STUDI PERBANDINGAN
STATUS DAERAH ISTIMEWA KASUNANAN SURAKARTA
DAN KASULTANAN YOGYAKARTA TAHUN 1939-1950
DALAM KERANGKA DEMOKRASI DAN OTONOMI
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Program Studi Ilmu Sejarah
Oleh
Nama: Andreas Udiutomo NIM: 004314024
PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH JURUSAN SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA 2007
1
2
3 MUTIARA
Aku peduli tentang hatiku, nafas, mata, jiwa, nyawaku Sekali lagi pernah kuperhatikan dari ujung kaki sampai ujung kepala, dari denyut jantung sampai aliran darah mengalir yang aku rasakan, dari suara yang kudengar dari telinga sampai mulut yang bersuara aku masih sadar… Terimakasih Tuhan Enkau masih bersamaku…” -penulis-
DURF TE STRIJDEN OM EEN PUNT TE MAKEN EN NEEM JE VERANTWOORDELIJK HEID Berani berbuat, Berani bersikap, Berani bertanggung jawab –penulis-
4 PERSEMBAHAN
Dengan segala rasa cinta yang mendalam dan rasa hormat kepada Tuhan
Yesus Kristus,
Skripsi ini dipersembahkan kepada:
1. Kedua Ayah Bunda: Bapak Yohanes Budi Santoso dan Ibu Maria
Suparsih, terimakasih atas doa, didikan dan kesabaranya selama ini
2. Kakak dan Adikku tercinta: Kristanti Widyaningsih dan Fransisca Ade
Karunia Putri..terimakasih atas doanya.
3. Keponakanku yang cantik: A.Dewi Ratna Swari (Ririe).
4. Sahabat-sahabatku :Yudha Tjoemie, Pius Agung Badu, Christian
Wahyu, Bernadeta Roselho, tempatku berbagi, tertawa dan
menyandarkan letihku..thanks guys, Desy, Arie Wardani, Retno Putri
sih Putranti...kemana aja kamu?, Cristiana Dwi Lestari…terimakasih
atas semuanya, dan semua inspirasi dan motivasi yang diberikan
selama ini.
5. Teman–teman sejawat: Fajar Ardiantara, Lazarus Hacimparmala,
Agung Budyawan, Nanang Supramono, Lilik, Yustina Dian
Rahmahwati, Upik, Agnes dian Anggraeni, Fransisca Romana, Johana
Makatita, Yohana Tjangkung, Maria Wijayanti, Scolastika Dianti,
Etha, Ada, Keke, Terimakasih atas kesetiaan dan dukunganya selama
ini.
5 6. Kawan kawan seperjuangan; FPPI, TAJAM, Pengabdian Masyarakat
USD, CITRALEKHA...special thanks for motherland…”
7. Bawakan Aku Bunga; Pejuang Asmara -sophie ft praseva-, Bintangkan
bersinar -channel -, It hurts, the gift –Angel&AirWaves-, letters to God
–BoxCarRacer-, Lost without you –Blink182-, Wake Up –
melodicuspaleojavanicus-.
8. Bawakan aku bunga, Before sunrise & Before sunset.
9. Jesus –Khalil Gibran-, Catatan Seorang Demonstran –Gie-, My dear
MORON (RIP)love you, and the Morning, thanks for everything
10. Dan Semua pihak atas dukungan, motivasi, bagi penulis untuk
menyelesaikan skripsi ini, diucapkan terimakasih.
Sadar bahwa hasil karya penulisan ini masih jauh dari sempurna, penulis berharap suatu masukan saran atau kritik yang membangun.
Penulis
Andreas Udiutomo
6 PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi ini merupakan karya sendiri dan belum pernah saya ajukan sebagai syarat untuk memperoleh gelar kesarjanaan di perguruan tinggi.
Skripsi ini tidak memuat karya orang lain atau bagian dari karya orang lain atau suatu lembaga, kecuali bagian-bagian tertentu yang dijadikan sumber.
Yogyakarta, 27 Februari 2007
Penulis
Andreas Udiutomo
7 ABSTRAK
Tujuan penulisan skripsi ini untuk mengetahui tentang Studi Perbandingan terhadap status antara Daerah Istimewa Yogyakarta dan Surakarta dalam kerangka demokrasi dan otonomi tahun 1939 – 1950. Dalam skripsi ini ada tiga hal permasalahan yang dibahas, yakni: 1. Bagaimanakah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang pada tahun 1939-1945? 2. Bagaimanakah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Indonesia pada tahun 1945- 1950? 3. Faktor-faktor apakah yang menentukan status daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dalam Negara Republik Indonesia?
Kerajaan mataram yang pecah menjadi dua kerajaan yakni Yogyakarta dan Surakarta menyimpan keistimewaan tersendiri secara historis. Belakangan ini masalah keistimewaan banyak dibicarakan orang dalam rangka mewujudkan daerah otonomi yang demokratis. Status keistimewaan yang diberikan terhadap sebuah daerah dimaknai sebagai anugrah yang berbeda dari daerah lain. Makna istimewa ini juga yang melandasi penulisan skripsi ini. Karena penulis berusaha mengungkapkan fakta secara historis dengan keadaan sejarah yang benar.
Metode sejarah yang digunakan dalam penelitian ini meliputi: pengumpulan sumber, kritik sumber, interprestasi, dan historiografi. Metode pengumpulan data melalui studi pustaka dengan mengolah data-data mengenai pokok permasalahan penelitian ini secara deskriptif analitis. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan politik, untuk menganalisa permasalahan akan dibahas dalam penelitian ini. Ilmu politik ini mencakup tentang teori tentang negara, pemerintahan, kekuasaan, hukum, dan kepemimpinan
8 ABSTRACT
The aim of this undergraduate thesis is to know the comparasion study toward the status between “Daerah Istimewa Yogyakarta and Surakarta” in the structure of democration and otonomy in 1939–1950. in this thesis, there are three problem formulations, as follows: 1. How are the status of Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta in Dusch and Japanese Government era in 1939- 1945? 2. How are the status of Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta in Indonesia Government era in 1945–1950? 3. What are the factor which determine the status of Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta as a particular region in Indonesian Republic?
The Mataram kingdom which breaks into two kingdoms, Yogyakarta and Surakarta, save its own historically particular. Nowaday the problems particularity are discussed by the people in order to existence the democration of otonomy region. The particular status which given to a region is valued as a different gift from other regions. The particular value also underlays this thesis writing. Based on this problem, the writer tries to analyze the fact historically without true history.
The history methodology which is use in this analysis consist of: collecting the sources, critiques, interprestation, and historigraph. The methodology of collecting datas is library study. The writer analyzes the datas of the main problem by description analysis. This analysis applies politic approach in order to analyze the problems that will be discussed in this analysis. This politic knowledge include the Nation theory, Government, Power, Law, and Leadership.
9 KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus Atas melimpahkan kasih-Nya, sehimgga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul: Studi
Perbandingan Status Daerah Istimewa Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta tahun 1939-1950 dalam kerangka Demokrasi
Otonomi. Skripsi ini dapat diselesaikan berkat dukungan, bantuan, dan bimbingan dari banyak pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Bapak Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., M.A., Selaku Dekan Sastra, yang telah
memberikan ijin atas penulisan skripsi ini.
2. Bapak Drs. Hb.Hery Santosa,M.Hum., Selaku Ketua Jurusan Sejarah,
yang telah memberikan ijin atas penulisan skripsi ini.
3. Ketua Program Studi Ilmu Sejarah, yang telah memberikan pandangan
dalam skripsi ini.
4. Bapak Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H., Selaku Pembimbing I, yang telah
bersedia membimbing dan mengoreksi skripsi ini hingga selesai.
5. Pembimbing Akademis, yang telah memberikan dukungan dan
bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan kuliah di Universitas
Sanata Dharma.
6. Para Dosen Ilmu Sejarah; Pak Purwanta, Pak Sandiwan, Pak Rio, Pak
Anton, Bu Ning, Romo Baskara, Pak Moedjanto, yang telah banyak
10 memberikan bekal pengetahuan dan bimbingan bagi penulis selama
menyelesaikan kuliah di Universitas Sanata Dharma.
7. Teman-teman mahasiswa Ilmu sejarah, Sastra Inggris, Sastra
Indonesia, angkatan 1999-2003; terimakasih atas bantuan, dukungan,
dan kebersamaanya selama ini.
8. Karyawan Perpustakaan Sanata Dharma dan Perpustakaan Daerah
Istimewa Yogyakarta, Kraton Yogyakarta, Kraton Surakarta, Museum
Sono Budoyo Yogyakarta, Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah
Surakarta, Monumen Pers Nasional di Surakarta, Museum Radya
Pustaka Surakarta, yang telah membantu penulis berkaitan dengan
skripsi ini.
9. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan
semua.
Penulis menyadari atas kekurangan dan kelemahan terhadap penulisan skripsi ini, maka dengan terbuka penulis menerima masukkan berupa kritik yang bersifat membanguan demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan Bagi Universitas Sanata Dharma.
Yogyakarta, 27 Februari 2007
Penulis
11 DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL…………………………………………………………….. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING…………………………...….. ii HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………..……... iii HALAMAN MOTTO………………………………………………...………... iv HALAMAN PERSEMBAHAN…………………………………...………….... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………………………….….………... vii ABSTRAK……………………………………………………………….……. viii ABSTRACT………………………………………………………………..…... ix KATA PENGANTAR…………………………………………………………... x DAFTAR ISI……………………………………………………..……………. xii DAFTAR LAMPIRAN………………………………………………..………. xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah………………………………………... 1 B. Rumusan Masalah………………………………………………. 4 C. Tujuan Penelitian………………………………………………... 5 D. Manfaat Penelitian………………………………………………. 5 E. Tinjauan Pustaka………………………………………………... 6 F. Landasan Teori…………………………………………………. 8 G. Hipotesis…………………………………………………………. 9 H. Metode dan pendekatan Penelitian……………………………. 10 1. Pengumpulan data……………………………………………… 10 2. Analisis data…………………………………………………….. 12 I. Sistematika Penulisan………………………………………...… 12
12 BAB II STATUS KRATON KASUNANAN SURAKARTA DAN KASULTANAN YOGYAKARTA PADA MASA PENDUDUKAN BELANDA DAN JEPANG TAHUN 1939-1945
A. Masa pendudukan Belanda Tahun 1939-1941………………... 15 A.1. Kasultanan Yogyakarta………………………..……….…. 15 1.1. Politik Kontrak (Pepatih Dalem)……………………..….... 16 1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda…...... 19 A.2. Kasunanan Surakarta………………………………….….. 22 1.1. Politik Kontrak…………………………………………...… 22 1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda...…... 24 B. Masa pendudukan Jepang Tahun 1942-1945…………………. 27 1. Kasultanan Yogyakarta…...…………………………...…….. 27 2. Kasunanan Surakarta………………………………...…...... 37
BAB III STATUS KEISTIMEWAAN KASULTANAN YOGYAKARTA DAN KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA PEMERINTAHAN INDONESIA TAHUN 1945-1950
A. Pemeritahan Masa awal Kemerdekaan Republik Indonesia… 40 1. Kasultanan Yogyakarta………………………………………….. 40 2. Kasunanan Surakarta……………………………………………. 54 B. Pemerintahan Masa Kostitusi RIS………………………..…… 59
BAB IV FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN STATUS KEISTIMEWAAN KASUNANAN SURAKARTA DAN KASULTANAN YOGYAKARTA DALAM NEGARA RI
A. Status Keistimewaan Berdasarkan Undang-undang Dasar…… 64 B. Sikap politik Pemerintahan Kedua Kerajaan dalam mendukung Negara RI………………………………………………………….. 68
13 C. Peran kedua Kerajaan dalam Perjuangan Revolusi Kemerdekaan Republik Indonesia ………………………....……. 72 1. Kasultanan Yogyakarta…………………………………………... 72 2. Kasunanan Surakarta…………………………………………….. 74 D. Pemerintahan masa demokratisasi dan otonomi…….……….... 78 1. Kota Yogyakarta…………………………………..….…………... 78 2. Kota Surakarta…………………………..………….…………….. 87
BAB V PENUTUP…...………………………………………………….….….. 91 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….………. 94 Lampiran-lampiran…………………………………………………………… 97
14 DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. AMANAT SULTAN HB IX……………………………………. 97 Lampiran 2. AMANAT PAKU ALAM VIII……………………………….... 98 Lampiran 3. AMANAT 6 SEPTEMBER 1945 ……………………………... 99 Lampiran 4. AMANAT 30 OKTOBER 1945…………………………..….. 100 Lampiran 5. PIAGAM SRI PADUKA SUSUHUNAN PAKUBUWONO XII REPUBLIK INDONESIA……………………………………... 102 Bagan 6. PEMBAGIAN DAERAH OTONOMI UU 1948/22………………103 Lampiran 7. Undang-undang Pokok Daerah Istimewa Yogyakarta………104 Lampiran 8. Maklumat Komisaris Tinggi No.1 tentang Surakarta……….106 Lampiran 9. Makloemat Seri Padoeka Ingkang Sinoehoen ……………….108
15 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perjalanan sejarah yang dialami bangsa Indonesia ini cukup panjang.
Sejarah bangsa Indonesia merupakan peristiwa masa lampau yang tidak mungkin terulang kembali. Hal yang bisa kita lakukan adalah melihat kembali perjalanan sejarah tersebut untuk mencoba merekontruksi, memaknai, dan mencari relevansinya di masa kini, bagi kemajuan kehidupan bangsa Indonesia sendiri di masa datang.1
Sejarah bangsa kita tidak pernah bisa dilepaskan begitu saja dari banyaknya kerajaan kecil yang telah berdiri dan berdaulat, bahkan sebelum terbentuknya Negara Indonesia, salah satunya adalah Kerajaan Mataram di Jawa.
Dalam perjalanan sejarahnya kerajaan ini mengalami pasang-surut pemerintahan.
Kerajaan Mataram pada akhirnya terpecah menjadi dua kerajaan yaitu: Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.2 Sejalan dengan tumbuhnya nasionalisme kebangsaan Indonesia, kedua kerajaan inipun menjadi tolak-ukur perjuangan bangsa ini ketika masa kolonial, terlebih dengan adanya undang-undang yang dibuat pihak kolonial yang mengatur tentang kedudukan ke dua kerajaan tersebut.
1 Pengertian sejarah menurut: Istilah dan Guna, Kuntowijoyo; Pengantar Ilmu Sejarah, Yayasan Bentang Budaya ,Yogyakarta-Indonesia, cetakan III, 1999, halm.15 2 Lahirnya Zelfbesturende Lansdschappen dari Hindia Belanda di Jawa Tengah, Lihat: Republik Indonesia:Daerah Istimewa Yogyakarta ,1953, halm.37
16 Pada bahasan skripsi ini akan diuraikan tentang dua kerajaan di Jawa yang masih berdiri hingga sekarang dan menjadi saksi sejarah terbentuknya Negara
Indonesia. Kerajaan tersebut adalah Keraton Kasunanan Surakarta dan Keraton
Kasultanan Yogyakarta. Dua kerajaan tersebut merupakan pecahan dari sebuah kerajaan besar di tanah Jawa yakni Kerajaan Mataram.
Kerajaan Mataram yang beribukota di Surakarta (Solo) pada tahun 1755 pecah menjadi dua yakni: Pertama, Kasunanan Surakarta yang beribukota di
Surakarta (Solo) di bawah pimpinan Sri Sunan Paku Buwono III. Kedua,
Kasultanan Yogyakarta yang beribukota di Ambarketawang Gamping, kemudian pindah ke Yogyakarta sampai sekarang di bawah pimpinan Sultan Hamengku
Buwono X di mana pembagian daerah tersebut ditentukan dalam perjanjian
Gianti.3
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta, pada masa pemerintahan Belanda memiliki kedudukan sebagai daerah istimewa bagian dari
Kerajaan Hindia Belanda, berdasarkan perundang-undangan Belanda dan Kontrak
Politik. Pemerintah Belanda mengangkat Gubernur Jenderal dengan diwakili
Pepatih Dalem untuk mengatur birokrasi pemerintahan kedua daerah kerajaan, dalam rangka politik dekonsentrasi pemerintahan. Hal yang sama juga diberlakukan pada saat Pemerintah Jepang menguasai kedua daerah kerajaan tersebut. Pemerintah Jepang juga mengakui bahwa daerah kedua kerajaan tersebut
3 Asal usul kerajaan Surakarta dan Yogyakarta merupakan pecahan dari kerajaan Mataram,yang secara lengkap tertulis dalam perjanjian Gianti,Lihat Depdikbud, Sejarah Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1997, penerbit proyek penelitian dan pencatatan daerah Depdikbud, Jakarta, halm 83-92
17 merupakan daerah istimewa bagian dari Kekaisaran Jepang. Kooti Zimu Kyoku
Tyookan (gubernur) dan Somu Tyookan (patih), diangkat sebagai wakil
Pemerintah Jepang.
Pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta mengalami perubahan dan penyesuaian birokrasi pemerintahan kerajaan menuju birokrasi pemerintahan negara modern. Status keistimewaan daerah kerajaan juga mengalami perubahan akibat dari faktor-faktor politik pada masa itu. Pemerintah Pusat kemudian mengangkat Komisaris Tinggi sebagai wakil pemerintahan untuk ditempatkan di beberapa wilayah daerah swapraja yaitu: Kasunanan Surakarta, Kasultanan Yogyakarta, Mangkunegaran, dan Pakualaman. Di Kasunanan Surakarta, Komisaris Tinggi diakui oleh Paku
Buwono sebagai wakil Pemerintah Pusat, sedangkan di Kasultanan Yogyakarta
Komisaris Tinggi ditolak oleh Sultan HB IX, yang kemudian digantikan perannya oleh Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta. 4
Sikap politik pemerintahan Kasunanan Surakarta mengenai loyalitasnya pada Pemerintah Belanda atau pada Pemerintah RI masih dipertanyakan, sedangkan di Kasultanan Yogyakarta sikap politik pemerintahan Sultan HB IX menyatakan dukungannya pada eksistensi Negara RI. Peran serta kedua daerah kerajaan dalam perjuangan revolusi kemerdekaan RI juga menjadi faktor penting yang menentukan status keistimewaan dalam Negara RI. Namun pada saat ini,
4 Lihat Soedarisman Poerwoekoesoemo, Daerah Istimewa Yogyakarta, 1984, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, halm 16-17
18 kedua kerajaan tersebut memiliki status keistimewaan yang berbeda, yakni
Kasunanan Surakarta sudah tidak dianggap sebagai daerah istimewa, sedangkan
Kasultanan Yogyakarta masih memiliki status sebagai daerah istimewa.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka yang menjadi pokok permasalahan penulisan skripsi ini adalah pembahasan tentang kedudukan dan status kedaerahan yang diberlakukan pada dua kerajaan tersebut pada saat Negara
Indonesia terbentuk. Sejarah komparasi kedua kerajaan tersebut merupakan suatu pembanding gerak sejarah yang perlu diungkapkan dan menjadi pertimbangan pemerintahan RI dalam mengeluarkan undang-undang untuk mengatur status dan kedudukan kedua kerajaan. Hingga sekarang masih dipertanyakan mengapa hanya
Kasultanan Yogyakarta yang mendapatkan status sebagai daerah istimewa dari
Pemerintah Pusat, sedangkan di Kasunanan Surakarta tidak lagi mendapatkan status keistimewaan tersebut.
Pertanyaan-pertanyaan yang menjadi pokok permasalahan yaitu:
1. Bagaimanakah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta
pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang pada tahun 1939-1945?
2. Bagaimanakah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta
pada masa pemerintahan Indonesia pada tahun 1945-1950?
3. Faktor-faktor apakah yang menentukan status daerah Kasunanan Surakarta
dan Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dalam Negara RI?
19 Masa-masa pra-kemerdekan hingga pasca-kemerdekan RI, menjadi pokok permasalahan yang dibahas karena dalam tahun-tahun tersebut banyak undang- undang yang dibuat untuk mengatur status kerajaan-kerajaan swapraja.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Mendeskripsi dan menganalisis status daerah Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Belanda dan Jepang
tahun 1939-1945.
2. Mendeskripsi dan menganalisis status daerah Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta pada masa pemerintahan Indonesia tahun 1945-
1950.
3. Mendeskripsi dan menganalisis faktor-faktor apakah yang menentukan
status daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai
daerah istimewa dalam Negara RI.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi penulis
Penulisan ini dapat menjadi pengetahuan tentang sejarah komparasi
terhadap daerah-daerah kerajaan yang berkedudukan sebagai daerah
Istimewa pada masa pemerintahan Belanda, pemerintahan Jepang, dan
pemerintahan Indonesia dari tahun 1939-1950.
2. Bagi Universitas Sanata Dharma
20 Penulisan ini diharapkan menjadi wawasan yang menambah ilmu
pengetahuan mengenai status daerah Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta tahun 1939-1950, yang berupa karya ilmiah di
Universitas Sanata Dharma.
3. Bagi Dunia Ilmu Pengetahuan
Penulisan penelitian ini diharapkan menambah wawasan dan
memperkaya perbendaharaan Ilmu pengetahuan mengenai sejarah
komparasi: status daerah Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta tahun 1939-1950.
E. Tinjauan Pustaka
Dalam proses penulisan ini penulis memperoleh data dari bentuk pengumpulan data melalui studi pustaka. Dalam mendapatkan data mengenai permasalahan perkembangan Yogyakarta dan Surakarta tahun 1939 -1950 maka penulis menggunakan bahan pustaka sebagai sumber penelitian.
Buku-buku yang digunakan sebagai sumber untuk mendapatkan data mengenai ketiga pokok permasalahan pada penelitian ini, bebarapa diantaranya adalah:
Buku pertama berjudul: Inventarisasi Produk-produk Pemerintahan
Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta yang berupa peraturan perundangan I dan
II, merupakan hasil penyusunan dan penerbitan Biro hukum sekretariat Daerah
DIY, Pada tahun 1977, 1977-1978 di Yogyakarta. Buku ini menyediakan data-
21 data penting mengenai perundang-undangan dan peraturan lain yang dibuat oleh pemerintahan Daerah Yogyakarta.
Buku kedua berjudul: Suara Nurani Keraton Surakarta, Peran Keraton
Surakarta dalam mendukung dan memmpertahankan Negara Kesatuan Republik
Indonesia, merupakan tulisan Sri Juari Santoso, pengantar:Eusta Supeno, diterbitkan oleh Komunitas Studi Didaktika,pada tahun ?. Buku ini sebagai sumber penulisan penelitian ini karena banyak menguraikan status istimewa bagi
Keraton Surakarta sebelum Undang-undang Pemerintahan Daerah dibuat.
Buku ketiga berjudul: Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi
Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974, ditulis oleh Suwarno.P.J., diterbitkan oleh
Penerbit Kanisius, pada tahun 1994 Yogyakarta,. Sesuai pokok permasalahan ketiga yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu tentang bagaimanakah proses perubahan dan penyesuaian yang dilakukan Sri Sultan dan Paku Alam VIII dalam menciptakan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang otonom dan demokratis, maka buku ini penting sebagai sumber pustaka. Buku ini menyediakan informasi tentang peran Sri Sultan HB IX sebagai Pemimpin
Pemerintahan Yogyakarta.
