NO. AKREDITASI: 439/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 ISSN 0125-9989

MASYARAKAT MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA

VOLUME 42 NOMOR 1, JUNI 2016

DAFTAR ISI

OPOSISI DALAM KEHIDUPAN DEMOKRASI: ARTI PENTING KEBERADAAN OPOSISI SEBAGAI BAGIAN PENGUATAN DEMOKRASI DI INDONESIA Firman Noor...... 1

DEMOKRASI DELIBERATIF INDONESIA: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEMBENTUK DEMOKRASI DAN HUKUM YANG RESPONSIF Wimmy Haliim...... 19

MENYIAPKAN PEREMPUAN: LEGITIMASI LANGIT DAN EFEKTIVITAS REZIM SULTAN X Bayu Dardias...... 31

POLITIK ANGGARAN DALAM PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK DI INDONESIA Nyimas Latifah Letty Aziz...... 51

MEMBANGUN DEMOKRASI EKONOMI: STUDI POTENSI KOPERASI MULTI-STAKEHOLDERS DALAM TATA KELOLA AGRARIA INDONESIA Dodi Faedlulloh...... 65

PENGUATAN DEMOKRASI DI TANAH DI ERA NIEUW GUINEA RAAD (NGR) 1961 DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) 2005 Bernarda Meteray...... 77

RINGKASAN DISERTASI MENERUSKAN HIDUP SETELAH KERUSUHAN: INGATAN KOLEKTIF DAN IDENTITAS ETNIS MADURA PASCA KEKERASAN ANTARETNIS DI KOTA SAMPIT, TENGAH Herry Yogaswara...... 105

TINJAUAN BUKU PENGUATAN DEMOKRASI: PARTAI POLITIK DAN (SISTEM) PEMILU SEBAGAI PILAR DEMOKRASI Dian Aulia...... 115

i TINJAUAN BUKU IMAJINASI TEKNOLOGI DAN FASISME JEPANG TAHUN 1931–1945 Upik Sarjiati...... 127

TINJAUAN BUKU TAMASYA PIKIR KOLEGIAL BERSAMA E. DOUGLAS LEWIS Selsus Terselly Djese...... 139

ii | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 NO. AKREDITASI: 439/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 ISSN 0125-9989

MASYARAKAT INDONESIA MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA

VOLUME 42 NOMOR 1, JUNI 2016

DDC: 321.8 Firman Noor OPOSISI DALAM KEHIDUPAN DEMOKRASI: ARTI PENTING KEBERADAAN OPOSISI SEBAGAI BAGIAN PENGUATAN DEMOKRASI DI INDONESIA Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 1–17 ABSTRAK Dalam realitas politik, pengakuan dan pelaksanaan demokrasi di suatu negara tidak akan banyak berarti jika pemerintah yang ada berjalan tanpa pengimbang atau tanpa kontrol yang efektif dari oposisi. Pemerintah sedemikian sesungguhnya lebih dekat dengan sebentuk pemerintahan oligarkis atau otoriter ketimbang pemerintahan demokratis. Indonesia, sebagai sebuah negara yang mengakui demokrasi, hingga kini belum dapat dikatakan sebagai negara yang berhasil dalam menumbuhkan oposisi yang kuat. Sehubungan dengan hal itu, artikel ini akan membahas beberapa persoalan yang berkaitan dengan hakikat oposisi dalam kehidupan demokrasi. Secara lebih spesifik, artikel ini akan membahas (1) hakikat oposisi dalam kerangka demokrasi, (2) oposisi dalam realitas politik di Indonesia dan mengapa hal itu menjadi penting untuk penguatan demokrasi, (3) beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk menumbuhkan oposisi dalam kehidupan politik bangsa. Kata kunci: Demokrasi, oposisi, oligarki, kedaulatan rakyat, kontrol

DDC: 321.8 Wimmy Haliim DEMOKRASI DELIBERATIF INDONESIA: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEMBENTUK DEMOKRASI DAN HUKUM YANG RESPONSIF

Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 19–30 ABSTRAK Negara adalah sebuah tatanan hukum (legal order) yang juga merupakan tatanan sosial (social order). Dalam tatanan hukum, negara berperan sebagai organisasi yang melakukan tindakan-tindakan koersif guna mencapai tujuan negara tersebut, sedangkan tatanan sosial merupakan serangkaian struktur institusi dan kultur manusia yang saling berkaitan. Sebuah kajian mengenai kekuatan konstituen yang dapat membentuk hukum dapat kita lihat dalam sistem demokrasi deliberatif dan direct popular checks atau pemeriksaan langsung oleh masyarakat. Artinya, masyarakat ditempatkan sebagai sebuah pilar yang dapat mengawasi jalannya pemerintahan. Pada hakikatnya, sistem ini merupakan sarana-sarana ultra-demokrasi yang merupakan perluasan proses legislatif di luar majelis yang dibentuk oleh masyarakat. Hal ini menjadi penting dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi Indonesia.

Kata Kunci: demokrasi deliberatif, direct popular checks, dan hukum responsif

iii DDC: 321.5 Bayu Dardias MENYIAPKAN SULTAN PEREMPUAN: LEGITIMASI LANGIT DAN EFEKTIVITAS REZIM SULTAN HAMENGKUBUWONO X Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 31–49 ABSTRAK Pada 2015, Sultan Hamengkubuwono (HB) X mengeluarkan empat kali Sabda dan Dawuh Raja yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan di Kasultanan . Tanpa memiliki putra laki-laki, Sultan HB X menunjuk putri sulungnya sebagai penerus takhta yang menganut patrilineal. Berdasarkan pada teori tentang efektivitas rezim, tulisan ini bertujuan menguji efektivitas rezim aristokrasi Sultan HB X, terutama dilihat dari implikasi politik Sabda Raja dan Dawuh Raja. Penulis berargumen bahwa penggunaan petunjuk langit sebagai basis legitimasi politik tidak cukup efektif menciptakan dukungan politik bagi rezim Sultan HB X. Kondisi ini menjadi ciri melemahnya rezim aristokrasi, tidak hanya di luar lingkungan Kasultanan, tetapi juga ke dalam. Legitimasi mistisisme yang berdasarkan pada petunjuk langit tidak mampu menjadi basis legitimasi di tengah masyarakat yang berubah semakin rasional. Di lingkup internal, Sabda dan Dawuh Sultan HB X menghilangkan kemampuan Kasultanan untuk memilih pemimpin politik masa depan dan bertentangan dengan ketentuan (paugeran) yang selama ini berlangsung. Di luar tembok istana, masyarakat terbelah antara mendukung Sultan dan tantangan budaya, , serta sejarah. Di tengah menguatnya posisi politik Kasultanan dalam demokrasi Indonesia, kondisi ini merupakan tantangan terbesar.

Kata kunci: legitimasi politik, rezim, Sultan Hamengkubuwono, Kasultanan Yogyakarta

DDC: 324.6 Nyimas Latifah Letty Aziz POLITIK ANGGARAN DALAM PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK DI INDONESIA Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 51–64 ABSTRAK Makalah ini mengkaji politik anggaran dalam pelaksanaan pilkada serentak yang diselenggarakan pertama kalinya pada 9 Desember 2015. Pilkada serentak ini rencananya diselenggarakan sebanyak tujuh kali mulai 2015 sampai 2027 untuk menghemat biaya pilkada. Namun, proses anggaran tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan karena aturan-aturan teknis yang masih belum jelas. Sementara para elite yang berkuasa dan memiliki kepentingan juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam proses anggaran. Tulisan ini berupaya mengkaji bagaimana partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan dalam proses anggaran, khususnya dalam politik anggaran yang berhubungan dengan pilkada serentak, sehingga akan menciptakan terwujudnya demokrasi anggaran.

Kata kunci: politik anggaran, pilkada serentak, partisipasi masyarakat, demokrasi anggaran

DDC: 335.5 Dodi Faedlulloh MEMBANGUN DEMOKRASI EKONOMI: STUDI POTENSI KOPERASI MULTI- STAKEHOLDERS DALAM TATA KELOLA AGRARIA INDONESIA Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 65–76 ABSTRAK Sebagai negara yang pernah memiliki predikat negara agraris karena sebagian besar rakyatnya adalah petani, situasi agraria di Indonesia kini justru menunjukkan hal sebaliknya. Tanah yang merupakan sumber kehidupan manusia justru dikuasai oleh segelintir pihak yang diperuntukkan bagi meraih keuntungan. Harapan tentang rakyat yang iv | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 sejahtera masih menjadi pekerjaan rumah yang belum usai. Ketimpangan sosial semakin hari justru merajalela. Implikasinya, konflik agraria terjadi di banyak daerah di Indonesia. Perlawanan rakyat dan para petani dalam konflik agraria semakin besar. Hal ini menunjukkan kesadaran rakyat atas hak-haknya. Tata kelola agraria di Indonesia sudah jauh menanggalkan semangat demokrasi ekonomi yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa. Oleh karena itu, paradigma dalam tata kelola agraria harus kembali pada semangat demokrasi ekonomi. Metode kajian yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi kepustakaan dan menggunakan pendekatan fenomenologis, yakni dengan melakukan pengamatan pada realitas yang relevan dengan kajian tentang potensi demokrasi ekonomi dalam studi tata kelola agraria di Indonesia. Seluruh rakyat berhak memiliki akses yang setara dan tidak saling melakukan eksploitasi dalam memanfaatkan sumber daya agraria. Salah satu bentuk aktualisasi konkret demokrasi ekonomi tersebut adalah dengan mengembangkan koperasi sebagai alternatif solusi tata kelola agraria di Indonesia. Dengan koperasi multi-stakeholders, reforma agraria bisa kembali menemukan maknanya yang substantif, yaitu tidak ada lagi monopoli atas tanah dan kesejahteraan rakyat menjadi mungkin.

Kata Kunci: agraria, demokrasi ekonomi, konflik agraria, koperasi

DDC: 320.9 Bernarda Meteray PENGUATAN DEMOKRASI DI TANAH PAPUA DI ERA NIEUW GUINEA RAAD (NGR) 1961 DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) 2005 Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 77–103 ABSTRAK Salah satu upaya menghindarkan bangsa Indonesia dari disintegrasi adalah menghindarkan kekeliruan dalam setiap pembuatan kebijakan pembangunan. Dalam sejarah Papua, proses pembentukan NGR (1961) dan MRP (2005) di Papua mempunyai arti penting dalam sejarah perjalanan Papua menjadi bagian dari negara-bangsa Indonesia. Kehadiran dua lembaga dalam periode, latar belakang, dan tujuan yang berbeda, dalam masyarakat Papua memberikan makna yang dalam bagi keterlibatan orang Papua yang juga berada dalam sebuah institusi. Keterlibatan para elite dalam dua institusi ini sangat memengaruhi proses dan hasilnya. Sementara selama ini, tidak hanya penerapan berbagai pendekatan sejak 1969 hingga dewasa ini untuk menyelesaikan berbagai masalah pembangunan di Papua yang masih menjadi “masalah”, tetapi Papua juga masih menjadi provinsi termiskin dan menjadi daerah konflik. Mungkin ada yang salah dalam membangun Papua. Maka, Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam kajiannya yang berjudul “Mengapa Negara Gagal” (2014) menegaskan bahwa ternyata terjadinya gap antara negara miskin dan kaya bukan semata-mata oleh faktor budaya, geografis, dan iklim negara tersebut, melainkan terdapat pada lembaga institusi politik dan ekonomi negara itu sendiri. Lembaga inilah yang akan membawa negara di ambang kegagalan. Oleh karena itu, kehadiran NGR dan MRP di Papua apakah menjadi solusi atau masalah bagi Papua?

Kata kunci: Sejarah Papua, otonomi khusus Papua, NGR (Nieuw Guinea Raad), MPR (Majelis Rakyat Papua), Melanesia, penguatan demokrasi

DDC: 303.4 Herry Yogaswara RINGKASAN DISERTASI MENERUSKAN HIDUP SETELAH KERUSUHAN: INGATAN KOLEKTIF DAN IDENTITAS ETNIS MADURA PASCA KEKERASAN ANTARETNIS DI KOTA SAMPIT, KALIMANTAN TENGAH Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 105–113 ABSTRAK Disertasi ini bertujuan mengetahui orang-orang Madura yang kembali pasca-kekerasan antaretnis di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Kekerasan antaretnis yang sering disebut kerusuhan itu terjadi pada 18 Februari 2001, dari Sampit dan menyebar ke kota dan kabupaten-kabupaten di Kalimantan

Abstrak | v Tengah. Kerusuhan telah menyebabkan tewasnya ratusan penduduk Sampit, terutama dari kelompok etnis Madura. Selain itu, terjadi migrasi paksa orang-orang Madura ke luar Provinsi Kalimantan Tengah. Kerangka konseptual penelitian ini melihat keterkaitan antara ingatan kolektif, kesejarahan, dan identitas. Tesis utamanya adalah ingatan kolektif membentuk identitas (collective memories shaping identity). Lokus studinya di Kota Sampit, tetapi kemudian melihat-lihat situasi di kota dan kabupaten-kabupaten lain di Kalimantan Tengah; kota dan kabupaten di Kalimantan Selatan; serta Kabupaten Sampang di Pulau Madura. Hasil penelitian menunjukkan narasi-narasi tentang lima gelombang migrasi orang Madura masuk dan keluar dari Sampit, narasi penyebab kerusuhan, penghilangan identitas, dan upaya kembali orang-orang Madura ke Sampit. Ingatan kolektif merupakan strategi untuk kembali ke Sampit melalui mekanisme mengingat (remembering) dan melupakan (forgetting).

Kata Kunci: ingatan kolektif, kesejarahan, identitas, kekerasan komunal, dan Sampit Kalimantan Tengah

Dian Aulia TINJAUAN BUKU PENGUATAN DEMOKRASI: PARTAI POLITIK DAN (SISTEM) PEMILU SEBAGAI PILAR DEMOKRASI Muhadam Labodo dan Teguh Ilham, 2015. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis. : Raja Grafindo Persada, xi+ 282 hlm. Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 115–126

Upik Sarjiati TINJAUAN BUKU IMAJINASI TEKNOLOGI DAN FASISME JEPANG TAHUN 1931–1945 Aaron Stephen Moore. Constructing East Asia: Technology, Ideology, and Empire in Japan’s Wartime Era 1931–1945. Stanford University Press, 2013. 314 hlm. Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 127–137

Selsus Terselly Djese TINJAUAN BUKU TAMASYA PIKIR KOLEGIAL BERSAMA E. DOUGLAS LEWIS Julian C. H. Lee dan John M. Prior (Eds.). Pemburu yang Cekatan: Anjangsana Bersama Karya-karya E. Douglas Lewis. Flores: Penerbit Ledalero. 2015. xxvii + 512 hlm. Terjemahan dari Keeping Indonesia in Mind: Excursions with the Work of E. Douglas Lewis. Penerjemah: Josef Maria Florisan. Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 139–149

vi | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 NO. AKREDITASI: 439/AU2/P2MI-LIPI/08/2012 ISSN 0125-9989

MASYARAKAT INDONESIA MAJALAH ILMU-ILMU SOSIAL INDONESIA

VOLUME 42 NOMOR 1, JUNI 2016

DDC: 321.8 Firman Noor OPPOSITION IN DEMOCRACY: THE MEANING OF OPPOSITION AS A PART OF THE STRENGTHENING OF DEMOCRACY IN INDONESIA

Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 1–17 ABSTRACT In real politics, the acknowledgment and implementation of democracy would be in vain if the government in daily basis is actually run without any effective controls or balancer from the opposition. Such a government is actually close to the oligarchy or authoritarian government. Indonesia as a country that believes in democracy up until today still has not been able to develop a strong opposition. In this regards, this article aims to discuss the relationship between democracy and opposition. Some specific issues would also be discussed namely, (1) the essence of opposition in democratic framework, (2) the opposition in Indonesian politics and why it is important for democracy strengthening, (3) some aspects that should be performed in order to solidify opposition in political life.

Keywords: democracy, opposition, oligarchy, people sovereignty, control

DDC: 321.8 Wimmy Haliim INDONESIAN DELIBERATIVE DEMOCRACY: CONCEPT OF PUBLIC PARTICIPATION TO ESTABLISH RESPONSIVE DEMOCRACY AND LAW

Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 19–30 ABSTRACT The state is a legal order which is also a social order. In the legal order, the State acts as organization performing coercive measures in order to achieve the objectives of that State. While the social order are series of institutional structure, and human culture are interrelated. A study of the constituent powers to establish the law can take a look at the system of Deliberative Democracy and Direct Popular Checks, or direct inspection by the public. This means that society placed as a pillar that can oversee their government. In essence, this system is a means of ultra-democracy which is an extension of the legislative process outside the assembly formed by the community. This becomes important in order to improve the quality of Indonesian democracy.

Keywords: deliberative democracy, direct popular checks, and responsive law

vii DDC: 321.5 Bayu Dardias PREPARING A FEMALE SULTAN: DIVINE LEGITIMACY AND THE EFFECTIVENESS OF SULTAN HAMENGKUBUWONO X’S REGIME Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 31–49 ABSTRACT Sultan Hamengkubuwono (HB) X of Yogyakarta has chosen his eldest daughter as his successor in a traditionally patrilineal Sultanate. This paper discusses the controversy surrounding Sultan HB X’s decision by measuring the impact of his proclamations and orders for the Sultanate’s long-term regime effectiveness. I argue that Sultan HB X’s proclamations and orders based, which were based on mysticism and a sense of divinity, have been ineffectual for maintaining regime effectiveness inside and outside of the Sultanate. Within the Sultanate, the Sultan’s siblings have argued that his decisions contradict the Sultanate’s centuries-long tradition of rules (paugeran). Outside the palace walls, broader society has been divided over Sultan HB X’s choice. One group supports Sultan HB X’s decision, while the other group is determined to hold on firmly to their patriarchal cultural and historical traditions. While Sultan HB X’s proclamations and orders have been ineffectual in maintaining the Sultanate and its influence, his decisions have even brought about an enormous challenge to the survival prospects of the Sultanate itself.

Keywords: political legitimation, regime, Sultan Hamengkubuwono,

DDC: 324.6 Nyimas Latifah Letty Aziz THE POLITICS OF PUBLIC BUDGETING IN THE IMPLEMENTATION OF THE REGIONAL HEAD ELECTIONS IN INDONESIA Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 51–64 ABSTRACT This paper examines the politics of public budgeting related to the concurrent local elections that were held on 9th December 2015 for the first time. The elections will be held for seven times from 2015 to 2027 in order to reduce election costs. However, the budget process was not easy to imagine since the technical rules were still unclear. Meanwhile, elites who are in power and have interests were also have strong influence to the budget process. This paper attempts to examine how public participation needs to be improved in the budget process, particularly in the budget process related to the concurrent local elections, thus it will creates the implementation of budget democracy.

Keyword: politics of public budgeting, elections, public participation, budget democracy

DDC: 335.5 Dodi Faedlulloh BUILDING ECONOMIC DEMOCRACY: STUDY OF THE POTENTIAL OF MULTI- STAKEHOLDERS CO-OPERATIVE IN THE INDONESIAN AGRICULTURAL GOVERNANCE Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 65–76 ABSTRACT As a country that once called as an agrarian country where most of its people were farmers, the situation of agrarian in Indonesia shows the opposite. Land is the source of human life that was dominated by a handful of parties which cater to reach the coffers profit. The hope of people’s welfare is still a problem that has not been completed. Social inequalities are becoming even rampant. The implication of social inequalities resulted in agrarian conflicts in many regions of Indonesia. Resistance of the people in agrarian conflicts is getting bigger. This shows people’s awareness of their rights. Agrarian governance in Indonesia has been stripped away the viii | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 spirit of economic democracy initiated by the founding fathers. Therefore, the governance paradigm in agrarian must return to the spirit of economic democracy. The method used in this paper is the study of literature and the phenomenological approach to observe the realities that are relevant to the assessment of the potential economic democracy in the governance of agrarian studies in Indonesia. All people have the right to have equal access and not to be oppressed in the use of agrarian resources. One form of the concrete actualization of economic democracy is by developing the cooperation as an alternative solution of agrarian governance in Indonesia. With multi-stakeholder cooperation, agrarian reform can re-discover the substantive meaning, in which there is no longer monopoly of the land and the people’s welfare becomes possible.

Keywords: agrarian, economic democracy, agrarian conflict, cooperation

DDC: 320.9 Bernarda Meteray THE STRENGTHENING OF DEMOCRACY IN PAPUA LAND IN THE NIEUW GUINEA RAAD 1961 AND MAJELIS RAKYAT PAPUA 2005 Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 77–103 ABSTRACT One of the attempts to prevent Indonesia from disintegration is to avoid any inappropriate policy regarding the development. In the history of Papua, the process of the formation of the Nieuw Guinea Raad (NGR), 1961 and the Majelis Rakyat Papua (MRP), the Papuan People Council, 2005, have significant meaning in the history of the unification of Papua to Indonesia. These two institutions have given a deeply significant meaning in the involvement of Papuans in an institution. Various approaches to improve the well-being of the Papuans have been implemented officially since 1969. Papua is, however, still considered the poorest region and is very often in conflicts. It was found that there has been something wrong with the development in Papua. Acemoglu and Robinson (2014) states that gaps between rich countries and poor ones are not merely due to cultural, geographical, and climatic factors, but they have been caused by political and economic institutions in the country itself as well. It has been these institutions having caused the country to come near the edge of failure. This paper is trying to show whether or not formation of the NGR and MRP had and have been suitable solutions to solve development problems and conflicts in Papua. Keywords: The history of Papua, Papua autonomy, Majelis Rakyat Papua (MRP), the Niew Guinea Raad (NGR), the strengthening of Democracy, Melanesia

DDC: 303.4 Herry Yogaswara RINGKASAN DISERTASI AFTER THE RIOT: COLLECTIVE MEMORY AND IDENTITIES AMONG MADURANESE POST INTRA-ETHNIC CONFLICT IN THE SAMPIT OF , INDONESIA Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 105–113 ABSTRACT The PhD dissertation project is about to explore Maduranese who returned to Sampit after the communal violence of February 2001. Sampit is a small town in the district of Kotawaringin Timur of the Province Central Kalimantan, Indonesia. The communal violence well known as kerusuhan or riot started from February 18, 2001 in the town of Sampit and spill-over to other city and districts in Central Kalimantan. Hundred peoples were killed, mostly Maduranese and thousands Maduranese leave Central Kalimantan by forced. They became internally displace person (IDP) in several districts and cities in Southern Kalimantan and East , mostly in the Madura Island. The framework of this thesis is relationship among collective memory, historicity and identity. The thesis would like to confirmed hypothesis which collective memory is shaping identity. Locus of study was town of Sampit, in the

Abstrak | ix district of Kotawaringin Timur. However, to have wider perspective, the researcher visited city and other districts in Central Kalimantan; districts in as neighbor province and Madura island in . Result of the research are understanding narratives of riots including waves of migration in and out of Sampit; causes of riot; identities of Maduranese and efforts of Maduranese returned to Sampit. Collective memory is a strategy for Maduranese returned to Sampit through mechanism of remembering and forgetting. Keywords: collective memory, historicity, identity, communal violence, and Sampit of Central Kalimantan

Dian Aulia TINJAUAN BUKU PENGUATAN DEMOKRASI: PARTAI POLITIK DAN (SISTEM) PEMILU SEBAGAI PILAR DEMOKRASI Muhadam Labodo dan Teguh Ilham, 2015. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis. Jakarta: RajaGrafindo Persada, xi+ 282 hlm.

Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 115–126 Upik Sarjiati TINJAUAN BUKU IMAJINASI TEKNOLOGI DAN FASISME JEPANG TAHUN 1931–1945 Aaron Stephen Moore. Constructing East Asia: Technology, Ideology, and Empire in Japan’s Wartime Era 1931–1945. Stanford University Press, 2013. 314 hlm. Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 127–137 Selsus Terselly Djese TINJAUAN BUKU TAMASYA PIKIR KOLEGIAL BERSAMA E. DOUGLAS LEWIS Julian C. H. Lee dan John M. Prior (Eds.). Pemburu yang Cekatan: Anjangsana Bersama Karya-karya E. Douglas Lewis. Flores: Penerbit Ledalero. 2015. xxvii + 512 hlm. Terjemahan dari Keeping Indonesia in Mind: Excursions with the Work of E. Douglas Lewis. Penerjemah: Josef Maria Florisan. Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1) Juni 2016: 139–149

x | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 DDC: 321.8

OPOSISI DALAM KEHIDUPAN DEMOKRASI: ARTI PENTING KEBERADAAN OPOSISI SEBAGAI BAGIAN PENGUATAN DEMOKRASI DI INDONESIA

Firman Noor Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia E-mail: [email protected]

Diterima: 15-4-2016 Direvisi: 26-4-2016 Disetujui: 28-4-2016

ABSTRACT In real politics, the acknowledgement and implementation of democracy would be in vain if the government in daily basis is actually run without any effective controls or balancer from the opposition. Such a government is actually close to the oligarchy or authoritarian government. Indonesia as a country that believes in democracy up until today still has not been able to develop a strong opposition. In this regards, this article aims to discuss the relationship between democracy and opposition. Some specific issues would also be discussed namely, (1) the essence of opposition in democratic framework, (2) the opposition in Indonesian politics and why it is important for democracy strengthening, (3) some aspects that should be performed in order to solidify opposition in political life.

Keywords: Democracy, opposition, oligarchy, people sovereignty, control

ABSTRAK Dalam realitas politik, pengakuan dan pelaksanaan demokrasi di suatu negara tidak akan banyak berarti jika pemerintah yang ada berjalan tanpa pengimbang atau tanpa kontrol yang efektif dari oposisi. Pemerintah sedemikian sesungguhnya lebih dekat dengan sebentuk pemerintahan oligarkis atau otoriter ketimbang pemerintahan demokratis. Indonesia, sebagai sebuah negara yang mengakui demokrasi, hingga kini belum dapat dikatakan sebagai negara yang berhasil dalam menumbuhkan oposisi yang kuat. Sehubungan dengan hal itu, artikel ini akan membahas beberapa persoalan yang berkaitan dengan hakikat oposisi dalam kehidupan demokrasi. Secara lebih spesifik, artikel ini akan membahas (1) hakikat oposisi dalam kerangka demokrasi, (2) oposisi dalam realitas politik di Indonesia dan mengapa hal itu menjadi penting untuk penguatan demokrasi, (3) beberapa hal yang dapat dipertimbangkan untuk menumbuhkan oposisi dalam kehidupan politik bangsa.

Kata kunci: Demokrasi, oposisi, oligarki, kedaulatan rakyat, kontrol

PENDAHULUAN Amatan para pemerhati politik Indonesia kon- temporer itu pada umumnya mengisyaratkan “Democracy is an ideology of opposition as much sebuah paradoks bahwa Indonesia adalah contoh as it is one of government.” par excellent dari fenomena ketika mekanisme (Ian Shapiro, 1996, 51) demokrasi dan eksistensi oligarki atau elitisme dapat sa­ling mengisi atau hidup berdampingan Kajian beberapa Indonesianis belakangan ini pada saat bersamaan (Ford & Pepinsky, 2014, menunjukkan bahwa praktik oligarki (Robison 2). Sementara itu, khusus dalam soal hubungan & Hadiz, 2004, 2014; Winters, 2011, 2014) eksekutif dan legislatif, pola yang terbangun juga atau elitisme (Tornquist, 2006; Buehler, 2014) belum menunjukkan sebentuk demokrasi yang di Indonesia masih menampakkan gelagatnya solid. Pola hubungan yang terjadi justru mengin- dan terus berjalan meski kehidupan politik dikasikan kecenderungan relasi kartel politik, Indonesia diyakini telah jauh lebih demokratis.

1 yakni di antara kedua lembaga itu cenderung trol—manakala pembenahan mengenai cara pan- bersikap saling menguntungkan, baik terselubung dang dan kedudukan oposisi tidak diikutsertakan maupun manifes, yang pada akhirnya menyebab- di dalamnya. Sejalan dengan maksud tersebut, kan kontrol terhadap kekuasaan tidak berjalan artikel ini akan membahas persoalan lainnya, efektif (Ambardi, 2009; Rodan & Jayasurya, yakni fungsi oposisi yang sesungguhnya, realitas 2009; Mietzner, 2013). Fenomena ini tampaknya oposisi dalam sejarah kehidupan politik nasional, sejalan dengan apa yang disebut oleh O’Donnel dan upaya-upaya untuk menumbuhkannya dalam (1996) sebagai “delegative democracy”1, yaitu konteks Indonesia kontemporer. demokrasi hidup di tengah lemahnya pelaksanaan Pembahasan mengenai oposisi di Indonesia checks and balances. tentu bukan persoalan baru. Studi Kroef (1977) dan Berbagai simpulan atau pandangan di atas Uhlin (1998), misalnya, telah membahas oposisi mengindikasikan dengan jelas bahwa eksistensi dengan cukup mendalam. Meski demikian, kajian dan pertumbuhan demokrasi di Indonesia masih keduanya lebih pada masa sebelum dan menjelang jauh dari sempurna karena masih memberikan era reformasi. Kajian kekinian atau setidaknya tempat yang cukup lapang bagi munculnya yang berkaitan dengan pemerintahan saat ini praktik politik yang mereduksi hakikat demokrasi belum banyak dilakukan. Oleh karena itu, artikel itu sendiri. Pandangan para Indonesianis tentang ini merupakan bagian upaya dari mengetengahkan masih cukup kuatnya keberadaan oligarki atau kajian mengenai oposisi dan juga terutama apa elitisme, di sisi lain, menunjukkan dengan jelas yang harus dilakukan di kemudian hari. bahwa fenomena pelaksanaan kekuasaan (power exercise) hingga kini sesungguhnya masih minim OPOSISI DALAM KERANGKA kontrol karena kekuatan penyeimbang (balancer) DEMOKRASI yang memadai belum cukup kokoh. Dalam situasi seperti ini, penguatan eksistensi kekuatan pe- Membahas arti penting oposisi dalam pembe- nyeimbang—yang notabene melekat pada kelom- nahan demokrasi tentu tidak dapat dipisahkan pok oposisi—menjadi perlu lebih diperhatikan dari kerangka berpikir demokrasi itu sendiri. dan secara fundamental merupakan kebutuhan Pembahasan berikut ini akan melihat akar-akar mendesak, setidaknya untuk mengurangi prak- oposisi dalam sudut pandang demokrasi dan tik oligarki dengan segenap aspek buruk yang melihat fungsi oposisi dalam aspek normatifnya. ditimbulkannya. a. Demokrasi sebagai Akar Keberadaan Sehubungan dengan kebutuhan atas keberadaan oposisi tersebut, yang dikaitkan Oposisi dengan upaya meningkatkan kualitas demokrasi Demokrasi dalam tatanan konseptual memiliki di Indonesia, tulisan ini membahas rasionalitas beragam aliran dan sudut pandang. Setidaknya keberadaan oposisi. Pembahasan artikel ini secara ada dua sudut pandang utama dalam membahas garis besar ditujukan untuk menunjukkan bahwa demokrasi. Pertama adalah yang berfokus pada oposisi merupakan bagian yang tidak terpisah- pendekatan kepemiluan atau kerap disebut mini- kan dari demokrasi (Dahl, 1971). Oleh sebab malis. Pendekatan ini memfokuskan diri pada itu, pembenahan demokrasi tidak akan berjalan persoalan pemilihan umum (election) sebagai inti sempurna—terutama dalam memberikan efek dari demokrasi. Bagi pandangan ini, kehidupan positif yang kuat bagi pelaksanaan kedaulatan demokrasi tak lain adalah persoalan bagaimana rakyat dan sebentuk pemerintahan yang terkon- berhasil dalam pelaksanaan pemilu serta ketika pejabat dan kehidupan bernegara pada akhirnya 1 Sebentuk demokrasi yang memungkinkan penguasa ditentukan oleh pemilu. Pandangan ini terutama terpilih dianggap telah mewakili kepentingan seluruh “delegasi” (yang berperan sebagai wakil dari rakyat), dan diusung oleh para teoretikus demokrasi, seperti oleh karena itu dapat melakukan apa pun yang dianggap Schumpeter (1975) dan Przeworski (1991). penting tanpa harus memerhatikan dengan sangat aspek Pandangan kedua adalah yang melihat secara akuntabilitas atau pertanggungjawaban. Pemerintahan semacam itu secara substansi dekat dengan apa yang lebih maksimal, memosisikan demokrasi lebih disebut oleh Thomas Hobbes sebagai Leviathan. dari sekadar pelaksanaan pemilu. Dalam sudut

2 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 pandang ini, demokrasi tidak semata dilihat se- democracy6, dan communicative democracy7, bagai persoalan pemilihan umum, tetapi sebuah merupakan beberapa kajian dalam perspektif sub- budaya serta ideologi yang memuat seperangkat stansial ini (Held, 1960; Mayo, 1991; Diamond nilai yang harus disemaikan, seperti persamaan, & Morlino, 2004; Gutmann & Thompson, 2004; partisipasi, kebebasan, toleransi, keadilan, hak- Young, 2002; Roberts, 1999). hak universal, dan kesepakatan banyak orang. Hal yang menarik adalah kedua sudut Bagi Dahl (1971, 3), misalnya, keberadaan pandang tersebut, terutama sudut pandang yang partisipasi dan koreksi terhadap pemerintahan kedua, sama-sama menempatkan persoalan ke- jauh lebih utama ketimbang pemilu. Sementara daulatan rakyat sebagai hal yang utama. Dengan bagi yang lain, hakikat demokrasi terletak pada demikian, dapat dikatakan bahwa perkembangan penumbuhan tradisi atau budaya demokratis teori-teori demokrasi kekinian sama sekali tidak yang menumbuhkan kesadaran dan upaya untuk meninggalkan makna normatif demokrasi yang mewujudkannya secara sistematis dan substantif. telah dikedepankan sejak zaman Yunani Kuno Sehubungan dengan hal ini, kajian dalam ranah dulu. Tepat jika demokrasi dipandang sebagai maksimalis meliputi kajian yang bernaung, ter­ persoalan pengelolaan kedaulatan rakyat, se- 2 utama dalam payung liberal democracy ataupun bagaimana yang dengan tepat dikatakan oleh hybrid democracy3 serta meliputi kajian seperti di banyak kasus masyarakat ditinggalkan setelah pemilu 4 5 poliarchy , deliberative democracy , deepening berlangsung. Dalam skema pemerintahan deliberatif ini, terbuka peluang bagi masyarakat untuk memba­ 2 Demokrasi liberal adalah sebentuk demokrasi yang ngun simpul-simpul penyalur kepentingan yang dapat menekankan aspek hak-hak individu (individual rights), langsung berhubungan dan menyampaikan aspirasinya terutama kebebasan (freedom), hak untuk memiliki kepada pemerintah tanpa melalui lembaga-lembaga for- sesuatu (property rights), kebebasan berkehendak serta mal demokrasi yang selama ini telah dikenal luas, seperti kemerdekaan untuk mengekspresikan dan mengusahakan partai politik atau parlemen. Bahkan dimungkinkan pula kepentingan politiknya seluas-luasnya. Demokrasi liberal simpul-simpul itu dapat turut langsung diikutsertakan juga menganut prinsip pembatasan peran negara, yakni dalam proses penentuan distribusi anggaran. negara yang terbaik adalah seperti negara penjaga malam, 6 Deepening democracy ialah sebuah konsep yang meyakini yang keberadaannya terlihat pada aturan-aturan main, bahwa pemilu merupakan hal penting dalam demokrasi. yang juga secara prinsip tidak mengekang prinsip-prinsip Sebuah negara dapat sukses menjalankan demokrasi kebebasan individual. Bagi penganutnya, berbicara manakala pemilu dijalankan dengan benar. Artinya, demokrasi adalah berbicara mengenai nilai-nilai itu dan melalui institusi yang kredibel, aturan main yang adil, bagaimana nilai-nilai dapat tumbuh dan berkembang. dan pelaksana yang mumpuni. Oleh karena itu, per- 3 Ialah sebuah aliran dalam konsepsi demokrasi yang soalan demokrasi yang paling pokok adalah bagaimana bersifat “realis”, yang meyakini terbukanya kemungkin­ mengondisikan seluruh aspek dalam masyarakat agar an adanya nuansa campuran antara praktik demokrasi pemilu dapat berjalan dengan semestinya. Dalam makna dan nondemokrasi di sebuah negara. Hal ini berangkat mengondisikan ini, demokrasi juga pada akhirnya me- dari realitas bahwa demokrasi dalam praktiknya di nyentuh persoalan yang terkait dengan hal-hal seperti banyak negara berkembang tidak selamanya berhasil pemberantasan korupsi, menciptakan pemerintahan yang membuka keran kebebasan atau benar-benar mem- baik, membangun dan melembagakan institusi-institusi fasilitasi kedaulatan rakyat. Kekuatan lama yang masih demokrasi, melindungi hak-hak minoritas, pelayanan yang bercokol atau aspek budaya tradisional yang masih kuat memadai tanpa diskriminasi kepada semua kalangan, serta memungkinkan bagi terbangunnya demokrasi yang juga penumbuhan nilai-nilai demokratis dalam masyarakat. masih membuka peluang bagi praktik-praktik politik dan 7 Demokrasi yang menitikberatkan pada aspek komuni- pemerintahan yang bernuansa otoritarian atau bahkan kasi sebagai sarana untuk membuka pemahaman yang militerisme pada saat bersamaan. lebih mendalam, baik di antara masyarakat maupun—dan 4 Sebentuk konsep demokrasi yang dikembangkan oleh terutama—antara masyarakat dan pemerintah. Dengan Robert­ Dahl, yang meyakini bahwa demokrasi pada haki- pengedepanan aspek komunikasi yang komprehensif, katnya adalah persoalan yang terkait dengan partisipasi dan diharapkan segala kecurigaan, prejudice, ataupun hal- oposisi dalam pemerintahan, dan bukan semata persoalan hal yang bersifat stereotipe dapat terjembatani, bahkan pemilu. dihapuskan. Demokrasi semacam ini berpotensi pada ma- 5 Substansi dari deliberative democracy adalah mengon­ syarakat komunikatif, ketika jalinan komunikasi di antara disikan sebentuk demokrasi yang memungkinkan mereka telah berjalan dengan efektif sehingga masing- pemerintahan dapat lebih bekerja sesuai dengan aspirasi masing pihak ataupun mereka yang berkepentingan dapat masyarakat pasca-pemilu. Di sini, masyarakat memiliki saling memahami atau pada level pemahaman yang sama. hak dan peluang lebih besar untuk berdialog dan me- Dalam konteks politik, kesamaan kepentingan dan aspirasi nyampaikan aspirasinya kepada pemerintah terpilih. Hal ini akan menyebabkan pemerintahan demokratis berjalan ini berangkat dari kenyataan bahwa adanya pemilu tidak dengan lebih efektif, di mana kebijakan-kebijakan yang serta-merta dapat mengawal aspirasi masyarakat, malah dihasilkan akan jauh lebih relevan.

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 3 Abraham Lincoln, yakni tidak lain adalah peme­ dan anti-subordinasi. Terkait dengan partisipasi rintahan yang dikelola dari (of), oleh (by), dan itu, Young mengatakan: untuk (for) rakyat. Lebih dari itu, kajian-kajian “Everyone whose basic interests are affected by demokrasi kekinian juga menempatkan persoal­ institutions or practices should be able to partici- an seputar pertanggungjawaban pemerintah, pate in their governance on more or less equal kekuasaan yang terbatas, partisipasi publik, dan terms with others. Everyone ought to be able to pembagian kekuasaan sebagai hal yang utama. assert their opposition to decisions that have been made, furthermore, and should be free to criticize Sehubungan dengan kedaulatan rakyat and try to change policies and practices.” tersebut, oposisi menemukan relevansinya. Hal ini mengingat tidak ada jaminan jika kedaulatan Pandangan Shapiro yang diwakili oleh Young rakyat dapat seluruhnya tertampung dan diter- di atas menunjukkan bahwa oposisi pada hakikat- jemahkan seutuhnya oleh pemerintah. Sejarah nya adalah konsekuensi dari adanya partisipasi memperlihatkan bahwa tidak jarang pemerintahan rakyat dalam pemerintahan. Dengan demikian, yang mengatasnamakan kedaulatan rakyat dalam keberadaan oposisi merupakan sebuah kenis- praktiknya justru menjauhi hakikat kedaulatan cayaan dalam kehidupan demokrasi, mengingat rakyat tersebut. Oleh karena itu, perlu kekuatan pemerintahan demokratik ialah pemerintahan di luar pemerintahan yang dapat turut menjaga yang membuka keterlibatan khalayak yang luas. bahwa kedaulatan rakyat itu tetap ada dan ber- Hal lain dalam demokrasi yang merupakan fungsi. Dalam konteks inilah peran mereka yang sokoguru bagi kehadiran oposisi adalah konsep berada di luar pemerintahan atau oposisi menjadi pembagian kekuasaan (division of power). Pemba- penting adanya, terutama untuk memastikan gian kekuasaan merupakan salah satu inti pembeda bahwa pemerintahan yang berjalan tetap berada antara pemerintahan demokratis dan pemerintahan dalam rel kepentingan rakyat. Dengan kata lain, yang antidemokrasi. Pada negara pemerintahan eksistensi oposisi terkait erat dengan kepentingan otoriter, misalnya, pembagian kekuasaan tidak menegakkan kedaulatan rakyat itu sendiri. pernah diakui, apalagi dilaksanakan. Pembagian Selain persoalan kedaulatan rakyat, akar de- kekuasaan dalam logika demokrasi menyiratkan mokrasi yang lain bagi keberadaan oposisi adalah pembenaran akan adanya perbedaan pandangan partisipasi politik. Partisipasi politik sebagai pra- dan bahkan dalam batas tertentu konflik yang tetap syarat bagi eksistensi demokrasi (Pateman, 1970) berada dalam koridor konstitusi. yang dimaksudkan tentu saja bukan partisipasi Dalam sudut pandang filosofis, pembagian yang dimobilisasi, melainkan yang independen kekuasaan terkait dengan penegakan kebebasan atas dasar kesadaran individual. Partisipasi dan hakikat kemanusiaan. Bahwa kebebasan semacam ini membuka peluang bagi setiap warga manusia, sebagai salah satu syarat terbentuknya negara untuk berperan sesuai dengan kesadaran- tatanan yang berkemanusiaan, hanya akan nya. Peluang dari kebebasan berpartisipasi ini menemukan bentuknya yang terbaik manakala pada akhirnya memberikan jalan bagi munculnya kekuasaan tidak berada dalam genggaman perbedaan sikap dan pandangan, termasuk terha- seorang penguasa. Sebaliknya, kekuasaan yang dap penguasa, mengingat kesadaran setiap orang tergenggam pada satu tangan dan tidak menyi­ tidaklah sama. sakan peluang perbedaan pandangan, apalagi Dalam konteks partisipasi ini juga, opo- oposisi, hanya akan memunculkan kekuasaan sisi adalah dampak dari kebebasan rakyat untuk yang tiranik atau despotik. Pemikir Barat, melakukan respons dan kritik atas kebijakan seperti Locke (1632–1704) dan Montesquieu pemerintah agar dapat lebih sesuai dengan (1689–1755), sejak sekitar empat abad yang lalu kepentingan mereka. Irish Young (2002, 76) telah meyakini akan kebaikan adanya pembagian mengatakan bahwa kajian Ian Saphiro dalam kekuasaan itu. Democratic Justice menunjukkan pentingnya me- Dalam makna “pembongkaran” terhadap lihat demokrasi sebagai sesuatu yang terkait erat kekuasaan yang tergenggam oleh satu tangan dengan dua persoalan penting, yakni partisipasi inilah, secara fundamental pula, oposisi menjadi

4 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 bagian tak terpisahkan di dalamnya. Hal ini Oposisi bahkan telah hadir tak lama setelah terjadi karena merupakan hal yang mustahil jika kemerdekaan, yang ditandai oleh munculnya membicarakan kekuasaan yang terbagi, tetapi Partai Demokrat-Republik (Democrat-Republic pada hakikatnya pemangku kekuasaan hanya Party) sebagai partai oposisi. Dengan demikian, mewakili satu pandangan tanpa ada kekuatan semangat mendasar demokrasi yang menopang yang mampu mengimbangi dan mengkritisinya. terbentuknya oposisi dapat diterapkan dalam Dengan perannya sebagai bagian tak terpisahkan sistem mana pun, mengingat pada hakikatnya ke- dari upaya pembagian kekuasaan, oposisi pada beradaan oposisi terkait erat dengan keberadaan dasarnya turut memainkan peran penting dalam demokrasi itu sendiri. menciptakan tatanan politik yang lebih berkema- nusiaan. b. Fungsi Oposisi dalam Kehidupan Selain persoalan pembagian kekuasaan, hal Demokrasi lain yang merupakan akar dari oposisi adalah kon- Oposisi adalah sebuah fenomena yang terjadi sep checks and balances. Konsep ini merupakan dalam berbagai bidang. Oposisi dalam makna kelanjutan dari ide pembagian kekuasaan dan umum kerap diartikan sebagai “berseberangan”­ ditumbuhkembangkan pertama kali di Amerika atau “sesuatu yang memiliki posisi yang tidak Serikat. Inti dari konsep ini adalah cabang-cabang sama pada sesuatu yang lain”. Oposisi juga di- kekuasaan harus dapat saling mengontrol dan artikan sebagai lawan atau perlawanan terhadap memberikan perimbangan. Diharapkan, dari sesuatu (Rooney, 2001, 1020). Dalam konteks adanya saling kontrol dan menyeimbangkan ini, politik, sebagian kalangan mengartikan oposisi tiap-tiap cabang kekuasaan tidak bekerja semata sebagai bentuk informal dari ketidakbersetujuan sesuai dengan kepentingannya. atau kontestasi di antara lembaga-lembaga Kontrol dan penyeimbangan itu memung- pemangku kekuasaan, sementara oposisi politik kinkan pihak-pihak yang ada, baik dalam parle- adalah bentuk kontestasi yang terkait atau dijamin men maupun eksekutif, dapat saling mengenda- dalam konstitusi (Barnard, 1972, 1). likan dan mengingatkan jalannya pemerintahan Tentu saja masih banyak definisi oposisi dan agar tetap sejalan dengan kehendak masyarakat. secara literal tidaklah sama. Namun, esensi yang Penyeimbang di dalam cabang ataupun di antara selalu ada dalam makna oposisi adalah terkait cabang inilah yang memungkinkan munculnya dengan sekelompok orang yang berada di luar oposisi bagi pemerintahan yang tengah berkuasa. pemerintahan yang secara legal memiliki hak Menurut Amadigwe (2004), dalam skema pemer- untuk menyuarakan pendapat dan melakukan intahan parlementer sekalipun, para menteri harus aktivitas-aktivitas yang ditujukan untuk melaku- tetap mempertanggungjawabkan kebijakannya kan kritik dan kontrol atas sikap, pandangan, di hadapan parlemen, di mana kelompok oposisi ataupun kebijakan pemerintah berdasarkan pada biasanya akan melakukan kritik atas kebijakan perspektif ideologis, kenyataan empiris, atau yang diambil itu. kepentingan tertentu. Akar-akar oposisi dalam konteks demokrasi Oposisi dalam konteks kehidupan demokrasi itu berlaku universal. Artinya, dapat terjadi baik menurut Dahl (1971) adalah bagian yang tidak pada sistem parlementer maupun presidensial. Ti- terpisahkan dan menjadi salah satu fondasi, selain dak ada pembatasan bahwa sistem pemerintahan­ partisipasi, dari yang disebutnya sebagai polyar- tertentu lebih memberikan peluang atau mem- chy (poliarki) atau sebentuk pemerintahan yang butuhkan oposisi dibanding dengan yang lain. bernuansakan demokrasi. Dalam konteks politik, Meski oposisi dalam konteks checks and balances khususnya dalam kehidupan demokrasi, terdapat seolah tampak nyata bentuknya dalam sistem beberapa fungsi utama oposisi. Pertama, sebagai parlementer, oposisi yang efektif juga terjadi penyeimbang kekuasaan. Makna penyeimbang dalam pemerintahan presidensial. Keberadaan secara substansi dapat berarti adanya kekuatan di oposisi di Amerika Serikat yang menganut sistem luar pemerintah yang memberikan alternatif pikir­ presidensial, misalnya, telah demikian kokoh. an atau sikap dan menyebabkan keseimbangan

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 5 agar pemerintah tidak terlalu jauh dari kepentingan masuk akal ketimbang kebijakan pemerintah. mayoritas rakyat. Makna utama penyeimbang ini Adanya oposisi akan membuat pemerintah yang mengingat ada kalanya pemerintah yang terpilih berkuasa “terjaga” dan menyadari ada pihak lain secara demokratis akhirnya jatuh menjadi peme­ yang bisa saja memberikan tawaran kebijakan rintahan yang melawan kehendak rakyat. yang lebih baik dan pada gilirannya berpotensi Pemerintahan Fasisme di Jerman (1939– “mengganggu” citra positif pemerintah di mata 1945), misalnya, terbentuk setelah Partai Nazi masyarakat. Oposisi, oleh karena itu, diperlukan memenangi pemilu dengan perolehan suara pemerintah sebagai stimulus untuk meningkatkan yang sebetulnya juga tidak mayoritas mutlak. kinerja dan mempertahankan citra baiknya di Ketiadaan penyeimbang, dengan kata lain, akan mata masyarakat. Dalam situasi ini, muncullah berpotensi memunculkan sebuah Leviathan yang situasi kompetisi yang sehat antara pemerintah tidak terkontrol dan dapat melakukan apa pun dan oposisi menuju perbaikan demi perbaikan. yang dikehendaki tanpa hambatan yang berarti. Oleh karena itu, jelas bahwa penguatan opo- Oleh sebab itu, mempertahankan oposisi sama sisi terkait dengan upaya menegakkan kebijakan dengan mempertahankan demokrasi, mengingat yang sejalan dengan kepentingan rakyat dan tujuannya adalah agar pemerintah dapat meng- menghindari terjadinya oligarki. Oposisi bukanlah hasilkan kebijakan-kebijakan serta melakukan sekadar sikap anti-pemerintah atau asal berbeda, pelaksanaan tugas-tugas negara dan pemerintahan melainkan sebuah eksistensi yang memberikan dengan lebih baik, yakni sejalan dengan aspirasi kritik dan tawaran alternatif kebijakan dan kon- dan prinsip kedaulatan rakyat. trol atas penyelenggaraan pemerintahan. Oposisi adalah “pemihakan rasional” sebagai konsekuensi Kedua, arti penting oposisi adalah men- dari pelembagaan kontrol atas kekuasaan (Kamil, jaga agar alternatif kebijakan dapat disuarakan. 2002, 17–18). Oposisi yang sehat, sebagaimana Oposisi akan memungkinkan munculnya lebih yang diyakini Dahl lebih dari empat dekade lalu, banyak pilihan kebijakan atau alternatif penyem­ singkatnya adalah bagian dan sekaligus cerminan purnaan atas kebijakan pemerintah. Hal ini keberadaan demokrasi yang kokoh. Pembahasan sejalan dengan kenyataan bahwa tidak ada satu berikutnya akan menunjukkan aspek empiris dari pun pemerintahan yang tak luput dari kesalahan. oposisi dan demokrasi di Indonesia. Pemerintahan yang dipimpin oleh mereka yang terbaik sekalipun tetap membutuhkan dukungan tidak langsung dari kelompok oposisi untuk dapat OPOSISI DALAM PERJALANAN lebih menangkap aspirasi dan kepentingan rakyat. KEHIDUPAN POLITIK BANGSA Kemandulan oposisi, dengan demikian, adalah keterbatasan opsi bagi tegaknya aspirasi rakyat a. Era Pra-Reformasi (1945–1998) yang, manakala berjalan dalam waktu lama, Di masa-masa awal kemerdekaan, oposisi terhadap dapat memunculkan pembusukan pemerintah pemerintah muncul terutama dari partai-partai sebagaimana yang terjadi di Myanmar era junta beraliran nasionalis dan Islam, terutama Partai militer ataupun Indonesia era Orde Baru. Dengan Nasional Indonesia (PNI) dan Partai Masyumi, kata lain, oposisi dibutuhkan agar sebuah kebi- dua partai besar yang mewakili dua aliran politik jakan yang lebih komprehensif dapat tercipta dan tersebut. Hal ini terjadi karena pada masa-masa kesalahan dapat diminimalkan. itu pemerintahan dipimpin oleh tokoh-tokoh so- Ketiga, arti penting oposisi lainnya adalah sialis, seperti Perdana Menteri Sutan Syahrir sebagai stimulus persaingan yang sehat di dan Amir Syarifuddin. Beberapa kebijakan yang antara para elite politik dan pemerintahan. menjadi sumber perlawanan oposisi adalah Sebuah pemerintahan akan mengalami stagnasi, sejumlah perjanjian dengan Belanda yang dirasa bahkan kemunduran, bila tidak mendapatkan menguntungkan pihak penjajah. Namun, secara tantangan dari pihak-pihak yang kompeten dan umum, oposisi yang terjadi lebih mencerminkan mampu menunjukkan kepada masyarakat tentang kompleksitas lantaran banyak menteri, baik pada adanya kebijakan-kebijakan lain yang lebih masa pemerintahan Syahrir, Syarifuddin, maupun

6 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Hatta yang juga berasal dari dua partai besar terse- tahap awal dan belum meluas, kesadaran bahwa but, bahkan para menteri dari Masyumi, dikenal sebuah pemerintahan harus memiliki partner sebagai pembela kebijakan pemerintah yang gigih. kritis di luar pemerintahan bukanlah sesuatu Sejak 1951, peran pemerintah dan oposisi yang asing untuk dipraktikkan. Sesuatu yang terutama dilakukan oleh dua partai besar, yakni memperlihatkan adanya semacam akselerasi PNI dan Masyumi. Manakala PNI membentuk budaya politik oposisi dalam kehidupan politik pemerintahan, Masyumi akan menjadi motor bangsa saat itu. oposisi di parlemen, dan begitu pula sebaliknya. Pada masa Demokrasi Terpimpin (1959– Dasar ideologi yang tidak terjembatani di antara 1966), oposisi tidak lagi eksis atau setidaknya dua partai itu serta kesetiaan terhadap partai bergerak secara amat terselubung. Tiga partai yang demikian tinggi adalah landasan pertikaian dengan kecenderungan bersikap kritis terhadap dan persaingan di antara keduanya. Selain itu, Presiden Soekarno, yakni Masyumi, PSI, dan perbedaan sudut pandang dalam prioritas kebi- Partai Musyawarah Rakyat (Murba), dibubarkan. jakan—yang dengan cukup baik digambarkan Tidak itu saja, Soekarno juga mereduksi jumlah oleh Herbert Feith, yakni antara solidarity partai menjadi 10 saja8, yang secara umum di- maker (PNI, kalangan nasionalis, dan sebagian mandulkan perannya. Soekarno juga memastikan kelompok komunis) versus administrator (Ma- bahwa para pemimpin partai yang “dibiarkan syumi, PSI, Parkindo, dan Partai Katolik) —juga hidup” itu adalah mereka yang mau diajak kerja menjadi pemicunya (Feith, 1968; Lucius, 2003). sama. Soekarno sendiri membangun rezim oto- Meski demikian, hubungan oposisi dengan riternya dengan nama “Demokrasi Terpimpin”. pemerintah pada 1950-an sekali lagi cukup kom- Dalam upaya membangun rezim itu, Soekarno pleks karena, dalam kabinet yang dipimpin oleh mengedepankan ide-ide antidemokrasi, seperti Sukiman, Wilopo, Ali, ataupun Burhanuddin, kuburkan partai-partai atau ide bahwa demokrasi kedua partai tersebut menempatkan kader-kader­ tidak cocok dengan karakter bangsa. Soekarno nya dalam pemerintah meski berstatus oposisi meyakini bahwa demokrasi parlementer yang dalam parlemen. Dengan kata lain, oposisi tidak selama ini dipraktikkan tidak tepat bagi bangsa menyebabkan partai tidak memiliki wakilnya Indonesia. Lebih dari itu, Soekarno meyakini dalam pemerintahan. Barulah pada era pemerintah bahwa sistem demokrasi liberal tidak mampu Ali II dan seterusnya Masyumi sama sekali tidak menawarkan stabilitas politik yang dibutuhkan mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan oleh bangsa. Dengan dukungan kalangan militer, dan menjadi “murni oposisi”. Lebih dari itu, situasi darurat militer pun diberlakukan. Siapa pun sebagai negara yang baru belajar berdemokrasi, yang dianggap anti-Soekarno atau dinilai kontra- oposisi tidak selamanya berhasil diperankan revolusi segera saja ditahan, termasuk mantan PM dengan baik. Semangat “asal beda dengan peme­ Sutan Syahrir. Dapat dikatakan pada masa inilah rintah”, misalnya, juga terlihat pada masa-masa akar-akar oposisi dicabut paksa oleh negara. ini. Penolakan PNI, sebagai pihak oposisi, atas Situasi pada Orde Baru (1966–1998) tidak ratifikasi Pembatalan Uni Indonesia-Belanda menunjukkan perbedaan yang berarti. Pada yang dilakukan oleh pemerintahan Burhanuddin awalnya, pemerintahan baru ini tampak akan Harahap (Masyumi), misalnya, adalah sebuah memberikan harapan besar bagi tegaknya keanehan, mengingat draf ratifikasi yang disusun demokrasi. Tidak sedikit kalangan kritis, ma- saat pemerintahan Ali Sastroamidjojo (PNI) itu hasiswa, cendekiawan, juga tokoh aktivis sosial tidak pernah dipermasalahkan oleh PNI sebelum- prodemokrasi awalnya bersemangat mendukung nya (Saidi, 1993, 2). Terlepas dari segenap kelemahan dan 8 Kesepuluh partai itu adalah: (1) Partai Nasional Indo- kekurangannya, laku oposisi dilaksanakan oleh nesia, (2) Partai , (3) Partai Komunis Indonesia, (4) Partai Syarikat Islam Indonesia, (5) Ikatan para politikus saat itu yang pada umumnya me- Pendukung Kemerdekaan Indonesia, (6) Pergerakan Tar- mahami benar akan hakikat demokrasi. Meski biyah Islamiyah, (7) Partai Kristen Indonesia, (8) Partai secara umum budaya beroposisi masih dalam Katolik, (9) Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia, dan (10) Partai Indonesia.

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 7 kepemimpinan Soeharto (Budiman, 2001, tidak solid. Secara umum, oposisi tercerai-berai, 31–32). Namun, kenyataan kemudian memper- terabaikan haknya, dan tentu saja tidak seimbang lihatkan bahwa tidak lama setelah rezim Orde dengan penguasa (Kroef, 1977, 109–125; Uhlin, Baru berdiri, Soeharto melakukan pemberangu- 1998, 89–173; Tanter & Young, 1993, 1–18). san sistematis terhadap kalangan oposisi atau Secara umum, keberadaan dan pembangunan mereka yang berpotensi menjadi oposisi. Hal itu oposisi pada masa ini berada pada titik nadir, dilakukan, baik kepada partai politik maupun ka- sejalan dengan pudarnya kehidupan demokrasi langan non-parpol. Dalam konteks parpol, sama di Indonesia. dengan Soekarno, rezim Orde Baru melakukan seleksi kepemimpinan parpol. Banyak pihak yang b. Era Reformasi dipandang akan berpotensi berseberangan dengan Di era reformasi, demokrasi kembali ditegak- rezim disingkirkan. Kasus ini terjadi pada partai kan. Kebebasan berpendapat menemukan lagi seperti PNI, Parmusi, dan PSII. Tidak hanya momentumnya. Berbagai penghargaan diterima itu, rezim juga menyetujui aksi kekerasan untuk oleh pemerintah Indonesia dalam kaitan dengan menundukkan kelompok yang berseberangan kualitas demokrasi yang sedang berlangsung. dengan pemerintah. Pendudukan kantor PSII Masyarakat pun tidak lagi merasakan tekanan pada 1973 (Subekti, 2014) ataupun penyerbuan dari pemerintah, bahkan relatif bebas mengkritik DPP PDI pada 1996 mencerminkan kondisi ini. pemerintah. Kebebasan mendirikan lembaga- Tidak berhenti pada hal tersebut, rezim Orde lembaga demokrasi, termasuk pers dan partai Baru juga melakukan langkah-langkah seperti politik, demikian menguat. Situasi di Indonesia memasung ideologi, memotong hubungan partai membuktikan bahwa demokrasi dengan sistem politik dengan akar rumput melalui kebijakan presidensial dan banyak partai tetap mampu “massa mengambang”, dan memanipulasi pemilu. menciptakan stabilitas politik. Kegiatan penyelidikan kehidupan personal melalui Kehidupan demokrasi, tidak dapat dimungkiri, penelitian khusus diberlakukan di seluruh lembaga telah jauh lebih baik bahkan mendapatkan pujian negara dan pemerintahan, termasuk DPR. Oposisi dari banyak negara dan organisasi internasional, dalam konteks nonpartai pun dibungkam. Me­ termasuk misalnya oleh International Association reka yang bersikap antipemerintah akan dituduh of Political Consultant (IAPC), sebuah lembaga mengganggu jalannya pembangunan. Rezim prestisius yang kerap memberikan medali peng- juga melakukan tindakan pencekalan terhadap hargaan untuk negara yang dipandang berhasil tokoh-tokoh yang tergabung dalam Petisi 50 dalam pelaksanaan demokrasi. Namun, meskipun hanya karena mereka mencoba mengingatkan Indonesia diakui sebagai negara demokratis, bah- Soeharto agar lebih konsisten berdemokrasi dan kan yang terbesar ketiga di dunia setelah India dan tidak menafsirkan Pancasila secara sepihak. Saat Amerika Serikat, kehidupan oposisi belum hadir kekuasaan Soeharto semakin menggurita dan pada taraf yang menggembirakan. Legasi dari personal, mereka yang dianggap kritis terhadap sistem politik masa lalu yang bercirikan lemahnya Keluarga Cendana juga dihabisi kariernya. Hingga oposisi tampak masih terasa. akhir kehidupannya, rezim ini identik dengan Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrah- kesungguhan memasung para oposan dan tidak man Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnopu- segan untuk “menghilangkannya”. tri (1999–2004), oposisi tidak terlalu bermakna, Demikianlah kedua rezim Orde Lama dan mengingat seluruh potensi kekuatan politik Orde Baru secara berkesadaran melakukan pem- nasional terserap dalam pemerintahan. Pada masa berangusan terhadap (potensi) oposisi. Pada masa pemerintahan Gus Dur, seluruh partai besar dan ini, tentu saja oposisi tetap ada. Denyut nadinya menengah (PDIP, Partai , PAN, PKB, lebih terasa justru di luar pemerintahan. Meski PPP, PBB, PKS, dan PKP) mendapatkan posisi mampu bergerak, kalangan oposisi dari berbagai dalam kabinet yang dipimpinnya bersama dengan kelompok, baik yang cenderung mengandalkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri. ketokohan maupun jaringan kritis, sayangnya DPR praktis berisi partai-partai yang mayoritas

8 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 memiliki jabatan dalam pemerintahan. Hanya bermakna dan kelompok-kelompok yang ber- baru saat Gus Dur mengganti beberapa menteri potensi memainkan peran oposisi justru terserap (yang notabene adalah tokoh-tokoh utama partai dalam pemerintahan (Ambardi, 2009). Meski koalisi) dengan teman-teman dekatnya, tanpa sebagian kalangan tidak melihat hal itu sebagai melakukan konsultasi yang mendalam, partai- murni sebuah pemerintahan kartel (Mietzner, partai mulai melakukan perlawanan. 2013), kenyataan menunjukkan bahwa oposisi Beberapa soal lain dijadikan alasan untuk tidak berjalan efektif dan potensinya cenderung melawan, seperti penyalahgunaan dana bantuan terserap dalam pemerintahan, dan hal ini tidak Sultan Brunei dan Bulog (yang tidak cukup terelakkan. Partai-partai cenderung berkerumun terbukti secara hukum) serta yang paling krusial mendekat kepada SBY dan membangun sebuah adalah saat Gus Dur membubarkan parlemen pemerintahan yang jauh dari semangat checks secara sepihak. Namun, perlawanan yang ber­ and balances. ujung pada impeachment itu secara kronologis Meski saat ini ada sedikit peningkatan dan substantif tidak dapat dilepaskan dari soal kualitas oposisi, terutama di awal pemerintahan respons atas pergantian atau reshuffle dan bukan Jokowi—dan kenyataan masih ada partai yang dalam spirit oposisi sebagaimana yang biasa tegas menyatakan berada di luar pemerintahan, terjadi pada negara-negara demokrasi yang ma- seperti Gerindra dan PKS—fenomena opo- pan. Perlawanan, dengan kata lain, tidak akan sisi saat ini dalam perkembangannya cenderung terjadi jika Gus Dur tidak melakukan manuver memperlihatkan sebuah kelanjutan pola lama kontroversialnya. Terbukti kemudian Megawati hubungan pemerintahan dengan oposisi. Fungsi dapat menyelesaikan masa tugasnya dengan se- oposisi, yang sebenarnya dapat diperankan oleh lamat sebagai pengganti Gus Dur karena tidak KMP secara maksimal, justru memperlihatkan melakukan manuver yang merugikan partai-partai fenomena oposisi yang bersifat terbatas dan tidak pendukungnya. cukup efektif. Pada situasi kontemporer, bergabungnya Kondisi semacam ini tampak mirip dan beberapa partai pendukung Koalisi Merah Putih menunjukkan sebuah warisan masa lalu, terutama (KMP) ke dalam jajaran pemerintahan menjadi dari era Orde Baru (Bunte & Ufen, 2009, 9–12), salah satu bukti situasi beroposisi yang secara yakni oposisi pada akhirnya cenderung tercerai- substansi juga masih lemah. Partai-partai yang berai dan tampak kehilangan posisi. Namun, awalnya menyatakan diri beroposisi dengan sementara dulu hal tersebut lebih dipengaruhi pemerintah, bahkan menjadi pesaing koalisi oleh tekanan rezim, pada saat ini perilaku elite pemerintah pada saat pemilihan presiden, dengan partailah yang berperan dalam melemahkan mudah berubah arah mendeklarasikan diri sebagai kedudukan oposisi sebagai efek pilihan pragmatis loyalis pemerintah, sebagaimana yang dilakukan mereka untuk selalu mendekat dan berada dalam oleh PAN, PPP, dan Golkar. Partai-partai pem- lingkar kekuasaan. Di samping itu, jika dibanding bentuk KMP memang tidak menyatakan mem- dengan demokrasi di negara-negara Barat atau bubarkan diri, tetapi keberadaannya kini lebih kehidupan politik nasional era 1950-an, peran sebagai ajang silaturahmi yang bernuansa nos- besar para elite atau oligarki juga menunjuk- talgia ketimbang sebuah kekuatan oposisi yang kan lemahnya peran ideologi dalam kehidupan solid, konsisten, dan efektif. Terlihat, misalnya, internal partai saat ini, yang kemudian berimbas pada saat KMP berkumpul kembali pada akhir pada perilaku politiknya. Maret 2016, mereka tetap menegaskan sebagai Kondisi ini diperburuk oleh pemahaman kelompok yang setia mendukung pemerintah. dari banyak elite atau tokoh berpengaruh partai Uniknya, pada era pemerintahan SBY yang juga masih melihat oposisi sebagai sesuatu (2004–2014), meski dalam bentuk berbeda, yang tidak relevan dengan kehidupan politik saat secara substansi memperlihatkan gelagat yang ini. Mereka menyatakan hal itu dengan berbagai sama. Pada masa itu, muncul pola “politik alasan, seperti tidak sesuai dengan karakter kartel”, yakni ketika oposisi tidak banyak bangsa, tidak dikenal dalam sistem presidensial,

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 9 atau tidak sejalan dengan idealisme partainya. terutama dalam konteks politik. Langkah ini Maimun Zubair, tokoh kharismatis PPP, misalnya, meliputi pembenahan di level masyarakat, yang menafsirkan oposisi sebagai pihak yang hanya terutama penting, mengingat peran strategis mencari kesalahan (Gatra, 2014, 23). dukungan dan makna dari partisipasi politik itu Selain itu, cukup jelas terlihat bahwa sendiri. Lalu, perbaikan di level partai politik, hingga kini oposisi yang terlembaga masih belum yang terkait dengan perannya yang bersifat mendapat dukungan kuat dari kalangan masyarakat. langsung dalam pemerintahan. Konsep oposisi tidak terlalu mengakar atau kurang a. Memperbaiki Persepsi, Membangun mendapat dukungan masyarakat, terutama karena pemahaman oposisi yang tidak tepat. Dengan Kesadaran, dan Menguatkan minimnya dukungan ini, oposisi di era reformasi Komitmen tampak berada dalam posisi yang gamang dan Salah satu “cerita sukses” Orde Baru dan Orde justru terlihat terkucilkan dari opini yang berkem- Lama adalah mampu mempersepsikan bahwa bang di masyarakat tentang pemerintah, yang menjadi oposisi adalah sebuah kesalahan. Opo- kerap dimanipulasi oleh pemerintah itu sendiri. sisi dianggap pula sebagai mereka yang telah Namun, tidak semua kalangan kemudian menarik terpengaruh oleh pandangan politik liberal yang diri dari posisi oposisi. Beberapa kalangan, seperti pro-individualisme, bahkan antek kekuasaan media massa, cerdik cendekiawan, aktivis LSM, asing. Oposisi juga disamakan dengan mere­ dan beberapa kader partai, tetap menunjukkan ka­­ ­yang telah tercerabut dari akar dan jati diri sikap perlawanan terhadap pemerintahan. Meski bangsa. Citra oposisi sebagai sesuatu yang buruk demikian, hingga hampir dua dekade berjalannya ditumbuhkembangkan secara sistematis pada dua reformasi, terutama di masa-masa pemerintahan pemerintahan itu. Pada masa Orde Lama, oposisi SBY, peran oposisi lebih dimainkan oleh kalangan dicitrakan sebagai kontra-revolusi dan sesuatu nonpartai dan ekstra-parlementer, yang sayangnya yang tidak natural atau kerap disampaikan dengan bersifat sporadis dan tidak benar-benar dapat di- istilah “ditanam” oleh kekuatan asing (Pratignyo, jadikan barometer kontrol terhadap pemerintahan 1983, 24–32). Sementara oposisi di era Orde yang efektif. Baru distigmakan sebagai anti-Pancasila, anti- Dampaknya, alih-alih menjadi ranah bagi Pembangunan, atau kalangan ekstrem. kehidupan demokrasi yang sehat, Indonesia saat Selain pencitraan negatif, ada dua isu besar ini justru terjebak dalam praktik oligarki yang yang kerap diembuskan terkait dengan pengem- masih menempatkan kepentingan sedikit orang bangan praktik oposisi dalam alam demokrasi. di atas kepentingan rakyat banyak. Kebijakan Pertama, oposisi hanya akan menimbulkan pemerintah untuk rakyat kerap tersandera atau ketidakstabilan karena pada akhirnya oposisi dimanipulasi oleh kepentingan-kepentingan hanya akan menyebabkan pemerintah tidak dapat sekelompok orang yang dekat dengan kekuasaan berjalan sebagaimana mestinya. Kedua, dengan (Sabri, 2012). Demokrasi yang cenderung artifi- kondisi itu, berarti oposisi hanya akan menyebab- sial, dengan demikian, adalah hasil yang dituai kan pembangunan melambat dan kesejahteraan oleh situasi pemerintahan tanpa oposisi yang bangsa tak tercapai. efektif itu. Kedua isu tersebut tentu saja tidak memiliki dasar empiris yang memadai karena, misalnya, LANGKAH-LANGKAH dari 14 negara paling stabil (sustainable) di dunia PEMBANGUNAN OPOSISI dewasa ini, 13 negara menggunakan sistem par- Pembahasan di atas mengisyaratkan belum kuat- lementer dan hanya satu negara, yakni Portugal, 9 nya keberadaan oposisi di Indonesia. Untuk itu, yang menggunakan sistem semi-presidensial . membangun oposisi adalah sesuatu yang amat 9 Negara paling stabil (sustainable) ialah negara-negara diperlukan. Bagian selanjutnya akan membahas yang berada pada posisi di atas negara-negara stabil. upaya-upaya yang harus dikembangkan dan Urutan ke-14 negara paling stabil itu adalah (1) Swedia (20,2); (2) Norwegia (20,8); (3) Denmark (21,5); (4) dilakukan dalam upaya membangun oposisi, Luxemburg (22,2); (5) Swiss (22,3); (6) Selandia Baru

10 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Padahal, pada sistem parlementer, oposisi justru political broker di sebagian besar masyarakat. difasilitasi, terlembaga, dan lebih dari itu hampir Dalam nuansa politik yang masih mengandalkan sama kuatnya dengan pemerintah. Sementara patronase politik, yang sayangnya kerap dikuasai dalam konteks penciptaan kesejahteraan, ter- oleh para elite birokrasi (birokrat) atau pemilik lihat bahwa dari 15 negara paling sejahtera di modal (saudagar), benih-benih beroposisi dika- muka bumi saat ini, hanya satu yang menggu- caukan oleh berubah-ubahnya sikap dan orientasi nakan sistem presidensial, yaitu Amerika Serikat, patron terhadap penguasa. Peran kaum oligarkh sedangkan­ sisanya menggunakan sistem parle- ataupun elite sebagaimana yang telah disebutkan menter (The Legatum Prosperity Index, 2015). di awal tulisan ini telah demikian mewarnai Hal yang perlu dicatat adalah Amerika Serikat kehidupan politik, baik langsung maupun tidak, pun merupakan negara yang memiliki tradisi di hampir semua level masyarakat. 10 oposisi yang amat kuat . Pandangan salah kaprah Pada masyarakat perkotaan, dengan ke- di atas sayangnya telah telanjur cukup tertanam mapanan ekonomi dan kemandirian politiknya, di masyarakat, yang pada akhirnya membuat peran patron mungkin tidak seluas di masyarakat pemikiran yang mengaitkan oposisi dengan hal- pedesaan. Namun, uniknya, masyarakat perkotaan hal negatif tersebut dapat dengan mudah diterima juga tidak melihat keberadaan dan laku oposisi oleh masyarakat. sebagai sebuah kebutuhan yang mendesak. Meski Selain masalah persepsi negatif, penghar- masyarakat kota dapat lebih bebas memilih se­ gaan terhadap oposisi dan berkomitmen atasnya suai dengan rasionalitasnya, hal itu tidak berarti terhalangi atau mendapat tantangan dengan mereka kemudian akan bersedia dan berkomit- kuatnya sikap pragmatisme dalam berpolitik. men mengawal pemerintahan berdasarkan pada Pragmatisme ini menyebabkan komitmen rasionalitasnya itu setelah pelaksanaan pemilihan. beroposisi dapat dengan mudah mencair atau ter- Hal yang terjadi adalah jika tidak merasa puas beli ketika berhadapan dengan tawaran-tawaran terhadap rezim, masyarakat kota akan kembali politik yang menggiurkan. Komitmen beroposisi disibukkan oleh pemenuhan kebutuhan asasinya menjadi sulit terbangun juga karena masyarakat dan melihat segenap bentuk kelemahan publik pada umumnya belum cukup mampu memperta­ sebagai sesuatu yang “biasa terjadi” tanpa perlu hankan kemandiriannya, terutama terkait dengan menawarkan solusi, apalagi memperjuangkan- persoalan ekonomi. Dalam hal ini, mungkin saja nya. Apa yang terjadi di kalangan perkotaan itu masyarakat telah memiliki pandangan yang jauh menunjukkan bagaimana mindset dan mentalitas lebih baik mengenai pentingnya beroposisi. oposisi yang telah ditumpulkan oleh rezim-rezim Namun, ketidakberdayaan ekonomi membuat di sepanjang jalan sejarah bangsa menuai hasil. mereka tidak memiliki pilihan selain berdamai Lepas dari itu, secara umum, dalam kondisi dengan penguasa atau setidaknya mengurangi ekonomi yang masih belum mampu menopang sikap kritis. Lemahnya kemandirian menye- terbentuknya kemandirian politik, ditambah babkan upaya untuk beroposisi dapat mudah pola politik pragmatis dan masih kuatnya diredam oleh pihak-pihak yang berkepentingan kecenderungan ketergantungan pada patron, atas meredupnya semangat oposisi. keberadaan oposisi jelas sulit berkiprah dengan Hal lain yang juga menjadi persoalan dalam baik. Dengan dua persoalan utama, yakni (1) membangun konsistensi dalam beroposisi adalah persepsi yang tidak tepat atas oposisi dan (2) masih adanya ketergantungan pada patron atau lemahnya kemandirian politik, pembenahan oposisi sesungguhnya patut diarahkan ke kedua (22,6); (7) Islandia (23,4); (8) Australia (24,3); (9) Irlandia (24,7); (10) Kanada (25,7); (11) Austria (26,0); persoalan tersebut. Berkaitan dengan persepsi, (12) Belanda (26,8); (13) Jerman (28,1); dan (14) diperlukan perluasan pemahaman yang tepat Portugal (28,7). melalui berbagai jaringan dan institusi. Pendi- 10 Ke-15 negara itu adalah (1) Norwegia, (2) Swiss, (3) dikan politik tentang pembangunan demokrasi Denmark, (4) Selandia Baru, (5) Swedia, (6) Kanada, dan peran krusial oposisi, yang terutama terkait (7) Australia, (8) Belanda, (9) Finlandia, (10) Irlandia, (11) Amerika Serikat, (12) Islandia, (13) Luxemburg, dengan hak dan kewajiban warga negara untuk (14) Jerman, dan (15) Inggris.

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 11 berpartisipasi politik (termasuk melakukan kritik sebuah ketidaksolidan, melainkan sebuah upaya terhadap penguasa), patut menjadi agenda penting makin menguatkan perbaikan dengan berbagai lembaga-lembaga formal ataupun nonformal itu. alternatif solusi. Adanya pemahaman yang Dalam konteks ini pula lembaga seperti pergu- tepat pula akan membuat masyarakat dengan ruan tinggi, lembaga-lembaga penyadaran politik, sendirinya memberikan dukungan yang lebih baik milik publik maupun swadaya masyarakat, ekspresif dan bermakna terhadap langkah atau menjadi penting adanya. kebijakan pemerintah ataupun elite politik yang Selain itu, media massa dapat berperan dianggap merugikan kepentingannya. di dalamnya dengan, misalnya, memberikan Adapun ihwal penguatan kemandirian dukung­an dan penghargaan terhadap kekuatan politik, hal ini pada akhirnya berhubungan erat oposisi. Media massa juga harus memberikan ru- dengan taraf hidup masyarakat. Sebuah masyara- ang yang sama dan dorongan yang signifikan ke- kat, jika ekonominya kuat, komitmen tidak akan pada kalangan kritis yang berseberangan dengan mudah terbeli karena mereka dapat menetapkan pemerintah. Harus diakui bahwa saat ini masih dan mempertahankan pilihan politiknya secara banyak media massa yang memihak, baik atas mandiri. Sudah menjadi rumusan lama, terutama dasar kesamaan ideologis maupun kepentingan bagi para penganut pendekatan modernisme dan atau karena faktor lain yang bersifat simbiosis developmentalisme, bahwa penguatan ekonomi mutualisme atau bahkan kolutif. Apa pun penye- akan mengarah ke modernisasi politik, yang babnya, sejauh hal ini masih menggejala, maka dalam hal ini salah satunya ditandai oleh par- upaya membesarkan dan membangun oposisi tisipasi yang rasional dan mandiri dari warga akan terus mengalami tantangan serius. Oleh negaranya. karena itu, sudah sepatutnya ada daya dorong bagi Sehubungan dengan hal itu, peran berbagai media massa, baik dari dalam (otokritik) maupun pihak yang terkait dalam upaya pemberdayaan dari luar, untuk menyadarkan peran hakiki mer- masyarakat ini, termasuk pemerintah dan stake- eka sebagai pilar keempat dari demokrasi. Dalam holders, menjadi penting adanya. Pemerintah posisi itu, media massa bukan diabdikan untuk dan pihak-pihak terkait bertanggung jawab sekadar “yang penting sama” atau “yang penting menumbuhkan dan menguatkan oposisi dengan beda” dengan penguasa, melainkan dapat turut membangun kemandirian masyarakat itu. Adanya melakukan kontrol atas jalannya pemerintahan langkah-langkah pemandirian masyarakat ini dengan mengedepankan rasionalitas objektif diharapkan membuat masyarakat di kemudian dan komitmen memperjuangkan aspirasi atau hari dapat lebih leluasa dan bertanggung jawab kedaulatan rakyat secara maksimal. dalam mengekspresikan aspirasi dan aktivitas Di samping itu, di tengah masyarakat sendiri, politiknya. Tegaknya kemandirian ini juga akan sudah saatnya makin ditumbuhkan gerakan kede- menopang upaya-upaya menguatkan praktik wasaan politik untuk bersedia melakukan pem- beroposisi yang berorientasi menciptakan biasaan dan penghargaan terhadap perbedaan, peme­rintahan yang dapat berjalan dengan lebih toleransi, dan sikap bertanggung jawab atau per- maksimal dan memberikan banyak keuntungan bedaan ataupun eksistensi kelompok-kelompok terhadap mereka sehingga dapat lebih berkem- alternatif. Perbedaan politik bukanlah cerminan bang di masyarakat (Liddle, 2014, 77).

