1

DISERTASI

KONTESTASI PENGETAHUAN BERBASIS PENGALAMAN DAN BERBASIS ILMIAH (Studi Kasus Budidaya Padi Sawah di Kabupaten Wajo)

NURDIAH HUSNAH Nomor Pokok : P0100309040

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2015 2 3

ABSTRAK

Nurdiah Husnah. Kontestasi Pengetahuan Berbasis Pengalaman Dan Berbasis Ilmiah(Studi Kasus Budidaya Padi Sawah Di Kabupaten Wajo) dibimbing oleh M. Saleh Ali, Darmawan Salman dan Pawennari Hijjang)

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan praktek pengetahuan berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah pada budidaya padi sawah, dan proses peroelahan, penyebaran dan pemanfaatan kedua serta bentuk kolaborasi kedua pengetahuan tersebut dalam menghasilkan fitur pengetahuan baru pada budidaya padi sawah Penelitian dilaksanakan di Kabupaten Wajo pada mulai bulan Desember 2012 sampai dengan Juni 2013. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara, observasi, dokumentasi, dan kajian pustaka. Data dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan budidaya padi sawah berbasis pengalaman berakar pada budaya dan pengamatan empiris dengan panca Indera dan terbentuk berdasarkan respon terhadap fenomena alam. Sementara pengetahuan berbasis ilmiah pada budidaya padi terbentuk berdasarkan respon terhadap preferensi pengguna. Pengelolaan pengetahuan merupakan implementasi tindakan dan translasi pengetahuan menjadi nilai sosial dan nilai komersil sehingga kolaborasi dua entitas pengetahuan yang terhibridisai dalam kontestasi merupakan peluang terbentuknya fitur pengetahuan baru. Karena perpaduan antara dua entitas pengetahuan yang terhibridisasi diperlukan dalam menjawab berbagai masalah yang muncul dari ketidaktepatan dan ketidaksesuaian aplikasi teknologi yang diintroduksikan. Oleh karena itu jembatan dialog antara dua entitas pengetahuan yang terhibridisasi dalam kontestasi adalah bahasa sebagai simbol komunikasi. 4

ABSTRACT

Nurdiah Husnah. Contestation Based Knowledge And Experience-Based Scientific (A Case Study of Rice Cultivation in Wajo) guided by M. Saleh Ali, Darmawan Salman and Pawennari Hijjang)

This reseach aimed to describe the practices of the experience-based knowledge and the science-based knowledge at the rice cultivation, the management the spread and the utilization processes as well as the coollaboration of the two kinds of knowledge in producing the new of knowledge at the rice cultivation. The research was conducted in Wajo on from December 2012 to June 2013. The data was collected through interviews, observation, documentation, and literature review. Data were analyzed using qualitative descriptive analysis. The research results showed that the knowledge of rice cultivation was based on the experience rooted in the experience and empirical observations with the senses of human and formed based on the responses toward the natural phenomena. While science-based knowledge on rice cultivation is formed based on the response to the user's preference. Knowledge management is the implementation of the action and the translation of knowledge into social value and commercial value so that the collaboration of two entities of knowledge was hybridized in the contestation and became the opportunity for the formation of a new knowledge. Because the unity of the two entities of the hybridized knowledge was needed in responding to the various problems arising from the inappropriate application of the produced technology. Therefore the dialogue bridge between the two entities of hybridized knowledge in the contestation was the language as the communication symbol. 5

KATA PENGANTAR

Dengan segala kerendahan hati, penulis mengucapkan syukur

Alhamdulillah, ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. Untuk itu penulis ucapkan rasa syukur kehadirat-Nya seraya mengucapkan segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam, dengan terselesaikannya disertasi ini yang merupakan salah satu persyaratan akademik guna memperoleh gelar Doktor dalam Program

Studi Ilmu-ilmu Pertanian Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Judul yang diangkat dalam disertasi ini adalah Kontestasi Pengetahuan

Berbasis Pengalaman Dan Berbasis Ilmiah (Studi Kasus Budidaya Padi

Sawah di Kabupaten Wajo). Judul ini terilhami dari beberapa pengalaman lapangan dan perbincangan dengan petani yang menekankan pentingnya pengetahuan petani menjadi bagian dalam setiap teknologi pertanian yang diintroduksi agar petani dapat berkontribusi di dalamnya, karena bagaimanapun juga petani sebagai aktor yang akan menerapkan teknologi tersebut. Proses penyusunan disertasi ini sempat mengalami ke-vacumm- an, akan tetapi berkat motivasi Ayahanda tercinta, saudara-saudara, anak- anakku tersayang dan sahabat-sahabat terdekat serta nasehat dan saran para pembimbing maka dengan menekankan kembali semangat ketekunan, kesabaran dan percaya diri, penulis dapat menyelesaikan disertasi ini. 6

Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian disertasi ini telah melibatkan berbagai pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, perorangan maupun lembaga yang telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian penyusunan disertasi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang penulis hormati :

Bapak Prof. Ir. M. Saleh S. Ali, M. Sc, Ph.D., selaku Promotor, Bapak

Prof. Dr. Ir. Darmawan Salman, MS, selaku Co-Promotor I dan Bapak Prof.

Dr. Pawennari Hijjang, MA selaku Co-Promotor II. Beliau bertiga dengan kepakaran yang melekat telah meluangkan waktu dan memberikan kontribusi bagi terwujudnya disertasi ini. Melalui beliau bertiga dengan kesabaran, perhatian dan keikhlasannya telah memberikan dorongan, koreksi dan saran baik dari aspek metodologi penelitian maupun penyajian isi disertasi secara keseluruhan. Penulis benar-benar merasakan melalui beliau bertiga telah membuka cakrawala/pandangan, mendorong munculnya gagasan, ide-ide pembaharuan khususnya dalam bidang pendidikan. Untuk itu sekali lagi penulis menghaturkan penghormatan dan penghargaan yang setinggi- tingginya serta mengucapkan terima kasih dengan iringan doa “semoga amal baik beliau diterima dan mendapat balasan dari Allah Yang Maha Kasih,

Maha Sayang dan Maha Pemurah”. 7

Ibu Prof. Dr.Ir. Sitti Bulkis, D. Oesman, MS, Bapak Dr. Ir. Eymal Bahsar

Demmalino,M.Si, Bapak Dr. Syaifullah Cangara, MS dan Bapak Dr. Ir. Imam

Mujahidin Fahmid, MT, DEV selaku penguji, serta kepada Bapak Dr. Ir.

Fadjry Djufry, M.Si selaku penguji eksternal, saya ucapakan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya atas perhatian dan telah memberikan koreksi dan saran terhadap isi disertasi secara keseluruhan.

Bapak Prof. Dr. Syamsul Bachri, SH,MH, selaku Direktur Pascasarjana

Universitas Hsanuddin, Bapak Dr. Ir. Fadjry Djufry, M.Si, selaku Kepala

BPTP Sulawesi Selatan beserta seluruh staf yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menempuh studi program S3. Demikian juga kepada seluruh Tata Usaha PPS Universitas Hasanuddin pada umumnya yang telah memberikan pelayanan kemudahan administrasi sejak penulis masuk kuliah hingga terselesaikannya penyusunan disertasi ini.

Bapak Tambo, H. La Uda, Tahir Gani Tahir Musa, Nurung, Indo Welleng selaku informan saya yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan informasi dan data yang penulis perlukan selama pengumpulan data dalam penyelesaian disertasi ini, demikian juga kepada teman-teman di BPTP

Sulawesi Selatan khususnya dimana penulis bertugas yang selama ini sudah penulis anggap sebagai saudara yang ikut serta memberikan informasi dan melengkapi data dalam penyusunan disertasi ini. 8

Teman-teman mahasiswa S3 angkatan 2009 program studi Ilmu-Ilmu

Pertanian PPS Universitas Hasanuddin, khususnya kepada teman-teman

Sosek Pertanian, teristimewa Bunda Apiaty Amin Syam yang banyak memberikan dukungan moril dan materil saya mengucapkan terima kasih atas motivasinya serta saling memberi kabar dan dorongan terhadap kemajuan dan terselesaikannya studi S3 di PPS Universitas Hasanuddin.

Kepada Ayahanda Tercinta Drs. H. Husain Yusuf dan Ibunda

Tercinta Hj. St. Muntahinah Bahar (Almarhumah) yang telah memberikan dasar-dasar utama yang sangat penting dalam pembentukan karakter pada penulis serta motivasi yang kuat dalam mengikuti program S3. Dalam kesempatan ini penulis iringkan dan panjatkan doa kepada beliau.

“Robbighfirlii waliwaalidaiya warkhamhumaa kamaa robbayaanii shoghiiroo”

(Ya Allah ya Tuhan kami, ampunilah dosa-dosaku dan dosa kedua orang tuaku dan kasihanilah keduanya/beliau sebagaimana mereka mengasihiku sejak aku kecil) dan Ibu Dra. Hj. Muliyati Husain yang senantiasa memberikan nasehat, dorongan, dan doa kepada penulis.

Kepada Ayahanda Dr. Ir. Farid A. Bahar seekeluarga, Ibunda Hj. Titiek

Saraswati Ichwan Ahmad Bahar sekeluarga yang juga memberikan motivasi yang kuat serta doa yang terbaik untuk penulis dalam menjalani pendidikan, serta kepada saudara-saudara penulis yang terkasih Kakanda Nurul Husnah,

SH dan Suami, Kakanda Zukri Husnah (Almarhum), Adinda Syahriawati 9

Husnah, SPd, MH dan Suami, Adinda Zulhasbi Husnah, S. Sos dan Istri,

Adinda Zulfadli Husnah, S. Sos (Almarhum), Adinda Nauhida Husnah. S.St dan Suami, Adinda Wahyuni Husnah, S, Sos, S.Psi, M.Si dan Suami, Adinda

Nurul Utami Husain, ST dan Suami, Adinda Nurul Qalbina Husain, Adinda

Nurul Muflisa Husain, Adinda Zulfahmi Husain serta seluruh ponakan- ponakan saya penulis betul-betul menghaturkan terima kasih, atas dorongan/dukungan dan doanya yang tiada henti, sehingga penulis berhasil menyelesaikan studi S3 program Doktor di PPS Universitas Hasanuddin.

Kepada anak-anakku tersayang dan terkasih Noursyafitri, Muh. Asradi

Fauzi, Ahmad Ramadhani Fauzan, Muh. Idzaa N. Fuqran dan Ikfiny Akasyah yang telah memberikan pengertian, kasih sayang, pengorbanan dan doa kepada penulis sehingga dapat mengantarkan penulis menyelesaikan studi

S3 di PPS Universitas Hasanuddin. Melalui kalian penulis belajar dan mendapat pelajaran tentang pemaknaan kata syukur, sabar dan ikhlas.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini laksana setetes air yang jatuh dalam luasnya samudra, dan jauh dari kesempurnaan sebuah pengetahuan, hakekat kesempurnaan hanya milik Allah SWT. Olehya itu penulis berharap semoga disertasi ini dapat memberikan manfaat bagi para praktisi pertanian dan perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya bidang pertanian serta dapat dijadikan salah satu rujukan bagi peneliti atau penulis karya ilmiah lainnya. Akhir kata penulis berbesar hati apabila para pembaca sudi 10

memberikan kritik, saran dan masukan dalam rangka proses penulisan dan penelitian berikutnya.

Makassar, Januari

2015

Penulis

NURDIAH HUSNAH 11

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul...... i

Halaman Pengesahan...... iii

Daftar Isi ...... vii

Daftar Tabel ...... xi

Daftar Gambar ...... xiii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………... 1

A. Latar Belakang…………………………..……………… 1

B. Fokus dan Masalah Penelitian ………..……………… 14

C. Tujuan Penelitian……………………….……………… 15

D. Kegunaan dan Manfaat Penelitian…….…………….. 15

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………. 18

A. Konsep Pengetahuan ...... ……………..…. 18

B. Konsep Pengetahuan Asli, Kearifan Lokal dan 23

Pengetahuan Lokal...... 12

C. Sistem dan Dasar Filosofis Pengetahuan Berbasis 34

Pengalaman dan BerbasisIlmiah...... ….

D. Perkembangan Pengetahuan dalam Pembangunan 46

Pertanian...... ………..…………......

E. Kontestasi Pengetahuan Berbasis Pengalaman dan 52

Berbasis Ilmiah...…………………………......

F. Budidaya Padi Sawah ...... 58

G. Studi Relevan yang Sudah Dilakukan...... 61

H. Kerangka Konseptual………………….………………. 67

BAB III METODE PENELITIAN……………………………………… 73

A. Jenis Penelitian...... 73

B. Waktu dan Lokasi Penelitian………….……………… 75

C. Sumber Data…...... …………….………….……. 75

D. Jenis Data…...... …………….………….……. 76

E. Teknik Pengumpulan Data……………………………. 77

F. Analisis Data……………………………………………. 81

G. Pemahaman Konsep...... 83

BAB IV KEADAAN UMUM SETTING PENELITIAN……………… 87

A. Kondisi Geografis dan Topografi...... 88

B. Kondisi Demografi...... 97

C. Kondisi Sektor Pertanian...... 98 13

D. Kondisi Pertanian Padi...... 100

BAB V SEJARAH DAN FILOSOFI PADI...... 101

A. Sejarah Pertanian...... 101

B. Legenda ...... 103

C. Mitos Tanaman Padi...... 104

D. Filosofi Bertanam Padi...... 109

E. Sejarah Budidaya Padi...... 111

BAB VI PENGETAHUAN TENTANG BUDIDAYA PADI BERBASIS 116

PENGALAMAN......

A. Pengetahuan tentang Pananrang...... 114

B. Pengetahuan tentang Mattakko...... 128

C. Pengetahuan tentang Marakkala...... 130

D. Pengetahuan tentang Mattaneng...... 142

E. Pengetahuan tentang Mappiara Ase...... 144

F. Pengetahuan tentang Madduppa Ase……………...... 147

BAB VII PENGETAHUAN TENTANG BUDIDAYA PADI BERBASIS 152

ILMIAH......

A. Pengetahuan tentang Kalender Tanam...... 152

B. Pengetahuan tentang Perbenihan...... 157

C. Pengetahuan tentang Pengolahan Tanah...... 162

D Pengetahuan tentang Penanaman…...... 165 . 14

E. Pengetahuan tentang Pemeliharaan…………………… 167

F. Pengetahuan tentang Panen...... 173

BAB VIII PENGELOLAAN PENGETAHUAN BERBASIS 176 PENGALAMAN DAN BERBASIS ILMIAH......

A. Proses Perolehan Pengetahuan ...... 176

B. Proses Penyebaran Pengetahuan...... 187

C. Proses Pemanfaatan Pengetahuan ...... 194

BAB IX KONTESTASI PENGETAHUAN BUDIDAYA PADI 201 BERBASIS PENGALAMAN DAN BERBASIS ILMIAH......

A. Kontestasi Pengetahuan dari Berbagai Perspektif...... 201

B. Bentuk dan Pola Kontestasi...... 204

C. Kolaborasi Pengetahuan dalam Budidaya Padi...... 221

D. Fitur Pengetahuan Baru dalam Budidaya Padi...... 224

BAB X PENUTUP...... 229

A. Kesimpulan...... 229

B. Implikasi Teoritik...... 235

B. Implikasi Kebijakan...... 242

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………. 244

LAMPIRAN………………………………………………………………………. 264 15

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1. Perbandingan antara Pengetahuan Asli dan Pengetahuan Ilmiah 44

2. Matriks Sumber Datadan Teknik Pengambilan Data……………. 79

3. Luas Daerah Kabupaten Wajo Menurut Kecamatan……………… 89

4. Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Wajo………………. 90

5. Arti Hari Pada Terbitnya Muharram………………………………… 115

6. Bugis 1 – 30 ………………………………………… 116

7. Pembagian waktu dalam Seminggu dan Kualitas Hari 120

di Kalangan Masyarakat Bugis-Makassar…………………………..

8. Proses Perolehan Pengetahuan Budidaya Padi Sawah………. 183

9. Proses Penyebaran Pengetahuan Budidaya Padi Sawah…….. 189

10. Proses Pemanfaatan Pengetahuan Budidaya Padi Sawah……. 195

11. Perspektif Kontestasi Pengetahuan Berbasis Pengalaman dan 202

Berbasis Ilmiah……………………………………………………..

12. Kontestasi Pengetahuan Berbasis Pengalaman dan Berbasis 205

Ilmiah Pada Budidaya Padi Sawah……………………………… 16

13. Pola Ko-eksistensi Pengetahuan Budidaya Padi Sawah……… 207

14. Pola Hibridisasi Pengetahuan Budidaya Padi Sawah…………… 208

15. Pola Zero Sum Game Pada Budidaya Padi Sawah……………… 210

16. Perspektif Kolaborasi Pengetahuan……………………………… 214 17

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Experiential Learning Cycle...... 37

2. Kerangka Konseptual ...... 72

3. Peta Kabupaten Wajo ...... 96

4. Bentuk watang rakkala ...... 133

5. Ajoa Berbentuk Pipih Dipasang Pada Leher Ternak...... 135

6. Siklus Musim Tanam dalam Setahun...... 154

7. Skema Perolehan Pengetahuan Berbasis Pengalaman ……… 186

8. Skema Perolehan Pengetahuan Berbasis Ilmiah ……….……… 186

9. Skema Penyebaran Pengetahuan Berbasis Pengalaman…….. 192

10. Sekma Penyebaran Pengetahuan Berbasis Ilmiah…………… 193

11. Skema Pemanfaatan Pengetahuan Berbasis Pengalaman…… 197

12. Skema Pemanfaatan Pengetahuan Berbasis Ilmiah…………… 198 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pembangunan pertanian dalam kabinet Indonesia Bersatu diarahkan menuju pembangunan pertanian yang berkelanjutan (sustainable agriculture).

Menurut Luhur (2010) konsep pembangunan berkelanjutan telah dirumuskan pada akhir tahun 1980-an sebagai respon terhadap strategi pembangunan sebelumnya, yang terfokus pada tujuan pertumbuhan ekonomi tinggi yang terbukti telah menimbulkan degradasi kapasitas produksi maupun kualitas lingkungan hidup.

Sistem pertanian berkelanjutan berisi suatu ajakan moral untuk berbuat kebajikan pada penataan lingkungan dengan mempertimbangkan tiga matra sebagai berikut : (1) kesadaran lingkungan (ecologically sound), yaitu sistem budidaya pertanian tidak boleh mnyimpang dari sistem ekologis yang ada. Keseimbangan adalah indikator adanya harmonisasi dari sistem ekologis yang mekanismenya dikendalikan oleh hukum alam; (2) bernilai ekonomis (economic valueable), dimana sistem budidaya pertanian harus mengacu pada pertimbangan untung rugi untuk jangka pendek dan jangka panjang, serta bagi organisme dalam sistem ekologi maupun di luar sistem ekologi; dan (3) berwatak sosial atau kemasyarakatan (socially just), sistem 19

pertanian harus selaras dengan norma-noma sosial dan budaya yang dianut dan di junjung tinggi oleh masyarakat disekitarnya (Turindra, 2010).

Suatu konsensus telah dikembangkan untuk mengantisipasi pertanian berkelanjutan yakni sistem produksi yang berasaskan LEISA (Low

External Input Sustainable Agriculture). Konsep LEISA menurut Reijntjes et al (1999) merupakan penggabungan dua prinsip yaitu agroekologi, pengetahuan dan praktek pertanian masyarakat setempat/tradisionaL, dengan tidak bertujuan untuk mencapai produksi maksimal dalam jangka pendek, melainkan untuk mencapai tingkat produksi yang stabil dan memadai dalam jangka panjang.

Indonesia sebagai negara sedang berkembang telah banyak menyerap teknologi dari negara-negara maju, sebagian memperlihatkan hasil yang baik tetapi sebagain lainnya kurang sesuai dengan kondisi yang ada.

(Titilola, 1990), mengingatkan bahwa transfer teknologi dari negara maju ke negara sedang berkembang bisa menghambat pengembangan teknologi lokal dan menciptakan ketergantungan.

Adopsi teknologi revolusi hijau pada sistem produksi pangan yang diterapkan pada kurun waktu 35 tahun terakhir melahirkan berbagai kritik antara lain (1) petani menjadi tergantung pada sarana produksi asal industri/di luar usahatani; (2) adanya pencemaran lingkungan oleh residu kimiawi sarana produksi; (3) pemiskinan keanekaragaman hayati; (4) kurang 20

terjaminnya keamanan konsumsi produk pertanian; (5) pertanian dikhawatirkan menjadi tidak berkelanjutan (non sustainable) (IRRI, 2004;

Sumarno, 2006; Pranadji et.al, 2004 dalam Sumarno, 2008).

Sistem produksi melalui penerapan teknologi revolusi hijau dalam pembangunan pertanian selama ini telah menjadikan petani sebagai obyek pengembangan teknologi sehingga petani tidak memiliki kesempatan untuk mengembangkan sistem pengetahuan lokal mereka yang selama ini sudah mengakar dalam tradisi pertanian setempat. Menurut Abbas (1999), walaupun pengembangan teknologi modern melalui revolusi hijau di bidang pertanian memberikan dampak terhadap peningkatan produksi tetapi juga memunculkan dampak ikutan lainnya. Dampak ikutan tersebut meliputi aspek ekonomi (struktur biaya dan risiko yang tinggi), keadilan (ketimpangan dalam penerimaan keuntungan relatif antar golongan petani), kesempatan kerja

(pengurangan kesempatan kerja karena mekanisasi), konsumsi energi yang meningkat (peningkatan sarana produksi), dan kerusakan ekologi.

Budidaya padi di Sulawesi Selatan dikelompokkan menjadi dua yaitu padi sawah dan padi gogo (padi huma, padi ladang). Pada sistem padi sawah, tanaman padi sebagian besar dari lama hidupnya dalam keadaan tergenang air. Sebaliknya, pada sistem padi gogo, tanaman padi ditumbuhkan tidak dalam kondisi tergenang. 21

Penggunaan bahan-bahan kimia berupa pupuk anorganik dan pestisida yang merupakan andalan utama dalam revolusi hijau selain benih unggul ternyata kini disadari merupakan salah satu penyebab kerusakan lingkungan dan degradasi lahan pertanian. Bahkan dalam konteks yang lebih luas lagi menurut Goldsmith (1996), kerusakan lingkungan dan sumberdaya pertanian, erosi lahan, pencemaran bahan kimia, kerusakan keanekaragaman genetika, ledakan serangan hama penyakit serta penurunan produktivitas padi merupakan dampak akibat pengembangan pertanian modern.

Sejalan dengan itu survei petani yang dilakukan Collinson (1999) untuk tujuan diagnosis dan pengaturan prioritas penelitian menunjukkan bahwa peran petani terbatas pada penyedia informasi yang dibutuhkan oleh para ilmuwan. Collinson mengatakan penelitian sistem pertanian adalah proses diagnostik; dimana sejumlah metode digunakan untuk memperoleh pemahaman rumah tangga pertanian, keputusan keluarga dan proses pengambilan keputusan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.

Pengetahuan yang dimiliki masyarakat muncul ketika seseorang menggunakan indera atau akal budinya untuk mengenali benda atau kejadian tertentu yang belum pernah dilihat atau dirasakan sebelumnya (Hapsoro, U,

2009). Selanjutnya disebutkan bahwa pengetahuan yang lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan empiris 22

yang juga bisa didapatkan melalui pengalaman pribadi manusia yang terjadi berulangkali.

Pengetahuan tersebut ada mulai dari zaman pra-sejarah sampai sekarang ini, pengetahuan tersebut merupakan wujud dari kearifan dan perilaku positif manusia dalam berhubungan dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang dapat bersumber dari nilai-nilai agama, adat istiadat, petuah nenek moyang atau budaya setempat (Witoelar, 2007), yang terbangun secara alamiah dalam suatu komunitas untuk beradaptasi dengan lingkungan di sekitarnya, perilaku ini berkembang menjadi suatu kebudayaan dan akan terus berkembang secara turun-temurun.

Pengetahuan asli (kearifan tradisional) merupakan pengetahuan yang secara turun temurun dimiliki oleh masyarakat desa dalam mengolah lingkungan hidupnya, yaitu pengetahuan yang melahirkan perilaku sebagai hasil adaptasi mereka terhadap lingkungannya, yang mempunyai implikasi positif terhadap kelestarian lingkungannya. (Ari, dkk, 2012). Pengetahuan asli berkembang dari kumpulan pengetahuan dan cara berpikir masyarakat lokal melalui “ujicoba” terhadap sistem ekologi dan biasanya diwariskan secara lisan, serta biasanya tidak dapat dijelaskan melalui istilah-istilah ilmiah. Kearifan tersebut banyak berisikan gambaran tentang anggapan masyarakat yang bersangkutan tentang hal-hal yang berkaitaan dengan struktur lingkungan; bagaimana lingkungan berfungsi; bagaimana reaksi alam 23

terhadap tindakan-tindakan manusia; serta hubungan-hubungan (yang sebaiknya tercipta) antara manusia (masyarakat) dengan lingkungan alamnya (Zakaria, 1994).

Kearifan lokal terkait dengan lingkungan di Sulawesi Selatan menurut

Hijjang (2005) tentang Pasang Ri Kajang sebagai informasi dari leluhur, yang diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi (oral tradition), memberi pengetahuan kepada masyarakat mengenai hakekat dari hidup dan kehidupan, baik di dunia maupun di hari kemudian. Pasang ri Kajang merupakan keseluruhan pengetahuan mengenai aspek-aspek kehidupan, baik yang bersifat kepentingan duniawi, maupun yang bersifat ukhrawi, termasuk juga di dalamnya mengenai mitos, legenda dan silsilah. Bagi masyarakat Ammatoa, Pasang adalah sistem pengetahuan yang tidak hanya mendapat pengakuan dari masyarakatnya, tetapi juga dari masyarakat luar.

Dalam pengertian ini, dan dalam batas-batas tertentu, Pasang merupakan suatu sistem pengetahuan yang meskipun sifatnya statis, juga mengandung hal-hal yang bersifat dinamis.

Selanjutnya oleh Hijjang (2005) mengemukakan kearifan lokal masyarakat adat Ammatoa yang berlandaskan pada pasang ri Kajang dengan patuntung sebagai sistem religinya telah memberikan ‘pelajaran’ bagi kita, bahwasanya pengelolaan hutan atau lingkungan hidup sangat berpengaruh bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. 24

Nababan (1995) memaparkan beberapa contoh kasus kearifan tradisional ini, antara lain : Orang Dani di Lembah Baliem (1.650 dpl) di

Pegunungan Jaya Wijaya, Papua, menggunakan tongkat sederhana sebagai cangkul pengolah lahan kebun ubi. Sadar atau tidak, penggunaan teknologi sederhana ini berfungsi dalam konservasi tanah kebun di lereng bukit (yang memang senstif terhadap erosi dan longsor). Masih terdapat beberapa tradisi yang merupakan wujud sistem pengetahuan lokal terhadap lingkungan.

Orang Kimaam yang mendiami Pulau Kimaam Selatan yang berawa-rawa di

Kabupaten Merauke telah mengembangkan sistem pertanian yang canggih untuk menghasilkan ubi sebagai makanan pokok mereka. Dengan tipe ekosistem dataran rendah yang selalu berair dan lahan kebun terbenam di kala laut sedang pasang, penanaman dan perawatan ubi harus sedemikian canggih dan rumit untuk bisa menghasikan ubi-ubi raksasa. Pada kondisi alam demikian, Orang Kimaam Selatan membuat kebun ubi “terapung” dengan parit-parit pengatur air yang rumit. Pengetahuan mereka tentang berbagai media tumbuh (ilmu tanah) dan perubahan musim dan iklim dengan

“membaca” peredaran benda-benda langit dan arah angin (ilmu meteorologi dan geofisika) berkembang dengan sangat mengagumkan.

Saat ini semakin banyak ilmuwan dan pembuat kebijakan sadar akan kontribusi pengetahuan asli untuk pembangunan yang lebih berkelanjutan

(Viergever, 1999: 341). Pengetahuan asli juga tampaknya menjadi relevan 25

dengan dunia ilmiah dengan berbagai alasan termasuk masalah perlindungan keanekaragaman hayati (Iwanaga 1998), efek dari Hak

Kekayaan Intelektual (HKI) atas komunitas-komunitas pedesaan (RAFI 2000,

RAFI/UNDP 1995), dan fakta bahwa pengetahuan lokal dapat digunakan sebagai alternatif titik awal dalam pembangunan pertanian (Flora 1992,

Kloppenburg 1991). Karena alasan ini, maka lembaga penelitian dan pengembangan mulai memasukkan dalam implikasi kebijakan hasil-hasil penelitiannya.

Pengembangan pengetahuan asli dalam sebuah komunitas masyarakat, terutama masyarakat yang menjadikan pertanian sebagai fokus utama mata pencaharian pada saat ini cukup urgen. Kondisi alam yang tidak menentu akibat dari perubahan iklim dan pemanasan global memaksa masyarakat, khususnya petani melakukan adaptasi terhadap perubahan yang terjadi tersebut (Patinduka, J. 2012). Pengembangan teknologi berbasis pengetahuan asli setempat, dianggap akan lebih mudah teradopsi oleh masyarakat, karena sejatinya teknologi tersebut berasal dari masyarakat setempat, kebiasaan setempat, dan kebudayaan setempat, sehingga masyarakat sekitar juga memiliki semangat dan kesadaran untuk menjaga hal tersebut.

Penggunaan pengetahuan asli dalam pengembangan inovasi menunjukkan keberhasilan yang mengejutkan seperti penelitian tentang 26

tanah dan pengelolaan sumberdaya air (Hambly dan Angura, ed, 1996;.

Mendoza dan Luning, 1997; Stein et al 2001;. Mapinduzi et al 2003;.

Marothia, 2002; Shrestha, Mc Donald & Sinclair, 2003; Cools et al 2003;

Roth, 2000). Selanjutnya penelitian tentang penggunaan dan pelestarian sumberdaya genetik (Stein et al 2001;. Bouguera et al 2003; Friis-Hansen,

1999; Salas, 1996). Kemudian penggunaan pengetahuan asli untuk tanaman obat yang merupakan tradisi lama (Vandebroek et al 2004;. Leonti, 2003).

Pengetahuan asli masyarakat petani didasarkan pada pengalaman dan percobaan yang diulangi dan disesuaikan dengan kemampuan.

Masyarakat dengan mudah menerapkan teknologi asli karena inputnya relatif rendah, risikonya cukup kecil dan ramah lingkungan, sedangkan pengetahuan modern yang diperkenalkan umumnya menggunakan input yang tinggi, risiko besar dan sering tidak ramah lingkungan (De Walt, 1994).

Sehingga terdapat kesenjangan antara pengetahuan asli dan pengetahuan modern, yaitu kemampuan petani yang terbatas dalam memenuhi kebutuhan input yang tinggi.

Ali (2000) menyatakan bahwa sistem pengetahuan lokal petani itu fungsional dalam sistem sosial dan budaya tertentu, yang dikembangkan secara kontekstual melalui proses eksperimentasi (percobaan) yang mungkin berbeda dengan yang dikembangkan oleh para ahli pengetahuan modern.

Selanjutnya dikatakan bahwa pengembangan pengetahuan lokal tidak 27

berdasarkan prinsip-prinsip reduksionisme atau positivistic-deterministik yang digunakan oleh kebanyakan ahli pengetahuan modern, tetapi berdasarkan kebutuhan praktis, sistem sosial dan budaya (Ali, 2000).

Perkembangan pengetahuan pertanian (agriculture knowledge) saat ini sampai pada suatu situasi dimana “kemajuan” pengetahuan sangat jauh melampaui praktek budidaya yang dilakukan oleh petani (Ardhian, D,. 2009) karena pengetahuan pertanian secara formal didominasi oleh pengetahuan ilmiah produk dari hasil riset para ilmuwan. Hasil penelitian yang ada kadang kala kurang dapat memahami hambatan dan peluang yang berkembang di masyarakat sehingga teknologi yang dianjurkan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada. Dengan demikian, diseminasi teknologi yang tidak tepat guna banyak yang tidak diadopsi oleh masyarakat. Menurut Sunaryo dan Joshi (2003), tetapi lebih dikarenakan rancang-bangun teknologi anjuran tersebut tidak sesuai dengan kondisi sosio-ekonomi dan ekologi masyarakat tani.

Menurut Fujisaka (1993) dan Pretty (1995) dalam Sunaryo dan Joshi

(2003) ada beberapa alasan yang menyebabkan teknologi dan informasi yang ditawarkan ditolak para petani, antara lain: (1) Teknologi yang direkomendasikan seringkali tidak menjawab masalah yang dihadapi petani sasaran. (2) Teknologi yang ditawarkan sulit diterapkan petani dan mungkin tidak lebih baik dibandingkan teknologi lokal yang sudah ada. (3) Inovasi 28

teknologi justru menciptakan masalah baru bagi petani karena kurang sesuai dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya setempat. (4) Penerapan teknologi membutuhkan biaya tinggi sementara imbalan yang diperoleh kurang memadai. (5) Sistem dan strategi penyuluhan yang masih lemah sehingga tidak mampu menyampaikan pesan dengan tepat. (6) Adanya ketidakpedulian petani terhadap tawaran teknologi baru, seringkali akibat pengalaman kurang baik di masa lalu. (7) Adanya ketidak-pastian dalam penguasaan sumber daya (lahan, dan sebagainya).

Pengetahuan asli juga memiliki keterbatasan dalam menghadapi tantangan globalisasi, tekanan penduduk, dan peningkatan kebutuhan masyarakat Hidayat, T,. et al (2010). Menurut Durning (1995), pengetahuan asli ini juga bersifat rawan terhadap tekanan-tekanan ekonomi, teknologi modern yang merambah cepat, serta pertumbuhan penduduk yang cepat. Oleh karena itu diperlukan suatu model kolaborasi yang saling mengisi antara pengetahuan lokal dengan pengetahuan modern dalam suatu perpaduan yang harmonis dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat.

Terdapat perbedaan fundamental antara pengetahuan asli dan pengetahuan ilmiah (Warren, 1991), yaitu pengetahuan ilmiah dikembangkan oleh universitas, pusat penelitian pemerintah, dan perusahaan swasta.

Pengetahuan asli adalah wawasan atau kebijaksanaan “teknis” yang dicapai dan dikembangkan oleh suatu masyarakat pada lokalitas tertentu, melalui 29

pengamatan dan percobaan yang seksama selama bertahun-tahun dengan fenomena alam di sekitar mereka. Pengetahuan ilmiah dipandang bersifat universal, tidak “contex-related” (tidak terkait konteks). Pada sisi lain, pengetahuan asli adalah produk sosial yang terikat dengan konteks budaya lokal atau lingkungan. Perbedaan lain antara keduanya adalah pengetahuan asli sudah menyatu dengan budaya setempat, berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dan memiliki potensi degradasi cukup rendah sedangkan pengetahuan ilmiah terpisah dengan budaya setempat, mendapatkan keuntungan semaksimal mungkin sehingga berpotensi untuk terjadinya degradasi yang cukup tinggi akibatnya sering menghasilkan sesuatu yang tidak berkelanjutan karena proses dari perencanaan sampai pelaksanaan kurang partisipatif (Anonim, 1994; Abinowo, 2000).

Dalam pengembangan masyarakat melalui intervensi pengetahuan, teknologi maupun inovasi sangat perlu disandingkan dengan pengetahuan lokal karena kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya pedesaan tidak cukup kuat menghadapi berbagai intervensi pihak luar (Rositah, 2005). Memang diakui bahwa pengetahuan ilmiah yang diperkenalkan para teknokrat dan ilmuwan tidak sedikit membawa masalah

(Awang, 2008 dalam Rosyadi, 2011), namun tidak dapat dipungkiri bahwa mengandalkan pengetahuan lokal tidaklah memadai untuk membawa masyarakat desa ke level kemajuan yang diharapkan. Pengembangan teknik 30

baru atau penyempurnaan praktek lama untuk menghasilkan produktivitas tanpa merusak praktek dan nilai lokal yang kondusif bagi keberlangsungan masyarakat dan lingkungannya sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing masyarakat.

Sejalan dengan hasil penelitian (Nanda, 1999; Friis-Hansen, 1999;

Simpson, 1999; Rosenblum et al, 2001;. Marschke dan Nong, 2003) menekankan pentingnya untuk berhibridisasi pengetahuan ilmiah dan asli.

Sementara hasil penelitian lainnya menekankan bahwa kedua bentuk pengetahuan merupakan ujung sebuah kontinum (Brodt, 2002). Beberapa penulis, mengklaim tak terdamaikannya pengetahuan asli dengan pengetahuan ilmiah formal, karena terlalu banyak bias politik (Sumberg,

Okali & Reece, 2003) atau komersial (Bouguera et al, 2003.) Meskipun pengetahuan asli saat ini umum digunakan dalam inovasi pertanian, namun beberapa pihak berpendapat kontra produktif (Sumberg, Okali & Reece,

2003). Kibwana dkk (2001) menyimpulkan bahwa pendekatan pengembangan teknologi partisipatif perlu dimodifikasi sehingga lebih sesuai inisiatif pemecahan masalah lokal melalui penggunaan pengetahuan lokal pada awal pengembangan inovasi, bukan di akhir.

Dari berbagai argumen dan fakta penelitian yang dikemukakan sebelumnya maka dapat dikatakan bahwa pengetahuan asli berbasis pengalaman memiliki peran yang signifikan dalam dinamika pembangunan 31

pertanian, walaupun hanya tersirat, tetapi tidak berarti bahwa seluruh pengetahuan dan praktek pertanian modern disingkirkan. Skenario pembangunan pertanian, yang mengacu pada revitalisasi pertanian, hendaknya mengintegrasikan pengetahuan lokal sebagai basis sosio-budaya bersama dengan pertimbangan rasional-ekonomis.

Oleh karena itu apabila pilihan kebijakan pertanian tidak berwawasan pengetahuan asli berbasis pengalaman akan membuat petani bergeser dari akar sistem pengetahuan mereka sendiri. Hal tersebut akan membahayakan kepentingan nasional secara multi-dimensioinal dalam jangka panjang. Suatu kebijakan pertanian yang hanya melihat pada kepentingan efisiensi dalam jangka pendek, pada dasarnya adalah mengorbankan kepentingan nasional dalam jangka panjang dan meresikokan keberlanjutan sistem pertanian itu sendiri.

B. Fokus dan Masalah Penelitian

Hasil kajian Noor (2008) menyimpulkan bahwa kesadaran untuk mengangkat dan menggali kembali pengetahuan asli berbasis pengalaman atau kearifan budaya lokal adalah karena kemajuan ekonomi dan sosial masyarakat dunia sekarang telah diiringi oleh pelbagai kerusakan lingkungan.

Ke depan semakin dirasakan terjadinya peningkatan baik luas maupun intensitas adanya degradasi sumber daya lahan dan lingkungan serta pencemaran baik di biosfer, hidrosfer, maupun atmosfer. Sementara di 32

beberapa belahan dunia yang bertahan dengan praktek-praktek pertanian berdasarkan pengetahuan asli telah berhasil mewariskan sumber daya lingkungannya (hutan, lahan, tanah dan keanekaragaman hayatinya) secara utuh dari generasi ke generasi. Hal ini menunjukkan pentingnya pembelajaran dan penggalian terhadap sumber-sumber kearifan budaya lokal.

Pengetahuan asli yang berbasis pengalaman merupakan kearifan budaya lokal sebagai akumulasi pengalaman kolektif dari generasi ke generasi perlu dikembangkan sebagai bagian dalam memperkaya dan melengkapi rakitan inovasi teknologi pertanian masa depan yang berkelanjutan, termasuk untuk pengelolaan dan pengembangan budidaya pertanian di lahan rawa (Noor, 2008). Pengembangan pengetahuan pertanian dalam pola transfer pengetahuan dan teknologi modern kepada petani (yang dianggap masih tradisional) masih berlangsung sampai saat ini.

Sehubungan hal tersebut, masalah yang dihadapi dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian, yaitu:

1. Bagaimana praktek pengetahuan berbasis pengalaman pada budidaya

padi di Sulawesi Selatan ?

2. Bagaimana praktek pengetahuan berbasis ilmiah pada budidaya padi

di Sulawesi Selatan ? 33

3. Bagaimana proses perolehan, penyebaran dan pemanfaatan dalam

kontestasi kedua pengetahuan tersebut pada budidaya padi di Sulawesi

Selatan?

4. Bagaimana bentuk dan arah kolaborasi kedua pengetahuan tersebut

menghasilkan fitur pengetahuan baru dalam budidaya padi di Sulawesi

Selatan ?

C. Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan praktek pengetahuan berbasis pengalaman pada

budidaya padi di Sulawesi Selatan.

2. Mendeskripsikan praktek pengetahuan berbasis ilmiah pada budidaya

padi di Sulawesi Selatan.

3. Mendeskripsikan proses perolehan, penyebaran dan pemanfaatan dalam

kontestasi kedua pengetahuan tersebut pada budidaya padi di Sulawesi

Selatan.

4. Menganalisis bentuk dan kolaborasi kedua pengetahuan tersebut

menghasilkan fitur pengetahuan baru dalam budidaya padi di Sulawesi

Selatan.

D. Kegunaan dan Manfaat Penelitian

Secara teoritis, penelitian ini diharapkan memberi pengetahuan, pemahaman pentingnya pengembangan pengetahuan berbasis pengalaman untuk menciptakan suatu teknologi yang efektif. Secara praktis, diharapkan 34

memberi kontribusi bagi pengembangan pengetahuan berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah yang setara dan saling melengkapi. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan teknologi efektif berbasis pengetahuan lokal, sehingga petani tidak lagi menjadi pengadaptasi pasif namun sebagai subyek dalam pengembangan pengetahuan pertanian. 35

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Pengetahuan

Drucker (1998) mendefinisikan pengetahuan sebagai informasi yang mengubah sesuatu atau seseorang. Hal itu terjadi ketika informasi tersebut menjadi dasar untuk bertindak, atau ketika informasi tersebut memampukan seseorang atau institusi untuk mengambil tindakan sebelumnya. Dengan demikian pengetahuan dapat diartikan sebagai informasi yang dapat ditindaklanjuti atau digunakan sebagai dasar untuk bertindak, mengambil keputusan dan menempuh arah atau strategi tertentu.

Sejalan dengan pendapat Drucker tersebut namun relatif mudah dipahami, Sveiby (1997) mendefinisikan pengetahuan sebagai kapasitas untuk bertindak. Kapasitas untuk bertindak seseorang yang diciptakan secara berkelanjutan melalui proses mendapatkan pengetahuan (process-of- knowing). Dengan kata lain, pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari konteksnya. Von Glasersfeld (1995) menyatakan bahwa pengetahuan bukanlah sebuah gambar atau representasi dari realita, pengetahuan lebih menyerupai sebuah peta dari tindakan-tindakan yang diberikan oleh realita.

Pengetahuan adalah sebuah daftar konsep-konsep, hubungan-hubungan semantik, dan tindakan-tindakan atau operasi-operasi yang telah terbukti terus berlangsung untuk mencapai tujuan-tujuan. 36

Sementara Davenport dan Prusak (1998) mendefinisikan pengetahuan secara luas yaitu campuran dari pengalaman, nilai, informal kontekstual, dan pandangan pakar yang memberikan kerangka untuk mengevaluasi dan menyatukan pengalaman dan informasi baru. Pengetahuan sebagai sebuah konsep adalah suatu entitas yang tidak terlihat dan pada saat yang sama mengendalikan dasar-dasar sebuah organisasi (Pascarella, 1997 dalam

Singh, 2008). Oleh karenanya pengetahuan adalah sebuah aset yang harus diberi nilai, dikembangkan, dan dikelola (Bogdanowicz & Bailey, 2002), sebab, pengetahuan adalah komponen dari modal intelektual organisasi

(Stewart, 1997 dalam Bogdanowicz & Bailey, 2002).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2003) Pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui berkaitan dengan proses pembelajaran. Proses belajar ini dipengaruhi berbagai faktor dari dalam seperti motivasi dan faktor luar berupa sarana informasi yang tersedia serta keadaan sosial budaya.

Secara garis besar menurut Notoatmodjo (2003) domain tingkat pengetahuan

(kognitif) mempunyai enam tingkatan, meliputi: mengetahui, memahami, menggunakan, menguraikan, menyimpulkan dan mengevaluasi. Ciri pokok dalam taraf pengetahuan adalah ingatan tentang sesuatu yang diketahuinya baik melalui pengalaman, belajar, ataupun informasi yang diterima dari orang lain. 37

Tiwana, (1999) kemudian menjelaskan tentang komponen pengetahuan dan tiga langkah fundamental dari proses pembentukan pengetahuan dan pembelajaran. Komponen pengetahuan terdiri dari: intuisi

(intuition), kebenaran dasar (ground truth), putusan (judgment), pengalaman

(experience), nilai (values), asumsi (assumptions), keyakinan (beliefs), dan inteligensi (intelligence) sebagai strategi manajemen pengetahuan dan sebuah sistem manajemen pengetahuan).

Tiga langkah fundamental dari proses pembentukan pengetahuan dan pembelajaran yang merujuk kepada pemikiran Nonaka dan Takeuchi (1995) yaitu knowledge acquisition (perolehan pengetahuan), knowledge sharing

(berbagi pengetahuan atau penyebaran pengetahuan), knowledge utilization

(pemanfaatan pengetahuan). Ketiganya berhubungan membentuk siklus dalam proses pembentukan pengetahuan dan pembelajaran.

Proses pembentukan pengetahuan masyarakat merupakan hasil dari suatu hubungan dialektis antara pengetahuan itu sendiri dengan landasan sosialnya (Berger and Lukman, 1990). Dengan kata lain, individu dapat bertindak berdasarkan atas pengalaman dan kepercayaan mengenai dunia, diri, dan tindakannya.

Konsep penting yang berkaitan dengan proses terbentuknya pengetahuan adalah konsep atau pendekatan pengambilan keputusan

(decision making) individu. Pendekatan pengambilan keputusan adalah 38

merupakan pilihan seperangkat aspek atau atribut dari suatu obyek tertentu

(Barlett, 1990), dan merupakan proses mental dalam menentukan pilihan dari berbagai alternatif pilihan yang tersedia. Proses mental tersebut meliputi pengetahuan dan kepercayaan terhadap makna suatu obyek, kemudian muncul kemauan untuk menetapkan pilihan terhadap obyek tertentu (Hefni,

2002).

Berbeda dengan pendapat Foucault (1972) bahwa pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain. Dalam istilah yang lebih spesifik, geneologi kekuasaan, Foucault dalam Ritzer (2005: 94) mengupas bahwa kekuasaan dan ilmu pengetahuan secara langsung berdampak pada yang lain, tidak ada hubungan kekuasaan tanpa pembentukan bidang ilmu pengetahuan, sebaliknya pada saat yang sama, tidak ada ilmu pengetahuan yang tidak mengisyaratkan dan merupakan hubungan kekuasaan.

Selanjutnya menurut Foucault (1972) dikatakan bahwa kapitalisme pada dasarnya mempunyai kecenderungan mengontrol negara tetapi dengan cara yang halus yaitu dengan cara mengontrol pengetahuan, wacana dan membuat definisi apa-apa yang dianggap baik dan benar. Mode baru penaklukan ini adalah orang ditetapkan sebagai objek pengetahuan dan objek wacana ilmiah. Pendirian kuncinya adalah ilmu pengetahuan manusia modern (Ritzer & Goodman 2004:619). 39

Sedangkan menurut Surajiyo (2007), bahwa pengetahuan adalah hasil

“tahu” manusia terhadap sesuatu atau segala perbuatan manusia untuk memahami suatu obyek yang dihadapinya, kemudian membagi pengetahuan dalam dua jenis yakni pengetahuan ilmiah adalah segenap hasil pemahaman manusia yang diperoleh dengan menggunakan metode ilmiah, dan pengetahuan non-ilmiah adalah pengetahuan yang diperoleh dengan menggunakan cara-cara yang tidak termasuk dalam kategori metode ilmiah.

Sejalan dengan itu Berkes et al (2000) menyatakan bahwa sistem pengetahuan dalam pengelolaan sumber daya alam, secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua kategori yaitu pengetahuan ilmiah, adalah suatu pengetahuan yang terbentuk dari hasil penyelidikan ilmiah yang dirancang secara seksama dan sudah terbakukan, dan pengetahuan non ilmiah adalah pengetahuan yang sebagian besar diturunkan dari pengamatan petani akan proses ekologi yang terjadi di sekitarnya dan berbagai faktor yang mempengaruhinya berdasarkan interpretasi logis petani.

Berdasarkan pengalaman dan kepercayaan itu, seseorang dapat mengambil keputusan memilih berbagai pilihan dan melakukan sesuatu dalam kehidupan sehari-hari, sehingga terakumulasi pengetahuannya yang kemudian menjadi pengetahuan lokal. Pengetahuan lokal tersebut juga akan dimiliki oleh individu-individu lainnya sehingga terbentuk pengetahuan kolektif 40

sebagai suatu konstruksi sosial baru yang digunakan dalam mengelola lingkungannya.

B. Konsep Pengetahuan Asli, Kearifan Lokal dan Pengetahuan Lokal

Pengetahuan “Tradisional” mengandung makna pelimpahan nilai-nilai kepada generasi berikutnya. Nilai-nilai yang sudah diakui manfaatnya oleh sebagian besar masyarakat lokal dan sudah terinternalisasi pada sistem budaya masyarakat yang bersangkutan disebut kearifan lokal. Sartini (2004) berpendapat bahwa kearifan lokal/setempat dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan setempat (lokal) yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya.

Salah satu pengetahuan yang digunakan oleh masyarakat adalah pengetahuan lokal yang merupakan pengetahuan lokal - yang unik pada masyarakat atau budaya tertentu (Warren, 1987). Sejalan dengan Msuya

(2007) yang memandang pengetahuan lokal atau tradisional adalah sesuatu yang unik bagi setiap kebudayaan atau masyarakat dan pengetahuan tersebut mempengaruhi perencanaan serta pengambilan keputusan di wilayah setempat, dan digunakan untuk bertahan hidup dalam suatu lingkungan yang khusus (Warren, 1991).

Batasan yang lebih rinci diberikan oleh Johnson (1992), pengetahuan lokal adalah sekumpulan pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras 41

dengan alam. Pengetahuan seperti ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat. Pengetahuan ini juga merupakan hasil kreativitas dan uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk menyesuaikan dengan kondisi baru.

Bruce Mitchell (2000), mengatakan bahwa konsep sistem pengetahuan lokal berakar pada sistem pengetahuan dan pengelolaan lokal atau tradisional. Masyarakat lokal, tradisional atau asli dapat ditemukan di setiap benua di banyak negara. Definisi tentang masyarakat asli atau lokal cukup beragam. Walaupun demikian, beberapa elemen dasar biasanya termasuk antara lain : (1) Keturunan penduduk asli suatu daerah yang kemudian dihuni oleh sekelompok masyarakat dari luar yang lebih kuat, (2)

Sekelompok orang yang mempunyai bahasa, tradisi, budaya, dan agama yang berbeda dengan kelompok yang lebih dominan, (3) Selalu diasosiasikan dengan beberapa tipe kondisi ekonomi masyarakat, (4) Keturunan masyarakat pemburu, nomadik, peladang berpindah, (5) masyarakat dengan hubungan sosial yang menekankan pada kelompok, pengambilan keputusan melalui kesepakatan, serta pengelolaan sumberdaya secara kelompok

(Durning, 1992). Tercatat bahwa jika didasarkan atas bahasa lisan, manusia di muka bumi dapat dikelompokkan menjadi 6.000 budaya, yang mana 4.000 sampai 5.000 nya dapat dikategorikan lokal atau asli. 42

Pengetahuan lokal merupakan basis informasi bagi masyarakat, yang memfasilitasi komunikasi dan pengambilan keputusan (Flavier et al 1995:.