Buku keempat berjudul: Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara
Republik Indonesia, merupakan tulisan The Liang Gie, diterbitkan oleh
PT.Gunung Agung , pada tahun 1967 di Jakarta. Buku ini mengulas tentang masalah-masalah desentralisasi dan cara-cara penyelesaian tentang pemerintahan daerah dengan topik seperti daerah Yogyakarta dan Surakarta.
22 Perbedaan tulisan ini dengan tulisan pada buku-buku sumber di atas adalah, sumber yang membicarakan tentang status daerah keistimewaan Surakarta tidak banyak dibicarakan, hanya beberapa bagian saja, dari hal tersebut, maka penulis berupaya memberikan beberapa kerangan yang berkaitan dengan status daerah Surakarta yang dulunya sebagai daerah istimewa, dan saya rasa penulisan skripsi tentang perbadingan daerah istimewa kedua kerajaan tersebut sangat sedikit ditulis.
.
F. Landasan Teori
Dalam penulisan skripsi ini yang dibahas adalah perbandingan wacana sejarah yang terjadi dalam Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakata dalam status daerah istimewa melalui periode tahun 1939-1950. Komparasi ini merupakan hal yang diangkat sebagai perbandingan keadaan dahulu hingga sekarang, di mana dahulu kedudukan kedua kerajaan tersebut memiliki karakteristik sebagai daerah istimewa yang berbeda dengan daerah lainnya, sebagai daerah yang mempunyai peraturan-peraturan, hukum atau undang-undang, adat istiadat, dan lain-lainnya.
Namun sekarang kedua kerajaan tersebut mengalami berbagai perubahan sistem pemerintahan.
Maksud dari status daerah istimewa di sini adalah status keistimewaan sebagai daerah kerajaan yang memiliki sistem pemerintahan daerah yang berbeda bila dibandingkan dengan daerah setingkat lainnya. Khusus pada daerah swapraja seperti Kasultanan Yogyakarta, di mana status keistimewaannya telah dimiliki sejak masa pendudukan Hindia Belanda dan pendudukan Jepang, dan hingga kini
23 masih diakui oleh Pemerintah RI sebagai daerah istimewa bagian dari Negara
Indonesia. Hal ini terlihat dalam berbagai peraturan perundang-undangan kedaerahan yang berbeda dengan daerah lain, antara lain mengenai pemilihan gubernur. Pemilihan gubernur di DIY tidak melalui mekanisme pemilihan demokratis (Pemilihan Kepala Daerah), tetapi melalui penunjukan langsung dari keturunan Raja-raja di Kasultanan Yogyakarta. Hal ini jelas sekali membedakan
DIY deangan daerah lainnya. Dengan begitu kedudukan Sultan di Yogyakarta memiliki fungsi ganda yaitu sebagai Raja di Kasultanan Yogyakarta dan sebagai
Gubernur DIY.
Penulis akan membahas skripsi ini dengan sudut pandang politik ketatanegaraan yang mengacu kepada hukum perundang-undangan pada masa
Belanda, Jepang, dan Negara Indonesia yang diberlakukan di kedua kerajaan tersebut. Sudut pandang sosial budaya masyarakat di kedua kerajaan, di mana terjadi transformasi kekuasaan antara masa pendudukan Belanda, pendudukan
Jepang dan Negara Indonesia, menjadikan tolak-ukur sejarah komparasi keistimewaan kedua kerajaan dengan subyek yang melekat pada adat istiadat serta budaya dalam kraton yang dimiliki oleh rakyatnya.
G. Hipotesis
1. Bila Pemerintah Belanda dan Pemerintah Jepang pada tahun 1939-1945
menyatakan status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta
sebagai daerah istimewa, maka status tersebut berpengaruh pada birokrasi
pemerintahan kedua daerah kerajaan.
24 2. Bila Pemerintah Indonesia pada tahun 1945-1950, mengadakan kebijakan
politik yang mengubah status Kasunanan Surakarta dan Kasultanan
Yogyakarta sebagai daerah istimewa, maka perubahan status tersebut
berpengaruh pada birokrasi pemerintahan kedua daerah kerajaan.
3. Faktor-faktor politik, seperti: Status istimewa Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta dalam sistem perundang-undangan Pemerintah
Belanda dan Pemerintah Jepang, Sikap politik kepemimpinan kedua
daerah kerajaan dalam mendukung Negara RI, Peran kepemimpinan kedua
daerah kerajaan dalam perjuangan revolusi kemerdekaan Negara RI,
Dukungan rakyat kepada pemerintahan kerajaan, merupakan faktor-faktor
penting yang menentukan status daerah istimewa kedua kerajaan tersebut.
H. Metode dan Pendekatan Penelitian
1. Pengumpulan Data
Metode yang digunakan disebut metode sejarah yaitu suatu proses menguji dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.5
Rekonstruksi imajinatif terhadap masa lampau berdasar data-data yang diperoleh melalui metode sejarah itu disebut penulisan sejarah (historiografi).6 Dalam melakukan penulisan sejarah dapat dilakukan dengan empat tahapan pokok.
Pertama, Pemilihan subyek penelitian dan pengumpulan objek yang berasal dari jaman itu serta pengumpulan bahan-bahan tercetak, tertulis, dan lisan yang
5 Lihat Louis Gottschalk, mengerti sejarah: pengantar metode sejarah, terjmh.:Nugroho Notosusanto, 1975, yayasan penerbit Universitas Indonesia, Jakarta,halm.32 6 Ibid., halm.35
25 relevan. Kedua, Menyingkirkan bahan-bahan yang tidak otentik. Ketiga,
Menyimpulkan kesaksian yang dapat dipercaya mengenai bahan-bahan yang otentik. Keempat, Penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya menjadi kisah atau penyajian sejarah.7
Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah studi pustaka dengan mencari dan menganalisis buku-buku yang tersimpan di perpustakaan, arsip-arsip pemerintah, surat kabar, dan sebagainya. Studi pustaka merupakan suatu metode penulisan, di mana penulis menggali dan mengolah data-data yang sudah berbentuk tulisan atau pernyataan-pernyataan menjadi suatu historiografi. Data yang ada kemudian dipelajari dan diperdalam untuk kemudian diseleksi. Buku- buku yang relevan dengan pokok permasalahan digunakan sebagai sumber data dan acuan penulisan. Selain mengumpulkan data-data sejarah dari buku-buku, juga diusahakan mencari data-data yang tersimpan dalam arsip-arsip atau catatan- catatan yang tersimpan di perpustakaan daerah dan lembaga-lembaga pemerintahan daerah.
Sumber tulisan yang digunakan dapat berupa sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer yaitu tulisan atau dokumen hasil dari pernyataan kesaksian seorang saksi mata yang mengalami peristiwa itu sendiri atau hidup sejaman dengan terjadinya peristiwa. Sumber sekunder yaitu tulisan atau dokumen yang merupakan kutipan atau salinan dari sumber lainnya.
7 Ibid., halm.75
26 2. Analisis Data
Data-data yang sudah diseleksi dari buku-buku, arsip-arsip, dan catatan- catatan pemerintah daerah kemudian dilakukan kritik sumber. Kritik sumber merupakan tahap penulisan sejarah untuk pengujian data. Kritik sumber bertujuan untuk mengetahui sejauh mana kredibilitas sumber yaitu kebenaran faktanya sehingga dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan. Kritik digunakan untuk menghindari kepalsuan dan keberpihakan sumber, apalagi sebagian besar sumber data merupakan sumber sekunder. 8
Metode deskriptif analisis digunakan sebagai metodologi penulisan karena dengan metode ini diharapkan mampu menggambarkan peristiwa secara lengkap dan analitis. Pengolahan data secara cermat diharapkan mampu mengurangi subyektifitas yang biasanya muncul dalam sebuah historiografi.
I. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab, yang terdiri atas:
Pada Bab I Pendahuluan. Di mana yang terbagi menjadi sembilan sub bab yakni: A. Latar Belakang Masalah, yang mendiskripsikan latar belakang pengambilan subyek penelitian, B. Rumusan Masalah, yang merumuskan permasalahan yang dijadikan pokok penelitian ini, C. Tujuan Penelitian, D.
Manfaat Penelitian, E. Tinjauan Pustaka, F. Landasan Teori, G. Hipotesis, H.
Metode dan Pendekatan Penelitian, dan I. Sistematika Penulisan.
8 Lihat: Koentjaraningrat,Metode-Metode Penulisan Masyarakat, 1993, PT.Gramedia, Jakarta, halm.269
27 Bab II Status Kraton Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta
Pada Masa Pendudukan Belanda dan Jepang Tahun 1939-1945, mendeskripsikan dan menganalisis status kedua daerah kerajaan tersebut yaitu pada masa pendudukan Belanda dan pendudukan Jepang, yang terbagi menjadi dua sub bab yakni: A. Masa Pendudukan Belanda Tahun 1939-1941; dan 1. Kasultanan
Yogyakarta dan 2. Kasunanan Surakarta B. Masa Pendudukan Jepang Tahun
1942-1945; 1. Kasultanan Yogyakarta dan 2.Kasunanan Surakarta.
Bab III Status Kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta
Pada Masa Pemerintahan Indonesia Tahun 1945-1950, mendeskripsikan dan menganalisis status kedua daerah kerajaan tersebut pada masa pemerintahan
Indonesia tahun 1945-1950, yang terbagi menjadi tiga sub bab yakni: A.
Pemerintahan Masa Awal Kemerdekaan Republik Indonesia; 1. Kasultanan
Yogyakarta dan 2.Kasunanan Surakarta.B. Pemerintahan Masa Konstitusi RIS.
Bab IV Faktor-faktor Politik Yang Menentukan Status Keistimewaan
Kerajaan Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta Dalam Negara RI, mendeskripsikan dan menganalisis faktor-faktor politik yang turut mempengaruhi status daerah kerajaan sebagai daerah istimewa, terbagi menjadi tiga sub bab yakni: A. Status Keistimewaan Berdasarkan Undang-undang Dasar, B. Sikap
Politik Pemerintahan Kedua Kerajaan Dalam Mendukung Negara RI, C. Peran
Kedua Kerajaan dalam perjuangan revolusi kemerdekaan Negara RI; 1.
Kasultanan Yogyakarta dan 2.Kasunanan Surakarta., D. Pemerintahan Masa
Demokratisasi dan Otonomisasi; 1. Kota Yogyakarta dan 2.Kota Surakarta.
28 Bab V Penutup, berisi penarikan kesimpulan dari hasil deskripsi analisis menyangkut permasalahan, hipotesis, dan uraian pembahasan dalam penelitian ini.
29 BAB II
STATUS KRATON KASULTANAN YOGYAKARTA
DAN KASUNANAN SURAKARTA PADA MASA
PENDUDUKAN BELANDA DAN JEPANG
TAHUN 1939-1945
A. Masa Pendudukan Belanda Tahun 1939-1941
A.1. Kasultanan Yogyakarta
Status Kerajaan Kasultanan Yogyakarta pada masa pendudukan Belanda pada tahun 1939 masih dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan politik dari
Pemerintahan Hindia Belanda. Ketika Sultan HB IX dinobatkan pada akhir tahun
1939, Pemerintah Hindia Belanda mengadakan perundingan-perundingan dengan mencalonkan Sultan HB IX melalui perumusan Kontrak Politik.9 Dalam setiap perundingan tersebut, pihak Pemerintah Belanda selalu mempertahankan pasal- pasal yang menjamin kekuasaan atas birokrasi Pemerintahan Kasultanan. Namun usaha tersebut tidak mempengaruhi kegigihan Sultan HB IX untuk tidak memakai pasal-pasal dalam Kontrak Politik, selama Pemerintah Belanda masih berkuasa dan ketika Sultan Hamengku Buwono IX berusaha mengadakan perubahan birokrasi dalam kraton.10
9 Perubahan-perubahan yang terjadi pada waktu itu seperti perundingan tentang wilayah daerah Yogyakarta dan Kraton untuk merumuskan kontrak politik. 10 P.J Suwarno, Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan Historis, 1994,Penerbit Kanisius,Yogyakarta,halm 22
30 Pada saat Pemerintah Belanda kemudian bermaksud mengadakan perubahan-perubahan di Yogyakarta, hal itu dilakukan dengan cara menugaskan pegawai-pegawai Belanda untuk bekerja di fasilitas-fasilitas strategis di daerah
Yogyakarta. Sementara itu para abdidalem hanya menjalankan perintah dari pegawai-pegawai Belanda tanpa mengerti maksud dan tujuannya. Sebaliknya
Sultan HB IX dalam upayanya untuk mengadakan perubahan birokrasi pemerintahan Kasultanan Yogyakarta terlebih dahulu mempersiapkan tokah-tokoh masyarakat dan para abdidalem-nya. Begitu dekatnya Sultan dengan rakyatnya sehingga sering kali Sultan mengadakan komunikasi langsung dengan masyarakat
Yogyakarta ke pelosok desa-desa serta para penjabat di daerah-daerah, menerima para tokoh masyarakat pengurus organisasi masyarakat di Kraton, dan mengadakan perjalanan keliling daerah-daerah luar Yogyakarta untuk studi banding. Dengan demikian para birokrat memahami perubahan birokrasi pemerintahan yang diadakan dan rakyat mendukung dengan kesadaran mereka sendiri.
1.1. Kontrak Politik (Pepatih Dalem)
Sumpah Pepatih Dalem11 dimulai pada tahun 1744, sejak masa
Pemerintahan Sunan Paku Buwono II Raja Kerajaan Mataram yang beribukota di
Kartosuro. Pada masa itu Sunan Paku Buwono II meminta bantuan kepada
Pemerintah Kerajaan Belanda untuk membantu menumpas gerakan
11 Pepatih Dalem adalah pegawai raja yang bergelar Tumenggung, tugas pokoknya melayani raja, Pepatih Dalem didampingi empat penasihat yang membawahi 500 orang terkemuka dimana diantaranya saudara raja,Lihat PJ.Suwarno.,Ibid.halm57-58
31 pemberontakan yang dikenal sebagai Geger Pacina. Pemberontakan Geger
Pacina tersebut akhimya berhasil dipadamkan dengan bantuan pemerintah
Kerajaan Belanda, dan sebagai balasannya pemerintah Kerajaan Belanda mengajukan persyaratan berupa Politiek Contract kepada Sunan Paku Buwono II.
Kontrak Politik tersebut menyatakan bahwa tiap-tiap Pepatih Dalem harus diangkat oleh Gubernur Belanda dengan sepengetahuan Sunan, Pepatih Dalem adalah pegawai Gubernemen sekaligus pegawai Kasunanan yang mendapatkan gaji dari Gubernemen dan Kasunanan, dan harus bersumpah setia kepada kedua belah pihak, jika terjadi pertentangan antara Sunan dan Gubernemen Belanda, maka Pepatih Dalem harus memihak kepada Gubernemen Be1anda.12 Isi politiek contract tersebut masih berlaku dalam politiek contract antara Sultan Hamengku
Buwono I dengan Gubernemen Belanda.13
Kedudukan Pepatih Dalem yang berfungsi ganda dalam menjalankan tugasnya lebih banyak memihak kepada Gubernemen Belanda sehingga menimbulkan pertentangan dengan Sultan. Pertentangan antara Sultan dengan
Pepatih Dalem ini dapat berbentuk pertentangan batin hingga pertentangan fisik.
Dalam sejarah pemerintahan Kasultanan Yogyakarta pernah terjadi peristiwa dibunuhnya Pepatih Dalem oleh Sultan. Juga ketika Sultan mengangkat Pepatih
Dalem tanpa persetujuan Gubernemen Belanda maka Pepatih Dalem itu tidak diakui oleh Gubernemen.
12 Soedarisman Poerwoekoesoemo, Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta, Penerbit Gadjah Mada University Press, 1984, halm 8. 13 Ibid
32 Politiek Contract yang terakhir adalah politik kontrak antara Gubernur
Jendral Belanda dengan Sultan HB IX pada tanggal 18 Maret 1940.14 Dalam politiek contract dinyatakan pada Pasal 1 ayat 1, bahwa daerah Kasultanan
Yogyakarta merupakan bagian daripada Kerajaan Belanda, oleh karena itu Sultan mengakui kedudukannya berada di bawah kekuasaan Ratu Belanda yang diwakili
Gubernur Jenderal. Pada Pasal 1 ayat 2 juga dinyatakan bahwa kekuasaan atas daerah Kasultanan Yogyakarta dilakukan oleh Sultan yang diangkat Gubernur
Jendral Belanda. Pada Pasal 24 Politiek contract menyebutkan bahwa untuk kepentingan daerah Kasultanan Yogyakarta, Sultan dapat mengeluarkan peraturan-peraturan tetapi menurut Pasal 25 dinyatakan sebelum peraturan itu dapat berlaku harus mendapatkan persetujuan dari Gubernur Belanda, dan untuk dapat mengikat penduduk, peraturan itu harus dicantumkan dalam Rijksblaad.
Selain itu, menurut Pasal 13 dinyatakan bahwa dalam melakukan kekuasaan itu
Sultan dibantu oleh Rijksbestuurder atau Pepatih Dalem yang diangkat dan diberhentikan oleh Gubernur Jendral Belanda setelah berunding dengan Sultan.
Jadi kedudukan Pepatih Dalem sebagai pegawai Gubernemen Belanda dan juga pegawai Kasultanan yang mendapatkan gaji dari Gubernemen dan Kasultanan.15
Kedudukan Pepatih Dalem yang demikian itu membawa konsekuensi bahwa Pepatih Dalem bertanggung-jawab kepada Gubernur Jenderal dan Sultan.
Dalam kenyataannya Pemerintahan Kasultanan lebih banyak dijalankan oleh
Pepatih Dalem dengan persetujuan Gubernur Jenderal, sehingga yang sebenarnya
14 Tertera dalam Staat Blads Tahun 1941 No.47.Ibid.. halm. 4 15 Ibid
33 memerintah Kasultanan tidak lain adalah Gubernur Jendral melalui Pepatih
Dalem.
1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda
Pemerintahan Hindia Belanda memiliki suatu peraturan dasar ketatanegaraan yang disebut Reglement op het Beleid der Regering van
Nederlandsch Indie, sistem pemerintahan ini belum menggunakan sistem desentralisasi. Dalam reglement tersebut dinyatakan bahwa Hindia Belanda adalah suatu gecentraliseerd geregeerd land atau pemerintahan sentralistis.
Sistem pemerintahan sentralistis ini berlangsung hingga awal abad 20. Meskipun memiliki sistem pemerintahan sentralistis, pemerintah Hindia Belanda juga menjalankan sistem pemerintahan dekonsetrasi yaitu di mana tugas pemerintahan pusat diserahkan kepada pejabat-pejabat pemerintahan pusat yang lebih rendah tingkatannya secara hierarkis, untuk kemudian ditugaskan di seluruh bagian wilayah negara atau daerah administratif.16
Perkembangan selanjutnya baru terjadi setelah ada pemikiran tentang bentuk pemerintahan modern dan demokratis di dalam kelompok politik Belanda dan masyarakat Eropa. Selain itu juga didorong oleh semakin sulitnya mengatur wilayah pemerintahan yang semakin luas dengan sistem pemerintahan dari pusat saja. Persoalan tersebut mendorong Pemerintah Kerajaan Belanda menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van het Bestuur in Nederlandsch Indie.17
16 The Liang Gie, Pertumbuhan Pemerintah Daerah Di Negara Republik Indonesia,1967,Penerbit PT. Gunung Agung, Jakarta, halm 21 17 Ibid
34 Decentralisatiewet 1903 ini mengatur penambahan tiga pasal baru ke dalam
Reglement yaitu pasal 68a, 68b, dan 68c. Tiga pasal baru tersebut mengatur pembentukan gewest dan bagiannya yang memiliki kebijakan keuangan sendiri dan aparatur pemerintahan daerah sendiri yang diatur oleh Raad di masing-masing daerah. Pelaksanaan sistem decentralisatiewet 1903 ini diatur lebih lanjut dengan peraturan Decentralisatiebesluit dan Locale Raadenordonnantie. Kedua peraturan ini menyebutkan bahwa daerah yang diberi keuangan sendiri disebut Locaal
Ressort, dan Raadnya disebut Locale Raad. Dalam Locale Raad dibedakan lagi dalam gewestelijke Raad untuk gewest dan Plaatselijk Raad untuk raad bagian dan gewest.18
Pelaksanaan sistem desentralisasi tersebut dianggap oleh rakyat Yogyakarta kurang memuaskan karena hanya sedikit keuangan yang diserahkan kepada daerah dan wewenang yang dapat dijalankan oleh daerah juga masih terbatas.
Masyarakat mengharapkan diberikannya wewenang yang lebih luas dalam pemerintahan. Pemerintah Kerajaan Belanda kemudian mempertimbangkan keinginan masyarakat itu dengan pembentukan Volksraad dan pelaksanaan politik ontvoogding atau pemberian kekuasaan yang lebih banyak kepada pejabat-pejabat pemerintahan umum pribumi (Inlandsche bestuursambtenaren). Pada Tahun 1922 dilaksanakan pembaharuan pemerintahan dengan sistem desentralisasi dan dekonsentrasi yang lebih luas melalui Wet op de Bestuurshervorming. Wet tersebut bertujuan untuk memungkinkan pembentukan badan-badan pemerintahan baru oleh penduduk pribumi dengan diberi hak dalam menjalankan pemerintahan
18 Ibid.,halm.22
35 beserta tanggung-jawabnya, sehingga akan mendapatkan pengalaman politik untuk membantu Pemerintah Kerajaan Belanda atau Bjflagen Handelingen
Tweede Kamer. 19
Ketentuan dalam Bestuurshervormingswet 1922 tersebut diatur lebih lanjut dengan peraturan Provincie ordonnantie, Regentschaps ordonantie dan
Stadsgemeenteordonnantie. Berdasar ketiga ordonantie itu maka di Jawa dan
Madura dibentuk provincie, regentscap, dan stadsgemeente yang mengatur daerahnya sendiri. Sedangkan untuk daerah di luar Jawa dan Madura ditetapkan melalui Groepsgemeentschaps ordonanrie dan Stadsgemeenteordonantie
Buitengewesten. 20
Pemerintah Kerajaan Belanda membentuk daerah-daerah otonom sejak tahun 1903 tersebut dalam wilayah yang langsung dikuasainya (Direct bestuurd gebied atau Gouvernementgebied). Dalam Gouvernementgebied itu terdapat pula daerah-daerah otonom lainnya yaitu persekutuan masyarakat adat asli (Inlandsche gemeente) seperti desa, hutan, kuria, marga atau nagari. Persekutuan masyarakat adat tersebut diperbolehkan memiliki sistem pemerintahan tradisional sendiri untuk mengatur daerahnya. Persekutuan masyarakat adat ini diatur dalam
Inlandsche Gemeente ordonantie untuk Jawa dan Madura, sedang daerah lainnya diatur dengan Inlandsche Gemeente ordonentie Buitengewesten. 21
Selain adanya wilayah yang langsung dikuasai (Direct bestuurd gebied atau
Gouvernementgebied) oleh Pemerintah Kerajaan Belanda, terdapat juga wilayah
19 Ibid.,halm.23 20 Ibid.,halm.24 21 Ibid.,halm.25
36 yang tidak langsung dikuasai (Indirect bestuur gebeid atau Landscaps gebeid).
