi Jawa sebagai contohnya).
Jangan-jangan gaya penamaan tersebut dipilih hanya untuk embel-embel saja, yang
mendongkrak nilai jual karena ada nama daerahnya dan tulisan “asli” atau “khas” –
yang ada layaknya mantra– sehingga dirasa dibutuhkan untuk menyumbang pemasukan
ekonomi pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Mungkin pembahasannya dapat
dimulai dengan melihat narasi-narasi produk kuliner tradisional Yogyakarta dengan
contoh gudeg, bakpia, dam jajanan pasar tradisional.
1. Gudeg dan Keraton
Gudeg terus menerus dinarasikan sebagai kuliner khas Yogyakarta karena
secara historis, lokasi geografis bahan-bahannya, bahkan secara dokumentasi
sastranya, dianggap memenuhi kriteria sebagai produk kuliner Yogyakarta.
Membicarakan gudeg, pasti juga membicarakan industri gula pada masa
pemerintahan kolonial Belanda, kisah prajurit Mataram yang membersihkan hutan
untuk membangun Yogyakarta pada tahun 175526, kisah mas Cebolang yang
singgah dengan Pangeran Tembayat dan tamunya, Ki Anom,27 dan apabila
25 Lihat Mrazek 26 Dalam pembersihan hutan tersebut, ditemukan banyak pohon nangka, kelapa, dan melinjo. Prajurit- prajurit tersebut pun kemudian memasak nangka, santan dari kelapa, dan daun melinjo. Mereka memasak dengan wadah kuali besar yang terbuat dari logam karena untuk memberi makan prajurit yang jumlahnya banyak. Memasaknya mereka aduk sepanjang waktu. Proses masaknya itu dinamakan hangudeg, maka disebut gudeg. 27 Ditemukan dalam Serat Centhini.
51
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membicarakan gudeg pada konteks modern, pasti juga menyebut gudeg Mbarek,
Wijilan, gudeg Manggar, gudeg mbah Lindu,28 serta gudeg kalengan.
Narasi-narasi tersebut selalu dibicarakan sebagai ultimatum kelekatan gudeg
dengan Yogyakarta. Namun, yang menarik adalah gudeg sendiri juga dapat
ditemukan di Solo, dan di kota-kota besar lainnya, corak-corak gudeg yang berada
di luar Yogyakarta pun berbeda. Misal di Jawa Timur, masakan gudeg cenderung
seperti sayur gori (nangka muda) di Yogyakarta yang berkuah santan banyak.
Gudeg di Yogyakarta sendiri pun juga corak rasanya berbeda. Ada yang cenderung
manis sekali, dan ada yang pedas sekali. Variasi lainnya dapat ditemukan di bahan
yang digunakan, dalam gudeg manggar, nangka muda diganti dengan bunga muda
pohon kelapa (manggar) dan teksturnya lebih padat daripada gudeg nangka.
Gudeg manggar cenderung melekat pada kuliner keraton yang konon
diciptakan oleh Puteri Pembayun Raja Mataram yang memiliki gelar Nyai Ageng
Mangir Wonobudoyo. Selain itu menurut beberapa sumber gudeg manggar
menjadi bentuk sikap politik rakyat Bantul, pada masa perang Diponegoro, dalam
perlawanannya terhadap Sultan Hamengkubuwono yang cenderung berpihak
kepada pemerintahan Belanda.
Disamping latar belakangnya yang menarik, gudeg manggar dianggap kurang
populer dibandingkan dengan gudeng nangka muda. Hal ini mungkin bisa jadi
disebabkan karena kelangkaan bahan dasarnya (manggar) yang mengakibatkan
minimnya produksi kuliner ini. Hal ini juga menyebabkan harga gudeg manggar
menjadi lebih mahal daripada gudeg nangka muda. Seorang narasumber
mengatakan bahwa menikmati gudeg manggar ini lebih enak kalau langsung ke
28 Penjual gudeg legendaris Yogyakarta yang berusia 97 tahun bernama asli Setyo Utomo. Berjualan di Jalan Sosrowijayan, Yogyakarta sejak sebelum masa penjajahan Jepang.
52
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dapur masaknya yang berada di dusun Mangiran, yang notabene merupakan tempat
kelahiran gudeg ini.
Akan tetapi, beberapa tahun belakangan gudeg manggar mulai dipromosikan
kembali melalui buku referensi wisata Yogyakarta. Narasi-narasi sejarah, kisah-
kisah tentang Puteri Pembayun pun kembali dihadirkan. Maka dari itu, dapat kita
lihat gudeg pun kembali menghadirkan suasana yang komunikatif di dalam urusan
kuliner. Narasi-narasi dan kisah-kisah tertentu perihal kuliner tersebut terus
menerus dihadirkan demi keberlangsungan dinamika pariwisata Yogyakarta yang
menjadikan gudeg sebagai ikonnya.
2. Bakpia dan Tionghoa Perantauan
Asal kata bakpia tidak begitu diketahui secara pasti. Ada yang mengatakan
bahwa bakpia berasal dari Tou Luk Pia yang berarti kue kacang hijau. Tapi ada
juga yang mengatakan bakpia itu berasal dari kata bak yang berarti daging babi,
dan pia yang berarti kue yang diolah dari tepung. Maka, bakpia adalah kue dengan
kulit tepung, yang serupa dengan kulit pastry, yang menurut beberapa sumber,
sempat diisi dengan daging babi. Di samping asal muasal penamaan, satu hal yang
pasti ialah bakpia merupakan produk budaya kuliner hibrid yang secara perlahan
bernegosiasi dengan masyarakat Yogyakarta sehingga menjadi produk kuliner
yang dianggap mewakili kota Yogyakarta.
Negosiasi ini bermula dari pergeseran isian yang mulanya berisi daging babi,
dan menggunakan minyak babi dalam pengolahannya, menjadi berisi kacang hijau,
dan tidak lagi menggunakan minyak babi. Pergeseran bahan dasar ini bermula dari
kesadaran bahwa bakpia memiliki nilai komoditas yang berharga. Yang mulanya
menjadi makanan sehari-hari dan perayaan untuk komunitas Tionghoa peranakan,
menjadi produk bernilai jual.
53
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bakpia mulai populer pada tahun 1948 yang penjualannya dirintis oleh Kwik
Sun Kwok. Pada tahun ini pula, pergeseran bahan sudah dimulai. Bakpia sudah
berakulturasi dengan budaya Jawa. Kwik Sun Kwok sendiri lah yang mencetuskan
ide pertama kali untuk mengganti isian bakpia (dari daging menjadi kacang hijau).
Penjualan bakpia dimulai di kampung-kampung di Yogyakarta, dibungkus dengan
besek29 tanpa merek. Salah satu kampung yang menajadi ikon bakpia ialah
kampung Pathok yang sekarang juga menjadi sentra bakpia. Salah satu contoh
bakpia pathok yang cukup populer ialah Bakpia Pathok 25. Pada tahun 1980,
bakpia Pathok 25 mulai dijual dengan kemasan yang lebih modern, dengan
kemasan baru dan dengan merek dagang resmi sesuai dengan nomor rumah yang
kemudian diikuti oleh bakpia-bakpia dengan merek yang berbeda pula (sesuai
nomor rumah).
Selain Bakpia Pathok, sekarang muncul nama-nama baru yang semakin
populer dan tentu menyajikan bakpia dengan rasa dan gaya yang berbeda. Misal
Bakpia Kurnia Sari, Bakpia Merlino, Bakpiaku dan yang terbaru merupakan
produk Bakpia Wong Jogja yang merupakan produk bakpia yang menjadikan Baim
Wong (selebritis Indonesia) sebagai brand ambassador-nya. Bakpia yang disajikan
oleh tiap merek tersebut memang berbeda rasa30 tapi dimulai dari akar yang sama,
dan yang jelas namanya juga sama. Pengiklanan bakpia pun semakin modern
dengan memanfaatkan media sosial seperti Instagram, dan juga melalui situs web,
seperti yang dimiliki Bakpia Pathok 25.
Dari sejarah singkat bakpia tersebut, dapat dilihat peran Tionghoa perantauan
yang membentuk budaya kuliner Yogyakarta dengan corak yang unik. Dari
29 Wadah yang dibuat dari anyaman bambu. Biasa digunakan untuk upacara kenduri (genduren, besekan). Walaupun sekarang sudah jarang dipakai, besek masih digunakan sebagai wadah gudeg, dan gethuk goreng. 30 Rasa yang dihadirkan tidak hanya kumbu (kacang hijau), tapi juga ada keju, coklat, durian, hingga Cappucino!
54
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penamaanya yang masih langgeng digunakan sampai sekarang, hingga metode
pengolahannya. Substitusi bahan yang dilakukan menjadi bukti adanya kesadaran
pentingnya bernegosiasi dengan masyarakat Yogyakarta yang mayoritas muslim
dan Jawa. Mungkin negosiasi tersebut menjadi faktor penting dalam penghargaan
bakpia sebagai produk yang mewakili Yogyakarta. Kulit bakpia berbahan dasar
tepung yang menyerupai pastry tersebut juga “dirasa” dihadirkan di produk kue
Jogja Scrummy – semakin merayakan hibriditas Yogyakarta yang istimewa.
3. Jajanan Pasar yang Belum Dilupakan
Tempo sempat mengulas perihal jajanan pasar tradisional Indonesia pada
suplemen Tempo bertema gastronomi yang berjudul Menolak Lupa Jajanan Pasar
yang terbit pada edisi 14-20 Mei 2018. Pada kalimat pembukanya, dapat ditemukan
kalimat, yang dikutip dari wawancara tim Tempo dengan Mudjiati Gardjito, yang
tertulis, “Jajanan pasar merupakan simbol kebinekaan yang nyata karena diolah
lebih dari 1000 seni dapur seluruh Indonesia.” Selain kutipan tersebut, Tempo
menuliskan bahwa jajanan pasar tersebut tidak hanya bertujuan sebagai kudapan
saja, tetapi terkait pula dengan nilai, budaya, dan makna dalam lingkungan sosial.
Secara sederhana, jajanan pasar tersebut mencerminkan identitas budaya bangsa
Indonesia.
Saking mencerminkannya, tak jarang jajanan pasar juga dihadirkan di dalam
jamuan kepresidenan Istana Negara Republik Indonesia saat menyambut tamu
asing. Salah satu pengalaman menarik yang dihadirkan Tempo ialah saat
kunjungan Ibu Negara Filipina, Imelda Marcos. Pada saat kunjungan tersebut, Joop
Ave, Menteri Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi pada saat pemerintahan
Presiden Soeharto, menghidangkan kue klepon, kue tepung berbalut kelapa, yang
didalamnya diisi gula jawa cair. Pada saat digigit oleh Imelda Marcos, isi kue
55
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
itupun muncrat dan mengenai pakaiannya. Insiden ini pun sembat membikin Joop
Ave kelabakan. Kejadian tersebut diceritakan oleh Joop Ave kepada praktisi
kuliner Lily Setiadinata. Lily kemudian mengatakan bahwa, kuliner tradisional
tersebut hampir punah karena di geser oleh kue-kue Eropa. Menurut Lily, bisnis
kue tradisional memang kerugiannya cepat basi. Oleh karena itu, jajanan pasar
memang harus satu hari habis.
Menambah gagasan Lily, William Wongso mengatakan bahwa jajanan pasar
Indonesia itu memiliki ciri khas “lengket, manis, dan ceria...” Tiap jajanan pasar
pun memiliki corak yang unik karena perbedaan cara pengolahannya,
penyajiannya, dan tentu bahan-bahannya. Dari artikel Tempo itu, terdapat
ketidakcocokan lapangan. Misalnya, menurut Lily, jajanan pasar tradisional
tersebut mulai punah dan digeser oleh budaya minum kopi yang ditemani kuke
croissant. Akan tetapi, pada kenyataanya, masih banyak ditemukan jajanan pasar
yang dijual di pasar-pasar tradisional, pasar tiban31, dan juga tempat-tempat yang
menjual jajanan pasar (yang biasanya buka mulai subuh hingga sore hari).
Dari pengamatan lapangan tersebut, dapat dilihat bahwa jajanan pasar masih
menjadi konsumsi sehari-hari masyarakat pinggiran kota, dan juga masih banyak
industri rumahan yang membuat dan menjualnya. Bahkan, jajanan pasar justru
disajikan pada saat perayaan khusus. Maka dari itu, apa yang diucapkan Lily
melalui Tempo, sepertinya terlalu tergesa-gesa dan terlalu menitik beratkan pada
pola konsumsi masyarakat perkotaan Ibu Kota, yang memang mungkin jarang
ditemukan jajanan pasar tersebut karena bahan-bahan yang relatif terbatas.
31 Pasar yang muncul di waktu-waktu tertentu. Tiban merupakan bahasa Jawa untuk tiba-tiba (musiman).
56
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
4. Kuliner Tradisional sebagai Komoditas
Terdapat artikel yang menarik dari Kompas mengenai tren kuliner selebritis
yang memang sedang menjamur.32 Dalam artikel tersebut, produk-produk selebritis
tersebut disinyalir menggunakan strategi yang baik dalam menjaring konsumen,
yakni dengan menghadirkan produk yang layak difoto dan diposting ke media
sosial dengan harapan dapat menjaring banyak like, retweet, dan repost.33 Dari
artikel tersebut, produk-produk selebritis yang sedang menjamur ini sepertinya
memang menargetkan diri agar dapat dengan mudah dikonsumsi oleh segmentasi
masyarakat tertentu (melek teknologi, generasi milennial, dan dengan daya
ekonomi menengah ke atas). Tapi apakah pengelompokan segmentasi masyarakat
seperti yang di atas masih relevan digunakan?
Dalam bukunya Rahman (2016), mengutip tulisan Jeffrey M. Pilcher,
menjelaskan lima tema penting mengenai sejarah terbentuknya kebiasaan makan
manusia.34 Tema pertama ialah, ekspansi bahan makanan yang terus meluas, seperti
bahan makanan pokok (padi, jagung, dan gandum), bahan stimulan (gula, kopi, teh,
dan cokelat)35, dan rempah-rempah. Tema kedua adalah munculnya persaingan
antara pertanian dan penggembalaan yang mengakibatkan perubahan hubungan
manusia dengan tanah, serta selera makan manusia. Ketiga, perkembangan
perbedaan kelas yang didasarkan melalui anggapan bahwa makanan menjadi
32 Prahesti, Ratih, et al. “Tren Kue Selebritas, Menjual Nama atau Rasa?”. Kompas (16 Desember 2017) 33 Di dalam komunitas pengguna media sosial ada konsep yang biasa disebut instagrammable yang merupakan Kata sifat yang menjelaskan sebuah benda, tempat, dan acara. Misal, “Wah..kuenya imut, instagrammable banget deh.” Atau dapat ditemukan di judul artikel dalam situs web Vogue, ’The 12 most Instagrammable restaurants in the world’. (https://www.vogue.com.au/travel/hotels/the-12-most- instagrammable-restaurants-in-the-world/image-gallery/078c0c2a7a3e6812d5500de81cd6d193) 34 Rahman, Fadly.2016. Jejak Rasa Nusantara, Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Hal.55 35 Wolf, R Eric. 2010. Europe and The People Without History. University of California Press, Berkeley and Los Angeles, California.
57
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
simbol kemakmuran. Keempat, identitas sosial yang membentuk kebiasaan makan.
Kelima, adalah peran negara dalam distribusi makanan.
Kelima pola ini apabila disandingkan dengan pola yang dihadirkan Mennell di atas, ditemukan kemiripan mengenai peran negara. Dari sini, muncul praduga bahwa identitas makanan sebuah masyarakat dibentuk berdasarkan regulasi atau aturan yang dibuat negara. Lantas, bagaimana dengan kuliner dalam arena ekonomi pariwisata? Apakah ada pembentukan identitas di sana? Mungkin kita bisa menilik program Dana Istimewa yang diberlakukan di Yogyakarta.
Dana keistimewaan ini dialokasikan pemerintah pusat untuk mendanai kewenangan keistimewaan DIY sesuai UU Nomor 13 tahun 2012 tentang
Keistimewaan DIY alias UU Keistimewaan (UUK). Sejak munculnya Dana
Keistimewaan ini, wisata kebudayaan di Yogyakarta semakin terlihat geliatnya, dari pementasan wayang, tari-tarian tradisional, hingga pawai rakyat. Dari situ, apresiasi masyarakat terhadap makanan tradisional yang berpotensi mendongkrak pariwisata Yogyakarta pun semakin jelas.
Dana Istimewa tersebut pun lantas mendorong munculnya kebijakan Dana
Desa Budaya. Dari formulir “Review Identifikasi Potensi Budaya Desa / Kelurahan
Budaya. Kegiatan Pendampingan Masyarakat Pecinta Seni dan Budaya, Program
Pengembangan Nilai Budaya, tahun 2016”. Di dalam formulir tersebut, terdapat kolom khusus produk kerajinan, kuliner, dan pengobatan tradisional yang disampingnya juga dituliskan kriteria penilaian seperti frekuensi pertemuan (rutin, berkala, atau insidental).
Fenomena di atas menjadi tanda bahwa kuliner telah menjadi komoditas yang di-fetis-kan, sebagaimana “fetisme komoditas” yang diungkapkan oleh Marx
(1974[1867]). Dalam perspektif tersebut, Marx berargumen bahwa komoditas
58
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
semata-mata dihargai sebagai nilai jual, dan tidak dihargai secara nilai praktisnya.36
Gagasan Marx ini dapat terlihat jelas dari usaha pemerintah, melalui dinas
pariwisata dan/atau dinas kebudayaan, yang getol melakukan tinjauan produk
kebudayaan kuliner untuk pemilihan produk mana yang layak mendapatkan dana
hibah.
Fetisme komoditas kuliner di atas menyebabkan munculnya fanatisme produk
kuliner tertentu (yang berpotensi menghasilkan profit dengan cepat tentunya) oleh
Dinas Pariwisata atau Dinas Kebudayaan Daerah. Lantas, keinginan untuk
mengepankan produk yang merepresentasikan suatu daerah di Yogyakarta menjadi
hal yang bersifat paradoks. Di satu sisi ada keinginan untuk mengedepankan
keunikan dan kemajemukan, tapi di satu sisi tetap harus mengikuti aturan yang ada,
jadi malah seragam.37
F. Kuliner yang Kosmopolitan
Dari elaborasi latarbelakang sosio-historis kuliner Yogyakarta di atas, dapat dilihat
bahwa gagasan keaslian dan kekhasan dalam konteks budaya kuliner Yogyakarta dapat
dipersoalkan karena pada dasarnya budaya kuliner Yogyakarta sendiri merupakan
budaya yang hibrid – yang penuh inovasi melalui akulturasi dan asimilasi. Argumen ini
didasari dari data sejarah yang menunjukkan adanya kontribusi pihak lain (dari luar
Nusantara, Indonesia) dalam perubahan selera, cara produksi, konsumsi dan distribusi.
Misalnya, pada era pemerintahan Kolonial Belanda dapat ditemukan cita rasa
manis yang dikonstruksi melalui program tanam (culturstelsel) yang juga mendorong
perkembangan industri gula –yang merupakan salah satu agenda dari Kolonial Belanda,
36 Marx, Karl. 1974 [1867]. Capital. A Critical Anlalysis of Capitalist Production, Volume I, diterjemahkan dari edisi ke tiga di Jerman oleh Samuel Moore dan Edward Aveling serta diedit oleh Frederick Engels. London: Lawrence & Wishart. 37 Dan kacaunya menurut rekan penelliti yang menjadi salah satu asisten penilaian Review Desa Budaya tersebut, hingga detik ini, hibah dana dari pemerintah daerah untuk desa yang lolos seleksi (dengan seleksi yang cukup ketat) belum turun juga. Padahal sudah berlangsung lebih dari dua tahun.
59
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dan distribusi rempah – yang bahkan berkontribusi pada konstruksi selera masyarakat
Eropa. Selain konstruksi cita rasa, dapat ditemukan budaya kuliner yang secara spesifik ditemukan dan berkembang pada era kolonial, yaitu Rijstaffel.
Rijstaffel menjadi suatu contoh kasus yang unik karena budaya ini diposisikan sebagai budaya makan yang mewah bagi bangsawan Belanda pada masa itu.
Menariknya dalam budaya kuliner tersebut, yang dihidangkan justru makanan- makanan yang biasa dikonsumsi masyarakat pribumi, yang bahkan merupakan produk hasil asimilasi pendatang dari Tiongkok, Gujarat, dan Arab.
Pasca kemerdekaan Indonesia (1950) Presiden Sukarno beserta jajaran menterinya mengusahakan perombakan makan rakyat Indonesia melalui propaganda- propagandanya. Salah satu propaganda besar Sukarno mengenai pangan pada masa itu adalah buku Mustika Rasa. Secara sederhana melalui buku itu, Sukarno dkk ingin memberi variasi menu bagi rakyat Indonesia, tapi tentu dengan ideologi kuliner yang nasionalis. Walaupun terkesan nasionalis, dalam buku tersebut dapat ditemukan wacana-wacana politik pangan yang nadanya hampir sama dengan wacana kolonial
Belanda. Hal ini menjadi menarik karena Sukarno sendiri dengan lantang menolak hal- hal yang berbau “Barat”.
Berlawanan dengan politik Sukarno, pintu untuk budaya asing, khususnya dari
“Barat” (Amerika Serikat), terbuka lebar. Praktik politik ini juga mempengaruhi tren konsumsi masyarakat Indonesia yang mendorong dunia kuliner untuk lebih terbuka dan mempertimbangkan konteks global, terlebih di era yang semakin tanpa batas
(borderless), dengan kehadiran media sosial sebagai indikatornya. Melalui komunitas digital produk-produk budaya luar negeri pun dapat dengan mudah ditemui. Seperti halnya contoh Pasta Gaya Jepang dari buku Ichijo dan Ranta tersebut, produk kuliner di Indonesia pun semakin berpotensi mempercantik diri dengan hibdiritas (akulturasi
60
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
atau asimilasi) dan bahkan apropriasi dengan produk kuliner dari negara lain. Lantas,
bagaimanakah kita dapat berjumpa dengan produk-produk kuliner hibrid tersebut?