479). Sementara Rajasakeran (1992) mengacu pada sistematika pengetahuan yang diperoleh oleh masyarakat setempat melalui akumulasi pengalaman, eksperimen informal dan pemahaman yang mendalam tentang lingkungan budaya tertentu. Roling dan Engel (1990:102) telah menunjukkan bahwa masyarakat pedesaan menggunakan dan mengelola sumberdaya secara rasional didasarkan pada pengetahuan lokal.

Menurut Haverkort (1991), pengetahuan lokal adalah pengetahuan yang sebenarnya dari suatu populasi yang mencerminkan pengalaman berdasarkan tradisi dan termasuk pengalaman baru dengan teknologi modern. Masyarakat setempat, termasuk para petani, buruh tak bertanah, wanita, pengrajin di pedesaan, peternak adalah penjaga sistem pengetahuan lokal. Mereka betul mengenali situasi mereka sendiri, sumberdaya mereka, apa yang berhasil dan tidak berhasil, dan bagaimana satu perubahan berdampak pada bagian lain sistem mereka (Butler dan Waud, 1990).

Pengetahuan lokal yang sebagian besar merupakan pengetahuan dan keterampilan ditularkan ke generasi berikutnya, dan akan disesuaikan dengan kondisi mereka (Merrewij, 1998). Karena pengetahuan setiap individu adalah konsekuensi dari interaksi dengan masyarakat lokal maka 43

sistem pengetahuan lokal berisi konsep, keyakinan, sikap dan menyimpan dan memproses transmisi pengetahuan (Rajasekaran dan Babu, 1996).

Sementara itu Sillitoe (1998) menggunakan konsep pengetahuan pribumi, menegaskan bahwa pengetahuan itu mengacu kepada pengertian interdisipliner yang mencakup pikiran orang pribumi dan cara mengatur lingkungan sebagai suatu sistem secara keseluruhan. Pengetahuan pribumi merupakan komponen penting dalam budaya pribumi yang membentuk bagian sebuah sistem budaya secara keseluruhan yang mencakup obyek- obyek ritual seremonial, desain artistik, nyanyian, tarian, tradisi lisan, pola subsistensi, tanah, pengaturan sumber penghasilan di dalam lingkungan tertentu.

Untuk menjamin keberlangsungan budaya dalam lingkungan tersebut, penduduk pribumi memiliki pengetahuan asli yang krusial dan sebuah channel penting yang memungkinkan penduduk pribumi beradaptasi terhadap perubahan modern yang masuk ke dalam komunitasnya (Burton,

M,E, 2002). Lebih dari itu, pengetahuan penduduk memiliki kesalingbergantungan dengan tanah dan aspek-aspek budaya lainnya yang ditransmisikan secara lisan sesuai dengan prinsip-prinsip kebudayaan.

Kearifan lokal dapat dipahami sebagai sebuah usaha manusia menggunakan kognisinya dalam bertindak dan bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu. Kearifan lokal 44

merupakan pengetahuan yang eksplisit yang muncul dari periode panjang yang berevolusi bersama-sama masyarakat dan lingkungannya dalam sistem lokal yang sudah dialami bersama-sama (Tiezzi, 2011). Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat maupun kondisi geografis dalam arti luas. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus-menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung di dalamnya dianggap sangat universal (Gobyah 2003).

Pemahaman mengenai apa yang dimaksud dengan kearifan lokal,

Ellen dan Harris (dalam World Bank, 1998) mendefinisikan kearifan atau pengetahuan lokal sebagai berikut:

 Lokal, yang berakar di dalam sebuah masyarakat tertentu dan berada di

dalam tradisi budaya yang luas; kearifan lokal adalah seperangkat

pengalaman yang dihasilkan oleh kehidupan orang yang tinggal dalam

masyarakat. Dengan memisahkan teknis dari yang non-teknis, rasional

dengan non-rasional dapat menjadi problematik. Oleh karena itu, ketika

diterapkan di tempat lain akan terjadi potensi resiko ketidakcocokan

pengetahuan lokal.

 Pengetahuan tidak tertulis, sehingga tidak mudah untuk dikodifikasi.

 Disebarkan secara lisan, atau imitasi dan pertunjukan. Kodifikasi terhadap

pengetahuan lokal bisa menyebabkan hilangnya beberapa propertinya. 45

 Pengalaman daripada pengetahuan teoritis. Pengalaman dan coba dan

gagal, diuji di dalam ketelitian laboratorium keberlangsungan masyarakat

lokal yang secara terus menerus menguatkan pengetahuan lokal.

 Dipelajari melalui pengulangan, yang merupakan ciri kegiatan tradisi yang

jelas ketika sebuah pengetahuan baru bertambah. Berbagai pengulangan

mendukung bertahannya dan menguatnya kearifan lokal.

 Berubah secara terus menerus, diproduksi serta direproduksi, ditemukan

juga dihilangkan; meskipun sering kali dipersepsikan oleh pengamat luar

sebagai sesuatu yang ketinggalan jaman.

Sejalan dengan itu Geriya (2003), mengatakan bahwa secara konseptual kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijaksanaan manusia yang bersandar pada filosofi nilai-nilai, etika, cara-cara, dan perilaku yang melembaga secara tradisional. Secara substansial, kearifan lokal merupakan nilai-nilai yang berlaku dalam suatu masyarakat. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan menjadi acuan dalam bertingkah-laku sehari-hari masyarakat setempat. Hal ini berarti kearifan lokal yang di dalamnya berisi unsur kecerdasan kreativitas dan pengetahuan lokal dari individu-individu yang berada di dalamnya.

Proses perubahan yang begitu panjang dalam masyarakat dapat menjadikan kearifan lokal sebagai salah satu sumber energi potensial dari sistem pengetahuan kolektif masyarakat untuk hidup bersama secara 46

dinamis dan damai. Hal ini ditujukan pada bentuk kearifan lokal bukan hanya sebagai acuan tingkah-laku seseorang, tetapi juga mendinamisasi kehidupan masyarakat yang penuh keadaban (Astri, 2011)

Bentuk-bentuk kearifan lokal atau pengetahuan lokal sangatlah luas sebagaimana aspek kehidupan yang ditopangnya, yakni: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan khusus. Bentuk kearifan lokal sebagaimana disebutkan di atas dinamakan pranata atau institusi. Kusdiansyah (2008) mendefinisikan bahwa pranata (lembaga sosial) adalah sistem nilai dan norma (seperangkat aturan kompleks) yang mengatur tindakan dan perilaku masyarakat dalam memenuhi kebutuhan tertentu. Dengan demikian, banyak sekali pranata yang ada disekitar kehidupan kita, sesuai dengan aspek kehidupan yang diaturnya.

Pranata dapat berupa aturan tertulis misalnya undang-undang dasar, peraturan-peraturan yang berlaku, memiliki sanksi resmi sesuai hukum yang berlaku. Pranata juga dapat berupa aturan yang tidak tertulis meliputi hukum adat, tradisi lokal yang masih hidup, namun tetap mempunyai sanksinya yakni sanksi sosial/moral misalnya dijauhi masyarakat, digunjingkan oleh masyarakat, dan sebagainya. Pranata bersifat mengikat dan relatif lama serta memiliki ciri-ciri tertentu yaitu simbol, nilai, aturan main, tujuan, kelengkapan, dan umur (Wikipedia, 2011) 47

Menurut Warren (1987) bahwa sistem pengetahuan lokal merupakan mekanisme dalam menjamin mata pencaharian bagi masyarakat setempat, rumit, dan disesuaikan dengan kondisi budaya dan lingkungan setempat.

Oleh karena itu sistem pengetahuan lokal sesuai untuk kebutuhan kualitas dan kuantitas sumberdaya masyarakat lokal yang tersedia (Pretty dan

Sandbrook, 1991). Efisiensinya terletak pada kapasitas untuk beradaptasi dengan perubahan lingkungan.

Hefni (2008) mengatakan bahwa sistem pengetahuan lokal memandang bahwa antara manusia (mikrokosmos) dengan alam

(makrokosmos) memiliki hubungan yang harmonis, suatu paham yang didasarkan pada perspektif heterogenitas (keanekaragaman). Karenanya, dalam sistem pengetahuan lokal tidak dikenal kebenaran tunggal, tetapi hanya kebenaran relatif dan kontekstual. Kebenaran hanya dapat diperoleh melalui pendekatan holistik, suatu pendekatan yang menghargai keanekaragaman (Ali, 1990). Dalam konteks hubungan antara manusia dengan alam terdapat ‘hubungan fungsional’ tetapi tidak dalam arti eksploitasi melainkan pemanfaatan yang terjalin secara harmoni antara manusia dengan alam. Karena itu, dalam menjaga hubungannya dengan alam, manusia terus-menerus belajar melalui pengamatan dan percobaan- percobaan dalam memanfaatkan sumbe-rsumber ekonomi di dalam lingkungannya. 48

Pengetahuan lokal menurut Vayda (1981) biasanya menunjukkan suatu kearifan lingkungan (ecological wisdom) yang memungkinkan keseimbangan ekosistem tetap terjaga. Sebagaimana juga dikemukakan oleh Budi Santoso, (1998) bahwa sesungguhnya masyarakat majemuk

Indonesia kaya dengan kearifan lingkungan yang selama ini berfungsi sebagai acuan dalam membina hubungan timbal balik dengan lingkungannya secara berkelanjutan. Sejalan dengan itu Hijjang, (2005) mengemukakan bahwa pasang merupakan suatu sistem pengetahuan yang meskipun sifatnya statis, juga mengandung hal-hal yang bersifat dinamis. Isi Pasang, yang bersifat statis terlihat dalam Pasang yang berbunyi: Pasangnga ri

Kajang anre nakulle nitambai, anre nakulle ni kurangi (Pasang di Kajang tidak boleh ditambah atau dikurangi), sementara kesan dinamis dalam Pasang terlihat dalam Pasang yang berbunyi: Manna kodi Pasang tonji, punna baji’ la’bi-la’bi baji’na, mingka nukodia nipa’Pasangngi jako gaukangi (Meskipun buruk ia tetap Pasang, dan bila baik lebih-lebihkanlah kebaikannya, tetapi bila buruk, dipesankan jangan dikerjakan). Istilah pengetahuan lokal (lokal knowledge), merupakan suatu istilah yang di dalamnya tercakup konsep, kepercayaan, persepsi, himpunan pengetahuan beserta proses perolehan, penambahan, penyimpanan, dan penyebarannya (Chambers, 1987).

Dalam proses pengembangan teknologi, pengetahuan lokal tentang mata pencaharian merupakan sumber daya yang sangat diperlukan 49

(Haverkort dan Zeeuw, 1992). Pengetahuan lokal mungkin tidak abstrak seperti pengetahuan modern. Ini bergantung pada intuisi, bukti langsung, dan akumulasi pengalaman sejarah (Farrington dan Martin, 1987).

Pengetahuan lokal mencerminkan martabat masyarakat setempat dan menempatkan anggotanya pada pijakan yang sama dengan orang luar yang terlibat dalam proses pengembangan teknologi (Haverkort dan Zeeuw,

1992). Sistem pengetahuan lokal juga menyediakan mekanisme untuk memfasilitasi pemahaman dan komunikasi antara orang luar (penyuluh, peneliti) dan orang dalam (petani). Peningkatan pemahaman dan komunikasi meningkatkan pendekatan partisipatif untuk identifikasi masalah (Warren,

1993).

Nilai pengetahuan lokal akan memiliki makna apabila menjadi rujukan dalam mengatasi setiap dinamika kehidupan sosial, lebih-lebih lagi dalam menyikapi berbagai perbedaan yang rentan menimbulkan konflik.

Keberadaan pengetahuan lokal justru akan diuji ditengah-tengah kehidupan sosial yang dinamis. Di situlah sebuah nilai akan dapat dirasakan.

Menurut Prihandono (2012) pengetahuan lokal tercipta melalui proses yang panjang, bersifat evolutif, diwariskan secara turun temurun dan proses transfer ilmunya melalui bahasa tutur/lisan serta praktek langsung secara trans generasi. Dengan demikian tidak ada hak cipta, tidak diketahui penemunya, namun dirasakan manfaatnya oleh masyarakat, dan bahkan 50

menjadi nilai budaya yang mengikat perilaku masyarakat. Itulah yang disebut

“tradisional” sebagai ungkapan yang berlawanan dengan “modern” yang selalu diketahui penemunya. Penciptaan atau temuan yang bermakna bagi keberlangsungan hidup masyarakat setempat itulah yang lebih sering disebut kearifan lokal (local wisdom).

Masyarakat tradisional sangat menguasai sistem ekologi dimana mereka hidup. Mereka mengetahui dengan baik interaksi antara makhuk hidup dengan lingkungan biotik dan abiotiknya, sehingga tercipta kehidupan yang seimbang, serasi dan selaras (Frick dan Suskiyatno 1998).

Namun demikian pengetahuan lokal pun mempunyai beberapa keterbatasan terutama jika berhadapan dengan masyarakat pendatang, untuk mengevaluasi relevansi berbagai jenis pengetahuan asli terhadap kondisi lokal. Kadang-kadang pengetahuan asli yang sudah beradaptasi dengan baik dan efektif untuk mengamankan kehidupan mereka dalam lingkungan tertentu menjadi tidak sesuai lagi dibawah kondisi lingkungan yang sudah terdegradasi (Thrupp, 1989). Walaupun sistem pengetahuan asli mempunyai kelenturan yang cukup baik dalam mengadaptasi perubahan ekologis, tetapi jika perubahan tersebut drastis dan cepat, pengetahuan yang berkaitan dengan perubahan ekologis tersebut menjadi tidak sesuai lagi.

Bahkan penerapan pengetahuan lama yang tidak tepat mungkin justru akan memperparah kerusakan tersebut (Grenier, 1998). 51

C. Sistem dan Dasar Filosofis Pengetahuan Berbasis Pengalaman dan Berbasis Ilmiah

Dant (1991) memaknai pengetahuan sebagai sebuah struktur relasi dari berbagai entitas abstrak berupa pengalaman manusia. Pengetahuan ini dimiliki bersama-sama melalui proses komunikasi. Melalui pengetahuan, dapat dipahami karakter manusianya dan lebih jauh dapat pula diduga tindakannya (individual dan kelompok). Sebagaimana perspektif dasar sosiologi pengetahuan, maka menurut Dant bahwa pengetahuan adalah objek yang memiliki karakter sosial yang dibentuk dalam masyarakat, direproduksi dan juga didistribusikan menggunakan struktur dan kultur sosial.

Sehingga pengetahuan merefleksikan entitas abstrak pengalaman manusia bersangkutan.

Setiap orang telah mempunyai pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya yang tertata dalam bentuk struktur kognitif (Sugihartono dkk, 2007:

105). Pengalaman dan pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses penginderaan yang selanjutnya akan masuk ke dalam memori serta tersusun dalam struktur kognitif. Tahap selanjutnya pengalaman dan pengetahuan yang tersusun secara kognitif akan bekerja secara psikomotorik untuk pemecahan masalah. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor kognitif berasal dari pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki.

Sesuai dengan pendapat Dewey (1939) tentang hakikat pengalaman dalam tulisannya “Experience and Education”, bahwa istilah pengalaman 52

diberikan dalam konteks suatu proses belajar manusia. Dewey menyatakan bahwa segala jenis kegiatan pendidikan yang sejati tercipta melalui pengalaman, tetapi tidak semua pengalaman terhubung dengan pendidikan

(Dewey, 1939 : 30), oleh sebab itu bagaimana memilih sejumlah pengalaman sekarang, agar dapat melahirkan pengalaman selanjutnya yang lebih baik dan kreatif (Dewey, 1939 : 33). Pemilihan kriteria dari pengalaman yang baik dilakukan dengan prinsip “kesinambungan pengalaman”, sehingga pengalaman masa depan diperoleh berbasis pada pengalaman sebelumnya.

Pengalaman mengartikulasikan keberlangsungan dan interaksi. Di satu sisi, keberlangsungan memaksudkan relasi dengan dunia di sekitar mereka dan di sisi lain interaksi memaksudkan relasi pengaruh situasional pribadi atas pengalamannya sendiri terhadap orang lain, baik pengalamannya sendiri maupun orang lain menjadi milik bersama.

Pengalaman adalah salah satu kunci dalam falsafah instrumentalisme.

Pengalaman merupakan keseluruhan aktiviti manusia yang mencakup segala proses yang saling mempengaruhi antara organisma yang hidup dalam lingkungan sosial dan fisik.

Sejalan dengan falsafah instrumentalisme Dewey (1939) yang dibangun berdasarkan andaian bahwa pengetahuan berpangkal dari pengalaman-pengalaman dan bergerak kembali menuju pengalaman. Untuk menyusun kembali pengalaman-pengalaman tersebut diperlukan pendidikan 53

yang merupakan transformasi yang diawasi dari keadaan tidak menentu ke arah keadaan tertentu. Bagi Dewey, pengalaman sebagai suatu yang bersifat personal dan dinamis merupakan satu kesatuan yang mengultimatumkan suatu interelasi. Tidak ada pengalaman yang bergerak secara terpisah dan semua pengalaman itu memainkan suatu kompleksitas sistem yang organik.

Sedangkan Experiential Learning Theory (ELT), yang dikembangkan oleh David Kolb (1984) menekankan bahwa pengalaman mempunyai peran sentral dalam proses belajar. Teori ini mendefinisikan belajar sebagai proses dimana pengetahuan diciptakan melalui transformasi pengalaman

(experience). Pengetahuan merupakan hasil perpaduan antara memahami dan mentransformasi pengalaman (Kolb, 1984) juga sebagai tindakan untuk mencapai sesuatu berdasarkan pengalaman. Melalui pengalaman, segala aktivitas kehidupan yang dialami individu merupakan sarana belajar yang dapat menciptakan ilmu pengetahuan. Konstruksi pengetahuan melalui transformasi pengalaman memiliki tahapan-tahapan, yaitu :

1. Tahap pengalaman nyata;

2. Tahap observasi refleksi;

3. Tahap konseptualisasi; dan

4. Tahap implementasi 54

Keempat tahapan tersebut oleh David Kolb (1984) digambarkan sebagai berikut:

Pengalaman Nyata

Feeling

Implementasi/ Observasi/ Penerapan Refleksi

Doing Thinking

Konseptualisasi/ Berfikir Abstrak

Watching

Gambar 1. Experiential Learning Cycle

Dalam tahap di atas, proses dimulai dari pengalaman nyata yang dialami kemudian direfleksikan secara individu. Dalam proses refleksi seseorang akan berusaha memahami apa yang terjadi atau apa yang dialaminya. Refleksi ini menjadi dasar proses konseptualisasi atau proses pemahaman prinsip-prinsip yang mendasari pengalaman yang dialami serta prakiraan kemungkinan aplikasinya dalam situasi atau konteks yang baru.

Proses implementasi merupakan situasi dan konteks yang memungkinkan penerapan konsep yang sudah dikuasai. Pengalaman yang telah direfleksikan kemudian diatur kembali sehingga membentuk pengertian- pengertian baru atau konsep-konsep abstrak yang akan menjadi petunjuk 55

bagi terciptanya pengalaman atau perilaku-perilaku baru. Proses pengalaman dan refleksi dikategorikan sebagai proses penemuan (finding out), sedangkan proses konseptualisasi dan implementasi dikategorikan dalam proses penerapan (taking action).

Sebaliknya secara umum modernisasi masyarakat dirumuskan sebagai penerapan pengetahuan ilmiah kepada semua aktivitas, semua bidang kehidupan atau kepada semua aspek-aspek masyarakat (Schoorl,

1991). Bertambahnya pengetahuan ilmiah itu merupakan faktor yang penting dalam proses modernisasi. Masyarakat lebih modern apabila mereka lebih menerapkan pengetahuan dengan cara yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, begitu juga sebaliknya terhadap masyarakat yang kurang modern.

Suharsaputra (2004) menyatakan bahwa perkembangan pengetahuan khususnya teknologi sebagai aplikasi dari pengetahuan telah mengalami perubahan yang sangat cepat, perubahan itu berdampak pada pandangan masyarakat tentang hakekat pengetahuan, perolehan pengetahuan, serta manfaatnya bagi masyarakat, sehingga pengetahuan cenderung dianggap sebagai satu-satunya kebenaran dalam mendasari berbagai kehidupan kemasyarakatan, serta telah menjadi dasar penting yang mempengaruhi penentuan perilaku manusia. Keadaan ini berakibat pada karakterisasi ciri pengetahuan modern sekarang ini yaitu : 56

1. Bertumpu pada paradigma positivisme. Ciri ini terlihat dari

pengembangan pengetahuan dan teknologi yang kurang memperhatikan

aspek nilai baik etis maupun agamis, karena memang salah satu

aksioma positivisme adalah bebas nilai yang mendorong tumbuhnya

prinsip “science for science”.

2. Mendorong pada tumbuhnya sikap hedonisme dan konsumerisme.

Berbagai pengembangan pengetahuan dan teknologi selalu mengacu

pada upaya untuk meningkatkan kenikmatan hidup, meskipun hal itu

dapat mendorong gersangnya ruhani manusia akibat makin

memasyarakatnya budaya konsumerisme yang terus dipupuk oleh media

teknologi modern seperti iklan besar-besaran yang dapat menciptakan

kebutuhan semu yang oleh Herbert Marcuse didefinisikan sebagai

kebutuhan yang ditanamkan ke dalam masing-masing individu demi

kepentingan sosial tertentu dalam represinya (M. Sastrapatedja, 1982 :

125)

3. Perkembangannya sangat cepat. Pencapaian sains dan teknologi

modern menunjukan percepatan yang menakjubkan, berubah tidak

dalam waktu tahunan lagi bahkan mungkin dalam hitungan hari. Ini jelas

sangat berbeda dengan perkembangan IPTEK sebelumnya yang kalau

menurut Alfin Tofler, dari gelombang pertama (revolusi pertanian)

memerlukan waktu ribuan tahun untuk mencapai gelombang ke dua 57

(revolusi industry), dimana sebagaimana diketahui gelombang tersebut

terjadi akibat pencapaian sains dan teknologi.

4. Bersifat eksploitatif terhadap lingkungan. Berbagai kerusakan lingkungan

hidup dewasa ini tidak terlepas dari pencapaian IPTEK yang kurang

memperhatikan dampak lingkungan.

Secara historis paradigma sains telah mengalami tahapan-tahapan perubahan sebagaimana dikemukakan Nasution (1996) bahwa tahap pertama disebut masa pra-positivisme, dimana aplikasinya dalam penelitian adalah mengamati secara pasif, tidak ada upaya memanipulasi lingkungan dan melakukan eksperimen terhadap lingkungan. Tahapan ini kemudian berganti dengan tahapan positivisme, yang menjadi dasar bagi metode ilmiah dengan bentuk penelitian kuantitatif, dan mencoba mencari prinsip-prinsip atau hukum-hukum umum tentang dunia kenyataan.

Paradigma berikutnya yang muncul adalah paradigma post positivisme sebagai reaksi atas positivisme, dimana dalam pandangan ini, kebenaran bukan sesuatu yang tunggal. Paradigma ini banyak memberikan sumbangan bagi perkembangan teknologi dewasa ini, akan tetapi tidak berarti paradigma lainnya tidak berperan. Peranannya tetap ada terutama dalam hal-hal yang tidak dapat dijelaskan oleh paradigma positivistik. Hal ini terlihat dengan berkembangnya paradigma naturalistic yang mendorong berkembangnya penelitian kualitatif. Oleh karena itu nampaknya paradigma-paradigma 58

tersebut bersifat saling melengkapi, hal ini didasari keyakinan betapa kompleksnya realitas dunia dan kehidupan di dalamnya.

Agar dapat diuraikan proses terbentuknya pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah. Menurut

Laksono (1998), bahwa ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:

1. Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai

suatu sistem.

2. Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut

terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian

bersifat universal.

3. Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang

bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang

lain/ahli-ahli lain.

Pandangan ini sejalan dengan pandangan Suparlan (1994) yang menyatakan bahwa metode ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif (Suparlan,

1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus sistematik 59

dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah.

Sebuah teori pada dasarnya merupakan bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara mengorganisasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi peranan metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya pengetahuan ilmiah melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.

Walaupun fakta-fakta empirik penting peranannya dalam metode ilmiah namun kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan, 1994). Jadi jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau kumpulan fakta-fakta empirik.

Hal ini disebabkan karena fakta-fakta empirik tersebut harus ditata agar mempunyai makna, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.

Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu sosial berhubungan dengan 60

kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti dengan pelaku yang diteliti.

Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya dengan penuh keraguan

dan skeptis.

2. Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya dari sikap, keinginan,

kecenderungan untuk menolak, atau menyukai data yang dikumpulkan.

3. Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam melakukan penilaian terhadap

hasil penemuannya harus terbebas dari nilai-nilai budayanya sendiri.

Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data yang dikumpulkan

jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan kebenaran

universal (Suparlan, 1994).

Pengetahuan asli dapat dibedakan dari pengetahuan ilmiah berdasarkan empat hal yaitu metoda, kerangka kelembagaan, kemampuan dan fasilitas teknik, dan skala perspektif. Pengetahuan asli dan pengetahuan ilmiah memiliki sejarah panjang dan sangat penting untuk pengembangan masyarakat (Lengisugi, 2006) dan sebagai dasar mekanisme untuk negara- negara berkembang dalam proses pengentasan kemiskinan (UNESCO, 61

1998). Perbandingan antara pengetahuan asli dan pengetahuan ilmiah akan diuraikan pada tabel berikut ini :

Tabel 1. Perbandingan antara Pengetahuan Asli dan Pengetahuan Ilmiah

Aspek Pembanding Pengetahuan Asli Pengetahuan Ilmiah (Indigenous) Epistemologi Makna Perolehan Dihasilkan melalui Dipelajari secara abstrak, Pengetahuan observasi, eksperimen tidak selalu berkaitan dan identifikasi objek dengan aplikasi, pemisahan pengetahuan pengamat dan objek pengetahuan Dasar Kognisi Intuitif dan Subjektif Analitik dan Objektif Proses Transmisi Direkam dan Ditransmisikan secara Pengetahuan ditransmisikan secara deduktif melalui perkataan oral, kadang melalui tertulis teks sakral Integrasi dengan Holistik, subjektif, Reduksionis, objektif, Budaya eksperensial, terikat, positivis, tidak terikat, dan terintegrasi dalam kompartementalisasi, dimensi sosial, kultural konvergen dan homogen dan moral Pandangan tentang Memandang semua Hanya mengenal tumbuhan Kekuatan Hidup materi memiliki dan hewan yang memiliki kekuatan hidup kekuatan hidup, pemisahan termasuk benda-benda Tuhan-orang tak hidup, animistik Persepsi tentang Alam Berdasar ekologi yang Terorganisasi secara dan Bentuk Kehidupan menekankan kaitan hirarki, ter sosial dan spiritual kompartementalisasi secara diantara benda-benda vertikal, lingkungan hidup direduksi untuk membatasi komponen-komponen secara konseptusal Penjelasan Fenomena Penjelasan spiritual Penjelasan diturunkan Lingkungan tentang fenomena melalui pengujian hipotesis, lingkungan, direvisi, menggunakan teori dan divalidasi sepanjang hukum alam waktu Dasar Hubungan Dibentuk oleh sistem Didasarkan pada dengan Alam ekologis setempat kemampuan orang untuk mendominasi alam 62

Ciri Pengetahuan Terbatas Tak terbatas Pandangan tentang Melihat keseluruhan Instrumentalisme Universe dalam konteks (memandang segala relasional sesuatu sebagai sumber gratifikasi) Persamaan diantara Menekankan Melihat manusia sebagai Bentuk Kehidupan interdependensi dan bentuk kehidupan yang persamaan seluruh superior, dengan hak bentuk kehidupan inheren untuk mengontrol dan mengeksploitasi alam Ontologi Dasar Harga Diri Didasarkan pada nilai- Didasarkan pada nilai-nilai nilai kelompok atau individualistik, tapi holisme gabungan dari inti biologi dan permukaan tingkah laku, produk aktivitas genetik acak, identitas dan signifikansi diturunkan dari produksi atau konsumsi ekonomis Pandangan tentang Suatu fenomena yang Suatu pengukuran teknologi harus ditolak atau peradaban atau diintegrasikan keterbelakangan Konteks Perubahan dari Waktu Berdasar diakronik pada Berdasar sinkronik pada ke Waktu suatu urutan waktu urutan waktu pendek di panjang dalam satu area besar lokalitas Pengukuran Waktu Waktu diukur secara Waktu itu linear klinis Validitas Kontekstual Terikat waktu dan Superior berdasarkan ruang, kontekstualitas validitas universal sosial dan faktor-faktor moral Kontekstualitas Memerlukan komitmen Menilai mobilitas dan Geografis terhadap konteks lokal melemahkan konteks lokal Sumber : Diadaptasi dari Studley (Reid et al,. 2002)

Sintesis pengetahuan asli dan pengetahuan ilmiah harus dilakukan secara hati-hati. Salah satu pendekatan yang biasa dipakai (rule of thumb) adalah penggunaan pengetahuan ilmiah untuk ide-ide atau konsep-konsep universal dan penggunaan pengetahuan tradisional untuk implementasi lokal. 63

Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, hutan adalah sistem yang kompleks dan adaptif, yang sehingga tidak mungkin menjelaskan seluruh gejala didalamnya hanya berlandaskan pengetahuan ilmiah. Pengetahuan asli adalah prasyarat kondisi (necessary condition) untuk memahami lingkungan alam secara lebih baik.

D. Perkembangan Pengetahuan dalam Pembangunan Pertanian

Pola pengembangan pengetahuan pertanian di Indonesia didominasi oleh pengetahuan ilmiah hasil karya para ilmuwan pertanian. Berbagai hasil penelitian dan teknologi yang dihasilkan para ilmuwan pertanian, sebagian besar cenderung mengacu pada pengetahuan pertanian mutakhir dan teknologi modern yang telah dikembangkan di negara maju. Hasil penelitian tersebut kemudian coba diadaptasikan kepada petani, baik proyek dan program pemerintah ataupun melalui jalur swasta dalam bentuk teknologi sarana produksi pertanian, yang bisa didapatkan oleh petani di pasaran dengan cara ”membeli”.

Menurut Ardhian, D (2009) bahwa pengembangan pengetahuan pertanian dalam pola transfer pengetahuan dan teknologi (yang lebih modern) kepada petani (yang dianggap masih tradisional) tersebut masih berlangsung sampai saat ini. Petani masih sering dipandang sebagai

“penerima” pengetahuan melalui adaptasi pasif terhadap pengetahuan dan teknologi yang diproduksi oleh ilmuwan dari lembaga penelitian. 64

Ditengah pengembangan pengetahuan dan teknologi pertanian modern, ada sebuah model pengembangan yang menggunakan jalur yang berbeda, yaitu sistem pertanian berkelanjutan yang menghargai aspek lokalitas, termasuk membuka peluang partisipasi petani dalam pengembangan pengetahuan pertanian. Prinsip utama pertanian berkelanjutan antara lain penekanan kepada kelestarian lingkungan, keadilan sosial, kelayakan ekonomi menurut ukuran lokal, dan penghargaan atas berbagai makhluk hidup dalam dunia pertanian yang telah memberikan ruang bagi tumbuh berkembangnya pengetahuan lokal pertanian. Petani tidak dianggap sebagai pengadaptasi pasif namun justru sebagai subyek dalam pengembangan pengetahuan pertanian.

Dalam konteks pertanian berkelanjutan, pengetahuan petani justru menjadi sumbu utamanya. Pengetahuan lokal dalam pertanian, yang milik petani sendiri bukanlah sebuah pengetahuan yang terlampau jauh berkembang mendahului prakteknya, namun pengetahuan yang tumbuh seiring dengan pengalaman petani dalam praktek. Pengetahuan tersebut merupakan produk dari persepsi, proses belajar dan rasionalitas petani berdasarkan pengalaman yang dilakukan sehari hari. Teknologi yang diturunkan dari pengetahuan petani adalah teknologi tepat guna (appropriate technology), sesuai kebutuhan, murah dan bisa diterapkan dalam praktek 65

budidaya petani. Proses regenerasi pengetahuan bisa melalui jalur turun temurun, berbagi pengetahuan antar sesama petani.

Pengetahuan lokal merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama pengelola sumber daya lokal.

Dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal. Seringkali praktek sistem pertanian lokal dapat memberikan ide yang potensial dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang ada secara lestari (Sunaryo dan Joshi, 2003). Dengan demikian, upaya penggalian pengetahuan lokal untuk menambah khasanah dalam pemanfaatan, pengelolaan dan pengembangan sumber daya alam perlu dilakukan.

Pengetahuan lokal suatu masyarakat petani yang hidup di lingkungan wilayah yang spesifik biasanya diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan secara turun-temurun. Adakalanya suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungannya sehingga menjadi bagian integral sistem bertani mereka.

Karenanya teknologi eksternal ini akan menjadi bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri.

Pengetahuan praktis petani tentang ekosistem lokal, tentang sumber daya alam dan bagaimana mereka saling berinteraksi, akan tercermin baik di 66

dalam teknik bertani maupun ketrampilan mereka dalam mengelola sumber daya alam.

Pengetahuan lokal tidak hanya sebatas pada apa yang dicerminkan dalam metode dan teknik bertaninya saja, tetapi juga mencakup tentang pemahaman (insight), persepsi dan suara hati atau perasaan (intuition) yang berkaitan dengan lingkungan yang seringkali melibatkan perhitungan pergerakan bulan atau matahari, astrologi, kondisi geologis dan meteorologis.

Pengetahuan lokal yang sudah demikian menyatu dengan sistem kepercayaan, norma dan budaya, dan diekspresikan di dalam tradisi dan mitos yang dianut dalam jangka waktu cukup lama ada kemungkinan akan menjadi suatu ‘pengetahuan lokal’.

Dalam membuat suatu keputusan, beberapa petani perlu waktu untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang berasal dari berbagai sumber secara seksama.

Terlepas dari adaptasi inovasi yang berasal dari luar, banyak laporan menunjukkan bahwa para petani seringkali berinovasi dengan cara membuat percobaan kecil tentang ide baru secara rutin dan mengamatinya secara seksama.

Sebenarnya petani telah mempunyai setumpuk pengalaman yang diperoleh dari berbagai pengamatan dan kegiatan yang telah dikerjakan dalam masa yang lama dari generasi ke generasi, sehingga mempunyai 67

kearifan dalam mengatasi berbagai masalah lingkungan, yang sering disebut sebagai ”kearifan ekologi” maupun ”kearifan lokal” (Soemarwoto,1982).

Sehingga kearifan lokal tersebut sebenarnya dapat dimanfaatkan sebagai sumber inspirasi untuk menciptakan inovasi teknologi baru dalam memajukan pembangunan pertanian.

Perubahan perilaku petani dalam menerapkan sistem budidaya di lapangan, telah dikembangkan dengan banyak meninggalkan kearifan lokal dan tidak berbasis pada konsep kealaman. Beberapa contoh kasus di lapangan seperti penanaman satu jenis tanaman secara berulang dan terus menerus (monokultur), penamanan tidak serempak penyederhanaan jenis tanaman, dan sebagainya menjadi pemicu banyaknya kegagalan panen.

Penanaman monokultur untuk mengejar target produksi tanpa adanya rotasi dalam jangka panjang juga tidak berbasis pada konsep kealaman, serta tidak menguntungkan terutama dari aspek ekologi dan agronomi.

Penanaman secara berulang tanaman akan memicu berkembangnya organisme pengganggu tanaman baik hama, patogen maupun gulma karena berada dalam lingkungan yang tidak banyak mengalami perubahan. Sistem penanaman tidak serempak juga tidak menguntungkan karena menyebabkan siklus hama tidak terputus, karena ketersediaan pakan bagi hama tercukupi.

Meluasnya serangan hama wereng dan tikus dimungkinkan karena penanaman padi yang tidak serempak. 68

Fenomena alam yang dipelajari dalam jangka panjang dengan ilmu titen yang diekspresikan dalam berbagai kearifan lokal seperti pranoto mongso sudah mulai ditinggalkan dan digantikan perannya oleh penggunaan external input. Meskipun percobaan yang dilakukan oleh petani beragam, akan tetapi umumnya mempunyai keserupaan sifat, di antaranya:

1. Obyek yang dipilih relevan dengan permasalahan mereka.

2. Kriteria penilaian yang digunakan langsung terkait dengan nilai lokal dan

umumnya terkait dengan pemanfaatan produknya (rasa).

3. Pengamatan dilakukan dalam perspektif sistem kehidupan nyata, karena

berlangsung selama kegiatan bertani mereka dan tidak hanya sebatas

pada hasil akhir saja.

4. Percobaan berdasarkan pengetahuan petani, yang pada gilirannya akan

memperkaya dan memperdalam pengetahuan tersebut.

Ada dua poin penting dalam penelitian kearifan lokal, yakni pengetahuan dan praktek yang tidak lain adalah pola interaksi dan pola tindakan (Ahimsa-Putra, 2008: 12). Pengetahuan dapat disamakan dengan knowledge yang dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti media massa ataupun cerita orang lain sehingga mudah dilupakan, sedangkan pengalaman atau memory, relatif permanen sifatnya, terutama karena ia berkaitan dengan pengalaman langsung (direct experiences) dalam perjalanan hidup manusia (Sairin, 2006: 91). 69

Pentingnya mengkaji kearifan lokal terutama di bidang pertanian, misalnya pengembangan komoditi pertanian yang kuat bukan hanya untuk ketahanan pangan agar tidak tergantung kepada impor, mendukung kedaulatan lokal juga mendukung pengembangan komoditas lokal (Abdullah,

2008b).

E. Kontestasi Pengetahuan Berbasis Pengalaman dan Berbasis Ilmiah

Beberapa studi telah menunjukkan bahwa akar masalah dari kegagalan kebijakan pembangunan pertanian dan perdesaan adalah kurang adaptifnya berbagai program pembangunan dengan konteks sosial, ekonomi, politik, dan ekosistem suatu wilayah pedesaan (Green, 2006:1113; Bieri,

2009:11; Namba, 2003:1; Samal et al 2003:157; Rosyadi dan Tobirin, 2010).

Memang telah diakui bahwa pengetahuan ilmiah yang diperkenalkan para teknokrat dan ilmuwan selain membawa sejumlah kemajuan tetapi juga menimbulkan masalah (Awang, 2008:17), namun tidak dapat dipungkiri bahwa mengandalkan kearifan lokal tidaklah memadai untuk membawa masyarakat desa ke level kemajuan yang diharapkan.

Pengembangan teknik baru atau penyempurnaan praktek lama untuk menghasilkan produktivitas tanpa merusak praktek dan nilai lokal yang kondusif bagi keberlangsungan masyarakat dan lingkungannya sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing wilayah pedesaan. Konteks 70

wilayah pedesaan yang spesifik menyebabkan solusi “one size fits all” merupakan strategi kebijakan pembangunan yang keliru (Taylor, 2009:9).

Generalisasi strategi pembangunan yang dikendalikan oleh pemerintah terbukti tidak efektif dan mengabaikan keunikan dan kearifan lokal. Dalam laporannya yang berjudul “Indigenous Knowledge for

Development : A Framework for Action”, Bank Dunia (1998) pun mengakui bahwa pengetahuan atau kearifan lokal merupakan salah satu komponen penting dalam proses pembangunan.

Oleh karena itu pengetahuan modern perlu disandingkan dengan kearifan lokal karena kemampuan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat dalam memanfaatkan sumber daya pedesaan tidak cukup kuat menghadapi berbagai intervensi pihak luar (Rositah, 2005). Upaya yang dapat dilakukan untuk itu adalah kontestasi antara pengetahuan lokal dan pengetahuan modern dalam dinamika pembangunan pertanian, masing- masing tidak bisa memenangkan kepentingannya ataupun menerima keadaan sumberdaya alam yang saat ini cenderung mengalami degradasi.

Didukung hasil penelitian Seboka dan Deressa (2000) tentang perbenihan formal bahwa pengetahuan modern cenderung menilai benih sebagai sekedar sarana produksi pertanian. Sementara pengetahuan asli petani, benih bukanlah sekedar masukan fisik, tetapi juga diasosiasikan dengan 71

plasma nutfah yang memperkaya keragaman dalam ”kolam” genetik tanaman di suatu wilayah tertentu.

Untuk memberi konteks dari berbagai kepentingan yang berkontestasi dalam dinamika pembangunan pertanian, perlu digambarkan keterkaitan pengetahuan lokal dan pengetahuan modern bidang pertanian dengan berbagai konteks yang lainnya. Mulai dari sejarah, penciptaan, pembentukan, pendistribusian dan pemanfaatannya yang membentuk pola pikir dan tindakan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh individu pada dasarnya justru memproduksi pengetahuan baru bagi pelaku yang lain (de

Certeau, 1984 dan Foucault, 1980). Hal tersebut berlangsung terus menerus hingga membentuk struktur sosial berupa kaidah-kaidah, konvensi, aturan dan norma-norma, akan tetapi semuanya itu tidak selamanya bertahan, sehingga butuh diperbaharui dan ditransformasikan sejalan dengan pengetahuan yang terus berkembang.

Kontestasi terjadi pada situasi ketidaksepakatan atau pertentangan muncul. Setiap isu mengandung tiga hal yakni segi potensi, segi kontestasi dan segi akseptasi. Potensi suatu isu mengandung pengertian ada segi-segi yang memicu semua pertanyaan vital oleh mereka yang pro dan mereka yang kontra. Sisi ini memperlihatkan lingkup dan kualitas masalah-masalah yang dipersoalkan. Sedangkan kontestasi mengandung pengertian bahwa ada pihak-pihak yang bertentangan sehingga menimbulkan: clash of 72

argument. Di dalam lingkup ini ada pertukaran yang saling bersaing terhadap nilai, fakta dan kebijakan terhadap sumber-sumber masalah yang memotivasi tindakan-tindakan. Sementara akseptasi mengandung pengertian bahwa ada berbagai pihak atau dua sisi yang menerima sisi-sisi yang disepakati atau disetujui (Vancil, 1993:70).

Kontestasi memperlihatkan masalah-masalah dari berbagai perspektif yang berbeda, saling bersaing. Pertama, apakah setiap aktor menggunakan kata untuk pengertian yang sama dan apa saja yang ada di dalam pemikiran mereka (Vancil,1993:82). Kedua, mencakup siapa-siapa yang pro dan dan siapa-siapa yang kontra (agents). Ketiga, melakukan identifikasi terhadap sebab-sebab kontorversi yang berguna untuk memperdalam dan mempertajam motif-motif. Keempat, mencermati tentang karakteristik dan sejarah keyakinan dan kebijakan yang ada sekaligus mempertimbangkan nilai dan kebijakan yang seperti apa yang ditawarkan di dalam kontestasi tersebut.

Sejalan dengan Escobar (1999), bahwa proses kontestasi antara dua entitas pengetahuan menghasilkan bentuk-bentuk :

1. Koeksistensi, jika kedua entitas pengetahuan masing-masing

mempertahankan keberadaannya. Walaupun keberadaan kedua entitas

pengetahuan ini diakui dalam kehidupan masyarakat, proses lebih lanjut

akan menghasilkan marginalisasi. Hal ini karena adanya suatu entitas 73

pengetahuan yang lebih berkembang dan diakui oleh masyarakat

setempat. Contohnya; Pertanian modern berbasis pada metode ilmiah

lebih berorientasi pada produktivitas dan efisiensi, sedangkan pertanian

tradisional yang berbasis pada pengetahuan asli lebih berorientasi pada

keberlanjutan dan keselarasan dengan alam.

2. Hibridisasi, proses hibridisasi merupakan perpaduan antara

pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal yang menghasilkan bentuk

pengetahuan baru sebagai hasil pemahaman bersama. Contohnya;

Pengetahuan asli yang dimiliki petani dalam mengatasi keasaman tanah

yang bersesuaian dengan pengetahuan ilmiah dalam mengatasi

masalah tersebut. Dalam konteks pengelolaan lahan, hibridisasi bisa

terjadi ketika kedua belah pihak memiliki kesamaan pandangan terhadap

suatu objek

3. Zero Sum Game (Dominasi), dominasi suatu bentuk pengetahuan atas

pengetahuan lainnya dapat terjadi karena pengetahuan tersebut memiliki

keunggulan dan kelebihan dibandingkan dengan yang lainnya.

Subjektifitas dan kepentingan merupakan faktor yang berperan sehingga

suatu bentuk pengetahuan dianut dan menjadi dominan. Contohnya;

Petani yang telah lama membudidayakan padi lokal dan kemudian masuk

pengetahuan baru budidaya padi unggul, ternyata memerlukan biaya 74

produksi yang besar, sementara hasil panen yang diperoleh tidak jauh

berbeda, bahkan harga gabah padi bibit unggul lebih rendah

dibandingkan dengan padi lokal. Sehingga pengusahaan padi lokal dan

pengetahuan yang selama ini dimiliki tetap mendominasi para petani.

Escobar (1999), menyatakan bahwa bahwa kontestasi pengetahuan lokal dalam membentuk suatu hibrid melalui proses hibridisasi budaya

(cultural hybridization). Oleh karena itu pola kontestasi antara pengetahuan lokal yang dikonstruksi berbasis pengalaman sehari-hari dan pengetahuan modern yang dikonstruksi berbasis metode ilmiah sangat kompleks.

Kompleksitas tersebut melahirkan tiga alternatif rekonstruksi pengetahuan yang digambarkan oleh Salman (2012) sebagai rekonstruksi berpola (1) zero sum game berlangsung ketika terjadi saling meniadakan di dalam kontestasi antara narasi, rekonstruksi berpola (2) hibridisasi berlangsung ketika terjadi pencampuran lalu melahirkan fitur baru pengetahuan dalam kontestasi antara narasi; rekonstruksi berpola (3) koeksistensi berlangsung ketika terjadi kehadiran bersama tanpa saling pengaruh dalam kontestasi antara narasi.

Bentuk-bentuk kontestasi yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan sistem sosial masyarakat, termasuk berbagai bentuk intervensi pemerintah melalui program pembangunan pertanian. Dalam konteks ini, aspek kepentingan dan proses komunikasi merupakan bagian penting yang akan membawa ke mana arah kontestasi tersebut akan 75

terbentuk. Sementara, banyak studi dan penelitian ilmiah, telah membuktikan manfaat dan efektivitas pengetahuan lokal, dan pengetahuan modern berbasis ilmiah dan kerangka kerja di semua dimensi tidak unggul dibandingkan dengan pengetahuan masyarakat asli (Appleton dan Jeans,

1995). Brouwer, (1998) mewakili sikap yang berbeda. Dia mengatakan bahwa teknologi modern dan pengetahuan pertanian tradisional dapat memainkan peran penting pada modernisasi sistem produksi pertanian negara-negara dunia ketiga.

F. Budidaya Padi Sawah

Tumbuhan padi (Oryza sativa L) termasuk golongan tumbuhan

Gramineae, yang mana ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas. Tumbuhan padi bersifat merumpun, artinya tanaman tanamannya anak beranak. Bibit yang hanya sebatang saja ditanamkan dalam waktu yang sangat dekat, dimana terdapat 20-30 atau lebih anakan/tunas tunas baru

(Siregar, 1981).

Sistem budidaya tanaman padi di Indonesia secara garis besar dikelompokkan menjadi dua yaitu padi sawah dan padi gogo (padi huma, padi ladang). Pada sistem padi sawah, tanaman padi sebagian besar dari lama hidupnya dalam keadaan tergenang air. Sebaliknya, pada sistem padi gogo, tanaman padi ditumbuhkan tidak dalam kondisi tergenang. Kombinasi kedua sistem ini dikenal sebagai gogo rancah, yaitu padi ditanam disaat 76

awal musim hujan pada petakan sawah, kemudian secara perlahan digenangi dengan air hujan seiring dengan makin bertambahnya curah hujan

(Purwono dan Purnawati 2007).

Di Indonesia, sawah diusahakan pada jenis-jenis tanah : Entisol,

Inceptisol, Vertisol, Alfisol, Ultisol, dan Histosol, yang menyebar luas di Jawa,

Bali, Lombok, Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi (terutama Sulawesi

Selatan). Sifat-sifat tanah tersebut apabila disawahkan sangat dipengaruhi oleh sumber bahan asalnya. Keragaman kondisi fisik lahan dan sosial masyarakat sangat mempengaruhi pola budidaya padi dan aplikasi teknologi yang diterapkan. Sehingga tipe penggunaan lahan untuk padi di Indonesia sangat beragam.

Pengembangan varietas padi bermutu tinggi terus dilakukan, saat ini lebih dari 200 varietas telah dikembangkan melalui pemuliaan konvensional yang dilakukan sejak tahun 1930-an. Tapi yang paling banyak dihasilkan antara tahun 1990-an sampai 2000-an. Termasuk di dalamnya 8 varietas hibrida yang dapat ditanam pada berbagai kondisi agroekosistem. Hingga saat ini Departemen Pertanian telah melepas 233 varietas unggul padi yang terdiri atas 144 varietas unggul padi sawah inbrida, 35 varietas unggul padi hibrida, 30 varietas unggul padi gogo, dan 24 varietas unggul padi pasang surut dan sebagian besar dari varietas unggul tersebut dihasilkan oleh Badan

Litbang Pertanian (Deptan, 2009). Namun, adopsi dan penyebarluasan 77

varietas tersebut di tingkat petani butuh waktu 2-3 tahun, bergantung pada kesiapan dan kesigapan aparat birokrasi di tingkat pusat dan daerah.

Sementara hasil penelusuran Norsali, E (2011) menemukan varietas padi gogo lokal yang berasal dari Kalimantan yang masih diminati oleh petani karena daya adaptifnya yang baik antara lain : varietas Buyung,

Cantik, Katumping, Sabai dan Sasak Jalan. Demikian pula di Sumatera varietas lokal seperti Arias, Simaritik, Napa, Jangkong, Klemas, Gando,

Seratus Malam, dll. Varietas-varietas lokal umumnya selain berumur panjang, potensi hasilnya rendah sekitar 2 ton GKG/ha. Namun kelebihannya varietas lokal mempunyai rasa enak yang sesuai dengan etnis daerah setempat. Selain itu varietas lokal toleran terhadap keadaan lahan yang marjinal, tahan terhadap beberapa jenis hama dan penyakit, memerlukan masukan (pupuk dan pestisida) yang rendah, serta pemeliharaan mudah dan sederhana.

Varietas unggul padi gogo telah dilepas sejak tahun 1960-1994.

Varietas Danau Atas, Danau Tempe dan Laut Tawar merupakan varietas yang cocok dibudidayakan pada lahan podsolik merah kuning. Varietas

Gajah Mungkur dan Kalimutu yang dilepas tahun 1994 cocok dikembangkan pada lahan-lahan kering yang tersebar di kawasan Nusa Tenggara. Karena pemeliharaan yang kurang intensif, hasil padi gogo hanya 1-3 ton/ha, 78

sedangkan dengan kultur teknis yang baik hasil padi sawah mencapai 6-7 ton/ha (Norsalis, E, 2011).

