DARI “ARCA” KE ARJA: ADAPTASI “PANJI” DALAM PERTUNJUKAN ARJA DI BALI

FROM “ARCA” TO ARJA: “PANJI” ADAPTATION AT ARJA PERFORMANCE IN BALI

Koes Yuliadi Institut Seni Yogyakarta [email protected]

ABSTRACT Panji stories that were spread throughout Indonesia and Southeast Asia were not only known as old literature. Panji stories were also sculpted as the reliefs on temples in East Java. The existence of the text shows the historical facts that form the basis for the emergence of the Panji stories. Panji figure could be a manifestation of the life of kings in the past. The presence of papyrus, relief, and also stage performance that tell the story of Panji showed that there is a correlation among literature, relief, and performance, in the realm of art creation. Are Panji stories stay preserved as part of the development of art in Indonesia? Arja performances in Bali could describe how Panji stories can still be traced. Arja's performance used Panji stories as a source. Now Arja is existence can still be seen through its variety of plays. However, this does not make the panji story disappear in the Arja's performance. This issue will be addressed as a consequence of the adaptation of the revolving art. Not only in the present, but in the past a pattern of adaptation that can transpose works from different disciplines has already emerged. Panji stories can be known through papyrus, relief, and performances. Today it is still going without being recognized.

Keywords : Panji, Arja, Adaptation.

ABSTRAK Kisah Panji yang tersebar di Indonesia dan Asia Tenggara, tidak hanya dikenal sebagai karya sastra lama, melainkan terpahat pula pada relief-relief Candi di Jawa Timur. Keberadaan teks tersebut memperlihatkan fakta sejarah yang melandasi kemunculan cerita Panji. Tokoh Panji bisa merupakan manifestasi dari kehidupan raja pada masa silam. Keberadaan lontar, relief, dan juga pertunjukan yang mengungkapkan cerita Panji menunjukkan korelasi yang terjalin antara sastra, relief, dan pertunjukan, dalam ranah penciptaan seni. Adakah kemudian kisah Panji terus bergulir sebagai bagian dari perkembangan seni di Indonesia? Pertunjukan Arja di Bali bisa menggambarkan bagaimana cerita Panji masih bisa terlacak hingga saat ini. Pertunjukan Arja pada mulanya menggunakan kisah Panji sebagai sumber lakon. Kini Arja masih bisa disaksikan keberadaannya dengan beragam lakon yang dimiliki. Hal di atas tidak menjadikan kisah Panji hilang dalam pertunjukan Arja. Persoalan ini akan diketengahkan sebagai sebuah konsekwensi dalam perguliran adaptasi dalam seni. Tidak hanya pada masa kini, pada masa lalu ternyata telah hadir sebuah pola adaptasi yang bisa mentransposisikan karya dari disiplin yang berbeda. Kisah Panji bisa dikenal melalui lontar, relief, dan pertunjukan. Kini hal itu masih berlangsung tanpa kita menyadarinya.

Kata kunci : Panji, Arja, Adaptasi.

Tanggal masuk : 7 Februari 2013 Tanggal diterima : 26 April 2013

Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013 109

PENDAHULUAN Hayam Wuruk (Baried 1978, 4). Sarjana seperti Rassers berpendapat bahwa Seandainya berkesempatan kisah ini lebih tepat dihubungkan dengan mendampingi Lydia Kieven menyusuri Ken Arok. candi-candi di Gunung Penanggungan, Dengan tidak memperpanjang Jawa Timur, tentu relief-relief yang dialektika di atas, ada sebuah kerangka menceritakan berbagai kisah dalam Panji yang jelas bahwa cerita Panji hadir akan bisa “diraba”. Susunan dan guratan berdasarkan latar sejarah yang pernah batu tidak hanya memberikan makna ada di Pulau Jawa. Munandar (2005, 45) waktu dan tempat dalam sejarah, akan memandaskan bahwa sangat mungkin tetapi memuat pula sebuah narasi sumber kisah tersebut tidak hanya dari fiksional. Cerita Panji yang dikenal dalam satu peristiwa sejarah, akan tetapi banyak berbagai versi folklore maupun cerita sejarah. Hanya secara pasti jika pertunjukan, juga tergurat secara nyata di disusur melalui bukti-bukti arkeologis, beberapa Candi di Gunung cerita Panji sangat mungkin mulai Penanggungan. Kieven yang seorang disusun dan dipahatkan dalam masa antropolog dari Jerman menandai bahwa akhir Majapahit. Karena hanya candi- hiasan kepala (tekes) yang dipakai dalam candi dari masa akhir Majapahit saja relief candi menunjukkan bahwa kisah ini yang dihias dengan fragmen relief cerita berbeda dengan relief-relief bergaya Panji. Relief cerita Panji tidak dijumpai India. Tekes belum muncul pada relief- pada candi-candi yang dibangun dalam relief candi Borobudur maupun zaman sebelum Majapahit. Untuk Prambanan (Kieven 2009, 126). Tekes sementara ini bangunan masa Majapahit adalah hiasan kepala yang lebih mirip tertua yang dihias dengan fragmen cerita helm motor. Oleh karena itu cerita Panji Panji adalah Candi Miri Gambar di bisa dikatakan sebagai hasil karya Tulungagung. orisinal bangsa Jawa. Selain tergurat dalam relief candi, Kisah Panji secara garis besar cerita Panji juga menyebar melalui tradisi memaparkan cinta Raden Panji dengan lisan dan catatan sastra lama. Dalam Dewi Candrakirana. Keduanya Kepustakaan Jawi dinyatakan bahwa dijodohkan sedari kecil. Menjelang bentuk naskah yang tertua tidak pernikahan, sang Putri hilang dalam diketahui, akan tetapi turunan naskah pusaran angin topan yang mengusik tersebut terdapat di Palembang. Kerajaan Kediri. Panji kemudian mencari Pangeran Adi Manggala, seorang sang kekasih, demikian juga di Istana Palembang Candrakirana. Mereka melakukan menganjurkan Serat Panji Angreni untuk perjalanan (pengelanaan), penyamaran, disalin kembali dan akhirnya selesai dan beberapa kali menaklukkan pada tahun 1801 (Poerbatjaraka 1985, gerombolan yang merongrong kerajaan- 194). Jika dilihat bahwa bahasa yang kerajaan yang kebetulan mereka lampaui. digunakan dalam karya tersebut adalah Itu semua adalah bagian dari perjalanan bahasa Jawa-Pertengahan, maka Cerita menemukan cintanya kembali. Panji ditengarai sudah tersebar sekitar Perjalanan, penyamaran, dan perebutan abad ke-15. Pada masa itu bahasa Jawa- kasih menjadi topik yang terangkum Pertengahan telah menjadi bahasa dalam kisah Panji. pergaulan sehari-hari di wilayah Poerbatjaraka berpendapat bahwa Majapahit.. latar sejarah cerita Panji berasal dari Kini kisah Panji tidak hanya tertera masa Kerajaan Kadiri dengan pada relief candi, akan tetapi juga masih penguasanya Raja Kameswara. Tokoh hidup sebagai dongeng, pertunjukan, Panji bisa dikatakan sebagai manifestasi bahkan sebagai film. Adakah hal ini tidak Kameswara. Akan tetapi pendapat ini menarik untuk dikaji sebagai sebuah ditolak oleh Berg. Ia lebih meyakini kreativitas? Bagaimana pula kisah Panji bahwa latar belakang kisah Panji adalah hadir di lain tempat seperti Bali dan sejarah Kerajaan Majapahit pada masa beradaptasi dengan lingkungan yang

