Hari / Tanggal : Senin/ 27 November 2017 Waktu : Pukul 09:00-11:00 Tempat : Departemen Ilmu Sejarah

Hubungan Kerajaan Gowa Dengan Kerajaan Bima

Abad Ke-XVII

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna Mencapai Gelar Sarjana Pada Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin

Oleh

Vivi Rofiah

F811 13 010

DEPARTEMEN ILMU SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2017

i ii

iii

KATA PENGNTAR

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat allah SWT, yang senantiasa melimpahkan rahmat dan karunian-Nya, sehingga atas seizing-nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Hubungan Kerajaan Gowa dengan

Kerajaan Bima abad ke XVII”. Penulisan tesis ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana di Departemen Ilmu Sejarah,

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

Suatu kebahagiaan tersendiri ketika kita mampu menyelesaikan rangkaian penelitian dan penulisan skripsi yang berdjul “Hubungan Kerajaan Gowa dengan

Kerajaan Bima Abad ke-XVII. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak sejak awal perkuliahan hingga menyusun skripsi, sangat sulit bagi saya untuk menyelesaikan skripsi ini. Maka dari itu, penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Dwia Aries Tina Pulubuhu, MA, selaku Rektor Universitas

Hasanuddin beserta stafnya atas bantuan dan pelayanan yang diberikan selama

penulis mengikuti studi.

2. Bapak Prof. selaku dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin,

beserta stafnya, atas bantuan dan pelayanan yang diberikan kepada selama

penulis mengikuti studi.

iv

3. Ibu Dr. Nahdia Nur,M.Hum selaku ketua Departemen Ilmu Sejarah, fakultas

Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin beserta stafnya atas bantuan dan

pelayanan yang diberikan kepada selama penulis mengikuti studi.

4. Bapak Prof.Dr.Abd.Rasyid Asba,M.A selaku pembimbing I dan Ibu

Margriet Moka Lappia,S.S.,M.S selaku pembimbing II, yang memberi

banyak motivasi serta meluangkan waktunya dalam mengarahkan penulis

dengan tulus dan sabar dalam membimbing penulis dari awal hingga akhir.

5. Bapak Dr.Suriadi Mappangara,M.Hum selaku penguji I dan Ibu Dr.Nahdiah Nur, M.Hum selaku penguji II, terimakasih atas masukan dan kritikannya untuk penulis. 6. Segenap Dosen-dosen staf pengajar Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Hasanuddin yang telah memberikan saya ilmu dan

pengalaman yang sangat berarti.

7. Ibunda tercinta Jubaidah (Ina La Fia) dan ayahanda tercinta Muhtar (Ama La

Fia) atas perjuangan, dukungan, kasih sayang dan doa yang tiada henti. Untuk

kalian berdua aku persembahkan semua ini. Aku sangat mencintaimu….

Inaku….Amaku….ummahh

8. Kepada adik-adikku tersayang, Jasman Zailani, kuliah yang rajin dek., Fahri

Ramadhan, jangan bandel., Uswanun Hasanah, adek cantikku. Kalian bertiga

adalah semangat dari segala perjuangan ku, karena kalian adalah Adikku.

9. Kepada Fitria dan Zul Akidah yang telah membantu penulis dalam hal

menemani dan membantu penulis dalam pencarian data.

v

10. Teman seperjuangan, seperlawanan, sahabat dan saudaraku yang tidak pernah

terlupakan Humanis 2013, Masita (Cibong), Sherly Darmawati Ipal (Macell),

Hanriayani (ibu Depu), Rahmatika (Tikbun), Lismawati Mappa, Harni Safitri,

Widayanti (Why-Why), Marlin, Yogi Firman Maulana, Fajar Sidiq Limola,

Muh. Iskandar (jari tengah Arupadatu), Ismail Ismadi, Baso Arifai Syam,

Jamaluddin, Noviandi, Muh. Karim, Fajrul Ikhsan. Trimakasih...trimakasi…

untuk kebersamaan kita semua.

11. Kepada kak Hilda Anjarsari, kak Widya Ningsih, kak Lili, kak Argan, kak

Suraddin. Trimaksi atas bantuan, masukan dan arahan dari kakak-kakak.

12. Untuk kakaks-kakaks dan adiks-adikscu di HUMANIS KMFIB-UH yang

selalu memberi semangat dan dukungan kepada penulis terutama kepada ketua

“Vivi Lovers” Masitacu beserta anggota sekaligus adiks-adiks Andalan gue,

Maman (Tomanurung)dkk, Fitrah (Max Havelaar)dkk, Alam (Batara)dkk,

untuk Haters yang di ketuai oleh Entong/Harianto Bua’ Rindawa dkk. Selamat

datang adiks-adiks “Paramodya 2017”, semoga kalian bisa menjadi keluarga

HUMANIS.

13. Kepada anggota UKM PA EDELWEIS FIB-UH, Nur Haeria (Soper), Kak

Inno, Yoko, Alwi, kak Claren, Afdal, Afika, Aco dkk, Berpetualangan dan

Meneliti dengan kalian sangat berkesan. Tetap Lestari

14. KKN 93 Wajo, Posko Wajo Riaja Boy, Kecamatan Tanasitolo. Madpira (ira),

Arbianus Semba, Irfan, Yusran, kak Resti, Dayat, Ayu. Waktu 2 bulan

sepertinya cukup untuk mengakrabkan kita.

vi

Akhirnya dengan penuh kerendahan hati, penulis memohon kepada Allah SWT agar segala yang telah dilakukan penulis mendapatkan Ridho-Nya. Semoga skripsi ini dapat menjadi sumbangan pengetahuan bagi yang membutuhkan. Demikian yang mampu dilakukan oleh penulis secara maksimal dengan segala keterbatasannya untuk mempersembahkan skripsi ini.

Makassar 28 November 2017

Penulis

vii

ABSTRAK

Vivi Rofiah. Hubungan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bima Abad ke-XVII, dibimbing oleh (Abd.Rasyid Asba dan Margriet Moka Lappia).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan, perkembangan dan dampak dari hubugan kerajaan Gowa dengan kerajaan Bima Abad ke-XVII.

Penelitian ini, mengunakan metode penelitian sejarah yakni heuristik, Kritik, interpetasi dan historiografi.

Hasil penelitian, hubungan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bima memang sudah ada sebelum abad ke XVII, yaitu hubungan perdagangan. Namun pada penelitian kali ini menunjukan bahwa pada abad ke XVII terjadi penyebaraan agama

Islam dengan cara tidak damai. Ekspansi yang dilakukan oleh Gowa terhadap kerajaan

Bima menyebabkan status hubungan antara keduanya menjadi “tuan dan vasal”.

Kemudian status hubungan antara “tuan dan vasal” ini mendapat dampak baru, karena

Sultan Gowa memberikan izin kepada Bima untuk menikahi putri-putri bangsawan Gowa, maka dari itu hubungan menjadi lebih setara yang masih terpelihara hingga saat ini.

Kata kunci: Hubungan, Kerajaan Gowa, Kerajaan Bima, Perdagangan dan Islamisasi.

viii

ABSTRAC Vivi Rofiah. The relationship of Gowa Kingdom with the Kingdom of Bima XVII century, guided by (Abd.Rashid Asba and Margriet Moka Lappia).

This study aims to find and describe, the development and impact of the hubugan kingdom of Gowa with the kingdom of Bima XVII century. This study, using historical research methods of heuristics, Criticism, interpetation and historiography.

Result of research, relationship of kingdom of Gowa with Kingdom of Bima was already exist before century XVII, that is trade relation. However, in this study shows that in the seventeenth century there was an Islamic propagation by non-peaceful means. The expansion undertaken by Gowa against the kingdom of Bima caused the status of the relationship between the two to be "master and vassal". Then the status of the relationship between "master and vassal" got a new impact, because Sultan Gowa gave permission to Sultan Bima to marry Gowa noble daughters, hence the relationship becomes more equal that is still preserved to this day. Keywords: Relationship, Kingdom of Gowa, Kingdom of Bima, Trade and Islamization.

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

HALAMAN PENERIMAAN

KATA PENGANTAR

ABSTRAK

ABSTRAC

DAFTAR ISI

BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ...... 1 1.2 Batasan Masalah...... 3 1.3 Rumusan Masalah ...... 4 1.4 Tujuan Dan Dan Penelitian ...... 4 1.5 Metode Penelitian...... 5 1.6 Tinjauan Pustaka ...... 7 1.7 Sistimatika Kepenulisan ...... 8

BAB II. KERAJAAN GOWA DAN KERAJAAN BIMA DI ABAD KE XVII

2.1 Sejarah Singkat Kerajaan Gowa Dan Kerajaan Bima ...... 12 2.1.1 Sejarah Singkat Awal Mula Kerajaan Gowa ...... 12 2.1.2 Sejarah Gowa Pada Abad Ke 17 ...... 15 2.1.3 Sejarah Singkat Awal Mula Kerajaan Bima ...... 17

x

2.1.4 Kerajaan Bima Abad Ke 17 ...... 19 2.2 Pemerintahan Kerajaan Gowa ...... 19 2.2.1 Sistim Pemerintahan Kerajaan Gowa ...... 20 2.2.2 Sistim Pemerintahan Kerajaan Bima ...... 21 2.3 Perekonomian ...... 23 2.3.1 Kerajaan Gowa ...... 23 2.3.2 Kerajaan Bima ...... 27 2.4 Sosial Budaya ...... 31 2.1.1 Kerajaan Gowa ...... 31 2.1.2 Kerajaan Bima ...... 34

BAB III. PENYEBARAN AGAMA ISLMA DAN RELASI KERAJAAN GOWA DNGAN KERAJAAN BIMA ABAD XVII

3.1 Islamisasi Kerajaan Gowa Dengan Kerajaan Bima Abad Ke XVII ...... 36 3.1.1 Pra Islam ...... 36 3.1.2 Islamisasi Kerajaan Gowa ...... 42 3.1.3 Islamisasi Kerajaan Bima ...... 46 3.2 Ekspansi Kerajaan Gowa Terhadap Kerajaan Bima ...... 48 3.2.1 Ekspansi Pertama ...... 52 3.2.2 Ekspansi Kedua ...... 56 3.2.3 Ekspansi Ketiga ...... 58 3.3 Perkembangan Kerajaan Gowa Dengan Kerajaan Bima ...... 61

BAB IV DAMPAK HUBUNGAN KERAJAAN GOWA DENGAN KERAJAAN BIMA 4.1 Perkawinan Raja-Raja Bima Dengan Putri Bangsawan Gowa ...... 63 4.2 Peran Kerajaan Bima Terhadap Kerajaan Perang Makassar 1666 ...... 65 4.3 Pra Perang Makassar ...... 69 4.4 Perang Makassar ...... 73

xi

4.5 Perjanjian Bongaya ...... 77 4.6 Situasi Gowa Dengan VOC ...... 83 4.7 Status Kerajaan Bima Setelah Perang Makassar 1666 ...... 86 BAB V Kesimpulan Daftra Pustaka ...... Lampiran ......

xii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Sejarah Gowa-Tallo pada abad ke-17, sebagaimana dikemukakan Anthony

Reid (1999), telah mencapai kemajuan yang sangat gemilang dalam sejarah

Indonesia, khususnya jaringan perdagangan maritim. Aspek kemaritiman dalam

konteks ini sangat penting, tidak hanya lingkup perkembangan sejarah Gowa-Tallo,

tetapi juga pengaruhnya terhadap daerah lain, antara lain Bima, yang berkaitan

dengan perkembangan sosial dan politik pada abad ke-17.1

Kerajaan Bima dibawah pemerintahan Raja Ma Waa Ndapa bersama Bicara La

Mbila disaat yang sama sejak awal abad XVI telah mengorbitkan kerajaan Bima

dari Kerajaan kecil dan miskin, dengan kerja keras dan semangat conquistador

yang ambisius menjadi kerajaan besar. Wilayahnya meliputi kePulauan Solor,

Pulau Flores dan Sumba. Kesejahteraan dan kemakmuran rakyat meningkat pesat

serta keamanan terjamin. Sejak saat itu Bima sudah dapat menyediakan beras

kebutuhan rakyat dan daerah lain. Kerajaan Bima mulai mengorbitkan dirinya

dalam dunia perdagangan berkat kelebihan produksi beras, sehingga

mulai dikenal di Indonesia dengan nama julukan “gudang beras”.

1 Muhammad Saleh Madjid adalah dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negri Makassar “Ekspansi politik Kerajaan Gowa-Tallo terhadap Kerajaan Bima Abad XVII”, hlm., 1

1

Pada tahap permulaan, Bima mengadakan hubungan tradisional dengan

Kerajaan Gowa. Melalui pelabuhan dagang Gowa, pedagang Bima

memperdagangkan beras dan hasil hutan ke Gowa. Jalur perdagangan Bima dan

Gowa mulai ramai dan sejak itu Bima di kenal dan membuka hubungan dengan

daerah lain di Indonesia. Komoditas dagang Bima berupa beras, hasil hutan, kain

tenun yang diperdagangkan diberbagai pelabuhan di Indonesia.

Pada tahun 1545 untuk pertama kalinya orang Eropa berkunjung ke Bima

melalui Gowa. Sebelumnya kerajaan Gowa telah di kunjungi oleh bangsa Protugis

yang berada di Maluku yang dipimpin oleh seorang pendeta dalam misi penyebaran

agam Kristen. Dapatlah di pastikan orang Eropa yang datang ke Bima adalah

bangsa Protugis dengan tujuan yang sama, yakni menyebarkan agama Kristen.

Pada saat yang hampir bersamaan kerajaan Bima dan Kerajaan Gowa belum di

datangi oleh mubaliq Islam. Gowa baru menerima Islam pada tahun 1605 dalam

masa pemerintahan Sultan Alauddin.2

Masuknya agama Islam di Kerajaan Gowa pada abad ke-17 mempengaruhi pula

jalannya ekspansi politiknya ke daerah lain. Dibawah kuasa politik Sultan Alauddin

(Raja Gowa pertama yang memeluk Agama Islam) upaya ekspansi politik berjalan

seirama dengan pengislaman, sebagai mana di tegaskan Leodard Andaya (2004),

terdapat sebuah keyakinan bahwa menyebarkan Islam merupakan kewajiban.

2Abdullah Tajib, “Sejarah Bima Dana Mbojo”, (Bima : Harapan masa PGRI Jakarta, 1991) hlm., 96

2

Menurutnya penaklukan wilayah (daerah lain) dilakukan untuk mewujudkan

komitmen terhadap keyakinan. Dalam kerangka ini Kerajaan Bima termasuk

daerah yang terintegrasi dalam wilayah Ekspansi politik Kerajaan Gowa.3

Pada masa pemerintahan Abdul Khair (Sultan Bima pertama yang memeluk

agama Islam) Bima menjadi bagian dari umat Islam dan sebelum sebuah komunitas

yang jauh lebih luas dari pada jaringan perdagangan. Hubungan kerajaan Bima

dengan Kerajaan Gowa juga dipererat dengan pernikahan antara Sultan pertama

Bima dengan adik ipar Sultan Alauddin (Makassar) yang bernama Daeng Sikontu.

Setelah dikalahkan dua kali oleh armada Makassar, pada tahun 1618 dan

1619,Bima dijadikan “budak” Makassar dengan kewajiban membayar upeti setiap

tahun4. Kemudian Bima resmi diislamkan pada tanggal 7 Februari 16215

Pada tahun 1666 saat Kerajaan Gowa dipimpin oleh Sultan Hasanuddin terjadi

perang yang di kenal “Perang Makassar”. Akibat adudomba dari pihak VOC

terhadap Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone, akhirnya Kerajaan Gowa kalah

perang dan terpaksa menandatangani perjanjian Bongaya yang isi dari pada

perjajian ini sangat merugikan bagi pihak Gowa dan sangat menguntungkan bagi

pihak Belanda. Dalam perjanjian Bongaya terdapat 4 pasal yang menyingung

Kerajaan-kerajaan bawahan (Vasal), termasuk Bima.

3Ibid .,hlm. 1.

4 Jurnal, Noorduyn 1987a: 317,319

5Henri Chambert-Loir, Sitti Maryam, “Bo’ Sangaji Kai catatan kerajaan Bima”,(Jakarta :yayasan Obor Indonesia, 2000)hlm,.2

3

Jadi adapun alasan penulis ingin meneliti Hubungan Kerajaan Gowa dengan

Kerajaan Bima yaitu ingin meneliti dan mendeskripsikan secara mendalam dan secara khusus terkait hubungan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bima dalam periode ini dengan mengharapkan hal baru akan didapat dalam penelitian ini.

Diharapkan kita tidak hanya mengetahui sejarah Kerajaan Gowa dengan Kerajaan

Bima saja melainkan juga hubungan yang pernah mereka lakukan, dalam suatu hubungan yang sangat luas cakupannya. Adapun hal yang menarik dalam penelitian ini adalah apa yang melatar belakangi sehingga terjadi hubungan antara keduanya

? dan bagaimakah reaksi/dampaknya terhadap kerajaan yang dipengaruhi dan yang mempengaruhi.

1.2 Batasan Masalah

Hubungan dalam penelitian ini akan dibagi dalam dua bagaian yaitu bagaimana perkembangan hubungan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bima di abad ke XVII dan apa dampak dari hubungan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bima. Adapun batasan spasialnya ada dua lokasi penelitian yaitu Kerajaan Gowa dan Kerajaan

Bima. Dalam hal ini pembahasan nantinya di abad ke XVII, pemberian batasan waktu dalam pembahasan untuk menghindari pembahasan yang berbeda dari masalah yang sudah dirumuskan.

1.3 Rumusan Masalah

Perkembangan suatu daerah atau kerajaan tentu saja diletakkan dalam kerangka hubungan serta proses-proses perkembangannya. Terkhusus Hubungan Kerajaan

Gowa dengan Kerajaan Bima, merupakan pokok permasalahan yang dibahas dan

4 diteliti nantinya. maka sebagai mahasiswa Jurusan Ilmu Sejarah penulis ingin mengkaji mengenai hubungan antara kedua Kerajaan tersebut. Dengan maksud berusaha memaparkan perkembangan hubungan kerajaan Gowa dengan Kerajaan

Bima untuk mengisi bagian yang belum terungkap. Dilihat dari latar belakang dan batasan masalah di atas penulis dapat merumuskan masalah yang akan di bahas dalam skripsi sebagai berikut :

1. Bagaimana awal dan perkembangan hubungan Kerajaan Gowa dengan

Kerajaan Bima di abad ke XVII?

2. Apa dampak dari hubungan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan

Bima

1.4 Tujuan Dan Manfaat Penelitian a. Tujuan penelitian ini adalah:

l. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan perkembangan hubungan Kerajaan

Gowa Dengan Kerajaan Bima !

2. Untuk mengetahui dan mendeskripsikan Dampak yang di timbulkan dari

Hubungan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bima ! b. Manfaat penelitian ini adalah:

1. Agar dapat mengetahui dan mendeskripsikan seberapa dalam hubungan

yang telah dibangun oleh kedau Kerajaan.

5

2. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan

sejarah social maupun politik

3. Sebagai bahan bacaan yang dapat memberikan informasi dan ilmu

pengetahuan yang baru yang bermanfaat dimasa mendatang.

1.5 Metode Penelitian

Penulisan sejarah adalah suatu rekonstruksi yang imajinatif dari masa lampau umat manusia berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh proses kritik, kritis dan kontruktif berdasarkan metode sejarah. Peristiwa masa lampau itu hanyalah satu kali terjadi dan untuk mengingat masa lampau itu. histotiografi, dalam hal ini memegang peranan penting yang sedapat mungkin mendekati penulisan yang objektif dengan menggunakan kriteria-kriteria tertentu.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian sejarah Heuristik deskriptis.

