An- Nur: An -JurnalNur: Jurnal Studi Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021) P-ISSN 1829-8753 - E-ISSN 2502-0587 Vol. 13 No. 1 (January – June 2021) Available at: https://jurnalannur.ac.id/index.php/An-Nur

LEGITIMASI KEKERASAN: TITIK TEMU RADIKALISME DAN TERORISME

Syamsul Arif Galib Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar e-mail: [email protected]

Abstrak Tujuan dari tulisan ini adalah untuk menunjukkan di mana letak titik temu antara radikalisme dan terorisme. Tulisan ini tidak bermaksud untuk memberikan justifikasi bahwa setiap yang radikal dan teroris adalah sama, atau yang dalam bahasa John L Esposito yakni mencampur adukkan antara radikalisme, fundamentalisme, dan terorisme. Radikalisme dan terorisme jelas merupakan dua hal yang berbeda. Tidak semua kelompok radikal setuju dengan cara kerja terorisme. Metode yang digunakan dalam tulisan ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Data dalam tulisan ini dikumpulkan melalui observasi dan dokumentasi atas buku bacaan, berita dan hasil penelitian terkait isu radikalisme dan juga terorisme di Indonesia. Hasilnya menunjukkan bahwa baik kelompok teroris dan kelompok radikal sama-sama membolehkan kekerasan terhadap aksi yang mereka lakukan. Ada permisivisme terhadap aksi-aksi “radikal” yang dilakukan baik kelompok terorisme maupun kasus yang melibatkan kelompok radikal. Tidak mengherankan jika kelompok radikal menjadi ‘intaian’ para kelompok teroris sebagai ‘lahan’ perekrutan anggota. Kata Kunci: Radikalisme, Terorisme, Fundamentalisme, Kekerasan

Abstract The goal of this study is to illustrate how extremism and terrorism are linked. This study is not intended to argue that every radical and terrorist is the same, or, in John L Esposito's words, conflating the meanings of radicalism, fundamentalism, and terrorism. Terrorism and radicalism are plainly not the same thing. Not all radical groups are in agreement with how terrorism operates.. This paper's methodology combines a qualitative and descriptive approach. The information in this paper was gathered by observing and documenting of reading literature, news, and research findings on the topic of extremism and terrorism in Indonesia. The findings reveal that both terrorist and radical groups tolerate violence in response to their conduct. There is acceptance for "radical" actions carried out by terrorists groups as well as incidents involving hardliners. It's unsurprising that extreme organisations serve as a 'land' for terrorist groups to recruit a new members. Keywords: Radicalism, Terorism, Fundamentalism, Violance

A. Pendahuluan Maraknya kekerasan yang terjadi beberapa tahun belakangan ini menjadi fenomena yang begitu mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia. Kekerasan demi kekerasan yang terjadi seringkali diakibatkan hanya karena perbedaan pemahaman

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 1 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

akan keyakinan. Padahal jauh-jauh sebelumnya, negeri ini telah memberikan jaminan kepada warganya untuk memeluk dan menjalankan ajaran agama sesuai dengan keyakinan masing-masing seperti yang telah tercantum dalam undang-undang. Kekerasan demi kekerasan yang didasarkan pada dalil keimanan ini dalam beberapa kasus dilakukan oleh kelompok radikal yang dalam berbagai kesempatan menyebut aksi-aksi mereka sebagai upaya mempertahankan ajaran agama ataupun sebagai upaya untuk melakukan purifikasi ajaran agama. Hal ini dapat terlihat dari beberapa kasus-kasus yang terjadi, misalnya kasus penyerangan terhadap pemeluk Syiah di Makassar dan Sampang, ancaman terhadap kelompok Syi’ah di Yogyakarta, penyerangan terhadap kelompok Naqsabandiyah dan Ahmadiyah, dan beberapa kasus lainnya.1 Beberapa kasus terlihat bagaimana kekerasan kemudian menjadi sesuatu hal yang biasa bahkan terkesan ‘dibolehkan’ jika hal itu terkait dengan isu agama. Hal yang menarik untuk diperhatikan adalah adanya ‘standar ganda’ yang dilakukan oleh kelompok radikal terkait soal terorisme dan radikalisme ini. Biasanya kelompok yang memiliki kecenderungan radikal menolak segala bentuk aksi-aksi terorisme yang terjadi, namun di sisi lain justru melakukan teror saat melakukan aksi-aksinya. Radikalisme agama dalam konteks keagamaan merupakan hal yang biasa muncul dalam agama apapun. Hampir bisa dipastikan bahwa setiap agama memiliki kaum radikal di dalam diri mereka masing-masing, bahkan kelompok atheist yang tak bertuhan pun memiliki kelompok radical atheist. Kemudian yang perlu dipahami bahwa radikalisme tidaklah muncul dari ruang hampa, namun justru muncul dikarenakan oleh fakta sosial yang terjadi di sekitarnya. Sebuah buku yang dikeluarkan oleh tim LIPI yang berjudul “Islam dan Radikalisme di Indonesia” menyebutkan bahwa radikalisme sangat erat kaitannya dengan fundamentalisme. Fudamentalisme sendiri diartikan sebagai sebuah ideologi yang menjadikan agama sebagai pegangan hidup oleh masyarakat ataupun individu. Dalam arti lain, fundamentalisme Islam diartikan sebagai gerakan ‘kembali ke Islam’ yang bertujuan menjadikan Islam sebagai pegangan hidup dan nilai yang menjadi rujukan tingkah laku bagi masyarakat.2

1 Lihat https://news.detik.com/berita/d-4787954/imparsial-ada-31-kasus-intoleransi-di-indonesia-mayoritas- pelarangan-ibadah diakses pada 11 Januari 2021. 2 Endang Turmudi dan Reza Sihbudi (eds). Islam dan Radikalisme di Indonesia (: LIPI Press, 2005), 4-5.