Dalam wawancara dengan Lorenz, Ben mengungkapkan hal yang menarik dalam
perihal karakteristik orang yang kosmopolitan, Ben mengungkapkan bahwa seorang
yang kosmopolitan itu sebenarnya adalah orang yang berwawasan luas dan sering
bertemu dengan budaya lain, bukan karena sering bepergian ke luar negeri.
Ungkapan di atas juga senada dengan tanggapan Ben Anderson terhadap
kosmopolitanisme Kwee Thiam Tjing38 yang dapat ditemukan di kata pengantar buku
“Indonesia Dalem Api dan Bara” karya Tjamboek Berdoeri.39 Ben mengungkapkan
bahwa Opa Kwee sungguh-sungguh kosmopolitan karena dapat menguasai banyak
bahasa tanpa harus keluar negeri sekalipun. Opa Kwee menguasai bahasa Indonesia,
Belanda, Hokkien, Madura, dan Jawa.
Maka, dari wawancara dengan Ben, serta dengan perbandingan dari tulisan Rantealo
dan Adilolo, dapat ditarik benang merah bahwa kita tidak perlu bepergian sampai ke luar
negeri untuk berjumpa dengan produk kuliner luar negeri. Kita pada dasarnya hanya
perlu meraih gawai kita (laptop, ponsel, dan tablet) dan melakukan pencarian di Google,
YouTube, dan bahkan cukup melihat posting-posting media sosial (Instagram,
khususnya) dengan mengikuti tagar (hashtag #) kuliner yang sedang tren. Hal serupa
juga diungkaplan Lorenz Khazaleh (2009).40 Perayaan kuliner tersebut dapat
dibandingkan dengan gagasan “Nasionalisme Sehari-Hari” Ranta dan Ichijo (2016)41
38 Kwee Thiam Tjing adalah seorang jurnalis Indonesia yang lebih dikenal dengan nama samarannya (nama pena) Tjamboek Berdoeri. 39 Disarikan dari Kata Pengantar Ben Anderson. Berdoeri, Tjamboek. 2004 [1947] Indonesia Dalem Api dan Bara. ELKASA. Jakarta. Hlm.1-78 40 Wawancara dengan Benedict Anderson, Khazaleh, Lorenz. 2009. Anthropology Info. 28 Mei. Juga dapat ditemukan di Foo, Cynthia. 2008. Invinsible Culture 5, No. 13 41 Ichijo, Atsuko dan Ronald Ranta. 2016. Food and National Identity and Nationalism from Everyday to Global Politics. Palgrave MacMllan. Inggris Raya.
61
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang dalam prakteknya tidak meratapi “ketidakmurnian” atau “ketidakasllian” produk kuliner tertentu, tapi justru merayakan kreativitas yang bersifat global.
Sifat-sifat budaya kuliner yang kosmopolitan sudah muncul sebelum masa kemerdekaan Indonesia, seperti yang sudah dibicarakan sebelumnya. Budaya tersebut dapat ditemukan di rijsttaffel dan bakpia serta gudeg dalam konteks Yogyakarta. Budaya makan dengan lauk-lauk yang plural tersebut menghadirkan bayangan mengenai budaya lain (liyan) yang dipersatukan di atas meja, dan dipusatkan di nasi. Konsep makan seperti ini memang menghadirkan keterbukaan, tapi tetap saja yang dicanangkan adalah gagasan plural tapi tetap ada satu corak dominan yang berguna sebagai kontrolnya
(multikulturalisme). Maka, rijsttaffel tetap bermasalah karena masih memberi batas yang jelas antara bangsawan Belanda dan para pribumi.
Bakpia menjadi salah satu contoh di Yogyakarta yang dari jejak langkahnya, terlihat adanya negosiasi yang memungkinkan bakpia dapat diproduksi secara massal, didistribusi secara luas, dan dikonsumsi kapan saja, oleh siapa saja, serta dimana saja.
Hal ini terjadi dari fakta bahwa adanya kesadaran tentang nilai produk kuliner ini secara ekonomi, bahkan hingga terpatri di benak pendatang atau wisatawan yang berkunjung ke Jogja bahwa Jogja identik dengan Bakpia. Kesadaran ini pula yang mendorong inovasi produk bakpia yang semula isinya hanya kacang hijau, hingga isian cappucino, dari yang kulitnya keras dan yang agak basah, hingga produk yang cenderung lembut seperti kue bolu.
Gudeg juga mengalami perubahan, dari cara penjualan yang cenderung dijual supaya habis dalam waktu satu hari, sekarang telah berinovasi dengan hadirnya gudeng kaleng yang awet lebih lama. Dalam hadirnya gudeg di Jogja, terjadi pula negosiasi mengenai jenis-jenis gudeg yang ada, hingga dibagikannya distrik-distrik khusus seperti Gudeg
Wijilan dan Gudeg Mbarek. Selain dari cara penyimpanannya, cara penyajian gudeg juga
62
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
berubah cukup drastis, khususnya jika menilik rumah makan-rumah makan ngetop yang menyajikan gudeg, dan rumah makan gudeg waralaba seperti Gudeg Yu Djum dan
Gudeg Bu Tjitro 25. Penyajiannya semakin lama semakin dibuat cantik secara visual.
Selain itu, Kementerian Pariwisata, pada tahun 2012, juga sempat merilis daftar “30
Ikon Kuliner Tradisional Indonesia”42 yang di dalamnya, antara lain, tercantum Nasi
Goreng Kampung, Sate Lilit, dan Soto Lamongan. Pemilihan kuliner ikon yang tradisional di atas bisa jadi berdasarkan tingkat kepopuleran dan tingkat representasi daerah-daerah di Indonesia (misalnya banyaknya variasi Nasi Goreng, Soto, dan Sate di seluruh Indonesia), serta mungkin juga soal perhitungan akar budaya rempah-rempah
(bumbu dapur) di Indonesia – yang tentu menghasilkan variasi yang beragam. Selain itu tentu soal penyesuaian rasa (lidah) wisatawan dari luar Indonesia, apabila melihat
Nasi Goreng, tentu mereka dengan mudah dapat membayangkan nasi, dan bahan-bahan lainnya, kalau Soto bisa dikaitkan dengan sup dan Sate dengan kebab atau ayam tandoori.
Maka, melihat dari perkembangan budaya kuliner Indonesia, dan khususnya,
Yogyakarta yang cukup pesat, pencarian yang asli atau yang khas merupakan aktivitas yang tidak akan menemui jalan keluar dan penamaan yang asli atau yang khas bisa dalam kuliner, dilihat sebagai strategi pasar saja karena pada akhirnya yang diinginkan pemerintah adalah bagaimana kekayaan kuliner di Indonesia menjadi amunisi yang berharga untuk ekonomi kreatif dalam sektor pariwisata – yang tentu saja, target konsumen dari luar Indonesia.
42 https://food.detik.com/info-kuliner/d-2120507/ini-dia-30-ikon-kuliner-tradisional-indonesia-
63
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB III YOGYAKARTA YANG (BELUM) HILANG
Sebelum memasuki pembahasan data, perlu diperhatikan bahwa pada saat penelitian berlangsung, peneliti memang sudah sempat meminta izin manajemen JS untuk melakukan wawancara dengan kepala pemasaran, akan tetapi, menurut manajemen, JS belum siap melaksanakan wawancara untuk intensi penelitian “semacam ini” – penelitian kajian budaya. Maka, peneliti pun memanfaatkan sumber-sumber dari digital dan pengamatan lapangan yang didampingi dengan informan-informan, serta kajian kepustakaan yang selaras dengan tujuan penelitian ini.
Pada bab sebelumnya, telah didiskusikan mengenai kuliner Yogyakarta yang sudah (dan) semakin kosmopolitan – semakin hibrid – semakin melemahkan argumentasi yang “khas” maupun yang “asli”. Perubahan budaya kuliner di Masyarakat di Yogyakarta dan bahkan di Indonesia ditemukan melalui temuan bahwa praktik konsumsi yang dilakukan lebih menjadi bagian dari gaya hidup, tidak hanya makan sebagai bekal untuk bekerja. Walaupun begitu, pada kenyataanya argumen “khas” dan
“asli” masih dapat ditemukan serta digunakan, tentu bisa dengan balutan visual yang mewakili daerah tertentu, nama daerah tertentu, atribut tradisional, tokoh kebudayaan, dan bahkan perayaan ritual tradisional daerah. Lalu, melalui visual JS yang menyajikan imajinasi Yogyakarta yang ideal melalui visual yang diposting di media sosial, apakah menimbulkan bayangan tertentu dari calon konsumen dan pengguna gawai yang melihat akun JS?
Visual-visual tersebut dapat ditemukan dari data yang dibagi menjadi dua, data primer yang fungsinya mengarah pada pembahasan utama dalam penelitian dan data sekunder yang merupakan data pengaya pembahasan. Data primer dalam penelitian ini diambil dari dua artikel situs web, iklan baliho, visual yang diposting di instagram, dua
64
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
video iklan, video acara Festival Bregada Jaga Jogja Scrummy 2018, dua video yang
menghadirkan otoritas kebudayaan DIY, dan hasil wawancara dari tiga informan. Data
sekunder penelitian ini merupakan hasil tangkapan gambar (screenshot) komentar
warganet terhadap dua video iklan JS di akun YouTube dan Facebook JS.
Dapat dilihat bahwa JS menggunakan nama Jogja, menghadirkan visual yang
sangat Jogja, memanfaatkan atribut Jogja tradisional, menghadirkan tokoh kebudayaan,
mengangkat UMKM daerah, dan membuat acara perayaan ritual tradisional Jawa-Jogja.
Tentu, dengan mudah kita dapat menilai bahwa semuanya itu merupakan strategi pasar
JS. Namun, yang menarik untuk didiskusikan lebih lanjut adalah gambaran Yogya yang
seperti apa yang ingin dihadirkan JS?
Penggambaran Yogyakarta JS pada bab ini dapat dilihat – secara jeli – sebagai
satu usaha untuk menghadirkan Jogja yang lama – yang “klasik”, yang tempo dulu – atau
yang diungkapkan sebagai Yogyakarta yang hilang namun kembali dihadirkan melalui
visual-visual eksotis nan romantis serupa dengan gagasan Mooi Indie yang diungkapkan
Onghokham.
A. Anatomi “Scrummy” Sebelum membahas visual-visual yang dihadirkan JS, perlu membedah fisik
produk kue JS. Dari situs webnya, tertulis bahwa ada dua jenis produk yang ditawarkan
JS, produk pertama merupakan kombinasi puff pastry dengan brownies kukus dengan
berbagai macam pilihan isian antara lain keju, coklat, dan srikaya. Produk kedua
merupakan “Premium Carrot Cake” yang merupakan kue wortel (carrotcake) yang
diklaim menggunakan wortel segar asli dari lereng gunung Merapi.1 Produk kedua
tersebut diberi 5 varian rasa isian, antara lain “frozting” cheese dan karamel.
1 Menurut rekan peneliti, klaim ini sahih, akan tetapi berhubung tidak adanya persetujuan interview dengan tim JS, peneliti belum dapat membuktikan apakah klaim ini benar adanya.
65
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari anatomi produk tersebut, sudah dapat terlihat inovasi hibrid dari dua produk
yakni puff pastry dan brownies. Puff pastry merupakan produk yang berasal dari tepung
terigu, gula, susu, mentega (butter) yang kemudian dilipat terus menerus hingga
membentuk lapisan adonan dan mentega, apabila dipanggang, adonan tersebut akan
mengembang dan menghasilkan lapisan-lapisan renyah yang mudah pecah. Produk
tersebut, pada dasarnya merupakan variasi dari pastry dan mirip dengan adonan kulit
bakpia, toh pia sendiri dapat diartikan pastry dalam bahasa Inggris.
Sedangkan brownies dalam kue JS merupakan inspirasi dari kue brownies yang
memiliki sejarah cukup panjang. Brownies pertama kali dipopulerkan di Chicago, A.S.
pada tahun 1893 di Hotel bernama The Palmer House Hotel. Gagasan kue tersebut
dimulai dari keinginan Bertha Palmer, seorang filantropis dan istri pemilik The Palmer
House Hotel, kepada tukang masaknya, untuk membuat makanan penutup yang mudah
didistribusi. Makanan penutup tersebut baru diberi nama brownies setelah beberapa
tahun kemudian.
Dari anatomi produk kulinernya, hibriditas yang terlihat bukanlah yang lumrah
dicanangkan sosok kolonial (“Barat”) yang menggunakan corak-corak identitas
“pribumi” untuk mengeksploitasi masyarakat “pribumi”, sebagaimana yang telah
diungkapkan Bhabha. Data produk JS dalam penelitian ini sebatas data sekunder, karena
fokus utama terletak pada data visualnya. Dalam prakteknya, JS justru menghadirkan
produk “barat” yang hibrid melalui advertorial yang bernarasikan kedaerahan, lalu reaksi
seperti apa yang ingin didapatkan JS? Data dari informan berguna untuk menjelaskan
reaksi yang terjadi.
B. Artikel Situs Web JS Dari penggambaran Yogyakarta ideal dari JS, dapat ditemukan indikasi bahwa
gagasan Yogyakarta ideal yang biasa ditemui di acara-acara kesenian daerah Yogyakarta,
66
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
seperti Jogja kota seniman dan kota budaya atau biasa disimpulkan sebagai Jogja
Istimewa,2 sudah menjadi penama (brand) kota Jogja.
Penama tersebut sudah menjadi bagian dari cara promosi pariwisata Jogja. Logo
‘Jogja Istimewa’ pun sempat diubah seiring berkembangnya zaman, dari warna hijau
tradisional pari anom menjadi warna merah cerah yang menarik perhatian. Gagasan Jogja
istimewa tersebut juga dipakai JS dalam tulisan beranda laman situs web JS. Ada dua
versi tulisan, yang pertama ditulis pada 20 Mei 2017 yang kemudian diganti dengan versi
kedua yang penulisnya tidak diketahui.3
1. Artikel versi pertama Pada versi pertama, alinea pertama tulisan berisikan gagasan kota istimewa
yang menjadi ciri khas Jogja. Menurut tulisan tersebut, Jogja istimewa karena
wisatanya, sejarahnya, budayanya, agamanya, sosialnya, dan kulinernya, yang
dicontohkan dengan bakpia beserta sejarahnya. Paragraf kedua dan ketiga pada
tulisan tersebut didedikasikan khusus untuk sejarah bakpia yang mereka dapatkan
dari wikipedia. Pada paragraf kedua, tulisan secara spesifik membahas mengenai
latar belakang sejarah munculnya bakpia dari Kwik Sun Kwok. Alinea kedua
membahas hal yang sama, tapi dari Liem Bok Sing yang mempopulerkannya di
daerah kampung pathuk.
Tulisan lalu dilanjutkan ke informasi mengenai JS yang berdiri pada
tanggal 24 Juni 2016 (hampir 70 tahun sejak bakpia pathok mulai dipasarkan). JS
2 Keistimewaan Yogyakarta merupakan bentuk balas budi Republik Indonesia terhadap jasa Sri Sultan Hamengku Buwana X pada awal kemerdekaan RI (1945-1949). Walaupun begitu, keistimewaan Yogyakarta ini pun juga sempat menjadi polemik nasional. Keistimewaan Yogyakarta digugat karena adanya unsur monarki di situ, yang notabene tidak sesuai dengan gagasan bangsa Indonesia yang demokratis. Di balik kepempimpinan monarki tersebut, terdapat kontroversi perihal hak kepemilikan tanah warga Indonesia keturunan Tionghoa, yang pada Februari 2018 digugat oleh Handoko. Namun dibalik kontroversi tersebut, tidak sedikit pula yang getol mendukung keistimewaan tersebut, yang diperjuangkan kelompok seniman dan budayawan. 3 Penulis juga sempat bingung mencari versi awal tulisan tersebut karena waktu pertama kali membaca belum di-screen shot. Tapi, setelah pencarian yang lama di situs tersebut, ketemu juga tulisan versi awal tersebut. Tulisan tersebut tertumpuk dengan posting-posting pemasaran JS.
67
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menngungkapkan produk kuliner JS merupakan bentuk inovasi kuliner terbaru di
Jogja, “..satu-satunya di Indonesia bahkan di dunia..”.4 Dalam tulisannya
diungkapkan produk ini muncul “Atas kecintaan Dude Harlino akan kota
Yogyakarta yang istimewa...”.5 Tulisan tersebut juga mengungkapkan bahwa
produk JS merupakan produk yang kekinian karena merupakan hasil perpaduan
unik antara pastry dan brownies kukus, yang merupakan pertama kalinya di
Yogyakarta. Selain itu, dituliskan pula variasi kue-kue JS.
Pada alinea keempat, JS juga mengungkapkan bahwa wortel yang menjadi
bahan baku salah satu produknya, Carrot Cake, merupakan hasil panen dari lereng
merapi dan dituliskan juga bahwa carrot cake tersebut mengandung vitamin A.
Artikel ini ditutup dengan tulisan, “Scrummia, kita tunggu ya kedatangan kalian di
Kota Istimewa Yogyakarta, dan jangan lupa Scrummia semua bahwa Jogja
Scrummy ini menjadi salah satu pilihan oleh-oleh Kota Yogyakarta.”6
2. Artikel versi kedua Pada artikel kedua,7 gagasan yang diusung hampir sama dengan artikel
pertama, hanya saja ada beberapa perbedaan yang signifikan. Pada artikel pertama,
disebutkan bahwa JS didirikan pada tanggal 24 Juni 2016, tapi pada artikel kedua,
JS didirikan pada tanggal 23 Juni 2016. Pada artikel kedua, kecintaan Dude akan
Jogja dielaborasi dengan adanya kenangan indah Dude dengan Jogja karena dulu
sempat syuting di sana. Pada artikel kedua, sejarah bakpia tidak disertakan berbeda
dengan artikel pertama yang menuliskan sejarah bakpia secara panjang lebar.
4 Deva Bunga Madarayu (https://jogjascrummy.com/sejarah-jogja-scrummy-oleh-oleh-hits-dan- kekinian-di-yogyakarta/ ditulis 20 Mei 2017 diposting oleh Mentari Yunianingrum) 5 ibid 6 ibid
68
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Selain tulisan mengenai JS, artikel tersebut juga disandingkan dengan gambar
Dude Harlino yang mengenakan blangkon Jogja, beskap Solo, dan jarik Jogja.
Pada artikel tersebut, juga disebutkan bahwa JS merupakan satu-satunya di
dunia dan juga klaim bahwa JS merupakan pelopor kuliner oleh-oleh kekinian.
Artikel ini juga mengungkapkan perihal outlet-outlet yang didirikan JS, outlet yang
pertama kali didirikan adalah outlet di Jalan Kaliurang. Selain di JaKal, ada juga
di Brigjen Katamso, Jogonegaran, Adisucipto, dan gerai di mall malioboro. Salah
satu alinea juga didedikasikan untuk elaborasi produk JS beserta variasi bentuknya.
Pada bagian ini juga diungkapkan bahwa spesialnya JS karena hanya ekslusif
ditemukan di Yogyakarta, selain itu Jogja dipilih karena “...mempunyai keunikan
tersendiri mulai dari budayanya, sejarahnya, agamanya, sosialnya, dan
wisatanya”.8 Artikel ini ditutup dengan slogan, “Ingat Jogja, ingat Jogja
Scrummy”.
Dari kedua artikel di atas, JS seakan-akan memposisikan produknya
dengan produk Bakpia yang telah ada lebih dahulu. Lantas, dari kecurigaan
tersebut, apa perbedaan antara antara produk bakpia dan produk JS dalam konteks
wacana ke-Yogyakarta-annya?
Apabila melihat asal muasal hadirnya bakpia sebagaimana telah dijelaskan
di bab sebelumnya, kita melihat tidak ada intensi untuk menghadirkan wacana
bakpia sebagai kuliner “khas” Yogyakarta. Intensi awal hadirnya bakpia justru
sebagai konsumsi pribadi dan karena melihat ada potensi pasar, perubahan cara
pengolahan pun dilakukan. Penggunaan minyak babi diganti dengan minyak biasa,
isian yang mulanya berisi daging babi pun diganti menjadi kumbu. Wacana bakpia
“khas” Yogyakarta dapat diduga muncul karena faktor lokalisasi produknya yang
8 Ungkapan serupa juga dapat ditemukan pada alinea pertama artikel JS versi pertama.
69
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
identik dengan kampung pathuk, sehingga wisatawan pun diarahkan untuk mampir
di sana.
Oleh karena potensi pasar pariwisatanya, perubahan-perubahan signifikan
lama kelamaan ditemukan, misalnya dengan kemunculan produsen-produsen
bakpia yang baru, seperti Kurnia Sari, Merlino, Bakpia Tugu, hingga Bakpia
Jawara Satoe yang pada awal tahun 2019 hadir di Yogyakarta. Banyaknya
produsen bakpia yang bermunculan juga seiring dengan inovasi variasi rasa seperti
keju, moka, coklat, hingga durian, selain itu juga ada variasi kulit bakpianya seperti
yang dapat ditemukan pada produk bakpia kukus Bakpia Tugu.
Dari contoh kasus bakpia di atas, dapat ditemukan bahwa bakpia dirasa
unggul karena kehadiran wacananya yang lebih alami (organic), yang hadir
melalui interaksi sosial antar masyarakat plural, berbeda dengan JS yang memang
intensinya untuk keperluan menjual produknya, sehingga cara mewacanakan
produknya tidak alami. Oleh karena itu, JS mengakomodasi substansi ahistoris
produknya dengan advertorial yang berisikan visual ikonik Yogyakarta melalui
baliho, video iklan, dan posting di Instagram.