Padi bagi masyarakat petani bukan hanya sebagai komoditas ekonomis semata, tetapi lebih dari itu karena tanaman padi juga merupakan komoditas sosial. Oleh karena itu sistem budidaya padi yang dikembangkan bukan semata-mata menyangkut aspek produksi saja tetapi juga menyangkut eksistensinya sebagai komoditas sosial budaya.

G. Studi Relevan yang Sudah Dilakukan

Penelitian pengetahuan lokal bukanlah hal baru, para antropolog telah mempelajari dan mendokumentasikannya dengan mengunakan metode- metode pengamatan terlibat, wawancara dengan informan-informan kunci, wawancara-wawancara informal, menyusun taksonomi dan lain-lain (Mathias dalam Schneider, 1995).

Hasil studi yang dilakukan Karami dan Moradi menunjukkan bahwa dengan mempertimbangkan pengetahuan asli berarti menerima dan menjelaskan prinsip variasi dimana semua orang berbagi dan berpartisipasi pada variasi kekayaan budaya yang merupakan warisan bersama.

Pembangunan berkelanjutan tidak akan mampu untuk menjadi sukses tanpa mengidentifikasi peran dan posisi pengetahuan asli masyarakat, dan melindungi pengetahuan dan hak masyarakat lokal, karena pengetahuan asli 79

paling konsisten dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (Karami dan

Moradi, 2003).

Penelitian yang lain menunjukkan bahwa dengan mengakses pengetahuan asli akan menegakkan landasan utama pembangunan berkelanjutan. Selain merupakan produksi dari proses pembelajaran empiris juga merupakan koreksi terhadap kesalahan masyarakat beberapa ribu tahun dalam hubungannya dengan lingkungannya. Hal ini jelas bahwa pengetahuan merupakan interaksi manusia dengan alam dan menampilkan fitur iklim dan spesifikasi sifat vegetarian dan hewani satu wilayah dan yang lebih penting adalah interaksinya dengan manusia (Kolawople, 2001).

Temuan penelitian yang dilakukan oleh Emadi dan Amiri (2004) dengan judul

"kompilasi pengetahuan asli dan pengetahuan modern untuk mencapai pertanian pembangunan berkelanjutan " menunjukkan bahwa prasyarat untuk berkolaborasi adalah disebut kombinasi dan kompilasi.

Identifikasi terhadap sistem pengetahuan dan teknologi lokal dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai kearifan budaya dalam mendayagunakan sumberdaya alam, ekonomi dan sosial secara bijaksana dengan tetap mengacu pada pemeliharaan keseimbangan lingkungan. Di awal perkembangannya penelitian pengetahuan lokal lebih banyak ditekankan pada pengetahuan teknis lokal suatu lingkungan tertentu. Akhir- akhir ini konsep pengetahuan lokal telah berkembang lebih luas dari 80

intepretasi yang sempit tersebut. Pengetahuan lokal dalam sudut pandang yang lebih luas dianggap sebagai kebudayaan, melibatkan hampir semua aspek termasuk sosial, politik, ekonomi dan spiritual dalam tata-cara kehidupan lokal. Penelitian tentang pengetahuan lokal sudah cukup banyak dilakukan. Para peneliti pembangunan berkelanjutan telah melakukan evaluasi dan menemukan beberapa kategori kajian pengetahuan lokal.

Namun di sisi lain, pengetahuan asli sering dianggap primitif, tidak ilmiah dan merupakan komoditas budaya, objektivitas dan kredibilitasnya kurang, sedangkan pengetahuan ilmiah dianggap kontemporer, obyektif dan benar secara universal karenanya lebih kredibel (Kaplan & Kaplan 1982).

Beberapa tulisan juga menyatakan bahwa pengetahuan asli itu tertutup, tidak sistematis, holistik daripada analitis, dan hasil atas dasar pengalaman baru, bukan berdasarkan logika deduktif, dicatat dan ditularkan melalui tradisi lisan

(Levi-Strauss 1962; Howes & Chamber 1980; Feyerabend 1987; Berkes et al

2000). Sedangkan menurut Johnson (1992, 7) bahwa pengetahuan asli holistik karena seluruh elemen alam dipandang sebagai saling berhubungan dan tidak bisa dimengerti secara terpisah, sedangkan pengetahuan modern reduksionis - sengaja memecah data menjadi elemen-elemen yang lebih kecil untuk memahami keseluruhan dan fenomena kompleks.

Hasil penelitian Suhartini dan Dwi Cahyono, (2009) menunjukkan bahwa, petani-dengan bantuan beberapa agen perubahan pertanian (seperti 81

penyuluh dan anggota organisasi non pemerintah) telah mengintegrasikan pengetahuan asli dengan pengetahuan ilmiah dalam komposisi bahan organik untuk kesuburan tanaman, teknologi yang dihasilkan dari integrasi ini yaitu EM-4, semacam agen biologis untuk memfermentasi bahan organik yang ramah lingkungan. Teknologi ini telah dirasakan sangat efektif oleh mayoritas petani, karena efisien waktu memiliki efek yang kuat untuk pertumbuhan tanaman.

Menurut Emery (1996), bidang-bidang yang banyak dikaji meliputi:

1. Pengetahuan pengelolaan sumber daya, peralatan, teknik, praktek dan

aturan yang terkait dengan bidang penggembalaan ternak, pertanian,

agroforestri, pengelolaan air dan meramu makanan dari organisme liar;

2. Sistem klasifikasi untuk tanaman, binatang, tanah, air dan cuaca;

3. Pengetahuan empiris tentang flora, fauna dan sumber daya bukan

biologis dan penggunaannya; dan

4. Cara pandang masyarakat lokal tentang alam semesta dan persepsinya

tentang hubungan antara proses alami dengan dengan alam semesta.

Meskipun penelitian tersebut mungkin mengarah pada kategori ataupun tipe pengetahuan lokal tertentu, pengetahuan lokal yang diteliti harus dipandang dalam konteks budaya yang lebih luas. Pengetahuan lokal sudah melebur di dalam suatu sistem yang dinamis dimana aspek sptiritual, kekerabatan, politik lokal dan faktor lain terikat bersama dan saling 82

mempengaruhi. Peneliti sepatutnya juga memperhatikan aspek lain yang berperanan penting dalam menajamkan pertanyaan penelitian yang terkait dengan pengetahuan lokal. Sebagai misal, agama merupakan suatu bagian integral pengetahuan lokal dan tidak perlu dipisahkan dari pengetahuan teknis. Kepercayaan spiritual tentang alam mungkin mempengaruhi bagaimana mereka mengelola sumber daya alam dan bagaimana masyarakat yang peduli tersebut mengadopsi strategi baru pengelolaan sumber daya (IIRR, 1996).

Beberapa kajian dan penelitian tentang pengetahuan lokal (Grenier,

1998; dan Matowanyika, 1994) adalah :

1. Pemberdayaan kelembagaaan dan organisasi lokal – kelembagaan;

pengelolaan sumber daya; praktek pengelolaan milik bersama (umum);

proses pengambilan keputusan; konflik praktek pengelolaan; hukum,

tabu dan ritual tradisional; dan kontrol masyarakat pada pemanenan.

2. Jaringan sosial – ikatan kekerabatan dan pengaruhnya terhadap

hubungan kekuasaan, strategi ekonomi dan alokasi sumber daya.

3. Klasifikasi dan kuantifikasi lokal – batasan dan sistem klasifikasi

tanaman, binatang, tanah, air dan cuaca yang dikembangan oleh

masyarakat; metode perhitungan lokal. 83

4. Sistem pembelajaran – metode lokal penerapan pengetahuan;

pendekatan lokal untuk uji coba dan inovasi; dan spesialisasi

pengetahuan lokal.

5. Sistem pengembalaan – perpindahan gembalaan; produksi dan

pemulian ternak; jenis tanaman pakan tradisional dan penggunaannya;

penyakit dan obat tradisional ternak.

6. Pertanian – sistem usahatani dan produksi tanaman; indikator lokal

untuk menentukan waktu yang tepat untuk persiapan, penanaman dan

panen; praktek pengolahan tanah; cara perbanyakan tanaman;

pengolahan dan penyimpanan benih; praktek penanaman, pemanenan

dan penyimpanan; pengolahan dan pemasaran makanan; sistem

pengelolaan organisme penggangu tanaman dan metode perlindungan

tanaman.

7. Agroforestri – pengelolaan pohon; pengetahuan dan penggunaan jenis

tumbuhan dan satwa hutan; dan hubungan antar pohon, tanaman

pangan, hewan gembalaan dan kesuburan tanah.

8. Air – sistem pengelolaan dan pengawetan air secara tradisional; teknik

irigasi tradisional; dan penggunaan jenis tanaman tertentu untuk

konservasi air.

9. Tanah – praktek konservasi tanah; pemanfaatan jenis tanaman tertentu

untuk konservasi tanah; praktek perbaikan kesuburan tanah. 84

10. Tanaman – sebagai sumber makanan, bahan bangunan, peralatan

rumah tangga, kayu bakar dan arang, serta obat.

11. Kehidupan liar – tingkah laku, habitat dan penggunaan satwa liar.

12. Cara pandang terhadap alam semesta – manusia dan makhluk lainnya

hanyalah merupakan bagian dari alam semesta sehingga harus tunduk

pada hukum alam, hubungan antara manusia dan alam direfleksikan

dalam mitos dan kepercayaan.

H. Kerangka Konseptual

Padi awalnya dibudidayakan di daerah pelembahan Asia daratan

(Thailand, Burma, Laos, India, dan lain-lain). Kemudian menyebar ke daerah tropika maupun subtropika, termasuk Indonesia. Padi selain ditanam di sawah ada juga yang ditanam di tegalan, tanah hutan yang baru dibuka, lahan pasang surut dan rawa, sehingga terdapat istilah padi ladang, padi gogo, padi gogo rancah dan padi lebak (Siregar, 1981), padi ladang ditanam secara tidak menetap pada lahan bekas hutan atau semak belukar.

Pengembangan teknik baru atau penyempurnaan praktek pengetahuan lokal untuk menghasilkan produktivitas tanpa merusak praktek dan nilai lokal yang kondusif karena pengetahuan atau kearifan lokal merupakan salah satu komponen penting dalam proses pembangunan. Oleh karena itu pengetahuan modern perlu disandingkan dengan kearifan lokal karena kemampuan pengetahuan lokal yang dimiliki masyarakat dalam 85

memanfaatkan sumber daya pedesaan tidak cukup kuat menghadapi berbagai intervensi pihak luar (Rositah, 2005).

Proses pembentukan pengetahuan baik pengetahuan lokal maupun pengetahuan modern menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) meliputi knowledge acquisition (perolehan pengetahuan), knowledge sharing

(penyebaran pengetahuan), knowledge utilization (pemanfaatan pengetahuan), dimana ketiganya berhubungan membentuk siklus dalam proses pembentukan pengetahuan dan pembelajaran. Sejalan dengan

Foucault (1972) yang menyatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan untuk menguasai yang lain. Menurutnya masyarakat menjadi subjek-subjek yang diciptakan oleh sistem dan jaringan kekuasaan yang biasanya tidak disadari sama sekali oleh sang subjek.

Menurut Foucault, kekuasaan menciptakan pengetahuan, pengetahuan dan kekuasaan saling mempengaruhi secara langsung satu sama lain. Menurutnya setiap era sejarah memiliki pandangan, deskripsi, klasifikasi, dan pemahaman tentang dunia khas. Cara pikir ditentukan bukan oleh orang-orang, tetapi ditentukan oleh struktur diskursif yang dominan pada masa itu. Struktur diskursif bisa berupa teks tertulis, bahasa verbal oral dan non verbal, praktik-praktik institusi, dan lain-lain (Faucault, 1972).

Untuk memberi konteks dari berbagai kepentingan dalam dinamika pembangunan pertanian, perlu digambarkan keterkaitan pengetahuan lokal 86

berbasis pengalaman dan pengetahuan modern berbasis ilmiah di bidang pertanian dengan berbagai konteks. Bentuk-bentuk kontestasi antara pengetahuan asli yang berbasis pengalaman dan pengetahuan modern yang berbasis ilmiah ini mencakup pengetahuan dalam hal: a) sistem pengelolaan lahan (sawah); b) sistem budidaya padi (sawah); dan c) sistem peralatan pertanian (sawah). Kemudian dikontestasikan untuk menghasilkan fitur pengetahuan baru yang terhibridisasi.

Pengetahuan diperoleh dari konstruksi kognitif terhadap obyek, pengalaman, maupun lingkungan yang pembentukannya secara terus menerus dan setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru hasil interaksi sosial yang membentuk pola pikir dan tindakan. Sejalan dengan Michel Foucault dalam The Archaeology of Knowledge (1972), mengatakan bahwa wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu, dan gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut membentuk narasi yang dapat dikenali. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged) (Beilhartz

2005:132). Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa melalui 87

interaksi juga terjadi pembelajaran dalam struktur sosial agar informasi yang terkandung dalam pengetahuan tersebut menjadi produktif.

Hal tersebut berlangsung terus menerus hingga membentuk struktur sosial berupa aturan dan norma-norma, akan tetapi semuanya itu tidak selamanya bertahan, sehingga butuh diperbaharui dan ditransformasikan sejalan dengan pengetahuan yang terus berkembang. Mentransformasikan pengetahuan membutuhkan interaksi antara individu, sehingga diperlukan intensitas, komitmen dan keterlibatan orang-orang dengan menggunakan interaksi sosial antara satu dengan yang lain sehingga terbentuk jaringan sosial. Dalam jaringan sosial akan tergambar peran dan tanggung jawab terhadap perolehan, penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan dalam dialog yang berlangsung secara konstan melahirkan pemikiran yang efektif.

Dalam memelihara pengetahuan yang bermanfaat sebagai suatu stock maka pengetahuan perlu ditransfer, disimpan dalam format yang baik dan harus dieksternalisasikan dengan memilikinya dan diinternalisasikan dengan kekurangannya, sehingga orang lain dapat menggunakannya serta harus di tinjau kembali relevansinya.

Penyebaran pengetahuan yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh aktor yang melakukan tanggung jawab penyebarannya dan bagaimana menemukan orang dengan pengetahuan yang dibutuhkan dan lalu secara efektif mentransfernya ke orang lain dalam proses transformasi untuk 88

mengimplementasikan tindakan. Namun karena sifat pengetahuan yang tidak secara konkrit berwujud memang membuatnya sangat susah untuk ditransformasi dan diestimasi dalam konteks finansial.

Pemanfaatan pengetahuan mengandung aktivitas dan dinamika dalam penerapannya oleh pengguna. Dinamika penerapan pengetahuan merupakan konsekuensi logis dari kompleksitas, keragaman dan gejolak lingkungan, sehingga perlu pengembangan strategi, penyempurnaan proses, dan penerapan teknologi melalui penetapan tujuan-tujuan dengan kebijakan.

Dengan demikian, akan mendorong inovasi dan kolaborasi pengetahuan dalam bidang pertanian.

Kontestasi dalam perolehan, penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan dalam suatu sistem melalui kegiatan saling bekerja sama dan memberikan kontribusi kemampuan dan keunggulan pengetahuan lokal dan pengetahuan modern dalam bidang pertanian akan digambarkan pada skema berikut ini : 89

PENGETAHUAN BUDIDAYA PADI SAWAH

BERBASIS BERBASIS PENGALAMAN ILMIAH

PEROLEHAN PENYEBARAN PEMANFAATAN

KONTESTASI

ZERO SUM HIBRIDISASI KO- GAME EKSISTENSI

FITUR PENGETAHUAN BARU

Gambar 2. Kerangka Konseptual 90

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Desain penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi yang menyelidiki suatu fenomena sosial. Pendekatan kualitatif (Domu, 2009) menggunakan paradigma konstruktivisme dimana realitas dikontruksi dalam suatu konteks dan kehidupan sosial, bersifat eksploratif, teori lahir dan berkembang di lapangan, lebih menekankan pada makna dan nilai serta mengandalkan kecermatan dalam pengumpulan data untuk mengungkap keadaan yang sesungguhnya di lapangan secara tepat.

Paradigma konstruktivisme merupakan upaya untuk memahami realitas pengalaman manusia, dan realitas itu sendiri dibentuk oleh kehidupan sosial. Penelitian ini cenderung tergantung pada pandangan partisipan tentang situasi yang diteliti. Penelitian konstruktivisme pada umumnya mengembangkan sebuah teori atau sebuah pola makna secara induktif selama proses berlangsung. Secara ontologis penelitian ini menyatakan realitas itu ada dalam beragam bentuk konstruksi mental yang didasarkan kepada pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik serta tergantung kepada pihak yang melakukannya. Atas dasar pandangan filosofis ini, hubungan epistemologis antara pengamat dan obyek merupakan satu 91

kesatuan subyektif dan merupakan perpaduan interaksi diantara keduanya

(Agus Salim, 2006).

Penelitian kualitatif dapat bertitik tolak dari suatu teori yang telah diakui kebenarannya dan dapat disusun pada waktu penelitian berlangsung berdasarkan data yang dikumpulkan. Pada tipe pertama, dikemukakan teori- teori yang sesuai dengan masalah penelitian, kemudian di lapangan dilakukan verifikasi terhadap teori yang ada, mana yang sesuai dan mana yang perlu diperbaiki atau bahkan ditolak.

Strategi yang ditempuh dalam penelitian ini adalah studi kasus yang mengeksplorasi suatu masalah dengan batasan terperinci, melalui pengambilan data yang mendalam dan menyertakan berbagai sumber informasi. Penelitian ini dibatasi oleh waktu dan tempat, dan kasus yang dipelajari berupa individu, satu kelompok, satu organisasi, satu program kegiatan, peristiwa, aktivitas, dan sebagainya. Tujuannya untuk memperoleh diskripsi yang utuh dan mendalam dari sebuah entitas.

Studi kasus menghasilkan data untuk selanjutnya dianalisis untuk menghasilkan teori. Sebagaimana prosedur perolehan data penelitian kualitatif, data studi kasus diperoleh dari wawancara, observasi, dan arsip.

Setiap analisis kasus mengandung data baerdasarkan wawancara, data berdasarkan pengamatan data dokumenter, kesan dan pernyataan orang lain berdasarkan kasus tersebut. 92

Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi, karena penelitian kualitatif berangkat dari kasus tertentu yang ada pada situasi sosial tertentu dan hasil kajiannya tidak akan diberlakukan ke populasi, tetapi ditransferkan ke tempat lain pada situasi sosial yang memiliki kesamaan dengan situasi sosial pada kasus yang dipelajari (Sugiyono:2009). Sampel dalam penelitian kualitatif bukan dinamakan responden, tetapi sebagai nara sumber, atau partisipan, informan, dalam penelitian.

B. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, mulai bulan

Desember 2012 sampai dengan Juni 2013, yang meliputi studi literatur, pengumpulan data, pengolahan data, dan penyusunan hasil penelitian.

Lokasi penelitian adalah Kabupaten Wajo yang memiliki pertanaman padi pada agroekosistem sawah secara keseluruhan seluas 86. 107 ha yang beririgasi teknis hanya 12.097 ha, antara lain berada di Kecamatan

Maniangpajo dan dan untuk lokasi penelitian akan dilakukan di Desa

Dualimpoe dan Desa Kalola yang sebagian besar merupakan agroekosistem sawah irigasi teknis dari irigasi Kalola.

C. Sumber Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini berasal dari hasil wawancara dengan sejumlah informan sejumlah orang yang dipilih berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki, baik secara individual maupun 93

kelompok terhadap sejumlah petani yang mempunyai pengalaman langsung.

Perbedaan tersebut berimplikasi pada pola pengelolaan lahan, sehingga dapat menunjukkan perbedaan secara relatif pengetahuan dan pengalaman mereka. Kategori kelompok dijadikan sebagai dasar penentuan narasumber karena dapat memperkaya deskripsi pengetahuan dan inovasi yang telah diadopsi. Proses ini berlangsung dengan memperhatikan prinsip triangulasi bahwa pengumpulan data tidak hanya mengandalkan satu sumber informasi, tetapi kebenaran informasinya didasarkan pada beberapa informan, sehingga data yang terkumpul mencapai tingkat kecukupan (kejenuhan).

D. Jenis Data

Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder, yang terdiri atas:

1. Data Primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara mendalam (in-

depth interview) wawancara secara mendalam dengan informan tentang

pemahaman mereka terhadap komponen budidaya padi sawah serta

interaksi yang terjadi di dalamnya dengan menggunakan alat bantu daftar

pertanyaan dan pengamatan langsung. Data tentang kontestasi

menyangkut perolehan pengetahuan, penyebaran pengetahuan dan

pemanfaatan pengetahuan. Data tentang proses perolehan

pengetahuan menyangkut bagaimana interaksi sosial, struktur sosial,

transformasi sosial, jaringan sosial dan pemeliharaan pengetahuan yang 94

ada. Data tentang penyebaran pengetahuan menyangkut siapa aktor

yang menyebarkan pengetahuan dan bagaimana proses penyebaran

yang dilakukan. Data tentang pemanfaatan pengetahuan menyangkut

tentang siapa aktor yang memanfaatkan pengetahuan tersebut,

bagaimana dinamika dalam pemanfaatannya dan bagaimana dukungan

kebijakan untuk melihat peluang kolaborasi pengetahuan dalam bidang

pertanian.

2. Data Sekunder, adalah data pendukung dalam penelitian yang diperoleh

lewat studi dokumentasi berupa cerita-cerita, legenda-legenda, nyanyian-

nyanyian, ritual-ritual, dan juga aturan atau hukum setempat atau hal lain

yang relevan dengan pengetahuan berbasis pengalaman dan

pengetahuan berbasis ilmiah bidang pertanian.

E. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan beberapa cara, yaitu:

1. Wawancara merupakan alat re-cheking atau pembuktian terhadap

informasi atau keterangan yang diperoleh sebelumnya. Tehnik wawancara

yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam (in–

depth interview) adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan

penelitian, untuk memperoleh makna yang rasional, melalui dialog

langsung dengan sumber data, dan dilakukan secara tak berstruktur, 95

dimana informan mendapatkan kebebasan dan kesempatan untuk

mengeluarkan pikiran, pandangan, dan perasaan secara natural. Dalam

proses wawancara ini didokumentasikan dalam bentuk catatan tertulis, hal

ini dilakukan untuk meningkatkan kebernilaian data yang diperoleh..

2. Observasi adalah teknik pengumpulan data dengan melakukan

pengamatan langsung terhadap subjek (partner penelitian) dimana sehari-

hari mereka berada dan biasa melakukan aktivitasnya. Informasi diperoleh

dari hasil observasi/pengamatan terhadap ruang (tempat), pelaku,

kegiatan, objek, perbuatan, kejadian atau peristiwa, waktu, dan perasaan.

Bentuk observasi yang dilakukan adalah observasi partisipasi (participant

observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk

menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana

observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden

Bungin (2007).

3. Studi dokumentasi adalah sejumlah besar fakta dan data yang tersimpan

dalam bahan yang berbentuk dokumentasi. Sebagian besar data yang

tersedia adalah berbentuk surat-surat, catatan harian, laporan, foto, dan

sebagainya. Sifat utama data ini tak terbatas pada ruang dan waktu

sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk mengetahui hal-hal yang

pernah terjadi di waktu silam. 96

Adapun matriks sumber data dan pengumpulan data dalam penelitian ini disajikan dalam tabel berikut.

Tabel 2. Matriks Sumber data dan Teknik Pengambilan Data

No Tujuan Aspek yang Sumber Teknik Diteliti Data Pengambilan Data 1 Mendeskripsikan Taksonomi  Tokoh  Wawancara secara analitis Pengetahuan masyarakat mendalam taksonomi berbasis seperti kepala  Penelusuran sistem pengalaman desa, Dokumen pengetahuan pa’pananrang  Dokumentasi berbasis Identifikasi dan petani yang  Wawancara pengalaman dan pengetahuan mengetahui mendalam aplikasinya pada berbasis tentang sejarah  Penelusuran proses produksi pengalaman pengembangan Dokumen padi sawah pengetahuan berbasis pengalaman dan sejarah lokal sistem usahatani padi Aplikasi  Rumah tangga  Wawancara Pengetahuan petani mendalam berbasis  Kelompoktani  Dokumentasi pengalaman 2. Mendeskripsikan Taksonomi  Dokumen dan  Wawancara secara analitis Pengetahuan hasil penelitian mendalam taksonomi berbasis ilmiah sebelumnya pada  Penelusuran sistem Balai Penelitian Dokumen pengetahuan Teknologi  Dokumentasi berbasis ilmiah Pertanian dan aplikasinya (BPTP), Dinas pada proses terkait 97

produksi Identifikasi  Tokoh  Wawancara usahatani padi pengetahuan masyarakat mendalam berbasis seperti kepala  Penelusuran pengalaman desa, Dokumen pa’pananrang dan petani yang mengetahui tentang sejarah pengembangan pengetahuan berbasis pengalaman dan sejarah lokal sistem usahatani padi Aplikasi  Rumah tangga  Wawancara Pengetahuan petani mendalam berbasis  Kelompoktani  Dokumentasi pengalaman 3 Menjelaskan Perolehan  Informan (ketua  Wawancara proses pengetahuan kelompoktani dan Mendalam perolehan, berbasis anggotanya)  Dokumentasi penyebaran dan pengalaman  Penyuluh, aparat pemanfaatan dan berbasis dinas petanian dalam kontestasi ilmiah propinsi Sulsel kedua dan Kabupaten pengetahuan Wajo tersebut pada Penyebaran  Rumah Tangga  Wawancara budidaya padi di pengetahuan Petani Mendalam Kabupaten Wajo berbasis  Ketua  Dokumentasi pengalaman kelompoktani dan  Rekaman dan berbasis anggotanya Arsip ilmiah  Penyuluh, aparat dinas petanian propinsi Sulsel dan Kabupaten Pemanfaatan  Rumah Tangga  Wawancara pengetahuan Petani Mendalam berbasis  Kelompoktani  Dokumentasi pengalaman  Penyuluh, aparat  Rekaman dan berbasis dinas petanian Arsip ilmiah propinsi Sulsel dan Kabupaten Wajo 98

3 Menganalisis Wacana-  Rumah Tangga  Wawancara bentuk wacana pada Petani Mendalam kolaborasi kedua entitas  Kelompoktani  Dokumentasi dalam pengetahuan  Penyuluh, aparat  Rekaman menghasilkan Dinas Petanian Arsip fitur Propinsi Sulsel pengetahuan dan Kabupaten baru dalam Wajo budidaya padi di Kabupaten Wajo

F. Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini didasarkan pada pendekatan yang digunakan. Analisis data dilakukan dengan deskriptif kualitatif yang berusaha menggambarkan suatu gejala sosial, dan menggambarkan sifat sesuatu. Pengetahuan berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah didokumentasikan dalam bentuk data dasar, kemudian disajikan dalam bentuk model pengetahuan yang mudah dipahami. Hal ini dilakukan dengan alasan: (1) untuk mengembangkan potensi pengetahuan yang ada; (2) untuk menghindari tergerusnya pengetahuan lokal oleh laju perkembangan pengetahuan yang sangat dinamis. Data dari hasil dari wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan temuan lainnya dianalisis secara kualitatif dimulai dari kompilasi pengetahuan berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah yang dilakukan :

1. Menginventarisasi informasi pengetahuan berbasis pengalaman dan

berbasis ilmiah petani dalam budidaya padi sawah 99

2. Mendokumentasikannya dalam bentuk pernyataan-pernyataan (unitary

statement)

3. Merangkaikan pernyataan tersebut ke dalam suatu hubungan sehingga

menunjukkan model pengetahuan pengetahuan berbasis pengalaman

dan berbasis ilmiah dalam budidaya padi sawah

4. Membuat wacana-wacana dalam perolehan pengetahuan, penyebaran

pengetahuan, dan pemanfaatan pengetahuan berbasis pengalaman

dan berbasis ilmiah dalam budidaya padi sawah

5. Mensistimasi wacana dalam perolehan pengetahuan, penyebaran

pengetahuan, dan pemanfaatan pengetahuan baik pengetahuan

berbasis pengalaman maupun pengetahuan ilmiah budidaya padi

sawah

6. Mencari hubungan antara beberapa kategori dalam perolehan

pengetahuan, penyebaran pengetahuan, dan pemanfaatan

pengetahuan berbasis pengalaman maupun pengetahuan ilmiah

budidaya padi sawah

7. Menginterpretasi wacana dari setiap pelaku yang terlibat dalam

perolehan pengetahuan, penyebaran pengetahuan, dan pemanfaatan

pengetahuan berbasis pengalaman maupun pengetahuan ilmiah

budidaya padi sawah 100

8. Mengkontestasi wacana dalam perolehan pengetahuan, penyebaran

pengetahuan, dan pemanfaatan pengetahuan berbasis pengalaman

maupun pengetahuan ilmiah budidaya padi sawah

9. Menghasilkan suatu fitur pengetahuan baru dalam budidaya padi sawah

G. Pemahaman Konsep

1. Padi Sawah : adalah padi yang ditanam di lahan pertanian yang

berpetak-petak dan dibatasi oleh pematang (galengan), saluran untuk

menahan/menyalurkan air dan menyediakan kebutuhan air yang cukup

untuk pertumbuhannya.

2. Pengetahuan : adalah kapasitas untuk bertindak yang diciptakan

secara berkelanjutan melalui proses mendapatkan pengetahuan

(Sveiby, 1997). Davenport dan Prusak (1998) mendefinisikan

pengetahuan yaitu campuran dari pengalaman, nilai, informal

kontekstual, dan pandangan pakar yang memberikan kerangka untuk

mengevaluasi dan menyatukan pengalaman dan informasi baru.

3. Pengetahuan berbasis pengalaman : adalah sekumpulan

pengetahuan yang diciptakan oleh sekelompok masyarakat dari

generasi ke generasi yang hidup menyatu dan selaras dengan alam.

Pengetahuan ini berkembang dalam lingkup lokal, menyesuaikan 101

dengan kondisi dan kebutuhan masyarakat dan merupakan hasil

kreativitas dan uji coba secara terus-menerus dengan melibatkan

inovasi internal dan pengaruh eksternal dalam usaha untuk

menyesuaikan dengan kondisi baru. (Johnson, 1992),

4. Pengetahuan ilmiah : adalah pengetahuan yang berlandaskan metode

ilmiah melalui penelitian dan harus dilakukan secara sistematik dan

objektif (Suparlan, 1994).

5. Kontestasi : proses kompetisi/perlombaan kekuatan dan keunggulan

dari pengetahuan berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah dalam

perolehan, penyebaran dan pemanfaatan pengetahuan dalam bidang

pertanian, untuk mendapatkan identitasnya sebagai suatu pengetahuan

yang berbeda.

6. Perolehan/Penciptaan Pengetahuan : adalah upaya mengembangan

pengetahuan atau cara baru ke dalam sistem, termasuk juga

pengembangan pengetahuan dan penemuan pengetahuan untuk

dikembangkan dan dikaji agar dapat dimanfaatkan secara optimal bagi

kepentingan sistem (Dalkir, 2005).

7. Interaksi Sosial : adalah Interaksi sosial adalah hubungan antar

manusia yang menghasilkan suatu proses pengaruh mempengaruhi

yang menghasilkan hubungan tetap dan pada akhirnya memungkinkan

pembentukan struktur sosial Murdiyatmoko dan Handayani (2004). 102

8. Struktur Sosial : adalah pola perilaku berulang-ulang yang

menciptakan hubungan antar individu dan antar kelompok dalam

masyarakat (Kornblum,1988).

9. Transformasi Sosial : menunjuk pada modifikasi-modifikasi yang

terjadi dalam pola-pola kehidupan manusia. Modifikasi-modifikasi

tersebut terjadi karena sebab-sebab intern atau sebab-sebab ekstern.

(Koenig dalam Soemarsono, 2012).

10. Jaringan Sosial : jaringan sosial adalah suatu rangkaian hubungan

yang teratur atau hubungan sosial yang sama antara individu-individu

atau kelompok-kelompok (Granovetter dan Swedberg, 1992:9).

11. Cadangan Pengetahuan : akumulasi dari pengalaman yang

membentuk pengetahuan dalam setiap individu dan secara sosial

dikonstruksikan dan diperlakukan dalam kehidupan sehari-hari (Berger

and Luckman, 1990)

12. Penyebaran Pengetahuan : pemindahan pengetahuan dari satu pihak

ke pihak lain melalui media dalam kegiatan formal dan nonformal.

Termasuk juga dengan komunikasi, penerjemahan, konversi,

penyaringan dan pengubahan (Dalkir, 2005).

13. Aktor : orang yang berperan dalam suatu kejadian/peristiwa

14. Proses Penyebaran : proses menyebarnya unsur-unsur kebudayaan

ke seluruh kalangan masyarakat luas yang dilakukan oleh seorang 103

individu atau kelompok sejalan dengan kehidupan dan dimana mereka

tinggal

15. Pemanfaatan Pengetahuan : aktivitas menggunakan pengetahuan

yang diperoleh sebagai sumber belajar

16. Dinamika : adalah hasil interaksi yang mendorong terbentuknya suatu

gerak keseluruhan antara komponen masyarakat yang akhirnya

menimbulkan perubahan-perubahan dalam masyarakat dari waktu ke

waktu

17. Kebijakan : rangkaian konsep yang menjadi dasar dalam pelaksanaan

pekerjaan dan cara bertindak untuk mencapai sasaran

18. Fitur Pengetahuan Baru : merupakan hasil hibridisasi antara

pengetahuan berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah 104

BAB IV

KEADAAN UMUM SETTING PENELITIAN

Kabupaten Wajo merupakan salah satu kabupaten di propinsi

Sulawesi Selatan. Ibukotanya Sengkang, sekitar 242 km dari kota Makassar

(Ibukota Propinsi Sulawesi Selatan), dapat ditempuh sekitar 4 jam dengan menggunakan mobil. Dari kota Parepare, pusat kawasan pengembangan ekonomi terpadu di propinsi Sulawesi Selatan, sekitar 87 km.

Wajo yang luas wilayahnya 250.619 hektar, terbagi atas 14 kecamatan, 48 kelurahan dan 128 desa, memiliki potensi sumber daya alam yang besar. Karakteristik potensi alam Wajo, seperti diungkapkan oleh

Arung Matoa Wajo, La Tadampare Puang Ri Maggalatung (1491-1521) : mangkalungu ri bulu'E, massulappe ripottanangngE ma matodang ritasi'E, ri tapparengngE. Artinya : daerah ini merupakan negeri yang subur dan nyaman. Ibarat seorang tidur, maka ia berbantalkan gunung dan hutan, memeluk lembah, dan kakinya menyentuh danau atau air laut.

Ungkapan cendikiawan Wajo di abad ke-15 itu memang bukan syair khayalan, namun merupakan suatu kenyataan yang hingga kini menjadi potensi andalan Kabupaten Wajo. Hamparan lahan persawahan yang ada di daerah ini sekitar 86.000 hektar. Baru sekitar 20 persen yang terjangkau 105

irigasi teknis. Jika areal persawahan ini rata-rata menghasilkan empat ton padi setiap tahunnya, berarti Kabupaten Wajo menghasilkan 334.00 ton padi setiap tahun.

A. Kondisi Geografis dan Topografi

Kabupaten Wajo dengan ibu kotanya Sengkang, terletak dibagian tengah Provinsi Sulawesi Selatan dengan jarak kurang lebih 250 km dari

Makassar Ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, memanjang pada arah laut

Tenggara dan terakhir merupakan selat, dengan posisi geografis antara 3º

39º - 4º 16º LS dan 119º 53º-120º 27 BT, dengan batas wilayah sebagai berikut :

 Sebelah Utara : Kabupaten Luwu dan Kabupaten Sidrap

 Sebelah Selatan : Kabupaten Bone dan Soppeng,

 Sebelah Timur : Teluk Bone

 Sebelah Barat : Kabupaten Soppeng dan Sidrap

Luas wilayahnya adalah 2.506,19 Km² atau 4,01% dari luas Propinsi

Sulawesi Selatan dengan rincian penggunaan lahan meliputi, lahan sawah

86.297 Ha (34,43%) dan lahan kering 164.322 Ha (65,57%). Pada tahun

2007 Kabupaten Wajo telah terbagi menjadi 14 wilayah Kecamatan, selanjutnya dari keempat-belas wilayah Kecamatan di dalamnya terbentuk wilayah-wilayah yang lebih kecil, yaitu secara keseluruhan terbentuk 48 106

wilayah yang berstatus Kelurahan dan 132 wilayah yang berstatus Desa, yang akan ditunjukkan dalam tabel berikut :

Tabel 3 Luas Daerah Kabupaten Wajo Menurut Kecamatan

No Kecamatan Luas (Km2) % Terhadap Luas Kabupaten 1 Sabbangparu 137,75 5,3 2 Tempe 38,27 1,53 3 Pammana 162,1 66,47 4 Bola 220,13 8,78 5 Takkalalla 179,76 7,17 6 Sajoanging 167,01 6,66 7 Penrang 154,9 6,18 8 Majauleng 225,92 9,01 9 Tanasitolo 154,6 6,17 10 Belawa 172,3 6,88 11 Maniangpajo 175,96 7,02 12 Gilireng 147 5,87 13 Keera 368,36 14,7 14 Pitumpanua 207,13 8,26 Jumlah 2.506,19 100 Sumber : Badan Pusat Statistik, Kab.Wajo, 2013

Secara keseluruhan terbentuk 48 wilayah yang berstatus kelurahan dan 128 wilayah yang berstatus desa. Kecamatan Kera merupakan kecamatan terluas dengan luas wilayah 368.36 km2, sedangkan Kecamatan

Tempe merupakan kecamatan terkecil dengan luas wilayah 38.27 km2, seperti yang ditunjukkan pada tabel 4. Masing-masing wilayah kecamatan tersebut mempunyai potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia 107

yang berbeda meskipun perbedaan itu relatif kecil, sehingga pemanfaatan sumber-sumber yang ada relatif sama untuk menunjang pertumbuhan pembangunan di wilayahnya.

Tabel 4 Pembagian Wilayah Administrasi Kabupaten Wajo

No Kecamatan Kelurahan Desa

1 Sabbangparu 3 12 2 Tempe 16 - 3 Pammana 2 13 4 Bola 1 10 5 Takkalalla 2 11 6 Sajoanging 3 6 7 Penrang 1 9 8 Majauleng 4 14 9 Tanasitolo 4 15 10 Belawa 3 6 11 Maniangpajo 3 5 12 Gilireng 1 8 13 Keera 1 9 14 Pitumpanua 4 10 Jumlah 48 128 Sumber : Badan Pusat Statistik, Kab.Wajo, 2013

Karakteristik dan potensi lahan Kabupaten Wajo diungkapkan sebagai daerah yang terbaring dengan posisi “Mangkalungu ribulu`e,

Massulappe Ripottanangng`e, Mattodang Ritasi`e” yang artinya Kabupaten

Wajo memiliki tiga dimensi utama, yaitu : 108

1. Tanah berbukit yang berjejer dari selatan mulai dari Kecamatan Tempe ke

Utara yang semakin bergunung utamanya di Kecamatan Maniangpajo dan

Kecamatan Pitumpanua yang merupakan wilayah hutan tanaman industry,

perkebunan coklat, cengkeh, jambu mente, serta pengembangan ternak.

2. Tanah daratan rendah yang merupakan hamparan sawah dan

perkebunan/tegalan pada wilayah timur, selatan, tengah, dan barat.

3. Danau Tempe dan sekitarnya serta hamparan laut yang terbentang

sepanjang pesisir pantai Teluk Bone. Disebelah timur merupakan wilayah

potensial yang digunakan untuk pengembangan perikanan budi daya

tambak. Selain itu Kabupaten Wajo juga mempunyai potensi sumber air

yang cukup besar, baik air tanah maupun air permukaan yang terdapat di

sungai-sungai besar (Sungai bila, Walennae, Gilireng, dan Awo) yang ada.

Sungai ini merupakan potensi yang dapat dimanfaatkan untuk pengairan

dan penyediaan air bersih.

Topografi Kabupaten Wajo mempunyai kemiringan lahan cukup bervariasi mulai dari datar, bergelombang hingga berbukit. Sebagian besar wilayahnya tergolong datar dengan kemiringan lahan/lereng 0 – 2 % luasnya mencapai 212,341 Ha atau sekitar 84 %, sedangkan lahan datar hingga bergelombang dengan kemiringan/lereng 3 – 15 % luas 21,116 Ha (8,43%), lahan yang berbukit dengan kemiringan / lereng diatas 16 – 40 % luas 13,752 109

Ha (5,50 %) dan kemiringan lahan diatas 40 % (bergunung) hanya memiliki luas 3,316 Ha (1,32%).

Secara morfologi, Kabupaten Wajo mempunyai ketinggian lahan di atas permukaan laut (dpl) dengan perincian sebagai berikut :

1. 0 – 7 meter, luas 57,263 Ha atau sekitar 22,85 %

2. 8 – 25 meter, luas 94,539 Ha atau sekitar 37,72 %

3. 26 – 100 meter, luas 87,419 Ha atau sekitar 34,90 %

4. 101 – 500 meter, luas 11,231 Ha atau sekitar 4,50 % dan ketinggian di

atas 500 meter luasnya hanya 167 Ha atau sekitar 0,66 %.

Kabupaten Wajo berada pada ketinggian antara 0.s.d. 500 meter dari atas permukaan daerah 3 dimensi yang memiliki sumberdaya alam dengan yang terbagi atas:

1. Tanah berbukit/pegunungan (ketinggian 25 s.d 100 meter dpi seluas 7.378

Ha) berjejer dari selatan yang di mulai dari Kecamatan Tempe ke Utara

memasuki Wilayah kecamatan Maniangpajo, Gilireng, keera, dan

Pitumpanua. Hamparan luas yang merupakan sumber daya hutan

berfungsi sebagai konservasi dan pengamanan tat guna air yang

berkesinambungan.

2. Tanah daratan rendah (0.s.d 25 meter dpi seluas 205.588 Ha) merupakan

hamparan lahan persawahan, perkebunan/tegalan pada wilayah Timur,

tengah dan Barat, 110

3. Danau Tempe yang merupakan danau terluas di Provinsi Sulawesi Selatan

berada di kawasan, Tengah dan Barat, sedangkan sebelah Timur

terbentang pantai pesisir sepanjang 103 km termasuk kawasan Teluk

Bone. Kawasan ini merupakan wilayah untuk pengembangan perikanan

dan budidaya tambak.

Di samping itu kabupaten Wajo di dukung juga dengan potensi dengan sumber air yang cukup besar untuk pengairan air bersih. Baik air tanah maupun pemurkaan yang terdapat di danau dan di sungai-sungai besar seprti sungai Bila, Walennai, Gilireng, Cendranai dan Awo.

Dari luas wilayah Kabupaten Wajo 2.506,19 km2, penggunaan untuk sawah 86.142 hektar (34,37%) dan 164.477 hektar (65,63%) lainnya adalah lahan kering (non-sawah). Data Provinsi Sulawesi Selatan menunjukkan bahwa penggunaan lahan untuk pertanian di Kabupaten Wajo, terbesar kedua setelah Kabupaten Bone. Dari keseluruhan luas lahan sawah, mayoritas sawah diairi secara tadah hujan (65.083 ha), sedangkan sisanya adalah pengairan tekhnis (7.950 ha), dan pengairan setengah teknis (587 ha). Untuk lahan kering, penggunaan terbesar adalah untuk tanah tegal, kebun, ladang dan huma (52.935 ha), sisanya adalah lahan perkebunan

(25.414 ha), penggembalaan /padang rumput 13.414 ha (8,16%), pekarangan beserta tanah untuk bangunan dan halaman sekitarnya 12.036 har (7.32%), tambak 10.203 ha (6.21%), tanah tanaman kayu-kayuan hutan 111

rakyat 9.048 ha (5.51%), hutan negara 8.868 ha(5.40%), tanah yang sementara tidak digunakan 6.068 ha (3.69%), rawa-rawa yang tidak ditanami

3.389 ha (2.06%), kolam/tebat/empang 1.740 har (1.06%), dan 21.207 ha digunakan untuk berbagai kepentingan lainnya.

Menurut peta geologi Indonesia, Kabupaten Wajo terdiri dari 3 (tiga) jenis batuan lidah, yaitu batuan vulkanik, sedimen dan batuan pluton.

Sedangkan menurut peta eksplorasi Sulawesi Selatan, jenis tanah di

Kabupaten Wajo terdiri dari: (1) Alluvial: Jenis tanah ini tersebar di seluruh

Kecamatan, (2) Clay: Jenis tanah ini terdapat pada Kecamatan Pammana dan Takkalalla, (3) Podsolik: Jenis tanah ini terdapat pada Kecamatan

Maniangpajo, Tanasitolo, Tempe, Sajoanging, Majauleng, Belawa dan

Pitumpanua, (4) Mediteran: Jenis tanah ini terdapat pada Kecamatan Tempe,

Tansitolo, Maniangpajo, Pammana dan Belawa, (5) Grumosol: Jenis tanah ini terdapat di Kecamatan Sabbangparu dan Pammana.

Selain potensi daratannya, Kabupaten Wajo juga memiliki potensi sumber daya air yang sangat besar. Pada wilayah Kabupaten Wajo terdapat

7 (tujuh) sungai yang mengaliri berbagai wilayah kecamatan maupun desa.

Sungai-sungai tersebut adalah Sungai Bila, Sungai Walanae, Sungai

Cenranae, Sungai Gilireng, Sungai Siwa, dan Sungai Awo. Selain sungai, di wilayah Kabupaten Wajo terdapat pula beberapa danau, yaitu danau Tempe

(9445 Ha) sebagai danau terbesar di wilayah Wajo, Lapongpakka (1960 Ha), 112

Lampulung (1000 Ha), Buaya (360 Ha), Lapapolo (37 Ha), Penrang riawa (25

Ha), Cenranae (24 Ha), Dori'e (6 Ha). Dari segi penggunaan, potensi sumber daya air yang besar di Kabupaten Wajo dimanfaatkan untuk kebutuhan air bersih, irigasi, serta pembangkit tenaga listrik. Selain beberapa manfaat tersebut, beberapa danau juga biasa dimanfaatkan sebagai penghasil perikanan air tawar maupun tempat tujuan pariwisata, misalnya Danau

Tempe.

Menurut peta zone agroklimatologi, iklim di wilayah Kabupaten Wajo dibagi menjadi 5 (lima), yaitu tipe iklim C1,D1,D2,E2 dan E3. Tipe iklim C1 termasuk tipe iklim agak basah dengan curah hujan rata-rata 250 – 3000 mm/tahun dan memiliki jumlah bulan basah sebanyak 5-6 bulan/tahun. Tipe iklim D termasuk tipe iklim agak basah dengan curah hujan rata-rata 200 –

250 mm/tahun. Tipe D1 dan D2 memiliki 3-4 bulan basah/tahun. Sedangkan tipe iklim E2 dan E3 termasuk tipe iklim kering dengan jumlah basah 0-2 bulan/tahun. 113

Gambar 3. Peta Kabupaten Wajo 114

B. Kondisi Demografi

Sebagai salah satu Kabupaten di Sulawesi Selatan, Kabupaten Wajo terbilang cukup padat penduduknya, sebab Kabupaten Wajo yang terkenal dengan arus perdagangan dan dunia usaha terutama di bidang perdagangan dan industri kerajinan yang berbahan dasar sutera cukup menari perhatian masyarakat luar untuk berdomisili atau berinvestasi di daerah ini.

Jumlah penduduk dalam periode 5 tahun terakhir memperlihatkan adanya kecendrungan mengalami peningkatan dengan laju pertumbuhan penduduk pertahun rata-rata 0,88%. hal itu dapat di lihat pada akhir 2007 tedapat 377.184 jiwa dan menjadi 380,521 jiwa pada akhir tahun 2008, dan pada tahun 2010 menjadi 386.073 orang, dan pada tahun 2011 menjadi

388.173 dengan kepadatan penduduk perkilo meter persegi sekitar 152 jiwa.

Keadaan penduduk Kabupaten Wajo berjumlah. Penduduk yang paling padat terletak di Kecamatan Tempe yang merupakan tempat ibu kota kabupaten dengan jumlah 62.038 jiwa dan daerah yang jumlah penduduknya dengan jumlah yang sedikit dibandingkan daerah lain terdapat di Kecamatan

Gilireng dengan jumlah 11.074 jiwa. Tidak meratanya pertumbuhan penduduk pada setiap kecamatan dan masyarakat lebih terpusat pada ibukota disebabkan antara lain kawasan kota dalam hal ini di Kecamatan

Tempe masih tersedia lahan yang cukup luas untuk menjadi daerah hunian masyarakat, disatu sisi kawasan ini dilengkapi prasarana yang cukup 115

berkembang sehingga mendorong sebahagian penduduk terutama yang berpenghasilan menengah ke bawah utnuk bertempat tinggal di kawasan ini.

Kecepatan perkembangan kehidupan di ibukota mampu membantu perbaikan hidup dibandingkan dengan perkebangan di desa, sehingga banyak masyarakat luar kota dating ke ibukota kabupaten untuk mencoba memperbaiki tingkat pendidikan dan kehidupannya di ibukota kabupaten tepatnya di Kecamatan Tempe.

Kondisi ini diharapkan sesuai dengan perencanaan pembangunan daerah yang ada, pola penyebaran penduduk dan tingkat fasilitas tidak hanya terkonsentrasi di kawasan kota saja, akan tetapi menyebar keseluruh bagian kecamatan dan kabupaten sesuai dengan fungsi dan peruntukannya dan tidak berpusat pada satu titik saja.

C. Kondisi Sektor Pertanian

Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus

Pertanian 2013, jumlah usaha pertanian di Kabupaten Wajo sebanyak

58.309 dikelola oleh rumah tangga, sebanyak 6 dikelola oleh perusahaan pertanian berbadan hukum dan sebanyak 12 dikelola oleh selain rumah tangga dan perusahaan berbadan hukum. Berdasarkan angka sementara hasil pencacahan lengkap Sensus Pertanian 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian di Kabupaten Wajo mengalami penurunan sebanyak 5.220 rumah tangga dari 63.529 rumah tangga pada tahun 2003 menjadi 58.309 116

rumah tangga pada tahun 2013, yang berarti menurun sebesar 0.82 persen per tahun. Penurunan terbesar terjadi di Kecamatan Tanasitolo dan

Penurunan terendah terjadi di Kecamatan Tempe 149, yaitu masing-masing sebesar 22.58 persen dan 7.39 persen selama sepuluh tahun.

Kecamatan Pitumpanua, Kecamatan Pammana, dan Kecamatan

Belawa merupakan tiga kecamatan dengan urutan teratas yang mempunyai jumlah rumah tangga usaha pertanian terbanyak, yaitu masing-masing

6.7049 rumah tangga, 5.496 rumah tangga, dan 5.461 rumah tangga.

Sedangkan Kecamtan Tempe merupakan wilayah yang paling sedikit jumlah rumah tangga usaha pertaniannya, yaitu sebanyak 1.867 rumah tangga.

Sementara itu jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum dan usaha pertanian selain perusahaan dan rumah tangga di Kabupaten Wajo untuk perusahaan sebanyak 6 unit dan lainnya 12 unit.