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 2 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

Dalam sejarah modern, radikalisme Islam mulai memperlihatkan ‘api’ pengaruhnya di awal abad 20, di mana Hasan al-Banna (sebagai pendiri Ikhwanul Muslimin di Mesir) dan Abul A’la al-Maududi (sebagai pencetus jama’at Islami di Pakistan) mulai memperkenalkan gagasan pemikiran mereka dengan mendefinisikan Islam sebagai sebuah ideologi politik. Dalam hal ini, Islam tidak hanya sekedar agama semata tetapi juga merupakan sebuah ideologi politik di mana dengan ideologi tersebut negara Islam atau setidaknya masyarakat muslim yang taat shari’ah dapat dibangun kesadarannya. Ideologi ini dibangun berdasar pada kefrustasian melihat fakta bahwa dunia Islam secara struktural selalu terdesak jika diperhadapkan dengan imperialisme Barat. Seruan untuk kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta keteladanan generasi awal pun didengungkan. Mereka menuntut pemurnian tauhid serta kontrol kembali atas masyarakat pada basis politik. Ideologi inipun ikut menumbuhkan gagasan akan berdirinya sebuah kekhalifaan Islam, seperti yang pernah berjaya sebelumnya. Sayyid Qutb melanjutkan ideologi ini bahkan dengan lebih keras kembali. Bagi Qutb, mereka yang mengingkari ataupun berkhidmad kepada sistem pemerintahan yang dibuat manusia baik itu sistem monarki, sosialisme serta demokrasi adalah musyrik.3 Masdar Hilmy, misalnya, menuliskan bahwa radikalisme keagamaan (baca: Islam) berpangkal pada doktrin fondasional, yakni keinginan untuk meneguhkan eksistensi hukum Tuhan yang didasarkan pada teks-teks suci (Al-Qur’an dan Hadis). Hal tersebut dipahami sebagai tugas suci yang harus diemban oleh umat muslim. Dalam hal ini, hukum Tuhanlah yang seharusnya digunakan untuk memerintah umat manusia, bukan hukum buatan manusia. Lebih lanjut, dalam bukunya disebutkan bahwa kelompok muslim radikal sangat meyakini bahwa konsep demokrasi yang selama ini banyak digunakan di berbagai negara, termasuk Indonesia, adalah inovasi dan kreasi manusia sehingga dianggap sebagai bagian bid’ah dan tidak boleh ditoleransi. Tidak mengherankan jika salah satu agenda mendasar kaum Islam radikal di Indonesia adalah mengganti Pancasila dengan hukum Islam, yakni dalam konteks ini adalah Shari’ah. Terlepas dari alasan kepentingan politis yang mendasarinya, konsep pemahaman seperti ini dapat dilihat pada gerakan radikalisme Islam yang muncul di

3 Noorhaidi Hasan, “Multikulturalisme dan Tantangan Radikalisme” dalam Elza Peldi Taher (ed), Merayakan Kebebasan Beragama (Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi, 2011).

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 3 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

awal terbentuknya Indonesia, yakni pemberontakan DI/TII oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo atau yang lebih dikenal dengan Kartosuwiryo di Tasikmalaya yang kemudian diikuti oleh Daud Beureu’eh di Aceh serta Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan, di mana mereka menuntut terbentuknya negara teokrasi Indonesia yang berdasarkan pada hukum Islam.4 Faktor politik dan kekecewaan atas penguasa juga berpengaruh dalam membentuk pemahaman radikal yang muncul. Cendikiawan muslim seperti Prof. Dr. dalam tulisannya menyebutkan bahwa sesungguhnya ada banyak kondisi yang dapat menjadi penyebab tumbuhnya radikalisme dan terorisme di kalangan umat beragama manapun. Dalam konteks muslim, salah satu faktor terpentingnya adalah kegagalan banyak negara di dunia Islam dalam membangun politik dan ekonomi yang viabel untuk memperbaiki kesejahteraan warga. Azra menyebutkan bahwa para penguasa di banyak negara muslim gagal memenuhi janji kemajuan politik dan kesejahteraan ekonomi rakyat. Pada gilirannya, kondisi seperti itu mendorong tidak hanya kekecewaan, apatisme dan alineasi, tapi juga perlawanan terhadap rezim penguasa muslim dan sekaligus dunia Barat pendukung mereka.5 Dalam catatan M. Afif Anshori, kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam telah muncul di Indonesia sejak awal kemerdekaan Indonesia. Hal itu ditandai dengan hadirnya gerakan (DI) yang muncul sebagai bentuk kekecewaan atas pemerintah Indonesia terutama terkait dengan bentuk negara. Selanjutnya, gerakan ini kemudian berkembang ditandai dengan munculnya beberapa kelompok yang mengatasnamakan agama seperti Jama’ah Islamiyah (JI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Front Pembela Islam (FPI), dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Meskipun secara ideologi, gerakan ini dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin dan juga Wahabi, namun kemunculan mereka dilandasi oleh ketidakpuasan atas kondisi sosial politik yang mereka anggap jauh dari kesan ideal yang seharusnya.6 Pasca reformasi, gerakan radikalisme agama baru di Indonesia justru banyak muncul, bahkan bisa dikatakan semakin tumbuh subur. Dalam bukunya, “Tantangan

4 Masdar Hilmy, Membaca Agama; Islam Sebagai Realitas Terkonstruksi. (Yogyakarta: Kanisius2009). 5 Azyumardi Azra, "Terorisme, Radikalisme dan Fundamentalisme." dalam SIASAT: Journal of Social, Cultural and Political Studies, Vol. 4. No.1, (2019), 13-17. 6 Ansori, M. Afif. 2019. “The Radical Islamic Movement in Indonesia: Roots and Factors”. KALAM. Vol. 13 No. 2. (2019), 232.