110 Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013

baru? Pertanyaan-pertanyaan ini kiranya lagu, tarian, dan lainnya, terus-menerus sangat menarik untuk ditulis, khususnya telah diadaptasi dari satu medium ke pada perguliran kisah Panji dalam medium lainnya dan kemudian kembali pertunjukan Arja, salah satu seni lagi (Hutcheon 2006, XI). pertunjukan yang popular hingga saat ini. Kini adaptasi ada di mana-mana: di layar televisi dan film, panggung musik INSPIRASI LINTAS SENI DAN dan drama, internet, novel dan buku ADAPTASI komik, serta video (Hutcheon 2006, 2). Adaptasi telah menjadi bagian dari Dari penjelasan di atas terlihat budaya Barat sebagai sebuah kenyataan adanya korelasi yang kuat antara seni yang ditegaskan oleh Walter Benjamin pahat dan karya sastra. Sangat mungkin bahwa “mendongeng adalah seni keduanya saling berhubungan tanpa mengulang cerita”. Hal ini bersesuaian harus menjelaskan karya yang dengan pendapat T.S Eliot dan Northrop mendahului. Sebagai telaah kreasi seni, Frye yang memberikan keyakinan kepada fenomena penciptaan bisa saling para pelaku adaptasi bahwa seni berasal mempengaruhi atau bahkan antar cabang dari seni lain; cerita lahir dari cerita yang seni bisa menginspirasi. Teks-teks lain (2006, 90). Pendapat di atas jelas arkeologis dalam beberapa hal bisa sangat memberikan makna yang dalam, menghilhami sebuah karya selanjutnya. apalagi jika dikaitkan dengan pendapat Hal ini nampaknya sangat dikenal dalam Hutcheon yang memberikan batasan dunia seni, yaitu adanya keterpengaruhan “adaptasi sebagai sebuah adaptasi”. sebagai gejala intertekstualitas. Sebagai Pernyataan ini berasal dari sebuah contoh bisa dilihat dalam novel Tolkien kerangka bahwa sebuah adaptasi selalu yang kemudian dibuat film, The Lord of diawali dari sebuah pembacaan The Ring. Dalam karya Tolkien yang interpretetatif sebuah teks dan kemudian kemudian divisualkan oleh Peter Jackson, menciptakan teks yang baru. Hal inilah terlihat jejak ketertarikannya pada sastra- yang menjadikan adaptasi menurut sastra lama Eropa dan juga peninggalan Benjamin memiliki aura tersendiri, hadir arkeologis Stonehenge. Alangkah sangat dalam ruang dan waktu yang unik indah jika teks-teks lalu ditata kembali (McRobbie 2011, 147). Roland Barthes dalam bentuk baru, meskipun dalam beranggapan bahwa karya adaptasi media yang berbeda. Dalam film The adalah kutipan atau gema dari teks yang Lord of The Ring misalnya, penonton bisa dianggap sebagai referensi (Hutcheon melacak bagaimana Stonehenge dirujuk 2006, 6). dalam penataan set. Hal ini menandakan bahwa karya-karya masa lalu baik dalam “PANJI” DALAM ARJA bentuk sastra lisan maupun artefak, sangat mungkin memiliki keberlanjutan Cerita Panji di Bali lebih dikenal dalam ranah kreatif. Keberlanjutan ini dengan sebutan Malat. Tokoh Panji tidak lepas dari perguliran adaptasi. dalam Malat dikenal dengan nama Ino Adaptasi secara kebahasaan bisa Keling. Ia berganti nama menjadi Panji diterjemahkan sebagai upaya untuk saat melakukan pengembaraan mencari menyesuaikan, mengubah, dan calon istrinya yang hilang. Candrakirana mencocokkan sebuah karya ke bentuk dalam Malat terkenal dengan sebutan Ni karya selanjutnya. Ini adalah sebuah Rangke Sekar, putri kerajaan Daha. upaya untuk menuliskan cerita yang Masyarakat di pedesaan Bali justru lebih sama dari sudut pandang yang berbeda sering menyebut nama Panji sebagai (Hutcheon 2006, 7-8). Pola ini bermula Raden Mantri, dan Candrakirana lebih dikenal dalam dunia film, yaitu adanya populer dengan sebutan Raden Galuh transposisi sinematik sastra. Hutcheon dari Kediri (beribukota Daha). Jika menandaskan bahwa kini adaptasi telah sempat mengunjungi desa-desa di Bali, menjadi gejala yang meluas secara global istilah Daha seringkali dipakai untuk dalam realitas postmodern. Kisah-kisah menyebut perempuan yang masih gadis. dalam puisi, novel, drama, opera, lukisan,

Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013 111

Beberapa pengkaji cerita Panji memberikan hiburan yang berarti bagi menyimpulkan penyebaran cerita ini di masyarakat Bali. Pada masa-masa Nusantara berlangsung secara lisan dari pertama dan selanjutnya, pertunjukan mulut ke mulut. Penyebaran cerita Panji Arja hanya boleh dimainkan oleh laki-laki. di Bali justru sepertinya sangat Hal ini berlangsung hingga tahun 1920- dipengaruhi adanya seni pertunjukan an. Tanpa diduga pada tahun 1920-an di tradisional. Ada korelasi yang cukup Desa Tapean, Klungkung, muncul sebuah bermakna antara cerita Panji, seni kelompok Arja yang dimainkan oleh pertunjukan, dan masyarakat perempuan. Hal ini memberikan sebuah pendukungnya. Hal ini kiranya penanda pendobrakan atas bersesuaian dengan pendapat yang pemberlakuan dresta kuna (tradisi lama) menyatakan bahwa lakon Panji banyak yang melarang perempuan muncul di diproduksi untuk , , ruang publik sebelum abad ke-18. dan Arja. Panji dipandang sebagai satu Fenomena ini semakin diperkukuh diantara legenda-legenda lokal yang dengan munculnya Arja Rabi-Rabi di paling terkenal di Asia Tenggara Singapadu dan Puri Ubud. Arja Rabi-Rabi (Brandon 1989, 145). Di Jawa, Panji secara keseluruhan dimainkan oleh istri- dianggap sebagai ksatria keturunan istri raja atau para istri dari keluarga raja. Pandawa, pahlawan dari Mahabharata. Kemunculan Arja perempuan juga Di daratan Asia Tenggara Panji lebih mengindikasikan perlawanan atas dikenal sebagai Inao, kesatria Budhis keberadaan taksu – daya agung yang yang akan datang kembali di akhir dimiliki seniman atau sastrawan - seakan zaman. menjadi milik laki-laki. Perempuan hanya Arja diduga muncul sekitar tahun dipandang sebagai sakti (istri). Posisi 1775-1825 untuk menghormati kematian I penari selalu dilakukan oleh laki-laki Dewa Agung Gede Kusamba (putra Raja karena meneladani keberadaan Syiwa Klungkung). Dewa Agung meninggal saat yang dianggap sebagai Sang Penari melerai peperangan Kerajaan Bangli dan Agung. Siwa, saat meditasi untuk Taman Bali. Hari saat upacara palebon menjaga agar bumi tetap bekerja, menari diadakan, beberapa kaum Puri dengan tubuh setengah lelaki dan menyelenggarakan pertunjukan yang setengah perempuan. Peristiwa ini pada akhirnya dikenal sebagai Arja. dikenal dengan sebutan Syiwanataraja. Dibalik keinginan untuk menghormati (Sawitri dalam Ramseyer 2003, 138). kematian, ternyata pertunjukan ini juga Dengan hadirnya perempuan dalam dijadikan alat untuk menyindir sikap salah pertunjukan Bali menjadikan taksu tidak satu istri Dewa Agung Gde Kusamba lagi sepenuhnya menjadi hak laki-laki. yang menolak labuh geni (Sawitri dalam Kontradiksi ini tidak menjadi persoalan Ramseyer 2003, 135). Bagi para lelaki berkelanjutan karena pada kenyataannya Puri, seorang istri harus menceburkan diri tahun 1945 muncul sekeha Arja ke perapian yang membakar mayat campuran laki-laki dan perempuan di suaminya sebagai bentuk kesetiaan. Desa Batuan, Gianyar. Suatu bentuk Sikap penolakan labuh gni I Gusti Ayu yang menandakan mulai diakuinya Karangasem dianggap sebagai perilaku kesetaraan laki-laki dan perempuan memalukan bagi elit penguasa Bali masa dihadapan publik. Kelompok ini popular itu. I Dewa Agung Manggis (Raja dengan sebutan sekeha sebunan. Gianyar) dan I Dewa Agung Jambe (Raja Pada tahun 1990-an muncul Badung) secara sengaja mempertunjukan kelompok Arja yang menyebut dirinya Arja pada palebon dengan lakon sebagai Arja Muani Printing Mas. Arja ini Kesayang Limbur yang berisi penuh didirikan oleh alumni dan mahasiswa dari sindiran. Institut Seni Indonesia Denpasar. Seluruh Arja adalah pertunjukan drama-tari pemain dalam kelompok ini laki-laki, selayaknya opera. Kata Arja bisa karena muani berarti laki-laki. Arja Muani diartikan indah, cantik, menawan, atau Printing Mas dalam beberapa saat juga bisa berarti harmoni. Sejak kemudian sangat dikenal karena kemunculan pertama, Arja telah kelucuannya. Seperti halnya dalam

112 Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013

Ludruk di Jawa Timur yang semua Pada awalnya dimainkan oleh satu orang pemainnya laki-laki, memberikan sajian laki-laki dan tanpa iringan. Oleh karena yang bersifat parodis. Kepopuleran Arja itu disebut Arja Doyong. Pertunjukan Muani semakin meningkat dengan selalu di tempat terbuka dengan munculnya hasil rekaman mereka dalam kesederhanaan tata pentas. Si pemain keping VCD. Pertunjukan Ki Ratna mempergunakan pakaian keseharian Kepakisan dan Siti Markonah hingga saat (Dibia 1992, 26-27). Pada perkembangan ini masih didapatkan di toko-toko kaset selanjutnya karena eksplorasi pada dan juga dalam bentuk VCD bajakan di iringan musik dengan kaki-lima. Persoalan pembajakan ini Geguntangan semakin menonjol maka sempat menjadikan kelompok Arja Muani muncul babak baru dalam sejarah Printing Mas untuk beberapa saat tidak perkembangan Arja. Masyarakat melakukan pertunjukan. menamakan pertunjukan ini dengan Kehadiran Arja Muani dipandang sebutan Arja Geguntangan. Pertunjukan Wayan Dibia sebagai gejala spiral dalam ini sangat populer di tahun 1920-an. gerak kebudayaan. Dalam kosakata Lakon-lakon dari cerita lokal mulai budaya Bali seringkali terungkap kata digunakan dalam pertunjukan, bahkan ”nemu gelang” sebagai padanan untuk juga cerita dari China. Lebih dari itu, kisah menyebut kejadian atau proses yang dari Mahabharata juga mulai dirujuk terus berulang. Bentuk-bentuk seni sebagai lakon. Masa-masa ini Arja mulai pertunjukan dalam kontinyuitas menggunakan tata pakaian yang kebudayaan akan selalu berulang. Sudah dipadukan dari pakaian tari. Pertunjukan tentu keberulangan sebuah teks budaya selain dilakukan di luar ruangan, para tidak akan pernah berbentuk sama. pendukung Arja juga mulai secara khusus Perbedaan waktu akan mencuatkan membuat tempat pertunjukan yang konteks yang berbeda dengan bentuk disebut kalangan. Arja bentuk ini sangat awalnya. disukai masyarakat Puri. Seperti yang Sebelum tahun 1925, Arja di Bali telah disebutkan di bagian awal, mereka dimainkan oleh laki-laki. Setelah tahun kemudian membentuk kelompok Arja 1925 mulailah ada pertunjukan Arja yang Rabi-Rabi. Sepertinya demokratisasi dimainkan bersama antara laki-laki dan dalam pertunjukan Bali baik dalam bentuk perempuan karena didahului munculnya maupun kalangan sosial terlihat dalam Arja Rabi-Rabi. Kini kemunculan Arja era ini (Dibia 1992, 38). Muani dianggap sebagai kembalinya kecenderungan yang pernah ada PERKEMBANGAN ”PANJI” DALAM sebelumnya. Hanya kemunculannya yang ARJA kini juga dibarengi dengan nuansa ”banyolan” sebagai pertunjukan populer. Sekitar tahun 1940-an pertunjukan Masyarakat Bali selalu Arja semakin berkembang dengan berpendapat bahwa pertunjukan Arja beragam cerita. Pertunjukan Arja juga selalu merepresentasikan kisah Panji. mulai dipergelarkan di panggung Tokoh-tokoh yang ada dalam pertunjukan prosenium. Iringan pertunjukan juga ini adalah Raden Mantri (Panji), Raden berkembang dengan menggunakan Gong Galuh (Candrakirana), (emban Kebyar. Sudah tentu ada penambahan Candrakirana), Liku (putri buduh), dan personil untuk pemain musik. Masyarakat lain-lainnya. Apapun lakon yang menyebutnya sebagai Arja Gede. Ini dimainkan maka tokoh-tokoh di ataslah merupakan masa-masa yang sangat yang menjadi penanda dari Arja. Hal membanggakan bagi para seniman Arja. inilah yang menjadikan Arja selalu Lakon-lakon yang dipergunakan dikaitkan dengan cerita Panji . dalam pertunjukan Arja semakin Hanya jika ditelusur kapankah Arja beragam, tidak hanya tentang Cerita secara pasti memainkan kisah Panji Panji. Calon Arang dan Salya pernah seperti sangat telihat jelas pada masa- menjadi lakon yang sangat diminati masa Arja Doyong. Arja ini muncul di masyarakat. Hal ini tidak ubahnya dengan Gianyar sekitar awal abad ke-20 (1904).

Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013 113

cerita Jayaprana-Layonsari dalam sastra ribut. Keduanya terlibas pusaran angin lisan maupun pertunjukan. dan akhirnya terpisah. Putri sang Prabu Munculnya lakon-lakon baru dalam terdampar di wilayah pesisir, lalu Arja ditengarai telah terjadi sejak tahun melakukan penyamaran. Ia 1920-an, namun menemukan puncaknya memperkenalkan dirinya sebagai Ni di tahun 1950-an. Pada masa itu Arja Wayan Lobangkori. Anak lelaki Prabu sangat populer dan hampir setiap hari Daha terdampar di wilayah Jenggala, mendapatkan undangan pentas. Para dipungut oleh seorang Dukuh dan ia pendukung Arja berinisiatif untuk diberi nama I Made Rare Angon. mengambil lakon-lakon dari babad, cerita Kedunya bisa bertemu kembali karena rakyat, dan juga . Tidak semua Raja Jenggala mencari perempuan yang sekeha (kelompok) Arja mampu telah dijodohkan dengannya, yang tiada mempergelarkan cerita yang berbeda lain Wayan Lobangkori. Rare Angon, Ni dalam waktu yang pendek. Mereka Wayan Lobangkori, dan Prabu Jenggala kemudian hanya mengambil lakon bersepakat untuk menghadap Raja Daha. gubahan baru namun dengan Mereka bertemu dan juga membeberkan keterbatasan pilihan. Kelompok-kelompok kembali perbuatan Liku. Prabu Daha yang muncul kemudian adalah kelompok marah dan menyesali perbuatannya dan yang dikenal berdasarkan cerita yang mengusir istri keduanya dari kerajaan dimainkan: Arja Pakang Raras, Arja Daha. Basur, Arja Jayaprana, Arja Sampik. Siti Markonah menceritakan Beberapa lakon yang bisa perjodohan dua anak raja. Mereka adalah diketengahkan di sini adalah Basur, Rare Siti Asiah dari Madura dan Rahaden Angon, dan Siti Markonah. Basur Datuk Raja Dibumi yang berasal dari bercerita tentang tokoh sakti yang hidup Minangkabau. Cinta mereka tumbuh di Banjaran Santun (I Gede Basur). Ia berawal dari seringnya belajar bersama. memiliki seorang anak lelaki, I Wayan Jika pada suatu kesempatan Datuk Raja Tigaron, yang berkeinginan untuk Dibumi tak juga muncul, Siti Asiah gelisah menikahi Ni Sukasti. Gadis ini ternyata menunggu. Pikirannya melayang menolak lamaran Basur karena lebih kemana-mana. Ia tak kuasa menahan tertarik pada I Wayan Tirta. Alangkah marah dan manja ketika Datuk Raja sakit hatinya Basur. Ia segera pulang dan Dibumi muncul tiba-tiba. Merekapun memanggil para leak. Ni Sukasti terkena kemudian saling sindir-menyindir. Siti akibatnya. Ia mendadak sakit keras. Asiah ternyata anak tiri Raja, meskipun Orang-orang di rumah gadis itu panik. telah dianggap sebagai anak sendiri. Bapak Ni Sukasti segera mencoba Anak kandung Raja adalah Siti meminta tolong kepada Balian. Di akhir Markonah. Ia sudah siap untuk berumah cerita, Ni Sukasti bisa disembuhkan dan tangga. Anak Raja Padang yang lain Basur mengalami kekalahan dan (Datuk Raja Dilangit) yang ingin meninggal. meminangnya segera datang. Ia akan Rare Angon berkisah tentang meminang berdasar foto yang pencarian kekasih yang terusir dari dipegangnya. Foto itu ternyata justru istana. Dua anak Prabu Daha harus rela bergambar Siti Aisah. Bisa dibayangkan meninggalkan kerajaannya setelah sekian apa yang akan terjadi kemudian. Pada waktu ditinggal mati oleh ibunya. Galuh akhirnya terjadi sebuah kesalahfahaman. Liku, ibu sambung mereka, sangat tidak Namun akhirnya cinta sejati Siti Asiah menyukai anak dari madunya. Ia yang cantik dengan Datuk Raja Dibumi kemudian mencari cara tidak dapat dipisahkan. untuk menyingkirkan mereka dari istana. Hasutan demi hasutan digulirkan oleh ADAPTASI NILAI DALAM LAKON Liku. Raja terpengaruh dan dengan tega ARJA mengusir kedua anaknya dari istana. Dua anak nestapa ini akhirnya sampai di Kisah Raden Panji yang paling hutan. Saat mereka ingin melepaskan menarik ialah saat ia berkelana untuk lelah, tiba-tiba datang angin mencari kekasihnya. Dalam