Jumlah perusahaan pertanian berbadan hukum terbanyak berlokasi di Kecamatan Keera yaitu sebanyak 3 perusahaan dan paling sedikit di

Kecamatan Maniangpajo sebanyak 1 perusahaan. Sedangkan jumlah perusahaan tidak berbadan hukum atau bukan usaha rumah tangga usaha pertanian terbanyak terdapat di Kecamatan Pitumpanua, yaitu sebanyak 3 unit dan paling sedikit di Kecamatan Bola, Kecamatan Belawa, Kecamatan

Tempe, Kecamatan Sajoanging, Kecamatan Tanasitolo, yaitu sebanyak 1 unit. 117

D. Kondisi Pertanian Padi

Kabupaten Wajo adalah merupakan salah satu sentra penghasil beras di Sulawesi Selatan. Potensi areal persawahan saat ini seluas kurang lebih 87.975 Ha, sedangkan lahan non persawahan seluas 137.278 Ha.

Dengan perincian sawah irigasi teknis seluas 8.637 Ha, irigasi semi teknis

1.302 Ha, irigasi sederhana 380 Ha, irigasi desa 15.763 Ha, tadah hujan

61.413 Ha, pasang surut 480 Ha. Saat ini, Kabupaten Wajo merupakan salah satu daerah penghasil gabah terbesar nomor 2 di Indonesia. Untuk mendukung potensi produksi beras di Kabupaten Wajo maka Pemerintah telah membangun Rice Processing Complex (RPC) di Anabanua Kecamatan

Maniangpajo dengan kapasitas produksi sebanyak 4 ton per jam. 118

BAB V

SEJARAH DAN FILOSOFI PADI

A. Sejarah Pertanian

Pertanian di Indonesia diawali dengan sistem ladang berpindah- pindah, dengan membuka hutan atau semak belukar dibabat kemudian dibiarkan sampai kering lalu dibakar. Setelah hujan tiba, ladang kemudian ditanami dan ditunggu sampai tiba saatnya panen. Setelah dilakukan penanaman sebanyak 3 – 4 kali, lahan kemudian ditinggalkan karena dianggap tidak subur lagi. Kejadian ini berlangsung selama 10 - 20 tahun, para petani ladang kembali lagi ke ladang yang pertama kali mereka buka

(Surya, 2012). Seiring berjalannya waktu, penduduk mulai bermukim di tempat yang tetap yaitu “kampong”, pada saat itulah persawahan dimulai, namun usaha tani secara “berladang yang berpindah-pindah” belum ditinggalkan.

Sekitar tahun 1620, pada zaman Hindia-Belanda, kebijakan pertanian bertujuan untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya bagi

VOC. Dilanjutkan sampai pada tahun 1830, Gubernur untuk meningkatkan ekspor dengan tanam paksa yang berakhir pada tahun 1921. Dalam sistem tanam paksa atau lebih popular dengan sebutan Cultuur Stelsel mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila dan tembakau. 119

Pada permulaan tahun 1970-an kebijakan pembangunan pertanian

Indonesia dengan program BIMAS (Bimbingan Massal) pada era “revolusi hijau”, dengan tujuan utama adalah meningkatkan produktivitas sektor pertanian. Pada tahun 1979 pemerintah meluncurkan program INSUS

(Intensifikasi Khusus), yang meningkatkan efektifitas penerapan teknologi

Pasca Usaha Tani melalui kelompok-kelompok tani dengan luas areal per kelompok rata-rata 50 hektar, setiap kelompok diberi bantuan kredit modal dalam menjalankan usaha pertaniannya (Lokollo, 2002). Kemudian pada tahun 1980-an pemerintah meluncurkan program SUPRAINSUS (SI).

Program ini merupakan pengembangan dari Panca Usaha Tani untuk mewujudkan peningkatan produktivitas tanaman padi.

Pada tahun 1998 usaha tani di Indonesia mengalami keterpurukan karena adanya krisis multi-dimensi. Pada waktu itu telah terjadi perubahan yang mendadak bahkan kacau balau dalam pertanian kita. Kredit pertanian dicabut, suku bunga kredit membumbung tinggi sehingga tidak ada kredit yang tersedia ke pertanian. Kebijakan pembangunan pertanian pada saat itu adalah melindungi sektor agribisnis yaitu “pembangunan sistem dan usaha agribisnis yang berdaya saing, berkerakyatan, berkelanjutan dan terdesentralisasi.”

Sistem pertanian organik khususnya, telah dicanangkan pemerintah sejak akhir tahun 1990-an dan mengusung Indonesia go organik pada tahun 120

2010, sistem ini pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produk pertanian mengingat rusaknya kesuburan tanah akibat penggunaan pupuk kimia yang berlebihan dan dalam waktu lama serta pencemaran lingkungan oleh penggunaan pestisida kimia. Semua upaya pemerintah tersebut bertujuan untuk meningkatkan distribusi pendapatan petani sehingga dengan ini diharapkan dapat meningkatkan kontribusi sektor pertanian dalam perekonomian.

B. Legenda Dewi Sri

Dewi Sri atau Dewi Shri (Bahasa Jawa), Nyai Pohaci Sanghyang Asri

(Bahasa Sunda), adalah dewi pertanian, dewi padi dan sawah, serta dewi kesuburan di pulau Jawa dan Bali. Pemuliaan dan pemujaan terhadapnya berlangsung sejak masa pra-Hindu dan pra- di pulau Jawa. Dipercaya sebagai dewi yang menguasai ranah dunia bawah tanah juga bulan.

Perannya mencakup segala aspek Dewi Ibu, yakni sebagai pelindung kelahiran dan kehidupan. Ia juga dapat mengendalikan bahan makanan di bumi terutama padi : bahan makanan pokok masyarakat Indonesia ; maka ia mengatur kehidupan, kekayaan, dan kemakmuran. Berkahnya terutama panen padi yang berlimpah dan dimuliakan sejak masa kerajaan kuno di pulau Jawa seperti Majapahit dan Pajajaran.

Dewi Sri juga mengendalikan segala kebalikannya yaitu ; kemiskinan, bencana kelaparan, hama penyakit, dan hingga batas tertentu, memengaruhi 121

kematian. Karena ia merupakan simbol bagi padi, ia juga dipandang sebagai ibu kehidupan. Seringkali ia dihubungkan dengan tanaman padi dan ular sawah.

Dewi Sri selalu digambarkan sebagai gadis muda yang cantik, ramping tapi bertubuh sintal dan berisi, dengan wajah khas kecantikan alami gadis asli

Nusantara. Mewujudkan perempuan di usia puncak kecantikan, kewanitaan, dan kesuburannya.

Kebudayaan adiluhung Jawa dengan selera estetis tinggi menggambarkan Dewi Sri seperti penggambaran dewi dan putri ningrat dalam pewayangan. Wajah putih dengan mata tipis menatap ke bawah dengan raut wajah yang anggun dan tenang. Serupa dengan penggambaran kecantikan dewi Sinta dari kisah .

Pasangannya, Sedhana juga digambarkan dengan rupa bagus seperti

Rama. Patung loro blonyo (berarti: "dua lapik atau dasar") yang menggambarkan sepasang lelaki dan perempuan, juga diibaratkan sebagai pasangan Dewi Sri dan Sedhana.

C. Mitos Tanaman Padi

Kebanyakan kisah mengenai Dewi Sri terkait dengan mitos asal mula terciptanya tanaman padi, bahan pangan utama di kawasan ini. Berikut ini adalah salah satu kisah mengenai Dewi Sri sebagai dewi padi berdasarkan

"Wawacan Sulanjana" (The Sundanese, 2012) 122

Dahulu kala di Kahyangan, yang menjadi penguasa tertinggi kerajaan langit, memerintahkan segenap dewa dan dewi untuk bergotong-royong, menyumbangkan tenaga untuk membangun istana baru di kahyangan. Siapapun yang tidak menaati perintah ini dianggap pemalas, dan akan dipotong tangan dan kakinya.

Mendengar titah Batara Guru, Antaboga (Anta) sang dewa ular sangat cemas. Betapa tidak, ia sama sekali tidak memiliki tangan dan kaki untuk bekerja. Jika harus dihukum pun, tinggal lehernyalah yang dapat dipotong, dan itu berarti kematian. Anta sangat ketakutan, kemudian ia meminta nasihat Batara Narada, saudara Batara Guru, mengenai masalah yang dihadapinya. Tetapi sayang sekali, Batara Narada pun bingung dan tak dapat menemukan cara untuk membantu sang dewa ular. Putus asa, Dewa

Anta pun menangis terdesu-sedu meratapi betapa buruk nasibnya.

Akan tetapi ketika tetes air mata Anta jatuh ke tanah, dengan ajaib tiga tetes air mata berubah menjadi mustika yang berkilau-kilau bagai permata.

Butiran itu sesungguhnya adalah telur yang memiliki cangkang yang indah.

Barata Narada menyarankan agar butiran mustika itu dipersembahkan kepada Batara Guru sebagai bentuk permohonan agar beliau memahami dan mengampuni kekurangan Anta yang tidak dapat ikut bekerja membangun istana. 123

Dengan mengulum tiga butir telur mustika dalam mulutnya, Anta pun berangkat menuju istana Batara Guru. Di tengah perjalanan Anta bertemu dengan seekor burung gagak yang kemudian menyapa Anta dan menanyakan kemana ia hendak pergi. Karena mulutnya penuh berisi telur

Anta hanya diam tak dapat menjawab pertanyaan si burung gagak. Sang gagak mengira Anta sombong sehingga ia amat tersinggung dan marah.

Burung hitam itu pun menyerang Anta yang panik, ketakutan, dan kebingungan. Akibatnya sebutir telur mustika itu pecah. Anta segera bersembunyi di balik semak-semak menunggu gagak pergi. Tetapi sang gagak tetap menunggu hingga Anta keluar dari rerumputan dan kembali mencakar Anta. Telur kedua pun pecah, Anta segera melata beringsut lari ketakutan menyelamatkan diri, kini hanya tersisa sebutir telur mustika yang selamat, utuh dan tidak pecah. Akhirnya Anta tiba di istana Batara Guru dan segera mempersembahkan telur mustika itu kepada sang penguasa kahyangan. Batara Guru dengan senang hati menerima persembahan mustika itu. Akan tetapi setelah mengetahui mustika itu adalah telur ajaib,

Batara Guru memerintahkan Anta untuk mengerami telur itu hingga menetas.

Setelah sekian lama Anta mengerami telur itu, maka telur itu pun menetas. Akan tetapi secara ajaib yang keluar dari telur itu adalah seorang bayi perempuan yang sangat cantik, lucu, dan menggemaskan. Bayi perempuan itu segera diangkat anak oleh Batara Guru dan permaisurinya. 124

Nyi Pohaci Sang Sri adalah nama yang diberikan kepada putri itu. Seiring waktu berlalu, Nyi Pohaci tumbuh menjadi seorang gadis yang cantik luar biasa. Seorang putri yang baik hati, lemah lembut, halus tutur kata, luhur budi bahasa, memikat semua insan. Setiap mata yang memandangnya, dewa maupun manusia, segera jatuh hati pada sang dewi

(Taufik, M.R, 2008).

Akibat kecantikan yang mengalahkan semua bidadari dan para dewi khayangan, Batara Guru sendiri pun terpikat kepada anak angkatnya itu.

Diam-diam Batara guru menyimpan hasrat untuk mempersunting Nyi Pohaci.

Melihat gelagat Batara Guru itu, para dewa menjadi khawatir jika dibiarkan maka skandal ini akan merusak keselarasan di kahyangan. Maka para dewa pun berunding mengatur siasat untuk memisahkan Batara Guru dan Nyi

Pohaci Sanghyang Sri.

Untuk melindungi kesucian Nyi Pohaci, sekaligus menjaga keselarasan rumah tangga sang penguasa kahyangan, para dewata sepakat bahwa tak ada jalan lain selain harus membunuh Nyi Pohaci. Para dewa mengumpulkan segala macam racun berbisa paling mematikan dan segera membubuhkannya pada minuman sang putri. Nyi Pohaci segera mati keracunan, para dewa pun panik dan ketakutan karena telah melakukan dosa besar membunuh gadis suci tak berdosa. Segera jenazah sang dewi dibawa turun ke bumi dan dikuburkan ditempat yang jauh dan tersembunyi. 125

Lenyapnya Dewi Sri dari kahyangan membuat Batara Guru, Anta, dan segenap dewata pun berduka. Akan tetapi sesuatu yang ajaib terjadi, karena kesucian dan kebaikan budi sang dewi, maka dari dalam kuburannya muncul beraneka tumbuhan yang sangat berguna bagi umat manusia.

• Dari kepalanya muncul pohon kelapa.

• Dari hidung, bibir, dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-

rempah wangi dan sayur-mayur.

• Dari rambutnya tumbuh rerumputan dan berbagai bunga yang cantik dan

harum

• Dari payudaranya tumbuh buah buahan yang ranum dan manis.

• Dari lengan dan tangannya tumbuh pohon jati, cendana, dan berbagai

pohon kayu yang bermanfaat; dari alat kelaminnya muncul pohon aren

atau enau bersadap nira manis.

• Dari pahanya tumbuh berbagai jenis tanaman bambu.

• Dari kakinya mucul berbagai tanaman umbi-umbian dan ketela; akhirnya

dari pusarnya muncullah tanaman padi, bahan pangan yang paling

berguna bagi manusia.

Versi lain menyebutkan padi berberas putih muncul dari mata kanannya, sedangkan padi berberas merah dari mata kirinya. Singkatnya, semua tanaman berguna bagi manusia berasal dari tubuh Dewi Sri Pohaci. 126

Nyi Pohaci Sang Hyang Sri dianggap sebagai dewi tertinggi dan terpenting bagi masyarakat agraris. Sebagai tokoh agung yang sangat dimuliakan, ia memiliki berbagai versi cerita, kebanyakan melibatkan Dewi

Sri (Dewi Asri, Nyi Pohaci) dan saudara laki-lakinya Sedana (Sadhana atau

Sadono), dengan latar belakang Kerajaan Medang Kamulan, atau kahyangan (dengan keterlibatan dewa-dewa seperti Batara Guru), atau kedua-duanya.

Di beberapa versi, Dewi Sri dihubungkan dengan ular sawah sedangkan Sadhana dengan burung sriti (walet). Ular sawah dikaitkan dengan sang dewi dan cenderung dihormati, mungkin karena kearifan lokal dan kesadaran ekologi purba yang memahami bahwa ular sawah memangsa tikus yang menjadi hama tanaman padi. Di banyak negara Asia lain seperti di

India dan Thailand, berbagai jenis ular terutama ular sendok pun dihubungkan dengan mitos kesuburan sebagai pelindung sawah.

D. Filosofi Bertanam Padi

Padi adalah tanaman yang termasuk dalam jenis rumput-rumputan.

Akarnya termasuk akar serabut. Batangnya berbuku-buku dan di dalamnya kosong seperti pipet yang digunakan untuk pertukaran gas. Daunnya seperti pita. Bunga jantan dan betina ada dalam satu bunga yang terletak pada malai, yang kemudian menjadi gabah. Ada banyak varietas padi yang ditanam oleh para petani. Ada banyak ragam teknik agronomi yang dipakai 127

serta ada banyak juga ragam pandangan dan anggapan menyangkut dengan padi. Sesuai judul di atas mari kita lihat tanaman ini dari sisi pandang filsafat bertanam padi.

Filsafat bertanam padi yang dimaksud adalah filsafat yang berkenaan dengan cara bercocok tanam padi. Karena filsafat mengandung arti bijak, maka secara sederhana, filsafat bertanam padi adalah penerapan cara bertanam padi secara bijak atau arif; atau dengan sedikit pengertian filsafat yang lebih luas, adalah bertanam padi secara benar dan bermanfaat.

Dalam hal ini dapat dikatakan karena tuntutan kebutuhan manusia yang semakin tinggi dan lebih baragam, sehingga membutuhkan lebih banyak ilmu dan pengetahuan dalam mengelola sumberdaya alam secara selaras dan harmonis. Permasalahan yang saat ini menyeruak adalah sudah bijak kah para petani dalam bertanam padi, apabila kita melihat kondisi pertanaman padi saat ini dapat disimpulkan bahwa cenderung mengarah tidak bijak lagi (Bakhtiar, 2011).

Maknanya bahwa dahulu pernah bijak, namun kita perlu memberi pemahaman kepada para petani bagaimana seharusnya bertanam padi yang bijak, yang secara filosofi juga benar. Sesungguhnya petani padi memiliki banyak sekali pengetahuan tentang tanaman padi dan sawahnya.

Pengetahuan tersebut diperolehnya dari berbagai sumber. Ada dari penyuluh, orang tua atau kerabatnya, baik secara turun temurun ataupun in 128

situ di tempat dia bertanam. Menurut Suriasumantri (1999) dan Bakhtiar

(2011) sumber pengetahuan dapat berasal dari rasio, pengalaman, intuisi, dan wahyu. Sebagian pengetahuan yang mereka miliki adalah benar dan berguna bagi pertumbuhan dan produksi pertanamannya, namun sering juga tidak rasional, bahkan ada juga yang keliru sehingga merugikan pertanaman dan dirinya sendiri.

E. Sejarah Budidaya Padi

Padi (Oryza sativa L.) termasuk bahan pangan yang dibutuhkan lebih separuh dari penduduk dunia. Menurut Yoshida (1981) padi merupakan salah satu bahan pangan stabil yang paling penting di dunia dan ditanam pada kedua daerah yang beriklim sedang dan tropis. Tanaman padi mempunyai adaptasi lingkungan yang luas, dapat tumbuh baik antara 53o LU dan 35o LS, meliputi daerah kering sampai genangan dengan kedalaman 1-5 m serta daerah dari dataran rendah sampai dengan ketinggian sampai 2000 m di atas permukaan laut.

Padi termasuk pada genus Oryza L, yang meliputi lebih kurang 25 spesies. Sekarang terdapat dua species tanaman padi yang dibudidayakan yaitu Oryza sativa L. dan Oryza glaberrima Steud. Oryza sativa berkembang menjadi tiga ras sesuai dengan ekogeografisnya, yaitu Indica, Japonica, dan

Javanica (Anwari, 1992). 129

Hingga sekarang ada dua spesies padi yang dibudidayakan manusia secara massal, Oryza sativa yang berasal dari Asia dan O. glaberrima yang berasal dari Afrika Barat. Pada awal mulanya O. sativa dianggap terdiri dari dua subspesies, indica dan japonica (sinonim sinica). Padi japonica umumnya berumur panjang, postur tinggi namun mudah rebah, lemmanya memiliki "ekor" atau "bulu" (Ing. awn), bijinya cenderung membulat, dan nasinya lengket. Padi indica, sebaliknya, berumur lebih pendek, postur lebih kecil, lemmanya tidak ber-"bulu" atau hanya pendek saja, dan bulir cenderung oval sampai lonjong. Walaupun kedua anggota subspesies ini dapat saling membuahi, persentase keberhasilannya tidak tinggi. Contoh terkenal dari hasil persilangan ini adalah kultivar 'IR8', yang merupakan hasil seleksi dari persilangan japonica (kultivar 'Deegeowoogen' dari Formosa) dengan indica (kultivar 'Peta' dari Indonesia).

Selain kedua varietas ini, dikenal varietas minor javanica yang memiliki sifat antara dari kedua tipe utama di atas. Varietas javanica hanya ditemukan di Pulau Jawa. Tanaman padi termasuk golongan tanaman

Gramineae atau rerumputan, yang ditandai dengan batang yang tersusun dari beberapa ruas (Siregar, 1981).

Padi, selain ditanam di sawah dengan pengairan sepanjang musim, ada juga yang ditanam di tegalan, lahan pasang surut dan rawa, sehingga terdapat istilah padi ladang, padi gogo, padi gogo rancah dan padi lebak 130

(Siregar, 1981). Siregar (1981) juga menyatakan, padi gogo dan padi ladang sebenarnya hampir sama, yaitu sama-sama ditanam di lahan kering.

Perbedaannya terletak pada lahan yang dipergunakan untuk menanam, dimana padi ladang ditanam secara tidak menetap pada lahan bekas hutan atau semak belukar, sedangkan padi gogo ditanam pada lahan permanen. 131

BAB VI

PENGETAHUAN TENTANG BUDIDAYA PADI BERBASIS PENGALAMAN

A. Pengetahuan tentang “Pananrang”

Pananrang atau biasa disebut Lontara laongruma adalah naskah yang memuat tentang tata cara bercocok tanam, perubahan iklim, siklus musim tanam, baik tanaman palawija maupun tanaman padi. Naskah ini juga memuat tentang prakiraan serangan hama tanaman bila ditanam pada waktu tertentu dalam bulan-bulan tertentu, dan bahkan juga dapat diprediksi musim- musim wabah penyakit (sai =Bugis).

Naskah pananrang tidak tunggal, masing-masing daerah yang didiami suku Bugis mempunyai Pananrang sendiri, bahkan dibeberapa kampung atau rumpun keluarga mempunyai pananrang tersendiri yang diwarisinya secara turun temurun dan menjadi pedoman dalam mengelola dan menggarap lahan pertaniannya. Naskah ini tidak memiliki mukaddimah, tetapi langsung pada isi naskah yaitu : Ompona Muharram yaitu hari terbitnya bulan muharram yang akan disajikan pada tabel 5 berikut ini. 132

Tabel 5. Arti Hari Pada Terbitnya Muharram

Hari Artinya Sabtu musim dingin akan panjang, panen padi melimpah ruah, dan tentram kerajaan. Ahad musim sangat dingin terutama yang tinggal dibantaran sungai, serta buah-buahan melimpah ruah Senin wabah penyakit meraja lela, banyak orang yang meninggal, kurang curah hujannnya, banyak orang yang melahirkan anaknya laki-laki, terjadi keresahan atau kesusahan dalam kampung Selasa tidak ada hasil pada musim timur, banyak curah hujan dan petirnya, banyak orang yang sakit akan tetapi tidak sampai meninggal Rabu musim dinginnya kurang, mudah mencari reseki Kamis tidak ada hasil pada musim timur, banyak orang yang melahirkan dan buah-buahan melimpah Jum’at para pedagang bakal meraup keuntungan besar, bahkan semua orang meskipun yang lemah juga tetap ada reskinya, hasil panen juga melimpah, serta buah-buahan juga melimpah Sumber : Dokumen Milik Tambo, 2007

Berdasarkan arti hari terbitnya bulan Muharram juga merupakan pilihan hari baik bagi petani memulai aktivitas bertaninya. Jadi pengetahuan ini menjadi pertimbangan yang kuat bagi petani dalam memprediksi kondisi usahataninya satu tahun ke depan. Dicontohkan pada tahun ini terbitnya bulan Muharram tahun 1435 Hijriyah itu jatuh pada hari Sabtu, 25 Oktober

2014, sehingga prediksinya adalah musim dingin akan lebih panjang, namun panen padi melimpah ruah, dan suasana kerajaan lebih tentram. Hal tersebut diyakini masyarakat Bugis kemudian dihitung secara berurutan mulai tanggal 1 sampai tanggal 30 dengan istilah aoPo aulE (peredaran bulan, setiap tanggal) atau ompo’ (aoPo) yang diberi nama sebagaimana dalam tabel berikut : 133

Tabel 6. Penanggalan Bugis 1 – 30

Tanggal Sebutan Artinya 1 Esso annyaranngi (kuda) Tidak baik untuk merantau, baik untuk urusan pemerintahan, hari kelahiran Adam 2 Esso jongai (rusa) Baik untuk perkawinan, baik untuk jualan, hari kelahiran Hawa 3 Esso macangi (harimau) Tidak baik untuk semua jenis pekerjaan 4 Esso meongngi (kucing) Baik untuk membangun rumah, pernikahan 5 Esso sukku (genap) Semua yang dikerjakan tidak baik, tenggelamnya nabi Nuh 6 Esso tedongngi (kerbau) Baik untuk pembelian kerbau, tidak baik untuk merantau, dan membeli pakaian 7 Esso balawoi (tikus) Bila berutang tidak dapat diabayar 8 Esso lebbi (lebih) Baik untuk bepergian, pernikahan. 9 Esso asui (anjing) Bagus untuk bepergian 10 Esso nagai (naga) Baik untuk merantau, mendirikan rumah, menanam 11 Esso bebe (bodoh) Hari masuknya surga Nabi Adam, baik untuk kembali ke pantai 12 Esso macangngi (harimau) Baik untuk jual-jualan 13 Esso nagai (naga) Tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan 14 Esso singai (singa) Baik untuk semua pekerjaan kecuali merantau 15 Esso jongai (rusa) Baik untuk membuat perahu

16 Esso bawi (babi) Baik untuk menanam dan tidak dengan yang lainnya 17 Esso manu-manui (burung) Baik untuk semua pekerjaan termasuk merantau, melamar, menghadap Raja. 18 Esso wanii (lebah) Baik untuk merantau, pernikahan, mendirikan rumah, dan menanam. 19 Esso balipengi (balipeng) Bagus untuk melamar 20 Esso ala-alai (hewan jinak) Baik untuk melamar orang akan senang menerima kedatangan kita. 21 Esso assai (benar adanya) Kurang kebaikannnya 22 Esso dongii (pipit) Baik untuk merantau, mendirikan rumah, pernikahan, dan menanam 23 Esso ancalei (belalang) Baik untuk merantau, menanam, pernikahan, dan tidak baik untuk yang lain. 24 Esso malampai (panjang) Kurang kebaikan 25 Esso Pasei/taccipi (serba Kurang kebaikan susah) 26 Esso tuppangi (kodok) Baik untuk merantau, menanam, kalau 134

berutang akan cepat dibayar, baik untuk nelayan 27 Esso ule’I (ulat) Semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar 28 Esso kalapungi (kura-kura) Semua yang dikerjakan akan baik, merantau, menanam, kalau berutang akan cepat dibayar 29 Esso iti’i (bebek) Tidak baik untuk merantau, kurang kebaikan 30 Esso manu’ I (ayam) Baik untuk menebang kayu, tidak dimakan rayap, kalau ada anak yang lahir akan murah reskinya Sumber : Dokumen Milik Tambo, 2007.

Sementara berdasarkan penanggalan bugis arti dan makna tanggal

25 adalah kurang kebaikan. Namun demikian setelah dilakukan perhitungan dengan metode “bilang lima” yaitu perhitungan tanggal, dimana hitungan tanggal 1 dimulai pada punggung tangan kemudian tanggal 2 pada sisi kiri tangan, lalu tanggal 3 pada pertengahan telapak tangan, kemudian tanggal 4 pada sisi kanan tangan. Perhitungan tersebut diulang terus sampai pada tanggal 30. Makna perhitungan dengan metode “bilang lima” adalah sebagai berikut :

1. Punggung tangan memiliki arti bertolak belakang dengan apa yang kita

harapkan

2. Sisi kiri tangan memiliki arti kurang baik, karena apa yag kita harapkan

agak sulit untuk kita raih

3. Tengah telapak tangan memiliki arti sangat baik karena apa yang kita

harapkan dapat diraih/digenggam 135

4. Sisi kanan tangan memiliki arti cukup baik karena apa yang kita harapkan

akan diraih melalui suatu perjuangan.

Berdasarkan penanggalan di atas yang menggunakan metode “bilang lima”, maka tanggal 25 itu jatuh pada sisi kiri tangan. Hal tersebut memberi makna bahwa apabila kita mulai aktivitas pertanaman padi artinya kurang baik karena sulit untuk memperoleh produksi sesuai yang diharapkan.

Lontara tersebut awalnya ditulis pada daun lontar dengan menggunakan lidi ijuk (kallang). Menurut kepercayaan masyarakat Bugis-

Makassar, pananrang tersebut saat ditulis lebih dahulu dipotongkan kerbau yang bertanduk emas dengan harapan agar tetap memiliki makna sakral karena setiap nama hari tersebut diartikan oleh mereka sebagai pedoman tentang hari-hari baik dan hari-hari naas. Oleh karena itu, masyarakat Bugis di masa lampau bahkan sampai saat ini masih banyak yang percaya terhadap pananrang (pnR) ini dalam melakukan kegiatan pertanian, pindah rumah, perjalanan, bahkan segala aspek kehidupan mereka sangat bergantung pada keyakinan pada pananrang tersebut. Nama hari sebagaimana tersebut di atas merupakan gelar yang diambil dari nama-nama binatang. Pemilihan nama hari oleh kelompok masyarakat yang bersangkutan cenderung disesuaikan dengan kualitas hari dengan watak manusia atau binatang (Abu Hamid, 2006:80). Naskah ini pada umumnya tersedia dalam versi bugis, seperti yang akan diuraikan berikut yaitu tanra- 136

tanranna nerekko maeloki mappammula mattaneng-taneng na makessing wassele’na iyanaritu :

1. Ompona ulengnge (1-6-11-16-21-26-31) riasengngi lise’ sibawa ure’

(sangat baik untuk memulai menanam ubi, kacang tanah, atau semua

tanaman yang memiliki umbi (buah di dalam tanah) dan juga baik untuk

memelihara ikan)

2. Ompona ulengnge (2-7-12-17-22-27) riasengngi batang (sangat baik

untuk memulai menanam tanaman yang berkayu)

3. Ompona ulengnge (3-8-13-18-23-28) riasengngi daun (sangat baik

untuk memulai menanam tembakau, teh, daun sawi, bayam, kol dan

lainnya atau semua tanaman yang dibutuhkan daunnya)

4. Ompona ulengnge (4-9-14-29-24-29) riasengngi unga (sangat baik

untuk memulai menanam bunga-bunga atau semua tanaman yang

dibutuhkan bunganya)

5. Ompona ulengnge (5-10-15-20-25-30) riasengngi bua (sangat baik

untuk memulai menanam padi, cengkeh, jagung, kopi, kelapa dan semua

tanaman yang dibutuhkan buahnya)

Berdasarkan penanggalan diatas berdasarkan terbitnya bulan pada penanggalan Hijriyah. Pemaknaan dilanjutkan dengan melihat setiap hari dalam seminggu dibagi ke dalam lima waktu yang diyakini mengandung kualitas tersendiri dalam setiap waktu. Untuk mencari makna yang baik 137

pada tanggal 25 Oktober 2014, dimana jatuh pada hari sabtu dapat memberikan peluang untuk memanfaatkan waktu tersebut berdasarkan pada jam 8 – 11 yang memiliki makna “hidup” bahwa apa yang kita usahakan maka akan memberikan kehidupan dan apabila pada tanaman maka tanaman tersebut akan hidup dan memberikan hasil produksi yang baik, dan pada jam 13 – 15 yang memiliki makna “berisi”, menunjukkan bahwa padi yang mulai dihambur dan ditanam akan berisi. Adapun pembagian waktu berdasarkan jam dalam sehari akan digambarkan dalam tabel berikut :

Tabel 7. Pembagian waktu dalam Seminggu dan Kualitas Hari di Kalangan Masyarakat Bugis-Makassar

Hari/Jam Ele (Pagi) Abbuweng Tangasso Lesang Araweng 6 - 7 8 - 11 (Tengah Hari) Esso ( Sore ) 11 - 13 13 - 15 15 - 18 Jum‘at Mate Tuwo Maddarah Lobbang Mallise ( Pong ) (Mati) (Hidup) (Berdarah) (Kosong) (Berisi) Sabtu Maddara Tuwo Mate Mallise Lobbang (Bisaka) (berdarah) (Hidup) (Mati) (Berisi) (Kosong) Ahad Mallise Mate Tuwo Maddara Lobbang ( Sega ) (Berisi) (Mati) (Hidup) (Berdarah) (Kosong) Senin Lobbabg Tuwo Maddarah Mallise Mate (Tellettu) (Kosong) (Hidup) (Berdarah) (Berisi) (Mati) Selasa Mallise Mate Lobbang Tuwo Maddara (Wunga-wunga) (Berisi) (Mati) (Kosong) ( Hidup ) (Berdarah) Rabu Mate Tuwo Tuwo Lobbang Mallise (tepati) (Mati) (Hidup) (Hidup) ( Kosong ) (Berisi) Kamis Mallise Lobbang Mate Tuwo Maddara (tanra wallu) (Berisi) (Kosong) (Mati) (Hidup) (Berdarah) Sumber : Abu Hamid, 2006;82. 138

Selain itu juga masih ada pengetahuan tentang penentuan waktu tanam berdasarkan hujan yang turun dalam setahun yang dituangkan dalam naskah pananrang dalam bahasa daerah bugis, yaitu :

1. Mappammulai turunni bosie riuleng seddi, ritanraini rilalenna tanggalae,

wettu agai napole bosie, essoga yarega wenniga, tette siagai, tanggala

siagai, sibawa bosinna ritanra toi (malung, bosi canecci, mattarumpu,

bosi-bosi, bosi reddei), bara kuammengngi ri issengngi egana bosi uleng

seddi. Risse tonitu egana bosinna uleng eppa, nasaba engkani

pappadiolona pura ritanrai sibawa asera pulona wenninna purana bosi

riwettuero nainappa bosi si paimeng. Artinya mulai turun hujan pada

bulan satu ditandai dari tanggal, waktunya hujan (siang atau malam) jam

turunnya hujan, tanggal turunnya hujan dan tipe hujannya (mendung,

gerimis, hujan ringan, hujan sedang dan hujan lebat). Dari indikator

tersebut berdasarkan perhitungan 90 hari setelah hujan pada bulan satu

(Januari) maka akan dapat diketahui datangnya hujan berikutnya yaitu

pada bulan empat (April).

2. Rilalengna uleng dua ritanraisi paimeng tanggalae pada-pada laona

uleng seddi, naikkiya balinna koi ri uleng lima, siaga-siaga bosinna uleng

dua sikotoro bosinna uleng lima. Artinya dalam bulan dua ditandai

kembali tanggal seperti pada bulan satu, namun pasangannya adalah 139

bulan lima, berapa banyak hujan pada bulan dua maka begitu juga hujan

pada bulan lima.

3. Naiyyatosi uleng tellu ritanraisi paimeng tanggalae pada-pada carana

uleng seddi, naiyyatosi balinna koi uleng enneng, jaji siaga-siaga bosinna

uleng tellu sikototu egana bosinna uleng enneng, sibawa kotoni riisseng

paccappurenna bosie riuleng tellu, mancaji pananrangngi bosinna uleng

enneng, jaji idi pallaungrumae parellu rijeppui appolengenna bosi

pattaungngengnge. Narekko rialai pananrang bosie, deto masara pikkiri

narekko tikkai nasaba engka pappadiolona. Artinya sementara pada

bulan tiga ditandai kembali tanggal seperti cara pada perhitungan bulan

satu dan dua, namun pasangan bulan tigadalah bulan enam, sehingga

berapabanyak hujan pada bulan tiga maka hujan pada bulan enam

sebanyak itu pula. Dari situ juga akan diketahui selesainya hujan pada

bulan tiga, yang merupakan ramalan hujan pada bulan enam, sehingga

para papananrang perlu mencermati datangnya hujan pada tahun

berikutnya. Berdasarkan ramalan hujan tersebut maka awal datangnya

kemarau dapat diketahui karena sudah ada tanda-tanda sebelumnya.

Berdasarkan hujan yang turun dalam setahun maka dapat ditentukan waktu tanam, dimana menunjukkan bahwa untuk memprediksi banyaknya hujan dalam bulan empat maka yang dijadikan patokan adalah tanggal mulainya turun hujan pada bulan satu, hari, waktu (pagi, siang, malam), jam, 140

jenis hujannya (gerimis, lebat), atau sesuai perhitungan 90 hari setelah hujan pada bulan satu.

Sementara untuk menentukan banyaknya hujan pada bulan 5 diprediksi melalui data hujan pada bulan 2, demikian juga untuk menentukan banyaknya hujan pada bulan 6 didasarkan pada data hujan pada bulan 3, hal tersebut juga merupakan awal dari pananrang yang jatuh pada bulan 6.

Beberapa tokoh tani maupun petani saat ini masih memegang teguh prinsip-prinsip pananrang dalam budidaya padi di sawah. Seperti yang diungkapkan oleh Bapak Tambo (62 tahun) bahwa :

Selama saya berusahatani saya sangat percaya tanah dan padi masih menjadi sumber kehidupan yang mesti dihormati dan diagungkan. Saya apabila masuk musim tanam saya mulai mempersiapkan waktu- waktu yang cocok untuk saya melakukan aktivitas sesuai dengan yang diajarkan oleh orangtua saya secara turun temurun yaitu penanggalan bugis yaitu apabila saya akan maddemme bine (merendam benih) yang akan ditanam saya akan mengikuti penanggalan bugis mulai dari pemilihan hari, tanggal maupun jam yang baik, supaya benih yang disiapkan untuk tanam bisa “berisi” . (wawancara di Kelurahan Dualimpoe, Kecamatan Maniangpajo, Kab. Wajo tanggal 26 Juni 2014).

Hal lain yang diungkapkan oleh Bapak Tambo (62 tahun) bahwa :

Hari-hari baik yang biasa saya gunakan dalam bertani adalah ; saat hambur benih saya menggunakan waktu “hidup”, saat mebajak sawah saya gunakan waktu “mati”, saat panen saya gunakan waktu “berisi” (wawancara di Kelurahan Dualimpoe, Kecamatan Maniangpajo, Kab. Wajo tanggal 26 Juni 2014).

Bahwa naskah pananrang mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam kehidupan masyarakat petani di Kabupaten Wajo, karena masih 141

diyakini mempunyai manfaat yang sangat besar dalam siklus iklim pertanian.

Naskah pananrang ini di bacakan pada saat dilakukan musyawarah antara petani, pemerintah setempat dan beberapa tokoh masyarakat yang dituakan dalam suatu acara manre sipulung namun di Kabupaten Wajo dikenal dengan istilah “Manre Sipulung”. Manre sipulung adalah ajang musyawarah tani dan merupakan acara adat suatu kekayaan budaya dan tradisi yang masih dipertahankan untuk mengawali musim tanam.

Acara ini dipimpin oleh “Pa’pananrang” yang akan membacakan

“lontara pananrang” menandai permulaan musim tanam, upacara adat yang dilakukan turun-temurun diyakini masyarakat setempat sebagai pedoman bagi petani untuk memulai musim tanam padi di Kabupaten Wajo.

Ketika pemerintahan dipegang oleh raja pada zaman prasejarah, bissu dipercayakan menjadi pemimpin upacara adat tersebut, termasuk menentukan penetapan hari pelaksanaannya. Setelah ada usulan penetapan upacara adat, selanjutnya menunggu kesiapan pejabat pemerintah mulai lurah, camat hingga bupati untuk hadir pada kegiatan ritual prosesi tanam padi pada musim hujan yang dilakukan sekali setahun. Setelah acara ini digelar, masyarakat setempat barulah menanam padi di sawah. Hal tersebut masih diyakini oleh sebagian besar petani, karena menurut pengalaman mereka seperti yang diungkapkan oleh Bapak H. Bakri (65 tahun) bahwa :

Saya meyakini bahwa melanggar kesepakatan menanam padi pada saat upacara adat “manre sipulng” dengan melakukan penanaman 142

padi mendahului upacara adat biasanya akan mendapat bala atau tanaman padinya akan puso…….(wawancara dilakukan di Desa Kalola, Kecamatan Maniangpajo, tanggal 23 Juli 2013).

Penuturan informan yang juga berkedudukan sebagai ketua KTNA

Kecamatan Belawa, Kabupaten Wajo yaitu H. Bakri Gani (65 tahun) bahwa :

Kegiatan “manre sipulung” dilakukan secara berstrata mulai dari tingkat desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan tingkat nasional yang dikalangan petani dikenal dengan isitilah rembug tani. Dalam kegiatan tersebut dibicarakan berbagai permasalahan yang dihadapi petani dalam usahataninya. Kegiatan ini dihadiri oleh pejabat pemerintah, penyuluh, dan seluruh aparat yang terkait agar dapat dibuat suatu rumusan kesepakatan dalam penyelesaian masalah yang dihadapi dan berdampak luas terhadap produksi, produktivitas dan pendapatan petani…………….kegiatan ini berlangsung sejak dulu hingga kini masih dipertahankan karena dianggap dapat menjadi media penyebaran informasi teknologi….…….(wawancara dilakukan di Desa Leppangeng. Kecamatan Belawa, tanggal 23 Juli 2013).

Kata manre sipulung secara harfiah berarti makan bersama. Namun secara konseptual merupakan wadah untuk menyuarakan kepentingan- kepentingan masyarakat dalam rangka mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Wadah ini diharapkan sebagai ruang mediasi antara kepentingan masyarakat dengan pemerintah (penguasa). Tradisi ini telah dilakukan sejak lama oleh masyarakat bugis mulai dari strata terkecil dalam keluarga, antar keluarga, dalam kampung, antar kampung, dalam kerajaan/negara, hingga antara kerajaan/negara.

Permasalahan kehidupan masyarakat selalu diselesaikan dengan cara ini, pelaksanaannya dapat bersifat resmi yang menyangkut persoalan masyarakat atau keputusan penting dalam suatu kampung atau kerajaan, 143

biasanya dilaksanakan secara resmi, yang dipimpin oleh seorang matoa

(yang dituakan menurut adat) sebagai pemimpin atau raja suatu kampung atau negara (wanua). Sedangkan yang sifatnya tidak resmi, biasanya dilakukan dalam lingkungan keluarga atau antar keluarga. Hal yang dibicarakan adalah persoalan-persoalan keluarga, seperti perkawinan, lamaran dan sebagainya.

Proses musyawarah untuk mencapai mufakat berlangsung secara demokratis. Pimpinan manre sipulung yakni arung matoa (ketua adat) berkewajiban meminta pendapat kepada peserta manre sipulung. Peserta yang dimintai pendapat, berkewajiban mengemukakan pendapatnya walaupun pendapat yang diberikannya sama dengan peserta lain atau telah dikemukakan terlebih dahulu oleh peserta sebelumnya. Apabila seorang peserta tidak setuju atas suatu hal, maka ia harus mengungkapkan secara langsung dalam musyawarah tersebut, apa yang menjadi alasannya sehingga tidak setuju. Alasan tersebut harus diungkapkan secara rasional.

Keputusan yang diambil dalam manre sipulung harus berdasarkan prinsip massolo’ pau (mengalir bersama), yang artinya bahwa keputusan yang akan dicapai dalam musyawarah merupakan keputusan atas kehendak bersama dan untuk kepentingan bersama, yang diibaratkan bagaikan air yang mengalir bersama-sama. Antara kehendak penguasa (pemerintah kerajaan) dan kehendak rakyat harus berjalan beriringan dalam menemukan 144

titik temu berdasarkan kepentingan bersama. Pelaksanaan tradisi ini ke depan tetap menjadi sarana mediasi yang mampu memberikan solusi terbaik, dalam setiap pelaksanaan musim tanam dengan kehadiran dan masukan beberapa pakar pertanian, kelompok tani dan “Pa’pananrang” serta beberapa instansi terkait lainnya.

Pengetahuan petani dalam menentukan waktu tanam berdasarkan pananrang meliputi : (1) terbitnya bulan Muharram meliputi hari, tanggal, waktu (pagi, siang, sore dan petang) dan jam; dan (2) data hujan pada bulan yang berpasangan (bulan 1 dan 4, bulan 2 dan 5, bulan 3 dan 6) meliputi tanggal mulainya turun hujan pada bulan satu, hari, waktu (pagi, siang, malam), jam, jenis hujannya (gerimis, lebat).

Sementara pengetahuan petani tentang “manre sipulung meliputi : (1) prinsip-prinsip demokrasi; (2) musyawarah untuk mufakat dan; (3) komitmen terhadap pelaksanaan norma dan aturan kelembagaan adat.

Berdasarkan uraian tersebut menunjukkan bahwa terjadi penguatan kelembagaan adat karena didukung oleh pembentukan norma dalam komunitas petani untuk berkomitmen dengan rumusan yang mereka hasilkan dalam kegiatan tersebut. Hal tersebut menjadi jaminan atas keberlanjutan kelembagaan ke depan. 145

B. Pengetahuan tentang “Mattakko”

Tradisi dalam budidaya padi yang dilakukan petani setelah

“marakkala” masih beberapa tahapan lagi sebelum waktu panen tiba. Salah satunya adalah Mappatinro bine atau mappabenni ase sebelum bibit padi disemaikan. Ritual ini juga biasa dilakukan saat menyimpan bibit padi di possi bolae, sebuah tempat khusus terletak di pusat rumah yang ditujukan untuk menjaga agar tak satu binatang pun lewat di atasnya. Lalu ritual itu dirangkai dengan massureq, membaca meong palo karallae, salah satu epos

Lagaligo tentang padi.

Penuturan Ambo Upe (75 tahun) tentang pengalamannya melakukan

“mattakko” bahwa :

Pertama-tama dilakukan “maddemme bine” (perendaman benih) selama 2 hari 2 malam yang berguna untuk merangsang keluarnya tunas dan dilakukan oleh isteri petani dengan berbagai pantangan antara lain ; jangan berbohong, aja mupasi nyonyo i sanrue sibawa sajie (jangan menggunakan sendok sayur sebagai sendok untuk nasi) karena tanaman padi nantinya akan dimakan ulat; syarat berikutnya benih yang direndam tidak boleh kena air hujan, dikarenakan bila terkena air hujan petani meyakini akan terjadi musibah setelah panen nantinya, tidak boleh jatuh karena akan ada musibah, dan tidak dibisa dijamah oleh wanita yang sedang haid karena tanaman padi bila ditanam akan terserang penyakit “cella pance” atau tungro. Kegiatan selanjutnya adalah “mappatetti bine” (meniriskan benih) selama 1 malam untuk mengurangi kadar air benih, setelah itu benih dibungkus dengan terpal sambil di “eppi-eppi” menggunakan air untuk menjaga kelembaban. Kegiatan tersebut diistilahkan sebagai “maddokko bine” yang dibarengi dengan “mappatuwo pelleng” sebagai upaya menghibur benih. Setelah rangkaian “maddemme bine” selesai, ibu tani kemudian membuat sokko sibawa pallise dan “maddoang-doang salama” yang bertujuan agar benih padi yang akan ditanam “mallise” (berisi), berikutnya persiapan untuk “mangngampo bine”. (wawancara 146

dilakukan di Desa Kalola, Kecamatan Maniangpajo, tanggal 23 Juli 2013).

Setelah semua rangkaian kegiatan persiapan benih selesai dilakukan, kemudian benih dibawa ke sawah untuk dihambur yang sering diistilahkan oleh petani sebagai “mangngampo bine”. Kegiatan ini juga dilakukan dengan beberapa ritual seprti penuturan Indo Welleng (67 tahun) berikut ini :

Istri petani menyiapkan makanan berupa sokko dan pallise yang dibawa ke sawah untuk dimakan bersama-sama setelah “mangngampo bine” dilakukan di lahan pesemaian yang disediakan di pinggir sawah. Sembari “mappametti galung” selama 3 hari, supaya benih yang dihambur cepat tumbuh, sembari melakukan pengaturan air di sawah. Lamanya benih di pembibitan diusahakan 30 hari di tambah 1 hari karena diyakini bahwa 30 hari + 1 hari dianggap “leppe lasani” atau sudah mampu beradaptasi baik (wawancara di lakukan di Desa Lowa, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo tanggal 13 Juli 2014)

Setelah upacara doa salama’ di laksanakan, benih padi lalu disebar ke pesemaian. Selanjutnya teknik budidaya usahatani pada padi sawah tetap menggunakan petunjuk PPL setempat. Dalam kegiatan ini, benih padi yang akan ditanam diisi daun penno penno, diturut sertakan dalam acara pembacaan do’a tersebut. Daun penno – penno adalah jenis daun yang biasa tumbuh di sekitar rumah dan disertakan dalam upara tersebut dengan harapan hasil panen akan melimpah ruah.

Berdasarkan penuturan pengalaman petani tentang “mattakko” dapat diidentifikasi bahwa pengetahuan tersebut tersusun secara sistematis, dan terbagi dalam beberapa tahapan pengerjaannnya. Prosesi “mattakko” 147

meliputi : perendaman benih, meniriskan benih, membungkus benih, menyalakan lentera, dan berdoa. Tahapan-tahapan tersebut dikerjakan secara berurutan dan tidak boleh ada tahapan yang melampaui tahapan yang lain. Pelanggaran terhadap tahapan yang sudah ditetapkan secara turun temurun akan mendatangkan musibah berupa berkurangnya produksi padi dikarenakan serangan hama atau lainnya.

Pengetahuan petani tentang “mattakko” sebagai suatu upaya penangkaran benih yang dilakukan petani secara tradisional yang meliputi :

(1) benih merupakan cikal bakal kehidupan ; (2) benih itu sakral; (3) benih itu sensitif dengan lingkungan; (4) benih itu berkaitan erat dengan kehidupan rumah tangga; (5) benih itu membawa kemakmuran; (6) benih itu dewata.

Uraian pengetahuan tersebut merupakan hal-hal yan begitu kuat mengakar pada petani, sehingga sampai saat ini kebiasaan “mattakko” masih dipertahankan oleh petani.

C. Pengetahuan tentang “Marakkala”

Tradisi membajak sawah yang selama ini dilakukan petanii etnis bugis dengan istilah “Marakkala” yang berasal dari kata dasar “Rakkala” yaitu salah satu alat pengolah tanah tradisional dalam sistem pertanian orang Bugis.

Alat tradisional ini berfungsi untuk menggemburkan tanah sebelum dilakukan penaburan benih dan penanaman padi. Alat ini terdiri dari beberapa komponen yang terbuat dari kayu-kayu berkualitas tinggi dan sepotong besi 148

yang berbentuk pipih. Pengoperasian rakkala biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki dengan dibantu oleh tenaga hewan.

Alat ini digunakan petani untuk membajak sawah, baik sawah irigasi maupun sawah tadah hujan, untuk menggemburkan tanah. Kamus Besar

Bahasa Indonesia (KBBI) juga mengartikan bajak sebagai perkakas pertanian yang terbuat dari kayu atau besi untuk menggemburkan dan membalikkan tanah (KBBI, 2005:91).

Sebagian petani di wilayah penelitian pada zaman itu berusaha semaksimal mungkin untuk dapat memelihara hewan-hewan penarik rakkala seperti sapi, kerbau, atau kuda, karena alasan-alasan tersebut di atas.

Dengan demikian, biaya operasional pengolahan tanah dapat ditekan seminimal mungkin. Selain itu, memelihara ternak juga memberi manfaat lain bagi para petani. Jika ada keperluan mendesak, hewan-hewan peliharaan tersebut dapat dijual kapan saja untuk menambah modal kerja ataupun pemenuhan kebutuhan keluarga lainnya.

Pembajakan sawah dilakukan oleh kaum laki-laki dan dibantu oleh tenaga hewan seperti sapi, kerbau, atau kuda. Membajak sawah dalam bahasa setempat disebut dengan maddakkala sedangkan para petani yang mengoperasikan alat tersebut dinamakan paddakala. seorang petani yang menggunakan tenaga kerbau atau sapi juga harus menyiapkan babba, yaitu sebuah cambuk yang terbuat dari tangkai bambu atau rotan sebesar 149

kelingking. Alat ini berfungsi sebagai pemicu agar hewan penarikrakkala tersebut dapat berjalan lebih cepat (Rasyid MS, et al., 1991:38).