Peter L. Senn mengatakan bahwa “Metode merupakan suatu Prosedur atau cara mengetahui sesuatu yang mempunyai langkah-langkah Sistimatis”6, melalui tahapan-tahapan kerja yang meliputi :Heuristik, Kritik, Interpertasi dan

Historiografi.

Heuristik, adapun usaha penulis lakukan adalah dengan mencari data di Arsip maupun Perpustakaan, di Arsip daerah Selatan adapun hasilnya “lontak bilang namun masih dalam bentuk lontarak atau belum di translate kedalam bahasa

6 Peter L. Senn dalam Muh. Saleh Madjid, Abd. Rahman Hamid. Pengantar Ilmu Sejaraah (Makassar:Rayhan Intermedia 2008), hlm.45

6

Makassar maupun di terjemahkan dalam bahasa Indonesia. Kemudian di

Perpustakaan Balai Kajian Sejarah dan arsip daerah hasilnya Transliterasi dan terjemahan Lontarak Bilang Raja Gowa dan Talok (Naskah Makassar), departemen pendidikan dan kebudayaan proyek penelitian dan pengkajian kebudayaan Sulawesi Selatan .1986-1987 yang sudah dibukukan.,

Zainuddin Tika dkk. (2007).Profil Raja-Raja Gowa. Sunguminasa : Yayasan Butta

Gowa dengan lembaga kajian & penulisan sejarah budaya Sulawesi Selatan.,

Syarifuddin Kulle dkk. (2007). Serta buku Gowa Bergolak Gerakan Rakyat

Menentang Penjajah. . Sunguminasa : Yayasan Butta Gowa dengan lembaga kajian

& penulisan sejarah budaya Sulawesi Selatan.

Di Perpustakaan Pusat Unhas Dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya Unhas saya mendapatkan hanya. Henri Camber-loir. (2004). Kerajaan Bima Dalam

Sasstra dan Sejarah. Jakarta: Kepustakaan Populear Gramedia., dan Tawalinuddin haris. (1997). Kerajaan trdisional di Indonesia: Bima. Jakarta: Departemen pendidikan dan kebudayaan.

Dari Perpustakaan dan Arsip daerah Bima hasilnya adalah Djamaludin Sahidu.

(2008), Kampung orang Bima. : Studio 15., Abdul gani Abdullah. (2004).

Peradilan Agama dalam Pemerintahan Islam di KeSultanan Bima (1947-1957).

Mataram: yayassan lengge., Sitti Maryam R. Salahuddin. (4004). Hukum Adat

Undang-Undang Bandar Bima. Mataram: Lengge., Sitti Maryam R.

Salahuddin.(2004). sejarah pemerintahan adat keSultanan bima (rekonstruksi historis dari naskah-naskah kuno peninggalan keSultanan bima).Mataram:

7

Musium kebudayaan Samparaja., Sitti Maryam R. Salahuddin. (2007). catalog naskah koleksi museum samparaja bima. Bima:Musium samparaja.

Kritik ada dua yaitu Internal dan eksternal terhadap buku atau Arsip yang didapat dan mengenai isi maupu tahun pembahasan dalam buku/Arsip tersebut. interpretasi dan historiografi. Serta mengunakan beberapa konsep dari ilmu social lainnya.

1.6 Tinjauan Pustaka

Sumber primer yaitu sumber yang diperoleh dari arsip yang memiliki

informasi yang relevan dengan penelitian ini seperti: kitab BO kerajaan Bima

(naskah atau catatan Kuno Kerajaan Bima saat memerintah), naskah lama

lainnya masih tersimpan di museum Asi Mbojo dan museum kebudayaan

Samparaja, arsip lepas yang terdapat pada sekretaris majelis adat dana Mbojo,

Lontarak Bilang Kerajaan Gowa (naskah atau catatan Kuno Kerajaan Gowa

saat memerintah).

Sumber Sekunder yaitu sumber yang diperoleh dari buku-buku, makalah,

artikel-artikel ilmiah maupun catatan lepas serta hasil wawancara. Dalam hal

memiliki informasi yang relevan mengenai penelitian ini seperti:

Buku Henri Chambert-Loir Kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah.

Menjelaskan tentang kerajaan Bima, menerangkan asal usul Kerajaan Bima.

Kemudian bagaimana kerajaan Bima bisa dikatakan sebuah kerajaan Bima

8 mengaitkan dengan data yang di dapat sepeti BO buku catatan Kerajaan Bima dan juga Syair Kerajaan Bima pada saat meletusnya Gunung Tambora.

Buku Tawalinuddin Haris Kerajaan trdisional di Indonesia. Buku ini mennjelaskan bagaimana terbentuknya Kerajaan Bima, menjelaskan daerah kekuasaan Kerajaan Bima dan menjelaskan hubungan Kerajaan Bima dengan

Kerajaan lain di Nusantar. Buku ini juga menjelaskan bagaimana hubungan antara kerajaan Bima dengan VOC, politik, perdagangan, social budaya,

Tulisan Muhammad Saleh Madjid dosen sospol UNM Makassar yang berjudul Ekspansi Politik Kerajaan Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima

Abad XVII. Bermula dari upayaa perluasan wilayah kekuasaan, dalam rangkaian kegiatan perdagangan Maritim di kawasan Timur Nusantara. Dalam perkembangannya, upaya itu disertai juga dengan penyebaran agama Syiar

Islam. ekspansi tersebut bertepatan pula dengan terjadinya Konflik Internal dikerajaan Bima. Pada abad ini pula, upaya Progresif VOC semakin Meluas dan meliputi Juga daerah Bima.

Henri dan Mariam Bo Sangaji Kai buku catatan Kerajaan Bima Raja

Kai. Buku ini menjelaskan apa yang terjadi di Kerajaan Bima pada masa pemerintahan Sultan Abdul Khair. Buku ini menjelaskan bagaimana kepercayaan (Agama) baru masuk di Kerajaan Bima. Buku ini merupakan

9 dokumen Arsip sejarah Kerajaan Bima yang terpenting, diantara berbagai jenis

Bo yang lainnya.

1.7 Sistimatika Penulisaan

Bab I Pendahuluan penulis akan membahas terkait Latar Belakang

Penelitian, Batasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat

Penelitian, Metode Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan terakhir sistimatika penulisan.

Bab II Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bima Abad ke XVII, dalam bab ini terdapat sub bab yaitu Sejarah Singkat masing-masing kerajaan, Pemerintahan,

Perekonomian,Sosial dan Budaya.

Bab III Membahas hubungan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bima.

Dalam Bab ini penulis juga memasukan Sub bab didalamnya terdapat :

Islamisasi kerajaan, Ekspansi Kerajaan Gowa ke Kerajaan Bima, perkembangan kedua kerajaan.

Masuknya Agama Islam ke Kerajaan Bima tahun 1620, politik Ranjang dan perang Makassar tahun 1666-1669.

Bab IV Dampak dari hubungan Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bima dalam bab ini juga dibuatkan sub Bab yang di dalamnya terdapat: Dampak dari perkawinan Raja Bima dengan putrid Bangsawan Gowa, masa sebelum perang

Makassar, pada saat Perang Makassar kemudian perjanjian Bongaya.

10

Bab V Kesimpulan

11

BAB II

KERAJAAN GOWA DAN KERAJAAN BIMA DI ABAD KE XVII

2.1. Sejarah Singkat Kerajaan Gowa

Lahirnya penyebutan Gowa sebagai nama kerajaan, tidak terlepas dari sejarah pengangkatanya Tumanurung menjadi raja Gowa pertama. Diriwayatkan bahwa pada masa sebelum hadirnya Tumanurung di Butta Gowa, ketika itu Gowa masih berbentuk kerajaan-kerajaan kecil yang mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan

(bondgenoot), atau pemerintah gabungan (Federasi) di bawah pengawasan Paccallaya

(ketua dewan Hakim Pemisah).1

Terdapat sembilan negeri (Bori atau Bate) sebagai negeri yang membentuk

Butta Gowa. Mula-mula kesembilan Bate itu memiliki kemerdekaan dan otonominya masing-masing. Untuk memelihara persaudaraan di antara mereka, maka ditunjuklah seorang yang bijaksana dari kalangan mereka sebagai pendamai bila terjadi sengketa.

Pejabat itu disebut Paccallaya .

Kedudukan Paccallaya sebagai hakim arbitrase di kalangan mereka, yang ditaati keputusannya dan selalu didasarkan pada hasil kesepakatan dalam musyawarah, yang dituntun oleh semangat sipakatau (kesamaan dan saling menghargai). Persatuan- persaudaraan yang demikian itu akhirnya dirasakan “terlalu longgar” dan “rapuh”,

1 Syahrul Yasin Limpo, “Profil Sejarah Budaya dan Pariwisata Gowa”, (Makassar : Pemerintah Daerah TK. II Gowa Kerja Sama Dengan Yayasan Eksponen, 1966), hlm., 19

12 sehingga timbul gagasan untuk membentuk negeri besar, yang disebut Butta atau

Negara. 2

Rupanya federasi negeri-negeri selalu dironrong perselisihan di antara mereka sendiri dan tidak dapat diselesaikan oleh pejabat Paccallaya. Oleh karena itu mereka memikirkan suatu cara baru untuk menyatukan mereka dalam suatu wadah yang lebih baik dengan seorang pemimpin yang lebih berwibawa yang dapat dihargai oleh kalangan mereka sendiri. Dalam rangka mencari figur pemimpin yang berwibawa, disaat itulah muncul putri cantik di Takabassia, Tamalate yang disebut sebagai

Tumanurung yang selanjutnya disepakati oleh Kasuwiang Salapang untuk dinobatkan sebagai pemimpin (raja) mereka. Tokoh Tumanurung dikenal dalam legenda orang

Bugis-Makassar, sebagai orang yang turun dari kayangan dan melakukan perintah di atas dunia ini. Menurut perkiraan para ahli lontara di Sulawesi Selatan, Tumanurung di

Gowa itu terjadi dalam permulaan abad ke XIV atau kira-kira tahun 1300.3

Sebagaimana digambarkan dalam uraian asal usul nama Gowa di atas, maka tonggak peristiwa sejarah yang menandai terbentuknya kerajaan Gowa secara resmi adalah dimulai ketika kehadiran Tumanurung di Takakbassia Tamalate, berdasarkan perjanjian pemerintahan antara Tumanurung dengan Sembilan Kasuwiang, yang

2 A. Rasyid Asba, “Kerajaan Nepo Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistim Politik Tradisional Bugis Di Kabupaten Barru”, (Yogyakarta : Ombak, 2010), hlm., 16

3 Laporan Penelitian, Kerajaan Gowa Pascaperjanjian Bungaya, Syahrir Kila, “Kerajaan Gowa tahun 1669-1799”, (Makassar : Kementrerian Kebudayaan Dana Pariwisata deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar, 2004), hlm.,14- 15

13 terjadi sekitar tahun 1300. Sesuai kesepakatan antara Tumanurung dan Sembilan

Kasuwiang itu, dinyatakan berdirinya sebuah kerajaan berdasarkan kesediaan sembilan

Kasuwiang menyerahkan daerahnya masing-masing dan tunduk dibawah pemerintahan Tumanurunga sebagai “Somba ri Gowa” (Raja Gowa), yang sekaligus merupakan symbol persatuan seluruh orang Makassar pada masa itu.4

Seorang yang disebut tu Manurung tidak ada hubungan kekerabatanya dengan kesembilan ketua kaum itu, juga tidak diketahui siapa kedua orang tuanya, dan darimana asal-usulnya. Ia datang dengan cara istimewa untuk dijadikan symbol atau lambang persatuan, dari Sembilan negri dan menyebutnya Butta Gowa.

Tu Manurung di Gowa adalah seorang perempuan. Suaminya adalah orang terkemuka dari tanah Luwu yang bernama Karaeng Bayo. Ia ditemani oleh

Lakipadadang dari Tana Toraja. Hubungan itu dimaksudkan untuk mendapat makna, legitimasi dan pengakuan dari negeri (yang dipanda) tertua di Sulawesi Selatan.

Dengan To Manurung itu, para Gallaraang, kepalanya kaum yang empunya negeri, mengadakan “perjanjian Ullu-Kana” yang kini menjadi pedoman dasar penataan Butta

Gowa.

To Manurung dijadikan Tu Nisomba (pujaan) dan ditetapkan dengan segala kemuliaan dalam istana yang dibuat oleh rakyat baginya. Kepadanya dan keluarganya dijamin keperluan hidupnya. Tetapi kepadanya tidak diberikan “kekuasaan pemerintahan” atas negeri-negeri asal Buta Gowa. Kesembilan Negeri itu tetap dalam

4 Syahrul Yasin Limpo, Ibid, hlm., 23

14 kekuasaan masing-masing Gallarang yang secara bersama disebut Bate Salapang.5

Tidak diketahui secara pasti tentang lamanya Tumanurunga berkuasa. Lontara

Makassar menyebutkan bahwa ia digantikan oleh Putranya yang bernama

Tomassalangga Barayang. Tidak banyak yang bisa diungkapkan tentang periode

Tumanaurunga. Sumber-sumber lokalpun tidak banyak memberikan keterangan tentang periode ini.6

Kerajaan Gowa atau kadang di sebut kerajaan Makassar adalah salah satu kerajaan terbesar yang ada di Sulawesi selatan. Keberhasilan kerajaan Gowa memperoleh hegemoni kekuasaan di tanah Makassar dan berhasil memaksakan beberapa Kerajaan Bugis untuk mengakuinya, telah memberi peluang dan potensi yang cukup baik bagi kerajaan Gowa untuk mempertahankan dan mengembangkan kerajaannya dan memperluas pengaruh kekuasaannya.7

Pada tahun 1600-an Belanda mulai berusaha mengadakan hubungan dagang dengan Gowa, dan baru berhasil pada tahun 1601.8 Pada tahun 1601, Belanda mengadakan kontrak untuk pertamakalinya dengan raja Gowa, I Mangarangi Daeng

5 A. Rasyid Asba, “Kerajaan Nepo Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistim Politik Tradisional Bugis Di Kabupaten Barru”, (Yogyakarta : Ombak, 2010), hlm.,17

6 Ahmad M. Sewang, “Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII)”, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm., 21

7 Laporan Penelitian sejarah dan nilai tradisional Makassar, “kerajaan Gowa pascaperjanjian Bungaya”, (Makassar: kementrian kebudayaan dan pengembangan kebudayaan balai kajian sejarah dan nilai tradisional Makassar, 2004)., hlm, 1

8 Syahrul Yasin Limpo, dkk, hlm., 29

15

Manrabia. Pada tahun 1603 para pedagang Belanda di Banda menyurat kepada raja, agar diperkenankan mendirikan kantor dagang di bandar kerajaan Gowa. Permintaan itu dipenuhi oleh beliau dengan syarat bahwa mereka datang hanya semata-mata untuk berdagang. Pemimpin kantor dagang Belanda yang pertama di Makassar adalah Claes

Luersen yang bertugas selama empat tahun lamanya.9 Selanjutnya pada tahun 1607

Laksamana Belanda Cornelis Matelieff yang baru saja merebut Malaka dari Protugis, mengirim utusanya Abraham Matysz untuk mempererat hubungan dagang, sekaligus mengajak Gowa bekerja sama menaklukkan Banda dengan perjanjian bahwa Belanda yang nanti akan memonopoli rempah-rempah negeri Gowa, Namun ajakan ini di tolak oleh raja Gowa. Akibatnnya hubungan kedua belah pihak berkembang menjadi permusuhan, terutama Belanda, dengan berbagai cara bermaksud memancing perselisihan terbuka.10

Puncak kejayaan Kerajaan Gowa berada dibawah kekuasaan Raja Gowa ke-16,

Sultan Hasanuddin (1653-1669). Beliau telah menjalankan politik non kompromis dengan Belanda (VOC). Sikap dan tindakan-tindakan Raja Gowa ini sangat menjengkelkan bagi pihak pemerintah Belanda di Batavia, akibatnya terjadi persaingan

Politik antara kerajaan Gowa dengan Belanda (VOC) untuk memperebutkan kawasan- kawasan perdagangan yang strategis di Indonesia Bagian Timur.11

9 Ahmad M. Sewang., Ibid.,hlm, 62

10 Syahrul Yasin Limpo, dkk, hlm., 29-30

11 Syahrir kila, Ibid, hlm., 2

16

2.2 Sejarah Singkat Kerajaan Bima

Kerajaan Bima dalam bahasa daerahnya adalah Dana Mbojo, merupakan salah satu kerajaan Swapraja selama lima atau enam abad sebelum lahirnya republik

Indonesia.12 Kerajaan Bima merupakan salah satu diantara enam Kerajaan yang pernah ada di Pulau diantaranya yaitu kerajaan , Kerajaan Sanggar, Kerajaan

Tambora, Kerajaan Pekat, Kerajaan Sumbawa dan Kerajaan Bima. Sejak kapan dan dimana Kerajaan Bima didirikan dan oleh siapa ? Belum ada sumber yang jelas dan pasti. Namun dalam kitab Nagara Kartagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca tahun

1365 M, disebutkan bahwa , Dompo, Sape, Sanghyang Api, Bhima, Sheram atau Seran, Hutan Kadali termasuk dalam wilayah kekuasaan Kerajaan .

Meskipun ahli-ahli Arkeologi dan sejarah berpendapat bahwa nama-nama tersebut berlokasi di Sumbawa ataukah sebagai tempat singgahan (pelabuhan) para pelaut yang kemudian ditaklukan oleh Kerajaan Majapahit, Namun yang jelas Dompo (sekarang

Dompu), Seram (sekarang Seran), dan Hutan Kedai (sekarang Utan) lokasinya agak jauh dari pantai sehingga tidak mungkin disingahi para pelaut.13

Wilayah kerajaan Bima dibagian timur Pulau Sumbawa, disebelah Utara berbatasan dengan laut Jawa, sebelah Timur dengan Selat Sape, sebelah Selatan dengan

Laut Hindia, dan di sebelah Selatan berbatasan dengan kerajaan Dompu. Wilayah

12 Henri Camber-Loir, “kerajaan Bima dalam Sastra dan Sejarah”, (Jakarta : kepustakaan popular Gramedia, 2004) hlm., 19.

13 Tawalinuddin Haris, “Kerajaan Tradisional di Indonesia : Bima”, (Jakarta, : rajagrafindo persada, 2005) hlm., 6

17 kerajaan Bima di Pulau Sumbawa dibagi kedalam tiga distrik : Belo, Bolo dan Sape, masing-masing diperintah oleh Galarang rendahan dan kepala kampong. 14 Menurut sejarah batas Kerajaan Bima disebelah Timur termasuk sebelah barat Pulau Flores yang dikenal dengan nama Manggarai dan termasuk semua Pulau-Pulau yang ada di selat

Sape. Itulah sebabnya dalam perjanjian dengan kompeni atau pemerintah hindia

Belanda dahulu dinyatakan bahawa batas Kerajaan Bima disebelah timur berbatasan dengan keresiden Timor yang terletak di Pulau Flores.15

Pernyataan di atas dipertegas juga oleh I Ketut Ardhana (2005)Setelah perjanjian dengan Belanda pada tahun 1660, manggarai berada dibawah pemerintahan Bima dan harus membayar upeti kepada Sultan Bima dalam bentuk budak, kayu manis, kuda, ayam dan anjing.16 Demikian daerah Bima yang terdapat di Flores terdiri dari dua daerah yang dibagi dalam 13 distrik dimana distrik-distrik yang lebih luas dibagi menjadi 13 Onderdistrik sehingga seluruhnya berumlah 481 Kampung.17

Awal abad ke 17 M, merupakan saat yang amat penting bagi perkembangan sejarah Bima. Pada awal abad ke 17 M, terjadi peristiwa yang sangat mempengaruhi

14 Tawalinuddin, ibid, hlm.,7

15 Abdullah Tajib, “Sejarah Bima Dana Mbojo”, (Raba-Bima : PT. Harapan Masa PGRI Jakarta, 1995)hlm., 10

16 I ketut Ardhana,”penataan Nusa Tenggarapada Masa Kolonial1915-1950”, (Jakarta : PT. Rajagrafindo persada 2005)hlm., 55

17 Tawalinudin, ibid, hlm., 11

18 perjalanan Kerajaan Bima.18 Peristiwa itu terjadi karena seorang tokoh yang bernama

Salisi (mantau Asi Peka), putra raja Mawa’a Ndapa. Menurut adat ia belum berhak untuk menjadi raja karena masih ada putra-putra raja yang lain yang lebih berhak mewarisi tahta kerajaan. Oleh karena ia berambisi menjadi raja, ia membunuh raja

Samara dan Sarise bahkan putra mahkotapun ia bunuh di padang rumput perburuan

Wera. Maka dari itu mereka yang terbunuh di gelar “Ma Mbora Di Mpori Wera”. Salisi belum puas karena di istana masih ada Jena Teke (La Kai/ Abdul khair) rencana liciknya tidak berhasil karena dia ada di pihak yang benar. Abdul Khair berhasil membawa Bima ke babak yang baru yaitu masa KeSultanan. 19

2.3 Sistim Pemerintahan Kerajaan Gowa

Butta Gowa pada bentuk kenegaraannya mula mula bersifat konfederasi, tetapi lambat laun menjadi federasi dari kesembilan negeri asal (Batte Salapang). Karena sifatnya yang demikian itu, maka pimpinan Butta Gowa menjadi lebih dinamis dalam kegiatannya memperluas wilayah keluar daerahnya.

