PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi p-ISSN: 2252-3758, e-ISSN: 2528-3618 Akreditasi LIPI No. 695/Akred/ P2MI-LIPI/07/2015 Vol. 8 (1), Juni 2019, pp 15 – 27 DOI: https://doi.org/10.24164/pw.v8i1.291

MENARA MASJID AL-AQSHA KUDUS: ANTARA SITUS HINDU ATAU ISLAM The Minaret of Al-Aqsha Mosque in Kudus: Between or Islam

Moh. Rosyid Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus Jalan Conge Ngembalrejo No. 51, Ngembal Rejo, Ngembalrejo, Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59322 E-mail: [email protected]

Naskah diterima 05 April 2019 — Revisi terakhir 17 Mei 2019 Disetujui terbit 31 Mei 2019 — Tersedia secara online 30 Juni 2019

Abstract The purpose of this article is to answer of question on the origin of the minaret of Al Aqsha Mosque of Kudus whether its is Hinduism-Buddhism or Islamic site. Data are collected through interview, observation and literature review by means of descriptive analytic method of analysis. This paper shows that archaeological study classified the minaret as an Islamic building based on the Javanese symbols (candra sengkala) en- graved in the pillars gapura rusak ewahing jagad. Gapura (gate) refers to 9, rusak means 0, ewahing is 6 and jagad means 1. Read from the last, it refers to the year 1609. The year was the era of Walisongo when Hinduism was declining in Kudus. and Buddhists people consider the minaret similar to temple based on the architecture and oral tradition. Therefore, further study incorporating history and archaeology need to be conducted. Key words: Kudus minaret, history, site

Abstrak Tujuan ditulisnya naskah ini adalah untuk memberi jawaban secara ilmiah terhadap polemik keberadaan Menara Masjid Al-Aqsha Kudus, apakah peninggalan Hindu- Buddha (sebagai candi) atau Islam. Teknik perolehan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan pendalaman literatur. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitik. Argumen ilmiah dilakukan dengan pendekatan arkeologi bahwa Menara adalah situs Islam dengan bukti adanya candra sengkala di tiang-atap menara yang tertulis gapura rusak ewahing jagad. Gapura merupakan simbol angka 9, rusak berangka 0, ewahing berangka 6, dan jagad berangka 1 (jadi terbaca dari belakang adalah tahun 1609). Masa itu merupakan era Walisongo ketika umat Hindu sudah tidak eksis di Kudus, sedangkan umat Hindu-Buddha mengandalkan cerita rakyat dan prediksi yang terilhami bentuk bangunan fisik menara yang serupa candi. Untuk mengurai polemik, perlu didapatkan fakta baru dengan riset arkeologi dan dengan pendekatan mutakhir yang melibatkan sejarawan. Kata kunci: Menara Kudus, sejarah, situs

15 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 1, Juni 2019 : 15 – 27

PENDAHULUAN nama yang bernuansa Arab pada gelar raja/ratu Majapahit, yang ada bercirikan Polemik adanya klaim sepihak Hindu dan Buddha (“Kerajaan Majapahit bahwa Majapahit merupakan Kerajaan Sangat Jelas Bercorak Hindu,” 2017). Islam serta Mahapatih Gajah Mada Paparan tersebut merupakan penegas dan Raden Wijaya sebagai muslim bahwa polemik keberadaan dan kebenaran mengemuka di jejaring sosial pada Juni sejarah perlu fakta. 2017. Hal ini direspons oleh arkeolog, Peristiwa masa lalu memberi pesan budayawan, dan sejarawan dalam diskusi untuk kehidupan pada manusia. Untuk “Sejarah Kerajaan Majapahit” yang memahaminya, diperlukan kiprah sejarah. diselenggarakan di Jakarta pada Kamis, Sejarah merupakan ilmu yang mengulas 22 Juni 2017. Menurut Ketua Masyarakat peristiwa masa lalu. Sejarah dijadikan Sejarawan (MSI) yang juga pula sebagai “senjata” setiap kelompok Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar atau umat beragama dalam mendedahkan Farid, hal tersebut perlu diperkuat dengan fakta pembenar peristiwa masa lalu bukti yang mendasarinya. Jika tanpa bukti, yang ditorehkan oleh leluhurnya. Untuk klaim tidak dapat disebut sebagai tafsir mendapatkan pembenar fakta sejarah, baru. Menurut Hasan Djafar, arkeolog, dibutuhkan peran arkeologi, yakni ilmu sejak Majapahit berdiri, Islam sudah yang mengkaji kebudayaan manusia pada berkembang, sebagaimana penemuan masa lalu berdasarkan data bendawi yang prasasti batu nisan yang berangka tahun ditinggalkan, di antaranya cagar budaya. 1203 – 1533 di Kuburan Troloyo yang lokasinya tidak jauh dari Kedaton, ibu Kota Kudus, Jawa Tengah memiliki kota Majapahit. Pada awal era Majapahit, peninggalan bersejarah Islam berupa yaitu tahun 1082 M, di Kerajaan Kediri kawasan Kauman Menara Kudus dan terdapat masyarakat muslim, yaitu di situs lain yang terkait. Lestarinya situs Gresik, tetapi hingga kini tidak ada bukti tersebut merupakan fakta bahwa Sunan adanya benih atau unsur Islam yang Kudus dan generasi muslim di Kudus diterapkan di Majapahit yang bercorak hingga kini masih memeliharanya sebagai Hindu-Buddha. Ditemukannya koin bentuk toleransi. Jika tidak toleran, tentu perunggu yang bertuliskan huruf Arab La peninggalan tersebut sudah dimusnahkan. ilaha illahu diperkirakan berasal pada era Situs sejarah dalam kajian ini dipilah Majapahit. Namun, pada masa itu beredar menjadi situs pra-Sunan Kudus dan situs pula koin lain, seperti Cina. Lambang era Sunan Kudus. Situs pra-Sunan Kudus Majapahit di nisan yang berbentuk adalah Langgar Bubar/Bubrah. Langgar sinar matahari dengan sudut berujung bermakna tempat salat atau rumah. delapan sering dikaitkan dengan Islam. Adapun peninggalan dari era Sunan Kudus Lambang ini merupakan penggambaran di Kudus adalah (Supani, 2009) arah mata angin yang pada setiap arahnya 1. masjid yang didirikan pra-Masjid terdapat dewa penguasa. Jadi, tidak ada Al-Aqsha Menara Kudus (a) Masjid unsur yang menguatkan bahwa Majapahit Madureksan yang fungsi awalnya merupakan kerajaan Islam. Hal tersebut merupakan media untuk mendamaikan diperkuat oleh Munandar, arkeolog orang yang berkonflik. Madureksan Universitas Indonesia, bahwa tidak ada dalam bahasa Jawa berasal dari kata