Penguatan Kemandirian Penguatan Oposisi Pemahaman/ Pendidikan Kesejahteraan Berpolitik Kesadaran Politik

Gambar 1. Skema Langkah Penguatan Oposisi di Level Masyarakat/Non-Partai

12 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 b. Penguatan Kondisi Internal Parpol partai dalam mengambil kebijakan ataupun menentukan pilihan-pilihan politik. Sayangnya, Kesadaran untuk menguatkan kembali peran pemantapan ideologi saat ini masih menjadi oposisi dalam tatanan masyarakat tidak akan ba­ persoalan pada sebagian besar partai di Indonesia. nyak berarti jika dalam tatanan political society, Sejauh ini, kebanyakan partai masih digerakkan dalam hal ini diwakili oleh partai politik, juga oleh kepentingan oligarkis dan elite tertentu. tidak tergarap dengan baik. Hal ini terjadi karena pada akhirnya parpol adalah institusi yang terkait Di tangan para elite itulah landasan kebijakan langsung dengan pembentukan oposisi dalam dan keberpihakan politik partai ditentukan. Say- pemerintahan. Sehubungan dengan parpol maka angnya, elite partai tidak selamanya digerakkan­ pembenahan laku beroposisi pada prinsipnya oleh idealisme atau komitmen ideologi, tetapi adalah penguatan (kondisi) parpol itu sendiri, oleh kepentingan eksklusif untuk selalu berada yang melibatkan tiga persoalan utama, yakni (1) dalam lingkaran kekuasaan, baik pada level pemantapan ideologi, (2) pelaksanaan kaderisasi, nasional maupun lokal. Dalam nuansa seperti­ dan (3) kemandirian partai. ini, transaksi politik yang bersifat pragmatis Berkaitan dengan persoalan pertama, dapat kerap lebih dikedepankan. Akibatnya, komitmen dilihat bahwa hal yang memungkinkan oposisi beroposisi demikian cair atau kerap berantakan di tumbuh kuat, selain tingginya kesadaran berde- tengah jalan. Di sisi lain, bagi partai-partai yang mokrasi, adalah adanya keyakinan atas ideologi. tengah memerintah, lemahnya keyakinan ideologi Pada kasus negara-negara demokratis yang sudah menyebabkan mereka tidak cukup percaya diri solid, terlihat warna ideologis antara mereka yang untuk dapat menjalankan pemerintahan berdasar- memerintah dan yang mengambil peran oposisi kan pada ideologinya. Akibatnya, alih-alih tetap tampak jelas berbeda. Perbedaan itu berlanjut mencoba konsisten dengan keyakinan politiknya, hingga waktu yang lama tanpa kemudian terlihat pemerintah justru sibuk untuk mematikan potensi keinginan melebur menjadi satu kelompok. oposisi, terutama di masa-masa awal pemerin- tahannya. Peleburan atau koalisi cenderung terjadi pada partai-partai yang memiliki kedekatan Pada masa datang, partai-partai di Indonesia ideo­logi dengan membentuk sebuah kaukus untuk harus lebih bersungguh-sungguh membangun menguatkan bargaining position terhadap pihak ideologi dan menempatkannya sebagai basis lawan. Pertarungan antara kelompok sosialis atau penjuru bagi tawaran-tawaran kebijakan (kiri) dan gaullist (kanan) di Prancis, misalnya, ideal. Oleh sebab itu, harus diperjuangkan, selalu terjadi dan mewarnai konstelasi politik baik di dalam maupun di luar pemerintahan. sejak republik kelima berdiri. Pola yang sama Penegakan komitmen ideologis semacam ini hampir mewarnai seluruh negara Barat. Tidak dapat dimulai pada kesadaran untuk menemukan mengherankan bila kehidupan politik di negara- dan memantapkan kembali arah ideologi partai negara tersebut dipenuhi oleh sikap tiap-tiap kubu dan menyosialisasinya secara sistematis kepada yang sering kali berbeda amat tajam. Dengan per- seluruh kader melalui kepengurusan, jaringan bedaan ini, kedudukan politik sebuah partai tidak partai, dan kursus-kursus ideologi partai. Setiap mudah bergeser, termasuk saat berperan menjadi kepengurusan, misalnya, harus melakukan kursus oposisi. Di sinilah arti pembagian ideologi “kiri” atau training ideologi kepada seluruh kadernya di dan “kanan” dengan segenap varian di dalamnya setiap tingkatan, dari yang paling rendah (level bermakna. ranting) hingga pusat. Jenjang karier kader pun sedikit-banyak harus ditentukan oleh pemahaman Hal ini mengindikasikan bahwa peran dan komitmen mereka terhadap ideologi. menjadi oposisi dapat terlaksana dengan baik manakala partai mampu membangun basis Selain penguatan peran ideologi, kaderi- ideologi yang kokoh dan mempraktikkannya. sasi adalah hal lain yang harus dibangun secara Ideologi tidak semata bersifat simbolis, tetapi sistematis. Melalui kaderisasi yang sistematis, juga mampu menjadi sumber inspirasi yang para kader akan memahami jati diri partainya, menggerakkan para kader dan menjadi landasan termasuk tujuan partainya. Secara umum, ka-

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 13 derisasi berkaitan dengan pemantapan kesadaran Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, bahwa hakikat keberadaan kader adalah sebagai yakni komitmen untuk berada di luar pemerin- fungsionaris atau “alat partai” yang dituntut untuk tahan dan menjadi oposisi yang paripurna atau terus memberikan kebaikan kepada partai dan total membutuhkan kemandirian yang juga total. masyarakat. Oleh karena itu, berbagai langkah Apabila partai masih terikat pada pemerintah, dan kebijakan yang dirasa menjauhkan partai dari baik karena kepentingan patron maupun kebutuh­ semangat ini akan ditinggalkan. an yang memaksanya terikat, peran oposisi akan Melalui kaderisasi ini pula kader akan tidak banyak bermakna. Hal ini berarti partai ditempa kesadaran kolektifnya, yakni sebagai harus dapat mengokohkan kemandiriannya de­ bagian dari sebuah komunitas yang berkhidmat ngan memiliki sumber-sumber kekuatan finan- pada sebuah nilai-nilai (values) dan tujuan atau sial sendiri. Menurut Mietzner (2014, 99–116), idealisme bersama. Dengan kuatnya pemahaman kegagalan dalam soal mendanai kehidupan partai ini, kader tidak mudah digerakkan oleh kepenting­ secara benar inilah sumber utama munculnya an pragmatis yang bersifat sesaat ataupun yang praktik politik yang menyimpang dari demokrasi bersifat pribadi. saat ini. Kaitan kaderisasi dengan oposisi adalah Salah satu upaya yang dapat dilakukan jelas bahwa, manakala pemerintahan yang ter- adalah negara memberikan dana yang mema- bentuk tidak mewakili kepentingan atau aspirasi dai untuk dikelola oleh partai dengan prinsip ideologis partai, dengan sendirinya partai akan dilakukan melalui transparansi yang tinggi dan mengambil posisi di luar pemerintahan. Partai pertanggungjawaban atau kontrol yang tanpa tidak akan mudah tergoda untuk bergabung ke kompromi. Pelanggaran atau penyalahgunaan dalam pemerintahan hanya demi kepentingan dana itu dapat dikenai sanksi yang amat berat, yang bersifat material atau pragmatis semata. termasuk pembatalan keikutsertaan dalam pemilu. Menempatkan diri sebagai bagian dari oposisi Rasionalitasnya adalah membiarkan partai meng­ akan bersifat otomatis saja dan dilandasi oleh umpulkan dana tanpa bantuan pemerintah akan kesadaran penuh yang setara antara elite dan menyebabkan partai, cepat atau lambat, dikuasai kader biasa. Di sisi lain, partai akan ditinggalkan oleh pemberi sumbangan terbesar yang dapat apabila logika nonideologis ternyata menjadi menjadikan partai sebagai kendaraan politik dan alasan utama yang diambil dalam menentukan pada akhirnya menguatkan oligarki internal. Ke- posisi politiknya di hadapan pemerintah. mandirian partai akhirnya bergantung atau terbeli pada kepentingan pemberi sumbangan terbesar Untuk mendorong dan turut menguatkan itu. Manakala sang penyumbang menginginkan pembangunan kaderisasi maka UU Partai Politik jabatan di pemerintahan, bisa saja akhirnya di masa datang harus pula didesain untuk dapat partai merapat ke pemerintah meski jati diri dan memastikan bahwa kaderisasi yang sistematis dan ideologinya tidak sejalan dengan pemerintah. Di berkala dapat berjalan sebagaimana mestinya. sisi lain, apabila partai tidak memiliki donor yang UU Partai Politik harus dapat memaksa partai besar, upaya-upaya partai untuk mendapatkan agar bersungguh-sungguh melaksanakan kaderi- uang akan mengundang terjadinya pemanfaatan sasi secara kontinum dan menjadikan kaderisasi posisi jabatan negara atau publik yang kerap sebagai mekanisme yang menentukan jenjang berujung pada korupsi demi kepentingan partai. karier para kader. Hal ini, misalnya, dapat dilihat dengan melakukan verifikasi pelaksanaan ka- Adapun mereka yang murni berada di luar derisasi secara random dari kepengurusan partai pemerintahan berpotensi mengalami kebangkrut­ yang tersebar di seluruh Indonesia. Bagi partai- an total karena tidak memiliki sumber pendanaan. partai yang terbukti tidak mampu melakukannya, Studi Perludem (Supriyanto & Wulandari, 2012) pemerintah berhak membatalkan keikutsertaan- memperlihatkan bahwa dengan hanya mengan- nya dalam pemilu. dalkan iuran anggota dan usaha-usaha lain yang legal dan tidak mengikat cenderung tidak banyak Hal ketiga yang juga harus dilakukan adalah membantu partai dalam membiayai kebutuhan membangun kemandirian paripurna partai-partai.

14 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 lalu oposisi memang secara tegas dikucilkan, saat ini oposisi dianggap sebagai bukan pilihan Pengokohan Penguatan Kaderisasi Ideologi Komitmen Sistematis yang menguntungkan. Terbangunlah kemudian pemerintahan yang berkecenderungan kartel, ketika potensi oposisi terserap menjadi bagian pemerintahan dan, dengan posisinya itu, mencari Kemandirian keuntungan dari berbagai fasilitas negara. (Keuangan) Partai Dalam sejarah politik modern Indonesia, para pendiri dan elite bangsa secara sadar menghargai Gambar 2. Skema Langkah Pembangunan Komitmen bentuk pemerintahan demokrasi dengan berbagai Oposisi Partai Politik prinsip dasarnya. Atas dasar itulah mereka dapat dengan cepat merespons perkembangan- sehari-hari ataupun pelaksanaan berbagai agenda perkembangan politik modern yang menawarkan dan program partai, termasuk pelaksanaan kaderi- format politik yang demokratis. Pendirian partai- sasi secara berkala. Akibatnya, partai dihadapkan partai, misalnya, direspons secara baik dengan pada dua pilihan yang tidak mengenakkan: mati berdirinya (atau didirikannya kembali) partai- suri demi menjaga idealismenya atau menyerah partai guna menyambut kemungkinan pelak- pada kenyataan dan bergabung dengan pemerin- sanaan pemilu dan terbentuknya pemerintahan tah. Dengan demikian, aspek strategis dukungan perwakilan. Penghargaan terhadap demokrasi keuangan partai oleh pemerintah, yang harus itu juga tecermin dari kesediaan melakukan dilakukan secara transparan dan terkontrol, tidak oposisi terhadap pemerintah, yang terbukti de­ hanya akan membantu partai dalam menjalankan ngan munculnya kritik atas kebijakan-kebijakan fungsi-fungsi dan segenap kebutuhannya, tetapi yang dikeluarkan oleh PM Sutan Syahrir hingga lebih dari itu adalah membantu parpol dapat penghujung 1950-an. lebih mandiri dalam menjalankan idealismenya, Sikap beroposisi itu sendiri tidak serta-merta termasuk ketika memilih menjadi oposisi. ada dan meluas. Berkembang pada awalnya di kalangan sekelompok elite, cerdik pandai, dan PENUTUP mereka yang memahami politik modern, yang tentu saja jumlahnya masih sedikit. Namun, Pembahasan di atas memperlihatkan keterkaitan lambat tetapi pasti, kesadaran itu meluas dan yang erat antara demokrasi dan oposisi. Opo- ditularkan kepada masyarakat seiring dengan sisi, sebagaimana yang dimaksudkan, bukanlah semakin tingginya kesadaran politik anak bangsa. sekadar sikap asal berbeda atau melawan Kesadaran beroposisi itu menguat hingga pada kebijakan pemerintah, melainkan kelompok titik yang bagi sebagian orang telah amat me- di luar pemerintah yang mampu melakukan kontrol dengan tegas dan memberikan alternatif resahkan. Pemerintah mendapat partner oposisi kebijakan yang bernas. Sayangnya, eksistensi yang demikian kritis, dengan dukungan masyara- oposisi di Indonesia masih belum cukup solid. kat. Mereka yang resah membaca perkembangan Pada masa-masa awal kemerdekaan, oposisi telah ini sebagai bentuk belum matangnya bangsa terjerembap pada ekstremisme. Sementara pada Indonesia dalam berpolitik. Namun, terlepas dari masa sesudahnya, selama hampir empat dekade, pandangan seperti ini, kesadaran beroposisi dari oposisi mengalami pengucilan dengan, misalnya, waktu ke waktu sebenarnya semakin membaik. dicap sebagai tidak sesuai dengan jati diri bangsa Hanya, sayangnya, saat kesadaran itu mulai tum- dan dianggap sebagai salah satu biang penyebab buh, bangsa Indonesia masuk ke pusaran sistem ketidakstabilan. Tidak mengherankan jika oposisi politik yang tidak lagi menghendaki adanya opo- menjadi mati suri. Di era reformasi, yang diharap- sisi. Dengan berbagai alasan yang diindoktrinasi kan dapat menumbuhkan demokrasi secara lebih secara sistematis dan represif oleh rezim, oposisi genuine, kecenderungan untuk melihat oposisi dicoba untuk dilenyapkan. sebelah mata sayangnya masih belum berubah secara signifikan. Bedanya, sementara pada masa

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 15 Waktu selama sekitar empat dekade Ambardi, K. (2009). Mengungkap politik kartel. (1959–1998) telah cukup menimbulkan ke- Studi tentang sistem kepartaian di Indonesia gamangan penyikapan rakyat dan bahkan elite era reformasi. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. atas oposisi. Dampaknya adalah kesadaran dan Barnard, F. (1972). Between opposition and political penguatan oposisi, setelah rezim-rezim otoriter opposition, the search of competitive politics in berakhir, tidak serta-merta terjadi. Sebagian besar Czechoslovakia. Canadian Journal of Political masyarakat masih melihat oposisi sebagai suatu Science, 5(4), 533–552. pelengkap yang tidak perlu. Bahkan, seiring de­ Budiman, A. (2001). Negara dan masyarakat madani. ngan persoalan lain, seperti menguatnya (kembali) Dalam St. Sularto (Ed.), Masyarakat warga peran kaum oligarkh dan pragmatisme politik dan pergulatan demokrasi. Jakarta: Penerbit yang meninggi, komitmen oposisi ini kembali Buku Kompas. mengalami guncangan. Sikap merasa nyaman dan Buehler, M. (2014). Elite competition and changing perlu untuk terus berada dalam arus kekuasaan state-society relations: Shari’a policymaking in Indonesia”. Dalam Michele Ford & Thomas tetap masih lestari, bahkan belakangan semakin B. Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth, terlihat difasilitasi dengan kekuatan material yang power and contemporary Indonesian politics. besar dan menjanjikan, terutama dari kalangan Cornell: Cornell Southeast Asia Program oligarkh. Dalam nuansa itulah, perilaku politik Publications. partai-partai, termasuk dalam kasus kontemporer Bunte, M., & Ufen, A. (2009). The and its yang dialami oleh PAN, PPP, dan Golkar, serta legacy: Reflections on democratization in Indo- sebagian besar masyarakat, akhirnya masih tidak nesia. Dalam Bunte, Marco, & Ufen Andres dapat sepenuhnya sejalan dengan hakikat dan (Eds.), Democratization on post- Indonesia. London: Routledge. watak oposisi yang sesungguhnya. Singkatnya, Dahl, R. (1966). Political opposition in western pola-pola mendekat pada kekuasaan terus terjadi, democracies. New Haven, CT, and London: sementara komitmen menjadi oposan yang genu- Yale University Press. ine tidak pula menguat. Dahl, R. (1971). Poliarchy: participation and oppo- Sehubungan dengan upaya peningkatan sition. New Haven, CT, and London: Yale kualitas demokrasi melalui pembangunan oposisi, University Press. artikel ini mengarah pada upaya menumbuhkan Diamond, L., & Morlino, L. (2004), The quality of kesadaran masyarakat akan arti oposisi dan revital- democracy: An overview. Journal of Democ- racy, 15(2), 20–31. isasi partai politik. Tujuannya adalah agar muncul Feith, H. (1968). The decline of constitutional democ- kesadaran yang lebih tepat akan demokrasi dan racy in Indonesia. Itacha: Cornell University oposisi di level masyarakat serta meningkatkan Press. kapabilitas partai dalam menjalankan peran de- Ford, M., & Pepinsky, T. B. (Eds.). (2014). Beyond mokratiknya, termasuk kemampuan partai dalam oligarchy. Wealth, power and contemporary beroposisi. Pembahasan di atas menyiratkan bahwa Indonesian politics. Cornell: Cornell Southeast upaya-upaya yang dapat menguatkan peran oposisi Asia Program Publications. baik dalam makna kesadaran dan tradisi ataupun Fragile States Index. (2015). Diakses pada 15 Maret struktural (lembaga-lembaga demokrasi dan aturan 2016 dari http://fsi.fundforpeace.org/. main) harus dilakukan agar kualitas demokrasi di Gatra. (2014). “Ketua majelis syariah DPP PPP K.H Indonesia dapat semakin membaik. Maimoen Zubair: Saya nda seneng oposisi”,. (3 September 2014). Hlm. 23. Gutmann, A., & Thomson, D. (2004). Why Delib- PUSTAKA ACUAN erative democracy?. New Jersey: Princeton Amadigwe, V. (2004). The Relationship between University Press. separation of powers, rule of law and parlia- Held, D. (1960). Models of democracy. Oxford: mentary sovereignty in British Constitution. Oxford University Press. Diakses pada 16 Maret 2016 dari http://www. Kamil, S. (2002). Islam dan demokrasi. Telaah worldoruunion.org/ArticlesRelationship.htm. konseptual dan historis. Jakarta: Gaya Media Pratama.

16 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Kroef, J. van der. (Nov-Des 1977). The Indonesian Rodan, G., & Jayasurya, K. (2009). Capitalist devel- opposition. Asian Affairs, 5(2), 109–125. opment, regime transitions, and new forms of Liddle, R. (2014). Improving the quality of democracy authoritarianism in Asia. The Pacific Review, in Indonesia: Toward a theory of action. Dalam 22(1), 23–47. Michele Ford & Thomas B. Pepinsky (Eds.), Rooney, K. (2001). Encarta concise english dictionary. Beyond oligarchy. Wealth, power and contem- Sydney: Pan Macmillan. porary Indonesian politics. Cornell: Cornell Sabri, M. (2012). Presiden tersandera, melihat dam- Southeast Asia Program Publications. pak kombinasi sistem presidensial-multipartai Lucius, R. E. (2003). A house divided: The decline and terhadap relasi presiden-DPR di masa peme­ fall of Masyumi (1950–1956) (Master thesis, rintahan SBY-Boediono. Jakarta: RMBooks. Naval Postgraduate School, Monterey). Saidi, R. (1993). Golkar pascapemilu 1992. Jakarta: Mayo, H. (1991). An introduction to democratic Grasindo. theory. Cambridge: Polity Press. Schumpeter, J. (1975). Capitalism, socialism and Mietzner, M. (2013). Money, power, and ideol- democracy. New York: Harper and Row. ogy. Political parties in post-authoritarian Shapiro, I. (1996). The fallacies concerning minorities, Indonesia. Singapore: ASAA Southeast Asia majorities, and democracy politics. Dalam Ian Publication Series. Shapiro, Democracy’s place. Ithaca, NY, and Mietzner, M. (2014). Oligarchs, politicians, and activ- London: Cornell University Press. ists: Contesting party politics in Post-Soeharto Subekti, V. S. (2014). Partai Syarikat Islam Indonesia. Indonesia. Dalam Michele Ford & Thomas B. Kontestasi politik hingga konflik kekuasaan Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth, elite. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. power and contemporary Indonesian politics. Supriyanto, D., & Wulandari, L. (2012). Bantuan Cornell: Cornell Southeast Asia Program keuangan partai politik. Jakarta: Yayasan Per- Publications. ludem. O’Donell, G. (1996). Delegative democracy. Dalam Tanter, R. & Young, K. (1993). Politik kelas menen- Larry Diamond & M. F. Plattner, The global gah. Jakarta: LP3ES. resurgence of democracy. Baltimore and Lon- don: John Hopkins University Press. The Legatum Prosperity Index 2015. Diakses pada 15 Maret 2016 dari www.prosperity.com/#!/. Pateman, C. (1970). Participation and democratic theory. Cambridge: Cambridge University Press. Tornquist, O. (2006). Assessing democracy from below: A framework and Indonesian pilot Pratignyo, I. (1983). Ungkapan sejarah lahirnya project. Democratization, 13(2), 227–255. Golongan Karya: Perjoangan menegakkan kembali negara proklamasi 17-8-1945. Jakarta: Uhlin, A. (1998). Oposisi berserak, arus deras Yayasan Bhakti TP. demokratisasi gelombang ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan. Przeworski, A. (1991). Democracy and the market: Political and economic reforms in Eastern Winters, J. A. (2014). Oligarchy and democracy in Europe and Latin America. Cambridge: Cam- Indonesia. Dalam Michele Ford & Thomas B. bridge University Press. Pepinsky (Eds.), Beyond oligarchy. Wealth, power, and contemporary Indonesian politics. Roberts, K. M. (1999). Deepening democracy: The Cornell: Cornell Southeast Asia Program modern left and social movements in Chile and Publications. Peru. Stanford: Stanford University Press. Winters, J. A. (2004). Oligarchy. New York: Cam- Robison, R., & Hadiz, V. R. (2004). Reorganising power bridge University Press. in Indonesia: The politics of oligarchy in an age of markets. London: Routledge Curzon. Young, I. M. (2002). Ian Shapiro’s democratic justice. Good Society, 11(2), 76–77.

Firman Noor | Oposisi Dalam Kehidupan Demokrasi: .... | 17 18 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 DDC: 321.8 DEMOKRASI DELIBERATIF INDONESIA: KONSEP PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM MEMBENTUK DEMOKRASI DAN HUKUM YANG RESPONSIF

Wimmy Haliim Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Brawijaya, Malang E-mail: [email protected]

Diterima: 17-03-2016 Direvisi: 22-4-2014 Disetujui: 6-6-2016

ABSTRACT The state is a legal order which is also a social order. In the legal order, the State acts as organization performing coercive measures in order to achieve the objectives of that State. While the social order are series of institutional structure, and human culture are interrelated. A study of the constituent powers to establish the law can take a look at the system of Deliberative Democracy and Direct Popular Checks, or direct inspection by the public. This means that society placed as a pillar that can oversee their government. In essence, this system is a means of ultra-democracy which is an extension of the legislative process outside the assembly formed by the community. This becomes important in order to improve the quality of Indonesian democracy.

Keywords: deliberative democracy, direct popular checks, and responsive law

ABSTRAK Negara adalah sebuah tatanan hukum (legal order) yang juga merupakan tatanan sosial (social order). Dalam tatanan hukum, negara berperan sebagai organisasi yang melakukan tindakan-tindakan koersif guna mencapai tujuan negara tersebut, sedangkan tatanan sosial merupakan serangkaian struktur institusi dan kultur manusia yang saling berkaitan. Sebuah kajian mengenai kekuatan konstituen yang dapat membentuk hukum dapat kita lihat dalam sistem demokrasi deliberatif dan direct popular checks atau pemeriksaan langsung oleh masyarakat. Artinya, masyarakat ditempatkan sebagai sebuah pilar yang dapat mengawasi jalannya pemerintahan. Pada hakikatnya, sistem ini merupakan sarana-sarana ultra-demokrasi yang merupakan perluasan proses legislatif di luar majelis yang dibentuk oleh masyarakat. Hal ini menjadi penting dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi Indonesia.

Kata Kunci: demokrasi deliberatif, direct popular checks, dan hukum responsif

PENDAHULUAN interaksi manusia yang menimbulkan hak dan Hukum ialah setiap pola interaksi yang muncul kewajiban bagi individu-individu yang disebut berulang-ulang di antara banyak individu dan sebagai subjek hukum (rechtspersoon). Hal ini kelompok, diikuti pengakuan relatif eksplisit menunjukkan bahwa (1) dibutuhkan adanya dari kelompok dan individu tersebut bahwa pola- sebuah pengakuan atau konsensus dalam pem- pola interaksi demikian memunculkan ekspektasi bentukan hukum, dan (2) manusia sebagai subjek perilaku timbal balik yang harus dipenuhi (Unger, dan objek dari hukum memiliki peran penting 2008). Dari definisi di atas, dapat disimpulkan dalam proses pembuatan hukum sehingga hukum bahwa hukum merupakan kesepakatan yang merupakan gambaran dari kondisi internal dan diakui secara relatif dan eksplisit berasal dari eksternal manusia.

19 Demokrasi diartikan sebagai bentuk peme­ melalui majelis rakyat menuju organ-organ khusus rintahan yang kekuasaannya dalam mengambil yang dibentuk. Organ-organ ini dibentuk melalui keputusan untuk suatu negara ditetapkan secara pemilihan umum, dan warga negara bisa me- sah, bukan menurut golongan atau beberapa mercayakan aspirasinya dengan mendelegasikan golongan, melainkan menurut anggota-anggota calon ke dalam organ khusus ini. Organ khusus ini sebagai suatu komunitas secara keseluruhan umumnya disebut parlemen. Kelsen (2008, 408) (Strong, 1966). Sebenarnya, kata demokrasi menjelaskan bahwa organ ini diberi wewenang berasal dari bahasa Yunani, yaitu demos. Demos untuk membuat atau melaksanakan norma-norma dalam bahasa Yunani menggambarkan jumlah hukum, dipilih oleh subjeknya dan melaksanakan yang banyak dan cenderung menunjukkan rakyat norma-norma hukum tersebut. Prinsip ini meru- secara keseluruhan. Secara sederhana, hal itu pakan pengurangan dari prinsip penentuan diri menjelaskan bahwa demokrasi merupakan kekua- sendiri (self-determined principal). saan untuk kaum miskin karena kaum miskin Dari penjelasan demokrasi di atas, kesimpulan pada zamannya merupakan jumlah terbanyak yang sangat penting sekaligus menjadi akar dari yang terwakili oleh kata demos (Unger, 2008). negara berkonstitusi adalah, pertama, negara Secara umum terdapat dua model demokrasi, berkonstitusi harus menerapkan sistem demokrasi yaitu demokrasi langsung dan demokrasi tidak karena, dalam sistem demokrasi, warga negara dapat langsung. Kelsen (2008, 408) menjelaskan, berpartisipasi langsung dalam setiap penyeleng- demokrasi langsung adalah demokrasi dengan de- garaan dan pembangunan negara. Kedua, negara rajat yang relatif paling tinggi, ditandai oleh fakta demokrasi merupakan negara yang menempatkan bahwa pembuatan undang-undang dilaksanakan masyarakat sebagai instrumen dasar dari segala oleh rakyat dalam rapat umum atau pertemuan tindakan pemerintah. Hal ini terjadi karena, dalam akbar. Namun, prinsip ini hanya dapat dijalankan sistem demokrasi, jabatan-jabatan publik dapat oleh masyarakat yang berada dalam kondisi sosial dipilih dan diawasi langsung oleh masyarakat. yang sederhana. Dari kedua kesimpulan di atas, hal penting Dalam demokrasi langsung yang kita jumpai bagi negara yang menerapkan asas kedaulatan di suku-suku barbar di Jerman kuno, masyarakat rakyat adalah melibatkan masyarakat dalam polis di Yunani, sampai senat di zaman Romawi proses penyelenggaraan pemerintah. Negara kuno, prinsip ini awalnya dijalankan secara luas demokrasi ialah kekuasaan sipil yang berasal dari dan murni merupakan konsensus. Namun, seiring keputusan-keputusan yang dibuat oleh masyara- berkembangnya peradaban manusia dan ber­ kat itu sendiri, baik melalui demokrasi langsung tambahnya jumlah populasi manusia, prinsip ini maupun demokrasi perwakilan, dan masyarakat mulai dikesampingkan. Hari ini hanya beberapa (konstituen) mendelegasikan calon-calon anggota daerah yang menggunakan prinsip demokrasi majelis perwakilan untuk menciptakan hukum. langsung ini. Salah satunya adalah Swiss, yang di Salah satu ide mengenai keterlibatan masyarakat beberapa daerah bagiannya masih menggunakan luas dalam menjalankan pemerintahan adalah prinsip demokrasi langsung. Majelis rakyatnya demokrasi deliberatif seperti yang dikemukakan disebut sebagai Lands-gemeinde, yakni masyara- Jurgen Habermas. kat secara langsung memilih dan mengawasi para majelis yang nantinya membuat sebuah kebijakan di daerah tersebut. DEMOKRASI DELIBERATIF Model demokrasi yang kedua adalah de- Habermas (1982) menjelaskan, ketika kemam- mokrasi tidak langsung atau demokrasi perwakilan. puan memproduksi hukum didelegasikan melalui Perbedaan kondisi-kondisi serta perkembangan pola-pola pertukaran jaring-jaring sistem sosial peradaban manusia menciptakan kondisi ketika tertentu yang beroperasi secara independen maka konsensus bersama tidak mungkin lagi dilakukan reproduksi hukum akan jatuh di bawah kekuasaan dalam kehidupan bernegara. Fungsi pembentukan bayang-bayang kekuasaan dualitas ambigu yang undang-undang dipindahkan dari warga negara memisahkan negara dari unit-unit sosial masyara- kat. Pendapat Habermas ini merupakan gugatan

20 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 atas model demokrasi perwakilan yang tidak Menurut Habermas, ruang publik harus menempatkan konstituen dalam proses penempat­ memenuhi dua persyaratan, yaitu bebas dan kritis. an hukum secara menyeluruh. Dalam model ini, Bebas artinya setiap pihak dapat berbicara di konstituen hanya memiliki hak-hak politik untuk mana pun, berkumpul, dan berpartisipasi dalam memilih calon anggota parlemen, lalu setelah itu debat politis. Sementara kritis artinya siap dan selesailah perannya secara konstitusional. Hal ini mampu secara adil dan bertanggung jawab menyebabkan ambiguitas hukum karena negara menyoroti proses pengambilan keputusan yang akan menciptakan sistem sosial yang beroperasi bersifat publik. Hal ini sejalan dengan hakikat tidak berdasarkan pada keinginan masyarakat. demokrasi yang disampaikan oleh James S. Demokrasi deliberatif memberikan sorotan Fishkin. Fishkin (2009, 1–9) menjelaskan bahwa tajam mengenai bagaimana prosedur hukum demokrasi memberikan “suara” kepada masyara- itu dibentuk. Undang-undang, yang diresmikan kat dan memberikan ruang bagi masyarakat untuk dalam demokrasi deliberatif, merupakan suatu menemukan penyelesaian masalahnya. Ini adalah dialog antara mekanisme legislatif dan diskur- hal esensial dalam demokrasi, tetapi terkadang sus-diskursus, baik formal maupun informal, dimaknai secara berbeda dalam penerapannya. dalam dinamika masyarakat sipil. Demokrasi “Suara” dalam demokrasi diartikan sebagai deliberatif memberikan ruang di luar kekuasaan kesempatan bagi setiap warga negara sebagai administratif negara. Ruang itu merupakan individu untuk mengarahkan kebijakan negaranya jaringan-jaringan komunikasi publik dalam ma- sesuai dengan yang diinginkan. syarakat sipil. Terdapat korelasi yang jelas antara Demokrasi, menurut Habermas, harus gagasan demokrasi dan ide demokrasi deliberatif, memiliki­ dimensi deliberatif, yaitu posisi ketika yaitu menempatkan masyarakat pada posisi yang kebijakan publik harus disahkan terlebih dahulu emansipatoris untuk melakukan kegiatan legislasi dalam diskursus publik. Dengan demikian, de- melalui ruang-ruang publik. Ternyata demokrasi mokrasi deliberatif ingin membuka ruang partisi- perwakilan bukanlah bentuk demokrasi yang pasi yang luas bagi warga negara. Partisipasi yang murni, melainkan modifikasi dari bentuk ke- luas ini bertujuan menciptakan hukum yang sah. daulatan rakyat yang paling murni. Pandang­an ini merupakan kritik atas pendapat Terkait dengan pembentukan hukum maka Rousseau (2007), bahwa sumber legitimasi demokrasi sudah seharusnya menciptakan hukum adalah kehendak umum sehingga, bagaimanapun yang partisipatif dan aspiratif. Menurut Philippe prosesnya, jika sebuah produk hukum dinyatakan Nonet dan Philip Selznick dalam Husein (2008, sebagai kehendak umum, berarti produk terse- 31), perkembangan hukum dibagi menjadi tiga, but sudah terlegitimasi. Hal ini ditentang oleh yaitu hukum represif, hukum otonom, dan hukum Habermas (1982), yang mencontohkan bahwa responsif. Hukum represif ialah tipe hukum yang dalam suatu negara, jika undang-undang diang- menjadikan hukum sebagai abdi kekuasaan yang gap sebagai sebuah kehendak umum, tidak bersifat menekan dan merupakan perintah dari peduli apakah dalam pembuatannya melalui cara yang berwenang (pemegang kekuasaan politik) yang partisipatif atau tidak, dan emansipatoris yang memiliki kewenangan sangat leluasa atau tidak, maka undang-undang tersebut dapat tanpa batas. Dengan demikian, hukum dan politik dikatakan terlegitimasi. kekuasaan tidak terpisah. Adapun hukum otonom ialah hukum yang berdiri sendiri di suatu daerah. DEMOKRASI DAN PEMBENTUKAN Hukum ini ada untuk memenuhi kebutuhan HUKUM daerah yang memiliki kecenderungan perbedaan Hukum otonom dipandang sebagai sebuah in- situasi dengan daerah lainnya. Sementara hukum stitusi yang mampu mengendalikan represi dan responsif ialah hukum yang dibentuk untuk melindungi integritas sendiri. Tatanan hukum mengatur publik secara umum. Namun, perbe- berintikan “rule of law”. Penegakan peraturan daannya dengan hukum represif, hukum responsif merupakan upaya utama untuk mengawasi dibentuk atas dasar dialog publik. kekuasaan resmi dan swasta serta terdapatnya

Wimmy Haliim | Demokrasi Deliberatif Indonesia: ... | 21 pengadilan yang bebas dan mandiri. Pengadilan oleh John Locke. Menurut John Locke dalam yang bebas dan mandiri ini dapat mengarahkan Subekti (2008, 249), kekuasaan negara dibagi kondisi sosial yang ambigu. Menurut Habermas, menjadi kekuasaan eksekutif, legislatif, dan kondisi ini merupakan jaring-jaring yang berdiri kekuasaan federatif, yang masing-masing terpisah secara independen sehingga terciptalah dualisme satu sama lain. hukum. Menurut Rahardjo (2010, 46), salah satu Ajaran trias politica kemudian muncul dalam fenomena yang muncul karena hukum otonom buku The Spirit of Laws karangan Montesquieu. adalah fenomena adjudikasi dan advokasi. Kekuasaan harus dibagi menjadi tiga cabang Dalam tipe hukum responsif, hukum kekuasaan, yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan dipandang sebagai fasilitator atau sarana legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Ketiga kekua- menanggapi kebutuhan dan aspirasi sosial. saan tersebut mesti terpisah satu sama lain, baik Hukum dapat mengimplikasikan dua hal, yaitu, fungsi maupun organnya. Pemisahan kekuasaan pertama, hukum harus fungsional pragmatis, dimaksudkan untuk mencegah kekuasaan negara bertujuan, dan rasional. Kedua, hukum berperan berada di satu lembaga saja sehingga tidak me­ sebagai norma kritik untuk mengubah pranata nimbulkan penyalahgunaan kekuasaan. sosial yang tidak sesuai. Dari ketiga tipe hukum Perjalanan demokrasi tidaklah selalu baik. di atas, yang sejalan dengan tujuan demokrasi Proses perkembangan demokrasi di Indonesia deliberatif adalah hukum responsif karena tipe pascareformasi pun masih meninggalkan be- ini merupakan sarana penggali dan pemberdayaan berapa rintangan besar. Maruto dan Anwar (2002, aspirasi masyarakat. 22–44) menjelaskan, terdapat tiga rintangan Reformasi politik menghendaki revitalisasi dalam menjalankan demokrasi di Indonesia. Per- institusi-institusi demokrasi supaya dapat mendo- tama, anarkisme sosial yang merupakan wujud rong tumbuhnya sistem politik yang demokratis. dari ketidakpercayaan masyarakat atas institusi Pasca-amendemen UUD 1945, DPR RI adalah negara. Kedua, resentralisasi dan elitisme dalam lembaga yang menjalankan fungsi legislasi sistem politik. Ketiga, tokoh-tokoh masyarakat (mengusulkan, membahas, dan mengesahkan ber- sipil terjebak dalam perebutan kekuasaan. sama Presiden) yang sesuai dengan konsep trias Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indone- politica yang dikemukakan oleh Montesquieu. sia, sebagai salah satu lembaga, memiliki beban Revitalisasi institusi politik dapat dimulai dengan untuk menciptakan kondisi masyarakat demokra- menciptakan konstitusi yang demokratis dan tis yang mengakomodasi partisipasi masyarakat membagi cabang-cabang kekuasaan negara dalam secara emansipatoris. Joseph Schumpeter dalam kerangka checks and balances, akuntabilitas serta Maruto & Anwar (2002, 32) menyatakan, “De- jaminan atas pengakuan hak-hak asasi manusia. mocracy is not just a system in which elites acquire Cabang-cabang kekuasaan negara dibagi dengan the power to rule through a competitive struggle menggunakan konsep distribution of powers for the peoples vote. It is also a political system agar penyelenggaraan kekuasaan negara tidak in which government must be held accountable dilakukan secara mutlak. to the people, and in which mechanisms must Rousseau (2007, 113) menegaskan bahwa ti- exist for making it responsive to their passions, dak ada yang lebih berbahaya daripada pengaruh preference, and interest.” Jadi, dari kalimat di kepentingan pribadi kepada urusan publik. Oleh atas, dapat dipahami bersama bahwa Demokrasi karena itu, untuk menghindari adanya penye­ bukan hanya mengenai pemilihan pemimpin lewengan dan penyalahgunaan kekuasaan (abuse atau anggota parlemen, melainkan demokrasi of powers), perlu adanya pembatasan kekuasaan merupakan sistem politik yang mengakomodasi ke dalam cabang-cabang kekuasaan yang disebut kebutuhan masyarakat secara responsif. dengan distribution of powers. Distribution of powers dikenal dengan dua bentuk, yaitu separa- LEMBAGA LEGISLATIF DAN DPR RI tion of powers dan division of powers. Konsep Dalam trias politica, cabang-cabang kekuasaan separation of powers pertama kali dikemukakan negara dibagi menjadi tiga, yaitu eksekutif,

22 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 legislatif, dan yudikatif. Secara umum, lembaga Strong adalah sistem pemilihan dengan model legislatif memiliki peran untuk menciptakan konstituensi tidak dapat menjamin bahwa mereka hukum. Legislatif memiliki fungsi controlling, yang duduk di kursi legislatif kompeten dan tidak regulating (legislasi) dan budgeting. Pemisahan korup. Sistem pemilihan cenderung bersifat cabang kekuasaan ini merupakan konsepsi yang pragmatis, yakni keinginan untuk menjabat lebih dapat dikatakan sudah lama diterapkan, tetapi tinggi daripada keinginan untuk melaksanakan berjalannya fungsi cabang-cabang kekuasaan amanat rakyat. ini secara tepat dapat dikatakan baru. Pentingnya Habermas (1982) memandang bahwa manu- fungsi legislatif dalam pemerintahan modern telah sia, dalam keseluruhan tindakannya, berdasarkan meningkat pesat seiring dengan pasang-surutnya dan berorientasi pada dua hal. Pertama, orientasi demokrasi. pada pencapaian konsensus atau tindakan komu- Rahardjo (2010, 41) menerangkan, fungsi nikatif, sedangkan yang kedua adalah tindakan lembaga legislatif dirasa sangat sentral karena hu- yang berorientasi pada tindakan rasional bertu- kum dibuat sebelum fungsi dari lembaga tersebut juan. Tindakan rasional bertujuan ini dibedakan dilaksanakan. Konsepsi inilah yang menempatkan lagi menjadi dua, yaitu tindakan instrumental, lembaga legislatif sebagai unsur sangat penting yakni tindakan yang dilakukan untuk memenuhi yang berada dalam negara modern. Dalam konteks kebutuhan fisik semata, serta tindakan strategis, kedaulatan rakyat, lembaga legislatif dibentuk yang merupakan orientasi tindakan manusia untuk oleh rakyat melalui metode-metode representatif. memengaruhi orang lain agar mencapai tujuan- Metode representatif menggunakan model-model nya, dapat berupa hegemoni ataupun dominasi. konstituensi. Pengaturan konstituensi digunakan Tindakan komunikatif bertujuan mencapai untuk menghasilkan anggota-anggota lembaga kesetujuan atau kesalingpahaman di antara pihak- legislatif. Terdapat tiga model konstituensi, pihak yang berkomunikasi. Dengan demikian, yaitu konstituensi satu anggota (single-member dalam tindakan komunikatif ini, manusia dibawa constituency), konstitusi multi-anggota (multi- untuk menemukan kesetujuan bukan hegemoni member constituency), dan perwakilan propor- untuk memaksakan kehendak. Oleh karena itu, sional (proportional representation). dominasi dan hegemoni merupakan penyimpang­ Model representatif tersebut juga dikritik an dari tindakan komunikatif. Contoh dalam oleh Strong (1966, 303), yang menegaskan proses legislasi di mana hukum dibuat, akan bahwa, dengan model representatif yang ber- terlihat apakah sebuah sistem mengakomodasi dasarkan pada sistem konstituensi, masyarakat adanya tindakan komunikatif ataupun tidak adalah akan bingung untuk menyadari bahwa suara dan dengan menilai paradigma hukum apa yang di- aspirasi mereka dijaring dengan cara yang rumit. gunakan. Secara sederhana kita membandingkan Ia menegaskan, hak pilih secara universal tidak antara paradigma hukum represif dan responsif, bisa diterapkan dalam praktik karena, pada setiap seperti pada Tabel 1. pemilihan dan penghitungan suara, akan banyak Sebelum memulai analisis yuridis dan suara masyarakat yang terbuang. Jika dikaitkan memulai penilaian kualitas peraturan perundang- dengan model yang ada di Indonesia, parliamen- undangan terhadap ketentuan partisipasi dalam tary threshold adalah contohnya. Dalam sistem undang-undang di atas, terlebih dulu dipaparkan tersebut, akan terdapat suara konstituen yang mengenai konsepsi partisipasi masyarakat yang terbuang sia-sia saat mereka mengaspirasikan hak berkembang selama ini. Dalam sistem peme­ pilihnya kepada partai yang tidak dapat meraih rintahan yang demokratis, konsep partisipasi suara minimal 2,5%. Yang kedua, demokrasi rep- masyarakat merupakan salah satu konsep yang resentatif membuka peluang kepada mereka yang penting karena berkaitan langsung dengan berhak atas kekuatan politik sebagaimana mereka hakikat demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berilmu sehingga negara dijalankan bukan yang berfokus pada rakyat sebagai pemegang karena alasan rasional, melainkan karena alasan kedaulatan. Partisipasi masyarakat sangat erat hegemonistik. Masalah lain yang dijelaskan C.F. kaitannya dengan kekuatan atau hak masyarakat,

Wimmy Haliim | Demokrasi Deliberatif Indonesia: ... | 23 Tabel 1. Perbandingan antara Hukum Represif dan Hukum Responsif

Analisis tentang Partisipasi Masyarakat dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 Tolok Ukur Hukum Represif Hukum Responsif Peran serta masyarakat secara Proses pembuatan Didominasi oleh lembaga legislator. luas (partisipatif). Positivistik-Instrumentalistik, member kehendak dan aspirasi umum Isi dan Bentuk justifikasi bagi kehendak pemerintah. (aspiratif). Mengatur hal-hal yang jelas dan Memuat hal-hal pokok dan ambigu sehingga detail sehingga hukum tidak Cakupan isi hukum membuka peluang bagi pemerintah untuk dapat ditafsirkan secara sepihak menafsirkanya secara sepihak. oleh pemerintah (presisi). Sumber: Husein (2008), hlm. 34

terutama dalam pengambilan keputusan pada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tahap mengidentifikasi masalah, mencari peme­ menjadi bahan untuk melaksanakan fungsi DPR.” cahan masalah, sampai melaksanakan berbagai Hal ini sangatlah bias karena tidak mewajibkan kegiatan. anggota Dewan untuk menabulasi aspirasi dan Partisipasi lebih mempromosikan participa- mewajibkan untuk membahasnya. Dengan begitu, tory dibanding dengan representative democracy. tidak pernah ada jaminan bahwa kunjungan kerja Hal ini terjadi karena partisipasi melibatkan yang dibuat memang untuk menjalankan fungsi masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam DPR atau tidak. proses pengambilan keputusan. Sementara dalam Hasil kunjungan kerja sebagai upaya meng- representative democracy, masyarakat hanya himpun aspirasi rakyat hanya dijadikan bahan dijadikan sumber suara untuk dapat menduduki dalam sidang-sidang di DPR. Tidak terdapat kursi parlemen. Sebaiknya para legislator di jaminan bahwa produk yang dihasilkan seperti parlemen menerapkan konsep seperti tampak undang-undang sebagai fungsi representasi dari pada Gambar 1. DPR selaras dengan kehendak para subjek (the DPR hanya mewajibkan kunjungan kerja volonte de tous). Maka, dalam menjalankan dilakukan, tetapi tidak mewajibkan anggota DPR fungsinya, DPR tidak mendapatkan persetujuan untuk menginventarisasi hasil kunjungan kerja dari seluruh subjek, yaitu masyarakat. agar dapat dijadikan dasar dalam pembentukan Bentuk keterlibatan masyarakat yang peraturan perundang-undangan. Seperti kata- dijelaskan dalam UU MD3 berada pada tahapan kata yang terdapat dalam pasal 204: “Aspirasi konsultasi yang berada di tangga keempat. Tahap

Fungsi DPR Pasal 4 DPR Tatib DPR

Kunjungan Kerja Pasal 203 dan 204 Tatib DPR Rumah Aspirasi

Sumber: diolah dari berbagai sumber Gambar 1. Peran DPR dalam Menyaring Aspirasi Masyarakat

24 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 konsultasi dapat dilakukan melalui kunjungan hukum dengan memanfaatkan adaptasi pasif dan kerja, tetapi pada tahapan ini tingkat keberhasi- ketidaktahuan masyarakat (benefit of the doubts). lannya cukup rendah karena tidak ada jaminan bahwa kepedulian dan ide masyarakat akan diperhatikan. Hal tersebut sesuai dengan fungsi UUD 1945 kunjungan kerja menurut Pasal 71 huruf I dan J Pasal 1 UU MD3, yang dijabarkan kembali dalam tatib ayat 2, Kedaulatan DPR pasal 203 ayat (3), bahwa hasil kunjungan Rakyat kerja akan dijadikan bahan dalam perumusan Kedaulatan Rakyat peraturan perundang-undangan. Tidak ada kepas- Dimanifestasikan tian bahwa hasil kunjungan kerja tersebut akan dalam menjadi buah dari fungsi DPR, yaitu legislasi, Pembentukan Undang-undang. anggaran, dan pengawasan. Jika kita memandang pasal-pasal dalam UUD 1945 UUD 1945 sebagai sebuah serangkaian maka Pasal 1 ayat 5, Negara dalam pasal sebelumnya, yaitu Pasal 1 ayat (2) Hukum UUD 1945 tentang kedaulatan rakyat yang dilak- sanakan berdasarkan pada undang-undang serta Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa Sumber: Diolah dari berbagai sumber Indonesia merupakan negara hukum. Oleh karena Gambar 2. Manifestasi Kedaulatan Rakyat berdasar- itu, kedaulatan rakyat didistribusikan secara luas kan pada UUD 1945 bukan hanya kepada lembaga-lembaga negara, melainkan juga segala proses yang terkait dengan Hampir tidak ada partisipasi dan pembuatan lembaga negara tersebut. Dapat ditarik sebuah hukum cenderung bersifat oportunistik untuk kesimpulan bahwa manifestasi kedaulatan rakyat memenuhi kebutuhan negara/penguasa. Hukum di Indonesia dapat berupa pembentukan hukum diidentikkan dengan keinginan negara sesuai yang di dalamnya negara dibagi-bagi cabang dengan karakter raison d’etat dan “perspektif kekuasaannya, dan ditundukkan kepada hukum. resmi”. Sebagaimana pandangan John Austin dalam Husein (2008, 27), bahwa “Law is a law Pembentukan hukum menjadi hal yang because is set by a sovereign political authority.” fundamental di negara Indonesia, terutama pem- Hukum otonom merupakan reaksi ketidak- bentukan konstitusi dan peraturan perundang- puasan atas kekuasaan negara yang berlebihan undangan, karena negara diatur berdasarkan dalam hukum represif sehingga muncul gagasan pada hukum tersebut. Hukum tersebut dibuat untuk mengatur semua urusan negara berdasarkan bersumber pada kedaulatan rakyat. Singkat pada hukum (the rule of law). Namun muncul kata, kedaulatan rakyat dimanifestasikan dalam sebuah permasalahan, yakni perhatian utama pembentukan peraturan perundang-undangan. hukum otonom adalah menjaga integritas institu- Ilustrasi digambarkan pada bagan di bawah ini: sional. Nonet & Selznick (2010, 87) berpendapat, untuk mencapai tujuan tersebut, hukum mengiso- ANALISIS LEMBAGA LEGISLATIF lasi dirinya dari konteks sosial, mempersempit BERDASARKAN PADA PANDANGAN aksesnya, dan menerima formalisme buta untuk HUKUM RESPONSIF mencapai sebuah integritas. Hukum responsif muncul untuk mengatasi Hukum responsif hadir untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam permasalahan jauhnya institusi negara, terutama hukum represif dan hukum otonom. Terutama institusi pembuat hukum dari konteks sosial. permasalahan kedekatan institusi pembuat hukum Menurut Jerome Frank dalam Nonoet dan dengan konteks sosial. Dalam hukum represif, Selznick (2010, 83), tujuan hukum adalah men- pembuatan hukum jauh dari konteks sosial. Hal ciptakan hukum yang lebih responsif terhadap itu terjadi karena terisolasinya institusi pembuat kebutuhan-kebutuhan sosial. Hukum responsif

Wimmy Haliim | Demokrasi Deliberatif Indonesia: ... | 25 Tabel 2. Perbandingan Sistem Hukum Represif, Otonom dan Responsif

Hukum Represif Hukum Otonom Hukum Responsif Tujuan Ketertiban Legitimasi Kompetensi Ekstensif, dibatasi secara Dikontrol oleh batasan-batasan Pencarian positif bagi berbagai Paksaan lemah hukum. alternatif. Moralitas kelembagaan Moralitas komunal, “mo- Moralitas sipil, moralitas “kerja Moralitas (dipenuhi dengan integritas ralitas pembatasan” sama”. proses hukum. Hukum subordinat dengan Hukum “independen” dari Terintegrasinya aspirasi hukum dan Politik kekuasaan. politik. politik. Partisi- Pasif; kritik dilihat sebagai Akses dibatasi oleh prosedur Akses diperbesar melalui integrasi pasi ketidaksetiaan. baku. dan advokasi hukum. Penyimpangan peraturan Pembangkangan dipandang sebagai Ketaatan Tanpa syarat dibenarkan untuk menguji gugatan atas legitimasi. validitas undang-undang. Sumber: Nonet & Selznick (2010, 87)

memberikan kritik terhadap hukum otonom yang ruang bagi partisipasi publik secara luas agar hanya menawarkan bentuk formalism belaka. institusi hukum dapat secara peka mengenali Menurut pandangan hukum, responsif hukum resiprositas (benih-benih kemunculan hukum) seharusnya melepas tabir formalisme hukum yang ada dalam masyarakat sehingga resiprositas otonom yang sempit dan menjadi instrumen- tersebut dapat diakomodasi menjadi hukum yang instrumen yang lebih dinamis bagi penataan absah. sosial dan perubahan sosial. Husein (2008, 34) mengungkapkan bahwa Namun, untuk menciptakan hukum yang hasil yang ingin dituju oleh hukum responsif adalah lebih dekat dengan konteks sosial tidaklah mu- pembuatan hukum yang responsif dapat melibat- dah. Ada risiko-risiko yang dapat terjadi. Dalam kan masyarakat secara luas dalam pembuatannya hukum otonom, institusi hukum menganut prinsip (partisipatif), cerminan produk hukum merupakan “risiko rendah”, yang berarti semakin masyarakat keinginan masyarakat/ kebutuhan-kebutuhan sosial mengkritik hukum merupakan sebuah ancaman (aspiratif), serta bahasa hukum disesuaikan dengan atas gugatan terhadap otoritas yang sudah ter- permasalahan yang akan diselesaikan sehingga legitimasi. Hal ini menyebabkan institusi pembuat tidak memunculkan tafsir yang ambigu terhadap hukum semakin mengisolasi dirinya dari konteks peraturan tersebut (presisif). sosial, dan segala kritik sosial diperbolehkan selama melalui prosedur formal yang rumit untuk MENGGAGAS DEMOKRASI mencegah turunnya integritas institusi tersebut. DELIBERATIF DAN HUKUM Institusi yang ada di dalam hukum responsif RESPONSIF DALAM PEMBENTUKAN menjadikan kritik sosial bukan sebagai ancaman, PERATURAN PERUNDANG- melainkan sebagai sumber pengetahuan dan ke­ UNDANGAN sempatan untuk mengoreksi diri. Namun, risiko­ Untuk menciptakan atmosfer deliberatif dalam nya adalah munculnya pembangkangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, skala tinggi sehingga tindakan represif akan hal yang paling penting adalah mengedepankan muncul kembali selama ketertiban tidak dapat proses pembuatan yang sah. Pembuatan hukum dijaga dan mengembalikan aparat kepada kondisi harus berorientasi pada pencapaian tindakan ultra vires (bertindak melebihi kewenangan). rasional bertujuan. Selain itu, terdapat dua Oleh sebab itu, hukum responsif tidak sekadar sisi dari hukum, yaitu faksiditas hukum dan bertujuan menghapus formalisme belaka. For- validitas hukum. Faksiditas hukum menekankan malitas dalam membentuk undang-undang tetap kepastian hukum menurut rumusan hukum itu dijaga. Namun, formalisme tersebut membuka

26 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 sendiri. Faksiditas hukum menganut pandangan pandangan konstituen tidak ditentukan berdasar- bahwa hukum positif harus ditaati karena dalam kan pada pemilu saja, tetapi juga berkembang hukum itu sendiri terdapat kebenaran dan ke- sesuai dengan kebutuhan konstituen tersebut. absahan hukum. Validitas hukum menekankan Fenomena impersonifikasi dapat dicegah me- bahwa hukum harus dibentuk berdasarkan pada lalui debat publik, yaitu proses diskursus ketika legitimasi secara moral. Menurut paham validitas argumen-argumen dari pihak-pihak yang terlibat hukum, hukum yang absah adalah hukum yang disampaikan berdasarkan pada rasionalitas yang mendapatkan keabsahan secara moral dari segi bebas dan kritis. Debat publik harus dapat di- proses pembuatannya, yaitu berdasarkan pada hadiri oleh seluruh pihak yang berkepentingan kehendak para subjek yang disampaikan dalam dan harus menyampaikan argumen berdasarkan diskursus yang rasional. pada rasionalitas. Debat publik ini akan dijadi- Dalam demokrasi deliberatif, hukum diben- kan dasar dalam penyusunan Program Legislasi tuk melalui ruang diskursus dan konsultatif. Nasional (Prolegnas) sampai proses penyusunan Oleh karena itu, untuk menciptakan peraturan dan pengesahan peraturan perundang-undangan. perundang-undangan yang deliberatif, hal per- Debat publik ini harus terjadi di antara ma- tama yang perlu dilakukan adalah menciptakan syarakat itu sendiri, antara yang mendukung dan ruang diskursus. Ruang diskursus harus menjadi yang menolak. Peserta dari rapat ini harus tidak dua arah, bukan hanya merupakan sosialisasi terbatas. Yang dimaksudkan tidak terbatas adalah yang satu arah. Ruang diskursus satu arah bu- rapat bisa dan boleh dihadiri oleh masyarakat kanlah ruang diskursus sebenarnya karena, dalam dari semua golongan, tentu saja yang memiliki ruang diskursus, terjadi timbal balik argumen konsentrasi terhadap pembentukan hukum re- secara rasional dan emansipatoris. Sosialisasi sponsif. Hal ini mungkin terkesan seperti sistem bukanlah partisipasi. Seperti sudah dijelaskan di demokrasi langsung pada zaman Yunani kuno, awal, yakni sosialisasi merupakan informing yang tetapi debat publik ini memiliki esensi yang merupakan tahapan tokenism (penghargaan). sangat jauh berbeda. Demokrasi langsung (direct Pada Pasal 96 ayat (2) UU 12 Tahun 2011, democracy) ialah pengambilan keputusan yang dijelaskan bahwa sosialisasi merupakan media dilakukan oleh seluruh masyarakat berdasarkan untuk menyampaikan masukan dalam proses pada suara terbanyak. Demokrasi langsung dapat pembentukan peraturan perundang-undangan. diterapkan pada negara polis. Namun, masukan tersebut hanya dijadikan Namun, Habermas, yang merupakan bahan dalam pembentukan peraturan perundang- pencetus ide demokrasi deliberatif, menyatakan undangan. Ruang diskursus haruslah memuat bahwa demokrasi deliberatif bukanlah demokrasi pendapat dari masyarakat, baik yang mendukung langsung karena, dalam demokrasi langsung, rancangan peraturan tersebut maupun yang tidak masyarakat tetap terdominasi oleh jumlah suara mendukungnya. Argumen-argumen rasional terbanyak. Sementara ruang diskursus publik dapat diperoleh dengan membuka debat-debat dalam demokrasi deliberatif harus memenuhi publik mengenai sebuah peraturan. Debat publik dua persyaratan, yaitu bebas dan kritis. Bebas ini harus diselenggarakan untuk dapat menerima berarti setiap pihak dapat berbicara di mana pun, argumen rasional dari masyarakat. Lembaga le­ berkumpul, dan berpartisipasi dalam debat politis. gislatif berada pada posisi yang netral. Perdebatan Sementara kritis artinya siap dan mampu secara yang memihak anggota legislatif harus terjadi di adil untuk mempertanggungjawabkan pendapat- dalam sidang di lembaga legislatif itu sendiri, nya secara rasional. bukan dalam ruang publik. Diskursus dalam debat publik ini ditujukan Hal ini harus dipahami oleh konstituen agar untuk mengarahkan masyarakat ke kondisi ra- proses debat publik tidak dijadikan lahan bagi sional bertujuan, yaitu masyarakat dan para sub- anggota DPR untuk melakukan impersonifikasi, jeknya bergerak berdasarkan pada rasionalitasnya yaitu anggota DPR mengatasnamakan konstituen serta sesuai dengan kebutuhan komunikatif dan menyampaikan kepentingan partainya. Padahal, instrumental manusia, bukan bergerak atas dasar

Wimmy Haliim | Demokrasi Deliberatif Indonesia: ... | 27 Direct Popular Checks

Demokrasi Deliberatif Kurang partisipasi, SKG Konsultasi Partisipasi Partisipasi tanpa arah. SAB Sumber pembentukan Manifestasi kedaulatan hukum rakyat Sarana partisipasi

Kebutuhan masyarakat Masyarakat berhak Direct Popular Checks merupakan sumber hukum mengajukan Undang-undang dan debat publik

Pembentukan peraturan perundang-undangan yang deliberatif dan responsif

Tindakan rasional bertujuan Bebas dan kritis

Sumber: Diolah dari berbagai sumber. Gambar 3. Strategi Menggagas Demokrasi Deliberatif dan Hukum Responsif

dominasi, manipulasi, dan hegemoni. Kedua, Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya tindakan rasional bertujuan mengarahkan ma- splendid isolation dalam penyusunan Prolegnas. syarakat ke kondisi keberpikiran. Artinya, dasar Seharusnya terdapat ketentuan bahwa, dalam pe- kehidupan manusia adalah rasionalitas, ketika nyusunan Prolegnas, badan-badan yang ditunjuk instrumen-instrumen nonrasional tidak berlaku. oleh DPR harus melaksanakan debat publik ihwal Hal ini dapat membebaskan masyarakat dari kebutuhan hukum masyarakat karena kebutuhan manipulasi. hukum masyarakat merupakan dasar penyusunan Pembuatan hukum menurut Habermas Prolegnas. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 18 tidak dapat dilakukan dalam keadaan splendid huruf h UU No. 12 Tahun 2011. Berikut ini bagan isolation—suasana rahasia yang tertutup dari untuk mempermudah pemahaman yang berkaitan tatapan kritis publik. Dalam Pasal 21 ayat (3) dengan menggagas Demokrasi Deliberatif dan dan (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, Hukum Responsif Dalam Pembentukan Peraturan dijelaskan bahwa Prolegnas ditentukan dalam Perundang-undangan. ruang lingkup DPR dan pemerintah. Dalam Sebuah kajian mengenai kekuatan kon- ruang lingkup DPR, dilakukan dengan memper- stituen yang dapat membentuk hukum dapat timbangkan usulan dan pandangan anggota DPR, kita lihat dalam sistem direct popular checks fraksi, komisi, gabungan fraksi, dan masyarakat. atau pemeriksaan langsung oleh masyarakat. Pertimbangan atas usulan masyarakat ini seharus- Direct popular checks juga merupakan bentuk nya dilaksanakan melalui mekanisme tersendiri kesepakatan penulis dengan gagasan demokrasi terlepas dalam pengaturan ruang lingkup DPR. deliberatif Habermas dalam membentuk hukum yang responsif. Artinya, masyarakat ditempatkan

28 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 sebagai sebuah pilar yang dapat mengawasi jalan- Model yang ketiga adalah recall. Recall nya pemerintahan. Pada hakikatnya, sistem ini digunakan oleh masyarakat untuk memanggil merupakan sarana-sarana ultra-demokrasi yang anggota dewan yang sudah tidak lagi memenuhi merupakan perluasan proses legislatif di luar rasa kebutuhan masyarakat atau yang dianggap majelis yang dibentuk oleh masyarakat (Strong, sudah menyimpang dari janji-janji politik yang 1966, 303). Sarana ini dapat digunakan oleh pernah dilontarkan. Contoh recall yang diterap- masyarakat sebagai alat untuk membatasi fungsi kan adalah di Negara Bagian Oregon, Amerika kekuasaan legislatif dan tak jarang membatasi Serikat. Di Oregon, rakyat yang berhasil meng- masa jabatan anggota legislatif. Secara umum, umpulkan suara sebanyak yang dibutuhkan dapat direct popular checks dibagi menjadi tiga model. mengganti anggota dewan yang dianggap tidak Model yang pertama adalah referendum, memenuhi keinginan masyarakat. yakni model jajak pendapat. Dalam model ini, masyarakat memutuskan apakah sebuah PENUTUP permasalahan yang dilempar ke publik ini Model direct popular checks ini dapat menjadi dapat diterapkan atau tidak. Referendum ini rujukan untuk menciptakan era responsif dalam sebenarnya adalah salah satu model demokrasi hukum di Indonesia, terutama mengenai sarana yang paling kuno, yaitu plebicitum (Plebicitum inisiatif yang dapat dilakukan oleh rakyat. Hu- diartikan sebagai undang-undang dalam bahasa kum responsif menghendaki adanya partisipasi Romawi). Dalam hal ini, masyarakat menentukan masyarakat dalam proses pembuatan hukum. apakah sebuah undang-undang atau kebijakan Hukum responsif memandang hukum sebagai dapat diberlakukan atau tidak. Referendum sarana untuk menciptakan hukum yang aspiratif, pernah dilakukan oleh Hitler selama tiga kali. partisipatif, dan presisif (Husein, 2008, 32). Pertama, Hitler mengadakan referendum untuk Dengan kemampuan masyarakat dalam men- mendapatkan persetujuan rakyatnya agar Jerman ciptakan hukum maka selain memberikan pilihan keluar dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB) dan tidak bagi masyarakat, hukum memberi masyarakat mematuhi Disarmament Conference (Perjan- posisi tawar yang kuat di hadapan pemimpin jian Penghapusan Senjata Ofensif). Referendum dan anggota legislatif. Masyarakat, yang saat kedua diadakan pada Agustus 1934 guna meminta ini dipandang sebagai sasaran program politik, persetujuan rakyat untuk menggabungkan jabatan menjadi kelompok kepentingan yang memiliki kanselir dan presiden kepada satu orang yang ia posisi tawar yang kuat (Unger, 2008, 87). sebut sebagai Fuhrer1. Kala itu, Hitler memeroleh dukungan masyarakat sebesar 90%. Terakhir, Hit- Masyarakat telah diberi hak untuk mengusul- ler mengadakan referendum untuk mengokupasi kan hukum, dan hukum yang diusulkan tersebut Austria pada 1938 dan mendapatkan dukungan harus dibahas oleh DPR. Kondisi pluralisme suara sebesar 99%. hukum adalah saat hukum yang berkembang dalam masyarakat memiliki berbagai macam ben- Model yang kedua adalah inisiatif, yang ber- tuk. Sumber-sumber hukum menyebar di dalam tujuan meletakkan kekuasaan langsung di tangan masyarakat, tidak hanya hukum yang diciptakan rakyat untuk menginisiasikan atau mengusulkan oleh negara, tetapi juga hukum yang diciptakan undang-undang yang pelaksanaan selanjutnya oleh masyarakat itu sendiri. Bukti bahwa Indone- dilakukan oleh legislatif. Inisiatif merupakan sia telah memasuki era pluralisme hukum adalah perkembangan dari praktik ultrademokrasi yang saat model negara modern yang menghapuskan agak lebih maju daripada referendum. Sementara lokalisasi-lokalisasi hukum menjadi model yang referendum merupakan gagasan yang berawal tersentralistis, yakni Indonesia tetap mengakui dari pemerintah untuk meminta pendapat rakyat, keberadaan hukum adat. Hukum adat yang diakui beda halnya dengan inisiatif, yang merupakan merupakan bukti integrasi hukum-hukum non- gagasan dari rakyat. Barat yang kontradiktif dengan model negara 1 Fuhrer berarti pemimpin besar Jerman. Hitler mendapat- modern sehingga menciptakan dualisme yang kan gelar tersebut setelah kematian Presiden Jerman Hindenburg. mendalam dalam dinamika hukum nasional. Salah

Wimmy Haliim | Demokrasi Deliberatif Indonesia: ... | 29 satu akibat dari dualisme ini adalah munculnya perubahan ketiga ini, kedaulatan rakyat dimak- advokasi yang merupakan lawan dari adjudikasi. nai secara luas, yaitu didistribusikan kepada Penolakan unsur-unsur masyarakat kepada be- lembaga-lembaga negara lainnya serta segala berapa produk undang-undang salah satunya dise- proses tindakan negara yang diatur berdasarkan babkan oleh perkembangan pluralisme hukum. pada undang-undang. Singkat kata, segala per- Sebut saja Undang-Undang Anti-Pornografi dan angkat pemerintahan yang diatur berdasarkan Pornoaksi. Masyarakat, baik yang mendukung pada undang-undang dan implikasi hukum, baik maupun menolak, berangkat dari sudut pandang terbentuknya undang-undang (law in making hukum yang berbeda. process) maupun (law in action) merupakan Intinya, kedaulatan merupakan kekuasaan implikasi dari kedaulatan rakyat. tertinggi, termutlak, tak tergantung, dan tak terkecuali. Kedaulatan memiliki beberapa variasi PUSTAKA ACUAN seperti kedaulatan Tuhan, penguasa, dan rakyat. Fishkin, J. S. (2009). When the people speak. London: Berdasarkan pada ketentuan di dalam Pasal 1 Oxford University Press. ayat (2) UUD 1945, Indonesia menganut prinsip Habermas, J. (1982). The theory of communicative kedaulatan rakyat yang dijalankan berdasarkan action: Reason and rationalization of society. pada undang-undang. Pertama, hal ini bermakna Boston: Beacon Press. bahwa kekuasaan tertinggi, termutlak, tak tergan- Husein, W. (2008). Hukum, politik, & kepentingan. tung, dan tak terkecuali di Indonesia, berada di Yogyakarta: LaksBang. tangan rakyat. Kelsen, H. (2008). Teori umum tentang hukum dan negara. Bandung: Nusamedia. Kedaulatan rakyat dimanifestasikan melalui Maruto, M. D. & Anwar. (2002). Reformasi politik dan serangkaian tindakan negara yang berdasarkan kekuatan masyarakat: Kendala dan peluang pada undang-undang serta pembentukan peraturan menuju demokrasi. Jakarta: LP3ES. perundang-undangan yang merupakan wujud dari Nonet, P., & Selznick, P. (2010). Hukum responsif. kedaulatan rakyat. Ketentuan pada Pasal 1 ayat Bandung: Nusamedia. (2) UUD 1945 merupakan perluasan makna dari Rahardjo, S. (2010). Sosiologi hukum: Perkembangan kedaulatan rakyat yang dulunya berada di tangan metode dan pilihan masalah. Yogyakarta: MPR menjadi di tangan rakyat. Pertama, MPR GentaPublishing. tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara, Rousseau, J. J. (2007). Du contract social (Edisi dan kedaulatan rakyat tidak hanya dimonopoli Terjemahan). Jakarta: Visimedia. oleh MPR. Kedua, jika sebelum amendemen, Strong, C. F. (1966). The modern political constitu- kedaulatan rakyat diserahkan kepada MPR secara tions. London: The English Book Society and Sidgwick & Jackson Limite. sepenuhnya, berarti kedaulatan rakyat secara Subekti, V. S. (2008). Menyusun konstitusi transisi. sempit dapat diartikan sebatas tugas-tugas MPR, Jakarta: Rajawali Pers. seperti memilih presiden, mengubah UUD, dan Unger, R. M. (2008). Teori hukum kritis. Bandung: menetapkan GBHN saja. Namun, dengan adanya Nusamedia.

30 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 DDC: 321.5 MENYIAPKAN SULTAN PEREMPUAN: LEGITIMASI LANGIT DAN EFEKTIVITAS REZIM SULTAN HAMENGKUBUWONO X1

Bayu Dardias Departemen Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta Email: [email protected]

Diterima: 17-3-2016 Direvisi: 29-3-2016 Disetujui: 4-4-2016

ABSTRACT Sultan Hamengkubuwono (HB) X of Yogyakarta has chosen his eldest daughter as his successor in a traditionally patrilineal Sultanate. This paper discusses the controversy surrounding Sultan HB X’s decision by measuring the impact of his proclamations and orders for the Sultanate’s long-term regime effectiveness. I argue that Sultan HB X’s proclamations and orders based, which were based on mysticism and a sense of divinity, have been ineffectual for maintaining regime effectiveness inside and outside of the Sultanate. Within the Sultanate, the Sultan’s siblings have argued that his decisions contradict the Sultanate’s centuries-long tradition of rules (paugeran). Outside the palace walls, broader society has been divided over Sultan HB X’s choice. One group supports Sultan HB X’s decision, while the other group is determined to hold on firmly to their patriarchal cultural and historical traditions. While Sultan HB X’s proclamations and orders have been ineffectual in maintaining the Sultanate and its influence, his decisions have even brought about an enormous challenge to the survival prospects of the Sultanate itself.

Keywords: political legitimation, regime, Sultan Hamengkubuwono, Yogyakarta Sultanate

ABSTRAK Pada 2015, Sultan Hamengkubuwono (HB) X mengeluarkan empat kali Sabda dan Dawuh Raja yang berkaitan dengan suksesi kepemimpinan di Kasultanan Yogyakarta. Tanpa memiliki putra laki-laki, Sultan HB X menunjuk putri sulungnya sebagai penerus takhta yang menganut patrilineal. Berdasarkan pada teori tentang efektivitas rezim, tulisan ini bertujuan menguji efektivitas rezim aristokrasi Sultan HB X, terutama dilihat dari implikasi politik Sabda Raja dan Dawuh Raja. Penulis berargumen bahwa penggunaan petunjuk langit sebagai basis legitimasi politik tidak cukup efektif menciptakan dukungan politik bagi rezim Sultan HB X. Kondisi ini menjadi ciri melemahnya rezim aristokrasi, tidak hanya di luar lingkungan Kasultanan, tetapi juga ke dalam. Legitimasi mistisisme yang berdasarkan pada petunjuk langit tidak mampu menjadi basis legitimasi di tengah masyarakat yang berubah semakin rasional. Di lingkup internal, Sabda dan Dawuh Sultan HB X menghilangkan kemampuan Kasultanan untuk memilih pemimpin politik masa depan dan bertentangan dengan ketentuan (paugeran) yang selama ini berlangsung. Di luar tembok istana, masyarakat terbelah antara mendukung Sultan dan tantangan budaya, adat, serta sejarah. Di tengah menguatnya posisi politik Kasultanan dalam demokrasi Indonesia, kondisi ini merupakan tantangan terbesar. Kata kunci: legitimasi politik, rezim, Sultan Hamengkubuwono, Kasultanan Yogyakarta

1 Sebagian kecil dari materi ini pernah dipresentasikan bersama John Monfries dalam forum diskusi Indonesian Study Group di Australian National University, Canberra, pada 26 Agustus 2015, dengan judul The Yogyakarta Crisis of 2015.

