Skandal BLBI:

Ramai-ramai Merampok Negara

Marwan Batubara Kwik Kian Gie Dr. Frans Hendra Winarta, SH., MH. Dr. Ahmad Erani Yustika Dr. M. Fadhil Hasan Dr. Hendri Saparini Aviliani © Hak cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau keseluruhan isi buku ini tanpa seizin penerbit Skandal BLBI:

Ramai-ramai Merampok Negara

Marwan Batubara, dkk

Penerbit Haekal Media Center Januari 2008 Judul Buku: Skandal BLBI: Ramai-ramai Merampok Negara

Penulis: Marwan Batubara, dkk

Penyusun Naskah: Wahyutama, Shalihan Edwar M. Ikrar Dinata, Deni Wigunadi

Penyunting Naskah: Wahyutama, Shalihan Edwar Gumanti

Tata letak isi: Shalihan Edwar

Desain Cover: Tim Haekal Media Center

Penerbit: Haekal Media Center HP.0816 23 0065, 0856 9765 3043 E-mail: [email protected] Cetakan Kedua, Maret 2008 ISBN: 978-979-15667-5-9 Kata Pengantar

Sri-Edi Swasono (Guru Besar Fakultas Ekonomi UI)

Rakyat telah menggugat, rakyat mulai mendesak, pemerintah pun bergeming terhadap skandal Bantuan Likuiditas Bank (BLBI). Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan tentang adanya upaya pihak-pihak tertentu yang menghalangi pemerintah memberantas korupsi. Skandal BLBI adalah kasus penjarahan Indonesia, merampok rakyat, meleceh negara, suatu persekongkolan luar biasa sepanjang sejarah perbankan modern antara oknum-oknum pemerintahan yang menjadi koruptor dengan para koruptor yang mendikte pejabat pemerintah. Ini merupakan kejahatan akbar di dunia perbankan yang tidak ada duanya di dunia. Skandal BLBI dapat kita kategorikan sebagai suatu konspirasi global, dengan sasaran untuk melumpuhkan(disempowering) Indonesia agar selanjutnya mempermudah penaklukkan teritorial dan pengurasan kekayaan Indonesia. Skenario pelumpuhan ini adalah awal dari upaya brutal untuk menciptakan ketergantungan dan ketertundukan.

vii Mengapa skenario global sejahat ini dapat berjalan begitu lancar? Ada macam-macam jawaban dan penjelasan. Di dalam pengantar ini tidak semuanya dapat dikemukakan. Namun yang paling pokok adalah hilangnya patriotisme, nasionalisme, dan rasa berdaulat dari kepemimpinan nasional kita dan tentu pula bersamaan dengan itu adalah mengganasnya globalisme- imperialisme masing-masing dengan derivat-derivatnya. Satu sama lain saling berkaitan dan saling menumbuhkan sinergisme kemalapetakaan. Pemerintahan negara yangadigang-adigung-adiguna nepotistik, yang mengabaikan meritokrasi dan tuntutan profesionalisme the right man in the right place merupakan awal segala malapetaka. Orang-orang medioker pun bisa masuk ke dalam pemerintah dan menikmati kewenangan dan kekuasaan siap pakai. Dari sinilah kecerdikan dan kelicikan globalisme-imperialistik memperoleh peluang lebih besar untuk melaksanakan skenario perampokan dan penjarahan. Dari dimensi lain, berkaitan dengan kejahatan akbar di atas, barangkali menyangkut pula persistensi budaya minder bangsa bekas rakyat terjajah ini, yang sebagiannya cenderung untuk mudah dirayu dan dipecah-belah, maka jadilah itu. Belahanpertama adalah mereka yang kurang memiliki percaya diri, lalu mengundang kembalinya penjajahan baru, yanghanging-loose, yang masa bodoh terhadap masa depan bangsa dan negara, yang di masadoeloe disebut sebagai kelompokCo (NICA). Belahan yang lain adalah mereka yang teguh cita-cita, tetap bertahan dalam mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan nasional, demi kebebasan, kebesaran dan kejayaan bangsa dan negaranya, yangdoeloe kita kenal sebagai kelompok nasionalis Republikein. *** Dengan latar belakang aneka absurditas di atas, yang bukan misteri atau ilusi fiktif, maka terbentuklah ketertundukan birokrasi (barangkali juga ketertaklukkan) untuk melaksanakan perintah orang yang ditakuti (IMF), ibarat kerbau dicocok hidung. Mengawali serangkaian kebijakan bunuh diri (series of suicidal policy) adalah sikap yang dengan serta merta melaksanakan perintah IMF untuk melikuidasi 16 bank tanpa persiapan dan pertimbangan matang tentang segala akibatnya pada awal November 1997, semata-mata karena merasa tak berdaulat lagi, lalu menerima begitu saja hasil evaluasi dan rekomendasi IMF/LoI 31 Oktober 1997.

viii IMF jelas tidak berpengalaman dengan psikologi dan alam pikiran masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kebijaksanaan melikuidasi 16 bank itu, yang oleh IMF semula diharapkan dapat memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, pastilah meleset. Akibatnya malahan direspon oleh masyarakat secara sebaliknya. Masyarakat justru makin ragu, makin dirongrong olehuncertainties, lalu makin melakukan penarikan (rush) dan pengalihan dana(bank-run) secara besar-besaran. Perbankan Indonesia, yang lebih mengenal dan sangat berpengalaman menangani psikologi masyarakat Indonesia, mestinya berani menolak saran IMF ini. Namun keminderan terhadap IMF membuat para otoritas moneter kita mudah tunduk dan takluk sebagai the “yes man”. Evaluasi dan rekomendasi IMF ternyata tidak saja keliru, tetapi malah merupakan penyulut bagi makin meluasnya ketidakseimbangan antara penarikan dan penerimaan(mismatch) perbankan. Makin banyak, bahkan nyaris menyeluruh, terjadi saldo debet negatif pada giro-giro mereka di Bank Indonesia. Presiden Soeharto terperangkap pada skenario logis sebab-akibat ini, diteror secara sistematis untuk lebih terjerumus. Dengan kenyataan kausal terjadinya pembengkakan saldo debet di perbankan, maka pada tanggal 12 Desember 1997, Presiden Soeharto menyetujui Bank Indonesia menempuh kebijakan pengganti saldo debet bank-bank dengan SBPUK (Surat Berharga Pasar Uang Khusus) supaya tidak terjadi lagi likuidasi bank. Namun, sebagaimana bisa diduga dari pengalaman-pengalaman perbankan Indonesia masa lalu yang ringkih terhadap spekulasi dan ketidakpastian, krisis justru makin memuncak, saldo debet makin meluas dan berkelanjutan. Istana Negara makin terteror, tergiring ke arah jurang pelumpuhan kegiatan ekonomi, meskipun harapan yang ada cukup rasional, yaitu untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pada perbankan. Para pembantu Presiden tiarap, membiarkan Presiden tergencet dalam kesendirian. *** Dalam situasi krisismismatch itu maka dikucurkanlah mekanisme kliring baru, yaitu BLBI (Bantuan Likuidasi Bank Indonesia), berdasarkan keputusan Rapat Kabinet 3 September 1997 yang dipimpin Presiden

ix Soeharto, sebagai dana talangan pemerintah lewat Bank Indonesia untuk perbankan yang bersaldo debet. Tahap pertama BLBI (3 September 1997 29 Juni 1999) ditetapkan sebesar Rp 144,536 triliun (kemudian membengkak menjadi Rp 164,536 triliun). Pada tanggal 15 Januari 1998, kita semua melihat Camdessus sedekap bersilang-tangan di dada, disertai sikap congkak seorang mandor mengawasi Presiden Soeharto menandatangani LoI. Presiden Soeharto mestinya tak seharusnyaoff-guarded semacam itu, mestinya tidak dibiarkan terteror sedahsyat itu, mengingat Prof. Widjojo Nitisastro berada tidak jauh berdiri di situ. Kelanjutan dari LoI itu adalah Keputusan Presiden No. 26/1998 tentang jaminan pemerintah untuk membayar seluruh kewajiban perbankan, sebesar Rp 57,779 triliun, suatu program penjaminan yang acapkali disebut sebagaiblanket guarantee. Pemerintah melakukan penjaminan melewati dana talangan dari Bank Indonesia yang kemudian kita kenal dengan BLBI tahap kedua. Malapetaka yang besar mulai dari sini, ibarat Lucifer turun ke bumi menyebarmoral hazards, serba menggelembung dan fiktif. Kemudian, sebagai tindak lanjutnya, pemerintah pun mendirikan BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) berdasar Keputusan Presiden No. 27/1998 untuk mengalihkan program penjaminan. BPPN gagal total, suatu badan korup penuh dengan persekongkolan bisnis makelar jahat. Maka lengkaplah skenario penjerumusan, suatu skenario disempowerment untuk menumbuhkan dependensi Indonesia kepada kekuatan asing, khususnya kepada IMF, yaitu tatkala pemerintahan bangsa ini menurut saja terhadap ide obligasi rekap (BLBI tahap ketiga) dan rekayasa MSAA (Master Settlement of Acquisition Agreement). MSAA di samping tidak masuk akal dan tidak adil terhadap negara, juga sangat bertentangan dengan sistem hukum Indonesia, antara lain yang berkaitan denganrelease and discharge yang mengabaikan supremasi hukum publik (pidana) terhadap hukum privat (perdata). Seperti dikatakan oleh Kwik Kian Gie berkali-kali dalam berbagai fora,ketika draft MSAA dimintakan legal opinion dari Kantornya Kartini Mulyadi/Fred Tumbuan dan opini mereka menyatakan bahwa MSAA x melanggar sistem hukum Indonesia khususnya UU Perbankan, ahli hukum berkebangsaan AS, yang diperkirakan suruhan IMF, dengan congkaknya bilang”...Then you change your law...”, suatu arogansi in optima forma tiada tara. MSAA menginjak-injak UU Perbankan dan banyak menteri termasuk Menteri Keuangan dan Menko, bahkan Presiden, ikut menginjak-injak UU Perbankan. Presiden menerbitkan SKL atas dasar MSAA. Sementara itu DPR-MPR ibaratnya mengamini semuanya ini. Lebih memalukan lagi, ketika dibuat perjanjian (MSAA) antara obligor berkewarganegaraan Indonesia dengan pemerintah Indonesia, perjanjian itu dibuat dalam bahasa Inggris, bukan dalam bahasa nasional. Lagi-lagi, di sinilah, di dalam pemerintahan kita, absurditas bertemu dengan mediokritas. *** Pengantar saya ini hanyalah mempertegas betapa (maaf) mediokernya para otoritas moneter kita yang telah dengan mudah terdikte oleh resep- resep keliru IMF dalam penanganan krisis moneter. Dengan resep-resep IMF itu justru krisis malahan memuncak, padahal secara teoretis kita mestinya cukup paham dan andal untuk menolak, bahkan bisa dengan tegas menuding dan memprotes kekonyolan dan ”kenorakan” teori-teori IMF, yang kami sebut sebagaifallacious orthodox macro-economics. Kami memprotes keras, protes ini disusun olehthe ”Eight Musketeers” (yaitu Oppusunggu, Hartojo Wignjowijoto, Amin Aryoso, Dimyati Hartono, Farid Prawiranegara, Arie Suta, Ichsanuddin Noorsy, dan saya sendiri, Sri-Edi Swasono), setelah ditandatangani oleh sejumlah banyak anggota DPR, kami kirimkan kepada Mr. Horst Koehler (IMF Chairman of Executive Board) dan Mr. D. Wolfensohn (President of the World Bank) pada pertengahan tahun 2001, dengan tembusan kepada Bank Indonesia, Menteri Keuangan, DPR, dan lain-lain. Resep-resep IMF untuk Indonesia bukan saja berdasar teori-teori konvensional ortodoks yang menjerumuskan, yang serba generik yang tidak akan cocok untuklocal specifics Indonesia, tetapi sangat tegas terarah kepada kepentingan IMF sendiri. Bantuan dana IMF yang disertai pendiktean- pendiktean(forceful instructions) bukan diarahkan kepada efektivitas pembiayaan pembangunan, tetapi untuk perbaikan neraca pembayaran dan pengamanan rutinitas pembayaran utang luar negeri Indonesia. ***

xi Saudara Marwan Batubara selalu konsisten dengan sikap patriotik dan nasionalistiknya. Tahun lalu dengan keras ia menentang ”asingisasi”, ia melawan melalui berbagaifora, khususnya melalui bukunya Tragedi dan Ironi Blok Cepu, menggambarkan ketertekuklututan kita pada tekanan asing, menyerahkan peluang emas anak cucu kita kepada EXXON. Sekarang para kelompokRepublikein, termasuk di sini Sdr. Marwan Batubara dan kawan-kawannya, sekali lagi memberikan data dan informasi tentang betapa jahatnya penjarahan, perampokan, serta konspirasi para penyamun BLBI terhadap kelangsungan hidup bangsa ini dan terhadap generasi mendatang, melalui buku ini. Konspirasi global untuk melumpuhkan dan menguasai perekonomian Indonesia sebenarnya tidak akan berhasil bila tidak didukung oleh konspirator-konspirator Indonesia, oleh orang-orang kelompokCo baru yang dengan suka cita menjadi komprador atau kaki tangan asing, yangideologically disempowered atau lengah misi, ataupun barangkali memang benar-benar medioker. Saya ingin Saudara Marwan dan teman-temannya perlu meniti kemungkinan untuk melakukan operasi darurat, antara lain: pertama, mengupayakan ”membekukan” dana curian (BLBI) yang disembunyikan di perbankan luar negeri. Ini tidak mudah, sikap luar negeri pun tidak memihak Indonesia. Saya bisa pertemukan dengan paratracers profesional kenalan saya untuk melacak dana curian itu sebagaimana mereka telah berhasil melacak dan menemukan dana haram Presiden Ferdinand Marcos. Bila dana curian itu tidak dapat ditarik, maka diatur agar dapat ”dibekukan”. Jumlah yang sama yang ”dibekukan” itu membuka jalan bagi negara untuk dapat mencetak uang baru sejumlah yang sama.Kedua, bunga obligasi rekap yang harus dibayar negara seharusnya segera dihentikan saja, paling tidak segera diturunkanrate- nya bertahap-tahap dan menjadi nol dalam waktu singkat, sehingga negara bebas dari beban rekaannya sendiri. Bila baru-baru ini kita bacaheadlines besar-besaran di front pages surat- surat kabar seperti antara lain, ”Interpelasi BLBI: Awas DPR Dibeli Konglomerat Hitam”, dan ”Hanya Dari Satu Obligor BLBI Negara Dirugikan Rp 100 Triliun Lebih”, dan seterusnya dan seterusnya, hanyalah lagu lama yang sejak dulu kita pekikkan dan sekarang diteriakkan ulang oleh tokoh-tokoh DPR yang bangun kesiangan.

xii Saya menyambut hadirnya buku yang ditulis Saudara Marwan Batubara dkk ini dengan gembira, moga-moga buku ini bisa memberi pencerahan kepada banyak kalangan yang selama ini tidak menyadari adanya skenario pelumpuhan nasional terhadap Indonesia. Saya pun menyambut baik sikap Presiden SBY yang terang-terangan menyatakan (dua hari yang lalu) tentang adanya upaya pihak-pihak tertentu yang menghalangi pemerintah untuk mencuci piring kotor setelah ramai ”berpesta BLBI” dan Presiden nampak bertekad maju terus membersihkan yang kotor-kotor itu.

Jakarta, 30 November 2007 Sri-Edi Swasono

xiii

Pengantar Penulis

Marwan Batubara (Anggota DPD RI Provinsi DKI )

Ketika skandal BLBI kembali diangkat ke permukaan, mungkin sebagian orang akan mempertanyakan mengapa catatan hitam Indonesia di masa krisis tersebut kembali diungkit. Apa relevansinya? Apakah bermanfaat menguak kembali berkas-berkas korupsi masa lalu untuk kepentingan masa sekarang? Tidakkah lebih baik kasus tersebut dikubur dan diterima saja sebagai ongkos krisis, meskipun sangat mahal harganya, sehingga kita dapat memfokuskan diri pada agenda-agenda perbaikan ekonomi di masa depan? Jawabannya jelas: karena selain penyelesaiannya sarat dengan rekayasa dan KKN, kasus BLBI juga memiliki dampak yang sangat luas pada perekonomian bangsa saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu ke depan. Demikian besarnya kerusakan yang diakibatkan skandal BLBI, hingga bebannya harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia berupa pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya yang diperkirakan baru berakhir pada sekitar tahun 2033. Jumlah minimal utang yang harus dibayar tersebut mencapai Rp 630 triliun (berupa BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, tambahan BLBI Rp 14,47 triliun, program penjaminan Rp 39,3 triliun, dan obligasi

xv 1 rekap Rp 431,6 triliun) . Bahkan, dalam skenario terburuk (seperti misalnya jika pemerintah terus melakukan penjadwalan ulang terhadap utang-utang tersebut), beban yang harus dibayar dapat mencapai Rp 2.000 triliun. Membengkaknya jumlah utang negara itu sendiri terutama diakibatkan oleh kebijakan pengucuran obligasi rekapitalisasi (OR) perbankan, yang tak lain merupakan upaya lanjutan penyelamatan dan penyehatan bank-bank nasional di saat krisis setelah kebijakan BLBI. Total dana yang dikucurkan dalam kebijakan ini mencapai sekitar Rp 431 triliun, yang disuntikkan pemerintah melalui penerbitan obligasi (surat utang). Karena diberikan dalam bentuk obligasi, maka jumlah dana yang harus dibayarkan pemerintah pun menjadi jauh lebih besar, sebagai akibat tambahan bunga obligasi yang harus dibayarkan (yang nilainya bahkan lebih besar dari nilai pokoknya, yaitu paling tidak sekitar Rp 600 triliun, dengan cicilan sekitar Rp 40-50 triliun tiap tahunnya). Beban pembayaran utang yang fantastis tersebut pada akhirnya berujung pada minimnya kemampuan APBN dalam mengongkosi berbagai kebutuhan negara. Berbagai pos pengeluaran terpaksa harus dipangkas untuk menyesuaikan diri dengan kondisi keuangan APBN yang pas-pasan. Sasaran paling mudah untuk penghematan tersebut, lagi-lagi adalah rakyat. Anggaran berbagai pos kesejahteraan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, subsidi listrik, dan BBM harus ditekan semaksimal mungkin agar tidak mengganggu kemampuan negara dalam membayar utang. Minimnya anggaran negara juga memaksa pemerintah setiap tahunnya harus menjual sejumlah aset untuk menutup defisit anggaran. Padahal, penjualan berbagai aset ini pun umumnya tidak menghasilkan keuntungan maksimal, karena harga jualnya yang jauh di bawah pasar. Hal ini sendiri memang sesuatu yang sulit dihindarkan, mengingat penjualan aset-aset

1 Menurut perhitungan tim interpelator BLBI, jumlah dana yang dikeluarkan pemerintah untuk rangkaian program penyehatan perbankan adalah sebesar minimal Rp 702,5 triliun yang terdiri dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun, obligasi rekap Rp 425,5 triliun, program penjaminan Rp 73,8 triliun, dana talangan Rp 4,9 triliun, dan dana rekening 502 Rp 53,8 triliun. Sedangkan, berdasarkan jawaban Presiden atas interpelasi BLBI, total biaya penyehatan perbankan selama periode 1997-2004 adalah sebesar Rp 640,9 triliun yang terdiri dari BLBI Rp 144,5 triliun, program penjaminan Rp 53,8 triliun, penjaminan Bank Exim Rp 20 triliun, dan program rekapitalisasi Rp 422,6 triliun. xvi negara tersebut umumnya dilakukan untuk mengejar target penerimaan negara dalam waktu yang relatif singkat. Obral aset pun menjadi pilihan yang paling mudah untuk diambil pemerintah. Penjualan aset-aset negara ini bahkan memiliki dampak yang lebih buruk dalam jangka panjang. Patut diingat, bahwa aset-aset negara merupakan penyumbang rutin bagi pemasukan negara dalam APBN. Sehingga, dengan dijualnya aset-aset tersebut, maka negara sesungguhnya juga kehilangan potensi penerimaannya di masa mendatang(future earning) . Sumber penerimaan negara setiap tahunnya akan berkurang. Dengan demikian, Indonesia akan semakin terjebak dalam lilitan paceklik ekonomi, karena himpitan beban utang yang harus dibayar di satu sisi bertemu dengan terlucutinya sumber-sumber penerimaan negara di sisi yang lain. Berbagai situasi sulit ini merupakan warisan segelintir orang di masa lalu yang melakukan KKN dan secara sembrono menyimpangkan ratusan triliun rupiah uang negara dalam skandal BLBI. Karena itu, sangat wajar jika pihak- pihak yang terlibat dalam skandal BLBI dimintakan pertanggungjawabannya atas kesalahan yang mereka lakukan, baik secara perdata dengan mengembalikan uang negara yang telah mereka kuras, maupun secara pidana dengan menjalani hukuman yang sepantasnya, sesuai dengan hukum yang berlaku. Ironisnya, penyelesaian kasus ini tidak pernah dapat dilakukan secara tuntas, meskipun telah melalui empat periode pemerintahan (Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Susilo Bambang Yudhoyono). Masing-masing pemerintahan justru mengeluarkan kebijakan kontroversial yang merendahkan supremasi hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat. Misalnya saja, pemerintahan Habibie yang memulai pola penyelesaian kasus BLBI melaluiout of court settlement (penyelesaian di luar jalur pengadilan), pemerintahan Megawati yang menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentangrelease and discharge yang memberi ampunan penuh bagi obligor, dan pemerintahan SBY yang menjanjikan pemberian Surat Keterangan Penyelesaian Kewajiban (SKPK) bagi obligor yang melunasi utangnya (sehingga akan mengesampingkan kasus pidana yang dilakukannya). Kini, pemerintahan SBY dikabarkan tengah berupaya melakukan penuntasan skandal BLBI dengan mengusut kembali kasus sejumlah obligor. Dua nama yang kerap disebut adalah Soedono Salim dan Sjamsul

xvii Nursalim. Kasus keduanya memang melibatkan jumlah uang yang sangat besar, yaitu masing-masing Rp 52 triliun dan Rp 27 triliun. Keduanya diusut terkait dugaan penggelembungan nilai aset yang mereka serahkan ke BPPN sebagai pelunasan utang-utang mereka. Penggelembungan nilai aset ini menyebabkan tingkat pengembalian uang negara dari penyelesaian kasus BLBI menjadi sangat rendah. Langkah pemerintah yang melakukan pengusutan terhadap kasus kedua obligor besar BLBI tersebut tentu layak didukung. Meski demikian, kita berharap penyelesaian kasus BLBI kali ini dapat dilakukan berdasarkan hukum secara serius, tuntas, dan benar-benar berjalan adil. Kita tidak menginginkan pemerintah kembali mengulang kesalahan pada masa-masa sebelumnya, yaitu ketika pemerintah tidak bersikap tegas dan justru terus menerus mengakomodasi kepentingan obligor, bahkan dengan melanggar ketentuan hukum yang berlaku sekalipun. Terlebih, kita juga tidak ingin penyelesaian kasus ini justru dijerumuskan dalam perangkap ketidakpastian hukum sehingga menjadi sarana permainan para politisi untuk mengeruk keuntungan pribadi. Selain itu, pemerintah juga harus menyelesaikan kasus-kasus obligor lain yang hingga kini belum jelas statusnya. Terakhir (saat tulisan ini disusun), terdapat delapan obligor yang masih belum menyelesaikan kewajibannya, dengan nilai total kewajiban sebesar Rp 2,54 triliun (menurut perhitungan Depkeu, disamping sejumlah Rp 9,36 triliun yang dinyatakan tak akan terbayar/default ). Dari kedelapan obligor tersebut, satu orang diantaranya (Agus Anwar), bahkan buron ke Singapura dan telah berganti kewarganegaraan. Sangat disayangkan, pada kenyataannya sikap pemerintah terhadap delapan obligor ini tidak tegas, setidaknya hingga tulisan ini disusun. Dalam kaitan itu, buku ini sesungguhnya merupakan wujud dari ketidakpuasan dan protes kami terhadap penanganan kasus BLBI selama ini yang tidak dilakukan sebagaimana mestinya. Dengan banyaknya uang negara yang telah terhamburkan, pemerintah tidak dengan tegas menindak koruptor BLBI dan melakukan penegakan hukum. Para pengemplang BLBI justru menikmati berbagai kemudahan hingga sebagian mereka kini telah kembali bertengger sebagai orang-orang terkaya di Indonesia. Untuk itu, melalui buku ini kami berupaya menyusun rangkaian peristiwa di seputar skandal BLBI dan proses penyelesaiannya dalam sebuah xviii kerangka yang diharapkan cukup memadai agar peristiwa ini dapat lebih mudah dimaknai, dan dengan demikian juga dapat secara lugas disikapi. Atas tersusunnya buku ini, kami sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada para kontributor yang telah menyumbangkan pikirannya: Bapak Kwik Kian Gie, Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H., Dr. Fadhil Hasan, Dr. Ahmad Erani Yustika, Dr. Hendri Saparini, dan Ibu Aviliani. Ucapan terima kasih sebesar-besarnya juga kami sampaikan kepada Prof. Dr. Sri-Edi Swasono yang telah berkenan memberikan kata pengantarnya untuk buku ini. Kami beruntung, dalam kesibukan mereka yang luar biasa, para intelektual lintas generasi ini masih bersedia meluangkan waktunya untuk berpartisipasi dalam penyusunan buku ini. Tak lupa, juga kami ucapkan terima kasih kepada Bapak Faisal Ba'asyir atas diskusi dan masukan yang diberikan serta Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK RI) yang telah menyediakan data-data yang sangat kami perlukan untuk penulisan buku ini. Ucapan yang sama kami tujukan kepada Saudara Djoko Retnadi atas kesediaannya memberi penjelasan seputar kebijakan obligasi rekapitalisasi dalam beberapa kesempatan. Kami juga menyampaikan penghargaan setinggi-tingginya kepada sejumlah sahabat yang telah konsisten melakukan advokasi skandal BLBI, seperti antara lain Adnan Topan Husodo dari Indonesia Corruption Watch (ICW), Patra M. Zen (YLBHI), Munarman (Tim Pembela Muslim/ TPM), Chandra T. Wijaya dan Bagus Satrianto (Iluni UI Jakarta) dan Ismed Hasan Putro (Masyarakat Profesional Madani/ MPM). Harapan kami, buku ini dapat bermanfaat dalam memberi pemahaman kepada masyarakat luas tentang duduk persoalan BLBI dan implikasi- implikasi yang diakibatkannya. Termasuk pula bagi rekan-rekan di DPD RI, khususnya di PAH IV (bidang APBN dan tindak lanjut hasil audit BPK) tempat dimana kami bertugas. Meskipun, tentu saja terdapat banyak kekurangan dalam buku ini, mengingat pengetahuan kami yang terbatas, disamping kompleksnya permasalahan BLBI itu sendiri. Akhirnya, melalui buku ini, kami berharap dapat menggugah kesadaran berbagai pihak atas masih terus berlangsungnya ketidakadilan demi ketidakadilan dalam penyelesaian kasus BLBI, sehingga kita bertanggung jawab untuk melakukan segala upaya sesuai dengan kemampuan, untuk

xix meluruskan berbagai kesalahan tersebut. Pemerintah dan DPR pun bertanggung jawab untuk mengoreksi berbagai keputusan yang salah terkait kasus ini. Termasuk diantaranya adalah meluruskan kebijakan obligasi rekap (OR), dengan menghentikan pembayaran bunganya yang selama ini telah menjadi beban APBN setiap tahun. Kepada masyarakat, kami menghimbau partisipasi Anda dalam berbagai gerakan dan aksi untuk mendesak dituntaskannya penyelesaian kasus BLBI. Kepada pemerintah dan para penyelenggara negara, kami menuntut Anda untuk segera menuntaskan penyelesaian kasus BLBI yang sudah berlangsung selama satu dekade ini secara konsisten, menjunjung tinggi supremasi hukum, dan berkeadilan.

Jakarta, 2 Januari 2008 Marwan Batubara

xx Daftar Isi

Kata Pengantar Sri-Edi Swasono...... vii

Pengantar Penulis...... xv

Daftar Isi ...... xxi

BAB 1 Definisi dan Pengertian BLBI Marwan Batubara...... 1

BAB 2 Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI Marwan Batubara...... 13

BAB 3 Korupsi dan Penyelewengan BLBI Marwan Batubara...... 25

xxi BAB 4 Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI Marwan Batubara...... 49

BAB 5 Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum Marwan Batubara...... 61

BAB 6 Inpres No. 8/2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan Marwan Batubara...... 99

BAB 7 Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Marwan Batubara ...... 119

BAB 8 Siapa yang Harus Bertanggung Jawab? Marwan Batubara...... 157

BAB 9 Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Marwan Batubara...... 175

BAB 10 Peran BI dan BPPN dalam Skandal BLBI Marwan Batubara...... 223

BAB 11 Peran IMF dalam Kasus BLBI Marwan Batubara...... 243

BAB 12 BLBI: Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Marwan Batubara...... 261

xxii BAB 13 Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara Kwik Kian Gie...... 299

BAB 14 MSAA dan Drama PenerbitanR&D Kwik Kian Gie...... 303

BAB 15 Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA Frans Hendra Winarta ...... 307

BAB 16 Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI Ahmad Erani Yustika dan M. Fadhil Hasan...... 313

BAB 17 Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian Hendri Saparini...... 331

BAB 18 Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan“Political Will” Pemerintah Aviliani ...... 343

Penutup Rakyat Menggugat Skandal BLBI Marwan Batubara...... 351

Referensi ...... 375

Tentang Penulis...... 385

xxiii

Bab 1

DEFINISI DAN PENGERTIAN BLBI

Marwan Batubara

Setelah lebih dari satu dekade berlalu dan melewati empat era pemerintahan, kasus korupsi BLBI hingga kini tidak kunjung terselesaikan secara tuntas. Padahal, kasus yang melibatkan persekongkolan jahat antara pengusaha, banyak pihak penyelenggara pemerintahan, dan IMF ini, telah merugikan negara setidaknya Rp 138,4 triliun (jumlah penyimpangan dalam penyaluran BLBI menurut audit BPK). Angka ini belum lagi memperhitungkan kerugian dari kebijakan pengucuran obligasi rekapitalisasi perbankan yang memakan biaya sekitar Rp 431 triliun (ditambah dengan bunga obligasi rekap sekitar Rp 600 triliun yang angkanya masih terus bertambah seiring dengan penundaan pembayaran utang yang dilakukan pemerintah). Akibat penyimpangan dan korupsi pada berbagai rangkaian kebijakan tersebut, negara dan rakyat harus menanggung beban cicilan pembayaran utang dalam APBN, yang bunganya saja dapat mencapai Rp 50 triliun per tahun. Namun, sebelum memasuki pembahasan lebih lanjut, kita perlu terlebih dahulu membahas beberapa pengertian dasar tentang apa yang disebut

Definisi dan Pengertian BLBI/ 1 sebagai BLBI, agar dapat memahami letak permasalahan kasus ini dengan lebih baik.

Definisi BLBI Mantan Gubernur Bank Indonesia Prof. Dr. Soedradjad Djiwandono pada sebuah tulisannya mendefinisikan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) sebagai fasilitas yang diberikan BI untuk menjaga kestabilan sistem pembayaran dan sektor perbankan agar tidak terganggu karena ketidakseimbangan(mismatch) antara penerimaan dan penarikan dana pada bank-bank baik jangka pendek maupun panjang (Soedradjad Djiwandono, “Permasalahan BLBI”, www.pacific.net.id). Berdasarkan definisi tersebut, dapat dipahami dua hal pokok sebagai berikut. Pertama, BLBI merupakan sebuah fasilitas khusus yang diberikan BI kepada pihak perbankan. Kedua, pemberian BLBI dimaksudkan untuk menanggulangi masalah yang dihadapi perbankan akibat adanya ketidakseimbangan antara dana yang diterima dengan kewajiban pembayaran yang harus dikeluarkannya. Menurut Soedradjad, bantuan likuiditas dari BI kepada pihak perbankan sebenarnya sudah berlangsung sejak lama. Namun, istilah BLBI baru dipergunakan secara khusus sejak 1998 untuk merujuk pada bantuan likuiditas yang diberikan BI kepada pihak perbankan di saat terjadinya krisis moneter dan krisis ekonomi di Indonesia. Istilah BLBI sendiri diambil dari istilahliquidity supports , yang dipergunakan dalam letter of intent (LoI) antara IMF dengan pemerintah Indonesia dan dinyatakan sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi. Soedradjad juga menyatakan, BLBI dibedakan dengan fasilitas BI lainnya seperti KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia) berdasarkan aspek tujuan pengucurannya. Jika BLBI ditujukan untuk mengatasi kondisi likuiditas perbankan dalam situasi krisis, maka KLBI ditujukan untuk membantu perbankan dalam menyukseskan program-program pembangunan ekonomi yang dicanangkan pemerintah seperti pembangunan rumah sederhana, peningkatan hasil pertanian, mendorong pertumbuhan UKM, dan sebagainya.

2/ Definisi dan Pengertian BLBI Terdapat lima jenis fasilitas perbankan yang digolongkan sebagai BLBI, yaitu antara lain: 1. Fasilitas dalam rangka mempertahankan kestabilan sistem pembayaran yang bisa terganggu karena adanya mismatch atau kesenjangan antara penerimaan dan penarikan dana perbankan. 2. Fasilitas dalam rangka operasi pasar terbuka sejalan dengan program moneter (Surat Berharga Pasar Uang/SBPU) lelang dan bilateral 3. Fasilitas dalam rangka penyehatan bank atau kredit likuiditas darurat dan kredit subordinasi 4. Fasilitas untuk mempertahankan kestabilan sistem perbankan dan sistem pembayaran sehubungan dengan terjadinya rush dalam bentuk penarikan cadangan wajib (Giro Wajib Minimum/GWM) atau adanya saldo negatif (saldo debet atau overdraft) bank di BI. 5. Fasilitas untuk mempertahankan kepercayaan masyarakat pada perbankan dalam bentuk dana talangan untuk membayar kewajiban luar negeri bank dan untuk pelaksanaan sistem penjaminan. Berdasarkan uraian-uraian tersebut, secara sederhana dapat dinyatakan, BLBI adalah bantuan pinjaman dana yang diberikan BI kepada sejumlah bank yang mengalami krisis likuiditas atau krisis persediaan uang saat terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Bantuan dana itu terutama disalurkan melalui mekanisme yang disebut dengan kliring, yaitu penalangan yang dilakukan BI terhadap pembayaran kewajiban-kewajiban bank yang tidak mampu melunasi kewajibannya. Dengan demikian, melalui pengucuran BLBI, bank-bank dibantu untuk dapat memenuhi kewajiban- kewajiban pembayarannya kepada pihak ketiga, khususnya nasabah. Seperti diketahui, pada saat krisis moneter, terjadi aksirush atau penarikan uang besar-besaran oleh masyarakat yang membuat persediaan likuiditas bank terkuras. Kondisi tersebut membuat bank kesulitan dalam membayar dana nasabah-nasabahnya, sehingga membutuhkan bantuan dari BI. Jadi, pengucuran BLBI terutama ditujukan untuk menjamin pembayaran dana nasabah oleh bank yang bersangkutan. Dengan penjaminan tersebut, diharapkan masyarakat dapat pulih kepercayaannya kepada perbankan. Pengucuran BLBI juga merupakan implementasi dari salah satu langkah ketahanan ekonomi nasional yang diputuskan dalam Rapat Kabinet pada 3

Definisi dan Pengertian BLBI/ 3 September 1997di bawah kepemimpinan Presiden Soeharto . Langkah ketahanan ekonomi nasional yang dimaksud adalah keputusan bahwa: · Bank-bank nasional yang sehat namun mengalami kesulitan likuiditas untuk sementara akan dibantu. · Bank-bank yang secara nyata tidak sehat diupayakan penggabungan atau akuisisi dengan bank-bank lain yang sehat. Jika upaya itu tidak berhasil, akan dilikuidasi sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku dengan mengamankan semaksimal mungkin kepentingan para deposan, terutama deposan kecil.

Bentuk-bentuk Fasilitas BLBI Seperti telah disinggung sebelumnya, dana BLBI dikucurkan kepada pihak perbankan dalam sebuah mekanisme yang disebut kliring. Kliring adalah proses yang menunjukkan posisi tagihan dan kewajiban yang dimiliki setiap bank kepada bank lainnya. Proses kliring umumnya dilakukan setiap hari di lembaga penyelenggara kliring, yaitu BI atau bank lain yang ditunjuk BI. Melalui kliring, bank-bank ditetapkan posisi hak dan kewajibannya (menerima pembayaran dan sebaliknya melakukan pembayaran) pada periode tersebut. Ketika terjadi krisis, karena mengalami penarikan dana besar-besaran oleh nasabah, posisi pembayaran sejumlah bank yang mengikuti proses kliring menunjukkan kedudukan negatif. Artinya, jumlah kewajiban yang harus dibayarkan lebih besar daripada jumlah pembayaran yang diterima. Dinyatakan, bank tersebut mengalami kalah kliring. Dalam kegiatan kliring yang dilaksanakan BI, suatu bank tidak dapat menolak penarikan dana nasabah dan kreditur lainnya, meskipun dana yang ada pada rekening giro bank tersebut tidak mencukupi lagi. Karena itu, jika hasil penghitungan kliring (disebut sebagainetting ) suatu bank menunjukkan mereka telah kalah kliring, maka mereka harus mencari sumber pendanaan untuk menutupi kekurangan tersebut. Pada awalnya, sumber pendanaan diperoleh dari dana simpanan bank itu sendiri atau pinjaman yang diperoleh dari bank lain (yang biasanya memberlakukan bunga sangat tinggi). Ketika kedua sumber pinjaman ini

4/ Definisi dan Pengertian BLBI tidak mencukupi, maka kekurangan pembayaran akan diambil dari rekening giro mereka di BI. Jika penarikan rekening giro di BI terus berlanjut, maka bank tersebut akan sampai pada tahap penyusutan Giro Wajib Minimum (GWM) mereka di BI, yaitu jumlah dana simpanan wajib mereka di BI. Saat krisis, rekening giro sejumlah bank terus ditarik hingga GWM yang mereka miliki pun telah berada pada posisi negatif(overdraft) . Di saat itulah, pemberian fasilitas berupa BLBI diberikan BI. Dengan demikian, bentuk-bentuk fasilitas BLBI dapat diuraikan sebagai berikut: 1. Saldo Debet Seperti telah dinyatakan di atas, bank yang mengalami kalah kliring pada akhirnya dapat menyebabkan rekening giro mereka di BI berada pada posisi negatif. Hal ini dinamakan sebagai saldo debet atauoverdraft . Sesuai dengan ketentuan, jika suatu bank telah mengalami saldo debet, maka bank tersebut sudah tidak bisa lagi mengikuti proses kliring kecuali ia menutup kekurangannya sebelum kliring hari berikutnya dimulai. Jika tidak, bank tersebut dinyatakan diskors (dihentikan sementara) keikutsertaannya sebagai peserta kliring. Namun, ketika krisis, pada kenyataannya Direksi BI tidak memberi sanksi skors terhadap sejumlah bank yang mengalami saldo debet dengan berbagai pertimbangan. Sejumlah bank tersebut diizinkan untuk melanjutkan proses kliring hingga beberapa waktu berikutnya, sementara kewajiban-kewajibannya dibayarkan oleh BI dengan menggunakan dana talangan. Fasilitas inilah yang dinamakan sebagai fasilitas saldo debet dan merupakan salah satu bentuk fasilitas BLBI yang diberikan BI. 2. Fasilitas Diskonto I & II (Fasdis I & II) Pada intinya, fasilitas diskonto (fasdis) merupakan pembelian surat berharga berupa promes (promes dan aset bank untuk Fasdis II) oleh BI dari bank-bank yang mengalami saldo debet. Hal ini dilakukan untuk mengkonversi (menukar) saldo debet bank di BI ke dalam bentuk yang lebih memberikan jaminan dan ikatan hukum. Sesuai dengan ketentuan BI, jumlah maksimum fasdis yang diberikan kepada bank adalah sebesar 3%-5% dari dana pihak ketiga (DPK) yang berhasil dikumpulkan bank tersebut. Namun, dalam perkembangannya, penetapan jumlah maksimum fasdis

Definisi dan Pengertian BLBI/ 5 akhirnya diserahkan kepada Direksi BI, yang nilainya sebesar saldo debet bank yang bersangkutan di BI, meskipun nilainya jauh di atas standar yang ditetapkan. Meskipun pemberian fasdis bertujuan untuk menghilangkan saldo debet, pada akhirnya tagihan BI kembali dibebankan ke dalam rekening giro bank di BI (bank tetap bersaldo debet), karena hingga jangka waktu yang ditentukan bank tidak juga mampu melunasi fasdis yang diperolehnya. Ironisnya, jaminan yang telah diambil BI ternyata juga dikembalikan kepada pemilik bank. 3. Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK) Tidak jauh berbeda dengan fasdis, fasilitas ini juga bertujuan untuk menghapus saldo debet bank-bank di BI. FSBPUK adalah pembelian promes nasabah bank-bank yang bersaldo debet oleh BI, dengan perjanjian bank tersebut wajib membeli membeli kembali promes nasabah itu dalam jangka waktu yang ditentukan atau saat jatuh tempo. Pembelian promes nasabah harus disertai dengan jaminan tambahan senilai 50% dari FSBPUK yang diberikan. Dalam praktiknya, fasilitas ini juga mengalami banyak penyimpangan. Antara lain, BI ternyata tidak memberi sanksi pembatalan FSBPUK atas bank-bank yang tidak menyerahkan promes nasabah dan jaminan tambahan. BI justru menyetujui penggantian promes nasabah cukup denganpersonal guarantee atau corporate guarantee tanpa didahului dengan penilaian yang layak. 4. New Fasilitas Diskonto (New Fasdis) New fasdis merupakan pengulangan dari pemberian fasdis-fasdis sebelumnya, sehingga tidak memiliki banyak perbedaan secara substansi, yaitu pembelian promes bank oleh BI beserta jaminan-jaminannya. Bedanya, new fasdis memiliki jangka waktu pengembalian yang lebih panjang. 5. Fasilitas Saldo Debet (FSD) FSD sebenarnya adalah pengikatan hukum atas pemberian fasilitas saldo debet yang telah dilakukan sebelumnya. FSD mengikat saldo debet bank-bank dengan Akta Pengakuan Hutang (APH) dan Akta Pengakuan Hutang dengan Jaminan (APHJ). FSD diberikan untuk mengkonversi saldo

6/ Definisi dan Pengertian BLBI debet bank-bank di BI dalam kurun waktu 31 Desember 1997 s.d. 31 Juli 1998. Penyimpangan yang terjadi dalam pemberian fasilitas ini antara lain adalah tidak diberikannya sanksi yang tegas terhadap bank-bank yang tidak menyerahkan jaminan aset untuk memperoleh fasilitas ini. Selain itu, sebagian besar bank juga ternyata menggunakan aset yang pernah dijaminkan untuk fasilitas BLBI lainnya sebagai jaminan untuk memperoleh fasilitas ini. Sampai hak tagih BLBI dialihkan ke pemerintah, sebagian besar FSD belum dilunasi perbankan. 6. Fasilitas Dana Talangan Fasilitas ini terdiri dari dua jenis, yaitu Dana Talangan Rupiah (DTR) dan Dana Talangan Valas (DTV). DTR diberikan BI kepada 16 bank yang dilikuidasi pemerintah (Bank Dalam Likuidasi/BDL) sebagai bentuk penalangan atas dana nasabah yang disimpan di bank tersebut. Jangka waktu pengembalian DTR ditetapkan selama 1 tahun, bunganya senilai 0%, dan pengembalian kredit diambil dari penjualan aset-aset BDL. Fasilitas ini pun tak lepas dari penyimpangan. Antara lain, jumlah dana talangan yang disalurkan BI ternyata melebihi kebutuhan sebenarnya (karena daftar nominatif atau daftar kebutuhan dana talangan yang dibuat tidak akurat), dan hanya sebagian kecil DTR yang dilunasi hingga waktu pengembalian yang ditetapkan jatuh tempo. Sementara itu, DTV diberikan sebagai pelaksanaan Frankfurt Agreement pada tanggal 4 Juni 1998, yaitu kesepakatan pemerintah dengan komite perbankan internasional untuk menalangi utang-utang pihak swasta dalam negeri (termasuk bank-bank dalam negeri) kepada pihak perbankan luar negeri. Seperti juga DTR, DTV sarat dengan sejumlah penyimpangan, antara lain BI menalangi semua kewajiban luar negeri yang dilaporkan bank termasuk kewajiban yang tidak layak ditalangi, tidak adanya prosedur verifikasi dan konfirmasi yang memadai sebelum pembayaran DTV dilaksanakan, tidak dilakukannya pengikatan hukum atas sebagian pembayaran DTV, dan tidak dipersiapkannya prosedur pengendalian yang

Definisi dan Pengertian BLBI/ 7 layak atas penggunaan DTV oleh bank dalam negeri (debitur) dan pengembalian DTV (refund ) oleh bank luar negeri (kreditur).

Beberapa Tahap Pengucuran BLBI dan Jumlahnya Meskipun kasus BLBI secara khusus lebih sering dirujuk pada jumlah dana BLBI yang dialihkan hak tagihnya dari BI kepada pemerintah (melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional/BPPN) pada tanggal 29 Januari 1999 sejumlah Rp 144,5 triliun, kasus BLBI sesungguhnya melibatkan angka yang lebih besar dan berlangsung dalam beberapa tahap. Tahap pertama, adalah pengucuran dana kepada 54 bank nasional yang dilakukan pada kurun waktu krisis (yaitu sekitar bulan September 1997 setelah Rapat Kabinet yang dipimpin oleh Soeharto memutuskan untuk memberi dana bantuan BLBI kepada pihak perbankan) hingga 29 Januari 1999 (posisi terakhir saat hak tagih BLBI dialihkan BI kepada BPPN). Meskipun, jika dirunut lebih jauh, pengucuran BLBI tahap pertama ini sebenarnya telah dilakukan sejak sekitar tahun 1996 saat BI mulai memberi dispensasi bagi bank-bank yang telah bersaldo debet untuk terus mengikuti kliring. Beberapa bank yang menerima dispensasi itu antara lain Bank Artha Prima, Bank Harapan Sentosa, Bank Pacific, dan Bank Asta (Sukowaluyo Mintorahardjo,BLBI Simalakama: Pertaruhan Kekuasaan Presiden Soeharto , Jakarta: RESI, 2001). Nilai uang yang dikucurkan pada tahap awal ini sejumlah Rp 144,536 triliun. Awalnya, jumlah dana BLBI yang dikucurkan pada tahap satu ini diperhitungkan sejumlah Rp 164,54 triliun. Namun, saat terjadi pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah melalui BPPN pada 29 Januari 1999, dinyatakan sejumlah Rp 20 triliun diperhitungkan menjadi penyertaan modal pemerintah pada PT Bank Ekspor Impor Indonesia (Persero), sehingga jumlah yang dialihkan menjadi sebesar Rp 144,5 triliun. Jumlah Rp 144,5 triliun itu terdiri atas surat utang pemerintah kepada BI pada 25 September 1998 sebesar Rp 80 triliun dan surat utang pemerintah pada 8 Februari 1999 senilai Rp 64,536 triliun. Penerima kucuran dana BLBI tahap satu ini antara lain Syamsul Nursalim (BDNI) Rp 37,04 triliun, Soedono Salim atau Liem Sioe Liong (BCA) Rp 26,596 triliun, Usman Admajaya (Bank Danamon) Rp 23,050

8/ Definisi dan Pengertian BLBI triliun, Bob Hasan (BUN) Rp 12,068 triliun, dan Hendra Rahardja (BHS) Rp 3,866 triliun. Tahap kedua, terjadi pada kurun waktu Februari 1999 hingga Mei 1999. Hal ini terjadi karena BI ternyata masih mengucurkan dana BLBI kepada pihak perbankan setelah pengalihan hak tagih BLBI dari BI ke BPPN. Penyaluran BLBI diberikan dalam bentuk fasilitas saldo debet kepada sejumlah bank, baik yang berstatus BDP (Bank Dalam Penyehatan) maupun berstatus non BDP. BI beralasan, penyaluran BLBI itu dilakukan karena program penyelamatan bank-bank saat itu belum selesai dilaksanakan. Sementara itu, pemerintah sendiri belum dapat menyediakan dana. Karena itulah, kebijakan penyaluran tambahan BLBI akhirnya dilakukan oleh BI. Jumlah tambahan BLBI ini adalah sebesar Rp 14,447 triliun (sesuai dengan perhitungan penyaluran BLBI pada tanggal 29 Januari 1999 hingga 14 Mei 1999). Tahap selanjutnya dalam pengucuran BLBI adalah melalui program penjaminan perbankan yang disebut denganblanket guarantee. Program penjaminan perbankan dilaksanakan berdasarkan Keppres No. 26 Tahun 1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum. Program ini terutama dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan publik terhadap perbankan yang saat itu sedang terpuruk, yang ditandai dengan derasnyarush pada sejumlah bank. Melalui program ini, pemerintah menjamin pembayaran dana nasabah yang terdapat pada sejumlah bank, berapapun jumlahnya. Dalam rangka menyediakan dana untuk program penjaminan tersebut, pada tanggal 28 Mei 1999, pemerintah menerbitkan Surat Utang Pemerintah (SUP) bernomor SU-004/MK/1999 sebesar Rp 53,779 triliun (seperti terlihat, dana untuk program penjaminan perbankan baru dapat disediakan pemerintah lebih dari setahun setelah kebijakan itu dikeluarkan). Dari jumlah itu, kemudian ditetapkan bahwa dana yang digunakan untuk program penjaminan adalah sebesar Rp 39,322 triliun, sedangkan sisanya sebesar Rp 14,447 triliun digunakan untuk mengambil alih hak tagih tambahan BLBI dari BI (sempat terjadi kontroversi karena pemerintah pada awalnya tidak bersedia menerima pengalihan hak tagih tambahan BLBI tersebut dari BI). Sehingga, jumlah BLBI yang dikucurkan untuk tahap penjaminan perbankan ini adalah Rp 39,322 triliun.

Definisi dan Pengertian BLBI/ 9 Setelah tiga tahap penyaluran BLBI tersebut, suntikan dana ke pihak perbankan dilanjutkan melalui program rekapitalisasi perbankan. Walaupun dinyatakan terpisah dengan kasus BLBI, namun pada hakikatnya program ini merupakan kelanjutan dari pengucuran BLBI, sebagai bagian tak terpisahkan dari rangkaian kebijakan penyelamatan perbankan di saat krisis. Bank-bank yang mengikuti program ini pun, sebagian besarnya merupakan bank-bank yang sebelumnya telah menerima dana BLBI. Dalam hal jumlah uang negara yang dikeluarkan, program rekapitalisasi perbankan bahkan menghabiskan uang yang jauh lebih besar. Untuk program ini, pemerintah menyuntikkan dana berupa obligasi atau surat utang (dikenal denganobligasi rekapitalisasi/OR ) sekitar Rp 431,6 triliun kepada pihak perbankan. Penerbitan obligasi dilakukan karena pemerintah tidak memiliki dana tunai untuk menyetorkan modal dalam bentuk uang kepada bank-bank rekap. Namun akibatnya, pemerintah harus menyisihkan dana setiap tahunnya dari APBN untuk membayar pokok dan bunga obligasi rekap kepada perbankan. Ditambah dengan bunga yang harus dibayarkan, jumlah total uang yang harus dikeluarkan pemerintah dalam program ini paling sedikit mencapai nilai Rp 1.031 triliun. Jumlah ini akan kian membengkak jika pemerintah melakukan pengunduran jadwal atas pembayaran pokok maupun bunga obligasi tersebut. Dalam skenario yang paling buruk, nilai total obligasi rekap yang harus dibayarkan pemerintah mencapai Rp 2.000 triliun. Pengucuran obligasi rekap sendiri merupakan implementasi dari rekomendasi IMF untuk meningkatkan rasio pemodalan bank-bank nasional (dikenal dengan istilahcapital adequacy ratio /CAR) hingga di atas angka 8% pada tahun 2001. Peningkatan modal itu dinyatakan diperlukan untuk menstabilkan kondisi perbankan nasional. Dengan modal yang cukup, bank dapat menjamin kemampuannya dalam membayar kewajiban- kewajibannya, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan kembali pulih. Pada kenyataannya, pengucuran obligasi rekap memang berdampak pada peningkatan kinerja beberapa bank penerimanya. Hal ini terutama karena bank-bank tersebut memperoleh pendapatan rutin dari pembayaran bunga obligasi rekap yang diberikan pemerintah. Namun, yang perlu dicatat, laba yang diperoleh pihak perbankan itu harus dibayar mahal oleh seluruh

10/ Definisi dan Pengertian BLBI rakyat Indonesia melalui beban pembayaran obligasi rekap tiap tahunnya dalam APBN. Ada 3 kategori utama bank-bank peserta Program Rekapitalisasi Perbankan untuk menerima obligasi rekap, berdasarkan jenis serta kepemilikan bank tersebut, yaitu: Bank Umum, diantaranya PT. Bank Lippo Tbk., PT. Bank Internasional Indonesia Tbk., PT. Bank Bali Tbk., PT. Bank Umum Koperasi Indonesia, PT. Bank Universal Tbk., PT. Bank Prima Express, PT. Bank Arta Media, PT. Bank Patriot, PT. Bank Central Asia, PT. Bank Danamon Indonesia Tbk., PT. Bank Tiara Asia Tbk., PT. Bank PDFCI Tbk. and PT. Bank Niaga Tbk.; Bank BUMN, diantaranya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., and PT. Bank Mandiri.; Bank Pembangunan Daerah, di antaranya BPD Daerah Istimewa , BPD Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD Daerah Khusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Maluku, BPD Nusa Tenggara Barat and BPD Nusa Tenggara Timur. Persoalan lebih serius muncul ketika bank-bank yang telah menerima kucuran obligasi rekap dari pemerintah tersebut kemudian satu demi satu dijual dengan harga yang jauh di bawah nilai asetnya. Hal ini terjadi karena pada saat dilaksanakan divestasi atau penjualan atas bank-bank rekap, bank yang bersangkutan masih memiliki obligasi rekap dalam portofolio investasinya, yang nilainya berlipat-lipat lebih besar dibanding harga penjualannya. Contoh paling fenomenal dalam hal ini adalah kasus penjualan 51% saham BCA yang memiliki tagihan obligasi rekap senilai Rp 60,9 triliun dengan harga hanya Rp 5,3 triliun saja.

Definisi dan Pengertian BLBI/ 11

Bab 2

LATAR BELAKANG DAN KRONOLOGI SKANDAL BLBI

Marwan Batubara

Latar Belakang : Krisis Ekonomi 1997 Kebijakan pengucuran BLBI oleh pemerintah tak dapat dilepaskan dari kondisi krisis ekonomi yang secara cepat menjalar ke berbagai sektor perekonomian di Indonesia saat itu, khususnya sektor perbankan. Krisis bermula dari krisis ekonomi yang secara umum terjadi pada negara-negara Asia di tahun 1997. Diawali dengan terpukulnya nilai rupiah terhadap dolar, menyusul jatuhnya nilai Baht di Thailand. Baht yang selama 10 tahun terakhir diperdagangkan dengan nilai 25 per dolar, dalam waktu semalam saja mendadak merosot nilainya hingga 25%. Hal ini memicu aksi spekulan mata uang untuk menyebar dan menghantam Malaysia, Korea, Filipina, dan Indonesia. Begitu besarnya kontribusi aksi spekulan terhadap krisis, sehingga dinyatakan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997 di sejumlah wilayah

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/ 13 Asia berakar pada terdepresiasinya nilai mata uang lokal (rupiah untuk kasus Indonesia) terhadap dolar sebagai akibat dari permainan para spekulan. Selain aksi spekulan, penyebaran krisis juga terjadi sebagai akibat dari spillover. Yaitu dampak keterkaitan perdagangan (trade linkages) antar negara, dimana devaluasi di suatu negara (dalam hal ini Thailand) akan berimbas padapartner dagangnya (negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia). Imbas tersebut akan kian kuat jika kedua negara memiliki fondasi ekonomi yang sama-sama rapuh, seperti halnya Indonesia dan Thailand. Ironisnya, meskipun bermula di Thailand, pada akhirnya Indonesia merupakan negara yang paling parah mengalami dampak krisis. Tercatat, pasar modal jatuh lebih dari 80% dan nilai tukar rupiah merosot 75% terhadap dolar. Mengatasi hal itu, Bank Indonesia lalu melakukan sejumlah upaya untuk meredam gejolak rupiah. Diantara langkah-langkah yang dilakukan BI saat itu adalah meningkatkan intervensi terhadap nilai tukar rupiah, menaikkan suku bunga, dan menghentikan sementara transaksi surat berharga pasar uang (SBPU). Melalui berbagai langkah itu, BI berupaya mengetatkan likuiditas (membatasi jumlah uang beredar), sehingga nilai rupiah dapat distabilkan. Namun, sejumlah kebijakan moneter pemerintah tersebut justru mengakibatkan krisis semakin menjadi. Pelebaran rentang intervensi terhadap nilai tukar rupiah, misalnya, ternyata sama sekali tidak berhasil menstabilkan nilai tukar rupiah. Padahal, kebijakan tersebut menguras habis cadangan devisa dalam waktu singkat. Dalam waktu tiga hari saja selama intervensi dilakukan (11 Juli14 Juli 1997), negara harus menggelontorkan dana US$ 500 juta untuk membantu posisi nilai tukar rupiah dengan membanjiri pasar uang dengan dolar. Akhirnya, ketika rupiah terus tertekan, BI pun menyerah dan memutuskan untuk mengambil kebijakan kurs mengambang (menghentikan intervensi terhadap nilai tukar rupiah). Hal ini membuat kepercayaan investor jatuh, dan menarik modalnya dari pasar modal dan pasar mata uang. Sementara itu, kebijakan pemerintah menaikkan tingkat suku bunga BI, diikuti dengan melonjaknya suku bunga antar bank secara drastis dari

14/ Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI semula berada pada kisaran 16%-17% menjadi 100%. Suku bunga antar bank bahkan sempat mencapai angka 300% pada 22 Agustus 1997. Hal ini membuat bank mengalami kelangkaan likuiditas (persediaan uang) yang kemudian semakin membuat kondisi perbankan pada kondisi kritis. Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan memaksa bank untuk menghimpun dana masyarakat melalui peningkatan suku bunga deposito. Tetapi, kenaikan suku bunga deposito ini juga menyebabkan naiknya suku bunga pinjaman. Akibatnya, kredit bermasalah ataunon performing loan pun bertambah karena sejumlah kreditor tidak sanggup membayar utang- utangnya. Kesulitan likuiditas juga membuat banyak bank melanggar ketentuan Giro Wajib Minimum (GWM) di Bank Indonesia. GWM merupakan dana cadangan yang wajib disetorkan setiap bank ke BI agar dapat mengikuti kliring, yang jumlah minimumnya ditetapkan sebesar 5% (hal ini meningkat dari sebelumnya 3%). Kelangkaan likuiditas mengakibatkan banyak bank mengalami kalah kliring atau saldo rekening gironya di BI berada dalam posisi debet/minus. Berita mengenai kalah kliring sejumlah bank ini, ditambah dengan rumor- rumor lain seperti bank yang rugi dalam transaksi valas dan larinya beberapa bankir ke luar negeri, memicu keresahan masyarakat atas kondisi perbankan dan akhirnya mengakibatkan terjadinyarush (penarikan uang dari bank secara serentak). Apalagi, kemudian pemerintah melakukan likuidasi atas 16 bank nasional, sehingga membuat keresahan masyarakat kian meluas. Dalam situasi kritis itulah, kebijakan untuk mengucurkan BLBI secara besar-besaran diputuskan pemerintah. Program ini dimaksudkan untuk membantu bank-bank yang sehat namun mengalami kesulitan likuiditas. Melalui hal itu, diharapkan kondisi perbankan nasional yang tengah kritis dapat diselamatkan. Meskipun, pada kenyataannya, BLBI ternyata juga dikucurkan kepada bank-bank yang terbukti tidak sehat. Hal ini akhirnya menimbulkan pertanyaan tentang maksud sesungguhnya di balik pengucuran BLBI, yang dicurigai hanya sebagai bentuk penyelamatan kekayaan keluarga penguasa.

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/ 15 Kronologi Peristiwa Skandal BLBI Selanjutnya, secara kronologis, pengucuran BLBI dan praktik korupsi yang terdapat di dalamnya, terjadi melalui tahapan-tahapan peristiwa sebagai berikut. Juli 1997 Rangkaian krisis dimulai dengan terjadinya gejolak moneter, yaitu merosotnya secara tajam kepercayaan terhadap rupiah. Menyikapi hal ini, BI memperluas rentang intervensi kurs dari Rp 192 (8%) menjadi Rp 304 (12%). BI juga melakukan pengetatan likuiditas dan menaikkan suku bunga SBI dari 6% menjadi 14%. Pemerintah pun kemudian terus memperketat likuiditas dengan menghentikan untuk sementara pembelian SBPU dari bank-bank. Agustus 1997 Pemerintah melepaskan intervensi terhadap dolar dengan menerapkan sistem mengambang (managed floating ), sehingga nilai rupiah mengambang bebas (free floating ). Hal ini dilakukan untuk menyelamatkan devisa yang terkuras akibat dikucurkannya dolar dalam tindakan intervensi kurs yang dilakukan sebelumnya. Dolar melonjak drastis, sehingga terjadi kepanikan dan gerakan pembelian dolar dalam jumlah besar. Pemerintah akhirya mengambil kebijakan moneter sangat ketat. Dana yayasan milik pemerintah dan BUMN dialihkan ke SBI. BI menaikkan suku bunga menjadi sebesar 30% (jangka waktu 1 bulan) dan 28% (jangka waktu 3 bulan). SBI Repo, fasdis, KLBI, dan fasilitas-fasilitas BI lainnya juga dihentikan sementara. Saldo debet bank-bank selanjutnya meningkat drastis, sehingga mereka meminta kebijakan pelonggaran likuiditas dari BI. Hal ini pada gilirannya membuat BI melonggarkan penyaluran BLBI. Direksi BI juga menyetujui beberapa bank bersaldo debet untuk melakukan penarikan tunai (Bank Harapan Sentosa, Bank Nasional, Bank Nusa). Tingkat bunga di pasar uang melonjak drastis, seperti misalnya tingkat bunga pinjaman antar bank (overnight ) meningkat hingga 100%. Investor, terutama luar negeri, melakukan aksi jual saham sehingga menyebabkan IHSG anjlok. Parafund managers juga menarik dana mereka.

16/ Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI September 1997 Pada tanggal 3 September, Presiden Soeharto memimpin rapat kabinet yang menyetujui pengucuran BLBI untuk menolong permodalan bank- bank yang sedang kritis. Pemerintah mulai melonggarkan likuiditas, ditandai dengan diturunkannya suku bunga SBI sebanyak 3 kali. Beredar rumor di masyarakat tentang bank-bank kalah kliring, transaksi valas merugi, larinya beberapa bankir ke luar negeri, dan bahkan penculikan pemilik bank. Kondisi-kondisi ini praktis membuat masyarakat panik dan kehilangan kepercayaan terhadap bank. Akibatnya, terjadirush besar- besaran. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan kebijakan pengucuran BLBI untuk memadamkanrush (setelah rapat kabinet yang dipimpin langsung Presiden pada 3 September 1997). Oktober 1997 Dalam kondisi perekonomian yang kian terpuruk, pemerintah akhirnya meminta bantuan kepada IMF. Pada tanggal 30 Oktober 1997, LoI pemerintah dengan IMF ditandatangani (pemerintah diwakili Menkeu Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono). Dengan penandatanganan ini, pemerintah sepakat untuk mengikatkan diri pada syarat-syarat ketat yang diberlakukan IMF. Inti dari kesepakatan dengan IMF mencakup agenda-agenda seperti restrukturisasi perbankan, restrukturisasi perekonomian, pengetatan likuiditas, serta menaikkan tingkat suku bunga. Salah satu kesepakatan yang menonjol adalah rencana penutupan 16 bank nasional. Pada saat itu beredar selebaran gelap tentang bank-bank yang akan ditutup. Akibatnya, kembali terjadirush . November 1997 Pada tanggal 1 November, 16 bank dilikuidasi berdasarkan SK Menteri Keuangan No. Peng 86/1997. Kepercayaan terhadap bank semakin merosot, kembali terjadirush besar-besaran. Beredar pula rumor tentang bank-bank yang akan dilikuidasi tahap kedua. Bank-bank akhirnya meminta bantuan fasilitas BI sebagaithe lender of the last resort .

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/ 17 Kemudian terjadicapital flight . BLBI meningkat karena rush terus terjadi. Akibatnya jumlah bank yang bersaldo negatif bertambah banyak. Desember 1997 Terjadi perombakan Direksi BI (4 orang diberhentikan), diangkat direktur baru (Miranda Gultom dan Aulia Pohan). Sementara itu,rush dan capital flight terus meningkat. Pada pekan awal Desember, BI kemudian mempersiapkan kebijakan untuk menukar saldo debet bank-bank di BI yang kian membengkak dengan pemberian fasilitas SBPUK. Misalnya Bank Danamon, disetujui untuk memperoleh SBPUK senilai Rp 6 triliun. Kebijakan pemberian SBPUK kepada beberapa bank akhirnya disetujui Presiden pada 27 Desember 1997. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar tidak banyak bank-bank yang bersaldo debet semakin kekurangan likuiditas pada akhir tahun 1997. Sehingga, pada bulan ini terjadi lonjakan penyaluran BLBI dalam jumlah yang signifikan, hingga mencapai Rp 66 triliun. Pada waktu bersamaan, terjadi pula lonjakan harga dolar yang sudah menembus Rp 5.000 per dolar. Angka ini terus melonjak hingga mencapai Rp 15.000 per dolar pada Januari 1998. Jadi terlihat ada kaitan antara terjadinyarush yang menggunakan dana BLBI, dengan kenaikan dolar. Terindikasi, dana BLBI yang di-rush , justru digunakan untuk membeli dolar. Januari 1998 Pada bulan ini pemerintah mengumumkan RAPBN 1998 yang antara lain mengasumsikan kurs rupiah Rp 4.000 per dollar, inflasi 9%, serta pertumbuhan ekonomi sebesar 4%. Namun, RAPBN ini tidak mendapat kepercayan pasar. Letter of intent (Lol) antara pemerintah dengan IMF ditandangani pada tanggal 15 Januari. Tidak seperti sebelumnya, kali ini untuk pertama kalinya Presiden Soeharto sendiri yang menandatangani LoI, disaksikan oleh Michael Camdesus di kediaman Soeharto di Cendana. Hal ini juga mengundang pertanyaan tentang keretakan hubungan Soeharto dengan Menteri Keuangan dan Gubernur BI (sebagai buntut dari pencabutan izin

18/ Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI 16 bank). Presiden Soeharto kemudian membentuk Dewan Pemantapan dan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK), sehingga memegang sendiri kendali perekonomian nasional. Muncul juga gagasan tentang pemberlakuancurrency board system (CBS). Pada 22 Januari, nilai dolar mencapai Rp 17.000 per dolar. Sementara itu,letter of credit (L/C) perbankan nasional di luar negeri ditolak. Termasuk L/C untuk impor bahan-bahan baku dan barang-barang modal berorientasi ekspor. Hal ini membuat sektor riil macet. Kondisi perbankan nasional pun memburuk dan kebutuhan likuiditas meningkat. Selanjutnya, pada tanggal 26 Januari, pemerintah mengeluarkan Keppres No.26/1998 tentang program Penjaminan Pemerintah untuk mengatasi krisis kepercayaan terhadap perbankan. Intinya, Keppres ini menyatakan bahwa pemerintah memutuskan untuk menjamin seluruh kewajiban pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan krediturnya. Keputusan ini juga didorong oleh kenyataan tingginya penarikan dana masyarakat dari perbankan saat itu. Sebagai wujud dari pelaksanaan program penjaminan, dibentuk BPPN melalui Keppres No. 27 tahun 1998 yang bertugas melakukan penagihan utang kepada pihak obligor. Dengan demikian, penyelesaian kewajiban BLBI dialihkan dari BI ke BPPN. Pada saat yang hampir bersamaan, pemerintah juga membentuk Tim Penanggulangan Masalah Utang-Utang Swasta (TPMSUI) yang diketuai Radius Prawiro. Tim mengumumkan pilihan bebas dalam pembayaran utang luar negeri. Debitur yang sanggup membayar dipersilakan jalan terus. Sedangkan, bagi debitur yang tidak mampu, pemerintah akan mencarikan jalan keluar melalui negosiasi dengan kreditur. Di kemudian hari, pemerintah akhirnya menanggung pembayaran debitur yang tak mampu bayar melalui fasilitas BLBI yang dinamai dana talangan valas (DTV). Dalam kaitan itu, pada tanggal 15 Januari, Menko Ekuin Ginandjar Kartasasmita memerintahkan BI untuk membayar L/C bank swasta senilai US$ 900 juta berdasarkanFrankfurt Agreement . Februari 1998 Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad memberikan persetujuan atas pembayaran penuh simpanan dana pihak ketiga yang ada di 16 bank yang

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/ 19 dilikuidasi. Sebelumnya, terjadi pemecatan atas Gubernur BI Soedradjad Djiwandono dan Boediono. Posisi Soedradjad kemudian digantikan Sjahril Sabirin. Maret 1998 BI menaikkan suku bunga SBI dan denda Giro Wajib Minimum sebesar 150%, 200%, dan 400% dari suku bunga JIBOR (Jakarta Inter Bank Offer Rate) Overnight . BI juga menaikkan bunga saldo debet sebesar 500% dari suku bunga JIBOROvernight . Kenaikan besar-besaran tingkat suku bunga ini dimaksudkan agar bank-bank tidak menggunakan saldo debet dan bisa dengan cepat mengembalikan BLBI yang diterimanya. Pada bulan ini, pemerintah juga menetapkan ketentuan permodalan bagi bank-bank umum melalui PP No.38 Tahun 1998, yaitu mewajibkan penyesuaian modal setor menjadi Rp 1 triliun pada 1 Desember 1998, Rp 2 triliun pada 31 Desember 2000, dan Rp 3 triliun pada 31 Desember 2003. April 1998 Pemerintah melalui Menkeu Fuad Bawazier membekukan 7 bank dan mengambil alih 7 bank lainnya. Diantara bank-bank yang dibekukan tersebut (BBO) adalah Bank Kredit Asia, Bank Subentra, Bank Hokindo, dan Bank Surya. Diantara bank-bank yang diambil alih (take over ) adalah Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI), Bank Danamon, Bank Umum Nasional, Bank Modern, dan Bank Exim. Selain itu, pemerintah juga mengumumkan 40 bank merupakan bank dalam penyehatan. Kebijakan ini akhirnya menyebabkan terjadinya peningkatan atas jumlah BLBI yang dikucurkan, karena bank-bank tersebut mengalami saldo debet yang kian besar, seiring dengan jatuhnya kepercayaan masyarakat kepada perbankan. Pemerintah juga terus mengetatkan likuiditas, seperti menaikkan suku bunga SBI menjadi berada pada kisaran 9,52%-16,67%. Hasilnya, rupiah menguat menjadi Rp 7.800 per dolar, namun inflasi juga meningkat. Sementara itu, tingginya suku bunga dan kenaikan kurs dolar mengakibatkan sejumlah kredit perbankan mengalami macet. Akibatnya, CAR bank mengalami penurunan drastis. Bank-bank yang menerima BLBI juga mengalami tekanan bunga yang sangat tinggi, sehingga ikut menambah

20/ Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI pembengkakan jumlah BLBI yang dikucurkan (akibat tingginya bunga yang diberlakukan). Dilakukan penggantian lagi atas Direksi BI, sehingga anggota Direksi BI di bawah kepemimpinan Soedradjad telah diganti sepenuhnya. Kepemimpinan BI menjadi di tangan Syahril Sabirin (Gubernur BI), Aulia Pohan, Miranda Gultom, Iwan Prawiranata, Soebardjo Djojosumarto, Achwan, Achjar Ilyas, dan Dono Iskandar. Mei 1998 Kerusuhan meluas di Medan dan Jakarta. Situasi politik yang memanas menyebabkan IMF menunda pencairan pinjaman senilai 1 miliar dolar AS yang sedianya diberikan pada 4 Juni 1998. Terjadi peristiwa penembakan yang menewaskan mahasiswa di Trisakti pada demonstrasi 13-15 Mei 1998. Ketidakpastian politik menyebabkan terjadinya aksi capital flight (pelarian dana ke luar negeri), sehingga terjadi kelangkaan likuiditas di dalam negeri. Rupiah tertekan pada Rp 12.600 per dolar dan nilainya terus merosot. Sejumlah menteri ekonomi menolak duduk kembali dalam kabinet. Beberapa tokoh masyarakat juga menolak diangkat dalam Dewan Reformasi yang dibentuk Presiden Soeharto. Tekanan demi tekanan ini akhirnya membuat Soeharto mengundurkan diri sebagai Presiden pada 20 Mei 1998. Agustus 1998 Pada tanggal21 Agustus, Pemerintah menandatangani skema PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) dalam bentuk MSAA dan MRA dengan Anthony Salim (BCA), Sjamsul Nursalim (BDNI), Sudwikatmono (Surya-Subentra), dan Usman Admadjaja (Danamon). Oktober 1998 Menteri Keuangan menerbitkan Surat Utang Pemerintah sebesar Rp 20 triliun untuk mengkonversikan BLBI menjadi penyertaan modal sementara pemerintah pada Bank Exim. Dengan demikian, utang Bank Exim kepada BI sebesar Rp 20 triliun telah dipindahkan menjadi kewajiban pemerintah.

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/ 21 September 1998 Dibuat klausul release and discharge (R & D) pada 21 September, yang membebaskan obligor dari tuntutan hukum asalkan sudah membayar utangnya melalui penyerahan aset. November 1998 Pada 10 November, pemerintah menetapkan pola PKPS dengan ketentuan pengembalian BLBI dijadwalkan selama 4 tahun, yaitu 27% (dari pokok dan bunga) dalam tahun pertama, dan sisanya dibagi rata selama 3 tahun berikutnya dengan bunga 30% per tahun. Pembayaran diambil dari penjualan aset bank dan aset pemilik BBO dan BTO. Namun, atas keberatan IMF, skema jangka waktu pembayaran ini diubah dari satu tahun menjadi 4 tahun. IMF beralasan skema tersebut tidak mungkin terlaksana dan akan mengganggu pemulihan ekonomi. Januari 1999 Hak tagih BLBI sebesar Rp 144,5 triliun dialihkan dari BI ke BPPN pada 29 Januari 1999. Pengalihan hak tagih ke pemerintah ini merupakan pelaksanaan agenda reformasi struktural yang disepakati dengan IMF. Keputusan pengalihan hak tagih sesuai dengan Surat Menko Ekuin Ginanjar Kartasasmita No.1799/MK/4/1998. Februari 1999 Pada 6 Februari 1999, pengalihan hak tagih BLBI dari BI kepada pemerintah secara resmi ditandatangani oleh Syahril Sabirin (Gubernur BI) dan Bambang Subianto (Menteri Keuangan RI). Selanjutnya, pada 8 Februari 1999 pemerintah menerbitkan surat utang sebesar Rp 64,5 triliun untuk membayar tambahan dana BLBI kepada BI. Hal ini karena ternyata BI diketahui mengucurkan lagi BLBI kepada sejumlah perbankan di luar BLBI senilai Rp 144,5 triliun yang dilaporkan per 29 Januari 1999. Maret 1999 Pada 13 Maret 1999 pemerintah membekukan 38 bank, mengambil alih 29 bank, dan merekapitalisasi 7 bank. 74 bank lainnya tidak mengikuti program rekapitalisasi karena pemiliknya memilih merekap sendiri banknya. Penting dicatat, sebagian besar bank yang dibekukan pemerintah ternyata merupakan bank yang sejak April menerima program rekapitalisasi

22/ Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI dari BPPN dalam rangka penyehatan perbankan. Artinya, bank-bank tersebut tetap tak terselamatkan meskipun telah menghabiskan uang negara dalam jumlah besar melalui program pengucuran BLBI maupun rekapitalisasi. Januari 2000 Pada 5 Januari, pemerintah berbeda pendapat dengan BI soal jumlah BLBI. Menurut pemerintah, BLBI adalah sejumlah Rp 164,5 triliun, yaitu jumlah awal Rp 144,5 triliun ditambah dengan pengucuran dana ke Bank Exim sejumlah Rp 20 triliun untuk menutup kerugian bank tersebut. Namun, BI mengklaim terdapat Rp 51 triliun lagi dana BLBI yang harus dibayar pemerintah dari tambahan BLBI yang dikucurkan BI kepada bank- bank yang mengalami kesulitan likuiditas selama periode November 1997- Januari 1998. Tak lama berselang, pada tanggal 29 Januari, BPK menyatakan berdasarkan audit yang dilakukannya, 95,78% dari total BLBI yang dikucurkan (Rp 144,5 triliun) tak bisa dipertanggungjawabkan. Juli 2000 Beberapa waktu berikutnya, pada 22 Juli, audit BPKP juga menunjukkan terjadi penyelewengan sejumlah Rp 54,5 triliun dari Rp 106 triliun BLBI yang diberikan kepada 10 bank beku operasi dan 32 bank beku kegiatan usaha (posisi audit per 31 Januari 2000). Agustus 2000 Sebulan kemudian, pada 5 Agustus, BPK mengumumkan hasil audit final BLBI bahwa terdapat potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun dari Rp 144,5 triliun yang dikucurkan. BPK juga menyatakan terjadi penyelewengan penggunaan BLBI sebesar Rp 84,8 triliun oleh 48 bank penerima. Sehingga, hanya Rp 34,7 triliun (25%) dana BLBI yang dapat dipertanggungjawabkan.

Latar Belakang dan Kronologi Skandal BLBI/ 23

Bab 3

KORUPSI DAN PENYELEWENGAN BLBI

Marwan Batubara

Telah diuraikan, pengucuran BLBI pada dasarnya bertujuan untuk mengatasi kekurangan likuiditas yang dialami dunia perbankan saat terjadi krisis moneter tahun 1997. Pengucuran BLBI diharapkan dapat menyelamatkan dunia perbankan dari ancaman kematian setelah persediaan uang mereka terkuras akibat macetnya pembayaran sejumlah debitur dibarengi dengan penarikan besar-besaran dana nasabah. Dalam konteks itu, pengucuran BLBI, berupa penyuntikkan dana tunai kepada pihak perbankan dapat dipahami sebagai upaya untuk mempertahankan kestabilan perbankan. Stabilnya perbankan sendiri merupakan salah satu pilar penopang kestabilan perekonomian negara secara umum. Namun, dalam praktiknya, pengucuran BLBI ternyata tidak berfungsi maksimal menolong kondisi perbankan nasional seperti tujuannya. Setelah

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 25 ratusan triliun rupiah dana dikucurkan kepada pihak perbankan, kondisi bank-bank bermasalah penerima BLBI bukannya membaik, namun malah kian sekarat. Bahkan, bank-bank tersebut satu demi satu bangkrut, sehingga dibekukan atau ditutup oleh pemerintah. Hal ini membuktikan bahwa BLBI sesungguhnya tidak banyak membawa manfaat bagi pemulihan perekonomian nasional. Di sisi lain, pengucuran BLBI justru telah menghabiskan uang negara dalam jumlah yang sangat besar, yang bebannya harus ditanggung oleh rakyat hingga saat ini dan bahkan sampai beberapa waktu mendatang. Ironisnya lagi, dana BLBI sebagian besar justru diselewengkan dan mengalir masuk ke kantong-kantong pribadi oknum perbankan, pejabat BI, maupun pemerintah. Karena itulah, oknum-oknum tersebut mutlak harus bertanggung jawab atas kerugian besar yang dialami negara akibat pengucuran BLBI. Tidak selayaknya terkurasnya uang negara hingga ratusan triliun rupiah akibat BLBI dianggap sebagai ongkos krisis yang wajar ditanggung negara. Berikut akan diuraikan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam skandal korupsi terbesar sepanjang sejarah Republik Indonesia berdiri tersebut.

Hasil Audit BPK dan BPKP atas Penyaluran dan Penggunaan BLBI Korupsi BLBI telah secara gamblang ditunjukkan dalam audit BPK dan BPKP atas 48 bank penerima BLBI dari BI. Hasil audit kedua lembaga negara tersebut menemukan terdapat penyimpangan dalam penyaluran dan penggunaan dana BLBI. Dalam hal penyaluran BLBI, kerugian negara yang diakibatkan adalah senilai Rp 138,4 triliun atau 95,8% dari total dana BLBI Rp 144,5 triliun(posisi per 29 Januari 1999). Sedangkan dalam hal penggunaan BLBI, kerugian negara yang diakibatkan adalah senilai Rp 84,842 triliun atau 58,7% dari total BLBI yang dikucurkan (data selengkapnya terkait bank-bank penerima BLBI, jenis penyimpangan yang terjadi, dan jumlah penyimpangan yang dilakukan masing-masing bank dapat dilihat pada lampiran 1, 2, 3, dan 4 bab ini).

26/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI 48 bank yang diaudit mencakup 5 Bank Take Over, 15 Bank Dalam Likuidasi, 10 Bank Beku Operasi, dan 18 Bank Beku Kegiatan Usaha. Audit dilaksanakan sejak akhir Februari 2000 s.d. 31 Juli 2000, dengan periode audit sejak bank-bank menerima BLBI s.d. 29 Januari 1999. Berikut secara garis besar temuan-temuan hasil audit BPK dan BPKP : 1. Terdapat kelemahan sistem pembinaan dan pengawasan terhadap Bank; 2. Bank-bank yang tidak sehat tetap dibiarkan beroperasi, sehingga akhirnya tergantung pada bantuan likuiditas Bl; 3. Bl tidak tegas dalam menerapkan prinsipprudential banking (kehati- hatian perbankan); 4. On site supervision (pemeriksaan langsung) yang wajib dilakukan BI terhadap bank minimal setahun sekali, tidak dapat terlaksana karena ketidakseimbangan jumlah bank yang harus diawasi dan jumlah pengawas yang tersedia; 5. Laporan-laporan berkala yang dijadikan dasar penilaian kinerja dan kesehatan bank tidak menggambarkan kondisi sebenarnya; 6. Banyak bank melakukan rekayasa laporan, sehingga penilaian tingkat kesehatan bank tidak dapat dilakukan secara obyektif. Pelanggaran yang paling umum adalah rekayasa transaksi untuk menghindari BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dengan berbagai modus operandi. Terdapat Kelemahan pada Manajemen Penyaluran BLBI BI tidak menghentikan proses kliring (pencairan dana simpanan) pada bank-bank yang rekening gironya di BI sudah bersaldo negatif (overdraft ), bahkan hingga kekurangan saldo tersebut sudah melampaui jumlah aset yang dimiliki bank. Dengan alasan menghindari efek domino krisis perbankan, BI terus mengizinkan proses kliring tanpa memberi batas nilai overdraft. Hal ini akhirnya dimanfaatkan bankir nakal untuk melakukan penarikan tunai dan transfer dana ke cabang-cabang sampai kondisi pasar uang mereda.

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 27 Penyaluran BLBI melalui mekanisme kliring menyebabkan BI tidak dapat mengetahui apakah BLBI digunakan sepenuhnya untuk menanggulangi kesulitan likuiditas akibatrush nasabah, atau justru untuk kepentingan grup pemilik bank. Lembaga kliring yang semula hanya sebagai media tukar-menukar surat berharga (warkat) dalam rangka memperlancar sistem pembayaran dan lalu lintas giral, berubah menjadi sarana penyediaan dana bagi bank-bank yang mengalami kesulitan likuiditas. BI dinilai tidak konsisten melaksanakan Program Penjaminan Kewajiban Bank Umum sebagaimana ditetapkan dalam Keppres No.26/1998, dan justru bertahan untuk memberi bantuan likuiditas kepada perbankan melalui mekanisme kliring. Terdapat Potensi Kerugian Negara Akibat Penyaluran BLBI Dalam penyaluran dana BLBI dari BI kepada pihak perbankan, ditemukan penyimpangan, kelemahan sistem, dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,442 triliun atau 95,78% dari total BLBI sejumlah Rp 144,536 triliun (posisi per 29 Januari 1999). Penyimpangan dalam penyaluran BLBI meliputi penyimpangan dalam penyaluran Saldo Debet, Fasilitas Diskonto (I, II, dan New Fasdis), Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (FSBPUK), Fasilitas Saldo Debet, Dana Talangan Rupiah, dan Dana Talangan Valas (selengkapnya lihat lampiran 1). Terdapat Penyimpangan dalam Penggunaan BLBI Ditemukan pula penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI oleh pihak perbankan yaitu sebesar Rp 84,842 triliun atau 58,70% dari total BLBI. Penyimpangan dalam penggunaan BLBI tersebut meliputi antara lain: 1. Penggunaan BLBI untuk membayar/melunasi modal pinjaman/pinjaman subordinasi (Rp 46,08 miliar); 2. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya (nilai penyimpangan Rp 46,088 miliar);

28/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI 3. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak terkait / kelompok terafiliasi (Rp 20,36 triliun); 4. Penggunaan BLBI untuk membayar kewajiban kepada pihak ketiga di luar ketentuan (Rp 4,47 triliun); 5. Penggunaan BLBI untuk transaksi surat berharga (Rp 136,90 miliar); 6. Penggunaan BLBI untuk membiayai kontrak derivatif baru atau kerugian karena kontrak derivatif lama jatuh tempo (Rp 22,46 triliun); 7. Penggunaan BLBI untuk membiayaiplacement /penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank/PUAB (Rp 9,82 triliun); 8. Penggunaan BLBI untuk membiayai ekspansi kredit atau merealisasikan kelonggaran tarik dari komitmen yang sudah ada (Rp 16,81 triliun); 9. Penggunaan BLBI untuk membiayai investasi dalam aktiva tetap (aset tak bergerak) seperti pembukaan cabang baru, rekrutmen karyawan baru, peluncuran produk baru, dan penggantian sistem baru (Rp 456,35 miliar); 10. Penggunaan BLBI untuk membiayaiover head (biaya operasional) bank umum (Rp 87,14 miliar); 11. Penggunaan BLBI untuk keperluan lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (Rp 10,06 triliun); 12. Penggunaan BLBI untuk berbagai keperluan di atas, merupakan hal yang melanggar ketentuan karena pengucuran BLBI ditujukan untuk mengatasi krisis likuiditas pada bank akibat terjadinyarush nasabah. Berdasarkan temuan-temuan tersebut, sangat wajar jika BPK menyimpulkan bahwa terdapat sangkaan tindak pidana dalam penyaluran dan penggunaan BLBI yang mengakibatkan kerugian negara. Meski demikian, pada kenyataannya, temuan BPK itu hingga saat ini belum sepenuhnya digunakan untuk mengusut tuntas penyimpangan- penyimpangan yang terjadi.

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 29 Jenis-jenis Penyimpangan dalam Penyaluran BLBI BPK dan BPKP juga mengungkapkan bahwa secara umum, penyimpangan BLBI terjadi terutama karena penyalurannya yang dilakukan melalui mekanisme kliring, padahal pemerintah telah menetapkan mekanisme program penjaminan untuk memberi bantuan kepada pihak perbankan. Program penjaminan merupakan prosedur pemberian bantuan kepada pihak perbankan yang ditetapkan pemerintah dalam Keppres No. 26/1998 tentang Jaminan terhadap Kewajiban Pembayaran Bank Umum Keppres No. 26/1998 ditetapkan pada tanggal 26 Januari 1998 dan berisi keputusan bahwa pemerintah menjamin seluruh kewajiban pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan kreditur. Dengan program penjaminan, diharapkan kepercayaan masyarakat terhadap dunia perbankan dapat dipulihkan. Dapat disimpulkan bahwa sebenarnya program ini merupakan bagian tak terpisahkan dari kebijakan pengucuran BLBI, yaitu dalam rangka penyelamatan kondisi perbankan nasional. Karena itu, pengucuran BLBI sudah seharusnya mengacu pada prosedur yang ditetapkan dalam program ini. Berdasarkan program penjaminan, setiap bank umum nasional diperbolehkan mengikuti program ini selama mereka bersedia menerima pengawasan yang lebih ketat, menyampaikan laporan yang diminta, memberikan jaminan, membayar premi, dan melaksanakan hal-hal lain yang dianggap perlu. Sehingga, pada intinya, program penjaminan memberikan persyaratan yang lebih ketat dan selektif bagi pihak perbankan untuk dapat memperoleh penjaminan dari pemerintah. Namun, dalam kenyataannya, BI dan BPPN sebagai institusi pelaksana program penyehatan perbankan, justru tidak segera melaksanakan program penjaminan. Penyaluran BLBI dibiarkan terjadi melalui mekanisme kliring. Padahal, dengan mekanisme kliring, BI dan BPPN tidak dapat mengetahui apakah kewajiban-kewajiban bank merupakan kewajiban yang dapat dijamin dengan program pemerintah atau tidak. Atas dasar hal ini, maka dapat dinyatakan bahwa tidak dilaksanakannya program penjaminan merupakan salah satu penyebab dari berbagai penyimpangan yang terjadi dalam penyaluran BLBI.

30/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI Akibatnya, penyimpangan BLBI terjadi pada hampir setiap jenis fasilitas BLBI yang diberikan BI kepada pihak perbankan. Hal ini sekali lagi menguatkan dugaan bahwa pengucuran BLBI sesungguhnya tidak didasari oleh niat baik untuk menyelamatkan kondisi perbankan, namun lebih pada upaya penyelamatan pribadi dan upaya menangguk keuntungan sebesar- besarnya dari oknum-oknum tertentu. Hal ini akhirnya membuat BPK dan BPKP mengaitkan ketidakseriusan BI dalam melaksanakan program penjaminan, dan sebaliknya membiarkan BLBI mengalir melalui mekanisme kliring, dengan keuntungan yang diperoleh BI dari pembayaran denda maupun bunga oleh pihak perbankan. Padahal, beban ini menjadi tanggungan pemerintah. Menurut BPK, dari kebijakan penyaluran BLBI, BI setidaknya memperoleh pendapatan sebesar Rp 34,57 triliun atau sekitar 23,92% dari jumlah BLBI yang dialihkan. Penyimpangan BLBI dalam setiap jenis fasilitas BLBI beserta dengan nilai penyimpangannya, dapat dilihat pada uraian berikut: 1. Saldo debet Penyimpangan dalam fasilitas saldo debet terjadi dalam bentuk pemberian dispensasi kepada setiap bank untuk terus mengikuti kliring, meskipun rekening gironya di BI telah berada pada posisi negatif dalam jumlah yang besar dan berlangsung dalam jangka waktu yang lama. BI bahkan memberikan dispensasi ini tanpa menyebutkan batas jumlah dan batas waktu yang tegas. Hal tersebut antara lain dapat dilihat pada Keputusan Rapat Direksi Bank Indonesia tertanggal 15 Agustus 2007 yang menyatakan, “Untuk mengatasi kesulitan likuiditas bank-bank yang disebabkan penarikan dana pihak ketiga dalam jumlah besar sehingga terjadi saldo giro debet di BI, diputuskan untuk diberikan kelonggaran berupa fasilitas saldo debet, sampai dengan gejolak pasar uang mereda”. Dalam keputusan tersebut, dinyatakan pula bahwa bank-bank di kantor pusat maupun cabang diperkenankan untuk menarik dana secara tunai di kantor pusat BI maupun kantor BI dalam rangka melayanirush yang dilakukan nasabah, meskipun rekening giro mereka telah bersaldo negatif (saldo debet).

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 31 Setelah keluarnya keputusan tersebut, maka dispensasi diberikan BI kepada bank-bank untuk terus mengikuti kliring, melakukan pengambilan tunai, dan melakukan transfer dana ke cabang-cabang walau telah bersaldo debet. Dispensasi juga diberikan kepada bank yang sebenarnya tidak mengajukan permohonan akan hal tersebut. Hal ini dapat terjadi karena keputusan direksi tidak menjelaskan secara detil nama-nama bank yang perlu memperoleh dispensasi, melainkan berlaku bagi semua bank secara umum. Sehingga, potensi ketidaktepatan penyaluran bantuan sangat besar terjadi. Apalagi, BI juga tidak melakukan pengecekan atas jenis-jenis transaksi yang dibayar, karena penyaluran dana melalui mekanisme kliring tidak memungkinkan hal tersebut. Sehingga, BI tidak dapat mengetahui apakah BLBI yang disalurkan melalui mekanisme kliring tersebut benar-benar mengalir ke nasabah. Perlu pula dicatat, pemberian dispensasi kepada perbankan untuk bersaldo debet sebenarnya sudah melanggar ketentuan hukum yang dikeluarkan oleh BI sendiri. Dalam Pasal 9 Ayat 1 Keputusan Direksi BI No.14/35/KEP/DIR/UPPB tentang penyelenggaraan kliring lokal, disebutkan bahwa peserta dapat dihentikan sementara dari kliring lokal apabila peserta (bank) yang bersangkutan mengalami salah satu kondisi berikut : · Tidak dapat menyelesaikan saldo negatif; · Keadaan administratif, pimpinan, dan keuangannya tidak memungkinkan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban dalam kliring lokal; · Melanggar ketentuan Bank Indonesia yang memuat sanksi penghentian sementara dari kliring lokal. Hal-hal di atas menunjukkan mekanisme kliring telah berubah fungsi dari mekanisme untuk memperlancar sistem pembayaran menjadi sarana penyediaan dana tunai kepada bank-bank. Karena itulah, BPK menyatakan kebijakan ini sebagai sesuatu yang tidak lazim dalam praktik bisnis perbankan. Terbukti, jumlah kerugian yang dialami negara akibat penyimpangan dalam fasilitas ini mencapai Rp 18,16 triliun atau 100% dari total dana yang

32/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI dikucurkan. Artinya, BPK menyimpulkan keseluruhan dana yang dikucurkan melalui fasilitas saldo debet tidak dapat dipertanggungjawabkan. 2. Fasilitas Diskonto I dan II Pemberian Fasdis I maupun II seharusnya mengacu pada ketentuan BI yang berlaku, yaitu Surat Keputusan Direksi BI No. 21/54/KEP/DIR tanggal 17 Oktober 1998 jo. No. 23/64/KEP/DIR tanggal 28 Feburari 1991. Menurut ketentuan tersebut, Fasdis I disediakan sebagai fasilitas untuk memperlancar pengaturan dana sehari-hari dengan jumlah maksimum sebesar 5% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) dalam rupiah. Sedangkan, Fasdis II disediakan untuk menanggulangi kesulitan likuiditas sementara sebagai akibat ketidaksesuaian (mismatch ) dalam rangka pemberian kredit jangka menengah/panjang dengan jumlah maksimum sebesar 3% dari DPK dalam rupiah. Padahal, seperti telah diuraikan sebelumnya, pada kasus BLBI, pemberian Fasdis I dan II dilakukan untuk mengkonversi saldo debet rekening bank di BI. Karena itu, pemberian fasilitas Fasdis I dan II oleh BI kepada perbankan pada kasus BLBI telah melanggar ketentuan yang berlaku. Pemberian Fasdis kepada pihak perbankan juga dilakukan sebagiannya tanpa permohonan dari bank yang bersangkutan. Fasdis diberikan secara umum kepada semua bank yang mengalami saldo debet berdasarkan rapat Direksi BI. Selain itu, penyimpangan juga terjadi ketika BI tidak melakukan sita atau eksekusi jaminan terhadap kebendaan terhadap bank-bank yang hingga Fasdis II jatuh tempo, tetap tidak dapat menutup kekurangan rekening gironya di BI (tetap bersaldo debet). Akhirnya, BI membebani kembali pelunasan Fasdis kepada rekening giro mereka di BI, yang membuat saldo debet mereka kian besar. Sementara itu, aset jaminan bank justru dikembalikan kepada bank atau pemilik bank. 3. Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus Fasilitas SBPUK diberikan kepada pihak perbankan untuk menghindari besarnya saldo debet bank di rekening giro BI. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, FSBPUK hanya dapat diberikan dengan sejumlah persyaratan tertentu. Beberapa persyaratan yang harus dipenuhi itu antara lain adalah:

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 33 · FSBPUK hanya diberikan kepada bank yang terkategorisolven (nilai CAR/rasio kecukupan modal di atas 2%); · Bank harus menyerahkan jaminan berupa aset bank/pemilik/ pengurus sebesar 50% dari FSBPUK yang diterima. Bank juga harus menyerahkan seluruh sahamnya (untuk bank yang belum go public) atau seluruh saham pendiri (untuk bank yang telah go public ); · Bank tidak lagi bersaldo negatif setelah 31 Desember 1997. Jika bank masih bersaldo debet, maka bank harus dapat melunasinya dalam waktu 1 x 24 jam. Jika belum juga mampu melunasi, maka diberikan waktu lagi selama 5 hari. Jika setelah 5 hari berturut-turut bank tidak mampu juga melunasi, maka akan dikenakan sanksi stop kliring kepada perbankan; · Bank harus melaksanakan program rehabilitasi yang disusun pengurus/pemilik bank dan disetujui oleh BI. Namun, dalam praktiknya, ternyata bank-bank melanggar berbagai persyaratan yang telah ditentukan tersebut. Pelanggaran itu antara lain: · Ditemukan bank yang mempunyai CAR di bawah 2% (Bank Pesona Kriyadana, d/h Bank Utama); · Promes nasabah yang diserahkan oleh bank kepada BI lebih kecil dari FSBPUK yang diterima; · Promes nasabah yang diserahkan bank, tidak di-endorse (didukung) oleh bank yang bersangkutan. Artinya, promes-promes nasabah yang diserahkan tersebut bukan promes yang terkategori lancar bayar; · Skala angsuran pembayaran promes nasabah yang diserahkan bank lebih pendek dibandingkan dengan skala angsuran pembayaran kembali FSBPUK yang diterima bank bersangkutan; · Nilai jaminan yaitu aset bank/pemilik/pengurus yang diserahkan kepada BI ternyata tidak mencapai 50% dari FSBPUK yang diterimanya; · Sebagian saham bank belum diserahkan kepada BI.

34/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI Selain itu, bank-bank juga tidak mentaati kewajiban-kewajibannya sebagaimana yang dipersyaratkan sebelumnya untuk menerima fasilitas SBPUK. Bentuk-bentuk ketidaktaatan itu adalah: · Bank tidak melakukan pembelian kembali promes nasabah yang dijualnya kepada BI sesuai jadwal angsuran yang ditetapkan dan disepakati dalam akta perjanjian; · Bank tidak mengganti promes nasabah yang telah jatuh tempo sebelum jadwal pembelian kembali yang ditetapkan BI dan disepakati dalam akta perjanjian; · Bank tidak melaksanakan program rehabilitasi yang telah disepakati bersama dengan BI; · Bank tetap membiarkan rekening saldonya negatif di BI, lebih dari lima hari berturut-turut. Atas berbagai pelanggaran dan ketidaktaatan pihak bank tersebut, BI tidak mengambil tindakan tegas sebagaimana yang menjadi kewenangannya, yaitu mengeksekusi jaminan berupa aset bank yang diserahkan ke BI dan mengambil alih penguasaan atas bank. Melainkan, BI langsung mendebet tagihan SBPUK yang telah jatuh tempo tersebut ke dalam rekening giro bank-bank bersangkutan di BI. Hal ini membuat jumlah saldo debet bank- bank bermasalah tersebut di BI justru berlipat, bukannya hilang sebagaimana yang menjadi tujuan awal pemberian fasilitas ini. Karena itu, BPK menyimpulkan penyaluran fasilitas ini 100% tidak dapat dipertanggungjawabkan dengan potensi kerugian negara mencapai Rp 28,23 triliun. 4. New Fasilitas Diskonto Pelanggaran yang terjadi dalam pemberian fasilitas ini adalah tetap disalurkannya New Fasdis kepada bank-bank yang tidak dapat menyerahkan jaminan berupa promes bank dan jaminan lainnya senilai dengan fasilitas yang diterimanya. Padahal, penyerahan jaminan tersebut merupakan persyaratan yang diwajibkan bagi pihak perbankan untuk dapat menerima fasilitas ini.

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 35 BPK kemudian juga menyimpulkan bahwa pemberian fasilitas ini tidak dapat dipertanggungjawabkan 100% dengan potensi kerugian mencapai Rp 28,53 triliun. 5. Fasilitas Saldo Debet Tidak jauh berbeda dengan pelanggaran yang terjadi dalam pemberian fasilitas-fasilitas BLBI sebelumnya, pelanggaran dalam pemberian fasilitas ini juga berupa tetap diberikannya FSD kepada bank-bank yang tidak menyerahkan jaminan yang dipersyaratkan. Padahal, FSD bertujuan untuk mengikat kewajiban perbankan dalam pelunasan saldo debetnya dengan jaminan dan akta notariil. Penyelewengan fasilitas ini, menurut BPK, menimbulkan potensi kerugian negara mencapai Rp 54,46 triliun atau 100% dari dana yang dikucurkan. 6. Dana TalanganValasdan Dana TalanganRupiah Dalam pemberian fasilitas DTV, BPK menilai BI telah mengabaikan prinsip kehati-hatian dan justru memberi penafsiran berlebihan terhadap Frankfurt Agreement (kesepakatan pemerintah dengan perbankan internasional untuk menanggung kewajiban pembayaran utang bank-bank nasional). Bentuk pengabaian prinsip kehati-hatian tersebut adalah: · Tidak melakukan prosedur verifikasi dan konfirmasi yang memadai sebelum memberikan DTV kepada perbankan (membayarkan utang bank nasional kepada perbankan internasional); · Pengikatan jaminan yang dilakukan kepada bank-bank nasional sebagai debitur tidak sepenuhnya dapat menjamin pengembalian DTV yang telah dikucurkan; · Melakukan pembayaran kewajiban-kewajiban yang tidak memenuhi syarat untuk ditalangi dengan fasilitas DTV; · Tidak menciptakan prosedur pengendalian atas penggunaan DTV oleh debitur (bank nasional) dan pengembalian dana (refund ) oleh kreditur (pihak perbankan luar negeri).

36/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI Tak heran, dengan berbagai penyimpangan tersebut, kerugian yang dialami negara mencapai Rp 8,91 triliun atau 90,81% dari total DTV yang dikucurkan (Rp 9,81 triliun). Sementara itu, pengucuran DTR kepada bank-bank yang akan dilikuidasi, menyeleweng karena daftar nominatif nasabah (daftar tagihan pembayaran nasabah yang akan ditalangi oleh DTR) tidak dibuat secara akurat. Akibatnya, jumlah dana talangan yang disalurkan BI melebihi kebutuhan pembayaran nasabah yang sebenarnya. Selain itu, jangka waktu pelunasan yang ditetapkan yaitu selama 1 tahun (terhitung mulai Maret 1998), namun hingga akhir Maret 2000 (saat audit dilakukan BPK) hanya sebagian kecil dana talangan tersebut yang sudah dikembalikan kepada pemerintah. Nilai kerugian negara akibat penyelewengan dalam penyaluran DTR ini adalah Rp 142,9 miliar atau 2,68% dari total DTR yang dikucurkan sebesar Rp 5,335 triliun.

Penyimpangan dalam Penggunaan BLBI Hasil audit BPK juga mengungkapkan bahwa terjadi sejumlah penyimpangan dalam penggunaan dana BLBI oleh pihak perbankan, sehingga menyebabkan kerugian bagi negara. Karena itu, BPK menyimpulkan terdapat sangkaan tindak pidana dalam kasus ini sehingga para pelakunya harus diproses secara hukum. Unsur-unsur tindak pidana dalam penggunaan BLBI ditunjukkan pada hal-hal sebagai berikut : · Penggunaan BLBI diluar kepentingan yang telah ditentukan (yaitu untuk pembayaran dana nasabah), seperti untuk melunasi pinjaman dan kewajiban pembayaran yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar utang kepada kelompok usahanya sendiri, transaksi surat berharga, melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam bentuk aktiva tetap, dan membiayaioverhead (biaya operasional bank). Total penyimpangan yang terjadi adalah senilai Rp 84.842.164 juta

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 37 (Rp 84,84 triliun) atau 58,70% dari jumlah BLBI yang dikucurkan per 29 Januari 1999 (sebesar Rp 144,5 triliun). · Pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit), yaitu nilai maksimum kredit yang dapat dikucurkan perbankan pada kelompok usahanya sendiri. Pelanggaran BMPK, sesuai dengan pasal 49 ayat (2) jo pasal 50 jo pasal 50 A UU No 10 Tahun 1998, merupakan tindak pidana. · Pemberian fasilitas oleh BI yang mengizinkan perbankan untuk tetap mengikuti proses kliring walaupun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif. · Penggelembungan nilai aset oleh para obligor BLBI untuk menutupi kewajiban yang harus dilunasinya dalam skema pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. SalimGroup , misalnya, menyatakan nilai seluruh aset yang diserahkannya pada tahun 1998 adalah Rp 52 triliun (hal ini diterima oleh konsultan BPPN, yakni Lehman Brothers, PT Danareksa, dan PT Bahana tanpa financial due diligence terlebih dulu). Namun, audit PricewaterhouseCoopers pada tahun 2000 ternyata menemukan nilai aset Salim hanya berkisar Rp 12 triliun sampai dengan Rp 20 triliun.