Rakkala merupakan suatu unit peralatan membajak sawah yang terdiri dari beberapa unsur atau komponen yang saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan dari sebuah bajak. Jika salah satu komponen tersebut tidak terpenuhi, maka rakkala tidak dapat berfungsi sebagai suatu alat pengolah sawah. Adapun komponen-komponen rakkala tersebut adalah sebagai berikut :

 Tekko

Tekko merupakan bagian utama dari sebuah rakkala dan merupakan tempat dirangkainya komponen-komponen rakkala lainnya, seperti watang rakkala

(batang bajak), sui, gigi (mata bajak). Selain itu, tekko juga merupakan kemudi untuk mengontrol dan mengatur arah mata bajak pada tanah yang akan dibajak. Bahan utama yang digunakan untuk membuat alat ini adalah jenis kayu yang kuat, awet, dan tahan terhadap air.

 Watang rakkala (batang bajak)

Bentuk alat ini dibedakan berdasarkan jenis hewan yang digunakan sebagai penarik bajak. Jika hewan yang digunakan sebagai penarik bajak adalah sapi atau kerbau, maka yang digunakan adalah dua ekor atau sepasang. 150

Gambar 4. Bentuk watang rakkala

Keterangan gambar : a = tekko rakkala b = watang rakkala c = Sui d = Gigi e = Paccala tekko

 Sui

Sui adalah sepotong kayu yang berbentuk pipih dan bertangkai serta mempunyai ujung yang lancip dan runcing. Alat ini dipasang atau disambungkan dengan tekko rakkala dan berfungsi untuk membalikkan tanah. Bahan yang digunakan untuk membuat sui adalah kayu yang kuat, awet, dan tahan air seperti kayu bitti, kayu cenrana, atau kayu jati.

 Gigi (mata bajak)

Gigi adalah sepotong besi yang berbentuk pipih dan tajam. Alat ini dipasang pada bagian bawah suisebagai bantalan. Pamasangan alat ini dimaksudkan agar lebih mudah membelah dan membongkar tanah. 151

 Tali-temali

Tali-temali merupakan salah satu komponen rakkala yang terbuat dari rotan, ijuk, kulit kayu, atau tali plastik. Tali-tali tersebut merupakan alat bantu yang digunakan oleh petani untuk mengikat komponen-komponen rakkala lainnya.

Adapun komponen-komponenrakkala yang terbuat dari tali adalah sebagai berikut.

1) Pabbekkeng nyarang atau tali pinggang kuda, yaitu dua utas tali yang

panjangnya kira-kira dapat melingkar pada perut kuda penarik rakkala.

Kedua utas tali yang terbuat dari rotan atau ijuk ini berfungsi untuk

mengencangkan posisi lapi di atas punggung kuda agar tidak lepas pada

saat kuda menarik rakkala.

2) Kalong, yaitu seutas tali dari rotan atau ijuk yang dipasang melingkar

atau disangkutkan pada leher kuda dan kedua ujungnya diikatkan

pada lapi. Tali ini berfungsi untuk menahan lapi agar tidak tertarik ke

belakang pada saat kuda menarik rakkala.

3) Parajo, yaitu seutas tali rotan yang telah dipilin dan dipasang persis di

tengah-tengah ajoa, yang berfungsi untuk mengikat ujung watang

rakkala. Ajoa adalah sebatang kayu yang panjangnya 1,5 meter,

berbentuk pipih yang dipasang pada leher kedua sapi atau kerbau, dan

berfungsi untuk merangkai sepasang hewan penarik rakkala tersebut. 152

4) Galang atau pelana, yaitu seutas tali yang panjangnya dua kali

panjang watang rakkala yang berfungsi untuk menggiring hewan

penarik rakkala (Rasyid Ms, et al., 35-37).

Gambar 5. Ajoa berbentuk pipih yang dipasang pada leher ternak

Rakkala adalah salah satu alat pengolah tanah petani di Sulawesi

Selatan yang cara pembuatannya cukup sederhana namun tetap memerlukan keterampilan khusus, terutama keahlian untuk membuat tekko. Berikut ini cara dan urutan pembuatan komponen- komponen rakkala tersebut.

 Pembuatan tekko rakkala

Pembuatan suatu unit rakkala biasanya dimulai dari pembuatan tekko rakkala karena tingkat kesulitannya lebih tinggi dibandingkan dengan cara pembuatan komponen-komponen lainnya. Bahan yang digunakan untuk membuat alat ini adalah kayu yang agak bengkok. Kayu bengkok tersebut kemudian dibentuk melengkung menyerupai huruf “S” dalam abjad latin. Hal 153

ini dimaksudkan agar gigi (mata bajak) dapat dengan mudah masuk ke dalam tanah. Bahan tersebut dihaluskan dengan cara dikerik dengan menggunakan pecahan-pecahan kaca atau botol lalu diberi lubang berbentuk segiempat pada bagian-bagian tertentu sebagai tempat memasang komponen-komponen rakkala lainnya seperti watang rakkala, dan sui.

Mengingat ukuran lubang pada tekko lebih besar daripada ukuran pangkal watang rakkala, maka harus diberi potongan-potongan kayu yang berukuran kecil dan berbentuk trapesium yang disebut dengan paccala. Alat ini berfungsi untuk mengencangkan posisi watang rakkala pada tekko sehingga tidak goyah dan terpasang dengan kokoh.

 Pembuatan watang rakkala

Setelah pembuatan tekko selesai, maka proses selanjutnya adalah membuat watang rakkala.Disebutkan sebelumnya bahwa watang rakkala terdiri dari dua macam, maka cara pembuatan kedua watang rakkala tersebut juga berbeda. Adapun cara membuat kedua jenis watang rakkala tersebut adalah sebagai berikut.

1) Cara membuat watang rakkala jika sapi atau kerbau yang digunakan

sebagai penarik rakkala. Sebatang kayu yang panjangnya sekitar 345 cm

dibentuk segiempat pipih. Setelah itu, pangkalwatang rakkala tersebut

dipahat berbentuk segiempat yang disesuaikan dengan ukuran lubang 154

yang terdapat pada tekko rakkala. Sementara itu, ujungnya diberi lubang

sebesar jari kelingking sebagai tempat untuk mengaitkan tali parajo.

2) Cara membuat watang rakkala jika kuda yang digunakan sebagai

penarik rakkala. Sebatang kayu yang panjangnya sekitar 1,5 meter

dibentuk segiempat pipih. Pangkal watang rakkala tersebut juga

dipahat berbentuk segiempa sesuai dengan ukuran lubang yang ada

pada tekko rakkala sementara ujungnya disambungkan pada

bagian watang rakkala yang berbentuk huruf “U” sehingga jika kedua

komponen tersebut telah tersambung, maka watang rakkala akan

berbentuk menyerupai bentuk ketapel. Kemudian, kedua ujung

bagian watang rakkala yang berbentuk huruf “U’ tersebut diberi lubang

sebesar jari kelingking untuk diikatkan pada alat yang disebut adang.

Adang adalah sepasang kayu bercabang yang panjangnya sekitar 20 cm

yang dipasang pada sisi kiri dan kanan lapi. Untuk mengikat kedua

ujung watang rakkala dengan adang, digunakan tali rotan, ijuk, ataupun

tali kulit kayu.

 Pembuatan sui

Sui adalah komponen rakkala yang terbuat dari sepotong kayu bertangkai.

Kayu tersebut dibentuk pipih dan ujungnya dibuat lancip dan runcing. Agar tidak cepat tumpul, maka ujung sui diberi sepotong besi yang disebut gigi yang berbentuk pipih dan tajam. Gigi ini biasanya diperoleh dengan cara 155

dipesan khusus kepada pandai besi atau dapat diperoleh di toko-toko yang menyediakan alat-alat produksi pertanian.

 Pembuatan tali-temali

Tali-temali yang digunakan oleh petani dapat diperoleh melalui dua cara, yaitu ada yang dibuat sendiri dan ada pula yang diperoleh dengan cara dibeli di pasar. Jenis tali yang dibuat sendiri oleh petani di antaranya adalah tali ijuk, tali rotan, dan tali kulit kayu. Ketiga jenis tali dibuat dengan cara dipilin agar menjadi lebih kuat. Sementara tali yang biasa dibeli di pasar adalah tali plastik.

Setelah seluruh komponen rakkala selesai dibuat, maka pembajakan sawah dapat dimulai. Langkah pertama yang dilakukan oleh petani adalah memasang komponen-komponen rakkala pada hewan penarik rakkala.

Setelah itu, petani mulai menggiring ternaknya untuk memulai pembajakan.

Pada umumnya, pembajakan dimulai dari bagian pinggir petakan sawah hingga ke bagian tengah sawah. Posisi sui dan gigi (mata bajak) harus menghadap ke luar atau ke arah kanan si pembajak sehingga bagian-bagian tanah yang belum terbajak tidak tertutupi oleh gumpalan-gumpalan tanah yang sudah terbongkar.

Pembajakan sawah biasanya dilakukan oleh kaum laki-laki sedangkan kaum perempuan bertugas untuk mengurus makanan. Pada saat pembajakan dilakukan, para petani terkadang bersenandung agar hewan 156

penarik rakkala dapat berjalan lebih cepat dan sekaligus untuk menghibur diri dari terpaan sinar matahari atau air hujan. Jika hewan yang digunakan adalah sapi atau kerbau, biasanya petani melengkapi dirinya dengan cambuk yang biasa mereka sebut “Pa’babba” dari tangkai bambu atau rotan sebesar jari kelingking untuk memacu kecepatan hewan-hewan tersebut. Selain itu, petani juga harus menggunakan penutup kepala yang disebut dengan palo

(caping atau capil) untuk berlindung dari terik sinar matahari atau air hujan

(Rasyid Ms, et al., 38).

Untuk membajak sawah seluas satu hektar biasanya membutuhkan waktu lebih kurang satu minggu. Agar pekerjaan membajak tersebut cepat selesai, maka pembajakan sawah biasanya dilakukan dengan cara bergotong-royong, yaitu dilakukan oleh dua sampai tiga orang pembajak.

Tahapan dalam “marakkala” yang secara urut-urutan dilakukan oleh petani dengan cermat, sesuai dengan penuturan seorang informan Indo Welleng (67 tahun) adalah sebagai berikut :

Pertama dilakukan “marakkala” (membolak-balikkan tanah) dilakukan kurang lebih 3 hari dan dilakukan oleh kurang lebih 3 – 5 orang, kemudian “Massalaga” (menghancurkan tanah yang sudah dibolak- balik) dilakukan kurang lebih 2 hari dan dilakukan oleh kurang lebih 3 orang, selanjutnya “mappura galung” (meratakan tanah kemudian dilumpurkan sampai macak-macak) dilakukan kurang lebih 3 hari dan dilakukan oleh kurang lebih 3 orang, setelah itu kemudian “mabbingkung wiri’ galung”/”mappetau lolo” (memperbaiki pematang) dilakukan kurang lebih 5 hari dan dilakukan oleh kurang lebih 3 orang, terakhir dilakukan “mattimpu galempong balao” (menutup lubang tikus) dilakukan kurang lebih 2 hari dan dilakukan oleh 3 157

orang...... (wawancara di lakukan di Desa Lowa, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo tanggal 13 Juli 2014)

Sehingga total waktu yang digunakan petani dalam “marakkala”

adalah kurang lebih 15 hari dengan tenaga kerja yang cukup banyak.

Menurut pengalaman petani informan lainnya, yaitu H. La Uda (80 tahun)

dalam penggunaan rakkala bahwa :

Pengalaman saya dalam “marakkala” adalah pada saat itu memang sangat membantu karena terjadi interaksi antara sang pemilik sawah atau yang akan menggarap sawah dengan sawahnya sebelum aktivitas pertanaman dimulai. Karena yang biasanya mengolah tanah dengan rakkala adalah orang yang akan menggarap sawah, sehingga dengan sendirinya telah beradaptasi sebelumnya. (wawancara dilakukan di Desa Awata, Kecamatan Tanasitolo, tanggal 23 Juli 2013).

Ungkapan yang lain dari petani informan Takdir (65 tahun) dalam penggunaan rakkala bahwa :

Dalam “marakkala” lahan sawah yang cukup luas membutuhkan bantuan dari sesama petani sehingga sistem gotong royong yang biasanya dilakukan oleh satu sampai tiga orang petani. Melalui kegiatan ini dapat mempererat silaturrahim antar petani dan saling tukar pengalaman dalam berusahatani sehingga terjadi transfer pengetahuan dan akan semakin mempererat rasa solidaritas dan kebersamaan antarsesama petani. (wawancara dilakukan di Desa Kalola, Kecamatan Maniangpajo, tanggal 23 Juli 2013).

Salah satu informan yaitu Bapak Ambo Upe (75 tahun) menuturkan pengalaman yang diperoleh saat marakkala

Saya menggunakan rakkala pada tahun-tahun sebelum adanya traktor karena dari segi biaya lebih murah karena menggunakan ternak sapi saya sendiri, meskipun saya mengerjakannya cukup lama bisa sampai seminggu...... (wawancara dilakukan di Desa Kalola, Kecamatan Maniangpajo, tanggal 23 Juli 2013). 158

Berdasarkan uraian pengalaman dari beberapa informan yang menuturkan pengetahuannya tentang “marakkala” dapat disimpulkan bahwa dari marakkala petani memilki makna pengetahuan bekerja dengan sebuah

“sistem” dalam arti bahwa suatu alat “rakkala” memiliki beberapa komponen yang saling terkait. Apabila satu komponen tidak dapat berfungsi dengan baik maka suatu rakkala tidak akan mampu bekerja secara optimal.

Fungsi dari komponen-komponen tersebut juga bekerja secara sistematis, yang meliputi beberapa langkah : marakkala (membolak-balikkan tanah), massalaga (menghancurkan tanah), mappura galung (meratakan dan dibuat berlumpur), mappetau lolo (memperbaiki pematang), dan mattimpu galempong balao (menutup lubang tikus). Makna pengetahuan tentang sistem marakkala ini adalah mempersiapkan lahan sawah sebagai sebuah

“tempat” yang harus nyaman dan kondusif bagi benih padi untuk bertumbuh dan berkembang.

Makna penting dari pengetahuan tentang marakkala ini juga adalah

“proses adaptasi” penggarap dengan sawah yang akan dikelola 4 bulan kedepan sehingga dapat memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan.

Melalui marakkala terkadang terjadi “transfer pengetahuan” antar petani dan menumbuhkan kebersamaan karena dilakukan secara bergotong royong. 159

D. Pengetahuan tentang “Mattaneng”

Tradisi mattaneng di lakukan oleh masyarakat tani suku Bugis yaitu bertanam padi di sawah secara berkelompok. Sebelum acara mattaneng dilaksanakan, tokoh adat atau orang yang dituakan/rohaniawan (panrita) akan mengundang petani setempat untuk manre sipulung (bermusyawarah) menentukan waktu bertanam. Dalam acara ini biasanya unsur pemerintah ikut dilibatkan, yaitu PPL maupun aparat desa/kecamatan setempat.

Setelah waktu tanam ditetapkan, maka acara mattaneng akan didahului dengan pembacaan do’a tolak bala (doa salama’) dengan maksud agar usahataninya terbebas dari segala bencana dan serangan hama - penyakit tanaman. Dalam pembacaan do’a tolak bala ini, disajikan berbagai hasil bumi dari panen tahun lalu. Do’a biasanya dibaca di rumah petani yang bersangkutan, atau biasa juga dibawa ke sawah secara kolektif.

Rangkaian kegiatan “mattaneng” dengan sistem tanam pindah menurut penuturan Indo Welleng (67 tahun) berikut ini :

Diawali dengan “massisi bine” (mencabut benih) dari pesemaian yang dilakukan biasanya selama satu hari dan secara gotong royong secara bersama-sama dan setelah selesai kemudian makan bersama, setelah itu dilakukan “mallempa bine” (memikul bibit) ke sawah, selanjutnya “mattale bine” mengatur bibit ke setiap sudut sawah untuk memudahkan tenaga tanam dengan jarak 1 m per ikat selama 1 hari. Keesokan harinya kemudian “mattaneng” secara gotong royong dan diakhiri dengan makan bersama (wawancara di lakukan di Desa Lowa, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo tanggal 13 Juli 2014) 160

Lain lagi penuturan pengalaman informan petani Ambo Upe (75 tahun), bahwa :

Dalam mattaneng saya kadang-kadang menggunakan sistem tanam “mangngampo” yang dilakukan dengan langsung menghambur benih di sawah, dengan menyiapkan benih kurang lebih sampai 75 kg per hektarnya. Setelah hambur dibiarkan tumbuh dan berkembang,...... (wawancara dilakukan di Desa Kalola, Kecamatan Maniangpajo, tanggal 23 Juli 2013). Dalam tradisi mattaneng, terdapat pengetahuan tentang sistem tanam yaitu dengan sistem “mangngampo” (hambur benih) dan sistem “tanam pindah”. Perbedaan antara kedua sistem tanam tersebut dapat dilihat dari beberapa aspek penting yaitu : teknis, waktu, tenaga, biaya, dan jumlah benih yang digunakan. Dari aspek teknis, mangngampo dapat dilakukan dengan mudah karena hanya dihambur ke lahan sawah, sementara sistem tanam pindah dihambur dulu pada lahan pesemaian kemudian beberapa rangkaian kegiatan berikutnya yaitu (1) massisi bine; (2) mellempa bine; (3) mattaneng.

Selanjutnya dalam penggunaan waktu dapat dipastikan bahwa pada sistem “mangngampo” lebih efisien dalam menggunakan waktu sementara pada sistem tanam pindah selama kurang lebih 7 hari, demikian juga dengan penggunaan tenaga kerja dan biaya yang digunakan. Dari aspek penggunaan benih, pada sistem “mangngampo” menggunakan lebih banyak benih, kebiasaan petani bisa sampai 75 kg/ha, sementara pada sistem tanam pindah hanya menggunakan 30 – 35 kg/ha. 161

E. Pengetahuan tentang “Mappiare Ase”

Setelah rangkaian kegiatan “mattaneng” selesai kegiatan berikutnya adalah pemeliharaan yang juga terdiri dari beberapa rangkaian kegiatan antara lain :

 Mabbaja Ase

Pengetahuan petani tentang “mabbaja ase” (membersihkan pertanaman padi di sawah), dari beberapa tanaman penganggu yang tumbuh bersamaan tumbuhya tanaman padi di sawah. Aktivitas ini dilakukan petani secara manual tanpa menggunakan alat, tetapi mencabut langsung tanaman penganggu, secara rutin biasanya seminggu sekali.

Lewat mabbaja ase petani juga melakukan interkasi dengan tanaman padi sebagai mahluk hidup yang butuh lingkungan hidup yang nyaman, perlu diperhatikan dan dipelihara agar dapat memberikan hasil dan manfaat bagi kehidupan. Selain itu juga, lingkungan pertanaman padi yang bersih akan memberikan ruang tumbuh yang sehat bagi tanaman padi dan terhindar dari serangan hama dan penyakit.

 Maddongi/Mappaleppa

Burung, menjadi musuh petani saat musim panen, karena burung akan memakan hasil padi yang akan dipanen para petani. Burung yang sering menjadi masalah saat penen antara lain adalah burung pipit dan manyar.

Kedua jenis burung ini saat melakukan aksinya, selalu membawa 162

gerombolan dari puluhan hingga ribuan (kalau sawahnya luas). Akibat dari serangan ini, petani bisa mengalami gagal panen ataupun kehilangan hasil panen. Kebanyakan hama burung beraksi pada pagi dan sore hari.

Dikalangan para petani ada beberapa metode yang digunakan untuk mengusir hama burung ini. Antara lain membuat orang-orangan, umbul- umbul, membunyikan kaleng, memasang plastik kresek, ketapel. Salah satu pengetahuan petani tersebut adalah “maddongi” (mengusir burung dengan berbagai macam alat yaitu pajo-pajo ataupun palleppa). Ketika padi mulai menguning, maka akan diserbu oleh burung-burung kecil yang datang berombongan.

Untuk mengusir burung-burung pemakan padi biasanya petani berteriak-teriak hanya sekedar membuat kaget makhluk pemakan padi itu.

Biasanya pada tahap ini, petani juga tidak lupa membuat orang-orangan atau “pajo-pajo”. Orang-orangan tadi dikalungi kaleng berisi kerikil atau batu agar burung terkejut dan terbang dari sawah saat pajo-pajo tersebut digoncang-goncangkan.

 Pengendalian penyakit Cella Pance, Wae Tanra dan Masseremme

Balao

Pengetahuan petani tentang pengendalian hama dan penyakit yang biasa menyerang tanaman padi sawah yaitu penyakit cella pance atau yang diistilahkan saat ini penyakit tungro, dan penyakit wae tanra yang dikenal 163

saat ini sebagai penyakit busuk leher. Selain mengendalikan dua jenis penyakit tersebut, petani juga memiliki pengetahuan dalam pengendalian hama tikus yang diistilahkan “masseremme balao” (membersihkan sisa-sisa makan tikus).

Penuturan petani H. La Uda (80 tahun) tentang rangkaian pemeliharaan tanaman padi yang mayoritas dilakukan hanya untuk pengendalian hama dan penyakit saja, adalah sebagai berikut :

Padi di sawah dipelihara dengan dikunjungi hampir setiap pagi dan sore hari, sehingga petani dapat mengikuti perkembangan dan pertumbuhannya setiap waktu. Kegiatan yang dilakukan meliputi “mabbaja ase” yaitu membersihkan tumbuhan liar di sekitar pertanaman padi dan mengamati tanaman yang terserang penyakit seperti “cella pance” (tungro) yang biasanya dibuatkan ramuan cekku (kencur) ditumbuk dengan kariango dan buah tenna tuju dan ditambahkan dengan panini kemudian di “eppi-eppi” kan ke tanaman padi yang terserang...... (wawancara dilakukan di Desa Awata, Kecamatan Tanasitolo, tanggal 23 Juli 2013).

Pengalaman informan lainnya yaitu Bapak Tambo (62 tahun) tentang pengendalian penyakit adalah sebagai berikut :

Pengendalian penyakit “wae tanra” (busuk leher) menggunakan air yang terdapat dalam batang pohon yang berlubang. Sedangkan kegiatan “maddongi” dilakukan dengan menggunakan alat “pajo-pajo” (orang-orangan sawah) untuk menjaga serangan babi hutan) semnetara alat lain yaitu “pappalleppa” digunakan untuk mengusir burung dan serangga lain yaitu tali dipasang di sudut sawah kemudian di tarik pagi dan sore hari. Sedangkan untuk pemberantasan tikus dilakukan “masseremme balao” yaitu mencabut sisa-sisa tanaman padi bekas dimakan tikus, kemudian disimpan di tempat yang sama dengan tujuan agar tikus tidak memakan tanaman lainnya tapi menghabiskan sisa tanaman yang sudah dimakannya (wawancara di Kelurahan Dualimpoe, Kecamatan Maniangpajo, Kab. Wajo tanggal 26 Juni 2014). 164

F. Pengetahuan tentang “Madduppa Ase”

Setelah tanaman berumur 4 bulan di pertanaman, maka tibalah waktu panen, yang diistilahkan masyarakat setempat sebagai “madduppa ase”.

Seperti halnya “mappataneng”, acara ini juga dilakukan secara bergotong - royong dengan melibatkan petani lainnya. Mereka dengan cara bergantian memanen padi di sawah. Petani yang ikut membantu tidak diberi upah, namun diberi bagian sedikit hasil panen agar mereka bersama – sama merasakan nikmatnya berre (beras) hasil panen (ase baru).

Madduppa ase dilakukan pada pagi hari ketika matahari sudah mulai meninggi (waktu duha). Sebelum ritual dimulai, terlebih dahulu ibu-ibu tani mempersiapkan bahan-bahan yang akan digunakan dalam prosesi. Mulai dari penganan berupa sokko (nasi ketan), pallise (Dibuat dari campuran parutan kelapa dan gula merah), leppe-leppe (semacam ketupat, tapi bentuknya memanjang), dan berbagai makanan tradisonal lainnya yang nantinya akan disantap bersama setelah prosesi Madduppa ase berakhir.

Sedangkan bahan yang akan digunakan ketika turun sawah berupa, kelapa muda, ayam kampung, selai (adonan) yang terbuat dari menir, kunyit, rimpang bengle, pinang, daun sirih, kapur dan kembang gabah, juga ada minyak bau yang dibuat dari campuran dupa, daun jati, bunga selasih dan beberapa tanaman yang menghasilkan bau yang tajam, seperti dalam bahasa Bugis disebut dan Daun Rellang. Sebagai pembuka dari prosesi, 165

maka terlebih dahulu Imam Kampung atau Guru (Pegawai syara di masjid) melakukan ma’baca doang salama (memanjatkan do’a-do’a untuk keselamatan) yang dilakukan di atas rumah.

Setelah itu, guru menuntun ibu-ibu tani turun dari rumah dan melangkah menuju sawah. Dupa dinyalakan di petau (pematang sawah) bagian sudut petakan dan Guru kembali memanjatkan do’a-do’a.

Setelahnya, ibu-ibu tani mulai mengambil perandengan mengoles daun padi dengan minyak bau, hal ini dimaksudkan sebagai sumange’ (semangat) agar buah padi bersemangat untuk terus berbuah dan juga buahnya mempunyai aroma khas.

Selanjutnya, sambil mengelilingi petakan sawah, air kelapa dipercikkan ke daun-daun padi agar daun padi selalu segar meskipun kekurangan air. Selanjutnya, ibu-ibu tani melangkah ke sudut sawah untuk mengambil tanah lalu dicampur dengan daun sirih yang sebelumnya dikunyah lalu dioles ke daun agar tanah tetap subur. Sementara buah padi diolesi pallise, agar buah padi mallise (padat berisi). Selanjutnya, selai dihamburkan dengan harapan nantinya menjadi pestisida nabati agar padi tahan terhadap berbagai penyakit. Terakhir, mappakanango (anango = walang sangit) yaitu ujung daun dilipat dengan bulu ayam kampung dan kulit leppe-leppe agar buah nantinya tidak dimakan walang sangit. 166

Semua prosesi itu dilakukan ibu-ibu tani pada petakan sawah keluarganya masing-masing. Sebagai rangkaian akhir dari prosesi Madduppa ase, maka ibu-ibu kembali berkumpul di rumah dan mengajak semua sanak keluarga untuk makan bersama, menyantap berbagai makanan tradisional yang telah disiapkan sebelumnya. Prosesi Madduppa ase berakhir sambil berharap panen padi nantinya akan melimpah. Sampai ketemu di

Ma’padendang (pesta panen raya).

Jika seluruh padi telah dipanen, maka mereka kembali melakukan acara syukuran (do’a salama) sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan

Yang Maha Kuasa, yang telah melimpahkan rahmat dan kurunia sehingga hasil panen dapat dinikmati oleh para petani.

Pengalaman informan H. Bakri G. (65 tahun) bahwa :

Pada saat padi sudah siap panen biasanya petani mulai mencari hari baik untuk mulai panen yang disebut “mappassangki”. Setelah hari ditentukan, kemudian mengundang beberapa kerabat dekat untuk ikut dalam kegiatan “mappassangki”. Perlengkapan yang digunakan adalah “rakkapeng”, “palo dompa”, “pabbesse”, passiyo”, dan “pallempa” yang maccaca wali. Biasanya dalam acara “mappassangki” dilakukan secara gotong royong dan diakhiri dengan makan bersama. ….…….(wawancara dilakukan di Desa Kalola. Kecamatan Maniangpajo, tanggal 23 Juli 2013).

Sementara informan Indo Welleng (67 tahun) menuturkan pengalamannya saat ikut acara “madduppa ase” berikut ini :

Saat yang ditunggu-tunggu masyarakat petani dan keluarga adalah “madduppa ase” karena pada saat itu semua anggota keluarga dan kerabat bisa ikut berpartisipasi dan hal yang menyenangkan khususnya pada anak-anak adalah pada saat pembagian upah panen 167

yang biasanya dihitung berdasarkan banyaknya jumlah ikatan yang dihasilkan dengan perhitungan mampu memanen 7 ikat maka akan diberikan 1 ikat sebagai upah untuk orang dewasa, sementara untuk anak-anak apabila berhasil memanen 3 ikat maka akan diberikan 1 ikat. (wawancara di lakukan di Desa Lowa, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo tanggal 13 Juli 2014)

Pengalaman H. La Uda (80 tahun) pada menyelenggarakan acara

“Mappasangki” adalah sebagai berikut :

Sangat senang bisa memberikan kesempatan kepada kerabat untuk berpartisipasi dalam memanen padi, karena disaat itu lah kesempatan untuk berbagi rezeki kepada sesame sehingga dapat mempererat kekerabatan……(wawancara dilakukan di Desa Awata, Kecamatan Tanasitolo, tanggal 23 Juli 2013).

Ani-ani atau ketam adalah sebuah pisau kecil yang dipakai untuk memanen padi. Cara panen tradisional ini alat – alat panen yang digunakan juga sederhana seperti sabit dan ani – ani yang menggunakan tenaga manusia itu sendiri. Ani – ani dan sabit pada dasarnya memiliki bagian yang sama, yaitu terbuat dari pisau dan kayu genggaman sebagai letak pisau.

Yang membedakan kedua alat tersebut adalah bentuknya. Pada saat diperkenalkannya varietas baru padi unggul yang memiliki potensi hasil tinggi dan berpostur pendek, maka terjadi perubahan penggunaan alat panen dari ani - ani ke penggunaan sabit. Sehingga pemanenan padi tersebut menyebabkan kehilangan hasil produksi padi menjadi lebih rendah.

Ani - ani umumnya digunakan petani untuk memanen padi lokal yang tahan rontok dan tanaman padi yang memiliki postur tinggi dengan cara memotong pada tangkainya. Cara panen padi varietas baru padi unggul 168

dengan sabit dapat dilakukan dengan cara potong atas, potong tengah atau potong bawah tergantung cara perontokannya. Dengan memanen padi menggunakan cara tradisional mempunyai keuntungan dan kerugian.

Keuntungannya adalah sebagai berikut :

1. Memberikan kesempatan kerja pada buruh tani.

2. Hasil pemotongan gabah dengan sabit atau ani - ani ini lebih bersifat

terpilih (dapat membedakan padi yang layak panen dan tidak layak

panen).

3. Harga alat panen yang murah, sehingga bisa dimiliki oleh setiap petani.

Sedangkan kerugiannya, sebagai berikut :

1. Kebutuhan tenaga orang per hektar banyak

2. Kehilangan gabah pada waktu panen relatif lebih tinggi dibandingkan

dengan alat mekanis

3. Biaya panen perhektar relatif lebih tinggi dibandingkan dengan alat

mekanis, tapi biaya awal tidak ada. 169

BAB VII

PENGETAHUAN BUDIDAYA PADI BERBASIS ILMIAH

A. Pengetahuan tentang Kalender Tanam

Secara umum di Indonesia dan khususnya di Sulawesi Selatan, musim tanam padi sawah dibagi menjadi dua. Musim Tanam I yaitu pada bulan april - september dan Musim Tanam II pada bulan oktober - maret. Musim

Tanam I identik dengan musim hujan sedangkan Musim Tanam II pada musim kemarau.

Teknologi untuk menentukan waktu tanam untuk tanaman padi oleh

Badan Litbang Pertanian Kementerian Pertanian menyusun atlas kalender tanam untuk tanaman padi bagi penyuluh dan petani setiap kecamatan seluruh Indonesia (Runtunuwu 2011). Estimasi awal waktu tanam ditentukan berdasarkan kondisi curah hujan tahunan, yaitu pada kondisi basah, normal, dan kering (Runtunuwu dan Syahbuddin 2011). Apabila sifat iklim tahunan suatu kecamatan adalah basah, maka diasumsikan lahan sawah kecamatan tersebut mengalami kondisi basah sepanjang tahun. Padahal sifat iklim bersifat tidak statis sepanjang tahun. Prakiraan sifat iklim BMKG untuk setiap zona musim menunjukkan hasil yang berbeda antar musim.

Informasi kalender tanam dipadukan dengan hasil prediksi iklim sehingga mengubah kalender tanam yang dulunya statis menjadi dinamis

(Pramudia 2013). Informasi sifat iklim yang dulunya diasumsikan sama 170

sepanjang tahun, telah dipecah menjadi tiga musim berbeda berdasarkan prediksi sifat iklim. Perubahan ini menjamin pengguna mendapatkan informasi terbaru. Pada proses selanjutnya, kalender tanam dinamik dilengkapi menjadi kalender tanam terpadu (Runtunuwu 2012). Karena selain membutuhkan informasi awal waktu tanam pada setiap level kecamatan, pengguna juga memberikan informasi mengenai wilayah rawan terkena bencana seperti kekeringan, banjir dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Termasuk juga informasi rekomendasi teknologi berupa varietas, benih, pupuk, dan mekanisasi pertanian yang perlu disiapkan sebelum masuk periode musim tanam berikutnya.

Agar penyebaran informasi lebih cepat dan efisien ke seluruh

Indonesia, maka informasi ini dikemas dalam bentuk system informasi berbasis website. Pengembangan Sistem Kalender Tanam Terpadu

(selanjutnya disebut SI Katam Terpadu) bersifat interaktif diharapkan dapat mempermudah dan mempercepat pengguna mengakses informasi kalender tanam (Ramadhani 2013). 171

Walaupun sangat beragam sesuai dengan pola curah hujan, secara umum musim tanam (MT) dikelompokkan sebagai berikut: Periode MT I,

September III/Oktober I-Januari III/Februari I, periode MT II, Februari II/III-Mei

III/Juni I, dan periode MT III, Juni II/III-September I/II (Runtunuwu 2013a).

Peluncuran SI Katam Terpadu MT I dilakukan setiap bulan Agustus, MT II pada bulan Februari dan MT III paling lambat bulan Mei (Gambar 5).

Penyusunan SI Katam Terpadu MT I merupakan basis, karena pada peluncuran bulan Agustus itu sekaligus berisi pola tanam sepanjang setahun.

Pada peluncuran MT II dan MT III dilakukan pemutakhiran (improvement ) berdasarkan data prediksi iklim terbaru (Syahbuddin dan Runtunuwu 2013).

Gambar 6. Siklus Musim Tanam dalam Setahun

Agar pengguna tetap memiliki informasi yang mendekati kondisi lapang, SI Katam Terpadu terus dievaluasi, diperbaiki, diperbaharui, dan 172

dikembangkan melalui α - β testing (Pressman 2001) untuk meningkatkan akurasi informasi. Peranan petani, penyuluh, dan pengguna sangat penting di dalam memberikan umpan balik (feed back) bagi perbaikan SI Katam

Terpadu ke depan sebagai salah satu upaya adaptasi sektor pertanian dalam menyikapi perubahan iklim (Runtunuwu 2013b).

Sistem Informasi Kalender Tanam (Katam), telah mengeluarkan fasilitas teknologi informasi yang bukan hanya melalui web, melainkan melalui SMS (Short Message Service). bahkan, tak cuma lewat fasilitas SMS, ada aplikasi android yang dapat langsung diakses dalam rangka membantu pendistribusian informasi ke petani. Melalui SMS, ntuk mengetahuinya petani cukup mengetik : spasi

<(kecamatan,Kabupaten,Propinsi)>. Sedangkan untuk mengetahui varietas, petani cukup mengetik salah satu komoditas yang diinginkan. Misalnya

<(padi, jagung, kedelai)>spasi<(kecamatan,Kabupaten,Propinsi)>. Setelah itu, SMS tersebut dikirimkan ke nomor 081235-65-1111. Dalam hitungan detik, kotak masuk telepon genggam petani akan langsung terisi informasi tanam yang tepat. Untuk biayanya, setiap kali mengirim SMS akan dikenakan

Rp.150,-.

Selain SMS, petani yang sudah memiliki perangkat smartphone berbasis android Informasi Katam dapat diakses gratis melalui alamat : https://play.google.com/store/apps/details?id=com.litbang.katamterpadu. 173

Setelah di install, pengguna dapat langsung menggunakannya dengan memilih administrasi kecamatan, kemudian memilih komoditas (padi, jagung, kedelai), ketik pupuk (tunggal atau majemuk), dan klik varietas.

Penuturan informan petani Bapak Tambo (62 tahun) tentang introduksi kalender tanam (KATAM) terpadu bahwa :

Sampai saat ini saya belum mengetahui tentang KATAM tersebut, sehingga belum pernah menggunakannya untuk budidaya padi. Informasi tentang KATAM sudah pernah saya dengar saat berkunjung ke Kantor Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Wajo dari salah satu penyuluhnya. Namun informasi lengkap saya belum pernah peroleh……….. (wawancara di Kelurahan Dualimpoe, Kecamatan Maniangpajo, Kab. Wajo tanggal 26 Juni 2014).

Dari petikan wawancara di atas menunjukkan bahwa penyebaran pengetahuan tentang kalender tanam terpadu yang dihasilkan Badan

Litbang Pertanian, masih mengalami kendala karena setelah diluncurkan pada tahun 2012 yang lalu sampai saat ini masih belum memasyarakat.

Informasi tentang sistem informasi KATAM belum sepenuhnya dipahami oleh pengguna sehingga membutuhkan sosialisasi dan demonstrasi penggunaannya di tingkat lapang. Oleh karena penyebarannya masih terbatas sehingga pemanfaatannya pun belum optimal.

Informan penyuluh Bapak Nurung Getteng, SP (45 tahun) yang sempat memberikan komentarnya tentang KATAM mengungkapkan bahwa :

Sistem informasi kalaender tanam (KATAM) yang diluncurkan Badan Litbang Pertanian untuk tiga musim tanam, sementara di tingkat petani pada umumnya melakukan budidaya padi pada dua musim tanam saja, meskipun pengetahuan ini sangat baik dan memudahkan petani 174

dalam menentukan waktu tanam, rekomendasi varietas dan kebutuhan benih maupun kebutuhan pupuknya, namun belum memasyarakat karena terkendala pengetahuan tentang penggunaan alat komunikasi berbasis android……………….(wawancara di Desa Kalola, Kecamatan Maniangpajo, Kab. Wajo tanggal 26 Juni 2014).

Uraian informan di atas menunjukkan bahwa proses penyebaran suatu pengetahuan bukan hanya melibatkan aktor yang memperoleh pengetahuan tersebut, tapi masih membutuhkan aktor lain yang bertanggung jawab dalam penyebarannya sehingga pengetahuan tersebut dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Dalam proses penyebaran pengetahuan peran penyuluh sebagai agen yang bertanggung jawab untuk menyampaikan segala jenis informasi teknologi kepada petani perlu diberikan pemahaman tentang proses pembentukan pengetahuan tersebut agar informasi yang diberikan itu lengkap dan utuh sampai kepada pengguna.

B. Pengetahuan tentang Perbenihan

Perlakuan benih merupakan suatu upaya memberikan perlakuan pada benih sebelum tanam, agar bibit dapat tumbuh cepat, seragam dan sehat.

Sekaligus merupakan perlindungan awal terhadap serangan hama dan penggerek batang pada stadia bibit. Cara pemilihan benih adalah sebagai berikut :

Pemilihan benih dengan air : a. Benih dimasukkan ke dalam wadah yang berisi air dengan volume 2 kali

volume benih, kemudian diaduk-aduk sebentar. 175

b. Benih yang terapung, yang mempunyai berat jenis rendah, dipisahkan

dari benih lainnya. c. Benih-benih yang tenggelam yang digunakan dalam pertanaman d. Sebelum semai, benih terlebih dahulu direndam selama 24 jam dan

diperam.

Pemilihan benih dengan larutan garam Amonium Sulfat (ZA) : a. Untuk mendapatkan benih yang lebih bernas, dengan berat jenis yang

tinggi (BJ 1,11 mg/L), pemilahan dilakukan seperti pada butir 1

(pemilahan dengan air), namun yang digunakan adalah larutan pupuk ZA

dengan konsentrasi 225 g ZA/liter air. b. Benih yang terapung dibuang, sedangkan benih yang digunakan adalah

benih yang tenggelam (memiliki berat jenis tinggi) c. Setelah pemilahan benih dicuci bersih, direndam, diperam, dan siap

untuk ditabur/disemai.

Benih berlabel merupakan benih yang sudah lulus proses sertifikasi yang merupakan salah satu bentuk jaminan mutu benih. Keuntungan menggunakan benih bermutu tinggi meliputi : a. Benih tumbuh dengan tepat dan serempak. b. Bila disemaikan, mampu menghasilkan bibit yang tegar dan sehat c. Ketika ditanam, bibit dapat tumbuh lebih cepat 176

d. Pertanaman lebih serempak dan populasi tanaman optimum, sehingga

mendapatkan hasil yang tinggi.

Penuturan informan H. Bakri Gani (65 tahun) yang telah melakukan persiapan benih Padi mengungkapkan bahwa :

Untuk menguji daya tumbuh padi, dapat dilakukan dengan cara sederhana, yaitu dengan mengambil 100 butir gabah lalu direndam selama 24 jam, kemudian ditiriskan, setelah itu ditaruh di wadah yang di atasnya ada kertas tissue, beri air sedikit dengan cara diperciki. Setelah 2-3 hari lihat dan hitung, berapa banyak yang tumbuh, bila dibawah 80 % berarti daya tumbuh benih kurang baik. Benih yang baik daya tumbuh di atas 90 %.….…….(wawancara dilakukan di Desa Lappangeng. Kecamatan Belawa, tanggal 23 Juli 2013).

Selanjutnya informan lain H. Tahir Musa (55 tahun) yang juga salah satu peserta SL-PTT padi mengungkapkan bahwa :

Untuk memperoleh benih yang baik dapat dilakukan dengan merendam benih pada air larutan garam 2 – 3 %. Bisa juga pake larutan ZA dengan perbandingan 20 gram ZA/liter air, namun bisa juga dengan menggunakan garam, setelah diberi garam dengan jumlah tertentu dan telur yang semula berada di dasar air akan terangkat ke permukaan. Benih yang digunakan hanya benih yang tenggelam dan yang mengapung dibuang. Setelah diangkat benih perlu dibilas dengan air agar garam yang menempel di benih dapat tercuci Selanjutnya rendam selama 1 hari. Setelah itu tiriskan kembali, benih tsb dimasukan ke dalam karung selama 1-2 hari sebagai patokan : mulai keluar titik tumbuh gabah). Bila demikian benih siap untuk disebarkan.………….(wawancara dilakukan di Desa Leppangeng. Kecamatan Belawa, tanggal 23 Juli 2013).

Bedengan persemaian dibuat seluas 100 m2/20 Kg. Lahan untuk persemaian ini sebelumnya harus diolah terlebih dahulu, pengolahan lahan untuk persemaian ini dilakukan dengan cara pencangkulan hingga tanah 177

menjadi lumpur dan tidak lagi terdapat bongkahan tanah. Lahan yang sudah halus lumpurnya ini kemudian dipetak-petak dan antara petak-petak tersebut dibuat parit untuk mempernudah pengaturan air (Prihatman, 2008, 2008).

Benih yang sudah direndam selama 2 x 24 jam dan sudah berkecambah ditebar dipersemaian secara hati-hati dan merata, hal ini didimaksudkan agar benih yang tumbuh tidak saling bertumpukan. Selain itu benih juga tidak harus terbenam kedalam tanah karena dapat menyebabkan kecambah terinfeksi pathogen yang dapat menyebabkan busuknya kecambah.

Pemupukan lahan persemaian dilakukan kira-kira pada umur satu minggu benih setelah ditanam (tabur).

Penuturan informan Tambo (62 tahun) bahwa :

Syarat membuat persemaian dalam SL-PTT Padi, tempat persemaian yang baik adalah 4-5 % dari luas lahan yang akan ditanami, misalnya untuk satu hektar maka tempat perseamaian yang akan kita buat 400 – 500 m2. Hal-hal yang harus diperhtikan antara lain : tempat persemaian harus menghadap timur dan barat, lebar tempat pembibitan 1,1-1,2 meter, tidak boleh lebih dari 1,5 m, kemudian berikan bahan organik dengan dosis 50-100 kg per 400 m2, berikan pupuk NPK sebanyak 1 sendok per 1 m2, pemberiannya disebar pada permukaan tempat pembibitan kemudian diratakan. Selanjutnya taburkan 1-2 genggam benih untuk setiap 1 m2, bibit berada di persemaian tidak lebih dari 20 hari. (wawancara di Kelurahan Dualimpoe, Kecamatan Maniangpajo, Kab. Wajo tanggal 26 Juni 2014).

Benih dan varietas unggul padi sawah merupakan galur hasil pemuliaan yang mempunyai salah satu atau lebih keunggulan khusus seperti potensi hasil tinggi, tahan terhadap hama penyakit dan toleran terhadap 178

cekaman lingkungan, mutu produk, dan atau sifat – sifat lainnya. Varietas unggul salah satu komponen teknologi yang penting untuk meningkatkan produksi dan pendapatan usaha tani padi. Berbagai varietas unggul telah tersedia dan dapat dipilih sesuai dengan kondisi wilayah, preferensi petani, dan keinginan pasar.

Produktivitas varietas sangat bergantung pada genotype (komposisi gen yang dimiliki varietas) dan kondisi lingkungan tumbuh (interaksi genotype dengan lingkungan). Faktor - faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap penampilan varietas antara lain : kesuburan fisik dan kimiawi tanah, iklim, keberadaan hama dan penyakit, teknik budidaya yang digunakan

(Satoto, et. al,. 2008)

Mutu benih meliputi : mutu genetik, mutu fisik, dan mutu fisiologis.

Ciri - ciri benih bermutu yaitu:

 Varietasnya asli

 Benih bernas dan seragam

 Bersih, tidak tercampur dengan biji gulma atau biji tanaman lain

 Daya berkecambah dan vigor tinggi sehingga dapat tumbuh baik jika

ditanam di sawah

 Sehat, tidak terinfeksi oleh jamur atau serangan hama.

Hasil tinggi dan tahan hama penyakit adalah sifat penting yang dimiliki oleh umumnya varietas unggul. Semula, para pemulia tanaman merakit 179

varietas unggul padi lebih mengutamakan aspek hasil tinggi dan ketahanan terhadap hama dan penyakit, sementara rasa nasi belum menjadi prioritas.

Musim berganti, zaman berubah, dan tuntutan bertambah. Dewasa ini petani tidak hanya dituntut untuk menanam varietas unggul padi berdaya hasil tinggi dan tahan terhadap hama penyakit, tetapi dituntut pula untuk mengembangkan varietas unggul yang sesuai dengan preferensi konsumen

(Satoto, et. al,. 2008).

Upaya untuk memperkecil pengaruh lingkungan terhadap produktivitas varietas unggul :

 Memilih waktu tanam yang tepat

 Memilih varietas yang sesuai (beradaptasi : dilihat dari keragaan varietas

di suatu wilayah dalam rentang musim tanam yang memadai).

 Gunakan teknik budidaya yang optimal.

 Melakukan pergiliran varietas antar musim tanam dalam luasan

pertanaman yang memadai.

C. Pengetahuan tentang Pengolahan Tanah

Pengolahan bertujuan untuk mengubah sifat fisik tanah agar lapisan yang semula keras menjadi datar dan melumpur. Dengan begitu gulma akan mati dan membusuk menjadi humus, aerasi tanah menjadi lebih baik, lapisan bawah tanah menjadi jenuh air sehingga dapat menghemat air. Pada pengolahan tanah sawah ini, dilakukan juga perbaikan dan pengaturan 180

pematang sawah serta selokan. Pematang sawah diupayakan agar tetap baik untuk mempermudah pengaturan irigasi sehingga tidak boros air dan mempermudah perawatan tanaman.

Tahapan pengolahan tanah sawah pada prinsipnya mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut : a. Pembersihan pematang sawah dibersihkan dari rerumputan, diperbaiki,

dan dibuat agak tinggi. Fungsi utama galengan disaat awal untuk

menahan air selama pengolahan tanah agar tidak mengalir keluar

petakan. Fungsi selanjutnya berkaitan erat dengan pengaturan

kebutuhan air selama ada tanaman padi (Anonim b, 2008). Saluran atau

parit diperbaiki dan dibersihkan dari rerumputan. Kegiatan tersebut

bertujuan agar dapat memperlancar arus air serta menekan jumlah biji

gulma yang terbawa masuk ke dalam petakan. Sisa jerami dan sisa

tanaman pada bidang olah dibersihkan sebelum tanah diolah (Anonim b,

2008). Jerami tersebut dapat dibakar atau diangkut ke tempat lain untuk

pakan ternak, kompos, atau bahan bakar. Pembersihan sisa-sisa

tanaman dapat dikerjakan dengan tangan dan cangkul (Anonim b, 2008). b. Pencangkulan Setelah dilakukan perbaikan galengan dan saluran, tahap

berikutnya adalah pencangkulan. Sudut-sudut petakan dicangkul untuk

memperlancar pekerjaan bajak atau traktor. Pekerjaan tersebut 181

dilaksanakan bersamaan dengan saat pengolahan tanah (Anonim b,

2008). c. Pembajakan dan penggaruan merupakan kegiatan yang berkaitan.

Kedua kegiatan tersebut bertujuan agar tanah sawah melumpur dan siap

ditanami padi. Pengolahan tanah dilakukan dengan dengan

menggunakan mesin traktor. Sebelum dibajak, tanah sawah digenangi

air agar gembur. Lama penggenangan sawah dipengaruhi oleh kondisi

tanah dan persiapan tanam. Pembajakan biasanya dilakukan dua kali.

Dengan pembajakan ini diharapkan gumpalan tanah terpecah menjadi

kecil. Gumpalan tanah tersebut kemudian dihancurkan dengan garu

sehingga menjadi lumpur halus yang rata. Keuntungan tanah yang telah

diolah tersebut yaitu air irigasi dapat merata. Pada petakan sawah yang

lebar, perlu dibuatkan bedengan. Antara bedengan satu dengan bedeng

lainnya berupa saluran kecil. Ujung saluran bertemu dengan parit kecil di

tepi galengan yang berguna untuk memperlancar air irigasi (Anonim b,

2008).

Menurut pengalaman informan petani H. Bakri (65 tahun) yang dituturkan melalui wawancara adalah sebagai berikut :

Selama ini dalam mengolahan lahan sawah untuk ditanami padi, Saya memng sudah menggunakan mesin traktor karena lebih cepat dalam mengolah biasanya proses pengolahan tanah hanya dikerjakan selam 3-5 hari, bagian pinggir pematang biasanya tetap say gunakan cangkul untuk pembersihannya. Cuma biaya untuk pengolahan tanah juga tidak murah, selain itu juga kita harus antri menunggu giliran diolah 182

sawahnya. Saat ini sebagian besar kelompoktani ataupun perorangan sudah memiliki traktor sehingga lebih mudah dalam pengolahan tanah …….(wawancara dilakukan di Desa Kalola, Kecamatan Maniangpajo, tanggal 23 Juli 2013).

Pengalaman lain yang dituturkan oleh infoman petani Indo Welleng (67 tahun) adalah sebagai berikut :

Penggunaan traktor untuk mengolah sawah jadi pilihan karena saat ini teknologi tersebut yang menyebar dan mulai memasyarakat di kalangan petani, penggunaan traktor lebih cepat, kurang menggunakan tenaga kerja, meskipun biaya sewa traktor cukup mahal...... (wawancara di lakukan di Desa Lowa, Kecamatan Tanasitolo, Kabupaten Wajo tanggal 13 Juli 2014)

D. Pengetahuan tentang Penanaman

Penggunaan alat dan mesin tanam merupakan salah satu alternatif untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja (Astanto dan Ananto, 1994), karena dalam sistem usahatani padi penanaman merupakan salah satu kegiatan yang banyak menyita tenaga kerja, selain itu diperlukan kecepatan waktu tanam agar didapat keseragaman tanaman.

