INTERPRETASI KRITIK SOSIAL DALAM PEMENTASAN MONOLOG GOLF UNTUK RAKYAT OLEH BUTET KERTAREDJASA DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PEMBELAJARAN BAHASA DI SMA

SKRIPSI Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh

Amalia Utammi Syahadah 1110013000037

JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2017

ABSTRAK

Amalia Utammi Syahadah (NIM: 1110013000037). Interpretasi Kritik Sosial dalam Pementasan Monolog Golf untuk Rakyat oleh Butet Kertaredjasa dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Penelitian ini bertujuan untuk melihat perubahan bentuk puisi Golf untuk Rakyat Darmanto Jatman ke dalam pementasan monolog Golf untuk Rakyat oleh Butet Kertaredjasa, dan mengetahui interpretasi kritik sosial oleh Butet Kertaredjasa terhadap puisi “Golf untuk Rakyat” melalui pementasan monolognya. Metode penelitian ini ialah kualitatif deskriptif dengan pendekatan analisis isi. Analisis data dilakukan dengan mendeskripsikan interpretasi kritik sosial yang dimunculkan Butet dalam pementasan monolog melalui bentuk komunikasi nonverbal. Objek dalam penelitian ini yakni interpretasi kritik sosial dalam pementasan monolog oleh Butet Kertaredjasa dan implikasinya terhadap pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA. Sumber data yang diperoleh ialah dari naskah asli puisi Golf untuk Rakyat karya Darmanto Jatman dalam buku kumpulan puisi dengan judul Golf untuk Rakyat terbitan April 1994 oleh Bentang Intervisi Utama, pt., , video monolog Golf untuk Rakyat oleh Butet Kertaredjasa dan hasil transkrip monolog, serta potongan gambar (capture) dari video monolog Butet Kertaredjasa. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa adanya perbedaan dan perubahan bentuk dari puisi Golf untuk Rakyat menjadi monolog Golf untuk Rakyat karena mengalami alih wahana, dan cara interpretasi Butet Kertaredjasa dalam monolog Golf untuk Rakyat dengan memunculkan bentuk komunikasi nonverbal melalui ekspresi (mimik), gestur (bahasa tubuh), dan intonasi (lagu kalimat). Implikasi penelitian ini digunakan dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA sebagai pendidikan karakter untuk siswa berani berbicara dan mampu bersikap kritis.

Kata kunci: Kritik sosial, Puisi Darmanto Jatman, Monolog Butet Kertaredjasa, Golf untuk Rakyat, Komunikasi Nonverbal

i

ABSTRACT

Amalia Utammi Syahadah (NIM: 1110013000037). The Interpretation of Social Criticsm in Monologue Performance Golf untuk Rakyat by Butet Kertaredjasa and The Implication to Indonesian Learning in High School.

This research aims to analyse the changes in the form of poetry from Golf untuk Rakyat Darmanto Jatman into monologue performance Golf untuk Rakyat by Butet Kertaredjasa, and find out the interpretation of social criticsm by Butet Kertaredjasa "Golf untuk Rakyat" by way of reticing his monologue. The research method is descriptive qualitative by using to approaching content analysis. Data analysis is carried out by describing the interpretation of social criticism which is raised by Butet in monologue performance through a form of nonverbal communication. Objects in this research is the interpretation of social criticism in monologue performance by Butet Kertaredjasa and its implication for learning Indonesian in High School. Source of the data obtained is of the original manuscript poems Golf untuk Rakyat by Darmanto Jatman on book of the poetry collection with the titled Golf untuk Rakyat published April 1994 by Bentang Intervisi Utama, pt., Yogyakarta, video monologue Golf untuk Rakyat by Butet Kertaredjasa and transcript monologue, as well as pieces of the picture (capture) from video monologue Butet Kertaredjasa. The results of this research indicate that there are differences and changes in the form of poetry from Golf untuk Rakyat into the monologue Golf untuk Rakyat because have to be through the transfer subordinate and how the Butet Kertaredjasa’s interpretation in monologue Golf untuk Rakyat with inventing form of nonverbal communication through expression (expression), gestures (body language), and intonation (intonation). The implications of this research are used in learning Indonesian Language in High School as character education for students to increasing to speak ability and to be critical.

Keywords: Social Criticism, Darmanto Jatman's Poetry, Monologue Butet Kertaredjasa, Golf untuk Rakyat, Nonverbal Communication

ii

KATA PENGANTAR

Puji berhias syukur, peneliti menghaturkan segenap takzim atas khatamnya tugas akhir perkuliahan selama hampir tujuh tahun ini. Banyak aral dan rintang yang menemani perjuangan. Karenanya, peneliti merasa perlu mengucapkan terima kasih yang begitu besar kepada pihak yang mendukung, mereka adalah:

1. Ayah dan Ibu, sebagai alasan saya ada dan mampu menyelesaikan ini. Maaf untuk keterlambatan jemput toga dan sarjana, Ayah. Terima kasih untuk mau bersabar dengan mendoa yang tidak pernah habis. Ija, Salman, Syifa, dan Karimah, sebagai saudara sedarah, untuk sayang dan hormat kalian yang menyatu bersama doa. 2. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, MA., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, atas segala dukungan, naungan, dan doa. 3. Dr. Makyun Subuki, M. Hum., sebagai Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, atas bimbingan dan doa. 4. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih untuk arahan, bimbingan, dan semua ilmunya. Saya yang mengagumi Ibu sejak semester satu di kelas Teori Sastra dulu. 5. Mas Butet Kertaredjasa atas kesediannya berbagi ilmu bermonolog dan Mas Agus Noor atas kesediaannya berbagi ilmu monolog “Tangis”. 6. Pondok Pesantren Baiturrahman beserta guru dan siswanya, atas cucuran ilmu, izin penelitian, dan aliran doa setiap saat. 7. Bapak Nurachman, S. Ag, S. Pd., atas inspirasi mahalnya; Judul skripsi, serta kesediaan berguru dan berilmu. Kepada Umi Imas Maryati atas segala dukungan dalam perjuangan sejauh ini dan menjamin hidup selama dua bulan masa susun skripsi di Bandung. 8. Rekan organisasi; IRSYA, RISBU, FLP Ciputat (2014-2015), HMI Komisariat Tarbiyah (2013-2014), dan Rekan kerja Homeschooling Kak Seto Pusat, atas dukungan, kebersamaan, kesetiaan, dan doa.

iii

9. Rekan sahabat; KHAULA (Icha, Syafira, Fikrah, dan Nesya) atas kekuatan berteman dalam aqidah; Angkatan Fantastic04; DDD (Sri, Aas, Liza, Fiqa, Dessy, Ratna, Ayu, dan Lina) untuk pertemanan selama kuliah; Rekan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2010, untuk sama-sama berjuang; Kelompok ASEM (A Sembilan), Bandung., atas dukungan moral selama di Bandung. 10. Bapak Indra Syamsi, atas kepedulian yang hakiki terhadap mukmin dan putri sahabat. Terima kasih sudah menyelamatkan dari putus asa. 11. Ibu Zonaina Yuhaditsi sekeluarga, atas kebahagiaan berbagi dan ketulusan besar dalam perjuangan di Bandung. Allah sebagai balasan yang paling indah untuk Ibu. Jazakillah. 12. Pak Tate Jamaludin, atas pertemuan, pujian, kebanggan, cerita, air mata haru tentang rindu saat pamit dari Bandung. Kepada Akang Heri dan Teteh Rina atas kebaikan berbagi di Bandung. 13. Fathan dan Faris, atas dukungan besar berupa kebutuhan hidup dan berteman selama susun skripsi dan bertetangga di GBA Barat, Bandung. Kepada Ms. Dyah Citra Wardani, atas translete abstrak dalam waktu singkat. You are the best tutor and an apple in my eyes. Untuk Nana, atas ribuan cerita yang diputar sampai malam di sela bosan di depan layar dan segala bentuk dukungan menuju acc draft. 14. Bangunan Rumah Dakwah, atas dan kenyamanan bersandar dan berlindung jelang masa persidangan strata satu (S1). 15. Kekasih yang menunggu, datanglah saat ombak bergemuruh di hati, pada janji Tuhan di sela bersuci, nanti.

Wassalamu’alaikum. Wr. Wb. Tangerang, ... Januari 2017

Amalia Utammi Syahadah 1110013000037

iv

DAFTAR ISI

ABSTRAK ...... i ABSTRACT ...... ii KATA PENGANTAR ...... iii SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH ...... v DAFTAR ISI ...... vi DAFTAR TABEL ...... viii BAB I PENDAHULUAN ...... 1 A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi Masalah ...... 5 C. Pembatasan Masalah ...... 6 D. Perumusan Masalah ...... 6 E. Tujuan Penelitian ...... 6 F. Manfaat Penelitian ...... 6 1. Manfaat Teoretis ...... 6 2. Manfaat Praktis ...... 7 G. Metodologi Penelitian ...... 8 1. Metode penelitian ...... 8 2. Analisis data ...... 10 3. Instrumen penelitian ...... 11 BAB II LANDASAN TEORETIS ...... 12 A. Kajian Teori ...... 12 1. Sastra ...... 12 2. Drama ...... 17 3. Kritik Sosial ...... 23 4. Komunikasi Nonverbal ...... 23 5. Interpretasi...... 36

B. Penelitian yang Relevan ...... 29

vi

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SASTRAWAN ...... 32 A. Biografi dan Pemikiran Sastrawan Pengarang “Golf untuk Rakyat”; Darmanto Jatman ...... 32 1. Biografi Darmanto Jatman ...... 32 2. Pemikiran Darmanto Jatman terhadap Karya Puisinya, “Golf untuk Rakyat” ...... 35 B. Biografi dan Pemikiran Seniman Pelakon Monolog “Golf untuk Rakyat”; Butet Kertaredjasa ...... 36 1. Biografi Butet Kertaredjasa ...... 36 2. Pemikiran Butet Kertaredjasa terhadap Puisi, “Golf untuk Rakyat” dalam lakon Monolog yang Dipentaskannya ...... 41 BAB IV PEMBAHASAN ...... 44 A. Kajian Teks Puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman ...... 44 B. Kajian Video Monolog; Keserasian Teks Puisi dan Naskah Transkrip Video Monolog “Golf untuk Rakyat” ...... 54 C. Analisis Kritik Sosial dalam Monolog “Golf untuk Rakyat”...... 55 1. Cara Butet Kertaredjasa Menginterpretasikan Monolog “Golf untuk Rakyat” ...... 55 2. Pesan yang disampaikan Butet Kertaredjasa dalam Golf untuk Rakyat 106 BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...... 112 A. Simpulan ...... 112 B. Saran ...... 114 DAFTAR PUSTAKA ...... 115

vii

DAFTAR TABEL

Tabel 1.Penelitian yang Relevan ...... 31 Tabel 2.Alih Kode Bahasa Jawa ...... 51 Tabel 3.Alih Kode Bahasa Asing ...... 52 Tabel 4. Naskah Puisi dan Hasil Transkripsi ...... 53

viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Realisasi dari kehidupan berbangsa dan bernegara acapkali tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita seseorang, baik diri sebagai individu ataupun masyarakat suatu bangsa. Adanya ketidakseimbangan antara idealisme dan realitas kehidupan yang terjadi membuat seseorang membutuhkan sarana untuk menyalurkan aspirasi. Baik berupa protes yang kritis ataupun opini dalam merespon gejala sosial yang terjadi di masyarakat. Inilah keberangkatan dari kritik sosial yang menguap dalam kehidupan bermasyarakat dan perlu ditanggulangi masalahnya. Jika tidak, akan menyebabkan buntunya saluran komunikasi warga (seperti: psudo demokrasi) sehingga mengakibatkan munculnya reaksi sosial yang tidak dapat diprediksi. Contoh nyata merebaknya kritik sosial dan urgensi media penyalurnya ialah dalam kasus demo “411” yang terjadi pada 4 November 2016 silam. Aksi demontrasi dari organisasi masyarakat karena tersinggung dan geram akibat pernyataan gubernur DKI Jakarta (nonaktif), Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang diduga menistakaan agama. Kasus ini berhasil menyatukan kekuatan masyarakat muslim hingga mencapai jumlah 200 ribu demonstran yang berkumpul di satu titik daerah DKI Jakarta guna mengkritik kekesalan dan menuntut hukum pada terduga.1 Kasus serupa berbuntut pada aksi demo kedua yang berlangsung pada bulan berikutnya, yakni 2 Desember 2016 yang dikenal dengan demo “212”. Masih menyoal dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh gubernur DKI Jakarta (nonaktif), Ahok. Dalam demo ini para demonstran menagih janji pihak berwenang agar menegakkan hukum yang setimpal dengan perbuatan terduga

1 Wirawan Hamdi, “Demonstrasi 4 November 2016”, Liputan 6. Rabu, 18 Januari 2017. Pkl. 11.26 WIB, http://www.liputan6.com/tag/demo 4-november?type=profile.

1 2

karena disinyalir menuai kebencian dan melecehkan golongan. Aksi kedua pada kasus yang sama ini menaikkan jumlah pendemo berkali-lipat, dari 200 ribu orang hingga mencapai 3 juta orang.2

Dua kasus tadi cukup membuktikan betapa besar pengaruh suara masyarakat yang gerak dan ruangnya terbatas untuk menyalurkan aspirasi sebagai kritik dari situasi sosial. Melihat kondisi ini, maka satu dari banyak media yang dinilai mampu menyalurkan ide, perasaan, dan pemikiran seseorang guna mengkritisi isu-isu sosial dalam sendi kehidupan ialah sastra.

Mengingat fungsi sastra sebagai ‘dulce et utile’ menurut ahli teori sastra Yunani, Horatius, bahwa:

‘Aut prodesse volunt aut delectate poetae Omne tulit punctum qui miscuit utile dulci, Lectorem delectando pariterque monendo—(para penyair mengemukakan kehendaknya atau yang menyenangkan hatinya, semua menyetujui yang menggabungkan yang berguna dan yang manis, yang menyenangkan maupun menasehati pembaca--).3

Maka melalui dua tujuan itulah, sastra dinilai mampu menjadi media penyalur yang tepat guna menyampaikan kritik sosial. Bentuk kritik sosial pada karya sastra terkandung dalam banyak karya yang diciptakan oleh pengarang. Seperti dalam puisi berjudul “Sajak Sebatang Lisong” karya WS. Rendra (1977) yang menggambarkan ironisnya kondisi sosial tentang bangsa yang telah merdeka dan maju namun tidak nampak pada pendidikan dan kesejahteraan rakyatnya. Adapun dalam novel “Kalatidha” karya Seno Gumira Ajidarma (2007) ialah tentang kritik terhadap pemerintahan Orde Baru terkait pemenjaraan pikiran, penjualan aset negara demi kepentingan pribadi, haus kekuasaan, manipulasi sejarah, pejabat yang korupsi, konsep PKI yang dibangun

2 Resti Anwar, “Peserta Demo 2 Desember Mencapai 3 Juta Orang”, Liputan 6. Rabu, 18 Januari 2017. Pkl. 11.30 WIB. http://news.liputan6.com/read/2664951/gnpf-mui-peserta- demo-2-desember-capai-3-juta-orang. 3 Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesusastraan. (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2014), h. 338.

3

Orde Baru, serta kritik tentang pencidukan dan pelaku pencidukan.4 Contoh lain kritik sosial yang terkandung dalam karya sastra yakni pada naskah drama “Jangan Menangis Indonesia” karya Putu Wijaya terbitan komunitas Teater Mandiri pada 2005 sebagai kenangan untuk Harry Roesli.5 Karya naskah drama ini mengisahkan tentang kritik terhadap kesewenang-wenangan pemerintah hingga sebabkan krisis ekonomi, suhu politik yang meninggi, dan bencana alam yang membuat rakyat menderita. Berdasarkan pada contoh-contoh karya sastra yang mengandung kritik sosial tadi membuktikan bahwa persoalan isu-isu sosial menjadi layak diperbincangkan dan urgensinya paling mendesak dalam kehidupan masyarakat. Selain WS. Rendra, Seno Gumira Ajidarma, dan Putu Wijaya, pengarang karya sastra yang cukup konsen menyoal kritik sosial dalam karya-karyanya ialah Darmanto Jatman. Terbiasa hidup di antara kalangan papa membuat sensitivitas Darmanto bertambah jika tersentuh isu-isu sosial. Dalam karya-karyanya pun, ia memiliki diksi yang ‘dekat dengan rakyat’, renyah guyonan namun tegas dalam menyampaikan bahasa-bahasa kritik dalam karyanya. Ia sosok penyair yang musikal dan acapkali memasukkan alih kode bahasa Jawa dalam karyanya. Percampuran bahasa dengan bahasa Jawa membuat karya Darmanto dirasa ‘merendah, merakyat’ dan betul-betul terasa dekat dengan rakyat. Satu dari banyak karya yang terkenal dan sarat kritik sosial milik Darmanto Jatman yakni puisi “Golf untuk Rakyat” yang terangkum dalam buku kumpulan puisi berjudul serupa. “Golf untuk Rakyat” mengisahkan isu sosial pada masa orde baru yang mengalami ketimpangan antara penguasa dan rakyat kecil diwujudkan dengan dibangunnya padang golf di tengah carut-marut kondisi sosial-ekonomi masyarakat yang tidak sejahtera. “Golf untuk Rakyat” menjadi sangat dikenal khalayak dan terasa ‘sihirnya’ sejak dialihwahanakan dari naskah puisi ke dalam pertunjukan monolog yang dilakonkan oleh “Si Raja Monolog”, Butet Kertaredjasa. Melalui pertunjukan monolog Butet Kertaredjasa inilah, “Golf

4 Abdul Hadi, “Naskah Publikasi”. Rabu, 18 Januari 2017. Pkl. 12.10 WIB, http://eprints.ums.ac.id/21864/19/02._Naskah_Publikasi.pdf. 5 Zaenal Arifin, “Chapter 3 Skripsi”, Jumat, 20 Januari 2017. Pkl. 12. 53 WIB. http://repository.upi.edu/4776/6/S_IND_0906759_Chapter3.pdf.

4

untuk Rakyat” semakin layak menjadi bentuk representasi kritik sosial kehidupan masyarakat. Melalui “Golf untuk Rakyat” akan terlihat jelas visualisasi kritik sosial dalam karya sastra yang dimunculkan Butet Kertaredjasa sebagai pelakon monolog dengan upaya bentuk komunikasi nonverbal. Monolog “Golf untuk Rakyat” oleh Butet Kertaredjasa menjadi satu dari sekian banyak pertunjukan monolog yang dipuji dan diapresiasi oleh para sastrawan dan seniman yang hadir pada “Malam Sastra Tembi” di Yogyakarta (Sabtu, 21 Januari 2012 silam) dalam rangka memeperingati 70 tahun Darmanto Jatman berkarya. Penampilan Butet kala itu sangat piawai dan mengundang celetukan segar penonton yang lantas dibalas Butet dengan spontan. Kebanyakan penonton dibuat tertawa terpingkal-pingkal oleh pertunjukan monolog “Golf untuk Rakyat” oleh Butet Kertaredjasa. Monolog “Golf untuk Rakyat” ialah bentuk alihwahana dari naskah puisi “Golf untuk Rakyat” karangan Darmanto Jatman yang berarti masih sebagai bentuk sastra atau tepatnya modifikasi karya. Perubahan itu dari naskah puisi menjadi pertunjukan monolog/drama. Sebagai wujud sastra yang memiliki dua fungsi, yakni menghibur dan mendidik, drama perlu mengupayakan agar pesan/amanat pengarangnya dan cerita yang mengandung nilai-nilai kehidupan, tersampaikan pada penyimak/audience. Peran tokoh berdialog/bermonolog sangat dipengaruhi oleh kepiawaian tokoh dalam menunjukan simbol interpretasi dan komunikasi nonverbal, yakni melalui ekspresi (mimik), intonasi (tinggi-rendahnya suara), dan gestur (bahasa tubuh). Jika tiga bentuk komunikasi (nonverbal) dalam pementasan drama ini dimunculkan dengan baik oleh para lakon, maka drama akan memberi kepuasan terhadap penyimak/audience. Hal tersebut disebabkan drama mampu menyampaikan maksud dalam cerita yang berupa amanat, nilai baik kehidupan, ataupun sebagai bentuk visualisasi terhadap kritik sosial. Ketika tiga bentuk komunikasi nonverbal (ekspresi, intonasi, dan bahasa tubuh) dimunculkan dengan baik oleh Butet dalam bermonolog, maka akan

5

terjadi dua manfaat sekaligus. Pertama, pesan dalam naskah “Golf untuk Rakyat” yang sarat kritik sosial akan sampai pada penyimak/audience. Kedua, ketika pesan dapat memberi dampak dan dipahami penyimak (audience), maka fungsi sastra dalam drama sebagai ‘dulce’, yaitu menasehati pembaca (penyimak) telah ditunaikan. Penyimak (audience) akan melihat Butet dan “Golf untuk Rakyat” sebagai kesatuan pembelajaran karakter untuk berani berbicara dan menyatakan sikap kritis terhadap situasi sosial yang ada dalam kehidupan bermasyarakat. Kepiawaian Butet yang dinilai mampu mengelaborasi bidang sastra dan kemanfaatannya terhadap pendidikan, membuat peneliti merasa tertarik dan ingin mengkajinya. Karena itu, peneliti mengajukan judul “Interpretasi Kritik Sosial dalam Pementasan Monolog Golf untuk Rakyat oleh Butet Kertaredjasa dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA” sebagai bahan penelitian skripsi ini.

B. Identifikasi Masalah Berdasarkan pada latar belakang tersebut, maka identifikasi masalah yang diajukan peneliti sebagai bahan penelitian ialah sebagai berikut: 1. Maraknya aksi unjuk rasa (demonstrasi) kalangan akademisi ataupun masyarakat golongan lain sebagai bentuk protes kepada pemerintah atau instansi terhadap situasi sosial yang terjadi. 2. Kurangnya media penyalur aspirasi berupa ide, pikiran, dan perasaan yang aman dan bermanfaat. 3. Semakin menggejalanya protes dan bentuk kritik sosial masyarakat (sastrawan, penikmat sastra, seniman, dan penikmat seni) yang disampaikan dalam wujud karya sastra/seni. 4. Kurang efektifnya penyaluran kritik sosial dalam bentuk karya sastra tulis. 5. Sulitnya memberikan figur berkarakter bagi pendidikan karakter siswa.

6

C. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, masalah hanya dibatasi pada kritik sosial yang dimunculkan Butet Kertaredjasa sebagai pementas monolog lewat cara komunikasi nonverbal, yakni ekspresi wajah, intonasi bicara, dan bahasa tubuh (gestur) guna dipahami audience (penyimak karya) dan berdampak sebagai pembelajaran karakter untuk berani bicara dan bersikap kritis terhadap situasi sosial.

D. Perumusan Masalah 1. Bagaimana perubahan bentuk puisi “Golf untuk Rakyat” ke dalam pementasan monolog “Golf untuk Rakyat” oleh Butet Kertaredjasa? 2. Bagaimanakah interpretasi kritik sosial oleh Butet Kertaredjasa terhadap puisi “Golf untuk Rakyat” melalui pementasan monolognya?

E. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perubahan bentuk puisi “Golf untuk Rakyat” ke dalam pementasan monolog “Golf untuk Rakyat” oleh Butet Kertaredjasa. 2. Mengetahui interpretasi kritik sosial oleh Butet Kertaredjasa terhadap puisi “Golf untuk Rakyat” melalui pementasan monolognya.

F. Manfaat Penelitian Adapun manfaat dalam penelitian ini dibedakan atas dua ranah, yakni teoretis dan praktis. Manfaat teoritis diharapkan dapat menjadi sumber bahan ajar bagi pendidik, sedangkan manfaat praktis diwujudkan sebagai sarana praktikum dan keilmuan teknis dalam dunia pendidikan, baik di sekolah ataupun perguruan tinggi.

1. Manfaat Teoretis a. Guru (pendidik) 1) Sebagai bahan ajar yang dapat melatih siswa berkomunikasi (nonverbal), yakni melalui ekspresi, intonasi, dan bahasa tubuh.

7

2) Memeroleh nasehat yang baik dan bermoaral dari pesan kritik sosial dalam monolog “Golf untuk Rakyat”. 3) Sebagai bahan pembelajaran karakter bagi peserta didik untuk berani bicara dan mampu bersikap kritis. b. Siswa/Mahasiswa 1) Sebagai materi pembelajaran drama. 2) Memeroleh nilai moral dari pesan kritik sosial dalam monolog “Golf untuk Rakyat”. 3) Sebagai cerminan untuk mampu berani bicara dan bersikap kritis. c. Pegiat Sastra dan Seni 1) Dapat menjadi rujukan dalam optimalisasi cara berkomunikasi (nonverbal) saat menyusun naskah sastra ataupun bermain lakon. 2) Sebagai bentuk pencerahan untuk menyuarakan kritik sosial melalui karya sastra ataupun pertunjukan seni.

2. Manfaat Praktis a. Guru (pendidik) 1) Sebagai teknik yang diadaptasi untuk menyampaikan komunikasi (nonverbal) dalam kegiatan pembelajaran. 2) Memiliki kepekaan terhadap situasi sosial yang terjadi di lingkungan sekolah/pendidikan. 3) Pesan dalam monolog “Golf untuk Rakyat” diterapkan sebagai bentuk pendidikan karakter untuk berani bicara dan bersikap kritis bagi peserta didik. Dengan demikian, siswa akan tebiasa memiliki kepekaan terhadap masalah yang ditemui dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. b. Siswa/Mahasiswa 1) Diterapkan dalam pembelajaran praktikum drama. 2) Terlatih memiliki kepekaan terhadap isu sosial/keadaan masyarakat. 3) Memiliki sikap berani bicara dan mampu menyatakan sikap kritis.

8

c. Pegiat Sastra dan Seni 1) Sebagai teknik yang diterapkan dalam bermonolog/berdrama dengan mengoptimalisasikan cara komunikasi (nonverbal), yakni melalui ekspresi, intonasi, dan bahasa tubuh. 2) Mengangkat isu sosial sebagai bentuk kritik sosial dalam pembuatan karya sastra ataupun pertunjukan seni.

G. Metodologi Penelitian

1. Metode penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah kualitatif deskriptif pada kajian studi literatur dengan pendekatan alih wahana (alih bentuk) dari teks puisi ke dalam pementasan monolog. Definisi ‘metode’ menurut Suyono ialah seluruh perencanaan dan prosedur maupun langkah- langkah kegiatan secara teratur.6 Dengan demikian, metode merupakan cara atau langkah-langkah yang prosedural guna melakukan kegiatan secara sistematis dan taat azas. Metode penelitian kualitatif menurut S. Margono ialah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Dalam penelitian kualitatif, ketajaman analisis, objektivitas, dan sistematika menentukan ketepatan dalam interpretasi. 7 Adapun menurut Nuraida dan Halid Alkaf, dalam kualitatif dicanangkan pendekatan humanistik untuk memahami realitas sosial, memberikan tekanan pada pandangan terbuka tentang kehidupan sosial. 8 Metode kualitatif lebih berdasarkan pada filsafat fenomenologis yang mengutamakan penghayatan (verstehen). Dalam metode ini ada usaha

6 Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), h. 19. 7 S. Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2009), h. 35. 8 Nuraida dan Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Tangerang: Islamic Research Publishing, 2009), h. 36.

9

memahami dan menafsirkan makna suatu peristiwa interaksi tingkah laku manusia dalam situasi tertentu menurut peneliti.9 Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data dalam hubungannya dengan konteks keberadaannya. Dalam penelitian karya sastra, misalnya, akan dilibatkan pengarang, lingkungan sosial di mana pengarang berada, termasuk unsur-unsur kebudayaan pada umumnya. Penelitian kualitatif mempertahankan hakikat nilai-nilai. Dalam ilmu sosial, sumber datanya adalah masyarakat, data penelitiannya adalah tindakan-tindakan, sedangkan dalam ilmu sastra, sumber datanya adalah karya, naskah, data penelitiannya, sebagai data formal adalah kata-kata, kalimat, dan wacana.10

Adapun metode penelitian kualitatif deskriptif ialah penelitian yang mengutamakan penggambaran data melalui kata-kata dan didukung oleh data. Sedangkan, menurut McCall dan Simmons, menyebutkan bahwa penelitian kualitatif deskriptif dapat disebut juga sebagai teknik deskripsi analitik (analytic description). Metode ini dilakukan dengan cara menguraikan sekaligus menganalisis. Kualitatif deskriptif ialah metode yang kerapkali digunakan dalam membedah karya sastra dengan bentuk paparan apa adanya.11

Metode kualitatif deskriptif dalam analisis data dengan menggunakan metode pendekatan alih wahana menjadi pilihan metodologi pada penelitian ini. Alih wahana atau alih bentuk dilakukan peneliti dari teks puisi ke dalam bentuk pementasan monolog.

Alih wahana adalah perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Karya sastra tidak bisa diterjemahkan tapi bisa dialihkan dari satu bahasa ke bahasa lain, dan dialihwahanakan, yakni diubah menjadi jenis kesenian lain. Cerita rekaan, misalnya, dapat diubah menjadi tari, drama, atau film; sedangkan puisi dapat diubah menjadi lagu atau lukisan. Membanding-bandingkan benda budaya yang beralih-alih wahana itu

9 Husaini Usman dan Purnomo Setiadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2008), h. 70. 10 Nyoman Kutha Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 47. 11 Suwardi Endraswara, Metodologi Kritik Sastra, (Bandung: Rineka Cipta, 2011), h. 176-177.

10

merupakan kegiatan yang sah dan bermanfaat bagi pemahaman dalam hakikat sastra.12 Alih wahana dalam istilah lain yakni ‘transformasi (perubahan bentuk)’ juga diungkapkan oleh Hamdy Salad dalam bukunya Panduan Wacana dan Apresiasi Musikalisasi Puisi ialah alih ragam dari bentuk karya seni tertentu ke dalam bentuk seni yang lain.13

Dalam penelitian ini, analisis dilakukan secara alih wahana (transformasi bentuk) teks puisi ke dalam bentuk pementasan monolog “Golf untuk Rakyat”.

2. Analisis data

Data pertama yang akan dianalisis oleh peneliti ialah naskah puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman dalam buku kumpulan puisi karya Darmanto dengan judul yang sama, Golf untuk Rakyat. Tahap selanjutnya, peneliti akan mendeskripsikan isi monolog dengan menggunakan teks asli (puisi) sebagai pembanding. Hasil dari deskripsi ini menjadi dasar untuk pembahasan interpretasi terhadap monolog Butet Kertaredjasa. Proses analisis mendalam yang dilakukan peneliti ialah mendeskripsikan cara Butet Kertaredjasa menginterpretasi kritik sosial dalam lakon monolog “Golf untuk Rakyat”. Adapun cara Butet tersebut dimunculkan melalui komunikasi nonverbal berupa ekspresi, intonasi, dan bahasa tubuh ketika memainkan lakon monolog. Peneliti mengkaji proses ini dengan cara deskriptif menggunakan pendekatan ilmu memaknai bahasa tubuh (komunikasi nonverbal). Analisis cara interpretasi Butet Kertaredjasa dalam monolog “Golf untuk Rakyat” disempurnakan dengan kajian peneliti dalam menyimpulkan pesan- pesan yang disampaikan Butet dalam monolog tersebut. Pesan itu berupa dua

12 Sapardi Djoko Damono, Sastra Bandingan, (Ciputat: Editum, 2009), h. 128. 13 Hamdy Salad, Panduan Wacana dan Apresiasi Musikalisasi Puisi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), h. 48.

11

hal, yakni pesan secara tekstual (eksplisit) dan pesan secara kontekstual (implisit).

3. Instrumen penelitian

Instrumen dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah alat atau perangkat yang dibutuhkan seseorang dalam melakukan suatu pekerjaan. 14 Maka, intrumen penelitian berarti perangkat berupa alat dan bahan yang diperlukan peneliti guna mencapai tujuan penelitian. Berikut adalah intrumen penelitian yang digunakan peneliti: a. Naskah asli puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman dalam buku “Golf untuk Rakyat” terbitan April 1994 oleh Bentang Intervisi Utama, pt., Yogyakarta. b. Video lakon monolog “Golf untuk Rakyat” oleh Butet Kertaredjasa dan hasil transkrip monolog. c. Potongan gambar slide/hasil capture tiap perubahan ekspresi dan gestur Butet Kertaredjasa dalam lakon monolog “Golf untuk Rakyat”. d. Buku-buku referensi terkait penelitian tertarik dan ingin mengkajinya. Karena itu, peneliti mengajukan judul “Interpretasi Kritik Sosial dalam Pementasan Monolog Golf untuk Rakyat oleh Butet Kertaredjasa dan Implikasinya terhadap Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA”.

14 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008), h. 540.

BAB II

LANDASAN TEORETIS

A. Kajian Teori

1. Sastra

a. Definisi dan Fungsi Sastra

Secara etimologis, sastra atau sastera berasal dari bahasa Sanskerta yang terdapat dalam kitab Bhagavadgita yang terdiri atas akar sas dan tra. Sas dalam bentuk kata kerja yang diturunkan memiliki arti mengarahkan, mengajar, memberikan suatu petunjuk ataupun instruksi, akhiran –tra menunjukan satu sarana atau alat. Sastra secara harfiah berarti alat untuk belajar, buku petunjuk, buku isntruksi, ataupun pengajaran. Istilah Susastra sendiri pada dasarnya memiliki awalan Su yang memiliki arti ‘indah, baik’ sehingga susastra dibandingkan atau disejajarkan dengan belles-letters.