16 Menara Masjid Al-Aqsha Kudus .... (Moh. Rosyid)

padu dan rekso. Kini Madureksan dari kata susuhunan, maksudnya berfungsi sebagai masjid, di depan adalah guru dari selatan/Cina), masjid terdapat Kelenteng Hok Ling 6. peninggalan Sunan Kudus di luar Bio, di tengah-tengahnya terdapat wilayah Kauman, tetangga wilayah taman, (b) Masjid Langgar Dalem (ada Kauman, seperti Masjid Nganguk candrasengkala trisula pinulet nogo, Wali (peninggalan Kiai Te Ling Sing/ tombak bermata tiga yang dibalut ular Tan Liang Sing); (kata kiai ada yang naga), (c) Masjid Al-Aqsha/Al-Manar menafsirkan berasal kata kia yang beserta kompleks makam Sunan bermakna ‘jalan’ dan i yang bermakna Kudus, (d) peninggalan Sunan Kudus ‘lurus’ (pemberi jalan lurus), nonsitus religi, yakni kursi dan tasbih, 7. ada pula masjid kuno di wilayah 2. kediaman Sunan Kudus (diduga di Kudus yang belum terindentifikasi kawasan Masjid Langgar Dalem), pendirinya, seperti Masjid Baitul Aziz 3. situs peninggalan Sunan Kudus di Desa Hadipolo, Kecamatan Mejobo berupa alun-alun (yang memisahkan yang diprediksi berdiri tahun 863 antara Masjid Madureksan dengan H berdasarkan trisula naga di pintu Kelenteng Hok Ling Bio) dan masuk masjid. Masjid ini menjadi infrastruktur yang melekat pada cagar budaya sejak tahun 1994, Masjid kawasan Masjid Al-Aqsha, seperti At-Taqwa di Desa Loram Kulon, sumur resapan pada era Sunan Kudus Kecamatan Jati, Gapura Masjid Baitul di area palastren/pawastren (tempat Muttaqin Desa Jati, Kecamatan Jati. salat bagi perempuan di bagian kanan Selain situs yang berkaitan dengan Masjid Al-Aqsha), Sunan Kudus, di Kudus terdapat situs 4. peninggalan generasi Sunan Kudus, peninggalan Sunan Muria di Gunung yakni (a) Kudus (identik Muria, yakni Masjid dan Makam dengan kediaman saudagar di Kauman Sunan Muria. Menara Kudus), (b) Madrasah Diniyah Dalam tradisi tutur, kawasan Muria Mu’awanatul Muslimin (madrasah yang kini menjadi kawasan Masjid Sunan diniyah pertama di Kudus, berdiri dari Muria, semula dihuni oleh Bikhu Resi tahun 1918 hingga kini), (c) beberapa Ekalaya. Dari sekian banyak situs sejarah pondok pesantren, (d) madrasah dan tersebut, yang memiliki ciri khas sebagai Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyah peninggalan Hindu di kawasan Menara yang berdiri sejak tahun 1909 hingga Kudus adalah Menara Masjid Al-Aqsha kini, Kudus yang ditelaah dalam naskah ini. 5. tradisi yang berkait dengan Dengan adanya peninggalan cagar peninggalan Sunan Kudus, seperti budaya (CB) tersebut, dapat dinyatakan (a) penjamasan/pencucian Keris bahwa Kota Kudus, Jawa Tengah memiliki Kiai Cinthaka/Cintoko/Ciptoko kawasan CB, yakni Menara Masjid Al- (perbedaan penyebutan) dan tombak Aqsha Kudus di Desa Kauman, Kecamatan kembar, (b) tradisi buka luwur, yakni Kota dan Langgar Bubrah di Dukuh memperingati wafatnya Sunan Kudus Tepasan, Desa Demangan, Kecamatan setiap bulan Sura/Muharam (Kata Kota. Keduanya berdekatan, tetapi dalam Sunan ada yang menafsirkan berasal kawasan yang terpisah. Yang dikaji dalam