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 4 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

Multikulturalisme Indonesia, dari Radikalisme Menuju Kebangsaan”, Prof. Dr. Nur Syam menuliskan bahwa era reformasi telah menjadi lahan subur bagi gerakan radikalisme Islam. Gerakan radikal ini muncul sebagaimana ‘cendawan di musim hujan’. Apalagi era reformasi yang sangat terbuka dan mengedepankan demokratisasi dan hak asasi manusia memungkinkan kelompok radikal ini berdiri. Setidaknya, menurut Nur Syam, gerakan-gerakan Islam yang kemudian berkonotasi dengan radikal setidaknya terlihat pada kelompok HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), Gerakan Salafi, Laskar Jundullah, Lasykar Jihad, Gerakan Islam Ahlu Sunnah wal Jamaah, dan berbagai gerakan keagamaan bercorak lokal.7 Nur Syam bahkan pun ikut memasukkan PKS (Partai Keadilan Sejahtera) serta FPI (Front Pembela Islam) sebagai gerakan Islam fundamental yang mengusung radikalisasi Islam.8 Meski kelompok radikal ini memiliki banyak macam, namun ternyata tidak memastikan mereka memiliki tujuan yang sama. Ada di antara kelompok radikal yang hanya menuntut implementasi syariat Islam tanpa harus mendirikan negara Islam. Di sisi lain, ada pula kelompok radikal yang memiliki mimpi mendirikan Negara Islam Indonesia atau bahkan kekhalifaan Islam dunia. Pun, pola yang digunakannya sering kali berbeda, yakni ada yang menggunakan pola gerakan moral ideologi (seperti Hizbut Tahrir Indonesia) serta adapula yang menggunakan gaya militer (seperti FPI atau FPIS/Forum Pemuda Islam Surakarta).9 Tidak seperti FPI yang seringkali terlibat dalam konfrontasi frontal yang seringkali berujung pada chaos, HTI melakukan pola gerakan mereka melalui diskusi-diskusi, tulisan-tulisan rutin yang disebarkannya melalui selebaran yang diedarkannya tiap Jum’at ataupun melalui forum-forum intelektual. Jikapun mereka terlibat kepada gerakan aksi, aksi tersebut lebih berujung kepada aksi ‘damai’ secara politis. Penetrasi gerakan radikal tidak hanya terjadi di masyarakat umum saja, namun juga saat ini mulai masuk merambah ke kalangan kaum intelektual di kampus-kampus. Sambutan hangat yang diterima kelompok ini di kalangan mahasiswa mengingatkan pada sambutan hangat terhadap Ikhwanul Muslimin dan juga Jama’at Islami yang juga mendapatkan simpati dari kalangan profesional yang terdidik. John L. Esposito dan

7 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia (Yogyakarta: Kanisius, 2009), 125 8 Nur Syam, Tantangan Multikulturalisme Indonesia …, 123 9 Endang Turmudi dan Reza Sihbudi (eds). Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta: LIPI Press, 2005), 4-5

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 5 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

John O.Voll menyebutkan bahwa baik Ikhwanul Muslimin di Mesir maupun Jama’at Islami di Pakistan, keduanya mampu mengajak banyak organisasi gaya baru untuk bergabung dalam perjuangan mereka. Oganisasi-organisasi ini sangat populer di kalangan mahasiswa serta para profesional muda yang berpendidikan modern di berbagai negara muslim.10 Hasil Penelitian Alvara Research Center dan Yayasan Mata Air di tahun 2017 menyebutkan bahwa kelompok profesional, mahasiswa, dan pelajar sudah terindikasi kuat terpapar ajaran intoleransi dan juga radikalisme. Proses radikalisasi itu masuk melalui kajian-kajian keagamaan yang biasanya dilakukan baik itu di tempat kerja, di lembaga dakwah kampus, maupun di sekolah.11

B. Metode Penelitian Fokus kajian pada tulisan ini berfokus pada upaya untuk menjawab pertanyaan terkait di mana letak titik temu antara radikalisme dan terorisme dan apa yang menjadi kekhawatiran sehingga radikalisme dianggap akan memicu munculnya bibit terorisme. Pendekatan yang digunakan dalam tulisan ini adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif.12 Data dalam tulisan ini dikumpulkan melalui observasi dan dokumentasi atas buku bacaan, berita, jurnal ilmiah, dan hasil penelitian terkait isu radikalisme dan juga terorisme di Indonesia.