Kesusastraan dan tulisan saling berkaitan, keduanya tidak memiliki arti yang sama. Tulisan paling awal bangsa Sumeria, hiroglif bangsa Mesir Kuno, atau ribuan batang kayu (log) bangsa Cina kuno, tidak serta merta dianggap karya sastra. Beberapa teks penting yang masih dianggap sastra dan masih bertahan hingga saat ini ialah Epic of Gilgamesh dan Egyptian Book of the Dead.1

Sastra semakin dikuatkan dengan pengertian dari kamus istilah sastra, yang berarti tulisan dakam arti luas. Umumnya sastra berupa teks rekaan, baik berupa puisi maupun prosa yang nilainya tergantung pada kedalaman pikiran dan ekspresi jiwa.2

1 A. Rachmatullah, Khazanah Kesusasteraan Dunia, (Depok: ONCOR Semesta Ilmu, 2012), h. 3. 2 Abdul Rozak Zaidan, dkk., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 180.

12 13

Sastra mempunyai fungsi sosial yang terkait dengan masalah sosial seperti masalah tradisi, konvensi, norma, jenis sastra (genre), simbol, dan mitos. Disebutkan pula dalam sebuah frase De Bonald bahwa “sastra adalah ungkapan perasaan masyarakat (literature is an expression of society).3

Fungsi sastra menurut Horatius guna menghibur dan mengajarkan, yang biasa dikenal dengan istilah dulce et utile.

Aut prodesse volunt aut delectate poetae Omne tulit punctum quit miscuit utile dulci, Lectorem delectando pariterque monendo—(para penyair mengemukakan kehendaknya atau yang menyenangkan hatinya, Semua menyetujui yang menggabungkan yang berguna dan yang manis, Yang menyenangkan maupun menasehati pembaca--)4 b. Hubungan Sastra dengan Unsur yang Mempengaruhi Sastra

Menurut Abrams, komunikasi antara sastrawan dengan pembacanya saling terkait dan berpengaruh secara menyeluruh (the total situation of a work of art) meliputi: 1. Karya sastra (work), 2. Sastrawan (artist), 3. Semesta (universe), dan 4. Pembaca (audience). Abrams pun menjelaskan empat cara pendekatan karya sastra.5

1). Sastra dengan Dunia Batin Pengarang (Ekspresif). Kajian difokuskan pada penulis/pengarang karya sastra dengan mencermati perasaan atau temperamen penulis. 2). Sastra dengan Unsur-unsur Intrinsik Sastra; struktural (Objektif) Kajian difokuskan pada karya sastra itu sendiri. Menurut Junus, karya sastra dalam kajian objektif menjadi inti. 3). Sastra dengan Realitas Kehidupan (Mimetik) Kajian difokuskan pada hubungan karya sastra dengan realitas. Pendekatan ini memandang karya sastra sebagai imitasi dari realitas.6

3 Wellek dan Warren, op. cit.,h. 98-99. 4 Ibid.,h. 338. 5 Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, (Jakarta: PT Grasindo, 2008), h. 179-190. 6 Ibid.

14

Maksud ‘imitasi dari realitas’ ialah karya sastra sebagai perwujudan/simbol dari realita (kenyataan) hidup yang sebenarnya namun tetap saja sifatnya tiruan (seolah-olah nyata). Karya sastra dengan sejarah yang saling menguntungkan dan menyeimbangi satu sama lain. Dalam sastra, mimesis (peniruan pada realitas) dan kreasi (penciptaan sejalan dengan kepentingan naratifnya) berada bersama-sama.

Dalam seni sastra dimanfaatkan ketegangan antara realitas sejarah dengan rekaan. Fungsinya adalah mempertegas kebenaran dan ketepatan isi cerita seluruhnya dalam rangka membawa message teksnya. Selain memperlihatkan ketegangan, munculnya faktor tersebut juga berada dalam keseimbangan.7 4). Sastra dengan Penilaian Semesta (Pragmatis) Kajian difokuskan pada peranan pembaca dalam menerima, memahami, dan menghayati karya sastra. c. Macam Pembagian Sastra Sastra terbagi atas tiga bentuk yakni prosa, puisi, dan drama. Berikut ini macam pembagian sastra: 1. Prosa Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah karangan bebas yang terikat kaidah seperti puisi. Prosa disebut juga cerita rekaan (narasi) yang berjalan karena alur (plot) dan mengandung konflik, contoh prosa ialah cerpen, novel, novelet, fabel, dan dongeng. Prosa berarti karangan/tuturan bebas. Prosan seringkali disandingkan kesamaannya dengan puisi namun yang membedakan adalah kepadatannya. Prosa hakikatnya menguraikan, sedangkan puisi memadatkan. Prosa adalah ekspresi konstruktif (menyusun cerita) sedang puisi ialah ekspresi kreatif (menciptakan curahan jiwa).8

7 Sugihastuti, Teori Apresiasi Sastra, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), cet. III, h. 168. 8 Redyanto Noor, Pengkajian Sastra, (: Fasindo, 2007), cet. IV, h. 25-26.

15

Adapun unsur-unsur intrinsik prosa berdasarkan pada buku karangan Melani Budianta, meliputi tokoh, latar tempat dan waktu, serta alur.9

2. Puisi a). Definisi Puisi Puisi sebagai karya sastra yang penting dalam kesusastraan modern karena disampaikan oleh penyair (pengarang puisi) yang berperan sebagai “petugas revolusi” atau pembawa pembaharuan pemikiran kepada perkara yang lebih baik.10 Di sini penyair berperan melalui kritik sosial. Kamus Istilah Sastra mendefinisikan puisi sebagai ragam sastra yang bahasanya terikat irama, mantra, rima, serta penyusunan baris dan bait.11 Karya atau sesuatu dikategorikan sebagai puisi jika memenuhi kriteria puitis. Puisitis ialah jika karya atau unsur apapun mengandung persamaan bunyi dan melalui pilihan kata. Puisi pun mengandalkan kesebangunan jumlah suku kata dan rima akhir.12 b). Analisis Puisi Puisi ialah karya seni yang puitis. Kata puitis telah mengandung unsur keinadahan yang khusus untuk puisi. Kepuitisan (puitisasi) dicapai dengan berbagai cara, seperti dengan bentuk visual: tipografi, susunan bait dengan bunyi, persajakan, asonansi, aliterasi, kiasan bunyi, lambang rasa, diksi (pilihan kata), bahasa kiasan, sarana retorika, unsur ketatabahasaan, dan gaya bahasa.13 Analisis puisi dikategorikan berdasarkan strata norma yang memiliki beberapa lapis norma, yakni: lapis norma bunyi (sound stratum), lapis arti (units of meaning), lapis objek yang dikemukakan (latar, pelaku, dunia

9 Melani Budianta, dkk., Membaca Sastra, (Magelang: Indonesiatera, 2002), h. 84. 10 Ibid., h. 16. 11 Abdul Rozak Zaidan, dkk., Kamus Istilah Sastra, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), h. 160. 12 Budianta, op. cit., h. 31-32. 13 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: , 2014), h. 13.

16

pengarang), lapis dunia yang tak usah dinyatakan—implisit, lapis metafisis (pencitraan).14 Dengan kata lain, bunyi (efoni-kakofoni, kombinasi vokal-konsonan, dan aliterasi-asonansi) dan kata (kosa kata, unsur/aspek ketatabahasaan, denotatif- konotatif, diksi, bahasa kiasan, citraan, dan gaya bahasa) adalah unsur dalam pengkajian puisi.

c). Perbedaan Naskah Puisi dan Monolog

Puisi merupakan bagian dari jenis karya sastra yang sarat akan aturan tata bahasa dan tata letak (tipologi)nya. Berbeda dengan puisi, monolog merupakan bagian dari drama yang akan berarti dan mudah dipahami wujudnya dengan wahana pementasan/seni pertunjukan.

Berikut ini ulasan peneliti terkait perbedaan naskah puisi dan monolog serta kesamaan yang terdapat di antara keduanya.15

Perbedaan

Naskah puisi : Pertama, puisi memiliki aturan tata letak susunan kata yang disebut dengan tipologi penulisan. Ada wujud puisi yang tipologinya berbentuk bait per bait tersusun rapi, adapula yang tidak tersusun rapi/absurd seperti puisi-puisi karya Sutardji C. Bahri (presiden puisi Indonesia). Kedua, puisi terdiri atas susunan kata dan kalimat yang terikat aturan baris dan bait. Ketiga, semua macam puisi memiliki judul sebagai kata pembuka/permulaan. Keempat, dalam puisi terjapat jeda/penjedaan.

Monolog : Pertama, berbeda dari puisi yang memiliki tipologi, monolog memiliki petunjuk lakon sebagai batasan yang membantu para lakon memeragakan adegan, biasanya dalam bentuk komunikasi nonverbal seperti mimik, gestur, dan intonasi. Kedua, monolog terbangun atas bentuk

14 Ibid, h. 16-20. 15 Simpulan perbedaan dan persmaan naskah/teks puisi dan monolog ini dilakukan sendiri oleh peneliti setelah melihat perubahan bentuk puisi menjadi monolog.

17

komunikasi bukan verbal (nonverbal) dan elemen pendukung lain seperti panggung, audience, tata rias, tata busana, soundsystem, dan pencahayaan. Ketiga, jika puisi dimulai dengan penulisan judul puisi, maka pertunjukan monolog diawali gestur dan mimik performer/pelakon. Apapun sikap, suasana, suara, dan kondisi di atas panggung yang terlihat audience, maka itulah titik awal pertunjukan pada monolog. Sebagai contoh, seperti dalam bahan kajian yang dibahas oleh peneliti, yakni monolog Golf untuk Rakyat oleh Butet Kertaredjasa, pertunjukan monolog dimulai dengan gestur Butet yang mengusap sebagian wajahnya dengan tangan kiri. Keempat, jika dalam puisi ada penjedaan, maka dalam monolog terdapat intonasi/lentong dan lagu kalimat. Ini sebagai bentuk komunikasi nonverbal yang mendukung mimik dan gestur pelakon monolog di atas pentas.

Persamaan

1. Antara naskah puisi dan monolog, sama-sama merupakan bentuk sastra (produk sastra). 2. Merupakan perwujudan dari bentuk seni. 3. Menggunakan hanya satu media dalam naskah puisi ataupun monolog, yakni bahasa. 4. Ada tokoh/pelakon. Dalam puisi tokoh disebutkan dengan berbagai macam sudut pandang, seperti aku-an atau dia-an, baik tokoh tersebut berupa benda hidup ataupun benda mati yang seolah hidup (personifikasi). Dalam monolog, tokoh diperankan oleh satu orang pemonolog, baik hanya memerankan satu tokoh ataupun berperan ganda. Baik puisi ataupun monolog, sama-sama memiliki tokoh dalam ceritanya.

2. Drama Definisi drama ialah komposisi syair atau prosa yang diharapkan menggambarkan kehidupan dan watak melalui tingkah laku (akting) atau dialog yang dipentaskan.16

16 Ibid.

18

a. Drama sebagai naskah karya sastra

Drama naskah disebut juga sastra lakon. Sebagai salah satu genre sastra, drama naskah dibangun oleh struktur fisik (kebahasaan) dan struktur batin (semantik, makna). Wujud fisik sebuah naskah adalah dialog atau ragam tutur. Ragam tutur itu adalah ragam sastra.

Dasar teks drama adalah konflik manusia yang digali dari kehidupan. Konflik manusia biasanya tebangun oleh pertentangan antara tokoh-tokohnya. Dengan pertikaian itu muncullah dramatic action. Daya pikat suatu naskah ditentukan oleh kuatnya dramatic action ini. Untuk memahami naskah secara lengkap dan terperinci, dilihat dari struktur drama, meliputi:

1. Alur (plot) 2. Perwatakan (watak tokoh) 3. Dialog (percakapan) Ciri khas suatu drama adalah naskah itu berbentuk cakapan atau dialog. Pembicaraan yang dituliskan pengarang ialah pembicaraan yang pantas diucapkan di atas panggung. Bayangan pentas di atas penggung merupakan mimetik (tiruan) dari kehidupan sehari-hari, maka dialog yang ditulis juga mencerminkan percakapan sehari-hari. Ragam bahasanya ialah bahasa lisan yang komunikatif dan bukan ragam bahasa tulis. Dialog juga harus bersifat estetis, artinya memiliki keindahan bahasa.17 4. Setting (tempat, waktu, dan suasana kejadian) 5. Tema (nada dasar cerita) 6. Amanat (pesan pengarang) 7. Petunjuk teknis b. Drama sebagai bentuk seni pertunjukan Pementasan drama merupakan karya kolektif yang dikoordinasikan oleh sutradara. Berikut ini ialah elemen-elemen yang membangun sebuah pementasan drama:

17 Herman J. Waluyo, Drama Teori dan Pengajarannya, (Yogyakarta: Hanindita), h. 20-21.

19

1. Aktor dan casting, ialah seseorang yang memainkan peran/lakon. Merupakan tulang punggung pementasan. 2. Sutradara, mengoordinasikan segala keperluan pementasan, sejak latihan sampai pementasan selesai. 3. Penata pentas, mengurus pengaturan pentas (stage), dekorasi (scenery), tata lampu (lighting), tata suara (sound system), dan segala sesuatu yang berhubungan dengan teknis pentas. 4. Penata artistik, seperti: tata rias (make up), tata busana (costume), tata musik, dan efek suara (music and sound effect). Elemen yang penting dimiliki pelaku pentas, pertama ialah emosi, kedua ialah imajinasi. Imajinasi mengimplikasikan semacam kesanggupan mistis untuk “menyulap’ sesuatu, dari ketiadaan apa-apa ke menciptakan suatu khayalan dengan modal inspirasi yang tipis sekali dan amat aksidental.18 Aktor harus mampu mengekspresikan perasaan batin manusia sesuai tokoh lakon, dengan mencermati pola batin, ‘pengandaian magis’, dan situasi tertentu sebagai hasil imajinasi, gerak batin, sasaran perhatian, adaptasi.19 c. Drama (naskah karya sastra/seni pertunjukan) sebagai interpretasi kehidupan

Drama sebagai tiruan (mimetik) yang berusaha memotret kehidupan secara riil sekaligus menjadi interpretasi terhadap kehidupan, sehingga mempunyai kekayaan batin yang tiada tara karena penulis drama memberi penekanan sesuai dengan sisi kehidupan mana yang akan ditonjolkan. Konflik yang menggambarkan pertikaian antara tokoh protagonis dan tokoh antagonis. Dari situlah plot dibangun dan dikembangkan. Potret kehidupan akan menjadi cermin bagi setiap penonton untuk menyaksikan gejolak konflik batinnya sendiri.20 d. Sejarah Drama Drama sudah berkembangan sejak zaman dahulu kala hingga dewasa kini. Menurut J. Herman Waluyo, terdapat delapan periodisasi dalam sejarah drama, berikut pembagiannya:

18 Boen. S. Oemarjati, Melakoni Sastra, (Salemba, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia: UI Press, 2012), h. 193 dan 195. 19 Constantin Stanislavski, Membangun Tokoh, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2008), h. 138. 20 Waluyo, op. cit., h. 8-31.

20

1). Drama Klasik 2). Teater Abad Pertengahan 3). Zaman Italia 4). Zaman Elizabeth 5). Perancis: Molere dan Neoklasikisme 6). Jerman: Zaman Romantik 7). Drama Modern 8). Perkembangan Teater di Indonesia a. Teater Tradisional b. Teater Klasik c. Teater Transisi21 e. Klasifikasi drama

Pada abad XVIII ada berbagai jenis naskah drama, di antaranya adalah: lelucon, banyolan, opera balada, komedisentimental, komedi tinggi, tragedi borjuis, dan tragedi neoklasik. Berbagai macam jenis drama itu dapat diklasifikasikan menjadi 4 jenis, yaitu:22

1). Tragedi (duka cerita), drama yang melukiskan kisah sedih yang besar dan agung. 2). Komedi (drama ria), drama ringan yang sifatnya menghibur dan di dalamnya terdapat dialog kocak yang bersifat menyindir dan biasanya berakhir dengan kebahagiaan. 3). Melodrama, lakon yang sangat sentimental, dengan tokoh dan cerita yang mendebarkan hati dan mengharukan. 4). Dagelan (farce), disebut juga banyolan. Seriang kali drama jenis ini disebut dengan komedi murahan atau komedi picisan atau komedi ketengan. f. Jenis-jenis drama

Menurut Herman J. Waluyo drama memiliki banyak jenis. Ada 21 jenis drama menurutnya seperti dalam buku Drama; Teori dan Pengajarannya, seperti: 1). Drama pendidikan, 2). Drama duka (Tragedy), 3). Drama ria

21 Ibid., h. 63-74. 22 Ibid., h. 38-42.

21

(Comedy), 4). Closed drama (Drama untuk dibaca), 5). Drama Teatrikal (Drama untuk dipentaskan), 6). Drama Romantik, 7). Drama Adat, 8). Drama Liturgi, 9). Drama Simbolis, 10). Monolog, 11). Drama Lingkungan, 12). Komedi Intrik (Intrique Comedy), 13). Drama Mini Kata (Teater Mini Kata), 14). Drama Radio, 15). Drama Televisi, 16). Drama Eksperimental, 17). Sosio Drama, 18). Melodrama, 19). Drama Absurd, 20). Drama Improvisasi, 21). Drama Sejarah.

Berdasarkan pada 21 jenis drama menurut Herman J. Waluyo, satu di antaranya ialah monolog, objek yang menjadi bahasan peneliti. (10) Monolog Jenis monolog dalam drama modern berbeda dengan monolog lawakan. Dalam drama modern, prinsip-prinsip lakon harus dipertahankan. Seorang pelaku monolog harus menyadari bahwa lakonnya adalah merupakan konflik manusia. Konflik tetap merupakan hakikat lakon. Naskah pun harus dipatuhi, agar struktur dramatiknya tetap dapat dipertahankan. Jadi, monolog dalam drama modern tetap terikat akan naskah.23 Monologue is distinguished from one side of a dialogue by its length and relative completeness, and from the soliloquy ... by the fact that it is addressed to someone .... A soliloquy is spoken by one person that is alone or acts as though he were alone. It is a kind of talking to oneself, not intended to effect others.24

Monolog dibedakan dari dua sisi, yang pertama adalah dari panjang dan kelengkapan dialognya, dan yang kedua dari percakapan seorang diri yang ditujukan pada seseorang. Bercakap seorang diri ini diucapkan oleh satu orang yang sendirian, atau bertindak seakan ia sendirian. Hal tersebut sama halnya dengan berbicara pada dirinya tanpa bermaksud mempengaruhi atau melibatkan orang lain.

Monolog menurut Kamus Istilah Sastra ialah cakapan panjang seorang diri yang biasanya untuk menerangkan suatu yang sudah terjadi. Dalam

23 Ibid., h. 51-52. 24 Wilhelm Fink Verlag, The Theory and Analysis of Drama, (English: Cambridge University Press, 1993), h. 127.

22

solilokui monolog ini lebih ditekankan pada renungan nasib diri sendiri; ekacakap; cakapan tunggal.25

Monolog menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah pembicaraan yang dilakukan dengan diri sendiri; adegan sandiwara dengan pelaku tunggal yang membawakan percakapan seorang diri. g. Ciri-ciri drama yang baik Selain sebagai bentuk wujud sastra, drama kerap digunakan sebagai media dan cara menyampaikan pembelajaran dalam bidang pendidikan. Ini berkaitan dengan fungsi drama sebagai sastra, yakni dulce et utile, mendidik da menghibur. Karena itu, maka drama dinilai perlu dicirikan guna terealisasikan fungsinya dalam bidang pendidikan. Berikut ciri-ciridrama yang baik menurut Abdul Rozak Zaidan: 1. Tema relevan dengan keperluan pementasan 2. Konfliknya cukup tajam ditandai oleh plot yang penuh kejutan dan dialog yang mantap 3. Watak pelakunya mengandung pertentangan yang memungkinkan ketajaman konflik 4. Bahasanya mudah dihayati dan komunikatif 5. Mempunyai kemungkinan pementasan.26 h. Pengajaran drama

Pengajaran drama di sekolah dapat ditafsirkan dua macam, yaitu pengajaran teori drama, atau pengajaran apresiasi drama. Masing-masing juga terdiri atas dua jenis, yaitu: pengajaran teori tentang teks (naskah) drama, dan pengaran tentang teori pementasan drama.27

Tujuan pembelajaran mata pelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia bidang sastra dalam kurikulum 2004 adalah agar (1) peserta didik mampu menikmati dan memanfaatkan karya sastra untuk mengembangkan kepribadian, memperluas wawasan kehidupan, serta meningkatkan pengetahuan dan kemampuan

25 Zaidan, dkk., op.cit., h. 132. 26 Ibid., h. 32. 27 Waluyo, op. cit., h. 153.

23

berbahasa; dan (2) peserta didik menghargai dan membanggakan sastra Indonesia sebagai khazanah budaya dan intelektual menusia Indonesia.28

3. Kritik Sosial Rendra, Arifin, Putu, maupun Riantiarno adalah tokoh sastrawan yang kerap menampilkan kritik sosial. Mereka berpandangan bahwa dalam masyarakat masih ada kepincangan, ketidakadilan, penghisapan manusia atas manusia, penyelewengan dari mereka yang harusnya menegakkan hukum dan keadilan.29

Pesan moral dan kritik sosial banyak ditemukan dalam karya fiksi atau genre sastra yang lain. Kedua hal tersebut, merupakan ‘lahan’ yang banyak memberikan inspirasi bagi penulis.30

4. Komunikasi Nonverbal Orang menyandi pesan melalui gerakan, isyarat (body language) yang sudah menjadi konvensi pada kelompok tertentu. 31 Bahasa tubuh ini bisa berupa ekspresi wajah, gerak mata, kepala, bahu, tangan, kaki, dan sebagainya yang sering digunakan bersamaan dengan bahasa lisan (oral language).32

Tubuh manusia sebagai papan iklan yang menyampaikan (mengiklankan) pemikiran orang tersebut melalui gerakan tubuh, ekspresi wajah, dan gerakan fisik yang dapat terbaca. 33 Adapun media tadi, yakni ekspresi wajah dan gerakan tubuh merupakan bagian dari cara komunikasi nonverbal.

Melalui pemahaman perilaku nonverbal, didapatkan pandangan yang lebih dalam dan lebih bermakna tentang dunia di sekitar. Dapat melihat dan

28 Siswanto, op. cit., h. 70-71. 29 Waluyo, op. cit., h.93. 30 Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajian Fiksi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press, 2005), h. 326. 31 Nenden Lilis dan Yulianeta, Bianglala Kajian dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia, (Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FPBS UPI, 2011), h. 204-205. 32 Ibid., h. 210. 33 Joe Navarro, Cara Cepat Membaca Bahasa Tubuh I, (Jakarta: PT Zaytuna Ufuk Abadi, 2016), cet. V, h. 2.

24

mendengar dua bahasa, yaitu yang diucapkan dan tak diucapkan, serta dapat memerhatikan apa yang dikatakan oleh bahasa tubuh.

Komunikasi nonverbal terdiri atas ekspresi, intonasi, dan gestur (bahasa tubuh).Pesan/komunikasi nonverbal sangat penting, sebab:34

a. Faktor-faktor nonverbal sangat menentukan makna dalam komunikasi interpersonal. b. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan nonverbal ketimbang pesan verbal. c. Pesan nonverbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancuan. d. Pesan nonverbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. e. Pesan nonverbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. f. Pesan nonverbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat. Simbol-simbol bentuk komunikasi nonverbal: a. Ekspresi Saat berbicara, emosi seseorang akan terlihat pada wajahnya, karena wajah adalah kanvas bagi pikiran dan ekspresi wajah berfungsi sebagai bahasa universal atau bahasa lintas budaya.35 Wajah menunjukkan gambaran isyarat sesuatu, seperti: 1. Tulang rahang yang menganga, hidung yang mengembang, mata yang menyipit, mulut yang bergetar, atau bibir yang terkatup rapat Mata yang disipitkan, kening yang dikerenyitkan, 2. Beserta perubahan bentuk wajah mengindikasikan tekanan atau ketidaknyamanan.36 3. Tindakan untuk menutup mata dengan tangan adalah cara yang efektif untuk mengatakan, “Saya tak menyukai apa yang baru saya dengar, lihat, atau pelajari.”

34 Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Komunikasi, (Bandung: Remaja Karya, 1986), h. 303- 304. 35 Ibid., h. 243-244. 36 Ibid., h. 248.

25

4. Mata yang menutup beberapa saat ketika mendengar sebuah informasi adalah indikasi emosi negatif atau rasa tak senang. 5. Saat kelopak mata menutup rapat, orang ini berusaha untuk memblokir berita atau kejadian negatif.37 6. Saat kita merasa puas, mata kita menjadi rileks dan tidak terlalu menunjukkan ketegangan. 7. Alis mata sedikit menukik ke atas dan melawan gaya tarik bumi. Ini adalah tanda perasaan positif.38 8. Mata yang berbinar terlihat saat seseorang penuh dengan emosi positif dan tak dapat menahannya.39 9. Senyuman tulus mendorong ujung mulut ke atas hingga mendekati mata 10. Senyum palsu terlihat dengan ujung mulut tertarik ke arah telinga dan hanya sedikit emosi di mata.40 11. Saat bibir seakan menghilang, stres dan kegundahan menjadi penyebabnya.41 12. Rasa sakit emosional yang dalam akan menyebabkan bibir menghilang dan membentuk sudut mulut ke arah bawah, seperti U terbalik.42 13. Mengerutkan hidung untuk menunjukkan rasa tak suka. Ini pertanda akurat namun tak dikenali.43 14. Saat kepercayaan diri rendah, dagu akan menunduk sehingga memaksa hidung mengarah ke bawah. 15. Saat kita merasa positif, dagu ‘keluar’ dan hidung kita terangkat tinggi. Keduanya merupakan tanda rasa nyaman dan kepercayaan diri yang tinggi.44 b. Intonasi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, intonasi berarti lagu kalimat; ketepatan penyajian tinggi rendah nada, aksen, lentong, tekanan. 45 Dalam

37 Ibid., h. 261. 38 Ibid., h. 265. 39 Ibid., h. 266. 40 Ibid., h. 277. 41 Ibid., h. 278. 42 Joe Navarro, Cara Cepat Membaca Bahasa Tubuh 2, (Jakarta: PT Zaytuna Ufuk Abadi, 2015), h. 119. 43 Ibid., h. 296. 44 Ibid., h. 298.

26

ucapan, tiap-tiap kata ada suku kata yang diberi tekanan. Perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti.46 Literatur lain menyebutkan pula bahwa penekanan suara memberikan gambaran penting tentang tokoh karena memperlihatkan keaslian watak tokoh bahkan dapat merefleksikan pendidikan, profesi, dan dari kelas mana tokoh berasal.47 Tekanan yang ditampilkan oleh para tokoh memperlihatkan keaslian watak tokoh dan kondisi mental/emosi tokoh.

Komunikasi nonverbal sering dikatakan sebagai perilaku nonverbal atau bahasa tubuh. Ini adalah cara untuk menyampaikan informasi, seperti kata-kata. Namun, “kata-kata” tersebut disampaikan melalui ekspresi wajah, gerakan tubuh, sentuhan (haptics), gerakan fisik (kinesics), postur, hiasan tubuh, bahkan intonasi, dan volume suara seseorang.48

Bashkan komunikasi verbal memiliki komponen nonverbal: intonasi, sikap, ritme, volume, dan durasi uacapan sama pentingnya dengan apa yang dikatakan, sama seperti komunikasi nonverbal dari jeda dan keheningan.49 c. Gestur (bahasa tubuh) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), gestur ialah nomina yang berarti isyarat atau kial. Kial dalam KBBI ialah gerakan tangan/badan sebagai lukisan suatu perbuatan. 50 Maka peneliti menyamakan arti gestur dengan bahasa yang dimiliki/dilukiskan tubuh (bahasa tubuh). Menurut Joe Navarro sebagai representasi dari dalam diri, gestur (bahas tubuh) memiliki perilaku untuk menenangkan diri. Perilaku ini jelas tervisualisasikan oleh gerakan tubuh sebagai respon yang diberikan oleh diri seseorang. Berikut ini contoh perilaku penenangan diri yang dilakukan gestur (bahasa tubuh):

45 KBBI, op. cit., h. 544. 46 Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: Remaja Rosdakarya, cet. V), h. 311. 47 Albertine Minderop, Metode Karakterisasi Telaah Fiksi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 36. 48 Navarro, op. cit., h. 3-4. 49 Navarro, op. cit., h. 11. 50 KBBI, op. cit., h. 694.

27

1. Sentuhan atau usapan di bagian lekukan leher merupakan rasa tak aman, tidak nyaman, takut, atau khawatir. 2. Usapan di kening merupakan indikasi yang baik bahwa seseorang sedang mengalami tekanan atau ketidaknyamanan 3. Sentuhan di leher terjadi saat mengalami rasa tak nyaman, bingung, atau tak aman. 4. Sentuhan di pipi atau wajah adalah cara menghilangkan rasa gundah, terganggu, atau khawatir.51 5. Menghela napas dengan pipi yang dikembungkan adalah cara menghilangkan stres.52 6. Pria venderung memijit atau mengusap-usap lehernya untuk menghilangkan tekanan. Area ini memiliki banyak syaraf, yang bila dipijit akan memperlambat detak jantung.53 7. Sebagian orang mengangkat bahu untuk menunjukkan kurangnya komitmen atau ketidakamanan. Ada orang yang mengangkat bahu guna menyatakan kurangnya pengetahuan atau keraguan. 8. Pundak yang diangkat hingga mendekati telinga, seperti ‘efek kura-kura’ menyampaikan kelemahan, rasa tak aman, dan emosi negatif. Banyak anggota tubuh yang seringkali digunakan sebagai visualisasi dari bahasa tubuh, seperti kepala, tangan, bahu, pundak, pinggang, dan kaki. Joe Navarro dalam bukunya memaparkan tentang perilaku nonverbal pada tangan. Mengapa tangan? Karena tangan merupakan bagian tubuh yang paling cepat tanggap merespon gejala dan impuls (rangsangan) dari luar ataupun dalam diri. Tangan adalah indikator perilaku dan emosi yang penting. Lengan didesain untuk membantu kita menjaga kelangsungan hidupyang berfungsi untuk menunjukkan perasaan atau niat kita yang sebenarnya.54 Gerakan lengan adalah indikator perilaku dan emosi yang penting. Gerakan ini bermacam-macam, dari pelan (menahan dan membatasi diri) hingga yang bersemangat (tak menahan diri dan ekspansif).55

1. Lengan yang diletakkan di belakang terkadang disebut sebagai gaya orang yang terpandang, yang artinya “jangan dekat-dekat saya”.56

51 Navarro, op. cit., h. 62-64. 52 Ibid., h. 64 53 Ibid., h. 67. 54 Ibid., h. 159-160. 55 Ibid., h. 161. 56 Ibid., h. 173.

28

2. Gaya lengan di pinggang adalah bentuk penguasaan wilayah yang dapat digunakan untuk membangun dominasi atau mengomunikasikan saas ada “masalah”.57 3. Posisi jemari yang membuka lebar ke atas menunjukkan kepercayaan diri dan kekuasaan (posisi tubuh berdiri tegak dengan meletakkan kedua telapak tangan terbuka lebar menyentuh atas meja/benda datar).58 Menurut Joe Navarro ada yang disebut dengan bahasa nonverbal pada tangan dan jari. Seperti yang sudah dipaparkan oleh peneliti sebelumnya bahwa tangan merupakan bagian tubuh yang paling cepat merespon rangsangan dari luar dan dalam diri. Selain tangan, jari pun memiliki bahasa nonverbal. Berikut ini merupakan bahasa nonverbal dari jari:

1. Gerakan yang paling ofensif adalah ‘menunjuk’. Gerakan ini memiliki konotasi negatif di seluruh dunia.59 2. Tangan dengan ujung jemari yang saling bertemu adalah salah satu cara paling jelas yang menunjukkan kepercayaan diri kita.60 3. Kedua tangan yang mengatup dengan jari menkuk adalah tanda yang menunjukkan stres atau khawatir.61 4. Ibu jari yang dimasukkan di dalam kantong sering digunakan sebagai tanda rasa tak aman dan tak nyaman serta harus dihindari. 5. Kita meredakan kegelisahan atau kegugupan dengan menggosokkan jemari pada telapak tangan atau menggosokkan kedua tangan.62

Komunikasi nonverbal ialah bentuk komunikasi melalui media nonkata- kata melainkan ekspresi (mimik wajah), gestur (bahasa tubuh), dan intonasi (lagu kalimat).

57 Ibid., h. 179. 58 Ibid., h. 185.. 59 Ibid., h. 209. 60 Ibid., h. 220. 61 Ibid., h. 222. 62 Ibid., h. 235.

29

5. Interpretasi

Dr. M. Rafiek, M. Pd., dalam bukunya Teori Sastra; Kajian Teori dan Praktik, menjelaskan bahwa definisi ‘interpretasi’ ialah seni yang memahami manifestasi atau pengejawantahan hal yang bersifat vital dan ditampakkan pada kebiasaan yang tahan lama.63

Semua bagian dalam interpretasi berlangsung menurut aturan-aturan yang berlaku supaya segala kesulitannya dapat teratasi. Seni interpretasi lahir beserta aturan-aturannya sendiri.64

Interpretasi dalam Kamus Istilah Sastra hanya terdefinisikan dengan frase ‘interpretasi teks’ yang artinya keterhubungan antara suatu teks dengan beberapa teks sebelum atau sesudahnya; keterhubungan itu dapat berwujud pencontohan, penyimpangan, pengubahan (transformasi), atau penjungkirbalikkan dari teks yang menjadi modelnya.65

Istilah interpretasi yang digunakan peneliti ialah interpretasi dengan definisi sebagai ‘pemberian kesan, pendapat, pandangan teoretis terhadap sesuatu, dan penafsiran yang tertera dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia halaman 543.