17 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 1, Juni 2019 : 15 – 27 riset ini adalah Menara Masjid Al-Aqsha tersebut, hasilnya terpaparkan tentang Kudus, yaitu untuk mengetahui benarkah keberadaan situs dengan pendekatan masjid tersebut mempunyai titik hubung ilmiah, tidak hanya cerita tutur dan dengan Hindu di Kudus pada era Sunan prediksi nonilmiah. Kudus? Penelitian ini bertujuan tidak hanya Dalam mengkaji sejarah di Kudus terpublikasi hasil kajian, tetapi hal ini ditemukan ragam situs, di antaranya situs dapat dijadikan pijakan dan arah dalam di kawasan Kauman Menara Kudus. mewujudkan toleransi lintas umat Keberadaannya ditafsirkan dalam versi beragama. yang beragam, sesuai dengan penafsiran Hasil riset sementara ini menyatakan umat beragama, yakni Hindu (di Kudus) bahwa Menara Kudus secara arkeologi dan Islam. Pentingnya riset ini diulas di adalah situs Islam yang dibuktikan antaranya karena adanya multipersepsi dengan tulisan berbahasa Jawa Kuno publik tentang jati diri Menara Kudus dan di menaranya yang ada hingga kini. Langgar Bubrah dalam hal komunitas, Pihak yang memprediksi sebagai candi yaitu apa dan siapa yang membangunnya. lebih mengedepankan cerita tutur dan Diperolehnya jawaban dengan hasil kajian prediksi nonilmiah. Agar polemik tidak ilmiah diharapkan menjadi sumber telaah berkepanjangan, perlu dilakukan riset lintas keilmuan pada fase berikutnya mutakhir dengan pendekatan yang lebih dan hal tersebut tidak menjadi polemik komprehensif. yang kadang-kadang hanya bersumber dari cerita tutur. Pada tahun 1976 Proyek HASIL DAN PEMBAHASAN Pengembangan Media Kebudayaan, Untuk membahas topik ini, kajian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, diawali dengan memotret keberadaan yaitu Pusat Penelitian Purbakala dan agama Hindu-Buddha di . Peninggalan Nasional sebenarnya telah mendalami hal ini. Akan tetapi, dengan Awal Mula Hindu-Buddha di Nusantara kajian arkeologi mutakhir diharapkan Ajaran agama apa pun dikembangkan ditemukan pencerahan. secara luas oleh tokoh agamanya, begitu pula dengan Hindu-Buddha. Menurut METODE Coedes, peninggalan arkeologis dan Metode dalam penelitian ini adalah sumber dari Cina menunjukkan bahwa deskriptif analitik, yakni melalui cara peradaban Hindu-Buddha pertama di mendeskripsikan dan menganalisis data Nusantara pada paruh pertama abad ke-5 yang berupa bangunan kuno Menara M yang dibuktikan dengan adanya prasasti Masjid Al-Aqsha Kudus. Riset ini dari Mulawarman di dan dari melakukan kegiatan deskriptif, analitis, Purnawarman di Jawa (Coedes, 2010: 90). dan interpretatif. Mendeskripsikan data Prasasti Hindu di Kutai Kalimantan Timur berdasarkan fakta dengan kajian ilmiah menyebutkan bahwa Raja Mulawarman dilakukan agar diperoleh pembenaran mendatangkan penganut ajaran Siwa secara ilmiah pula. Paparan fakta di Kutai. Di Jawa Tengah berkembang menyajikan data antara sumber lisan agama Hindu Siwa , datang pula dengan fakta ilmiah. Berdasarkan tahapan pengaruh agama Buddha Mahayana. Di

18 Menara Masjid Al-Aqsha Kudus .... (Moh. Rosyid)

Jateng antara abad ke-8–10 M berkembang yang beragama Hindu. Era pemerintahan agama Buddha Mahayana dan Hindu Kartanegara (raja terakhir Singasari) Siwa dengan bukti ditemukannya Prasasti berpaham Siwa Buddha. Kertanegara, Canggal yang berhuruf Pallawa, berbahasa sebagai raja, melindungi agama Hindu Sanskerta, berangka tahun 732 M di Desa aliran Siwa sekaligus agama Buddha. Canggal, Kedu. Prasasti berisi pemujaan Namun, sejak Kesultanan Demak, sebagai kepada Dewa Siwa dalam ajaran Hindu. kerajaan Islam pertama di Jawa, banyak Di Desa Dinoyo, , Jatim ditemukan orang Jawa beralih menjadi muslim. Prasasti Dinoyo yang tertulis tahun 760 Orang Jawa yang mempertahankan M, terkait dengan agama Hindu (Darini, tetap beragama Hindu pindah ke . 2013: 34). Menurut Munoz, pada abad Setelah Majapahit (Girindrawardhana) ke-7 M, keyakinan utama yang dianut di ditaklukkan oleh Sultan Trenggono dari Holing adalah ajaran Siwa. Pada abad ke-8 Demak tahun 1527, sejak itu agama Hindu penyebaran pertapaan Buddha meningkat mengalami masa surut di Jawa (Achmad, di bawah kekuasaan Syailendra. Beberapa 2017: 27). Akan tetapi, penulis belum candi Hindu diubah untuk ajaran Buddha, sebagaimana Candi Bima di dataran menemukan referensi dan fakta sejak tinggi Dieng (Munoz, 2009: 182). Berita kapan agama Hindu ada dan eksis di dari seorang pendeta Buddha, I’tsing, Kudus. menyatakan bahwa pada tahun 664 datang pendeta Hwi-ning dan Holing Menara Masjid Al-Aqsha Kudus yang dibantu pendeta Jnanabhadra untuk Menara Masjid Al-Aqsha Kudus menerjemahkan berbagai Kitab Buddha (warga Kudus menyebut Menara Kudus) Hinayana. Dalam berita Tionghoa pada berada di halaman Masjid Al-Aqsha era Dinasti T’ang (618 – 906 M) disebut Kudus di Desa Kauman, Kecamatan Kota, nama Kerajaan Kaling atau Holing di Jawa Kudus, Jawa Tengah. Bangunan yang Tengah yang rakyatnya sejahtera. Sejak menjulang itu menjadi cagar budaya. tahun 674 M kerajaan tersebut dipimpin Ratu Simo (Dinas Pendidikan Prov Jateng, Awalnya, di tempat Menara Kudus, 2004: 86). dalam cerita rakyat, terdapat sumur yang airnya dipercaya warga sebagai Ada yang memperkirakan bahwa sumber kehidupan. Jika ada orang yang munculnya agama Hindu di Jawa terjadi meninggal, lalu diobati dengan air sumur sebelum Sanjaya menjadi raja di Medang tersebut, orang itu akan hidup lagi. Hal ini Mataram (717 – 760 M). Agama membahayakan akidah warga sehingga Hindu mencapai kejayaan sesudah sumur ditutup dengan bangunan menara. Mpu Manuku Rakai Pikatan membangun Sumur tersebut, dalam tradisi tutur Candi Siwagrha (rumah siwa) atau Candi lainnya, digunakan untuk menimbun pada 12 November 856 M. kitab-kitab agama Hindu agar kitab Pada era Medang periode di Jawa Tengah, tidak dipelajari warga Kudus. Jika kitab sejak pemerintahan Mpu Manuku Rakai tersebut dipelajari, dikhawatirkan warga Pikatan hingga era Medang periode Jawa Kudus memahami ajaran Hindu sehingga Timur, Kahuripan, Kadiri, Singasari menghambat lajunya Islam. Cerita tersebut hingga Majapahit orang Jawa, banyak mengandung pesan yang bermuatan