31 PENDAHULUAN dan memiliki kontrol terhadap tanah yang menjadi sumber daya politik jangka Tulisan ini menjawab pertanyaan bagaimana panjang. Melalui kewenangan istimewa tersebut, efektivitas rezim aristokrasi Sultan Hameng- aristokrasi di Yogyakarta tetap akan kuat secara kubuwono X (HB X) dipengaruhi oleh isu suk- politik walaupun mengalami beberapa pelemahan sesi serta implikasi politik dari Sabda Raja dan di lingkungan internal rezim. Dawuh Raja. Saya berpendapat bahwa, diukur dari efektivitas rezim seperti definisi Munck Beberapa literatur membahas tentang (1996) dan Beetham (1991), rezim Sultan HB X menguatnya aristokrasi dan integrasinya dalam mulai melemah di kalangan internal Kasultanan politik Indonesia pascareformasi sebagai bagian Yogyakarta karena kegagalan menggunakan le- dari menguatnya identitas lokal dan semangat gitimasi mistisisme dalam menentukan penerus komunal serta nostalgia masa lalu (Cribb, 2006; takhta. Indikasi melemahnya kontrol rezim dilihat Dwipayana, 2004; Klinken, 2007). Sentimen dari penolakan terhadap keputusan Sultan HB X tradisionalisme dan sejarah mampu dijadikan memilih putri sulungnya, GKR Pembayun (yang magnet guna menarik dukungan politik untuk selanjutnya berganti nama menjadi GKR Mang- berkompetisi dalam pemilu di tingkat lokal, kubumi—nama Mangkubumi menjadi salah satu misalnya di Bantul (Sulistiyanto, 2009), Gianyar nama untuk menunjuk penerus takhta), sebagai (MacRae & Putra, 2007), Gowa (Buehler & putri mahkota. Rezim aristokrasi HB X juga Tan, 2007) dan Utara (Smith, 2009). semakin tidak efektif karena aturan main yang Keberhasilan integrasi Yogyakarta dalam institusi digunakannya tidak menjadi prinsip bersama demokrasi melalui UUK Yogyakarta diinginkan yang disepakati dan diikuti di lingkup internal oleh daerah lainnya, tetapi sulit disamai. Integrasi kekuasaan. Selain itu, Sultan HB X menciptakan tersebut mengandalkan sejarah dan praktik masa perpecahan eksternal rezim karena basis legiti- lalu sebagai basis legitimasi (Dardias, 2009). masi mistisisme yang digunakan sebagai dasar Oleh karena itu, ketika wacana pemilihan lang- Sabda dan Dawuh tidak mendapatkan tempat sung gubernur dilakukan, masyarakat menolak di kondisi masyarakat yang semakin rasional. karena tidak sesuai dengan tradisi (Harsono, Seluruh analisis tersebut akan dipadukan dengan 2011). Namun, literatur tentang politik aristokrasi kondisi politik yang berubah setelah diundang- masih menyisakan banyak celah, terutama di- kannya Undang-Undang Keistimewaan (UUK) kaitkan dengan perkembangan politik kekinian, Yogyakarta Nomor 13 Tahun 2012. baik perkembangan di lingkup internal kerajaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) mene­ maupun dampaknya terhadap masyarakat. Tulisan mukan momentum politik baru dalam demokrasi ini ingin mengisi gap tersebut. Indonesia setelah diundangkannya UUK. Setelah Kasultanan dan Pakualaman termasuk ke melalui proses panjang sejak reformasi, Daerah dalam empat kerajaan yang merupakan pemekaran Istimewa Yogyakarta memiliki kewenangan dari Mataram Islam selain Kasunanan Surakarta istimewa di tingkat provinsi yang meliputi lima dan Mangkunegaran, yang menggunakan garis pa- bidang: kebudayaan, pertanahan, tata ruang, triarki untuk menentukan pemimpin. Kuatnya kelembagaan, serta posisi gubernur dan wakil simbol patriarki tersebut tecermin, antara lain, dari gubernur yang otomatis dijabat Sultan dan Paku senjata, regalia, serta tata cara adat dan struktur Alam yang bertakhta. Posisi kedua institusi keraton. Dalam tradisi pemerintahan yang selama tradisional di DIY, yaitu Kasultanan Yogyakarta ini berlangsung, perempuan ditempatkan dalam (Kasultanan) dan Kadipaten Pakualaman (Paku­ satu departemen keputren, sementara departemen- alaman), mendapatkan perlakuan khusus dalam departemen lainnya dijabat oleh laki-laki. Dalam sistem politik Indonesia. Pemimpin politik di perjalanan sejarah Mataram, calon raja berikutnya DIY ditentukan bukan oleh pemilu kepala daerah dapat dengan mudah ditentukan karena raja yang seperti terjadi di 33 provinsi lainnya, melainkan bertakhta biasanya memiliki lebih dari satu istri oleh pergantian kepemimpinan tradisional di dengan banyak putra. Jika salah satu istrinya di- dua institusi tersebut. Selain itu, Kasultanan angkat menjadi permaisuri, dialah yang memiliki

32 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 kedudukan lebih utama untuk menurunkan raja EFEKTIVITAS REZIM ARISTOKRASI selanjutnya dibandingkan dari selir, walaupun anak Literatur tentang rezim, menempatkan rezim lelaki selir tersebut merupakan anak tertua raja. tradisional sebagai salah satu tipe rezim yang Tradisi patriarki mendapat tantangan karena bertahan hingga saat ini. Rezim tradisional dua hal: berakhirnya tradisi poligami dan keeng- berpedoman pada dua hal, yaitu garis darah dan ganan raja yang bertakhta untuk menentukan sejarah sebagai basis legitimasi. Studi komparatif permaisuri dari istri-istrinya. Ketika tradisi Kailitz (2013) membagi rezim politik menjadi poligami diputus, raja memiliki kemungkinan tujuh kategori, yaitu liberal, electoral, commu- lebih kecil untuk mendapatkan anak laki-laki nist, one-party, monarchy, military regime, dan karena sumber keturunannya hanya berasal personalist. Salah satu ciri penting dari monarki dari satu rahim. Selain itu, beberapa raja yang adalah justifikasi rezim monarki berpedoman memiliki lebih dari satu istri tidak menentukan kepada “she/he has a God-given, natural or at permaisuri dari istri-istrinya, yang menyebabkan least established historical right to rule because aristokrasi kesulitan menentukan kandidat raja of his or her descent, regardless of the political karena keturunan laki-laki berebut takhta. outcome of his or her rule” (hlm. 48). Dengan Kedua masalah tersebut ada di Kasultanan, demikian, dalam definisi ini, baik-buruknya yang kesulitan memilih penerus Sultan HB X cara memerintah tidak menjadi persoalan serius karena tidak memiliki putra laki-laki—tetapi karena pemimpin berikutnya ditentukan bukan lima orang putri—dan sudah menunjuk permai- oleh kepiawaiannya memimpin, melainkan suri. Sultan HB X menolak berpoligami didasari hubungan darah. oleh pengalaman pribadi memiliki saudara tiri Rezim monarki mengutamakan hubungan (“Blak-blakan dengan”, 2007). Selain itu, Sultan darah dan kesejarahan memerintah. Dalam analisis menobatkan satu-satunya istrinya, Gusti Kanjeng Beetham (2013, xv), tipe rezim tradisional meru- Ratu (GKR) Hemas, menjadi permaisuri (Syamsi, pakan salah satu dari enam rezim lainnya (fascist, 2012). Sebagai solusi, Sultan HB X mengelu- communist, liberal-democratic, theocratic, tech- arkan Sabda dan Dawuh, yang menunjuk GKR nocratic, dan dictatorial), yang dibagi berdasarkan Mangkubumi menjadi calon penerus takhta. pada jenis hukum, sumber otoritas, tujuan peme­ Naskah ini dihasilkan dari penelitian lapang­ rintah, dan model kesepakatan publik. Beetham an di Yogyakarta dan Jakarta selama akhir 2014 (2013) menyebut rezim yang sumber otoritasnya sampai awal 2016 dengan mewawancarai lebih didasarkan pada keturunan (heredity) dan sejarah dari 60 informan, baik di Kasultanan Yogyakarta, (the past) sebagai tipe rezim tradisional. Rezim Kadipaten Pakualaman, kalangan akademisi dan tradisional menggunakan pengalaman masa lalu tokoh masyarakat, serta unsur politik dan peme­ sebagai sumber hukum dan bertujuan memberikan rintah. Diskusi akan diawali dengan pembahasan kesejahteraan dalam batas-batas tradisional. Ke­ tentang rezim aristokrasi, kemudian dilanjutkan sepakatan publik dalam rezim tradisional diperoleh dengan pembahasan tentang sistem Kasultanan dari kesepakatan elite sosial. yang berbasis agraris yang berimplikasi pada Monarki, seperti yang didiskusikan di atas, proses menentukan pemimpin politik, dengan tidak ditemukan dalam konteks Indonesia pascare- melihat keseluruhan kandidat yang dapat men- formasi, terutama karena level institusionalisasi jadi raja. Bagian berikutnya membahas tentang dan level fragmentasi. Level institusionalisasi detail Sabda dan Dawuh yang terkait dengan kerajaan-kerajaan di Indonesia sangat rendah, suksesi, serta membandingkan dan menganali- kecuali Kasultanan Yogyakarta (Kasultanan). sisnya dengan perspektif komparatif. Selanjutnya, Mereka tidak mampu menciptakan institusi yang akan dibahas tentang dampak dari sabda-sabda kompleks dan bekerja efektif seperti layaknya tersebut, terutama berkaitan dengan legitimasi sebuah rezim. Selain itu, mereka terfragmen- politik berbasis mistisisme. Simpulan tulisan ini tasi dan berada maksimum pada level provinsi, akan menakar implikasi praktis dari melemahnya menjadikan kerajaan-kerajaan di Indonesia rezim Sultan HB X. tidak mampu disandingkan dengan monarki di

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 33 Brunei, Thailand, Kamboja, Laos, dan Malaysia. anggotanya. Munck (1996, 6) mendefinisikan Aristokrasi di Indonesia mayoritas berpengaruh efektivitas rezim politik berdasarkan pada di­ secara politik di kabupaten/kota, kecamatan, patuhinya aturan main yang diukur melalui tiga atau bahkan desa seperti di Maluku (Brauchler, hal: jumlah dan jenis aktor politik yang dapat 2011). Gabungan Kasultanan dan Kabupaten menduduki kekuasaan, metode yang digunakan Pakualaman (Pakualaman) adalah satu-satunya untuk mencapai posisi tersebut, serta aturan yang pengecualian yang dampak politiknya berada di mengikat dan ditaati oleh anggota rezim. Dengan level provinsi. Oleh karena itu, kerajaan di Indo- demikian, pemimpin rezim harus mampu me­ nesia lebih tepat didefinisikan sebagai aristokrasi ngontrol dan memastikan seleksi dalam anggota yang memiliki prinsip yang sama dengan monarki rezimnya. Seleksi aktor politik ini dikendalikan dalam konteks yang lebih kecil. Lieven (1994) oleh mekanisme yang berlangsung di dalam mendeskripsikan aristokrasi sebagai “a historical, rezim. Senada dengan Munck, Beetham (1991, hereditary ruling class,” sehingga definisi rezim 16) melihat bahwa kekuasaan dapat dikatakan seperti dalam monarki dapat dipinjam untuk legitimate (sah) apabila memenuhi tiga hal: “it menjelaskan aristokrasi di Indonesia. conforms of established rules, the rules can be Lemahnya daya institusionalisasi dan ter- justified by reference to beliefs shared by both fragmentasinya aristokrasi di Indonesia dapat dominant and subordinate, and there is evident dijelaskan melalui geografis dan sejarah, terutama of consent by the subordinate to the particular terkait dengan perlakuan pemerintahan kolonial. power relation.” Jadi, kekuasaan yang legitimate Kershaw (2001a), misalnya, dalam studinya mensyaratkan adanya aturan main. Aturan main tentang monarki di Asia Tenggara, menempatkan menjadi kepercayaan bersama yang ditaati dan Indonesia sebagai sebuah pengecualian. Secara adanya tindakan yang mendukung aturan main geografis, lima negara di Asia Tenggara yang tersebut. Sebaliknya, Beetham (1991) juga menganut monarki terdiri atas struktur geo- menandai kekuasaan yang tidak legitimate grafis daratan yang mampu digunakan sebagai ditandai dengan tidak disepakatinya aturan basis konsolidasi ekonomi agraris. Salah satu main, adanya gap antara aturan main sebagai aristokrasi perairan Kasultanan Sulu di Selatan kepercayaan­ bersama dan adanya delegitimasi. Filipina gagal mempertahankan diri pada abad ke-20. Kedua, pemerintah Belanda memperlaku- SISTEM POLITIK DALAM kan hubungan dan kontrak politik yang berbeda ARISTOKRASI AGRARIS pada tiap-tiap kerajaan dalam konteks “indirect Tipologi aristokrasi di Indonesia, mengikuti rule” yang membuatnya tidak hanya gagal karakter di Asia Tenggara, bisa dikerucutkan terintegrasi, tetapi justru terpecah dan saling menjadi dua tipe utama, yakni agraris dan bermusuhan di antara mereka sendiri. Setelah perairan. Tipologi yang pada awalnya didasar- Perang Diponegoro pada 1830, terutama di Jawa, kan pada basis ekonomi ini mengejawantah Belanda mengubah sistem koloni menjadi “most menjadi sistem sosial, politik, dan budaya yang direct”, yang menjadikan aristokrasi paling tidak berbeda satu sama lain sehingga menciptakan efektif memerintah dibandingkan monarki di Asia karakter-karakter yang khas (Bastin & Benda, Tenggara lainnya (Kershaw, 2001b, 4). Dari 282 1968; Legge, 1980; Wolters, 1999). Tipe agraris wilayah yang dapat mengelola daerahnya sendiri mengandalkan, terutama, tanah, sementara per- secara terbatas, diberlakukan kontrak panjang airan mengandalkan pelayaran dan perdagangan. untuk 14 kerajaan melalui staatblaad pada Penduduk kerajaan agraris relatif lebih homogen 1939–1941 dan 268 sisanya dengan kontrak dibandingkan perairan. pendek melalui staatblaad 1919/822 (Cribb & Air dan dibangunnya sistem pengairan men- Brown, 1995; Kasepuhan Cirebon, 2014). jadi sumber kekuatan penting bagi stabilitas politik Daya tahan dan kemampuan rezim untuk dan sosial di kerajaan agraris. Wittfogel (1967), bertahan dari gelombang politik ditentukan misalnya, membagi masyarakat agraris di Asia oleh seberapa efektif rezim mampu mengontrol menjadi dua berdasarkan pada kemampuannya

34 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 menciptakan sistem irigasi yang berguna untuk pedalaman. Kasunanan Surakarta, misalnya, me- stabilitas pangan dan akhirnya berimplikasi pada manfaatkan aliran Sungai Bengawan Solo untuk sistem politik yang digunakan. Wittfogel mem- keperluan pertanian. Di Yogyakarta, pemilihan baginya menjadi hydraulic society dan hydraulic kerajaan di alas Beringan, yang terletak di geger civilization. Pada hydraulic society, masyarakat bulus (punggung kura-kura), mempertimbangkan secara mandiri dalam skala kecil membuat organi­ Sungai Progo di barat dan Sungai Opak di timur sasi untuk menata sumber air bagi pertanian. Pada yang penting untuk pertanian sekaligus aman dari masyarakat hydraulic civilization, penataan air ti- ancaman banjir. dak lagi hanya digunakan sebatas untuk pertanian, Tenaga kerja menjadi penyatu tanah dan air tetapi dikembangkan dalam skala yang lebih luas karena, tanpa tenaga kerja, kedua faktor produksi dan mampu digunakan untuk mencegah bencana tersebut tidak berguna. Pentingnya tenaga kerja seperti banjir. Wittfogel juga menggarisbawahi dalam membangun kerajaan ditunjukkan dalam bahwa despotisme penguasa di Asia ditentukan Perjanjian Giyanti, yakni ketika VOC tidak oleh seberapa efektif kontrol kerajaan terhadap hanya memberi Pangeran Mangkubumi tanah, sistem pengairan. Semakin menuju civilization, yang kemudian menjadi Yogyakarta, tetapi juga peluang untuk menjadi despot semakin besar cacah (jiwa yang dihitung per keluarga) sebagai karena memiliki kontrol terhadap sumber daya penggarap. Dalam setiap pemekaran Mataram ekonomi paling penting, yaitu air. selanjutnya, tenaga kerja selalu menjadi perhi- Pada aristokrasi yang berkarakter agraris, tungan penting dalam perjanjian. Pada saat Raf- sumber ekonomi, sosial, dan politik didasarkan less memberikan hadiah tanah kepada Pangeran pada penyatuan tiga unsur, yaitu tanah, air, dan Notokusumo (Paku Alam I), jumlah keluarga tenaga kerja. Tanah menjadi sumber ekonomi menjadi salah satu poin penting. penting bagi kerajaan agraris yang berhubungan Sebagai cara untuk memperluas tanah, erat dengan konstelasi politik. Proses perpecah­ memperbaiki sistem pengairan, dan sekaligus an di Mataram, misalnya, terjadi salah satunya menjamin tenaga kerja, penguasa kerajaan agraris karena wilayah Pakubuwono II di pesisir Utara dihadapkan pada upaya untuk menjamin legiti- menyusut akibat perjanjian Ponorogo lantaran masi. Masyarakat agraris sangat menggantungkan gagal menghentikan pemberontakan China. Se- diri pada alam, cuaca, dan musim sehingga bagai bentuk protes atas hilangnya tanah sebagai cenderung religius. Walaupun sudah mencatat sumber ekonomi di wilayah pesisir, Raden Mas perubahan cuaca yang dapat mempengaruhi Said melakukan pemberontakan. Pakubuwono hasil panen mereka, seperti ditunjukkan dalam II akhirnya membuat sayembara untuk meng- sistem panata mangsa (kalender masa tanam hentikan pemberontakan dengan janji hadiah dalam hitungan kalender Jawa (Ricklefs, 1999), kekuasaan di daerah Sukowati, yang selanjutnya mereka dihadapkan pada kondisi tidak pasti memicu pemberontakan Pangeran Mangkubumi menghadapi perubahan cuaca dan hama tanaman. karena Pakubuwono II ingkar janji setelah Keterbatasan menjelaskan fenomena alam dan Pangeran Mangkubumi berhasil menekan RM ketidakpastian hasil panen membuat para petani Said. VOC mengakhiri konflik di Jawa dengan menggantungkan diri pada sesuatu yang irasional, membagi Mataram menjadi tiga kerajaan melalui dan hal ini dimanfaatkan oleh penguasa politik perjanjian-perjanjian (Ricklefs, 1981; Selosoe­ sebagai basis legitimasi dengan menciptakan mardjan, 1962; Woodward, 1989). mitos dan mistis. Keseluruhan bangunan mitos- Di sejarah Mataram, air selalu menjadi mistis tersebut berpusat pada figur penguasa yang perhatian penting dan letak posisi kerajaan selalu dianggap sebagai penghubung dua alam, nyata mempertimbangkan sungai. Kerajaan di Jawa se- dan gaib, meniru konsep dewa-raja dalam Hindu. lalu mengandalkan aristokrasi yang berbasis pada Legitimasi penguasa Mataram, misalnya, agraris (Legge, 1980). Ketika Malaka dikuasai dibangun dari mitos yang berasal dari petani Portugis pada awal abad ke-16, praktis kerajaan di Ki Ageng Giring, yang secara tidak sengaja Jawa hanya mengandalkan sumber ekonomi dari meminum air kelapa milik Ki Ageng Pemanahan

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 35 (Soemanto, 2003). Maka keturunan peminum air karena ketiadaan putra laki-laki. Yurisprudensi ini kelapa tersebut akan menjadi raja-raja Mataram. digunakan oleh saudara laki-laki Sultan HB IX Selain itu, diciptakan pula mitos tentang pe­ bahwa merekalah yang lebih berhak meneruskan nguasa laut selatan, Ratu Kidul yang membantu takhta Kasultanan. raja pertama Mataram, Panembahan Senopati, Sistem patriarkal ini erat kaitannya dengan membangun kerajaan baru di Pleret, Yogyakarta. sistem irigasi dan penggarapan tanah. Raja Senopati diceritakan menghabiskan tiga hari tiga menerima upeti dan sumber ekonomi dari tanah malam di kerajaan Ratu Kidul di dalam lautan. yang pengurusannya diserahkan kepada para Sejak saat itu, seluruh empat penerus Kerajaan pangeran dan bupati sebagai penguasa wilayah. Mataram adalah suami Ratu Kidul dan dipercaya Para pangeran dan bupati mengandalkan para memiliki kontak langsung dengannya (Selosoe­ bekel sebagai perantara dengan tenaga kerja mardjan, 1962, 18). Seluruh legitimasi yang sekaligus mengandalkan mereka untuk meng- didasari oleh mitos ini dipakai sebagai upaya organisasi petani. Peran bekel ini sangat krusial untuk membangun legitimasi politik dalam kon- sebagai perantara antara pemilik dan penggarap teks masyarakat tradisional-irasional. yang digaji dengan sistem bagi hasil. Para bekel Di Kasultanan Yogyakarta, legitimasi ira- kemudian bertransformasi menjadi kepala desa. sional didasarkan pada keberadaan Ratu Kidul Seluruh sistem apanage di atas menggunakan dan Kiai Sapu Jagad di Gunung Merapi. Kesatuan basis patriarki, yaitu penggantian raja, pangeran, selatan-utara ini membentuk garis lurus geografis bupati, hingga bekel dijabat secara turun-temurun imajiner Yogyakarta, yang terdiri atas Parangku- mengikuti garis laki-laki (Suhartono, 1991). sumo, yang dipercaya sebagai tempat pertemuan Sebagai basis legitimasi paling penting untuk Ratu Kidul dan Panembahan Senopati; Panggung sistem politik dan ekonomi, seluruh silsilah ketu- Krapak; Siti Hinggil; Tugu; serta Gunung Merapi. runan mulai Sultan Hamengkubuwono I dicatat Ketika Sultan Yogyakarta berdiri di Siti Hinggil dengan rapi di dalam sebuah divisi di Kasultanan menghadap ke utara, dia akan melihat Tugu dan yang disebut Darah Dalem. Penerus saat ini di- Gunung Merapi dalam satu arah pandangan. perebutkan antara putra Sultan HB IX dan putri Ketaatan sekaligus ketakutan terhadap mitos ini Sultan HB X. Menurut KRT Mandoyokusumo dapat dilihat dari tidak dimanfaatkannya potensi (1980), Sultan Hamengkubuwono IX memiliki laut selatan Yogyakarta dari sisi ekonomi. Sam- 15 putra dan tujuh putri dari keempat istrinya, pai sekarang, Yogyakarta menjadi satu-satunya dan tidak ada satu pun dari kelima istrinya yang provinsi di Indonesia yang memiliki garis pantai diangkat menjadi permaisuri. Penentuan Sultan 113.000 km, tetapi tidak memiliki pelabuhan yang HB X ditentukan melalui rapat keluarga yang dapat dilayari kapal berukuran sedang dan besar dilakukan setelah Sultan HB IX mangkat dan (Bappeda DIY, 2014). Selama berabad-abad, dilihat dari penanda pemberian nama KGPH tidak ada nelayan di pesisir selatan Yogyakarta. Mangkubumi kepada Herjuno Darpito, yang saat Kultur perairan dimulai pada 1983 setelah ada ini menjadi Sultan HB X (Roem, Lubis, Mochtar, beberapa nelayan dari Cilacap yang memperke- & Maimoen, 2011; “Robohnya Kami”, nalkan kultur laut dan mengubah petani menjadi 1985). Setelah mendapat nama Mangkubumi, nelayan (“Wamin, Mbahnya”, 2009). sesaat sebelum dinobatkan sebagai sultan, KGPH Dalam tradisi aristokrasi agraris di Mataram, Mangkubumi dilantik terlebih dahulu menjadi pemimpin politik ditentukan oleh kontestasi putra mahkota selama lima menit dengan gelar internal di antara anggota keluarga inti kerajaan, Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Hamengku yang dalam sejarah selalu dipegang oleh laki-laki. Negoro Sudibyo Raja Putra Nalendra Mataram. Pada beberapa kasus, penerus takhta berlanjut Tiga orang putra HB IX sudah meninggal, yaitu bukan ke anak lelaki, melainkan menyamping GBPH Hadikusumo, GBPH Joyokusumo, dan ke saudara lelaki raja (anak lelaki raja sebel- BRM Kuslardiyanto, sehingga saat ini Sultan umnya). Harjono (2012) mencatat, pada 1855, HB X memiliki 11 adik laki-laki. Berikut ini Sultan HB VI diangkat dari adik Sultan HB V ke-11 adik Sultan HB X berdasarkan usia dan kepangkatan mereka di dalam internal keraton.

36 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Tabel 1. Adik Laki-laki Sultan Hamengkubuwono X Berdasarkan Garis Ibu Ibu Windyaningrum Ibu Pintokopurnomo Ibu Hastungkoro Ibu Ciptomurti KGPH Hadiwinoto (1) GBPH Hadisuryo (2) GBPH Prabukusumo (3) GBPH Pakuningrat (4) GBPH Yudhaningrat (5) GBPH Cakraningrat GBPH Chandraningrat GBPH Suryodiningrat GBPH Suryometaram GBPH Hadinegoro GBPH Suryonegoro * KGPH: Kanjeng Gusti Pangeran Haryo, gelar dua tingkat di bawah Sultan dan Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) sebagai Putra Mahkota. ** GBPH: Gusti Bendara Pangeran Haryo, satu tingkat di bawah KGPH. *** Angka (1) sampai (5) menunjukkan urutan berdasarkan pada usia walaupun urutan kelahiran tidak selalu dijadikan prinsip utama penerus takhta. Sumber: Hasil wawancara penulis dengan kerabat dan abdi dalem Kasultanan Yogyakarta (Kurniadi, 2015b).

Dalam sistem patriarkal yang berlangsung Sultan Iskandar Muda, dua sultan sebelum selama ini, sekaligus mengikuti yurisprudensi Tajul Alam. Keempat sultanah tersebut tidak yang terjadi semasa pergantian pemimpin dari memiliki hubungan darah dan dipilih bergantung Sultan HB V ke VI, salah satu dari adiknyalah pada kontestasi politik di seputar singgasana yang berhak menjadi Sultan HB XI. Lebih lanjut, sekaligus mengakhiri model pemilihan sultan dari 11 adik lelaki tersebut, KGPH Hadiwinoto berdasarkan pada hubungan darah. Kondisi tanpa memiliki kesempatan lebih besar karena berapa hubungan darah ini diteruskan pada masa sultan hal: pertama, dia merupakan satu-satunya adik laki-laki hingga Kasultanan dibubarkan kandung Sultan HB X; kedua, memiliki derajat Belanda pada awal abad ke-20. Lebih lanjut, kepangkatan tertinggi; serta ketiga, dalam struk- Reid & Ito (1985) mencatat, munculnya sultanah tur keraton, dirinya merupakan pemimpin (lurah) memberikan alternatif bagi pemimpin despotik dari semua pangeran. Namun, prosesi kepangkat­ untuk Kasultanan yang berbasis pada perairan an sering kali tidak menjadi acuan yang mutlak. dan perdagangan. Pendapat lain dikemukakan Sultan HB IX, sebelum menjadi sultan, memiliki Onghokham (2002, 75). Menurut Onghokham, pangkat yang lebih rendah daripada kakaknya, karakter negara maritim tidak menempatkan tetapi oleh Sultan HB VIII diberi keris Joko sultan dalam posisi berkuasa penuh. Dalam kasus Piturun, yang merupakan keris putra mahkota. Aceh, para orang kaya (para saudagar) berkuasa Namun, Sultan HB X tidak memilih dari 11 adik- di seputar singgasana dan memilih raja seorang adiknya, tetapi memilih calon sultanah. perempuan karena alasan lebih mudah dipenga- Walaupun tidak dikenal dalam tradisi Mata- ruhi dibandingkan laki-laki. Sultan tidak pernah ram Islam yang agraris, Sultan perempuan pernah memiliki otoritas penuh terhadap orang kaya di memerintah di Aceh Dar al-Salam selama 55 ta- Aceh karena sumber ekonomi mereka bersifat hun. Dalam studi doktornya, Khan (2009) meng­ bergerak (seperti emas dan perak), berbeda de­ analisis empat raja perempuan yang disebutnya ngan sumber ekonomi agraris yang berupa tanah. sebagai sultanah, yaitu Tajul Alam Safiatuddin Sementara untuk aristokrasi Islam yang berbasis Syah, Nur Alam Naqiatuddin Syah, Inayat Za- agraris, tidak pernah muncul sultanah, kecuali kiatuddin Syah, dan Kamalat Zaniatuddin Syah. pada periode Hindu-Buddha di Jawa. Dengan Keempat sultanah tersebut mewarisi masa sulit demikian, dalam konteks kerajaan Islam agraris, ketika perusahaan Eropa, VOC, ataupun East In- yang memiliki sumber ekonomi tidak bergerak dia Company secara bertahap memperkuat posisi berupa tanah dan kekuasaan raja bersifat mutlak, mereka di Sumatera. Akhirnya, keempat sultanah model sultanah sulit diterapkan dan tidak pernah tersebut gagal mempertahankan dominasi Aceh terjadi sebelumnya. yang mencapai puncak kejayaannya pada masa

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 37 MAKNA SIMBOLIS DAN POLITIS dikeluarkan pada saat tidak ada perubahan SABDA DAN DAWUH sosial di luar domain tradisional, tetapi muncul Sultan HB X memperkenalkan tradisi baru berupa dinamika di dalam internal Kasultanan. Berikut Sabda dan Dawuh, yaitu pengumuman formal ini perbandingan lima Sabda dan Dawuh yang di dalam Keraton Kasultanan. Sebelumnya, dikeluarkan Sultan HB X sampai 2015. setelah proklamasi kemerdekaan, hanya dikenal Dari lima Sabda dan Dawuh di atas, bahasa maklumat, yang dilakukan dua kali, yaitu pada 5 simbolik yang ingin disampaikan Sultan HB X September 1945, secara bersamaan tetapi terpisah adalah sebagai berikut: Pertama, pengumuman oleh Sultan HB IX dan Paku Alam VIII. Sultan yang sifatnya terbuka dilakukan di Bangsal HB X dan Paku Alam VIII menegaskan diri Kencono di dalam kompleks Keraton, sedangkan sebagai bagian dari Republik Indonesia yang yang bersifat tertutup dilaksanakan di Bangsal baru diproklamasikan dengan proviso tetap me­ Manguntur Tangkil di kompleks Siti Hinggil. Siti ngontrol dan memimpin wilayah tradisionalnya Hinggil merupakan tempat untuk penobatan raja sebagai bagian istimewa dari Republik Indonesia dan tata cara adat penting lainnya di Keraton. (Kementerian Penerangan, 1957, 36). Maklumat Keraton Yogyakarta merupakan kompleks yang kedua dikeluarkan sehari sebelum Soeharto jatuh luas, terdiri atas beberapa bagian yang merupakan pada 20 Mei 1998 secara bersamaan dan bersama- kumpulan bangunan dan gedung. Kompleks Siti sama antara Sultan HB X dan Paku Alam VIII Hinggil berada di sebelah utara, sedangkan Bang- di Alun-alun Utara Yogyakarta. Kedua tokoh sal Kencono terletak di tengah kompleks Keraton tradisional dan politik itu mendukung gerakan (Robson & Robson-McKillop, 2003). Saat ini, reformasi yang dipelopori mahasiswa. kompleks Siti Hinggil dikelola oleh Tepas (kan- Maklumat pertama mampu menegaskan tor) Keprajuritan, sedangkan kompleks Keraton eksistensi Kasultanan dan Pakualaman dalam dikelola oleh Tepas Pariwisata. republik. Kedua kerajaan tersebut bergabung Kedua, dua Sabdatama ditujukan untuk untuk menjadi daerah istimewa. Sebaliknya, merespons proses pembentukan UUK dan Perda kedua pecahan Mataram di Solo tidak mampu Istimewa tentang Tata Cara Pengisian Jabatan dengan bijak mengantisipasi perubahan politik, Gubernur dan Wakil Gubernur. Pada Sabdatama kehilangan daerah istimewa dan tanahnya, serta 2012, Sultan HB X menegaskan sikap politiknya menjadi pemain politik yang tidak diperhitungkan terhadap lambatnya proses pembahasan Rancang­ dan semakin kehilangan pengaruh. Ihwal kepi- an UUK karena beberapa isu strategis, sedangkan awaian Sultan HB IX dalam mempertahankan perpanjangan masa jabatannya sebagai Gubernur wilayah tradisionalnya tersebut, Monfries (2015, DIY, yang sudah diperpanjang sejak 2008, segera 123) menulis: berakhir (Dardias 2009, 2015d). Pada Sabdatama 2015, Sultan HB X merespons proses penyusunan “Hamengkubuwono was a politically astute, non-ideological pragmatist who cleverly used perdais dan menghendaki dihapuskannya kata his ascribed status as Sultan not only to support “istri” dalam persyaratan riwayat hidup calon the Republican cause during the Revolution, but Gubernur dan Wakil Gubernur DIY pada saat also to ensure his own political survival and, audiensi DPRD DIY di Keraton Kasultanan ultimately, to preserve his principality.” (“Polemik daftar rakyat”, 2015; Dardias, 2015e). Berkebalikan dengan dua maklumat, yakni Kata “istri” dipersepsikan bahwa seluruh raja pemimpin tradisional merespons perubahan yang Kasultanan dan Pakualaman adalah laki-laki, terjadi di luar domain mereka, Sabda dan Dawuh sedangkan Sultan HB X tidak memiliki putra justru merupakan pesan keluar yang berkaitan dan merupakan hambatan bagi keinginannya dengan perubahan yang terjadi di lingkup internal untuk menempatkan putri sulungnya menjadi Kasultanan. Pada kedua maklumat, Indonesia raja dan selanjutnya menjadi gubernur. Perbedaan dihadapkan pada perubahan sosial dramatis, yaitu paling mendasar dari Sabdatama 2012 dan 2015 proklamasi kemerdekaan dan gerakan reformasi. terletak pada tingkat keberhasilan dan dampak Sementara sebagian besar Sabda dan Dawuh kohesivitas internal dan eksternal. Sabdatama

38 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Tabel 2. Dawuh dan Sabda Sultan Hamengkubuwono X Dawuh Sabdatama I Sabdatama II Sabda Raja Dawuh Raja Jejering Raja Diumumkan Kamis, 10 Jumat, 6 Maret Kamis, 30 April Selasa, 5 Mei 2015 Kamis, 31 De- Mei 2012 2015 2015 sember 2015 Selisih Waktu - 1.030 hari 55 hari 5 hari 240 hari Sifat Terbuka Terbuka Tertutup Tertutup Tertutup Tempat Bangsal Ken- Bangsal Ken- Bangsal Manguntur Bangsal Manguntur Bangsal cono cono Tangkil (Siti Hing- Tangkil (Siti Hing- Ma­nguntur gil) gil) Tangkil (Siti Hinggil) Pakaian Per- Batik Per- Kebesaran+ Kebesaran+ Batik Per- Sultan anakan+ anakan + Kuluk Wakidan Kuluk Wakidan Biru anakan+ Blangkon Blangkon Biru Blangkon Isi Pokok Menegaskan Penerus tahta Mengganti gelar Gelar Gusti Kanjeng Keturunan Kasultanan bisa lelaki atau Sultan yaitu Buwo- Ratu Pembayun Sultan harus sebagai ne­ perempuan dan no menjadi Bawono menjadi Gusti Kan- tunduk kepada gara merdeka sudah digaris- dan Khalifatullah jeng Ratu Mang- perintah Sul- dan sudah kan Perjanjian Ki Ageng kubumi Hamemayu tan. selayaknya Dasar perubah- Giring dan Pemana- Hayuning Bawono Tidak tun- mendapatkan an UUK adalah han sudah berakhir. Langgeng in Mata- duk kepada keistimewaan Sabdatama ini. Mengistirahatkan ram. perintah Sultan politik keris untuk Sultan GKR Mangkubumi akan diusir dari (Kiai Kopek) dan duduk di Watu Gi- Mataram. keris Putra Mahkota lang untuk penerus (Kiai Joko Piturun) takhta. Kehadiran GKR Hemas GKR Hemas GKR Hemas, Putri GKR Hemas GKR Hemas Putri Dalem Putri Dalem Dalem Putri Dalem Putri Dalem Adik Dalem Adik Dalem KGPH Hadiwinoto GBPH Chandraning­ GBPH Chan- PA IX PA IX GBPH Chandra­ rat draningrat ningrat Latar Be- Penyusunan Penyusunan Suksesi Suksesi Suksesi lakang RUUK Perdais dan Suksesi Target Eksternal Internal dan Internal Keraton Internal Keraton Internal Kera- Keraton Eksternal ton Keraton Dampak United Divided Divided Divided Divided Internal Dampak United Divided Divided Divided Divided Eksternal Keberhasilan Berhasil Gagal (Perdais Contested Contested Contested (UUK disah- tidak mengha- kan) pus kata “istri”) *Tidak ada perbedaan signifikan tentang arti Sabda proclamation( ) dan Dawuh (order) yang berarti perintah. Sumber: kompilasi dari observasi penulis dan liputan media.

2012 berhasil mempercepat proses penyusunan sultanan dalam kaitan dengan pentingnya UUK, RUUK yang akhirnya disahkan setahun berikut- sementara Sabdatama 2015 menciptakan segre- nya, sementara Sabdatama 2015 gagal memenuhi gasi internal dan eksternal yang akan dibahas di keinginan Sultan HB X untuk menghapus kata bagian selanjutnya. “istri”. Sabdatama 2012 berhasil mempersatukan Ketiga, dari sisi busana, Sultan HB X elemen di bagian internal dengan eksternal Ka- menggunakan “pakaian biasa”, berupa batik

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 39 peranakan dan tutup kepala model blangkon laki-laki, karena semua nabi dalam Islam adalah untuk merespons isu eksternal, tetapi justru laki-laki, memberi peluang GKR Mangkubumi menggunakan pakaian kebesaran Sultan HB X untuk menjadi sultanah. Selain itu, dalam tradisi untuk merespons isu internal. Menariknya, tutup Mataram, keris hanya digunakan untuk laki-laki, kepala/kuluk yang digunakan oleh Sultan HB X sedangkan perempuan menggunakan semacam berwarna biru biasa dipakai adik-adik Sultan, keris kecil yang disebut cundrik (Harsrinuksmo, dan tidak menggunakan kuluk warna hitam yang 2004). Berbeda dengan kerajaan Barat, yang biasa digunakan raja seperti foto resmi Sultan simbolisasi rajanya dilakukan dengan pemberian HB X (Kraton Yogyakarta, 2002). Jika dipadukan mahkota, dalam kerajaan Jawa dilakukan dengan dengan tempat dilangsungkannya acara, pakaian cara mengganti keris dengan Keris Kiai Kopek kebesaran Sultan dua kali digunakan di Siti yang khusus digunakan oleh sultan. Maka, setelah Hinggil dan tidak pernah digunakan di Bangsal hambatan kultural paling penting disingkirkan, Kencono. Pada Dawuh Jejering Raja yang Sultan HB X baru mengumumkan putri mahkota terakhir, Sultan HB X melakukan pengecualian pada 5 Mei 2015. Dilihat dari rentetan peristiwa dengan tetap memilih tempat di Siti Hinggil, tersebut, tampak bahwa langkah-langkah tersebut tetapi menggunakan pakaian batik peranakan merupakan langkah sistematis dan terukur pertama dengan blangkon. Dengan demikian, bisa ditarik kali dengan mengubah tradisi suksesi, dilanjutkan kesimpulan bahwa secara simbolik, penggunaan dengan pengumuman penerus perempuan, walau- pakaian kebesaran Sultan untuk merespons isu pun pengistirahatan keris bertentangan dengan internal dan batik peranakan untuk isu eksternal tradisi suksesi yang selama ini berlangsung. menunjukkan isu internal terkait dengan suksesi Keenam, tidak ada perhitungan pasti ihwal lebih penting dibandingkan isu eksternal. hari dan selisih Sabda dan Dawuh. Pemberitahuan Keempat, tingkat kehadiran adik-adik Sultan tentang Sabda dan Dawuh dilakukan beberapa HB X menurun dalam tiga pengumuman terakhir. jam sebelum diumumkan sekitar pukul 10.00 Pada dua sabda yang terakhir, para adik Sultan sehingga semua yang hadir dalam Sabda dan menolak hadir karena yang mengundang adalah Dawuh baru mempersiapkan diri pagi harinya. Sultan Hamengkubawono—bukan Hamengkubu- Hal ini menciptakan kesibukan karena baju yang wono sebagaimana diumumkan dalam Sabda 30 digunakan keluarga kerajaan harus mengikuti April. Selain itu, PA IX tidak hadir saat Sabda 30 pakaian yang dikenakan raja. Hal ini juga yang April dan Dawuh 5 Mei lantaran sedang dirawat menjadi alasan beberapa adik Sultan yang berada di rumah sakit. Adapun putra mahkota Paku di Jakarta tidak hadir dalam acara tersebut (“GKR Alam, Kanjeng Bendara Pangeran Harya (KBPH) pembayun jadi”, 2015). Suryodilogo, hadir dalam Sabda dan Dawuh Langkah-langkah sistematis Sultan HB X selain Dawuh Jejering Raja pada 31 Desember. mempersiapkan GKR Mangkubumi menjadi sul- Beliau tidak hadir pada 31 Desember karena tanah mendapat tantangan keras dan menciptakan sedang mempersiapkan diri menjadi penguasa dua kubu yang berkonflik. Kubu pertama, yang Pakualaman dalam Jumenengan Pakualaman 7 terdiri atas Sultan, permaisuri, putri, dan menan- Januari 2016 (Dardias, 2016). tunya, berseberangan dengan adik-adik Sultan Kelima, Sabda dan Dawuh merupakan yang akan dianalisis dalam bagian berikutnya. langkah Sultan HB X yang secara sistematis dan terstruktur mempersiapkan GKR Pembayun/ GKR Mangkubumi menjadi raja. Pada Sabda 6 GAGALNYA LEGITIMASI LANGIT Maret, Sultan HB X menegaskan bahwa perintah YANG MENYEBABKAN KONFLIK utama berasal dari raja dan penerus kerajaan bisa INTERNAL laki-laki dan perempuan. Dua bulan setelahnya, Konflik internal menjadi masalah paling serius beliau mengganti nama dan mengistirahatkan dalam aristokrasi modern. Ancaman dari luar, dua simbol lelaki sebagai raja, yaitu Keris Kiai seperti perang sebagaimana terjadi pada masa Kopek dan Keris Kiai Joko Piturun. Berubahnya lalu, sulit ditemukan saat ini ketika aristokrasi gelar “khalifatullah” yang diidentikkan dengan menjadi bagian dari sistem politik negara.

40 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Konflik internal ini menjadi persoalan di banyak Sultan HB X menganggap bahwa beliau aristokrasi yang masih bertahan di Indonesia. menjalankan perintah dari Tuhan dan leluhur se- Pada Kasultanan yang menjadi bagian dari sistem bagai basis legitimasi mistisisme. Beliau merasa politik Indonesia melalui UUK, konflik internal memperoleh pesan dari leluhur untuk meng- tidak menjadi bagian yang diatur negara. Pada ganti gelar Sultan dan memilih putri sulungnya saat bersamaan, tidak ada institusi lain yang menjadi penerus. Sabda Raja 30 April 2015 tiga mampu menjadi penengah jika konflik ini terjadi. kali mengulang bahwa perubahan gelar Sultan Aristokrasi di Indonesia dihadapkan merupakan petunjuk dari Allah (lihat Tabel 3). pada persoalan konflik internal yang pelik. Menurut Sultan HB X, aturan tertinggi dalam Di Kasunanan Solo, saudara tua Kasultanan, kerajaan adalah titah/perintah raja. Itulah aturan konflik internal terjadi setelah wafatnya Sunan main/paugeran tertinggi yang harus diikuti oleh Pakubuwono XII. Setelah penobatan Sunan seluruh komponen Kasultanan, termasuk warga Pakubuwono XIII Hangabehi, yang merupakan Yogyakarta. Inilah rule, sebagaimana didefinisi- anak tertua dari 35 anak Sunan Pakubuwono kan oleh Munck (1996) dan Beetham (1991), XII, Kanjeng Gusti Pangeran Harya Panemba- yang harus diikuti dan dipatuhi. Kasultanan han Agung (KGPHPA) Tejowulan, yang merasa harus merespons zaman yang berubah, dan salah dirinya lebih cakap dibandingkan kakaknya, satu bentuk respons tersebut adalah memberikan menobatkan diri. Walaupun kedua sunan sudah kekuasaan kepada perempuan. Siapa pun raja bersepakat untuk bersatu dan Tejowulan menjadi berikutnya bergantung pada raja yang bertakhta Mahapatih, konflik tidak berhenti karena adik (Dardias, 2015d). Penggunaan basis mistisisme Hangabehi, GKR Murtiyah Wandansari (Gusti tampak jelas dalam bunyi Sabda Raja 30 April Moeng), menggagalkan pelantikan Tejowulan dan Dawuh Raja 5 Mei pada Tabel 3. dan menguasai Keraton Surakarta sampai saat Sementara itu, adik-adik Sultan HB X ini (Alim, 2013; Ismaniyah, 2013). Di Kasultanan mempu­nyai pendapat yang berseberangan Ternate, istri keempat mendiang Sultan Mudaf- dengan kakak tertua mereka, berbasis pada far Syah, Boki Nita Budhi Susanti, menjadi akar argumentasi historis, adat, dan budaya. Sultan masalah suksesi karena mengaku memperoleh adalah pelaksana dari paugeran (aturan main) dua anak kembar lelaki dari suaminya. Saat ini yang telah dibuat oleh leluhur mereka dan sudah dirinya ditetapkan menjadi tersangka pemalsuan bertahan sejak 1755. Artinya, siapa pun sultan identitas bayi kembar di tengah suksesi Kasul- yang bertakhta harus mengikuti prinsip patriarkal tanan Ternate (“Bobato Siapkan Pemilihan”, yang menjadi fondasi utama kerajaan dalam 2016). Di Kerajaan Gowa, Selatan, dua menentukan pemimpin. Ketiadaan putra bukan kakak-adik Andi Maddusila Andi Idjo dan Andi halangan dalam sistem patriarkal karena pernah Kumala Idjo berebut takhta Gowa, salah satunya terjadi sebelumnya, takhta menurun ke adik laki- bertujuan memenangi pilkada Gowa (Baharud- laki jika sultan tidak memiliki putra. (Dardias, din, 2014). Andi Maddusila gagal menjadi bupati 2014, 2015b, 2015c). untuk ketiga kalinya dalam pilkada 2015. Selain pertimbangan dominasi laki-laki, Konflik internal di Kasultanan diakibatkan historis, dan budaya, konflik di Kasultanan lebih oleh Sabda dan Dawuh Sultan HB X karena disebabkan oleh hilangnya sistem untuk memilih memilih putri sulungnya menjadi sultanah. Kri- pemimpin tanpa adanya sistem lain yang dita- sis mencari penerus Sultan HB X diselesaikan warkan Sultan HB X. Kasultanan, sebagaimana bukan dengan memilih salah satu dari 11 adik aristokrasi lainnya, menggunakan hubungan da- laki-lakinya, melainkan meneruskan kursi raja rah sebagai sistem politik mereka. Jauh-dekatnya ke anak perempuannya. Perbedaan pendapat hubungan dengan sultan sebagai pusat kekuasaan tajam terjadi di antara keturunan Sultan HB IX, ditentukan oleh jarak hubungan darah dengan dan sumber serta pendiriannya dapat dijelaskan sultan. Penerus dalam aristokrasi dapat diketahui sebagai berikut. ketika mereka dilahirkan. Sebagai perbandingan dalam politik modern, pemilu digunakan untuk memilih presiden. Sabda dan Dawuh Sultan HB

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 41 Tabel 3. Penggunaan Legitimasi Langit dalam Sabda Raja dan Dawuh Raja

Sabda Raja 30 April 2015 Dawuh Raja 5 Mei 2015 Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto. Siro abdi ingsun, seksenono Kawuningono siro kabeh Ingsun; Abdiningsun, putri dalem, sederek dalem, sentono dalem lan abdi dalem Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri nompo weninge dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Sultan Hamengkubawono Ingkang Jumeneng Kas- Kuoso Cipto lan romoningsun, epuluh, Suryaning Mataram, Senopati ing Ngalogo eyang-eyang ingsun poro leluhur Mataram. Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Wiwit waktu iki, ingsun nompo dawuh kanugrahan, Panotogomo dawuh Gusti Allah, Gusti Agung, Kuoso Cipto Kadawuhan netepake putriningsun asmo kelenggahan ingsun, Gusti Kanjeng Ratu Pembayun Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri katetepake Sultan Hamengkubawono Ingkang Jumeneng Kasepu- luh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayun- Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto ing Bawono Langgeng ing Mataram. Panotogomo. Sabdo Rojo iki perlu dimangerteni, diugemi lan ditin- Mangertenono yo mengkono dawuh ingsun. dakake yo mengkono sabdoningsun.

Gusti Allah, Gusti Agung, Kuasa Cipta Kalian abdi saya, saksikan Untuk kalian ketahui semua Saya: Abdi saya, putri Sultan, Saudara Sultan, Kerabat Sul- tan dan Abdi Dalem Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Menerima perintah Gusti Allah, Gusti Agung, Kuasa Sultan Hamengkubawono Ingkang Jumeneng Kas- Cipta dan ayah saya, kakek-kakek saya para leluhur epuluh, Suryaning Mataram, Senopati ing Ngalogo Mataram. Langgenging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Mulai saat ini, saya menerima perintah kehormatan, Panotogomo Perintah Gusti Allah, Gusti Agung, Kuasa Cipta Nama kedudukan saya, Diminta untuk menetapkan putri saya, Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuhun Sri Sultan Hamengkubawono Ingkang Jumeneng Kasepu- Gusti Kanjeng Ratu Pembayun luh Suryaning Mataram Senopati ing Ngalogo Langengging Bawono Langgeng, Langgenging Toto Ditetapkan Panotogomo. Sabda Raja ini perlu dipahami, dipegang teguh, dan Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu Hayun- dilaksanakan. ing Bawono Langgeng ing Mataram. Begitulah Sabda saya. Pahamilah, ya begitulah perintah saya.

Sumber: Penjelasan Sabda Raja dan Dawuh Raja oleh Sultan HB X di Ndalem Wironegaran pada 8 Mei 2016 (Hamengkubuwono X, 2015b). Translasi oleh penulis.

X dapat diibaratkan sebagai upaya untuk meng- dari nasab Sultan HB X dan leluhur Mataram hapus pemilu dalam politik modern. Masalahnya, sejak Sultan Hamengkubuwono I/Pangeran Dawuh Sultan HB X selama lima menit berusaha Mangkubumi. Sebelum menjadi suami GKR menghapus fondasi selama 250 tahun tanpa mem- Mangkubumi, KPH Wironegoro tidak memiliki berikan alternatif sistem lainnya untuk memilih darah bangsawan Jawa. pemimpin. Pertanyaan sederhana sebagai kon- Penjelasan pada 8 Mei 2015, tiga hari setelah sekuensi perubahan sistem ini adalah hilangnya Dawuh Raja, Sultan HB X hanya memberikan kemampuan Kasultanan memilih pemimpin alasan bagi munculnya Sabda dan Dawuh meng- karena hilangnya garis laki-laki. Keturunan GKR gunakan pendekatan mistis tanpa menjelaskan Mangkubumi dalam tradisi patriarkal adalah anak konsekuensi logis dari pilihan politik tersebut. dari suaminya, KPH Wironegoro, bukan berasal Publik mempertanyakan siapa yang akan

42 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 menjadi Sultan HB XII pengganti GKR Mang- eksternal. Secara internal, adik-adik Sultan HB kubumi apabila akhirnya dapat menjadi sultanah? X menentang Sabda dan Dawuh Raja, sedangkan Bagaimana dengan konsekuensi Sultan menjadi secara eksternal, penolakan dilakukan oleh komu- Gubernur DIY ketika tekanan politik Sultan gagal nitas Islam modernis ataupun Islam tradisional menghapus kata “istri” dalam perdais? Padahal yang menunjukkan melemahnya rezim politik Sultan yang bertakhta secara otomatis akan Sultan HB X. menjadi Gubernur DIY sesuai dengan amanat Adik-adik Sultan yang menentang Sabda dan UUK. Penjelasan logis mengenai Sabda dan Dawuh dipelopori oleh tiga orang, yaitu GPBH Dawuh sulit didapatkan karena basis legitimasi Prabukusumo, serta adik kandungnya, GBPH yang paling mungkin didapatkan adalah dengan Yudhaningrat; dan adik kandung Sultan HB X, basis legitimasi langit, menyitir saran dari leluhur KGPH Hadiwinoto. Penolakan dari ketiga adik melalui proses gaib sebagaimana dibahas di ini penting karena ketiganya merupakan pejabat bagian berikut ini. pokok dari struktur institusi birokrasi Kasultanan (Hamengkubuwono X, 1999). Kasultanan Yogya- LEGITIMASI LANGIT DAN karta terdiri atas 21 kantor serta biro operasional MELEMAHNYA REZIM dan fungsional yang dikoordinasikan oleh empat Kasultanan Yogyakarta selalu menggunakan “kementerian koordinator”. Tiga dari empat basis legitimasi langit/gaib untuk menciptakan kementerian koordinator tersebut dipimpin oleh legitimasi politik sebagaimana dilihat dalam tiga adik Sultan HB X, yaitu KGPH Hadiwinoto Sabda Raja. Sultan HB X juga menegaskan bahwa (Kawedanan Hageng Punakawan Parasraya dirinya hanya sekadar menjalankan perintah­ Gusti Budaya) yang mengurusi tanah, transportasi, Allah melalui para leluhur. Legitimasi langit ini keamanan, dan perbekalan; GBPH Yudhanin- digunakan untuk menciptakan dukungan­ politik grat (Kawedanan Hageng Punakawan Parwo sekaligus dengan ancaman siapa saja yang tidak Budaya), yang mengurusi keagamaan, makam, melaksanakan perintah “mesti lebur digulung dan kesenian; serta GBPH Prabukusumo (Kawe- jagad” (akan hancur digulung semesta) (Dardias, danan Hageng Punakawan Nitya Budaya), yang 2015d). Sultan HB X juga ingin memberikan mengurusi perlengkapan upacara museum dan kesan bahwa perintah langit tersebut mendadak pariwisata. Selain itu, KGPH Hadiwinoto meru- serta harus segera diumumkan dan dilaksanakan pakan pemimpin (pengageng) di Kawedanan sehingga pengumuman ihwal Sabda dan Dawuh Hageng Punakawan Panitikismo, yang mengu- baru dilakukan beberapa jam sebelumnya. Ketika rusi pertanahan; dan GBPH Yudhaningrat meru- dalam dialog muncul pertanyaan apakah akan ada pakan Manggala Yudha atau Panglima Perang Sabda atau Dawuh lagi, Sultan HB X menjawab, Kasultanan Yogyakarta. Melalui pesan singkat “Tanya Gusti Allah yang Mahakuasa, jangan yang ditujukan ke publik, GBPH Prabukusumo tanya saya, saya hanya nglaksanaake Dawuh menulis: (menjalankan perintah Tuhan) kok. Tinggal kamu “MASYARAKAT KEDAH GUMREGAH!!! Ayo percaya tidak, hanya itu saja, itu urusan kamu Bareng Bareng Pada Njejegake Jejege Paugeran, bukan urusan saya” (Dardias, 2015d). Dudu Njejegake Jejege Kekarepan. Bakal Kena Bebendu Seko Gusti ALLAH Swt. Uga Saka Para Mistisisme yang dipraktekkan di Kasul- Leluhur Dalem. Titenana. Becik Ketitik Ala Keta- tanan Yogyakarta serta menjadi bagian dari ra!!! Ngerso Dalem Kudu Nyuwun Pangapuro legitimasi Sabda dan Dawuh sebagaimana Dumateng Gusti ALLAH Swt., Mergo Ora Gelem dibahas oleh (Mulder, 2005; 1998; Woodward, Ngagem Khalifatullah Sarta Assalamualaikum 1989) mendapatkan tempat dalam masyarakat Ing Kraton. Uga Nyuwun Pangapuro Dumateng tradisional yang cenderung irasional tetapi Umat Islam Sarta Masyarakat. Ora Usah Nyuwun Pangapuro Karo Rayi-Rayi Dalem. Kabeh Wis kesulitan mencari pendukung dalam masyarakat Ngapuroni. Kudu Neng Paugeran Ndalem rasional. Maka, pemilihan GKR Mangkubumi Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat. Rayi Rayi tidak mendapatkan sambutan di masyarakat, Dalem Masrahke Dumateng Warga Masyarakat tetapi miskin legitimasi, baik internal maupun Ing Ngayogyokarto Hadiningrat Arep Diapakke.

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 43 Sumangga Warga Ingkang Duweni Ati, Pikiran disesuaikan dengan paugeran Keraton. Ketiga, Sarta Niat Ingkang Luhur. Warga Sing Ndukung Sultan yang bertakhta saat ini adalah Sri Sultan Tumindak Ala Ben Kena Lan Ngrasake Ulah Hamengkubuwono X sehingga sabda selain Karmane Dewe. (“Gusti Prabu Minta”, 2015) menggunakan nama tersebut tidak memiliki (MASYARAKAT HARUS BERGERAK!!! Ayo legitimasi. Surat Terbuka ini ditandatangani bersama-sama menegakkan tegaknya Paugeran, oleh putra-putri tertua dari masing-masing ibu bukan menegakkan tegaknya kemauan. Akan kena (Murdokusumo, Hadiwinoto, Prabukusumo, & hukuman dari Gusti ALLAH Swt. juga dari para Pakuningrat, 2015). lelulur (para raja sebelumnya). Perhatikanlah. Yang baik akan ditandai, yang buruk akan Penolakan dari adik-adik Sultan HB X ini terlihat!!! Ngarso Dalem (Sultan HB X) harus menjadi bukti melemahnya rezim Sultan HB X minta maaf kepada ALLAH Swt., karena tidak secara internal. Mengutip Munck (1996) dan mau menggunakan Khalifatullah dan Assalamua- Beetham (1991) sebagaimana dibahas di awal laikum di Kraton. Juga minta maaf kepada umat tulisan, Sultan HB X tidak mampu menentukan Islam dan masyarakat. Tidak perlu minta maaf ke- pada adik-adik Sultan. Semua (adik-adik Sultan) aktor politik yang menduduki jabatan sebagai sudah memaafkan. Harus kembali ke Paugeran putri mahkota, dan aturan main yang diterapkan- Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Adik-adik nya tidak diikuti anggota rezim. Metode Sabda Sultan menyerahkan kepada warga masyarakat dan Dawuh yang digunakan untuk melegitimasi di Ngayogyakarta Hadiningrat akan diapakan. tindakan politisnya mendapatkan tantangan ang- Silakan warga yang masih memiliki hati, pikiran gota inti rezim, dalam hal ini adik-adik kandung serta niat yang luhur. Warga yang mendukung perbuatan tercela akan terkena dan merasakan dan tirinya. Pemimpin rezim gagal mengontrol balasan karmanya sendiri). dan memastikan pilihan politiknya menjadi aturan main yang disepakati anggota inti rezim Penolakan terhadap Sabda dan Dawuh aristokrasi sehingga yang terjadi adalah delegiti- Raja dilakukan oleh adik-adik Sultan walaupun masi Sultan HB X. mereka masing-masing memiliki pendirian poli- tik berbeda yang didasari oleh garis ibu. Pada Selain itu, melemahnya daya kontrol rezim 10 Mei 2015, adik-adik Sultan HB X dari ibu terlihat dari tidak adanya sanksi bagi anggota inti Ciptomurti, yang berdomisili di Jakarta, membuat rezim yang menolak aturan main. Sampai saat press release menolak Sabda dan Dawuh Raja ini, ketiga adik Sultan HB X masih menduduki dengan tidak mengakui Sultan Hamengkubawono posisi yang sama di birokrasi internal Kasultanan dibandingkan sebelum mereka menolak Sabda dan Putri Mahkota (Pakuningrat, 2015). Garis ibu dan Dawuh. Merekalah yang memegang peranan Hastungkara (ibu Prabukusumo dan Yudhanin- penting terkait dengan sumber ekonomi Keraton grat) tidak mengeluarkan surat pernyataan serupa (yang antara lain didapatkan dari ekstraksi tanah lantaran salah satu adik lelaki mereka, GBPH dan pariwisata), sumber budaya Keraton, serta Chandraningrat, terlihat mendukung Sultan HB angkatan bersenjata. Seluruh urat nadi pemerin- X karena selalu hadir dalam setiap Sabda dan tahan Kasultanan secara praktis tetap dijalankan Dawuh. Sementara garis ibu Windyaningrum dan oleh para penentang rezim. Satu-satunya “menteri Pintokopurnomo tidak mengeluarkan surat karena koordinator” yang berada di bawah kontrol hanya menyisakan masing-masing satu laki-laki, Sultan adalah Kawedanan Hageng Punakawan KGPH Hadiwinoto dan GBPH Hadisuryo. Panitrapura, yang membawahkan administrasi Respons berbeda dilakukan oleh keturunan dan keuangan Kasultanan yang dijabat oleh putri Sultan HB IX pada Sabda 31 Desember 2015. kedua Sultan, GKR Condrokirono. Mereka bersatu menolak Sabda dan Dawuh Melemahnya rezim Sultan HB X juga dilihat yang dikeluarkan sepanjang 2015. Pada Surat dari penentang di eksternal Kasultanan. Para Terbuka 12 Januari 2016, putra-putri Sultan HB penentang Sabda dan Dawuh menguat seiring IX mengeluarkan tiga sikap: pertama, Sultan dihilangkannya kata “khalifatullah” dalam gelar bukan pemilik keraton, melainkan sebagai Sultan. Gelar lengkap sebelumnya, yaitu “Ngarsa pemimpin adat sehingga harus menyesuaikan Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun dengan paugeran Keraton. Kedua, suksesi harus Kanjeng Sultan Hamengkubuwono Senopati ing

44 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama sebagai Kerajaan Mataram Islam.” Tentang raja Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping Sedasa perempuan, Heni menolak, “Kami tak setuju (raja ing Ngayogyakarta Hadiningrat”, berubah men- perempuan), bukan bicara soal kesetaraan, namun jadi “Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang pakem adatnya” (Wicaksono, 2015). Sinuhun Sri Sultan Hamengkubawono Ingkang Penolakan juga dilakukan oleh elemen Jumeneng Kasepuluh Suryaning Mataram masyarakat yang menjadi pendukung Sultan HB Senopati ing Ngalogo Langengging Bawono X pada saat pembahasan RUUK. Elemen-elemen Langgeng, Langgenging Toto Panotogomo” masyarakat ini memiliki peran signifikan dalam (Hamengkubuwono X, 2015b). Kondisi yang mi- menuntut penetapan Sultan sebagai Gubernur, rip dapat dipersamakan dengan Pangeran Charles terutama terkait dengan aksi-aksi politis di Yog- di Inggris, yang meningkatkan tensi politik ketika yakarta. Ketua Paguyuban Dukuh Gunungkidul pada 2002 dia mengatakan jika diangkat sebagai Janaloka, Sutiyono, mengatakan, “Tak hanya Raja akan menjadi Defender of Faiths daripada masyarakat kota, di desa pun alasan itu tetap Defender of the Faith, yang hanya merujuk ke tak bisa diterima.” Pendapat serupa diutarakan satu agama, Nasrani (Abell & Stevenson, 2011). Mohammad Zuhud, Koordinator Paguyuban Salah satu penentang eksternal paling kuat Seksi Pengamanan Keraton (Paksi Katon), yang dari Sabda dan Dawuh Sultan HB X adalah berpendapat bahwa alasan wahyu sebagai kemun- komunitas Islam di Kauman Yogyakarta yang culan Sabda Raja adalah omong kosong (Zakaria, berada di halaman depan Kasultanan. Kauman 2015). Sementara Sukiman, Ketua Paguyuban adalah komunitas yang menopang sisi keislaman Dukuh DIY Semar Sembogo, mengatakan, “Ya Kasultanan dan menjadi penjaga Masjid Gedhe kalau namanya, Sayidin Panatagama itu namanya Kasultanan. KH , misalnya, adalah imam, selama berkaitan dengan ‘din’, yaitu tokoh Kauman abdi dalem Kasultanan yang dibia­ agama (Islam), imam itu kan kakung (laki-laki)” yai untuk belajar agama dan berhaji ke Mekah (Siswoyo & Waskita, 2015). sebelum mendirikan , organi­ Penolakan eksternal ini menjadi tanda sasi Islam terbesar kedua. Dalam selebarannya, melemahnya rezim karena keputusan pemimpin Amali (2015) menganggap Sabda dan Dawuh rezim tidak menjadi shared beliefs yang disepakati­ bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Gerakan- dan diikuti dengan aksi. Legitimasi langit yang nya menuntut dikembalikannya paugeran yang digunakan sebagai basis politik pembenaran selama ini dianut Kasultanan. Sabda dan Dawuh gagal diikuti sebagai aturan Penolak lainnya berasal dari Islam tradisional main yang disepakati anggota luar rezim yang yang bergabung dalam dua organisasi Islam terbe- semakin rasional. Ditambah dengan gagalnya sar, Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. keinginan Sultan HB X untuk menghapus kata NU wilayah Yogyakarta khawatir Sultan dibisiki “istri” sebagai persyaratan riwayat hidup calon setan sehingga menolak Sabda Raja. Dalam kon- gubernur, rezim aristokrasi Sultan HB X tidak ferensi persnya, Jadul Maula, Wakil NU DIY, mendapatkan legitimasi politik. mengatakan, “Klaim itu dikhawatirkan bersifat Perlawanan terhadap dominasi mistis- distortif, mengandung ilusi syaithoniyah, dan sarat religius yang dilakukan Sultan HB X oleh ma- kepentingan pribadi” (JPPN, 2015). Sama dengan syarakat tradisional-irasional dilakukan dengan komponen di Kauman, NU ulama berpandangan menggunakan pertanda alam dan bencana. Bagi bahwa klaim Sultan HB X, yang menyebutkan masyarakat tradisional-irasional, peristiwa alam penggantian nama dan penunjukan putri mahkota sebagai perintah dari Gusti Allah, menyesatkan (yang sebenarnya normal terjadi) dipersepsikan dan menyimpang dari akidah Islam. Sementara sebagai penolakan atau persetujuan alam terha- Ketua Muhammadiyah Kota Yogyakarta, Heni dap apa yang terjadi di lingkungan Kasultanan. Astriyanto, tidak setuju dengan perubahan gelar Tumbangnya pohon dan retaknya makam yang Sultan. Dia mengatakan, “Penghapusan gelar akan digunakan Sultan HB X dimaknai sebagai pemimpin agama itu praktis mengubah pakem pertanda bahwa Sabda dan Dawuh, yang dilaku- Keraton Yogya yang selama ini beridentitas kannya tidak mendapatkan legitimasi langit. Pada

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 45 3 Februari 2016, Pohon Preh (Ficus ribes Reinw), Penolakan terhadap aturan main Sultan HB X yang berusia ratusan tahun setinggi lebih dari 10 tidak hanya dilakukan secara sembunyi-sembunyi meter, tumbang di halaman Bangsal Praciman- tetapi melalui penolakan terbuka yang menunjuk- toro. Walaupun sangat sering terjadi pohon-pohon kan delegitimasi tengah terjadi. tua tumbang di tengah musim hujan yang disertai Melemahnya rezim aristokrasi Sultan HB angin, masyarakat menganggap ada pertanda X disebabkan oleh gagalnya legitimasi langit alam yang disampaikan melalui pohon tumbang sebagai basis legitimasi politik. Dari sisi internal, tersebut (“pohon keramat keraton”, 2016). Tiga legitimasi langit tidak mampu melawan tradisi minggu setelahnya, dinding di kompleks pemaka- dan adat sistem pemilihan Sultan yang sudah ber- man raja Mataram di Imogiri Bantul retak. Di langsung selama dua ratus tahun lebih. Dari sisi kompleks ini, rencananya akan dimakamkan eksternal, penolakan terhadap legitimasi langit Sultan HB X. Beberapa minggu sebelumnya, yang berbasis pada mistisisme tidak menemu- bagian di sekitar kompleks mengalami perbaikan kan tempat di tengah masyarakat yang semakin dan diguyur hujan terus-menerus (“Lokasi calon rasional dan ajaran agama Islam. makan”, 2016). Bagi kalangan rasional, kedua peristiwa tersebut tidak memiliki makna terha- Implikasi praktis melemahnya rezim politik dap Sabda dan Dawuh. Namun, bagi kalangan Sultan HB X adalah masa depan integrasi Ka- tradisional-irasional, kedua peristiwa tersebut sultanan dan Pakualaman dalam struktur politik digunakan untuk mempertanyakan kebijakan modern. UUK mengasumsikan persoalan menge- Sultan HB X. Penggunaan kata “pohon keramat” nai suksesi merupakan bagian internal Kasultanan dan pertanyaan “pertanda apa?” dalam judul di dan Pakulaman, dan dalam hal ini pemerintah media Kedaulatan Rakyat menunjukkan bukti pusat tidak memiliki kewenangan melakukan upaya penulis berita berusaha menghubungkan intervensi. Apabila Sultan berhalangan, posisi gu- kedua peristiwa tersebut dengan konstelasi in- bernur dipegang oleh Paku Alam yang bertakhta ternal Kasultanan sesuai dengan selera sebagian yang dapat menduduki jabatan gubernur tanpa besar pembacanya. batas waktu definitif. Namun, walaupun terdapat pelemahan rezim PENUTUP Sultan HB X, terutama dari sisi internal, Kasul- Kekuatan rezim aristokrasi Sultan Hamengkubu- tanan secara institusional dan aristokrasi secara wono X, dilihat dari implikasi dan respons terhadap umum tetap memiliki pengaruh yang sangat Sabda dan Dawuh Raja yang dikeluarkan selama kuat secara politik di Yogyakarta. Hal ini terjadi 2015, mengalami pelemahan. Seleksi pemimpin karena Kasultanan tetap mengontrol basis-basis politik dalam rezim aristokrasi yang tersusun ekonomi aristokrasi berupa tanah yang menjadi atas sistem politik piramida menempatkan Sultan kewenangan istimewa bagi DIY sebagaimana sebagai pemimpin tertinggi rezim, tidak berhasil yang diatur dalam UUK. Basis ekonomi mate- memperkuat rezim, tetapi justru melemahkannya. rial berupa tanah tetap dikontrol oleh Kasultanan Dalam rezim aristokrasi yang efektif, hegemonik, sebagai bagian dari aristokrasi agraris sehingga dan kuat, keputusan pemimpin rezim menjadi delegitimasi yang terjadi terhadap pribadi Sultan aturan main yang disepakati bersama oleh HB X tidak secara otomatis menjadikan legiti- anggota rezim dan ditunjukkan dengan aksi masi terhadap Kasultanan menurun. dukungan yang nyata. Pemimpin politik rezim aristokrasi mampu mengontrol anggota rezim PUSTAKA ACUAN untuk menduduki posisi-posisi politik tertentu. Abell, J., & Stevenson, C. (2011). Defending the Sabda dan Dawuh Sultan HB X selama 2015 faith(s)? Democracy and hereditary right in menunjukkan melemahnya rezim, baik internal di England. Political Psychology, 32(3), 485–504. dalam keluarga inti Kasultanan maupun eksternal Alim, A. (2013). Gusti Moeng tuding sikap raja biang di masyarakat Yogyakarta, karena aturan main prahara keraton. Diakses 3 Februari 2016 dari http://daerah.sindonews.com/read/775492/22/ untuk menunjuk putri sulungnya sebagai penerus gusti-moeng-tuding-sikap-raja-biang-prahara- rezim politik aristokrasi mendapatkan tentangan. keraton-1377504663.

46 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Amali, H. S. (2015). Islah itu mulia. Yogyakarta. Dwipayana, A. A. (2004). Bangsawan dan kuasa: Baharuddin. (2014, 5 Juni). Maddusila jadi Raja Gowa Kembalinya ningrat di dua kota. Yogyakarta: ke-37. Koran Sindo. IRE Press. Bappeda DIY. (2014). Luas wilayah garis pantai. Murdokusumo, G.B.Ray., Hadiwinoto, K.G.P.H., Pra- Diakses 2 Februari 2016 dari http://bappeda. bukusumo G.B.P.H., & Pakuningrat, G.B.P.H. jogjaprov.go.id/dataku/data_profil/html- (2015). Surat terbuka untuk ngarso dalem 2print/441/0/2/2010-2014. [Press release]. Bastin, J. S., & Benda, H. J. (1968). A history of mod- GKR pembayun jadi GKR Mangkubumi. (2015, 6 ern southeast Asia: Colonialism, nationalism, Mei). Tribun Jogja. and decolonization. Sydney: Prentice-Hall. Gusti Prabu minta masyarakat gumregah. (2015, 6 Beetham, D. (1991). The legitimation of power. Mei). Dikutip dari www.radarjogja.co.id: Humanities Press International. http://www.radarjogja.co.id/gusti-prabu-minta- masyarakat-gumregah/ ______. (2013). The legitimation of power. Palgrave. Hamengkubuwono X. (1999). Pranatan tata rakite Blak-blakan dengan Sultan. (2007). Kick Andy Metro peprintahan karaton Ngayogyakarta Hadin- TV. ingrat (struktur pemerintahan Keraton Yog- Bobato siapkan pemilihan sultan Ternate. (2016, 3 yakarta). Dawuh Dalem No. 01/DD/HB.X/ Februari). Malut Post, hlm. 1. EHE-1932/1999. Brauchler, B. (2011). Kings on stage: Local leadership Hamengkubuwono X. (2015a). Penjelasan Sabda Raja in the post-Suharto mollucas. Asian Journal of dan Dawuh Raja [Press release]. Social Science, 39, 196–218. ______. (2015b). Sabda Raja [Press release]. Buehler, M., & Tan, P. (2007). Party-candidate Harjono, S. (2012). Kronik suksesi keraton Jawa relationship in Indonesian local politics: A 1755–1989. Yogyakarta: Polgov JPP Fisipol case study of the 2005 regional elections in UGM. Gowa, Province. Indonesia, 84(Oktober), 41–69. Harsono, D. (2011). To reign for the people: Exercis- ing the “democratic monarchy” in Yogyakarta. Cribb, R. B. (2006). Indonesia: back on the throne. (Master of Arts Thesis), Institute of Social Asia Current, February 2006. Studies, The Hague. Cribb, R. B., & Brown, C. (1995). Modern Indonesia: Harsrinuksmo, B. (2004). Ensiklopedi keris. Jakarta: A history since 1945. London: Longman. Gramedia Pustaka Utama. Dardias, B. (2009). Yogyakarta in decentralized Ismaniyah, G. K. (2013). Mau ke mana keraton kasu- Indonesia: Integrating traditional institution nanan Surakarta. Jakarta: Kata Hasta Pustaka. into democratic transitions. Jurnal Ilmu Sosial dan Politik, 13(2). JPPN. (2015). Khawatir sultan dibisiki setan, Kiai NU Jogja tolak sabdaraja. Jawa Post. ______. (2014, 24 Desember). GBPH Prabukusumo Diakses 4 Februari 2016 dari http://www. (interview). Yogyakarta. jpnn.com/read/2015/06/03/307628/Khawatir- ______. (2015a). Siapa sosok HB XI? Diakses 30 Sultan-Dibisiki-Setan,-Kiai-NU-Jogja-Tolak- Februari 2016 dari http://bayudardias.staff. Sabdaraja-. ugm.ac.id/2015/03/24/siapa-sosok-hb-xi/. Kailitz, S. (2013). Classifying political regimes revis- ______. (2015b, 7 Januari). GBPH Yudhaningrat ited: Legitimation and durability. Democratiza- (interview). Yogyakarta. tion, 20(1), 39–60. ______(2015c, 14 Februari). KGPH Hadiwinoto Kasepuhan Cirebon. (2014). Kasultanan Kasepu- (interview). Yogyakarta. han Sejarah dan Permasalahannya di Kota ______. (2015d, 3 March). Hamengkubuwono X Cirebon. Diakses dari Kasultanan Kasepuhan (interview). Yogyakarta. Cirebon. ______. (2015e, 7 Maret). Polemik riwayat hidup. Kementerian Penerangan. (1957). Republik Indonesia: Kedaulatan Rakyat, p. 1. Diakses 30 Februari Daerah Istimewa Jogjakarta. Jakarta: Kemen- 2016 dari http://krjogja.com/liputan-khusus/ terian Penerangan. analisis/3857/polemik-riwayat-hidup.kr Kershaw, R. (2001a). Indonesia: The exception that ______. (2016, 28 Januari). (inter- proves the rule? Dalam R. Kershaw (Ed.), view). Sleman Legge, J. D. (1980). Indonesia. Monarchy in South-East Asia: The faces of Sydney: Prentice-Hall. tradition in transition. New York: Routledge.

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 47 ______. (2001b). Monarchy in South East Asia: Pranatan tata rakite peprintahan karaton ngayogya- The faces of tradition in transition. New York: karta hadiningrat, 01/DD/HB.X/EHE-1932 Routledge. C.F.R. (1999). Khan, S. B. A. L. (2009). Rule behind the silk curtain: Reid, A., & Ito, T. (1985). From harbour aristocracies The sultanahs of Aceh 1641–1699. (Ph.D. to feudal diffusion in 17th century Indonesia: thesis). University of London. The case of Aceh. Dalam E. R. Leach, S. N. Klinken, G. V. (2007). Return of the Sultan: The com- Mukherjee, & J. Ward (Eds.), Feudalism: Com- munitarian turn in local politics. Dalam J. S. parative studies. Sydney: Sydney Association Davidson & D. Henley (Eds.), The revival of for Studies in Society and Culture. traditional institution in Indonesian politics: Ricklefs, M. C. (1981). A history of modern Indonesia The deployment of adat from colonialism to c 1300 to the Present. London: The Macmillan Indigenism. New York: Routledge. Press Ltd. Kraton Yogyakarta. (2002). Kraton Jogja: The history ______. (1999, Oktober). Time and time again in Java. and cultural heritage. Karaton Ngayogyakarta History Today, p. 49. Hadiningrat. Robson, S. O., & Robson-McKillop, R. (2003). The KRT Mandoyokusumo. (1980). Serat Raja Putra Kraton: Selected essays on Javanese Courts. Ngayogyakarta Hadiningrat. Leiden: KITLV Press. Lieven, D. (1994). The Aristocracy in Europe 1815- Roem, M., Lubis, M., Mochtar, K., & Maimoen, 1914. New York: Columbia University Press. S. (2011). Takhta untuk rakyat: Celah-celah Lokasi calon makam sultan retak, pertanda apa? (2016, kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. 23 Februari). Diakses 24 Februari 2016 dari Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. http://krjogja.com/read/291827/lokasi-calon- Selosoemardjan. (1962). Social changes in Yogyakarta. makam-sultan-retak-pertanda-apa.kr New York: Cornell University Press. MacRae, G., & Putra, I. N. D. (2007). A new theatre- Siswoyo, H., & Waskita, D. (2015, 4 Mei). Sabda state in Bali? Aristocracies, the media and raja sultan Yogya dikritisi. Diakses 30 Januari cultural revival in the 2005 local elections. 2016 dari http://nasional.news.viva.co.id/news/ Asian Studies Review, 31, 171­–189. read/621806-sabda-raja-sultan-yogya-dikritisi. Monfries, J. (2015). A prince in a republic: The life Smith, C. Q. (2009). The return of the Sultan? Power, of Sultan Hamengkubuwono IX of Yogyakarta. patronage, and political machines in “post”- Singapore: Institute of Southeast Asian Studies. conflict . Dalam M. Erb &P. Mulder, N. (1998). Mysticism in Java: Ideology in Sulistiyanto (Eds.), Deepening democracy in Indonesia. Amsterdam: Pepin Press. Indonesia? Direct elections for local leaders. Singapore: ISEAS. ______. (2005). Inside Indonesian society: Cultural change in Java. Amsterdam: Pepin Press. Soemanto, B. (2003). Cerita rakyat dari Yogyakarta (Vol. 3). Yogyakarta: Grasindo. Munck, G. L. (1996). Disaggregating political regime: Conceptual issues in the study of democratiza- Suhartono. (1991). Apanage dan bekel, perubahan tion. Working Paper #228. Kellogg Institute: sosial di pedesaan Surakarta (1830–1920). The Helen Kellogg Institute for International Yogyakarta: Tiara Wacana. Studies. Sulistiyanto, P. (2009). Pilkada in Bantul district: Onghokham. (2002). Negara agraris dan maritim. Incumbent, populism and the decline of royal Dalam Onghokham (Ed.), Dari soal power. Dalam M. Erb & P. Sulistianto (Eds.). sampai Nyi Blorong: Refleksi historis nusan- Deepening democracy in Indonesia? Direct tara. Jakarta: Kompas election for local leaders. Singapore: ISEAS. Pakuningrat, G. (2015). GKRay Ciptomurti [Press Syamsi, I. (2012). G.K.R Hemas: Ratu di hati rakyat. release]. Kompas. Pohon keramat kraton Yogyakarta tumbang. (2016, Robohnya kraton kami. (1985, Februari 16). Tempo, 3 Februari 2016). Diakses 24 Februari 2016 hlm. XIV. dari http://krjogja.com/read/289658/pohon- Wamin, Mbahnya nelayan Yogyakarta. (2009, Mei 5). keramat-kraton-yogyakarta-tumbang.kr. KR Kompas. Yogya. Wicaksono, P. (2015, 7 Mei). Muhammadiyah dan NU Polemik daftar riwayat hidup calon gubernur DIY. sesalkan langkah sultan. Koran Tempo. (2015, 16 Februari). Kedaulatan Rakyat, Hlm.1.

48 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Wittfogel, K. A. (1967). Oriental despotisma a com- Woodward, M. R. (1989). Islam in Java: Normative parative study of total power. New Haven: Yale piety and mysticism in thesultanate of Yogya- University Press. karta. Tucson: University of Arizona Press. Wolters, O. W. (1999). History, culture, and region in Zakaria, A. (2015, 12 Mei). NU pertanyakan sabda southeast Asian perspectives. Southeast Asia raja berdasarkan wahyu. Koran Tempo. Program Publications, Southeast Asia Program, Cornell University.

Bayu Dardias | Menyiapkan Sultan Perempuan: ... | 49 50 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 DDC: 324.6

POLITIK ANGGARAN DALAM PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK DI INDONESIA

Nyimas Latifah Letty Aziz Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia E-mail: [email protected]

Diterima: 27-4-2016 Direvisi: 4-5-2016 Disetujui: 23-5-2016

ABSTRACT This paper examines the politics of public budgeting related to the concurrent local elections that were held on 9th December 2015 for the first time. The elections will be held for seven times from 2015 to 2027 in order to reduce election costs. However, the budget process was not easy to imagine since the technical rules were still unclear. Meanwhile, elites who are in power and have interests were also have strong influence to the budget process. This paper attempts to examine how public participation needs to be improved in the budget process, particularly in the budget process related to the concurrent local elections, thus it will creates the implementation of budget democracy.

Keyword: politics of public budgeting, elections, public participation, budget democracy

ABSTRAK Makalah ini mengkaji politik anggaran dalam pelaksanaan pilkada serentak yang diselenggarakan pertama kalinya pada 9 Desember 2015. Pilkada serentak ini rencananya diselenggarakan sebanyak tujuh kali mulai 2015 sampai 2027 untuk menghemat biaya pilkada. Namun, proses anggaran tersebut tidaklah semudah yang dibayangkan karena aturan-aturan teknis yang masih belum jelas. Sementara para elite yang berkuasa dan memiliki kepentingan juga mempunyai pengaruh yang kuat dalam proses anggaran. Tulisan ini berupaya mengkaji bagaimana partisipasi masyarakat perlu ditingkatkan dalam proses anggaran, khususnya dalam politik anggaran yang berhubungan dengan pilkada serentak, sehingga akan menciptakan terwujudnya demokrasi anggaran.