Wilayah ini merupakan daerah-daerah kerajaan asli pribumi yang pada waktu masa pendudukan Belanda telah diikat dengan kontrak politik. Dalam kontrak politik tersebut Pemerintah Belanda masih mengakui eksistensi kerajaan-kerajaan tersebut dan hak-haknya untuk menjalankan pemerintahan daerahnya sendiri dengan nama Zelfbeturende landschappen. Kontrak politik tersebut terdiri dari dua macam yaitu Lang contract dan Korte verkiaring. Lang contract mengatur satu persatu kekuasaan Belanda atas hubungannya dengan kerajaan asli, sedangkan Korte verklaring hanya berisi pernyataan kerajaan asli untuk mengakui kekuasaan Belanda dan berjanji akan mentaati peraturan yang akan ditetapkan.
Kedudukan kerajaan dengan Lang contract memiliki kedudukan yang lebih tinggi dan pada kerajaan dengan korte verklaring. Kerajaan asli yang memiliki kontrak politik berupa Lang contract adalah Kasunanan Surakarta dan yang berupa Korte contract adalah Kerajaan Goa.22
A.2. Kasunanan Surakarta
1.1. Kontrak Politik
Kerajaan Surakarta Hadiningrat merupakan negeri dengan pemerintahan sendiri (Zelfbesturende Landshcappen) atas dasar politik kontrak jangka panjang
(Lang politiek Contract), sebagaimana tersebut dalam stbl. No.614 jo. No. 671.
Tetangga Kerajaan Surakarta Hadiningrat, yaitu Kadipaten Mangkunegaran
22 Ibid.,halm.25-26
37 merupakan daerah yang juga berpemerintahan sendiri/asli berdasarkan politik kontrak sebagaimana tersebut dalam stbl.1940 No. 543. 23
Makna dari berpemerintahan asli ini adalah bahwa untuk negeri dan daerah tersebut berlaku peraturan, tatacara, dan adat istiadat asli yang sejak dulu telah berlaku dan berkembang, tanpa harus mengadopsi peraturan dan tata cara yang dibuat dan diberlakukan di daerah-daerah lain oleh Belanda. Jadi di
Surakarta Hadiningrat dan daerah Mangkunegaran dapat dikatakan sebagai negeri dan daerah ”istimewa” mengingat keistimewaannya akan peraturan, tatacara, dan adat istiadat asli yang berlaku dan berbeda dengan adat wilayah lain.
Ketika Pemerintahan Hindia Belanda mengadakan Bestuurs-hervorming, daerah kerajaan tersebut dijadikan pemerintahan atau Governement yang semata- mata berdasarkan atas pertimbangan penghargaan (uit picteits-overwegingen).
Namun pada hakekatnya daerah Surakarta Hadiningrat dan daerah
Mangkunegaran tetap merupakan negeri dan daerah istimewa seperti sebelum dijadikan governement.24
Kontrak Politik yang disebutkan di atas juga mengatur hubungan antara
Pemerintahan Hindia Belanda, Belanda dengan:
1. Seri Paduka Ingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan.
2. Pakubuwono (Sri Paduka Susuhunan).
3. Seri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo Mangkunegoro (Sri
Paduka Mangkunegoro) selaku penguasa kerajaan Surakarta
23 Sri Juari Santoso,Suara Nurani Keraton Surakarta,Peran Keraton Surakarta dalam mendukung dan mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,Cetakan ke V 2006,Penerbit Komunitas Studi Didaktika,Yogyakarta,halm.29 24 Ibid
38 Hadiningrat, dan daerah Mangkunegaran, termasuk mengatur luas
daerah kekuasaan daerah kedua Seri Paduka tersebut. 25
Namun demikian, ada juga kekuasaan dan urusan yang tidak diberikan kepada kedua negeri dan daerah istimewa dan tetap dipegang oleh Pemerintah
Hindia Belanda melalui jawatan-jawatan yang mereka dirikan. Dengan demikian, di wilayah Surakarta terdapat negeri dan daerah istimewa dan wakil Pemerintahan
Hindia Belanda yang masing-masing mempunyai lapangan kekuasaan sendiri- sendiri. Di samping itu, wakil pemerintah Hindia Belanda juga bertugas mengawasi kedua pemerintahan negeri dan daerah istimewa yang ada di wilayah
Surakarta dengan maksud agar peraturan yang dijalankan sesuai dengan yang digariskan dalam politik kontrak dapat berjalan dengan serasi.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka wilayah Surakarta secara politik merupakan daerah yang bersifat istimewa meskipun dalam kenyataannya pemerintahan di wilayah Surakarta merasa berat membiayai anggaran belanjanya.
Kewajiban-kewajiban berat yang dibebankan pada Negeri Surakarta Hadiningrat itu, misalnya biaya perbelanjaan yang sangat besar untuk instansi-instansi daerah, belum lagi ditambah biaya belanja bagi keperluan istana ( hofbounding).
1.2. Sistem Perundangan Desentralisasi Hindia Belanda
Perubahan tata pemerintahan daerah sejak 1922 juga mempunyai latar belakang yang sama. Walaupun dinyatakan bahwa perubahan itu dimaksudkan untuk memberikan politieke schooling atau pembelajaran tentang sejarah politik
25 Ibid
39 kepada bangsa Indonesia. Dengan bestuurshervorming itu diberikan lebih banyak kekuasaan kepada pejabat-pejabat pusat Belanda yang disebut: Administrative dan financiele descentralisatie.26
Pemerintah Daerah Hindia Belanda disamping melaksanakan tugas dekonsentrasi, juga memberikan tugas desentralisasi sesuai dengan Undang- undang Desentralisasi tahun 1903. 27 Peraturan pelaksanaan dari Undang-undang desentralisasi tahun 1903 ialah peraturan pemerintah ialah peraturan pemerintah tentang Desentralisasi tahun 1905 dan Ordonansi (Ordonantie) tahun 1905 tentang Dewan Daerah 1905.28 Kemudian tahun 1922 Pemerintah Negeri Hindia
Belanda mengeluarkan Undang-undang tentang reorganisasi pemerintahan yang disebut Undang-undang tentang perubahan susunan pemerintahan, di mana
Undang-undang ini memeperjelas hak otonomi dan tugas pembantuan
(madebewind).29
Beberapa pokok tentang Undang-undang reorganisasi pemerintahan tahun 1922, yang memberi kewenangan kepada:
1. Gubernur beserta pejabat-pejabat orang Belanda (Europese bestuurs-
ambtenaren ) sebagai alat Pusat Pemerintahan Hindia Belanda, juga diberi
wewenang menjalankan tugas desentralisai, atau yang telah disebut diatas
“administratief en Financiele decentraliesatie”.
26 The Ling Gie,op cit.,halm.29 27 Soewarno Handayaningrat, Administrasi Pemerintahan dalam Pembangunan Nasional, 1982,cetakan pertama,penerbit: PT.Gunung Agung , anggota IKAPI, Jakarta, tertera dalam Decentralisatiewet 1903, S.1903-320,halm.212 28 Ibid 29 Ibid
40 2. Pejabat-pejabat seperti Bupati Walikotamadya beserta para penjabat
pribumi/pangreh praja diberi kelonggaran kewenangan, disamping
melaksanakan tugas dekonsentralisi, juga menjalankan tugas
desentralisasi.
3. Mengikut-sertakan semua unsur dalam pemerintahan daerah secara
intensif di bidang desentralisasi.30
Seperti pada semua daerah pada pemerintahan Hindia Belanda, daerah pemerintahan di daerah jawa juga diberlakukan sama, namun ada beberapa pertimbangan antara daerah kerajaan dan bukan kerajaan, seperti pada Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta.
Kedua wilayah ini merupakan daerah-daerah kerajaan asli pribumi yang pada waktu masa pendudukan Belanda telah diikat dengan kontrak-kontrak politik. Dalam kontrak-kontrak politik tersebut Pemerintah Belanda masih mengakui eksistensi kerajaan-kerajaan tersebut dan hak-haknya untuk menjalankan pemerintahan daerahnya sendiri dengan nama Zelfbeturende landschappen. Kontrak politik tersebut terdiri dari dua macam yaitu Lang contract dan Korte verkiaring. Lang contract mengatur satu persatu kekuasaan
Belanda atas hubungannya dengan kerajaan asli, sedangkan Korte verklaring hanya berisi pernyataan kerajaan asli untuk mengakui kekuasaan Belanda dan berjanji akan mentaati peraturan yang akan ditetapkan. 31
30 Ibid.,halm.213 31 The Liang Gie.,op.cit.halm.26
41 Kedudukan kerajaan dengan Lang contract memiliki kedudukan yang lebih tinggi pada kerajaan dengan korte verklaring. Kerajaan asli yang memiliki kontrak politik berupa Lang contract adalah Kasunanan Surakarta.32
Secara keseluruhan daerah pemerintahan dalam Sistem perundangan desentralisasi Hindia Belanda di Kasunanan Surakarta yakni tugas wewenang
Swapraja. Swapraja adalah daerah pemerintahan asli yang berkedudukan hukumnya pertama-tama berdasarkan atas hukum asli pula, tetapi kemudian sebagian statusnya tercantum dalam suatu Politiek Contract dengan pemerintahan pusat.33
B. Masa Pendudukan Jepang Tahun 1942-1945
1. Kasultanan Yogyakarta
Pada tahun 1941 Jepang menyerang dan membom pangkalan Angkatan Laut
Amerika Serikat di Pearl Harbour dan kemudian menuju ke Selatan untuk menyerang wilayah Hindia Belanda. Pada tanggal 10 Januari 1942 tentara Jepang telah sampai di Tarakan Kalimantan Timur, dan Penguasa Belanda di pulau itu menyerahkan diri pada tanggal 13 Januari. Selanjutnya satu persatu wilayah kepulauan Kalimantan berhasil dikuasai Jepang secara berturut-turut, Balikpapan pada tanggal 20 Januari, Pontianak pada tanggal 2 Februari, menyusul berikutnya
Martapura dan Banjarmasin pada tanggal 10 Februari.
Pada tanggal 14 Februari 1942 pasukan terjun-payung Jepang mendarat di
Palembang dan berhasil menguasai wilayah itu dalam dua hari. Dikuasainya
32 Ibid.halm.26 33 Sri Juari Santoso,op.cit.,halm.153
42 Palembang membuka peluang bagi pasukan Jepang untuk menguasai wilayah
Jawa. Jepang telah menyiapkan pasukan khusus untuk menguasai Pulau Jawa, yaitu dengan mengerahkan pasukan di bawah Komando Tentara Keenambelas yang dipimpin oleh Letnan Jendral Hitosy Imamura. Pada tanggal 1 Maret 1942, pasukan Jepang berhasil mendarat di tiga tempat sekaligus, yaitu di Teluk Banten, di Eretan Wetan (Jawa Barat) dan di Kragan (Jawa Tengah). Pasukan Jepang yang berhasil mendarat di Rembang kemudian bergerak ke Jawa Tengah dan segera merebut Semarang, Magelang, Solo, dan Yogyakarta pada tanggal 6 Maret dan terus mengejar tenaga induk Divisi II KNIL yang terdesak ke Priangan. Hanya dengan waktu yang relatif singkat pasukan Jepang berhasil mengalahkan kekuasan Belanda dan menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda. Kekuasaan
Pemerintahan Hindia Belanda selanjutnya berpindah ke tangan Balatentara
Jepang.
Beberapa hari kemudian setelah Jepang menduduki Yogyakarta, Jepang membuat propaganda yaitu dengan mengumandangkan lagu kebangsaan
Indonesia Raya sekitar jam tujuh sore, sekitar jam tujuh sore yang kemudian disusul dengan salam merdeka sebagai pembuka kata. Jepang juga menyebarkan propaganda bahwa Jepang adalah “saudara tua” orang-orang Asia dan ingin membebaskan saudara-saudara Indonesia dan kekuasaan penjajahan Belanda.
Pada saat Jepang pertama kali menduduki wilayah bekas Hindia Belanda, pemerintahannya menetapkan Undang-undang No.1 dan Pembesar Balatentara
Dai Nippon (Kan Po Nomor Istimewa tahun 1943), tentang pelaksanaan pemerintahan balatentara. Undang-undang ini menegaskan bahwa balatentara
43 Jepang untuk sementara menjalankan pemerintah militer di daerah-daerah yang didudukinya. Untuk sementara waktu semua badan pemerintahan, hukum, dan undang-undang dari Pemerintah Hindia Belanda tetap diakui sah asalkan tidak bertentangan dengan aturan pemerintahan militer Jepang.34
Beberapa bulan setelah menguasai Indonesia, Jepang mengadakan perubahan tata pemerintahan. Seluruh Jawa dan Madura, kecuali Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dibagi atas Syi (kotapraja), Ken
(kabupaten), Gun (desa).Surakarta dan Yogyakarta disebut daerah Koci
(kasultanan), untuk kedua daerah/wilayah ini diberikan peraturan khusus yang menetapkan adfa-nya pemerintahan Yogyakarta.35
Jepang juga membagi wilayah bekas Hindia Belanda dalam tiga daerah kekuasaan yaitu: Pemerintah Militer Angkatan Darat Keenambelas berkedudukan di Jakarta untuk wilayah Jawa dan Madura, Pemerintahan Militer Angkatan Darat
Kedua puluh lima di Bukit Tinggi untuk wilayah Sumatera, dan Pemerintah
Militer Angkatan Laut di Makasar untuk wilayah Sulawesi, Kalimantan, Nusa
Tenggara, Maluku, dan Irian Barat.36
Pemerintahan Militer itu terdiri atas Gunsireikan (Panglima Besar
Balatentara Jepang atau Saiko Sikikan), di bawahnya terdapat Gunseikan
(Pembesar Pemerintah Balatentara Jepang), dan Soomubutyoo (kepala-kepala berbagai departemen). Gunsireikan berwenang menetapkan peraturan Osamu
Seirei, sedangkan Gunseikan menetapkan peraturan Osamu Kanrei. Segala
34 The Liang Gie,op.cit.,halm.26 35 Untuk daerah Yogyakarta dan Surakarta dikeluarkan peraturan khusus yang menetapkan adanya pemerintahan Yogyakarta Koci dan Surakarta Koci , yang masing- masing dipimpin oleh Yogyakarta Ko dan Surakarta Ko 36 Ibid
44 macam peraturan akan diumumkan dalam Kan Po (Berita Pemerintah) oleh
Gunseikanbu (kantor penerbitan resmi pemerintah).37
Tata pemerintahan daerah di Jawa-Madura pada masa pendudukan Jepang dapat diketahui berdasarkan berita pemerintahan yang diterbitkan dalam Kan Po oleh Gunseikanbu di Jakarta. Pada Agustus 1942 Gunsireikan menetapkan
Undang-undang 1942/27 tentang perubahan tata pemerintahan daerah yang menegaskan bahwa Jawa dibagi dalam daerah Syuu (dulu residentie pada masa
Hindia Belanda), Syuu dibagi dalam Ken (dulu regentscap), dan Si (dulu stadsgemeente). Terdapat juga Tokubetu Si semacam kota penting dalam sektor politik, ekonomi, sosial, dan budaya, yang ditunjuk secara khusus oleh Gunseikan, yaitu Jakarta38
Untuk wilayah Syuu dan Tokubetu Si ditetapkan Undang-undang 1942/28 tentang aturan pemerintahan Syuu dan aturan pemerintahan Tokubetu Si. Wilayah
Ken dan Si ditetapkan dengan perundangan Osamu Seirei 1943/12 tentang Ken dan Si, dan Osamu Seirei 1943/13 tentang peraturan daerah Ken dan Si.39
Syuu merupakan daerah tingkat teratas yang memiliki pemerintahan sendiri dibawah pemerintahan Jepang. Syuu membawahkan Ken dan Si dalam kesatuan wilayahnya. Tokubetu Si memiliki kedudukan yang hampir sama dengan Syuu karena langsung di bawah Gunseikan.40
Di dalam masing-masing daerah diangkat seorang kepala daerah
(Syuutyookan, Tokubetu Sityoo, Kentyoo dan Silyoo). Ketentuan-ketentuan dalam
37 Ibid.,halm.26-27 38 Ibid 39 Ibid 40 Ibid.
45 Regentschapsordonantie dan stadsgemeente ordonantie bila tidak diubah oleh pemerintah balatentara Jepang maka akan tetap berlaku bagi Tokubeku Si, Ken dan Si.
Jepang juga menerapkan sistem pemerintahan tunggal. Segala wewenang yang dulu dijalankan raad dan college selanjutnya dijalankan oleh Kentyoo dan
Sityoo. Sistem pemerintahan tunggal tanpa dewan-dewan perwakilan dilaksanakan hingga September 1943, baru kemudian ditetapkan peraturan untuk mengatur pembentukan dewan-dewan badan penasehat pejabat di pusat dan daerah, khusus di Syuu dan Tokubetu Si.
Si memegang segala urusan pemerintahan wilayahnya dan urusan pemerintahan umum (pangreh praja) dalam stadsgemeente diurus oleh regent dan pejabat-pejabat dibawahnya diurus oleh Sityoo. Pengawasan terhadap daerah- daerah otonom yang dahulu awasi oleh Gouverneur Generaal dan aparatur pemerintahan province selanjutnya dilakukan oleh Gunseikan.41
Wilayah yang termasuk dalam persekutuan adat dan Zelfsbesturende landschappen di Jawa tetap dipertahankan seperti keadaan pada masa Hindia
Belanda. Hanya nama-namanya diubah yaitu desa disebut Ku dan Landshcap disebut Kooti. Para Raja Lanshappen dianggap sebagai anggota kerajaan dan
Kerajaan Jepang dengan terlebih dahulu diangkat sumpah dalam pelantikan baru.
Tata pemerintahan Jepang tersebut berlaku sejak 1942 hingga Agustus 1945.42
Mulai saat itu Jepang mengatur susunan pemerintahannya di Yogyakarta.
Pemerintahan sipil yang telah ada sejak jaman pemerintahan Belanda diteruskan
41 Ibid 42 Ibid.,halm.28
46 oleh Jepang, hanya pegawai-pegawai dan nama instansi perkantorannya saja yang diganti. Jabatan Gubernemen pada masa pemerintahan Belanda diganti menjadi
Syuulyookan dan bertempat di Gedung Agung.
Pada masa awal pendudukan Jepang di Indonesia, Jepang tidak banyak melakukan perubahan pemerintahan di Yogyakarta, karena Jepang masih menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi Hindia Belanda. Kebijakan politik
Jepang masih menggunakan penguasa lokal untuk mempermudah penguasaan wilayah dan menjaga stabilitas daerah kekuasaannya sehingga pemerintahan
Kasultanan Yogyakarta masih diserahkan kepada Sri Sultan HB IX. Wilayah
Kasultanan Yogyakarta hanya diubah istilah-istilah tingkatannya, Yogyakarta disebut sebagai daerah Kooti (kasultanan) dan dipimpin oleh Sri Sultan HB 1X sebagai Yogyakarta Ko. Pemerintahan dijalankan melalui kantor urusan kesultanan yang dipimpin oleh Kooti Zimu Kyooku (gubernur). Yogya Ko dibantu oleh Somu Tyookan (patih), yang diangkat oleh Yogya Ko sendiri dan harus terus berkerjasama dengan Kooti Zimu Kyooku.43
Pada tahun 1943 Pemerintah Jepang menyerahkan sebagian besar urusan pemerintahan kepada Ko, dan dengan begitu perubahan susunan pemerintahannya dapat dilakukan sendiri oleh Sultan HB IX. Perubahan yang pertama kali dilakukan adalah membuat bagian-bagian urusan pemerintahan seperti Bagian
Kepaniteraan, Urusan umum, Pengajaran, Rancangan dan Propaganda, Ekonomi, dan Yayasan umum. Bagian-bagian itu selanjutnya disebut sebagai paniradya- paniradya dan dipimpin oleh paniradyapati. Pimpinan paniradyapati memiliki
43 Barahmus, Yogya Benteng Prokiamasi, Yogyakarta, Penerbit Badan Musawarah Musea,1985,Yogyakarta, halm. 174
47 kedudukan dibawah Patih, meskipun pada kenyataannya paniradya lebih banyak diurusi oleh Sultan sendiri karena Sultan ingin mengurangi kekuasaan Pepatih
Dalem.44
Pada masa pendudukan Jepang di Yogyakarta, telah dilakukan beberapa perubahan daerahnya dengan menggabungkan daerah-daerah kecil menjadi satu.
Kemantren Panembahan dan Kemantren Kadipaten dijadikan menjadi satu
Kemantren Kraton. Kelurahan Tegalrejo dan Kelurahan Karangwaru menjadi satu Kemantren Tegalrejo. Kelurahan Kuncen dan sebagian daerah Kemantren
Mantrijeron menjadi Kemantren Wirobrajan. Perubahan tersebut menjadikan wilayah kota terdiri atas dua belas kemantren dengan dua orang bupati. Bupati kota Kasultanan yaitu KRT. Harjodiningrat dan daerah kota Paku Alaman dipimpin langsung oleh Bupati Patih Paku Alaman KPA. Suryoatmojo.
Kabupaten-kabupaten diseluruh Daerah Istimewa Yogyakarta direorganisasi menjadi bagian dari Kabupaten Yogyakarta, meliputi kawedanan- kawedanan Kota Sleman dan Kalasan sehingga dijadikan kabupaten yang berdiri sendiri dengan dikepalai seorang bupati kota disebut Si-Co. Kabupaten Kota dinamakan Yogyakarta Si (kota otonom), meskipun pada kenyataannya kabupaten ini tidak memiliki kekuasaan otonomi sama sekali karena masih menjadi bagian
Kasultanan. Bagian Kota Yogyakarta yang menjadi daerah Pakualaman dipimpin sendiri oleh pemerintah Pakualaman dengan dipimpin oleh bupati, sehingga pada saat itu kota Yogyakarta memiliki dua orang Bupati Kota yaitu Bupati Kota
Kasultanan dan Bupati Kota Pakualaman.
44 Ibid
48 Pembagian wilayah ditingkat bawah juga dilakukan dengan membentuk Ku
(desa), Aza (rukun kampung) dikepalai Azatyoo, dan Tonarigumi (rukun tetangga) dikepalai Tonari Gumi. Pada bulan April 1945, Pemerintah pendudukan Jepang mengadakan perubahan susunan pemerintahan. Daerah kawedanan (Gun) dihapuskan, sedangkan Kabupaten (Ken) dijadikan Syi. Tiap Kabupaten atau Syi memiliki bagian umum yang dipimpin oleh Anom( Fuku Kenco) dan bagian kepaniteraan dipimpin oleh Panewu.45
Kedudukan Kasultanan Yogyakarta berdasarkan perintah Balatentara Jepang yang dikeluarkan oleh Dai Nippon Gun Sireikan Hitosi Imamura pada tanggal I
Agustus 1942, diatur sebagai berikut ini46
1. Dai Nippon Gun Sireikan (Panglima Besar Balatentara Dai Nippon)
mengangkat Hamengku Buwono IX menjadi Koo (Sultan) Yogyakarta.
2. Koo turut dibawah Dai Nippon Gun Sereikan serta harus mengurus
pemerintahan Kooti (Kasultanan) menurut perintah Dai Nippon Gun
Sereikan.
3. Daerah Kooti adalah daerah Kasultanan Yogyakarta dahulu.
4. Segala hak-hak istimewa yang dahulu dipegang oleh Ko pada dasarnya
masih tetap.