19 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 1, Juni 2019 : 15 – 27 kearifan lokal bahwa Menara merupakan banyak yang rusak atau lepas, sebagian bangunan suci yang harus dirawat karena besar diganti piring porselen dari Belanda terdapat kitab suci. Fakta lain adalah bahwa (restorasi pada era kolonial Belanda). berdasarkan riset arkeolog hiasan porselen Porselen yang menempel pada dinding yang tertempel pada dinding bagian luar Menara berbentuk piring (lingkaran), bangunan Menara Kudus berjumlah 32 bentuk segi empat dengan motif meander buah, 20 buah berwarna biru bermotif yang dikombinasi dengan stilisasi pemandangan alam (masjid, manusia, berbentuk bunga dan berbentuk organik unta, dan pohon kurma), sedangkan 12 yang berasal dari Vietnam. Porselen hias buah lainnya berwarna merah putih dengan berbentuk seperti kupu-kupu dan bentuk motif bunga (Supatmo, 2014: 72). Sakai segi empat di atas gerbang Takashi dan Takimoto Tadashi, arkeolog bagian depan (halaman Masjid Al- Jepang, pada 28 Agustus 2008 datang di Aqsha), sebagaimana terdapat di Masjid Menara Kudus untuk menelusuri asal Agung Demak, berasal dari Tiongkok dan mula berbagai keramik yang menempel di Vietnam. Adapun ornamen kaligrafi Arab Menara Masjid al-Aqsha Kudus. Menurut (khot) di serambi depan Masjid Al-Aqsha keduanya, dua di antara sekian banyak yang berupa hiasan gelas patri (stained keramik di Menara Kudus yang menempel glass) merupakan hiasan baru yang di atas pintu bagian utara dan selatan adalah dibuat setelah penambahan ruang serambi produk pabrik keramik di Vietnam abad ke- masjid tahun 1933 (Supatmo, 2014: 72- 14 – 15. Keramik di bagian utara berbentuk 75). Menara Kudus versi sejarah lisan segi empat, berwarna dasar putih. Adapun merupakan tempat mengumandangkan bagian tengah berwarna sedikit kebiruan azan dan menyimpan beduk yang ditabuh dengan motif bunga. Keramik berusia menjelang tiba waktu salat lima waktu tua, yaitu dibuat pada abad ke-14 atau (hingga kini masih digunakan dua hal itu). sekitar tahun 1450 M. Adapun keramik di Ada juga yang berpendapat bahwa Menara bagian selatan berbentuk lebih besar, lebih Kudus digunakan sebagai mercusuar atau menarik, didominasi warna biru dengan memandu kapal yang melewati Selat motif bunga yang bercirikan Vietnam Muria. dan bentuknya bernuansa Islam. Motif ini Ketika memahami peta riil kondisi dapat ditemukan di Istanbul Turki. Adapun bangunan Menara Kudus, terdapat dua pernik keramik yang sebagian besar ada pendapat. Pendapat pertama menyatakan di Masjid Al-Aqsha umumnya buatan bahwa bangunan yang didirikan sebelum Cina sekitar tahun 1920-an (Rosyid, orang Islam ada/datang di wilayah Kudus 2014: 15). Ragam motif serupa juga ada merupakan kelompok Budo. Bangunan di Gerbang Cirebon, Masjid Agung Cirebon, dan Gerbang Menara Kudus semula berupa sebuah Makam Sunan Bonang di Tuban. Tradisi candi yang kemudian berubah fungsi pemakaian hiasan piring porselen diilhami (bentuk menara tersebut mirip dengan oleh hiasan porselen tembok sebagai seni Candi Jago di Jawa Timur). Ada pula bangunan Islam di Asia Barat dan Asia anggapan bahwa tingginya bangunan Tengah pada masa awal perkembangan. menara menjadi tempat memanggil dan Piring porselen di Menara Kudus semula mengumpulkan orang. Bangunan ini dapat berasal dari Vietnam dan Tiongkok. Karena dibandingkan dengan bale Kulkul di Bali.