114 Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013

pengembaraannya ia akan bertemu Basur bisa dikalahkan dan ia menyadari dengan perawan-perawan cantik, pada kesalahannya. bandit, perongrong kerajaan yang kejam, Sepertinya dalam hal ini kisah dan lain sebagainya. Panji pada suatu Basur memiliki keterikatan intertekstual kesempatan akan menjadi satria, dengan cerita Calon Arang. Keberadaan penyamun bertopeng yang baik hati, ilmu pengiwa (ilmu hitam) dalam jagad pemain musik dan ahli kidung, serta spiritualitas Bali diyakini keberadaannya berbagai tokoh dengan karakter yang oleh masyarakat. Saat ini beberapa sangat menarik. Ia selalu menjadi pusat upacara besar seperti Nglawang perhatian, pahlawan, dan seniman. misalnya, dipercaya untuk mengusir roh- Banyak varian dan banyak kejadian dari roh jahat atau wabah yang mengganggu cerita Panji yang sangat menarik menjadi rakyat desa. Puncak dari upacara ini episode atau kisah yang mandiri. Di Jawa biasanya akan dipergelarkan pertunjukan melalui Wayang Beber, Panji dikenal Calon Arang. Pertunjukanini diharapkan sebagai ahli kidung dan menabuh bisa mengusir segala bentuk bencana gamelan, serta dalang yang piawai dan penyakit yang melanda desa. Lakon menggelar wayang. Setiap perempuan ini berfungsi sebagai “pengruwat”, seperti yang ditemuinya pasti akan jatuh hati, halnya lakon Sudamala yang saat ini sementara dia sendiri berkelana untuk reliefnya masih bisa disaksikan di mencari kekasihnya yang sejati. Kisah pelataran Candi Sukuh. asmara Panji dengan perempuan- Jika dalam cerita Panji perempuan lain tidak pernah diketengahkan bahwa Raden Panji dan mempengaruhi hubungannya dengan Candrakirana telah dijodohkan sejak Candrakirana. Di antara kidung-kidung kecil, maka berbeda dengan kisah Basur. historis, Kidung Harsawijaya yang paling Raden Mantri dan Raden Galuh tidak jelas terpengaruh sastra Panji sepenuhnya memiliki independensi memperlihatkan tanda itu dengan jelas. pribadi. Panji dan Candra Kirana Harsawijaya berarti “pemenang dalam terkungkung oleh tata aturan kerajaan, cinta”. Hal inikah yang sekian waktu namun nampaknya tidak menjadi sebuah selalu menarik penonton Arja dan persoalan. Perjodohan menjadi sebuah pertunjukan-pertunjukan lain dengan kewajaran dalam etika dan norma cerita Panji? aristokrasi. Jika hal ini tidak nampak Masyarakat menanggapi lakon dalam Basur maka sudah tentu ada Basur sebagai kisah keramat. Mereka acuan lain di luar Panji. mendudukkan Basur dalam lakon Dalam kisah Mahabharata, banyak "pencalonarangan". I Gede Basur turut diceritakan tradisi perjodohan yang selalu merasakan sakit hati anaknya karena diawali dengan sayembara kesaktian. ditolak oleh Ni Nyoman Sukasti. Seperti Para ksatria seperti Salya, Pandu, dan halnya Calon Arang, ia segera berangkat yang lainnya meskipun dengan cara ke kuburan untuk momohon kepada sadar ataupun kebetulan akan terjebak Batari Durga. Basur yang mempelajari dalam proses sayembara. Salya ilmu pengiwa atau pengleakan segera misalnya, setelah mendapatkan mengirimkan bencana ke desa dimana Setyawati akhirnya terjebak juga dalam Nyoman Sukasti dan bapaknya tinggal. sayembara yang lain. Ia bisa Wabah penyakit tidak hanya mengenai mendapatkan Kunti, putri dari Kerajaan Nyoman Sukasti, akan tetapi juga Mandura melalui sebuah sayembara. Ia menjangkiti orang-orang desa. Beberapa mengalahkan semua kesatria yang tabib yang mencoba menyembuhkan terlibat dalam peristiwa itu. Seorang mereka justru terkena teluh dan ksatria (Pandu) datang terlambat. Pandu meninggal. Keresahan ini akhirnya bisa akhirnya mengurungkan niatnya karena diatasi oleh Jro Balian yang bisa melihat sayembara memperebutkan Kunti telah asal-muasal wabah ini. Ia segera berakhir. Salya justru tersinggung melihat menjumpai I Gede Basur. Karena tidak keinginan Pandu. Ia kemudian menemukan jalan keluar, keduanya menantang lelaki itu. Pandu pada akhirnya melakukan perkelahian. Gede awalnya menolak. Ketika Salya memaksa

Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013 115

dan terus memaksa, maka Pandu daya jual dan memberikan keuntungan akhirnya menerima tantangan Salya. kepada sang ayah. Ada upacara pra- Pandu menang dalam perkelahian dan nikah yang disebut mepadik, terjadi Salya menyerahkan Kunti sekaligus proses tawar-manawar yang dilakukan adiknya (Madrim) kepada Pandu sebagai oleh ayah dengan calon keluarga laki-laki. konsekwensi atas kekalahannya. Kemudian saat menjadi istri, tugas wanita Sebelum terlibat dalam sayembara adalah menjaga suaminya, menghasilkan tersebut, Salya sudah mendapatkan sesuatu yang bisa memenuhi kebutuhan Setyawati melalui sebuah proses yang hidup keluarga, serta memenuhi takdir berbeda. Pada saat ia mengembara untuk melahirkan keturunan dengan karena menolak perjodohan atas harapan bayi laki-laki yang akan kehendak ayahnya, ia bertemu dengan dikandungnya. Resi Bagaspati. Sang Resi bekeninginan Pandangan di atas nampaknya untuk menjadikan Salya menantunya. bertolakbelakang dengan Nyoman Putri sang resi konon telah berjumpa Karang dalam cerita Basur. Karena dengan Salya dalam sebuah mimpi. kecintaannya kepada anak semata Salya pada awalnya menolak karena Resi wayang yang telah ditinggal mati ibunya Bagaspati adalah seorang raksasa yang sejak bayi, maka ia merawat anaknya sangat jelek. Akan tetapi ketika bertemu dengan kasih sayang dan penuh Setyawati (pada mulanya bernama kebijakan. Nyoman Karang memberikan Pujawati), kehendak Salya berubah. kebebasan penuh kepada Sukasti untuk Pujawati ternyata perempuan yang memilih jodohnya. Meskipun demikian, sangat cantik, berbeda dengan ayahnya lakon ini juga menampilkan tokoh yang yang sangat buruk. Salya jatuh cinta masih memandang tubuh perempuan kepada Pujawati, namun sangat jijik harus tunduk pada keinginan laki-laki. kepada Resi Bagaspati. Tokoh yang mewakili kekuasaan absolut Nyoman Karang sebagai ayah laki-laki justru menjadi judul lakon, yaitu Sukasti nampaknya tidak berbeda Basur. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh dengan Resi Bagapati. Ia memberikan Basur menjadi sentral dalam lakon. kebebasan sepenuhnya untuk pilihan Tokoh yang nampaknya memiliki kuasa cinta anaknya. Meskipun tahu bahwa dan semestinya harus diruwat seperti Basur adalah orang kaya, sakti, dan halnya Calon Arang. Tokoh semacam ini terpandang, Nyoman Karang tidak begitu ada dalam kehidupan dan tidak saja menerima lamaran lelaki itu. Ia selayaknya untuk dinisbikan mungkin juga mengerti bagaimana jika keberadaannya. Basur sebagai wakil dari lamaran Basur ditolak, dan itu akhirnya tokoh yang ingin selalu menguasai terbukti. Nyoman Karang tetap tabah siapapun manifestasi dari nafsu yang menghadapi dan mencoba meminta tidak mungkin untuk dimatikan. Nafsu pertolongan kepada para Balihan semacam ini harus ditundukkan dengan (paranormal). Perjuangan Nyoman cara apapun, dan diruwat kemudian. Karang menuai hasil. Basur yang Tokoh Basur juga dipandang menyimpang dengan merepresentasikan laki-laki yang bisa mengandalkan ilmu hitamnya, akhirnya menguasi tubuh dengan ilmu-ilmu bisa dikalahkan. kesaktian. Hal ini nampaknya masih Orang pertama yang paling kejam berkembang di Bali atau juga di wilayah terhadap wanita Bali adalah ayahnya Indonesia yang lain. Tubuh bisa dimasuki sendiri (De Cock-Wheatley 2012, 276). kekuatan-kekuatan lain yang bersifat Pada masa lalu, sejak usia enam tahun supranatural. Ini adalah sebuah wanita Bali sudah harus bekerja kenyataan dalam kehidupan spiritual Bali. membantu ibunya ke pasar, membawa Pandangan tentang leak masih menjadi beban berat di kepala mereka. Di sela topik menarik dalam beberapa catatan waktu, jemari kecilnya harus bergelut berita maupun perbincangan masyarakat. dengan benang tenun. Ketika mereka Terbukti upacara-upacara adat seperti memasuki usia pernikahan maka tidah Barong Ngelawang dan sejenisnya masih ubahnya sebuah benda yang memiliki dipertunjukan di bulan-bulan tertentu.

116 Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013

Namun dalam pertunjukan Arja, lakon mengemban karakter Calon Arang? Jika Basur telah diresepsi dan dipertunjukkan dibandingkan dengan lakon sebelumnya sebagai tanggapan atas berbagai macam (Basur) atau mungkin kisah Salya, sikap yang perlu dipertanyakan kembali. Jayaprana, dan yang lainnya, perempuan Kisah-kisah lama sebetulnya telah lebih dihadirkan sebagai tokoh yang memberikan cara pandang yang bisa terjepit, setia, dan akan memberikan dijadikan referensi dalam kehidupan. segenap jiwa dan raganya untuk sang Bagian yang menarik dari lakon Arja suami. Dalam Rare Angon, perempuan Rare Angon adalah munculnya tokoh ibu justru hadir sebagai figur yang berambisi tiri. Tokoh ibu tiri didudukan sebagai Liku pada kekuasaan. Perempuan semacam (Galuh Liku) atau Putri Kasar. Ia adalah ini dalam kisah Rare Angon dikonstruksi tokoh antagonis yang hadir sebagai sebagai tokoh yang jahat. Ia sangat musuh tokoh utama (Putri Manis). Ibu tiri menyengsarakan Putri Manis dan sepertinya selalu dikonotasikan sebagi saudaranya. Di dalam diri perempuan perempuan yang jahat. Secara biologis, ternyata tersimpan sebuah kekejaman status ibu tiri memang bukan ibu yang tumbuh dari kecemburuan. Lalu sesungguhnya dari anak yang dibawa bagaimana pandangan para pemain Arja suaminya. Perkawinan yang bersifat atas tokoh ini? patrilineal seperti di Bali mendudukkan Di dalam Rare Angon, kemurkaan anak juga berdasarkan keluarga laki-laki. Raja dipengaruhi oleh perempuan istri Oleh karena itu ibu tiri memang tidak barunya. Perempuan sangat potensial memiliki tanggung jawab langsung pada menghasut laki-laki untuk berbuat jahat. kehidupan anak dari bawaan si suami. Para pemain Arja mencoba Bagi anak-anak di Jawa dan secara mepresentasikan tokoh Liku dengan umum di Indonesia tentu mengenal cerita berbagai dimensi hasrat yang saling Bawang Merah dan Bawang Putih. Dalam bertumpang tindih. Satu sisi sepertinya kisah ini Bawang Putih sebagai anak tiri menampakkan sebuah patologi sosial harus bekerja keras dan selalu yang ditumbulkan perempuan, satu sisi dikesampingkan oleh ibunya. Di tahun memberikan ruang permainan dan 1970-an muncul sebuah film yang sangat kebebasan untuk berpendapat. Ini fenomenal mengetengahkan kekejaman merupakan fenomena yang menarik. ibu tiri, yaitu Ratapan Anak Tiri. Film ini Jika dilihat dari segi tematik dan alur dibintangi Rano Karno dan Faradila lakon, Siti Markonah hampir menyerupai Sandi. Jika dipandang sebagai kesetaran, cerita Panji. Seorang Putra Raja (Datuk maka yang sangat terlihat kesamaannya Raja Dibumi) menjalin kasih dengan Siti adalah ketiganya menyudutkan Asiah. Kisah cinta ini hampir gagal karena perempuan yang diangkat sebagai ibu tiri. Siti Asiah akan dipersunting Putra Raja Pertunjukan Rare Angon satu sisi yang lain (Datuk Raja Dilangit). Hal ini memperlihatkan bagaimana para pemain bisa terjadi karena kesalahan informasi Arja melakukan pembacaan kembali foto. Raja Dilangit dijodohkan dengan Siti sebuah dongeng lokal dan Markonah tetapi foto yang diberikan mengkreasikannya dalam bentuk baru. kepadanya bergambar Siti Asiah. Lalu di sisi yang lain, mereka memberikan Kehadiran foto yang salah, dan tanggapan atas hasrat perempuan dalam perjodohan yang justru dikenakan pada konteks kekuasaan. Seorang perempuan tokoh Raja Dilangit yang ditubuhkan ternyata memiliki keinginan untuk sebagai Mantri Buduh memperlihatkan mengukuhkan kekuasaannya, meskipun ada penyimpangan pada lakon Panji. ia hanyalah istri ke-dua Raja (selir). Salah Kenapa yang diperjodohkan bukan satu cara yang ditempuh adalah menebar Raden Mantri akan tetapi justru Mantri hasutan hingga kedua putra-putri Raja Buduh? Nampaknya ini justru disengaja dari istri permaisuri terusir dari istana. untuk menghadirkan aspek parodik. Perempuan dalam hal ini dihadirkan Siti Asiah seperti halnya Nyoman sebagai tokoh yang kejam dan Sukasti akhirnya bisa berdampingan berbahaya. Adakah hal ini mengemban dengan kekasih pilihan hatinya, Raja representasi perempuan yang Dibumi. Tubuh perempuan memiliki

Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013 117

kebebasan dan otoritas penuh untuk dimainkan seluruhnya oleh laki-laki. Kini menentukan kekasihnya. Lelaki yang mereka melakukan suatu nostalgia berhasrat menaklukkan perempuan sebagai sebuah perayaan. Mereka hanya karena kecantikannya juga tidak dengan kesadaran penuh membuat mendapatkan hasil. Tema semacam ini imitasi dari Arja yang pernah ada yang berbeda dengan kisah Panji yang selalu seluruhnya dimainkan laki-laki. Imitasi mengutamakan perjodohan antar semacam ini bisa dikatakan sebagai kerajaan. Perempuan ataupun lelaki gejala pastiche dalam dunia populer. Satu sepertinya harus pasrah pada keputusan hal yang harus dipersoalkan pada kasus Raja. semacam ini ialah proses kembalinya Para perempuan dalam lakon Siti yang bersifat paradoks, yaitu kembalinya Markonah bukanlah "perempuan" biasa. efek tersebut berkaitan dengan Bisa dibayangkan bagaimana jika Siti kemodernan yang telah mencapai batas Markonah dan Siti Asiah dimainkan laki- (Baudrillard 2001, 116). laki. di Jawa Timur juga memiliki Pastiche selalu diketengahkan pola semacam ini. Demikian pula dengan untuk melukiskan bentuk-bentuk yang pertunjukan yang lebih populer seperti Sri selalu mengalami sirkulasi. Dalam musik Mulat, seringkali menampilkan tokoh pop dan opera sabun populer, pastiche perempuan dimainkan laki-laki. Kabul menjadi motif yang dominan. Sontag, Basuki adalah pemain Sri Mulat yang mengaitkan pastiche dengan fenomena hingga saat ini lebih dikenal dengan Tesi. gay. Ia melihat adanya hubungan yang Kehadiran tokoh semacam ini selalu berubah di kalangan minoritas sosial memberikan suasana “segar” dan tersebut dengan mempertaruhkan dirinya memancing tawa. pada suatu bentuk budaya yang mampu Kini beberapa Pemain Arja Muani mewadahi identitas mereka yang tidak menetap dalam satu kelompok. terfragmentasi dan menyimpang secara Mereka bahkan tidak hanya bermain Arja, seksual. Hasilnya ada penyerapan gaya namun juga pertunjukan Prembon, atau mereka ke dalam arus utama budaya sekedar bebondresan (banyolan). Mereka populer (McRobbie, 2011: 34). Ketika selalu bermain sebagai tokoh perempuan. seni semacam ini hadir, harus dipikirkan Dalam beberapa pertunjukan yang secara serius. Ini bisa dianggap sebagai disaksikan di banjar Tunon (Gianyar), seni yang rendah namun tidak memiliki Presana (Karangasem), Banjarakan kekurangan. Sejak pertengahan 1960-an, (Klungkung), dan banjar lain, mereka kebancian telah menyumbangkan selalu disambut dengan gempita oleh momentum bagi terciptanya budaya post- masyarakat. Meskipun hujan mengguyur modern. Batas-batas antara seni tinggi desa, mereka tetap bertahan untuk dan seni rendah semakin kabur. menyaksikan pertunjukan sampai akhir. Kebancian mampu masuk dalam arus Hingga tahun 2013 ini popularitas Arja utama budaya populer, dan masih Muani masih bertahan meskipun menjaga kedekatannya secara emosional pertunjukan mereka tidak sesering di terhadap kebudayaan gay (McRobbie awal-awal tahun 2000-an. Mereka masih 2011, 149-150) tetap menjadi pembicaraan masyarakat. Beberapa pemain Arja Muani Para pemainnya masih terus diminta mengukuhkan dirinya sebagai untuk mengisi panggung-panggung transgender. Satu sisi secara seksual hiburan pada upacara desa meskipun mereka adalah laki-laki. Akan tetapi terkadang pertunjukan mereka lebih secara gender, mereka tidak bisa dengan praktis dan pendek, tidak sepenuhnya pragmatis dikatakan sebagai laki-laki. seperti pertunjukan Arja. Performativitas sepertinya harus Satu hal yang menarik adalah, para didudukkan sebagai dasar penilaian pemain Arja Muani memiliki kredo ingin ketubuhan mereka. Pembentukan jenis mengembalikan Arja seperti pada masa kelamin lebih bersifat konstitutif. Mereka awal kemunculannya. Mereka melakukan tidak memberikian kedirian dengan pembacaan kembali pada bentuk yang informasi jenis kelamin, akan tetapi dulu pernah ada. Pada awalnya Arja membentuk jenis kelamin dengan