5. Koo berkewajiban pada Dai Nippon Gun Sereikan untuk mengurus segala
pemerintahan Kooti, agar memajukan kemakmuran penduduk Kooti.
45 Ibid.,halm.175 46 Soedarisman Poewoekoesoemo,op.cit.,halm.5
49 6. Badan-badan pemerintahan Kooti dahulu untuk sementara waktu harus
meneruskan pekerjaannya seperti sediakala, kecuali kalau menerima
perintah istimewa.
7. Untuk mengawasi dan memimpin pemerintahan Kooti, diadakan Kooti
Zimu Kyoku (Kantor Urusan Kasultanan) di Kooti oleh Dai Nippon Gun
Sereikan. Kooti Zimu Kyoku Tyookan (Pembesar Kantor Urusan
Kasultanan) diangkat oleh Dai Nippon Gun Sereikan.
8. Aturan-aturan untuk mengurus pemerintahan Kooti ditunjuk oleh
Gunseikan (Pembesar Pemerintahan Urusan Kasultanan diangkat oleh
Dai Nippon Gun Sireikan).
Gunseikan (Pembesar Pemerintahan Balatentara Dai Nippon) Leizabure
Okazaki, juga mengeluarkan petunjuk kepada Koo (Sultan) pada tanggal 1
Agustus 1942 sebagai berikut ini:47
1. Kedudukan Koo diangkat dan diherhentikan oleh Dai Nippon Gun
Sireikan (Panglima Besar Balatentara Dai Nippon).
2. Hubungan antara Balatentara Dai Nippon dan Koo serta Kooti
(Kasultanan) ditetapkan dengan Perintah Gun Sireikan atau dengan
petunjuk Gunseikan.
3. Somu Tyookan (Pembesar Urusan Umum) diadakan untuk membantu
jabatan Kóo, dan Somulyookan diangkat oleh Gun Sireikan dan pegawai
penduduk ash Kooti yang diurus oleh Koo. Somu Tyookan harus selalu
berhubungan dengan Kooti Zimu Kyoo/cu Tyookan (Pembesar Kantor
47 Ibid.,halm.6-7
50 Urusan Kasultanan) tentang rencana dan urusan segala hal pemerintahan,
sedangkan tentang perkara penting sebeluin ditetapkan harus lebih
dahulu mendapatkan persetujuan dari Kooti Zimu kyooku Tyookan.
4. Balatentara Kasultanan yang dahulu ada harus dibubarkan.
5. Koo diperbolehkan menggangkat pegawai selaku prajurit untuk menjaga
Koo dan Kraton.
6. Kekuasaan kepolisian di Kooti dijalankan oleh Kooti Zimu Kyooku
Tyookan.
7. Undang-undang yang diumumkan oleh Balatentara Dai Nippon semuanya
berlaku juga pada Kooti, kecuali kalau ada perintah istimewa.
8. Koo diperbolehkan mengeluarkan peraturan-peraturan Kooti yang perlu
untuk mengurus pemerintahan Kooti, asalkan saja tidak bertentangan
dengan undang-undang yang diumumkan oleh Balatentara Dai Nippon.
Sebelum Koo mengeluarkan peraturan-peraturan Kooti harus terlebih
dahulu mendapatkan ijin dari Kooti Zimu Kyooku Tyookan agar dapat
diumumkan.
Osamuseirei No. 28 Tahun 1942 menetapkan pula bahwa Yogyakarta dan
Surakarta diubah menjadi Kooti, Syuu dan Kooti merupakan daerah yang berdiri sendiri khusus mengurus bidang ekonomi atau pangan saja, sedangkan Si dan Ken dinyatakan dapat dibatalkan oleh Syutyokan. Osamuseirei No. 3 yang dikeluarkan oleh Saikosikikan mengatur pemberian wewenag kepada walikota yang semula hanya mengatur rumah tangga daerahnya saja, yamg kemudian diwajibkan juga untuk menjalankan urusan Pemerintahan Umum.
51 2. Kasunanan Surakarta
Masa pendudukan Jepang di Indonesia tidak banyak merubah keadaan
Kasunanan Surakarta, karena hal-hal mengenai sistem pemerintahan daerah serta kedudukan kraton juga lebih banyak meneruskan aturan dari pemerintahan Hindia
Belanda, karena itu daerah Surakarta pada jaman Jepang tidak banyak berubah, hingga masa kemerdekaan nanti ada beberapa hak kekuasaan Jepang yang diserahkan kepada Pemerintah, seperti perusaan-perusahaan, pabrik-pabrik serta kekuasaan yang dikuasai Jepang pada saat itu sebagai konsekwensi dari kemerdekaan Rakyat Indoneisa pada tanggal 17 Agustus 1945.
Sebagai akibat perang dunia II (1940-1945), maka balatentara Jepang merebut dan menguasai seluruh Asia bagian Timur termasuk Indonesia. Setelah tentara Jepang mulai berkuasa di Indonesia, pada tanggal 8 maret 1942 dengan ditetapkankannya Undang-undang No. 1 tentang menjalankan Pemerintahan balatentara, dalam Undang-undang tersebut ditentukan bahwa balatentara Jepang sementara melangsungkan pemerintahannya didaerah-daerah yang didudukinya.48
Daerah pemerintahan pada masa pendudukan Jepang di Indonesia dibagi tiga daerah kekuasaan yakni:
1. Sumatera, di bawah kekuasaan Komandan Pasukan Angkatan
Darat Jepang yang ke-25, yang berkedudukan di Bukittinggi.
2. Jawa, di bawah kekuasaan Komandan Pasukan Angkatan Darat
Jepang yang-16, berkedudukan di Jakarta.
48 The Liang Gie,op.cit.,halm.26
52 3. Wilayah kepulauan lainnya di bawah kekuasaan Komandan
Pasukan Angkatan Laut Jepang, berkedudukan di Makasar ( Ujung
Pandang ).
Adanya pembentukan organisasi pemerintahan sipil oleh Pemerintahan
Pendudukan tentara Jepang dalam ketiga wilayah tersebut, karena pada dasarnya mengikuti struktur organisasi Pemerintahan Hindia Belanda, hanya di Jawa terdapat perubahan-perubahan, yaitu: jabatan Gubernur dihilangkan, sehingga menghilangkan wilayah Propinsi. Demikian pula jabatan Asisten Residen pada wilayah Kabupaten juga dihilangkan, tetapi masih mempertahankan kedudukan
Residen sebagai Kepala Wilayah Karesidenan.
Kedudukan pemerintahan Tertinggi dijalankan oleh perwira tinggi tentara
Jepang (Saikoo Sikikan) sejak tanggal 1 September 1943 yang sebelumnya disebut
Gunsirekan, namun penjabat yang menjalankan masih disebut Gunseikan.
Pada tanggal 1 Oktober 1945 jam 12 siang 4 orang Komite Nasional
Daerah Surakarta di bawah pimpinan Toean Soemodiningrat telah bertemu dengan Tyookan yang ditemani oleh para Butyoo dan lain pembesar Nippon maksud pertemuan untuk membicarakan soal kekuasaan pemerintahan di
Surakarta. 49. Setelah selesai berunding, mereka bersepakat menyerahkan kekuasaan pada bangsa Indonesia dan semua perusahaan-perusahaan di Surakarta.
Dalam kesempatan tersebut ketua Komite Nasional Toean Soemodiningrat memberi penjelasan tentang isi dari perundingan tersebut yakni :
49 Kedaulatan Rakyat 2 Oktober 1945,halm.1
53 “Kita berunding dengan empat wakil dari Komite Nasional Indonesia Daerah dalam suasana persatuan bersepakat untuk menyerahkan kekuasaan pada bagsa Indonesia dan semua perusaahan-perusahaan di Surakarta”
Atas pidato tersebut ketua Komite Nasional Toan Soemodiningrat menjawab dan memberi penjelasan tentang :
1). Kita telah mendapat persetujuan yang bulat, setelah berunding selama 2 jam lamanya dan Tyookan Kakka telah menyerahkan semua kekuasaan kepada bangsa Indonesia demikian pula semua kekuasaan kepada bangsa Indoneisia juga perusahaan di daearah Surakarta penyerahan itu dilakukan; ini hari senin 1 Oktober 1945 kepada Komite Nasional dibawah pemimpin Republik Indonesia. 2). Kita sebagai bagsa yang suci, kuat dan sopan selalu berjuang demi keamanan bangsa. 3). Kita sebagai bagsa yang merdeka akan menjaga keselamatan bagsa-bangsa laian yang berada di negeri kita.50
Keterangan di atas memberitakan salah satu perundingan yang dilakukan Komite
Nasional Daerah dengan para pembesar Nippon membicarakan tentang kekuasaan
Jepang di Surakarta, dimana perundingan-perundingan tersebut diperintahkan langsung dari Komisaris Tinggi Pemerintahan Daerah Surakarta.
Pada masa pemerintahan Belanda dan pemerintahan Dai Nippon (Jepang) pada putaran tahun 1939-1945, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta diakui statusnya sebagai daerah istimewa, sebagai bagian dari Kerajaan Hindia
Belanda. Hal ini terlihat dari berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur kedua daerah tersebut, yang menyatakan bahwa Kerajaan Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah swapraja yang otonom dan memiliki pemerintahan daerah sendiri di bawah kerajaan-kerajaan itu.
50 Ibid
54 BAB III
STATUS KEISTIMEWAAN
KASULTANAN YOGYAKARTA DAN KASUNANAN
SURAKARTA PADA MASA PEMERINTAHAN INDONESIA
TAHUN 1945-1950
A. Pemerintahan Masa Awal Kemerdekaan Republik Indonesia
1. Kasultanan Yogyakarta
Setelah pernyataan kemerdekaan di proklamasikan pada tanggal 17 Agustus
1945 menjadi NKRI, ketika itu luas kekuasaan daerah Kasultanan Yogyakarta meliputi daerah bekas jajahan Hindia Belanda, wilayah Yogyakarta terdapat dua kerajaan, yaitu:
1. Kasultanan Ngayogyakarta dengan Rajanya yang bergelar Sultan
Hamengku Buwono IX.
2. Kadipaten Pakualaman yang dipimpin seorang Adipati dengan bergelar
Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario (KGPAA) Pakualam VIII.
Dengan begitu secara hukum kedua kerajaan itu dianggap secara penuh menjadi bagian dari Republik Indonesia. Proses sejarah dan dinamika hubungan integrasi antara dua kerajaan di Yogyakarta tersebut ke dalam pangkuan Negara
Republik Indonesia karena mengandung peristiwa sejarah yang menarik untuk rekontruksi karena dari sinilah terdapat legitimasi hukum keistimewaan yang selama ini disandang Yogyakarta telah dibangun. Integrasi menjadi seakan
55 bangunan yang rumit karena pengaturan pemerintah di mana ada negara di dalam negara.
Proklamasi Kemerdekaan RI yang dikumandangkan tanggal 17 Agustus
1945, merupakan sebuah dorongan baru terhadap masa depan Negara Indonesia lepas dari semua penjajahan dengan babak baru bagi sebuah proses serta dinamika sosial politik yang berlangsung di wilayah Nusantara pada umumnya. Bangsa
Indonesia menyatakan dirinya lepas dari kekuasaan kolonial dengan menyatakan keberadaannya sebagai sebuah negara yang bebas dari segala jajahan menjadi sebuah negara yang dinamakan Negara Republik Indonesia.
NKRI menjadi sebuah kloning kekuasaan baru yang membuka ruang bagi penataan antara daerah dan negara, yakni seperti Kerajaan Yogyakarta dengan
Negara Republik Indonesia, di mana dalam masalah ini penelusuran proses integrasi Yogyakarta ke dalam Republik Indonesia menjadi penting untuk dipelajari kembali sebagai upaya menggali pemahaman arti keistimewaan yang melekat pada daerah Yogyakarta adalah memiliki kerajaan dan rajanya.
Apabila menelusuri dan mencermati proses intergrasi Yogyakarta ke dalam NKRI nampaknya diperlukan sebuah pemahaman tersendiri dibandingkan dengan daerah lain. Karena pada saat Republik Indonesia berdiri, di Yogyakarta masih terdapat kerajaan yang masih eksis dan memiliki kekuasaan yang relatif cukup luas dan kuat. Sementara di sisi lain, format negara yang hendak dibangun adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tentu saja dalam hal ini tidak dimungkinkan adanya negara dalam negara.
56 Dalam Undang–undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 pasal 18 disebutkan : ”daerah–daerah yang bersifat istimewa” atau dalam pasal 18B dari
Undang- Undang dasar 1945 yang telah berubah disebutkan bahwa: ”satuan– satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa…”.
Daerah yang disebutkan tersebut meliputi: ”Landschappen dan
Adatgemeenschappen”. Sedang dalam penjelasan Undang–undang Dasar 1945 disebutkan pula bahwa: Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih
250 ”Zelfbesturende Landschappen dan Volksgemeenschappen”.51
Dalam pokok kedudukan swapraja ada 2 pasal dalam Undang-undang tahun
1950 pasal 132 disebutkan:
1). Kedudukan daerah-daerah swapraja diatur dengan undang-undang dengan ketentuan, bahwa dalam bentuk susunan pemerintahannya harus diingat pula ketentuan dalam pasal 131, dasar-dasar permusyawaratan dan perwakilan dalam sistem pemerintahan Negara. 2). Daerah-daerah swapraja yang ada tidak dapat dhapuskan atau diperkecil bertentangan dengan kehendaknya, kecuali untuk kepentingan umum dan sesudah undang-undang yang menyatakan hal kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan kepentingan umum menuntut penghapusan atau pengecilan itu, memberi kuasa untuk itu kepeda pemerintah.52
Negara Indonesia menghormati kedudukan daerah istimewa seperti segala peraturan perundang-undangan mengenai daerah tersebut mengingat hak-hak asal usul daerah istimewa tersebut. Dan setelah berdasarkan Undang-Undang tahun
1945 tersebut kedudukan daerah swapraja tetap dijamin dan tidak mungkin dihapuskan. Jadi pada umumnya Zelfbestuureende landschappen di Jawa pada umumnya tetap dipertahankan seperti keadaan pada jaman Hindia Belanda.
51 Tercantum dalam Vide Lagemann : Staatsect van Ned, Indie pag. 114 jo. 118 52 Sri Juari Santoso.,op.cit.,halm.155
57 Gambaran konstitusi yang digunakan oleh Negara Republik Indonesia telah merujuk adanya cita-cita sebuah negara kesatuan, di mana daerah-daerah baik yang ada setelah hadirnya republik maupun daerah yang telah ada sebelum hadirnya republik dijadikan sebagai bagian atau sub sistem dan NKRI.53
Hal yang perlu dicatat dalam proses ini adalah penggunaan sistem negara kesatuan tidak hanya terjadi begitu saja atas dasar peniadaan daerah-daerah yang sudah ada sebelum adanya NKRI. Sebagaimana yang tertulis dalam penjelasan
UUD 1945 pasal 18; yang menyebutkan bahwa Negara RI menghormati kedudukan daerah-daerah “Zelfbesturende landschappen” dan daerah
”Volksgemeenschapen” berkaitan dengan rumusan aslinya dan menandaskan bahwa segala pengaturan negara atas dasar daerah sebagaimana disebutkan di atas akan mengidentifikasikan hak-hak asal usul daerah-daerah kerajaan seperti
Surakarta dan Yogyakarta.54 Namun demikian upaya untuk memahami makna penghormatan atas daerah yang memiliki susunan asli dan hak asal-usul sebagaimana yang tertulis dalam pasal 18 UUD 1945 dan penjelasannya mengalami keterputusan karena tidak adanya penjelasan resmi tentang makna hak asal usul dan susunan asli.55
Pada pasal 18 UUD 1945 beserta penjelasannya, memungkinkan dibukanya eksistensi Daerah Istimewa Yogyakarta di dalam Negara Republik
Indonesia. Makna yang dimaksud dengan daerah istimewa oleh UUD 1945 adalah
53 Lihat UUD 1945 pasal 18 dan penjelasannya 54 Lihat Sujamto,Derah Istimewa Yogyakarta Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;Bina Aksara Jakarta 1988,halm.9-10 55 Penjelasan tentang pasal tersebut tidak ada rincian lanjutan,namun pasal 18 UUD 1945 tersebut telah memunculkan berbagai persepsi dan penafsiran secara terbuka yang lebih, dalam konteks ini digunakan bagi suatu kepentingan lebih dimungkinkan.
58 Zelfbestuurende landshcappen dan Volksgemeenschappen di mana keduanya dianggap mempunyai susunan asli yang dimilikinya sebelum adanya NKRI.
Penting untuk diperhatikan bahwa pasal 18 UUD 1945 itu adalah ketentuan yang bersifat umum. Dengan demikian atas dasar Zelfberturende landshcappen yang ada pada waktu dapat diperoleh kedudukan sebagai daerah istimewa.56
Dalam hal ini maka dapat disimpulkan bahwa dibukanya kemungkinan bagi eksistensi Daerah Istimewa ke dalam Negara Republik Indonesia tidak bisa digunakan sebagai landasan legitimasi untuk mengatakan bahwa Yogyakarta mutlak dijadikan sebagi daerah istimewa oleh pendiri Republik Indonesia ini, dengan kata lain bahwa jaminan yang diberikan oleh UUD 1945 atas adanya status “istimewa” bagi suatu daerah, yang tidak otomatis menjadikan daerah
Yogyakarta sebagai daerah istimewa.
Dinamika hubungan antara daerah Yogyakarta dengan Negara RI pasca-
Proklamasi Kemerdekaan yang merupakan ruang bagi hadirnya status keistimewaan pada daerah Yogyakarta. Sebagaimana yang tertulis dalam literature sejarah Indonesia, menanggapi Proklamasi Kemerdekaan RI, Sultan
Hamengku Buwono IX dan Paku Alam VIII pada tanggal 18 Agustus 1945 mengirim surat ucapan selamat kepada Soekarno dan Moh. Hatta selaku Presiden dan wakil Presiden Soekarno selaku penguasa Negara RI mengeluarkan Piagam
Kedudukan Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Piagam Kedudukan Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario
Pakualaman VIII. Hal positif dari Pemerintahan RI yang membuka ruang bagi
56 Sujamto,op.cit,halm.94-95
59 terjadinya integrasi antara daerah Yogyakarta dengan Negara RI, sebagaimana yang ditunjukkan dengan adanya Piagam Kedudukan tersebut, membuat penguasa
Yogyakarta mengambil sikap yang mendukung proses integrasi dengan mengeluarkan pernyataan siap mendukung Presiden dan Wakil Presiden RI.57
Dari hal tersebut, awal dari proses integrasi daerah Yogyakarta ke dalam
RI, sebagaimana dipaparkan di atas, tergambar bahwa identitas istimewa tidak menjadi sebuah hal yang telah diatur dan menjadi keinginan dari penguasa RI atas daerah Yogyakarta. status Yogyakarta dipertegas kembali sebagai daerah istimewa setelah munculnya amanat 5 September 1945, sebelumnya Kerajaan
Jepang pernah menyatakan bahwa Kasultanan sebagai daerah istimewa bagian dari kekaisaran Jepang.
Jadi dengan itu maka awal pernyataan bahwa Yogyakarta merupakan daerah istimewa berasal dari penguasa daerah Yogyakarta sendiri, ketika menentukan sikap menjadikan daerah yang dipimpinnya sebagai bagian dari Negara Republik
Indonesia. Dengan kata lain upaya penempatan Yogyakarta sebagai daerah istimewa secara de facto yang bukan dari pemerintah Republik Indonesia.58
Status keistimewaan yang dipakai oleh Yogyakarta merupakan sebuah langkah Integrasi yang dilakukan oleh Sultan Hamengku Buwono IX, karena yang dilakukannya tersebut membuat penyesuaian terhadap birokrasi pemerintahan
Yogyakarta dengan Undang-undang Dasar Republik Indonesia. Penyesuaian
57 P.J Suwarno.,op.cit.halm.166 58 Bahwa identitas bagi daerah Yogyakarta merupakan pernyataan sepihak oleh Sultan HB IX melalui maklumat No. X tentang pengakuan dari dirinya sendiri;Lihat.,Pasal 18 UUD 1945 yang menegaskan bahwa pembagian daerah-daerah propinsi yang dianggap daerah istimewa dan yang tidak istimewa berdasarkan kondisi pemerintahan daerah itu sendiri.
60 dengan adanya perubahan sistem pemerintahan RI sebagaimana diatur dalam
Maklumat Pemerintahan Republik No.X yang ditandatangani oleh Wakil Presiden
Moh. Hatta pada tanggal 16 Oktober 1945, sehari setelah pembentukan Badan
Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). 59Amanat tersebut dikeluarkan berdasarkan :
1). Kedaulatan Rakyat dan keadilan sosial yang terdapat dalam UUD
Republik Indonesia.
2). Amanat 5 september.
3). Perebutan kekuasaan Belanda dan Jepang oleh rakyat dan pernyerahan
kekuasaan Belanda dan Jepang oleh Rakyat kepada Sultan Hamengku
Buwono IX dan Paku Alam VIII.
4). Pernyataan Komisaris Tinggi bahwa tidak perlu adanya subkomisariat
dalam Daerah Istimewa Yogyakarta.
5). Pembentukan BPKNID Yogyakarta, yang menyatakan :
“Supaya jalan pemerintahan dalam daerah kami berdua dapat selaras dengan dasar-dasar UUD Negara Republik Indonesia, bahwa Badan Pekerja tersebut adalah suatu Badan Legislatif yang dapat dianggap sebagai wakil rakyat dalam Daerah Kami Berdua untuk membikin Undang-undang dan menentukan haluan jalannya pemerintahan dalam daerah Kami Berdua sesuai dengan kehendak rakyat”.60
Maka setelah perkembangan prosses terhadap masa-masa setelah kemerdekaan dalam kaitannya hubungan Yogyakarta dan Republik Indonesia ada beberapa hal penting yang patut untuk menjadi catatan yakni :
1. Sultan HB IX dan Paku alam VIII secara formal mengakui kemerdekaan
Indonesia dan menyatakan diri bergabung dengan Negara Kesatuan
59 P.J Suwarno.,op.cit.halm.187 60 Ibid halm.187
61 Republik Indonesia, di sini digambarkan bahwa adanya sifat republiken
yang mantap dari Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, yang memilih untuk
meng-integrasikan kerajaannya ke dalam Negara kesatuan Indonesia serta
tidak menggunakan kesempatan yang dimilikinya untuk tetap menjadikan
kerajaannya berkuasa secara sendiri atas wilyahnya. Keputusan untuk
tidak mempertahankan keberadaan Kesultanan dan Paku Alaman sebagai
penyelenggara kekuasaan yang terpisah dari kekuasaan Negara Republik
Indonesia, yang dilakukan oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII,
merupakan sebuah bentuk kesadaran kritis dari penguasa kerajaan untuk
tidak lagi sepenuhnya menggunakan logika-logika feodal dalam
menjalankan kekuasaan di Yogyakarta. Dengan kata lain proses yang
dijalankan tersebut telah membentuk penyesuaian terhadap rakyat ke arah
demokrasi.