Pada sistem usahatani selain proses pengolahan tanah, kegiatan lain yang menyerap tenaga kerja dan biaya yang besar adalah kegiatan penanaman. Kegiatan ini selain membutuhkan tenaga kerja yang banyak juga menentukan keberhasilan budidaya. Kegiatan penanaman padi memerlukan tenaga kerja sekitar 20% dari keseluruhan proses budidaya tanaman padi. Mengingat semakin sedikitnya tenaga yang tersedia dalam bidang pertanian, diperlukan suatu alat tanam dalam kegiatan budidaya padi. 183

Transplanter merupakan alat penanam bibit dengan jumlah, kedalaman, jarak dan kondisi penanaman yang seragam. Secara umum ada dua jenis mesin tanam bibit padi, dibedakan berdasarkan cara penyemaian dan persiapan bibit padinya. Yang pertama, yaitu mesin yang memakai bibit yang ditanam/disemai di lahan (washed root seedling). Mesin ini memiliki kelebihan yaitu dapat dipergunakan tanpa harus mengubah cara persemaian bibit yang biasa dilakukan secara tradisional sebelumnya. Namun demikian waktu yang dibutuhkan untuk mengambil bibit cukup lama, sehingga kapasitas kerja total mesin menjadi kecil, kedua adalah mesin tanam yang memakai bibit yang secara khusus disemai pada kotak khusus. Mesin jenis ini mensyaratkan perubahan total dalam pembuatan bibit.

Persemaian harus dilakukan pada kotak persemaian bermedia tanah, dan bibit dipelihara dengan penyiraman, pemupukan hingga pengaturan suhu. Persemaian dengan cara ini, di Jepang, banyak dilakukan oleh pusat koperasi pertanian, sehingga petani tidak perlu repot mempersiapkan bibit padi sendiri. Penyemaian bibit dengan cara ini dapat memberikan keseragaman pada bibit dan dapat diproduksi dalam jumlah besar. Mesin ini dapat bekerja lebih cepat, akurat dan stabil. Penggunaan alat transplanter mensyaratkan beberapa persyaratan teknis diantaranya:

1. Olah tanah sempurna (lahan rata/datar)

2. Lahan yang macak-macak (irigasi teknis) 184

3. Persemaian sistem dapok (petak-kecil) dan gampang hanyut.

Setelah persiapan lahan, maka bibit pun siap ditanam. Bibit biasanya dipindah saat umur 20 dan 25 hari. Ciri bibit yang siap dipindah ialah berdaun 5-6 helai, tinggi 22-25 cm, batang bawah besar dan keras, bebas dari hama dan penyakit sehingga pertumbuhannya seragam. Bibit ditanam dengan cara dipindah dari bedengan persemaian ke petakan sawah, dengan cara bibit dicabut dari bedengan persemaian dengan menjaga agar bagian akarnya terbawa semua dan tidak rusak. Setelah itu bibit dikumpulkan dalam ikatan-ikatan lalu ditaruh disawah dengan sebagian akar terbenam ke air. Bibit ditanam dengan posisi tegak dan dalam satu lubang ditanam 2-

3 bibit, dengan kedalaman tanam cukup 2 cm, karena jika kurang dari 2 cm bibit akan gampang hanyut. Jarak tanam padi biasanya 20 x 20 cm

(Anonim b, 2008).

E. Pengetahuan tentang Pemeliharaan

Pemeliharaan tanaman padi sawah meliputi beberapa komponen yaitu :

 Pemupukan

Tanah yang dibudidayakan cenderung kekurangan unsur hara bagi tanaman, oleh karena itu diperlukan penambahan unsur hara yang berasal dari pupuk organik maupun pupuk anorganik. Dosis pupuk tanaman padi sawah sangat dipengaruhi oleh jenis dan tingkat kesuburan tanah, sejarah 185

pemupukan yang diberikan dan jenis padi yang ditanam (Prihatman, 2008).

Penggunaan dosis pupuk untuk padi sawah untuk lahan satu hektar adalah sebagai berikut Urea 200 Kg, SP36 200 Kg, dan KCL 100 Kg. Pemupukan dilakukan dua kali dalam satu kali budidaya (produksi) padi sawah.

Pemupukan pertama dilakukan pada saat tanaman berumur 12 hari dengan dosis pupuk sepertiga dari kebutuhan pupuk keseluruhan, sedangkan sisa pupuk diberikan pada tahap kedua yaitu kira-kira pada waktu tanaman berumur 40 hari (Prihatman, 2008).

 Penyiangan

Pemeliharaan tanaman sangat penting dalam pelaksanaan budidaya padi sawah, antara lain penyiangan/pengendalian gulma yaitu tumbuhan pengganggu yang hidup bersama tanaman yang dibudidayakan.

Penyiangan dilakukan 2 tahap, tahap pertama penyiangan dilakukan pada saat umur tanaman kurang lebih 15 hari dan tahap kedua pada saat umur tanaman berumur 30-35 hari. Penyiangan yang dilakukan adalah dengan cara mencabut gulma dan dimatikan dengan atau tanpa menggunakan alat.

 Pengendalian Hama dan Penyakit

Hama yang sering ditemukan menyerang tanaman padi sawah adalah penggerek batang padi, walang sangit, wereng dan belalang. Pengendalian hama dan penyakit yang dilakukan para petani adalah dengan menggunakan pestisida untuk lahan seluas satu hektar petani hanya membutuhkan 2 orang 186

tenaga kerja dan dalam waktu satu hari pemyemprotan tersebut dapat diselesaikan (Prihatman, 2008).

Burung pipit merupakan burung pemakan biji – bijian. Burung kecil, dari paruh hingga ujung ekor sekitar 11 cm. Gejala yang ditimbulkan oleh burung ini sangat tampak dan sangat mrugikan dalam nilai ekonomis.

Penggunaan jaring untuk mengisolasi sawah dari serangan burung; luas sawah yang diisolasi kurang dari 0,25 hektar. Kita juga bisa menggunakan orang-orangan sawah dan diberi tali dan plastik untuk menakut-nakuti burung. Melakukan tanam serentak dengan sekitarnya jangan menanam atau memanen di luar musim agar tidak dijadikan sebagai satu-satunya sumber makanan pada saat itu.

Kendalikan habitat/sarang burung dan malakukan perburuan burung pengganggu tanaman padi. Selain itu juga dapat dilakukan dengan menggunakan hewan yang memiliki suara yang dapat menakut – nakuti burung seperti anjing, ular, kucing. Langkah lain yang dapat dilakukan adalah dengan cara menyemprotkan/pemberian racun pada bulir padi secara keseluruhan.

Penuturan pengalaman informan petani H. La Uda (80 tahun) dalam mengusir burung agar tidak menyerang tanaman padi

Mengusir burung itu dilakukan selama satu bulan dimulai pada saat padi mulai berisi hingga menjelang panen, dengan menggunakan jaring, mereka harus mengeluarkan biaya sekitar 2,2 juta untuk satu hektar sawah. Pengetahuan tentang penggunaan jaring ini dimulai 187

dengan pemikiran bahwa dengan membuat jaring di pinggiran sawah burung-burung tidak bebas menyerang tanaman padi. Selain itu juga dapat mencegah binatang lainnya masuk ke pertanaman padi..……(wawancara dilakukan di Desa Awata, Kecamatan Tanasitolo, tanggal 23 Juli 2013).

Tikus sawah merupakan hama penting tanaman padi yang tiap tahun serangannya lebih dari 17 % dari total luas arel padi. Hal ini disebabkan karena pengendalian hama tikus oleh petani selalu terlambat karena mereka mengendalikan setelah terjadi serangan dan kurangnya monitoring oleh petani.

Pemahaman petani mengenai informasi aspek dinamika populasi tikus, yang menjadi dasar dalam pengendalian juga masih kurang.

Kecenderungan petani masih kurang peduli dalam menyediakan sarana pengendalian tikus, organisasi pengendalian yang masih lemah, dan pelaksanaan pengendalian yang tidak berkelanjutan dapat mengakibatkan meningkatnya hama tikus sawah.

Kegiatan pengendalian diprioritaskan pada waktu sebelum tanam

(pengendalian dini), untuk menurunkan populasi tikus serendah mungkin sebelum terjadi perkembangbiakan tikus yang cepat pada stadium generataif padi; dan pelaksanaan pengenalian dilkukan olehpetani secara bersama- sama (berkelompok) dan terkoordinasi dalam cakupan skala luas

(hamparan). 188

Rodentisida adalah bahan yang mengandung senyawa kimia beracun yang digunakan untuk mmatikan berbagai jenis binatang pengerat, misalnya tikus.Tikus juga merupakan organisme penggangu yang bnayak merugikan manusia. Di bidang pertanian , tikus sering menyerang tanaman pangan

,hortikltura, dan tanaman perkebunan dalam waktu yang singkat dengan tingkat kerugian yang besar. Berbagai stadia umur tanaman diserangnya, mulai dari pembibitan, masa pertumbuhan sampai hasil panen yang tersimpan di gudang, bahkan tikus dapat menjadi sarana bagi beberapa pathogen yang dapat menimbulkan penyakit bagi manusia dan hewan piaraan.

Rodentisida adalah bahan kimia yang digunakan untuk mengendalikan tikus. Rodentisida yang digunakan adalah rodentisida antikoagulan yang mempunyai sifat sebagai berikut :

• Tidak berbau dan tidak berasa.

• Slow acting, artinya membunuh tikus secara perlahan-lahan, tikus baru

mati setelah memakan beberapa kali.

• Tidak menyebabkan tikus jera umpan.

• Mematikan tikus dengan merusak mekanisme pembekuan darah.

Jenis bahan aktif rodentisida adalah boadfakum, kumatetralil atau bromadiolone, Sedangkan untuk area khusus yang sangat sensitif dan memerlukan perlakuan khusus akan digunakan pengumpanan dengan lem 189

tikus yang khusus.Pelaksanaan pengendalian hama tikus akan dilengkapi dengan laporan lapangan setiap melaksanakan pekerjaan pada tahapan yang dimaksud dan diketahui serta ditanda tangani oleh pejabat/petugas yang ditunjuk oleh perusahaan setempat. Masalahnya tikus sangat terampil menghindar terhadap setiap tindakan pengendalian.

Pada prinsipnya pengendalian ini menggunakan bahan-bahan kimia untuk membunuh atau mengganggu aktivitas tikus.Pengendalian secara kimia dapat dibagi menjadi empat bagian, ayitu fumigasi (asap beracaun), repellent (bahan kimia pengusir tikus) dan attractant (bahan kimia pengikat tikus), dan chemo-sterilant (bahan kimia yang dapat memandulkan tikus).

Pengalaman informan petani H. Bakri G. (65 tahun) pengendalian tikus menggunakan Rodentisida bahwa :

Dalam mengendalikan tikus di sawah saya, pernah melakukan pemberantasan dengan menggunakan racun tikus rodentisida karena menurut banyak orang efektif membunuh tikus….namun belakangan baru saya ketahui kalau bisa meracuni manusia juga. Memang bagus membunuh manusia tapi saya tidak menggunakan lagi karena takut bisa meracuni manusia dan tanaman padi saya ikut mengandung racun..…….(wawancara dilakukan di Desa Kalola. Kecamatan Maniangpajo, tanggal 23 Juli 2013).

Pengalaman petani di atas menunjukkan bahwa suatu pengetahuan yang dihasilkan oleh lembaga penelitian seharusnya diperkenalkan kepada petani dengan baik dan benar, dalam artian bahwa suatu pengetahuan itu harus diketahui proses perolehannya yang meliputi apa, kapan, dimana, siapa, dan bagaimana pengetahuan itu diperoleh, disebarkan, dan 190

dimanfaatkan. Berdasarkan itu suatu pengetahuan akan memiliki daya saing yang tinggi dan mpeluang untuk pemanfaatanya lebih lanjut.

F. Pengetahuan tentang Panen

Hasil padi yang berkualitas tidak hanya diperoleh dari penanganan budi daya yang baik saja, tetapi juga didukung oleh penanganan panennya.

Waktu panen padi yang tepat yaitu jika gabah telah tua atau matang. Waktu panen tersebut berpengaruh terhadap jumlah produksi, mutu gabah, dan mutu beras yang akan dihasilkan. Keterlambatan panen menyebabkan produksi menurun karena gabah banyak yang rontok. Waktu panen yang terlalu awal menyebabkan mutu gabah rendah, banyak beras yang pecah saat digiling, berbutir hijau, serta berbutir kapur (Prihatman, 2008). Panen padi untuk konsumsi biasanya dilakukan pada saat masak optimal.

Sementara panen padi untuk benih memerlukan tambahan waktu agar pembentukan embrio gabah sempurna.

Saat panen padi dipengaruhi oleh berbagai hal, seperti tinggi tempat, musim tanam, pemeliharaan, pemupukan, dan varietas. Pada musim kemarau, tanaman biasanya dapat dipanen lebih awal. Jika dipupuk dengan nitrogen dosis tinggi, tanaman cenderung dapat dipanen lebih lama dari biasa. Panen yang baik dilakukan pada saat cuaca terang. Secara umum, padi dapat di panen pada umur antara 110-115 hari setelah tanam. Kriteria tanaman padi yang siap dipanen adalah sebagai berikut : 1) Umur tanaman 191

tersebut telah mencapai umur yang tertera pada deskripsi varietas tersebut.

2) Daun bendera dan 90% bulir padi telah menguning, 3) Malai padi menunduk karena menopang bulir-bulir yang bernas, 4) Butir gabah terasa keras bila ditekan.Apabila dikupas, tampak isi butir gabah berwarna putih dan keras bila di gigit. Biasanya gabah tersebut memiliki kadar air 22-25%.

Ada beberapa cara untuk menentukan umur panen padi, yaitu berdasarkan: (1) Umur tanaman menurut diskripsi varietas, (2) Kadar air gabah, (3) Metode optimalisasi yaitu hari setelah berbunga rata, dan (4)

Kenampakan malai (Setyono dan Hasanuddin, 1997). Waktu (umur) panen berdasarkan umur tanaman sesuai dengan diskripsi varietas dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya varietas, iklim, dan tinggi tempat, sehingga umur panennya berbeda berkisar antara 5-10 hari. Berdasarkan kadar air, padi yang dipanen pada kadar air 21-26% memberikan hasil produksi optimum dan menghasilkan beras bermutu baik (Damardjati, 1979; Damardjati et al.,

1981).

Cara lain dalam penentuan umur panen yang cukup mudah dilaksanakan adalah metode optimalisasi. Dengan metode optimalisasi, padi dipanen pada saat malai berumur 30 - 35 hari setelah berbunga rata (HSB) sehingga dihasilkan gabah dan beras bermutu tinggi (Rumiati dan Soemadi,

1982) Penentuan saat panen yang umum dilaksanakan petani adalah 192

didasarkan kenampakan malai, yaitu 90 - 95 % gabah dari malai tampak kuning (Rumiati, 1982).

Panen padi dengan cara potong atas atau potong tengah dilakukan bila perontokan gabah menggunakan mesin perontok tipe throw in. Dalam dekade terakhir telah berkembang penggunaan mesin pemanen. Hal ini sejalan dengan upaya untuk mengatasi keterbatasan tenaga kerja di pedesaan. Mesin panen yang diintroduksikan antara lain stripper, reaper, dan combine harvester. Kapasitas kerja stripper dan reaper masing-masing

17 jam/ha, sedangkan combine harvester 5,05 jam/ha (Purwadaria et al,.

1994). Mesin pemanen tersebut belum diterima dan bahkan ditentang oleh para pemanen karena akan mengurangi kesempatan kerja. Combine harvester berkembang di Korea dan Jepang, sedangkan stripper type rotary inovasi IRRI dikembangkan di Sulawesi Selatan (Mejio 2008). Combine harvester berkembang di Vietnam dan Kamboja (Gummert 2007). Kehilangan hasil oleh stripper lebih rendah dibanding panen secara manual atau menggunakan reaper (Purwadaria et al., 1994). Combine Harvester (alat pemanen padi) pada umumnya berukuran besar yang otomatis membutuhkan ruang yang luas untuk penyimpanan dan pengoperasiannya.

\ 193

BAB VIII

PENGELOLAAN PENGETAHUAN BERBASIS PENGALAMAN DAN BERBASIS ILMIAH

Dalam pengelolaan pengetahuan berbasis pengalaman maupun berbasis ilmiah memiliki proses-proses dalam pengelolaannya. Proses inti dalam pengelolaan pengetahuan, secara sederhana meliputi : perolehan pengetahuan, penyebaran pengetahuan dan pemanfaatan pengetahuan.

A. Proses Perolehan Pengetahuan

Pengetahuan berasal dari pemahaman dan interpretasi hasil pengamatan, pengalaman, dan pendidikan formal maupun informal seseorang. Pengetahuan bukanlah suatu kebenaran mutlak karena dapat berkembang sesuai dengan perkembangan pengamatan, pengalaman atau pengenalan inovasi baru. Meski tidak secara tegas, namun sebagian orang melihat sistem pengetahuan ini sebagai dua kelompok yang berbeda baik sifat, bidang, proses perolehan/pembentukan, penyebaran dan manfaatnya

(Walker, 1995). Untuk lebih jelas tentang proses tersebut akan diuraikan berdasarkan sistem pengetahuan tersebut.

Pengetahuan petani umumnya terbatas pada apa yang dapat mereka rasakan secara langsung, biasanya melalui pengamatan dan apa yang dapat dia pahami berdasarkan konsep dan logika mereka. Konsep-konsep ini berkembang dari pengalaman mereka di masa lalu, oleh karena itu sulit bagi 194

mereka untuk mengaitkan pengetahuan lokal ini dengan proses yang baru ataupun dengan faktor luar yang mempengaruhinya.

Pengetahuan petani yang hidup di Kabupaten Wajo sebagai salah satu wilayah spesifik diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan leluhur secara turun-temurun. Pengetahuan tersebut seringkali didasarkan pada hasil uji coba yang dilakukan dengan sengaja untuk penyelesaian suatu masalah yang dihadapi dalam usahataninya dan untuk memperluas pengetahuannya, meskipun tidak menggunakan metode ilmiah, akan tetapi mempunyai peranan kritis dalam menciptakan inisiatif pengembangan lebih lanjut. Banyak bukti yang menunjukkan bahwa petani mampu melakukan uji coba dan penelitian adaptif sederhana tetapi efektif (Veldhuizen et al.,

1997).

Ketika mencoba untuk membuat suatu keputusan, beberapa petani perlu waktu untuk mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan dan mengintegrasikannya dengan pengetahuan yang berasal dari berbagai sumber secara seksama. Suatu teknologi yang dikembangkan di tempat lain dapat diselaraskan dengan kondisi lingkungan petani sehingga menjadi bagian integral dari sistem bertani mereka. Hal yang petani lakukan adalah dengan membuat percobaan kecil tentang ide baru tersebut secara rutin dan mengamatinya secara seksama, sehingga teknologi tersebut menjadi 195

bagian dari teknologi lokal mereka sebagaimana layaknya teknologi yang mereka kembangkan sendiri.

Sifat umum dari uji coba yang dilakukan petani menjadi suatu pengalaman yang beragam adalah sebagai berikut :

1. Obyek yang dipilih relevan dengan permasalahan mereka

2. Kriteria penilaian yang digunakan langsung terkait dengan nilai lokal

dan umumnya terkait dengan pemanfaatan produknya (rasa)

3. Pengamatan dilakukan dalam perspektif sistem kehidupan nyata

karena berlangsung selama kegiatan bertani mereka dan tidak hanya

sebatas pada hasil akhir saja

4. Percobaan berdasarkan pengetahuan petani, yang pada gilirannya akan

memperkaya dan memperdalam pengetahuan tersebut.

Hasil uji coba yang dilakukan petani dalam membentuk suatu pengetahuan secara keseluruhan belum tersusun, baik mengenai metafisik maupun fisik, dan hanya informasi yang berupa common sense, tanpa memiliki metode, dan mekanisme tertentu. Pengetahuan tersebut berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan yang berproses melalui pengulangan-pengulangan dan membentuk suatu pengalaman. Oleh karena itu landasan pengetahuan berbasis pengalaman kurang kuat dan samar- samar, kesimpulan ditarik berdasarkan asumsi yang tidak teruji lebih dahulu.

Pencarian pengetahuan lebih cendrung trial and error (Supriyanto, 2003). 196

Petani membuat keputusan dan melakukan suatu tindakan, serta mengembangkan inovasi baru secara progresif berdasarkan pengetahuan mereka. Pada daerah dengan agroekosistem yang marginal, banyak petani miskin dengan sumber daya terbatas telah berhasil mengembangkan pengetahuan teknis yang kompleks dan terbukti mampu memecahkan permasalahan yang mereka hadapi (Fujisaka, 1997).

Dalam proses perolehan pengetahuan terjadi pembelajaran dalam struktur sosial melalui interaksi agar informasi yang terkandung dalam pengetahuan tersebut menjadi produktif. Dalam struktur sosial akan tercipta aturan dan norma-norma, yang membutuhkan intensitas interaksi antara individu, komitmen sehingga terbentuk jaringan sosial yang bertanggung jawab. Bentuk tanggung jawab dapat ditunjukkan dengan terjadinya perubahan pada struktur dan proses sosial yang diikuti oleh perubahan pada konfigurasi dan hubungan di antara komponen- komponennya. Dalam memelihara pengetahuan yang bermanfaat sebagai suatu stock maka pengetahuan tersebut perlu ditransfer, disimpan dalam format yang baik.

Interaksi sosial pada pengetahuan yang berbasis pengalaman berdasarkan pada akumulasi pengalaman melalui pengulangan- pengulangan, yang disertai dengan pemahaman mendalam terhadap lingkungan dan budaya setempat. Oleh karena itu mampu menumbuhkan 197

“sense of belonging” masyarakat terhadap pengetahuan yang dihasilkan.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pengetahuan berbasis pengalaman tumbuh dari masyarakat. Berbeda dengan pengetahuan berbasis ilmiah yang memiliki sifat khusus dan terkadang tidak didukung oleh pemahaman budaya setempat karena orientasi untuk peningkatan produksi semata.

Pada komponen struktur sosial menunjukkan bahwa pengetahuan berbasis pengalaman mampu melahirkan aturan dan norma yang mengikat masyarakat untuk melestarikan penggunaannya. Berdasarkan uraian sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa terdapat potensi keberlanjutan kelembagaan karena kekuatan aturan dan norma yang dianut masyarakat pada pengetahuan berbasis pengalaman. Potensi keberlanjutan pengetahuan berbasis ilmiah cukup besar apabila dibangun berdasarkan filosofi yang kuat dengan memasukkan komponen budaya setempat sebagai suatu norma sehingga dapat dipahami dengan baik oleh sasaran.

Transformasi sosial pada pengetahuan berbasis pengalaman mengalami kesulitan karena mengandung pengertian ganda dan cenderung samar-samar. Kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tersebut bahwa transformasi sosial sulit berlangsung apabila suatu pengetahuan mengandung makna ganda. Namun demikian dukungan jaringan sosial yang kuat karena komitmen terhadap aturan dan norma. Proses 198

transformasi sosial pada pengetahuan berbasis ilmiah berpotensi untuk dilakukan dengan baik karena memiliki metode dan mekanisme tertentu yang dapat menjadi acuan penyebaran dan pemanfaatannya.

Petani menggunakan sumber-sumber yang berbeda untuk mendapatkan pengetahuan dan informasi yang diperlukan untuk mengelola usahatani. Sistem pengetahuan dan informasi pertanian tersebut berperan dalam membantu petani dengan melibatkannya secara langsung dengan sejumlah besar kesempatan bagi petani untuk memilih yang sesuai dengan aturan, norma, situasi dan kondisi spesifik lingkungannya. Perkembangan jaringan pertukaran informasi yang terjadi di antara petani akan mewujudkan sistem pengetahuan dan informasi pertanian yang akan mereka wariskan kepada generasi berikutnya (Mulyandari, R,S,H dan Eko A, 2005).

Perolehan pengetahuan berkaitan dengan membawa pengetahuan dari sumber eksternal, penggabungan pengetahuan internal dengan pengetahuan internal lainnya dan informasi yang dianalisis untuk menciptakan pengetahuan yang baru. Proses-proses tersebut yang menjadikan suatu informasi atau pengetahuan dapat menghasilkan tindakan.

Pengetahuan menjadi berguna pada tahap ini karena dapat memudahkan penciptaan pengetahuan baru melalui sintesis/perpaduan data dan informasi yang didapat dari sumber yang bermacam-macam (Oulic-Vukovic, 2001). 199

Pengetahuan yang berbasis pengalaman cenderung tidak memiliki cadangan pengetahuan karena tidak terdokumentasi, meskipun dinamikanya terus berkembang. Berbeda dengan pengetahuan berbasis ilmiah yang sudah tersusun dengan baik dalam format tertulis mulai dari perencanaan sampai pada akhir kegiatan yang disajikan dalam berbagai jenis media yang relevan. Akhirnya dapat disimpulkan bahwa perolehan pengetahuan sangat menentukan proses pengelolaan pengetahuan selanjutnya, karena merupakan titik awal dalam konstruksi suatu ilmu.

Akumulasi pengalaman dari hasil uji coba berulang-ulang yang dilakukan petani pada akhirnya memberikan pemahaman terhadap kondisi alam dan bagaimana menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam budidaya padi secara selaras tanpa merusak alam. Pengetahuan tentang menentukan waktu tanam, pengolahan tanah, pemeliharaan dan lainnya mampu membuat petani mengenal karakter tanaman, tanah bahkan perilaku serangga maupun penyakit yang biasa menyerang, melalui pengalaman puluhan tahun dan tidak diperoleh dalam waktu singkat, tetapi melalui suatu proses yang relatif panjang. Secara lengkap akan diuraikan dalam tabel berikut : 200

Tabel 8 Perolehan Pengetahuan Berbasis Pengalaman dan Berbasis Ilmiah Pada Budidaya Padi Sawah

No. Pengetahuan Perolehan Pengetahuan Aktor

1. Pengetahuan tentang Penentuan Waktu Tanam  Pananrang  Akumulasi pengalaman dalam  Petani merespon fenomena alam  Kalender Tanam  Modifikasi pengetahuan  Peneliti pananrang melalui penelitian yang sistematis merespon pergeseran musim 2. Pengetahuan tentang Perbenihan  Mattakko  Akumulasi pengalaman tentang  Petani perlakuan terhadap dewi sri dan simbol keharmonisan rumah tangga  Ritual adat dalam budidaya padi  Penangkaran Benih  Berdasarkan hasil penelitian  Peneliti tentang perbenihan dan regulasi produksi benih  Varietas lokal  Akumulasi pengalaman tentang  Petani varietas lokal yang berkembang di suatu wilayah spesifik  Varietas Unggul Baru  Berdasarkan hasil penelitian  Peneliti tentang deskripsi varietas dengan berbagai keunggulannya dan merespon preferensi pengguna 3. Pengetahuan tentang Pengolahan Tanah  Marrakkala  Akumulasi pengalaman efisiensi  Petani dan efektivitas pengolahan tanah  Proses adaptasi penggarap dengan lahannya  Traktor  Merupakan modifikasi  Peneliti pengetahuan internal petani melalui penelitian ilmiah tentang efisiensi waktu dalam pengolahan tanah 5. Pengetahuan tentang Penanaman  Mappattaneng  Akumulasi pengalaman tentang  Petani harapan akan hasil yang melimpah 201

 Budaya gotong royong  Mesin Tanam  Berdasarkan hasil penelitian  Peneliti (Transplanter) yang tersusun secara sistimatis tentang efisiensi waktu tanam  Mangngampo  Akumulasi pengalaman petani  Petani untuk efisiensi waktu  Tanam Pindah  Berdasarkan hasil percobaan  Peneliti yang tersusun secara sistematis tentang efisiensi penggunaan benih 6. Pengetahuan tentang Pemeliharaan  Tanpa pupuk  Akumulasi pengalaman secara  Petani turun temurun  Pupuk an organik  Berdasarkan hasil penelitian  Peneliti tentang pemupukan  Mabbaja Ase  Akumulasi pengalaman tentang  Petani filosofi dalam bertanam padi bahwa dewi sri membutuhkan tempat tumbuh yang nyaman dan bersih  Pengendalian Gulma  Berdasarkan hasil percobaan  Peneliti yang tersusun secara sistematis tentang pengendalian gulma  Pengendalian Cella  Akumulasi pengalaman tentang  Petani Pance manfaat ramuan herbal yang biasa digunakan pada manusia untuk mengobati penyakit ruam dengan pemahaman bahwa tanaman padi adalah makhluk hidup (dewi sri)  Pengendalian Tungro  Berdasarkan hasil percobaan  Peneliti yang tersusun secara sistematis tentang pengendalian penyakit pada tanaman padi  Pengendalian Wae  Akumulasi pengalaman dalam  Petani Tunra memahami filosofi penyakit tanaman dengan memanfaatkan air yang tersimpan pada batang pohon yang berlubang  Pengendalian Busuk  Berdasarkan hasil percobaan  Peneliti Leher yang tersusun secara sistematis tentang pengendalian penyakit pada tanaman padi 202

 Masseremme Balao  Akumulasi pengalaman dalam  Petani memahami filosofi berbagi dan keseimbangan ekosistem  Penggunaan  Berdasarkan hasil percobaan  Peneliti Rodentisida yang tersusun secara sistematis tentang perilaku tikus 6. Pengetahuan tentang Sistem Upah Panen  Massangki  Akumulasi pengalaman  Petani  Berasal dari inovasi internal dan budaya gotong royong  Sewa/Kontrak  Berdasarkan perkembangan  Peneliti jasa panen komersil Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2014.

Berdasarkan penjelasan di atas, bahwa proses perolehan atau pembentukan pengetahuan berbasis pengalaman memiliki posisi kuat dalam jaringan sosial karena keterlibatan masyarakat pengguna dalam prosesnya, dan disesuaikan dengan keselarasan lingkungan spesifik dan budaya masyarakat. Sementara pengetahuan yang berbasis ilmiah masih sulit dalam keberlanjutannya karena rendahnya partisipasi dan lemahnya komitmen sasaran sehingga sulit beradaptasi baik dan rawan konflik. Namun demikian kondisi tersebut dijadikan peluang untuk menciptakan pengetahuan baru. Proses perolehan pengetahuan yang telah diuraikan diatas dapat digambarkan dalam suatu skema sederhana yang akan disajikan dalam gambar berikut ini : 203

Petani

Pengalaman Pengalaman Internal Eksternal

Masalah dan Fenomena Alam

Gambar 7. Skema Perolehan Pengetahuan Berbasis Pengalaman

Pemerintah

Masalah (Kuantitasi, Kualitas, kontinuitas Produksi)

Potensi dan Peluang

Lembaga Penelitian/Perguruan Tinggi

Perencanaan Pelaksanaan Penelitian/Pengkajia Penelitian/Pengkajian n Petani Produksi

Pasar

Gambar 8. Skema Perolehan Pengetahuan Berbasis Ilmiah 204

B. Proses Penyebaran Pengetahuan

Penyebaran pengetahuan yang dilakukan sangat dipengaruhi oleh aktor yang melakukan tanggung jawab penyebarannya dan bagaimana menemukan orang dengan pengetahuan yang dibutuhkan dan lalu secara efektif mentransfernya ke orang lain untuk mengimplementasikan tindakan.

Namun karena sifat pengetahuan yang tidak secara konkrit berwujud memang membuatnya sangat susah untuk ditransformasi.

Aktor yang terlibat dalam proses penyebaran pengetahuan budidaya padi sawah berbasis pengalaman biasanya dilakukan dari petani untuk petani secara lisan dari mulut ke mulut dan diwariskan secara turun temurun dan dinamikanya mengikuti perkembangan trial-error yang dilakukan petani dan masyarakat setempat lainnya menghasilkan pengetahuan baru setiap hari untuk mengembangkan dan menguji teknik baru, dan daya adaptasi agar sesuai dengan perubahan ekonomi dan biofisik lingkungan (Rhoades dan Bebbington 1988).

Untuk memperoleh informasi, petani selalu mengadakan interaksi, komunikasi, dan belajar sosial tentang suatu teknologi yang dibutuhkan. Teori

Ronsenberg mengatakan bahwa sikap dapat berubah jika terjadi perubahan komponen kognitif dan afektif. Apabila komponen kognitif berubah, maka komponen afektif akan berubah yang pada akhirnya perilaku juga berubah. 205

Sebaliknya apabila komponen afektif, maka komponen kognitifnya juga berubah dan perilaku akan berubah (Walgito, 2006).

Sejalan dengan itu pendapat Moran dan Goshal (1996), bahwa pengetahuan diciptakan melalui dua cara, yaitu penggabungan (kombinasi) dan pertukaran. Dalam situasi di mana pengetahuan dimiliki oleh pihak – pihak yang berbeda, maka pertukaran merupakan prasyarat bagi penggabungan pengetahuan melalui komunikasi. Komunikasi sosial juga merupakan determinan paling dominan menentukan sikap petani terhadap inovasi teknologi pertanian. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa suatu inovasi teknologi baru yang diterima individu petani melalui proses persepsi.

Pengetahuan-pengetahuan yang diperoleh kemudian mengantarkan petani dalam mencapai tujuan budidaya padi meliputi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang baik, tidak terserang hama dan penyakit, hasil panen yang memadai. Berdasarkan itu petani kemudian mempertahankan pengetahuan tersebut untuk diterapkan pada musim berikutnya dan seterusnya, dan tetap melakukan modifikasi-modifikasi terhadap pengetahuan tersebut dalam mengatasi permasalahan baru yang ada.

Namun demikian pengetahuan tersebut hanya bersifat spesifik sehingga hanya dapat digunakan pada lokalitas yang sama dimana pengetahuan tersebut diperoleh dan dibentuk, oleh karena itu untuk menyebarkannya ke 206

petani lain butuh penjelasan tentang karakteristik lingkungan tempat dimana pengetahuan tersebut diterapkan. Uraian lengkap tentang penyebaran pengetahuan akan disajikan pada tabel berikut :

Tabel 9 Penyebaran Pengetahuan Berbasis Pengalaman dan Berbasis Ilmiah Pada Budidaya Padi Sawah

No. Pengetahuan Penyebaran Pengetahuan Aktor

1. Pengetahuan tentang Sistem Penentuan Waktu Tanam  Pananrang  Disampaikan pada  Petani musyawarah tani (manre sipulung) secara lisan  Kalender Tanam  Disampaikan dalam forum  Peneliti sosialiasasi, dan media (cetak dan dan elektronik) Penyuluh 2. Pengetahuan tentang Sistem Perbenihan  Mattakko  Praktek dan pembelajaran  Petani langsung di lahan oleh anak maupun pengalaman petani lain  Penangkaran Benih  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti demplot, sekolah lapang, dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik)  Varietas lokal  Praktek dan pembelajaran  Petani langsung di lahan oleh anak maupun pengalaman petani lain  Varietas Unggul Baru  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti demplot, sekolah lapang, dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik) 3. Pengetahuan tentang Sistem Pengolahan Tanah  Marrakkala  Praktek dan pembelajaran  Petani langsung di lahan  Traktor  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti penyuluhan pertanian dan dan media (cetak dan elektronik) Penyuluh 5. Pengetahuan tentang Sistem Penanaman  Mappattaneng  Praktek dan pelaksanaan  Petani 207

ritual adat  Mesin Tanam  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti (Transplanter) demplot, sekolah lapang, dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik)  Mangngampo  Praktek dan pembelajaran  Petani langsung di lahan  Tanam Pindah  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti demplot, sekolah lapang, dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik) 6. Pengetahuan tentang Sistem Pemeliharaan  Tanpa pupuk  Praktek dan pembelajaran  Petani langsung di lahan oleh anak maupun pengalaman petani lain  Pupuk an organik  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti demplot, sekolah lapang, dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik)  Mabbaja Ase  Praktek dan pembelajaran  Petani langsung di lahan  Pengendalian Gulma  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti penyuluhan pertanian dan dan media (cetak dan elektronik) Penyuluh  Pengendalian Cella  Praktek dan pembelajaran  Petani Pance langsung di lahan  Pengendalian Tungro  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti demplot, sekolah lapang, dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik)  Pengendalian Wae  Praktek dan pembelajaran  Petani Tunra langsung di lahan  Pengendalian Busuk  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti Leher demplot, sekolah lapang, dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik)  Masseremme Balao  Praktek dan pembelajaran  Petani langsung di lahan  Penggunaan  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti Rodentisida demplot, sekolah lapang, dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik) 6. Pengetahuan tentang Sistem Upah Panen  Massangki  Praktek dan pembelajaran  Petani 208

langsung di lahan  Sewa/Kontrak  Disampaikan dalam kegiatan  Peneliti demplot, sekolah lapang, dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik) Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2014.

Penyebaran pengetahuan berbasis pengalaman dilakukan melalui praktek langsung untuk proses transfer dari generasi ke generasi.

Sementara untuk penyebaran yang sifatnya intergenerasi sesama petani biasanya berlangsung di tempat-tempat seperti teras mushala atau masjid dalam suatu bentuk komunikasi yang bersifat konvergen dan bebas dari dominasi.

Media penyebaran pengetahuan berbasis pengalaman biasanya melalui acara-acara adat yang digelar komunitas adat seperti “manre sipulung” ataupun diskusi antar individu maupun antar kelompok sesuai tradisi petani di Kabupaten Wajo sebelum musim tanam mulai. Dukungan penelitian Samaddar dan Prabir Kumar (2008) tentang Perubahan dalam

Transisi : Adopsi Teknologi Pertanian Padi di India bahwa pengetahuan baru menyebar di antara penduduk desa dan selanjutnya mereka memilih sesuai dengan kepentingannya. Pemahaman mereka terhadap suatu pengetahuan teknologi hanya berdasarkan pada apa yang mereka bisa amati di lahan atau berdiskusi dengan tetangga mereka. Pengetahuan ini sebenarnya tumbuh terus secara keseluruhan pada kaum tani India. Sejalan dengan itu Ford dan Baab (1989) menunjukkan bahwa petani sering 209

mengandalkan informasi dari keluarga dan teman-teman sesama petani, surat kabar komersial, dan penyuluh lapangan saat mengambil suatu keputusan terkait usahataninya.

Penyebaran pengetahuan berbasis pengalaman berlangsung secara tertutup dan terbatas pada wilayah ekosistem yang sama, karena keterbatasan jangkauan wilayah lain, selain itu juga pada zaman itu belum berkembang media komunikasi. Menurut Polanyi (1967) bahwa pengetahuan tersebut dikategorikan sebagai pengetahuan tacit yang sifatnya sangat personal, sulit diformulasikan sehingga sulit dikomunikasikan dan disebarkan kepada orang lain, memiliki bentuk pengetahuan yang masih tersimpan dalam pikiran manusia. Misalnya gagasan, persepsi, cara berpikir, wawasan, keahlian/kemahiran. Pengetahuan jenis ini sangat sulit untuk dikodifikasikan, biasanya pengetahuan ini terkumpul melalui pengalaman sehari-hari pada pelaksanaan suatu pekerjaan (Gambar 9).

Petani Pengetahuan Sasaran (Sumber) (Petani)

Gambar 9. Skema Penyebaran Pengetahuan Berbasis Pengalaman

Proses penyebaran pengetahuan yang berbasis ilmiah cenderung lebih membuka akses kepada orang-orang yang membutuhkan pengetahuan, sehingga dapat dipelajari, dipahami dan dimanfaatkan oleh orang lain. Hal 210

tersebut juga didukung oleh perkembangan teknologi informasi sehingga distribusi pengetahuan tidak lagi mengalami hambatan yang signifikan secara geografis. Namun sangat tergantung pada kemampuan untuk mengeksplisitkan pengetahuannya, karena dikomunikasikan dengan format yang tepat dalam bentuk tertulis (Gambar 10).

Peneliti

Pengetahuan

Media (Cetak dan Elektronik)

Sasaran Antara (Penyuluh Pertanian)

Sasaran Akhir (Petani)

Efek

Gambar 10. Skema Penyebaran Pengetahuan Berbasis Ilmiah

Menurut Wynne (1996) dan Lash (1994) dalam penelitiannya bahwa petani bukanlah aktor yang pasif dan hanya menerima pengetahuan eksternal sebagai tujuan. Sebaliknya, mereka mampu mempertanyakan karena mereka adalah bagian dari sistem yang diamati sehingga negosiasi menjadi sangat penting dalam kompleksitas proses pengambilan keputusan. 211

C. Proses Pemanfaatan Pengetahuan

Agar pengetahuan dapat berguna harus disebarkan ke dalam suatu komunitas untuk dimanfaatkan sebagai praktek terhadap apa yang telah dihasilkan. Dimisalkan, jika pemanfaatan pengetahuan hanya diketahuai dan digunakan oleh satu orang maka akan menjadi tidak berguna dan tak berarti. Disisi lain, apabila pengetahuan itu diketahui dan disebarkan lalu dimanfaatkan oleh suatu komunitas dan mampu memberikan hasil baik, maka pengetahuan tersebut akan bermanfaat.

Pengetahuan berbasis pengalaman merupakan hasil dari proses belajar berdasarkan persepsi petani sebagai pelaku utama, dinamisasi pengetahuan sebagai suatu proses sangat berpengaruh pada corak pengelolaan sumber daya alam khususnya dalam sistem pertanian lokal.

Seringkali praktek sistem pertanian lokal dapat memberikan ide yang potensial dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya yang ada secara lestari (Sunaryo dan Joshi, 2003). Dalam proses pemanfaatan pengetahuan terjadi translasi pengetahuan menjadi nilai sosial. Uraian secara jelas akan disajikan pada tabel berikut : 212

Tabel 10 Pemanfaatan Pengetahuan Berbasis Pengalaman dan Berbasis Ilmiah Pada Budidaya Padi Sawah

No. Pengetahuan Pemanfaatan Pengetahuan Aktor

1. Pengetahuan tentang Sistem Penentuan Waktu Tanam  Pananrang  Pembuatan duplikasi naskah  Petani, dan penyesuaian dengan Penyuluh, perubahan iklim dan lainnya Peneliti, Pemerintah  Kalender Tanam  Modifikasi sesuai dengan  Petani, kemampuan pemahaman Peneliti dan petani dan penyuluh Penyuluh 2. Pengetahuan tentang Sistem Perbenihan  Mattakko  Mempertahankan nilai yang ada  Petani, kemudian modifikasi alat dan Peneliti dan mekanisme pelaksanaannya Penyuluh  Penangkaran Benih  Integrasi pengetahuan tentang  Petani, teknis perbenihan, Peneliti, kelembagaan, dan manajemen Penyuluh dan pengelolaan Pemerintah  Varietas lokal  Konservasi keragaman hayati  Komisi dan pembentukan core Nasional collection plasma nutfah padi Sumberdaya Genetik  Varietas Unggul Baru  Penguatan kelembagaan  Pemerintah produksi benih 3. Pengetahuan tentang Sistem Pengolahan Tanah  Olah Tanah Minimum  Perlu substitusi pengetahuan  Petani (Marrakkala) yang lebih efisien  Olah Tanah  Modifikasi peralatan dan sistem  Petani, Sempurna (Traktor) pengoperasiannya Peneliti dan Produsen alat 5. Pengetahuan tentang Sistem Penanaman  Mappattaneng  Perlu substitusi pengetahuan  Petani yang lebih efisien  Mesin Tanam  Modifikasi peralatan dan sistem  Petani, (Transplanter) pengoperasiannya Peneliti dan Penyuluh  Mangngampo  Perlu substitusi pengetahuan  Petani yang lebih efisien  Tanam Pindah  Modifikasi pengetahuan yang  Petani, lebih efisien Peneliti dan 213

Penyuluh 6. Pengetahuan tentang Sistem Pemeliharaan  Tanpa pupuk  Perlu substitusi pengetahuan  Petani yang lebih efektif  Pupuk an organik  Penerapan pengetahuan  Petani, pemupukan berimbang dan Peneliti dan pengembalian kesuburan tanah Penyuluh  Mabbaja Ase  Perlu substitusi pengetahuan  Petani yang lebih efisien dan efektif  Pengendalian Gulma  Penerapan pengetahuan  Petani, tentang keseimbangan Peneliti dan ekosistem Penyuluh  Pengendalian Cella  Perlu substitusi pengetahuan  Petani Pance yang lebih efektif  Pengendalian Tungro  Modifikasi pengetahuan  Petani, mempertimbangkan kelestarian Peneliti dan lingkungan Penyuluh  Pengendalian Wae  Perlu substitusi pengetahuan  Petani Tunra yang lebih efektif  Pengendalian Busuk  Modifikasi pengetahuan  Petani, Leher mempertimbangkan kelestarian Peneliti dan lingkungan Penyuluh  Masseremme Balao  Perlu substitusi pengetahuan  Petani yang lebih efisien  Penggunaan  Modifikasi pengetahuan yang  Petani, Rodentisida mempertimbangkan kelestarian Peneliti dan lingkungan Penyuluh 6. Pengetahuan tentang Sistem Upah Panen  Massangki  Perlu substitusi pengetahuan  Petani yang lebih efisien  Sewa/Kontrak  Disampaikan dalam kegiatan  Petani, demplot, sekolah lapang, Peneliti dan penyuluhan pertanian dan Penyuluh media (cetak dan elektronik) Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2014.

Menurut hasil penelitian Erika, S, et al., (2011) bahwa pendekatan yang digunakan dalam penelitian pertanian saat ini, membuat keputusan dan memberikan analisis data berdasarkan kondisi teknis agronomis tanpa 214

pertimbangan faktor-faktor sosial, kelihatannya relatif sederhana dan murah, namun dapat mendorong dan memotivasi petani dalam mengadopsinya.

Tanpa proses ini, maka pengetahuan hanya berfungsi sebagai atribut- atribut personal atau institusional yang tidak memberi manfaat yang optimal bagi diri maupun lembaga. Pemanfaatan pengetahuan berbasis pengalaman proses translasinya menjadi nilai sosial (Gambar 11).

Pengetahuan

Uji Coba (Trial – Error)

Ketrampilan Teknis Perilaku

Sikap

Menerima/Menolak

Gambar 11. Skema Pemanfaatan Pengetahuan Berbasis Pengalaman

Sementara pemanfaatan pengetahuan berbasis ilmiah dalam prosesnya terjadi translasi pengetahuan menjadi nilai komersial. Tanpa proses tersebut pengetahuan hanya berfungsi sebagai atribut-atribut bagi diri ataupun institusi dan hasil penelitian hanya menjadi tumpukan-tumpukan kertas di berbagai lembaga dan perguruan tinggi (Gambar 12). 215

Pengetahuan

Dokumen (Laporan, Rekomendasi, dll)

Uji Coba (Skala Laboratorium)

Penyuluh

Uji Coba (Lahan Petani)

Petani Perilaku

Pasar Sikap

Menerima/Menolak

Gambar 12. Skema Pemanfaatan Pengetahuan Berbasis Ilmiah

Sejalan dengan itu, hasil penelitian Erika, S, et al., (2011) menunjukkan bahwa saat memperkenalkan metode SRI (System Of Rice

Intensification) tidak dimulai dari kegiatan proyek formal, tapi diawali dari sebuah ide staf proyek Africare untuk mengujinya karena penasaran, dia dibantu oleh seorang petani relawan. Ternyata uji coba yang dilakukan berhasil, dan terus melakukan pendekatan pada tahun kedua dan ketiga, akhirnya kegiatan spesifik tersebut berkembang. Berdasarkan pengalaman tersebut ditunjukkan suatu strategi proses belajar (Korten, 1980). Hal 216

tersebut juga didukung kebersamaan staf Africare di wilayah tersebut dan menjalin hubungan baik dengan petani memberikan keuntungan beragam dalam pelibatan petani, yang didasarkan pada saling percaya dan menghormati. Prinsip-prinsip dasar yang diterapkan selama proses belajar adalah sebagai berikut: (a) menempatkan petani dalam perencanaan pengembangan inovasi, (b) pengembangan modal sosial merupakan dasar bagi kemajuan inovasi, dan (c) dukungan teknis yang berkualitas tinggi dan pengumpulan data yang baik sangat penting.

Menurut Probst, et al., (2000) bahwa hambatan dalam pemanfaatan pengetahuan ini dalam tiga katagori yaitu : pertama adalah hambatan kultural yang tak dapat dilihat tetapi dapat dirasakan yang memblok pengetahuan-pengetahuan yang tidak familiar dengan suatu komunitas yang tidak ingin menerapkan pengetahuan yang diperoleh dari luar atau yang dibawa orang luar. Kedua adalah hambatan organisasional yaitu pemanfaatan pengetahuan oleh seseorang yang akhirnya menjadi sasaran kritik dan serangan pihak-pihak yang terganggu lingkungannya dimana orang yang berusaha menerapkan pengetahuan baru biasanya dituntut bertanggung jawab secara individual jika gagal. Selain itu juga karena minimnya toleransi terhadap kegagalan penerapan pengetahuan baru, serta sistem imbalan dan rekognisi yang tidak fair. Ketiga adalah hambatan kepemimpinan yaitu sebagian besar pemimpin masih berperilaku sebagai 217

mandor, dimana model kepemimpinan seperti ini akan membunuh kreatifitas dan penerapan pengetahuan baru pada tahap yang sangat prematur.

Kebijakan yang mungkin dapat dilakukan dalam pemanfaatan pengetahuan berbasis pengalaman adalah pengembangan proses eksternalisasi, dimana proses transfer pengetahuan melalui sosialisasi.

Sedangkan pemanfaatan pengetahuan berbasis ilmiah dilakukan dengan proses internalisasi dimana seseorang menerima pengetahuan secara eksplisit, kemudian mempraktikkan secara langsung agar menjadi pengetahuan bagi dirinya, sehingga terjadi proses internalisasi pengetahuan. 218

BAB IX

KONTESTASI PENGETAHUAN BUDIDAYA PADI BERBASIS PENGALAMAN DAN BERBASIS ILMIAH

A. Kontestasi Pengetahuan dari Berbagai Perspektif

Kontestasi terjadi pada situasi ketidaksepakatan atau pertentangan muncul. Setiap isu mengandung tiga hal yakni segi potensi, segi kontestasi dan segi akseptasi. Potensi suatu isu mengandung pengertian ada segi-segi yang memicu semua pertanyaan vital oleh mereka yang pro dan mereka yang kontra. Di dalam lingkup ini ada pertukaran yang saling bersaing terhadap nilai, fakta dan kebijakan terhadap sumber-sumber masalah yang memotivasi tindakan-tindakan. Sementara akseptasi mengandung pengertian bahwa ada berbagai pihak atau dua sisi yang menerima sisi-sisi yang disepakati atau disetujui (Vancil, 1993:70).