Penyimpangan BLBI dalam Penyaluran Tambahan BLBI dan Program Penjaminan Perbankan Selain terjadi pada penyaluran BLBI tahap pertama senilai Rp 144,5 triliun, penyimpangan juga terjadi pada pengucuran BLBI tahap berikutnya, yaitu pada pemberian tambahan BLBI dan program penjaminan perbankan (dikenal dengan istilahblanket guarantee ). Hal ini terungkap setelah BPK menemukan penyimpangan terhadap penggunaan dana milik pemerintah di rekening bernomor 502.000002 oleh Bank Indonesia. Karena itulah, kasus ini sering pula disebut sebagai kasus ”Rekening 502”. Rekening 502 adalah rekening milik pemerintah atas nama Menteri Keuangan di Bank Indonesia. Rekening ini khusus dibentuk dalam rangka pelaksanaan program penjaminan pemerintah terhadap bank-bank nasional. Dalam pelaksanaan program penjaminan perbankan tersebut,

38/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI Menkeu memberikan kewenangan kepada BI dan BPPN, sesuai dengan kewenangannya masing-masing, untuk menggunakan rekening 502. Pengisian rekening 502 sendiri merupakan pelaksanaan dari rekomendasi IMF kepada pemerintah untuk menyediakan dana yang dibutuhkan untuk melaksanakan program penjaminan perbankan dan agenda restrukturisasi perbankan lainnya, termasuk mengantisipasi terjadinya likuidasi atau merger perbankan. Program ini juga bertujuan mendukung program rekapitalisasi perbankan, yaitu mencapai target BI bahwa pada akhir tahun 2001 seluruh perbankan nasional harus memiliki CAR (capital adequacy ratio /rasio kecukupan modal) minimum 8% dan NPL (non performing loan /kredit bermasalah) maksimum 5%. Setelah sempat tertunda pelaksanaannya, pengisian rekening 502 akhirnya direalisasikan pemerintah pada September 2001. Segera setelah itu, BI mendebet rekening 502 untuk keperluan program penjaminan perbankan dan mengganti tambahan BLBI yang telah dikucurkannya. Hingga 30 September 2001, tercatat BI telah mendebet dana dari rekening 502 sebesar Rp 23,623 triliun. Dari total penggunaan tersebut, sejumlah Rp 14,447 triliun didebet dan ditampung dalam rekening khusus(escrow account) . Hal ini, menurut BI, dilakukan atas dasar rekomendasi BPK RI dalam audit atas Laporan Keuangan Tahunan Bank Indonesia tahun 1999 sebagai pengganti dana talangan perbankan (tambahan BLBI) yang telah dikeluarkan BI sebelumnya. Sedangkan, selebihnya, yaitu sekitar Rp 39,322 triliun dijadikan sebagai dana penjaminan perbankan. Terkait tambahan BLBI, hal itu dilakukan karena BI masih mengucurkan BLBI kepada pihak perbankan setelah pengucuran BLBI tahap pertama sejumlah Rp 144,5 triliun. Menurut BI, tambahan BLBI dikucurkan karena program penyelamatan bank-bank nasional masih belum selesai, sedangkan pemerintah belum menyediakan dana untuk program tersebut. Karena itu, BI untuk sementara menalanginya untuk kemudian akan menagihkannya kepada pemerintah. Dana tambahan BLBI diperhitungkan berdasarkan jumlah dana yang dikucurkan BI kepada perbankan setelah pengalihan hak tagih BI ke BPPN per 29 Januari 1999.

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 39 Meski demikian, pada kenyataannya, implementasi dari kebijakan ini diwarnai dengan berbagai penyimpangan. Laporan Hasil Audit Investigasi BPK RI menemukan telah terjadi penyimpangan penggunaan dana rekening 502 oleh BI (terdapat alokasi penggunaan dana yang dinyatakan tidak sah/tidak semestinya dibebankan pada rekening 502) dengan jumlah mencapai Rp 17,762 triliun. Hal ini menyebabkan pemerintah tidak segera menerima pendebetan rekening 502 oleh BI dan meminta BI untuk mengisi kembali rekening tersebut. Penggunaan dana penjaminan perbankan oleh para bankir juga kental dengan praktik penyimpangan. Sejumlah kantor akuntan publik menyatakan bahwa sebagian besar klaim antarbank yang diajukan untuk memperoleh penjaminan merupakan klaim yang tidak layak. Ernst & Young, misalnya menemukan dari 216 klaim antarbank, bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), hanya ada 11 klaim antarbank yangeligible (layak) dibayarkan dengan dana Rekening 502, secara substansi dan transaksi sesuai ketentuan program penjaminan pemerintah. Sementara itu, hasil audit kantor akuntan publik lainnya, Hans Tuanakotta dan Mustofa (HTM), mengungkapkan dari realisasi pemakaian dana Rekening 502 sebesar Rp 12 triliun untuk pembayaran klaim antarbank,hanya senilai Rp 1,075 triliun yang layak (11 klaim) . Berbagai penyimpangan tersebut menunjukkan bahwa pengucuran tambahan BLBI dan program penjaminan perbankan tidak sepenuhnya dijalankan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Bahkan, dapat dinyatakan kebijakan-kebijakan tersebut hanya meneruskan rangkaian penyelewengan yang telah terjadi sebelumnya. Sehingga, dengan demikian, juga menambah besar jumlah uang negara yang terkuras melalui skandal BLBI.

Tindak Lanjut Temuan Sudah hampir 7 tahun sejak Laporan BPK tentang penyimpangan- penyimpangan BLBI disampaikan kepada DPR dan juga dipublikasikan pada tahun 2000 yang lalu. Namun, sejak era pemerintahan Habibie, Megawati hingga SBY, belum memperlihatkan keseriusan untuk menindaklanjuti temuan BPK tersebut. Pada masa pemerintahan SBY

40/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI misalnya, kita mencatat bahwa mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh gagal memenuhi janjinya mengeluarkan memorandum khusus untuk memaparkan dan menelaah penyelesaian korupsi BLBI. Kegagalan Abdul Rahman ini kita khawatirkan akan diikuti oleh Jaksa Agung Hendarman Supandji, yang pada awal masa jabatannya melantik 35 jaksa khusus untuk menangani BLBI, tetapi belum juga menampakkan hasil nyata. Laporan BPK sangat jelas menunjukkan berbagai penyimpangan BLBI yang merugikan negara paling tidak sebesar Rp 138 triliun (jika ditambah dengan kerugian dari penyaluran obligasi/SUN untuk penyehatan perbankan, nilai kerugian membengkak menjadi senilai minimal Rp 600 triliun). Kerugian negara ini akan ditanggung oleh rakyat hingga berpuluh tahun mendatang. Namun, seperti kita saksikan, pemerintah dari satu presiden ke presiden lain tidak serius menuntaskan skandal korupsi ini. Mereka seperti sama sekali tidak memilikipolitical will dan komitmen untuk memberantas korupsi di negeri ini. Pantaskah kita juga diam?

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 41 Lampiran 1 Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Penyaluran BLBI

JUMLAH POTENSI PENYALURAN NO URAIAN KERUGIAN BANK (dalam % NEGARA juta Rp) (dalam juta Rp) I SALDO DEBET 1. BBO 10 6,175,250 6,175,250 100 2. BBKU 13 5,474,776 5,474,776 100 3. BDL 13 6,161,001 6,161,001 100 4. BTO 1 352,142 352,142 100 Jumlah I 37 18,163,169 18,163,169 100 II FASILITAS SALDO DEBET 1. BBO 3 30,065,401 30,065,401 100 2. BBKU 11 4,265,753 4,265,753 100 3. BDL 0 - - 4. BTO 2 18,134,741 18,134,741 100 Jumlah II 16 52,465,895 52,465,895 100 III NEW FASDIS 1. BBO 0 - - 2. BBKU 2 634,691 634,691 100 3. BDL 0 - - 4. BTO 3 29,891,277 29,891,277 100 Jumlah I 5 30,525,968 30,525,968 100 IV FSBPUK 1. BBO 8 15,165,818 15,165,818 100 2. BBKU 11 5,587,906 5,587,906 100 3. BDL 0 - - 4. BTO 3 7,477,757 7,477,757 100 Jumlah I 22 28,231,481 28,231,481 100 V DANA TALANGAN RUPIAH 1. BBO 1 680,496 - 0 2. BBKU 0 - - 3. BDL 15 5,335,003 142,903 2.68 4. BTO 0 - - Jumlah I 16 6,015,499 142,903 2.38 VI DANA TALANGAN VALAS 1. BBO 5 5,599,982 5,599,982 100 2. BBKU 9 1,357,862 1,357,862 100 3. BDL 3 392,932 171,468 43.64 4. BTO 3 1,783,298 1,783,298 100 Jumlah I 20 9,134,074 8,912,610 97.58 Total 144,536,086 138,442,026 95.78

42/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI Lampiran 2 Bank-bank Penerima BLBI per 29 Januari 1999

(dalam juta rupiah) No. NAMA BANK TOTAL PENANGGUNGJAWAB I. BANK BEKU OPERASI (BBO) 1. Bank Centris Internasional 629.624 Hubertus Setyawan 2. Bank Dagang Indonesia 37.039.766 Sjamsul Nursalim 3. Bank Deka 152.918 Dewanto Kurniawan 4. Bank Hokindo 214.228 Hokianto 5. Bank Istimarat Indonesia 520.236 Hasim S. Djojohadikusumo 6. Bank Modern 2.557.693 Samadikun Hartono 7. Bank Pelita 1.989.832 Hasim S. Djojohadikusumo 8. Bank Subentra 860.853 Benny Suherman 9. Bank Surya 1.653.836 H. Sudwikatmono 10. Bank Umum Nasional 12.067.961 Mohammad Hasan, Kaharudin Ongko Sub Total 57.686.947 II. BANK TAKE OVER (BTO) 1. Bank Central Asia 26.596.277 Sudono Salim 2. Bank Danamon Indonesia 23.049.526 Usman Atmadjaja 3. Bank PDFCI 1.995.000 - 4. Bank Tiara Asia 2.978.093 - 5. Bank Nusa Nasional/BNN 3.020.319 - Sub Total 57.639.215 III. BANK BEKU KEGIATAN USAHA (BBKU) 1. Bank Aken 301.318 Indra Haryono SE 2. Bank Asia Pacific 2.054.975 Thomas Suyatno 3. Bank Baja Internasional 35.769 Riyanto 4. Bank Central Dagang 1.403.491 Sam Handojo 5. Bank Dagang Industri 481.548 Prof DR. H Sukamdani SG 6. Bank Danahutama 184.818 Sofjan Wanandi 7. Bank Dewa Rutji 609.408 Rudolf Kasenda 8. Bank Ficorinvest 917.853 Deddy Nurjaman 9. Bank Indonesia Raya 4.018.236 Atang Latief 10. Bank Intan 401.548 Fadel Muhammad 11. Bank Lautan Intan 240.817 Ulung Bursa 12. Bank Papan Sejahtera 928.911 Hasim S. Djojohadikusumo 13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.334.896 Sigit Harjojudanto 14. Bank Putra Surya Perkasa 1.938.945 Slamet S. Gondokusumo 15. Bank Tata Internasional 221.276 Ny. Susilawati Wijaya NG 16. Bank Umum Sertivia 361.976 Rijanto Sastroatmodjo 17. Bank Upindo 242.956 Miranda S Gultom 18. Sewu Internasional Bank 642.247 Dasuki Angkosubroto Sub Total 17.320.988

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 43 IV. BANK DALAM LIKUIDASI (BDL) 1. Bank Anrico 210.081 Prof. Harun Alrasjid Zain 2. Bank Astria Raya 578.918 Henry Liem 3. Bank Citrahasta Danamanunggal 201.802 Suyoso Sukarno 4. Bank Dwipa Semesta 110.105 Dr Yoga Sugomo 5. Bank Guna Internasional 251.055 Letjen TNI (Purn) Sutopo Yuwono 6. Bank Harapan Sentosa 3.866.182 Hendra Rahardja 7. Bank Industri 511.470 Hasim Djojohadikusumo 8. Bank Jakarta 210.994 H. Probosutedjo 9. Bank Kosagraha Semesta 201.812 Setiawan Chandra 10. Bank Mataram Dhanarta 336.763 Sri Sultan HB X 11. Bank Pacific 2.133.366 Hendrik Willem T 12. Bank Pinaesaan 681.084 HR Rembert 13. Bank Umum Majapahit Jaya 8.555 Roy E. Tirtadji 14. Sejahtera Bank Umum 1.687.350 Hasudungan Tampubolon 15. South East Asia Bank 899.399 Tidjan Ananto Sub Total 11.888.936 TOTAL 144.536.086*) *) Angka dari BI adalah Rp 144.536.094.294.530, perbedaan terjadi karena pembulatan.

44/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI Lampiran 3 Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Penyaluran BLBI berdasarkan Bank Penerima per 29 Januari 1999

TOTAL BLBI TOTAL No. NAMA BANK (dalam juta Rp) (dalam juta Rp) I BANK BEKU OPERASI(BBO) 1. Bank Centris Internasional 629.624 629.624 2. Bank Dagang Nasional Indonesia 37.039.766 36.359.270 3. Bank Deka 152.918 152.918 4. Bank Hokindo 214.228 214.228 5. Bank Istimarat Indonesia 520.236 520.236 6. Bank Modern 2.557.693 2.557.693 7. Bank Pelita 1.989.832 1.989.832 8. Bank Subentra 860.853 860.853 9. Bank Surya 1.653.836 1.653.836 10. Bank Umum Nasional 12.067.961 12.067.961 Sub Total 57.686.947 57.686.947 II BANK TAKE OVER (BTO) 1. Bank Central Asia 26.596.277 26.596.277 2. Bank Danamon Indonesia 23.049.526 23.049.526 3. Bank PDFCI 1.995.000 1.995.000 4. Bank Tiara Asia 2.978.093 2.978.093 5. Bank Nusa Nasional/BNN 3.020.319 3.020.319 Sub Total 57.639.215 57.639.215 III BANK BEKU KEGIATAN USAHA (BBKU) 1. Bank Aken 301.318 301.318 2. Bank Asia Pacific 2.054.975 2.054.975 3. Bank Baja Internasional 35.769 35.769 4. Bank Central Dagang 1.403.491 1.403.491 5. Bank Dagang Industri 481.548 481.548 6. Bank Danahutama 184.818 184.818 7. Bank Dewa Rutji 609.408 609.408 8. Bank Ficorinvest 917.853 917.853 9. Bank Indonesia Raya 4.018.236 4.018.236 10. Bank Intan 401.548 401.548 11. Bank Lautan Berlian 240.817 240.817 12. Bank Papan Sejahtera 928.911 928.911 13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.334.896 2.334.896 14. Bank Putra Surya Perkasa 1.938.945 1.938.945 15. Bank Tata Internasional 221.276 221.276 16. Bank Umum Sertivia 361.976 361.976 17. Bank Upindo 242.956 242.956 18. Sewu Internasional Bank 642.247 642.247 Sub Total 17.320.988 17.320.988

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 45 IV BANK DALAM LIKUIDASI(BDL) 1. Bank Anrico 210.081 9.804 2. Bank Astria Raya 578.918 456.969 3. Bank Citrahasta Danamanunggal 201.802 158.404 4. Bank Dwipa Semesta 110.105 103.135 5. Bank Guna Internasional 251.055 0 6. Bank Harapan Sentosa 3.866.182 1.766.590 7. Bank Industri 511.470 232.346 8. Bank Jakarta 210.994 0 9. Bank Kosagraha Semesta 201.812 154.940 10. Bank Mataram Dhanarta 336.763 283.265 11. Bank Pacific 2.133.366 1.925.514 12. Bank Pinaesaan 681.084 411.118 13. Bank Umum Majapahit Jaya 8.555 8.555 14. Sejahtera Bank Umum 1.687.350 231.415 15. South East Asia Bank 899.399 733.317 Sub Total 11.888.936 6.475.372 TOTAL 144.536.086 138.442.026

46/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI Lampiran 4 Daftar Potensi Kerugian Negara dalam Peyimpangan Penggunaan BLBI berdasarkan Bank Penerima per 29 Januari 1999

JUMLAH TEMUAN NO NAMA BANK (dalam juta Rp) I BBO 1. Bank Centris Internasional 294.634 2. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) 24.472.424 3. Bank Deka 105.668 4. Bank Hokindo 202.317 5. Bank Istimarat 60.743 6. Bank Modern 666.583 7. Bank Pelita 1.066.308 8. Bank Subentra 515.738 9. Bank Surya 281.196 10. Bank Umum Nasional (BUN) 5.093.545

II BTO 1. Bank Central Asia (BCA) 15.818.750 2. Bank Danamon 13.803.739 3. Bank Nusa Nasional/BNN 1.192.494 4. Bank PDFCI 982.222 5. Bank Tiara Asia 2.216.691

III BBKU 1. Bank Aken 127.322 2. Bank Asia Pacific (ASPAC) 850.467 3. Bank Baja Internasional 17.683 4. Bank Central Dagang (BCD) 1.554.565 5. Bank Dagang dan Industri (BDI 215.033 6. Bank Danahutama 88.282 7. Bank Dewa Rutji 459.580 8. Bank Ficorinvest 305.682 9. Bank Indonesia Raya (BIRA) 3.659.486 10. Bank Intan 103.458 11. Bank Lautan Berlian 18.103 12. Bank Papan Sejahtera 539.434 13. Bank Pesona (d/h Bank Utama) 2.042.095 14. Bank Putra Surya Perkasa (PSP) 1.875.575 15. Bank Sewu 494.891 16. Bank Tata 348.526 17. Bank Umum Sertivia 911.002 18. Bank Upindo 633.708

Korupsi dan Penyelewengan BLBI/ 47 IV BDL 1. Bank Anrico - 2. Bank Astria Raya 162.741 3. Bank Citrahasta Danamanunggal 4.181 4. Bank Dwipa Semesta 32.021 5. Bank Guna Internasional 2.251 6. Bank Harapan Sentosa 539.486 7. Bank Industri 183.458 8. Bank Jakarta 85.353 9. Bank Kosagraha Semesta 22.134 10. Bank Mataram Dhanarta 17.909 11. Bank Pacific 2.249.785 12. Bank Pinaesaan 213.106 13. Bank Sejahtera Bank Umum (SBU) 151.668 14. Bank South East Asia Bank (SEAB) 154.403 15. Bank Umum Majapahit 5.722 885.784 - IKHTISAR JUMLAH BBO (10 Bank) 32.759.156 JUMLAH BTO (5 Bank) 34.013.896 JUMLAH BBKU (18 Bank) 14.244.892 JUMLAH BDL (15 Bank) 3.824.218 JUMLAH (48 Bank ) 84.842.162

48/ Korupsi dan Penyelewengan BLBI Bab 4

INKONSISTENSI PENEGAKAN HUKUM DALAM KASUS BLBI

Marwan Batubara

Pada bagian sebelumnya, telah dinyatakan bahwa pengucuran BLBI sarat dengan berbagai penyimpangan dan penyelewengan, hampir pada setiap bentuk fasilitas yang diberikan. Akibat berbagai penyimpangan tersebut, negara harus menanggung kerugian sangat besar, yang jika ditotal secara keseluruhan, termasuk untuk program obligasi rekapitalisasi dan bunganya, setidaknya mencapai lebih dari Rp 600 triliun. Dampaknya pun masih harus ditanggung rakyat saat ini dan bahkan hingga beberapa waktu yang akan datang. Dengan dampak yang luar biasa tersebut, sangat wajar dan logis jika pemerintah melakukan penanganan kasus BLBI secara sangat serius dan meletakkannya sebagai prioritas utama agenda pemerintah. Hal ini terutama agar uang negara yang telah terkucurkan dalam jumlah besar tersebut dapat kembali, sehingga dapat digunakan untuk mengurangi beban berat

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI/ 49 pembayaran utang pemerintah dalam APBN (yang sebagian besarnya juga merupakan akibat dari perbuatan para koruptor BLBI tersebut). Keseriusan penanganan kasus BLBI seharusnya dapat terlihat dari jumlah koruptor BLBI yang berhasil diadili dan dimintakan pertanggungjawaban. Keseriusan itu juga seharusnya terlihat dari pemberian sanksi hukum setimpal yang dikenakan kepada masing-masing koruptor. Terakhir, adalah pada bagaimana mereka menyelesaikan kewajiban-kewajiban pembayaran utang mereka kepada pemerintah. Namun, pada kenyataannya proses penyelesaian kasus BLBI sama sekali jauh dari indikasi keseriusan itu. Bahkan, proses itu sangat nyata menampakkan ketidakadilan. Untuk memperoleh kembali uang negara yang telah dikucurkan, pemerintah dengan sangat mudah memberikan keringanan bagi obligor BLBI, seperti antara lain dengan memangkas jumlah utang tunai yang harus dibayar dan membebaskan mereka dari tuntutan hukum. Padahal, hasil yang didapat pun tidak maksimal, karena tingkat pengembalian uang BLBI (termasuk obligasi rekap) nyatanya hanya berkisar 28% saja. Pemberian keringanan bagi obligor BLBI juga melanggar hukum dan peraturan perundang-undangan yang ada. Hukum menghendaki diberikannya perlakuan yang sama kepada semua orang, tanpa pandang bulu. Sementara itu, berbagai fasilitas yang diberikan pemerintah kepada obligor BLBI jelas menunjukkan tidak digunakannya asas tersebut. Bagaimana mungkin para obligor diberikan kemudahan, padahal mereka adalah pihak yang telah menyebabkan kerugian besar bagi negara? Tulisan ini dan dua bab berikutnya akan menguraikan sejumlah ketidakadilan dan inkonsistensi penegakan hukum dalam penyelesaian kasus BLBI. Disini penulis hendak menunjukkan bahwa proses penegakan hukum dalam kasus BLBI selama ini tidak memenuhi asas-asas kepatutan maupun keadilan. Sebaliknya, penegakan hukum dalam kasus BLBI justru sarat dengan kompromi, inkonsistensi, dan bahkan manipulasi. Padahal, tindakan penyelewengan BLBI yang dilakukan para obligor jelas merupakan tindak pidana yang harus diproses sepenuhnya secara hukum. Karena itulah, fasilitas-fasilitas pengampunan yang diberikan pemerintah kepada para obligor, seperti mekanisme PKPS (Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) dapat dinyatakan sebagai langkah yang

50/ Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI mengabaikan dan tidak menghormati otoritas hukum. Terlebih lagi kebijakan pemberianrelease and discharge (R & D), yaitu penghapusan status tindak pidana bagi para obligor kelas kakap yang telah melunasi sebagian kecil utangnya. Hal ini jelas merupakan pelecehan dan penghinaan terhadap supremasi hukum yang tidak akan pernah dapat dibenarkan dalam sebuah negara bersendikan hukum(rechstaat) seperti Indonesia.

Force Majeure sebagai Alasan Bangkrutnya Perbankan Sebelum bentuk-bentuk inkonsistensi hukum dalam penyelesaian kasus BLBI diuraikan, perlu disinggung terlebih dulu istilah mengenaiforce majeure . Hal ini diperlukan, mengingat konsepforce majeure kerap disebut sebagai pijakan argumentasi dari pemberian ampun kepada para obligor BLBI. Istilahforce majeure berasal dari bahasa Perancis yang secara literal berarti kekuatan yang lebih besar(greater force) . Istilah ini sering digunakan dalam kontrak untuk menyatakan bebasnya salah satu atau kedua belah pihak dalam kontrak, dari beban atau kewajiban jika terjadi hal-hal atau keadaan luar biasa yang berada di luar kendali pihak-pihak yang berkontrak. Keadaan luar biasa yang dimaksud mencakup antara lain perang, demonstrasi, kerusuhan, danact of God /bencana alam (gempa bumi, banjir, gunung meletus dan sebagainya). Dasar pembebasan para pihak dari kewajiban ini adalah karena situasi- situasiforce majeure dianggap merupakan penghalang bagi salah satu atau kedua belah pihak untuk melaksanakan kewajibannya. Sehingga, dengan pencantuman ketentuan mengenaiforce majeure , pihak-pihak yang berkontrak dapat berlepas diri dari kewajiban jika terjadi hal-hal di luar perhitungan atau kendali manusia. Meski demikian, aturan ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk membenarkan tindakan penghindaran atau pelepasan diri dari tanggung jawab pihak yang berkontrak dalam memenuhi kewajibannya. Dalam kasus BLBI, bank-bank dan obligor penerima BLBI kerap berlindung dibalik alasanforce majeure untuk melepaskan diri dari tanggung jawab memenuhi kewajiban membayar seluruh utang-utangnya kepada pemerintah. Hal ini karena, menurut mereka, krisis moneter (yang membuat mereka menerima kucuran BLBI) merupakan kondisi keterpaksaan yang

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI/ 51 tidak dapat dihindari. Atau dengan kata lain, krisis moneter merupakan act of God, sehingga sudah sewajarnya mereka menerima uluran bantuan dari pemerintah melalui program BLBI untuk menyelamatkan diri dari krisis. Atas dasar alasan itu pula, hendak diyakinkan bahwa bangkrutnya perbankan meskipun telah menerima kucuran BLBI adalah sesuatu yang harus ditanggung bersama sebagai ”ongkos krisis”. Padahal, argumentasi-argumentasi tersebut jelas tidak sepenuhnya benar (bahkan sangat kental dengan aspekmoral hazard ), dan harus dipertanyakan lebih jauh. Hasil pemeriksaan BPK, misalnya, menemukan bahwa kolapsnya perbankan pada tahun 1998 (sehingga menyebabkan dana BLBI tidak banyak membantu dalam menyehatkan kondisi perbankan) ternyata lebih disebabkan oleh faktor lemahnya sistem pembinaan dan pengawasan bank oleh BI. Bentuk-bentuk lemahnya pengawasan BI tersebut mencakup pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit) dan pemberian kesempatan kepada bank-bank untuk melakukan proses kliring meskipun rekening gironya di BI telah bersaldo negatif. Selain itu, anggapan bahwa krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupakan peristiwa act of God juga dapat dibantah. Seperti diketahui, krisis yang melanda Indonesia pada tahun 1998 bermula di Thailand pada tahun 1997. Secara bertahap, krisis baru kemudian menyebar ke wilayah-wilayah di sekelilingnya, termasuk Indonesia. Karena itulah, menurut pengacara senior Frans Hendra Winarta, krisis moneter di Indonesia tidak dapat dikategorikan sebagaiact of God . Menurut Frans, terjadinya krisis moneter di Indonesia merupakan hal yang dapat diprediksi(predictable). Sehingga, antisipasi terhadap terjadinya krisis juga sudah sewajarnya merupakan tanggung jawab pihak-pihak terkait.

Penyelesaian Kasus BLBI melalui Mekanisme PKPS Ketidakadilan dalam kasus BLBI sangat nampak dari proses penyelesaian yang dilakukan pemerintah untuk menuntaskan kasus ini. Walaupun uang yang dikucurkan pemerintah melalui BLBI demikian besar, namun penyelesaiannya ternyata tidak dilakukan secara serius, konsekuen, dan mempertimbangkan aspek keadilan masyarakat. Pemerintah justru

52/ Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI memberikan banyak kemudahan dan fasilitas yang meringankan para obligor BLBI dalam membayar dan melunasi utang-utangnya kepada negara. Pemberian sejumlah fasilitas itu, seperti dinyatakan pemerintah, bertujuan agar pengembalian uang negara oleh para bankir dapat terealisasi secara maksimal. Sehingga, fokusnya adalah agar uang pinjaman yang dikucurkan melalui BLBI dapat ditarik kembali ke kas negara. Logika ini sekilas mungkin terdengar realistis, namun jelas mengandung ketidakadilan. Obsesi untuk memperoleh kembali uang negara justru seakan meremehkan tindakan hukum yang seharusnya diberlakukan kepada para obligor yang telah melanggarnya. Asalkan para obligor mengembalikan uang, kasus hukum ditutup. Para penikmat uang rakyat itu pun dapat melenggang bebas tanpa konsekuensi hukum apapun. Apalagi, ternyata fasilitas yang sudah sangat murah hati tersebut disalahgunakan juga oleh para obligor dengan melakukan berbagai manipulasi, seperti penyerahan aset-aset fiktif dan sebagainya. Sehingga, tujuan untuk memperoleh pengembalian uang negara pun pada akhirnya tidak tercapai, dan obligor bebas tanpa sanksi pidana. Untuk jelasnya, berikut akan dipaparkan sejumlah langkah yang dilakukan pemerintah dalam penyelesaian kasus BLBI dan fasilitas yang diberikan kepada para obligor BLBI dalam rangka pelunasan utang- utangnya. Dalam rangka mengoptimalkan pengembalian dana BLBI ke kas negara, pemerintah melalui BPPN membuat beberapa langkah, yang pada intinya berbentuk tiga hal sebagai berikut: · Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali (pemilik bank). Perjanjian ini khususnya diberlakukan bagi bank-bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU). Pemerintah, bersama pemegang saham bank-bank tersebut menandatangani perjanjian yang dinamakan sebagai Master Settlement and Acquisition Agreement(MSAA) dan Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA). · Mengkonversi BLBI menjadi Penyertaan Modal Sementara (PMS). Pola ini diberlakukan pada bank-banktake over (BTO).

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI/ 53 · Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui penandatanganan Akta Pengakuan Utang (APU). Sejalan dengan langkah-langka di atas, ada beberapa pola perjanjian yang dibuat pemerintah dengan obligor dalam rangka penyelesaian kasus BLBI, yaitu : MSAA(Master Settlement andAcqusitionAgreement) Skema ini digunakan pada penerima BLBI yang asetnya dinilai mampu mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. MSAA dibedakan menjadi dua jenis, yaitu terhadap pemegang saham pengendali BBKU dan BTO. Berdasarkan skema ini, obligor BLBI diberikan jangka waktu 4 tahun untuk menyerahkan aset-asetnya kepada negara sebagai bentuk pelunasan utang-utangnya. MSAA dikritik keras sejumlah kalangan karena dinilai terlalu meringankan obligor dan banyak terjadi pelanggaran dalam pelaksanaannya. Aset-aset yang diserahkan para obligor BLBI kepada negara, pada kenyataannya, jauh lebih rendah daripada nilai kewajiban yang harus dibayarnya. Hal ini karena para obligor me-mark up nilai aset yang diserahkannya kepada negara. Diantara bank yang memasuki perjanjian ini adalah Bank Central Asia (BCA), Bank Umum Nasional, Bank Dagang Nasional Indonesia, Bank Surya, dan Bank Risyad Salim Internasional. MRNIA(Master Refinancing and Notes IssuanceAgreement) Skema ini digunakan pada penerima BLBI yang nilai asetnya tidak mencukupi pembayaran seluruh kewajiban-kewajibannya. Berdasarkan skema ini, selain menyerahkan aset-aset yang dimilikinya, penandatangan (obligor) juga harus menyerahkan jaminan pribadi (personal guarantee ) dan menyatakan kesediaan untuk menyerahkan tambahan aset jika aset yang sudah diserahkan ternyata belum mencukupi. Jangka waktu yang diberikan untuk pelunasan juga selama 4 tahun. Diantara bank yang menandatangani perjanjian ini adalah Bank Modern, Bank Umum Nasional, Bank Danamon, dan Bank Hokindo. APU (Akta Pengakuan Utang) Skema ini merupakan revisi dari model MSAA, sehingga inti perjanjian sama dengan model tersebut, hanya saja pemegang saham pengendali harus bertanggung jawab jika aset yang diserahkan ternyata tidak mencukupi untuk melunasi pembayaran kewajibannya (mengembalikan dana BLBI

54/ Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI yang diterima). Berdasarkan APU, pemegang saham harus menyelesaikan kewajiban-kewajibannya secara tunai dan berkala dalam jangka waktu yang ditentukan. Dalam pelaksanaannya, karena banyaknya obligor yang gagal memenuhi target penyelesaian, sebagian skema APU telah direformulasi, dimana jumlah kewajiban yang harus dibayar pemegang saham (JKPS) dihitung ulang. Bank-bank yang menandatangani perjanjian ini adalah Bank Bumi Raya Utama, BIRA, Bank Sewu, Bank Hastin, Bank Tata, Bank Namura Yasonta, Bank Indotrade, Bank Putera, Bank Baja, Bank Lautan Berlian, Bank Papan Sejahtera, Bank Yama, Bank Tamara, Bank Nusa Nasional, Bank Intan, Bank PSP, Bank Namura Maduma, Bank Metropolitan, Bank Umum Servitia, Bank Aken, Bank Mashill, dan Bank Sanho. Sejumlah pihak menilai skema-skema perjanjian di atas sesungguhnya merugikan posisi pemerintah. Skema tersebut, misalnya, memungkinkan obligor untuk menggelembungkan nilai asetnya, sehingga tidak sebanding dengan jumlah kewajiban yang harus dibayarnya. Hal itu dapat terjadi karena dalam perjanjian, kewajiban para obligor cukup dinyatakan dalam bentuk pernyataan dan jaminan(representation and warranties). Obligor terlepas dari kewajiban untuk menambah jumlah aset yang diserahkannya ke BPPN jika ternyata ditemukan nilai aset tersebut di bawah estimasi awal. Akibatnya, ditemukanrecovery rate aset yang diserahkan para obligor hanya sekitar 28 persen dari nilai yang dinyatakannya. Penyerahan aset-aset tersebut juga dinilai sebatas formalitas belaka, mengingat pengelolaan aset tetap dilakukan pemilik lama (yaitu obligor BLBI). Hal ini dikarenakan BPPN sebagai pihak yang diserahkan aset tidak memiliki kelengkapan organisasi dan SDM yang diperlukan untuk mengelola aset-aset tersebut. Artinya, secarade facto , aset tetap di tangan pemilik lama. Para pemilik lama tersebut, bahkan diberi gaji untuk mengurus aset-asetnya. Karena itu, kesepakatan ini jelas sangat menguntungkan posisi obligor. Tabel1

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI/ 55 Tabel 1 Struktur Perjanjian PKPS

Keterangan MSAA MRNIA APU Jangka Waktu 4 Tahun 4 Tahun 4 Tahun Aset yang Sebagai Mekanisme Sebagai Sebagai Jaminan Diserahkan Penyelesaian Jaminan Kewajiban (Asset Settlement) Kewajiban Sebatas Pernyataan Sejumlah Sejumlah Pemegang Saham dan Jaminan yang Kewajiban Kewajiban Melalui Disepakati dalam Melalui Akta Pengakuan Perjanjian Mekanisme Utang yang Jaminan Pribadi Diterbitkan oleh (Personal Pemegang Saham Guarantee) Pembayaran Bersumber dari Pemegang Pembayaran Pokok Penjualan Aset yang Saham, Tapi dan Bunga Secara Dikuasai Pemerintah Tidak Ditetapkan Berkala Secara Berkala Tingkat Bunga - 20% per tahun SBI + 3% per tahun Keterangan Lain Dibentuk Perusahaan Dibentuk Menggunakan Induk untuk Perusahaan Prinsip "Co- Memonitor Proses Induk untuk Debtor", Debitur Penjualan Aset yang Memonitor (Perusahaan) dan Diserahkan Proses Pemegang Saham Penjualan Aset Menjadi Pengutang yang Diserahkan Bersama

Sumber: I Putu Gede Arysuta, sebagaimana dimuat dalam Laporan “Position Paper Penyelesaian Hukum Kasus BLBI”, Indonesia Corruption Watch, 2006.

Ketidakadilan dalam Penyelesaian Kasus BLBI Selain skema-skema yang lebih banyak menguntungkan obligor seperti diuraikan di atas, ketidakadilan dalam penyelesaian kasus BLBI ditambah lagi dengan keluarnya Inpres No.8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan PKPS. Inpres ini lebih dikenal dengan nama InpresRelease and Discharge (R & D). Disebut demikian karena

56/ Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI Inpres ini membebaskan obligor BLBI dari semua tuntutan hukum apabila mereka bersedia membayar sebagian kewajibannya. Inpres ini pada dasarnya berisi instruksi pada sejumlah menteri dan pejabat, khususnya di bidang ekonomi dan hukum (yaitu Menko Bidang Perekonomian, Menteri Kehakiman dan HAM, Meneg BUMN, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, dan Ketua BPPN) untuk mengambil langkah- langkah yang diperlukan untuk menyelesaikan seluruh kewajiban para pemegang saham (obligor BLBI) kepada BPPN. Namun, dalam rangka percepatan penyelesaian kewajiban tersebut, pemerintah justru menetapkan peraturan yang sangat meringankan obligor, yaitu bahwa mereka cukup membayar secara tunai 30% saja dari keseluruhan kewajiban mereka dan membayar 70% sisanya dengan sertifikat hak bukti kepada BPPN untuk memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL). Dengan memegang SKL, semua obligor dibebaskan dari tuntutan pidana. Bahkan, mereka yang sedang dalam proses penyidikan, akan memperoleh SP 3 (Surat Penghentian Pengusutan Perkara). Sedangkan, bagi mereka yang telah memasuki proses di pengadilan, SKL akan dijadikan sebagainovum atau bukti baru yang akan membebaskan mereka. Berbagai fasilitas tersebut tentu saja menunjukkan ketidakadilan Inpres ini. Inpres ini sekaligus menunjukkan proses penegakan hukum dapat dikorbankan oleh keputusan politik. ICW mencatat, akibat Inpres R & D, Kejaksaan menghentikan proses penyidikan terhadap sekitar 10 tersangka korupsi BLBI di tahun 2004. Sampai kini, proses penyelesaian kasus BLBI tidak juga berhasil dituntaskan pemerintah (yang juga telah sekian kali berganti). Sejumlah kasus hukum masih menunggu penyelesaian dan keputusan akhir dari pengadilan. Menurut ICW, saat bubarnya, BPPN mewariskan 1.361 kasus hukum yang meliputi 447 obligor dengan nilai utang mencapai Rp 25 triliun. Dari 1.361 kasus hukum tersebut, sebanyak 178 kasus (13%) dimenangkan BPPN, 56 perkara (4%) dimenangkan obligor, dan sejumlah 1.100 kasus (81%) masih dalam proses di berbagai tingkat peradilan, baik banding maupun kasasi. Sementara itu, dari sekitar Rp 600 triliun dana BLBI dan rekapitalisasi perbankan yang dikucurkan pemerintah, uang yang telah kembali adalah

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI/ 57 sebesar Rp 152,4 triliun, yang terdiri dari setoran tunai Rp 107,67 triliun, obligasi Rp 14,994 triliun, tunai non APBN sejumlah Rp 9,7 triliun, dan obligasi daur ulang (recycled bonds ) sebesar Rp 20,541 triliun.

Pelanggaran Hukum dalam Inpres No. 8/2002 tentang Release and Discharge Dalam upayanya menyelesaikan kasus BLBI, pemerintah (khususnya di masa kepemimpinan Megawati) justru telah melakukan pelanggaran hukum sangat serius. Pelanggaran itu adalah dikeluarkannya Instruksi Presiden No. 8/2002 tentangRelease and Discharge (R & D). Inpres ini menginstruksikan segenap menteri dan pejabat terkait di pemerintahan untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA dan APU. Seperti telah disebutkan di atas, dalam salah satu butirnya, Inpres ini menginstruksikan agar obligor yang telah membayar utangnya secara tunai sebesar minimum 30% dan bersedia membayar sisanya dengan sertifikat bukti kepada BPPN, diberikan Surat Keterangan Lunas (SKL). Dengan memegang SKL, mereka yang diperiksa dalam proses penyidikan akan diberikan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara), dan mereka yang tengah diproses di pengadilan dapat dibebaskan dengan menjadikan SKL sebagainovum atau bukti baru. Dengan kata lain, Inpres ini pada intinya memberi putusan bebas bagi obligor BLBI yang telah memenuhi skema penyelesaian utang yang ditentukan pemerintah, meskipun mereka telah melakukan pelanggaran hukum sekalipun. Karena itu, melalui penerbitan Inpres R & D, pemerintah (saat itu dipimpin Megawati) jelas telah melanggar prinsip equality before the law (persamaan kedudukan di mata hukum). Mereka yang telah melakukan tindak pidana, dapat dibebaskan dari jerat hukum hanya karena membayar kewajibannya (itupun hanya 30% saja). Padahal, pembayaran kewajiban merupakan bagian dari proses penyelesaian pada aspek perdata yang tidak dapat menghapus tindak pidana yang telah dilakukan.

58/ Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI Dengan penerbitan Inpres ini, pemerintah juga dinilai telah melakukan intervensi terhadap kekuasaan yudikatif karena memerintahkan penghentian proses hukum yang sedang berlangsung. Kasus BLBI yang merupakan kasus pidana, diselesaikan oleh Presiden Megawati hanya dengan pendekatan kekuasaan semata. Dapat dinyatakan, sejumlah ketentuan hukum yang secara nyata dilanggar oleh Inpres No. 8 Tahun 2002 antara lain mencakup Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945, Tap MPR No. IX/MPR/1998, Tap MPR No. VIII/MPR/2001, Tap MPR No. X/MPR/2001, Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999, Pasal 2 Ayat 1 UU No. 5 Tahun 1991, dan beberapa pasal dalam KUHP (penjelasan lebih rinci tentang ketentuan yang dilanggar tersebut akan diuraikan dalam Bab 7). Berdasarkan hal-hal tersebut, maka keberadaan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang R & D dapat dinyatakancacat hukum . Mahkamah Agung sudah sepatutnya membatalkan Inpres ini dan membatalkan pula pemberian fasilitasrelease and discharge kepada para obligor BLBI, termasuk membatalkan SP3 yang dikeluarkan Kejaksaan Agung. Perlu dicatat, pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada obligor yang telah menyelesaikan kewajibannya hanya dapat menghilangkan aspek keperdataannya saja. Sedangkan, secara pidana, proses hukum terhadap obligor BLBI tetap harus dilaksanakan hingga tahap persidangan di pengadilan. Kalaupun pemerintah tetap merasa perlu untuk memberi fasilitas keringanan bagi obligor yang kooperatif (dengan tujuan agar pengembalian uang negara dapat cepat terlaksana), hal itu hanya dapat dimungkinkan melalui mekanisme pemberian grasi dari Presiden setelah ada putusan hukum di pengadilan yang berkekuatan hukum tetap(inkracht) dan obligor telah mengembalikan seluruh utangnya. Artinya, obligor tetap harus mengikuti proses hukum dan memperoleh vonis pengadilan terlebih dulu, setelah itu baru dapat diberikan keringanan atau dibebaskan dari hukuman. Pemberian grasi merupakan hak prerogatif Presiden sehingga bukan merupakan intervensi terhadap kekuasaan yudikatif. Sampai saat ini, penyelesaian hukum kasus BLBI belum juga tuntas meskipun sudah melalui empat kali pergantian masa pemerintahan. Hal ini mengindikasikan kasus BLBI tak lepas dari keterlibatan sejumlah oknum

Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI/ 59 pejabat di eksekutif, legislatif dan yudikatif. Termasuk pula, indikasi judicial corruption oleh oknum penegak hukum di pengadilan.

60/ Inkonsistensi Penegakan Hukum dalam Kasus BLBI

Bab 5

MEKANISME PKPS : MENYELESAIKAN KASUS KORUPSI DENGAN MENGABAIKAN HUKUM

Marwan Batubara

Hasil audit BPK pada tahun 2000 (No.06/01/Auditama II/AI/ VII/2000) menunjukkan terdapat berbagai penyimpangan dalam penggunaan BLBI sehingga BPK kemudian menyimpulkan adanya sangkaan tindak pidana atau perbuatan yang merugikan keuangan negara. Selanjutnya, hasil audit BPK pada tahun 2006 (No.34G/XII/11/2006) kembali menunjukkan sejumlah penyimpangan dalam kasus ini, kali ini dalam penyelesaian kewajiban (pembayaran utang) obligor BLBI. Tercatat, berdasarkan audit-audit BPK tersebut, terdapat beberapa bentuk penyimpangan dalam kasus BLBI yang tidak saja terkategori sebagai pelanggaran perdata, tetapi juga tindak pidana, seperti antara lain: Pertama, penyalahgunaan dana BLBI, yaitu BLBI tidak digunakan untuk membayar dana nasabah sebagaimana mestinya. Dana BLBI justru digunakan para debitur/obligor untuk keperluan yang tidak sesuai dengan

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 61 ketentuan, seperti untuk melunasi pinjaman subordinasi, melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar kewajiban kepada pihak terkait, transaksi surat berharga, melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam aktiva tetap, dan membiayaioverhead bank umum. Kedua, pengucuran BLBI kepada kelompok sendiri dengan melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). BMPK membatasi pemberian kredit kepada kelompok sendiri, tapi dalam kenyataannya, kredit justru diberikan kepada unit usaha yang dimiliki oleh pemilik bank yang bersangkutan. Padahal, menurut pasal 49 ayat (2)jo pasal 50 jo pasal 50 A UU No 10 Tahun 1998 pelanggaran BMPK merupakan tindak pidana. Ketiga, terjadinya penggelembungan aset yang dilakukan para obligor BLBI untuk menutupi kewajibannya melalui skema MSAA dan MRNIA. Nilai dari aset-aset yang diserahkan para obligor dan debitur kepada pemerintah pada kenyataannya jauh lebih kecil dari nilai utangnya. Dengan berbagai temuan tersebut, ironisnya, hanya sebagian kecil dari obligor BLBI yang diproses secara hukum melalui peradilan. Sebagian besar obligor justru diproses di luar jalur peradilan atau disebut dengan istilah out of court settlement melalui pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Hal-hal ini menunjukkan penyelesaian kasus BLBI secara nyata dilakukan dengan cara yang jauh dari asas penegakan hukum dan rasa keadilan. Puncak dari penyelewengan tersebut kemudian terjadi dengan diterbitkannya Inpres No. 8/2002 tentang release and discharge oleh Presiden Megawati.

Pola PKPS dan Dasar Hukumnya Seperti namanya, PKPS atau Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham adalah mekanisme yang disediakan pemerintah bagi obligor BLBI untuk menyelesaikan kewajiban-kewajibannya terkait BLBI yang diterimanya. Dalam definisi yang lebih rinci, PKPS dinyatakan sebagai: · penyelesaian atas kredit, fasilitas dan manfaat lainnya yang diterima secara tidak wajar oleh eks Pemegang Saham Pengendali (PSP) dan grupnya (affiliated loans ) dari Bank Dalam Penyehatan (BDP);

62/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum · dan/atau pembebanan seluruh/sebagian kerugian BDP kepada eks PSP. Artinya, terdapat dua kategori debitur yang harus mengikuti PKPS, yaitu debitur yang menerima BLBI secara tidak wajar (misalnya diberikan oleh bank yang merupakan kelompok usahanya sendiri dengan melanggar jumlah BMPK) dan debitur yang menerima pelimpahan kewajiban/utang dari bank yang dimilikinya (bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki debitur). PKPS diartikan sebagai perjanjian yang mengatur tata cara penyelesaian kewajiban pihak terkait yang dibuat oleh dan antara eks PSP (pemegang saham pengendali) dan Ketua BPPN dengan persetujuan Menteri Keuangan. PKPS merupakan penyelesaian di luar jalur pengadilan (out of court settlement) atas dugaan pelanggaran hukum atau transaksi tidak wajar (irregularities ) yang merugikan bank dan menguntungkan PSP atau pihak terkait. Konon, penyelesaian PKPS di luar jalur pengadilan dimaksudkan untuk mempercepat dan mengoptimalkan pengembalian uang negara. Namun demikian, PKPS hanya dikenakan kepada PSP BTO (Bank Take Over), BBO (Bank Beku Operasi), dan BBKU (Bank Beku Kegiatan Usaha) yang bersedia dan kooperatif. Apabila PSP BTO, BBO dan BBKU tidak bersedia dan tidak kooperatif, maka BPPN akan menyelesaikannya melalui jalur hukum (litigasi), baik jalur hukum pidana maupun perdata. Sebelumnya, perlu dijelaskan, BBO adalah bank-bank yang sudah dibekukan karena tidak layak lagi untuk diteruskan operasinya, dimana jumlah kewajiban yang harus diselesaikan oleh pemilik saham mayoritas yang lama adalah jumlah total pasiva/kewajiban (di luar pinjaman dari pihak yang terafiliasi) dikurangi dengan total nilai aktiva (aset) bersihnya. Sementara itu, BTO adalah bank-bank yang masih diteruskan operasinya tetapi telah dimiliki oleh pemerintah, dimana jumlah kewajiban yang harus diselesaikan pemilik (pemegang saham mayoritas) bank yang lama adalah sebesar jumlah pinjaman yang diberikan kepada pihak terafiliasi. PKPS dilakukan melalui tiga pola, yaitu: MSAA(Master Settlement andAcqusitionAgreement) MSAA adalah suatu perjanjian antara eks PSP BTO/BBO dengan pemerintah (diwakili oleh Menteri Keuangan dan Ketua BPPN) untuk

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 63 menyelesaikan kewajiban eks PSP BTO/BBO, dengan cara penyerahan aset (asset settlement ) dari PSP kepada BPPN yang nilainya setara dengan jumlah kewajiban PSP,tanpa disertai jaminan pribadi. MRNIA(Master Refinancing and Notes IssuanceAgreement) MRNIA adalah perjanjian antara eks PSP BTO/BBO dan pemerintah (diwakili oleh Menteri Keuangan dan Ketua BPPN) untuk menyelesaikan kewajiban eks PSP BTO/BBO, dengan cara penyerahan aset (asset settlement ) dari PSP kepada BPPN yang nilainya lebih kecil dibandingkan dengan jumlah kewajiban yang harus diselesaikan, disertai jaminan pribadi sebesar nilai kewajiban yang harus diselesaikan PSP. APU (Akta Pengakuan Utang) Adalah suatu perjanjian antar eks PSP BTO dan BBKU dengan Ketua BPPN (atau pejabat BPPN yang mewakili), untuk menyelesaikan kewajiban eks PSP BTO atau BBKU disertai dengan jaminan aset. Perjanjian PKPS yang pertama kali ditandatangani oleh Menkeu dan Ketua BPPN adalah PKPS BCA (BTO) dan BDNI (BBO) pada tanggal 21 September 1998. Pada saat itu, tidak ada ketentuan perundang-undangan yang secara tegas mengatur tentang PKPS. Pemerintah baru kemudian menerbitkan peraturan dan berbagai kebijakan yang memberikan landasan hukum atau legitimasi atas skema PKPS BBO dan BTO, setelah penandatanganan PKPS dilakukan. Namun, untuk PKPS BDP, peraturan- peraturan tersebut tetap tidak secara tegas mengaturnya. Peraturan-peraturan itu antara lain adalah: · UU No.10/1998 tentang Perbankan, khususnya pada pasal 37A ayat 3 huruf l (disahkan pada tanggal 10 November 1998); · PP No.17/1999 tentang BPPN pada pasal 44 (27 Februari 1999); · SK Bersama Menkeu & Gubernur BI No.117/KMK.017/1999 dan No.31/15/KEP/GBI (tanggal 26 Maret 1999); · UU No 25/2000 tentang Propenas, pada bab IV butir C.3.4.2 (tanggal 20 November 2000); · Lampiran UU No.35/2000 tentang APBN 2001 pada butir II.2.3.7 (tanggal 21 Desember 2000);

64/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum · TAP MPR No.X/2001 yang menyatakan bahwa MPR menugasi pemerintah, dalam hal ini BPPN, untuk secara konsisten melaksanakan MSAA seusai undang-undang. Sesuai Laporan BPK No.34G/XII/11/2006, sampai dengan tanggal 30 April 2004, BPPN mengelola 72 bank yang terdiri dari 65 Bank Dalam Penyehatan (BDP) dan 7 bank Umum Peserta Rekapitalisasi (Bank Rekap). Dari 65 BDP tersebut, 13 Bank diserahkan dengan status Bank Take over(BTO), 10 bank diserahkan kepada BPPN dengan status Bank Beku Operasi (BBO), 42 bank diserahkan dengan status Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU). BerdasarkanLegal Due Diligence (LDD) dan Financial Due Diligence (FDD) yang dilakukan, BPPN mengelompokkan 65 BDP tersebut menjadi 3 kategori, yaitu: · Kategori A, yaitu BDP yang menurut laporan LDD dan FDD tidak ditemukan indikasi pelanggaran hukum dan/atau transaksi tidak wajar yang menguntungkan eks PSP atau pihak terkait, sehingga PSP tidak diwajibkan mengikuti PKPS (terdapat 16 bank); · Kategori B, yaitu BDP yang menurut laporan FDD dan LDD ditemukan indikasi pelanggaran hukum (irregularities ) dan/atau transaksi tidak wajar yang menguntungkan PSP atau pihak terkait, sehingga PSP diwajibkan mengikuti PKPS dan PSP bersikap kooperatif/bersedia mengikutinya (ada 39 bank, yaitu 32 bank melaksanakan PKPS dan 7 bank melakukan pembayaran tunai); · Kategori C, yaitu BDP yang menurut LDD dan FDD ditemukan indikasi pelanggaran hukum (irregularities ) dan/atau transaksi tidak wajar yang menguntungkan PSP atau pihak terkait, sehingga PSP wajib mengikuti PKPS, namun PSP bersikap tidak kooperatif/tidak bersedia menjalani PKPS (ada 7 bank). Dengan kategorisasi berdasarkan FDD dan LDD di atas, BPK telah menyusun daftar BDP yang tidak mengikuti program PKPS (Kategori A dan C) dan yang mengikuti program PKPS (Kategori B) seperti diperlihatkan pada Lampiran 1. Adapun bank-bank yang mengikuti program PKPS sesuai pola yang disepakati adalah sebagai berikut:

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 65 · PKPS MSAA, diikuti 5 bank yaitu: BCA, BDNI, BUN, Bank Surya dan Bank RSI dengan total nilai JKPS (Jumlah Kewajiban Pemegang Saham) sebesar Rp 89,875 triliun; · PKPS MRNIA, terdapat 4 bank yaitu: Bank Danamon, Bank Umum Nasional, Bank Modern dan Bank Hokindo dengan nilai JKPS Rp 23,842 triliun; · PKPS APU,ada 24 bank dengan nilai JKPS Rp 18,331 triliun. Status penyelesaian PKPS 65 bank yang terkategori sebagai BDP, setelah dikelola BPPN, dapat dirangkum sebagai berikut:

Tabel 1 Status Penyelesaian PKPS ------1. Selesai secara administratif : - Membayar tunai tanpa PKPS 22 bank - Ikut PKPS & Memperoleh SKL 22 bank Sub-total 44 bank 2. Tidak selesai & diproses lebih lanjut: - Ikut PKPS tetapi tidak memperoleh SKL 9 bank - Tidak ikut PKPS dan tidak memperoleh SKL 12 bank Sub-total 21 bank ------Total 65 bank

Seperti telah disebutkan, peraturan-peraturan pendukung untuk PKPS diterbitkan oleh pemerintah, baik pada masa Habibie, Gus Dur maupun Megawati, setelah penandatanganan PKPS untuk melegitimasi langkah- langkah dan pola PKPS yang tengah dijalankan. Padahal, sesuai asas hukum dan keadilan, pemerintah seharusnya menjalankan PKPS dengan mengacu kepada undang-undang dan peraturan yang sudah ada sebelumnya. Penetapan peraturan baru harus dilakukan secara objektif sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan PKPS. Singkatnya, PKPS-lah seharusnya yang

66/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum menyesuaikan diri dan tidak bertentangan dengan berbagai peraturan tersebut bukan sebaliknya. Dengan demikian, lolosnya pelaku pidana dari jerat hukum melalui PKPS merupakan akibat dari tidak ditegakkannya hukum, sikap korup sebagian besar obligor dan oknum pejabat, serta kebijakan pemerintah yang salah, termasuk pula adanya tekanan dan kepentingan IMF yang dengan tunduk dipenuhi oleh Presiden-Presiden RI. Langkah-langkah di atas diprogram untuk dilakukan oleh BPPN dalam rangka pelaksanaan tugas penyehatan bank dan mengupayakan pengembalian uang negara yang telah terkucurkan melalui BLBI, Dana Talangan BPPN dan klaim Program Penjaminan, kepada BDP (Bank Dalam Penyehatan) milik para debitur. Seperti diketahui, tugas BPPN itu tercantum dalam UU No.10/1998 dan PP No.17/1999, dimana BPPN melaksanakan program PKPS sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur dalam UU dan PP tersebut. Dengan mengacu kepada Tabel 1, selanjutnya akan diberikan uraian tentang obligor yang mendapat SKL, obligor yang tidak memperoleh SKL meskipun ikut PKPS, dan obligor yang tidak mengikuti PKPS dan tidak mendapat SKL. Perlu diingat bahwa obligor yang tidak mengikuti PKPS ini adalah obligor yang melanggar hukum sesuai laporan FDD & LDD namun tidak bersedia/kooperatif menjalankan PKPS.

Obligor yang Mendapat SKL dan SP3 Berdasarkan Inpres No.8/2002, Presiden antara lain memerintahkan Ketua BPPN, setelah mendapat persetujuan KKSK dan Meneg BUMN, agar para debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya (baik melalui program MSAA, MRNIA dan APU) diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut. Untuk melaksanakan Inpres No.8/2002, BPPN telah membuat Perjanjian Penyelesaian Akhir (PPA) dengan para pemegang saham (PS) atau obligor yang telah menyelesaikan kewajibannya. Selain itu BPPN juga telah mengeluarkan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada para obligor yang telah menyelesaikan kewajibannya. Nama-nama obligor yang telah

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 67 menandatangani PPA dan memperoleh SKL adalah seperti diperlihatkan pada tabel di bawah ini.

Tabel 2 Daftar Penerima Surat Keterangan Lunas

No. Nama Pemegang Saham Bank Nilai Utang (Juta Rp) 1. Soedono Salim Bank Central Asia (BCA) 52.767.575 2. Ibrahim Risjad Risjad Salim Internasional (RSI) 664.107 3. Samsul Nursalim BDNI 28.408.000 4. Bob Hasan BUN 6.189.882 5. Sudwikatmono Surya 1.886.400 6. Siti Hardijanti Rukmana Yakin Makmur (Yama) 213.291 7. Hasjim Djojohadikusumo Papan Sejahtera 298.300 8. Njoo Kok Kiong Papan Sejahtera 149.150 9. Honggo Wendratmo Papan Sejahtera 149.150 10. Andy Hartawan Sardjito Baja Internasional 42.543 11. Soeparno Adijanto Bumi Raya Utama 63.730 12. Mulianto Tanaga Indotrade 47.682 13. Philip S. Widjaja Mashill 67.854 14. Ganda Eka Handria Sanho 20.099 15. Nirwan Bakrie Nusa Nasional 5.106.509 16. Husudo Angkosubroto Sewu Internasional 258.845 17. Iwan Suhardiman Tamara 53.009 18. Thee Ning Khong Baja Internasional 73.539 19. The Tje Min Hastin 196.492 Sumber20. :The Laporan Ning King BPK No.34/XII/11/2006Danahutama 18.062 Catatan: No 1-5: Pola MSAA; No 6-21: Pola APU. Tidak ada peserta pola MRNIA yang memperoleh21. Hendra SKL. Liem Budi 17.632 Total 96,691,851 Sumber : Laporan BPK No.34G/XII/11/2006 Catatan: No 1-5: Pola MSAA; No 6-21: Pola APU. Tidak ada peserta pola MRNIA yang memperoleh SKL.

68/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum Dengan memperoleh SKL, maka para obligor bebas dari tuntutan pidana, mengingat pemerintah menetapkan penyelesaian kasus BLBI melalui mekanisme di luar pengadilan. Padahal, seperti disampaikan di atas, para obligor tesebut telah melanggar BMPK dan berbagai penyelewengan lain seperti dilaporkan BPK. Selanjutnya, bahkan ditemukan bahwa pelunasan atas PKPS dilakukan sejumlah obligor dengan penuh manipulasi dan kecurangan, seperti menyerahkan aset-aset fiktif kepada BPPN. Karena itu, SKL yang diperoleh sejumlah obligor merupakan sesuatu yang harus ditinjau kembali kelayakannya (beberapa contoh kasus obligor yang menyimpangkan BLBI dan memanipulasi pelunasan melalui mekanisme PKPS akan dibahas dalam bab 9).

Obligor PKPS MRNIA yang Tidak Mendapat SKL Meskipun telah mengikuti PKPS lebih dari 4 tahun, ternyata banyak bank yang tidak mampu menyelesaikan kewajibannya sesuai dengan JKPS. Para PSP yang tidak mampu menyelesaikan kewajibannya tersebut, sehingga tidak memperoleh SKL melalui PKPS MRNIA, diperlihatkan pada tabel berikut ini.

Tabel 3 Daftar Peserta MRNIA yang Tidak Memperoleh SKL

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status 1. Danamon Ind. Usman Admadjaja 12.532.749 Tidak Ada Kepastian 2. Hokindo Ho Kianto/Ho Kiarto 297.571 Dialihkan ke TP-BPPN 3. BUN Kaharudin Ongko 8.347.882 Pengadilan: Bebas 4. Modern Samadikun Hartono 2.663.873 Pengadilan: Buron Total 23,842,075 Sumber: Laporan BPK RI No.34G/XII/11/2006

Berdasarkan laporan BPK, nilai JKPS PSP empat bank yang mengikuti pola MRNIA tersebut adalah Rp 23,842 triliun. Namun, pelaksanaan PKPS tidak seluruhnya sesuai dengan perjanjian, terutama dilihat dari penyerahan

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 69 aset yang dijanjikan dan dijaminkan kepada BPPN, seperti aset yang tidak berada dalam kondisifree and clear dan bahkan dalam kondisi dijaminkan kepada pihak lain. Berikut disampaikan latar belakang tidak keluarnya SKL kepada beberapa obligor pola MRNIA. UsmanAdmadjaja Usman Admadjaja sebagai PSP Bank Danamon tidak memperoleh SKL karena beberapa hal terkait kondisi aset-aset yang diserahkannya kepada BPPN, seperti antara lain: penurunan jumlah saham perusahaan asuransi PT ALICA yang dialihkan kepada perusahaan induk (BKA)/BPPN; adanya tuntutan hukum dari pihak ketiga kepada PT Kuningan Persada, adanya pembatalan HGB Milik PT Bahana Sukma Sejahtera (BSS), dan klaim atas tanah milik PT Bentala Mahaya; serta perubahan jumlah saham PT BSS yang diserahkan kepada BKA. Banyaknya penyimpangan yang dilakukan Usman Admadjaja dalam PKPS MRNIA menyebabkanrecovery rate yang diperoleh hanya 15,21%. Artinya, dari kewajiban JKPS Rp 12,533 triliun, BPPN hanya memperoleh Rp 1,906 triliun dari aset-aset dan saham-saham perusahaan yang diserahkan Usman! Secara umum, BPPN juga menilai aset yang diserahkan Usman lebih rendah dibandingkan penilaian yang diakui olehnya. Karena itu, sebagai jaminan atas pelunasan JKPS, BPPN mewajibkan Usman untuk menyerahkan jaminan tambahan berupapersonal guarantee (jaminan pribadi). Karena berbagai penyelewengan di atas, BPPN akhirnya tidak mengeluarkan SKL kepada Usman. Dengan demikian, seperti ditulis BPK dalam laporannya, tidak ada pula kepastian hukum bagi Bank Danamon. Namun, meskipun belum memperoleh SKL, kita juga tidak mengetahui kelanjutan PKPS Usman, serta pertanggungjawabannya atas kerugian negara yang mencapai Rp 10 triliun (recovery rate atas utang Rp 12,533 triliun hanya 15,21%). Yang kita tahu, hanyalah bahwa Usman kini merupakan salah satu orang yang masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia, dengan kekayaan US$ 85 juta.

70/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum Kaharudin Ongko (BUN) Sesuai dengan perhitungan, JKPS BUN adalah Rp 13,998 triliun yang ditanggung oleh Muhammad Hasan (Bob Hasan) dan Kaharudin Ongko masing-masing Rp 6,159 triliun (44%) dan Rp 7,839 triliun (56%). Belakangan, dilakukan koreksi pada JKPS Ongko menjadi Rp 8,348 triliun pada tanggal 22 Desember 1999. Setelah melalui proses selama 4 tahun, Bob Hasan akhirnya memperoleh SKL. Namun tidak demikian dengan Ongko. Secara umum, BPPN menilai aset yang diserahkan Ongko lebih rendah dibandingkan penilaian yang diakuinya. Sebagai jaminan atas pelunasan JKPS, BPPN mewajibkan Ongko menyerahkan jaminan tambahan berupa personal guarantee (jaminan pribadi). Terjadi perbedaan nilai aset yang diserahkan oleh Ongko kepada BPPN. Menurut Ongko, nilai asetnya mencapai Rp 5,276 triliun, sedangkan menurut BPPN nilainya hanya Rp 1,664 triliun. Perbedaan nilai aset ini sudah menunjukkan itikad Ongko. Dalam rangka pelaksanaan kewajiban menurut PKPS MRNIA, Ongko diwajibkan menyerahkan seluruh asetnya kepada suatu holding company bernama PT Arya Mustika Mulia Abadi (PT AMMA). AMMA, pada kenyataannya pun dijalankan Ongko karena ia yang memiliki 99% saham perusahaan ini (sisa 1% nya dimiliki oleh Santosa Arief Gunawan Sastradiputra). Ironisnya, meskipun AMMA mengelola aset yang demikian besar sebagai sumber dana yang harus dikembalikan kepada negara, BPPN justru tidak mempunyai direksi/komisaris sebagai wakil di AMMA. BPPN juga tidak menyusunOverall Asset Disposal Plan (OADP) sebagai perencanaan penjualan aet-aset eks pemegang saham yang telah dialihkan ke BPPN. Dalam praktiknya, AMMA malah membentuk perusahaan lain untuk mengelola aset properti Ongko, yaitu PT Anugrah Cermin Mulia (ACM). Dengan melepas wewenang pengelolaan dan penjualan aset kepada Ongko sebagai mantan pemiliknya, maka kemungkinan terjadinya penyelewengan sangat besar. Sehingga tidak mengherankan kalau hasil penjualan aset Ongko hanya sebesar Rp 103,026 miliar. Dengan kewajiban Rp 8,306 triliun sebagaimana tercantum dalam PKPS, maka recovery rate MRNIA Ongko hanya 1,23%! Dengan utang lebih dari Rp 8 triliun dan hanya membayar sekitar Rp 103 miliar, maka Ongko sesungguhnya bukan

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 71 hanya tidak pantas mendapat SKL, tetapi juga harus dituntut di pengadilan dan menyerahkan aset-aset lain yang dimilikinya. Sayangnya, pemerintah hingga saat ini tidak menindak tegas Tuan Ongko yang masih dapat hidup nyaman menghirup udara bebas. Fakta bahwa Ongko tidak memperoleh SKL dan merampok uang rakyat Rp 10 triliun, rupanya belum cukup bagi pemerintah dan aparatnya untuk melakukan tindakan hukum secara tegas. Ongko pun kini berjaya sebagai salah satu dari 150 orang terkaya di Indonesia (peringkat 117) dengan kekayaan senilai US$ 85 juta. Samadikun Hartono (Bank Modern) Berdasarkan hasil LDD dan FDD yang dilakukan BPPN, Bank Modern diduga melakukan pelanggaran hukum antara lain memberikan kredit kepada pemilik dan grup afiliasinya, melanggar BMPK, dan melakukan transaksi tidak wajar lainnya yang memberi manfaat sepihak kepada pemiliknya, Samadikun Hartono. PKPS Bank Modern melalui pola MRNIA ditandatangani pada tanggal 18 Desember 1998, dengan nilai JKPS Rp 2,664 triliun. Samadikun kemudian menyerahkan aset yang menurut penilaiannya sendiri adalah sebesar Rp 2,170 triliun, padahal menurut BPPN nilainya hanya sebesar Rp 972,01 miliar. BPPN menilai aset yang diserahkan oleh Samadikun selaku pemegang saham pengendali lebih rendah dibandingkan penilaian yang diakuinya, sehingga, seperti juga pada PSP-PSP lainnya yang nilai asetnya kurang, BPPN mewajibkan Samadikun menyerahkan jaminan tambahan berupa personal guarantee (jaminan pribadi) sebagai jaminan atas pelunasan kewajibannya. Dalam rangka memenuhi kewajibannya, Samadikun menyerahkan seluruh asetnya kepada suatuholding company bernama PT Cakrawala Gita Persada (CGP) yang bertugas menampung dan melakukan penjualan aset eks miliknya tersebut. Aset-aset tersebut selanjutnya dijaminkan oleh CGP beserta seluruh saham CGP kepada BPPN. Berdasarkan PKPS MRNIA, Samadikun menyerahkan 10 saham perusahaan yang dituangkan dalam dokumenDeed of Transfer (DoT) No.31, dihadapan notaris pada tanggal 9 Juli 1999.

72/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum Dana yang berhasil diperoleh BPPN sehubungan dengan PKPS MRNIA sampai tanggal 30 April 2004 hanya Rp 269,58 miliar, atau 10,12% dari kewajiban JKPS Samadikun yang sebesar Rp 2,664 triliun. Outstanding promissory notes atau sisa tagihan yang dipegang BPPN namun tidak tertagih adalah sebesar Rp 2,52 triliun. Atas dasar itu, BPPN tidak menerbitkan SKL kepada Samadikun. Meski demikian, setelah menggasak uang negara senilai lebih dari Rp 2 triliun tersebut, Samadikun kini masih hidup bebas! Ho Kiarto dan Ho Kianto (Bank Hokindo) Berdasarkan hasil LDD dan FDD yang dilakukan BPPN, Bank Hokindo diduga melakukan pelanggaran hukum antara lain dengan memberikan kredit kepada PSP dan grupnya, melanggar BMPK, dan melakukan transaksi tidak wajar lainnya yang memberi manfaat kepada PSP Bank Hokindo, yaitu Ho Kiarto dan Ho Kianto. PKPS Bank Hokindo ditempuh melalui pola MRNIA yang ditandatangani pada tanggal 23 April 1999, yang kemudian diamandemen pada tanggal 22 Februari 2000 (amandemen pertama) dan pada tanggal 4 Juli 2000 (amandemen kedua). Nilai JKPS Bank Hokindo adalah Rp 297,571 miliar. Sedangkan JKPS Ho Kiarto dan Ho Kianto sebagai PSP Bank Hokindo, menurut BPK adalah sebesar Rp 306,466 miliar. BPPN menilai aset yang diserahkan oleh Ho Kiarto dan Ho Kianto lebih rendah dibandingkan penilaian menurut mereka. Sebagai jaminan atas pelunasan JKPS, BPPN mewajibkan kedua PSP tersebut menyerahkan jaminan tambahan berupapersonal guarantee (jaminan pribadi). Dalam rangka penyelesaian mekanisme PKPS Bank Hokindo, didirikan holding company bernama PT Hoswaya Persada (HP) untuk menampung dan mengelola saham yang dijaminkan dariGroup companies dan asset companies , serta menjualnya sesuai dengandivestiture schedule. BPPN tidak menunjuk direktur atau komisaris pada perusahaan pengelola ini, dan juga tidak menyusunOverall Asset Disposal Plan (OADP) sebagai perencanaan atas penjualan aset-aset PSP yang telah dialihkan ke BPPN. Dicatat juga bahwa BPPN tidak melakukan pengawasan atas pemenuhancovenant yang dilakukan oleh PT HP, karena komunikasi antara BPPN dengan PT HP tidak berjalan baik. Dengan berbagai penyimpangan dan permasalahan di atas, maka dana yang berhasil diperoleh BPPN sampai tanggal 30 April 2004 adalah sebesar

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 73 Rp 45,201 miliar, atau hanya 15,19% dari kewajiban JKPS yang bernilai Rp 297,571 miliar. Selanjutnya,outstanding promissory notes (PN) PT HP yang dipegang BPPN senilai Rp 259,785 miliar, dijual dengan harga Rp 33,426 miliar (12,87%). Dengan penjualan sisa PN (hak tagih/piutang BPPN) sebesar Rp 259,785 miliar tersebut, maka hak tagih BPPN atas sisa piutangnya di PT HP telah beralih kepada pembeli PN tersebut. Dengan demikian, BPPN tidak lagi memiliki hak tagih kepada PT HP atau Ho Kiarto dan Ho Kianto selaku PS Bank Hokindo. BPPN pun kemudian tidak mengeluarkan SKL kepada keduanya, sehingga tidak ada kepastian hukum pula mengenai PKPS Bank Hokindo. Uraian tentang status penyelesaian PKPS MRNIA di atas menunjukkan betapa tidak kooperatifnya 5 orang PSP yang menjadi obligor keempat bank tersebut, sehinggarecovery rate yang diperoleh dari aset-aset yang mereka serahkan sebagai pelunasan JKPS sangat rendah, yaitu hanya 9,75% (lihat tabel berikut).

Tabel 4 Recovery Rate PKPS 4 Obligor MRNIA

No. Nama PSP JKPS (Rp Jt) Recv. (Rp Jt) Recv. Rate (%) 1. Usman Admadjaja 12.532.749 1.905.933 15,21% 2. Ho Kianto/Ho Kiarto 297.571 45.201 15,19% 3. Kaharudin Ongko 8.347.882 103.026 1,23% 4. Samadikun Hartono 2.663.873 269.585 10,12% Total 23.842.075 2.323.745 9,75%

Dengan rendahnyarecovery rate JKPS dan tidak keluarnya SKL bagi para obligor, pemerintah memang telah melakukan langkah-langkah lanjutan, seperti pengalihan kepada Tim Pemberesan BPPN, maupun upaya-upaya hukum. Yang jelas, patut dicatat bahwa kerugian negara dari kelima obligor ini lebih dari Rp 20 triliun. Namun dua dari 5 orang tersebut, seperti

74/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum diberitakan MajalahGlobe Asia edisi 7 Agustus 2007, terpampang sebagai orang terkaya nomor 116 dan 117 di Indonesia. Usman Admadjaya dan Kaharudin Ongko masing-masing mencatatkan kekayaan sebesar US$ 85 juta. Lalu bagaimana denganpersonal guarantee seperti disyaratkan oleh PKPS MRNIA, Adakah rasa keadilan? Dengan demikian, dapat kita nyatakan rakyat memang telah dipaksa untuk ikut menanggung kerugian negara Rp 20 triliun tersebut, sebagai akibat ulah konglomerat rampok, oknum-oknum pemerintah, oknum- oknum BPPN, dan oknum-oknum lembaga peradilan.

Obligor PKPS APU yang Tidak Mendapat SKL

PKPS pola APU yang diikuti 24 bank dan 29 PS/obligor dengan total JKPS sebesar Rp 18,331 triliun, berakhir tidak sesuai harapan. Sebagian besar obligor tidak melunasi atau mencicil kewajibannya sesuai perjanjian. Oleh karena itu, pemerintah melalui Sidang Kabinet 7 Maret 2002 dan kebijakan KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan) pada tanggal 22 Agustus 2002 mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mempercepat proses penyelesaian PKPS APU. Hal itu dilakukan antara lain dengan menghitung kembali JKPS (disebut dengan JKPS Reformulasi) dengan potongan bunga dan dendaGroup loans sebelum diserahkan kepada BPPN dan bunga atas JKPS setelah perjanjian APU. Namun atas kebijakan tersebut, tidak semua penandatangan PKPS APU memberikan respon positif. Sampai dengan berakhirnya tugas BPPN, status penyelesaian PKPS APU dibagi ke dalam 5 jenis sebagai berikut: 1. PS telah melunasi JKPS sebelum ada kebijakan percepatan penyelesaian PKPS APU/JKPS Reformulasi (Status A); 2. PS bersedia mengikuti kebijakan percepatan PKPS APU dan selanjutnya menyelesaikan PKPS Reformulasi sesuai kesepakatan (Status B); 3. PS bersedia mengikuti kebijakan percepatan PKPS APU tetapi tidak menyelesaikan PKPS Reformulasi sesuai kesepakatan (Status C);

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 75 4. PS tidak bersedia mengikuti kebijakan percepatan PKPS APU sehingga penanganan selanjutnya diserahkan kepada aparat penegak hukum (Status D); 5. PS bersedia mengikuti kebijakan percepatan PKPS APU, tetapi sampai dengan berakhirnya tugas BPPN belum menandatangani perjanjian percepatan PKPS APU dan PS tersebut terkait pula dengan restrukturisasi Grup Texmaco (Status E).

Tabel 5 Status Penyelesaian APU

No. Status APU Jumlah Bank Jumlah PS PKPS Awal PKPS Reform. 1. A 2 2 35.694 - 2. B 14 14 6.740.193 4.552.193 3. C 5 5 2.138.440 1.456.913 4. D 8 8 8.099.132 5. E 1 1 1.317.595 Jumlah 18.331.054 6.009.106

Dari tabel di atas dapat dirangkum hal-hal yang masih menggantung dan bermasalah sebagai berikut: · Ada 8 bank dengan 9 orang Pemegang Saham (PS) yang mengikuti PKPS APU Reformulasi namun tidak menyelesaikan kewajibannya sampai tanggal 30 April 2004. Kedelapan BDP tersebut kemudian dialihkan kepada Tim Pemberesan BPPN (TP-BPPN); · Ada 8 bank dengan 8 PS yang tidak mengikuti PKPS Reformulasi dan tidak menyelesaikan kewajibannya, yaitu: Bank Metropolitan (dengan PSP Santoso Sumali), Bank Intan (Fadel Muhammad), Bank Namura (Baringin P dan Joseph J), Bank Bahari (Santoso Sumali), Bank PSP (T. Gondokusumo), Bank Tata Internasional (Hengki W), Bank Aken (IM Sudirta/IG Darmawan) dan Bank Umum Sertivia (David Nusa Wijaya/Tarunodjojo).

76/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum · Ada satu bank yang tidak menandatangani perjanjian PKPS Reformulasi dan kemudian kasusnya dialihkan ke Kepolisian yaitu Bank Putra dengan M. Sinivasan sebagai PSP. Pada tabel berikut diperlihatkan daftar bank dan obligor PKPS APU yang tidak memperoleh SKL, berikut statusnya pada saat berakhirnya tugas BPPN pada tanggal 30 April 2004.

Tabel 6 Daftar Peserta APU yang Tidak Memperoleh SKL

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status 1. Tamara Lidia Mukhtar 202.802 Dialihkan ke TP-BPPN Omar Putihrai 190.169 Dialihkan ke TP-BPPN 2. Namura BaringinP/J Januardy 158.933 Dialihkan ke TP-BPPN A.Januardy/James 205.143 Dialihkan ke TP-BPPN 3. BIRA Atang Latief 447.449 Dialihkan ke TP-BPPN 4.. PSP T Gondokusumo 3.031.112 Dialihkan ke TP-BPPN 5. Lautan Berlian Ulung Bursa 876.908 Dialihkan ke TP-BPPN 6. Tata Hengki Wijaya 461.991 Ditangani Kepolisian 7. Intan Fadel Muhammad 88.155 Ditangani Kepolisian 8. Aken IM Sudiarta/ IG Darmawan 680.891 Ditangani Kepolisian 9. Sertivia David Nusa Wijaya 3.336.444 Ke Pengadilan: Buron 10. Bahari Santoso Sumali 295.050 Ditangani Kepolisian 11. Metropolitan Santoso Sumali 46.556 Ditangani Kepolisian 12. Putra M.Sinivasan 1.317.595 Ditangani Kepolisian Total 11,339,198 Sumber: diolah dari Laporan BPK No.34G/XII/11/2006

Daftar di atas memperlihatkan bahwa terdapat 16 orang PSP (mencakup 1 BTO dan 11 BBKU) yang tidak memperoleh SKL, meskipun BPPN telah mengelola bank-bank yang mereka miliki selama sekitar 4 tahun. Dengan status demikian, maka ada 7 bank yang dialihkan ke TB- BPPN. Sedangkan, sisanya di proses di lembaga peradilan, dimana salah satunya adalah David Nusa Wijaya, pengemplang Rp 3 triliun uang rakyat yang saat ini buron! Berikut disampaikan ringkasan status penyelesaian JKPS dan recovery rate kewajiban ke-16 orang PSP.

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 77 Lidia Mukhtar & Omar Putihrai (Bank Tamara) Berdasarkan LDD dan FDD yang dilakukan, Bank Tamara diduga telah melanggar hukum dengan memberi kredit kepada grup sendiri, melanggar BMPK, serta melakukan transaksi tidak wajar lain yang merugikan bank tetapi menguntungkan grup. Lidia Mukhtar mempunyai kewajiban JKPS Reformulasi senilai Rp 202,802 miliar, tetapi hanya membayar Rp 14,301 miliar, atau hanya memilikirecovery rate 7,05%. Sedangkan, Omar Putihrai yang mempunyai kewajiban JKPS Reformulasi sebesar Rp 190,169 miliar, hanya membayar Rp 31,683 miliar (recovery rate 16,66%). Sehingga total kerugian negara dari kasus ini adalah sebesar Rp 233,362 miliar. Kedua PSP dialihkan kepada TP-BPPN. David Nusa Wijaya (Bank BUS) BPPN menyimpulkan bahwa David Nusa Wijaya adalah Pemegang saham non kooperatif meskipun telah menandatangani APU dengan BPPN, dengan JKPS awal Rp 3,336 triliun dan turun menjadi Rp 2,305 triliun berdasarkan JKPS Reformulasi. Disamping itu, David juga melakukan banyak pelanggaran, sehingga uang negara yang bisa ditagih kembali darinya hanya sebesar Rp 27,892 miliar, atau memiliki recovery rate hanya 0,84%! BPPN menyerahkan penanganan tindakan hukum atas David Nusa Wijaya kepada Kepolisian, melalui surat No PROG-4968/BPPN/0404 tanggal 6 April 2004. Atang Latif (Bank Bira) Kewajiban Bank Bira awalnya adalah Rp 447,449 miliar dan kemudian turun menjadi Rp 325,457 miliar melalui JKPS Reformulasi. Sampai dengan 30 April 2004, jumlah dana yang dibayarkan Latif kepada BPPN adalah sebesar Rp 134,754 miliar, ataurecovery rate 41,4%. Selanjutnya, penyelesaian PKPS Bank Bira diserahkan kepada TP-BPPN. Trijono Gondokusumo (Bank Putra Surya Perkasa/PSP) JKPS PSP menurut APU tanggal 6 Oktober 2000 adalah Rp 3,031 triliun. Padahal hasil perhitungan BPK menunjukkan bahwa kewajiban tersebut seharusnya Rp 5,048 triliun. Dalam hal ini BPK menganggap BPPN telah salah melakukan perhitungan sehingga menguntungkan

78/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum obligor. Belakangan, melalui JKPS Reformulasi, kewajiban tersebut turun lagi menjadi Rp 1,767 triliun. Yang mengenaskan, meskipun kewajiban tersebut telah berkurang, total pembayaran yang diperoleh dari obligor hanya Rp 127,069 miliar! Dengan demikian, recovery rate hanya 4,19% dan kerugian negara mencapai lebih dari Rp 1,5 triliun. PSP Bank PSP tidak dapat menyelesaikan kewajiban PKPS APU dengan BPPN, dan dianggap sebagai PSP yang tidak kooperatif. BPPN kemudian melimpahkan penanganan kasus Bank PSP kepada Kepolisian melalui surat No. PROG-228/BPPN/0103 tanggal 16 Januari 2003. Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian) Ulung Bursa adalah Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank Berlian dengan kepemilikan saham 92,06%. Jumlah kewajiban JKPS Bank Lautan Berlian menurut APU tanggal 6 Oktober 2000 adalah Rp 876,908 miliar, yang harus diselesaikan dalam waktu 4 tahun sejak 6 Oktober 2000. Selain itu, PS diwajibkan menyerahkan jaminan minimal 150% dari jumlah kewajibannya. Namun, BPK menemukan bahwa kewajiban Ulung seharusnya adalah Rp 950,491 miliar, atau lebih tinggi sekitar Rp 73 miliar dari penghitungan BPPN. Akibat adanya kebijakan KKSK untuk mempercepat penyelesaian PKPS, BPPN mengurangi kewajiban PS, seperti tertuang dalam JKPS Reformulasi menjadi Rp 615,443 miliar. Namun, sampai berakhirnya masa perjanjian 6 Oktober 2004, Ulung Bursa hanya membayar kewajibannya sebesar Rp 159,952 miliar. Dengan demikian,recovery rate utang obligor hanya 25,99%. Oleh sebab itu, Ulung Bursa tidak memperoleh SKL dan kasusnya dialihkan ke TP-BPPN. Sekarang, pada kenyataannya Ulung masih bebas, tanpa proses hukum dan tanpa upaya penyelesaian berarti. Hengki Wijaya (Bank Tata Internasional) Hengki memiliki kepemilikan saham sebesar 66,67% di Bank Tata. Jumlah kewajiban JKPS Bank Tata menurut APU tanggal 5 Oktober 2000 adalah Rp 461,991 miliar, yang harus diselesaikan dalam 4 tahun hingga 5 Oktober 2004. Selain itu Hengki juga diwajibkan menyerahkan jaminan minimal 150% dari kewajibannya. Namun BPK menemukan bahwa

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 79 kewajiban Hengki seharusnya sebesar Rp 596,794 miliar, atau terjadi kekurangan penghitungan (yang dilakukan BPPN bersama obligor) sebesar Rp 134,803 miliar. Dengan JKPS Reformulasi, sesuai kebijakan KKSK untuk mengurangi kewajiban PS, jumlah kewajiban tersebut diturunkan lagi menjadi Rp 295,080 miliar. Meskipun telah memperoleh pengurangan begitu besar, hingga berakhirnya masa PKPS, Hengki hanya membayar Rp 14,607 miliar. Dengan demikian,recovery rate terhadap kewajiban PS hanyalah 3,16%. Hengki tidak memperoleh SKL dan selanjutnya diserahkan kepada Kepolisian melalui surat No. PROG-4968/BPPN/0404 tanggal 6 April 2004, untuk proses lebih lanjut. Sama seperti Ulung, Hengki pun masih hidup bebas tanpa proses hukum, tanpa kejelasan status, dan juga tanpa upaya yang jelas untuk menyelesaikan kasusnya. Fadel Muhammad (Bank Intan) Bank Intan diserahkan kepada BPPN sebagai BDP sesuai keputusan Direksi BI No.30/240/KEP/DIR tanggal 14 Februari 1998, dan kemudian ditetapkan sebagai BBKU terhitung sejak 13 Maret 1999. Pemegang Saham Pengendali Bank Intan adalah Fadel Muhammad yang memiliki saham 49,6%. JKPS Bank Intan menurut PKPS APU tanggal 9 Oktober 2000 adalah Rp 88,155 miliar. Namun BPK menemukan, sesuai perhitungan yang dilakukannya, kewajiban tersebut seharusnya sebesar Rp 136,43 miliar. Setelah 4 tahun PKPS berjalan, PS Bank Intan hanya membayar Rp 4,903 miliar, ataurecovery rate hanya 5,56%. PS tidak berusaha menyelesaikan kewajibannya sesuai PKPS. Dengan kondisi demikian, PS tidak mendapat SKL, dan dianggap sebagai PS non kooperatif. Selanjutnya kasusnya dilimpahkan kepada Kepolisian sesuai surat No. PROG-228/BPPN/0103 tanggal 16 Januari 2003. I Made Sudirta dan I Gde Darmawan (BankAken) PKPS Bank Aken dilakukan melalui penandatanganan APU oleh PSP Bank Aken yaitu I Made Sudirta (24,4%), I Gde Darmawan (26,1%), serta PT Kresna Karya (49,50%) pada tanggal 17 Oktober 2000. Total kewajiban PKPS para PSP tersebut adalah sebesar Rp 736,35 miliar (versi BPPN) atau Rp 680,891 miliar (perhitungan versi BPK). Terlepas dari perbedaan

80/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum perhitungan tersebut, kewajiban tersebut turun menjadi Rp 416,982 miliar berdasarkan JKPS Reformulasi. Meskipun telah mendapat pengurangan sebesar Rp 263,909 miliar, setelah 4 tahun masa PKPS, para obligor hanya membayar kewajiban tersebut sebesar Rp 33,455 miliar (recovery rate 4,91%). Kedua obligor (I Made Sudirta dan I Gde Darmawan) akhirnya tidak mendapat SKL, dan kasusnya dialihkan kepada Kepolisian melalui surat BPPN No. PROG- 4968/BPPN/0404 tanggal 6 April 2004. Baringin P., Joseph P.,A. Januardy, dan J. Januardy (Bank Namura) Bank Namura diserahkan kepada BPPN dan ditetapkan sebagai BBKU pada tanggal 13 Maret 1999. APU Bank Namura ditandatangani pada tanggal 11 Oktober 2000 oleh Grup Maduna (dengan PSP Baringin P. dan Joseph P.) dan pada 16 Oktober 2000 oleh Grup Yasonta (James J. dan Adisaputra J.). JKPS Grup Maduna adalah sebesar Rp 158,933 miliar, sedangkan JKPS Grup Yasonta adalah Rp 205,143 miliar. Padahal, menurut perhitungan BPPN, jumlah kewajiban mereka seharusnya masing-masing Rp 170,144 miliar (Maduna) dan Rp 228,236 miliar (Yasonta). Selanjutnya, jumlah kewajiban tersebut berkurang karena adanya pengurangan seperti tertuang dalam JKPS Reformulasi, yaitu Rp 107,631 miliar untuk Maduna dan Rp 123,042 miliar untuk Yasonta. Namun demikian, pengembalian dana yang diperoleh BPPN dari kewajiban JKPS Grup Maduna hanya Rp 6,573 miliar, ataurecovery rate 4,14%. Sedangkan, dari grup Yasonta sebesar Rp 35,439 miliar, ataurecovery rate 28,80%. Dengan kondisi demikian, keempat PS tidak memperoleh SKL dan kasusnya diserahkan kepada TP-BPPN. BPPN juga kemudian menyimpulkan bahwa Grup Maduna sebagai PS Bank Namura tidak kooperatif, sehingga mengalihkan penyelesaian kasusnya kepada Kepolisian melalui surat No. PROG-228/BPPN/0103 tertanggal 16 Januari 2003. Sedangkan, Grup Yasonta dianggap masih kooperatif, sehingga proses selanjutnya diserahkan kepada TP-BPPN. Santoso Sumali (Bank Bahari dan Bank Metropolitan Raya) Bank Bahari diserahkan kepada BPPN pada tanggal 13 Maret 1999 sebagai BBKU. Pemegang Saham Pengendali (PSP) Bank Bahari adalah Santoso Sumali sebagai wakil dari keluarga Sumali (mayoritas saham Bank

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 81 Bahari sendiri dimiliki oleh Sutianto Sumali dan Kurniadi Sumali). JKPS APU Bank Bahari dinyatakan sebesar Rp 295,05 miliar, lalu kemudian turun menjadi Rp 215,5 miliar berdasarkan kebijakan KKSK melalui JKPS Reformulasi. Namun, PSP Bank Bahari tidak bersedia mengikuti kebijakan yang ditetapkan KKSK, sedangkan BPPN pun tidak sepakat dengan perhitungan JKPS Reformulasi. Sikap PSP yang tidak kooperatif untuk membahas kewajibannya, akhirnya membuat BPPN melimpahkan penanganan penyelesaian kasus Santoso Sumali kepada Kepolisian sesuai surat No. PROG-228/BPPN/0103 tanggal 16 Januari 2003. Diperhitungkan, dari nilai kewajiban keluarga Sumali sebesar Rp 295,05 miliar, BPPN hanya menerima pengembalian Rp 8,88 miliar, atau hanya memiliki recovery rate 3,01%! Selain pada Bank Bahari, keluarga Sumali juga tersangkut kasus BLBI pada kasus Bank Metropolitan Raya (BMR). BMR diserahkan kepada BPPN sebagai BDP, dan kemudian pada tanggal 13 Maret 1999 berubah status menjadi BBKU. Keluarga Santoso Sumali merupakan pemegang saham pengendali BMR dengan porsi sebesar 79%. 21% saham lainnya dimiliki oleh keluarga Hundani Harsono. Sesuai PKPS APU BMR yang ditandatangani pada tanggal 12 Oktober 2000, pelunasan kewajiban PSP harus selesai pada tanggal 12 Oktober 2004, dimana PSP harus menyerahkan jaminan minimal 150% dari JKPS. Berdasarkan PKPS APU tersebut, JKPS BMR adalah sebesar Rp 46,556 miliar, sedangkan berdasarkan perhitungan BPK, kewajiban tersebut adalah sebesar Rp 70,46 miliar. Meski demikian, kebijakan KKSK menetapkan perhitungan ulang atas jumlah kewajiban BMR melalui JKPS Reformulasi menjadi sebesar Rp 34,076 miliar. Ternyata, lagi-lagi keluarga Sumali sebagai PSP BMR berlaku tidak kooperatif, sehingga BPPN melimpahkan penanganan kasus BMR kepada Kepolisian sesuai surat No. PRO-228/BPPN/0103 tertanggal 16 Januari 2003. Jumlah uang negara yang kembali dari kasus ini sangat kecil, dimana dari nilai kewajiban sebesar Rp 46,556 miliar, BPPN hanya menerima Rp 368 juta, atau hanya memperolehrecovery rate sebesar 0,79%!

82/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum Marimutu Sinivasan (Bank Putra Multikarsa/BPM) Bank Putra Multikarsa (BPM) diserahkan kepada BPPN sebagai BDP, yang selanjutnya kemudian berubah menjadi BBKU pada tanggal 10 Desember 1999. Marimutu Sinivasan (MS) merupakan PSP BPM, dengan kepemilikan saham 0,12% secara pribadi dan 88,10% melalui PT Multikarsa Investama. Berdasarkan APU yang ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 2000, PSP harus menyelesaikan pelunasan kewajiban selesai pada tanggal 30 Oktober 2004 ditambah dengan kewajiban menyerahkan jaminan minimal 150% dari JKPS. Nilai JKPS BPM versi BPPN adalah Rp 1,317 triliun. Sedangkan, hasil pemeriksaan BPK, nilai JKPS seharusnya mencapai Rp 1,336 triliun (sehingga terdapat selisih penghitungan sebesar Rp 38,635 miliar). Dalam rangka percepatan pengembalian uang negara dan penyelesaian masalah PKPS, KKSK menetapkan kebijakan pengurangan komponen denda dan bunga, sehingga diperoleh nilai JKPS Reformulasi Rp 1,13 triliun. Ternyata, sampai batas waktu perjanjian 30 April 2004, PSP tidak dapat memenuhi kewajibannya sesuai kesepakatan APU. Sehingga, selanjutnya BPPN menyerahkan penyelesaian kasus BPM kepada TP-BPPN. Dana yang diperoleh dari pelaksanaan PKPS BPM adalah Rp 249,337 miliar, atau hanya memilikirecovery rate sebesar 18,92%. Sebagai rangkuman terhadap PSP 12 Bank yang menandatangani PKPS APU dengan BPPN, diperoleh hal-hal sebagai berikut: · Terdapat 8 bank dengan 10 orang PSP yang dialihkan kasusnya kepada Kepolisian, yaitu Bank Sertivia (David Nusa Wijaya), Bank PSP (T. Gondokusumo), Bank Tata Internasional (Hengki Wijaya), Bank Intan (Fadel Muhammad), Bank Aken (I.M. Sudarta & I.G. Darmaputra), Bank Namura (Baringin P. dan Joseph P.), Bank Bahari (Santoso Sumali), dan Bank Metropolitan (Santoso Sumali). · Terdapat 4 bank yang diserahkan kepada Tim Pemberesan BPPN, yaitu Bank Tamara (Lidia Mukhtar dan Omar Putihrai), Bank Bira (Atang Latif), Bank Lautan Berlian (Ulung Bursa), dan Bank Putra Multikarsa (Marimutu Sinivasan). Selanjutnya, akan dibahas proses pengadilan terhadap kedelapan bank tersebut setelah dialihkan kepada Kepolisian.

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 83 Obligor dan Proses Hukum yang Bermasalah Seperti telah diuraikan di atas, ada sejumlah bank yang berdasarkan laporan FDD dan LDD terindikasi melakukan pelanggaran hukum, namun tidak kooperatif untuk menjalani mekanisme PKPS. Sehingga, sampai berakhirnya tugas BPPN, bank-bank tersebut tidak juga memperoleh SKL, dan bahkan sampai saat ini pun, mereka belum juga menyelesaikan kewajibannya. Sebagai rangkuman atas proses penyelesaian kewajiban obligor BLBI (PKPS dan non-PKPS) di atas, kita dapat menyusun daftar seluruh bank dan para PSP yang masih bermasalah dan belum memperoleh SKL pada saat dibubarkannya BPPN pada tanggal 30 April 2004 sebagai berikut:

Tabel 7 Daftar Peserta MRNIA yang Bermasalah

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status 1. Danamon Ind. Usman Admadjaja 12.532.749 Tidak Ada Kepastian 2. Hokindo Ho Kianto/Ho Kiarto 297.571 Dialihkan ke TP-BPPN 3. BUN Kaharudin Ongko 8.347.882 Proses Pengadilan: Bebas 4. Modern Samadikun Hartono 2.663.873 Proses Pengadilan: Buron Total 23.842.075 Sumber: Laporan BPK RI No.34G/XII/11/2006

Tabel 8 Daftar Peserta APU yang Dialihkan Kasusnya ke TP -BPPN

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status 1. Tamara Lidia Mukhtar 202.802 Dialihkan ke TP-BPPN Omar Putihrai 190.169 Dialihkan ke TP-BPPN 2. Namura Baringin P. / Joseph P. A. 158.933 Dialihkan ke TP-BPPN Januardy/James Januardy 205.143 Dialihkan ke TP-BPPN 3. BIRA Atang Latief 447.449 Dialihkan ke TP-BPPN 4. PSP T. Gondokusumo 3.031.112 Dialihkan ke TP-BPPN 5. Lautan Berlian Ulung Bursa 876.908 Dialihkan ke TP-BPPN Total 5,112,516 Sumber: Laporan BPK RI No.34G/XII/11/2006

84/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum Tabel 9 Daftar Peserta APU yang Diserahkan ke Kepolisian dan Pengadilan

No. Bank PSP JKPS (Juta Rp) Status 1. Tata Hengki Wijaya 461.991 Ditangani Kepolisian 2. Intan Fadel Muhammad 88.155 Ditangani Kepolisian 3. Aken IM Sudiarta/ IG Darmawan 680.891 Ditangani Kepolisian 4. Sertivia David Nusa Wijaya 3.336.444 Ke Pengadilan: Buron, ditangkap kembali 5. Bahari Santoso Sumali 295.050 Ditangani Kepolisian 6. Metropolitan Santoso Sumali 46.556 Ditangani Kepolisian 7. Putra M. Sinivasan 1.317.595 Ditangani Kepolisian Total 6,226,682 Sumber: Laporan BPK No.34G/XII/11/2006, diolah

Tabel 10 Daftar Obligor Non PKPS yang Bermasalah

No. Bank/Status PSP Status 1. Istimarat/BBKU Agus Anwar Buron, lari ke Singapura 2. Deka/BBO 1. Dewanto K Perdata: Tunggu Putusan MA 2. Royanto K Pidana: Penyelidikan Kejagung 3. Leo Lopullisa 4. Rasjim Wiraatmaja 3. Centris//BBO Andri/Tedjadharma/ Perdata: Tunggu Putusan MA Prasetyo Utomo/Paul B Silalahi Pidana: Penyelidikan Kejagung 4. Aspac/BBKU Setiawan Harjono Penyidikan Kejagung Hendrawan Harjono 5. BCD/BBKU Hindarto Tantular & Anton Penyelidikan Kejagung Tantular 6. Dewa Rutji/BBKU Sjamsul Nursalim Penyelidikan Kejagung 7. Arya Pandrta BBKU Kaharudin Ongko Penyelidikan Kejagung 8. Dharmala BBKU Sujanto Gondokusumo Penyelidikan Kejagung 9. Orient/BBKU Kwan Benny Ahadi Penyelidikan Kejagung

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 85 Tabel 11 Daftar Obligor Bermasalah Lainnya

No. Bank PSP Status 1. BHS Hendra Raharja Vonis seumur hidup; buron & meninggal di Australia 2. BHS Eko Adi Putranto Vonis seumur hidup; buron Shemy Konjongian Vonis seumur hidup; buron 3. BUN Leonard Tanubrata Pengadilan Tinggi 4. Central Dagang Indarto H Tantular Proses Pengadilan

Daftar para obligor dari tabel 7 sampai 11 di atas memperlihatkan, sedikitnya ada 8 obligor yang proses penyelesaiannya dialihkan kepada TP- BPPN. Selain itu, minimal ada 30 obligor yang diserahkan kepada Kepolisian/Kejaksaan untuk penuntasan aspek hukumnya. Disamping obligor-obligor tersebut, terdapat pula puluhan tersangka lain yang terlibat kasus korupsi BLBI. Menurut catatan Indonesian Corruption Watch (ICW), sejak kasus BLBI ditangani oleh Kejaksaan Agung pada tahun 2000, dari 65 orang tersangka yang telah dilakukan pemeriksaan, hingga saat ini baru 16 orang tersangka yang kasusnya dilimpahkan ke pengadilan. Dari 16 terdakwa tersebut, 3 terdakwa dinyatakan bebas, 2 terdakwa divonis penjara masing- masing 4 tahun dan 8 tahun. Selebihnya, sebanyak 5 orang, meskipun divonis seumur hidup dan 5 tahun penjara namun putusannya dijatuhkan tanpa kehadiran para terdakwa(in absentia) , karena yang bersangkutan telah melarikan diri. Sehingga, sangat disayangkan terdapat 8 orang terdakwa yang melarikan diri (diberi kesempatan melarikan diri?) keluar negeri ketika proses hukumnya sedang berlangsung, yaitu: · Hendra Raharja (BHS): lari ke Australia dan meninggal; · Bambang Sutrisno (Bank Surya): lari ke Singapura; · Eko Adi Putranto (BHS): lari ke Singapura; · Andrian Kiki Ariawan (Bank Surya): lari ke Singapura;

86/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum · Shemy Konjongian (BHS): lari ke luar negeri (tidak jelas); · David Nusa Wijaya (Rp 3,3 triliun, Bank Sertivia): lari ke Singapura, ditangkap kembali; · Samadikun Hartono (Rp 169 miliar, Bank Modern): lari ke luar negeri (tidak jelas); · Agus Anwar (Rp 1,9 triliun, Bank Pelita): lari ke Singapura.

Tabel 12 Pengadilan atas 16 Orang Tersangka BLBI

Vonis Pengadilan Jumlah (Orang) 1. Seumur hidup (in absentia) 3 2. 20 tahun penjara (in absentia) 2 3. 8 tahun 1 4. 4 tahun 1 5. Dibawah 1 tahun 6 6. Bebas 3 Total 16

Dengan mengevaluasi proses peradilan para obligor/koruptor BLBI yang sudah berlangsung lebih dari 6 tahun (sejak tahun 2000), berdasarkan catatan ICW,dapat dirangkum hal-hal sebagai berikut: · Aparat hukum, terutama Kejaksaan Agung ditengarai tidak serius menyelesaikan perkara korupsi BLBI. Hal ini terbukti dengan rendahnya jumlah dan lambatnya penyelesaian perkara yang ditangani. Mantan Jaksa Agung A. Rahman Saleh tidak menunjukkan langkah konkret untuk menyelesaikan puluhan kasus korupsi ini. Sementara itu, Jampidsus Hendarman Supandji pernah berencana mengevaluasi sekitar 30 kasus BLBI, meskipun hingga akhir 2005 belum ada satu pun kasus yang dilimpahkan ke pengadilan. Kini, setelah menjadi Jaksa Agung, Hendarman Supandji menyatakan keseriusannya untuk kembali mengusut kasus BLBI, salah satunya dengan menyiapkan 75 orang jaksa. Realisasi dari komitmen Jaksa Agung ini masih perlu kita tunggu dengan cermat.

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 87 · Aparat hukum selama ini, terutama Kejaksaan Agung, tidak bersikap transparan dalam menyampaikan informasi tentang status penanganan perkara korupsi BLBI. Keterangan rinci tentang penanganan kasus BLBI hanya diberikan pada tanggal 6 Desember 2001, saat pertemuan dengan Komisi II DPR RI. Setelah itu, seiring dengan terjadinya pergantian pemerintahan dan Jaksa Agung, laporan terinci tidak pernah lagi diberikan. Bahkan dicurigai, Kejaksaan Agung telah mengeluarkan beberapa SP3 kepada debitur secara sembunyi-sembunyi dan sengaja menutup- nutupinya dari pengetahuan publik. Apakah karena adanya KKN dan mafia peradilan? · Keputusan pengadilan dicurigai penuh rekayasa dan tidak adil. Dalam beberapa perkara, vonis hakim cukup tinggi seperti hukuman seumur hidup atau 20 tahun penjara. Namun putusan itu ditetapkan secarain absentia , dimana para tersangkanya diberi kesempatan berobat ke luar negeri, tetapi kemudian tidak pernah kembali ke Indonesia. Di sisi lain, ada pula beberapa keputusan yang sangat ringan hingga vonis bebas, meskipun para tersangka mengkorupsi uang negara ratusan miliar. Cukup banyak pula terdakwa yang telah melarikan diri saat vonis hakim dijatuhkan. Apakah ini terjadi secara kebetulan? · Adanya indikasijudicial corruption dalam setiap tahap peradilan. Dengan tidak tranparannya penyelesaian perkara BLBI, membuka peluang bagi terjadinya korupsi dalam penanganan perkara, mulai dari tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan hingga putusan. Tiga tersangka BLBI seperti Ulung Bursa (Bank Lautan Berlian), James Januardi (Bank Namura-Yasonta) dan Atang Latif (Bank Bira) mengakui pernah diperas oleh oknum kejaksaan saat menjalani proses penyelidikan/penyidikan. Dengan sikap oknum aparat seperti ini, maka tidak mengherankan jika vonis bagi para koruptor ratusan miliar rupiah uang negara menjadi sangat ringan, seperti terlihat pada data sebagai berikut: 1. Hendri Sunaryo dan Jemy Sutjiwan, korupsi Rp 280 miliar, divonis hanya dengan 10 bulan penjara;

88/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum 2. Soemeri dan Supari Dhirjo Prawiro, diduga merugikan negara Rp 305 miliar dalam kasus Bank Ficorinvest, hanya divonis 18 bulan penjara; 3. Setiawan Hartono, diduga menyelewengkan dana BLBI Bank Aspac Rp 583 miliar, hanya dituntut 6 bulan penjara oleh Jaksa Penuntut Umum; 4. Samadikun Hartono yang didakwa melakukan korupsi dana BLBI Bank Modern Rp 169 miliar divonis bebas oleh PN Jakarta Barat. Putusan ini belakangan dibatalkan ditingkat kasasi setelah MA menyatakan Samadikun bersalah dan divonis 4 tahun penjara. Namun karena terpidana telah (diberi kesempatan?) melarikan diri, putusan MA tersebut tidak dapat dieksekusi. · Kejaksaan membutuhkan waktu yang lama untuk mengambil keputusan hukum tetap dan dapat dieksekusi. Meskipun asas proses peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana dan murah, namun dalam prakteknya hal tersebut berlangsung lama, rumit dan mahal. Hampir seluruh perkara korupsi BLBI membutuhkan waktu lebih dari satu tahun. Perkara Hendrawan Hartono, terpidana kasus Bank Aspac misalnya, membutuhkan waktu 4 tahun untuk sampai kepada putusan yang berkekuatan hukum tetap. Sehingga, dari 16 kasus yang telah dilimpahkan, baru 5 kasus yang telah divonis pada tingkat kasasi dan berkekuatan hukum tetap. Sisanya, 11 perkara masih dalam proses dengan status yang tidak jelas. Waktu yang lama ini jelas memberi kesempatan kepada terdakwa untuk melarikan diri. Problem utama penyelesaian kasus BLBI sebenarnya terletak pada sejauh mana keseriusan pemerintah menyeret semua pihak yang terkait penyimpangan dalam penyaluran dana BLBI. Hasil audit BPK bisa dijadikan petunjuk awal untuk melakukan penyidikan. Namun hingga kini tidak terlihat komitmen yang kuat dari pemerintah untuk mengadili para pengemplang uang negara tesebut. Banyak diantara mereka yang kini melarikan diri keluar negeri, bahkan tidak sedikit pula yang dengan mudah tetap dapat mengendalikan kegiatan bisnisnya, hingga kembali berjaya sebagai konglomerat di tanah air.

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 89 Sementara, di sisi lain, rakyat terus bertambah miskin karena harus menanggung beban utang debitur tersebut. Anehnya, pemerintah masih saja mendahulukan penuntasan kasus inisecara perdata daripada secara pidana meskipun penyelesaian secara perdata hingga kini tidak membuahkan hasil yang maksimal. Laporan audit BPK pun sudah jelas menunjukkan terjadinya penyimpangan yang mereka lakukan sehingga terdapat sangkaan tindak pidana.