2. Sri Sultan HB IX menyatakan bahwa Negeri Yogyakarta Hadiningrat
adalah daerah Istimewa dari Negara Indonesia, karena di sini sangat
terlihat bahwa awal dari daerah Yogyakarta merupakan daerah Istimewa
hal tersebut berasal dari pernyataan Sultan HB IX dalam Maklumat 5
September 1945 dan bukan diawali oleh pernyataan dari penguasa
Republik Indonesia, bahwa kemudian penguasa Republik Indonesia
mengakui status keistimewaan kepada daerah Yogyakarta, dalam konteks
pemberian hak otomatis kepada keturunan Kasultanan dan Pakualaman
berkaitan dengan pengangkatan pemimpinan daerah, lebih didasarkan pada
62 peran penguasa kerajaan di Yogyakarta pada masa revolusi pasca
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia.61
3. Adanya pemikiran Sultan Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII
tentang penerimaan dan pengakuan sistem demokrasi dan tidak berupaya
untuk memaksa namun digunakan sistem monarkhi dalam membangun
Indonesia. Hal tersebut tersebut tercermin dari diterimanya konsep Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (BPKNID) sebuah badan
legislatif, yang merupakan lembaga perwakilan rakyat di daerah
Yogyakarta dan memberikan hak kepada BPKNID untuk membuat
Undang-Undang dan menentukan haluan jalannya pemerintahan di
Yogyakarta sesuai dengan kehendak rakyat Yogyakarta. Di sini terlihat
adanya keleluasaan untuk menyelenggarakan sistem demokrasi di
Yogyakarta, dimana keterlibatan rakyat dalam proses pemerintahan diakui
BPKNID. Selain dari itu diakuinya BPKNID sebagai badan legislatif di
daerah, menerangkan juga adanya sebuah pembagian kekuasaan di
Yogyakarta. Seluruh kekuasaan tidak terpusat pada diri Sultan HB IX,
karena Sultan hanya menjalankan fungsi eksekutif, sehingga mekanisme
control sebagai salah satu ciri dari sebuah pemerintahan yang demokratis
dapat dilaksanakan.
61 Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sesungguhnya dari awal pendirian Republik Indonesia, daerah Yogyakarta tidak langsung diberi status istimewa. Proses– proses yang menjadikan penguasa Republik Indonesia memberikan Status Istimewa pada daerah Yogyakarta.
63 Masuknya dua kerajaan yang ada baik Kasultanan dan Pakualaman menjadi satu daerah kekuasaan karena dua hal yaitu: dari Piagam Kedudukan yang diberikan penguasa RI pada tanggal 19 Agustus 1945 kepada Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, serta Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh
Sultan HB IX dan Paku Alam VIII.
Dalam Piagam Kedudukan sangat jelas terlihat bahwa Penguasa RI mengakui keberadaan dua kerajaan Kasultanan dan Pakualaman serta menempatkan pada tingkat yang sama sebagai daerah yang memiliki kekuasaan atas wilayahnya masing –masing. Sedang pada Amanat 5 September 1945 juga menegaskan tentang adanya dua daerah (kerajaan) di Yogyakarta, yaitu Negeri
Yogyakarta Hadingrat dan Negeri Pakualaman, yang berdasarkan Amanat 5
September 1945 merupakan dua daerah istimewa dalam Negara RI.62 Dengan demikian awal integrasi antara kerajaan di Yogyakarta dengan Negara RI telah ada dua daerah di Yogyakarta yang merupakan bagian dari Kasultanan
Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman.
Dari perkembangan dinamika politik tersebut yang terlihat adalah sisi penguasa dari dua daerah tersebut yaitu, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII, yang pada akhirnya menyatakan peraturan daerah atas dua daerah mereka (Amanat 30
Oktober 1945 yang ditandatangani bersama, yang menyatakan tentang pernyataan bahwa hanya ada dua darah Istimewa di Yogyakarta dengan dua kepala daerah.
Beberapa petikan dari Amanat 30 Oktober 1945 :
62 Lihat editor:Abdul Rozak dan Titok Hariyanto, Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, IRE Press, tahun 2003,halm 23.
64 ”…… maka kami Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Ario Paku Alam VII, Kepala Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia, semufakat dengan Badan Pekerja Nasional Daerah Yogyakarta dengan ini menyatakan: Supaya jalannya pemerintahan dalam daerah kami berdua dapat selaras dengan dasar-dasar undang-undang dasar Negra Republik Indonesia, bahwa Badan Pekerja tersebut adalah suaru badan legislatif yang dapat dianggap sebagai wakil rakyat dalam daerah kami berdua untuk membikin undang-undang dan menentukan haluan jalannya pemerintahan dalam daerah kami berdua yang sesuai dengan kehendak rakyat”.63
Dari konteks tersebut dapatlah ditarik kesimpulan bahwa dalam amanat 30
Oktober 1945 tersebut di Yogyakarta terdapat satu daerah istimewa dengan nama
Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia., yang kedua terdapat dua kepala daerah pemerintahan kerajaan yaitu, Sultan HB IX dan Paku Alam VIII yang kedua-duanya memiliki status yang sama sebagai Kepala Daerah Istimewa
Yogyakarta dengan demikian, posisi keduanya sederajat dan tidak hirarkis, karena di dalam konteks ini yang ditemukan adalah aturan yang menyatakan bahwa yang satu sebagai kepala daerah dan yang lain sebagai wakil kepala daerah.64
Jadi Amanat 30 Oktober tersebut merupakan salah satu wujud lahirnya integrasi yang akan dilakukan oleh kedua wilayah di Yogyakarta, keinginan pengintegrasian tersebut secara terus menerus dinyatakan oleh penguasa
Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman, dengan mengeluarkan maklumat demi maklumat yang secara subyektif sama, dengan penekanan atas dua hal utama.
1. Pernyataan tentang adanya satu Daerah Istimewa Yogyakarta yang
meliputi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Paku Alaman.
2. Tentang pernyataan bahwa ada dua kepala daerah pemerintahan (Sri
Sultan dan Paku Alam) di satu Daerah Istimewa Yogyakarta.
63 The Liang Gie.,op.cit,halm.73-74 64 Abdul Rozak.,op.cit.halm.25
65 Perhatian dari pemerintah pusat atas lahirnya hal itu diwujudkan dalam Undang- undang No.3 Tahun 1950 tentang pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta, yang di dalamnya berisi tentang pemberian secara formal status istimewa, di mana salah satu halnya telah diterangkan di atas, yakni: Pengakuan adanya satu Daerah
Istimewa yang meliputi Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualamam, yang kedua penetapan kepala Daerah dan wakil kepala daerah untuk daerah Istimewa
Yogyakarta yang berasal dari keturunan keluarga yang berkuasa di Daerah
Istimewa Yogyakarta.
Namun pertanyaan yang muncul adalah apakah kepala daerahnya ada dua, yang berasal dari Kasultanan dan Pakualaman, di mana tidak adanya pernyataan yang dapat digunakan sebagai penjelas atas hal ini. Dalam penetapan Undang- undang No.3 Tahun 1950 hanya menyebutkan bahwa Wakil Kepala Daerah di daerah Istimewa Yogyakarta berasal dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah Istimewa Yogyakarta, untuk itu dalam UU No.3 Tahun 1950 tersebut sudah mulai diperkenalkan adanya wakil kepala daerah untuk Daerah Istimewa
Yogyakarta.
Kasultanan dan Paku Alaman masih dapat ditempatkan pada posisi yang sama atau sejajar, melihat posisi jabatan dan keturunan yang memiliki hak yang sama, namun secara subyektif dapat dikatakan kesejajaran antara Kasultanan dan
Paku Alaman dalam hal ini sebagai jabatan kepala Daerah dan Wakil kepala
Daerah, seperti yang diatur dalam UU No.3 Tahun 1950, di mana hal itu akan ditinjau kembali pada UU No.5 Tahun 1974 yang menyatakan posisi kedua daerah tersebut tidak sejajar.
66 TABEL Kedudukan Status Daerah Istimewa berdasarkan Hukum:65
NO NAMA STATUS DASAR HUKUM
1 a. Negeri Keduanya adalah Daerah - Amanat Sultan
Yogyakarta Istimewa dalam Negara tanggal
Hadinigrat Republik Indonesia 5 September 1945
b. Negeri - Amanat Paku Alam
Pakualaman pada tanggal yang sama
2 Daerah Istimewa Satu daerah Istimewa Amanat 30 Oktober
Negara Republik dengan dua kepala 1945 yang
Indonesia Daerah ditandatangani oleh
(Sri Sultan dan Paku Sultan HB IX dan Paku
Alam) Alam VIII
3 Daerah Istimewa Satu daerah Istimewa Dalam Penjelasan UU
Yogyakarta dan yang meliputi Kasultanan 1/1945
Surakarta Yogyakarta, Kasunanan
Surakarta, Kadipaten
Paku Alaman
dan Kadipaten
65 Dilansir dari berbagai sumber: Inventarisasi Produk-produk Pemerintahan Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta yang berupa peraturan perundangan I dan II,1977-1978, penerbit Biro Hukum Sekretariat Daerah Istimewa Yogyakarta
67 Magkunegaran.
4 Daerah Istimewa Satu Daerah Istimewa Maklumat No. 14
Negara Republik yang meliputi Kasultanan tanggal 11 April 1946
Indonesia Yogyakarta dan Maklumat No. 15
Yogyakarta. Kadipaten Paku Alaman tanggal 11 April 1946
(Kasultanan dan dengan Sultan HB IX dan Maklumat No. 17
Pakualaman) Paku Alam VIII sebagai tanggal 11 April 1946
Kepala Daerah.
5 Daerah Istimewa Satu Daerah Kasultanan Maklumat No. 18
Yogyakarta dan Kadipaten tanggal 18 Mei 1946,
Yogyakarta yang ditandatangani
oleh Sultan HB IX dan
Paku Alam VIII
6 Daerah Istimewa Statusnya belum terwujud Penetapan Pemerintah
Surakarta dan dan belum pernah No. 16/ S.D Tahun
Yogyakarta ditentukan siapa kepala 1946 tanggal 15 Juli
daerahnya 1946
7 Daerah Istimewa Satu daerah Istimewa Penetapan
Kasultanan yang meliputi wilayah Pemerintah,Diktum
dan Pakualaman Kasultanan Yogyakarta keempat butir (1)
di Yogyakarta dan Kadipaten Paku No.16/S.D tahun 1946
Alaman
68 8 Daerah Istimewa Untuk kepala daerah UU No. 3/1950 tentang
Yogyakarta beserta wakil kepala Pembentukan Daerah
daerahnya diangkat dari Istimewa Yogyakarta
keturunan keluarga yang jo. UU No. 22/1948
berkuasa di daerah tentang pokok-pokok
Istimewa Yogyakarta Pemerintahan Daerah
Bahwa posisi yang tidak sejajar antara hak jabatan Kepala Daerah
Istimewa Yogyakarta dan hak sebagai Wakil Kepala Daerah tersebut ditanggapi lagi oleh Republik Indonesia dan untuk itu dibuat aturan untuk mengatur Daerah
Istimewa Yogyakarta, dalam posisinya Kasultanan lebih tinggi statusnya dari pada
Paku Alaman, oleh sebab itu perhatian dari Pemerintah diwujudkan dengan pemberian penghargaan kepada Kasultanan dan Paku Alaman, di mana posisi ke dua daerah tersebut dikembalikan pada posisinya yang sejajar seperti keinginan
Sultan HB IX dan Paku Alaman VIII. Alasannya jelas untuk memberikan perhatian yang sama antara Kasultanan dan Paku Alaman menjadi satu bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
2. Kasunanan Surakarta
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, keadaan di daerah Negari Surakarta Hadingrat banyak perubahannya seperti ketika S.P Susuhunan lewat maklumat Beliau pada tanggal 1 September 1945,
69 yang menyatakan bahwa Negeri Surakarta Hadiningrat yang berbentuk kerajaan sebagai daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. Maklumat tersebut dikeluarkan sebagai tanggapan dan jawaban positif S.P Susuhunan atas Piagam
Kedudukan tertanggal 19 Agustus 1945 yang diberikan oleh Presiden Republik
Indonesia yang menetapkan S.P Susuhunan pada kedudukannya.
Piagam tersebut merupakan pengakuan dan penetapan resmi Pemerintah
Republik Indonesia atas Negeri Surakarta Hadiningrat sebagai daerah pemerintahan asli dan karenanya bersifat Istimewa beserta kedudukan S.P
Susuhunan sebagai kepala daerah dan kepala kerabat dari istana, disamping itu pada tangal 1 November 1945 S.P Susuhunan Pakubuwono XII juga menerima pangkat Letnan Jendral dari pemerintah pusat.
PIAGAM SRI PADUKA SUSUHUNAN PAKUBUWONO XII :66 REPUBLIK INDONESIA
Kami, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, menetapkan : Ingkang Sinoehoen Kanjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing Ngalogo, Abdoerahman Sajidin panotogomo, Ingkang kaping XII ing Surakarta Hadiningrat. Pada kedoedoekannja Dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa akan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia. Djakarta, 19 Agoestoes 1945 Presiden Repoeblik Indonesia: ttd. ( Ir. Soekarno)
Piagam ini merupakan pengakuan dan penetapan resmi Pemerintahan
Republik Indonesia atas Negeri Surakarta Hadiningrat sebagai daerah pemerintahan asli dan kerenanya bersifat istimewa beserta kedudukan Sri Paduka
66 Sri Juari Santoso.,op.cit.halm.31
70 Susuhunan sebagai kepala daerah dan kepala kerabat/istana. Pada tanggal 1
November 1945 S.P Susuhunan Pakubuwono XII juga menerima penghargaan pangkat Letnan Jendral dari Pemerintah Pusat.
Namun sebelum piagam tersebut dikumandangkan, tepatnya tanggal 18
Agustus 1945 Undang-undang tahun 1945 dipakai sampai dengan 17 Desember
1949 yang kemudian sejak ditetapkan Konstitusi RIS, Undang-undang tahun1945 berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia. Dengan demikian dasar hukum daerah Surakarta yang bersifat Istimewa saat itu adalah Undang-undang tahun
1945, yang mengacu pada Bab IV pasal 18 tentang pengaturan pemerintahan daerah.67 Dalam pasal tersebut mengatur tentang daerah istimewa bersama-sama dengan daerah lainnya.
Urutan persiapan kemerdekaan Negara Republik Indonesia juga dipersiapkan di wilayah Surakarta yakni pada tanggal 18 Agustus 1945, dengan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan, panitia ini bertugas menggalang persatuan dan kesatuan dan menyebarluaskan kabar kemerdekaan Republik
Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.
Komite Nasional Indonesia Pusat juga menganjurkan untuk menyusun pemerintahan daerah, maka dibentuklah tiap-tiap daerah Komite Nasional Daerah
Surakarta yang bersifat istimewa. KNID Surakarta menjalankan kekuasaannya setelah terjadi penyerahan kekuasaan dari Kooti Jimu Kyoku Tyokan kepada
67 Ibid.,halm.57
71 pemerintahan Daerah Surakarta yang dipegang oleh sebuah Delegasi Komite
Nasional Daerah pada tanggal 30 Agustus 1945.68
Jaminan atas daerah Surakarta juga diberikan langsung oleh Pemerintahan
Pusat Republik Indonesia pada tanggal 19 Oktober 1945 mengangkat seorang
Komisaris Tinggi untuk Daerah Surakarta dan Yogyakarta yang bersifat istimewa.
Jabatan Komisaris Tinggi ini dipegang oleh R.P. Soeroso.
Pemerintah Pusat mengangkat R.P.Soroso sebagai wakil pemerintah dengan pangkat Komisaris Tinggi, di mana penempatan seorang pejabat tinggi di kedua daerah itu dimaksudkan agar perkembangan di daerah yang bersangkutan tidak menyimpang dari kebijaksanaan yang sudah ditetapkan oleh Pemerintahan
Pusat, dengan adanya pengangkatan seorang Komisaris Tinggi menjadikan
Pemerintahan Republik Indonesia ingin melanjutkan agendanya sudah ada sejak zaman pemerintahan Hindia Belanda, di mana dahulu Belanda menempatkan
Gubernurnya untuk Daerah Istimewa Surakarta dan seorang untuk Daerah
Istimewa Yogyakarta yang rencananya Komisaris Tinggi berkedudukan di
Surakarta, sedang di Yogyakarta akan ditempatkan seorang pejabat yang akan mengepalai sub komisariat.69
Namun rencana untuk membentuk sub komisariat di Yogyakarta ditolak atau dibatalkan dengan alasan Sultan yang mampu mengendalikan daerahnya dengan tetap selalu menempatkan Yogyakarta dalam lingkungan Republik
68 Ibid.,halm.32 69 Baramus.,op.cit.halm.178
72 Indonesia, karena perkembangan di Surakarta dan Yogyakarta berbeda maka
Pemerintah tetap menempatkan seorang Komisaris Tinggi di Surakarta.70
Kepastian Hukum atas kedudukan daerah yang bersifat istimewa dijamin oleh UUD 1945 pasal 18, juga Konstitusi RIS pasal 64 dan pasal 65, serta UUDS
1950 pasal 132 yang berdasarkan pasal-pasal itu maka pihak keraton Surakarta
Hadiningrat berkeyakinan bahwa daerah Surakarta Hadinigrat yang bersifat istimewa tidak dapat dihapus seperti sekarang.
Dari pasal tersebut dapatlah dijelaskan beberapa hal tentang pengaturan
Negara tentang pengaturan daerah mengingat hak-hak asal-usulnya, yakni:
1. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil dengan bentuk
susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang.
Dalam kalimat itu ada 3 hal yang diatur :
a. Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil,
b. Bentuk susunan pemerintahan dearah, dan
c. Pengaturan tentang undang-undang.
Hal ini menjelaskan bahwa pengaturan pemerintahan daerah akan dijalankan
dengan Undang-undang, bahwa kedudukan daerah istimewa akan
dimaksukkan dalam daerah besar atau daerah kecil dan bentuk susunan
pemerintahan daerah yang berlaku bagi daerah biasa juga akan berlaku bagi
daerah istimewa, hanya dengan memandang dan mengingati hak-hak asal-
usul dari daerah istimewa itu.
70 Ibid
73 3. Daerah-daerah hasil pembagian daerah Indonesia tidak ada yang berbentuk
Negara, maka di Indonesia tidak kenal adanya Negara bagian, dalam pasal
18 UUD 1945 yang ditentukan, bahwa bentuk susunan pemerintahan darah
memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem
pemerintahan Negara.71
Dalam penjelasan di atas ditegaskan bahwa Negara Republik Indonesia merupakan suatu eenheidsstaat atau Negara kesatuan, maka oleh karenanya
Indonesia tidak akan mungkin mempunyai daerah, sekalipun daerah istimewa, di mana lingkungannya yang bersifat Staat atau Negara diatur dalam suatu kontrak politik (politiek contrack), karena pada jaman Belanda dahulu, bila melakukan suatu kontrak politik sudah melakukan suatu perjanjian.
Daerah Surakarta sering disebut sebagai swapraja, namun bukan daerah otonom biasa, melainkan Negara kecil-kecil dalam lingkaran Hindia Belanda, oleh sebab itu daerah ini tidak diatur dalam Undang-undang seperti pada
Kasultanan Yogyakarta, namun pada akhirnya nanti semua daerah swapraja oleh
Undang-undang Pokok No.18 tahun 1965 tersebut dinyatakan dihapus, seperti
Kasunanan dan Magkunegaran dijadikan satu.
B. Pemerintahan Masa Konstitusi RIS
Sejak berdirinya Negara Republik Indonesia Serikat tanggal 27 desaember
1949, undang-undang dasar 1945 tidak digunakan lagi. UUD 1945 hanya berlaku untuk Negara Republik Indonesia yang merupakan Negara bagian
71 Lihat Sodarisman Poerwokoesoemo.,op.cit.halm.52
74 dari Negara Republik Indonesia serikat, yang kemudian sebagai gantinya adalah
Konstisusi RIS, di mana dasar hukum tertinggi bagi daerah yang bersifat istimewa adalah Konstitusi RIS dari pada UUD 1945. Pasal yang membicarakan tentang ketentuan daerah yang bersifat istimewa adalah Kontitusi RIS pasal 64 hingga pasal 67.72
Dalam pasal tersebut dapat diketahui perbedaan prinsip antara Undang- undang Dasar 1945 baik sebelum maupun sesudah perubahan kostitusi RIS dalam masalah daerah yang bersifat “istimewa” (istilah dalam konstitusi RIS adalah swapraja), di mana pengaturan kedudukan daerah yang bersifat istimewa dilakukan dengan kontrak yang diadakan antara daerah bagian dan daerah yang bersifat istimewa.
Setelah Negara Republik Indonesia berdiri, Negara Kesatuan Republik
Indonesia telah mengeluarkan Undang-undang No.22 tahun 1948 tentang pokok- pokok Pemerintahan daerah, di mana Undang-undang tersebut tetap berlaku selama sebelum adanya Konstitusi RIS, Konstitusi RIS tersebut juga berlaku bagi
Republik Indonesia, sebab Konstitusi RIS berlaku di wilayah RIS, di mana RI mnejadi Negara bagian RIS. Pasal-pasal yang ada dalam Konstitusi RIS salah satunya adah mengatur daerah swapraja dengan melakukan kontrak politik.73
Di Yogyakarta sejak Konstitusi RIS berlaku di seluruh Indonesia, sumber hukum pembentukan Kasultanan dan Pakualaman sebagai daerah Istimewa
Yogyakarta adalah UUD 1945, dimana penjelasannya ada dalam pasal 18 UUD
1945, yang menyatakan bahwa :
72 Ibid.,halm.54-55 73 Ibid.,halm.55
75 Pembagian daerah Indonesia atas dasar daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat Istimewa.
Dalam pasal tersebut dijelaskan akan hak-hak daerah swapraja sebagai daerah yang bersifat istimewa, seperti daerah Kasultanan dan Pakualaman sebagai daerah bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta.
Penjelasan pasal tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa berdasarkan pasal
18 UUD 1945 beserta penjelasan resminya, yakni prinsip Kasultanan Yogyakarta dan Daerah Pakualaman secara Konstitusional dapat dijadikan daerah Istimewa ialah Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan ketentuan pada pasal 18 UUD 1945.74
Hingga nanti dijelaskan kembali pada Undang-undang No.22 tahun 1948 tentang kedudukan atas daerah swapraja.
Bagi daerah Surakarta yang bersifat Istimewa, di samping Undang-undang
No. 22 tahun 1948 tentang Pokok -Pokok Pemerintahan Daerah perlu diingat pula adanya Penetapan Pemerintah No.16/SD tahun 1946 yang isinya tentang
Pemerintahan Daerah Istimewa Surakarta dan Yogyakarta.75 Sebelum penetapan pemerintahan Surakarta ditetapkan sebagai Undang-undang, untuk itu daerah
Surakarta masih dipandang sebagai daerah Karesidenan yang dikepalai oleh seorang residen.
Dalam pasal 1 ayat 2 Undang-undang No.22 tahun 1948 tersebut dinyatakan bahwa daerah yang mempunyai hak-hak asal-usul dan di zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat
74 Ibid.,halm.53 75 Sri Juari Santoso,op.cit.,halm.34
76 istimewa dengan undang-undang pembentukan seperti yang tercantum dalam pasal 3 yang ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Propinsi,
Kabupaten atau desa yang berhak mengatur urusannya sendiri. Pada zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa dapat ditetapkan sebagai daerah Istimewa, meskipun sementara waktu.76
Namun dalam perkembangannya setelah Republik Indonesia Serikat
(RIS), maka sejak itu di Indonesia berlaku Konstitusi RIS. Dalam pasal itu
Konstitusi RIS ada pernyataan tentang pengakuan daerah-daerah yang bersifat istimewa (swapraja) yang sudah ada, dan menurut pasal 65 dari Konstitusi itu daerah-daerah swapraja harus diatur oleh daerah-daerah bagian yang bersangkutan. Dari sini, istilah tersebut diartikan sebagai daerah yang sudah memberlakukan Kostitusi RIS, yang menurut perundang-undangan dan pengertian yang ada adalah daerah yang bersangkutan.
