POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan Pemodelan dalam Forum Musrenbang Desa di Kabupaten Selatan dan Kabupaten Pesawaran Modelling Forum Musrenbang Desa in Lampung Selatan and Pesawaran

Noverman Duadji Novita Tresiana Universitas Lampung Universitas Lampung [email protected] [email protected] Abstrak Sistem sentralisasi dan hegemoni kursif pemerintahan di memiliki akar sejarah panjang, mulai era kolonial, hingga masa reformasi (otonomi daerah). Praktik penyelenggaraan tata kelola pemerintahan dan layanan publik terdistorsi ke dalam maladministration yang hanya menguntungkan penguasa, kroni dan kelompok- kelompok tertentu sebagaimana yang dialami oleh Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran. Sesuai dengan masalah dan tujuan penelitian, maka, digunakan metode kualitatif --- yang menunjukan bahwa hampir pada semua pekon/desa di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran, lembaga adat lampung masih eksis, kendati dengan fungsi yang berbeda. Selanjutnya, dengan adanya UU No. 6/2014 tentang Desa, maka, kondisi ini diyakini dapat dijadikan landasan governance sounds Musrenbang Desa untuk menghasilkan RPJM Desa dan RKP Desa yang berkualitas --- sehingga, (1) Diperlukan governance sounds berbasis lembaga adat Lampung dalam penyelenggaraan Musrenbang Desa; (2) Input Musrenbang Desa harus berangkat dari persoalan (masalah) dan kebutuhan masyarakat desa dengan memperhatikan potensi dan keanekaragaman kondisi desa; (3) Konsep governance sounds lebih memaknai lembaga adat Lampung sebagai lembaga yang akomodatif terhadap pluralisme dan kemajemukan forum deliberatif desa; (4) Perlunya perubahan struktur dan orientasi untuk mensinergikan lembaga adat Lampung dan forum Musrenbang Desa; (5) Forum Lembaga Adat Lampung harus menjadi forum tertinggi Musrenbang Desa yang dilandasi oleh perda.

Keywords: Lembaga Adat, Musrenbang Desa, Governance Sounds

Abstract Centralized systems and cursive hegemony of government in Indonesia has long historical roots, from the colonial era, until the time of reformation (decentralization). Practice implementation of governance and public service distorted into maladministration that only benefit the ruling, cronies and certain groups as experienced by South Lampung Regency and Regency Pesawaran. In accordance with the problem and research objectives, then, used qualitative methods --- which showed that almost all pekon / villages in South Lampung regency and Pesawaran, Lampung customary institutions still exist, although with different functions. Furthermore, with the Law No. 6/2014 of the village, then, the condition is believed to be the basis of governance to produce sounds Musrenbang Rural Development Plan and the village of Desa quality RKP --- so, (1) Required sounds governance based traditional institutions in organizing Musrenbang Lampung village; (2) Input Musrenbang village had to depart from the issue (problem) and the needs of rural communities with regard to the potential and diversity of rural conditions; (3) The concept of governance interpret sounds more traditional institutions Lampung as an institution accommodating towards pluralism and diversity of the village deliberative forum; (4) The need for changes in the structure and orientation to synergize traditional institutions and forums Musrenbang Lampung village; (5) Forum of Indigenous Lampung should be the highest forum Musrenbang village guided by regulations.

Keywords: Indigenous Institute, Musrenbang Village, Governance Sounds

JURNAL POLITIK 1829 VOL. 12 No. 02. 2016 Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

PENDAHULUAN adalah bukan hanya sekadar semakin buruknya Sistem sentralisasi dan hegemoni kursif kualitas layanan publik, akan tetapi, semakin pemerintah di Indonesia memiliki akar sejarah terkotak-kotaknya masyarakat, semakin jauhnya panjang, mulai era kolonial, awal kemerdekaan, jarak antara masyarakat dengan pemerintah dan masa orde lama, rezim orde baru berlanjut hingga semakin bertambahnya beban serta persoalan masa reformasi dan otonomi daerah. Praktik penye- yang dihadapi dalam kehidupan masyarakat. lenggaraan tata kelola pemerintahan dan layanan Sejalan dengan kondisi tersebut, maka, ruang publik terdistorsi kedalam maladministration publik dan partisipasi warga desa dalam Mus- yang hanya menguntungkan penguasa, kroni dan renbang Desa menjadi sesuatu yang conditio kelompok-kelompok tertentu; sementara sebagian sine quanon untuk mensinergikan rencana besar masyarakat hanya menjadi penonton bahkan pembangunan dengan persoalan dan kebutuhan cenderung termarjinalkan oleh sistem, termasuk faktual masyarakat desa. Tentu saja, tawaran yang sedang dialami oleh Kabupaten Lampung dalam bentuk rumusan model governance sounds Selatan dan Kabupaten Pesawaran. dalam Musrenbang Desa merupakan gagas- Kebijakan dan program pembangunan semakin an untuk memperbaiki kondisi keterpurukan meningkat, baik dari aspek peningkatan dana masyarakat desa. Artinya, gagasan dan upaya maupun jenis dan variasinya. Namun kemiskinan kearah terbukanya ruang dan partisipasi publik dan ketidakberdayaan masyarakat belum dapat menjadi sesuatu yang menarik. tertanggulangi. Bukti menunjukan bahwa dari Sebagai nilai dasar demokrasi, tentunya 6,75 juta jiwa penduduk Provinsi Lampung 22,63 partisipasi publik menjadi perhatian dan tempat % atau 1,53 juta jiwa terkategori miskin sehingga utama dalam administrasi publik sebagaimana provinsi ini menduduki predikat kedua termiskin yang tertuang dalam 2 (dua) domain ide, yaitu: (1) di Pulau Sumatera. Walaupun penanggulangan manajemen partisipatif dan (2) partisipasi publik kemiskinan, pemberdayaan dan peningkatan dalam administrasi publik (Muluk, 2004: 29). kualitas kehidupan masyarakat sudah dilakukan Jika ditelusuri lebih jauh lagi, domain manajemen baik melalui program pemerintah pusat, provinsi partisipatif tertuang di dalam karya Osborne dan maupun kabupaten/kota, akan tetapi, belum ada Gaebler (1992) tentang ‘reinventing govermance’ perubahan yang signifikan. Diduga kuat, beleng- yang di dalamnya paling tidak memuat 2 (dua) gu struktural menjadi penyebab utamanya yang prinsip yang bersinggungan dengan partisipasi berimplikasi pada dua hal. Pertama, tereduksinya publik. Pertama, prinsip ‘community owned public service delivery yang distortif, memar- government: empowering rather than serving’ jinalkan hak warga, membatasi akses dan yang menunjukkan betapa pentingnya partisipasi partisipasi publik serta hanya menguntungkan publik di dalam administrasi publik. Kedua, kelompok tertentu saja. Kedua, sebagai miniatur prin-sip ‘decentralized government: from Indonesia dengan komposisi penduduk multi hierarchy to participation and teamwork’ yang etnik dan multi kultur, maka, dengan adanya menunjukkan pentingnya manajemen partisipatif distorsi public service delivery dan marjinalisasi yaitu partisipasi karyawan (aparatur publik) dalam hak warga sering kali interaksi di antara kelompok penyelenggaraan administrasi publik. Namun, masyarakat di Provinsi Lampung cepat tersulut dalam konteks penelitian ini, lebih difokuskan pada konflik horizontal yang bersifat disintegratif, prinsip pertama, yaitu partisipasi publik (warga) seperti yang terjadi antara warga Desa Ragom dalam administrasi publik, bukan dimaknai dengan Desa Balinuraga Kabupaten Lampung sebagai partisipasi aparatur publiknya yang meru- Selatan dengan kerugian masif, baik dari sisi pakan konten dari manajemen partisipatif. harta benda maupun jiwa. Uraian ini menyiratkan Dalam konteks pada umumnya, partisipasi bahwa dengan eksklusifisme layanan publik dan publik dimaknai sebagai keikutsertaan masyarakat terbatasnya ruang publik telah menyebabkan dalam semua proses dan tahapan pembuatan kepu- blocking akses, partisipasi dan interaksi di antara tusan, baik yang bersifat manipulatif ataupun sesama warga (komunitas) dan warga dengan yang bersifat spontan. Partisipasi manipulatif pemerintah. Efek negatif yang menjadi penyerta mengandung pengertian bahwa partisipan tidak