C. Hasil dan Pembahasan 1. Di Bawah Bayang Bayang Terorisme Pasca serangan mematikan terhadap salah satu gedung kebanggaan Amerika, WTC (World Trade Center) oleh kelompok jaringan al-Qaeda yang merenggut ribuan nyawa, Islam menjadi tertuduh dalam isu terorisme global ini. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa para pelaku dalam kasus WTC tersebut adalah muslim dan menggunakan alasan ideologis agama sebagai latar belakang penyerangan mereka. Celakanya, kasus demi kasus yang belakangan kembali terjadi pun menempatkan umat

10 John. L Esposito dan John O. Voll, Demokrasi di Negara-Negara Muslim: Problem dan Prospek (Bandung: Mizan, 1999). 11 Hasanuddin Ali dan Lilik Purwandi. Radicalism Rising Among Educated People (Jakarta: Alvara Research Centre, 2018), 53 12 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013), 159

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 6 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

Islam sebagai pelaku. Di tahun 2015, di Amerika kasus Bom Boston dilakukan oleh dua orang anak muda Muslim yang bersaudara.13 Di Indonesia sendiri, masyarakat seakan tersadar bahwa negeri ini tidak aman dari serangan teroris, meskipun didominasi oleh masyarakat yang beragama Islam. Kasus Bom Bali I yang merenggut nyawa hingga 200-an orang dan melukai banyak lainnya adalah bukti bagaimana kejamnya kasus teror yang menggunakan ledakan bom. Korban Bom Bali I tidak hanya kaum expatriat yang sedang melakukan kunjungan ke Bali, namun juga ada banyak masyarakat Indonesia termasuk mereka yang beragama Islam. Tidak mengherankan jika luka dan duka Bali juga merupakan duka umat Islam Indonesia pada umumnya. Kasus bom Bali justru menjadi awal rentetan kasus serupa setelahnya. Dhyah Madya Ruth menyebutkan bahwa sebelum di tahun 2000, teror bom dialamatkan kepada gereja-gereja di malam Natal, aksi-aksi bom kemudian meluas kepada pusat perbelanjaan yang diidentifikasi sebagai wujud hedonisme serta simbol kapitalisme Barat, termasuk mentargetkan warga negara asing di dalamnya. Hal ini terlihat seperti Bom McDonald di Makassar (2002), Kafe Sampodo Indah Palopo (2002), Kedubes Pilipina (2002), Hotel J.W. Marriott (2003), Bom Kuningan di depan Kedubes Australia (2004), Pasar Maesa Palu (2005)Bom Bali II (2005), Hotel Ritz Carlton (2009), Hotel J.W. Marriott (2009).14 Terakhir di tahun 2021 ini, kasus bom bunuh diri di depan Gereja Katedral di Makassar.15 Belakangan, teror bom kemudian tidak lagi hanya ditujukan kepada rumah ibadah serta simbol-simbol kapitalis dan dan dunia hedonis namun juga kepada pihak individu. Pada bulan Maret 2011, teror bom buku kembali menggegerkan Indonesia. Sasaran yang ditujukan adalah sejumlah tokoh dari beragam latar belakang. Di antaranya kepada Ulil Abshar Abdalla, penggagas . Yapto, tokoh Pemuda Pancasila. Goris Mere, pimpinanan Badan anti Narkoba Indonesia yang juga mantan anggota densus 88 serta musisi kenamaan Indonesia, Ahmad Dhani.

13 Lihat https://www.liputan6.com/global/read/2209146/terungkap-motif-pelaku-bom-boston-yang-guncang- amerika diakses pada 14 Februari 2021. 14 Dhyah Madya Ruth, ”Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” dalam Dhyah Madya Ruth (ed), Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme. (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010). 15 Lihat https://nasional.kompas.com/read/2021/03/28/10385551/ledakan-di-depan-gereja- katedral-makassar-polisi-sebut-bom-bunuh-diri diakses pada 23 April 2021.

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 7 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

Kepolisisn berhasil menahan 17 tersangka sekaligus menemukan jawaban kenapa bom buku tersebut dikirimkan kepada tokoh di atas. Dalam pandangan para pelaku teror, orang-orang di atas adalah sejumlah tokoh yang dianggap sebagai musuh Islam.16 Melihat maraknya kasus terorisme di Indonesia, ketua Moderate Muslim Society, Zuhairi Misrawi pernah mengatakan bahwa jika terorisme diibaratkan sebagai tanaman, maka tanaman itu telah menjelma menjadi tanaman yang tumbuh subur di Indonesia, sebagaimana patah tumbuh, hilang berganti. Artinya, walaupun Dr. Azhari dan juga Noordin M. Top yang dinggap sebagai ‘otak’ di balik kasus terorisme di Indonesia telah meninggal, tidak akan ada jaminan langkah teroris akan berhenti, apalagi jika melihat kasus terorisme yang terkait dengan alasan ideologis. Para pelaku bisa saja tertangkap, bahkan terbunuh, namun ideologi yang dianutnya tidak mudah untuk ditaklukkan. Dalam konteks ajaran Islam, ‘usia keyakinan’ semacam itu seumur dengan usia agama itu sendiri. Hal ini juga pernah terjadi di era Nabi Muhammad Saw. bagaimana kelompok yang taat beribadah namun gemar melaksanakan kekerasan, seperti yang dilakukan oleh kalangan kaum Khawarij. Hal yang sama dapat disaksikan bersama di zaman modern di mana muncul kelompok beragama yang di satu sisi menawarkan ketaatan agama, namun juga menawarkan kekerasan di sisi yang lainnya.17 Terorisme seringkali diidentikkan dengan pengeboman, padahal penggunaan bom hanyalah salah bentuk cara yang dilakukan para teroris dalam menyebar teror. Tentunya ada banyak cara lain yang dapat digunakan baik itu melalui cara soft action ataupun yang membolehkan kekerasan dalam aksinya (hard action). Belakangan ini kita menyaksikan perubahan bentuk teror yang dulunya melakukan bom di beberapa tempat saat ini justru terlihat dari penyerangan agen-agen pemerintahan (dalam hal ini pihak keamanan yang menyebarkan ketakutan di media sosial). Endy Saputro mengemukakan bahwa untuk mendefenisikan apa itu terorisme secara tepat tentulah bukan perkara yang mudah. Di satu sisi dapat dimaknai bahwa terorisme adalah sebuah realitas yang berkaitan dengan teror baik itu mengakibatkan korban ataupun tidak. Aksi-aksi bom yang terjadi di atas hanyalah salah satu contoh dari sekian banyak kerusakan dari aksi-aksi terorisme. Di sisi lain, terorisme seringkali dianggap sebagai