Negeri-negeri yang ditaklukan atau yang menggabungkan diri secara suka rela di jadikan negeri-negeri yang dilindungi (Proktektorat), negeri negeri otonomi (Palili’) atau negeri Passiajingeng (negeri yang terbentuk karena kekerabatan). Kepada negeri- negeri itu di berikan pimpinan dari keturunan To Manurung yang disebut Ana’-

18 Hilir Ismail, “Peranan Kesultanan Bima dalam Perjalanan Sejarah Nusantara”, ( Mataram : Lengge, 1988) hlm., 37

19 Hilir, hlm., 31

19

Karaeng ri Gowa. Mereka itu disebut juga Batte Ana’ Karaaeng.20suatu kerajaan pasti memiliki sistim pemerintahan yang digunakan dalam perjalanan kerajaannya dan dapat dipastikan pula sistim pemerintahan yang digunakan pasti berbeda dengan yang lainnya.

Raja Gowa yang pertama “ Tumanurunga” tidak sepihak, dengan “Paccallaya bersama dengan Kasuwiyang Salapanga” dilain pihak, dibuat “Ikrar”. Dari ikrar itu jelas, bahwa pada mulanya bentuk pemerintahan di Gowa, dibawah Pimpinan

Tumanurunga adalah mengandung unsur-unsur Demokratis. Akan tetapi unsur-unsur

Demokrasi itu menjadi kabur adanya. Karna yang nampak ialah unsure-unsur “absolute monaracie” (kerajaan Mutlak). Raja seolah-olah menguasai hidup dan mati serta hak milik Rakyatnya. Kehendak raja adalah Undang-undang, raja adalah Pemerintah dan pemerintah adalah Raja.

Ada lembaga perwakilan yang disebut “Kasuwiyang-Salapang” yang kemudian lazim disebut “Bate-Salapang”, akan tetapi lembaga itu tidak berarti lebih dari sebuah lembaga yang biasa disebut oleh orang Belanda “raad van negen kiesheren” (majelis dari Sembilan orang pejabat yang memilih raja), karena itu tidak mempunyai wewenang didalam pemerintahan, tidak mempunyai wewenang dalam menjalankan pemerintahan diseluruh kerajaan, pun tidak merupakan badan penasehat.

Suatu pejabat yang dianggap tertinggi di Gowa sesudah raja Gowa, ialah disebut,

“Pabbicara Butta” (juru bicara negeri), jabatan ini dapat disamakan dengan

20 Rasid asba, ibid, hlm., 17-18

20

“Mangkubumi”. Pada mulanya jabatan Pabbicara Butta di gowa diadakan karena raja yang diangkat belum dewasa (belum aqil baliq), akan tetapi kemudian banyak sekali jabatan itu selaku tanda penghargaan dihadiahkan kepada orang-orang bangsawan tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa, juga walaupun raja sudah lama dewasa.21

2.4 Sistim Pemerintahan Kerajaan Bima

Bima mempunyai sejarah panjang dan menduduki posisi penting dalam hubungannya dengan perkembangan sejarah Nasional. Bentuk pemerintahan Kerajaan

Bima pada awal Abad 17 berupa Sara-sara yang dipimpin oleh ruma Bicara, sara Tua yang dipimpin oleh Sultan, dan sara hokum yang dipimpin oleh Qodi.22

Pemerintahn Kerajaan Bima terdiri atas seorang Raja yang bergelar Sultan yang dalam bahasa daerah disebut Ruma Sangaji Mbojo. Sultan Bima dalam mengendalikan pemerintahan dibantu oleh Dewan kerajaan yang di sebut Dewan Hadat. Keberadaan raja tau Sultan dan dewan hadat tersebut merupakan hal yang umum dalam struktur pemerintahan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan, meskipun dengan penyebutan yang berbeda sesuai dengan tradisi masing-masing di kerajaan Gowa, dewan Kerajaan semacam itu dikenal dengan Batte Sallapang, sedangkan di kerajaan Bone dikenal dengan Arung Pitue. Dewan Hadat Bima dipimpin oleh seorang pejabat yang disebut raja Bicara atau Ruma Bicara, Dalam sumber VOC jabatan ini sering disebut Raja

21 Abd. Rajak daeng Patunru, “Sejarah Gowa”, (Ujung Pandang : Yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan di Makassar, 1993), hlm., 127-129

22 Miftahuddin, “kesultanan Bima pada masa pemerintahan sultan Muhammad Salahuddin (1917-1951)”, (Skripsi : Unhas, 2012), hlm., 7-8

21

Tureli Manggap,o sedangkan pada masa kejayaan Islam di Bima disebut Sebagai Wazir al Muazam. Raja Bicara dilantik oleh Sultan dan dalam prakteknya jabatan ini sering kali dipegang oleh keluarga terdekat Sultan secara turun temurun, bahkan oleh saudara

Sultan yang sedang memerintah. Dalam sistim pemerintahan di Sulawesi Selatan khususnya dikerajaan Gowa jabatan serupa dikenal dengan dengan nama Tomabicara, sedangkat di Kerajaan Bone disebutTo’ Marilaleng. Mereka adalah Ketua Dewan hadat dan merupakan kerabat terdekat dari raja. Pejabat ini merupakan saluran penyampaian kehendak raja kepada rakyat, dalam penyelengaraan pemerintah berfungsi sebagai pimpinan dewan pemerintah atau sebagai perdana mentri.

Sultan dalam pandangan masyarakat Bima dianggap sebagai Wakil Tuhan.

Anggapan itu mengandung makna bahwa menaati perintah raja atau Sultan merupakan suatu kewajiban, sedangkan menentang terhadap perintahnya berarti menentang perintah tuhan. Walaupun Sultan dinyatakan sebagai penguasa tertinggi kerajaan, pada hakekatnya kekuasaan Sultan masih dibatasi dan dikendalikan oleh ketentuan- ketentuan Hadat; Sejak pelantikan Raja/Sultan dihormati dan dimuliakan sebagai pemegang Ngusi kuasa biasa ro guna, ia memberikan keputusan perang, hukuman mati dan menata hubungan dengan kerajaan luar. Namun Sultan tidak dapat mengunakan kekuasaan tersebut sebelum dipertimbangkan oleh majelis Hadat. Dengan demikian dewan hadat pada dasarnya adalah lembaga legislatif atau lembaga penasehat Sultan dalam berbagai hal yang berkaita dengan kenegaraan, baik politik, ekonomi maupun sosial budaya.

22

Sultan diwajibkan tinggal di istana (Asi Mbojo) karena istana merupakan pusat pengendalian kekuasaan, agama dan kebudayaan termasuk didalamnya kesenian. Di istana itu pula Majelis Hadat mengadakan Musyawarah. Sultan bersama keluarga terdekatnya yang tinggal di istana terikat oleh ketentuan-ketentuan adat yang ketat.

Segala urusan protokoler dipimpin oleh dua orang pejabat yang disebut Rato Parenta dan wakinya Rato Ncandi untuk urusan pelayanan umum diatur oleh Bumi Preka, Bumi

Daka-Tau dan Bumi Roka. Bumi Preka, adalah petugas yang membuat dan merawat pakaian Sultan. Bumi Daka-Tau bertugas mempersiapkan makanan Sultan, termasuk menjamu para tamu, sedangkan Bumi Roka adalah petugas yang membersihkan berbagai macam senjata milik Sultan seperti tombak, pedang dan sejumlah keris

Kerajaan.23

2.5 Perekonomian Kerajaan Gowa

Sebagai kerajaan Maritim, Gowa memelihara hubungan politik, ekonomi, dan kebudayaan dengan kerajaan lokal yang ada di Nusantara, terutama dikawasan timur

Nusantara. Hubungan dengan negeri-negeri yang meliputi wilayah yang luas itu berdasarkan pada paerjanjian pemberian status otonomi atau palili, dengan menerapkan prinsip Sipakatau dalam hubungan Siri’ dan Pacce diantara semua. 24

23 Tawalinuddin Haris, Ibid, hlm., 70-71 24 A. Rasyid Asba, “Kerajaan Nepo Sebuah Kearifan Lokal Dalam Sistim Politik Tradisional Bugis Di Kabupaten Barru”, (Yogyakarta : Ombak, 2010), hlm., 16-18

23

Kerajaan Gowa mengalami kemajuan di bidang ekonomi dan politik pada masa pemerintahan Raja Gowa IX Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Bergelar

“Tumapa’risi Kallonna”. Kemudian di pindahkanlah ibu kota dan istana kerajaan Gowa dari Tamalate ke Somba Opu. Disana beliau membangun Dermaga yang menjadikan

Gowa sebagai kerajaan Maritim terkenal diwilayah Nusantara, bahkan sampai diluar negeri. Selain itu, Karaeng Tumapa’risi Kallonna tersebut yang merintis pembangunan

Somba Opu sebagai bandar transito yang ramai dikunjungi pedagang-pedagang asing.

Dimasa pemerintahan Karaeng Tumapa’risi Kallonna inilah kerajaan Gowa mulai dikenal sebagai bandar niaga yang ramai dikunjungi dan disingahi oleh kapal-kapal yang membongkar muat rempah-rempah. Setelah jatuhnya Malaka ditangan Protugis pada tahun 1511. banyak pedagang dari negeri lain berdatangan di Makassar, termasuk orang Melayu pada tahun 1512. Juga orang Protugis sebagai orang Eropa yang pertama datang ke Makasar (Gowa-Tallo) menjalin hubungan persahabatan dan perdagangan pada tahun 1538. Orang-orang Protugis inilah yang banyak mendapati kapal-kapal

Makassar berkeliaran di sekeliling perairan Nusantara, bahkan sampai ke India,, Siam

(Muangthai) dan Filipina selatan.

Untuk memperkuat pertahanan dan kedudukan istana di Somba Opu, Karaeng

Tumapa’risi Kallonna memerintahkan untuk membangun sebuah Benteng dari tembok tanah yang mengelilingi istana pada tahun 1525. Benteng tersebut dikenal sekarang dengan nama benteng Somba Opu. Kemudian Putra kandung karaeng Tumapa’risi

Kallonna yaitu raja Gowa ke X Tunipallangga merenovasi benteng tersebut dengan

24 tembok bata serta membangun benteng pertahanan lainnya, antara lain ; Benteng Tallo,

Ujung tanah, Ujung Pandang, Mariso Pannakukang, Garassi, Galesong, Barombong,

Anak Gowa dan Kale Gowa. Setelah Kareng Tumapa’risi Kallonna wafat, yang mengantikannya yaitu I Manriogau Daeng Bonto Karaeng Lakiung Tunipalangga ulaweng (1546-1565) sebagai raja Gowa X, dan melanjutkan cita-cita ayahnya. beliau berhasil memperluas wilayah Kerajaan Gowa.25 Dalam waktu yang tidak lama, maka baginda telah berhasil menaklukan banyak negri di Sulawesi Selatan, bahkan sampai

Wero (Hore), Bira, Selayar, Otteng, Wajo, Sawitto, Soppeng, Alitta, beberapa daerah dalam negri Mandar, Kaili dan Toli-toli di Sulawei Tengah.26

Kemudian kerajaan Gowa pada zaman pemerintahan I Mangngarangi Daeng

Manrabbia raja Gowa ke-14 (1593-1639) terjadi berbagai perubahan-perubahan besar yang mengarah kepada perkembangan yang lebih maju dari masa-masa sebelumnya khususnya di bidang perdagangan semakin meningkatnya pedagang-pedagang luar yang datang ke wilayah Gowa. Itulah sebabnya sehingga bandar niaga kerajaan Gowa berangsur-angsur tambah ramai dan sekaligus melibatkan kerajaan ini dalam satu kesibukan ekonomi, sesuai dengan perananya selaku pelabuhan trasito yang besar dikawasan Nusantar bagian timur. Bandar niaganya didatangi oleh pedagang-pedagang

Melayu, Jawa Maluku, India, Arab, China, Protugis dll termasuk Belanda yang

25 Syahrul Yasin Limpo, dkk, “Profil Sejarah Budaya Dan PariwisataGowa”, (Gowa : Pemerintah Daerah TK.II Gowa Kerjasama dengan Yayasan Eksponen, 1966), hlm., 25-27

26 Abdu Rajak Daeng Patunru, Ibid, hlm., 12

25 mengirimkan Delegasinya untuk maksud yang sama pada pahun 1603. Ekspansi perluasan wilayah yang berjalan dengan pesatnya pada periode ini menyebabkan daerah kekuasaan kerajaan Gowa hampir meliputi seluruh kawasan-kawasan penting dan jalur perekonommian Indonesia bagian Timur.27

Makassar dengan pelabuhanya yang baik sangat menarik sebagai stasiun dalam pelayaran antara Malaka dan Maluku. Perkembangan pelabuhan Makassar diiringi dengan semakin ramainya barang-barang yang masuk yang dibawa oleh para pedagang, seperti Sutera dan Porselin dari Cina dan bahan-bahan pakaian dari Protugis.

Biasanya penjualan barang-barang tersebut dilakukan dengan sistim barter dengan produk yang dihasilkan oleh Makassar, seperti Beras, Emas, dan Budak.28

2.6 Perekonomian Kerajaan Bima

Pada masa pemerintahan Raja Ma Waa Longge, Bima mengadakan hubungan dengan Gowa, Bima mulai mengunakan pencetakan sawah. Pada abad XVI Bima menjadi salah satu daerah gudang beras di Indonesia. Beras memegang peran penting dalam bater, yang mengantarkan ke dalam jalur peta perdagangan Indonesia. Sejak itu pula Bima mulai di sebut-sebut dalam jurnal pelayaran orang Protugis, dan orang

27 Laporan Penelitian, Kerajaan Gowa Pascaperjanjian Bungaya, Syahrir Kila, “Kerajaan Gowa tahun 1669-1799”, (Makassar : Kementrerian Kebudayaan Dana Pariwisata deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar, 2004), hlm.,27-28

28 Ahmad M. Sewang, Ibid, hlm., 53

26

Belanda serta pedagang Jawa. Dari sini diperoleh keterangan serba sedikit ttentang

Bima.29

Mata pencaharian sebagian besar orang Bima adalah di bidang pertanian, Padi,

Jagung, Kacang Hijau, Bawang dan Kemiri merupakan tanama yang paling banyak di produksi oleh orang Bima. Beras dan Jagung paling banyak diproduksi karena untuk diekspor keluar daerah. Aspek pertanian orang Bima didukung oleh peternakan yang mempunyai makna penting. Kuda Bima adalah salah satu jenis Kuda yang baik di

Indonesia. Meskipun tubuhnya kecil, kuda Bima dapat memikul beban yang berat dan kuat. Daya dukung ekonomi Bima selain yang disebutkan diatas, berasal dari Hutan juga. Seluruh dataran tinggi dan gunung ditutupi tanaman yang lebat, terutama pohon asam dan Jati, selain itu masih ada kayu-sapan, pohon jarak dan Bingkuru, demikian juga kenari merupakan pohon yang banyak dijumpai di Bima. Begitu banyak dan hasil kayu sapan, akhirnya mendorong Speelman mengadakan kotrak dengan Sultan Bima pada tahun 1669 dan kemudian pada tahun 1765 dimana dinyatakan bahwa hanya VOC yang boleh membeli Komoditi tersebut.30

Potensi alam berkaitan dengan perkembangan aktifitas pelabuhan. Hasil alam bernilai ekonomi yang diangkut keluar melalui pelabuhan. Di Pulau ini terdapat potensi alam yang berpengaruh langsung terhadap aktifitas pelabuhan. Produk yang dimaksud

29 Abdul Tajib, ibid, hlm., 31 30 Tawalinudin Haris, Ibid, hlm., 15

27 adalah komoditi dagang yang lakukan diluar Pulau. Pertumbuhan ekonomi di Bima diikuti oleh pertumbuhan perdagangan, yang terkait langsung dengan pertumbuhan pelayaran. Komoditi itu meliputi produk dari sector perdagangan, pertanian, peterbakan, perikanan yang dihasilkan oleh daerah-daerah sekitarnya. Namun perlu dikemuakan bahwa peran penduduk juga sangat penting dalam menunjang aktivitas pelabuhan.31

Pembangunan di sektor pertanian yang berhasil diawali dalam masa pemerintahan

Manggampo Donggo raja Bima ke-IX abad ke-17 menjadikan Kerajaan Bima sebagai gudang beras dikawasan Selatan. Beras yang berperan sebagi mata rantai penghubung antara sumber rempah-rempah di Maluku dengan pasaran internasional di Malaka menjadikan kedudukan bandar-bandar jawa amat penting.