C. Iklan Baliho
70
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Upaya-upaya konstruksi wacana dari JS, selain dari artikel-artikel di atas, dapat dicermati juga dalam advertorial visual bernuansa kedaerahan dalam bentuk media visual seperti baliho, video, dan posting-posting instagram. Pada bagian ini, dapat kita cermati baliho yang terpampang di sebuah jalan di Yogyakarta. Foto baliho tersebut didapat dari rekan peneliti yang memotret gambar tersebut. Sayangnya, rekan saya sudah lupa lokasi baliho tersebut.
Pada baliho tersebut, terdapat foto Dude Harlino, selaku pemilik JS, mengenakan pakaian adat Jawa. Kedua tangannya menunjuk pada tulisan “Ingat Jogja Ingat Jogja
Scrummy” berwarna putih dengan latar belakang warna oranye dengan ornamen gambar tangan ke atas beserta bendera merah putih. Di sudut kanan bawah terdapat ilustrasi HUT
RI ke 72, dan di sudut kanan atas terdapat logo JS.
Namun, gambar tersebut menurut Arum, salah satu informan yang memiliki latar belakang filolog Jawa dan kebudayannya, mempermasalahkan visual baliho karena pakaian yang digunakan Dude di atas merupakan beskap Solo bukan surjan Jogja.
Menurut Arum, pakaian yang dikenakan Dude terdapat spons di pundak, berbeda dengan surjan Jogja yang cenderung tidak mennggunakan spons pundak. Blangkon yang dikenakan memang blangkon Jogja karena ada identifikasi yang menandakan ada kelebihan bahan yang kemudian menyatu pada pucuk belakang blangkon yang disebut mondolan.
Sikap JS dalam mengapropriasi budaya Jawa mendapat kritikan karena pemakaian unsur kedaerahan seperti diatas seperti tanpa melakukan riset terlebih dahulu, hal ini dilakukan mungkin karena intensi JS yang memang ingin dengan cepat mempromosikan produknya secara masif, sehingga melupakan detail-detail penting seperti di atas.
71
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
D. Posting Instagram JS
JS juga memanfaatkan media sosial dalam aktivitas advertorialnya dengan visual
produk budaya Yogyakarta, seperti Tugu dan landmark lainnya, serta atribut kedaerahan.
Berikut beberapa postingan gambar di akun Instagram JS, yang dipilih berdasarkan
produk budaya yang dianggap ikonik di Jogja.
1. Blangkon
Postingan ini menghadirkan potret seorang laki-laki berumur yang sedang
mengenakan blangkon, dan terlihat juga dia mengenakan kemeja batik. Wajah laki-laki
ini tidak terlihat karena foto diambil dari belakang. Pada gambar ini, di sisi kiri atas
terdapat logo JS dengan gradasi warna oranye, warna yang konsisten dipakai JS dalam
visual-visualnya.
Dalam gambar ini, JS ingin menguatkan rasa kecintaan terhadap Yogyakarta
melalui sikap pelestarian pakaian tradisional Yogyakarta. Di sisi kanan gambar tertulis
caption yang mengungkapkan bahwa blangkon Yogyakarta berbeda dengan blangkon
lainnya karena memiliki mondolan dan filosofi bahwa orang Yogyakarta pandai
menyimpan rahasia serta menjaga budi pekertinya. Di bawah caption gambar, juga
72
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terdapat tagar (#) blangkon, #blangkonjogja, #blangkonjawa, #kulinerjogja,
#jogjaculinary, dan #jogjaistimewa.
Dari visual di atas, dapat dilihat bahwa JS menggunakan penanda yang sudah ada seperti blangkon, dan batik yang diasosiasikan dengan petanda yang berkaitan dengan tradisi Jawa di Yogyakarta, lalu diletakkan dalam konteks produk kuliner JS. Dari kombinasi tersebut, JS ingin menegaskan bahwa JS turut serta dalam pelestarian tradisi
Jawa di Yogyakarta.
2. Tugu Jogja (Tugu Pal Putih)
Postingan ini memasang objek Tugu Jogja sebagai pusatnya. Jalan di sekitar
Tugu Jogja tersebut terlihat sepi, namun tetap dapat ditemukan beberapa kendaraan bermotor yang berhenti di lampu lalu lintas dari arah Jl. Jenderal Sudirman. Mungkin gambar ini diambil sore hari saat lalu lintas jalan di sekitar tugu mulai sepi. Tulisan
“Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy” terlihat diedit pada baliho yang berdiri di Jl. Jenderal
Sudirman, dengan latar belakang oranye dan warna tulisan putih. Pada kiri atas gambar ini, juga tertera logo Jogja Scrummy.
Hadirnya tugu Jogja sebagai representasi landmark Yogyakarta menjadi tanda bahwa JS menggunakan monumen ikonik, yang sebagian orang sudah tahu sebagai penegasan bahwa JS hanya ada di Yogyakarta. Arum, selaku informan mengatakan
73
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bahwa Tugu Jogja sebenarnya telah menjadi rujukan umum segala jenis advertorial.
Misalnya penggunaan visual Tugu Jogja pada situs web Keraton Yogyakarta, sebagai nama produk makanan dalam Bakpia Tugu, dan sebagai bagian dari poster selamat datang di Bandara Adisucipto. JS menggunakan Tugu Jogja, sebuah artefak kebudayaan
Yogyakarta sebagai penanda yang menghasilkan imajinasi landmark yang berisikan mitos-mitos kolektif dan populer di Yogyakarta. Misalnya, rujukan Tugu sebagai bagian dari sumbu imajiner, dan mitos menyentuh Tugu sebagai ritual kelancaran kuliah.
3. Jalan Malioboro
Postingan ini menghadirkan gambar marka Jalan Malioboro dengan huruf latin dan aksara Jawa yang berwarna putih, serta latar belakang hijau pari anom (padi muda).
Di gambar tersebut terlihat cukup banyak orang yang berdiri memegang ponsel pintar mereka. Terlihat dua orang memotret dan satu orang perempuan yang berpose di dekat papan nama jalan yang kira-kira berukuran 1 meter tersebut.
Sebagaimana Tugu Jogja yang telah menjadi visual andalan dalam advertorial pariwisata, visual jalan Malioboro juga demikian. Jalan Malioboro telah “meruang” dalam benak warga Yogyakarta dan para pelancong di Yogyakarta. Pemahaman mengenai Malioboro pun sudah sangat plural sama dengan pengunjung Malioboro, dan pedagang-pedagang di Malioboro. Jalan Malioboro juga memiliki fungsi jalan plural
74
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
yang tidak hanya digunakan sebagai lokasi wisatawan untuk berbelanja, tetapi juga untuk
aktivitas kebudayaan seperti kirab, dan acara-acara kebudayaan Tionghoa, mengingat di
Malioboro terdapat kompleks pecinan yang bernama Ketandan.
4. Jadah Tempe
Produk kuliner tradisional Jogja juga dihadirkan dalam posting JS di Instagram.
Salah satu kuliner yang dihadirkan di akun JS adalah Jadah Tempe yang biasa ditemukan
di kaliurang. Produk ini merupakan gabungan dari dua makanan, jadah, yang terbuat dari
beras ketan, dan Tempe yang dimasak dengan cara dibacem. Biasanya, jadah Tempe
dimakan dengan cara meletakkan tempe bacem di atas jadah, lalu dimakan bersamaan,
sehingga di mulut terasa kombinasi ketan yang gurih dan tempe yang manis.9 Selain itu
biasanya juga ditemani cabai rawit hijau.
Pada posting di akun instagram JS, makanan tersebut ditampilkan dengan gaya
visual yang cukup menarik, yakni dengan peletakkan jadah lalu tempe secara
berselingan, di atas daun pisang dengan alas piring tembikar. Lalu di sudut kiri atas,
terdapat logo JS, sama seperti posting-posting gambar yang sebelumnya. Apabila
pengalaman makan dibandingkan dengan yang ditemukan di warung Jadah Tempe Mbah
9 Cara makan ini lantas memunculkan guyonan bahwa jadah tempe itu merupakan burgernya wong Jowo. Penumpukan makannya pun lantas menyerupai burger, yakni dengan susunan jadah-tempe-jadah. Jadah menjadi pengganti roti dan tempe menjadi pengganti patty daging sapi.
75
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Carik di Kaliurang ataupun di jalan Balapan, Yogyakarta, penghidangannya jauh
berbeda, terlebih apabila membeli di salah satu penjual di daerah Taman Sari Kaliurang
yang menggunakan baskom ornamen blurik sebagai tempat menyimpan produknya.
Pembungkusannya pun memakai daun pisang dan kertas koran bekas, atau kertas minyak
coklat. Selain itu, ada juga pembungkusannya menggunakan plastik bening biasa.
E. Video Iklan JS
Seperti yang telah diungkapkan dalam bab I, JS cukup gencar mengiklankan
produknya melalui media sosial (Instagram dan Facebook) dan iklan visual baliho serta
iklan visual audio di YouTube. Bagian ini fokus pada dua video iklan JS di YouTube.
1. Video iklan JS “Yogyakarta” versi Vidi Aldiano.
Tangkapan Gambar iklan JS “Yogyakarta”
Video ini merupakan publikasi video iklan JS yang menggunakan lagu
“Yogyakarta” yang diciptakan oleh Kla Project. Lagu ini diaransemen ulang oleh
Anto Hoed dan dinyanyikan oleh Vidi Aldiano. Video tersebut disutradarai Erix
Soekamti, personel grup musik dari Yogyakarta, Endank Soekamti. Video tersebut
menampilkan tiga cerita, cerita pertama tentang keluarga (suami, istri, dan satu
anak lelaki) yang sedang berwisata di Yogyakarta, cerita kedua tentang seorang
lelaki muda yang berkunjung ke Yogyakarta dengan pesawat, cerita ketiga tentang
seorang perempuan muda yang berkeliling di Yogyakarta.
76
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Adegan pertama, menggambarkan keluarga yang sedang berkeliling di
Yogyakarta dengan naik mobil sambil melakukan swafoto bersama menggunakan smartphone. Adegan tersebut kemudian disambung ke adegan cerita kedua tentang seorang lelaki muda yang sedang dalam perjalanan menggunakan pesawat menuju ke Yogyakarta.
Lelaki tersebut juga mengambil foto menggunakan kamera dari jendela pesawat, lalu adegan berlanjut ke bandara Adisucipto, lelaki tersebut juga digambarkan memotret karya-karya seni yang dipajang di bandara Adisucipto.
Kemudian adegan berlanjut ke kompleks tamansari di Keraton Yogyakarta, lelaki tersebut lanjut memotret di sekitaran tempat wisata tersebut. Adegan lalu berlanjut ke kilas balik, dengan warna hitam putih, masa SMAnya yang digambarkan bercengkrama sambil membaca buku dengan teman-temannya di kompleks tamansari. Adegan tersebut lalu disambung ke adegan keluarga pada cerita pertama, dalam adegan tersebut, si Ayah/Suami saat sedang menyetir digambarkan sedang mengingat-ingat kenangan masa kecilnya yang naik sepeda di jalan aspal pinggir desa, sama dengan adegan sebelumnya, adegan ini dibuat hitam putih.
Adegan berikutnya menghadirkan tokoh baru, yakni seorang perempuan muda yang baru saja keluar dari stasiun tugu, dan dia digambarkan sedang sibuk dengan smartphonenya, mungkin sedang berswafoto atau membuat vlog. Adegan lalu berlanjut ke aktitivas vlog perempuan tersebut di sekitaran Tugu Jogja. Adegan lalu berlanjut ke tokoh lelaki muda yang menelusuri Keraton Jogja. Adegan tersebut lalu disambung ke adegan keluarga pada cerita pertama yang mengeksporasi gunung Merapi dengan mobil jeep, dalam adegan ini terlihat jelas tulisan ‘Bunker Merapi’.
77
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Adegan berlanjut ke adegan perempuan muda yang sedang nge-vlog di pantai selatan Yogyakarta. Dalam adegan tersebut, dimunculkan kenangan kunnjungannya bersama teman-temannya di pantai tersebut, sama dengan adegan kilas balik cerita sebelumnya, adegan tersebut diberi warna hitam putih.
Adegan berikutnya kembali fokus pada keluarga pada cerita pertama, yang mengunjungi gerai JS di Jalan Brigjen Katamso, Yogyakarta. Keluarga itu terlihat sibuk memilih produk JS, dan kemudian membeli dua bungkus produk JS. Adegan kemudian kembali ke tokoh perempuan, yang juga membawa dua bungkus produk
JS dalam kantung plastik. Perempuan tersebut lalu bertubrukan dengan Dude
Harlino, yang juga membawa dua bungkus JS dalam kotak plastik yang identik.
Keduanya lalu saling sapa dan saling heran karena keduanya juga membeli produk yang sama, keduanya lalu berpamitan. Adegan berikutnya adalah adegan Dude
Harlino yang bertemu dengan tokoh lelaki muda dalam cerita kedua. Keduanya bersalaman dan saling sapa, lalu Dude mengeluarkan satu dari dua bungkus produk JS dan membukanya, kamera difokuskan pada produk JS yang dibuka
Dude. Tokoh lelaki muda tersebut terlihat senang dengan kua tersebut. Setelah itu
Dude memberikan kedua bungkus produk JS di dalam plastik putih dengan logo
JS ke lelaki itu.
Setelah itu keduanya bersalaman dan video ditutup dengan tulisan, “JOGJA
SCRUMMY, OLEH-OLEH TERKINI BY DUDE HARLINO”. Di bawah tulisan tersebut dicantumkan akun-akun media sosial resmi JS (Facebook, Twitter, dan
Instagram) dan situs web resminya. Di bawahnya lagi terdapat media radio dan televisi yang mendukung JS, di antaranya, Swaragama, Sindo Tri Jaya, Adi TV,
Jiz Fm, dan Geronimo.
78
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Di bawah video iklan tersebut disertakan tulisan “KINI OLEH-OLEH
JOGJA TAK HANYA BAKPIA”. Di YouTube, iklan tersebut telah ditonton
sebanyak 249.300 kali dan di-like 1000 viewers per 12 Oktober 2018. Dari video
tersebut dapat ditemukan beberapa penanda yang berkaitan dengan Yogyakarta,
seperti Tugu Jogja, Stasiun Tugu, Pantai Selatan, dan Merapi. Penanda tersebut
dilekat(lekatkan) dengan JS d yang kemudian menghasilkan anggapan bahwa JS
itu memang Yogyakarta. Hal serupa juga dapat ditemukan pada iklan video
berikutnya.
2. “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy.”
Tangkapan Gambar iklan JS “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy.”
Iklan yang dibicarakan dalam bagian ini adalah iklan yang merupakan lagu
yang dibuat khusus untuk iklan JS.10 Video iklan JS ini diunggah di YouTube pada
tanggal 12 April 2018 yang hingga tanggal 4 Oktober 2018 sudah ditonton kurang
lebih sebanyak 707 kali dengan jumlah likes 17 kali.
Lagu “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy”, dimulai dengan nada yang sangat
khas tetembangan Jawa, yang kemudian mulai nge-beat dan menghadirkan unsur
rap. Lirik lagu dalam iklan tersebut dapat dilihat dibawah ini,
Jogja kini tambah kaya, Jogja Scrummy kini hadir di Jogja… Jogja Scrummy Jogja punya, hobi kita remaja semuanya…
10 Lagu ini otomatis dimainkan saat kita mengunjungi situs web JS. Lagu ini cukup catchy, tetapi cukup mengganggu juga karena walau sudah kita pause untuk sementara waktu, lagu tersebut dimainkan lagi ketika kita masuk ke halaman lain pada situs web JS.
79
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Bukan Pyai Jogja asli kalau belum tindak ke Jogja Scrummy… Jogja gak Cuma Bakpia, Jogja Scrummy sebagai adiknya…
Yo! Ini Jogja Scrummy, ini tongkrongan baru tempat asik masa kini, Tempat muda ceria, bikin remaja Jogja bikin semuanya pasti pada suka, Mana lagi ada tempat yang kayak gini, Cuma ada di Jogja Scrummy ohh!
Ingat Jogja, Ingat Scrummy… oleh – oleh Jogja yang kekinian… Jogja gak Cuma Bakpia, Jogja Scrummy sebagai adiknya…. (2X)
Ingat, Ingat, Ingat Jogja Scrummy
Lirik lagu di atas dapat ditemukan di caption iklan JS di YouTube. Inti lirik lagu tersebut adalah bahwa Jogja itu tidak hanya Bakpia saja, tapi juga ada JS.
Secara sederhana lagu tersebut diungkapkan bahwa tidak lengkap rasanya, kalau di Jogja tidak membeli JS sebagai oleh-oleh.
Video iklan ini dimulai dengan adegan tugu Jogja yang dibarengi dengan mulainya lagu jingle iklan dengan lirik yang telah tertera di atas. Setelah itu gambar mulai diarahkan ke tokoh utama dalam iklan ini, yakni seorang perempuan dengan hijab berwarna oranye pastel yang menuju ke arah tugu Jogja dengan menaiki becak. Setelahnya, perempuan itu turun dari becak, lalu mulai melihat pemandangan di sekitaran kawasan tugu Jogja.
Adegan berikutnya dimulai dengan pemandangan perempuan lain yang juga berhijab, naik becak dengan membawa tas plastik oleh-oleh bertuliskan Jogja
Scrummy, lalu kamera kembali ke tokoh utama yang mulai berjalan-jalan di atas trotoar yang ada di kawasan malioboro. Saat berjalan kaki, tokoh utama tersebut pandanganya (bersamaan dengan arahan kamera) langsung tertuju ke seorang pria dengan kemeja biru muda agak abu-abu dengan garis vertikal putih yang terkesan simpel dan rapi. Di pergelangan tangannya, terpasang arloji berwarna putih dengan hiasan berwarna kuning keemasan di bagian pinggirnya dan juga dengan strap kulit berwarna cokelat. Pria itu duduk di atas kursi pinggir jalan Malioboro sambil
80
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membuka kemasan produk JS lalu memakan produk tersebut. Kamera lalu kembali diarahkan ke tokoh utama yang tersenyum melihat pria itu memakan produk JS.
Adegan berikutnya berlatar tempat di outlet JS, yang dapat diperkirakan berada di kawasan Malioboro, dimulai dengan pegawai JS berseragam yang menyambut kedatangan seorang pelanggan pria berkacamata dengan kemeja putih.
Di dalam outlet JS tersebut juga terdapat beberapa pelanggan lain, salah satunya seorang perempuan berhijab abu-abu pastel yang sedang sibuk memilih-milih produk yang dijual di sana. Pelanggan pria berkacamata lalu disambut oleh petugas kasir perempuan berseragam dan behijab hitam, pria itu lantas memilih produk yang diinginkan, lalu membeli produk tersebut yang ditempatkan di tas plastik putih dengan logo JS. Pandangan lalu diarahkan ke perempuan berhijab abu-abu yang juga membeli produk JS bersama dengan dua perempuan berhijab lainnya yang kemudian tersenyum bersama-sama.
Adegan berikutnya kembali ke tokoh utama perempuan yang sedang berjalan kaki di sebuah lorong di Jogja. Setelahnya perempuan itu berpapasan dengan tiga pemuda yang sedang berjoget dan nge-rap di tengah lahan kosong yang ditumbuhi rerumputan liar dan beberapa pohon. Perempuan tersebut tersenyum lalu menghampiri dan menyapa ketiga pemuda itu.
Adegan berikutnya adalah adegan duet menyanyi ketiga pemuda tersebut dengan perempuan tokoh utamanya. Ketiga pemuda tersebut mulai menyanyi di atas becak. Pemuda pertama berpakaian batik ungu, memakai caping, dan di pergelangan tangannya terpasang arloji. Pemuda itu naik di sadel becak sambil mengayuh dan nge-rap.
Pemuda kedua berjalan kaki di samping kanan pemuda pertama. Pemuda kedua itu mengenakan celana panjang jeans dan atasan batik berwarna ungu muda
81
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan kancing baju yang dibuka, memperlihatkan kaos yang berwarna hitam bertuliskan “RACISM” berwarna putih yang dicoret dengan garis yang senada dengan warna tulisan itu. Di tangan kanannya, pemuda tersebut membawa papan skateboard. Pemuda itu juga mengenakan topi berwarna biru muda yang menutupi rambut panjangnya.
Pemuda ketiga duduk di bawah perempuan tokoh utama, di bawah kursi becak. Pemuda tersebut mengenakan topi boneka binatang (serigala?) dengan atasan batik bermotif warna cokelat muda dan tua, dengan lengan ekstensi berwarna hitam.
Adegan berikutnya dilanjutkan di salah satu outlet JS. Ketiga pemuda itu masih bernyanyi dan berjoget bersama perempuan berhijab tersebut. Di adegan ini terlihat jelas bahwa pemuda pertama ternyata mengenakan celana pendek berwarna hitam yang juga mengenakan kaca mata hitam minus caping, dan perempuan tokoh utama mengenakan kebaya berwarna oranye terang dan bawahan jarik berwarna cokelat. Skateboard yang ditenteng oleh pemuda kedua tidak terlihat di dalam adegan ini. Kemudian adegan kembali ke atas becak dengan skema gaya yang sama dengan sebelumnya, lalu kembali lagi ke adegan di outlet
JS. Setelah itu, adegan berganti ke lokasi tempat perempuan tokoh utama bertemu dengan ketiga pemuda tersebut. Di lokasi yang sama itu, mereka juga menyanyi dan berjoget, lalu adegan kembali lagi ke adegan di atas becak, di outlet JS, di lokasi pertemuan pertama kali, dan semuanya diulang-ulang sampai lagu selesai yang diakhiri di outlet JS.
Video ini ditutup dengan background oranye dengan motif batik yang berwarna oranye muda. Di tengah background tersebut, terdapat kotak bertuliskan
“INGAT JOGJA, INGAT JOGJA SCRUMMY”. Di atas kotak tersebut terdapat
82
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
logo pariwisata Indonesia dengan tulisan “Pesona Indonesia”. Di bagian paling bawah background tersebut, terdapat baris dengan background putih yang bertuliskan akun media sosial JS di Facebook, Instagram, dan YouTube.