Kontestasi memperlihatkan masalah-masalah dari berbagai perspektif yang berbeda, kemudian diidentifikasi untuk mencermati karakteristik, sejarah keyakinan dan kebijakan yang ada. Berdasarkan itu maka dapat disusun tipologi dari masing-masing pengetahuan dalam tabel berikut : 219

Tabel 11. Tipologi Pengetahuan

Kontestasi Pengetahuan Tipologi Berbasis Pengalaman Berbasis Ilmiah Pengertian  Pengetahuan yang diperoleh  Pengetahuan yang diperoleh melalui proses penginderaan melalui proses penelitian yang selanjutnya akan masuk ke secara sistematis dalam memori serta tersusun menggunakan metode dan dalam struktur kognitif mekanisme tertentu Karakteristik  Dihasilkan melalui observasi,  Dipelajari secara abstrak, eksperimen dan identifikasi objek tidak selalu berkaitan dengan pengetahuan aplikasi, pemisahan  Intuitif dan Subjektif pengamat dan objek  Direkam dan ditransmisikan pengetahuan secara oral, kadang melalui teks  Analitik dan Objektif sakral  Ditransmisikan secara  Holistik, subjektif, eksperensial, deduktif melalui perkataan terikat, dan terintegrasi dalam tertulis dimensi sosial, kultural dan moral  Reduksionis, objektif,  Cenderung statis positivis, tidak terikat, kompartementalisasi, konvergen dan homogen  Cenderung dinamis Nilai  Menekankan interdependensi  Didasarkan pada nilai-nilai dan persamaan seluruh bentuk individualistik dan konsumsi kehidupan ekonomis  Demokratis (keputusan  Melihat manusia sebagai berdasarkan prinsip massolo’ pao bentuk kehidupan yang (mengalir bersama) superior untuk mengontrol  Menciptakan keteraturan dan dan mengeksploitasi alam keseimbangan antara kehidupan  Tindakan yang berorientasi sosial, budaya dan kelestarian ekonomi secara cepat akan sumberdaya alam merusak ekosistem lahan  Etika penilaian (mengatur hal-hal  adat yang harus ditaati, baik atau buruk, mana yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan) dan jika hal tersebut dilanggar, maka akan ada bencana Aktor  Pananrang, petani dan  Pemerintah, peneliti, keluarganya, pemiliki ternak, penyuluh pertanian, peternak itik pedagang perantara, pengusaha dan operator alat 220

dan mesin pertanian, pedagang pengumpul, pengusaha penggilingan padi Kebijakan  Keberlanjutan untuk kelestarian  Eksploitasi dan orientasi lingkungan produktivitas tinggi Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2014

Dari perspektif yang telah diuraiakan di atas menunjukkan bahwa dari aspek pengertian pada dasarnya sama, meskipun karakter pengetahuan berbeda dan relevan pada zamannya. Hal menarik dari perspektif yang diidentifikasi adalah kandungan nilai dan kebijakan masing-masing pengetahuan. Pada pengetahuan berbasis pengalaman lebih sarat akan nilai-nilai yang diinternalisasikan petani dalam melakukan usahataninya sehingga mereka sangat paham akan filosofi dan manfaat suatu pengetahuan. Petani telah mempraktekkan langkah keberlanjutan dalam pengelolaan usahataninya yang tidak bersifat eksplotatif, dan hanya didasarkan pada strategi adaptasi dan antisipasi, dalam upaya menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan (Setiawan, 2012).

Sementara pada pengetahuan berbasis ilmiah pemaknaan nilai yang ada cenderung berorientasi pada efisiensi dan efektivitasnya, untuk memperoleh produksi maupun pendapatan yang tinggi. Oleh karena itu semua sumberdaya yang ada diupayakan dapat termanfaatkan secara optimal, sehingga terkesan eksploitatif. Hal itu dipengaruhi oleh tekanan jumlah penduduk dan tekanan kebutuhan untuk keberlanjutan kehidupan, namun disisi lain kelestarian sumberdaya alam seolah terabaikan. 221

Bentuk-bentuk kontestasi yang terjadi dipengaruhi oleh kondisi ekosistem dan sistem sosial masyarakat, termasuk berbagai bentuk intervensi pemerintah melalui program pembangunan pertanian. Dalam konteks ini, aspek kepentingan dan proses komunikasi merupakan bagian penting yang akan membawa ke mana arah kontestasi tersebut akan terbentuk. Sementara, banyak studi dan penelitian ilmiah, telah membuktikan manfaat dan efektivitas pengetahuan lokal, dan pengetahuan modern berbasis ilmiah dan kerangka kerja di semua dimensi tidak unggul dibandingkan dengan pengetahuan masyarakat asli (Appleton dan Jeans,

1995). Brouwer, (1998) mewakili sikap yang berbeda. Dia mengatakan bahwa teknologi modern dan pengetahuan pertanian tradisional dapat memainkan peran penting pada modernisasi sistem produksi pertanian negara-negara dunia ketiga.

B. Bentuk dan Pola Kontestasi

Hasil penelitian Escobar (1999) menunjukkan bahwa proses kontestasi antara dua entitas pengetahuan menghasilkan bentuk-bentuk yaitu

(1) koeksistensi, jika kedua entitas pengetahuan masing-masing mempertahankan keberadaannya; (2) dominasi, dominasi suatu bentuk pengetahuan atas pengetahuan lainnya dapat terjadi karena pengetahuan tersebut memiliki keunggulan dan kelebihan dibandingkan dengan yang lainnya; (3) hibridisasi, proses hibridisasi merupakan perpaduan antara 222

pengetahuan ilmiah dan pengetahuan lokal yang menghasilkan bentuk pengetahuan baru sebagai hasil pemahaman bersama.

Oleh karena itu pola kontestasi antara pengetahuan lokal yang dikonstruksi berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah. Kompleksitas tersebut melahirkan tiga alternatif rekonstruksi pengetahuan yang digambarkan oleh Salman (2012) sebagai rekonstruksi berpola (1) zero sum game berlangsung ketika terjadi saling meniadakan di dalam kontestasi antara narasi, rekonstruksi berpola (2) hibridisasi berlangsung ketika terjadi pencampuran lalu melahirkan fitur baru pengetahuan dalam kontestasi; (3) koeksistensi berlangsung ketika terjadi kehadiran bersama tanpa saling pengaruh dalam kontestasi antara narasi, diuraikan dalam tabel berikut :

Tabel 12 Kontestasi Pengetahuan Berbasis Pengalaman dan Berbasis Ilmiah Pada Budidaya Padi Sawah

Pengetahuan Berbasis Pengetahuan Pengetahuan Berbasis Pengalaman Ilmiah Pananrang Sistem Penentuan Kalender Tanam Waktu Tanam Terpadu Mattakko Sistem Perbenihan Penangkaran Benih Marrakkala Sistem Olah Tanh Olah Tanah Intensif Mangngampo Sistem Tanam Tanam Pindah Tanpa pupuk Sistem Pemupukan Dengan Pupuk Masseremme Balao Sistem Pengendalian Perangkap Tikus Tikus Massangki Sistem Upah Sewa/Kontrak Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2014 223

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa proses kontestasi yang berlangsung pada budidaya padi sawah menghasilkan bentuk-bentuk sebagai berikut :

1. Pola Zero Sum Game

Bentuk kontestasi berupa zero sum game atau lebih dikenal dengan istilah dominasi merupakan suatu bentuk pengetahuan atas pengetahuan lainnya dapat terjadi karena pengetahuan tersebut memiliki keunggulan dan kelebihan dibandingkan dengan yang lainnya. Subjektifitas dan kepentingan merupakan faktor yang berperan sehingga suatu bentuk pengetahuan dianut dan menjadi dominan.

Sementara untuk pengetahuan mappadendang yang dulu eksis di lakukan petani, pada umumnya karena meneruskan tradisi budaya leluhur yang melibatkan semua komponen masyarakat dan juga sebagai bentuk kesyukuran masyarakat menyambut hasil panen yang diperoleh. Rasa syukur tersebut diwujudkan dalam sebuah acara adat yang dimeriahkan oleh berbagai agenda acara. Nilai yang bisa diperoleh dari acara adat ini adalah kebersamaan, kesyukuran yang tinggi atas rezeki yang dilimpahkan Allah

SWT kepada hambanya. Uraian pengetahuan yang dikontestasikan dalam pola zero sum game disajikan dalam tabel berikut : 213

Tabel 13 Pola Zero Sum Game Pada Budidaya Padi Sawah

Komponen Sistem Olah Tanah Sistem Pemupukan Pembanding Marrakkala Traktor Tanpa Pupuk Dengan Pupuk (OTM) (OTS) Basis Sistem Persiapan lahan untuk Persiapan lahan untuk Ekosistem alam yang Sumber zat hara Pengetahuan pertumbuhan tanaman memperbaiki sifat harmonis dan selaras buatan yang diperlukan fisik, kimia dan biologi untuk mengatasi tanah kekurangan nutrisi tanaman Prinsip Basis Individu Kelompok Individu Kelompok tani Utama Sistem Norma Gotong Royong Tingkat upah Berdasarkan pananrang Berdasarkan RDK dan yang borongan RDKK Mengatur Elit yang Kepala Desa, Tokoh Ketua Kelompoktani, Pa’pananrang dan Tokoh Penyuluh dan ketua Berperan Masyarakat Pemilik Traktor Masyarakat kelompoktani, pedagang pupuk Tujuan Solidaritas Efisiensi waktu dan Pelestarian ekosistem Peningkatan produksi tenaga kerja Kepentingan Proses adaptasi antara Volume pekerjaan Keselarasan dengan Pencapaian target penggarap dengan lahan yang bisa alam produksi diselesaikan Kondisi Saat Eksistensi marrakkala telah digantikan dengan Sistem pemupukan yang mengandalkan ini sistem olah tanah sempurna menggunakan ketersediaan hara karena kemampuan menjaga traktor untuk efisiensi waktu dan tenaga keberlangsungan ekosistem sulit dipertahankan karena tingginya kebutuhan pangan akibat tekanan penduduk yang semakin besar. Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2014 214

Tabel 14 Pola Zero Sum Game Pada Budidaya Padi Sawah

Komponen Sistem Pengendalian OPT Sistem Upah Panen Pembanding Pestisida Nabati Pestisida Kimia Massangki Sewa/Kontrak Basis Sistem Perilaku dalam Pengendalian yang Ritual budaya untuk Efisiensi waktu dan Pengetahuan budidaya padi efektif pemujaan Dewi Sri tenaga kerja Prinsip Basis Keluarga Kelompok tani Keluarga Kelompok Utama Sistem Norma Pengamatan perilaku Berdasarkan RDK dan Gotong Royong Tingkat upah borongan yang serangga dan gejala RDKK Mengatur alam Elit yang Pa’pananrang dan Penyuluh, ketua Imam Kampung Ketua Kelompoktani, Berperan Tokoh Masyarakat kelompoktani, pedagang Pemilik Traktor Tujuan Menjaga kelestarian Kuantitas dan kualitas Kebersamaan Efisiensi waktu dan lingkungan produksi tenaga kerja Kepentingan Menjaga kelestarian Pencapaian target Kesyukuran atas hasil Efisiensi biaya ekosistem produksi yang diperoleh Kondisi Saat Sistem pengendalian OPT dengan pestisida Eksistensi massangki telah digantikan dengan ini nabati terpinggirkan oleh penggunaan pestisida sistem sewa/kontrak menggunakan mesin panen kimia karena tuntutan efektivitas dengan orientasi untuk efisiensi waktu dan tenaga keuntungan Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2014 215

Dalam kontestasi yang telah dilakukan diperoleh bahwa pengetahuan berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah, ada beberapa pengetahuan yaitu : marakkala yang didominasi oleh penggunaan mesin traktor untuk pengolahan tanah, madduppa ase/massangki yang didominasi oleh penggunaan mesin panen (combine harvester) dan mappadendang yang didominasi oleh penggunaan power tresher.

Dominasi pengetahuan dalam kontestasi menjadi pilihan karena beberapa pertimbangan, dalam marakkala tidak membutuhkan biaya banyak, namun butuh waktu pengerjaan yang kurang lebih 7 hari dan tenaga kerja sebanyak 2 orang, jadi dalam hal ini penggunaan sumberdaya (biaya dan tenaga kerja) masih bersaing, namun dalam penggunaan waktu memang lebih lama dari pada penggunaan traktor. Kondisi demikian juga terjadi pada pengetahuan madduppa ase/massangki dimana penggunaan biaya yang cukup tinggi karena melibatkan sampai 30 orang untuk panen secara gotong royong sementara penggunaan mesin panen hanya dioperasikan oleh 2 – 3 orang. Namun nilai-nilai sosial kemasyarakatan yang diperoleh dalam madduppa ase/massangki berupa kebersamaan, gotong royong, tolong menolong akan terkikis dengan pergeseran penggunaan mesin panen saat ini. 216

2. Pola Hibridisasi

Dalam budidaya padi sawah pengetahuan petani tentang penentuan waktu tanam berdasarkan pengalaman, masih rutin dimasukkan dalam agenda acara “manre sipulung” dilakukan di Kabupaten Wajo. Perhatian terhadap pentingnya informasi cuaca dan iklim menjadi sangat penting buat petani karena fenomena terjadinya berbagai bencana alam seperti banjir dan kemarau panjang pada tahun – tahun belakangan ini. Fenomena yang sering terjadi di Kabupaten Wajo kebanjiran akibat meluapnya danau tempe.

Tabel 15. Pola Hibridisasi Pengetahuan Budidaya Padi Sawah

Komponen Pananrang Kalender Tanam terpadu Pembanding Basis Sistem Pengetahuan tentang Pengetahuan tentang awal Pengetahuan penentuan waktu tanam dan waktu tanam, rekomendasi prediksi serangan hama dan varietas unggul dan serangan penyakit berdasarkan terbitnya organisme pengganggu bulan Muharram dan data tanaman (OPT) berdasarkan curah hujan tahunan data curah hujan Prinsip Basis Adaptif dan berkelanjutan Produktivitas dan efisiensi Utama Sistem Norma Pengalaman dan pemahaman Rekomendasi dari instansi yang Mengatur terhadap gejala alam terkait dan hasil penelitian Elit yang Pa’pananrang, tokoh Penyuluh Pertanian, Ketua Berperan masyarakat Kelompok tani Tujuan Keharmonisan dan Eksploitasi dengan orientasi keselarasan dengan alam produktivitas tinggi Kepentingan Keberlanjutan untuk Efisien dan efektif melalui kelestarian lingkungan pemanfaatan sumberdaya secara optimal Kondisi Saat ini Sistem pananrang sudah melebur ke dalam kalender tanam terpadu karena memiliki basis sistem pengetahuan yang sama, namun karena tekanan permintaan pasar sehingga perlu introduksi varietas unggul berpotensi hasil tinggi. Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2014 217

Identifikasi pengetahuan dalam kontestasi pengetahuan berbasis pegalaman dan berbasis ilmiah yang sudah dihibridisasi adalah pananrang yang sebagian komponen pengetahuannya sudah melebur ke dalam pengetahuan berbasis ilmiah berupa penyusunan kalender tanam terpadu.

Pada proses selanjutnya, kalender tanam dinamik dilengkapi menjadi kalender tanam terpadu (Runtunuwu, et. Al,. l2012). Karena selain membutuhkan informasi awal waktu tanam pada setiap level kecamatan, pengguna juga membutuhkan informasi mengenai wilayah rawan terkena bencana seperti kekeringan, banjir dan serangan organisme pengganggu tanaman (OPT). Termasuk juga informasi rekomendasi teknologi berupa varietas, benih, pupuk, dan mekanisasi pertanian yang perlu disiapkan sebelum masuk periode musim tanam berikutnya.

Agar fenomena iklim dapat dioptimalkan maka informasi tentang kondisi iklim terutama peluang kejadian iklim ekstrim (kemarau panjang dan kebanjiran) sehingga prediksi kondisi iklim yang akan datang perlu diketahui sedini mungkin, untuk menghindari atau meminimalisasi dampak yang ditimbulkan. Pengetahuan yang digunakan petani dalam melakukan prediksi atau peramalan cuaca dan iklim hanya mengandalkan naskah pananrang berdasarkan penanggalan bugis.

Namun di sisi lain, penentuan waktu tanam berdasarkan kalender tanam terpadu yang dihasilkan Badan Litbang Pertanian tetap digunakan 218

petani sebagai suatu pengetahuan baru yang diadaptasikan dengan pananrang. Tetapi sejauh ini masih dapat disandingkan dalam acara “manre sipulung”, dimana pa’pananrang membacakan naskah pananrang berkaitan dengan penentuan waktu turun sawah, kemudian untuk kalender tanam terpadu disesuaikan waktunya dengan pananrang. Kontribusi kalender tanam terpadu dalam acara “manre sipulung” untuk pemilihan varietas yang cocok untuk ditanam, informasi wilayah rawan bencana, jenis OPT yang akan menyerang dengan kondisi cuaca dan iklim demikian.

Agar penyebaran informasi lebih cepat dan efisien, maka informasi ini dikemas dalam bentuk sistem informasi berbasis website. Pengembangan

Sistem Kalender Tanam Terpadu bersifat interaktif diharapkan dapat mempermudah dan mempercepat pengguna mengakses informasi kalender tanam (Ramadhani 2013).

3. Pola Ko-eksistensi

Koeksistensi, jika kedua entitas pengetahuan masing-masing mempertahankan keberadaannya. Walaupun keberadaan kedua entitas pengetahuan ini diakui dalam kehidupan masyarakat, proses lebih lanjut akan menghasilkan marginalisasi. Hal ini karena adanya suatu entitas pengetahuan yang lebih berkembang dan diakui oleh masyarakat setempat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan berdasarkan pengalaman petani yang ko-eksistensi sampai saat ini adalah mattakko, 219

mangngampo dan masseremme balao. Dalam kaitan pola kontestasi terhadap pengetahuan tersebut, menunjukkan bahwa pengetahuan- pengetahuan yang dimaksud masih diterapkan oleh sebagian petani, namun sebagian lain sudah mulai menerapkan pengetahuan baru yang berbasis ilmiah. Uraian tentang pengetahuan yang membentuk pola ko-eksistensi

(tabel 15). Petani dihadapkan pada beberapa pilihan yang menuntut untuk dilakukan pada waktu yang tidak lama, beberapa pertimbangan petani sehingga tidak menerapkan pengetahuan berbasis pengalaman adalah (1) merespon tingkat permintaan; (2) butuh waktu yang relatif lama; (3) butuh tenaga kerja yang cukup banyak; dan (4) lahan yang dimiliki relatif luas.

Sementara petani yang memilih menggunakan pengetahuan berbasis pengalaman untuk diterapkan dalam budidaya padi sawah mempunyai pertimbangan (1) biaya yang digunakan relatif murah; (2) mempertahankan nilai-nilai pengetahuan lokal; (3) menghindari terjadi gagal panen karena tingginya serangan hama. 220

Tabel 16. Pola Ko-Eksistensi Pengetahuan Budidaya Padi Sawah

Komponen Sistem Perbenihan Sistem Tanam Sistem Pengendalian Tikus Pembanding Mattakko Penangkar Mangampo Tanam Pindah Masseremme Perangkap Balao Tikus Basis Sistem Benih sebagai Daya tumbuh Efisiensi Efisiensi benih Menjaga Meningkatkan Pengetahuan simbol benih di atas waktu dan ekosistem produksi keharmonisan 80% tenaga kerja alam dan keseimbangan rumah tangga Prinsip Basis Individu/ Kelompok Individu Kelompok Individu Kelompok Utama Keluarga /Keluarga /keluarga Sistem Norma Sakral karena Regulasi Pengalaman Tingkat upah Pengalaman Rekomendasi yang Mengatur berdasarkan Pemerintah dan dan borongan dan hasil penelitian komitmen pemahaman pemahaman Elit yang Kepala keluarga Peneliti, Kepala Penyuluh, Kepala Penyuluh, Berperan dan Ibu Rumah Instansi keluarga Ketua keluarga, Ketua Tangga Terkait kelompoktani Kepala desa kelompoktani Tujuan Produksi baik Produksi tinggi Populasi Pengaturan Keselarasan Memberantas dan berkah tinggi jarak tanam alam hama tikus Kepentingan Terhindar dari Capaian target Produksi Anakan Terhindar dari Stabilisasi bencana dan produksi tinggi produktif serangan tikus pertumbuhan serangan OPT yang lebih luas tanaman Kondisi Saat Kedua sistem ini masih tetap Kedua sistem ini masih tetap Kedua sistem ini masih tetap ini eksis dan memiliki komunitasnya eksis dengan komunitasnya eksis dengan komunitasnya sendiri sendiri sendiri Sumber : Hasil Olahan Data Primer, 2014 221

C. Hibridisasi Pengetahuan dalam Budidaya Padi

Hibridisasi antara dua entitas pengetahuan dalam kontestasi akan memberi peluang terbentuknya suatu fitur pengetahuan baru, yang dapat ditawarkan sebagai suatu pengetahuan baru untuk diterapkan petani pada masa yang akan datang. Dalam kolaborasi pengetahuan, beberapa komponen pengetahuan yang menjadi bagian dari pengetahuan tersebut memiliki potensi untuk dikolaborasikan untuk menghasilkan suatu fitur pengetahuan baru.

Kontestasi terjadi pada situasi ketidaksepakatan atau pertentangan muncul. Setiap isu mengandung tiga hal yakni segi potensi, segi kontestasi dan segi akseptasi. Potensi suatu isu mengandung pengertian ada segi-segi yang memicu semua pertanyaan vital oleh mereka yang pro dan mereka yang kontra. Di dalam lingkup ini ada pertukaran yang saling bersaing terhadap nilai, fakta dan kebijakan terhadap sumber-sumber masalah yang memotivasi tindakan-tindakan. Sementara akseptasi mengandung pengertian bahwa ada berbagai pihak atau dua sisi yang menerima sisi-sisi yang disepakati atau disetujui (Vancil, 1993:70).

Kontestasi memperlihatkan masalah- masalah dari berbagai perspektif yang berbeda, saling bersaing. Pertama, apakah setiap aktor menggunakan kata untuk pengertian yang sama dan apa saja yang ada di dalam pemikiran mereka (Vancil,1993:82). Kedua, mencakup siapa-siapa yang pro dan kontra. Ketiga, melakukan identifikasi terhadap sebab-sebab 222

kontroversi. Keempat, mencermati tentang karakteristik dan sejarah keyakinan dan kebijakan yang ada sekaligus mempertimbangkan nilai dan kebijakan.

Dari perspektif yang telah diuraiakan di atas menunjukkan bahwa dari aspek pengertian pada dasarnya sama, meskipun karakter pengetahuan berbeda dan relevan pada zamannya. Hal menarik dari perspektif yang diidentifikasi adalah kandungan nilai dan kebijakan masing-masing pengetahuan. Pada pengetahuan berbasis pengalaman lebih sarat akan nilai-nilai yang diinternalisasikan petani dalam melakukan usahataninya sehingga mereka sangat paham akan filosofi dan manfaat suatu pengetahuan. Petani telah mempraktekkan langkah keberlanjutan dalam pengelolaan usahataninya yang tidak bersifat eksplotatif, dan hanya didasarkan pada strategi adaptasi dan antisipasi, dalam upaya menjaga kelestarian dan keberlanjutan lingkungan (Setiawan, 2012).

Sementara pada pengetahuan berbasis ilmiah pemaknaan nilai yang ada cenderung berorientasi pada efisiensi dan efektivitasnya, untuk memperoleh produksi maupun pendapatan yang tinggi. Oleh karena itu semua sumberdaya yang ada diupayakan dapat termanfaatkan secara optimal, sehingga terkesan eksploitatif. Hal itu dipengaruhi oleh tekanan jumlah penduduk dan tekanan kebutuhan untuk keberlanjutan kehidupan, namun disisi lain kelestarian sumberdaya alam seolah terabaikan. 223

Berdasarkan penanggalan diatas dibuat dengan melihat terbitnya bulan pada penanggalan Hijriyah. Untuk memulai aktivitas dalam pertanaman padi terbitnya bulan pada tanggal 5, 10, 15, 20, 25 dan 30 dianggap baik untuk memulai pertanaman tanaman yang dimanfaatkan buahnya seperti padi, cengkeh, jagung, kopi, dan kelapa). Pemaknaan dilanjutkan dengan melihat setiap hari dalam seminggu dibagi ke dalam lima waktu yang diyakini mengandung kualitas tersendiri dalam setiap waktu.

Untuk mencari makna yang baik pada tanggal 25 Oktober 2014, dimana jatuh pada hari sabtu dapat memberikan peluang untuk memanfaatkan waktu tersebut berdasarkan pada jam 8 – 11 yang memiliki makna “hidup” bahwa apa yang kita usahakan maka akan memberikan kehidupan dan apabila pada tanaman maka tanaman tersebut akan hidup dan memberikan hasil produksi yang baik, dan pada jam 13 – 15 yang memiliki makna “berisi”, menunjukkan bahwa padi yang mulai dihambur dan ditanam akan berisi.

Untuk menyinergikan operasional teknis penyusunan dan pendistribusian Katam Terpadu, diperlukan mekanisme kerja serta sistem koordinasi dan komunikasi yang sangat intensif, melalui jaringan komunikasi dan pertemuan reguler. Secara eksternal di luar Kementerian Pertanian, dibutuhkan komunikasi dan koordinasi yang intensif, terutama dengan

BMKG, BPS serta Dinas Pertanian (Diperta) tingkat provinsi dan kabupaten/kota, Balai Koordinasi Penyuluh (Bakorluh), Badan Penyuluh 224

(Bappeluh), Penyuluh Organisme Pengganggu Tanaman (POPT), Mantri

Tani, dan Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan).

Beberapa rangkaian data yang dikumpulkan dalam kegiatan kalender tanam terpadu meliputi data estimasi kalender tanam dan luas tanam diperoleh dari atlas kalender tanam (Las, 2007, 2008, 2009a, 2009b, 2010).

Setiap kecamatan memiliki informasi estimasi waktu tanam dan estimasi luas tanam setiap musim tanam (MT) selama setahun (MT I, II, dan III). Pilihan yang disiapkan juga tersedia dalam empat skenario yaitu pada kondisi aktual yang dilakukan petani, serta pada kondisi curah hujan berlebih (basah), kondisi curah hujan normal, dan kondisi curah hujan kurang (kering).

Data dasar prediksi iklim yang tersedia dalam sistem basis data kalender tanam terpadu yaitu sifat musim dan jumlah curah hujan bulanan setiap kecamatan untuk musim tanam ke depan. Sifat musim yang dimaksud adalah Atas Normal (AN), Normal (N) dan Bawah Normal (BN),

BMKG (2013). Data ini diperoleh dari BMKG dalam bentuk peta yang ditumpangsusunkan dengan peta administrasi dengan teknologi GIS, untuk memperoleh data sifat musim yang dominan di setiap kecamatan.

D. Fitur Pengetahuan Baru dalam Budidaya Padi

Fitur pengetahuan baru yang telah dihasilkan dari kolaborasi pengetahuan pananrang dan kalender tanam adalah kalender tanam terpadu dinamik. Secara umum di Sulawesi Selatan, musim tanam padi sawah dibagi menjadi dua. Musim Tanam I yaitu pada bulan april sampai 225

september dan Musim Tanam II pada bulan oktober sampai maret. Musim

Tanam I identik dengan musim hujan sedangkan Musim Tanam II pada musim kemarau.

Petani kini bisa bernafas lega, karena Kementerian Pertanian telah mengeluarkan kalender tanam terpadu dinamik. Kalender ini bisa menjadi acuan bagi petani untuk menentukan jadwal turun sawah. Memperolehnya cukup mudah, karena berbentuk website (http://katam.info). Kalender tanam terpadu dinamik ini bekerjasama dengan Badan Meteorologi,

Klimatologi dan Geofisika (BMKG), sehingga keakuratannya terjamin.

Apabila terjadi perubahan waktu tanam, maka BMKG akan segera berkoordinasi dengan Kementerian Pertanian agar menyebarluaskan informasinya ke daerah. Jadi selain akurat, informasinya juga terupdate.

Bagi wilayah yang belum mengakses internet, bisa menghubungi Balai

Penyuluhan Pertanian (BPP) yang tersedian di masing-masing kecamatan.

Selain jadwal tanam, kalender tanam terpadu dinamik memuat banyak informasi lain seperti rekomendasi pemupukan untuk tanaman padi, jagung dan kedelai. Varietas yang tahan dengan OPT atau varietas yang cocok untuk lahan kering maupun rawa, potensi kekeringan dan banjir, juga kemungkinan serangan organisme pengganggu tanam (OPT). Semua itu disajikan berdasarkan spesifik lokasi masing-masing wilayah sampai pada tingkat kecamatan. 226

Dengan adanya kalender tanam terpadu dinamik ini, pengelolaan air irigasi yang dilakukan oleh instansi terkait dalam hal ini Dinas Pengelolaan

Sumber Daya Air (PSDA) akan terkendali. Namun petani dalam hal ini juga bisa berpartisipasi aktif dalam pengelolaan air, misalnya meningkatkan level tanah dari yang sekarang sebagian besar tanah sakit menjadi tanah subur bahkan tanah sehat.

Di Sulawesi Selatan, penetapan jadwal turun sawah dilakukan melalui sebuah rapat bersama yang menghadirkan seluruh stakeholder terkait, antara lain petani sebagai pelaku utama, pedagang sebagai pelaku usaha, perusahaan sebagai penyedia sarana produksi, pemerintah sebagai pembuat regulasi dan juga peneliti dari lembaga penelitian dan perguran tinggi.

Rapat ini lazim disebut tudang sipulung, yang memiliki istilah spesifik pada masing-masing kabupaten. Di Kabupaten Wajo, forum ini disebut

“manre sipulung” yang menetapkan jadwal turun sawah berdasarkan informasi dari para peneliti, ketersediaan sarana produksi oleh perusahaan, dan juga fakta-fakta di lapangan oleh petani. Hasil kesepakatan berupa suatu keputusan dibuat oleh pemerintah melalui sebuah regulasi, kegiatan ini juga menjadi media yang tepat menyampaikan segala informasi yang termuat pada kalender tanam terpadu dinamik.

Pengetahuan leluhur Bugis tentang bercocok tanam (termasuk iklim) juga sangat penting kedudukannya dalam pengambilan keputusan pada forum ini. Pengetahuan yang dijaga turun temurun dari sebuah kitab 227

(lontara’) akan dibacakan oleh seorang tokoh adat yang disebut pa’lontara’.

Maka informasi iklim berbasis ilmu pengetahuan modern tadi akan dikombinasi dengan kearifan lokal setempat.

Namun, keinginan mengkombinasi ilmu pengetahuan moderen dengan kearifan lokal setempat terkait jadwal turun sawah kadang kala menemui kendala. Tetua adat atau paso’ biasanya sudah menentukan jadwal turun sawah secara sepihak dengan cara mencoblos (menandai) kalender, dimana jadwal yang ditetapkan berbeda dengan keputusan manre sipulung. Apabila sudah diputuskan seperti itu, masyarakat adat (petani) pantang melanggar, untuk kasus seperti ini, dibutuhkan pendekatan yang lebih persuasif untuk meyakinkan para tokoh adat terkait terjadinya perubahan iklim global.

Manre sipulung dilakukan secara berjenjang yang hirarkinya dimulai dari level tertinggi yaitu provinsi, kemudian turun ke kabupaten/kota, selanjutnya ke kecamatan turun ke desa/kelurahan bahkan sampai ke dusun manre sipulung akan memutuskan pada minggu atau tanggal berapa benih mulai disemai. Hal itu diwujudkan dengan cara bercocok tanam yang kembali ke alam sebagaimana dicontohkan petani Bugis dahulu. Melakukan pemupukan dengan bahan hayati atau organik yang tersedia dari alam semisal jerami atau kotoran ternak. Nantinya diharapkan dengan penggunaan bahan organik akan meningkatkan penyerapan air sehingga 228

tanah tidak mudah kering. Sebagaimana banyak terjadi di lahan persawahan sekarang, dimana tanah cepat kering meskipun baru diisi air.

Penerapan metode efisiensi air misalnya, dimana sawah tidak selalu digenangi air. Petani Bugis jaman dahulu membuat sebuah kolam di pinggir sawah untuk melihat apakah di bawah tanah masih terdapat air.

Jika kolom masih terisi air maka itu berarti masih terdapat cadangan air di bawah tanah yang bisa dihisap oleh akar padi sehingga sawah tidak perlu digenangi air. Sehingga, petani yang jauh dari sumber air juga tidak akan kekurangan air, terlebih pada musim kemarau.

Terkait perubahan iklim yang juga mempegaruhi pertumbuhan dan perkembangan OPT dan bahkan mulai munculnya OPT baru maka petani juga dapat berpartisipasi, lagi-lagi kembali ke alam dengan menggunakan pestisida hayati. Maka dengan memanfaatkan kalender tanam terpadu dinamik dan kembali ke cara bercocok tanam organik, maka petani akan mampu beradaptasi dengan perubahan iklim. 229

BAB X

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan kontestasi antara dua etnis pengetahuan yang telah dilakukan, diperoleh beberapa kesimpulan empiris yang didasarkan atas temuan di lapang yang bersifat spesifik dan simpulan teoritis yang menyangkut eksistensi pengetahuan berbasis pengalaman dan kontestasinya dengan pengetahuan berbasis ilmiah.

(1) Pengetahuan Budidaya Padi Sawah Berbasis Pengalaman Berakar pada Budaya dan Pengamatan Empiris dengan Panca Indera

Pengetahuan budidaya padi sawah berbasis pengalaman berakar pada adat dan tradisi yang menjadi kebiasaan petani kemudian berproses melalui pengulangan-pengulangan hingga membentuk suatu pengalaman.

Berdasarkan pengalaman petani dalam budidaya padi sawah yang tersusun secara sistematis dalam beberapa tahapan pelaksanaannya. Sebagai contoh pengetahuan tentang “mattakko” yang telah dilakukan secara turun temurun sehingga dalam budidaya padi, dan menjadi budaya yang terus dilakukan sebagai aktivitas mengawali musim tanam. Kegiatan tersebut dilakukan dengan sangat sistematis mulai dari tahapan-tahapan persiapan mental (ketenangan, kedamaian, kenyamanan dan keikhlasan hati), dan tahapan-tahapan persiapan fisik (perendaman benih, pengadukan benih, penggantian air rendaman benih, penirisan benih, penyalaan lentera). 230

Tahapan-tahapan tersebut dikerjakan secara berurutan dan tidak boleh ada tahapan yang melampaui tahapan yang lain. Pelanggaran terhadap tahapan yang sudah ditetapkan akan mendatangkan musibah berupa berkurangnya produksi padi dikarenakan serangan hama atau lainnya.

Berbagai pengetahuan petani tentang “mattakko” terbentuk dari praktek yang dilakukan secara berulang-ulang dalam rangka mencari solusi atas permasalahan usahatani yang dihadapi petani antara lain rendahnya daya tumbuh benih, pertumbuhan tanaman padi yang kurang baik, adanya serangan hama dan penyakit, terjadinya musibah dalam suatu kampung, hal tersebut akan terungkap dalam suatu forum musyawarah tani yang dilakukan secara berjenjang mulai dari tingkat desa, kecamatan dan kabupaten.

Ruang publik tersebut dikenal dengan istilah spesifik di Kabupaten Wajo yaitu “manre sipulung” yaitu musyawarah tani yang berlangsung secara demokratis.

(2) Pengetahuan Berbasis Pengalaman pada Budidaya Padi Sawah terbentuk Berdasarkan Respon terhadap Fenomena Alam

Proses pembentukan pengetahuan budidaya padi berbasis pengalaman terjadi melalui interaksi indera manusia dengan objek dan lingkungannya, proses mengkonstruksi pengetahuan terjadi karena seringnya petani berinteraksi dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman padi di sawah, sehingga memberikan banyak pengetahuan.

Pengetahuan “mattakko” diperoleh antara lain karena pengalaman bahwa 231

benih yang tidak di persiapkan dengan baik sesuai dengan ritual dan kebiasaan turun temurun yang telah dilakukan sebelumnya, maka diyakini tidak akan memberikan hasil produksi yang maksimal. Selain itu juga tanaman padi akan diserang hama dan penyakit serta pertumbuhannya kurang baik.

Pengetahuan petani padi di Kabupaten Wajo sebagai salah satu wilayah spesifik diperoleh berdasarkan pengalaman yang diwariskan leluhur secara turun-temurun. Pengetahuan tersebut seringkali didasarkan pada hasil uji coba yang dilakukan dengan sengaja untuk penyelesaian suatu masalah yang dihadapi dan untuk memperluas pengetahuannya, meskipun tidak menggunakan metode ilmiah, akan tetapi mempunyai peranan kritis dalam menciptakan inisiatif pengembangan lebih lanjut. Proses pembelajaran yang dialami oleh petani padi berawal dari tindakan memaknai fenomena alam yang terjadi untuk pencapaian suatu kondisi yang adaptif, melalui cara dan strategi yang ditempuh untuk mencapai tujuan.

(3) Pengetahuan Berbasis Ilmiah pada Budidaya Padi terbentuk Berdasarkan Respon terhadap Preferensi Pengguna

Evaluasi eksternal maupun internal terhadap pengetahuan berbasis ilmiah pada budidaya padi sawah selama ini menunjukkan bahwa fokus lembaga penelitian pada penemuan dan penciptaan teknologi peningkatan produksi untuk merespon tingginya permintaan akibat meningkatnya 232

jumlah penduduk yang membutuhkan pangan. Hal tersebut kemudian direspon pemerintah dengan memacu lembaga penelitian menciptakan pengetahuan yang dapat meningkatkan produksi padi dengan mengintensifkan penggunaan pupuk kimia yang dapat meningkatkan produksi. Kondisi tersebut terus berkembang dengan penggunaan rekomendasi teknologi yang cenderung sama secara nasional, sehingga tanpa mempertimbangkan kondisi spesifik masing-masing wilayah.

Tuntutan peningkatan produksi padi terus berlangsung agar dapat mengimbangi tingginya kebutuhan beras masyarakat. Saat itu kecepatan dan tingkat pemanfaatan inovasi yang dihasilkan lembaga penelitian cenderung melambat, dan lemah pada subsistem penyampaian (delivery subsystem) dan subsistem penerima (receiving subsystem). Berkaitan dengan hal tersebut, diperlukan suatu “jembatan penghubung” antara lembaga penelitian sebagai pemasok teknologi (generating system) dengan pengguna. Untuk itu, kegiatan penelitian dan pengembangan selanjutnya diarahkan untuk berorientasi pada pengguna (user oriented), sehingga teknologi inovatif yang dihasilkan lebih terjamin kemanfaatannya.

(4) Pengelolaan Pengetahuan merupakan Implementasi Tindakan dan Translasi Pengetahuan menjadi Nilai Sosial dan Nilai Komersil

Perolehan pengetahuan budidaya padi sawah berbasis pengalaman berkaitan dengan sumber eksternal yang ada di luar lingkungan komunitas petani, ataupun penggabungan pengetahuan internal yang dimiliki petani 233

dengan pengetahuan internal petani lainnya. Proses-proses pembelajaran hanya bisa dipahami dari pengalaman yang panjang, untuk menjadikan suatu informasi atau pengetahuan dapat menghasilkan tindakan.

Pengetahuan tersebut akan menjadi berguna pada tahap ini karena dapat memudahkan penciptaan pengetahuan baru melalui sintesis perpaduan data dan informasi yang didapat dari sumber yang bermacam-macam (Oulic-

Vukovic, 2001).

Proses perolehan atau pembentukan pengetahuan berbasis pengalaman memiliki posisi kuat dalam jaringan sosial karena keterlibatan masyarakat pengguna dalam prosesnya, dan disesuaikan dengan keselarasan lingkungan spesifik dan budaya masyarakat. Sementara pengetahuan yang berbasis ilmiah masih sulit dalam keberlanjutannya karena rendahnya partisipasi dan lemahnya komitmen sasaran sehingga sulit beradaptasi baik dan rawan konflik. Namun demikian semua kondisi tersebut merupakan peluang penciptaan pengetahuan baru, tanpa itu pengetahuan hanya berfungsi sebagai atribut-atribut personal atau institusional yang tidak memberi manfaat yang optimal.

Pemanfaatan pengetahuan berbasis pengalaman proses translasinya akan menjadi nilai sosial melalui proses internalisasi pengetahuan budidaya padi diterima secara eksplisit, kemudian dipraktekkan secara langsung agar menjadi pengetahuan bagi petani sementara pemanfaatan pengetahuan berbasis ilmiah proses translasinya menjadi nilai komersial 234

melalui proses eksternalisasi, dimana teknologi budidaya padi sawah yang dihasilkan oleh lembaga penelitian berbasis pada laboratorium kemudian diwujudkan dalam suatu karya tulis ilmiah dan informasi teknologi dalam berbagai jenis media yang memiliki keterbatasan aksesibilitas.

(5) Kolaborasi Dua Entitas Pengetahuan yang Terhibridisai dalam Kontestasi merupakan Peluang Terbentuknya Fitur Pengetahuan Baru

Perpaduan antara dua entitas pengetahuan yang terhibridisasi kini semakin diperlukan dalam menjawab berbagai masalah yang muncul dari ketidaktepatan dan ketidaksesuaian aplikasi teknologi yang diintroduksikan secara seragam tanpa memperhatikan kondisi ekologis dan kekayaan biodiversitas setempat. Oleh karena pengetahuan petani merupakan solusi yang tepat. Pengembangan dan pengayaan beragam pengetahuan petani itu merupakan salah satu jalan alternatif menuju pertanian yang tangguh dan berdaulat. Akan tetapi, untuk memungkinkan terwujudnya hal itu, patut pula disimak apa yang dikatakan oleh Chambers

(1992) bahwa petani tahu apa yang tidak diketahui ilmuwan, dan ilmuwan tahu apa yang tidak diketahui petani.

(6) Jembatan Dialog antara Dua Entitas Pengetahuan yang Terhibridisasi dalam Kontestasi adalah Bahasa sebagai Simbol Komunikasi

Dalam hal ini hubungan sosial dipahami seperti permainan yang memerlukan bahasa adalah relasi minimum yang diperlukan bagi keberadaan masyarakat. Ilmu pengetahuan secara luas akan didefinisikan untuk 235

memasukkan pernyataan-pernyataan denotatif dan aturan aturan pragmatis yang merupakan ikatan yang menjaga kebersamaan masyarakat. Legitimasi pengetahuan bukan berasal dari sumber eksternal, tetapi berasal dari kenyataan sederhana bahwa petani melakukan apa yang mesti dilakukan.

Pengetahuan berbasis ilmiah bukan sebuah arah dan komponen bagian ikatan sosial. Bahkan ada perbedaan di sana-sini antara narasi dan sains, tidak bisa dipungkiri, bahwa keduanya adalah permainan bahasa, dan salah satunya memerlukan yang lain.

B. Implikasi Teoritik

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengalaman petani dalam budidaya padi sawah yang dipraktekkan berupa penentuan waktu tanam merupakan penjelasan terhadap apa yang diketahui, yang memungkinkan pa’pananrang mampu meramalkan apa yang akan terjadi dan mengontrol agar ramalan tersebut terjadi. Bentuk kontrol yang dilakukan meliputi pelaksanaan tahapan-tahapan ritual dan beberapa syarat-syarat pelaksanaannya dengan baik dan tepat. Temuan tersebut menunjukkan bahwa petani menjadi subyek-subyek yang diciptakan oleh sistem dan jaringan kekuasaan yang biasanya tidak disadari sama sekali oleh sang subyek. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Foucault (1980), bahwa kekuasaan menciptakan pengetahuan, pengetahuan dan kekuasaan saling mempengaruhi secara langsung satu sama lain. Melalui wacana

(discourse) mereka mengontrol pemikiran, keyakinan dan tindakan individu 236

lain. Foucault (1972), mengatakan bahwa wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu, dan gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut membentuk narasi yang dapat dikenali. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macam wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged).

Sejalan dengan temuan dalam penelitian ini bahwa pada dasarnya pengetahuan tentang kalender tanam terpadu merupakan usaha untuk mensistematisasikan pengetahuan pananrang yang berbasis pengalaman, dengan menggunakan berbagai metode untuk menghasilkan suatu pengetahuan baru. Pada kontestasi yang dilakukan ditemukan bahwa pengetahuan yang hibridisasi yaitu pananrang dengan kalender tanam, yang melibatkan berbagai pengetahuan petani secara lokalitas dalam menggambarkan dan memberi makna terhadap fenomena alam melalui observasi, kemudian disusun uji coba dengan melakukan pengumpulan hasil- penelitian adaptif yang telah dilakukan untuk menghasilkan informasi.

Temuan tersebut sejalan dengan pendapat Derrida (2001) tentang dekonstruksi yang mengangkat konsep pluralisme dan penekanan pada konsepsi empiris. Terkait dengan penelitian tentang pengetahuan budidaya padi sawah, misalnya pengetahuan tentang pananrang yang dikonstruksi berbasis pengalaman, saat ini disempurnakan oleh kehadiran pengetahuan 237

kalender tanam terpadu yang dikonstruksi berbasis ilmiah. Pengetahuan pananrang menjadi salah satu bagian dalam pengetahuan kalender tanam terpadu sehingga pengetahuan tersebut lebih kaya akan informasi tentang penentuan waktu tanam,penentuan jenis varietas yang rentan terhadap beberapa hama dan penyakit, serta penentuan jenis varietas yang sesuai dengan agroekosistem sawah.

Hal tersebut sejalan dengan teori dekonstruksi Derrida (2001) bahwa pengetahuan berbasis ilmiah bukanlah suatu “pengetahuan sempurna” karena dikonstruksi dari berbagai metode ilmiah, namun di sisi lain terdapat pengetahuan pananrang yang berbasis pengalaman dan telah diterapkan secara berulang-ulang dalam menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

Kehadiran pengetahuan berbasis pengalaman tersebut melengkapi pengetahuan eksternal yang berbasis ilmiah dan diintroduksi ke dalam komunitas petani. Hal tersebut menjadi satu hal yang meragukan kesempurnaan pengetahuan berbasis ilmiah sehingga harus dipertimbangkan kembali kesempurnaanya. Setidaknya, harus kembali mendefinisikan konsep sempurna itu dalam menentukan waktu tanam karena bagaimana pun, konsep kesempurnaan itu sendiri sudah menjadi tidak sempurna lagi. Konsep yang tidak sempurna inilah yang menjadi satu- satunya konsep yang dimiliki, karena pada waktu yang bersamaan akan selalu ada kemungkinan bagi sebuah pemaknaan tentang kalender tanam terpadu sebagai suatu pengetahuan berbasis ilmiah. 238

Hasil perenungan kemudian menyadarkan bahwa terdapat perbedaan antara “sebelum” dan “setelah”. Nilai penting dari dekosntruksi Derrida ini terletak pada kemampuannya untuk membuat kita melihat jejak dari apa yang telah terabaikan dari konsep dan deskripsi karena kelemahan-kelemahan ini merupakan satu entitas yang menjadi kesatuan sehingga tidak mustahil itu ada dan eksis. Dekonstruksi mengajarkan kita untuk memikirkan dan merenungkan kembali dasar, praktik, konsep, dan nilai.

Hasil penelitian ini menyadarkan kita bahwa pengetahuan berbasis ilmiah yang selalu diberi ruang dan legitimasi oleh kekuasaan untuk dipraktekkan dan dilaksanakan oleh petani secara nasional untuk memenuhi target produksi dan efisiensi melalui penerapan teknologi pertanian modern.

Sistem pertanian berbasis pengalaman namun adaptif terhadap lingkungan digantikan dengan sistem pertanian berbasis ilmiah yang berproduksi tinggi.

Proses seperti inilah yang oleh Fakih (1995) disebut sebagai dominasi dan penjinakan. Pada tataran lebih lanjut hal ini dapat menghilangkan pengetahuan lokal yang dimiliki oleh masyarakat setempat.

Sementara pengetahuan berbasis pengalaman yang dimiliki petani merupakan sekumpulan strategi adaptasi dalam berinteraksi dengan lingkungan setempat. Proses pembentukannya lebih menekankan pada pengalaman dan pemahaman terhadap gejala alam. Proses trial and error akan selalu berlangsung sehingga ditemukan suatu pemahaman yang holistik tentang gejala-gejala alam yang terjadi tersebut (Ellen and Bicker 2005). 239

Oleh karena itu, secara kontekstual pengetahuan berbasis pengalaman sangat terkait dengan kondisi lingkungan sosial-biofisik.

Setelah kita menggunakan dekonstruksi, pandangan kita tidak akan menjadi terlalu dogmatis, bahkan akan menjadi lebih murni dan jernih.

Dekonstruksi tidak hanya memprioritaskan suatu ketetapan sebagai satu kebenaran yang tetap, akan tetapi mempertimbangkan suatu ketetapan yang dianggap benar dengan melihat dan memandang dari berbagai perspektif.

Derrida juga menambahkan bahwa inti dekonstruksi adalah mengaburkan perbedaan-perbedaan yang telah dibuat oleh manusia, terutama perbedaan yang sifatnya oposisi, seperti baik-buruk, ada-tidak ada, dan sebagainya. Dekonstruksi juga ingin memahami arti kata ‘dan’ yang berfungsi untuk membedakan sekaligus menambahkan; baik ‘dan’ buruk.

Lebih jauh Derrida juga menambahkan, bahwa karena kata ‘dan’ selalu memiliki dua arti, maka tidak ada kepastian di dalamnya. Dengan kata lain arti kata ‘dan’ tidaklah pernah stabil. ‘Dan’ bisa berarti oposisi sekaligus menambahkan.

Temuan lain dalam penelitian ini juga mendukung teori yang disebut

Derrida sebagai “kehadiran” atau “logosentrisme”, yakni kecenderungan untuk mengukuhkan kebenaran absolut dimana ciri yang menonjol dari tradisi logosentrisme ini adalah adanya kecenderungan berpikir oposisi yang bersifat hirarkis (esensi/eksistensi, substansi/aksidensi, jiwa/badan, makna/bentuk, transenden/empiris, positif/negatif, bahasa lisan/bahasa 240

tulisan, konsep/metafor, dan seterusnya) dan didasarkan pada kehadiran subjek dan ketiadaan subjek lainnya. Dengan menolak semua dikotomi maka yang terjadi adalah terbukanya peluang bagi subjek-subjek yang selama ini ditiadakan secara sistematis untuk tampil ke permukaan. Dalam hal ini pengetahuan petani sebagai yang selalu ditiadakan, melalui penelitian ini secara sadar ia diadakan kembali dan tampi ke permukaan.

Selanjutnya, informasi teknologi tersebut disusun untuk dijadikan pedoman dan melakukan penyesuaian yang diperlukan, dan menerapkan praktik-praktik bersama-sama dengan petani di lapangan. Setelah praktek implementasi terbaik dilaksanakan. Setelah proses itu selesai, pengembangan pedoman teknis untuk tonggak berikutnya dimulai seperti melakukan sosialisasi ke pengguna, sembari tetap melakukan evaluasi terhadap komponen-komponen pendukung kalender tanam. Sejalan dengan teori relasi subyek Martin Buber (1923) yang menyadarkan kita tentang pemilik suatu kesatuan eksistensi. Penggambaran hal tersebut dalam pengetahuan berbasis kita yang diwujudkan dari relasi pengetahuan berbasis pengalaman dan pengetahuan berbasis ilmiah, mengikutsetakan keseluruhan eksistensinya dalam dialog. Di dalam relasi ini, setiap pengetahuan mengalami pengetahuan yang lain sebagai pemilik sifat-sifat khusus yang terpisah karena kita dapat berinteraksi dengan dunia dalam seluruh kenyataanya. dalam suatu relasi mutualitas resiprokal, dimana 241

suatu relasi yang di dalamnya tercipta berbagai rasa pengertian, respek, komitmen dan tanggung jawab.