16 Zainal Abidin Bagir, et al, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2011. (Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, CRCS-UGM, 2012), 53.

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 8 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

sebuah konstruksi. Teroris adalah sebuah klaim, tergantung kemudian siapa yang memaknainya.18 Salah satu pelaku teror bom Bali, Imam Samudera, seringkali mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan sesungguhnya adalah aksi balasan terhadap aksi teror yang dilakukan oleh Amerika di negeri muslim. Namun pada kenyataannya, korban bom Bali justru bukanlah orang-orang Amerika. Tercatat sebanyak 53 orang korban yang meninggal adalah orang Indonesia yang notabene adalah saudara sebangsanya. Bahkan ada pula korban dari kalangan muslim yang dalam pandangan agama sesungguhnya adalah ‘saudara’ mereka sendiri. Disebutkan pula bahwa Imam Samudera berpendapat bahwa saat ini sudah tidak lagi bagi umat Islam untuk bersikap bertahan (defense), tahapan yang seharusnya dilakukan umat Islam sekarang adalah tahapan menyerang (offensive). Para pelaku teror menggunakan legitimasi ayat secara sepotong-potong, sehingga membiaskan makna sebenarnya yang demikian sempurna di dalam kitab suci (Al-Qur’an).19 Di sini dapat dipahami bahwa mereka yang kemudian terlibat dalam kasus-kasus pengeboman adalah sekelompok orang yang kemudian menjadikan kekerasan sebagai sebuah jalan dalam menyampaikan pesan-pesan mereka. Dengan kata lain, kekerasan dilegitimasi bahkan dianjurkan dalam mencapai apa yang dicita-citakan. Padahal terlepas dari apapun alasannya, bentuk teror ataupun bom yang menciderai bahkan mencabut banyak nyawa ‘yang tidak berdosa’ tidaklah dibenarkan oleh siapapun, baik itu negara ataupun agama, termasuk dalam hal ini Islam.

2. Radikalisme, Terorisme, dan Legitimasi Kekerasan Mantan ketua BIN (Badan Intelijen Nasional), A.M. Hendropriyono, menyebutkan bahwa para pelaku terorisme yang menyerang orang-orang sipil yang tidak bersalah adalah orang-orang yang tidak peduli terhadap korban, penderitaan orang lain, dan justru menjadi sumber kehancuran. Hati mereka telah gelap karena

17 Zuhairi Misrawi, “Wahabisme, Terorisme, dan Al-Qaeda” dalam A.M. Hendropriyono. Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009). 18 Muhammad Endy Saputro, “Deproduksi Terorisme di Indonesia” dalam Dhyah Madya Ruth (ed), Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme (Jakarta: Lazuardi Birru, 2010), 132. 19 Nasir Abas, Membongkar : Pengakuan Mantan Anggota JI (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005).

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 9 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

diliputi oleh nafsu perang, amarah, benci, dan dendam. Rasa kemanusiaan yang secara alami seharusnya ada di dalam hati manusia (tidak peduli apapun bangsa, agama hingga mereka yang tidak beragama sekalipun) justru tidak ada bahkan telah mati di hati para pelaku terorisme. Kekerasan dan hilangnya rasa kemanusiaan menjadikan para teroris menjadi angkuh, sehingga mengangkat diri mereka sebagai ‘algojo’ Tuhan. Padahal Tuhan dalam agama apapun tak pernah mengemukakan bahwa diri-Nya memerlukan manusia untuk menjadi ‘algojo’-Nya.20 Sekaitan dengan maraknya kemunculan ‘algojo-algojo Tuhan’ tersebut, tentu semua masih teringat dengan sebuah istilah “Tuhan tidak perlu dibela” yang pernah dilontarkan oleh salah satu bapak bangsa, K.H. (Gus Dur). Gus Dur berucap bahwa Islam perlu dikembangkan namun tidak untuk diperhadapkan pada serangan orang. Kebenaran Allah tidak akan berkurang sedikitpun hanya karena ada orang yang meragukann-Nya. Tuhan tidak perlu dibela, walaupun tidak juga menolak dibela.21 Pembelaan Tuhan dengan menggunakan jalan kekerasan tentulah tidak dibenarkan karena Islam sendiri pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Selain itu, dalam pandangan pemeluknya, Islam dianggap sebagai Rahamatan lil Alamin, yakni pembawa kedamaian-kenyamanan bagi semesta. Islam sendiri adalah sebuah ajaran yang dinamis dan sangat manusiawi.22 Dengan itu, kehadiran Islam diharapkan mampu menghadirkan kedamaian dan rasa nyaman, bukan menghadirkan teror yang menjadikan masyarakat justru merasa takut dan tidak tenang dalam menjalani hidupnya karena diliputi oleh perasaan “was-was”. Mereka yang menyebarkan teror dengan landasan ideologis agama (baca: Islam) justru terlibat secara langsung menunjukkan wajah Islam yang marah, bukan wajah Islam yang ramah. Dari titik ini, sekiranya terlihat semakin jelas adanya titik temu antara terorisme dan radikalisme. Artinya, baik kelompok teroris dan beberapa kelompok radikalis sama-sama memberikan legitimasi kekerasan terhadap aksi yang mereka lakukan. Terlihat ada permisivisme terhadap aksi-aksi radikal yang dilakukan, baik kelompok