B. Penelitian yang Relevan Penelitian yang terkait dengan bahasan skripsi ini pernah dilakukan sebelumnya oleh tiga orang mahasiswa dalam penelitian tugas akhir. Berikut penjabaran kaitan penelitian yang relevan dengan bahasan peneliti: Pertama, penelitian dengan objek puisi Golf untuk Rakyat pernah dilakukan oleh Ekhwan Nugroho dengan NIM (Nomor Induk Mahasiswa): A310 090 075 sebagai penelitian gelar strata satu (S1) di Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan, Universitas Muhammadiyah Surakarta di bawah bimbingan Dr. Ali Imran Al-Ma’ruf, M. Hum., pada 2013 silam dengan judul “Diksi pada Kumpulan Puisi Golf untuk Rakyat dan Pemaknaannya; Kajian Stilistika pada Bahan Ajar SMA”. Objek penelitian ini adalah gaya kata (diksi) dalam kumpulan puisi Golf Untuk

63 M. Rafiek, Teori Sastra; Kajian Teori dan Praktik, (Bandung: Refika Aditama, 2010), h. 30-31. 64 Ibid. 65 Zaidan, op. cit., h. 89.

30

Rakyat karya Darmanto Jatman dan pemaknaannya dengan tinjauan stilistika dan implementasinya sebagai bahan ajar Bahasa Indonesia di SMA. Adapun objek penelitian dalam bahasan peneliti berbeda dengan Ekhwan Nugroho dengan menyoal kritik sosial dalam karya tersebut. Hasil penelitian Ekhwan Nugroho ini adalah analisis gaya kata (diksi), pemaknaan kata serta implementasinya yang terdapat dalam standar kompetensi menulis 7: memahami wacana sastra melalui kegiatan membaca puisi dan cerpen, dan 7.1: membacakan puisi dengan lafal, nada, tekanan dan intonasi yang tepat. Berbeda dengan peneliti yang menunjukkan hasil akhir terkait cara interpretasi Butet Kertaredjasa sebagai pemonolog dalam “Golf untuk Rakyat” yang menggunakan bentuk komunikasi nonverbal, yakni ekspresi, gestur, dan intonasi. Adapun kesamaan penelitian oleh peneliti dengan Ekhwan Nugroho hanya pada objek penelitian yang merujuk pada karya “Golf untuk Rakyat” Darmanto Jatman.66 Kedua, penelitian yang relevan dengan peneliti pernah dilakukan oleh Mustamar Sunarti, mahasiswa Magister (strata 2) Jurusan Sastra Indonesia UGM tahun 2000 (tesis) di bawah bimbingan Prof, Dr. Rachmat Djoko Pradopo dengan judul “Sajak-sajak dalam Golf untuk Rakyat: Analisis Struktural dan Semiotik”. Objek penelitian ini ialah lima sajak dalam Golf untuk Rakyat dengan menganalisis unsur struktur sajak serta hubungan antara unsur-unsurnya kemudian menganalisis makna tanda. Berbeda dengan kajian peneliti yang membahas kritik sosial yang diinterpretasikan Butet Kertaredjasa dalam pementasan monolog dari Golf untuk Rakyat yang terlihat dari bentuk komunikasi nonverbal pemonolog. Jika objek penelitian dari Mustamar Sunarti terkait naskah Golf untuk Rakyat, maka peneliti lebih kepada Golf untuk Rakyat yang sudah dialihbentukan dalam wujud pementasan monolog. Kesamaan dalam penelitian Mustamar Sunarti dengan peneliti ialah pada salah satu

66 Ekhwan Nugroho, “Diksi pada Kumpulan Puisi Golf untuk Rakyat”, Senin, 23 Januari 2017, pkl. 08.36 WIB. http://eprints.ums.ac.id/24729/9/NASKAH_PUBLIKASI.pdf.

31

variabel penelitian yang serupa membahas naskah Golf untuk Rakyat dan metodologi penelitian yang serupa menggunakan metode kualitatif deskriptif.67 Ketiga, penelitian yang dilakukan oleh Ayu Sitaresmi (2150405048) Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang pada 2009, dengan judul “Tindak Tutur Ekspresif pada wacana Humor Politik Verbal Tulis Presiden Guyonan Butet Kertaredjasa”. Tujuan penelitian skripsi iniadalah mengidentifikasi jenis tindak tutur apa sajakah yang terdapat dalam wacanahumor politik “Presiden Guyonan” dan kedua; memaparkan fungsi pragmatis tindak tutur ekspresif yang terdapat dalam wacana humor politik “Presiden Guyonan”, dan menentukan kemungkinan efek apa saja yang ditimbulkan oleh tuturan ekspresif yang terdapat dalam wacana humor politik “Presiden Guyonan”. Penelitian ini menjadi relevan dengan peneliti karena sama-sama mengkaji wacana yang dilakonkan oleh Butet Kertaredjasa. Jika dalam penelitian milik Ayu Sitaresmi ini terkait “Presiden Guyonan”, maka pada penelitian oleh peneliti ialah terkait naskah “Golf untuk Rakyat”.68

67 Mustamar Sunarti, “Sajak-sajak dalam Golf untuk Rakyat:Analisis Struktural dan Semiotik”, Senin, 23 Januari 2017, pkl. 08.45 WIB. http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=PenelitianDetail& act=view&typ=html&buku_id=5337

68 Ayu Sitaresmi, “Tindak Tutur Ekspresif pada wacana Humor Politik Verbal Tulis Presiden Guyonan Butet Kertaredjasa”, Senin, 23 Januari 2017, pkl. 08.59 WIB. http://lib.unnes.ac.id/2529/1/4671.pdf.

BAB III BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN SASTRAWAN

A. Biografi dan Pemikiran Darmanto Jatman

1. Biografi Darmanto Jatman Darmanto Jatman lahir di Jakarta tanggal 16 Agustus 1942 dan dibesarkan di Yogyakarta dalam lingkungan priyayi dengan tradisi Kristen Jawa. Darmanto menempuh pendidikan di Yogyakarta, sejak SR sampai S-2. 1 Usai menyelesaikan pendidikan S1 di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada pada 1968, ia menjadi pengajar di Akademi Seni Rupa di Yogyakarta (1969-1970), dan Universitas Satyawacana Salatiga (1970). Pada 1972, ia berangkat ke Hawaii untuk menempuh pendidikan di University of Hawaii, Amerika Serikat, dan dilanjutkan ke University of London, Inggris pada 1977. Pada 1979, ia menjadi pengajar di FISIP Universitas Diponegoro (UNDIP), jurusan Komunikasi. Ia juga turut membidani pendirian Fakultas Psikologi serta menjadi guru besar luar biasa pertama di fakultas itu. Selain itu, ia juga ikut mendirikan Fakultas Psikologi Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang, Jawa Tengah pada 1983. Di 1985, Darmanto Jatman menyelesaikan pendidikan S-2 nya di jurusan Psikologi di Universitas Diponegoro. Selain bergelut di bidang akademik, ia juga tercatat aktif menjadi redaktur pada surat kabar maupun majalah, baik yang lokal maupun nasional, di antaranya redaktur kebudayaan Dinamika Baru, Kampus, Suara Merdeka, Tribun, dan memimpin koran kampus UNDIP Manunggal dan majalah FISIP UNDIP Forum. Ia pun pernah memimpin Teater Kristen Yogya dan Studi Klub Sastra Kristen Yogya. Tulisannya berupa esai maupun puisi banyak di muat di berbagai media masa seperti Kedaulatan Rakyat, Suara Merdeka, Jawa Pos, Suara Pembaharuan, Sinar Harapan, dan Kompas.

1 Darmanto Jatman, Golf untuk Rakyat, (Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama, 1994), h. 179.

32 33

Darmanto memimpin Pusat Penelitian Sosial Budaya Universitas Diponegoro dari 1990-1996. Ia kerap menjadi fasilisator bagi sejumlah LSM seperti LIMPAD, Forum Salatiga, serta Persepsi ini. Sebagai akademikus sekaligus sastrawan, dia beberapa kali diundang dalam forum sastra internasional di antaranya Festival Seni Adelaide, Australia (1980), dan mengikuti Festival Penyair Internasional di Rotterdam, Belanda (1983). Dalam menulis puisi, Darmanto Jatman juga kerap bereksperimen dengan memasukan kosa kata bahasa Jawa, Inggris, sedikit Belanda, dan Perancis, sehingga ia di beri julukan sebagai penyair multilingualis. Kesukaannya bermain-main dengan kata-kata tersebut, maksudnya agar terkesan adanya kepadatan makna dalam sajaknya. Dengan menggunakan kosa kata daerah, makna kata itu dapat mudah sampai kepada pembaca. Walaupun tentu saja, kosa kata itu harus dimaknai dengan bahasa daerah.

Kegemaran menulis Darmanto Jatman sudah dimulai ketika duduk dibangku kelas enam sekolah dasar, ketika itu Darmanto Jatman sudah mulai menulis puisi tentang masjid yang baru dibangun di Kota Baru, Yogyakarta. Beberapa tahun kemudian, saat dia bersekolah di SMA III B Padmanaba Yogyakarta, dia mulai mengirimkan karya-karyanya ke majalah Horison, Basis, dan Sastra setelah sebelumnya dia menulis di Kawanku, Kedaulatan Rakyat, dan Remaja Nasional. Sejak muda ia juga tertarik untuk belajar filsafat, teologi dan psikologi. Darmanto Jatman belajar menulis puisi melalui belajar filsafat, teologi, dan pengalaman atau petualangan.2

Beberapa karya tulisnya antara lain; Sajak-Sajak Putih (bersama MD + Dharmadi Sosropuro, 1968), Ungu (bersama A. Makmur Makka, 1968), Bangsat (1975), Sang Darmanto (1975), Arjuna in Meditation (bersama Soetardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi W. M, 1976) Ki Blakasuta Bla Bla (1980), Karta Iya Bilang Mboten (1981), Sastra, Psikologi dan Masyarakat (1985), Sekitar Masalah Kebudayaan (1986), Golf Untuk Rakyat (1994), Istri (1997). Disamping itu, ia

2 Ibid., h. xi – xii.

34

juga menjadi editor Manusia Seutuhnya (bersama Frieda NRH + Darmono SS, 1984) dan Sebutlah Ia Bunga (kumpulan sajak bersama, 1985).

Atas peran aktif Darmanto dalam dunia sastra, dan karena karya-karya puisinya terkenal unik, Darmanto Jatman, tercatat beberapa kali meraih penghargaan. Penghargaan tersebut diantaranya: Piagam Kepala Pusat Bahasa Depdiknas untuk Penulisan Karya Sastra di bidang puisi (2002), SEA Write Award (2002), Satyalencana Karya Satya (2002) dan Anugerah Satyalencana Kebudayaan 2010 dari pemerintah RI atas jasanya dalam melestarikan dan memajukan budaya Indonesia melalui perannya sebagai budayawan dan filososfi, serta aktif menjadi redaktur pada surat kabar maupun majalah baik lokal maupun internasional. Darmanto menikah dengan Siti Mulyati. Salah satu anaknya, Omi Intan Naomi, juga mengikuti jejaknya ayahnya menjadi penulis kajian kebudayaan dan gender.3

Darmanto dalam pandangan para sahabat dan sastrawan, seperti berikut: “Darmanto adalah seorang penyair dengan puisi-puisi yang luar biasa bagus, apalagi kalau dibacakan sendiri olehnya,” ujar Ons Untoro, Direktur Tembi Rumah Budaya. Hal serupa disampaikan oleh Hari Genthong, seniman yang juga sahabat karib Darmanto. Sesudah 47 tahun ia mengenal Darmanto. Dalam pandangan Hari, Darmanto ialah sosok yang luar biasa. Puisi maupun cara membacakannya sangat baik. “Ya, mungkin nanti kami semua yang di sini tidak akan mampu mencapai taraf seperti apa dia baca. Ini karena Darmanto itu orang yang sangat musikalis,” tukas Hari.

Melihat karya-karya puisi Darmato Jatman dalam kumpulan puisi Golf untuk Rakyat seperti Hai Tibum, Sebuah Dompet untuk Doi, He Cak Tau Tumon Gajah Gancet Kon?!, Hukuman Karto, Nasehat untuk Begawan Wisrawa, Hai Sapi!, Kroncong Ngadat Karto Tela Si Duda Bantat, Patriotisme Kromo, dan Arung Jeram 1993 membuat peneliti menyimpulkan bahwa sebagai penyair, Darmanto mencoba menggunakan diksi yang ‘dekat dengan rakyat’, ini

3 Ibid.

35

dibuktikan dengn penggunakan istilah bahasa Jawa (bahasa daerah) yang sarat mendominasi puisi-puisinya. Isu kritik sosial yang dimunculkan Darmanto dalam karya-karya puisinya bukan dengan retorika bahasa yang menggambarkan seolah- olah penyair marah dengan menggunakan bahasa-bahasa kasar dan sarkas, namun lebih kepada bentuk sindiran dan bahasa ‘merendah’. Hal ini merupakan bentuk ‘magis’ kepiawaian Darmanto sebagai seorang penyair.

2. Pemikiran Darmanto Jatman

Naskah puisi ataupun buku kumpulan puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman dinilai mampu mewakili kepedulian Darmanto oleh berbagai perubahan sosial yang terjadi dengan gaya berpuisinya yang kocak tetapi menyengat. Lewat “Golf untuk Rakyat”, Darmanto mengajak pembaca untuk menyadari bahwa di sekeliling kehidupan masyarakat luas memang penuh dengan persoalan yang tidak dapat dibiarkan begitu saja.

Sumber gaya Darmanto yang kaya akan bunyi tetapi sarat makna tidak hanya terdiri atas medan dan pengalaman yang tunggal. Medan pengalaman ketika bersentuhan dengan tradisi Jawa sampai filsafat dan ilmu jiwa Ki Ageng Suryomentaram, dilengkapi pula dengan medan pengalaman ketika bersentuhan dengan budaya campuran di Bali dan Hawaii. Ketika membuat karya-karya puisinya, Darmanto kerap mengadakan perjalanan pengembaraan dalam rangka observasi, misalnya ke tempat yang sangat menggambarkan kehidupan rakyat kecil. Sikap yang dipilih Darmanto bukan dengan membuat makian atau kemarahan secara vulgar, tetapi dengan cara menyindir atau meledek lewat kata- kata yang mengandung guyon parikena. Inilah yang membuat karya-karya puisi Darmanto memiliki karakter.

Keseluruhan puisi Darmanto dalam buku kumpulan puisi Golf untuk Rakyat yang salah satunya ialah puisi “Golf untuk Rakyat” memiliki nada dasar yang serupa. Nada dasar yang menggugat atau peduli atas masalah sosial dan posisi kepenulisan pembela sekaligus pengkritik yang terus terang.

36

Puisi “Golf untuk Rakyat” pernah dilarang untuk dibaca. Terbukti saat Darmanto diajak oleh Linus Suryadi, dkk., untuk menghadiri acara pembacaan sajak di Purna Budaya, Bulak Sumur, Yogyakarta. Ketika itu, polisi datang menyatakan bahwa puisi “Golf untuk Rakyat” dilarang dibaca karena suasana di Jogja (kala itu) sedang kritis terkait pembangunan lapangan golf yang kemudian didemonstrasi oleh masyarakat. Saat itu masyarakat menyuarakan kerugian dan dampak kurang menyenangkan yang dialami mereka dalam keberlangsungan pembangunan karena membuat mereka termarjinalisasikan dan mengalami kerugian akibat penggusuran yang dilakukan pihak berwenang terkait pembangunan lapangan golf itu.

Semakin jelas bahwa dalam naskah puisi “Golf untuk Rakyat” yang dikarang Darmanto Jatman mengandung pesan moral tentang sikap yang harusnya dimiliki para pemimpin bangsa. Darmanto mengemas kritik dalam puisinya dengan menggunakan bahasa sindiran yang disandingkan dengan penggambaran suasana dalam puisi berupa keironisan ide pembangunan lapangan golf pada masa itu (orde baru). Sindiran dalam suasana permainan golf dan diperlihatkan Darmanto pada kalimat, “Marilah sama-sama kita tunggu dawuh. Siapa tahu, sekali sampean ayunkan stick sampeyan langsung dapet ‘hole in one’. Hadiahnya bisa buat beli loji, pengganti rumah sampeyan yang kegusur Raden Sukosrono bolehnya muter taman golf internasional ke Indonesia!”.4

B. Biografi dan Pemikiran Butet Kertaredjasa

1. Biografi Butet Kertaredjasa Dikenal sebagai ‘Raja Monolog’, inilah gelar yang diberikan Mendiang Romo Y.B. Mangunkusumo pada Butet Kertaredjasa. Butet lahir di Yogyakarta, 21 November 1961 dengan sandangan nama asli Bambang Ekoloyo Kartaredjasa yang diberikan oleh Gusti Bandoro Pangeran Haryo Tedjokusumo, bangsawan keraton Yogyakarta. Sebagai seniman, darah seni mengalir dalam diri Butet diturunkan oleh sang ayah, Bagong Kussuadiardja, Koreografer dan pelukis senior

4 Ibid., 165-166.

37

Indonesia.5 Asal nama “Butet” yang menjadi nama sapaan gadis-gadis Batak ini diberikan sang ayah, entah alasan apa. Sedangkan nama “Kertaredjasa” berasal dari nama kakek dari garis ibu yang hilang sebagai romusha saat penjajahan Jepang. Ibunya, Sutiana, sudah lama tiada.6 Persis keenam saudaranya yang lain, ayah Butet mengarahkan masa depan puteranya sebagai penari. Karena enggan dan merasa mampu menentukan sendiri jalan hidupnya, sejak lulus SMP Butet memilih untuk jadi pelukis. Pikirnya, menjadi penari suatu hal biasa, sebab ayahnya, Bagong seorang penari. Jelas Butet ingin lepas dari bayang-bayang ayahnya, Bagong. Menjadi penari (juga) seperti numpang tenar nama orangtua. Ia ingin sesuatu yang ‘berbeda’. Karenanya, Butet masuk Sekolah Menengah Seni Rupa (SMSR) Yogyakarta. Berlanjut ke Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia (ISI), Yogyakarta, tapi kandas di tengah jalan. Ia memutuskan bermain teater lantas mulai akrab dengan sastrawan dan budayawan macam Emha Ainun Najib, Ashadi Siregar, dan Linus Suryadi AG.7 Butet menikah dengan gadis asli Kutai, Kalimantan timur, ialah Rulyani Isfahana pada 1981 dan dikaruniai tiga orang anak, mereka adalah Giras Basuwondo, Suci Senanti, dan Galuh Paksamagma. Ia bersama anak dan istri tinggal di rumah seluas 100 meter persegi pemberian ayahnya, Bagong, meskipun Butet telah memiliki rumah pribadi hasil jeri payahnya sendiri. Pada 2002 ia menempati rumah dengan tanah seluas 450 meter persegi hasil arsitek Eko Prawoto. Rumah Butet dirancang dengan gaya teatrikal dan etnis, persis pribadinya yang kental dengan budaya dan seni titisan Jogja. Berteater sejak 17 tahun, pernah membuat Butet menjadi aktor dan sutradara terbaik Festival Teater SLTA se-Daerah Istimewa Yogyakata pada 1979 dan 1981. Ia dibesarkan di beberapa grup teater: Teater Kita-kita, Sanggar Bambu,

5 Jambi Ekspres, Minggu, 21 Juli 2002. Butet Kertaredjasa, “Gaya Teatrikal Si Raja Monolog”. 6 Joko Syahban, “Saya Hanya Menggiring Fantasi”, Gatra, 29 April 2000, h. 60. 7 GATRA 29 April 2000, Butet Kertaredjasa, “Saya hanya Menggiring Fantasi”.

38

Gandrik, dan Paku. Bersama Gandrik, ia pernah mentas di Universitas Monash, Melbourne, Australia, dengan lakon Brigade Maling pada 1999. Ketika Gandrik sempat vakum, Butet bersama Emha Ainun Najib mendirikan Komunitas Pak Kanjeng. Dalam perjalanan karir Butet, Ainun cukup memegang andil besar, ia pernah bermain sinetron Ketulusan Kartika dan Air Kehidupan. Sebagai seorang pementas monolog, kesuksesan Butet didukung oleh banyak pihak, seperti Djaduk Ferianto yang tak lain adalah adik kandungnya, serta Indra Tranggono dan Agus Noor untuk urusan repertoar panggung dan proses kreatif. Juga Jujuk Prabowo sebagai sutradara Teater Gandrik. Banyak pementasan monolog Butet yang naskahnya hasil karya Agus Noor, seperti Mayat Terhormat, Lidah Pingsan, dan Lidah (Masih) Pingsan. Selain berteater dan hobi melukis, Butet pun pernah menjadi wartawan tabloid Monitor dan majalah Jakarta-Jakarta, yang kini kedua majalah itu tak lagi terbit. Pernah juga bekerja di harian Bernas, Yogya. Segudang karir yang dibangun Butet diraihnya sejak ia memenangkan festival dan perlombaan. Ia pernah menjadi Juara I lomba penulisan esai tentang Taman Ismail Marzuki yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta pada 1983, dan Juara 1 lomba esai tentang wartawan di Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta. Persatuan Wartawan Indonesia pernah menobatkan Butet Kertaredjasa sebagai “Tokoh Seni 1998”, dan pada 2000 ia menerima Piagam Seni dari Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta untuk bidang pengabdian teater. Di luar panggung, ia memimpin Yayasan Galang Yogyakarta, didirikan pada 1996 dengan nama Galang Communication. Sebagai lembaga yang bergerak di bidang “Kampanye Publik” untuk isu-isu kesehatan reproduksi berperspektif gender.8 Lembaga ini mempunyai percetakan, penerbitan, dan periklanan. Bukti bahwa Butet mencintai dunia seni peran ialah dengan serentet daftar filmografi yang pernah dilakoninya:9

8 Suara Pembaruan, Jumat, 17 Maret 2000. No koleksi: 4608. Butet Kertaredjasa, “Butet dan Karya”. 9 GATRA 29 April 2000, loc. cit.

39

a. Petualangan Sherina (2000) b. Banyu Biru (2005) c. Koper (2006) d. Maskot (2006) e. Anak-anak Borobudur (2007) f. Drupadi (2008) g. Jagad X Code (2009) h. Seleb Kota Jogja (SKJ) (2010) i. Golden Goal (2011) j. Soegija (2012) k. Nada untuk Asa (2015)

Berikut daftar pentas monolog yang pernah diperankan Butet:

a. Racun Tembakau (1986) b. Lidah Pingsan (1997) c. Lidah (Masih) Pingsan (1998) d. Benggol Maling (1998) e. Raja Rimba Jadi Pawang (1999) f. Iblis Nganggur (1999) g. Guru Ngambeg (2000) h. Mayat Terhormat (2003) i. Matinya Toekang Kritik (2006) j. Sarimin (2007) k. Presiden guyonan (2008) l. Kucing (2010) Pada 2011 Butet menggagas program Indonesia Kita sebagai program yang mengangkat isu-isu kreatif seperti status Jogja dan pluralisme Indonesia yang dapat diperdebatkan melalui dan lewat karya seni. Berikut adalah judul pertunjukan dalam serial Indonesia Kita:10

10 Ibid.

40

a. Laskar Dagelan (Maret 2011) b. Beta Maluku (Mei 2011) c. Kartolo Mbalelo (Juli 2011) d. Mak Jogi (Juli 2011) e. Kutukan Kudungga (Oktober 2011)

Selain terkenal sebagai ‘Raja Monolog’, aktor, dan penulis, Butet ialah seorang pengusaha rumah makan di Jl. Tirtodipuran 13, Jogja, Warung Makan Bu Ageng namanya. Pembawa acara “Sentilan-sentilun” bersama Slamet Raharjo ini dapat dijumpai di kediamannya di Jogja, rumah makannya, dan akun twitternya @Masbutet.

Seniman beragama Katolik ini akan menyelenggarakan pentas monolog “Tangis” karya Agus Noor bersama Teater Gandrik. Dalam pementasannya nanti, akan hadir pula Djaduk Ferianto sebagai penata musik dan panggung, serta Pak Susilo Nugroho sebagai lawan bermain Butet. Naskah “Tangis” ini akan dipentaskan di dua tempat yakni Taman Budaya Jogja, Concert Hall pada 11-12 Februari 2015, pukul. 20.00 WITA dan di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Cikini, pada 20-21 Februari 2015, pukul. 20.00 WIB.11

Ketika ditemui peneliti pada pementasan terakhir lakon “Tangis” di Graha Bhakti Budaya, 21 Februari 2015 lalu, Butet merupakan sosok yang ramah pada para pengagum karya-karyanya. Hal ini terbukti dengan kesediaan Butet menerima ajakan foto bersama dan wawancara dari para penggemar atau pemburu berita. Sikap tegas, tidak plin-plan, terus terang, dan apa adanya, juga diperlihatkan Butet dalam proses wawancara yang sempat dilakukan oleh peneliti selama 15 menit. Dalam wawancara singkat tersebut, Butet mengatakan bahwa sesungguhnya kepiawaiannya dalam bermonolog dan berteater ini tidak berbeda seperti para seniman lainnya, sama saja, yang dibutuhkan untuk mencapai hasil

11 Berikut ini link twitter Butet Kertaredjasa: https://twitter.com/masbutet. Untuk mengenal sosok, pemikiran, dan aktivitas Butet, sila cek twitternya yang kini mencapai 596.205 followers.

41

yang baik dan memuaskan penonton (penikmat seni) dalam dunia teater ialah hanya dengan berlatih keras.

2. Pemikiran Butet Kertaredjasa Peneliti memandang Butet sebagai seniman kawakan Indonesia yang sangat piawai dalam seni peran, khususnya monolog. Hal tersebut didukung dengan nama populer yang ditujukan masyarakat/khalayak kepada Butet, yakni ‘raja monolog Indonesia’. Konsen Butet terhadap dunia seni dibuktikan dalam karya- karya wajah perfilman Indonesia yang kerap menampilkan Butet sebagai aktor. Perfilman Indonesia yang seringkali memerankan Butet ialah genre film yang mengedepankan persoalan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Tema film yang demikian ‘dekat’ sekali dengan pribadi dan sikap yang sering dimunculkan Butet di layar kaca. Serupa dengan acara talkshow televisi berjudul “Sentilan-Sentilun” yang menjadikan Butet dan Slamet Raharjo sebagai tokoh lakon. Acara televisi ini menggambarkan Butet yang berperan sebagai rakyat kecil/ajudan, dan Slamet Raharjo yang memerankan tokoh priyayi/majikan. Dalam skenario yang dilontarkan Butet dan Slamet Raharjo sarat akan kritik sosial dan sindiran terhadap pemerintah atau pihak manapun yang terlibat dalam isu sosial, budaya, ekonomi, maupun politik. Selain talkshow televisi, acara yang pernah dihadiri Butet dalam rangka menanggapi isu-isu sosial ialah pertemuan antara dua bakal calon presiden dan wakil presiden dari partai politik berbeda pada masa-masa pemilihan umum (pemilu). Pada acara tersebut Butet hadir di atas panggung sebagai pembaca puisi (monolog) yang sarat akan pesan kedamaian untuk saling menghormati perbedaan atas dasar semboyan NKRI, yakni Bhineka Tunggal Ika (berbeda-beda namun tetap satu).12 Adapula sebuah video yang memperlihatkan kepeduliaan Butet dalam acara charity sebagai momen memperingati “terbunuhnya Munir”. Dalam video yang berdurasi sekitar 15 menit tersebut, Butet menghibur audience lewat pembacaan naskah puisi “Akulah Pembunuh Munir” karya Putu Wijaya dengan gaya khasnya

12 Informasi ini diperoleh peneliti dari video youtube tentang penampilan-penampilan monolog (performance)nya Butet Kertaredjasa sebagai ‘Raja Monolog Indonesia’.

42

sebagai pemonolog. Ketika membacakan puisi tersebut, Butet memaksimalkan kepiawaiannya berteater dengan memainkan mimik, intonasi, dan bahasa tubuh Butet sebagai media penyampai pesan-pesan penting, sindiran, serta kritik sosial dalam naskah puisi “Akulah Pembunuh Munir” itu. Lewat video pembacaan puisi tersebut membuktikan bahwa Butet merupakan seniman yang piawai berteater dan peduli terhadap isu serta situasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Butet pernah membacakan puisi “Golf untuk Rakyat” dan “Hai Sapi!” karya Darmanto Jatman dalam acara Malam Sastra Tembi di Yogyakarta yang dihadiri ratusan sastrawan dan seniman di halaman Rumah Budaya Sewon, Bandul, pada Sabtu, 21 Januari 2012. Acara tersebut dirancang oleh Genthong HAS dan rekan sastrawan lain dalam rangka memberikan support dan apresiasi terhadap sang penyair, Darmanto Jatman, yang kala itu tengah mengidap stroke, sekaligus memperingati 70 tahun usia Darmanto Jatman kala itu. Penampilan Butet kala itu mengundang celetukan segar penonton yang lantas dibalas Butet dengan spontan, tak semua yang hadir malam itu dibuat tertawa terpingkal-pingkal oleh Butet. Berdasarkan pada penjabaran peneliti mengenai ragam kegiatan yang kerapkali dihadiri Butet, maka dapat disimpulkan bahwa salah satu latar belakang Butet memvisualisasikan naskah puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman dalam lakon monolog adalah karena naskah tersebut sarat akan kritik sosial. Isu permasalahan sosial dalam naskah “Golf untuk Rakyat” sangat ‘dekat dan lekat’ dengan kehidupan masyarakat Indonesia pada masa ini. Ada indikasi pengulangan sejarah meskipun dalam aspek berbeda yang mampu dikritisi sebagai refleksi terhadap situasi sosial yang terjadi di masa kini. Ada pula kesamaan pemikiran dan keserasian konsep ‘dekat dengan rakyat’ (prorakyat) yang dimiliki Butet dan Darmanto Jatman, sebagai pengarang naskah puisi “Golf untuk Rakyat” tersebut. Atas dasar kesamaan itulah, Butet menilai layak dan menarik untuk mewujudkan naskah puisi karya Darmanto tersebut menjadi sebuah pementasan lakon monolog, dengan judul yang sama tentunya, Golf untuk Rakyat.

43

“Kelima kumpulan puisi ini sengaja disusun berdasarkan waktu, sehingga gaya awal Darmanto dan gaya akhir Darmanto dalam menulis puisi dapat ditangkap perkembangan serta perbedaannya”.13

Jika kumpulan puisi dalam buku Golf untuk Rakyat ini disusun berdasarkan waktu, dan puisi yang disusun sebelum “Golf untuk Rakyat”, yakni “Hukuman Karto” berlatar 1992, serta puisi yang disusun setelah “Golf untuk Rakyat”, yakni “Arum Jeram” berlatar 1993, maka puisi “Golf untuk Rakyat” dibuat oleh Darmanto pada rentan waktu antara 1992-1993. Pendapat peneliti ini dikuatkan pula dengan literatur sejarah yang mengatakan bahwa Pembangunan Jangka Panjang Tingkat II (PJPT II) terjadi pada masa orde baru, yakni pemerintahan presiden Soeharto.

13 Dari kata pengantar penyunting; Mustofa W. Hasyim dalam buku Golf untuk Rakyat, h. x.

BAB IV PEMBAHASAN

A. Kajian Teks Puisi “Golf untuk Rakyat”

Puisi “Golf untuk Rakyat” tergabung dalam buku kumpulan puisi Golf untuk Rakyat karya Darmanto Jatman. Buku ini diterbitkan oleh Bentang Intervisi Utama di Yogyakarta pada 1994 setebal 180 halaman. Buku Golf untuk Rakyat karya Darmanto ini terdiri atas lima buku kumpulan puisi dengan jumlah keseluruhannya ialah 65 puisi. Buku kumpulan puisi Golf untuk Rakyat yang terdiri atas lima buku kumpulan puisi yang disatukan, yaitu: Bangsat (12 puisi), Sang Darmanto (12 puisi), Ki Blakasuta Bla Bla (19 puisi), Karto Iya Bilang Mboten (12 puisi), dan Golf untuk Rakyat (10 puisi). Keempat kumpulan puisi di depan pernah diterbitkan oleh penerbit Jakarta dan Semarang, sedang kelima semula merupakan karya terserak yang dimuat di berbagai media massa.1

Berikut ini teks puisi “Golf untuk Rakyat” sesuai naskah asli dalam buku kumpulan puisi dengan judul yang sama, Golf untuk Rakyat dan kajian teks puisi secara struktural (sesuai unsur intrinsik puisi).

GOLF UNTUK RAKYAT

Lho, Kang Karto! Kok cuma ngelamun di kebun? Sudah pernah main golep apa belum?

Kalau belum ya tunggu sampai dapet dawuh Siapa tahu sekali sampeyan ayunkan stick sampeyan Langsung deh dapet“hole in one”

Ini perkara pembangunan lapangan golf di awal PJPT II di Indonesia: Den Mantri Jerohan ngendika: Golf dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat! Sedang Mantri Kanuragan bilang Golf pertanda masyarakat kita sudah lebih sejahtera! Lha ya berapa banyak lapangan golf mesti dipasang

1 Tercantum di dalam bagian pengantar penerbit buku Golf untuk Rakyat, h. vii.

44 45

untuk menyejahterakan 200 juta rakyat? Berapa tumbal mesti dikorbankan untuk mengempiskan kantung-kantung kemiskinan?! Gusti, Kami tunggu dawuh paduka! Sementara Mantri Pagupon pesan Silakan bikin padang golf mister asal jangan gusur rumah rakyat! Dan Mantri Besar Jagabaya wanti-wanti Silakan bikin padang golf Sir asal bangun juga sarana olahraga buat para kanoman! Gusti kami tunggu sabda paduka! Yes, you are right! Tak gampang jadi orang “kajen keringan” Serba “ewuh aya ing pambudi” Apa ya haram memiliki vila, yacht, jet, golf stick buat meningkatkan citra bisnis dan memperkuat “bargaining power” Apa ya salah mengembangkan keunggulan kompetitif dengan menguasai hitech dirgantara samudra persada? Duh Gusti! Bersabdalah! Nenek moyang kita sih selalu mengajar kita hidup prihatin tapi tak pernah mengajar kita kiat bagaimana jadi kaya Ah, Yang bener Lha filsafat “ojo dumeh” itu? “Sa beja-bejane kang lali luwih beja kang eling lan waspada?!” Jadi perkara padang golf ini Kang Karto karena menyangkut kepentingan nasional Yang nggegirisi dan gawat keliwat-liwat Marilah sama-sama kita tunggu dawuh Siapa tahu sekali sampeyan ayunkan stick sampeyan Langsung dapat“hole in one” Hadiahnya bisa buat beli loji pengganti rumah sampeyan yang kegusur Raden Sukosrono bolehnya muter taman golf internasional ke Indonesia!