JURNAL POLITIK 1830 VOL. 12 No. 02. 2016 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

merasa dipaksa untuk melakukan sesuatu, (pembangunan yang terpusat pada manusia); namun sesungguhnya partisipan diarahkan untuk Burn dkk (1994) yang menunjukkan pentingnya berperan serta oleh kekuatan di luar kendalinya. partisipasi sebagai strategi untuk menyalurkan Oleh karena itu, partisipasi bentuk ini disebut aspirasi masyarakat (voice) dalam proses pe- dengan ‘teleguided participation’ (Rahmena, merintah daerah. 1992). Sementara, partisipasi spontan oleh Sejalan dengan uraian di atas, Muluk (2007) Midgley (1986) dimaknai sebagai “a voluntary melihat arti penting partisipasi publik dari sudut and autonomous action on the part of the people to fungsi, yaitu: organize and deal with their problems unaided by (1) Sebagai sarana swaedukasi kepada government or other extrernal agent”. Kutipan ini masyarakat mengenai berbagai persoalan memberikan pengertian tentang tindakan sukarela publik. Dalam fungsi ini, partisipasi tidak dan mandiri sebagian orang untuk mengorganisir akan mengancam stabilitas politik dan dan memecahkan persoalan mereka tanpa seyogianya berjalan di semua jenjang pe- diintervensi oleh pemerintah atau agen eksternal merintahan. yang ada di sekililing mereka. Pada konteks yang (2) Sebagai sarana untuk menampilkan ke- lebih khusus, Briant dan White (1989) memaknai seimbangan kekuasaan antara masyarakat partisipasi sebagai partisipasi masyarakat atau dan pemerintah, sehingga kepentingan dan penerima manfaat dalam pembuatan rancangan dan pengetahuan masyarakat dapat terserap pelaksanaan proyek. Pernyataan Briant dan White dalam agenda pemerintahan daerah. ini memberikan sinyalemen bahwa partisipasi Habermas, seorang pemikir dari mahzab menekankan perlunya keterbukaan terhadap Frankfurt yang mencetuskan konsepsi tindakan persepsi dan perasaan warga, perhatian yang komunikatif serta nalar berorientasi konsensus lebih fokus pada perbedaan dan perubahan yang yang mampu menjadi landasan teoritis penelitian akan dihasilkan dan perimbas pada peningkatan ini. Habermas menilai bahwa proses komunikasi kualitas kehidupan warga, serta kesadaran harus setara demi tercapainya kesepakatan yang mengenai kontribusi yang dapat diberikan warga mampu diterima seluruh pihak, atau dengan untuk menjamin jalannya penyelenggaraan tata- kata lain, Habermas melihat integrasi sosial kelola institusi publik sesuai sasaran ‘governance hanya mampu dicapai melalui proses tindakan paradigm’. komunikatif yang berujung pada pencapaian Seperti halnya civil society dan demokrasi, konsensus. partisipasi merupakan term (istilah) yang cukup tua. Habermas (1984) mengemukakan bahwa Namun sebagai konsep dan praktek operasional, tindakan komunikatif harus dimaknai sebagai: hal itu baru diwacanakan sejak 1970-an ketika “…reach understanding [verstandigung] is beberapa lembaga internasional mempromosikan considered to be a process of reaching agreement praktik partisipasi dalam perencanaan, pelaksanaan [einigung] among speaking and acting subjects… dan evaluasi pembangunan (FPPM, 2006:4). it has to be accepted or presupposed as valid Gaventa dan Valderama (1999) meng- by participants… a communicatively achieved kategorikan 3 (tiga) tradisi partisipasi, terutama agreement has a rational basis; it cannot be jika dikaitkan dengan praksis pembangunan imposed by either party, whether instrumentally masyarakat yang demokratis, yaitu partisipasi through intervention in the situation directly politik, partisipasi sosial, dan partisipasi warga. or strategically through influencing the decision Dalam perspektif konsep atau telaah teoritik, of opponents…” partisipasi publik sangat memiliki arti penting Dengan berpedoman pada pernyataan dan menentukan arah dalam proses pengambilan Habermas di atas, maka dalam konteks proses kebijakan (keputusan) daerah atau barangkali formulasi kebijakan publik yang selama ini paralel dengan pernyataan bahwa ‘bukanlah berlangsung dengan praktik-praktiknya yang di- kebijakan tanpa partisipasi masyarakat’ seperti warnai ketidak-transparan (kebohongan), maka, dapat ditelusuri dari tulisan Korten dalam Syahrir masyarakat hanya ditempatkan pada posisi yang (1984) tentang ‘people centered development’ hanya bisa memberikan kritik atau masukan

JURNAL POLITIK 1831 VOL. 12 No. 02. 2016 Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

dan tidak mempunyai otoritas strategis sebagai kekuatan sosial kemasyarakatan. Sementara pada pengambil keputusan akan terjadi pergeseran. ranah politiknya sebagai pembuat isu, instrumen Peneliti berkesimpulan dan membangun kekuatan penguasa dan negosiasi atau share rumusan kerangka pikir (logical construct) pe- kepentingan. Kedua, kecenderungan nilai sosial nelitian dari pola tawaran Habermas dengan lembaga adat mengarah kepada sifat-sifat guyub suatu asumsi pola ini dapat melahirkan produk dan kerukunan, toleransi; kegotongroyongan; kebijakan yang berkualitas sebagai bagian kekeluargaan; keterikatan etnik dan budaya; konsensus bersama. Pola ini lebih membuka kepedulian sosial; dan kepatuhan pada tokoh. ruang dan akses publik, kesetaraan posisi Sementara, pada ranah politiknya, partisipasi dan relasi otoritas serta menjamin terciptanya lembaga adat masih sebatas usulan, pernyataan strategic colaborative (partnership) semua policy sikap dan keikutsertaan dalam pesta demokrasi. stakeholders. Hal lain yang menjadi penguat Ketiga, kesemua kelembagaan lokal yang ada di adalah konsep jejaring kerja aktor kebijakan kedua kabupaten belum mengarah pada upaya lintas organisasi dan antar lapisan masyarakat pembangunan ekonomi produktif yang luas yang termaktub didalam konsep ‘networking’ dari kepada warga. Parson (1995). Peneliti juga berpendapat bahwa Kecenderungan organisasi (kelembagaan) konsep Habermas dan Parson secara kontekstual yang demikian akan mengalami apa yang diisti- berkesesuaian dengan kemajemukan kehidupan lahkan Maltz dengan kehampaan (Maxwell masyarakat Indonesia yang dilandasi nilai guyub- Maltz, 2004), yaitu suatu gejala dimana organisasi rukun (gotong royong), basis lembaga (organisasi) tidak hidup kreatif, tidak mampu menggunakan grassroots dan musyawarah mufakat. Peneliti juga keanekaragaman potensi dan talenta sumber menemukan fakta awal dimana pada masyarakat dayanya, arah dan tujuannyapun tidak jelas pekon (desa) di Provinsi Lampung, nilai guyub- sehingga tidak dapat memberdayakan dan rukun (gotong royong), basis lembaga (organisasi) memberi manfaat kepada masyarakat yang lebih grassroots dan musyawarah mufakat masih luas bahkan cenderung menggerogoti (parasit). menjadi tradisi pengambilan keputusan bagi Akibatnya lembaga yang demikian ini tidak akan masyarakat (komunitas) pekon (desa). Adapun, bertahan lama. metode penelitian yang penulis gunakan adalah Tampaknya sinyalemen Maltz di atas memang kualitatif. benar adanya. Efek elastis negatif kehampaan membuat silih-bergantinya kemunculan lembaga Rumusan Model Kelembagaan Musrembang lokal, bahkan respon masyarakat sekarang kurang Desa di Kabupaten Lampung Selatan dan simpati atau alergi terhadap kehadiran lembaga- Pesawaran lembaga lokal ini, sehingga tidak heran jika ada Berdasarkan telaah dokumen, secara umum, pernyataan dari masyarakat yang mengatakan masyarakat desa di Kabupaten Lampung Selatan bahwa LSM ataupun Ormas tidak lebih dari dan Pesawaran masih tergolong miskin. Hasil ‘preman berdasi’, pelembagaan dan legalisasi tin- penelitian lapang menemukan di Kabupaten Lam- dakan kriminal kolektif seperti kutipan wawancara pung Selatan terdapat 66 LSM, 120 Ormas, 365 berikut ini: lembaga adat dan 7 lembaga bentukan pemda. “Kendati ada yang baik, LSM dan Sementara untuk Kabupaten Pesawaran terdapat Ormas sekarang lebih banyak buruknya. 35 LSM, 45 Ormas, 144 lembaga adat dan 5 Kehadirannya silih-berganti. Pada era lembaga bentukan pemda. awal reformasi, seolah-olah menjadi resep Bila dikaitkan dengan konteks sosial, dan obat kuat sebagai suplemen penambah ekonomi dan politik dengan nilai, ternyata, energi masyarakat yang loyo dibelenggu kelembagaan lokal ini mengikuti kecenderungan; rezim Orde Baru. Sekarang nafas dan Pertama, kecenderungan nilai LSM, Ormas dan ruh perubahan hampir boleh dikata lembaga bentukan pemerintah daerah ada untuk sudah mulai sirna. Lembaga-lembaga ranah sosialnya masih sebatas mengutamakan itu hanya dibuat alat orang-orang politik kepentingan (interes) elit sebagai penyeimbang untuk menakut-nakuti pemerintah, minta