Kata kunci: politik anggaran, pilkada serentak, partisipasi masyarakat, demokrasi anggaran

PENDAHULUAN atau tidak menyetujui pengajuan usulan anggaran Anggaran merupakan salah satu alat penentu dari eksekutif. Apabila DPR tidak menyetujui kebijakan ekonomi di Indonesia. Namun, proses usulan anggaran tersebut, pemerintah hanya bisa penentuan anggaran erat kaitannya dengan proses menggunakan anggaran sesuai dengan Anggaran politik sehingga lebih dikenal dengan nama politik Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun anggaran. Kebijakan politik anggaran berkaitan lalu. Di sini, DPR memiliki fungsi penting untuk dengan negara dan pemerintah untuk memberikan melakukan check and balances dalam rangka me- jaminan sosial bagi pemenuhan kebutuhan publik. mastikan optimalisasi penggunaan anggaran sesuai Namun, realitasnya, politik anggaran ditentukan dengan kebutuhan dan kepentingan masyarakat oleh proses politik yang terjadi saat pengesahan sehingga efisiensi pelayanan publik tercapai. anggaran di DPR/DPRD. Sebagai lembaga legis- Selain peningkatan kesejahteraan masyara- latif, DPR/DPRD memiliki tiga fungsi, yang salah kat, hal lain yang menjadi penting disoroti satunya adalah fungsi anggaran. adalah mengenai peningkatan demokrasi lokal. Dalam menjalankan fungsi anggarannya, Pelaksanaan pemilihan kepala daerah secara legislatif memiliki wewenang untuk menyetujui langsung, atau lebih dikenal sebagai pilkada lang- sung, merupakan salah satu wujud peningkatan

51 demokrasi lokal. Namun, pelaksanaan pilkada stitusi M. Akil Mochtar pada 6 Januari 2014. Ratu langsung pascareformasi politik 1998, sejak 2004 Atut kembali ditetapkan KPK sebagai tersangka sampai 2014 telah menghabiskan banyak biaya. dalam kasus korupsi pengadaan alat kesehatan Pada 2005, biaya yang dibutuhkan untuk pilkada (alkes) di Dinas Kesehatan Provinsi tahun langsung sebesar Rp1,3 triliun untuk penyeleng- anggaran 2011–2013. Ratu Atut ditetapkan seb- garaan di 226 daerah yang diambil dari dana agai tersangka bersama adiknya, Tubagus Chaeri APBN dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Wardana alias Wawan. Selain diduga mengatur Daerah (APBD) (Kemendagri, 2015). Berikut- proyek pengadaan alkes di Banten, Atut diduga nya, pada 2010, biaya penyelenggaraan pilkada melakukan pemerasan. Sementara Wawan, selaku langsung meningkat menjadi Rp3,54 triliun bos PT Bali Pasific Pragama, diduga melakukan untuk pemilukada di 244 daerah di Indonesia, penggelembungan harga (“Ini 10 Kepala,” 2015). meliputi 7 pemilihan gubernur, 35 pemilihan wali Meninjau kondisi yang demikian, perlu adanya kota, dan 202 pemilihan bupati. Biaya ini lebih perubahan undang-undang mengenai sistem dan besar daripada biaya persiapan pemilu legislatif mekanisme pelaksanaan pilkada langsung. dan pemilihan presiden pada 2009 (Dirjen Bina Hasil penelitian LIPI sejak 2012 sampai Administrasi dan Keuangan Daerah-Kemendagri, 2014 menunjukkan bahwa proses pilkada 2014). Sementara itu, hasil pilkada langsung tidak langsung di lapangan tidak bisa dilepaskan dari memberikan jaminan peningkatan kesejahteraan sistem penyelenggaraan pilkada yang dibangun masyarakat karena maraknya kasus korupsi ter- sejak keluarnya Undang-Undang No. 32/2004 kait dengan biaya yang telah dikeluarkan oleh yang kemudian diubah menjadi UU No. 12/2008. kepala daerah terpilih dalam proses pelaksanaan Bahkan, menjelang akhir pergantian anggota pilkada langsung. DPR, muncul UU tentang Pemilukada, yang Berdasarkan pada data Kementerian Dalam mengubah­ tata cara pemilihan kepala daerah Negeri, sejak pelaksanaan pilkada langsung langsung menjadi tidak langsung untuk alasan (2004) sampai Januari 2014, kepala daerah yang efisiensi anggaran dan mengurangi konflik. terkena kasus korupsi ada sebanyak 318 orang Namun, Presiden dari 524 kabupaten/kota di Indonesia. Kasus ko- pada akhir masa jabatannya justru mengeluarkan rupsi yang terjadi terkait dengan penyalahgunaan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang wewenang dalam hal pengelolaan anggaran dan (Perppu) Nomor 1 Tahun 2014 yang menolak aset daerah, perizinan, bahkan sampai dengan ide sistem pilkada tidak langsung. Perppu ini kasus penyuapan. Selain itu, hasil dari sistem menyebutkan perlu dilakukan perbaikan men- pilkada langsung yang diterapkan telah menim- dasar dalam penyelenggaraan pilkada langsung bulkan berbagai persoalan seperti perebutan kursi selama ini. Menurut tim peneliti LIPI, perbaikan kepemimpinan, menciptakan daerah pemekaran yang perlu dilakukan tidak hanya sistem pilkada baru yang sarat dengan kepentingan politik, langsung, tetapi juga prosesnya, yang meliputi pembagian kue kekuasaan, munculnya politik perbaikan rekrutmen penyelenggara, pendanaan dinasti, dan pada akhirnya semua itu mengarah kampanye, dan pencalonan (Dewi & Azis, 2016). ke kasus korupsi. Perbaikan rekrutmen penyelenggara meliputi Berdasarkan pada catatan statistik Komisi rekrutmen panitia seleksi penyelenggara yang Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak 2004 hingga dipilih dari orang-orang yang memiliki integritas 2014, terdapat 54 kepala daerah yang tersangkut dan bisa melibatkan unsur-unsur masyarakat yang kasus korupsi. Salah satu kasus yang terjadi representatif. Selain itu, perlu penegakan hukum pada 2004 mengenai dugaan pengadaan pesawat yang lebih tegas dalam proses penyelenggaraan. helikopter Mi-2 milik Pemerintah Provinsi Aceh Pengaturan pendanaan kampanye perlu dilakukan oleh Gubernur Aceh saat itu, yakni Abdulah Puteh dengan membatasi biaya kampanye (besaran (“Makin Banyak Kepala,” 2015). Kasus lainnya sumbangan maksimal) dan melakukan transpa­ juga terjadi di daerah Banten, yakni mantan ransi mengenai dari mana sumbangan tersebut Gubernur Banten Ratu Atut juga terlibat kasus pe- berasal dan ke mana besaran sumbangan tersebut nyuapan terhadap mantan Ketua Mahkamah Kon- harus dilaporkan. Pencalonan meliputi pendaf­

52 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 taran dan verifikasi calon dengan memperketat hal-hal yang berkaitan dengan pengalokasian verifikasi fisik dokumen dan transparansi syarat APBD ke satuan kerja perangkat daerah (SKPD) administratif. Selain itu, perlu dibuat aturan yang di pemerintahan ataupun lembaga pemerintahan mengatur soal pembatalan calon terpilih apabila terkait. Kalaupun ada, kajian politik anggaran terbukti secara hukum melakukan tindak pidana hanya berkaitan dengan biaya penyelenggaraan pemilu (Dewi & Azis, 2016). pilkada langsung yang telah dilakukan, tetapi Pada pertengahan Maret 2015, Presiden tidak dalam orientasi pelaksanaan pilkada seren- menetapkan Undang-Undang tak. Sebelum membahas lebih lanjut keterkaitan Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan atas antara politik anggaran dan pilkada serentak, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang perlu dipahami terlebih dahulu mengenai politik Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti anggaran tersebut. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Politik anggaran merupakan suatu proses Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota Men- yang dimulai dengan membuat pilihan-pilihan di jadi Undang-Undang. Menurut undang-undang antara kemungkinan-kemungkinan pengeluaran, ini, pelaksanaan pemilihan gubernur, bupati, keseimbangan, hingga proses memutuskannya. dan wali kota dilaksanakan secara serentak lima Di dalam proses anggaran publik bersifat terbuka tahun sekali di seluruh wilayah Negara Kesatuan dengan melibatkan berbagai aktor yang memiliki Republik Indonesia. Pemilihan dilaksanakan berbagai tujuan, menggunakan dokumen anggar­ dalam dua tahapan, yakni tahap persiapan dan an sebagai akuntabilitas publik, dan memerhati- penyelenggaraan. Undang-undang ini juga meng­ kan keterbatasan anggaran (Rubin, 1990). Dapat atur persyaratan mengikuti pilkada serentak, dikatakan pula bahwa proses penentuan besaran sanksi bagi calon yang mengundurkan diri, dan dan alokasi anggaran senantiasa sarat dengan waktu pelaksanaan pilkada serentak. kepentingan politik. Hal ini terjadi karena keter- libatan berbagai aktor, dari proses perencanaan Pilkada serentak pada 2015 dilaksanakan dan penyusunan sampai proses pengesahan di untuk efisiensi biaya. Sehubungan dengan hal legislatif. Hal ini menjadikan proses penentuan tersebut, perlu kesiapan pemerintah daerah untuk anggaran sebagai arena kontestasi politik untuk menyediakan dana pilkada serentak. Pemerintah memperebutkan sumber daya publik. Hal ini daerah juga perlu mempersiapkan ketersediaan diperkuat oleh pendapat Wildavsky dan Naomi dan kesiapan sumber daya manusia serta kelem- (2012), yang menyatakan bahwa “all budgeting bagaan ataupun infrastruktur yang mendukung is about politics; most politics is about budget- pelaksanaan pilkada serentak. ing; and budgeting therefore be understood Tulisan ini membahas soal politik ang- as part of political game.” Dengan demikian, garan dalam pelaksanaan pilkada serentak. Pada dapat dikatakan bahwa politik anggaran ialah bagian pertama, dibahas mengenai nilai penting suatu proses politik yang melibatkan lebih dari politik anggaran. Bagian kedua membahas politik satu orang/lembaga yang memiliki kekuasaan anggaran dalam pelaksanaan pilkada serentak. untuk mengendalikan anggaran dengan berbagai Sementara bagian ketiga membahas sejauh kepentingan. mana hasil pilkada serentak mampu mengurangi Keterlibatan berbagai aktor dalam proses pemborosan biaya. penentuan anggaran pada umumnya memiliki kepentingan jangka pendek. Menurut Lindbolm NILAI PENTING POLITIK (1984, 2), aktor kebijakan publik terdiri atas ANGGARAN warga negara biasa, pemimpin organisasi, ang- Kajian mengenai politik anggaran, meski telah gota DPR, pemimpin lembaga legislatif, aktivis banyak dibahas, dapat dikatakan sebagai hal partai, pemimpin partai, hakim, pegawai negeri yang baru apabila dikaitkan dengan pelaksanaan sipil, ahli teknik, dan manajer dunia usaha. Jika demokrasi, khususnya pilkada serentak. Sejauh dikelompokkan, aktor dalam proses perumusan ini, studi mengenai politik anggaran lebih pada kebijakan dapat dibagi ke dalam dua kelompok,

Nyimas Latifah Letty Aziz | Politik Anggaran dalam ... | 53 yaitu aktor resmi dan aktor tidak resmi. Aktor Di sini, DPR/DPRD, sebagai badan legisla- resmi adalah lembaga-lembaga pemerintah tif, memiliki peran penting untuk menjalankan daerah yang terdiri atas eksekutif (birokrasi) dan salah satu fungsinya, yakni fungsi anggaran. legislatif (politisi). Sementara aktor tidak resmi DPR/DPRD merupakan wadah yang tepat untuk adalah partai politik dan kelompok kepentingan. memastikan penggunaan anggaran berjalan opti- mal sesuai dengan kebutuhan rakyat. Partisipasi Dalam merumuskan politik anggaran, aktor- aktif anggota Dewan diharapkan dalam proses aktor ini memiliki konsep kebijakan yang meru- penganggaran berjalan efektif sehingga menjamin pakan fungsi dari sikap dan perilaku, sedangkan­ terjadinya check and balances, transparansi, dan sikap dan perilaku merupakan fungsi dari kepent- akuntabilitas, serta menjamin pelayanan publik ingan dan nilai yang dipegangnya (Wibawa, 2010, yang efisien. Dalam hal ini, pemerintah juga 20). Adapun nilai-nilai yang memengaruhi para memiliki tanggung jawab penuh untuk mem- aktor ini adalah politik, organisasi, pribadi, kebi- berikan pelayanan publik yang optimal kepada jakan, dan ideologi. Nilai-nilai politik merupakan masyarakat. keputusan yang dibuat atas dasar kepentingan ke- Pascareformasi politik 1998, Indonesia lompok tertentu. Nilai-nilai organisasi merupakan mengalami­ perubahan yang cukup signifikan keputusan-keputusan yang diambil atas dasar dalam tata kelola pemerintahan. Pemerintahan kepentingan organisasi daripada kepentingan yang sebelumnya otoriter menjadi lebih demokra- publik secara keseluruhan, seperti balas jasa dan tis. Sistem pemerintahan yang sentralistik berge- sanksi bagi anggota organisasi yang menerima ser menjadi desentralisasi dan otonomi daerah. dan melaksanakannya. Nilai-nilai pribadi lebih Pendulum politik pun bergeser dari executive merupakan keputusan yang dibuat atas dasar heavy menjadi legislative heavy. Perbaikan kebutuhan pribadi untuk mempertahankan regulasi mulai berjalan dengan munculnya UU status quo, reputasi, kekayaan, dan sebagainya. No. 22/1999, direvisi menjadi UU No. 32/2004, Nilai-nilai kebijakan berlandaskan atas dasar lalu direvisi kembali menjadi UU No. 23/2014 persepsi pembuat kebijakan yang, secara moral, tentang Pemerintahan Daerah. Keberadaan dapat dipertanggungjawabkan. Nilai ideologi undang-undang ini diharapkan bisa memberikan merupakan sarana untuk melegitimasi kebijakan ruang bagi penguatan demokrasi di tingkat lokal yang dilakukan pemerintah. menuju pemerintahan demokratis yang mampu Apabila di dalam proses anggaran terdapat meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya, keterlibatan aktor, baik yang resmi maupun tidak khususnya dalam pengelolaan anggaran daerah. resmi, keterlibatan rakyat dalam proses anggaran, Aturan mengenai pengelolaan anggaran dae- dari perencanaan, penyusunan, bahkan sampai rah telah diatur dalam UU No. 33/2004 tentang proses penentuan berapa besaran anggaran, tidak perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. jelas. Kalaupun rakyat dilibatkan, sifatnya hanya­ Berdasarkan pada UU ini, pemerintah daerah lah formalitas. Contoh kasus mengenai keterli- diberi wewenang untuk mengatur keuangan batan masyarakat dalam kegiatan Musrembang daerahnya sendiri secara nyata dan bertanggung di Kabupaten Probolinggo terkesan “formalitas” jawab. Besar-kecilnya jumlah dana yang diperlu- hanya untuk memenuhi mekanisme perencanaan kan daerah bergantung pada luas wilayah, jumlah pembangunan (Sopanah, 2012). Rakyat, dalam penduduk, kepadatan penduduk, kompleksitas hal ini, hanya dijadikan objek bagi kepentingan kebutuhan penduduk, dan hal-hal lainnya yang elite yang berkuasa. Bahkan apa yang menjadi memengaruhi pertumbuhan sosial ekonominya. kebutuhan rakyat justru tidak terpenuhi karena Namun, dalam praktiknya, pengelolaan ang- jauh dari target pelayanan publik. Terlebih lagi garan daerah tidaklah semudah yang dibayangkan. keterlibatan partai politik penguasa justru mem- Ada beberapa hal yang menyebabkan pemerintah perkeruh suasana karena adanya kepentingan daerah mengalami kesulitan dalam pengelolaan untuk memajukan partainya dengan mengambil anggaran tersebut. Pertama, anggaran merupakan kesempatan dalam proses penentuan anggaran persoalan yang rumit dan rewel karena anggaran tersebut melalui pembahasan di DPR/DPRD. memiliki struktur, sistem, serta mekanisme yang

54 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 hanya dimengerti oleh orang yang memiliki pendi- demokrasi anggaran. Demokrasi anggaran ini dikan dan keterampilan khusus. Sementara untuk menjadi penting, terutama dalam memberikan banyak kasus di Indonesia, anggaran masih dipa- jaminan sosial yang setara. Sebagaimana halnya hami sebagai aturan formal yang menguntungkan dalam demokrasi anggaran, demokrasi politik stakeholders tertentu dan secara yuridis dipahami juga menyediakan ruang bagi warga negara untuk sebagai aturan yang sudah baku. Sebagai contoh, terlibat dalam berbagai proses politik dan turut setiap laporan keuangan disertai dengan bukti berpartisipasi menggunakan hak pilihnya atau- pertanggungjawaban yang sangat ketat dengan pun menyerahkannya kepada wakil-wakilnya di mengikuti standar biaya umum (SBU) yang telah parlemen meski suara-suara di parlemen tersebut ditentukan. Padahal realitas pelaksanaan kegiatan tidak sepenuhnya mencerminkan aspirasi dan tidak semuanya bisa dilakukan dengan mengikuti keinginan rakyatnya (Dhal, 2001). SBU. Kedua, anggaran lebih diperuntukkan bagi Pada prinsipnya, demokrasi anggaran harus- urusan proyek-proyek pembangunan dan sumber lah menganut prinsip transparansi, akuntabilitas, finansial lainnya yang berimplikasi pada kelom- keadilan, dan penegakan hukum. Transparansi pok masyarakat miskin. Ketiga, proses anggaran yang dimaksudkan adalah dalam proses penen- dimonopoli oleh pemerintah tanpa keterlibatan tuan anggaran harus ada keterbukaan dalam masyarakat (Fuady, Fatimah, Andriono, & Basjir, pembahasannya dan kemudahan aksesibilitas 2002). bagi rakyat melalui media cetak ataupun online. Sebagai contoh, banyak kasus, baik pro- Akuntabilitas maksudnya anggaran yang ditetap- kan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan gram pemerintah pusat maupun daerah, yang peruntukannya bagi peningkatan kesejahteraan membangun proyek-proyek mercusuar dengan masyarakat. Keadilan anggaran memberikan ruang mengatasnamakan kepentingan rakyat, tetapi keterlibatan langsung bagi rakyat dalam proses pemanfaatannya bagi masyarakat masih diper- penentuan anggaran sehingga proses, implemen- tanyakan karena tidak berdasarkan pada analisis tasi, dan output-nya dapat terkontrol dengan baik. kebutuhan masyarakat. Pada akhirnya, proyek- Selanjutnya, penyalahgunaan kewenangan ang- proyek tersebut mengalami kerugian dan menjadi garan harus mendapat punishment sebagai bentuk beban anggaran yang harus ditanggung oleh pertanggungjawaban kepada rakyat. rakyat. Program-program pemerintah tersebut dapat dikatakan lebih pada pembangunan fisik Sebagai contoh, dalam proses politik ang- daripada pembangunan sumber daya manusia. garan yang dilakukan oleh pemerintah (pusat ataupun daerah) dengan legislatif terjadi proses Dengan kondisi demikian, penting bagi tawar-menawar mengenai besaran anggaran pemerintah (pusat dan daerah) untuk memahami dan diperuntukkan bagi siapa. Di dalam proses dan menjalankan fungsi kebijakan fiskal dan tersebut, terkadang ada penolakan platform ang- manajemennya. Pemerintah diharapkan mampu: garan karena tidak memihak kepentingan publik (1) mengatur alokasi belanja pengadaan barang sehingga dilakukan voting meski hasilnya tidak dan jasa publik; (2) membuat kebijakan yang sesuai dengan kepentingan rakyat. Hal demikian bertujuan menciptakan pemerataan atau mengu- juga terjadi di dalam proses politik anggaran yang rangi kesenjangan kemiskinan; (3) melakukan demokratis yang mana alokasi anggaran menjadi intervensi harga melalui anggaran apabila harga terkotak-kotak untuk siapa, kelompoknya siapa, di pasar melonjak; serta (4) menyediakan ruang di mana, dan lembaga yang mana. Bahkan kasus yang luas bagi rakyat untuk mengakses seluruh ganti rugi untuk korban Lapindo yang diusulkan proses sosial, politik, dan ekonomi. dalam APBN juga dipublikasikan. Terbukanya ruang bagi rakyat untuk turut Selain kasus tersebut, hal lain yang menjadi berpartisipasi dalam proses anggaran mem- penting dalam kaitan dengan politik anggaran berikan jaminan bagi rakyat, terutama bagi adalah proses pelaksanaan demokrasi melalui lapisan masyarakat miskin, untuk membangun pilkada langsung yang telah berlangsung pascare- hubungan yang transparan dan demokratis antara formasi politik 1998. Hal ini akan dibahas lebih pemerintah dan masyarakat sehingga terwujud

Nyimas Latifah Letty Aziz | Politik Anggaran dalam ... | 55 lanjut dalam uraian mengenai politik anggaran biaya yang sangat mahal. Maka, dapat dikatakan dalam pilkada serentak. bahwa harga sebuah demokrasi sangatlah mahal. Proses pelaksanaan pilkada langsung yang POLITIK ANGGARAN DALAM pertama kali digelar pada Juni 2005 sudah ber- PILKADA SERENTAK langsung sebanyak 1.000 kali di berbagai daerah Pelaksanaan demokrasi lokal menjadi salah di Indonesia sampai 2013. Pelaksanaan pilkada satu tumpuan harapan rakyat untuk memajukan langsung ini telah memakan biaya yang sangat daerah masing-masing. Selama era Orde Baru, mahal sehingga berimplikasi pada maraknya telah terjadi berbagai ketimpangan dalam pem- kasus korupsi kepala daerah pasca-pelaksanaan bangunan antara daerah Jawa dan non-Jawa. pilkada langsung. Sebagai contoh, daerah Papua dan Aceh memiliki Besarnya biaya politik dalam proses pilkada sumber daya alam yang sangat kaya, tetapi secara langsung disebabkan oleh tiga hal, yakni pertama, ekonomi masih jauh tertinggal oleh pertumbuhan masalah regulasi. Tidak adanya regulasi yang ekonomi yang ada di Jawa sehingga menimbul- jelas untuk mengatur besaran dana kampanye kan berbagai konflik. Untuk meredam konflik membuat kandidat mengeluarkan dana yang tersebut, pemerintah memenuhi tuntutan otonomi sangat besar. Kedua, lemahnya pengawasan khusus dari kedua daerah itu. Bukan hanya dari dari KPU dan Bawaslu terhadap seluruh harta Papua dan Aceh, tuntutan otonomi juga muncul kekayaan kandidat sehingga saat terjadi kejang- dari berbagai daerah. Pemenuhan tuntutan oto- galan dalam penggunaan dana kampanye tidak nomi tersebut diharapkan mampu menciptakan terkontrol. Ketiga, kepala daerah tidak berhati- pemerintah daerah yang otonom dan bertanggung hati dalam membuat kebijakan karena kurang jawab sebagai penguatan demokrasi lokal. mengerti prosedur penganggaran di daerah Penguatan demokrasi lokal juga diharapkan sehingga terperangkap terlibat korupsi (“Kepala mampu membangun kesadaran politik ma- Daerah Terjerat,” 2013). syarakat yang lebih besar untuk menyampaikan Hal lain yang juga mendorong kepala daerah segala bentuk aspirasinya. Selain itu, penguatan melakukan korupsi adalah praktik politik uang demokrasi lokal diharapkan dapat menghasilkan saat pelaksanaan pilkada langsung. Pasangan pemimpin-pemimpin daerah yang memiliki legiti- calon kepala daerah memberikan “ongkos pera- masi kuat karena dipilih langsung oleh rakyatnya hu” kepada partai politik yang mencalonkannya. melalui pilkada langsung. Sementara biaya yang dikeluarkan tersebut sering Namun, pada kenyataannya, implementasi kali berasal dari utang yang harus dikembalikan pilkada langsung tidak sepenuhnya sesuai dengan setelah pasangan kepala daerah tersebut mem- yang diharapkan. Contoh kasus pelaksanaan peroleh jabatan. Praktik politik uang juga terjadi pilkada langsung diwarnai dengan konflik dan saat proses pemilihan berlangsung. Konstituen kerusuhan, baik dari pihak yang menang maupun diiming-imingi uang Rp50 ribuan atau Rp100 yang kalah, bahkan sampai menimbulkan jatuh- ribuan supaya memilih pasangan calon kepala nya korban jiwa. Masyarakat menjadi korban daerah pada hari pelaksanaan pilkada langsung. “politik busuk” yang terjadi di antara kepentingan Data Kemendagri selama periode 2004–2012 elite-elite tertentu. Tidak hanya konflik yang ter- mencatat 173 kepala daerah yang menjalani peme­ jadi, tetapi juga politik uang, penggelembungan riksaan dengan status sebagai saksi, tersangka, suara, pembusukan nama calon, dan sebagainya. dan terdakwa. Sebagaimana yang telah dijelaskan Tentunya politik yang buruk akan menghasilkan sebelumnya, penyebab terjadinya hal tersebut pemimpin yang buruk pula sehingga pembangun­ adalah praktik politik uang dan mahalnya biaya an daerah akan mengalami kegagalan pula. Hasil pencalonan. Komisi Pemilihan Umum (KPU) akhir ini sangat bertentangan dengan nilai-nilai melaporkan biaya pilkada periode 2010–2014 dan tujuan demokrasi itu sendiri. Apalagi proses mencapai Rp15 triliun meliputi biaya KPU, Pa- pilkada langsung yang terjadi telah memakan nitia Pengawas Pemilu, kepolisian, calon kepala daerah, dan tim kampanye. Pada 2010, khusus

56 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 biaya KPU dan Panwas serta KPU kabupaten/kota yakni pendekatan teori pilihan publik, analisis sekitar Rp7–10 miliar. Sementara KPU provinsi kebijakan ekonomi, dan analisis kelembagaan menganggarkan sekitar Rp50–70 miliar. Untuk ekonomi. panwas kabupaten/kota dibutuhkan dana sekitar Teori pilihan publik menerapkan metode- Rp3 miliar, sedangkan untuk panwas provinsi metode ekonomi terhadap politik tanpa ada upaya dibutuhkan Rp20 miliar. Total biaya pilkada 2010 untuk menghubungkannya dengan dampak yang di 244 daerah provinsi dan kabupaten/kota menca- bersifat publik (Mueller, 1979, 1; Buchanan & pai Rp3,54 triliun untuk satu kali putaran (Ditjen Tollison, 1984, 13; Ekelund & Tollison, 1986, Bina Keuangan Daerah Kemendagri, 2015). 440). Sementara hubungan antara pilihan publik Sementara itu, pasangan calon kepala daerah dan barang publik sangat erat karena pilihan pu­ saat akan memajukan diri harus menyiapkan blik tetap bergantung pada individu yang membuat modal yang tidak sedikit untuk membayar “ong- pilihan. Teori pilihan publik memandang bahwa kos sewa perahu” kepada parpol pengusung inti dari analisis adalah pelaku-pelaku individu (Amirudin & Bisri, 2006, 59–60). Selain itu, yang bertindak sebagai birokrasi, anggota par- pasangan calon kepala daerah harus menyiapkan pol, atau kelompok kepentingan yang bertindak modal untuk biaya kampanye yang meliputi sebagai pejabat yang diangkat lewat pilkada atau iklan, spanduk, tim sukses dan relawan, lembaga pemilu atau sebagai warga biasa. Pada posisi ini, survei, konsultan politik, serta roadshow dengan para birokrat, para politikus, atau para warga akan pemberian bahan kebutuhan pokok, pengobatan berperilaku untuk memenuhi kepentingan pribadi gratis, bantuan uang langsung, dan lain-lain yang rasional, semisal warga sebagai konsumen (Setiawanto, 2015a). Namun, pada saat pasangan juga sebagai pemilih yang memberikan suaranya calon kepala daerah terpilih, yang bersangkutan dalam pemilu atau pilkada (Ekelund & Tollison, terpaksa mengembalikan modal yang telah ba­ 1986, 440). Dengan demikian, teori pilihan nyak dikeluarkan dalam proses pilkada langsung, publik ini menjadi dasar dalam politik anggaran salah satunya dengan cara mencari celah korupsi untuk bertindak secara rasional dan menghindari dalam APBD. ego kebijakan anggaran yang berpihak kepada Tahapan pengajuan APBD dimulai pada golongan, parpol, dan kepentingan elite. proses perencanaan dan penyusunan APBD Setelah pilihan publik dilakukan, terdapat di level birokrasi, tahap pengesahan anggaran berbagai alternatif kebijakan yang bisa memak- di lembaga legislatif, tahap pelaksanaan oleh simalkan kepuasan melalui analisis kebijakan eksekutif, dan tahap pertanggungjawaban oleh ekonomi. Teori analisis kebijakan ekonomi eksekutif kepada legislatif. Di dalam proses menjadi dasar dalam politik anggaran berkenaan penentuan anggaran tersebut, terdapat berbagai dengan sumber dan kemampuan keuangan secara pihak yang memiliki kepentingan. Ada pihak logis sehingga bertindak rasional dengan pilihan- yang pro dan kontra terhadap proses pengajuan pilihan yang bijak, misalnya seberapa besar alo- APBD tersebut. Meski ada pihak yang kontra kasi dana yang ideal dari ketersediaan anggaran karena melihat skema APBD yang tidak pro- yang ada untuk memenuhi tuntutan publik dalam kepentingan rakyat, apabila proses penentuan rangka peningkatan kesejahteraan rakyat. melalui voting lebih menentukan meski banyak Selanjutnya, adalah teori analisis kelem- yang pro terhadap skema APBD tersebut, proses bagaan ekonomi. Institusi atau lembaga memiliki politik anggaran yang demokratis niscaya terjadi. pengertian sebagai pengaturan di antara unit-unit Sehubungan dengan hal tersebut maka perlu ekonomi yang bekerja sama atau bersaing satu pembahasan lebih lanjut mengenai politik ang- sama lain (North & Thomas, 1973, 5). Institusi garan. Politik anggaran sangat erat kaitannya terdiri atas beberapa batasan terhadap perilaku dengan kajian ekonomi politik yang memberikan dalam bentuk aturan dan regulasi, prosedur perhatian terhadap masalah-masalah kebijakan untuk mendeteksi penyimpangan, serta norma publik (Dye, 1972). Ada tiga pendekatan yang moral dan perilaku yang mendefinisikan pola-pola digunakan dalam menganalisis politik anggaran, yang membatasi cara aturan dan regulasi serta

Nyimas Latifah Letty Aziz | Politik Anggaran dalam ... | 57 membatasi cara pelaksanaan penegakan aturan dilakukan dengan membatasi standar dana pe- dan regulasi tersebut (North, 1984, 8). Dengan nyelenggaraan serta membatasi dana kampanye, demikian, teori analisis kelembagaan ekonomi pengawasan, dan keamanan yang terperinci. akan menjadi dasar dalam politik anggaran untuk Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37/2014 menetapkan kebijakan kelembagaan yang tepat tentang Pedoman Penyusunan APBD 2015 berisi, dalam mengalokasikan anggaran sesuai dengan antara lain, tentang ketentuan mengenai biaya peruntukannya sehingga rasionalitas alokasi ang- pilkada yang masuk belanja wajib. Namun, garan akan terwujud. Berdasarkan pada ketiga besarannya masih perlu pengaturan, yang akan pendekatan tersebut, menurut penulis, penerapan dilakukan oleh KPUD dan kepala daerah. Hal politik anggaran haruslah berpijak pada kepen­ ini sejalan dengan surat edaran KPU RI Nomor tingan publik dengan menempatkan posisi jabatan 1667/KPU/XI/2014 tertanggal 4 November sebagai jabatan publik, bukan jabatan pribadi atas 2014, yang meminta KPU kabupaten/kota yang kepentingan kelompok elite/penguasa tertentu. masuk pilkada serentak 2015 untuk berkoordinasi Selain itu, perlu regulasi yang jelas dalam hal tentang alokasi anggaran sehingga masuk APBD pengaturan dan pengalokasian anggaran tersebut 2015 (Setiawanto, 2015a). sehingga peruntukannya tepat untuk memenuhi Pelaksanaan pilkada serentak sudah berjalan kebutuhan masyarakat. Hal ini menjadi penting, pada 2015, dan direncanakan akan kembali mengingat proses politik dalam perencanaan, dilakukan pada 2018. Selanjutnya, pelaksanaan penentuan, penetapan, dan pengesahan anggaran pilkada nasional serentak direncanakan pada 2020 sangat sarat dengan kepentingan-kepentingan dengan menggunakan sistem e-voting. Penerapan elite yang berkuasa, terutama incumbent, supaya sistem e-voting di Indonesia pernah dilakukan oleh terpilih kembali. Kabupaten Jembrana di Bali pada pemilihan kepala Misalnya, pada prinsipnya, peruntukan desa (pilkades) Juli 2009. Sistem e-voting memiliki APBD adalah untuk sepenuhnya peningkatan keunggulan lebih hemat tidak hanya dari sisi biaya, kesejahteraan masyarakat melalui pelayanan tetapi juga dari sisi waktu. Namun, untuk meng- publik, khususnya pendidikan dan kesehatan. gunakan sistem e-voting, para pemilih diharapkan Namun, penyalahgunaan wewenang pengelolaan memiliki KTP yang ber-chip (Setiawanto, 2015b). anggaran menyebabkan peningkatan kesejahtera­ Selain itu, dari sisi keamanan, penggunaan sistem an masyarakat tidak tercapai dan menimbulkan e-voting mampu mencegah kecurangan karena “rasa tidak percaya” terhadap kebijakan peme­ pemilih hanya bisa memberikan suara sebanyak satu rintah. Hal ini berdampak pula pada sikap apatis kali sehingga mencegah terjadinya penggelembun- masyarakat untuk tidak turut berpartisipasi dalam gan suara. proses pilkada langsung. Kalaupun masyarakat Pilkada serentak 2015 merupakan tahap per- berpartisipasi, hal itu hanya lebih kepada money tama untuk kepala daerah yang masa jabatannya oriented. Hal ini menjadi tambahan biaya bagi habis pada 2014 dan 2015. Pilkada serentak 2018 pasangan calon kepala daerah untuk menambah merupakan tahap kedua untuk kepala daerah yang modal. Kondisi demikian bagaikan “lingkaran masa jabatannya habis pada 2016–2018. Pilkada setan” yang tak kunjung habis dan akan berim- nasional serentak 2020 dilaksanakan untuk 541 bas pada kasus-kasus korupsi lainnya. Dengan daerah otonom. Setidaknya, pada 2015 terdapat demikian, perlu dicari alternatif solusi terhadap 204 daerah yang terdiri atas 8 provinsi, 170 ka- persoalan pilkada langsung yang memakan biaya bupaten, dan 26 kota. Rencana penyelenggaraan yang sangat mahal. pilkada serentak 2018 terdiri atas 285 daerah di Alternatif solusi yang dapat meminimal- tingkat provinsi, kabupaten, dan kota (Ditjen Bina kan biaya pilkada yang sangat mahal adalah Keuangan Daerah- Kemendagri, 2015). melakukan pilkada serentak. Hal ini bertujuan Namun, rencana awal tersebut mengalami menciptakan efisiensi biaya dan efektivitas pe- perubahan dari tiga gelombang menjadi tujuh nyelenggaraan pilkada serentak. Penganggaran gelombang pelaksanaan pilkada serentak. Pilkada pilkada serentak melalui alokasi APBN/APBD serentak gelombang pertama dilaksanakan pada

58 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Desember 2015 untuk kepala daerah yang masa kredibel. Meskipun tidak tertutup kemungkinan jabatannya berakhir pada 2015 dan semester ada manipulasi, setidaknya dapat mengurangi pertama 2016. Gelombang kedua dilaksanakan risiko kecurangan (Rappler, 2016). Meskipun pada Februari 2017 untuk kepala daerah yang di Indonesia juga pernah dilakukan di Kabupaten masa jabatannya berakhir pada 2017. Gelombang Jembrana, proses persiapan untuk e-voting secara ketiga akan dilaksanakan pada Juni 2018 untuk nasional masih dilakukan. kepala daerah yang masa jabatannya berakhir Selanjutnya, berdasarkan pada data Kemente­ pada 2018 dan 2019. Gelombang keempat akan rian Dalam Negeri, terdapat 541 daerah otonom dilaksanakan pada 2020 untuk kepala daerah hasil di tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Jumlah pilkada serentak Desember 2015. Gelombang kepala daerah yang masa jabatannya habis pada kelima akan dilaksanakan pada 2022 untuk ke- 2015 ada sebanyak 204 daerah, 2016 sebanyak 100 pala daerah hasil pilkada serentak Februari 2017. daerah, 2017 sebanyak 67 daerah, 2018 sebanyak Gelombang keenam akan dilaksanakan pada 2023 118 daerah, dan 2019 sebanyak 52 daerah. Pada untuk kepala daerah hasil pilkada serentak 2018. 2015, pilkada serentak dilakukan di 204 daerah, Terakhir, gelombang ketujuh akan dilakukan yang terdiri atas 8 provinsi, 170 kabupaten, dan pilkada nasional serentak pada 2027 di seluruh 26 kota. Sehubungan dengan pelaksanaan pilkada provinsi, kabupaten, dan kota di Indonesia. serentak maka yang menjadi pertanyaan adalah Setelah 2027, hanya akan ada dua kali pemilu, seberapa banyak biaya yang akan dihabiskan yakni pemilu nasional, yang terdiri atas pemilu dalam pelaksanaan pilkada serentak tersebut dan legislatif dan pemilu presiden; serta pilkada. apakah pelaksanaan pilkada serentak ini efisien Selanjutnya, pilkada serentak akan dilakukan atau justru inefisien? Hal ini akan dibahas lebih setiap lima tahun sekali (Setiawanto, 2015b). lanjut dalam bagian berikutnya. Model pelaksanaan pilkada serentak yang dilakukan Indonesia juga berlaku sama dengan HASIL PILKADA SERENTAK: di Brasil dan Filipina. Sementara pelaksanaan EFISIENSI ATAU INEFISIENSI? pilkada serentak di Brasil bertujuan untuk pe­ Seiring dengan bertambahnya jumlah daerah nguatan sistem presidensial, pelaksanaan pilkada otonom baru, penyelenggaraan pemilihan serentak di Filipina bertujuan untuk efisiensi bia­ kepala daerah juga bertambah banyak karena ya penyelenggaraan pemilu. Dengan demikian, daerah-daerah tersebut membutuhkan kepala- pelaksanaan pilkada serentak di Indonesia dan kepala daerah yang baru pula. Namun, pelak- Filipina memiliki tujuan yang sama, yakni untuk sanaan pilkada langsung yang terjadi selama efisiensi biaya. Namun, hal yang membedakan kurun waktu 2015–2014 menimbulkan berbagai kedua negara adalah proses pemilihan yang di- persoalan karena siklus pelaksanaan pilkada lakukan, yakni Filipina sudah lebih maju daripada langsung selama periode tersebut tidak teratur. Indonesia. Untuk pilkada serentak yang ketiga Akibatnya, setiap saat selalu ada daerah yang kalinya, warga Filipina tidak lagi menggunakan melaksanakan pilkada, dan hal tersebut tidak cara manual untuk mencoblos gambar kandidat. jarang menimbulkan konflik di tingkat lokal dan merembet pada konflik di tingkat nasional. Selain Setiap pemilih akan diberi map dan kertas sua­ itu, pelaksanaan pilkada langsung tersebut tidak ra. Kemudian pemilih akan memilih kandidat efektif dari segi waktu dan tidak efisien dari segi dengan cara mengisi lingkaran di kertas suara. biaya karena banyak memboroskan anggaran dae- Setelah itu, kertas suara dimasukkan ke mesin rah, sementara kemampuan fiskal daerah rendah penghitung. Mesin tersebut akan memindai calon sehingga untuk pembiayaan pilkada diambil yang dipilih. Pemilih kemudian mendapat bukti dengan mengurangi belanja pelayanan publik tanda terima, yang selanjutnya akan dimasukkan (pendidikan dan kesehatan). ke kotak suara. Proses selanjutnya, jari telunjuk peserta pemilih harus dicelupkan ke tinta sebagai Alternatif solusi untuk menghemat biaya tanda telah menggunakan hak suara. Dengan pilkada adalah melaksanakan pilkada serentak. demikian, hasil pemilihan akan lebih cepat dan Namun, sebelum pelaksanaan pilkada serentak,

Nyimas Latifah Letty Aziz | Politik Anggaran dalam ... | 59 KPU tiap-tiap daerah perlu memperhitungkan 25 tahun untuk calon bupati/wali kota, uji publik seberapa banyak biaya yang akan dianggarkan di diganti dengan sosialisasi calon kepala daerah, dalam APBD tahun berikutnya. Usulan ini harus syarat minimal dukungan penduduk berdasarkan atas persetujuan pemerintah daerah setempat. pada kategori wilayah, persyaratan dukungan Sebagai contoh, KPU Gowa mengajukan calon perseorangan, persyaratan calon dari parpol usulan Rp18 miliar untuk biaya pilkada serentak, atau gabungan parpol, mekanisme pelaksanaan, tetapi yang disetujui oleh pemerintah daerah biaya pilkada, serta sengketa hukum pilkada setempat sebesar Rp15 miliar. KPU Bulukumba serentak. mengusulkan Rp19,4 miliar, dan disetujui Rp9,8 Syarat dukungan penduduk untuk calon miliar. KPU Selayar mengusulkan Rp17,6 miliar, perseorangan/independen dinaikkan untuk yang disetujui Rp9 miliar (Setiawanto, 2015a). provinsi minimal dukungan 10% dari jumlah Tidak semua usulan biaya pilkada serentak dari penduduk kurang dari dua jiwa; 8,5% dari jum- tiap-tiap KPUD disetujui oleh pemerintah daerah lah penduduk 2–6 juta jiwa; 7,5% dari jumlah karena bergantung pada APBD dan kemampuan penduduk 6–12 juta jiwa; dan 6,5% dari jumlah daerah untuk menambah PAD-nya. penduduk lebih dari 12 juta jiwa. Sementara du- kungan minimal untuk calon bupati/wali kota dari Menurut Sekretariat Forum Indonesia untuk jalur perseorangan/independen minimal 10% dari Transparansi Anggaran (Seknas Fitra), anggaran jumlah penduduk yang kurang dari 250 ribu jiwa; pilkada sebaiknya diambil dari APBN, bukan 8,5% dari jumlah penduduk 250 ribu–500 ribu APBD. “Biaya pilkada untuk kabupaten/kota jiwa. Untuk kabupaten dengan jumlah penduduk Rp25 miliar, sedangkan untuk pilkada provinsi 500.000–1 juta jiwa minimal dukungan sebesar Rp100 miliar. Jadi, untuk keseluruhan pilkada 7,5% dan 6,5% untuk jumlah penduduk lebih dari di Indonesia, diperlukan Rp17 triliun. Kalau 1 juta jiwa (Setiawanto, 2015a). dilaksanakan secara serentak, diperlukan Rp10 triliun. Lebih hemat dan hanya sekian persen Persyaratan dukungan calon kepala dan dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada bisa dibiayai wakil kepala daerah dari jalur perseorangan lebih oleh APBN, bukan oleh APBD” (“Biaya Pilkada tinggi 3,5% dibandingkan persyaratan Perppu Membengkak,” 2015). Selain itu, dari studi yang No. 1/2014, yang hanya sebesar 3%. Sementara dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah, ditemukan itu, persyaratan calon dari parpol atau gabungan bahwa pembiayaan pilkada melalui APBD parpol juga naik dari ambang batas 15% menjadi membuka peluang besar bagi aktor di daerah 20% kursi DPRD atau 20% suara menjadi 25% untuk melakukan politisasi anggaran. Misalnya, suara di daerah masing-masing. Mekanisme incumbent dapat memanfaatkan instrumen ang- pelaksanaan pilkada serentak dipastikan hanya garan pilkada untuk memperkuat posisi tawar berlangsung satu kali putaran. Namun, apabila politiknya. Selain itu, banyak daerah yang belum ada sengketa pilkada, hal itu ditangani oleh menetapkan APBD untuk tahapan pilkada. Alasan Mahkamah Konstitusi (MK) selama masa transisi lainnya adalah ketidaksinkronan tahapan pilkada sebelum dibentuk Badan Peradilan Khusus. Bila dengan mekanisme penganggaran menyebabkan sengketa terjadi pada tahap penetapan pasangan lemahnya pengawasan pilkada karena berkaitan calon, dilaksanakan di Pengadilan Tinggi Tata dengan regulasi pelaksanaan pilkada. Usaha Negara (PTTUN) setelah melalui upaya administratif di Bawaslu provinsi ataupun Pan- Sehubungan dengan pengaturan regulasi waslu kabupaten dan kota. Keputusan PTTUN pelaksanaan pilkada serentak maka pemerintah bersifat final dan mengikat. bersama DPR RI dan DPD RI menyiapkan pa- yung hukum penyelenggaraan pilkada serentak. Hal lainnya yang juga diatur adalah me­ Hal tersebut meliputi penguatan pendelegasian ngenai pembiayaan pilkada serentak dari APBD tugas KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara dengan dukungan dari APBN. Menurut Pasal pilkada, syarat pendidikan calon gubernur dan 166 ayat (1) UU No. 8/2015, pendanaan pilkada bupati/wali kota minimal SLTA atau sederajat, bersumber dari APBD dan dapat didukung APBN usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan yang akan diatur dengan peraturan pemerintah.

60 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Sementara di sisi lain, Perppu Pilkada mengatur untuk menegakkan demokrasi dan menghemat sebaliknya, yakni pendanaan pilkada bersumber anggaran menjadi hilang maknanya. dari APBN dengan dukungan pendanaan dari Pembahasan selanjutnya adalah mengenai APBD. Perbedaan skema anggaran menimbulkan hasil pilkada serentak yang telah dilaksanakan salah persepsi bagi pemerintah daerah untuk pada 9 Desember 2015. Secara umum, tidak ada mengalokasikan anggaran pilkada dalam pem- benturan konflik yang terjadi saat pelaksanaan bahasan APBD. Selain itu, pengesahan UU No. pilkada serentak, kecuali di beberapa daerah di 8/2015 pada 18 Maret 2015 bersamaan dengan Kalimantan Utara, yang mengakibatkan kantor pengesahan APBD sehingga beberapa daerah Gubernur Kaltara dibakar massa. Namun, tahapan sulit melakukan revisi APBD, yang pada akhirnya pilkada belum tuntas sepenuhnya karena muncul- menghambat tahapan pilkada yang seharusnya nya sengketa pilkada di Mahkamah Konstitusi sudah berjalan. pasca-pilkada serentak. Berdasarkan pada data Masih terkait dengan persoalan anggaran situs resmi MK pada 23 Desember 2015, terdapat adalah membengkaknya anggaran pilkada karena permohonan perkara perselisihan hasil pemilihan ada kampanye yang dibiayai oleh negara (Pasal (PHP) dari 145 daerah (Ansyari, Nadlir, Khaliso- 65 ayat (2)), seperti debat publik, penyebaran ba- tussurur, & Nugraha, 2015). Banyaknya daerah han kampanye, pemasangan alat peraga, dan iklan yang mengajukan gugatan perkara menunjukkan di media sehingga mencapai kisaran 30–40% bahwa hasil pilkada serentak belum memenuhi dibandingkan anggaran pilkada sebelumnya kepuasan di sejumlah daerah. (Syahruldin, 2015). Adapun penggunaan dana negara tidak serta-merta bisa dicairkan sewaktu- PENUTUP waktu karena ada prosedur yang harus dijalani dalam proses pencairannya. Hal ini membuat Pada umumnya, persoalan anggaran adalah pekerjaan pihak penyelenggara (KPU) menjadi persoalan yang sangat sarat dengan kepentingan bertambah rumit. Sebagai contoh, pada 2010, politik. Persoalan anggaran menjadi arena kon- biaya pilkada di Provinsi Kalimantan Tengah testasi bagi penguasa dan elite-elite lainnya yang sebesar Rp70 miliar, kemudian untuk 2015 di- berebut kepentingan. Dalam hal ini, rakyat hanya anggarkan Rp179 miliar. Namun yang disetujui dijadikan penonton tanpa diberi kesempatan un- hanya Rp129 miliar. Di Sulawesi Utara, pilkada tuk berpartisipasi dalam prosesnya. Alasan untuk 2010 menelan biaya sekitar Rp90 miliar, kemu- pemenuhan kebutuhan publik hanya dijadikan dian untuk pilkada 2015 diajukan oleh KPUD sarana untuk memenuhi kepentingan penguasa sebesar Rp200 miliar. Namun, yang disetujui oleh atau elite-elite yang berkuasa. Dengan demikian, DPRD dan Pemprov Sulut hanya Rp105 miliar sistem anggaran yang setara, berkeadilan, parti- (“Biaya Pilkada Membengkak,” 2015). Selain sipatif, dan bertanggung jawab sulit terjadi. Oleh itu, tambahan alokasi biaya honor pengawas karena itu, diperlukan peran negara untuk me- TPS yang dibentuk 23 hari sebelum pilkada dan lindungi rakyatnya dengan memberikan jaminan dibubarkan 7 hari sesudah pemungutan suara pelayanan yang efektif dan efisien kepada publik (pasal 27) menambah beban anggaran pilkada. tanpa mengurangi hak-hak publik. Hal lain yang menjadi sorotan adalah belum Negara, dalam hal ini diwakili oleh ekse- adanya proses penegakan hukum mengenai kutif (presiden, gubernur, bupati, wali kota), ketentuan pidana yang mengatur tentang money memberikan jaminan pelayanan yang efektif dan politics dan mahar politik. Berdasarkan pada pe­ efisien. Hal ini dapat dilakukan melalui politi- ngalaman pilkada langsung yang lalu, keduanya­ cal will antara eksekutif dan legislatif di dalam telah membawa implikasi yang sangat kuat proses penentuan anggaran yang dikenal dengan untuk mendorong para kepala daerah dan wakil politik anggaran. Politik anggaran merupakan kepala daerah terpilih melakukan tindakan “ko- suatu proses kekuasaan politik di antara berbagai rupsi”. Hal tersebut membawa sisi gelap dalam kepentingan yang terlibat dalam penentuan kebi- pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Dengan jakan dan alokasi anggaran, yaitu anggaran dialo- demikian, esensi pelaksanaan pilkada serentak kasikan untuk siapa, kelompok siapa, di mana,

Nyimas Latifah Letty Aziz | Politik Anggaran dalam ... | 61 dan kapan waktu pengalokasiannya. Tentu saja Meskipun diduga kuat masih ada, praktik dalam proses penentuan ini ada pihak-pihak yang mahar ini sulit dibuktikan. Menurut Amzulian dirugikan dan ada pihak-pihak yang diuntungkan. Rifai (2015), Dekan Fakultas Hukum Universitas Terlepas dari semua itu, yang terpenting adalah Sriwijaya, ada dua modus yang digunakan dalam bagaimana alokasi anggaran tersebut mampu praktik mahar politik. Modus pertama, atas nama memenuhi kebutuhan publik dengan tepat. Hal dana survei. Survei menjadi senjata pamungkas ini membutuhkan pengetahuan dan keterampilan sebelum mengusung pilkada, dan terkadang juga dari pihak pengelola anggaran. Kepala daerah, digunakan untuk menjustifikasi kandidat tertentu. selaku pemimpin tertinggi dalam pemerintahan Modus kedua, atas nama kontribusi untuk partai. daerah, memiliki kewenangan untuk mengatur Kandidat secara terang-terangan diminta oleh keuangan daerah. Namun, tidak semua kepala oknum tertentu yang mengatasnamakan partai daerah mampu menangani persoalan anggaran untuk memberikan kesanggupan berkontribusi bahkan sampai ada kepala daerah yang terper- apabila dicalonkan oleh partai (Rochmi, 2016). angkap dengan kasus “korupsi”. Dalam kasus yang terjadi saat pilkada Namun, kasus “korupsi” yang marak muncul Bangka Belitung, Ahok diminta membayar mahar dan membuat banyak kepala daerah terlibat di politik dengan kisaran Rp100 juta–200 miliar. dalamnya tidak hanya disebabkan oleh ketidakta- Namun, Ahok menolak dengan alasan tidak ingin huan kepala daerah dalam pengelolaan keuangan berutang budi kepada siapa pun (Pratiwi, 2016). daerah, tetapi juga oleh beban utang yang harus Kasus lain terjadi dalam pilkada 2015 di Toba ditanggung kepala daerah sebagai akibat dari Samosir, Sumatera Utara. Pasangan Asmadi dan sistem pilkada yang terjadi. Kepala daerah Jisman batal maju sebagai pasangan calon bupati terpilih harus mengembalikan modal besar yang dan wakil bupati karena tidak sanggup memenuhi telah dihabiskan selama proses pilkada, meliputi permintaan mahar dari partai pengusungnya. biaya mahar parpol untuk memberikan dukungan, Dana yang diminta sebesar Rp2,5 M (Rifai, biaya untuk menggerakkan mesin partai, biaya 2015). untuk tim pemenangan, biaya kampanye, serta Proses politik uang dan mahar uang ini biaya untuk membayar saksi di TPS pada saat masih belum selesai sampai kini. Meskipun Pasal pemilihan dan pemungutan suara (Fitrat, 2013). 47 UU No. 8/2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota melarang partai atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 gabungan partai menerima imbalan dari bentuk menyatakan bahwa calon kepala daerah adalah apa pun pada saat proses pencalonan, kasus-kasus peserta pemilihan yang diusulkan oleh parpol, di atas masih tetap terjadi. Bahkan, sistem pilkada gabungan parpol, atau perseorangan yang langsung yang saat ini sudah berganti dengan didaftarkan atau mendaftar di KPU provinsi/ sistem pilkada serentak pun masih belum bisa kabupaten/kota. Artinya, di sini ada peluang bagi menuntaskan persoalan ini karena tidak diatur calon kepala daerah yang bukan merupakan kader juga di dalam regulasinya. partai untuk meminta parpol tertentu sebagai kendaraan pengusung baginya dalam proses Biaya pilkada yang sangat mahal ini me­ pendaftaran kandidat kepala daerah. Tentunya nimbulkan berbagai ide untuk melakukan efisiensi untuk mendapatkan dukungan ini ada timbal balik biaya melalui pelaksanaan pilkada serentak. yang harus diberikan oleh pasangan calon kepala Pilkada serentak yang telah dilaksanakan pada daerah. Di sinilah terjadinya praktik politik uang awal Desember 2015 masih dalam proses awal dengan memberikan “ongkos perahu” kepada karena tidak semua daerah sanggup membiayai partai pengusung sebagai sewa perahu dalam pilkada serentak. Penetapan biaya pilkada seren- pencalonan kepala daerah. Selain itu, setelah tak dari APBD memiliki skema penentuan yang kepala daerah terpilih, masih ada “ongkos mahar” berbeda. UU No. 8/2015 menetapkan bahwa yang harus dibayar untuk kepentingan parpolnya. biaya pilkada serentak didanai dari APBD de­ ngan dukungan dana APBN, sedangkan Perppu Pilkada berlaku sebaliknya. Ketidaksinkronan

62 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 kedua aturan tersebut membuat pemerintah dae- Dye, T. R. (1972). Understanding public policy. rah menjadi bingung dalam menetapkan besaran Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall. anggaran pilkada yang diusulkan KPU masing- Ekelund, R. D., & Tollison, R.D. (1986). Economics: masing daerah, mengingat kemampuan keuangan Private markets and public choice. Boston: Little, Brown and Company. daerah yang juga terbatas. Hal demikian tentunya juga berdampak pada proses pelaksanaan pilkada Fuady, A. H., Fatimah, D., Andriono, R., & Basjir, W. W. (2002). Memahami anggaran publik. serentak. Yogyakarta: IDEA Press. Meski pelaksanaan pilkada serentak pada Lindblom, C. E. (1984). The policy making process, umumnya berjalan aman, terdapat daerah yang 2nd Edition. Englewood Cliffs, New Jersey: mengalami konflik, seperti kasus pembakaran Prentice- Hall. kantor Gubernur Kaltara pasca-pilkada serentak. Mueller, D. C. (1979). Public choice. Cambridge: Selain itu, pasca-pilkada serentak, kasus seng- Cambridge University Press. keta pilkada banyak terjadi di beberapa daerah. North, D. C. (1984). Three approaches to the study of Namun, kasus tersebut masih diteliti lebih jauh institutions. In neoclassical political economy. Cambridge, Mass.: Ballinger. oleh MK apakah memang sudah memenuhi per- North, D. C., & Thomas, R. P. (1973). The rise of the syaratan administrasi pengajuan sengketa. Kasus western world: A new economic history. New sengketa ini muncul atas ketidakpuasan massa York: Cambridge University Press. pendukung dan partai pesaing yang kalah dalam Rubin, I. S. (1990). The Politics of public budgeting: pilkada serentak karena adanya kecurangan- Getting and spending, borrowing and balanc- kecurangan yang terjadi selama proses pemilihan ing. New Jersey: Chatam House Publisher. berlangsung. Kasus seperti ini tidak hanya terjadi Sopanah. (2012). Ceremonial budgeting dalam di dalam pelaksanaan pilkada serentak, tetapi juga perencanaan penganggaran daerah: Sebuah pilkada langsung yang lalu, bahkan terjadi juga keindahan yang menipu. Simposium Nasional dalam proses pemilihan presiden. Namun, kasus Akuntansi (SNA) 15 Banjarmasin. sengketa yang banyak terjadi diharapkan tidak Wibawa, S. (2010). Evaluasi kebijakan publik. Jakarta: harus mengulang proses pemilihan yang telah PT. Raja Grafindo Persada. banyak memakan biaya. Apabila hal ini terjadi, Wildavsky, A., & Naomi, C. (2012). Dinamika Proses politik anggaran (Penyadur Suraji Sufiansyah). efisiensi biaya yang seharusnya efektif menjadi Yogyakarta: Matepena Consultindo. tidak efektif karena proses pengulangan pelak- sanaan pilkada akan menambah beban APBD. Sumber Media Cetak dan Internet Dengan demikian, dana APBD yang seharusnya Ansyari, S., Nadlir, M., Khalisotussurur, L., & Nugra- dipergunakan untuk besarnya kemanfaatan publik ha, B. (2015, Desember 24). Pilkada berujung akan berkurang sehingga jaminan pelayanan sengketa di mahkamah konstitusi. Diakses pada publik menjadi tidak efektif. 3 Maret 2016, dari viva.co.id: http://fokus. news.viva.co.id/news/read/714915-pilkada- berujung-sengketa-di-mahkamah-konstitusi PUSTAKA ACUAN Biaya pilkada membengkak: Semangat efisiensi dalam Amirudin & Bisri., A. Z. (2006). Pilkada langsung: penyelenggaraan belum terlihat. (2015, Juni Problem dan prospek. Yogyakarta: Pustaka 3). Diakses pada 3 Maret 2016, dari http://print. Pelajar. kompas.com/: http://print.kompas.com/baca/ Buchanan, M., & Tollison, R. D. (1984). Theory regional/nusantara/2015/06/03/biayapilkada of public choice II. USA: The University of Burhani, R. (2010, Februari 25). Jembrana sukses Michigan. E-Voting 54 kepala dusun. Diakses pada 1 Dahl, R. A. (2001). Perihal demokrasi: Menjelajahi Maret 2016, dari www.antaranews.com: http:// teori dan praktek demokrasi secara singkat. www.antaranews.com/berita/175479/jembrana- Jakarta: YOI. sukses-e-voting-54-kepala-dusun Dewi, K H., & Aziz, N. L. L. (Eds). (2016). Gagasan Dirjen Bina Administrasi dan Keuangan Daerah- pemilihan umum kepala daerah asimetris: Kemendagri. (2014). Anggaran pilpres capai menuju tata kelola pemerintahan daerah Rp.62,17 Miliar. Diakses pada 28 Maret 2016, demokratis, akuntabel dan berkelanjutan. dari http://keuda.kemendagri.go.id/ Yogyakarta: Calpulis.

Nyimas Latifah Letty Aziz | Politik Anggaran dalam ... | 63 Ditjen Bina Keuangan Daerah-Kemendagri. (2015, Rappler. (2016, Mei 9). 5 Hal yang perlu kamu keta- April 24). Anggaran pilkada serentak hambat hui mengenai pemilu Filipina. Diakses pada pembangunan daerah. Diakses pada 28 Maret 15 Mei 2016, dari www.rappler.com: http:// 2016, dari http://keuda.kemendagri.go.id/ www.rappler.com/indonesia/132395-5-hal- Ditjen Bina Keuangan Daerah-Kemendagri. (2015, mengenai-pemilu-filipina-2016 Februari 23). Pilkada serentak 2015 diikuti Rifai, A. (2015, Agustus 6). Mahar dalam pilkada. 271 daerah. Diakses pada 28 Maret 2016, dari Diakses pada 6 Mei 2016, dari http://nasional. http://keuda.kemendagri.go.id/ sindonews.com/: http://nasional.sindonews. Fitrat, I. (2013, Desember 29). 5 Pos biaya yang com/read/1029921/18/mahar-dalam-pilka- buat pilkada langsung jadi mahal. Dikutip da-1438823576/2 pada 2016, dari www.republika.co.id: http:// Rochmi, M. N. (2016, Maret 11 ). Berapa mahar nasional.republika.co.id/berita/nasional/ untuk maju di pilkada? Diakses pada 6 Mei politik/13/12/19/my1vwc-5-pos-biaya-yang- 2016, dari www.beritagar.id: https://beritagar. buat-pilkada-langsung-jadi-mahal id/artikel/berita/berapa-mahar-untuk-maju-di- Ini 10 kepala daerah yang tersandung korupsi di pilkada 2014. (2015, Januari 9). Diakses pada 15 Mei Setiawanto, B. (2015, Januari 24). Pilkada serentak 2016, dari http://www.hukumonline.com/: solusi efisiensi biaya. Diakses pada 28 Maret http://www.hukumonline.com/berita/baca/ 2016, dari www.antaranews.com: http:// lt54afebb14ae5a/ini-10-kepala-daerah-yang- www.antaranews.com/berita/476038/pilkada- tersandung-korupsi-di-2014 serentak-solusi-efisiensi-biaya Kemendagri. (2015). Pedoman pengelolaan dan Setiawanto, B. (2015a, Februari 17). Tujuh gelombang pertanggungjawaban belanja pemilihan kepala pilkada serentak 2015 hingga 2027. Diakses daerah dan wakil kepala daerah. Peraturan pada 3 Maret 2016, dari www.antaranews.com: Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2005. http://www.antaranews.com/berita/480618/ Kementerian Dalam Negeri. tujuh-gelombang-pilkada-serentak-2015-hing- Kompas.com. (2015, September 2). Pilkada serentak ga-2027 untuk efisiensi anggaran. (I. D. Wedhaswary, Ssttt, 300 kepala daerah terjerat kasus korupsi: Editor). Diakses pada Maret 28, 2016, dari Ramalan kemendagri selama 8 tahun terakhir. www.kompas.com: http://nasional.kompas. (2013, Februari 14 ). Diakses pada 20 Maret com/read/2012/09/03/10011128/Pilkada. 2016, dari www.rmol.co: http://www.rmol. Serentak.untuk.Efisiensi.Anggaran co/read/2013/02/14/98335/Ssttt,-300-Kepala- Makin banyak kepala daerah korupsi. (2015, Agustus Daerah-Terjerat-Kasus-Korupsi- 6). Diakses pada 15 Mei 2016, dari www.kpk. Syahruldin, U. (2015b, Juni 23). Menakar peluang go.id: http://www.kpk.go.id/id/berita/berita- dan tantangan pilkada serentak. Diakses pada sub/2870-makin-banyak-kepala-daerah-korupsi 3 Maret 2016, dari www.kpu.go.id: http://www. Pratiwi, P. S. (2016, Maret 10). Ahok enggan kpu.go.id/index.php/post/read/2015/3980/ bayar mahar ke partai politik. Diakses Menakar-Peluang-dan-Tantangan-Pilkada- pada 6 Mei 2016, dari www.cnnindonesia. Serentak/berita-kpu-daerah com: http://www.cnnindonesia.com/poli- tik/20160310173821-32-116634/ahok-enggan- bayar-mahar-ke-partai-politik/

64 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 DDC: 335.5

MEMBANGUN DEMOKRASI EKONOMI: STUDI POTENSI KOPERASI MULTI-STAKEHOLDERS DALAM TATA KELOLA AGRARIA INDONESIA

Dodi Faedlulloh Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta Email: [email protected]

Diterima: 25-4-2016 Direvisi: 9-5-2016 Disetujui: 10-6-2016

ABSTRACT As a country that once called as an agrarian country where most of its people were farmers, the situation of agrarian in Indonesia shows the opposite. Land is the source of human life that was dominated by a handful of parties which cater to reach the coffers profit. The hope of people’s welfare is still a problem that has not been completed. Social inequalities are becoming even rampant. The implication of social inequalities resulted in agrarian conflicts in many regions of Indonesia. Resistance of the people in agrarian conflicts is getting bigger. This shows people’s awareness of their rights. Agrarian governance in Indonesia has been stripped away the spirit of economic democracy initiated by the founding fathers. Therefore, the governance paradigm in agrarian must return to the spirit of economic democracy. The method used in this paper is the study of literature and the phenomenological approach to observe the realities that are relevant to the assessment of the potential economic democracy in the governance of agrarian studies in Indonesia. All people have the right to have equal access and not to be oppressed in the use of agrarian resources. One form of the concrete actualization of economic democracy is by developing the cooperation as an alternative solution of agrarian governance in Indonesia. With multi-stakeholder cooperation, agrarian reform can re-discover the substantive meaning, in which there is no longer monopoly of the land and the people’s welfare becomes possible.

Keywords: agrarian, economic democracy, agrarian conflict, cooperation

ABSTRAK Sebagai negara yang pernah memiliki predikat negara agraris karena sebagian besar rakyatnya adalah petani, situasi agraria di Indonesia kini justru menunjukkan hal sebaliknya. Tanah yang merupakan sumber kehidupan manusia justru dikuasai oleh segelintir pihak yang diperuntukkan bagi meraih keuntungan. Harapan tentang rakyat yang sejahtera masih menjadi pekerjaan rumah yang belum usai. Ketimpangan sosial semakin hari justru merajalela. Implikasinya, konflik agraria terjadi di banyak daerah di Indonesia. Perlawanan rakyat dan para petani dalam konflik agraria semakin besar. Hal ini menunjukkan kesadaran rakyat atas hak-haknya. Tata kelola agraria di Indonesia sudah jauh menanggalkan semangat demokrasi ekonomi yang dicetuskan oleh para pendiri bangsa. Oleh karena itu, paradigma dalam tata kelola agraria harus kembali pada semangat demokrasi ekonomi. Metode kajian yang digunakan dalam tulisan ini adalah studi kepustakaan dan menggunakan pendekatan fenomenologis, yakni dengan melakukan pengamatan pada realitas yang relevan dengan kajian tentang potensi demokrasi ekonomi dalam studi tata kelola agraria di Indonesia. Seluruh rakyat berhak memiliki akses yang setara dan tidak saling melakukan eksploitasi dalam memanfaatkan sumber daya agraria. Salah satu bentuk aktualisasi konkret demokrasi ekonomi tersebut adalah dengan mengembangkan koperasi sebagai alternatif solusi tata kelola agraria di Indonesia. Dengan koperasi multi-stakeholders, reforma agraria bisa kembali menemukan maknanya yang substantif, yaitu tidak ada lagi monopoli atas tanah dan kesejahteraan rakyat menjadi mungkin.

Kata Kunci: agraria, demokrasi ekonomi, konflik agraria, koperasi

65 PENDAHULUAN Pada bagian awal, tulisan ini akan mengulas Indonesia dahulu dikenal sebagai negara agraris tentang problem dari kasus agraria di Indonesia, karena sebagian besar mata pencarian rak­yat­ terutama dalam permasalahan ketimpangan kepe- nya bergelut di bidang pertanian. Saat awal milikan lahan. Selanjutnya, pembahasan dibagi kemerdekaan, sekitar 65% penduduk Indonesia ke dalam dua bagian. Pertama, akan diuraikan adalah petani, dan sumbangan sektor ini bagi tentang konsep demokrasi ekonomi. Demokrasi produk domestik bruto (PDB) sebesar 50% ekonomi penting sebagai penyeimbang de- (Dahuri, 2016). Namun, pada saat ini, julukan mokrasi politik, yang sejak reformasi hadir pada tersebut patut dipertanyakan. Gambaran terbaru 1998 sampai saat ini belum memberikan dampak hasil data litbang Kompas, 28 Januari 2016, signifikan terhadap kesejahteraan masyarakat. misalnya, menyatakan bahwa 56% aset berupa Kedua, menjelaskan tentang upaya realisasi properti, tanah, dan perkebunan dikuasai oleh demokrasi ekonomi dengan konsep koperasi 0,2% penduduk Indonesia. Data ini ditambah multi-stakeholders sebagai alternatif tata kelola data sensus pertanian 2013, yang menginforma- agraria. Penjelasan ini dilengkapi dengan model sikan tingginya jumlah petani kecil. Sebanyak dari koperasi multi-stakeholders tersebut. Bagian 26,14 juta petani hanya berlahan rata-rata 0,89 terakhir adalah simpulan berupa refleksi dan ha, sedangkan 14,25 juta lainnya memiliki la- penegasan alternatif tawaran solusi yang dapat han rata-rata kurang dari 0,5 ha. Adapun indeks mengatasi permasalahan agraria yang terjadi di koefisien Gini Indonesia, dari data yang dirilis Indonesia. Adapun metode kajian yang digunakan Badan Pusat Statistik (BPS) pada Maret 2015, dalam tulisan ini adalah studi kepustakaan, yakni menyatakan sudah mencapai angka 0,41. Berke- menelusuri ragam referensi dari pustaka-pustaka naan dengan ketimpangan kepemilikan lahan yang ada dan berkaitan dengan permasalahan ini, secara historis, terdapat preposisi penting yang sedang dikaji untuk memperkaya kerangka bahwa ada hubungan linier antara struktur pen- teoretik, serta mengumpulkan data-data primer guasaan lahan dan pendapatan rumah tangga di dan sekunder melalui bahan-bahan tulisan pedesaan. Kepemilikan lahan memegang faktor dalam berbagai bentuk, yang diharapkan dapat utama dalam ketidaksetaraan struktur pendapatan memudahkan penulis dalam melakukan studi ini. (Supriyati, Saptana, & Supriyatna, 2003). Selanjutnya, tulisan ini menggunakan pendekatan fenomenologis, yakni dengan mengamati realitas Pemerintah tidak bisa berdiam diri dalam yang relevan dengan kajian tentang potensi de- menghadapi permasalahan agraria yang semakin mokrasi ekonomi dalam studi tata kelola agraria hari semakin meningkat. Berarti selama ini masih di Indonesia. ada permasalahan yang melekat dalam kebijakan dan praktik tata kelola agraria di Indonesia. Pertanyaan besar selanjutnya, lantas apa yang MENCARI AKAR MASALAH bisa dilakukan pemerintah? Salah satu langkah Walaupun sudah lebih dari 70 tahun negeri ini yang bisa diambil adalah kembali menjangkarkan merdeka, ternyata cita-cita para pendiri bangsa kebijakan dan praktik tata kelola agraria kepada tentang harapan mencapai kesejahteraan rakyat aras demokrasi ekonomi yang selama ini jauh di­ masih belum terwujud. Mohammad Hatta pernah tinggalkan oleh pemerintah. Padahal, demokrasi memiliki harapan besar bahwa pertanian selayak­ ekonomi sesuai dengan semangat konstitusi yang nya ditempatkan sebagai basis perekonomian menekankan pada visi keadilan sosial, bukan nasional (Nugroho, 2010). Begitu pula Soekarno mengandalkan pertumbuhan ekonomi semata. menempatkan reforma agraria sebagai dasar Tulisan ini tentu tidak bermaksud merayakan fundamental dalam pembangunan Indonesia romantisme “warisan” para pendiri bangsa, tetapi yang berproses menuju masyarakat sosialistik justru menjadi ikhtiar melakukan otokritik terha- berdasarkan pada Pancasila. Hal tersebut dike- dap demokrasi yang pernah lahir, diperjuangkan, mukakan oleh pendiri bangsa untuk menggapai dan berkembang di Indonesia selama ini. keadilan sosial dengan cara memperkuat dan memperluas kepemilikan tanah yang dimiliki

66 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 langsung oleh para penggarap, bukan dimiliki petani turun. Dari tiga bulan terakhir (Oktober, oleh segelintir pihak. Akan tetapi, situasi kekinian November, dan Desember) pada 2015, karena justru berbeda. Pertanian diserbu oleh serangan Tabel 1. Upah Riil Harian Petani kapital, hak-hak agraria rakyat diinjak oleh Tahun proyek-proyek industri dan percepatan ekonomi. 2014 2015 Banyak rakyat, yang terusir dari tanah-tanahnya, Bulan akhirnya harus rela dipaksa beradaptasi menjadi Oktober 38.955 37.918 buruh sesuai dengan kebutuhan dan kehendak November 38.466 37.822 pasar. Rachman (2015) menggambarkan, ekspansi Desember 37.839 37. 486 sistem-sistem produksi kapitalis akan memaksa Sumber: Data BPS (2015) perubahan kehidupan rakyat. Keadaan kampung, tergerus nilai inflasi, upah para petani di Indo- ladang, sawah, hutan, sungai, dan pantai mereka nesia menurun dibandingkan pada 2014. telah, sedang, dan akan terus diubah oleh industri Bila ditilik, potensi pertanian dan sumber pengerukan (batu bara, timah, nikel, pasir besi, daya alam yang dimiliki tanah Indonesia sebenar­ bauksit, emas, semen, marmer, dan sebagainya), nya sangat besar dan bisa menjadi sumber ke- industri pulp and paper, industri perkebunan hidupan dan penghidupan rakyat. Namun, sampai kelapa sawit, industri perumahan dan turisme, saat ini kemiskinan seolah-olah tidak bisa terlepas industri manufaktur, dan sebagainya. dari keseharian hidup rakyat Indonesia. Apabila Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Suse- mempelajari benar soal mengapa menjadi miskin, nas) yang dirilis BPS (2015) menginformasikan terlebih pada konteks permasalahan agraria di In- angka kemiskinan di Indonesia masih tinggi, donesia, kemiskinan di Indonesia tak lain adalah yakni sampai September 2015 ada 28,51 juta jiwa pemiskinan yang tercipta karena faktor struktural. (11,13%) yang terkategorikan sebagai penduduk Sumber kehidupan rakyat direbut oleh negara dan miskin. Angka ini justru bertambah dari tahun kekuatan kapitalisme yang sudah hegemonik di sebelumnya, yakni pada bulan yang sama 2014 negeri ini. Hal ini merupakan paradoks. Beberapa angka kemiskinan rakyat Indonesia berjumlah temuan penelitian mengungkapkan negara meru- 27,73 juta penduduk (10,96%). Kemiskinan pakan salah satu faktor penting penyebab konflik memang merupakan permasalahan yang sangat agraria, sementara solusi konflik itu sendiri sangat kompleks, dan persoalan agraria merupakan salah bergantung pula pada negara (Bachriad, 2001; satu bagian dari kompleksitas tersebut. Data BPS Lucas, 1997; Ruwiastuti, 1997; Fauzi, 1999). (2015) menginformasikan bahwa upah buruh riil Maka tak mengherankan jika fenomena yang se-

Sumber: Survei Sosial Ekonomi Nasional BPS (2015) Gambar 1. Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin 2009–2015

Dodi Faedlulloh | Membangun Demokrasi Ekonomi: ... | 67 benarnya ironi, tetapi telah menjadi pemandangan 9 kasus (4%), serta pertanian dan pesisir-kelautan biasa terjadi di tanah air ini, yaitu konflik agraria. 4 kasus (2%). Berdasarkan pada laporan data Konflik agraria, dari segi dimensi struktural- konflik agraria KPA di 35 provinsi, enam besar vertikal, bukanlah perkara kelangkaan sumber provinsi “penyumbang” konflik agraria pada daya tanah saja, melainkan perebutan sumber 2015 adalah; (1) sebanyak 36 konflik daya agraria berupa ekspansi besar-besaran oleh (14,4%); (2) Jawa Timur 34 konflik (13,6%); (3) pemodal untuk menguasai sumber daya agraria Sumatera Selatan 23 konflik (9,2%); (4) Sulawesi yang sebelumnya dikuasai rakyat. Konflik juga Tenggara 16 konflik (6,4%); (5) Jawa Barat dan kerap terjadi dalam konteks pemaksaan terhadap Sumatera Utara 15 konflik (sama-sama 6,0%); komoditas tertentu yang dimaksudkan untuk serta (6) 12 konflik (4,8%). Di luar data mendorong kebutuhan pasar, bukan disandarkan kuantitatif mengenai konflik agraria ini, ada hal pada kebutuhan riil rakyat setempat. Posisi pe­ yang terus berulang dalam setiap peristiwa kon- tani pun semakin melemah ketika mereka tidak flik, yaitu perlawanan para petani. Di antaranya memiliki kekuatan aliansi sehingga selalu kalah adalah perlawanan sehari-hari yang bersifat terse- dan dikalahkan oleh kekuatan-kekuatan eksternal mbunyi (Scott, 2000). Walaupun tidak dilakukan (Zunariyah, 2012). terorganisasi dengan aksi massa, perlawanan tersembunyi terjadi secara konsisten. Strategi Pada 2015, merujuk ke data yang dilansir oleh Serikat Petani Indonesia (SPI), jumlah kon- ini dipilih karena dinilai lebih aman dibanding flik agraria yang terjadi di Indonesia mencapai dengan gerakan aksi massa yang membutuhkan 231 kasus dengan total luas lahan konflik seluas instrumen organisasi yang mudah terlihat oleh 770.342 ha. Data ini meningkat signifikan men- pihak penguasa. Maka, aksi-aksi yang muncul jadi 60% dibandingkan tahun sebelumnya, yang dengan cara ini lebih berkarakter resistensi indi- mencapai 143 kasus. Setidaknya sudah ada 3 vidual dengan cara melakukan sabotase, menipu, petani yang menjadi korban tewas, 194 petani mengumpat, dan sebagainya. menjadi korban kekerasan, 65 petani dikriminali­ Namun, gerakan perlawanan kontemporer sasi, dan lebih dari 2.700 keluarga petani tergusur yang lebih terorganisasi pun tidak sedikit jum- dari lahan pertanian (Ikhwan, 2015). Peningkatan lahnya. Kita bisa melihat bagaimana aksi heroik angka konflik terus terjadi, di antaranya, karena perlawanan rakyat dalam konflik agraria di Kulon pembangunan infrastruktur, perluasan lahan, Progo, Urut Sewu, Rembang, dan daerah-daerah dan operasi perkebunan skala besar di Indone- lainnya yang berani tampil secara terbuka melaku- sia semakin meluas (KPA, 2015), yang tidak kan perlawanan. Hal yang perlu digarisbawahi, menghormati HAM serta menghormati hak-hak walaupun melakukan upaya perlawanan, sering masyarakat setempat (termasuk kelompok ma- kali para petani menjadi pihak yang dikalahkan syarakat adat) atas tanah dan sumber daya alam. oleh kekuatan besar kolaborasi antara negara dan Yang tidak kalah penting, pendekatan represif kapital. Para petani seperti tidak punya kedaulatan oleh aparat keamanan atau pihak pengamanan atas tanah-tanah mereka sendiri. Lembaga hukum perusahaan di lapangan juga sering memperparah formal pun bertransformasi menjadi state aparatus keadaan konflik. yang selalu siap mendukung para penguasa karena Senada dengan yang dikemukakan SPI, terkooptasi dengan kepentingan pemilik kapital. catatan data Konsorsium Pembaruan Agraria Data yang telah dijelaskan di muka (KPA) pun menunjukkan kemiripan informasi. menggambarkan bagaimana ketimpangan dan Sepanjang 2015, terjadi konflik agraria yang tidak berdaulatnya rakyat kepada akses sumber sebanyak 252 kasus dengan luas lahan konflik kehidup­an atas tanah. Inilah permasalahan men- 400.430 ha dan melibatkan 108.714 keluarga. dasar yang perlu dijawab dengan segera. Sama Sumber konflik yang dicatat KPA menyatakan sekali tidak ada demokrasi atas aktivitas ekonomi sektor perkebunan menempati urutan pertama yang berhubungan dengan agraria. Padahal, UU dengan 127 konflik (50%), pembangunan in- PA Nomor 5 Tahun 1960 menghendaki tidak ter- frastruktur 70 kasus (28%), kehutanan 24 kasus ciptanya monopoli usaha-usaha lapangan agraria, (9,60%), pertambangan 14 kasus (5,2%), lain-lain