Untuk menganalisis teks puisi terlebih dahulu peneliti mengetahui parafrase dalam puisi “Golf untuk Rakyat” untuk melihat arti bahasanya. 2 Setelah mengetahui parafrase dalam puisi, langkah selanjutnya ialah mengkaji sarana kepuitisan bunyi (persajakan, kombinasi merdu dan parau, kiasan bunyi,

2 Rachmat Djoko Pradopo, Pengkajian Puisi, (Yogyakarta: Gajah Mada University Press), h. 337.

46

dan irama) dan sarana kepuitisan kata (diksi, bahasa kiasan, citraan, dan sarana retorika).3 Parafrase dalam puisi “Golf untuk Rakyat” ialah dialog yang dilakukan oleh tokoh ‘Aku’ pada Kang Karto yang tengah melamun di kebun tanpa menjawab pertanyaan tokoh ‘Aku’. Alih-alih kembali bertanya perihal pertanyaannya yang tidak dijawab oleh Kang Karto, tokoh ‘Aku’ malah terus saja bercerita tentang pembangunan lapangan golf di awal PJPT II di Indonesia dengan percakapan-percakapan para tokoh pemimpin negeri saat itu di dalamnya. Kegiatan monolog beberapa tokoh terjadi dalam teks puisi ini. Tokoh-tokoh tersebut seperti Den Mantri Jerohan, Mantri Kanuragan, Mantri Pagupon, Mantri Besar Jagabaya, dan Raden Sukosrono. Unsur puitisasi bunyi dalam teks puisi ini berupa (a) persajakan, (b) kiasan bunyi, dan (c) irama. (a) Persajakan dalam puisi ini menggunakan imbuhan awalan, akhiran, dan campuran, seperti pada kalimat Marilah kita tunggu dawuh, ...mengembangkan keunggulan kompetitif..., ...menguasai hitech dirgantara..., nenek moyang sih selalu mengajarkan kita hidup prihatin... .4 Sajak dalam puisi ini tidak seperti pantun dan syair yang besajak ab-ab atau a-a-a-a. Puisi ini terbebas dari sajak rima. Puisi “Golf untuk Rakyat” ini tidak terikat pada aturan rima, bunyinya persis seperti prosa, bercerita dan seperti bahasa sehari-hari tanpa ada pemangkasan dan pemadatan kata. (b) Kiasan bunyi dalam puisi “Golf untuk Rakyat” muncul pada kalimat ke-13 dalam teks puisi, yakni “Gusti, kami tunggu dawuh paduka!” 5 yang dimunculkan pengarang pun pada kalimat sebelum dan sesudahnya. Kalimat ini membentuk kiasan bunyi kepasrahan dan keberserahan diri seseorang yang lemah pada pemimpin yang kuat atau seorang hamba pada tuhannya. (c) Irama dalam puisi ini menunjukkan antusiasme tokoh ‘Aku’ tentang permainan golf pada tokoh Kang Karto. Adapun irama ketegangan, kesedihan,

3 Ibid. 4 Darmanto Jatman, Golf untuk Rakyat, (Yogyakarta, Bentang Intervisi Utama, 1994), h. 113. 5 Ibid.

47

kepasrahan, kemarahan, dan sindiran. Irama kepasrahan terkandung dalam kalimat “Gusti, kami tunggu dawuh paduka”, “Gusti, bersabdalah!”, “Nenek moyang kita sih selalu mengajarkan kita hidup prihatin...”.6 Irama sindiran terdapat dalam kalimat “lha ya berapa banyak lapangan golf mesti dipasang untuk menyejahterakan 200 juta rakyat?!” dan “berapa tumbal mesti dikorbankan untuk mengempiskan kamtung-kantung kemiskinan?”. Maksud pengarang membubuhi kalimat-kalimat yang mengandung irama/nada sindiran dengan majas sarkasme ini ialah agar maksud pengarang dan amanat dalam puisi ini sampai pada pembaca dan menguatkan sarat kritik sosial dalam karya puisi ini. Tujuan lain pengarang ialah agar dapat direnungi oleh pembaca dan dapat dijadikan pelajaran hidup. Unsur puitisasi kata dalam teks puisi ini berupa (a) diksi, (b) bahasa kiasan, (c) citraan, dan (d) sarana retorika. (a) Diksi dalam puisi “Golf untuk Rakyat” ini dipilih pengarangnya dengan menggunakan bahasa yang lugas dan jelas. Tidak padat namun berisi dan mirip seperti sajian baris dalam prosa (cerita rekaan). Pengarang memasukkan pula istilah bahasa daerah (bahas Jawa) dan istilah asing (bahasa Inggris) dalam puisinya. Hal ini dimaksudkan agar nuansa kedaerahan, kerakyatan, dan keberpihakan pada rakyat kecil/kaum papa dirasakan pembaca. Adapun istilah bahasa Inggris dalam puisi dimaksudkan agar nuansa dan nilai kemewahan, keangkuhan, dan high class terasa dalam benak pembaca puisi “Golf untuk Rakyat” ini. (b) Bahasa Kiasan dalam puisi ini yang paling mendominasi ialah kiasan sarkasme yang mengandung sindiran keras dan pedas, seperti pada kalimat “lha ya berapa banyak lapangan golf mesti dipasang untuk menyejahterakan 200 juta rakyat?” juga pada kalimat “...siapa tau sekali sampean ayunkan stick sampean langsung dapet hole in one. Hadiahnya bisa buat beli loji, pengganti rumah sampeyan yang kegusur Raden Sukosrono...”

6 Ibid.

48

Penggunaan bahasa kiasan dalam puisi ini agar kandungan kritik sosial yang ingin disampaikan pengarang dalam naskah sebagai pelajaran hidup sampai pada pembacanya. (c) Citraan dalam puisi “Golf untuk Rakyat” lebih dominan pada citraan rabaan/sentuhan. Dalam kalimat “...sekali sampeyan ayunkan stick sampeyan...”7 (d) Sarana retorika yang dipilih pengarang naskah dalam puisi ini ialah pada penyajian banyak tokoh dan percakapan yang dituturkan dalam puisi dan sarat indikasi kritik sosial. Selain itu, sarana retorika lain dimunculkan pengarang naskah lewat bentuk kontradiksi tokoh ‘Aku’ dengan tokoh lain dalam naskah, seperti dalam kalimat “Nenek moyang kita sih selalu mengajarkan kita hidup prihatin, nda pernah mengajarkan kita kiat bagaimana jadi kaya.” dan bentuk kontradiksinya pada kalimat “Ah, yang bener! Lha filsafat ojo dumeh kuwi?!” Adanya sarana retorika dalam teks puisi “Golf untuk Rakyat” ini dimunculkan pengarang guna melihatkan ketidakseimbangan keadaan dan kehidupan yang terjadi dalam latar puisi. Latar puisi yang dimaksud ialah saat zaman orde baru (PJPT II Indonesia) ketika pembangunan lapangan golf di tengah kemiskinan dan penggusuran rumah rakyat. Demikian adalah analisis kajian teks puisi yang sudah dilakukan peneliti guna melihat unsur struktural (intrinsik puisi). Adapun bentuk analisis lain yang dilakukan peneliti ialah interpretasi dari teks puisi “Golf untuk Rakyat” ke dalam bentuk pementasan monolog “Golf untuk Rakyat” oleh Butet Kertaredjasa. Puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman yang dikaji peneliti, disalin dari pengarang dalam bukunya beserta penetapan jeda dan petunjuk lakon:

7 Ibid, h. 114.

49

GOLF UNTUK RAKYAT

(Tanpa menyebut judul naskah seraya mengusap sebagian wajah hingga mulut)

Lho/ Kang Karto/ Kok cuma ngelamun di kebun?// (sambil menengadahkan kepala dan menutup mata)

Sudah pernah main golep/apa belum?// (membuka mata lebar-lebar ke arah naskah sambil menaikkan alis)

Kalau belum/ ya tunggu sampai dapet dawuh// (mengacungkan dan mengayunkan tangan kiri dari atas sampai bawah, diakhiri dengan posisi ibu jari membuka)

Siapa tahu/ sekali sampeyan ayunkan stick sampeyan/ (mengacungkan jari telunjuk sebelah kiri dilanjutkan dengan memeragakan posisi mengayunkan stick golf)

Langsung deh/ dapet/ “hole in one”// (diawali dengan mengacungkan jari telunjuk sebelah kiri kemudian memasukkan tangan ke saku celana seraya menutup mata dan menyunggingkan senyum)

Ini/ perkara pembangunan lapangan golf/ di awal PJPT II/ di Indonesia:/ (mengacungkan jari telunjuk sebelah kiri secara stagnan)

Den Mantri Jerohan ngendika:/ (seraya menaikkan kepala sedikit secara cepat kemudian menunduk kembali)

Golf dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat!// (mengacungkan tangan kirinya membentuk kuncup kemudian memasukkan kembali ke kantong celana seraya menaikkan alis dan memasang mulut dengan bentuk meledek/menyepelekan)

Sedang/ Mantri Kanuragan bilang// (secara spontan mengacungkan jari telunjuk sebelah kiri dengan cepat)

Golf/ pertanda/ masyarakat kita/ sudah lebih sejahtera!// (sambil menggenggam naskah dengan kedua tangan, pandangan mengarah serong ke kanan seraya membentuk mata bulat-bulat dan menaikkan alis)

Lha ya/ berapa banyak lapangan golf mesti dipasang/ untuk menyejahterakan 200 juta rakyat!// (memiring-miringkan kepala membaca naskah sambil kemudian menaikkan kepala sedikit, langsung menunduk lagi menatap naskah)

50

Berapa tumbal/ mesti dikorbankan/ untuk mengempiskan kantung-kantung kemiskinan?!// (Mengacungkan jari sebelah kiri secara spontan membentuk simbol ‘jatuh’ dengan telapak tangan terbuka ke atas serata mengerutkan wajah dan menaikkan alis)

Gusti,// (menunduk ke arah naskah serata menaikkan kedua alis)

Kami tunggu dawuh paduka!// (masih menunduk ke arah naskah tanpa perubahan gestur apapun)

Sementara/ Mantri Pagupon pesan// (sambil mengacungkan jari telunjuk sebelah kiri dan menaikkan kepala sebentar kemudian menatap naskah lagi-ke bawah)

Silakan bikin padang golf mister/ (memainkan tangan kiri seperti bentuk membuka telapak tanagn setengah seraya mengucapkan kalimat dengan mulut terpaksa menutup/mengatup rapat) asal jangan gusur/ rumah rakyat!// (pandangan sempat sebentar mengarah ke audience seraya memainkan tangan kiri)

Dan/ Mantri Besar Jagabaya/wanti-wanti/ (dua kali menaikan dan menurunkan kepala dengan mengacungkan telunjuk kiri)

Silakan bikin padang golf/ Sir/ (mata sempat tajam menatap audience dengan spontan dan menunjukkan wajah tegas dan keras) asal/ bangun juga sarana olahraga buat para kanoman!// (menunduk membaca naskah disusul dengan memonyongkan mulut saat mengatakan ‘kanoman’)

Gusti// (menunduk lemas)

kami tunggu sabda paduka!// (masih menunduk lemas)

Yes/ you are right!// (menunduk kemudian melihat ke depan, menaikkan alis seraya memainkan tangan kiri membentuk ‘kuncup’)

51

Tak gampang/ jadi orang “kajen keringan”/ (menunduk melihat nasksh dengan jari telunjuk kiri diacungkan)

Serba “ewuh aya ing pambudi”// (masih melihat naskah kemudian membalik halaman selanjutnya)

Apa ya haram/ memiliki vila/yacht/ jet/ golf stick/ (menaikkan kepala seraya sedikit menutup kedua mata dan membentuk mulut dengan menahan intonasi-penekanan pada kata ‘haram’)

buat meningkatkan citra bisnis/ dan memperkuat “bargaining power”// (memonyongkan mulut serata melotot dan menaikkan kedua alis)

Apa ya salah/ mengembangkan keunggulan kompetitif dengan menguasai hitech/dirgantara/ samudra/ persada?// (menaikkan kepala kemudian menurunkannya dengan durasi yang lamban diikuti penekanan kata ‘salah’. Dilanjut dengan memonyongkan mulut dan membulat-bulatkan bola mata, dan menaikkan alis)

Duh Gusti!// Bersabdalah// (menunduk lemas dan menahan kepala yang tertunduk dengan durasi yang cukup lama-10 detik)

Nenek moyang kita sih/ selalu mengajar kita/ hidup prihatin/ (menunduk dan lemas dengan tempo lambat)

tapi tak pernah mengajar kita/ kiat/ bagaimana jadi kaya// (sempat menggelengkan kepala sedikit pada kata ‘tak pernah’ kemudian menaikkan wajah sedikit dengan membuka lebar mulut)

Ah/ Yang bener/Lha filsafat “ojo dumeh” itu?// (kepala menghadap serong ke kiri kemudian melemparkan tangan dengan wajah meledek ditutup dengan mengacungkan jari telunjuk sebelah kiri ke arah serong kiri)

“Sa beja-bejane kang lali/ luwih beja kang eling lan waspada?!”// (mengacungkan jari telunjuk sebelah kiri secara stagnan sampai pengucapakan kalimat ini selesai)

Jadi perkara padang golf ini Kang Karto/ (sempat mengusap leher bagian belakang sambil menatap naskah ke bawah)

karena menyangkut kepentingan nasional/ (membuka lebar telapak tangan sebelah kiri sambil menatap naskah)

52

Yang nggegirisi/dan gawat keliwat-liwat// (masih membuka telapak tangan sebelah kiri dan membaca naskah kemudian secara spontan menengadahkan kepala ke arah audience sebelak kanan serong seraya membulat-bulatkan mata dan menaikkan alis)

Marilah/ sama-sama kita tunggu dawuh// (memainkan tangan kiri kemudian mengacungkannya ke atas sejajar kepala sambil mengarahkan mata sepenuhnya ke atas dan menaikkan alis)

Siapa tahu/ sekali sampeyan ayunkan sticksampeyan/ (mengacungkan jari telunjuk kiri seraya menatap naskah dan memeragakan posisi mengayunkan stick golf)

Langsung dapat/“hole in one”// (menggoyangkan tangan kiri dengan posisi mengepal dan diayunkan ke arah kiri atas seraya menengadahkan kepala ke atas sedikit)

Hadiahnya/ bisa buat beli loji/ penggantirumah sampeyan/yang kegusur Raden Sukosrono/ bolehnya muter taman golf internasional ke Indonesia!// (membuka telapak tangan kiri dengan lebar seraya tersenyum penuh arti disusul mengacungkan telunjuk sebelah kiri dan memainkannya hingga kalimat selesai. Diikuti dengan mata yang sesekali menata audience dan menaikkan alis kemudian menyembunyikan tangan kanan dengan naskah ke belakang badan)

Latar belakang penulisan puisi ini adalah situasi sosial yang terjadi terkait kebijakan pemerintah membangun lapangan golf pada masa orde baru di awal pemerintahan PJPT (II) Indonesia. Hal ini dibuktikan dalam bait kedua naskah puisinya, “Ini perkara pembangunan lapangan golf di awal PJPT (II) di Indonesia”. Pada 2012, Darmanto sebagai pengarang puisi tampil membacakan puisi ini dalam sebuah acara malam sastra di daerah Yogyakarta bersama Linus Suryadi. Ironisnya, ketika Darmanto membacakan puisi “Golf untuk Rakyat” ini, polisi menghentikan pentas Darmanto membacakan puisi tersebut. Alasan yang disampaikan polisi ialah karena Yogyakarta sedang kritis, masyarakat marak melakukan aksi dan demonstrasi berkenaan dengan kebijakan pemerintah yang dinilai merugikan mereka sebagai rakyat kecil karena menggusur tempat tinggal mereka demi melancarkan pembangunan lapangan

53

golf. Larangan polisi tidak hanya untuk pementasan tersebut, bahkan melarang puisi tersebut dibacakan, diedarkan, dan ditampilkan kembali selama masa- masa genting Yogyakarta waktu itu. Mengingat tidak ada penjelasan tahun pembuatan, puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto diduga digubahnya antara 1992-1993. Puisi ini menyuarakan nasib rakyat kecil yang mengalami penggusuran tempat tinggal akibat realisasi pembangunan lapangan golf di daerah Sleman, Yogyakarta. Dalam puisi “Golf untuk Rakyat”, ada beberapa istilah bahasa Jawa dan campur kode bahasa asing (Inggris). Tujuan Darmanto menggunakan istilah bahasa Jawa agar maksud pengarang tersampaikan secara kekeluargaan dan dirasa dekat di lingkungan rakyat/masyarakat. Selain itu, pun karena Darmanto sempat tinggal cukup lama di Yogyakarta, sehingga ia terbiasa dengan bahasa daerahnya, yakni bahasa Jawa. Penggunaan istilah bahasa Jawa dalam puisi “Golf untuk Rakyat” ini pun merupakan simbol bahwa pengarang mencoba mengangkat situasi sosial sebagai latar belakang puisi ini dibuat. Ini merupakan upaya pengarang untuk ‘mendekati’ rakyat dengan penggunaan bahasa yang dikenal baik oleh mereka (masyarakat). Lewat pemakaian bahasa daerah, yakni bahasa Jawa, menunjukkan bahwa pengarang berposisi sebagai pro-rakyat dan berupaya menghadirkan pesan rakyat melalui kalimat demi kalimat dalam “Golf untuk Rakyat”. Adapun istilah asing, yakni campur kode bahasa Inggris yang digunakan Darmanto dalam puisi “Golf untuk Rakyat” bertujuan agar penggambaran dan penyuasanaan Darmanto tentang permainan olah raga golf dan simbol golf sebagai bentuk wahana yang mewah, megah, dan eksklusif terepresentasi dengan baik. Misalnya, istilah hole in one yang beberapa kali disebut Darmanto dalam teks puisi karena memang inilah istilah sebenarnya dalam olah raga golf. Adapun istilah bahasa asing lainnya, seperti: yes, you are right! dan bargaining power adalah frase dan kalimat yang digunakan Darmanto guna menunjukkan bahwa olah raga golf mengesankan sebuah teknologi tinggi, kemewahan, eksklusivitas, dan keterwakilan gaya hidup kalangan priyayi

54

namun sangat jauh dan berjarak dengan rakyat atau kalangan ekonomi menengah bawah. Pengarang menggunakan campur kode bahasa daerah (Jawa) dan bahasa asing (Inggris), maka peneliti mengartikan istilah-istilah tersebut ke dalam bahasa Indonesia agar kajian teks “Golf untuk Rakyat” terpahami dengan baik dalam satu bahasa, yakni bahasa Indonesia.

Berikut arti katanya: Terlampir.

B. Kajian Video Monolog

Dalam kajian video monolog ini, peneliti ingin melihat keserasian antara naskah teks puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman dengan teks hasil transkripsi dari video monolog yang dilakonkan oleh Butet Kertaredjasa. Apakah ada perbedaan pada keduanya. Penulis berupaya memberi penjelasan dan penggambaran terkait bentuk interpretasi Butet Kertaredjasa sebagai pelakon monolog dengan cara pandang dan kekhasannya tersendiri memvisualisasikan naskah puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman ini. Berikut ini merupakan analisis keserasian antara naskah puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman dengan teks hasil transkripsi dari video monolog “Golf untuk Rakyat” oleh Butet Kertaredjasa: Terlampir.

Interpretasi Butet dalam lakon monolog “Golf untuk Rakyat”: Upaya Butet menginterpretasikan naskah puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto menjadi sebuah pertunjukan monolog patut diapresiasi. Berdasarkan pada analisis peneliti, Butet tidak mengubah secara signifikan kata-kata yang dipilih pengarang (diksi) demi mewujudkan sebuah tampilan monolog yang menarik. Justru Butet mampu membuat naskah menjadi ‘hidup’ karena

55

diselaraskan dengan nuansa Jawa yang cukup kental tergambar dalam naskah. Hal ini dibuktikan dari beberapa kata dalam naskah yang Butet ubah menjadi bahasa Jawa, seperti ‘tak’ menjadi ‘nda’ dan ‘itu’ menjadi ‘kuwi’, tentu bukan tanpa alasan Butet melakukan interpretasi tersebut. Butet menilai mampu mendominasi diksi yang diucapkannya dengan istilah-istilah Jawa karena Butet adalah orang Jawa kelahiran Yogyakarta dan sangat kental dengan logat, dialek, tradisi, budaya, ataupun kehidupan Jawa lainnya. Butet membacakan naskah milik orang lain namun tetap mencerminkan kekhasan Butet sendiri sebagai seorang ‘raja monolog’ dan pegiat seni pertunjukan (drama/teater).

C. Analisis Kritik Sosial dalam Monolog “Golf untuk Rakyat”

1. Cara Butet Kertaredjasa Interpretasikan Monolog “Golf untuk Rakyat”

Puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman dikenal khalayak sebagai puisi yang menggambarkan kritik sosial terkait persoalan pembangunan lapangan golf di awal masa PJPT II di Indonesia. Bentuk kritik sosial dalam naskah dimunculkan Darmanto melalui pilihan-pilihan kata (diksi) yang digunakan ketika bercerita, nada puisi yang menggambarkan suasana cerita, tema, alur, serta sudut pandang yang dicipta pengarang guna terbentuknya keutuhan puisi. Ketika naskah puisi diangkat ke atas panggung pementasan dan divisualisasikan menjadi lakon monolog oleh Butet Kertaredjasa, maka pelakon perlu memberi interpretasi yang baik demi mewujudkan isi dan pesan dalam naskah. Naskah puisi “Golf untuk Rakyat” sarat nilai moral dan pesan kritik sosial yang perlu dipahami penyimak (audience). Dalam menginterpretasikan kritik sosial pada naskah puisi “Golf untuk Rakyat” Butet bermonolog melalui komunikasi nonverbal. Bentuk komunikasi nonverbal tersebut berupa ekspresi wajah, intonasi, dan gestur (bahasa tubuh). Dalam pembahasan, peneliti menyalin kalimat per kalimat dari naskah puisi “Golf untuk Rakyat” disertai potongan gambar/slide dari video monolog

56

Butet. Peneliti mencantumkan kalimat per kalimat karena kajian pada satu kalimat memudahkan peneliti dalam hal pemenggalan jeda dan struktural sintaksisnya. Naskah puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto berjumlah 25 kalimat. Naskah yang digunakan peneliti ialah teks hasil transkripsi dari video monolog “Golf untuk Rakyat” oleh Butet Kertaredjasa. Dari video tersebut, peneliti mencantumkan potongan gambar sebagai tahap analisis yang memuat ekspresi dan gerakan tubuh (gestur) paling dominan atau paling ditonjolkan oleh Butet. Berikut analisis peneliti terkait cara interpretasi Butet terhadap kritik sosial dalam “Golf untuk Rakyat” melalui komunikasi nonverbal yang dimunculkan dalam bermonolog: a. Kalimat ke-1 “Lho, Kang Karto. Kok cuma ngelamun di kebun?” Terdiri atas satu potongan gambar untuk kalimat ini, yakni pada kata ‘ngelamun’.

Analisis: Intonasi Butet ketika mengatakan “Lho, Kang Karto”. Mengandung sebuah arti. Literatur menyebutkan bahwa “di dalam ucapan, tiap-tiap kata ada sukukata yang diberi tekanan. Perubahan tekanan dapat membawa perubahan arti.” 8 Penekanan yang dimunculkan Butet dalam gabungan kata tersebut seolah-olah menunjukkan keheranan terhadap tokoh ‘Kang Karto’ yang digambarkan dalam cerita hanya ngelamun di kebun sedangkan ada permainan baru yang coba ditawarkan oleh tokoh ‘aku’, yakni golf.

8 Alex Sobur, h. 311.

57

Interpretasi kata ‘ngelamun’ dominan dimunculkan Butet melalui ekspresi. Ekspresi Butet ialah dengan menengadahkan kepala sepenuhnya ke atas dengan kedua mata tertutup. Mata tertutup sebagai respon seseorang terhadap informasi negatif atau hal yang tidak ingin didengar. Adapun posisi tubuh, yakni tangan kiri Butet masuk ke dalam kantung celana. Ini mengindikasikan bahwa seseorang merasa tidak nyaman dan tidak aman. Ketika mengucapkan kata ‘ngelamun’, inilah komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet. Butet seolah-olah mengimajinasikan tokoh Kang Karto ini sebagai rakyat kecil yang sedang ngelamun, dalam artian tidak bisa berbuat apa-apa meratapi nasib atas penggusuran rumah demi terwujudnya pembangunan lapangan golf tersebut. b. Kalimat ke-2 “Sudah pernah main golep apa belum?” Terdapat dua potongan slideketika Butet mengucapkan kalimat ini. Slide pertama ketika mengucapkan kata ‘sudah pernah’, dan slide kedua ketika mengucapkan kata ‘apa belom?’

Analisis: Pada slide pertama, komunikasi nonverbal yang paling dimunculkan Butet ialah ekspresi dengan menaikkan alis. Menurut ahli, alis mata yang naik ke atas melawan daya tarik bumi berarti indikasi perasaan yang positif. Ketika memunculkan gaya demikian, Butet mengatakan ‘sudah pernah’ seolah-olah bentuk komunikasi nonverbal tadi mendukung kata ini yang bermaksud untuk meledek atau menyindir. Tentunya kembali pada objek pusat dalam naskah puisi ini, ialah golf. Butet seperti berbicara bahwa golf adalah hal baru, menyenangkan, dan populer yang semestinya menjadi hal populer pula bagi setiap orang, baik mengenal namanya atau memainkannya, karenanya muncul pertanyaan ‘ledekan’ seperti itu.

58

Slide kedua, ekspresi dominan yang dimunculkan Butet ialah mata mendelik atau berbinar yang berarti seseorang tengah dalam energi positif dan tidak ada seorang pun yang dapat menahannya. Ketika memunculkan komunikasi nonverbal demikian, Butet mengucapkan ‘apa belum?’ analisis peneliti serupa dengan komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet dalam kata ‘sudah pernah’. Ekspresi Butet yang seolah-olah bentuk komunikasi nonverbal tadi mendukung kata ini yang bermaksud untuk meledek atau menyindir. c. Kalimat ke-3 “Kalau belum, ya tunggu sampai dapet dawuh” Terdapat dua slide pada kalimat ini, yakni pada kata ‘kalau belum’ dan ‘tunggu sampe dapet dawuh’.

Analisis: Pada slide pertama ketika Butet mengatakan kata ‘kalau belum’, seluruh ekspresi dioptimalkan oleh Butet, seperti alis yang dinaikkan maksimal, mata yang melotot sambil sesekali melihat ke arah teks, dan artikulasi vokal yang sangat jelas dilakukan Butet melalui bentuk mulut yang juga maksimal terbuka. Ketika menyebutkan kata tersebut, Butet memunculkan komunikasi nonverbal berupa jari telunjuk yang diacungkan lebih dari sudut 90 derajat. Adapun intonasi Butet ketika mengucapkan kata tersebut seperti mengayun nada dari tinggi ke rendah. Berdasarkan seluruh bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet ketika mengucapkan kata ini, peneliti menyimpulkan bahwa pada kata ‘kalau belum’, Butet seperti menunjukkan seluruh respon positif pada kata ini. Seolah-olah ada hal baik dan menyenangkan yang akan ditawarkan Butet kepada ‘Kang Karto’ saat Butet tahu bahwa ‘Kang Karto’ hanya sedang melamun di kebun dan sesuai tebakan Butet, ‘Kang Karto’ belum

59

pernah main golf. Ada penawaran menarik dan anjuran yang hendak disampaikan Butet pada ‘Kang Karto’ jika dia belum pernah main golf. Bentuk penawaran, anjuran, dan ajakan Butet pada ‘Kang Karto’ ditunjukkan Butet melalui jari telunjuk yang diacungkan. Slide kedua, Butet mengatakan ‘ya tunggu sampe dapet dawuh’ dengan menggunakan komunikasi nonverbal berupa jari telunjuk yang diacungkan pula. Intonasi bicara Butet paling ditonjolkan ketika mengatakan kata ‘dawuh’. Ini menunjukkan bahwa kata ‘dawuh’ mengandung arti konotatif selain definisi ‘perintah’ itu sendiri. ‘dawuh’ yang ditunggu seperti ‘perintah’ dari kalangan atas yang bukan rakyat atau masyarakat biasa. Jenis ‘dawuh’ yang ditunggu seperti hal yang agung, yang saklek, sama halnya dengan simbol jari telunjuk yang diacungkan Butet ketika mengatakan ini. d. Kalimat ke-4 “Siapa tahu, sekali sampeyan ayunkan stick sampeyan, langsung dapet ‘hole in one’” Terdapat tiga potongan gambar dari kalimat ini, yakni pada kata ‘siapa tahu’, ‘sampeyan ayunkan stick sampeyan’, dan ‘hole ini one’.

A Analisis: Pada kata pertama dalam potongan gambar, yakni ‘siapa tahu’, ekspresi yang dimunculkan Butet ialah bentuk alis yang diangkat tinggi dan mulut terbuka lebar namun kerutannya mengarah ke dekat telinga bukan ke arah mata. Ekspresi tersebut menggambarkan bahwa ada perasaan positif dengan

60

Butet mengangkat alisnya namun perasaan positif yang palsu bukan tulus/yang sesungguhnya. Jika perasaan positif tersebut tulus, mestinya mulut yang terbuka lebar mengarah ke mata bukan ke telinga. Ekspresi Butet ketika mengucapkan gabungan kata ‘siapa tahu’ mengindikasikan bahwa ajakan Butet pada ‘Kang Karto’ untuk main golf mungkin saja menjemput untung atau pun rugi, tidak ada yang dapat menjamin itu. Penawaran Butet pada ‘Kang Karto’ tentang golf seperti ajakan yang mengandung tebak-tebakan yang sebetulnya Butet pun tidak dapat memastikan kebenaran itu. Ini dikuatkan pula dengan intonasi bicara Butet yang mengandung optimisme ledekan ketika bilang ‘siapa tahu’, karena memang Butet hanya menduga-duga dan tidak ada yang tahu kebenaran untung atau rugikah yang akan didapatkan ‘Kang Karto’ dari tawaran Butet tersebut. Kata kedua yang dilotarkan Butet ialah ‘sekali sampeyan ayunkan stick sampeyan’, ekspresi yang tampil ialah alis tetap menaik, dagu menunduk ke bawah, dan posisi tangan diangkat searah dada bolong atau ulu hati namun menampakkan punggung tangan yang lemah seolah-olah tanpa energi dan power. Semua gabungan kemunculan ekspresi Butet ini mengandung kontradiksi. Peneliti akan menjabarkannya dengan posisi alis terlebih dahulu. Alis menaik sama seperti beberapa ekspresi Butet sebelumnya yang mengisyaratkan sebuah optimisme, namun bertolak arti dengan dagu menunduk yang berarti bentuk ketidakpercayaan diri. Ketidakpercayaan diri ini berarti emosi negatif yang serupa dengan bentuk tangan Butet ketika memvisualisasikan kata ‘sampeyan ayunkan stick’ yang seolah tanpa tenaga dan kekuatan. Peneliti mendefinisikan bentuk gerakan tersebut ialah bahwa masih ada keterkaitan dengan kata sebelumnya, yakni ‘siapa tahu’, ada ketidakyakinan dan bentuk menduga-duga yang Butet pun tidak dapat memastikan apakah ‘Kang Karto’ paham betul cara memainkan stick golf untuk mendapatkan point dalam permainan golf. Bentuk optimisme dan keyakinan yang diperlihatkan Butet melalui alis yang menaik ini sebagai visualisasi dari maksud bahwa kebenaran adanya golf di dalam kehidupan dan zaman ‘Kang Karto’ ini mutlak adanya, dan tidak ada yang dapat menyangkal.

61

Kata ketiga dalam potongan gambar, Butet mengatakan ‘hole in one’, ini adalah istilah bahasa asing, yakni bahasa Inggris yang juga istilah dalam permainan golf yang artinya ‘point’. Jika bola golf dipukul oleh stick golf dan masuk dalam lubang berarti disebut pointhole in one. Ekspresi Butet ketika mengatakan ‘hole in one’ digambarkan lewat mata yang menutup dan mulut yang melebar dengan kerutan mendekati mata. Terjadi kontradiksi makna ekspresi dalam visualisasi Butet ketika mengucapkan kata ini. Pertama, mata menutup mengindikasikan emosi negatif yang maksudnya seseorang berusaha memblokir berita dan informasi negatif, sedangkan mulut yang kerutannya ke arah mata berarti senyum yang tulus. Maksud dari komunikasi nonverbal yang divisualisasikan Butet ini ialah istilah ‘hole in one’ yang dalam permainan golf adalah pointdan ini menguntungkan maka ditunjukan Butet dengan senyum tulus yang kerutannya mendekati mata, bukan telinga. Makna negatif tentang ‘hole in one’ berkenaan dengan ‘Kang Karto’ dan orang-orang yang segolongan dengan ‘Kang Karto’ yang bahkan memandang golf sebagai hal baru dan asing. Otomatis, mendapatkan ‘point hole in one’ ini tidak akan mudah. Ada maksud kesia-siaan yang ingin disampaikan Butet dalam kata ‘hole in one’. Hole in one yang akan sangat berarti dan menguntungkan jika didapatkan oleh orang-orang atau kalangan yang paham golf dan terbiasa dengan dunia mewah yang menjadikan golf ajang permainan dan bahan hiburan mereka, namun ini tidak akan berarti apa-apa untuk ‘Kang Karto’ dan orang-orang yang senasib dengan ‘Kang Karto’, dalam hal ini maksudnya ialah rakyat kecil. Berdasarkan maksud tersebut maka Butet memunculkan ekspresi yang bertolak belakang, yakni positif lewat senyum yang sekan tulus, dan negatif lewat mata yang dipejamkan beberapa saat. e. Kalimat ke-5 “Ini perkara pembangunan lapangan golf di awal PJPT II di Indonesia” Terdapat dua potongan gambar dalam kalimat ini, yakni pada kata ‘ini’ dan ‘golf’.