Setelah melewati lorong-lorong kota Jogja dengan berjalan kaki, perempuan itu lanjut mengelilingi kawasan Malioboro dengan naik becak dan andong. Pemandangan bangunan ikonik kota Jogja seperti tugu dan keraton pun turut diselipkan di dalam video ini. Video iklan ini juga merupakan video klip lagu jingle JS yang berjudul “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy”.
Apabila mengamati video di atas, dapat ditemukan beberapa penanda yang sudah lekat dengan identitas Yogyakarta, Tugu Jogja, Taman Sari, Pantai Selatan, dan Jalan Malioboro, serta ditambah iringan melodi yang “agak Jawa” dengan nada lagu yang identik dengan tetembangan Jawa. Penanda tersebut disandingkan dengan penanda baru seperti produk JS, ketiga tokoh yang memunculkan gagasan kemudaan, dan sosok Dude Harlino sebagai “wajah” advertorialnya. Dari kombinasi di atas, muncul sebuah tanda baru JS yang lekat dengan generasi muda kekinian dan terkenal. Penegasan tanda baru ini juga ditemukan melalui lirik lagu
“Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy”.
Melalui lirik lagunya, JS mencoba menggaet simpati dengan kembali menggunakan bakpia sebagai penanda. Bakpia yang telah lekat dengan budaya kuliner Yogyakarta disandingkan dengan gagasan JS sebagai produk anak muda kekinian (modern) tetapi hadir bukan sebagai pesaing bakpia, melainkan sebagai
“adik” bakpia. Dari situ, JS, sekali lagi, menghadirkan wacana bahwa JS itu memang bagian dari Yogyakarta dan tidak berniat menggusur bakpia.
83
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
F. Video acara FESTIVAL BREGADA JAGA JOGJA SCRUMMY tahun 2018
Tangkapan Gambar dokumentasi acara Festival Bregada Jaga Jogja Scrummy 2018
Festival Bregada Jaga diadakan sebagai peringatan ulang tahun JS yang kedua.
Acara yang juga merupakan perlombaan bregada jaga ini, diselenggarakan pada tanggal
8 Juli 2018, arak-arakannya dimulai dari Benteng Vredeburg dan berakhir di halaman
Puro Pakualaman Yogyakarta. Video ini dipilih karena adanya dokumentasi acara
gunungan yang cukup diekspos dengan durasi yang cukup lama, sehingga dapat dengan
seksama diamati.
Pada video ini, gunungan yang biasanya disusun dari hasil bumi, seperti sayur
mayur, divariasi dengan produk kue JS yang dikemas dalam plastik dan turut diarak dari
Benteng Vredeburg ke halaman Puro Pakualaman. Selain gunungan, diperlihatkan pula
tentara-tentara Jawa tradisional dengan atribut lengkapnya dan terlihat Dude Harlino
yang berpakaian rapi tapi kasual mengenakan kemeja batik dan celana panjang jins serta
sepatu kets hitam-putih. Selain Dude Harlino, GKB R.A. Pakualaman X juga hadir di
sana dan memberikan hadiah kepada pemenang lomba, dan juga kenang-kenangan untuk
Dude Harlino. Beberapa perwakilan dari Dinas Pariwisata dan Dinas Kebudayaan juga
terlihat di panggung acara.
Selain perlombaan, acara ini dimeriahkan dengan pentas kesenian, dan festival
kuliner. Saat juara lomba telah dipilih, lalu diberi hadiah, para peserta lomba yang ada di
84
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
panggung, yang juga didampingi oleh Dude Harlino dan GKB R.A. Pakualam X,
menyerukan kalimat, “Ngayogyakarto, Istimewa! Jogja Scrummy, oke!” yang kemudian
ditirukan oleh peserta lomba dan orang-orang yang ikut dalam acara tersebut. Video
ditutup dengan visual yang menjadi ciri khas JS, yakni latar belakang oranye, dengan
motif batik berwarna senada, dan di tengah-tengahnya, terdapat tulisan, “Ingat Jogja,
ingat Jogja Scrummy.” Di atas tulisan tersebut terdapat logo dan tulisan pesona
Indonesia.
Pada video tersebut JS menggunakan penanda lama berupa gunungan dan
bregada jaga yang merupakan bagian dari tradisi ritual Jawa di Yogyakarta. Penanda
tersebut disandingkan kembali dengan JS dan ditegaskan dengan jargon
“Ngayogyakarto, Istimewa! Jogja Scrummy, oke!” yang menghasilkan pesan kedekatan
JS dengan Yogyakarta, ditambah hadirnya sosok GKBRA Pakualam X yang berfoto
bersama Dude Harlino, yang semakin menguatkan klaim bahwa akar JS sudah menancap
tajam di Yogyakarta.
G. Video Ucapan Selamat dari perwakilan Otoritas Kebudayaan DIY
1. Perwakilan Dinas Pariwisata dan Asisten Keistimewaan DIY
Bagian pertama pada video tersebut menghadirkan perwakilan dari dinas
pariwisata DIY, yang mengungkapkan ucapan selamat ulang tahun yang kedua
kepada JS. Kemudian video disambung oleh Didik Purwadi selaku Asisten
85
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Keistimewaan DIY, yang mengungkapkan harapan supaya JS selalu menjadi
“perusahaan yang mengangkat potensi Daerah Istimewa Yogyakarta dan akan
menjadi kebanggaan Daerah Istimewa Yogyakarta.”
Video tersebut kembali dikolasekan dengan ungkapan perwakilan Dinas
Pariwisata DIY yang mengungkapkan ajakan kepada seluruh warga Jogja untuk
menyaksikan “acara kebudayaan terbesar JOGJA SCRUMMY FESTIVAL
BREGADA JAGA tahun 2018.” Video tersebut lantas ditutup dengan dukungan
kepada JS dan Dude Harlino oleh Didik Purwadi selaku Asisten Keistimewaan
DIY.
2. Gusti Kanjeng Bendoro Raden Ayu Pakualam X
Dalam video ini, GKB Raden Ayu Pakualam mengucapkan hal yang realtif
sama dengan video sebelumnya. GKB Raden Ayu Pakualam juga mengungkapkan
“semoga panjang umur, teruslah berkarya dan tetaplah menjadi perusahaan oleh-
oleh kebanggaan Daerah Istimewa Jogjakarta.” GKB Raden Ayu Pakualam X juga
menambahkan ajakan kepada warga Jogja untuk, sekali lagi, menghadiri “acara
kebudayaan terbesar JOGJA SCRUMMY FESTIVAL BREGADA JAGA 2018.”
86
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Video tersebut ditutup dengan ucapan selamat dan dukungan GKB Raden Ayu
Pakualam X kepada JS dan Dude Harlino.
Dari ucapan dari ketiga tokoh “otoritas kebudayaan” DIY di atas, dapat
ditemukan lagi penegasan penerimaan JS di Yogyakarta. Mengingat ketiganya
diasosiasikan dengan kemajuan kebudayaan Yogyakarta dalam unsur ekonomi
pariwisatanya. Kesatuan yang dihasilkan tersebut menimbulkan kegelisahan
karena kesepakatan ketiganya yang mengatakan bahwa JS merupakan kebanggan
Yogyakarta. Lantas, bagaimana dengan fakta sejarah dan lapangannya? Apakah JS
dapat dikatakan masuk kriteria produk kuliner yang sudah cakap
merepresentasikan Yogyakarta?
H. Hasil Wawancara Informan
Penelitian ini menggunakan data dari wawancara dua informan. Pemilihan kedua
informan ini cukup karena penelitian ini lebih berfokus ke visual iklan JS bukan pola
konsumsi konsumen. Dalam praktek wawancaranya, peneliti menyajikan advertorial JS
beserta pertanyaan kritis guna memancing reaksi dan komentar dari informan.
Informan pertama merupakan warga Yogyakarta yang berasal dari Minggir,
Sleman bernama Barkah berusia 23 tahun, Mahasiswa Sastra Indonesia Universitas
Negeri Yogyakarta, yang merupakan peracik kopi di Tongkah Kopi. Informan kedua
adalah Arum, filolog Sastra Jawa. Sebagai catatan, informan yang diwawancari sudah
mengetahui tema penelitian dan objek penelitian penulis. Selain kedua informan ini,
terdapat juga informan tambahan, Bayu, selaku asisten review penilaian desa budaya
2016 yang memberikan wawasan mengenai geliat-geliat pergerakan kreatif desa-desa
yang dibantu oleh pemerintah daerah.
87
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
1. Barkah
Wawancara dilakukan pada tanggal 4 Januari 2018 di Tongkah Kopi,
Minggir, Sleman. Pertama-tama wawancara dimulai dengan penyampaian profil singkat informan, kemudian dilanjutkan dengan pertanyaan mengenai daya tarik
Jogja menurut informan, lalu tanggapan informan mengenai posting JS di Instagram, baliho JS, dua video iklan, dan kedua video ucapan selamat. Informan ini dipilih karena beberapa gagasannya yang menarik. Di satu sisi Barkah terlihat seorang pemuda yang masih tradisional, masih mengerti tradisi-tradisi Jawa. Di sisi lain, dia menerima keterbukaan (inovasi).
Ungkapan-ungkapan mengenai perkawinan gagasan tradisional Jawa dan inovasi-inovasi sering disampaikan dan didiskusikan di kedai kopi tempat dia bekerja. Salah satunya mengenai candaan mengenai “Kopi Kemanusiaan” yang menurutnya menjadi gerbang memberdayakan masyarakat di desanya. Salah satu bentuk konkretnya adalah pemberdayaan masyarakat desa melalui pelatihan pembibitan dan pembiakan lele yang diadakan di kedai kopinya, dan klinik pembuatan kopi yang diadakan di kantor desa.
Wawancara dimulai dengan penyampaian profil informan, lalu dilanjutkan dengan obrolan mengenai daya tarik Yogyakarta. Yogyakarta menurut Barkah merupakan kota yang merayakan budaya tidak terburu-buru. Dari segi wisata, menurut Barkah wisata di Jogja cenderung ekonomis karena dengan biaya yang tidak mahal dapat menikmati berbagai macam wisata. Selain itu, Barkah juga bercerita bahwa ikon Jogja seperti Tugu ramai dikunjungi wisatawan, dan ikon kuliner seperti bakpia dibeli sebagai oleh-oleh sebagai bukti bahwa mereka sudah ke Jogja.
Informan juga memberikan gambaran menarik mengenai Jogja. Menurutnya apabila mendengar kata Jogja, di benaknya langsung terlintas Keraton dan Jawa
88
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
karena di Jogja menjunjung tinggi “adab-adab Jawa”. Dia merasa bahwa mungkin ini daya tarik utama wisatanya, untuk “branding”-nya.
Mengenai penggunaan budaya Jogja sebagai bungkus wisata, Barkah menjawab dengan nada positif bahwa hal ini menjadi perangsang untuk ketertarikan kembali mengenai budaya Jawa yang akhir-akhir ini dia rasa mulai luntur. Dia memberi contoh lewat pemasangan papan nama jalan yang ditulis dengan tulisan
Bahasa Indonesia (latin) dan aksara Jawa.
Pada bagian ini, peneliti menyajikan beberapa posting iklan JS di Instagram beserta profil singkat JS kemudian meminta Barkah untuk mengutarakan opininya.
Sebelumnya, data visual dari Instagram JS. Gambar pertama yang diperlihatkan kepada Barkah adalah Tugu Jogja (Tugu Pal putih). Menurut Barkah, JS “...seolah- olah mengapresiasi Jogja,...mencintai Jogja.” Dia menambahkan, apabila berpikir dalam pola pikir berdagang, bangunan ini bisa “dijual”. Barkah juga mengungkapkan keheranannya tentang absennya produk JS di posting Instagram ini.
Menurutnya, apabila tujuannya menjual kuliner JS, maka produknya juga harus ditonjolkan. Menurutnya, “La nek ngene ki, sing dijual Jogjanya, bukan produknya.”
Gambar berikutnya merupakan posting dengan tema kuliner “khas” yaitu jadah tempe. Barkah berkomentar dengan nada yang mirip dengan posting tugu
Jogja, yakni untuk mendongkrak jumlah kunjungan profil Instagram JS, dan juga
Barkah mengungkapkan hal mengenai pentingnya tagar yang digunakan dalam postingannya. Tema berikutnya, merupakan kedaerahan, yang diwakili dengan posting visual Blangkon. Menurut Barkah, JS terlihat mengapresiasi budaya Jawa di
Jogja, tapi cenderung terburu-buru, jadi memungkinkan adanya blunder dengan kesalahan posting blangkon.
89
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Gambar berikutnya ialah tentang objek wisata yang diposting JS di instagram. Salah satunya Jalan Malioboro. Barkah sekali lagi menjawab dengan nada yang mirip dengan pembahasan sebelumnya, bahwa target JS merupakan kelompok milenial, atau kekinian, Barkah mengungkapkan bahwa malioboro menjadi objek yang menarik bagi warganet yang didominasi milenial. Posting di
Instagram pun dirasa tidak perlu riset yang berlama-lama, yang penting ada postingan yang Jawa banget.”
Setelah membicarakan gambar-gambar yang diposting JS di Instagram, wawancara berlanjut ke diskusi mengenai video-video iklan JS. Dua video yang diperlihatkan adalah video iklan JS dengan lagu cover Yogyakarta, dan video iklan
JS yang menggunakan lagu asli JS. Barkah beropini bahwa iklan video musik pertama merupakan sarana JS menggaet massa dari luar Jogja, khususnya dengan gambar-gambar objek wisata Jogja seperti pantainya. Dan dengan adanya nama Erix
(Soekamti), Barkah juga merasa bahwa JS juga menggaet massa dari dalam Jogja sendiri. Khususnya dari segmentasi pendukung band Endank Soekamti yang menurut Barkah didominasi anak muda juga.
Di iklan kedua, Barkah merujuk kembali pada posting Instagram JS dengan tema keagamaan, karena dalam video iklan JS dengan judul “Ingat Jogja, ingat Jogja
Scrummy”, karakter utama yang disorot merupakan seorang perempuan yang berhijab sebagai simbol yang diperlihatkan JS. Barkah merasa dari dua video yang diposting, JS menyasar subkultur warganet yang bernuansa muda atau “kekinian”.
Dari kedua video yang berisikan ucapan selamat ini, Barkah berpendapat bahwa “...perkara menembus akses sampai ke Dinas Pariwisata, ibaratnya di situ, dalam artian ingin memperlihatkan bahwa JS itu sangat diapresiasi oleh Dinas
Pariwisata....dan dari perwakilan Keraton.” Barkah mengungkapkan bahwa video
90
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dari Dinas Pariwisata dan dari perwakilan dalam Keraton sendiri merupakan strategi pemasaran JS untuk menjual produknya.
2. Arum
Wawancara ini dilakukan pada tanggal 11 Januari 2018 di warung kopi,
Kopilot. Susunan wawancara sama seperti informan sebelumnya. Arum dipilih sebagai informan karena latar belakangnya yang memang dekat dengan budaya
Jawa, apalagi Arum sendiri merupakan filolog Jawa, sehingga gagasannya cukup berbobot karena memiliki pengetahuan tentang budaya Jawa yang cukup kaya.
Arum memulai obrolannya dengan mengangkat tema tata cara pemakaian atribut tradisional Jawa yang digunakan Dude Harlino yang ditemukan di narasi laman situs web dan Baliho JS. Arum mengomentari bahwa Dude mengenakan blangkon Jogja, tapi yang dikenakan justru beskap Solo, bukan sorjan yang notabene pakaian tradisional Jogja. Penggunaan pakaian tradisional inilah yang membuat
Arum merasa janggal.
Saat wawancara, Arum juga bercerita tentang pengalamannya menemani kawannya berburu pakaian untuk perkawinan. Kawannya ingin mengenakan gaya pakaian seperti yang dipakai Dian Sastro (selebritis Indonesia) saat perkawinannya.
Arum dan kawannya berburu di tempat Dian Sastro mencari bahan kainnya, yakni di dekat Plengkung Gading, Keraton. Tapi, saat bertanya pada seorang bapak di sana, dia dan kawannya malah dimarahi dan dinasehati bahwa yang Dian Sastro gunakan itu melenceng dari pakem pakaian adat Jawa di Jogja. Pegawai lainnya menjelaskan bahwa Dian Sastro memang membeli bahannya di sini, tetapi menjahitnya di tempat lain. Arum lalu bercerita bahwa menurutnya, pakaian perkawinan yang dipakai Dian
Sastro tidak nyambung satu sama lain.
91
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Setelah membahas pakaian tradisional, informan diperlihatkan visual acara
FESTIVAL BREGADA JAGA JOGJA SCRUMMY 2018. Arum menanggapi bahwa “..budaya grebeg, gunungan sudah menjadi kebudayaan semua.” Arum memberikan contoh dengan acara grebeg pasar bahan yang digunakan macam- macam, di pasar hewan, ada macam-macam unggas, pada pasar sayur, ada sayur- mayur. Ada juga snack-snack yang dimasukkan. Jadi menurut Arum, grebeg dan gunungan sudah tidak lagi terfokus pada hasil-hasil bumi saja. Bahkan, Arum bercerita, ada gunungan yang isinya batu akik semua.
Mengenai posting yang muncul di Instagram, khususnya kuliner. Saat membicarakan topik ini, Arum merasa tidak mau berpendapat negatif mengenai cara
JS karena juga menjadi ajang promosi Jogja, tapi Arum kemudian menambahkan bahwa justru memunculkan kebingungan. Misalnya, apa hubungannya JS dengan produk kuliner tradisional, jadah tempe Jogja.
Arum juga mengungkapkan bahwa ikon-ikon seperti tugu Jogja dan blangkon sudah cukup umum digunakan oleh produk oleh-oleh lain. Bahkan, Arum menambahkan bahwa situs web resmi Keraton Yogyakarta sendiri juga menggunakan ikon yang sama. Walaupun begitu, ada kemungkinan pergeseran makna karena menurutnya, dari posting JS di instagram, Arum menilai pihak JS sepertinya tidak mengetahui filosofi dibalik Tugu Jogja, dan Blangkon.
Setelah itu wawancara berlanjut ke posting foto tugu Jogja (Pal Putih). Arum berkomentar bahwa ikon seperti Tugu, merupakan hal yang umum digunakan dalam periklanan pariwisata di Jogja.
“...tidak hanya JS yang menampilkan itu (foto Tugu Jogja), hampir di semua bisnis. Nisnis kuliner, wisata, gitu kan mesti menampilkan...landmark. Ini menurutku wes dadi template siapa aja yang mau cari uang di Jogja, menurutku sih. Penggunaan ini kan seperti, dia hanya mereproduksi apa yang sudah ada sebelumnya, kayak misalnya di website Keraton pun juga menampilkan seperti itu, terus hampir di buku sejarah...Jogja selalu menampilkan sumbu
92
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
imajiner. Nah itu dia, ya cara bodo ne ya wes podo wae. Menampilkan sesuatu yang orang sudah tahu.” Arum juga berpendapat bahwa ada perbedaan pemaknaan dalam menggunakan landmark Jogja, seperti tugu, yang dapat ditemukan di situs web
Keraton Yogyakarta dan akun instagram JS. Menurutnya, yang dari Keraton konsepnya jelas karena penggunaanya dilandasi data dan riset sejarah yang jelas.
Sedangkan dari JS, menurutnya, seperti buku katalog wisata yang kurang komplet, dan justru membuat wisatawan bertanya-tanya mengenai kaitan antara produk JS dengan tugu Jogja, karena berbeda dari yang ada di situs web Keraton, JS tidak memiliki hubungan sejarah dengan Yogyakarta. Arum juga menambahkan bahwa,
“...seolah-olah Tugu (Jogja) hanya dijadikan pemanis, pendongkrak lah penjualan
Jogja Scrummy.”
Selanjutnya obrolan dilanjutkan ke video iklan JS yang pertama, yakni cover lagu Yogyakarta oleh Vidi Aldiano. Arum berpendapat bahwa JS itu “...sama mengangenkan dengan lagu Kla Project... sama mengangenkan-nya dengan pantai selatan Jogja...” Di videonya, Arum berpendapat bahwa karakter yang ada menjalankan lapak tilas kenangan masa lalunya, tapi justru gak ada kenangan mengenai produk JS sendiri.
Di video kedua, “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy”, Arum berpendapat bahwa JS ingin membikin mitos baru, yang bisa jadi kenyataan kalau masyarakat
Jogja tidak mempersoalkannya, Arum lalu menambahkan,
“...ya sudah karena memang Jogja udah hybrid, ya ngapain kita mempermasalahkan kayak gitu ya? Tapi kalau orang yang concern sama tradisi atau kebudayaan sekarang kan ada...dana istimewa yang kembali mengangkat kelokalan identitas lokal, ya itu JS mungkin akan mendapatkan tantangan terbesar dari masyarakat- masyarakat yang tradisional, yang memang tahu betul apa panganan-panganan khas Jogja.” Kutipan wawancara di atas cukup menarik untuk dibahas karena memperlihatkan sikap Arum sendiri dalam menanggapi tren Jogja sekarang.
93
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pernyataan Arum tersebut dapat dianalisis lebih jauh pada bab berikutnya dan dapat
difokuskan pada munculnya wacana perihal pentingya pengetahuan mengenai
masyarakat tradisional Jogja.
I. Komentar Warganet
Komentar warganet yang muncul di postingan video JS juga cukup menarik, tapi
komentar-komentar di bawah ini nantinya hanya digunakan sebagai data sekunder yang
berfungsi memperlihatkan reaksi reaksi warganet perihal iklan JS. Komentar ini
setidaknya memberi gambaran mengenai cara kerja media sosial dalam konteks iklan.