Perdagangan rempah-renpah yang semakin ramai dan menguntungkan itu mengharuskan persediaan beras yang lebih banyak. Produksi beras Jawa sendiri belum cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar, oleh karena itu kekurangannya harus dicarikan di daerah lain. Kerajaan Bima sebagai daerah produsen beras dikawasan selatan mulai mendapatkan perhatian. Mengingat letak geografis yang sangat strategis yang terletak pada titik antara jawa-Maluku, karenanya kedudukan dan peran Kerajaan

Bima menjadi semakin penting lagi.32

31 Taufiqurrahman, ibid, hlm., 59-60 32 Abdullah Tajib, ibid, hlm., 103

28

Bima sebagai kerajaan atau Bandar dalam lintas pelayaran dan perdagangan dari

Malaka ke Maluku atau sebaliknya menjadi penting artinya sebagai tempat aktivitas perdagangan. Sebagai Bandar, Bima terletak pada sebuah teluk (teluk Bima) yang terlindung oleh perbukitan disekitarnya. Oleh karena itu kapal-kapal singgah atau lepas sauh aman dari hempasan gelombang, baik pada waktu angin Muson bertiup dari arah

Barat (barat laut) maupun dari Timur (tenggara). Namun selain posisi geografis dan geografisnya, Bima juga berkembang sebagai kota bandar atau pusat kerajaan dan didukung pula oleh sumber daya yang dimilikinya maupun sumberdaya dari daerah sekitarnya. Di Bima tersedia air cukup bersih, bahan makanan, daging dan ikan yang dapat diperoleh dengan murah sebagai bekal untuk melanjutkan pelayaran. Sebagi tempat aktivitas perdagagan, Bima dan daerah sekiarnyaa menghasilkan produk atau komoditi tertentu seperti : kain kasar, Budak, Kuda, kayu dye (kayu celup) dan hasil bumi lainya seperti kacang-kacangan dan beras (padi). Menurut Tome Pires, (seorang penembara dari protugis dan membut catatan perjalanan) pedagang-pedagang yang dari

Jawa dan Malaka yang pergi kebanda dan Maluku singgah di Bima untuk menjual barang-barang yang dibawanya dari Jawa dan membeli kain kasar untuk di jual di

Maluku dan Banda; demikian juga kuda dan budak di bawa dan di jual ke Jawa. Budak selain dari Sumbawa di datangkan juga dari Manggarai (Flores Barat) dan Pulau Solor yang pada waktu itu (abad 17-18) menjadi wilayah kekuasaan Bima.33

33 Tawalinudin Haris, Ibid, hlm., 49-50

29

Pelabuhan Bima terkenal sejak abad ke 17 sebagai pelabuhan yang sering di singgahi oleh para pedagang dari Melayu dan pedagang dari kawasan Indonesi timur untuk melakukan transaksi dagang sebelum melanjutkan perjalannya. Dengan demikian, pelabuhan yang awalnya hanya berlabuh perahu tradisional saja, namun dalam perjalanan banyak mengalami perkembanggan baik secara fisik maupun administrasi. Pelabuhan bima sebagai pelabuhan utama di pelabuhan Pulau Sumbawa jauh sebelum masuknya bangsa colonial. Pelabuhan Bima sangat penting bagi kedudukan kerajaan yang pada abad 17 memang sangat penting dalam perkembangan kerajaan, pelabuhan pada abad 17 sebagai tempat persinggahan perahu-perahu atau kapal-kapal yang akan melakukan kegiatan bongkar muatan barang dan penumpang.34

Kapal-kapal yang datang ke Bima maupun yang berangka dari Bima selalu mengikuti angin Muson. Pada saat angin muson Barat (barat laut) di pelabuhan Bima berdatangan kapal-kapal dari arah barat seperti; Sumbawa, , , Jawa dan

Malaka sedangkan dari Bima berangkat kapal-kapal yang berlayar kearah Timur dan

Utara seperti ke Selayar, Sulawesi, Flores, Solor, Buton, Ambon Banda dan Maluku.

Sebaliknya pada saat angin Muson Timur (tenggara) berdatangan kapal-kapal dari

Timur dan Utara dan berangkat kapal-kapal yang menuju kearah Barat.35

2.7 Sosial dan Budaya Kerajaan Gowa

34 Taufiqurrahman, “sejarah pelabuhan Bima”, (unhas, skipsi: 2010), hlm., 33 35 Tawalinudin Haris, Ibid, hlm., 50

30

Lapisan masyarakat atau stratifikasi social dianggap penting dalam mencari latar belakang, pandangan hidup, watak atau sifat-sifat yang mendasar dari suatu masyarakat, termasuk sturuktur politik. Lapisan masyarakat Makassar telah diteliti oleh seorang Antropolog Belanda yang bernama H.J. Friedericy. Dalam penelitiannya itu, dia mengunakan sumber-sumber lokal, seperti Sure Galigo.

Menurut Fridericy, pada dasarnya masyarakat Sulawesi Selatan, baik masyarakat Bugis, Mandar, Tana Toraja maupun Makassar, mempunyai persamaan dalam pelapisan social, yaitu terdiri dari tiga golongan, sebagaimana diuraikan sebagai berikut;

a. Anak Karaeng Ri Gowa (Vorstentelgen Van Gowa=anak raja-raja Gowa)

1. Anak Tikno(anak bangsawan Murni) garis keturunan ini adalah hasil

perkawinan antara anak Tikno. Kemudian didalamnya ada yang di sebut;

Anak Pattola (anak/putra Mahkota) dan Anak manrapik (anak/ putra raja

lainya yang sederajat)

2. Anak sipue (anak bangsawan setengah murni)

3. Anak Cerak (anak bangsawan darah campuran

4. Anak karaeng sala (anak karaeng salah/Rendahan)

Ada juga yang disebut Anak karaeng Maraengannya (anak/bangsawan luar

Gowa)

b. Maradeka (de vrijen/orang merdeka)

Golongan Maradeka ini dapat dibagi 2 yaitu;

31

1. Tobajik (orang baik-baik)

2. Tosamarak (orang kebanyakan)

c. Ata (hamba sahaya)

Golongan terakhir ini dapat dibagi tiga bagian yaitu;

1. Ata sossorang (sahaya warisan)

2. Ata nibuang (sahaya yang dibuang/diusir dari lingkungan keluarganya)

3. Tomanginrang (yang tidak bisa membayar utang. Sahaya ini juga disebut

tomangempoang atau hamba yang digadaikan.36

Pembagian masyarakat Bugis dan Makassar dalam kasta-kasta atau

Golongan-Golngan adalah suatu factor penting yang menguasai atau mempengaruhi kehidupan social, ekonomis, dan religious dari masyarakat bugis dan masyarakat di

Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Didalam buku yang disebut “La Towa” (kumpulan dari sabda-sabda dan patuah-patuah dari raja-raja dan orang-orang cerdik dan pandai terdahulu) dikatakan. bahwa memelihara dan mempertahankan kasta-kasta adalah salah satu syarat untuk menjadikan sebuah negeri sampai menjadi besar. Dikatakan selanjutnya, bahwa kemakmuran sebuah negeri adalah tergantunga dari empat perkara, yang mana sesudah agama islam masuk didaerah ini ditambahkan dengan apa yang dikatakan “ sara”

Kelima perkara itu ialah :

36 Ahmad m. Sewang, “islamisasi kerajaan Gowa (abad XVI sampai abad XVII)”, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm., 29-31

32

a. Ade (kebiasaan)

b. Rapang (undang-undang)

c. Bicara (peradilan)

d. Wari (pembagian dalam kasta-kasta)

e. Sara (undang-undang islam)37

Setelah kerajaan Gowa dikalahkan oleh Kompeni Belanda pada tahun 1667/1669 maka kasta-kasta di Gowa khususnya dan Sulawesi Selatan dan Tenggara pada umumnya mulai juga mengalami perubahan- perubahan menuju kearah perbaikan social dan ekonomi rakyat jelata. Belanda mulai mengambil tindakan-tindakan kearah penghapusan “Slavernij” (perbudakan).38

2.8 Sosial dan Budaya Kerajaan Bima

Menurut Zollinger (seorang ilmuan yang pernah datang dan meneliti di Bima), orang Bima berasal dari suku melayu, sama dengan keturunan orang sunda. Namun berbeda dengan orang sunda, warna kulit orang Bima agak gelap (hitam), bagian bahwah muka agak menonjol, postur tubuhnya agak kecil, leher agak besar, dada lebar dan ukuran badan bagian atas sedikit lebih panjang dibandingkan dengan bagian bawahnya. Zollinger menambahkan bahwa itu merupakan karakteristik atau ciri khas dari penduduk yang mendiami Pulau-Pulau di bagian Timur. Ia tidak begitu yakin akan adanya persamaan antara suku Makassar dengan orang Bima sebagaimana sering

37Abd. Rajak Daeng Patunru, Ibid, hlm., 133 38 opcit, hlm., 135

33 dikemukakan oleh penulis lainnya. Alasan yang dikemukakannya ialah ; Pertama, rumah orang Makassar didirikan diatas tiang-tiang yang tinggi (rumah kolong), sedangkan rumah orang Bima tiangnya hanya beberapa kaki dari permukaan tanah;

Kedua, Bima memiliki tulisan (huruf) tersendiri dan mempunyai lembaga pemerintahan yang berbeda dengan Makassar. Yang ketiga, menurut Braam Moris.

Bahwa karakter orang-orang Bima jauh berbeda dengan orang Makassar, Nafsu untuk berkuasa orang-orang Makassar tidak pernah terlihat pada orang-orang Bima, sebaliknya orang Bima menonjol dengan sifat-sifat kesabaran kepatuhan.39

Suatu ciri yang paling menonjol dalam masyarakat Bima ialah pengelompokannya yang tegas dan beraneka ragam. Pertama; adalah pengelompokan secara vertical dari atas ke bawah.; penduduk, dikelompokan menjadi 3 kelas, yaitu kelas bangsawan (de adel), kelas menengah (midden-stand) dan pandelingen yang termasuk kelas pertama ialah Sultan, Pangeran dan Keluarga Sultan serta sejumlah besar pembesar-pembesar petinggi keSultanan yang di bagi dalam 2 tingkat keningratan yakni Ruma dan Rato. Kelas kedua terdiri dari kepala rendahan, para ulama dan penduduk kapung yang merdeka ;mereka ini mayoritas rakyat. Yang ketiga, adalah orang-orang yang tergadai (pandelingen), Pada mulanya mereka adalah orang- orang yang pernah melakukan kejahatan atau pelanggaran hukum yang dikenakan denda tapi mereka tidak sanggup membayar denda itu sehingga mereka harus bekerja sebagai budak. Kedua; adalah pengelompokan mendatar (Horisontal) yaitu

39 Tawalinudin Haris, Ibid, hlm., 16

34 pengelompokan rakyat merdeka (kelas menengah) dalam sejumlah Dari yang merupakan jenis kelompok keahlian (gilden). Tiap ketentuan Dari ditentukan oleh jenis kewajiban terhadap Sultan, sehingga dengan adanya tugas serta kewajiban tersebut mereka berhak untuk menikmati hasil panen dari tanah adat (ornamentsvelden). Diluar tugas khusus “dari-dari” itu sebagai warga masyarakat mereka juga mempunyai tugas kemasyarakatan yang lain yang bersifat umum yang di sebut Rawi Rasa (Gotong

Royong) yang sekaligus merupakan prinsip yang mendasari hidup kemasyarakatan

Suku Bima.40

40 Opcit, hlm., 19-20

35

BAB III

PENYEBARAN AGAMA ISLAM DAN RELASI KERAJAAN GOWA

DENGAN KERAJAAN BIMA DI ABAD XVII

3.1 Islamisasi Kerajaan Gowa dan Kerajaan Bima Abad ke-XVII

3.1.1 Pra Islam

Berdasarkan data etnografi diduga masyarakat Bima sebelum Islam seperti halnya orang-orang Donggo yakni penduduk asli daerah Bima yang sekarang bermukim di pegunungan Lambitu dan Soromandi. Mereka memuja pada sejumlah benda yang dianggap mengandung kekuatan gaib, mahluk-mahluk supernatural seperti hantu (Henca) dan roh-roh nenek moyang (parafu-pamboro). Menurut Zollinger yang dikutip dalam tulisan Tawalinuddin Haris, orang-orang Donggo tidak mengenal dewa dalam pengertian Agama Hindu. Mereka menguburkan mayat di dalam lubang dengan posisi berdiri, disertai pakaian lengkap dan aksesoris seperti cincin, gelang, kalung, dan penutup kepala. Kuburan ini kemudian di tutup dengan batu plat.

Pengaruh Hindu maupun Budha di daerah Bima dan sekitarnya tidak diragukan lagi, sebab hal itu didukung oleh data sejarah maupun bukti-bukti Arkeologi.1 Selain dari naskah-naskah Jawa kuno, keberadaan pengaruh budaya Hindu ditunjang pula oleh

1 Tawalinuddin Haris, “Kerajaan Tradisional di Indonesia : Bima”, (Jakarta, : Rajagrafindo Persada, 2005) hlm., 25-27

36 sejumlah data Arkeologi, baik yang bernafaskan Agama Hindu maupun Budha. Dalam catatan orang-orang asing, terutama orang Belanda disebutkan 4 lokasi sebagai tempat penemuan benda-benda Arkeologi di Bima. Pertama didesa Tato, sekitar 3 pal disebelah timur laut kota Bima. Disini pernah ditemukan “Arca Trimurti

(Mahesamurti)” dan “Arca Syiwamahaka”. Kedua didesa Sila sekitar 6 pal di sebelah

Barat daya kota Bima ditemukan Lingga yang dipergunakan sebagai nisan kubur dalam mesjid. Menurut van Naerssen (yang dikutib dalam bukunya Tawalinuddin Haris) pengunaan lingga sebagai nisan kubur merupakan bukti perpaduan antara sisa pemujaan terhadap roh nenek moyang dengan pemujaan terhadap Syiwa-lingga.2

Ketiga di kampong Padende ditemukan batu tertulis (wadu Tunti) atau batu bersurat dengan tulisan Jawa kuno. Meskipun batu bersurat ini di temukan pada tahun 1910, namun sampai sekarang inskripsinya belum dapat dibaca sehingga isinyaa belum diketahui. Menurut N.Y. Krom secara paleografis inskripsi itu diperkirakan berasal dari sekitar tahun 1350 sampai 1400 AD. Keempat adalah batu pahat (wadu paa). Situs ini terletak di tepian pantai teluk Bima, sekitar satu jam pelayaran dengan motor tempel ke arah utara dari pelabuhan Bima.

Secara administratif batu pahat terdapat di desa Kananta, kecamatan Donggo, yang menarik di tempat ini adalah adanya sejumlah peninggalan purbakala yang

2 Zollinger, “A visit to the montainers, do Dongo in the Country of Bima”, JIAEA, vol. II, no. XI, November 1948: 687-694; Zollinger, verslag van een reis naar Bima en Soembawa een naar eenige Plaatsen op Celebes. Saleier en Flores gedurende de maanden Mei tot Desember; 1847”, VBC XXIII 1850: 121-17

37 berlatar belakang Agama Hindu (Lingga, Arca, Ganesa dan Agastya) kemudian berdampingan dengan peninggalan Agama Budha (Stupa dan Arca Budha). Benda- benda tersebut dipahatkan pada ceruk batu karang dalam bentuk relief tinggi (hout relief). Adanya benda-benda purbakala yang memiliki latar belakang Agama yang berbeda dan ditempatkan dalam satu kesatuan ruang, mengundang pertanyaan apakah hal itu merupakan pengambaran sinkritisme Agama di masa lampau. Untuk menjawab pertanyaan itu diperlukan penelitian yang lebih mendalam, sebab adapula kemungkinan situs batu pahat itu dipergunakan sebagai tempat pemujaan oleh dua penganut Agama (Hindu dan Budha) pada kurun waktu yang berbeda sehinga sinkritisme Agama tidak pernah terjadi.

Pengaruh budaya Hindu dan Budha di Pulau Sumbawa datang (dibawa) dari

Jawa dan Bali, baik melalui jalur politik (dominasi politik) maupun dibawa oleh para brahmana (pendeta). Diperkirakan pada awal perkembangan Budaya Hindu dan Budha di daerah Bima dan sekitarnya sejak pertengahan abad ke-14. Masa ini berakhir atau dianggap berakhir dengan berkembangnya Agama Islam yang dibawa oleh orang- orang Makassar pada awal abad ke-17. 3

Bima terletak di tenggah-tenggah jalur maritim yang melintasi kePulauan

Indonesia, sehingga menjadi tempat persinggahan penting dalam jaringan perdagangan dari Malaka ke Maluku. Sejumlah peninggalan Purbakala dan Prasasti serta beberapa

3 Tawalinuddin, Ibid, hlm., 28-29

38 kutipan dari teks Jawa kuna seperti “Negara kertAgama dan Pararaton menyebutkan bahwa pelabuhan Bima telah disiggahi sekitar abad ke-10. Pada saat orang Protugis mulai menjajahi KePulauan Nusantara, Bima telah menjadi pusat perdagangan yang berarti. Pada dasawarsa kedua abad ke-16, Tome Pires mengambarkan Bima Sebagai berikut: “Pulau Bima adalah Pulau yang dipimpin oleh seorang raja kafir”. Memiliki banyak perahu dan banyak bahan makanan, serta daging, ikan, asam, dan juga hasil hutan kayu sapan yang dibawa ke Malaka untuk dijual. Dan orang pergi ke Malaka untuk membelinya karena murah, kemudian dijual di Cina; kayu sapan itu tipis, dan harganya murah dari kayu sapan Siam yang lebih tebal dan bermutu. Bima juga memiliki banyak budak dan banyak kuda yang dibawanya ke Jawa. Orang yang berlayar ke Banda dan Maluku singgah di Bima dan membeli berbagai jenis kain, yang kemudian dijualnya di Banda dan Maluku di Bima juga terdapat emas.

Jenis perdagangan yang dilakukan oleh orang Bima adalah sistim bater, dikarenakan modal mereka kecil dan awak perahu mereka budak. Maka dari itu mereka memperluas pelayarannya agar lebih beruntung: dari Malaka, mereka membawa barang untuk dijual di Jawa; dari situ mereka mereka membeli barang lain untuk dijual di Bima dan Sumbawa; dan dari sini mereka membeli berbagai kain untuk dijual di

Banda dan Maluku sebagai tambahan barang-barang dari Malaka yang tersisa.

Satu abad selanjutnya, yaitu abad ke-17 orang Belanda pun mencatat perahu- perahu yang tiba di Batavia dan di Ambon, membawa barang dagangan yang diperoleh di Bima, yaitu beras, kayu sapan, bahan lilin atau ampas madu, madu, kayu cendana,

39 asam, belerang, kayu manis, gula jawa serta bubuk. Dari catatan tersebut ternyata Bima berhubungan dengan Ambon, Banjar, Makassar, Banten, Palembang, dan bahkan Cina.

Catatan lain menyebutkan barang dagangan lainnya lagi yaitu: kain tenunan, kuda, kerbau, bawang Bombay, kacang hijau dan biji ganitri.4

Pada tahap permulaan, Bima mengadakan hubungan tradisional dengan Gowa.

Melalui pelabuhan dagang Gowa, pedagang Bima memperdagangkan beras dan hasil hutan. Jalur perdagangan Bima dan Gowa mulai ramai dan sejak itu Bima dikenal dan membuka hubungan dengan daerah lain di Nusantara. Komoditi dagang Bima berupa beras, hasil hutan, kain tenun, dan diperdagangkan di berbagai pelabuhan di Indonesia.

Menelusuri jalur perdagangan di Nusantara bagian Timur pada masa pemerintahan Salisi, orang Eropa berkunjung ke Bima untuk pertama kalinya pada tahun 1545. Orang Eropa yang datang ke Bima itu adalah orang Protugis dengan tujuan untuk penyebaran Agama Kristen. Pada saat yang hampir bersamaan kerajaan Bima dan kerajaan Gowa belum didatangi mubaliq Islam. Gowa baru menerima Agama

Islam pada tahun 1605 pada masa pemerintahan “I Mangngarangingi Daeng Manrabbia

(Sultan Alauddin)”. Maka berkenaan dengan misi bangsa Portugis tersebut tidak ada ditemukan bukti bahwa nenek moyang masyarakat Bima tertarik dengan Agama

4 Henri Chambert-Loir, Sitti Maryam, “Bo’ Sangaji Kai catatan kerajaan Bima”,(Jakarta :yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm,. xiii-xiv

40

Kristen. Orang Bima tetap berpegang teguh dengan kepercayaan nenek moyang yaitu

Makakamba-makakimbi.5

Abad ke XVII Bima telah mencapai tingkat kemakmuran yang tinggi.

Pemerintahan yang teratur dan adil dibawah pemerintahan raja mantau Asi Sawo di samping telah berada dalam jalur perdagangan internsuler juga turut mengambil bagian dalam politik di kawasan bagian Timur Nusantara. Tidaklah mengherankan bila kerajaan Gowa memberi perhatian khusus kepada Kerajaan Bima untuk memperkuat hegemoni dalam perdagangan internasional. Kompeni mulai mengambil bagian dalam perdagangan Indonesia bagian Timur.