68 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 tapi sekarang terjadi sebaliknya. Tanah hanya pasar juga tidak lebih hanya kembali memperkuat dikuasai segelintir pihak, yang parahnya malah posisi kapitalisme di dalam struktur ekonomi didukung penuh secara formal melalui ragam Indonesia. Oleh karena itu, saat ini kiranya perlu regulasi oleh negara. Apa yang menjadi amanah kembali menciptakan momentum untuk meng- Pasal 33 UUD 1945 jauh panggang dari api. hadirkan kembali semangat demokrasi ekonomi Tidak ada istilah “dari rakyat, oleh rakyat, untuk tersebut dalam tata kelola agraria di Indonesia. rakyat” dalam tata kelola agraria di Indonesia, Untuk menghadirkan demokrasi ekonomi yang ada hanya dari rakyat, oleh kapitalis, dan dalam tata kelola agraria, perlu kebijakan yang untuk kapitalis itu sendiri. mendukungnya. Bicara mengenai kebijakan tidak Konflik agraria dan ketimpangan sosial yang bisa lepas dari peran ilmu administrasi publik. terjadi disebabkan oleh faktor kebijakan dan Dalam pergulatan wacana administrasi publik paradigma dalam tata kelola agraria kita yang kontemporer sebenarnya banyak mengalami sangat dipengaruhi oleh kapitalisme. Mengenai pergeseran ke paradigma yang lebih progresif dan hal ini jelas ada yang jauh ditinggalkan dalam berpihak kepada kaum yang lemah. Administrasi paradigma tata kelola agraria di Indonesia, yaitu publik tidak lagi tersekat dalam cara pandang demokrasi ekonomi. Berbicara soal konsepsi “selalu negara”. Terlebih, setelah Denhardt dan demokrasi ekonomi maka tidak bisa lepas dari Denhardt (2007) menerbitkan karya monumen- pemikiran Moh. Hatta. Bagi sang founding fa- talnya, New Public Service (NPS), yang menjadi ther, untuk membangun perekonomian nasional, salah satu grand theory dalam perkembangan diperlukan doktrin demokrasi ekonomi karena administrasi publik. Studi NPS menekankan soal tujuan dari ekonomi bangsa adalah kemakmuran kesejahteraan, keadilan sosial, dan partisipasi ma- rakyat, bukan kemakmuran individu seperti yang syarakat. NPS berakar dari model komunitas dan tecermin dalam realitas saat ini. Bagi Moh. Hatta masyarakat sipil yang akomodatif terhadap peran (1985), kemakmuran ditujukan bagi semua orang, masyarakat dalam membangun tata pemerintahan produksi dikerjakan bersama-sama di bawah yang demokratis. Dengan kata lain, partisipasi pimpinan anggota-anggota masyarakat. masyarakat adalah kunci. Begitu pula dalam konteks agraria di In- Kemudian, jauh sebelum Duet Denhart donesia, hendaknya sumber daya yang dimiliki membicarakan tentang NPS, Frederickson (1988) Indonesia diarahkan untuk tujuan kemakmuran sudah mulai membicarakan tema penting tentang dan kesejahteraan bersama. Oleh sebab itu, tanah keadilan sosial. Membahas keadilan sosial tidak perlu diberi akses langsung kepada rakyat atau bisa dilepaskan dari demokrasi. Kedua konsep para petani sebagai anggota masyarakat. Sen ini saling berkelindan. Seperti yang dijelaskan (2000) pernah menekankan bahwa tanpa de- Reinhold Niebuhr (Frederickson, 1988) bahwa mokrasi ekonomi akan berdampak pada muncul- kemampuan manusia untuk berbuat adil mem- nya ketidakadilan. Sebagai adagium demokrasi, buat demokrasi mungkin, tetapi kecenderungan demokrasi politik dan demokrasi ekonomi adalah manusia untuk berbuat tidak adil membuat dua hal penting yang harus berjalan secara linier. demokrasi perlu. Pada titik inilah penulis men- Demokrasi politik tanpa demokrasi ekonomi coba mengelaborasi argumen tentang pentingnya hanya akan melahirkan apa yang disebut plu- demokrasi ekonomi dalam perspektif NPS, yang tokrasi dan/atau oligarki, kekuasaan di tangan membuka peluang publik untuk melaksanakan orang-orang kaya, segelintir orang yang berpa- “pelayanan publiknya” sendiri. tron dengan sekelompok elite partai politik (Idris, Dengan semangat kemandirian publik yang 2012). Seperti yang terjadi sekarang, Indonesia mengilhami NPS, pembacaan penulis terhadap mulai merayakan demokrasi politik setelah rezim gagasan Denhardt dan Denhardt (2007) menun- Orde Baru lengser, tetapi demokrasi politik yang jukkan bahwa mereka begitu memerhatikan minus demokrasi ekonomi belum bisa mengatasi prinsip seperti keadilan, partisipasi publik, dan permasalahan kemiskinan yang ada. Orientasi pe- deliberasi. Dengan prinsip keadilan, seseorang rubahan pascareformasi yang menjurus ke sistem dapat merasakan saat dirinya tereksploitasi atau

Dodi Faedlulloh | Membangun Demokrasi Ekonomi: ... | 69 tidak. Kemudian, partisipasi publik merupakan pada maksimalisasi motif profit dalam pembuatan proses pelibatan rakyat, dari proses perencanaan keputusan ekonomi (Luviene, Stietely, & Hoyt, sampai implementasi sebuah kebijakan. Dengan 2010). deliberasi, masyarakat memperoleh pijakan Demokrasi ekonomi kembali menjadi hangat umum bagi terbangunnya solidaritas dan komit- dibahas oleh para pakar sosial mulai 1970-an. men bersama. Dalam cara pandang NPS ini, kelak Tetapi, secara nilai, demokrasi ekonomi sudah sumber daya seperti pertanian, perkebunan, hutan, melekat dalam praktik gerakan koperasi modern dan pertambangan ada kemungkinan dikelola pada abad ke-18 di Inggris, yang ditandai de­ langsung oleh masyarakat untuk kesejahteraan ngan lahirnya Koperasi Rochdale. Di Indonesia masyarakat. sendiri, Moh. Hatta sering menyinggung tentang pentingnya demokrasi ekonomi bagi kehidupan PEMBAHASAN berbangsa di Indonesia. Ekonomi bagi Hatta tidak 1. MENAKAR DEMOKRASI bisa dilepaskan dari aspek sosial. Prof. Sritua EKONOMI Arief (Swasono, 2002) menyebutkan, esensi pe- mikiran Bung Hatta terdiri atas dua aspek pokok, Dalam catatan sejarah, Indonesia selalu diwarnai yaitu transformasi ekonomi dan transformasi so­ dengan permasalahan agraria. Sejak masa feodal, sial (economic and social transformation). Kedua kolonial, hingga era setelah kemerdekaan bahkan aspek ini termaktub dalam pemikiran Bung Hatta, sampai sekarang, konflik atau sengketa agraria yang tak bisa dipisahkan satu sama lain sehingga selalu hadir. Ketika konflik terjadi, rakyat selalu keduanya membentuk suatu kesatuan yang utuh. tampil melakukan resistensi dan melawan menun- Namun, yang terjadi kini adalah sebaliknya: tut keadilan. Ketegangan sosial tersebut mencip- ekonomi tumbuh berdiri sendiri menanggalkan takan gesekan antara pihak yang dieksploitasi sendi-sendi sosialnya. Tidak ada lagi per- dan yang mengeksploitasi. Selain perlawanan, hal yang lahir dari ketegangan gesekan tersebut timbangan terkait dengan ekologi dan sosial. adalah mimpi kedaulatan dan kemandirian eko- Perkebunan kelapa sawit yang telah merajalela nomi yang hendak diaktualisasi. Cita-cita pendiri demi permintaan pasar adalah contoh ironi yang bangsa tentang reforma agraria adalah satu tanda bisa dipelajari. Pertumbuhan sektor kelapa sawit yang penting untuk mewujudkan mimpi itu. memang secara langsung berdampak pada per- Terbitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tumbuhan ekonomi yang sekarang dimanfaatkan tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria oleh pemerintah guna mengundang investor untuk adalah momentum penting pasca-kemerdekaan datang ke Indonesia. Namun, sayangnya karena karena memutus hubungan dengan hukum agraria kacamata yang digunakan hanyalah soal ekonomi kolonial. Salah satu poin dari undang-undang dan angka, kehadiran perkebunan kelapa sawit ini adalah menghindari praktik monopoli. Se- secara besar-besaran mengancam eksistensi hutan cara tidak langsung, regulasi ini menghendaki di Indonesia. demokrasi ekonomi dalam pengelolaan agraria Hal ini terjadi karena sering kali pengem- di Indonesia. bangan lahan perkebunan kelapa sawit dibangun Dalam demokrasi ekonomi, rakyat diberi di lahan hutan konversi. Kasus ini menunjukkan kesempatan untuk menciptakan kekayaan dengan bagaimana ketika sumber daya tanah telah dikua- mendapatkan akses yang adil dan setara terhadap sai secara eksklusif oleh perusahaan-perusahaan sumber daya ekonomi. Makna sederhana dari besar. Demi meraih keuntungan yang besar, demokrasi ekonomi adalah pengaturan sosial mereka tidak peduli terhadap keberlanjutan ekonomi yang dikendalikan secara demokratis. keharmonisan alam. Dampak sosial terusirnya Institusi ekonomi dalam bentuk bisnis, keuangan, rakyat dari tanah-tanah mereka demi berdirinya penelitian, dan pengembangan, sampai sektor lahan sawit yang bisa menguntungkan sama pendidikan. Demokrasi ekonomi sama sekali sekali bukan menjadi perkara bagi perusahaan. tidak menolak pasar, tetapi tidak menekankan Tentunya hal semacam ini bisa diminimalisasi,

70 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 bahkan dilawan, bila perekonomian dimiliki dan in the context of community concerns” (Denhardt dikelola secara demokratis oleh anggota-anggota & Denhardt, 2007). masyarakat yang memiliki kepentingan terhadap Di dalam kelompok masyarakat sipil, akses sumber daya ekonomi (lahan) tersebut. individu melakukan dialog deliberatif tentang Banyak model demokrasi ekonomi modern berbagai masalah mereka. Dengan titik pijak yang dijalankan oleh negara-negara di dunia, ini, paradigma NPS memandang citizens atau dari model demokrasi konservatif, demokrasi rakyat perlu terlibat aktif dalam tata kelola liberal, sampai demokrasi sosial. Namun, se- pemerintahan, termasuk dalam urusan aktivitas bagai ciri khas yang melekat di dalam negara sosial-ekonomi, dan pemerintah (government) demokrasi Indonesia sebagaimana disebutkan tidak lagi dalam posisi sebagai penguasa yang oleh Moh. Hatta, demokrasi kita berdasarkan hanya “memerintahkan”, tetapi justru harus pada kedaulatan rakyat (Suroto, 2011). Dalam memberdayakan rakyat, menciptakan kondisi konteks ini, rakyatlah yang berkuasa, sementara agar rakyat mampu menunjukkan kapasitasnya pemerintah harus tunduk mengikuti hati nurani sebagai subjek pembangunan. Menurut Denhardt rakyat di dalam melaksanakan tugas-tugas peng­ dan Denhardt (2007), pemerintah mempunyai urusan negara. Perbedaan fundamental yang kewajiban menjamin hak-hak individu warganya kemudian ditegaskan kembali oleh Hatta adalah melalui berbagai prosedur yang ada. Mereka dasar demokrasi kita bukanlah pada semangat mengatakan, “The role of government is to make individualisme, melainkan pada semangat ke- sure that the interplay of individual self-interest bersamaan dalam artian kolektivitas. operates freely and fairly” (Denhardt & Denhardt, Sebuah sistem perekonomian yang de- 2007). Dalam hal ini, rakyat kemudian melibat- mokratis memiliki beberapa syarat, antara lain kan diri dalam penentuan-penentuan kebijakan demokrasi politik harus berjalan, persamaan hak pemerintah. Semangat itu, meminjam istilah politik, hak untuk beraspirasi, berkedudukan yang Mansbridge (1994), disebut sebagai public spirit. sama di dalam hukum, dan seterusnya (Suroto, Hal ini perlu menjadi tekanan tersendiri karena 2011). Dalam konteks ini, bangunan sistem poli- saat ini realitas menunjukkan bahwa pemerintah tik pun harus selaras dengan sistem demokrasi bertindak selayaknya penguasa terhadap kepe- ekonominya. Berarti, proses ekonomi yang milikan tanah. Kalau tidak dikuasai oleh negara berjalan dibangun dalam kerangka emansipasi yang direpresentasikan oleh rezim yang korup, rakyat, bukan pengejawantahan sentralisme se­ tanah justru dikomersialkan kepada para pemi- perti yang terjadi pada masa Orde Baru. Dengan lik kapital. Konsekuensinya adalah eksploitasi. kata lain, rakyatlah yang bicara sebagai subjek Padahal, baik negara maupun individu tidaklah pembangunan. berhak mengeksploitasi rakyat. Dalam paradigma NPS, demokrasi ekonomi 2. MENGGAGAS DEMOKRASI akhirnya menemui relevansinya. Salah satu akar gagasan Denhardt dan Denhardt (2007) adalah EKONOMI model of community and civil society. Komu- Sebenarnya masalah agraria dan pengelolaan nitas dan masyarakat sipil dapat terbentuk dari sumber daya alam Indonesia pernah dirumuskan berbagai macam hubungan sosial. Hubungan itu secara sederhana oleh elite pemerintahan nasional bisa berasal dari kelompok sukarela, kelompok melalui Ketetapan MPR RI No. IX/MPRRI/2001 ibadah, asosiasi kewargaan, kelompok tetangga, tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan klub sukarela, kelompok sosial, klub hobi, olah- Sumber Daya Alam, yakni i) Ketimpangan raga, dan sebagainya. Hubungan-hubungan itu pengua­saan tanah dan sumber daya alam di tangan tanpa mereka sadari telah memediasi individu segelintir perusahaan, ii) konflik-konflik agraria dengan masyarakat. Sampai titiknya, intensitas dan pengelolaan sumber daya alam yang meletus komunitas-komunitas itu berubah menjadi kelom- di sana-sini dan tidak ada penyelesaiannya; serta pok masyarakat sipil. Pada titik ini, “in which iii) kerusakan ekologis yang parah dan membuat people need to work out their personal interest layanan alam tidak lagi dapat dinikmati rakyat

Dodi Faedlulloh | Membangun Demokrasi Ekonomi: ... | 71 worker-members can share consumer-members are shore in ownership and Multi- co-ownrs where they government of their jobs stakeholder purchase goods and services Co-op

producer-members can community members co operatively market benefit from strong their goods co-ops and good jobs

Sumber: (BCCA, 2016) Gambar 2. Relasi Koperasi Multi-Stakeholders

(Rachman, 2015). Namun, seperti yang diketahui Agenda mewujudkan cita-cita demokrasi saat ini, perumusan ini belum terlaksana secara ekonomi memang tidak mudah, tetapi bukan optimal karena belum ada tindak lanjut yang berarti tidak ada peluang sama sekali. Hal ini serius dari pemerintah. Padahal, seperti yang mengingat demokrasi ekonomi adalah imajinasi dijelaskan sebelumnya, para pendiri bangsa sudah yang perlu diperjuangkan untuk tata kelola Indo- menancapkan jangkar berupa demokrasi ekonomi nesia yang lebih baik. Perjuangan itu harus terus- dalam sistem perekonomian Indonesia. menerus diupayakan, dibangun secara bertahap Prinsip demokrasi ekonomi adalah keterlibatan dan konsisten tanpa henti. Demokrasi ekonomi aktif dan emansipasi masyarakat dalam melak- bukan untuk dijadikan materi politisasi saat sanakan aktivitas ekonomi yang berlandaskan kampanye atau jargon-jargon para elite karena pada kesetaraan dan keadilan pada akses sumber demokrasi ekonomi adalah praktik keseharian daya ekonomi. Hak yang setara bukan berarti ke- tentang kesetaraan yang langsung menjadi basis bebasan sebagaimana yang dibangun oleh sistem pada struktur relasi kehidupan masyarakat. Hal pasar (kapitalisme). Hal ini terjadi karena kebebasan ini bukan tanpa alasan karena, bagaimanapun, ke- yang diagungkan oleh gagasan liberalisme seperti bebasan bersuara kelak menjadi tidak bermakna itu berdampak pada kompetisi yang saling menga- ketika pada waktu yang bersamaan orang-orang lahkan untuk memiliki lebih banyak kepemilikan yang sedang menggunakan hak demokrasi politik sumber daya ekonomi secara eksklusif. Itulah perutnya kosong kelaparan. Oleh karena itu, yang kini terjadi di Indonesia. Hanya mereka yang mencari titik keseimbangan antara demokrasi memiliki kapital besar yang mampu menguasai dan politik dan demokrasi ekonomi menjadi agenda mendominasi kekayaan Indonesia. Minoritas yang yang mendesak untuk dilaksanakan. Kebijakan- memiliki kapital besar mempunyai privilege (hak kebijakan yang pro terhadap demokrasi ekonomi istimewa) dalam dominasi perekonomian diban­ perlu digagas kembali. Pada kesempatan ini, dingkan orang-orang yang hanya mengandalkan penulis berupaya melakukan elaborasi dan tin- gaji seperti para buruh. Padahal, sumber nilai dan jauan kritis atas pentingnya gagasan demokrasi kekayaan yang diciptakan untuk pembangunan ekonomi dan potensinya untuk memperkuat Indonesia tidak lepas dari hasil keringat para buruh. demokrasi di Indonesia. Akan tetapi, para buruh justru tidak mendapatkan Salah satu sarana untuk mencapai demokrasi dampak serta manfaat pertumbuhan ekonomi ekonomi adalah melalui kepemilikan koperasi tersebut. Secara jumlah, dari segi kekayaan, 10% dengan semua anggota masyarakat yang ber- orang terkaya di Indonesia menguasai sekitar 77% partisipasi. Dalam hal ini, memperluas struktur kekayaan di negeri ini. Lebih kontras lagi, 1% orang kepemilikan dapat membangun kembali penataan terkaya tersebut menguasai 50,3% kekayaan bangsa kepentingan yang membantu mendamaikan kon- ini. Sisa kekayaan yang 50% lagi diperebutkan oleh flik antara kapitalis dan petani yang terkena dam- 99% penduduk atau 247,5 juta jiwa (Gianie, 2015). pak proletarisasi. Kepemilikan bersama tersebut

72 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 bisa menjadi ikhtiar dalam membantu menggali Ihwal penting dari gagasan membangun akar kekayaan komunitas (rakyat) dan menjaga koperasi multi-stakeholders adalah ikhtiar untuk sumber daya dari kebocoran karena kepentingan- memutus rantai sirkulasi kapitalisme yang, dalam kepentingan segelintir pihak. Hal ini perlu konteks agraria, menurut Rachman (2015), dipahami sebagai upaya menjawab permasalahan mendorong pemutusan hubungan tanah dengan agraria karena dampak komodifikasi kapitalisme bentuk pemaksaan penghentian akses rakyat atas dan kepemilikan eksklusif individu-individu atas tanah dan kekayaan alam tertentu, lalu tanah tanah. Terlebih, dengan corak jaringan kapita­ dan sumber daya alam tersebut masuk modal lisme kontemporer yang semakin canggih dengan perusahaan-perusahaan kapitalistik. Akhirnya jaringan global, mau tidak mau, agar hubungan banyak petani yang menjadi korban, termasuk antara rakyat dan tanah airnya tidak terputus, koperasi yang malah masuk arus lingkaran mengusung koperasi sebagai alternatif tatanan sirkulasi kapitalisme. Hal ini terjadi karena, agraria di Indonesia perlu segera dilaksanakan. dalam industri pangan, petani hanya diperas Demokrasi ekonomi dalam konteks agraria untuk menghasilkan “bahan mentah”, sedangkan salah satunya bisa diejawantahkan dalam bentuk proses selanjutnya adalah lahan khusus bagi koperasi multi-stakeholders. Istilah ini berlaku perusahaan-perusahaan besar yang beraksi. Kita untuk koperasi yang anggotanya mewakili lebih sebagai konsumen hanya mengetahui barang siap dari satu kelompok kepemilikan, seperti pekerja, konsumsi tersebut dalam bentuk nominal harga konsumen, dan produsen. Secara praktik, model yang tersaji di etalase-etalase swalayan. Rantai “hybrid” ini telah aktif dan banyak dipraktikkan panjang “produksi-distribusi-konsumsi” ini tidak dalam gerakan koperasi di beberapa belahan menempatkan rakyat yang berhak mengelola ta- dunia. Model ini merupakan perkembangan dari nah dan para petani pada tempat yang selayaknya. praktik dan pengetahuan koperasi yang perlu Dengan kata lain, tidak ada emansipasi dalam diuji coba sebagai perjuangan dalam menemu- corak produksi industri. kan alternatif tentang “dunia yang lain” selain Dalam kasus ini, koperasi multi-stakeholders kapitalisme. Implikasi dari model koperasi ini menjadi peluang yang perlu diperbesar kemung- tentu dengan lebih dari satu kelompok kepemi- kinannya untuk membangun ekonomi yang lebih likan diperlukan komitmen yang lebih tinggi, emansipatif. Koperasi model ini dikelola oleh koordinasi dan manajemen yang lebih ekstra. perwakilan dari beberapa kelompok stakeholder, Namun, penekanan penting dari koperasi ini dari para petani yang menjadi produsen, pekerja, adalah memberikan kemungkinan kepada kita distributor, para sukarelawan, community sup- untuk membangun usaha yang memperhitungkan porters, sampai konsumen dengan berbasiskan kebutuhan riil anggota (rakyat) yang berbeda- solidaritas. Model ini membuka ruang partisipasi beda latar belakang. Dengan beragam kelompok dialog bagi para anggota untuk membicarakan anggota, menjadi daya dukung koperasi untuk agenda-agenda bersama, tema-tema seperti mampu berani menggunakan pendekatan yang pemilihan pengurus dan badan pengawas yang berbeda, beragam, serta sesuai dengan ide-ide dan representatif, pengangkatan manajemen, serta aspirasi para anggota. sharing hasil usaha yang adil di antara kelompok

Farmers Aggregation/Processing Distribution Retailers/Consumers

Sumber: Hansen dan Pleasant (2015) Gambar 3. Rantai Industri Pangan

Dodi Faedlulloh | Membangun Demokrasi Ekonomi: ... | 73 Processing Aggregation Distributors Packing, washing, storage Regional farmers and producers

Consumers Retailers, restaurant, institution

Sumber: Hansen dan Pleasant (2015) Gambar 4. Rantai Pangan dengan Koperasi Multi-Stakeholders

berbeda yang juga mewakili kebutuhan yang mendapatkan akses yang setara dan tidak saling berbeda pula. Rantai-rantai yang sebelumnya ter- mengeksploitasi dalam memanfaatkan sumber pisah satu sama lain, yang sering membuat para daya agraria. Dalam konteks ini, pemerintah wajib konsumen tidak pernah mengenal para petaninya, mengambil peran untuk menciptakan kebijakan dalam gagasan koperasi multi-stakeholders ini agraria sesuai dengan tujuan saat negeri ini dulu bisa dijembatani (Faedlulloh, 2015). berdiri, yakni kesejahteraan rakyat. Salah satu Dengan landasan multi-stakeholders, secara ikhtiar untuk menjawab permasalahan yang terus implisit kerangka dari model koperasi ini mencu- menyelimuti kasus agraria di Indonesia adalah kupi untuk dimaknai sebagai kepentingan publik. kembali membangun demokrasi ekonomi. De­ Denhardt dan Denhardt (2007) menegaskan ngan demokrasi ekonomi, agenda reforma agraria bahwa kepentingan publik merupakan hasil dia- bisa kembali menemukan maknanya yang lebih substantif. log dan proses berbagi nilai kepentingan individu. Proses berbagi dan dialog ini bertujuan mema- Realisasi dari demokrasi ekonomi dalam hami keinginan publik. Sementara bagi pemer- ranah agraria bisa diimplementasikan melalui intah, kepentingan publik tiada lain merupakan koperasi multi-stakeholders. Koperasi multi- standar etis bagi penyelenggaraan pemerintahan. stakeholders memberi peluang untuk membangun Hal ini menegaskan bahwa pemerintah tidak bisa ekonomi yang lebih emansipatif. Dari perspektif menolak gagasan koperasi multi-stakeholders rakyat sendiri, gagasan koperasi multi-stake- sebagai wujud dari demokrasi ekonomi dalam holders bisa dijadikan perjuangan baru untuk tata kelola agraria di Indonesia. Jadi, tidak ada melakukan transformasi dari solidaritas sosial alasan bagi pemerintah untuk terus berdiam diri menjadi solidaritas ekonomi. Dalam konteks ini, di hadapan konflik-konflik agraria yang terjadi pemerintah bisa mengambil peran turun tangan di tanah air. dalam menciptakan kondisi dan iklim yang kon- dusif bagi masyarakat untuk bisa bekerja sama dalam wadah koperasi. PENUTUP Kerja sama antarkoperasi merupakan prinsip Dari eksplanasi di muka, bisa ditarik beberapa koperasi yang tidak bisa ditinggalkan dalam benang merah. Sejatinya, semua rakyat berhak praktik berkoperasi yang berlandaskan pada jati

74 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 diri. Maka, gagasan setiap berdirinya koperasi Lucas, A. (1997). Land disputes, the bureaucracy, and multi-stakeholders ini pun tiada lain ditujukan local resistance in Indonesia. Dalam Schiller, untuk menyinergikan kekuatan ekonomi antara J dan Barbara Martin Schiller (ed.), Imaging Indonesia: Cultural politics and political koperasi-koperasi baik lokal, lintas regional, culture. Ohio: Centre For International Studies. nasional, bahkan internasional. Luviene, N., Stietely, A., & Hoyt, L. (2010). Sustainable economic democracy: Worker PUSTAKA ACUAN cooperatives for the 21st Century. Cambrdige: MitColab Community Innovator Lab. Bachriadi, D. (2001). Situasi perkebunan di Indonesia Mansbridge, J. (Ed.). (1994). Public spirit in political kontemporer dalam prinsip-prinsip reforma systems. Dalam Aaron, Henry J., Mann, T., & agraria: Jalan penghidupan dan kemakmuran Taylor, T. (Eds.), Values and public policy, pp. Rakyat. Yogyakarta: Lepera Pustaka Utama. 146-72. Washington, DC: Brooking Institution. Dahuri, R. (2016). Transformasi Struktur Ekonomi. Nugroho, T. (2010). Mubyarto dan ilmu ekonomi yang Diakses 1 Juni 2016 dari http://www.koran-sindo. membumi. Dalam Endriatmo Soetarto (Ed.), com/news.php?r=1&n=2&date=2016-02-16 . Pemikiran agraria bulaksumur: Telaah awal Denhardt, R. B., & Denhardt, J. V. (2007). New atas pemikiran Sartono Kartodirdjo, Masri Public Service (Expanded Edition). London: Singarimbun, dan Mubyarto. Yogyakarta: ME Sharpe. STPN Press-Sajogyo Institute. Faedlulloh, D. (2015). Koperasi sebagai alternatif Rachman, N. F. (2015). Memahami reorganisasi ruang tata kelola agraria. Diakses 5 Maret 2016 dari melalui perspektif politik agraria. Jurnal Bhumi http://indoprogress.com/2015/06/koperasi- 1(1). sebagai-alternatif-tata-kelola-agraria/. Ruwiastuti. (1997). Penghancuran hak masyarakat atas Fauzi, N. (2000). Otonomi daerah dan sengketa tanah: tanah: Sistem penguasaan tanah masyarakat adat Pergeseran politik di bawah problem agraria. dan hukum agraria. Bandung: KPA. Yogyakarta: Pustaka Utama. Sen, A. (2000). Demokrasi bisa memberantas kemiski- Frederickson, G. (Ed.). (1974). A symposium on nan. Bandung: Penerbit Mizan. social equity and public administration. Public Scott, J. C. (2000). Senjatanya orang-orang yang kalah Administration Review 34 (1). (penerjemah Sayogyo et al.). Jakarta: Yayasan Frederickson, G. (1988). Administrasi negara baru. Obor Indonesia. Jakarta: LP3ES. Supriyati, Saptana, & Supriyatna. (2003). Hubungan Gianie. (2015, 16 Desember). Sumber dan solusi penguasaan lahan dan pendapatan rumah ketimpangan sosial. Kompas. tangga di pedesaan (Kasus di Provinsi Jawa Hatta, M. (1985). Membangun ekonomi Indonesia. Tengah, Sumatera Barat, dan Kalimantan Barat). SOCA (Socio-Economic of Agriculture Jakarta: Inti Idayu Press. and Agribusiness) 3(2), 2 Juli 2003. Hansen, M., & Pleasant, L. (2015, 18 Februari). Local Suroto, (2011). Mewujudkan koperasi yang ideal food with a big twist: Oregon super-cooperative menuju demokrasi ekonomi kerakyatan. Diak- takes aim at the corporate food system. Yes! ses 5 Maret 2016 dari http://www.suroto. Magazine. Diakses 23 Mei 2016 dari http:// net/2011/05/mewujudkan-koperasi-yang-ideal- www.yesmagazine.org/new-economy/local- menuju.html. food-with-big-twist-our-table-sherwood. Swasono, S. (2002). Bung Hatta bapak kedaulatan Idris, A. (2012). Penguatan ekonomi kerakyatan rakyat. Jakarta: Yayasan Hatta Jakarta. berdasarkan demokrasi ekonomi. Makalah Zunariyah, S. (2012). Dilema ekspansi perkebunan disampaikan dalam Diskusi Ilmiah MPR RI kelapa sawit di Indonesia: Sebuah tinjauan dan Universitas Almuslim, 2012. sosiologi kritis. Diakses 6 Maret 2016 dari Ikhwan, M. (2015). Catatan akhir tahun perta- https://eprints.uns.ac.id/13213/. nian Indonesia 2015: Kedaulatan pangan dan reforma agraria telah dibajak oleh kekuatan Internet pasar. Diakses 6 Maret 2016 dari http://www. spi.or.id/catatan-akhir-tahun-pertanian-indo- BCCA. (2016). Multi-stakeholder co-ops: What is a nesia-2015-kedaulatan-pangan-dan-reforma- multi-stakeholder co-op? Diakses pada 6 Maret agraria-telah-dibajak-oleh-kekuatan-pasar/ . 2016, dari http://bcca.coop/: http://bcca.coop/ KPA. (2015). Catatan akhir tahun 2015 konsorsium momentum/info-centre/multi-stakeholder-co-ops. pembaruan agraria, “Reforma Agraria dan BPS. (2015, November 17). Upah nominal dan riil penyelesaian konflik agraria disandera buruh tani di Indonesia (Rupiah), 2014-2015 birokrasi.” Jakarta: KPA. (2012=100). Diakses pada 5 Maret 2016, dari www.bps.go.id: http://www.bps.go.id/ linkTabelStatis/view/id/1465

Dodi Faedlulloh | Membangun Demokrasi Ekonomi: ... | 75 Pemerintah Provinsi Jawa Timur. (2015, Desember 29). Catatan akhir tahun SPI, tahun 2015 konflik agraria meningkat. Diakses pada 5 Maret 2016, dari http://jatimprov.go.id/: http:// jatimprov.go.id/read/berita-pengumuman/ catatan-akhir-tahun-spi-tahun-2015-konflik- agraria-meningkat.

76 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 DDC: 320.9

PENGUATAN DEMOKRASI DI TANAH PAPUA DI ERA NIEUW GUINEA RAAD (NGR) 1961 DAN MAJELIS RAKYAT PAPUA (MRP) 2005

Bernarda Meteray Universitas Cenderawasih E-mail: [email protected]

Diterima: 23-2-2106 Diperbaiki: 1-4-2016 Disetujui: 17-6-2016

ABSTRACT One of the attempts to prevent Indonesia from disintegration is to avoid any inappropriate policy regarding the development. In the history of Papua, the process of the formation of the Nieuw Guinea Raad (NGR), 1961 and the Majelis Rakyat Papua (MRP), the Papuan People Council, 2005, have significant meaning in the history of the unification of Papua to Indonesia. These two institutions have given a deeply significant meaning in the involvement of Papuans in an institution. Various approaches to improve the well-being of the Papuans have been implemented officially since 1969. Papua is, however, still considered the poorest region and is very often in conflicts. It was found that there has been something wrong with the development in Papua. Acemoglu and Robinson (2014) states that gaps between rich countries and poor ones are not merely due to cultural, geographical, and climatic factors, but they have been caused by political and economic institutions in the country itself as well. It has been these institutions having caused the country to come near the edge of failure. This paper is trying to show whether or not formation of the NGR and MRP had and have been suitable solutions to solve development problems and conflicts in Papua.

Keywords: The history of Papua, Papua autonomy, Majelis Rakyat Papua (MRP), the Niew Guinea Raad (NGR), the strengthening of Democracy, Melanesia

ABSTRAK Salah satu upaya menghindarkan bangsa Indonesia dari disintegrasi adalah menghindari kekeliruan dalam setiap pembuatan kebijakan pembangunan. Proses pembentukan NGR (1961) dan MRP (2005) mempunyai arti penting dalam sejarah perjalanan Papua menjadi bagian dari negara-bangsa Indonesia. Kehadiran dua lembaga pada periode, latar belakang, dan tujuan yang berbeda, memberikan makna yang dalam bagi keterlibatan orang Papua yang juga berada dalam sebuah institusi. Keterlibatan para elite dalam dua institusi ini sangat memengaruhi proses dan hasilnya. Sementara selama ini, tidak hanya penerapan berbagai pendekatan, sejak 1969 hingga dewasa ini, untuk menyelesaikan berbagai masalah pembangunan di Papua yang masih menjadi “masalah”, tetapi Papua juga masih menjadi provinsi termiskin dan daerah konflik. Mungkin ada yang salah dalam membangun Papua. Maka, Daron Acemoglu dan James A. Robinson dalam kajiannya yang berjudul “Mengapa Negara Gagal” (2014) menegaskan bahwa ternyata terjadinya gap antara negara miskin dan kaya bukan semata-mata oleh faktor budaya, geografis, dan iklim negara tersebut, melainkan terdapat pada lembaga institusi politik dan ekonomi negara itu sendiri. Lembaga inilah yang akan membawa negara di ambang kegagalan. Oleh karena itu, kehadiran NGR dan MRP di Papua apakah menjadi solusi atau masalah bagi Papua?

Kata kunci: Sejarah Papua, otonomi khusus Papua, Nieuw Guinea Raad (NGR), Majelis Rakyat Papua (MPR), Melanesia, penguatan demokrasi

77 PENDAHULUAN gan peraturan daerah khusus (Raperdasus) yang Bangsa Indonesia tidak hanya kaya sumber daya diajukan DPRP bersama-sama dengan gubernur. alam, tetapi juga memiliki masyarakat yang sangat Melalui dua institusi ini, masyarakat beragam. Presiden pertama Indonesia, Soekarno, Papua sudah, sedang, dan akan melibatkan diri pada akhir perjuangan merebut kemerdekaan secara langsung dalam membangun daerahnya. menyatakan bahwa “gagasan Indonesia, de­ Keterlibatan dalam dua institusi ini tidak hanya ngan segala keragamannya, belum mendapat mendorong untuk terlibat dalam pembangunan “rumah yang nyaman” dalam negara Indonesia kehidupan masyarakat Papua pada masa lalu yang dibangun (Elson, 2008, 222). Pernyataan dan kini. Akan tetapi, juga memperlihatkan Soekarno ini memperlihatkan bahwa masyarakat bagaimana masyarakat Papua harus berpikir serta Indonesia yang sangat beragam akan sangat bertindak mengakomodasi berbagai kepentingan rawan konflik apabila tidak dikelola dengan baik. yang majemuk agar mampu hidup bersama secara Pernyataan Soekarno ini telah terbukti hingga berdampingan, aman, dan sejahtera dengan warga dewasa ini. Kesadaran “menjadi Indonesia” di non-Papua lain di tanah Papua. antara masyarakat Indonesia, baik pusat maupun Pembentukan NGR diawali ketika setelah daerah, “masih bermasalah” dan “belum menjadi Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949, pemer- bagian yang penting” dalam hidup bernegara. intah Belanda mulai mempercepat pembangunan Apabila permasalahan membangsa, seper­ti di Papua pada 1950-an dengan berjanji mem- konflik antarpartai, tawuran antarpelajar dan berikan self determination kepada rakyat Papua kampung, intoleransi dalam beragama, ancaman (lihat Penerangan Kementerian Dalam Negeri, teroris, serta masih adanya gerakan pemisahan 1961; dan Lijphart, 1958). Kebijakan ini menuntut diri dari Indonesia, tidak ditangani dengan baik, percepatan pembangunan (crash program) di ber- hal itu akan bermuara pada disintegrasi bangsa. bagai bidang, seperti politik, ekonomi, dan sosial Salah satu upaya menghindarkan bangsa Indo- budaya. Untuk mempercepat kesadaran politik nesia dari disintegrasi adalah menghindari keke- orang Papua pada masa itu, segera dibentuk liruan dalam setiap pembuatan dan pengambilan NGR. Pembentukan NGR ini merupakan suatu kebijakan pembangunan oleh berbagai institusi, kebijakan yang sangat penting untuk menghadapi baik pemerintah maupun swasta. kondisi di Papua yang serba terbatas, khususnya Dalam perjalanan sejarah Papua, proses menyangkut sumber daya manusianya (SDM). pembentukan institusi, seperti Nieuw Guinea Namun, pemerintah Belanda menyadari bahwa Raad (NGR) pada 1961 dan kemudian Majelis untuk membentuk pemerintahan sendiri di Papua Rakyat Papua (MRP) pada 2005, mempunyai diperlukan adanya suatu institusi, yaitu NGR. arti penting. Kehadiran dua lembaga pada Adapun pembentukan MRP sudah diamanat- periode, latar belakang, dan tujuan yang ber- kan sejak dikeluarkan Undang-Undang Otonomi beda memberikan makna yang penting bagi Khusus Nomor 21 Tahun 2001. Pembentukan keterlibatan orang Papua dalam sebuah institusi. MRP baru diresmikan pada 2005. Menurut NGR mempunyai wewenang, antara lain, dalam Al Rahab (2010), tujuan pembentukan MRP hak petisi atau mengajukan permohonan, hak didasarkan pada pengalaman sejarah, politik, interpelasi atau meminta keterangan serta hak dan posisi orang Papua dalam berhubungan menyampaikan nasihat dalam hal undang-undang dengan birokrasi Indonesia selama 40 tahun. dan peraturan pemerintah. Sementara itu, MRP Dikatakan bahwa pentingnya MRP ini sangat bertugas, antara lain, memberikan pertimbangan berkaitan dengan adanya UU Otsus, yakni orang dan persetujuan terhadap bakal calon gubernur Papua selama ini telah menjadi korban atau hanya dan wakil gubernur yang diusulkan oleh Dewan diperlakukan sebagai penonton selama integrasi Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) dan terhadap dengan Indonesia. Tujuan pembentukan MRP calon anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah meningkatkan kesejahteraan orang Papua Republik Indonesia utusan daerah Provinsi Papua melalui peningkatan keterlibatan orang Papua yang diusulkan oleh DPRP serta terhadap rancan-

78 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 dalam berbagai institusi, termasuk politik dan Menurut Malak (2013, 159), sebenarnya ekonomi. Otsus yang diberikan pemerintah hanyalah satu Pembentukan MRP dalam kenyataannya bagian dari upaya untuk menyelesaikan persoal­ dinilai sangat lamban sejak diberlakukan UU an yang ada di Papua. Meskipun Otsus adalah Otsus 2001, tetapi di pihak lain dikatakan pula produk hukum yang berfungsi sebagai payung sangat cepat, bahkan dipaksakan. Kondisi ini kebijakan, keberadaannya bukan satu-satunya akhirnya menimbulkan pro dan kontra di antara cara dan alat untuk menyelesaikan persoalan di rakyat Papua. Berbagai laporan media massa Papua. Malak (2013, 156) juga menandaskan menyatakan bahwa bukan hanya sosialisasi MRP bahwa “ada sesuatu yang ironis ketika Otsus, yang belum dilakukan dengan baik, melain- sebagai sesuatu telah diperjuangkan dan sangat kan keberadaannya pun masih sering diragukan. diharapkan mampu menyelesaikan masalah ma- Bahkan, ada kecurigaan dari pemerintah pusat syarakat Papua, justru tidak kunjung membuah- terhadap MRP. Menurut Hikayabi (dalam kan hasil karena lemahnya proses implementasi”. Keagop, 2010, xi), sejak awal, banyak pihak Hal yang sama dinyatakan oleh Ayorbaba (2011, di pemerintahan ataupun sebagian masyarakat 130–131), dengan didasarkan pada temuan LIPI, Indonesia yang nasionalis menolak pembentukan bahwa pelaksanaan Otsus pada 2001–2004 tidak MRP di Papua. MRP dinilai sebagai lembaga membawa banyak perubahan yang signifikan bagi superbody yang akan mempercepat kemerdekaan masyarakat Papua. Bahkan, berdasarkan pada Papua. Ketakutan dan kekhawatiran ini tampak Musyawarah MRP dan Masyarakat Asli Papua dari beberapa hal, di antaranya: (1) pemerintah 9–10 Juni 2001 di Jayapura, pelaksanaan Otsus pusat terlambat menerbitkan PP tentang MRP selama sembilan tahun telah gagal. selama 3 tahun 10 bulan; (2) proses pemilihan Berbagai pihak berharap Otsus akan mem- sebagian anggota MRP dinilai tergesa-gesa dan bawa perubahan bagi masyarakat Papua dan tidak demokratis; (3) beberapa keputusan dan dapat mencapai kesejahteraan. Akan tetapi, hasil rekomendasi terkait dengan perlindungan orang evaluasi­ yang dibahas di atas memperlihatkan asli Papua yang dikeluarkan MRP selama lima bahwa Otsus belum menyejahterakan masyarakat tahun (2005–2010) tidak secara sungguh-sungguh Papua. Oleh karena itu, kegagalan Otsus yang ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat dan daerah. selama ini sering diperdebatkan perlu dikaitkan Perbedaan dalam melihat MRP ini sebenar­ dengan kurang diberdayakannya MRP. Kunci nya tidak akan terjadi apabila pemerintah, baik keberhasilan Otsus terletak pada peran MRP. pusat maupun daerah, memahami peran otonomi Namun, MRP, sebagai institusi yang diharap- khusus di Papua. Menurut Simon P. Morin, MRP kan dapat melindungi hak-hak orang asli Papua, adalah roh dari otonomi khusus Papua (Al Rahab, belum mendapat kepercayaan dari berbagai 2010, 198). Dengan demikian, untuk memahami pihak sehingga upaya pemerintah untuk dapat kinerja MRP, perlu dikaitkan dengan imple- mengimplementasikan Otsus di tanah Papua men- mentasi Otsus karena, dengan melaksanakan jadi masalah. Oleh karena itu, apabila kehadiran Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 dengan NGR pada masa lalu dan MRP di Papua pada benar, utuh, bertanggung jawab, dan konsekuen masa kini untuk melibatkan orang Papua dalam akan memperkokoh NKRI (Sumule dalam Malak, pemerintahan menjadi masalah. Pertanyaan 2013, 158). Oleh sebab itu, maju-mundurnya mendasar dalam tulisan ini adalah apakah ke- MRP bukan bergantung pada MRP sendiri, beradaan orang Papua, baik NGR maupun MRP, melainkan sangat bergantung pada sokongan se- merupakan solusi atau malah menjadi masalah genap elemen masyarakat Papua serta dukungan di Papua? pemerintah Papua dan pusat (Al Rahab, 2010, 198). Pernyataan Sumule ini mengindikasikan ANTARA HARAPAN DAN bahwa Otsus, termasuk MRP, bukanlah sesuatu KENYATAAN yang perlu diragukan kehadirannya. Berbagai pendekatan untuk menyejahterakan rakyat Papua telah diimplementasikan secara

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 79 resmi sejak Papua menjadi bagian dari NKRI kebijakan Otsus bagi Papua dapat dikatakan pada 1969. Pemerintah telah menggunakan sebagai langkah maju yang bersifat terobosan pendekatan kesejahteraan sejak awal integrasi di antara dua pilihan ekstrem, yakni kehendak 1963–1984 dalam bentuk intensitas yang berbeda. merdeka yang diperjuangkan oleh Organisasi Pascareformasi, secara khusus, Undang-Undang Papua Merdeka (OPM) dan keinginan pemerin- Otonomi Khusus Nomor 21 Tahun 2001 secara tah pusat agar Papua tetap menjadi bagian dari tegas memberi mandat kepada pemerintah dan NKRI. De­ngan kata lain, pilihan Otsus adalah masyarakat sipil untuk mencurahkan perhatian “jalan tengah” yang diharapkan dapat menjadikan khusus dalam menangani penduduk asli Papua Papua sebagai tanah damai dan rakyatnya hidup demi meningkatkan kesejahteraan mereka. sejahtera dalam pangkuan Ibu Pertiwi. Dalam pidato Gubernur Provinsi Papua pada Lebih lanjut, Syamsudin Haris (2014, 18 Januari 2002 melalui radio dan televisi untuk 213–214) menyatakan bahwa yang menikmati menyambut pemberlakuan Undang-Undang RI Otsus adalah gubernur, para bupati serta pejabat Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus dan birokrasi di daerah, sedangkan yang tidak bagi Provinsi Papua, J. P. Solossa (Sumule, 2003, menikmati adalah rakyat dan tokoh Papua di 591–593) mengatakan bahwa: luar pemerintahan. Pendapat Syamsudin Harris ini sejalan dengan Hasil Evaluasi Lima Tahun Salah satu keberhasilan kita bersama pada 2001 adalah bahwa kita berhasil memperjuangkan dan Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Tahun memperoleh status otonomi khusus bagi provinsi 2002–2006 (Bappeda Provinsi Papua, 2010, yang kita cintai ini. Pada 29 Oktober 2001, 183) yang memperlihatkan bahwa pemerintah Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia daerah telah meng­alokasikan dana Otsus untuk telah menyetujui Rancangan Undang-Undang pelayanan publik, tetapi pemerintah daerah Republik Indonesia tentang Otonomi Khusus membelanjakan dana itu tidak transparan. bagi Provinsi Papua. Rancangan tersebut telah diundang-undangkan oleh pemerintah menjadi Bahkan, publik di Papua, khususnya masyarakat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 asli Papua, melihat dana itu tidak beres dalam Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi perencanaan dan pengelolaannya. Penduduk Papua .… Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 asli Papua relatif terlupakan sehingga tertinggal mengenai Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua dalam pembangunan, baik pendidikan maupun telah berlaku secara efektif mulai 1 Januari 2001. kesehatan. Kondisi ini terungkap ketika rapat Hal ini merupakan langkah yang sangat penting dan bersejarah bagi kita semua. Undang-undang dengar pendapat MRP Papua dan MRP Papua kita ini mengandung banyak hal yang selama ini Barat dalam rangka evaluasi otonomi khusus mungkin hanya ada dalam angan-angan. Kita Papua dan Papua Barat yang berlangsung selama sekarang sudah memiliki dasar hukum yang kuat tiga hari, yakni 25–27 Juli 2013, di Jayapura. untuk mempercepat kegiatan-kegiatan pemba­ ngunan yang selama ini terhambat. Kita sekarang Dengan demikian, tidaklah mengherankan bisa membuat terobosan-terobosan baru dengan apabila Syamsudin Haris menyatakan, setelah inisiatif dan prakarsa kita sendiri sehingga mutu berlangsung lebih dari sepuluh tahun di Provinsi sumber daya manusia kita, yang selama ini ter- Papua dan hampir lima tahun di Papua Barat, tinggal, bisa kita tingkatkan. Hak-hak kita sebagai sulit dimungkiri bahwa kebijakan Otsus dalam orang Papua, yang selama ini kurang memperoleh implementasinya cenderung berlangsung pengakuan dan perlindungan, kini dapat kita wujudkan secara damai dan bermartabat di dalam setengah hati. Salah satu faktor penyebabnya, Negara Kesatuan Republik Indonesia. Isi undang- menurut Syamsudin Haris, adalah penundaan undang kita ini harus ditaati dan dilaksanakan oleh tarik-ulur pembentukan Majelis Rakyat Papua siapa saja yang terikat untuk melaksanakannya di akibat kuatnya intervensi pusat. Padahal, sudah dalam wilayah hukum Indonesia. diatur dalam UU No. 21 Tahun 2001 serta pem- Harapan pemerintah seperti yang digam- berlakuan “litsus” bagi tokoh-tokoh yang tidak barkan Solossa di atas agar Otsus dapat menye- disukai pemerintah. Peraturan Pemerintah tentang jahterakan rakyat Papua ternyata belum tercapai. Pembentukan MRP baru diterbitkan pada akhir Menurut Syamsudin Haris (2014, 214–215), 2004. Terakhir, pemerintah bahkan membentuk

80 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 dua lembaga MRP, masing-masing di Papua dan Ataruri (Ijie, 2013, 73). Gubernur Papua Barat Papua Barat atau Irian Jaya Barat. akhirnya melantik Ketua MRP Papua Barat, yaitu Proses pembentukan Irian Jaya Barat, Vitalis Yumte, pada 15 Juni 2011. yang menjadi masalah karena dianggap tidak Melihat perjalanan pembentukan Provinsi punya dasar hukum, kembali menyebabkan Papua dan Papua Barat serta permasalahan Otsus, ketidakpercayaan masyarakat Papua terhadap termasuk MRP, Hikayabi (dalam Keagop, 2010, kebijakan pemerintah pusat. Mendagri Ma’ruf, xiii) menegaskan bahwa setiap saat, pemerintah setelah melantik MRP pada 31 Oktober 2005, selalu mengubah kebijakan pembangunan di kembali menerbitkan Surat Keputusan Nomor Papua yang tidak sesuai dengan amanat UU Oto- 120.82-1009/2005 tentang pelaksanaan pemilihan nomi Khusus Papua. Misalnya, dikeluarkannya gubernur dan wakil gubernur Irian Jaya Barat Inpres Nomor 1 Tahun 2003 tentang Pemekaran pada 28 November 2005. SK tersebut diterima Provinsi Irian Jaya Barat, tidak dikeluarkannya Ketua KPUD IJB, Regina Sauyai, di Jakarta. peraturan pemerintah sebagai landasan opera- Kemudian, dikirim ke Manokwari dan diterima sional pelaksanaan UU RI Nomor 21 Tahun 2001, Ketua DPRD IJB Demianus Jimmy Ijie. ditolaknya berbagai keputusan dan rekomendasi Pada 16 November 2005, dalam jumpa yang dikeluarkan MRP terkait dengan perlindun- pers di ruang sidang sementara MRP di Hotel gan hak-hak dasar orang asli Papua, serta tidak Numbay Jayapura, Ketua MRP Agus Alua yang terselesaikannya berbagai kasus hukum dan hak didampingi Wakil Ketua I, Frans Alekxander asasi yang dihadapi masyarakat asli Papua. Wospakrik, menanggapi SK Mendagri yang dike- Perubahan kebijakan selama pelaksanaan luarkan pada 11 November 2005 untuk pilkada Otsus tentu saja berdampak terhadap perjalanan IJB pada 28 November 2005. Menurut dia, SK Otsus di Papua. Berdasarkan Hasil Evaluasi tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 73 Lima Tahun Pelaksanaan Otonomi Khusus Papua Peraturan Pemerintah Nomor 54/2004. Dalam PP Tahun 2002–2006, mutu pendidikan di Papua disebutkan bahwa pembentukan provinsi baru di sangat rendah. Hal ini dapat dilihat melalui capai­ wilayah Provinsi Papua akan dilakukan oleh MRP an Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang bersama Pemerintah Provinsi dan DPRP sebagai terendah di Indonesia, yaitu 62,1 pada 2005, provinsi induk, bertugas dan bertanggung jawab sedangkan rata-rata nasional 69,6. IPM terburuk untuk membantu pemerintah pusat menyelesaikan terjadi di wilayah Pegunungan Tengah dan Se- masalah pemekaran wilayah yang dilakukan latan Papua, yaitu 47–47,6. Sementara di bidang sebelum dikeluarkannya PP ini dengan memper- ekonomi kerakyatan, masyarakat Papua belum hatikan realitas dan kesesuaian dengan peraturan merasakan adanya peningkatan yang signifikan perundang-undangan, selambat-lambatnya enam dalam kehidupan perekonomian mereka. Hal ini bulan setelah pelantikan anggota MRP. Menurut dapat dilihat dari masih dominannya masyarakat Wakil Ketua I MRP, Frans Alexander Wospakrik, non-Papua dalam kegiatan ekonomi kerakyatan. kebijakan pemerintah pusat dalam menerbitkan Masih banyaknya pedagang pengusaha etnis non- SK untuk pilkada IJB merupakan tidak adanya Papua yang menguasai pasar tradisional membuat komitmen pemerintah dengan apa yang telah pengusaha asli Papua tidak mendapat usaha yang disepakati bersama untuk menata Papua yang memadai dan layak (Bappeda Provinsi Papua, lebih baik (Paskalis Keagob, 2010, 104–105). 2010, 163 dan 178). Akhirnya, Presiden Megawati pada 27 Laporan ketua tim kerja, Yakobus Dumupa Januari mengeluarkan Inpres Nomor 45 Tahun (Majelis Rakyat Papua, 2013a, 259), mengenai 2003 tentang Pelaksanaan Undang-Undang hasil rapat dengar pendapat MRP Papua dan Nomor 45 Tahun 1999 tentang Provinsi Irian MRP Papua Barat dalam rangka evaluasi Jaya Barat (Ijie, 2013, 54). Selanjutnya, pada 14 Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat yang November 2003, Menteri Dalam Negeri, Hari berlangsung selama tiga hari, 25–27 Juli 2013, Sabarno, mengukuhkan pejabat Gubernur Irian di Jayapura, menilai isi Otsus Nomor 21 Tahun Jaya Barat, Brigadir Jenderal Marinir Abraham 2001 bagi Papua dan Papua Barat masih saja ber-

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 81 masalah. Menurut Yakobus Dumupa, telah timbul Maka, tidaklah mengherankan apabila Lambang permasalahan yang kompleks dan mendasar Trijono (Trijono, 2006, 363) menyatakan bahwa bagi sektor-sektor strategis dalam pelaksanaan hingga dewasa ini, Papua tetap menjadi daerah Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat. Sektor paling miskin dan terbelakang di Indonesia. yang dimaksudkan adalah pendidikan, kesehatan, Menurut Lambang, “Papua sendiri sebenarnya infrastruktur, kependudukan dan ketenagaker- merupakan daerah kaya sumber daya alam, jaan, sumber daya alam dan lingkungan hidup, didiami penduduk yang tidak terlalu banyak, kesejahteraan sosial, keamanan, keagamaan, sekitar 2.233.530 jiwa (sensus penduduk tahun kebudayaan dan adat istiadat, hak asasi manusia, 2000), menempati daerah yang luasnya hampir politik dan kepemerintahan, pengawasan serta empat kali lipat Pulau Jawa. Dengan kekayaan hukum dan keuangan” (Majelis Rakyat Papua, seperti itu, mestinya penduduk daerah ini bisa 2013a, 259). hidup sejahtera. Namun, realitasnya tidaklah Pada penutupan rapat dengar pendapat MRP demikian. Mayoritas penduduk di provinsi ini Papua dan MRP Papua Barat dalam rangka hidup dalam kemiskinan, atau orang Papua evaluasi­ Otonomi Khusus Papua dan Papua Barat lebih suka menyebut “tidak beruntung”, dengan itu, Gubernur Provinsi Papua Lukas Enemb­e kualitas hidup yang rendah di berbagai sektor dalam sambutannya (Majelis Rakyat Papua, kehidupan: kesehatan, pendidikan, dan ekonomi” 2013a, 262) menyatakan bahwa Otsus belum (Trijono, 2006, 363). mengatasi berbagai permasalahan, tetapi justru Pernyataan Lambang Trijono ini mem- malah menambah masalah bagi rakyat di Papua. perkuat dugaan bahwa terkesan ada keinginan Hal ini ditegaskan oleh Enembe sebagai berikut: pemerintah daerah dan pusat untuk mempercepat pembangunan di Papua. Namun, pendekatan yang Banyak pengamat dan kalangan birokrat digunakan selama ini cenderung mengadopsi serta cendekiawan beranggapan bahwa adanya Undang-Undang Otsus ini merupakan sebuah model pembangunan dari luar serta kurang mem- langkah maju dalam penyelesaian masalah Papua. perhatikan karakteristik wilayah dan masyarakat Mereka berharap hadirnya UU ini akan mengu- Papua. Akibatnya, hasil pembangun­an kurang rangi keinginan orang Papua untuk memisahkan menyentuh kebutuhan masyarakat Papua, bahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. dapat dikatakan justru melahirkan permasalahan Harapan dan anggapan ini tidak menjadi baru. kenyataan, malah kehadiran Otsus membawa Berbagai pandangan tentang ketidakber- masalah bagi rakyat Papua. Oleh karena itu, hasilan pembangunan di Papua, seperti yang berbagai gelombang aksi protes terjadi setelah diungkapkan di atas, semakin memperkuat per- diberlakukannya UU Otsus Provinsi Papua, baik di Papua maupun di Papua Barat. Rakyat menolak nyataan Lambang Trijono (Trijono, 2006, 363) kehadiran Otsus, dan mereka memilih referen- bahwa berbagai kebijakan pemerintah selama dum sebagai solusi utama untuk menyelesaikan itu belum menyentuh kebutuhan dasar dan hak masalah di Papua. asasi rakyat Papua. Bahkan, ada sesuatu yang salah dalam pembangunan di Papua. Lambang Ada yang beranggapan bahwa terjadi kesalahan Trijono menyarankan agar pelaksanaan Otsus dalam implementasi Otsus sehingga harapan dari lahirnya UU ini tidak tercapai, dan masyarakat sejalan dengan perspektif dan kebutuhan lokal Papua tetap menderita dan berada di bawah garis Papua, yaitu memberdayakan lembaga-lembaga kemiskinan. Padahal, undang-undang ini lahir lokal. Peran lembaga strategis, seperti DPR dan sebagai komitmen politik pemerintah pusat dalam MRP, perlu diberdayakan dalam menjalankan membangun dan menyejahterakan masyarakat fungsi legislasi, bersama dengan pihak eksekutif. Papua agar dapat hidup sejajar dengan saudara- Pemerintah daerah menjalankan kebijakan hukum saudaranya di republik ini. dan politik, seperti Perdasus (peraturan daerah khusus) dan Perdasi (peraturan daerah desentrali­ Hasil evaluasi di atas memperlihatkan bahwa sasi), untuk mendukung pelaksanaan Otsus di pelaksanaan Otsus selama ini dianggap belum tingkat distrik ke bawah, serta melibatkan empat mampu menyejahterakan masyarakat Papua.

82 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 pilar institusi (pemerintah, adat, agama, dan belum mampu menyejahterakan orang Papua. kelompok perempuan) (Trijono, 2006, 383–384)., Rupanya orang Papua masih dianggap belum Lebih lanjut, Gubernur Provinsi Papua mampu mengelola dana yang begitu besar untuk (Majelis Rakyat Papua, 2013a, kesejahteraan mereka. Begitu herannya orang di 262–263), dalam pidato pada penutupan rapat luar Papua melihat Papua yang memiliki dana dengar pendapat MRP Papua dan MRP Papua yang besar tetapi masih dilanda kemiskinan. Barat di Jayapura, juga dengan tegas meny- Ngadisah menyatakan sebagai berikut. inggung peran pemerintah pusat, yang dalam “… terdapat sejumlah keheranannya terhadap kebijakannya justru melanggar Undang-Undang Papua, yakni kenapa di Papua selalu terjadi Nomor 21 Tahun 2001 dengan pembentukan konflik pembangunan seiring keberadaan Free- Provinsi Papua Barat dan Lembaga Papua Barat port, kenapa dengan begitu banyaknya dana lain. Lebih lanjut, Lukas Enembe menyatakan: yang menga­lir ke Papua tapi masyarakatnya masih miskin terus (35%)? Kenapa dari sekian “… terkesan pemerintah pusat tidak sungguh- banyak program pemerintah tapi masyarakat di sungguh ingin melaksanakan Undang-Undang sana konflik terus? Seolah hanya ada ratapan dan Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otsus ini, ‘lepas penderitaan yang tidak pernah berakhir. Padahal, kepala pegang ekor’, sehingga banyak urusan kita berharap Papua hidup damai sejahtera dengan pemerintahan yang tidak berjalan dengan baik suku lain di luar Papua,” katanya. sesuai amanat Undang-Undang Otsus. Malahan pemerintah pusat mempermainkan undang-un- Pandangan Ngadisah di atas memperlihatkan dang ini, salah satunya adalah membuat beberapa masih terjadinya ketidakpahaman pihak Jakarta kebijakan yang melanggar dan menabrak UU ini, tentang permasalahan di Papua. Pernyataan ten- salah satunya pembentukan Provinsi Papua Barat dan Lembaga Papua Barat. tang dana yang besar tetapi rakyat Papua masih miskin menunjukkan bahwa selama ini Pembentukan Provinsi Papua Barat dan Lembaga pemerintah, baik pusat maupun daerah, belum MRP-nya merupakan sebuah keinginan untuk menemukan kajian-kajian yang tepat untuk menjawab kebutuhan dalam proses pembangunan itu sendiri, tetapi caranya salah karena tidak sesua­i mengatasi berbagai permasalahan, termasuk dengan amanat Otsus itu sendiri. Seharusnya masalah kemiskinan di Papua. Pemerintah pusat semua keinginan ini didiskusikan melalui proses ataupun daerah pun belum memahami bagaimana yang diatur dalam Pasal 78 Undang-Undang sebaiknya membangun Papua. Kehadiran Otsus Otsus. Kemudian, hasil dari pasal ini bisa dengan berbagai program pembangunan sarana ditindaklanjuti dengan melakukan perubahan dan prasarana di kota dan kabupaten serta ke- terhadap Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 ini untuk mengakomodasi hal-hal yang bersifat hadiran Unit Percepatan Pembangunan Papua penting sebagaimana diamanatkan dalam pasal 77 dan Papua Barat (UP4B), yang diharapkan dapat sehingga kebijakan yang dibuat tidak melanggar menyejahterakan masyarakat Papua, rupanya be- dan menabrak UU Otsus karena semua yang kita lum mampu memecahkan masalah, justru masih buat adalah dalam rangka membangun masyara- terjadi konflik dan masih ada tuntutan referendum­ kat di tanah Papua. demi kemerdekaan bagi rakyat Papua. Kondisi ini menunjukkan bahwa permasalah­ Pernyataan Lukas Enembe di atas memper- an di Papua bukan semata-mata karena masyara- lihatkan bahwa pemerintah pusat juga berperan kat di Papua memerlukan percepatan pemba­ dalam menciptakan permasalahan pembangunan ngunan di Papua. Pemerintah perlu menemukan di Papua, bukan orang Papua semata-mata. Cara akar masalah yang menyebabkan masyarakat di pandang pusat seperti itu terlihat dalam pernyataan Papua belum sejahtera. Hal ini juga diungkapkan guru besar Institut Pemerintahan Dalam Negeri, oleh Jaap Timmer ketika melihat permasalahan Prof. Dr. Ngadisah, M.A. pada 12 Juli 2012 ketika pembangunan di Papua. Timmer (2007, 618) menyinggung tentang nasionalisme Papua yang mengamati ada kesulitan penerapan kebijakan diselenggarakan oleh Sabang Merauke Circle di dari pusat di Papua. “Sekarang ini pemerintah Hotel Aston Kuningan, Jakarta. Dia menegaskan yang didesentralisasi di tingkat kabupaten meng- bahwa Papua memiliki banyak dana, tetapi hadapi tugas berat menemukan cara-cara untuk

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 83 mengatasi rasa ketidakpercayaan yang begitu Indonesia sehingga berhak memperoleh perhatian mengakar kepada negara”. Sementara Lambang dan perlakukan yang sama dengan semua rakyat Trijono (2006, 375) menawari pemerintah untuk Indonesia yang lain. Orang Papua tidak datang ke melaksanakan pembangunan yang beraras lokal. Republik Indonesia dengan tangan kosong, tetapi Menurut Lambang, banyak kalangan di Papua dengan memberikan segala-galanya. Pengorbanan­ mengusulkan perlu digulirkan pembangunan itu harus dihargai dan diberdayakan. bertumpu pada sistem dan kelembagaan lokal Perbedaan persepsi antara pemerintah di Papua. Pembangunan hendaknya yang dimaksud- Papua dan Jakarta menyangkut pelaksanaan kan adalah yang berdasarkan pada kebutuhan, pembangunan di Papua menunjukkan dengan perspektif, dan kapasitas lokal dengan melibatkan jelas bahwa ada yang salah dalam memahami partisipasi warga masyarakatnya. Pemikiran dan menerapkan berbagai kebijakan di Papua. Lambang Trijono ini dapat disimpulkan bahwa Berbagai kajian dan pendekatan selama ini selama ini pembangunan yang dilaksanakan sudah dilakukan, tetapi tidak jarang kajian- di Papua cenderung menerapkan pola nasional kajian akademis tentang Papua diabaikan para dan mengabaikan pola lokal dalam membangun pemegang kekuasaan dalam penentuan kebijakan. Papua. Hal ini juga ditegaskan oleh Jaap Timmer Akibatnya, kebijakan yang dilaksanakan bukan (2007), yang mengatakan bahwa: menjawab permasalahannya, melainkan justru “… dalam rencana membentuk provinsi-provinsi melahirkan permasalahan baru yang menjadi dan kabupaten baru, hampir tidak dibuat satu pun semakin rumit pemecahannya. provinsi yang menjamin bahwa kebijakan-kebi- Uraian di atas menunjukkan bahwa per- jakan pemerintah baru nanti harus disesuaikan masalahan pembangunan di Papua memang dengan keadaan lokal dan memenuhi aspirasi- aspirasi rakyat.... Pemerintah Orde Baru dengan kompleks dan rumit. Sangat tepatlah pernyataan ambisinya untuk memaksakan suatu lapisan Solossa (2005, 225 dan 228) dalam disertasinya keindonesiaan ke seluruh Nusantara itu menye- bahwa persoalan pembangunan di Papua sangat barkan gagasan bahwa kehidupan warga negara kompleks dan membutuhkan waktu serta kearifan di daerah-daerah terpencil dan terbelakang seperti tersendiri untuk dapat diselesaikan dengan baik. Papua harus diubah menurut format-format yang Lebih lanjut juga dikatakan bahwa masalah Papua sudah mapan. Hasilnya sering kali justru malah membuat berantakan, khususnya ketika cara kerja adalah masalah yang kompleks, penyelesaiannya berbasis-komunitas yang sudah berjalan lama memerlukan sumber daya yang tidak sedikit. dan cara-cara lokal dalam mengelola sumber Hal yang sama dikemukakan oleh Subondo daya menjadi kacau. Sementara rencana-rencana Agus Margono (dalam Gainau, 2010, iii) bahwa pembangunan bagi Papua dirancang untuk mem- permasalahan yang dihadapi pemerintah pusat perbaiki kondisi-kondisi kehidupan dari apa yang dan oleh Papua sendiri selalu kompleks. disebut masyarakat terasing. Rencana-rencana itu sering kali juga mengakibatkan pengasingan.” SUMBANGAN PEMIKIRAN Kondisi masyarakat seperti yang diungkap- ACEMOGLU DAN ROBINSON kan Jaap Timmer (2007, 617) untuk melibatkan orang asli Papua dalam proses pembangunan Kompleksnya permasalahan pembangunan merupakan harapan Solossa sebagai gubernur yang dihadapi di Papua, perlu dikaitkan dengan yang menghasilkan Undang-Undang Nomor pemikiran Acemoglu dan Robinson “Mengapa 21 Tahun 2001 ini. Solossa menyadari bahwa Negara Gagal” (2012, xxiii). Kajian yang di- pembangunan dapat berhasil apabila pemerintah lakukan selama 15 tahun menunjukkan bahwa memperhatikan keberadaan dan melibatkan orang terjadinya gap antara negara miskin dan kaya asli Papua dalam NKRI. Pada bagian akhir diser- bukan semata-mata oleh faktor budaya, geografis, tasinya, Solossa mengatakan bahwa yang harus dan iklim negara tersebut, melainkan terdapat disadari oleh semua pihak adalah bahwa orang- pada peran lembaga institusi politik dan ekonomi orang Papua bukanlah tamu di Republik Indone- negara itu sendiri. Lembaga inilah yang akan sia. Mereka adalah bagian integral dari Republik membawa negara di ambang kegagalan atau kemakmuran bagi rakyat. Dikatakan pula bahwa

84 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 gagal atau berhasilnya pembangunan industri di Kenneth lebih lanjut menegaskan bahwa suatu negara sangat ditentukan oleh fungsi dan kajian Acemoglu dan Robinson ini berhasil mekanisme institusi di negara tersebut. Banyak memperlihatkan penggunaan pendekatan sejarah negara miskin di dunia yang mengabaikan peran dalam melihat peran institusi politik memenga- institusi politik. Pada abad ke-19, Jepang dan ruhi perbaikan ekonomi di negara-negara maju. Cina sama-sama menyandang predikat sebagai Begitu pun Gary S. Becker, yang menerima negara miskin. Sementara Amerika Serikat, Penghargaan Nobel bidang ekonomi pada 1992, yang pernah mengalami episode sejarah mirip menyatakan bahwa pemikiran Acemoglu dan dengan revolusi besar di Inggris, sudah memiliki Robinson menunjukkan bahwa negara harus me- perangkat institusi politik-ekonomi yang khas miliki institusi politik yang terbuka dan bersifat dan mapan pada abad ke-18. Itulah sebabnya pluralistis. Institusi politik harus memungkinkan negara tersebut menjadi yang terdepan dalam setiap warganya untuk berkompetisi mendapatkan mengeksploitasi segala invasi teknologi canggih jabatan politik, memberikan hak suaranya, dan yang berasal dari Inggris, dan tak lama kemu- terbuka dengan para pemimpin politik baru. Se- dian mengungguli kerajaan Inggris dan menjadi mentara Peter Diamond, pemenang Hadiah Nobel pemimpin dunia di bidang teknologi (Acemoglu bidang ekonomi pada 2010, menegaskan bahwa & Robinson, 2012, 345–347). keberhasilan Acemoglu dan Robinson lewat Selanjutnya, Acemoglu dan Robinson (2012, bukunya itu terjadi karena buku itu “juga sarat 434) menjelaskan bahwa kehidupan di negara, dengan contoh sejarah”. Dengan menggunakan seperti Argentina, Kolombia, dan Mesir meng­ contoh sejarah, Acemoglu dan Robinson mampu alami kegagalan karena “para politikus yang menunjukkan bagaimana perkembangan institusi rakus sangat gemar menggarong kekayaan negara yang kadang terjadi karena desakan situasi dan dan rakyat serta menyabot segala bentuk aktivitas sangat tidak disengaja bisa memberi dampak ekonomi independen yang bisa mengancam yang begitu besar. Keterbukaan suatu masyara- kekuasaan para elite. Kondisi yang lebih parah kat di suatu negara, kerelaan elite politik untuk terjadi pula di negara seperti Zimbawe, Sierra Le- mengizinkan terjadinya penghancuran kreatif, one, Anggola, Kamerun, Chad, Haiti, dan Sudan. dan supremasi hukum yang berlaku di negara tersebut berperan penting dalam pembangunan Mengacu pada permasalahan yang dihadapi ekonomi (Acemoglu & Robinson, 2012, i). negara-negara di atas, menurut Kenneth J. Nar- row, salah seorang pemenang Penghargaan Nobel Selanjutnya, Komarudin Hidayat dalam kata di bidang ekonomi pada 1972, kajian Acemoglu pengantar pada buku Acemoglu dan Robinson dan Robinson penting dijadikan acuan untuk (2012, xvi) mengakui kehebatan penelitian yang memutus kesenjangan pembangunan ekonomi dilakukan Acemoglu dan Robinson selama 15 dan politik. Hal ini dikatakan Kenneth (dalam tahun, yang mampu mengurai dan memaparkan Acemoglu dan Robinson, 2012, i) sebagai berikut: semua kerumitan dengan mengumpulkan berbagai bukti sejarah. Hal ini dimulai ketika penyebab Acemoglu dan Robinson telah memberi kontri- runtuhnya kekaisaran Romawi hingga tumbuh busi penting dalam menjawab perdebatan sengit dan berkembangnya negara-negara seperti Ing- tentang apa yang menyebabkan negara kelihat- gris, Amerika Serikat, dan Afrika. annya sama, tetapi memiliki kesenjangan yang begitu besar dalam pembangunan ekonomi dan Melalui kajian Acemoglu dan Robinson, di­ politik. Menggunakan berbagai contoh sejarah, ketahui bahwa upaya untuk dapat menyejahtera­ mereka menunjukkan bagaimana perkembangan kan masyarakat di berbagai negara di berbagai institusi—yang kadang terjadi karena desakan belahan dunia dapat dilakukan apabila para situasi yang sangat tidak disengaja—bisa mem- beri dampak yang begitu besar. Keterbukaan pembuat kebijakan tidak mengabaikan pendekat­ masyarakat di suatu negara, kerelaan elite politik an historis untuk memahami peran institusi eko- untuk mengizinkan terjadinya penghancuran nomi dan politik pada masa lalu. Hal ini penting krea­tif, dan supremasi hukum yang berlaku di agar kebijakan yang dihasilkan para penguasa negara tersebut ternyata memang berperan pen­ di kemudian hari tidak mengulang kesalahan­ ting dalam pembangunan ekonomi. yang sama pada masa lalu atau tidak keliru

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 85 dalam menerapkan kebijakan. Dengan mengacu wilayah Papua serta melindungi penduduk Papua pada kajian Acemoglu dan Robinson, sangatlah dari tindakan sewenang-wenang. Gubernur juga relevan untuk melihat proses pembentukan dan bertugas membangun ekonomi dan membuka perkembangan dari dua institusi, baik NGR pada daerah-daerah baru di Papua, serta mempercepat masa lalu maupun MRP di Papua pada masa kini. pembangunan di Papua. Dalam waktu singkat, Hal ini penting untuk melihat peran dua institusi akan segera diangkat sejumlah departemen, seper­ itu, yang mulai dan sedang melibatkan orang ti administrasi dan peradilan, keuangan, ekonomi Papua dalam proses pembangunan. dan urusan teknis, serta kesehatan dan sosial budaya (Report on Netherlands New Guinea for PEMBENTUKAN NIEUW GUINEA the Year 1950, 43–44). Penambahan departemen RAAD 1961 terus meningkat dari tahun ke tahun disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi wilayah di Papua. Pada prinsipnya, politik internal Belanda ter- Pembentukan dewan kepala dinas yang dimulai hadap Papua secara mendasar tidak berubah pada 1950, sejalan dengan pembentukan departe- setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. men di Papua, merupakan tindakan penting untuk Pemerintah Belanda telah menyiapkan anggaran mengambil alih tugas-tugas pemerintahan yang untuk kelangsungan administrasi Papua. Pada selama ini berpusat di Batavia. Kepala-kepala ini 20 Juni 1950, Pemerintah Belanda, dalam hal adalah anggota biasa Dewan Kepala Dinas. Pada ini Van Maarseven, berhasil mengeluarkan ang- hakikatnya, pembentukan dewan adalah sebagai garan untuk persiapan pembangunan administrasi penasihat gubernur. Selama belum dibentuk De- di Papua selama tiga tahun pertama (Drooglever, wan Papua, dewan-dewan ini bertugas membantu 2010, 189). Dalam laporannya ke PBB pada 1950, gubernur dalam menjalankan pemerintahan. pemerintah Belanda menyatakan, sebelum Perang Dunia II, berbagai upaya yang telah dilakukan Sampai 1954, pembagian wilayah adminis- pemerintah Belanda secara intensif memutuskan trasi di Papua terdiri atas enam wilayah, yang membangun Papua (Report on Netherlands New masing-masing dipimpin oleh seorang residen. Guinea for the Year 1950, 43–44). Keinginan Wilayah administrasi tersebut (Rapport Inzake pemerintah Belanda akhirnya dapat direalisasikan Nederlands Nieuw Guinea Over het jaar 1954, dengan didasarkan pada kedaulatan atas Papua 16–17) adalah Afdeling Hollandia dengan ibu yang ditetapkan dalam wilayah kerajaan Belanda. kotanya Hollandia, yang terbagi dalam onder- Menurut Machtigingsweg Nieuw Guinea, bentuk afdeling, yaitu (1) Hollandia ibu kota Hollandia pemerintahan untuk wilayah Papua diumumkan dan terdiri atas Nimboran ibu kota Genyem, secara resmi oleh Besluit Bewindsregeling Nieuw Sarmi ibu kota Sarmi, dan Pegunungan Timur Guinea. Dengan demikian, wilayah administrasi yang masih dalam tahapan eksplorasi; (2) Papua sejak saat itu dipimpin oleh seorang guber- Afdelin­g Geelvink Bay dengan ibu kota Biak, nur yang langsung ditunjuk oleh Raja (Rapport terbagi dalam onderafdeling Pulau Schouten ibu Inzake Nederlands Nieuw Guinea Over het jaar kota Biak, Japen ibu kota Serui, Waropen ibu 1951, 12) kota Waren, dan Wandamen ibu kota Wasior; (3) Afdeling Centraal Nieuw Guinea untuk sementara Untuk dapat merealisasikan kebijakan menjadi bagian dari Geelvink Bay, terbagi dalam pemerintah­ tersebut, bidang pemerintahan di- onderafdeling Danau Wissel dengan ibu kota En- laksanakan di Papua didasarkan pada peraturan arotali; (4) Afdeling West Nieuw Guinea dengan administrasi Papua. Berdasarkan peraturan ad- ibu kota Sorong terdiri atas onderafdelin­g Sorong ministrasi tersebut, pemerintah akan menyiapkan ibu kota Sorong, Raja Ampat ibu kota Doom, pembentukan badan pemerintahan baru yang Teminabuan ibu kota Teminabuan, Bintuni ibu terdiri atas seorang gubernur, departemen admi­ kota Steenkoool, Manokwari ibu kota Manok- nistrasi umum, ketua dewan departemen, dewan wari, dan Ransiki ibu kota Ransiki; (5) Afdeeling penasihat urusan penduduk asli, dewan Papua, Fak-Fak ibu kota Fakfaak terdiri atas onderafdel- serta dewan peradilan. Tugas seorang gubernur ing Fak-Fak ibu kota Fak-Fak, Kaimana ibu kota adalah menjalankan roda pemerintahan di seluruh Kaimana, dan Mimika ibu kota Mimika; serta (6)

86 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Afdeeling Zuid Nieuw Guinea dengan ibu kota Menurut Lijphart (1966, 250), tujuan utama Merauke yang terdiri atas onderafdeling Merauke kabinet de Quay pada 1960–1961 adalah mem- ibu kota Merauke, Boven Digoel ibu kota Tanah percepat emansipasi politik bagi orang Papua Mera, Mappi ibu kota Kepi, dan Asmat ibu kota dan mempersingkat tanggung jawab pemerintah Asmat. Belanda di Papua. Dengan demikian, pembentuk­ Pada akhir 1950, pemerintah Belanda mene- an NGR merupakan langkah utama yang sangat tapkan satu kebijakan untuk sedapat mungkin substansial terhadap terwujudnya janji pembe- mempercepat pembangunan Papua. Berbagai rian pemerintahan sendiri bagi Papua. NGR ini tahapan pembangunan segera dipersiapkan, merupakan suatu lembaga yang berfungsi sebagai termasuk berjanji memberikan kesempatan bagi penasihat bagi pemerintah yang sebenarnya sudah orang Papua untuk menentukan masa depan status direncanakan sejak awal pada 1950. Pemerintah wilayah mereka. Kebijakan pemerintah Belanda Belanda juga telah berencana membentuk dewan, untuk mempertahankan kekuasaannya di Papua yang dimulai di tingkat lokal dan secara bertahap mendapat tekanan, baik dari parlemen maupun hingga pada tingkat regional. Lembaga ini akan publik (Henderson, 1973, 95). Lijphart (1966, mengikutsertakan pihak pemerintah, kelompok 263–264) menjelaskan, kebijakan pemerintah Belanda, dan orang Papua dalam membangun Belanda pada 1957–1961 menekankan pemberian daerah ini. Sesuai dengan rencana pemerintah Be- self determinations kepada orang Papua sebagai landa pada 1950, komposisi anggota NGR akan suatu sikap untuk menjelaskan pandangan bahwa berjumlah 21 orang, yang terdiri atas 10 orang Belanda bertujuan menyadarkan orang Papua Papua, 9 Belanda, dan 2 non-Belanda (Report tentang masa depan mereka. on Netherland Nieuw Guinea for the Year 1950). Pada 26 Mei 1959, perdana menteri Belanda Rencana pembentukan dewan ini mengalami­ yang baru, J. E. De Quay, di depan parlemen banyak hambatan dan penundaan yang disebab- Belanda menyampaikan pandangan pemerintah kan oleh berbagai faktor, salah satunya geografis. Belanda sebagai berikut: Sebagian besar wilayah belum dijangkau­ oleh pemerintah dan penduduknya belum berpengala- Sehubungan dengan Netherland New Guinea, man dalam pemerintahan. Memang diperlukan kebijakan tetap berfokus pada jaminan bagi orang persiapan demi meningkatkan mutu pendidikan Papua sendiri untuk memutuskan status politik bagi orang Papua agar kelak dapat menjalankan masa depannya dengan menerapkan prinsip fungsinya sebagai anggota dewan, baik di tingkat self determination (berpemerintahan sendiri). Masalah administrasi, sosioekonomi, dan budaya lokal maupun regional. Untuk dapat menduduki akan ditanggulangi bila penduduk telah mampu. jabatan dewan, diharapkan setidaknya mem- Dalam tingkat internasional, pemerintah akan peroleh pendidikan sekolah menengah pertama. mengadakan promosi kerja sama dengan negara Padahal, di Papua pada waktu itu hanya terdapat lain yang dianggap dapat bekerja sama dalam satu sekolah lanjutan pertama, dan hanya ada di mempercepat penerapan prinsip self determina- Hollandia (Jayapura) pada 1951 dengan murid tion (Lijphart, 1966). berjumlah 44 orang sehingga mayoritas orang Memasuki tahun kedua, 1960–1961, kabinet Papua yang berpendidikan sebelum 1951 hanya De Quay mensponsori sejumlah kebijakan penting sampai pada tingkat pendidikan dasar. Kondisi tentang Papua, seperti pendirian partai politik serta ini sangat memengaruhi komposisi anggota pembentukan NGR secepat mungkin. Pembentuk­ dewan. Dengan sendirinya pemilihan anggota dewan lebih banyak ditunjuk atau dipilih oleh an dewan ini bertujuan mempercepat pemberian pemerintah. Veur (1962, 64) menegaskan bahwa pemerintahan sendiri agar rakyat Papua dapat cara pemerintah untuk mempercepat orang Papua menyelenggarakan pemerintahan sendiri secara dalam dewan perwakilan ini berbeda dengan berdaulat. Untuk memperoleh pemerintahan daerah di luar Papua, yang pengangkatan anggota sendiri, pemerintah Belanda akan mempercepat lembaga perwakilannya dipilih atau diangkat dari pembangunan segera dan sebaik mungkin. tingkat bawah ke atas.