62

Analisis: Gerakan tubuh Butet ketika mengatakan ‘ini’ ialah dengan dada yang sedikit dibusungkan dan tangan sebelah kiri yang dimasukan dalam kantong. Ekspresi Butet yang amat mencolok ialah posisi mulut yang sedikit mengendur dan membentuk huruf U. Mata Butet pun seperti meredup dan tidak berbinar ketika mengatakan kata tersebut. Seluruh bentuk komunikasi nonverbal Butet mengindikasikan emosi negatif. Pertama, dari mata meredup, tidak berbinar dan tanpa cahaya, ini menunjukkan kelemahan, tidak ada daya dan upaya. Mulut yang membentuk sudut ke bawah, mengendur dan membentuk huruf U ini merupakan bentuk sakit emosional. Bentuk tangan yang masuk dalam kantong ialah tanda ketidaknyamanan dan ketidakamanan. Gerakan terakhir ialah dada yang sedikit membusung, ini simbol emosi yang berbeda dari lainnya yang seolah-olah menggambarkan ambisi dan arogansi. Jika bentuk gerakan Butet melalui mata, mulut, dan tangan menunjukkan kelemahan dan tanpa daya, maka pada bentuk dada menunjukkan sebaliknya, sebuah power dan kewenangan. Butet memunculkan bentuk-bentuk tubuh dan ekspresi sebanyak ini hanya untuk menyimbolkan satu kata, yakni ‘ini’. Seakan-akan pada kata ‘ini’mengandung multitafsir. Kata ‘ini’ menjadi kata pembuka untuk menyebutkan kalimat selanjutnya, yakni ‘...perkara pembangunan lapangan golf di awal PJPT II di Indonesia’. ‘ini’ merupakan kata tunjuk yang mewakili segenap peristiwa yang terjadi dalam teks puisi yang dibacakan Butet. Karena hal tersebut maka Butet memunculkan banyak bentuk komunikasi nonverbal guna menguatkan dan membuat makna ‘dalam’ untuk menyebutkan kata ‘ini’. Melalui semua bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet, maksud yang ingin disampaikan ialah sebuah peristiwa masa lalu (sejarah) yang mengandung memori tidak menyenangkan bagi sebagian rakyat kecil yang tidak memiliki power sehingga tidak mampu berbuat apapun guna membela hak sebagai warga dan masyarakat Indonesia kala itu. Bentuk ketidakmampuan, ketidakberdayaan, dan ketidakberwenangan divisualisasikan Butet melalui bentuk emosi negatif dari mata yang tidak berbinar, mulut yang mengendur, dan tangan yang masuk ke kantong sebagai sebuah

63

ketidaknyamanan. Butet ingin mewakilkan artian yang ‘dalam’ tersebut berkenaan peristiwa PJPT II di Indonesia yang dianggap merugikan rakyat kecil (wong cilik) karena penggusuran lahan tempat tinggal. Meskipun bentuk kelemahan-kelemahan amat ditonjolkan Butet, ada satu simbol keserakahan dan arogansi yang tidak luput dinampakkan Butet guna menggambarkan kekuasaan dan pihak berwenang yang bertanggungjawab dalam peristiwa memilukan tersebut. Simbol kekuasaan ditampilkan Butet melalui dada yang sedikit membusung. Di antara banyak simbol kelamahan sebagai rakyat kecil, Butet ingin menyampaikan bahwa ada satu pihak yang sebetulnya harus memikul beban itu semua, yakni pihak penguasa pada masa itu. Berdasarkan bentuk komunikasi nonverbal dalam kata ‘ini’, sangat tergambar jelas upaya kritik sosial yang berusaha ditampilkan Butet. Adapun pada kata kedua dalam kalimat ini, ialah ‘golf’’ yang divisualisasikan Butet dengan satu alis yang dinaikkan, mulut yang membentuk fonem ‘ef’ dan gerakan tangan yang sedikit diangkat dan terbuka ke atas. Penggambaran yang coba disampaikan Butet adalah bentuk keragu-raguan karena posisi alis hanya satu yang terangkat ke atas, bukan keduanya. Sebelah positif, sebelah negatif. Bibir menutup dan memunculkan fonem ‘ef’ hanya sebagai bentuk optimalisasi Butet dalam mengartikulasikan fonem konsonan ‘f’. Bentuk visusalisasi Butet yang menonjol lainnya ialah bahu sebelah kiri yang sedikit diangkat ke atas menuju telinga guna mengacungkan telapak tangan untuk sedikit membuka. Menurut ahli, jika bahu atau bagian pundak diangkat menuju telinga namun keduanya, bukan hanya sebelah, berarti indikasi rasa tidak aman dan kelemahan. Anggapan peneliti bahwa posisi bahu Butet yang diangkat sebelah pun menyiratkan makna ketidakamanan tersebut. Kata ‘golf’ialah kata kunci yang menjadi intisari dari teks puisi yang dibawakan oleh Butet. ‘Golf’ menjadi momok yang dibincangkan dari awal hingga akhir teks. Sebagai pelakon monolog yang berusaha mewakili pengarang naskah guna menyampaikan maksud dan bentuk kritik sosial, Butet memvisualkan kata ‘golf’’ dalam bentuk komunikasi visual yang menandakan emosi negatif, adanya kelemahan, dan rasa tak aman pada kata tersebut. ‘Golf’

64

menjadi pusat bahasan dan melambangkan peristiwa tidak menyenangkan, maka Butet memunculkan gerakan yang berarti emosi negatif seperti demikian.

ana f. Kalimat ke-6 “Den Mantri Jerohan ngendika: Golf dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat!” Terdapat dua potongan gambar dalam kalimat ini, yakni pada kata ‘ngendika’ dan ‘meningkatken’. Analisis: Kata ‘ngendika’ dalam bahasa Jawa yang berarti ‘berkata’ disebutkan Butet dengan gerakan tubuh berupa tangan sebelah kiri yang dimasukkan dalam kantong, badan yang tegak lurus, mata yang menyiratkan ketegasan dan mulut yang mengatup dan sedikit ‘membleh’ mengendur ke bawah. Melalui ekspresi dan gerakan tubuh Butet tersebut menggambarkan Butet tengah melakonkan diri seolah-olah sebagai tokoh yang dibuat oleh pengarang dan sedang berkata, yakni ‘Den Mantri Jerohan’, tentu ini bukan nama sebenarnya namun dapat dipastikan ini adalah nama salah satu mentri yang menjabat di masa orde baru. Ketika mengatakan ‘ngendika’, intonasi yang dimunculkan Butet sangat tegas dan logat Jawa yang khas memvisualisasikan tokoh Jawa (Mantri Jerohan) dengan baik. Dialek Jawa yang dimiliki Butet pun ketika mengintonasikan kata ini cukup piawai dan membuat penyimak menikmati nuansa kehidupan Jawa dalam monolog Butet tersebut. Makna komunikasi nonverbal yang ditonjolkan Butet ketika menyebutkan kata ‘ngendika’ mengindikasikan arogansi yang tinggi, kekuasaan, ambisius, dan optimisme. Ini terlihat pada ekspresi Butet yang amat menunjukkan sosok penguasa dan pemegang kendali. Seolah-olah kata selanjutnya setelah ini, yakni ‘golf dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat’ benar adanya dan terbukti dalam realisasinya. Sebagai sosok ‘Den

65

Mantri Jerohan’, Butet menyimbolkan optimisme, namun sebagai diri Butet yang sebenarnya tengah melakonkan monolog guna menyampaikan kritik sosial naskah, Butet tidak mampu meredam emosi negatif yang dimilikinya ketika mengucapkan kata tersebut, ini dibuktikan melalui makna komunikasi nonverbal dari tangan yang dimasukkan dalam kantong, yang berarti indikasi rasa tak aman dan tak nyaman, ketidakyakinan, dan emosi negatif. Makna komunikasi nonverbal kedua dalam kalimat ini ialah ‘meningkatkan’ yang disebutkan Butet sedikit berbeda dengan mengubah vokal yakni menjadi ‘meningkatken’. Pengubahan vokal yang dilakukan Butet sebagai upaya interpretasi naskah puisi tersebut semakin menguatkan dan mengantalkan kepiawaian Butet berbahasa Jawa. Ketika mengatakan ‘meningkatken’, Butet memunculkan komunikasi nonverbal berupa intonasi yang sangat ditekankan. Ekspresi dan gestur tidak terlalu mencolok dalam mengatakan kata tersebut. Butet hanya tetap fokus memandang teks dengan alis, mata, mulut, rahang, dan hidung yang tidak terlalu mendominasi dan menunjukkan perubahan. Jadi, komunikasi nonverbal yang Butet munculkan dalam kata ‘meningkatken’ hanya melalui penekanan dominan dalam kata tersebut, seolah-olah Butet ragu menyebutkan bahwa golf betul-betul mampu membawa perubahan baik bagi masyarakat dengan meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ada indikasi keraguan yang coba dimaknai peneliti ketika Butet memberikan intonasi pada kata ‘meningkatken’ tersebut.

l g. Kalimat ke-7 “Sedang Mantri Kanuragan bilang: Golf pertanda masyarakat kita sudah lebih sejahtera!” Terdapat tiga kata yang menonjol divisualisaikan Butet dalam bentuk komunikasi nonverbal pada kalimat ini, yakni pada kata ‘sedang’, ‘golf’, dan ‘sudah’.

66

Analisis: Kata pertama yakni ‘sedang’, diucapkan Butet dibarengi dengan bentuk gestur jari telunjuk yang dilayangkan melebihi bahu, dengan ekspresi mulut yang sedikit terbuka dan kedua alis yang sempat diangkat beberapa saat. Adapun intonasi ketika menyebutkan kata ini sangat refleks, cepat, dan seolah tanpa aba-aba, namun tetap keras, nyaring, dan tegas. Makna yang coba dipahami peneliti ialah adanya optimisme yang dibangun Butet dalam kata ‘sedang’ karena kata selanjutnya yang akan diucapkan Butet ialah statement bahwa ‘golf pertanda masyarakat kita sudah lebih sejahtera’. Seolah-olah Butet ingin menyampaikan bahwa statement tersebut benar adanya. Maka bentuk komunikasi nonverbal yang ditonjolkan Butet ialah melalui kedua alis yang dinakkan dan intonasi yang ditekankan Butet dengan tegas dan penuh power. Adapun gestur berupa jari telunjuk yang dilayangkan Butet, menurut ahli gerakan tersebut merupakan gerakan ofensif yang berkonotasi paling negatif. Maka makna simpulan peneliti melalui komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet pada kata ‘sedang’ ialah penggambaran optimisme akan baiknya kehadiran golf namun tetap dengan keraguan dan ketidakyakinan yang tidak dapat disembunyikan Butet ketika mengatakan statement sebagai lakon ‘Den Mantri Jerohan’ dan ‘Mantri Kanuragan’. Kata kedua, yakni ‘golf’ yang diucapkan Butet sebagai ‘Mantri Kanuragan’, bentuk komunikasi nonverbal yang amat terlihat bukan pada ekspresi dan gestur, namun pada intonasi ketika Butet melontarkan kata ini. Ekspresi Butet hanya lagi-lagi pada mulut yang dengan baik mengartikulasikan

67

konsonan fonem ‘ef’ pada ‘golf’ dengan optimal. Tatapan mata, alis, hidung, dan rahang yang tidak menunjukkan perubahan signifikan, tetap terpaku pada teks di tangan Butet. Gestur pun tidak ada perubahan yang berarti, namun pada intonasi, Butet membuat suaranya lebih halus, merdu, dan dengan menurunkan tinggal basssuara pria. Ada indikasi negatif dan pesimis saat Butet membuat intonasi pada kata ‘golf’ ini. Terdengar jelas tidak adanya power dan dominasi dalam kata ‘golf’. Gambaran yang sepertinya ingin disampaikan Butet ialah (1) perbedaan bentuk suara yang diupayakan Butet guna penyimak tidak tertukar dengan tokoh yang dilakonkan Butet sebelumnya, yakni ‘Den Mantri Jerohan’, namun pada kata ini ialah ‘Mantri Kanuragan’, (2) bentuk pesimistis dalam kata ‘golf’ itu sendiri yang coba disampaikan Butet bahwa golf mengandung konotasi negatif, berupa kerugian, sejarah buruk, dan ketidakadilan. Kata ketiga dalam kalimat ialah ‘sudah’, diucapkan Butet melalui bentuk komunikasi nonverbal berupa ekspresi dengan mata yang terbuka lebar beberapa saat, kedua alis yang mengangkat, hidung yang ‘keluar’, dan dagu yang terangkat tinggi. Semua bentuk ekspresi tersebut mengindikasikan emosi positif menurut ahli. Mata dan alis sudah dibahas pada analisis potongan gambar-gambar sebelumnya. Hidung yang ‘keluar’ dan dagu yang terangkat tinggi baru dimunculkan Butet pada kata ‘sudah’ ini. Kata setelah ‘sudah’ ialah ‘lebih sejahtera’, pada kata ini Butet memaksimalkan seluruh perasaan dan emosi positifnya guna menggambarkan keadaan masyarakat Indonesia yang konon ‘sudah lebih sejahtera’ karena adanya pembangunan lapangan golf yang dilakukan pemerintah. Ketika mengucapkan kata ‘sudah’ memang mata, alis, hidung, dan rahang Butet mengindikasikan emosi positif namun hanya beberapa saat saja karena setelah itu seluruh pandangan Butet menunduk, dan terjadi sedikit perubahan. Semua energi positif tadi redup secara cepat saat Butet melanjutkan kata ‘sudah’ dan ‘lebih’ pada kata selanjutnya, yakni ‘sejahtera’. Kata ‘sudah’ dan ‘lebih’ merupakan adverba, yakni penjelas kata atau kata keterangan, namun kata yang menjadi sifat ialah ‘sejahtera’. Jelas tergambar bahwa komunikasi nonverbal berupa ekspresi yang dimunculkan Butet dalam kata ‘sudah’ hanya sementara dan menjelaskan kata keterangan

68

yang kemudian berubah cepat pada kondisi sebenarnya masyarakat Indonesia, karenanya ekspresi positif Butet berubah menjadi sebaliknya dalam kata sifat yang mengiringi adverba ‘sudah’ tadi, yakni ‘sejahtera’. h. Kalimat ke-8 “Lha ya berapa banyak lapangan golf mesti dipasang untuk menyejahterakan 200 juta rakyat!” Terdapat dua gabungan kata yang dimunculkan Butet melalui komunikasi nonverbal, yakni pada kata ‘lha ya berapa banyak’ dan ‘200 juta rakyat’.

Analisis: Ketika mengucapkan kata ‘lha ya berapa banyak’, intonasi Butet dinadarendahkan seperti menunjukkan indikasi pesimistis dan seperti nada protes yang konyol guna mempertanyakan ‘harus berapa banyak lagi lapangan golf dibangun yang katanya sebagai tolok ukur kesejahteraan ratusan juta rakyat Indonesia’ saat itu. Selain intonasi yang menjelaskan makna tadi, gestur Butet pun menggambarkan emosi negatif tersebut melalui ekspresi yang tidak menyiratkan tenaga, ambisi, dan emosi positif lainnya. Selain itu, kepala Butet sebagai gestur yang dimiringkan ke kanan seolah mengindikasikan ketidakseimbangan dan kecondongan sebelah (ketidakadilan) saat mengatakan kalimat ‘lha ya berapa banyak’. Melalui bentuk komunikasi nonverbal ini, Butet ingin menyampaikan bahwa sejatinya ‘bukan dengan memperbanyak pembangunan lapangan golf-lah sebagai tolok ukur kesejahteraan suatu masyarakat negara’. Gabungan kata yang kedua, yakni ‘dua ratus juta rakyat’, bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet ialah melalui ekspresi, yakni mulut yang dimanyunkan persis saat mengatakan ‘..tus juta’, dan intonasi yang tegas dengan dominasi penekanan dalam melontarkan kata tersebut. Gestur Butet pun menyiratkan makna kata ‘dua ratus juta’, yakni dengan mengangkat

69

kepala dan pandangan mata ke depan, ada ketegasan yang pasti dalam bentuk gerakan tersebut. Gerakan kepala yang diangkat ke atas secara penuh ketika mengatakan ‘dua ratus juta rakyat’ mengindikasikan dan menjelaskan betapa nominal tersebut amat nyata dan sesuai dengan fakta/realitas. Mengucapkan ‘dua ratus juta rakyat’ dengan menegakkan kepala seperti menjelaskan pada penyimak bahwa itulah kenyataan dan kebenaran yang harus dihadapi rakyat Indonesia, baik kalangan atas ataupun bawah. Gerakan kepala Butet sebagai bentuk komunikasi nonverbal ini cukup menggambarkan betapa besar tanggung jawab bangsa dan negara berkenaan hal ‘kesejahteraan’ yang berkali- kali disebutkan dalam teks ‘Golf untuk Rakyat’ ini. i. Kalimat ke-9 “Berapa tumbal mesti dikorbankan untuk mengempiskan kantung-kantung kemiskinan?!” Terdapat dua gabungan kata yang ditunjukkan Butet melalui bentuk komunikasi nonverbal, yakni pada kata ‘berapa tumbal’ dan ‘kantung-kantung kemiskinan’.

Analisis: Kata pertama, yakni ‘berapa tumbal’ divisualisasikan Butet melalui bentuk komunikasi nonverbal berupa gestur dan intonasi, sedangkan pada ekspresi tidak didapati perubahan ekspresi yang signifikan. Intonasi Butet saat mengatakan ‘berapa tumbal’ mengandung penekanan dan penegasan yang sangat jelas namun mengindikasikan nada bicara yang seolah-olah meledek. Kata ‘tumbal’ yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kurban, persembahan, dan sesuatu yang dipakai untuk menolak bala (kesialan atau penyakit) dilontarkan oleh Butet seperti mengucapkan kata dengan arti yang

70

tidak sebesar itu maknanya. Nada bicara Butet saat mengatakan gabungan kata tersebut tegas, ditekan, namun sangat ringan, seolah tanpa beban mengatakan kata (tumbal) itu. Hal ini merupakan sindiran yang dimunculkan Butet. Kata ‘tumbal’ yang mestinya besar maknanya dan mahal harganya diubah Butet dengan interpretasi yang justru sebaliknya, tidak ada penghargaan dan kebesaran makna saat mengucapkan akta tersebut. Ini adalah cara Butet menyampaikan bentuk kritik sosial dalam kalimat ini. Butet coba mewakili suara rakyat kecil yang pada masa PJPT II mengalami nasib buruk yaitu penggusuran tempat tinggal akibat pembangunan lahan lapangan golf. Butet menginterpretasikan kata ‘tumbal’ sesuai dengan pandangan Butet terhadap pemerintah masa itu yang mestinya menilai kepentingan rakyat dan menghargai jiwa sebagai nyawa yang patut diperjuangkan dan dibela haknya. Berbeda dari yang seharusnya, yang terjadi adalah sebaliknya, pemerintah menganggap nilai dan harga sebuah nyawa adalah murah dan seperti tidak berarti, karena itu, Butet membuat nada ringan dan seperti main-main saat mengatakan ‘berapa tumbal’. Hal ini dikuatkan pula oleh komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet melalui gestur tangan. Gerakan tangan Butet tepat saat mengatakan ‘tumbal’ ialah dengan membalikan telapak tangan dari posisi punggung tangan telungkup menjadi posisi telapak tangan terbuka. Gerakan tangan ini menyiratkan dua hal. Pertama, seolah-olah ‘tumbal’ yang seperti tidak ada artinya dan nasib yang tidak dibela sangat mudah dilakukan persis seperti membalikan telapak tangan. Kedua, bentuk tangan Butet yang demikian persis seperti menggambarkan/menyimbolkan seekor hewan atau apapun yang mati (ditumbalkan). Penafsiran demikian karena tangan yang diangkat Butet ke atas perlahan, diputar dari punggung tangan yang di atas, kemudian telapak tangan yang terbuka, lalu diturunkan seolah dijatuhkan. Gerakan-gerakan ini yang dilakukan Butet dengan sangat cepat namun ritmenya persis ketika mengatakan kata ‘tumbal’. Simpulan peneliti ialah komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet saat mengatakan ‘berapa tumbal’ ialah berupa intonasi dan gestur tangan. Kedua bentuk komunikasi nonverbal tersebut merupakan interpretasi Butet terhadap makna ‘tumbal’ yang

71

sengaja Butet artikan dengan sangat tidak berharga dan murah nilainya sama seperti pandangan Butet terhadap cara pemerintah menyikapi nasib rakyat kecil dalam cerita, yang dinilai tidak manusiawi dan mengedepankan nilai-nilai kearifan hidup. Kata kedua pada kalimat ini ialah ‘kemiskinan’ yang divisualisasikan Butet melalui komunikasi nonverbal yakni ekspresi mata yang menurun dan bibir yang dimemblehkan (diturunkan pula). Ekspresi ini dibarengi Butet dengan intonasi yang menadakan keibaan, keprihatinan, dan kesedihan. Tidak banyak multitafsir dalam komunikasi nonverbal kata ‘kemiskinan’ ini, mudah saja, ekspresi yang dimunculkan Butet senada dan semakna dengan kata kemiskinan itu sendiri, sama-sama terlihat iba dan kasihan. Ekspresi dengan bibir Butet yang diturunkan menunjukkan kesedihan dan penderitaan mendalam, sangat sesuai dimunculkan Butet sebagai bentuk komunikasi nonverbal guna memvisualisasikan kata ‘kemiskinan’. Gambaran wajah Butet saat menyampaikan kata tersebut mencerminkan bentuk keprihatinan yang mendalam, prihatin terhadap nasib bangsa Indonesia kala itu dan terhadap banyak kritik sosial yang disampaikan pengarang dalam naskah puisi. Posisi mata yang menurun dengan tanpa ada binar-binar cahaya mendukung segenap ekspresi yang ditampakkan Butet, yakni kesedihan dan pesimistis yang cukup kuat dirasakan Butet sebagai pelakon monolog terhadap naskah. j. Kalimat ke-10 “Gusti, kami tunggu dawuh paduka!” Hanya terdapat satu potongan gambar pada kalimat ini, yakni pada ‘gusti, kami tunggu dawuh..’

Analisis:

72

Bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet pada kalimat ‘Gusti, kami tunggu dawuh...’ hampir serupa dengan kalimat yang sama seperti ini dan disebut beberapa kali dalam naskah. Kalimat ini divisualisasikan Butet dengan gerakan yang serupa pula, yakni kepala yang menunduk tanpa adanya pemunculan ekspresi yang signifikan, namun komunikasi nonverbal jelas terdengar dari intonasi bicara. Nada yang dimunculkan Butet dalam kalimat ‘Gusti, kami tunggu dawuh...’ sangat rendah, tipis, dan kecil, namun panjang iramanya. Seperti pada kata ‘Gusti...’ terhitung ada tiga ketukan pada penyebutan suku kata ‘ti’. Penyebutan kata demi kata pada ‘Gusti, kami tunggu dawuh...’ pun disampaikan Butet perlahan-lahan dan dengan ritme yang lambat. Analisis peneliti dengan melihat gestur kepala yang ditundukkan Butet saat mengucapkan kalimat ini mengindikasikan bentuk emosi negatif berupa ratapan kepasrahan dan kesedihan. Ini dikuatkan pula oleh intonasi Butet saat mengatakan kalimat tersebut yang juga melemah dan memelan (pelan-pelan). Kalimat ini menunjukkan bentuk penyerahan diri Butet selaku subjek dalam cerita naskah kepada ‘Gusti’ yang berarti ‘Tuhan’. Betapa Butet mengadukan segala persoalan ketidakadilan, ketidakpahaman, dan ketidaknyamanan hidup pada satu-satunya pihak yang dianggap sebagai sebaik-baiknya pelaku adil, yaitu Tuhan. Hal yang ingin disampaikan Butet ialah bentuk keyakinan bahwa ketika tidak lagi ditemui keadilan dan kebijaksanaan dalam hidup, maka Tuhanlah tempat dan pihak yang tidak pernah berbuat demikian. Keadilan Tuhanlah yang menjadi jalan keluar terakhir di saat tak lagi didapati keadilan oleh manusia. Dalam kalimat ini dirasakan betul unsur magis dan religius dalam naskah puisi Darmanto Jatman yang sukses dilakonkan Butet Kertaredjasa dan berdampak pada benak peneliti selaku penyimak. k. Kalimat ke-11 “Sementara Mantri Pagupon pesan: Silakan bikin padang golf, Mister, asal jangan gusur rumah rakyat!” Terdapat dua kata yang divisualisasikan Butet melalui bentuk komunikasi nonverbal, yakni pada kata, ‘sementara’ dan ‘gusur’.

73

Analisis: Dalam kalimat yang cukup panjang ini, hanya terdapat dua kata yang didominasi oleh komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet. Kata pertama yakni ‘sementara’ yang divisualisasikan Butet melalui ekspresi dengan alis yang mengangkat, mulut yang terbuka dan menganga lebar, serta gestur tangan kiri yang diangkat setinggi telinga dengan mengacungkan jari telunjuk ke atas. Adapun intonasi ketika mengatakan ‘sementara’ diucapkan dengan nada dan tekanan yang tinggi, sangat kontras dibandingkan dengan kalimat yang diucapkan Butet sebelumnya, yakni ‘Gusti, kami tunggu dawuh 7paduka!’. Seolah-olah Butet sengaja ingin memisahkan suasana nada yang berbeda jenis pada kalimat sebelumnya ini dengan kata ‘sementara’. Hal yang ingin disampaikan Butet ialah seolah-olah terdapat anggapan sebagai solusi dan titik terang dalam kalimat ‘Sementara Mantri Pak Gupon pesan: Silakan bikin padang golf, Sir, asal jangan gusur rumah rakyat!’ dari kalimat yang mengandung kepasrahan dan pesimistis sebelumnya, yakni ‘Gusti, kami tunggu dawuh...’ Maka guna menyadarkan penyimak bahwa ada ‘angin segar’ yang sepertinya akan didengar dari perkataan ‘Mantri Pagupon’, Butet menyiratkan semangat dan ketegasan saat mengatakan ‘sementara’ sebagai pengantar menuju kalimat selanjutnya, yakni pernyataan yang seolah-olah bijaksana dari ‘Mantri Pagupon’. Adapun gestur yang dimunculkan Butet saat mengatakan ini ialah dengan mengacungkan jari telunjuk ke atas yang berkonotasi negatif menurut ahli. Makna komunikasi nonverbal dari gestur ini ialah sebuah upaya wanti-wanti atau peringatan Butet bahwa dalam kata ‘sementara’ yang dengan penuh energi dan semangat positif diucapkan Butet ini mengandung maksud yang tidak sepenuhnya demikian atau bermakna sebaliknya. Penjelasan ini dapat dikuatkan dengan makna komunikasi nonverbal pada kata kedua, yakni ‘gusur’.

74

Bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet ialah melalui ekspresi dengan menundukan pandangan, mata dan alis yang mengerut, dan pipi yang dikembungkan. Menurut ahli, pipi yang dikembungkan mengindikasikan perasaan negatif karena adanya tekanan (stress). Adapun mata dan alis yang mengerit menunjukkan bentuk keheranan dan keanehan. Butet seperti berpikir ada ketidakseimbangan yang terjadi antara yang diucapkan berdasarkan teks dengan realitas yang terjadi. Ketika mengatakan kata ‘gusur’, Butet memunculkan ekspresi-ekspresi tersebut seolah-olah ingin menyampaikan bahwa pernyataan ‘Mantri Pagupon’ tentang ‘jangan gusur rumah rakyat’ berbanding terbalik dengan kenyataan yang Butet ketahui sebagai pelakon yang juga menarasikan naskah. Ini merupakan bentuk kritik sosial yang nyata divisualkan Butet. Mata dan alis yang mengerut, pandangan menunduk tanpa tenaga dan optimisme, serta mulut yang dikembungkan cukup menjelaskan emosi Butet saat mengucapkan pernyataan ‘Mantri Pagupon’ tentang ‘jangan gusur rumah rakyat’, yang tidak sesuai dengan fakta yang pernah terjadi. Faktanya ialah banyak pemukiman warga yang digusur akibat realisasi pembangunan lapangan golf pada masa PJPT II tersebut. Intonasi yang dibunyikan Butet saat mengatakan ‘gusur’ ini pun berbeda dari kata lain. Upaya ini ialah alasan yang sengaja dilakukan Butet agar kata ‘gusur’ terdengar dan tersimak dengan baik oleh para penyimak dan dicermati sebagai bentuk kritik sosial yang coba disampaikan Butet. Terlebih, kata ‘gusur’ itu sendiri mengandung makna dan nilai historis yang penting bagi rakyat Indonesia. l. Kalimat ke-12 “Dan Mantri Besar Jagabaya wanti-wanti: Silakan bikin padang golf, Sir, asal bangun juga sarana olahraga buat para kanoman!” Terdapat dua kata yang divisualisasikan Butet dalam bentuk komunikasi nonverbal, yakni pada kata ‘wanti-wanti’ dan ‘kanoman’.

75

Analisis: Kata ‘wanti-wanti’ ialah istilah bahasa Jawa yang artinya ‘pesan yang disampaikan dengan sungguh-sungguh’. Ketika mengucapkan kata ini, komunikasi nonverbal dimunculkan Butet melalui gestur berupa jari telunjuk yang diangkat ke atas sejajar dengan telinga. Ekspresi juga dimainkan Butet dengan menaikkan sedikit alisnya. Tak lupa, intonasi Butet mengatakan ‘wanti- wanti’ terdengar ada penekanan dengan tempo yang cukup lama pada konsonan –n-, ini semakin menguatkan pentingnya kata ‘wanti-wanti’ di antara kata lainnya dalam kalimat ‘Dan Mantri Besar Jagabaya wanti-wanti...’. Makna gestur dan intonasi saat Butet mengucapkan kata ini menunjukkan bahwa adanya bentuk peringatan yang penting dalam kata ‘wanti-wanti’, makaemosi yang Butet gunakan untuk menegaskan komunikasi nonverbal ini ialah dengan alis yang dinaikkan sebagai tanda positif atau power. Seluruh bentuk komunikasi nonverbal yang ditunjukkan Butet dalam kata ini adalah upaya Butet mengingatkan bahwa ada pesan penting yang disampaikan oleh ‘Mantri Besar Jagabaya’ saat memulai pembangunan lapangan golf, yakni ‘...bangun juga sarana olahraga untuk para kanoman (pemuda)’. Dalam pesan tersebut seolah-olah terkandung nilai kebijaksanaan dan kearifan seorang pemimpin masyarakat, karenanya gestur dengan mengacungkan jari telunjuk sebagai tanda peringatan ditonjolkan oleh Butet dalam kalimat ini. Kata kedua pada kalimat ini ialah ‘kanoman’ yang artinya ‘pemuda’. Ekspresi Butet saat mengucapkan kata ini sangat mencolok karena bentuk mulut dimainkan Butet dengan maksimal sebagai upaya pengartikulasian vokal yang baik. Ketika menyebutkan kata ‘kanoman’, pelafalan suku kata ‘ka’-‘no’-‘man’ dilontarkan Butet dengan sangat jelas terbentuk di bibirnya. Optimalisasi artikulasi ini dimunculkan Butet dengan intonasi bicara yang menunjukkan perbedaan dari kata-kata selain ‘kanoman’ dalam kalimat ini. Ada apa dengan

76

kata ‘pemuda’? Peneliti menganalisis bahwa ‘wanti-wanti’ ‘Mantri Besar Jagabaya’ yakni pembangunan sarana olahraga untuk para pemuda adalah upaya memberikan kesan dan citra yang baik bagi pemuda. Mengapa pemuda? Sangat jelas alasannya karena pemuda memiliki andil kuat dalam segala hal. Pemuda adalah cikal bakal yang patut dihimpun guna menyukseskan cita-cita besar. Sumber kekuatan dan dukungan untuk merealisasikan impian dan rencana apapun adalah pemuda. Karena alasan demikian, maka tokoh ‘Mantri Besar Jagabaya’ memesankan untuk juga membangun sarana olahraga pemuda di samping merealisasikan pembangunan lapangan golf. Korelasi yang dapat ditemukan adalah pemberian fasilitas dan kesenangan untuk kalangan muda (pemuda) guna menyukseskan rancangan pembangunan lapangan golf dengan dukungan yang diberikan oleh pemuda, baik berupa moral ataupun material. Berdasarkan pemikiran demikian, maka Butet mengomunikasikan kata ‘kanoman’ dengan sangat menonjol dan menyiratkan maksud tersembunyi pada ekspresi signifikan saat mengucapkan kata tersebut. Maksud Butet ialah agar penyimak mampu menyadari signifikansi yang dimunculkan Butet dalam bentuk ekspresi saat mengucapkan kata ‘kanoman’ tersebut dan menganalisis maksud ‘tersembunyi’ sang pemonolog ini. m. Kalimat ke-13 “Gusti, kami tunggu sabda Paduka!” Terdapat satu potongan gambar pada kalimat ini, yakni pada kata ‘dawuh’.