Peradilan terhadap Pejabat-pejabat BI Hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada tahun 2000 mengindikasikan bahwa penyimpangan dalam penyaluran BLBI tidak hanya disebabkan oleh faktor eksternal, yaitu krisis moneter dan korupsi yang dilakukan para konglomerat, namun juga tidak terlepas dari berbagai penyimpangan dan lemahnya sistem pembinaan dan pengawasan bank oleh BI. Penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan BI antara lain adalah: · Mengabaikan fungsi pengawasan; · Mengabaikan penerapan sanksi secara tegas dan konsekuen terhadap berbagai pelanggaran; · Mengabaikan langkah-langkah pengamanan terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh bank-bank yang melanggar BMPK, melanggar prinsipprudential banking , membiarkan pelanggaran mutasi akuntansi, membiarkan penggunaan dana BLBI tanpa kendali, melakukan diskriminasi penyaluran BLBI, melakukan intervensi valas melalui bank-bank yang rekening gironya telah bersaldo debet, mengabaikan pelaksanaan program penjaminan yang telah ditetapkan dalam Keppres No.26 tahun 1998, dan membiarkan bank-bank menyelesaikan kewajiban jatuh tempo melalui mekanisme kliring. Berdasarkan laporan hasil pemeriksaan BPK tersebut, Kejaksaan Agung pada masa kepemimpinan Marzuki Darusman telah memeriksa 80 orang pejabat BI, baik yang masih aktif maupun yang sudah pensiun, termasuk mantan Gubernur BI Soedrajad Djiwandono. Namun, dari 80 orang pejabat yang diperiksa hanya 3 orang yang perkaranya dilimpahkan ke

90/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum pengadilan, yaitu Hendro Budiyanto, Heru Supraptomo dan Paul Sutopo (ketiganya adalah mantan direksi BI). Terhadap ketiga mantan direksi tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan vonis masing-masing berupa 3 tahun penjara kepada Hendro Budiyanto dan Heru Supraptomo, serta vonis 2 tahun 6 bulan kepada Paul Sutopo. Selain itu, masing-masing juga dikenakan denda sebesar Rp 20 juta. Ketiganya divonis atas dakwaan penyalahgunaan wewenang karena tidak melaksanakan stop kliring sehingga merugikan negara dalam penyaluran BLBI. Akibat kesalahan ini, untuk perkara Hendro Budiyanto, negara ditaksir menderita kerugian Rp 9,793 triliun. Adapun untuk perkara Heru Supraptomo dan Paul Sutopo, kerugian negara yang ditimbulkan masing-masing Rp 6,36 triliun dan Rp 2,02 triliun. Dalam tingkat banding, ketiganya dibebaskan oleh Pengadilan Tinggi Jakarta dengan alasan bahwa perbuatan mereka tidak dapat dihukum karena tidak tergolong perbuatan pidana. Tetapi pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung akhirnya menghukum mereka dengan penjara 1 tahun 6 bulan serta denda sebesar Rp 200 juta. Berdasarkan uraian di atas, kita melihat bahwa dari 80 orang pejabat BI yang telah diperiksa Jaksa Agung Marzuki Darusman pada masa tugasnya, ternyata tidak ada kabar lebih lanjut tentang bagaimana hasil pemeriksaan tersebut hingga saat ini, baik status maupun rencana tindak lanjut atas pemeriksaan pejabat-pejabat BI tersebut. Meskipun BPK sudah demikian gamblang menyampaikan berbagai penyelewengan yang dilakukan oleh para pejabat BI tersebut, tidak ada tindak lanjut signifikan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga terkait, termasuk institusi peradilan, legislatif, dan terutama pemerintah/Presiden. Sehingga, seolah-olah hasil audit BPK sebagai lembaga tinggi negara tidak dipandang berarti. Apakah hal ini terkait dengan temuan terbaru BPK tentang adanya aliran dana BI kepada sejumlah kalangan, termasuk DPR dan aparat penegak hukum, yang digelontorkan khususnya dalam rangka membela pejabat-pejabat BI yang terlibat kasus hukum BLBI? Menarik untuk ditunggu, meskipun kita masih berharap-harap cemas agar kasus ini tidak lantas menguap sebagaimana halnya terjadi pada banyak kasus korupsi lain! Untuk itu kita mendesak pemerintah agar bekerja lebih serius dan tidak pandang bulu dalam mengungkap pihak-pihak yang terlibat dalam kasus

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 91 mega korupsi ini secara tuntas, termasuk menyeret oknum-oknum pejabat BI yang terlibat. Mengingat skala kerugiannya yang sangat besar, rasanya memang sudah selayaknya jika pemerintah mengerahkan segala upaya untuk menuntaskan pengusutan kasus ini, dan bukan hanya memfokuskan diri pada kasus-kasus korupsi kelas teri yang dilakukan para mantan bupati, walikota, rektor, atau dosen!

Delapan Obligor Bermasalah Hingga Saat ini: Oktober 2007 Sampai buku ini ditulis, kita mencatat masih ada 8 obligor yang belum menyelesaikan kewajibannya karena berbagai hal (lihat tabel dibawah).

Tabel 13 Obligor yang Belum Menyelesaikan Kewajibannya

Kewajiban Awal Kewajiban Reformulasi No. Nama Bank (miliar Rp) (miliar Rp) 1. M.Sinivasan BPM 1.317,59 1.130,60 2. Ulung Bursa Lautan Berlian 876,91 615,44 3. Agus Anwar Pelita & Istmrt 577,81 577,81 4. Atang Latief BIRA 447,45 325,45 5. Adi Saputra J. Namura Intr. 102,57 61,52 6. Lidya Muchtar Tamara 308,05 202,08 7. Omar Putihrai Tamara 300,88 190,17 8. James Januardi Namura Intr. 102,57 61,52 Total 4.033,83 3.164,59

PKPS APU antara kedelapan obligor tersebut dengan BPPN sebagian besar ditandatangani pada tahun 2000, yaitu masing-masing BPM pada 30 Oktober, Bank Lautan Berlian pada 6 Oktober, Bank Bira pada 12 Oktober, Bank Namura pada 11 Oktober, dan Bank Tamara pada 15 November. Sedangkan, APU Bank Pelita ditandatangani pada 21 November 2003. Seperti terlihat pada tabel, total JKPS bank-bank tersebut sesuai APU awal

92/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum (berdasarkan perhitungan BPK) adalah Rp 4,0338 triliun. Setelah dilakukan reformulasi, total JKPS bank-bank tersebut kemudian turun menjadi Rp 3,164 triliun. Reformulasi JKPS dilakukan setelah para obligor gagal melunasi JKPS mereka hingga batas waktu yang ditentukan, yaitu Maret 2004. Melalui reformulasi, pemerintah/ KKSK memberikan keringanan kepada obligor berupa penurunan jumlah kewajiban mereka dalam APU. APU Reformulasi ditandatangani oleh para obligor masing-masing pada tanggal 30 Juni 2003 (Bank Tamara, Bank Lautan Berlian, dan Bank Bira), 22 Agustus 2002 (BPM), dan 16 Juli 2003 (Bank Namura). Bank Pelita/Istimarat tidak diberikan pengurangan utang melalui JKPS Reformulasi, karena Agus Anwar selaku PSP sudah melarikan diri ke Singapura. Dalam perkembangannya, total nilai JKPS kedelapan obligor menurut BPK telah berubah menjadi Rp 2,297 triliun. Sedangkan, menurut perhitungan Depkeu, total JKPS para obligor adalah Rp 2,541 triliun. Dengan demikian, terjadi perbedaan perhitungan sekitar Rp 243 miliar. Atas adanya perbedaan tersebut, pemerintah telah mengajukan permintaan pertimbangan kepada DPR. Namun, penulis tidak menemukan informasi lebih lanjut tentang skenario dan nilai JKPS mana yang akhirnya dipilih. Selanjutnya, disamping memperoleh penurunan utang melalui JKPS Reformulasi, para obligor juga memperoleh tambahan waktu untuk melunasi utangnya hingga Maret 2006. Disamping itu, para obligor juga diberi kelonggaran untuk menyelesaikan JKPS melalui kombinasi pembayaran tunai dan penyerahan aset yang dilakukan secara mencicil. Jika sampai jatuh tempo Maret 2006 para obligor gagal bayar(default) , maka perjanjian utang dikembalikan ke APU Awal. Ini berarti, para obligor harus membayar utang pokok sesuai jumlah awal ditambah dengan denda dan klaim sehingga total yang harus dibayar akan jauh lebih tinggi dibanding JKPS Reformulasi yang ditandatangani tahun 2003. Ternyata hingga Maret 2006 para obligor tersebut lagi-lagi gagal memenuhi kewajibannya. Bahkan pemerintah kemudian memberikan perpanjangan waktu hingga dua kali, yang juga tidak dapat dipenuhi oleh para obligor. Akhirnya, pemerintah menganggap para obligor tersebut sudah dalam posisidefault . Dengan demikian, perhitungan kewajiban yang harus dibayar oleh para obligor adalah utang pokok ditambah dengan denda

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 93 dan bunga. Dalam hal ini, pemerintah menetapkan total utang mereka menjadi Rp 9,36 triliun. Permasalahan muncul ketika para obligor menolak dasar perhitungan pemerintah yang menambahkan beban bunga dan denda sebagai kewajiban. Mereka beralasan bahwa dalam tiga tahun terakhir mereka telah mencicil pembayaran utang mereka (meskipun jumlah yang dicicil tersebut sangat kecil). Para obligor kemudian mengklaim bahwa JKPS yang harus mereka bayar hanya sebesar Rp 2,216 triliun. Ditengah ketidaksepakatan ini, BPK justru ikut menyampaikan pendapat bahwa jumlah kewajiban para obligor adalah sebesar Rp 2,297 triliun. BPK beralasan, beberapa obligor telah menyerahkan beberapa aset namun belum dihitung sebagai bagian dari pembayaran. Disamping itu, ada permasalahan administrasi yang belum tuntas menyangkut dokumen asli yang masih tersimpan di notaris. Dengan demikian terjadi perbedaan perhitungan sekitar Rp 243 miliar. Dengan adanya perbedaan sikap ini, maka kita menemukan ada 3 versi perhitungan kewajiban para obligor, yaitu versi-versi pemerintah, obligor dan BPK. Perbandingan kewajiban tersebut seperti terlihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 14 Beberapa Versi Perhitungan JKPS

Versi Depkeu (Jt Rp) Versi BPK Versi Obligor JKPS APU Awal APU Reformulasi (Jt Rp) (Jt Rp) Total JKPS 2.540.900 9.386.719 2.297.235 2.216.743

Atas kesimpangsiuran dan ketidakpastian penyelesaian pembayaran JKPS tersebut, pada bulan Februari 2007, Menkeu Sri Mulyani kembali menyatakan pemerintah telah menyiapkan 3 skenario penyelesaian tagihan piutang kepada kedelapan obligor BLBI, yaitu: · Pertama, obligor dinyatakandefault atau gagal bayar dengan nilai JKPS sesuai APU awal, yang terdiri dari pokok, bunga dan denda;

94/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum · Kedua, obligor dinyatakan gagal bayar tetapi diberi keringanan bunga dan denda. Namun jumlah utang yang harus dibayar sama nilainya dengan total utang pokok berdasarkan APU awal; · Ketiga, obligor dianggap tidakdefault namun harus membayar jumlah utang berdasarkan APU Reformulasi. Terhadap skenario pertama, obligor menyatakan keberatan dan tidak mampu menyelesaikan utang-utangnya. Sedangkan, untuk skenario ketiga, Menkeu menyebutkan hal itu sesuai dengan pendapat BPK. Dijelaskan bahwa alternatif ketiga dapat mempercepat penyelesaian utang obligor karena mereka mengakui dan menyanggupi penyelesaian utang berdasarkan perhitungan tersebut. Atas adanya perbedaan tersebut, pemerintah telah mengajukan permintaan pertimbangan kepada DPR. Namun juga tidak diperoleh informasi lebih lanjut tentang skenario dan nilai JKPS mana yang akan dipilih. Uraian di atas menjelaskan kepada kita bagaimana pemerintah, meskipun telah berganti beberapa kali, tidak serius dan tidak mampu/mau menyelesaikan permasalahan korupsi BLBI kedelapan obligor tersebut. Kita mencatat telah terjadi kelalaian dan ketidakterbukaan dalam mencari dan menghitung aset-aset para obligor yang semestinya dikuasai negara. Ko- ordinasi antar lembaga pemerintah juga lemah untuk menuntaskan kasus ini. Pemerintah sangat lemah menegakkan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian mengingat setiap kali para obligor melanggar kesepakatan, pemerintah selalu memberi kesempatan untuk dilakukannya renegosiasi perjanjian. Puncaknya adalah dilayaninya penolakan para obligor untuk membayar bunga dan denda, padahal ketentuan tersebut telah tercantum dalam PKPS. PKPS telah disepakati dan ditandatangani oleh kedua belah pihak, yaitu pemerintah/BPPN dan obligor, sejak tahun 2000. APU tersebut selanjutnya diubah beberapa kali pada tahun 2003, 2006 dan 2007, dalam rangka mengakomodasi berbagai kepentingan, termasuk kepentingan para obligor. Meskipun, APU dan APU Reformulasi tetap memuat ketentuan- ketentuan sanksi jika terjadi default. Atas dasar itu, layak dipertanyakan mengapa pemerintah, baik di masa Habibie, Gus Dur, Megawati hingga masa SBY saat ini tidak serius dan tegas terhadap para obligor. Apakah telah terjadi KKN oleh sejumlah oknum

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 95 pada berbagai masa pemerintahan tersebut, sebagaimana pemerintah Orde Baru melakukannya saat memulai skandal BLBI?

Penutup Kita telah mencatat bahwa lembaga-lembaga peradilan dan lembaga- lembaga negara telah menghasilkan keputusan yang sebagian besar jauh dari prinsip-prinsip hukum dan keadilan, sehingga merugikan keuangan negara hingga ratusan triliun rupiah. Sebagian besar koruptor, yang telah menghisap uang rakyat tersebut, dibiarkan bebas berkeliaran, lari ke luar negeri dengan hasil korupsinya, dan kembali menguasai aset-asetnya yang dahulu dinyatakan bangkrut (sebagian mereka bahkan juga kini masuk dalam daftar orang-orang terkaya di Indonesia). Hukuman pengadilan memang sempat dijatuhkan pada beberapa obligor, namun jumlahnya tidak banyak dan vonisnya pun tidak setimpal dengan kejahatan dan kerugian negara yang ditimbulkannya. Kalaupun ada yang divonis berat seperti penjara seumur hidup atau puluhan tahun, umumnya mereka telah lebih dulu “melarikan diri” atau “diberi kesempatan berobat ke luar negeri”, sehingga tidak pernah kembali ke Indonesia. Ini adalah sebagian kenyataan dari carut-marutnya penanganan skandal BLBI oleh lembaga peradilan Indonesia yang korup. Carut-marut hukum penanganan skandal BLBI semakin lengkap ketika Presiden sebagai kepala negara, didukung oleh para menteri kabinet terkait, mengeluarkan Inpres No.8/2002 tentangrelease and discharge . Dengan Inpres ini, para tersangka tindak pidana korupsi BLBI dinyatakan bebas dari segala bentuk tuntutan/gugatan pidana atas kejahatannya merampok ratusan triliun rupiah uang rakyat. Inpres No.8/2002 merupakan suatu bentuk rekayasa sistematis dan manipulatif, serta skandal besar yang dilakukan oleh Presiden Megawati bersama para menterinya (termasuk diantara yang menjabat saat itu Boediono selaku Menteri Perekonomian, Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Menko Polkam, Jusuf Kalla sebagai Menko Kesra, dan Yusril Ihza Mahendra sebagai Menteri Sekretaris Negara). Mereka telah menyalahgunakan kekuasaan yang mereka miliki untuk membebaskan para pelaku tindak pidana yang telah merugikan rakyat dan melanggar berbagai

96/ Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum aturan, mulai dari UUD 1945, TAP-TAP MPR, hingga berbagai undang- undang yang berlaku. Meskipun telah didukung dengan argumentasi dan fakta-fakta hukum yang gamblang, gugatanjudicial review atas Inpres No.8/2002 yang diajukan oleh para penggugat ternyata ditolak oleh MA. Apa hendak dikata, MA sebagai lembaga penegak hukum tertinggi di negara ini pun memilih melegitimasi kebijakan yang dibuat kepala negara dibanding memenuhi rasa keadilan masyarakat. Di sisi lain, DPR yang menjadi lembaga penyeimbang pemerintah dan mempunyai hak kontrol juga tidak melakukan fungsinya atas berbagai penyelewengan tersebut. Tidak tercatat upaya maksimal dari anggota- anggota DPR yang menjabat saat itu untuk mengoreksi kebijakan release and discharge yang dibuat pemerintah. Dengan demikian, lengkaplah sudah carut-marut penanganan hukum skandal BLBI, dengan hasil terabaikannya penegakan hukum dan keadilan, serta diabadikannya penderitaan rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan demi pelunasan utang dan pembayaran bunga obligasi rekap yang entah kapan akan berakhir. Pertanyaannya adalah, masih layakkah mereka menyebut diri sebagai figur prowong cilik, dengan menjabat sebagai petinggi negara atau menteri, atau bahkan menyatakan keinginan untuk mencalonkan diri sebagai presiden masa mendatang? Bagi para obligor pengemplang uang rakyat, kita berharap masih ada rasa kemanusiaan di hati mereka untuk menyadari kesalahannya dan segera mengembalikan uang rakyat yang telah mereka nikmati. Catat kenyataan ini: puluhan juta rakyat yang Anda ambil haknya kini hidup dengan pendapatan Rp 167.000/bulan atau kurang dari Rp 6000/hari!

Mekanisme PKPS: Menyelesaikan Kasus Korupsi dengan Mengabaikan Hukum/ 97

Bab 6

INPRES NO. 8/2002: JALAN MENUJU KETIDAKADILAN DAN PEMISKINAN

Marwan Batubara

Sebelum Inpres No.8/2002 diterbitkan, pemerintah melalui BPPN telah menetapkan berbagai konsep dan langkah penyehatan bank serta pengupayaan pengembalian uang negara yang telah disalurkan kepada perbankan (bank-bank yang terkategori sebagai Bank Dalam Penyehatan/BDP) melalui berbagai fasilitas seperti BLBI, Dana Talangan BPPN, dan klaim Program Penjaminan. Pengembalian uang negara (recovery ), yang dilakukan melalui mekanisme Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) juga dinyatakan sebagai salah satu fungsi utama BPPN. Tugas BPPN ini sesuai dengan UU No.10/1998 tentang perubahan UU No.7/1992 tentang Perbankan dan PP No.17/1999 tentang BPPN. Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya, PKPS merupakan mekanisme penyelesaian kewajiban Pemegang Saham Pengendali (PSP) bank-bank penerima fasilitas BLBI yang dilaksanakan dengan 3 pola, yaitu

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 99 MSAA(Master Settlement and Acqusition Agreement) , MRNIA (Master Refinancing and Notes Issuance Agreement), dan APU (Akta Pengakuan Utang). Pelaksanaan PKPS didasarkan kepada kewenangan yang dimiliki BPPN dalam PP 17/1999, yang menetapkan bahwa dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, BPPN mempunyai wewenang untuk menghitung dan menetapkan kerugian yang dialami BDP dan membebankan kerugian tersebut kepada modal bank yang bersangkutan. Bilamana kerugian tersebut terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi, komisaris, atau pemegang saham, maka kerugian tersebut dibebankan kepada mereka yang bersangkutan tersebut. Usulan PKPS, sebagai mekanisme penyelesaian kasus BLBI di luar jalur pengadilan, diputuskan pertama kali dalam Rakor Pengawasan Pembangunan pada tanggal 21 Agustus 1998 yang dipimpin Menkowasbang Hartarto, dihadiri oleh Gubernur BI, Menkeu, Jaksa Agung, Kepala BPKP dan Ketua BPPN. Keputusan itu diambil setelah mendengarkan penjelasan Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Suhanjono yang mengatakan bahwa proses hukum atas pelanggaran BMPK (Batas Maksimum Pelanggaran Kredit) dan BLBI akan berjalan lama dan tidak jelas tingkat pengembalian komersialnya. Sebagai tindak lanjut, Menkeu mengeluarkan Surat Kuasa Khusus (SKK) dengan hak substitusi kepada Jaksa Agung untuk dan atas nama Menkeu melakukan penelitian mendalam permasalahan Bank Beku Operasi (BBO) dan BankTake over (BTO). Selanjutnya, sehubungan dengan pelaksanaan SKK tersebut, Jaksa Agung menyampaikan laporan kepada Presiden Habibie, dengan surat No.R-192/A/G.1/1998 tangal 23 September 1998, perihal laporan hasil kegiatan non litigasi terhadap 14 bank bermasalah (BBO/BTO) oleh Tim Kejaksaan dan BPPN. Dalam laporan tersebut dikemukakan bahwa para pemilik BBO dan BTO mengakui banknya telah menerima BLBI, bertanggung jawab, dan memiliki itikad baik untuk mengembalikan seluruh kewajiban BLBI, dengan cara membayar tunai serta penyerahan aset-aset, baik milik pribadi maupun kelompok perusahaannya. Kebijakan pemerintah mengenai penyelesaian kewajiban BLBI oleh PSP BBO/BTO yang dilakukan melaluiout of court settlement dituangkan juga dalamLetter of Intent ( LoI ) dengan IMF pada tanggal 11 September 1998.

100/ Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan Namun kita mencatat pula adanya surat Presiden Habibie kepada Menkeu yang meminta penyelesaian kasus BLBI dilakukan sesuai peraturan yang berlaku. Seperti dinyatakan dalam surat bernomor B- 342/Pres/11/1998 tertanggal 6 November 1998, Presiden RI meminta Menkeu dan Ketua BPPN untuk melakukan upaya dan pembahasan dengan pemilik BBO dan BTO untuk mencari penyelesaian sesuai dengan peraturan yang berlaku. Apakah ini berarti Presiden belumfirm dengan out of court settlement? Setelah terbitnya PP 17/1999 tentang BPPN dan tugasnya dalam penyehatan bank-bank, sejumlah peraturan, berupa UU, PP, SKB, SK Menteri, dan sebagainya telah diterbitkan oleh pemerintah selama tahun 2000 hingga 2004. Peraturan-peraturan dimaksud antara lain adalah: · Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan dan Gubernur BI No,117/KMK.017/1999 dan No.31/15/KEP/GBI tanggal 26 Maret 1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Dalam Penyehatan Yang Berstatus BTO; · UU No.25/2000 tentang Propenas tahun 2000-2004; · Lampiran UU No.35/2000 tentang APBN Tahun 2001; · TAP MPR No. X Tahun 2001 yang menyatakan bahwa MPR menugaskan Pemerintah dan BPPN untuk secara konsisten melaksanakan MSAA sesuai dengan UU Propenas; · Surat Keputusan Menteri Koordinator Ekuin/Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) No.12/M.EKUIN/04/2000 tanggal 7 April 2000 tentang Prinsip Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham Dari Bank Beku Kegiatan Usaha Kepada Pemerintah Yang Timbul Sebagai Akibat Pembekuan Usaha Bank; · Keputusan KKSK No. KEP.03/K.KKSK/1/2000 tanggal 10 November 2000 tentang penetapan agar para PSP dalam perjanjian MSAA memenuhi kewajibannya dengan menyerahkan tambahan aset dan saham perusahaan serta memberikanpersonal guarantee ; · Keputusan KKSK No. KEP 01/K.KKSK/08/2002 tanggal 22 Agustus 2002 perihal perhitungan ulang kewajiban PSP PKPS APU,yang disebut JKPS Reformulasi.

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 101 Instruksi Presiden No.8/2002 tanggal 30 Desember 2002 yang mengatur tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.

Esensi Inpres No. 8/2002 Inpres No. 8/2002 merupakan puncak dari berbagai peraturan dan kebijakan pemerintah yang memilih penyelesaian kasus BLBI melalui jalur out of court settlement, yaitu dengan memberinya landasan hukum. Melalui hal ini, pemerintah menunjukkan sikapnya untuk lebih mengutamakan pengembalian uang negara dibandingkan dengan penegakan hukum secara adil dan konsekuen. Sehingga, penerbitan Inpres ini juga dapat diartikan sebagai bentuk intervensi Presiden terhadap otoritas hukum (teks Inpres selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 1). Inpres tersebut menginstruksikan kepada Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), Menteri Kehakiman dan HAM, para Menteri Anggota KKSK, Meneg BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi penyelesaian kewajiban pemegang saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA dan APU. Dalam menjalankan langkah-langkah tersebut, Inpres No.8/2002 memuat berbagai kebijakan pedoman sebagai berikut: · Kepada para debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya, baik MSAA, MRNIA dan APU, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagiamana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut; · Kepada para debitur yang sedang melakukan penyelesaian sesuai perjanjian PKPS, baik MSAA, MRNIA dan APU, diberi kesempatan untuk terus dan secepatnya menyelesaikan kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh KKSK; · Kepada para debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN baik dalam rangka

102/ Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan MSAA, MRNIA, dan APU sampai dengan berakhirnya batas waktu yang telah ditetapkan KKSK, diambil tindakan hukum yang tegas dan konkrit, yang dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua BPPN, Kepala Kepolisian, dan Jaksa Agung RI. Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud di atas, menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program PKPS, bagi debitur yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemberian bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan sebagaimana di atur di atas, dilakukan oleh Ketua BPPN setelah mendapat persetujuan dari KKSK dan Meneg BUMN. Sebagai akibat dari terbitnya Inpres No. 8/2002, KKSK menerbitkan beberapa keputusan yang intinya memberikan keuntungan dan keringanan kepada debitur/PSP, yaitu antara lain Keputusan KKSK No.01/K.KKSK/04/2003 mengenai JKPS Reformulasi PKPS APU yang mengurangi beban kewajiban para obligor, dan Keputusan KKSK No. KEP. 03/K.KKSK/09/2003 tanggal 18 September 2003 tentang kebijakan bahwa pemberian PG bagi penandatangan MSAA tidak berlaku lagi. Selain itu, berdasarkan Inpres ini, para debitur dianggap sudah menyelesaikan utangnya, meskipun mereka hanya membayar tunai 30% saja dari total kewajibannya sesuai JKPS, dan membayar 70% sisanya dengan sertifikat bukti kepada BPPN. Atas dasar bukti ini, mereka yang sedang diperiksa (dalam proses penyidikan), akan diberikan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara). Sedangkan, apabila perkaranya dalam proses pengadilan, maka akan dijadikan bukti baru yang dapat membebaskan mereka. Sebagai akibat dari terbitnya Inpres ini, tercatat Kejaksaan Agung menghentikan proses penyidikan terhadap sedikitnya 10 tersangka BLBI pada tahun 2004 karena mereka telah mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) dari BPPN.

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 103 Gugatan Judicial Review Terhadap Inpres No. 8 Tahun 2002 Disebabkan karena isinya yang kontroversial, penerbitan Inpres release and discharge banyak mendapatkan penolakan dari berbagai pihak. Tercatat, beberapa tokoh, elemen masyarakat, para pakar, dan LSM mengajukan gugatanjudicial review untuk meminta pembatalan Inpres tersebut oleh Mahkamah Agung. Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengawali pengajuan gugatanjudicial review terhadap Inpres ini pada tanggal 23 Februari 2003. Hal ini kemudian diikuti pula oleh beberapa tokoh nasional seperti Hidayat Nurwahid, Laode Ida, Asmara Nababan, Teten Masduki, Komarudin Hidayat, Nursyahbani Katjasungkana, dan Faisal Basri, dengan diwakili oleh tim kuasa hukum yang diketuai Bambang Widjojanto. Gugatan mereka ajukan secara resmi pada tanggal 27 Mei 2003. Berikut merupakan dasar gugatan hak uji materiil Inpres No. 8 tahun 2002. Pada dasarnya, para penggugat menilai bahwa Inpres No. 8 Tahun 2002 telah melanggar peraturan perundang-undangan di atasnya. Berdasarkan ketentuan pasal 4 ayat 1 Ketetapan MPR No. III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-Undangan, dinyatakan bahwa ”Setiap aturan hukum yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan aturan hukum yang lebih tinggi (lex specialis derograt lex generalis)”. Ketentuan ini mengandung arti bahwa: · Aturan yang lebih rendah merupakan aturan pelaksana dari aturan yang lebih tinggi; · Aturan yang lebih rendah: 1. Tidak boleh mengubah substansi yang ada dalam aturan yang lebih tinggi; 2. Tidak menambah, tidak mengurangi dan tidak menyisipi suatu ketentuan baru; 3. Tidak memodifikasi substansi dan pengertian yang telah ada dalam peraturan induknya. Inpres No.8/2002 dinilai telah pula melanggar UUD 1945, berbagai TAP MPR dan beberapa undang-undang, serta melanggar sejumlah prinsip

104/ Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan hukum. Berikut beberapa ketentuan hukum yang dilanggar oleh Inpres tersebut: UUD 1945 Inpres No. 8 Tahun 2002 dinilai telah bertentangan dengan pasal 1 ayat 3 serta pasal 14 UUD 45. Pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa: “Negara Republik Indonesia adalah negara hukum”. Ketentuan ini memberi makna bahwa segala permasalahan tidak boleh diselesaikan dengan pendekatan kekuasaan semata, tetapi harus tunduk pada ketentuan dan prosedur hukum. Sedangkan, dalam Inpres No. 8 Tahun 2002, Presiden menginstruksikan kepada penegak hukum, kepolisian, dan kejaksaan yang sedang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tersangka yang statusnya sebagai debitur BPPN, untuk membebaskan debitur yang telah memperolehrelease and discharge (berupa Surat Keterangan Lunas/SKL) dari pemerintah karena telah mengembalikan sebagian utangnya. Padahal, menurut ketentuan hukum, seorang tersangka baru dapat dinyatakan bebas dari tuntutan hukum apabila yang bersangkutan telah diproses melalui pengadilan. Dengan dikeluarkannya Inpres tersebut, para penggugat menilai bahwa Presiden telah melakukan intervensi terhadap kekuasaan yudikatif dengan menginstruksikan pembebasan seseorang yang tersangkut kasus pidana tanpa proses hukum melalui peradilan, atau dengan kata lain presiden menyelesaikan hukum dengan kekuasaan semata. Selanjutnya, Inpres No. 8 Tahun 2002 juga dianggap bertentangan dengan pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 UUD 45. Pasal 14 ayat 1 menjelaskan bahwa “Presiden dalam memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memerhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung”. Sedangkan ayat 2 menjelaskan bahwa “Presiden dalam memberikan amnesti dan abolisi dengan memerhatikan pertimbangan dari Dewan Perwakilan Rakyat”. Berdasarkan ketentuan ini, maka, seperti dinyatakan Pakar Hukum Pidana UI Dr. Rudy Satrio, Presiden sebagai kepala negara hanya mempunyai kewenangan memberikan grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi. Sehingga, tindakan Presiden yang menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002 merupakan tindakan inkonstitusional serta dapat dikategorikan

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 105 sebagai penyalahgunaan kekuasaan(abuse of power) atau melampaui batas kewenangan Presiden seperti yang diatur dalam pasal 14 UUD 45. TAPNo. XI/MPR/1998 dan TAPNo. VIII/MPR/2001 Dalam pasal 4 Tap MPR No.XI/MPR/1998 dinyatakan antara lain bahwa “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta atau konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah serta Hak Asasi Manusia”. Kemudian, dalam pasal 2 ayat 2 Tap MPR No. VIII/MPR/2001, MPR merekomendasikan pemerintah untuk “Melakukan penindakan hukum yang lebih bersungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi, termasuk korupsi yang telah terjadi di masa lalu, dan bagi mereka yang telah terbukti bersalah agar dijatuhi hukuman yang seberat-beratnya”. Sedangkan, Inpres No. 8 Tahun 2002 pada diktum pertama angka 4 menyebutkan bahwa “Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Dari hal tersebut, sudah jelas bahwa penerbitan Inpres No. 8 Tahun 2002 oleh Presiden yang membebaskan debitur dari aspek pidana secara nyata bertentangan dengan pasal 4 ketetapan MPR No.XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas KKN. Padahal, dalam membuat kebijakan, Presiden tidak boleh bertentangan dan bahkan seharusnya berpedoman pada apa yang telah digariskan oleh MPR. Presiden harus bertindak tegas tanpa pandang bulu terhadap semua kasus korupsi, kolusi dan nepotisme. Termasuk dalam hal penyelesaian masalah utang para konglomerat hitam yang telah banyak merugikan keuangan negara, melalui pemberian tuntutan hukuman yang seberat- beratnya.

106/ Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan TAPNo. X/MPR/2001 Dalam rangka mengelola dan menjual aset-aset BPPN, TAP No. X/MPR/2001 antara lain menugaskan Presiden untuk (sebagaimana terdapat dalam butir c), “Pemerintah perlu konsisten menjalankan MSAA dan MRNIA, dan bagi mereka yang belum memenuhi kewajibannya sesuai Undang- Undang No.25/2000 tentang Propenas butir C Nomor 2, 3, dan 4 perlu diambil tindakan tegas”. Dengan ketentuan ini maka Presiden diperintahkan untuk bertindak tegas tanpa pandang bulu terhadap semua kasus KKN, termasuk dalam menjalankan MSAA, MRNIA, dan APU secara konsisten. Namun yang terjadi, Presiden (Megawati) justru mengkhianati amanat TAP MPR tersebut. Presiden bahkan secara manipulatif menjadikan TAP MPR ini sebagai dasar pertimbangan Inpres No. 8/2002. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Pasal 4 UU No. 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana”. Namun, Inpres No. 8 tahun 2002 justru mengistruksikan kejaksaan dan kepolisian untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan para tersangka debitur yang telah memperoleh release and discharge. Padahal para tersangka tersebut disidik dan dituntut karena diduga secara melawan hukum telah melakukan penyalahgunaan wewenang yang berakibat timbulnya kerugian negara. Oleh karena itu, Inpres No. 8 Tahun 2002 yang menginstruksikan pembebasan para debitur dari tuntutan pidana karena dianggap sudah mengembalikan uang negara adalah bertentangan dengan ketentuan UU No. 31 Tahun 1999. UU ini secara gamblang telah menyatakan pengembalian kerugian keuangan negara tidak dapat menghapus proses pidana terhadap seseorang. UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pasal 1 angka 14 UU No. 8 Tahun 1981, menentukan bahwa, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pidana”.

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 107 Demikian juga pasal 109 ayat 2 antara lain menentukan, “Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan karena hukum....” Berdasarkan ketentuan tersebut, seseorang dapat dinyatakan sebagai tersangka apabila telah memenuhi bukti permulaan yang cukup sebagai tersangka atau pelaku tindak pidana. Menurut hukum acara pidana, bila penyidikan sudah selesai, maka berkas penyidikan dilimpahkan ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan. Penuntutan hanya akan dihentikan apabila dalam proses penyidikan ternyata tidak cukup bukti untuk menetapkan tersangka pelaku tindak pidana, atau peristiwanya ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan karena hukum. Hanya dalam kasus-kasus seperti itu penyidik dapat mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3). Sedangkan Inpres No.8 Tahun 2002 justru memerintahkan kepada penyidik untuk segera membebaskan debitur BPPN sebagai tersangka korupsi jika ia telah mengembalikan sebagian uang negara, dan kemudian memperolehrelease and discharge dari pemerintah. Ketentuan Inpres ini tentunya bertentangan dengan pasal 109 ayat 2 KUHAP, karena pengembalian kerugian negara tidak dapat menghapus bukti tersangka sebagai pelaku tindak pidana dan begitu juga dengan peristiwa pidananya. UU No. 5 Tahun1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 2 ayat 1 UU No.5 Tahun 1991 menyebutkan antara lain, “...kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan”. Demikian juga pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa : “Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan”. Berdasarkan ketentuan dalam UU Kejaksaan tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa kejaksaan melaksanakan kekuasaan negara dibidang penuntutan. Artinya, Presiden sebagai kepala pemerintahan tidak dapat semena-mena memerintahkan kejaksaan untuk membebaskan seseorang yang diduga kuat, dan bahkan sudah cukup bukti, melakukan tindak pidana korupsi. Sesuai hukum, kejaksaan harus tetap melimpahkan tersangka

108/ Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan debitur BPPN ke pengadilan walaupun sudah mendapatkan release and discharge. Memang, Jaksa Agung dapat menggunakan hak oportunitasnya untuk membebaskan debitur dengan alasan “kepentingan umum”, berdasarkan argumentasi bahwa mereka telah mendapatkanrelease and discharge . Namun jika itu dilakukannya, maka Jaksa Agung telah menyalahtafsirkan pengertian “kepentingan umum”, karena Tap MPR telah secara tegas menggariskan komitmen seluruh rakyat Indonesia untuk menindak tegas dan menghukum seberat-beratnya para koruptor tanpa pandang bulu. Sehingga, jika Jaksa Agung berdasarkan Inpres tersebut kemudian pada akhirnya membebaskan para obligor dari tuntutan pidana, maka secara tidak langsung Jaksa Agung telah menjalankan tugas dan wewenangnya secara menyimpang dari ketentuan UU No.5 Tahun 1991. Pembebasan para obligor dari tuntutan pidana bertentangan dengan keadilan dan kebenaran serta mengingkari prinsip bahwa setiap orang bersamaan kedudukannya di depan hukum. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Dalam Buku Kesatu Bab VIII Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dijelaskan bahwa peniadaan penuntutan atau penghapusan hak menuntut hanya dapat dilakukan apabila: · Telah ada putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap mengenai tindak pidana yang sama/nebis in idem (pasal 76 KUHP); · Terdakwa meninggal dunia (pasal 77 KUHP); · Perkara dinyatakan telah lewat waktu/kadaluarsa (pasal 78 KUHP); · Pelanggaran yang diancam dengan denda saja (pasal 82 KUHP); · Tidak ada pengaduan dalam hal perkara yang dimaksud adalah berupa delik aduan (Pasal 72 s/d pasal 75 KUHP). Dalam pasal-pasal di atas, dapat dilihat para obligor/debitur tidak termasuk dalam kategori pihak yang bisa dilepaskan dari tanggung jawab pidana. Oleh karena itu, Inpres No. 8 Tahun 2002 yang memberikan jaminan untuk membebaskan debitur dari proses hukum, termasuk penghapusan aspek pidana yang dilakukannya, bertentangan dengan ketentuan yang ada dalam KUHP.

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 109 Prinsip Persamaan di Hadapan Hukum (Equality Before The Law) Penerbitan Inpres No. 8 Tahun 2002 yang memberikan jaminan pembebasan debitur dari aspek pidana menunjukkan adanya diskriminasi hukum oleh pemerintah. Seolah, debitur memiliki hak istimewa untuk dibebaskan dari jerat pidana, karena pemerintah membutuhkan pengembalian uang negara yang telah dicuri debitur tersebut. Padahal, semua orang atau warga negara memiliki hak untuk memperoleh perlakuan hukum yang sama. Hanya dengan hal itu kepastian hukum dapat terjamin. Jika debitur BLBI yang telah mencuri uang negara dibebaskan dari hukuman dengan alasan telah mengembalikan uang tersebut, apakah pemerintah juga hendak membebaskan semua koruptor dan pencuri jika mereka mengembalikan uang curian mereka? Prinsip Jaminan Kepastian Hukum (Rechtsmatigheid) Menurut hukum, suatu tindak pidana yang perkaranya telah diperiksa berdasarkan mekanisme hukum acara pidana, maka kepastian hukumnya hanya dapat diwujudkan bila proses tersebut sepenuhnya tunduk dan mengikuti ketentuan-ketentuan hukum acara pidana. Begitu pula dengan kasus BLBI, kepastian hukum dalam perkara pidana terhadap para debitur MSAA, MRNIA, dan APU pada tingkat penyelidikan, penyidikan, maupun tingkat penuntutan hanya dapat diwujudkan melalui pemeriksaan di sidang pengadilan, sekalipun para tersangka atau terdakwa telah mengembalikan kerugian negara. Apalagi, dalam kasus BLBI, uang yang dikembalikan debitur juga tidak sebanding dengan jumlah uang yang diambilnya. Hal ini telah diatur dalam berbagai ketentuan seperti UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP (pasal 1 angka 14 dan pasal 109 ayat 2), UU No. 5 Tahun 1991 Tentang Kejaksaan RI (pasal 2 ayat 1 jo. pasal 1 ayat 3) serta dalam UU No.31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (pasal 2, 3, dan 4). Berdasarkan ketentuan di atas, maka penerbitan Inpres No. 8 Tahun 2002 oleh Presiden yang antara lain menginstruksikan Kejaksaan RI dan Kepolisian RI untuk menghentikan proses penyidikan dan penuntutan para debitor BPPN yang telah berstatus tersangka, justru telah menimbulkan ketidakpastian hukum.

110/ Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan Berbagai Keberatan terhadap Inpres No. 8/2002 Disamping pelanggaran terhadap berbagai ketentuan hukum seperti diuraikan di atas, terdapat sejumlah alasan kuat untuk membatalkan Inpres No. 8/2002 (serta juga pemberian SKL kepada obligor BLBI), yaitu antara lain: · Dalam diktum “pertimbangan” disebutkan bahwa Inpres No. 8 Tahun 2002 dibuat dalam rangka melaksanakan Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 dan Ketetapan MPR No.X/MPR 2001. Padahal, isi Inpres tersebut justru bertentangan dengan amanat sesungguhnya dari TAP-TAP tersebut, yaitu untuk melakukan tindakan hukum yang tegas terhadap penyelewengan perjanjian PKPS; · Penggunaan Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 dan Ketetapan MPR No.X/MPR/2001 sebagai dasar pertimbangan bagi Inpres No. 8/2002 juga dinilai salah, karena TAP-TAP MPR tersebut baru ditetapkan setelah perjanjian PKPS antara BPPN dan para obligor ditandatangani. Sebagaimana dinyatakan Tim Kuasa Hukum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), kedua TAP tersebut semestinya tidak bisa dijadikan dasar pertimbangan bagi Inpres No.8/2002, karena fakta hukumnya menunjukkan perjanjian MSAA, MRNIA dan APU sudah dilakukan terlebih dahulu sebelum terbitnya Ketetapan MPR No.VI/MPR/2002 dan Ketetapan MPR No.X/MPR/2001; · Dalam menerbitkan Inpres, Presiden semestinya tidak cukup hanya mendasarkan pada asas kemanfaatan atau kebutuhan atau tujuan tertentu(doelmatigheid), tetapi juga harus mempertimbangkan asas legalitas hukum(rechmatigheid ). Artinya, Inpres secara formal maupun substansial tidak boleh melanggar asas-asas kaidah hukum yang mendasar, dan tidak mendahului atau melebihi peraturan dasarnya; · Sementara itu, para penggugat lainnya menilai bahwa kalau pun Presiden hendak melaksanakan MSAA, MRNIA, dan APU secara konsisten, maka Presiden mempunyai kewajiban untuk menghilangkan klausul-klausul perjanjian yang bertentangan dengan kepentingan umum yang ada dalam perjanjian, walaupun

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 111 perjanjian tersebut telah dibuat dan ditandatangani oleh BPPN, Menteri Keuangan, dan para debitur; · Secara hukum, perjanjian yang bertentangan dengan kepentingan umum merupakan perjanjian yang tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian dan tidak mempunyai kekuatan mengikat, sesuai dengan pasal 1320 dan 1335 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penting pula dicatat, bahwa atas dasar kepentingan umum, pemerintah dimungkinkan secara hukum untuk melakukan revisi atas perjanjian MSAA, MRNIA, dan APU meskipun hal itu telah ditandatangani BPPN dan para obligor. Namun, ternyata Presiden tidak merevisinya, dan justru menguatkan klausul-klausul tersebut dalam Inpres No. 8 Tahun 2002. Sehingga, Presiden turut pula melibatkan diri dalam pelanggaran hukum yang terjadi; · Secara hukum, status seseorang ditetapkan sebagai tersangka, karena telah ditemukan bukti permulaan yang cukup bahwa orang tersebut melakukan tindak pidana. Sehingga, Inpres No.8 Tahun 2002 yang memberikan pembebasan dan ampunan kepada debitur tersangka kasus korupsi, padahal telah terdapat bukti yang cukup pada orang tersebut melakukan tindak pidana, telah melanggar hukum (termasuk melanggar Ketetapan MPR yang telah mengamanatkan pemberantasan korupsi secara konsekuen).

Putusan MAyang Manipulatif dan Konspiratif Rakyat sangat berharap agar Mahkamah Agung selaku benteng terakhir penegakan hukum di Indonesia dapat membatalkan keberadaan Inpres No. 8 Tahun 2002 mengingat Inpres tersebut merupakan salah satu penghambat upaya penuntasan hukum skandal BLBI. Namun, harapan itu hilang seketika dengan keluarnya keputusan MA yang menolak gugatanjudicial review yang diajukan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dan beberapa tokoh nasional (dikoordinir ICW). Keputusan penolakan gugatanjudicial review atas Inpres No.8/2002 ditetapkan oleh MA sesuai dengan Surat Putusan MA No.06G/HUM/2003 tanggal 30 Desember 2003. Keputusan MA tersebut ditetapkan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung oleh Prof. Dr. Paulus E. Lotulung sebagai Ketua Majelis

112/ Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan dan Prof. Dr. H Ahmad Sukarja SH dan Prof. Dr Muchsan SH sebagai anggota. Namun satu keanehan dan kesengajaan perlu dicatat: bahwa meskipun keputusan tersebut ”konon” ditetapkan tanggal 30 Desember 2003, Kuasa Hukum penggugat, Teten Masduki dkk., baru menerima salinan sah putusan MA bernomor 06G/HUM/2003 tersebut pada tanggal 30 Mei 2007, sesuai surat pengantar dari MA bernomor No.38/P.PTSN/2007/06G/HUM/2003. Hal ini menunjukkan penggugat baru menerima keputusan MA atas gugatanjudicial review Inpres No.8/2002, setelah 4 tahun gugatan diajukan pada tanggal 27 Mei 2003. Sangat dikhawatirkan, penundaan penyampaian hasil putusan dan juga upaya penyembunyian hasil putusan dari pengetahuan publik merupakan bagian dari skenario untuk mengamankan dan melindungi para koruptor BLBI dari tuntutan hukum. Dalam pertimbangan putusan hukum atas gugatanjudicial review Inpres No.8 Tahun 2002, MA menilai dan menyatakan bahwa: · Inpres tersebut merupakan kebijakan dalam rangka pelaksanaan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang berbentuk MSAA, MRNIA dan/atau APU. Kepada para debitor yang patuh diberikan jaminan kepastian hukum berupa pembebasan dari tuntutan pidana, dan kepada yang tidak patuh tetap diterapkan proses hukum, termasuk tuntutan pidana; · Presiden berwenang menetapkan langkah kebijakan (Beleid Regels) tersebut, demi kepastian hukum serta menyelamatkan aset negara; · Sebagai kebijakan, InpresRelease and Discharge tidak termasuk sebagai obyek hak uji materiil. Oleh karena itu, MA menolak gugatan hak uji materi Inpres No. 8 Tahun 2002. Menyikapi putusan MA tersebut, berbagai kalangan menilai bahwa dasar pertimbangan MA dalam memutuskan gugatanjudicial review atas Inpres No.8 Tahun 2002 sangat minim dari pertimbangan hukum. MA menganggap Inpres No.8 Tahun 2002 merupakan kebijakan pemerintah dalam bentuk produk hukum yang tidak dapat dijadikan objek sengketa atau judicial review. Logika dan paradigma yang digunakan MA ini tentunya sama sekali jauh dari ketentuan konstitusional yang menegaskan bahwa negara Republik

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 113 Indonesia adalah negara hukum, bukan negara kekuasaan belaka. Sebab, jika MA menilai bahwa Inpres No.8 tahun 2002 tidak boleh dipersoalkan melalui mekanisme hukum, itu artinya secara tidak langsung MA sebagai pemegang kekuasaan yudikatif telah meruntuhkan prinsip-prinsip negara hukum atau ”rechstaat” yang menjadi sendi utama negara Indonesia. Dalam memutuskan gugatanjudicial review terhadap Inpres No.8 Tahun 2002, terlihat sekali bahwa MA tidak memedulikan fakta-fakta hukum yang menunjukkan bahwa Inpresrelease and discahrge telah melanggar peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, menimbulkan ketidakpastian hukum, melanggar prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law)serta melanggar rasa keadilan masyarakat . Setiap tahun, negara dan rakyat harus menanggung beban cicilan pembayaran utang yang besar dan bunga obligasi rekapitalisasi sekitar 40 triliun hingga 50 triliun rupiah dalam APBN. Padahal, anggaran tersebut semestinya bisa digunakan untuk merealisasikan program-program pendidikan rakyat, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Lalu, apakah dapat dibenarkan alasan MA yang menyatakan bahwa penerbitan InpresRelease and Discharge dimaksudkan untuk menciptakan kepastian hukum dan menyelamatkan aset negara? Jawabannya tentu saja tidak, karena hingga kini, pada kenyataannya sejumlah koruptor BLBI tetap tidak tersentuh oleh hukum. Sebagian besar mereka tetap bebas berkeliaran dan dengan leluasa mengendalikan kembali kegiatan bisnisnya. Bahkan, secara bertahap sejumlah obligor telah kembali mengambil alih aset-aset yang dulu mereka serahkan kepada negara. Tak heran, kini mereka kembali bertengger menjadi orang-orang terkaya di negeri ini, meninggalkan ratusan juta rakyat miskin yang harus turut menanggung beban pembayaran utang- utang mereka.

114/ Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan Lampiran 1

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 2002

TENTANG

PEMBERIAN JAMINAN KEPASTIAN HUKUM KEPADA DEBITUR YANG TELAH MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYAATAU TINDAKAN HUKUM KEPADA DEBITUR YANG TIDAK MENYELESAIKAN KEWAJIBANNYA BERDASARKAN PENYELESAIAN KEWAJIBAN PEMEGANG SAHAM

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang: 1. Bahwa dalam ragka melaksanakan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002 dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001, Badan Penyehatan Perbankan Nasional telah melakukan Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dengan debitur yang berbentuk perjanjianMaster of Settlement and Acquisition Agreement (MSAA), Master of Refinancing and Note Issuance Agreement (MRNIA), dan/atau Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang (Akta Pengakuan Utang/APU); 2. Bahwa sehubungan dengan hal tersebut dalam huruf a, maka terhadap debitur yang kooperatif dalam melaksanakan perjanjian dimaksud perlu diberikan jaminan kepastian hukum dan bagi yang tidak menandatangani atau tidak melaksanakan perjanjian dimaksud perlu diberikan tindakan hukum yang tegas dan konkret. 3. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, dan sesuai dengan Keputusan Sidang Kabinet Gotong Royong tanggal 7 Maret 2002, maka dipandang perlu untuk mengeluarkan Instruksi Presiden;

Mengingat: 1. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 sebagaimana diubah dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor X/MPR/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2001;

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 115 3. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Tahun 2002; 4. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3472), sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3790); 5. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 206); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 30, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3814) sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2001 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 71, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4102); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2001 tentang Pengalihan Kedudukan, Tugas, dan Kewenangan Menteri Keuangan pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional kepada Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4136); 8. Keputusan Presiden Nomor 177 Tahun 1999 tentang Komite Kebijakan Sektor Keuangan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor 143 Tahun 2000.

MENGINSTRUKSIKAN: Kepada: 1. Menteri Negara Koordinator Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan; 2. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia; 3. Para Menteri Anggota Komite Kebijakan Sektor Keuangan; 4. Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara; 5. Jaksa Agung Republik Indonesia; 6. Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia; 7. Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional.

Untuk: PERTAMA: Mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional berdasarkan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, dengan berpedoman pada kebijakan sebagai berikut: 1. Kepada para Debitur yang telah menyelesaikan kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, diberikan bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian tersebut;

116/ Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan 2. Kepada para Debitur yang sedang melakukan penyelesaian sesuai dengan perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, baik yang berbentuk MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU, diberi kesempatan terus dan secepatnya menyelesaikan kewajiban-kewajibannya dalam tenggang waktu yang ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK); 3. Kepada para Debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional baik dalam rangka MSAA, MRNIA, dan/atau Akta Pengakuan Utang/APU sampai dengan berakhirnya batas waktu yang telah ditetapkan oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), diambil tindakan hukum yang tegas dan konkret, yang dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia; 4. Dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

KEDUA: Pemberian bukti penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan sebagimana dimaksud dalam Diktum PERTAMA angka 1, dilakukan oleh Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional setelah mendapat persetujuan dari Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara.

KETIGA: Melaksanakan Instruksi Presiden ini sebaik-baiknya dengan penuh tanggung jawab dan melaporkan secara berkala atau sewaktu-waktu kepada Presiden.

Instruksi Presiden ini mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan.

Dikeluarkan di Jakarta Pada Tanggal 30 Desember 2002 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA ttd MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Inpres No.8/ 2002: Jalan Menuju Ketidakadilan dan Pemiskinan/ 117

Bab 7

OBLIGASI REKAPITALISASI: CARA SISTEMATIS MENGHISAP UANG RAKYAT

Marwan Batubara

Obligasi rekapitalisasi (OR) dikucurkan dalam rangka program penyehatan perbankan, yang bertujuan untuk mengatasi kesulitan likuiditas dan kecukupan modal sejumlah bank saat krisis berlangsung. Ketika krisis, kondisi keuangan sebagian besar bank memang limbung terutama karena gejolak penarikan dana secara besar-besaran oleh masyarakat (rush). Kondisi ini pun berlanjut sampai beberapa waktu sehingga mengancam kestabilan perbankan nasional. Hal ini membuat pemerintah melakukan langkah-langkah penyelamatan perbankan seperti melakukantake over , menggabung sejumlah bank menjadi satu (merger ), atau melikuidasi bank- bank yang dinilai tidak dapat disehatkan kembali. Langkah-langkah ini dilakukan, setelah sebelumnya pemerintah mengucurkan BLBI dan dana penjaminan perbankan.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 119 Dalam perjalanannya, bank-bank yang berhasil selamat dari krisis tersebut, dinilai belum cukup stabil karena memiliki rasio pemodalan yang rendah. Dalam kaitan itu, atas rekomendasi IMF, pemerintah melalui Bank Indonesia kemudian mengucurkan obligasi rekapitalisasi kepada sejumlah bank untuk memperkuat rasio pemodalan mereka (dinamakan dengan rasio kecukupan modal/capital adequacy ratio /CAR). Selain karena pertimbangan perlunya memperkuat modal perbankan, rekomendasi yang diberikan IMF tersebut sesungguhnya memang mau tidak mau harus dijalankan oleh pemerintah, karena ketergantungan pemerintah terhadap IMF saat itu. Bantuan IMF baru akan dicairkan setelah pemerintah menyetujui dan melaksanakan butir-butir kesepakatan dengan IMF yang tertuang dalam Letter of Intent (LoI). IMF, sebagaimana tercantum dalam LoI tanggal 20 Januari 2000, meminta pemerintah mengucurkan dana ratusan triliun rupiah kepada bank-bank yang dinilai memiliki CAR rendah. Langkah ini dilakukan dengan target perbaikan CAR mencapai minimum sebesar 8% pada tahun 2001. Dalam kebijakan sebelumnya, CAR minimum yang harus dipenuhi perbankan adalah sebesar 2% saja. Menuruti rekomendasi IMF tersebut, pemerintah pun akhirnya menginjeksi OR kepada perbankan nasional dengan jumlah total sebesar Rp 431,6 triliun. Jumlah obligasi sebesar ini akan menimbulkan beban bunga sekitar Rp 600 triliun jika dibayarkan tepat pada saat jatuh tempo pembayarannya. Bank-bank peserta program rekapitalisasi perbankan yang menerima OR tersebut adalah sebagai berikut: · Bank Umum, diantaranya PT. Bank Lippo Tbk., PT. Bank Internasional Indonesia Tbk., PT. Bank Bali Tbk., PT. Bank Umum Koperasi Indonesia, PT. Bank Universal Tbk., PT. Bank Prima Express, PT. Bank Arta Media, PT. Bank Patriot, PT. Bank Central Asia, PT. Bank Danamon Indonesia Tbk., PT. Bank Tiara Asia Tbk., PT. Bank PDFCI Tbk. dan PT. Bank Niaga Tbk; · Bank BUMN, diantaranya PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., dan PT. Bank Mandiri; · Bank Pembangunan Daerah, di antaranya BPD Daerah Istimewa Aceh, BPD Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD

120/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Daerah Khusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD Kalimantan Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Maluku, dan BPD Nusa Tenggara Barat. Untuk memahami lebih jauh tentang pengertian obligasi dan obligasi rekapitalisasi, berikut akan diuraikan terlebih dulu secara ringkas beberapa pengertian terkait dengan obligasi.

Pengertian Obligasi Obligasi dalam dunia keuangan merupakan suatu pernyataan utang dari penerbit obligasi kepada pemegang/pembeli obligasi beserta janji untuk membayar kembali pokok utang beserta kupon bunganya kelak pada tanggal jatuh tempo pembayaran tertentu. Dalam obligasi tersebut, dapat juga dicantumkan identitas pemegang obligasi dan pembatasan atas tindakan hukum yang dilakukan oleh penerbit obligasi. Obligasi umumnya diterbitkan untuk jangka waktu tetap (di atas 10 tahun). Atau secara singkat dapat dinyatakan, obligasi adalah utang tetapi dalam bentuk sekuriti. Penerbit obligasi merupakan peminjam atau debitur, pemegang obligasi adalah pemberi pinjaman atau kreditur, sedangkan kupon obligasi adalah bunga pinjaman yang harus dibayar oleh debitur kepada kreditur. Istilah obligasi dan surat utang dibedakan penggunaannya berdasarkan skala jumlah utang yang diterbitkan. Istilah obligasi biasanya digunakan untuk penerbitan surat utang dalam jumlah besar yang ditawarkan secara luas kepada publik, sedangkan “surat utang” digunakan untuk penerbitan surat utang dalam skala kecil yang biasanya ditawarkan kepada sejumlah kecil investor. Selain itu dikenal pula istilah surat perbendaharaan, yaitu suatu sekuriti yang berpenghasilan tetap dengan masa jatuh tempo 3 tahun atau kurang. Penerbitan obligasi dapat dilakukan oleh berbagai kalangan, dengan syarat harus mengikuti prosedur penerbitan yang ketat. Penerbit obligasi antara lain adalah: 1) lembaga internasional, misalnya ADB, EIB, dsb., 2) pemerintah negara, baik dalam mata uang sendiri (misalnya Surat Utang Negara, SUN) atau mata uang asing (sovereign bond ), 3) lembaga pemerintah (agency bonds ), dan 4) perusahaan (obligasi swasta). Proses yang umum

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 121 dikenal dalam penerbitan obligasi adalah melalui penjamin emisi atau underwriting. Sedang penjualan obligasi pemerintah biasanya dilakukan melalui proses lelang. Berdasarkan jenisnya, obligasi dibedakan atas obligasi-obligasi 1) suku bunga tetap, 2) suku bunga mengambang,floating rate note , yang mengacu pada suatu indeks pasar uang, misalnya LIBOR, 3)junk bond , umumnya berimbal hasil tinggi, 4) tanpa bunga,zero coupon bond , 5) obligasi inflasi, dimana nilai pokoknya mengacu pada indeks inflasi, 6) obligasi indeks, mengacu pada suatu indeks yang merupakan indikator bisnis, 7) obligasi abadi, tidak memiliki masa jatuh tempo, 8) obligasi daerah (municipal bond ). Di Indonesia, jenis obligasi secara umum dapat dilihat dari siapa penerbitnya, yaitu pemerintah atau perusahaan. Khusus obligasi pemerintah, kita mengenal jenis-jenis sebagai berikut: · Obligasi Rekapitalisasi: diterbitkan oleh pemerintah untuk tujuan khusus yaitu dalam rangka program rekapitalisasi perbankan; · Surat Utang Negara (SUN), biasanya diterbitkan untuk membiayai defisit APBN; · Obligasi Ritel Indonesia (ORI), sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai defisit APBN, namun dengan nilai nominal yang kecil agar dapat dibeli secara ritel oleh masyarakat luas; · Surat Berharga Syariah Negara, atau Obligasi Syariah, atau Obligasi Sukuk, sama dengan SUN, diterbitkan untuk membiayai defisit APBN, berdasarkan prinsip syariah. Sebagai suatu ”efek”, obligasi bersifat dapat diperdagangkan, baik di pasar primer maupun di pasar sekunder. Pasar primer adalah tempat diperdagangkannya obligasi pada saat pertama kali diterbitkan. Untuk dapat diperdagangkan, sebagaimana dipersyaratkan dalam ketentuan Pasar Modal, obligasi harus dicatatkan di bursa efek untuk ditawarkan kepada masyarakat. Sedang pasar sekunder adalah tempat diperdagangkannya obligasi setelah diterbitkan dan dicatat di bursa efek.

122/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Obligasi Rekapitalisasi (OR) Obligasi rekapitalisasi (OR) adalah obligasi yang diterbitkan oleh pemerintah untuk melaksanakan program penyehatan perbankan sebagai kelanjutan dari penyaluran dana BLBI. Tujuan dari pengucuran OR terutama adalah untuk mengatasi kesulitan modal yang dialami sejumlah bank akibat krisis ekonomi tahun 1997. Melalui OR, pemerintah berupaya memperbaiki tingkat kecukupan modal bank yang sebelumnya negatif akibat tingginya angka kredit macet ataunon-performing loan (NPL) pada bank-bank tersebut. Seperti diketahui, karena krisis ekonomi (ditambah dengan sejumlah persoalan lain yang mengikutinya seperti macetnya aset- aset kredit, terjadinya penyalahgunaan dana bank, pelanggaran BMPK, dan terjadinyarush ), seluruh bank nasional, baik BUMN maupun swasta, mengalami kerugian yang sangat besar. Akibatnya modal ekuiti dari bank- bank tersebut terkuras habis atau malah ada yang menjadi negatif. Seperti diuraikan dalam proposal penanganan obligasi rekap yang dikeluarkan Kantor Meneg Bappenas 2003 berjudul ”Alternatif Solusi Permasalahan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan”, program rekapitalisasi berpangkal dari ide dasar NPL atau kredit macet dikeluarkan dari aktiva produktif bank, lalu direstrukturisasi oleh BPPN sehingga menjadi aset kredit yang lancar. Agar aktiva produktif bank tidak merosot drastis, bank disuntik dengan OR, dengan nilai yang diatur sedemikian rupa sehingga diperoleh tingkat kecukupan modal yang aman. Supaya bank mampu menutup kebutuhan biaya operasionalnya, obligasi ini juga memperoleh/diberi bunga (kupon) oleh negara, yang dananya diambil dari pos APBN. Selanjutnya, sesuai yang direncanakan, aset kredit yang sudah direstrukturisasi tersebut akan dikembalikan kepada bank dan ditukar dengan obligasi rekapitalisasi. Dengan demikian, aktiva produktif bank akan kembali terisi dengan aset kredit yang lancar dan pemerintah dapat meminimumkan kewajibannya membayar kupon/bunga OR. Namun, dalam kenyataannya, restrukturisasi aset berjalan lambat. Bahkan BPPN pada waktu itu harus menjual aset tersebut dalam jumlah yang besar dan waktu yang singkat, sehingga terjual dengan harga yang murah. Hal itu dilakukan dengan alasan darurat, yaitu untuk menutup defisit

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 123 APBN. Akibat nilai jual aset kredit yang rendah tersebut, nilai OR yang bisa ditebus pun menjadi sangat minim. Dalam tulisan berikut akan diuraikan latar belakang dan cara kerja OR, peran dan sikap IMF dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan OR, serta berbagai penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan penyehatan bank bermasalah. Perlu kami nyatakan, bahwa sebagian isi tulisan disusun dari tulisan-tulisan Kwik Kian Gie pada tahun 2002-2003 di Harian Kompas, makalah-makalah beliau pada sejumlah seminar, dan juga dari beberapa kesempatan diskusi/pembicaraan langsung dengan beliau.

Bagaimana OR Bekerja Penyehatan bank menggunakan instrumen obligasi dilakukan karena pemerintah tidak mempunyai uang tunai untuk melakukan rekapitalisasi bank-bank yang modalnya sudah negatif. Perlu dicatat, menurut kaidah hukum perbankan maupun menurut undang-undang yang berlaku, bank yang modalnya sudah mencapai titik sedemikian rendah atau malah negatif, sebenarnya dapat dianggap bangkrut. Namun, karena berbagai pertimbangan, seperti untuk menghindari gejolak atau kerusuhan yang mungkin timbul dari para nasabah yang banknya dilikuidasi, atau untuk memulihkan kodisi ekonomi yang carut marut, maka pemerintah memilih tidak menutup bank-bank tersebut. Yang dilakukan adalah dengan mempertahankannya hidup lewat instrumen OR. OR atau surat utang yang diterima bank-bank dari pemerintah, akan menjadi aset riil bagi bank, karena OR mempunyai nilai nominal, bunga, dan tanggal jatuh tempo yang definitif. Disamping itu, sebagai pemegang obligasi, bank akan menerima pembayaran bunga dari pemerintah secara berkala, dalam hal ini setiap tiga bulan, sehingga akan menjadi sumber pendapatan rutin bagi bank-bank tersebut. Ringkasnya, untuk menyehatkan dan mencapai posisi kecukupan modal (capital adequacy ratio/ CAR) pada titik tertentu (8%), bank memperoleh tambahan suntikan aset rill berupa OR dan juga tambahan pemasukan rutin berupa pembayaran bunga OR dari pemerintah. Dengan adanya suntikan OR berikut bunga OR yang diterima, maka akan diperoleh perbaikan kinerja bank secara bertahap sebagai berikut:

124/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat · Modal ekuiti akan meningkat, karena penerimaan obligasi didebet oleh bank, dan sebagai lawannya, bank mengkredit modal ekuiti. Dengan demikian, modal ekuiti yang awalnya negatif, bertempat di sebelah kiri neraca (atau di sebelah kanan neraca dengan tanda kurung), mendapat kredit. Jika jumlah kredit lebih besar dari posisi semula ekuiti yang minus, maka modal ekuiti menjadi positif dan pindah tempat ke pasiva; · CAR akan meningkat, karena obligasi tidak menjadi pembagi dalam menentukan CAR. Hal ini pada gilirannya akan memenuhi persyaratan CAR oleh BI atau BIS (Bank for International Settlement ); · Rugi/laba bank membaik, karena mendapatkan pembayaran bunga OR dalam bentuk tunai dari pemerintah. Hal ini akan membuat bank dalam kondisi seolah-olah untung; · Secara bertahap OR akan ditarik (sepanjang CAR yang dipersyaratkan dapat terpenuhi), jika bank benar-benar dalam kondisi untung, yaitu tercapainya profit dari berjalannya fungsi intermediasi bank. Perlu juga dicatat, bahwa parahnya kondisi bank-bank rekap menyebabkan proses penyehatan ini membutuhkan waktu beberapa tahun. Berikut merupakan tahap-tahap yang direncanakan menuju penyehatan bank tersebut: · Pada tahap awal, kondisi bank berada pada posisi ”seolah-olah untung” karena pendapatannya hanya berasal dari uang tunai berupa pembayaran bunga obligasi dari pemerintah. · Selanjutnya bank akan memasuki tahapbreak even atau membukukan sedikit laba. Pada tahap ini, bank mulai mampu menarik giro, tabungan, dan deposito dari masyarakat. Dana yang terkumpul dari masyarakat tersebut dipinjamkan kepada dunia usaha dengan mengenakan bunga yang lebih tinggi dibanding yang dibayarkan oleh bank kepada para penabung atau deposan (spread positif). · Lambat laun, dana masyarakat yang ditarik semakin meningkat, sehinggaspread yang diperoleh juga membesar, hingga melebihi

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 125 seluruh biaya yang dikeluarkan bank. Dengan demikian bank akan memperoleh laba neto. · Laba neto yang meningkat akan menjadikan modal ekuiti juga meningkat (karena laba neto menjadi modal ekuiti). Dengan demikian, CAR juga meningkat, melebihi nilai yang dipersyaratkan. · Selanjutnya CAR diturunkan kembali kepada nilai yang disyaratkan. Caranya adalah dengan mendebet (mengambil) modal ekuiti, dan sebagai lawannya, obligasi pemerintah dikredit (ditebus atau dibayarkan). · Kemudian obligasi pemerintah yang dikredit di atas dapat ditarik kembali oleh pemerintah. Dengan demikian, setahap demi setahap obligasi menjadi nihil, dan pada tahap ini, bank sudah sehat dan benar-benar untung. · Bank yang sudah sehat ini kemudian membuat laba atas kekuatannya sendiri. Pendapatan yang sebelumnya sebagian besar berasal dari bunga obligasi, digantikan oleh laba neto yang berasal darispread yang lebih besar dari seluruh biaya bank. · Laba neto yang muncul pada (sebelah kanan) neraca akan menambah modal ekuiti. Modal ini diturunkan kembali dengan cara menurunkan (menarik) obligasi (di sebelah kiri neraca) tanpa mengganggu persyaratan minimum CAR. Dengan proses di atas, diharapkan obligasi yang dikeluarkan pemerintah setahap demi setahap dapat dikurangi hingga nihil berdasarkan prinsip, meng-offset obligasi dengan laba neto yang berlebih, dengan tetap berpedoman CAR yang dipersyaratkan tetap dipertahankan. Bank yang sudah sehat ini, yaitu yang telah mampu memperoleh laba atas kekuatannya sendiri, serta telah mengembalikan obligasi pemerintah, selanjutnya akan dilepas kepada pihak swasta. Menurut pengakuan Kwik Kian Gie, cara kerja konsep OR yang dijelaskan di atas merupakan konsep yang diuraikan oleh Stanley Fischer (Deputi I Direktur Pelaksana IMF) dan Hubert Neiss (Direktur IMF untuk Asia Pasifik) kepada mantan Presiden Megawati, Laksamana Sukardi, dan Kwik Kian Gie sendiri pada sekitar tahun 2000. Pertanyaannya adalah, apakah pelaksanaan program sesuai dengan konsep awal tersebut?

126/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Prinsip-Prinsip Dasar dalam Kebijakan OR Sebelum menjawab pertanyaan di atas, kita perlu menjelaskan beberapa hal prinsip menyangkut kebijakan dan konsep OR sebagai berikut: · Kebijakan penyehatan bank-bank bermasalah menggunakan OR merupakan konsep yang berasal dari IMF untuk dijalankan oleh pemerintah RI. Konsep ini merupakan salah satu butir yang tercantum dalam LoI IMF tertanggal 20 Januari 2000; · Konsep rekapitalisasi dijalankan berdasarkan dogma bahwa CAR bank harus mencapai 8% pada tahun 2001, sesuai persyaratan Bank for International Settlement (BIS); · Karena menerima BLBI dan OR, kepemilikan bank-bank beralih kepada pemerintah, bukan lagi pemilik lama; · Berdasarkan rencana awal, OR pada akhirnya akan ditarik jika bank-bank bermasalah telah sehat kembali dan dapat hidup tanpa menerima bunga obligasi dari pemerintah; · Penjualan bank-bank hanya akan dilakukan jika bank tersebut sudah sehat (sehingga nilai jualnya tinggi), mampu membuat laba, dan telah mengembalikan OR kepada pemerintah; · Cara penjualan bank-bank yang sudah sehat harus dilakukan melalui tender terbuka secara transparan. Niat pemerintah untuk menjual, dengan demikian, juga harus diumumkan secara transparan kepada calon pembeli potensial di seluruh dunia; · Pemerintah menentukan harga minimum bank, dan akan dirahasiakan serta disimpan pada notaris yang ditunjuk bersama oleh pemerintah dan IMF. Jika pada tanggal penjualan tersebut belum diperoleh penawaran harga dari calon-calon pembeli yang mencapai harga minimum tersebut, maka penjualan akan ditunda pada lain kesempatan untuk memperoleh harga yang lebih baik (memenuhi harga minimum yang ditetapkan). Meski memiliki rencana awal yang cukup baik, pada praktiknya, prinsip- prinsip dasar program penyehatan perbankan tersebut justru tidak dijalankan secara konsisten. Penyimpangan demi penyimpangan terus terjadi sehingga mengakibatkan kerugian besar bagi negara.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 127 Kebijakan OR dan Penyimpangan yang Merugikan Negara Menurut undang-undang, bank yang rusak atau modalnya sudah negatif harus dilikuidasi. Namun, karena alasan krisis dan berbagai alasan lain, bank tersebut dibiarkan hidup dengan cara memberikan obligasi (OR) seperti yang ditetapkan oleh IMF di atas. Menurut Kwik Kian Gie dalam berbagai tulisannya, sebenarnya ada cara lain yang lebih tepat dan objektif untuk menyehatkan bank dibanding cara ”pura-pura” yang diajukan IMF tersebut. Cara itu adalah dengan memberikan uang tunai secukupnya kepada bank yang rusak, tanpa menyerahkan obligasi, dalam rangka “membeli waktu” untuk mempertahankan agar bank tidak sampai tutup. Bank yang rusak tercermin dari neraca, dimana modal ekuitinya sangat kecil atau negatif, dan perincian rugi/laba yang terus merugi. Supaya bank tidak tutup, perincian rugi/labanya dibenahi supaya setiap akhir bulan kondisi bank menunjukkan posisi untung walaupun sedikit (di atasbreak even ). Untuk keperluan itu, pemerintah menyuntikkan sejumlah uang tunai sebagai pendapatan bank untuk membantu bank mencapai posisibreak even . Jumlah uang yang disuntikkan akan bervariasi dan akan terus menurun sesuai dengan kebutuhan pencapaianbreak even serta besarnya keuntungan yang diperoleh dari dana para nasabah bank. Jika kondisi ekonomi membaik dan bank tetap bertahan hidup, bank akan dapat menarik tabungan, giran, dan deposan lebih besar. Dengan demikian, lambat laun porsi pendapatan yang diperoleh bank dari bisnis operasionalnya akan terus meningkat dibanding pendapatan yang diperoleh dari suntikan pemerintah tersebut. Pada suatu waktu, bank akan mencapai suatu titik dimana suntikan dari pemerintah tidak diperlukan lagi karena bank sudah menjadi sehat dengan memperoleh keuntungan dari para nasabah pengguna jasanya. Karena pendapatan bank terus meningkat, maka laba netonya juga terus bertambah, sehingga akan memperbesar modal sendiri (di bagian kanan neraca). Jika modal terus meningkat, maka batas CAR minimum yang dipersyaratkan juga akan dapat dicapai. Sehingga, dengan cara ini, tanpa harus menginjeksikan obligasi (artinya pemerintah tidak perlu berutang

128/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat kepada bank yang dibantu), CAR dapat ditingkatkan dan tujuan penyehatan bank dapat tercapai. Dalam kaitan itu, berikut kami uraikan beberapa letak penyimpangan atau kesalahan kebijakan yang dibuat pemerintah dalam hal menyehatkan perbankan melalui kebijakan obligasi rekapitalisasi (OR). Penyimpangan PERTAMA: Penyuntikan Obligasi Pemerintah Konsep alternatif yang ditawarkan Kwik di atas terlihat mampu bekerja untuk menyehatkan bank sakit tanpa menggunakan OR. Dengan demikian, pemerintah tidak perlu berutang kepada bank, dan dapat terhindar dari berbagai potensi dampak keuangan yang merugikan. Sayangnya alternatif tersebut tidak dipilih. Hal ini dapat dikatakan sebagai penyimpangan, disamping berbagai penyimpangan lain dalam pelaksanaannya seperti diuraikan berikut. Atas permintaan IMF, dengan alasan bahwa hal itu sesuai dengan peraturan BIS, obligasi (OR) harus diinjeksikan oleh pemerintah agar modal ekuiti meningkat dan CAR mencukupi. Seperti dinyatakan Kwik, ”Cara ini mendistorsi kebenaran, melawan logika dan memasukkan kepura-puraan. Mengapa? Karena pemerintah yang berbaik hati bersedia memberikan uang tunai setiap bulannya selama diperlukan untuk mempertahankan agar bank tidakkelelep (tutup), justru dihukum disuruh menyatakan utang (kepada bank) dalam bentuk obligasi”. Nyatanya, saat ini, kerugian negara akibat rekomendasi IMF yang salah dan manipulatif itu telah ditanggung dan dirasakan oleh seluruh rakyat. Dalam APBN, setiap tahun rakyat pembayar pajak harus menanggung beban bunga obligasi puluhan triliun rupiah hingga tahun 2021, ditambah ratusan triliun rupiah nilai pokok OR-nya yang akan jatuh tempo pada tahun 2021. Dengan demikian, sangat wajar jika IMF dan pejabat-pejabat pemerintah yang menerima dan menjalankan begitu saja rekomendasi yang merugikan tersebut dituntut pertanggungjawabannya. Segenap rakyat harus bangkit menggugat dan melawan kejahatan ini!

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 129 Penyimpangan KEDUA: OR Tidak Ditarik Meskipun Bank Sudah Sehat Pada saat bank-bank bermasalah telah kembali sehat dan mampu memperoleh laba neto dari pendapatan usahanya (diluar bunga OR), serta mencapai CAR yang disyaratkan, ternyata OR yang disuntikkan tidak ditarik oleh pemerintah. Padahal, sesuai penjelasan para mantan Direktur IMF (Stanley Fischer dan Hubert Neiss) sebagaimana diuraikan di atas, OR dijanjikan akan ditarik setahap demi setahap sesuai laba neto yang diperoleh dan CAR yang dipersyaratkan. Jangankan menarik secara bertahap, pemerintah -karena kepatuhan dan ketakutan kepada IMF- justru tetap membiarkan obligasi tersebut dipegang oleh bank hingga belasan tahun ke depan. Bukankah ini merupakan bentuk penghisapan yang dzalim? Penyimpangan KETIGA: Obligasi Belum Ditarik pada Saat Bank Dijual Bank-bank bermasalah telah ditolong oleh pemerintah dalam 2 bentuk bantuan: OR dan bunga OR. Sesuai prinsip dasar yang direkomendasikan IMF di awal kesepakatan, bank hanya akan dijual jika OR-nya telah dikembalikan kepada pemerintah. Ternyata, IMF dan penguasa tetap menjual beberapa bank swasta meskipun masih memegang OR. Penjualan ini jelas telah melanggar prinsip dasar yang awalnya juga direkomendasikan IMF dan disepakati dengan pemerintah. Akibatnya negara harus membayar bunga OR lewat APBN setiap tahun dan pokok OR pada saat jatuh temponya. Negara dirugikan ratusan triliun rupiah! Penjualan bank-bank dalam penyehatan yang memegang OR jelas merupakan manipulasi dan kejahatan yang sangat nyata. Para pembeli bank, IMF, BPPN, dan pejabat-pejabat pemerintah terkait harus bertanggungjawab atas kejahatan ini. Kita layak dan harus menuntut! Penyimpangan KEEMPAT: Penjualan Bank Tidak Dilakukan Melalui TenderTerbuka Pada awalnya, berdasarkan kesepakatan dengan IMF, bank-bank akan dijual melalui tender terbuka. Namun, kesepakatan ini dilanggar. Atas perintah IMF, bank harus dijual kepadastrategic partner melalui prosedur yang tidak jelas, termasuk dengan merujuk kepada harga pasar di BEJ. Akibatnya

130/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat bank-bank terjual dengan harga murah, sehingga negara dirugikan puluhan triliun rupiah. Perlu pula dicermati, terdapat indikasi kuat keterlibatan oknum-oknum pejabat IMF dalam memanfaatkan kesempatan dari penjualan bank-bank ini untuk kepentingan pribadi. Hal ini misalnya yang ditunjukkan pada kasus penjualan BCA yang melibatkan mantan Direktur IMF untuk Asia Pasifik, Hubert Neiss. Setelah sebelumnya, melalui IMF, Neiss gigih mendesak pemerintah untuk menjual BCA kepada pihak swasta, tiba-tiba (tak lama setelah berhenti menjabat di IMF) Neiss berganti baju menjadi wakil Farallon Capital yang ikut melobi dan sukses memenangkan tender BCA dengan harga sangat murah. Karena itu, seperti juga penyimpangan-penyimpangan lainnya, penjualan bank-bank rekap tanpa melalui tender ini adalah salah satu bentuk manipulasi dan kejahatan yang harus dituntut pertanggungjawabannya dari semua pihak terkait. Pejabat-pejabat IMF, termasuk para pejabat negara yang bermental lemah dan mengikuti saja permintaan IMF, mutlak merupakan pihak yang harus dituntut pertanggungjawabannya. Penyimpangan KELIMA: Bank Tetap Dijual Meskipun Harga Minimum Tidak Tercapai Karena bank dijual tanpa tender terbuka yang dapat dipertanggungjawabkan, dan IMF serta beberapa oknum pejabat berkepentingan untuk mengambil keuntungan dari penjualan bank, maka harga minimum penjualan bank yang ditetapkan akhirnya tidak dapat diperoleh. Sehingga, hal ini tak lain hanya merupakan satu paket kejahatan dengan berbagai penyelewengan yang telah terjadi sebelumnya. Karena dampak kerugiannya yang sangat besar, berbagai penyimpangan di atas harus dikoreksi dan pelakunya dituntut pertanggungjawabannya. Namun untuk itu, kita perlu sebelumnya menyelidiki mengapa dan atas dasar apa kebijakan tersebut dijalankan.

Sikap Pemerintah dan Peran IMF Bagi negara, sesungguhnya hal yang paling merugikan dari kebijakan pengucuran OR adalah bahwa sampai kini OR masih dipegang oleh bank, sehingga bunganya harus dibayar pemerintah setiap tahun, hingga paling

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 131 tidak sampai tahun 2021. Padahal, bank-bank tersebut sudah kembali sehat. Sebagian telahgo public , bahkan sudah dimiliki pihak swasta, termasuk pihak asing. Setiap tahun, para pemegang saham bank (yang umumnya terdiri dari orang-orang mampu), para investor, dan para pemilik bank (termasuk asing) memperoleh pembayaran bunga obligasi dari pemerintah dalam APBN. Berdasarkan uraian tersebut, terlihat bahwa pihak-pihak terkait sektor perbankan, yang sebagian besarnya merupakan orang-orang yang hidup berkecukupan, merupakan penerima subsidi pemerintah melalui pembayaran OR setiap tahunnya. Tentu, ini sesuatu yang sangat tidak adil. Apalagi mengingat, di saat yang sama, subsidi bagi orang miskin justru terus berkurang setiap tahun. Oleh sebab itu, demi keadilan, OR sudah sewajarnya dicabut dari perbankan (dapat dilakukan salah satunya dengan menarik modal pemerintah dari perbankan) dan pembayaran bunganya dihentikan oleh pemerintah. Persoalannya, adakahpolitical will dan komitmen pemerintah untuk itu? Untuk menjawabnya, perlu kita ketahui alasan dan latar belakang pemerintah mengeluarkan kebijakan OR. Menurut pemerintah, seperti yang diungkapkan Boediono dalam artikelnya “Kebijakan Fiskal: Sekarang dan Selanjutnya ” (www.depkeu.go.id), pengucuran obligasi rekap pada waktu krisis harus dilakukan supaya tidak terjadi lagi penutupan bank seperti terjadi sebelumnya pada 16 bank. Setelah mengalamirush yang demikian hebat, pihak pemerintah kemudian mengategorikan bank-bank yang tersisa menjadi bank yang setengah sehat dan bank-bank yang sehat. Bank-bank yang setengah sehat belum bisa beroperasi seperti bank-bank yang sehat, karena terbebani kredit macet yang sangat besar. Bahkan modalnya terkuras untuk menutupi arus kas yang keluar akibatrush . Bank-bank yang sakit ini harus melewati proses penyehatan yang dilakukan oleh BPPN melalui program rekapitalisasi (OR). Sedangkan bank-bank yang sehat posisinya diawasi secara langsung oleh Bank Indonesia Dinyatakan pemerintah, prasyarat penting bagi pemulihan ekonomi adalah kembalinya fungsi perbankan. Karena itulah, proses penyehatan perbankan melalui program rekapitalisasi perbankan tidak boleh ditunda-tunda. Apalagi, atas rekomendasi IMF, pemerintah juga menetapkan kewajiban bagi pihak perbankan untuk memenuhi CAR minimal sebesar 4% sampai akhir tahun 1998, dan minimal 8% sampai akhir tahun 2001. Demikian pentingnya pencapaian target-target ini, sehingga

132/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat pemerintah kemudian juga menetapkan bila pemilik bank mengalami kekurangan modal untuk mencapai CAR 4% pada tahun 1998 dan 8% pada 2001, maka pemerintah hanya meminta pemilik bank tersebut menyetor seperlima bagian saja dari target CAR minimum, karena sisanya akan ditanggung oleh pemerintah. Suntikan modal pemerintah (untuk mencapai target minimum CAR) diberikan dalam bentuk penempatan obligasi pemerintah pada bank-bank tersebut. Obligasi pemerintah sendiri, yang akan menutup sebagian besar kebutuhan dana rekapitalisasi, dibuat melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN). Obligasi pemerintah inilah yang dikenal sebagai obligasi rekap. Kesediaan pemerintah untuk menanggung sebagian besar kebutuhan dana rekapitalisasi bank tersebut, menyebabkan kepemilikan pemerintah di seluruh sektor perbankan pernah mencapai 95%! Artinya, telah terjadi penumpukan kepemilikan di tangan negara atau secara tidak langsung telah terjadi 'nasionalisasi' di sektor perbankan. Kondisi seperti ini dinyatakan sebagai sesuatu yang tidak sehat, sehingga perlu 'dinormalisasi'. Keadaan inilah yang kemudian menjadi alasan pemerintah melakukan divestasi atas aset-aset produktif miliknya pada sektor perbankan, dan menyerahkan pengelolaannya kepada publik atau swasta. Sedangkan pemerintah sendiri bertugas merumuskan aturan-aturan main bagi perbankan dan mengawasi agar aturan-aturan main itu dipatuhi, sehingga memberikan sebesar- besarnya manfaat bagi rakyat. Hal lain yang mendorong pemerintah melakukan divestasi, menurut Boediono, adalah adanya faktor risiko yang tinggi dalam suatu usaha bisnis perbankan, sehingga lebih cocok untuk dilakukan oleh swasta. Pengelolaan yang kurang baik, pengawasan yang kurang cermat, kelalaian, dan keteledoran dapat menimbulkan kerugian besar dalam waktu singkat. Kasus pembobolan bank pun dinyatakan sering terjadi di bank-bank milik pemerintah. Sehingga pemerintah harus meminimumkan risiko tersebut dengan cara melepaskan saham miliknya. Berdasarkan cara pandang pemerintah terkait OR di atas, dapat disimpulkan sangat kecil kemungkinan pemerintah untuk mengubah kebijakannya dalam hal OR, yaitu menarik OR dan memberhentikan pembayaran bunganya. Padahal keduanya (OR dan bunganya) sangat memberatkan keuangan negara. Sebagai contoh, pada tahun 2002/2003, dari total utang dalam negeri sebesar Rp 643 triliun, beban pembayaran OR

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 133 dan bunganya sudah memakan porsi mencapai dua pertiga bagiannya. Sementara, sekitar seperempat utang dalam negeri lainnya berasal dari kebijakan BLBI dan kebijakan penjaminan perbankan. Disamping itu, terkait kebijakan OR, kita juga dapati bahwa pemerintah tampak terlalu tunduk kepada permintaan IMF, sehingga mengorbankan kepentingan rakyat yang lebih besar. Padahal, IMF dan negara-negara ”kreditor” pemberi utang telah diketahui secara luas tidak benar-benar tulus membantu Indonesia keluar dari krisis. ”Bantuan” yang mereka berikan justru lebih dilatarbelakangi oleh motif mencari keuntungan sebesar- besarnya dari negara yang dibantunya. Sikap negara dan lembaga pemilik modal ini sebenarnya sama saja dengan negara-negara imperialis di masa lalu, yaitu mencari negara-negara jajahan baru yang lemah dan tak berdaya untuk dieksploitasi habis-habisan. Seperti dinyatakan Kwik Kian Gie, “Kebijakan merekapitalisasi bank- bank yang rusak berat dengan memberikan surat utang negara yang bernama Obligasi Rekapitalisasi (OR) adalahblunder yang menyengsarakan rakyat banyak, dan membuat keuangan negara yang sangat terpuruk menjadi terpuruk lagi”. Kwik juga menambahkan, program OR merupakan hasil tekanan IMF seperti terlihat pada LoI yang ditandatangani oleh Menko Perekonomian, Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Sentral atas nama pemerintah dengan IMF. LoI mengandung rencana kerja dan rencana tindakan yang harus dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Melalui LoI, IMF memaksakan resep-resep ekonomi yang diberikannya dilaksanakan oleh pemerintah. Bahkan IMF tak segan menunda pencairan pinjaman kepada pemerintah jika pemerintah tidak dianggap cukup bersungguh-sungguh dalam melaksanakan agenda-agenda tersebut. Aroma kelicikan IMF terhadap rakyat Indonesia sebenarnya sudah dapat dicium dari penggunaan kataLetter of Intent sendiri. Hal ini karena nama dokumen perjanjian IMF dan pemerintah sebenarnya adalah Memorandum of Economic and Financial Policies (MEFP). Namun, istilah IMF justru lebih mempopulerkan penggunaan istilah LoI untuk merujuk pada butir-butir rekomendasi kebijakan yang diberikannya kepada pemerintah tersebut.

133/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Menurut Kwik, istilah LoI lebih senang digunakan IMF karena seolah- solah menunjukkan butir-butir kebijakan yang direkomendasikan IMF tersebut merupakan kehendak pemerintah Indonesia sendiri (sebagaimana istilah LoI secara bebas dapat diartikan sebagai ”surat pernyataan maksud”). Melalui LoI, IMF seolah menunjukkan pihaknya hanya merespon keinginan dan maksud yang disampaikan pemerintah. Pada kenyataannya, seperti juga banyak pihak telah mengetahuinya, keseluruhan isi LoI merupakan rancangan yang dibuat oleh IMF. Menurut pengakuan Kwik, saat menjadi Kepala Bappenas, Tim IMF sering mendatanginya dengan membawa rancangan MEFP yang sudah lengkap, rapi, dan sistematis. Isi dokumen memang dirundingkan dengan pemerintah, tetapi dalam posisi IMF selalu memaksakan kehendaknya dalam tiap pembahasan. Bahkan, tidak jarang IMF juga mengancam akan menghentikan hubungan kalau pihak Indonesia tidak setuju. Akibat kebijakan OR yang dipaksakan IMF kepada pemerintah tersebut (meskipun di sisi lain pemerintah justru menutupi kesalahan IMF dengan berulangkali menyatakan pengucuran OR adalah kebutuhan objektif untuk menyehatkan perbankan Indonesia), beban pembayaran utang dalam APBN melonjak drastis. Sebagai contoh, hal ini dapat dilihat pada besarnya beban pembayaran utang dalam APBN 2004 (lihat Tabel 1). Dalam tabel tersebut tercantum, beban pembayaran bunga utang dalam negeri sebesar Rp 38,111 triliun dan bunga untuk utang luar negeri sebesar Rp 24,375 triliun. Sehingga, hanya untuk pembayaran bunga utang saja, secara total pemerintah harus mengeluarkan anggaran sebesar Rp 62,486 trilun. Sementara, pembayaran cicilan utang pokok dalam negeri yang jatuh tempo adalah sebesar Rp 25,456 triliun dan luar negeri sebesar Rp 46,491 triliun, sehingga total pembayaran cicilan utang pokok adalah sebesar Rp 71,947 triliun. Dengan demikian, secara total, beban pembayaran utang seluruhnya pada tahun 2004 mencapai sebesar Rp 134,433 triliun. Sebagaimana terlihat, pembayaran bunga utang saja sudah memakan porsi sebesar 101,69% dari seluruh anggaran pembangunan yang sebesar Rp 61,45 triliun. Ditambah dengan pokoknya, beban pembayaran utang memakan porsi 218,77% atau lebih dua kali lipat dari seluruh anggaran pembangunan. Dengan kondisi seperti ini, maka Indonesia akan terus menerus terjebak dalam lingkaran utang di tahun-tahun mendatang, kecuali

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 135 ada kemauan dan komitmen kuat dari pemerintah untuk mengurangi utang secara besar-besaran. Tabel 1 juga memperlihatkan bahwa penerimaan rutin tidak cukup untuk menutupi pengeluaran rutin, sehingga APBN mengalami defisit sebesar Rp 91,287 triliun. Untuk menutupi defisit, maka pemerintah melakukan langkah-langkah antara lain: menguras simpanan pemerintah sebesar Rp 21,256 triliun, menjual BUMN sebesar Rp 3,52 triliun, menjual aset BPPN sebesar Rp 15,751 triliun, dan menerbitkan obligasi dalam negeri (utang baru dalam negeri) sebesar Rp 32,327 triliun. Karena pos penerimaan dalam negeri ternyata tidak juga mencukupi, maka pemerintah meminta tambahan utang ke CGI dan lembaga-lembaga keuangan internasional dalam bentuk utang untuk program sebesar Rp 5,059 triliun dan utang untuk proyek sebesar Rp 13,375 triliun. Hal ini akhirnya menambah parah lilitan utang yang dialami Indonesia.

Tabel 1 Penerimaan dan Pengeluaran Pemerintah dalam APBN Perubahan tahun 2004 (miliar Rp)

Keterangan Jumlah PENERIMAAN PEMERINTAH Penerimaan pemerintah dari perpajakan 407,558.2 Penerimaan hibah dari luar negeri 278,0 Jumlah Penerimaan 407.836,2

PENGELUARAN PEMERINTAH Pengeluaran rutin Pemerintah Pusat 173.529,0 Pengeluaran Daerah 129.712,0 Pengeluaran pembangunan 61.450,0 Pembayaran bunga utang dalam negeri 38.111,0 Pembayaran bunga utang luar negeri 24.375,0 Pembayaran cicilan pokok utang dalam negeri 25.456,0 Pembayaran cicilan pokok utang luar negeri 46.491,0 Jumlah Pengeluaran 499.124,0 Surplus/Defisit (Pemerintah kekurangan dana) -91.287,8

136/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat PEMBIAYAAN MENUTUP D EFISIT Menguras simpanan pemerintah 21.255,8 Menjual BUMN 3.520,0 Menjual aset BPPN 15.751,0 Utang baru dari rakyat Indonesia 32.327,0 Utang dari luar negeri untuk program 5.059,0 Utang dari luar negeri untuk proyek 13.375,0 Jumlah 91.287,8 Sumber : Departemen Keuangan RI

Seputar Divestasi Bank Rekapitalisasi Seperti telah disebutkan sebelumnya, program divestasi perbankan oleh pemerintah dilakukan karena keterpaksaan (menutup defisit anggaran) dan agar terhindar dari risiko. Dari sisi bisnis, divestasi merupakan hal yang lumrah, bahkan bisa menggairahkan perdagangan di bursa. Dari sisi perusahaan yang akan dilakukan divestasi, pelepasan saham merupakan langkah strategis dalam rangka penciptaan perusahaan yang efektif, efisien dan mampu bersaing secara global. Sedangkan, dari sisi pemerintah, program divestasi dilakukan dengan harapan pemerintah bisa menciptakan bank yang sehat dan mendapatkan dana segar. Sementara dari sisi investor, diharapkan keuntungan dari kenaikan harga saham jika situasi ekonomi telah pulih, terutama karena besarnya potensi nasabah yang ada di Indonesia. Masalahnya, divestasi yang dilakukan pemerintah terhadap sejumlah bank rekap tidak memenuhi syarat untuk dapat dikatakan sebagai proses divestasi yang wajar dan memberi keuntungan maksimal bagi negara dalam rangka menutup defisit keuangannya. Divestasi dilakukan dan tampaknya akan terus dilakukan meskipun bank-bank yang menerima divestasi tersebut masih memegang OR dari pemerintah dalam portofolionya. Sehingga, akibat program divestasi yang dilakukannya, pemerintah harus mengeluarkan lebih banyak uang pada masa-masa selanjutnya untuk membayar pokok dan bunga OR yang terdapat pada bank yang dijualnya tersebut. Padahal, ini pun bertentangan dengan prinsip awal saat program OR direncanakan dan diimplementasikan. Kerugian pemerintah akibat divestasi bank-bank rekap misalnya dapat dilihat pada kasus divestasi bank-bank swasta sepanjang tahun 2002-2003.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 137 Divestasi bank-bank ini dilakukan atas desakan IMF, yang kemudian juga memaksa divestasi dilakukan dengan segera. Dengan desakan dan ketergesa-gesaan itu, bank-bank dijual dengan harga murah, padahal OR pun belum ditarik keluar dari bank-bank tersebut. Sehingga, pembeli bank- bank rekap (yang patut diduga sebagiannya memiliki keterkaitan dengan sejumlah oknum di IMF) memperoleh keuntungan berlipat-lipat: harga beli yang murah, aset OR yang besar, dan jaminan penerimaan rutin dari pemerintah melalui bunga OR. Akibat program divestasi tersebut, negara dan rakyat mengalami kerugian yang sangat besar. Negara harus menanggung beban pembayaran OR dan bunganya yang telah beralih kepemilikan kepada pihak swasta (termasuk swasta asing) dengan nilai mencapai Rp 40 triliun per tahun (untuk mengetahui distribusi portofolio OR yang masih dimiliki perbankan periode 2000 2002 lihat Tabel 2). Akibat potensi kerugian negara yang sangat besar, program divestasi perbankan yang dilakukan pemerintah ditentang sengit sejumlah tokoh nasional, pakar perbankan, dan pakar ekonomi. Namun sayangnya, pemerintah dan DPR membiarkan saja divestasi berlangsung sesuai skenario dan rencana IMF. Kondisi ini pun dimanfaatkan oleh para investor (dan juga bahkan obligor BLBI) yang turut berupaya mengambil kesempatan dari obral aset perbankan ini. Maka terlaksanalah divestasi beberapa bank rekap seperti BCA, Danamon, BII, dan sebagainya. Dalam divestasi BCA, sekitar 50% saham yang dimiliki pemerintah dijual dengan harga sangat murah, yaitu sekitar Rp 5 triliun saja. Padahal, sebagaimana diketahui, ketika dijual BCA masih memegang OR sebesar Rp 60,87 triliun dalam portofolionya. Belum lagi jika memperhitungkan bunga obligasi rekap yang diterima BCA pertahunnya sekitar Rp 5 triliun hingga Rp 6 triliun (pada tahun 2002 adalah sekitar Rp 8,6 triliun). Sehingga, hasil penjualan ini jelas tidak masuk akal dan sangat merugikan negara. Yang sangat diuntungkan dari transaksi tersebut tentu saja pembelinya. Hanya dalam waktu satu tahun, BCA sudah dapat mengembalikan modal pembelian yang dikeluarkan pembelinya, plus keuntungan dari bunga obligasi rekap sebesar Rp 3,3 triliun. Belum lagi keuntungan investor dari capital gain akibat kenaikan harga saham BCA yang lebih dari lima kali lipat dibanding saat pembelian. Diketahui, harga per lembar saham BCA yang

138/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat awalnya Rp 1.202 pada saat divestasi bulan Maret 2002, telah naik menjadi Rp 7.000 pada tanggal 13 November 2007. Karena itulah, mantan Menko Perekonomian RI Dr. Rizal Ramli menyatakan kasus penjualan BCA perlu diselidiki dan diungkap tuntas. Menurutnya, pada masa pemerintahan Abdurrahman Wahid (saat Rizal menjabat sebagai Menko), IMF sudah menekan pemerintah agar BCA segera dijual, namun tidak dituruti. Baru pada masa pemerintahan Megawati, IMF berhasil memaksakan penjualan BCA oleh pemerintah. Seperti dinyatakan olehnya, ”Hal ini sungguh ironis, sebab saat itu tagihan BCA ke pemerintah Rp 60 triliun dan saat ini harga BCA Rp 91 triliun” (Indopos, 12 Desember 2007). Rizal selanjutnya menyarankan agar Kejaksaan Agung memanggil sejumlah pejabat, karena mereka sangat berperan dalam peristiwa penjualan BCA. Salah satu contohnya, disebutkan Rizal, adalah mantan Menteri Keuangan Boediono (sekarang Menko Ekonomi) yang bertanggung jawab atas penjualan BCA yang sarat rekayasa sehingga menimbulkan kerugian negara puluhan triliun rupiah.

Status Obligasi Rekapitalisasi Tahun 2002 Hingga bulan Mei 2003, pemerintah telah mengeluarkan obligasi sebesar Rp 640 triliun, dengan sejumlah Rp 370 triliun dari obligasi tersebut berada di tangan perbankan pada tahun 2002. Selanjutnya, sekitar Rp 367 triliun atau 99,4% dari obligasi senilai Rp 370 triliun tersebut ternyata dipegang oleh 20 bank besar saja, dari keseluruhan 137 bank yang beroperasi di Indonesia (lihat Tabel 2). Dari tabel dapat dicatat bahwa bank-bank BUMN merupakan pemegang obligasi terbesar, yaitu sekitar 60%, yang kemudian disusul oleh kelompok bank-bank swasta, dan bank-bank asing. Dari tabel terlihat pula bahwa jumlah OR yang dimiliki oleh bank-bank rekapitalisasi telah turun, dari Rp 417,36 triliun pada tahun 2000, menjadi Rp 370 triliun pada tahun 2002. Namun perlu disadari bahwa penurunan terjadi bukan karena OR dicabut oleh pemerintah (sehingga akan mengurangi beban pembayaran bunga), tetapi karena dijual kepada pihak lain. Akibatnya, besarnya nilai OR yang menjadi utang/beban pemerintah secara keseluruhan tidak banyak berubah dibanding nilai awal, yakni sekitar Rp 400

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 139 triliun. Oleh sebab itu, dengan tingkat bunga bervariasi antara 9% hingga 14%, besarnya total kupon/bunga yang harus dibayar setiap tahun masih tetap tinggi, yakni sekitar Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun.

Tabel 2 Distribusi Obligasi Rekap periode 2000 2002

2000 2001 2002 No. Bank Rp (Juta) % Rp (Juta) % Rp (Juta) %

1. Bank Mandiri 176,895,296 42.38 153,493,218 38.41 148,845,927 40.18

2. Bank Negara Indonesia 62,463,750 14.97 60,644,983 15.18 53,181,617 14.36

3. Bank Central Asia 60,039,788 14.39 60,784,819 15.21 50,821,800 13.72

4. Bank Rakyat Indonesia 28,981,600 6.94 28,436,257 7.12 28,393,561 7.66

5. Bank International Indonesia 6,462,166 1.55 19,868,480 4.97 23,508,774 6.35

6. Bank Danamon Indonesia 47,025,433 11.27 27,768,254 6.95 15,639,724 4.22

7. Bank Tabungan Negara 13,994,778 3.35 13,775,120 3.45 14,190,737 3.83

8. Bank Permata - - - - 11,691,561 3.16

9. Bank Lippo 6,004,924 1.44 5,810,489 1.45 5,690,423 1.54

10. Bank Niaga 9,344,716 2.24 8,350,238 2.09 5,571,946 1.50

11. Deutsche Bank 98,377 0.02 608,277 0.15 3,032,245 0.82

12. Bank Mega 1,974,810 0.47 2,934,448 0.73 2,312,900 0.62

13. Bank Panin 1,818,996 0.44 11,585,489 2.90 1,881,626 0.51

14. Standard Chartered Bank 76,343 0.02 43,741 0.01 860,736 0.23

15. Bank Artha Graha 285,691 0.07 1,228,436 0.31 513,834 0.14

16. ABN Amro Bank - - 350,000 0.09 503,424 0.14

17. Bank Bukopin 367,359 0.09 367,274 0.09 449,995 0.12

18. Bank Danpac 141,750 0.03 312,037 0.08 425,230 0.11

19. BPD - Jawa Tengah 389,422 0.09 389,422 0.10 380,933 0.10

20. Bank Victoria International 164,062 0.04 744,933 0.19 327,468 0.09

Sub Total 416,529,261 99.80 397,495,915 99.47 368,224,461 99.40

Di luar 20 Bank Besar 835,532 0.20 2,121,044 0.53 2,226,345 0.60

Total Nasional 417,364,793 100 399,616,959 100 370,450,806 100

Sumber : Laporan publikasi bank, diolah oleh Grup Riset Bank BRI Dikutip dari buku ”Obligasi Rekapitalisasi Perbankan : Geneologi, Masalah dan Solusi”, Djoko Retnadi, dkk.

140/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Seperti telah disinggung sebelumnya, karena bank-bank penerima OR telah menjual OR yang dimilikinya, OR kini menyebar ke sejumlah pihak mencakup bank-bank non-rekap (termasuk asing), lembaga keuangan non bank, dan juga publik. Sehingga, kini beberapa bank non-rekap, seperti Deutsche Bank, Bank Mega, Bank Panin, Standard Chartered Bank, Bank Artha Graha, ABN Amro, Bank Danpac dan Bank Victoria International, justru memiliki OR cukup besar. Dampak dari penyebaran kepemilikan OR diluar bank-bank rekap ini adalah semakin sulitnya OR ditarik (ditebus atau dibeli kembali) pemerintah dalam rangka mengurangi stok utang dalam negeri. OR sendiri dijual oleh bank karena dana yang mereka peroleh dari penjualan OR tersebut akan memberikan pendapatan yang lebih besar dibanding yang diperoleh bank dari pemerintah sebagai bunga/kupon. Perlu dicatat, bagi pemerintah, pembayaran OR sebenarnya tidak akan terlalu bermasalah jika OR masih dipegang oleh bank-bank pemerintah, karena dana itu akan kembali juga ke negara. Namun, dengan dijualnya OR, serta bank-bank pemegang OR (BUMN atau swasta) kepada pihak lain, seperti yang terjadi pada Bank Mandiri, BNI dan BRI, maka pemerintah harus menyiapkan dana untuk membayar pokok dan bunga OR yang demikian besar, kepada siapapun pemegang akhir OR tersebut.