JURNAL POLITIK 1832 VOL. 12 No. 02. 2016 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

proyek atau sumbangan pada rakyat. --- yakni forum perencanaan (program) yang Terkadang mereka memaksa dan memeras. diselenggarakan oleh lembaga publik, yaitu Walau tidak semua, saya menganggap pemerintah desa, bekerjasama dengan warga mereka tidak lebih preman berdasi, dan pemangku kepentingan lainnya --- sehingga, atau pengorganisasian tindak kejahatan Musrenbang yang bernilai, akan mampu kelompok (Hasil Wawancara dengan salah membangun kesepahaman tentang kepentingan satu tokoh adat Kalianda, Juli 2014)”. dan kemajuan desa, dengan cara memetakan Kemudian, hal yang tidak kalah-menariknya potensi dan sumber-sumber pembangunan yang adalah penjelasan tentang polarisasi afiliasi tersedia baik dari dalam maupun luar desa. kelembagaan lokal. Kultur masyarakat di Dengan kata lain, pembangunan desa tidak Provinsi Lampung dibangun atas pondasi kema- akan bergerak maju apabila salah satu dari ketiga jemukan etnik, agama, bahasa dan sub-kultur lain komponen tata kepemerintahan atau ‘governance’ (heterogenitas), termasuk Kabupaten Lampung (pemerintah, masyarakat, swasta) tidak berperan Selatan dan Kabupaten Pesawaran. Sehingga dan ambil bagian di dalamnya. Karenanya, tidak mengherankan kalau Provinsi Lampung Musrenbang Desa adalah merupakan forum dikenal sebagai miniatur Indonesia. Oleh share dan media pembelajaran stakeholders karenanya, kemajemukan ini menjadi sumber semua elemen governance menjadi sangat urgen daya dan potensi yang sangat luar biasa jika dalam penyelenggaraan tata kepemerintahan dan pemanfaatannya optimal melalui konvergensi pembangunan desa. keberagaman dalam pembentukan lembaga lokal. Sementara, untuk mewujudkan program dan Artinya, kondisi keberagaman akan menjadi kegiatan pembangunan desa (RKP Desa) yang rahmat (berkah) sebagai modal sosial berupa berkualitas pada tiap tahun, selain membutuhkan kekayaan, pengikat, pemersatu jaringan dan partisipasi aktif semua aktor (stakeholders) yang surga sebagai tempat tumbuh suburnya gerakan ada, juga menuntut adanya pedoman dan arah yang pemberdayaan masyarakat. tertuang di dalam dokumen RPJM Desa untuk Namun, kenyataan menunjukkan hal yang masa lima tahunan. Oleh karenanya, pada aras sebaliknya. Pola afiliasi kelembagaan lokal konseptual jelas bahwa partisipasi stakeholders di daerah ini cenderung mengikuti divergensi dan dokumen RPJM Desa merupakan esensi keberagaman dalam pembentukan kelembagaan. utama perencanaan partisipatif, tentu saja, Artinya keberagaman akan terbiaskan menuju ketersediaan RPJM Desa di wilayah Kabupaten pecahan dan serpihan-serpihan kecil. Akibatnya Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran struktur dan interaksi masyarakat menjadi terkotak- menjadi suatu keharusan. Namun, pada tataran kotak. Interaksi dan jejaring sosial membentuk praksis (implementatif) menunjukkan, pada ‘blocking’ bukan saja dalam makna teritorial, masing-masing wilayah kabupaten yang akan tetapi, dalam makna ‘mental blocking’. Pola diteliti ketersediaan RPJM Desa masih sangat ini berimbas pada terjadinya disharmoni interaksi memprihatinkan seperti termuat pada tabel 1. sosial dan ekonomi di kawasan ini yang memicu gesekan (konflik), seperti yang terjadi antara Desa Balinuraga dan Desa Ragom di Kabupaten Lampung Selatan. Seolah-olah keberagaman men- datangkan bencana sosial, ekonomi dan Tabel 1: Ketersediaan Dokumen RPJM Desa di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabu- bahkan bencana politik paten Pesawaran bagi masyarakat. B e r k e n a a n dengan implementasi Musrenbang Desa di Kabupaten Lampung Selatan dan Pesawaran Sumber: diolah dari data hasil observasi dan penelusuran dokumen RPJM Desa Bulan Juni sampai dengan Agustus 2014

JURNAL POLITIK 1833 VOL. 12 No. 02. 2016 Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

Dari 251 Desa/Kelurahan di Kabupaten adalah bagian wilayah kecamatan dan kabupaten, Lampung Selatan baru 4 (empat) desa dan 3 sehingga dokumen RPJM hanya menjadi (tiga) kelurahan atau baru sekitar 2.79% yang kewajiban dan perlu ada di kecamatan dan mempunyai RPJM Desa, sementara 97.21% kabupaten saja. Dengan kata lain, pemerintah sisanya belum memiliki dokumen ini. Untuk 144 desa lebih mengutamakan urusan pelayanan desa di wilayah Kabupaten Pesawaran baru 2 (dua) administratif kepada warganya, ditambah lagi atau sekitar 1.39% sedang 98.61% sisanya belum dengan kurangnya fasilitas, dukungan, pembinaan mempunyai dokumen RPJM Desa. Tentunya, dan perhatian dari pemerintah level di atasnya. data ini sebagai informasi yang menunjukkan: (1) Sehingga, aparatur desa lebih mengutamakan masih rendahnya minat dan kurangnya pemahman urusan domestik (pribadi). Secara utuh dan tegas pemerintah desa akan pentingnya dokumen RPJM dapat dikatakan, hal itu terjadi karena masih Desa; (2) kurangnya pembinaan dan perhatian rendahnya minat dan kompetensi aparatur desa pemerintah kecamatan dan kabupaten kepada akan pentingnya ketersediaan dokumen RPJM desa/kelurahan yang ada pada lingkup (wilayah) Desanya sebagai pedoman dan arahan (blue kerja dan otoritasnya. print) yang hendak dituju melalui pembangunan Kurangnya minat dan pemahaman aparatur desa --- ditambah lagi minimnya wawasan, desa akan pentinya dokumen RPJM Desa ter- bahwa sesungguhnya, secara legal-formal desa gambar dari kutipan wawancara dengan salah mempunyai otoritas dan otonomi untuk mengelola seorang Kepala Desa berikut ini: semua sumber daya yang ada di desanya menuju Saya kira bukan hanya pekon kami, kepada penyelenggaraan tata kepemerintahan desa yang lebih luas. tetapi hampir Tabel 2: Ketersediaan Dokumen RKP Desa di Kabupaten Lampung Selatan dan Kabupaten di semua Pesawaran pekon belum m e m p u n y a i RPJM Desa. B i a s a n y a yang memiliki RPJM adalah Sumber: diolah dari data hasil observasi dan penelusuran dokumen RKP Desa Bulan Juni sampai dengan Agustus 2014 kecamatan dan kabupaten. Fasilitas Jika pada kasus dokumen RPJM Desa, mereka cukup, orang-orangnya hebat- sebagian besar desa belum/tidak mempunyai, akan hebat dan pekerjaan rutin mereka. Perlu tetapi, berbeda halnya dengan ketersediaan RKP diingat, desa adalah bagian wilayah Desa. Di wilayah Kabupaten Lampung Selatan kecamatan dan kabupaten. Tidak mungkin 84.06% (211) desa telah mempunyai RKP Desa pihak kecamatan dan kabupaten akan dan sisanya sekitar 15.94% (40) desa saja yang meninggalkan kami, pastilah mereka belum mempunyai RKP Desa. Untuk Kabupaten telah menyiapkan program pembangunan Pesawaran, 68.06% (98) desa telah memiliki RKP yang akan dijalankan di semua desa yang Desa dan 31.94% (46) desa belum mempunyai ada. Kalau kami aparatur pekon ini bukan RKP Desa. hanya untuk memikirkan RPJM Desa, Untuk mendapatkan informasi yang lebih jalannya pemerintahan, tetapi yang lebih utuh tentang hal-hal yang berkaitan dengan RKP penting lagi adalah urusan masyarakat Desa ini, tim peneliti menyempatkan diri untuk pekon. Terkadang juga masih banyak mewawancarai salah seorang kepala desa yang urusan kami pribadi yang terbengkalai dikunjungi dan menunjukkan RKP Desanya, (Hasil wawancara dengan Kepala Desa, seperti dalam kutipan di bawah ini: 19 Juli 2014). RKP desa kami buat dalam bentuk usulan Kutipan wawancara di atas menggambarkan, kegiatan pembangunan yang dibahas pada bahwa aparatur desa beranggapan bahwa desa musyawarah pekon. Itulah yang menjadi dasar