Dalam rangka berpacu dalam perdagangan pada tahun 1605 orang Belanda yang bernama Steven der Hagen datang ke Bima dalam upaya merangkul Bima namun upaya ini gagal dilakukan. Kerajaan Bima sebelumnya sudah mepunyai hubungan yang erat dengan Gowa hubungan yang saling menguntungkan, bahkan beberapa tahun kemudian tepatnya, pada tahun 1616 kerajaan Bima resmi berada dalam pengawasan

Gowa. Kerajaan Gowa pada waktu itu sudah menerima Agama Islam, sehingga

5 Makamba-makimbi adalah sebuah kepercayaan leluhur orang Bima kepercayaan ini ada, jauh sebelum masuknya Agama Hindu dan Budha sekitar abad ke 14 dan jauh sebelum Agama Islam masuk pada abad ke 17. Makamba-makimbi (Aninisme dan Dinanisme) yang mempercayai semua benda dan tumbuhan dihinggapi oleh roh suci para leluhur. Adapun upacara ritual penyembahan pada makamba- makimbi dituntun oleh seorang “Sando” yang mempunyai keahlian khusus yang dipercaya bisa berkomunikasi dengan roh leluhur dan memahami dunia gaib. Selain sando yang dapat memimpin ritual tersebut adalah seorang “Ncuhi sebagai ketua keAgamaan sekaligus kepala suku.

41 hubungan yang terjalin bukan hanya hubugan perdagangan saja, melainkan juga dalam bidang pengembangan Agama Islam di kerajaan Bima.6

3.1.2 Islamisasi Kerajaan Gowa

I Mangngarangingi Daeng Manrabbia yang memerintah antara tahun 1593-

1639 merupakan Raja Gowa ke 14. Kerajaan Gowa pada masa pemerintahan raja Gowa ke 14 mengalami kemajuan yang cukup pesat, yang dibantu oleh Mangkubumi

(perdana mentri) yang bernama karaeng Matoaya. Beliau merupakan Raja Tallo ke 6 yang kemudian dikenal dengan nama sebutan Sultan Abdullah Awalul Islam (raja yang pertama masuk Islam). Ia masuk Islam pada tanggal 22 september 1605 yang bertepatan hari Jum’at 9 Jumadil Awal 1014 Hijriah. Setelah beliau wafat di gelari

Tumenanga ri Agamana. Setelah raja Tallo menerima Agama Islam sebagai Agamanya dan mengucapkan dua kalimat syahadat, kemudian menyusul raja Gowa I

Mangngarangingi Daeng Manrabbia menerima Agama Islam sebagai Agamanya.7

Adapun yang mengIslamkan kedua raja dari kedua kerajaan tersebut ialah

Datu’ri Bandang (Abdul Makmur chatib Tungga), seorang ulama yang datang dari

Minangkabau () ke Sulawesi bersama kedua temannya yaitu : Datu Patimang

(Chatib Sulaiman) yang mengIslamkan pula raja Luwu La Patiware’ Daeng Parabung,

6 Abdullah Tajib, “Sejarah Bima Dana Mbojo”, (Bima, Harapan Masa PGRI Jakarta: 1991), hlm, 96-97 7 Laporan Penelitian, Kerajaan Gowa Pascaperjanjian Bungaya, Syahrir Kila, Ibid, hlm.,28

42

Daeng Parabung, dan Datu’ri Tiro (Chatib Bungsu) yang menyebarkan Islam di Tiro dan sekitarnya.8 Setelah raja Gowa dan mangkubuminya menerima Islam sebagai

Agamanya, maka pada tanggal 9 November 1607, dinyatakan sebagai penerima Islam oleh seluruh Rakyat Gowa dan Tallo dan menjadikan Islam sebagai Agama Resmi

Kerajaan.9

Untuk merealisasikan dekrit Sultan Alauddin yang menyatakan bahawa

Kerajaan Gowa sebagai kerajaan Islam dan menjadikan kerajaannya sebagai pusat

Islamisasi di Sulawesi Selatan. maka Sultan Alauddin mengirim utusan ke kerajaan- kerajaan tetangga di Sulawesi Selatan dengan membawa hadiah, untuk diberikan kepada setiap raja yang didatangi utusan. Hadiah itu dimaksudkan sebagai bukti keinginan untuk berdamai. Dakwah Islam pada prinsipnya adalah ajakan secara damai, seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah saw., ketika beliau mengajak raja-raja tetangga dengan membawa surat yang berisi argumen yang melatar belakangi ajakan.

Demikian halnya dalam menyebarkan Islam ke kerajaan-kerajaan tetangga, Sultan

Alauddin memiliki alasan sebagai justifikasi yang bisa diterima oleh raja-raja tetangga.

Alasan beliau berdasarkan pada perjanjian antara kerajaan-kerajaan Sulawesi Selatan yang disepakati sebelumnya. Perjanjian itu berbunyi, “…Bahwa barang siapa yang menemukan jalan yang lebih baik, maka ia akan berjanji akan memberi tahukan

8 Syahrul Yasin Limpo, dkk, “Profil Sejarah Budaya Dan PariwisataGowa”, (Gowa : Pemerintah Daerah TK.II Gowa Kerjasama dengan Yayasan Eksponen, 1966), hlm., 28

9 Laporan Penelitian, Kerajaan Gowa Pascaperjanjian Bungaya, Syahrir Kila, ibid, hlm., 27

43

(tentang jalan yang baik itu) kepada raja-rajaa sekutu...”10 Jadi ajaran Agama Islam dalam seruan-seruan itu diajukan oleh raja Gowa sebagai jalan yang lebih baik yang dimaksudkan dalam perjanjian-perjanjian lama itu, dan raja lain diajak menempuh jalan baru itu. Seruan itu diterima dengan baik oleh beberapa kerajaan kecil, sehingga pengIslaman disana juga terjadi secara damai.

Akan tetapi kerajaan-kerajaan Bugis yang kuat, seperti, Bone, Wajo, Soppeng,

Sidenreng dan lain-lainnnya menolak keras ajakan Gowa tersebut, sehingga Gowa terpaksa mengangkat senjata terhadap mereka. Sebanyak empat kali Gowa mengirim tentaranya ke tanah Bugis . Pertama kali pada tahun 1608 , ketika Gowa dikalahkan oleh kerajaan-kerajaan Bugis yang tergabung. Akan tetapi dalam tahun berikutnya semua kerajaan Bugis itu ditundukkan satu demi satu, lalu menerima Islam, yaitu

Sidenreng dan Soppeng pada tahun 1609, Wajo pada tahun 1610 dan Bone dalam tahun

1611. Di ketahui, bahwa yang pertama memeluk Agama Islam di Wajo ialah raja Wajo

(Arung Matowa Wajo) yang ke XV yang bernama “La Sangkuru Patau” dengan gelar dan nama Islam “Sultan Abdurrahman”, di Soppeng ialah raja Soppeng yang ke XIV

(Datu Soppeng) yang bernama BeowE, sedangkan yang pertama memeluk Agama

Islam di Bone ialah raja Bone yang ke XI yang bernama “La Tenriruwa Matinroe ri

Bantaeng” dengan gelar dan nama Islam “Sultan Adam (peristiwa penyebaran Islam

10 Ahmad M Sewang ibid., hlm, 111-112

44 dengan kekerasan di tanah Bugis tersebut, lazim disebut oleh orang-orang Bugis : musu assellengeng : perang Islam).

Pada hakekatnya raja Gowa sebagai seorang muslim dan memegang prinsip ajaran Islam, bahwa penyebaran Islam harus dilakukan secara damai. Pada awalnya tidak bermaksud untuk memaksa raja-raja Bugis menerima Islam, akan tetapi selain raja-raja itu menolak seruan baginda merekapun mengambil sikap dan tindakan- tindakan yang nyata untuk menentang kekuasaan dan pengaruh Gowa yang sejak dahulu telah tertanam di tanah Bugis.11

Demikianlah kerajaan Gowa setelah menerima Agama Islam semakin menampak puncak kejayaannya. Pada masa pemerintahan Sultan ke-XV Manuntungi daeng matola Karaeng Ujung Karaeng Lakiung Sultan Malikussaid (1639-1653), kekuasaan dan pengaruhnya kian meluas dan diakui sebagai pemegang hegemoni dan supremasi di Sulawesi Selatan, bahkan kawasan Timur Indonesia, juga bertambah maju dan di segani dunia Internasional.12

3.1.3 Islamisasi kerajaan Bima

Dalam “Bo Sangaji Kai” tercantum tahun kedatangan para Mubalig Islam di

Bima yakni pada tahun 1018 H Yang jatuh pada tahun 1609 M. Yang berbunyi

11 Abd. Rajak daeng Patunru, “Sejarah Gowa”, (Ujung Pandang : Yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan di Makassar, 1993), hlm., 19-20

12 Syahrul Yasin Limpo, dkk, Ibid, hlm., 29

45

“Hijratun Nabi SAW seribu sepuluh delapan tahun ketika itulah masuk Islam di Bima oleh Datuk ri Bandang Datuk ri Tiro tatkala zamannya Sultan Abdul Kahir.”

Catatan ini dapat dikatakan sebagai momentum awal masuknya Islam di Bima, bila dihubungkan dengan data sejarah masuknya Islam di Makassar. Hal ini disebabkan sejarah masuknya Islam di tanah Bima tidak bisa dipisahkan dengan sejarah masuknya

Islam di Tanah Makassar, karena pada zaman itu Makassar, mempunyai interaksi dengan wilayah-wilayah kerajaan sekitarnya, termasuk di Pulau Sumbawa.13

Berdasarkan kronik-kronik Gowa, Islam dibawa ke Bima dan sekitarnya dengan kekuatan senjata (ekspansi) sebanyak 3 kali oleh orang-orang Makassar, tidak lama setelah Gowa menjadi muslim dan berhasil mengIslamkan sebagian besar daerah

Sulawesi Selatan antara tahun 1605-1611. Sehubungan dengan peristiwa itu kronik

Bima menyebutkan bahwa Ma Bata Wadu Jena Teke La Kai memeluk Agama Islam, sehingga namanya diganti menjadi Sultan Abdul Kahir I (raja pertama yang memeluk

Agama Islam). Ini tidak sama dengan tokoh atau raja Bima (salisi empuhnya Asi Peka) yang menolak memeluk Agama Islam, yang tidak lain adalah pamanya Sultan Abdul

Kahir. Pamannya yang dikenal sebagai mantau Asi Peka atau raja Salisi berselisih dengan keponakannya Ma Bata Wadu atau Sultan Abdul Kahir yang pada waktu itu telah memeluk Agama Islam. Dengan bantuan pasukan Makassar, raja Salisi atau

13 Dewi, “Sejarah Masuknya Islam di Bima”, (Bima : lengge kerja sama dengan museum samparaja, 2004), hlm., 2

46

Mantau Asi Peka di kerajaan kemudian ditangkap dan kedudukannya digantikan oleh keponakannya Sultan Abdul Kahir I.14

Pelantikan Sultan Abdul Kahir pada tanggal 5 Juli 1621 dan disepakati sebagai

“hari Jadi Bima”,dengan alasan itu akan menentukan perkembangan Dana Mbojo atau

Negeri Bima pada masa selanjutnya Dana Mbojo akan menjadi Negeri Islam. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat akan selalu taat pada hukum Islam dan adat yang

Islami. Kepercayaan Makamba-Makimbi harus ditinggalkan. Adat dan budaya lama yang tidak sesuai dengan hukum Islam tidak boleh dilestarikan. Hari pelantikan Sultan

Abdul Kahir merupakan awal kebangkitan Islami di Dana Mbojo. Setelah raja Bima memeluk Agama Islam gelar “Sangaji” diganti dengan gelar “Sultan” sedangkan para

Ncuhi diganti gelarnya menjadi “Galarang”. Adapun hak-hak raja dan para Ncuhi tetap seperti semula.

Memahami pengalaman pahit (masa perebutan kekuasaan) masa lalu, Sultan berusaha meletakkan dasar yang kokoh bagi tegaknya keSultanan Bima. Langkah awal yang dilakukan ialah menggalang kembali semangat persatuan dan kesatuan bardasarkan semangat ukhuwah Islamiyah di kalangan masyarakat, agar dengan demikian masyarakat tidak mudah diadudomba oleh musuh-musuh Islam, baik dari

14 Tawalinuddin, Ibid, hlm., 39

47 dalam maupun dari luar. Pada saat itu orang-orang Belanda dan Protugis masih terus berusaha menguasai perdagangan di dana mbojo tanah Bima.

Para pejabat harus memiliki akhlak mulia, mereka harus taat pada ajaran

Agama, untuk menjadi suri teladan bagi rakyat. Untuk mengatasi kekurangan tenaga ulama dan juru dakwah, maka setiap anggota majelis hadat diharuskan memiliki ilmu

Agama, agar dapat berperan sebagai juru dakwah di lingkungannya.15

Sultan Abdul Kahir dikenal sebagai peletak dasar Agama Islam dan menjadikan kerajaan Bima sebagai kerajaan yang bercorak Islam. Di dalam sejarah daerah Bima maupun dalam Lontara Gowa dikenal dan sering di sejajarkan dengan Sultan Alauddin dan Sultan Malikul Said dari kerajaan Gowa dan Tallo, baik dalam penyebaran Islam maupun dalam perebutan pengaruh dengan Belanda yang ingin menguasai perdagangan di Indonesia bagian Timur. Kemudian setelah wafat ia digantikan oleh anaknya yang bergelar Sultan Abil Khair Sirajudin, yang memerintah 1640-1682.16

3.2 Ekspansi Kerajaan Gowa Terhadap Kerajaan Bima

Pada bab sebelumnya telah disebutkan bagaimana hubungan kerajaan Gowa dengan Bima termasuk hubungannya dengan VOC yang semakin buruk, yang ditandai dengan terjadinya bentrokan antara awak kapal niaga VOC dengan petugas keamanan

15 A.azhar Tanwir, “kota kuno Bima abad XVII-XX (kajian Arkeologi)”, (skripsi : Unhas 2009), hlm.,36

16 Tawalinuddin haris, ibid, hlm., 40

48 syahbandar pada 10 Desember 1616 yang menyebabkan 16 orang awak kapal “De

Eendracht” tewas. Peristiwa ini dianggap oleh Gubernur jendral VOC, Jan Pieterszoon

Coen, sebagai pengumuman perang kerajaan Gowa terhadap Belanda. Di pihak lain,

Sultan Alauddin mulai meningkatkan kewaspadaan dengan memperkuat beberapa benteng pertahanan, untuk memperkuat pengaruhnya di nusantara, Sultan Alauddin mengirim pasukan Gowa untuk menaklukan daerah-daerah di kawasan Timur.17

Dalam hal ini kerajaan Gowa mengambil langkah-lagkah untuk menghadapi kemungkinan perang hebat dengan Belanda, dengan memperkokoh pengaruh dan kekuasaan keluar Sulawesi Selatan dan sekaligus mengembangkan Agama Islam.18

Dalam Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallo (catatan kerajaan Gowa atau Naskah

Makassar) disebutkan bahwa kerajaan Bima ditaklukan sebanyak 3 kali. Awal abad ke

XVII merupakan momen paling penting dalam perkembangan hubungan antara kerajaan Gowa-Tallo dengan kerajaan Bima. Pada saat itu kerajaan Gowa-Tallo mengambil peran sebagai pusat perdagangan dikawasan Timur Nusantara. Posisi

Makassar dalam hal ini tampil sebagai pelabuhan transito terutama setelah jatuhnya

Malaka ke tangan Protugis tahun 1511.19 Perkembangan Makassar sangat ditentukan

17 Ahmad M. Sewang, “Islamisasi Kerajaan Gowa (Abad XVI sampai Abad XVII)”, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), hlm., 64.

18 Syahrul Yasin Limpo, “Profil Sejarah Budaya dan Pariwisata Gowa”, (Makassar : Pemerintah Daerah TK. II Gowa Kerja Sama Dengan Yayasan Eksponen, 1966), hlm., 31.

19 Edward L. Poelinggomang, “Makassar abad XIX studi tentang kebijakan perdagangan maritime”, (Jakarta: KPG (kepustakaan Populer Gramedia, 2002), hlm., 23.

49 oleh dua factor. Pertama, perdamaian dan keamanan yang ada di Sulawesi Selatan dibawah hegemoni Gowa-Tallo, sehingga memungkinkan aktivitas perdagangan di

Makassar dan sebaliknya, para pedagang internasional tertarik kesana membawa banyak kekayaan. Kedua, kedudukannya sebagai pelabuhan transito sangat tergantung pada aliran rempah-rempah dari Maluku, Seram, Ambon dan produksi beras serta bahan makanan lainnya yang dibutuhkan sebagai bekal dalam pelayaran.20

Peranan Makassar sebagai pusat perdagangan dan Bandar niaga menjadi lebih besar, terutama dalam perdagangan rempah-rempah dan beras. Pelabuhan

Makassar, tidak hanya disinggahi kapal-kapal dan para pedagang dari Nusantara, tetapi juga berasal dari Cina dan Eropa. Sejalan dengan itu, abad ke 17 merupakan saat dimana kerajaan-kerajaan Islam dipesisir utara Pulau Jawa mengalami keruntuhan satu persatu. Keadaan itu merupakan kesempatan dan peluang yang besar bagi Kerajaan Gowa untuk mengembangkan diri menjadi pusat penyiaran

Agama Islam dan pusat perdagangan di kawasan timur Nusantara.

Seiring dengan perkembangan Makassar sebagai pusat perdagangan, maka upaya ekspansipun semakin berkembang dalam rangka perluasan daerah penghasil bahan pangan dalam aktivitas niaga. Setelah berkembang menjadi pusat perdagangan internasional dikawasan timur Nusantara, Makassar tidak dapat memenuhi kebutuhan

20 Sartono Kartodirdjo, “pengantar sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 dari emporium sampai Imperium jilid 1”, (jogyakarta : Ombak, 2014), hlm., 88.

50 beras yang terus meningkat dalam perdagangan. Oleh sebab itu maka kerajaan Gowa mulai mengadakan pengangkutan beras dari Jawa yakni dari Tuban, Jepara dan Gresik untuk memenuhi banyaknya permintaan. Pembelian atau pengangkutan beras dari

Jawa juga belum mencukupi permintaan dan terlebih lagi bergantung pada musim dan pelayaran juga. Oleh sebab itu, Makassar mulai mencari daerah beras yang dekat dan mudah dikuasai yaitu Bima.21

Hal tersebut merupakan salah satu alasan bagi Kerajaan Gowa-Tallo memperluas daerah kekuasaannya menuju ke Selatan yang akan dijadikan sebagai gudang cadangan beras bagi Makassar. Kegiatan penyiaran agam Islam juga dilakukan seiring dengan perluasan daerah kekuasaan kerajaan Gowa-Tallo (dikenal juga dengan sebutan Kerajaan Makassar). Penyiaran Agama Islam tidak hanya dilakukan di wilayah Sulawesi, tetapi kegiatanya juga diarahkan kedaerah yang dikuasainnya, termasuk dalam hal ini kerajaan Bima.22

3.2.1 Ekspansi Pertama

Dalam lontarak Bilang kerajaan Gowa-Tallo di sebutkan bahawa : “Hera 1616,

Abarele. Nantakle ri Bima I Lukmuk ri Mandallek, nanabeta Bima; salapanji

21 Abdullah Tajib, “Sejarah Bima Dana Mbojo”, (Raba-Bima : PT. Harapan Masa PGRI Jakarta, 1995),hlm., 23

22 Muhammad Saleh Majid, “ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima Abad XVII”, (http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/6/universitas%20negeri%20makassar-digilib-unm- muhammadsa-288-1-humanis-8.pdf. Hlm., 3-4

51 batunna”.23yang artinya (pada bulan April 1616. I Lukmuk ri Mandallek dengan sembilan kapal mengalahkan Bima., dalam tahun ini Karaeng Matea ri Bima lahir).24

Penyerbuan pasukan Gowa dalam hal ini dimaksudkan untuk memperkuat kedudukan kerajaan Gowa ke bagian Timur Nusantara karena Gowa mulai mendapat pengaruh dan campur tangan dari pihak VOC. I Lukmuk ri Mandallek sebagai panglima armada perang kerajaan Gowa dengan sembilan kapal perang yang dibawanya menuju pelabuhan Sape.25

Didalam “Bo sangaji Kai”, dicatat pada tahun seribu dua ratus dualapan belas, tahun dalakhir pada sembilan hari di bulan Muharam hari Ahad waktu zuhur, tahun

April 1616 . Di saat bersamaan di ceritakan perebutan takhta kerajaan ini terjadi pada waktu meninggalnya Raja Mantau Asi Sawo26. Untuk sementara waktu Bima dipimpin oleh Tureli27 Donggo agar tidak terjadi kekosongan kekuasaan dan sementara menseleksi raja selanjutnya. Samara, Salisi dan Sawo merupakan ketiga anak dari raja

23 Tim peneliti, Kamaruddin, dkk, “pengkajian (transliterasi dan terjemahan) lontarak bilang raja Gowa dan Tallo (naskah Makassar)”, (Makassar : departemen pendidikan dan kebudayaan proyek penelitian dan pengkajian kebudayaan Sulawesi selatan La galigo, 1985/1986), hlm., 9

24 Tim peneliti, Kamaruddin, dkk, ibid, hlm., 88

25 Darwas Rasyid, “peristiwa tahun-tahun bersejarah daerah Sulawesi Selatan dari abad ke XIV-XIX”, (Ujung Pandang : balai kajian sejarah dan nilai tradisional, 1991), hlm., 43.