20 Menara Masjid Al-Aqsha Kudus .... (Moh. Rosyid)

Menurut Roesmanto, bangunan Menara Kota Kudus. Ada dua kemungkinan asal Kudus sering diserupakan bentuknya kata. Pertama, perubahan nama dari al- dengan Bale Kulkul, yakni bangunannya Manar sesuai dengan apa yang tertulis menyerupai menara yang beratap dan pada inskripsi di dalam Masjid Menara tempat kulkul/kentongan agar informasi Kudus. Kedua, sebutan adanya menara terdengar jauh dari banjar (desa) dan candi- (mirip candi) di sebelah tenggara masjid candi di Jawa Timur, seperti Candi Jago ini sekarang. Ada yang berpendapat (keserupaan ornamen tumpul sebagian bahwa kata menara berasal dari kata al- unsur asli Indonesia yang terdapat pada manar, sebagaimana orang dulu menyebut susunan tangga di Menara Kudus dan nama didasarkan atas kebiasaan yang Candi Jago), Candi Kidal, dan Candi dihubungkan dengan kehidupannya. Singasari. Persepsi itu akibat (1) adanya Bangunan besar yang bentuknya mirip keserupaan bentuk antara Menara Masjid candi Hindu lebih menarik perhatian Kudus dengan Bale Kulkul, terbuat dari masyarakat Kudus saat itu daripada rangka kayu dan adanya kentongan yang keberadaan masjid. Penyebutan Masjid tergantung di bawah atap Menara, (2) di Menara Kudus, menurut Ashadi, seolah- Jawa Timur terdapat candi yang memiliki olah mengandung makna masjidnya pejal yang tinggi sebagai penyangga menara, masjid milik menara. Dengan bale, sebagaimana Menara Kudus. Ada demikian, bangunan menara lebih yang menyatakan bahwa Menara Kudus bermakna daripada masjid bagi masyarakat bercorak Candi Jawa Timur, perpaduan Kudus Kuno. Sebagai perbandingan, budaya Hindu-Jawa-Islam-Cina dan Masjid Banten memiliki menara, warga bercorak Hindu Majapahit. Bangunan Banten menyebutnya Masjid Banten, Bale Kulkul ada pada setiap kompleks bukan Masjid Menara (Banten). Pada pura (tempat ibadah umat Hindu) dan awalnya, ada tiga sebutan kaitannya puri (tempat tinggal keluarga raja) di Bali. dengan Masjid Menara Kudus, yakni Al- Bale Kulkul di banjar (dusun), puri, dan Manar, Al-Aqsha, dan Al-Quds. Warga pura pada umumnya terletak di dekat kurang familier menyebut ketiga istilah jalan utama lingkungan desa atau jalan asing (Arab) dan lebih familier menyebut antarkota. Masjid Menara Kudus (hingga kini). Bisa jadi kata menara diperoleh warga Kudus Masjid Al-Aqsha Kudus dibangun dari perubahan kata al-Manar atau kata tahun 1549 M. Dalam perkembangan menara sudah ada. Bahkan, sebelum ada arsitektur masjid di Jawa, bangunan kata menara, Al-Manar dan Al-Quds Menara Kudus merupakan minaret sudah dikenal sebagai nama sebelum pertama yang melengkapi sebuah masjid nama Kudus, yakni nama . Di tempat (Roesmanto, 2013: 27-29). Menurut itu mungkin sebelumnya telah ada orang Ashadi, Menara Kudus pada mulanya yang bermukim yang menganut animisme. adalah bangunan semacam tetenger yang Bangunan menara selain sebagai tetenger dibuat oleh komunitas Budo di wilayah (penanda) juga sebagai simbol persatuan yang selanjutnya bernama Kudus dan kelompok masyarakat Kudus Kuno. Sunan Kudus memanfaatkan bangunan Menara Kudus adalah axis mundi, sebuah itu untuk dakwah. Kata menara dikaitkan pilar kosmik yang menghubungkan bumi dengan keberadaan masjid kuno dan nama tempat berpijak manusia dengan surga

21 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 1, Juni 2019 : 15 – 27 sebagai tempat setelah meninggal dunia. Salam, Sunan Kudus (Ja’far Shodiq, Dengan demikian, menara dijadikan pusat 700 – 765 M) menikahi puteri Pangeran peribadatan masyarakat Kudus kuno Tandaterung dan putri Sunan Bonang (Ashadi, 2009: 67-75). (Salam, 1977: 10). Perkawinan Sunan Prediksi Ashadi tersebut perlu didalami Kudus dengan Dewi Rukhil dikaruniai secara ilmiah dan persepsi tersebut sederap seorang anak lelaki bernama Amir Hasan, dengan pemahaman Suparno Boddhi sedangkan perkawinan Sunan Kudus Cakra, pandita Buddha generasi ketiga di dengan puteri Pangeran Pecat Tanda Terung Kudus. Menurut tafsiran penulis, 6 Agustus dari Majapahit dikaruniai delapan anak, 2018, bahwa Menara Kudus merupakan yakni Nyi Ageng Pembayun, Panembahan bangunan Hindu-Buddha selama 60 tahun, Palembang, Panembahan Mekaos tetapi, selanjutnya diberi tambahan kubah Honggokusumo, Panembahan Kodhi, bagian atasnya. Ciri penguatnya, lanjut Panembahan Karimun, Penembahan sang pandita, relung di Menara semula Joko (wafat masih muda), Ratu Pakojo, digunakan sebagai tempat arca dan bentuk dan Ratu Probobinabar (menikah dengan bangunannya sebagaimana candi. Pra- Pangeran Poncowati, Panglima Perang Sunan Kudus di Kudus (sebelumnya di Sunan Kudus) (Salam, 1986: 13). Sunan Kesultanan Demak) di Kudus ada Raja Kudus menikah dengan Dewi Ruhil Bagus Anom di Kerajaan Barong Keramat, dan dikaruniai seorang anak, sedangkan kini di Desa Barongan, Kecamatan Kota, perkawinan dengan putri Pangeran Husen Kudus. Pembuatan candi semula ditolak (Pecat Tanda Terung) dikaruniai delapan oleh Ratu Dwarawati, istri Raja Brawijaya, anak (Abdullah, 2015: 97). karena model bangunannya tidak berpostur Menurut penuturan Ketua Parisada Majapahit sehingga bangunan dipugar dan Hindu Indonesia (PHDI) dibuang atapnya. Ratu Dwarawati saat Kabupaten Kudus, Menara Kudus dalam itu menjadi muslimah setelah diperisteri konteks Hindu lebih tepat disebut rumah oleh Sunan Kudus sehingga bangunan kulkul (rumah kentongan), dipukulnya (menara) diberi tulisan gapura rusak kentongan yang berada di bangunan bagian ewahing jagad, atap candi yang ditambah atas dilakukan untuk mengumpulkan warga dengan kubah bagian paling atas dan dalam kegiatan. Adapun bentuk bangunan diberi nama menara, sebelumnya bernama Menara Kudus menyerupai candi dengan candi atau pura. Kisah ini, menurut sang ciri khas bentuk bangunan yang lancip ke pandita, bersumber dari Kidung Rumekso atas dan relief di beberapa titik bangunan ing Wengi anggitan (karya) Sunan Kalijaga menara. Di bagian atas menara terdapat bagian Sekar Sinom pupuh 8 – 10. beduk dan kentongan yang hingga kini Sumber ini apakah dapat dikategorikan masih dipukul oleh petugas (marbot) sebagai sumber yang ilmiah? Dalam sebagai penanda tibanya waktu salat lima catatan sejarah, Sunan Kudus tidak pernah waktu. Jika akan ke bagian atas menara, menikah dengan Dwarawati. tersedia tangga yang terbuat dari kayu jati. Menurut Sunyoto, Sunan Kudus Sebelumnya, dari dasar menara terdapat menikah dengan putrinya, Pecat Tanda tangga/undak-undakan yang terbuat Terung dan Dewi Rukhil binti Sunan dari tekel yang kanan-kirinya terdapat Bonang (Sunyoto, 2016: 324). Menurut miniatur candi. Untuk merawat kondisi