Status Utang Negara dan OR Saat Ini Kewajiban dan bunga OR merupakan beban berat yang harus ditanggung APBN setiap tahun. Dengan beban utang dan bunga OR yang demikian besar, pemerintah harus mengurangi berbagai anggaran untuk pembangunan dan subsidi pelayanan publik. Pengalokasian anggaran yang tidak adil ini akan berlangsung cukup lama akibat besarnya nilai pokok OR yang dikucurkan serta dilakukannyareprofiling dan penjadwalan ulang waktu jatuh tempo OR oleh pemerintah.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 141 Tabel 3 Posisi Total Utang Pemerintah Juni 2007

(dalam Miliar USD) Tahun No. Uraian 2002 2003 2004 2005 2006 P 2007 Q2P a. Pinjaman 63.60 68.75 68.41 62.92 62.02 59.05 Bilateral 29.19 34.27 34.97 32.32 31.83 30.43 Multilateral 20.61 19.96 19.46 18.78 18.84 17.94 Export Credit 13.35 14.13 13.68 11.63 11.22 10.59 Commercial Credit 0.07 0.08 0.07 0.06 0.07 0.06 Leasing 0.37 0.30 0.22 0.14 0.06 0.04 Bonds and Notes 0.17 0.17 0.17 0.17 - -

b. Surat Berharga Negara 73.81 76.97 71.45 71.06 82.34 86.00 Denominasi Rupiah 73.64 76.80 70.28 67.39 76.84 79.00 Denominasi USD 0.17 0.17 1.17 3.67 5.50 7.00 Total utang Pemerintah 137.40 145.71 139.86 133.98 144.36 145.05

Jumlah utang negara sampai bulan Juni 2007 mencapai US$ 145,1 miliar atau ekuivalen Rp 1.313,3 triliun, yang terdiri dari pinjaman luar negeri sebesar US$ 59,1 miliar atau Rp 534,7 triliun dan Surat Berharga Negara (SBN) Rupiah sebesar US$ 86 miliar atau Rp 715,3 triliun, serta surat berharga valuta asing US$ 7 miliar atau ekuivalen Rp 63,4 triliun (lihat Tabel 3). Lebih dari setengah nilai SBN sebesar Rp 715,3 triliun awalnya adalah OR. Sementara itu, profil jatuh tempo utang menunjukkan bahwa konsentrasi utang jatuh tempo berada dalam periode waktu sampai dengan tahun 2010 (lihat Grafik di bawah ini).

142/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Grafik 1 Profil Jatuh Tempo Utang Negara per Juni 2007

Memperhatikan besarnya beban utang negara di atas, Departemen Keuangan, seperti dijelaskan dalam Buku Nota Keuangan Tahun 2008, telah menetapkan kebijakan pengelolaan utang berupa pengurangan (smoothing out) jumlah utang pada periode puncak melalui pertukaran utang ( debt switch ) untuk memperpanjang durasi utang, pembelian kembali (buyback ) untuk mengurangi pokok utang, dan penerbitan SBN jangka panjang. Secara nominal, jumlah utang luar negeri semakin menurun dan jumlah Surat Berharga Negara (SBN) akan semakin meningkat, terutama karena semakin meningkatnya penggunaan SBN untuk pembiayaan defisit yang semakin besar. Selain itu, untuk pelunasan atau pembiayaan kembali utang (debt refinancing), pemerintah menerbitkan SBN dengan nilai diskonto untuk membayar utang yang jatuh tempo sebesar nilai nominal. Diskonto diperlukan sebagai insentif untuk meningkatkan perdagangan SBN agar pasar sekundernya menjadi semakin aktif dan likuid. Khusus untuk utang dalam negeri, kita mencatat bahwa nilainya terus bertambah. Jika pada tahun 2002 utang dalam negeri adalah Rp 658,4 triliun, maka pada tahun 2007 (posisi Juni) besarnya bertambah menjadi Rp 715,3 triliun, sebagaimana telah dijelaskan di atas. Jumlah ini tampaknya akan terus

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 143 bertambah setiap tahun, sehingga anggaran yang harus disediakan dalam APBN untuk membayar bunga dan pokok utang juga akan terus meningkat.

Tabel 4 Profil Utang Dalam Negeri Pemerintah (triliun Rp)

2002 2003 2004 2005 2006 Jun-2007 Tradable: 394,1 390,5 399,3 399,8 418,8 454,8 - Zero Coupon - - - - - 3,9 - Fixed Rate 154,5 159,0 178,7 189,2 238,6 276,2 - Variable Rate 239,6 231,4 220,6 210,7 180,2 174,8 Non Tradable: 264,3 259,6 253,6 258,8 274,4 260,4 -SU 236,2 245,3 250,9 258,8 274,4 260,4 - Hedge Bonds 28,1 14,3 2,7 - - - Total 658,4 650,1 652,9 658,7 693,1 715,3

Untuk mengetahui kapasitas pemerintah dalam membayar kembali utang (debt service ) tanpa mengganggu ketahanan fiskal, kita dapat mengukurnya dengan menggunakan parameter rasio utang terhadap PDB. Penurunan nilai rasio pada parameter ini dapat menjadi indikator bahwa setiap rupiah utang telah dimanfaatkan secara produktif untuk meningkatkan PDB. Pada akhir tahun 2006, rasio utang sekitar 39%, sedang target rasio utang pada tahun 2009 adalah 31,8%. Namun, meskipun debt service menurun, dalam hal pembayaran bunga utang, secara nominal perkembangannya selama 6 tahun terakhir menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Tabel 5 Besar Beban Bunga Utang dalam APBN 2002-2008 (triliun Rp)

2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

61,10 55,00 62,48 65,00 79,00 86,30 91,54

144/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Pada Tabel 5 di atas diperlihatkan perkembangan anggaran pemerintah dalam APBN yang dialokasikan untuk membayar bunga utang yang menunjukkan kecenderungan yang terus meningkat setiap tahun. Tahun 2002, pemerintah membayar bunga sebesar Rp 61,1 triliun dan tahun 2007 sebesar Rp 86,3 triliun. Untuk tahun 2008, anggaran yang diproyeksikan untuk membayar bunga utang sudah sebesar Rp 91,54 triliun, jauh di atas anggaran untuk meningkatkan efektivitas penanggulangan kemiskinan yang hanya Rp 12,64 triliun dan anggaran Departemen Pertanian (sektor dimana sekitar 60% orang Indonesia mencari sumber mata pencaharian) yang hanya Rp 8,89 triliun. Dalam catatan Departemen Keuangan, seperti yang dipublikasikan oleh DitjenDebt Monitoring Office (DMO) padawww.dmo.or.id , kita mendapati bahwa nilai OR yang awal terbitnya berjumlah Rp 430 triliun akan sulit terdeteksi. Hal ini terjadi karena telah dilakukannya debt switching untuk perpanjangan durasi,reprofiling dan pembelian kembali SBN yang lama dengan penerbitan SBN baru (lihat ”Outstanding Government Securities” status 7 Desember 2007 pada Lampiran 1). Namun secara substansial, jumlah OR tidak berubah dari jumlah Rp 400 an triliun, karena sejauh ini pemerintah tidak pernah menariknya dari bank-bank rekap. Perlu dicatat bahwareprofiling memang dapat membantu meringankan beban fiskal (APBN) dalam jangka pendek. Namunreprofiling pada hakikatnya bukanlah mengurangi beban APBN, tetapi sekedar menunda beban tersebut ke tahun-tahun yang akan datang. Akibatnya kewajiban pembayaran bunga akan bertambah sampai waktu jatuh tempo baru. Ini berartireprofiling bukanlah proses akhir kebijakan pengurangan beban fiskal, tetapi justru merupakan proses awal untuk diikuti oleh berbagai langkah untuk mengurangi beban tersebut secara tuntas dikemudian hari. Dengan reprofiling, beban kewajiban sekarang telah ditunda untuk diselesaikan oleh generasi yang akan datang. Dampak darireprofiling bisa terlihat pada nota keuangan RAPBN 2008, dengan konsentrasi utang dalam negeri yang jatuh tempo berada dalam periode kurun waktu tahun 2007 sampai dengan tahun 2027. Puncak jatuh tempo utang dalam negeri terjadi pada tahun 2033, yang diperkirakan mencapai lebih dari Rp 140 triliun. Sedangkan beban pembayaran utang dalam negeri baru berakhir pada tahun 2037 (lihat Grafik 1 di atas). Selama

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 145 pembayaran kewajiban, pemerintah juga harus membayar bunga utang, sehingga kondisi ini jelas menjadi beban berat bagi keuangan negara. Dengan demikian, sebagai rangkuman, berikut merupakan hal-hal penting yang perlu kita catat terkait dengan permasalahan status utang pemerintah dan OR saat ini.Pertama , bahwa hingga saat ini anggaran yang dialokasikan untuk membayar bunga utang sangat besar dan terus meningkat, seiring dengan meningkatnya stok utang pemerintah.Kedua , jumlah utang dalam negeri saat ini senilai Rp 715 triliun (posisi Juni 2007), lebih dari setengahnya berasal dari OR yang besarnya sekitar Rp 400 triliun. Ketiga, besar OR yang masih dipegang oleh bank-bank rekapitalisasi saat ini lebih kecil dari Rp 400 triliun, namun hal itu terjadi karena OR telah dijual kepada pihak ketiga, sehingga beban pembayaran bunga OR tetap tinggi, yaitu berkisar Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun per tahun. Terakhir, perlu kita ingat, bahwa beban utang negara yang besar tersebut akan ditanggung cukup lama dalam beberapa waktu ke depan, karena pemerintah yang lalu dan sekarang telah melakukanreprofiling atas waktu jatuh tempo OR, sehingga generasi mendatang harus menerima beban utang yang dibuat oleh generasi saat ini dan sebelumnya.

Upaya Pengurangan OR Untuk menunjukkan beratnya beban OR terhadap APBN, kita dapat merujuk kepada hasil kajian internal BPPN yang dilakukan pada tahun 2003. Dengan total pembayaran pokok obligasi rekap sebesar sekitar Rp 400 triliun, jumlah kumulatif bunga OR yang harus dibayar pemerintah adalah Rp 670 triliun. Beban ini diperoleh dengan catatan pemerintah mengembalikan OR secara tunai sesuai dengan masa tenornya. Namun kalau pemerintah tidak mampu membayar sesuai masa jatuh tempo OR, maka pemerintah akan melakukanroll-over atau reprofiling, yaitu jumlah pokok OR tidak dibayar pada saat jatuh tempo, sehingga beban bunganya semakin membengkak. Sebagai contoh, jika semua OR diroll-over dalam satu termin saja, maka jumlah seluruh kewajibannya akan melebihi Rp 2.000 triliun. Hal ini jelas sangat membebani rakyat pembayar pajak. Mengingat besarnya beban dan ketidakadilan di atas, Kantor Menneg BAPPENAS pernah membuat kajian bersama Tim PASPORP (Pengkajian

146/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Alternatif Solusi Permasalahan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan) yang menghasilkan berbagai alternatif solusi penyelesaian OR. Tujuannya adalah agar utang (debt stock ) dan beban bunga OR yang memberatkan rakyat lewat pos APBN dalam jumlah besar dan waktu lama itu dapat dikurangi. Tim PASPORP menyampaikan usulannya kepada pemerintah pada bulan Agustus 2002. Ada 5 alternatif langkah yang disampaikan dalam rangka mengurangi besarnya pembayaran bunga OR, yaitu 1) asset to bond swap( AB Swap ), 2) penyesuaian CAR, 3) obligasi tanpa waktu jatuh tempo yang diberi bunga (interest bearing perpetual bonds, IBPB ), 4) akuisisi antar bank rekap, dan 5) pengumpulan obligasi rekap (bond pooling ). Tim PASPORP menyatakan bahwa berbagai alternatif usulan tersebut dapat dipilih salah satunya, dikombinasikan, atau dimodifikasi sesuai dengan kondisi. Ter.penting, bagi PASPORP, ada langkah signifikan yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi beban pembayaran pokok dan bunga OR. Misalnya, jika alternatif 4 (akuisisi antar bank rekap) yang dipilih, dikombinasikan dengan alternatif 3 (perpetual bonds ), maka OR yang dapat ditarik mencapai Rp 27,6 triliun, dengan penghematan bunga (pada suku bunga 13%) sebesar Rp 3,59 triliun. Sedangkan jika alternatif 5 (bond pooling ) yang dipilih, maka bunga OR yang dapat dihemat sekitar Rp 8 triliun. Secara umum setiap alternatif yang diusulkan oleh Tim PASPORP mampu memberikan keuntungan keuangan bagi negara baik berupa pengurangan OR maupun bunga yang harus dibayarkan setiap tahun. Diakui pula bahwa setiap usulan tersebut mengandung konsekuensi atau ”ongkos”. Namun dibandingkan dengan keuntungan yang diperoleh, maka Tim sangat yakin bahwa ongkos tersebut lebih rendah. Sebagaimana disebutkan di atas, alternatif-alternatif yang ditawarkan bertujuan untuk mengurangidebt stock , dan tentu ini demi kesinambungan fiskal dan kebaikan seluruh rakyat Indonesia. Menurut Tim PASPORP, usulan mereka didasarkan kepada perpaduan berbagai kepentingan yang saling bertentangan. Disebutkan bahwa IMF ingin agar divestasi bank rekap tetap berjalan, dalam waktu cepat, untuk menjaga stabilitas fiskal. Hal ini dinyatakan memang menguntungkan dalam jangka pendek, tetapi merugikan dalam jangka panjang. Yang sesungguhnya diuntungkan dari kebijakan ini adalah IMF dan para pemboncengnya, seperti bank-bank, investor dan para kreditor asing, karena dapat membeli

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 147 bank dengan harga sangat murah (seperti pada kasus BCA). Sedangkan, bagi masyarakat yang penting adalah pulihnya fungsi intermediasi perbankan sehingga dapat mendorong pulihnya sektor ril, serta berkurangnya beban OR dalam pos APBN. Bagaimanapun, sangat disayangkan bahwa tidak satupun rekomendasi yang disampaikan tim PASPORP tersebut diterima dan diimplementasikan oleh pemerintah. Sebagaimana diceritakan oleh Kwik Kian Gie, salah satu alasan penolakan yang dikemukakan pemerintah adalah bahwa usul-usul tersebut dinilai tidak aplikatif. Kita tidak mengetahui apakah alasan yang dikemukakan pemerintah tersebut benar adanya atau justru hanya berpretensi melindungi kepentingan tertentu. Yang jelas pemerintah memang mempunyai ”cara” sendiri untuk menyelesaikan masalah OR seperti yang telah berlangsung selama ini. Cara penyelesaian yang ditempuh itu adalah melalui 1) penukaran obligasi dengan aset BPPN (asset to bond swap ), 2) pembelian kembali obligasi (buyback ), 3) refinancing OR yang jatuh tempo dan 4) penataan kembali jatuh tempo pokok OR (reprofiling ). Apakah cara-cara ini efektif dalam mengurangi besarnya beban bunga OR? Pada kenyataannya tidak juga. Entah karena waktu yang disediakan tidak banyak atau terjadinya praktik KKN, yang jelas beban bunga OR yang harus dibayarkan dalam APBN masih besar. Sasaran-sasaran berupa pulihnya fungsi intermediasi bank, berlangsungnya program divestasi sesuai kesepakatan, dan dapat dikendalikannya beban OR, juga tidak terlihat berjalan baik. Sehingga, dengan pilihan kebijakan yang diambil pemerintah tersebut, negara harus menanggung banyak kerugian dan rakyat akan memikul beban OR dalam waktu yang berkepanjangan. Dalam kesempatan ini, perlu juga disinggung peranan manajemen bank-bank rekap dalam upaya mengurangi beban pembayaran pokok dan bunga OR. Selain pemerintah, mereka juga patut bertanggung jawab melakukan upaya pengurangan beban OR mengingat merekalah pihak yang telah menikmati pembayaran bunga OR selama ini. Sebagai penerima bantuan dari pemerintah (yang uangnya diambil dari pajak yang dibayarkan rakyat) wajar jika para manajemen bank dituntut bekerja secara profesional,

148/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat bebas KKN, bertanggung jawab, sekaligus mempunyai rasa kepekaan sosial yang tinggi terhadap rakyat yang telah menyumbangkan OR. Sangat tidak adil jika manajemen bank hidup mewah dan boros, menikmati gaji tinggi, memanfaatkan berbagai fasilitas berlebihan atas beban perusahaan, menduduki ruang kantor yang luas dan sangat mewah (bandingkan dengan standar hidup 37 juta orang miskin versi BPS tahun 2007), atau membelanjakan dana besar untuk pembodohan masyarakat lewat promosi besar-besaran banknya, di tengah puluhan juta rakyat yang hidup miskin akibat pengurangan subsidi. Terutama, mengingat semua kenikmatan itu diperoleh menggunakan uang bunga hasil subsidi APBN! Jika pemborosan dan foya-foya itu tetap berlangsung, apalagi tanpa disertai dengan perbaikan kinerja bank agar bank dapat mandiri dan menjalankan fungsinya dengan baik dalam mendorong tumbuhnya aktivitas ekonomi, mungkin tidak salah anggapan bahwa kalangan tertentu di seputar bisnis perbankan, yang telah kehilangan rasa tanggungjawab moral sesungguhnya merupakan predator bagi sebagian besar rakyat Indonesia yang terpuruk dalam kemiskinan.

Penutup Krisis ekonomi bukan saja mewariskan utang yang sangat besar bagi negara tetapi juga mengakibatkan puluhan juta rakyat harus hidup lebih susah. Karena itu, sudah seharusnya kondisi ini menjadikan para elit kekuasaan bekerja secara optimal untuk mengatasi krisis, hidup prihatin bersama rakyat, menggalang solidaritas untuk meringankan beban kaum miskin, serta menghasilkan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Dalam konteks kebijakan yang berpihak kepada rakyat, hal itu dapat dilakukan, salah satunya dengan mengoreksi kebijakan OR. Namun, ternyata kita saksikan rasa kebersamaan, solidaritas, dan kepekaan terhadap penderitaan rakyat telah kian memudar. Jangankan membantu, sebagian pejabat justru terlibat KKN, meloloskan obligor BLBI, menerbitkan SKL, dan menyimpangkan kebijakan program OR. Kita juga saksikan banyaknya orang miskin bukan hal yang merisaukan lembaga internasional seperti IMF.Mereka justru menggunakan kemiskinan dan pinjaman dana sebagai alat untuk memaksakan kehendak mereka

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 149 kepada pemerintah dalam rangka mengeruk keuntungan sebesar-besarnya. Seolah, tak sedikit pun tersisa rasa kemanusiaan pada diri mereka. Namun sayangnya, para elit kekuasaan bukannya melakukan perlawanan atas tekanan ini, tetapi malah tunduk dan bekerja sama. Tak pelak, pemimpin- pemimpin berjiwa lemah seperti ini harus mempertanggungjawabkan perbuatannya sebelum mereka berpikir ambil bagian dalam pemilu di masa- masa yang akan datang. Masalah OR tidaklah bisa diabaikan dan diterima begitu saja sebagaimana kondisinya sekarang tanpa ada tindakan korektif. Secara ekonomi maupun politik, kebijakan pemerintah dalam program OR telah menimbulkan persoalan besar berupa ketimpangan distribusi anggaran dalam APBN. OR telah menjadi elemen terbesar dalam utang pemerintah (debt stock ) yang terus meningkat jumlahnya, sehingga pembayaran bunganya harus dialokasikan setiap tahun dalam APBN. Ironisnya, pihak yang diuntungkan dengan kondisi ini adalah golongan superkaya, kaya, konglomerat, dan lembaga asing. Sementara, rakyat miskin harus berpuasa karena berkurangnya anggaran yang dapat digunakan untuk peningkatan kesejahteraan publik atau mendorong kemajuan ekonomi masyarakat akibat beban pembayaran OR yang demikian besar. Keputusan memang sudah diambil pada masa pemerintahan yang lalu, khususnya pada periode 2002-2004. Namun bagaimanapun juga, harus kita nyatakan keputusan itu salah, konspiratif, menjarah negara, dan sangat melukai rasa keadilan. Kita tidak rela beban utang akibat konspirasi ini ditanggung rakyat pembayar pajak dan berlangsung hingga puluhan tahun yang akan datang. Pelaksanaan kebijakan OR yang berjalan selama ini juga harus ditolak karena: · Beban OR Rp 40 triliun hingga Rp 50 triliun per tahun dan pokok OR yang akan jatuh tempo bukanlah ongkos krisis yang harus ditanggung negara dalam APBN, tetapi rekayasa dan bentuk penjajahan IMF dan seluruh pengikutnya di dalam dan luar negeri; · IMF, sebagaimana umumnya para penjajah, sejak semula telah mempunyai niat jahat untuk menjajah dan menguasai ekonomi Indonesia, seperti ditunjukkan melalui pemaksaan penjualan aset- aset BPPN dalam waktu singkat dan harga murah serta pemaksaan

150/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat divestasi bank-bank rekap meskipun masih memegang obligasi pemerintah; · Seluruh rangkaian pelaksanaan kebijakan OR tidak sesuai konsep awal dan tidak dijalankan dengan kosisten; · Pelaksanaan OR terlaksana dalam konspirasi jahat oleh IMF, para investor, sejumlah konglomerat dan oknum-oknum elit kekuasaan yang memperoleh keuntungan pribadi; · Bank-bank rekap, terutama bank-bank swasta, saat ini telah kembali sehat. Pemiliknya, baik asing, anak perusahaan Bank Dunia, swasta nasional, maupun pemilik lama (yang kembali memiliki secara ”manipulatif ”), memperoleh keuntungan yang sangat besar dari bunga OR yang dibayarkan lewat APBN setiap tahun. Untuk pembayaran bunga ini, negara harus menambah beban utang, menjual aset, memungut pajak dari rakyat, sekaligus mengurangi subsidi bagi rakyat miskin. Bank-bank rekap yang dulunya sekarat dan telah diselamatkan pemerintah, sekarang justru menjelma menjadi lembaga penghisap APBN berupa bunga OR yang sangat memberatkan negara. Sejalan dengan sikap di di atas, terutama karena telah terjadinya KKN dan konspirasi jahat, serta demi rasa keadilan, kami menuntut agar seluruh keputusan terkait kebijakan OR dibatalkan dan dikoreksi, antara lain melalui: · Menghentikan pembayaran bunga OR kepada seluruh bank rekap karena kondisinya telah sehat kembali. Hal ini konsisten dengan konsep awal penyuntikan OR sebagaimana diusulkan IMF. Seluruh pihak yang terkait dengan kebijakan ini harus ikut bertanggung jawab untuk memikul beban akibat pemberhentian pembayaran bunga OR ini, seperti IMF,pemerintah, investor dan pemilik bank; · Menghentikan proses privatisasi pada bank rekap sebelum OR nya ditarik oleh pemerintah; · Menghentikan proses divestasi lanjutan pada bank-bank BUMN yang sebelumnya direncanakan oleh pemerintah dalam rangka mengejar target penerimaan APBN.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 151 Tuntutan di atas mungkin saja akan mendapat perlawanan, terutama dari IMF, investor, pemilik-pemilik bank, dan para pemegang OR, dengan berbagai alasan, seperti bertentangan dengan kesepakatan dan perjanjian awal, melanggar hukum, bertentangan dengan kelaziman yang berlaku, dan sebagainya. Kita juga dapat memperkirakan bahwa publik atau pihak non- pemerintah yang kini telah memegang dan menikmati OR akan menolak gagasan-gagasan tersebut. Namun, di sisi lain, kami tetap harus nyatakan pelaksanaan program OR telah dilakukan dengan penuh rekayasa, konspiratif dan KKN, dengan IMF berperan sebagai penanggung jawab utamanya. Sehingga, adalah wajar jika cara-cara tidak lazim yang telah mereka lakukan juga dilawan dan diselesaikan dengan cara-cara yangextra-ordinary pula, demi tercapainya rasa keadilan bagi seluruh rakyat. Seluruh unsur yang terlibat dalam kebijakan OR harus bertanggung jawab untuk mengupayakan penghentian pembayaran bunga OR dan turut menanggung konsekuensi yang mungkin diterima jika hal itu dilakukan. Kebijakan OR bukan semata berdimensi ekonomi, tetapi justru sarat dengan dimensi politik sehingga gagal menghadirkan konsep-konsep dan keputusan yang objektif. Kebijakan OR merupakan hasil atau kompromi berbagai kepentingan, dengan kepentingan IMF sangat dominan di dalamnya. Kepentingan politik yang kental mewarnai kebijakan ini menyebabkan implementasi OR tidak konsisten dengan konsep awalnya. OR pada akhirnya hanya menciptakan ketimpangan distribusi anggaran dalam APBN. Pendapat bahwa OR adalah ongkos yang harus dibayar untuk keluar dari krisis tidak dapat kita terima. Demikian juga argumentasi bahwa nilai bunga dan pokok OR tidak akan berarti dan justru akan ditelan oleh PDB yang terus meningkat. Karena, masalahnya bukan saja pada jumlah uang, tetapi terutama pada rasionalitas, objektivitas, rasa keadilan, dan cara-cara yang dilakukan dalam pelaksanaan program rekapitalisasi perbankan dan divestasi yang penuh konspirasi dan merampok uang negara. Kita ingin pemerintah dan semua pihak menyelesaikan masalah OR secara objektif, berkeadilan dan rasional serta bebas dari cara pandang dan kepentingan politik yang sempit!

152/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Lampiran 1 OUTSTANDING GOVERNMENT SECURITIES As of December 6, 2007

(dalam triliun Rupiah) No Series Maturity Date Coupon Face Value A. TRADABLE SECURITIES 1. Rupiah Denominated a. Zero Coupon 1. SPN 2008052801 30-Mei-07 Rp 4.169 2. ZC0001 30-Agust-07 Rp 6.000 3. ZC0002 20-Sep-07 Rp 3.000 4. ZC0003 22-Nop-07 Rp 1.500 Total Zero Coupon Rp 4.669 b. Fixed Coupon 1. FR0002 15-Jun-09 14,0000% Rp 15.376 2. FR0010 15-Mar-10 13,1500% Rp 9.988 3. FR0011 15-Mei-10 13,5500% Rp 800 4. FR0012 15-Mei-10 12,6250% Rp 1.808 5. FR0013 15-Sep-10 15,4250% Rp 4.735 6. FR0013 15-Nop-10 15,5750% Rp 1.205 7. FR0015 15-Feb-11 13,4000% Rp 5.695 8. FR0016 15-Agust-11 13,4500% Rp 4.118 9. FR0017 15-Jan-12 13,1500% Rp 8.269 10. FR0018 15-Jul-12 13,1750% Rp 6.455 11. FR0019 20-Nop-02 14,2500% Rp 11.856 12. FR0020 20-Nop-02 14,2750% Rp 11.856. 13. FR0021 24-Des-02 14,5000% Rp 2.479 14. FR0022 10-Apr-03 12,0000% Rp 7.334 15. FR0023 11-Sep-03 11,0000% Rp 13.433 16. FR0024 06-Nop-03 12,0000% Rp 4.404 17. FR0025 29-Apr-04 10,0000% Rp 6.801 18. FR0026 26-Agust-04 11,0000% Rp 11.382 19. FR0027 27-Jan-05 9,5000% Rp 9.100 20. FR0028 24-Feb-05 10,0000% Rp 10.100 21. FR0030 15-Mei-16 10,7500% Rp 5.330 22. FR0031 15-Nop-20 11,0000% Rp 11.469

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 153 23. FR0032 15-Jul-18 15,0000% Rp 1.560 24. FR0033 15-Mar-13 12,5000% Rp 9.945 25. FR0034 15-Jun-21 12,8000% Rp 10.379 26. FR0035 15-Jun-22 12,9000% Rp 6.600 27. FR0036 15-Sep-19 11,5000% Rp 3.711 28. FR0037 15-Sep-26 12,0000% Rp 2.450 29. FR0038 15-Agust-18 11,6000% Rp 3.083 30. FR0039 15-Agust-23 11,7500% Rp 4.175 31. FR0040 15-Sep-25 11,0000% Rp 12.914 32. FR0041 15-Nop-08 9,2500% Rp 1.100 33. FR0042 15-Jul-27 10,2500% Rp 14.426 34. FR0043 15-Jul-22 10,2500% Rp 12.653 35. FR0044 15-Sep-24 10,0000% Rp 5.589 36. FR0045 15-Mei-37 9,7500% Rp 6.400 37. FR0046 15-Jul-23 9,5000% Rp 5.359 38. FR0047 15-Feb-28 10,0000% Rp 7.850 39. FR0048 15-Sep-18 9,0000% Rp 4.217 40. ORI001 09-Agust-09 12,0500% Rp 3.284 41. ORI002 28-Mar-10 9,2800% Rp 6.233 42. ORI003 12-Sep-11 9,4000% Rp 9.368 Total Fixed Coupon Rp 295.289 c. Variable Coupon 1. VR0013 25-Jan-08 7,83333% Rp 7.720 2. VR0014 25-Agust-08 7,83333% Rp 9.270 3. VR0015 25-Des-08 7,83333% Rp 8.803 4. VR0016 25-Jul-09 7,83333% Rp 9.023 5. VR0017 25-Jun-11 7,83333% Rp 3.459 6. VR0018 25-Okt-12 7,83333% Rp 829 7. VR0019 25-Des-14 7,83333% Rp 11.406 8. VR0020 25-Apr-15 7,83333% Rp 9.899 9. VR0021 25-Nop-15 7,83333% Rp 7.546 10. VR0022 25-Mar-16 7,83333% Rp 9.667 11. VR0023 25-Okt-16 7,83333% Rp 8.652 12. VR0024 25-Feb-17 7,83333% Rp 9.909 13. VR0025 25-Sep-17 7,83333% Rp 6.909 14. VR0026 25-Jan-18 7,83333% Rp 5.442 15. VR0027 25-Jul-18 7,83333% Rp 5.442 16. VR0028 25-Agust-18 7,83333% Rp 7.034

154/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat 17. VR0029 25-Agust-19 7,83333% Rp 12.212 18. VR0030 25-Des-19 7,83333% Rp 10.503 19. VR0031 25-Jul-20 7,83333% Rp 25.322 Total Variable Coupon Rp 169.047 Total Rupiah Denominated Rp 469.005 2. US Dollar Denominated a. Fixed Coupon 1. RI0014 10-Mar-14 6,7500% USD 1.000.000.000,00 2. RI0015 20-Apr-15 7,2500% USD 1.000.000.000,00 3. RI0016 15-Jan-16 7,5000% USD 900.000.000,00 4. RI0017 09-Mar-17 6,8750% USD 1.000.000.000,00 5. RI0035 12-Okt-35 8,5000% USD 1.600.000.000,00 6. RI0037 17-Feb-37 6,6250% USD 1.500.000.000,00 Total Fixed Coupon USD 7.000.000.000,00 Total US Denominated /equivalen in Rupiah (1) Rp 64.680 TOTAL TRADABLE SECURITIES Rp 533.685

B. NON-TRADABLE SECURITIES (2) 1. Fixed Coupon 1. SU-002/MK/1998 (3) 01-Apr-25 1,00% Rp 20.000 2. SU-004/MK/1999 (3) 01-Des-25 3,00% Rp 53.780 3. SRBI-01/MK/2003 (4) 01-Agust-33 0,10% Rp 129.344 4. SU-007/MK/2007(5) 01-Agust-25 0,10% Rp 53.843 Total Fixed Coupon Rp 256.967 2. Variable Coupon 1. SU-005/MK/1999 (6) 10-Des-09 3 mos. SBI Rp 3.046 Total Variable Coupon Rp 3.046 TOTAL NON TRADABLE SECURITIES Rp 260.013

GRAND TOTAL Rp 793.698 Notes: 1) Assumed exchange rate for conversion (IDR/USD) is 9.240,00 2) Non-tradable Securities are held by Bank Indonesia. 3) These bonds were issued for guarantee program financing. 4) This bond was issued to replace SU-001 and SU-003. Its effective date is August 1, 2003. 5) This bond was issued to replace indexed face value of SU-002 and SU-004. Its effective date is January 1, 2006. 6) The nominal amount of this bond is Rp9,97 trillions, but the amount that has been used is Rp3.097 billions.

Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat/ 155 Quick overlook:

Average interest Average time to Bond Type Proportion rate maturity (years) Zero Coupon 0,00000% 1,40 3,06% FR 11,37837% 9,14 61,65% VR 7,83333% 8,02 35,29% Portfolio 9,77884% 8,51 100,00%

OUTSTANDING GOVERNMENT SECURITIES As of December 6, 2007 (dalam triliun Rupiah) No Series Maturity Date Coupon Face Value A. TRADABLE SECURITIES 1. Rupiah Denominated a. Zero Coupon Total Zero Coupon Rp 4.669 b. Fixed Coupon Total Fixed Coupon Rp 295.289 c. Variable Coupon Total Variable Coupon Rp 169.047 Total Rupiah Denominated Rp 469.005 2. US Dollar Denominated a. Fixed Coupon Total US Denominated /equivalen in Rupiah (1) Rp 64.680 TOTAL TRADABLE SECURITIES Rp 533.685 B. NON-TRADABLE SECURITIES (2) 1. Fixed Coupon Total Fixed Coupon Rp 256.967 2. Variable Coupon Total Variable Coupon Rp 3.046 TOTAL NON TRADABLE SECURITIES Rp 260.013

GRAND TOTAL Rp 793.698

156/ Obligasi Rekapitalisasi: Cara Sistematis Menghisap Uang Rakyat Bab 8

SIAPA YANG HARUS BERTANGGUNG JAWAB?

Marwan Batubara

Setelah 10 tahun berlalu melewati empat era pemerintahan, kasus korupsi dalam penyaluran dan penggunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) hingga kini tidak kunjung selesai, meskipun ada sebagian orang yang menganggapnya demikian. Padahal, kasus yang melibatkan persekongkolan antara pengusaha dan banyak pihak penyelenggara pemerintahan ini, telah merugikan negara ratusan triliun rupiah. Karena sumber pendanaan bantuan tersebut berasal dari utang, maka negara dan rakyat pun harus menanggung beban cicilan pembayaran pokok dan bunga utang dalam APBN selama bertahun-tahun ke depan, termasuk untuk membayar bunga obligasi rekapitalisasi yang mencapai sekitar Rp 40 triliun- Rp 50 triliun per tahun hingga tahun 2021. Kebijakan dan pelaksanaan BLBI merupakan cara sistematis untuk terus memiskinkan rakyat. Berpangkal dari tindakan kriminal korupsi para obligor, skandal BLBI akan terus merugikan rakyat akibat sikap pejabat- pejabat eksekutif dan yudikatif yang justru memihak obligor. Kebijakan

Siapa yang harus Bertanggung Jawab?/ 157 para eksekutif ini pun disetujui, atau setidaknya tidak mendapat penentangan berarti dari pejabat-pejabat legislatif di masa kebijakan itu dilahirkan, mulai dari Soeharto yang menerbitkan Keppres No. 26/1998 dan Keppres No. 55/1998, hingga Megawati yang menerbitkan Inpres No. 8/2002. Dalam hal Inpres No. 8/2002, para obligor pelaku tindak pidana kasus BLBI telah mendapat surat keterangan lunas dan dinyatakan bebas dari tuntutan hukum pidana di kemudian hari. Inpres kontroversial yang diterbitkan oleh pihak eksekutif ini pun sepi dari kritik, pengawasan, atau tindakan korektif pihak legislatif atau yudikatif yang menjabat saat itu. Banyak kalangan berpendapat bahwa BLBI merupakan kebijakan orde baru dalam situasichaos untuk menyelamatkan sistem perbankan nasional dibanding membiarkannya ambruk. Untuk itu berbagai kebijakan darurat dikeluarkan dan ratusan triliun uang negara disuntikkan dalam konsep penyelesaian yang tidak dirumuskan dengan jelas. Hasilnya, tingkat pengembalian dana yang telah dikucurkan hanya sekitar 28%. Mengingat situasi krisis,chaos , konsep yang tidak jelas, aset-aset yang terpaksa diobral, serta ditambah lagi dengan terjadinya peralihan kekuasaan dari Soeharto ke Habibie, maka kalangan tersebut, termasuk kalangan bisnis dan beberapa media, berpendapat bahwa BLBI adalah kebijakan masa lalu yang tidak perlu diusik-usik lagi. Kita diminta untuk tidak lagi melihat ke belakang karena para penerima BLBI telah menjalankan kewajiban dan mendapatkan keputusan hukum yang katanya harus dihormati. Rakyat diminta untuk menanggung ratusan triliun sebagai ongkos krisis meskipun langkah-langkah penyelesaian yang diambil, dibuat berdasarkan sikap emosional dan logika berfikir yang tidak konsepsional. Dengan kata lain, hendak diyakinkan bahwa kasus BLBI adalah ongkos korupsi masa lalu yang harus ditanggung oleh seluruh rakyat. Wajar dan objektifkah hal tersebut? Disamping pendapat di atas, kita kutip pendapat beberapa tokoh terkait korupsi BLBI, sebagaimana yang disebarkan oleh layanan berita NewslinkSmc, sebagai berikut: · Pengacara senior Maqdir Ismail menyatakan khawatir kasus BLBI tidak akan pernah tuntas kalau Kejagung justru mengungkit

158/ Siapa yang harus Bertanggung Jawab? obligor kooperatif yang sudah menyelesaikan kewajibannya (27/7/2007); · Hikmahanto Juwana, Dekan FHUI: ”Obligor BLBI yang teken MSAA & sudah kantongi SKL, tidak bisa dipidanakan lagi karena bisa ganggu kepercayaan investor asing (25/7/2007)”; · Kejagung diingatkan agar tidak pakai standar ganda dalam penyelesaian kasus BLBI. ”Perjanjian skema MSAA diakui dunia internasional”, tegas Direktur CBC Deni Daruri (20/7/2007); · Direktur LSKP Ichsanuddin Noorsy menegaskan, secara hukum positif persoalan BLBI sudah selesai, karena sudah ada TAP MPR & Keppres serta terikat LoI dengan IMF. Kita tentu menerima pendapat untuk melihat ke depan, tidak lagi ke belakang, seandainya saja seluruh data, fakta dan argumentasi untuk menyimpulkan pendapat tersebut diungkap dan dipertimbangkan secara seksama. Yang menjadi masalah, kerugian BLBI nyatanya bukan sekedar disebabkan oleh sikap emosional, tidak konsepsional dan rumusan yang tidak jelas, sehingga kita dapat melupakannya dan tidak perlu menuntut keadilan. Namun, berbagai temuan justru menunjukkan skandal BLBI merupakan tindak penyelewengan uang negara yang dilakukan secara sengaja dan terencana. Karena itu, kami menilai berbagai pendapat yang hendak mengaburkan esensi terjadinya tindak pidana korupsi dalam skandal BLBI merupakan penggelinciran opini dari sebagian besar obligor dan kelompok kepentingan, yang disamping telah menguasai jaringan media yang luas, juga mempunyai dana besar dan jaringan akses yang luas untuk mengendalikan kebijakan dan membentuk opini. Bagi kami, sikap mental korup dari pihak-pihak yang terlibat dalam skandal BLBI merupakan biang keladi dan sumber masalah dari terjadinya korupsi yang menguras uang negara pada kasus ini. Rakyat harus menanggung beban kerugian ratusan triliun rupiah akibat ulah berbagai oknum tersebut, yang mencakup para obligor hitam, rezim Soeharto dan kroninya, oknum-oknum pejabat negara, dan oknum pemerintah (termasuk pemerintahan Megawati yang telah menerbitkan Inpres No. 8/2002 yang berujung pada bebasnya para konglomerat yang melanggar sejumlah ketentuan hukum pidana).

Siapa yang harus Bertanggung Jawab?/ 159 Mereka inilah pihak yang sesungguhnya telah melakukan kejahatan kemanusiaan, memperoleh dan melanggengkan kekuasaan, menguasai harta, membeli hukum, membohongi publik dan membodohi masyarakat di tengah penderitaan puluhan juta rakyat miskin di Indonesia. Untuk itu, rakyat harus bangkit, melawan dan menghukum secara adil, tanpa pandang bulu! Kita sepenuhnya menyadari bahwa semua kebijakan dan langkah seputar BLBI dan penyelesaian masalahnya telah didukung dengan berbagai persyaratan aspek legal dan administratif. Namun, kita juga menemukan bahwa banyak aturan yang dikeluarkan karena kepentingan sempit dan praktik KKN, tidak melalui kajian yang intensif, melanggar prosedur, tanpa keterlibatan publik, atau malah bertentangan dengan aturan/undang- undang di atasnya. Disamping itu, penanganan perkara-perkara BLBI oleh lembaga peradilan lebih banyak menghasilkan keputusan yang tidak adil akibat kendala penegakan hukum, mafia peradilan, oknum peradilan yang korup(judicial corruption) , intervensi penguasa, dan sogokan para obligor kepada para oknum pejabat dengan menggunakan sebagian dana BLBI yang dikorupsi. Tulisan berikut dan beberapa bab selanjutnya akan menguraikan para pelaku skandal BLBI, mencakup obligor, presiden, pemerintah, dan lembaga-lembaga terkait lainnya, sehingga mendatangkan kesengsaraan berkepanjangan bagi rakyat.

Obligor BLBI Dapat dinyatakan, sebagian besar obligor BLBI merupakan biang kerok utama pengurasan uang negara dalam skandal BLBI. Obligor melakukan berbagai kecurangan pada saat sebelum krisis, saat menerima bantuan BLBI, maupun pada proses penyelesaian kewajiban pemegang saham di bawah pengawasan BPPN. Sebelum terjadinya krisis moneter, telah terdapat beberapa kecurangan yang dilakukan obligor, baik pada saat menarik dana masyarakat maupun pada saat penyalurannya. Pada saat penarikan dana, obligor melakukan kecurangan dengan memanipulasi profil dan kinerja bank dalam rangka mempromosikan banknya secara besar-besaran. Pada saat penyaluran, mereka memberikan/menyalurkan kredit pada kelompok/unit usahanya

160/ Siapa yang harus Bertanggung Jawab? sendiri, sehingga melampaui Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Beberapa obligor bahkan juga melakukanmark up nilai kredit, yaitu nilai kredit yang diajukan lebih besar dari biaya investasi yang sesungguhnya digunakan. Hal ini dilakukan untuk memperoleh selisih keuntungan dari peminjaman yang akan mereka investasikan. Perbuatan obligor ini, yaitu mengucurkan kredit di atas BMPK dan mark up atas nilai kredit, merupakan tindak pidana yang diancam dengan pidana kurungan dan denda, sebagaimana diatur dalam Pasal 49 dan Pasal 50 Undang-Undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dengan demikian, selain faktor eksternal berupa krisis yang dipicu oleh anjloknya nilai mata uang baht Thailand, faktor internal yang berpangkal dari perilaku KKN penguasa dan obligor jelas merupakan salah satu penyebab utama berkepanjangannya krisis ekonomi di Indonesia. Para obligor telah menyebabkan tumpukan kredit macet, melakukan praktik perbankan yang tidakprudent, menyalahgunakan kredit jangka panjang untuk membiayai kredit jangka pendek, membuat pinjaman valas menjadi bengkak dan tidak di-hedge , membengkakkan jumlah utang swasta dan utang pemerintah, melakukan praktik-praktik rente ekonomi, praktik bisnis tidak fair, dan menjalankan struktur industri yang padat impor. Krisis pun semakin parah akibat terjadinya depresiasi rupiah dan besarnya utang luar negeri (yang sebagiannya merupakan utang para obligor) yang jatuh tempo. Pada saat krisis, tercatat utang swasta jangka pendek milik obligor yang harus dibayar mencapai US$ 10 miliar atau sekitar Rp 90 triliun. Ironisnya, pada saat menerima BLBI, para obligor bukan menggunakan dana bantuan tersebut untuk membayar dana nasabah sesuai dengan ketentuan, tetapi justru disalahgunakan untuk berbagai keperluan, seperti untuk melunasi modal pinjaman, membiayai transaksi surat berharga, membiayai kontrak derivatif, membayar dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayaiplacement baru PUAB (Pasar Uang Antar Bank), membiayai ekspansi kredit, membiayaioverhead bank umum, membiayai investasi untuk aktiva tetap, membayar kewajiban kepada pihak terkait, dan sebagainya. Jumlah penyimpangan penggunaan BLBI, seperti dilaporkan oleh BPK adalah Rp 84,842 triliun, atau sama dengan 58,70% dari Rp 144,536 triliun dana BLBI yang disalurkan. Secara keseluruhan, potensi kerugian negara akibat penyimpangan terhadap ketentuan yang berlaku, kelemahan sistem

Siapa yang harus Bertanggung Jawab?/ 161 maupun kelalaian dalam penyaluran BLBI adalah Rp 138,442 triliun, atau 95,78% dari Rp 144,536 dana BLBI. Dalam proses penyelesaian BLBI dengan pemerintah, para obligor BLBI berada di bawah koordinasi dan pengawasan BPPN. Bentuk penyelesaian kewajiban tersebut dilakukan berdasarkan beberapa model Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yaitu MSAA, MRNIA dan APU (Akta Perjanjian Utang). Namun, penyelesaian dalam tahap ini pun diwarnai dengan kecurangan sebagian obligor, seperti yang telah mereka lakukan pada saat sebelum dan ketika menerima BLBI. Sejumlah obligor tersebut terlibat dan bersekongkol dalam berbagai skenario untuk memotong jumlah utang mereka ataupun untuk menguasai kembali aset-aset yang telah mereka serahkan kepada BPPN. Diantara kecurangan yang mereka lakukan meliputi manipulasi harga/nilai aset, menggoreng harga saham (agar nilainya anjlok saat BPPN melakukan penjualan), sogok-menyogok, KKN dengan oknum pejabat pemerintah, melakukanjudicial corruption , hingga menggunakan special purpose vehicle (SPV) di luar negeri sebagai kendaraan untuk membeli kembali aset-aset mereka. Dalam kasus penguasaan kembali aset-aset yang diserahkan, salah satu contohnya adalah penguasaan kembali Gajah Tunggal oleh Sjamsul Nursalim. Kepemilikan BCA oleh Farindo, setelah tendernya dimenangkan oleh Farallon Capital, juga disebut-sebut sebagai keberhasilan Kelompok Salim dalam menguasai kembali asetnya, mengingat Farindo diduga kuat terafiliasi dengan Salim. Selain hal-hal itu, manuver curang juga dilakukan obligor dengan bersekongkol dan berkolaborasi dengan pemerintah untuk menerbitkan aturan yang menguntungkan mereka. Hasil nyata kolaborasi ini adalah Inpres No.8/2002, yang antara lain berisi ketentuan release and discharge (R&D) yang membebaskan para obligor dari aspek pidana kasus BLBI. Akibat berbagai kecurangan yang dilakukan obligor dalam proses penyelesaian kewajiban tersebut adalah rendahnya tingkat pengembalian (recovery rate ) dana BLBI, yaitu hanya sekitar 28%. Artinya telah terjadi penyelewengan dan korupsi uang negara sekitar 72% x Rp 144,536 triliun = Rp 104,065 triliun! Selain itu, pemerintah juga harus mengeluarkan dana sekitar Rp 430 triliun untuk merekapitalisasi bank-bank bangkrut, yang diakibatkan ulah para obligor.

162/ Siapa yang harus Bertanggung Jawab? Yang menyakitkan, kita kini menemukan bahwa sebagian mereka telah kembali menguasai aset-aset yang dulu dijaminkan ke BPPN. Ada yang bahkan lebih kaya dari masa sebelum krisis, dengan investasi aset tersebar di berbagai negara seperti Singapura, India, Vietnam, atau China.

Mantan Presiden Soeharto dan Menteri-Menterinya Disamping para obligor, pihak yang juga berperan besar sehingga harus bertanggungjawab atas skandal BLBI adalah mantan Presiden Soeharto dan sejumlah pejabat, termasuk menteri dan direksi BI, yang terlibat dalam pengucuran BLBI. Terkait peran mantan Presiden Soeharto, salah satunya dapat dilihat dari disposisi yang ditulisnya untuk Menteri Keuangan Mar'ie Muhammad pada 20 Agustus 1997. Disposisi itu berisi perintah agar menteri melakukan langkah-langkah cepat mengatasi krisis. Salah satu langkah yang dimaksud Soeharto dalam disposisi itu dapat dimengerti dalam disposisi lanjutan melalui memo bernomor MO-67/MK/1997 yang diberikan Menkeu kepada Gubernur BI J. Soedradjad Djiwandono pada tanggal 26 Agustus 1997, yaitu agar BI sesuai dengan kewenangannya menindaklanjuti rencana merger PT Bank Harapan Sentosa dan PT Bank Utama (deskripsi lebih lengkap lihat Sukowaluyo Mintorahardjo, BLBI Simalakama: Pertaruhan Kekuasaan Presiden Soeharto, Riset Ekonomi Sosial Indonesia, Jakarta: 2001). Merger kedua bank itu pada kenyataannya memang tidak terjadi, karena Bank Harapan Sentosa dan 15 bank nasional lainnya terlanjur dilikuidasi pada 1 November 1997. Namun demikian, Bank Utama terus dibantu dengan berbagai fasilitas agar bertahan hidup. Misalnya, bank ini mendapat fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus (SBPUK) sebesar Rp 531 miliar, padahal Bank Utama tidak layak memperolehnya karena memiliki CAR kurang dari 2%, sebagaimana yang disyaratkan oleh ketentuan BI. Fasilitas yang diterima Bank Utama ini, sulit ditafsirkan lain, melainkan karena adanya disposisi yang diberikan Soeharto kepada Menkeu yang kemudian diteruskan kepada BI tersebut. Apalagi mengingat, sebagian besar saham Bank Utama dimiliki oleh anak-anak Soeharto. Dengan demikian, hal tersebut menunjukkan bagaimana Soeharto menyalahgunakan kekuasaannya untuk menyelamatkan kepentingan keluarga dan kroninya. Sedangkan, disisi lain, hal itu juga menunjukkan bagaimana pejabat-pejabat

Siapa yang harus Bertanggung Jawab?/ 163 negara di sekeliling Soeharto hanya berperan sebagai”yes man” atau punggawa yang patuh tak berdaya atas perintah Soeharto sebagai raja yang dijunjungnya. Selanjutnya, peran mantan Presiden Soeharto dalam pengucuran BLBI juga dapat dilihat pada berbagai produk kebijakan yang dikeluarkannya sebagai berikut: · Surat Setneg No. R-183/Msesneg/12/1997 yang berisi persetujuan kepada BI untuk mengganti saldo debet sejumlah bank nasional dengan SBPUK (Surat Berharga Pasar Uang Khusus). Dengan pemberian SBPUK ini, bank-bank yang telah mengalami saldo negatif di BI dipertahankan hidup dan diperkenankan untuk kembali mengikuti kliring. Hal ini pada gilirannya, semakin membengkaknya jumlah BLBI yang dikucurkan kepada pihak perbankan. Untuk diingat, saldo debet terjadi karena krisis likuiditas yang dialami sejumlah bank nasional, khususnya setelah terjadinyarush . Rush kian besar setelah pemerintah melikuidasi 16 bank pada tanggal 1 November 1997, sehingga BI harus memberikanrescue dana talangan senilai Rp 23 triliun. Dana talangan inilah yang menandai pengucuran BLBI besar-besaran kepada perbankan nasional. Tercatat, pada bulan Desember 1997 jumlah BLBI yang disuntikkan telah meningkat menjadi Rp 54 triliun. · Keppres No.24/1998 tanggal 23 Januari 1998, yang menjamin bahwa BI dapat memberikan jaminan atas pinjaman luar negeri yang dilakukan dan atasLetter of Credit yang diterbitkan oleh bank. · Keppres No.26/1998 tanggal 26 Januari 1998 yang berisi jaminan pemerintah terhadap kewajiban pembayaran bank umum kepada para pemilik simpanan dan krediturnya. · Keppres No.55/1998 tanggal 6 April 1998 tentang penerbitan surat utang dalam negeri yang merupakan pembayaran atau penggantian atas dana yang dikeluarkan BI kepada bank-bank yang dialihkan kepada BPPN. Atas dasar berbagai kebijakan di atas, pemerintah kemudian mengeluarkan berbagai aturan, ketentuan dan pedoman pelaksanaan melalui berbagai SK Menkeu, SK Menko Ekuin, SK Direksi BI, Surat

164/ Siapa yang harus Bertanggung Jawab? Gubernur BI, SK Bersama Direksi BI dan Ketua BPPN. Menurut laporan hasil audit BPK bulan Juli 2000, tercatat ada sekitar 13 surat dan SK yang dikeluarkan oleh menteri-menteri terkait dan direksi BI untuk menjadi acuan pelaksanaan BLBI. Berdasarkan hal itu, maka dapat dinyatakan peran mantan Presiden Soeharto dalam pengucuran BLBI terletak pada arah kebijakan yang diperintahkannya kepada menteri dan pejabat BI terkait. Arah kebijakan tersebut, selain untuk mengamankan kepentingan perekonomian nasional sebagaimana yang dinyatakannya, juga terlihat bertujuan untuk mengamankan kepentingan keluarga dan kerabat-kerabatnya. Disposisi kepada Menkeu dan BI untuk membantu Bank Utama, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, merupakan salah satu contoh dari langkah Soeharto untuk mengamankan kepentingan usaha keluarganya tersebut. Karena itulah, mantan Presiden Soeharto mutlak merupakan pihak yang harus dimintakan pertanggungjawabannya atas kerugian negara akibat penyelewengan yang terjadi pada kasus BLBI. Soeharto juga merupakan figur kunci yang seharusnya dapat memberikan keterangan tentang peran dan keterlibatan oknum-oknum pejabat yang berada di sekelilingnya, termasuk menteri kabinet dan pejabat BI, dalam menyimpangkan BLBI. Hal ini mengingat peran Soeharto yang demikian sentral saat itu sebagai pemegang kendali semua kebijakan yang dibuat pemerintah. Disamping itu, peran Soeharto dalam kasus BLBI dapat ditelusuri pula pada masa sebelum krisis, yaitu ketika ia menunda-nunda pengambilan tindakan, termasuk likuidasi, terhadap sejumlah bank bermasalah. Padahal, laporan tentang bank-bank bermasalah tersebut telah diterimanya sejak akhir 1996. Penundaan itu sendiri dinyatakan terkait dengan momen pelaksanaan pemilihan umum yang akan diselenggarakan pada Mei 1997. Sehingga, penundaan tersebut dapat dinyatakan sebagai pertaruhan yang dilakukan Soeharto untuk mempertahankan kekuasaannya. Akibatnya, seperti juga telah diketahui bersama, meski menang dalam pemilu 1997, Soeharto dijungkalkan setahun kemudian melalui hantaman krisis multidimensi secara bertubi-tubi. Sementara, kekalahannya tersebut harus turut ditanggung oleh seluruh rakyat Indonesia melalui beban pembayaran utang yang ia tinggalkan dari kasus BLBI.

Siapa yang harus Bertanggung Jawab?/ 165 Pejabat-Pejabat Bank Indonesia Tak pelak, BI adalah institusi pemerintah yang memiliki andil besar dalam terjadinya skandal BLBI. Hal itu dikarenakan BI merupakan pihak yang menyalurkan BLBI kepada pihak perbankan. Maka dari itu, BI merupakan pintu pertama bagi terjadinya penyimpangan dan penyelewengan. Hal ini pun dibuktikan oleh hasil audit BPK yang menemukan bahwa 95,78% dari BLBI yang disalurkan oleh BI kepada pihak perbankan telah menyimpang dengan nilai mencapai Rp 138,44 triliun. Seperti telah diuraikan pada bagian sebelumnya (Bab 3), berdasarkan audit BPK, penyimpangan BLBI oleh BI pada dasarnya terjadi karena dua hal, yaitu adanya kelemahan BI dalam melakukan pembinaan dan pengawasan perbankan serta lemahnya BI dalam melakukan manajemen penyaluran BLBI. Dari dua kelemahan mendasar BI tersebut, terjadi berbagai penyimpangan dalam penyaluran BLBI oleh BI. Secara garis besar, berikut merupakan bentuk-bentuk penyimpangan dalam penyaluran BLBI tersebut. · BI cenderung membiarkan bank-bank yang tidak sehat untuk tetap beroperasi dan bergantung pada BLBI. Hal ini terlihat ketika BI membiarkan bank-bank untuk tetap mengikuti kliring meskipun telah mengalami saldo negatif dalam jumlah yang besar dan waktu cukup lama. Bahkan, BI membiarkan bank-bank tersebut untuk terus menambah jumlah utang mereka di rekening giro BI dengan tetap mengucurkan bantuan likuiditas kepada bank- bank tersebut. Akibatnya, jumlah saldo debet bank-bank membengkak sehingga tidak mampu dilunasi. BI pun akhirnya harus memberi mereka fasilitas lain seperti fasilitas diskonto, fasilitas SBPUK,new fasdis , dan fasilitas-fasilitas lainnya untuk mengkonversi saldo debet mereka di BI. Hal ini membuat bank- bank tersebut terus bergantung pada pemberian fasilitas BLBI, yang pada kenyataannya tidak berfungsi efektif karena berbagai fasilitas itu pun tak dapat dilunasi ketika jatuh tempo. Seiring dengan penundaan-penundaan tersebut, jumlah kewajiban yang harus dibayarkan bank-bank pun semakin besar (karena ditambah dengan bunga dan sanksi-sanksi denda lain yang diberlakukan BI). Ketika pada akhirnya bank-bank tersebut tidak juga mampu melunasi kewajiban-kewajibannya, maka pemerintahlah yang

166/ Siapa yang harus Bertanggung Jawab? kemudian menanggung beban pembayaran kewajibannya dengan jumlah yang sangat membengkak. Dalam hal ini, BI telah membiarkan terjadinya pembengkakan saldo debet pihak perbankan dengan terus memberikan berbagai bentuk fasilitas BLBI tanpa penilaian kelayakan atas kondisi bank-bank penerima. Besarnya saldo debet pihak perbankan yang tak terbayar ini yang kemudian harus ditanggung pembayarannya oleh rakyat melalui pos APBN. · BI tidak menjalankan prinsip kehati-hatian perbankan (prudential banking). Selain membiarkan bank-bank untuk terus mengikuti kliring meski saldonya negatif, BI juga melanggar prinsip kehati-hatian perbankan dengan mengucurkan fasilitas BLBI tanpa menyiapkan mekanisme kontrol yang memadai seperti prosedur verifikasi dan konfirmasi atau melakukan pengikatan jaminan yang kuat untuk menjamin pengembalian dana oleh pihak bank. Bahkan, pada kasus penyimpangan dana talangan valas, BPK menemukan BI melakukan pembayaran yang menyalahi ketentuan. Dilanggarnya prinsip kehati-hatian tersebut oleh BI, di sisi lain, memunculkan dugaan bahwa BI memang sengaja mempermudah pengucuran BLBI kepada pihak perbankan. Karena itu, BI turut bertanggung jawab atas penyimpangan BLBI yang terjadi. · BI tidak tegas memberi sanksi kepada bank-bank yang melanggar ketentuan sebagaimana yang disyaratkan dalam pemberian fasilitas BLBI. Kecenderungan BI untuk menyimpangkan BLBI juga terlihat dari tidak tegasnya BI dalam memberi sanksi kepada bank yang melanggar ketentuan. Misalnya, seperti telah disinggung di atas, BI tidak memberi stop kliring kepada bank yang telah membengkak saldo negatifnya. BI bahkan membiarkan bank-bank tersebut bersaldo negatif dan mengikuti kliring meskipun bank telah dinyatakan tidak memiliki kemungkinan sehat. Ketidaktegasan BI lainnya ditunjukkan dengan tidak dijatuhkannya sanksi pada bank-bank yang tidak juga melunasi kewajiban hingga berbagai fasilitas BLBI yang diterimanya jatuh tempo. BI, misalnya, tidak melakukan eksekusi sita jaminan terhadap aset-aset bank yang tidak mampu melunasi Fasdis II seperti yang disepakati, dan justru membebankan kembali kepada rekening giro bank di BI. Atas

Siapa yang harus Bertanggung Jawab?/ 167 berbagai bentuk penyimpangan penyaluran BLBI oleh BI di atas, tak heran BPK menyimpulkan bahwa dasar kebijakan BI dalam menyalurkan BLBI bersifat temporer, individual, dan subyektif. BI dinilai cenderung membuat keputusan sepihak seperti memberlakukan Keputusan Rapat Direksi yang bertentangan dengan Surat Keputusan Direksi. Kebijakan BI bahkan juga tidak transparan, yaitu mengandung kesan penyembunyian informasi terhadap publik.

Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) Pasca penyaluran BLBI, lembaga negara yang perannya sangat menonjol dalam menangani kasus ini adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). BPPN, yang memiliki fungsi dan kewenangan yang sangat luas, mencakup menyelesaikan kewajiban pembayaran utang obligor BLBI, mengelola aset-aset perusahaan dan kredit yang diserahkan obligor, dan menjual aset-aset yang dikelolanya. Karena itu pula, atas berbagai kerugian negara dan penyelewengan yang terjadi dalam penyelesaian kasus ini, BPPN sangat layak dituntut pertanggungjawabannya. Secara umum, dalam menyelesaikan kasus BLBI, BPPN dinilai telah melakukan berbagai langkah dan tindakan yang merugikan negara sebagai berikut: · BPPN cenderung tidak transparan dalam proses pengambilan keputusan. Hal ini terjadi, karena selain ulah oknum-oknum pejabat BPPN sendiri, juga adanya intervensi pemerintah dalam persoalan- persoalan teknis yang menyebabkan BPPN tidak independen. · BPPN sekedar menyampaikan kebijakan makro, mengemukakan data dan angka, tanpa menyampaikanprogress report secara periodik pelaksanaan tugasnya kepada publik, termasuk kepada DPR. Akibatnya, kondisi sebenarnya dari proses penyelesaian kewajiban yang telah dan akan dilakukan oleh obligor serta hasil penjualan aset hanya diketahui oleh Pemerintah dan BPPN. · BPPN tidak bersedia memenuhi tuntutan sejumlah anggota Komisi IX DPR RI (periode 1999/2004) untuk membuka dan mengumumkan secara transparan neraca dan laporan keuangan obligor sebelum BPPN merestrukturisasi kredit macetnya. Hal ini

168/ Siapa yang harus Bertanggung Jawab? jelas menyulitkan proses pengawasan DPR dalam rangka memaksimalkan pengembalian uang negara. · BPPN tidak transparan dalam melakukan analisis untung/rugi, mengungkap permasalahan, dan menentukan alternatif pilihan divestasi aset terhadap penyelesaian PKPS MSAA/MRNIA, apakah dalam bentukpackage deal atau secara retail . · Penilaian aset-aset oleh BPPN umumnya dilakukan di ”belakang meja”, tanpa mengecek kebenaran nilai tersebut di lapangan. Selain itu, meskipun ada mekanisme uji tuntas (due diligent ) secara random, waktu yang tersedia hanya 1 bulan, padahal nilai aset yang perlu diverifikasi sangat banyak dan bernilai puluhan triliun rupiah. Para konsultan yang ditunjuk membantu BPPN untuk melakukan penilaian pun tidak diperbolehkan membawa hasil penilaiannya keluar dari suatu ruangan khusus yang disediakan BPPN.

Presiden Megawati dan Menteri Kabinet Terkait Jika Soeharto merupakan pimpinan negara yang pertama kali menelurkan kebijakan BLBI, maka Presiden Megawati adalah pimpinan negara yang mengeluarkan kebijakan penyelesaian kasus BLBI dengan sangat kontroversial dan melukai rasa keadilan masyarakat. Kebijakan dimaksud adalah Inpres No.8 Tahun 2002 tanggal 30 Desember 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres ini menginstruksikan kepada Menteri Kehakiman dan HAM, Menko Perekonomian selaku Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), para menteri anggota KKSK, Menteri Negara BUMN, Jaksa Agung, Kapolri, dan Ketua BPPN untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan bagi Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dalam rangka penyelesaian seluruh kewajibannya kepada BPPN berdasarkan perjanjian MSAA, MRNIA dan APU.Esensi Inpres No.8/2002 adalah: · Pemberian bukti/status penyelesaian berupa pelepasan dan pembebasan (Release and Discharge) kepada para obligor BLBI,

Siapa yang harus Bertanggung Jawab?/ 169 dalam rangka jaminan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam perjanjian-perjanjian MSAA, MRNIA dan APU; · Dalam rangka pemberian kepastian hukum tersebut, maka para obligor yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, otomatis akan memperoleh pembebasan atau penghentian penanganan aspek pidana. Ketetapan di atas telah mengakibatkan dihentikannya proses penyidikan (SP3) terhadap sedikitnya 10 tersangka korupsi BLBI pada tahun 2004 oleh Kejaksaan Agung. Alasan penghentian adalah karena para tersangka telah mendapat Surat Keterangan Lunas (SKL) sebagai konsekuensi dan pelaksanaan dari Inpres No.8/2002. Padahal, para tersangka kasus BLBI telah melakukan tindak pidana dengan menggunakan BLBI untuk berbagai keperluan yang tidak dibenarkan, seperti menyalurkannya pada kelompok usahanya sendiri. Oleh karena itu, dapat kita nyatakan, pembebasan para obligor pelaku pidana ini oleh Presiden Megawati melalui Inpres No.8/2002 merupakan perbuatan melawan hukum dan mencederai rasa keadilan masyarakat (uraian lebih rinci tentang Inpres No.8/2002 akan diberikan pada bab selanjutnya). Presiden Megawati harus bertanggung jawab atas kebijakan yang telah dibuatnya tersebut!

International Monetary Fund (IMF) Karena keterpurukan ekonomi yang semakin parah, pemerintah akhirnya meminta bantuan IMF untuk mengatasi krisis. Bantuan kemudian diberikan dalam bentuk bantuan siaga(stand by loan) sebesar US$ 40 miliar, termasuk didalamnya US$ 17 miliar bantuan pemerintah negara-negara lain, dan ditandatangani pada tanggal 30 Oktober 1997 oleh Menkeu Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono. Bantuan pinjaman ini ditandatangani dengan berbagai persyaratan yang ketat sehingga pada akhirnya merugikan bangsa dan rakyat Indonesia. Kebijakan resmi mengundang IMF dilakukan setelah Sidang Kabinet minggu pertama Oktober 1997. Untuk sampai pada kesepakatan, telah dilakukan negosiasi yang ketat dan alot dengan IMF. Dalam hal ini, IMF telah menyodorkan lebih dari seribu persyaratan yang harus dipenuhi dan

170/ Siapa yang harus Bertanggung Jawab? kelak dituangkan dalamLetter of Intent (LoI) antara IMF dan pemerintah Indonesia, menyangkut ”reformasi” dan pelaksanaan program-program penyesuaian struktural berbagai sektor yang harus dijalankan oleh pemerintah. Beberapa persyaratan penting yang harus segera dijalankan oleh Pemerintah adalah terkait dengan reformasi sektor riil, restrukturisasi sektor keuangan/perbankan dan pelaksanaan kebijakan fiskal-moneter secara hati- hati. Pada praktiknya, restrukturisasi perbankan telah diawali dengan penutupan bank-bank yang tidak sehat dan rekapitalisasi bank-bank bermasalah. Disamping itu dilakukan penguatan institusi keuangan, yang meliputi perbaikan pengawasan, peraturan dan perundangan, sistem pengadilan dan penegakan hukum, transparansi, dangood governance . Program pertama yang dilaksanakan pemerintah adalah penutupan 16 bank pada tanggal 1 November 1997, atau hanya sehari setelah penandatanganan LoI dilakukan. Akibat kebijakan ini, pemerintah harus menanggung biaya likuidasi sekitar Rp 11,888 triliun (per 29 Januari 1999) yang kemudian diperhitungkan sebagai dana BLBI. Setelah penutupan tersebut, ironisnya kondisi perbankan bukan semakin membaik, justru semakin buruk. Kepercayaan masyarakat kepada perbankan nasional menurun dan mengakibatkan meningkatnyarush atau penarikan dana masyarakat dari bank-bank secara besar-besaran. Akibatnya, pemerintah pun terpaksa mengumumkan tidak akan melakukan penutupan bank lagi. Berbagai kebijakan IMF, seperti penutupan 16 bank, dianggap banyak kalangan sebagai program/resep yang salah untuk mengatasi krisis ekonomi di Indonesia. Permintaan bantuan kepada IMF pada kenyataannya justru memperparah gejolak yang terjadi serta menciptakan beban yang tak terduga pada masyarakat dan pemerintah Indonesia. Secara umum, berbagai hal yang disyaratkan IMF dalam LoI yang merugikan Indonesia antara lain adalah: · IMF berkeras untuk terus menerapkan pengetatan fiskal dan moneter serta memaksakan rangkaian reformasi kelembagaan dan sektoral secara bersamaan dengan penerapan rasio kecukupan modal yang lebih ketat bagi perbankan;

Siapa yang harus Bertanggung Jawab?/ 171 · IMF memaksa penutupan bank secara ekstensif, namun tidak didukung dengan persiapan yang matang, sehingga menimbulkan kepanikan yang menyebabkan krisis perbankan semakin parah; · Lonjakan tingkat bunga secara tajam antara tahun 1997/1998, sehingga melemahkan kondisi keuangan perbankan dan perusahaan domestik. Kebijakan tersebut bukan saja tidak mampu mendongkrak nilai tukar rupiah, tetapi malah memicu runtuhnya sistem perbankan nasional dan pailitnya perusahaan-perusahaan domestik; · Memaksa pemenuhan target uang ketat untuk menurunkan inflasi dan tingkat suku bunga untuk mendorong investasi swasta; · Meminta agar aturan anggaran berimbang terus dipertahankan, dengan menjadikan utang luar negeri sebagai penutup defisit fiskal yang pada gilirannya membuat Indonesia masuk dalam perangkap utang; · Mempercepat privatisasi badan-badan usaha milik negara dan sektor-sektor strategis seperti listrik, migas, dan sebagainya dengan dalih efisiensi dan pemberantasan KKN, sekaligus untuk menutup defisit fiskal; · Mempertahankan rezim kapital bebas yang tidak membatasi aliran masuk modal baik jangka pendek maupun jangka panjang. Padahal, kebijakan ini sangat rawan dengan dampak negatif yang dimunculkan oleh aksi para spekulan; · Sistem keuangan pada umumnya, dan perbankan pada khususnya harus berjalan dalam sistem yang longgar. Sementara itu aset-aset BPPN harus dijual dalam waktu sesingkat mungkin, sehingga bank- bank yang telah dinasionalisasi dengan cepat kembali ke pemilik swasta; · Subsidi kepada rakyat harus segera dihapus untuk meningkatkan sumber daya pemerintah. Padahal tujuan IMF sebenarnya adalah mengamankan ketersediaan dan kelancaran pembayaran cicilan utang oleh pemerintah. Di sisi lain, meningkatnya beban pembayaran utang akan terus memaksa pemerintah untuk meningkatkan harga-harga kebutuhan

172/ Siapa yang harus Bertanggung Jawab? masyarakat seperti listrik dan BBM dan memaksakan percepatan penjualan aset-aset BPPN meskipun hasilnya sangat rendah. Di sisi lain, para agen, kolabolator dan afiliasi IMF akan mendapat kesempatan membeli aset-aset tersebut dengan harga sangat murah. · Menolak pemberlakuancurrency board system (CBS) yang mematok nilai mata uang domestik terhadap mata uang jangkar, dalam hal ini rupiah terhadap dolar AS. Soeharto mengusulkan penerapan CBS terutama untuk menghentikan ulah spekulan dan menahan devaluasi rupiah. Namun usul ini ditolak oleh IMF, AS, Jerman, Inggris, dan Jepang, termasuk sejumlah menteri kabinet dan Gubernur BI. Alasan penolakan CBS disebutkan antara lain adalah bahwa penerapannya harus didahului oleh ketersediaan devisa yang besar dan kondisi ekonomi yang memenuhi kriteria tertentu. Meskipun, penolakan tersebut sebenarnya lebih disebabkan CBS dapat menghambat agenda-agenda IMF di Indonesia; · Memaksakan penyelesaian kasus BLBI dengan pola PKPS MSAA, MRNIA dan APU yang berisi berbagai kebijakan yang banyak melanggar hukum/peraturan, termasuk mematok waktu penyelesaian yang singkat; · Memaksakan pelaksanaan rekapitalisasi perbankan dengan CAR minimal 8% melalui penerbitan obligasi rekapitalisasi oleh pemerintah; · Memaksa penjualan aset-aset dan bank-bank yang dimiliki pemerintah, meskipun masih memegang obligasi rekap, dalam waktu singkat tanpa memperhitungkan aspek ekonomi yang optimal. Ringkasnya, apa yang dilakukan IMF sebenarnya bukan bantuan yang terkonsep secara objektif agar Indonesia lepas dari krisis, tetapi justru penuh dengan muatan kepentingan sepihak dari IMF sendiri. Kepentingan itu diantaranya adalah mengeruk keuntungan dari penguasaan aset-aset strategis nasional dengan harga murah, menjadikan Indonesia sebagai sapi perah penghasil laba melalui pembayaran bunga utang, dan memformat sistem ekonomi Indonesia agar sesuai dengan kepentingan kolonialisasinya secara umum.

Siapa yang harus Bertanggung Jawab?/ 173 Karena itu, langkah Soeharto yang mengundang keterlibatan IMF dalam mengatasi krisis di Indonesia amat disayangkan. Meskipun, kita juga dapat memahami hal itu sebagai episode kekalahan dari sang penguasa Orde Baru yang terus menerus dan secara sistematis mengalami tekanan politik dan ekonomi. Namun, bagaimanapun hal itu juga tak dapat dilepaskan dari kebiasaan pemerintah yang telah berlangsung puluhan tahun untuk bergantung pada utang yang diberikan berbagai lembaga asing seperti Bank Dunia, ADB, dan sebagainya. Kebiasaan berutang untuk mengongkosi pembangunan tersebut pada akhirnya berakibat fatal, terjungkalnya pemerintah orde baru dan terperangkapnya pemerintahan baru dalam krisis ekonomi berkepanjangan.

Penutup Dampak skandal BLBI adalah diwariskannya beban utang dan bunga obligasi ratusan triliun kepada sebagian besar rakyat miskin di Indonesia saat ini dan puluhan tahun yang akan datang. Malapetaka ini bersumber dari perilaku KKN yang dilakukan oleh sekelompok pengusaha dan penguasa masa lalu, mencakup sebagian besar obligor BLBI, Soeharto dan kroninya, oknum-oknum pejabat BI dan BPPN, hingga IMF dan Bank Dunia. Yang menyakitkan, sebagian besar dari mereka kini masih menikmati hidup bebas dan berkecukupan atau bahkan lebih kaya dibanding sebelumnya. Kita berharap masyarakat dapat memahami masalah ini secara jelas, sehingga dapat bergerak menuntut ditegakkannya hukum dan keadilan bagi pelaku skandal yang merugikan negara dan rakyat ini. Kepada para pelaku, terutama para obligor pengemplang uang negara, kita menuntut hati nurani dan kesadarannya untuk bertanggungjawab kepada rakyat atas perbuatannya!

174/ Siapa yang harus Bertanggung Jawab? Bab 9

KEJAHATAN OBLIGOR MENJARAH BLBI

Marwan Batubara

Pada uraian sebelumnya, telah diungkapkan bahwa hasil audit BPK dan BPKP menemukan sejumlah penyelewengan dan penyimpangan pada praktik pengucuran dana BLBI. Menurut kedua lembaga audit negara tersebut, penyelewengan terjadi baik dalam hal penyaluran maupun penggunaan dana BLBI. Akibat penyimpangan tersebut, negara mengalami potensi kerugian hingga Rp 138,4 triliun atau 95,78% dari Rp 144,5 triliun yang dikucurkan. Pada kasus BLBI lainnya, yaitu Program Penjaminan Pemerintah, lembaga audit independen seperti Ernst & Young dan Hans Tuanakotta & Mustofa juga menemukan penyimpangan dalam pelaksanaan program ini. Hasil audit yang mereka lakukan menemukan bahwa dari 216 klaim antarbank senilai Rp 12 triliun, hanya ada 11 klaim (senilai Rp 1,075 triliun) yangeligible (layak) dibayarkan dengan dana Program Penjaminan. Berbagai fakta ini menunjukkan bahwa BLBI yang diberikan pemerintah kepada pihak perbankan dalam kenyataannya tidak

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 175 dipergunakan sebagaimana mestinya. Justru, berbagai fasilitas yang menggunakan uang negara tersebut disalahgunakan dan dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan pribadi segelintir oknum yang terlibat. Banyaknya jumlah penyimpangan yang terjadi pada akhirnya mengantarkan kita pada pertanyaan siapa pihak yang harus bertanggung jawab atas kerugian yang dialami negara tersebut. Dua bab berikut akan mencoba menguraikan pihak-pihak yang terlibat dalam penyelewengan dana BLBI dan bentuk-bentuk kejahatan yang mereka lakukan. Bab ini akan membahas bentuk-bentuk kejahatan yang dilakukan para obligor, sementara bab selanjutnya akan membahas peran dua institusi pemerintah, yaitu BPPN dan BI dalam skandal korupsi BLBI.

Modus Umum Obligor dalam Menyimpangkan BLBI Para bankir nakal dan obligor pengemplang BLBI secara nyata merupakan pihak yang menangguk keuntungan besar dari skandal BLBI. Dengan menggunakan uang negara, mereka memperkaya diri, sehingga membuat rakyat harus menanggung beban pembayaran utang negara yang sangat besar. Tabel berikut memperlihatkan sebagian nama-nama pengemplang BLBI dan kerugian yang mereka akibatkan pada negara.

Tabel 1

Bank Pelaku Penyimpangan Terbesar Dana BLBI

Tabel di atas menunjukkan kerugian negara yang demikian besar, hal baru memperhitungkan korupsi yang dilakukan 5 orang pengemplang BLBI saja. Dari pengucuran BLBI tahap pertama tersebut (posisi per 29 Januari

176/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI 1999), 5 obligor BLBI di atas setidaknya telah menyimpangkan uang negara sebesar Rp 62,84 triliun atau 43,5% dari total penyimpangan yang terjadi. Sebagai perbandingan, jumlah penyimpangan yang dilakukan 5 obligor ini empat kali lipat lebih besar dari total anggaran pendidikan dalam APBN pada periode yang sama (1998/1999) senilai Rp 12,171 triliun. Jumlah penyimpangan ini bahkan 16 kali lipat besarnya dari anggaran kesehatan dalam APBN 1998/1999 (Rp 3,813 triliun). Nilai korupsi para obligor BLBI tersebut, masih terus membengkak jika diperhitungkan pula pengucuran BLBI pada tahap-tahap berikutnya, yaitu Program Penjaminan Perbankan (blanket guarantee ) dan rekapitalisasi perbankan (penyuntikkan perbankan dengan dana obligasi rekap). Atas kerugian yang diakibatkannya pada negara, sudah sepantasnya para obligor tersebut menjadi pihak utama yang dituntut pertanggungjawabannya atas skandal BLBI. Penyelesaian kasus BLBI pun sudah sepantasnya difokuskan pada penuntutan terhadap para obligor untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum dan mengembalikan seluruh uang yang dinikmatinya kepada negara. Dalam tindak korupsi BLBI, ada beberapa bentuk perbuatan jahat yang dilakukan para obligor, yang secara garis besar dapat dijelaskan pada tahap- tahap sebagai berikut:

Tahap Awal Krisis Moneter Sesungguhnya sebelum kasus BLBI bergulir, berbagai bentuk kecurangan telah dilakukan para bankir dalam rangka menyedot dana dari masyarakat dan memanfaatkannya untuk memperkuat modal bank dan kelompok-kelompok usaha yang dmilikinya. Seperti pernah dituturkan oleh mantan Menko Perekonomian Kwik Kian Gie, beberapa modus kecurangan yang dilakukan bankir sebelum terjadinya krisis antara lain sebagai berikut. · Para bankir berhutang kepada pihak luar negeri dengan jumlah mencapai ratusan juta dolar yang uangnya kemudian dikucurkan kepada perusahaan-perusahaan kelompok afiliasinya. Selanjutnya, ketika pembayaran debitur-debitur (yang merupakan perusahaan afiliasi atau bahkan miliknya sendiri) itu macet, pihak bankir memacetkan juga pembayaran kewajiban mereka kepada pihak luar

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 177 negeri. Atas hal itu, bankir nakal tersebut justru mengancam hanya bersedia membayar sebagian kecil dari total utangnya atau tidak membayar sama sekali. · Bankir-bankir nakal tersebut kemudian secara diam-diam mendorong para debiturnya untuk membeli hak tagih atas utang mereka dari kreditur luar negeri dengan harga lebih tinggi dari nilai utang yang bersedia dibayar bank. Namun setelah terbeli, bank tetap membayar 100 persen utang-utangnya kepada para debiturnya (yang kini berubah posisi menjadi krediturnya). Sehingga, pada hakikatnya, pihak bankir menyedot dana yang terdapat di banknya dan memindahkannya ke kantong pribadi dan jaringan kroninya. · Para bankir juga memanfaatkan peraturan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1988 yang memberi kemudahan mendirikan bank untuk menarik dana dari masyarakat, padahal mereka hanya memiliki modal seadanya. Dana masyarakat yang terkumpul ini, dimanfaatkan bankir nakal untuk memberi kucuran kredit pada unit-unit usahanya sendiri, hingga melampaui batas BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit). Hal itu kadang dilakukan pula denganmark up harga (nilai kredit yang diajukan lebih besar dari biaya investasi sesungguhnya yang digunakan), yang kelebihan uangnya kemudian dipindahkan ke bank-bank di luar negeri. Berbagai manipulasi yang dilakukan bankir di atas, pada akhirnya turut menjerumuskan bank pada kondisi krisis (selain faktor krisis nilai tukar mata uang yang menghantam dunia perbankan saat itu). Krisis terjadi terutama karena pelanggaran BMPK yang dilakukan para bankir untuk menguntungkan kelompok usahanya menyebabkan fondasi bank yang dikelolanya rapuh. Apalagi, kredit yang dikucurkan bank kepada kelompok- kelompok afiliasinya tersebut kemudian mengalami macet. Modal bank yang telah dikumpulkan dari masyarakat pada akhirnya tersangkut di tangan para debitur-debitur yang macet pembayarannya tersebut. Karena itu, krisis likuiditas yang dialami perbankan pada hakikatnya juga terjadi akibat ulah para bankir nakal yang telah membuat kropos modal bank yang dikelolanya sendiri.

178/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Tahap Penyaluran dan Penggunaan BLBI Kesediaan pemerintah melalui BI untuk membantu kesulitan likuiditas yang dialami perbankan saat terjadi krisis, jelas merupakan berita bahagia bagi para bankir. Modal mereka yang dikuras olehrush nasabah, tak perlu dikhawatirkan karena akan ditalangi dulu oleh pemerintah. Terhentinya pemasukan bank dari debitur-debitur macet (yang sebagiannya merupakan kelompok-kelompok usahanya sendiri), juga bukan masalah karena BI bersedia menanggung kewajiban-kewajiban pembayaran mereka melalui pemberian fasilitas saldo debet. Pada kenyataannya, fasilitas-fasilitas ini memang dipergunakan sebaik- baiknya oleh para bankir, baik untuk menolong kondisi keuangan banknya yang tengah sekarat, maupun untuk mempertebal kantong-kantong pribadi serta kelompoknya sendiri. Memanfaatkan mekanisme penyaluran BLBI yang tidak terkontrol baik, para bankir seolah berlomba menangguk keuntungan dari pemberian fasilitas oleh pemerintah yang sesungguhnya dimaksudkan untuk mengatasi krisis ini. Kecurangan dan manipulasi pihak perbankan dalam menyimpangkan dana BLBI antara lain dilakukan melalui bentuk-bentuk sebagai berikut: · Merekayasa laporan keuangan, sehingga membuat kondisi kesehatan bank yang sesungguhnya tidak dapat diketahui. Padahal, kondisi kesehatan bank diperlukan untuk menilai kelayakan bank dalam menerima fasilitas BLBI. Bentuk rekayasa yang paling umum adalah rekayasa transaksi untuk menghindari ketentuan mengenai BMPK (Batas Maksimum Pemberian Kredit). · Menggunakan dana BLBI bukan untuk membayar dana nasabah sesuai dengan ketentuan, dan bahkan menggunakannya untuk kepentingan kelompok usahanya sendiri. Hal ini terbukti dari temuan BPK bahwa pihak perbankan mengucurkan dana BLBI kepada kelompok afiliasinya dengan nilai total sekitar Rp 20,36 triliun. · Terdapat kecurigaan bahwa pihak perbankan menyelewengkan dana BLBI justru untuk membeli dolar sehingga kian melemahkan rupiah dan memperparah kondisi krisis moneter yang terjadi. Hal ini dapat ditunjukkan dari adanya hubungan antara pengucuran BLBI sepanjang September 1997 hingga Maret 1998 dengan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 179 terjadinya gejolak rupiah pada periode yang sama. Sejumlah pihak menduga, kucuran rupiah BLBI yang diterima perbankan digunakan untuk melakukan aksi jual beli mata uang. Apalagi di saat yang sama, BI melakukan intervensi terhadap mata uang dengan mengucurkan dolar secara murah ke pasar. Tercatat, intervensi BI pada mata uang sempat membuat dolar dijual pada harga Rp 2.680. Namun, nilai dolar terus meroket hingga mencapai angka Rp 16.000 per dolar hanya dalam waktu singkat. · Para bankir juga menggelembungkan(mark up) klaim rush nasabah, sehingga dana BLBI yang diterima bank lebih besar daripada dana yang harus dibayarkan kepada nasabah. Kelebihan dana ini kemudian dinikmati oleh pihak bankir dan oknum-oknum pejabat yang bekerja sama dengan mereka. · Para bankir merekayasa laporan keuangan mereka dengan mencantumkan utang dalam bentuk dolar di neraca keuangan. Hal ini dilakukan untuk mengklaim adanya beban pembayaran utang kepada pihak luar negeri beserta bunganya dalam bentuk dolar. Dengan demikian, bank dapat mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk menanggung pembayaran utang mereka berdasarkan”Frankfurt Agreement” . Padahal, utang tersebut diperoleh bank dengan menjaminkan uang tunai (juga dalam bentuk dolar) di bank luar negeri. Artinya, utang tersebut tidak harus dibayar karena hanya sekedar penukar uang jaminan tunai yang disetorkan. · Para bankir juga memanfaatkan tingginya suku bunga SBI di saat krisis yang mencapai 50% -60% untuk menarik kembali uangnya dari luar negeri untuk didepositokan. Investasi ini sangat menguntungkan bankir, karena selain bunganya tinggi, pemerintah memberi jaminan atas pengembalian uang yang disetorkan, berapa pun jumlahnya (fasilitasblanket guarantee ). Sehingga, para bankir dapat menikmati pembayaran bunga sangat tinggi dari pemerintah yang dananya dikeluarkan setiap tahun dari pos APBN.

180/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Tahap Penyelesaian Kewajiban Obligor BLBI Sebagai langkah pamungkas, kecurangan kembali dilakukan para bankir nakal untuk membebaskan diri mereka dari beban pembayaran utang BLBI beserta jeratan sanksi hukum. Bahkan, mereka pun melakukan berbagai upaya untuk menguasai kembali aset-aset mereka yang telah diserahkan kepada BPPN. Beberapa bentuk kecurangan yang mereka lakukan antara lain adalah: · Menggunakan aset-aset fiktif, tak layak, dan di bawah nilai pinjaman sebagai jaminan. Menurut audit BPK, dari total jaminan aset yang diserahkan ke BPPN dari BI senilai Rp 132,77 triliun (jumlah ini pun sudah lebih kecil dari dana BLBI yang dikucurkan yaitu Rp 144,5 triliun),nilai komersial aset hanya Rp 12,29 triliun . Artinya terdapatmark up nilai aset sebesar Rp 120,5 triliun oleh pihak perbankan. Sedangkan, selebihnya tidak mempunyai nilai komersial, seperti tidak likuid (tidak laku dijual), bermasalah secara hukum, dan fiktif. Dengan berbagai aset fiktif maupun aset di bawah nilai tersebut, pihak perbankan mendapatkan fasilitas pengampunan dari pemerintah beruparelease and discharge (R & D) sehingga bebas dari tuntutan pidana. · Penyerahan aset-aset bank kepada pemerintah melalui BPPN pun, dapat dikatakan hanya sekedar formalitas di atas kertas. Karena, pada kenyataannya pengelolaan perusahaan-perusahaan maupun bank yang telah diserahkan tersebut tetap dilakukan oleh para obligor selaku pemilik bank yang lama. Hal ini dikarenakan BPPN tidak memiliki unit pelaksana untuk mengelolanya. Artinya, secara de facto, aset-aset tersebut tetap berada pada kendali pemilik lama (obligor BLBI). Tentu saja, hal ini membuka lebar-lebar potensi terjadinya kecurangan dan manipulasi. Seperti yang dikhawatirkan, aset-aset tersebut kemudian ternyata tidak menghasilkan keuntungan bagi negara, sehingga terpaksa dijual kembali dengan nilai yang jauh lebih kecil. Para bankir pun, pada akhirnya kembali menguasai aset-aset mereka yang dilelang BPPN dengan harga beli yang sangat murah.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 181 Beberapa Kasus Kejahatan Obligor Untuk memahami lebih jelas modus dan bentuk kejahatan yang dilakukan para konglomerat obligor dalam melakukan korupsi BLBI, berikut akan diuraikan beberapa kasus sebagai contoh. Kasus yang dikemukakan di sini diantaranya menggambarkan contoh kasus dengan nilai korupsi sangat besar (seperti SalimGroup dan Sjamsul Nursalim) atau memiliki tingkat pelanggaran hukum yang serius. Juga ditampilkan, contoh kasus obligor (antara lain Prajogo Pangestu) yang meskipun tidak terkait langsung dengan skandal BLBI (bukan merupakan pemegang saham pengendali bank-bank penerima BLBI), namun menerima kucuran dana BLBI dari bank-bank tersebut melalui perusahaan yang dikelolanya. Para obligor ini turut ditampilkan, mengingat besarnya kerugian yang mereka akibatkan kepada negara. Salim Group SalimGroup merupakan salah satu obligor terbesar penyimpang BLBI. Karena itu, kasus SG dapat melukiskan dengan jelas kecurangan yang dilakukan para konglomerat obligor dalam perampasan uang negara melalui BLBI. Salim bahkan dinilai punya andil atas terjadinya krisis moneter dan ekonomi yang melatarbelakangi pengucuran BLBI. Diawali pada masa sebelum krisis, Soedono Salim, pemilik SG, diketahui telah memindahkan saham-sahamnya di Bogasari dan Indofood ke PT QAF yang juga perusahaan miliknya di Singapura. Aksi ini berdampak positif bagi Salim, karena aset-asetnya terhindar dari hantaman krisis moneter yang terjadi di Indonesia. Namun, di sisi lain, pemindahan aset-aset Salim ini, bersama dengan aksi serupa yang dilakukan pengusaha nasional lain, ikut memicu terjadinya krisis pada kondisi perekonomian di Indonesia. Hal ini karena eksodusnya modal dari tanah air ke luar negeri(capital flight) menyebabkan terjadinya kelangkaan likuiditas. Pada gilirannya, hal ini turut menekan nilai tukar rupiah terhadap dolar, yang menjadi penanda awal krisis ekonomi yang terjadi. Tercatat, pada pertengahan tahun 1996, terjadi pelarian modal mencapai lebih dari 100 miliar dolar AS ke Singapura.

182/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Aksi Salim ini, menunjukkan dirinya telah mengetahui kondisi krisis yang akan terjadi di Indonesia, sehingga ia melakukan antisipasi dengan melarikan modalnya ke luar negeri. Aksi ini juga menunjukkan bahwa Salim telah turut berperan menciptakan kondisi krisis dalam rangka menyelamatkan, dan bahkan melipatgandakan nilai aset-asetnya. Saat terjadi krisis, Salim, melalui BCA dan SG, kembali memanfaatkan kesempatan dengan menerima fasilitas pengucuran BLBI dari pemerintah (BI). BCA menerima fasilitas BLBI berupaNew Fasdis dengan jumlah mencapai Rp 26,596 triliun. Sementara itu, SG menikmati uang sejumlah Rp 52,726 triliun, dari pinjaman yang dilakukannya kepada BCA dan Bank Risjad Salim Internasional (RSI). Pinjaman SG kepada kedua bank ini, kemudian dialihkan kewajiban pembayarannya kepada pemerintah melalui BPPN. Sehingga, pada hakikatnya SG juga menikmati fasilitas dari pemerintah berupa pemberian pinjaman. Berdasarkan audit BPK RI, diketahui bahwa dari kucuran BLBI yang disalurkan kepada BCA senilai Rp 26,596 triliun, terjadi penyalahgunaan BLBI oleh BCA dengan jumlah mencapai Rp 15,82 triliun (59%). Penyalahgunaan BLBI tersebut, sebagian besarnya ternyata dilakukan dalam bentuk pembayaran kewajiban kepada pihak terkait, yaitu sebesar Rp 10,51 triliun atau mencapai 66% dari total penyalahgunaan yang dilakukan. Artinya, BLBI yang diterima BCA, ternyata sebagian besarnya mengalir kepada kelompok-kelompok usaha SalimGroup juga. Selebihnya, penyalahgunaan BLBI oleh BCA dilakukan dalam bentuk pembiayaan kontrak derivatif baru/kerugian karena kontrak derivatif lama yang jatuh tempo (Rp 1,59 triliun), pembiayaanplacement /penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (Rp 681,45 miliar), pembiayaan ekspansi kredit (Rp 2,58 triliun), dan penyalahgunaan lainnya (Rp 446,6 miliar). Tak cukup sampai di situ, setelah statusnya berubah menjadi Bank Take over(BTO), BCA kembali menerima bantuan dana dari pemerintah dalam bentuk obligasi rekapitalisasi (obligasi rekap). Bahkan, dana yang diterima BCA jauh lebih besar, yaitu mencapai Rp 60,9 triliun. Berkat obligasi rekap yang dimilikinya ini, BCA akan memperoleh penerimaan bunga obligasi per tahunnya senilai sekitar Rp 9 triliun (tingkat bunga berubah-ubah mengikuti SBI). Bunga obligasi rekap ini pula yang menjadi nafas utama penerimaan bagi BCA selama ini.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 183 Perlu diketahui, pemberian obligasi rekap merupakan bagian dari program penyehatan perbankan yang digulirkan pemerintah atas rekomendasi dari IMF. Untuk menyehatkan kondisi perbankan yang dinilai masih rapuh pasca krisis, pemerintah diperintahkan IMF untuk menyediakan dana tak terbatas untuk membantu permodalan bank-bank yang mengikuti program tersebut. BCA sendiri masuk dalam program penyehatan perbankan karena statusnya sebagai BTO (sahamnya diambil alih pemerintah setelah tak mampu melunasi BLBI). Tragedi terjadi ketika saham BCA yang telah dimiliki pemerintah tersebut pada akhirnya di divestasi dengan harga yang sangat murah. Transaksi penjualan BCA diketahui hanya menghasilkan dana sekitar Rp 5,3 triliun. Angka ini jelas tidak masuk akal. Karena, seperti telah disebutkan di atas, saat dijual BCA masih memiliki obligasi rekap senilai Rp 60,9 triliun dalam portofolionya. Sehingga, dari perhitungan itu saja, negara telah merugi Rp 55 triliun lebih dari penjualan BCA. Hal ini belum lagi memperhitungkan pembayaran bunga obligasi rekap per tahunnya senilai sekitar Rp 9 triliun dan nilai keseluruhan aset lain yang dimiliki BCA. Artinya, cukup hanya duduk diam, pemilik baru BCA sudah akan memperoleh untung dua kali lipat hanya dalam waktu satu tahun. Siapakah pemilik baru BCA yang beruntung tersebut? Di sinilah letak kontroversinya. Dalam proses penjualan, perusahaan yang maju mengikuti tender, termasuk mengikuti proses evaluasi dan penilaian adalah Farallon. Namun, ketika Farallon dinyatakan sebagai pemenang tender BCA, tiba-tiba nama perusahaan yang muncul untuk menandatangani kontrak adalah Farindo. Farindo sendiri, didirikan di Mauritius dan dinyatakan sebagai special purpose vehicle yang digunakan Farallon untuk membeli BCA. Masalahnya, karena didirikan di Mauritius, identitas pemilik Farindo sebenarnya tidak dapat diketahui karena Mauritius menjaga rapat kerahasiaan perusahaan yang didirikan di wilayahnya. Meski demikian, telah menjadi kecurigaan luas bahwa keluarga Salim berada di belakang Farindo. Konsorsium Farallon memiliki hubungan tidak langsung dengan kelompok Salim, melalui Alaerka Investment Ltd. yang duduk sebagai pemilik Farallon bersama-sama dengan Farallon Capital Management dan Farindo InvestmentHolding s (Mauritius) Ltd. Alaerka sendiri adalah perusahaan yang berafiliasi dengan pabrik rokok Djarum Kudus, yang memiliki hubungan dekat dengan keluarga Salim.

184/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Jika Salim benar-benar berada di belakang Farindo, maka lengkap sudah keuntungan berlipat yang diperoleh Salim dari pengucuran BLBI, program penyehatan perbankan melalui obligasi rekap, hingga menguasai kembali BCA dengan harga yang sangat murah. Selain dari kasus-kasus itu, Salim masih memiliki catatan lain dari kasus BLBI karena berhasil memperoleh Surat Keterangan Lunas (SKL) meski tidak melunasi seluruh kewajibannya kepada pemerintah. Dengan SKL, Salim dibebaskan dari jerat hukum atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya dalam kasus BLBI. Salim memperoleh SKL dari pemerintah (BPPN), berkat kesediaannya untuk menandatangani MSAA(Master Settlement and Acquisition Agreement) . MSAA merupakan salah satu skema penyelesaian kewajiban BLBI (yang dikenal sebagai PKPS atau Pola Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham) yang ditawarkan pemerintah kepada obligor. PKPS sendiri merupakan mekanisme yang ditetapkan pemerintah sebagai penyelesaian kasus-kasus BLBI yang fokus utamanya adalah pengembalian uang negara yang terkucur melalui BLBI kepada pemerintah. MSAA pada dasarnya berisi kesepakatan antara pemerintah dengan pemilik bank-banktake over (BTO) dan bank beku operasi (BBO) penerima BLBI, tentang jumlah kewajiban yang harus dibayarkan dan nilai aset yang harus mereka serahkan sebagai pelunasan kewajiban tersebut. Para pemilik bank (disebut sebagai PSP atau Pemegang Saham Pengendali) yang telah menyelesaikan MSAA, selanjutnya akan diberikan SKL oleh BPPN. Dengan SKL, para pemilik bank dapat membebaskan dirinya dari semua tuntutan hukum terkait kasus BLBI. Mengesampingkan aspek ketidakadilan dari pemberian SKL kepada obligor BLBI (hal ini akan dibahas tersendiri pada bagian lain), MSAA yang dijalani Salim pun tidak sepenuhnya dilakukan dengan jujur. Jumlah aset yang diserahkan Salim untuk melunasi kewajiban-kewajibannya ternyata jauh di bawah jumlah kewajiban yang harus dilunasinya kepada pemerintah. Berdasarkan MSAA yang ditandatangani pihak SG dan BPPN (pertama kali dilakukan pada 20 Agustus 1998 dan terakhir pada 30 Juni 1999 setelah mengalami beberapa perubahan), disepakati jumlah kewajiban yang harus dibayarkan SG kepada pemerintah (melalui BPPN) adalah sebesar Rp 52,726 triliun. Jumlah ini berasal dari pinjaman kelompok-kelompok usaha

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 185 terkait SG kepada BCA sebesar Rp 51,61 triliun serta kepada Bank Risjad Salim Internasional sebesar Rp 1,11 triliun (yang kemudian dialihkan ke BCA). Disepakatinya nilai jumlah kewajiban ini pun sebenarnya sudah bermasalah. Perhitungan jumlah kewajiban SG kepada BPPN dilakukan tanpa prosesfinancial due dilligence (FDD) dan hanya didasarkan atas data yang disajikan dan disetujui oleh Tim Kuasa Direksi (TKD) BCA. Alasannya, FDD tidak dapat dilakukan karena target waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikan perhitungan jumlah kewajiban sangat singkat, yaitu hanya satu bulan. Sehingga, hal ini menunjukkan bahwa jumlah kewajiban Salim sebagaimana yang disepakati kemungkinan besar masih jauh dari jumlah kewajiban sesungguhnya yang harus dibayar. Selanjutnya, jumlah kewajiban sebesar Rp 52,726 triliun itu dilunasi SG dengan pembayaran uang tunai senilai Rp 100 miliar dan penyerahan sejumlah aset senilai Rp 52,626 triliun yang terdiri atas saham dan surat-surat piutang sepertiexchangeable bonds (EB), convertible bonds (CB), dan piutang SG kepada 57 perusahaan debitor BCA (yang telah dialihkan ke SG). Dari data ini terlihat, bahwa dari jumlah kewajiban SG sebesar Rp 52,726 trilun, hanya Rp 100 miliar atau 0,19% yang dibayar SG dalam bentuk uang tunai, sedangkan selebihnya berupa aset-aset. Namun, kenyataannya aset-aset yang diserahkan SG ini juga tidak senilai dengan jumlah kewajiban yang disepakati harus dibayarnya. Berdasarkan audit dan penilaian PricewaterhouseCoopers (PwC), nilai aset SG yang diterima Holdiko (perusahaanholding yang khusus dibentuk oleh BPPN dan SG untuk menangani aset-aset eks SG) telah mengalami penurunan nilai sebesar Rp 29,5 triliun. Artinya, nilai aset SG sesungguhnya yang diterima BPPN (melalui Holdiko) hanya senilai sekitar Rp 21 triliun. Adanya perbedaan penghitungan ini, tidak dinyatakan sebagai tanggung jawab SG, melainkan BPPN. Hal ini karena perubahan nilai aset sejak diserahkan pemegang saham pengendali (SG) kepada BPPN atau holding company yang ditunjuk (Holdiko) merupakan tanggung jawab dan risiko BPPN berdasarkan skema”asset settlement” yang diperjanjikan dalam MSAA. Pada akhirnya, dari keseluruhan pembayaran yang dilakukan SG, BPPN memperoleh dana tunai Rp 19,389 triliun yang terdiri dari pembayaran tunai sebesar Rp 100 miliar, pembayaran klaim BPPN kepada SG sebesar Rp

186/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI 729,8 miliar, dan hasil penjualan aset oleh Holdiko sebesar Rp 18,559 triliun. Artinya, tingkat pengembalian uang negara yang berhasil diperoleh BPPN dari SG hanya sebesar 36,77% saja dari total kewajiban yang harus dibayar SG. Uraian di atas memperlihatkan bahwa dari kasus SG dan BCA saja, negara telah mengalami kerugian demikian besar, yang dampaknya harus ikut ditanggung seluruh rakyat sampai saat ini melalui pos pembayaran utang dalam APBN. Pos pembayaran utang inilah yang sesungguhnya menjadi virus penggerogot kemampuan keuangan negara dalam membiayai pos-pos kesejahteraan rakyat seperti pendidikan atau kesehatan. Ironisnya, para obligor, seperti SG, yang telah menanamkan virus penyakit tersebut justru kini telah kembali berjaya. MenurutGlobe Asia , misalnya, pada tahun 2007 ini Soedono Salim masih mencatatkan diri sebagai orang terkaya nomor 4 di Indonesia dengan total kekayaan sebesar 2,8 miliar dolar AS atau sekitar Rp 25,2 triliun! Sjamsul Nursalim Selain Soedono Salim, obligor BLBI yang juga mengakibatkan kerugian negara dalam jumlah besar adalah Sjamsul Nursalim. Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) yang dimiliki Nursalim bahkan tercatat sebagai bank yang melakukan penyimpangan BLBI terbesar yaitu mencapai Rp 24,47 triliun dari Rp 30,9 triliun total BLBI yang diterimanya. Nursalim sendiri, berdasarkan MSAA, memiliki kewajiban pembayaran kepada pemerintah senilai Rp 28,408 triliun. Bahkan, total kewajiban Nursalim sebelumnya (berasal dari total kewajiban BDNI yang dibebankan kepadanya) mencapai Rp 47,258 triliun. Namun, jumlah itu berkurang setelah memperhitungkan nilai estimasi aset BDNI (di luar affiliated loans kelompok Nursalim) senilai Rp 18,85 triliun. Dari total kewajiban yang harus dibayarkannya tersebut, Nursalim kemudian menyerahkan Rp 1 triliun kepada BPPN sebagai bentuk pembayaran tunai, yang terdiri dari uang tunai sejumlah Rp 833 miliar dan hasil penjualan aset properti senilai Rp 177 miliar. Sementara, sisa kewajiban Nursalim disepakati untuk dibayarkan dari pengalihan saham 12 perusahaan milik Nursalim kepada BPPN senilai Rp 27,495 triliun. Meski demikian, review ulang yang dilakukan BPK atas aset-aset Nursalim tersebut ternyata

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 187 menunjukkan nilainya hanya Rp 25,131 triliun atau lebih kecil Rp 2,363 triliun (8,6%) dari nilai yang disepakati sebelumnya. Seperti juga pada kasus SalimGroup , aset-aset Nursalim tersebut kemudian diserahkan kepada BPPN melalui sebuah perusahaanholding yang dibentuk bersama oleh BPPN dan Nursalim. Perusahaanholding ini secara khusus akan menampung dan mengelola aset-aset yang diserahkan Nursalim sebelum akhirnya dijual ke pasar. Hal ini dilakukan karena BPPN tidak memiliki unit operasional untuk melakukan pengelolaan. Sehingga, melalui pengelolaan PT Tunas Sepadan Investama (TSI), perusahaan holding tersebut, aset-aset Nursalim telah berbentuk uang tunai ketika diserahkan kepada BPPN. Sebagai catatan, 100% saham TSI dimiliki oleh Nursalim. Di sinilah letak persoalannya. Pengelolaan aset-aset obligor oleh pemiliknya yang lama (melalui perusahaanholding ) justru membuka lebar- lebar peluang terjadinya penyimpangan. Indikasi penyimpangan tersebut setidaknya terlihat dari penurunan nilai aset secara signifikan setelah dikelola perusahaanholding . Dalam kasus Nursalim, nilai aset-aset tersebut ternyata terpangkas hingga sekitar 17% saja. PT Gajah Tunggal dan PT Gajah Tunggal Petrochem Indonesia misalnya, ketika diserahkan kepada TSI dinyatakan nilainya mencapai Rp 7,533 triliun. Namun, penjualan kedua aset strategis Nursalim ini ternyata hanya menghasilkan Rp 1,819 triliun bagi negara. Artinya, BPPN mengalami kerugian hingga sekitar Rp 5,7 triliun. Penurunan nilai aset DipasenaGroup bahkan lebih dahsyat lagi. Saat diserahkan kepada BPPN, Nursalim mengklaim nilai asetnya tersebut mencapai Rp 19,961 triliun. Namun, estimasi akhir nilai aset Dipasena oleh BPPN (sampai dibubarkannya, BPPN tidak sempat menjual Dipasena) hanya sekitar Rp 2,312 triliun. Artinya, terjadi penurunan nilai aset hingga Rp 17,65 triliun atau 88%. Dipasena pun akhirnya terjual kepada pihak swasta pada Mei 2007 lalu. Namun, harganya terus anjlok sehingga menyebabkan kerugian lebih besar bagi negara. Di bawah pengelolaan PPA (Perusahaan Pengelola Aset, yaitu lembaga yang diserahkan wewenang mengelola aset-aset obligor setelah BPPN dibubarkan), Dipasena terjual kepada Konsorsium Neptune dengan harga Rp 688,1 miliar. Artinya,recovery yang diterima negara dari penjualan Dipasena kini menjadi hanya sekitar 3,4% saja.