26 Mantau Asi Sawo adalah sebuah gelar sekaligus nama dari sangaji atau raja Bima ke 22

27 Tureli adalah gelar, yang bertindak selalu eksekutif

52

Rumata Mawaa Ndapa raja ke 14. Namun dalam hal ini Salisi tidak lolos dalam seleksi untuk menjadi raja. Maka dari itu ia membunuh kedua saudaranya di mpori wera

(rumput wera). tak lama kemudian hilanglah raja/tuan kita yang pertama dan yang ketiga, kemudian berkatalah empuhnya Asi Peka Salisi yang tidak adil kepada sebagian banyak orang Bima, iapun berkata kepada rakyatnya ; “Hai segala kamu orang Bima, adapun tuanmu dua orang ini masih kecil, maka hendaklah kamu sekalian himpunkan diri kamu di Rabawosu”28 setelah itu raja juga mengingatkan kepada rakyatnya

“Hendaklah kalian semua menyembah kepadaku karena Ncuhi29 Dara30 dan Ncuhi

Padolo31 sudah menyembah (mengakuinya sebagai raja) kepadaku.

Rakyat yang tidak mempercayai hal tersebut kemudian pergi menghadap kedua

Ncuhi tersebut bersama sang raja, raja pun langsung menanyakan kepada keduanya

“bagaimana dengan kalian berdua ini ? karena semua orang ini menyembah kepadaku

28 Sebuah daerah yang ada di Bima

29 Ncuhi adalah pemimpin yang memegang teguh musyawah untuk membicarakan permasalahan dan perkembangan wilayah masing-masing . ncuhi sebagai pemimpin kelompok masyarakat juga merupakan “high priet” atau pemuka Agama tertinggi diatas sando (imam dan dukun dalam Agama masyarakat Bima). Seorang ncuhi dippilih dari seorang yang bijak dan berilmu oleh kelompoknya untuk memimpin mereka dalam kehidupan sehari-hari.

30 Ncuhi Dara adalah dewan pemerintah yang memekang kekuasaan tertinggi dalam Federasi Ncuhi. Adapun tugas dan wewenang dari kepala Federasi adalah memegang kekuasaan tertinggi, kepala pemerintahan tertinggi.

31 Ncuhi Padolo adalah Salah satu anggota dalama federasi ncuhi adapun tugas dan wewenangnya sebagai Bumi Luma Bolo ialah kepala wilayah yang terletak disebelah Barat teluk Bima.

53

?” maka jawaban kedua Ncuhi tersebut “ ya tuanku, oleh karena orang banyak telah menyembahmu maka kamipun seperti itu”.

Setelah itu beberapa lamanya maka berkatalah orang dalam negeri/rakyat bahwa mereka ingin mengangkat tuannya yang ada di Mpori Wera. Maka didengar oleh tuan kita yang empuhnya Asi Peka Salisi, kemudian ia perintahkan Bumi Luma untuk melakukan perburuan di mpori wera (padang rumput di Wera salah satu daerah yang ada di Sape) itu. Setelah datang di Mpori Wera maka disuruhlah orang banyak yang ada ditempat itu untuk membakar Padang Rumput /Mpori itu, maka hilanglah

Tuan kita/kedua saudara empuhnya Asi Peka atau raja Salisi pada ketika itu.

Pada saat itu datanglah duli yang dipertuan kita dari Makassar dan membawa

Agama Islam dan bertanya kepada mangkubumi/Bicara Bima “siapa Tuan mu ?”

Bicara Bima32 pun menjawab “ya tuanku, yang akan menjadi tuan kami adalah Jena

Teka .33” Setelahnya didengar oleh tuan kita empuhnya Asi Peka maka ia menugaskan

Bumi Luma Rasana’e34 untuk mufakat dengan Bumi Jara Sangga untuk mencari Jena

Teka la Kai.

32 Bicara Bima adalah perdana Mentri kerajaan Bima yang di setarakan dengan Mangkubumi yang ada di Gowa.

33 Jena Teke adalah Putra mahkota namun dalam hal ini yang di maksud adalah Jena Teke La Kai/ Sultan Abdul Kahir

34 Jabatan setingkat DPR

54

Mendengar tittah empunnya Asi Peka, Bumi35 Pareka36 pun memberi tahu saudaranya yang di Lewi Sape, maka Jena teke pun segera pergi ke negeri Take.

Setibanya Jena Teke la Kai di Take maka raja empunya Lewi Sape membawanya ke

Kalodu37 dan melanjutkan perjalanan di Sari Sape setibanya di Sape ia bertemu dengan orang tua dari Sape kepala raba Parapi, setelah itu ia bersumpahlah Jena Teke La Kai di atas Raba Parapi38. Kemudian dari pada itu berdiri takhta kerajaan yang dipertuan kita Jena Teke La Kai. Jadi pada saat yang bersamaan kerajaan Gowa datang ke Bima untuk melakukan ekspansi dan pada saat itu pula kerajaan Bima sedang kacau

(perebutan tahta kerajaan) yang pada akhirnya seluruh pasukan dari Gowa membantu penangkapan Salisi empuhnya Mantau Asi Peka yang ingin mencelakai Sultan Abdul

Kahir I.39

3.2.2 Ekspansi Kedua

Dalam catatan kerajaan Gowa –Tallo, Lontarak Bilang, disebutkan : “Hera

1618 juni, Dolokaeda, allo jumak. Nanisunnak Tuammenang ri papambatuna.

35 Bumi adalah gelar yang diberikan kepada orang yang bijak dan taat

36 Orang yang mendukung jena teke menjadi raja Bima

37 Nama kampong yang ada di kecamatan Kumbe

38 Raba Parapi adalah sebuah nama tempat persumpahan yang dilakukan oleh sultan Abdul Kahir dengan orang makassar, tempat ini tepatnya berada di desa Parangina yang ada di kecamatan Sape.

39 Henri Chambert-Loir, Sitti Maryam, “Bo’ Sangaji Kai catatan kerajaan Bima”,(Jakarta :yayasan Obor Indonesia, 1999), hlm,. 64-67

55

Namantakleri Bima karaenga Maroanging, nanabeta Bima Sumbawa”.40 (Juni 1618,

Tummenang ri papang batuana disunat. Karaeng Maroanging pergi ke Bima dan menaklukan Bima dan Sumbawa).41 Karaeng Maroangin yang menjabat sebagai tumailalang kerajaan Gowa berangkat ke Bima. Selanjutnya Gowa mengadakan konsolidasi kekuatan, sehingga pada tahun 1618 berhasil menduduki kerajaan Bima.

Kemudian pada tahun 1619 raja Gowa ke XIV menjadikan kerajaan Bima sebagai bagian dari kerajaan Gowa, bersama dengan daerah-daerah lainya yang ada di

Sumbawa seperti Tambora, Dompu dan Sanggar.42

Ekspansi kerajaan Gowa pada tahun 1618 ini (dalam BO disebutkan ekspedisi) bertujuan untuk memperluas wilayah kekuasaannya, sekaligus menyebarluaskan agam

Islam. dengan berhasilnya ekspedisi tersebut, maka kerajaan Bima secara instusi

(politik) menjadi salah satu kerajaan yang bercorak Agama Islam di kePulauan Nusa

Tenggara. Pada tahun 1621, Ma Bata Wadu La Kai bersama para pejabat kerajaan Bima

Memeluk Agama Islam kemudian digelari Sultan Abdul Kahir kemudian diperintahkan

40 Tim peneliti, Kamaruddin, dkk, ibid, hlm., 9

41 Op’cit, hlm., 89

42 Abd. Rajak daeng Patunru, “Sejarah Gowa”, (Ujung Pandang : Yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan di Makassar, 1993), hlm., 17

56 oleh Sultan Gowa, Sultan Alauddin untuk menikahi adik Iparnya yang bernama Daeng

Sikontu.43

Jiwa merdeka, persamaan dan persaudaraan yang dimiliki oleh kerajaan Gowa-

Tallo dijadikan sebagai sendi pengembangan masyarakat dan penyusunan serta pengaturan kehidupan politik, sehingga pada saat penyebaran dan pengembangan

Agama Islam yang dilakukan oleh kerajaan Gowa-Tallo maka pengaruh kekuasa bangsa Protugis mulai melemah dan kemudian pada akhirnya digantikan oleh Belanda, dengan demikian usaha yag diambil oleh kerajaan Gowa-Tallo yaitu penaklukan kerajaan Bima merupakan usaha untuk menghadapi perang hebat dengan VOC, dengan cara memperkokoh pengaruh dan kekuasaan keluar Sulawesi Selatan sekaligus juga untuk mengembangkan dan menyebarluaskan Agama Islam.44

Posisi strategis dan perannya dalam mempertahankan eksistensi politik di tengah ancaman kekuatan lain yang hendak menguasai jaringan dan wilayah perdaganga dikawan timur, menyebabkan kerajaan Gowa-Tallo menata diri dan juga melakukan berbagai upaya untuk meluaskan wilayah kekuasaanya. Ekspansi politik ke daerah seberang, khususnya kerajaan Bima merupakan suatu upaya mempertahankan

43 Henri chambert-loir, dkk, “Bo’ Sangaji Kai catatan Kerajaan Bima”, (Jakarta : kepustakaan popular Gramedia, 2004) hlm., xvii

44 Muhammad Ilham, “Islam dan Perubahan Sosial di Gowa pada abad ke XVII” (studi tentang perkembangan Islam dan pengaruhnya terhadap perubahan social), (Makassar : Tesis Program Pascasarjana Universitas Negri Makassar, 2001), hlm, 42.

57 eksistensinya sebagai kekuatan politik yang banyak menyediakan aktivitas niaga yang pada saat itu tengah diincar oleh kekuatan asing, yakni VOC yang memaksakan diri untuk memonopoli kegiatan niaga dikawasan timur Nusantara.45

3.2.3 Ekspansi Ketiga

Dalam catatan kerajaan Gowa –Tallo, Lontarak Bilang, disebutkan; “Hera

1626, 3 juli, 8 Sawwalak. Nabattu ri Butung Karaenga na sumengka ri Bima; nanabeta

Bima, Dompu, Sambawa, Kingkelu. Tauia maknikkah. Ia anne bedeng taunga nakaanakkang I Tuang Syekh Yusuf”.46 (Juli 1626. Raja Gowa (Alauddin) tiba di Buton lalu mendarat di Bima, kemudian menaklukan Bima, Dompu, Sumbawa, Kingkelu

(tambora). Orang menikah secara muslim Dalam tahun ini konon Syekh Yusuf lahir).47

Bersamaan dengan usaha Belanda untuk menaklukan kerajaan-kerajaan di Nusantara, kerajaan Gowa-Tallo pun berupaya mempertahankan mata rantai kehormatan, kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan di atas perairan Nusantara. Gelombang penolakan dan pertikaian antara kerajaan-kerajaan Islam di kawasan Timur Nusantara

45 Muhammad Saleh Madjid, “Ekspansi Politik Gowa-Tallo Terhadap Kerajaan Bima” ((http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/6/universitas%20negeri%20makassar-digilib-unm-muhammadsa- 288-1-humanis-8.pdf. hlm., 7-8.

46 Tim Peneliti, Kamaruddin, dkk, “Trasliterasi dan terjemahan lontarak bilang raja Gowa dan talok (naskah Makassar)”, (departemen pendidikan dan kebudayaan proyek penelitian dan pengkajian kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo.1985-1986), hlm, 10.

47 Tim peneliti, Kamaruddin, dkk, Ibid, hlm., 90

58 tidak terlepas dari gelombang penolakan yang terjadi pada kerajaan Gowa-Tallo yang merupakan kunci dan pintu perdagangan dikawasan Timur Nusantara.48

Dalam masalah hubungan formal antara Makassar dan berbagai kerajaan di

Pulau Sumbawa setelah yang terakhir Sumbawa dikalahan oleh Makassar dan mereka wajib konversi ke Islam. Ada ruang untuk keraguan bahwa itu adalah Makassar yang memperkenalkan Islam kepada kerajaan Sumbawa, dan bahwa mereka melakukannya dengan kekuatan senjata. Fakta bahwa kerajaan ini tidak menerima Islam atas kehendak/kebebasan mereka sendiri tetapi dengan satu perkecualian telah menawarkan perlawanan bersenjata dan telah dikalahkan, menentukan hubungan mereka berikutnya dengan Makassar, menaklukan Bima. Akibat kekalahan mereka, status kerajaan dengan pengecualian tunggal yang sama juga penduduk secara individual setidaknya sejauh orang biasa yang bersangkutan, sebagai secara (eksplisit) tegas/tersurat dinyatakan dalam hal ini dikurangi dengan budak dari Makassar.

Ini adalah menurut tradisi yang ada di Sulawesi Selatan lama sebelum kedatangan Islam. Hubungan resmi antara berbagai kerajaan Bugis , kerajaan Makassar ditunjukkan dengan istilah awalnya menunjukkan kekerabatan posisi atau status sosial, sedemikian rupa untuk mengekspresikan kesetaraan atau ketidak setaraan dalam beberapa nilai, mulai dari lengkap persamaan subordinasi total, sesuai dengan ukuran relatif dan kekuasaan kerajaan individu. Jadi mereka bisa sama dengan satu sama lain sebagai 'saudara', tapi mereka juga bisa sedikit tidak seimbang seperti 'kakak' dan

48 Edward Poelinggomang L, Ibid, hlm., 42

59

'saudara muda', dan lebih sebagai 'ibu' dan 'anak', atau, akhirnya, menunjukkan tingkat tertinggi ketidak setaraan, mereka bisa menjadi 'Tuhan' dan 'hamba'.

Secara umum, konsekuensi dari hubungan ini adalah bahwa urutan apapun

'Tuhan' harus ditaati dan dilaksanakan oleh 'hamba'. Dalam praktek ini sering terjadi dalam kewajiban untuk memasok pasukan tambahan untuk perang pertahanan atau menyinggung yang dilancarkan oleh 'Tuhan'. Seperti yang dilaporkan dalam Kerajaan

Bima, Dompu dan Sumbawa, sebagai konsekuensi dari status mereka sebagai budak, harus membayar upeti tahunan untuk Makassar, sifat yang tidak ditentukan di sini tapi barang kali terdiri dari produk-produk utama Pulau , seperti kain, kayu manis merah yang disebut kayu Sapan, dan, terutama kuda, yang di Bima dan Sumbawa yang terkenal. Kepentingan khusus kuda, sebagai nyata baik dari keahlian berkuda, kuda berkembang biak di Pulau Sumbawa dan di pergunakan sebagai alat trasportasi dan di jadikan kuda-kuda dalam perang dan berburu di Sulawesi Selatan,yang harus rutin diberikan Selain upeti tahunan.49

4.3 Perkembangan Hubungan Gowa dengan Bima

Hubungan pelayaran dan perdagangan ini selain mendorong munculnya Bima sebagai salah satu Bandar yang terpenting di kawasan Nusantara, juga mendorong munculnya Bima sebagai kerajaan dan pusat penyiaran Islam di kawasan itu. Selain itu

Bima juga menjalin hubungan dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi, terutama

49 Noorduyn, “Makassar and the Islamization of Bima”, (Leiden : Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde 143, 1987), hlm., 319.

60 kerajaan Gowa dan Tallo. Dalam “Bo Sangaji Kai” kerajaan Bima disebutkan bahwa raja Bima Manggampo Donggo belajar cara-cara mengendalikan pemerintahan yang kemudian berkembang menjadi tata hadat yang berlaku di kerajaan Bima, dikemudian hari dari kerajaan Gowa. Sejak itu pula hubungan dengan kerajaan Gowa dan Tallo berlangsung hingga terjalin hubungan keluarga melalui perkawinan.

Didalam “Bo Sangaji Kai” kerajaan Bima disebutkan bahwa pada tahun 1028 hijriah bertepatan dengan tahun 1618 M telah datang dari pelabuhan Sape saudara

Daeng Mangali di Bugis Sape dengan orang-orang Luwu, Tallo dan Bone untuk berdagang. Mereka datang menghadap Ruma Bumi Jara menyampaikan sebuah cilo,

(kain Bugis ” dan sepucuk Surat dari saudara sepupu Ruma Bumi Jara di Bone bernama

Daeng Malaba. Disebutkan juga bahwa isi surat itu selain “memberitakan kerajaan

Gowa, Tallo, Luwu, Bone dan Daeng Malaba sekeluarga telah memeluk Agama Islam, juga meminta agar Bumi Jara masuk Islam” dan mengantar orang-orang yang membawa surat itu untuk menghadap Ruma Bicara. Karena pada waktu itu Ruma

Bicara telah wafat maka orang-orang itu dibawa oleh Bumi Jara kepada adik Ruma

Bicara. Bernama Ratu Woro Bewi dan anak Ruma Bicara yang bernama La Mbila.

Utusan itu mempersembahkan sebuah cilo pigur emas sejari dan sembilah keris buatan

Bontoala dan sepucuk surat dari Datu Luwu, La Patiware daeng parabung atau Sultan

Muhammad dan La Tenri Waru dari Bone, sedangkan dari utusan itu mempersembahkan sehelai kain tenun Mandar.