22 Menara Masjid Al-Aqsha Kudus .... (Moh. Rosyid)

Menara, tidak semua peziarah/wisatawan Adapun pendapat yang menyatakan diperkenankan menaiki Menara. Menara Kudus merupakan situs Islam dengan dalih menara sejak semula Dalam catatan Ashadi, pada salah satu dibangun muslim di Kudus karena tangga (kayu) menara tertera angka tahun (1) sejak berdirinya, yaitu tahun 1609 1313 H/1895 M, pada gapura kori sebelah Saka/1685 M (tahun 1609, dibuktikan timur bangunan tajuk tertera angka adanya tulisan Bahasa Jawa Kuno di tahun 1210 H/1796 M, di atas tiang atap papan jati yang terdapat di menara bagian bangunan tajuk tertera angka tahun 1145 atas/puncak hingga kini, dekat dengan H/1732 M, di bagian depan pintu masuk beduk) menjadi simbol peribadatan Islam, makam Sunan Kudus tertera angka tahun (2) orientasi bangunan menara sama Jawa 1895 atau 1296 H/1878 M, di bagian dengan orientasi bangunan masjid, dan muka dan belakang gapura kori di serambi (3) adanya perbedaan bangunan Menara masjid tertera angka tahun Jawa 1727 (di Kudus (hanya ada satu bangunan) jika sebelah barat) dan 1215 H (di sebelah candi tidak hanya satu bangunan, tetapi timur) yang keduanya menunjukkan angka ada pelengkapnya. tahun 1800 M (Ashadi, 2009: 78). Seni hias (ornamen) pada kompleks Menara Kudus pada bagian luar, teras depan, terdapat beberapa hiasan ukiran batu cadas berpola medalion kecil yang ditempel berjajar dengan motif tetumbuhan menjalar (lung- lungan, sulur-suluran). Bingkai lingkaran luar medalion bermotif empat lengkung kurung kurawal (Islami) atau bunga padma (Hinduis). Lingkaran lebih kecil di dalamnya penuh dengan motif sulur- suluran dalam posisi melingkar. Ornamen dengan pola piagam paling signifikan ditemukan pada dua lawang kembar, pada Gambar1. Menara Masjid (Sumber: Koleksi Penulis, 2018) posisi kanan-kiri daun pintunya, yang terdapat hiasan berpola piagam bermotif Dalam arkeologi, bukti masa khas stilisasi dedaunan dan sulur-suluran, pembuatan merupakan data utama, jika tetumbuhan khas tropis, meliuk-liuk tidak ada angka/tahun, dicari bukti lain, bercorak seni khas Majapahit. Ornamen misalnya melakukan ekskavasi di sekitar berpola medalion banyak dijumpai pada bangunan. Hasil ekskavasi, misalnya relief Candi di Jawa Timur arang dan keramik, dapat dijadikan bahan dengan motif sulur-suluran dan stilisasi penentuan umur bangunan. Akan tetapi, pengaburan figur binatang, seperti , bukti arkeologis yang masih ada, yaitu gajah atau burung. Dengan demikian, tulisan berhuruf Jawa Kuno menandakan hiasan berpola medalion di Masjid Menara tahun 1609 M. Menurut Tjandrasasmita, Kudus merupakan pola kesinambungan sebelum kedatangan Islam di Indonesia, tradisi seni hias pra-Islam (Supatmo, yang lazim dikenal dengan zaman 2014: 76). kerajaan Indonesia Hindu-Buddha (abad

23 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 1, Juni 2019 : 15 – 27 ke-4 sampai dengan 16 M), jenis tulisan milik pribadi) yang digunakan untuk (aksara) yang digunakan pada prasasti memuliakan arwah raja atau tokoh penting dan naskah kuno ialah tulisan pallawa, yang wafat, seperti Candi Belahan tempat pranagari, Jawa Kuno (kawi), Sunda Airlangga sebagai perwujudan Wishnu Kuno, dan Bugis. Sejak abad ke-7 M pada yang menunggang , (4) pertapaan, prasasti Kerajaan Sriwijaya di Kedukan seperti Candi , Liyangan Bukit, Talang Tuwe, Telaga Batu, Kota di lereng timur Gunung Sundoro, (5) Kapur, Merangin, Alas Pasemah, dan wihara sebagai tempat biksu atau pendeta lain-lain belum menggunakan tulisan bersemadi, (6) gerbang yang berfungsi Jawa, tetapi bahasa Melayu Kuno sudah sebagai jalur masuk, (7) petirtaan yang digunakan yang bercampur dengan bahasa berada di dekat sumber mata air sebagai Sanskerta (Uka Tjandrasasmita, 2009). tempat pemandian. Ketujuh kriteria candi Dengan demikian, tulisan Jawa di Menara tersebut tidak terdapat pada Menara Kudus sebagai penanda bangunan menara Kudus. dibuat setelah era Hindu-Buddha di Indonesia atau era Islam. Urgensi Riset Arkeologi Mutakhir dalam Mengurai Polemik Untuk memperkuat fakta siapa yang membuat Menara Masjid Al-Aqsha Program Unit Penelitian Proyek Kudus, dapat dipahami makna kata candi. Pembinaan Kepurbakalaan dan Candi berasal dari kata candika yang Peninggalan Nasional, Proyek berarti nama perwujudan Dewi Pengembangan Media Kebudayaan, sebagai dewi kematian sehingga candi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan selalu dihubungkan dengan monumen Tahun 1976 melakukan ekskavasi pada 17 tempat pedarmaan untuk memuliakan April – 17 Mei 1976 di Kudus, khususnya raja yang sudah wafat (anumerta), seperti Kompleks Masjid Menara Kudus, Bukit Candi Kidal untuk memuliakan Raja Begawan (Rahtawu), dan Langgar Anusapat. Candi tidak hanya menyebut Bubrah. Ketiga lokus memiliki watak situs tempat ibadah, candi juga merupakan situs yang berbeda. Tujuan ekskavasi adalah purbakala nonreligius pada era Hindu- meneliti aspek arkeologis situs Masjid Buddha Indonesia klasik, baik sebagai Al-Aqsha dan Langgar Bubrah. Kedua istana (keraton), pemandian (petirtaan), bangunan bercirikan gaya peralihan maupun gapura. Candi di Indonesia era Indonesia Hindu ke masa Indonesia identik dengan tempat ibadah umat Hindu Islam (Ambary, Djafar, Romli, & Awe, dan Buddha. Contoh candi Hindu ialah 1978). Penelitian arkeologi tersebut perlu Prambanan, , Dieng, Gedong dikembangkan lagi agar dapat menjawab Songo, Panataran, dan . dinamika yang dianggap persoalan oleh Contoh candi Buddha ialah , publik dalam hal yang mana yang lebih Sewu, Kalasan, Sari, dan Plaosan. Adapun mendekati kebenaran, yaitu Menara candi berfungsi (1) tempat pemujaan, (2) Kudus merupakan peninggalan Hindu, sarana ziarah, tempat menyimpan abu Jawa Kuno, Islam, atau masa peralihan. jenazah dan kerangkanya, seperti Candi Menara Masjid Al-Aqsha Kudus Borobudur, Sumberawan, dan Muaratakus, berada di Desa Kauman, Kecamatan (3) pedarmaan, yakni candi (kadang kala Kota, Kudus. Tinggi bangunan menara