JURNAL POLITIK 1834 VOL. 12 No. 02. 2016 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

kami mengingatkan dan menagih janji-janji yang tidak ada dasar pijakannya yang kuat disampaikan anggota dewan terpilih dan pejabat (Pernyataan Sekretaris Desa Margorejo daerah saat kampanye. RKP Desa ini…kan pada kegiatan pertemuan dengan Forum diminta oleh pihak kecamatan dan kabupaten? Komunikasi Sekretaris Desa Kecamatan Bagaimana pihak kecamatan dan kabupaten akan Jati Agung di Aula Kecamatan Jati menganggarkan dana pembangunan desa kami Agung. Tanggal 22 September 2014). kalau tidak ada kegiatan pembangunan desa yang Kutipan di atas memberikan gambaran, diusulkan. Bisa-bisa warga jadi kecewa sama aparatur desa masih beranggapan bahwa RKP kami. Kalau untuk desa tetangga kami, mereka Desa hanya sebatas alat untuk menurunkan belum sempat menyiapkan RPK desanya. Alasan dana pembangunan desa dari APBD kabupaten yang terdengar adalah kurangnya kepedulian dan dana alokasi desa yang dijanjikan anggota warga karena kecewa usulan-usulannya jarang legislatif maupun kepala daerah pada saat dipenuhi, karena saat pemilihan kepala daerah, kampanye. RKP Desa belum dipandang sebagai di pekon mereka pak bupati kalah, calon anggota penjabaran RPJM Desa, instrumen capaian yang dewan yang mereka dukung juga kalah (Hasil harus dipenuhi setiap tahunnya dan pedoman wawancara dengan Kepala Desa, 1 Agustus 2014). penggalian dana pada semua potensi. Jadi, bukan Lebih lanjut, pada saat kegiatan pertemuan tim hanya mengandalkan sumber APBD kabupaten peneliti dengan 25 orang sekretaris desa yang yang dan dana alokasi desa. Artinya, keterselenggaraan tergabung dalam Forum Komunikasi Sekretaris pembangunan desa sangat bertumpu pada dana Desa Sekecamatan Jati Agung, maka, semakin APBD dan dana alokasi desa karena aparatur jelas persoalan yang dikemukakan berkenaan desa belum mampu berinovasi untuk menggali dengan RPJM dan RKP Desa seperti dalam kutipan dana pembangunan dari sumber lainnya. Untuk pernyataan Sekretaris Desa Margorejo berikut ini: meredam kekecewaan warga serta menghidari Pihak Kecamatan hanya memberikan diri dari tuduhan ‘kambing hitam’, serta bagi pengantar pembuka formal pada kegiatan desa yang belum mempunyai RPK Desa sehingga Musrenbang Desa, selebihnya dilepas menyebabkan kekecewaan warga dan aparatur desa begitu saja. Partisipasi warga boleh terhadap tidakan pihak kecamatan dan kabupaten dikata sangat minim. Partisipasi warga yang belum memenuhi (merespon) usulan-usulan hanya sebatas memberikan usul itu dan pembangunan tahun-tahun sebelumnya, sejatinya, ini, sementara dari sisi yang lain kurang ada atau tidak adanya RPK Desa sangat ditentukan atau hampir tidak ada. Kondisi ini bisa oleh komitmen politik balas budi kepala daerah kami pahami. Bukan hanya warga yang dan anggota legislatif daerah kepada desa-desa apatis terhadap musrenbang, aparat yang menjadi konstituennya. desa juga sama apatisnya kendati tidak Sehingga dapat dikatakan, tampaknya, kami tampakkan. Kami kecewa dengan musrenbang masih menjadi ranah pemerintah. pihak kabupaten. Banyak usulan yang Belum menjadi ranah publik sebagaimana harapan dibuat, tetapi hanya menjadi dokumen reformasi dan pelaksanaan otonomi daerah. Peran kabupaten. Program-program yang pemerintah yang masih sangat besar dan begitu kami usulkan tidak kunjung terealisasi. kuat ini tergambar dari keterangan salah seorang Oleh karenanya, kami lebih baik informan yang terlibat langsung sebagai peserta menunggu saja program apa yang akan musrenbang mulai dari tingkat desa sampai tingkat dijalankan pihak kabupaten di desa kabupaten sebagai berikut: kami. Jujur kami akui, desa ini tidak Pada musrenbang kabupaten, memiliki anggaran yang jelas, sumber usulan masyarakat yang berasal dari lain juga belum terang, partisipasi bawah secara bertingkat ternyata pada pendanaan warga sangat terbatas akhirnya banyak yang hilang bahkan akibat kondisi sosial-ekonominya yang diganti dengan program-program yang belum memadai, dan di samping itu sesungguhnya tidak dibutuhkan. Pertama, kewenangan untuk menggali dana juga karena adanya rencana milik pemerintah

JURNAL POLITIK 1835 VOL. 12 No. 02. 2016 Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

kabupaten termasuk agenda-agenda dan tidak memberikan insentif yang cukup berarti khusus pihak kecamatan dan para anggota untuk diterapkan secara serius dan berkelanjutan. legislatif daerah. Kedua, karena terbentur Sementara proses monitoring dan penegakan dana yang tersedia dan urgensi setiap hukum dari aturan-aturan ini juga belum rencana yang tidak sama sehingga harus menjadi prioritas dari pemerintah pusat maupun ada prioritas rencana pembangunan yang provinsi apalagi kabupaten. Ketiga, forum- berasal dari masyarakat maupun persepsi forum warga atau forum multi-stakeholders yang para pejabat daerah (Hasil wawancara berpotensi menjadi media penyalur suara warga, dengan informan, mantan ketua LSM dan seringkali tidak mampu mengembangkan dan tokoh adat. 21 Juni 2014). mempertahankan diri menjadi lembaga yang Deskripsi tersebut menempatkan bahwa demokratis dan kuat. Dalam hal ini, anggota Musrenbang Desa, kecamatan dan kabupaten atau peserta membutuhkan penguatan-penguatan masih merupakan arena elit. Pada konteks empiris untuk menjadikan dirinya lebih kompeten dalam di Indonesia, penerapan demokrasi sesungguhnya berpartisipasi. Walau masalah yang di hadapi terilhami dan mengadopsi demokrasi liberal ala setiap forum dan asosiasi secara detilnya berbeda, barat, yang sesungguhnya gagal. Demokrasi namun, ada beberapa persoalan dasar yang juga sistem birokrasi teknokratis dan tidak mampu harus di hadapi; yaitu yang terkait dengan aspek mengakomodir keterwakilan (representasi) rakyat. kepemimpinan, transparansi, kompetensi, dan Demokrasi liberal telah gagal memfasilitasi akses terhadap sumber daya. Keempat, para keterlibatan warga (rakyat) terutama kelompok perencana, pelaksana dan fasilitator program masyarakat miskin yang cenderung semakin partisipatif sering menghadapi kesulitan untuk termarjinalkan oleh kebijakan dan sitem menjawab pertanyaan “bagaimana caranya?” penyelenggaraan tata kelola kepemerintahan agar warga bisa berpartisipasi secara efektif dan selama ini. Demokrasi liberal melahirkan sistem agar tidak terjadi dominasi kepentingan tertentu distortif, korup dan cenderung disintegratif dalam suatu forum partisipatif. Pengetahuan (eklusivisme dan blocking interaksi). dan keterampilan menyelenggarakan forum- Penyajian data (informasi) dan pembahasan forum partisipatif dan penguasaan metode serta yang telah dilakukan memberikan beberapa teknik partisipasi harus diakui tidak mengalami indikasi tentang kelemahan Musrenbang Desa dan perkembangan yang cukup berarti dalam beberapa eksistensi Lembaga Adat Lampung. Realitas dan tahun belakangan ini, bahkan, dapat dikatakan pengalaman partisipasi yang telah berlangsung sedang mengalami proses involusi dan degradasi. di berbagai desa di wilayah Kabupaten Lampung Kelima, kendati mulai diimplementasikannya Selatan dan Kabupaten Pesawaran menunjukkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang adanya kelemahan-kelemahan untuk dapat Keterbukaan Informasi Publik yang sebenarnya memproduksi suatu efek transformatif dan memberi harapan akan terciptanya salah satu community empowerment seperti yang diharapkan. prasyarat untuk dapat berprosesnya kebijakan Beberapa kelemahan yang mempengaruhi kualitas publik deliberatif. Namun, selama ini, pengalaman dan efektivitas partisipasi tersebut di atas antara praktik administrasi publik di daerah masih jauh lain: dari harapan itu. Jangankan keterbukaan informasi Pertama, belum meratanya kemauan politik publik, dokumen APBD Provinsi/Kabupaten/Kota maupun pemahaman di jajaran pemerintahan bahkan APBD Desa yang secara legal mestinya tentang pentingnya dan keuntungan yang bisa dapat diakses publik, ternyata, masih sering diperoleh dari proses partisipasi. Tidak jarang dirahasiakan dan masyarakat ditabukan untuk partisipasi diselenggarakan semata-mata seba- mengetahuinya. Keenam, UU Nomor 25 Tahun gai formalitas proyek yang semakin lama 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan kualitasnya semakin menurun secara signifikan. Nasional, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun Kedua, kebijakan dan peraturan yang ada serta 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, mengatur tentang proses partisipasi dalam tata Permendagri Nomor 37 Tahun 2007 tentang kepemerintahan di daerah tidak cukup mengikat keuangan Desa, sampai Surat Edaran Bersama