Analisis: Kata ‘dawuh’ berarti ‘perintah’ yang juga berkali-kali disebut Butet dalam monolog. Butet selalu menampilkan komunikasi nonverbal yang sama saat menyampaikan kata ‘dawuh’ pada kalimat yang serupa pula, yakni ‘Gusti, kami tunggu dawuh paduka!” Sama seperti analisis pada kalimat sebelumnya pula, inilah ekspresi yang dimunculkan Butet, yakni kepala yang menunduk

77

lesu dan tanpa daya ataupun sikap optimis serta intonasi yang juga direndahkan dan dipelankan jedanya. Tidak ada perbedaan signifikan yang dimunculkan Butet dalam kalimat ini yang dibandingkan dengan kalimat serupa di bahasan sebelumnya. Sama-sama menunjukan bentuk kepasrahan pada Tuhan yang dalam kalimat disebut ‘Gusti’. Kepasrahan dan bentuk penyerahan diri ini muncul akibat kebijakan-kebijakan yang tidak bijaksana dilakukan oleh para tokoh pembesar/pemimpin dalam monolog. Butet paham maksud pengarang memunculkan kalimat demikian sehingga divisualisasikan dengan rupa wajah dan nada suara yang menyedihkan dan mengiba. Seperti yang juga disebutkan peneliti pada analisis sebelumnya berkenaan dengan kalimat yang sama ini bahwa dalam kalimat inilah terkandung nilai religius seorang penyair. n. Kalimat ke-14 “Yes, you are right!” Hanya terdapat satu kata dari kalimat ini dalam potongan gambar yang divisualisasikan Butet melalui bentuk komunikasi nonverbal, yakni pada kata ‘right!’

Analisis: Kata ‘right’ merupakan istilah asing, yakni bahasa Inggris yang berarti ‘benar’. Tidak ada perubahan ekspresi dan gestur yang mencolok saat Butet mengucapkan kata ini. Gestur yang diperlihatkan Butet hanya dengan mengangkat sedikit telapak tangan sebelah kiri dengan membentuk kuncup. Peneliti tidak menemukan literatur dan referensi terkait bentuk posisi ini namun mengolaborasikan gerakan sederhana ini bersamaan dengan intonasi Butet, peneliti mendapatkan penjelasan. Intonasi Butet saat mengatakan ‘right’ dengan merendahkan suaranya seolah-olah bentuk ‘mengalah’. Di intonasi final saat mengucap suku kata ‘..ight’ ada tempo yang dilambankan saat itu.

78

Jadi, menyimpulkan gerakan tangan dan intonasi Butet yang demikian, bentuk komunikasi nonverbal yang ditunjukkan Butet ialah sebagai tanda menunggu penjelasan lebih lanjut pada kalimat setelah ini. Ada kehati-hatian yang ditunjukan Butet dalam mengucapkan kata ‘right’ ini, karenanya tidak banyak perubahan sikap dan emosi yang dimunculkan Butet. o. Kalimat ke-15 “Tak gampang jadi orang ‘kajen keringan’ serba ‘ewuh aya ing pambudi’” Terdapat satu kata dalam kalimat ini yang divisualkan Butet melalui komunikasi nonverbal, yakni pada kata ‘tak gampang’.

Analisis: Sebetulnya kata-kata yang menurut peneliti mengandung makna penting ialah pada istilah Jawa (seperti peribahasa Jawa) dalam kalimat, yakni ‘...orang kajen keringan serba ewuh aya ing pambudi’, yang artinya ‘orang yang banyak dihormati orang lain serba banyak gejolak batin’. Kalimat ini sebetulnya yang dinilai banyak mengandung makna dan maksud pengarang, namun tidak ditunjukkan Butet secara khas melalui bentuk komunikasi nonverbal. Peneliti menduga karena saat membacakan kalimat ini, konsentrasi Butet mengarah pada teks dan berpusat untuk membalikkan naskah karena kalimat ini adalah kalimat terakhir di halaman pertama naskah. Sebab hal itulah, hanya potongan gambar ini yang didapati peneliti sebagai bentuk kritik sosial melalui komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet. Ketika mengucapkan kata ‘tak gampang’, ekspresi Butet tidak begitu mendominasi, hanya alis yang sedikit dinaikkan. Gestur yang diperlihatkan Butet ialah dengan mengacungkan jari telunjuk sebelah kiri ke atas. Gerakan mengacungkan jari telunjuk ini berangsur-angsur dinaikkan Butet secara cepat dan tegas, dari sejajar bahu kemudian telinga, dan akhirnya sedikit diturunkan dan disentak ke arah depan.

79

Ini menandakan bahwa pada kata ‘tak gampang’, Butet membuat tanda untuk mengingatkan dan mewanti-wanti penyimak agar fokus pada ucapan Butet saat memunculkan gerakan tersebut dan memperhatikan ucapan setelah gerakan ini. Hal ini dikuatkan pula oleh intonasi Butet saat mengatakan ‘tak gampang’, yakni dengan nada tinggi dan penekanan yang kuat. Seluruh bentuk komunikasi nonverbal yang ditunjukkan Butet saat mengatakan ini menyuasanakan ketegasan dan keyakinan yang diperlihatkan Butet melalui gerakan mengacungkan jari telunjuk dan intonasi tegas tadi. p. Kalimat ke-16 “Apa ya haram memiliki vila, jet, golf stick buat meningkatkan citra bisnis dan memperkuat ‘bargaining power’” Terdapat empat potongan gambar dalam kalimat ini yang ditunjukkan Butet melalui bentuk komunikasi nonverbal, kata tersebut ialah: ‘apa ya haram’, ‘citra bisnis’, dan ‘bargaining power’ (ada dua ekspresi).

Analisis: Ketika mengatakan ‘apa ya haram’ Butet sempat mengangkat kepala dengan menengadahkannya maksimal dan kembali menurunkan sesuai dengan intonasi yang sama. Maksudnya, saat mengangkat kepala, intonasi Butet meninggi dan saat kembali menurunkan kepala, intonasi Butet merendah tapi memanjang ritmenya. Ekspresi dominan yang diperlihatkan Butet saat mengatakan ‘apa ya haram’ ialah dengan mengerutkan kening dan menutup mata beberapa saat persis posisi kepala mengangkat. Tidak ada literatur yang menjelaskan maksud dari gerakan mengangkat kepala seperti yang dilakukan

80

Butet ini namun peneliti mengartikannya dengan mengaitkan indikasi yang dimunculkan Butet dari bentuk komunikasi nonverbal lainnya. Ketika mengangkat kepala, Butet membuat intonasi yang sangat tinggi dan kemudian merendah persis saat gerakan kepala menurun. Ini menunjukkan bahwa ada penekanan kata yang coba ditunjukkan Butet pada ‘apa ya haram’ namun merendah nadanya persis di bunyi suku kata terakhir ‘...ram...’ yang mengindikasikan kepasrahan. Gerakan kepala Butet saat terangkat tinggi dibarengi dengan ekspresi dari mata yang menutup sejenak dan kening yang dikerutkan. Mata yang menutup sejenak mengindikasikan emosi negatif, rasa tak senang, dan sebagai upaya memblokir kejadian atau ingatan buruk. Kening yang dikerutkan atau dikerenyitkan menandakan bahwa adanya tekanan dan indikasi ketidaknyamanan. Berdasarkan penggabungan bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet saat mengucapkan ‘apa ya haram’ tersebut menggambarkan bahwa dalam kata ini tersirat makna penting yang sayangnya mengindikasikan pesan emosi negatif. Kata ‘apa ya haram’ adalah bentuk pertanyaan yang dalam kalimat dilanjutkan dengan ‘...memiliki vila, jet, golf stick buat meningkatkan citra bisnis dan memperkuat bargaining power’. Kalimat pertanyaan ini sebetulnya ialah kalimat retoris, kalimat yang bertanya namun sebetulnya tidak membutuhkan jawaban. Sarana-sarana seperti vila, jet, dan golf stick, bukan merupakan kebutuhan utama yang normalnya dimiliki setiap orang. Ada konotasi negatif dan kesan bermewah-mewahan, juga konsumtif, yang muncul pada kehidupan seseorang dengan bergelimang sarana tadi. Kesan ini ditujukan pengarang naskah dan Butet sebagai pelakon, pada ‘kalangan atas’ atau priyayi dalam naskah. Siapa pun mereka, tentunya yang membuat kebijakan pembangunan lapangan golf dan pihak yang bersuka cita atas kabar tersebut karena mendukung profesi dan karir mereka. Berdasarkan pada bentuk komunikasi nonverbal tadi, pesan yang ingin disampaikan Butet adalah memang tidak haram memiliki sarana-sarana tersebut namun sangat ironis jika ini terjadi pada masa itu. Masa di saat ‘para kalangan atas’ seolah menari-nari di atas penderitaan rakyatnya. Karenanya,

81

saat mengatakan ‘apa ya haram’ tersebut, komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet melalui intonasi, ekspresi, dan gestur didominasi indikasi emosi yang negatif, seperti tanda ketidaknyamanan, tekanan, rasa tak senang, dan upaya memblokir berita/kejadian buruk. Kata selanjutnya setelah ‘apa ya haram’, yakni ‘citra bisnis’. Ketika mengatakan ini, Butet memasang wajah seolah-olah meledek dengan memonyongkan mulut dan berintonasi nada menyindir. Butet membuat ekspresi yang dominan melalui gerakan mulut dalam kata ‘citra bisnis’ ini. Padahal bunyi secara normal yang terbentuk oleh mulut saat mengucapkan kata ‘citra bisnis’ mestinya cukup dengan menyatukan gigi atas dan bawah juga peran lidah yang membantu namun berbeda pada pengucapan cara Butet. Ketika mengatakan ‘citra bisnis’, mulut Butet mengeluarkan bunyi fonem –es- seperti fonem –esy- dan dengan bentuk mulut yang maksimal terbuka lebar ke samping secara simetris. Ditambah lagi dengan mulut yang dimonyongkan saat melakukan bentuk mulut demi mengeluarkan fonem-fonem tadi. Ini merupakan tanda bahwa dalam kata tersebut ada makna yang ditekankan Butet dan itu berarti penting. ‘Citra bisnis’ ialah frase semacam cara atau upaya membuat kesan dalam urusan bisnis agar lancar dan berjalan mulus sesuai rencana. Inilah kegiatan yang dilakukan para ‘golongan atas’/priyayi dalam cerita naskah yang dibacakan Butet. Demi meningkatkan citra bisnis dan urusan-urusan pribadi ataupun golongan, mereka melancarkan pembangunan lapangan golf yang mengorbankan nasib kesejahteraan rakyat Indonesia kala itu. Melihat pemaknaan dan konotasi dari frase ‘citra bisnis’ ini maka Butet membuat bentuk komunikasi nonverbal seperti demikian. Pesan yang ingin disampaikan Butet saat mengatakan ‘citra bisnis’ dengan menunjukkan ekspresi (meledek) demikian seperti berkata bahwa urusan citra bisnis sangat sepele dan tidak bernilai apapun jika dibandingkan dengan urusan kesejahteraan rakyat yang lebih urgen dan mendesak di atas segalanya. Kata berikutnya yang divisualkan Butet dalam kalimat ini ialah kata dengan menggunakan istilah asing, bahasa Inggris, yakni ‘bargaining power’. Ada dua potongan gambar yang didapati peneliti dari video saat Butet melakonkan

82

monolog dan membacakan kalimat ini. ‘Bargaining power’ berarti bentuk tawar-menawar dalam kekuasaan atau kekuatan tawar-menawar (yang juga konteksnya dalam urusan kekuasaan/kekuatan golongan tertentu. Dalam potongan gambar pertama saat Butet mengatakan ‘bargaining power’, alis Butet sedikit mengangkat namun berkerut dan menurun. Ekspresi ini seperti mengindikasikan keheranan dan bentuk pertanyaan. Posisi mulut saat mengatakan ini sama seperti saat Butet mengatakan ‘citra bisnis’ yang seolah- olah meledek. Dalam potongan gambar kedua, ekspresi dominan yang dimunculkan Butet ialah bola mata yang membesar dan alis yang meninggi. Artian ekspresi tersebut menunjukkan adanya hal besar yang ingin disampaikan Butet, karenanya Butet membuat tanda dengan membulatkan bola mata. Alis yang meninggi berarti tanda emosi positif, namun dalam konteks ini Butet bermaksud membuat poweratau penekanan yang signifikan saat memvisualkan kata ini. Ada intonasi berbeda yang dibuat Butet saat mengatakan ‘...power...’ karena fonem –ew- (w) diucapkan Butet dengan penekanan yang berbeda dari fonem lainnya. Ketika mengucapkan fonem –ew- (w), Butet membuat intonasi dengan menekan nada, menahannya, dan melambatkan ritme. Berdasarkan pada seluruh tanda komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet saat mengucapkan ‘bargaining power’ ini mengindikasikan bahwa ada bentuk keheranan dan kebingungan besar yang coba ditampakkan Butet terhadap kata ‘bargaining power’. Sebagai kanvas dari pikiran dan perasaan, wajah Butet menggambarkan maksud seperti tidak habis pikir lagi bahwa urusan ‘bargaining power’ amat penting dan mendesak bagi para petinggi dalam perihal golf ini bahkan di atas urusan kehidupan dan kesejahteraan rakyat. Ada bentuk keheranan dan tanda tanya besar yang tersirat di wajah Butet saat mengucapkan ‘bargaining power’ ini, maka Butet visualkan dengan menaikkan sedikit alis namun menurun dan mengerutkannya serta memonyongkan mulut seakan tanda meledek.

83

q. Kalimat ke-17 “Apa ya salah mengembangkan keunggulan kompetitif dengan menguasai hitech dirgantara, samudera, dan persada?” Terdapat tiga potongan gambar saat Butet memvisualkan kalimat ini, yakni pada kata ‘apa ya salah’, ‘hitech’, dan ‘persada’.

Analisis: Kata pertama yakni ‘apa ya salah’ diucapkan Butet dengan bentuk komunikasi nonverbal yang paling dominan yakni ekspresi dan intonasi. Ketika mengatakan kata tersebut, ekspresi Butet mema ng hanya dengan memunculkan bentuk alis dan kening yang mengerut juga mata yang menutup rapat beberapa saat. Gestur yang terlihat hanya gerakan kepala yang membarengi Butet saat berekspresi, yakni dengan gerakan kepala yang diangkat maksimal menengadah menghadap atas kemudian perlahan-lahan menurun seiring dengan intonasi Butet. Ketika berintonasi, Butet melambankan ritmenya, sangat lamban, bahkan disinyalir ini intonasi terlamban Butet dalam melakonkan monolog ini. Ritme intonasi lamban tersebut persis pada kata ‘salah’ tepat di suku kata terakhir ‘...lah...’ dengan memanjangkan nada, tempo, dan ritme, namun tetap merendah tanpa power. Maksud dari komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet saat mengucapkan ‘apa ya salah’ ini ialah tanda adanya tekanan dan ketidaknyamanan karenanya Butet memunculkan ekspresi dengan kening yang dikerutkan. Mata yang menutup rapat beberapa saat yakni indikasi emosi

84

negatif dan sebagai upaya memblokir kejadian atau berita negatif yang buruk dan tidak ingin diingat. Gestur kepala yang diangkat maksimal menengadah ke atas kemudian menurun kembali menggambarkan bahwa adanya upaya energi penuh dari emosi Butet pribadi guna menyampaikan pesan secara maksimal. Adapun intonasi Butet saat mengucapkan kata ini ialah bentuk eksplorasi emosi yang sebenar-benarnya dikeluarkan Butet karenanya pada nada, ritme, dan tempo intonasi dipanjangkan dan dilambankan oleh Butet. Ini cara agar penyimak meresapi dan memahami penuh emosi yang coba ditunjukkan Butet dalam kata ini. Bentuk komunikasi nonverbal pada ‘apa ya salah’ ini mewakili kritik Butet bahwa ‘ya memang tidak salah’ untuk ‘mengembangkan hitech dirgantara, samudera, dan persada’ (kalimat lanjutan dari ‘apa ya salah’) namun cara dan upaya yang dipilih untuk melancarkan rencana itulah yang dinilai tidak bijak. “Bagaimana mungkin demi meraih laba yang sebesar- besarnya untuk kepentingan negara harus menumbalkan nasib rakyat sendiri?” suara ini yang dalam analisis peneliti coba disampaikan Butet melalui bentuk komunikasi nonverbal pada kata ‘apa ya salah ini. Kata kedua setelah ‘apa ya salah’ ialah ‘hitech’. Ketika mengucapkan ‘hitech’, bentuk komunikasi nonverbal yang paling dominan dimunculkan Butet ialah ekspresi dan intonasi. Tidak ada gestur yang mencolok ditunjukkan Butet salam kata ini. Ekspresi Butet saat memvisualkan kata ini ialah dengan memonyongkan mulut. Padahal jika secara normal seseorang mengucapkan kata ‘hitech’ hanya akan membentuk mulut yang simetris melebar ke kanan dan kiri, bukan memonyong ke depan secara maksimal seperti yang dilakukan Butet. Intonasi saat mengucapkan kata ini sangat jelas berbeda dan signifikan dari intonasi sebelumnya dalam kalimat ini. Ada penekanan dan hentakan dalam pengucapan yang dimunculkan Butet. Kata ‘hitech’ berarti ‘high technology’atau teknologi canggih/mutakhir. Kata setelah ‘hitech’ ialah ‘dirgantara’, jadi ‘hitech dirgantara’ berarti ‘dirgantara dengan teknologi mutakhir (canggih-kekinian). Tidak ada bentuk komunikasi nonverbal lain yang mencolok dan signifikan dimunculkan Butet dalam kata ini, karenanya tidak banyak analisis yang dirincikan peneliti dalam kata ini. Analisis peneliti

85

terhadap seluruh bentuk komunikasi nonverbal Butet saat mengucapkan kata ‘hitech’ ini adalah sebagai indikasi kritik terhadap rupa kebijakan atau campur tangan asing yang mempengaruhi dan mengambil alih kekuasaan negara Indonesia pada masa itu. Pandangan ini muncul karena kata ‘hitech’ yang berasal dari istilah asing, yakni bahasa Inggris, dan juga karena Butet memunculkan ekspresi konyol dengan memonyongkan mulut saat mengucapkan ini. Kata ketiga sekaligus menjadi kata terakhir dalam kalimat ialah ‘persada’. Saat mengucapkan kata ‘persada’, bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet ialah dengan membulatkan bola mata dan menaikkan alis. Tidak ada gestur dominan yang diperlihatkan Butet, begitu pula dengan intonasi. Artian bentuk ekspresi ini sama dengan beberapa potongan gambar sebelumnya yang juga didapati bentuk ekspresi seperti ini yang artinya sebagai indikasi keheranan dan emosi positif (menaikkan alis). Kata ‘persada’ dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti ‘lantai yang lebih tinggi (bertangga), taman tempat bersenang-senang, tempat (gedung, istana), atau tanah air (tumpah darah, ibu pertiwi). Melihat dan menganalisis komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet dalam kata ‘persada’ ini mengarahkan artian ‘persada’ sebagai ‘taman tempat bersenang-senang atau gedung/istana’. ‘Taman tempat bersenang-senang’ yang berarti lapangan golf serta gedung/istana yang berarti tempatnya para petinggi dan pejabat pada masa itu. Hal ini diduga oleh peneliti berdasarkan pada intonasi Butet saat mengatakan ‘persada’ dengan nada kata tak resmi, sangat tidak tepat jika ‘persada’ yang dimaksudkan sesakral artian ‘persada’ sebagai ‘tanah tumpah darah/bumi pertiwi’. Ada indikasi guyon atau ledekan ala Butet saat membuat intonasi pada kata ‘persada’ ini. r. Kalimat ke-18 “Duh, Gusti, bersabdalah!” Hanya terdapat satu potongan gambar dalam kalimat ini, yakni pada kata ‘bersabdalah!’

86

Analisis: AdeganButet memanggil-manggil ‘sang Gusti’ tidak hanya terdapat dalam kalimat ini saja tapi juga beberapa kalimat sebelumnya. Kalimat serupa yang menunjukkan Butet menyebut-nyebut nama ‘sang Gusti’ dalam naskah ini berjumlah tiga kali. Bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet saat mengucapkan kalimat ini serupa pula dengan visualisasi pada dua kalimat sebelumnya. Ketika mengatakan ‘duh, Gusti! Bersabdalah!’ bentuk komunikasi nonverbal yang signifikan diperlihatkan Butet ialah melalui ekspresi dan intonasi. Tidak ada perubahan gestur yang berarti dan mencolok dalam kalimat ini. Ekspresi Butet saat mengatakan ini ialah dengan mata tertutup, mulut seolah-olah menghilang bentuknya, dan intonasi yang melamban. Sesuai literatur, mata tertutup mengindikasikan emosi negatif dan upaya memblokir kejadian negatis, sedang mulut yang seolah-olah menghilang bentuknya menggambarkan sebuah tekanan (stress) dan kegundahan. Adapun intonasi Butet yang merendah, melamban, dan melemah ialah bentuk kelemahan, ketidakberdayaan, dan kepasrahan yang dimaksimalkan Butet sehingga membiarkan ritme intonasi dipanjangkan nadanya. Ketika Butet mengintonasikan kata ini, terdengar jelas nada-nada yang membuat iba dan mengiris hati penyimaknya. Ada perasaan berserah diri yang teramat sangat disampaikan Butet dalam kata ini. Berdasarkan pada dua analisis komunikasi nonverbal di kalimat serupa yang sebelumnya dibacakan Butet pula, peneliti pernah menyatakan bahwa dalam kalimat ini mengandung bentuk totalitas penyerahan dan religiusitas seorang pengarang pada Tuhannya. Ini merupakan bentuk kalimat filsuf dan indikasi kepasrahan secara menyeluruh seseorang pada Tuhannya. Baik seseorang tersebut adalah pengarang naskah, tokoh yang menarasikan cerita

87

dalam naskah, ataupun Butet sebagai pelakon naskah. Point pentingnya adalah bahwa kesan dan pesan pengarang dalam kalimat ‘duh, Gusti! Bersabdalah!’ ini sukses dibawakan Butet karena mampu mendelivery suasana kepasrahan dan bentuk kedekatan hamba dengan Tuhannya. s. Kalimat ke-19 “Nenek moyang kita sih selalu mengajarkan kita hidup prihatin tapi nda pernah mengajarkan kita kiat bagaimana jadi kaya” Terdapat tiga potongan gambar/slide dalam kalimat ini, yakni pada kata ‘nenek moyang kita, sih...... ’, ‘nda pernah’, dan ‘kaya’.

Analisis: Gabungan kata pertama yakni pada ‘nenek moyang kita sih.....’ komunikasi nonverbal paling dominan dimunculkan Butet melalui ekspresi dan intonasi. Tidak ada gestur mencolok yang ditunjukkan Butet saat mengucapkan ini, kecuali pada suku kata terakhir saat mengucapkan ‘sih....’ ada gerakan tangan sebelah kiri Butet yang diletakkan di belakang. Menurut ahli gerakan ini disebut sebagai gaya orang terpandang yang artinya ‘jangan dekat-dekat saya’. Dalam ekspresi, Butet memvisualkan gabungan kata tersebut dengan tatapan penuh ke arah teks dan menunduk. Bentuk dagu pun menunduk mengarah ke bawah. Bentuk dagu yang menunduk sehingga membuat hidung pula ke bawah mengindikasikan rasa tidak percaya diri/rendah diri. Adapun intonasi Butet saat

88

mengatakan ini ialah dengan merendahkan nada dan melambankan ritme juga tempo. Artian dari bentuk komunikasi nonverbal yang ditunjukkan Butet pada ‘nenek moyang kita sih...’ ialah tanda merendahkan diri, bentuk ungkapan pesimistis, dan tidak percaya diri. Saat Butet mengatakan ungkapan tersebut seolah-olah Butet menggambarkan sebagai seorang rakyat kecil yang tengah mengucapkan kalimat tersebut seraya berpendapat bahwa nenek moyang mereka atau orangtua-orangtua mereka terdahulu tidak pernah mengajarkan mereka kiat menjadi orang kaya tapi mengajarkan untuk hidup prihatin dengan sederhana dan seadanya. Jadi memang ekspresi dan nada bicara yang ditonjolkan Butet adalah bentuk lakon seperti tokoh ‘rakyat kecil’ dalam naskah yang merendah dan menganggap diri sebagai orang kecil, orang yang tidak terbiasa hidup bermewah-mewah. Selain itu, bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet dalam ‘nenek moyang kita sih...’ menyiratkan nada berpasrah diri dan menyerah pada nasib. Kata kedua dalam kalimat ini ialah ‘kiat’ yang dalam Kamus Besas Bahasa Indonesia berarti ‘upaya, usaha, tak-tik, cara, atau strategi’. Bentuk komunikasi nonverbal yang dominan dimunculkan Butet dalam kata ini ialah melalui intonasi bicara. Tidak terdapat komunikasi nonverbal melalui ekspresi dan gestur yang mencolok dalam penyebutan kata ini oleh Butet. Dalam kalimat ‘nenek moyang kita sih selalu mengajarkan kita hidup prihatin tapi nda pernah mengajarkan kita kiat bagaimana jadi kaya’, hanya kata ‘kiat’ saja yang diintonasikan seperti hentakan dan pukulan nada oleh Butet. Jika pada gabungan kata sebelumnya, yakni ‘nenek moyang kita sih’ intonasi Butet ialah dengan melambankan ritme, nada, dan tempo, maka berbeda halnya dengan kata ‘kiat’ ini. Justru tempo sedikit dipercepat namun nadanya ditinggikan, peneliti menyebutnya seperti ‘hentakan’ pada nada. Penjelasan dari bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet melalui intonasi bicara tersebut ialah agar penyimak menyadari dan mendapatkan dampak perbedaan rendah dan tingginya nada yang dibuat Butet dalam kalimat ini. Butet meninggikan intonasi pada ‘ki-aaaat!’ yang seolah-

89

olah seperti ini penulisan tinggi nadanya, agar makna kata ‘kiat’ dipahami dan dianalisis oleh penyimak. Inilah bentuk kritik sosial Butet dalam kalimat tersebut melalui kata ‘kiat’. Pesan bahwa ‘kiat/upaya/usaha/strategi’ menuju kaya raya/kehidupan mapan dan sejahtera banyak caranya, banyak jalannya, bukan hanya dengan menghalalkan cara berbahagia dan berjaya di atas penderitaan dan tangisan orang lain. Butet pun ingin menyampaikan dalam kata ‘kiat’ bahwa intisari dalam naskah yang dilakonkannya ini berkaitan erat tentang kata ‘kiat’ itu sendiri. Tentang upaya-upaya suatu golongan mencapai kekayaan dan kesejahteraan namun mengorbankan kehidupan dan kesejahteraan orang lain. Inilah intisari pesan penting yang coba disampaikan Butet melalui intonasi sebagai bentuk komunikasi nonverbal kritik sosialnya dalam kalimat ini. Analisis ketiga sekaligus menjadi terakhir dalam kalimat ini ialah pada kata ‘kaya’. Ketika menyebutkan kata ini, bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet ialah melalui ekspresi, intonasi, dan gestur. Ekspresi Butet saat mengucapkan kata ‘kaya’ ini adalah dengan menutup mata beberapa saat. Intonasi dominan Butet ialah dengan merendahkan nada dan seolah-olah tanpa power juga tekanan saat mengucapkan kata ini. Adapun gestur yang dimunculkan Butet ialah dengan menundukkan kepala dari posisi normal menghadap lurus ke depan kemudian menunduk, serta posisi tangan yang senantiasa diletakkan di belakang badan selama mengucapkan kata ‘kaya’ ini. Artian ekspresi Butet dengan menutup mata beberapa saat sama seperti beberapa ekspresi yang juga ditonjolkan Butet pada analisis sebelumnya yang mengindikasikan adanya emosi negatif dan sebagai upaya memblokir kejadian/berita buruk (tidak menyenangkan). Maksud pemunculan ekspresi oleh Butet ini ialah sebagai bentuk ironis atas kondisi rakyat kecil yang diceritakan dalam naskah karena memang jauh dari kata ‘kaya’ dan nilai sejahtera. Ada semacam kontradiksi yang dirasakan Butet saat mengatakan kata ‘kaya’ karena tidak sesuai dengan kondisi real yang terjadi pada masa itu terhadap masyarakat Indonesia, khususnya para rakyat yang menjadi korban penggusuran lahan pembangunan lapangan golf di zaman PJPT II Indonesia.

90

Karenanya demi berupaya melupakan atau memblokir latar belakang kejadian buruk tersebut, maka Butet menunjukkan komunikasi nonverbalnya dengan menutup kedua mata. Intonasi Butet saat mengatakan ‘kaya’ adalah dengan merendahkan nada dan tanpa tekanan ataupun power. Ada indikasi merendahkan diri dan pasrah terhadap nasib yang coba digambarkan Butet sangat mengatakan ‘kaya’ tersebut. Kata ‘kaya’ yang sifatnya positif, menggembirakan, dan kabar baik, malah divisualkan Butet menggunakan intonasi bicara yang sebaliknya, merendah, negatif, dan tanpa nada kegembiraan atau pun kesenangan (positif). Inilah yang menarik, pemunculan nada merendah dan emosi negatif untuk pengucapan kata yang sifatnya positif dan harusnya mengandung nada menggembirakan ini sukses dilakukan Butet. Karena adanya kontradiksi tersebut, maka kata ‘kaya’ menyiratkan makna yang ‘dalam’ dalam kalimat ini dan mengandung pesan penting dari pengarang. Pesan tersebut ialah guna mengingatkan bahwa rakyat tidak ‘kaya’ karenanya tidak perlu mengorbankan atau menumbalkan nasib kesejahteraan mereka yang begitu sederhana demi mencapai kekayaan duniawi dan bersifat memaksakan diri dan sangat tidak manusiawi. Adapun artian bentuk komunikasi nonverbal yang terakhir melalui gestur kepala yang ditundukkan dari posisi normal adalah upaya mendukung intonasi Butet saat mengatakan ‘kaya’ tadi dengan nada rendah. Gerakan kepala merendah berarti sesuai dengan nada bicara yang direndahkan pula. Ini hanya upaya Butet menyelaraskan bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkannya guna memperkuat simbol sebagai penggambaran pesan yang ingin disampaikannya tersebut. Gerakan tangan yang secara stagnan diletakkan di belakang badan sejak pengucapan awal hingga akhir dalam kalimat ini mengindikasikan bahwa Butet memposisikan diri dengan berperan ganda. Peran pertama sebagai rakyat kecil yang dirugikan dalam cerita naskah, peran kedua sebagai orang terpandang/kalangan atas (priyayi). Bentuk komunikasi nonverbal melalui gestur dengan meletakkan tangan di belakang badan inilah gerakan menggambarkan peran lain Butet sebagai orang yang dihormati dalam

91

cerita. Posisi tangan seperti yang dilakukan Butet ini menurut ahli ialah sebagai indikasi menunjukkan gaya orang terpandang seraya menggambarkan kalimat “jangan dekat-dekat saya!” t. Kalimat ke-20 “Ah. Yang bener. Lha filsafat ‘ojo dumeh’ kuwi” Terdapat dua potongan gambar/slide pada kalimat ini, yakni saat Butet mengatakan ‘ah...’ dan ‘ojo dumeh kuwi’.

Analisis: Kata pertama pada potongan gambar, yakni ‘ah...’ yang divisualkan Butet dalam bentuk komunikasi nonverbal melalui ekspresi, intonasi, dan gestur, namun yang paling dominan dimunculkan ialah intonasi dan gestur. Ekspresi Butet saat mengatakan ‘ah...’ ialah dengan menyerongkan posisi kepala dan badan ke arah kiri seraya memanyunkan mulut dan membentuk wajah seperti berkata “ah, masa sih?!” Intonasi Butet cukup ditekankan dan dipanjangkan temponya, selain itu, bunyi –ekh- yang lebih terdengar dibanding fonem –eh- (h), seperti terdengar demikian “akhhhhh....”. Gestur yang dimunculkan Butet saat mengatakan “ah...” ialah dengan melempar tangan kirinya searah kepala dan badan yang menyerong ke kiri, seraya disentakkan, posisinya seperti hendak memukul seseorang namun hanya bercanda. Artian komunikasi nonverbal yang ditunjukkan Butet saat mengucapkan ‘ah’ dalam kata ‘ah... yang bener’ mengindikasikan ungkapan seruan kekagetan/keterkejutan sebagai respon dari sesuatu. Bentuk gerakan yang dimunculkan Butet adalah respon dari ungkapan pada kalimat sebelumnya, yakni ‘nenek moyang kita sih selalu mengajarkan kita hidup prihatin tapi nda pernah mengajarkan kita kiat bagaimana jadi kaya’. Setelah mengucapkan kalimat tersebut, ekspresi dan gestur Butet seketika berubah secara cepat lalu mengatakan ‘ah... yang bener’, sebagai respon yang seolah-olah terlihat sangat

92

refleks dan natural. Tidak ada kesan dibuat-buat saat Butet mengatakan kata tersebut. Kesannya Butet sudah larut dan menyatu dalam cerita naskah yang dilakonkan dan merespon kalimat panjang tadi dengan bentuk komunikasi nonverbal yang alamiah. Gerakan tangan Butet yang demikian menandakan adanya ketidaksesuaian dari info atau pernyataan yang baru saja didengar. Ekspresi saat mengatakan ‘ah...’ pun dengan mulut yang dimonyongkan maksimal, seolah-olah Butet mengatakan “emang iya?” atau “iya, gitu?” atau “ah, masa sih?” sebagai bentuk respon ketidakpercayaan dan keheranan. Adapun intonasi Butet saat mengatakan kata tersebut mengandung nada tinggi yang juga ditekankan. Upaya ini menguatkan anggapan bahwa dalam ‘ah... yang bener’ ini mengandung respon keraguan yang dipertanyakan. Maksud demikian pun didukung dengan gestur Butet yang seolah-olah menandakan ajakan pada ‘si objek’ untuk memikirkan ulang pernyataannya tentang kalimat ‘nenek moyang kita sih.....’ tadi. Gerakan tangan Butet seperti menandakan kalimat “coba deh dipikir lagi!” Kata kedua dalam kalimat ini ialah ‘ojo dumeh kuwi’ yang merupakan istilah bahasa daerah, Jawa, yang artinya filsafat ‘jangan mentang-mentang itu’. Bentuk komunikasi nonverbal yang paling nampak diperlihatkan Butet ialah melalui gestur dengan mengacungkan jari telunjuknya ke depan kepala. Menurut ahli, simbol tangan dengan jari telunjuk yang menunjuk merupakan simbol paling ofensif yang berarti indikasi paling negatif. Kalimat ‘ojo dumeh’ ialah potongan kalimat dalam filsafat Jawa yang kerap dijadikan bahan referensi oleh pengarang naskah. Dalam dunia dan budaya Jawa, filsafat ini seringkali dijadikan acuan dan panutan hidup. Menganalisis maksud Butet saat mengatakan ‘ojo dumeh kuwi’ berarti bentuk peringatan dan tanda pengingat bahwa seseorang sebagai objek dalam cerita naskah perlu mengingat kembali ajaran dalam filsafat Jawa untuk ‘tidak mentang-mentang’ dalam hidup. Pentingnya ajaran dalam filsafat Jawa tersebut, mendorong Butet menvisualkan kalimat ini dengan gerakan telunjuk yang menunjuk. Jika menurut ahli, gerakan ini merupakan bentuk ofensif dan tanda emosi paling negatif, maka maksud yang coba disampaikan Butet ialah

93

kekuatan, tekanan, dan peringatan keras terhadap nasehat dari filsafat Jawa tersebut. u. Kalimat ke-21 “Sabeja-bejane kang lali, luwih beja kang eling lan waspada?!” Hanya terdapat satu kata penting yang dikomunikasi-nonverbalkan oleh Butet saat mengucapkannya, yakni pada kata ‘sabeja-bejane’.