Interkoneksitas pengetahuan berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah merupakan sebuah relasi yang memiliki sebuah realitas bersama dan saling melengkapi, semakin sering kedua entitas pengetahuan tersebut membagikan realitas mereka dalam relasinya maka semakin sempurnalah realitas tersebut yang akan membentuk suatu fitur pengetahuan baru yang tercipta sebagai suatu pengetahuan berbasis kita. Pengetahuan berbasis kita merupakan suatu relasi yang sudah sudah terarah kepada suatu kesatuan di mana keunikan pengetahuan berbasis pengalaman dan pengetahuan berbasis ilmiah tidak terhapus, melainkan diakui dan diteguhkan. Dalam relasi ini dapat dihayati suatu iklim pergaulan yang di dalamnya terdapat eksistensi diri (petani, pedagang, penyuluh, peneliti), pengaruh pengetahuan yang satu atas pengetahuan yang lain bersifat bebas, aktif, dan kreatif. Dalam pengetahuan berbasis kita, perbedaan dan keunikan bukan menjadi rintangan, melainkan dihayati sebagai suatu yang memperkaya.

Dalam pengetahuan berbasis kita terbangun relasi yang sangat ideal antara pengetahuan berbasis pengalaman dan pengetahuan berbasis ilmiah, dimana semakin sempurna relasi yang dibangun, maka semakin diakui dan dihargai setiap pengetahuan dalam keunikannya. Melalui pengetahuan berbasis kita yang tercipta, dengan bahasa sebagai simbol 242

utama yang dipakai untuk menjalani relasi antara pengetahuan berbasis pengalaman dan pengetahuan berbasis ilmiah, melalui simbol bahasa pengetahuan berbasis pengalaman dapat dimaknai dan dipahami eksistensinya oleh pengetahuan berbasis ilmiah sebagai suatu entitas yang memiliki keotonomian diri bukan sebagai obyek yang bisa dimanipulasi.

Keunikan pengetahuan berbasis pengalaman dan pengetahuan berbasis ilmiah dan segala perbedaan-perbedaannya bukan menjadi tembok yang merintangi melainkan sesuatu yang dihayati untuk memperkaya realitas. Otonomi dan kebebasan kedua entitas pengetahuan tidak untuk dibatasi tapi harus distimulasi menuju pengetahuan berbasis kita dengan kekhasan masing-masing.

C. Implikasi Kebijakan

Berdasarkan temuan-temuan dalam penelitian dan sintesis berbagai fakta terkait dengan kontestasi pengetahuan berbasis pengalaman dan berbasis ilmiah pada budidaya padi sawah, beberapa impilikasi kebijakan yang dapat direkomendasikan dalam pengembangan pengetahuan budidaya padi sawah.

Pengembangan teknologi baru atau penyempurnaan praktek lama dalam budidaya padi sawah untuk menghasilkan produktivitas tanpa merusak praktek dan nilai lokal sangat diperlukan untuk meningkatkan daya saing wilayah pedesaan dalam konteks wilayah pedesaan yang spesifik, sebagai acuan kebijakan pembangunan pertanian dan tidak lagi mengacu 243

pada solusi “one size fits all” merupakan strategi kebijakan pembangunan yang keliru (Taylor, 2009:9).

Untuk memberi konteks dari berbagai kepentingan yang berkontestasi dalam dinamika pembangunan pertanian, perlu digambarkan keterkaitan pengetahuan berbasis pengalaman dan pengetahuan berbasis ilmiah. Mulai dari sejarah, penciptaan, pembentukan, pendistribusian dan pemanfaatannya yang akan membentuk pola pikir dan tindakan. Setiap tindakan yang dilakukan oleh individu pada dasarnya justru memproduksi pengetahuan baru bagi pelaku yang lain (de Certeau, 1984 dan Foucault, 1980). Hal tersebut diharapkan dapat berlangsung terus sampai membentuk struktur sosial berupa kaidah-kaidah, konvensi, aturan dan norma-norma, namun perlu diperbaharui dan ditransformasikan sejalan dengan pengetahuan yang terus berkembang. 244

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, I. 2008. Agama dan Kearifan Lokal dalam Tantangan Global (Ibnu Mujib, M. Iqbal, Ed). Pustaka Pelajar & Sekolah Pascasarjana UGM. Yogyakarta. ______2008b. Pendidikan Sosiologi dan Antropologi untuk Indonesia Baru yang berdaulat dan Bermartabat. Makalah Pada Seminar Sehari Tentang Sumbangan Ilmu-ilmu Sosial (Sosiologi dan Antropologi) dalam Penguatan Kearifan Budaya Lokal Budaya Sungai). Kampus Unlam Banjarmasin. Abinowo. U. 2000. Model Pertanian Masa Depan. Solusi Alternatif menghadapi Perdagangan Bebas. Sentra Pengembangan Agribisnis Terpadu. SPAT-Pasuruan. Adnyana,M.D., dan E. Basuno, 2000. Improvisasi Indigenous Technology Dalam Pengembangan Pertanian Lahan Rawa Berkelanjutan Dalam : Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Pertanian di Lahan Rawa. Puslitbang Tanaman Pangan Bogor. --. 1995. “Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments”. Indigenous Knowledge and Development Monitor, Vol.3 No.3, pp.3-6. Agrawal, Arun, 1998. “Indigenous and Scientific Knowledge: Some Critical Comments,” dalam Jurnal Antropologi Indonesia, No. 55, Tahun XXII, Hal. 14-43. Agrawal, Arun. 2002. Indigenous knowledge and the politics of classification. Oxford: Blackwell Publishers Ahimsa-Putra, HS,. 2008. Ilmuwan Budaya dan Revitalisasi Keraifan Lokal Tantangan Teoritis dan Metodologis. Makalah disampaikan pada Rapa t Senat Terbuka Dies Natalis ke-62 Fakultas Ilmu Budaya UGM. Yogyakarta. Ali, M.S,. 2000. Pengetahuan Lokal dan Pembangunan Pertanian Berkelanjutan; Perspektif dari Kaum Marjinal. Pidato Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Pertanian dan Kehutanan. Universitas Hasanuddin. Makassar. Anwari, M. 1992. Pemuliaan tanaman padi. Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang. dalam Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemulia Tanaman Indonesia. Komisaris Daerah Jawa Timur. Hal. 1-16. Ardhian, D,. 2009. Pengetahuan Pertanian : Dialog Pengetahuan Lokal dan Ilmiah. Tersedia pada 245

http://ardhiandavid.wordpress.com/2009/05/14/pengetahuan-pertanian- dialog-pengetahuan-lokal-dan-ilmiah/. Diakses pada tanggal 10 Mei 2011. Ari, W, H, Wasino, dan Dewi Lisnoor Setyowati,. 2012. Kearifan Lokal Dalam Menjaga Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat Di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus). Journal of Educational Social Studies. Universitas Negeri Semarang. Semarang Ar-Riza, I., H.Dj. Noor dan N. Fauziaty. 2007. Kearifan lokal dalam budidaya padi di lahan rawa lebak. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor. Astanto E. dan E. Ananto.1994. Alat Penanam Padi Sebar Langsung Buletin Teknik Pertanian. Sukamandi No.2. Astri, H,. 2011. Penyelesaian Konflik Sosial Melalui Penguatan Kearifan Lokal. Aspirasi Vol. 2No. 2, Desember 2011. Tersedia pada http://jurnal.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/2211229246_2086-6305.pdf. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2012. Attwood, D.W. 1992. Raising cane: The political economy of sugar in western India. Boulder: Westview Press Awang, S,. 2008. Local Wisdom. http://www.unsoed.ac.id/node/local- wisdom. Diakses pada tanggal 29 Juli 2012. Banuri, Tariq and Frederique Apffel-Marglin eds. 1993. Who Will Save The Forests? Knowledge, Power and Environmental Destruction. London: Zed Books. BPSBTPH VI, 2000, Inventarisasi Realisasi Luas Penyebaran Varietas Musim Tanam 2000 di Sulsel, Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan VI Maros. ------,1998, Benih Bermutu Tanaman Pangan , Balai Pengawasan dan Sertifikasi Benih Tanaman Pangan VI Maros. Bartlett, Leo. 1990. Teacher development through reflective teaching. In J.C. Richards and D. Nunan (Eds), Second Language Teacher Education (pp. 2002-214). New York: Cambridge University Press Battiste, Marie. 2002. Indigenous Knowledge and Pedagogy in First Nations Education: A Literature Review with Recommendations. Ottawa: Apamuwek Institute. Berger, Peter L., dan Thomas Luckman. 1990. Tafsir Sosial dan Kenyataan. Jakarta: LP3ES. 246

Berkes, Fikret, Johan Colding and Carl Folke. 2000. “Rediscovery of Traditional Ecological Knowledge as Adaptive Management”. Ecological Applications, Vol.10 No.5, pp.1251-1262. Bhola, H.S. 2002. “Reclaiming Old Heritage for Proclaiming Future History: The Knowledge for Development Debate in African Contexts”. Africa Today, Vol.49 No.3, pp.3-21. Bieri, Sabin. 2009. Power and Poverty: Reducing Gender Inequality By Ways Of Rural Employment? Paper Presented At The FAO-IFAD-ILO Workshop On Gaps, Trends And Current Research In Gender Dimensions Of Agricultural And Rural Employment: Differentiated Pathways Out Of Poverty, Rome. Blaser, Mario, Feit Harvey and McRae Glenn. 2004. In the Way of development: Indigenous People, Life Projects and Globalization. London: Zed Books. Bouguera, A, Douma, A. Evina, H.E., Hamdouni, N, Musubu, J. (2003) Valorisation de savoirs et savoir-faire: perspectives d'implication des acteurs, dont la femme, dans la conservation in-situ de la biodiversité du palmier dattier dans les oasis du Djérid (Tunisie). Working document series ICRA (Nl) No 115 Braun, A.R., G. Thiele and M. Fernandez,. 2000. . Farmer Field Schools and Local Agricultural Research Committees. Complementary Platforms for Integrated Decision-Making in Sustainable Agriculture (Agren Network Paper No. 105: July 2000). Braun,-A.R.; Thiele,-G.; Fernandez,-M. (2000). Consultative Group on International Agricultural Research (CGIAR), Systemwide Program on Participatory Research and Gender Analysis. Network-Paper- Agricultural-Research-and-Extension-Network,-ODI (UK). 2000, no. 105, 19 p. Bruce Mitchell, Bakti Setiawan, Dwita Rahmi. 2000. Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Brodt,-S. (2002) Learning about tree management in rural central India: a local-global continuum. Human-Organization (USA) 2002, v. 61(1) p. 58- 67 Bungin, B,. 2007. Penelitian Kualitatif. Prenada Media Group. Jakarta. Burton, M, E,. 2002. Revival and Enhancement of Indigenous Knowledge Adaptive Collaborative Management: A Philippine Case, Makalah disajikan dalam Simposium Internasional Ketiga Jurnal Antropologi 247

Indonesia: Membangun Kembali Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika : Menuju Masyarakat Multikultural, kerjasama dengan Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UNUD Denpasar, tanggal 16 s/d/ 19 Juli 2002. Butler, L. and J. Waud. 1990. "Strengthening Extension Through the Concepts of Farming Systems Research and Extension (FSR/E) and Sustainability." Journal of Farming Systems Research-Extension 1(1): 77-98. Bogdanowicz, M,S & Bailey, E, K. 2002. The Value Of Knowledge And The Values Of The New Knowledge Worker: Generation X In The New Economy, Journal of European Industrial Training, 26(2), 125-9. Cassie, Quigley. 2009. “Globalization and science Education: The implications for indigenous Knowledge systems”. International Education Studies, Vol.2 No.1, pp. 76-89. www.ccsenet.org/journal.html Chambers, R (1983) Rural Development — Putting The Last First. Essex, England: Longmans Scientific and Technical Publishers; New York: John Wiley Chesaina, Ciarunji. 1997. Oral Literature of the Embu and Mbeere. Nairobi: East African Publishers. Coetzee, P.H. and A.P.J. Roux. 2002. Philosophy from Africa, 2nd Ed., Oxford: Oxford University Press. Collinson, M. (Ed.) and FAO, 2000. A History of Farming Systems Research. CABI Publishing UK. Cools,-N.; De-Pauw,-E.; Deckers,-J. (2003) Towards an integration of conventional land evaluation methods and farmers' soil suitability assessment: a case study in northwestern Syria. Agriculture,- Ecosystems-and-Environment (Netherlands). 2003, v. 95(1) p. 327-342. Coen Reijntjes, Bertus Haverkort, dan Ann Waters-Bayer,. 1999. PERTANIAN MASA DEPAN; Pengantar Untuk Pertanian Berkelanjutan Dengan Inpu Luar Rendah. ILEIA (Information Centre for Low-External- Input and Sustainable Agriculture). BELANDA. Dalkir, K. 2005,. Knowledge Management in Theory and Practice, Elsevier Butterworth-Heinemann, London. Davenport, Thomas H & Prusak, L (1998) . Working Knowledge : How Organizations Manage What They Know. Boston: Harvard Business School Press. De Certeau, M. 1984. The practice of everyday life. Berkeley: University of California Press. 248

De Walt,B.R. 1994. Using indigenous knowledge to Improve Agriculture and Natural Resource Management. In : Human Organization Vol.53. No. 2. Center for Latin American Studies Distan Sulsel, , 2007. Perkembangan Statistik Tanaman Pangan Tahun 2006. Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. ------, 2008. Perkembangan Statistik Tanaman Pangan Tahun 2007. Dinas Tanaman Pangan Provinsi Sulawesi Selatan, Makassar. Dixon.J.M., M. Hall, J.B. Hardaker an vs Wyas : 1994. Farm and Community Information use for Agricultural Programes and Policies. FAO. Rome. Dei, Jerry Sefa. 2002. “African development: The relevance and implications of indigenousness”. Dei, Jerry Sefa, Budd Hall and Rosenberg Goldin eds. Indigenous knowledge in global contexts: Multiple readings of our world. Toronto: University of Toronto Press, pp.1-17. Derrida, Jacques,. 2001 , Writing and Difference, Translated, with an introduction and additional notes, by Alan Bass,London :Routledge, Douglas. 1990. “Application of Native knowledge in EIA”. A report of the Canadian Environmental Assessment Council. http://www.umanitoba.ca/institutes/natural/encyclopedia Durning, A.T,. 1995. Mendukung Penduduk Asli Dalam Lester R. Brown. Masa Depan Bumi, Hermoyo, Penerjemah. Jakarta. Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari : State Of The World. Domu, I, 2009. Bahan Kuliah Metodologi Penelitian, Program Studi Manajemen Pendidikan Pasca Sarjana Universitas Negeri Manado. Effendy, A, S,. 2011. Implementasi Kearifan Lingkungan Dalam Budaya Masyarakat Adat Kampung Kuta Sebagai Sumber Pembelajaran IPS. Jurnal Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Edisi Khusus No. 2. Agustus 2011. Universitas Pendidikan Indonesia (UPi). Bandung. Ellen, R. and H. Haris. 2005. Introduction. dalam Ellen, R., P. Parker, and A. Bicker (ed). Indigenous Environmetal Knowledge and its Transformation. Critical Anthropological Perspectives. Francis: The Taylor & Francis e-Library. Emery, C. R. Summers,. T.P. & Surak, J. G,. 1996. The Role of Organizational Climate In The Implementation of Total Quality Management Issues. Fakih, M. 1995. Tradisi dan Pembangunan : Suatu Tinjauan Kritis. Analisis CSIS 6:440-450. 249

FAO. 1994. Farming Systems Development. A Participatory Approach to Helping Small-scale Farmers. Food and Agriculture Organization of the United Nations. Rome. Farrington, J. and A. Martin. 1987. Farmer Participatory Research: A Review of Concepts and Practices. ODI Agricultural Administration (Research and Extension) Network Discussion Paper No. 19. London: Overseas Development Institute. Fauzi, H. 2006. Memahami fenomena alam pertanda bencana. Opini dalam Banjarmasin Post, 30 September 2006 Feyerabend, Paul. 1987. Farewell to Reason. London: Verso. Howes, Michael and Robert Chambers. 1980. “Indigenous Technical Knowledge: Analysis, Implications and Issues”. Brokensha, D., D. Warren and O. Werner eds. Indigenous Knowledge Systems and Development. Lanham: University Press of America, pp.329-340. Fujisaka, S,. 1993. A Case of Farmer Adaptation and Adoption of ContourHedgerows for Soil Conservation. Experimental Agriculture. Cambridge Journals. Volume 29. Issue 01. Cambridge University Press. Issue0. Tersedia pada http://journals.cambridge.org/action/displayAbstract?fromPage=online&a id=1620788. Diakses pada tanggal 29 Juli 2012. Flavier, J.M., et.al 1995 ‘The Regional Program for the Promotion of Indigenous Knowledge in Asia’, (Warren, D.M,. L.J. Brokensha (eds), The Cultural Dimension of Development: Indigenous Knowledge Systems. London: Intermediate Technology Production. Pp: 479-487. Floquet, A. and Mongho, R., (2000). Seeds for hope in agricultural research in Benin: Organisational changes within small NARS. Quarterly-Journal- of-International-Agriculture (Germany). 2000, v. 39(1) p. 51-67. Flora, Cornelia B. 1992. “Reconstructing agriculture: The case for local knowledge”. Rural Sociology 57 (1): 92- 97. Foucault, M. 1980. Power/knowledge (C. Gordon, Ed.). Hertfordshire: Simon & Schuster. Francis Wahono, 2005. Pangan, Kearifan Lokal dan Keanekaragaman Hayati, Penerbit Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta Friis-Hansen,-E. (1999) The socio-economic dynamics of farmers' management of local plant genetic resources: a framework for analysis with examples from a Tanzanian case study. CDR-Working-Paper- Centre-for-Development-Research (Denmark)1999, no. 3 250

Frick, H dan Suskiyatno, FX, B, 1998. Dasar-Dasar Eko-Arsitektur. Penerbit Kanisius dan Soegijapranata University Press. Ford, S.A. and E.M. Baab. 1989. ‘‘Farmer Sources and Uses of Information.’’ Agribusiness 5:465–76. Fujisaka S. 1997. Research: Help or hindrance to good farmers in high risk systems? Agricultural Systems 54(2): 137-152. Geriya, S, S,. 2003. Menggali Kearifan Lokal Untuk Ajeg Bali. Tersedia pada http://www.balipost.co.id/htm . Diakses pada 6 Juli 2012 Geertz, C.1973. Penjaja dan Raja. Jakarta: Badan Penerbit Indonesia Raya. Gobyah, I. Ketut,. 2003 ‘Berpijak Pada Kearifan Lokal’. Tersedia pada http://www.balipost.co.id/BALIPOSTCETAK/2003/9/17/bd3.htm. Diakses pada 6 Juli 2012 Granovetter dan Swedberg, 1992. The Sociologi of Economic Life, Westvie Press. Green, Maia. 2006. Representing Poverty and Attacking Representations: Perspectives on Poverty from Social Anthropology. Journal of Development Studies, Vol. 42, No. 7, pp. 1108–1129. Grenier, L. 1998. Working with Indigenous Knowledge: A Guide for Researcher. International Development Research Centre. Ottawa, Canada. Gould, S.J. 1991. Bully for brontosaurus. New York: Norton. Hambly, H.V. and T. Onweng Angura. Eds.. Grassroots Indicators for Desertification: experience and perspectives from Eastern and Southern Africa. International Development Research Center, Ottawa, 68 pp.. Haverkort B. 1991. Farmers’ experiments and participatory technology development. In: Haverkort B, van der Kamp J, Waters-Bayer A, eds. Joining farmers’ experiments: Experiences in participatory technology development. Intermediate Technology, UK. Haverkort, B. and H de Zeeuw. 1992. "Development of Technologies towards Sustainable Agriculture: Institutional Implications." pp.231-242, In W.M. Rivera and D.J. Gustafson (Eds.), Agricultural Extension: Worldwide Institutional Evolution and Forces for Change. New York: Elsevier Science Publishing Company. Hidayat, T. 2000. Studi Kearifan Budaya Petani Banjar Dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut. Jurnal Kalimantan Agrikultura 7(3), 251

Desember 2000. Hlm. 105-111. Fakultas Pertanian Universitas Lambung Mangkurat. Banjarbaru. Hidayat, Taufik, et. al,. Kontestasi Sains dengan Pengetahuan Lokal Petani dalam Pengelolaan Lahan Rawa Pasang Surut. Sodality: Jurnal Transdisiplin Sosiologi, Komunikasi dan Ekologi Manusia. Vol 4 No. 1. April 2010. Hefni, M,. 2008. Local Knowledge Masyarakat Madura: Sebuah Strategi Pemanfaatan Ekologi Tegal Di Madura. KARSA, Vol. XIV No. 2 Oktober 2008. Hertanto,. H,. 2008. Kearifan Lokal Meningkatkan Ketahanan Pangan. Agrimandiri Thn 4. Tersedia pada tp://www.arthagrahapeduli.org/index.php?option=com_content&view=art icle&id=1006:kearifan-lokal-meningkatkan-ketahanan-pangan & catid = 52 : umum & Item id=57&lang=in. Diakses pada tanggal 29 Juli 2012. Huntington, Henry. 2000. Using Traditional Ecological Knowledge in Science: Methods and Applications. Ecological Applications, Vol.10 No.5, pp.1270-1274. Howes, Michael and Robert Chambers. 1980. “Indigenous Technical Knowledge: Analysis, Implications and Issues”. Brokensha, D., D. Warren and O. Werner eds. Indigenous Knowledge Systems and Development. Lanham: University Press of America, pp.329-340. Idak, 1948. Rentjana Guna Memperbaiki Dan Menambah Luas Sawah Dalam District Bandjermasin Dan Bakumpai. Adjunct Landbouwconsulent. Bandjermasin. Idak, 1967. Perkembangan dan sedjarah persawahan di Kalimantan Selatan. ILEIA, 1990. Participatory Technology Development. ILEIA Leusden, The Netherlands. Iwanaga, Masa. 1998. In Situ Conservation And The Development Process Pp.vi in Jarvis, Debra I. and Toby Hodgkin (Eds.). Strengthening The Scientific Basis Of In Situ Conservation Of Agricultural Biodiversity On- Farm: Options For Data Collecting And Analysis. Proceedings of A Workshop To Develop Tools And Procedures For In Situ Conservation On-Farm, 25- 29 August 1997, Rome, Italy. International Plant Genetic Resources Institute, Rome. Italy. IIRR. 1996. Recording And Using Indigenous Knowledge: A manual. Philippines: IIRR. 252

J. W. School, 1991,. Modernisasi: Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang di Indonesia. Diterjemahkan Oleh RG. Soekadijo, PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Jurnal ANALISIS CSIS. 1995. Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. CSIS Jakarta. Johnson, M,. ed. 1992. Lore: Capturing Traditional Environmental Knowledge. Ottawa: Dene Cultural Institute. Kabira, Wanjiku and Karega Mutahi. 1993. Gikuyu Oral Literature. Nairobi: East African Publishers. Kaplan, S. and R. Kaplan. 1982. Cognition and Environment: Functioning in an Uncertain World. New York: Praeger Publishers. Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar Filsafat. Alih bahasa Soejono Soemargono. Yogyakarta: Tiara Wacana Kibwana,-O.T.; Haile,-M.; Veldhuizen,-L.-van; Waters-Bayer,-A. (2001). Clapping with two hands: bringing together local and outside knowledge for innovation in land husbandry in Tanzania and Ethiopia: a comparative case study. Journal-of-Agricultural-Education-and- Extension (Netherlands). 2001, v. 7(3) p. 133-142. Kipury, Naomi. 1983. Oral Literature of the Maasai. Nairobi: East African Publishers. Keraf, S, 2006. Etika Lingkungan. Kompas, Jakarta Kusdiansyah, Deni. 2008. Tersedia pada http://denikusdiansyah.wordpress.com/2008/07/23/pranata-sosial/. Diakses 20 Agustus 2011. Kloppenburg, Jack. 1991. “Social theory and the de/reconstruction of agricultural science: local knowledge for an alternative agriculture.” Rural Sociology 56 (4): 519-548. Komblum, W,. 1988. Sociology in a Changing World. Harcourt Canada, Limited. Laksono, K. S,. 1998,. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Pascasarjana Universitas Indonesia. Jakarta. Lamech dan Prioyulianto Hutama. 1996. Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan Daerah Irian Jaya Di Kabupaten Jayapura dan Biak Numfor. Lengisugi, Nathan. Ole. 2006. Maasae Resource centre for indigenous knowledge in Tanzania. XVII Standing Conference of Eastern, Central 253

and Southern Africa Library and Information Association. Hosted by Tanzania Library Association Leonti, M., Sticher, O. and Heinrich M. (2003) Antiquity of medicinal plant usage in two Macro-Mayan ethnic groups (México). Journal of Ethnopharmacology, Volume 88, Issues 2-3, October 2003, Pages 119- 124 Levi-Strauss, Claude. 1962. The Savage Mind. Chicago: University of Chicago Press. Luhur, A.P,. 2010. Implementasi Kebijakan Nasional Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Di Kabupaten Sukoharjo. Skripsi. Fakultas Hukum. Universitas Sebelas Maret Surakarta. Lyotard, Jean-Francois, 2009. Kondisi Postmodern: Suatu laporan mengenai Pengetahuan (Edisi Terjemahan). Surabaya: Selasar Surabaya Publishing. Mander, J. 1991. In the absence of the sacred: The failure of technology and the survival of the Indian Nations. San Francisco, CA: Sierra Club Books. Mapinduzi, A.L., Oba, G., Weladji, R.B. and Colman, J.E. (2003) Use of indigenous ecological knowledge of the Maasai pastoralists for assessing rangeland biodiversity in Tanzania. African journal of ecology (UK) 2003, 41(4) p. 329-336. Marothia, D.K. (2002). Institutional arrangements for participatory irrigation management: initial feedback from central India. ACIAR Proceedings (Australia) 2002 106 p.75-105 Marschke, M. Nong, K. (2003). Adaptive co-management: lessons from coastal Cambodia. Canadian Journal of Development studies (Canada) 2003 24(3) p. 369-383. Matowanyika, J. 1994. What are the issues on indigenous knowledge systems in southern Africa In Indigenous Knowledge Systems and Natural Resource Management in Southern Africa. Report of the Southern Africa Regional Workshop, Harare, Zimbabwe, 20-22 April 1994. IUCN-ROSA: Zimbabwe Maweu, M,. J,. 2011. Indigenous Ecological Knowledge and Modern Western Ecological Knowledge: Complementary, Not Contradictory. A Journal of the Philosophical Association of Kenya (PAK) New Series, Vol.3 No.2, December 2011, pp.35-47. Misiko, Michael. 2007. Fertile Ground? Soil Fertility management and the African Small Holder. Wageningen: Wageningen University. Nakashima, 254

Mendoza-L,-M.C.; Luning,-H. (1997). Capturing resource user's knowledge in a geographic information system for land resource management: the case of the Kankanaey farmers in Benguet, Philippines. Geographical- Studies-of-Development-and-Resource-Use (Netherlands).1997, no. 2, 26 p. Merrewij, A. V. 1998. Three Definitions Of Indigenous Knowledge. Indigenous Knowledge And Development Monitor. Vol.6, Issue 3, p, 13. Meyer, Bertolt & Sugiyama, Kozo,. 2006. The Concept of Knowledge in Knowledge Management: a dimensional model. Journal of Knowledge Management. Vol. 10 No. 6. Msuya, Jangawe. 2007. Challenges and Opportunities in the Protection and Preservation of Indigenous Knowledge in Africa. International Review of Information Ethics, Vol.7 Mulyandari, Retno Sri Hartati dan E. Eko Ananto,. 2005. Teknik Implementasi Pengembangan Sumber Informasi Pertanian Nasional dan Lokal P4MI. Informatika Pertanian Volume 14 Tahun 2005. Murdiyatmoko dan Handayani, R. 2004. Interaksi Sosial dalam Dinamika. Artikel. Tersedia pada http://www.tempo-interaktif.com/interaksi-osial- dalam-dinamika. Diakses pada tanggal 6 September 2012. Nababan, A,. 1995. Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan Hidup di Indoensia. Jurnal Analisis CSIS Kebudayaan, Kearifan Tradisional dan Pelestarian Lingkungan. Tahun XXIV No. 6 November-Desember 1995, hal. 421-435. Nanda,-M. (1999) Who needs post-development? Discourses of difference, Green Revolution and agrarian populism in India. International-Studies- in-Sociology-and-Social-Anthropology (Netherlands)1999, v. 74, p. 5-31 Namba, Anton, 2003. Pendekatan Ekosistem dalam Penanggulangan Kemiskinan: Refleksi Penanggulangan Kemiskinan di Sulawesi Tengah. Jurnal Ekonomi Kerakyatan. [Artikel - Th. II - No. 1 - Maret 2003] Nasution. S., 1996. Metode Penelitian Kualitatif Naturalistik. Rajawali, Jakarta. Neubert,-D. (2000). A new magic term is not enough: participatory approaches in agricultural research. Quarterly-Journal-of-International- Agriculture (Germany). 2000, v. 39(1) p. 25-50. Nugroho, Hari,. 2010. Teknologi Pertanian Ekologis Vs Pertanian Industri. Artikel dalam Kompasiana. Tersedia pada http://teknologi.kompasiana.com/terapan/2010/11/02/teknologi- 255

pertanian-ekologis-vs-pertanian-industri/. Diakses pada tanggal 10 Agustus 2012. Noor, M. 2001. Pertanian Lahan Gambut: Potensi dan Kendala. Kanisuis. Yogyakarta. 179 hlm. Noor, M. M. Alwi, dan K. Anwar 2007. Kearifan budaya lokal dalam perspektif kesuburan tanah dan konservasi air di lahan gambut. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor. Noor, H.Dj., S.S. Antarlina dan I. Noor. 2007; Kearifan lokal dalam budidaya jeruk di lahan rawa. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor. Noor, M dan Achmadi Jumberi,. 2008. Kearifan Budaya Lokal Dalam Perspektif Pengembangan Pertanian Di Lahan Rawa. Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa. Banjar Baru. Banjarmasin. Noorginayuwati dan A. Rafieq. 2007. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan lebak untuk pertanian di Kalimantan. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor. Noorginayuwati, A. Rafieq, M. Noor, dan A. Jumberi. 2007. Kearifan lokal dalam pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian di Kalimantan. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor. Notohadiprawiro, 1996. Contrains to achiving the agricultural potential of tropical peatlands – an Indonesien perspective. In E. Maltby et al. (eds). Proc. of A Workshop on Integrated Planning and Management of Tropical Lowland Peatland. IUCN. p.139-154. Nygren, A, "Local Knowledge in the Environment-Development Discourse: From Dicotomies to Situated Knowledge", Critique of Anthropology 19 (3): 267-288, 1999. Odaga, Asenath. 1984. Yesterday’s Today: The Study of Oral Literature. Kisumu: Lake Publishers and Enterprises. Odum, F.P. 1969. The Fundamental of Ecology. Mcgraw-Hill Company. New York. Owuor, Jennifer. 2007. “Integrating African Indigenous Knowledge in Kenya’s Formal Education System: The Potential for Sustainable Development”. Journal of Contemporary Issues in Education, Vol.2 No.2, pp.21-37. 256

Patinduka, J,. 2012. Pengembangan Kearifan Lokal Di Sektor Pertanian Dan Upaya Mengurangi Dampak Pemanasan Global. Tersedia pada http://johnnduka.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 29 Juli 2012. Polunin, N. 1997. Ekosistem dan Penerapannya. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Prasodjo, N,. W,. 2005. Pengetahuan Lokal dalam Pengelolaan DAS Citanduy (Studi Desentralisasi dan Tata Pemerintahan Sumberdaya Alam). Project Working Paper Series N0. 14. PSP-IPB dan Partnership For Governence Reform in Indonesia - UNDP Prihandono, A,. 2012. Kearifan Lokal Pranata Teknologi Dan Kelembagaan Pada Beberapa Rumah Tradisional Di Indonesia Timur. Jurnal Sosek Pekerjaan Umum, Vol.4 No.1, April 2012 hal 1- 65 Prihatman K, 2000, Budidaya Padi, Pendayagunaan Dan Pemasyarakatan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi, Jakarta hal 3-7 Pretty, J,. 2006. Agroecological Approaches To Agricultural Development. World Development Report 2008 “Agriculture for Development. International Development Research Centre, Ottawa, Canada. http://www.rimisp.org/getdoc.php?docid=6440. Diakses pada tanggal 29 Juli 2012. RAFI. 2000. In search of higher ground: the intellectual property challenge to public agricultural research and human rights and 28 alternative initiatives. The occasional paper series. Vol 6. No.1. RAFI/ UNDP. 1995. CSOPP Documents: Conserving Indigenous knowledge- Integrating New Systems of Integration. Web Site. http://www.undp.org/csopp/ Diakses pada tanggal 29 Juli 2012. Rajasekaran, B. and R. A. Martin. 1989. "Organization and Management of Training and Visit Extension System in Developing Countries." Paper presented at the Ninth Farming Systems Research/ Extension Conference. Fayetteville, Arkansas, October 18-21, 1989. ------, and R.A. Martin. 1990. "Evaluating the Role of Farmers in Training and Visit Extension System in India." Paper presented at the Tenth Farming Systems Research/Conference. East Lansing, Michigan, October 14-18, 1990. ------,., D.M. Warren and S.C. Babu. 1991. "Indigenous Natural- Resource Management Systems for Sustainable Agricultural Development - A Global Perspective." Journal of International Development 3 (4): 387-402. 257

------,. 1993. A Framework for Incorporating Indigenous knowledge System into Agricultural Research and Extension Organizations for Sustainable Agricultural Development in India. Ph.D. Dissertation, Iowa State University, Ames, Iowa. ------,. and D.M. Warren. 1993. "Indigenous Rice Taxonomies and Farmers' Rice Production Decision-Making Systems in South India." In D.M. Warren, D. Brokensha, and L.J. Slikkerveer, (Eds.), Indigenous Knowledge Systems: The Cultural Dimensions of Development. London: Kegan Paul International. (forthcoming). Rhoades, Robert dan Anthony Bebbington. 1988. Petani yang melakukan percobaan: Sebuah sumber daya yang belum dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan pertanian. Makalah dipresentasikan di International Kongres Tanaman Fisiologi, New Delhi, India, 15-20 Februari 1988. (Draft, 1988). Richards, P. 1985. Indigenous Agricultural Revolution. Ecology and Food Crops in West Africa. Methuen. Rika R. 2010. Kearifan Lokal Terhadap Pemeliharaan Lingkungan Hidup Kampung Cimanggu, Desa Gunung Malang, Kecamatan Tenjolaya, Kabupaten Bogor. Artikel. Tersedia pada http:www. rikar08.student.ipb.ac.id. Diakses pada 12 April 2011 Roling N.G and Engel, P.G.H 1990. IT from a Knowledge System Perspectives; Concepts and issues, Knowledge in Society: The International Journal of Knowledge Transfer, 3,6-18 Roth,-G. (2000). Lokales Wissen im Beratungskontext: Vernetzung von lokalem bauerlichem Wissen mit dem landwirtschaftlichen Beratungsangebot in der Dominikanischen Republik Rositah, E,. 2005. Kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan dan penanggulangannya: studi kasus di Kabupaten Malinau, Provinsi Kalimantan Timur. Journal Centre For Pacific and Asia Studies. Faculty Of Social Science. Radboud University Nijmegen The Netherlands. Rosenblum,-M.L.; Jaffe,-L.; Scheerens,-J.C. (2001). Setting up farmers' research agendas in Lesotho. Indigenous-Knowledge-and- Development-Monitor (Netherlands). 2001, v. 9(1) p. 3-7. Rosyadi dan Tobirin, 2010,. Local Wisdom. Pidato Ilmiah dalam Dies Natalis Universitas Jenderal Soedirman ke 47. Tersedia pada http://www.unsoed.ac.id/en/node/local-wisdom. Diakses pada tanggal 6 Agustus 2012. 258

Sahardi, M,.2010. Perbanyakan Benih Sumber Varietas Unggul Baru Tanaman Pangan Mendukung Pengembangan Benih Bermutu di Sulawesi Selatan. Laporan Hasil Penelitian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan. Makassar. Sairin, Sjafri. 2006. “Yang Diingat dan Dilupakan, Yang Teringat dan Terlupakan: Social Memory dalam Studi Antropologi” dalam Ahimsa- Putra HS (ed). Esai-esai Antropologi Teori, Metodologi dan Etnografi. Yogyakarta: Keppel Press. Salas,-M.A. (1996) Papas y cultura: acerca de la interaccion de sistemas de conocimiento en los Andes del Peru Salim. A. 2006.Teori & Paradigma Penelitian Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Salman, D,. 2010. Dapatkah Kearifan Lokal Fungsional Dalam Pengelolaan Konflik Ditengah Preskripsi Global ? Dalam Buku “Makna Bhinneka Tunggal Ika sebagai Bingkai Budaya Ke-Indonesiaan”, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, Jakarta. Samal, Prasanna K, Lok Man S. Palni, dan Devaendra K. Agrawal, 2003. Ecology, Ecological Poverty and Sustainable Development in Central Himalayan Region of India. International Journal of Sustainable Development and World Ecology No. 10, pp. 157-168. Sarasutha IGP., A. Najamuddin, Mufran Rauf, Mansur Azis, dan Syamsu Alam, 1999. Sistem Usahatani Berbasis Padi ( SUTPA ) di Sulawesi Selatan. Jurnal sosial Ekonomi Pertanian No. 3 . UNHAS, Ujung pandang. Sarimin, T. and RH. Bernsten, 1984. Agroeconomic profile of an old transmigration area in the tidal swamp environment. p. 197-207 In Workshop on Research Priorities in Tidal Swamp Rice. International Rice Research Institute. Sartini. 2004. Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Jurnal. Jurnal Filsafat Edisi Agustus 2004, Jilid 37, No. 2. Tersedia pada http://jurnal.filsafat.ugm.ac.id/index.php/jf/article/viewFile/45/41. Diakses pada 13 Juni 2012. Satoto, Aan Andang Daradjat, dan Sri Wahyuni,. 2008. Benih Unggul Padi Sawah : Pengertian dan Aspek Terkait. Informasi Ringkas Bank Pengetahuan Padi Indonesia. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Sukamnadi 259

Sayaka, B. dan Effendi P,. 2006. Stage Of Development in River Basin Management in Indonesia. Analisis Kebijakan Pertanian Vol.04 No.01 2006. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian. Bogor. Schneider, J. 1995. Introduction in Major Issues in Indigenous Knowledge in Conservation of Crop Genetic Resources. Central Research Institute for Food Crop. Jakarta. Shrestha, P., McDonald, M., Sinclair, F. (2003). Application of a knowledge- based systems approach in participatory technology development: developing soil and water management interventions for reducing nutrient losses in the middle hills of Nepal. Mountain Agriculture in the Hindu Kush-Himalayan region. Proceedings of an international symposium May 21-24, 2001, Kathmandu, Nepal. p. 61-67. Sillitoe Paul, 1998. The Development of Indigenous Knowledge. Current Anthropology, Vol. 39, No. 2. April, 1998, 223-247; Simpson,-B.M (1999). The Roots Of Change: Human Behaviour And Agricultural Evolution In Mali. IT-Studies-in-Indigenous-Knowledge-and- Development-Intermediate-Technology (UK).1999, unnumbered, 182 p. Singh, Sanjay Kumar , 2008. Role of Leadership in Knowledge Management ; A Study Journal Of Knowledge Management,. Vol. 12. No. 4, Pp 3-15 Siregar, H. 1981. Budidaya Tanaman Padi di Indonesia. Jakarta: P.T. Sastra Husada Sugiyono 2009. Metodologi Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D, Alfabeta, Bandung. Suharsaputra, U. 2004. Filsafat Ilmu. Universitas Kuningan: Jakarta. Sumberg,-J.; Okali,-C.; Reece,-D. (2003) Agricultural research in the face of diversity, local knowledge and the participation imperative: theoretical considerations. Agricultural-Systems (UK). 2003, v. 76(2) p. 739-754. Sunaryo dan L. Joshi. 2003. Peranan pengetahuan ekologi lokal dalam sistem agroforestri. World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast Asia Regional Office. Bogor, Indonesia Suparlan. P. (1994). Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Program S-2 Kajian Wilayah Amerika Universitas Indonesia. Supriyo, A. dan A. Jumberi, 2007. Kearifan Lokal Dalam Budidaya Padi Di Lahan Rawa Pasang Surut. Dalam Kearifan Budaya Lokal Lahan Rawa. Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian. Banjarbaru/Bogor. Supriyanto, S. 2003. Filsafat Ilmu. Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga. Surabaya. 260

Su Ritohardoyo, 2006. Bahan Ajar Ekologi Manusia. Program Studi Ilmu Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, UGM, Yogyakarta Sutanto, R. 2002. Tantangan global menghadapi kerawanan pangan dan peranan pengetahuan tradisional dalam pembangunan pertanian. Dalam F. Wahono et al, (eds) Pangan, Keriafan Lokal dan Keanekaragaman Hayati. CPRC. Yogyakarta. Hlm. 67-84. Soemarsono, E,R,. 2012. Sosial Budaya. Tersedia pada http://riizkyekko.blogspot.com/2012/03/sosial-budaya.html . Diakses pada tanggal 6 Agustus 2012. Soemarwoto, Otto. 1982. Makro Kosmos Dan Mikrokosmos Dalam Membangun Lingkungan Yang Serasi. Materi Kuliah. Pasca Sarjana Ilmu-Ilmu Pertanian. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Stein,-A.; Goma,-H.C.; Rahim,-K.; Nangendo,-G.; Riley,-J (2001). Participatory studies for agro-ecosystem evaluation. Agriculture,- Ecosystems-and-Environment (Netherlands).2001, v. 87(2), special issue, p. 179-190. Sveiby, K.E. 1997. The New Organizational Wealth, Managing and Measuring Knowledge-Based Assets. Barret-Koehler Publishers, San Francisco, CA. Tangwa, Godfrey. 2004. “Some African Reflections on Biomedical and Environmental Ethics”. Wiredu, Kwasi ed. A Companion to African philosophy. Oxford: Blackwell publishers. Taufik, R.M,. 2008. Mitos Nyi Pohaci/Sanghyang Asri/Dewi Sri. Journal of Tukang Potret. Tersedia pada http://web.archive.org/web/20101003065734/http://my.opera.com/mrtauf ik/blog/2008/03/01/mitos-nyi-pohaci-sanghyang-asri-dewi-sri. Diakses pada tanggal 20 Juli 2012. Taylor, Lance. 2009. Growth, Development Policy, Job Creation and Poverty Reduction. DESA Working Paper No. 90ST/ESA/2009/DWP/90, World Bank. Tiezzi, Marchettini, dan Rossini. 2011. Extending the Environmental Wisdom beyond the Local Scenario: Ecodynamic Analysis and the Learning Community. Tersedia pada: http://library.witpress.com/pages/paperinfo.asp. Diakses pada 6 Juli 2012. Timmermans, K. (2003) Intellectual property rights and traditional medicine: policy dilemmas at the interface. Social Science & Medicine, Volume 57, Issue 4, August 2003, Pages 745-756 261

Titilola, S.O. 1990. The Economic of Incorporating Indigenous Knowledge System Into Agricultural Development. A Model and Analytical Framework. In : Studies in Technology and Social Change, No.17. Iowa State University Research Foundation. Turindra, A,. 2010. Agricultural Sustainable. http://turindraatp.blogspot.com/. Diakses pada tanggal 20 Juli 2012. The Sundanese,. 2012. Early Mythology - Dewi Sri. Tersedia pada http://www.sunda.org/sundanese/myths.htm. Diakses pada tanggal 20 Juli 2012. Thrupp, L. 1989. "Legitimizing Local Knowledge: Scientized Packages or Empowerment for Third World People." pp.138-153, In D.M. Warren, L. J. Slindigenous knowledgekerveer, and S.O. Titilola, Indigenous knowledge Systems: Implications for Agriculture and International Development. Studies in Technology and Social Change No. 11. Ames: Iowa State University. UNESCO .1998. Best Practices on Indigenous Knowledge. Joint Publication of the Management of Social transformations Programme (MOST) and the Centre for International Research and Advisory Networks (CIRAN). Vancil, David L., 1993, Rhetoric and Argumentation, Allyn and Bacon, Boston. Van Der Pol, F,. 2005. Indigenous Knowledge and Agricultural Innovation. Knowledge For Development. Observatory on Science, Technology and Innovations for African, Carribean and Pacific (ACP) Contries Agricultural and Rural Development Indigenous knowledge-based systems (IKBS) innovation development. CTA. Wageningen, Belanda. Tersedia pada http://knowledge.cta.int/en Diakses pada tanggal 6 Agustus 2012. Vandebroek, I., Van Damme, P., Van Puyvelde, L., Arrazola, S.and De Kimpe, N., 2004. A Comparison Of Traditional Healers Medicinal Plant Knowledge In The Bolivian Andes And Amazon. Social Science & Medicine, Volume 59, Issue 4, August 2004, Pages 837-849 Vasavi, A.R. 1999. Agricultural rituals: Rationality of rituals for regeneration. Honeybee 10(2): 6–7. Vayda, AP 1981 ‘Research in East Kalimantan on Interaction Between People and Forest: A Preliminary Report’, dalam Borneo Research Bulletin. Viergever, Marcel. 1999. “Indigenous Knowledge: an interpretation of views from indigenous peoples”. Pp.333- 359 in Semali, Ladislaus M. and Joe 262

L. Kincheloe (Eds.). What is indigenous knowledge? Voices from the academy. New York and London. Falmer press. Veldhuizen L van, A Waters-Bayer, R Ramirez, DA Johnson and J Thompson (eds). 1997. Farmers’ research in practice: Lessons from the field. Intermediate Technology Publications, London. Von Glasersfeld, E. 1995. Radical Constructivism: A Way of Knowing and Learning. London & Washington: The Falmer Press. Warren, D.M., L.J. Slikkerveer and S.O. Titilola (eds.) 1989. Indigenous Knowledge Systems; Implications for Agricultural and International Development. Studies in Technology and Social Change, No 11. Ames, Iowa: Technology and Social Change Program, Iowa State University. Warren, D.M. 1991. Using Indigenous Knowledge In Agricultural Development', World Bank Discussion Papers. The World Bank, Washington, D.C. Warren. 1993. Using IK for Agriculture and Rural Development. Current Issues and Studies. In : Indigenous knowlede and Development Monitor Vol. 1 No. 1 CIKARD. Wikipedia,. 2011. Pranata. Tersedia pada http://id.wikipedia.org/wiki/Pranata . Diakses pada tanggal 6 Agustus 2012. Wisnubroto, S. dan R. Attaqi. 1997. Pengenalan waktu tradisional ”Bulan Berladang” kesamaaannya dengan keadaan meteorologis dan pemanfaatannya untuk pertanian. Jurnal Ilmu Tanah dan Lingkungan : 1(1), Desmeber 1997: Hlm. 61-66. Fak. Pertanian Univ. Gadjah Mada. Yogyakarta. Witoelar Rahmat,. 2007. Pengantar dalam Andi M. Akhmar (peny.). Mengungkap Kearifan Lokal Lingkungan Sulawesi Selatan. Jakarta: Kementrian Negara Lingkungan Hidup bekerjasama dengan Masagema Press. World Bank/KIT (2000). Village participation in Rural Development. Tools and manual. The African Network on Participatory Approaches. World Bank, Washington, and Royal Tropical Institute (KIT), Amsterdam.. Yoshida, S,. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. International Rice Institute Research (IRRI). Los Banos. Laguna. Philippines. 269 hal. Zakaria, Y. R. 1994. Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat. Wahana Lingkungan Hidup Indonesia. Jakarta. 263

LAMPIRAN 264

Lampiran 1 . Daftar Istilah

Mangkalungu ri bulu'e, : Ibarat seorang tidur, maka ia berbantalkan massulappe gunung dan hutan, memeluk lembah, dan kakinya ripottanangnge ma menyentuh danau atau air laut (daerah ini matodang ritasi'e, ri merupakan negeri yang subur dan nyama) tapparengnge Pananrang/Lontara : Naskah yang memuat tentang tata cara bercocok Laongruma tanam, perubahan iklim, siklus musim tanam, baik tanaman palawija maupun tanaman padi Sai : Musim-musim wabah penyakit Ompona Muharram : Terbitnya bulan Muharram dalam penanggalan Islam (Hijriyah) aoPo aulE : Peredaran bulan, setiap tanggal Bilang lima : Perhitungan tanggal baik dengan tangan Kallang : Alat tulis pada daun lontar Tanra-tanranna nerekko : Tanda-tanda apabila mau memulai tanam agar maeloki mappammula hasil yang diperoleh lebih baik mattaneng-taneng na makessing wassele’na Ompona ulengnge : Terbitnya bulan Riasengngi lise’ sibawa : Dinamakan isi dan akar (umbi) ure’ Riasengngi batang : Dinamakan batang Riasengngi daun : Dinamakan daun Riasengngi unga : Dinamakan bunga Riasengngi bua : Dinamakan buah Manre Sipulung : Duduk makan bersama (musyawarah) Pa’pananrang : Peramal Mattakko : Menangkar benih Mappatinro bine : Menidurkan benih Mappabenni ase : Menginapkan benih Massureq : Membaca 265

Meong palo karallae : Epos Lagaligo tentang padi Maddemme bine : Merendam benih Aja mupasi nyonyo i : Jangan menggunakan sendok sayur sebagai sanrue sibawa sajie sendok untuk nasi Cella pance : Tungro Mappatetti bine : Meniriskan benih Maddokko bine : Membungkus benih Mappatuwo Pelleng : Menyalakan lilin Sokko : Nasi Ketan Pallise : Isian (gula merah dan kelapa) Maddoang-doang salam : Baca doa selamatan (syukuran) Mallise : Berisi Mangngampo bine : Menghambur benih Mappametti galung : Mengeringkan sawah Leppa Lasani : Pelepasan penyakit/beradaptasi Daun penno – penno : Jenis daun yang disimbolkan melimpah ruah Marrakkala : Membolak-balikkan tanah Tekko : Bagian utama dari sebuah rakkala dan merupakan tempat dirangkainya komponen- komponen rakkala Watang rakkala : Batang bajak Sui, gigi : Mata bajak Pabbekkeng nyarang : Tali pinggang kuda Kalong : Seutas tali dari rotan atau ijuk yang dipasang melingkar atau disangkutkan pada leher kuda Parajo : Seutas tali rotan Galang atau pelana : Seutas tali yang panjangnya dua kali panjang watang rakkala yang berfungsi untuk menggiring hewan penarik rakkala Massalaga : Menghancurkan tanah yang sudah dibolak-balik Mappura galung : Meratakan tanah kemudian dilumpurkan sampai macak-macak 266

Mabbingkung wiri’ : Memperbaiki pematang galung/mappetau lolo Mattimpu galempong : Menutup lubang tikus balao Mattaneng : Menanam Massisi bine : Mencabut benih Mallempa bine : memikul bibit ke sawah Mattale bine : Mengatur bibit ke setiap sudut sawah Mappiare ase : Memelihara pertanaman padi Maddongi : Mengusir burung Pajo-pajo : Orang-orangan sawah Wae tanra : Busuk leher Pappalleppa : Tali dipasang di sudut sawah kemudian di tarik pagi dan sore hari Masseremme balao : Membersihkan sisa-sisa makan tikus Madduppa ase : Memanen padi di sawah Mappakanango : Ujung daun dilipat dengan bulu ayam kampung dan kulit leppe-leppe agar buah nantinya tidak dimakan walang sangit Massangki : Panen menggunakan alat rakkapeng Rakkapeng : Ani-ani (alat panen padi) Palo Dompa : Topi runcing yang dianyam dipakai petani pada saat panen Passiyo : Pengikat Pallempa : Pemanggul Maccaca wali : Runcing atas bawah