188/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Uang yang dikeluarkan Neptune untuk membeli Dipasena sebenarnya jauh lebih besar dari jumlah itu, yaitu mencapai Rp 2,668 triliun. Hal ini karena dengan membeli Dipasena, Neptune dibebani pula dengan kewajiban membayar utang-utang Dipasena yang mencapai Rp 1,98 triliun. Utang Dipasena kepada plasma (petambak udang) sejumlah Rp 220 miliar telah dibayar Neptune secara tunai. Sementara sisanya, yaitu utang Dipasena kepada Recapital Advisor (Rp 738,8 miliar), Gajah Tunggal (Rp 392,8 miliar), Westford (Rp 304,6 miliar), dan eks-Bank Dewa Rutji (Rp 76,81 miliar), masih akan dibayar Neptune di kemudian hari. Selain utang-utang ini, masih ada utang usaha dan biaya yang harus dibayar, yaitu masing- masing sebesar Rp 210,28 miliar dan Rp 40,07 miliar. Sehingga, total utang Dipasena yang masih harus dibayar mencapai Rp 1,76 triliun. Ironisnya, tiga dari empat perusahaan yang memiliki tagihan kepada Dipasena, yaitu Gajah Tunggal, Westford, dan Bank Dewa Rutji, ternyata dimiliki oleh Nursalim. Tentu saja hal ini sangat janggal dan patut dipertanyakan. Dipasena yang dulu diserahkan Nursalim sebagai pembayaran utang-utangnya senilai Rp 27,4 triliun, justru kini berutang kepada Nursalim senilai Rp 773 miliar saat dijual. David Nusa Wijaya Obligor lain yang perlu dikemukakan sebagai contoh adalah David Nusa Wijaya. Tidak seperti obligor lain yang menempuh jalur PKPS dalam menyelesaikan utang-utangnya, David justru menolak membayar dan melarikan diri. David bahkan sempat melayangkan gugatan kepada BPPN menuntut pembatalan kesepakatan jumlah utang yang harus dibayarnya berdasarkan Akta Pengakuan Utang (APU). Ironisnya, pengadilan (PN Jaksel) sempat pula mengabulkan gugatan David dan memerintahkan BPPN untuk membatalkan APU dan mengembalikan uang sejumlah Rp 325 juta kepada David. David Nusa Wijaya merupakan pemilik Bank Umum Servitia (BUS), yang ditetapkan untuk menanggung pembayaran utang-utang bank tersebut senilai Rp 3,336 triliun. Namun, menurut perhitungan BPK, jumlah kewajiban yang harus dibayar David sebenarnya mencapai Rp 4,308 triliun. BPK juga menyatakan, perbedaan tersebut disebabkan kurang cermatnya BPPN dalam menghitung beberapaitem seperti pinjaman langsung, surat berharga, penyertaan, dan transaksi-transaksi lainnya.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 189 Dalam perkembangannya, jumlah ini pun masih dipangkas lagi melalui penghitungan ulang atas utang yang disebut sebagai reformulasi JKPS (Jumlah Kewajiban Pemegang Saham). Reformulasi JKPS yang dilakukan BPPN memangkas jumlah utang David sebanyak Rp 1,031 triliun sehingga menjadi Rp 2,305 triliun saja. Reformulasi ini dilakukan dengan maksud mempercepat pelunasan utang-utang obligor kepada negara. Meskipun, fasilitas pemotongan jumlah utang tersebut pada akhirnya tidak membuat David berkomitmen melunasi kewajibannya. Perlu pula diketahui, selain memiliki utang yang harus dibayarkan kepada negara, dalam kasus BLBI David juga melakukan tindak pidana yang membuatnya harus diproses oleh pengadilan. Hasil penyidikan kejaksaan menyebutkan David telah menyalahgunakan BLBI untuk Bank Umum Servitia yang merugikan negara sebesar Rp 1,29 triliun. Penyalahgunaan BLBI dilakukan David sebagai Direktur Utama BUS dan terjadi dalam beberapa bentuk. Pertama, digunakannya kucuran BLBI kepada BUS untuk membayar kewajibannya kepada Bank Sanho, yang merupakan kelompok terkait, sebesar Rp 988 miliar lebih. Hal ini dilakukan dengan menerbitkan 34 nota kredit yang diserahkan kepada Bank Sanho melalui mekanisme kliring di BI. Kedua, adalah penerbitanNegotiable Certificate Deposit padahal saat itu saldo BUS di BI telah berada pada posisi negatif. Hal ini dilakukan BUS untuk memperoleh dana segar sebesar Rp 277 miliar. Penerbitan sertifikat deposito dengan menggunakan saldo debet tersebut pada hakikatnya merupakan penggunaan fasilitas BLBI. Ketiga, melakukan ekspansi kredit (mengucurkan kredit baru) sebesar Rp 25,6 miliar kepada PT Mitra Rona Wana Sejahtera, juga saat saldo BUS di BI berada dalam keadaan negatif. Atas penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan BUS tersebut, maka sebagai Direktur Utama BUS yang merupakan penanggung jawab utama terhadap kegiatan BUS, David pun diseret ke pengadilan oleh kejaksaan. Proses pengadilan kemudian dijalani David di PN Jakarta Barat. Dalam pengadilan ini, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut David empat tahun penjara atas tindak pidana korupsi yang dilakukannya. Namun, vonis majelis hakim yang dijatuhkan kepada David ternyata jauh lebih ringan, yaitu hanya

190/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI satu tahun penjara saja. Lebih janggal lagi, majelis hakim yang diketuai T.A. Sianipar tidak langsung menahan David yang statusnya telah menjadi terdakwa, namun menangguhkan penahanannya. Atas vonis tersebut, JPU mengajukan banding pada Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. Banding ini dikabulkan, sehingga hukuman bagi David kemudian ditambah menjadi empat tahun penjara. Selanjutnya, pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), hukuman bagi David kembali ditambah menjadi 8 tahun penjara, denda Rp 30 juta, dan uang pengganti sebesar Rp 1,2 triliun. Namun, kejanggalan lagi-lagi terjadi. Meskipun vonis telah jatuh, David tak kunjung dieksekusi oleh kejaksaan. Alasannya, salinan putusan dari MA yang lambat diterima oleh kejaksaan (pada kenyataannya, Kejaksaan Negeri Jakarta Barat baru menerima salinan putusan MA setelah lebih dari setahun putusan dikeluarkan). Berlambat-lambatnya penahanan dan eksekusi terhadap David ini dimanfaatkan dengan baik. David Nusa Wijaya pun lari dan menjadi buron. Meskipun, David pada akhirnya berhasil ditangkap kembali pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Uniknya, di sela-sela ”pelariannya” David masih menyempatkan diri menggugat BPPN. Lebih mengherankan lagi, gugatan yang didaftarkan David dan Tarunodjojo Nusa (pemegang saham BUS lainnya) di PN Jakarta Selatan tersebut diterima oleh pengadilan meskipun David dan Tarunodjojo selaku penggugat berstatus buron dan tidak diketahui keberadaannya. Materi gugatan pada intinya berisi tuntutan pembatalan terhadap Akta Pengakuan Utang (APU). Menurut para penggugat, BPPN dinilai tidak memenuhi komitmennya (gentlement agreement ) untuk melakukan audit ulang atas jumlah kewajiban yang harus mereka bayarkan (JKPS) dalam APU. Padahal, mereka telah beritikad baik menandatangani APU. Mereka menilai BPPN telah memanfaatkan posisinya yang lebih kuat untuk menekan mereka dalam penandatanganan APU. Sehingga, JPKS sebagaimana yang ditetapkan dalam APU merupakan keputusan sepihak dari BPPN (APU tidak memenuhi asas kebebasan berkontrak). Hal ini, menurut mereka, telah melanggar pasal 1320 KUH Perdata bahwa syarat

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 191 sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua belah pihak yang mengikatkan diri terhadap perjanjian tersebut. Para penggugat kemudian menuding BPPN telah menyalahgunakan keadaan dalam penandatanganan APU dengan tidak memperhatikan apa yang menjadi hak dan kepentingan pemegang saham (yaitu David dan Tarunodjojo). Sebaliknya, BPPN justru menjadikan APU hanya memberi keuntungan sepihak bagi BPPN. Atas dasar hal tersebut, para penggugat meminta majelis hakim untuk membatalkan APU. Selain itu, para penggugat juga menuntut BPPN untuk mengembalikan uang Rp 325 juta yang telah dibayarkan penggugat sebagai pembayaran awal JKPS kepada BPPN. Uang tersebut dinyatakan dibayarkan penggugat pada periode 13 Oktober 2000 sampai 7 Maret 2001. Majelis hakim kemudian memberi putusan yang sangat kontroversial. Dalam putusannya tanggal 20 November 2003, majelis hakim menyatakan Akta Perjanjian Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Majelis hakim juga menghukum tergugat (BPPN) untuk mengembalikan uang pembayaran sebesar Rp 325 juta kepada tergugat dalam waktu 14 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. Artinya, majelis hakim mengabulkan bulat-bulat gugatan yang diajukan David dan Tarunodjojo meskipun keduanya saat itu berstatus terdakwa pidana korupsi dan buron! Karena itulah, atas putusannya yang kontroversial tersebut, majelis hakim yang terdiri atas IDG Putrajadnya, SH (Hakim Ketua), Sudarjatno, SH (Hakim Anggota), dan Zainal Abidin, SH (Hakim Anggota) dinilai sejumlah kalangan telah berpihak kepada penggugat dan hanya mencari-cari alasan pembenar untuk memenangkan penggugat. Hal ini pula yang menjadi penilaian tim eksaminasi atas putusan PN Jaksel atas kasus ini. Tim Eksaminasi Putusan Perkara David Nusa Widjaya dan Tarunodjojo Nusa melawan BPPN dibentuk berdasarkan pertimbangan bahwa dalam perkara tersebut diduga terdapat banyak kekeliruan penerapan hukum. Majelis eksaminasi beranggotakan mantan hakim Eliyana, mantan Hakim Agung J. Djohansjah, mantan jaksa Irdan Dahlan, akademisi Rosa Agustina, serta advokat Harry Ponto, Tony Budidjaja, dan Abdul Fickar Hadjar.

192/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Berdasarkan eksaminasi publik (pengujian) yang mereka lakukan, disimpulkan beberapa hal antara lain sebagai berikut. Pertama, bahwa majelis hakim kurang cermat dalam meneliti dan melihat jalannya persidangan, serta terlalu menyederhanakan pembahasan keabsahan Akta Pengakuan Utang (APU). Pembahasan APU Bank Servitia ditafsirkan dengan dukungan argumen yang kurang dapat dipertanggungjawabkan. Majelis hakim dinilai terlalu berpegangan pada asas 'patut dan adil' namun menegasikan asas kepentingan umum. Kedua, majelis hakim juga dinilai keliru menempatkan gentlement agreement/ commitment mengenai dilakukannya audit ulang dalam posisi yang lebih tinggi dari APU. Ketiga, pertimbangan mengenai misbruik van omstandigheden (penyalahgunaan keadaan) oleh BPPN yang dikaitkan dengan penyalahgunaan keunggulan ekonomi juga keliru, karena pada bagian pertimbangan lainnya majelis hakim mengakui bahwa BPPN melaksanakan tugas sesuai kewenangan yang diberikan pemerintah berkenaan dengan penyehatan Bank Servitia. Terkait dengan anggapan majelis hakim bahwa terdapat paksaan atau tekanan dari BPPN terhadap David untuk menandatangani APU-Servitia, Tim Eksaminasi menilai hal itu keliru. Menurut Tim Eksaminasi, adanya paksaan atau tekanan itu harus dibuktikan terlebih dahulu. Karena alasan-alasan itulah, Tim Eksaminasi menyimpulkan bahwa terdapat kekeliruan dalam putusan yang dijatuhkan majelis hakim atas perkara gugatan David Nusa Wijaya terhadap BPPN. Kasus David Nusa Wijaya pada akhirnya menunjukkan bahwa pengusutan dan penyelesaian kasus korupsi BLBI diperumit tidak hanya oleh kelihaian obligor dalam melakukan manipulasi (dari mulai menyalahgunakan BLBI, mengakali mekanisme penyelesaian kewajiban utang / PKPS, hingga bahkan melarikan diri), namun juga oleh keterlibatan oknum-oknum penegak hukum dalam memihak kepada para obligor. AgusAnwar Agus Anwar merupakan penerima dana BLBI melalui dua bank yang dimilikinya bersama Hashim Djojohadikusumo, yaitu Bank Pelita dan Bank Istimarat, dengan total kewajiban sebesar Rp 1,9 triliun. Ketika krisis, kedua

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 193 bank ini mengalami kekurangan likuiditas, yang membuat BI kemudian mengucurkan dana senilai sekitar Rp 3,2 triliun kepada keduanya. Karena kondisinya terus memburuk, Bank Pelita dan Bank Istimarat pun kemudian masuk dalam program penyehatan BPPN dan statusnya dibekukan. Dengan pembekuan status kedua bank ini, maka Agus dan Hashim selaku pemegang saham pengendali dinyatakan menanggung kewajiban pembayaran utang-utang Bank Pelita dan Istimarat sejumlah Rp 3,2 triliun tersebut. Dalam perkembangannya, Agus pun kemudian masuk dalam kategori kelompok obligor yang menandatangani Perjanjian Penyelesaian Sementara Kewajiban Pemegang Saham dan Pengakuan Utang berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 151/KMK 01/2006. Setelah beberapa kali mengalami reformulasi, jumlah kewajiban yang harus dibayar Agus akhirnya dinyatakan hanya sebesar Rp 577 miliar saja, meskipun angka ini sebenarnya lebih merupakan jumlah yang bersedia dibayar Agus. Pemerintah sendiri pernah menghitung jumlah utang Agus sebesar Rp 810,15 miliar. Sedangkan, Badan Pemeriksa Keuangan bahkan mencatat kewajiban Agus mencapai Rp 2,29 triliun. Pada kenyataannya, jumlah ini pun tak kunjung dilunasi Agus. Agus bahkan melarikan diri ke luar negeri dan bersembunyi di Singapura. Akibatnya, pihak Kejaksaan Agung pun menetapkan status Agus sebagai tersangka dan dinyatakan sebagai buronan. Masalahnya, selain bermukim di Singapura, Agus pun ternyata telah berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Singapura. Tak pelak, bergantinya kewarganegaraan Agus ini menimbulkan reaksi keras. Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda misalnya sempat menuding pemerintah Singapura melakukan tindakan tidak etis dengan melindungi Agus dan memberikan status kewarganegaraan kepadanya. Pihak Kedutaan Besar RI di Singapura juga bereaksi dengan tidak mengabulkan permohonan Agus untuk melepaskan statusnya sebagai warga negara Indonesia hingga kini. Untuk diketahui, Agus memperoleh kewarganegaraan Singapura setelah permohonannya melalui surat permohonan bernomor 00953536 dikabulkan pihak Immigration and Checkpoints Authority. Pengabulan permohonan itu diberikan melalui surat tertanggal 23 Desember 2003 yang ditandatangani oleh Kiat Wai keong, Asisten Pedaftaran untuk Registrasi Warga Negara Singapura.

194/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Kementerian Luar Negeri Singapura menyatakan status kewarganegaraan diberikan kepada Agus karena yang bersangkutan telah memenuhi persyaratan konstitusi dan undang-undang untuk menjadi warga negara Singapura. Namun, meskipun telah menjadi warga negaranya, pemerintah Singapura menjanjikan pihaknya tidak akan menutup kesempatan bagi siapapun, termasuk institusi berwenang di Indonesia untuk menggugat Agus Anwar di pengadilan Singapura sekiranya yang bersangkutan telah melanggar hukum. Sementara proses hukum terhadap Agus Anwar masih terkendala, kabar terbaru justru menyatakan Agus telah membeli saham dua perusahaan Singapura, yaitu Keppel Telecommunication & Transportation (Keppel T & T) dan Singapore Petroleum Company (SPC) dengan nilai total mencapai 252,7 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 1,5 triliun (Investor Daily, 17 April 2007). Pada Keppel T & T, Agus Anwar bersama dengan Tjia Marcel Han Liong memiliki sekitar 9,05% saham melalui Kapital Asia Pte Ltd. dan Kapital Asia Company Ltd. Pembelian itu dilakukan secara bertahap mulai dari 4% pada periode Mei 2006, menjadi 6% pada Juni 2006, hingga akhirnya menjadi 9,05% pada Maret 2007. Nilai saham Keppel T & T yang dimiliki Agus dan Tjia mencapai sekitar 72,7 juta dolar Singapura atau sekitar Rp 454,375 miliar. Sedangkan pada SPC, Agus dan Tjia membeli 28% saham SPC senilai 180 juta dolar Singapura (sekitar Rp 1,1 triliun). Yang menarik, saham SPC dibeli oleh Agus dan Tjia melalui Kapital Asia dari Keppel T & T. Dengan pembelian ini, saham SPC yang dimiliki Keppel menjadi tinggal sekitar 49%. Kasus ini pun kemudian berkembang setelah Kapital Asia yang berganti nama menjadi Satya Capital menjual kembali 88 juta lembar saham SPC kepada China Aviation Oil. Penjualan ini dinyatakan Kapital Asia sebagai bentuk kesepakatan yang telah dibuat sebelum Kapital Asia membeli SPC. Karena itu, Kapital Asia sempat menggugat China Aviation Oil karena perusahaan ini menolak melakukan pembelian terhadap saham SPC. Gugatan akhirnya dimenangkan Kapital Asia, dengan kewajiban China Aviation untuk membeli 88 juta lembar saham SPC sesuai dengan kesepakatan, ditambah dengan membayar ganti rugi sebesar 28 juta dolar AS

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 195 karena membatalkan kesepakatan secara sepihak. Sehingga, dinyatakan dari kasus ini Agus Anwar berhasil meraup total uang sekitar 51,73 juta dolar AS. Pada akhirnya, ”keberhasilan-keberhasilan” Agus Anwar di negeri seberang tersebut menjadi hal yang sangat kontras dengan tunggakan kewajiban utang BLBI yang tak kunjung dibayarnya. Pemerintah pun dapat dipastikan akan menemui banyak kesulitan untuk memproses Agus Anwar secara hukum mengingat kewarganegaraannya yang telah berganti. Hal ini tentu saja merupakan ironi yang menyakitkan, karena untuk ”menolong” Agus Anwar, uang negara triliunan rupiah telah dikucurkan, yang kini bebannya harus ditanggung seluruh rakyat Indonesia. Kaharudin Ongko Kasus BLBI yang terjadi pada Kaharudin Ongko, mantan pemilik Bank Umum Nasional (BUN), merupakan bukti lain yang menunjukkan tidak adanya upaya serius untuk mengembalikan uang negara yang telah dikemplang para obligor BLBI. Ketika terjadi krisis, pemerintah menyuntikkan dana BLBI kepada Bank Umum Nasional (BUN) dengan tujuan menutup saldo debet dan menalangi kas BUN yang sudah kritis. Saldo debet pertama terjadi pada November 1997, dengan jumlah sekitar Rp 220 miliar. Tak sampai sebulan, pada pertengahan Desember jumlah saldo debet sudah membengkak menjadi Rp 1,04 triliun. Dana BLBI tahap pertama pun dikucurkan. Tapi krisis terus terjadi, sehingga akhirnya BUN diambil alih pemerintah dan berada dibawah pengawasan BPPN sejak tanggal 4 April 1998. Laporan BPK menyebutkan bahwa jumlah kewajiban pemegang saham (JKPS) BUN adalah sebesar Rp 13,99 triliun, yang harus ditanggung oleh dua obligor, yaitu Mohammad Hasan (Bob Hasan) dan Kaharudin Ongko. Menurut laporan BPK, jumlah kewajiban yang harus ditanggung Bob Hasan adalah sebesar Rp 6,15 triliun, sedangkan jumlah kewajiban yang harus ditanggung Kaharudin Ongko adalah sebesar Rp 7,38 triliun. Untuk menyelesaikan kewajiban ini, maka pada tanggal 18 Desember 1998, Kaharudin Ongko dan BPPN menandatangani perjanjian MRNIA dengan JKPS senilai Rp 7,38 triliun. Dalam perkembangannya, JKPS Kaharudin Ongko inipun telah mengalami beberapa kali koreksi, yaitu pada

196/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI tanggal 19 Maret 1999 dan tanggal 22 Desember 1999 sehingga jumlah kewajiban yang harus dibayarnya menjadi Rp 8,34 triliun. Berdasarkan MRNIA, Kaharudin Ongko diharuskan menyerahkan 21 saham perusahaan dan sebagian propertinya. Namun dari 21 saham perusahaan yang diperjanjikan akan diserahkan, ternyata baru 12 perusahaan yang diserahkan. Sedangkan 9 perusahaan lainnya tidak diserahkan karena tidak mendapat persetujuan dari kreditur dan pemegang saham lainnya. Bahkan diantara perusahaan yang diperjanjikan akan diserahkan ada juga yang masih dalam status perkara di kepolisian. Selain permasalahan tersebut, Kejaksaan ternyata menemukan fakta bahwa kekosongan kas BUN bukan hanya lantaran ditarik oleh nasabah pihak ketiga, tapi justru karena adanya penarikan besar-besaran dari kelompok usaha Ongko sendiri. Perusahaan terafiliasi itu memiliki banyak simpanan di BUN, seperti misalnya PT KIA Keramik Mas, PT Ongko Sekuritas, PT Indokisar Djaya, dan PT Bunas Finance Indonesia. Pengalihan dana dilakukan menggunakan cek, bilyet giro, dan transfer. Padahal, sesuai dengan ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK), dana BLBI tak boleh disalurkan ke pemilik dan manajemen bank serta pihak-pihak terkait melebihi batas yang ditentukan. Kejaksaan juga mensinyalir adanya upaya Ongko dalam memanipulasi penggunaan dana BLBI yang diterima BUN pada kurun November 1997- April 1998. Dana BLBI itu digunakan untuk ekspansi kredit baru ke grup sendiri antara lain, PT Kiani Lestari milik Bob Hasan senilai Rp 97 miliar plus 45 juta dolar AS, dan 13 juta dolar AS ke PT Indokisar milik Kaharudin Ongko. Berdasarkan data yang diungkap Majalah Tempo Edisi 07/XXXII/14 - 20 April 2003, juga tercatat bahwa setidaknya ada Rp 514 miliar plus 69,5 juta dolar AS dana BLBI yang diambil perusahaan Ongko dan keluarganya. Dari lembaran-lembaran bukti transfer, terungkap miliaran rupiah diantaranya ditarik melalui rekening pribadi Ongko dan anak-anaknya. Ongko diketahui pernah menarik 10 ribu dolar AS. Sedangkan, anak-anak Ongko, antara lain Irjanto Ongko menarik Rp 107 juta plus 17 ribu dolar AS, Irwanto menarik Rp 1,14 miliar, dan Irsanto menarik Rp 310 juta. Masih ditulisTempo , seorang mantan direksi BUN bersaksi bahwa semua itu dilakukan atas sepengetahuan dan perintah Ongko. Berdasarkan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 197 anggaran dasar BUN, memang diatur bahwa setiap pemberian kredit di atas 3 persen dari modal harus disetujui dulu oleh komisaris, yang dalam hal ini adalah Ongko sendiri. Sehingga, pengucuran kredit ke sejumlah kelompok usaha Ongko seperti misalnya PT Raja Besi Semarang (senilai Rp 15,5 miliar), PT Landasan Terus Sentosa (Rp 9,5 miliar), dan PT Sumber Keramik (Rp 86 miliar) ditandatangani oleh Ongko sendiri. Terpidana BLBI yang juga mantan direktur BUN, Leonard Tanusubrata turut memberikan kesaksian akan peran Ongko dalam menentukan kebijakan pengucuran kredit BUN kepada kelompoknya sendiri tersebut. Menurutnya, ketika itu Ongko adalah orang yang menentukan hitam putihnya BUN. Seperti diibaratkan olehnya, bahkan untuk mengangkat pesuruh pun harus melalui persetujuan Ongko. Namun di pengadilan, Ongko mengaku tak ingat segala hal yang dipersyaratkan dalam perjanjian pengucuran BLBI. Ia mengaku membubuhkan tanda tangan semata karena diperintah pejabat BI. Bahkan Ongko mengaku tak tahu sama sekali bahwa pada saat krisis, banknya mengalami saldo debet. Alasannya, berdasarkan Undang-Undang Perseroan Terbatas, sebagai komisaris ia tak ikut campur dalam urusan operasional bank yang sepenuhnya menjadi tanggung jawab direksi. Dalih itulah yang kemudian justru ditelan mentah-mentah oleh hakim (dipimpin oleh Amiruddin Zakaria). Menurut putusan hakim, berdasarkan Undang-Undang Perseroan, Ongko dianggap tak bersalah. Walaupun Ongko terbukti pernah menyetujui pengucuran kredit, hal itu tidak dapat dianggap sebagai pengambilalihan tanggung jawab direksi oleh Ongko. Di mata hakim, hal itu semata untuk memenuhi ketentuan internal perusahaan. Wajar saja pertimbangan itu menuai protes keras banyak pihak. Ahli hukum perbankan Pradjoto misalnya menyatakan Undang-Undang Perseroan tak bisa dilihat berdiri sendiri. Menilai tindak pidana korupsi dengan ketentuan perbankan juga tidak relevan. Faktanya, menurut Pradjoto, direksi BUN jelas dipengaruhi kedudukan Ongko sebagai pemilik sekaligus komisaris karena direksi tak mungkin bertindak atas inisiatifnya sendiri. Sehingga pernyataan bahwa Ongko tidak memiliki pengaruh apapun terhadap direksi merupakan sebuah bohong besar. Pradjoto kemudian menyatakan, pasal yang tersedia dalam Undang- Undang Tindak Pidana Korupsi sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk

198/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI menjerat Ongko. Salah satunya adalah unsur memperkaya diri sendiri, yaitu menggunakan uang BLBI untuk kepentingan kelompok usahanya sendiri. Walhasil, Ongko akhirnya melenggang bebas dari tindakan hukum. Setelah divonis bebas, Ongko pun terbang ke luar negeri (banyak kalangan menduga Ongko pergi ke Amerika atau Singapura). Menghilangnya Ongko ini tak pelak menghambat proses kasasi yang tengah dipersiapkan aparat kejaksaan. Proses hukum terhadap obligor BLBI kelas kakap ini pun akhirnya tertunda, sampai waktu yang tidak dapat ditentukan. Upaya pengembalian uang negara dari Ongko pun menjadi tak jelas. Padahal, dari total utangnya sebesar Rp 8.34 triliun, Ongko baru membayar sebesar Rp 8,6 miliar atau sekitar 0,1 persen saja. Atang Latief Atang Latief tersangkut kasus BLBI setelah Bank Indonesia Raya (Bank Bira) yang dikelolanya menyalahgunakan dana BLBI senilai Rp 3,66 triliun. Karena itu, sebagai pemilik dan Komisaris Utama Bank Bira, Atang Latief harus menanggung pengalihan kewajiban pembayaran utang-utang bank tersebut kepadanya. Atang sebenarnya merupakan pemain lama dalam dunia bisnis di Indonesia. Lahir dengan nama asli Lauw Tjin Ho (atau Lao Cheng Ho), Atang merupakan pengusaha sezaman dengan Soedono Salim (usia Atang kini sekitar 86 tahun). Atang sempat pula memegang hak lisensi awal Suzuki di Indonesia sebelum kemudian beralih ke Indomobil. Atang juga dikabarkan pernah memiliki usaha kasino di beberapa tempat (hal ini selaras dengan pengakuan anaknya, Husni Muchtar, yang menyatakan Atang sangat gemar berjudi). Dalam rangka penyelesaian kewajiban-kewajibannya, Atang diharuskan pemerintah mengikuti mekanisme PKPS melalui skema Akta Pengakuan Utang (APU). Sayangnya, Atang tergolong obligor yang tidak kooperatif pada awal-awal proses penyelesaian utangnya. Sampai batas waktu yang telah ditentukan, Atang tidak kunjung menyelesaikan kewajibannya meskipun telah beberapa kali diberi perpanjangan waktu. Jumlah kewajiban Atang pun telah beberapa kali mengalami reformulasi sehingga kini hanya senilai Rp 325 miliar.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 199 Hasil penilaian Tim Bantuan Hukum (TBH) yang pernah dibentuk BPPN bahkan menyatakan Atang telah melakukan serangkaian pelanggaran hukum dalam kasus BLBI, yaitu menggelapkan dana BLBI dan melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Karena itu, TBH merekomendasikan agar Atang mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum. Namun, karena berbagai alasan, proses hukum terhadap Atang selalu tersendat di tengah jalan. Apalagi, Atang juga sempat melarikan diri ke Singapura pada sekitar tahun 2000, serta menetap tinggal di negara tersebut beberapa lama. Akibatnya, Atang pun tak pernah sempat diproses secara hukum, apalagi hingga dihadapkan ke meja pengadilan. Namun, pihak Atang membantah hijrahnya Atang ke Singapura sebagai bentuk pelarian. Menurut mereka, Atang sudah menetap di Singapura sejak tahun 1999 untuk mengurus berbagai bisnisnya di sana. Atang dikabarkan memiliki kelompok bisnis bernama Lauw & Sons di Singapura yang bergerak di beberapa bidang usaha seperti antara lain properti, alumunium, dan kimia. Selain itu, pihak Atang juga menyatakan ”mengungsinya” Atang sementara waktu ke Singapura karena di Indonesia ada pihak yang menakut- nakuti dan bahkan memeras Atang. Jika pemerintah dapat menjamin perlakuan yang adil, menurut mereka, Atang akan kembali ke Indonesia untuk menghabiskan sisa hidupnya dengan tenang di tanah air. Pada kenyataannya, Atang memang kemudian kembali ke Indonesia untuk menyerahkan diri kepada pihak kepolisian pada 27 Januari 2006. Kembalinya Atang ke tanah air tersebut dinyatakannya untuk melunasi sisa utangnya yang tinggal sebesar Rp 170 miliar. Sebelumnya, Atang menyatakan telah mencicil kewajiban pembayaran utangnya sebesar Rp 155 miliar dari total Rp 325 miliar yang harus dibayarnya. Atas penyerahan diri Atang tersebut, pihak kepolisian menyatakan menghargainya sebagai niat baik Atang untuk menyelesaikan persoalan hukumnya di Indonesia, termasuk menyelesaikan pembayaran sisa utangnya. Pihak kepolisian pun berjanji untuk memberi perlindungan hukum dan perlakuan yang adil bagi Atang. Pihak kepolisian menegaskan, Atang bukan sebagai buronan atau masuk daftar cekal, dan status hukumnya akan ditentukan kemudian.

200/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Saat ini (seperti penuturan pengacaranya, Sugeng Teguh), kewajiban Atang dinyatakan tersisa Rp 80 miliar lagi. Hal ini belum terlunasi karena, menurut keterangannya, Atang sudah tak memiliki banyak aset lagi di Singapura. Ia juga menyatakan, Atang sebenarnya bisa saja melunasi utangnya seandainya uang yang dititipkannya kepada Husni Muchtar dan Lisa Muchtar tidak digelapkan keduanya. Kasus penggelapan uang ini pun sudah dilaporkan pihak Atang ke kepolisian dan kini sedang dalam penyelidikan (Husni sudah ditahan). Menariknya, Husni dan Lisa yang dilaporkan Atang ke pihak kepolisian tersebut tak lain adalah anak-anak Atang sendiri dari istri pertamanya, Satiawati. Nilai aset yang seharusnya dijual Husni (PT Bina Multi Finance) dinyatakan Sugeng bernilai Rp 45 miliar. Sedangkan, aset yang dipegang Lisa adalah restoran Texas Fried Chicken yang bernilai Rp 100 miliar. Sehingga, jika kedua anaknya ini tidak menyalahgunakan aset yang dititipkan kepada mereka, Sugeng menyatakan utang Atang sebenarnya sudah dapat dilunasi. Berdasarkan hal-hal tersebut, dapat dinyatakan penyelesaian kasus BLBI Atang Latief nampaknya memang akan mengarah pada penuntasan. Sisa kewajiban yang belum dilunasi pun ”tinggal” Rp 80 miliar. Sehingga, bukan merupakan angka yang sulit untuk dipenuhi oleh pengusaha sekelas Atang Latief. Bagaimanapun, kasus ini tak lepas dari sejumlah catatan. Yang paling nyata adalah terlalu mudahnya pemerintah dan aparat berwenang memberikan berbagai keringanan bagi Atang dalam menyelesaikan kewajiban dan kasus hukumnya. Sepulangnya dari Singapura, misalnya, Atang sama sekali tidak memperoleh hambatan untuk kembali ke Singapura, meskipun masih tercatat sebagai pengutang besar kepada negara. Pemerintah nampak tidak melakukan upaya penjagaan secara ketat terhadap Atang (mengingat statusnya sebagai pengutang BLBI dan pernah menghilang), dan justru memberi keleluasaan penuh bagi Atang untuk keluar masuk wilayah Indonesia. Selanjutnya, sepulangnya ke Indonesia dari Singapura (setelah menghilang selama sekitar lima tahun), perlakuan pemerintah terhadap Atang pun ”amat sangat ramah”. Bersama dengan 3 obligor lainnya (Ulung Bursa/Bank Lautan Berlian, James Januardy/Bank Namura, dan Omar Putihrai/Bank Tamara), Atang yang diwakili oleh Lukman Astanto

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 201 (menantu Atang) diterima langsung oleh Jaksa Agung, Kapolri, dan Menteri Ekonomi di Istana. Kebijakan yang ditetapkan pemerintah terhadap Atang dan para pengutang BLBI tersebut pun terbilang sangat murah hati. Pemerintah menjanjikan akan memberikan Surat Keterangan Penyelesaian Kewajiban (SKPK) kepada pengutang yang telah membayar lunas kewajiban mereka sesuai dengan jumlah APU yang disepakati. Artinya, pemerintah akan mengesampingkan kasus pidana yang dilakukan para pengutang BLBI tersebut asalkan mereka melunasi utang-utangnya. Bagi yang telah menerima SKPK, maka pihak Kejaksaan dapat mengabaikan, menghentikan, atau mengeluarkan Surat Perintah Penyidikan (SP3). Dengan demikian, kebijakan ini mengulangi kebijakan Inpres No.8 Tahun 2002 yang menghapus aspek pidana obligor BLBI yang telah menyelesaikan utangnya. Sehingga, kebijakan ini lagi-lagi menunjukkan ketidakberdayaan hukum di depan intervensi kekuasaan politik. Lebih dari itu, kebijakan ini juga mempertegas ketidakberpihakan pemerintah pada rasa keadilan masyarakat dan hanya berorientasi pada pengembalian uang negara (meskipun jumlah uang yang dapat dikembalikan pun jauh dari optimal). Rasa keadilan itu akan kian terusik mengingat gaya hidup yang dijalani para pengutang BLBI tersebut jauh dari kesan sulit apalagi prihatin. Di tengah kewajiban utang yang belum dibayarkannya, mereka justru masih dapat menikmati gaya hidup sangat mewah. Atang Latief misalnya, justru memilikipenthouse senilai sekitar 3 juta dolar Singapura (sekitar Rp 18 miliar) di kawasan elit Bukit Timah, Singapura (Majalah Tempo No. 34/VI/Edisi 25 April 1 Mei 2006). Sebagai tambahan pula, Atang kini masih tercatat pada urutan 94 orang terkaya di Indonesia versi majalahGlobe Asia , dengan total nilai aset 110 juta dolar AS atau sekitar Rp 1 triliun. Dengan nilai aset yang dimilikinya tersebut, wajar saja jika kemudian sejumlah pihak mempertanyakan mengapa Atang tidak mampu untuk melunasi seluruh kewajiban-kewajibannya dengan segera? Layakkah pula negara yang menanggung pembayaran utang-utang Atang pada kasus BLBI (yang jumlah keseluruhannya jauh melebihi jumlah yang bersedia dibayarnya

202/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI tersebut), padahal yang bersangkutan hidup dengan limpahan kemewahan seperti itu? Sukanto Tanoto Keterlibatan Sukanto Tanoto dalam kasus BLBI berawal ketika Unibank yang dimilikinya atas nama pribadi dan PT Persada Upaya Sakti (sebesar total 33,04%) menerima BLBI di saat terjadinya krisis. Unibank pun masuk ke dalam program pembinaan Bank Indonesia (BI). Padahal, sebelum krisis, Unibank dikenal sebagai bank yang solid. Dalam rangka menyelamatkan Unibank yang terancam kolaps, pihak BI melakukan berbagai upaya pembinaan. Mulai dari penggantian pengurus, penambahan modal, hingga membatasi kegiatan Unibank dalam rangka Cease and Desist Order (CDO). Penambahan modal yang dilakukan BI adalah dengan mengucurkan dana sebesar Rp 1,4 triliun kepada Sukanto Tanoto sebagai pemilik bank tersebut. Karena tidak bisa diselamatkan, maka pada tanggal 29 Oktober 2001 kegiatan Unibank pun akhirnya dibekukan oleh BI. Unibank dibekukan oleh BI dan tidak dilakukan penyehatan karena adanya permasalahan struktural, dimana Kewajiban Penyediaan Modal Minimum (KPMM) negatif,Non-Performing Loan (NPL) tinggi sebesar 48,1%, dan pelanggaran Batas Minimum Pemberian Kredit (BMPK) kepada grup sendiri sebesar 51%. Sumber permasalahan tersebut terutama disebabkan oleh tagihan bank kepada kelompok terkait (sendiri) senilai US$ 230 juta untuk fasilitas wesel ekspor berjangka (WEB) yang dikategorikan macet. Bahkan wesel ekspor itu tidak diakui oleh BI. Karenanya, ketika dilakukan likuidasi, rasio kecukupan modal ataucapital adequacy ratio (CAR) Unibank langsung turun ke posisi minus 200 persen pada akhir September 2001. Tetapi kalau kita mencermati proses likuidasi Unibank, terdapat beberapa keganjilan yang melatarbelakangi proses likuidasi tersebut. Pertama, Unibank pernah mendapatkan peringkat A (kategori bagus sekali) dari BI pada tahun 1999, sehingga mengherankan bank ini secara tiba-tiba masuk kategori buruk sekali pada tahun 2001. Dari sisi NPL, sebenarnya tidak bisa tiba-tiba memburuk, mengingat laporan keuangan Unibank tahun 1999 hingga memasuki tahun 2001 tidak menunjukkan adanya kredit macet. Tetapi, secara mengejutkan, dalam laporan keuangan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 203 Juni 2001, disebutkan ada kredit macet dan sekaligus terdapat penyertaan saham Unibank di PT Prima Energi. Hal ini tentu sangat mencurigakan. Kedua, pengalihan saham kepemilikan Sukanto Tanoto di Unibank, terkesan tidak transparan dan penuh rekayasa. Saham milik Sukanto Tanoto dan 4 investor lainnya sebesar 76%, telah ditransaksikan dengan cara crossing di BEJ pada 21 Agustus 2000. Dengan adanya transaksi itu, saham 5 investor itu sebagian dipecah kepada 16 pihak, sehingga totalnya terdapat 21 pemegang saham (di luar publik) yang masing-masing memiliki kepemilikan saham kurang dari 5 persen. Pengalihan saham ini bisa dikategorikan sebagai tindakan yang tidak pada tempatnya (ultrafirez ) dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip umum (actiopaulina ). Karena hal ini akan berakibat pada penghilangan kewajiban dan tidak jelasnya posisi pemegang saham pengendali di Unibank. Semua pemegang saham Unibank pun akhirnya lolos dari kewajiban penyerahan jaminan kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) setelah Unibank dibekukan, termasuk Sukanto Tanoto.

Tabel 1 Posisi pemegang saham Unibank sebelum 21 Agustus 2000

No. Pemilik Komposisi (%) 1. Somers Nomenees 11,09 2. Tinah Bingei, Ny 7,92 3. PT Persada Upaya Sakti 24,81 4. PT Sinar Bekal Utama 24,81 5. Sukanto Tanoto 8,23 6. Masyarakat 23,05

Terbukti, ketika BPPN meminta Sukanto Tanoto yang pernah menjadi pemegang saham pengendali di Unibank untuk bertanggung jawab atas likuidasi yang dilakukan BI terhadap Unibank, ia menolak untuk menyerahkan harta kekayaan dan jaminan pribadinya kepada Badan

204/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Alasan yang dikemukakannya adalah pihaknya bukan lagi pemegang saham pengendali Unibank sejak tahun 2000. Pada saat likuidasi Unibank, Sukanto Tanoto hanya memiliki 2,9% saham, sedangkan sisanya dimiliki oleh 21 pemegang saham lainnya, termasuk masyarakat luas, yang besarnya masing-masing kurang dari 5%. Berdasarkan laporan keuangan Unibank, terakhir sebelum dilikuidasi tahun 2001, Sukanto Tanoto hanya mempunyai saham atas nama pribadi sebesar 2,9%. Sisa pemegang saham lainnya adalah berbagai perusahaan yang tidak jelas status kepemilikannya, sehingga patut diduga masih milik Sukanto Tanoto juga. Sehingga, dengan memecah saham kepemilikannya, maka Sukanto Tanoto bebas dari tanggung jawab atas kewajiban pembayaran dana pihak ketiga Unibank yang jumlahnya mencapai Rp 3,1 triliun. Berpedoman pada Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 2/27/PBI/2000 tentang bank umum, maka yang dimaksud pemegang saham pengendali sebuah bank adalah perorangan atau badan hukum yang mempunyai 25 persen saham. Atau, mempunyai saham kurang dari 25 persen, tetapi dapat dibuktikan melakukan pengendalian bank secara langsung atau tidak langsung. Maka, ketika Unibank dilikuidasi, menurut peraturan BI tersebut Sukanto Tanoto tidak bisa dimintai pertanggungjawabannya. Sukanto Tanoto bisa saja berdalih mengatakan dirinya bukan pemegang saham pengendali. Tetapi fakta yang harus diingat, ketika Unibank menerima kucuran BLBI, Sukanto Tanoto masih merupakan pemegang saham pengendali. Sukanto juga menikmati 51% (US$ 230 juta) kredit Unibank dalam bentuk Wesel Ekspor Berjangka (WEB), yang dikucurkan Unibank ke kelompok usahanya, sehingga hal ini merupakan pelanggaran atas ketentuan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Kredit itu pun kemudian mengalami gagal bayar (macet). Selain WEB, Sukanto Tanoto juga harus bertanggung jawab terhadap keberadaan 28negotiable certificate deposit (NCD) terbitan Unibank milik PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP), yang tak kunjung dibayar. Padahal, NCD bernilai total US$ 28 juta tersebut masuk ke dalam program penjaminan Bank Indonesia (karena termasuk dalam perhitungan premi penjaminan yang dibayar oleh Unibank).

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 205 Kasus NCD milik PT CMNP ini bermula ketika perusahaan tersebut pada 12 Mei 1999 menjual surat berharga miliknya berupa obligasi CMNP II senilai Rp 189 miliar dan surat utang jangka menengah Bank CIC senilai Rp 153 miliar kepada PT Drosophila Enterprise Pte., dengan perantara PT Bhakti Investama (milik Hary Tanoesoedibjo). Kemudian, Drosophila yang juga dimiliki Hary membayarnya dengan sertifikat deposito Unibank senilai US$ 28 juta dengan tenor tiga tahun dan tingkat bunga sebesar 20,75%. Tanggal 17 September 2001, persetujuan komisaris telah diberikan kepada direksi CMNP, antara lain dalam hal penjualan harta kekayaan CMNP berupa NCD Unibank sebesar 28 juta dolar AS. Tapi disinilah persoalannya, Unibank sebagai penerbit surat berharga itu dibekukan oleh BI pada 29 Oktober 2001. Sebelum keputusan pembekuan jatuh, pada 26 September 2001, Unibank menyatakan sertifikat deposito telah dilaporkan ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional dalam laporan simpanan dan kewajiban. Akibatnya, CMNP punya hak tagih atas sertifikat deposito itu kepada pemerintah. Tetapi ternyata saat jatuh tempo Mei 2002, NCD tak bisa dicairkan. Pada 22 November, BPPN menyatakan sertifikat deposito itu tidak dijamin dan tak dapat dibayarkan melalui program penjaminan pemerintah. Dari beberapa informasi yang diperoleh, ada beberapa kejanggalan dalam transaksi NCD ini. Pertama, transaksi ini hanya dilakukan dan ditandatangani oleh dua orang direksi dari CMNP, salah satunya bernama Tito Sulistio, sedangkan komisaris dan direksi lainnya tidak mengetahui adanya transaksi ini. Padahal, nilai transaksinya sekitar Rp 300 miliar atau 25-30 persen dari aset CMNP yang ketika itu lebih dari Rp 1 triliun. Empat bulan setelah transaksi, Tito mundur dari jabatan direktur keuangan perusahaan ini, dengan alasan berseberangan dengan Siti Hardiyanti Rukmana. Ternyata, selanjutnya Tito bergabung dengan Hary Tanoe sebagai wakil pemimpin umum di harian Seputar Indonesia, anak usaha Media Nusantara Citra. Kejanggalan kedua, adalah yang berkaitan dengan Unibank. Tiga bulan sebelum penukaran NCD, yakni pada Februari 1999, modal Unibank minus 14,15 persen. Unibank butuh suntikan Rp 307 miliar agar rasio kecukupan modalnya (CAR) 4 persen atau masuk peringkat A. Pemilik Unibank kemudian berjanji menambah modal pada bulan Mei, sehingga BI bersedia menaikkan peringkatnya. Tetapi pada kenyataannya, realisasi suntikan

206/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI modal baru terjadi pada Agustus 1999, tiga bulan setelah transaksi surat berharga. Yang menjadi permasalahan adalah mengapa CMNP berani membeli NCD bank yang tengah bermasalah (Unibank)? Kejanggalan ketiga, NCD Unibank yang dibeli ternyata penerbitannya tidak mengikuti aturan penjaminan, yaitu melanggar prosedur dan aturan Bank Indonesia tentang program penjaminan. Pelanggaran itu karena NCD berdenominasi dolar, berjangka waktu tiga tahun, dan bunga 20,75 persen. Seharusnya, sesuai ketentuan, surat berharga berdenominasi rupiah, berjangka dua tahun dan bunganya sesuai penjaminan. Menurut Direktur Hukum BI Oey Hoey Tiong, siapa pun perantaranya seharusnya mengetahui jika surat berharga itu tidak memenuhi aturan. Terlebih lagi, surat berharga tersebut tidak dilaporkan dalam laporan bulanan Unibank per Januari 2001 yang disampaikan ke BI. Unibank baru memasukkannya enam bulan kemudian, pada laporan bulanan Juli. Padahal, di saat bersamaan, BI telah memutuskan membekukan bank ini, meski tertunda hingga 29 Oktober karena rekening penjaminan kosong. Kejanggalan keempat, transaksi NCD terbukti membuat perusahaan CMNP merugi. Harga sahamnya di bursa Jakarta terus merosot dari Rp 900 pada 2000 menjadi Rp 490 pada 2003. Hal ini juga terbukti ketika dilakukan audit oleh Kantor Akuntan Publik Prasetio Utomo & Co. atas laporan keuangan CMNP pada akhir Desember 1999, transaksi surat berharga tersebut telah merugikan perusahaan sebesar Rp 155,9 miliar. Demikian juga hasil audit yang dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik Amir Abadi Jusuf (AAJ) pada 7 Desember 2000 menguatkan temuan Prasetio Utomo & Co. Di situ dinyatakan, NCD berisiko tinggi tak bisa dicairkan. Kasus ini akhirnya sampai ke meja hijau, pihak CMNP menggugat Unibank, BPPN, pemerintah, dan BI di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 8 Januari 2004. Pada 29 Juli 2004 keputusan Pengadilan Negeri Jakarta memenangkan gugatan CMNP dengan memutuskan NCD Unibank milik CMNP sah dan asli, sehingga berhak mendapatkan pencairan dana dari pemerintah. Keputusan PN Jakarta Pusat ini kemudian diperkuat oleh keputusan Pengadilan Tinggi Jakarta. Atas dua putusan ini BPPN menyatakan banding hingga kasus ini akhirnya sampai di Mahkamah Agung. Pada 30 Mei 2006, Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi BPPN, yaitu NCD Unibank dianggap tidak memenuhi prosedur dan aturan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 207 BI. Selanjutnya pada 7 Juni 2007, MA mengumumkan putusan kasasi yang memenangkan BPPN. Meskipun saat Unibank dilikuidasi, Sukanto Tanoto bukan merupakan pemegang saham mayoritas, tetapi karena permasalahan kredit yang menimpa Unibank terkait dengan bisnis Sukanto Tanoto yang lainnya, yaitu PT Prima Energi, anak perusahaan Raja Garuda Mas yang juga masih miliknya, maka pada 31 Oktober 2001, Sukanto dalam suratnya ke BPPN dan BI menyatakan diri sebagai pengendali Unibank melalui PT Persada Upaya Sakti (100% saham dimiliki Sukanto Tanoto). Bahkan untuk memperkuat hal tersebut, pada 30 November 2001, Sukanto Tanoto membuat sebuah surat pernyataan dan kesanggupan (SPK) di hadapan Hin Hoo Sing, notaris publik yang berdomisili di Singapura. Dalam surat itu, Sukanto menyatakan kesanggupannya untuk membayar kewajiban sebesar US$ 230 juta. Sebagai bukti keseriusannya, dua hari sebelum SPK dibuat (28 November 2001), ia melakukan pembayaran di muka (advance payment ) ke rekening BPPN sebesar US$ 11,5 juta. Untuk lebih meyakinkan pemerintah (dalam hal ini BPPN), Sukanto juga memberikan jaminan senilai 150% dari total kewajibannya plus jaminan pribadi. Butir lainnya dalam SPK tersebut adalah berupa kesanggupan Sukanto untuk menyelesaikan kewajiban yang timbul akibat adanya selisih antara aktiva Unibank dan realisasi pengembalian nasabah (butir 4). Bukan hanya itu, ia juga menyatakan bersedia membayar pesangon karyawan Unibank yang terkena PHK. Untuk dua hal ini, ia juga telah menyetor ke BPPN sebesar Rp 100 miliar. Apabila ternyata pernyataan yang diberikan Sukanto dalam surat pernyataan dan kesanggupan ini tidak benar atau tidak sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya, maka Sukanto menyatakan bersedia untuk memperoleh sanksi berupa ganti rugi berdasarkan hukum dan ketentuan yang berlaku. Sampai di sini, kelihatannya semua berjalan lancar. Artinya, secara langsung Sukanto mengakui kewajibannya sekaligus menyatakan kesanggupan untuk membayar. Bahkan I Putu Gede Ary Suta, yang ketika itu menjabat sebagai Ketua BPPN, menyatakan kasus Unibank akan selesai paling lambat 31 Januari 2002. Tapi, entah apa yang terjadi, hingga Putu diganti pada 22 April 2002, kasus Sukanto Tanoto dengan kewajibannya itu tak kunjung tuntas. Tidak

208/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI jelas juga apa yang terjadi pada pengganti Putu, Syafruddin Arsyad Tumenggung, hingga di tahun-tahun pertama kepemimpinannya ia menurunkan sebuah surat bebas. Di awal surat tertanggal 15 April, Syafruddin mengutip sebagian dari kesanggupan yang dinyatakan Sukanto dalam SPK. Mulai ihwal uang muka sebesar US$ 11,5 juta, pembayaran tunai sebesar Rp 100 miliar untuk menutup kekurangan pengembalian dana pihak ketiga (DPK) yang terjadi di Unibank, hingga biaya pesangon untuk karyawan bank sebesar Rp 15,5 miliar. Yang terlihat agak aneh dari surat BPPN itu adalah butir keempat hingga alinea penutupannya. Di situ disebutkan bahwa 39,52% saham milik Sukanto di PT Prima Energi Indonesia yang dijaminkan ke BPPN telah dijual seharga Rp 315 miliar. Pembelinya adalah Kalimantan Asset Management. Sedangkan sisanya (2,08%) yang juga dijadikan sebagai jaminan di BPPN dianggap bernilai US$ 11,5 juta atau setara dengan uang muka yang telah disetorkan. Dan, sesuai dengan permintaan Sukanto Tanoto, saham itu dialihkan ke salah satu perusahaannya yang berbendera PT Asia Prima Kimia Raya. Dengan demikian, total yang diterima pemerintah dari Sukanto hanya US$ 11,5 juta plus Rp 430,5 miliar (Rp 106,95 miliar + Rp 430,5 miliar = 537,45 miliar) yang merupakan hasil penjualan saham, kekurangan pembayaran DPK plus pesangon untuk karyawan bank. Padahal total kewajiban Sukanto Tanoto adalah sebesar Rp 1,4 triliun pengucuran BLBI ke Unibank ditambah US$ 230 juta dari wesel ekspor berjangka dan US$ 28 juta dari kasus NCD (Rp 1,4 triliun + Rp 2,399 triliun = Rp 5,39 triliun). Dengan demikian,recovery rate pembayaran utang Sukanto hanya sekitar 9,97%. Jika dibandingkan dengan jumlah kewajibannya, angka pengembalian tersebut jelas masih jauh. Tapi hebatnya, dengan model pembayaran tersebut, kewajiban Sukanto Tanoto dianggap selesai. Itu tercermin pada alinea terakhir surat tersebut yang berbunyi, “Dengan demikian, maka kewajiban Sukanto Tanoto berdasarkan SPK maupun yang dimaksudkan pada proposal ST berdasarkan surat tertanggal 20 Oktober 2003, untuk melakukan pembelian kembali jangka panjang (long term buy back ) saham- saham PEI dimaksud dari BPPN, sudah tidak ada dan tidak relevan lagi”.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 209 Prajogo Pangestu Kasus Prajogo Pangestu mengilustrasikan contoh lain dari fasilitas dan kemudahan yang diterima konglomerat dari pemerintah dalam menyelesaikan kewajiban-kewajibannya. Melalui Chandra Asri, perusahaan kimia yang dimilikinya, Prajogo turut menikmati uang negara yang terkucurkan melalui BLBI (secara tidak langsung melalui pemberian pinjaman oleh bank-bank nasional) dan biaya restrukturisasi utang Chandra Asri yang dikeluarkan BPPN. Berkat sokongan pemerintah tersebut (dengan mengeluarkan uang negara dalam jumlah tak sedikit), Prajogo pun berhasil melewati krisis dan bahkan kembali berjaya menguasai Chandra Asri. Persoalannya, dana yang diterima Chandra Asri dalam rangka menyelamatkan dirinya dari kematian tersebut penuh dengan kontroversi. Pinjaman yang diperoleh Chandra Asri dari bank-bank domestik misalnya, bersumber dari BLBI yang disimpangkan penyalurannya. Penyimpangan tersebut terutama dilakukan melalui pelanggaran atas Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Fasilitas lain yang diterima Chandra Asri yaitu berupa restrukturisasi utang oleh BPPN juga mengandung ketidakadilan. Demi menyokong kemampuan Chandra Asri dalam menyelesaikan utang-utangnya kepada Marubeni (investor Chandra Asri asal Jepang), BPPN harus dengan sukarela memotong piutangnya atas Chandra Asri melalui konversi utang perusahaan tersebut menjadi penyertaan saham. Dengan statusnya sebagai pemegang saham Chandra Asri, BPPN otomatis menanggung beban pembayaran utang Chandra Asri kepada pihak-pihak krediturnya. Celakanya, setelah uang negara telah banyak tersedot untuk merestrukturisasi utang Chandra Asri, kepemilikan saham BPPN di perusahaan kimia tersebut dijual dengan harga murah, yaitu hanya sekitar Rp 602 miliar saja. Pembelinya pun, Glazers and Putnam Investment, dinilai tidak memiliki reputasi yang jelas. Nyatanya, kini saham tersebut telah berpindah tangan kembali ke Prajogo Pangestu melalui pembelian yang dilakukan Barito Pasific. Barito membeli bagian saham bekas milik Glazers dan Putnam senilai 25,86% dari TemasekHolding . Sehingga, secara langsung maupun tidak langsung Prajogo kini kembali berkuasa di Chandra Asri dengan porsi kepemilikan saham hingga 70%.

210/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Berikut adalah uraian lebih rinci untuk memahami kasus ini lebih dalam: · Chandra Asri Chandra Asri merupakan perusahaan kimia penghasil bahan baku plastik yang didirikan pada tahun 1991 dengan modal senilai sekitar 1,6 miliar dolar AS. Kepemilikan Chandra Asri dipegang oleh Prajogo Pangestu (40%), Bambang Trihatmodjo (25%), Henry Pribadi (25%), dan Peter Gontha melalui PT Bimantara Citra (10%). Dalam perjalanannya, perusahaan ini mengalami hambatan permodalan akibat adanya kebijakan tim PKLN (Pengendalian Kredit Luar Negeri) yang membatasi masuknya dana pinjaman dari luar negeri. Mengatasi hal ini, Chandra Asri kemudian menyiasatinya dengan mengubah statusnya dari perusahaan PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) menjadi perusahaan PMA (Penanaman Modal Asing). Untuk maksud itu, didirikanlah dua perusahaan yaitu Siemene International Ltd. dan Stallion Company Ltd. yang berbasis di Hongkong. Selain kedua perusahaan itu, turut pula bergabung Japan Indonesia Petrochemical Investment Corporation (JIPIC), perusahaan asal Jepang yang dimodali oleh perusahaan induknya yaitu Marubeni Corporation. Selain bertindak sebagai pemegang saham, Marubeni juga bertindak sebagai peminjam dana bagi Chandra Asri. Dengan perubahan tersebut, Chandra Asri pun kemudian resmi beroperasi pada September 1995. Selama beroperasi, Chandra Asri juga kemudian menerima pinjaman modal dari perbankan dalam negeri. Hingga tahun 1996, Chandra Asri menerima kucuran kredit senilai 770 juta dolar AS dari sejumlah bank domestik, yaitu antara lain Bank Bumi Daya/BBD (250 juta dolar AS), Bank Danamon (420 juta dolar AS), dan Bank Dagang Negara/BDN (99,7 juta dolar AS). Kemudian, sejak tahun 1997, BNI melanjutkan bantuan bagi Chandra Asri dengan bertindak sebagai agen sindikasi pemberian kredit modal kerja (KMK) dengan nilai sebesar 112 juta dolar AS. Jauh sebelumnya, yaitu sejak 1991, Chandra Asri juga telah memperoleh fasilitas pinjaman berupa kredit investasi (KI) dari bank-bank nasional. Kredit yang nilainya mencapai 1.051 miliar dolar AS dan Rp 700 miliar tersebut diperoleh dari Bank Bumi Daya (BBD), Bank Dagang Negara (BDN), PT BDI, Japan Indonesia Petrochemical Investment Corporation

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 211 (JIPIC), konsorsium JIPIC, Stallion Company Limited, dan Siemene International Limited. Belakangan diketahui, pengucuran kredit kepada Chandra Asri oleh berbagai bank domestik tersebut tidak steril dari manipulasi dan tindak pelanggaran. Berdasarkan pemeriksaan BPK, disimpulkan bahwa terdapat ketidakhati-hatian dalam pemberian berbagai kredit kepada Chandra Asri. Menurut BPK, dana tetap diberikan padahal studi kelayakan menunjukkan Chandra Asri tidak layak memperolehnya. Bank-bank tersebut juga dinilai telah mengucurkan kredit kepada Chandra Asri dengan melanggar ketentuan mengenai Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). · Kredit Macet Chandra Asri Pelanggaran-pelanggaran ini pun akhirnya berbuah bencana. Saat terjadi krisis pada tahun 1997, perusahaan ini limbung. Meskipun telah memperoleh proteksi harga jual produk, Chandra Asri tetap kolaps dengan tumpukan utang membengkak hingga Rp 27 triliun. Dampaknya, pembayaran kredit Chandra Asri pada berbagai krediturnya tersebut pun mengalami macet. Kepada BNI misalnya, pembayaran kredit Chandra Asri macet sejak 23 Maret 1999 dengan jumlah kewajiban sebesar Rp 277,731 miliar. Sedangkan kepada BBD (yang telah sejak sekitar tahun 1991 terlibat dalam pengucuran pinjaman kepada Chandra Asri), kredit Chandra Asri juga dinyatakan macet pada 31 Maret 1999 dengan jumlah kewajiban sebesar 56,510 juta dolar AS atau sekitar Rp 450,638 miliar. Dengan macetnya pembayaran kredit Chandra Asri kepada BNI, terhitung tanggal 31 Maret 1999 Chandra Asri sudah diserahkan kepada BPPN. Di BPPN, Chandra Asri menerima restrukturisasi agar performanya kembali sehat. Selanjutnya, berdasarkan pemeriksaan BPK, dinyatakan bahwa pemberian dana talangan oleh BNI kepada Chandra Asri telah melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit senilai Rp 43,365 miliar. Sehingga, menurut BPK, BNI berpotensi merugi 29,391 juta dolar AS. Pelanggaran itu sendiri terjadi, menurut BPK, karena campur tangan Dirjen Lembaga Keuangan dan mantan Direktur BI. Pejabat-pejabat itu dinilai turut memberi persetujuan atas pemberian kredit kepada Chandra Asri.

212/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Hal ini senada dengan penjelasan yang diberikan BNI kepada BPK. Disebutkan bahwa sejak awal BI dan Departemen Keuangan telah mengetahui banyaknya penyimpangan, termasuk pelanggaran BMPK, dalam pemberian fasilitas kredit modal kerja kepada Chandra Asri. Dana yang dikucurkan BNI kepada Chandra Asri juga diduga merupakan dana talangan yang disediakan untuk menalangi pembayaran cicilan utang dan bunga Chandra Asri kepada pemberi pinjaman. Diketahui, dana tersebut dikucurkan dengan memasukkannya langsung ke rekening Chandra Asri, persis sesuai dengan permintaan, untuk kemudian dibayarkan kepada para pemberi pinjaman. Hal ini menghindarkan Chandra Asri dari munculnya pernyataandefault (gagal bayar) yang dapat merusak reputasi Chandra Asri di mata relasi bisnisnya. Artinya, secara implisit, dana talangan yang diberikan BNI kepada Chandra Asri memang disadari dilakukan untuk menolong Chandra Asri yang tengah mengalami sekarat. Sementara itu, pada Bank Bumi Daya (BBD), BPK menemukan bahwa pada 1 September 1997 BBD mengeluarkan Surat Direksi No. DIR/134/97 dalam rangka menyelamatkan kredit Chandra Asri. Surat itu memberikan persetujuan atas penurunan jumlah total utang Chandra Asri di BBD dari 214,876 juta dolar AS menjadi 43,876 juta dolar AS. Hal ini dilakukan dengan pemberian fasilitas Kredit Investasi (KI) sebesar 171 juta dolar AS kepada PT Estika Yasa Kelola dan 54 juta dolar AS kepada PT Inter Pertindo Inti Citra. Sebagai pendukung atas kredit yang dikucurkan, Chandra Asri menyerahkan jaminan kepada BBD sebesar 2,8 miliar dolar AS yang terdiri dari sertifikat hipotik peringkat pertama, hak tanggungan peringkat kedua, prasarana pabrik, mesin, peralatan, serta personal guarantee (antara lain dari Prajogo Pangestu). Meski demikian, BBD tetap menanggung potensi kerugian senilai 56,510 juta dolar AS atau sekitar Rp 450,638 miliar. Terdapat pula potensi kerugian lain BBD sebesar 293,387 juta dolar AS yang terdiri dari kredit senilai 171.000 dolar AS ke PT Estika Yasa Kelola dan 54.000 dolar AS ke PT Inter Pertindo Inti Citra, dan dana lain yang dikeluarkan untuk kepentingan Chandra Asri dan afiliasinya sebesar 65.877 dolar AS. Pemberian kredit investasi sendiri sebenarnya telah melanggar surat edaran BI yang melarang pencairan kredit untuk pembelian saham. Dalam

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 213 pengucuran kredit, BBD kemudian juga diketahui melanggar BMPK dengan nilai mencapai lebih dari Rp 1,89 triliun. Berbagai pelanggaran ini dapat terjadi karena selain keterlibatan para pejabat dan Direksi BBD, juga adanya campur tangan pemerintah (melalui Deperindag) dan pejabat BI saat itu. Restrukturisasi utang Chandra Asri diketahui merupakan pelaksanaan hasil pertemuan yang dihadiri para pejabat pemerintah tersebut. · Keberpihakan Kepada Marubeni Salah satu hal yang menonjol dalam upaya restrukturisasi utang Chandra Asri adalah keberpihakan yang nyata pada kepentingan Marubeni Corporation. Seperti telah disinggung, Marubeni merupakan perusahaan Jepang yang memodali berdirinya Chandra Asri melalui saham yang dimilikinya pada JIPIC. Selain itu, Marubeni juga sekaligus merupakan debitur yang meminjamkan dananya kepada Chandra Asri. Tindakan restrukturisasi utang Chandra Asri secara mencolok diarahkan untuk mendorong kemampuan Chandra Asri dalam membayar cicilan utang dan bunganya kepada Marubeni. Hal itu dilakukan melalui kesediaan BPPN untuk mengkonversikan utang-utang Chandra Asri ke bank-bank pemerintah menjadi penyertaan saham di PT Inter Peterindo Inti Citra/ PT IPIC (perusahaan induk yang memegang saham Chandra Asri). Sehingga hal ini sama artinya dengan bank-bank pemerintah melakukan penjaminan atas pembayaran utang Chandra Asri. Untuk mengakomodasi kepentingan Marubeni tersebut, pemerintah bahkan secara sukarela menanggung kerugian negara dari dikonversikannya utang Chandra Asri secara timpang dan tidak adil. Ketimpangan itu adalah perlakuan tidak sama yang diterima BPPN dan JIPIC dalam hal pengkonversian utang Chandra Asri menjadi penyertaan modal. Piutang BPPN atas PT Chandra Asri sebesar US$ 417,4 juta dikonversi menjadi kepemilikan saham dengan porsi 25,86%. Sedangkan, piutang JIPIC atas PT Chandra Asri sebesar US$ 147 juta dikonversi menjadi kepemilikan saham dengan porsi 24,59%. Sehingga, akibat ketimpangan ini, negara mengalami kerugian setidaknya sekitar 170 juta dolar AS.

214/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Selain dengan pengkonversian utang, pembayaran kepada Marubeni termasuk pula diupayakan dari hasil penjualan produk Chandra Asri yang disimpan dalam sebuah rekening khusus(escrow account) . Berbagai akomodasi terhadap kepentingan Marubeni di atas, dinilai berkaitan dengan hubungan pemerintah dengan Jepang sebagai salah satu negara kreditur terbesar bagi RI. Melalui pemberian berbagai fasilitas itu, pemerintah dinilai berupaya meringankan potensi kerugian Marubeni di Chandra Asri. · Barito Kembali Kuasai Chandra Asri Kerugian yang diterima negara dari restrukturisasi utang Chandra Asri kian berlipat saat akhirnya porsi kepemilikan BPPN di perusahaan tersebut dijual dengan harga murah ke perusahaan investasi asal Thailand Glazers & Putnam Investment Ltd, yaitu senilai Rp 602 miliar saja. Padahal, seperti dinyatakan sebelumnya, pemerintah membelinya seharga 417 juta dolar AS atau sekitar Rp 4 triliun. Nilai penjualan ini pun jauh lebih rendah dari jumlah utang Prajogo Pangestu ke pemerintah, yaitu sekitar Rp 10 triliun. Utang Prajogo sendiri merupakan konsekuensi yang ditanggungnya sebagai pemegang saham pengendali Chandra Asri. Tampilnya Glazers & Putnam juga menimbulkan pertanyaan baru, karena perusahaan ini tidak terlalu dikenal reputasinya. Bahkan, seperti ditulis Majalah Trust (edisi No. 50 / 17 Oktober 2007), nama perusahaan ini tidak ditemukan pada data Thailand Business Registry tahun 2005 dan 2006. Profil perusahaan juga sama sekali tak dapat ditemukan dari penelusuran di internet. Karena itu, berhembus kabar bahwa pemilik perusahaan misterius ini tak lain adalah Prajogo Pangestu sendiri. Padahal, jika Glazers & Putnam ternyata ditemukan memang milik Prajogo, maka telah terjadi pelanggaran hukum serius. Seperti diketahui, sesuai dengan ketentuan, pemilik lama tidak diperkenankan untuk mengikuti tender penjualan aset yang dilakukan BPPN. Prajogo memang terkenal licin dalam mengutak-atik kepemilikan saham di berbagai perusahaan miliknya. Pada tahun 1998 misalnya, Prajogo mendapat uang tunai 204 juta dolar AS dari penjualan saham PT Enim Musi Lestari (EML) ke Barito. Prajogo memang menguasai mayoritas saham

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 215 EML melalui PT Tunggal Setia Pratama (50%) dan PT Muktilestari Kencana (10%). Namun penjualan ini menjadi janggal karena saat dijual ke Barito, 40% saham EML ternyata sudah dimiliki Barito. Lebih janggal lagi, karena ternyata Tunggal Setia Pratama dan Muktilestari Kencana adalah pemegang saham Barito juga. Alasan manajemen Barito untuk melakukan pembelian EML saat itu adalah untuk menjamin keamanan pasokan kayu bagi anak-anak perusahaan Barito. Namun, mengingat pemilik seluruh saham EML pada hakikatnya adalah Prajogo juga, maka tanpa pembelian EML pun pasokan itu seharusnya sudah terjamin dengan sendirinya. Proses jual beli saham EML itu sendiri ke Barito, juga merupakan peralihan saham dari Prajogo ke Prajogo. Kembali ke Chandra Asri, kerugian yang dialami negara menjadi jelas ketika Glazers & Putnam menjual saham Chandra Asri yang dimilikinya kepada BUMN Singapura, TemasekHolding . Temasek membeli 25,86% saham Chandra Asri yang dipegang oleh Glazers & Putnam sekaligus 24,59% saham Chandra Asri yang dipegang oleh Commerzbank International Trust (yang memiliki saham Chandra Asri setelah mereka membelinya dari JIPIC) dengan harga 700 juta dolar AS. Artinya, saham Chandra Asri yang dimiliki Glazers & Putnam dibeli dengan nilai sekitar 350 juta dolar AS. Jelas, nilai ini jauh lebih besar dibandingkan dengan Rp 602 miliar (sekitar 75 juta dolar AS) yang dilepas BPPN sebagai harga jual Chandra Asri. Akhirnya, estafet perpindahan kepemilikan Chandra Asri itu berujung pada rencana akuisisi 70% saham Chandra Asri, yaitu pembelian 38.360 lembar saham, oleh PT Barito Pasific pada 26 Oktober 2007 mendatang (saat tulisan disusun, akuisisi belum berlangsung). Untuk kepentingan ini, Barito menyatakan akan memperkuat permodalan dengan menerbitkan rights issue senilai sekitar Rp 9 triliun ke pasar. Pihak Barito Pasific juga menyatakan akuisisi tersebut akan dilakukan melalui pembelian langsung atau tak langsung. Pembelian akan dilakukan terhadap saham Chandra Asri yang kini masih dipegang beberapa perusahaan, yaitu Strategic InvestmentHolding s Ltd asal Malaysia (48,16%), Marigold Resources Ltd. asal Singapura (7,24%), dan PT IPIC yang merupakan perusahaan milik Prajogo sendiri

216/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI (14,6%). Sementara sisanya, yaitu sekitar 30% tetap dipegang Glazers & Putnam yang sudah dimiliki Temasek. Namun, beredar pula kabar bahwa pembelian 70% saham Chandra Asri oleh Barito tersebut sebenarnya dibekingi oleh Temasek. Hal ini karena dana untuk membeli saham Chandra Asri tersebut disokong sepenuhnya dari pinjaman yang diberikan bank Singapura DBS (The Development Bank of Singapore) yang tak lain dimiliki BUMN Singapura pimpinan Nyonya Ho Ching (istri Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Long) tersebut. Bank ini disebutkan menyediakan dana 1 sampai 2 miliar dolar AS kepada Magna Resources Corporation untuk melakukan pembelian Chandra Asri kalau- kalau rencana penerbitan rights issue tidak berhasil (Magna Resources Corporation bertindak sebagaistand by buyer ). Magna Resources sendiri santer dikabarkan dimiliki oleh Prajogo Pangeastu juga. Sebelumnya, pada Juni 2007, DBS bersama dengan Standard Chartered Bank (yang 15% sahamnya juga dimiliki Temasek) juga telah menyalurkan pinjaman senilai 200 juta dolar AS kepada Chandra Asri. Pada akhirnya, siapapun yang sesungguhnya berada dibalik rencana pembelian Chandra Asri, aspek transparansi, akuntabilitas, dan keadilan tetap harus dikedepankan. Sebagai perusahaan yang telah menyedot banyak uang negara dalam rangka penyehatannya, publik berhak memperoleh kejelasan tentang keseluruhan proses penjualannya. Jika kemudian diketahui bahwa pihak yang akan menguasai Chandra Asri ternyata merupakan pihak yang dahulu bertanggung jawab dan terlibat dalam bangkrutnya Chandra Asri, sudah selayaknya kasus ini kembali dibuka. Pemerintah harus meminta pertanggungjawaban atas kerugian yang mereka akibatkan sebelum mereka kembali pegang kendali atas perusahaan yang menguasai salah satu industri strategis di Indonesia ini. Eka Tjipta Wijaya Eka Tjipta Wijaya merupakan pendiri dan pemilik Sinar Mas Group (SMG) yang berutang kepada BPPN senilai 1,25 miliar dolar. Utang ini diperoleh dari pengalihan utang SMG ke BII kepada BPPN, setelah bank tersebut dinyatakan masuk program penyehatan perbankan dan diambil alih sebagian sahamnya oleh pemerintah. BII sendiri sebenarnya merupakan unit usaha bekas milik keluarga Sinar Mas, namun grup ini keluar dari manajemen BII ketika dihantam krisis. Meski demikian, Sinar Mas tetap ikut

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 217 merekapitalisasi BII (20%), sehingga saat itu bank ini tidak terkategori sebagai bank penerima BLBI. Untuk BII, pemerintah setidaknya telah mengeluarkan dana sekitar Rp 7,7 triliun yang terdiri dari biaya rekapitalisasi (sebesar Rp 6,3 triliun atau 57% dari total rekapitalisasi) dan pembayaran tagihan antar bank senilai Rp 1,4 triliun. Selain itu, sesuai dengan programblanket guarantee , pemerintah juga menanggung kewajiban untuk menjamin pembayaran dana nasabah senilai sekitar Rp 27 triliun. Sehingga, uang negara yang telah terkucurkan untuk penyehatan BII memang tidak sedikit. Di lain pihak, utang Sinar Mas senilai 1,25 miliar dolar AS kepada BII (yang kemudian dialihkan ke BPPN) sebenarnya merupakan bentuk pelanggaran hukum, karena telah melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK). Namun, dosa ini dianggap ”tertolong” oleh lancarnya tingkat kolektibilitas (pembayaran) SMG kepada BII pada periode 1999 hingga tahun 2000. Pembayaran utang SMG sepanjang periode itu juga menjadi pendapatan utama BII selain obligasi rekapitalisasi, karena besar kredit Sinar Mas mencakup 62% dari total kredit BII. Problem kemudian muncul ketika salah satu perusahaan andalan SMG, yaitu Asia Pulp & Paper (APP) goyah sejak akhir 2000. Bahkan, sejak Maret 2001, APP menyatakanstand still , yaitu tidak mampu membayar kewajiban- kewajibannya kepada kreditur-krediturnya (baik BII maupun kreditur- kreditur asing) dan meminta restrukturisasi utang. Dalam kaitan itu, pemerintah kemudian memutuskan untuk memisahkan penyelesaian masalah BII dengan Sinar Mas dengan mengeluarkan kredit Sinar Mas dari bank tersebut. Sebagai gantinya, pemerintah memasukkanrecycled bonds senilai 1,2 miliar dolar AS ke dalam BII. Dengan demikian, beralih pula utang APP dan SMG dari BII kepada pemerintah melalui BPPN. Dalam rangka penyelesaian utang-utangnya tersebut, Sinar Mas harus menyerahkan sejumlah asetnya sebagai jaminan ke BPPN. Aset yang harus diserahkan SMG adalah senilai 145% dari nilai utangnya, ditambah dengan personal guarantee Eka Tjipta Wijaya selaku pemilik. Jika ternyata aset yang diserahkan bernilai kurang dari 145%, maka SMG pun wajib menambah kekurangannya. Diantara aset yang harus diserahkan itu adalah 1,45 miliar

218/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI lembar saham (27%) PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk., dan 560 juta lembar saham (42%) PT Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk. Masalahnya, seperti telah disinggung, utang-utang SMG juga banyak bertebaran di luar negeri yang totalnya mencapai 13,9 miliar dolar AS. Sehingga, aset-aset SMG pun diincar oleh kreditur-krediturnya di luar negeri. Hal ini misalnya yang dihadapi APP dengan menghadapi gugatan pengadilan di AS terkaitcontract swap senilai 220 juta dolar. Dikhawatirkan, aset-aset SMG yang dijadikan sebagai jaminan ke BPPN sebenarnya merupakan aset-aset yang tidak boleh dijaminkan, karena sudah merupakan jaminan bagi kreditur lain. Mengantisipasi hal tersebut, BPPN dan kreditur-kreditur SMG lainnya membentuksteering committee dan mengangkat auditor independen, yaitu KPMG (Klynvelt Peat Marvick Goeldeler), untuk mengawasi aset-aset SMG. Sementara BPPN berperan sebagaiobserver , KPMG bertugas melakukandue dilligent terhadap laporan keuangan SMG dan menilai kebenaran neraca perusahaan-perusahaan tersebut. Dengan demikian, uang yang masuk ke SMG dapat diawasi penggunaannya, terutama untuk pembayaran utang-utang SMG kepada para krediturnya. Namun, pada kenyataannya, pembayaran utang-utang SMG kepada krediturnya tersebut tetap diwarnai sejumlah persoalan. Seperti pembayaran utang-utang APP yang terus menerus mengalami tarik ulur. Padahal, utang perusahaan inti dari grup Sinar Mas ini sangat besar. Secara keseluruhan, total utang APP mencapai 13,9 miliar dolar AS, yang terdiri dari utang APP Indonesia sebesar 6,7 miliar dolar AS dan sisanya (sekitar 7,2 miliar dolar AS) merupakan utang APP Cina. Tarik ulur terutama terjadi karena banyaknya kepentingan masing- masing pihak yang terlibat dalam penyelesaian kasus ini. Para kreditur misalnya, khususnya perusahaan-perusahaan asing, berkepentingan untuk memastikan agar utang APP benar-benar dikembalikan seutuhnya. Sedangkan, SMG sendiri selaku pemilik APP berkepentingan untuk menjaga asetnya tersebut dari incaran kreditur, karena APP merupakan tambang utama penghasil keuntungan bagi SMG. Pihak-pihak ini bahkan juga saling curiga satu sama lain. Kreditur asing misalnya mencurigai BPPN melakukan kongkalikong dengan APP dalam merestrukturisasi utangnya untuk melindungi kepentingan keluarga Eka

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 219 Tjipta. Di sisi lain, pihak APP mencurigai kreditur asing berusaha mencari celah untuk menguasai aset APP. APP juga kemudian dituding tidak transparan dalam melaporkan neraca keuangannya. APP dinilai sengaja menyembunyikan informasi yang diperlukan KPMG selaku kantor akuntan publik yang ditunjuk untuk mengaudit APP. Kecurigaan ini dipicu oleh isu yang berkembang bahwa APP Indonesia telah mengalihkan sejumlah asetnya ke APP Cina, ditunjukkan dari terus berkembangnya APP Cina, sementara APP Indonesia justru kian gembos. Laporan KPMG bahkan selanjutnya menyatakan bahwa telah terjadi penggelapan aset senilai 4,4 milyar dolar AS oleh APP melalui transfer pricing dari anak-anak perusahaan APP di Indonesia, yaitu PT Indah Kiat, PT Tjiwi Kimia, PT Pindo Deli, dan PT Lontar Papyrus ke APP Cina. Meskipun, laporan ini mati-matian dibantah oleh APP. Pada waktu berikutnya, perselisihan ini memang dapat diatasi satu persatu. Restrukturisasi utang APP sebesar 6,7 miliar dolar AS misalnya telah berhasil disepakati APP dengan BPPN, dan sejumlah kreditur asing yang tergabung dalam Export Credit Agencies pada akhir Oktober 2003. Beberapa kreditur yang bersedia menandatangani kesepakatan itu diantaranya adalah kreditur asal Austria, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Italia, Spanyol, dan Swedia Pada Juni 2007, dua anak perusahaan Sinar Mas, yaitu PT Indah Kiat Pulp & Paper Tbk. (INKP) dan PT Tjiwi Kimia Tbk. juga dilaporkan telah menyelesaikan restrukturisasi utangnya senilai 532 juta dolar AS. INKP telah membayar pokok pinjaman dan bunganya dengan total nilai 397 juta dolar AS. Sedangkan TKIM telah melakukan pembayaran pokok dan bunga sebesar 135 juta dolar AS. Meski sebagian persoalan yang menjeratnya telah berhasil diselesaikan, namun Sinar Mas tentu tidak dapat menghindarkan diri dari kewajiban moral untuk bertanggung jawab atas kasus yang dialaminya saat krisis. Bagaimanapun, SMG pernah menikmati kucuran uang negara melalui ditalanginya utang-utang SMG oleh BPPN. Tak sedikit pula uang negara yang telah dikeluarkan untuk menyehatkan BII, bank yang dimiliki SMG.

220/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Apalagi, di lain pihak, Eka Tjipta Wijaya selaku pemilik SMG kini justru telah kembali bertengger pada urutan ketiga orang terkaya di Indonesia versi MajalahGlobe Asia . Total kekayaan yang dimiliki taipan ini dinyatakan mencapai nilai 3,1 miliar dolar AS atau sekitar Rp 28 triliun. Dengan kondisi ini, pertanyaan yang layak diajukan adalah apakah Eka Tjipta dan Sinar Mas benar-benar pantas dibantu dengan kucuran uang negara? Pada pertengahan 2007, nama SMG kembali disebut setelah perusahaan tersebut bersama dengan 9 perusahaan lain dikabarkan memperoleh kucuran kredit dari BNI dan Bank Mandiri senilai total Rp 5,1 triliun untuk mengembangkan bahan bakar nabati (hal ini sempat mengundang reaksi keras karena SMG dinilai tidak layak menerima kucuran kredit BUMN mengingattrack record nya yang buruk sebagai salah satu perusahaan pengemplang BLBI). Dari BNI, SMG bersama dengan Sampoerna Agro, Sungai BudiGroup , Rekayasa Group , dan Bioenergi Indonesia memperoleh kesepakatan penyaluran kredit awal senilai Rp 1,2 triliun. Sedangkan, dari Bank Mandiri, SMG bersama dengan Incassi Raya, Permata Sawit, dan SatriaGroup , memperoleh kesepakatan pengucuran kredit senilai 432 juta dolar AS.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 221

Bab 10

PERAN BI DAN BPPN DALAM SKANDAL BLBI

Marwan Batubara

Betapapun licik dan curangnya para obligor, skandal BLBI tak akan terjadi (atau setidaknya dapat diminimalisasi skala kerugiannya) jika sistem dijalankan dengan baik oleh pemerintah selaku pemegang otoritas. Namun, pada kenyataannya, justru institusi-institusi pemerintah yang berwenang dalam penyaluran BLBI seperti Bank Indonesia dan BPPN, turut memperparah bocornya keuangan negara. Bahkan, indikasi penyelewengan juga sangat kental dilakukan oleh oknum-oknum pejabat pada kedua instansi tersebut. Berikut merupakan uraian ringkas tentang peran masing-masing institusi pemerintah, yaitu BI dan BPPN, dalam mendorong terjadinya penyimpangan BLBI.

Bank Indonesia Terlepas dari kenyataan bahwa pemerintahan Soeharto pada masa BLBI dikucurkan merupakan pihak yang sangat berkuasa dan bisa mengendalikan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 223 seluruh pejabat di lembaga-lembaga eksekutif, legislatif, dan yudikatif, para pejabat BI yang terlibat dalam kasus BLBI tidak bisa lari dari kenyataan bahwa mereka turut bertanggungjawab atas penyelewengan yang terjadi pada kasus ini. Mengapa mereka hanya ”membebek” dan tidak menggunakan hati nuraninya? Inilah hal yang dimaksudkan oleh Pasal 4 TAP MPR No.XI/MPR/1998 yang berbunyi: “Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapa pun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroninya maupun pihak swasta atau konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan HAM”. Pejabat BI bahkan dapat dikatakan berperan besar dalam penyimpangan yang terjadi dalam kasus BLBI karena merekalah pihak yang terlibat langsung dalam penyaluran BLBI kepada pihak perbankan. Berdasarkan UU No.13/1968 tentang Bank Sentral, BI memang disebutkan menjalankan tugas pokoknya berdasarkan kebijakan pemerintah, sehingga Direksi BI bertanggungjawab kepada Pemerintah. Oleh sebab itu, BLBI dapat diartikan sebagai kebijakan pemerintah yang dilaksanakan oleh BI. Hal ini juga membuahkan konsekuensi bahwa BI seharusnya berada di bawah pengawasan pemerintah dalam penyaluran BLBI. Namun, perlu dicatat, disamping sebagai pimpinan BI, Gubernur BI juga berkedudukan sebagai anggota Dewan Moneter dan anggota kabinet. Sehingga, dengan demikian Gubernur BI juga merupakan bagian dari pemerintah. Gubernur BI turut terlibat dalam rapat-rapat kabinet dan turut bertanggungjawab atas aspek-aspek kebijakan yang dibuat terkait BI. Selain itu, Gubernur BI pun bertanggung jawab penuh pada aspek pengelolaan keuangan di lembaganya tersebut. Yang menarik, berdasarkan keterangan mantan-mantan menteri keuangan RI antara lain Mar'ie Muhammad, Fuad Bawazier, dan Bambang Subianto, meskipun pengucuran BLBI merupakan kebijakan pemerintah, namun dalam pelaksanaannya BI berjalan sendiri tanpa keterlibatan Departemen Keuangan (Sukowaluyo Mintorahardjo, “BLBI Simalakama: Pertaruhan Kekuasaan Presiden Soeharto”, Jakarta: RESI, 2001).

224/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Pengucuran BLBI sendiri bermula dari keputusan Sidang Kabinet Terbatas Bidang Ekonomi Keuangan Wasbang dan Prodis 3 September 1997. Pada sidang tersebut Presiden Soeharto menginstruksikan Menkeu Mar'ie Muhammad dan Gubernur BI Soedradjad Djiwandono agar mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk menghadapi krisis sektor keuangan dan perbankan. Tetapi, BI kemudian melaksanakan kebijakan tersebut sendiri tanpa banyak berkoordinasi dengan Depkeu. Dampaknya, penyaluran BLBI menjadi tidak terkendali. Para mantan Menkeu tersebut bahkan menilai telah terjadi penyelewengan oleh oknum-oknum pejabat BI dengan melakukan tindakan sendiri-sendiri dalam menentukan penyaluran BLBI. Hal itu dilakukan dengan berlindung di balik UU No.7/1992, yang mengatur tentang kerahasiaan bank. Berbagai pelanggaran yang dilakukan BI berakibat pada kerugian negara yang sangat besar dalam skandal BLBI. Dalam hal ini, BPK memberi catatan tentang tindakan dan langkah-langkah yang telah dilakukan BI sebagai berikut: · Kebijakan yang mendasari pemberian BLBI bersifat temporer, individual, subyektif dan sering berubah, yang tampak dari berbagai langkah seperti: 1) BI tidak berlaku tegas menerapkan ketentuan; 2) kebijakan BI terkesan ditujukan untuk menyembunyikan informasi kepada publik; 3) memberlakukan Keputusan rapat direksi meskipun bertentangan dengan Surat Keputusan Direksi; dan 4) terjadi tiga kali perubahan ketentuan dalam waktu 4 bulan; · Pemberian fasilitas SBPU Khusus tidak didasari atas analisis kondisi keuangan bank; · BI tetap memberikan fasilitas BLBI kepada bank-bank yang melanggar UU Perbankan; · Adanya kerancuan tugas dan fungsi yang dijalankan oleh BI dan BPPN; · Perhitungan bunga faslitas saldo debet (FSD) oleh BI tidak dapat diyakini kewajarannya;

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 225 · Pelunasan FSD Bank Tiara dan Bank Dewa Rutji tidak jelas statusnya; · Saldo debet terus diberikan BI meskipun bank sudah dinyatakan tidak ada harapan sehat. Terhadap terjadinya penyalahgunaan BLBI oleh para obligor, BPK menyimpulkan terdapat tanggung jawab BI sebagai berikut: · Tidak melaksanakan fungsi pengawasan perbankan yang menjadi wewenang dan tanggung jawab BI sebagaimana mestinya. Hal ini terlihat dari berbagai penyimpangan/pelanggaran yang dilakukan bank-bank secara berkesinambungan dan tetap terus terjadi tanpa ada teguran dan sanksi yang tegas; · Tidak menerapkan sanksi secara tegas dan konsekuen terhadap setiap pelanggaran yang terjadi; · Mengabaikan atau bahkan lalai dalam mengambil langkah-langkah pengamanan yang diperlukan terhadap bank-bank yang pada laporan berkalanya telah menunjukkan adanya pelanggaran material, seperti: ¡ Pelanggaran BMPK selama beberapa periode laporan, bahkan diantaranya telah terjadi beberapa tahun laporan, sehingga pada gilirannya bank-bank tersebut mengalami kesulitan likuiditas yang tidak lagi bersifat jangka pendek dan telah menyebabkan bank-bank tersebut menggunakan BLBI untuk menutupi kebutuhan likuiditasnya; ¡ Pelanggaran prinsip prudential banking dalam penempatan dan pengambilan dana PUAB (Pasar Uang Antar Bank) yang telah melanggar ketentuan yang berlaku; ¡ Kejanggalan-kejanggalan mutasi akuntansi yang tertuang dalam laporan yang disampaikan bank-bank kepada BI; ¡ Tidak adanya pengendalian yang memadai terhadap penggunaan dana-dana BLBI (giro bank di BI). Hal ini terlihat dari tidak diterapkannya sanksi stop kliring bagi bank-bank yang telah bersaldo debet yang melebihi batas ketentuan, walaupun BI tidak dapat meyakini bahwa transaksi yang

226/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI dibayar melalui kliring benar-benar merupakan transaksi pembayaran yang sesuai dengan tujuan pemberian BLBI. Selain itu BI juga memberikan kemudahan kepada beberapa bank tertentu menarik dana secara tunai atas rekening gironya di BI atau menggunakan dana rekening giro di BI yang sudah defisit (bersaldo debet), untuk melakukan transaksi valas yang digunakan untuk mengisi rekeningnostro (giro bank di luar negeri) atau untuk spekulasi; ¡ Adanya pembedaan perlakuan dalam penyaluran BLBI kepada bank-bank tertentu yang kepemilikan sahamnya mempunyai keterkaitan dengan BI; ¡ Menerapkan kebijakan sistem pembayaran/pelunasan utang luar negeri (trade finance ) yang tidak menjamin keamanan pembayarannya (eksistensi dan akurasi); ¡ Menyetujui pemilik saham bank-bank tertentu mengalihkan sahamnya dengan melanggar hukum (di bawah tangan), dan menerima penyerahan saham oleh pemilik yang sebenarnya sudah merupakan agunan atas BLBI (Surat Berharga Pasar Uang Khusus); ¡ Melakukan intervensi valas melalui bank-bank yang rekening giro rupiahnya telah bersaldo debet; ¡ Tidak melaksanakan program penjaminan yang telah ditetapkan dalam Keppres No. 26/1998 dan ketentuan pelaksanaannya, dan tetap membiarkan bank-bank menyelesaikan kewajiban yang jatuh tempo melalui mekanisme kliring. Disamping pendapat BPK, kita juga menemukan pendapat yang serupa tentang peranan BI dalam kasus BLBI pada laporan yang ditulis BPKP. Disebutkan dalam laporan itu, bahwa antara lain: · BI tidak melakukan pengawasan sebagaimana mestinya; · BI tidak menerapkan sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi, misalnya pelanggaran BMPK; · BI lalai melakukan pengamanan terhadap bank yang laporannya

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 227 ada indikasi pelanggaran seperti BMPK, longgarnya ketentuan (lemahnya prinsipprudential banking ) dalam PUAB, dan kejanggalan mutasi akuntansi; · Tidak ada pengendalian yang memadai terhadap penggunaan BLBI; · Diskriminasi terhadap penggunaan BLBI. Dengan berbagai kelalaian dan pelanggaran yang diuraikan di atas, tidak diragukan lagi bahwa pejabat-pejabat BI merupakan pihak yang harus bertanggungjawab dalam skandal BI. Namun, dalam menindaklanjuti temuan BPK ini, pada kenyataannya penegakan hukum berjalan sangat lemah. Tercatat, hanya 3 orang pejabat BI saja yang telah diputus perkaranya di pengadilan dengan hukuman yang sangat ringan. Padahal, jumlah pejabat BI yang pernah diperiksa mantan Jaksa Agung Marzuki Darusman terkait skandal BLBI mencapai 80 orang (daftar pejabat BI yang terlibat dalam kasus BLBI dapat dilihat pada lampiran 1). Fakta tentang keterlibatan oknum pejabat BI dalam kasus BLBI dan sejumlah kasus korupsi lain, kini kembali terkuak dengan ditemukannya penyimpangan dalam penggunaan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) milik BI untuk berbagai keperluan di luar ketentuan, dengan nilai mencapai Rp 100 miliar. Padahal, sesuai dengan tujuan pembentukannya, YPPI seharusnya hanya menyalurkan dana untuk keperluan pelatihan dan pendidikan. BPK menemukan, dana tersebut digunakan BI untuk berbagai keperluan yang menyimpang, yaitu untuk memberi bantuan hukum kepada mantan Gubernur BI, mantan Direksi BI, dan mantan Deputi Gubernur BI terkait kasus BLBI dan kasus-kasus lainnya sejumlah Rp 68,5 miliar; serta untuk ”membiayai” penyelesaian masalah BLBI dan perubahan UU No.23 Tahun 1999 tentang BI oleh Komisi IX DPR RI (bidang perbankan) periode 1999-2004 sejumlah Rp 31,5 miliar (lihat tabel 1). Dana ini juga dikeluarkan tanpa mekanisme penerimaan dan pengeluaran resmi BI.

228/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Tabel 1 Skema Aliran Dana YPPI

Penerima Cek Tanggal Cair Jumlah Dana Penerima Dana 27 Juni 2003 Rp 2 milyar 2 Juli 2003 Rp 5 milyar Oknum Anggota DPR 2 Juli 2003 Rp 500 juta untuk penyelesaian BLBI 23 Juli 2003 Rp 7,5 milyar Diseminasi Jumlah Rp 15 milyar Rp 31,5 Pejabat di Biro 17 Sept 2003 Rp 7,5 milyar milyar Gubernur BI Oknum Anggota DPR 17 Sept 2003 Rp 3 milyar untuk Amandemen UU 4 Des 2003 Rp 6 milyar BI Jumlah Rp 16,5 milyar

Total Rp 31,5 milyar

Penerima Cek Tanggal Cair Jumlah Dana Penerima Dana 7 Juli 2003 Rp 5,6 milyar Mantan anggota dewan 10 Juli 2003 Rp 7 milyar gubernur, lalu diberikan Jumlah Rp 13,5 milyar ke penegak hukum

- Rp 5 milyar 13 Agus 2003 Rp 2,5 milyar Oknum Anggota DPR 13 Agus 2003 Rp 6 milyar Bantuan untuk Amandemen UU 13 Agus 2003 Rp 10 milyar Hukum Pejabat di BI 13 Agus 2003 Rp 1,5 milyar Rp 68,5 Direktorat milyar Hukum BI Jumlah Rp 25 milyar 29 Agus 2003 Rp 10 milyar Mantan Direktur 29 Agus 2003 Rp 10 milyar Mantan Direktur 29 Agus 2003 Rp 10 milyar Mantan Direktur Jumlah Rp 30 milyar

Total Rp 68,5 milyar

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 229 Tabel 2 Skema Aliran Dana YPPI (2)

BLBI

Tersangka/ Laporan BI Terdakwa Disclaimer

Penerima (3 tersangka) 1. PS RDG I Direktorat Hukum 2. HB 20 Maret 03 Rp. 15 M 3. HS Tanpa dipertanggungjawabkan

RDG II Penyediaan dana : 3 Juni 03 YPPI : Rp 100 miliar PSK YPPI Sumber dana : BI 1. YPPI : Rp 71,5 miliar 2.BI:Rp42,7miliar Pengurus YPPI yang RDG III Persetujuan pemberian dana mencairkan: 22 Juli 03 kepada YPPI Rp 100 miliar Ketua: Baridjassalam Hadi Bendahara: Ratnawati Sari RDG IV Realisasi dana YPPI Rp 71,5 miliar 22 Juli 03 Pembentukan PSK Aliran dana ke DPR Dana bantuan hukum Jumlah: Rp 31,5 miliar Total: Rp 96,2 miliar PJ: Rusli Simantuk

Ke Pengacara Rp 27,7 miliar Para terdakwa Perantara di DPR 1. Sudrajat: Rp 3,4 miliar Rp 68,5 miliar Sdr. Anthony Z. Abidin 2. Iwan 1. Sudrajat: Rp 25 miliar Penerima Komisi IX DPR RI 3. HS : Rp 6,7 miliar 2. Iwan : Rp 13,5 miliar o Pembahasan amandemen UU 4. HB : Rp 6,7 miliar 3. HS : Rp 10 miliar BI Rp 16,5 miliar 5. PS : Rp 6,7 miliar 4. HB : Rp 10 miliar o Pembahasan BLBI Rp 15 miliar 6. Gabungan 3 mantan Rp 4,09 miliar 5. PS : Rp 10 miliar

Sumber: Kompas, 13 Desember 2007

Tabel 3 Daftar Pejabat BI Penerima Bantuan Dana YPPI

Bantuan Hukum dari Anggaran BI Nama Jumlah (Rp) Mantan Gubernur 3.411.100.000 Mantan Direksi 6.748.500.000 Mantan Direksi 6.748.500.000 Mantan Direksi 6.748.500.000 Gabungan 3 Mantan Direksi 4.090.625.000 Total 27.747.225.000 Sumber : BPK (sebagaimana dimuat dalam Majalah Gatra Edisi 5 Desember 2007)

230/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Menurut BPK, dalam surat yang dikirimkan Ketua BPK Anwar Nasution kepada Ketua KPK Taufiqurrahman Rukie pada 14 November 2006, pengucuran dana BI dari YPPI tersebut dilakukan atas perintah Rapat Dewan Gubernur yang dipimpin Gubernur BI Burhanuddin Abdullah pada 22 Juli 2003, dengan merujuk kepada hasil rapat Dewan Gubernur tanggal 3 Juni 2003 (Harian Neraca , 12 November 2007). Selain merupakan bentuk korupsi, mengalirnya sebagian besar dana tersebut kepada aparat penegak hukum dan anggota DPR dalam penyelesaian kasus BLBI menunjukkan adanya tindakan suap yang dilakukan BI. Hal ini kembali menegaskan kentalnya aroma keterlibatan oknum-oknum pejabat BI dalam menyalahgunakan dan menyelewengkan dana BLBI. Atas dasar hal-hal itu, maka pejabat-pejabat BI mutlak harus bertanggungjawab terhadap penyelewengan yang terjadi dalam skandal BLBI. Bahkan, temuan ini juga dapat menjadi bukti besarnya keterlibatan dan peran BI dalam skandal korupsi BLBI. Pemerintah harus menyeret seluruh oknum pejabat BI yang terlibat ke pengadilan, bukan membiarkan mereka bebas atau malah mendudukkan mereka pada berbagai pos jabatan strategis!

Badan Penyehatan Perbankan Nasional Instansi pemerintah yang juga besar keterlibatannya dalam mendorong terjadinya penyimpangan BLBI adalah Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Kontribusi BPPN dalam penyimpangan BLBI terutama diakibatkan oleh ketidakhati-hatian (baik disengaja maupun tidak) dalam melakukan pengelolaan atas aset-aset perbankan yang diserahkan kepadanya, seperti memberikan penilaian yang keliru atas jaminan aset yang diserahkan obligor, menyuntikkan obligasi senilai ratusan triliun rupiah kepada bank-bank rekap tanpa diimbangi dengan pengendalian yang memadai untuk menjamin pengembalian uang negara yang telah dikucurkan tersebut, serta menjual aset-aset yang telah direstrukturisasinya dengan menggunakan uang sangat besar (termasuk bank-bank hasil rekap) dengan harga sangat murah.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 231 BPPN dibentuk berdasarkan Keppres No. 27 Tahun 1998 tentang Pembentukan BPPN. Berdasarkan Keppres ini, tugas BPPN ditetapkan mencakup tiga hal, yaitu menyehatkan kondisi perbankan, menyelesaikan aset aset bank yang bermasalah, dan mengupayakan pengembalian uang negara yang telah mengucur ke sektor perbankan selama krisis. Sementara itu, kewenangan BPPN ditetapkan berdasarkan Keppres No. 34 Tahun 1998 tentang Tugas dan Kewenangan BPPN. Sebagai lembaga yang khusus dibentuk pemerintah untuk mengambil alih penyelesaian masalah perbankan pasca krisis moneter 1998, peran BPPN sangat menentukan dalam kasus BLBI. Apalagi, wewenang lembaga ini demikian besar, mulai dari merestrukturisasi perbankan, membuat putusan hukum atas aset-aset bank yang berada dalam pengelolaannya, hingga menjual aset-aset bank dengan jaminan perlindungan hukum atas tindakannya tersebut. Wajar, dengan kewenangannya yang besar BPPN disebut sebagai instansi super atausuperbody . Besarnya kewenangan BPPN diikuti juga dengan besarnya nilai aset yang berada di bawah pengelolaannya. Total nilai aset yang dikelola BPPN mencapai jumlah sekitar Rp 590 triliun, yang terdiri atas penyelesaian kewajiban pemegang saham (PKPS) atau utang obligor senilai Rp 126,45 triliun, restrukturisasi/obligasi rekapitalisasi bank (khusus yang berada di bawah pengelolaannya) senilai Rp 123,16 triliun, dan aset kredit macet (yang dilimpahkan ke BPPN) sejumlah Rp 340 triliun. Sebagai perbandingan, di negara lain, lembaga serupa BPPN hanya memiliki sebagian dari fungsi-fungsi dan kewenangan yang dimiliki BPPN. Thailand, misalnya, lembagaFinancial Restructuring Agency (FRA) di negara tersebut hanya berfungsi merestrukturisasi perbankan. Sementara, Danaharta Malaysia memfokuskan kerjanya hanya pada pengelolaan aset- aset berupa kredit macet. Tentu saja, besarnya kewenangan BPPN tersebut, membuka peluang besar pula bagi terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan. Indikasi- indikasi penyelewengan BPPN dalam menangani kasus BLBI, setidaknya dapat dilihat pada performa kinerja mereka pada tiga hal, yaitu penyelesaian kewajiban obligor, penyelesaian aset-aset perbankan berupa kredit bermasalah, penjualan aset, dan divestasi saham pemerintah pada bank- bank rekap dalam rangka pengembalian uang negara.