20 A.M. Hendropriyono, Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2009), 317-318. 21 Abdurrahman Wahid, Tuhan Tidak Perlu Dibela (Yogyakarta: LKiS, 1999), 68. 22 Arif Al Wasim, Titik Temu Berkemajuan dalam Perspektif Fenomenologi Edmund Husserl (1859 – 1938), An Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 12 No.1 (2020), 65

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 10 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

yang telibat dalam kasus-kasus teroris maupun kasus yang melibatkan kelompok fundamentalis. Kekerasan seakan menjadi sesuatu yang suci karena dilakukan untuk hal yang mereka anggap suci pula. Dilihat dari kasus demi kasus yang dilakukan oleh kelompok yang ditenggarai menganut paham radikalisme tersebut, yang dalam hal ini FPI misalnya, laporan tahunan kehidupan beragama yang dikeluarkan CRCS UGM Yogyakarta tahun 2010 disebutkan bahwa kelompok FPI ini mendapat pemberitaan cukup besar di tahun tersebut. FPI yang selama ini mengagungkan amar ma’ruf nahi munkar terlibat dalam kegiatan positif, seperti memberikan bantuan terhadap kelompok miskin melalui program pendidikan dan kesehatan. Mereka pun terlibat cukup aktif dalam memberikan bantuan terhadap korban bencana di Mentawai dan Merapi tahun 2010. Namun di sisi lain, mereka pun juga turut andil dalam beberapa kasus yang berakhir dengan kekerasan ataupun pengerusakan, baik itu serangan terhadap gereja, kelompok yang dianggap sesat, dan beberapa penyerangan terhadap lokasi yang dianggap sebagai tempat maksiat, perjudian, serta prostitusi.23 Tidak jarang aksi yang dilakukan FPI berujung pada pembakaran, pengerusakan sampai pada aksi bentrokan dengan warga atau kelompok tertentu yang berseberangan dengan mereka. Contoh lain terjadi di kota Yogyakarta tahun 2012, di saat ratusan massa Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) terlibat dalam pengerusakan kantor yayasan LKiS, seperti kaca kantor dipecahkan dan beberapa peserta diskusi dianiaya, termasuk wanita. Kejadian pengrusakan itu bermula adanya diskusi buku “Allah, Liberty and Love” oleh Irshad Manji, seorang feminis muslim asal Kanada.24 Kasus di atas merupakan sebagian kecil dari kasus-kasus lainnya yang melibatkan kelompok radikal. Di sini terlihat bagaimana penggunaan kekerasan menjadi hal yang ‘lumrah’ dan biasa, bahkan kekerasan terkesan menjadi suci karena dilaksanakan dalam upaya menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Tak ada lagi upaya diskusi atau upaya membangun dialog dalam menyelesaikan sebuah permasalahan. Meskipun apa yang dilakukan belum dapat digolongkan sebagai aksi terorisme, namun jika kemudian mengacu pada pemahaman arti kata teror, maka apa yang telah dilakukan oleh

23 Zainal Abidin Bagir, et al, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010. (Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, CRCS-UGM, 2011), 29-30.

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 11 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

kelompok radikal sesungguhnya telah dapat digolongkan sebagai sebuah aksi teror, karena dalam aksinya mereka mereproduksi kekerasan dan menciptakan ketakutan di masyarakat, dalam beberapa kasus, bahkan terdapat korban yang berjatuhan. Radikalisme dan terorisme merupakan dua hal yang berbeda. Namun dilihat dari kasus di atas, baik kasus yang dilakukan oleh kelompok teroris maupun kasus yang dilakukan oleh kelompok gerakan radikalis, dapat ditarik benang merah kesimpulan bahwa meski keduanya berbeda, namun keduanya terlihat adanya sikap permisif (baca: pembiaran) terhadap penggunaan kekerasan dalam menjalankan keyakinan mereka. Jika para teroris menggunakan legitimasi kekerasan dalam menjalankan aksi bom yang mereka lakukan, para kelompok radikal menggunakan legitimasi kekerasan dalam menjalankan aksi-aksi mereka pula, baik dalam upayanya menutup tempat-tempat yang mereka golongkan maksiat ataupun pada kelompok yang mereka anggap sesat. Padahal apapun alasannya, kekerasan tidaklah dibenarkan apalagi hidup di negara hukum, seperti di Indonesia.