1. Komentar Video iklan JS, “Yogyakarta”, di YouTube dan Facebook
a. Youtube
Komentar yang dipilih adalah komentar yang isinya bernada nostalgia,
mengenang pengalaman warganet yang mungkin berasal dari Jogja lalu merantau, atau
yang pernah melakukan studi di Jogja. Berikut beberapa komentar yang dipilih untuk
dibicarakan lebih jauh.
Pada komentar pertama, akun dengan nama muhamad subhan berbagi
pengalaman mengenai Jogja yang membuat rindu untuk dikunjungi lagi. Dia juga
mengungkapkan dukungannya untuk JS dan rasa cintanya terhadap Jogja.
Pada komentar kedua, akun dengan nama Gilang Anggananta membandingkan
lagu “Yogyakarta” versi Kla Project dan versi JS (Vidi Aldiano). Dalam
perbandingannya, dia mengungkapkan bahwa versi Kla Project menghadirkan suasana
“klasik, menawan dan abadi”, sedangkan versi JS, “bagus, modern, dan cathcy”.
Menariknya, dia membandingkannya lagi dengan lagu Indonesia Raya. Bahkan
mengungkapkan bahwa kedua versi lagu “Yogyakarta” tersebut berada satu level di
bawah lagu Indonesia Raya.
94
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b. Facebook
Selain diposting di YouTube, video tersebut juga disematkan di akun Facebook resmi JS dengan ditanggapi lebih dari 1000 komentar, dan 13.000 likes. Dalam posting videonya disertakan tulisan yang mengungkapkan bahwa lagu tersebut dirilis ulang dengan citarasa kekinian hasil kolaborasi Anto Hoed, Dude Harlino, Vidi Aldiano, dan
Erik Soekamti serta menampilkan banyak spot wisata terbaru di Jogja. Tulisan tersebut ditutup dengan tautan video di YouTube, dan tulisan yang mengatakan bahwa kalau ke
Yogyakarta jangan lupa untuk membeli produk JS karena produk tersebut merupakan produk terbaru di Jogja. Tulisan tersebut ditutup dengan ungkapan bahwa oleh-oleh Jogja tidak hanya bakpia. Di bagian ini, komentar yang bernada nostalgia dan yang berisikan kritik terhadap video iklan JS dipilih.
Di Komentar pertama, akun atas nama Ahmad Thohir Muzakki memulai dengan ungkapan Jogja yang bikin kangen, Jogja yang memberi kenangan. Gambaran ini merupakan gambaran Jogja yang sangat nostalgic. Setelah itu, pemilik akun menyayangkan bentuk produk JS yang serupa dengan produk Malang Strudel milik
Teuku Wisnu dan Shireen Sungkar. Pemilik akun tersebut juga melampirkan foto produk
Malang Strudel.
Pada komentar kedua, akun atas nama Anita Siswanto menyayangkan mengapa
JS tidak membikin lagu sendiri. Menurut Anita, lagu “Yogyakarta” buatan Kla Project merupakan lagu identik dengan gambaran “klasik” Yogyakarta yang identik dengan kuliner Pecel, Gudeg, dan Klepon, objek wisata malioboro dan budaya Keraton.
Anita menambahkan bahwa lagu Kla Project tidak cocok dipakai untuk mewakili
JS yang bukan dari Jogja tapi justru hadir di Jogja. Admin JS menjawab komentar tersebut dengan informasi bahwa tujuan JS itu baik, penggunaan lagu “Yogyakarta” yang diaransemen ulang oleh Anto Hoed dan dinyanyikan Vidi Aldiano merupakan proyek
95
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
inovasi guna menggaet konsumen muda (milenial). Jawaban komentar diakhiri dengan
mengingatkan Anita untuk mencoba JS yang satu-satunya di dunia.
Dari pembacaan komentar-komentar tersebut, dapat ditemukan peran lagu
“Yogyakarta” bikinan Kla Project, yang dirilis tahun 1991, dalam penggambaran
Yogyakarta. Dalam iklan JS lagu tersebut diaransemen dan dirilis ulang dengan nada
yang lebih kekinian. Peran lagu tersebut dapat dilihat dari tendensi pemilik akun di atas
yang membandingkan lagu “Yogyakarta” versi JS dengan versi Kla Project.
2. Komentar video iklan JS, “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy.”
Video iklan yang diposting di YouTube tersebut tidak begitu ramai dibicarakan
di kolom komentar YouTube. Video dengan lagu jingle JS tersebut justru ramai
dibicarakan di Facebook. Berikut tiga tangkapan layar kolom komentar video iklan JS,
“Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy.” Komentar yang dipilih pada bagian ini adalah
komentar yang berisikan nada kepuasan konsumen yang pernah membeli produk JS.
Akun pertama, dengan nama Silvia Andini Prabawani mengungkapkan bahwa
produk JS rasanya enak dengan harga yang terjangkau. Komentar ini dijawab oleh admin
akun JS dengan ucapan terimakasih. Pada komentar berikutnya, akun dengan nama
Hidayat Noer mengungkapkan hal yang sama dengan yang ada di komentar pertama,
bahwa harganya terjangkau. Admin JS menjawab dengan ucapan terimakasih dan
Hidayat menjawab dengan klaim bahwa saudaranya yang di Jakarta dan Bekasi juga
menyukai JS serta selalu minta produk JS dijadikan oleh-oleh.
J. Ke-Yogyakarta-an Ideal
Dari data-data yang dihadirkan di atas, dapat ditemukan bahwa JS menggiring
opini warganet di dunia maya (pengguna media sosial) dan calon konsumen di dunia
nyata kepada gagasan ideal Yogyakarta yang disajikan JS dengan menggunakan
96
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
penanda-penanda yang sudah ada, yang kemudian dihadirkan dengan petanda baru sehingga melahirkan makan baru.
Pembentukan makna baru tersebut dilakukan dengan cara mengulang visual dan kata yang seakan-akan merepresentasikan Yogyakarta. Apa yang dihadirkan JS justru menghadirkan kebingungan terhadap konsep Jawa yang sampai sekarang lekat dengan konteks identitas masyarakat Yogyakarta. Sebagaimana bab sebelumnya yang membicarakan perubahan budaya kuliner di Yogyakarta yang sudah menjadi bagian dari gaya hidup yang hibrid (kosmopolitan), JS menyajikan nuansa modernitas dan tradisional pada advertorialnya untuk memberikan sugesti wacana Yogyakarta yang ideal yang seakan-akan produk budaya kolektif karena menggunakan visual ikon-ikon kolektif
Yogyakarta.
Pengulangan visual kolektif Yogyakarta (seperti tugu, dan jalan maliboro), dan penegasan melalui lirik lagu bahwa JS merupakan bagian dari Yogyakarta, yang juga menjadi semakin lekat dengan budaya pop Jogja, dan video iklan dengan lirik lagu buatan
JS yang di dalamnya berisi penegasan kembali bahwa JS merupakan produk kuliner kekinian namun masih sangat “Yogyakarta” – inovatif tapi masih tetap menjunjung tradisi. Akan tetapi, pada kenyataanya, yang ditekankan justru pada aspek memori romantisme terhadap Yogyakarta, yang justru terkesan mengeksploitasi dan mengeksotiskan Yogyakarta.
Visual di atas menjadi lebih menarik untuk diperbincangkan terlebih dengan dipublikasikannya video dari Dinas Pariwisata, Asisten Keistimewaan, dan GKBR
Pakualam X. Ketiganya memberikan ungkapan selamat dan dukungan kepada JS, bahkan dirasa menjadi kebanggaan masyarakat Yogyakarta. Tetapi, apakah yang diungkapkan melalui berbagai macam penanda dan petanda yang menggiring konsumen untuk
97
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
membeli produk JS dan visual yang dirasa “khas” Yogyakarta sesuai dengan yang dirasakan warga Yogyakarta sendiri?
Dari apa yang dapat ditemukan melalui interview dengan Barkah dan Arum, dapat ditemukan bahwa aktivitas JS tersebut memang dirasa bermasalah dan menggelisahkan mereka, tetapi pada akhirnya berkesan “dimaklumkan” karena aktivitas ini memang demi kepentingan dagang mereka ditambah adanya kerjasama dengan
Pemerintah Daerah sehingga berpotensi membantu perekonomian (pariwisata) daerah.
Berbeda dengan Barkah, Arum memandang advertorial JS dengan kritis dan mengungkapkan bahwa ucapan selamat dari “otoritas” kebudayaan DIY (GKBRA
Pakualam X, Asisten Keistimewaan, dan Dinas Pariwisata) tersebut mungkin dapat dibaca sebagai sikap tuan rumah yang menerima tamunya. Oleh karena itu, mengucapkan selamat belum tentu sepakat dengan produk JS. Lantas, apa yang diungkapkan “otoritas” kebudayan DIY di atas merupakan bentuk dari “bahasa kosong” yang bertujuan membuat nyaman pendengarnya. Tetapi, pada akhirnya malah membuat bingung.
Tetapi, peneliti melihat bahwa temuan kontradiksi mengenai reaksi informan terhadap data visual di atas justru memperlihatkan pluralitas pemahaman mengenai wacana Jawa di Yogyakarta yang menutup(-nutupi) kenyataan yang ada. Lantas, bagaimana pengaruh wacana yang dihadirkan JS beserta pluralitas pemahaman keistimewaan Yogyakarta dengan yang terjadi di masyarakat? Pertanyaan dijawab pada bab berikutnya dengan bantuan data review penilaian desa budaya DIY 2016.
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB IV YOGYAKARTA INDAH JOGJA SCRUMMY
A. Pembentukan Wacana Yogyakarta Indah Jogja Scrummy (JS)
Pada bagian ini, pembacaan atas advertorial JS lebih diperdalam dan disandingkan dengan hasil interview dengan informan-informan yang telah ditata dan dijelaskan pada bagian sebelumnya guna menjawab pertanyaan ketiga dalam rumusan masalah. Pada bagian sebelumnya, telah ditemukan geliat JS dalam menyajikan visual
Yogyakarta yang ideal menggunakan penanda yang sudah ada. Maka dari itu, pada bagian ini, peneliti mendiskusikan hasil tanda-tanda baru yang kemudian dikaitkan dengan praktek pembentukan wacana yang dilakukan JS.
1. Narasi Situs Web JS
Pada artikel yang pertama, pada paragraf pertama, JS mengungkapkan
Jogja yang Istimewa karena kemajemukannya, kebudayaan, dan produk kuliner
bakpia. Dari pembukaan artikel ini, terlihat adanya gagasan konsensus Jogja
Istimewa yang kerap diulang-ulang melalui tuturan masyarakatnya, pemberitaan
media, dan juga dari otoritas kebudayaan DIY. Gagasan keistimewaan ini sangat
berpengaruh – bagaikan mantra – hingga ada kebijakan mengenai Dana
Keistimewaan, munculnya jabatan Asisten Keistimewaan yang berkewajiban
mengatur status keistimewaan Jogja.
Dana keistimewaan ini kemudian juga berkait dengan adanya dana desa
budaya, yang dapat dilihat dalam form “Review Identifikasi Potensi Budaya Desa
/ Kelurahan Budaya. Kegiatan Pendampingan Masyarakat Pecinta Seni dan
Budaya, Program Pengembangan Nilai Budaya, tahun 2016”. Dalam form
penilaian tersebut, tertera pula kolom lembaga yang menaunginya, dan tingkat
partisipasi masyarakat desa. Selain itu, ada juga pengukuran mengenai potensi
98
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
pasar produk. Apakah hanya diminati dari lingkup lokal (masyarakat setempat), tingkat kecamatan dan kabupaten, di luar kabupaten provinsi, di luar provinsi
(nasional), atau bahkan diminati secara internasional. Setelah kolom pengukuran potensi produk dalam menjangkau pasar tersebut, ditemukan pula pengukuran kegiatan konservasi yang dilakukan masyarakat setempat, yang dalam formulir tersebut dituliskan bersifat mengikat dalam upaya melestarikan produk-produk yang ditujukan.
Menurut Bayu, seorang informan yang merupakan salah satu asisten penilaian identifikasi desa budaya, mengungkapkan bahwa kenyataan yang terjadi di lapangan berbeda dengan rencana di atas kertas (form penilaian). Di salah satu kawasan yang dinilai ditemukan adanya usaha penyeragaman demi kemudahan pendataan, yakni di kawasan Sentra Gudeg Wijilan. Menurut kesaksian informan yang melakukan penilaian di kawasan tersebut, terdapat penolakan terhadap program tersebut. Alasannya karena sebelum hadirnya pemerintah daerah melalui penilaian dana desa budaya tersebut, warung-warung gudeg yang berjualan di sana tetap dapat bertahan lama. Langkah pemerintah daerah tersebut dirasa justru mengganggu dinamika mereka.
Celakanya, dalam salah satu kategori penilaiannya, sebagai syarat supaya menjadi “desa budaya” diperlukan adanya penyelenggaraan kirab atau arak- arakan budaya, yang sebenarnya tidak semua desa memiliki tradisi atau kebiasaan kirab. Pada akhirnya, tidak sedikit desa yang memaksakan budaya kirab tersebut, bahkan dengan tema yang juga disarankan dari pemerintah, yakni, cerita khas daerah tersebut. Tema tersebut juga mendasari acara jathilan yang juga menjadi kriteria penilaian dana desa budaya.
99
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Lurah di desa tersebut pun juga cenderung bersikap kurang peduli terhadap program tersebut. Ironisnya, walaupun tetap ada desa yang mengikuti prosedur yang sudah ditetapkan dan sudah disepakati, kenyataanya tetap membingungkan karena hingga tahun 2018 – 2 tahun setelah penilaian – dana yang dijanjikan belum turun juga. Ketidakpedulian lurah terhadap program tersebut juga didasari oleh alasan yang sebenarnya masuk akal, karena di daerah tersebut sebenarnya sudah memiliki cara sendiri dalam mengatur produk-produk kebudayaannya dan sudah merasa nyaman dengan cara itu. Maka, pihak Dinas
Kebudayaan yang membantu pun dirasa hadir secara tiba-tiba dan dianggap tidak mendukung cara kerja yang lama.
Konteks budaya yang sedang hangat diperbincangkan seperti di atas, apabila dikaitkan dengan kemunculan JS dan terlebih jika melihat artikel situs web JS, ada keinginan untuk ikut serta dalam keistimewaan kebudayaan
Yogyakarta melalui penegasan citra Yogyakarta yang, sebenarnya, sudah dijadikan templat iklan pariwisatanya. Hal yang menarik untuk diperhatikan dalam hal ini adalah adalah JS menegaskan citra Yogyakarta dengan “mitos”
Keraton dan Malioboro serta melalui narasi-narasi yang menekankan kenangan- kenangan indah.
Narasi tersebut terlihat jelas ditonjolkan di artikel kedua – yang masih ada di situs web sampai sekarang – pada paragraf kedua. Dalam artikel tersebut JS mengklaim bahwa Dude Harlino membuka usaha kulinernya karena rasa cintanya
Dude terhadap Jogja yang timbul dari pengalaman syuting film layar lebar di
Yogyakarta yang dirasa menjadi kenangan indahnya. Pada artikel pertama JS, rasa cinta tersebut disampaikan pada paragraf keempat, walaupun begitu tidak begitu dijelaskan sedetail pada artikel kedua.
100
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Kecintaan Dude terhadap Yogyakarta yang disandingkan dengan sejarah bakpia menjadi upaya JS untuk menggiring opini para pengguna gawai yang membaca tulisan tersebut. JS mencoba menutup aspek negosiasi antar budaya
(kolektif) masyarakat di Yogyakarta. Berbeda dengan Bakpia yang menjalani proses yang amat panjang dan lama dalam memunculkan wacana “khas”
Yogyakarta, yang sebenarnya bukan tujuan utama distribusi bakpia. Wacana tersebut hadir secara langsung dengan pertemuan antar budaya di Yogyakarta. Di sisi lain, JS memunculkan wacana yang Yogyakarta dengan sepihak, melalui narasi kekuasaan otoritas kebudayaan di Yogyakarta.
Kembali ke cerita kecintaan Dude yang bermula dari kenangan syuting di
Yogyakarta, cerita mengenai kenangan indah tersebut dapat dibandingkan dengan konsep “kehilangan” yang dapat ditemukan dalam buku “Pahlawan-Pahlawan
Belia” Saya Siraishi (2001:83). Konsep dan imajinasi “kehilangan” tersebut merupakan rasa “yang tidak menyenangkan” dan mendorong munculnya usaha menghadirkan kembali kenangan indah yang sudah lewat serta membuat rasa kehilangan tersebut semakin nyata. Rasa inilah yang sebenarnya ingin direkayasa ulang dalam manipulasi narasi JS dan dari narasi tersebut sepertinya wacana yang ditawarkan kepada konsumen ataupun calon konsumennya. Bentuk kenangan- kenangan indah yang muncul karena asosiasi konsumen terhadap visual JS di instagram.
Publikasi visual tersebut dikaitkan dengan konsep “kehilangan” yang menjadi selubung rasa kenyamanan, keindahan, keamanan, dan kehangatan yang ditimbulkan bagaikan seorang anak yang digendong dengan “selendang”, dengan kata lain, menjadi bentuk ketergantungan terhadap ikon-ikon Yogyakarta
101
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tersebut. Gagasan “selendang” di atas disandingkan dengan pembedahan data- data visual ikon Yogyakarta pada Baliho dan postingan Instagram JS.
2. Simbol-simbol ikonik Jogja di Baliho, dan Instagram
Sebelumnya perlu dipahami bahwa prioritas JS memang menawarkan produknya untuk konsumen yang berasal dari luar Yogyakarta, yang mungkin menetap di sana dan ada kalanya pulang ke daerahnya; misalnya mahasiswa.
Selain itu target juga disasarkan wisatawan domestik yang berkunjung di
Yogyakarta. Dari pengamatan di lapangan dan obrolan singkat dengan orang yang membeli produk tersebut di gerai JS, pembeli produk JS, selain karena memang terkesan membeli produk tersebut karena embel-embel Yogyakartanya, “Yang penting dari Jogja...”, kata seorang pembeli yang saya temui di gerai JS cabang
Malioboro, pembeli juga melihat unsur wajah selebritis yang dihadirkan dan tren produk kuliner tersebut. Lantas apakah kehadiran wacana tersebut dirasakan bermasalah?
Diskusi dapat kita mulai melalui aktivitas digital JS yang dibandingkan dengan tren inovasi produk kuliner di Yogyakarta. Inovasi yang dihadirkan, di satu sisi, menghadirkan inovasi dengan produk kuliner oleh-oleh yang menghadirkan konsep modern (kekinian) yang membuka ruang kemungkinan untuk kreativitas tanpa batas, di sisi lain, JS menghadirkan gagasan tradisional dalam pemasaran produknya.
Dari visual yang dihadirkan, JS terlihat berusaha memberikan gambaran ideal Yogyakarta oleh JS dengan menggunakan penanda yang dianggap mewakili identitas budaya tradisional Jogja, seperti blangkon Jogja, lalu menghadirkan arsitektur (landmark) dan tempat wisata yang identik dengan Jogja dalam visual
102
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
iklan di media sosial, dua spot yang diposting ialah Tugu Jogja dan Jalan
Malioboro.
Tugu dan Jalan Malioboro menjadi templat visual Yogyakarta sebagai promosi pariwisata atau iklan-iklan kuliner lainnya karena kedua lokasi tersebut kental dengan nuansa historis dan filosofisnya. Kedua lokasi tersebut merupakan bagian dari sumbu imajiner di DIY, dimulai dari Gunung Merapi, Tugu Jogja sebagai tengah-tengahnya, lalu Jalan Malioboro sebagai gerbang masuk Keraton, kemudian ada Panggung Krapyak, lalu diakhiri dengan Pantai Selatan. Selain kedua lokasi tersebut, JS juga menghadirkan perwakilan produk kuliner tradisional, yakni jadah tempe yang menjadi ikon Kaliurang.
Pembacaan visual tersebut dibagi dengan dua tahap, pencarian makna denotatif (dennotation) dan makna konotatif (connotation). Makna denotatif dalam hal ini adalah pembacaan deskriptif visual yang dihadirkan, tentu termasuk pesan tersirat (coded message) dan pesan tersurat (linguistic message) melalui caption Instagram. Makna konotatif merupakan pesan yang sudah diasosiasikan dengan hayati kultural Yogyakarta (situasi sosial masyarakat, dan pengetahuan mengenai budaya tradisional).
Proses pembentukan makna tersebut dapat dapat menjadi arah mengenai pencarian bentuk tawaran wacana yang disajikan JS melalui publikasi visualnya.
Visual yang disajikan tersebut lantas disandingkan dengan konsep “Selendang” yang diungkapkan Saya Siraishi.
a. Blangkon
Pada visual ini terlihat seorang lelaki paruh baya yang mengenakan
kemeja batik dan sedang mengenakan blangkon di kepalanya. Di samping visual
103
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
terdapat deskripsi mengenai blangkon yang tidak hanya dapat ditemukan di
Yogyakarta.
Perbedaan blangkon Yogyakarta dengan blangkon lainnya, menurut deskripsi tersebut, adalah adanya mondolan di bagian belakang blangkon.
Disertakan juga makna filosofis mondolan pada blangkon yang merupakan bentuk kepandaian masyarakat Jawa dalam menyimpan rahasia dan tidak akan menjelek-jelekkan orang lain. Selain itu mondolan pada blangkon merupakan salah satu bentuk pelestarian budi pekerti sesuai budayanya. Dari publikasi visual blangkon beserta caption-nya dapat dilihat ada upaya pembuktian bahwa
JS memahami makna filosofis blangkon dan bahwa JS turut serta dalam pelestarian kebudayaan tradisional Yogyakarta.
