MENARA MASJID AL-AQSHA KUDUS: ANTARA SITUS HINDU ATAU ISLAM the Minaret of Al-Aqsha Mosque in Kudus: Between Hinduism Or Islam
Total Page:16
File Type:pdf, Size:1020Kb
PURBAWIDYA: Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi p-ISSN: 2252-3758, e-ISSN: 2528-3618 Akreditasi LIPI No. 695/Akred/ P2MI-LIPI/07/2015 Vol. 8 (1), Juni 2019, pp 15 – 27 DOI: https://doi.org/10.24164/pw.v8i1.291 MENARA MASJID AL-AQSHA KUDUS: ANTARA SITUS HINDU ATAU ISLAM The Minaret of Al-Aqsha Mosque in Kudus: Between Hinduism or Islam Moh. Rosyid Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Kudus Jalan Conge Ngembalrejo No. 51, Ngembal Rejo, Ngembalrejo, Kecamatan Bae Kabupaten Kudus, Jawa Tengah 59322 E-mail: [email protected] Naskah diterima 05 April 2019 — Revisi terakhir 17 Mei 2019 Disetujui terbit 31 Mei 2019 — Tersedia secara online 30 Juni 2019 Abstract The purpose of this article is to answer of question on the origin of the minaret of Al Aqsha Mosque of Kudus whether its is Hinduism-Buddhism or Islamic site. Data are collected through interview, observation and literature review by means of descriptive analytic method of analysis. This paper shows that archaeological study classified the minaret as an Islamic building based on the Javanese symbols (candra sengkala) en- graved in the pillars gapura rusak ewahing jagad. Gapura (gate) refers to 9, rusak means 0, ewahing is 6 and jagad means 1. Read from the last, it refers to the year 1609. The year was the era of Walisongo when Hinduism was declining in Kudus. Hindus and Buddhists people consider the minaret similar to temple based on the architecture and oral tradition. Therefore, further study incorporating history and archaeology need to be conducted. Key words: Kudus minaret, history, site Abstrak Tujuan ditulisnya naskah ini adalah untuk memberi jawaban secara ilmiah terhadap polemik keberadaan Menara Masjid Al-Aqsha Kudus, apakah peninggalan Hindu- Buddha (sebagai candi) atau Islam. Teknik perolehan data dilakukan dengan wawancara, observasi, dan pendalaman literatur. Metode yang digunakan adalah deskriptif analitik. Argumen ilmiah dilakukan dengan pendekatan arkeologi bahwa Menara adalah situs Islam dengan bukti adanya candra sengkala di tiang-atap menara yang tertulis gapura rusak ewahing jagad. Gapura merupakan simbol angka 9, rusak berangka 0, ewahing berangka 6, dan jagad berangka 1 (jadi terbaca dari belakang adalah tahun 1609). Masa itu merupakan era Walisongo ketika umat Hindu sudah tidak eksis di Kudus, sedangkan umat Hindu-Buddha mengandalkan cerita rakyat dan prediksi yang terilhami bentuk bangunan fisik menara yang serupa candi. Untuk mengurai polemik, perlu didapatkan fakta baru dengan riset arkeologi dan dengan pendekatan mutakhir yang melibatkan sejarawan. Kata kunci: Menara Kudus, sejarah, situs 15 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 1, Juni 2019 : 15 – 27 PENDAHULUAN nama yang bernuansa Arab pada gelar raja/ratu Majapahit, yang ada bercirikan Polemik adanya klaim sepihak Hindu dan Buddha (“Kerajaan Majapahit bahwa Majapahit merupakan Kerajaan Sangat Jelas Bercorak Hindu,” 2017). Islam serta Mahapatih Gajah Mada Paparan tersebut merupakan penegas dan Raden Wijaya sebagai muslim bahwa polemik keberadaan dan kebenaran mengemuka di jejaring sosial pada Juni sejarah perlu fakta. 