Adapu isi surat itu mengajak agar Ruma Bicara masuk Islam karena cocok dengan wasiat keturunan mereka yang dulu untuk keselamatan rakyat dan negeri,

61 penulis berita atau catatan harian kerajaan Bima selain memberikan informasi tentang proses masuk dan berkembangnya Agama Islam di Bima, juga didalamnya tersirat hubungan perdagangan antara kerajaan Bima dengan daerah-daerah di Sulawesi. Ada kemungkinan Ruma Bumi Jara adalah pejabat setingkat syahBandar dipelabuhan sape, sehingga sebagai syahBandar selain bertugas mengkoordinasikan kegiatan perdagangan di pelabuhan. Ia juga sebagai mediator (perantara) antara para pedagang dengan penguasa setempat, yang dalam hal ini adalah Ruma Bicara sebagai pemegang kekuasaan yang sesungguhnya dalam struktur pemerintahan kerajaan Bima. Sedangkan persembahan berupa cilo, kain tenun, dapat ditafsirkan sebagai suatu hadiah dari para pedagang kepada penguasa setempat karena telah memberikan izin untuk berdagang di wilayahnya.50

50 Tawalinuddin, Ibid., hlm., 53-54

62

BAB IV

DAMPAK HUBUNGAN KERAJAAN GOWA DENGAN KERAJAAN BIMA

4.1 Perkawinan Raja-Raja Bima Dengan Putri Bangsawan Gowa

Di dalam “Bo Sangaji Kai” disebutkan bahwa Sangaji atau Raja Bima La Kai

Ma Bata Wadu menerima agama Islam pada tahun 1621 yang kemudian berganti nama menjadi Sultan Abdul Kahir. Secara tidak langsung kerajaan Bima disebutkan sebagai daerah “Palili” Gowa yang berstatus “Tuan” dan “Hamba”.1 Di dalam naskah Makassar hubungan kerajaan Gowa dengan kerajaan Bima dicatat sebagai hubungan tuan dan hamba. Hubungan tersebut memperoleh fase baru, tatkala turun perintah pada tahun

1619 dari raja Gowa-Tallo, Sultan Alauddin (Daeng Manrabbia) kepada Sultan Abdul

Kahir (La Kai) untuk menikahi adik ipar Sultan Alauddin yaitu putri dari Daeng Mellu bernama Daeng Sikontu, seorang karaeng dari Kassuarang yang terletak di dekat

Sanrobone. 2

Bima menjadi dunia kebudayaan yang lebih jauh, menjadi bagian dari umat

Islam, yaitu sebuah komunitas yang lebih luas dari pada jaringan perdagangan yang dikenal selama ini. Hubungan Bima dengan Makassar juga dipererat setelah beberapa

1 Chamber Loir, Ibid, hlm, xvii

2 Muhammad Saleh Majid, “ekspansi politik kerajaan Gowa-Tallo terhadap kerajaan Bima Abad XVII”, (http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/6/universitas%20negeri%20makassar-digilib-unm- muhammadsa-288-1-humanis-8.pdf. Hlm., 6

63 tahun dilakukan Islamisasi para raja Bima. Kemudian Sultan pertama sampai Sultan keenam dikabarkan memperistrikan putri-putri bangsawan Gowa.3

Hubungan pemerintahan Makassar dengan kerajaan-kerajaan di Pulau

Sumbawa, terutama dengan kerajaan Bima dan Sumbawa dipererat dengan tali pernikahan antara putri bangsawan Sulawesi dengan elit penguasa setempat. Misalnya seperti yang telah di uraikan di atas kemudian Sultan Bima II, Abil Khair Sirajuddin dengan karaeng Bonto Jene, putri Raja Gowa, Malikussaid pernyataan ini juga dicatat dalam Lontarak Bilang Raja Gowa dan Tallok disebutkan bahwa “pada tanggal 3

September 1646, Raja Bima I Ambela (Abil Khair Sirajuddin, yang sesudahnya meninggal disebut Uma Jati) menikah dengan Karaeng Bontojeknek (putri bangsawan

Gowa, anak kandung Raja Gowa ke 15 Malikussaid, dan soudari kandung Sultan

Hasanuddin raja ke 16 Gowa).”4; selanjutnya Sultan Bima III Nuruddin Ali Syah dengan Daeng Tamemang, putri bangsawan Gowa Karaeng Lengkese dan perkawinan

Sultan Bima IV Jamaluddin Syah dengan Fatima Karaeng Tanata, putri dari bangsawan

Gowa Karaeng Besei.

Dari kerajaan Sumbawa misalnya perkawinaan Mas Pamannya putra raja

Salaparang yang menjadi raja di Sumbawa dengan karaeng Panaikang Daeng Niaq,

3 Chamber Loir, Ibid, hlm, xvi

4 Trasliterasi dan terjemahan lontarak bilang raja gowa dan talok (naskah Makassar), (departemen pendidikan dan kebudayaan proyek penelitian dan pengkajian kebudayaan Sulawesi Selatan La Galigo.1985-1986), ibid, hlm., 108

64 adik tiri raja Tallo, Harun al Rasyid; perkawinan Datu Loka (mas batan) dengan karaeng Tanasanga, saudara perempuan Raja Tallo; Abdul Qadir. Ternyata hubungan perkawinan ini tetap dilanjutkan oleh Sultan-Sultan Bima dan Sumbawa yang memerintah pada periode sesudahnya, sehingga ada kemungkinan bahwa hal itu menjadi alasan mengapa para pemberontak terhadaap kompeni yang berasal dari kaum bangsawan Sulawesi mencari perlindungan di Pulau Sumbawa. Menurut Noorduyn, perkawinan Sultan Bima dengan putri bangsawan (elit) penguasa Makassar adalah perkawinan politik karena melalui perkawinan ini dimasukkan dalam kerajaan Gowa dan mengikat Bima menjadi bagian kerajaan Gowa.

Dengan demikian perkawinan tersebut dimaksudkan untuk memperkuat loyalitas serta kesetiaan elit penguasa kerajaan Bima kepada putri raja-raja Gowa.

Asumsi Noordyun dapat dibenarkan bahwa perkawinan yang dimaksud tentunya adalah perkawina-perkawinan yang berlagsung sebelum Bima dan Makassar jatuh ketangan VOC.5

4.2 Dampak Hubungan Gowa Dengan Bima Pasca Islamisasi

Penyebaran agama Islam di kerajaan Bima, yang dilakukan oleh 2 mubaliq yang berasal dari Minangkabau atas perintah raja Gowa. Dikabarkan sebagai babak baru yang membuka lembaran hubungan kebudayaan Bima dengan Gowa. Melihat dari dekatnya hubungan antara Bima dan Makassar hingga sekarang, dapat dipastikan

5 Tawalinuddin Haris, Ibid, hlm., 55

65 hubungan Makassar dengan Bima terjalin erat hingga banyak mempengaruhi corak kebudayaan dan adat istiadat Bima. Semenjak nuansa Gowa mewarnai keSultanan

Bima, terjadi perbaruan seperti sebutan untuk Ncuhi/kepala kampung menjadi

Galarang, kemudian Sangaji atau Raja disebut Sultan. Demikian pula corak pakaian dan sebagainya banyak meniru adat orang Makassar.6

Teks Melayu yang di transkipsi dalam buku yang berjudul “Bo’ Sangaji Kai” ialah Buku catatan raja-raja Bima. Buku itu merupakan dokumen arsip sejarah kerajaan

Bima yang sangat penting, di antara berbagai jenis Bo’ yang lain. Tradisi penulisan buku jenis ini diwarisi kerajaan Bima dari Sulawesi Selatan. Di daerah Bugis dan

Makassar dulunya dikenal dengan tradisi historiografi yang khas berupa Lontara

Bilang, yakni buku-buku catatan yang sanagat terperinci yang ditulis di dalam Istana

Raja atau di rumah beberapa pembesar.

Pada mulanya Bo’ di tulis dalam bahasa dan aksara Kuno Bima di atas daun

Lontar (ro’o ta’a). Kemudian pada tanggal 15 Muharam 1055 (yaitu 13 Maret 1645).

Pada masa pemerinttahan Sultan Abil Khair Sirajuddin memerintahkan agar Bo’ selanjutnya ditulis diatas kertas dengan memakai bahasa melayu dengan rupa tulisan yang di ridhoi oleh allah Taala.7 Penting atau tidak pentinya suatu kerajaan akan ditulis dalam sejarah, tergantung pada penulis sejarah. Oleh karena itu gambaran masa lalu

6 Djamaluddin Sahidu, “Kampung orang Bima”, (Mataram : Studio 15, 2008), hlm, 36

7 Chamber Loir, Ibid, hlm, xii

66 tidak selalu sama dengan penulisan sejarah.8 Cara berpakaian orang Bima yang terkenal dengan Rimpu, juga menjadi pakaian orang-orang Bugis-Makassar yang bertempat tinggal di Bima hingga sekarang. Pakaian semacam itu pun kita jumpai di daerah Sumbawa, namun sekarang agak kurang dipergunakan.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan kebudayaan-kebudayaan di Bima yang dipengaruhi oleh kebudayaan Makassar. Sumbawa dan Bima mendapat pengaruh agama Islam yang diperolehnya dari penyebaran-penyebaran agama di

Gowa, Makassar dan Minangkabau.9 Keadaan tersebut yang menyebabkan pengaruh- pengaruh daerah tetangga sangat menonjol terutama dalam bentuk rumah panggung yang di sebut “uma panggu” ,kain tenun Bima yang hampir sama coraknya dengan buatannya orang Makassar disebut “Tembe Nggoli” begitu pula dengan pakaian, bahasa dan sifat masyarakat cenderung mendapat pengaruh dari Sulawesi Selatan.

Demikian pula agama Islam yang dianut di Bima lebih berbaur dengan Sulawesi, dibandingkan dengan Lombok yang masih cenderung ke Jawa, dimana praktek-praktek kebatinan masih menonjol.10

Masyarakat Bima yang sekarang kita kenal, merupakan perpaduan dari berbagai suku, etnis dan budaya yang hampir menyebar di seluruh pelosok tanah air.

Akan tetapi pembentukan masyarakat Bima yang lebih dominan adalah berasal dari

8 Abdullah Tajib, “Sejarah Bima dana mbojo”, (Bima : Harapan Masa (PGRI), 1995), hlm, 8 9 Bambang Suwondo, “Adat Istiadat Daerah Nusa Tenggara Barat”, (proyek penelitian dan pencatatan kebudayaan Daerah departemen pendidikan dan kebudayaan, 1977/1978), hlm, 22

10 Ibid, hlm, 23

67 imigrasi yang di lakukan oleh etnis di sekitar Bima. Karena beragam etnis dan budaya yang masuk di Bima, maka tak heran agama pun cukup beragam meski pun 90% lebih masyarakat Bima sekarang beragan Islam.11

4.3 Pra perang Makassar

Pada tanggal 15 Juli 1639 Raja Gowa XIV Sultan Alauddin meninggal, dan digantikan oleh putranya Raja Gowa XV Sultan Malikussaid. Dalam era pemerintahan beliau ini Gowa terus melanjutkan perjuangan menghadapi Belanda. Gowa kembali mengadakan Konfrontasi langsung dengan Belanda. Diantaranya, Sultan Malikussaid mengirim bantuan pasukan untuk membantu kerajaan Tanete yang kembali angkat senjata melawan Belanda. Lain dari itu dengan tujuan untuk mempertahankan kepentingan perdagangannya yang diganggu oleh Belanda di kePulauan Maluku.

Tanggal 5 November 1653 Sultan Malikussaid wafat setelah mengendalikan pemerintahan selama 16 tahun. Ia kemudian digantikan oleh putranya yaitu Raja Gowa ke XVI Sultan Hasanuddin (memerintah 1653-1669). Pada masa pemerintahan Sultan

Hasanuddin, awalnya pemerintah Belanda di Batavia menyambut dengan gembira pengangkatan Sultan Hasanuddin sebagai raja Gowa. Belanda menaruh harapan, bahwa permusuhan dan kesulitan-kesulitan yang telah berpuluh-puluh tahun lamanya berlangsung antara Belanda dengan Gowa akan dapat berubah menjadi baik kembali.

Akan tetapi harapan Belanda hanya sia-sia. Ketegangan antara Belanda dengan Gowa

11 Nasruddin, MM. dkk, “Sejarah dan Budaya Lokal Dari Sulawesi Sampai Bima”, (Jakarta : Gunadarma ilmu, 2016), hlm, 150-151

68 semakin lama semakin bertambah. Demikianlah pada permulaan tahun 1654 sampai pada tahun 1655 terjadilah pertempuran-pertempuran di berbagai tempat, di perairan

Maluku antara armada perang Gowa dengan armada Belanda. 12

Dalam bulan April 1655 armada Gowa dibawah pimpinan Sultan Hasanuddin sendiri menyerang orang-orang Belanda yang telah menduduki Buton. Dalam menghadapi serangan kerajaan Gowa tersebut, Belanda tidak lalai menghasut terus

Sultan Buton agar membantunya mengadakan perlawanan untuk membela negerinya.

Sebagian armada Belanda meninggalkan Buton, sebelum armada kerajaan Gowa mengadakan serangan. Hanya sebagian kecil pasukan Belanda tinggal di tanah Buton.13

Oleh karena kemarahan Sultan Hasanuddin yang sangat memuncak terhadap Sultan

Buton yang telah lama memihak Belanda dan juga telah memberi perlindungan kepada

Arung Palakka di Buton selama beberapa tahun lamanya, maka lewat pertengahan tahun 1666 baginda Sultan Hasanuddin mengirimkan sebuah armada besar yang terdiri dari 700 buah kapal perang dan 20.000 orang tentara dibawah pimpinan laksamana

“Kareng Bontomaranu bersama Datu Luwu yang bernama “Setiaradja Sultan

Alimuddin” dan Sultan Bima yang bernama “ Ambela Sultan Abil Khair Sirajuddin” selaku laksamana muda, pergi ke Buton untuk menyerang negeri tersebut.

12 Syarul Yasin Limpo, “profil Sejarah Budaya dan Pariwisata Gwa”, (Makassar : pemerintah daerah Tk. II Gowa kerjasama dngan Yayasan Eksponen, 1966), hlm, 32-34

13 Abd. Rajak Daeng Patunru, “Sejarah Gowa”, (Ujung Pandang : Yayasan kebudayaan Sulawesi Selatan di Makassar, 1993), hlm., 34

69

Serangan armada Gowa begitu hebat, sehingga pimpinan pasukan Belanda di

Buton tidak dapat lagi membela diri, lalu ia membakar habis segala persediaan mesiunya. Ledakan Mesiu itu mengakibatkan tewasnya tentara Belanda yang ada disana. Setelah perlawanan Belanda dihancurkan seluruhnya, maka Sultan Hasanuddin bersama armadanya lalu meninggalkan perairan Buton dan kembali ke Gowa.14

4.4 Perang Makassar

Sultan Abdul Kahir meninggal pada tahun 1640 dan diganti oleh anaknya yang diperoleh dari hasil perkawinannya dengan putri bagsawan Makassar. Sultan baru itu digelarkan dengan nama Abil Khair Sirajuddin dan memerintah selama 42 tahun.

Namun ketika diangkat sebagai Sultan ia baru berusia 11 tahun sehingga tidak memerintah langsung tapi diwakili oleh raja Bicara. Periode pemerintahan Sultan Abil

Khair Sirajuddin adalah masa perang Makassar melawan Belanda, yang berakhir dengan kekalahan Makassar. Sultan Abil Khair Sirajuddin yang telah menjadi menantu

Sultan Gowa, tentu saja memihak kepada kerajaan Gowa dan ikut berperang diperairan

Buton dan Makassar. 15

Pada tahun-tahun pertama abad 17, Makassar yang baru menerima Islam, menaklukan seluruh Pulau Sumbawa dan mengislamkannya, (Buku harian raja Gowa dan tallo) mengandung banyak keterangan tentang masa itu. Tetapi masa itu pun cukup lama sekitar 60 tahun, oleh karena perang Makassar yang berakhir dengan perjanjian

14 ibid, hlm., 35-40 15 Chamber Loir, Ibid, hlm, xii

70

Bongaya pada tahun 1667, semua kerajaan di Pulau Sumbawa masuk daerah taklukan kompeni. Kendatipun singkat dan dangkal, kekuasaan Makassar atas Bima yang meninggalkan bekas yang mendalam pada tata politiknya serta beberapa adat kebiasaanya.16

Dari naskah-naskah lama, arsip-arsip pemerintahan maupun dokumentasi lainnya dapat disimpulkan bahwa Belanda mulai dari kedatangan VOC tidak pernah melakukan penaklukan terhadap wilayah kerajaan Bima. Yang terjadi adalah perjanjian pertama kali dibuat antara Admiral Speelman dengan pembesar kerajaan Bima pada tahun 1669 setelah perlawanan terhadap Belanda yang dilakukan oleh Sultan Bima

Abil Khair Sirajuddin membantu Sultan Hasanuddin dari Gowa dengan mengarahkan armada laut dan pasukannya.17

Kedatangan orang Belanda, di Bima, mengubah keadaan Politik dan Ekonomi di daerah tersebut melalui perjanjian antara Makassar dengan Bima, pada tahun 1669,

Belanda mengadakan ikatan perdamaian dan persahabatan dengan Bima. Poin penting dari perjanjian tersebut adalah sebagai berikut;

16 Henri Chambert-loir, “Kerajaan Bima Dalam Sastra Dan Sejarah (Ceritera Asal Bangsa Jin Dan Segala Dewa-Dewa, Hikayat Sang Bima, Syair Kerajaan Bima)”, (Jakarta : Kepustakaan Popular Gramedia Ecole francaise d’Extreme-Orient, 2004), hlm., 228.

17 Siti Mariam Salahuddin, “Sejarah Pememerintahan Adat Kesultanan Bima (rekonstruksi historis dari naskah-naskah Kuno Peninggalan Kesultanan Bima)”, (Mataram : Musium Kebudayaan Samparaja, 2014), hlm., 6-7

71

1. KeSultanan Bima dan Dompu tidak akan menyerang Makassar.

2. Untuk mempertahankan perdamaian, hanya anggota kompeni yang boleh

mengunjungi wilayah ini.

3. Bima dan Makassar tidak akan mengadakan kontak/hubungan sama sekali.

4. Para pedagang asing dari Eropa, india, Jawa, Malaya, Arab, Aceh Champa tidak

boleh mengadakan perdagangan dengan Bima, kecuali mendapat Izin khusus

dari kompeni.

5. Bima mempunyai mata uang sendiri dan tidak lagi mengunakan mata uang

Makassar.

6. Apabila hendak melakukan penyebaran Agama Kristen harus minta izin kepada

keSultanan (Bima dan Dompu).

7. Kedua keSultanan harus menolong jika ada kapal Kompeni yang karam.

8. Kedua keSultanan tidak boleh menarik pajak di pelabuhan.

9. Kompeni boleh mendirikan benteng dimana saja di wilayah Bima dan Dompu.

10. Senjata berat seperti meriam harus diserahkan kepada kompeni.

11. Jika terjadi perselisihan yang berlanjut dengan peperangan antara Belanda

dengan Pulau lain, kedua keSultanan harus menyediakan serdadu.

12. Tidak boleh ada benteng atau kota didirikan tampa seizin Kompeni.

13. Untuk menjamin agar Sultan menepati perjanjian ini, seorang anggota keluarga

Sultan dibawa ke Batavia sebagai jaminan.

72

Adapun perjanjian tersebut menetapkan hal-hal sebagai berikut; pertama,

Sultan Bima dan Dompu harus mengakui kedaulatan Belanda. Kedua, Belanda berusaha mengkonsolidasi pengawasan dengan cara memblokir pelabuhan Bima dan menghindari bantuan dari Makassar.18

Dalam kontrak disebutkan pula bahwa perjanjian itu dibuat dalam rangka persahabatan dan persekutuan yang abadi didasarkan atas ketulusan, kepercayaan dan kejujuran. Dan kebagai konsekuensi dari kontrak-kontrak itu, kerajaan-kerajaan di

Pulau Sumbawa tidak boleh mengadakan hubungan (politik maupun dagang) dengan daerah-daerah lain, dengan bangsa Eropa lain atau dengan seseorang kecuali dengan persetujuan dan izin VOC. Meskipun demikian berkaitan dengan penempatan residen di Bima, harus dengan persetujuan kerajaan Bima dan sepengetahuan gubernur dan dewan Hindia di Makassar.