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 87 Menjelang awal 1960, dengan berbagai usaha di Papua akan semakin sanggup memimpin dae- informasi tentang pemilihan disebarluaskan ke rahnya sendiri (Meteray, 2011, 216). Di berbagai seluruh wilayah di Papua melalui berbagai media surat kabar diberitakan sebagai berikut. massa yang ada, seperti radio, poster, dan surat ... pada pertengahan bulan Juni tahun ini, kabar. Melalui media massa tersebut, pemerintah pemerintah Nederland sudah memberi masukan menginformasikan bahwa pada pertengahan Juni kepada parlemen satu usul undang-undang yang tahun itu pemerintah Belanda sudah memberi ma- akan mendirikan dewan perwakilan rakyat tanah sukan kepada parlemen satu usul undang-undang kita yang bernama Nieuw Guinea. Itu suatu kabar yang akan mendirikan dewan perwakilan rakyat penting, sebab itu mulainya dari kemajuan yang yang disebut NGR. Hal itu merupakan suatu sangat penting, yakni pembangunan tata negara, supaya kita rakyat dan bangsa Nieuw Guinea, kabar penting karena kehadiran NGR merupakan semua penduduknya makin hari makin sanggup awal dari kemajuan yang sangat penting, yakni akan berpemerintah sendiri. pembangunan tata negara, agar rakyat dan bangsa

Tabel 1. Daftar Anggota NGR 1961 No Nama Jabatan Asal Wilayah 1 J.H.F.Sollewijn Gelpke Ketua Hollandia 2 Nicolaas Jouwe Dipilih Hollandia 3 J.O.de Rijkke Anggota Holandia Kota 4 M. Suway Anggota Nimboran 5 Marcus Kaisiepo Anggota Kepulauan Schouten 6 B. Mofu Anggota Kepulauan Schouten 7 M.B. Ramandey Anggota Japen Waropen 8 E.J.Bonay Anggota Japen Waropen 9 H.F.W. Gosewich Anggota Manokwari 10 Penehas Torey Anggota Ransiki 11 Abdullah Arfan Anggota Raja Ampat 12 A.R. van Zeeland Anggota Sorong 13 A.S. Onin Anggota Teminabuan 14 D. Deda), Anggota Ajamaru 15 N. Tanggahma Anggota Fak-Fak 16 Mohamad Achmad Anggota Kaimana 17 A. K. Gebze Anggota Merauke 18 F.K.T. Poana Ditunjuk Mimika 19 T. Mezeth Anggota Sarmi 20 V.P.C. Maturbongs Anggota Mapi 21 C. Kiriwaib Anggota Muju 22 A. Samkakai Anggota Kepulauan Frederik 23 D. Walab Anggota Asmat/pantai Kasuari 24 B. Burwos Anggota Manokwari/Steenkool 25 Dr. F.Chr. Kamma Anggota Kerom 26 K. Gobai Anggota Paniai 27 Dr. L.J.v.d. Berg Anggota Tigi 28 H. Wonsiwor Anggota Kepulauan Schouten 29 D. Tokoro Hanasbey Anggota Hollandia Sumber: Papuans Building Their Future/H.M. Queen Yuliana in her Speech from the throne on September 1960, The information Departemen of the Nethterlands Ministry for the interior, 1961.

88 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Sementara di Hollandia (sekarang Jayapura) menjadi tanggung jawab mereka. Pembentukan pada 13 Oktober 1960, pemberitahuan tentang anggota dewan ini memungkinkan anggotanya persiapan pemilihan NGR yang dikeluarkan oleh merasa lebih dekat dan diharapkan dapat bekerja pimpinan onderafdeling Hollandia atas nama J. sama membahas masa depan kebijakan yang J. Dubois. Pemberitahuan yang dimuat dalam berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, dan selebaran menginformasikan tentang sistem budaya daerah. Tahapan ini juga akan merupakan pemilihan dan daftar pemilih yang dapat dilihat kesempatan untuk memampukan penduduk Papua di tiap distrik. Hampir sama dengan yang di- melaksanakan self determination. lakukan di Manokwari, tetapi pemberitahuan ini Masa kerja dewan adalah empat tahun, melalui selebaran (Meteray, 2011, 219). Dalam kecuali pada tahap pertama (tiga tahun). surat kabar lokal de Nieuw Guinea Korier, 21 Penunjukan ketua dewan berada pada keputusan September 1960, diinformasikan tentang pendaf- Ratu Belanda. Masa kerja ketua dewan adalah taran pemilihan di Manokwari. Surat kabar ini satu tahun. NGR mempunyai wewenang dalam menjelaskan, “Di dalam Kota Manokwari juga hak petisi atau mengajukan permohonan, hak sudah dimulai pendaftaran dengan maksud interpelasi atau meminta keterangan, serta hak menyusun daftar-daftar pemilih. Dari tanggal menyampaikan nasihat dalam hal undang-undang 16 sampai 27 September akan diadakan satu dan peraturan pemerintah. Kehadiran NGR, registratie dari rumah ke rumah.” yang mayoritas orang Papua, diharapkan dapat Adapun yang berhak memilih adalah mereka memiliki kekuatan yang jelas, serta pada saat yang berusia 21 tahun dan berlaku bagi semua yang bersamaan akan memberikan pembangunan orang yang ada di Papua dan berwarga negara politik di masa depan dan dapat berinisiatif dalam Netherland serta mereka yang telah tiga tahun kaitan dengan pemberian self determination. tinggal di Papua (Penerangan Kementerian Dalam Dalam kaitan dengan self determination, ketika Negeri, 1961, 32). Akhirnya, pada 5 April 1961, diadakan upacara pelantikan NGR, dewan di­ NGR dibentuk di Jayapura dengan 28 anggota: minta menyerahkan pandangan-pandangan yang 16 berdasarkan pada pemilihan, sedangkan 12 menyangkut hak pelaksanaan self determination ditunjuk oleh gubernur. Dari 28 anggota NGR, 22 dengan batas waktu tidak lebih dari satu tahun anggota adalah orang asli Papua, 1 orang Kei, dan setelah pembentukan dewan. Dewan diharapkan 5 orang Belanda, termasuk Indo-Belanda. Tabel 1 dapat membentuk pandangan yang relevan me- adalah anggota NGR dari berbagai utusan wilayah nyangkut waktu yang tepat untuk pelaksanaan di Papua. NGR mempunyai wewenang: hak petisi self determination tanpa mempertimbangkan atau mengajukan permohonan, hak interpelasi masalah sosial, ekonomi, dan budaya. Dengan atau meminta keterangan, hak menyampaikan cara ini, sebagai anggota parlemen, mereka dapat nasihat dalam hal undang-undang dan peraturan mempercepat pembangunan dan pertumbuhan pemerintah (Penerangan Kementerian Dalam kesadaran politik penduduk di Papua. Cara ini Negeri, 1961). merupakan tahapan penting yang dilakukan Fungsi pembentukan NGR sangat penting, sebagai jalan menuju self determination. yaitu ketika para wakil dari berbagai daerah dikumpulkan ke dalam satu badan, dan mere­ KEGIATAN NIEUW GUINEA RAAD ka dapat mendiskusikan berbagai kepentingan Pemilihan anggota dewan memang lebih banyak umum daerah serta penduduk sehingga dengan ditunjuk atau dipilih oleh pemerintah. Keadaan sendirinya para anggota dewan ini merasa ini berbeda dengan daerah di luar Indonesia, bahwa mereka adalah satu bangsa. Di samping yang anggota lembaga perwakilannya dipilih itu, berbagai permasalahan yang dihadapi ang- atau diangkat dari tingkat bawah ke atas. Menurut gota dewan berkaitan dengan pembangunan dan Paul van der Veur (1962, 64), cara pemerintah masyarakatnya dirasakan sebagai bagian dari untuk mempercepat orang Papua dalam dewan permasalahan bersama yang juga harus menjadi perwakilan ini berbeda dengan daerah di luar tanggung jawab bersama (Meteray, 2011, 221). NNG. Tentu saja pemilihan dan pelantikan Para anggota dewan diajari tentang apa yang

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 89 NGR ini tidak terlepas dari berbagai kebijakan berikan masukan kepada NGR dan pemerintah yang muncul dari pemerintah Belanda dalam Belanda dalam menentukan tanggal pemberian menanggapi upaya pemerintah Indonesia untuk pemerintahan sendiri. Pembentukan Komite Na- mendapatkan NNG sehingga pemerintah Belanda sional ini ternyata ditolak oleh beberapa anggota melakukan percepatan dalam berbagai hal, terma- dewan yang tidak menghadiri pertemuan 18 suk pemilihan dewan dan persiapan menuju ke Oktober, seperti A. K. Gebze dari Merauke, M. arah self determination. Achmad dari Kaimana, B. Burwos dari Manok- Walaupun terdapat permasalahan dengan wari, dan Torey dari Ransiki. Gebze menegaskan kualitas Dewan Nieuw Guinea, aktivitas kelom- bahwa masyarakat yang berada di bagian selatan pok elite Papua, khususnya anggota dewan, pada sangat kaget dan dikejutkan oleh petisi ini dan akhir 1961 meningkat. Kegiatan NGR ini pada hanya penduduk di bagian barat dan utara yang awal mula disesuaikan dengan Rencana Luns menjadi bagian dari Papua Barat. Dikatakan pula yang terdiri atas tiga bagian, yaitu penyerahan bahwa mereka tidak mengetahui apa-apa tentang pemerintahan kepada orang Papua melalui suatu pembentukan komite ini (Veur, 1963, 65). badan yang ditunjuk PBB, diadakan persiapan Berdasarkan wawancara yang diadakan oleh untuk pemberian pemerintahan sendiri (Lijphart, Veur (1963, 65) dengan beberapa orang Papua 1966, 275), serta menolak Irian dikembalikan di daerah pedesaan, dewan yang dipilih terlalu ke Indonesia. Dalam hal yang sama, De Kat, banyak mempersoalkan masalah internasional pemimpin partai buruh di Belanda, mengajukan dan mengabaikan masalah lokal. Dikatakan pula tiga hal yang pen­ting berkaitan dengan pendirian bahwa anggota dewan kurang memerhatikan NGR: (1) pada 1970 merupakan target pembe- masyarakat kecil yang memilih mereka sendiri. rian pemerintahan sendiri; (2) anggota dewan Surat kabar lokal De Tifa memberikan pendapat kemudian harus seluruhnya orang Papua; serta yang sama, yakni dewan kurang memerhatikan (3) harus dibentuk sebuah komisi yang bertugas masalah lokal. Dewan tidak seharusnya hanya mengawasi jalannya perkembangan politik di memikirkan masalah politik, tetapi juga harus Papua. memerhatikan masalah sosial dan ekonomi. Pada April 1961, Ratu Yuliana telah mem- Untuk dapat mewujudkan isi petisi tersebut, berikan kesan tentang kemungkinan kemerdekaan pada 30 Oktober 1961 NGR menerima petisi itu, bagi Papua. Pernyataan ini memberi motivasi ke- yang kemudian pada 31 Oktober petisi tersebut pada NGR, yang dipimpin oleh Kaiseppo bersama diserahkan kepada gubernur. Isi petisi itu antara delapan orang Papua dan dua orang Belanda, lain ialah: (1) New Guinea diberi nama Papua berangkat ke Belanda pada Juli 1961. Kelompok Barat; (2) Penduduk Papua Barat diberi nama kedua yang dipimpin oleh Sollewijn-Gelpke rakyat Papua Barat; (3) Bendera yang dipilih oleh dengan tujuan yang sama, yaitu memastikan pem- komite harus diakui sebagai bendera negara; serta berian status pemerintahan sendiri dan otonomi. (4) Lagu kebangsaan yang ditentukan komite Kemudian, pada 19 Oktober 1961, di Jayapura diakui sebagai lagu kebangsaan negara (Meteray, diadakan pertemuan yang dihadiri hanya oleh 2011, dalam Australian Liason Office, November beberapa anggota dewan yang umumnya orang 1961). Papua dan 40 tokoh masyarakat yang berasal dari beberapa tempat di Papua (Meteray, 2011). Menurut laporan pejabat pemerintah Austra- Dalam pertemuan itu, orang Eropa ataupun para lia, pemerintah Belanda menerima petisi tersebut wartawan tidak diizinkan memasuki ruangan dan berjanji mempertimbangkannya, kemudian tersebut. Topik utama yang dibicarakan adalah hasilnya akan disampaikan lewat dewan (Meteray,­ memutuskan diadakannya pertemuan internasi- 2011). onal di bawah PBB tentang status Papua. Pada 1 Desember 1961, diadakanlah peraya­ Pertemuan pada 19 Oktober ini berhasil an oleh pihak Belanda dan orang Papua dengan membentuk pula Komite Nasional yang terdiri maksud untuk menarik perhatian pemerintah atas 18 anggota yang mewakili seluruh daerah Indonesia. Pada tanggal tersebut, diumumkan Papua. Komisi ini mempunyai hak untuk mem- bendera dan nama Papua dan dikibarkan bendera

90 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Papua. Komite Nasional ini memberi gambaran sebagian rakyat Papua memisahkan diri dari bahwa pengibaran bendera ini bukanlah jaminan NKRI. Selama itu, masyarakat kecewa dan protes diberikannya pemerintahan sendiri oleh pemerin­ atas ketidakadilan pemerintah dalam menerapkan tah Belanda. kebijakan serta ekonomi, sosial, budaya, politik, Peristiwa 1 Desember 1961 disebarluaskan hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia sejak lewat berbagai media massa dan bertujuan Papua menjadi wilayah Republik Indonesia pada menunjukkan keberadaan bangsa Papua. Menu- 1961 sampai 2001. Puncak keinginan rakyat ini rut Drooglever, peristiwa 1 Desember 1961 berlangsung pada saat kongres Rakyat Papua “merupakan satu penyegar semangat yang telah pada 2000 di Jayapura. Undang-Undang No. 21 memberikan kepada mereka satu kesadaran baru Tahun 2001 menegaskan bahwa kesenjangan tentang harga dirinya” (2010, 582). Sementara itu, dalam berbagai bidang dan pelanggaran HAM berdasarkan laporan wakil pemerintah Australia berdampak terhadap munculnya berbagai aspirasi. yang berkedudukan di Hollandia, bendera Papua Dengan demikian, pascakongres Rakyat Papua ini dikibarkan hanya di tempat-tempat umum dan pada 2000, pemerintah mengeluarkan kebijakan tidak dikibarkan di gedung pemerintah.­ Laporan khusus, yaitu Otsus bagi Papua. pemerintah Australia ini dapat memberi gamba- UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otsus ran bahwa pengibaran bendera ini bukanlah suatu bagi Papua melalui proses yang tidak mudah. jaminan diberikannya pemerintahan­ sendiri oleh Di samping melalui diskusi dalam rapat resmi, pemerintah Belanda. undang-undang ini muncul dari lobi-lobi politik agar dapat menyelesaikan permasalahan Papua Bila mengacu pada perdebatan di antara secara menyeluruh melalui penerapan Otsus anggota NGR tentang isi manifesto 30 Oktober agar masuk Ketetapan MPR RI sejak 1999. 1961 serta peristiwa pelaksanaan diumumkannya Oleh karena itu, pada 20 Oktober 2001, RUU manifesto pada 1 Desember 1961, peristiwa ini tersebut disahkan dalam suatu sidang Paripurna bukanlah suatu peristiwa kemerdekaan bangsa DRP RI. Pada 21 November, Presiden Megawati Papua, melainkan merupakan suatu tindakan Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang tegas para elite Papua yang berada di NGR untuk Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2001 menunjukkan kepada publik bahwa Papua adalah tentang Otonomi khusus bagi Provinsi Papua suatu bangsa yang dapat menentukan nasibnya (Solossa, 2005, 26–32). Kebijakan ini bermaksud sendiri. Sebagai suatu bangsa, mereka membuat untuk memberi perhatian khusus bagi rakyat berbagai persiapan untuk membentuk suatu na- asli Papua agar dapat berpartisipasi dalam pem- tion state dengan menyampaikan isi manifesto bangunan. Pemberian Otsus ini bertujuan agar di atas (Meteray, 2011, 276). Upaya pemerintah dapat terwujud rasa keadilan, penegakan supre- Belanda memisahkan Papua dari Indonesia masi hukum, penghormatan terhadap hak asasi mengalami kegagalan dengan adanya Trikora, manusia, percepatan pembangunan ekonomi, yang diumumkan oleh Presiden Soekarno dan serta peningkatan kesejahteraan dan kemajuan pendekatan politik yang dilakukan bersama be- masyarakat Papua dalam kerangka kesetaraan dan berapa negara Barat. Sebagai akibat dari adanya keseimbangan dengan kemajuan provinsi lain. tekanan militer Indonesia, pemerintah Belanda Menurut Hikayabi, pembentukan MRP di membatalkan tuntutannya dan bersedia nego- Papua merupakan bentuk dari suatu kesadaran siasi dengan pemerintah Indonesia. Pemerintah baru yang muncul dalam sistem politik dan Indonesia bersedia bernegosiasi dengan Belanda demokrasi di Indonesia bahwa penduduk asli apabila Papua ditransfer ke Indonesia (Meteray, Papua memiliki identitas khas di dalam ke- 2011, 276). binekaan penduduk dan kebudayaan Indonesia. Berkaitan dengan lahirnya Otsus ini, MRP PEMBENTUKAN MAJELIS RAKYAT adalah lembaga representasi kultural orang asli PAPUA (MRP) Papua. MRP merupakan salah satu lembaga Latar belakang munculnya otonomi khusus yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang RI (Otsus) di Papua bermuara pada keinginan Nomor 21 Tahun 2010 tentang Otonomi Khusus

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 91 bagi Provinsi Papua yang memberi wewenang bahwa, dengan banyaknya orang Papua dalam penuh dalam melakukan pengawasan terhadap MRP, permasalahan hak masyarakat adat Papua penyelenggaraan pemerintahan dan pembangu- dan persoalan pembangunan lainnya menjadi nan di Papua, terutama memberikan perlindungan perhatian bersama (Solossa, 2005, 171). Se- hak-hak dasar orang asli Papua (Keagop, 2010, mentara berkaitan dengan proses pembentukan, xii). Oleh karena itu, anggota MRP terdiri atas perekrutan anggota, dan kinerja MRP, responden unsur-unsur perempuan, adat, dan agama, yang lain juga berharap, dalam merekrut anggota MRP, ketiganya memegang peranan penting dalam hendaknya tidak membawa bencana. Oleh karena proses pelaksanaan pembangunan di Papua. itu, diperlukan anggota yang berkualitas dan ber- Dalam kajiannya tentang “Otonomi Khusus integritas moral yang baik (Solossa, 2005, 172). Papua Mengangkat Martabat Rakyat Papua di Dalam pidato Gubernur Provinsi Papua pada dalam NKRI”, Solossa (2005, 132) mengatakan 18 Januari 2002 melalui radio dan televisi untuk bahwa peran kelembagaan MRP sangat sentral menyambut pemberlakuan Undang-Undang RI dalam pelaksanaan otonomi khusus. Penjaba- Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus ran pelaksanaan berbagai hal dalam UU No. bagi Provinsi Papua, J. Solossa (Sumule (Ed.), 21/2001 membutuhkan peraturan daerah khusus 2003, 591–593) mengatakan: (Perdasus) yang pembentukannya hanya dapat “Undang-Undang Otonomi Khusus bagi Provinsi dilakukan apabila MRP telah terbentuk. Artinya, Papua merupakan dasar hukum bagi kita untuk jika tidak ada MRP, Perdasus tidak dapat diben- mempunyai identitas kita di dalam Negara tuk sehingga sejumlah amanat penting otonomi Kesatuan Republik Indonesia. Sebagaimana khusus, sebagaimana terkandung dalam UU No. keinginan rakyat Papua, nama provinsi kita 21/21, tidak akan dapat dilibatkan. Selain itu, sekarang adalah Provinsi Papua. Di samping itu, adanya kelembagaan MRP merupakan terobos­ selain menggunakan Sang Merah Putih sebagai bendera negara dan Indonesia Raya sebagai an paling signifikan keterlibatan orang-orang lagu kebangsaan, kita dapat memiliki lambang asli Papua di dalam penyelenggaraan Otonomi daerah sebagai panji kebesaran dan simbol Khusus (Hikayabi dalam Keagop, 2010, xiv),. kultural yang menunjukkan kemegahan jati diri Pernyataan Solossa (2005, 136) di atas didu- kita sebagai orang Papua. Lambang daerah itu berbentuk bendera daerah dan lagu daerah, tapi kung oleh hasil angket yang mengatakan bahwa tidak diposisikan sebagai simbol kedaulatan. MRP, sebagai suatu lembaga kultural, diperlukan Bendera apa … masih harus kita bicarakan lagi untuk melindungi hak-hak orang-orang asli dan harus diatur dalam peraturan daerah khusus Papua. Bahkan, menurut para responden, harapan atau Perdasus. mereka lebih besar terhadap MRP daripada DPR (Solossa, 2005, 134). Ada pula responden yang Undang-Undang Otsus memberikan perlindungan yang sangat sentral dan penting terhadap hak-hak mengatakan MRP akan menjadi berkat bagi orang masyarakat adat dan orang asli Papua. Dalam hal Papua, tetapi dapat menjadi titik api konflik yang sosial-politik, kita akan memiliki suatu badan sukar dipadamkan jika sejak dini tidak dikelola yang disebut dengan Majelis Rakyat Papua atau dengan baik dan bijak. Bahkan, ada responden disingkat MRP. MRP adalah representasi kultural yang menuturkan bahwa MRP memang penting, orang asli Papua, yang memiliki kewenangan tetapi perlu diawasi oleh masyarakat Papua. Jika tertentu dalam perlindungan hak-hak orang asli Papua dengan berlandaskan pada penghormatan tidak, akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan, terhadap adat dan budaya, pemberdayaan kehadiran MRP tidak menjadi solusi masalah perempuan, serta pemantapan kerukunan hidup orang Papua, tetapi menjadi hambatan imple- beragama. mentasi Otsus. Menyinggung soal tanggung jawab MRP, Berkaitan dengan pentingnya MRP sebagai Solossa juga menjelaskan bahwa: penentu keberhasilan Otsus Papua, seorang responden berkomentar bahwa, karena masalah MRP diberi kewenangan oleh undang-undang Papua, hanya orang Papua-lah yang lebih me- ini untuk menyetujui atau tidak menyetujui mahami sendiri. Dikatakan pula oleh responden rancangan peraturan daerah khusus (Perdasus)

92 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 yang diajukan bersama-sama oleh DPR Provisi tiga bulan setelah undang-undang ini disahkan, dan Gubernur Provinsi Papua. MRP juga berhak MRP-nya belum juga terbentuk. untuk meminta agar peraturan daerah provinsi (Perdasi) atau keputusan gubernur yang dinilainya Permasalahan yang terjadi sejak diumum- bertentangan dengan perlindungan hak-hak orang kannya rencana pembentukan MRP tahun asli Papua untuk ditinjau kembali. MRP ini harus 2001–2005 adalah pembentukan MRP belum dibentuk, dan anggota-anggotanya masih harus direalisasi. Berbagai alasan dimunculkan berkait­ dipilih. Saya berharap pada 2002 ini kelembagaan an dengan tertundanya pembentukan MRP. Di MRP sudah terbentuk. Bagaimana para anggota MRP ini dipilih, masih harus kita bicarakan samping pembentukan MRP harus bermuara pada bersama dalam kesempatan lain. kepentingan nasional, kondisi riil masyarakat Papua dan faktor geografis yang serba majemuk Dengan demikian, Otsus bagi Provinsi Papua, menyebabkan pembentukan MRP bukanlah suatu yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor pekerjaan yang mudah. Hal ini dapat dilihat sejak 21 Tahun 2001(UU No. 21/2001), merupakan 2001 hingga 2005 masih saja terjadi pro dan sebuah setting politik yang memberikan sejumlah kontra menyangkut berbagai hal, seperti kriteria, kewenangan khusus, istimewa, dan luas bukan komposisinya, serta proses pemilihannya. hanya dalam bidang pemerintahan, melainkan Peraturan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun juga termasuk bidang lainnya (Gainau, 2012, 2004 tentang Majelis Rakyat Papua akhirnya 1). Undang-Undang No. 21/2001 juga mengatur ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yu­ tentang affirmative action policy atau perlakuan dhoyono pada 23 Desember 2004 dan diserahkan khusus bagi orang asli Papua agar orang asli Papua kepada Gubernur Provinsi Papua Jacobus Pervd- benar-benar menjadi tuan di negeri sendiri dalam dya Solossa pada 26 Desember 2004 di Jayapura. arti yang sesungguhnya dalam tataran kemandirian Menurut Paskalis Keagop (2010, 6), Peraturan dalam bingkai NKRI (Gainau, 2012, 7). Pemerintahan RI ini lambat mempercepat proses Untuk mewujudkan Otsus, pemerintah Papua pemilihan anggota MRP karena dicurigai lem- membentuk MRP. Menurut Paskalis Keagop baga ini akan mempercepat proses kemerdekaan (2010, 4), lembaga MRP itu dianggap penting Papua dari RI. untuk hadir di Papua karena sejak Papua menjadi Proses pemilihan anggota MRP ini menjadi bagian dari wilayah Indonesia, orang Papua tidak serba salah. Selain mepetnya waktu antara pernah atau sulit mengaktualisasi diri ataupun pemilihan dan pelantikan anggota MRP, serta menduduki jabatan-jabatan politik penting dalam pemilu gubernur dan wakil gubernur, Otsus sudah pemerintahan. Di samping itu, orang Papua masih dikembalikan masyarakat adat secara resmi ke diletakkan dalam posisi lemah dengan stigma pemerintah pusat melalui DPR Papua pada 12 belum mampu. Akibatnya, tidak dapat bersaing Agustus 2005. Sementara itu, pelaksanaan pem- dalam berbagai peluang. Solossa menyatakan bentukan MRP, yang merupakan nafas implemen- bahwa rendahnya keterwakilan orang asli Papua tasi UU Otsus, banyak mengalami masalah, baik di lembaga-lembaga perwakilan rakyat tidak dari segi teknis pelaksanaan maupun komponen hanya akan berpotensi pada disintegrasi bangsa, penting dalam pembentukan MRP itu sendiri, tetapi juga akan memengaruhi tingginya tingkat yakni golongan agama. Proses pemilihan dan pe- kemiskinan dan berpengaruh terhadap nasional­ rutusan anggota MRP oleh unsur perempuan serta isme orang Papua terhadap negara (dalam adat dari kampung ke distrik dan ke kabupaten Gainau, 2012, 134). Dengan demikian, MRP yang akhirnya ke provinsi akan menjadi rumit hadir untuk memberikan kemampuan bagi orang sehingga dikatakan secara rasional kita akan sulit asli Papua dalam mengambil kebijakan pemba­ melakukan seluruh proses dalam waktu yang ng­unan di Indonesia dan di Papua. Menurut UU relatif singkat. Malah ada kemungkinan tidak No. 21/2001 tentang Otsus Provinsi Papua, MRP melalui proses dan akhirnya melalui penunjukan. harus terbentuk tiga bulan sesudah UU No. 21 Sehubungan dengan­ telah diserahkannya Otsus tentang Otsus itu disahkan. MRP adalah lembaga oleh Dewan Adat Papua, menurut Jan Ayomi, representasi kultural asli Papua. Namun, hampir Ketua Pansus Pilkada Gubernur, pemerintah

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 93 dengan sendirinya akan menjalankan proses kesungguhan dari pihak pemerintah, dalam hal pemilihan dengan cara penunjukan. Namun, ini Badan Kesatuan Bangsa sebagai pelaksana dalam Perdasi Nomor 4/2005, tak ada satu pasal kegiatan sosialisasi ini. Proses sosialisasi harus pun yang menyatakan bahwa pemilihan anggota dilakukan dengan sungguh-sungguh sampai ke MRP akan dilakukan pemerintah. Dalam kondisi kampung-kampung supaya bisa menyentuh demikian, sosialisasi MRP di daerah-daerah masyarakat kelas bawah (Keagop, 2010, 18–19). sudah dilaksanakan. Persoalannya ialah apakah Pada akhirnya Pemerintah Provinsi Papua pelaksanaan sosialisasi MRP itu menyentuh mengeluarkan Peraturan Daerah Provinsi (Per- berbagai lapisan masyarakat? dasi) Nomor 4 Tahun 2005 pada Senin, 18 Juli Pemilihan anggota MRP ini menimbulkan 2005, yang ditandatangani Gubernur Provinsi polemik karena proses pemilihannya dianggap ti- Papua Jacobus Pervddya Solossa untuk memper- dak demokratis, mendadak, tidak transparan, dan cepat pembentukan MRP. Proses pemilihan ang- lebih pada penunjukan para bupati di daerah pe- gota MRP dilaksanakan pada 8–14 Oktober 2005 milihan masing-masing. Paskalis Keagop (2010, dengan memilih 42 anggota MRP yang mewakili 41–44) menjelaskan bahwa proses pemilihan­ unsur perempuan, agama, dan adat. Kemudian, dan perutusan anggota MRP oleh unsur-unsur pelantikan anggota MRP ini oleh Menteri Dalam perwakilan perempuan dan adat dari kampung ke Negeri RI Moh. Ma’ruf dilaksanakan pada 31 distrik, dan seterusnya ke kabupaten dan provinsi, Oktober 2005 di Sasana Krida kantor Gubernur akan menjadi rumit karena setiap tahapan proses Papua Dok 2, Jayapura. Mendagri Moh. Ma’ruf, pemilihan calon anggota MRP yang dilewati di dalam jumpa pers pada 31 Oktober 2005, me- semua wilayah tingkatan pemerintahan didiami nyatakan komitmen dan harapan pemerintah warga lebih dari satu suku sehingga setiap suku menyelesaikan masalah Papua melalui MRP yang bertahan untuk mengajukan tokohnya. Bahkan, baru dibentuk. MRP harus segera mempersiapkan para pemimpin agama yang dominan di Papua Gubernur dan Wakil Gubernur Papua (Keagop, menolak anggotanya terlibat dalam pemilihan 2010, 76). anggota MRP. Kehadiran MRP memperlihatkan bahwa Para pemimpin agama berpendapat bahwa masyarakat berharap, melalui kehadiran MRP di MRP adalah lembaga representasi kultural untuk Papua, berbagai permasalahan yang selama itu membela dan mengembangkan kepentingan orang dihadapi dapat diselesaikan agar masyarakat di Papua di bidang kultural, perempuan, dan agama Papua dapat merasakan kesejahteraan seperti di guna menjaga kerukunan. Oleh sebab itu, tidak daerah-daerah lainnya di Indonesia. Kehadiran setuju apabila pembentukannya terburu-buru un- Mendagri pada saat pelantikan MRP, misalnya, tuk kepentingan politik. Menurut uskup Jayapura, dapat menjawab beberapa masalah, antara lain Mgr. Leo Laba Lajar OFM, proses pembentukan status Provinsi Irian Jaya Barat yang dianggap MRP harus secara bertahap dan pelan-pelan dari tidak punya dasar hukum, proses hukum bagi bawah karena masalah MRP sangat kompleks para bupati di Papua yang terlibat korupsi, keti- sehingga butuh waktu. Memilih wakil adat dan dakpastian pelaksanaan pemilu Gubernur Papua, perempuan butuh waktu karena banyak suku. dan mengapa tidak ada wakil organisasi Papua Sementara itu, Ketua Sinode GKI Papua, Pendeta Merdeka di MRP. Herman Saud, berkomentar bahwa, kalau ada Tugas dan wewenang MRP menurut Pasal pendeta dari lingkungan gereja GKI yang masuk 20 ayat (1) UU No. 21/2001 (Keagop, 2010, anggota MRP, jabatan pendetanya akan diber- 4) adalah 1) Memberikan pertimbangan dan hentikan. Dari pihak MUI Papua, Zubair Miz persetujuan terhadap bakal calon gubernur dan menyatakan sudah jauh-jauh hari menyiapkan wakil gubernur yang diusulkan oleh DPR Papua; wakil dari Islam agar kelak bisa berperan di ma- 2) Memberikan pertimbangan dan persetujuan syarakat. Bukan cuma datang dan duduk, tetapi terhadap calon anggota Majelis Permusyawaratan harus berperan. Ketua SKP Keuskupan Jayapura, Rakyat Republik Indonesia utusan daerah Br Budi Hermawan OFM, mengimbau agar ada Provinsi Papua yang diusulkan oleh DPRP; 3)

94 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Memberikan pertimbangan dan persetujuan 4. Pemerintah Pusat menolak penggunaan terhadap rancangan peraturan daerah khusus Keputusan Kultural MRP Nomor 14 Tahun (Raperdasus) yang diajukan DPRP bersama- 2009 sebagai salah satu syarat pencalonan sama dengan gubernur; 4) Memberikan saran, kepala daerah dalam pemilihan 2010 di pertimbangan, dan persetujuan terhadap rencana Papua. perjanjian kerja sama yang dibuat oleh pemerin- tah ataupun pemerintah provinsi dengan pihak Adapun penolakan dari pihak masyarakat ketiga yang berlaku di Provinsi Papua, khusus terkesan lebih mengacu pada proses pemilihan yang menyangkut perlindungan hak-hak orang anggota MRP oleh Departemen Dalam Negeri asli Papua; 5) Memerhatikan dan menyalurkan bersama Badan Kesatuan Bangsa Politik Provinsi aspirasi, pengaduan masyarakat adat, agama, Papua yang saat itu sangat tertutup, terburu-buru, kaum perempuan, dan masyarakat pada umumnya dan hanya untuk memenuhi kepentingan peme­ yang menyangkut hak-hak orang asli Papua, serta rintah pusat. memfasilitasi tindak lanjut penyelesaiannya; serta 6) Memberikan pertimbangan kepada DPRP, KEGIATAN MAJELIS RAKYAT gubernur, DPRD kabupaten/kota, dan bupati/ PAPUA wali kota mengenai hal-hal yang terkait dengan Dalam sistem pemerintahan Indonesia, MRP perlindungan hak-hak orang asli Papua. merupakan lembaga baru yang sebelumnya Ternyata, kehadiran MRP 2005 di Papua tidak ada. Karena MRP dibentuk melalui UU RI mendapat penolakan, baik dari Jakarta maupun Nomor 21 Tahun 2001, lembaga ini pada awalnya di Papua. Pemerintah pusat menganggap pem- tidak jelas fungsi, peran, dan kedudukannya bentukan MRP akan mempercepat kemerdekaan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Papua. bagi rakyat Papua. Hal ini terlihat dari berbagai UU RI Nomor 21 Tahun 2001 ataupun Peraturan agenda kerja MRP yang tidak dapat dilaksanakan Pemerintah RI Nomor 54 Tahun 2004 tidak karena terdapat perbedaan persepsi (Keagop, mengatur fungsi, peran, dan kedudukan dalam 2010, 37), antara lain: penyelenggaraan pemerintahan di Papua. Yang 1. Penolakan terhadap hasil jaringan aspirasi ada hanyalah menyangkut tugas dan wewenang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat yang serta hak dan kewajiban MRP dalam memper- dilakukan oleh MRP di sembilan kabupaten juangkan hak-hak dasar orang asli Papua. di wilayah barat Provinsi Papua. Sejak pelantikan hingga 2007, MRP baru 2. Penolakan terhadap pokok pikiran peraturan melaksanakan satu dari enam tugas yang di­ daerah khusus tentang lagu, lambang, dan atur dalam Pasal 20 UU RI Nomor 21 Tahun simbol yang diajukan MRP ke DPRP untuk 2001, yang memberikan pertimbangan dan dibahas menjadi Perdasus. Sebagai tanding­ persetujuan terhadap bakal calon gubernur annya, Jakarta mengeluarkan PPRI Nomor yang diusulkan DPRP. Susunan, kedudukan, 77 Tahun 2007 tentang bendera, yang mela- serta fungsi dan peran MRP yang tidak jelas rang penggunaan bendera bintang kejora di dalam sistem hukum pemerintahan di Indonesia Papua, dan penggunaan bendera di Nanggroe membuat MRP tidak berfungsi secara maksimal Aceh Darussalam (NAD). dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan di Papua, dan MRP sendiri sulit 3. Pemerintah pusat menolak mengakomodasi mengadakan hubungan koordinasi kerja dengan jatah 11 kursi itu akan mengganggu stabili- gubernur dan DPRP. MRP merupakan lembaga tas keamanan di Papua. Sebaliknya, ketika baru dalam sistem pemerintahan di Indonesia, perjuangan 11 kursi dilakukan oleh Barisan termasuk di Papua, yang memberi prioritas pada Merah Putih, Jakarta mendorong secara kepentingan penduduk asli di Papua. Kehadiran aktif untuk memilih 11 orang masuk DPRP MRP sebagai bagian dari implementasi Otsus di periode 2009–2014. Padahal, Barisan Merah Papua tentu saja masih menimbulkan keraguan Putih bukan lembaga resmi yang disebut dan kecurigaan dari berbagai pihak, termasuk dalam UU RI Nomor 21 Tahun 2001.

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 95 pemerintah pusat. Selama ini pelaksanaan Otsus akan mengkhianati orang Papua sendiri. Oleh masih saja bermasalah, apalagi berkaitan dengan karena itu, menurut dia, dalam masa transisi ini, kehadiran MRP, yang keberadaannya masih yang paling penting adalah menentukan karakter diragukan. Hal ini sudah dijelaskan di atas oleh setiap individu anggota MRP agar unggul, jujur, Syamsudin Haris bahwa adanya penundaan tarik- rendah hati, dan siap berkorban bagi kepentingan ulur pembentukan Majelis Rakyat Papua akibat rakyat Papua. Bahkan, Sumule menyinggung kuatnya intervensi pusat serta pemberlakuan bahwa proses pemilihan anggota tidak demokra- “litsus” bagi tokoh-tokoh yang tidak disukai tis, malah penuh rekayasa. Sumule lebih lanjut pemerintah. Sikap pemerintah ini tampak sekali menyampaikan sembilan tantangan yang diha- ketika MRP dibentuk. Kehadiran MRP ini mem- dapi MRP (dalam Keagop, 2010, 2321–2325), buktikan bahwa membangun Papua tidak dapat yaitu 1) Menguasai dengan baik latar belakang, mengabaikan karakteristiknya, termasuk MRP. filosofi, dan isi Otsus Papua; 2) Menyalurkan dan menjawab aspirasi rakyat Papua; 3) Proaktif Alua, sebagai Ketua MRP jilid pertama (Ke- menyelenggarakan dialog dalam kerangka rekon- agop, 2010, viii), mengaku pada awal perjalanan siliasi Papua; 4) Mampu memfasilitasi dialog MRP harus mencari jalan sendiri untuk hidup dan dalam kerangka penyelesaian sejarah politik berkembang. Setelah dilantik, setiap anggota Papua; 5) Menetapkan kapan dan bagaimana dibekali 1 buku UU Nomor 21 Tahun 2001, 1 prosedur pemilihan MRP berikutnya; 6) Mampu buku PP Nomor 54 Tahun 2004, dan seminggu melindungi hak-hak orang asli Papua dalam kemudian ditambah dengan 1 buku tentang Tata pembahasan RAPD 2006; 7) Tidak terperangkap Tertib MRP. Berbekal tiga buku ini, MRP terus dalam kepentingan politik sesaat pemilu kepala bertahan sampai tahun kelima pengabdian, dan daerah provinsi; 8) Memiliki konsep yang jelas MRP periode pertama harus meletakkan jabatan tentang pemekaran Papua menjadi provinsi; pada Oktober 2010. Sementara Hana J. Hikayabi serta 9) Memiliki terobosan dalam mendorong (Keagop, 2010, xi) mengatakan bahwa sejak awal penyiapan perdasus-perdasus. banyak pihak di pemerintahan ataupun sebagian masyarakat Indonesia—yang nasionalis—meno- Di bagian lain, ketika membicarakan MRP, lak pembentukan MRP di Papua. Mereka menilai Max Kambuaya (dalam Keagop, 2010, 259) me- MRP merupakan lembaga superbody, yang akan lihat masih ada gap antara pemerintah dan rakyat. mempercepat kemerdekaan Papua. Ketakutan Oleh karena itu, MRP sebagai wadah akan men- ini terlihat dari: 1) Pemerintah pusat lambat jadi jembatan. Namun, hingga dewasa ini, MRP menerbitkan PP tentang MRP selama 3 tahun masih dilihat dengan mata curiga. Diakui pula 10 bulan; 2) Pemilihan sebagian anggota MRP bahwa selama ini MRP tidak dapat berbuat ba­ dinilai tergesa-gesa dan tidak demokratis; serta 3) nyak karena berbagai keterbatasan yang dimiliki Berbagai keputusan dan rekomendasi ihwal per- sehingga masyarakat diharapkan dapat menerima lindungan hak-hak dasar orang asli Papua yang kenyataan bahwa MRP pertama ini belum bisa dikeluarkan MRP selama lima tahun (2005–2010) berbuat banyak. Meski begitu, MRP tetap tegas tidak segera ditindaklanjuti oleh pemerintah pusat memperjuangkan hak orang asli Papua, seperti dan daerah. persoalan sekitar perebutan pengelolaan sumber Mengenai terbatasnya wewenang yang daya alam di Timika, teluk Bintuni, dan Depapre dimiliki oleh MRP, tidaklah mengherankan Jayapura. apabila MRP periode pertama ini dianggap Yusak Reba dalam (Paskalis Keagop dkk. belum dapat berperan sesuai dengan harapan (2010, 267), menyadari bahwa berbagai perma- masyarakat. Sumule (dalam Keagop, 2010, 229) salahan yang dihadapi MRP periode pertama dalam menyoroti tantangan-tantangan MRP dan ini disebabkan oleh: 1) Perdasi Nomor 4 Tahun saran-saran pemecahannya mengatakan, akibat 2005 tentang tata cara pemilihan anggota MRP tertundanya pembentukan MRP, kehadiran MRP tidak dilakukan secara konsekuen dan konsisten; ini justru menjadi kontroversi. Bahkan, pem- 2) Tidak ada konsolidasi yang cukup baik di bentukan MRP dianggap sebagai Pembentukan antara kelompok-kelompok perempuan, adat, Pendapat Rakyat (Pepera) kedua alias badan yang dan agama; serta 3) Walaupun Perdasi sudah

96 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 disosialisasikan secara merata, belum cukup atas, Otsus akan mempercepat kegiatan-kegiatan dipahami secara merata di tiga komponen, yakni pembangunan yang selama ini terhambat dan perempuan, adat, dan agama. Adapun yang dipi­ membuat terobosan-terobosan baru, dengan ini- kirkan cenderung bagaimana menjadi anggota siatif dan prakarsa kita sendiri. Menurut Solossa, MRP serta mengabaikan aspek kapasitas dan berbagai kegiatan ini dapat dilakukan dengan komitmen. melibatkan peran DPRP, termasuk pemerintah di Yusak Reba juga menegaskan bahwa selama pusat Jakarta (dalam Sumule, 2003, 591–593). tahun pertama ini MRP tidak punya agenda jelas Pernyataan Solossa ini menyimpulkan bahwa untuk bekerja. Selama ini agenda MRP selalu MRP bertanggung jawab mengikutsertakan orang berubah-ubah, tidak fokus, dan tidak cukup solid Papua dalam institusi karena merekalah yang dalam komitmen. Padahal, yang memperjuangkan memahami permasalahan yang terjadi di Papua. orang asli Papua adalah MRP, bukan DPRP. DPRP Dengan demikian, pada periode MRP jilid cenderung memperjuangkan partai politiknya. II ini, permasalahan yang dihadapi MRP tidak Hal penting lainnya menyangkut kinerja MRP. berbeda jauh dengan periode pertama. Hal ini Yusak menyinggung, ketika ada dialog interaktif dapat dilihat dari hasil evaluasi dengar pendapat di RRI Jayapura, salah seorang perempuan dari yang diselenggarakan oleh MRP dengan per- daerah bertanya, “MRP selama ini bikin apa?”. wakilan orang asli Papua. Dalam rapat dengar Pernyataan perempuan ini memperlihatkan pendapat evaluasi Otsus Papua dan Papua Barat bahwa MRP tidak pernah membangun komuni- pada 25–27 Juli 2013 yang diselenggarakan kasi de­ngan sesama perempuan (konstituennya). oleh MRP periode kedua, para peserta, yang Bahkan, selama periode pertama berjalan, ada berasal dari perwakilan orang asli Papua terdiri upaya untuk membubarkan MRP. Menurut Yusak atas tiap kabupaten dan kota, para intelektual Reba, keinginan untuk membubarkan MRP mun- orang asli Papua, dan anggota MRP, umumnya cul akibat ketidakpuasan masyarakat terhadap menilai peran MRP sangat terbatas hanya pada kinerja MRP. memberi pertimbangan dan persetujuan, tetapi Namun, dalam menghadapi berbagai tan- tidak mempunyai hak legislasi, hak anggaran, dan tangan, MRP jilid II ini berupaya memikirkan pengawasan (MRP, 2013, 23). masalah yang terus terjadi di tanah Papua, ter- Selain itu, Izak Morin (wawancara, 15 masuk usulan 14 kursi di DPRP. Selama masa Desember 2015) mengemukakan bahwa kinerja kepemimpinan MRP jilid II, banyak masalah MRP yang tidak maksimal terjadi karena institusi yang muncul dan berdampak pada pro-kontra tidak menyadari bahwa anggota MRP adalah per- terhadap keberadaan MRP. Sikap MRP dengan wakilan dari tujuh wilayah adat di Tanah Papua. tegas menolak Perdasus Nomor 6 Tahun 2014 Oleh sebab itu, mereka tidak boleh berdomisili tentang 14 kursi di DPRP serta menyangkut SK di Jayapura, tetapi harus tinggal dan hidup ber- 11 Tahun 2015 tentang bupati dan wakil bupati sama masyarakat di daerah pemilihan. Dengan serta wali kota dan wakil wali kota harus orang demikian, mereka dapat mengamati langsung asli Papua (OAP). Sikap MRP ini menunjukkan persoalan masyarakat dan merasakan keluhan betapa peran MRP perlu diperhitungkan dalam masyarakat. Mereka juga dapat menjaring kerja mengatasi berbagai permasalahan di tanah Papua. sama yang harmonis dengan aparat pemerintah, MRP bertugas menyuarakan hak-hak orang Papua anggota DPRD, tokoh agama, tokoh perempuan, yang selama ini dianggap kurang memperoleh dan tokoh adat sehingga berbagai persoalan yang pengakuan dan perlindungan. Sementara itu, ha- berada di luar tanggung jawab mereka dapat rus diakui bahwa keberagaman masyarakat Papua dibahas bersama dengan aparat atau tokoh terkait. bukanlah hal yang sederhana. Dengan demikian, Selanjutnya, dikatakan pula bahwa mereka boleh kehadiran MRP diharapkan dapat menyatukan datang ke Jayapura apabila ada pertemuan bulanan orang Papua yang sangat beragam dalam menga- atau semester untuk mengevaluasi isu-isu yang tasi perbedaan demi mencapai kesejahteraan dan muncul di masyarakat. Mereka tidak sama dengan perdamaian dalam Negara Kesatuan Republik In- anggota DPRP, yang berkantor dan berdomisili donesia. Seperti­ yang telah ditegaskan Solossa di di Jayapura dan hanya berkunjung ke daerah

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 97 pemilihan pada masa reses. Morin berpendapat, Pemikiran misionaris Belanda ini memperlihat- paradigma berpikir anggota MRP harus berubah. kan bahwa terdapat kesadaran di antara petugas Jangan hanya berlomba membangun rumah ting- gereja pada waktu itu untuk mengingatkan para gal yang mewah di Jayapura dan mengabaikan misionaris muda Indonesia masa kini yang kelak persoalan masyarakat yang memilihnya. Sebuah akan bertugas di Papua agar tidak melakukan kantor harus dibuka di tujuh wilayah adat. kesalahan yang sama. Memang harus diakui bahwa perubahan NGR DAN MRP: SOLUSI DALAM diperlukan oleh semua masyarakat. Namun, pe- MEMBANGUN TANAH PAPUA? rubahan yang terjadi hendaknya melalui proses Dari berbagai pemikiran di atas, jelaslah tampak yang dilakukan dengan cara damai dan aman. I. terdapat berbagai masalah yang memengaruhi S. Kijne (1961, 85) mengatakan bahwa: proses pembangunan di Papua. Untuk mengatasi Meskipun kita jakin bahwa perubahan itu perlu, permasalahan pembangunan di Papua ini, diperlu- tetapi kita harus hati-hati sekali, supaya di dalam kan pemahaman secara baik tentang orang Papua. masyarakat orang beroleh kesempatan tjukup Johanes Mangkey, MSC dkk. (dalam Ziarah Batin akan mengakui segala sesuatu dengan hatinja edisi 2012, 27 Januari 2012), menyatakan: sendiri. Itulah perubahan dasar rohani. Kalau perubahan itu dipaksa sadja, hasilnja hanja lahir … ketika para misionaris datang di daerah-daerah dan bukan batin. Kemudian dasar lama jang masih misi, misalnya di Papua, mereka tidak hanya di dalam batin itu meletus dan merombakkan mewartakan Injil tentang Yesus Kristus, tetapi segala sesuatu jang telah didirikan. Masjarakat juga mengangkat harkat dan martabat orang- demokratis hendak didirikan perlahan-lahan dan orang setempat melalui pendidikan, kesehatan, hati-hati. Supaja ia menjadi demokratis betul, pemberdayaan manusia, dan sebagainya. Mereka jaitu segala orang suka menanggung djawab menjadi sadar bahwa mereka tidak dapat meng- tentang pengertian baru itu. Oleh sebab itu, di harapkan hasil yang instan, mereka tidak akan dalam kampung perubahan baru harus mulai melihat dan merasakan hasil karya mereka. Ada dengan beberapa tanggungan tentang hal jang seorang misionaris Belanda yang memberi nasi- njata dan terang dan gampang sekali. hat kepada misionaris muda Indonesia sebagai berikut: Bekerja di sini [Papua] jangan harap akan Kijne mencoba menggambarkan kondisi ma- melihat hasil kerjamu. Butuh waktu 100 tahun syarakat Papua pada masa lalu, yang dihadapkan untuk melihat hasil kerja sekarang. pada berbagai perubahan. Menurut Kijne, per­ ubahan memang harus terjadi, tetapi perubahan Pernyataan misionaris Belanda di atas yang terjadi hendaknya harus diimbangi dengan menunjuk­ kan­ bahwa membangun orang Papua kondisi masyarakatnya yang mesti bertanggung berbeda dengan daerah lainnya di Indonesia pada jawab dalam proses perubahan itu. Masyarakat waktu itu. Dengan kondisi masyarakat Papua hendaknya tidak sekadar menerima perubahan yang majemuk, baik budaya maupun geografis­ atau dipaksa menerima perubahan, tetapi ma- nya, diperlukan kesabaran untuk membangun syarakat diharapkan mampu memahami dengan dan melalui proses yang panjang, bukan instan. benar arti perubahan sehingga dapat diwujud- Seperti yang ditekankan misionaris asal Belanda nyatakan dalam tindakan. Perubahan mengan­ bahwa apa yang dilakukan para petugas gereja dung makna bahwa perjumpaan orang Papua pada masa lalu tidak serta-merta dapat lang- dengan masyarakat di luar Papua bervariasi dari sung terlihat dan terasa hasil karyanya, tetapi satu wilayah ke wilayah lain di Papua sehingga biarlah generasi berikutnya yang merasakan. akan memengaruhi cara pandang orang Papua Para misionaris­ Belanda menjadi sadar bahwa terhadap masuknya perubahan. Oleh karena itu, mereka tidak dapat mengharapkan hasil yang Kijne mengingatkan perlunya kesadaran dari hati instan. Mere­ka juga tidak akan melihat dan mera- nurani masyarakat Papua sendiri tentang makna sakan hasil karya secara langsung. Pernyataan perubahan dalam diri mereka. misionaris ini sangat penting dan, oleh karena itu, perlu disampaikan kepada para misionaris Berkaitan dengan perubahan yang dihadapi muda Indonesia yang akan bertugas di Papua. orang Papua pada masa lalu, Meteray (2013, 8)

98 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 menegaskan bahwa percepatan yang terjadi pada model tata pemerintahan yang dibangun di atas 1960–1961 di Papua mendorong orang Papua prinsip-prinsip institusional negara modern untuk memotivasi diri mereka agar dapat ber- dengan realitas sosial dan politis sehari-hari. peran sesuai dengan tuntutan masa itu. Pada sisi Menurut dia, kehadiran Otsus bertujuan menga- lain, orang Papua akhirnya menyadari sulitnya tasi masalah di atas, tetapi mengalami tantangan mengejar perannya dalam waktu singkat. yang berat karena tidak dibayangkan sebelumnya Pernyataan Kijne dan Meteray dapat di- oleh para pemimpin dan apalagi tidak diantisipasi kaitkan dengan kondisi orang Papua pada masa oleh lembaga-lembaga legislatif dan eksekutif kini. Percepatan pembangunan yang disertai yang memberlakukan dan mengimplementasikan dengan tersedianya berbagai sarana dan prasarana undang-undang pemekaran. pada era Otsus seharusnya diimbangi dengan Pernyataan Jaap Timmer memperlihatkan pemahaman orang Papua terhadap kemampuan bahwa penerapan kebijakan pembangunan Otsus taraf berpikir orang Papua. Pada kenyataannya, dilakukan di Papua tidak didasarkan pada kajian tidak sedikit masyarakat di Papua yang belum yang tepat, termasuk memahami masa lalu ke- mengoptimalkan berbagai sarana dan prasarana beradaan orang Papua di berbagai wilayah, baik untuk menyejahterakan mereka. Sekalipun jum- pantai maupun pegunungan. Permasalahan yang lah terdidik orang asli Papua terus meningkat dialami selama penerapan Otsus adalah dampak dan sebagian sudah menikmati Otsus, hasil dari pengabaian terhadap pemahaman jati diri evaluasi yang sudah dibahas di atas memperli- orang Papua itu sendiri, baik oleh orang Papua hatkan bahwa orang Papua masih dianggap dalam maupun orang non-Papua di pusat dan daerah. kondisi miskin selain Maluku dan Nusa Tenggara Oleh karena itu, agar MRP dan berbagai Timur (NTT). institusi di Papua tidak melakukan kesalahan Berbagai permasalahan yang dihadapi yang sama pada masa lalu dan demi mengatasi orang Papua serta upaya yang dilakukan untuk permasalahan pembangunan yang begitu rumit membangun Papua melalui kehadiran NGR dan di Papua, pemerintah, baik pusat maupun daerah, MRP dapat dikaitkan dengan permasalahan yang perlu meninjau sejarah atau masa lalu orang dihadapi pemerintah Papua Nugini. Jaap Tim- Papua menyangkut keterlibatan orang Papua mer (2007, 618) mencoba mengaitkan kondisi dalam institusi, baik NGR maupun institusi yang di Papua dengan pernyataan Lawarence yang lain. Tinjauan masa lalu ini penting karena tidak kajiannya di Papua Nugini. Lawarence menga­ semua orang di Papua pada masa lalu terlibat takan, kesulitan membangun sistem hukum tipe dalam berbagai institusi. Ada daerah yang sudah barat terjadi karena kelompok-kelompok yang lebih dulu berkembang, terutama di daerah pantai terkait, yaitu orang-orang Australia dan orang- utara, barat, dan selatan Papua, kemudian disu- orang Nieuw Guinea, mewakili sistem-sistem sul oleh daerah Pegunungan Paniai. Sementara sosial yang istimewa dan cukup berlainan. Kedua daerah Pegunungan Jayawijaya baru berkembang sistem ini memiliki proses kontrol sosial mereka kemudian dan masih banyak daerah di Papua sendiri yang sifatnya idiosinkratik, yang tidak yang belum kena sentuhan pembangunan. diharapkan akan berjalan dalam satu kerangka Papua merupakan salah satu wilayah di In- kerja hukum tunggal. Sekarang ini, pemerintah donesia yang memiliki ras Melanesia selain Nusa Papua Nugini masih menghadapi tantangan yang Tenggara Timur dan Maluku. Papua memiliki sulit, yaitu mengikat berbagai komunitas yang kurang-lebih 250 bahasa dan 250 kelompok etnis, berbeda-beda dalam suatu organisasi politis dan yang menempati wilayah beragam. Oleh karena ideologis yang efektif. itu, pengalaman menjadi Indonesia pun berbeda Pernyataan Lawarence yang dikutip Jaap dengan sesama ras Melanesia lain di Maluku dan Timmer ini relevan dengan keadaan di Papua NTT serta daerah lain di Indonesia. Sementara dewasa ini. Menurut Jaap Timmer (2007, 618), itu, selama ini pendekatan yang diterapkan lebih situasi sekarang di Papua rupanya menderita didominasi oleh pendekatan ras Melayu dan ras akibat inkompatibilitas serupa antara model-

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 99 Melanesia lain tidak mengacu pada pendekatan Michels, seorang sosiolog Jerman, disebut hukum ras Melanesia Papua di Papua. besi oligarki, yang merupakan salah satu bentuk lingkaran setan. Berakhirnya kolonialisme pada Dengan demikian, pemahaman tentang beberapa dasawarsa setelah PD II sesungguhnya sejarah Papua sangatlah penting dan merupakan menciptakan beberapa momentum sejarah yang kebutuhan dasar. Sejarah yang dimaksudkan di penting bagi beberapa daerah bekas koloni sini bukan hanya semata-mata berkaitan dengan bangsa-bangsa Eropa. Akan tetapi, sebagaimana persoalan integrasi ataupun Pepera yang menjadi yang lazim terjadi di negara-negara sub-Sahara Afrika dan Asia, pemerintah di negara-negara perdebatan antara Jakarta dan Papua selama ini, bekas jajahan itu seolah justru mengulangi sejarah melainkan menyangkut berbagai aktivitas orang kelam yang disinggung oleh Robert Michels tadi, Papua pada masa lalu, baik di bidang ekonomi, dengan kekejaman yang melebihi bangsa-bangsa hukum, agama, kesehatan, pendidikan, sosial dan bekas penjajah mereka, monopoli kekuasaan budaya, maupun kontak antara orang Papua dan politik, melanggar batas-batas kewenangan, dengan orang di luar Papua (Meteray, 2012, 6). serta membonsai institusi-institusi ekonomi yang seharusnya bisa menyuburkan iklim investasi Selama ini, berbagai pendekatan yang pernah dan mendatangkan kemakmuran. Tak banyak dilakukan di Papua sejak 1963 hingga dewasa ini bangsa yang cerdas seperti Botswana, yang bisa “mengabaikan aspek kesejarahan (Meteray, 2011, menangkap momentum sejarah penting tersebut ix). Akibatnya, berbagai kebijakan pemerintah untuk melancarkan program reformasi politik- yang dilaksanakan kurang menyentuh masyarakat ekonomi yang membuka pintu bagi kemakmuran. Papua. Dengan memahami sejarah Papua secara utuh, berbagai kebijakan, strategi, dan pendekatan Mengakhiri tulisan ini, patutlah dikemukakan yang tepat dapat digunakan untuk membangun bahwa pemikiran Daron Acemoglu dan James daerah Papua dan tidak mengulangi kesalahan Robinson dapat digunakan untuk memahami dina­ pada masa lalu yang gagal mengimplementasikan mika orang Papua yang memiliki ras Melanesia program pembangunan dengan sasaran yang dengan kondisi geografis yang terdiri atas daerah tepat. pantai dan pegunungan dalam institusi NGR dan MRP. Pemahaman tentang dinamika orang Papua Dalam buku Nasionalisme Ganda Orang dalam penguatan demokrasi melalui NGR dan Papua, misalnya, Meteray (2012, 272–227) sangat­ MRP sangatlah penting agar orang Papua mampu jelas memperlihatkan pentingnya pendekat­an melahirkan elite Papua yang cakap dan berkuali- historis dalam mengatasi masalah kebangsaan tas yang akan berperan di berbagai institusi. keindonesiaan di Papua selama ini. Tanpa Ketika membahas beberapa perbedaan kecil dan memahami persemaian dan pertumbuhan dua Episode Sejarah, Daron Acemoglu dan Robinson nasionalisme “Papua dan Indonesia” di masa lalu, menegaskan bahwa peran institusi politik, dalam para penentu kebijakan, dalam hal ini para elite hal ini parlemen, dan ekonomi adalah peluang politik, baik di Jakarta maupun Papua, akan salah/ pasar, termasuk pemerintah pusat memainkan keliru menerapkan berbagai kebijakan di Papua. peran penting dalam mengambil langkah-langkah Acemogle dan Robinson mampu memaparkan radikal dalam pemerintahan. Namun, menurut permasalahan yang dihadapi negara-negara Acemoglu dan Robinson (2012, 112 dan 135), miskin di dunia berkat menggunakan pendekatan yang perlu diperhatikan adalah sejumlah negara sejarah. Acemogle dan Robinson (2014, 121) di era modern ini mengalami kegagalan karena mengakui pentingnya sejarah bagi sebuah negara “sejarah institusional mereka, yakni para pembuat yang hendak mencapai kemakmuran. Acemogle keputusan sering mendapatkan advis yang sangat dan Robinson menyatakan: menyesatkan. Dengan demikian, belajar dari Tak pernah ada yang menduga bahwa momentum kajian Acemoglu dan Robinson di atas, menggali sejarah seperti itu akan memantik sebuah revolusi data historis masa lalu akan sangat bermanfaat politik yang gemilang atau perubahan ke arah untuk memperbaiki kekeliruan yang selama ini perbaikan. Sejarah dipenuhi ilustrasi tentang terjadi dan menghindarkan masyarakat Papua dari revolusi atau gerakan radikal yang menumbang- kemiskinan dan kehancuran. kan seorang tiran dan hanya melahirkan tiran yang lain dalam sebuah pola yang oleh Robert

100 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 PENUTUP kemenangan dalam melindungi hak-hak dasarnya. NGR dibentuk oleh pemerintah Belanda pada Oleh sebab itu, sungguh tepat ungkapan Pater 1961 untuk mempersiapkan pemberian self Dr. Neles Tebay ketika memperingati hari ulang determination bagi Papua. Pembentukan NGR tahun ketiga MRP pada 2008, di Jayapura, “MRP, pada 1961 mengalami proses persiapan yang pan- Kitong Pu Honai.” Pernyataan Amiruddin dan jang sejak 1950 hingga 1961. Proses pemilihan Tebay ini memang sangat tepat untuk memper- anggota NGR dilakukan melalui dua cara, yaitu lihatkan bahwa sebenarnya orang Papua mema- pemilihan langsung dan penunjukan. Walaupun hami bagaimana menyelesaikan permasalah­an demikian, kehadiran NGR secara bertahap telah yang dihadapinya. Becermin pada masa era NGR, membangun rasa solidaritas sesama orang Papua, orang Papua melalui elitenya telah terlibat dalam yang sebelumnya sangat etnosentris, menjadi proses menuju demokrasi dan merupakan suatu satu bangsa Papua pada 1 Desember 1961. MRP institusi awal yang menjadikan orang Papua dibentuk pada 2004 oleh pemerintah Indonesia berperan di ruang demokrasi. sebagai perintah UU No. 21 Tahun 2001 tentang Dengan demikian, mengacu pada pemikir­ Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Muncul- an Acemoglu dan Robinson, yang menganggap nya otonomi khusus di Papua merupakan jawaban peran institusi politik dan ekonomi penting untuk dari keinginan sebagian rakyat Papua memisah- menyejahterakan masyarakat di suatu negara, kan diri dari NKRI serta keinginan pemerintah kehadiran MRP di Papua sangatlah penting dan pusat agar Papua tetap menjadi bagian dari perlu diberdayakan bersama lembaga eksekutif NKRI. Yang menarik dari MRP adalah proses untuk membantu pemerintah membangun Papua. pemilihan anggota lembaga ini ternyata tidak Ketika orang Papua dilibatkan dalam institusi berbeda dengan di masa NGR, yaitu melalui dua NGR dan MRP, terbukalah ruang bagi orang cara, yakni pemilihan langsung dan penunjukan. Papua untuk terlibat dalam proses pembangunan, Kenyataan ini menunjukkan bahwa pada era tetapi harus diakui pula soal banyaknya perma- reformasi, rekrutmen anggota MRP tidak berbeda salahan yang dihadapi. Hal ini membuktikan jauh dengan ketika masa NGR 1961, yaitu masih bahwa memang benar kata-kata petugas gereja melalui penunjukan. pada masa lalu. “Bekerja di sini (Papua) jangan Sementara berdasarkan pada hasil evaluasi harap akan melihat langsung hasil kerjamu. Butuh Otsus 2002–2006 serta rapat dengar pendapat waktu 100 tahun untuk melihat hasil kerja seka- MRP Papua dan Papua Barat menyangkut rang.” Oleh karena itu, untuk dapat memperoleh evaluasi Otsus pada 2013, Otsus belum berhasil anggota MRP yang berkualitas, pembangunan menyejahterakan orang Papua. Kenyataan ini sumber daya orang Papua perlu diproses dengan membuktikan bahwa memang harus diakui ada tahapan yang benar, bukan melalui proses yang yang salah dalam membangun orang Papua sela- instan. Lembaga pendidikan dari PAUD hingga ma ini. Kondisi demikian memperlihatkan bahwa perguruan tinggi, baik swasta maupun negeri, kehadiran MRP di Papua dewasa ini merupakan yang ada di tanah Papua bertanggung jawab solusi yang tepat untuk membantu pemerintah. melahirkan orang Papua yang berkualitas yang Oleh karena itu, MRP, yang merupakan lembaga akan menempati berbagai institusi yang ada di baru di era pemerintahan Indonesia, seharusnya Papua. Walaupun sejak 1969 Papua baru secara tidak perlu dipertanyakan atau diragukan karena resmi menjadi bagian dari pemerintah Indonesia, lembaga ini akan sangat membantu DPRP dan bukanlah menjadi keharusan untuk mempercepat lembaga lain untuk memecahkan permasalahan­ pembangunan demi secepat mungkin melihat pembangunan yang dihadapi di Papua. Al Rahab hasilnya. Ada daerah yang sudah lebih dulu (2010, 1990) berpendapat, sesungguhnya MRP berkembang, terutama daerah yang lebih awal adalah temuan paling jenius dari tokoh-tokoh kontak dengan dunia luar, sementara masih Papua untuk menerobos jalan buntu antara Ja- banyak daerah, baik pantai maupun pegunungan, karta dan Papua. Melalaui MRP, rakyat Papua yang belum kena sentuhan pembangunan. laksana memiliki senjata di tangan untuk meraih

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 101 Oleh karena itu, perlu kajian-kajian yang Ayorbaba, A. (2011). The papua way: Dinamika tepat untuk memahami bagaimana orang Papua konflik laten & refleksi 10 Tahun otsus Papua. menjalankan roda pembangunan dan bagaimana Abepura: Tabloid Suara Perempuan Papua. mereka mengatasi berbagai permasalahan yang Bappeda Provinsi Papua. (2010). Evaluasi 5 tahun pelaksanaan otonomi khusus Papua. Kerja terjadi di Papua, bukan sebaliknya—orang Papua Sama Badan Perencanaan Pembangunan Dae- harus dibatasi atau dicurigai dengan berbagai ala- rah Provinsi Papua dan Universitas Cendera- san. Sejak 53 tahun yang lalu, pemegang puncak- wasih. puncak kepemimpinan di Papua lebih banyak Djadijono, M. (2006). Koreksi terhadap strategi pem- didominasi oleh orang bukan asli Papua. Kini, bangunan di Papua. Analisis CSIS, Vol. 35 No. sudah saatnya orang Papua diberi kepercayaan 4, Desember 2006. mengatur masyarakat dan wilayahnya. Dengan Djopari, J.R.G. (1993). Pemberontakan Organisasi demikian, melalui MRP, akan dihadirkan orang Papua Merdeka. Jakarta: PT Gramedia. Papua yang berkualitas dan mampu menghasilkan Drooglever, P. J. (2010). Tindakan pilihan bebas! berbagai kebijakan yang menyentuh kebutuhan Orang Papua dan penentuan nasib sendiri. orang asli Papua. Yogyakarta: Kanisius. Elson, R.E. (2008). The idea of Indonesia: Sejarah Agar kehadiran MRP ke depan sebagai salah pemikiran dan gagasan. Jakarta: Serambi. satu institusi di Papua tidak menjadi batu sand- Gainau, A.W. (2012). Papuanisasi birokrasi Papua. ungan dalam implementasi Otsus, pemikiran Ac- Surabaya: Capiya. emoglu dan Robinson tentang pentingnya peran Harris, S. (2014). Masalah-masalah demokrasi dan lembaga politik dan ekonomi menjadi refleksi kebangsaan era reformasi. Jakarta: Obor. yang tepat bagi para penentu dan pelaksana ber- Henderson, W. (1973). West New Guinea: The dispute bagai kebijakan, baik di Tanah Papua maupun di and its settlement. New Jersey: American-Asian Jakarta, dengan tidak mengabaikan peran institusi Educational Exchange Seton Hall University politik pada masa lalu dan masa kini, yaitu MRP. Press. Pendekatan sejarah kehadiran NGR di masa lalu Ijie, J.D. (2013). Satu dasawarsa reaktivisasi Provinsi membuka cara pandang masyarakat masa kini Papua Barat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. untuk memperbaiki berbagai kelemahan. Harap­ Isak Morin, 15 Desember 2015. an­nya­ ialah agar anggota MRP dapat belajar Kasim, A., Huseini, M., Anwar, R., & Siong, N.B. (2015). Merekonstruksi Indonesia: Sebuah dari masa lalu dan tidak mengulang kesalahan perjalanan menuju dynamic governance. yang sama. Dengan demikian, proses rekrutmen Jakarta: Kompas. anggota MRP harus sesuai dengan mekanisme Keagop, P. (2010). Rekam jejak Majelis Rakyat Papua yang benar sehingga akan melahirkan anggota- 2005–2015. Jayapura: Suara Perempuan Papua. anggota MRP yang berkualitas. Oleh sebab itu, Kijne, I. S. (1961). Ke mana Nieuw Guinea. Hollandia: perlu ada dukungan dari berbagai pihak, termasuk Pustaka Rakyat. pemerintah daerah dan pusat, agar MRP dapat Lijphart, A. (1966). The trauma of the decolonization: berfungsi dengan baik. Dengan begitu, melalui The dutch and west New Guinea. New Haven: MRP, kebijakan pemerintah yang menghadirkan Yale University Press. Otsus di Papua akan membawa orang asli Papua Majelis Rakyat Papua. (2013a). Pergulatan orang sejahtera dan bukan menghancurkan masa depan asli Papua dalam kekuasaan otonomi khusus masyarakat Papua sendiri. Papua dan Papua Barat. Jayapura: MRP. ______. (2013b). Implementasi otonomi khusus Papua dan Papua Barat dalam perjala- PUSTAKA ACUAN nan empiris orang asli Papua. Laporan Hasil Acemoglu, D., & Robinson, J.A. (2012). Mengapa Evaluasi Otonomi Khusus Papua dan Papua negara gagal. Jakarta: PT Elex Media Kom- Barat. Jayapura: MRP. putindo Kompas Gramedia. Malak, S. (2013). Manajemen & resolusi konflik di Al Rahab, A. (2010). Heboh Papua, perang rahasia, tanah Papua. Bandung: Lepsindo. trauma, dan separatisme. Jakarta: Komunitas Mangkey, J. (2012). Penanggalan liturgi tahun B/ Bambu. II, ziarah batin 2012, renungan dan catatan harian. Jakarta: Obor.

102 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Meteray, B. (2011). Penyemaian dua nasionalisme: Report on Netherlands New Guinea for the Year. Papua dan Indonesia pada masa pemerintahan (1950). Presented to Secretary General of the kolonial Belanda di Netherlands Nieuw Guinea State United Nations Pursuant to article 73 E 1927–1962. (Disertasi Fakultas Ilmu Budaya of the chapter, Ministry of Overseas Territories. Universitas Indonesia, Jakarta). Solossa, J. P. (2005). Otonomi khusus Papua, men- ______. (2012). Nasionalisme ganda orang gangkat martabat rakyat Papua di dalam Papua. Jakarta: Kompas. NKRI, Jakarta: Sinar Harapan. ______. (2013). Penguatan keindonesiaan di Suara Perempuan Papua. 5–11 September 2005 antara kepapuaan orang Papua. Makalah. Sumule, A. (2003). Mencari jalan tengah otonomi Disampaikan pada Seminar Pancasila yang khusus Provinsi Papua. Jakarta: PT Gramedia diselenggarakan oleh Pusat Studi Pancasila, Pustaka Umum. Universitas Pancasila, dan FIB Universitas Timmer, J. (2007). Desentralisasi salah kaprah dan Indonesia. politik elite di Papua. Dalam Henk Schulte Penerangan Kementerian Dalam Negeri. (1961). Nasib Nordholt, H.S.& Klinken, G.V. Politik lokal nusa dan bangsa. Hollandia: Pustaka Rakyat. di Indonesia. Hlm. 595-625. Jakarta: Yayasan Repport Inzake Nederlands Nieuw Guinea Over het Obor Indonesia. jaar (1954). Uitgebracht Aan de verenigde Trijono, L. (2006). Otonomi khusus dan pembangunan naties Ingevolge artikel 73 E van het handvest. aras lokal Papua. Analisis CSIS, Vol. 35(4) Repport Inzake Nederlands Nieuw Guinea Over het Desember 2006: 363-384. jaar. (1951). Uitgebracht Aan de verenigde Veur, P. van der. (1962, 8 Oktober). West Irian: A New naties Ingevolge artikel 73 E van het handvest. era. Asian Survey 2 (8). ______. (1963). Political awakening in west New Guinea. Pacific Affairs 36 (1).

Bernarda Meteray | Penguatan Demokrasi di Tanah Papua .... | 103 104 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 DDC: 303.4

RINGKASAN DISERTASI

MENERUSKAN HIDUP SETELAH KERUSUHAN: INGATAN KOLEKTIF DAN IDENTITAS ETNIS MADURA PASCA-KEKERASAN ANTARETNIS DI KOTA SAMPIT, KALIMANTAN TENGAH1

Herry Yogaswara Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia E-mail: [email protected]

Diterima: 9-6-2016 Direvisi: 13-6-2016 Disetujui: 17-6-2016

ABSTRACT The Ph.D. dissertation project is about to explore Maduranese who returned to Sampit after the communal violence of February 2001. Sampit is a small town in the district of Kotawaringin Timur of the Province Central Kalimantan, Indonesia. The communal violence well known as kerusuhan or riot started from February 18, 2001 in the town of Sampit and spill-over to other city and districts in Central Kalimantan. Hundred peoples were killed, mostly Maduranese and thousands Maduranese leave Central Kalimantan by forced. They became internally displace person (IDP) in several districts and cities in Southern Kalimantan and East Java, mostly in the Madura Island. The framework of this thesis is relationship among collective memory, historicity and identity. The thesis would like to confirmed hypothesis which collective memory is shaping identity. Locus of study was town of Sampit, in the district of Kotawaringin Timur. However, to have wider perspective, the researcher visited city and other districts in Central Kalimantan; districts in South Kalimantan as neighbor province and Madura island in East Java. Result of the research are understanding narratives of riots including waves of migration in and out of Sampit; causes of riot; identities of Maduranese and efforts of Maduranese returned to Sampit. Collective memory is a strategy for Maduranese returned to Sampit through mechanism of remembering and forgetting.

Keywords: collective memory, historicity, identity, communal violence, and Sampit of Central Kalimantan

ABSTRAK Disertasi ini bertujuan mengetahui orang-orang Madura yang kembali pasca-kekerasan antaretnis di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Kekerasan antaretnis yang sering disebut kerusuhan itu terjadi pada 18 Februari 2001, dari Sampit dan menyebar ke kota dan kabupaten-kabupaten di Kalimantan Tengah. Kerusuhan telah menyebabkan tewasnya ratusan penduduk Sampit, terutama dari kelompok etnis Madura. Selain itu, terjadi migrasi paksa orang-orang Madura ke luar Provinsi Kalimantan Tengah. Kerangka konseptual penelitian ini melihat keterkaitan antara ingatan kolektif, kesejarahan, dan identitas. Tesis utamanya adalah ingatan kolektif membentuk identitas (collective memories shaping identity). Lokus studinya di Kota Sampit, tetapi kemudian melihat-lihat situasi di kota dan kabupaten-kabupaten lain di Kalimantan Tengah; kota dan kabupaten di Kalimantan Selatan; serta Kabupaten Sampang di Pulau Madura. Hasil penelitian menunjukkan narasi- narasi tentang lima gelombang migrasi orang Madura masuk dan keluar dari Sampit, narasi penyebab kerusuhan, penghilangan identitas, dan upaya kembali orang-orang Madura ke Sampit. Ingatan kolektif merupakan strategi untuk kembali ke Sampit melalui mekanisme mengingat (remembering) dan melupakan (forgetting). Kata Kunci: ingatan kolektif, kesejarahan, identitas, kekerasan komunal, dan Sampit Kalimantan Tengah

1 Naskah disertasi telah dinyatakan lulus dalam sidang promosi doktor Program Pascasarjana Antropologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia pada 11 Juli 2012.