JURNAL POLITIK 1836 VOL. 12 No. 02. 2016 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

(SEB) antara Menteri Negara Perencanaan penyelenggara kepemerintahan (eksekutif, Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas legisltaif, sektor privat dan civil society) daerah dengan Menteri Dalam Negeri RI, baru sebatas bahwa prioritas dan pendekatan pembangunan mengatur proses dan mekanisme Musrenbang. perlu berubah. Dukungan kearifan lokal sebagai Akan tetapi, secara substansi, landasan legal basis pembangunan sering kali menemui kendala formal ini belum mekanisme perencanaan yang besar dan tidak mampu berbuat banyak, karena terintegrasi dari level pusat sampai pada tingkatan dalam tataran praksisnya, kearifan lokal sering desa, sehingga masing-masing wilayah dan kali dikooptasi oleh kekuasaan dan lembaga legal tingkatan pemerintahan maupun lintas daerah formal di daerah (misalnya kepala daerah yang otonom memiliki ‘blue print’ pembangunan didukung oleh unsur aparaturnya dan dukungan sendiri-sendiri seakan-akan tidak ada keterkaitan legalitas para anggota dprd-nya). Oleh karenanya, --- bahkan, cenderung terjadi benturan dan perlu pengembangan kemampuan kepemerintahan kontradiktif sehingga ajang musrenbang layaknya pada level dan aras terdekat (governance capacity ajang pertempuran kepentingan. Ketujuh, building). ketiadaan kebijakan pada level kabupaten yang Selama ini, capacity building baru sebatas lebih khusus dan secara spesifik menjadi rujukan dilakukan pada aspek internal pemerintah, penyelenggaraan musrenbang dan penyelarasan khususnya sebagai instrumen pembenahan (integrasi) program pembangunan. manajemen untuk meningkatkan efisiensi anggaran Sementara, pada sisi lembaga adat, juga (APBD). Hal demikian tentu saja tidak cukup. terdapat banyak kelemahan. Pertama, lembaga Capacity building juga menekankan dimensi adat Lampung pada level suku (dusun) dan eksternal, yaitu efektivitas tujuan, transparansi kampung sudah kehilangan legalitas dan proses (keterbukaan dan akses informasi), otoritasnya untuk merumuskan keputusan dan responsitivitas (peduli terhadap persoalan dan penentuan arah program pembangunan desa kebutuhan publik), berkeadilan (keberpihakan (pekon). Kedua, aset ekonomi dan sumber penting kepada semua subyek pembangunan sesuai keorganisasian lembaga adat Lampung di tingkat persoalan dan kebutuhan masing-masing dusun dan pekon sudah tidak ada lagi. Ketiga, dalam konteks keharmonian), akuntabilitas kegiatan dan fungsi lembaga adat sudah lebih (tanggungjawab dan komitmen semua pihak untuk dominan pada persoalan sosial-budaya, khususnya mensukseskan pembangunan), dan partisipasi upacara ‘bejuluk beadok’ atau ritual ‘pepadun’, (ketersediaan ruang, sumber daya dan perangkat yaitu kegiatan pengukuhan dan pemberian kebijakan yang memberikan proteksi partisipasi) gelar adat dan penentuan posisi seseorang sebagai cermin pelaksanaan dan pembenahan dalam lembaga adat. Artinya Lembaga Adat governance secara berkelanjutan. Artinya, disibukkan oleh urusan penentuan status sosial tanpa adanya capacity building, maka, dapat seseorang dan kedudukannya dalam Lembaga dipastikan perencanaan dan pembuatan keputusan Adat, sementara untuk urusan kepublikan yang pembangunan (formulasi kebijakan), akan tetapi, lebih besar justru sudah ditinggalkan. Keempat, mengikuti pola-pola lama yang sempit dan hanya seiring dengan tumbuh suburnya keberadaan untuk kepentingan sesaat, jangka pendek bahkan LSM dan Ormas serta komunitas civil society hanya untuk memenuhi interes-interes para elit yang lainnya berimplikasi pada penguatan saja. masing-masing lembaga/organisasi lokal kearah Pandangan Kirit Patel seperti dikutip Triana divergenitas (memencar dan terpisah), bukan (2010), menyatakan capacity building sebagai: kearah konvergenitas (mengumpul dan menyatu), “……encompasses the country’s human, scientific, sehingga memunculkan efek ‘mental block’ yang technological, organizational, institutional and berakibat pada dishormonisasi interaksi, bahkan recources capabilities. A fundamental goal of berekses konflik antar warga seperti yang terjadi capacity building is to enhance the ability to di beberapa desa di wilayah Provinsi Lampung. evaluate and address the crucial questions related Tentu saja, sinyalemen di atas semestinya to policy choices and modes of implementation membukakan mata, mata hati dan pikiran aktor among development options, based on an

JURNAL POLITIK 1837 VOL. 12 No. 02. 2016 Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

understanding of environment potentials and ruang publik. Ruang publik memberikan peran limits and of needs perceived by people of the yang penting dalam proses demokrasi. Ruang country concerned (Kirit Patel dalam Rochayati publik merupakan ruang demokratis atau wahana Wahyuni Triana. Global Warning: Quo Vadis diskursus masyarakat, yang mana warga negara Ilmu Administrasi Negara dalam Falih Suaedi dapat menyatakan opini-opini, kepentingan- dan Bintoro Wardiyanto. Rivitalisasi Administrasi kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka Negara. Yogyakarta: Graha Ilmu. Tahun 2010).” secara diskursif. Ruang publik harus bersifat Kutipan di atas memberikan gambaran bahwa otonom, tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang pengembangan kapasitas meliputi kemampuan publik merupakan sarana warga berkomunikasi, manusia, ilmu pengetahuan, teknologi, organisasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap kelembagaan dan sumber daya pada suatu terhadap setiap problematika mereka. Ruang negara. Tujuan mendasar dari pengembangan publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi kapasitas adalah peningkatan kemampuan yang legal, melainkan adalah komunikasi antar untuk mengevaluasi dan menjawab pertanyaan- warga itu sendiri. Ruang publik akan mampu pertanyaan penting yang berkaitan dengan pilihan mempertemukan para warga masyarakat termasuk kebijakan dan cara pelaksanaan antara pilihan aktor lainnya sebagai entitas pluralitas seperti pembangunan, berdasarkan pemahaman tentang kepala keluarga, kelompok-kelompok informal, potensi lingkungan dan batas-batas dan kebutuhan organisasi-organisasi sukarela); jaringan publisitas yang dirasakan oleh orang-orang dari negara seperti media massa dan institusi-institusi kultural; yang bersangkutan. Dengan kata lain, capasity jaringan keprivatan seperti asosiasi profesi; dan building merupakan strategi yang ditujukan jaringan legalitas formal seperti struktur-struktur untuk meningkatkan kinerja governance melalui: birokrasi pemerintahan. (1) pengembangan sumber daya manusia; (2) Habermas (1984) mengajukan tiga prasyarat penguatan organisasi; (3) reformasi kelembagaan; komunikasi atau ruang publik. Pertama dan (4) pembentukan dan penguatan jaringan keikutsertaan di dalam sebuah diskursus hanya sosial (networking). mungkin, jika orang mempergunakan bahasa Provinsi Lampung sering dijuluki ‘Indonesia yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan- Mini’ dengan keberagaman bahasa, budaya aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. dan etnik. Kompleksitas, keberagaman dan Kedua, kesamaan dalam memperoleh kesempatan kemajemukan orientasi nilai masyarakat dalam diskursus hanya dapat terwujud, jika merupakan fitrah dan rahmat Allah yang harus setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai diakui dan diterima, bukan merupakan sesuatu konsensus yang tidak memihak dan memandang malapetaka yang mesti ditolak. Pluralisme ini para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi harus dikelola dan diintegrasikan sebagai sebuah otonom yang tulus, bertanggungjawab sejajar adidaya energi pembangunan. Sejalan dengan dan tidak menganggap mereka ini hanya sebagai ini, Habermas (1984) berkeyakinan bahwa sarana belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan melalui tindakan komunikatif, kompleksitas dan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan kemajemukan masyarakat dapat diintegrasikan. proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Tindakan komunikatif mengarahkan terjadinya Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa konsensus dalam masyarakat yang menempatkan orang mencapai konsensus berkat “kesadaran akan kesepahaman, persetujuan dan rasa saling argumen yang lebih baik, bukan keterpaksaan mengerti sebagai pondasi bangunan masyarakat karena dipaksa aturan”. dan tata kepemerintahan yang demokratis. Dengan demikian, maka, pluralitas yang selama Konsensus warga masyarakat akan terbangun ini dipahami oleh pemerintah sebagai sumber melalui diskursus praktis yang tidak lain perpecahan justru berfungsi sebaliknya. Pluralisme adalah prosedur komunikasi. Diskursus praktis memberikan kontribusi dalam proses pembentukan adalah suatu prosedur (cara) masyarakat untuk opini dan aspirasi publik. Komunikasi seperti saling berkomunikasi secara rasional dengan ini akan menghasilkan kebijakan (perencanaan pemahaman intersubjektif yang disebut dengan pembangunan) yang legitimate. Masyarakat