Di balik visual dan caption blangkon tersebut, ditemukan hal berbanding terbalik. Menurut Arum, salah satu informan, yang merupakan seorang filolog, mengungkapkan bahwa memang filosofis mengenai blangkon tersebut tidak salah. Tetapi, blangkon yang diposting tersebut justru malah blangkon Solo karena mondolan-nya yang trepes, sedangkan mondolan blangkon Jogja seharusnya berisi. Informan lainnya, Barkah, justru mengungkapkan kebingungannya karena menurut dia, blangkon tersebut merupakan blangkon
Jogja. Tapi, dia sendiri juga tidak yakin kalau blangkon yang diposting merupakan blangkon Jogja atau Solo dan menariknya lagi, fakta di lapangan mengatakan bahwa penjual blangkon yang ada di Malioboro pun justru kebanyakan berasal dari luar Jawa – ada yang dari Padang, Manado, Medan, dan
Jawa Barat. Atribut kepala yang dijual pun tidak hanya blangkon Jogja, blangkon Solo, blangkon Jawa Timuran, dan udeng Bali pun dapat ditemukan.
104
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari reaksi kedua informan, dapat ditemukan bahwa JS memang tergesa-
gesa dalam penulisan caption dan penghadiran visualnya. Kemungkinan besar
JS memang sengaja seperti itu karena kebutuhan pemasaran yang
mengedepankan kecepatan publikasi secara luas melalui media sosial.
Akibatnya, ditemukan kerancuan antara visual dengan caption dan dengan
komentar dari warga Jogja yang memahami blangkon.
Dibalik kerancuan di atas, John Pemberton (2003) mengungkapkan asal-
usul blangkon yang merupakan kata serapan dari blanco yang dalam Bahasa
Belanda merupakan istilah birokratis untuk formulir yang perlu diisi dan
ditandatangani. Pemberton menambahkan bahwa “blancon” menempatkan
pemakaianya ke suatu konsep pro kemajuan dan konsep yang sangat “Jawa”.
Hal serupa diserukan juga dalam Kongres Kepanduan Jong Java yang
disponsori Mangkunagara VII, “Kemadjoean! Kemadjoean! Penutup Kepala
Blancon!”1.
Pemahaman mengenai blangkon dalam konteks Pemberton di atas dapat
dibandingkan dengan visual blangkon JS. Visual blangkon JS mengungkapkan
hal yang serupa pula dengan apa yang diserukan dalam Kongres Kepanduan
Jong Java yang diungkapkan Pemberton, JS menghadirkan blangkon dalam
bingkai media sosial sebagai perpaduan (yang berkesan) harmonis antara
konsep kemajuan dengan konsep “Jawa”. Apa yang diungkapkan Pemberton
serupa dengan konsep blangkon yang dihadirkan JS di media sosial, yakni upaya
menggabungkan budaya (artefak) tradisional kolektif Yogyakarta dengan
kesadaran modernitas.
1 Pemberton, John. 2003. “JAWA”, on the Subject of “Java”. Mata Bangsa, Yogyakarta (diterjemahkan dari buku On the Subject of “Java, Cornell University Press, Ithaca,1994), hlm. 182-183
105
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
b. Tugu Jogja
Visual kali ini fokus pada Tugu Jogja yang menjadi situs tradisional populer di Yogyakarta. Tugu Jogja terlihat gagah karena pengambilan gambar yang memang difokuskan pada Tugu tersebut. Latarbelakang Tugu tersebut dapat terlihat lalu lintas yang lancar dan terbilang sepi, selain itu cuaca terlihat cerah dengan langit yang biru dengan awan putih. Di sisi kanan Tugu terlihat ada baliho yang diedit menjadi logo JS dengan latar belakang oranye, bertuliskan “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy.”
Di samping posting visual terdapat caption yang mengungkapkan bahwa
Tugu Jogja ini merupakan landmark yang menjadi pusat berkumpulnya pemuda-pemudi Yogyakarta yang kreatif. Selain itu, juga ditemukan ajakan untuk mengunjungi Tugu Jogja di waktu malam sembari mencicipi kuliner yang ada di sekitar Tugu, lalu pada besoknya mengunjungi Jogja Scrummy untuk membeli produk oleh-oleh yang dijual di sana. Caption ditutup dengan kalimat,
“Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy.”
Visual tersebut terlihat berbanding terbalik dengan kenyataan di lapangan.
Foto kawasan Tugu Jogja yang disajikan pada visual tersebut kemungkinan besar diambil pada waktu pagi hari, sebelum jam sibuk (di bawah jam 08.00
WIB). Walaupun begitu, akhir-akhir ini, Tugu Jogja selalu ramai, dan sulit menemukan waktu sepi yang ideal untuk berfoto.
Apabila mengunjungi Tugu pada malam hari, justru lebih ramai lagi, terutama di atas jam 19.00 WIB. Pada waktu-waktu tersebut, khususnya pada akhir pekan, kawasan Tugu menjadi sangat ramai menjadi tempat kumpul anak- anak muda. Ada warung kopi yang buka di pinggir jalan Jenderal Sudirman, warung angkringan, dan Tugu Jogja, yang berada di tengah perempatan Jl.
106
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jenderal Sudirman, Jl. A.M Sangaji, dan Jl. Mangkubumi, menjadi kawasan
ajang swafoto anak-anak muda, yang cukup bikin ruwet lalu lintas karena
banyak kelompok anak muda yang berkumpul di kawasan Tugu Jogja tersebut.
Pada bulan Februari 2019, Peneliti sempat mewawancarai orang yang
berswafoto di sana, dan kebanyakan menjawab bahwa mereka berfoto di sana
supaya menjadi bukti bahwa mereka di Jogja. Foto tersebut pun lantas diposting
ke akun media sosial mereka. Konon, kawasan Tugu Jogja menjadi ramai karena
sempat ada mitos bahwa orang yang menyentuh Tugu, dianugerahi
keberuntungan dan selain itu ada mitos yang mengatakan bahwa siapa yang
berfoto di Tugu Jogja, dia akan kembali lagi ke Jogja. Semenjak itu kawasan
Tugu Jogja menjadi semakin ramai. Lalu guna menjaga Tugu Jogja pada tahun
2013 tugu Jogja mulai dipagari dan wisatawan yang ke sana dilarang
menyentuhnya2.
Menurut Arum, Tugu Jogja, sudah menjadi templat untuk semua jenis
produk. Tugu Jogja pun juga disertakan di dalam situs web Keraton Yogyakarta.
Menurutnya pun filosofinya berubah, karena kalau di Keraton, yang ditekankan
ialah Tugu sebagai sumbu imajiner Yogyakarta yang merupakan satu kesatuan
dengan Malioboro, dan Panggung Krapyak. Sedangkan, di JS menurutnya lebih
menekankan pada unsur estetis dalam konteks pariwisata saja.
Dibalik unsur estetisnya, sepertinya tidak banyak yang tahu kalau Tugu
Jogja dulunya diberi nama Golong-Gilig yang bentuknya juga sangat berbeda
dari yang sekarang3. Setelah dipugar oleh Pemerintah Kolonial Belanda karena
2 Pada tahun 2015 ada kejadian menarik di Tugu Jogja. Ada seorang warga negara asing yang tiba-tiba menyebrang ke Tugu Jogja sambil membawa botol minum berisi cat warna merah, lalu menyiramkannya ke badan Tugu. Warga negara asing tersebut lalu diamankan, dan menurut salah satu sumber, pelaku melakukannya karena stress. 3 Bentuknya dulu lebih menyerupai phallus atau lingga yang merupakan simbol kesuburan.
107
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sempat roboh, Tugu tersebut bentuknya diubah dengan alasan ingin membongkar mitos Jawa di Yogyakarta, dan kemudian diberi nama Tugu Pal
Putih.
Disamping tanggapan informan mengenai pentingnya Tugu Jogja dalam filosofi Jawa di Yogyakarta, pada kenyataanya, pengetahuan mengenai sumbu imajiner Jogja hanya dikenal di kalangan tertentu, akademisi yang fokus pada
Jawa, orang Jawa tradisional, dan bagi mereka yang tinggal di njero beteng
(dalam Keraton). Pengetahuan mengenai hal-hal tradisional di atas sepertinya masih kurnag dipahami oleh akademisi lain yang studinya tidak berkaitan dengan Jawa di Yogyakarta, apalagi oleh wisatawan-wisatawan yang memang tidak tertarik untuk mengetahui lebih jauh.
JS memanfaatkan penanda tersebut beserta asosiasi yang ada dibaliknya
(narasi historis dan mitos-mitosnya) dengan menggabungkan konteks masyarakat yang ada di masa kini. Pada prakteknya, unsur historis Tugu Jogja sudah dirasa tidak penting, justru yang masih ada adalah mitos-mitos baru mengenai tugu yang populer di kalangan mahasiswa yang melakukan studi di
Yogyakarta. Salah satu pengunjung di Tugu Jogja menceritakan adanya mitos tentang ritual menyentuh Tugu supaya perkuliahannya lancar dan cepat lulus.
Selain itu ada anggapan bahwa jika melakukan swafoto di sana akan cepat dapat jodoh dan terhindar dari segala kemalangan.
c. Jalan Malioboro
Visual kali ini menyajikan gambar suasana Jalan Malioboro, khususnya di sekitar papan nama jalan. Terlihat papan nama jalan itu berdiri di depan lampu kota. Keduanya dicat warna hijau dan kuning emas, begitu pula dengan papan nama jalannya. Pada papan nama jalan tersebut tertulis “Jl. Malioboro” dalam
108
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
huruf latin berwarna putih dan di bawahnya terdapat huruf aksara Jawa yang
juga berwarna putih.
Lalu lintas di jalan Malioboro terlihat ramai senada dengan situasi di
trotoar pejalan kaki. Terlihat pusat keramaian terletak di sekitar papan nama
yang menjadi pintu masuk rangkaian pusat perbelanjaan di Malioboro. tersebut.
Di visual tersebut terlihat sekelompok orang pemuda, dua di antaranya terlihat
sedang memotret dengan ponsel pintar, dan terlihat seorang perempuan – yang
saya asumsikan – sedang berpose. Di samping papan nama jalan tersebut juga
terlihat seorang pejalan kaki lainnya yang bersliweran tidak menggubris
keramaian di papan jalan tersebut.
Di samping visual tersebut terdapat caption yang mengungkapkan bahwa
aktivitas berfoto di Jalan Malioboro yang ikonik merupakan satu dari dua hal
yang tidak boleh terlewatkan. Satu hal lainnya adalah datang ke salah satu gerai
JS untuk mencari oleh-oleh. Kalimat ditutup dengan mengajukan pertanyaan ke
pembaca linimasa instagram mengenai pengalaman berfoto di Malioboro.
Pesan trivial yang disampaikan melalui visual dan caption seperti di atas
dapat dibandingkan dengan konteks budaya Yogyakarta mengenai Malioboro.
Warna papan nama jalan dan lampu kota – yang tidak hanya berdiri di jalan
Malioboro – sebenarnya berangkat dari sejarah Keraton Yogyakarta yang
memang menggunakan warna hijau parianom4 dan kuning emas sebagai
simbolnya. Bentuk ornamen papan nama dan lampu kota tersebut juga
menunjukkan gaya kolonial kuno yang eksotis.
Saya pernah mengajukan pertanyaan kepada beberapa anak muda yang
berfoto di sana perihal alasan berfoto di papan nama jalan tersebut. Alasan
4 Parianom arti harafiahnya adalah padi yang masih muda.
109
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mereka sebagian besar memang sebagai bukti bahwa sudah di Malioboro, dan
tujuannya tentu diposting di media sosial, ada yang mengungkapkan dijadikan
insta-story, status Whatsapp, dan hanya sekedar di posting dengan caption dan
tagar di Instagram dan di Facebook.
Orang yang saya tanyai memang kebetulan berasal dari luar Yogyakarta,
toh memang saya melakukan obrolan singkat tersebut di masa-masa liburan.
Maka jelas semua orang yang saya tanyai tidak mengetahui cara membaca
aksara Jawa tersebut. Kebanyakan menjawab, “ya itu bacanya ya Jalan
Malioboro.” Memang tidak keliru, hanya saja cara pembacaanya tidak seperti
membaca bahasa Indonesia, tapi dibaca “dalan Maliyabara”, yang kemungkinan
besar berasal dari asal usul nama Jalan Malioboro itu sendiri yaitu, Malyabhara
yang berarti Jalan Berhiaskan Untaian Bunga.5
Asal-usul penamaan jalan tersebut sebenarnya cukup bervariasi, satu
sumber mengatakan bahwa asal nama tersebut diambil dari gelar seorang
jenderal Inggris yang namanya terkenal, John Churchill, Duke of Marlborough.
Akan tetapi, Inggris sendiri tidak pernah menguasai Yogyakarta secara formal
selama periode pendudukan militer Inggris 1811-1816. Maka, menurut Peter
Carey (2015), asal-usul nama yang paling benar ialah dari melihat fungsi jalan
ini sendiri yakni sebagai bagian dari upacara penerimaan tamu Keraton.
Melalui upacara penerimaan tamu tersebut, tamu-tamu yang hadir
“dijinakkan” melalui prosesi yang penuh makna-makna simbolis dengan
berjalan melewati Tugu dan waringin kurung sejauh satu kilometer ke selatan
dengan kawalan prajurit Jawa bersenjata. Fungsi “menjinakkan” tersebut terkait
5 Peter Carey, et al. 2015. Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro. Komunitas Bambu, Depok, hlm. 7-25
110
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
dengan simbolisasi pertarungan harimau melawan kerbau. Kerbau mewakili orang Jawa yang lambat tapi penuh perhitungan, dan harimau mewakili Eropa yang memiliki kecepatan tetapi mudah lelah.
Dari gambaran nama Malioboro di atas, dan dibandingkan dengan keadaan sekarang, maka dapat ditemukan perubahan-perubahan fungsi jalan tersebut. Pada awalnya, sekitar tahun 1755-1945 fungsi Jalan Malioboro lebih sebagai sarana seremonial (perayaan) seperti penerimaan tamu. Pada tahun
1945-1950, Jalan Malioboro lebih ditujukan sebagai simbol kultural. Selain itu juga mengakomodasi urusan politik, dan ekonomi. Pada tahun 1950an sampai
1980an hingga 2010an, Jalan Malioboro berfungsi lebih sebagai destinasi wisata. Hal ini terlihat dari banyaknya lokasi perbelanjaan dan lokasi historis yang menarik perhatian pelancong sebagai objek berfoto, bahkan tak sedikit pula yang beranggapan bahwa nama Malioboro tersebut berasal dari pelafalan lidah “Jawa” iklan baliho rokok Marlboro yang memang sempat ada di depan
Stasiun KA Tugu.
Fungsi seremonial jalan Malioboro yang seperti pada tahun 1755-1945 memang sudah tidak berlangsung, dan digantikan dengan fungsi seremonial laiinnya seperti perayaan Imlek dan arak-arakan gunungan sekaten. Selain itu,
Jalan Malioboro juga mengakomodasi urusan seremonial kontemporer kekinian yakni sebagai latar foto atau objek foto para wisatawan (yang kebanyakan) domestik atau mancanegara yang menjadi bukti bahwa “saya sudah pernah atau sedang berada di Yogyakarta”.
Aktivitas-aktivitas swafoto yang dilakukan tersebut pada prakteknya memang lebih populer dilakukan oleh pelancong-pelancong dari luar
Yogyakarta atau mahasiswa dari luar Yogyakarta. Malioboro menjadi
111
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
representasi ruang plural digunakan untuk mendukung produk JS yang memang sangat hibrid.
d. Jadah Tempe
Visual jadah tempe pada posting JS tersebut terlihat ada tiga buah jadah dan dua buah tempe bacem yang ditata secara ber-jejer-an dengan urutan jadah- tempe bacem-jadah-tempe bacem-jadah. Jadah tempe tersebut ditata di alas daun pisang berwarna hijau dan diletakkan di atas piring tembikar berwarna cokelat serta terlihat kesemuanya ditata di atas meja berwarna cokelat.
Di samping visual terdapat caption yang mengatakan bahwa wisatawan yang berkunjung ke Yogyakarta hendaknya mampir ke Kaliurang dan mencoba jadah tempe tersebut. Menurut caption jadah tempe merupakan gabungan dari dua makanan yang berbeda. Selain itu, disebutkan juga deskripsi bahan jadah yang dibuat dari dari ketan. Disebutkan bahwa rasa ketan tersebut gurih dan disajikan dengan tempe bacem yang manis serta bersama dengan cabai rawit dan kopi. Menurutnya, kombinasi rasa tersebut sangat pas terutama jika dikonsumsi di Kaliurang yang udaranya dingin.
Namun postingan diatas terasa sangat kurang, penyebutan bahan dasar jadah sangat minim karena proses pembuatan dari ketan sendiri tidak mudah.
Apalagi tempe bacem yang lama pembuatannya tidak sebentar. Postingan instagram JS mengenai jadah tempe di atas memang menyederhanakan proses pengolahan yang sebenarnya.
Di Kaliurang, apabila pergi ke lokasi Tamansari yang memang top dengan jadah tempenya, alas penyajian yang sering digunakan memang daun pisang.
Namun, tidak jarang pula ditemukan penjual yang menggunakan kertas minyak yang berwarna cokelat mdua. Wadah jadah dan tempe bacemnya pun
112
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
menggunakan baskom blurik yang terbuat dari seng. Pembeli yang membeli
untuk dimakan di jalan diberi plastik bening.
Maka dari itu, jadah tempe yang diposting JS di atas sepertinya dibeli di
lokasi yang cenderung mentereng, entah rumah makan kenamaan yang memang
menjual makanan daerah Yogyakarta, atau mungkin memang beli di Tamansari,
tapi kemudian ditata sedemikian rupa sehingga terlihat menarik untuk
dipandang dan difoto. Apabila membandingkan produk JS yang merupakan kue
pastry dan brownies atau carrot cake yang ditumpuk jadi satu, lalu dimakan
bersamaan, jadah tempe memiliki variasi cara makan yang serupa, ditambah
kedua produk tersebut, jadah dan tempe, memang dua makanan yang cukup
berbeda, tetapi dibaca menjadi satu kesatuan. Jangan-jangan visual jadah tempe
tersebut dihadirkan untuk membawa anggapan bahwa produk JS juga memiliki
ciri yang sama.
Melalui visual dan caption yang diposting JS, pesan yang ingin
disampaikan adalah JS, selaku produk kuliner oleh-oleh yang baru hadir di
Yogyakarta, juga menghormati produk kuliner oleh-oleh Yogyakarta yang lebih
dulu ada (tradisional). Pesan ini juga terlihat tersirat di artikel situs web JS yang
pertama, dan secara tersurat di artikel yang kedua. Walaupun begitu, tetap
terlihat lubang-lubang sejarah yang ingin ditutupi dengan visual-visual
kedaerahan tersebut.
3. Wacana Yogyakarta Indah JS
Pada bab pertama, sudah diungkapkan mengenai slametan menjadikan
makanan sebagai fokusnya, bukan ritualnya. Hal ini bisa menjadi bukti betapa
pentingnya urusan makanan dalam budaya Jawa yang kemudian memungkinan
terbukanya interpretas dalam urusan cara pemasaran, dan distribusinya yang
113
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
mengkombinasikan budaya tradisional dengan sikap modernitas, seperti penggunaan visual “khas” Yogyakarta dalam pemasaran JS di media sosial.
Visual yang diperlihatkan JS di atas merupakan hal yang indah-indah saja seperti tugu Jogja, Malioboro, Blangkon, dan Jadah Tempe. Gaya Visual yang indah-indah ini dapat dibandingkan dengan gaya visual Mooi Indie yang diungkapkan Onghokham yang sudah dibahas di Bab pertama. Keindahan menurut Kolonial Belanda adalah visual eksotis alam Hindia Belanda berserta sosok pribumi dengan tubuh kurus kerempeng berpakaian tradisional yang seringkali disandingkan dengan sesosok pria Belanda tegap dan gagah yang berpakaian lebih modern.
Apabila gagasan Mooi Indie tersebut diletakkan dalam perspektif pascakolonial, citra keindahan tersebut merupakan produk stereotipe pribumi yang berasal dari kolonial. Stereotipe tersebut digunakan dalam rangka mempromosikan bumi Hindia Belanda kepada bangsa “Barat” supaya tertarik berinvestasi di sana.
Apabila disandingkan dengan fenomena JS dan kuliner kekinian selebritis yang menggunakan nama daerah dan visual yang menghadirkan ikon daerah, dapat ditemukan gambaran keindahan yang fokus pada eksotisme daerah-daerah yang disasar. JS, sebagai objek studi kasus penelitian ini misalnya, ditemukan adanya upaya penghadiran happyland (utopia) berupa gambaran “Yogyakarta
Indah” versi JS yang memfokuskan pada suasana eksotisme daerah yang disandingkan dengan gambaran modernisme (kosmopolitanisme) yang sesuai dengan konteks zamannya dan sosok selebritis populer Indonesia yang tentu memiliki tujuan ekonomi (pemaran).
114
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jika disandingkan dengan opini kedua informan, dapat terlihat bahwa
wacana “Yogyakarta Indah” yang hadir dalam visual JS masih dapat
dipersoalkan karena penghadiran visual di posting Instagram dipaksakan dan
terburu-buru tanpa dilatarbelakangi pengetahuan dan sejarah yang cukup.
Walaupun begitu, apabila visual yang hadir berisi latarbelakang pengetahuan
dan sejarah yang cukup, tetap saja individu yang mengerti latarbelakang visual
sangat terbatas. Hal ini jelas menjadi penekanan bahwa gagasan mengenai
filosofis ikon yang hadir bukan menjadi hal yang krusial. Pada akhirnya tiap
individu memiliki pemaknaan masing-masing dan hal inilah yang dimanfaatkan
JS.
Yogyakarta Indah tersebut lekat dengan konsep Taman Mini Indonesia
Indah yang dibahas James T. Siegel (1997)6. Dalam tulisan Siegel yang turut
mengomentari Pemberton, mengungkapkan bahwa TMII yang dicetuskan ibu
Tien Suharto merupakan sebagai bentuk memoar terhadap rezim Suharto, bukan
sebagai proyek kebanggan Indonesia sebagai Nusantara. Mengingat dari sekian
banyak serpihan-serpihan kedaerahan yang dimasukkan pada TMII, yang
niatnya mewakili “Sabang sampai Merauke”, justru prakteknya malah memilih-
milih mana yang indah. Terlebih dengan hadirnya miniature Pesawat Terbang
yang lebih merepresentasikan kemajuan teknologi.