105 PENDAHULUAN kultural (Smith & Bouvier, 2006), politik perse- Disertasi ini membahas tentang orang-orang teruan (Klinken, 2009), perebutan ruang eksklusif Madura di Kota Sampit, Kabupaten Kotawari­ (Hastijanti, 2005), komunikasi pascakonflik (Sukandar, 2007), serta analisis politik-ekonomi ngin Timur (Kotim), Provinsi Kalimantan Tengah­ (Usop, 2009). (Kalteng), yang kembali dari pengungsian pasca-kekerasan antarkelompok etnis pada Penjelasan-penjelasan akademis tersebut Februari 2001. Kekerasan antarkelompok etnis telah memberikan berbagai jawaban terhadap yang terjadi di Kota Sampit pada waktu itu akar, penyebab, dan penyulut kekerasan an- merupakan salah satu dari rangkaian kekerasan tarkelompok etnis di Sampit. Namun, belum ada komunal yang bernuansa etnis (dan agama) yang jawaban yang memuaskan bagaimana orang- terjadi di Indonesia pada masa transisi menuju orang Madura dapat kembali ke Kota Sampit era reformasi 1997–2001. Sebelumnya, terjadi dan meneruskan kembali hidupnya, khususnya kekerasan antarkelompok etnis di Sanggau Ledo pengalaman traumatik dari kekerasan antaretnis (Kalimantan Barat), Sambas (Kalimantan Barat), yang menyebabkan ratusan orang Madura tewas, Poso (Sulawesi Tenggara), Ambon (Maluku), dan kemudian dipaksa keluar dari Kota Sampit. Maluku Utara. Kekerasan komunal di Poso, Am- Setelah itu, dibatasinya orang-orang Madura bon, dan Maluku Utara lebih bernuansa agama, untuk kembali ke Kota Sampit dan dikuasainya aset-aset orang Madura oleh warga Sampit lain khususnya antara Islam dan Kristen. Sementara yang bukan berasal dari etnis Madura. di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah lebih bernuansa etnisitas, yakni Dayak melawan Kerangka pemikiran disertasi ini terinspirasi Madura dan Melayu melawan Madura di Kali- oleh pemikiran Halbswach (1992, 34) tentang mantan Barat serta Dayak melawan Madura di ingatan kolektif. Konsepsi tentang masa lalu akan Sampit, Kalimantan Tengah. berakibat pada mental image yang kita gunakan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi Kekerasan antaretnis di Sampit mempunyai pada masa sekarang. Ingatan kolektif secara men- perbedaan dengan di tempat lain, yaitu waktu dasar adalah sebuah rekonstruksi tentang masa kejadian yang pendek, skala penyebaran yang lalu dalam nuansa kekinian. Orang-orang Madura luas, tetapi jumlah korban tewas yang lebih ba­ yang kembali ke Kota Sampit membentuk ingatan nyak dibanding dengan tetangganya, Kalimantan kolektifnya sendiri agar dapat melanjutkan Barat. Selain itu, kekerasan tersebut menghasilkan kehidupannya dengan memilah-milah berbagai gelombang pengungsi lokal yang masif keluar dari macam ingatan terhadap peristiwa yang pernah Provinsi Kalimantan Tengah. Belum ada sumber terjadi pada masa lalu. Ingatan kolektif menjadi yang dapat dipercaya mengenai berapa jumlah ko- pembentuk identitas. rban tewas karena biasanya jumlah yang dikeluar­ kan oleh pemerintah undercalculated, sedangkan Kembali dan upaya meneruskan hidup bagi yang berasal dari masyarakat sipil overcalculated. orang-orang Madura di Kota Sampit tidak dapat Akan tetapi, angka minimal 500 orang Madura melepaskan diri dari berbagai ingatan terhadap tampaknya diterima oleh banyak pihak. kejadian kekerasan antaretnis pada satu sisi. Na- mun, berbagai ingatan tentang hubungan-hubung­ Kejadian kerusuhan di Sampit telah dijelas- an yang pernah terjalin di antara sesama orang kan, baik untuk kepentingan akademis maupun Madura, antara orang Madura dan orang-orang kepentingan lain, seperti untuk program-program Dayak, serta orang Madura dengan kelompok pemulihan ataupun rekonsiliasi. Kerusuhan terse- etnis lain merupakan bagian dari ingatan yang but terjadi akibat pengelolaan sumber daya alam mendorong untuk kembali ke Kota Sampit. yang meminggirkan masyarakat asli (Down to Earth, 2002), peran militer yang terpinggirkan Berdasarkan pada upaya-upaya untuk meng­ setelah keruntuhan Orde Baru, ketimpangan hori- isi kekosongan penelitian-penelitian terdahulu, zontal (Khay Jin dkk., 2005), tidak bekerjanya pengalaman personal peneliti, dan kerangka institusi negara dan rapuhnya institusi tradisional konseptual yang dipilih, dalam disertasi ini di- (Smith, 2005), faktor kekerasan struktural dan rumuskan tiga pertanyaan kunci: 1) Bagaimana

106 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 hubungan antarkelompok etnis Dayak dan akan mengganggu relasi dengan kelompok lain Madura sebelum terjadinya peristiwa kekerasan cenderung akan dilupakan. Sementara berbagai antaretnis di Kota Sampit?; 2) Bagaimanakah peristiwa yang akan menghadirkan hubungan peristiwa kekerasan antaretnis berakibat pada positif akan cenderung diingat dan dijadikan penghilangan identitas orang-orang Madura di referensi untuk bertindak dengan kelompok lain. Kota Sampit?; serta 3) Bagaimanakah upaya- Oleh karena itu, penting untuk dicari tentang upaya yang dilakukan oleh orang-orang Madura apa yang diingat serta untuk tujuan apa meng- pasca-kekerasan antaretnis agar dapat kembali ingat sebuah peristiwa tertentu. Namun, ingatan meneruskan kehidupannya di Kota Sampit? kolektif itu sendiri bukanlah sejarah meskipun sesekali berasal dari sumber material yang sama. Ingatan kolektif adalah fenomena kolektif, tetapi KERANGKA KONSEPTUAL: hanya dapat dimanifestasikan dalam tindakan dan KESEJARAHAN, INGATAN, DAN penyataan dari individu. IDENTITAS Ingatan kolektif ataupun individual mem- Kesejarahan dan sejarah bukan hanya perbedaan bentuk identitas, khususnya ingatan terhadap semantis, melainkan mempunyai pemahaman berbagai peristiwa yang mempunyai makna yang yang berbeda. Misalnya, definisi oleh Arnett, penting bagi suatu komunitas. Peristiwa bermakna “History is a linear description of events under- tersebut akan menebalkan garis batas perasaan stood within a chronological scheme. Historicity seseorang tentang dirinya dalam hubungannya is not chronological. Two events can be histori- dengan orang lain dan masyarakat umum (Benda cally connected yet be years apart” (Arnett, 2002, Beckman dalam Ramsdetd & Thufail, 2010). 503). Disertasi ini melihat keterkaitan antara Peristiwa kekerasan komunal telah menciptakan kesejarahan, identitas, dan etnisitas dalam realitas kelompok-kelompok yang menjadi pemenang keseharian orang-orang Madura pasca-kekerasan pada satu sisi serta kelompok yang kalah pada antaretnis. Kesejarahan adalah sebuah proses sisi lain. Rasa keterikatan yang kuat dan eksklusif bagaimana pengalaman pada masa lalu dijadikan pada suatu kelompok bisa mengandung persepsi referensi untuk bertindak pada masa sekarang. tentang jarak dan keterpisahan dari kelompok Namun, tidak semua pengalaman pada masa lalu lain. Kesetiakawanan kelompok bisa memicu tersebut dapat dijadikan referensi untuk tindakan tumbuhnya perselisihan antarkelompok, termasuk pada masa sekarang karena adanya berbagai keterikatan etnis, keagamaan, rasial, dan keter­ peristiwa yang dianggap penting sehingga sese­ ikatan selektif lain (Sen, 2006, 4). orang harus menyeleksi ingatan-ingatan pada Terdapat pandangan yang beragam tentang masa lalunya. identitas etnis, yaitu yang melihatnya sebagai Meminjam pendekatan sejarah dari Bernard sentimen primordial, seperti kekerabatan, agama, Lewis, historisitas/kesejarahan dalam kajian dan bahasa (Geertz, 1973), ras, bahasa, agama, antropologi dapat dimanifestasikan dalam sebuah tribalitas, nasionalitas, serta kasta (Horowitz, ragam sejarah yang disebut “sejarah sebagaimana 2005; Varshney, 2002) kategori politik, budaya, yang diingat”, atau biasa disebut oleh para ahli dan sejarah (Hall, 1991). Misalnya, mengikuti antropologi dan sosiologi sebagai memori kolek­ pendapat Stuart Hall, pada masa kolonial, pe- tif (Lewis, 2009, x). Sejarah, dalam pengertian nyebutan kelompok etnis Dayak adalah “etnik memori kolektif, lebih banyak berupa pernyataan asli Borneo non-muslim” atau non-Moslem tentang masa lalu atas dasar apa yang diingat, indigenous peoples of Borneo (Maunati, 2004). sedangkan ingatan itu sendiri bekerja melalui Padahal, dalam kenyataannya, jumlah orang proses seleksi atas apa yang dianggap bermakna yang mengaku sebagai orang Dayak dan ber­ dan berguna dalam tindakan kesehariannya. Oleh agama Islam­ mencapai jumlah yang signifikan sebab itu, dalam proses mengingat, terjadi juga di Kalimantan Tengah. Walaupun kategori proses melupakan (remembering and forgetting). politik, budaya, dan sejarah merupakan cara Kejadian yang bersifat traumatik dan dianggap melihat etnisitas lebih dinamik, dalam keseharian

Herry Yogaswara | Ringkasan Disertasi Meneruskan Hidup ... | 107 pandangan primordial dan askriptif sering kali Kunjungan dilakukan khususnya di Kecamatan lebih digunakan oleh masyarakat dalam relasi Ketapang dan Kecamatan Kedundung, yang antaretnisnya. merupakan tempat tinggal ataupun pengungsian orang-orang Madura-Sampit sebelum kembali ke METODE PENELITIAN Kota Sampit pascakerusuhan. Pengumpulan data penelitian untuk diserta­si Subjek penelitian ini sebagian besar adalah ini dilakukan melalui penelitian lapangan dan orang-orang Madura yang telah kembali ke Kota pengum­pulan data dokumen. Kunjungan lapangan Sampit dan beberapa orang Madura yang tidak dilakukan mulai Oktober 2008 hingga Februari kembali ke Kota Sampit. Selain itu, beberapa in- 2010. Namun, peneliti tidak terus-menerus tinggal forman adalah orang-orang Dayak Sampit, Dayak di Sampit pada waktu tersebut, tetapi pulang-pergi Ngaju, Dayak Manyaan, Dayak Bakumpai2, pada waktu tertentu. Fokus studi lapangan dilaku- Banjar, Bugis, China, dan orang Indo-Eropa kan di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin eks-KNIL. Timur, Provinsi Kalimantan Tengah. Ketika me- Pengumpulan data wawancara mendalam nyebutkan Kota Sampit, secara administratif ada dilakukan pada hampir semua informan. Kepada dalam dua wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan semua informan, saya mengungkapkan identitas Baamang dan Mentawa Baru/Ketapang. Selain itu, saya sebagai seorang mahasiswa pascasarjana peneliti mengunjungi kecamatan-kecamatan lain yang sedang melakukan penelitian untuk menulis di Kabupaten Kotawaringin Timur, termasuk Kota disertasi. Namun, dalam beberapa kasus, saya Besi, Cempaga Hulu, Cempaga Hilir, dan Samuda, tambahkan pekerjaan saya sebagai peneliti pada untuk memahami relasi-relasi Dayak-Madura di sebuah lembaga penelitian pemerintah. Peng­ daerah-daerah tersebut. amatan semi-terlibat dilakukan untuk melihat Kemudian, peneliti mengunjungi kabupaten- bagaimana interaksi keseharian para informan. kabupaten dan kota di Provinsi Kalimantan Kemudian, pengamatan pada tempat-tempat Tengah, yaitu ke Kota Palangkaraya; Kabupaten yang dianggap penting terkait dengan kerusuh­ Kotawaringin Barat, Kabupaten Katingan, Ka- an, seperti makam massal di Sampit, kuburan bupaten Pulang Pisau, Kabupaten Kapuas, Ka- Kristen di Sampit, tugu perdamaian di Sampit, bupaten Barito Utara, Kabupaten Barito Selatan, serta bangunan dan rumah yang hancur dan Kabupaten Barito Timur, dan Kabupaten Murung terbakar di Sampit dan Palangkaraya. Selain Raya. Tujuan kunjungan ke kota dan kabupaten- itu, pengamatan dilakukan pada tempat-tempat kabupaten di Provinsi Kalimantan Tengah adalah yang menjadi penan­da sejarah sebuah tempat melihat bagaimana efek spiral kerusuhan di ataupun penanda etnis (ethnic marker), seperti Kotawaringin Timur terhadap posisi orang-orang perumahan tepi sunga­i, perumahan dengan arsi- Madura di kabupaten-kabupaten tersebut. tektur tertentu yang terkait dengan identitas etnis Dayak, Madura, Banjar, Toraja, Bugis, China, dan Kunjungan melebar pada kabupaten/kota sebagainya. tetangga Provinsi Kalimantan Tengah, yaitu Kota Banjarmasin dan Kota Martapura di Provinsi Ka- limantan Selatan. Kedua kota tersebut merupakan NARASI KERUSUHAN: GELOMBANG tempat tinggal orang-orang Madura yang tidak MIGRASI, PENYEBAB KERUSUHAN, ingin mengungsi ke Pulau Madura dan kabu- PENGHILANGAN IDENTITAS, DAN paten/kota lain di Provinsi Jawa Timur. Beberapa UPAYA KEMBALI orang dari kalangan “elite” Madura yang menjadi anggota Ikatan Keluarga Madura (Ikama) tinggal 2 Konsep tentang “Dayak” di sini lebih mengacu pada di wilayah Kalimantan Selatan. upaya untuk memahami keragaman etnis Dayak yang ada di Kalimantan Tengah dan penggunaan konsep Selain itu, untuk dapat memahami kondisi dalam sensus penduduk pada 2000. Tentunya banyak dan situasi orang-orang Madura, dilakukan perdebatan mengenai penggunaan konsepsi Dayak ber- basis data sensus penduduk karena sensus tersebut tidak kunjungan ke Kota Surabaya dan Kabupaten memberikan petunjuk yang jelas bagi para enumerator Sampang di Pulau Madura, Provinsi Jawa Timur. tentang apa yang disebut dengan etnis.

108 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Hasil penelitian menunjukkan adanya narasi- pembuka jalan terbentuknya sebuah “sub- narasi­ yang terkait dengan akar penyebab kultur” Madura di Sampit. Pada masa itu, kerusuhan, situasi pasca-kerusuhan, dan upaya relasi-relasi antarkelompok etnis masih meneruskan hidup bagi orang-orang Madura sangat terbatas karena para migran hanya sekembali dari pengungsian. Narasi-narasi itu berasal dari Jawa, Banjar, dan orang-orang adalah adanya lima gelombang migrasi orang- China. Dalam gelombang migrasi ini, tidak orang Madura ke Sampit; penyebab dan penyulut ditemukan konflik-konflik antarkelompok kerusuhan; upaya sistematis penghilangan identi- etnis yang mengarah pada hal-hal kekerasan. tas Madura dari ruang publik Sampit khususnya Gelombang perintis ini dan hingga sekarang dan Kalimantan Tengah pada umumnya; serta menyebut Kalimantan sebagai Jaba Daja, upaya orang Madura kembali dan meneruskan yaitu wilayah utara lautan. Konsep ini dike- kehidupan di Kota Sampit. mukakan oleh orang-orang Madura untuk Berkaitan dengan “gelombang migrasi”, menyebut Pulau Kalimantan, khususnya temuan ini menunjukkan bahwa terjadi dinamika Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah hubungan pasang naik dan pasang surut dalam masa kini. hal relasi antara orang-orang Dayak dan Madura (b) Generasi Brengsel atau gelombang kedua karena berbagai penanda peristiwa penting, yaitu terjadi pasca-kemerdekaan pada 1950–1970. dimulainya kehadiran orang-orang Madura di Brengsel adalah sebutan lokal untuk nama Kota Sampit, relasi awal orang Madura dengan perusahaan kayu Belanda, NV Bruynzeel Dayak Sampit; penguasaan sumber daya oleh Dayak Houtbedrijven, yang sejak 1947 orang Madura hingga terjadinya kerusuhan. membangun pabriknya di Sampit dan Kemudian, bagaimana orang Madura terusir, beroperasi pada akhir 1949, kemudian di- menyusun strategi untuk kembali dan menerus- nasionalisasi pada 1955. Dalam gelombang kan hidupnya. Gelombang migrasi ini sebetulnya ini, terjadi lonjakan jumlah penduduk yang dapat menolak anggapan bahwa migrasi selalu di- cukup besar, dan tumbuhnya ruang-ruang tentukan oleh push and pull factors sebagaimana permukiman yang bersifat eksklusif-etnis, yang diyakini oleh demograf. Tetapi, dalam tetapi konflik-konflik yang mengarah pada banyak kasus, yang terjadi adalah dominan kekerasan komunal antarkelompok etnis penyebab push factor atau faktor penekan paksa tidak terjadi. yang membuat penduduk harus pergi dari wilayah hidupnya. Kemiskinan dan ketakutan karena (c) Gelombang Industri Kayu terjadi pada akhir konflik adalah dua faktor penekan yang penting 1960-an dan awal 1970-an, yang dipicu oleh ditekankan untuk memahami mengapa pada masa perkembangan industri kehutanan, yang lalu orang Madura harus meninggalkan kampung difasilitasi oleh UU Pokok Kehutanan No. halamannya, dan sebaliknya meninggalkan Kota 5/1967 yang mengizinkan Hak Pengusahaan Sampit karena situasi paksa dari kerusuhan. Hutan (HPH). Masa ini dikenal sebagai konsepsi “banjir kap”. Sebagian besar para Lima Gelombang Migrasi Orang pemilik HPH ini adalah kroni dari Presiden Madura Soeharto dan juga perusahaan di bawah kendali militer. Pada gelombang inilah Temuan peneliti terhadap gelombang mi- konflik-konflik yang bernuansa etnis sudah grasi orang-orang Madura di Kota Sampit dapat banyak terjadi walaupun masih dalam tataran dijelaskan ke dalam fenomena “lima gelombang perkelahian individual dan tercatat mulai migrasi”. 1982. (a) Gelombang perintis terjadi sekitar 1920-an, Gelombang pertama hingga gelombang keti- yaitu orang-orang Madura yang diangkut ga dalam ilmu kependudukan disebut migrasi dari Pulau Madura dan dipekerjakan di swakarsa atau spontaneous migration. Pada perkebunan karet, gambir, dan kelapa sawit migrasi jenis ini, migran mempunyai opsi di Sampit. Inilah generasi yang menjadi untuk memilih tempat tujuan dan bagaimana

Herry Yogaswara | Ringkasan Disertasi Meneruskan Hidup ... | 109 pergi ke tempat tujuan. Namun, kemiskinan aman dan proses penerimaan kembali pada yang ada di Pulau Madura pada masa-masa beberapa orang. tersebut merupakan faktor penekan yang signifikan. Narasi Penyebab Kerusuhan (d) Gelombang keempat adalah migrasi terpaksa Hasil penelitian ini mengonfirmasi peranan (forced migration), yang terjadi pada saat anggota kelompok elite dalam menyulut ter- kerusuhan mulai 18 Februari 2001 dan jadinya kerusuhan seperti temuan-temuan dari gelombang perpindahan sekitar seminggu para penulis terdahulu. Namun, hasil penelitian sesudahnya. Mereka yang akan pindah tidak mempunyai opsi selain harus pindah ini lebih mendalami soal bagaimana berbagai (push factors), minimal untuk keselamatan prasangka ihwal karakter negatif tentang orang- jiwanya, keluarga, dan komunitasnya. Na- orang Madura diperkuat dan dimanipulasi sebagai mun, dalam konteks relasi antarkelompok sebuah ancaman terhadap keberadaan orang- etnis, walaupun terjadi pemindahan paksa orang Dayak sebagai penduduk asli maupun ke- orang-orang Madura ke luar Sampit, dite- lompok etnis lain di Kota Sampit. Hasil penelitian mukan berbagai narasi tentang perasaan telah menemukan bagaimana imajinasi tentang kehilangan yang sangat besar bagi kalangan ancaman terhadap pendudukan Kota Sampit masyarakat non-Madura terhadap kepergian oleh orang-orang Madura telah membangkitkan orang-orang Madura ini. Gelombang ke- semangat untuk membela “tanah air” (petak empat dapat dianggap sebagai kehancuran pahaga danum) yang berakibat pada pembunuhan subkultur Madura di Sampit dalam berbagai dan pengusiran orang-orang Madura dari Kota arti. Perumahan orang-orang Madura yang Sampit secara masif. Upaya untuk memperkuat mencerminkan “ruang” sosial dan budaya imajinasi ini dikaitkan dengan berbagai peristiwa banyak yang dihancurkan; makanan khas penting yang menandakan kebangkitan kembali Madura menghilang; nama jalan bernuansa budaya Dayak yang disebut Pakat Dayak I pada Madura diganti; kesenian Madura, seperti 1894. Setelah membangkitkan kesadaran kolek­ ronggeng dan karapan sapi, tidak bisa lagi tif tentang pentingnya menjaga tanah Dayak, dipertunjukkan; serta organisasi Ikatan Kelu- kemudian dilanjutkan dengan penceritaan tentang arga Madura (Ikama) harus dibubarkan. Ge­ berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh lombang keempat ini adalah kondisi ketika orang-orang Madura terhadap orang Dayak sejak orang-orang Madura menjadi orang-orang 1982 hingga hari-hari menjelang kerusuhan pada kalah (the losers), kemudian orang Dayak 18 Februari 2001. mendapuk dirinya menjadi pemenang (win- Salah satu narasi kecil yang dikembangkan ners) yang dapat menentukan nasib orang- adalah ditemukannya spanduk yang bertulisan orang Madura melalui perda-perda ataupun “Sampit Adalah Sampang Kedua”. Spanduk ini kebijakan lain yang diskriminatif. Kekalahan kemudian dituliskan dalam “Buku Merah”— orang-orang Madura Sampit ini tidak hanya kumpulan dokumen peristiwa kerusuhan di Sampit, tetapi juga ketika ada di tempat Sampit—sebagai upaya orang-orang Madura pengungsian karena para pengungsi ini untuk menduduki dan menguasai Kota Sampit. dianggap sebagai orang-orang pengacau di Sementara itu, “Sampang” dimaknai sebagai Sampit dan mempermalukan orang-orang nama kabupaten di Pulau Madura, dan banyak Madura lain. orang Madura yang tinggal di Kota Sampit. (e) Gelombang kelima adalah saat orang-orang Tetapi, narasi lain menyebutkan bahwa spanduk Madura kembali dari tempat pengungsian ke tersebut dibuat oleh orang-orang Madura untuk Sampit. Narasi-narasi yang muncul adalah memperingatkan kepolisian Sampit yang telah bagaimana hubungan antaretnis yang sudah menangkap beberapa buruh Madura yang belum lama terbangun antara orang-orang Madura tentu salah. Pengertian “Sampang Kedua” adalah dan orang lokal Sampit, termasuk orang sebelumnya terjadi peristiwa demonstrasi besar- Dayak, dapat memberikan jaminan rasa besaran di kantor Bupati Sampang, yang waktu

110 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 kejadiannya tidak terlalu lama dengan waktu kelompok etnis yang bersifat masif sesungguhnya kerusuhan. Orang-orang Madura yang mem- terjadi mulai 20 Februari 2001, yaitu ketika bala bawa spanduk “Sampit Adalah Sampang Kedua” bantuan untuk orang-orang Dayak di Sampit adalah bentuk peringatan bagi kepolisian Sampit. datang dari berbagai wilayah Kalimantan Tengah Apabila tidak mampu menyelesaikan kasus buruh dan pembunuhan yang mengakibatkan tewasnya tersebut, peristiwa pendudukan kantor bupati ratusan orang Madura. seperti di Kabupaten Sampang akan berulang. Kemudian, berlakunya Perda tentang Penang­ Demikian halnya dengan pengertian “Gen- gulangan Dampak Kerusuhan Etnis (PDKE), car”, yang dianggap sebagai “Gerakan Carok ditambah dengan kesepakatan-kesepakatan dalam Antar Pulau”, sebuah gerakan dari orang-orang Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (KRKT), Madura yang terlatih untuk melakukan tindakan semakin mempersempit ruang ekspresi orang- balas dendam kepada orang-orang Dayak di orang Madura di Sampit. Poin penting dari PDKE Sampit. Narasi lain menyebutkan bahwa Gencar adalah melakukan seleksi alamiah terhadap adalah kependekan dari General Cargo, yaitu orang-orang Madura yang dapat diizinkan atau salah satu bagian di pelabuhan Sampit, dan terkait ditolak kembali ke Sampit atau beberapa wilayah dengan pembagian kerja buruh angkut pelabuhan lain di Provinsi Kalimantan Tengah. tersebut. Identitas orang-orang Madura, termasuk hak- hak politik, ekspresi budaya, dan memori kolektif, Narasi Penghilangan Identitas Madura dihilangkan di ruang publik Kota Sampit. Nama Jalan Pulau Madura di Palangkaraya telah diganti Peristiwa kekerasan antarkelompok etnis ini menjadi Jalan Pulau Batam; kertak Madura telah kemudian memasuki wilayah identitas dengan menjelma menjadi Jalan M.T. Haryono di Kota pendirian berbagai “monumen” yang meneguh- Sampit; serta Ikatan Keluarga Madura (Ikama) kan tentang siapa yang menjadi “pemenang” dan telah menjadi organisasi terlarang, yang kemudian siapa yang “kalah” dalam konflik tersebut. Ke- anggota keluarga dari organisasi ini dicurigai. lompok yang “menang” mempunyai klaim untuk membuat “monumen peringatan” yang dianggap dapat mengisahkan penyebab kerusuhan dan Memilah Ingatan: Upaya Meneruskan akibat kekerasan antarkelompok etnis menurut Hidup di Kota Sampit versinya. Selain itu, kelompok “pemenang” Pascakerusuhan di Kota Sampit, muncul berbagai mempunyai klaim untuk mengatur kehidupan wacana, yaitu (1) Cara pemulangan orang-orang yang “kalah” melalui instrumen hukum (seperti Madura ke Kota Sampit; (2) Perlindungan harta peraturan daerah) dan penelusuran rekam jejak milik berupa tanah pertanian, perumahan dan orang yang kembali dari pengungsian. pekarangan, serta bangunan tempat usaha; (3) “Monumen” yang disebut sebagai “tugu per- Lapangan kerja bagi orang Madura; serta (4) damaian”, yang terletak di bundaran jalan poros Proses rekonsiliasi antara orang-orang Madura Sampit-Pangkalan Bun, dibuat berdasarkan pada dan orang Dayak. kesepakatan di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Hasil Kongres Rakyat Kalimantan Tengah (DPRD), yang pada saat pasca-kerusuhan Febru- (KRKT) hanya memberikan dua rekomendasi ari 2001 tidak lagi diwakili oleh anggota orang- terkait dengan hal tersebut, yaitu cara pemulang­ orang Madura karena mereka telah meninggalkan an orang-orang Madura harus bersifat alamiah. Sampit. Tugu utama terbuat dari kayu ulin dengan Kemudian, masalah rekonsiliasi disinggung, memuat ornamen senjata khas Dayak, yaitu man- tetapi tidak ada perincian yang jelas mengenai dau dan telawang (perisai), serta tercantum tang- langkah-langkah yang akan dilakukan. Semen- gal 18 Februari 2001. Tanggal tersebut dikenang tara perlindungan harta milik orang Madura dan sebagai dimulainya serangan oleh elemen Madura lapangan kerja tidak mendapatkan tempat yang kepada keluarga orang Dayak yang menimbulkan layak untuk dibicarakan. Pengembalian alamiah delapan korban jiwa Dayak yang tinggal pada artinya tidak dilakukan secara besar-besaran satu rumah yang dibakar. Padahal, kekerasan serta dilakukan melalui jalur kekerabatan dan

Herry Yogaswara | Ringkasan Disertasi Meneruskan Hidup ... | 111 pertemanan; tidak ada upaya pemerintah. Namun, yang dihadapi pada masa sekarang telah terkon- perlu ada penyaringan di pintu-pintu masuk Kota firmasi dalam penelitian ini. Hal ini dapat dilihat Sampit untuk mencari orang-orang yang dianggap dari cara mereka kembali ke Kota Sampit dan terlibat dalam kerusuhan pada Februar­i 2001. Se- membangun kembali kehidupannya berdasarkan lain itu, masyarakat melalui ketua rukun tetangga pada pengalaman masa lalunya. Namun, pengala- dapat menentukan persetujuan atau penolakan man masa lalu tidak bersifat statis dan linier, tetapi terhadap keinginan kembalinya orang-orang dinamik, tidak mempunyai pola yang tetap, dan Madura tersebut ke tempat mereka. kadang kala bersifat tidak terduga. Oleh sebab Oleh sebab itu, orang-orang Madura yang itu, walaupun ingatan kolektif bersifat esensial ingin dan telah kembali ke Kota Sampit harus untuk memahami mental image yang membentuk mengambil referensi berbagai peristiwa masa tindakan pada masa kini, ingatan-ingatan yang lalu yang akan menyebabkan dirinya diterima bersifat individual tidak dapat dinegasikan dan kembali di Kota Sampit. Peristiwa-peristiwa dan mewarnai ingatan kolektif suatu masyarakat. ingatan yang menyebabkan hubungan dengan Hal ini tampak dari adanya orang-orang Madura orang-orang Dayak yang tidak bersifat harmonis yang demikian mudah kembali dan membangun harus disingkirkan, termasuk berbagai peristiwa usahanya kembali di Kota Sampit tanpa melalui traumatik pada saat kerusuhan, yaitu kehilangan hambatan. Tetapi, ada orang-orang lain yang kerabat atau teman yang terbunuh, serta rumah kesulitan kembali ke Kota Sampit, mengalami yang dibakar. penghambatan dan diskriminasi, juga pelecehan. Dalam ranah antropologi, konsep ingatan Ingatan-ingatan yang dipilih adalah tentang kolektif ini menjadi penting karena inilah yang bagaimana relasi pada masa lalu dengan orang- menjadi pembentuk identitas. Ingatan kolektif orang Dayak yang bersifat harmoni atau minimal membuat orang-orang menjadi sadar tentang tidak saling mengganggu. Bagaimana hubungan siapa dirinya dan siapa orang lain, juga tentang kerja sama perdagangan telah menjadi hubungan apa yang menjadi pembeda antara kelompoknya pertemanan dan kekerabatan yang saling melindu­ dan kelompok di luar dirinya. Rangkaian peris- ngi. Atau, justru dengan menyalahkan organisasi tiwa yang terjadi pada Februari 2001 di Kota di kalangan orang Madura sendiri yang dianggap Sampit, Kalimantan Tengah, telah menjadi sebuah menjadi penyebab kerusuhan. ingatan kolektif yang sekaligus menjadi pembeda Terdapat orang-orang Madura yang dengan identitas antara orang-orang Madura dan Dayak mudahnya masuk kembali ke Kota Sampit tanpa di kota itu; antara kelompok yang merasa menang perlu khawatir karena mendapatkan jaminan dari dan yang merasa kalah. orang-orang Dayak. Jaminan dari orang-orang Kekerasan antarkelompok etnis yang terjadi Dayak itu diperoleh atas dasar pertemanan pada antara orang-orang Dayak dan Madura di Kota masa sebelum kerusuhan; membayar kompensasi Sampit dapat ditafsirkan bersifat multifaktor, ter- dalam jumlah tertentu; atau dijadikan bagian dari masuk peranan pemimpin-pemimpin kelompok proyek-proyek pemerintah yang terkait dengan etnis yang menggalang kekuatan untuk menga- pemulihan wilayah pascakonflik. Selain itu, ada lahkan lawannya. Kemudian, faktor eksternal orang-orang Madura yang mendapat penolakan adanya kekerasan etnis yang terjadi di Kaliman- karena identitasnya sebagai orang Madura. Tetapi, tan Barat antara orang-orang Dayak dan Madura ada juga orang-orang yang menghindari kontak serta orang Melayu dan Madura mempertinggi dengan orang-orang Dayak. saling curiga di antara pemimpin kelompok elite sehingga mereka mempersiapkan diri apabila PENUTUP konflik yang sama terjadi di Kota Sampit. Mengambil pembelajaran dari orang-orang Penggunaan konsep historisitas dan ingatan Madura yang mencoba meneruskan kehidupannya­ kolektif dalam studi-studi antropologi menjadi di daerah pascakonflik, terlihat bahwa konsepsi sangat penting untuk melihat dinamika sosial tentang masa lalu yang membentuk mental image dan budaya pada tingkat individu dan kelompok, dan digunakan untuk memecahkan permasalahan

112 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 tetapi dikaitkan dengan permasalahan yang lebih Horrowitz, D. L. (2005). Ethnic Group in Conflict. luas pada tingkat negara-bangsa. Berkeley and LC, CA: California University Press. Dalam kaitannya dengan upaya menciptakan Khay Jin Khoo et.al. (2005). Ethnicity and inequality situasi damai di Kota Sampit (peace building), di Kalimantan. Paper presented at Workshop hasil penelitian ini memberikan kontribusi pada PMB-CRISE Project. Jakarta: PMB LIPI. sisi penggalian ingatan-ingatan. Penggalian in- Klinken, G. van. (2007). Perang kota kecil: kekerasan gatan yang dimaksudkan adalah membayangkan komunal dan demokratisasi di Indonesia. kembali relasi-relasi Dayak dan Madura yang Jakarta: Yayasan Obor-KITLV. mempunyai kesinambungan sejarah yang sudah Lewis, B. (2009). Sejarah: Diingat, ditemukan kem- lama berlangsung, khususnya situasi-situasi ke- bali, ditemuciptakan (terjemahan). Yogyakarta: seharian ketika orang-orang Dayak dan Madura Penerbit Ombak. serta kelompok etnis lainnya di Kota Sampit Maunati, Y. (2004). Identitas dayak: komodifikasi dan pernah hidup berdampingan secara damai. Selain politik kebudayaan. Yogyakarta: Penerbit LkiS. itu, hal-hal yang membangkitkan ingatan yang Ramstedt, M., & Thufail, F. I. (Eds). (2011). Kegalauan identitas: Agama, etnisitas, dan kewarganega- traumatik seharusnya diminimalkan. Ingatan raan pada masa pasca-Orde Baru. Jakarta: traumatik itu, di antaranya, terwujud dalam “tugu Pusat Penelitian Sumber Daya Regional LIPI perdamaian”, peraturan daerah yang diskriminatif, dan Max Planck Institute for Social Anthropol- serta rumor yang selalu datang menjelang tang- ogy dan Penerbit PT Grasindo. gal 18 Februari. Selain itu, orang-orang Madura Sen, A. (2006). Kekerasan dan ilusi tentang identitas. diberi kesempatan untuk kembali menggunakan Jakarta: Penerbit Marjin Kiri. aset-asetnya tanpa dibebani kompensasi kepada Smith, G., & Bouvier, H. (Eds). (2006). Communal siapa pun yang menduduki aset tersebut. Pihak conflicts in Kalimantan: Perspectives from the pemerintah bertanggung jawab menghilangkan LIPI-CNRS Conflict Studies Program. Jakarta: PDII LIPI and Lasema France. berbagai hal yang dapat membangkitkan ingatan Smith, C. Q. (2005). The roots of violence and pros- traumatik tersebut sambil mengajak organisasi pects for reconciliation: A case study of ethnic masyarakat sipil membuat program rekonsiliasi conflict in central Kalimantan. Washington, di tingkat akar rumput. DC: World Bank. Sukandar, R. (2007). Negotiating post-conflict PUSTAKA ACUAN communication: A case of ethnic conflict in Arnett, R. C. (2002). Paulo Freire’s revolution- Indonesia. (Disertasi USA Ohio: The School ary pedagogy: From a story-centered to a of Communication Studies Ohio University). Narrative-centered Communication Ethics. Usop, S. R. (2009). Analisis struktural atas konflik Journal of Qualitative Inquiry 8, 489. dan kekerasan etnis di Sampit. (Disertasi Pro- Down To Earth. (2002). Root and sources ethnic riot in gram Studi Ilmu Sosial Program Pascasarjana Sampit Central Kalimantan. United Kingdom: Universitas Airlangga, Surabaya). Doe. Varshney, A. (2002). Ethnic conflict and civic life: Geertz, C. (1973). The integrative revolution: primor- Hindus and muslims in India. USA: Yale dial sentiments and civil politics in the new University Press. state. Dalam The interpretation of cultures. Surat Kabar New York: Basic Books. Ikama: Pulangkan warga tak jelas identitasnya. (2001, Halbwachs, M. (1992). On collective memory. USA: Maret 1). Kalteng Pos. The University of Chicago Press. Ikrar pernyataan warga IKAMA. (2001, Maret 29). Hall, S. (1991). Cultural identity and diaspora. Dalam Kalteng Pos. Kathryn Woodward et al., Identity and Dias- Spanduk kerusuhan di gubernur. (2001, Juni 12). pora. London: SAGE Publication. Kalteng Pos. Hastijanti, R. A. R. (2005). Proses pembentukan ruang eksklusif pada permukiman masyarakat plural. Studi kasus konflik etnis di Sampit, Kalimantan Tengah (Disertasi Doktor). Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya.

Herry Yogaswara | Ringkasan Disertasi Meneruskan Hidup ... | 113 114 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 TINJAUAN BUKU

PENGUATAN DEMOKRASI: PARTAI POLITIK DAN (SISTEM) PEMILU SEBAGAI PILAR DEMOKRASI

Muhadam Labodo dan Teguh Ilham, 2015. Partai Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: Teori, Konsep dan Isu Strategis. Jakarta: Raja Grafindo Persada, xi+ 282 hlm.

Dian Aulia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia E-mail: [email protected]

Diterima: 20-6-2016 Direvisi: 23-6-2016 Disetujui: 27-6-2016

PENDAHULUAN bab yang berbeda sehingga membantu pembaca Buku berjudul Partai Politik dan Sistem Pemilih­ lebih fokus terhadap materi. Pada akhir buku ini, an Umum di Indonesia: Teori, Konsep, dan Isu ditawarkan konsep-konsep yang dapat menjadi Strategis yang ditulis oleh Muhadam Labodo dan masukan dalam menguatkan partai politik sebagai Teguh Ilham mengulas dua tema sekaligus, yakni mesin serta salah satu pilar demokrasi sekaligus partai politik dan sistem pemilihan umum (pemi- perbaikan bagi sistem pemilu. lu). Menurut penulis, kedua tema ini perlu dikaji Buku Muhadam dan Teguh terdiri atas lima dan dipahami secara utuh. Apabila partai politik bab, ditambah bagian pengantar penulis dan mampu menjadi pilar demokrasi yang melahirkan editorial. Pada bagian pengantar, penulis mem- kader unggul, semestinya sistem pemilu mampu berikan pemahaman bahwa buku menyajikan menjadi “jembatan” output partai politik untuk teori-teori dari para ahli mengenai partai politik duduk ke dalam sistem pemerintahan. Melalui dan sistem pemilihan umum serta dinamika buku ini, penulis menggunakan metode kualitatif, implementasinya yang didasarkan pada praktik yakni mendeskripsikan dan mengurai teori dan yang terjadi di Indonesia. Teori dan konsep konsep, yang kemudian dianalisis dan diulas ditujukan penulis agar pembaca mampu memban­ dengan isu ataupun persoalan yang dihadapi oleh dingkan dan menganalisis teori ke dalam tataran Indonesia. Teguh Ilham dan Muhadam Labodo, praksis dalam konteks keindonesiaan. Namun, yang juga merupakan senior sekaligus dosen dari penulis “membungkus” teori dan konsep dengan Teguh, mendedikasikan diri pada almamaternya, menambahkan perspektif sejarah terbentuknya yaitu Ilmu Pemerintahan Dalam Negeri. Selain partai politik di dunia hingga konteks Indonesia itu, Muhadam Labodo aktif sebagai pengajar sebagaimana yang dipaparkan pada bab pertama. hampir di seluruh DPRD dan pemerintah Beragam konsep dan teori yang berkaitan dengan daerah di Indonesia. Sebagai akademikus serta partai politik dijabarkan oleh penulis, misalnya berdasarkan pada pengalaman berkecimpung Neumann (1963, 352), yang mengartikan partai dalam urusan pemerintahan dan politik, Labodo politik sebagai organisasi dari aktivis-aktivis poli- merupakan akademikus dari institusi pemerin- tik yang berusaha menguasai pemerintahan serta tahan yang cukup produktif. Buku hasil kolabo­ merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan rasi antara guru dan murid ini berbeda dengan dengan suatu golongan atau golongan-golongan buku kebanyakan, yang membahas partai politik lain, mempunyai pandangan yang berbeda. Pada ataupun sistem pemilu secara makro. Dalam hakikatnya, pembentukan partai politik dilandasi buku ini, kedua tema dibahas dalam tiap-tiap oleh hak asasi warga negara yang dijamin oleh

115 konstitusi, sebagaimana redaksional Pasal 28 Un- proses dan mekanisme “pemilihan” wakil dari dang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia rakyat untuk mengambil keputusan-keputusan Tahun 1945, bahwa kemerdekaan berserikat dan negara—atas nama rakyat. Maka, kemudian, berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan kualitas dari pelaksanaan proses dan mekanisme dan tulisan, dan sebagainya ditetapkan dengan pemilihan tersebut dipengaruhi oleh prakondisi undang-undang. Jika dilihat dari rangkaian pen- tertentu. Setidaknya ada tiga yang dipaparkan jabaran teori-teori partai politik ataupun pemilu oleh penulis, yaitu Modernitas dan Kesejahteraan, yang kemudian dikontekskan dengan persoalan Budaya Politik, serta Struktur Sosial Masyarakat. partai politik dan pemilu di Indonesia, agaknya Selanjutnya, pada bab ketiga, penulis memba- penulis menjabarkan demokrasi secara prose- has soal perkembangan partai politik di Indonesia dural. Partai politik dan pemilu hanya digunakan pra dan pasca-reformasi. Dalam pembabakannya, sebagai alat untuk bergantinya rezim kekuasaan penulis menjelaskan perkembangan partai politik para elite, sementara rakyat bukanlah “penikmat” berdasarkan tiga masa, yakni masa demokrasi langsung dari pelaksanaan demokrasi. Namun, liberal dan demokrasi terpimpin (Orde Lama) penulis kurang mengurai persoalan politik, yang pada rezim Soekarno; masa Orde Baru, yakni semestinya dapat menguatkan analisis yang pada rezim Soeharto; serta masa orde reformasi dibangun oleh penulis terkait dengan perkem- setelah runtuhnya rezim Soeharto. Pada masa bangan demokrasi melalui partai dan pemilu demokrasi liberal, ketika Indonesia menerapkan dari masa ke masa. Penulis justru berfokus pada sistem pemerintahan parlementer, dominasi partai rangkaian peristiwa yang dibangun secara histori- politik di DPR sangat memengaruhi kondisi cal dalam bab tentang partai politik ataupun bab pemerintahan yang justru kerap tidak stabil. Hal tentang pemilu. ini ditunjukkan oleh pergantian kabinet hingga Pada bab kedua, berangkat dari konsep tujuh kali akibat sering kali dijatuhkannya mosi demokrasi, penulis ingin memberikan pemaham­ tidak percaya dari DPR. Kondisi demikian dipen- an kepada pembaca bahwa pemilu merupakan garuhi pula oleh faktor sistem multipartai yang suatu cara yang dapat mewadahi keinginan kian menunjukkan besarnya kepentingan politik rakyat sekaligus mengangkat eksistensi rakyat, untuk mendapatkan kekuasaan. Berkebalikan yakni pemerintahan tertinggi ada pada rakyat. dengan masa demokrasi liberal, masa demokrasi Sebagaimana penulis mengutip adagium yang terpimpin atau Orde Lama menjadikan peran par- diungkapkan Abraham Lincoln, “Democracy is tai politik tidak tampak, dan kekuasaan presiden government of the people, by the people, and yang otoriter mendominasi pemerintahan. for the people,” demikian kekuasaan negara Adapun bab keempat pada buku ini mem- berasal dan ditentukan oleh rakyat. Meskipun bahas soal perkembangan pemilihan umum di pada perkembangannya lahir berbagai model Indonesia. Sebagaimana pembabakan partai demokrasi, secara mendasar konsep demokrasi politik, penulis membagi pelaksanaan pemilu di tetap dimaknai bahwa kedaulatan tertinggi negara Indonesia menjadi tiga masa, yakni pada masa ada pada rakyat. Hal ini sejalan dengan Ni’matul demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin/Orde Huda (2005, 12), yang mengatakan, apa pun vari­ Lama, masa Orde Baru, serta pemilu masa refor- an model dalam mendesain kreatif demokrasi, masi. Berdasarkan pada uraian penulis, dari pe- seluruh bangsa di dunia tetap menggunakan milu pertama (1955) hingga pemilu kedua sempat istilah demokrasi di depan variasi itu, yang secara mengalami hambatan hingga dua kali penundaan, keseluruhan memiliki kesamaan makna, yaitu yang akhirnya dapat dilaksanakan pada 1971. government rule by the people (rakyat berkuasa), Padahal, semula pemilu diagendakan akan di- yang berasal dari bahasa Yunani, demos dan laksanakan lima tahun setelah pemilu pertama, kratos/kratein. yakni pada 1960. Namun, ketidaksiapan kondisi Pada dasarnya, pemilu merupakan suatu politik dan ekonomi pada saat itu menyebabkan cara dalam melaksanakan demokrasi secara pelaksanaan pemilu diundurkan. Peristiwa yang tidak langsung, yakni mewakilkan “suara rakyat” terjadi pada saat itu adalah Dekrit Presiden 5 kepada wakilnya yang telah dipilih melalui Juli 1959, yang menyatakan bahwa konstituante

116 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 dibubarkan dan Indonesia kembali ke UUD 1945. Sebagaimana dijelaskan di awal, partai Sementara penundaan kedua disebabkan oleh politik di Indonesia mengalami pasang-surut pada terjadinya peralihan rezim dari Soekarno ke rezim awal-awal kemerdekaan dan reformasi. Kondisi Soeharto, yakni pada 1967. Penyelenggaraan demikian dipengaruhi oleh ketidakstabilan pemilu dapat dilaksanakan secara periode lima pemerintahan yang beberapa kali mengalami tahunan setelah dilaksanakannya pemilu ketiga. pergantian sistem pemerintahan. Ketidakstabilan Pada bab terakhir, yakni bab kelima, dibahas terlihat, misalnya, dalam pemilu pertama pada 1955 untuk DPR sebanyak 118 peserta, yakni tentang masa depan partai dan pemilihan umum terdiri atas 36 partai politik, 34 organisasi kema- di Indonesia. Pada bab inilah penulis banyak syarakatan, dan 48 perorangan. Sementara untuk mengelaborasi ide dan pandangan penulis secara pemilu anggota konstituante sebanyak 91 peserta, akademis sehingga, menurut reviewer, bagian yang terdiri atas 39 partai politik, 23 organisasi ini merupakan bagian “puncak” pada buku ini. kemasyarakatan, dan 29 perorangan. Namun, Dalam bagian ini, penulis menguraikan problem seiring usainya pemilu berlangsung, jumlah partai partai politik di Indonesia, di antaranya lemahnya politik berkurang tidak lebih dari 40 partai. ideologi, lemahnya sistem rekrutmen, pola ka- derisasi kader, dan lemahnya sistem fundraising Menurut Syamsudin Haris (2014, 23), de- partai politik. Sementara persoalan sistem pemilu mokrasi parlementer yang diterapkan pada era dihadapkan pada persoalan rendahnya daya kritis Soekarno, sebagai suatu eksperimen politik, gagal masyarakat menentukan pilihannya, mahalnya mewujudkan harapan bahwa Pemilu 1955 dapat biaya pemilu, dan tingginya tingkat perselisihan menyelesaikan krisis politik nasional pada waktu hasil pemilu. itu. Hal ini disebabkan oleh pengaruh tekanan dari Presiden Soekarno dan militer, yang akhirnya menghentikan eksperimen terhadap sistem parle- PASANG-SURUT PARTAI POLITIK DI menter. Hingga pada akhirnya masa demokrasi TIGA ZAMAN parlementer berakhir setelah Soekarno menge- Pada awalnya, partai politik berkembang di luarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, yakni belahan Eropa Barat, yang mulanya lebih perihal pembubaran konstituante dan kembali berbentuk golongan atau kelompok-kelompok berlakunya UUD 1945. Situasi politik pada masa politik dalam parlemen yang bersifat elitis dan itu kacau dan tidak stabil, konstituante dianggap aristokratis. Penulis menggambarkan bahwa tidak mampu menetapkan undang-undang dasar, kelompok-kelompok politik di parlemen tersebut sementara Indonesia masih menggunakan UUDS pada akhirnya berusaha mengembangkan organi­ yang dianggap pemerintahan demokrasi liberal sasi massa, yang kemudian pada abad ke-19 pada masa itu tidak sesuai dengan kehidupan kelompok-kelompok tersebut lahir sebagai suatu masyarakat. Selain itu, ada desakan dari militer partai politik. Sementara dalam konteks Indone- agar Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit, sia, penulis melihat kemunculan partai politik yakni untuk kembali pada UUD 1945 dan mem- sudah ada sebelum kemerdekaan Indonesia, bubarkan konstituante. Keadaan yang genting yakni cikal-bakalnya berasal dari pergerakan- inilah alasan dikeluarkannya Dekrit Presiden. pergerakan yang berperan pada masa penjajahan Peristiwa ini sekaligus mengantarkan Indonesia kolonial Belanda. ke masa demokrasi terpimpin/Orde Lama—era Pergerakan dalam bentuk partai politik me- otoritarianisme. lejit dalam menyongsong kemerdekaan, bahkan Masa Orde Lama menorehkan sejumlah berkembang pesat seiring dengan gelombang persoalan yang justru berkebalikan dari apa yang demokratisasi melalui gerakan reformasi 1998 dihadapi oleh masa demokrasi liberal. Kekua- yang berujung pada percepatan pemilu pada 1999 saan Presiden sangat luas dan menonjol, segala serta tuntutan amendemen konstitusi (Undang- kewenangan yang semula dijalankan oleh DPR Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun menjadi kewenangan presiden. Jumlah partai 1945) menuju demokrasi (Riwanto, 2016, 30). politik, yang semula begitu banyak pada masa de- mokrasi liberal, kemudian hanya tersisa 10 partai

Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 117 politik setelah Perpres No. 7 Tahun 1959 Tentang tidak memenuhi syarat sebagai badan hukum Syarat-Syarat dan Penyederhanaan Kepartaian partai, serta 153 partai politik yang status badan ditetapkan. Namun, di antara partai politik yang hukumnya dibatalkan menurut Tim Litbang ada, PKI, yang berideologi komunis, pada saat itu Kompas (Safa’at, 2011, 1). Adapun partai politik mendapat dukungan penuh dari Soekarno sebagai yang mengikuti pemilu pada 2009 sebanyak 38 Presiden Republik Indonesia. Dukungan penuh partai nasional dan 6 partai politik lokal di Aceh, tersebut berkaitan dengan ba­nyaknya jumlah namun partai yang mendapatkan kursi di DPR partai politik yang sedikit-banyak memengaruhi berjumlah 9 partai politik. ketidakstabilan politik di Indonesia. Sementara Sebegitu terbendungnya demokrasi pada itu, Soekarno sebagai presiden memiliki pera­ masa Orde Baru menyebabkan derasnya nan besar dalam hal politik, termasuk untuk kemunculan berbagai macam partai politik. mewujudkan Nasakom (Nasionalis, Agama, Persoalannya, partai politik yang bermunculan dan Komunis). Melalui PKI, Soekarno berusaha perlu dipertanyakan esensi dan ideologi yang merangkul seluruh partai yang memiliki ideologi melatarbelakanginya. Bagaimana tidak, nama- berbeda-beda itu untuk persatuan bangsa. Alih- nama partai politik pada saat itu cukup menyita alih mempersatukan bangsa, Soekarno melakukan perhatian karena keunikannya, bahkan penulis fusi terhadap banyaknya partai yang ada hingga berpendapat nama-nama partai politik terkesan tersisalah 10 partai yang berideologi nasionalis satire. Misalnya Partai Seni dan Dagelan In- dan sosialis (PNI, Partai Indonesia, IPKI, dan Pa- donesia, Partai Dua Syahadat, Partai Orde Asli tai Murba), partai berideologi keagamaan (PSII, Indonesia, dan sebagainya (Ma’shum, 2001, 41). NU, Perti, Parkindo, dan Partai Katholik), serta partai berideologi komunis, yaitu PKI. Hingga Meskipun pada awal reformasi terdapat akhirnya terjadi peristiwa 30 September, yang payung hukum mengenai partai politik, yakni menyebabkan runtuhnya PKI sebagai partai poli- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang tik terbesar pada 1965 sekaligus mulai runtuhnya Partai Politik, syarat pendirian partai politik rezim Soekarno. masih sangat general dan terkesan administra- tif bahkan sekadar formalitas. Dalam Pasal 2 Pasang-surut jumlah partai politik kembali Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 disebutkan terjadi pada rezim Soeharto dan setelah berakhir­ bahwa syarat pendirian partai politik sekurang- nya Orde Baru. Pada masa Orde Baru, yakni kurangnya didirikan oleh 50 orang warga negara era Soeharto, fusi terhadap partai politik juga Indonesia yang telah berusia 21 tahun; partai dilakukan, yakni dengan membaginya ke dalam politik yang dibentuk tersebut harus memenuhi tiga partai, yakni Partai Persatuan Pembangunan syarat, yaitu mencantumkan Pancasila sebagai (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI), dan dasar negara dari Negara Kesatuan Republik Golongan Karya (Golkar), sebagai mesin politik Indonesia dalam anggaran dasar partai; asas atau pemerintahan Soeharto dalam melanggengkan ciri, aspirasi dan program partai politik tidak ber- kekuasaannya. Sementara itu, ketika rezim Orde tentangan dengan Pancasila; keanggotaan partai Baru, yang pemerintahannya dinilai diktator dan politik bersifat terbuka untuk setiap warga negara otoriter, berakhir, demokrasi digadang-gadang, Republik Indonesia yang telah mempunyai hak tidak sedikit kelompok-kelompok yang mendiri- pilih; partai politik tidak boleh menggunakan kan partai politik dengan mengatasnamakan nama atau lambang yang sama dengan lambang demokrasi. negara asing, bendera Negara Kesatuan Republik Setidaknya, di awal masa reformasi, dari Indonesia Sang Merah Putih, bendera kebangsaan sekitar 141 partai politik mendaftar sebagai negara asing, gambar perorangan, dan nama serta peserta Pemilu 1999, hanya sekitar 48 partai lambang partai lain yang telah ada. politik yang memenuhi syarat sebagai peserta Berdasarkan pada penjabaran redaksi di atas, pemilu. Pada 2004, pemilu hanya diikuti oleh 24 sangat memungkinkan terbentuknya partai politik partai politik, tetapi di samping itu terdapat 26 yang secara latar belakang dan hakikatnya tidak partai politik yang tidak lolos verifikasi Komisi begitu substantif selama asas atau cirinya tidak Pemilihan Umum (KPU), 58 partai politik yang bertentangan dengan Pancasila. Namun, secara

118 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 ideologi, visi dan misi, kaderisasi, serta hakikat Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Keadil­ sebagai partai politik sangat minim. an Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesia Dalam perjalanannya, payung hukum me­ Perjuangan (PDI Perjuangan), Partai Golongan ngenai partai politik mengalami beberapa kali Karya (Golkar), Partai Gerakan Indonesia Raya perubahan. Pada 2002, Undang-Undang No. 2 (Gerindra), Partai Demokrat, Partai Amanat Tahun 1999 diubah menjadi Undang-Undang Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik, (PPP), Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai yang digunakan sebagai dasar untuk melak- Damai Aceh (PDA), Partai Nasional Aceh, Partai sanakan pemilu 2004. Selanjutnya, pada 2008, Aceh (PA), Partai Bulan Bintang (PBB), serta Undang-Undang Partai Politik kembali diubah Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI). menjadi Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 se- bagai landasan hukum pelaksanaan Pemilu 2009. SISTEM PEMILU INDONESIA: Terakhir, Undang-Undang No. 2 Tahun 2008 PILIHAN BERDEMOKRASI diubah sebagian melalui Undang-Undang No. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, pemilihan 2 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang- umum merupakan salah satu bentuk demokrasi Undang No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. perwakilan, yakni rakyat mempercayakan Meski secara de facto kondisi partai politik saat suara­nya kepada wakil-wakilnya yang telah ini belum seideal yang dicitakan, setidaknya dari dipilih untuk menjalankan roda pemerintahan. segi regulasi spesifikasi pendirian partai politik Pemilihan yang dilakukan oleh masyarakat ini- lebih spesifik dan secara administrasi membu- lah yang kemudian dilakukan secara langsung tuhkan keseriusan bagi warga negara yang ingin melalui pemilihan umum. Dalam pelaksanaan- mendirikan partai politik sehingga tidak terkesan nya, pemilu dilaksanakan dengan asas langsung, gampangan. umum, bebas, jujur, dan adil atau sering disebut Beberapa materi muatan yang ditambah- Luberjurdil. kan dalam Undang-Undang No. 2 Tahun 2011 Sebagaimana pembabakan yang dilakukan tentang Partai Politik yang terkait dengan syarat oleh penulis dalam buku ini, pemilu mulai di- mendirikan partai politik terdapat dalam Pasal 2, lakukan pada masa demokrasi liberal/demokrasi yakni soal keterwakilan pendiri partai dari setiap terpimpin, atau dikenal dengan masa Orde Lama, provinsi di Indonesia minimal 30 orang warga yakni pada tahun 1955. Berlandaskan pada negara Indonesia yang berusia 21 tahun atau Undang-Undang No. 7 Tahun 1953 tentang Pe- sudah menikah; keterwakilan perempuan yang milihan Anggota Konstituante dan Anggota DPR harus dipenuhi oleh partai politik sebanyak 30% juncto Undang-Undang No. 18 Tahun 1953, pe- dari jumlah anggota partai; pendiri dan pengurus milu pertama kali tersebut dilaksanakan. Hanya, partai politik tidak boleh merangkap sebagai evaluasi terhadap undang-undang tersebut tidak anggota partai politik lain. Kemudian, penam- mengatur mengenai tata cara dan segala yang bahan syarat yang harus ada pada anggaran dasar berkaitan dengan kampanye pemilu. Kemudian, partai politik adalah harus memuat mekanisme pada 1954, sebagai peraturan pelaksanaan Un- rekrutmen keanggotaan partai politik dan jabatan dang-Undang tentang Pemilu tersebut, dibuatlah politik, sistem kaderisasi partai, mekanisme pem- Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1954 ten- berhentian anggota partai politik, dan mekanisme tang Menyelenggarakan Undang-Undang Pemilu penyelesaian perselisihan internal partai politik; serta Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1954 serta syarat kepengurusan partai politik di tingkat tentang Cara Pencalonan Keanggotaan DPR/ pusat harus memenuhi keterwakilan perempuan Konstituante oleh Anggota Angkatan Perang dan minimal 30% dari jumlah pengurus partai tingkat Pernyataan Nonaktif/Pemberhentian Berdasarkan pusat. Penerimaan Keanggotaan Pencalonan Keang- Pada Pemilu 2014, jumlah partai politik yang gotaan Tersebut, Maupun Larangan Mengadakan menjadi peserta pemilu ada 12 partai politik nasio­ Kampanye Pemilu terhadap Anggota Angkatan nal dan 3 partai politik lokal Aceh. Partai-partai Perang. itu adalah Partai Nasional Demokrat (NasDem),

Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 119 Pemilu pertama yang diikuti oleh lebih dari pada 1999. Kondisi ini terjadi lantaran runtuh- 30-an partai politik tersebut berhasil dilaksanakan. nya kekuasaan Soeharto yang disebabkan oleh Berdasarkan pada jumlah peserta dalam pemilu memuncaknya tuntutan mahasiswa, masyarakat, tersebut, Indonesia menganut sistem multipartai, dan elite agar Soeharto turun dari jabatannya. sementara penulis pula memaparkan bahwa Kemudian, di bawah Presiden B.J. Habibie, Pemilu 1955 menggunakan sistem perwakilan Indonesia masuk ke gerbang reformasi, dan berimbang (proportional representation) yang Pemilu 1999 pun dilaksanakan. Dasar hukum dikaitkan dengan sistem daftar sehingga disebut terkait dengan penyelenggaraan pemilu juga sebagai sistem proporsional tidak murni. mengalami reformasi, yang ditandai dengan Penyelenggaraan pemilu berikutnya (kedua) lahirnya Undang-Undang No. 2 Tahun 1999 baru dapat terlaksana pada 1971, yakni pada tentang Partai Politik; Undang-Undang No. 3 rezim Soeharto. Dengan demikian, penulis Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum; serta mengategorikan pemilu kedua ini berlangsung Undang-Undang No. 4 Tahun 1999 tentang Su- pada masa Orde Baru. Pemilu ini masih meng­ sunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD, anut sistem multipartai, tetapi terbatas, yakni yang kemudian peraturan inilah yang melandasi sebanyak 10 partai politik. Namun, pada pemilu pelaksanaan pemilu. tahun berikut-berikutnya, sebagaimana dijelaskan Masa reformasi seolah membuka keran sebelumnya, Soeharto melakukan fusi terhadap demokrasi yang selama masa Orde Baru ter- partai politik sehingga hanya tiga partai politik bendung. Tuntutan demokrasi dijadikan dasar yang menjadi peserta pemilu, yakni PDI, PPP, bagi kelompok-kelompok untuk membentuk dan Golkar sebagai mesin pemerintahan. Pemilu partai politik sehingga sistem multipartai kembali yang dimaksudkan adalah pada 1977, 1982, 1987, bangkit. Kondisi ini menyebabkan membeludak­ 1992, dan 1997, yang semuanya dimenangi oleh nya jumlah partai politik yang mendaftarkan Partai Golkar. Dominasi Partai Golkar yang begitu diri sebagai peserta Pemilu 1999. Sementara itu, kuat dan selalu memenangi pemilu menjadikan sistem pemilu era reformasi ini masih sama den- kedua partai lainnya hanya sebagai “peramai”. gan pemilu sebelumnya, yakni sistem perwakilan Atas dasar itulah, penulis dalam bukunya me- berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar, nyatakan, sesungguhnya pada masa Orde Baru dengan berdasarkan pada Pasal 1 ayat 7 Undang- Indonesia menganut sistem partai tunggal pada Undang No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan setiap pemilunya (1977–1997). Hal ini sejalan Umum. dengan Maurice Duverger (1967, 207), yang Pemilu selanjutnya dilakukan lima tahun mendefinisikan sistem partai tunggal menjadi dua setelahnya, yakni pada 2004. Terdapat banyak pengertian: pertama, dalam suatu negara memang perubahan yang dimaksudkan untuk perbaikan hanya ada satu partai; dan kedua, suatu negara dalam penyelenggaraan Pemilu 2004. Pertama, memiliki beberapa partai saja, tetapi hanya ada perbaikan terhadap landasan hukum penyeleng- satu partai politik yang dominan di antara partai garaan, yakni Undang-Undang Partai Politik lainnya. Sementara persoalan pada Orde Baru (sebagaimana dijelaskan pada bagian partai poli- sesuai dengan definisi kedua Duverger. tik); Undang-Undang No. 3 Tahun 1999 diubah Pemilu pada 1971, 1977, 1982, 1992, hingga menjadi Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 pemilu pada 1997 menganut sistem perwakilan tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, berimbang (proporsional) dengan sistem stelsel dan DPRD; serta untuk pertama kalinya terdapat daftar. Sistem ini dimaksudkan bahwa DPR dan Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Pre­ DPRD memiliki kekuatan perwakilan organisasi siden dan Wakil Presiden, yakni Undang-Undang yang sama besar dan berimbang dengan dukung­ No. 23 Tahun 2003. an pemilih. Dalam hal ini, pemilih memberikan suaranya kepada peserta pemilu. Kedua, berbeda dengan penyelenggaraan pemilu sebelum-sebelumnya, Pemilu 2004 di­ Selanjutnya, belum sampai periode lima selenggarakan oleh KPU, yang dipilih oleh pre­ tahunan, pemilu kembali dilaksanakan, yakni siden dengan persetujuan DPR. Sementara KPU

120 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 daerah diusulkan oleh eksekutif sesuai dengan pemilu putaran kedua. Kasus pemilu yang meng­ tingkatannya (kabupaten/kota/provinsi), kemu- alami putaran kedua adalah pemilihan presiden dian disetujui oleh KPU di atasnya, misalnya dan wakil presiden pada 2004 antara pasangan KPU kabupaten disetujui oleh KPU provinsi, dan Megawati Soekarnoputri-Ahmad Hasyim dan KPU provinsi disetujui oleh KPU pusat. Dengan Susilo Bambang Yudhoyono-Muhammad Jusuf demikian, penyelenggaraan pemilu sepenuhnya Kalla. menjadi tanggung jawab KPU yang akan dilapor- Pemilu tahun 2009 menggunakan sistem kan kepada presiden dan DPR. pemilihan umum yang sama dengan Pemilu 2004, Ketiga, sistem pemilu yang digunakan pada yakni pemilu DPR dan DPRD menggunakan Pemilu 2004 mengalami perubahan yang cukup sistem proporsional dengan daftar calon terbuka, signifikan dibandingkan dalam pemilu yang pemilihan DPD dengan sistem distrik berwakil selama ini telah dilaksanakan. Terdapat tiga banyak, dan sistem distrik varian two round sys- sistem pemilu yang diterapkan sesuai dengan tem untuk pemilihan langsung bagi presiden dan kategori peruntukannya, yakni pemilu anggota wakil presiden. Hanya, berbeda dengan pemilihan DPR dan DPRD, pemilu untuk anggota DPD, presiden dan wakil presiden sebelumnya, pada serta pemilihan presiden dan wakil presiden. 2009 pemilihan presiden dan wakil presiden Sistem pemilu pada pemilu DPR dan DPRD hanya mengalami satu kali putaran karena jumlah menggunakan sistem perwakilan berimbang suara untuk pasangan Susilo Bambang Yudoyono (proporsional) dengan sistem calon terbuka. dan Boediono di atas 50%. Perbedaannya dengan sistem pemilu yang se- Evaluasi dan perbaikan yang dilakukan pada lama ini digunakan di Indonesia (sistem pemilu proporsional berdasarkan pada stelsel daftar) Pemilu 2009 adalah kembali diubahnya Undang- adalah sistem proporsional dengan sistem calon Undang Pemilu Legislatif, yakni Undang-Undang terbuka memungkinkan pemilih dapat memilih No. 12 Tahun 2003, menjadi Undang-Undang calon anggota legislatif (caleg). Artinya, dapat No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Anggota memilih nama caleg yang terdapat pada surat DPR, DPD, dan DPRD; Undang-Undang No. suara (juga menampilkan gambar partai politik) 23 Tahun 2003 diubah menjadi Undang-Undang yang dicalonkan partai politik, bukan hanya No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan memilih partai politik. Wakil Presiden; serta Undang-Undang Partai Politik (sebagaimana dijabarkan sebelumnya). Sistem pemilu untuk pemilihan anggota Selain itu, terdapat payung hukum baru mengenai DPD dilakukan dengan sistem distrik berwakil pengaturan penyelenggaraan pemilihan umum, banyak. Tiap-tiap provinsi memiliki kesempatan yakni Undang-Undang No. 22 Tahun 2007. untuk memilih wakilnya sebanyak empat orang untuk duduk di kursi DPD. Dalam buku Miriam Euforia pemilihan langsung presiden dan Budiardjo (2014, 461–462), sistem pemilihan wakil presiden mendorong terselenggaranya umum dengan sistem distrik atau single member pemilihan kepala daerah—yang selama ini di- constituency adalah satu daerah memilih satu tunjuk atau ditetapkan oleh presiden—menjadi wakil. Dalam sistem ini, terdapat beberapa vari­ pemilihan langsung pula. Hal ini semakin diper- an yang mendekatinya, yakni block vote (BV), kuat oleh semangat otonomi daerah yang menjadi alternative vote (AV), serta sistem dua putaran salah satu fokus pada 1999. Dengan begitu, pada atau two-round system (TRS). Sementara penulis 2005, pemilihan kepala daerah (pemilukada) di- dalam bukunya menyebutkan terdapat lima vari­ laksanakan secara langsung dengan berdasarkan an (di antaranya yang disebutkan oleh Miriam pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Budiardjo), dua di antaranya adalah first past the Pemerintahan Daerah, yang kemudian menjelang post (FPTP) dan party block vote (PBV). Sistem Pemilukada 2009 diubah menjadi Undang- distrik yang digunakan di Indonesia, misalnya Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan pada pemilihan presiden dan wakil presiden yang Kedua atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 menggunakan sistem distrik dengan varian two tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan tersebut round system, membuka peluang untuk dilakukan terkait dengan perubahan peserta pemilukada,

Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 121 yang semula hanya boleh berasal dari partai dari segi kepentingan siapa yang diperjuangkan politik atau gabungan partai politik, menjadi oleh wakil rakyat atau didahulukan oleh wakil dapat diikuti oleh calon perseorangan atau inde- rakyat, yakni kepentingan daerah (distrik) atau penden. Terakhir, pada 2015, terjadi pemisahan kepentingan nasional (bangsa-negara). pengaturan pemilukada dalam Undang-Undang Berpijak pada pandangan Ramlan, penulis Pemerintahan Daerah, yakni dengan diterbitkan- menyampaikan bahwa kondisi partai politik saat nya Undang-Undang No. 8 Tahun 2015 tentang ini lebih cenderung partai politik mengutamakan Perubahan atas Undang-Undang No. 1 Tahun kepentingan sendiri atau golongan. Selain itu, par- 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah tai politik lebih disibukkan oleh urusan-urusan in- Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 ternal partai dan golongan, bukan lagi mengusung tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali kepentingan konstituen atau kepentingan publik. Kota Menjadi Undang-Undang. Padahal, kader partai politik hanya dapat terpilih melalui suara rakyat yang telah memilihnya atau PARTAI POLITIK DAN SISTEM menjadi konstituennya. Dengan begitu, kader PEMILU: TANTANGAN DAN partai politik terpilih bukan lagi hanya mewakili PENGUATAN dirinya secara individu ataupun hanya mewakili golongan partai yang mengusungnya, melainkan Partai politik dan sistem pemilu saling berkait­ sebagai legislatif perpanjangan tangan bagi rakyat an satu sama lain. Partai politik tanpa sistem secara luas. Dengan demikian, Efriza (2014, 257) pemilu yang baik akan menyebabkan partai mengatakan bahwa seharusnya kader-kader partai politik kehilangan “wadah” sehingga membuat- politik yang duduk di kursi parlemen/legislatif nya menjadi tidak teratur dan stabil. Misalnya, dapat mengartikan aspirasi-aspirasi dari ma- pembagian/penetapan jumlah kursi di parlemen syarakat dan menyuarakan keinginan masyarakat tidak jelas sehingga membutuhkan proses yang dengan membela kepentingan masyarakat luas. panjang, sebagaimana pengalaman Pemilu 1999. Sehubungan dengan persoalan partai politik, Sementara, sebaik apa pun sistem pemilu, tanpa Muhadam dan Teguh menjelaskan setidaknya berkualitasnya partai politik, hasil pemilu yang terdapat tiga hal yang menjadi persoalan dan diselenggarakan akan “kosong”. Adapun sistem sekaligus tantangan yang dihadapi partai politik pemilu merupakan pilihan yang formatnya dapat Indonesia. Pertama, terkait dengan lemahnya disesuaikan dengan kebutuhan (politik) bangsa- ideologi partai politik. Dalam hal ini, setiap partai negara Indonesia, tetapi penguatan partai politik politik menganut suatu ideologi, tetapi ideologi tidak berarti apa-apa jika tidak disertai oleh tersebut cenderung sebatas AD/ART partai. Pem- penguatan sistem pemilu. berian dukungan terhadap partai politik seharus- Berkenaan dengan peranan partai politik, nya berasaskan pada ideologi yang dianutnya, Ramlan Surbakti (1992, 175) mengatakan bahwa tetapi yang terjadi kepentingan politik pada saat terdapat beberapa tipe perwakilan, yakni 1) tertentu justru dominan menjadi pertimbangan Pandangan yang mengatakan bahwa rakyat bagi partai politik dalam mengambil kebijakan. melaksanakan fungsinya sesuai dengan program Misalnya, pada Pemilu 2004, koalisi antara PDIP partai; 2) Partai merupakan penghubung an- dan partai pendukung yang mengusung pasangan tara kepentingan lokal dan kepentingan nasional Megawati-, yakni Golkar, PPP, yang diperjuangkan oleh partai politik. Dengan PDS, dan PBR. Secara ideologi, PDIP, PDS, dan melaksanakan program partai, wakil rakyat Golkar merupakan partai sekuler yang berideologi melaksanakan kepentingan nasional; 3) Apa yang Pancasila. Sementara PPP dan PBR merupakan diperjuangkan oleh suatu partai politik tidak selalu partai Islam. Begitu berbeda ideologi antara PDIP menyangkut kepentingan nasional. Oleh karena dan PPP. Selain itu, sikap PPP, yang semula tegas itu, sebagian wakil rakyat terkait dengan program menolak perempuan untuk menjadi presiden, ke- partai, dan sebagian lagi ditentukan dengan per- tika Hasyim Muzadi (Ketua Umum Tanfidziyah timbangan demi kepentingan nasional; serta 4) PBNU) menjadi wakil calon presiden­ justru turut Pandangan yang membedakan perwakilan rakyat mengusung pasangan calon ini. Belum lagi per-

122 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 soalan relasi antara Megawati dan Hamzah Haz tik cenderung kesulitan mengumpulkan dana dari (PPP) pada saat berpasangan menjadi presiden iuran anggotanya. Oleh sebab itu, partai politik dan wakil presiden, yang sempat dikabarkan ataupun politikus melakukan simbiosis mutualis­ kurang harmonis, serta relasi antara PPP dan PDS me, yakni politikus dapat menggunakan partai yang juga kurang harmonis karena persoalan ke- politik sebagai “kendaraan” menjelang pemilu, curigaan Kristenisasi, sementara PPP mengusung asalkan memiliki dana, sedangkan partai politik kepentingan eksklusif komunitas Islam. Peristiwa mendapatkan dana dan kader untuk menjaga ini terjadi pula pada Pemilu 2009. Fenomena ini eksistensinya. menunjukkan bahwa partai politik tidak secara Pola rekrutmen dan kaderisasi yang dilaku- konsisten berpegang teguh pada ideologinya kan oleh partai politik ini sangat berpengaruh saat berkonsolidasi, tetapi melihat bagaimana terhadap kualitas kader yang terpilih sebagai pe- kepentingan pragmatis partai politik pada saat mimpin ataupun wakil rakyat dalam menjalankan itu. Padahal, konsolidasi ideologis di antara partai roda pemerintahan. Selain itu, sistem kaderisasi begitu penting karena terkait dengan konsolidasi merupakan wadah yang tepat bagi partai politik agenda politik yang akan dijalankan, dan melalui untuk menanamkan ideologi yang dianut oleh konsolidasi ideologis pula setiap kader partai partai kepada para kadernya. Oleh karena itu, “diingatkan” akan jati diri atau identitas partainya penulis memberikan beberapa catatan yang (Noor 2013, 5). harus segera diperbaiki oleh partai politik, yakni Berkaitan dengan persoalan ideologi terse- pertama, proses rekrutmen calon anggota partai but, penulis berpendapat, untuk menguatkan politik haruslah diikuti dengan sistem seleksi ideologi partai politik dapat melalui penguatan yang ketat dengan menggunakan teknik seleksi peran divisi penelitian dan pengembangan yang baik. Dengan begitu, proses seleksi tersebut (litbang) yang ada dalam struktur organisasi dapat menghasilkan kader-kader yang memenuhi partai politik (tentunya selain dengan sistem kualifikasi dan kompetensi berkualitas. Kedua, pengaderan yang mampu mentransfer dan mem- kader yang telah terpilih harus melewati masa perkuat ideologi partai politik, yang dibahas pada orientasi dan sosialisasi dalam rangka mengenal- poin kedua di bawah ini) sebagai divisi yang kan ideologi dan program-program partai secara berfungsi dalam mengumpulkan, menganalisis, intensif sehingga kader memiliki karakter yang dan mendistribusikan informasi politik kepada benar-benar matang. semua jaringan organisasi partai politik dari pusat Catatan ketiga, anggota partai politik perlu hingga daerah. Dengan demikian, divisi litbang diberi pembinaan yang baik, yang menekankan dapat memberikan informasi sebagai bahan dan pada persoalan mental dan nilai-nilai moral. dasar bagi pengambilan kebijakan partai-partai. Keempat, partai politik harus menyiapkan setiap Kedua, lemahnya sistem rekrutmen dan pola kadernya untuk mengisi jabatan politik dengan kaderisasi anggota partai politik. Dalam hal ini, menerapkan prinsip skala prioritas bagi kader penulis menggambarkan dengan banyaknya yang berkualitas, cakap, berintegritas serta loya­ terjadi fenomena “kutu loncat” yang dianggap litas kepada partai dan publik. Kelima, adanya sebagai sesuatu yang lumrah, yakni politikus atau pembatasan masa bakti anggota partai sehingga kader partai seenaknya pindah dari satu partai regenerasi partai politik dapat berjalan dengan ke partai yang lain. Selain itu, pola rekrutmen baik. Kemudian, yang keenam, partai politik dan kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik harus tegas dalam menerapkan sanksi terhadap cenderung bersifat instan, misalnya terhadap in- kader yang terbukti melakukan pelanggaran, apa cumbent yang telah memiliki konstituensi sendiri pun jenis pelanggarannya. ataupun sudah “punya nama”. Menurut hipotesis Tantangan ketiga yang dihadapi oleh partai penulis, partai politik cenderung “malas” untuk politik adalah krisisnya fundraising partai politik. “bersusah payah” dalam mengembangkan rekrut- Berdasarkan pada Undang-Undang No. 2 Tahun men dan pola kaderisasi yang berkualitas lantaran 2011 tentang Partai Politik, sumber keuangan par- terbentur persoalan pendanaan partai. Partai poli- tai berasal dari iuran anggota, sumbangan yang

Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 123 sah menurut hukum, serta bantuan keuangan dari pengaturan keuangan kampanye, yakni keuang­ APBN/APBD. Namun, hampir dapat dikatakan an partai politik digunakan untuk membiayai dana yang berasal dari iuran anggota agaknya kegiatan partai, seperti pembiayaan sekretariat, sulit diandalkan karena hubungan ideologis dan rapat-rapat partai, pendidikan politik dan kaderi- “ketidakdekatan” anggota partai dengan partai sasi, serta kegiatan untuk publik yang bertujuan politiknya. Maka, yang justru terjadi di lapangan untuk eksistensi partai politik (kegiatan sosial, adalah partai politik bergantung pada bantuan kajian, aksi, dan lainnya). Sementara keuangan dari negara melalui APBN/APBD ataupun “sum- kampanye mengatur pendapatan dan belanja bangan” yang tidak menutup kemungkinan dari kampanye yang hanya berlangsung pada masa elite partai yang menyebabkan partai seolah pemilu. milik ataupun identik dengan “perseorangan”. Selanjutnya, problem dan tantangan yang Lain halnya dengan Amerika dan Inggris yang terdapat dalam sistem pemilu, di antaranya, begitu ketat dengan “sumber” pendanaan partai pertama, masih rendahnya daya kritis masyara- politik sehingga sangat membatasi sumbangan kat dalam memilih. Sebagaimana yang dikutip individual, bahkan Amerika melarang adanya oleh penulis, bahwa terdapat tipe-tipe pemilih, sumbangan perusahaan. Begitupun dana partai yakni pemilih rasional, pemilih kritis, pemilih yang bersumber dari negara yang juga dibatasi. tradisional, dan pemilih skeptis. Berdasarkan Hal ini guna mencegah praktik uang dan peredar­ pada tipe pemilih inilah kemudian penulis an uang yang “tidak jelas”. Selain itu, memang mengindikasikan bahwa mayoritas pemilih di partai bersifat mandiri sebagaimana negara Indonesia merupakan pemilih tradisional dan libertarian ataupun political market yang me­ skeptis. Pemilih tradisional dimaksudkan bahwa nempatkan partai politik sebagai organisasi privat, pemilih memiliki pertimbangan yang sangat kuat seperti Amerika dan Inggris. Sejatinya, yang perlu dalam hal ideologi sehingga cenderung fanatik dimaksimalkan oleh partai politik di Indonesia dan tidak terlalu memperhatikan program kerja sebagaimana kedua negara tersebut adalah iuran atau kinerja partai politik ataupun calon dari par- anggota. Selain itu, yang membedakan adalah tai politik tersebut. Adapun yang menjadi ukuran partai politik di Indonesia cenderung diposisikan adalah adanya kedekatan sosial-budaya, nilai, sebagai organisasi publik yang konsekuensinya asal-usul, paham, ataupun agama. Sementara banyak hukum negara yang mengaturnya. Maka, pemilih skeptis tidak mendasarkan orientasi pada pengaturan mengenai batasan-batasan sumbangan ideologi ataupun kebijakan dan program kerja terhadap partai politik perlu diatur lebih jelas, suatu partai atau kandidat partai. Maka, pemilih baik besaran sumbangan, batasan sumbangan, skeptis cenderung menjadikan pemilu sebagai maupun sumber yang memberikan sumbangan, ajang formalitas. Terkait dengan hal ini, terdapat seluruhnya harus dilaporkan kepada negara. faktor yang memengaruhi partisipasi rakyat Seperti telah diuraikan sebelumnya, per- dalam memilih wakilnya, yakni faktor internal soalan partai hanya menjual “tiket” dan menjadi dan eksternal. Faktor internal yang dihadapi, “kendaraan politik” bagi politikus saat maju misalnya, adalah kurangnya pendidikan politik pada pemilu juga disebabkan oleh kebutuhan serta sikap apatis atau tidak peduli. Kemudian, akan pendanaan partai politik yang besar, tetapi dari faktor eksternal, apakah partai politik dapat terhambat oleh ketidakmampuan partai dalam menyediakan dan mengusung kader terbaiknya mengelola sumber pemasukan dana partai politik. untuk dipilih dan menjadi wakil rakyat atau Dengan demikian, perlu dilakukan dekonstruksi justru sebaliknya, serta peran media massa yang fundraising partai politik sebagaimana yang begitu besar, yang tidak menutup kemungkinan disampaikan oleh Muhadam dan Teguh, bahwa dapat disalahgunakan pemanfaatannya. Kondisi partai politik perlu memaksimalkan iuran ang- ini dipengaruhi oleh era globalisasi ketika media gota partai politik dengan memperbaiki sistem sosial menjadi salah satu bentuk baru atau alter- keuangan yang baik terlebih dahulu. Misalnya, natif dari kegiatan partisipasi politik masyarakat membedakan keuangan partai politik dengan yang pada akhirnya pula memengaruhi perilaku

124 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 politik masyarakat itu sendiri (Nur, 2013, 91). PENUTUP Oleh karena itu, pendidikan politik kepada rakyat Pelaksanaan pemilu dari 1955 hingga terakhir sangat perlu dilakukan, baik dalam kegiatan pada 2015 mengalami dinamika politik, hukum, formal maupun informal. Misalnya, sejak dini serta sosiologis yang berkembang dalam kehidup­ di sekolah formal terdapat pelajaran khusus guna an masyarakat. Rezim pemerintahan bergantung memberikan pendidikan politik, ataupun dalam pada siapa yang memimpin: masa demokrasi kegiatan-kegiatan pelatihan serta sosialisasi- liberal, demokrasi terpimpin/Orde Lama, masa sosialisasi yang melibatkan masyarakat langsung. Orde Baru, dan masa reformasi yang telah digu- Termasuk pula pendidikan politik bagi elite yang lirkan. Tiap-tiap rezim memiliki kekurangan dan terlibat dalam pemilu, seperti pegawai/staf KPU, kelebihan, tetapi keberadaan partai politik meru- Bawaslu, serta pers atau media massa. pakan pilar yang berwadahkan sistem pemilihan Persoalan kedua, tingginya biaya pemilu. umum yang menentukan bagaimana suatu rezim Sebagaimana perkembangan sistem pemilu saat dilaksanakan, baik atau buruk. Oleh karena itu, perbaikan keduanya merupakan keniscayaan ini, penyelenggaraan pemilu yang dilakukan se- yang harus terus diupayakan. cara serentak termasuk bertujuan meminimalkan biaya yang dikeluarkan oleh penyelenggaraan Melalui buku ini, Muhadam Labodo dan pesta demokrasi. Sejak 2015 pemilu serentak Teguh Ilham mencoba memberikan sumbangsih dilaksanakan di beberapa daerah di Indonesia, pemikiran dan pengetahuannya untuk perbaikan meski terdapat beberapa catatan terkait dengan partai politik dan sistem pemilihan umum di Indonesia, dengan melihat sejarah dan konteks evaluasi pelaksanaan pemilu tersebut. Namun, keindonesiaan. Hanya, bahasan mengenai partai usaha untuk mengefektifkan pemilu dengan politik dan pemilihan umum dalam buku ini ter- membuatnya serentak di seluruh daerah di Indo- henti pada pemilihan umum tahun 2009. Padahal, nesia perlu waktu, proses, dan adaptasi sehingga sebagai buku yang dikatakan baru, yakni terbitan hasilnya belum dapat kita simpulkan di awal tahun 2015, sayang sekali buku ini belum mem- penerapannya. Selain itu, penulis menyampaikan bahas kondisi partai politik serta pemilihan umum perlunya penguatan pengaturan soal dana kampa- yang dilaksanakan pada 2014, baik pemilihan nye, yakni dengan cara mewajibkan pula setiap DPR, DPD, dan DPRD, ataupun pemilihan pre­ caleg membuat laporan dana kampanye yang siden dan wakil presiden. Pada masa mendatang, diatur secara legal dalam peraturan KPU, misal- tidak menutup kemungkinan bagi penulis untuk nya, serta pembatasan besaran belanja kampanye menyempurnakan bukunya yang berjudul Partai peserta pemilu yang digunakan, misalnya untuk Politik dan Sistem Pemilihan Umum di Indonesia: membuat baliho, poster, spanduk, dan lainnya. Teori, Konsep dan Isu Strategis sehingga lebih Lalu, ketiga, tingginya angka Perselisihan komprehensif dan “kaya”. Hasil Pemilihan Umum (PHPU). Persoalan Selain itu, buku ini dilengkapi dengan PHPU yang terjadi karena kesalahan dalam proses bagian rangkuman dan evaluasi di tiap babnya. pendaftaran pemilih, pemungutan suara, distribusi Bagian rangkuman memudahkan bagi pembaca kartu suara, dan sebagainya dapat diatasi dengan mengetahui materi apa saja yang dibahas pada sistem dan e-voting dan e-counting, yakni semua bab tersebut. Sementara bagian evaluasi berisi proses pelaksanaan tahapan pemilu secara ad- pertanyaan-pertanyaan berupa soal kasus yang ministrasi dicatat, disimpan, dan diproses dalam berkaitan dengan materi tiap bab. Meskipun bentuk informasi digital. Dengan demikian, bagian rangkuman dan evaluasi ini membuat data yang diakses dapat diperoleh secara valid, buku ini lebih terkesan seperti bahan ajar untuk tentunya didukung oleh sistem keamanan yang mahasiswa di kampus, buku ini telah memberikan terjamin. Selain itu, proses pelaksanaan e-voting sumbangsih terhadap perkembangan dunia aka- dan e-counting harus tetap berpegang pada asas- demik hingga praksis. Dengan demikian, buku asas penyelenggaraan pemilu, langsung, bebas, ini tidak hanya dapat dibaca oleh akademikus, rahasia, jujur, dan adil. tetapi juga dapat bermanfaat bagi praktisi yang bergelut di dunia politik ataupun pemerintahan.