3. Radikalisme dan Ruang Terbuka Terorisme Tentu akan banyak yang menyangkal dan menolak jika radikalisme dikaitkan dengan terorisme, apalagi tidak semua kelompok radikalis setuju dengan aksi teroris yang sampai menggunakan bom dalam melaksanakan aksinya. Namun menarik untuk disadari apa yang disampaikan oleh Prof. Ahmad Syafii Maarif saat memberikan pengantar pada buku “Teroris Membajak Islam”. Di sana beliau menyebutkan bahwa radikalisme dalam jangka panjang akan menjadi iklan yang buruk bagi agama yang dinilai suci oleh para pengikutnya. Maarif juga menambahkan bahwa radikalisme agama dalam tingkatan yang sangat akut dapat menyebabkan seseorang nekat untuk melakukan aksi bom bunuh diri dengan menggunakan dalih jihad sebagai pembelaan terhadap Islam dan umatnya.25 Kekhawatiran Prof. Ahmad Syafii Maarif di atas tentu beralasan. Radikalisme akut akan sangat menakutkan, sebagaimana TEMPO per tanggal 12 Agustus 2013

24 Lihat https://news.okezone.com/read/2012/05/10/447/627049/irshad-manji-ditolak-ugm-di-lkis- dibubarkan-paksa diakses pada 13 Januari 2021. 25 Ahmad Syafii Maarif, “Islam dan Bahaya Radikalisme Beragama” dalam Muhammad Haniff Hassan,Teroris Membajak Islam. Grafindo Khazanah Ilmu, Jakarta Selatan, 2007.

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 12 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

memberitakan dengan judul “FPI Lamongan Pernah Minta Diajari Merakit Bom.” Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran akan arah baru radikalisme di Indonesia. Di sana disebutkan bahwa Ali Fauzi yang juga merupakan adik dari terpidana Bom Bali I Amrozi dan Ali Ghufron pernah dimintai untuk mengajari cara merakit bom ketika dirinya masih menjadi pembina anggot FPI di Lamongan Jawa Timur. Saat itu Ali Fauzi menolak permintaan tersebut karena menganggap bahwa kondisi umat Islam di Lamongan dan sekitarnya kondusif dan tidak memerlukan perjuangan dengan peledakan bom. Dari titik ini menjadi sebuah pertanyaan besar apa sebenarnya tujuan pengajaran bom itu sendiri. Jika kelompok radikal mulai menggunakan bom dalam melaksanakan aksinya, lantas apa bedanya dengan para teroris yang juga menggunakan bom. Gencarnya gerakan radikalisasi hingga di tingkat sekolah pun sangat menghawatirkan, bukannya membangun jiwa muda yang menghargai perbedaan dan menyadari pentingnya menghargai pluralitas kebangsaan bangsa. Kehadiran kelompok radikal di sekolah justru akan membentuk sekat-sekat di kalangan siswa itu sendiri, apalagi jika yang ditekankan adalah doktrin akan kebenaran sejati serta upaya mengidentifikasi siapa yang benar dan salah dalam kehidupan beragama. Apa yang terjadi di Klaten Jawa Tengah di awal tahun 2011 tentu sangat mengejutkan. Pada 25 Januari 2011, Densus 88 menangkap 2 orang siswa SMKN 2 Klaten serta 6 orang alumninya. Kedelapan orang yang usianya masih berkisar antara 17 hingga 19 tahun ini ditangkap karena terlibat dalam jaringan terorisme. Mereka yang direkrut disinyalir kuat pernah aktif di Corps Dakwah Sekolah (CDS) di sekolah mereka.26 Kecenderungan perekrutan remaja oleh jaringan teroris membuka mata semua, khususnya bagi dunia pendidikan, bahwa saat ini usia remaja sekolah sudah menjadi target radikalisasi ‘akut’ yang berujung pada terorisme. Dengan itu, akan sangat mudah memperkenalkan doktrin syahid kepada mereka yang telah teradikalisasi oleh organisasi yang diikutinya. Di sini terlihat bagaimana kehadiran kelompok radikal yang memungkinkan memobilisasi jaringan teror dengan jalan menurunkan anggota- anggotanya dalam sebuah kegiatan, saat ini mereka juga menjadi mengintai kelompok remaja di instansi pendidikan sebagai sebagai ‘lahan’ perekrutan anggotanya.

26 Zainal Abidin Bagir, et al, Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010 (Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, CRCS-UGM, 2011), 55

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 13 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