JURNAL POLITIK 1838 VOL. 12 No. 02. 2016 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

yang membudayakan proses legislasi kebijakan melalui dialog dan tukar pengalaman di antara para (program pembangunan) secara demokratis akan pihak dan warganegara. Partisipasi warga (citizen dirangsang untuk memobilisasi solidaritas sosial participation) merupakan inti dari demokrasi yang makin meninggalkan perspektif etnosentris deliberatif. Kondisi demikian yang sesungguhnya para anggotanya, karena dalam setiap komunikasi dikehendaki dalam pelaksanaan Musrenbang autentik para partisipan dapat mencapai saling Desa.Selama ini, pelaksanaan Musrenbang Desa pemahaman dengan cara mengambil alih masih jauh dari substansi yang diperjuangkan perspektif partner komunikasinya. Teori tentang demokrasi deliberatif. Arena musrenbang masih demokrasi deliberatif adalah suatu upaya untuk menjadi ruang dan milik elit. Tentu saja akar merekonstruksi proses komunikasi dalam konteks penyebabnya adalah proses dan implementasi negara hukum demokratis. Inilah yang dimaksud demokrasi yang terjadi selama ini kearah dengan demokrasi deliberatif. demokrasi perwakilan, yang lebih menekankan Deliberatif berasal dari kata Latin ‘deliberatio’ pada keterwakilan (representation), prosedur yang berarti konsultasi, musyawarah, atau pemilihan perwakilan yang ketat, dan mengenal menimbang-nimbang. Istilah deliberatif juga istilah mayoritas dan minoritas. Kalau demokrasi merupakan term serapan bahasa Indonesia berupa deliberatif mengutamakan kerjasama antar-ide kata ‘deliberasi’ yang sesungguhnya di Indonesia dan antar-pihak, maka, demokrasi perwakilan sendiri adalah terminologi asli, yaitu musyawarah justru sebaliknya. Demokrasi perwakilan lebih mufakat. Gagasan demokrasi deliberatif ini pula mengedepankan kompetisi antar-ide dan antar- yang sekaligus menjadi rujukan dalam penelitian kelompok; kompetisi politik, kemenangan, dan ini. kekalahan satu pihak. Sementara pada demokrasi Demokrasi deliberatif merupakan upaya untuk deliberatif atau demokrasi musyawarah lebih meningkatkan intensitas partisipasi warga negara menonjolkan argumentasi, dialog, saling dalam proses pembentukan aspirasi dan opini agar menghormati, dan berupaya mencapai titik temu kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dan mufakat. Demokrasi langsung mengandalkan dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin Pemilu, sistem keterwakilan (delegasi wewenang mendekati harapan pihak yang diperintah. dan kekuasaan), dan elite-elite politik, sedang Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus demokrasi deliberatif lebih menekankan partisipasi publik ini merupakan jalan untuk merealisasikan dan partisipasi langsung warganegara. konsep demokrasi, yang dalam term politik Seperti telah disinggung sebelumnya, disebut dengan ‘Regierung der Regierten’ salah satu konsep penting dalam demokrasi (pemerintahan oleh yang diperintah) atau dalam deliberatif adalah pentingnya mengembangkan istilah administrasi publik dikenal dengan diskursus. Sederhananya, diskursus adalah bentuk democratic governance. Demokrasi deliberatif komunikasi yang reflektif dalam mentematisasi memiliki makna tersirat yaitu diskursus praktis, sebuah problem tertentu. Diskursus itu membuat formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan problem menjadi semakin terang, jelas dan rakyat sebagai prosedur sehingga keputusan rasional. Sehingga para peserta komunikasi mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan semakin sadar tentang problematika di masyarakat rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan- secara reflektif. keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat Dalam konteks inilah Rembug Warga (Town (eksekutif, legislatif). Inilah yang merupakan Hall Meeting) atau pada tataran Musrenbang Desa kegiatan aktif individu dalam masyarakat memainkan perannya untuk menterjemahkan sebagai warga negara untuk berkomunikasi, persoalan dan kebutuhan warga desa menjadi sehingga komunikasi yang terjadi pada level sangat penting. Rembug Warga menjadi wahana warga itu mampu mempengaruhi pengambilan artikulasi partisipasi warga dalam mentematisasi keputusan publik pada level sistem politik. Dalam permasalahan yang dijumpai di desanya. Rembug praktiknya, demokrasi deliberatif mengutamakan Warga juga menjadi penyambung keterputusan penggunaan tatacara pengambilan keputusan yang hubungan (disconection) antara institusi formal menekankan musyawarah dan penggalian masalah demokrasi (eksekutif dan legislatif) dengan

JURNAL POLITIK 1839 VOL. 12 No. 02. 2016 Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

para konstituen yang diwakili lembaga formal Hal inilah yang melatarbelakangi pentingnya demokrasi, yang lahir dari proses pemilihan governace sounds untuk menempatkan umum, telah menghasilkan para legislator sebagai Musrenbang Desa sebagai ajang Rembug Warga representasi rakyat. desa. Tujuannya agar organisasi masyarakat sipil Namun proses demokrasi prosedural tersebut (OMS) dapat berperan signifikan dalam demokrasi tidaklah cukup. Dalam kenyataannya, sering substantif dan mewujudkan tata pemerintahan terjadi keputusan-keputusan atau kebijakan politik yang baik dan efisien. Kendati partisipasi warga yang dihasilkan oleh wakil rakyat justru tidak sudah dijamin secara formal-prosedural, seperti mencerminkan suara dari publik. Oleh karena tertuang pada aturan Musrenbang, dengar itu, Rembug Warga merupakan prakarsa untuk pendapat, konsultasi publik dan lain-lain, namun melengkapi dan menyambungkan komunikasi dalam praktiknya masih jauh dari ideal. Agar politik antara institusi kewargaan dengan institusi proses-proses formal prosedural tersebut bisa lebih demokrasi formal. bermakna perlu dilakukan upaya-upaya untuk Selain sudah menjadi tradisi masyarakat desa memperbaiki aturan dan mekanismenya serta di Indonesia, dalam menyelesaikan masalah atau mendorong masyarakat untuk lebih terorganisir mengambil keputusan dilakukan warga secara dan terkonsolidasi sehingga keterlibatan mereka bermusyawarah, Rembug Warga juga menjadi juga lebih meningkat. Di samping itu juga harus salah satu wujud modal sosial masyarakat. dicari alternatif-alternatif forum lain untuk lebih Karenanya, Rembug Warga, selain sebagai tradisi memberikan akses kepada kelompok-kelompok dan wahana demokrasi deliberatif, juga untuk masyarakat dalam pengambilan keputusan tentang mengukur kuat tidaknya modal sosial dan kultural pelayanan publik. Dalam hal ini, Rembug Warga masyarakat. Tindaklanjutnya adalah, bagaimana dirancang sebagai ruang-ruang dan mekanisme Rembug Warga mengkaitkan modal sosial tersebut yang memungkinkan interaksi dan komunikasi, dengan proses kebijakan publik. Hal inilah yang baik antar individual atau institusional yang mendorong tentang pentingnya governance sounds didukung oleh keintiman antar individu atau sebagai media rembug Warga desa di Kabupaten ikatan emosional atau kesamaan pandangan antar Lampung Selatan dan Kabupaten Pesawaran. kelompok yang berbeda untuk mencapai tujuan Terakhir, dalam proses demokrasi deliberatif, bersama. peran individualitas sangat ditekankan sebagai Dalam pelaksanaannya, Rembug Warga artikulasi dari publik. Untuk itu, perlu wahana merupakan puncak dari pengorganisasian di yang mampu mendorong kompetensi komunikatif tingkat komunitas yang telah menumbuhkan pro- warga. Kompetensi komunikatif memungkinkan ses-proses penyadaran kolektif. Sehingga peserta setiap individu menyuarakan kebutuhannya. Rembug Warga adalah warga aktif yang hadir Dalam konteks inilah Rembug Warga memberi bukan karena semata memenuhi undangan namun arti sebagai wahana yang memiliki kompetensi sebagai pihak yang memiliki agenda itu sendiri. komunikatif, sehingga kelompok-kelompok Rembug Warga diawali dengan melakukan marjinal di masyarakat (kaum miskin, kaum serangkaian diskusi terfokus di tingkat sektoral berkebutuhan khusus, maupun pihak lainnya) desa, kecamatan atau kabupaten dengan para dapat menyuarakan kebutuhannya. Untuk stakheolder kunci untuk melakukan penilaian menjamin kompetensi komunikasi itu, fasilitator dan penggalian isu-isu dan permasalahan sosial. memainkan peran yang sangat penting untuk Langkah ini penting untuk menyiapkan warga membangun suasana agar para peserta dapat agar pada saat pelaksanaan Rembug Warga, menghargai pendapat sendiri dan memberikan bahan-bahan yang akan diperbincangkan bersama ruang perbedaan pendapat. Hingga mereka instansi pemerintah terkait, sudah mengalami menyadari, bahwa perbedaan pendapat itu pengolahan yang matang dan divalidasi. menguntungkan. Karena, dari perbedaan pendapat Langkah selanjutnya adalah pelaksanaan itu ada cukup banyak perspektif yang dibuka dan Rembug Warga itu sendiri. Peserta dibagi ke akan memperkaya berbagai alternatif jalan keluar dalam kelompok-kelompok diskusi untuk mem- atau keputusan. bahas lebih tajam persoalan sosial berdasarkan