Advertorial JS memiliki kesan yang sama, yakni mengambil serpihan-
serpihan (penanda-penanda) yang merepresentasikan Jawa di Yogyakarta, lalu
dilekat(lekatkan) begitu saja dengan produk JS. Maka dari itu, apa yang
dipublikasi JS dalam advertorialnya lebih mengarah pada proyek memoir JS,
6 Siegel, James T. 1997. Fetish, Recognition, Revolution (New Jersey: Princeton University Press), hlm. 3-10)
115
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
sama dengan proyek TMII di atas. Maka dari itu, proyek JS bisa saja disebut
“Taman Mini Yogyakarta Indah”.
B. Selendang Indah Jogja Scrummy
1. Pembedahan Video Iklan Jogja Scrummy
Dari kedua video iklan beserta komentar-komentarnya di YouTube dan
Facebook, dapat ditemukan adanya praktek politik ingatan JS terhadap konsumennya.
Praktek politik ingatan tersebut ditekankan pada beberapa konsep dan simbol-simbol ikonik Jogja. Misalnya dalam video iklan pertama yang menggunakan “Yogyakarta”, dapat ditemukan pembenturan ingatan yang bermula dari lagu, kemudian mengalir sampai gambaran Yogyakarta yang ideal menurut akun-akun konsumen dan akun admin JS.
Dalam ketiga akun tersebut secara sepakat memilih gambaran “Yogyakarta” yang hadir melalui memori mereka, yakni Yogyakarta yang klasik sesuai dengan memori mereka terhadap lagu “Yogyakarta” versi Kla Project, sedangkan dari kacamata JS, gambaran Jogja yang ideal adalah Jogja yang berinovasi dan modern, seperti penggambarannya dalam video iklan JS yang menggunakan lagu yang sama tapi dengan “citarasa kekinian”.
Pada video iklan kedua, “Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy”, dapat ditemukan tendensi mengomentari produk JS secara langsung, berbeda dengan iklan pertama yang ditemukan kecenderungan membombardir pertanyaan dan tanggapan perihal lagunya.
Pada iklan kedua, perihal lirik lagu tidak ditanggapi dan konsumen cenderung membandingkan Jogja yang dihadirkan JS melalui video tersebut dengan memori mereka mengenai Yogyakarta – yang bikin kangen, yang berhati nyaman.
116
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
2. Pembedahan Video dokumentasi Festival Bregada Jaga tahun 2018
Kombinasi antara yang tradisional dengan yang modern dikuatkan oleh fakta bahwa sudah adanya saling dukung antara JS dan otoritas kebudayaan di Yogyakarta –
Asisten Keistimewaan dan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), serta
Keraton (diwakili Gusti Kanjeng Bendoro Raden Ayu Pakualam). Kehadiran dan dukungan pihak-pihak tersebut dapat dibaca melalui acara “FESTIVAL BREGADA
JAGA JOGJA SCRUMMY tahun 2018” yang dilaksanakan untuk memperingati ulang tahun JS yang kedua. Gunungan yang hadir dalam acara tersebut merupakan susunan dari produk JS yang dibungkus plastik.
Menurut Arum, gunungan dengan gaya seperti itu sudah biasa ditemukan.
Akhir-akhir ini, menurutnya, gunungan tidak melulu menghadirkan hasil bumi seperti sayur mayur, tetapi sudah mulai fleksibel sesuai ujub-nya (doanya). Arum mengungkapkan bahwa ada gunungan yang diisi batu akik. Ungkapan informan tersebut dapat dipahami sebagai klaim bahwa pakem gunungan sendiri terbilang fleksibel.
Melalui keterbukaan tradisi gunungan tersebut, JS kembali menghadirkan kombinasi nuansa tradisional dan modern – yang lama dan yang kekinian – yang membawa penonton acara festival tersebut, secara langsung ataupun secara tidak langsung (melalui media sosial), masuk ke dalam suasana yang eksotis. Ditambah, diteriakkannya jargon “Ngayogyakarto, Istimewa! Jogja Scrummy, oke!” oleh GKB
R.A. Pakualam X, yang kemudian ditirukan oleh peserta dan penonton festival tersebut, semakin membawa suasana Yogyakarta yang “Istimewa”. Walaupun begitu, jargon sama saja dengan basa-basi, penentram hati, yang membikin hati nyaman dan bahagia.
117
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
3. Selendang “Yogyakarta Indah” Jogja Scrummy
Dari video di atas, hal yang menarik untuk dibahas adalah dirasakan adanya ketidaktertarikan JS untuk menghadirkan produk kulinernya sendiri. Di video pertama
JS cenderung menghadirkan suasana objek wisata DIY dan mengundang ketertarikan warganet melalui lagu “Yogyakarta”. Pada video kedua, JS terlihat fokus mengahdirkan suasana perkawinan budaya urban kota Yogyakarta dengan budaya tradisionalnya.
Wacana menurut Foucault berkembang seiring dengan rezim yang berkuasa – keadaan sosial dan budaya masyarakatnya. Melihat konteks Yogyakarta, dapat dilihat bahwa kekuasaan Keraton Jawa masih sangat kental, walaupun bernuansa simbolis dan penuh dengan pengaruh dari kolonial Belanda, pengetahuan masyarakat mengenai budaya Jawa juga masih mumpuni. Maka dari itu, penghadiran nuansa Jawa
Yogyakarta di visual JS dan iklan videonya dirasa sangat diperlukan. Walaupun begitu, wacana “Yogyakarta Indah” yang dihadirkan JS masih dapat dipersoalkan.
Wacana “Yogyakarta Indah” yang dihadirkan JS, apabila disandingkan dengan data dari informan, kepustakaan dan wawancara di lapangan, tanpa dasar yang kuat.
Menurut Arum, salah seorang informan, mengungkapkan bahwa pemakaian pakaian tradisional yang ditemukan di baliho dirasa kurang pas. Selain itu, informasi perihal produk kebudayaan seperti blangkon menurut Arum terdengar kurang jelas karena visualnya menunjukkan blangkon Solo, yang mondolan-nya trepes, tapi pada caption- nya menjelaskan blangkon Jogja.
Menurut Arum, visual ikon-ikon Jogja tersebut menurutnya sudah menjadi templat untuk semua jenis produk dan sudah kerap ditemui. Tak terkecuali di situs web
Keraton Yogyakarta, yang menurutnya, dihadirkan dengan narasi historis yang “sesuai pakem”. Maka dari itu, menurut Arum, gambar-gambar yang dihadirkan, rasanya,
118
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
hanya sebagai tempelan saja yang memantik kenangan-kenangan lama (yang sudah
hilang) bagi siapa saja yang melihatnya.
Sebagai pembanding, kita dapat melihat buku Bedjo Riyanto (2018) yang
membahas tentang iklan rokok dalam kurun waktu 1925-2000.7 Dalam disertasinya,
Bedjo Riyanto menguak ambiguitas keindahan Hindia Belanda bentukan Kolonial
Belanda. Melalui iklan JS, dapat ditemukan kemiripan tentang ambiguitas iklan yang
mempertontonkan keindahan Yogyakarta. Keindahan yang dimaksud adalah gambaran
bahwa produk JS merupakan bagian dari fashion (gaya hidup dan gaya berpakaian yang
kosmopolitan) yang mengakibatkan “takut telanjang” – takut ketinggalan zaman.
Mrazek juga mengungkapkan bahwa “pakaian” berbicara dengan lantang dan
dengan jelas.8 “Pakaian” dalam konteks ini tentu merupakan tren mengkonsumsi
produk kuliner oleh-oleh kekinian JS. Wacana Yogyakarta Indah yang ditujukan untuk
para pesolek Yogyakarta, JS maka dari itu, membentuk mitos-mitos baru tentang
Yogyakarta yang sebenarnya merupakan bentuk reproduksi ulang mitos yang lebih dulu
ada. Mitos-mitos inilah yang kemudian menimbulkan sensasi kebahagiaan berupa rasa
aman, nyaman, hangat, dan istimewa, bagi konsumen JS – Bagaikan digendong dengan
“selendang”.
Maka dari itu, visualisasi kental bernuansa Jogja yang dihadirkan JS, sama saja
dengan acara festival bregada dan jargon yang diserukan di acara tersebut. Semata-mata
hanyalah sebuah “festival” yang tujuannya sama dengan konsep Taman Mini Ny. Tien
Suharto yang muncul setelah berkunjung ke Disneyland pada tahun 1971.9 Gagasan
7 Bedjo Riyanto. 2019. Siasat Mengemas Nikmat, Ambiguitas Gaya Hidup dalam Iklan Rokok di Masa Hindia Belanda sampai Pasca Orde Baru 1925-2000, Sanata Dharma University Press, Yogyakarta. 8 Rudolf Mrazek, Engineers of Happyland: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Kolonni, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal.181. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Engineers of Happyland: Technology and Nationalism in A Colony. (New Jersey: Princeton University Press, 2002) 9 Pemberton, John. 2003. “JAWA”, on the Subject of “Java”. Mata Bangsa, Yogyakarta (diterjemahkan dari buku On the Subject of “Java, Cornell University Press, Ithaca,1994), hlm.17-19
119
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Taman Mini tersebut merupakan upaya menghadirkan model keberagaman yang representatif. Tentu hal ini menjadi bermasalah karena konsep ini justru menegaskan dominasi budaya daerah tertentu.
Visualisasi yang dihadirkan JS melalui instagram, video YouTube dan baliho beserta acara festival bregada, identik dengan konsep Taman Mini di atas. Melalui posting-posting tersebut, Yogyakarta, seperti halnya upaya terhadap Indonesia di
Taman Mini, dipadatkan sedemikian rupa, dan dijadikan model keberagaman yang ideal dalam konsep pluralitas Yogyakarta yang menghadirkan sensasi yang penuh kebahagiaan bagaikan digendong dengan selendang – terasa aman, nyaman, dan istimewa.
C. Dibalik Selendang “Yogyakarta Indah”
1. Dukungan “Otoritas” Kebudayaan DIY
Sensasi kebahagiaan seperti di atas kemudian ditekankan lagi melalui postingan video ucapan selamat dari Dinas Pariwisata dan Asisten Keistimewaan DIY, serta dari
GKB Raden Ayu Pakualam X. Pada dasarnya ketiganya mengungkapkan bahwa Jogja
Scrummy membantu memajukan perekonomian daerah Yogyakarta dan juga mengungkapkan supaya JS tetap menjadi produk yang membanggakan DIY.
Rilisan video ucapan selamat tersebut dapat dilihat sebagai pembuktian negosiasi yang telah dilakukan JS dengan pihak “otoritas” kebudayaan DIY. Mengingat geliat industri kreatif di bidang kuliner yang semakin pesat, pemerintah daerah tentu memerlukan kontribusi JS sebagai perusahaan kuliner, melalui pajaknya, guna menjadi pemasukan daerah. Apa yang diucapkan sebagai istilah “membanggakan” oleh sosok- sosok otoritas kebudayaan tersebut memiliki nuansa yang berbeda apabila dicermati dengan lebih jeli.
120
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Sebelum membahas lebih lanjut, dukungan tersebut tentu apabila dipadukan
dengan publikasi advertorial JS berisikan wacana Yogyakarta Indah, menjadi
“selendang” yang ampuh. “Selendang” Yogyakarta Indah JS – meminjam deskripsi
Mrazek10 mengenai teknologi – dapat dianalogikan seperti duduk di gerbong kereta
yang nyaman, yang dapat melihat pemandangan indah melalui jendela gerbong kereta
tersebut. Keadaan nyaman tersebut tentu tanpa kesadaran bahwa di luar gerbong
tersebut dapat ditemukan permasalahan-permasalahan sosial. Hal yang serupa juga
dapat ditemukan melalui pengamatan posting JS di media sosial, entah dalam rupa
visual, artikel ataupun video.
Keindahan Jogja dengan Tugu Pal Putih, Malioboro, Blangkon, ataupun Jadah
Tempenya menjadi selendang nyaman yang membikin pengguna media sosial kurang
jeli dengan permasalahan-permasalah di luar “jendela” Instagram-nya. Permasalahan-
permasalahan yang dimaksud misalnya perihal Dana Keistimewaan yang sampai tahun
2018 molor cair dan bahkan ada yang belum cair juga, persoalan agraria di Temon,
Kulon Progo, kepadatan penduduk yang semakin meningkat, perihal kasus
pembacokan bersepeda motor di malam hari, dan belum lagi persoalan hak tanah bagi
warga Tionghoa.
Persoalan tersebut dieselubungi dengan “selendang” Yogyakarta Indah tersebut,
dan mengingat program industri kreatif pada sektor kuliner sedang hangat-hangatnya
diperbincangkan serta adanya alokasi dari dana keistimewaaan Yogyakarta, tentu
daerah yang istimewa ini sungguh mencoba menata diri supaya terlihat rapi, bersih, dan
necis (dandy). Upaya tersebut bisa jadi menarik perhatian “otoritas” kebudayaan DIY
yang kemudian mendukung sepak terjang JS.
10 Rudolf Mrazek, Engineers of Happyland: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Kolonni, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2006), hal.181. Diterjemahkan dari buku aslinya yang berjudul Engineers of Happyland: Technology and Nationalism in A Colony. (New Jersey: Princeton University Press, 2002)
121
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Walaupun begitu, Arum, salah satu informan, mengungkapkan hal yang
menarik berkaitan dengan video ucapan selamat tersebut. Menurutnya, bentuk
“mendukung” tersebut bukan serta merta “mendukung”. Sikap otoritas kebudayaan
DIY tersebut, khususnya sikap perwakilan Keraton, justru dapat dilihat sebagai sikap
menyambut tamu yang berkunjung di rumah. Sikap tersebut mungkin dirasa perlu
dilakukan karena menyangkut citra Daerah Istimewa Yogyakarta yang ramah, nyaman,
dan plural, maka ceritanya bisa jadi berbeda apabila pihak Keraton, Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata menyikapinya dengan penuh kritik. Toh, sekali lagi, sepertinya
“otoritas” kebudayaan tersebut memang memerlukan suntikan dukungan juga dari
indusri kuliner bermodal besar seperti JS. Mungkin kita dapat membandingkan sikap
otoritas kebudayaan Yogyakarta dengan hegemoni (bahasa) “Bapak” Orde Baru dalam
tulisan Saya Siraishi mengenai “Bahasa Kosong”.11
Dalam konteks penelitian ini, video ucapan dan sikap dukungan otoritas
kebudayaan Yogyakarta merupakan contoh “Bahasa Kosong” yang berisikan wacana
yang diharapkan dapat “membahagiakan” dan “menentramkan” hati calon konsumen
JS dan warga Yogyakarta sendiri, sehingga dirasa tidak bermasalah walaupun JS
menggunakan atribut daerah dan menampilkan visual mengenai Yogyakarta. Walaupun
begitu, mengingat praktek negosiasi JS yang hanya melibatkan sosok kapital, produk
JS justru menimbulkan kebingungan. Misalnya, Barkah selaku informan juga merasa
sangat bingung karena perpaduan kedaerahan Jawa yang dikombinasikan dengan
produk makanan “Barat” yang hibrid. Kebingungan ini lantas rancu dengan ucapan
“membanggakan” Yogyakarta yang diucapkan “otoritas” kebudayaan di atas.
11 Shiraishi, Saya S. 2001. (Ter.) Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta: KPG, hlm.148-194
122
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Penggunaan produk bakpia dan jadah tempe sebagai pembanding dalam advertorial JS menjadi solusi untuk menambal celah minimnya negosiasi yang terjadi di masyarakat. Tapi JS tentu jauh berbeda dengan bakpia dan jadah tempe karena proses hadirnya yang lebih organik, yakni melalui proses komunikasi antar budaya yang memungkinkan produk terkait disesuaikan dengan konteks budaya daerahnya. Maka dari itu meminjam gagasan Siegel mengenai lingua franca, produk JS justru membuat rikuh dan sangat mencerminkan, berbeda dengan produk bakpia dan jadah tempe yang sudah dapat dibayangkan orang-orang.
2. Teknologi Visual untuk Generasi Pesolek Kekinian
Visual indah dan bersih yang dihadirkan JS sepertinya juga merupakan cara untuk mengakomodasi generasi-generasi pesolek (dandy) yang tertarik dengan budaya
Yogyakarta. Generasi pesolek dalam konteks ini adalah warga Yogyakarta yang memerlukan gambarann identitas Yogyakarta sesuai dengan referensi pengalaman pribadinya.
Contohnya dapat dilihat melalui dua video iklan JS yang menghadirkan orang muda sebagai tokoh sentralnya. Dalam iklan pertama yang diiringi lagu “Yogyakarta”, fokus iklan diarahkan ke seorang laki-laki muda, perempuan muda, dan keluarga muda, beserta Dude Harlino, selebritis yang relatif masih muda.
Para tokoh yang berpakaian rapih, bersih, dan terlihat atraktif secara visual, dibenturkan dengan tempat-tempat ikonik Yogyakarta, Taman Sari, Stasiun KA Tugu,
Tugu Jogja, dan kawasan Wisata Offroad Merapi. Hal serupa ditemukan di iklan kedua, para pemuda rapper berpakaian trendy dengan kemeja batik dan penyanyi sinden perempuan berhijab dengan pakaian kebaya dibenturkan dengan suasana kota
Yogyakarta yang dianggap “khas” – arsitektur kota yang hibrid, dan moda transportasi tradisional berupa becak.
123
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Dari penghadiran tokoh sentral yang berusia muda berpakaian kekinian yang rapih dan bersih, beserta suasana kota Yogyakarta sendiri, dapat dilihat bahwa iklan JS ditujukan untuk para generasi pesolek kekinian dari luar Yogyakarta yang ingin merasakan pengalaman Yogyakarta yang “otentik”. Lantas pengalaman “otentik” yang seperti apa sebenarnya? Dari pengamatan peneliti di kawasan Jalan Malioboro, terlihat aktivitas populer yang dilakukan para wisatawan domestik muda (entah dari dalam ataupun luar Yogyakarta) adalah berfoto dan swafoto di bangku-bangku kawasan
Malioboro dan, yang cukup populer, terkadang bahkan sampai antri, yaitu papan nama
Jalan Malioboro. Selain itu, para wisatawan juga terlihat menenteng barang belanjaan berupa buah tangan – umumnya makanan yang dianggap “khas” Yogyakarta, seperti
Bakpia. Sedangkan, di kawasan Tugu Jogja, ditemukan hal yang sama tetapi fokus utamanya adalah berfoto dan berswafoto di dekat Tugu Jogja.
Peneliti juga sempat mengobrol dengan beberapa wisatawan tersebut pada pertengahan bulan Februari 2019, dan alasan mereka berfoto sambil berjalan-jalan di kawasan-kawasan tersebut relatif sama, yakni menikmati suasana Yogyakarta yang menurut mereka sangat nyaman, walaupun memang macet. Saat ditanya membawa oleh-oleh apa, ada seorang wisatawan yang menjawab Bakpia, karena menurutnya
Bakpia-lah yang “khas” Yogyakarta.” Terlihat jelas dari bawaannya bahwa bakpia mana yang “khas” tidaklah penting karena yang dia bawa merupakan Bakpia Tugu yang akhir-akhir ini terkenal dengan inovasi bakpia kukusnya.
Mungkin akan berbeda kalau bertanya dengan orang Jogja di kawasan pathuk, ataupun di kawasan lain, mengenai bakpia mana yang “khas” atau yang enak.
Contohnya ada kawan penulis yang berasal dari Solo dan Semarang. Yang dari Solo, apabila membeli bakpia, cenderung membeli bakpia Kurnia Sari, karena menurutnya isinya lebih banyak dan kulitnya renyah. Tetapi yang dari Semarang juga yang lebih
124
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
memilih bakpia 25 karena dianggap yang lebih “khas”. Beda lagi orang Yogyakarta
“asli” yang mengatakan bahwa bakpia yang paling enak merupakan bakpia di Kawasan
Pathuk. Pada akhirnya, “khas” menurut kawan peneliti merupakan ungkapan lain dari
“saya lebih terbiasa memakan bakpia ini” atau “yang ini lebih cocok dengan lidah saya”. Lantas apakah yang dirasa pengalaman “otentik” Yogyakarta merupakan pengalaman yang pada akhirnya sesuai dengan preferensi pribadi yang mengalaminya?
Apabila kembali ke suasana Jalan Malioboro dan Tugu Jogja, kita dapat melihat para wisatawan sibuk dengan dirinya sendiri atau dengan rombongannya sendiri. Pada akhirnya pengalaman Yogyakarta dinilai sendiri oleh mereka dan maka dari itu nuansa visual yang dihadirkan JS merupakan nuansa nostalgia yang merangsang memori sehingga mendambakan kembalinya “yang sudah hilang”, yang tentu sudah tidak dapat mereka rasakan lagi. Rasa “kehilangan” maha dashyat tersebut disembuhkan dengan melakukan tapak tilas, atau hadir kembali ke lokasi kenangan-kenangan indah tercipta, melalui foto atau gambar, dan video beserta lagu.
Pola pemasaran yang terlihat menitik beratkan pada visual dari sisi permukaannya saja, yang tentu memang terlihat lebih indah dan istimewa, justru semakin menjauh dari realitas sosial Yogyakarta yang sesungguhnya. Khususnya persoalan ekonomi kreatif yang secara tidak langsung agak menggerus pola produksi kerakyatan (melalui UMKM kecil dan industri rumahan). Memang, melalui dana istimewa dan dana desa ada peluang untuk berkembangnya industri kecil. Akan tetapi, kenyataan bahwa jadwal pencarian dana yang molor dan kriteria yang cukup memberatkan, ditambah fakta adanya usaha mengada(-ada)kan produk tertentu yang dilabeli tradisional, justru semakin jauh dari harapan menyambung lidah pola-pola ekonomi kerakyatan.