Dalam Republik Indonesia, menurut Undang-undang dan pengertian yang berlaku sejak tanggal 15 Juli 1946 daerah Surakarta yang bersifat Istimewa untuk sementara waktu dipandang sebagai daerah karesidenan. Setelah Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka seluruh wilayah Republik
Indonesia berlaku Undang-undang Dasar Sementara tahun 1950.
Melihat kembali UUDS tahun 1950 pasal 132 yang menyatakan bahwa kedudukan daerah swapraja akan diatur dengan Undang-undang dan kenyataannya untuk melaksanakan pasal 132 UUDS 1950 tersebut pada tahun
76 Melihat Penetapan Pemerintah No.16/SD tahun 1946, Pemerintahan Daerah Surakarta dipandang sebagai daerah suatu karesidenan yang dikepalai oleh residen, dimana Daerah Istimewa Surakarta dapat setingkat dengan Propinsi, Kabupaten atau Desa. Lihat Sodarisman Poerwokoesoemo,op.cit.., halm.64
77 1957 dikeluarkan Undang-undang tersebut yang selanjutnya menjelaskan kembali tentang pengaturan kedudukan daerah swapraja.77
Setelah Negara kita kembali kepada Undang-undang Dasar tahun 1945 yakni sejak 5 Juli 1959, sejak itu pula pelaksaan pasal 18 Undang-undang Dasar tahun 1945 dikeluarkan, Undang-undang yang baru No.18 tahun 1965, tentang
Undang-undang pokok-pokok pemerintahan Daerah. Seperti halnya dengan
Undang-Undang tentang pemerintahan Daerah sebelumnya, Undang-Undang ini tetap tidak bisa mengembalikan status daerah Istimewa Surakarta menjadi daerah yang bersifat Istimewa.
Pada masa pemerintahan Indonesia pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan status keistimewaan pada kedua daerah kerajaan tersebut. Kasunanan
Surakarta yang dahulu memiliki status sebagai daerah kerajaan yang istimewa, kemudian dihapuskan status keistimewaanya dan dianggap seperti daerah-daerah lainnya. Penghapusan status daerah istimewa ini ditegaskan dalam berbagai peratuaran perundang-undangan daerah yang dibuat oleh pemerintah pusat, sedangkan Kasultanan Yogyakarta tetap diakui sebagai daerah kerajaan yang istimewa bagian dari Negara Republik Indonesia. Status keistimewaan itu juga terlihat pada sistem penunjukan langsung jabatan Gubernur DIY yang didasarkan pada pengangkatan keturunan Kasultanan Yogyakarta sebagai gubernur tanpa proses pemilihan umum.
77 Sri Juari Santoso.,op.cit.halm.44
78 BAB IV
FAKTOR-FAKTOR YANG MENENTUKAN STATUS
KEISTIMEWAAN KASULTANAN YOGYAKARTA DAN
KASUNANAN SURAKARTA DALAM NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
A. Status Keistimewaan Berdasarkan Undang-undang Dasar
Status daerah keistimewaan yang dipakai dalam perundang-undangan pemerintahan Belanda dan pemerintahan Jepang sangat mempengaruhi jalannya proses perkembangan status keistimewaan., namun Undang-undang yang dibentuk untuk mengatur masalah daerah Istimewa masih pada perencanaan undang-undang dasar, dan masih dalam perombakan. Pembicaraan mengenai pembentukan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tentang pemerintahan daerah telah dimulai pada sidang BPUPKI tanggal 14 dan 15 Juli
1945, sidang tersebut diketuai oleh Prof..Dr.Soepomo. 78
Pada Bab IV pasal 17 dari Rancangan Undang-undang Dasar yang dihasilkan berbunyi:
Tentang Pemerintahan daerah:
”Pembagian daerah Indonesia dalam daerah-daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dari pada sistem pemerintahan Negara, dan hak-hak asal-usul dari daerah-daerah yang bersifat istimewa”
78 Sri Juari Santosa,,op.cit.,halm.50
79 Menurut Prof.Dr.Soepomo mengenai dasr permusyawaratan bahwa penetapan tentang bentuk pemerintahan daerah harus berdasarkan permusyawaratan, diperlukan pembentukan Dewan Pemerintahan Daerah.79
Prof.Dr.Soepomo juga mengatakan “Panitia mengingat yakni persoalan tentang daerah-daerah yang bersifat kerajaan seperti Kasultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta, kooti-kooti, ataupun daerah lain yang bukan kerajaan namun mempunyai status Zelfbestuur.80
Persoalan tersebut dilanjutkan pada Sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus
1945, dalam sidang tersebut Soepomo mengatakan:
”…….Adanya daerah-daerah Istimewa diindahkan dan dihormati kooti-kooti, sultanat-sultanat tetap ada harus dihormati susunannya yang asli, akan tetapi itu keadananya sebagai daerah, bukan Negara, jangan ada masalah salah paham dalam menghormati adanya daerah Zelfbertuur Landschappen itu bukan negara melainkan hanya daerah saja, tetapi daerah Istimewa yaitu yang mempunyai sifat Istimewa, jadi daerah Istimewa itu merupakan suatu bagian staat Indonesia……”.81
Penjelasan tentang kooti atau zelfbestuurende landschappen mendapat jaminan kelangsungan hidup dan kedudukan yang kokoh dari kooti-kooti dalam
Rancangan Undang-undang Dasar. Susunan asli dalam kooti-kooti dan sultanat- sultanat dihormati dan keadaannya dinyatakan sebagai daerah.
Daerah Zelfberturende landschappen dinyatakan sebagai daerah, bukan
Negara, namun daerah itu merupakan daerah istimewa yaitu yang mempunyai sifat-sifat istimewa. Penguasa kooti setingkat dengan Gubernur dan wilayah kooti-
79 Ibid halm.52 80 Ibid 81 Ibid halm.53
80 kooti yang terdapat di Jawa berada diluar wilayah ketiga buah propinsi yang ada, pemerintahan kooti berada langsung di bawah Pemerintah Pusat.
Daerah Surakarta pada jaman Belanda mempunyai status sebagai zelfbesturende landschappen dan pada jaman Jepang berubah nama menjadi kooti, kedudukannya tidak berubah hanya berganti nama saja sebagai daerah istimewa yang susunan asli diluar propinsi di Jawa, yakni Penguasa atau Raja Negeri
Surakarta Hadiningrat S.P Pakubuwono XII yang berkedudukan sebagai Gubernur dengan posisi berada langsung di bawah pemerintahan Pusat.
Daerah yang bersifat istimewa menjadi jelas secara eksplisit terkandung dalam Zelfbesturende lanschappen, di mana daerah-daerah tersebut mempunyai susunan asli, oleh karenanya dianggap sebagai daerah istimewa. Negara Republik
Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah tersebut dengan segala peraturan negara yang mengenai daerah tersebut dan mengingat hak-hak asal-usul daerah tersebut.
Dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18 menyatakan beberapa hal seperti; Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan Undang-undang, hingga pembentukan daerah-daerah tersebut tidak berbentuk negara, sehingga di
Indonesia tidak mengenal adanya negara bagian. Dalam pasal tersebut juga mengatur tentang kedudukan daerah Istimewa yang perlu dihormati akan hak asal- usulnya, dan yang terakhir adalah pengaturan susunan pemerintahan dari daerah biasa dan daerah yang bersifat istimewa semuanya harus memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara.
81 Dalam sejarah perundang-undangan pengaturan masalah kedudukan pemerintahan daerah sebenarnya sudah ada sejak jaman kolonial, namun penetapan sebagai undang-undang ditetapkan sejak kemerdekaan negara Republik
Indonesia. Hal ini diikuti dengan munculnya penetapan mengenai Undang-undang tentang wilayah di daerah lain yang harus dibuat aturan khusus. Lahirnya undang tersebut disambut baik oleh beberapa daerah seperti wilayah dengan kekuasaan kerajaan dengan status yang belum jelas kedudukannya di dalam negara
Indonesia. Wilayah tersebut adalah daerah yang “diklaim” sebagai daerah
Istimewa seperti wilayah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.
Wilayah dua daerah tersebut menjadi bagian dari wilayah Indonesia yang berhak mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah. Dalam sejarahnya
Indonesia pernah memiliki beberapa Undang-undang sejak kemerdekaan hingga sekarang, Undang-undang yang pertama adalah undang–undang Dasar 1945, kemudian adanya Konstitusi RIS, dan berubah lagi menjadi Undang-undang
Sementara 1950, kemudian sejak dikeluarkannya Dekrit Presiden Tanggal 5 Juli
1959 berlaku kembali Undang-undang Dasar 1945. Ada beberapa hal dipakai dari beberapa Undang-Undang yang pernah berlaku tersebut adalah:82
1. Dalam UUD 1945: Masalah pemerintahan daerah diatur dalam pasal 18,
undang-undang 1945 berlaku di seluruh Indonesia, dan juga dipakai
menjadi dasar hukum daerah Surakarta dan Yogyakarta.
2. Berlakunya Konstitusi RIS, di mana aturan tentang masalah keistimewaan
diatur dalam pasal 64 sampai 67.
82 Ibid.,halm.56-71
82 3. Undang –undang RI No.22 tahun 1948: Undang–undang ini yang pertama
kali berlaku sebagai undang-undang tentang pokok-pokok pemerintahan
daerah dan merupakan pelaksanaan dari pasal 18 Undang-undang Dasar
1945.
4. Dalam UUDS 1950: Aturan tentang masalah tersebut ada pada pasal 131
sampai dengan pasal 133.
5. Kembalinya UUD 1945: Masih sama dengan pasal yang terdahulu yakni
pasal 18, hanya nantinya ada beberpa sikap yang ditambah ketika adanya
Undang-undang RI No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah pada
Bab XIV pasal 225 dan pasal 226.83
Dari penjelasan di atas dapatlah di lihat beberapa undang-undang yang mengatur tentang proses pengaturan tentang pemerintahan daerah yang ada di Indonesia sejak Indonesia merdeka hingga tahun 1950, beberapa hal tersebut juga menjelaskan tentang kedudukan pemerintahan daerah seperti daerah Kasultanan
Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta pasca Kemerdekaan Republik Indonesia hingga sebelum pemilu pertama diadakan di Indonesia.
B. Sikap Politik Pemerintahan Kedua Kerajaan Dalam Mendukung Negara
Republik Indonesia
Dalam sejarah perjuanganya Republik ini Undang-undang Dasar yang dianggap penting dalam perubahan-perubahan untuk mendukung Negara
83 Undang-Undang pemerintahan Daerah No.32 Tahun 2004, Pustaka Yustisia, cetakan pertama,2004.,halm.126-127
83 Kesatuan. Ketiganya memuat pasal-pasal yang mengatur masalah daerah yang bersifat Istimewa, yakni:
1. Undang-Undang Dasar 1945, tanggal 18 Agustus 1945, masalah tentang
Pemerintahan daerah diatur dalam pasal 18.
2. Undang-undang Dasar Sementara 1950, 17 Agustus1950, Indonesia
menjadi daerah Republik Indonesia Serikat (RIS), dimana undang-undang
tentang pemerintahan daerah diatur dalam pasal 131 sampai dengan pasal
133,
3. Kembali ke Undang-undang Dasra 1945. hingga keluarnya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959, Indonesia memakai kembali Undang-undang Dasar
1945, dengan pasal yang sama.
Dari ketiga UUD tersebut, muncul beberapa sikap dari kedua daerah tersebut antara Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia, seperti di Kasultanan Yogyakarta..
Meskipun Yogyakarta selalu diistimewakan oleh Pemerintahan dalam melaksanakan peraturan birokrasi pemerintahan daerah, namun Sultan selalu berusaha menyesuaikan tindakan pemerintahannya dengan peraturan yang berlaku untuk daerah-daerah diluar Yogyakarta itu misalnya tentang pembentukan Badan
Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah (BPKNID) dan pelaksanaan perundang-undangan No. 1/1945, meskipun peraturan perundang-undangan ini mengecualikan DIY, namun Sultan tidak mau ketinggalan.
Sultan semakin giat menyesuaikan pembangunan kembali birokrasi pemerintahannya dengan peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh
84 pemerintahan pusat, karena pada hakikatnya Sultan juga tidak melarang kalau terdapat Abdi dalem yang beralih menjadi pegawai pemerintahan. Karena dengan itu pula Sultan menyatakan bahwa para Abdi dalem yang ingin menjadi TKR diperbolehkan, dan status Abdi dalem tidak dihapus walau gaji yang diberikan kraton hanya sepersepuluh dari gajinya sebelumnya,84 bahkan Sultan sendiri pada tahun 1946 menggabungkan diri dengan pemerintah pusat dengan menerima jabatan Menteri Negara dalam Kabinet Syahrir III atau Kabinet Nasional IV.85
Ketika Sultan mengadakan perubahan tersebut yang ternyata berhasil menjadikan birokrasi pemerintahan Yogyakarta baik, meliputi struktur serta fungsinya setelah lepas dari kekuasaan Jepang. Dengan kalahnya Jepang maka
Sultan memperkuat kekusaaan birokrasi pemerintahannya dengan menempatkan
Yogyakarta sebagai daerah Istimewa Negara Republik Indonesia berdasarkan pasal 18 UUD 1945. Dengan status tersebut Sultan menggabungkan diri dengan kekuasaan tradisional Kasultanan dan kekuasaan baru yang didasarkan oleh peraturan perundang-undangan yang rasional.86 Terdapat beberapa hal yang mendasari sikap yang diambil oleh Sultan pada waktu itu yakni:
1. Kemerdekaan Republik Indonesia sebenarnya merupakan hasil persiapan
yang dilakukan pada waktu Jepang belum menyerahkan sikap berdasarkan
Jepang sendiri. Karena terlihat dalam Proklamsi Kemerdekaan, Sultan
tidak hanya mengucapkan selamat kepada Sukarno-Hatta, tetapi juga
mngucapkan terimakasih kepada Jepang di Jakarta.
84 P.J Suwarno, op.cit.,halm.206 85 Ibid 86 Ibid.,halm.207
85 2. Adanya kenyataan di Yogyakarta bahwa Jepang sebagai pro sekutu masih
mempunyai kekuatan militer yang dapat digunakan untuk memaksakan
kehendaknya, namun Sultan memiliki tekad yang bulat untuk merdeka
sejak penobatannya menjadi Sultan, yang menghendaki secepat mungkin
kekuasaan pemerintahan itu dipindahkan ke tangannya sebagai pemimpin
rakyat Indonesia, khususnya rakyat Indonesia, dan kekuasaan langsung
antara keraton dan pemerintah pusat.
Sikap dari Sultan tersebut diimbangi oleh KNID Yogyakarta yang juga sepenuhnya mendukung sikap untuk secepatnya membentuk Birokrasi
Pemerintahan daerah di Yogyakarta.87
Di wilayah Surakarta juga memberikan sikap tentang keadaan wilayah setelah kemerdekaan, yakni pada tanggal 1 September 1945 Sri Paduka
Susuhunan menyatakan lewat Maklumatnya yakni pengakuan dan penetapan resmi Pemerintahan Republik Indonesia atas Negeri Surakarta Hadiningrat sebagai daerah pemerintahan Republik Indonesia dengan jaminan UUD 1945 pasal 18 atas daerah Istimewa di Surakarta.
Sikap politik yang diambil oleh Negeri Surakarta Hadiningrat dalam mendukung
Negara Republik Indonesia adalah:
1. Merespon dengan baik Piagam Presiden Republik Indonesia tanggal 19
Agustus 1945 dengan membuat Maklumat yang ditulis S.P Susuhunan
pada tanggal 1 September 1945, yang isinya merupakan pengakuan dan
87 Ibid
86 penetapan resmi Pemerintahan Republik Indonesian atas Negeri Surakarta
Hadiningrat sebagai daerah pemerintahan asli dan menjadikan S.P
Susuhunan sebagai kepala Daerah di Surakarta.
2. Menerima dan melaksanakan anjuran pemerintah dalam pembentukan
Komite Nasional Daerah Surakarta untuk menyusun kembali peraturan
yang ada di wilayah Surakarta, setelah penyerahan kekuasaan dari Kooti
Jimu Tyokan kepada pemerintah Daerah Surakarta.
Berbagai aturan yang telah dilalui Kasunanan Surakarta sejak Kemerdekaan ternyata tidak selancar seperti ada di wilyah Yogyakarta. Di Surakarta sendiri banyak ketegangan dan kekacauan, hal tersebut menjadikan turun tangannya pemerintah pusat untuk mengambil sikap atas keadaan di Surakarta terlebih ketika adanya pembentukan masalah Swapraja Surakarta.
C. Peran Kedua Kerajaan dalam perjuangan Revolusi Kemerdekaan
Republik Indonesia
1. Kasultanan Yogyakarta
Setelah masa revolusi kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945, maka
Kasultanan dan Paku Alaman menggabungkan diri menjadi satu daerah dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta, di mana sumber hukum yang mendasari hal tersebut adalah pasal 18 UUD 1945.
Lahirnya daerah Istimewa merupakan wujud suatu proses yang lama menjadi kancah revolusi pada saat itu, lahirnya Amanat 5 September 1945 yang dikeluarkan oleh Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam VIII.
87 Amanat tersebut merupakan langkah awal terwujudnya Daerah Istimewa
Yogyakarta, kemudian melalui Amanat 30 Oktober 1945 yang juga dikeluarkan oleh Sri Sultan dan Sri Paku Alam bersama-sama dengan Badan Pekerja Komite
Nasional Indonesia Daerah (BPKNID) Yogyakarta yang berkedudukan sebagai wakl rakyat pada saat itu, hingga keluarnya Maklumat No.18 tahun 1946 tanggal
18 Mei 1946 yang juga dikeluarkan oleh Sri Sultan HB IX dan Sri Paku Alam
VIII dengan bersama-sama dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD) sebagai wakil rakyat saat itu.88
Daerah gabungan antara Kasultanan dan Paku Alaman tersebut terdiri dari beberapa kabupeten-kabupaten yang sebelumnya menjadi bagian dari Kasultanan
Yogyakarta dan daerah Paku Alaman. Masing-masing kabupaten itu belum merupakan daerah otonom, karena masih merupakan daerah administrasi, maksudnya daerah tersebut masih di bawah wewenang Kasultanan dan
Pakualaman.
Sejak masa revolusi, kabupaten-kabupaten tersebut diatur dalam
Maklumat 18 tahun 1946 yang dijelaskan dalam pasal 1b dan c, pasal II b dan c, pasal IV 1 dan 2, pasal V dan pasal V dan pasal VII.89 Setelah permulaan revolsi tersebut didaerah-daerah di seluruh Indonesia dibentuk Komite Nasional
Indonesia Daerah sebagai badan perjuangan yang berguna untuk menggerakkan rakyat untuk merebut kekuasaan penjajahan dengan usaha untuk Merdeka dari segala penjajahan di muka bumi Indonesia.
88 Sodarisman Poerwokoesoemo,op.cit.,halm.90 89 Ibid.,halm.91
88 Berdasarkan Maklumat No.18 tahun 1946 yang dibentuk tersebut kemudian dibentuk DPRD-DPRD yang berada di Kabupaten-kabupaten di seluruh
Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan adanya DPRD tersebut maka kewenangan
Komite Nasional Indonesia dihapuskan, karena bila melihat sejarahnya
Yogyakarta sejak jaman perjuangan Belanda dan Jepang tidak memiliki Lembaga
Perwakilan, karena itu rakyat tidak mengenal apa itu demokrasi karena tidak ada harapan untuk mengeluarkan pendapat atau suaranya sebagai rakyat.90
Sejak adannya pembentukan DPRD di wilayah kabupaten-kabupaten di
Yogyakarta maka pada tanggal 30 Oktober 1945 rakyat Yogyakarta baru bisa merasakan demokrasi sejak dalam perjuangan revolusi, karena itu dibentuk Badan
Pekerja KNI Daerah Istimewa Yogyakarta untuk menjalankan kekuasaan
Legislatif agar pemerintahan di daerah Yogyakarta bisa berjalan dengan baik.
2. Kasunanan Surakarta
Keadaan yang sama juga dialami oleh daerah Surakarta, sejak berdirinya
NKRI, pihak kraton Surakarta bersikap aktif ikut membantu kelangsungan hidup dan tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia agar kelancaran jalannya revolusi berjalan dengan baik. Peran Sri Paduka Susuhunan dalam perjuangan terlihat ketika mengeluarkan Maklumat 1 September 1945, di mana semua kekuasaan yang ada dalam Negeri Surakarta Hadinigrat ada di tangan S.P
90 Ibid.,halm.92
89 Susuhunan dan Hubungan antara Negeri Surakarta Hadiningrat dengan
Pemerintahn Pusat bersifat langsung.91
Dalam pertahanan menjaga keutuhan kraton, kraton juga mengajak walikota kraton untuk menjaga strategi-strategi yang dijalankan Belanda untuk mencapai perjuangan Indonesia dalam kemerdekaannya, dan merangkul kembali semua instasi-istansi dan jawatan jawatan di wilayah Surakarta guna membangun kembali pemerintahan daerah Surakarta yang sempat terganggu karena perjuangan revolusi tersebut.
Peran perjuangan yang dilakukan daerah Surakarta untuk mewujudkan kemerdekaan ternyata tidak sedikit, terlebih pihak keraton karena boleh dikatakan perjuangan keraton Surakarta dalam membatu perjuangan merebut kemerdekaan sangat memberikan kontribusi yang besar, baik berupa bantuan moril, bantuan kemanusiaan ,maupun bantuan lainnya yang tak ternilai harganya, berikut beberapa peran Keraton adalah:
1. Bantuan moril, yaitu ketika tidak lama setelah NKRI diproklamasikan,
setelah itu pula keraton segera menyatakan daerah Surakarta sebagai daerah
Istimewa seperti yang tertuang dalam Maklumat 1 Setember 1945, oleh S.P
Susuhunan Pakubuwono XII.92
2. Menjelang perayaan Angkatan perang Republik Indonesia yang pertama 5
Oktober 1946, Presiden Sukarno berkehendak membuat panji-panji yang
nantinya akan dibagikan kepada beberapa divisi yang memgikuti upacara hari
Angkatan Perang di alun-alun utara Yogyakarta, beliau menunjuk Komandan
91 Sri Juari Santoso., op.cit.halm.10 92 Ibid
90 Prajurit Keraton Surakarta untuk merealisasikan hal tersebut, panji-panji
tersebut berbentuk : Furase, Landeyan (tiang bendera), Plangkan bendera
yang semuanya berjumlah 17.
3. Di masa pendudukan tentara Belanda banyak pejuang yang diberi Kartu
Tanda Warga Keraton untuk menjaga mereka dari penangkapan tentara
Belanda.