118 Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013

penampilan dalam pertunjukan. Meskipun menggelikan sehingga orang tidak sepenuhnya sama dengan membangunya menjadi tokoh yang lucu pertunjukan drag di Thailand, akan tetapi (Spencer 2004, 248). Mungkin gejala ini penampilan sebagian pemain Arja Muani menjadi sisi menarik dalam dunia mampu mengukuhkan statemen Butler pertunjukan populer saat ini. bahwa secara implisit Drag Di Jogjakarta misalnya telah hadir mengungkapkan struktur imitative gender sebuah panggung kabaret yang dikelola itu sendiri (Butler 2008, 187). oleh Kafe Oyot Godong di lantai tiga Drag race adalah kontes kecantikan Mirota Batik Malioboro. Pertunjukan para waria dalam persaingan untuk mereka hanya dilangsungkan pada Sabtu merebut predikat paling cantik, halus, malam. Pada akhir 2012 dan awal 2013, selayaknya perempuan. Dari fenomena setengah jam sebelum pertunjukan ini gender bisa dikatakan bukanlah berlangsung, tempat duduk yang tersedia seseorang, tetapi apa yang mereka untuk penonton selalu terisi penuh. Para perlihatkan. Performativitasnya lah yang penampil akan menyanyikan lagu secara membentuk sebuah esensi. Sepertinya lipsync. Mereka muncul dengan pakaian tidak ada yang disebut asli dalam gender. yang sangat glamour dan menonjolkan Semua yang ada adalah suatu bentukan erotika tubuh secara parsial. Penonton dan semua yang terlihat adalah imitasi. akan bersorak dan berteriak karena gaya Fredrick Jameson memberikan mereka sangat atraktif. pandangan bahwa imitasi yang mengolok-olok gagasan yang asli KESIMPULAN merupakan karakteristik dari pastiche, bukan parodi. Pastiche adalah seperti Arja saat ini tidak secara eksplisit parodi, meniru gaya aneh atau unik, melakonkan cerita Panji. Cerita dari pemakaian gaya topeng, pidato dalam folklore Bali, Wayang, bahkan cerita- keterputusan bahasa, peniruan tanpa cerita baru dari prosa banyak digunakan motif tersembunyi, tanpa tawa dan tanpa sebagai sumber lakon. Akan tetapi dalam perasaan. Pastiche adalah parodi pertunjukannya, lakon-lakon tersebut kosong, parodi yang kehilangan selalu dipolakan dalam struktur “Panji” humornya (Butler 2008, 189). dalam Arja. Tokoh-tokoh yang ada dalam Jika pada tahun 1925-an para cerita tersebut selalu didudukkan sebagai perempuan Puri berupaya untuk merebut Raden Mantri, Raden Galuh, Mantri ruang publik yang tidak hanya milik laki- Buduh, Condong, dan lain sebagainya laki, maka kini sejarah berulang kembali seperti yang telah dipakemkan dalam Arja secara paradoksal. Para “laki-laki” Klasik yang bersumber pada kisah Panji. menginginkan kembali panggung Arja Kisah Panji bisa dikatakan telah menubuh tanpa kehadiran perempuan di dalamnya. dan berjiwa dalam dalam Arja. Lakon- Tentu kehadiran mereka dalam alasan lakon yang hadir kemudian harus selalu dan bentuk yang berbeda. Mereka hadir dimasukkan dalam tubuh dan jiwa Panji. kembali dengan semangat nostalgia dan Inilah kenyataan yang menarik dalam parodi. Performativitas mereka juga pertunjukan Arja saat ini hingga menunjukkan bahwa mereka tidak mau munculnya Arja Muani yang fenomenal. dikatakan sebagai laki-laki. Ada gejala memparodikan Panji tanpa Tranvestisme maskulin hanya bisa melecehkan karena kehadiran Panji juga diterima di atas panggung sebagi buah telah menjadi bayang-bayang. Antara ada parodi tentang feminitas yang dan tiada.

Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013 119

DAFTAR PUSTAKA Baried, Siti Baroroh, dkk. 1987, Panji: Citra Pahlawan Nusantara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Baudrillard, Jean. 2001. Galaksi Simulacra. Yogyakarta: LKIS.

Brandon, James R. 198., Seni Pertunjukan di Asia Tenggara, terj. Soedarsono. Yogyakarta: ISI Yogyakarta.

Butler, Judith. 2008. Gender Trouble Feminism and the Subversion of Identity. New York and London: Routledge.

De Cock, Ch – Wheatley. 2012. "The Lot of the Balinese Eve" dalam Adrian Vickers Bali Tempo Doeloe, terj. Tim Komunitas Bambu. Jogjakarta: Komunitas Bambu.

Dibia, I Wayan. 1992. Arja: A Sung Dance-Drama of Bali; A Study of Change and Transformation. Disertation. Los Angeles: University of California.

Hutcheon, Linda. 1988. A Poetic of Postmodern History, Theory, Fiction. London and New York: Routledge.

______. 2006. A Theory of Adaptation. London and New York: Routledge Taylor & Francis Group.

Kieven, Lydia, 2009, “Panji di Gunung Penanggungan” dalam Henri Nurcahyo (ed.) Konservasi Budaya Panji. Surabaya: Dewan Kesenian Jawa Timur.

Munandar, Agus. 2005. “Tinjauan Ringkas Candi Miri Gambar” dalam Kalajantra: Kumpulan Kajian Arkeologi Hindu-Buddha Jawa Timur. Depok: Laboratorium Arkeologi, Program Studi Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

McRobbie, Angela. 2011. Postmodernisme dan Budaya Populer, terj. Nurhadi. Jogjakarta: Kreasi Wacana.

Poerbatjaraka. 1968. Tjerita Panji dalam Perbandingan. Djakarta: Gunung Agung.

Sawitri, Cok. 2003. “Perempuan Versus Laki-laki Perseteruan dalam Seni Pertunjukan Bali” dalam Urs Ramseyer & I Gusti Panji Tisna (ed.) Bali Dalam Dua Dunia Potret Diri yang Kritis. Bali: MatameraBook.

Spencer, Colin. 2004. Sejarah Homoseksualitas: dari Zaman Kuno hingga Sekarang, terj. Ninik Rochani Sjams. Jogjakarta: Kreasi Wacana.

120 Berkala Arkeologi Vol.33 Edisi No.1/Mei 2013