232/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Penyelesaian Kewajiban Obligor Dalam menyelesaikan kewajiban obligor, BPPN menggunakan mekanisme yang dikenal dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Pada intinya, mekanisme ini merupakan upaya pengalihan kewajiban-kewajiban dari bank yang tidak memiliki harapan sehat kepada pemilik atau pemegang saham pengendali dari bank yang bersangkutan. Maksudnya, agar uang negara yang telah terkucurkan kepada bank tersebut dapat ditarik kembali meskipun bank yang bersangkutan telah bubar. Hal ini juga agar pemilik dan pemegang saham pengendali bank tidak lepas tangan begitu saja atas kerugian yang diakibatkannya pada bank tersebut. Berdasarkan PKPS, kewajiban bank yang dapat dibebankan kepada pemilik atau pemegang saham pengendali adalah kewajiban yang timbul akibat kredit-kredit macet dari pihak terkait (yaitu kredit dari kelompok usaha pemilik atau pemegang saham bank) dan kewajiban yang muncul akibat transaksi tidak wajar atau mengandung pelanggaran hukum yang menguntungkan pemilik bank secara sepihak. Secara total, BPPN melakukan penyelesaian PKPS terhadap 72 bank yang terdiri dari 65 bank terkategori Bank Dalam Penyehatan (BDP) dan 7 Bank Umum Peserta Rekapitalisasi. Dari 65 BDP tersebut, 10 bank berstatus Bank Beku Operasi (BBO), 42 bank berstatus Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU), dan 13 bank berstatus BankTake over (BTO). Pengelolaan PKPS oleh BPPN atas 65 BDP, menghasilkan tiga kelompok bank, yaitu : Kategori A, yaitu 16 BDP yang berdasarkan laporan Legal Due Diligence (LDD) danFinancial Due Diligence (FDD) tidak ditemukan indikasi pelanggaran hukum (irregularities) atau transaksi yang tidak wajar. Bank- bank dengan kategori A ini tidak diwajibkan mengikuti PKPS. Kategori B, yaitu 32 BDP yang berdasarkan laporan LDD dan FDD menunjukkan indikasi pelanggaran hukum atau transaksi tidak wajar, namun pemegang saham pengendali bersedia mengikuti PKPS (bersikap kooperatif). Kategori C, yaitu 7 BDP yang menurut Laporan LDD dan FDD memiliki indikasi pelanggaran hukum atau tindakan transaksi tidak wajar,

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 233 namun pemegang saham pengendali tidak bersikap kooperatif, sehingga PKPS tidak dapat dilaksanakan. Dalam laporan auditnya, BPK menyatakan bahwa dalam pelaksanaan PKPS, tidak ditemukan ketidaksesuaian material dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, kebijakan yang ditetapkan pemerintah, dan perjanjian yang disepakati antara BPPN dan pemegang saham pengendali. Artinya, BPK meluluskan kinerja BPPN dalam melaksanakan PKPS. Namun, jika dikaji lebih jauh, indikasi penyimpangan sangat kental terutama dalam pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada pemegang saham pengendali bank (obligor). Sesuai dengan mekanisme PKPS dan Inpres No. 8/2002, pemegang saham memang dapat mengantungi SKL jika telah menyelesaikan kewajibannya. Persoalannya, SKL telah diberikan meskipun pemegang saham hanya membayar sebagian kecil dari total kewajibannya. Soedono Salim misalnya, pemilik SalimGroup ini memiliki total kewajiban sejumlah Rp 52,72 triliun. Namun, melalui mekanisme PKPS, Salim telah mengantungi SKL hanya dengan membayar sejumlah Rp 19,389 triliun atau sekitar 36,77% saja. Bahkan, jumlah kewajiban yang dibayar dengan uang tunai oleh Salim hanya sebesar Rp 100 miliar saja. Sedangkan selebihnya, diperhitungkan dari hasil penjualan aset-aset Salim. Metode penilaian aset-aset Salim pun dipertanyakan banyak pihak karena dilakukan dalam jangka waktu yang terlalu pendek. Sjamsul Nursalim adalah contoh lainnya. Nursalim mengantungi SKL setelah mantan pemilik Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI) tersebut dinyatakan telah melunasi utangnya sebesar Rp 28,488 triliun melalui aset- aset yang diserahkannya. Namun perhitungan ulang yang dilakukan PricewaterhouseCooper pada 2000, menyatakan nilai aset Sjamsul Nursalim hanya bernilai Rp 1,441 triliun saja. Jelas, hal ini memperlihatkan mencoloknya ketimpangan antara jumlah utang Nursalim dengan tingkat pengembalian yang dilakukannya untuk memperoleh SKL. Selain itu, terdapat juga persoalanmoral hazard dari pemberian SKL. Seperti telah dijelaskan, para pemegang saham pengendali yang mengikuti PKPS pada dasarnya adalah pihak yang terbukti melakukan pelanggaran hukum dan melakukan transaksi tidak wajar sehingga menguntungkan diri

234/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI dan kelompoknya sendiri. Karena itu, perbuatan mereka jelas merupakan tindak pidana yang harus diproses secara hukum. Apalagi, nilai aset yang mereka serahkan sebagai pembayaran kewajiban-kewajiban ternyata jauh dari jumlah total kewajiban yang seharusnya mereka bayarkan. Karena itu, merupakan sesuatu yang tidak masuk akal, jika mereka yang telah melanggar hukum dengan menggunakan uang negara untuk kepentingan pribadi, kemudian hanya mengembalikan sebagian kecil dari kewajibannya saja, lalu memperoleh surat keterangan lunas plus pembebasan dari semua tuntutan hukum. Sebagai pihak yang melaksanakan PKPS dan mengeluarkan SKL, BPPN sudah seharusnya dimintakan pertanggungjawaban atas kerugian yang dialami negara dari penyelesaian kasus BLBI melalui mekanisme PKPS ini. RestrukturisasiAset Restrukturisasi aset berupa penyelesaian kredit-kredit bermasalah oleh BPPN juga dinilai telah merugikan negara dalam jumlah sangat besar. Sebagian besar aset-aset yang diserahkan pihak perbankan kepada BPPN tersebut merupakan aset-aset bangkai, yang pembayarannya macet, sedangkan dijual tidak laku. Akhirnya, aset-aset tersebut dilelang dengan harga sangat murah, dan bahkan ada yang tetap tak terselesaikan (tak terbayar dan tak terjual) hingga BPPN dibubarkan. Padahal, untuk merestrukturisasi aset-aset perbankan tersebut, pemerintah telah mengucurkan obligasi rekap senilai ratusan triliun rupiah yang cicilan pokok dan bunganya harus dibayar tiap tahun hingga kini. Perlu pula dicatat, bahwa merosotnya nilai aset dalam pengelolaan BPPN tak lepas dari peran obligor mengingat pada kenyataannya merekalah yang mengelola aset-aset tersebut melaluiholding company yang dibentuknya bersama dengan BPPN (lihat penyusutan nilai aset obligor saat dijual BPPN pada lampiran 2). Hal ini terjadi karena BPPN, dengan cakupan tugasnya yang sangat luas, tak mampu mengelola sendiri aset-aset tersebut. Obligor sebagai bekas pemilik aset pun dilibatkan dalam pengelolaan karena dianggap lebih memahami kondisi asetnya. Restrukturisasi aset sendiri sebenarnya merupakan bagian dari upaya penyehatan perbankan yang dilakukan BPPN. Restrukturisasi dilakukan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 235 dengan mengambil alih aset-aset perbankan yang bermasalah, yaitu tagihan- tagihan utang kepada perusahaan yang macet bayar, untuk ditukar dengan obligasi rekap yang diterbitkan pemerintah. Maksudnya, agar aset-aset tersebut diperbaiki atau direstrukturisasi terlebih dulu, sehingga kondisinya sudah layak (perusahaan dapat beroperasi dengan baik dan dapat membayar utang-utangnya) ketika dikembalikan kepada sistem perbankan. Restrukturisasi aset terutama dilakukan dalam dua hal, yaitu restrukturisasi utang perusahaan dan restrukturisasi terhadap perusahaan itu sendiri. Restrukturisasi utang dilakukan dengan memperpanjang masa pembayaran, memberi diskon terhadap bunga, dan bahkan memotong pokok utang. Sedangkan, restrukturisasi perusahaan biasanya dilakukan dengan menempatkan wakil-wakil BPPN di direksi maupun komisaris agar dapat mengawasi dan mengontrol jalannya perusahaan. Indikasi korupsi dalam restrukturisasi aset misalnya tercium kuat dari hasil kajianoversight committee (OC) BPPN yang menemukan bahwa pola restrukturisasi yang dilakukan BPPN terhadap empat debitur telah menyimpang dari prinsip-prinsip yang digariskan KKSK (Komite Kebijakan Sektor Keuangan). Empat debitur yang dimaksud adalah PT Chandra Asri (milik Prajogo Pangestu), PT Tirtamas Majutama (kelompok Tirtamas), PT Seamless Pipe Indonesia Jaya (milik kelompok usaha Bakrie), dan PT Permadani Khatulistiwa Nusantara (Kelompok Kodel). Restrukturisasi utang PT Seamless Pipe senilai US$ 281 juta milik Bakrie dinyatakan menyimpang karena BPPN tidak menentukan pembatasan dari penjualan utang yang telah direstrukturisasi. Sesuai dengan pedoman KKSK, seharusnya utang yang direstrukturisasi harus diperhitungkan agar tingkatrecovery -nya mencapai minimal 70%. Pola restrukturisasi PT Permadani Khatulistiwa dengan nilai sebesar US$ 160 juta juga dinyatakan menyimpang karena tidak adanya laporan uji tuntas (due dilligence) atas kondisi keuangan dan laporan resmi proyeksi cash flow. Terdapat pula perbedaan antara proyeksi keuangan versi perusahaan dengan versi penasihat keuangan BPPN. Penyimpangan dalam jumlah yang besar juga terjadi pada restrukturisasi PT Chandra Asri milik Prajogo Pangestu. Total penyimpangan yang terjadi dalam restrukturisasi aset PT Chandra Asri diperhitungkan mencapai US$ 1,18 miliar.

236/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Salah satu bentuk penyimpangan itu adalah perlakuan tidak sama yang diterima kreditor, dalam hal ini BPPN dan Japan Indonesia Petrochemical Investment Corporation (JIPIC). Sesuai dengan kesepakatan yang ditandatangani pihak-pihak terkait, piutang BPPN atas PT Chandra Asri sebesar US$ 417,4 juta dikonversi menjadi kepemilikan saham dengan porsi 25,86%. Sedangkan, piutang JIPIC atas PT Chandra Asri sebesar US$ 147 juta dikonversi menjadi kepemilikan saham dengan porsi 24,59%. Konversi piutang ke dalam bentuk kepemilikan saham ini jelas menunjukkan ketimpangan luar biasa antara bagian yang diterima BPPN dengan JIPIC. Kerugian BPPN kian parah karena perusahaan ini akhirnya dijual dengan harga sangat murah, yaitu hanya sebesar Rp 602 miliar saja. Pembelinya pun, PT Glazer and Putnam Investment Ltd dan Dresdner Kleinwort Wasserstein, merupakan perusahaan investasi yang dinilai tidak memiliki asal usul jelas. Sehingga, pemerintah mengalami kerugian baik dari pola restrukturisasinya maupun dari tingkatrecovery penjualan yang tidak sampai 10%. Sementara, penyimpangan dalam restrukturisasi aset PT Tirtamas terjadi dalam bentuk pola restrukturisasi yang merugikan BPPN. Utang PT Tirtamas senilai Rp 6 triliun direstrukturisasi dengan memberi tingkat bunga yang jauh di bawah standar. OC juga memperkirakan Tirtamas akan kesulitan melunasi utangnya kepada pemerintah dalam jangka waktu 10 tahun seperti yang ditetapkan. Padahal, obligasi Tirtamas kepada BPPN tidak bisa dijual karena tingkatrecovery yang rendah, yaitu hanya sekitar 20%. Di sisi lain, konversi utang Tirtamas menjadi penyertaan saham pemerintah juga tidak berhasil menjadikan pemerintah sebagai pemegang saham mayoritas, padahal posisi itu dibutuhkan pemerintah untuk memastikan pembayaran utang Tirtamas. PenjualanAset Tugas lain yang dijalankan BPPN adalah menjual aset atau melakukan divestasi saham pemerintah pada aset-aset perbankan (perusahaan yang diambil alih pemerintah) dan bank-banktake over (BTO) yang telah direkap. Hal ini dilakukan BPPN terutama untuk mengembalikan uang negara yang telah terkucurkan melalui skema BLBI. Hal ini sekaligus pula merupakan pelaksanaan tugas tambahan BPPN, yaitu mengejar target penerimaan

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 237 negara untuk menutup defisit APBN. Target penerimaan negara yang harus dicapai BPPN setidaknya mencapai Rp 42 triliun. Divestasi saham pemerintah, memang merupakan bagian dari kebijakan ekonomi pemerintah bersama dengan IMF dalam skala yang lebih luas. Untuk mengimbangi APBN yang minim dana, IMF meminta pemerintah untuk melakukan privatisasi atas sejumlah BUMN yang dimilikinya. Pemerintah menargetkan Rp 6 triliun Rp 13 triliun per tahun dari privatisasi BUMN. Divestasi juga dinyatakan IMF sebagai wujud komitmen pemerintah untuk menerapkan reformasi ekonomi secara menyeluruh di Indonesia. Perlu diketahui sebelumnya, kepemilikan pemerintah atas saham di sejumlah bank rekap (BTO) sebagiannya merupakan konversi dari utang pihak perbankan kepada pemerintah yang tak terbayarkan seperti dari pengucuran BLBI (senilai Rp 144,5 triliun) dan program penjaminan pemerintah (senilai sekitar Rp 53,78 triliun). Perlu dicatat pula, dengan statusnya sebagai BTO, bank-bank rekap ini juga menerima suntikan modal berupa obligasi rekap dari pemerintah senilai sekitar Rp 431,6 triliun. Persoalannya muncul ketika penjualan aset oleh BPPN ternyata tidak mendatangkan keuntungan maksimal bagi negara. Bahkan, uang negara yang kembali berkat penjualan aset ternyata jauh lebih kecil dari biaya yang telah dikucurkan negara kepada bank-bank tersebut. Kasus yang sangat fenomenal untuk menggambarkan hal ini adalah penjualan BCA (sebagaimana juga telah diuraikan pada bab sebelumnya). Dari kucuran dana kepada BCA sebesar Rp 29,1 triliun melalui BLBI dan Rp 60,9 triliun melalui obligasi rekap, negara ternyata hanya menerima pengembalian sebesar Rp 5,3 triliun. BCA pun masih menerima pembayaran bunga obligasi rekap per tahunnya dari pemerintah senilai sekitar Rp 9 triliun. Karena itu, penjualan BCA dengan harga yang bahkan tidak sampai 5% dari nilai aslinya tersebut sangat janggal dan tidak masuk akal. Apalagi, kemudian juga berkembang dugaan bahwa pembeli BCA masih terkait dengan pemilik lamanya juga (kelompok Salim). Pembelian aset oleh pemilik lamanya juga belakangan kembali muncul dari kasus PT Timor Putra Nasional (TPN), aset bekas milik Humpuss Group (perusahaan milik Hutomo Mandala Putra/Tommy Soeharto), yang dibeli oleh PT Vista Bella Pratama (Vista Bella). KPK menyatakan, pihaknya

238/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI menemukan adanya aliran dana dari Humpuss kepada Vista Bella untuk membeli TPN. Berdasarkan hal itu, maka ditengarai Vista Bella hanya merupakan perusahaan alat yang khusus dibentuk Humpuss untuk membeli kembali aset-aset bekas miliknya dari BPPN. TPN dibeli Vista Bella dari BPPN pada 15 April 2003 dengan harga Rp 521 miliar. Padahal, utang yang masih ditanggung TPN kepada BPPN saat pembelian itu dilakukan adalah sebesar Rp 4,576 triliun. Dengan demikian, akibat pembelian itu (pengalihan hak tagih BPPN atas TPN kepada Vista Bella) negara mengalami kerugian Rp 4,046 triliun. Pembelian TPN oleh perusahaan terafiliasi Humpuss juga telah melanggar salah satu syarat dalam Perjanjian Jual Beli Piutang (PJBP) antara BPPN dan Vista Bella. Kasus-kasus penjualan aset dengan harga murah di atas, pada akhirnya mendudukkan BPPN sebagai pihak yang harus bertanggung jawab atas kerugian negara yang diakibatkannya. Termasuk pula hal yang harus diklarifikasi dan dipertanggungjawabkan BPPN adalah dugaan kolusi oknum-oknum pejabatnya dengan para konglomerat obligor.

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 239 Lampiran 1 DAFTAR NAMA DIREKSI/DEWAN GUBERNUR BI TERKAIT DENGAN PENYALURAN BLBI (Berdasarkan Data dari Direktorat Pengawasan Intern BI)

I. Periode 1 Juli 1996 - 28 Desember 1997 Nama Jabatan 1. J. Soedrajat Djiwandono* Gubernur BI 2. Hendrobudiyanto Direktur I Urusan Pengawasan Bank Umum (UPB) I dan II 3. Heru Supraptomo Direktur I UPB III 4. Paul Soetopo T Direktur III UPB II 5. Mansjurdin Nurdin Direktur III UPB I dan II 6. Boediono Direktur III Urusan Pengawasan Bank Pengkreditan Rakyat (UP BPR) dan Urusan Pengaturan dan Pengembangan Perbankan (UPPB) 7. Haryono Direktur I Urusan SDM 8. Mukhlis Rasyid Direktur I Urusan Kredit (UK) dan Urusan Akunting dan Sistem Pembayaran (UASP) II. Periode 29 Desember 1997-13 April 1998 Nama Jabatan 1. J. Soedrajat Djiwandono* Gubernur BI 2. Mukhlis Rasyid Direktur I UPB I/ Direktur III UPB II dan III 3. Haryono Direktur II UPB I 4. Iwan R Prawiranata Direktur III UPB I/ Direktur I UPB II dan III 5. Miranda S Gultom Direktur I Urusan Statistik Ekonomi dan Moneter (USEM) dan Urusan Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter 6. Boediono Direktur I Urusan Operasional dan Pengendalian Moneter (UOPM) 7. Aulia Pohan Direktur I UK/ Direktur II UPB II dan III 8. Syahril Sabirin Direktur I UASP dan Urusan Pengedaran Uang II. Periode 14 April 1998-30 Agustus 1999 Nama Jabatan 1. Syahril Sabirin Gubernur BI 2. Subarjo Joyosunarto Direktur I UPB I 3. Achwan Direktur I UPB II dan III 4. Iwan R Prawiranata Direktur III UPB I dan Direktur III UPB II dan III 5. Aulia Pohan* Direktur I UK dan UASP/ Direktur II UPB II dan III 6. Dono Iskandar Dj Direktur I Urusan Luar Negeri

240/ Kejahatan Obligor Menjarah BLBI Lampiran 2 Perkiraan Penurunan Aset 5 Holding company (dalam triliun Rp) Nilai Aset Perkiraan Perkiran Nama Holding company Saat Diserahkan Nilai Aset Recovery rate Selisih 2-3 ke BPPN per April 2000 % 1. Holdiko Perkasa 52,62 20,00 38 32,62 2. Tunas Sepadan 28,41 8,30 29 20,11 Investama 3. Bentala Kartka 12,53 3,26 26 9,27 Abadi 4. Kiani Wirudha 6,16 3,40 55 2,76 5. Cakrawala Gita 2,66 n/a n/a n/a Pratama Sumber: BPPN (sebagaimana dikutip dalam buku “BLBI: Megaskandal Ekonomi Indonesia,” Humanika, 2007)

Kejahatan Obligor Menjarah BLBI/ 241

Bab 11

PERAN IMF DALAM KASUS BLBI

Marwan Batubara

Saat krisis kian parah, negara-negara Asia, termasuk Indonesia, akhirnya menyadari bahwa mereka membutuhkan pinjaman untuk mengatasi krisis tersebut. Ini yang mendorong mereka untuk kemudian berurusan dengan IMF. Pada 31 Oktober 1997, perjanjian pemerintah dengan IMF disepakati dengan komitmen pinjaman senilai 7,3 miliar SDR (Special Drawing Rights) atau setara dengan US$ 9,709 miliar dolar. Pinjaman sejumlah ini dikucurkan dalam beberapa tahap. Untuk tahap awal, dana yang dikucurkan sebesar 2,202 miliar SDR (US$ 2,92 miliar). Namun, tentu saja hal ini tidak diperoleh dengan gratis. Sebagai kompensasi dari pinjaman yang diberikan IMF tersebut, pemerintah harus setuju untuk mengimplementasikan sejumlah program reformasi ekonomi menyeluruh yang diajukan IMF seperti privatisasi, pengurangan subsidi, liberalisasi keuangan, dan reformasi sistem perbankan.

Peran IMF dalam Kasus BLBI/ 243 Sejumlah program ini dituangkan dalam bentuk kesepakatan yang dinamakanMemorandum on Economic and Financial Policies/ MEFP atau lebih dikenal denganLetter of Intent/ LoI (menurut Kwik Kian Gie, penyebutan LoI lebih sering digunakan untuk menunjukkan bahwa seolah-olah kehendak untuk melaksanakan butir-butir kebijakan yang direkomendasikan IMF tersebut berasal dari pemerintah Indonesia sendiri). Selama di bawah “program asistensi” IMF, tercatat pemerintah telah menandatangani 1301 butir kesepakatan LoI. Besarnya jumlah kesepakatan yang dibuat menunjukkan besarnya pula peran IMF dalam mengarahkan kebijakan ekonomi Indonesia di masa krisis dan pasca krisis ekonomi 1997. IMF pun senantiasa secara ketat melakukanmonitoring terhadap implementasi dari program-program yang direkomendasikannya. Jika IMF menilai pemerintah tidak melaksanakan program sesuai dengan yang dikehendakinya, IMF tak segan memberi peringatan dan bahkan menangguhkan pemberian pinjaman. Sehingga, dana yang dipinjamkan IMF sesungguhnya berfungsi pula sebagai instrumen bagi IMF untuk mengendalikan kebijakan ekonomi Indonesia saat krisis. Karena itu, tak berlebihan, jika dikatakan kebijakan reformasi ekonomi yang telah dijalankan Indonesia pada masa-masa tersebut, termasuk pula pengucuran BLBI dan obligasi rekap, dipengaruhi sebagian besar oleh IMF.

Campur Tangan IMF dalam Seluruh Aspek Kebijakan Ekonomi Indonesia Fakta yang paling mengganggu dari kehadiran IMF di Indonesia adalah luasnya cakupan campur tangan IMF dalam menentukan kebijakan. Tidak hanya berperan di bidang moneter, sesuai dengan kompetensi lembaga ini, IMF meluaskan intervensinya dalam hampir seluruh kebijakan ekonomi yang dibuat pemerintah, mencakup antara lain pemulihan aset, privatisasi BUMN, deregulasi dan investasi, serta perdagangan luar negeri. Bahkan, bidang-bidang non ekonomi juga tak lepas dari pengaruh intervensi IMF seperti kebijakan jaring pengaman sosial, desentralisasi, hingga reformasi hukum dan lingkungan. Sehingga, kebijakan ekonomi pemerintah di masa krisis praktis hanya merupakan bentuk implementasi dariplatform kebijakan yang diinstruksikan oleh IMF. Seperti terlihat,platform kebijakan IMF

244/ Peran IMF dalam Kasus BLBI tersebut bertumpu pada tiga pilar utama yaitu privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi. Luasnya campur tangan IMF dalam berbagai bidang kebijakan ini membuat pemerintah tidak dapat leluasa dalam merancang kebijakan ekonominya sendiri. Apalagi, IMF secara ketat melakukan pengawasan terhadap pemerintah untuk memastikan kebijakan-kebijakan yang direkomendasikannya benar-benar dilaksanakan. Sedikit saja pemerintah lambat atau menunda-nunda pelaksanaan kebijakan sebagaimana dituangkan dalam LoI, IMF segera menggunakan instrumen modal yang dimilikinya (dengan menunda pencairan pinjaman) untuk menekan pemerintah. Memang ada sebagian kalangan yang menilai bahwa tekanan IMF tersebut justru merupakan hal yang positif agar agenda reformasi ekonomi dapat benar-benar konsisten dijalankan pemerintah. Argumentasinya, dengan pengawasan pun pemerintah kerap tidak konsisten, bagaimana jika tidak ada pengawasan sama sekali? Sehingga dengan kata lain keberadaan IMF dinilai penting untuk ”memandori” kerja pemerintah dalam mereformasi kebijakan ekonomi. Namun tak sedikit pula kalangan yang menilai bahwa keberadaan IMF justru turut menambah kronis krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. Mantan Menko Perekonomian RI Dr. Rizal Ramli misalnya, menyatakan bahwa akibat resep-resep ekonomi yang dipaksakan IMF di saat krisis, terjadi pembengkakan pengangguran menjadi 40 juta orang, dunia usaha kian mengalami kebangkrutan, dan pertumbuhan ekonomi Indonesia anjlok dari rata-rata 6% per tahun menjadi -12,8% pada tahun 1998. Kondisi ini selanjutnya mengantarkan Indonesia pada situasichaos berupa terjadinya kerusuhan sosial di mana-mana, yang ternyata juga terjadi pada negara- negara lain dimana IMF berperan (karena itu fenomena ini disebut sebagai ”).IMF Provoked Riots” Pada kenyataannya, dibanding negara-negara Asia lain yang mengalami krisis seperti Thailand, Korsel, atau Malaysia, Indonesia yang paling taat menjalankan agenda IMF justru paling lambat pulih kondisi perekonomiannya. Bahkan, Indonesia kini telah terperosok jauh dalam belitan utang yang akan membebani pemerintahan hingga kurun waktu berpuluh tahun yang akan datang. Seperti kita tahu, belitan utang tersebut

Peran IMF dalam Kasus BLBI/ 245 sebagian besarnya merupakan dampak dari kebijakan yang direkomendasikan IMF seperti diantaranya penyuntikkan obligasi rekap Rp 430 triliun kepada pihak perbankan dan pengalihan utang-utang luar negeri pihak perbankan dan perusahaan swasta nasional sebesar US$ 1,09 miliar atau sekitar Rp 9,84 triliun kepada pemerintah. Karena itu, untuk menilai kebijakan ekonomi Indonesia di masa krisis, peran IMF harus menjadi bagian penting yang harus diperhatikan. Tabel berikut merupakan ringkasan dari butir-butir kebijakan yang direkomendasikan IMF melalui LoI :

Tabel 1 Rekapitulasi Butir-Butir Kebijakan Letter of Intent IMF

Kebijakan No Bidang Kebijakan Baru Pengulangan Lanjutan Jumlah 1. Restrukturisasi Perbankan 171 57 99 327 2. Restrukturisasi Utang Perusahaan 56 20 38 114 3. Desentralisasi 22 2 17 41 4. Lingkungan 12 - 33 45 5. Fiskal 76 36 57 169 6. Perdagangan Luar Negeri 18 27 37 82 7. Deregulasi dan Investasi 19 25 12 56 8. Reformasi Hukum 31 11 17 59 9. Pinjaman dan Pemulihan Aset 75 23 33 131 10. Kebijakan Moneter dan Bank Sentral 44 48 13 105 11. Privatisasi dan BUMN 39 20 61 120 12. Jaring Pengaman Sosial 8 4 14 36 13. Lain Lain 11 6 9 25 Total 582 297 440 1301 Sumber : Bappenas 2002, sebagaimana dikutip dalam buku ”Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF”, Syamsul Hadi dkk., Jakarta: Granit, 2004.

Selanjutnya, penulis akan membahas beberapa pengaruh langsung IMF dalam kebijakan ekonomi pemerintah di saat krisis, khususnya pada sektor perbankan. Sejumlah rekomendasi IMF tersebut merupakan contoh kebijakan yang dinilai banyak pihak telah melenceng, merugikan, dan menghancurkan fondasi-fondasi perekonomian Indonesia.

246/ Peran IMF dalam Kasus BLBI Kebijakan-kebijakan itu secara garis besar meliputi kebijakan pengetatan likuiditas, penutupan 16 bank nasional, peninjauan fungsi BI sebagaithe lender of the last resort , pengalihan utang-utang luar negeri pihak swasta kepada pemerintah, pengucuran obligasi rekapitalisasi perbankan (obligasi rekap), dan penjualan aset-aset negara (khususnya bank-bank yang diambil alih oleh pemerintah).

Kebijakan Pengetatan Likuiditas (Tight Money Policy) Salah satu fokus utama dari strategi penanganan krisis yang dijalankan pemerintah atas rekomendasi IMF adalah mengatasi turunnya nilai tukar rupiah dengan menerapkan kebijakan moneter ketat. Pengetatan moneter bertujuan mengurangi jumlah peredaran rupiah di masyarakat yang dinilai terlampau tinggi. Dengan pengetatan moneter, diharapkan inflasi dapat diturunkan dan kestabilan nilai rupiah dapat dipertahankan. Kesalahan paling mendasar dari rekomendasi yang diberikan IMF kepada negara-negara yang dibantunya, termasuk Indonesia, adalah memperlakukan semua negara secara sama rata tanpa memperhatikan karakteristik perekonomian dan kondisi sosial politik yang bersifat unik pada masing-masing negara. Hal ini terlihat dari tidak adanya upaya IMF untuk mendefinisikan akar penyebab krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia. IMF juga cenderung hanya berfokus pada aspek-aspek ekonomi makro, dan mengabaikan aspek-aspek mikro. Tak heran, IMF kemudian secara sembrono menyimpulkan krisis terjadi karena longgarnya kebijakan moneter yang diterapkan pemerintah. Atas dasar analisis tersebut, IMF merekomendasikan kebijakan pengetatan moneter kepada pemerintah untuk memperkuat nilai tukar rupiah. Padahal, terjadinya penurunan nilai rupiah lebih disebabkan oleh anjloknya kepercayaan masyarakat pada sektor finansial seperti perbankan. Masyarakat cenderung menahan uangnya dan memilih tidak menyimpannya di perbankan. Apalagi, saat itu faktor ketidakpastian ekonomi maupun politik sedang sangat tinggi. Walhasil, kebijakan pengetatan moneter akhirnya justru berdampak pada macetnya aktvitas ekonomi. Suku bunga SBI yang tinggi memicu bank untuk memberlakukan bunga pinjaman yang tinggi. Hal ini di satu sisi

Peran IMF dalam Kasus BLBI/ 247 memang berfungsi menarik dana nasabah ke perbankan, namun di sisi lain menghambat mengalirnya pinjaman dari bank ke sektor usaha. Dengan bunga pinjaman yang demikian tinggi, maka sektor usaha mengalami tekanan berat dalam memperoleh modal. Hal itu juga melemahkan fungsi intermediasi bank, yaitu sebagai penghubung pemilik modal (masyarakat) dengan peminjam modal (pelaku usaha). Fungsi ini berperan penting dalam menggerakkan roda perekonomian. Dengan hilangnya fungsi tersebut, kondisi perekonomian pun segera mengalami krisis.

Penutupan 16 Bank Resep kebijakan IMF lainnya yang menuai bencana adalah penutupan 16 bank swasta nasional. Rencana penutupan beberapa bank tersebut dibahas dalam Rapat Dewan Moneter dan dilaporkan kepada Presiden pada akhir Oktober 1997. Presiden menyetujui penutupan 16 bank dilaksanakan pada tanggal 1 November 1997. Rencana penutupan bank dimuat dalam Memorandum on Economic and Financial Policies kepada IMF tanggal 31 Oktober 1997. Dalam memorandum dinyatakan bahwa hal tersebut merupakan keputusan bersama pemerintah dengantechnical assistance dari IMF, World Bank dan ADB untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada sistem keuangan/perbankan. Namun, rencana penutupan bank ternyata tidak dilakukan dengan persiapan yang matang, seperti mempersiapkan bank pengganti untuk menjamin pembayaran dana nasabah yang disimpan pada bank yang dilikuidasi. Akibatnya, masyarakat panik dan berbondong-bondong menarik simpanan mereka dari bank-bank nasional secara besar-besaran. Selain menimbulkan kepanikan, penutupan bank juga menjatuhkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Likuidasi bank ditangkap masyarakat sebagai sinyal gawatnya masalah yang tengah dihadapi sistem finansial negara. Penarikan uang besar-besaran dari perbankan ini pada akhirnya menyebabkan peredaran rupiah meningkat drastis. Nilai rupiah jatuh, tingkat inflasi melambung, dan daya beli masyarakat merosot.

248/ Peran IMF dalam Kasus BLBI Krisis pun kemudian menjalar ke seluruh dunia perbankan nasional. Masyarakat kehilangan kepercayaannya pada perbankan secara umum. Krisis melebar, dari hanya menimpa bank-bank bermasalah, menjadi dialami semua bank-bank nasional yang sebenarnya masih sehat dan dapat diselamatkan. Krisis yang dialami perbankan akhirnya berujung pada krisis likuiditas sangat parah. Bank-bank mengalami kelangkaan likuiditas untuk membayar dana nasabahnya. Ini menyebabkan mereka harus meminjam kepada bank lainnya dengan bunga yang sangat tinggi, sehingga menjadi beban yang sangat berat bagi perbankan untuk bertahan.

Peninjauan Fungsi BI sebagai “The Lender of The Last Resort” Rekomendasi lainnya yang diberikan IMF kepada pemerintah Indonesia adalah peninjauan fungsi BI sebagai the lender of the last resort (penyedia pinjaman dana terakhir). Maksudnya, BI harus memainkan fungsinya sebagai penyedia atau penyokong dana terakhir bagi pihak perbankan, sehingga dapat mencegah kebangkrutan bank-bank yang saat itu berada pada kondisi kritis. Hal ini tertuang dalamLetter of Intent dengan IMF tertanggal 15 Januari 1998 tentang pentingnyaliquidity support BI kepada perbankan dalam fungsinya sebagai the lender of the last resort. Liquidity support (bantuan likuiditas) diberikan melalui program penjaminan kewajiban pembayaran bank umum, yaitu penjaminan pemerintah atas pengembalian dana nasabah yang disimpan di bank, berapapun jumlahnya. Hal ini terkait dengan rencana pemerintah bersama dengan IMF saat itu untuk secara bertahap mengambil alih dan melikuidasi sejumlah bank yang dinilai tidak memiliki harapan sehat. Dengan demikian, program penjaminan ini bertujuan untuk menjaga kestabilan perbankan ketika likuidasi terhadap bank dilakukan. Melalui penjaminan, kepercayaan masyarakat kepada pihak perbankan berupaya dipertahankan agarrush tidak terjadi. Program penjaminan ini kemudian dituangkan dalam Keppres No. 26 Tahun 1998 tentang penjaminan pemerintah terhadap kewajiban

Peran IMF dalam Kasus BLBI/ 249 pembayaran bank umum yang dikeluarkan pemerintah pada tanggal 26 Januari 1998. Kebijakan ini pada kenyataannya memang cukup efektif meredam gejolak masyarakat yang sangat berpotensi muncul dari penutupan dan pengambilalihan bank. Meski pemerintah kemudian secara bergelombang membekukan sejumlah bank, yaitu pada April 1998, Agustus 1998, dan Maret 1999,rush tidak terjadi. Masyarakat berhasil diyakinkan bahwa uang yang mereka simpan di bank tetap aman dengan adanya program penjaminan. Fenomena ini sekaligus membuktikan bahwa penutupan bank dapat saja dilakukan jika disertai dengan perencanaan yang matang dan antisipasi terhadap dampak negatifnya. Penutupan atau pengambilalihan bank merupakan kebijakan berisiko tinggi yang dapat memicu terjadinya rush ataupun macetnya aktivitas ekonomi. Hal inilah yang terjadi pada peristiwa penutupan 16 bank pada bulan November 1997. Penutupan 16 bank tersebut ternyata berdampak luar biasa pada kepercayaan masyarakat terhadap perbankan, sehingga menjadi salah satu penyebab utama dari hancurnya dunia perbankan nasional pada saat krisis. Meski demikian, kebijakan ini ternyata juga tidak steril dari masalah dalam implementasinya. Program penjaminan perbankan, meski telah digulirkan sejak Januari 1998, realisasinya sangat lambat dijalankan pemerintah. Pemerintah tidak kunjung menyiapkan alokasi anggaran yang dibutuhkan untuk menggulirkan program tersebut. Anggaran untuk penjaminan perbankan baru kemudian disediakan pemerintah pada September 2001 melalui pengisian Rekening 502 atas nama Departemen Keuangan RI. Karena itulah, selama anggaran belum disediakan pemerintah, dana penjaminan perbankan untuk sementara ditalangi oleh Bank Indonesia. Pada titik ini, terjadi penyimpangan dalam implementasi program penjaminan perbankan, sehingga menambah daftar kerugian negara dari kasus BLBI. Hal ini terjadi karena mekanisme penyaluran program penjaminan perbankan oleh BI tidak dilakukan secara hati-hati dan sesuai dengan prosedur yang semestinya. BI membiarkan dana penjaminan mengalir melalui mekanisme kliring. Padahal, dengan mekanisme kliring, BI tidak dapat mengetahui apakah kewajiban-kewajiban bank yang dibayarkan

250/ Peran IMF dalam Kasus BLBI BI tersebut benar-benar merupakan kewajiban bank yang dijamin pemerintah (yaitu pembayaran dana nasabah). Akibatnya, pengucuran dana penjaminan perbankan turut membengkakkan jumlah BLBI yang terkucurkan kepada pihak perbankan.

Pengalihan Utang-Utang Luar Negeri Pihak Swasta kepada Pemerintah Salah satu kebijakan pemerintah yang merugikan negara di saat krisis adalah penalangan utang-utang luar negeri perbankan dan perusahaan swasta oleh pemerintah. Jumlah total utang yang ditalangi pemerintah tersebut mencapai US$ 1,34 miliar dolar atau sekitar Rp 11,98 triliun. Dari jumlah itu, hanya sejumlah US$ 2,4 juta (Rp 2,18 triliun) yang dilunasi pihak swasta kepada pemerintah. Dengan demikian, telah terjadi pengalihan utang pihak swasta kepada pemerintah sebesar US$ 1,099 miliar atau sekitar Rp 9,8 triliun. Kebijakan yang merugikan ini dapat lahir berkat tekanan IMF, beserta Bank Dunia dan ADB, kepada pemerintah untuk cepat-cepat menanggulangi macetnya pembayaran utang bank dan perusahaan swasta di Indonesia kepada perbankan luar negeri. Kebijakan ini dilaksanakan sebagai implementasi dari Frankfurt Agreement yang disepakati antara pemerintah dan konsorsium perbankan internasional pada 4 Juni 1998. Kebijakan ini juga merupakan bagian dari fasilitas BLBI yang diberikan pemerintah kepada perbankan, yang dikenal dengan nama Dana Talangan Valas (DTV). Lahirnya kebijakan ini dilatarbelakangi oleh krisis likuiditas yang diderita perbankan nasional menyusul ditutupnya akses kredit (penutupan credit line) bagi mereka oleh perbankan internasional. Hal ini sendiri terjadi karena bank-bank nasional tak dapat melunasi kewajibannya kepada krediturnya (perbankan internasional) saat utang-utang tersebut jatuh tempo. Tercatat, total utang perusahaan swasta dan bank nasional kepada perbankan luar negeri saat itu mencapai US$ 76 miliar. Keadaan itu menyebabkan nilai tukar rupiah terpuruk (karena meningkatnya permintaan terhadap dolar) yang pada akhirnya menambah hancurnya kemampuan pihak swasta nasional untuk membayar utang-utangnya.

Peran IMF dalam Kasus BLBI/ 251 Dalam keadaan itu, untuk menanggulangi krisis yang terus menjalar, pemerintah menerbitkan Keppres No. 4 Tahun 1998 tentang pembentukan Tim Penanggulangan Masalah Utang-utang Perusahaan Swasta Indonesia yang bertugas melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis kepercayaan perbankan internasional terhadap Indonesia. Tim diketuai oleh Radius Prawiro dan beranggotakan wakil-wakil dari Menko Ekuin, Bappenas, Departemen Keuangan, dan Bank Indonesia (pertemuan-pertemuan tim ini dilaksanakan di kantor Menko Ekuin Prof. Dr. Ginandjar Kartasasmita). Tim pemerintah selanjutnya melakukan serangkaian perundingan dengan bank-bank luar negeri yang tercatat sebagai kreditur bagi bank-bank dan perusahaan-perusahaan swasta Indonesia. Untuk memudahkan perundingan, bank-bank luar negeri ini kemudian membentuk Steering Committee (SC) yang diketuai oleh The Chase Manhattan Bank, Bank of Tokyo Mitshubishi, dan Deutsche Bank. Serangkaian perundingan selanjutnya dilaksanakan tim pemerintah dengan tim SC perbankan internasional yang pada intinya membicarakan kerangka dasar penyelesaian utang-utang perbankan dan perusahaan-perusahaan swasta di Indonesia. Setiap pertemuan tersebut juga selalu dihadiri oleh perwakilan IMF, Bank Dunia, dan ADB. Setelah melalui serangkaian perundingan, pada tanggal 4 Juni 1998 di Frankfurt (Jerman), tim pemerintah dan tim SC perbankan internasional akhirnya menyepakati beberapa hal sebagai berikut: 1.Trade Maintenance Facility , yaitu bahwa perbankan luar negeri akan membuka kembalicredit line dalam rangka trade finance (pembiayaan perdagangan) bagi perbankan Indonesia; 2.Interdebt Exchange Offer , yaitu persetujuan perbankan luar negeri untuk menjadwal ulang (melakukanrescheduling ) pinjaman perbankan Indonesia menjadi paling lama 4 tahun, namun dengan syarat semua tunggakan interbank maupun L/C (Letter of Credit ) dan bunganya dilunasi sebelum akhir Juni 1998 dan L/C baru yang dibuka perbankan Indonesia dijamin oleh BI;

252/ Peran IMF dalam Kasus BLBI 3. Restrukturisasi Utang Luar Negeri Pihak Swasta, yaitu penyelesaian utang luar negeri pihak swasta melalui penjadwalan ulang selama 8 tahun. Seperti terlihat, berdasarkan kesepakatan ini, pihak swasta dan perbankan Indonesia berhasil memperoleh kembali akses pinjaman dan fasilitas perpanjangan jadwal pembayaran utang dari perbankan luar negeri, Namun, hal ini harus dibayar mahal dengan kesediaan pemerintah untuk memberikan talangan atas pembayaran tunggakan utang perbankan dan swasta nasional tersebut, agar memenuhi target pelunasan tanggal 30 Juni 1998. Perlu dicatat, lahirnya kesepakatan ini tak lepas dari peran wakil-wakil IMF, Bank Dunia, dan ADB yang menghadiri setiap pertemuan dan mendorong agar masalah utang-utang pihak swasta sesegera mungkin diselesaikan. Stanley Fischer, Deputy Managing Director IMF saat itu, bahkan juga turut melakukan lobi kepada pihak SC agar dilakukan pemecahan menyeluruh atas persoalan utang-utang swasta demi kebaikan semua pihak. Persoalan utama dari kesepakatan ini, meskipun dinyatakan sebagai kebijakan darurat untuk mengatasi krisis perbankan, adalah besarnya peluang penyalahgunaan dan penyelewengan. Terbukti, sebagian besar utang swasta dan perbankan yang ditalangi pemerintah tersebut, ternyata kemudian dikemplang atau tidak dibayar oleh pihak swasta. Seperti telah disinggung sebelumnya, dari US$ 1,34 miliar utang swasta yang ditalangi pemerintah, hanya US$ 2,4 juta yang dikembalikan kepada negara. Selebihnya, sejumlah US 1,099 miliar dikemplang sehingga harus menjadi tanggungan negara. BPK juga menemukan, penalangan utang berupa penyaluran fasilitas DTV kepada perbankan tersebut dilakukan oleh BI dengan mengabaikan prinsip kehati-hatian dan dengan menafsirkanFrankfurt Agreement secara berlebihan. Menurut BPK, BI tidak membuat prosedur verifikasi yang memadai untuk menilai kelayakan dari utang-utang perbankan yang ditalangi oleh pemerintah. BI menerima begitu saja klaim daftar tunggakan utang yang diajukan oleh bank-bank nasional saat itu. Alasannya, klaim yang diajukan sangat banyak, sedangkan jadwal yang dimiliki sangat singkat. Akibatnya, berdasarkan audit BPK, jumlah DTV yang tidak dapat

Peran IMF dalam Kasus BLBI/ 253 dipertanggungjawabkan penyalurannya mencapai Rp 8,91 triliun atau 90,81% dari DTV yang dikucurkan. Terlepas dari hal-hal itu, penalangan utang-utang swasta oleh pemerintah sendiri sebenarnya sudah bukan sesuatu yang layak. Risiko atas tidak terbayarnya utang-utang swasta nasional kepada perbankan luar negeri sudah seharusnya ditanggung bersama oleh pihak swasta dan perbankan luar negeri, selaku debitur dan krediturnya. Macetnya pembayaran kredit perbankan dalam negeri sudah seharusnya diperhitungkan pula oleh bank- bank asing sebagai risiko dari pengucuran pinjaman yang mereka lakukan. Apa hendak dikata, uang negara pun akhirnya harus dikucurkan untuk menalangi tunggakan utang-utang yang diakibatkan kesalahan dan kesembronoan pihak swasta dan bank-bank asing sendiri. Ironisnya, menurut Rizal Ramli, pembayaran utang itu dilakukan dengan menggunakan uang pinjaman dari IMF. Sehingga, uang pinjaman dari IMF tersebut (yang harus dikembalikan pemerintah bersama dengan bunganya) hanya sekedar ”masuk kantung kiri ke luar kantung kanan”, yaitu singgah sejenak di kas pemerintah untuk kemudian mengalir kembali ke pihak asing.

Pengucuran Obligasi Rekap IMF telah terbukti banyak memberikan rekomendasi yang salah dalam memulihkan kondisi perekonomian Indonesia yang ditimpa krisis. Dengan alasan agenda restrukturisasi perbankan merupakan prioritas bagi pemulihan ekonomi, IMF memaksa pemerintah untuk menyediakan dana tak terbatas untuk menyokong sektor ini. Padahal, seperti telah dibuktikan melalui hasil audit BPK, kucuran dana tersebut sebagian besarnya justru diselewengkan. Akibatnya, negara menderita kerugian sangat parah hingga ratusan triliun rupiah. Namun, dari semua rekomendasi salah yang pernah diberikan IMF, kebijakan yang paling merugikan negara barangkali adalah pengucuran obligasi rekap kepada pihak perbankan. Pengucuran obligasi rekap dilakukan pemerintah setelah IMF menyatakan bank-bank nasional harus memiliki rasio kecukupan modal (capital adequacy ratio) setidaknya 8% untuk menunjukkan bank tersebut sehat. Kondisi perbankan saat itu, meski telah diberi kucuran dana BLBI, memang masih rapuh dan belum menunjukkan perbaikan berarti. Termasuk

254/ Peran IMF dalam Kasus BLBI dalam kategori bank yang sakit tersebut adalah sejumlah bank yang diambil alih oleh pemerintah karena tidak mampu membayar utang-utangnya seperti BCA (banktake over /BTO). Desakan IMF kepada pemerintah untuk segera menolong bank-bank yang sakit tersebut misalnya tertuang dalam LoI tertanggal 20 Januari 2000, yang kemudian diperkuat dengan beberapasupplementary MEFP tertanggal 17 Mei, 31 Juli, dan 7 September 2000. Dinyatakan dalam dokumen- dokumen tersebut bahwa pemerintah harus merealisasikan agenda restrukturisasi perbankan, termasuk rekapitalisasi bank pemerintah dan BTO seperti Bank Mandiri, BNI, BRI, Bank Danamon, dan BCA. Restrukturisasi dilakukan dengan menyuntikkan dana untuk memperkuat modal bank yang bersangkutan. Namun, karena pemerintah saat itu tidak memiliki uang tunai, maka penyuntikan modal dilakukan dengan pemberian obligasi rekapitalisasi perbankan (obligasi rekap). Secara sederhana, dapat dinyatakan obligasi rekap merupakan komitmen pemerintah kepada pihak perbankan untuk memberikan sejumlah uang dalam bentuk utang yang lalu dikonversikan menjadi kepemilikan saham pemerintah di bank tersebut. Jumlah total obligasi rekap yang dikucurkan pemerintah adalah sekitar Rp 431,6 triliun plus bunga yang akan dibayarkan setiap tahunnya. Diperhitungkan, jika dibayar tepat waktu, maka total bunga obligasi yang harus dibayar pemerintah adalah sekitar Rp 600 triliun. Sehingga, beban pembayaran obligasi rekap pemerintah kepada perbankan seluruhnya minimal mencapai Rp 1031 triliun (akan jauh lebih besar jika pemerintah melakukan penundaan pembayaran). Dengan suntikan obligasi rekap tersebut, posisi modal perbankan memang menguat dengan signifikan. Performa bank pun meningkat, karena membukukan laba tahunan yang tinggi sebagai akibat penerimaan bunga obligasi rekap yang dibayarkan pemerintah. Namun, konsekuensi dari pemberian obligasi rekap juga sangat besar. Obligasi rekap yang tak lain merupakan bentuk subsidi kepada pihak perbankan ini harus dibayar mahal oleh pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia melalui beban utang dalam APBN tiap tahunnya. Seperti diketahui, beban pembayaran obligasi rekap dalam APBN mencapai sekitar Rp 40-50 triliun per tahunnya.

Peran IMF dalam Kasus BLBI/ 255 Akibat pembayaran bunga obligasi rekap yang demikian besar tersebut, pemerintah akhirnya memangkas sejumlah anggaran publik seperti pendidikan dan kesehatan. Dengan kata lain, melalui kebijakan obligasi rekap, IMF memaksa pemerintah untuk mengalihkan subsidi bagi kesejahteraan rakyat kepada sektor perbankan.

Penjualan Bank-Bank Hasil Rekap Setelah merekomendasikan pengucuran obligasi rekap, langkah intervensi IMF diteruskan dengan menekan pemerintah agar menjual bank- bank pemerintah dan BTO hasil rekap. Di sinilah sesungguhnya kerugian negara dalam jumlah sangat besar terjadi. Pemerintah yang telah dipaksa menggelontorkan uang dalam jumlah besar untuk menyehatkan kondisi perbankan, kemudian justru didesak IMF untuk menjual bank tersebut kepada pihak swasta. Karena batas waktu penjualan yang diberikan IMF sangat pendek, maka terjuallah bank-bank hasil rekap tersebut dengan harga yang sangat murah. Penjualan atau privatisasi bank-bank hasil rekap memang menjadi salah satu fokus kebijakan yang direkomendasikan IMF dalam sektor perbankan. Tercatat, agenda privatisasi BUMN terdapat dalam setidaknya 120 butir LoI yang ditandatangani IMF dengan pemerintah. Ada sejumlah argumentasi yang dikemukakan IMF sebagai alasan perlunya pemerintah melakukan privatisasi, yaitu antara lain sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk melepaskan perannya dalam berbisnis, untuk menyehatkan kinerja BUMN, serta untuk meraih kepercayaan internasional terhadap iklim investasi di Indonesia. Namun, di sisi pemerintah, alasan paling kuat untuk melakukan privatisasi adalah target penerimaan negara untuk menutup APBN yang selalu defisit setiap tahunnya. Sebenarnya, jika dilakukan dengan benar dan perencanaan yang matang, privatisasi mungkin saja dapat menjadi solusi bagi persoalan yang dialami pemerintah dalam menutup defisit anggaran. Misalnya saja, privatisasi dilakukan terhadap BUMN-BUMN yang memang berkinerja buruk dan bukan merupakan sektor strategis bagi negara. Privatisasi seperti ini, dimungkinkan memberi dampak positif bagi negara berupa mengalirnya dana segar ke kas negara sekaligus membaiknya kinerja BUMN yang diprivatisasi tersebut.

256/ Peran IMF dalam Kasus BLBI Persoalannya, selama ini privatisasi justru kerap dilakukan terhadap BUMN-BUMN strategis yang kinerjanya pun baik. BUMN-BUMN ini, bahkan merupakan penyumbang penerimaan pemerintah dalam APBN. Sehingga, dengan diprivatisasinya BUMN-BUMN tersebut, pemerintah justru kehilanganfuture earning atau sumber pendapatan negara di masa yang akan datang. Ironisnya, BUMN ini bahkan dijual dengan harga yang sangat murah. Demikian juga halnya yang terjadi dalam privatisasi bank-bank hasil rekap. Di bawah pengawasan ketat dan tekanan IMF, bank-bank tersebut terjual dengan harga yang sangat murah sehingga menyebabkan kerugian besar bagi negara. Bahkan, saat dijual, sejumlah bank masih memiliki tagihan obligasi rekap ke pemerintah dalam jumlah yang jauh lebih besar dari nilai penjualan yang terjadi. Wajar saja jika kemudian diduga sejumlah privatisasi kental dengan praktik manipulasi dan kecurangan. Tender penjualan kerapkali dilakukan secara tertutup dan tidak transparan. Kejanggalan-kejangalan pun sering ditemukan, seperti merosotnya dengan tiba-tiba nilai saham bank rekap menjelang penjualan dilakukan. Pada kasus penjualan BCA, (oknum) IMF bahkan dengan nyata menunjukkan keterlibatannya dalam manipulasi yang terjadi dalam proses divestasi. Setelah berulangkali mendesak penjualan BCA, mantan Direktur IMF untuk Asia Pasifik Hubert Neiss justru berbalik menjadi konsultan Farallon Capital yang kemudian sukses memenangkan tender BCA dengan harga murah. Berikut kronologi ringkasnya. Agenda penjualan BCA sudah masuk dalam bidikan IMF sejak LoI 20 Januari 2000. Selanjutnya, dalam LoI 7 September 2000, penjualan BCA (serta Bank Niaga) kembali dinyatakan sebagai agenda yang akan dijalankan pemerintah. Karena itu, ketika target-target privatisasi ini nampaknya lamban direalisasikan pemerintah, IMF segera menunjukkan reaksi negatifnya. Hal ini seperti yang pernah diungkapkan John Dodsworth, Kepala Perwakilan IMF di Indonesia saat itu, bahwa IMF sangat kecewa dengan penundaan divestasi saham pemerintah di BCA dan Bank Niaga. Dalam kata-kata Dodsworth, “Penjualan BCA merupakan komitmen kebijakan besar, tidak hanya dalam LoI terakhir, tetapi juga dalam LoI-LoI sebelumnya, yang ada sejak Februari. Jadi, mendengar bahwa itu ditunda,

Peran IMF dalam Kasus BLBI/ 257 sangat mengecewakan. Paling tidak, menurut saya, itu merupakan kemunduran sementara upaya restrukturisasi di Indonesia" (Kompas, 9 Oktober 2000). Penjualan BCA, kemudian dicantumkan lagi dalam LoI Desember 2001. Dinyatakan dalam LoI tersebut, BPPN ditargetkan memperoleh Rp 27 triliun dari penjualan saham BCA melalui proses tender. BCA pun akhirnya terjual pada 14 Maret 2002. 51% saham pemerintah di bank bekas milik Salim tersebut dijual kepada Konsorsium Farallon Capital dengan harga Rp 1.775 per lembar atau secara total hanya menghasilkan sekitar Rp 5,3 triliun. Penjualan ini tak pelak mendatangkan protes dari berbagai penjuru. Hal ini mengingat, saat dijual, BCA masih memiliki obligasi rekap senilai Rp 60,9 triliun. Artinya, segera setelah berpindah tangan, dengan hanya menyerahkan uang senilai Rp 5,3 triliun, pemilik baru BCA (bersama dengan pemilik saham BCA halaman) memiliki tagihan kepada pemerintah sejumlah dua belas kali lipat dari uang yang baru saja dibayarkannya tersebut. Selain itu, dengan memegang obligasi rekap sebesar itu dari pemerintah, pemilik BCA secara cuma-cuma akan memperoleh pendapatan senilai sekitar Rp 9 triliun per tahunnya dari pembayaran bunga obligasi rekap. Dapat dilihat, bahkan cukup dengan pendapatan bunga obligasi rekap dalam setahun, pemilik baru BCA sudah memperoleh kembali 100% modalnya. Proses penjualan BCA pun tidak dilakukan dengan transparan. Seperti penuturan mantan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian RI Kwik Kian Gie, IMF mengingkari prosedur penjualan yang telah disepakati. Sesuai kesepakatan antara Kwik dan Anoop Singh (Deputi Direktur IMF untuk Asia Pasifik), penjualan BCA dilakukan melalui tender terbuka yang transparan. Penawaran pun dilakukan secara sangat terbuka. Dalam kesepakatan awal tersebut, menurut Kwik, pemerintah menentukan harga minimum yang dirahasiakan dan disimpan pada notaris yang ditentukan bersama. Semua penawaran yang masuk dibuka secara serentak, dengan disaksikan orang banyak, pada tanggal yang telah ditetapkan. Jika semua penawaran yang masuk tersebut ternyata tidak ada

258/ Peran IMF dalam Kasus BLBI yang menyamai atau melebihi harga minimum yang ditetapkan, maka penjualan ditangguhkan sampai waktu yang lebih baik. Namun, prosedur penjualan yang transparan dan terbuka ini ternyata tidak dilaksanakan. Penjualan kemudian justru dilakukan melalui penawaran terbatas kepada calon pembeli potensial yang disebut sebagaistrategic partner . Ada empat pihak yang mengikuti proses ini yaitu Bank Mega, Standard Chartered Bank, Konsorsium GKBI, dan Farallon Capital Indonesia (Farindo). Selanjutnya, dalam perjalanannya, hanya tertinggal dua peserta tender pada tahap akhir, yaitu Standard Chartered Bank dan Farindo. Pada awalnya Standard Chartered Bank diprediksi akan tampil sebagai pemenang tender. Namun, pada saat-saat akhir, berkat lobi Hubert Neiss yang mewakili Deutsche Bank sebagai salah satu anggota konsorsium Farallon Capital, Farindo akhirnya ditetapkan sebagai pemenang. Hasil ini cukup mengejutkan, karena penawaran harga yang diajukan Farindo, yaitu Rp 1.775 per lembar saham, lebih kecil dibanding harga penawaran Standard Chartered Bank, yaitu Rp 1.800 per lembar saham. Disebutkan, keputusan ini diambil pemerintah karena Farindo bersedia menarik keluar seluruh obligasi rekap yang berada di dalam BCA. Meskipun pada kenyataannya, obligasi rekap tersebut tak kunjung ditarik keluar oleh Farindo dari BCA. Fakta lain yang juga penting dicatat, salah satu anggota konsorsium Farindo adalah Alaerka Investment Ltd., yang berafiliasi dengan PT Djarum. Sedangkan, PT Djarum sendiri telah lama diketahui memiliki hubungan sangat dekat dengan Keluarga Salim, obligor BLBI dan pemilik lama BCA. Dengan konstelasi ini, wajar jika banyak pihak kemudian mencurigai bahwa Soedono Salim juga berada di belakang pemilik baru BCA.

Penutup Seperti diuraikan di atas, skandal BLBI ternyata tidak hanya melibatkan pelaku dalam negeri, namun juga IMF sebagai lembaga keuangan internasional yang bertugas “membantu” Indonesia saat terjadinya krisis. Peran IMF bahkan sangat dominan mengingat lembaga inilah yang merekomendasikan (atau bahkan mendesakkan) sejumlah program pemulihan ekonomi yang dijalankan pemerintah. Termasuk dalam program

Peran IMF dalam Kasus BLBI/ 259 yang direkomendasikan IMF tersebut adalah restrukturisasi perbankan (salah satunya pengucuran obligasi rekap) yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian kisah skandal perbankan akibat pengucuran BLBI. Dengan keterlibatan intensif IMF tersebut, maka sudah sepantasnyalah jika IMF turut dituntut pertanggungjawabannya atas beban pembayaran biaya perbankan yang terus menggerogoti kemampuan keuangan negara hingga saat ini.

260/ Peran IMF dalam Kasus BLBI Bab 12

BLBI : PEMISKINAN DAN PEMBUNUHAN GENERASI

Marwan Batubara

150 Orang Terkaya, Utang BLBI yang Tak Terbayar, dan Rakyat Miskin MajalahGlobe Asia edisi Agustus 2007 merilis daftar 150 orang terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan US$ 46,6 miliar atau lebih dari Rp 438 triliun (dengan asumsi kurs US$ 1 senilai Rp 9.400). Jumlah ini mencapai hampir dua pertiga anggaran belanja negara (APBN-P) tahun 2007 sebesar Rp 763,6 triliun. Mereka yang muncul dalam daftar tersebut, mayoritasnya merupakan nama-nama lama dalam dunia bisnis. Tak banyak nama baru yang muncul. Sebelumnya, daftar orang terkaya juga pernah dirilis oleh Majalah Forbes Asia pada awal September 2006, dengan mencantumkan nama 40 orang terkaya di Indonesia. Tak jauh berbeda, 40 nama orang terkaya yang ditulis MajalahForbes Asia tersebut juga merupakan orang-orang terkaya yang dicantumkan oleh MajalahGlobe Asia , hanya saja dengan

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 261 pemeringkatan yang berbeda. Misalnya saja,Globe Asia menempatkan Budi Hartono (DjarumGroup ) sebagai orang terkaya no.1 di Indonesia dengan total kekayaan sebesar US$ 4,2 miliar, sedangkan majalahForbes Asia justru menempatkan Sukanto Tanoto (Raja Garuda MasGroup ), pengusaha yang dicurigai menggelapkan pajak senilai Rp 1,2 triliun (2002-2005), sebagai orang terkaya dengan total kekayaan sebesar US$ 2,8 miliar (daftar lengkap 1 orang-orang kaya versiGlobe Asia diperlihatkan pada lampiran 1) . ”Prestasi” pengusaha-pengusaha tanah air tersebut, sangat kontras dengan kondisi mereka sepuluh tahun sebelumnya ketika krisis menghantam Indonesia. Kala itu, selain mencekik kehidupan masyarakat, krisis mengguncang sebagian besar bank, perusahaan, dan konglomerat. Dahsyatnya krisis menyebabkan tidak sedikit diantara perusahaan- perusahaan tersebut yang pada akhirnya bangkrut. Dengan latar belakang itulah, kebijakan pengucuran BLBI kemudian dikeluarkan pemerintah. BLBI dikucurkan sebagai bantuan darurat kepada perbankan untuk menolong bank-bank yang tengah berada pada kondisi kritis. Melalui BLBI, bank-bank tersebut memperoleh pasokan likuiditas, sehingga kelangsungan hidupnya dapat dipertahankan (meskipun beberapa bank hanya bertahan beberapa waktu). Itu pula sebabnya, BLBI disebut sebagai ”ongkos krisis” yang tidak dapat dihindarkan oleh bangsa Indonesia. Namun, yang penting dicatat, ”ongkos krisis” tersebut pada kenyataannya tak sepenuhnya berfungsi memperbaiki kondisi perekonomian Indonesia, namun lebih banyak diselewengkan dan

1 Untuk kelengkapan informasi, kami sertakan pula (pada lampiran 2) daftar 40 ”Orang Terkaya Indonesia” versi majalah Forbes, edisi Desember 2007, yang terbit beberapa hari sebelum buku ini dicetak. Jika dibandingkan dengan daftar yang dirilis oleh Globe Asia seperti dijelaskan di atas, maka ditemukan adanya perubahan posisi nomor urut orang-orang kaya tersebut. Menurut Forbes, Aburizal Bakrie adalah orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan sekitar Rp 50 triliun, menggantikan posisi Budi Hartono yang ditempatkan sebagai peringkat 1 terkaya versi Globe Asia. Selain itu, Forbes mencatat Sukanto Tanoto sebagai peringkat 2 terkaya (Rp 43 triliun), yang menurut versi Globe Asia berada pada posisi 6. Perubahan posisi dalam nomor urut ini, secara umum terjadi karena meningkatnya harga komoditas yang menjadi portofolio bisnis masing-masing pengusaha, seperti CPO, batubara, kertas, dan sebagainya. Dalam uraian selanjutnya, angka-angka dari Globe Asia yang akan dirujuk.

262/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi disalahgunakan. Jumlahnya pun jauh membengkak dari biaya yang seharusnya dikeluarkan, karena praktik KKN sejumlah oknum penguasa dan pengusaha dalam menyalahgunakan BLBI. Dalam kondisi krisis, oknum-oknum ini seolah berlomba memanfaatkan kesempatan untuk mengeruk keuntungan sebesar-besarnya bagi diri dan kelompoknya. BLBI lebih banyak disalurkan kepada kelompok usaha pemilik bank dibandingkan untuk membayar nasabah (terjadi pelanggaran BMPK). Pejabat yang berwenang pun (BI) seolah membiarkan terjadinya penyalahgunaan tersebut dengan terus menyalurkan BLBI dan bahkan terus mengizinkan bank-bank yang sudah tak layak untuk bersaldo debet. Di lain pihak, penanganan kasus ini oleh pemerintah pun berjalan secara tidak konsisten. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dalam rangka penyelesaian kasus ini tidak mencerminkan keadilan dan bahkan kerap bertabrakan dengan ketentuan hukum. Misalnya saja, pemerintah cenderung terus memberi keringanan bagi obligor dalam melunasi kewajiban-kewajibannya melalui berbagai fasilitas (seperti diantaranya reformulasi JKPS dan pemberian SKL meski obligor baru membayar sebagian utangnya). Kebijakan pemerintah yang paling nyata menampakkan ketidakadilan adalah Inpres No.8/2002 yang menghapuskan gugatan aspek tindak pidana dari obligor selama mereka bersedia membayar utangnya. Akibat berbagai kebijakan yang timpang memihak pada kepentingan obligor tersebut, negara menanggung utang dan kesulitan keuangan berkepanjangan. Uang negara yang telah terkucurkan kepada obligor, dan tidak mereka kembalikan, harus ditanggung oleh seluruh rakyat dalam pos pembayaran utang dalam APBN setiap tahunnya. Tercatat, sekitar 20% - 30% anggaran harus disisihkan dalam APBN untuk pos pembayaran utang. Sehingga, pemerintah pun mau tak mau harus memangkas pos pengeluaran lain untuk menghemat APBN, yang sebagian besarnya diambil dari berbagai pos subsidi kebutuhan publik. Dengan pemangkasan berbagai pos kebutuhan publik tersebut, sebagai konsekuensinya pemerintah harus berhadapan dengan masalah kemiskinan yang terus meningkat. Di pihak lain, sebagian obligor penerima BLBI yang dulu menyatakan bangkut dan tak bisa melunasi utang-utangnya justru kini telah kembali berjaya. Bahkan, sebagian mereka berhasil menjadi lebih kaya dibanding

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 263 sebelum krisis, sehingga duduk pada daftar orang-orang terkaya di Indonesia. Mengingat mereka merupakan pihak-pihak yang turut menyebabkan dan memperparah krisis, kenyataan ini tentu sangat menyakitkan. Hal ini juga jelas sangat merugikan rakyat, karena pada hakikatnya merekalah yang menanggung beban pembayaran utang obligor melalui pajak yang mereka bayarkan kepada pemerintah. Artinya, dengan menyediakan alokasi anggaran untuk pembayaran utang, pemerintah telah menjadikan rakyat pembayar pajak sebagai pemberi subsidi bagi para obligor BLBI. Padahal, seharusnya pemerintah mencari jalan lain untuk membiayai utang dan bunga obligasi tersebut. Hal itu dapat dilakukan misalnya dengan memaksimalkan penjualan aset-aset obligor yang masih berada di tangan pemerintah. Pemerintah seharusnya juga menagih obligor yang masih mengalami kurang bayar, akibat jumlah aset yang mereka serahkan ke BPPN lebih kecil bila dibandingkan dengan kucuran BLBI yang diterima. Pemerintah bahkan seharusnya dapat menghentikan pembayaran bunga obligasi rekap yang dulunya digunakan untuk menyehatkan bank-bank yang bangkrut. Dalam daftar orang terkaya versi MajalahGlobe Asia dan Majalah Forbes Asia, sejumlah nama konglomerat yang dimuat sebagiannya merupakan nama-nama orang yang pernah menerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Sebut saja Sudono Salim (SalimGroup ), Sukanto Tanoto (Raja Garuda MasGroup ), Keluarga Bakrie (Bakrie Group ), Sjamsul Nursalim (Gajah Tunggal) dan beberapa nama obligor BLBI lainnya. Tak tertutup pula kemungkinan, terdapat sejumlah nama penikmat BLBI yang tidak tercantum dalam daftar orang terkaya di Indonesia, padahal mereka memiliki kekayaan yang besar, karena mereka menyembunyikan jumlah kekayaan mereka yang sesungguhnya. Termasuk pula, mereka yang tercantum sebagai orang-orang terkaya, namun memiliki jumlah kekayaan yang lebih besar dibanding dengan angka yang tercantum. Yang menjadi pertanyaan bagi kita adalah bagaimana para obligor yang sebelumnya ”mengaku bangkrut” karena menyerahkan seluruh/sebagian asetnya kepada BPPN untuk melunasi BLBI, kini telah kembali menjadi orang-orang terkaya di Indonesia hanya dalam waktu kurang dari 8 tahun?

264/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Apakah ada yang salah dengan mekanisme penyelesaian kasus BLBI? Bagaimana bisa mereka yang dulunya ”bangkrut” bisa kembali menguasai perusahaan-perusahaannya saat ini? Tentu saja kita tidak bermaksud iri atau curiga dengan keberhasilan mereka. Namun dengan kerugian negara yang demikian tinggi akibat ulah sebagian obligor tersebut, kita berharap pemerintah bisa bersikap adil dan mengambil tindakan tegas. Tindakan tegas terutama perlu dilakukan atas ditemukannya aset bodong, penggelembungan nilai aset, pengecilan jumlah kewajiban, dan manipulasi-manipulasi lainnya yang dilakukan obligor.

Profil Konglomerat Penikmat BLBI

l Sebagian besar melanggar hukum pidana (BMPK), namun dibebaskan l Sebagian buron ke luar negeri, bahkan ada yang berganti kewarganegaraan (Singapura) dan dilindungi oleh pemerintah yang bersangkutan l Sebagian belum menyelesaikan kewajiban BLBI l Sebagian menjadi lebih kaya dibanding sebelum krisis (masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia), meskipun pernah mengaku bangkrut l Sebagian diuntungkan oleh dukungan IMF dan pejabat berkuasa l Sebagian bekerja sama dan menjadi agen pihak asing (IMF)

Yang lebih ironis, pembayaran utang-utang obligor melalui penyerahan aset kepada BPPN, ternyata tidak sebanding (jauh lebih kecil) dengan dana BLBI yang mereka terima. Bahkan, rata-rata tingkat pengembalian (recovery rate) dari utang obligor tersebut sangat rendah, yaitu hanya sekitar 20% hingga 30% saja. Ada juga yang bahkan tak sampai 1% sekalipun!

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 265 Berikut ditampilkan perbandingan jumlah kewajiban beberapa obligor kakap, kerugian negara yang mereka timbulkan, dan kekayaan yang mereka miliki saat ini. Salim Group SalimGroup (SG) adalah pemilik BCA, Indocement, Indofood dan beberapa kelompok bisnis lainnya. Pada masa jayanya, pemilik SG, Soedono Salim, merupakan 'taipan' papan atas di Indonesia. Tetapi begitu krisis mendera, satu persatu unit usaha Salim rontok. Ketika terjadi krisis, BCA mengalamirush besar-besaran dari nasabahnya, sehingga menyebabkan BCA masuk dalam pengawasan BPPN sebagai banktake over (BTO). Kewajiban SG, sebagai pemilik BCA, kepada pemerintah diperhitungkan sebesar Rp 52,72 triliun atas BLBI yang diterimanya. Karena tidak sanggup membayar utang-utangnya dengan tunai, sebagian besar utang SG (Rp 52,6 triliun) dibayar dengan penyerahan aset ke BPPN. Namun, setelah diaudit oleh PricewaterhouseCoopers (PwC), total aset yang dimiliki SG ternyata ditemukan hanya senilai Rp 21 triliun.

Kewajiban BLBI Salim Kekayaan Saat Ini Grup

Kewajiban BLBI: Rp 52,72 T Posisi: peringkat 4 terkaya di Pembayaran: Rp 19,38 T Indonesia Recovery Rate: 36,77% Bisnis: tersebar antara lain di Indonesia, China, Hongkong, India, Vietnam.

Kerugian Negara: Kekayaan: Rp 33,33 triliun US$ 2,8 miliar atau Rp 26,32 triliun

266/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Pada akhirnya, diperhitungkan total pembayaran yang dilakukan SG ke BPPN hanya bernilai Rp 19,389 triliun. Pembayaran kewajiban dilakukan secara tunai (hanya Rp 100 miliar) dan sisanya dengan penyerahan aset/saham. Sehingga, untuk kasus SG, negara mengalami kerugian senilai Rp 33,33 triliun. Dengan manipulasi yang telah dilakukannya tersebut, SG berhasil mendapat SKL. Pemerintah tidak melakukan tindakan tegas meskipun sudah ditipu mentah-mentah oleh SG. Saat ini, SG pun telah menjadi orang terkaya No.4 di Indonesia, dengan kekayaan mencapai Rp 26,32 triliun. Sukanto Tanoto Sukanto Tanoto adalah pemilik 33,04% saham Unibank yang menerima kucuran BLBI sebesar Rp 1,4 triliun saat terjadinya krisis. Unibank melanggar BMPK dengan nilai pengucuran kredit hingga 51% dengan nilai mencapai US$ 230 juta. Pengucuran kredit itu dilakukan Unibank terutama melalui fasilitas Wesel Ekspor Berjangka (WEB) yang kemudian tidak diakui oleh BI. Untuk menyiasati kewajiban pembayaran utang BLBI, Sukanto dan 4 pemilik saham Unibank lainnya kemudian mengalihkan kepemilikan saham mereka di Unibank kepada 16 pihak, sehingga tidak ada lagi pemegang saham pengendali (PSP). Padahal pengalihan utang bank-bank penerima BLBI kepada PSP harus dilakukan sesuai dengan mekanisme PKPS untuk memudahkan proses penyelesaian. Dengan cara tersebut (memecah kepemilikan sahamnya di Unibank), Sukanto bebas dari tanggungjawab untuk membayar kewajiban utang BLBI. Meski demikian, atas penyimpangan BLBI yang dilakukannya melalui Unibank, Sukanto pernah dilaporkan oleh sebuah LSM (Komite Pemberantasan Korupsi) ke Mabes Polri dengan tuduhan tindak pidana korupsi atas fasilitas BLBI sebesar Rp 1,4 triliun, plus WEB senilai Rp 2,3 triliun (merupakan konversi dari wesel senilai US$ 230 juta). Penuntutan itu dilakukan atas dasar Sukanto pernah menandatangani surat pernyataan dan kesanggupan (SPK) di hadapan notaris Hin Hoo Sing, notaris publik yang berdomisili di Singapura, yang menyatakan kesanggupan Sukanto untuk menyelesaikan kewajiban yang timbul akibat adanya selisih antara aktiva Unibank dan realisasi pengembalian nasabah. Selain itu, Sukanto juga

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 267 menyatakan kesediaan untuk membayar pesangon karyawan Unibank yang di PHK. Pada kenyataannya, Sukanto kemudian hanya membayar utangnya sebesar US$ 11,5 juta dan Rp 430,5 miliar kepada pemerintah (melalui BPPN) dari hasil penjualan saham. Sehingga, Sukanto masih mengalami kekurangan bayar sebesar Rp 3,1 triliun.

Kewajiban BLBI Kekayaan Saat Ini

Kewajiban: BLBI Rp 1,4 Posisi: peringkat 6 terkaya di triliun + Wesel Eksp or US$ Indonesia 230 juta = Rp 3,56 triliun Bisnis: Tersebar antara lain di Pembayaran: Rp 538,6 Indonesia, China, Brazil, miliar Malaysia, Finland.

Kerugian Negara: Kekayaan: US$ 1,3 miliar Rp 3,02 triliun atau Rp 12,2 triliun

Kini, Sukanto sudah kembali sukses, dengan menduduki peringkat 6 orang terkaya di Indonesia. Jumlah kekayaannya tercatat mencapai Rp 26,32 triliun. Sukanto sukses, atas bantuan yang dinikmatinya dari negara melalui BLBI, lalu kemudian meninggalkan kewajiban pembayaran sisa utang- utangnya kepada pemerintah (yang kemudian mengambilnya dari pajak yang dibayarkan rakyat). Sjamsul Nursalim Melalui BDNI, Sjamsul Nursalim memperoleh kucuran BLBI sebesar Rp 30,9 triliun. Setelah diperhitungkan dengan nilai asetnya, kewajiban yang harus dibayarkan Sjamsul kepada pemerintah adalah sebesar Rp 28,41 triliun. Dari penerimaan pembayaran tunai dan penyerahan aset yang dilakukan Sjamsul, BPPN hanya memperoleh nilai pembayaran sebesar Rp 4,92 triliun

268/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi (recovery rate 17,36%). Artinya, negara dirugikan sekitar Rp 23,49 triliun dari penyelesaian kasus BLBI Sjamsul. Kini, Sjamsul menikmati hidupnya di Singapura dengan memegang predikat orang terkaya nomor 21 di Indonesia dan mencatatkan total kekayaan sekitar Rp 4,18 triliun.

Kewajiban Sjamsul Kekayaan Saat Ini

Kewajiban: Rp 28,41 triliun Posisi: Peringkat 21 terkaya di Pembayaran: Rp 4,92 triliun Indonesia Recovery Rate: 17,36% Bisnis: Tersebar antara lain di Indonesia, China, Singapore, Hongkong, dsb.

Kerugian Negara: Kekayaan: US $ 445 juta Rp 23,49 triliun atau Rp 4,18 triliun

Atang Latief Atang Latief memiliki kewajiban sebesar Rp 447,45 miliar berdasarkan APU Awal yang ditandatangani. Namun, pemerintah hanya menerima pembayaran kewajiban sebesar Rp 134,75 miliar (recovery rate 30,11%) dari Atang, sehingga negara dirugikan sekitar Rp 312 miliar. Saat ini, Atang masuk dalam daftar orang terkaya di Indonesia (peringkat 94) dengan kekayaan sekitar Rp 1 triliun.

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 269 Kewajiban Atang Latief Kekayaan Saat Ini

Kewajiban:Rp 447,45 miliar Posisi: peringkat 94 terkaya di Pembayaran:Rp 134,75 miliar Indonesia Recovery Rate: 30,11% Bisnis: Tersebar antara lain di Indonesia, China, Singapore, Hongkong,.

Kerugian Negara: Kekayaan: US $ 110 juta Rp 312,7 miliar atau Rp 1,03 triliun

Usman Admadjaja Usman Admadjaja adalah pemilik Bank Danamon yang mempunyai kewajiban utang sebesar Rp 12,53 triliun berdasarkan perjanjian PKPS MRNIA. Dari dana tunai dan aset yang diserahkan, BPPN hanya memperoleh pembayaran sebesar Rp 1,095 triliun dari Usman. Sehingga, negara dirugikan sebesar Rp 11,30 triliun. Sementara, Usman termasuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia dengan kekayaan Rp 799 miliar.

Kewajiban Usman Kekayaan Saat ini

Kewajiban: Rp12,53 triliun Posisi: Peringkat 117 terkaya di Pembayaran:Rp 1,095 triliun Indonesia Recovery Rate: 15,21% Bisnis: Tersebar antara lain di Indonesia, China, Singapore, Hongkong.

Kerugian Negara: Kekayaan: US$ 85 juta Rp 11,3 triliun atau Rp 799 miliar

270/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Uraian di atas sekiranya dapat menunjukkan sebagian profil obligor BLBI yang kini kembali sukses sebagai orang-orang terkaya di Indonesia, padahal belum menyelesaikan kewajibannya secara utuh kepada negara. Mereka hidup merdeka, bebas, dan bergelimang harta, tanpa adanya upaya serius pemerintah dalam menuntut pengembalian uang negara yang mereka nikmati. Sementara itu, di sisi lain, kita menyaksikan penduduk miskin terus bertambah jumlahnya dengan tingkat kesulitan hidup yang juga kian meningkat. Negara “dengan terpaksa” harus mengurangi subsidi berbagai kebutuhan publik (sebagaimana hal tersebut merupakan kewajiban pemerintah), karena keterbatasan dana yang sebagiannya tersedot oleh beban pembayaran utang yang ditinggalkan oleh para pengemplang BLBI! Boks berikut akan menjelaskan curamnya jurang yang memisahkan kedua golongan masyarakat tersebut: para pengusaha pengemplang BLBI di satu sisi, dan kehidupan rakyat miskin di sisi lain. Dapat kita nyatakan, kedua kondisi ekstrim tersebut tak akan pernah dapat tereduksi sepanjang tidak ada keadilan dan tindakan korektif atas penyelesaian kasus BLBI dan juga kasus-kasus korupsi lainnya di Indonesia.

Mereka yang Kaya dan Miskin di Indonesia

l Total kekayaan 150 orang terkaya di Indonesia : US$ 46,6 miliar atau Rp 438 triliun l Nilai kekayaan 150 orang terkaya tersebut sama dengan : o Total pendapatan 37,17 juta orang miskin berpenghasilan Rp 167.000/bulan selama 5,7 tahun o Total pendapatan 70 juta orang miskin berpenghasilan US$ 1/hari selama 2 tahun

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 271 Negara mempunyai kewajiban untuk menghapus kemiskinan dengan melindungi, memenuhi, dan memajukan hak-hak rakyat. Untuk itu pemerintah harus menyiapkan dana yang cukup dalam APBN. Namun dana APBN yang dapat dialokasikan demikian kecil untuk kebutuhan pengentasan kemiskinan yang begitu besar. Dengan anggaran yang terbatas tersebut, negara masih harus mengalokasikan dana yang jauh lebih besar untuk membayar pokok dan bunga utang akibat skandal BLBI. Padahal sebagian obligor BLBI ini adalah pelaku tindak pidana yang telah menggelapkan dana masyarakat dan membobol banknya sendiri, termasuk menggelembungkan dan menggelapkan aset/sahamnya dalam rangka memenuhi kewajiban utangnya. Belakangan, para obligor memperoleh SKL (release and discharge /R&D) dari oknum-oknum penguasa yang korup, sehingga bebas dari segala gugatan pidana. Kini, sebagian dari mereka telah kembali kaya raya dengan meninggalkan beban utang kepada negara hingga puluhan tahun yang akan datang. Dengan demikian, para obligor dan oknum pejabat yang ikut membantu memuluskan jalan mereka, telah menikmati kekayaan dan kesejahteraan di atas jutaan orang miskin yang hidup sengsara. Pada uraian selanjutnya, akan dibahas sekelumit persoalan kemiskinan di Indonesia, sebagai masalah yang serius dan nyata dihadapi oleh Indonesia, sehingga seharusnya menjadi panduan bagi pemerintah dalam memutuskan tiap kebijakan, termasuk memutuskan kebijakan terbaik dan adil dalam menyelesaikan kasus BLBI.

Kemiskinan Hari Anti Pemiskinan Sedunia, yang jatuh pada tanggal 17 Oktober 2007, diperingati secara luas di seluruh dunia, termasuk di Jakarta dan berbagai daerah di Indonesia. Peringatan umumnya dihadiri oleh ribuan atau bahkan puluhan ribu orang yang turun ke jalan, pusat-pusat keramaian atau lapangan terbuka. Penyelenggaraan kampanye anti pemiskinan ini antara lain dimaksudkan untuk menggalang kebersamaan dan dukungan masyarakat luas demi penghapusan kemiskinan dalam rangka mencapai tujuan pembangunan milenium (Millennium Development Goals /MDGs).

272/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Indonesia sendiri termasuk 1 dari 189 negara yang mencanangkan tekad mengurangi jumlah penduduk miskin berpendapatan US$ 1/hari menjadi setengahnya antara tahun 1990 hingga 2015. Hal ini dilakukan mengingat jumlah penduduk miskin di Indonesia termasuk yang terbesar di dunia. Seperti diketahui, dampak terbesar dari krisis ekonomi 1997 adalah meningkatnya jumlah penduduk miskin sebesar 45,5%, dari 34,01 juta jiwa (9,42 juta jiwa di perkotaan dan 24,59 juta jiwa pedesaan) pada tahun 1996 menjadi 49,5 juta jiwa (17,6 juta jiwa di perkotaan dan 31,9 juta jiwa di pedesaan) pada tahun 1998 (Survei Sosial Ekonomi Nasional atau Susenas). Setelah krisis 10 tahun berlalu, jumlah penduduk miskin pun masih tetap tinggi, yaitu sebesar 37,17 juta jiwa, yang tersebar di wilayah perkotaan sebesar 13,56 juta jiwa dan di pedesaan sebesar 23,61 juta jiwa (BPS, Maret 2007). Artinya, segera setelah krisis, Indonesia masuk kembali ke dalam kategori negara miskin. Hal ini terlihat dari penurunan GDP perkapita Indonesia yang turun dari US$ 1.266,912 pada tahun 1996, menjadi US$ 1.185,990 pada tahun 1997 dan menjadi US$ 512,993 pada tahun 1998. Berdasarkan pengelompokan yang dilakukan oleh Bank Dunia, GDP perkapita sebesar US$ 765 dikelompokkan sebagai low income country. Sehingga, Indonesia selama dua periode, tahun 1998 dan 1999 masuk ke dalamlow income country , meskipun mulai tahun 2000 GDP perkapita Indonesia naik kembali. Selain meningkatnya kemiskinan, ongkos terbesar krisis ekonomi adalah membengkaknya beban pemerintah untuk membayar pokok dan bunga utang, baik luar maupun dalam negeri akibat penerbitan surat utang negara (SUN). Penerbitan SUN dan obligasi pemerintah disebabkan pemerintah tidak mempunyai danacash untuk mengatasi kesulitan keuangan yang dialami perbankan saat terjadinya krisis. Kesulitan likuiditas yang dialami perbankan saat krisis juga membuat pemerintah mengucurkan BLBI sebesar Rp 144,5 triliun, yang kemudian diikuti dengan pengucuran obligasi rekapitalisasi untuk memperkuat modal perbankan sebesar Rp 431,6 triliun. Hal ini dilakukan melalui penerbitan Surat Utang Negara (SUN) dan obligasi. Khusus untuk obligasi rekap, yang akan berlaku hingga (paling tidak) tahun 2021, diperkirakan pemerintah harus mengeluarkan dana untuk membayar bunga sebesar Rp 600 triliun

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 273 selama 10 tahun atau Rp 1.400 triliun selama 20 tahun, dengan tingkat suku bunga 12%-14% per tahun. Sebagai catatan, jumlah obligasi yang sudah diterbitkan oleh pemerintah hingga akhir Mei 2003 adalah sebesar Rp 640 triliun. Sedangkan, jumlah bunga obligasi yang telah dibayarkan oleh pemerintah sebesar Rp 266,778 triliun sejak tahun 1998 sampai 2004. Di sisi lain, akibat membengkaknya pembayaran kewajiban dan bunga utang, pemerintah harus mengurangi beberapa pos anggaran yang dikeluarkan bagi rakyat, termasuk untuk pendidikan dan kesehatan. Meskipun mungkin terdapat perdebatan atas terjadinya penurunan anggaran kesejahteraan publik di tingkat makro, namun kian beratnya beban yang ditanggung masyarakat (khususnya pada sektor pendidikan dan kesehatan) di tingkat praktik sangat bisa dirasakan dengan nyata. Hal ini antara lain terlihat dengan menghilangnya program pos pelayanan terpadu (Posyandu), naiknya biaya berobat pada rumah sakit rumah sakit pemerintah, naiknya biaya pendidikan di perguruan tinggi negeri (setelah status mereka berubah menjadi badan hukum milik negara/BHMN), dan terus melambungnya harga BBM dan listrik (yang sebagiannya disebabkan penurunan alokasi subsidi, selain adanya kenaikan harga minyak mentah secara global). Sehingga, untuk konteks Indonesia, kampanye penghapusan kemiskinan sebenarnya lebih tepat dialamatkan kepada para elit pemerintah. Karena, pada kenyataannya, merekalah pihak yang telah melahirkan berbagai kebijakan yang merugikan rakyat dan menyebabkan meningkatnya kemiskinan. Kebijakan yang memiskinkan rakyat itu salah satunya ditunjukkan oleh kebijakan BLBI, mulai dari pengucuran hingga penyelesaiannya. Pengucuran dan penyimpangan BLBI membuat negara harus berutang, mengalokasikan anggaran lebih besar untuk mencicil pembayaran utang, dan sekaligus mengurangi alokasi anggaran publik (termasuk biaya pengentasan kemiskinan) dalam APBN. Oleh sebab itu, hal mendasar yang harus dilakukan pemerintah untuk mengentaskan kemiskinan adalah menetapkan kebijakan yang adil terkait BLBI, dan para obligornya, serta menjalankan APBN yang memihak rakyat, bukan sebaliknya, yaitu justru memberikan aneka subsidi kepada obligor.

274/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Presiden SBY dalam kampanyenya pernah menyatakan bahwa jika terpilih maka pemerintahannya akan mengurangi jumlah orang miskin menjadi 8% dalam waktu 5 tahun masa jabatannya. Dalam RPJM 2006-2011 juga disebutkan bahwa target penduduk miskin pada tahun 2015 adalah 8,2%. Namun, dengan kondisi kemiskinan yang ada saat ini, janji SBY itu nampak kian menjadi angan-angan belaka. Apalagi, terjadi pula gejolak ekonomi global dan kenaikan harga minyak yang akan turut mempengaruhi laju perekonomian tanah air. Barangkali, kalaupun pemerintah hendak memaksakan turunnya jumlah penduduk miskin, hal itu hanya dapat dilakukan denganmenurunkan lagi batas garis kemiskinan (yang sebenarnya kini sudah rendah, yaitu sekitar Rp 5.500/hari), misalnya menjadi Rp 3.500/hari. Artinya, seseorang harus benar-benar hidup melarat (seperti makan hanya satu kali sehari) untuk diakui sebagai orang miskin di Indonesia. Suatu hal yang sebenarnya merupakan bentuk pembohongan publik dan diri sendiri, yang dilakukan sekedar untuk tidak terlihat gagal mengentaskan kemiskinan. Berikutnya, akan diuraikan berbagai hal terkait kemiskinan, termasuk profil, data statistik, latar belakang, dampak, serta berbagai kepentingan yang melingkupinya.

Definisi Kemiskinan Definisi mengenai kemiskinan amat beragam. Beberapa lembaga mengartikan kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kualitas hidupnya. Yang lain mengartikan lebih luas dengan memasukkan dimensi-dimensi sosial dan moral. Selain itu ada juga yang menafsirkan kemiskinan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat di bawah suatu sistem pemerintahan yang menyebabkan mereka berada pada posisi yang sangat lemah dan tereksploitasi. Yang terakhir ini dikenal dengan sebutan kemiskinan struktural. Namun, secara umum, ketika orang berbicara mengenai kemiskinan, maka yang dimaksud adalah kemiskinan material. Dengan pengertian ini seseorang dikategorikan miskin apabila tidak mampu memenuhi standar minimum kebutuhan pokoknya agar dapat hidup secara layak. Karena itu, kemiskinan jenis ini disebut dengankemiskinan konsumsi .

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 275 Sementara, Bank Dunia juga memberi definisi sendiri tentang kemiskinan, yaitu, ”Kemiskinan adalah kondisi terjadinya kekurangan pada taraf hidup manusia yang bisa berupa fisik dan sosial”. Kekurangan fisik adalah ketidakcukupan kebutuhan dasar materi dan biologis (basic material and biological needs), termasuk kekurangan nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan perumahan. Sedangkan, ketidakcukupan sosial adalah adanya resiko kehidupan, kondisi ketergantungan, ketidakberdayaan, dan kepercayaan diri yang kurang. Tetapi apakah mendefinisikan orang miskin hanya dari sudut pemenuhan konsumsi saja sudah cukup? Jawabnya tentu tidak. Definisi ini mungkin masih berguna dan akan terus digunakan untuk mengukur kemajuan tingkat kesejahteraan material, akan tetapi juga sangat tidak memadai. Pengertian ini sering tidak berhubungan dengan definisi kemiskinan yang dimaksud oleh orang miskin itu sendiri sehingga tidak cukup mampu memahami realitas kehidupan dari sudut pandang mereka. Pengertian ini juga dapat menjerumuskan kepada kesimpulan yang salah bahwa menanggulangi kemiskinan cukup hanya dengan menyediakan bahan makanan yang cukup. Padahal, kemiskinan tidak hanya terkait dengan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan material dasar, tetapi juga terkait erat dengan berbagai dimensi lain kehidupan manusia, seperti kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan, dan peranan sosial. Oleh karena itu, kemiskinan hanya dapat dipahami secara utuh apabila dimensi-dimensi lain dari kehidupan manusia tersebut juga diperhitungkan. Kemiskinan dalam pengertian ini misalnya diajukan oleh Armartya Sen. Dalam buku berjudulDevelopment as Freedom, Sen mendefinisikan kemiskinan sebagaicapability deprivation , yaitu kemampuan untuk mengakses hak-hak dasar seperti memperoleh layanan yang pendidikan kesehatan, sumber daya finansial dan kegiatan ekonomi produktif, kebebasan, dan berpartisipasi dalam penetapan kebijakan publik.

Fakta dan Statistik Kemiskinan Kemiskinan tidak dapat dipahami hanya dari angka-angka tentang jumlah orang dengan tingkat konsumsi kurang dari “garis kemiskinan”.

276/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Karena, pada kenyataannya, kemiskinan memiliki berbagai dimensi sehingga pengukurannya jauh lebih lebih rumit dari itu. Badan Pusat Statistik (BPS), menggunakan 14 variabel/kriteria untuk mengkategorikan penduduk miskin. Variabel-variabel atau kriteria-kriteria itu adalah: luas lantai bangunan; jenis lantai bangunan yang digunakan; jenis dinding yang digunakan; ada tidaknya jamban/toilet; ada tidaknya sumber penerangan rumah tangga; sumber air minum; jenis bahan bakar yang digunakan untuk memasak sehari-hari; jumlah kosumsi daging, susu, ayam; pengeluaran untuk pembelian sandang; tingkat konsumsi makanan; pengeluaran untuk kesehatan; jumlah penghasilan kepala rumah tangga dalam sebulan; tingkat pendidikan tertinggi kepala rumah tangga; dan jumlah tabungan yang dimiliki. Seseorang akan dikategorikan miskin oleh BPS jika memenuhi minimal 8 dari 14 kriteria/variabel tersebut.

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 277 Profil Orang Miskin Indonesia Versi Bappenas & BPS (Versi Maret 2007)

Pendapatan: Rp 167.000/bulan/orang; atau Rp 5.500/hari/orang

Rumah: kurang dari8m;2 lantai tanah/bambu; dinding bambu/rumbia

Jamban/toilet: Tidak ada

Penerangan: lampu'teplok' (minyak), tanpa listrik

Sumber air: sumur/air hujan

Bahan bakar memasak: kayu/minyak tanah

Makan: 1 atau maksimum 2 kali/hari

Konsumsi : daging/ayam/susu sebanyak 1 kali/minggu

Asupan Kalori: 2100/hari

Pakaian: membeli satu stel/tahun

Kesehatan: tidak sanggup membayar biaya pengobatan puskesmas

Pendidikan tertinggi: maksimum SD

Sumber penghasilan kepala rumah tangga: < Rp 600.000/bulan

Tabungan: Tidak ada

======

· Jumlah penduduk miskin di Indonesia dengan profil seperti di atas tercatat sekitar 37.170.000 jiwa atau hampir dua kali lipat jumlah pendudukAustralia

278/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Meski tidak dapat menggambarkan secara menyeluruh kondisi penduduk miskin, data dan statistik tentang kemiskinan penting untuk diperhatikan. Dengan angka dan statistik, akar masalah dan persoalan kemiskinan dapat dipahami secara mendasar, sehingga selanjutnya dapat disusun konsep dan program konkret yang tepat untuk pemecahannya. Dalam konteks ini, perlu dialamatkan koreksi atas pernyataan Presiden SBY pada sidang paripurna di DPD tanggal 23 Agustus 2007. Saat itu, Presiden mengatakan bahwa persoalan kemiskinan dan pengangguran bukanlah permasalahan statistik dan angka, melainkan persoalan yang menyangkut kondisi kehidupan rakyat yang harus dihadapi bersama oleh pusat dan daerah. Perlu disadari, meskipun persoalan kemiskinan harus ditangani secara subtantif dan mendasar, namun penanganan itu hendaklah berangkat dari angka-angka statistik akurat yang menjadi dasar penetapan kebijakan dan program, sehingga tindakan yang diambil juga memiliki ketepatan dan akurasi. Dengan definisi dan standar kemiskinan yang berbeda-beda, akan terdapat statistik yang berbeda pula tentang angka kemiskinan di Indonesia. BPS menggunakan asumsi pendapatan Rp 167.000/bulan (= US$ 0,6/hari) sebagai garis kemiskinan. Berdasarkan standar ini saja, yang sebenarnya jauh di bawah standar Bank Dunia, jumlah orang miskin di Indonesia telah mencapai 37,17 juta orang (sesuai data BPS Maret 2007). Sedangkan, asumsi pendapatan orang miskin versi PBB dalam MDG's adalah sebesar US$ 1/hari (sekitar Rp 275.000/bulan) dan versi Bank Dunia sebesar US$ 2/hari atau sekitar Rp 550.000/bulan. Dengan demikian, jika standar PBB yang digunakan, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia menjadi 70 juta orang. Jumlah tersebut menjadi lebih besar lagi, yakni 120 juta orang, jika standar Bank Dunia yang dipakai. Artinya, baik berdasarkan standar Bank Dunia maupun PBB, akan diperoleh fakta bahwa lebih dari setengah penduduk Indonesia tergolong miskin! Dengan selisih yang demikian jauh, menarik untuk mempertanyakan dasar pengkategorian orang miskin yang dilakukan oleh BPS. Apakah yang digolongkan sebagai manusia menurut Bank Dunia dan PBB berbeda dengan yang ”dikriteriakan” oleh BPS? Kalaupun kriteria orang miskin versi Bank Dunia dan PBB dianggap terlalu tinggi, apakah layak BPS menurunkannya menjadi hanya sepertiganya?

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 279 Mudah-mudahan pengecilan dan penyembunyian angka ini dilakukan bukan karena ”pesanan” atau sekedar untuk menjaga citra pemerintah. Faktanya, dengan berbagai definisi kemiskinan dan juga acuan kriteria Bank Dunia, diyakini jumlah orang miskin di Indonesia adalah sebesar paling tidak 70 juta jiwa. Bagaimanapun, perlu diingatkan bahwa objektifitas dan akurasi angka/statistik merupakan hal penting, terutama sebagai dasar bagi penetapan program dan solusi yang efektif. Disamping jumlah penduduk miskin yang demikian besar, yakni paling tidak 70 juta orang (atau lebih banyak dari jumlah penduduk Inggris atau Prancis), kita perlu pula memperhatikan berbagai statistik terkait kemiskinan dan keterbelakangan dalam aspek wilayah, pendidikan, kesehatan, tempat tinggal, dan sebagainya. Seperti misalnya kenyataan bahwa kantung-kantung kemiskinan terdapat di 42.000 desa dari 66.000 desa yang ada, 1,4 juta anak usia sekolah terpaksa putus sekolah, serta 50% penduduk Indonesia tinggal di rumah yang tidak layak huni (selengkapnya lihat boks).

280/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Potret Kemiskinan di Indonesia

Kuantitas dan Sebaran · 37,17 juta orang hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 0,6/hari dan 70 juta orang hidup dengan pendapatan kurang dari US$ 1/hari · 630.000 orang miskin hidup di Jakarta sebagai Ibukota Negara · Lebih dari 120 juta orang Indonesia hidup di bawah standar kesejahteraan sapi, sapi di Eropa menerima subsidi US$ 2,5/hari oleh Uni Eropa · 23,61 juta orang miskin tinggal di desa, 13,56 juta orang tinggal di kota · 42.000 dari 66.000 desa yang ada dikategorikan sebagai desa miskin · 190 dari 440 kabupaten/kota dihuni penduduk miskin · Terdapat seluas 56.000 hektar kawasan kumuh di perkotaan Indonesia

Tempat Tinggal dan Konsumsi · 3,5 juta anak Indonesia berstatus terlantar · 50% penduduk tidak mempunyai rumah layak huni · 17 juta keluarga Indonesia tinggal di kawasan kumuh padat penghuni · 40.000 anak jalanan hidup di Jakarta · 1 diantara 5-6 orang kelaparan setiap hari · 307 dari 100.000 ibu yang melahirkan meninggal dunia · 2-4 dari 10 anak balita di 72 kabupaten menderita busung lapar · 2,3 juta anak balita menderita gizi buruk dan 1,67 juta menderita busung lapar

Pendidikan dan Pekerjaan · 24 juta orang (10,4% dari total penduduk) adalah buta huruf · 1,4 juta anak usia sekolah terpaksa tidak sekolah · 4,18 juta anak usia sekolah putus sekolah dan menjadi pekerja · Lebih dari 70% orang miskin hidup sebagai petani · 13,6 juta petani hanya mempunyai lahan di bawah 0,5 ha · Sekitar 10% angkatan kerja, atau 10,55 juta orang adalah pengangguran

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 281 Kesulitan rakyat miskin juga meningkat dengan dicabutnya subsidi dalam beberapa bidang. Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) misalnya, program pelayanan kesehatan bagi keluarga kurang mampu ini sempat ditiadakan karena keterbatasan anggaran, padahal sangat dibutuhkan masyarakat (kini sudah kembali bergulir). Selain itu, biaya pelayanan dan berobat di rumah sakit milik pemerintah juga dinaikkan. Akibat pengurangan subsidi pada beberapa pos kesehatan ini, beberapa kasus penyakit yang sempat hilang selama beberapa tahun seperti busung lapar (gizi buruk) dan polio kembali muncul di sejumlah daerah. Selain kesehatan, pelayanan pemerintah dalam bidang pendidikan juga dikurangi sehingga mengakibatkan biaya pendidikan menjadi mahal. Biaya tinggi terutama dirasakan oleh pelajar yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi negeri (PTN). Biaya kuliah di PTN yang relatif terjangkau saat sebelum krisis, mendadak menjulang berkali-kali lipat pasca krisis. Hal ini terjadi karena status PTN yang sebelumnya negeri (dibiayai pemerintah), berubah menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang bersifat otonom, termasuk dalam mengusahakan dan mengelola biaya pendidikan. Dampaknya, pihak perguruan tinggi membebankan biaya pendidikan seluruhnya (atau hampir seluruhnya) kepada siswa, sehingga menjadi sangat tinggi. Disamping itu, keterbatasan anggaran juga menyebabkan sejumlah infrastruktur di Indonesia mengalami rusak berat. Jalur kereta api berkali- kali dilaporkan anjlok akibat rel yang rusak, kapal laut tenggelam karena sudah tidak laik beroperasi, atau jalan rusak parah sehingga mengakibatkan meningkatnya jumlah kecelakaan kendaraan bermotor. Uraian di atas menunjukkan betapa parahnya keterbelakangan dan kesengsaraan yang dialami oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Perlu pula kembali diingat bahwa angka-angka penduduk miskin yang kita terima selama ini dari pemerintah diukur dengan standar yang sangat minimum, meski hal itu pun jumlahnya sudah signifikan untuk ditangani secara terencana, komprehensif, cermat, terintegrasi, berkeadilan dan berkesinambungan. Bagaimana jika standar kemiskinan yang digunakan adalah standar PBB atau Bank Dunia?

282/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Peran Negara, Globalisasi, dan Pemiskinan UUD 1945 antara lain mengamanatkan bahwa setiap orang dan anak berhak hidup dan mempertahankan kelangsungan hidupnya (Pasal 28A dan 28B); mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, mendapat pendidikan, memperoleh manfaat dari berbagai kemajuan demi kesejahteraan (28B); memperoleh perlindungan, kepastian dan perlakuan hukum yang adil (28D); berhak untuk bekerja dan mendapat imbalan yang adil dan layak (28D); dan hidup sejahtera lahir batin dan bertempat tinggal, serta memperoleh pelayanan kesehatan (28H). Disamping itu, konstitusi mengamanatkan pula bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar harus dipelihara negara, serta negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak (Pasal 34). Meskipun telah nyata tercantum dalam konstitusi, kita justru kerap menemukan terjadinya pengkhianatan atas amanat itu dalam penyelenggaraan pemerintahan. Jangankan menjalankan amanat untuk segera memenuhi berbagai hak rakyat dan membantu puluhan juta orang miskin, menghasilkan undang-undang yang mengatur pelaksanaan hak-hak asasi rakyat dan sistem jaminan sosial bagi fakir miskin saja (sesuai amanat pasal 34) tidak mampu dilakukan para penyelenggara negara. Rakyat dibiarkan terkatung-katung dalam kemiskinan dan kelaparan, padahal, di sisi lain, pemerintah terus menganggarkan pembayaran bunga obligasi rekap puluhan triliun untuk membantu bank-bank yang dimiliki para obligor dan asing. Apa dasar dari kebijakan yang dijalankan penyelenggara negara tersebut? Banyak fakta yang menjelaskan bahwa kemiskinan tidak berdiri sendiri sebagai realitassepi dan tanpa sebab. Realitas kemiskinan itu ada sebagai akibat dari sesuatu. Sesuatu itu terutama bukanlah masalah internal si miskin, tetapi lebih banyak bersumber dari kekuatan eksternal, kekuatan besar yang berdasarkan kuasa 'wewenang', ataupun kuasa 'modal' yang terus mendesak mereka ke jurang kemiskinan. Oleh sebab itu, yang sesungguhnya terjadi adalahproses pemiskinan . Masalah kemiskinan terutama muncul karena karakter pertumbuhan ekonomi yang tidak adil dan berkualitas yang justru meningkatkan ketimpangan. Rakyat menjadi miskin karena sistem ekonomi yang salah, perilaku KKN, dan kesalahan pengelolaan negara. Kemiskinan

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 283 bertambah akibat tidak jelasnya pengaturan institusi, lemahnya political will, ketidakberpihakan para pengambil keputusan, serta dominannya tekanan kepentingan asing dan kaum pemilik modal. Dalam hal ketersediaan, terdapat cukup banyak makanan di Indonesia dan dunia untuk memenuhi kebutuhan setiap manusia sebesar 3500 kalori per hari, apalagi hanya 2100 kalori seperti yang dikriteriakan BPS. Karena itu, masalah kelaparan dan kekurangan gizi sesungguhnya bukan terletak pada kelangkaan makanan, tetapi tidak adanya daya beli. Tidak adanya pemerataan dan keadilan menambah ketimpangan yang terjadi sehingga menyebabkan dialaminya kelaparan dan kurang gizi oleh puluhan juta orang.

Penyebab Kemiskinan Kemiskinan terjadi karena sistem ekonomi yang salah, pemerintahan yang salah kelola, dan merajalelanya praktik KKN. Kemiskinan bertambah akibat tidak jelasnya pengaturan institusional, lemahnyapolitical will dan keberpihakan para pengambil keputusan, serta dominannya tekanan dan kepentingan asing, penguasa korup dan pemilik modal. Di bawah ideologi neoliberal, IMF dan Bank Dunia menjadi penekan pengintegrasian semua negara ke dalam perekonomian global. IMF dan Bank Dunia memperangkap banyak negara ke dalam jerat utang dan sekaligus memaksa dijalankannya program penyesuaian struktural berupa deregulasi di hampir semua sektor, liberalisasi ekonomi dan keuangan, perdagangan bebas, devaluasi mata uang, privatisasi BUMN, dan pengurangan belanja publik.

Inilah sesungguhnya rangkaian proses pemiskinan yang dialami Indonesia!

284/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Secara lebih mendasar, dapat dinyatakan bahwa kemiskinan dan ketidakadilan tidak terjadi dengan sendirinya tanpa sebab musabab. Ia merupakan hasil dan konsekuensi dari sejarah panjang penjajahan Barat selama lebih dari setengah abad. Selama itu pula Barat memaksakan doktrin- doktrin sosial dan ekonominya ke seluruh dunia. Barat memulai dengan aneksasi tanah bangsa lain, kolonialisme dan imperialisme, lalu kemudian dilanjutkan dengan mendorong terciptanya sistem ekonomi pasar (pasar bebas), budaya konsumerisme, dan paham kapital berupa pendewaan terhadap uang di atas segala-galanya. Globalisasi, berupa integrasi semua negara ke dalam sistem ekonomi dunia tunggal, pada berbagai tingkat, merupakan kelanjutan kolonialisasi. Oleh sebab itu, globalisasi adalah upaya Barat dan kaum kapitalis untuk mengambil alih kekayaan dan sumber daya alam dunia, sekaligus membuka pasar bagi produk-produk mereka. Untuk ”mengelola” globalisasi, selain menciptakan doktrin ”pembangunan”, Barat mendirikan pula perangkat-perangkat institusi seperti IMF,Bank Dunia (WB), Bank Pembangunan Asia (ADB), dan WTO. Di bawah ideologi neoliberal, IMF dan Bank Dunia menjadi penekan pengintegrasian semua negara ke dalam perekonomian global. IMF dan Bank Dunia memerangkap banyak negara ke dalam jerat utang dan sekaligus memaksa mereka menjalankan program penyesuaian struktural berupa liberalisasi ekonomi & keuangan, pembukaan pasar domestik & perdagangan bebas, deregulasi, devaluasi mata uang (untuk ”daya saing), privatisasi BUMN, dan mengurangi belanja publik (pendidikan, kesehatan, dan sebagainya). Kondisi ini pula yang dialami Indonesia. Pemaksaan oleh IMF dan Bank Dunia, serta pelaksanaan program penyesuaian struktural (structural adjustment program/ SAP), telah merendahkan standar hidup, menurunkan upah, menaikkan harga-harga, dan meningkatkan kemiskinan. Selain memangkas kesejahteraan rakyat, parapenguasa negara-negara berkembang bersedia memberikan berbagai kesempatan,privilege, dan prioritas kepada investor asing dan pasar finansial mereka karena telah mendapat utang, ”dukungan” ekonomi, politis, keamanan dan stabilitas dari IMF, Bank Dunia, dan Barat. Hal inilah yang telah dilakukan kaum neoliberal di Indonesia sejak orde baru hingga saat ini.