Analisis: Ketika mengucapkan ‘sabeja-bejane’ bahkan sampai dengan akhir kalimat, Butet memunculkan komunikasi nonverbal yang paling dominan, yakni melalui gestur dengan mengacungkan jari telunjuk sebelah kirinya dalam waktu yang lama. Tidak ada bentuk gerakan lain yang diperlihatkan Butet selain acungan jari telunjuk yang menandakan peringatan ini. Intonasi dan ekspresi Butet pun tidak memunculkan tanda-tanda yang signifikan pada kata ataupun kalimat ini. Hanya ada satu gestur sebagai bentuk komunikasi nonverbal Butet sebagai upaya menginterpretasi kritik sosial dalam kalimat ini. Artian kalimat ‘Sabeja-bejane kang lali, luwih beja kang eling lan waspada?!’ adalah ‘seberuntung-beruntungnya orang lupa, lebih beruntung orang yang ingat dan waspada?!’ Karena kalimat ini merupakan ungkapan istilah dalam filsafat Jawa dan mengandung amanat hidup yang penting, maka cara Butet cukup dengan satu gerakan paling kuat dan keras guna memvisualkannya sebagai bentuk komunikasi nonverbal. Gerakan jari telunjuk yang diacungkan ialah gerakan paling ofensif dan tanda negatif menurut ahli. Artian ‘negatif’ sebagai tafsir dari gerakan ini diredefinitif oleh peneliti sebagai bentuk larangan atau pun peringatan keras. Maka inilah maksud yang coba disampaikan Butet dalam kalimat tersebut. Hanya dengan mengacungkan

94

telunjuk sebagai tanda pengingat dari pengucapan awal hingga akhir kalimat. Menurut Butet, ini adalah gerakan paling sederhana namun mengundang multitafsir dan dampak mengesankan bagi para penyimaknya. v. Kalimat ke-22 “Jadi perkara padang golf ini, Kang Karto, karena menyangkut kepentingan nasional yang nggegirisi dan gawat keliwat-liwat” Terdapat tiga potongan gambar/slidedalam kalimat ini, yakni pada kata ‘kang Karto..’, ‘karena menyangkut kepentingan’, dan ‘jadi’.

Analisis: Analisis pertama kalimat ini pada ‘... Kang Karto’ dengan bentuk komunikasi nonverbal yang dominan dimunculkan Butet melalui gestur dan intonasi. Tidak ada ekspresi yang menonjol dalam kalimat ini, hanya pandangan Butet sepenuhnya menatap teks naskah. Intonasi Butet saat mengatakan ‘.... Kang Karto’ ini sedikit berubah menjadi bernada rendah dari intonasi sebelumnya yang cukup tinggi. Persis saat mengatakan ‘... Kang Karto’, suara Butet merendah dan ‘dalam’, ritmenya pun dilambankan. Adapun gestur yang dimunculkan Butet dalam kata ini ialah dengan gerakan tangan yang mengusap bagian belakang leher. Menurut ahli, gerakan tangan mengusap bagian belakang leher merupakan rasa tak aman, tidak nyaman, takut, dan khawatir.

95

Artian bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet dalam ‘... Kang Karto’ mengindikasikan perasaan ketidaknyamanan dan ketidakamanan Butet terhadap nasib rakyat yang dalam cerita diwakilkan oleh tokoh ‘Kang Karto’ tersebut. Gestur paling jelas dan dominan ditonjolkan Butet sebagai bentuk komunikasi nonverbal dalam kata ini. Rasa tidak aman, tidak nyaman, khawatir, dan takut sebagai artian gestur Butet tersebut merupakan tanda emosi negatif dan mewakili perasaan Butet saat menyebut nama ‘... Kang Karto’ ini. Adapun intonasi yang merendah digunakan Butet demi mendukung emosi negatif dan perasaan tak nyaman dalam kata tersebut. Kata kedua dalam kalimat ialah ‘karena menyangkut kepentingan’ yang divisualkan Butet melalui bentuk komunikasi nonverbal dominan berupa intonasi dan gestur. Tidak ada ekspresi dominan yang ditonjolkan Butet saat mengatakan kalimat ini. Intonasi Butet seperti serius namun bercanda. Kalimat ‘karena menyangkut kepentingan’ memiliki artian denotatif yang penting, kaku, baku, dan sakral bagi urusan kenegaraan dan kebangsaan, namun diintonasikan Butet dengan nada sedikit main-main dan terkesan bercanda. Adapun gestur Butet ialah dengan membuka tangan sebelah kiri guna mengilustrasikan kata-kata tersebut. Kata ‘kepentingan nasional/menyangkut kepentingan’ ini divisualkan Butet dengan tangan terbuka yang berarti sebagai tanda banyaknya massa dalam urusan ‘kepentingan nasional’ tersebut. Bentuk tangan terbuka guna mendeskripsikan kata ‘kepentingan nasional’ ini mengindikasikan keterbukaan negara dan urusan banyak jiwa. Tidak ada bentuk komunikasi nonverbal lain yang dimunculkan Butet guna menyampaikan pesan/amanat kalimat ini dalam naskah. Analisis ketiga yang sekaligus merupakan analisis terakhir dalam kalimat ini, yakni pada kata ‘jadi’. Ketika menyebutkan kata ‘jadi’, komunikasi nonverbal dimunculkan Butet melalui seluruh aspek, yakni ekspresi, intonasi, dan gestur. Ekspresi Butet ialah dengan menaikan alis dan membuka lebar mata (melotot). Intonasi Butet saat mengatakan ‘jadi’ ialah dengan nada bertanya namun menunggu jawaban, sedikit ada intonasi final yang dihentikan

96

dalam ritme yang cepat pada pengartikulasian kata ‘jadi’ ini. Adapun gestur dimunculkan Butet dengan menaikkan tangan sebelah kiri sejajar perut. Artian bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet dalam kata ‘jadi’ ialah sebagai energi positif dan simbol antusias dari bentuk ekspresi. Intonasi dengan artikulasi final yang dihentikan dengan ritme cepat ialah tanda menunggu jawaban yang diharapkan sesegera mungkin. Adapun gestur dengan tangan sedikit terbuka dan dinaikkan sejajar perut ini mengindikasikan keterbukaan dan simbol menunggu jawaban (penantian). Berdasarkan pada seluruh bentuk komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet dalam kata ‘jadi’ menggambarkan emosi yang positif dan antusias serta menyiratkan keterbukaan demi menunggu kepastian jawaban dari kalimat setelah ini. Visualisasi yang coba dibentuk Butet saat mengatakan kata ini sebagai ekspresi emosi, baik yang diharapkan menjadi solusi atau jawaban dari kalimat-kalimat sebelumnya. w. Kalimat ke-23 “Marilah sama-sama kita tunggu dawuh.” Terdapat dua potongan gambar dalam kalimat ini, yakni pada kata ‘marilah sama-sama’ dan ‘kita tunggu dawuh’.

Analisis: Ketika mengatakan kalimat pertama ‘marilah sama-sama’, komunikasi nonverbal dimunculkan Butet melalui ekspresi, intonasi, dan gestur. Simbol ajakan divisualkan Butet dalam kalimat ini dengan memperlihatkan gestur melalui tangan kiri yang diangkat seperti tanda mengajak dan menyeru. Bentuk ajakan ini bersifat positif dan persuasif yang melambangkan semangat. Dikuatkan pula dengan intonasi Butet yang ditinggikan dan dibubuhi penekanan pada pengucapakan kata ‘marilah!’ seolah memberi tanda agar audience/penyimak merasa terpanggil dan tergerak dengan semangat positif

97

yang dipersuasikan Butet dalam gestur. Intonasi dalam kata ‘sama-sama’ diucapkan Butet dengan penekanan yang cukup menonjol dari pengucapan kata sebelumnya. Seperti ada pesan yang ingin disampaikan Butet dalam kata tersebut untuk mengajak penyimaknya bersama-sama melakukan upaya yang ditawarkan pengarang dalam naskah ini, yakni ‘menunggu dawuh’. Penekanan nada pada intonasi kata ‘sama-sama’ dimaksudkan Butet agar rakyat Indonesia, khususnya para audiencemeresapi kata ‘sama-sama’ guna bersatu dalam barisan bangsa Indonesia dan bersama-sama, satu padu bekerjasama memajukan cita-cita rakyat Indonesia dalam aspek apapun, bahkan aspek paling kecil dalam kehidupan bangsa. Ada maksud dan pesan nasionalisme yang ditumbuhkan Butet saat memberi penekanan dalam kata ‘sama-sama’ tadi. Ekspresi Butet saat mengatakan ‘Marilah sama-sama!’ ialah dengan menggerakkan bola mata dari arah teks ke atas seraya memainkan gestur dengan menaikkan tangan dan mengacungkan telunjuk. Arah mata dan jari telunjuk Butet sama. Sama-sama mengarah ke atas yang seolah-olah ‘atas’ menyimbolkan letak Tuhan. Hal ini menyiratkan maksud Butet untuk hanya berharap dan berserah pada pihak yang menentukan segala urusan, yakni Tuhan. Gerakan bola mata Butet saat mengatakan ‘sama-sama’ dan ‘kita tunggu dawuh’ sama-sama mengarah ke atas. Komunikasi nonverbal ini cukup menegaskan nilai religiusitas seorang pengarang untuk memberikan pelajaran bagi pembaca (dulce) tentang keberadaan Tuhan yang mutlak dan kepasrahan penuh pada Tuhan sebagai solusi yang ditawarkan pengarang dalam kalimat ini. Karenanya, Butet membuat komunikasi nonverbal dengan gerakan bola mata dan telunjuk yang diarahkan ke atas. Kata kedua dalam kalimat ini yakni ‘kita tunggu dawuh’ yang divisualkan Butet dalam komunikasi nonverbal berupa gestur tangan yang dominan. Tangan dengan telunjuk yang diarahkan ke atas seiring dengan gerakan bola mata seperti ayng peneliti jelaskan sebelumnya. Ada kesamaan gestur dan ekspresi Butet saat mengucapkan ‘sama-sama’ dan ‘kita tunggu dawuh’. Seperti pada analisis sebelumny, peneliti mengatakan bahwa gestur dan

98

ekspresi yang dimunculkan Butet ini menyiratkan bentuk kepasrahan seseorang pada Tuhannya yang dijadikan sebagai bentuk penawaran solusi dari pengarang pada rakyat Indonesia kala itu. Analisis lain memaknai bentuk gestur dan ekspresi dari gerakan mata Butet yang mengarah ke atas selain ditujukan pada Tuhan ialah pada para penguasa/pihak berwenang dalam perkara pembangunan lapangan golf ini tentunya. Dalam kalimat ‘marilah sama-sama kita tunggu dawuh’, ‘dawuh’artinya perintah, yang diminta untuk dinati-nantikan oleh Butet dapat berupa ‘perintah dari Tuhan’ atau ‘perintah dari pihak berwenang pembangunan lapangan golf (para penguasa negeri). Bentuk komunikasi nonverbal lain yang dimunculkan Butet dalam ‘kita tunggu dawuh’ ialah ekspresi dengan bentuk alis yang keduanya dinaikkan sama tinggi. Serupa dengan analisis sebelumnya yang juga memunculkan ekspresi ‘alis meninggi’ diartikan sebagai bentuk komunikasi emosi positif dari seseorang. Ini menunjukkan emosi melawan gaya tarik bumi. Jika dianalisis hubungan ekspresi alis meninggi dengan kalimat ‘kita tunggu dawuh’ ini dapat diartikan bahwa adanya perasaan positif dan semangat optimisme yang diperlihatkan Butet dalam kalimat tersebut. Penawaran berupa solusi yang dibuat pengarang, yakni ‘menunggu dawuh’ divisualkan Butet sebagai bentuk optimisme untuk rakyat. Dalam artian lain, Butet mengindikasikan harapan bahwa ‘dawuh’ yang ditunggu-tunggu semoga merupakan ‘dawuh’ yang baik dan bijaksana dari Tuhan ataupun dari penguasa negeri kala itu. x. Kalimat ke-24 “Siapa tahu, sekali sampeyan ayunkan stick sampeyan langsung dapet ‘hole in one’” Terdapat empat potongan gambar/slide dalam kalimat ini, yakni pada kata ‘siapa tahu’, ‘sekali sampeyan ayunkan stick sampeyan’, ‘langsung’, dan ‘hole in one’.

99

Analisis: Kata pertama dalam kalimat ini ialah ‘siapa tahu’ yang diperlihatkan Butet dalam bentuk komunikasi nonverbal berupa ekspresi dan gestur. Ekspresi dimunculkan Butet melalui alis yang naik dan turun, sedangkan gestur dengan posisi tangan yang diturunkan ke bawah. Kalimat ‘siapa tahu’ menandakan keraguan dan indikasi menerka-nerka terhadap sesuatu. Maka sangat wajar jika itulah yang diperlihatkan Butet dalam lakon monolognya. Pada gambar pertama, terlihat jelas bentuk alis Butet yang menaik/meninggi. Ini menggambarkan gerakan melawan daya tarik bumi dan berarti gembaran emosi positif, namun ekspresi ini berubah kemudian. Tak lama Butet meninggikan alisnya, ia pun langsung menurunkan alis dan ini bersamaan dengan gerakan tangan (gestur tangan) yang juga menurun. Peneliti menganalisis perubahan tinggi dan rendah posisi anggota tubuh Butet tersebut sebagai keraguan dan indikasi penerka-nerkaan sesuai dengan makna kalimat ‘siapa tahu’ tersebut. Artian yang tersirat dalam kalimat ‘siapa tahu’ yang diungkapkan Butet bersamaan dengan bentuk komunikasi nonverbal demikian menunjukkan maksud bahwa Butet mewakili pengarang naskah dalam monolog pun tidak mampu menjamin dan menggaransikan nasib rakyat perihal pembangunan lapangan golf. Karena itu, ungkapan Butet kemudian dilanjutkan dengan ‘Siapa tahu, sekali sampean ayunkan stick sampean, langsung dapat hole in one’. Ungkapan ini bermaksud tebak-tebakan yang mungkin saja setelah ‘menunggu dawuh’ dan bermain golf, akan dapat ‘jek pot’ atau semacam doorprize yang akan memberikan keuntungan bagi ‘sampean’, dalam hal ini ‘rakyat Indonesia’ kala itu. Dalam gambar kedua saat mengungkapkan ‘sekali sampean ayunkan stick sampean’, bentuk komunikasi nonverbal paling dominan dimunculkan Butet melalui gestur. Berdasarkan analisis peneliti, tidak ada indikasi secara gestur

100

yang berarti dalam menyampaikan kalimat tersebut. Butet hanya menggambarkan salah satu gerakan bermain golf yakni dengan mengayunkan tangan kiri dari sisi kiri ke kanan sebanyak dua kali, kemudian memberikan tekanan berupa ‘hentakan’ tepat pada saat pengucapan kata ‘stick’. Selain gestur, tidak ada bentuk komunikasi nonverbal lain, seperti ekspresi dan intonasi yang dimunculkan Butet dalam kalimat ini. Potongan gambar ketiga berupa visualisasi kata ‘langsung’ yang diekspresikan Butet dalam bentuk komunikasi nonverbal berupa ekspresi, intonasi, dan gestur. Ekspresi Butet ditunjukkan dengan senyum simpul di bibir, mata yang tidak berbinar namun menunjukkan perasaan positif karena beralih dari posisi menatap teks kemudian mengembang dan sedikit dinaikkan ke atas yang berdasarkan literatur mengindikasikan perasaan positif, nyaman, dan bentuk kepercayaan diri yang tinggi. Bentuk bibir, mata, dan hidung yang dimunculkan Butet menandakan perasaan yang baik, positif, dan semangat, ketika mengucapkan kata ‘langsung’. Hal ini dianalisis oleh peneliti sebagai arti optimistis yang terkandung dalam kata ‘langsung’. Dalam permainan golf, jika pemain ‘langsung mendapatkan hole in one pada sekali pukulan maka itu adalah point, jek pot, dan bentuk keberuntungan. Hal inilah yang coba divisualkan Butet dalam bentuk ekspresi tadi yang menunjukkan optimistis terhadap keberuntungan yang ‘langsung’ didapatkan pemain (sasaran tokoh; Kang karto) dalam naskah. Optimis terhadap keberuntungan tersebut berasal dari ‘hole in one’ secara langsung yang mungkin (siapa tahu) akan didapatkan Kang Karto saat bermain golf. Nuansa optimis tersebut muncul karena seolah-olah di dalam cerita naskah tidak ada lagi harapan dan belas kasih dari pihak berwenang pembangun lapangan golf terhadap nasib rakyat yang kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran lahan. Atas dasar itulah, secara paradoks disebutlah kalimat ‘Kita tunggu dawuh. Siapa tahu, sekali sampean ayunkan stick sampean langsung dapat hole in one’. Tergambar jelas dalam kalimat ini, sebuah keironisan keadaan sosial bahkan pengarang menggantungkan harapan dan solusi pada suatu hal yang tidak pasti, yakni ‘hole in one secara langsung’. Kalimat ini

101

sukses divisualkan Butet yang seolah-olah membawa energi segar, positif, dan optimis dalam kalimat tersebut. Ini merupakan cara Butet agar audiencesedikit merasakan angin segar dlam cerita dan diiming-imingi optimisme dalam sebuah solusi, yakni ‘hole in one’. Gestur dan intonasi Butet saat mengungkapkan kata ‘langsung’ ini sama, ada penekanan. Gestur dimunculkan Butet dengan tangan kiri yang sedikit mengepal dan diayunkan ke atas. Intonasi Butet sangat jelas berbeda dari pengucapan Butet dalam kata-kata sebelumnya. Seperti ini, ‘langgg...sung!’ dua suku kata dipisahkan dengan penekanan pada suku kata ‘lang...’ dan tempo yang cukup lama di sini. Pada gestur dan intonasi tidak ada penjelasan yang berbeda selain mendukung dan menguatkan analisis peneliti pada perilah ekspresi tadi. Gestur dan intonasi Butet saat mengatakan ‘langsung’ menandakan kembali bahwa kata tersebut menyimpan arti yang luas. Seperti telah dijelaskan peneliti pada bagian ekspresi, bahwa kata ini mengungkapkan bentuk energi positif, semangat, dan optimisme. Potongan gambar terakhir dalam kalimat ini ialah visualisasi kata ‘hole in one’. Bentuk komunikasi nonverbal yang tampak dominan dalam kalimat ini ialah melalui ekspresi dan intonasi. Saat mengucapkan kata ‘hole in one’, ekspresi Butet yang menonjol terlihat dari bentuk mulut yang membentuk sudut ke arah bawah seperti bentuk huruf U terbalik dan ini mengindikasikan rasa sakit emosional yang mendalam. Bentuk ekspresi ini tepat dimunculkan Butet saat mengucapkan ‘hole’. Mulut Butet selain membentuk huruf U terbalik pun menggambarkan jelas tanda mulut yang sedang mencibir atau meledek. Seperti ada ketidakpuasan dan kekecewaan yang tersirat dari bentuk mulut Butet tersebut. Perubahan yang terjadi kemudian, dalam hitungan detik, indikasi negatif dari bentuk mulut Butet ini berubah menjadi indikasi emosi positif yang dimunculkan Butet dengan ekspresi lain melalui alis yang dinaikkan. Bentuk alis yang naik tersebut persis terjadi saat Butet mengatakan ‘...in one’ menuju awal kalimat selanjutnya sebagai kalimat penutup, yakni ‘Hadiahnya bisa buat beli loji .....’ Perubahan tersebut seketika terjadi dan sangat drastis, yakni emosi

102

negatif menuju emosi positif. Emosi negatif dari bentuk mulut U terbalik Butet yang berarti rasa sakit emosional yang mendalam, sedangkan emosi positif nampak pada bentuk alis menaik yang berarti melawan daya tarik bumi dan menandakan emosi positif. Analisis peneliti terhadap perubahan emosi dalam ekspresi Butet ini ialah perasaan negatif dalam kata ‘hole in one’ yang muncul karena ‘point hole in one’ sebetulnya tidak dapat dijadikan solusi situasi yang terjadi. Definisi ini dimunculkan dengan baik oleh Butet dalam bentuk komunikasi nonverbal melalui ekspresi mulut yang membentuk U terbalik. Selanjutnya, ekspresi berubah seketika dengan alis meninggi dan berarti emosi positif. Ini diperlihatkan Butet persis saat mengatakan ‘... in one’ menuju kalimat selanjutnya, yakni ‘Hadiahnya.....’ Ada permainan emosi yang digunakan Butet dalam peralihan kalimat ini. Ekspresi Butet menuju kata ‘Hadiahnya.....’ ini menandakan semangat seperti pepatah bahasa Indonesia “Habis gelap terbitlah terang”, setelah emosi negatif dalam kata ‘hole in one’ muncullah penawar rasa yang membahagiakan dalam kata ‘Hadiahnya.....’ Keraguan dan pesimistis dalam ‘hole in one’ dibalas dengan ungkapan positif yang seolah-olah hadir menjadi solusi, yakni dalam kalimat ‘Hadiahnya bisa buat beli loji...’ Tidak berbeda dengan nuansa pada kalimat sebelumnya. Dalam kalimat ini tersirat pula bentuk paradoks dan keironisan tentang keberadaan lapangan golf dan nasib ‘Kang Karto’ (simbol rakyat). Intonasi Butet saat mengatakan ‘hole in one’ ada penekanan dalam kata ‘hole’ dan nada sedikit menyindir secara halus dalam kata ‘...one’. Penekanan dalam ‘hole’ dibarengi dengan ekspresi mulut Butet yang membentuk huruf U terbalik dan mengindikasikan rasa sakit emosional. y. Kalimat ke-25 “Hadiahnya bisa buat beli loji, pengganti rumah sampeyan yang kegusur Raden Sukosrono bolehnya muter taman golf internasional ke Indonesia!” Terdapat tiga potongan gambar dalam kalimat ini, yakni pada kata ‘hadiahnya’, ‘pengganti rumah sampeyan’, dan ‘internasional’.

103

Analisis: Potongan gambar pertama dalam kalimat ini ialah bentuk komunikasi nonverbal dalam kata ‘hadiahnya’ yang dimunculkan Butet melalui ekspresi, intonasi, dan gestur. Bentuk komunikasi nonverbal Butet yang paling dominan ialah ekspresi. Butet menampakkan wajah dengan mata seolah-olah berbinar, senyum yang lebar, dan alis yang meninggi. Mata yang terbuka lebar seprti berbinar mengindikasikan adanya emosi positif. Alis yang meninggi pun sama, ini menandakan melawan daya tarik bumi yang berarti emosi positif. Berbeda dengan mulut Butet yang tersenyum lebar namun disinyalir bukan merupakan senyuman tulus karena bentuk mulut yang tanpa kerutan ke arah mata. Menurut ahli diungkapan bahwa senyum palsu ialah senyum dengan ujung mulut tertarik ke arah telinga dengan sedikit emosi di mata. Artian tiga bentuk ekspresi Butet ini ialah ketidakselarasan atau tindakan inkonsistensi Butet menginterpretasikan alur cerita dalam monolog. Maksud yang ingin dissampaikan Butet yakni makna ganda dalam kata ‘hadiah’ pada kalimat ‘hadiahnya...... ’ Makna pertama ‘hadiah’ adalah barang atau benda yang diberikan seseorang secara cuma-cuma sebagai bentuk kebahagiaan atau rasa senang. Makna kedua ‘hadiah’ dalam lakon monolog yang divisualkan Butet ialah ‘hadiah’ yang sebetulnya tidak pernah ada dan ironisnya justru

104

‘kesengsaraan’ yang ada dan kelak didapatkan ‘Kang Karto, tokoh sebagai representasi dari rakyat Indonesia kala itu. ‘Hadiah’ yang diharapkan sesuai dengan definisi secara leksikal tergantikan menjadi ‘hadiah’ dalam artian konotatif, yakni ‘musibah dan malapetaka’ dalam bentuk penggusuran rumah rakyat untuk pembangunan lapangan golf. Intonasi Butet dalam kata ini menggambarkan nada bahagia dan gembira. Penekanan ini mendukung ekspresi Butet yang coba memvisualkan kondisi seolah-olah bahagia. Gestur dimunculkan Butet dengan bentuk tangan kiri yang dibuka, dengan telapak tangan menghadap atas. Gerakan ini seperti menyimbolkan kata ‘hadiah’ sebagai makna denotatif, yakni kebahagiaan, kegembiraan, dan barang yang diberikan dari rasa suka cita. Tangan Butet yang etrbuka mengindikasikan sebuah penerimaan, lebih tepatnya ‘harapan untuk menerima sesuatu’. Potongan gambar kedua dalam kalimat ini ialah bentuk visualisai Butet saat mengatakan ‘pengganti rumah sampean’. Bentuk komunikasi nonverbal yang dominan diperlihatkan Butet melalui gestur. Ekspresi dan intonasi tidak digambarkan Butet secara signifikan dan menonjol. Melalui ekspresi, Butet dan seluruh pandangannya hanya mengarah pada naskah dan tidak memunculkan ekspresi apapun. Intonasi Butet saat mengatakan ‘pengganti rumah sampean’ ini hanya ada penekanan pada ‘...ngganti...’ Seolah-olah ada makna yang dalam pada potongan kata ini. Huruf ‘g’ yang dibunyikan Butet sangat medho’ dan tajam. Disinyalir bahwa Butet memang sengaj membuat tekanan lebih di dalamnya untuk menandai kata ‘pengganti’. Maksud Butet ialah sebenarnya bahkan tidak pernah ada pengganti atau bentuk ganti rugi yang disolusikan pihak berwenang terhadap rakyat yang kehilangan tempat tinggal karena lapangan golf. Ada nada kemarahan dan sindiran tajam dalam artikulasi ‘pengganti’ tersebut. Adapun gestur sebagai bentuk komunikasi nonverbal yang paling dominan terlihat dari Butet dalam kalimat ini, dimunculkan melalui gerakan telunjuk yang menunjuk ke arah depan dan lurus. Menurut ahli, bahasa tubuh dengan gerakan menunjuk yang dilakukan oleh jari telunjuk merupakan simbol paling

105

ofensif di antara gerakan lain, dan ini mengindikasikan emosi negatif. Bentuk kemarahan dalam nada intonasi Butet saat mengatakan ‘pengganti’ dikuatkan Butet dengan gerakan tubuh, yakni ‘menunjuk’ yang disinyalir membuat Butet merasa puas dan terlepas energi negatifnya untuk disampaikan. Terdapat tanda sebagai tindakan menyuarakan bahasa pengarang naskah dan nasib rakyat Indonesia saat itu, maka Butet melakukan gerakan ‘menunjuk’ tersebut. Terlihat jelas interpretasi Butet adalah sebuah bentuk kemarahan, dan pemberontakan untuk menuduh ‘salah’ pada suatu objek, karenanya Butet memunculkan gerakan tersebut. Slide terakhir dalam kalimat ini ialah bentuk komunikasi nonverbal Butet saat mengatakan ‘internasional’. Melalui ekspresi dan gesturlah bentuk komunikasi nonverbal yang dominan dimunculkan Butet dalam kalimat ini. Ekspresi Butet terlihat jelas, sebagai kata dari kalimat penutup yang dibacakan, wajah Butet menyiratkan emosi positif, seperti kelegaan, kegembiraan, dan optimisme. Senyum yang disimpulkan Butet dengan lebar, mata yang berbinar, alis yang meninggi melawan daya tarik bumi dan mengindikasikan perasaan positif. Ironisnya, berbeda dari ekspresi, gestur Butet menunjukkan gerakan menutup diri. Butet membuat tangan kanan yang memegang naskah diletakkan di belakangan pinggang/badan. Menurut literatur, gerakan menaruh tangan di belakang merupakan gaya orang terpandang yang berarti seolah-olah mengungkapkan kalimat “Jangan dekat-dekat saya!”. Inilah gestur yang dimunculkan Butet saat mengatakan ‘internasional’. Butet sangat paham, ‘internasional’ berarti di luar regional dalam negeri (bukan nasional) yang konotasinya kemewahan dan eksklusivitas. Kata yang mendampingi ‘...ínternasional’ ialah ‘taman golf internasional ke Indonesia’. Sangat sesuai artian gestur yang divisualisasikan Butet dengan kata yang diucapkan, yakni ‘taman golf internasional...’ Terdapat maksud untuk menggambarkan suasana ‘internasional’ yang high class dengan membentuk bahasa tubuh dengan demikian yang maknanya ‘pribadi membatasi diri dari lingkungan sosial’. Inilah suasana yang ingin dibangun Butet saat

106

mengucapkan kata ‘internasional’ agar mampu menginterpretasikan kehidupan permainan golf bagi audience/penyimak monolog.

Demikian inilah analisis peneliti terhadap makna komunikasi nonverbal yang dimunculkan Butet saat menginterpretasikan “Golf untuk Rakyat” yang sarat kritik sosial di dalamnya. Melalui ekspresi, intonasi, dan gesturlah Butet menyampaikan kritik sosial yang telah lebih dulu digambarkan dengan berani oleh pengarang naskah, Darmanto Jatman. Terlihat jelas berdasarkan analisis yang dilakukan oleh peneliti, Butet sebagai seniman monolog sangat apik menginterpretasikan maksud pengarang dalam lakon monolog melalui ekspresi. Analisis ini menguatkan penilaian peneliti terhadap Butet bahwa ia sangat terampil memainkan wajah dengan banyak ekspresi yang dimilikinya. Pada akhirnya, julukan “Raja Monolog Indonesia” semakin pantas dan layak disandang Butet Kertaredjasa dengan kemampuan tinggi dalam komunikasi nonverbal.

2. Pesan Butet Kertaredjasa dalam Golf untuk Rakyat

Seorang pengarang naskah menggunakan sastra sebagai bentuk karya (ciptaan) yang isinya penuangan perasaan dan pemikiran pengarang tersebut. Perasaan dan pemikiran, baik terkait imitasi kehidupan, kritis terhadap isu sosial, ataupun bentuk khayalan semata. Apapun bentuk penjelmaan maksud dan tujuan dalam karya, tentu saja pengarang memiliki pesan atau pelajaran hidup yang hendak disampaikan pda pembaca, khalayak ramai, dan semesta. Dalam puisi “Golf untuk Rakyat” karya Darmanto Jatman dan diinterpretasikan menjadi bentuk pentas monolog oleh Butet Kertaredjasa, “Golf untuk Rakyat” mengandung pesan penting berupa kritik sosial terhadap kebijakan pembangunan lapangan golf di zaman PJPT II Indonesia. Pesan tersebut berupa pesan tekstual (eksplisit), yang tertulis dalam naskah dan pesan kontekstual (implisit), yang tidak tertera pada naskah.

107

Berikut ini penjabaran pesan tekstual dan kontekstual dalam “Golf untuk Rakyat”: a. Pesan tekstual (eksplisit) 1) Jangan Bersenang-senang di Atas Penderitaan Rakyat Indikasi adanya kesenangan di atas penderitaan rakyat tertera dalam naskah pada kalimat ke-26 dan 26. Apa ya haram memiliki vila, yacht, jet, golf stick buat meningkatkan citra bisnis dan memperkuat “bargaining power”

Adanya pertanyaan “Apa ya haram?” ini menunjukkan kekerdilan berpikir seorang penguasa dan kepura-puraan untuk menyadari kesengsaraan rakyat karena ulah mereka sendiri. Bagaimana mungkin mempertanyakan boleh- tidaknya memiliki segudang fasilitas mewah dari hasil penggusuran rumah rakyat, bahkan di saat kondisi rakyat pun sedang melarat. Untuk sekadar memiliki tempat tinggal dan berteduh pun tidak ada. Ini merupakan pertanyaan bodoh yang tidak pantas dilontarkan seorang pemimpin rakyat, penjamin kesejahteraan rakyat. Dalih bahwa “lapangan golf” merupakan bukti dan tolok ukur rakyat sudah sejahtera adalah salah. Ini menujukkan bentuk tidak empati pemimpin pada rakyatnya. Hal yang paling disayangkan ialah, mestinya sifat ini tidak dimiliki seorang pemimpin. Pernyataan ini dibuktikan sebagai bentuk kritik sosial Darmanto dalam kalimat ke-8 dan 9. Sedang Mantri Kanuragan bilang: Golf pertanda masyarakat kita sudah lebih sejahtera!

Dalih ini pun dijawab oleh pengarang pada kalimat selanjutnya yang merupakan bentuk kritik sosial. Lha ya berapa banyak lapangan golf mesti dipasang untuk menyejahterakan 200 juta rakyat! Berapa tumbal mesti dikorbankan untuk mengempiskan kantung-kantung kemiskinan?!