24 Menara Masjid Al-Aqsha Kudus .... (Moh. Rosyid)

18 m, luasnya 10 m persegi, bahan kebenaran fakta. Hanya saja, menurut bakunya terbuat dari batu, bata merah, Purwadi, sebelum Sunan Kudus hidup di sirap, dan semen. Menara dihiasi antefiks Kudus (sebelumnya di Kerajaan Demak), (hiasan yang menyerupai bukit kecil). masyarakat Kudus didominasi penganut Bangunannya meliputi kaki, tubuh, Hindu. Sunan Kudus pun memasukkan dan puncak yang disertai adanya ukir kebiasaan mereka dalam syariat Islam bermotif Jawa-Hindu. Menara diprediksi secara halus, misalnya, pada Hari Raya dibuat tahun 1609 Tahun Jawa/1685 M Idul Qurban menyembelih kerbau sebagai berdasarkan candra sengkala di salah penghormatan, bukan sapi karena sapi satu tiang atap menara yang tertulis merupakan hewan yang dimuliakan umat gapura rusak ewahing jagad. Gapura Hindu. Sunan Kudus pun membangun sebagai simbol angka 9, rusak berangka 0, menara untuk azan dengan desain bangunan ewahing berangka 6, dan jagad berangka Hindu (Purwadi & Maharsi, 2012: 136). 1, jadi membacanya dari belakang (tahun Sapi/lembu dimuliakan karena asal mula 1609). Prediksi ini perlu didalami dengan diciptakan mereka dijadikan kendaraan pendekatan arkeologis mutakhir dengan Dewa Siwa. Awalnya memerintah bantuan ilmu lain. Keberadaan arkeologi pada Daksa untuk menciptakan sapi tatkala merekonstruksi sejarah kebudayaan dan Siwa bertapa terkena tumpahan susu anak cara hidup manusia serta proses budayanya sapi yang sedang menyusu induknya. Agar pada masa lalu. Untuk menggapai tujuan Siwa tidak marah karena tapa terganggu, itu, semua peninggalan masa lalu sebagai Daksa menghadiahkan seekor sapi jantan objek studi ditinjau dari segi bentuk, fungsi, pada Siwa untuk dijadikan kendaraan proses pembuatan, dan sebagainya. Objek (vahana) (Dinas Pendidikan Prov Jateng, arkeologi adalah semua peninggalan masa 2004: 106). lalu yang masih dapat ditemukan. Hal yang harus dipahami Pemda Hal yang harus didalami ulang Kudus adalah bahwa nilai unggul kampung dengan kajian arkeologi adalah (a) kapan Menara Kudus perlu dipertahankan. sebenarnya tahun didirikannya Menara Menurut Nurini, keunggulannya berupa Kudus dengan mendalami pemaknaan nilai estetis (1) perpaduan ornamen candra sengkala di salah satu tiang Buddha, Hindu, dan Islam yang tecermin atap menara yang tertulis gapura rusak dalam bangunan masjid, menara, kompleks ewahing jagad. Menurut tafsiran Soecipto makam, (2) kemajemukan, adanya tajuk Wiryosuparto dalam memaknai tulisan dan gapura yang mencerminkan budaya tersebut, gapura sebagai simbol angka 9, Hindu, (3) kelangkaan, hanya di Kudus rusak berangka 0, ewahing berangka 6, (Nurini, 2011: 15). Selain itu, keunggulan dan jagad berangka 1 (jadi terbaca dari Kampung Menara adalah adanya rumah belakang tahun 1609). Hal lain yang perlu adat kudus yang memiliki tata ruang khas digali untuk diperoleh fakta baru adalah yang meliputi jogosatru, ruang inti (ruang bagaimana kondisi geografis kawasan dalam), dan pawon (Ekarini, 2016: 56). Menara Kudus pada era itu dan seperti apa Menurut Hardiansyah, menara memiliki kondisi sosial masyarakat Kudus tatkala atap berbentuk rumah tipe payon tanpa dibangun Menara Kudus. Terjawabnya hiasan ukiran. Setelah Sunan Kudus pertanyaan tersebut untuk menemukan berkiprah, terjadi perubahan bentuk fisik