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 285 Para penguasa telah membuat berbagai kebijakan dan undang-undang yang pro asing dan tidak berpihak kepada rakyat serta sangat merugikan negara dalam berbagai sektor kebijakan mencakup ekonomi, keuangan, perdagangan, pengelolaan SDA (khususnya pertambangan & migas), dan BUMN. Termasuk pula di dalamnya kebijakan tentang anggaran, utang, dan pengurangan subsidi (seperti misalnya pengurangan subsidi pupuk yang memarjinalkan sektor pangan dan pertanian, padahal sektor tersebut merupakan tempat bergantung hidup 70% rakyat miskin). Dengan kebijakannya, penguasa justru memberi kesempatan kepada Freeport di Tembagapura, Exxon di Aceh, Cepu dan Natuna, Caltex/Chevron di Riau, Inco di Sulawesi, Newmont di Minahasa dan NTB, dan Beyond Petroleum di Tangguh () untuk menguras SDA Indonesia. Para penguasa juga membuat kebijakan yang berpihak kepada para konglomerat dan bankir nakal berupa pengucuran BLBI dan obligasi rekapitalisasi perbankan. Kebijakan-kebijakan ini, tak dapat dibantah, mengakibatkan kerugian yang sangat besar bagi negara. Keseluruhan kebijakan tersebut juga merupakan proses pemiskinan rakyat yang sangat nyata. Hal ini terjadi di luar kuasa rakyat miskin, karena posisi mereka yang lemah dan selalu dimanfaatkan oleh pihak yang memiliki kekuasaan, wewenang, dan modal. Demikianlah ”sistematika” pemiskinan itu: dominasi, kolonialisasi, dan pemaksaan oleh Barat lewat IMF, Bank Dunia, perusahaan multinasional, dan kaum pemilik modal (baik internasional maupun domestik). Mereka menjalankan misi ini melalui kerja sama dengan para penguasa yang salah mengelola negara, tidak adil, pengidap KKN, haus kekuasaan, tidak mandiri, dan lupa menjaga harga diri. Orang miskin, disamping karena kesederhanaan keinginannya, juga tidak mempunyai kekuatan untuk menghadapi kekuatan eksternal ini, sehingga membuat mereka terpuruk dalam kemiskinannya. Mereka hanya bisa pasrah menerima keadaan tanpa bisa berbuat apa-apa, meskipun sesungguhnya hak mereka dijamin oleh UUD 1945. Kemiskinan bukanlah soal kekurangan sumber daya, melainkan digenggamnya kendali ekonomi oleh segelintir pihak, mencakup negara- negara kaya, oknum penguasa korup, perusahaan multinasional, dan para

286/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi pemilik modal lokal/internasional yang melahap habis sumber-sumber kekayaan dunia tanpa menyisakan bagian untuk mereka yang terpinggirkan.

Program Pemerintah Diakui bahwa saat ini pemerintah telah menyusun berbagai program untuk mengatasi kemiskinan yang pelaksanaannya berada dibawah koordinasi Departemen Pekerjaan Umum. Program dimaksud adalah Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) yang secara operasional dilakukan melalui Program Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan (P2KP) dan Program Peningkatan Kecamatan (PPK). Untuk tahun 2007, PNPM Departemen PU dianggarkan sebesar Rp 1,7 triliun, sedangkan pada tahun 2008, naik menjadi Rp 2,1 triliun. Meski demikian, sangat disayangkan 90% anggaran program ini berasal dari utang kepada ADB, walaupun masa pengembaliannya berjangka waktu 30 tahun. Disamping itu, juga layak dipertanyakan efektifitas program ini, karena ternyata sejak P2KP dimulai pada tahun 1999 (Tahap I) hingga saat ini belum terlihat hasil nyatanya dalam menekan angka kemiskinan. Pada tahun 2008 mendatang, sama seperti tahun-tahun sebelumnya, pemerintah juga menyiapkan PNPM dan Jaringan Pengaman Sosial (JPS) sebagai upaya untuk menekan angka kemiskinan. Kedua program ini diarahkan untuk menyerap tenaga kerja, antara lain melalui proyek-proyek pembangunan jalan dan waduk. Pada tahun 2008, pemerintah juga menargetkan jumlah penduduk miskin sebesar 37,81 juta orang, atau 17,19% dari 220 juta penduduk. Sedangkan, pada tahun 2009, target jumlah penduduk miskin adalah 18,8 juta orang. Target-target ini ditetapkan pemerintah ditengah kenaikan harga minyak dunia dan tidak tercapainya sejumlah target ekonomi nasional. Pemerintah, melalui Bappenas, untuk tahun 2008 juga memproyeksikan 3 (tiga) skenario garis dan angka kemiskinan, yang dikaitkan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi sebagai berikut: · Pertumbuhan 6,6%, garis kemiskinan Rp158.000/bulan: angka kemiskinan 17,17%;

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 287 · Pertumbuhan 6,8%, garis kemiskinan Rp165.000/bulan: angka kemiskinan 17,19%; · Pertumbuhan 6,6%, garis kemiskinan Rp172.000/bulan: angka kemiskinan 17,21%. Berdasarkan tiga skenario di atas, terlihat bahwa pada tahun 2008 tidak diproyeksikan terjadi penurunan jumlah penduduk miskin, mengingat tahun ini angka kemiskinan juga sebesar 17,17% atau 37,17 juta orang. Yang sangat mengherankan adalah bahwa Bappenas tega menggunakan garis kemiskinan yang sangat rendah, yaitu berkisar pada angka Rp 158.000 Rp 172.000 (atau sama dengan US 0,6/orang/hari!). Garis kemiskinan ini tidak jauh berbeda atau bahkan lebih rendah dari garis kemiskinan tahun sebelumnya yaitu Rp 167.000/bulan. Padahal, di sisi lain, kita sama-sama mengetahui dan mencermati bahwa dalam 2 tahun terakhir, termasuk perkiraan tahun depan, tingkat inflasi adalah sekitar 6-8% per tahun. Jika inflasi terjadi, sedang pendapatan stagnan atau malah turun, maka daya beli masyarakat juga turun. Dengan demikian, dengan adanya inflasi, angka/garis kemiskinan juga selayaknya naik. Dari uraian di atas, kita kesulitan memahami apa latar belakang dan motivasi Bappenas menetapkan rendahnya garis kemiskinan tersebut. Sejauh ini kita hanya dapat menyimpulkan bahwa pemerintah mencoba menurunkan angka kemiskinan bukan dengan cara meningkatkan daya beli, kesejahteraan dan taraf hidupnya, tetapi dengan cara menurunkan garis kemiskinan agar jumlah rakyat miskin tampak berkurang atau setidaknya tidak bertambah. Padahal, garis kemiskinan yang digunakan saat ini pun sudah begitu rendah, bahkan jauh lebih rendah dari standar sapi di Eropa atau standar PBB yang US$ hanya 1/orang/hari itu (sekitar Rp 270.000/orang/bulan). Dengan demikian, angka kemiskinan turun bukan karena peningkatan kesejahteraan atau pendapatan tetapi karena standarnya yang diturunkan. Hal ini, jelas merupakan upaya penurunan kemiskinan yang bersifat semu dan hanya merupakan bentuk manipulasi citra. Untuk itu, pada kesempatan ini kita hendak mengingatkan janji Presiden SBY saat kampanye dahulu bahwa jumlah penduduk miskin akan diturunkan menjadi 8% selama 5 tahun masa pemerintahannya. Dari realitas yang ada, nampaknya janji itu akan sulit terealisasi. Karena itu, kita pun khawatir, langkah yang dilakukan pemerintah untuk mencapai target

288/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi penurunan angka kemiskinan adalah lagi-lagi melalui penurunan standar garis kemiskinan.

Dampak dan Urgensi Solusi Kemiskinan Kemiskinan telah menimbulkan memburuknya kualitas hidup, krisis pangan, gizi buruk, putus sekolah, kebodohan, dan berbagai keterbelakangan lainnya. Kemiskinan juga menjadi salah satu sumber malapetaka dan munculnya berbagai masalah sosial yang terjadi di masyarakat seperti merebaknya kejahatan/kriminalitas, konflik sosial, dan dekadensi moral. Kemiskinan merupakan penghalang bagi masyarakat untuk bisa menjalani hidup secara terhormat, bermartabat dan sejahtera. Terlepas dari program pemerintah yang telah diuraikan di atas, kita membutuhkan langkah nyata dan penghentian politisasi orang miskin. Kita menuntut pemerintah untuk jujur menyatakan jumlah penduduk miskin yang sebenarnya, sekaligus menggunakan standar kriteria kemiskinan yang lebih manusiawi. Dapat dinyatakan, standar kriteria kemiskinan yang digunakan oleh pemerintah saat ini bahkan tak sebanding dengan standar kehidupan ternak sekalipun (ingat subsidi sapi di Eropa yang seharga US$ 2,5/ekor/hari). Yang sesungguhnya dibutuhkan oleh sekitar 120 juta penduduk di Indonesia hanyalah cukup makan, mampu berobat di puskesmas dan tempat tinggal yang layak huni. Sementara, di perkotaan, rakyat miskin hanya butuh tempat berdagang di lapangan terbuka, yang meskipun kondisinya jauh di bawah standar mal-mal mewah yang mendapat keistimewaan dari penguasa, namun bebas dari penggusuran dan diizinkan untuk terus melangsungkan keberadaannya dan menyambung hidupnya. Pada intinya, rakyat membutuhkan penguasa yang berpihak kepada orang miskin: APBN yang meningkatkan pemerataan dan memihak rakyat (dan bukannya konglomerat), penyelenggara negara yang bebas KKN, birokrat bersih dan bermoral, serta pengusaha yang berperikemanusiaan. Rakyat sudah bosan dijadikan objek dan diperalat oleh sebagian elit kekuasaan yang berteriak-teriak mengkampanyekan slogan ”pro wong cilik”, namun ternyata hanya bertujuan meraih kedudukan dan keuntungan pribadi dan golongan. Setelah kekuasaan diraih, rakyat miskin dilupakan dan dibiarkan sendiri menghadapi kesulitan hidup: sekolah mahal, ingin berobat BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 289 tidak mempunyai uang, dapat beras miskin (raskin) sudah berulat, dan bahkan untuk mati saja susah mencari lahan! Indonesia mutlak membutuhkan pemimpin yang visioner, berkarakter, berani bertindak sesuai kepentingan rakyat, menjadi panutan dalam kebersamaan dan keprihatinan, tidak peragu, dan pantang bersikap basa basi. Rakyat telah lelah dengan pemimpin yang memihak kepentingan asing, investor atau konglomerat, termasuk kepada para pengemplang BLBI. Rakyat membutuhkan pemimpin yang mengarahkan kerjanya langsung pada sumber masalah (yaitu antara lain pada penyelesaian kasus BLBI secara berkeadilan) dan bukannya sibuk bekerja memoles citra untuk memenangkan dirinya dari satu pemilu ke pemilu yang lain. Terkait dengan hal itu, kita mengharapkan pemimpin RI setidaknya dapat menjalankan beberapa agenda penting berikut: · Merevisi atau bahkan mencabut berbagai kebijakan, undang- undang, dan peraturan yang menjadi sumber pemiskinan; · Melaksanakan pembangunan ekonomi, sosial dan politik secara terencana, komprehensif dan berkesinambungan, terutama bagi masyarakat miskin; · Memenuhi hak-hak dasar masyarakat sesuai amanat pasal 28 dan 34 UUD 1945.

Penutup Kemiskinan merupakan masalah genting dan serius yang kita hadapi. Jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan sangat besar dan berpotensi menjadi sumber berbagai masalah sosial yang dapat meledak setiap waktu. Dari satu pemerintah ke pemerintah lain kita dapati bahwa mereka menjadi objek kampanye para calon penguasa, namun nasib mereka tidak banyak berubah dan populasinya tetap tinggi. Malah ada penguasa yang tega ”merekayasa” standar dan kriteria kemiskinan dengan tujuan agar jumlah mereka terlihat turun atau minimal tidak bertambah. Sebaliknya, kita mencatat bahwa GDP negara (Rp 3.531 triliun-2007) dan APBN (Rp 746 triliun-2007) terus meningkat, serta ekonomi juga terus tumbuh. Namun hal ini terjadi dalam kondisi ketidakmerataan dan

290/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi ketidakadilan. BerdasarkanWorld Wealth Report 2007, warga superkaya Indonesia periode 2005-2006 tumbuh 16%, dan berada di tempat ketiga tertinggi di dunia setelah Singapura (22%) dan India (20%). Hal ini menunjukkan jumlah warga superkaya di Inodnesia adalah sekitar 20.000 orang. Sedangkan, jumlah orang miskin pada periode yang sama tidak banyak berubah, berkisar pada angka 37.000.000 orang. Dengan demikian, kesenjangan antara orang berpunya dengan orang miskin semakin besar. Orang kaya menjadi semakin kaya dan yang miskin tetap miskin atau semakin miskin. Ironisnya, kita juga menemukan ada sekelompok orang kaya yang terlibat KKN, namun justru mendapat berbagai fasilitas, kemudahan, dan perlindungan dari penguasa. Melalui manipulasi tersebut, sebagian mereka bahkan sukses masuk dalam daftar 150 orang terkaya di Indonesia. Itulah kelompok masyarakat yang membobol uang rakyat lewat BLBI yang kemudian memperoleh status bebas melalui kebijakan release and discharge (R&D). Konstitusi mengamanatkan bahwa negara berkewajiban mengurangi dan menghapus kemiskinan melalui pemberian santunan dan pemenuhan hak-hak asasi mereka. Hal ini (seharusnya) dijalankan berdasarkan konsep dan program yang terencana dan sistemik, serta didukung dengan anggaran yang cukup. Namun kenyataannya, alokasi dana APBN untuk menanggulangi kemiskinan masih jauh dari cukup karena anggaran negara dalam APBN sangat terbatas. Di sisi lain, banyak program yang harus dibiayai oleh APBN yang kondisinya serba terbatas tersebut. Salah satu program itu adalah pembayaran pokok dan bunga utang, yang memakan seperlima hingga seperempat bagian dari porsi APBN. Yang menyakitkan, sebagian besar utang yang harus dibayar negara tersebut (yang jumlahnya sangat besar), merupakan warisan dari skandal KKN kasus BLBI. Tindakan KKN itu dilakukan sejumlah besar obligor BLBI dengan menggelapkan dana masyarakat, membobol banknya sendiri, menyerahkan aset-aset bodong, menggelembungkan nilai aset, dan menggelapkan aset/sahamnya saat pelunasan utang. Atas berbagai tindak kejahatan tersebut, para obligor ini belakangan malah bebas dari tuntutan pidana dan memperoleh R&D.

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 291 Saat ini, sebagian mereka telah kembali kaya raya dengan meninggalkan beban utang kepada negara dan rakyat hingga puluhan tahun yang akan datang. Tak berlebihan jika kita katakan para obligor tersebut (dengan bantuan para oknum pejabat yang meringankan beban utang dan membebaskan mereka), telah menikmati status, kekayaan, dan kesejahteraan di atas penderitaan jutaan orang miskin yang hidup sengsara. Memperhatikan parahnya kemiskinan yang terjadi di Indonesia, maka tidak ada jalan lain bagi kita selain segera melakukan terobosan dan langkah- langkah besar untuk melakukan perbaikan, sehingga kemiskinan dapat berkurang dan dampak negatifnya dapat dihindari. Rakyat tidak lagi membutuhkan janji-janji politik, retorika dan tebar pesona para penguasa. Yang dibutuhkan adalah makan, pekerjaan, berobat gratis, sekolah murah, dan rumah untuk menetap. Untuk itu kita menuntut tindakan nyata para pemimpin, agar berupaya maksimal mengentaskan kemiskinan, bertindak adil terhadap seluruh lapisan masyarakat, memberantas KKN, menghukum para penjahat dan pelaku pidana korupsi (termasuk skandal mega korupsi BLBI), dan bersedia hidup dalam kebersamaan dan keprihatinan.

292/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Lampiran 1 DAFTAR ORANG TERKAYA DI INDONESIA (Versi Majalah Globe Asia, Agustus 2007)

No. NAMA PERUSAHAAN KEKAYAAN BISNIS 1. Budi Hartono Djarum $4.2 billion Cigarettes, banking, property 2. Rachman Halim Gudang Garam $3.5 billion Cigarettes 3. Eka Tjipta Widjaja Sinar Mas $3.1 billion Palm oil, pulp and paper, finance, property 4. Sudono Salim Salim Group $2.8 billion Food, palm oil, telecommunication, property 5. Putera Sampoerna Sampoerna $2.2 billion Cigarettes, casino, investments 6. Sukanto Tanoto Raja Garuda Mas $1.3 billion Pulp and paper, palm oil 7. Eddy William Katuari Wings Group $1.1 billion Consumer goods 8. Aburizal Bakrie Bakrie Group $1.05 billion Energy, property, telecommunication 9. Arifin Panigoro Medco Energy $900 million Energy 10. Hary Tanoesoedibjo Global MediaCom $820 million Media 11. Boenjamin Setiawan Kalbe Farma $650 million Pharmaceutical 12. Martua Sitorus Wilmar Intl Holding $615 million Palm oil 13. Hashim Djojohadikusumo Nations Energy $595 million Energy 14. Mochtar Riady Lippo Group $585 million Proprty, retail, healthcare 15. Chairul Tanjung Para Group $565 million Banking, media 16. Hasan Djojonegoro ABC $560 million Consumer foods 17. Prajogo Pangestu Barito Pacific $525 million Timber, petrochemicals 18. Edwin Soeryadjaya Saratoga Investama $520 million Mining, insfrastructure 19. Peter Sondakh Rajawali Group $510 million Telecommunication, cement, hotel 20. Trihatma Haliman Agung Podomoro $505 million Property 21. Sjamsul Nursalim Gajah Tunggal $445 million Tyres, retail, mineral 22. Kartini Mulyadi Tempo Scan Pacific $415 million Pharmaceuticals 23. Osbert Lyman Satya Djaja Raya $400 million Timber, property 24. Paulus Tumewu Ramayana $395 million Retail 25. Tan Siong Kie Rodamas Group $375 million Manufacturing, Consumer goods 26. Dasuki Angkosubroto Gunung Sewu Group $365 million Property 27. Murdaya Po Berca $350 million Manufacturing, property 28. Sri Praksh Lohia Indorama $345 million Textiles, petrochemical 29. Jan Darmadi Darmadi CoRp $340 million Property

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 293 30. Ciputra Ciputra Development $335 million Property 31. George & Sjakon Tahija Austindo Energy $330 million Energy 32. Teddy P. Rachmat Triputra Group/Adaro $320 million Coal mining, manufacturing 33. Eddy Sariaatmadja SCTV $305 million Media 34. Gunawan Jusuf Sugar Group $295 million Sugar 35. Sofjan Wanandi Gemala & Santini Group $290 million Manufacturing, insurance 36. Yos Sutomo Sumber Mas $280 million Timber 37. Eka Tjandranegara Mulia Group $278 million Property, building materials 38. Sugianto Kusuma Agung Sedayu $275 million Property 39. Alexander Tedja Pakuwon $270 million Property, malls 40. Subianto Tjandra Atedja Group $265 million Textile, leather 41. Thee Nin Khing Argo PantesGroup $260 million Textile, property 42. Burhan Uray Djajanti Timber $260 million Timber 43. Hadi Surya Berlian Laju Tanker $255 million Shipping 44. Benjamin Jiaravanon CP Indonesia $255 million Feed mill 45. Adyansyah Masrin Lautan Luas $250 million Chemicals, paper 46. Sutanto Djuhar First Pacific $250 million China investment 47. Tatang Hermawan Fuji Palapa Textile $250 million Textile 48. Tan Kian Dua Mutiara $245 million Property, textile 49. Handojo Santosa Ometraco $240 million Feed mill, property 50. Henry Onggo Ratu Sayang Group $235 million Property 51. Bachtiar Karim Musim Mas $230 million Palm oil 52. Didi Darwis Ling Brothers $225 million Investment, property 53. Hutomo Mandala Putra Humpuss $220 million Shipping 54. Soetjipto Nagaria Summarecon $213 million Property 55. Mumin Ali Gunawan Panin $210 million Banking, Property 56. Jakob Oetama Kompas Gramedia $200 million Media 57. Kiki Barki Tanito Harum $195 million Coal Mining 58. Tomy Winata Artha Graha Group $185 million Property, Banking 59. Kris Wiluan Citra Mas Group $175 million Petrolium Supplier 60. Dahlan Iskan Jawa Pos $172 million Media 61. Gunawan Tjondro CNI $170 million Consumer goods, property 62. Rudy Suliawan Mid Plaza $165 million Property 63. Jogi Hendra Atmadja Mayora $163 million Consumer foods 64. Johannes Kotjo Apac Centertex $162 million Manufacturing 65. Bambang Trihatmodjo Global MediaCom $160 million Media 66. Muljadi Budiman Honda Prospect $160 million Automotive 67. Rusdi Kirana Lion Air $160 million Airline 68. Luntung Honoris Modern Group $156 million Property, Fuji film

294/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi 69. Rudy Unjoto Daliatex Kusuma $155 million Textile 70. Soedjono Wirasakti Adimulya $150 million Property 71. Soegiharto Sosrodjoyo Sosro $150 million Consumer foods 72. Eddy Tan Bandung Investments $150 million Textile, garments 73. Sugianto Metro Garmen $150 million Textiles 74. A Tong Roda Vivatex $150 million Textiles 75. Aksa Mahmud Bosowa Group $145 million Cocoa manufacturing 76. Mardjoeki Atmadiredja Surya Toto Indonesia $145 million Sanitary wares 77. Sri Sultan Hamengkubuwono Sultan of Yogyakarta $140 million Property 78. Sudhamek Garuda Food $135 million Consumer foods 79. Budi Purnomo Hadisurjo Optik Melawai $132 million Optic chain 80. Cahyadi Kumala Bukit Sentul $130 million Property 81. Basuki Wiwoho Tripatra Engineering $130 million Oil and gas contractor 82. G. Lukman Pudjiadi Jayakarta Group $128 million Property, hotels 83. Jusuf Kalla Hadji Kalla $125 million Heavy industry, infrastructure 84. Sandy Bingei Sumatera Tobacco $125 million Tobacco company 85. Pontjo Sutowo Nugra Sentana Group $125 million Property, hotels 86. Sigit Harjojudanto Humpuss $120 million Investment 87. Honggo Wendratmo Tirtamas Group $120 million Petrochemicals 88. Soegiarto Adikoesoemo Aneka Kimia Raya $120 million Chemicals 89. Iskandar Widyadi Bank Jasa Jakarta $120 million Banking 90. Tan Tjai Kie Gunung Garuda Steel $113 million Manufacturing, mining 91. Susanto Lim Domba Mas Group $112 million Oleochemical, palm oil 92. Sukamdani Gitosardjono Sahid Group $110 million Property, hotels 93. Sudwikatmono Indika Group $110 million Entertainment 94. Atang Latief Group Atang Latief $110 million Banking 95. GS Margono Gapura Prima $110 million Property 96. Mintarjo Halim Sandratex $110 million Textile 97. Henry Pribadi Napan Group $105 million Investment 98. Surya Djuhadi Nojorono $105 million Cigarettes 99. Soedarpo Sastrosatomo Samudra Shipping $102 million Shipping 100. Alim Markus Maspion Group $100 million Consumer goods 101. Widarto Sungai Budi $98 million Consumer goods 102. Ishack Charlie Kurnia Tetap Mulia $98 million Hotels, shrimp farming 103. A Siang Rusli Kurnia Tetap Mulia $95 million Entertainment, property 104. Pramukti Surjaudaja NISP $94 million Banking 105. Raam Punjabi Multivision Plus $90 million Entertainment 106. Siti Hardijanti Rukmana Citra Lamtoro gung $90 million Investment 107. Beny Suherman Studio 21 $90 million Cinemas 108. Putra Masagung Gunung Agung $90 million Book stores, property 109. Marimut Maniwanen Busana Apparel $90 million Textile

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 295 110. Ibrahim Risjad Risjadson $90 million Investment 111 . Hendro Gondokusumo Dharmala Intiland $87 million Property 112. Dick Gelael Fast Foods Group $86 million Restaurant, supermarket, mining contractor 113. Joseph Chuang Petra Foods Group $86 million Consumer foods 114. Mulyadi Gunung Geulis $86 million Golf and country club 115. Joe Kamdani Datacrip $85 million IT, office equipment 116. Usman Admajaya Former Bank $85 million Investment Danamon owner 117. Kaharudin Ongko Ongko Group $85 million Property, ceramics 118. Benjamin Soeryadjaya Surya Internusa $85 million Property, finance 119. Suryadharma Paloh Indo Cater & Media $82 million Media 120. Djoko Susanto Alfa Retalindo $81 million Retail 121. Husein Sutjiadi Davomas $80 million Cocoa Trading 122. Sandiaga Uno Saratoga Capital $80 million Investments 123. Steven Kusuma Bentoel $78 million Cigarettes 124. Fajar Suhendra Sumatera Growth $76 million Steel 125. Purnomo Chandra Blue Bird $75 million Transportation 126. Husen Lumanta Himalayatex $75 million Textile 127. Setiawan Djody Setdco Group $72 million Shipping 128. Boedi Maranata Jasa Angkasa Semesta $71 million Bird nest 129. Rachmat Gobel Gobel Internasional $70 million Electronics 130. SD Darmono Jababeka $70 million Property 131. Bambang Setijo Pan Brothers $70 million Textile 132. Eddy Tohir Trinugraha Tohir $70 million Media, investment 133. MS Hidayat MSH Group $70 million Property 134. Johannes Siegfried Deli Indah Perkasa $70 million Bird nest 135. Ilham &Tareq Habibie Ilthaby Rekatama $68 million Investment 136. Awong Hidjaya Bank Djasa Artha $67 million Banking 137. Sugiono Wiyono Trikomsel $65 million Electronics 138. Hendro Setiawan Pikko Group $63 million Property 139. Bambang Wiyogo Kuningan Protama $62 million Property 140. Probosutejo Mercu Buana Group $61 million Property 141. Jahja Santoso Sanbe Farma $60 million Pharmaceutical 142. Lesmna Basuki Sejahtera Bank Umum $60 million Banking 143. Frans Siswanto Saka Agung Abadi $58 million Property 144. Harry Harmain Diah AIA Indonesia $57 million Insurance 145. Sudjono Karim Capella Group $55 million Automotive 146. Oei Hong Djien Djarum $53 million Tobacco 147. Suzie Darmawan Body Shop, Centro $52 million Consumer goods 148. Rachmat Mulya Suryahusada Bank Bumi Artha $51 million Banking

296/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi 149. Lisa Tirto Utomo Tirta Investama $50 million Investment 150. Ipung Kurnia Hero $50 million Retail Sumber: Globe Asia (Special Edition), Volume 1 No.7, August 2007

BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi/ 297 Lampiran 2 Daftar 40 Orang Terkaya Indonesia (Versi Majalah Forbes, 24 Desember 2007)

No. NAMA PERUSAHAAN KEKAYAAN BISNIS 1. Aburizal Bakrie & Keluarga Bakrie Group $5.4 billion Inftruct, mining, tel, etc. 2. Sukanto Tanoto Raja Garuda Mas $4.7 billion pulp and paper, Palm Oil 3. R. Budi Hartono $3.14 billion Cigarettes 4. Michel Hartono Djarum $3.08 billion Cigarettes, banking, property 5. Eka Tjipta Widjaja & family Sinar Mas $2.8 billion Palm oil, finance, etc 6. Putera Sampoerna & family Sampoerna $2.2 billion Cigarettes, casino, etc 7. Martua Sitorus Wilmar Intl Holding $2.1 billion Palm oil 8. Rachman Halim & family Gudang Garam $1.6 billion Cigarettes 9. Peter Sondakh Rajawali Group $1.45 billion Telecom, cement, hotel, etc 10. Eddy W Katuari & Family Wings Group $1.6 billion Consumer goods, Banking 11. Anthoni Salim & family Salim Group $1.3 billion Food, Shipping, Bank, etc. 12. Mochtar riady & family Lippo Group $950 million Property, Retail, Finance 13. Murdaya Poo Berca $900 million Real Estate, Steel, Palm oil. 14. Arifin Panigoro Medco Energy $880 million Energy 15. Hary Tanoesoedibjo Global MediaCom $815 million Media, Real Estate 16. Trihatma Haliman Agung Podomoro $790 million Property 17. Sjamsul Nursalim & family Gajah Tunggal $550 million Tyres, retail, mineral 18. Chairul Tanjung Para Group $450 million Prprty, Energy, finance, etc 19. Paulus Tumewu Ramayana $440 million Retail 20. Prajogo Pangestu Barito Pacific $420 million Timber, petrochemicals 21. Soegiharto S & family Sosro $355 million Consumer foods 22. Sutanto Djuhar & family First Pacific $350 million China investment 23. Hadi Surya Berlian Laju Tanker $345 million Shipping 24. Aksa Mahmud Bosowa Group $340 million Cement, energy, Finance, 25. Harjo Susanto & family Wings $315 million Consumer Goods 26. Soegiarto Adikoesoemo & fml Aneka Kimia Raya $310 million Chemicals 27. Husein Djojonegoro ABC $305 million Consumer foods 28. Kartini Mulyadi Tempo Scan Pacfc. $260 million Pharmaceuticals 29. Edwin Soeryadjaya Saratoga Investama $250 million Mining, insfrastructure 30. Jusuf Kalla Hadji Kalla $230 million Heavy industry, Infstr. 31. Tan Kian Dua Mutiara $225 million Property, textile 32. Ciputra Ciputra Develop. $205 million Property 33. Bambang Trihatmodjo Global MediaCom $200 million Media 34. George & Sjakon Tahija Austindo Energy $195 million Energy, Tobacco, Finnce, Ev 35. Kris Wiluan Citra Mas Group $185 million Petrolium Supplier 36. Eka Tjandranegara & family Mulia Group $170 million Property, building materials 37. Alim Markus & family Maspion Group $140 million Consumer foods 38. Husein Sutjiadi Davomas $135 million Cocoa Trading 39. Jakob Oetama Kompas Gramedia $130 million Media 40. Boenjamin Setiawan Kalbe Farma $120 million Pharmaceutical

298/ BLBI : Pemiskinan dan Pembunuhan Generasi Bab 13

IKHTISAR TENTANG PENGHANCURAN KEUANGAN NEGARA

Kwik Kian Gie

Istilah BLBI untuk menggambarkan keseluruhan masalah yang dihadapi oleh bangsa kita beserta dampaknya yang cukup dahsyat agak menyesatkan. BLBI atau Bantuan Likuiditas Bank Indonesia kepada bank-bank yang sedang menghadapirush adalah hal yang sangat wajar, bahkan harus. Bank Indonesia sebagai bank sentral berfungsi sebagaibank of the last resort harus memberikan bantuannya untuk menghentikan rush.

Pakto dan Kelemahan Pengawasan Yang merupakan kesalahan fatal ialah kebijakan BI yang mendahuluinya. Pertama, tentu liberalisasi perbankan yang kita kenal dengan nama Kebijakan Paket Oktober 1988 atau PAKTO. Liberalisasi ini menghasilkan ratusan bank yang berhasil menghimpun dana masyarakat dalam jumlah sangat besar yang dikelola sembarangan. Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara/ 299 Akibatnya banyak bank kalahclearing. Di sinilah cikal bakal kesulitan yang kita hadapi. Bank yang kalahclearing tidak dihukum oleh BI, tetapi justru ditolong dengan likuiditas yang dinamakan Fasilitas Diskonto sampai berkali-kali.

IMF Beserta Kroninya yang Bodoh atau Jahat? Ketika krisis moneter menimpa Indonesia di tahun 1997, dan kita minta bantuan IMF, IMF melihat betapa dunia perbankan telah rusak berat. Namun kerusakan ini tidak diketahui oleh masyarakat, karena laporan keuangan dari bank-bank yang diumumkan masih dibuat bagus dan sehat. Dalam kondisi seperti ini, masih bisa diperbaiki secara diam-diam. Tetapi IMF melakukan kesalahan fatal yang merupakan titik awal dan serentetan blunderdemi blunder yang semuanya didiktekan oleh IMF dan dilaksanakan secara membabi buta oleh pemerintah Indonesia. Titik awal tersebut ialah ditutupnya 16 bank tanpa persiapan, sambil mengatakan bahwa bank-bank ini terlampau rusak sehingga tidak dapat dipertanggungjawabkan kalau masih dibolehkan beroperasi dan menerima simpanan dari masyarakat.

BLBI (Bantuan Liquiditas Bank Indonesia) Para nasabah bank-bank lainnya yang tidak ditutup merasa sangat tidak aman, karena bagaimana mereka mengetahui bahwa banknya sehat? Maka terjadilahrush besar-besaran. Ketika ini terjadi, memang tidak ada pilihan lain kecuali menghentikannya dengan likuiditas berapa saja.Rush dihentikan dengan mengucurkan dana sebesar Rp 144 triliun. Jumlah uang ini adalah talangan dari BI kepada bank-bank yang terkenarush. Dipastikan bank-bank itu tidak mungkin mampu membayarnya kembali. Maka dikonversi menjadi modal ekuiti. Dengan demikian bagian terbesar atau bahkan 100% dari modal ekuiti bank-bank swasta beralih ke tangan pemerintah. Dengan beralihnya (atau disitanya) bank-bank ke tangan pemerintah, utang para pemilik bank dalam bentuk BLBI sudah lunas dibayar dengan kepemilikan banknya yang beralih ke tangan pemerintah. Dengan demikian masalah BLBI selesai. Pemerintah kehilangan uang sebesar Rp 144 trilyun, tetapi memperoleh kepemilikan banyak bank-bank swasta.

300/ Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara Obligasi Rekapitalisasi Perbankan (OR) Oleh IMF bank-bank ini dinilai rusak dalam berbagai tingkat keparahannya. Tindakannya ada bank yang ditutup, ada yang disehatkan dengan cara menyuntik surat utang negara khusus yang dinamakan Obligasi Rekapitalisasi Perbankan, yang kita kenal dengan singkatannya Obligasi Rekap (OR). Jumlahnya sangat besar, yaitu Rp 430 trilyun. Kalau setiap lembar OR dibayar tepat pada waktunya, kewajiban pembayaran bunganya Rp 600 trilyun per tahun. Ini beban tersendiri yang jauh Iebih besar dari BLBI. Setelah bank-bank swasta beralih menjadi milik pemerintah, ternyata bank-bank ini mempunyai tagihan dalam jumlah sangat besar kepada para pemiliknya, karena mereka menggunakan dana masyarakat yang dipercayakan dan dihimpun di dalam banknya untuk memberi kredit kepada dirinya sendiri. Muncullah tagihan pemerintah kepada mantan pemilik bank. Jumlahnya sangat besar. Keseluruhannya diperkirakan sejumlah Rp 400 trilyun lagi.

Utang Para Mantan Pemilik Bank Swasta Para mantan pemilik bank tidak mampu membayarnya dengan uang tunai. Mereka membayarnya dengan perusahaan-perusahaan dan aset lainnya. Ketika dijual hanya menghasilkan sekitar 15% sampai 20% dari keseluruhan jumlah utangnya. Sisanya kerugian pemerintah. Oleh pemerintah ketika itu dinyatakan wajar bahwa negara yang terkena krisis merugi sebesar itu. Namun publik berpendapat lain. Mereka mengetahui adanya salah urus dan manipulasi dalam skala besar. Maka masalah ini masih mengganjal sampai saat ini, yang sampai sekarang masih belum selesai ditangani oleb Kejaksaan Agung.

Resume IMF dengan gegabah menutup 16 bank. Akibatnyarush besar-besaran yang membuat BI terpaksa menghentikannya dengan Rp 144 trilyun, yang notabene banyak yang disalah gunakan.

Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara/ 301 Bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah karena konversi talangan BLBI ke dalam modal ekuiti harus disehatkan atas perintah dan dengan cara IMF, yaitu menginjeksi dengan surat utang negara yang dinamakan Obligasi Rekap (OR). Maksudnya meningkatkan kecukupan modal atauCapital Adequacy Ratio (CAR) sampai menjadi 8% sesuai dengan ketentuan Bank for International Settlement (BIS) di Swiss. Bank-bank yang di dalamnya mengandung tagihan kepada pemerintah dalam jumlah sangat besar ini diharuskan dijual oleh IMF dalam waktu singkat dan dengan harga berapa saja. Maka pemerintah memperoleh hasil penjualan bank dalam jumlah kecil, tetapi membayar kepada pemilik baru utangnya dalam bentuk OR beserta bunganya yang sampai sekarang dan entah sampai kapan merupakan sekitar 25% dari APBN kita setiap tahunnya. Jadi ada tiga macam kerugian negara dalam jumlah besar. Yang pertama ialah pengeluaran uang untuk menghentikanrush. In i BLBI sejumlah sekitar Rp 144 trilyun. Setelah itu, menginjeksi bank-bank yang sudah menjadi milik pemerintah dengan OR dengan kewajiban membayar oleh pemerintah yang keseluruhannya, jumlah pokok dan bunganya sebesar Rp 1.030 trilyun. Pemerintah yang memiliki bank-bank harus merugi lagi dalam bentuk tagihannya kepada pemilik bank yang dibayar dengan perusahaan-perusahaan dan aset lainnya, yang ketika dijual hanya laku sekitar 20% saja. Pemerintah menjual bank-bank yang di dalamnya mengandung tagihan kepada dirinya sendiri dalam jumlah sangat-sangat besar dengan harga sangat-sangat murah kepada swasta, domestik maupun asing. Inilah garis besar kebijakan Pemerintah Republik Indonesia yang didiktekan oleh IMF. Sangat konyol dan sangat bodoh, karena banyak cara lain yang lebih efisien dan jauh lebih murah. Semuanya dikemukakan oleh putera-putera terbaik bangsa Indonesia. Tetapi digilas oleh IMF yang dibantu oleh Tim Ekonomi Pemerintah Indonesia sendiri. Pertanyaannya: bodohkah, atau sebuahgrand design yang sengaja merusak perekonomian Indonesia?

302/ Ikhtisar tentang Penghancuran Keuangan Negara Bab 14

MSAA DAN DRAMA PENERBITANR&D

Kwik Kian Gie

Sejak awal hukum kita memang sudah diperkosa dan diinjak oleh Dana Moneter Internasional (IMF) yang didukung sepenuhnya oleh hampir semua menteri, kecuali satu orang. Bayangkan, para bankir pengutang BLBI menggunakan uang masyarakat yang dipercayakan kepada bank miliknya melampaui yang dibolehkan oleh Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Dalam Pasal 49 Ayat (2) butir (b), Pasal 50, dan Pasal 50A jelas disebutkan bahwa pelanggaran batas maksimum pemberian kredit (BMPK) dapat diancam pidana bila ada kesengajaan pihak pengelola bank tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan bank terhadap ketentuan BMPK. Namun, IMF memerintahkan untuk menyelesaikannya secara perdata melalui perjanjian penyelesaian BLBI dengan jaminan aset (MSAA) yang dirancang oleh ahli hukum Amerika yang masih ingusan. Maka, ditulisnya dalam bahasa Inggris, dan bahasa Inggrisnya juga kacau, tidak profesional.

MSAA dan Drama PenerbitanR&D/ 303 Toh MSAA ini yang diberlakukan sampai diberikannya pembebasan dan pelunasan (release and discharge /R & D) oleh Presiden Megawati.

Drama Penerbitan R&D Bagaimana caranya sampai Presiden Megawati memberikan R & D juga melalui tekanan yang luar biasa oleh semua menterinya, kecuali dua orang. Sebelum itu bahkan ada upaya maha ajaib oleh semua anggota KKSK, kecuali satu orang. Orang yang satu ini tidak hadir dalam rapat KKSK yang mengambil keputusan memberikan keringanan luar biasa kepada para debitor BLBI. Inti keputusan itu adalah memberi perpanjangan batas waktu buat para pengutang BLBI dari empat tahun menjadi 10 tahun dan memberi keringanan tingkat suku bunga menjadi 9 persen dari semula sama dengan tingkat suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Setelah membaca keputusan rapat, satu menteri yang tidak setuju ini langsung menelepon Presiden apakah beliau mengetahui dan menyetujuinya. Ternyata tidak. Maka, dikatakan kepada Presiden bahwa beliau akan mati-matian membatalkannya. Akibatnya adalah dibawanya keputusan KKSK tersebut ke dalam sidang kabinet sampai empat kali dengan menghadirkan Kepala BPPN ketika itu. Dalam empat kali sidang kabinet tersebut terjadi perdebatan yang sangat sengit antara satu menteri ini dan semua menteri yang membidanginya. Ada seorang menteri yang mengatakan supaya jangan main-main dengan para pengutang BLBI itu karena mereka para konglomerat yang sudah bermain di Hongkong dan Singapura dengan jaringannya yang luas. Jadi, mereka sudah merupakan perusahaan multinasional. Satu menteri penentang itu mengatakan dengan nada sangat tinggi bahwa VOC sejak tahun 1602 sudah multinasional. VOC yang perusahaan swasta itulah yang pada awalnya menjajah Indonesia dan baru belakangan diambil alih oleh Pemerintah Belanda. Kurang apa kekuatan VOC dan Pemerintah Belanda? Toh dapat ditumbangkan oleh Bung Karno beserta seluruh pemimpin bangsa

304/ MSAA dan Drama PenerbitanR&D Indonesia segenerasinya. Demikian pula kurang apa kekuatan Great Britain yang katanyarules the waves . Toh dapat ditumbangkan oleh Mahatma Gandhi, Jahawaral Nehru, beserta semua pejuang seangkatannya. Kok setelah 57 tahun merdeka ada menterinya anak kandung Bung Karno bersuara begitu, dan dimenangkan pula! Ketika itu Presiden mempunyai kebiasaan rapat seminggu sekali hanya dengan tiga menkonya, Panglima TNI, Kepala Polri, dan Jaksa Agung. Dalam forum itulah Menko Kesra (waktu itu) Jusuf Kalla menggebrak, menyelesaikan masalah tersebut dengan membatalkannya. Memang sejak itu sudah terlihat beliaulah pengambil keputusan yang tegas dan berani. Tentang pemberian R & D, lagi-lagi para menteri itu yang menekan Presiden Megawati habis-habisan. Pada suatu sore, saya selaku menko perekonomian waktu itu dihubungi di pesawat seluler, saya disuruh datang ke kediaman Ibu Mega malam itu juga. Ketika tiba di sana, suasana sudah di- set up seperti sidang kabinet terbatas. Ternyata betul, yang dibicarakan adalah bahwa Presiden harus memberikan R&D. Keesokan harinya saya ke Presiden dan mengatakan bahwa saya akan membatalkannya. Saya juga memberikan keterangan kepada pers bahwa tidak benar ada sidang kabinet yang memberi R & D. Alasannya, karena undangan tertulis tidak ada, agenda tidak ada. Presiden juga setuju dengan saya. Dalam waktu singkat setelah itu ada sidang kabinet terbatas yang sesungguhnya. Para menteri ekonomi dengan argumentasinya menekan Presiden supaya mengambil keputusan memberikan R&D kepada para debitor BLBI tertentu. Saya teriak,”Mati aku!” . Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) ketika itu menanyakan,”Kenapa?” . Saya menjawab, kalau Presiden menurutinya, ini akan menjadi gugatan di kemudian hari. Kalaupun tidak oleh badan-badan yang resmi, bisa jadi oleh rakyat. Mensesneg memberikan catatan kepada Presiden, dan Presiden menutup sidang kabinet terbatas dengan mengatakan, ”Sidang saya tutup tanpa mengambil keputusan”. Pernyataan Presiden ini sangat melegakan. Akan tetapi, dalam waktu singkat saya diundang lagi ke sidang kabinet terbatas dengan agenda yang sama. Di sana saya benar-benar disudutkan oleh para menteri ekonomi itu dengan gaya bicara yang keras dan mantap.

MSAA dan Drama PenerbitanR&D/ 305 Presiden akhirnya bertekuk lutut, menutup sidang kabinet terbatas dengan mengatakan, ”Ya,apa boleh buat, memang nasib saya harus membersihkan piring kotor pestanya orang lain. Ya sudah, siapkan keppres- nya”. Para menteri itu langsung bekerja. Jelas saya tidak diikutsertakan. Maka, dengan hati pedih saya pulang. Dan terbitlah instruksi presiden yang memberikan R&D.

306/ MSAA dan Drama PenerbitanR&D

Bab 15

KILAS BALIK KRISIS MONETER, PENYIMPANGAN BLBI, DAN KEJANGGALAN MSAA

Frans Hendra Winarta

Tidak terasa 10 tahun telah berlalu semenjak terjadinya krisis finansial Asia yang mempengaruhi mata uang dan bursa saham di sebagian negara Asia yang dijuluki “Macan Asia Timur” yaitu Korea Selatan, Thailand, Malaysia dan Indonesia. Dampaknya sistem perekonomian di negara-negara tersebut menjadi lumpuh bahkan porak-poranda. Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Muhamad sempat mengutuk dan mengecam George Soros, sang spekulan sebagai biang kerok dari krisis tersebut. Pada awal tahun 1997 sebenarnya Indonesia memiliki Inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar dan persediaan mata uang asing yang besar. Tidak seperti Thailand, sebagai negara di Asia

Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA/ 307 Tenggara pertama yang mengalami krisis. Tetapi di pertengahan tahun 1998 rupiah mulai terserang akibat pertukaranfloating teratur dengan pertukaran floating bebas, sehingga International Monatery Fund (IMF) turun tangan dengan memberikan bantuan sebesar 23 miliar dolar AS. Bantuan IMF tidak membangkitkan nilai rupiah, malahan makin terpuruk karena ketakutan dari kebanyakan perusahaan untuk melunasi utangnya dalam dolar Amerika dan tingginya permintaan (demand ) terhadap dolar Amerika. Pemerintah gagal menstabilkan nilai rupiah, Presiden Soeharto terpaksa turun dari puncak kekuasaan dengan desakan dari mahasiswa dan mau tidak mau pemerintah harus didikte oleh IMF, antara lain dengan memberikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas. Krisis moneter kemudian diplesetkan dan dijadikan kambing hitam oleh para bankir dan pengusaha sebagai penyebab daricollapse -nya sektor perbankan. Padahal Giro Wajib Minimum (dana minimum yang harus disimpan di Bank Indonesia) mengalami saldo negatif tidak serta merta diakibatkan oleh krisis moneter, melainkan karena pemberian kredit yang melampaui Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) kepada anak-anak perusahaan (subsidiary companies ) si pemilik bank yang merupakan suatu tindak pidana. Mengingat pada tahun 1998 pemerintah mengeluarkan kebijakan kontroversial “Paket Oktober” (Pakto) 1998 mengenai liberalisasi perbankan yang melahirkan ratusan bank dalam waktu singkat. Siapapun diberikan kebebasan mendirikan bank tanpa melihat latar belakang dan keahliannya. Banyak opini yang mengatakan bahwa krisis moneter merupakan Act of Godatau dalam bahasa hukumnya dikenal dengan istilah force majeure , yang berarti suatu keadaan yang tidak dapat diprediksi (unpredictable ) yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam suatu perjanjian. Perlu diketahui bahwa krisis moneter melanda Indonesia pada tahun 1998 dan bermula di Thailand pada tahun 1997. Oleh karena itu, krisis moneter seharusnya dapat diprediksi (predictable ) sebab terjadi lebih dulu di Thailand. Dengan demikian, krisis moneter tidak dapat dikategorikan sebagaiAct of God , sebagaimana pernah terjadi di Meksiko dan Argentina di awal tahun 90-an.

308/ Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA Setelah BLBI dikucurkan, diharapkan sektor perbankan kembali pulih. Namun pada kenyataannya bantuan BLBI menjadiboomerang bagi pemerintah. Dana BLBI yang dikucurkan kepada 48 bank tidak dapat dikembalikan, bahkan dilakukan penyimpangan dalam penggunaannya. Laporan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2000 mencatat bahwa ditemukan penyimpangan dana BLBI sebesar Rp 84 triliun atau 58,70% dari total jumlah BLBI sebesar Rp 144 triliun. Pemerintah kemudian menyusun skema MSAA dan MRNIA dengan harapan dapat memperoleh kembali dana BLBI dengan cara menjual kembali aset-aset dari obligor dan debitur MSAA ataupun MRNIA. Ternyata nilai dari aset-aset yang diserahkan oleh obligor dan debitur kepada pemerintah tidak sesuai dengan utangnya. Sebagai contoh, SalimGroup . Kelompok usaha milik Soedono Salim ini mengaku seluruh asetnya yang diserahkan pada tahun 1998 bernilai Rp 52 triliun setelah dihitung oleh konsultan BPPN yakniLehman Brothers , PT Danareksa dan PT Bahana tanpa melakukanFinancial Due Diligence terlebih dahulu. Pada tahun 2000, aset SalimGroup dinilai kembali oleh PricewaterhouseCoopers dan ternyata hanya bernilai antara Rp 12 triliun sampai Rp 20 triliun. Anehnya, pemerintah harus menanggung kekurangan dari aset Salim Group sebesar Rp 30 triliun, sedangkan apabila terdapat kelebihan dari hasil penjualan aset akan dikembalikan kepada SalimGroup . Sungguh tidak adil jika negara harus menanggung kewajiban obligor, karena ujung-ujungnya rakyat yang menderita dengan adanya kenaikan BBM, pajak, bahan pangan, dan tentunya penurunan daya beli. Pemerintah kemudian melakukanblunder dengan memberikan Surat Keterangan Lunas (SKL) kepada SalimGroup yang jelas-jelas belum menyelesaikan kewajibannya. Patut dipertanyakan apakah motif dari pemerintah dengan menerbitkan SKL kepada “pengemplang”, padahal saat itu Tim Bantuan Hukum yang dibentuk oleh Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) menyarankan pemerintah untuk tidak menerbitkan SKL kepada obligor kakap yang belum tuntas menyelesaikan kewajibannya. Menjadi pertanyaan besar mengapa pemerintah tidak berusaha untuk menguasai aset SalimGroup yang dimiliki saat ini, padahal Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata mengatur bahwa segala kebendaan si berutang baik yang ada sekarang maupun akan datang menjadi jaminan

Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA/ 309 utang. Dengan demikian, pemerintah seharusnya dapat mengambil alih aset SalimGroup yang dimilik saat ini seperti Indofood, BCA dan bahkan baru- baru ini dikabarkan akan mengakuisisi sahamLondon Sumatera Plantation . Ditambah dengan aset-aset di luar negeri yaitu India, Singapura, Malaysia, dan Singapura. Belakangan ini SalimGroup kembali menjadi perhatian dalam penjualan aset SugarGroup Companies. Soedono Salim, Anthoni Salim, dan Andree Halim diduga telah melakukan tindak pidana penggelapan dengan menjaminkan aset-aset SugarGroup Companies kepada Marubeni Corporation pada tahun 1999, 2000, dan 2001. Padahal saat itu SugarGroup Companies termasuk salah satu aset yang diserahkan kepada pemerintah yang secara hukum dimiliki dan dikuasai oleh pemerintah. Tindakan tersebut disinyilar dilakukan untuk memperoleh kembali aset-asetnya (buy back ) dengan harga murah. Tanpa bantuan otoritas hal tersebut tidak mungkin dilakukan. Kejadian ini secara langsung maupun tidak langsung akan mengganggu iklim investasi Indonesia yang mengakibatkan investor asing enggan untuk berinvestasi di Indonesia. Apabila pemerintah tidak segera mengusut secara tuntas kasus penyimpangan dana BLBI, merevisi kembali SKL yang diberikan kepada obligor yang wanprestasi dan mengusut kasus SugarGroup Companies, maka jangan heran apabila Indonesia akan diberilabel sebagai negara “antah berantah”. Karena tidak ada satupun negara di dunia yang melindungi warga negaranya yang mempunyai utang yang begitu banyak yang merugikan negara dan diberikan fasilitas dalam melakukan usahanya bahkan dalam melakukan ekspansi dalam rangka memperlebar imperium bisnisnya. Setelah diberiprivilege seperti BLBI dan usaha kembali masih saja mempraktikkan carabusiness lama dengan menggunakan atau memperalat pejabat untuk mencapai tujuannya. Kerugian yang dialami negara akibat dari BLBI diperkirakan mencapai Rp 600 triliun. Sangat memperihatinkan apabila pemerintahan SBY hanya berdiam diri dan tidak mengambil tindakan konkret untuk menuntaskan kasus BLBI. Seandainya pemerintah dapat menuntaskan kasus BLBI, maka tidak mustahil bagi pemerintah untuk mengantar bangsa ini keluar dari krisis yang berkepanjangan. Uang sebesar Rp 600 triliun dapat digunakan untuk menutupi utang luar negeri, menambah anggaran pendidikan, membangun

310/ Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA infrastruktur, dan lain-lain yang dapat menggerakkan roda perekonomian bangsa. Semoga kejadian ini menjadi pelajaran berharga bagi seluruh bangsa Indonesia dan diharapkan pemimpin di generasi yang mendatang nantinya untuk lebih berhati-hati dalam mengambil tindakan, sehingga tidak terjebak dalam kondisi seperti ini yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Kilas Balik Krisis Moneter, Penyimpangan BLBI, dan Kejanggalan MSAA/ 311

Bab 16

TINJAUAN KELEMBAGAAN KASUS BLBI

Dr.Ahmad EraniYustika dan Dr. M. Fadhil Hasan

Krisis ekonomi yang mengguncang ekonomi nasional medio 1997/ 1998 lalu masih menyisakan banyak persoalan yang sebagian belum mendapatkan penyelesaian hingga kini. Salah satu masalah serius bawaan krisis ekonomi tidak lain adalah kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia). Kasus BLBI mendapatkan sorotan yang begitu besar sekurangnya karena dua hal.Pertama , menyangkut jumlah dana yang sangat besar, yang mencapai Rp 600 triliun. Jumlah megadana tersebut setara dengan jumlah utang luar negeri pemerintah yang tersisa saat ini. Jadi, bisa dibayangkan apabila jumlah dana BLBI tersebut dapat dikembalikan secara utuh dari para penerimanya, maka pemerintah dapat melunasi seluruh sisa utang luar negeri.Kedua , penerima dana BLBI adalah para konglomerat papan atas yang selama masa Orde Baru menguasai perekonomian nasional, nyaris dari hulu sampai hilir. Sayangnya, jejak rekam para konglomerat penerima BLBI itu sebagian besar buruk sehingga kasus ini dianggap sangat

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI/ 313 menusuk aspek keadilan. Dua aspek inilah yang menyebabkan kasus BLBI tersebut masih layak untuk terus dituntut penyelesaiannya.

Menelusuri Jejak BLBI Krisis mata uang Bath Thailand yang akhirnya merembet ke Indonesia merupakan salah satu pemicu terjadinya krisis mata uang rupiah pada semester kedua tahun 1997. Implikasinya, muncul berbagai krisis ekonomi di Indonesia, termasuk di dalamnya sektor keuangan. Pada periode tersebut (yang juga masih bertahan hingga saat ini) pilar utama penyokong sektor keuangan di Indonesia adalah perbankan. Oleh karena itu, krisis perbankan menjadi penting untuk diperhatikan sekaligus dibuat solusinya. Hal ini tidak terlepas dari peran perbankan sebagai bagian penting dari sistem keuangan negara. Tanpa perbaikan di sektor perbankan, krisis yang sedang terjadi di Indonesia pada saat itu bisa menjadi lebih parah. Lebih lanjut, terdapat beberapa faktor yang saat itu menyebabkan sektor perbankan mengalami krisis. Pertama, struktur modal korporasi Indonesia masih didominasi oleh kredit perbankan, baik perbankan domestik maupun asing. Pada awalnya, korporasi yang mengalami tekanan berat akibat depresiasi rupiah terhadap dollar AS masih terbatas pada korporasi dengan struktur modal dari perbankan asing. Namun, dengan tidak kunjung membaiknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS telah menyebabkan implikasi krusial dalam perekenomian Indonesia. Salah satunya yang tidak terhindarkan adalah peningkatan harga-harga yang sangat tajam di pasar, mulai harga bahan kebutuhan pangan untuk masyarakat luas sampai harga input produksi bagi industri manufaktur. Selanjutnya, inflasi pada masa krisis menjadi sangat tinggi, yakni menjadi sebesar 11,1% (year-on-year /y-o-y) pada tahun 1997 dan pada tahun 1998 sebesar 77,6% (BI dan BPS, dalam Kompas 23 Juni 2007) [Gambar 1]. Masa-masa gelap perekonomian memang terjadi pada masa itu. Sebagai respon untuk mengatasi hal tersebut, suku bunga acuan perbankan mutlak dinaikkan. Seperti terlihat dalam Gambar 1, suku bunga acuan perbankan, misalnya suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI), terus meningkat mengikuti kecenderungan naiknya inflasi dan depresiasi rupiah terhadap dollar AS. Mulai bulan Oktober 1997, suku bunga SBI

314/ Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI sudah berada di atas 10% dan puncaknya terjadi pada medio Juli Oktober 1998, di mana suku bunga yang terjadi lebih dari 60%. Pada titik inilah, komposisi utang korporasi Indonesia menjadi membengkak beberapa kali lipat dari nilai pokoknya. Selain itu, penurunan daya beli masyarakat terhadap sebagian besar produk korporasi menyebabkan daya bayar korporasi-korporasi tersebut menjadi menurun. Pada kondisi inilah akhirnya korporasi dengan struktur modal dari perbankan dalam negeri terkena dampak krisis mata uang. Oleh karena itu, tidak mengherankan pada masa krisis (pertengahan 1997 sampai 1999), tingkat kredit macet (non performing loan/NPL) yang dialami perbankan berkisar Rp 100 triliun - Rp 300 triliun atau lebih dari 25% dari tingkat kredit yang disalurkan oleh perbankan (loan to deposit ratio /LDR) [Gambar 2]. Dengan demikian, masalah likuiditas yang awalnya hanya terjadi di korporasi akhirnya merembet pula ke sektor perbankan. Kondisi ini merupakan sinyal negatif dalam sistem keuangan negara. Pasalnya, dengan NPL perbankan yang cukup tinggi berpotensi besar menyebabkan kerentanan dalam struktur modal perbankan.

Gambar 1

Nilai Tukar Rupiah, Suku Bunga SBI, dan Tingkat Inflasi Tahun 1997 2001

Sumber: Nasution, 2002:168

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI/ 315 Kedua, terjadi krisis kepercayaan nasabah terhadap perbankan akibat isu keterbatasan likuiditas yang dialami oleh perbankan. Pada masa tersebut, sebagian besar masyarakat Indonesia belum memahami dengan baik kondisi perbankan. Oleh karena itu, tidak mengherankan pada saat munculnya isu keterbatasan likuiditas yang berujung pada penutupan bank, sebagian besar masyarakat yang secara psikologis takut kehilangan simpanannya di perbankan langsung mengambil uangnya di perbankan. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa ketakutan masyarakat tersebut memiliki dasar. Pasalnya, terdapat beberapa bank yang benar-benar mengalami keterbatasan likuiditas yang akhirnya berimbas pada struktur modal bank-bank tersebut. Berpijak pada realitas ini, pemerintah (melalui BI) membekukan kegiatan operasional 16 bank umum di Indonesia (Zulverdi,et. al. , 2007:162). Fakta ini sekilas telah menyiratkan bahwa kejadian-kejadian dalam sektor perbankan merupakan peristiwa yang saling mempengaruhi dan memiliki dampak yang cukup krusial/genting terhadap sistem keuangan negara.

Gambar 2

Perkembangan NPL dan LDR Perbankan Umum

Sumber: Zulverdi,et.al. , 2007:162

316/ Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI Dengan gabungan kedua fakta di atas, keterbatasan likuiditas yang awalnya hanya terjadi di sebagian kecil bank akhirnya merembet pula ke sebagian besar bank. Pararel dengan situasi di atas, keterbatasan likuiditas pada sebagian besar bank akhirnya menjalar ke struktur modal perbankan. Pada 1998, secara keseluruhan struktur modal bank menjadi negatif sebesar Rp 98,5 triliun. Bahkan pada tahun 1999 modal perbankan menjadi negatif sebesar Rp 244,6 triliun (Zulverdi,et. al ., 2007:163). Modal negatif pada periode ini merupakan kapital negatif terbesar dan belum pernah terjadi di perbankan Indonesia. Kejadian 1999 tersebut lebih dikarenakan masa pemulihan (recovery ) perbankan dan hal ini menggambarkan bahwa krisis yang terjadi pada perbankan membutuhkan waktu yang cukup untuk memperbaiki dan mengembalikannya ke kondisi awal. Argumentasi di atas muncul karena sekitar empat bulan pasca terjadinya krisis, pemerintah melalui BI telah melakukan restrukturisasi perbankan. Salah satu instrumen dalam restrukturisasi perbankan adalah bantuan likuiditas. Pertanyaan yang kemudian muncul dari restrukturisasi perbankan itu, terutama bantuan likuiditas, adalah seberapa penting sektor perbankan sehingga BI mau memberikan bantuan likuiditas dengan jumlah yang sangat besar? Seperti telah dijelaskan di depan bahwa perbankan merupakan pilar utama sektor keuangan sekaligus sebagai salah satu bagian terpenting dari sistem keuangan negara. Oleh karena itu, apabila terjadi krisis perbankan yang berujung pada kehancuran perbankan, seperti yang terjadi pada medio krisis, maka akan berimbas secara besar kepada sektor yang lainnya. Kondisi ini jelas merupakan sinyal negatif terhadap kondisi perekonomian Indonesia dan bisa berujung pada krisis lainnya, misalnya krisis sosial-politik (dimana hal ini akhirnya terjadi juga). Oleh karena itu, menjadi jelas latar belakang mengapa bantuan likuditas tersebut perlu dikucurkan oleh BI kepada perbankan. Walaupun tidak dapat dimungkiri pula bahwa sebenarnya terdapat instrumen lain dengan risiko yang lebih kecil yang bisa digunakan untuk menyelamatkan perbankan Indonesia (apabila mau dikaji lebih lanjut). Namun, dikarenakan keterbatasan waktu untuk menyediakan instrumen lain dan juga faktor eksternal menyebabkan bantuan likuiditas menjadi satu-satunya instrumen yang disodorkan BI untuk menyelamatkan perbankan nasional. Konkretnya, bantuan likuiditas ini berupa jaminan keseluruhan (blanket guarantee) oleh BI atas semua tipe utang yang dimiliki oleh perbankan.

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI/ 317 Jaminan ini kemudian disebut Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yang diumumkan pada 27 Januari 1998. Dengan BLBI tersebut, sedikit demi sedikit bisa menurunkan krisis kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Hal ini bisa terjadi karena telah terdapat proteksi atas segala utang (termasuk dalam kategori ini adalah dana pihak ketiga/DPK masyarakat) yang dimiliki oleh pihak-pihak terkait, sehingga ketakutan atas potensi kehilangan dana yang berada di perbankan menjadi sirna. Oleh karena itu, pasca pengumuman BLBI,rush yang terjadi ikut menurun pula. Lebih lanjut, dalam pemberian bantuan likuiditas ini, 4 bank pemerintah (BUMN) mendapatkan bantuan likuiditas sebesar 63% dari total bantuan likuiditas. Sedangkan bank swasta yang diambil alih (take over ) oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN/Indonesian Bank Restructuring Agency-IBRA) mendapatkan porsi bantuan likuiditas sekitar 37%. Pada saat itu, jumlah bank yang berada di dalam wilayah perbaikan oleh BPPN sebanyak 7 bank. Sementara itu, sisa bantuan likuiditas yang sebesar 0,3% diberikan kepada 26 bank pembangunan daerah (Nasution, 2002:170). Dengan demikian menjadi jelas bahwa kepentingan BI atas bantuan likuiditas ini bukan hanya menyelamatkan perbankan secara umum tetapi juga menyelamatkan aset negaranya, yakni bank BUMN. Seiring dengan penurunanrush , secara berangsur-angsur kondisi perbankan mulai membaik. Kondisi ini akhirnya juga berimbas ke sektor keuangan lainnya, di mana dikarenakan faktor regional Asia yang telah membaik, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS setelah bulan Oktober 1998 mulai menguat dan berangsur-angsur stabil pada kisaran Rp 10.000 per dollar AS. Dengan demikian, secara sekilas BLBI telah memberikan dampak ganda (multiplier effect ) terhadap sektor perbankan. Pada titik inilah kontribusi kebijakan BLBI cukup terasa, di mana BLBI merupakan instrumen yang bisa menjadi katup pengaman sementara dari kehancuran perbankan, sekaligus akibat penyelamatan tersebut bisa memperbaiki sektor keuangan dan menjadi pemicu atas perbaikan kondisi perekonomian secara keseluruhan. Tetapi, tetap tidak dapat dimungkiri secara keseluruhan BLBI tidak dapat memperbaiki sektor perbankan dalam jangka waktu relatif singkat. Hal ini terlihat dari masih terjadinya modal negatif perbankan pada tahun 1999. Di balik sisi positif restrukturisasi perbankan, terutama dalam hal BLBI ini, adalah tidak diikutsertakannya skema pengembalian atas bantuan

318/ Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI yang diberikan oleh BI kepada bank-bank penerima bantuan tersebut. Berpijak pada hal ini, maka penghitungan kadar kebermanfaatan BLBI secara menyeluruh menjadi kurang penting karena disinyalir lebih banyak memberikan beban kepada anggaran negara daripada memberikan manfaat (walaupun seperti telah dijelaskan di depan bahwa secara khusus BLBI memang bermanfaat dalam menyelamatkan perbankan Indonesia) kepada perekonomian Indonesia secara keseluruhan. Selain itu, yang tidak dapat dimungkiri dari realitas bantuan likuiditas kepada perbankan ini adalah peran dari IMF. Dalam pandangan IMF, stabilitas moneter mensyaratkan sehatnya sistem keuangan negara. Pada masa tersebut dan juga saat ini sistem keuangan negara terefleksikan oleh sektor perbankan. Oleh karena itu, sebagai upaya awal menstabilkan kondisi moneter, salah satu caranya adalah memperbaiki kondisi perbankan. Oleh karena itu, IMF menyarankan restrukturisasi perbankan, yang di dalamnya terdapat bantuan likuiditas kepada perbankan. Restrukturisasi perbankan sendiri merupakan elemen ketiga dari konsep perbaikan kondisi moneter di Indonesia oleh IMF (Nasution, 2002:170). Peran IMF yang sedemikian dominannya dalam perbaikan instabilitas moneter ini tidak dapat dilepaskan dari penandatanganan kerja sama antara Pemerintah Indonesia dengan Dewan Eksekutif IMF pada 5 November 1997. Kondisi itu, apabila dikaitkan dengan tidak adanya tanggung jawab jangka panjang yang terefleksikan oleh ketiadaan skema pengembalian bantuan likuiditas oleh perbankan, mendeskripsikan bahwa instrumen yang disodorkan oleh IMF merupakan resep instan. Memang tidak dapat dimungkiri bahwa resep IMF itu merupakan resep turunan dari pengalaman-pengalaman negara lain yang pernah ditanganinya, sehingga potensi kegagalannya pasti besar. Pasalnya, kejadian di negara lain dan Indonesia berbeda sehingga tidak mungkin penyakit itu diobati dengan resep yang sama. Namun, yang lebih patut dipertanyakan, pemerintah lebih memilih lembaga asing (IMF) untuk memperbaiki instabilitas moneter, padahal pada saat yang bersamaan telah diketahui kurangnya kapabilitas IMF dalam menstabilkan kondisi moneter. Di sisi lain teramat banyak ekonom dosmetik yang memiliki pemahaman lebih akurat dibandingkan IMF dalam memahami dan memetakan perekonomian nasional, sehingga presisi kebijakan yang diformulasikan akan lebih kredibel.

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI/ 319 Problem Kelembagaan BLBI Kebijakan SalahAlamat Di balik realitas keberhasilan BLBI dalam menyelamatkan perbankan saat krisis ekonomi, yang terefleksikan oleh kecenderungan menurunnya rush pasca pengumuman restrukturisasi perbankan, berbagai kelemahan turut menyertai munculnya kebijakan BLBI. Kelemahan yang akhirnya lebih terlihat sebagai kesalahan ini dapat dikategorikan menjadi dua.Pertama , kesalahan dalam level substantif (kebijakan). Dalam pengertian ini, munculnya kebijakan BLBI yang merupakan instrumen restrukturisasi perbankan tidak dapat dilepaskan dari penanganan instabilitas moneter secara keseluruhan. Penandatanganan kesepakatan antara IMF dengan pemerintah Indonesia pada 5 November 1997 merupakan babak awal dari perbaikan instabilitas moneter secara komprehensif. Dua hal yang melekat pada penandatanganan kesepakatan ini adalah (i) IMF memberikan pinjaman sebesar US$ 10 miliar kepada Pemerintah Indonesia (Nasution, 2002:178); dan (ii) Pemerintah Indonesia memberikan kewenangan kepada IMF untuk membuat kebijakan apa pun yang dirasa bisa menyelesaikan instabilitas moneter dan pemerintah akan siap mengimplementasikan semua kebijakan yang diinisiasi oleh IMF. Dalam persepektif ini, terlihat bahwa BLBI bukan sekadar merupakan perbaikan di sektor perbankan tetapi juga merupakan perbaikan pada sistem keuangan negara. Di sinilah masalah itu bermula, di mana alternatif pemberian dana BLBI bukan merupakan satu-satunya jalan keluar untuk mengantisipasi krisis kepercayaan perbankan waktu itu. Pemicu krisis kepercayaan perbankan saat itu tidak lain adalah likuidasi 16 bank yang merupakan rekomendasi dari IMF sehingga hal ini memicurush oleh nasabah pada bank-bank lainnya. Tapi, jauh sebelum itu, bank-bank di Indonesia sudah mengalami persoalan besar akibat praktik tata kelola yang tidak sehat. Hal itu terjadi seiring dengan keluarnya deregulasi Paket Oktober (Pakto) 1988 yang memberi kemudahan perbankan untuk membuka cabang maupun membuat bank baru tanpa diimbangi dengan regulasi yang memadai dari otoritas moneter (BI). Akibatnya, banyak sekali pelanggaran yang dilakukan perbankan, khususnya mengenai batas maksimal pemberian kredit kepada perusahaan satu induk (legal lending limit /LLL). BI mungkin tahu dengan praktik tersebut, tetapi tidak menghiraukan sama sekali sehingga struktur

320/ Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI keuangan perbankan sebetulnya sangat tidak sehat. Inilah yang sebetulnya menjadi salah satu sumbu krisis perbankan saat itu. Berpijak dari situasi itulah, sebetulnya alternatif yang dapat diambil oleh pemerintah adalah memformulasikan fasilitas pembiayaan darurat (FPD) dan bukan BLBI. Setidaknya terdapat enam alasan yang menyebabkan kebijakan FPD lebih kredibel (Batunanggar, 2006:3-5): (i) kebijakan FPD diatur secara tegas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk meyakinkan transparansi dan akuntabilitas dalam pemberiannya; (ii) pemberian FPD dilakukan secara sangat selektif, yakni hanya bank yang memenuhi secara ketat (bank yang menghadapi kesulitan likuiditas yang berdampak sistemik dan agunan/solven ); (iii) pemberian FPD didasarkan pada keputusan bersama Menteri Keuangan dan BI secara obyektif sehingga potensi konflik dapat dihindari; (iv) pendanaan FPD berasal dari APBN, termasuk dengan penerbitan SUN, sehingga BI tidak menghadapi risiko kredit; (v) FPD wajib dijamin dengan agunan yang memadai untuk meminimalkan risiko kredit; dan (vi) untuk meyakinkan agar tidak terjadi penyalahgunaan (moral hazard ), BI akan mengawasi bank penerima FPD secara khusus. Kedua, kesalahan dalam konteks teknis (aturan main). Kesalahan ini walaupun merupakan ekses dari kesalahan dalam level substantif, namun di sini dicoba dipisahkan dari konteks tersebut. Dengan pemisahan ini akan terlihat bahwa terlepas dari siapa yang menginisiasi BLBI, konsep bantuan likuiditas tersebut benar-benar merupakan instrumen yang kurang tepat untuk mengatasi krisis perbankan. Lebih lanjut, kesalahan konteks teknis ini tercakup dalam ketiadaan kelembagaan yang jelas pada saat pengucuran bantuan likuiditas oleh BI kepada perbankan. Padahal jumlah bantuan likuiditas itu sangat besar dan hal ini mempengaruhi secara umum anggaran negara pada periode tersebut. Dalam pengertian ini, kelembagaan merupakan aturan main yang harus ditaati oleh pihak-pihak terkait, baik itu berupa kewajiban yang diperoleh oleh perbankan sebagai peneriman bantuan, BI sebagai pemberi bantuan, maupun hak yang harus diterima oleh perbankan dan BI sebagai pemberi bantuan. Secara lebih rinci, ketiadaan kelembagaan tersebut tercermin dari tidak adanya skema pembayaran yang harus dilakukan oleh perbankan pasca pemberian bantuan tersebut. Dari perspektif ini, setidaknya terdapat empat hal yang tidak nampak dalam skema pengembalian bantuan likuiditas

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI/ 321 tersebut, yakni: (i) mulai kapan dan berapa lama batasan waktu maksimal dari bank yang mendapat bantuan likuiditas untuk mengembalikan bantuan likuditas tersebut kepada BI; (ii) bagaimana mekanisme pengembalian bantuan likuiditas tersebut; (iii) apa dan berapa besar imbal hasil yang melekat dari bantuan likuiditas yang harus diserahkan oleh perbankan penerima bantuan likuiditas kepada BI; dan (iv) sanksi apa yang akan diperoleh perbankan apabila tidak dapat memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan, atau juga insentif apa yang bisa didapatkan oleh perbankan apabila bisa memenuhi kewajibannya tepat waktu (atau lebih cepat dari waktu yang telah ditentukan). Selain itu, aturan main yang tidak ada (atau kalau pun ada tetapi tidak jelas dan tegas) dalam pemberian bantuan likuiditas adalah apa saja kriteria yang harus dimiliki oleh perbankan sehingga berhak mendapatkan BLBI tersebut. Hal ini terefleksikan dari struktur perbankan yang memperoleh bantuan likuiditas tersebut. Porsi mayoritas bantuan likuiditas perbankan diberikan kepada empat bank milik pemerintah. Sedangkan sisanya, sekitar 37% diberikan kepada bank swasta yang telah diambil alih (take over ) oleh BPPN yang jumlahnya sebanyak tujuh bank dan kepada 26 bank pembangunan daerah yang tersebar di seluruh Indonesia. Sebagai catatan, bantuan likuiditas kepada bank BUMN secara konsep tidak menjadi masalah. Pasalnya, sebagai pemilik, pemerintah mempunyai tanggung jawab sekaligus kewajiban yang harus dilakukan kepada unit bisnisnya. Namun, bantuan likuiditas ini menjadi kurang tepat pada saat melihat jumlah bantuan likuiditas. Dengan bantuan likuiditas yang sangat besar dan berekses kepada anggaran negara secara keseluruhan menyebabkan esensi dari bantuan tersebut menjadi kabur. Sementara itu, yang menjadi permasalahan adalah pemberian bantuan likuiditas kepada tujuh bank swasta, walaupun akhirnya tujuh bank tersebut di-take over oleh BPPN sebagai lembaga wakil dari pemerintah. Letak masalahnya adalah tujuh bank tersebut tidak memiliki karakteristik khusus yang berbeda dengan bank-bank lain, misalnya dengan 16 bank yang telah dibekukan kegiatan operasionalnya oleh BI karena keterbatasan likuiditas, sehingga cukup mengherankan apabila tujuh bank swasta itu memperoleh bantuan likuiditas sedangkan pada saat sebelumnya 16 bank swasta malah ditutup dengan penyebab yang sama. Sedangkan untuk pemberian bantuan likuiditas kepada BPD juga hampir sama dengan pemberian bantuan kepada

322/ Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI bank BUMN, yang membedakannya hanya besaran bantuan. Dengan porsi bantuan yang hanya 0,3%, bantuan ini juga tidak menjadi masalah yang krusial. Namun, porsi yang relatif kecil ini apabila dikomparasikan dengan anggaran di daerah menjadi cukup besar. Satu hal lagi, sebagian penerima dana BLBI adalah bank-bank yang jelas-jelas telah melakukan pelanggaran berat, seperti penyimpangan aturan LLL (BMPK). Persoalannya, mengapa bank yang sudah jelas melakukan pelanggaran masih diberi bantuan oleh BI. Secara teknis-ekonomis hal ini sulit dijawab, sehingga jawabannya pasti di luar aspek tersebut (aspek politis). Sehingga, secara substantif kebijakan BLBI dapat dikategorikan sebagai kebijakan yang salah alamat. Dengan demikian, secara keseluruhan terlihat bahwa BLBI sebagai salah satu instrumen restrukturisasi perbankan hanya memiliki manfaat dalam jangka pendek, yakni sebatas memberikan suntikan dana kepada perbankan dan akhirnya mengurangi, secara berangsur-angsur,rush oleh nasabah. Namun, dalam perspektif jangka panjang, BLBI lebih terlihat sebagai instrumen yang tidak memberikan manfaat kepada perekonomian Indonesia. Bahkan pada pada tataran tertentu, BLBI malah terlihat sebagai instrumen yang membebani perekonomian negara, dilihat dari sudut pandang penyerapan bantuan dengan jumlah yang sangat besar dan juga ketidakjelasan mekanisme pengembalian bantuan likuiditas kepada BI. BLBI dan Moral Hazard Salah satu kritik atas kebijakan BLBI adalah ketidakmampuan BI dalam mengelola dan mengawasi implementasi penggunaan dana bantuan likuiditas untuk merestrukturisasi perbankan. Situasi ini merupakan ekses dari ketiadaan kelembagaan (aturan main/rules of the game ) yang mumpuni dalam rangka restrukturisasi perbankan. Akibat dari ketiadaan kontrol yang efektif dalam implementasi kebijakan BLBI, maka kesempatan untuk melakukan tindakan-tindakan curang menjadi lebih besar. Potensi tindakan curang (moral hazard ) tersebut secara teoritis bisa dilacak dari teori principal- agent, di mana prinsipal adalah pihak yang mempekerjakan agen untuk melaksanakan pekerjaan atau layanan yang diinginkan oleh prinsipal. Dalam konteks ini, prinsipal adalah BI dan agennya adalah penerima BLBI. Rumus standar dari teori ini: apabila manfaat yang diperoleh dari penyimpangan lebih besar dari biaya (risiko) yang dikeluarkan, maka tindakan moral hazard akan dilakukan. Penyimpangan ini mudah dilakukan karena: (i) tindakan

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI/ 323 agen tidak dapat diamati secara langsung oleh prinsipal; atau (ii) pihak agen membuat beberapa pengamatan yang tidak dikerjakan oleh prinsipal. Menurut Arrow (1985; dalam Furubotn dan Richter, 2000:147), kasus yang pertama biasa disebut dengan tindakan tersembunyi (hidden action ) dan pada kasus yang kedua biasa disebut dengan informasi tersembunyi (hidden information).

Tabel 1 Beberapa Koruptor BLBI yang Kabur

Nama Asal Bank Kerugian Negara Negara Persembunyian Andrian Kiki Bank Surya Rp 1,5 triliun Singapura Bambang Sutrisno Bank Surya Rp 1,5 triliun Singapura Eko Adi Putranto Bank BHS Rp 1,95 triliun - Hendra Raharja* Bank BHS Rp 1,95 triliun Australia Sherny Konjongiang Bank BHS Rp 1,95 triliun - Sjamsul Nursalim BDNI Rp 6,9 triliun Singapura Keterangan: *) Hendra Raharja sudah meninggal Sumber: Litbang Jawa Pos; dalam Jawa Pos, 31 Januari 2006

Jika ditelisik dari kasus BLBI ini, maka terdapat beberapa motif dari tindakan curang tersebut.Pertama , tindakan curang oleh pihak perbankan (penerima BLBI). Motif ini dilakukan dengan cara: (i) secara sengaja tidak mengembalikan bantuan likuiditas; (ii) menunda pembayaran bantuan likuiditas dengan beberapa alasan, misalnya belum adanya kecukupan likuiditas di perbankan; dan (iii) menggunakan dana BLBI tersebut untuk keperluan di luar kesepakatan. Ketiga motif tersebut semuanya terbukti di lapangan, di mana banyak pihak penerima BLBI yang mangkir melakukan pembayaran, bahkan sebagian kabur ke luar negeri. Seperti tertera pada Tabel 1, terdapat beberapa pengutang BLBI yang kabur ke luar negeri, bahkan terdapat di antaranya yang sampai meninggal dunia. Sementara itu, yang mengulur-ulur waktu pembayaran dapat dikatakan semua penerima BLBI melakukan hal yang tersebut akibat ketiadaan rincian regulasi yang disusun oleh BI. Sedangkan yang sengaja memanfaatkan dana BLBI untuk

324/ Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI tujuan di luar kesepakatan (prinsipnya BLBI hanya boleh digunakan untuk membayar nasabah), ternyata jumlahnya totalnya mencapai Rp 54,5 triliun (khusus untuk 10 BBO dan 18 BBKU). Tabel 2 secara detail menjelaskan penyimpangan penggunaan dana BLBI tersebut.

Tabel 2 Dugaan Penyimpangan Penggunaan BLBI oleh 10 BBO dan 18 BBKU

Penyimpangan Jumlah Digunakan pembayaran pinjaman sub-ordinasi sebelum tahun 1997 38,1 Membayar kewajiban Bank Umum yang tidak dapat dibuktikan 426,4 Membayar kewajiban pada grup terkait 8.988,6 Membayar transaksi surat berharga 2.814,7 Membayar pihak ketiga melanggar ketentuan 7.699,2 Membayar kontrak derivatif/kerugian negara karena kontrak derivatif 10.320,3 lama yang jatuh tempo Penempatan baru di Pasar Uang Antar Bank (PUAB) atau 6.395,3 pelunasannya yang tidak sesuai ketentuan Ekspansi kredit merealisasikan kelonggaran tarif 9.960,0 Biaya investasi rekruitmen personalia dan lain-lain 71,4 Membiayai over head bank 133,3 Biaya lain yang menyimpang 10.525,9

Jumlah 54.561,8 Sumber: Bank Indonesia, dalam Yuntho dan Rahayu, 2006:8

Kedua, perilaku curang yang dilakukan oleh pemberi otoritas, dalam hal ini BI. Dengan ketiadaan kelembagaan yang mumpuni menyebabkan pengawasan bisa lebih longgar. Pada posisi ini, kesempatan untuk melakukan tindakan menyimpang menjadi lebih terbuka. Motif dari tindakan curang ini adalah dengan menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan penerima bantuan. Lebih lanjut, salah satu ekses dari hal ini adalah munculnya perbedaan jumlah dana yang seharusnya diterima oleh BI dan yang wajib dibayarkan oleh penerimaan dana.

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI/ 325 Perbedaan ini, seiring dengan berjalannya waktu, juga berimbas pada perbedaan perhitungan oleh lembaga pemerintah lainnya. Seperti terlihat dalam Tabel 3, muncul ketidaksamaan jumlah bantuan likuiditas yang harus diserahkan oleh pihak perbankan di internal pemerintah sendiri. Di satu pihak, Departemen Keuangan menghitung bahwa sampai dengan 2005, total bantuan likuiditas yang belum dibayarkan sebanyak Rp 2,5 triliun. Jumlah ini merupakan selisih bersih setelah dikurangi kemungkinan tidak terbayarkannya bantuan likuiditas yang sebesar Rp 9,4 triliun. Sebenarnya, apabila secara keseluruhan bantuan likuiditas dihitung, maka yang seharusnya dibayarkan adalah sebesar Rp 11,9 triliun. Perhitungan ini juga menggambarkan potensi tidak terbayarkannya bantuan likuiditas tersebut jauh lebih tinggi daripada potensi bantuan yang akan dibayarkan.

Tabel 3 Tiga Versi Jumlah Utang Obligor BLBI (dalam juta rupiah)

Versi Depkeu Obligor BLBI Versi Obligor Versi BPK Default Akhir Adhisaputra dan James 511.256 87.603 87.603 303 (Namura Internusa) Atang Latief (Bira) 1.066.563 190.702 175.010 155.727 Ulung Bursa (Lautan Berlian) 2.207.233 455.330 424.657 424.656 Omar Putihrai (Tamara) 741.827 159.141 159.141 159.141 Lidia Mochtar (Tamara) 787.517 189.039 1.093 189.039 Marimutu Sinivasan (Putra) 3.244.168 881.273 791.427 790.557 Agus Anwar (Pelita) 810.155 577.812 577.812 577.182 Total 9.368.719 2.540.900 2.216.743 2.297.235 Sumber: Diolah dari laporan BPK, 30/10/2006; dalam Tempo,5-11Maret 2007

Sebagai catatan tambahan, dari potensi bantuan yang dibayar pun juga belum terdapat kepastian kapan akan dilakukan pembayaran bantuan likuiditas tersebut. Di pihak lain, BPK yang berpijak pada audit yang telah dilakukannya, mencatat secara keseluruhan bantuan likuiditas yang harus dibayarkan oleh penerima bantuan adalah sebesar Rp 2,3 triliun. Jumlah ini sedikit lebih kecil dari perhitungan oleh Departemen Keuangan. Namun,

326/ Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI perbedaan jumlah ini menyiratkan bahwa tata kelola pemberian bantuan likuiditas tersebut tidak mengamalkan aspek transparansi dan akuntabilitas, sehingga di internal pemerintah sendiri terdapat perbedaan. Di luar kedua pihak itu, penerima bantuan likuiditas mengklaim bahwa total bantuan likuiditas yang harus dibayarkan adalah sebesar Rp 2,1 triliun. Jumlah yang rendah ini memang menjadi hal yang lumrah, karena setiap penerima bantuan pasti akan menghitung nilai minimal yang harus dibayarkannya. Dari kasus ini terlihat adanya ketidakcermatan pemerintah dalam menghitung masalah dana BLBI tersebut, entah itu disengaja maupun tidak. Malpraktik BPPN Dalam perjalanannya, pemerintah kemudian membentuk BPPN sebagai lembaga yang diserahi untuk mengelola pengembalian uang negara dari tangan para bankir, pemegang saham, maupun debitur masing-masing bank yang mendapatkan dana BLBI. Sekurangnya terdapat tiga pola perjanjian yang dibuat oleh BPPN untuk membuat penyelesaian kasus BLBI (Yuntho dan Rahayu, 2006:9).Pertama , mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali. Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani Master Settlement and Acquisition Agreement (MSAA) dan Master Refinancing Agreement and Note Issuance Agreement (MRNIA). Tujuan dari dua perjanjian adalah untuk mengembalikan BLBI, baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada BPPN. Kedua, pengkonversian BLBI pada bank-bank take-over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS).Ketiga , mengalihkan utang ke bank pemegang saham pengendali melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU). Tetapi, dalam perjalanannya, BPPN lebih memerankan diri sebagai agen dari pihak penerima bantuan daripada sebagai wakil pemerintah yang berhak menarik atas bantuan likuiditas yang telah diberikannya. Selain itu, dalam menjalankan tugas penyehatan perbankan, BPPN kurang optimal menjalankan tugasnya. Hal ini tercermin dari beberapa kelemahan dalam menjalankan tugas, seperti saat menghitung aset yang diserahkan oleh penerima bantuan likuiditas. Sering kali aset yang dibayarkan oleh penerima bantuan jauh di atas dari nilai pasar yang berlaku. Salah satu contohnya adalah aset tambak udang raksasa, Dipasena, di Lampung, milik Sjamsul

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI/ 327 Nursalim yang diserahkan kepada BPPN dengan nilai sebesar Rp 20 triliun. Padahal menurut perhitungan Menko Ekiun pada masa itu, Kwik Kian Gie, nilai pasar dari tambak Dipasena tersebut hanya Rp 2 triliun (Tempo, 5 11/03/2007:96-97). Perbedaan yang sangat jauh itu jelas merupakan kabar yang tidak menggembirakan dari kinerja BPPN. Inilah yang menjadi sebab skema MSAA (yang diperuntukkan bagi penerima BLBI yang dinilai asetnya mampu menutupi seluruh kewajiban) menjadi gagal karena sebagian besar aset yang diserahkan nilainya tidak sebanding dengan jumlah utang yang diperoleh oleh penerima dana BLBI. Kelemahan BPPN tidak hanya berhenti pada saat menilai aset yang dibayarkan oleh penerima bantuan. Kerap kali BPPN dalam menjual aset yang dibayarkan oleh penerima bantuan dalam rangka mengkonversi aktiva tetap menjadi uang kas jauh di bawah nilai pasar. Selain itu, lembaga ini juga tidak maksimal dalam mengelola aset yang dibayarkan oleh penerimaan bantuan, sehingga banyak aset yang dibayarkan oleh penerima bantuan setelah berada di bawah kewenangan BPPN menjadi tidak terurus. Cerita akhirnya, nilai aset tersebut menjadi jauh di bawah nilai pasar. Dengan kinerja BPPN yang seperti ini, maka aset yang dibayarkan oleh penerima bantuan likuiditas mengalami penurunan berganda setelah berada di bawah BPPN. Praktik kinerja yang demikian ini jelas bukan mencerminkan lembaga yang dibentuk dalam rangka mengelola aset perbankan yang mendapatkan bantuan likuiditas dari BI. Singkatnya, BPPN bertindak sebagai makelar ketimbang sebagai wakil dari pemerintah. Kondisi tersebut selain dikarenakan ketiadaan cetak biru yang menjadi pijakan operasional lembaga, juga disebabkan tindakan-tindakan curang oleh oknum pimpinan dari lembaga tersebut. Dari beberapa nama yang pernah memimpin lembaga BPPN tidak jarang dari mereka mempunyai jejak rekam yang buruk, bahkan terdapat pula nama yang saat ini telah terbukti melakukan tindakan curang. Kondisi yang demikian tidak dapat dilepaskan dari mekanisme penentuan pejabat-pejabat BPPN yang bersumber dari pemerintah. Selain itu, di samping beberapa kelemahan dalam kegiatan operasional teknis dari pembayaran aset dan juga konversi aset, kelemahan yang melekat dari BPPN adalah ketidakmampuan dalam mendesain mekanisme pembayaran aset oleh perbankan yang menerima bantuan likuiditas. Seperti telah diuraikan sebelumnya, dalam desain restrukturisasi perbankan tidak dibuat kejelasan tentang skema pembayaran

328/ Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI bantuan likuiditas. Oleh karena itu, dengan fakta gabungan ini menjadikan pengembalian bantuan likuiditas sulit dilakukan, di samping realitas terjadinya penurunan nilai aset akibat buruknya kinerja dari lembaga penyehatan perbankan. Akhirnya, dari keseluruhan dana Rp 600 triliun yang disuntikkan pemerintah ke perbankan pasca krisis moneter, sampai dengan Oktober 2003, BPPN sudah mengembalikan sejumlah Rp 152,4 triliun. Dana sejumlah itu terdiri dari setoran tunai Rp 107,167 triliun, obligasi Rp 14,994 triliun, tunai non-APBN Rp 9,7 triliun, danrecycle bonds Rp 20,541 triliun. Dari obligasi yang sudah ditarik BPPN sebesar Rp 20,54 triliun ada yang disuntikkan kembali ke Bank Internasional Indonesia (BII) dalam rangka penyehatan perbankan sebesar Rp 18,67 triliun. Selain itu, ada juga yang disuntikkan untuk Bank Permata dalam rangka merger. Sedangkan untuk tunai non-APBN digunakan Rp 2,73 triliun untuk penyertaan tunai ke dalam bank hasil merger Bank Permata. Selain itu, sebesar Rp 2,96 triliun merupakan pendapatan lain-lain, yaitu iuran premi penjaminan kupon obligasi dan dana pihak ketiga (Yuntho dan Rahayu, 2006:9). Jadi dari gambaran tersebut sebetulnya dana yang berhasil diambil oleh BPPN dari para penerima BLBI hanya sekitar 25,4% dari total dana yang digelontorkan oleh pemerintah (Rp 600 triliun).

Penutup Deskripsi di atas memberikan pengetahuan bahwa kebijakan BLBI yang dilansir pemerintah pada saat krisis ekonomi 1997/1999 sebetulnya mengalami persoalan, baik secara substansial maupun teknis. Dalam pendekatan ekonomi kelembagaan, persoalan tersebut dapat dikelompokkan dalam tiga level.Pertama , secara substantif kebijakan BLBI kurang dapat dibenarkan karena dua hal: (1) krisis kepercayaan perbankan tidak mesti harus diatasi dengan penyaluran likuiditas, tetapi mencari akar dari krisis kepercayaan tersebut; dan (ii) secara teknis BLBI diberikan kepada bank-bank yang jelas telah melakukan banyak penyimpangan, seperti pelanggaranlegal lending limit . Kedua , akibat ketidakjelasan aturan main yang dibuat oleh BI bagi penerima dana BLBI menjadikan maraknya perilaku moral hazard. Perilaku menyimpang itu antara lain dilakukan dengan jalan memanfaatkan dana BLBI bagi kepentingan di luar kesepakatan, mengulur-

Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI/ 329 ngulur waktu pembayaran, dan sengaja kabur dari tanggung jawab.Ketiga , BPPN sebagai institusi yang diserahi untuk mengurus pengembalian dana BLBI justru terperangkap dalam permainan para obligor. Ini antara lain ditunjukkan dengan penilaian aset yang jauh lebih tinggi dari harga pasar, penjualan kembali aset yang sangat rendah (dan sebagian dibeli kembali oleh pemilik lama dengan macam-macam mekanisme), dan mekanisme pembayaran yang tidak lengkap.

330/ Tinjauan Kelembagaan Kasus BLBI Bab 17

PENYELESAIAN BLBI: MENEBUS KETIDAKADILAN DAN MEMBAYAR KERUGIAN

Hendri Saparini

Sepuluh tahun telah berlalu, mega skandal Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang terjadi saat krisis moneter 1998, belum juga berujung pada kepastian dan ketegasan langkah penyelesaian dari pemerintah. Namun, di penghujung tahun 2007, ada angin segar yang kembali ditiupkan dari gedung parlemen untuk mendorong penyelesaian BLBI. Sekelompok politisi dari berbagai fraksi telah berhasil mengusung usul interpelasi kasus BLBI. Banyak pihak pesimistis terhadap langkah penyelesaian BLBI yang diusung para politisi. Kekawatiran bahwa proses interpelasi BLBI hanya akan menjadi komoditas politik atau mandeg di tengah jalan adalah salah satu alasan utamanya. Namun, pesimisme masyarakat yang besar tersebut

Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian/ 331 sangat bisa dipahami. Fakta telah menunjukkan bahwa langkah pengembalian kerugian negara dari kasus BLBI yang telah melewati perjalanan hampir satu dasawarsa, tidak mampu memberikan hasil optimal. Hampir dalam setiap penyelesaian seperti penjualan jaminan aset, negara selalu dirugikan. Pesimisme juga muncul karena pada realitanya para pengemplang BLBI tidak hanya licin dan rapi bersembunyi di manca negara. Tapi justru karena mereka tetap mendapat tempat terhormat di Indonesia. Sebagiannya bahkan dekat dengan para penguasa dari berbagai rezim. Sedangkan para pejabat di berbagai level yang semestinya bertanggung jawab terhadap kebijakan BLBI, hingga saat ini bebas dari segala tanggung jawab. Bahkan ada yang tetap dianggap layak untuk menduduki jabatan tinggi di pemerintahan. Padahal pada Februari 1999, DPR telah membentuk Panja BLBI dan melakukan pemeriksaan dengan seksama terhadap kasus ini, antara lain dengan memanggil nama-nama yang diduga terkait dengan penyaluran dana tersebut. Panja menyimpulkan beberapa hal, antara lain penyaluran BLBI tidak dilakukan dengan mekanisme yang transparan dan sarat dengan nuansa penyelewengan. Akhirnya Panja merekomendasi 56 nama yang diduga terkait dengan penyelewengan baik dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI. Namun, rekomendasi Panja yang tegas tersebut hingga saat ini tidak diikuti tidak lanjut yang tegas. Track record pemerintah dalam menyelesaikan kasus BLBI akhirnya memang memaksa masyarakat untuk cenderung pesimis terhadap langkah bongkar ulang kasus BLBI. Meski demikian, ada beberapa hal positif yang dapat diambil dari langkah interpelasi kasus BLBI ini. Salah satunya, upaya penyelesaian BLBI kali ini harus menjadi bagian penting dalam memberikan pendidikan kepada masyarakat. Sangat penting untuk dibeberkan kepada publik bahwa kesalahan dalam pengambilan kebijakan publik dalam kasus BLBI akan menimbulkan dampak kerugian yang luar biasa dan sangat sulit untuk diperbaiki. Oleh karenanya, pejabat publik seharusnya tidak akan pernah terlepas dari tanggung jawab atas kebijakan yang pernah dibuatnya. Apalagi untuk kasus BLBI yang tidak hanya merugikan negara dan rakyat secara finansial dan ekonomi, tetapi di dalamnya juga sarat dengan vested interest, korupsi dan penyalahgunaan wewenang.

332/ Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian Interpelasi BLBI juga semestinya dijadikan kesempatan untuk memberikan pemahaman kepada publik bahwa kerugian dan ketidakadilan yang diakibatkan oleh kebijakan BLBI tidak terlepas dari kesalahan fatal dari Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia. Resep yang telah meliberalkan dan merontokkan sektor finansial, merupakan salah satu resep generik yang selalu diwajibkan oleh kedua lembaga multilateral tersebut kepada negara-negara berkembang sebagai solusi dalam menyelesaikan krisis. Telah banyak bukti bahwa saran kebijakan kontraktif ala IMF hanya akan menyisakan beban keuangan negara yang sangat besar dan semakin memporakporandakan struktur ekonomi, seperti terjadi di banyak negara Latin Amerika yang mengalami krisis kambuhan sejak tahun 1970. Penyelesaian kasus BLBI lewat interpelasi semestinya dapat dimanfaatkan untuk menunjukkan kepada publik bahwa paradigma konservatif ala Konsensus Washington yang telah diadopsi oleh kelompok 1 Mafia Berkeley selama lebih dari empat puluh tahun inilah yang telah mengakibatkan kerapuhan ekonomi sehingga rentan terhadap hantaman krisis. Prioritas kebijakan Mafia Berkeley untuk melakukan disiplin anggaran dengan menghapus berbagai subsidi, melakukan liberalisasi perdagangan dan industri tanpa mendasarkan pada kepentingan nasional, privatisasi yang dilakukan untuk mengurangi peran negara, dll, adalah pilihan kebijakan yang membawa Indonesia pada krisis ekonomi. Lebih lanjut, pakem konservatif yang dianut oleh ekonom Mafia Berkeley dalam menyelesaikan krisis moneter 1998 justru mengakibatkan krisis semakin semakin parah dan meluas.

Kesalahan IMF dan pejabat pemerintah Penyaluran BLBI dilakukan akibat terjadinya krisis moneter dan finansial yang semakin meluas di Indonesia. Krisis ini yang merupakan dampak lanjutan dari krisis moneter di Thailand pada bulan Juli 1997. Semestinya dampak krisis moneter di kawasan Asia Tenggara tidak berdampak terlalu buruk. Namun, sejumlah kebijakan keliru yang telah

1 Mafia Berkeley adalah kelompok ekonom yang berkuasa hampir 40 tahun sejak pemerintahan Soeharto, Habibie, Megawati, dan SBY

Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian/ 333 diambil oleh Bank Indonesia dan Departemen Keuangan pada awal krisis justru semakin memperparah krisis di Indonesia. Pertama,pada tahun 1996 mata uang Rupiah sudah mengalami over valuasi sebesar 16%, sehingga Indonesia menjadi sasaran empuk bagi spekulan pada tahun 1997. Namun, kondisi ini tidak direspon oleh Departemen Keuangan dan Bank Indonesia dengan melakukan devaluasi mata uang rupiah. Kedua, dalam kondisi moneter dan keuangan yang amat rentan, Bank Indonesia justru melaksanakan kebijakan moneter super ketat pada akhir 2 Agustus 1997 . Akibatnya, tingkat suku bunga interbank yang biasanya hanya 16%-17%, melonjak mencapai 300% pada 22 Agustus 1997. Salah langkah ini akhirnya mengakibatkan bank-bank mengalami kesulitan likuiditas dan sangat rentan terhadapexternal shock atau guncangan akibat faktor-faktor luar. Ketiga, saran kelompok ekonom Mafia Berkeley untuk mengundang IMF dalam menyelesaikan masalah penanganan krisis di Indonesia justru memperparah keadaan. Langkah ini mendorong kebangkrutan dunia usaha, menambah 40 juta pengangguran, dan membuat ekonomi Indonesia anjlok dari rata-rata pertumbuhan 6% per tahun menjadi -12,8% pada tahun 1998. Saran IMF yang mengakibatkan hancurnya lembaga perbankan Indonesia adalah tindakan menutup 16 Bank pada bulan November 1997 tanpa persiapan yang memadai. Sebagaimana diketahui, sebelum penutupan bahkan tidak ada warning terhadap bank-bank yang akan ditutup. Tidak pelak lagi, langkah ini akhirnya menimbulkan kepanikan masyarakat yang berlanjut dengan penarikan besar-besaran(rush) terhadap hampir semua bank-bank di Indonesia. Para nasabah berlomba-lomba untuk menarik uangnnya dari bank-bank nasional dan memindahkannya ke bank-bank asing. Ketidakpastian lain ditunjukkan dengan larinya modal ke luar negeri(capital outflow) sebesar 8 milyar US dollar. Goncangan ini pun akhirnya menghempaskan nilai tukar rupiah hingga ke level di atas Rp 10 ribu / dollar pada tahun 1997. Kepanikan masyarakat dan gejolak sosial ekonomi semakin besar saat pemerintah Indonesia, atas saran IMF, mengurangi berbagai subsidi untuk

2 BacaECONIT “Economic Outlook 1998”, 5 November 1997

334/ Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian menahan dampak negatif krismon. Kenaikkan harga BBM untuk minyak tanah misalnya sebesar 25%, dan bensin 71%. Kerusuhan masyarakat yang hebat akibat kenaikan harga minyak merupakan kesalahan fatal pemerintah dan IMF. Pilihan kebijakan menaikkan harga BBM yang akan memicu kenaikan harga-harga benar-benar tidak bisa diterima karena dilakukan ditengah suasana politik yang mulai memanas paska terpilihnya kembali Soeharto. Kepanikan masyarakat dan berbagai kesalahan kebijakan ternyata membawa dampak kepada terus meningkatnya saldo debet rekening giro bank di Bank Indonesia. Untuk mengatasi peningkatan saldo debet rekening giro bank di Bank Indonesia tersebut, maka Bank Indonesia mengambil kebijakan untuk menyetujui permohonan bank-bank untuk mengkonversi saldo debet tersebut dengan Fasilitas Diskonto (Fasdis) I dan/atau Fasdis II. Namun, konversi fasdis tersebut tidak membawa hasil yang efektif. Rekening giro bank-bank di Bank Indonesia terus mengalami saldo debet atau negatif. Dalam suasana ini Bank Indonesia masih terus melanjutkan untuk membantu bank dengan mengkonversikan saldo debet dengan Fasdis I dan/atau Fasdis II. Seharusnya kebijakan Fasdis didasarkan kepada kriteria-kriteria tertentu seperti misalnya hanya diberikan kepada bank yang sehat tetapi sedang mengalami krisis likuiditas sebagai dampak darioverkill monetary policy . Sedangkan untuk bank yang mengalami krisis likuiditas karena mismanagement dan ada potensi penyalahgunaan dana untuk kepentingan pribadi, seharusnya tidak perlu untuk dibantu. Namun, Bank Indonesia cenderung mengabaikan kriteria-kriteria tersebut. Yang menjadi tolok ukur saat itu hanya satu yakni saldo harian rekening giro bank di Bank Indonesia. Kebijakan yang berlangsung terus-menerus tersebut akhirnya sudah jauh melampaui batas kemampuan Bank Indonesia dalam memberikan fasilitas diskonto. Akhirnya Bank Indonesia menciptakan sejumlah fasilitas khusus untuk keperluan tersebut, seperti Fasilitas Surat Berharga Pasar Uang Khusus,New Fasdis , dan Fasilitas Saldo Debet. Penciptaan fasilitas-fasilitas khusus tersebut ternyata justru kontra- produktif karena tanpa adanyapre-audit yang memadai, akhirnya justru disalahgunakan oleh perbankan untuk mendapatkan dana dari Bank Indonesia dan kemudian menggunakannya untuk keperluan-keperluan yang menyimpang dari tujuan semula. Penyimpangan tersebut antara lain

Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian/ 335 digunakan untuk: (i) ekspansi kredit yang bukan kredit usaha kecil; (ii) tambahan kredit kepadaGroup (yang sudah melanggar BMPK); (iii) peningkatan aktiva neto valas yang bukan untuk pengurangan/pelunasan hutang luar negeri; (iv) pembangunan atau pembelian gedung baru; dan (v) pembagian dividen.