JURNAL POLITIK 1840 VOL. 12 No. 02. 2016 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

sektor tertentu. Diskusi membahas tidak hanya beberapa upaya dan komitmen politik (political persoalan yang dihadapi, akan tetapi, juga will) kepala daerah. diperkuat dengan analisis pendapatan desa dan Pertama, dalam tataran konsep governance APBD. Masyarakat warga dan pihak lain juga sounds, lembaga adat Lampung harus dipahami mendiskusikan informasi dan mengidentifikasi sebagai lembaga adat yang memayungi semua ide dan menyepakati prioritasnya, melalui diskusi elemen masyarakat yang eksis dan bermukim di kelompok terfokus dan difasilitasi oleh fasilitator wilayah pekon/tiuh/desa, bukan lembaga adat yang terlatih. Tak mengherankan bila kemudian etnik Lampung saja. forum ini menjadi sarana artikulasi kepentingan Kedua, diperlukan perubahan struktur dan kebutuhan warga. Hasil akhir dari diskusi (restrukturisasi) dan orientasi (revitalisasi) kelompok ini adalah tawaran perbaikan bersama, lembaga adat Lampung. Dari sisi struktur, struktur mulai dari perencanaan program hingga realokasi yang baru harus mampu merefleksikan dan anggaran. akomodatif terhadap keberagaman (pluralisme) Langkah terakhir, membawa hasil Rembug unsur pemerintah desa, LSM, Ormas dan civil Warga ini ke hadapan Pimpinan Daerah, society lainnya sebagai dasar tumbuhnya rasa baik Bupati/Walikota maupun Ketua DPRD. saling percaya (trust), penguatan kelembagaan Karenanya, biasanya kehadiran mereka justru dan konvergenitas komunitas desa. Sementara diakhir acara melalui media talkshow, ketimbang dari sisi orientasi nilai, lembaga adat Lampung memberi kata pembukaan di awal kegiatan. Cara harus diberikan otoritas strategis untuk ini akan lebih efektif dan langsung didengar menghasilkan RPJM Desa dan RKP Desa sebagai oleh Pimpinan Daerah. Apalagi bila pembacaan pengejawantahan ‘governance sounds’. Artinya hasil diskusi disampaikan langsung oleh warga forum Lembaga Adat Lampung merupakan forum masyarakat. tertinggi Musrenbang Desa. Dengan Rembug Warga, maka, prakarasa Ketiga, dukungan dan komitmen politik dapat dikembangkan di atas nilai dan prinsip yang kepala daerah melalui Perda Kabupaten yang mengedepankan public reason dalam menentukan mengatur secara spesifik lembaga adat Lampung, kebijakan yang terkait dengan kepentingan Musrenbang Desa dan sinkronisasi perencanaan atau kebutuhan warga. Hal itu kemudian secara pembangunan secara berjenjang, serta mengatur rasional menjadi dasar untuk menentukan isu persolan transparansi (ketersediaan dan publik yang bertujuan untuk mendapatkan keterbukaan informasi publik) dan akuntabilitas ‘kebenaran’ substansial-kontekstual. Hal ini Lembaga Adat Lampung maupun pemerintah menunjukkan bahwa dasar penentuan isu publik desa. adalah kepentingan yang di hadapi secara nyata Oleh karenanya, tim peneliti pada kesempatan dan langsung oleh warga setempat. Dalam ini ingin memberikan gambaran tentang Draft Rembug Warga, interaksi yang terjadi adalah Model Governance Sounds Berbasis Lembaga warga saling bertanya dan saling mendengarkan Adat Untuk Menciptakan Ruang dan Peningkatan jawaban. Dalam ruang deliberasi akan melatih Partisipasi Publik Di Kabupaten Pesawaran dan terjadinya perubahan kata “saya” menjadi “kami”, Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung dan bahkan “kita” sebagai wujud keharmonian, seperti pada Gambar berikut ini. pengakuan keberagaman dan soliditas komunitas warga desa. Berdasarkan beberapa kelemahan Musrenbang Desa, deskripsi konseptual, masih terdapatnya nilai kearifan lokal dari lembaga adat Lampung serta pentingnya capacity building seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka, untuk menjadikan lembaga adat Lampung sebagai governance sounds Musrenbang Desa masih diperlukan

Sumber: diolah dari hasil simulasi dan FGD. 28 Agustus 2014

JURNAL POLITIK 1841 VOL. 12 No. 02. 2016 Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