D. Kesimpulan Melihat paparan di atas, setidaknya ada dua hal penting yang penulis anggap perlu dilakukan saat ini. Pertama, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas. Dalam artian, jika para teroris diburu oleh tim Densus 88 di manapun berada, mestinya hal yang sama (mungkin) juga dilakukan kepada para pelaku kekerasan yang dilakukan oleh kelompok radikal. Dalam beberapa kasus di mana kelompok minoritas yang berhadapan dengan ormas-ormas (organisasi masyarakat) yang radikal, pihak keamanan (baca: Negara) terlihat tidak mampu menjadi penegak yang ‘baik’. Bukannya melindungi kelompok minoritas dalam menjalankan keyakinannya, pihak keamanan justru meminta pihak minoritas untuk ‘mengalah’ untuk mengikuti keinginan kelompok radikal. Adapun ide ‘pemberedelan’ ormas-ormas tertentu bukanlah sebuah langkah yang bijak dan bahkan cenderung akan membawa kembali kepada situasi orde baru. Artinya, tidak ada masalah bagi kelompok yang akan mencoba melakukan purifikasi keagamaan selama tidak dilakukan dengan kekerasan dan penyerangan terhadap kelompok lain. Kedua, melalui penyadaran ideologi. Bagaimanapun melawan radikalisme adalah melawan ideologi, maka untuk membendungnyapun harus melalui ideologi. Solusi yang tepat adalah menghadapi ideologi kekerasan dengan ideologi perdamaian, saling ‘melempar’ wacana Islam radikal dengan Islam moderat. Hal itu tentu dalam koridor yang Islami tanpa kebencian dan kekerasan. Dalam proses ini, kelompok Islam moderat yang diharapkan lebih banyak bergerak secara aktif dalam mengkampanyekan moderasi beragama yang damai dan menyejukkan. Dengan harapan, ke depan tentu semua elemen masyakarat tidak menginginkan negeri Indonesia ini memiliki nasib yang sama dengan negara-negara Timur Tengah yang telah porak-poranda, seperti Afghanistan dan Pakistan, di mana kekerasan seakan menjadi hal yang biasa terjadi. Setiap penduduk memiliki hak untuk menjalankan keyakinan beragamanya selama hal itu tidak mencederai nilai-nilai kemanusiaan dan tidak menggunakan kekerasan dalam menjalankan apa yang diyakininya. Setiap agama pasti memiliki pandangan yang selaras dengan nilai-nilai kemanusian dan menolak segala bentuk kekerasan.

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 14 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

Daftar Pustaka Abas, Nasir. (2005). Membongkar Jemaah Islamiyah: Pengakuan Mantan Anggota JI. Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu.

Ali, Hasanuddin., dan Lilik Purwandi. (2018). Radicalism Rising Among Educated People. Jakarta: Alvara Research Centre.

Anshori, M. Afif. (2019). The Radical Islamic Movement in Indonesia: Roots and Factors. KALAM. Vol. 13 No. 2.

Azra, Azyumardi. (2019). "Terorisme, Radikalisme dan Fundamentalisme." dalam SIASAT Journal of Social, Cultural and Political Studies, Vol. 4 No. 1.

Bagir, Zainal Abidin, dkk. (2011). Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia 2010. Yogyakarta: Program Studi Agama dan Lintas Budaya, CRCS-UGM.

Esposito, John.L. (1994). Ancaman Islam: Mitos atau Realitas. Bandung: Mizan.

Esposito, John. L dan John O. Voll. (1999). Demokrasi di Negara-Negara Muslim:Problem dan Prospek. Terj. Rahman Astuti. Bandung: Mizan.

Hasan, Noorhaidi. (2011). “Multikulturalisme dan Tantangan Radikalisme” dalam Elza Peldi Taher (ed). Merayakan Kebebasan Beragama. Jakarta: Yayasan Abad Demokrasi.

Hendropriyono, A, Mahmud. (2009). Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Hilmy, Masdar. (2009). Membaca Agama; Islam Sebagai Realitas Terkonstruksi. Yogyakarta: Kanisius.

Maarif, Ahmad Syafii. (2007). “Islam dan Bahaya Radikalisme Beragama” dalam Muhammad Hanif Hassan,Teroris Membajak Islam. Jakarta Selatan: Grafindo Khazanah Ilmu.

Misrawi, Zuhairi. (2009). “Wahabisme, Terorisme, dan Al-Qaeda” dalam A.M. Hendropriyono. Terorisme, Fundamentalis Kristen, Yahudi, Islam. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Moleong, Lexy J. (2013). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Ruth, Dhyah Madya. (2010). “Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme” dalam Dhyah Madya Ruth (ed), Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme. Jakarta: Lazuardi Birru.

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 15 )

An-Nur: Jurnal Studi Islam, Vol. 13 No. 1 (2021)

Saputro, Muhammad Endy. (2010). “Deproduksi Terorisme di Indonesia” dalam Dhyah Madya Ruth (ed), Memutus Mata Rantai Radikalisme dan Terorisme. Jakarta: Lazuardi Birru.

Syam, Nur. (2009). Tantangan Multikulturalisme Indonesia. Yogyakarta: Kanisius.

Turmudi, Endang dan Reza Sihbudi (ed). (2005). Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta: LIPI Press

Wahid, Abdurrahman. (1999). Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LkiS.

Wasim, Arif Al Wasim. (2020). Titik Temu Islam Nusantara Berkemajuan dalam Perspektif Fenomenologi Edmund Husserl (1859 – 1938). An Nur: Jurnal Studi Islam. Vol. 12 No.1.

Zada, Khamami. (2002). Islam Radikal: PergulatanOrmas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta Selatan: Teraju.

Sumber Lainnya

Alfons, Matius. (November 2019). Imparsial ada 31 Kasus Intoleransi di Indonesia Mayoritas Pelarangan Ibadah. www.news.detik.com Alpito, A Shindu, (November 2013), Tingkat Intoleran Agama di Indonesia Masih Rendah. Metrotvnews.com

Gunawan Rizki. (April 2015). Terungkap Pelaku Bom Boston yang Guncang Amerika. www.liputan6.com Kamil, Irfan. (Maret 2021). Ledakan di Depan Gereja Katedral Makassar, Polisi Sebut Bom Bunuh Diri. www.kompas.com Koran Sindo. (Mei 2012). Irshad Manji Ditolak UGM, di LKiS Dibubarkan Paksa. www.newsokezone.com Sujatmiko. (Agustus 2013). FPI Lamongan Pernah Minta Diajari Merakit Bom. www.tempo.com

Legitimasi Kekerasan: Titik Temu Radikalisme dan Terorisme ( 16 )