25 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 1, Juni 2019 : 15 – 27 dan interior yang didominasi ukiran dari 9, rusak berangka 0, ewahing berangka berbagai kebudayaan (Hardiansyah, 2009: 6, dan jagad berangka 1 (jadi terbaca dari 19). Akan tetapi, kini rumah adat yang belakang tahun 1609). Dengan demiki- tersisa hanya dua rumah di Kampung an, Menara Kudus dibuat pada era Wali- Kauman Menara Kudus. Dari sisi tata songo menyebarkan Islam di Jawa. Masa letak, Kampung Menara terkesan kumuh. pembuatan menaranya tatkala umat Hindu Menurut Anisa, bentuk lingkungannya sudah tidak dominan di Kudus sehingga merupakan gambaran rumah kilungan kecil kemungkinan membuat candi kare- yang menyimpan alasan tersendiri na setelah Majapahit ditaklukkan Sultan (Anisa, 2004: 5). Nilai positif yang perlu Trenggono, Raja Demak tahun 1527 M, dilestarikan adalah bahwa Sunan Kudus umat Hindu mengalami masa surut di dan generasinya membangun situs Islam Jawa dan berpindah ke Bali. yang diserupakan dengan candi sebagai Selama ini, anggapan pandita bentuk respek. Ada situs Hindu di Kudus Buddha dan tokoh Hindu di Kudus yang yang berdekatan dengan Menara Kudus, menyatakan bahwa Menara Masjid Kudus yakni Langgar Bubrah yang memiliki semula candi hanya berdasarkan cerita kekhasan sebagai situs Hindu, yakni tutur, bukan sumber ilmiah. adanya yoni dan lingga yang masih utuh hingga kini, tidak dihilangkan situs Hindu Ucapan Terima Kasih di Kudus, tetapi mengakulturasikannya • Penulis mengucapkan terima kasih sebagai bentuk respons positif. Generasi kepada Humas Yayasan Masjid, pengelola kawasan Menara Kudus kini Menara, dan Makam Sunan Kudus, merawat situs akulturasi. Bapak Deni Nur Hakim, yang berkenan sebagai sumber data, kepada SIMPULAN pandita Buddha di Kudus, Bapak Dalam arkeologi, bukti masa pem- Suparno Boddhi Cakra, dan Ketua buatan sebagai data utama, sebagaimana Parisada Hindu Dharma Indonesia candra sengkala di tiang-atap Menara Ku- (PHDI) Kabupaten Kudus, Bapak I dus tertulis gapura rusak ewahing jagad. Putu Dantra yang berkenan sebagai Maknanya adalah gapura simbol angka narasumber.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, R. (2015). Walisongo Gelora Dakwah dan Jihad di Tanah Jawa (1404--1482 M). Sukoharjo: Al Wafi. Achmad, S. W. (2017). Asal-Usul Sejarah Orang Jawa. : Araska. Ambary, H. M., Djafar, H., Romli, M., & Awe, R. D. (1978). Laporan Ekskavasi Kudus. In Berita Penelitian Arkeologi No. 14 (hal. 24–67). Jakarta: Proyek Pengembangan Media Kebudayaan, Departemen P & K. Anisa. (2004). Rumah dalam Kilungan di Kota Lama Kudus Analisis Konsep Bangunan. Jurnal Nalars, 3 (1), 17–23. Ashadi. (2009). Menara Kudus sebagai Aksis Mundi: Menelusuri Komunitas Kudus Kuno. Jurnal Nalars, 6 (1), 12–24.

26 Menara Masjid Al-Aqsha Kudus .... (Moh. Rosyid)

Coedes, G. (2010). Asia Tenggara Masa Hindu Buddha. Jakarta: KPG; Ecole Francoise d’ Extreme-Orient; Forum Jakarta Paris; Puslitbang Arkenas. Darini, R. (2013). Sejarah Kebudayaan Indonesia Masa Hindu Buddha. Yogyakarta: Ombak. Dinas Pendidikan Prov Jateng, M. R. (2004). Artefak Batu Masa Prasejarah Hindu-Buddha (Koleksi Museum Ronggowarsito). Semarang: Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah. Ekarini, D. (2016). Dilema Pelestarian Rumah Adat Kudus. Jurnal Konservasi Cagar Budaya Borobudur, 10 (1), 15–24. Hardiansyah, M. (2009). Rumah Tradisional Kudus: Pengaruh Budaya Islam (1500-1900). UIN Jakarta. Kerajaan Majapahit Sangat Jelas Bercorak Hindu. (2017, Juni). Kompas, hal. 12. Munoz, P. M. (2009). Kerajaan Awal Kepulauan Indonesia dan Semenanjung Malaysia Perkembangan Sejarah dan Budaya Asia Tenggara (Zaman Prasejarah hingga Abad XVI). Yogyakarta: Mitra Abadi. Nurini, N. (2011). Kajian Pelestarian Kampung Kauman Kudus sebagai Kawasan Bersejarah Penyebaran Agama Islam. Teknik, 32(1), 9–17. https://doi.org/10.14710/Teknik. V32I1.1685 Purwadi, & Maharsi. (2012). Babad Demak Sejarah Perkembangan Islam di Tanah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Utama. Roesmanto, T. (2013). Rupa Bentuk Menara Masjid Kudus, Bale Kulkul, dan Candi. Jurnal Arsitektur 2 (2), 2, 12–24. Rosyid, M. (2014). Esai-Esai Toleransi. Yogyakarta: Idea Press. Salam, S. (1977). Kudus Purbakala dalam Perjuangan Islam. Kudus: Menara Kudus. Salam, S. (1986). Ja’far Shodiq Sunan Kudus. Kudus: Menara Kudus. Sunyoto, A. (2016). Atlas Walisongo. Depok: Pustaka Iman dan Lesbumi PBNU. Supani, S. D. (2009). Benda Cagar Budaya Peninggalan Sejarah dan Purbakala Kabupaten Kudus. Kudus: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Kudus. Supatmo. (2014). Keunikan Ornamen Bermotif Figuratif pada Kompleks Bangunan Masjid Menara Kudus. Imajinasi : Jurnal Seni, 7(1), 63–80. Uka Tjandrasasmita. (2009). Arkeologi Islam Nusantara. Jakarta: KPG.

27 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 1, Juni 2019

28