2017. Hal ini direspons oleh arkeolog, Peristiwa masa lalu memberi pesan budayawan, dan sejarawan dalam diskusi untuk kehidupan pada manusia. Untuk “Sejarah Kerajaan Majapahit” yang memahaminya, diperlukan kiprah sejarah. diselenggarakan di Jakarta pada Kamis, Sejarah merupakan ilmu yang mengulas 22 Juni 2017. Menurut Ketua Masyarakat peristiwa masa lalu. Sejarah dijadikan Sejarawan Indonesia (MSI) yang juga pula sebagai “senjata” setiap kelompok Direktur Jenderal Kebudayaan, Hilmar atau umat beragama dalam mendedahkan Farid, hal tersebut perlu diperkuat dengan fakta pembenar peristiwa masa lalu bukti yang mendasarinya. Jika tanpa bukti, yang ditorehkan oleh leluhurnya. Untuk klaim tidak dapat disebut sebagai tafsir mendapatkan pembenar fakta sejarah, baru. Menurut Hasan Djafar, arkeolog, dibutuhkan peran arkeologi, yakni ilmu sejak Majapahit berdiri, Islam sudah yang mengkaji kebudayaan manusia pada berkembang, sebagaimana penemuan masa lalu berdasarkan data bendawi yang prasasti batu nisan yang berangka tahun ditinggalkan, di antaranya cagar budaya. 1203 – 1533 di Kuburan Troloyo yang lokasinya tidak jauh dari Kedaton, ibu Kota Kudus, Jawa Tengah memiliki kota Majapahit. Pada awal era Majapahit, peninggalan bersejarah Islam berupa yaitu tahun 1082 M, di Kerajaan Kediri kawasan Kauman Menara Kudus dan terdapat masyarakat muslim, yaitu di situs lain yang terkait. Lestarinya situs Gresik, tetapi hingga kini tidak ada bukti tersebut merupakan fakta bahwa Sunan adanya benih atau unsur Islam yang Kudus dan generasi muslim di Kudus diterapkan di Majapahit yang bercorak hingga kini masih memeliharanya sebagai Hindu-Buddha. Ditemukannya koin bentuk toleransi. Jika tidak toleran, tentu perunggu yang bertuliskan huruf Arab La peninggalan tersebut sudah dimusnahkan. ilaha illahu diperkirakan berasal pada era Situs sejarah dalam kajian ini dipilah Majapahit. Namun, pada masa itu beredar menjadi situs pra-Sunan Kudus dan situs pula koin lain, seperti Cina. Lambang era Sunan Kudus. Situs pra-Sunan Kudus Surya Majapahit di nisan yang berbentuk adalah Langgar Bubar/Bubrah. Langgar sinar matahari dengan sudut berujung bermakna tempat salat atau rumah. delapan sering dikaitkan dengan Islam. Adapun peninggalan dari era Sunan Kudus Lambang ini merupakan penggambaran di Kudus adalah (Supani, 2009) arah mata angin yang pada setiap arahnya 1. masjid yang didirikan pra-Masjid terdapat dewa penguasa. Jadi, tidak ada Al-Aqsha Menara Kudus (a) Masjid unsur yang menguatkan bahwa Majapahit Madureksan yang fungsi awalnya merupakan kerajaan Islam. Hal tersebut merupakan media untuk mendamaikan diperkuat oleh Munandar, arkeolog orang yang berkonflik. Madureksan Universitas Indonesia, bahwa tidak ada dalam bahasa Jawa berasal dari kata 16 Menara Masjid Al-Aqsha Kudus .... (Moh. Rosyid) padu dan rekso. Kini Madureksan dari kata susuhunan, maksudnya berfungsi sebagai masjid, di depan adalah guru dari selatan/Cina), masjid terdapat Kelenteng Hok Ling 6. peninggalan Sunan Kudus di luar Bio, di tengah-tengahnya terdapat wilayah Kauman, tetangga wilayah taman, (b) Masjid Langgar Dalem (ada Kauman, seperti Masjid Nganguk candrasengkala trisula pinulet nogo, Wali (peninggalan Kiai Te Ling Sing/ tombak bermata