4. Berusaha membebaskan para tawanan yang ditahan pihak Belanda.93
Selain peran dalam wujud di atas, ada beberapa peran yang berupa bantuan- bantuan dari Keraton Surakarta Hadingrat yang dianggap perlu.94
Melihat situasi politik dan juga situasi keraton yang perlu mendapatkan respon langsung dari pihak keraton, maka Sunan PB XIII mempunyai pandangan atau sikap untuk mengambil keputusan terbaik untuk rakyat Surakarta
Sikap Sunan PB XII dan rakyat Surakarta:
Sikap politik yang diambil Sunan PB XII dalam mendukung Negara RI dapat dilihat berdasarkan Maklumat 1 September 1945. Dalam Maklumat tersebut
Sunan PB XI secara politik mendukung Negara RI dan menyatakan daerah kekuasaannya sebagai daerah istimewa sebagai bagian dari NKRI. Sunan PB XII juga menghendaki hubungan antara Pemerintah Pusat dengan Kasunanan
Surakarta bersifat langsung (Presiden - Sunan PB XII) tanpa adanya Perwakilan atau Komisaris Tinggi.
93 Ibid.,halm.12 94 Daftar bantuan dari keraton Surakarta dari tahun 1945-1950,Ibid.,halm.15-19
91 Selain sikap politik dalam bentuk Maklumat tersebut, Sunan PB XII juga mendukung gerakan militer Indonesia dalam melawan penjajah asing. Pada masa revolusi kemerdekaan RI juga berperan aktif membantu perjuangan rakyat
Indonesia khususnya rakyat Surakarta, misalnya Sunan PB XII bersama Pemuda
Surakarta bersama-sama mengepung Markas Kompetai di Timuran untuk memaksa pihak tentara Jepang di sana agar menyerah. Turut serta melucuti senjata tentara Jepang di Markas Kompetai di Kemlayan dan Markas Kidobutai di
Magkubumen Solo.
Sikap Rakyat Surakarta:
Dengan adanya perubahan susunan pemerintahan daerah., di mana di
Surakarta di bentuk KNID Surakarta dan Komisaris Tinggi, serta adanya upaya
Pemerintahan Pusat mengambil-alih kekuasaan politik Sunan PB XII dengan mengeluarkan surat-surat Penetapan Presiden 6 Juni 1946 dan Penetapan
Pemerintah No. 16/SD tahun 1946, maka kedudukan politik Sunan PB XII telah berkurang dan kehilangan kepercayaan rakyat Surakarta.
Kantor Kepatihan Keraton Surakarta dan Kabupaten-kabupaten selanjutnya melepaskan diri dari Pemerintahan Surakarta yang istimewa. Sebagian besar
Rakyat Surakarta tidak lagi mendukung sepenuhnya kepemimpinan Sunan PB XII untuk memimpin daerah pemerintahan Kerajaan Surakarta yang istimewa, dan lebih memilih pemerintahan daerah di bawah kepemimpinan perwakilan
Pemerintah Pusat yang modern.
92 D. Pemerintahan Masa Demokratisasi dan Otonomisasi
1. Kota Yogyakarta
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945, mengakibatkan perubahan terhadap tatanan politik dan pemerintahan di Indonesia, baik di tingkat pusat maupun daerah. Negara merdeka yang baru terbentuk itu dengan jelas menegaskan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat, seperti yang dimuat dalam UUD 1945. Untuk menciptakan tatanan pemerintahan yang demokratis, maka dibentuk lembaga perwakilan rakyat.
Proses demokratisasi yang dijalankan tersebut berlaku dalam pengertian yang sebenarnya, bahwa rakyatlah yang memegang kedaulatan tertinggi dalam penyelenggaraan pemerintahan yang sebelumnya dikuasai oleh pemerintah kolonial serta para vassal-nya.95 Demokratisasi itu dicanangkan baik untuk penyelenggaraan pemerintah pusat, maupun di pemerintah daerah.
Dalam perubahan menuju sistem pemerintahan demokrasi, kadang-kadang terjadi ketegangan, kekerasan yang mengarah pada bentuk pemberontakan dan revolusi sosial, terutama di daerah-daerah yang tetap ingin mempertahankan sistem pemerintahan berdasarkan tatanan tradisional yang feodalistis.
Yogyakarta dan Surakarta pada masa pemerintahan kolonial berkedudukan sebagai daerah yang menyelenggarakan pemerintahan zelfbestuur,96 berdasarkan kontrak politik. Yogyakarta yang pada status akhir berbeda dengan Surakarta,97
Yogyakarta juga tidak dapat menghindar dari proses demokratisasi. Namun
95 Vassal adalah sebutan bagi perangkat pemerintahan kolonial Belanda 96 Zelfbestuur merupakan daerah yang menyelengarakan pemerintahan secara mandiri tanpa melalui struktural pusat. 97 Seperti dijelaskan pada sebelumnya tentang perbedaan status berdasarkan kontrak politik di Yogyakarta dan penetapan Komisaris tinggi bagi Surakarta
93 demikian, perubahan dalam menyelenggarakan pemerintahan itu tidak menyebabkan hancurnya kerajaan, baik Kasultanan Yogyakarta maupun
Kadipaten Pakualaman.
Pemerintahan demokrasi mengharuskan rakyat untuk ikut serta dalam kegiatan pemerintahan. Bagi Daerah Istimewa Yogyakarta, pemberian kekuasaan kepada rakyat merupakan perubahan yang sangat mendasar, sebab sepanjang sejarah rakyat belum pernah dilibatkan dalam memegang kekuasaan untuk mengatur pemerintahan secara nyata. Hak rakyat dalam pemerintahan sangat terbatas berhadapan dengan kekuasaan raja yang sangat besar.
Sesuai dengan perintah Presiden Republik Indonesia, dalam lingkungan
Kasultanan Yogyakarta dan Pakualaman terbentuklah Komite Nasional Daerah
Istimewa Yogyakarta, sebagai wujud keterlibatan rakyat dengan menentukan kebijakan pemerintahan, diwujudkan melalui sistem perwakilan, yaitu dengan membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (KNI DIY).
Dasar pembentukan KNI DIY tersebut ketika awal September 1945 untuk seluruh Daerah Yogyakarta yang meliputi Kasultanan dan Paku Alaman yang dirumuskan dalam Maklumat 30 September 1945,98 kemudian sejak 18 Mei 1946 diganti namanya menjadi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Maklumat No.
18/1946).99 Berkaitan dengan proses demokratisasi pemerintahan Daerah
Istimewa Yogyakarta itu, juga dilaksanakan demokratisasi di tingkat kotapraja
98 The Liang Gie.,op.cit.halm.73 99 Soedarisman.,op.cit.,halm.139
94 dan kabupaten, bahkan juga pada tingkat kelurahan (desa) yaitu dibentuk Dewan
Perwakilan Rakyat Kelurahan (Maklumat No. 7/1945).100
Masalah penting berkaitan dengan demokratisasi pemerintahan daerah, adalah masalah otonomi. Sebab, walaupun dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah tetapi kalau tidak mempunyai kekuasaan untuk mengatur rumah tangga daerah (otonomi), maka proses demokratisasi akan mengalami hambatan. Sedang otonomi akan dapat berjalan apabila ada pemberian kekuasaan dari pemerintah pusat kepada daerah (desentralisasi). Permasalahan yang sangat menarik bahwa pada masa pemerintahan kolonial, Yogyakarta secara yuridis juga tidak pernah mempunyai kedudukan sebagai daerah otonom. Dalam sejarah Yogyakarta baru mengenal otonomi dan demokratisasi ketika jaman kemerdekaan, sebagai perubahan sesuai dengan dinamika politik yang sedang berlangsung.
Pembentukan daerah otonomi di Indonesia sebenarnya telah ada sejak tahun 1905, ketika pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan Undang-Undang
Desentralisasi. Dengan dikeluarkannya undang-undang itu, maka bagi daerah- daerah yang memenuhi syarat dapat diusulkan sebagai daerah otonom. Kecuali daerah Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta, oleh karena itu seluruh daerah di Jawa dan Madura terjadi perubahan pengaturan pemerintahan, mempunyai kedudukan sebagai daerah otonom.101
Yogyakarta sebagai salah satu daerah dari pemerintah kolonial Belanda diatur melalui kontrak politik, sehingga peraturan-peraturan yang berlaku di
100 Sebenarnya Maklumat ini di keluarkan taggal 6 Des 1946,yakni 4 bulan setelah Proklamasi Kemerdekaan RI, di tandatangani oleh Sri Sultan, Sri Paku Alam, dan Wakil Kepala DIY.,Ibid,halm.202 101 Lihat G. Moedjanto, Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, 1994, penerbit Kanisius, Yogyakarta ,halm.38-40
95 daerah lain tidak berlaku di Yogyakarta, kecuali dicantumkan dalam kontrak politik. Oleh karena itu, di daerah Yogyakarta tidak pernah berkedudukan sebagai daerah otonom, sebab Undang-Undang Desentralisasi tersebut tidak dicantumkan dalam kontrak politik.102 Pembentukan wilayah pemerintahan kabupaten- kabupaten di Yogyakarta sejak tahun 1908 sampai dengan masa pendudukan
Jepang tidaklah berkedudukan sebagai daerah otonom, melainkan berfungsi sebagai daerah administrasi, sebab kekuasaan pemerintahannya tetap dipusatkan di Kepatihan, yaitu kantor Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta.
Demokratisasi pemerintahan daerah di Yogyakarta yang secara tegas dinyatakan dalam Maklumat No. 18 tahun 1946, seharusnya diikuti dengan penyerahan otonomi.103 Berdasarkan maklumat tersebut, maka di kabupaten- kabupaten dan kotapraja di wilayah Yogyakarta dibentuk Dewan Perwakilan
Rakyat sebagai badan legislatif dan Dewan Pemerintah Daerah sebagai badan eksekutif. Badan-badan tersebut biasanya mempunyai kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah, atas nama rakyat. Namun demikian, kenyataannya kabupaten dan kotapraja tersebut belum memiliki kekuasaan otonomi sedikitpun. Akibatnya, pemahaman atas Maklumat No. 18 mengenai masalah otonomi terdapat perbedaan. Pemberian otonomi berarti akan mengurangi wilayah daerah, sehingga penyerahan otonomi bagi kabupaten- kabupaten dan kotapraja mengalami kesulitan.
102 Soedarisman Poerwokoesoemo.,op.cit.halm.65 103 G. Moedjanto.,op.cit.hlm.60-61
96 Kesulitan itu terletak pada struktur pemerintahan di Daerah Istimewa
Yogyakarta. pembentukan daerah otonomi, harus didasarkan pada undang-undang yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Kedudukan Daerah Istimewa Yogyakarta pada saat itu, belum diatur berdasarkan undang-undang. Ketidakjelasan pada
Maklumat No. 18/1946 bagi pembentukan daerah otonomi di Yogyakarta, menyebabkan tidak adanya dasar hukum yang kuat bagi kabupaten-kabupaten dan kotapraja untuk menuntut penyerahan otonomi dari pemerintah Daerah Istimewa
Yogyakarta. Namun demikian, situasi revolusi, ternyata memberi pengaruh lain, terutama pandangan yang cukup berani dari DPR Kotapraja Yogyakarta untuk menuntut penyerahan otonomi.
Dewan Perwakilan Rakyat Kotapraja Yogyakarta secara tegas menghendaki agar ada kekuasaan otonomi untuk dapat mengatur rumah tangga daerah Kotapraja. Oleh karena itu, DPR Kotapraja Yogyakarta mendesak kepada pemerintah pusat Republik Indonesia agar membentuk kota Yogyakarta sebagai daerah otonom berdasarkan Undang-undang dan berada langsung di bawah kekuasaan pemerintah pusat.
Desakan itu dapat dipandang sebagai tuntutan yang revolusioner, sebab jika kota Yogyakarta telah diatur dengan undang-undang, maka untuk mengatur daerah kota hanya didasarkan pada pembentukan undang-undang itu, sedang untuk semua wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta saat itu pengaturannya didasarkan atas Amanat dan Maklumat yang dikeluarkan oleh Sultan
97 Hamengkubuwono IX dan Paku Alam VIII.104 dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta.
Tuntutan DPR Kotapraja Yogyakarta kepada pemerintah pusat Republik
Indonesia tersebut, akhirnya dikabulkan. Pemerintah Pusat Republik Indonesia pada tanggal 7 Juni 1947 mengeluarkan Undang-undang No. 17 Tahun 1947, 105 yang membentuk kota Yogyakarta sebagai kota otonom langsung berada di bawah pemerintah pusat. Pembentukan kotapraja Yogyakarta sebagai kota otonom berdasarkan undang-undang, berarti mendahului Daerah Istimewa Yogyakarta, sebab Daerah Istimewa Yogyakarta baru ditetapkan sebagai daerah otonom setingkat propinsi pada tahun 1950. 106
Berdasarkan kenyataan itu, sebenarnya kotapraja Yogyakarta yang dibentuk sebagai kota otonom hanyalah secara de jure saja, sedang de facto sebenarnya tidak mempunyai kekuasaan otonomi, sebab pemerintah Daerah
Istimewa Yogyakarta tidak mau menyerahkan secara nyata kekuasaan otonomi kotapraja Yogyakarta. Kotapraja seperti hanya memegang sebagian dari undang- undang pembentukan kota otonom, tetapi tidak mempunyai kekuasaan untuk melaksanakan otonominya. Sehingga, kekuasaan otonomi itu masih harus diperjuangkan.
Permasalahan mengenai otonomi di Yogyakarta secara nyata mulai dapat dijalankan tahun 1950-an, sebab Daerah Istimewa Yogyakarta baru ditetapkan
104 Ibid.hlm.56-57 105 Lihat Sejarah Daerah DIY,halm336 106 Soedarisman Poerwokoesoemo., op.cit.hlm170
98 sebagai daerah otonom setingkat propinsi tahun 1950, dengan dikeluarkannya
Undang-undang No. 3/1950 oleh Pemerintah Republik Indonesia.
Berdasarkan Undang-undang No. 3 tersebut, kedudukan Yogyakarta tetap sebagai daerah istimewa. Ketentuan-ketentuan yang berlaku di Yogyakarta sama seperti daerah otonom lainnya, kecuali mengenai pengangkatan kepala daerah.
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, sepanjang masih dipertahankan oleh rakyat, dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari calon yang berdasarkan adat keturunan.
Dibentuknya Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonom setingkat propinsi, akan memudahkan pembentukan dan penyerahan otonomi kepada kabupaten-kabupaten dan kotapraja di bawahnya. Hal itu terbukti dengan dikeluarkannya Undang-undang No. 15 dan 16 Tahun 1950,107 yang membentuk kabupaten-kabupaten dan kotapraja di wilayah Yogyakarta sebagai daerah otonom bagian dari Daerah Istimewa Yogyakarta. Pembentukan dan penyerahan otonomi itu, berarti akan memperlancar proses demokratisasi pemerintahan daerah, sebab pada hakikatnya kekuasaan otonomi yang diserahkan merupakan hak demokrasi.
Di samping membentuk Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai daerah otonomi setingkat propinsi, pemerintah pusat Republik Indonesia juga mengeluarkan Undang-undang No. 7 Tahun 1950 tentang pembentukan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah berdasarkan pemilihan. Oleh karena itu, Yogyakarta kemudian dijadikan uji coba terhadap pelaksanaan Undang-undang No. 7 tersebut.
107 Ibid.hlm.174-175
99 Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, mempunyai organ yang bersifat permanen, yaitu
Dewan Perwakilan Daerah dan seksi-seksi. Tugas masing-masing seksi adalah membantu Dewan Pemerintah Daerah menurut bidangnya dalam kerangka pekerjaan legislatif, bahkan juga dalam pekerjaan eksekutif jika hal itu ditentukan secara khusus oleh DPRD.
Di samping itu, DPRD juga dapat membentuk sebuah panitia yang bertugas untuk menangani permasalahan-permasalahan yang perlu mendapat perhatian khusus. Permasalahan mengenai pelaksanaan otonomi di Yogyakarta, termasuk salah satu masalah penting yang harus mendapat perhatian khusus, mengingat latar belakang dan struktur pemerintahan yang ada.
Berdasarkan uraian di atas, dapat diambil pemikiran bahwa usaha pengisian dan penyerahan otonomi di Daerah Istimewa Yogyakarta sebagai upaya menghilangkan sentralisasi kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan otonomi yang ada dalam Dewan Perwakilan Rakyat Daerah untuk mengatur rumah tangga daerah, secara nyata dapat dilihat dari keberanian Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah untuk mengatur rumah tangga daerah, lepas dari semua masalah ke-
Istimewaan yang selalu dibuat atas dasar pemberlakuan otonomi sebagai wujud demokrasi di wilayah Yogyakarta, namun secara nyata dapat dilihat dari keberanian Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta dalam menggunakan haknya untuk menyelidiki penyimpangan dalam penggunaan dana cadangan Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1950, di samping itu juga keberanian DPRD untuk mengajukan mosi tidak percaya kepada anggota Dewan
100 Pemerintah Daerah, dua tindakan yang sebelumnya tidak nyata berlaku dalam pemerintahan di Yogyakarta.
Usaha otonomi yang dilakukan sesuai dengan pola peraturan perundang- undangan itu belum dapat menghasilkan otonomi yang sepenuhnya. Hal itu karena hambatan mengenai pendanaan yang berasal dari pendapatan asli daerah yang kecil, sehingga masih sangat tergantung pada pemerintah pusat.. Namun demikian, keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan kekuasaan otonominya, merupakan bagian integral bagi proses keterlibatan rakyat dalam pemerintahan daerah yang sedang berlangsung.
Pertimbangan kenapa sekarang banyak daerah yang menginginkan otonomi yang utuh bagi daerahnya, walaupun jika kita membaca sejarah perjuangan kota Yogyakarta ini maka proses otonomi yang dipakai telah ada dan berlaku hingga saat ini, daerah daerah lainnya juga harus banyak belajar dari proses otonomi Yogyakarta yang mampu menggunakan hak otonominya setelah
Indonesia memproklamasikan kemerdekaan tahun 1945, banyaknya masalah otonomi yang sekarang sedang banyak dibicarakan orang setidaknya bukan masalah baru bagi bangsa kita, dan mengapa harus dibuat dengan semacam pengotakatikan daerah di mata pemerintahan, yang berhak dan yang tidak melakukan otonomi, dan perlu dijelaskan disini bahwa otonomi bukan hal yang baru dan muncul setelah orde baru tumbang, tahun 1945 menjadi tonggak sejarah bagi Yogyakarta dalam melaksanakan otonomi daerahnya.
101 2. Kota Surakarta
Proses demokrasi otonomi di Surakarta dapat dilihat ketika pembentukan
DPRD Kota Surakarta, yang menjadikan daerah tersebut merupakan daerah otonom. Urusan kesehatan, sosial, perekonomian dan pemerintahan semua diatur oleh Pemerintahan Karesidenan Surakarta.
Usaha pendemokrasian daerah tersebut bertujuan agar kepentingan Kota
Surakarta dapat terjamin secara efisien, untuk itu pada tanggal 5 Juni 1947 terbentuk penetapan Undang-undang 1947/16, Undang-undang ini membentuk
Kota Surakarta sebagai daerah yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri dengan nama Haminte-Kota Surakarta.108 Selanjutnya dalam
Undang-undang tersebut diatur tentang susunan pengaturan tentang Kota
Surakarta atau susunan Haminte-Surakarta. Kententuan-ketentuan yang ada dalam
Haminte-Surakarta juga tidak jauh beda dengan apa yang ada pada Haminte-
Yogyakarta, hanya ada perbedaan tentang anggran belanja yang ditetapkan.109
Dengan penetapan pemerintahan yang dibentuk oleh Kota Surakarta yang langsung dipimpin oleh Pemerintah pusat. Kota Surakarta merupakan kota otonom dibentuk oleh pemerintahan Republik Indonesia di Jawa. Pembentukan ini berarti mempersatukan pula wilayah Kasunanan dan Magkunegaran yang terletak dalam lingkungan Kota Surakarta.
Pendemokrasian dijalankan oleh pemerintahan pusat dengan membentuk
DPRD-DPRD untuk Karesidenan Surakarta dan daerah-daerah di dalam lingkungan daerah sekitarnya, hingga akhirnya masa demokrasi daerah Surakarta
108 The liang Gie.,op.cit,halm.93 109 Ibid
102 dengan pemerintahan pusat telah aktif mengambil tindakan untuk mewujudkan daerah Surakarta sebagai daerah otonom yang demokratis.110
Namun pada kenyataannya, walaupun telah ada susunan pemerintahan daerah yang baru dengan DPRD-nya, susunan daerah Surakarta belum tenang benar, perubahan-perubahan di daerah Surakarta berjalan dengan penuh ketegangan dan pertentangan, didalam masyarakat timbul gerakan-gerakan yang menetang berlangsungnya Zelfbestuurende landschappen. Beberapa bentuk pemerintahan daerah baru silih berganti diadakan untuk menentangkan daerah
Surakarta tapi tidak berhasil.
Masalah atau ketengangan yang timbul di daerah Surakarta adalah masalah mengenai pembagian daerah swapraja, antara pihak yang setuju dan tidak setuju dengan swapraja, swapraja adalah daerah-daerah pemerintahan asli yang berkedudukan hukum, berdasarkan hukum asli, dalam kontrak politik perjanjian tersebut menentukan batas-batas hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dan swapraja atau sama dengan Zelfbestuurend Landschap, yang jika dikaji kembali hal tersebut berbeda dengan status daerah otonomi biasa.111
Sejak dikelurkannya penetapan pemerintah No.16/SD tahun 1946 pada tanggal 15 Juli 1946, Kepala Daerah swapraja secara de facto tidak lagi memegang kekuasaan Kepala Daerah, daerah Surakarta sebagai daerah
Karesidenan yang langsung di bawah pimpinan pemerintah pusat, selanjutnya dalam rancangan undang-undang No.22 tahun 1948 yang dibicarakan oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat, Sri Paduka Susuhunan mengajukan perubahan
110 Ibid.,halm.93-94 111 Sri Juari Santoso.,op.cit,halm.153
103 mengenai undang-undang yang dibuat tersebut. Undang-undang yang mengatur tentang daerah keistimewaan dan masalah swapraja tersebut harus diselesaikan dengan kebijaksaan yang sebaik-baiknya, agar tidak merugikan banyak pihak.
Pada tanggal 15 Agustus 1950 telah dibentuk Propinsi Jawa Tengah,
Kabupaten Klaten, Boyolali, Sragen, Sukoharjo dan Kota-kota besar di Surakarta, yang diatur dalam undang-undang No. 10, No.13 dan No.16 tahun 1950, bagi sebagian orang undang-undang ini menghapuskan kedudukan keistimewaan dari swapraja Surakarta, penghapusan tersebut karena pembagian wilayah di Surakarta menjadi daerah otonom.
Pihak kraton menganggap status swapraja yang dimiliki tidak dihapuskan, karena pada Undang-undang pokok No. 22 tahun 1948 memberikan dasar-dasar pemerintahan daerah otonomi di seluruh Indonesia, undang-undang tersebut tidak menghapus namun mengatur.112 Begitu juga dengan pasal 18 Undang-undang
1945 yang menyatakan bahwa Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa dengan segala peraturan mengenai daerah itu dengan menghormati asal usul daerah tersebut.113 Hingga pada akhirnya keputusan dihapuskan tetap dilaksanakan, karena dengan pertimbangan bahwa status swapraja jika dihapuskan akan mendapat perhatian dari pemerintah lebih mudah dan terfokus, hingga pembagian daerah Surakarta menjadi daerah otonom, namun dengan itu status keistimewaan menjadi hilang.