125
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Jauhnya harapan menyambung lidah pola-pola ekonomi kerakyatan terlihat pada gencarnya gelombang kosmopolitanisme para pesolek Yogyakarta menyamarkan ingatan kolektif Yogyakarta yang sudah hilang. Ingatan kolektif ini ditutup(-tutup)i oleh munculnya wacana Yogyakarta ambigu dalam bentuk visual Yogyakarta yang terlihat merepresentasikan ingatan kolektif para pesolek tersebut – ingatan yang berfokus pada gaya hidup konsumtif yang dibalut dalam “selendang” keistimewaan
Yogyakarta. Pada akhirnya, sikap mengkonsumsi dalam urusan ini merupakan bentuk rasa tidak terima atas hilangnya Yogyakarta ideal kolektif yang amat dashyat.
126
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Pengembangan ekonomi kreatif yang semakin gencar dilakukan oleh pemerintah
Melalui Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) mengarahkan industri kuliner untuk selalu
berinovasi. Hal ini terlihat melalui pemanfaatan teknologi, yang menurut Rudolf
Mrazek (2006)1 sebagai salah satu cara untuk membicarakan identitas, budaya, dan
bangsa di akhir masa pemerintahan kolonialisme. Teknologi “yang tidak biasa” – yang
sebenarnya masih cukup asing (masih selalu berkembang), dan bangsa Indonesia
sendiri masih tergolong tertinggal – seperti media sosial digunakan JS untuk
menyajikan visual untuk mempromosikan produk-produk kuliner tertentu.
Kehadiran JS pada Juni 2016 menjadi awal mula masuknya produk kuliner
kekinian yang memanfaatkan nama selebritis nasional dan visualisasi kedaerahan di
Yogyakarta. Kehadiran produk tersebut beriringan dengan gencarnya pemanfaatan
Dana Keistimewaan (Danais) Yogyakarta. Hal yang menarik adalah produk kuliner
kekinian tersebut tidak menghadirkan makanan yang dirasa “khas” Yogyakarta. Produk
yang dihadirkan adalah inovasi hibrid antara kue pastry, yang variasinya dapat dilihat
dalam bakpia, selaku kuliner ikonik Jogja, dan brownies, yang dipopulerkan di A.S,
yang kemudian juga menjamur di Indonesia, termasuk Yogyakarta.
Lantas, pengamatan dibedah lewat tiga pertanyaan kritis, bagaimana perubahan
budaya kuliner di Yogyakarta dari produksinya yang berguna dalam aktivitas
keseharian hingga menjadi bentuk dari gaya hidup yang konsumtif? Kedua, bagaimana
JS memanfaatkan teknologi untuk mengkonstruksi wacana produk kuliner Jogja
melalui iklan yang dipublikasikan? Bagaimana wacana tersebut ditawarkan JS?
1 Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happyland: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), hlm. Xv.
127
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pertanyaan ketiga, Bagaimana Jogja versi JS memengaruhi cara konsumen memaknai pengalaman ke-Yogyakarta-annya di tengah-tengah keberagaman yang ada di
Yogyakarta? Ketiga pertanyaan tersebut dimasukkan ke dalam kerangka teori wacana dari Foucault dan konsep hibriditas Homi Bhabha yang didukung berbagai macam konsep-konsep kecil lainnya seperti konsep Mooi Indie, “Kekuasaan” dan
“Kosmopolitan” dari Ben Anderson, konsep lingua franca James T. Siegel, konsep
“Selendang”, “Bahasa Kosong” dan “Kehilangan” dari Pramoedya A. Toer dalam buku
Saya Sasaki Siraishi, serta konsep teknologi dan “Pesolek” dari Rudolf Mrazek.
Pertanyaan pertama dijawab melalui kajian kepustakaan dari beberapa buku antara lain Seri Buku Tempo, Antropologi Kuliner Nusantara, Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara, Jejak Rasa Nusantara; Sejarah Nusantara,
Mustika Rasa, dan buku dari Aiko Kurasawa. Dari pembacaan kepustakaan dan penyandingan dengan pengamatan lapangan, dapat ditemukan bahwa konsumsi kuliner di Yogyakarta sudah berubah dari komoditas demi produktivitas pekerjaan (bekal untuk bekerja dan bagian dari ritual), menjadi bagian dari gaya hidup konsumtif yang berfokus pada kekuatan visual – beli makanan, dipotret menggunakan ponsel cerdas, diposting di media sosial sebagai posting instagram, atau update status WhatsApp (Bab
II, hal. 63).
Pertanyaan kedua dijawab melalui advertorial JS di Instagram dan Youtube yang cukup masif. Dari pembacaan visual tersebut dapat ditemukan bahwa JS menghadirkan wacana Yogyakarta ideal (Yogyakarta Indah) dengan iklan berisikan visual tradisional dan ikonik Yogyakarta melalui “jendela” media sosial (instagram dan Youtube), ditambah video ucapan selamat (“Bahasa kosong”) dari otoritas kebudayaan DIY yang memiliki daya sugestif yang membuat rasa “kehilangan” tersebut semakin nyata
(meromantisir nostalgia mengenai Yogyakarta) (Bab III, hal.98) .
128
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Pertanyaan ketiga dapat dilihat melalui advertorial Yogyakarta, wawancara informan, data review penilaian desa budaya, ucapan dari GKBRA Pakualam X,
Asisten Keistimewaan, dan Perwakilan Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta, serta obrolan singkat peneliti dengan beberapa pembeli di gerai JS. Dari pembacaan data tersebut dapat ditemukan bahwa bagi konsumen, yang “khas” dan yang “asli” bukan semata-mata pencarian mengenai yang lampau dan yang tunggal (yang essentialist), tetapi justru menghadirkan referensi pengalaman pribadi yang menjadi jalan keluar mereka untuk sejenak melupakan apa yang terjadi di luar “jendela”, seperti konflik-konflik yang ada di Yogyakarta (Bab IV, hal.126).
Ketidakpuasan mengenai melesetnya penggunaan atribut Jawa dalam konten visual
JS, dapat dilihat sebagai reaksi kekecewaan karena proses negosiasi kehadiran produk yang lebih fokus pada pihak otoritas di Yogyakarta. Jadi produk JS memang produk yang dibuat oleh sosok kapital, dinegosiasikan dengan sosok kapital “kultural”
(GKBRA Pakualam X, Asisten Keistimewaan, dan Dinas Pariwisata), lalu diwacanakan dengan teknologi media sosial dengan embel-embel kedaerahan, dan upacara tradisional Yogyakarta, lalu dipasarakan ke rakyat (konsumen) dengan harga yang tinggi. Maka dari itu, kehadiran JS di Yogyakarta memang bertujuan memasarkan produk hibrid tersebut.
Fenomena di atas jauh berbeda dengan produk bakpia yang pada awal mulanya tidak didistribusikan demi kepentingan pasar saja. Produksi bakpia justru lebih menitik beratkan pada keperluan untuk konsumsi pribadi, kesadaran nilai jual dilihat sebagai peluang karena memang ada ketertarikan masyarakat terhadap produk bakpia. Supaya nilai jualnya semakin tinggi, penyesuaian bakpia dilakukan, yakni yang semula menggunakan minyak babi dan berisikan daging babi, diganti dengan minyak biasa dan isinya diganti kumbu. Kemudian karena semakin menjual, isinya pun semakin
129
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
bervariasi, coklat, durian, dan keju. Selain itu, variasi merek dan produsen bakpia pun
semakin bermacam-macam, seperti Bakpia Merlino, Kurnia Sari, Bakpia Jawara Satoe,
dan Bakpia Tugu, dengan bakpia kukusnya.
Dari temuan-temuan peneliti di atas, peneliti berargumen bahwa JS bisa dikatakan
setengah hati dalam mewacanakan Yogyakarta, mengingat intensinya yang menitik
beratkan pada kepentingan ekonomi. Memang di satu sisi, kehadiran JS dapat
membantu mendongkrak ekonomi pariwisata di Yogyakarta, menambah opsi oleh-oleh,
dan tentu membuka lapangan pekerjaan. Tetapi, di sisi lain, produk JS dapat berpotensi
merapuhkan budaya kolektif Yogyakarta karena proses negosiasi yang tidak
melibatkan masyarakat awam (terkesan instan karena memiliki modal besar). Selain
itu, masifnya aktivitas JS juga berpotensi melemahkan industri bermodal rendah seperti
industri rumahan, dan paguyuban-paguyuban koperasi, mengingat proyek Dana Desa
Budaya dan Dana Istimewa masih bermasalah serta belum dapat diandalkan.
B. Saran-saran
Peneliti berargumen bahwa fenomena ini merupakan dampak dari semakin
kosmopolitannya (global) budaya kuliner di Yogyakarta, sehingga muncul interpretasi
wacana keistimewaan yang semakin plural. Atas interpretasi yang semakin plural
tersebut, kajian mengenai keistimewaan Yogyakarta dapat menjadi topik penelitian
yang menarik.
Mengingat dana istimewa dan dana desa budaya yang sama sekali belum efektif
membantu UMKM kecil, peneliti menyarankan perlu adanya inovasi dalam hal
deskripsi produk yang semula dengan informasi apa adanya, seperti komposisi dan asal
koperasi pendukung, menjadi informasi dan narasi kreatif mengenai proses produksi
produk tersebut, Sehingga dapat bersaing dengan produk bermodal besar bernarasi
kreatif dan kekinian seperti JS. Inovasi semacam itu menurut peneliti penting karena
130
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
tendensi konsumen saat ini yang fokus pada visual dan teks menarik mengenai produk yang ditawarkan.
Selain inovasi di atas, perbandingan antar produk serupa yang merebak di seluruh
Indonesia menjadi topik yang menarik untuk diteliti lebih lanjut. Selain dalam urusan pemasaran produk kuliner tertentu, perihal rasa juga menjadi hal menarik untuk dieksplorasi lebih jauh. Terlebih kajian kuliner dalam ranah akademis di Indonesia masih menyentuh tahapan eksplorasi sejarah masa lampau, belum banyak yang mengeksplorasi ke ranah budaya pop.
Gagasan kuliner dalam konteks ekonomi kreatif dan industri pariwisata, bisa jadi berhubungan dengan politik pangan yang dapat berpotensi menjadi alat diplomasi misalnya melalui hidangan kenegaraan, produk kuliner dari masyarakat imigran dan diaspora, serta diskusi mengenai keberagaman pangan. Misalnya melihat masyarakat
Indonesia yang masih sangat bergantung dengan beras, dan semakin meningkatnya konsumsi beras sehingga Indonesia harus mengimpor beras dari Thailand, menjadi bumerang bagi Indonesia sendiri.
Dari aktivitas yang tidak efektif tersebut, peneliti berargumen bahwa Indonesia perlu menemukan kembali budaya kuliner Indonesia sebelum program “swasembada pangan” Suharto. Dari yang memfokuskan pada beras, kembali menitik beratkan pada variasi produk pangan (karbohidrat) yang sesuai dengan kondisi alam wilayahnya.
Misalnya, Indonesia bagian timur bisa fokus pada produk umbi-umbian, jagung, dan sagu.
131
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Daftar Pustaka:
Adorno, Theodore W., dan J. M. Bernstein (ed.). 2001. The Culture Industry, selected essay on mass culture. Routledge Almerico, Gina.M. 2014. “Food and identity: Food studies, cultural, and personal identity”. Dalam Journal of International Business and Cultural Studies, volume 8, 2014. Diterbitkan Academic and Business Research Institute Anderson, Ben R. O’G. 1990. Language and Power, Exploring Political Cultures in Indonesia. Cornell University Press. Ithaca, New York. ______.2001. Imagined Communities, Komunitas-Komunitas Terbayang. INSIST, Yogyakarta. Indonesia ______.2015. Di Bawah Tiga Bendera, Anarkisme Global dan Imajinasi Antikolonial. Diterjemahkan oleh Ronny Agustinus. Marjin Kiri. Serpong. Tangerang Selatan. Indonesia. Appadurai, Arjun. 1986. The Social life of Things. Cambridge University Press ______. 1996. Modernity at Large, Cultural Dimension of Globalization. Public Worlds, Volume 1, University of Minnesota Press Barthes, Roland. 2008. “Toward a Psychosociology of Food Consumption”. Dari In Food and Culture, edited by Carole Counihan and Penny Van Esterik, hlm. 28-35. New York, New York. 2008. ______dan (ter) Stephen Heath. 1977. Image-Music-Text. Fontana Press, London. Bedjo Riyanto. 2019. Siasat Mengemas Nikmat, Ambiguitas Gaya Hidup dalam Iklan Rokok di Masa Hindia Belanda sampai Pasca Orde Baru 1925-2000, Sanata Dharma University Press, Yogyakarta. Bhabha, Homi K. 1994. The Location of Culture. Routledge, London Carey, Peter, et al. 2015. Asal Usul Nama Yogyakarta & Malioboro. Komunitas Bambu. Depok Foucault, Michel. 1972. Archeology of Knowledge. Routledge. London. ______. 1978. The History of Sexuality Volume 1. Pantheon Books, New York. Furnivall, J.S. 1939. Netherlands India. Cambridge, The University Press. ______. 1945. “Some Problems of Tropical Economy.” Dalam Fabian Colonial Essays, diedit Rita Hinden. London: George Allen and Unwin. ______. 1948. Colonial Policy and Practice. London, Cambridge University Press. Gardjito, Murdjiati dkk., 2017, Kuliner Yogyakarta; Pantas dikenang sepanjang masa. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Geertz, Clifford. 1960. The Religion of Java. The University of Chicago Press. Chicago. ______. 2014. Sadur Budaya, The Interpretation of Culture. Diedit oleh Budi Susanto, S.J. Penerbit Kanisius Yogyakarta. Horng, Jeou-Shyan dan Chen-Tsang (Simon) Tsai. 2009. “Government websites for promoting East Asian culinary tourism: A cross-national analysis”. Diambil dari jurnal Tourism Management. Elsevier Ltd. Ichijo, Atsuko dan Ronald Ranta. 2016. Food and National Identity and Nationalism from Everyday to Global Politics. Palgrave MacMllan. Inggris Raya. Khazaleh, Lorenz. 2009. ‘Interview with Benedict Anderson’, Anthropology Info. 28 Mei. Kipnis, Laura. 1998. “Fat and Culture”. Dari buku In Near Ruins, Cultural Theory at the end of the century. 1998. Hal. 199-217. Diedit Nicholas D. Dirks, University of Minnesota Press, Mineapolis. Kurasawa, Aiko. 2015. Kuasa Jepang di Jawa, Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945. Komunitas Bambu. (diterjemahkan dari disertasi Ph.D, Mobilization and Control: A Study of Social Change in Rural Java, 1942-1945.Cornell University, 1988.
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
La Trecchia, Patrizia. 2012. “Identity in the Kitchen: Creation of Taste and Culinary Memories of an Italian-American Identity”. Diambil dari jurnal Italian Americana, Vol. 30, No. 1 (Winter 2012), hal. 44-56. Italian Americana. Lawler, Steph, 2014, Identity: Sociological Perspectives (Second edition), polity: Cambridge & Malden. Marx, Karl (1974). Capital. A Critical Analysis of Capitalist Production, Volume 1. Diterjemahkan J. S. Moore dan E. Aveling. Diedit oleh Frederick Engels. London: Lawrence & Wishart (edisi pertama 1867) Mennel, Stephen. 1991. On the Civilizing Appetite. Dari buku THE BODY, Social Process and Cultural Theory, 1991. Hal. 126-152. Diedit oleh Mike Featherstone, Mike Hepworth, dan Bryan S. Turner, Sage Publications, London Mrazek, Rudolf. 2006. Engineers of Happyland: Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di Sebuah Koloni, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia). Montanari, Massimo (ter. Albert Sonnenfeld. 2006). 2004. Food is Culture. New York: Columbia University Press O’Farrel, Clare. 2011. Michel Foucault. Sage Publication, London. Olwig, Kenneth R. 2008. “‘Natural’ Landscapes In The Representation Of National Identity.” The Ashgate Research Companion To Heritage And Identity. Eds. B. Graham and P. Howard. London: Ashgate. Onghokham. 1994, “Hindia yang Dibekukan: Mooi Indie dalam Seni Rupa dan Ilmu Sosial.” Jurnal Kalam edisi 3. ______. 1996. “Rijsttafel: Jamuan Makan Warisan Zaman Kolonial”, Selera, No.1 Th. XV Januari. Pemberton, John. 2003. “JAWA”, on the Subject of “Java”. Mata Bangsa, Yogyakarta (diterjemahkan dari buku On the Subject of “Java, Cornell University Press, Ithaca,1994) Prabangkara, Hugo S. 2018. “Kuliner Yogyakarta, dari Identitas ke Komoditas”. Dari Jurnal Lensa Budaya Vol. 13, No. 2, hlm. 110-122. Rahman, Fadly. 2016, Jejak Rasa Nusantara; Sejarah Makanan Indonesia. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. ______. 2011, Rijsttafel; Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Ranteallo, I.C dan I.R Andilolo. 2017. Food Representation and Media: Experiencing Culinary Tourism Through Foodgasm and Foodporn. Diambil dari Balancing Development and Sustainability in Tourism Destinations, Springer Science+Business Media Singapore, DOI 10.1007/978-981-10-1718-6_13 Safiera Nur Septirina, et al. “Conservation of Historical Architecture in Malioboro Street, Yogyakarta City, Indonesia”. Procedia-Social and Behavorial Sciences 225 (2016), hlm. 259-269. (Diambil dari prosiding “Conservation of Architectural Heritage, CAH”, 23-27 November 2015, Luxor). Searcey, Dionne dan Matt Richtel. 2017. Obesity Was Rising As Ghana Embraces Fast Food. Then Came KFC. https://www.nytimes.com/2017/10/02/health/ghana-kfc- obesity.html. Ditullis 2 Oktober 2017, diakses 26 Oktober 2017. Shiraishi, Saya S. 2001. Pahlawan-Pahlawan Belia, Keluarga Indonesia dalam Politik. Jakarta: KPG. Diterjemahkan dari Young Heroes,The Indonesian Family in Politics, Cornell University Press. Siegel, James T. Berbahasa; diambil dari Sadur; Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia, disunting Henri Chambert-Loir, diterbitkan KPG, École française d’Extrême-Orient Forum Jakarta-Paris Pusat Bahasa Universitas Padjajaran. Jakarta 2009
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
______. 1997. Fetish, Recognition, Revolution. New Jersey: Princeton University Press Slocum, Rachel. 2010. “Race in the study of food”. Dari Progress in Human Geography, SAGE, 35(3) hal. 303 – 327. Stryker, Sheldon dan Peter J. Burke. 2000. ‘The Past, Present, and Future of an Identity Theory’. Dari buku Social Psychology Quarterly, Vol. 63, No. 4, Special Millenium Issue on the State of Sociological Social Psychology (Des., 2000), hal. 284-297. Diterbitkan American Sociological Asscociation. Sukarno, et.al. 2016 [1967]. MUSTIKA RASA, Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno. Penyunting; Tim Komunitas Bambu, Komunitas Bambu. Sunjata, Wahyudi P., et al. 2014. Kuliner Jawa dalam Serat Centhini. Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Yogyakarta Tajfel, Henri. 1982. Social Identity and Intergroup Relations. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Tajudin, Qaris, et.al (Ed).2015, Seri buku Tempo: Antropologi Kuliner Nusantara. Ekonomi, Politik, dan Sejarah di Belakang Bumbu Makanan Nusantara. Kepustakaan Populer Gramedia. Jakarta Toer, Pramoedya.A. 1994. “Yang sudah hilang” dalam novel Cerita dari Blora. Hasta Mitra Berdoeri, Tjamboek. 2004 [1947]. Indonesia Dalem Api dan Bara, Jakarta: ELKASA. Turner, Victor, 1969, The Ritual Process, Structure and Anti-structure, New York: Cornell University Press van Klinken, Gerry dan Ward Berenschot. 2014. In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in Provincial Towns. Leiden: Brill. Wahlke, John C. (ed). 1972. Politics in Plural Society, a Theory of Democratic Instability. Charles E. Merill Publishing Company. Wolf, R Eric. 2010. Europe and The People Without History. University of California Press, Berkeley and Los Angeles, California.
Sumber lain: Formulir ‘Review Identifikasi Potensi Budaya Desa / Kelurahan Budaya, Kegiatan Pendampingan Masyarakat Pecinta Seni dan Budaya. Program Pengembangan Nilai Budaya, tahun 2016’ https://travel.kompas.com/read/2017/07/08/100400527/ini.dia.24.oleh- oleh.kekinian.milik.artis.di.berbagai.kota https://jogjascrummy.com/ Tempo 14-20 Mei 2018, Suplemen T – Gastronomi, “Menolak Lupa Jajanan Pasar”,
Tirto, “Makanan Jepang Menyerbu Indonesia” kontributor; Nuran Wibisono, ditulis 20 April 2017 (https://tirto.id/makanan-jepang-menyerbu-indonesia-cm1t).
RETAS, Volume 5, November 2018, BeKraf. Kompas Gramedia Volume 8, Juli 2018, BeKraf. Kompas Gramedia
Majalah Historia, No.35, Th. III, 2017
PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI
Video: “Vidi Aldiano Yogyakarta by Jogja Scrummy Dude Harlino Ft. Erix Soekamti” (https://www.youtube.com/watch?v=uQTL-Nm8aD8)
“Ingat Jogja, ingat Jogja Scrummy” (https://www.youtube.com/watch?v=Hy4-Slahc6c)
Informan: Barkah Ramadhan (23) Mahasiswa Sastra Indonesia, Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Barista Tongkah Kopi, Minggir, Sleman, DIY.
Arum Alumnus Sastra Nusantara, Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.
Bayu Asisten Penilaian Review Desa Budaya 2016