tiga yang dibalut ular Tan Liang Sing); (kata kiai ada yang naga), (c) Masjid Al-Aqsha/Al-Manar menafsirkan berasal kata kia yang beserta kompleks makam Sunan bermakna ‘jalan’ dan i yang bermakna Kudus, (d) peninggalan Sunan Kudus ‘lurus’ (pemberi jalan lurus), nonsitus religi, yakni kursi dan tasbih, 7. ada pula masjid kuno di wilayah 2. kediaman Sunan Kudus (diduga di Kudus yang belum terindentifikasi kawasan Masjid Langgar Dalem), pendirinya, seperti Masjid Baitul Aziz 3. situs peninggalan Sunan Kudus di Desa Hadipolo, Kecamatan Mejobo berupa alun-alun (yang memisahkan yang diprediksi berdiri tahun 863 antara Masjid Madureksan dengan H berdasarkan trisula naga di pintu Kelenteng Hok Ling Bio) dan masuk masjid. Masjid ini menjadi infrastruktur yang melekat pada cagar budaya sejak tahun 1994, Masjid kawasan Masjid Al-Aqsha, seperti At-Taqwa di Desa Loram Kulon, sumur resapan pada era Sunan Kudus Kecamatan Jati, Gapura Masjid Baitul di area palastren/pawastren (tempat Muttaqin Desa Jati, Kecamatan Jati. salat bagi perempuan di bagian kanan Selain situs yang berkaitan dengan Masjid Al-Aqsha), Sunan Kudus, di Kudus terdapat situs 4. peninggalan generasi Sunan Kudus, peninggalan Sunan Muria di Gunung yakni (a) rumah adat Kudus (identik Muria, yakni Masjid dan Makam dengan kediaman saudagar di Kauman Sunan Muria. Menara Kudus), (b) Madrasah Diniyah Dalam tradisi tutur, kawasan Muria Mu’awanatul Muslimin (madrasah yang kini menjadi kawasan Masjid Sunan diniyah pertama di Kudus, berdiri dari Muria, semula dihuni oleh Bikhu Resi tahun 1918 hingga kini), (c) beberapa Ekalaya. Dari sekian banyak situs sejarah pondok pesantren, (d) madrasah dan tersebut, yang memiliki ciri khas sebagai Yayasan Pendidikan Islam Qudsiyah peninggalan Hindu di kawasan Menara yang berdiri sejak tahun 1909 hingga Kudus adalah Menara Masjid Al-Aqsha kini, Kudus yang ditelaah dalam naskah ini. 5. tradisi yang berkait dengan Dengan adanya peninggalan cagar peninggalan Sunan Kudus, seperti budaya (CB) tersebut, dapat dinyatakan (a) penjamasan/pencucian Keris bahwa Kota Kudus, Jawa Tengah memiliki Kiai Cinthaka/Cintoko/Ciptoko kawasan CB, yakni Menara Masjid Al- (perbedaan penyebutan) dan tombak Aqsha Kudus di Desa Kauman, Kecamatan kembar, (b) tradisi buka luwur, yakni Kota dan Langgar Bubrah di Dukuh memperingati wafatnya Sunan Kudus Tepasan, Desa Demangan, Kecamatan setiap bulan Sura/Muharam (Kata Kota. Keduanya berdekatan, tetapi dalam Sunan ada yang menafsirkan berasal kawasan yang terpisah. Yang dikaji dalam 17 PURBAWIDYA Vol. 8, No. 1, Juni 2019 : 15 – 27 riset ini adalah Menara Masjid Al-Aqsha tersebut, hasilnya terpaparkan tentang Kudus, yaitu untuk mengetahui benarkah keberadaan situs dengan pendekatan masjid tersebut mempunyai titik hubung ilmiah, tidak hanya cerita tutur dan dengan Hindu di Kudus pada era Sunan prediksi nonilmiah. Kudus? Penelitian ini bertujuan tidak hanya Dalam mengkaji sejarah di Kudus terpublikasi hasil kajian, tetapi hal ini ditemukan ragam situs, di antaranya situs dapat dijadikan pijakan dan arah dalam di kawasan Kauman Menara Kudus. mewujudkan toleransi lintas umat Keberadaannya ditafsirkan dalam versi beragama. yang beragam, sesuai dengan penafsiran Hasil riset sementara ini menyatakan umat beragama, yakni Hindu