Berdasarkan jawaban pengarang ini menandakan bentuk rasa tidak bersalah pemimpin pada rakyat dengan mengorbankan kehidupan dan penghidupan

108

rakyat demi melancarkan kepentingan pribadi dan golongan. Ini merupakan cerminan sikap pemimpin yang serakah dan zalim. “Golf untuk Rakyat” mengkritik sikap dan figur pemimpin dalam ranah apapun yang seperti ini. Dampaknya akan fatal, bukan hanya pada pribadi buruk yang dimiliki sosok pemimpin tersebut, tapi lebih dari itu. Pribadi buruk seorang pemimpin akan digugu dan ditiru rakyatnya, dan menjadi budaya yang menjamur, akan terbiasa dan membentuk mental serakah dan hedonisme.

2) Pencitraan Kritik adanya bentuk pencitraan demi mendapatkan penilaian dan pujian tertera dalam kalimat ke-14 sampai 17. Sementara Mantri Pagupon pesan: Silakan bikin padang golf mister, asal jangan gusur rumah rakyat! Dan Mantri Besar Jagabaya wanti-wanti: Silakan bikin padang golf sir, asal bangun juga sarana olahraga buat para kanoman!

Terlihat jelas pada kalimat ini bahwa sikap pemimpin seolah-olah membela nasib rakyat untuk tidak menggusur tempat tinggal namun dilanggar. Dalam birokrasi terlihat bijaksana dan arif, namun “Jauh panggang daripada api”, kerena keserakahan dan kepentingan pribadi, rakyat menjadi korban. Demi melancarkan aksi menggusur rumah-rumah rakyat untuk pembangunan lapangan golf, ada aksi suap-menyuap dan sogok-menyogok dalam prosesi. Pemuda sebagai agen perubahan bangsa dan suara yag akan diperhitungkan dan mempengaruhi kebijakan negara, dijadikan sasaran. Rupanya ialah dengan pemberian fasilitas olahraga pada kaum pemuda. Upaya ini bertujuan agar pemuda senang dan merasa didukung, sehingga akan turut andil melancarkan pembangunan. b. Pesan kontekstual (implisit) Terdapat dua hal pesan kontekstual dalam “Golf untuk Rakyat”. Pertama, sikap skeptis masyarakat. Kedua, karakter Butet. Sikap skeptis masyarakat terjadi karena kebosanan dan kebuntuan jalan yang dinilai masyarakat tidak pernah berjung solusi terhadap isu dan

109

permasalahan sosial yang terjadi dalam hidup bermasyarakat. Melalui “Golf untuk Rakyat”, masyarakat kembali berpikir untuk menyadari bahwa solusi dapat dicari dan diciptakan sendiri. Salah satunya dengan kritik sosial yang disampaikan melalui wahana seni ataupun sastra yang dekat dengan budaya masyarakat. “Golf untuk Rakyat” membuat pembaca dan penyimak (terhadap pementas monolog) sadar akan pentingnya membentuk karakter dan pribadi yang siap digugu dan ditiru sebagai pemimpin. Sejatinya, setiap jiwa dan pribadi adalah pemimpin bagi dirinya sendiri.9 Pesan tidak tersurat dalam naskah “Golf untuk Rakyat” sangat besar terangkum dalam diri sang pementas monolog “Golf untuk Rakyat”, Butet Kertaredjasa. Pesan tersebut ada dalam karakter diri Butet. Saat membacakan puisi karya Darmanto Jatman ini, Butet berhasil ‘menghidupkan puisi’ dan membuat puisi “Golf untuk Rakyat” lebih ‘bernyawa’ dan memiliki unsur magis. Ketika Darmanto menulis sepenggal puisi berbunyi “Gusti, kami tunggu dawuh paduka!” Butet dengan kecakapan dan ekspresi yang amat terampil, menyulap kalimat tersebut dengan penjiwaan yang mendalam. Kalimat biasa sepertinya jika hanya dibaca sekilas, namun menjadi terkandung magis dan memiliki kekuatan saat Butet membacakannya. Pesan lain ialah tulisan naskah “Golf untuk Rakyat” itu sendiri. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer, “Menulislah! Karena menulis berarti hidup dalam keabadiaan.” Pesan “Menulislah!” telah disampaikan Darmanto secara tidak langsung dalam tulisan “Golf untuk Rakyat”nya ini. Selanjutnya, peran Butet yang menjadikan abadinya tulisan dikenang sepanjang zaman, yakni dengan dibacakan, diorasikan, dan dideklarasikan. Butet telah memilih perannya sebagai seniman monolog yang membuat tulisan, yakni puisi karya Darmanto, abadi di atas kertas dan abadi pula dalam pandangan mata, telinga, dan kepekaan hati penyimaknya melalui pertunjukan monolog.

9 “Kullukum roo’in wa kullukum mas’ulun ‘an ro’iyyatihi. Arrijaalu roo’in wa mas’ulun ‘an ro’iyyatih...”artinya “Setiap kamu adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Laki-laki adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. (Hadits “Arba’in)

110

Melihat Butet dengan berani dan lantang menyuarakan puisi Darmanto, maka inilah pesan kontekstual “Golf untuk Rakyat” selanjutnya. Diri Butet yang sepenuhnya berdiri di atas pentas dan membacakan “Golf untuk Rakyat” inilah peninggalan pesan bahwa setiap kita harus berani berbicara dan menyampaikan pendapat. Karakter Butet yang demikian sangat bermanfaat dalam dunia pendidikan, baik bagi guru sebagai pendidik atau pun peserta didik. Karakter berani berbicara dan bersikap kritis terhadap situasi sosial menjadi pesan yang terangkum dalam diri seorang Butet yang memonologkan “Golf untuk Rakyat”. Lagi dan lagi, inilah pesan yang terkandung dalam diri Butet dan dalam “Golf untuk Rakyat” itu sendiri. Keduanya meninggalkan pesan tersirat agar menjadikan Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu-satunya tempat berserah diri. Ini tersurat dalam naskah “Golf untuk Rakyat” pada kalimat ke-10, 13, dan 18, yakni “Gusti, kami tunggu dawuh” atau “Gusti, bersabdalah!” Bentuk tulisan yang artinya serupa dengan “Gusti, kami tunggu dawuh” ini dimunculkan Darmanto sebagai pengarang naskah sebanyak tiga kali. Ini merupakan penegasan dan penguatan pentingnya kalimat tersebut. Inilah analisis yang dapat disimpulkan peneliti, jika hanya dalam naskah. Berbeda halnya dengan penyebutan tiga kali kalimat ini oleh Butet dalam lakon monolognya. Sebanyak tiga kali penyebutan kalimat ini, maka sebanyak itu pula Butet berhasil membuat penyimak berdampak benaknya. Berdampak pada hati dan pikiran bahwa “Tidak ada tempat bergantung dan berserah diri selain pada Tuhan Semesta Alam”. Tiga kali penyebutan kalimat ini oleh Butet dalam monolog membuat peneliti menyimpulkan bahwa Butet telah mengajarkan dan menyadarkan penyimak, ternyata dalam “Golf untuk Rakyat” terkandung bentuk religiusitas yang sangat tinggi dari seorang hamba pada Tuhannya. Menyimak dan meresapi bentuk interpretasi Butet dengan komunikasi nonverbal melalui ekspresi, intonasi, dan gestur, terlebih saat memvisualkan tiga kalimat magis

111

ini, membuat seseorang mencapai kesufian diri. 10 Membuat cerminan dan penyadaran ruhani bahwa Tuhan adalah muara bergantung dan menyerahkan segala urusan,11 bahkan di kala tak ada seorang pun yang sanggup menjamin kehidupan dan penghidupan seseorang. Baik Darmanto, si pengarang naskah, atau pun Butet, si pembaca naskah, keduanya meninggalkan pesan dan kesan dalam “Golf untuk Rakyat”, umumnya pada seluruh manusia, khususnya pada rakyat Indonesia yang kehilangan tempat tinggal akibat penggusuran lahan pembanguna lapangan golf. Pesan tersebut ialah tentang menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat menggantungkan nasib, tempat menggaransikan hidup dan kesejahteraan, bukan pemimpin negara, bukan penguasa, dan bukan yang lain.

b.1). Implikasi Penelitian dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMA Penelitian ini dapat diterapkan dalam kurikulum pembelajaran bahasa Indonesia di kelas 2 SMA dalam subbab pembelajaran drama. Ketika mengajarkan cara bermain drama (seni peran) terhadap siswa, guru dapat menampilkan video monolog Butet Kertaredjasa ini sebagai wujud interpretasi dari teks puisi “Golf untuk Rakyat” yang sarat kritik sosial. Interpretasi dari teks ke dalam bentuk pertunjukkan monolog tersebut dimunculkan Butet lewat bentuk komunikasi nonverbal (gestur, ekspresi, dan intonasi) yang dimaksudkan untuk menyampaikan kandungan kritik sosial dalam keutuhan bentuk “Golf untuk Rakyat” dan figur Butet Kertaredjasa. Efek positif yang terimplikasi dari penelitian ini ialah siswa memiliki figur/contoh untuk berani berbicara dalam kegiatan belajar-mengajar ataupun dalam kehidupan sosial masyarakat. Implikasi kedua, siswa berani untuk menyatakan sikap kritis terhadap segala bentuk isu sosial yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakatnya sehingga siswa memiliki kepekaan terhadap bentuk kritik sosial yang terjadi dan tidak bersikap skeptis.

10 “Faaqim wajhaka lidiini haniifa. Fithrotallahillatii fathoronnaasa ‘alaihaa....” (QS: Al-Mukminun: 30) 11 “Allahush shomad.” (QS: Al-Ikhlas: 2)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan Kritik sosial merupakan sepenggal sesi yang marak diperbincangkan dan menyeruak ke permukaan kehidupan masyarakat. Hal ini berangkat dari upaya menyeimbangkan cita-cita dan realitas hidup yang kerap tak sejalan. Sebagai makhluk yang bebas berpendapat dan menyampaikan aspirasi, manusia membutuhkan media penyalur yang tepat,dan sastra menjawab itu. Peneliti mencoba melihat kritik sosial yang terdapat dalam alih bentuk (alih wahana) yang dilakukan dari puisi Golf untuk Rakyat karya Darmanto Jatman menjadi pementasan monolog Golf untuk Rakyat oleh Butet Kertaredjasa. Berdasarkan pemaparan peneliti sebelumnya pada bab II (Landasan Teoretis) bahwa terlihat jelas perbedaan antara naskah puisi dan monolog, maka perubahan bentuk dari puisi untuk menjadi monolog diwujudkan dengan terdapatnya jeda, petunjuk lakon, dan bentuk komunikasi nonverbal. Bentuk puisi Golf untuk Rakyat yang berupa 25 kalimat dan terdiri atas susunan huruf berupa larik dan bait, diubah bentuknya ke dalam pementasan monolog dengan rupa dan elemen yang berbeda. Monolog Golf untuk Rakyat dibuka performa Butet dengan gerakan tangan yang mengusap sebagian wajahnya yang dalam puisi, Golf untuk Rakyat hanya dibuka dengan judul puisi, Golf untuk Rakyat. Pementasan monolog Golf untuk Rakyat setelah dialihbentukan dari puisi memiliki petunjuk lakon dan bentuk komunikasi nonverbal pelakonnya yang divisualisasikan dengan ekspresi (mimik), gestur (bahasa tubuh), dan intonasi (lagu kalimat). Hasil interpretasi dari puisi Golf untuk Rakyat menjadi pementasan monolog Golf untuk Rakyat dimunculkan Butet Kertaredjasa dalam bentuk komunikasi nonverbal (ekspresi, gestur, dan intonasi) dengan sangat piawai sebagai “Si Raja Monolog Indonesia”.Golf untuk Rakyat terdiri atas 25 kalimat dalam naskah puisi dan 54 potongan gambar (capture) yang mengandung visualisasi dari kritik

112 113

sosialdalam pementasan monolog oleh Butet Kertaredjasa.Terdapat 20 kata (frasa/kalimat) dalam Golf untuk Rakyat yang mengandung kritik dan dimunculkan Butet dengan bentuk komunikasi nonverbal: golep, dawuh, hole in one, PJPT II, meningkatkan, sejahtera, 200 juta rakyat!, tumbal, Gusti, gusur, kanoman!, apa ya haram, bargaining power, apa ya salah, hitech, duh Gusti!, kiat, filsafat “ojo dumeh”, pengganti rumah sampeyan, dankegusur.Kebanyakan dari kata-kata yang mengandung kritik sosial tersebut divisualkan Butet dengan emosi negatif dari ekspresi dan gesturnya, seperti: membulatkan bola mata dengan penuh (melotot), memejamkan mata beberapa saat, menaikkan kedua alis,mengacungkan jari telunjuk, menundukkan kepala, memonyongkan mulut, dan membentuk mulut seperti huruf U terbalik. Emosi negatif yang dimunculkan Butet dengan ekspresi dan gestur tersebut menandakan adanya protes dan sindiran dari rasa ketidakwajaran, keheranan, kekesalan, kemarahan, dan keputusasaan sebagai kritik sosial dalam Golf untuk Rakyat. Adapun pesan/amanat dalam Golf untuk Rakyat terdiri atas dua jenis, yakni pesan eksplisit (tekstual) dan pesan implisit (kontekstual). Pesan eksplisit yang terdapat dalam Golf untuk Rakyat ialah agar tidak bersenang-senang di atas penderitaan rakyat/kaum papa (dalam “Apa ya haram memiliki vila, yacht, jet, golf stick buat meningkatkan citra bisnis dan memperkuat “bargaining power”), dan pesan eksplisit yang kedua; tidak bersikap bijak dan adil hanya untuk kepentingan pencitraan sebagai pihak berwenang. Pesan implisit dalam Golf untuk Rakyat ialah imbauan agar menjadi pemimpin yang adil, bijaksana, dan mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan pribadi agar sesuai dengan cita-cita setiap manusia beragama dan sesuai dambaan Tuhan Yang Maha Esa. Pesan implisit berikutnya ialah agar menjadikan Tuhan sebagai satu-satunya tempat bergantung dan berserah diri bukan manusia ataupun pihak lain. Pesan terakhir ialah menyangkut ranah pendidikan agar menuju cita-cita bangsa, maka dalam Golf untuk Rakyat, naskah puisi dan pentas monolog Butet Kertaredjasamenjadi satu-kesatuan contoh bagi siswa untuk berani bicara dan memiliki sikap kritis.

114

B. Saran 1. Guru/Pendidik a. Membiasakan siswa memiliki sikap berani bicara dan peka terhadap situasi sosial dengan bersikap kritis b. Melatih siswa menguasai komunikasi nonverbal 2. Peserta Didik/Mahasiswa Memiliki karakter sebagai peserta didik yang berani bicara dan bersikap kritis sehingga peka terhadap lingkungan sosial. 3. Pegiat Sastra dan Seni a. Banyak berlatih menguasai komunikasi nonverbal b. Menggunakan sastra dan seni sebagai wahana menyalurkan kritik sosial, bukan demonstrasi ataupun tawuran yang mengganggu ketertiban umum.

115

DAFTAR PUSTAKA

A, Nenden Lilis. Bianglala; Kajian dan Pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia UPI. 2011. Alwasilah, Chaedar. Pokoknya Kualitatif. Jakarta: Dunia Pustaka Karya. 2009. Aziez, Furqonul, dan Abdul Hasim. Menganalisis Fiksi Sebuah Pengatar. Bogor: PT Ghalia Indonesia. 2010. Damono, Sapardi Djoko.Sastra Bandingan. Ciputat: Editum. 2009. Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. I edisi IV. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. 2008. Endraswara, Suwandi. Metodologi Kritik Sastra. Jakarta: Pustaka Widyatama, cet. II. 2004. Jatman, Darmanto.Golf untuk Rakyat. Yogyakarta: Bentang Intervisi Utama, pt., cet. I. 1994. M.S., Sugihastuti. Teori Apresiasi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. III. 2009. Margono, S. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta, cet. VI.2007. Minderop, Albertine. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. 2005. Navarro, Joe. Cara Cepat Membaca Bahasa Tubuh 1. Jakarta: Change, cet. V. 2016. ______. Cara Cepat Membaca Bahasa Tubuh 2. Jakarta: Change, cet. I. 2015. Nuraida dan Halid Alkaf. Metodologi Penelitian Pendidikan. Tangerang: Islamic Research Pulishing, cet. I. 2009. Nurgiyantoro, Burhan.Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet. V. 2005. Oemarjati, Boen S. Melakoni Sastra. Depok: UI Press. 2012. Pfister, Manfred. The Theory and Analysis of Drama. Munich: Cambridge University Press. 1993. Pradopo, Rachmat Djoko. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, cet. XIV. 2014.

116

Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Balai Pustaka, cet. XXX. 2009. Rachmatullah, A.Khazanah Kesusasteraan Dunia. Depok: Oncor Semesta Ilmu, cet. I. 2012. Rafiek, M. Teori Sastra; Kajian Teori dan Praktik. Bandung: PT Refika Aditama. 2010. Rakhmat, Jalaluddin. Psikologi Komunikasi. Bandung: Penerbit Remaja Karya. 1986. Ratna, S.U., Nyoman Kutha. Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. XII. 2013. Salad, Hamdy. Panduan Wacana dan Apresiasi Musikalisasi Puisi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet. I. 2015. Siswanto, Wahyudi.Pengantar Teori Sastra. Jakarta: Anggota IKAPI, cet. I. 2008. Sobur, Alex. Semiotika Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, cet. V. 2013. Stanislavski, Constanstin. Membangun Tokoh (Pengantar: Slamet Raharjo). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, cet. I. 2008. Suyono dan Hariyanto, Belajar dan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2011. Usman, Husaini, dan Purnomo Setiadi. Metodologi Penelitian Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, cet. I. 2008. Waluyo, Herman. J., Drama; Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta: PT. Hanindita Graha Widya, cet. II. 2002. Wellek, Rene, dan Austin Warren. Teori Kesusasteraan (Terjemah: Melani Budianta). Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, cet. V. 2014. Zaidan, Abdul Rozak, dan Anita K. Rustapa.Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka, cet. III. 2007. GATRA 29 April 2000. Butet Kertaredjasa, “Saya hanya Menggiring Fantasi”. Suara Pembaruan, Jumat, 17 Maret 2000. No koleksi: 4608. Butet Kertaredjasa, “Butet Pentaskan Monolog Mayat Terhormat”. Suara Pembaruan, 30 Mei 2000. No koleksi: 4677. Butet Kertaredjasa, “Butet Menyentil Tukang Pijat”.

117

Jambi Ekspres, Minggu, 21 Juli 2002. Butet Kertaredjasa, “Gaya Teatrikal Si Raja Monolog”. Republika, Kamis, 4 Mei 2000. No koleksi: 114. Butet Kertaredjasa, “Butet Parodikan Guru di Hardiknas”. Suara Pembaruan, Jumat, 31 Maret 2000. No koleksi: 4621. Butet Kertaredjasa, “Butet Berdialog dengan Mayat-Mayat”.

Referensi internet Wirawan Hamdi, “Demonstrasi 4 November 2016”, Liputan 6. Rabu, 18 Januari 2017. Pkl. 11.26 WIB, http://www.liputan6.com/tag/demo 4- november?type=profile.

Resti Anwar, “Peserta Demo 2 Desember Mencapai 3 Juta Orang”, Liputan 6. Rabu, 18 Januari 2017. Pkl. 11.30 WIB. http://news.liputan6.com/read/2664951/gnpf-mui-peserta-demo-2-desember- capai-3-juta-orang.

Abdul Hadi, “Naskah Publikasi”. Rabu, 18 Januari 2017. Pkl. 12.10 WIB, http://eprints.ums.ac.id/21864/19/02._Naskah_Publikasi.pdf.

Zaenal Arifin, “Chapter 3 Skripsi”. Jumat, 20 Januari 2017. Pkl. 12. 53 WIB, http://repository.upi.edu/4776/6/S_IND_0906759_Chapter3.pdf.

Yahya Hasibuan, “Penelitian Detail Skripsi Kritik Sosial”. Senin, 23 Januari 2017, pkl. 08.45 WIB, http://etd.repository.ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_detail&sub=Peneli tianDetail&act=vi typ=html&buku_id=5337,

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Lampiran 1. Alih kode dalam naskah puisi ”Golf untuk Rakyat”

NO BARIS ISTILAH BAHASA ARTI DALAM BAHASA KE- JAWA INDONESIA 1. 3 Dawuh Perintah 2. 4 Sampeyan Anda/kamu 3. 7 Ngendika Berkata 4. 19 wanti-wanti pesan yang disampaikan dengan sungguh-sungguh 5. 20 Kanoman Pemuda 6. 24 kajen keringan (Jawa banyak dihormati orang Kromo Inggil-halus) 7. 25 ewuh aya ing pambudi selalu ada gejolak batin (Jawa Kromo Inggil-halus) 8. 34 ojo dumeh jangan mentang-mentang 9. 35 sa beja-bejane kang lali seberuntung-beruntungnya luwih beja kang eling lan orang yang lupa lebih waspada?! beruntung orang yang ingat dan waspada?! 10. 38 Nggegerisi Memprihatinkan 11. 39 gawat keliwat-liwat sangat gawat 12. 43 Kegusur Tergusur NO BARIS ISTILAH BAHASA ARTI DALAM BAHASA KE- ASING (Inggris) INDONESIA 1. 5 hole in one istilah dalam permainan golf yang berarti mendapatkan point (nilai) 2. 17 Mister panggilan untuk pria dewasa 3. 20 Sir panggilan untuk pria dewasa (biasanya yang dihormati/lebih tua) 4. 23 yes, you are right! ya, kamu benar! 5. 26 Yacht kapal pesiar 6. 26 golf stick tongkat golf 7. 27 bargaining power bargaining: tawar- menawar, power: kekuatan/kekuasaan. Jadi, bargaining power berarti ‘kegiatan tawar- menawar dalam lingkup kekuasaan (kekuatan tawar- menawar)’. Dalam konteks puisi ini, peneliti mengartikannya sebagai ‘tawar-menawar (lobbying) menyangkut citra bisnis atau urusan politik kekuasaan pihak berwenang’. 8. 29 Hitech ‘hightech’: teknologi tinggi (canggih/mutakhir)

Lampiran 2. Keserasian teks puisi Golf untuk Rakyat dan pementasan monolog Golf untuk Rakyat.

KATA DALAM KATA TEKS NO DALAM TRANSKRIPSI ANALISIS NASKAH VIDEO PUISI MONOLOG 1. “deh” TIDAK ADA Kata “deh” dan kata depan “di” (baris 5) yang tidak disebutkan Butet 2. “di” TIDAK ADA dalam lakon monolog ini bukan (baris 6) merupakan bagian yang krusial dan signifikan untuk dianalisis alasannya. Kata “deh” terdapat dalam kalimat: “...langsung deh dapet hole in one”, disertakan ataupun tidak kata “deh” oleh Butet dalam monolongnya tidak mengubah makna atau maksud apapun. Kata depan “di” pada kalimat: “...pembangunan lapangan golf di awal PJPT II di Indonesia”, digunakannya kata depan “di” atau tidak oleh Butet dalam monolognya, pun tidak mengubah makna. Penyimak tetap paham bahwa masa PJPT II terjadi di Indonesia, bukan negara lain, dan pada orde baru, kepemimpinan Soeharto. 3. “yacht” TIDAK ADA yacht dalam bahasa Indonesia (baris 26) berarti ‘kapal pesiar’. Kata ini tidak disebutkan Butet dalam monolognya karena peneliti berpikir bahwa Butet menganggap ‘yacht’ masih satu jenis dengan ‘jet’, di antara “..memiliki vila, yacht, jet, golf stick”. Butet hanya ingin menyebutkan kata benda yang jenisnya berbeda saja, yakni ‘vila’ yang berarti bangunan mewah, ‘jet’ yang berarti kendaraan mewah, atau ‘golf stick’ yang merupakan icon/symbol dari puisi ini. Alasan yang lain, sangat memungkinkan Butet hanya lupa menyebutkannya, namun tetap tidak mengubah makna keseluruhan kalimat dan puisi “Golf untuk Rakyat” tersebut. 4. TIDAK “dan” (baris 29) Butet menyertakan kata ‘dan’ ADA dalam kalimat “...menguasai hitech dirgantara, samudera, dan persada”, ini berarti Butet paham tata cara penggunaan koma (,) dan kesertaan ‘dan’. Fungsi kata ‘dan’ dalam Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) dalam bahasa Indonesia ialah guna diletakkan di depan kata akhir dari sebuah urutan penyebutan, misal: Ibu membeli sayur, buah, dan beras. Meskipun tidak ada kata ‘dan’ dalam teks puisi karangan darmanto, Butet menyebut kata ‘dan’ itu sendiri guna membuat pengucapan sebuah kalimat menjadi enak dan layak didengar, serta sesuai dengan kaidah Ejaan Yang Disempurnakan (EYD). 5. “meng- “mengajarkan” Butet menyebutkan kata ajar” ‘mengajar’ (yang tertulis dalam (baris 32) naskah puisi) menjadi ‘mengajarkan’ (dalam lakon monolog). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘mengajar’ berarti ‘memberi pelajaran dan melatih’, sedangkan ‘mengajarkan’ berarti ‘memberikan pelajaran (saja)”. Dalam naskah puisi, Darmanto menggunakan kata ‘mengajar’ yang berarti ‘melatih’ dalam kalimat ”Nenek moyang kita sih selalu mengajar kita hidup prihatin tapi tak pernah mengajar kita kiat bagaimana jadi kaya”, ada indikasi bahwa pada zaman dahulu, pribadi-pribadi masyarakat Indonesia dibentuk dan dilatih agar terbiasa hidup prihatin, atau meurih. Berbeda kondisinya dengan zaman sekarang, maka itulah cara Butet menginterpretasi kalimat tersebut dengan memilih kata ‘mengajarkan’ yang berarti (hanya) memberikan pelajaran (bukan melatih) daripada kata ‘mengajar’ yang digunakan Darmanto dalam naskah puisi. 6. “tak” “nda” Butet memilih menggunakan kata (baris 33) ‘nda’ yang merupakan istilah 7. “itu” “kuwi” Jawa untuk mengartikan ‘tak’. Ini (baris 34) adalah cara Butet menyempurnakan lakon monolog “Golf untuk Rakyat” agar terasa kental dan sangat dekat dengan nuansa budaya Jawa. Adapun kata ‘tak’ ialah bahasa baku Indonesia yang pantas digunakan dalam bentuk komunikasi tulis, sedangkan Butet memvisualisasikannya dalam bentuk seni pertunjukan yang sarat akan komunikasi lisan, maka Butet memilih mengganti ‘tak’ dengan ‘nda’ yang lebih fleksibel sebagai bahasa dalam komunikasi lisan. Sama halnya dengan kata ‘itu’ yang diubah Butet dengan kata ‘kuwi’. Dua kata ini memiliki makna yang sama dan tidak mengubah maksud pengarang secara signifikan. Ini merupakan upaya Butet ‘menghidupkan’ naskah puisi Darmanto dengan menyelaraskan kekentalan dialek dan logat Jawa yang dimiliki Butet dengan diksi yang dipilih Butet dalam memvisualisasikan “Golf untuk Rakyat”.

RENCANA PELAKSANAAN PEMBELAJARAN (RPP)

Nama Sekolah : SMA terpadu Baiturrahman Mata Pelajaran : Bahasa Indonesia Kelas : XI Semester : Ganjil Standar Kompetensi : BERBICARA 7. Memerankan kembali naskah drama Kompetensi Dasar : 7.1 Memeragakan tokoh dalam cerita/naskah drama dalam pertunjukan drama (bermain peran) 7.2 Menceritakan kembali pesan/amanat dalam cerita 7.3 Menyebutkan nilai-nilai karakter dalam pelajaran drama dan mengaitkannya dengan situasi sosial masyarakat Indikator :1. Menentukan cerita/naskah drama 2. Memainkan peran dalam drama

Alokasi Waktu : 2 X 40 menit (1 kali pertemuan)

Tujuan Pembelajaran : Siswa mampu memerankan tokoh dalam pementasan drama dengan baik Materi : Cara terampil berbicara dan memahami peran Karakter : Berani, Tanggung jawab, Percaya diri, Antusias, bersikap kritis, dan Semangat belajar Pendekatan Belajar : Role play Metode : Praktikum: Every one can do! Langkah-langkah

NO KEGIATAN ALOK ASI PERALATAN WAKTU 1. AWAL 15’ a. Guru mengondisikan duduk siswa Meja, kursi, pulpen, sesuai pasangannya (ataupun absensi, kartu tunggal) menjadi bentuk leter U. sukses, b. Guru mengucapkan salam. c. Guru mengabsen siswa yang tidak hadir. d. untuk memimpin doa belajar.

2. INTI 60’ a. Guru sebagai mengulang materi 10’ Alat tulis, kartu pelajaran sebelumnya. Juga memberi sukses Kartu Sukses untuk mereka yang aktif (seperti biasa). b. Guru sebagai menyampaikan tujuan 50’ pembelajaran hari ini. c. Guru membentuk kelompok siswa di dalam kelas menjadi 3 kelompok d. Guru membagikan naskah cerita/drama e. Guru mengaja siswa memahami isi cerita/naskah dan mengarahkan siswa sesuai petunjuk lakon f. Guru menyiapkan tiap kelompok siswa untuk memainkan peran sesuai naskah drama 3. PENUTUP 5’ a. Guru menutup semua pementasan drama siswa dengan komentar membangun. b. Guru memediasi siswa untuk berkomentar tentang penampilan - rekannya. c. Guru menyimpulkan materi pelajaran dengan memberitahu siswa tentang bermain peran dengan baik dan mengorelasikannya dengan pembelajaran karakter dari figur lakon drama untuk berani bicara dan bersikap kritis d. Guru menutup pertemuan hari ini. e. Guru mengakhiri pembelajaran dengan mengucap “hamdallah”.

Sumber Belajar : Silabus pembelajaran kelas XI semester ganjil, Silabus Pembelajaran SMA Terpadu Baiturrahman, Buku Paket Bahasa Indonesia “Bahasaku Bahasa Indonesia SMA kelas XI”, KBBI offline, Guru dan siswa. Alat Pembelajaran : Spidol papan tulis, kartu sukses, naskah drama, infocus Penilaian

NO NAMA PENILAIAN Afektif Kognitif Psikomotorik Kesesuaian kostum dan Pilihan dan Keterampilan performa ‘bermain penggunaan bahasa berbicara dan akting drama’ sesuai konteks Penilaian berkisar angka 70-95

DOKUMENTASI

Wawancara peneliti dengan “Si Raja Monolog” Butet Kertaredjasa saat malam pementasan lakon “Tangis”, Februari 2015.

BIODATA PENULIS

Lahir sejak 24 tahun silam di Jakarta, 8 November 1992. Gadis turunan Betawi-Sunda ini bernama lengkap Amalia Utammi Syahadah. Saat ini Amal, biasa disapa, masih menjadi mahasiswa akhir Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, semester XIII. Kesempatan mengenyam perguruan tinggi ini diraih penulis melalui seleksi tes perguruan tinggi lewat jalur SNMPTN (2010). Penulis ialah sulung dari lima bersaudara yang memiliki hobi membaca novel, membuat syair, menulis, dan menonton film. Lahir dan besar di Jakarta dengan menempuh pendidikan Taman Kanak- Kanak di TK Nurul Islam sejak 1998 sampai 1999. Dilanjutkan dengan pendidikan Sekolah Dasar selama lima tahun, masih di SD Nurul Islam sampai 2003. Saat kelas 6 SD, penulis pindah sekolah di dekat rumah, SD Negeri Perumnas Bumi Kelapa dua, Tangerang, dan tamat pada 2004. Masa SMP dan SMA dilalui penulis di kota Parahyangan, Bandung, tepatnya di Pondok Pesantren Baiturrahman sejak 2004, dan lulus SMA pada 2010. Kegemaran penulis dalam menulis, membaca puisi, dan berorganisasi makin terlihat jelas dalam kurun enam tahun menjadi santri di pondok pesantren ini. Beberapa prestasi akademik dan nonakademik pun diraih penulis saat SMP dan SMA dulu. Seperti Juara II, III, dan IV di kelas, Juara III Lomba Baca Puisi Sunda se-Bandung Raya, Juara II Lomba Baca Puisi Kemerdekaan se- Bandung Raya, dan Juara I Lomba Cipta Puisi. Adapun organisasi yang digeluti penulis ialah OSIS (selama 4 tahun), Pramuka (2 tahun), PMR (Palang Merah Remaja), Komunitas kreatif seni santri (sampai sekarang), dan Broadcasting sebagai penyiar radio di sekolahnya saat SMA dulu (selama 3 tahun). Saat kuliah di UIN Syarif hidayatullah Jakarta, penulis melanjutkan kesenangan berorganisasinya dengan menjadi anggota HMJ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (2011-2012). Kemudian bergabung menjadi anggota & pengurus HMI Komisariat Tarbiyah sebagai Bendahara Umum (2012-2015), pengurus BEM FITK (2013-2014), ditutup dengan pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Cabang Ciputat (2013-2015) sebagai Ketua Cabang. Bahasa, seni, sastra, dan pendidikan ialah passion yang dimiliki penulis, meskipun dulu ia pernah bercita-cita menjadi seorang Psikolog. Puisi pertama yang dikenal penulis ialah “Aku Ingin” karya SDD. Kini penulis tengah menyelesaikan novel pertamanya di sela-sela tugas mengajar sebagai guru di Bandung. Tepatnya di pondok pesantren, rumah kedua yang membesarkannya. Penulis bisa ditemui di kediaman orangtuanya di Jalan Dayung II, No: 3, Rt 03, RW 006, Kelapa dua. Tangerang. Banten, atau dengan menghubunginya di No 0812 8456 9492/0896 5733 3298. Meski bukan maniak media sosial, penulis suka mejeng di alamat Facebooknya dengan nama akun: Amalia Utammi, id Line @Amalia Utammi, Path @AmaLia Utammi, atau IG @amaliatamisya, dapat pula dengan mengirimkan E-mail ke alamat [email protected].