Kerugian dan ketidakadilan Hasil audit BPK menunjukkan bahwa sampai dengan tanggal 29 Januari 1999, Bank Indonesia dan Pemerintah telah menyalurkan dana sebesar Rp 621,6 triliun untuk keperluan penyehatan industri perbankan nasional selama masa krisis itu. Sebesar Rp 144,5 triliun daripadanya adalah merupakan BLBI yang di-cessie- kan oleh Bank Indonesia ke BPPN, sebesar Rp 40,09 triliun disalurkan oleh Pemerintah untuk membiayai dana penjaminan serta Rp 374,0 triliun merupakan nilai obligasi yang telah dikeluarkan oleh Pemerintah untuk rekapitulasi industri perbankan. Sebesar Rp 11,8 triliun dari BLBI Bank Dalam Likuidasi telah dikembalikan oleh BPPN pada Pemerintah. Penyaluran dana Rp 621,6 triliun tersebut amat sangat besar. Sebagai perbandingan, nilai tersebut setara dengan separuh dari nilai PDB (Produk Domestik Bruto) Indonesia pada tahun 1998. Diukur dari prosentasenya terhadap PDB, biaya rekapitalisasi perbankan di Indonesia pada waktu itu adalah yang terbesar dalam sejarah dunia. Kerugian besar juga terjadi pada fase penyelesaian BLBI pada saat pemerintah mulai melakukan penjualan aset obligor yang telah diserahkan kepada BPPN. Penurunan nilai aset merupakan sumber kerugian negara lainnya dalam kasus BLBI. Penurunan nilai aset terjadi karena beberapa faktor antara lain:Pertama, banyak aset yang diserahkan oleh para obligor yang berupa aset produktif seperti pabrik, usaha perkebunan, perikanan, dll. Aset-aset yang masuk ke BPPN tersebut kemudian dikelola oleh para pejabat BPPN yang tidak memiliki keahlian dalam pengelolaan aset. Akibatnya, pengelolaan yang semestinya memprioritaskan keberlanjutan kegiatan produksi, banyak yang justru diperlakukan sebagai aset non- produktif. Akhirnya keadaan semakin parah karena banyak aset-aset produktif yang terbengkelai yang berakibat pada dilakukannya PHK secara besar-besaran.Kedua, penjualan aset dilakukan pada masa krisis. Ketiga,

336/ Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian penjulan aset dipercepat (diobral) untuk menambal defisit APBN sesuai dengan saran IMF yang tertuang padaletter of intent (LoI). Sebagus apa pun suatu aset, jika dilepas pada waktu yang tidak tepat dan relatif dijual pada waktu bersamaan, maka dapat dipastikan harganya akan jatuh. Jual obral aset ala BPPN ini sangat disayangkan karena langkah tersebut telah merugikan semua pihak, baik pemerintah, rakyat, maupun para obligor sendiri. Sejak itu mulai muncul permasalahan ekonomi baru di Indonesia yang sebelum krisis tidak ditemukan yakni deindustrialisasi, stagnasi pembangunan infrastruktur dan program dukungan bagi rakyat baik lewat bantuan modal, teknologi, dll. Pada era Presiden Megawati Soekarnoputri, sebagian obligor dinyatakan kooperatif dan tuntas menunaikan kewajiban setelah melewati proses hukum. Mereka diberikan surat keterangan lunas (SKL). Langkah ini seolah tidak adil. Namun, betapapun beratnya kesalahan langkah pemerintah ini telah menjadikan para obligor penandatangan MSAA mendapatkan SKL dan harus dinyatakan sebagai pihak yang telah tuntas menyelesaikan kewajiban BLBI. Oleh karenanya, menjadi tidak mudah dan perlu kerja keras untuk mengajukan proses hukum baru karena harus ada novum atau bukti baru tentang penyimpangan. Penyelesaian kasus BLBI sementara dapat difokuskan pada pengusutan terhadap para obligor yang tidak kooperatif dan sekarang masih buron. Demi keadilan, yang harus diusut juga adalah para pejabat Bank Indonesia, pejabat pemerintah, dan para mantan ketua BPPN. Mereka juga punya andil sangat besar dalam penyimpangan BLBI dan jatuhnya nilai aset obligor. Kerugian yang harus ditanggung negara rata-rata sekitar 85% dari nilai aset yang dipakai untuk membayar. Dengan kata lain pengembalian uang yang diterima negara(recovery rate) sangat rendah, rata-rata hanya 15%. Andaikan aset-aset yang diserahkan kepada BPPN dikelola dengan benar dan baru dijual setelah krisis berlalu, maka nilainya akan sangat jauh diatas kewajiban para obligor. Namun, keputusan mengundang IMF telah mengakibatkan berbagai pilihan kebijakan tersebut tidak mungkin. Dalam kasus BCA misalnya, keterlibatan IMF dan para pendukungnya di pemerintahan telah mengakibatkan kerugian negara yang amat besar. Pada saat itu IMF memerintahkan aset Grup Salim harus dijual sesuai dengan jadwal yang

Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian/ 337 telah ditetapkan oleh IMF tanpa peduli berapa harga yang didapatkan. Padahal seharusnya dalam penjualan BCA kesempatan untuk membukan harga harus diberikan secara bersama-sama oleh semua penawar. Dan kalau harga penawaran tertinggi lebih rendah dari harga minimum, maka penjualan dibatalkan dan akan diulang kembali. Namun, para pejabat pemerintah Megawati justru memilih penjualan aset model IMF dengan cara obral tanpa harga minimum. Akhirnya, dengan keterlibatan mantan pejabat tinggi IMF sebagai pelobi Farralon untuk memenangkan pembelian 51% saham BCA telah sangat merugikan keuangan negara. Penjualan BCA dengan harga Rp 5 triliun atau dinilai hanya sekitar Rp 10 triliun untuk 100%, merupakan kerugian masyarakat dan negara yang sangat besar karena di dalam BCA sendiri ada tagihan kepada pemerintah sebesar Rp 60 triliun. Kesalahan ini pun harus dibayar mahal dengan kapitalisasi yang terjadi pada PT. BCA Tbk karena nilai kapitalisasi saham PT. BCA Tbk pada 7 Desember 2007 mencapai Rp 91,87 triliun. Dengan menguasai 51,15%, maka tanpa kerja keras Farallon kini mengantungicapital gain Rp 41.5 triliun. Kasus-kasus penjualan aset ala BCA lainnya akibat mis-judgement dan kepentingan segelintir orang sangat banyak terjadi. Kesalahan kebijakan baik dalam penyaluran maupun pilihan penyelesaian BLBI yang tidak kalah dampak negatifnya adalah kerugian dan ketidakadilan yang harus ditanggung oleh rakyat. Besarnya dana yang disalurkan lewat BLBI telah mengakibatkan munculnya beban pembayaran bunga rekap dalam APBN. Beban bunga ini tidak hanya pada jumlahnya yang sangat luar biasa tetapi juga pada jangka waktu pembayaran yang sangat lama. Sebagaimana telah disebutkan di sebelumnya, beban utang pemerintah kepada Bank Indonesia terkait BLBI adalah sebesar Rp144,5 triliun. Untuk menyelesaikan beban itu, pada awalnya pemerintah menerbitkan surat utang Bank Indonesia dalam bentuk SU (surat utang), SU1 dan SU3. Surat utang tersebut diterbitkan saat rekap yakni pada tahun 19981999. Kemudian pada saat pemerintah melakukan restrukturisasi tahun 2003, surat utang tersebut berganti nama menjadi SRBI01 dan dengan perubahan jangka waktu hingga 30 tahun kemudian. Dalam SRBI01 telah disepakati bahwa pemerintah akan mencicil beban tersebut setiap tahun dimulai sejak tahun 2007. Dalam perjanjian ini disebutkan pemerintah akan menggunakan surplus anggaran Bank

338/ Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian Indonesia. Tahun 2007 misalnya, telah dibayar Rp 13,7 triliun dari surplus Bank Indonesia tahun 2006. Sebelumnya, pada 2006 pemerintah telah membayar Rp 1,5 triliun. Namun, setelah sepuluh tahun penyaluran BLBI, beban APBN atas bunga rekap BLBI ini masih sangat besar. Pada tahun 2007 masih sebesar Rp 129,3 triliun atau baru berkurang sekitar Rp 15,2 triliun. Dengan gambaran ini jelas bahwa kerugian yang ditimbulkan oleh penyaluran BLBI ini masih akan ditanggung oleh keuangan negara dan rakyat akan sangat berat dan lama. Kewajiban pemerintah untuk membayar bunga rekap inilah yang telah menciptakan kerugian dan ketidakadilan bagi rakyat. Besarnya dana yang harus dialokasikan dalam APBN dan keputusan jangka waktu pembayarannya yang lama telah, secara sepihak telah merebut hak rakyat. Baik hak untuk mendapatkan stimulus ekonomi lewat berbagai program pembangunan maupun melalui berbagai program pemenuhan hak dasar rakyat. Masalah menjadi semakin parah saat pemerintah memilih untuk lebih memprioritaskan pembayaran berbagai kewajiban utang dibanding belanja-belanja penting yang berdampak langsung bagi kesejahteraan rakyat. Lebih lagi, dengan alasan keterbatasan dana, semakin banyak belanja proyek pembangunan dan subsidi untuk rakyat yang dikorbankan oleh pemerintah. Beban APBN akibat besarnya bunga rekap yang harus dibayarkan jelas tidak hanya menimbulkan kerugian secara finansial yakni kerugian karena harus menyediakan dana APBN untuk pembayaran bunga utang. Tetapi ada kerugian lain yang jauh lebih besar yakni kerugian ekonomi karena hilangnya kesempatan untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh, akibat beban berat bunga rekap maka pembangunan infrastruktur yang menjadi prasyarat penting dalam mendorong kegiatan pembangunan dan peningkatan kesejahteraan jalan ditempat. Pengurangan alokasi anggaran untuk perawatan dan pembangunan irigasi maupun waduk-waduk misalnya, tidak hanya telah menimbulkan penurunan daya saing dan tingkat produksi pertanian tetapi juga mengakibatkan bencana banjir atau kekeringan. Masih banyka akibat lain dari pilihan kebijakan yang memprioritaskan pembayaran utang, mengakibatkan banyak kebijakan fiskal yang tidak pro-kepentingan rakyat. Pengurangan subsidi BBM, pupuk, listrik, dll seolah menjadi langkah yang benar yang tidak bisa dihindari untuk dilakukan.

Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian/ 339 Beban BLBI dalam APBN juga telah menimbulkan ketidakadilan karena kesalahan kebijakan BLBI dengan mudah dibebankan kepada rakyat lewat APBN. Sementara pihak-pihak lain yang semestinya bertanggung jawab, belum ikut menanggung beban yang seharusnya bisa dibagi ini(burden sharing) . Seperti telah disebutkan di atas, usulan penutupan bank adalah saran dari IMF yang kemudian dilaksanakan oleh para pejabat pemerintah. Kebijakan inilah yang menjadi pemicu kepanikan. Oleh karenanya IMF/Bank Dunia serta para pejabat Bank Indonesia dan pemerintah diberbagai level yang terkait dengan kebijakan ini mustinya menjadi pihak yang juga harus ikut menanggung beban. Dalam penyaluran dan penyelesaian kasus BLBI pun semakin banyak pihak yang seharusnya ikut bertanggung jawab baik dari pihak pemerintah maupun penerima BLBI karena telah melakukan berbagai penyimpangan. Seperti telah disinggung sebelumnya, kelemahan dalam penyaluran BLBI akhirnya memberi kesempatan banyak pihak untuk berbuat curang bagi kepentingan pribadi dan kelompok seperti melakukan transaksi surat berharga, membiayai kerugian karena kontrak derivatif yang jatuh tempo, dll. Oleh karenanya menjadi sangat tidak adil bila sejak krisis hingga saat ini justru rakyat yang harus terus menanggung beban lewat APBN.

Tuntutan dalam Interpelasi Dari penjelasan di atas, ada beberapa hal penting terkait dengan langkah interpelasi BLBI karena momen interpelasi harus dimanfaatkan secara maksimal untuk mengurangi kerugian dan ketidak adilan yang terjadi selama ini serta dimanfaatkan untuk memberikan pendidikan bagi masyarakat tentang berbagai kesalahan dalam pengelolaan ekonomi Indonesia. Hal-hal penting tersebut adalah: Pertama, langkah interpelasi BLBI harus dijadikan kesempatan emas untuk menjelaskan kepada publik tentang beberapa hal penting. Publik harus diberikan pemahaman tentang kebijakan ekonomi Mafia Berkeley dengan menganut konsep Konsensus Washington yang terbukti telah membawa pada struktur ekonomi Indonesia yang rapuh. Kasus BLBI menjadi salah satu contoh bahwa pilihan penyelesaian krisis ala IMF justru telah membawa Indonesia sebagai salah satu negara yang berpotensi mengalami krisis ekonomi yang berulang.

340/ Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian Kedua, kebijakan penanganan krisis dengan melibatkan IMF telah mengakibatkan krisis ekonomi Indonesia 1998 menjadi semakin parah. Langkah pejabat Bank Indonesia dan pejabat pemerintah dalam menyalurkan BLBI untuk menyelamatkan perbankan dari langkah kebijakan salah ala IMF, harus berakhir dengan rontoknya sektor perbankan dan sektor ekonomi lain serta menyisakan beban berat pada ekonomi nasional. Saran-saran menyesatkan dari IMF tidak hanya dilakukan pada tahap penutupan bank tetapi juga pada tahap penyelesaian masalah BLBI. Pembiaran keterlibatan IMF oleh para ekonom pro Washington Konsensus inilah yang semakin menambah beban keuangan negara dan merugikan ekonomi nasional. Ketiga, dalam penyaluran BLBI tersebut Bank Indonesia tidak menggunakan kriteria sesuai dengan ketentuan sehingga terjadi penyimpangan.Mis-judgement dan salah kebijakan terjadi tidak hanya dalam penyaluran BLBI tetapi juga pada tahap peralihan aset ke BPPN dan saat penyelesaian lewat berbagai obral aset(fire-sale) . Oleh karenanya, untuk memberikan rasa keadilan, maka kesalahan dan penyimpangan dalam kasus BLBI harus ditanggung renteng oleh pejabat pada tingkat kebijakan strategis, kebijakan teknis, pengawasan bank dan juga para penerima atau pengguna. Penyelidikan terhadap para auditor semestinya juga menjadi bagian penting dari penyelesaian kasus BLBI karena akan dapat membuka kasus ini dengan lebih jelas. Keempat, penyelesaian masalah BLBI harus dapat mengoreksi kerugian dan ketidakadilan yang ditanggung oleh rakyat selama ini. Hasil audit BPK menunjukkan bahwa Bank Indonesia dan Pemerintah telah menyalurkan dana sebesar Rp 621,6 triliun untuk keperluan penyehatan industri perbankan nasional selama masa krisis. Dalam penyaluran BLBI terjadi banyak bentuk penyimpangan yang menimbulkan kerugian sangat besar baik secara finansial maupun ekonomi. Interpelasi BLBI semestinya dapat menggunakan temuan ini sebagai acuan untuk segera dengan tegas menyelesaikan masalah dengan temuan ini baik dari sisi perdata dan pidana. Rekomendasi Panja DPR penting untuk menjadi agenda yang harus segera ditindaklanjuti. Panja telah menyimpulkan banyak hal, antara lain bahwa penyaluran BLBI tidak dilakukan dengan mekanisme yang transparan. Bahkan sarat dengan nuansa penyelewengan yang antara lain digunakan untuk: (i) ekspansi kredit yang bukan kredit usaha kecil; (ii)

Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian/ 341 tambahan kredit kepadaGroup (yang sudah melanggar BMPK); (iii) peningkatan aktiva neto valas yang bukan untuk pengurangan/pelunasan hutang luar negeri; (iv) pembangunan atau pembelian gedung baru; dan (v) pembagian dividen, harus segera ditindak lanjuti. Rekomendasi Panja untuk memeriksa 56 nama yang diduga terkait dengan penyelewengan baik dalam penyaluran maupun penggunaan dana BLBI harus segera dilaksanakan. Untuk mengoreksi ketidakadilan yang selama ini telah terjadi maka langkah membagi beban antara pejabat pemerintah dan pejabat Bank Indonesia serta penerima BLBI harus dilakukan. Bahkan perlu diupayakan untuk meminta IMF/Bank Dunia ikut menanggung kesalahan dari saran kebijakan yang pernah diberikan saat terjadi krisis ekonomi. Kelima, keputusan penetapan beban bunga rekap yang sangat merugikan dan tidak adil bagi rakyat harus segera dihentikan. Tidak hanya pada jumlahnya yang sangat luar biasa tetapi juga pada jangka waktu pembayaran yang sangat lama sehingga sangat membebani APBN. Beban utang pemerintah kepada Bank Indonesia terkait BLBI adalah sebesar Rp 144,5 triliun. Untuk menyelesaikan beban itu, telah dibuat kesepakatan bahwa pemerintah akan mencicil beban tersebut setiap tahun selama 30 tahun dimulai sejak tahun 2007. Upaya untuk segera mengurangi beban APBN dari utang penyaluran BLBI harus menjadi fokus pembahasan dalam interpelasi karena tidak hanya telah menimbulkan kerugian finansial tetapi juga kerugian ekonomi yang sangat besar. Oleh karenanya, langkah interpelasi BLBI yang diajukan oleh sekelompok politisi DPR hanya akan memberikan dampak besar apabila dapat mendorong Kejaksaan Agung untuk tidak hanya menuntut para pengemplang BLBI, tetapi juga memeriksa dan menuntut pertanggungjawaban para mantan menteri ekonomi pada awal krisis, pejabat yang saat ini berkuasa dan menjadi antek serta kepanjangan tangan IMF untuk menghancurkan ekonomi Indonesia melalui berbagai kebijakan ekonomi yang salah. Hal lain yang harus menjadi prioritas adalah mengoreksi keputusan atas beban utang pemerintah atas BLBI yang telah sangat merugikan rakyat lewat kewajiban pembayaran utang yang menyedot keuangan negara.

342/ Penyelesaian BLBI: Menebus Ketidakadilan dan Membayar Kerugian Bab 18

MENGUPAYAKAN PENYELESAIAN BLBI DAN OBLIGASI REKAP BANK DENGAN “POLITICAL WILL” PEMERINTAH

Aviliani (Ekonom INDEF)

Ketika krisis terjadi tahun 1998, hampir sebagian bank mengalami masalah likuiditas karena terjadi penarikan dana nasabah secara besar- besaran terutama akibat penutupan 16 bank yang disarankan IMF. Untuk mengatasi hal tersebut Bank Indonesia memberikan bantuan yang disebut dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). BLBI merupakan dana talangan kepada bank-bank dalam rangka penjaminan pemerintah atas pembayaran dana pihak ketiga serta kewajiban bank lainnya. Kucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) mengacu pada kebijakan

Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will " Pemerintah / 343 pemerintah yang tertuang dalam Keppres No.26/1998 dan Keppres No.55/1998. Keppres itu terbit setelah sebelumnya didahului munculnya Surat Gubernur BI (Soedrajad Djiwandono) tertanggal 26 Desember 1997 kepada Presiden dan disetujui oleh Presiden Soeharto sesuai surat Mensesneg No.R183/M.sesneg/12/1997 karena adanya krisis moneter yang luar biasa saat itu (Danuri, Juli 2007 ). Di berbagai belahan dunia ketika terjadi krisis perbankan, liquidity support seperti BLBI memang bukan merupakan suatu hal yang baru. Hal ini pernah dilakukan secara massal oleh hampir semua negara yang mengalami krisis. Hal ini tidak lepas dari fungsi bank sentral sebagailender of the last resort . Yang menjadi masalah apakah kebijakan tersebut efektif dapat menyelesaikan krisis atau mengihindari ekses negatif yang berlebihan. Dari studi yang dilakukan Iman Sugema (2005) menunjukkan bahwa manfaat pemberian BLBI ternyata bersifatmarginal atau berarti bahwa dalam situasi krisis pemberian BLBI tidak memberikan manfaat yangsignificant karena kinerja ekonomi di masa krisis tidak akan jauh berbeda dengan ada atau tidaknya BLBI. Padahal, dengan adanya kebijakan pemerintah untuk memberi garansi dalam bentuk BLBI untuk penyehatan perbankan nasional, hingga selesai mencapai Rp 144,5 triliun, dana itu tersalur ke 48 bank. Ke 48 bank itupun dibedakan atas kategori 10 Bank Beku Operasi (BBO) sebesar Rp 57,6 Triliun, 18 Bank Beku Kegiatan Usaha (BBKU) sebesar Rp 17,3 triliun, dan 15 bank Bank Dalam Likuidasi (BDL) sebesar Rp 11,9 triliun. Walaupun kepanikan masyarakat telah berhenti, akan tetapi penyaluran dana BLBI terus menerus meningkat sampai tahun 1999. Hal ini menunjukkan bahwa masalah likuiditas tidak hanya disebabkan oleh kepanikan tetapi juga karena memburuknya aset perbankan, masalah moral hazard dan kemungkinan penjarahan. Sehingga sangat wajar bila dana BLBI tersebut sampai sekarang masih menjadi isu kontroversial berbagai kalangan karena menyangkut dana yang sangat besar, juga karena berkembang pendapat bahwa penyaluran dana tersebut melibatkan berbagai korupsi, penyalahgunaan, dan berbagai penyimpangan lain, misal pemberian kredit baru atau menarik kelonggaran yang masih tersisa atau memberi kesempatan kepada orang-orang terkait untuk menarik simpanannya yang masih tersisa di bank dan sebagainya tanpa sepengetahuan/ seizin BI /BPPN.

344 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will " Pemerintah Atas berbagai persoalan BLBI, pertama kali mencuat ketika BPK mengungkapkan hasil auditnya pada Agustus 2000. Laporan itu menyebutkan adanya penyimpangan penyaluran dana BLBI Rp 138,4 triliun dari total dana Rp 147,7 triliun, dan adanya penyelewengan yang diterima 48 bank senilai Rp 80,4 triliun. Audit investigatif dengan hasil bahwa nilai komersial dari jaminan aset para pemilik bank yang bermasalah dan para obligor, yang kemudian dikelola Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), ternyata hanya sebesar 8,54% atau ekuivalen dengan Rp12,35 triliun. Pada angka-angka inilah terjadi banyak penafsiran, baik dari segi penyaluran, penggunaan, maupun penyelesaian baik dalam bentuk uang tunai, saham di perusahaan, maupun dalam bentuk aset lainnya. Ada yang beranggapan dana BLBI adalah sejenis penjarahan kekayaan nasional oleh para konglomerat, ada yang memberi titel ini sebagaibail out persoalan privat (swasta) oleh publik (rakyat), ada yang menilai ini adalah biaya krisis, ada yang memberi pengertian bahwa kejadian di masa lalu ini sebagai produk manajemen BLBI yang amburadul (Edward, 2007 ). Itu sebabnya, Bank Indonesia kemudian meminta jaminan tambahan berupa jaminan pribadi (personal guarantee) dari pemilik bank penerima BLBI, konon untuk mendapatkan jaminan pribadi. Jumlah jaminan itu lebih kurang sama dengan total jumlah BLBI sebesar Rp 144,5 triliun. Yang menarik lagi adalah untuk mengetahui berapa penyimpangan, dan berapa aset yang telah diserahkan pemilik bank atau obligor, ternyata untuk obligor yang sama dilakukan lebih dari satu kali audit atau audit ulang yang dilakukan oleh beberapa auditor. Hasil setiap auditor pun berbeda. Hal ini tidak juga mampu menyelesaikan masalah BLBI.

Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will " Pemerintah / 345 Tabel 1 Hasil Audit BLBI

Auditor Objek audit Kesimpulan Rekomendasi Dari BLBI Rp144,54 triliun, ada BPK BLBI 48 bank Follow up pengadilan penyimpangan 95,78%-nya Dari BLBI Rp106,05 triliun, ada BPKP BLBI 42 bank Follow up pengadilan penyimpangan 51,45% Dari utang BLBI Rp52,7 triliun, aset Lehman Brothers BLBI Salim Grup Audit ulang yang diserahkan Rp52,7 triliun Pricewaterhouse Dari utang BLBI Rp52,7 triliun, aset BLBI Salim Grup Audit ulang Coopers (PWC) yang diserahkan Rp23 triliun Dari utang BLBI Rp52,7 triliun, aset KPMG BLBI Salim Grup Audit ulang yang diserahkan lebih Rp240 miliar Bahana dan Keduanya local partner Lehman BLBI Salim Grup Audit ulang Danareksa Brothers, hasilnya sama BLBI Sjamsul Dari utang BLBI Rp28,41 triliun, aset CSFB Audit ulang Nursalim yang diserahkan pas BLBI Sjamsul Dari utang BLBI Rp28,41 triliun, aset E&Y Audit ulang Nursalim yang diserahkan kelebihan US$1,3 juta Tim Bantuan BLBI Sjamsul Dari utang BLBI Rp28,41 triliun, aset Audit ulang Hukum BPPN Nursalim yang diserahkan hanya Rp13,61 triliun Sumber: Hasil audit masing-masing auditor (diolah)

Setelah itu pemerintah memutuskan bahwa pola penyelesaian utang BLBI untuk BTO adalah utang BLBI dikonversikan menjadi saham pemerintah sehingga pemerintah menjadi pemegang saham mayoritas bank (90 persen). Selain itu, para pemilik BTO sekaligus menjadi debitur bank tersebut, sehingga mereka wajib menyelesaikan pinjamannya. Dalam proses penyelesaiannya, para debitur menyerahkan sebagian aset kepada pemerintah sesuai dengan besar pinjaman, melalui skema Master of Settlement Acquisition Agreement (MSAA), Master of Refinancing Notes Issuance (MRNIA), ataupun Akta Pengakuan Utang (APU). Penyelesaian BLBI oleh pemerintah masa lalu masih belum memuaskan semua pihak, sehingga semua pihak masih menuntut pengembalian dana BLBI yang seharusnya menjadi hak negara. Untuk memenuhi berbagai aspirasi, Departemen Keuangan (Depkeu) mengajukan tiga skenario alternatif penyelesaian utang piutang BLBI. Skenario pertama, obligor BLBI dinyatakandefault sehingga mereka harus membayar utangnya sesuai ketentuan dalam Akta Pengakuan Utang (APU) awal plus pokok dan denda

346 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will " Pemerintah yang jumlahnya untuk 7 obligor mencapai Rp 9,36 triliun. Skenario kedua, obligor tetap dinyatakandefault , namun diberi keringanan bunga dan pembayaran denda. Sementara skenario ketiga, obligor tidak dinyatakan default sehingga untuk pembayaran utang mereka berdasarkan perjanjian APU Reformulasi. Menurut catatan, yang masih menyisakan masalah ada delapan obligor dengan nilai sebesar Rp 4,4 triliun, dan menurut Dirjen Kekayaan Negara Depkeu Hadiyanto bahwa sejumlah aset yang diserahkan para obligor di bawah nilai wajar, sehingga Depkeu juga memblokir beberapa aset, antara lain tanah, ruko (rumah toko), dan saham. Namunrecovery -nya hanya sekitar 14% dari total kewajiban utang. Karenanya, bidikan pihak penyidik bahwa bank telah melakukan penyalahgunaan dana BLBI dan dianggap melakukan tindak pindana korupsi sulit atau tidak mudah diperoleh pembenaran kecuali apabila sesudah BLBI dikucurkan/diterima para pengelola dan atau pemegang saham telah menggunakan dana yang ada di bank untuk keperluan grup, pribadi yang menyimpang dan melanggar larangan yang telah ditetapkan oleh undang-undang maupun peraturan-peraturan lainnya. Agaknya undang-undang No. 3/1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi akan diberlakukan tidak saja berkaitan dengan penggunaan BLBI yang menyimpang atau yang dianggap dapat merugikan keuangan negara tetapi juga kemungkinan dikaitkan dengan penyimpangan yang dapat merugikan dana masyarakat. Oleh karenanya, para pengelola maupun pemegang saham perlu berhati-hati terhadap aplikasi ketentuan ini sebab penerapannya dapat memiliki cakupan luas. Ada baiknya sejak dini bank- bank yang masih memiliki kewajiban BLBI secara bertahap dapat menyelesaikan atau kalau toh jumlahnya relatif cukup besar perlu ditutup dengan jaminan/agunan. Menurut anggota Komisi VI DPR Drajad Wibowo, setidaknya ada dua jalan yang bisa ditempuh. Pertama, Presiden harus memerintahkan aparat penegak hukum mengusut dugaan pelanggaran terhadap seluruh Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS). Kedua, telusuri dugaan pembelian kembali aset oleh pemilik lama yang sudah berada di BPPN. Sebab, menurut Drajad, indikasi ke arah itu sangat kuat apabila melihat temuan KPK.

Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will " Pemerintah / 347 Melihat runtutan penyelesaian BLBI nampaknya sulit untuk dapat diusut tuntas, apalagi BPPN sudah dibubarkan, dan masalah penilaian aset kembali secara hukum sulit dibuktikan, yaitu bahwa nilai penjualan aset oleh BPPN terlalu rendah atau nilai dari aset yang diserahkan lebih rendah dari yang seharusnya. Karena pada masa itu, kondisi dianggap tidak normal sehingga nilai wajar tidak dapat dijadikan patokan, termasuk penetapan auditor. Sebenarnya ada cara lain yang dapat dilakukan pemerintah untuk memperbaiki komposisi pengeluaran APBN dan digunakan sebagai stimulus ekonomi. Upaya yang dapat dilakukan adalah dengan negosiasi bank-bank rekap, terkait dengan bunga obligasi rekap.

Obligasi Rekap Bank Banyak pihak rancu dengan BLBI dan obligasi rekap, sehingga segala upaya hanya dikonsentrasikan pada BLBI, padahal selain BLBI bank-bank bermasalah tetapi masih beroperasi juga memperoleh dana yang besar yaitu melalui obligasi rekap yang pada waktu itu berjumlah Rp 600 triliun. Penerbitan obligasi rekap merupakan bagian dari Program Rekapitalisasi Perbankan. Tujuannya adalah untuk mengatasi kesulitan permodalan bank- bank tersebut akibat pengaruh krisis ekonomi di akhir tahun 1997. Setelah diterbitkan, obligasi rekap tersebut ditransfer kepada bank-bank tertentu yang terpilih untuk mengikuti program tersebut sebagai realisasi dari upaya penyertaan modal negara. Bank-bank yang memperoleh obligasi rekap adalah sebagai berikut: · Bank swasta nasional :PT. Bank Lippo Tbk., PT. Bank Internasional Indonesia Tbk., PT. Bank Bali Tbk., PT. Bank Umum Koperasi Indonesia, PT. Bank Universal Tbk., PT. Bank Prima Express, PT. Bank Arta Media, PT. Bank Patriot, PT. Bank Central Asia, PT. Bank Danamon Indonesia Tbk., PT. Bank Tiara Asia Tbk., PT. Bank PDFCI Tbk. and PT. Bank Niaga Tbk; · Bank BUMN: PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk., PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk., and PT. Bank Mandiri;

348 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will " Pemerintah · Bank Pembangunan Daerah: di antaranya BPD Daerah Istimewa Aceh, BPD Sumatera Utara, BPD Bengkulu, BPD Lampung, BPD Daerah Khusus Ibukota Jakarta, BPD Jawa Tengah, BPD Jawa Timur, BPD Kalimantan Barat, BPD Sulawesi Utara, BPD Maluku, BPD Nusa Tenggara Barat and BPD Nusa Tenggara Timur. Di dalam perjalanannya, sebagian dari penerima obligasi rekap telah di- merger dengan yang lain, ada yang sebagian telah di lunasi oleh pemerintah, sehingga obligasi rekap dan saat ini masih sebesar Rp 400 triliunan dengan jatuh tempo waktu sebagai berikut: obligasi rekapitalisasi yang akan jatuh tempo pada tahun 2003 sebesar Rp33,23 triliun, tahun 2004 Rp76,98 triliun, 2005 (Rp67,37 triliun), 2006 (Rp83,26 triliun), 2007 (Rp94,02 triliun), 2008 (Rp106,75 triliun) dan tahun 2009 Rp111,3 triliun. Namun dengan keterbatasan keuangan negara, maka obligasi yang jatuh tempo telah di- reprofiling/diperpanjang hingga tahun 2020. Pada saat itu dengan adanya dana rekap, hampir semua bank menjadi milik pemerintah. Akan tetapi dalam perjalanannya sebagian bank-bank tersebut telah didivestasi, dan menjadi milik asing. Saat ini yang mendominasi bank berskala besar dan masih memiliki obligasi rekap cukup besar adalah Temasek (Singapura), Khazanah (malaysia), dan Faralon. Sedangkan, pemerintah hanya memiliki saham minoritas, bahkan ada yang tidak lagi terdapat saham pemerintah. Karena pemerintah tidak menjadi mayoritas, maka menurut peraturan, pemerintah bukan sebagai pengendali, sehingga bank-bank tersebut walaupun masih ada obligasi rekap tetapi tidak masuk keuangan negara yang harus diperiksa oleh BPK. Hal ini menjadi rancu, karena nilai divestasinya sangat rendah, tetapi konsekuensi pemerintah untuk membayar bunga obligasi dan pencairan pokok obligasi juga besar. Setiap tahun bunga obligasi rekap yang harus dibayar pemerintah dari APBN berkisar antara 35 sampai 40 triliun. Hal ini menjadi tidak fair, karena dalam kurun waktu 2 tahun keuntungan yang diperoleh bank yang telah di-take over asing dapat menutup biaya divestasi, tetapi di sisi lain pemerintah masih terus harus membayar bunga obligasi rekap. Oleh karena itu, apabila pemerintah menginginkan jumlah significant perolehan dana APBN, tidak ada salahnya untuk melakukan negosiasi terkait dengan bunga obligasi rekap yang sebaiknya tidak lagi dibayarkan,

Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will " Pemerintah / 349 karena pada awal negosiasi dengan IMF, dana talangan tersebut tidak mempunyai konsekuensi bunga, tetapi dalam praktik malah menimbulkan beban tinggi. Hitung saja selama 8 tahun bila rata-rata beban bunga Rp 40 triliun, maka selama delapan tahun APBN telah menyumbang bank-bank rekap sebesar Rp 320 triliun, yaitu setengah dari pokok obligasi. Dalam hal ini apabila pemerintah tidak berupaya melakukan negosiasi, akan sulit untuk menyelesaikan pokok obligasi rekap sampai kapanpun. Dari tulisan ini, maka berbagai pihak tidak hanya fokus pada penyelesaian BLBI yang walaupun secara hukum dalam Undang-Undang No. 25 Tahun 2000 tentang Propenas secara eksplisit menyebutkan, "Debitor-debitor yang melanggar hukum harus diproses secara hukum dan proses penyelesaian utangnya tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku". Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2002 secara tegas menyebutkan, "Kepada debitur yang tidak menyelesaikan atau tidak bersedia menyelesaikan kewajibannya kepada BPPN baik dalam rangka MSAA diambil tindakan hukum yang tegas dan konkret, yang dilaksanakan secara terkoordinasi antara Ketua BPPN, Kepala Kepolisian Republik Indonesia dan Jaksa Agung Republik Indonesia". Dengan demikian berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut pemerintah diberikan mandat segera mengusut para obligor yang belum melaksanakan kewajibannya kepada pemerintah. Bukan sebaliknya melepaskan obligor yang belum menyelesaikan kewajibannya. Selain itu ada yang sangatsignificant untuk dilakukan pemerintah yaitu melakukan negosiasi obligasi rekap terutama terkait dengan beban bunga obligasi rekap. Semua itu hanya membutuhkanpolitical will yang besar dari pemerintah, sehingga masalah ini tidak selalu menjadi bola panas dari satu rezim ke rezim yang lain.

350 / Mengupayakan Penyelesaian BLBI dan Obligasi Rekap Bank dengan "Political Will " Pemerintah Penutup

RAKYAT MENGGUGAT SKANDAL BLBI

Marwan Batubara

Seperti telah diuraikan dalam buku ini, penyelesaian kasus BLBI secara tuntas selalu menemui berbagai masalah karena tidak tegasnya pemerintah maupun aparat hukum dalam menindak para obligor BLBI. Alasan utama yang sering dikemukakan adalah bahwa pemerintah memprioritaskan pengembalian uang negara dari obligor (atau bahwa obligor adalah pengusaha andal yang akan menolong ekonomi negara), sehingga merasa perlu untuk memberi berbagai kemudahan kepada mereka dalam melunasi utang-utangnya. Karena itu pula, proses hukum yang dijalani oleh para pengemplang BLBI selama ini sangat jauh dari memadai. Meskipun telah nyata-nyata bersalah, sebagian besar obligor BLBI justru tidak pernah menjalani proses pengadilan, tidak dicekal untuk keluar masuk wilayah Indonesia, dan bahkan dibebaskan dari segala tuntutan pidana hanya dengan membayar sebagian kecil utang-utangnya.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 351 Soedono Salim dan Sjamsul Nursalim, misalnya, dua obligor penyimpang BLBI dengan jumlah total mencapai Rp 80 triliun itu mengantungi Surat Keterangan Lunas dan dinyatakan bebas dari segala tuntutan hukum. Padahal, selain telah melakukan tindak pidana dalam penggunaan dana BLBI (seperti antara lain melanggar BMPK), nilai aset yang dijadikan sebagai pelunasan kewajiban kedua obligor tersebut ternyata juga jauh lebih kecil dari nilai estimasi awal yang mereka klaim (masing- masing hanya senilai sekitar 36% dan 17% dari total nilai aset yang diklaim). Selain puluhan obligor lain yang merampok uang negara, 8 obligor BLBI bahkan hingga kini belum menyelesaikan kewajibannya. Penyebabnya bermacam-macam, dari mulai melarikan diri, berganti kewarganegaraan, hingga dengan lantang menolak penghitungan pemerintah atas jumlah kewajiban yang harus dibayarnya. Kepada para obligor pembangkang ini, pemerintah nampak tidak mengambil tindakan hukum yang tegas. Justru sebaliknya, pemerintah bersikap sangat toleran dengan kesediaan untuk berulangkali bernegosiasi tentang penghitungan jumlah kewajiban obligor (reformulasi JKPS).

Ketidaktegasan Pemerintah Pemerintahan pada masa Susilo Bambang Yudhoyono, misalnya, melalui sejumlah menteri kabinetnya, justru memberikan sambutan kepada 4 obligor BLBI di Istana (Kompas, 7 Februari 2006). Para obligor itu adalah Atang Latief (diwakili menantunya,Lukman Astanto) , Ulung Bursa, James Januardi, dan Omar Putihrai. Penerimaan para obligor BLBI ini di Istana tentu saja merupakan penghormatan yang berlebihan sekaligus tidak wajar bagi para obligor yang sudah berstatus sebagai tersangka korupsi tersebut. Apalagi mengingat, sebagai catatan, pada bulan yang sama Presiden SBY sempat menolak permintaan resmi sejumlah tokoh nasional (antara lain Try Sutrisno, Amien Rais, Wiranto, Dradjad Wibowo, Marwah Daud, dan lain- lain) untuk bertemu dalam rangka menyampaikan aspirasi terkait sengketa Blok Cepu. Presiden Yudhoyono memang sempat membantah peristiwa tersebut sebagai bentuk penyambutan pemerintah atau penggelaran karpet merah bagi para koruptor BLBI. Menurut Presiden, kedatangan para debitur BLBI

352/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI itu ke Istana tak lebih dari keinginan mereka untuk bertemu dengan menteri terkait dan mengembalikan utang senilai total Rp 1 triliun. Bagaimanapun, dalam kacamata hukum tentu saja hal ini tidak patut. Proses hukum terhadap para penyeleweng BLBI tidak selayaknya dicampuri intervensi politik dari pemerintah, seperti halnya penyambutan langsung oleh menteri kabinet di Istana Negara. Sangat wajar jika hal itu kemudian memunculkan dugaan terjadinya ”deal” politik antara koruptor BLBI dengan pemerintah sehingga menodai proses hukum yang sedang dijalankan. Tidak hanya terjadi pada masa pemerintahan SBY saat ini, sikap akomodatif terhadap para obligor juga ditunjukkan oleh pemerintahan- pemerintahan sebelumnya. Dimulai pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, saat skandal penjarahan uang negara ini bermula. Meskipun telah mengetahui dan menerima laporan tentang kondisi sejumlah bank yang tidak sehat, Presiden Soeharto justru mempertahankan bank-bank tersebut untuk tetap beroperasi. Akibatnya, bank-bank ini kolaps, sehingga kemudian dana BLBI dikucurkan untuk menyelamatkan bank-bank tersebut (yang sebagiannya merupakan milik keluarga dan kerabat dekat Presiden Soeharto) dan bank- bank lain yang terkena imbasnya. Sementara, pada masa pemerintahan Habibie, pemerintah memberi fasilitas kepada obligor BLBI berupa keringanan dalam menyelesaikan kewajiban-kewajibannya melalui skema MSAA atau Master Settlement of Acquisition Agreement(pertama kalinya dilakukan dengan Salim Group ). Model MSAA merupakan bentuk penyelesaian secaraout of court settlement (di luar jalur hukum) yang menekankan kewajiban obligor untuk membayar utang-utangnya kepada negara dengan mengesampingkan aspek-aspek pidana yang telah dilakukannya. Pertimbangannya, proses hukum atas pelanggaran BMPK dan BLBI akan memakan waktu lama dan tidak jelas tingkat pengembalian uangnya kepada negara. Pengabaian aspek pidana yang dilakukan obligor misalnya dapat secara jelas dilihat dari bunyi salah satu klausul MSAA berikut : “BPPN and the Minister of Finance of the Government of the Republic of Indonesia, representing the Government of the Republic

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 353 Indonesia, hereby acknowledge and agree that they will not commence or prosecute any legal action or enforce any legal right that the Minister of Finance, BPPN or the Government of the Republic of Indonesia may have against ….in respect of any matters related to any statutory and regulatory legal lending limit violations related to the Shareholder Loans(as defined in the Master Agreement) or any matter related to the Liquidity Support (as defined in the Master Agreement).” Dengan demikian, melalui kebijakan ini, pemerintah telah mengabaikan supremasi hukum hanya untuk memperoleh pengembalian uang negara. Padahal, pelanggaran BMPK yang dilakukan pihak perbankan merupakan tindak pelanggaran hukum serius. Barangkali karena hal itulah, Presiden Habibie saat itu sempat menunjukkan keraguannya atas penggunaan model ini dengan mengirimkan surat kepada Menkeu agar penyelesaian dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.. Presiden Abdurrahman Wahid yang menggantikan Habibie, juga dianggap tidak optimal melakukan tugasnya untuk menuntaskan skandal BLBI. Beberapa kalangan menganggap Gus Dur cenderung akomodatif terhadap permintaan dan kepentingan beberapa obligor, sehingga skandal itu tidak mampu diselesaikan sebagaimana mestinya. Puncak dari perlakuan istimewa pemerintah kepada para obligor akhirnya diberikan oleh pemerintah di masa kepemimpinan Megawati. Presiden Megawati yang menggantikan Gus Dur pada tanggal 30 Desember 2002 menerbitkan Inpres No.8 Tahun 2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Atau Tindakan Hukum Kepada Debitur Yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Berdasarkan Inpres ini, maka obligor atau debitur yang telah menyelesaikan pola PKPS diberikan bukti penyelesaian berupa Surat Keterangan Lunas yang membebaskan obligor dari segala tuntutan hukum. Segala tindak pidana yang pernah dilakukan obligor dalam kasus BLBI dinyatakan dihapus jika yang bersangkutan telah menyelesaikan kewajibannya. Pembebasan ini diberikan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum bagi obligor yang bersedia menyelesaikan kewajiban-kewajibannya.

354/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI Kebijakan ini dinyatakan sekaligus untuk memaksimalkan pengembalian uang negara dari para obligor. Berdasarkan Inpres ini, maka obligor atau debitur yang telah menyelesaikan pola PKPS diberikan bukti penyelesaian berupa Surat Keterangan Lunas yang membebaskan obligor dari segala tuntutan hukum, sekaligus menghapus segala tindak pidana yang pernah dilakukannya (termasuk berbagai penyimpangan BLBI seperti menyalurkan uang BLBI kepada kelompoknya sendiri, menggunakannya untuk pembayaran fiktif, dan sebagainya). Pembebasan ini diberikan sebagai bentuk jaminan kepastian hukum bagi obligor yang bersedia menyelesaikan kewajiban- kewajibannya. Kebijakan ini dinyatakan sekaligus untuk memaksimalkan pengembalian uang negara dari para obligor.. Berdasarkan Inpres ini pula, maka proses pengusutan perkara korupsi para obligor di tingkat pengadilan harus dihentikan melalui pemberian SP3 (Surat Penghentian Penyidikan Perkara), jika mereka telah membayar kewajibannya. Dengan hal-hal itu, wajar jika penerbitan Inpres ini menjadi sangat kontroversial dan mengundang reaksi keras banyak pihak. Penghapusan aspek pidana melalui perjanjian perdata tidak dikenal dalam sistem hukum yang dianut Indonesia selama ini, sehingga jelas tidak dapat dibenarkan. Lahirnya Inpres ini sendiri dinyatakan beberapa kalangan sebagai hasil tekanan obligor dan menteri-menteri yang berada di pemerintahan saat itu. Dengan alasan obligor memiliki kekuatan jaringan ekonomi yang besar, Presiden didesak untuk memberi perlakuan akomodatif kepada mereka. Perlu ditegaskan, kalaupun hal itu benar, tak dapat mengurangi tanggung jawab kesalahan yang harus dipikul Presiden Megawati sebagai pimpinan tertinggi pemerintahan saat itu, yang nyata-nyata telah memberikan persetujuannya atas penerbitan Inpres. Demikianlah para pemimpin negeri ini bersikap dan menghasilkan kebijakan yang tidak adil, melanggar hukum, dan merugikan negara dalam penyelesaian skandal BLBI. Oleh karena itu, sangat layak jika para mantan Presiden Indonesia di atas dituntut pertanggungjawabannya atas terjadinya penjarahan kekayaan negara senilai ratusan triliun rupiah tersebut (peran dan keterlibatan pejabat pada masing-masing periode pemerintahan dalam skandal BLBI dapat dilihat lebih jelas pada lampiran 1).

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 355 Penyimpangan oleh BI Peran BI dalam skandal BLBI bahkan tak kalah serius. Dari Rp 144,5 triliun dana BLBI yang dikucurkan BI kepada perbankan, audit BPK menunjukkan sebesar Rp 138,44 triliunnya tak dapat dipertanggungjawabkan. Hal ini terjadi karena BI menyalurkan BLBI kepada sejumlah bank tanpa standar dan mekanisme pengawasan yang jelas. Dugaan terjadinya kongkalingkong antara oknum pejabat BI dan obligor pun sangat wajar merebak. Hal ini dikuatkan pengakuan beberapa menteri keuangan, seperti antara lain Fuad Bawazier, Mar'ie Muhammad, dan Bambang Subianto yang menyatakan BI cenderung berjalan sendiri dalam penyaluran BLBI tanpa berkoordinasi dengan pemerintah. Nyatanya, belakangan terungkap ada upaya BI untuk membela oknum-oknum pejabatnya yang terlibat, sekaligus menutup kasus ini, dengan menggelontorkan dana kepada sejumlah pihak mencakup pengacara, aparat penegak hukum, dan bahkan para anggota DPR. Dana yang dikeluarkan pun diambil dari sumber yang tidak sah, yaitu kas Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) yang seharusnya hanya digunakan untuk kepentingan pendidikan.

KKN BPPN Perilaku KKN pula yang ditunjukkan BPPN sehingga menyebabkan pengembalian uang negara dari penyelesaian kasus ini tidak terlaksana optimal. BPPN menerima penyerahan aset dengan harga yang telah digelembungkan, memberikan SKL kepada sejumlah obligor meskipun baru melunasi sebagian kecil kewajibannya, merestrukturisasi sejumlah aset dengan menghabiskan uang besar, dan selanjutnya mengobral aset eks obligor tersebut dengan harga sangat murah. Ironisnya, pembeli aset-aset itu tak lain adalah obligor atau pihak-pihak yang terkait dengannya. Contoh terbaru untuk hal ini adalah penjualan aset bekas milik HumpussGroup (PT Timor Putra Nasional) oleh BPPN, yang ternyata dibeli oleh PT Vista Bella Pratama yang tak lain merupakan perusahaan terafiliasi Humpuss juga.

356/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI Kejahatan Obligor Penting pula dicatat, meskipun secara formal BPPN merupakan penanggung jawab atas aset-aset obligor yang diserahkan kepadanya, pihak yang sesungguhnya melakukan pengelolaan atas aset-aset tersebut adalah pihak obligor sendiri melalui perusahaanholding yang dibentuknya bersama BPPN. Pengelolaan oleh perusahaanholding ini dilakukan karena BPPN tidak memiliki unit pelaksana untuk mengelola aset-aset tersebut. Karena itu, sudah sepantasnya jika obligor, selaku pemilik perusahaan holding yang melakukan pengelolaan atas aset-aset bekas miliknya tersebut, dimintakan pertanggungjawabannya atas penurunan nilai aset yang terjadi. Bahkan, patut pula diselidiki lebih jauh keterlibatan obligor dalam terjadinya penurunan nilai aset saat aset tersebut akan dijual. Faktanya, sebagian obligor diketahui kini telah kembali menguasai aset- aset yang dahulu diserahkannya kepada BPPN. Misalnya Chandra Asri yang telah kembali ke tangan Prajogo Pangestu ataupun Gajah Tunggal yang kembali ke pangkuan Sjamsul Nursalim. Meskipun hingga kini tak ada bukti eksplisit, namun SalimGroup juga dikabarkan telah membeli kembali BCA. Beberapa obligor tersebut, yang dahulu mengaku tak sanggup melunasi kewajiban-kewajibannya, bahkan kini kembali berjaya dan tercatat dalam daftar nama orang-orang terkaya di Indonesia. Soedono Salim, misalnya, duduk di peringkat empat orang terkaya di Indonesia (versi Globe Asia 2007) dengan jumlah kekayaan mencapai 2,8 miliar dolar AS (sekitar Rp 26 triliun), sedangkan Sukanto Tanoto duduk di peringkat dua terkaya (versi Forbes Asia 2007) dengan kekayaan 4,7 miliar dolar AS (sekitar Rp 42,77 triliun). ”Kesuksesan” mereka tersebut, berbanding terbalik dengan peliknya persoalan ekonomi yang mereka tinggalkan bagi negara berupa beban pembayaran utang sangat besar dalam APBN. Tercatat, untuk pembayaran utang dalam negeri (yang sebagian besarnya didominasi oleh utang BLBI dan obligasi rekap), pemerintah harus mengalokasikan dana rata-rata Rp 40- Rp 50 triliun per tahunnya. Akibatnya, berbagai anggaran publik pun harus dipangkas untuk menghemat pengeluaran. Tak heran, jumlah rakyat miskin pun terus bertambah.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 357 Kebusukan IMF Jangan lupakan pula andil IMF dalam kejahatan penjarahan negara ini. Berkat resep yang diberikannya berupa penutupan 16 bank tanpa persiapan matang, krisis perbankan menjalar luas sehingga mengawali tragedi pengucuran BLBI. IMF pula yang telah mendesak pemerintah menggelontorkan obligasi rekap senilai ratusan triliun rupiah kepada sejumlah bank, untuk kemudian memaksa pemerintah menjual bank-bank tersebut dalam waktu sangat singkat (sehingga harga jualnya sangat rendah). Oknum pejabat IMF (Hubert Neiss) diketahui pula memanfaatkan kesempatan ini untuk kepentingan pribadinya dengan bertindak mewakili pembeli saat bank (BCA) dijual dengan harga murah.

InkonsistensiAparat Penegak Hukum Dengan berbagai kerugian yang ditimbulkannya, penyelesaian kasus BLBI pun terus berlarut-larut akibat penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten. Kejaksaan Agung dari masa ke masa tidak menunjukkan keseriusannya untuk menyelesaikan kasus ini dalam proses hukum yang tegas serta tak pandang bulu. Abdul Rahman Saleh misalnya, semasa menjabat Jaksa Agung sempat menyatakan dirinya akan menggunakan wewenang deponering (mengesampingkan perkara pidana) terhadap obligor yang telah mendapatkan surat keterangan menyelesaikan PKPS. Meskipun wewenang ini tak sempat digunakan Abdul Rahman hingga akhir masa jabatannya, rencana ini tak pelak menimbulkan kontroversi. Jaksa Agung Hendarman Supandji, semasa menjabat sebagai Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus, juga sempat bersikap inkonsisten dengan mengubah kebijakannya dari menyeret Agus Anwar ke persidangan menjadi menerima tawaran pengembalian uang negara dari Agus senilai Rp 500 miliar.

Prospek Penyelesaian Inkonsistensi pemerintah dan aparat penegak hukum dalam menyelesaikan skandal BLBI akhirnya membuat prospek penyelesaian

358/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI kasus ini menjadi suram. Apalagi hal ini ditambah dengan perilaku elit politik yang cenderung memanfaatkan para obligor BLBI untuk kepentingannya sendiri. Kesempatan pemanfaatan itu kian terbuka dengan ketidakjelasan status hukum dan jumlah utang para obligor. Negosiasi dan kesepakatan rahasia pun sangat mungkin dilakukan debitur dan pemerintahan berkuasa mengenai jumlah utang yang tersisa. Pada kenyataannya, Presiden Habibie dan Megawati sama-sama menerbitkanrelease and discharge bagi debitur- debitur besar, setelah mereka menyelesaikan sebagian kewajibannya. Kasus korupsi yang dilakukan obligor juga seolah sengaja dibiarkan menggantung penyelesaiannya, agar dapat dimanfaatkan para elit politik di kemudian hari. Mudah diprediksi, obligor yang menghadapi tuntutan sanksi penggantian uang negara triliunan rupiah, akan menyetujui pengucuran beberapa ratus juta atau miliar rupiah untuk memperoleh pembelaan dan perlindungan politik dari para elit. Karena itu pula, prospek penyelesaian kasus ini disikapi pesimis sejumlah kalangan. James Van Zorge, misalnya, analis ekonomi politik Indonesia bagi pebisnis asing ini ragu atas kelanjutan interpelasi BLBI yang tengah digulirkan DPR (yang baru saja dilakukan saat buku ini selesai ditulis, lihat teks interpelasi selengkapnya pada lampiran 2). Menurutnya, berdasarkan keterangan yang diterimanya dari salah seorang anggota DPR, para anggota DPR hanya menginginkan uang dari pengguliran kasus ini. Pemerintah dan debitor akan diperlakukan sebagai mesin uang bagi para politisi tersebut (”Skandal BLBI: Akankah Terselesaikan? ” Investor Daily, 19 Desember 2007). Demikian juga, penyelidikan yang dilakukan Kejaksaan Agung terhadap sejumlah obligor BLBI. Salah seorang sumber di pemerintahan bahkan dikatakan Zorge mengaku tak satu pun dari aksi-aksi tersebut yang benar- benar serius bertujuan menyelesaikan masalah BLBI. Menurutnya, penyelidikan hanya akan mengarah pada kesepakatan ”kamar rahasia” seperti yang pernah terjadi sebelumnya. Sehingga, penyelesaian kasus ini akan diseret pada proses hukum panjang yang penuh ketidakpastian. Pernyataan Van Zorge dan narasumbernya tersebut mungkin tak dapat kita telan bulat-bulat. Setidaknya, kita tidak mengharapkan hal itu benar adanya. Walaupun nyatanya, indikasi ketidakseriusan dalam penyelesaian

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 359 kasus BLBI itu belakangan kian kuat. Hal itu ditunjukkan dengan jawaban interpelasi Presiden yang cenderung bersifat normatif dan tidak tegas menjabarkan rencana kerja pemerintah untuk menuntaskan kasus ini. Pemerintah bahkan juga menyatakan menghormati dan meneruskan kebijakan pemerintahan sebelumnya terkait BLBI, termasuk pelaksanaan Inpres No. 8/2002 tentangrelease and discharge .. Oleh karena itulah, kita harus terus menegaskan tuntutan kepada Presiden/pemerintah, DPR, institusi, dan aparat hukum terkait untuk bersungguh-sungguhmelakukan upaya penyelesaian kasus BLBI hingga tuntas.Kita juga harus menggugat pertanggungjawaban semua pihak yang terlibat dalam skandal ini, mencakup obligor BLBI, mantan Presiden Soeharto dan keluarganya (yang telah memanfaatkan pengucuran BLBI untuk menolong kroni-kroninya), mantan Presiden Habibie (yang memulai penyelesaian kasus BLBI secaraout of court settlement ), mantan Presiden Abdurrahman Wahid (yang tidak optimal menjalankan tugasnya dalam mengusut skandal BLBI), dan mantan Presiden Megawati (yang menerbitkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentangRelease and Discharge ). Gugatan juga ditujukan kepada BI yang telah menyimpangkan besar- besaran penyaluran dana BLBI, BPPN yang telah mengobral aset negara dengan harga supermurah dan memberikan SKL kepada obligor meski tak melunasi utang-utangnya, serta kepada IMF yang menciptakan skenario busuk penjarahan negara melalui berbagai resep ekonomi dan tekanan yang diberikannya kepada pemerintah. Dalam kaitan itu, sebagai penutup atas uraian skandal BLBI dalam buku ini, kami menuntut pemerintah, DPR, dan institusi penegak hukum untuk melaksanakan 10 langkah sebagai berikut: 1. Menuntaskan penyelesaian kasus BLBI secara hukum melalui proses yang objektif, berkeadilan, dan berpihak pada kepentingan publik, serta di sisi lain bebas dari konspirasi, negosiasi-negosiasi rahasia,deal-deal politik, dan pemboncengan kepentingan-kepentingan tertentu yang menjadikan para obligor/debitur sebagai objek pemerasan belaka. Kasus BLBI harus dituntaskan sekali untuk selamanya,once forever !

360/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI Pemerintah dan DPR harus menjaga diri, aparatnya, dan semua pihak terkait dari sikap KKN yang memanfaatkan kasus BLBI untuk kepentingan picik semata (demi uang), sehingga penyelesaian kasusnya terombang-ambing dalam perangkap ketidakpastian hukum. 2. Mencabut Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang release and discharge dan meninjau ulang seluruh perangkat kebijakan lainnya terkait penyelesaian kewajiban BLBI yang tidak adil dan hanya memberi keuntungan sepihak bagi obligor. Inpres No. 8 Tahun 2002 tentangrelease and discharge selama ini menjadi hambatan bagi dilakukannya pengusutan tuntas terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan obligor BLBI. Pemerintah juga harus meninjau ulang MSAA, MRNIA, APU, pemberian SKL/SKPK, dan kebijakan lain terkait penyelesaian kasus BLBI yang hanya menguntungkan obligor secara sepihak. 3. Menuntut IMF untuk bertanggung jawab atas manipulasi dan tekanan yang dilakukannya terhadap Pemerintah Indonesia di saat krisis, sehingga menyebabkan lahirnya berbagai kebijakan yang justru menghancurkan sendi-sendi perekonomian Indonesia. Diantara dosa besar yang harus dipertanggungjawabkan IMF itu adalah memaksakan pengucuran obligasi rekap ratusan triliun rupiah kepada perbankan, mendesak divestasi saham pemerintah di bank-bank rekap dalam waktu singkat (sehingga harga jualnya sangat rendah), dan penutupan 16 bank tanpa persiapan (sehingga memicu terjadinya krisis perbankan). Termasuk pula, keterlibatan oknumnya dalam konspirasi pembelian aset perbankan dengan harga murah. 4. Menciptakan terobosan untuk mempercepat proses penyelesaian kasus BLBI dengan membentuk Pengadilan Ad Hoc dan menerbitkan PP atau Perpu yang mengatur pemberlakuan asas pembuktian terbalik bagi pelaku korupsi.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 361 Kasus-kasus korupsi BLBI dapat disidangkan secara khusus melalui Pengadilan Ad Hoc untuk mempercepat pengungkapan dan penyelesaian kasus ini. Para pengemplang BLBI, yang kini masih berlindung di balik berbagai celah hukum, juga perlu dijerat dengan asas pembuktian terbalik. 5. Mendesak Jaksa Agung agar segera menuntaskan skandal korupsi BLBI dan menyeret pelaku-pelakunya ke pengadilan sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Pelaku-pelaku korupsi BLBI harus diseret ke pengadilan agar ada keputusan hukum yang tegas dan jelas tentang status mereka. Proses penyelesaian di tingkat perdata selama ini tidak boleh menghapus aspek tindak pidana yang dilakukan para obligor dalam menyalahgunakan BLBI ketika terjadi krisis. 6. Menyita aset dan kekayaan obligor yang hingga kini tidak menyelesaikan kewajibannya. Hal ini wajar dilakukan, terutama kepada mereka yang dengan sengaja mangkir, untuk menjamin kembalinya uang negara yang telah mereka nikmati. Apalagi, sejumlah obligor kini diketahui telah berhasil menjadi orang-orang terkaya di Indonesia. 7. Mengusut tuntas dan mengadili semua pejabat negara yang terlibat dalam berbagai penyimpangan yang terjadi dalam kasus BLBI, mulai dari pembuatan kebijakan, pelaksanaan pengucuran, hingga penggunaan BLBI. Pengusutan harus dilakukan setuntas-tuntasnya kepada semua pejabat negara yang terlibat, mencakup pemerintah, BPPN, maupun BI, sehingga masing-masing pihak dapat dituntut pertanggungjawabannya sesuai dengan porsi kesalahan yang dilakukan. 8. Mengupayakan seoptimal mungkin pengembalian uang negara yang telah terkucur melalui BLBI dan berbagai kebijakan penggelontoran uang negara lainnya ke sektor perbankan di saat krisis. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan menuntut kekurangan pembayaran sejumlah obligor BLBI yang nilai asetnya ternyata jauh

362/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI lebih rendah dari nilai aset yang tercantum ketika aset itu diserahkan. 9. Melakukan upaya untuk menghentikan pemberian subsidi bagi pihak perbankan melalui penghentian pembayaran bunga obligasi rekap. Mengingat pengucuran obligasi rekap merupakan kebijakan darurat untuk menyelamatkan bank di saat krisis, maka, setelah krisis berlalu dan bank pun telah meraup laba, tidak selayaknya bank terus menikmati penghasilan cuma-cuma tiap tahun melalui pembayaran bunga obligasi rekap. Apalagi, sebagian dari bank- bank tersebut telah dikuasai asing atau pengusaha swasta yang membelinya secara konspiratif dan berkolaborasi dengan IMF. 10. Menghentikan divestasi saham-saham pemerintah pada bank-bank rekap, sampai obligasi rekap yang berada pada bank bersangkutan berhasil ditarik seluruhnya oleh pemerintah. Pemerintah harus menghentikan proses divestasi atas saham- sahamnya di bank-bank rekap, kecuali dengan harga jual yang sebanding dengan obligasi rekap yang telah dikucurkan atau obligasi rekap tersebut telah berhasil ditarik keluar seluruhnya oleh pemerintah. Secara khusus, kami pun menghimbau para obligor untuk menggunakan hati nuraninya dan mempertanggungjawabkan perbuatannya secara hukum serta mengembalikan uang negara yang telah dinikmatinya kepada pemerintah. Berhentilah membebani rakyat Indonesia dengan pembayaran kewajiban utang yang bahkan tidak sedikitpun mereka rasakan!! Disamping itu, kami menuntut pemerintah untuk membuka mata atas kondisi kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar rakyat Indonesia saat ini dengan melahirkan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada rakyat miskin, seperti antara lain: · Melaksanakan program pembangunan ekonomi, sosial, dan politik secara nyata, terencana, komprehensif dan berkesinambungan untuk memberdayakan dan mengangkat derajat hidup masyarakat miskin, termasuk di dalamnya menciptakan kesempatan kerja dan

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 363 kemudahan berusaha seluas-luasnya bagi kelompok masyarakat kecil · Membuat kebijakan anggaran yang berpihak pada rakyat miskin, seperti memprioritaskan alokasi anggaran untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar masyarakat (khususnya pendidikan, kesehatan, dan subsidi penggunaan energi) sesuai dengan amanat UUD 1945 · Menetapkan kriteria kemiskinan secara layak dan proporsional, dan tidak merendah-rendahkan standar kemiskinan hanya untuk mengakali angka kemiskinan sesungguhnya yang telah demikian terpuruk · Merevisi atau bahkan mencabut berbagai kebijakan, undang- undang dan peraturan yang baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi sumber pemiskinan, termasuk berbagai kebijakan yang berpihak pada kepentingan pemodal Pemerintah juga harus mampu mempraktikkan keteladanan di depan rakyatnya dengan tampil secara sederhana, menjauhkan diri dari berbagai macam seremoni yang menghambur-hamburkan uang negara, serta menunjukkan komitmen tinggi untuk bekerja keras demi kepentingan rakyat banyak. Hanya dengan demikian, rakyat Indonesia dapat yakin bahwa pemimpinnya berpihak dan berdiri bersama mereka, dan bukannya terus melayani kepentingan para konglomerat dan pemilik modal, baik orang, lembaga-lembaga maupun negara asing. Pada akhirnya, kita ingatkan kembali bahwa skandal penyelewengan BLBI dan obligasi rekap telah menimbulkan persoalan besar berupa ketidakadilan dan ketimpangan distribusi APBN secara berkepanjangan. Untuk itu, semua orang yang mengaku beriman sudah sepantasnya melakukan perbuatan konkret melawan ketidakadilan, kezaliman, dan penindasan yang sangat keji ini. Mereka yang berdiam diri, serta bahkan di saat yang sama justru menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan pribadi dan golongannya, jelas bukan orang yang pantas menyandang predikat tersebut!

364/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI Lampiran 1 Skema Pejabat Pemerintah yang Bertugas Pada Rangkaian Kebijakan terkait BLBI

Sumber: Laporan BPK No.34G/XII11/2006 Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 365 Lampiran 2 Surat Pengajuan Interpelasi Anggota DPR RI

Jakarta, 18 September 2007

Kepada Yth. Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Jakarta Perihal : Pengajuan Hak Interpelasi

Dengan Hormat, Mencermati permasalahan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) dan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), negara telah melakukan investasi/danal ebih dari Rp. 702,5 triliun yang hingga saat ini belum memperlihatkan upaya penyelesaian yang efektif. Upaya yang dilakukan oleh Pemerintah melalui Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dengan cara menandatangani kesepakatan yaitu MSAA (Master Settlement and Acquisition Agreement), MRNIA (Master Refinancing and Note Issuance Agreement), APU sebagai mekanisme penyelesaian masalah KLBI dan BLBI justru menambah beban utang negara didalam APBN sebesar Rp 50-60 triliun per tahun yang diperkirakan berakhir hingga 2033. Padahal pada saat yang sama rakyat masih menghadapi berbagai kesulitan untuk memenuhi berbagai kebutuhan primernya. Apabila dana sebesar itu dialokasikan untuk program-program : pengentasan kemiskinan melalui pembangunan sarana dan prasarana pedesaan, pendidikan dan kesehatan bagi rakyat, tentu jutaan rakyat miskin akan dapat meningkat kesejahteraannya. Berdasarkan pengamatan tersebut di atas dan sebagai bagian dari komitmen kabangsaan dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia serta demi kewajiban dan tanggung jawab atas tugas, fungsi dan sumpah sebagai wakil rakyat, maka dengan ini kami mengajukan interpelasi sebagai salah satu hak yang dimiliki olehAnggota Dewan. Terlampir nama-nama dan tanda tangan hak interpelasi kami sampaikan, atas perhatian, kerja sama dan dukungan semua pihak disampaikan terima kasih. Hormat kami,

Para Interpelator.

366/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI HAK INTERPELASI ANGGOTA DPR-RI TERHADAP PENYELESAIAN KASUS KREDIT LIKUIDITAS BANK INDONESIA DAN BANTUAN LIKUIDITAS BANK INDONESIA

Assalamu'alaikum Wr.Wb. Salam sejahtera bagi kita semua

Pimpinan dan rekan-rekan Anggota DPR-RI yang kami hormati, Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) adalah skema bantuan berupa pinjaman yang diberikan Bank Indonesia kepada bank-bank yang mengalami masalah likuiditas pada saat terjadinya krisis ekonomi 1997/1998 di Indonesia. Skema ini tidak lepas dari resep IMF dalam mengatasi krisis ekonomi. Untuk mengatasi krisis ekonomi tersebut, khususnya melalui program penyehatan parbankan, negara telah mengeluarkan investasi/dana yang setidaknya berjumlah Rp 702,5 triliun. Investasi ini terdiri dari BLBI senilai Rp 144,5 triliun, obligasi rekapitalisasi perbankan Rp 425,5 triliun, program penjaminan Rp 73,8 triliun, dana talangan Rp 4,9 triliun dan dana rekening 502 Rp 53,8 triliun. Obligasi rekapitalisasi tersebut termasuk untuk bank-bank BUMN Rp 280 triliun dan bank-bank swasta Rp 145,5 triliun. Berdasarkan audit investigasi BPK pada tahun 2000, Bank Indonesia telah menyalurkan investasi/dana BLBI kepada 48 bank per 29 Januari 1999 sebesar Rp 144,5 triliun. Terhadap investasi/dana BLBI tersebut BPK menemukan penyimpangan, kelemahan sistem dan kelalaian yang menimbulkan potensi kerugian negara sebesarRp 138,4 triliun atau 95,78% dari total jumlah BLBI yang telah disalurkan (posisi 29 Januari 1999). Disamping penyimpangan penyaluran juga ditemukan penyimpangan penggunaan BLBI, antara lain digunakan untuk melunasi pinjaman subordinasi, melunasi kewajiban pembayaran bank umum yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya, membayar kewajiban kepada pihak-pihak terkait, transaksi surat berharga, melunasi dana pihak ketiga yang melanggar ketentuan, membiayai kontrak derivatif baru, membiayai ekspansi kredit, membiayai investasi dalam aktiva tetap dan membiayaioverhead bank umum. Potensi penyimpangan uang negara ratusan triliun rupiah tersebut menyisakan persoalan pertanggungjawaban yang tidak jelas. Potensi penyimpangan tersebut memperlihatkan kuatnya indikasi pelanggaran tindak pidana dan atau perbuatan yang merugikan keuangan negara. Namun patut disesalkan karena hingga saat ini kasus BLBI belum dapat diselesaikan secara tuntas. Upaya hukum yang telah dilakukan hanya setengah hati. Rakyat yang tidak tahu sebab-akibat kasus BLBI harus menuai getirnya menanggung beban pembayaran melalui APBN, sementara orang yang diduga melakukan penyimpangan masih bebas berkeliaran bahkan membawa jarahannya kabur ke luar negeri.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 367 Beban tersebut masih belum termasuk beban yang muncul sebagai akibat dari pemberian Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) di masa lalu, baik dalam bentuk KLBI program pangan melalui Bulog maupun KLBI yang disalurkan melalui bank-bank BUMN. Masalah tersebut hingga saat ini masih belum jelas duduk perkara dan pertanggungjawaban publiknya. Penjarahan uang rakyat melalui institusi perbankan sepertimark up , pelanggaran BMPK, penyimpangan BLBI dan KLBI merupakan kejahatan perbankan yang justru harus dibayar mahal oleh rakyat miskin sekalipun melaluiAPBN. Demi keadilan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam sila ke-5 dari Pancasila : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, sebagai tanggung jawab kolektif bagi setiap warga negara, atas nama bangsa dan seluruh rakyat Indonesia, sebagai representasi elemen dan institusi demokrasi, kami merasa terpanggil untuk mengajukan interpelasi sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi, diharapkan pengajuan hak interpelasi dapat menguraikan benang kusut yang ada sekaligus menuntaskan permasalahan-permasalahan yang tidak kunjung selesai, menolak ketidakadilan yang dibuat oleh segelintir warga negara yang rakus dan tidak berperikemanusiaan,mengajukan hak interpelasi sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi sebagai berikut :

I. DASAR HUKUM 1. UUD Negara RI tahun 1945, Pasal 1 ayat (3) bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum, maka tak satupun pelanggaran hukum yang dapat lulus dari jeratan hukum. 2. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 23 ayat (1) bahwa APBN sebagai wujud dari pengelolaan keuangan negara ditetapkan setiap tahun dengan undang-undang dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. 3. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 23E ayat (2) Hasil Pemeriksaan Keuangan Negara diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, sesuai dengan kewenangannya; ayat (3) Hasil pemeriksaan tersebut ditindak lanjuti oleh Lembaga Perwakilan dan/atau badan sesuai dengan undang-undang. 4. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 27 ayat (1) bahwa setiap warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 5. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 28D bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.

368/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI 6. UUD Negara RI tahun 1945 Pasal 33 ayat (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas dasar demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. 7. Ketetapan MPR-RI Nomor VIII/MPR RI/2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. 8. Ketetapan MPR RI Nomor X/MPR RI/2001 tentang Laporan Pelaksanaan Putusan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Lembaga Tinggi Negara pada Sidang TahunanMPR RI Tahun2001. 9. Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR RI/2002 tantang Rekomendasi Atas Laporan Pelaksanaan Putusan MPR RI oleh Presiden, DPA, DPR, BPK, MA pada sidang tahunan MPR RI tahun 2002. 10. Ketetapan MPR RI Nomor I/MPR RI/2003. 11. Undang-undang No. 25 Tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional. 12. Undang-undang No.10 Tahun 1998, Pasal 37A ayat (3) menyebutkan: bahwa dalam melaksanakan program penyehatan terhadap bank-bank, badan khusus sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) mempunyai kewenangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) serta wewenang lain yaitu huruf (a) s/d huruf (n). 13. Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU No. 20 Tahun 2001. Pasal 4 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 secara tegas menyebutkan bahwa “Pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidananya pelaku tindak pidana.” UU No. 31 tahun 1999. 14. Peraturan Pemerintah No. 17 tahun 1999 tentang Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Merupakan landasan hukum bagi BPPN untuk mencegah kerusakan sektor ekonomi yang lebih buruk dengan menjalankan fungsi penyehatan perbankan dan mengelola aset perbankan bermasalah. 15. Instruksi Presiden No. 8/2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang belum menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS).

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 369 II. PERATURAN TATATERTIB DPR-RI TENTANG HAK INTERPELASI, PASAL171 : Bahwa prasyarat untuk mengajukan hak interpelasi bagi anggota DPR RI adalah sekurang-kurangnya 13 orang Anggota sudah dapat mengajukan usul kepada DPR RI untuk menggunakan hak interpelasi tentang kebijakan Pemerintah yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan masyarakat dan bernegara.

III. ASPEK SOSIAL-BUDAYA Realitas sosial yang ditimbulkan oleh kasus KLBI dan BLBI merupakan salah satu faktor yang menimbulkan dampak negatif terhadap struktur dan pranata sosial bangsa kita. APBN yang seharusnya untuk memperbaiki kualitas hidup rakyat justru menjadi beban dan tanggungan rakyat melalui subsidi pemerintah kepada obligor BLBI. Trend meningkatnya rakyat hidup miskin, timbulnya kecemburuan, kesenjangan, dan ketidakadilan sosial merupakan gambaran, begitu rapuh, resisten, dan lemahnya kualitas hidup berbangsa dan bernegara yang selama ini menjadi pengikat kita menjadi satu bangsa dengan cita-cita besar. Masyarakat kembali harus bersabar, menunggu dan menunda menikmati pembangunan sarana dan prasarana, pendidikan dan kesehatan gratis.

IV. ASPEK EKONOMI Dari sisi sustainabilitas anggaran, pengeluaran untuk menyehatkan perbankan tersebut telah menimbulkan tambahan beban fiskal berupa bunga surat utang negara sekitar Rp 50-60 triliun per tahun, dan dipertanyakan sampai kapan hal ini berakhir menjadi beban negara. Dari sisi pemerataan ekonomi dan pembangunan, seharusnya beban bunga tersebut dapat digunakan untuk membiayai program pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Beban fiskal yang harus dibayar tersebut juga merupakan pengalihan dana yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mengembangkan Usaha Kecil dan Menengah (UKM). Selain itu, langkah penyelesaian program penyehatan perbankan telah mengakibatkan berpindahnya kepemilikan perusahaan/aset nasional kepada pihak asing. Sebagai contoh, enam dari 10 bank terbesar di Indonesia kepemilikan mayoritasnya sudah berada di pihak asing, sehingga proses intermediasi perbankan menjadi tidak maksimal dalam mendorong pertumbuhan sektor riil.

370/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI V. ASPEK HUKUM Secara Hukum Pidana, pada azasnya barang siapa yang terbukti bersalah melakukan kejahatan harus dijatuhi hukuman-geen straf zonder shculd. Pelanggaran BMPK merupakan pelanggaran Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 tahun 1992 tentang perbankan, yang dijabarkan dalam peraturan-peraturan Bank Indonesia. Di dalam ketentuan hukum tersebut mengenai pelanggaran BMPK bukan ketentuan pidana secara umum. Hal ini sesuai dengan azas hukum yang menyatakan ketentuan yang khusus mengenyampingkan yang umumlex generalis lex specialis . Meskipun kerugian korban telah disubstitusi, unsur pidananya tetap harus diselesaikan secara hukum. Pelanggaran BMPK dan berbagai penyelewengan perbankan yang dilakukan oleh para pemilik bank, termasuk oleh apa yang disebutkonglomerat hitam , serta kesalahan pengawasan oleh otoritas pengawas perbankan adalah merupakan bentuk kejahatan perbankan. Padahal, Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 memberikan ancaman hukuman penjara paling lama 15 tahun.dan denda paling banyak Rp 200 milyar terhadap tindak pidana perbankan. Ternyata Undang-undang tersebut belum dilaksanakan secara konsisten. Permasalahan pelanggaran BMPK diatur lebih lanjut dalam Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia No. 31/177/Kep/Dir, pada tanggal 31 Desember 1998. Keputusan Direksi ini mengatur bahwa suatu bank wajib menyusun dan menyampaikan rencana penyelesaian(action plan) masing-masing untuk pelanggaran dan/atau pelampauan BMPK, apabilaaction plan tersebut tidak dilaksanakan maka bank tersebut dapat dikenai sanksi administratif dan sanksi pidana. Upaya menindak para obligor KLBI dan BLBI hingga saat ini masih terkendala oleh lemahnya penegakan hukum. Aparat penegak hukum pun tidak berdaya untuk memproses hingga ke pengadilan, apalagi dengan maraknya praktek mafia peradilan. Tindakan para obligor yang merugikan keuangan negara semestinya juga dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi. Undang- undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang telah direvisi menjadi UU No. 31 Tahun 1999 berisi klausul ancaman yang sangat berat bagi pelaku kejahatan korupsi. Apabila implikasi korupsi menimbulkan kerugian sedemikian besar dan literal dalam kehidupan masyarakat, maka pelakunya memungkinkan diancam hukuman mati. Proses pidana harus dijalankan terhadap koruptor dan pelaku KKN yang telah mengeruk uang negara. Masalah BLBI perlu dilihat sebagai suatu kejadian yang berkesinambungan yang telah terjadi sejak 10 tahun yang lalu dan dilaksanakan oleh Pemerintah dari Presiden Soeharto sampai sekarang dan juga telah melibatkan MPR, DPR, BPK, dan MA.

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 371 Melalui pendekatanout-of-court settlement, pemerintah melaksanakan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dalam bentuk MSAA, MRNIA, dan APU. Sesuai audit BPK tentang Hasil Pemeriksaan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, No. 34G/XII/11/2006 tanggal 30 November 2006, PKPS dilaksanakan berdasarkan beberapa dasar hukum sebagai berikut. Pada tahun 1998, dikeluarkan Keputusan Presiden No. 34 tahun 1998 tentang Tugas dan Kewenangan BPPN. Sejak tahun 1999, program PKPS didasarkan pada kewenangan yang dimiliki oleh BPPN dalam PP 17/1999. Selanjutnya, Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (UU Propenas) yang antara lain menyebutkan: (i) pemberian insentif bagi debitur yang belum menandatangani MSAA. (ii) pengenaan penalti bagi debitur yang tidak menandatangani MSAA atau cidera janji. (iii) pemberian jaminan kepastian hukum bagi debitur yang menandatangani MSAA. Sementara itu, Ketetapan MPR RI No. X/MPR/2001, menetapkan bahwa pemerintah perlu konsisten melaksanakan MSAAdan MRNIA. Pelaksanaan program PKPS tersebut kemudian berlanjut dengan pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) oleh BPPN kepada 21 obligor, yang didasarkan pada Inpres 8/2002. SKL ini oleh sebagian kalangan dianggap sebagai kepastian hukum bagi para obligor yang sudah memperoleh SKL. Argumennya adalah SKL tersebut merupakan produk hukum dari sebuah pemerintahan yang sah. Sebagian kalangan memandang SKL tersebut tidak dapat mensubstitusi secara hukum, apabila terdapat unsur perbuatan pidana yang dilakukan oleh obligor. Argumennya adalah pengembalian aset negara tidak menghapuskan unsur tindak pidananya. Keputusan Mahkamah Agung No. 03 G/Hum/2003 tentang Wewenang Presiden Memberikan Kepastian Hukum Kepada Obligor BLBI Yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya Dan Meneruskan Proses Hukum Yang Belum Menyelesaikan Kewajibannya. Perlu dicatat bahwa, audit BPK No. 34G/XII/11/2006 tersebut juga menyebutkan bahwa SKL dapat ditinjau kembali, diperbaiki dan atau disempurnakan apabila ditemukan terdapat kekeliruan dan atau kesalahan di dalam pembuatan SKL. Selain obligor yang memperoleh SKL, terdapat juga obligor yang: (i) dianggap selesai tetapi tidak memperoleh SKL, (ii) tidak memperoleh SKL, (iii) tidak selesai PKPS-nya, (iv) dialihkan ke Tim Pemberesan BPPN, (v) sedang dalam penyelidikan KejaksaanAgung, dan (vi) masih menunggu Keputusan Mahkamah Agung. Terhadap obligor-obligor tersebut hingga kini tidak jelas langkah penyelesaian yang diambil oleh pemerintah.

372/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI Mengingat beban negara sebagai akibat program penyehatan perbankan akan terus ditanggung negara dalam jangka waktu yang sangat panjang, DPR berpandangan perlu adanya terobosan hukum untuk menyelesaikan masalah ini dalam waktu sesegera mungkin. Selain itu terdapat inkonsistensi hukum dalam proses penyelesaian PKPS. Apalagi selama ini terdapat inkonsistensi hukum dalam proses penyelesaian PKPS tersebut. Sebagai misal, terdapat obligor yang belum tuntas meyelesaikan kewajibannya, namun sama sekali tidak dilakukan proses penegakan hukum terhadapnya. Seyogyanya pemerintah perlu memberikan perhatian kepada upaya penegakan hukum.

DPR RI sebagai Lembaga Perwakilan Rakyat, sesuai kewenangan konstitusionalnya berhak meminta penjelasan kepada Presiden RI melalui penggunaan hak interpelasi sebagai berikut: (1) Bagaimana sikap politik dan hukum pemerintah terhadap kebijakan dan implementasi kebijakan dalam penyelesaian kewajiban pemegang saham yang meliputi kasus-kasus KLBI, BLBI, rekapitalisasi perbankan dan seluruh rangkaian program penyehatan perbankan, termasuk program penjaminan dan dana talangan? (2) Apa sikap pemerintah terhadap obligor yang belum memenuhi kewajibannya kepada negara atau apa yang disebut konglomerat hitam ? (3) Sejauhmana konsistensi, perkembangan dan hasil penegakan hukum bagi para obligor yang dilakukan oleh pemerintah? Langkah hukum apa yang sedang dan akan diambil oleh pemerintah terhadap para obligor, dirinci berdasarkan nama dan bank /perusahaannya ? Sejauh mana kemajuan penanganan obligor yang belum menuntaskan kewajibannya, sebagaimana audit BPK di atas? (4) Berapa seharusnya uang negara yang wajib dikembalikan oleh para obligor? Bagaimana realisasi pengembalian uang negara berdasarkan program PKPS, mengingat telah dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 8/2002? (5) Bagaimana tanggung jawab pemerintah terhadap rakyat dengan memberi fasilitas yang berlebihan atau mengampuni para obligor tanpa melalui proses hukum? (6) Bagaimana strategi pemerintah dalam mengembalikan potensi kerugian negara sebesar Rp 138,4 triliun dana eks-BLBI sesuai audit BPK tahun 2000? (7) Berapa sesungguhnya jumlah utang negara terkait dengan program KLBI, BLBI dan seluruh rangkaian penyehatan perbankan? Apakah bunga yang dibebankan kepada APBN sebesar kira-kira Rp 50-60 triliun tersebut benar-benar utang negara atau utang swasta yang diambil alih oleh negara ? Berapa lama lagi utang ini harus ditanggung oleh negara ?

Rakyat Menggugat Skandal BLBI/ 373 (8) Apakah upaya Pemerintah dalam menyelesaikan utang-utang tersebut? Diharapkan pemerintah memaparkan upaya penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran yang terjadi. (9) Apakah pemerintah sependapat bahwa kasus KLBI, BLBI, dan seluruh rangkaian program penyehatan perbankan harus tuntas 100% sebelum akhir Agustus 2008? (10) Bagaimana pendapat Pemerintah terhadap Inpres No. 8/2002 tentang Pemberian Jaminan Kepastian Hukum Kepada Debitur yang telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur Yang Belum Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS), yang telah mendapat kekuatan hukum dari MahkamahAgung?

Demikian hak interpelasi ini kami ajukan sebagai bentuk kepedulian dan empati kami terhadap rakyat yang mengalami ketidakadilan dan kesengsaraan yang nyata.

Wassalammu'alaikum Wr. Wb. Jakarta, 18 September 2007

Kami Para Pengusul (terlampir).

374/ Rakyat Menggugat Skandal BLBI Referensi

Buku

Arief, Sritua,Negeri Terjajah Menyingkap Ilusi Kemerdekaan, Yogyakarta, Cet. I, Resist Book, 2006. Atraiyyah, Hamdar,Meneropong Kemiskinan Telaah Perspektif Al Quran, Cet I, Pustaka Pelajar, 2007. Baswir, Revrisond,Mafia Berkeley dan Krisis Ekonomi Indonesia, Cet, I, Pustaka Pelajar, 2006. Baswir, Revrisond et.al.,Terjajah di Negeri Sendiri , Cetakan Pertama, Jakarta, Elsam April 2003. Danaher, Kevin,10 Alasan Bubarkan IMF dan Bank Dunia , Yogyakarta, CPRC, 2005. Furubotn, Eirik dan Rudolf Richter. 2000. Institutions and Economic Theory: The Contribution of the New Institutional Economics. The University of Michigan Press. Ann Arbor. USA Gie, Kwik K., Pemberantasan Korupsi untuk Memperoleh Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan, Edisi III. ______,Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar, Cet.I, Jakarta, Kompas, 2006.

/ 375 ______, Pikiran Yang Terkorupsi, Cet.1, Jakarta, Kompas, 2006 Hadi, Syamsul et.al.,Strategi Pembangunan Indonesia Pasca IMF , Jakarta, Granit, 2004. Khor, Martin,Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Yogyakarta, CPRC, 2002. Khudori,Lapar: Negeri Salah Urus!, Cet.I Yogyakarta, Resist Book, 2005. Mintorahardjo, Sukowaluyo, BLBI Simalakama Pertaruhan Kekuasaan Presiden Soeharto, Cet. I, Riset-Riset Ekonomi Sosial Indonesia, 2001. Mubyarto,Ekonomi Terjajah , Pustep, UGM, 2005. Nasution, Anwar. 2002. The Indonesian Economic Recovery From The Crisis in 1997 1998.Journal of Asian Economics . 13: 157 180 Pincus, Jonathan R. & Jeffrey A. Winters,Membongkar Bank Dunia, Jakarta , Djambatan 2004. Rao, J. Mohan et.al., Arbitrase Utang Penyelesaian Menyeluruh Masalah Utang Luar Negeri Indonesia, Jakarta, Cet.I, INFID,2003. Scabrook, Jeremy, Kemiskinan Global Kegagalan Model Ekonomi Neoliberalisme, Yogyakarta, Cet.I, Resist Book, 2006 Subagja, Guntur et.al.,Mari Menjual Negara , Jakarta, Global Mahardika Netama, 2002. Subagja, Guntur,Politik & BLBI : Kumpulan Artikel Pengamat dan Wartawan , x-Biz, Jakarta, 2000 Winters, Jeffrey A.,Dosa-Dosa Politik Orde Baru , Jakarta, Djambatan, 1999.

Laporan

Batunanggar, 2. 2006.Fasilitas Pembiayaan Darurat vs BLBI . Paper yang versi singkatnya sudah dipublikasikan di Investor Daily. 2 Februari Hasil Pemeriksaan Penjualan Aset Eks Pemegang Saham Bank dalam Rangka Pemeriksaan Atas Laporan Pelaksanaan Tugas BPPN, BPK, Jakarta, 2006. Laporan BPK Nomor : 34G/XII/11/2006 Tanggal 30 Nopember 2006 Laporan BPK Nomor : 06/01/Auditama II/AI/VII/2000 Tanggal 31 Juli 2000

376 / Yuntho, Emerson dan Muji Rahayu. 2006.Penyelesaian Hukum Kasus BLBI . Position Paper. Indonesia Coruption Watch. Jakarta Zulverdi, Doddy,et. al . 2007. Bank Portofolio Model and Monetary Policy in Indonesia.Journal of Asian Economics . 18: 158 - 174

Majalah

Forbes Asia, “Indonesia's 40 Richest” , December 24, 2007. Gatra, “Kolaborasi BK-KPK Bongkar Perkara”, 29 November-5 Desember 2007. Globe Asia, ”150 Wealthiest Indonesiaans”, 7 Agustus 2007. Tempo, “Kasus BLBI Perburuk Citra Indonesia”, 25 Juli 2007. Tempo, Edisi 5 11 Maret 2007

Surat Kabar

Bisnis Indonesia, ”Dana Antikemiskinan 2008 Naik”, 06 Agustus 2007. Bisnis Indonesia, ”Tim Antikemiskinan Janjikan Perbaikan”, 09 Agustus 2007. Bisnis Indonesia,”Masalah BLBI atau Kehancuran Keuangan Negara” , 11 September 2007. Indopos, ” Skandal BLBI Masih Misteri”, 21 Mei 2007. Indopos, ” Babak Baru Penanganan Korupsi BLBI”, 29 Juni 2007. Indopos,”Makin Serius Bidik BLBI” , 31 juli 2007. Indopos, ”Lagi, Kejagung Periksa Mantan Pejabat BPPN”, 31 Agustus 2007. Indopos, ”Kemiskinan, Konflik, dan Perdamaian Global”, 24 September 2007. Indopos, ”SP3 Soedrajad Bisa Dibatalkan”, 15 November 2007. Indopos, ”Ditekan IMF,BCA Dijual Murah” 12 Desember 2007. Investor Daily, ”Disiapkan, Jerat Baru Pengemplang BLBI ”, 08 Maret 2007. Investor Daily, ”Penyelesaian BLBI Berlanjut”, 22 Maret 2007.

/ 377 Investor Daily, ”BPK dan DPR Desak Pemerintah Tuntaskan BLBI”, 03 April 2007. Investor Daily, ”Buron BLBI beli Aset di Singapura Rp 1,5 T”, 17 April 2007. Investor Daily, ”Keluarga Hendra Rahardja Bangun Kerajaan Bisnis di Hong Kong”, 26 April 2007. Investor Daily, ”Ahli Waris Hendra Rahardja Akan Diselidiki”, 27 April 2007. Investor Daily, ”Aset Koruptor Pasti Kembali”, 28-29 April 2007. Investor Daily, ”PU Anggarkan Rp 1,9 T untuk Atasi Kemiskinan”, 28-29 April 2007. Investor Daily , ”Perjanjian RI-Singapura Percepat Penyelesaian BLBI”, 05-06 Mei 2007. Investor Daily , ”Jangan Sampai Ada Skenario Pengalihan Kasus BLBI”, 26 Mei 2007. Investor Daily , ”Kasus Anthony Salim Diusulkan Masuk Panja”, 29 Mei 2007. Investor Daily, ”DPR Panggil Penilai Independen Tentukan BLBI”, 29 Mei 2007. Investor Daily, ”DPR Bentuk Panja BLBI Tangani 8 Obligor”, 21 Juni 2007. Investor Daily, ”Jaksa Agung Prioritaskan Pengusutan Tiga Kasus BLBI”, 29 Juni 2007. Investor Daily, ”Pendidikan Murah Masih Impian”, 22 Juli 2007. Investor Daily, ”BPK Siapkan Data BLBI Untuk Kejakgung”, 26 Juli 2007. Investor Daily, ”Papua Daerah Termiskin”, 04-05 Agustus 2007. Investor Daily, ”Nyali Menyelesaikan BLBI”, 07 Agustus 2007. Investor Daily, “Peluang Menggugat IMF”, 08 Agustus 2007. Investor Daily, ”ADB: Kesenjangan Kaya-Miskin Kian Lebar”, 09 Agustus 2007. Investor Daily, ”Rumah Bagi Rakyat Miskin”, 24 Agustus 2007. Investor Daily, “Australia Akan Ekstradisi Dua Terpidana BLBI”, 25-26 Agustus 2007. Investor Daily, ”Arwin Rasyid Diperiksa Kejagung Kasus BLBI”, 31 Agustus 2007. Investor Daily, “Kwik: Mantan Menko dan Menkeu Terlibat BLBI”, 08 September 2007.

378 / Investor Daily, “Ary Sutha Tak Tahu Perbedaan Aset Obligor BLBI”, 14 September 2007. Investor Daily,“Kemiskinan, Masalah Tiada Akhir”, 22 September 2007. Investor Daily, “42 Anggota DPR Ajukan Interpelasi BLBI”, 28 September 2007. Investor Daily, “Memangkas Angka Kemiskinan”, 19 Oktober 2007. Investor Daily, ”Masalah Kemiskinan Belum Teratasi”, 23 Oktober 2007. Investor Daily, “Penyelesaian Hukum Lebih Jelas, DPR Sepakat Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007. Jawa Pos, edisi 31 Januari 2006 Jurnal Nasional, “Penilaian Aset Obligor BLBI Tidak Konsisten” , 20 Juli 2007. Jurnal Nasional, “MoU BPK-Kejagung untuk Buru Koruptor BLBI”, 03 Agustus 2007. Jurnal Nasional, “Kejagung Periksa Kwik dan Bambang Subianto”, 07 September 2007. Jurnal Nasional, “Tiga Obligor BLBI Segera Diperiksa”, 30 November 2007. Jurnal Nasional, “DPR Sepakati Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007. Kompas,”BPK: Penyelesaian BLBI Untungkan Konglomerat, Bebani APBN” , 07 Juni 2003. Kompas, ”Pemburu Koruptor Sudah Disiapkan”, 04 Juli 2007. Kompas, ”Ormas Diingatkan Untuk Sesuai Koridor Hukum”, 05 Juli 2007. Kompas, ” Mimpi dari Permukiman Kumuh”, 13 Juli 2007 Kompas, ” Pemerintah Tidak serius”, 17 Juli 2007 Kompas, ”Tim Khusus Diminta Fokuskan Kasus BLBI”, 18 Juli 2007. Kompas, ”Jaksa Agung Berjanji Tak Main-Main”, 19 Juli 2007. Kompas, Edisi 23 Juli 2007 Kompas, ”Rakyat Miskin Tuntut Akses Pendidikan Murah tetapi Berkualitas”, 30 Agustus 2007. Kompas,”Tetapkan Data Penduduk Miskin” , 05 September 2007.

/ 379 Kompas, ”DPR Setujui Interpelasi”, 05 Desember 2007. Kompas, ”Pemerintah Akan Menjawab Interpelasi DPR”, 08 Desember 2007 Kompas, ”Anthony Salim Diperiksa”, 07 Desember 2007 Neraca, “Harus Ada Deadline Buat Kejagung Mengusut Kasus BLBI”, 25 September 2007. Neraca, “Kejaksaan Targetkan Penyelesaian Tiga Kasus Kakap BLBI”, 29 Juni 2007. Neraca, “Pengusutan Kasus BLBI Jangan Tebang Pilih”, 09 Juli 2007. Neraca, “Menunggu Hasil Babak Baru Penyelesaian BLBI”, 23 Juli 2007. Neraca, “PPATK Belum Terima Permintaan Kejagung Soal BLBI”, 24 Juli 2007. Neraca,“Perebutan Aset PT GPA Vs Salim Group Tampilkan Saksi Ahli”, 25 Juli 2007. Neraca, “30 Obligor Kakap Masih Bandel”, 27 Juli 2007. Neraca, “Soal BLBI Kejagung Baru Periksa Saksi”, 31 Juli 2007. Neraca, “Permak Dukung Jaksa Agung Usut Tuntas BLBI”, 02 Agustus 2007 Neraca, “Pelajar Mendesak Jaksa Agung Prioritaskan Kasus BLBI”, 10 Agustus 2007. Neraca, “Saksi Tak Kooperatif Diancam Pidana Korupsi” , 14 Agustus 2007. Neraca, “Satu Dasawarsa Krisis Satu Dasawarsa BLBI”, 21 Agustus 2007. Neraca, “Kemiskinan Bukan Persoalan Angka Statistik”, 24 Agustus 2007. Neraca, “Pengusutan MSAA Akan Menguak Kejahatan Konglomerat Pengguna BLBI”, 28 Agustus 2007. Neraca, “Antara Pengentasan Kemiskinan & Pemberdayaan Usaha Kecil”, 01 September 2007. Neraca, “Penyerahan Saham-saham Obligor ke BPPN Harus Free and Clear”, 01 September 2007. Neraca, “Pemerintah dan BI Harus Bertanggung Jawab”, 13 September 2007. Neraca, “Kemiskinan Ekonomi dan Spiritual”, 09 Oktober 2007. Neraca,“DPR: Perpanjang Penyelidikan Untuk Tuntaskan 6 Kasus BLBI” , 01 November 2007.

380 / Neraca, “Kasus BLBI Jangan Jadi Isu Politik Pemilu”, 12 November 2007. Neraca, “Presiden Peduli Dengan Pengusutan kasus BLBI”, 13 November 2007. Neraca, “Hakim Menangkan Gugatan Sugar Terhadap Grup Salim”, 15 November 2007. Neraca, “Kejagung Perlu Tindak Lanjuti Pelanggaran MSAA”,27 November 2007. Neraca, “Kasus BLBI, Kejahatan Keuagan Sangat Serius”, 28 November 2007. Neraca, “Pengungkapan Kasus BLBI Mulai 'Diganjal' DPR”, 29 November 2007. Neraca, “Panja DPR Bingung Terhadap Proses BLBI”, 01 Oktober 2007. Neraca, “Sekali Lagi BLBI & Penjualan BCA (1)”, 01 Oktober 2007. Neraca, “Sekali Lagi BLBI & Penjualan BCA (2)”, 02 Oktober 2007. Neraca, “Laksamana: BCA Sesuai Prosedur”, 02 Oktober 2007. Neraca, “Interpelasi Kasus BLBI Akhirnya Bergulir di DPR”, 02 Oktober 2007. Neraca, “Satu Dasawarsa Krisis Satu Dasawarsa BLBI”, 23 Oktober 2007. Neraca, “Kasus GPA dan salim Tunggu Kepastian Hakim”, 25 Oktober 2007. Neraca, “Kejgung Perpanjang Peneylidikan Kasus BLBI”, 30 Oktober 2007. Neraca, “Interpelasi Kasus BLBI Disetujui Secara Aklamasi”, 05 Desember 2007. Neraca, “AnthonySalim Diperiksa Kejagung 12 jam”, 07 Desember 2007. Neraca, “Interpelasi BLBI: Mengurai Benang Yang Terlanjur Kusut”, 07 Desember 2007. Rakyat Merdeka, “Pemberi BLBI Layak Dikerangkeng”, 11 Mei 2007. Rakyat Merdeka, “Penuntasan BLBI Molor Rakyat Tekor”, 04 Juni 2007. Rakyat Merdeka, “Seperti Tong Kosong Nyaring bunyinya”, 04 Juni 2007. Rakyat Merdeka, “Gara-gara BLBI Harga-harga Mahal”, 04 Juni 2007. Rakyat Merdeka, “Kejaksaan Agung Siapkan 35 Jaksa untuk Kasus BLBI”, 06 Juni 2007. Rakyat Merdeka, “Penyelesaiannya Jangan Setengah-setengah”, 19 Juni 2007. Rakyat Merdeka, “Kejagung Ngotot Pidanakan Pengemplang BLBI”, 19 Juni 2007. Rakyat Merdeka, “Dimulai, Jihad Melawan Koruptor BLBI”, 02 Juli 2007.

/ 381 Rakyat Merdeka, “Melihat Keterlibatannya Dengan 3 Poin”, 13 Juli 2007. Rakyat Merdeka, “Perry: Selisih Nilai Aset Salim Banyak Faktor”, 20 Juli 2007. Rakyat Merdeka, “Bukan Hanya Salim Group , Di Bawahnya Juga Diusut”, 20 Juli 2007. Rakyat Merdeka, “Pelajaran Mahal Krisis Ekonomi Indonesia”, 23 juli 2007. Rakyat Merdeka, “2 Boneka Konglomerat Dibakar” , 25 Juli 2007. Rakyat Merdeka, “Kepastian Hukum Dan Kenyamanan Harus Dijamin”, 27 Juli 2007. Rakyat Merdeka, “Data-data Lama Dan Tersirat Kasus BLBI Akan Dibuka”, 27 Juli 2007. Rakyat Merdeka , “Tidak Ada Kata Terlambat Buat SBY-JK”, 03 Agustus 2007. Rakyat Merdeka, “Peran Bank Sentral Dalam BLBI”, 06 Agustus 2007. Rakyat Merdeka, “Kasus BLBI Jangan Jadi Ajang Balas Dendam”, 10 Agustus 2007. Rakyat Merdeka ,“Maling Kelas Teri Ditangkap Maling BLBI Kok Nggak ”, 10 Agustus 2007. Rakyat Merdeka , “Tafsir BLBI dari Rejim ke Rejim”, 13 Agustus 2007. Rakyat Merdeka, “Jampidsus Ancam Para Saksi BLBI”, 14 Agustus 2007. Rakyat Merdeka, “Kami Akan Panggil Jaksa Agung”, 25 Agustus 2007. Rakyat Merdeka,“Belum Saatnya dong Dipanggil”, 25 Agustus 2007. Rakyat Merdeka,“ Lha, Kok Obligor BLBI Belum Ada Diperiksa”, 25 Agustus 2007. Rakyat Merdeka, “Etika Hukum Penyelesaian Kasus BLBI”, 30 Agustus 2007. Rakyat Merdeka , “Ditemukan Bukti Awal ”, 30 Agustus 2007. Rakyat Merdeka, “Kasus BLBI, Kepastian Hukum Untuk Keadilan”, 31 Agustus 2007. Rakyat Merdeka, “Tangkap & Penjarakan Obligor BLBI Yang Jarah Uang Rakyat”, 03 September 2007. Rakyat Merdeka, “BLBI, Maaf Ya Bukan ATM”, 03 September 2007. Rakyat Merdeka, “Pemerintah Jangan Ragu Penjarakan Obligor Bermasalah”, 06 September 2007.

382 / Rakyat Merdeka,“Salim Group Dinyatakan Bersalah Melanggar MSAA”,14 November 2007. Rakyat Merdeka, “Kasus BLBI, Hendarman Incar Bekas Gubernur BI”, 15 November 2007. Rakyat Merdeka, “Usut Dari Obligor BLBI Terbesar”, 05 Desember 2007. Rakyat Merdeka, “AnthonySalim Diperiksa Jaksa Tutup Mulut”, 07 Desember 2007. Rakyat Merdeka , “BLBI dan Janji Manis SBY-JK”, 07 Desember 2007. Rakyat Merdeka, “Masih Utang 300 Miliar, Sita Harta Nursalim”, 10 Desember 2007. Republika, ”Saksi Kasus BLBI Banyak Mangkir”, 14 Agustus 2007. Republika, ”Kwik Minta Kejakgung Periksa Boediono Terkait BLBI”, 6 September 2007. Republika, ”Paripurna DPR tunda Voting Interpelasi BLBI”, 28 November 2007 Republika, ”DPR Loloskan Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007. Seputar Indonesia, ”Kasus BLBI Ditangani 35 Tim Jaksa Khusus”, 17 Juli 2007. Seputar Indonesia,”Menguak Kembali Pengemplang Dana BLBI” , 20 Juli 2007. Seputar Indonesia, ”DPR Loloskan Interpelasi BLBI”, 05 Desember 2007. Seputar Indonesia, ”Syamsul Nursalim Juga Dibidik”, 07 Desember 2007. Suara Karya, ”Pengusutan Sulit Karena Banyak Kepentingan”, Jumat 25 Mei 2007. Suara Karya, ”Penuntasan Kasus BLBI”, 4 Juli 2007. Suara Karya, ”Penggelembungan Aset Obligor Adalah Perbuatan Pidana”, 24 Juli 2007. Suara Karya , ”JAM Pidsus: Tim Jaksa Tak Bisa Dipengaruhi”, 10 Agustus 2007. Suara Karya , ”Kemiskinan Kian Parah, Pemerataan Dilupakan”, 14 Agustus 2007. Suara Karya , ”BLBI dan Kepastian Hukum”, 15 Agustus 2007. Suara Karya, ”Kemiskinan dalam Pembangunan”, 22 Agustus 2007. Suara Karya, ”Kemiskinan Serius, Pemerintah Harus Kejar Pertumbuhan Berkualitas”, 22 Agustus 2007.

/ 383 Suara Karya, ”Menyibak Tabir 'penjajahan' Baru”, 18-19 Agustus 2007. Suara Karya, “Boediono Perlu Diminta Keterangam”, 7 September 2007. Suara Karya, ”GOWA: Ada Rekayasa Untuk Kepentingan Tertentu”, 7 September 2007.

Internet

Media Indonesia Online,”Pemilihan Jaksa Kasus BLBI Harus Transparan ”, 24 Mei 2007. Media Indonesia Online,”Kejagung Diminta Tuntaskan Kasus BLBI ”, 25 Mei 2007. Tempo Interaktif,”Pengutang BLBI Menyerahkan Diri” , 27 Januari 2006. Tempo Interaktif,”Menkeu Siap Berkoordinasi Temukan Obligor BLBI ”, 19 Mei 2007.

384 / Tentang Penulis

Dr. Ahmad Erani Yustika, Ekonom Senior INDEF (Institute for Development of Economics and Finance Indonesia) dan Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya Malang. Meraih gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Brawijaya Malang. Sedangkan gelar master dan doktornya diraih di Goettingen University, Jerman, dalam bidang studi Ekonomi Kelembagaan.

Aviliani, Ekonom Senior INDEF dan Pengajar Pasca Sarjana Sekolah Tinggi Ilmu Administrasi-Lembaga Administrasi Negara (STIA-LAN). Menamatkan studi S1 pada Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Atma Jaya (1985), dan S2 pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (1995). Saat ini sedang menyelesaikan studi S3 pada program Doktor Manajemen Bisnis- Institut Pertanian Bogor. Selain itu, aktif sebagai Anggota Dewan Pakar Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dan pengurus Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Jakarta.

Dr. Fadhil Hasan, pendiri dan Direktur INDEF. Meraih Sarjana Ekonomi Pertanian dari Institut Pertanian Bogor, Master of Science dari Department of Economics Iowa State University (AS) dan gelar doktor di Department of Agricultural Economics University of Kentucky (AS) dengan spesialisasi di bidang Perdagangan Internasional, Pemasaran, Kebijakan Pertanian dan Perbankan. Kini bekerja sebagai peneliti dan konsultan pada berbagai lembaga

/ 385 seperti Pusat Studi Pembangunan IPB, Smeru Research Institute, Department of Agricultural Economics University of Kentucky, World Bank dan USAID.

Dr. Frans Hendra Winarta, S.H., M.H., advokat dan pemilik kantor hukum Frans Winarta & Partners. Memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, gelar Magister Hukum (dalam bidang hukum pidana) di Universitas Indonesia, dan gelar Doktor Ilmu Hukum di Universitas Padjadjaran. Tercatat sebagai anggota berbagai organisasi nasional maupun internasional diantaranya IKADIN (Ikatan Advokat Indonesia), YLBHI (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), International Bar Association, American Chamber of Commerce, dan International Court of Arbitration-International Chamber of Commerce (ICC) Paris.

Dr. Hendri Saparini, Managing Director ECONIT AdvisoryGroup . Menamatkan SI di Fakultas Ekonomi UGM, kemudian menyelesaikan S2 dalam bidang International Development Policy dan S3 dalam bidang International Political Economy (keduanya di University of Tsukuba, Jepang). Saat ini juga tercatat sebagai pengajar Ekonomi Magister Manajemen UGM, MM Fakultas Studi Pembangunan ITB dan Program Doktor pada Fakultas Ekonomi UMS.

Kwik Kian Gie, Mantan Menteri Koordinator Bidang Ekonomi (1999-2000) dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala BAPPENAS (20012004). Sempat pula menjabat sebagai Wakil Ketua MPR RI pada tahun 1999. Lahir di Juwana (Jawa Tengah) pada 11 Januari 1935. Menempuh pendidikan di Nederlandsche Economiche Hogeschool, Rotterdam, Belanda (1963). Merupakan salah satu tokoh utama reformasi yang hingga kini aktif menyebarkan pemikirannya melalui kolom analisis ekonomi di berbagai media massa. Juga merupakan pendiri dari Institut Bisnis dan Informatika Indonesia (IBII).

Marwan Batubara, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI mewakili Provinsi DKI Jakarta. Menamatkan S1 di Jurusan Teknik Elektro Universitas Indonesia dan S2 di bidang Computing pada Monash University (Australia). Mantan General Manager PT Indosat ini sekaligus merupakan Pendiri dan Pembina Serikat Pekerja Indosat (2000-2003) yang menggalang aksi penolakan terhadap divestasi Indosat. Pada tahun 2004 terpilih sebagai anggota DPD RI melalui pemilihan umum pertama yang diselenggarakan untuk memilih anggota DPD.

386 /