Dengan demikian, sangat disayangkan jika dihapusnya daerah swapraja
Surakarta merupakan kehendak rakyat, hal tersebut tidak terbukti jika melihat
112 Ibid.,halm.158 113 Ibid
104 banyaknya resolusi dari berbagai badan, jawatan yang menghendaki kembalinya daerah swapraja Surakarta.
Proses yang panjang untuk sebuah demokrasi terhadap daerah pemerintahan dengan status otonomi seperti Surakarta, terlebih dengan banyaknya halangan yang seakan-akan menghambat terwujudnya keutuhan pemerintahan yang kuat dan yang diharapkan, serta jauh dari kesan serbagai daerah Istimewa atau daerah khusus sebagaimana yang dimiliki daerah lain di Negara Indonesia.
Faktor-faktor yang menentukan status keistimewaan kerajaan Kasunanan
Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dalam Negara RI, ternyata dipengaruhi oleh masing-masing sikap politik yang diambil oleh Sunan
PB XII sebagai pemimpin pemerintahan Kasunanan Surakarta dan sikap politik yang diambil oleh Sultan HB IX sebagai pemimpin pemerintahan Kasultanan
Yogyakarta. Sikap politik yang diambil yaitu bagaimana kedua raja tersebut untuk mempertahankan kedudukan politik dan susunan pemerintah kerajaannya untuk disesuaikan dengan sistem pemerintahan Negara RI yang modern, serta mempertahankan status keistimewaannya dengan dukungan sepenuhnya dari rakyatnya.
105 BAB V
PENUTUP
Undang-undang pokok pemerintahan daerah yang pertama kali digunakan adalah Undang-undang No.22 tahun 1948 dan Undang-Undang tersebut sebagai pelaksana dari pasal 18 UUD tahun 1945, yang mengatur tentang pemerintahan daerah.114 Pada Undang-Undang tahun 1948 pasal 22 pembentukan propinsi terdapat mengenai Urusan Rumah tangga, dimana Undang-Undang untuk Daerah
Istimewa Yogyakarta sebelum pembentukannya diatur dalam Undang-Undang tahun 1948 pasal 22, jadi pembentukan tersebut mempunyai wewenang yang luas daripada Propinsi, yang berarti bahwa daerah-daerah otonom tersebut dianggap sebagai lanjutan dari regentschap dan stadgemeente. Pada Undang-Undang tahun
1950 Pasal 16 Haminte-kota Yogyakarta dibentuk menjadi Kota Besar
Yogyakarta menurut Undang-Undang tahun 1948/22.115 Sedangkan untuk daerah pembentukan Propinsi Jateng ditetapkan dal Undang-Undang tahun 1950 Pasal 10 bahwa wilayah Karesidenan Surakarta termasuk dalam propinsi ini (Jawa
Tengah), dimana daerah Surakarta dibagi menjadi beberapa Kabupaten seperti:
Boyolali, Karanganyar, Klaten, Sragen, Sukoharjo, Wonogiri, dan Kota Beasr
Surakarta.116
114 Lihat The Ling Gie .,op.cit,halm.233 115 Ibid 116 Ibid halm.234
106 Pada masa pemerintahan pendudukan Belanda dan Jepang (Dai Nippon) pada putaran tahun 1939-1945, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta diakui statusnya sebagai daerah istimewa, sebagai bagian dari Kerajaan Hindia
Belanda maupun Kekaisaran Jepang. Hal ini terlihat dari berbagai aturan perundang-undangan yang mengatur kedua daerah tersebut, yang menyatakan bahwa kerajaan Kasuananan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah swapraja yang otonom dan memiliki pemerintahan sendiri di bawah kerajaan- kerajaan itu.
Pada masa pemerintahan Indonesia pada tahun 1945-1950, terjadi perubahan status keistimewaan pada kedua daerah kerajaan tersebut. Kasunanan
Surakarta yang dahulu memiliki status sebagai daerah kerajaan yang istimewa, kemudian dihapuskan status keistimewaannya dan dianggap seperti daerah-daerah biasa lainnya. Penghapusan status daerah istimewa ini ditegaskan dalam berbagai peraturan perundang-undangan daerah yang dibuat oleh Pemerintah Pusat, sedangkan Kasultanan Yogyakarta tetap diakui sebagai daerah kerajaan yang istimewa bagian dari Negara Republik Indonesia. Status keistimewaan itu juga terlihat pada sistem penunjukan langsung jabatan Gubernur DIY yang didasarkan pada pengangkatan keturunan Kasultanan Yogyakarta sebagai gubernur tanpa proses pemilihan umum (Pemilihan Gubernur).
Faktor-faktor yang menentukan status daerah Kasunanan Surakarta dan
Kasultanan Yogyakarta sebagai daerah istimewa dalam Negara RI, dipengaruhi oleh sikap politik kepemimpinan yang diambil oleh Sunan PB XII sebagai pemimpin pemerintahan Kasunanan Surakarta dan sikap politik yang diambil oleh
107 Sultan HB IX sebagai pemimpin pemerintahan Kasultanan Yogyakarta. Sikap politik yang diambil yaitu bagaimana kedua raja tersebut untuk mempertahankan kedudukan politik dan susunan pemerintah kerajaannya untuk disesuaikan dengan sistem pemerintahan Negara RI yang modern, serta mempertahankan status keistimewaannya dengan dukungan sepenuhnya dari rakyatnya.
Sikap itu juga yang harus melandasi semua masalah yang menyangkut kekuasaan dan hubungan antara penguasa dan rakyat sebagai abdidalemnya, untuk bersatu karena keistimewaan suatu daerah dicapai bukan untuk membandingkan keistimewaan daerah satu dengan daerah lain, wujud dari itu semua berasal dari ketentuan-ketentuan yang sudah disepakati menurut Undang- undang yang berlaku di Indonesia.
Semoga skripsi ini menjadi pertimbangan yang baik dalam usaha mewujudkan daerah pemerintahan yang benar-benar demokratis.
108 DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rozaki, Titok Hariyanto(editor), 2003; Membongkar Mitos Keistimewaan Yogyakarta, IRE Press Yogyakarta
Atmakusumah, 1982; Tahta Untuk Rakyat Celah-Celah Kehidupan Hamengku Buwono IX, P.T. Gramedia, Jakarta
Barahmus, 1985; Sejarah Perjuangan Yogya Benteng Proklamasi, Badan Musawarah Musea Yogyakarta
Darmosugito, 1956; Kota Jogjakarta 200 tahun, Panitya-Peringatan, Yogyakarta
Gottschalk, Louis, Nugraho Notosusanto(terj.), 1975, Mengerti Sejarah: Pengantar Metode Sejarah, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta
Koentjaraningrat, 1993; Metode-Metode Penelitian Masyarakat, P.T.Gramedia, Jakarta,
Moedjanto.G, 1994; Kasultanan Yogyakarta dan Kadipaten Pakualaman, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
Soedarisman Poerwoekoesoemo, 1984; Daerah Istimewa Yogyakarta, Gajah Mada University Press, Yogyakarta
______. 1985; Kadipaten Pakualaman Gajah Mada University PRESS, Yogyakarta
Selo Soemardjan, 1981; Perubahan Sosial Yogyakarta, Gajah Mada University PRESS, Yogyakarta
Sri Juari Santoso, (pengantar):Eusta Supeno, 2006; Suara Nurani Keraton Surakarta, Peran Keraton Surakarta dalam mendukung dan memmpertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia,Cetakan ke V, penerbit: Komunitas Studi Didaktika, Yogyakarta
109 Suwarno.P.J., 1994; Yogyakarta Di Awal Revolusi Kemerdekaan, Sanata Dharma,Yogyakarta
______, 1994; Hamengku Buwono IX Dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974 Sebuah Tinjauan Historis, Penerbit Kanisius, Yogyakarta
______, 1989; Sejarah Birokrasi Pemerintahan Indonesia Dahulu dan Sekarang, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta
The Liang Gie, 1967; Pertumbuhan Pemerintahan Daerah di Negara Republik Indonesia, Penerbit PT.Gunung Agung ,Djakarta
Tim Penyususn Departemen P dan K, 1987; Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) di DIY, Proyek Inventarisasi Dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Tahun 1986-1987, Yogyakarta
Tim Penyusun, 1977; Inventarisasi Produk-Produk Pemerintahan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta Yang Berupa Peraturan Perundangan I dan II, Biro Hukum Sekretariat Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta, Yogyakarta
______, 2004; Udang-undang Pemeritahan Daerah, Undang-undang RI Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah beserta penjelasannya,diterbitkan oleh Pustaka Yustisia, cetakan I
Surat kabar:
Kedaulatan Rakyat, tanggal 3 November 1945 halaman 1 Maklumat Komisaris Tinggi No.1 tentang berdirinya dewan pemerintahan Surakarta Kedaulatan Rakyat, tanggal 2 Oktober 1945 halaman 1 Penyerahan semua kekuasaan pemerintahan Surakarta Kootijumu Kyuku Kedaulatan Rakyat, tanggal 19 Januari 1946 halaman 2 Undang-undang pokok daerah Istimewa Yogyakarta pemerintahan Kedaulatan Rakyat, tanggal 19 Juli 1946 halaman 1 Presiden melantik residen Surakarta Kedaulatan Rakyat, tanggal 4 Agustus 1949 halaman 2
110 Kembalilah Surakarta Kedaulatan Rakyat, tanggal 7 Desember 1949 halaman 1 Penyerahan Kekuasaan pada Sultan Yogya Kedaulatan Rakyat, tanggal 9 Januari 1950 halaman 1 Putusan Kabinet Plebisit tentukan Swapraja Kedaulatan Rakyat, tanggal 8 Mei 1950 halaman 1 Pembentukan Negara Kesatuan hanya antara RIS-RI Nasional, 19 Juli 1949 halaman 2 Pernyataan menolak kepada daerah Istimewa Nasional, 4 Agustus 1949 halaman 2 Paku Buwono dan Mangkunegoro di Yogyakarta
111 Lampiran 1 AMANAT SULTAN HB IX117
AMANAT SRI PADUKA INGKANG SINUWUN KANJENG SULTAN
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngajogjakarto Hadiningrat, menyatakan : 1. Bahwa Negeri Ngajogjakarto Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2. Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngajogjakarto Hadiningrat, oleh karana itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngajogjakarto Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngajogjokarto Hadiningrat dengan Pemerintahan Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggunga jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Ngajogjakarto Hadiningrat mengindahkan Amanat Kami ini.
Ngajogjakarto Hadiningrat, 28 Puasa, Ehe, 1876 (5 Septenber 1945)
Hamengku Buwono IX
117 Tim Penyususn., op.cit,1977,halm.34
112 Lampiran 2 AMANAT PAKU ALAM VIII118
AMANAT SRI PADUKA KANJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM
Kami Paku Alam VIII, Kepala Negeri Paku Alam, Negeri Ngajogjakarto Hadiningrat, menyatakan :
1. Bahwa Negeri Paku Alaman yang bersifat kerajaan adalah daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2. Bahwa Kami sebagai Kepala Daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Paku Alam, oleh karana itu berhubung dengan keadaan pada dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Paku Alaman mulai saat ini berada di tangan Kami dan kekuasaan- kekuasaan lainnya Kami pegang seluruhnya. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Paku Alaman dengan Pemerintahan Pusat Negara Republik Indonesia bersifat langsung dan kami bertanggunga jawab atas Negeri Kami langsung kepada Presiden Republik Indonesia.
Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dalam Negeri Paku Alaman mengindahkan Amanat Kami ini.
Paku Alam, 28 Puasa, Ehe, 1876 (5 Septenber 1945)
Paku Alam VIII
118 Ibid.,halm.35
113 Lampiran 3 AMANAT 6 SEPTEMBER 1945 :119
Amanat Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan
Kami Hamengku Buwono IX, Sultan Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat menetapkan: 1. Bahwa Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat yang bersifat kerajaan adalah daerah Istimewa dari Negara Republik Indonesia. 2. Bahwa kami sebagai kepala daerah memegang segala kekuasaan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, dan oleh karena itu berhubung dengan keadaan dewasa ini segala urusan pemerintahan dalam Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat mulai saat ini berada di tangan kami dan kekuasaan-kekuasaan lainnya kami pegang seluruhnya. 3. Bahwa perhubungan antara Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat dengan pemerintahan pusat Negara Republik Indonesia, bersifat langsung dan kami bertanggungjawab langsung kepada presiden republik Indonesia.
Negeri Ngayogyakarta Hadiningrat, 5 September 1945
Hamengku Buwono IX
119 The Liang Gie.,op.cit,halm 72
114 Lampiran 4 AMANAT 30 OKTOBER 1945 : 120
AMANAT SRI PADUKA INGKANG SINUHUN KANJENG SULTAN HAMENGKU BUWONO IV DAN SRI PADUKA KANJENG GUSTI PANGERAN ADIPATI ARIO PAKU ALAM VIII KEPALA DAERAH ISTIMEWA NEGARA REPUBLIK INDONESIA Mengingat : 1. Dasar-dasar yang diletakkan dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia ialah Kedaulatan Rakyat dan keadilan sosial. 2. Amanat kami berdua pada tanggal 28 Puasa, Ehe 1876 atau 5 September 1945. 3. Bahwa kekuasaan-kekuasaan yang dahulu dipegang oleh Pemerintah jajahan (dalam jaman Belanda dijalankan oleh Gubernur dengan kantornya, dalam jaman Jepang oleh Kooti Zimu Kooku Tjokan dengan kantornya) telah direbut oleh rakyat dan diserahkan kembali pada Kami berdua. 4. Bahwa Paduka Tuan Komisaris Tinggi pada tanggal 22 Oktober 1945 di Kepatihan Yogyakarta dihadapan Kami berdua dengan disaksikan oleh pembesar dan para pemimpin telah menyatakan tidak perlu akan adanya Subcommisariaat dalam Daerah kami berdua. 5. Bahwa pada tanggal 29 Oktober 1945 oleh Komite Nasional Daerah Yogyakarta telah dibentuk suatu Badan Pekerja yang dipilih dari antara anggota-anggotanya, atas kehendak rakyat dan panggilan masa, yanmg diserahi untuk menjadi Badan Legeslatif (Badan Pembuat Undang-undang) serta turut menentukan haluan jalannya Pemerintah Daerah dan bertanggung jawab kepada Komite Nasional Daerah Yogyakarta maka kami Sri Paduka Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono IX dan Sri Paduka Kanjeng Gusti Pangeran
120 Sujamto.,op.cit.halm.205-206
115 Adipati Ario Paku Alam VII, Kepala Daerah Istimewa Negara Republik Indonesia, semufakat dengan Badan Pekerja Nasional Daerah Yogyakarta dengan ini menyatakan: Supaya jalannya pemerintahan dalam daerah berdua dapat selaras dengan dasar-dasar undang-undang dasar Negra Republik Indonesia, bahwa Badan Pekerja tersebut adalah suaru badan legislatif yang dapat dianggap sebagai wakil rakyat dalam daerah kami berdua untuk membikin undang-undang dan menentukan haluan jalannya pemerintahan dalam daerah kaii berdua yang sesuai dengan kehendak rakyat. Kami memerintahkan supaya segenap penduduk dari segala bangsa dalam Daerah Kami berdua mengindahkan Amanat Kami ini.
Yogyakarta, 24 Dulkaidah, Ehe 1876 (30 Oktober 1945)
Hamengku Buwono IX Paku Alam VIII
116 Lampiran 5
PIAGAM SRI PADUKA SUSUHUNAN PAKUBUWONO XII :121 REPUBLIK INDONESIA Kami, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, menetapkan : Ingkang Sinoehoen Kanjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono, Senopati Ing Ngalogo, Abdoerahman Sajidin panotogomo, Ingkang kaping XII ing Surakarta Hadiningrat. Pada kedoedoekannja Dengan kepertjajaan, bahwa Seri Padoeka Kandjeng Soesoehoenan akan mentjurahkan segala pikiran, tenaga, djiwa akan raga oentoek keselamatan daerah Soerakarta sebagai bagian dari pada Repoeblik Indonesia. Djakarta, 19 Agoestoes 1945 Presiden Repoeblik Indonesia: ttd.
(Ir. Soekarno)
121 Sri Juari Santoso.,op.cit.halm.31
117 Lampiran 6
PEMBAGIAN DAERAH OTONOMI UU 1948/22122
DAERAH OTONOM
DAERAH ISTIMEWA PROPINSI SETINGKAT PROPINSI
KOTA DAERAH ISTIMEWA KABUPATEN BESAR SETINGKAT KOTA KABUPATEN KABUPATEN BESAR
DESA DESA DESA DESA DESA
KOTA KOTA KOTA KECIL KECIL KECIL KOTA KOTA KECIL KECIL
DAERAH ISTIMEWA SETINGKAT DESA
122 The Liang Gie.,op.cit,halm 111
118 Lampiran 7 UNDANG-UNDANG POKOK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA123
Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta adalah pemerintahan yang tidak mudah disesuaikan dengan corak pemerintahan pada waktu sekarang, untuk menyesuaikan itu sudah berulang-ulang kali Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Yogyakarta mengadakan sidang untuk membicarakan Rencana Undang-undang Pokok Daerah Istimewa Yogyakarta tapi juga belum selesai. Berhubung makin mendesaknya soal-soal yang timbul dikalangan Rakyat dan semakin mendesaknya kepentingan yang berhubungan dengan Pemilihan DPR, maka badan pekerja Komite Nasional Indonesia telah mengadakan sidangnya dari tanggal 11-13 Januari 1946. Keputusannya antara lain: 1. Membicarakan Rencana Undang-Undang Pokok Daerah Istimewa Yogyakarta telah selesai dalam Undang-Undang pokok itu dibagi atas 10 Bab yaitu: a. Kedudukan Darah Istimewa Yogyakarta b. Kekuasaan Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta. c. Kedudukan Kedua Sri Paduka. d. DPR DIY (Dewan Daerah, Dewan Kota, Dewan Kabupaten, Dewan Kelurahan ) e. Pilihan Anggota Dewan –Dewan. f. Keuangan. g. Dewan Pertimbangan. h. Perubahan Undang-Undang Pokok. i. Atutan Peralihan. j. Aturan Tambahan.
123 Kedaulatan Rakyat tanggal, 19 Januari 1946,halm.2
119 2. Akan diadakan siding anggota KNI seluruhnya (pleno) untuk mengesyahkan Rancangan Undang-Undang Pokok itu. 3. Membentuk suatu badan untuk memperkuat KNI dan Badan Pekerjanya terdiri antara 5 anggota Badan Pekerja supaya dapat mendekati dan melaraskan dengan Badan Perwakilan Rakyat yang sebarnya. 4. Seluruh anggota badan pekerja KNI dibagi menjadi 5 seksi: 1). Seksi pertama mengurus soal Umum. 2). Seksi Kemakmuran. 3). Seksi Sosial. 4). Seksi Praja. 5). Seksi Keamanan.
Pembagian atas 5 seksi itu disesuaikan dengan banyaknya jawatan pemerintahan menurut Rencana dalam Undang-Undang pokok tiap seksi dipimpin oleh seorang ketua, hubungan aantara seksi-seksi itu denganjawatan-jawatan pemerintahan yang sekarang ada (Paniradia) masih akan dibicarakan.
120 Lampiran 8
Maklumat Komisaris Tinggi No.1 tentang berdirinya Dewan Pemerintahan Surakarta124
A). Setelah membaca Maklumat Wakil Presiden Indonesia No.x yang menetapkan KNP, Sebelum Majelis Permusyawaratan rakyat perwakilan rakyat terbentuk, diketahui kekuasaan menetapkan UU dan ikut menentukan GBHN dan berhubung gentingnya keadaan pekerjaan KNP itu dijalankan oleh Dewan pekerjaan dipilih diantara Komite Nasional Pusat dan yang bertanmggung jawab kepada KNP.
B). Mendengar pembicaraan perihal itu dalam rapat KNP daerah Surakarta pada tanggal 24 bulan 10 tahun 1945 yang dilanjutkan pada tanggal 29 bulan 10 tahun 1945.
Mengetahui : Bentuk Dewan Pekerja KND Surakarta dan mendengar pembicaraannya perihal Dewan Pemerintah Republik Indonesia Daerah Surakarta. Mengingat : 1). Bahwa pada akhir-akhir ini Nampak jelas hasrat rakyat daerah Istimewa Republik Indonesia Daerah Surakarta akan terbentuknya kesatuan pemerintahan di seluruh daerah itu dan buat segala bangsa dan; 2). Bahwa Sri Paduka Ingkang Sinuhun dan Sri Paduka Kg. Mangkunegoro Sungguh-sungguh menyetujui hasrat rakyat tersebut.
Menimbang : 1. Bahwa keadaan pemerintahan yang pecah belah itu pada waktu sekarang tidak patut dilangsungkan dan,
124 Kedaulatan Rakyat tanggal, 3 November 1945
121 2. Bahwa hasrat rakyat yang disetujui oleh rajanya itu perlu dipenuhi selekas- lekasnya, semufakat dengan Sri Paduka Ingkang Sinuhun dan Sri Paduka Kg. Mangkunegoro serta Komite Nasional Daerah Surakarta dengan Dewan pekerjanya. Menetapkan buat sementara waktu Fatsal I Dalam daerah pemerintahan Republik Indonesia di dalam dewan pemerintahan yang terdiri atas Komisaris Tinggi sebagai ketua dan anggota-anggota terdiri dari Sri Paduka Ingkang Sinuhun dan seorang yang ditunjuk oleh beliau, Sri Paduka Kg. Mangkunegoro dan seorang yang ditunjuk oleh kalian dan 5 orang wakil rakyat yang ditunjuk oleh Dewan Pekerja Komite Nasional.
122 Lampiran 9
MAKLOEMAT SERI PADOEKA INGKANG SINOEHOEN KANDJENG SOESOEHOENAN 125
Kepada: SELOEROEH PENDOEDOEK NEGERI SOERAKARTA HADININGRAT 1. Kami Pakoeboewono XII, Soesoehoenan Negeri Soerakarta Hadinigrat menjatakan Negeri Soerakarta Hadinigrat, jang bersifat keradjaan adalah daerah istimewa dari Negara Repoeblik Indonesia, dan berdiri dibelakang Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia. 2. Kami menjatakan, bahwa pada dasarnya segala kekuasaan dalam daerah Negeri Soerakarta-Hadiningrat terletak ditangan Soesoehoenan Soerakarta Hadiningrat, dan oleh karena itoe, berhoeboeng dengan keadaan pada dewasa ini, maka kekoeasaan- kekoeasaan jang sampai kini tidak ditangan kami dengan sendirinya kembali ketangan kami. 3. Kami menjatakan, bahwa perhoeboengan antara Negeri Soerakarta Hadiningrat dengan Pemerintah Poesat Negara Repoeblik Indonesia bersifat langsoeng. 4. Kami memerintahkan dan percaja kepada seloeroeh pendoedoek Negari Soerakarta Hadiningrat, mereka akan bersikap sesoeai dengan sabda Kami terseboet di atas. Soerakarta Hadinigrat 1 September 1945 ttd.
PAKOEBOEWONO XII
125 Sri Juari Santosa.,op.cit,halm.10
123