Akibat lain dari perjanjian ini ialah semua hubungan dengan orang-orang

Makassar di daerah ini harus diputuskan. Bagi VOC orang-orang Makassar adalah para pengacau dan penyulut kekacauan karena hubungan Sumbawa dengan Makassar telah terjalin lama. Pada tahun 1695 telah terjadi pelarian orang-orang Makassar dalam jumlah besar ke daerah Manggarai. Perpindahan orang-orang Makassar itu juga berlangsung pada tahun 1669 setelah kerajaan Gowa di taklukan VOC dan ditanda

18 Ketut Ardhana, “Penataan Nusa Tenggara Pada Masa Kolonial 1915-1950”, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 2005), hlm., 60

73 tanganinya perjanjian Bongaya pada tahun 1667 dan 1669.19 Pada tahun 1701 orang- orang Makassar berhasil diusir dari Manggarai. Namun ternyata hubungan antara Bima dengan Makassar tidak semata-mata bersifat politik dan ekonomi saja, tapi juga hubungan keluarga melalui perkawinan antara elit penguasa Bima dengan Putri bangsawan Gowa.20

Beberapa tokoh pejuang dari kerajaan Makassar yang tidak mau menyerah ketika perjanjian Bongaya ditandatangani, melanjutkan perlawanan diberbagai tempat.

Mereka yang termasuk dalam kelompok atau prajurid Gowa adalah Karaeng

Bontomarannu yang sempat tertawan pada pertempuran di Buton, kemudian dibebaskan dengan maksud untuk membujuk Sultan Hasanuddin agar tidak melawan kompeni Belanda. Pasukan yang tidak mudah menyerah itu kemudian meloloskan diri dan berlayar ke Bima dan Sumbawa, mengobarkan perlawanan terhadap kompeni dan pengikut-pengikutnya, dan melanjutkan peperangan yang dikenal peperangan dengan pangeran Trunojoyo di Madura.21

4.5. Perjanjian Bongaya

19 Perang Makassar yang berakhir dengan kekalan kerajaan Gowa dan perjanjian Bongaya, yang sangat merugikan pihak Gowa.

20 Tawalinuddin Haris, ibid, hlm., 80-81 21 Syahrir Kila, “Empat Peristiwa Sejarah Penting Di Sulawesi Selatan”, (Makassar : Arus Timur bekeraja sama dengan kementrian pendidikan dan kebudayaan balai pelestarian nilai budaya Makassar, 2017), hlm, 50-53

74

Hasil perang Makassar sebenarnya menguntungkan bagi kerajaan Bima, karena lepas dari kekuasaan Gowa, namun serentak jatuh dalam kekuasaan Belanda. Sultan

Abil Khair Sirajuddin di kenal dalam tradisi Bima sebagai Pembina sebuah administrasi baru yang di dasarkan atas model Makassar. Beberapa Fasal Bo’ mencerminkan penetaan administrasi tersebut. Dalam fasal h. 41 disebut nama dari seratus pegawai yang menghadiri sidang pemerintahan tahun 1673. Majelis hadat, sebelum di tambah jabatan Sara Hukum, diuraukan juga dalam Bo’ (Nskh: 17).22

Isi perjanjian perdamaian Bongaya yang di tanda tangani pada tanggal 18

November 1667 antara pihak Belanda dengan Sultan Hasanuddin, sangat merugikan pihak kerajaan Gowa. Dampaknya adalah kedudukan lapisan bangsawan anak karaeng ri Gowa mengalami kemerosotan, baik dari segi sosial, ekonomi maupun politik. Hal ini disebabkan karena daerah-daerah taklukan kerajaan Gowa yang merupakan medan kegiatan politik terpenting untuk memperluas pengaruh dan kekuasaannya, dan untuk mendapatkan sumber-sumber ekonomi dan kedudukan politik telah beralih kedatangan

VOC (Belanda). Wilayah-wilayah taklukan kerajaan Gowa yang diduduki pasukan kompeni Belanda dinyatakan sebagai wilayah kekuasaan kompeni Belanda. Wilayah kekuasaan langsung itu disebut (Gouverment van Makassar (pemerintahan

Makassar).23

22 Chamber Loir, dkk, Ibid, hlm, xii 23 Laporan Penelitian, Kerajaan Gowa Pascaperjanjian Bongaya, Syahrir Kila, Ibid, hlm., 35- 36

75

Dalam perjanjian Bongaya terdapat beberapa pasal yang menyebutkan negeri

Bima diantaranya pasal 9, 14, 15, 24 dan 28. Pasal 9 di dalamnya disebutkah bahwa

“Pemerintah dan rakyat boleh berlayar kemanapun kecuali Bali, Pantai Jawa, Jakarta,

Banten, Jambi, Palembang, Johor dan , dan harus meminta surat izin dari komandan Belanda disini (Makassar). Mereka yang berlayar tanpa surat izin akan dianggap musuh dan diperlakukan selayaknya musuh. Tidak boleh ada kapal yang dikirim ke Bima, Solor, Timor dan lainnya, semua wilayah di Timur Tanjung Lasso, di utara atau timur Kalimantan atau Pulau-Pulau disekitarnya. Mereka yang melanggar harus menebusnya dengan nyawa dan harta.”

Pasal 14 menyebutkanbahwa “Raja dan para bangsawan Makassar tidak boleh mencampuri urusan Bima dan wilayahnya.” 24 Mereka secara langsung atau tidak langsung membantu Bima baik dalam bentuk nasihat maupun tindakan untuk melawan

Kompeni.25 Dalam hal ini pemberontakan yang terjadi antara wilayah kekuasaan Bima dengan daerah kekuasaanya seperti halnya terjadi pemberontakaan antara Bima dan

Dompu. Pada saat itu pemerintahan Makassar dibagi menjadi 4 daerah pengawasan.

Dalam persoalan penyelenggaraan pemerintahan, kompeni Belanda tidak terlibat langsung mecampuri urusan-urusan pemerintahan daerah-daerah kekuasaan langsung itu. Maka dengan beralihnya daerah-daerah itu dibawah kekuasaan kompeni Belanda, telah memulihkan kembali pemerintahan daerah-daerah tersebut. Para raja-raja tampil

24 Suriadi Mappagara, “filosofi Arung palakka”, (Yokyakarta : Ombak, bekerja sama dengan labolatorium Sejarah dan Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, 2016), hlm, 302

25 Abdullah Tajib, “Sejarah Bima dana mbojo”, (Bima : Harapan Masa (PGRI), 1995), hlm, 133

76 kembali menyelenggarakan pemerintahannya di daerah masing-masing sesuai dengan tradisi pemerintahan semula.hanya saja penguassa-penguasa local (raja) harus mengakui kompeni Belanda sebagai penguasa tertinggi mereka yang memberikan perlindungan dan jaminan keamanan. Sebagai bukti bahwa pemerintah kompeni

Belanda merupakan penguasa tertinggi di Sulawesi Selatan, dimana penguasa- penguasa local harus tunduk dan patuh pada pemegang kendali politik. Ketaatan itu harus dibuktikan dengan memenuhi kewajiban yang dibebankan kepadanya sebagai keharusan yaitu penguasa local berkewajiban menyerahkan sepersepuluh dari produk yang mereka hasilkan.26

Pasal 15 “Raja Bima harus diserahkan kepada kompeni untuk di hukum.”27

Kerajaan Gowa berjanji akan menyerahkan kepada Kompeni (VOC) raja Bima menantu beliau raja Dompu, Raja Tambora, Raja Sanggar beserta pengikut- pengikutnya ada 25 orang yang sebagian besar terdiri dari orang-orang Bima yang telah mengadakan pembunuhan atas orang-orang Belanda (VOC) untuk mendapatkan hukuman yang setimpal dengan perbuatannya. Demikian pula kerajaan Gowa harus pula menyerahkan karaeng Bontomaranu kepada Kompeni (VOC).28

26 Syahrir Kila, dkk, “Empat Peristiwa Sejarah Penting Di Sulawesi Selatan”, (Makasssar: Arus Timur bekerja sama dengan Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar, 2017), hlm, 31-32

27 Suriadi Mappagara, “filosofi Arung palakka”, (Yokyakarta : Ombak, bekerja sama dengan labolatorium Sejarah dan Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, 2016), hlm, 302

28 Abdullah Tajib, “Sejarah Bima dana mbojo”, (Bima : Harapan Masa (PGRI), 1995), hlm, 133

77

Pasal 24 “Persahabatan dan persekutuan harus terjalin antara para Raja dan bangsawan Makassar dengan , Tidore, Bacan, Butung, Bugis (bone), Soppeng,

Luwu, Turatea, Layo, Bajeng, Bima dan penguasa-penguasa lain yang di masa depan ingin turut dalam penaklukan ini”.29 Berdasarkan fasal-fasal tersebut di atas maka ditetapkan dan dibuatkan oleh raja dan pembesar kerajaan Gowa sebuah perjanjian perdamaian, persahabatan dan persekutuan semanjang masa dimana termasuk pula raja-raja Ternate, Tidore, Bacan, Buton, raja-raja Bugis, Bone, Soppeng, Luwu,

Turatea, Bajeng dan semua daerah-daerah taklukanya. Demikian pula Bima serta kepala-kepala atau raja-raja yang kemudian akan memohon masuk dalam persekuatuan ini.30

Pasal 28 “Lebih jauh tentang pasal 15, raja Bima jika tidak ditemukan hidup atau mati dalam waktu sepuluh hari maka putra dari kedua penguasa harus ditahan.”31

Dalam hal ini kerajaan Bima sebagai kerajaan yang juga dibawah pengaruh kerajaan

Gowa, yang sejak dulu sudah menjalin koalisi (penaklukan raja Bima Sultan Abdul

Kahir 1616), yang mengharuskan Bima ikut serta mengambil peran dalam menghadapi

VOC dan sekutunya. Pada saat itu Bima dipimpin oleh Sultan Muda Sultan Abil Khair

Sirajuddin yang juga ipar dari Sultan Hasanuddin.

29 Suriadi Mappagara, “filosofi Arung palakka”, (Yokyakarta : Ombak, bekerja sama dengan labolatorium Sejarah dan Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, 2016), hlm, 303

30 Abdullah Tajib, “Sejarah Bima dana mbojo”, (Bima : Harapan Masa (PGRI), 1995), hlm, 133

31 Suriadi Mappagara, “filosofi Arung palakka”, (Yokyakarta : Ombak, bekerja sama dengan labolatorium Sejarah dan Budaya Universitas Hasanuddin, Makassar, 2016), hlm, 304

78

Pada pertengahan tahun 1666 Sulta Hasauddin mengirim Sultan Bima Abil

Khair Sirajuddin untuk menundukkan Buton dengan 700 buah kapal dan 20.000 prajurit.saat itu Sultan Abil Khair Sirajuddin sudah diangkat sebagai Laksamana muda kerajaan Gowa. Pada peperangan di Buton Sultan Bima harus kehilangan seorang panglima perang Bima yang sekaligus raja Bicara bernama Abdullah dengan gelar

Bumi Luma Kae Mambora Ese Buton. Saat di Buton Sultan Bima dan Laksamana

Alimudin harus mengalami kekalahan, mereka ditawan namun Sultan Bima bisa melarikan diri dan membunuh Sembilan orang Belanda. Dengan demikian Sultan Bima dicap oleh Speelman sebagai “Penjahat Perang”.32

Secara politis hubungan Makassar (Gowa) dengan kerajaan-kerajaan di Pulau

Sumbawa berakhir dengan ditanda tanganinya perjanjian Bongaya pada tahun 1669, yang mengakhiri perang Makassar. Walaupun perjanjian tersebut telah ditandatangani oleh Sultan Hasanuddin dan raja-raja lainnya, namun Karaeng Bontomarannu, raja

Tallo, Sultan al Rasyid, karaeng Lengkese dan Sultan Bima tetap belum mau menandatanganinya. Namun atas desakan Speelman, raja Tallo dan Karaeng Lengkese terpaksa menandatangani perjanjian Bongaya pada tanggal 9 dan 31 Maret 1668, sedangkan kerajaan Bima baru menyerahkan kepada Belanda (VOC) dengan suatu

32 Fahrurizki, “Pasukan Bima Tertawan Menghadapi Belanda Dalam Perang Makassar”, (Mbojoklopedia Jejak Langkah Sejarah dan Budaya, www.mbojoklopedia.com , 2016),. Di kutip pada hari senin 20/11/2017 pulul 10:00. Abdullah Tajib, “Sejarah Bima dana mbojo”, (Bima : Harapan Masa (PGRI), 1995), hlm, 127-129

79 perjanjian yang ditanda tangani di Batavia oleh Jeneli Monta, Abdul Wahid dan Jeneli

Parado La Ibu atas nama Sultan Bima pada tanggal 8 Desember 1669.33

BAB V

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian ini maka disimpulkan bahwa Hubungan Kerajaan

Gowa dengan Kerajaan Bima abad ke XVII, telah terjalin sebelum abad ke XVII.

Adapun hubungan yang mereka jalin sebelum abad ke XVII adalah hubungan perdagangan. Namun dalam penelitian membahas hubungan politik, perdagangan atau perekonomiannya, juga hubungan Sosial dan Budaya.

Pada awal perkembangan abad ke XVII Kerajaan Gowa mendapat pengaruh

Agama Islam dari 2 mubaliq yang berasal dari Minangkabau. Hingga pada tahun 1605 raja Gowa ke 14 dan mangkubuminya menerima agam Islam. Kerajaan Gowa merasa memiliki kewajiban untuk menyebarluskan agama Islam keseluruh daerah taklukannya di Sulawesi maupun diluar Sulawesi (termasuk Bima).

33 Tawalinuddin Haris, ibid, hlm., 56

80

Proses penyebaran agama Islam di Bima diwarnai dengan pemeberontakan

Salisi yang berambisi ingin menguasai kerajaan Bima, yang ingin menjadi raja Bima.

Pemberontakan tersebut dimana dikatakan masa perebutan kekuasaan antara paman dengan keponakan. Masa ini terjadi pada tahun 1616 dalam tahun ini juga dicatat dalam

Lontarak Bilang yang menyatakan pada tahun 1616 armada perang kerajaan Gowa pergi ke Bima dengan sembilan kapal untuk menaklukan kerajaan tersebut.

Ekspansi kerajaan Gowa terhadap kerajaan Bima dilakukan sebanyak 3 kali yaitu pada tahun 1616, 1618 dan 1626. Adapun alasan kerajaan Gowa melakukan ekspansi terhadap kerajaan Bima terdapat 3 poin yaitu: Pertama, untuk menyebarluskan

Agama Islam. kedua, untuk mengantisipasi terjadinya perang hebat dengan Belanda

(VOC), ketiga, untuk menjadikan Bima sebagai gudang cadagan beras.

Secara politik hubungan kerajaan Gowa dengan kerajaan Bima berakhir pada tahun 1669, pada saat setelah Perang Makassar yang terjadi pada tahun 1666 yang berakhir di tandatangani perjanjian Bongaya. Namun hubungan kerajaan Gowa dengan kerajaan Bima tidak mudah diputuskan sebab diantara kedua kerajaan ini sudah terjalin hubungan pernikahan yang dilakukan oleh raja-raja Bima dengan putri-putri bangsawan kerajaan Gowa, yang dimulai dari Sultan pertama Bima, Sultan Abdul

Kahir dengan Daeng Sikontu hingga Sultan Bima ke 7.

81

82

DAFTAR PUSTAKA

A. Sumber Primer

Loir, Henri Chambert, St Maryam R. Salahuddin. (1999). Bo Sangaji Kai buku

catatan Kerajaan Bima (naskah dan Dokumen Nusantara Seri XVIII).

Jakarta: Ecole Francaise d’Extreme Orient dan Yayasan Obor

Indonesia.

Maryam, Sitti R. Salahuddin (2004). Hukum Adat Undang-Undang Bandar

Bima . Mataram: Lengge

______, (2007), Catalog Naskah Bima Koleksi Museum Samparaja Bima.

Bima: Museum Kebudayaan Samparaja

______, (2014), Sejarah Pemerintahan Adat Kesultanan Bima (rekonstruksi

historis dari naskah-naskah kuno peninggalan kesultanan bima).

Mataram: Museum Kebudayaan Samparaja

Trasliterasi dan terjemahan lontarak bilang raja gowa dan talok (naskah

Makassar), Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek

Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan La

Galigo.(1985-1986).

Trasliterasi dan terjemahan lontarak bilang raja gowa dan talok (naskah

Makassar), Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Proyek

Penelitian Dan Pengkajian Kebudayaan Sulawesi Selatan La

Galigo.(1986-1987).

83

B. Sumber Sekunder

Abdullah, Abdul Gani. (2004). Peradilan Agama Dalam Pemerintahan Islam

Dikesultanan Bima (1947-1957). Mataram: Yayasan Lengge

Anthony, Reid. (2011). Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2:

Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor

Indonesia.

Ardana, I Ketut. (2005). Penataan Nusa tenggara pada masa colonial 1915-

1950. Jakarta: Rajawali Pers.

Haris, Tawalinuddin. (1997). Kerajaan trdisional di Indonesia: Bima. Jakarta:

Departemen pendidikan dan kebudayaan.

Ismail, M. Hilir. (2004). Peranan Kesultanan Bima Dalam Perjalanan Sejarah

Nusantara, Mataram: Lengge.

Leonard, Y. Andaya. (2004). Warisan Arung Palakka Sejarah Sulawesi Selatan

Abad ke-17. Makassar: Ininnawa

Noorduyn. Makassar and the islamization of Bima. dalam: Bijdragen tot de

taal-, Land- en Volkenkunde 143 (1987), no: 2/3, Leiden, 312-342

Kuperus, G. “Beschrijvingen over de ontwekkeling en den huidigen

vormenrijkjdom van het Culturlandschap en de Onderafdeeling Bima

(Oost-Sumbawa)”, TNAG 55, 1938: 230

Kartodirjo, Sartono.(2014). Pengantar Sejarah Indonesia Baru 1500-1900 dari

Emporium Sampai Imperium Jilid 1. Yogyakarta: Ombak

84

Kulle, Syarifuddin dkk. (2007).Gowa Bergolak Gerakan Rakyat Menentang

Penjajah. . Sunguminasa : Yayasan Butta Gowa Dengan Lembaga

Kajian & Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan.

Loir, Henri Camber. (2004). Kerajaan Bima Dalam Sasstra dan Sejarah.

Jakarta: Kepustakaan Populear Gramedia.

Madjid, Muhammad Saleh. (2008). Ekspansi Politik Kerajaangowa-Tallo

Terhadap Kerajaan Bima Abad XVII. Dalam web bentuk pdf di

download tanggal 20 September 2016.

http://digilib.unm.ac.id/files/disk1/6/universitas%20negeri%20makass

ar-digilib-unm-muhammadsa-288-1-humanis-8.pdf

Maryam, Sitti R. Salahuddin dkk.(2014). Aksara Bima Peradaban Lokal Yang

Sempat Hilan.Mataram: Alam Tara Institute bekerja sama Dengan

Museum Sampa Raja.

Muh. Saleh Madjid, Abd. Rahman Hamid. (2008). Pengantar Ilmu Sejaraah.

Makassar:Rayhan Intermedia

Patunru, Abd Razak Daeng. (1993), Sejarah Gowa. Ujung Pandang: Yayasan

Kebudayaan Sulawesi Selatan di Makassar(Ujjung Pandang)

Sahidu, Djmaluddin. (2008) Kampong Orang Bima.Mataram: studio 15

Suriadi, Mappangara. (2016). Filosifi Arung Palakka, Yogyakarta:

Laboratorium Sejarah dan Budaya Universitas Hasanuddin Makassar

bekerja sama dengan Ombak (anggota IKAPI)

85

Syahrir, Kila, dkk. (2004).Laporan Penelitian Kerajaan Gowa

Pascaperjanjian Bungaya. Makassar: Kementerian Kebudayaan dan

Pariwisata Deputi Bidang Pelestarian dan Pengembangan Kebudayaan

Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar

Tajib, Abdul. (1995). Sejarah Bima Dana Mbojo. Bima: PT Harapan Masa.

Tika, Zainuddin dkk. (2007). Profil Raja-Raja Gowa. Sunguminasa : Yayasan

Butta Gowa dengan lembaga kajian & penulisan sejarah budaya

Sulawesi Selatan.

86

LAMPIRAN

87

88

89

90

91

92

93

94

95

96

97

98

99

100

101

102