SIMPULAN Desa. Selaras dengan yang tersebut di atas, jika Hasil penelitian menunjukan bahwa hampir dilihat dalam aspek politik, maka, pemodelan pada semua pekon/desa di Kabupaten Lampung governance sounds baru akan berjalan efektif jika Selatan dan Pesawaran, betapa lembaga adat mendapat dukungan dan memerlukan komitmen lampung masih eksis, kendati dengan fungsi politik kepala derah untuk memenuhi ketersediaan yang berbeda. Kearifan lokal yang melekat pada Perda Kabupaten sebagai landasan legal formal lembaga adat ini: (1) sangat terbuka dan toleran governance sounds dan forum Musrenbang atas keberagaman; (2) keikhlasan dan pengakuan Desa --- sedang pada dimensi sosial, diperlukan akan kelompok lain; dan (3) dilestarikannya nilai- sosialisasi berkelanjutan sebagai media sharing nilai ‘angkon’ sebagai prinsip menjunjung tinggi antar stakeholers untuk memahami dan mampu nilai-nilai soliditas sosial (kesatuan dan persatuan). mewujudkan struktur dan orientasi lembaga adat Terlebih dengan adanya UU No. 6/2014 tentang Lampung yang merepleksikan dan akomodatif Desa, tentu saja kondisi ini diyakini dapat dijadikan terhadap keberagaman (pluralisme) unsur landasan governance sounds Musrenbang Desa pemerintah desa, LSM, Ormas dan civil society untuk menghasilkan RPJM Desa dan RKP Desa lainnya sebagai dasar tumbuhnya rasa saling yang berkualitas. Dengan kata lain, perluasan percaya (trust), penguatan kelembagaan dan ruang dan partisipasi publik akan dapat dicapai konvergenitas komunitas desa. Sosialisasi maupun melalui governance sounds Musrenbang Desa diskusi antar stakeholders perlu digalakan untuk berbasis lembaga adat. Untuk mewujudkan hal merubah pola orientasi nilai dimana lembaga ini, maka, diperlukan governance sounds berbasis adat Lampung harus diberikan otoritas strategis lembaga adat Lampung dalam penyelenggaraan sebagai penyelenggara Musrenbang Desa untuk Musrenbang Desa, sehingga, governance sounds menghasilkan RPJM Desa dan RKP Desa sebagai harus ditempatkan sebagai forum tertinggi dalam pengejawantahan ‘governance sounds’. Musrenbang Desa. Sementara, pada elemen ekonomi, governance Selanjutnya, input Musrenbang Desa harus sounds harus mampu menggantikan forum Mus- berangkat dari persoalan (masalah) dan kebutuhan renbang Desa yang dilaksanakan selama ini untuk masyarakat desa dengan memperhatikan potensi menghasilkan RPJM Desa dan RKP Desa kearah dan keanekaragaman kondisi desa. Sementara, peningkatan kemakmuran dan kesejahteraan konsep governance sounds lebih memaknai lem- masyarakat desa --- sedang pada tataran konseptual, baga adat Lampung bukan pada makna etnik, disadari bahwa riset ini baru sebatas menemukan tetapi penyatuan semua aktor governance kedalam karakter kelembagaan lokal; dan membongkar substansi yang lebih bersifat fungsional ketimbang kelemahan praktik-praktik Musrenbang Desa dan persoalan struktural. gagasan Musrenbang Desa yang lebih partisipatif Oleh sebab itu, perlu adanya perubahan melalui mekanisme governance sounds. Kare- struktur dan orientasi lembaga adat Lampung nanya, riset lanjutan tahun kedua sangat urgen dan forum Musrenbang Desa. Struktur lembaga ditindaklanjuti agar Perda yang menjadi landasan adat Lampung harus mampu merefleksikan dan operasional Musrenbang Desa benar-benar ter- akomodatif terhadap keberagaman (pluralisme) wujud. unsur pemerintah desa, LSM, Ormas dan civil society lainnya sebagai dasar tumbuhnya rasa saling percaya (trust), penguatan kelembagaan dan Kepustakaan konvergenitas komunitas desa. Sementara, dari A. Bryant dan L.G. White, 1989, Manajemen sisi orientasi nilai, lembaga adat Lampung harus Untuk Pembangunan Negara Berkembang, diberikan otoritas strategis sebagai penyelenggara Jakarta. LP3ES. Musrenbang Desa untuk menghasilkan RPJM Desa dan RKP Desa sebagai pengejawantahan Antoft, K dan Novack, J. 1998. Grassroots ‘governance sounds’ --- dan Forum Lembaga Adat Democracy: Local Government in the Lampung merupakan forum tertinggi Musrenbang Maritimes. Nova Scotia: Henson College and

JURNAL POLITIK 1842 VOL. 12 No. 02. 2016 POLITIK Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan

Dalhousie University. Hanindita Graha Widya.

Arnstein, S.R. 1971. Eight rungs on the ladder Farazmand, A (ed). 2004. Sound Governance: of citizen participation in Edgard S. Cahn Policy and Administrative Innovations. and Barry A. Passet. Citizen Participation: Westport Connecticut: Praeger Publishers. Effecting Community Change. New York: Praeger Publisher. Fischer, F. 2003. Beyond empiricism: policy analysis as deliberative practice. Dalam: Hajer, Bertucci, G.2008. The state and international M & Wagenaar, H (eds) (2003) Deliberative development management: commentary Policy Analysis, Understanding Governance in from international development management The Network Society. Cambridge: Cambridge practitioners. Public Administration Review, University Press. 209– 227. Nov/Dec:1002 – 1008. Fischer, F .2003. Reframing Public Policy, Bingham, LB, Nabatchi, T & O’Leary, R. 2005. Discursive Politics and Deliberative Practices. The new governance: practices and processes Oxford: Oxford University Press. for stakeholder and citizen participation in the work of government. Public Administration Fishkin, JS. 2009. When the People Speak: Review 65(5):547- 558. Deliberative Democracy & Public Consultation. New York: Oxford University Bovaird, T & Loffler, E (ed.) 2003. Public Press. Management and Governance. London: Routledge. FPPM (Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat). 2005. Merumuskan Konsep dan Carson, L & Hartz-Karp, J. 2005. Adapting and Praktek Partisipasi Warga dalam Pelayanan Combining Deliberative Designs. Dalam: Publik. Bandung: FPPM dan Ford Foundation. Gastil, J & Levine, P (eds) (2005) The Deliberative Democracy Handbook: Strategies Friedmann, J .1992. Empowerment: The Politics for Effective Civic Engagement in the 21st of Alternative Development. Massachusetts: Century. San Francisco: Jossey-Bass. 120- Blackwell Publisher. 138. Gaventa, J. & Valderama, C. 1999. Participation, Chambers, R. 1983. Rural Development: Putting Citizenship and Local Government: the Last First. New York: Wiley & Sons Inc. Background note prepared for workshop on Strengthening participation in local Cresswell, J.W. 2002. Desain Penelitian: govermance. Institute of Development Studies. Pendekatan Kualitatif dan Kuantitatif. Terjemahan Nur Khabibah. Jakarta: KIK Habermas. J. 1984. The Theory of Communicative Press. Action: Reason and The Rationalization Of Society. Volume I. Boston: Beacon Press. Denhardt, JV & Denhardt, RB. 2007. The New Public Service: Serving, Not Steering Hajer, MA & Wagenaar, H (eds). 2003. Deliberative (Expanded Edition). New York: M.E. Sharpe. Policy Analysis, Understanding Governance in The Network Society. Cambridge: Cambridge Dewanta. 1995. Kemiskinan dan Kesenjangan di University Press. Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media. Islamy, I. 2001. Policy Analysis: Seri Monografi Dunn, W.N. 1995. Analisa Kebijakan Publik. Kebijakan Publik. Malang: Program Terjemahan Muhajir Darwin. Yogyakarta: Pascasarjana Universitas Brawijaya.

JURNAL POLITIK 1843 VOL. 12 No. 02. 2016 Jurnal Kajian Politik Dan Masalah Pembangunan POLITIK

Jones, C. O. 1996. Pengantar Kebijakan Publik. A William Patrick Book. Terjemahan Ricky Istamto. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Parsons, W. 1997. Public Policy: An Introduction to the Theory and Practice of Policy Analysis. Levine, J & Levine, P (eds). 2005. The Deliberative London: Edward Elgard Publishing, Ltd. Democracy Handbook: Strategies for Effective Civic Engagement in the 21st Century. San Pesch, U. 2008. The publicness of public Francisco: Jossey-Bass. administration. Administration & Society 40(2):170- 193. Kartohadikoesoemo, Soetardjo. 1984. Desa. Jakarta: PN Balai Pustaka. Rahmena, M. 1992. The Development Dictionary: a Guide to Knowledge as Power. New Jersey: Korten, D.C. 1988. Pembangunan yang Berpusat Zed Books. pada Rakyat: Menuju Suatu Kerangka Kerja dalam David C. Korten dan Sjahrir Sinaga dan Sitorus, M.T.F. 1995. Kemiskinan Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. Struktural dalam Proses Pembangunan: Terjemahan A. Setiawan Abadi. Jakarta: Dominasi Pengendalian Masyarakat Atas Yayasan Obor Indonesia. Pengawasan Sosial, Kasus di Pedesaan Ende, Flores. Dalam Analisis CSIS. No.4 Tahun Maltz, Maxwell. 2004. Psycho-Cybernetics XXIV Juli-Agustus. Mutakhir. Yogyakarta: Gemilang. Thamrin, J. 1995. Agenda Mempersempit Mardiasmo. 2002. Otonomi dan Manajemen Ketimpangan dan Kemiskinan. Dalam Keuangan Daerah. Yogyakarta: Andi. Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia (Eds Awan Setya Dewanta), p. 119-145. Midgley, J. 1986. Introduction: Social Jakarta: Aditya Media. Development, the State and Participation. New York: Methuen. Wahab, S.A. 1990. Pengantar Analisis Kebijaksanaan Negara. Jakarta: Rineka Cipta. Miles, M. dan Huberman, A.M. 1992. Analisis Data Kualitatif. Terjemahan Tjetjep Rohandi ______. 1997. Evaluasi Kebijakan Publik. Rohidi. Jakarta: UI Press. Malang: FIA Universitas Brawijaya.

Muluk, M.R.K. 2007. Menggugat Partisipasi Publik Dalam Pemerintahan Daerah: Sebuah Kajian dengan Pendekatan Berpikir Sistem. Malang: Lembaga Penerbitan dan Dokumentasi FIA Unibraw dan Bayu Media Publishing.

Nasution, D. 1995. Faktor-Faktor Penyebab Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia. Dalam Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia (Eds Awan Setya Dewantara), p. 107-119. Jakarta: Aditya Media.

Osborne, D and Gaebler, T. 1992. Reinventing Government: How the Entrepreneurial Spirit in Transforming the Public Sector. New York:

JURNAL POLITIK 1844 VOL. 12 No. 02. 2016