Dian Aulia | Tinjauan Buku Penguatan Demokrasi: ... | 125 PUSTAKA ACUAN Surbakti, R. (1992). Memahami ilmu politik. Jakarta: Gramedia. Buku Jurnal Budiardjo, M. (2014). Dasar-dasar ilmu politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Noor, F. (Juni 2013). Konsolidasi parpol menjelang pemilu. Jurnal Penelitian Politik 10(1). Duverger, M. (1967). Political parties: Their organi- zation and activities in modern state. London: Nur, A. A. (Juni 2013). Menakar kekuatan media sosial Metheun. menjelang pemilu 2014. Jurnal Penelitian Politik 10(1). Efriza. (2014). Studi parlemen: Sejarah, konsep, dan lanskap politik Indonesia. Malang: Setara Press. Peraturan Perundang-undangan Haris, S. (2014). Partai, pemilu, dan parlemen era Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun reformasi. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor. 1945. Huda, N. (2005). Negara hukum, demokrasi, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai judicial review. Yogyakarta: UII Press. Politik. Ma’shum, S. (2001). KPU dan kontroversi pemilu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang 1999. Jakarta: Pustaka Indonesia Satu. Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan Neumann, S. (1963). Modern political parties. Dalam DPRD. Eckstein, Harry, & Apter, David E., Compara- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai tive Politics: A Reader. London: The Free Press Politik. of Glencoe. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Riwanto, A. (2016). Hukum partai politik dan hukum Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan pemilu di Indonesia. Yogyakarta: Thafa Media. DPRD. Safa’at, M. A. (2011). Pembubaran partai politik: Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemili- Pengaturan dan praktik pembubaran partai han Umum. politik dalam pergulatan republik. Jakarta: Raja Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 tentang Partai Grafindo Persada. Politik.

126 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 TINJAUAN BUKU

IMAJINASI TEKNOLOGI DAN FASISME JEPANG TAHUN 1931–1945

Aaron Stephen Moore. Constructing East Asia: Technology, Ideology, and Empire in Japan’s Wartime Era 1931–1945. Stanford University Press, 2013. 314 hlm.

Upik Sarjiati Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia E-mail: [email protected]

Diterima: 19-5-2016 Direvisi: 13-6-2016 Disetujui: 14-6-2016

PENDAHULUAN terutama negara-negara di kawasan Asia. Jepang Kebangkitan Jepang pasca-Perang Dunia II memberikan bantuan pembangunan, official membawa kemajuan ekonomi yang pesat dan me- development assistance (ODA), untuk negara- mosisikan Jepang sebagai salah satu negara maju negara di Asia Tenggara sejak 1954. Pada tahap di dunia. Salah satu faktor penting dalam kebang- pertama, pemberian bantuan tersebut bertujuan kitan ekonomi Jepang adalah keberhasilan dalam membayar kerusakan perang. Namun, bantuan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi menimbulkan kontroversi karena sebagian besar modern yang mendukung industrialisasi. Pada bantuan tersebut digunakan untuk kepentingan awalnya, penguasaan teknologi modern dilaku- ekonomi Jepang (Muratani, 2007, 26). Jumlah kan melalui impor teknologi dari negara Barat, ODA semakin meningkat, dan pada 1989 yang kemudian diadopsi dan disesuaikan dengan Jepang menjadi negara pemberi pinjaman luar kebutuhan dan kebudayaan Jepang. Hal tersebut negeri terbesar di dunia. Sebagian besar bantuan mendorong cepatnya penguasaan teknologi tersebut berupa technical assistance (bantuan modern dan mengatasi ketertinggalan Jepang atas teknis) tidak hanya dalam bentuk barang, tetapi kemajuan ekonomi negara-negara Barat. Salah juga dalam bentuk pengetahuan dan tenaga ahli. satu keberhasilan dalam penguasaan teknologi Bantuan tersebut diberikan, terutama, kepada modern adalah terciptanya produk elektronik negara-negara bekas jajahan di Asia Tenggara rumah tangga yang diperlukan oleh masyarakat. untuk pembangunan hydropower dalam skala Sesaat setelah Perang Dunia II, setidaknya setiap besar, transportasi, dan proyek industri. ODA rumah tangga memiliki satu perangkat elektronik berkontribusi pada peningkatan perekonomian rumah tangga, seperti televisi dan mesin cuci, Jepang dengan memanfaatkan teknologi dan sehingga mempermudah kehidupan sehari-hari pengiriman tenaga ahli dari Jepang untuk masyarakat. Saat ini, produk elektronik Jepang mengerjakan proyek-proyek tersebut. Beberapa dikenal sebagai produk yang berkualitas tinggi negara penerima bantuan pembangunan Jepang dan sebagian telah diekspor ke luar negeri. Selain dalam jangka panjang adalah Korea Selatan, itu, Jepang dikenal sebagai salah satu negara yang Taiwan, Hong Kong, Singapura, Indonesia, India, menguasai teknologi mobil, robot, dan pemba­ Filipina, Thailand, dan China. ngunan infrastruktur, seperti jalan raya, dam, Keberhasilan Jepang dalam penguasaan jembatan, gedung tahan gempa, dan sebagainya. ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi salah Sebagai negara maju, Jepang mempunyai satu kekuatan besar untuk memengaruhi per- pengaruh besar pada perekonomian dunia, ekonomian di negara Asia. Jepang pada masa

127 perang berhasil menguasai beberapa negara perang serta insinyur yang merencanakan dan di Asia, seper­ti Korea, China, serta negara di membangun megaproyek infrastruktur di negara- Asia Tenggara,­ seperti Thailand dan Indonesia. negara jajahan. Moore mendefinisikan fasis se- Posisi Jepang sebagai negara penjajah memper- bagai sebuah ideologi dan alat kekuasaan global mudah mereka untuk membangun infrastruktur di yang disesuaikan dengan konteks nasional yang negara-negara jajahannya dengan menggunakan mengombinasikan aspek modern dan nonmodern teknologi dan mengerahkan tenaga ahli yang di- untuk transformasi dan menggerakkan masyara- miliki. Pembangunan berbagai infrastruktur ber- kat (Moore, 2013, 8). Dalam hal ini, Moore tujuan memperlancar Jepang dalam memperoleh (2013, 9) melihat imajinasi teknologi sebagai sumber daya alam di negara-negara jajahan yang alat kekuasaan fasis. Hal ini tampak pada masa diperlukan untuk industrialisasi. perang ketika Jepang secara gencar membangun Pemanfaatan ilmu pengetahuan dan proyek-proyek besar infrastruktur, seperti dam, teknologi modern dalam pembangunan berbagai jalan, kanal, pelabuhan, kota, irigasi, jaringan infrastruktur pada masa perang dijelaskan se- listrik, dan jaringan komunikasi di wilayah jajah­ cara lengkap oleh Aaron Stephen Moore dalam an, misalnya Korea, Taiwan, Manchuoko, dan bukunya yang berjudul Constructing East Asia: China. Moore (2013, 8) menjelaskan, ideologi Technology, Ideology, and Empire in Japan’s fasis Jepang bersifat rasional, modern, dan tidak Wartime Era, 1931–1945. Constructing East bergantung pada spiritualisme, nasionalisme, dan Asia adalah salah satu buku yang memberikan kebudayaan. pandangan berbeda tentang Jepang pada masa Buku ini terdiri atas 303 halaman, yang perang terkait dengan kemajuan teknologi yang memuat lima bab dan ditutup dengan epilog. Pe- dimilikinya. Dengan menggunakan konsep tech- mikiran dan imajinasi teknologi berbagai kelom- nological imaginary (imajinasi teknologi), Moore pok, seperti intelektual kiri, insinyur, dan birokrat menjelaskan bagaimana teknologi digunakan un- reformis, dijelaskan pada bab pertama, kedua, dan tuk menjalankan sebuah ideologi dan kekuasaan. kelima. Pada bab pertama, Moore menguraikan Secara lebih detail Moore menjelaskan dinamika soal imajinasi teknologi kelompok intelektual politik yang terjadi dalam membentuk imajinasi kiri atau Marxist pada awal 1930 melalui anali- teknologi yang melibatkan berbagai kelompok, sis studi yang dilakukan oleh Aikawa Haruki, seperti intelektual, teknokrat, insinyur, dan seorang intelektual yang berfokus pada kajian birokrat, dalam memahami teknologi sebagai teknologi. Bab tersebut menjelaskan bagaimana sesuatu yang mempunyai arti dan visi. Pemaham­ teknologi merepresentasikan nilai rasionalitas, an mengenai pandangan kelompok-kelompok efisiensi, dan kreativitas tidak hanya di lingkup tersebut terhadap teknologi pada masa perang pejabat pemerintah dan insinyur yang pergi ke menjadi landasan untuk melihat pandangan ma- negara untuk perang, tetapi juga oleh intelektual syarakat Jepang terhadap teknologi pada saat ini kiri dalam mengelaborasi peran teknologi dalam serta memahami peran teknologi Jepang dalam transformasi masyarakat. Bab kedua menjelaskan perekonomian di kawasan Asia. diskursus teknologi di antara insinyur pemerintah Moore (2013, 6) berargumen bahwa teknolo- yang menjadi kekuatan teknologi pada 1930-an. gi Jepang pada masa perang dipahami tidak hanya Selain itu, dalam bab ini, diterangkan bagaimana sebagai sebuah mesin dan infrastruktur yang ideologi pada masa perang dijalankan melalui modern, tetapi juga sesuatu yang mengandung modernisasi dan pembangunan teknis yang ber- subjektivitas, etika, dan visi. Selain itu, teknologi lawanan dengan pandangan konvensional seperti merepresentasikan sebuah pemikiran kreatif, backward looking dan keunggulan ras Jepang. akting, nilai rasionalitas, kerja sama, efisiensi, Imajinasi teknologi kelompok ketiga serta semangat egaliter, serta tidak adanya konflik birokrat reformis dijelaskan pada bab kelima. kelas dan etnik. Imajinasi teknologi memberikan Bab ini menguraikan konsep dan kebijakan Mori panduan bagi aktor sosial dari birokrat yang Hideoto yang menggunakan teknologi sebagai merencanakan perekonomian Jepang pada masa alat fasisme yang bersifat produktif dan kreatif,

128 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 bukan sebagai alat memaksa dan represif terha- ekonomi yang sedang terjadi. Pembangunan dap kehidupan masyarakat sehari-hari. Adapun wilayah jajahan, seperti Manchuria dan China implementasi dari konsep proyek comprehensive bagian selatan, menjadi salah satu arena untuk technology dipaparkan secara detail pada bab ke- mengujicobakan ekonomi terencana kelompok tiga dan keempat. Beberapa proyek pembangunan militer Jepang (Pauer, 2002, 2). dilakukan oleh Jepang di wilayah jajahan, seperti Penguasaan wilayah-wilayah di Asia Timur proyek perbaikan di Sungai Liao, China, dan merupakan salah satu strategi untuk menjalankan pelabuhan laut di wilayah industri di sepanjang ideologi fasis Jepang dan mengurangi pengaruh Sungai Yalu, sebelah timur Manchuria, serta pem- bangsa Barat di kawasan Asia. Penguasaan bangunan dam terbesar di dunia, yakni Fengman sumber daya negara-negara Asia diupayakan dan Sup’ung, yang terletak di perbatasan antara untuk mewujudkan “Kemakmuran Bersama Asia Korea dan Manchukuo. Timur”, dan Jepang sebagai negara pemimpin di Review ini mencoba mengulas pemikiran Asia. Ilmu pengetahuan dan teknologi dimanfaat- Moore dalam menjelaskan imajinasi teknologi kan oleh Jepang untuk menjalankan ideologi fasis oleh beberapa kelompok berpengaruh. Review ini dan menguasai negara-negara di wilayah Asia. akan terbagi dalam beberapa bagian, yakni bagian Beberapa buku, seperti Planning for Emperor pertama pendahuluan; bagian kedua menjelas- yang ditulis oleh Janis Mimura (2011), Science kan kajian sains dan teknologi yang telah ada for Emperor yang ditulis oleh Hiromi Mizuno sebelumnya; bagian ketiga menjelaskan isi (2009), dan Technology of Empire yang ditulis buku yang terkait dengan imajinasi teknologi oleh Daqing Yang (2010), adalah buku-buku kelompok intelektual kiri, insinyur, dan birokrat terkemuka yang membahas pemanfaatan sains reformis; bagian keempat membahas implemen- dan teknologi untuk memperluas imperialisme tasi teknologi melalui pembangunan megaproyek Jepang di Asia. di daerah jajahan; serta bagian kelima adalah Mimura (2011) menjelaskan soal pemikir­ penutup. an dan kegiatan kelompok birokrat reformis (kankusin kanryo) pada periode 1930–1945. FASISME, MOBILISASI SUMBER Kelompok birokrat reformis yang terdiri atas DAYA, DAN TEKNOLOGI para teknokrat dan militer menjadi kekuatan pendorong perubahan sistem ekonomi kapitalis Perang dunia pertama menyebabkan dominasi ke sistem ekonomi terencana. Mimura (2011, negara-negara Barat pada pasar di wilayah Asia 3) memaparkan peran dari kelompok birokrat Tenggara dan Asia Timur semakin menurun dan reformis dalam mempromosikan pemanfaatan digantikan dengan Jepang. Meningkatnya perda- teknologi atau yang disebut dengan techno- gangan internasional mendorong berkembangnya fascism. Fasisme, menurut Mimura (2011, 5), industri manufaktur yang menjadikan Jepang menjadi alat untuk mengatasi krisis kapitalisme sebagai negara industri. Namun, setelah 1920, dan menyelesaikan masalah konflik antarkelas mulai muncul masalah ekonomi yang memicu dalam masyarakat industri modern. Fasisme krisis keuangan dan bangkrutnya sektor keuang­ dilihat sebagai cara alternatif menuju masyarakat an. Konflik agraria pada 1920, gempa Kanto modern dan tepat digunakan untuk menghadapi yang menghantam wilayah Tokyo dan Yokohama tantangan perubahan teknologi di era moderen. pada 1923, dan depresi ekonomi dunia pada 1930 Mizuno (2009) mengkaji soal wacana pengeta- memperburuk kondisi perekonomian Jepang. huan di Jepang pada periode 1920–1940-an yang Situasi tersebut memunculkan perdebatan yang melihat pengetahuan tidak hanya dimanfaatkan mempertanyakan ideologi ekonomi kapitalis yang sebatas untuk pengembangan pengetahuan itu sedang dijalankan di Jepang. Pada akhir 1920- sendiri, tetapi juga harus dapat dimanfaatkan an dan awal tahun 1930-an, ekonomi terencana untuk kepentingan bangsa. Mizuno (2009) ber- menjadi fokus diskusi di kalangan intelektual kiri, fokus pada pemikiran tiga kelompok berpengaruh politik, dan militer. Ekonomi terencana dianggap terhadap perkembangan kebijakan sains dan sebagai salah satu solusi untuk mengatasi krisis

Upik Sarjiati | Tinjauan Buku Imajinasi Teknologi ... | 129 teknologi di Jepang, yakni kelompok teknokrat, IMAJINASI SAINS DAN TEKNOLOGI Marxist, dan pendukung sains populer. Promosi INTELEKTUAL KIRI, TEKNOKRAT, konsep serta kebijakan sains dan teknologi oleh DAN BIROKRAT REFORMIS ketiga kelompok intelektual tersebut didorong Bab pertama, kedua, dan kelima buku ini me- oleh adanya hal-hal yang dianggap tidak ilmiah. maparkan imajinasi sains dan teknologi oleh tiga Sebagai contoh, kelompok Marxist melihat ideo­ kelompok, yakni intelektual kiri, teknokrat, dan logi fasis tentang keunikan Jepang hanyalah mi- birokrat reformis, untuk melihat bagaimana ke- tos, kelompok teknokrat melihat birokrat hukum lompok tersebut memahami dan mendefinisikan tidak paham mengembangkan sains dan teknologi teknologi terkait dengan ideologi dan visi yang untuk negara, serta kurangnya pemahaman pen- akan dituju. Diskursus teknologi berkembang getahuan ilmiah yang dimiliki oleh publik akibat dan berubah tergantung pada siapa yang mendis- kurikulum sekolah yang tidak tepat. kusikan dan tujuan dari orang dan kelompok Daqing Yang (2010) menulis buku berjudul tersebut. Ketiga kelompok tersebut, menurut Technology of Empire berdasarkan pada diser- Moore, adalah kelompok yang berpengaruh pada tasinya pada 1996 di Universitas Harvard, yang dinamika pemikiran tentang teknologi di Jepang. menganalisis jaringan sistem telegraf dan telepon Namun, Moore tidak membahas secara mendalam pada pertengahan abad ke-20 yang membentang bagaimana imajinasi teknologi kelompok militer. di Asia, seperti Jepang, Korea, Taiwan, sebagian Berbicara tentang mobilisasi sumber daya di China, dan Asia Tenggara. Argumen utama yang wilayah kekuasaan Jepang tidak bisa lepas dari ingin dibangun oleh Yang adalah teknologi komu- peranan militer saat itu. Contohnya, beberapa nikasi tidak hanya dilihat sebagai alat perluasan proyek infrastruktur yang dibangun di berbagai imperialisme, tetapi jaringan telekomunikasi dilihat wilayah imperialisme mendapat dukungan dari juga sebagai bagian dari empire-building. Blueprint militer. jaringan telekomunikasi adalah bentuk dari ima- jinasi kekuasaan kekaisaran pada 1930–1940-an. Teknologi dalam Pandangan Intelektual Yang melihat jaringan telekomunikasi tidak hanya Kiri terkait dengan jaringan kabel dan elektron, tetapi juga melihat bagaimana fungsi komunikasi diwu- Saigusa Hirota, seorang pakar sejarah teknologi, judkan dan dipelihara. Jaringan telekomunikasi menjelaskan bahwa perdebatan gijutsu atau menjadi alat ekspansi imperialisme sekaligus seb- teknologi menjadi wacana publik pada awal agai ideologi kekaisaran Jepang, atau disebut Yang 1930 ketika pemerintah Jepang mulai mengirim sebagai techno-imperialism. Buku tersebut dapat insinyur, teknisi, dan tenaga ahli untuk membang­ menjelaskan secara meyakinkan keterkaitan antara un daerah kolonial di Asia (Moore, 2013, 21). infrastruktur, penggunaannya, dan sejarah politik Pada periode 1930–1940-an, perdebatan makna pengetahuan dan teknologi kekaisaran Jepang. teknologi terjadi di kalangan birokrat, kaum intelektual, dan insinyur. Secara garis besar, ada Sementara buku Planning for Emperor dan dua pemikiran besar tentang teknologi di Jepang. Science for Emperor menekankan pada aspek Pertama, pemikiran kelompok sayap kanan yang sains di masa perang serta buku Technology of melihat teknologi sebagai sesuatu yang mengikis Empire lebih fokus pada aspek teknologi, Moore semangat spiritual dan nilai-nilai tradisional mencoba menggabungkan wacana sains dan yang berpusat pada kekaisaran serta mencoba teknologi dengan implementasinya secara ber- membentuk ilmu pengetahuan dan teknologi samaan dalam bukunya. Moore mencoba mengisi Jepang yang unik. Kedua, pemikiran kelompok gap yang ada pada kajian sains dan teknologi insinyur, birokrat, dan pengusaha yang melihat Jepang pada masa perang dengan melihat wacana teknologi sebagai sesuatu yang dapat menye­ sains dan teknologi serta implementasinya dalam lesaikan masalah sosial, dan mereka mengam­ sebuah proyek pembangunan. Moore menam- panyekan penggunaan teknik manajemen dan bah referensi tentang kajian sejarah sains dan administrasi yang lebih rasional. Moore dalam teknologi Jepang, terutama pada masa perang. bab ini menjelaskan secara lengkap bagaimana

130 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 perubahan pandangan kelompok kiri terhadap bagai suatu material, yakni sistem alat produksi teknologi, dari melihatnya hanya sebagai alat pekerja. Dalam hal ini, Aikawa mempersempit produksi menjadi melihat teknologi dari aspek makna teknologi dalam konteks kapitalisme yang lebih luas, yang mencakup aspek ekonomi, Jepang dan menganalisis pengaruh teknologi sosial, dan budaya. Hal tersebut membantu me- terhadap memburuknya sistem kapitalisme semi- mahami daya tarik imajinasi teknologi dan nilai feodal di Jepang. Aikawa aktif dalam komunitas yang terkandung di dalamnya yang bermanfaat komunis sejak 1930 dan berpartisipasi dalam bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi tinggi perdebatan kapitalisme Jepang. Akibat aktivitas­ setelah Perang Dunia. nya sebagai intelektual kiri, Aikawa bersama 32 Istilah gijutsu atau “teknologi” dalam bahasa orang lainnya ditangkap pada Juni 1935. Aikawa Jepang berasal dari istilah klasik China yang mengakui telah mengorganisasi kegiatan ilegal digunakan pada era pramodern dan awal mod- yang dituduhkan kepadanya, tetapi keberatan ern Jepang. Pada masa Tokugawa (1603–1868), dianggap sebagai penganut teori ekonomi Marxist gijutsu diartikan sebagai segala sesuatu yang dan menolak definisinya tentang teknologi semata berkaitan dengan pendidikan dasar samurai, sebagai bentuk material. Perubahan pandangan seperti perilaku, musik, seni memanah, berkuda, Aikawa terhadap teknologi tidak dijelaskan menulis, dan aritmetika. Pada masa Restorasi dalam buku ini (Moore, 2013, 31). Meiji, gijutsu oleh filsuf Nishi Amane diartikan Aikawa mulai mendukung militer Jepang sebagai seni mekanik. Pada 1871, Kementerian pada awal perang dengan China pada 1937. Pekerjaan Umum, yang bertugas mengawasi Perjalanan Aikawa ke China pada 1938 telah pengenalan teknologi dari negara Barat seperti menggugah pemikirannya tentang kebudayaan, jaringan komunikasi dan pembangunan rel kereta intelektual, dan pembentukan pengetahuan api, menggunakan istilah gijutsu dalam dokumen yang terpusat dalam rangka pembangunan Asia. formal. Seiring dengan pergeseran industri ringan Dalam tulisannya yang berjudul “Teori Teknologi ke industri berat pasca-Perang Dunia I, gijutsu Modern” pada 1941, Aikawa menjelaskan bahwa semakin populer dimaknai sebagai sebuah materi teknologi terkait dengan praktik dan produksi atau teknologi buatan manusia. Perkembangan seperti yang telah dilakukan Jepang untuk mem- industri kimia, metalurgi, listrik, komunikasi, dan bentuk new order di Asia. Selain itu, Aikawa sistem transportasi, serta perkembangan insti- melihat percepatan pembangunan dan industri- tusi penelitian di universitas memperluas makna alisasi, pendidikan buruh dan petani kecil, serta teknologi sebagai sesuatu yang terkait dengan hal promosi ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai nonmaterial atau kreativitas. Perdebatan tentang sebuah integrasi teknologi ke dalam kehidupan teknologi mulai menonjol di kalangan ilmuwan sehari-hari masyarakat. Dalam tulisannya yang sosial dan akademis. Mereka memaknai teknologi berjudul “Introduction to a theory of technology”, tidak hanya sebatas mesin dan sistem teknis, Aikawa berpendapat teknologi sebagai “living tetapi termasuk pola pikir, kreativitas, efisiensi, dan tanggung jawab sosial (Moore, 2013, 28). concept” dalam kehidupan sehari-hari untuk mengatasi adanya krisis spiritual yang disebabkan Perdebatan tentang teori teknologi dalam oleh penggunaan teknologi (Moore, 2013, 32). jurnal Marxist Yuibutsuron Kenkyu (Studi tentang Aikawa tetap melihat teknologi sebagai sebuah materialisme) pada periode 1932–1935 menjelas- alat, tetapi menolak pendapat awalnya yang me- kan perdebatan teori kontemporer teknologi di nyatakan teknologi sebagai sistem alat produksi. antara para ilmuwan. Marxism masuk ke Jepang Teknologi tidak hanya dilihat sebagai suatu alat, pada awal abad ke-20 dan digunakan sebagai tetapi juga mengandung nilai, tujuan, dan ide kerangka untuk menganalisis isu-isu sosial, manusia. termasuk isu teknologi. Aikawa Haruki, yang dikenal pula dengan nama Yanami Hisau, adalah Sebagai seorang intelektual yang berfokus salah satu intelektual kiri yang memiliki perhatian pada isu teknologi, Aikawa aktif menjadi editor terhadap isu teknologi pada masa perang. Pada dalam jurnal Japan Technology Association dan awalnya, Aikawa mendefinisikan teknologi se­ Technology Review, serta menulis dalam beberapa

Upik Sarjiati | Tinjauan Buku Imajinasi Teknologi ... | 131 jurnal teknokratik. Selain itu, Aikawa aktif dalam berdasarkan pada sumber daya yang dimiliki pertemuan ilmiah National Policy Research As- oleh suatu wilayah, Aikawa memetakan potensi sociation dan grup think tank birokrat. Ia juga pengembang­an sumber daya alam, seperti bauksit terlibat dalam penyusunan program pemerintah di sekitar Sungai Asahan dan di Kota Medan, terkait dengan ilmu pengetahuan dan teknologi Sumatera Selatan; batu bara di Tonkin Delta pada masa perang. Aikawa adalah salah satu sekitar Hanoi dan Haiphong di Indochina; nikel komite Japan Technology Association yang di Danau Laguna, Manila, Filipina; serta potensi memberikan usul kepada kabinet untuk mem- sumber daya alam lainnya di berbagai wilayah bentuk organisasi insinyur dan teknisi sebagai di Asia Tenggara. Setiap wilayah yang memiliki bagian dari new order untuk ilmu pengetahuan sumber daya alam akan dikembangkan dan ter- dan teknologi. Hal tersebut menjadi salah satu integrasi dengan transportasi, pabrik pengolahan, usaha Aikawa mempromosikan peningkatan sumber energi, pabrik industri, serta pusat kota peran dan status insinyur dalam pemerintahan yang sebelumnya tidak dilakukan oleh negara melalui proses pembangunan daerah koloni, Barat sebagai negara penjajah. Jepang berencana peningkatan inovasi, dan pemanfaatan teknologi membangun kota bekas jajahan negara Barat di tempat kerja. menjadi kota yang lebih produktif. Kota-kota tersebut dikelompokkan menjadi tiga tipe, yakni Selain itu, Aikawa mengusulkan kepada kota pusat pertanian (Mandalay, Bandung, dan pemerintah untuk memanfaatkan teknologi se- Saigon), kota pusat pertambangan (Palembang, bagai alat mobilisasi pada masa perang dengan Padang, dan Hanoi), serta kota industri (Singa- memanfaatkan teknologi secara nyata, terutama pura, Surabaya, dan Jakarta). Kota-kota tersebut di wilayah-wilayah kolonial. Menurut Aikawa dibangun berdasarkan pada potensi sumber daya (Moore, 2013, 45), perang tidak hanya dilihat yang dimiliki, tetapi diintegrasikan dengan sektor sebagai modernisasi sistem ekonomi semi-feodal industri C-51. melalui perencanaan ekonomi dan mobilisasi. Perang juga dianggap sebagai upaya Jepang Pemetaan pengembangan sumber daya membangun new order di Asia Timur dan bebas yang dilakukan oleh Aikawa diduga didukung dari imperialisme Barat yang hanya menekankan intelijen Jepang yang ada di negara-negara Asia pada eksploitasi sumber daya alam (Moore, 2013, Tenggara. Gin (2011, 17) menjelaskan adanya 45). Pembangunan ekonomi yang dilakukan oleh agen intelijen Jepang yang menyusup ke dalam perusahaan dagang, agen pemerintah, organisasi Jepang berfokus pada pembangunan industri sosial, organisasi politik, dan individu sebelum berat di Jepang. Sementara pembangunan daerah Jepang berinvasi ke negara di Asia Tenggara. koloni dilakukan berdasarkan pada production Intelijen tersebut bertugas mengumpulkan ber- technology industri berat, eksploitasi, serta bagai informasi tentang kondisi lokal, geografi, pengolahan sumber daya alam, produksi energi, penduduk lokal, serta informasi strategis, seperti dan manajemen tenaga kerja. Oleh karena itu, basis militer dan pelayaran. Pemetaan sumber produksi teknologi adalah kombinasi dari daya dilakukan oleh Jepang untuk mengembang- tiga elemen, yakni alat produksi, keahlian dan kan bisnis yang sebelumnya telah dibangun di kemampuan teknik, serta sumber daya alam. negara-negara Asia Tenggara, seperti perusahaan Hal tersebut merupakan salah satu strategi yang Boruneo Niippon Susishan Kaisha (Perusahaan dilakukan untuk membebaskan negara-negara Perikanan Jepang Borneo) yang berada di Pulau di Asia Tenggara dari kolonialisme Barat dan Tawau, Kuhara Mining Company (Perusahaan membangun wilayah koloni untuk menyokong Tambang Kuhara), dan Borneo Shokusan Kabui- industrialisasi Jepang (termasuk Taiwan, Korea, shiki Kaisha (Perusahaan Promosi Pembangunan dan Manchukuo). Borneo) yang bergerak di bidang perkebunan Contohnya adalah pembangunan dam yang karet (Gin, 2014, 14). Komunitas Jepang di bertujuan menghasilkan listrik guna memenuhi Indonesia sudah ada jauh sebelum kedatangan kebutuhan energi sektor industri. Untuk tentara Jepang pada 1942. Pada permulaan abad mengetahui potensi pengembangan industri ke-20, komunitas Jepang sebagian besar berada

132 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 di Sumatera Timur, Sumatera Barat, dan Batavia. least, since technology is weaved into inseparable Sebagian besar dari mereka adalah perempuan relationship with culture, technology should be yang bekerja sebagai pelacur, sedangkan laki-laki developed in all areas of society. If one affirms culture, then by all means one should not rejected Jepang bekerja sebagai pedagang. Toko Jepang technology (Moore, 2013, 69). menjadi fenomena dalam sejarah kehadiran orang Jepang di Indonesia dan mempunyai ja­ Teknologi didefinisikan sebagai kreasi ringan yang luas. Pada 1913, berdirilah Asosiasi budaya yang menggabungkan ilmu pengetahuan Masyarakat Jepang (Nihonjikai), yang sebagian alam dengan teknik, dan tidak melihat teknologi besar anggotanya merupakan pemilik atau penge­ semata-mata sebagai sebuah alat produksi yang lola toko-toko Jepang (Asnan, 2011, 52–53). dipisahkan dari aspek manusia, tetapi juga meru- pakan sistem teknis yang memasukkan unsur etik, Insinyur dan Imajinasinya tentang Sains kreativitas, dan praktik sosial. Oleh karena itu, dan Teknologi insinyur ikut bertanggung jawab dalam mengatur satu bagian dari masyarakat serta kehidupan Bab kedua dalam buku ini menjelaskan soal manusia secara keseluruhan. Hal tersebut mem- imajinasi teknologi dari kelompok insinyur, perluas peran insinyur, tidak hanya terkait dengan di antaranya adalah Miyamoto Takenosuke masalah teknis disain dan konstruksi, tetapi juga (1892–1941), yang bekerja di Japanese Home terkait dengan manfaat sosial dari teknologi, ad- Ministry, Asia Development Board, dan Cabinet ministrasi, dan perencanaan. Kelompok insinyur Planning Board. Takenosuke mendefinisikan makin banyak terlibat dalam hal perencanaan ulang konsep teknologi melalui istilah “com- dan pelaksanaan pembangunan proyek-proyek prehensive technology” atau “sogo gijutsu”, infrastruktur. dengan memasukkan aspek sosial dalam konsep teknologi. Pendefinisian kembali teknologi Pada 19 September 1931, tentara Jepang merupakan bagian dari imajinasi teknologi menduduki Manchuria setelah terjadinya penge- yang dikembangkan oleh para insinyur sebagai boman di stasiun kereta. Serangan tentara Jepang usaha untuk meningkatkan status insinyur dalam tersebut dilakukan dengan alasan sebagai tindakan masyarakat Jepang, menyusun kebijakan penge- pertahanan setelah terjadi pengebom­an di sebuah tahuan dan teknologi secara terpusat, serta usaha stasiun. Insiden Manchuria kemudian mengubah untuk berpartisipasi dalam penelitian dan pem- politik luar negeri Jepang, yang menjadikan bangunan proyek-proyek infrastruktur di wilayah Manchuria sebagai wilayah kolonial Jepang. koloni Jepang. Kelompok insinyur berargumen Miyamoto berpendapat, insiden Manchuria meru- bahwa perencanaan dan manajemen termasuk pakan awal dari pembangunan Manchuria dan ke dalam aspek teknologi sehingga dibutuhkan Mongolia sebagai negara baru, dan memerlukan aspek sosial dalam mengelola teknologi. Pada pengembangan teknologi serta fasilitas industri. 1920, sembilan orang lulusan Jurusan Teknik Hal itu dapat meningkatkan kesempatan kerja Tokyo Imperial University, termasuk Miyamoto, bagi insinyur. Oleh sebab itu, Miyamoto dan membentuk Kojin Club, yang bertujuan memper- Kojin Club mendorong pemerintah untuk mene- baiki status dan kesejahteraan kelompok insinyur tapkan rencana pembangunan jangka panjang di serta mempromosikan teknologi sebagai bagian Manchuria serta menambah jumlah insinyur yang dari pembangunan sosial. Konsep teknologi dikirim ke Manchuria. tertuang dalam piagam pendirian Kojin Club, Konsep “comprehensive technology” yang disusun oleh Miyamoto seperti di bawah ini: diungkapkan oleh Miyamoto pada 1930 untuk menjelaskan rencana pembangunan proyek infra- Technology is cultural creation that fuses natural struktur dan penyusunan kebijakan di Benua Asia sciences and technique. Technology is creation, not means; therefore, it is absolute, not relative. secara terpusat. Hal tersebut dilakukan untuk Although cultural creation is not something membangun daerah-daerah bekas koloni negara achieved by technology alone, in some ways, Barat dengan manajemen yang lebih efektif human culture can be seen technology. At very seperti yang dilakukan di Manchuria dan China.

Upik Sarjiati | Tinjauan Buku Imajinasi Teknologi ... | 133 Pembangunan infrastruktur, seperti jalan, dam, hari. Berdasarkan pada penjelasan Janis Mimura dan bangunan pencegah banjir, tidak semata- dalam bukunya, Planning for Empire Reform mata terkait dengan pengiriman ahli-ahli Jepang, Buerucrats and the Japanese Wartime State, organisasi, dan infrastruktur, tetapi terkait pula Moore (2013, 192) berpendapat bahwa kelompok dengan isu kerja sama politik, ekonomi, militer, reform birokrat memiliki ideologi “techno-fas- dan kebudayaan. Pembangunan infrastruktur cism”, yakni perpaduan antara rasiona­litas teknik, di Manchuria dan di China diharapkan dapat perencanaan yang komprehensif, serta nilai-nilai memberikan keuntungan bagi Jepang karena modern dari produktivitas dan efisiensi dengan Manchuria dapat menyediakan sumber daya nasionalisme etnis dan ideologi organisasi sayap alam, dan sekaligus sebagai pasar yang potensial kanan. Moore (2013, 192) lebih lanjut menjelas- produk-produk Jepang. Miyamoto menekankan kan bagaimana kelompok birokrat mengubah pentingnya teknologi dalam pembangunan struktur masyarakat melalui proses kreatif dari negara-negara di Asia. sebuah teknologi. Dalam hal ini, teknologi dilihat sebagai hal yang produktif dan kreatif, bukan Birokrat Reformis dan Imajinasinya sebagai alat yang dapat memaksa dan menekan kehidupan masyarakat. tentang Sains dan Teknologi Moore (2013, 193–225) menjelaskan Bab kelima dalam buku ini menganalisis birokrat bagaimana pemikiran dan kebijakan Mori dan reformis (kakushin kanryo) yang berpengaruh kelompok reform birokrat berdampak signifikan dalam pembuat kebijakan pada masa perang. terhadap alat kekuasaan baru melalui hubungan Birokrat reformis adalah ahli yang menyusun teknologi dan fasis. Teknologi dimanfaatkan un- kebijakan ekonomi untuk mobilisasi di wilayah tuk membangun ekonomi terencana, yakni setiap koloni dan Jepang. Seperti kelompok insinyur, aspek hidup secara rasional direncanakan dan sebagian besar kelompok birokrat reformis adalah digerakkan untuk meningkatkan produktivitas. lulusan Imperial Tokyo University yang dipenga- Dengan mempromosikan kreativitas sebagai inti ruhi oleh pemikiran Marxist pada 1920-an dan dari teknologi, diharapkan teknologi dapat meng­ tertarik pada teknologi (gijutsu) untuk meningkat- ubah sistem ekonomi liberal menjadi ekonomi kan status dan pengaruh di Jepang, Manchukuo, terencana dan menjadikan teknologi sebagai tidak dan wilayah lainnya. Dengan dukungan dari hanya sebagai alat untuk mendapatkan keuntun- militer, kelompok reform birokrat berusaha untuk gan, tetapi juga sebagai sumber kreativitas dan menghilangkan kesenjangan ekonomi akibat produktivitas (Moore, 2013, 223). dari ekonomi liberal pada akhir 1930-an dan meningkatkan kemandirian ekonomi. Kebijakan ekonomi liberal mulai dipertanyakan oleh kaum PEMBANGUNAN MEGA PROYEK intelektual dan politikus sejak terjadinya krisis DI DAERAH JAJAHAN ekonomi pada 1920-an dan depresi besar pada Bab ketiga dan bab keempat buku Construction 1930-an, serta menganggap sistem ekonomi East Asia membahas soal implementasi konsep sosialis dapat menggantikan sistem ekonomi comprehensive technology dalam pembangunan liberal (Moore, 2013, 188). Ekonomi terencana infrastruktur, dari perencanaan hingga pelak- merupakan sistem ekonomi yang terintegrasi dan sanaan. Bab ketiga menjelaskan pembangunan memungkinkan campur tangan pemerintah di proyek perbaikan Sungai Liao di sebelah selatan semua sektor ekonomi, seperti organisasi industri, Manchuria, proyek perencanaan Kota Beijing, kompetisi, keuangan, distribusi, perdagangan, China, dan Pelabuhan Dadong yang terletak di tenaga kerja, konsumsi, dan kesejahteraan sosial. Sungai Yalu, sebelah timur Manchuria, sedangkan Dengan menganalisis konsep dan kebijakan pembangunan dam terbesar di Asia dijelaskan di Mori Hideoto, Moore (2013, 18) menyebutkan bab keempat. diskursus teknologi sebagai kekuatan yang Kelompok insinyur telah terlibat dalam produktif dan kreatif, bukan sebagai kekuatan­ pembangunan infrastruktur di Taiwan sebagai yang memaksa dan menekan kehidupan sehari- wilayah kolonial Jepang pada 1895, seperti pem-

134 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 bangunan kota, jalan, rel kereta api, pelabuhan, memburuknya situasi akibat perang menyebabkan dan infrastruktur komunikasi. Sejak terjadinya proyek tersebut tidak dapat diselesaikan. insiden Manchuria, proyek pembangunan Jepang Proyek pembangunan infrastruktur lainnya di wilayah kolonial bergeser ke sektor pertanian, adalah pembangunan Kota Beijing. Pembangunan pertambangan, dan perdagangan. Menurut Ko- tersebut tidak hanya dimanfaatkan oleh insinyur bayashi Hideo, proyek pembangunan di Manchu- Jepang untuk mengimplementasikan pengalaman kuo menandakan pergeseran fokus pembangunan yang mereka miliki, tetapi juga memanfaatkan ekonomi wilayah kolonial dari rel kereta api dan teori-teori perencanaan kota dari negara Barat. pelabuhan ke pembangunan pertanian serta dari Pembangunan kota dilakukan secara kompre- pertambangan menuju industri militer (Moore, hensif supaya dapat memasukkan unsur-unsur 2013, 103). Pembangunan infrastruktur menjadi tradisional China, memenuhi kriteria militer arena bagi insinyur untuk mengembangkan untuk pertahanan nasional, serta mewujudkan imajinasi teknologi dengan skala yang lebih kota yang terintegrasi secara ekonomi, politik, besar melalui desain dan konstruksi proyek yang dan sosial. Pembangunan infrastruktur di China sistematis dan terintegrasi pada masa perang. tidak hanya dilihat sebagai pemanfaatan teknologi Pengembangan pertanian di wilayah kolonial modern Barat dalam konteks kolonial, tetapi juga dipandang sebagai kesempatan besar bagi petani dibentuk oleh pertentangan antara insinyur lokal di Jepang yang sedang mengalami krisis ekonomi dan pusat, pemerintah kolonial, serta agenda pada 1930-an. Migrasi besar-besaran dilakukan pembangunan pada masa perang. oleh petani dari Jepang ke Machuria untuk mengembangkan industri pertanian (Young, Pembangunan dua dam terbesar di dunia, 1998, 322). yakni Fengman dan Sup’ung, dijelaskan secara detail pada bab keempat. Bab ini menganalisis Imajinasi teknologi tidak hanya dibentuk relasi kekuasaan dalam produksi pengetahuan oleh para insinyur dan birokrat Jepang, tetapi teknis dan proyek pembangunan dam di Sungai juga oleh proses kolonialisasi itu sendiri. Pada Songhua di sebelah barat Manchuria dan hydro- awalnya, koordinasi dalam proyek perbaikan power di Sungai Yalu, yang terletak di perbatasan pengelolaan Sungai Liao untuk pengendali banjir, antara Korea dan Manchuoko. Pembangunan sumber energi listrik, irigasi, dan transportasi dam tidak hanya merepresentasikan imajinasi tidak mudah dilakukan. Negosiasi dan kerja sama teknologi, tetapi juga memperlihatkan peruba- dalam pembangunan infrastruktur harus dilakukan han manajemen air yang lebih sistematis. Dam dengan teknisi China. Selain itu, proyek tersebut multifungsi pertama yang dibangun di Asia ber- harus menyesuaikan dengan agenda Jepang dalam guna untuk menghasilkan energi listrik besar dan rangka pembangunan wilayah koloni, seper­ti murah untuk industrialisasi, mencegah terjadinya industrialisasi, pembangunan pertanian, dan banjir, irigasi pertanian, menjaga pasokan air pengendalian banjir. Comprehensive technology bersih, memperluas usaha perikanan, dan menarik yang digagas oleh Kojin Club diimplementasikan wisatawan. Pembangunan dam memperlihatkan dengan menggunakan teknologi luar negeri yang kekuasaan dan legitimasi Jepang sebagai negara disesuaikan dengan kondisi alam di Manchuria adidaya. Keberhasilan Jepang dalam membangun dan keterampilan yang dimiliki oleh insinyur. dam di wilayah koloni berkontribusi dalam mem- Proyek besar perbaikan Sungai Liou terdiri atas berikan pemahaman tentang hubungan teknologi tiga bagian proyek, yakni pembangunan dam ke- dan kekuasaan kolonial. cil pengendali erosi dan penghutanan kembali di sekitar Sungai Liao; proyek pembangunan waduk Moore berpendapat, pembangunan dam besar di Naodehai untuk mengontrol endapan, memberikan kesempatan kepada birokrat dan arus sungai, dan irigasi; serta perbaikan sungai insinyur untuk berkontribusi secara lebih luas di dekat Kota Xinmin untuk mencegah terjadinya dalam pembangunan di wilayah koloni Jepang banjir. Namun, proyek perbaikan Sungai Liao ter- yang sebelumnya didominasi oleh militer. Namun, hambat oleh ketidaksesuaian antara perencanaan implementasi dari visi dan imajinasi teknologi pembangunan dan kondisi geologis. Selain itu, tidak mudah dilakukan, bahkan menimbulkan

Upik Sarjiati | Tinjauan Buku Imajinasi Teknologi ... | 135 messy effect (dampak yang kompleks) akibat menjadi basis dari New Japan (Japan Baru). kekurangpahaman dengan kondisi alam di Man- Techno-fascism terkait erat dengan techno- chuoko, ketiadaan kerja sama dengan penduduk imperialism, terutama dalam bentuk proyek lokal, terjadinya konflik, dan terjadinya peristiwa pembangunan yang bertujuan mengintegrasikan yang tidak terduga (Moore, 2013, 152). Supervi- perekonomian Jepang pada masa perang dan sor pembangunan dam Fengman, Honma Norio, menggerakkan orang-orang di wilayah kolonial. menceritakan proses pembangunan dam yang Dua komponen tersebut, techno-fascism dan tech- diwarnai oleh ketidakpastian, ketidaktahuan, dan no-imperialism, kemudian diadaptasi untuk men- coba-coba. Keterbatasan pengetahuan alam dan capai kemakmuran bangsa Jepang pascaperang­ lingkungan Manchuria yang dimiliki oleh insinyur dan menjalankan kekuasaan di luar negeri melalui Jepang memperlihatkan kelemahan dari imple- bantuan pembangunan. Teknologi digunakan mentasi imajinasi teknologi (Moore, 2013, 169). sebagai alat untuk menjalankan kebijakan luar negeri dan melaksanakan restrukturisasi ekonomi Lantaran kurangnya tenaga kerja di Man- pascaperang. chuoko dan kebutuhan tenaga kerja yang banyak, pembangunan dam dilakukan oleh ribuan orang Konsep teknologi komprehensif yang dikem- pekerja dari China dan Korea. Para pekerja terse- bangkan pada masa perang diintegrasikan dalam but terdiri atas anak muda, orang tua, tahanan, kebijakan “comprehensive national development”, dan tawanan perang. Moore (2013, 180–186) yakni pembangunan nasional yang komprehensif, menjelaskan, proyek ambisius diwarnai oleh ditetapkan pada 1950 sebagai salah satu strategi eksploitasi tenaga kerja yang diharuskan bekerja untuk restrukturisasi ekonomi pascaperang pada siang dan malam hari dengan suhu di bawah dan mencapai pertumbuhan ekonomi tinggi. 40 derajat Celsius. Setiap orang yang bekerja Kelompok birokrat dan insinyur yang bekerja malam diberi satu tablet morfin untuk mengatasi di wilayah kolonial kembali ke Jepang untuk udara dingin sehingga para pekerja mengalami melaksanakan proyek pembangunan infrastruktur kecanduan. Sanitasi yang buruk dan fasilitas yang di Jepang dan negara-negara lain melalui program tidak sehat mempercepat penularan penyakit se- development assistance (bantuan pembangunan). hingga penyakit menjadi faktor utama penyebab Pembangunan dam di Jepang tetap berlanjut pekerja meninggal. Kondisi tersebut diperburuk pasca-Perang Dunia sehingga Jepang memiliki oleh adanya diskriminasi dan kekerasan yang lebih dari 3.000 dam dan merupakan salah satu diterima pekerja. Diperkirakan ada satu orang negara yang memiliki dam terbanyak di dunia pekerja yang meninggal setiap tiga hari sekali (Aldrich, 2008). Kelompok insinyur, birokrat, akibat sakit, kecelakaan kerja, atau ditembak dan perusahaan yang terlibat dalam pembangunan karena melarikan diri. Efisiensi dan eksploitasi masa perang tetap berperan penting dalam melak- tenaga kerja dilakukan untuk mengurangi biaya sanakan proyek-proyek pembangunan luar negeri dan mempercepat pembangunan dam supaya melalui program bantuan pembangunan. Sebagai dapat diselesaikan sesuai dengan jadwal yang contohnya adalah Kuboto Yutaka, Presiden Yalu telah ditentukan. Pembangunan dam juga me- Hidropower, setelah kembali dari Korea memulai nyebabkan relokasi ribuan rumah tangga yang membentuk Nippon Koei, sebuah konsultan pembangunan. Kubota meyakinkan pemerintah dipaksa pindah dan menempati sebuah desa yang Jepang bahwa bantuan pembangunan memberi- telah ditentukan. kan keuntungan bagi Jepang, seperti kontrak kerja dan peluang ekspor ke perusahaan Jepang. PENUTUP Kepemimpinan Jepang dalam melaksanakan Teknologi pada masa perang berkontribusi pembangunan di kawasan Asia akan mendorong pada penciptaan kemandirian, kreativitas, dan terciptanya “co-prosperity” dan “co-existence” ketekunan bangsa Jepang dalam mengembang- atau kemakmuran bersama dan hidup berdam­ kan teknologi pascaperang. Tessa Morris-Suzuki pingan negara-negara di Asia. Kuboto berhasil (Moore, 2013, 226) berargumen bahwa “visi memegang proyek pembangunan di Sungai Asa- teknologi, sebagai dasar dari The Greater East han. Selain itu, keberhasilan Kuboto didukung Asia-Co Prosperity Sphere, ditransformasikan oleh upayanya dalam melakukan pendekatan

136 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 dengan pemimpin-pemimpin negara. Pada akhir melalui artefak tertentu yang dapat menggambar- 1960, Kuboto meyakinkan Presiden Soeharto kan keterkaitan antara kekuasaan, teknologi, dan akan pentingnya pembangunan dam di Sungai ide. Buku ini dapat menjadi salah satu referensi Asahan. Dari proyek tersebut, perusahaan Jepang untuk pembaca yang tertarik dengan studi sejarah mendapatkan keuntungan sebesar US$ 2 miliar sains dan teknologi, sejarah Jepang, dan ekonomi (Moore, 2013, 235). Dari hal tersebut, tercermin politik. bahwa imajinasi teknologi pada masa perang ma- sih berlanjut dalam bentuk bantuan pembangunan PUSTAKA ACUAN di negara-negara berkembang. Aldrich, D. P. (2008). Site fights: Divisive facilities Secara umum, buku ini telah memberikan and civil society in Japan and the west. Ithaca, gambaran imajinasi teknologi pada masa perang NY: Cornell University Press. dan bagaimana imajinasi tersebut diwujudkan Asnan, G. (2011). Penetrasi lewat laut: Kapal-kapal dalam bentuk pembangunan infrastruktur. Jepang di Indonesia sebelum 1942. Yogyakarta: Namun, ada beberapa hal penting yang tidak Penerbit Ombak. dibahas secara detail dalam buku ini. Sebagai Gin, Ooi Keat. (2011). The Japanese occupation of contoh, tidak dibahasnya secara detail peranan Borneo, 1941–1945. London: Routledge. kelompok militer dalam penetapan kebijakan Mimura, J. (2011). Planning for empire: reform teknologi pada masa perang, mobilisasi dan bureaucrats and the Japanese wartime state. Ithaca, NY: Cornell University Press. pemanfaatan sumber daya di wilayah kolonial Mizuno, H. (2009). Science for empire: Scientific Jepang. Pada masa perang, militer, terutama yang nationalism in modern Japan. California: Stan- masuk birokrasi (birokrat militer), mempunyai ford University Press. peran penting dalam merencanakan kebijakan Moore, A. S. (2013). Contructing East Asia: sains dan teknologi serta implementasinya di ­Technology, ideology, and empire in Japan’s wilayah jajahan. Selain itu, buku Constructing wartime era 1931–1945. Stanford: Stanford East Asia tidak dapat menjelaskan keterkaitan University Press. nyata antara peranan ilmuwan Aikawa dan bi- Muratani, S. (2007). The nature of Japan’s official rokrat Mori dalam pembangunan infrastruktur. development assistance: Japan’s bilateral ODA Peran kedua tokoh tersebut hanya terlihat dalam and Its national interest, 1981–2001. (Thesis The School of Graduate Studies Department diskursus intelektual pada masa perang, tetapi of Political Science, Indiana State University, tidak terlihat peranannya dalam pembangunan Indiana). infrastruktur di wilayah Asia Timur. Hal ini Pauer, E. (2002). Introduction. Dalam Pauer, Erich menyulitkan pembaca dalam memahami peran (Ed.), Japan’s War Economy. London: Rout- nyata kedua tokoh dalam pembangunan wilayah ledge. Asia Timur. Suzuki, T. M. (1994). The technological transforma- Meskipun ada beberapa kelemahan dalam tion of Japan: From the seventeenth to the twenty-first century. Cambridge: Cambridge buku ini, tulisan Moore menjembatani adanya University Press. gap pembahasan sejarah teknologi dengan sejarah Yang, D. (2010). Technology of Empire: Telecom- intelektual secara terpisah. Buku Constructing of munication and Japanese expansion in Asia, East Asia secara lengkap menjelaskan bagaimana 1883–1945. Cambridge, MA: Harvard Univer- pemikiran tentang teknologi diimplementasikan sity Asia Center. dalam pembangunan berbagai macam infrastruk- Young, L. (1998). Japan’s total empire: Manchuria tur. Selain itu, buku ini memberikan inspirasi ke- and the culture of wartime imperialism. Los pada pembaca untuk melihat modernitas kolonial Angeles: University of California Press.

Upik Sarjiati | Tinjauan Buku Imajinasi Teknologi ... | 137 138 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 TINJAUAN BUKU

TAMASYA PIKIR KOLEGIAL BERSAMA E. DOUGLAS LEWIS

Julian C. H. Lee dan John M. Prior (Eds.). Pemburu yang Cekatan: Anjangsana Bersama Karya-karya E. Douglas Lewis. Flores: Penerbit Ledalero. 2015. xxvii + 512 hlm. Terjemahan dari Keeping Indonesia in Mind: Excursions with the Work of E. Douglas Lewis. Penerjemah: Josef Maria Florisan.

Selsus Terselly Djese Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Provinsi Nusa Tenggara Timur E-mail: [email protected]

Diterima: 9-6-2016 Direvisi: 15-6-2016 Disetujui: 20-6-2016

PENDAHULUAN: BUKU DAN kan pembaca dalam perjalanan tamasya dengan TAMASYA keindahan bahasa Indonesia ke dalam keseriusan Sepintas, diksi dalam judul tulisan ini tampak berpikir tentang tulisan-tulisan kolega E. Douglas kontradiktif. Judul ini menyajikan dua hal yang Lewis. bertolak belakang, dalam satu kalimat; yang Penjabaran biografis tentang siapa E. Douglas santai dan yang serius. “Tamasya” identik dengan Lewis tidak banyak ditemukan di dalam buku ini kegiatan rileksasi, sedangkan “pikir” identik selain karya-karya etnolog, sejarawan, dan linguis dengan keseriusan menalar sesuatu. Di dua titik terkemuka ini. Ihwal ini bisa dimengerti. Biografi paradoksal inilah ditemukan salah satu kekuatan Lewis memang secara terencana tidak dimasuk- formatif buku ini. Buku dengan tema yang serius kan di buku ini selain karya-karyanya karena ini dikemas dengan konsep bahasa ilmiah populer penyunting buku ini ingin perhatian pembaca yang santai serentak estetis. tercurah sepenuhnya kepada sepak terjang ilmiah Penerjemah, dengan kepiawaiannya, Lewis. Akan tetapi, demi kepentingan tulisan ini, menelisik jauh ke dalam perbendaharaan kata- baiklah ditampilkan sedikit biografi Lewis yang kata bahasa Indonesia untuk menemukan dan ditemukan dalam salah satu buku Lewis, Ata menggunakannya secara tetap makna, ketika ia Pu’an: Tatanan Sosial dan Seremonial Tana Wai mengalihkan teks dari bahasa pertamannya ke Brama di Flores (2012). Di dalam buku ini, jejak dalam bahasa Indonesia. Penerjemah membuat Lewis dapat dirunut. E. Douglas Lewis lahir di para pembaca mengakrabi lagi kata-kata seperti Austin Texas, Amerika Serikat, pada 1947. Gelar ihwal, ikhtiar, laik, maklumat, menyitir, penyelia, bachelor of art diperoleh Lewis pada 1971 di adialami, karyatama, intipati, perisikap, dan ma- Rice University, sedangkan gelar master of art sih banyak lagi, di tengah maraknya penggunaan diperolehnya setelah menyelesaikan studi di kata-kata serapan asing. Penggunaan kata-kata ini Brown University pada 1975. Selanjutnya, pada serentak juga menunjukkan pemahaman pener- 1983, gelar Ph.D. diperolehnya dari Institute of jemah bahwa yang ilmiah bisa dinikmati dengan Advanced Studies di Australia National Univer- cara yang santai, tidak melulu serius. Penggunaan sity (ANU). Sejak 1977, ia telah menjadi dosen di kata-kata ini mengajak dan, akhirnya, menempat- Universitas Melbourne. Pada 1991, ia mengambil

139 keputusan untuk menjadi warga negara Australia mendapat Le Grand Prix pada Treizéme Bilan dan hingga kini menetap serta terus berkarya di du Film Ethnographique, Musée de I’Homme, benua tersebut. Paris, untuk film etnografinya yang berjudul A Celebration of Origins: The Gren Mahé Ritual TAMASYA DIMULAI of Tana ‘Ai. Kedua, dia mendapat penghargaan J. G. Crawford Prize di Prodi Riset Fakultas Antro- Perjalanan tamasya ini dimulai di Maumere-Sik- pologi, Australia National University (ANU), ka, Pulau Flores, dan akan berakhir di Melbourne, untuk disertasinya. Disertasinya merupakan Australia. Ia berawal dalam suasana pertemanan disertasi pertama yang memperoleh penghargaan dengan O. Mandalangi Pareira di Maumere-Sikka bergengsi itu (hlm. xvi). dan berakhir pada suasana intim yang sama di Sebagaimana dicatat penyunting pada rumah Lewis, di Melbourne. “Bekal” perjalanan bagian pendahuluan, keberhasilan Lewis ini tamasya pikir bagi pembaca buku ini diberikan tidak dapat lepas dari dua hal berikut ini. Per- dalam bentuk Kata Pengantar dan Pendahuluan tama, kecerdasan Lewis untuk mengamati objek oleh tiga cendekiawan dan mahaguru besar, yaitu penelitiannya secara menyeluruh tanpa tergoda James J. Fox, Julian C. H. Lee, dan John M. Prior. untuk membuat pemilahan dikotomis antara yang Dari tulisan mereka, pembaca dapat memaf- tradisional atau yang modern, yang asing atau humi bahwa buku ini berisi tulisan para kolega yang original, yang primal atau yang modern. pikir Lewis. Mereka adalah orang-orang yang Kedua, kerendahan hati Lewis ketika berhadapan pernah dan sedang berada di dalam lingkaran dengan objek penelitiannya. Ia selalu mengang- arus pemikiran Lewis, yaitu para teman dekat- gap masyarakat yang ditelitinya sebagai seorang nya dan bekas murid-muridnya. Sebagai teman, teman, kolega sederajat yang satu dengannya para penyumbang tulisan dalam buku ini ingin (hlm. xxii–xxiv). Menyalut kebersatuan Lewis membantu Lewis, teman mereka, untuk mengem- ini, O. Mandalangi Pareira, salah seorang kon- bangkan minat dan konsentrasi Lewis di berbagai tributor tulisan pada buku ini, menyapa Lewis bidang: etnografi kawasan Indonesia Timur (oleh sebagai Mo’ang Douglas. Mo’ang dalam bahasa Vischer, Prior, Butterworth, dan Smedal), ritus Sikka berarti “Tuan”. Karakter khas Lewis inilah dan agama (oleh Acciaioli, Reuter, Budi Kleden, yang akan juga menempatkan pembaca buku ini dan Wejak), bahasa dan retorika (oleh Strecker sebagai kolega Lewis dalam tamasya pikir dan dan Prior), konsep budaya (oleh Seldon dan menjadikan proses pembacaan buku ini sebagai Lee), pembangunan (oleh Myer), serta kaitan sebuah perjalanan kolegial. antara budaya dan ilmu-ilmu otak (oleh Lee dan Perjalanan tamasya pikir kolegial ini dimulai Dominguez). pada tulisan Oscar Mandalangi Pareira. Tulisan- Perjalanan pikir, minat, dan konsentrasi nya mengangkat cerita perkawanannya dengan Lewis dapat disimak pada bagian Pengantar Mo’ang Douglas sejak pertengahan November buku ini, yang secara menarik disajikan oleh 1977. Dalam relasi mereka, Mandalangi Pareira dua penyunting: Julian C. H. Lee dan John M. menemukan Lewis atau Mo’ang Douglas—se- Prior. Minat Lewis pada etnologi bermula dari bagaimana julukan dari keluarga Mandalangi kota tempatnya menuntut ilmu di bangku kuliah Pareira—sebagai “sebuah gading gajah”. “Gading­ Universitas Rice. Minat ini terus terpupuk ketika gajah” ini datang ke Sikka untuk memburu se- ia secara linear melanjutkan studi di Universi- batang gading gajah lain yang hilang pada masa tas Brown untuk gelar master dan Universitas silam. Gading gajah yang mencari gading gajah, Nasional Australia untuk gelar Ph.D. Minatnya begitu Mandalangi menulis (hlm. 5). Hasil per- ini pulalah yang mengantarnya ke Pulau Flores buruan ini ditetaskan Lewis puluhan tahun kemu- untuk berkawan dengan kehidupan masyarakat dian dalam beberapa buku, di antaranya People Tana ‘Ai di pelosok timur Kabupaten Sikka dan of the Source: The Social and Ceremonial Order melakukan penelitian lapangan untuk menulis of Tana Wai Brama on Flores (1988), Hikayat disertasi Ph.D.-nya. Dari hasil penelitiannya itu, Kerajaan Sikka (2008), dan The Stranger-Kings Lewis memperoleh dua anugerah. Pertama, dia of Sikka (2010).

140 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 Greg Acciaioli, dosen dari Universitas West- oleh Vischer bahwa pembahasannya tentang hal ern, Australia, adalah kontributor tulisan berikut tersebut dalam buku ini masih berupa gambaran ini. Tamasya pikir tentang pemikiran Lewis awal. Pembahasannya dapat dijadikan dasar bagi bersamanya terarah ke konsep nir-tempat dalam pengembangan lanjutan. ritus orang Bugis di tepi Danau Lindu, sebelah H. Smedal adalah rekan tamasya berikutnya tenggara Kota Palu, Sulawesi Tengah. Istilah yang mengajak pembaca ke daerah orang Ngada nir-tempat merujuk pada suatu keadaan ketika di Kabupaten Ngada. Pada tamasya ini, sang individu berdiam secara anonim tanpa ikatan lo- mahaguru Universitas Bergen menunjukkan kalitas dalam ruang, waktu, dan kelompok sosial bahwa dalam kehidupan berumah orang Ngada, tertentu. Orang-orang Bugis di daerah perantauan, sebuah bangunan rumah sebagai setiap unit sosial khususnya di sekitar Danau Lindu, Palu, tetap terkecil atau woé di dalam satu suku, terdiri atas menjalankan kehidupan ritual sekalipun mereka dua rumah atau sa’o, yaitu sa’o (saka) pu’u, dan tidak lagi berada di tanah asal mereka. Hal ini, sa’o (saka) lobo. Masing-masing rumah memi- menurut Acciaioli, merupakan tindakan tradi­ liki corak tersendiri. Sa’o (saka) pu’u memiliki sional, bahkan modern yang supermodern, karena rumah miniatur atau ana ié, yang terdapat di tindakan ini tidak lagi terikat pada ruang, waktu, punggung atapnya. Sementara sa’o (saka) lobo dan kelompok sosial tertentu, sekalipun salah satu memiliki patung miniatur mirip manusia atau tujuan tindakan ini berfungsi membangkitkan dan ata yang diletakkan di bagian atapnya. Rumah memupuk ingatan akan tempat asal dan aspek atau sa’o dan minaturnya, baik ana ié maupun historisnya. ata, merupakan—mengutip kata-kata penulis— Paul Budi Kleden adalah kontributor tulisan “istana kenangan” sebagai pengait yang terindrai berikutnya. Pastor SVD dan teolog ini mengajak (hlm. 158). Ia menyimpan makna tentang muasal pembaca bertamasya pikir ke Palu’E, pulau vul- masyarakat rumah Ngada yang berkembang dari kanis di sebelah utara Flores, guna menemukan keadaan tanpa rumah, berumah, membentuk makna pelaksanaan ritual Tu Dheu. Penghormatan kampung, sampai membangun suatu sistem sosial kepada leluhur dalam ritual ini juga menarik minat di dalamnya. Lewis ketika ia secara tekun meneliti kehidupan John Prior, sang teolog dan dosen senior ritual dalam masyarakat Tana ‘Ai. Budi Kleden prog­ram Pascasarjana STFK Ledalero, secara menemukan adanya ambivalensi dalam sikap terarah mengajak pembaca untuk sejenak ber- dan pemahaman masyarakat Desa Maluriwu, tamasya dengan salah satu buku Lewis. Buku Kecamatan Palu’E. Di dalam ritual Tu Dheu ini, yang terbit pada 2010 di Leiden itu berjudul leluhur dihormati serentak dikambinghitamkan, The Stranger-Kings of Sikka. Tujuannya tidak lantas dihalau ke luar pulau karena dianggap lain adalah membedah lebih tajam buku tersebut sebagai­ biang bencana. Tindakan ritual ini dimak- dengan “pisau” eksegetis Alkitab kontempo- nai sebagai tindakan mengorbankan para leluhur rer. Proses ini dilakukan guna menemukan alur anonim untuk mencegah terjadinya bencana dan cerita, tema besar, dan narasi besar atau struktur mengantisipasi remuknya ikatan kolektif. makroteks yang ditulis tangan oleh Dominicus Michael P. Vischer menahan para pembaca Dionitius Pareira Kondi (1886–1962) dan Alexius agar tidak beranjak dari Pulau Palu’E. Di sana, Boer Pareira (1888–1980). Pior, pada salah satu bersama konsep Lewis, tamasya pikir pembaca bagian dari proses ini, secara analitis mengapre­ diajak Vischer, sang ilmuwan, merangkap tabib siasi tulisan Kondi. Menurut Pior, Kondi telah pengobatan China klasik, untuk berlabuh pada menggagas struktur penulisan yang linear, dari kehidupan bahari masyarakat suku Ko’a. Tu- masa kegelapan hingga masa keemasan kerajaan juannya adalah menemukan sistem kekerabatan Sikka. Dua masa ini diantarai oleh peran dua masyarakat bahari ulayat Ko’a dalam bingkai wanita perkasa: Ratu Dona Maria dan Ratu Dona keragaman organisasi sosial masyarakat Aus- Ines. Di sinilah analisis Prior menjadi menarik. tronesia di kawasan Indonesia timur. Sistem Dalam tulisan Kondi, Pior menemukan kekuatan kekerabatan ini sangat kompleks. Diakui sendiri perempuan di tengah dominasi lelaki dalam

Selsus Terselly Djese | Tinjauan Buku Tamasya Pikir Kolegial ... | 141 sistem patriarkal. Di tengah The Stranger-Kings Nabit Alang di Manggarai. Dari hasil analisisnya, of Sikka, ada dua ratu perkasa. pembaca diajak Wejak untuk memahami bahwa Thomas A. Reuter mengajak pembaca berta- semua mitos di atas berbicara tentang korban masya bersamanya menuju tradisi agama leluhur darah yang meneguhkan dan mendamaikan ikat­ yang ditemukannya dalam praktik kehidupan an antara yang fana dan yang baka. Penekanan masyarakat Bali. Tamasya pikir ini mengantar secara mitis akan peran kaum perempuan dalam pembaca menemukan kedudukan agama leluhur dunia pertanian juga dapat ditemukan dalam di tengah perkembangan dunia dewasa ini dan mitos-mitos ini. Mitos-mitos ini juga menjadi di antara agama-agama modern. Agama leluhur tradisi lisan yang dogmatis, harus diterima karena dimengerti Reuter sebagai agama karsa tempat ada sanksi yang menanti para pelanggarnya. Pada manusia menentukan keberadaan dirinya. Agama bagian terakhir, Wejak menegaskan bahwa mitos leluhur juga menjadi tempat manusia menemu- asal-usul padi ini merupakan segi hakiki terpen­ kan dan merayakan keberadaan dan keterikatan ting dalam siklus agraris masyarakat yang harus dirinya secara langsung ataupun tidak langsung dilestarikan. dengan leluhur sebagai sosok yang pernah ada di Edwar Myer, seorang mahasiswa pada Uni- dalam suatu masa tertentu. versitas Sydney dengan konsentrasi pada bidang David Butterworth, seakan tidak ingin jauh hukum, akan memupuskan harapan pembaca dari Pulau Flores, “menerbangkan” pembaca dari untuk dapat meninggalkan Pulau Flores. Malah, Bali kembali ke Maumere, Kabupaten Sikka. Di ia mengajak pembaca bertamasya bersamanya sana, peraih gelar Ph.D. dari Universitas Mel- di daerah Sikka dengan pilihan topik yang agak bourne ini menemani pembaca menemukan iden- birokratis kepemerintahan. Nuansa birokratis titas masyarakat Sikka Krowe dalam transformasi ini secara kasatmata bisa langsung terbaca dari masyarakat Sikka. Untuk itu, masyarakat Sikka pilihan diksi pada judul tulisan. Myer mengajak Krowe diletakkan dalam hubungannya dengan pembaca untuk semacam melakukan penilaian masyarakat Ata Sikka dan Ata Tana ‘Ai suatu evaluatif atas pelaksanaan proyek-proyek kesatuan­ masyarakat yang menuturkan bahasa bantuan pembangunan di Kabupaten Sikka, Sikka atau sara Sikka. Dalam studinya, Butter- baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun worth menemukan bahwa istilah masyarakat Ata lembaga-lembaga nonpemerintah, serta mencoba Krowe sesungguhnya adalah term identitas tanpa merumuskan beberapa andil antropologi dalam objek yang jelas. Masyarakat yang disebut seba­ pelaksanaan berbagai proyek tersebut. gai Ata Krowe adalah masyarakat Ata dari suku Myer, secara cukup analitis, menemukan atau klan masing-masing yang otonom. Klan-klan pokok-pokok permasalahan yang telah disentuh Krowe adalah kelompok patrilineal yang terlibat oleh proyek-proyek ini, yaitu mencakup banyak secara afinal eksogam dan asimetris dalam relasi aspek, antara lain permasalahan pendidikan, dengan klan/suku lain. Dalam kehidupan setiap pertanian, hak-hak anak dan kaum perempuan, klan, seorang tana pu’an (sumber ulayat) memi- kesehatan, sanitasi, dan sebagainya. Sementara liki otoritas yang besar berkaitan dengan urusan itu, beberapa ihwal penting menurut Myer yang spiritual dan urusan duniawi. belum tersentuh antara lain persoalan minimnya Justin L. Wejak menahan para pembaca untuk minat untuk menempuh pendidikan tinggi, kon- lebih lama lagi di Pulau Flores. Dosen spesialis servasi warisan budaya yang masih minim, dan di Program Studi Indonesia pada Universitas dukungan terhadap penelitian-penelitian sosial Melbourne ini ingin mengajak para pembaca yang kecil. Myer juga mencatat beberapa per- bertamasya bersamanya di dalam salah satu mitos salahan klasik yang ditemui dalam pelaksanaan besar masyarakat agraris di Pulau Flores; mitos proyek ini, yaitu kurangnya komunikasi, kaburnya asal-usul padi. Untuk itu, ia mengajak pembaca orientasi yang terkait dengan kemandirian, menemui Du’a Paré Wai Nalu di Tana A’i, Tono serta lemahnya dukungan statistik. Dari per­ Wujo Besi Paré di Flores Timur, Ine Peni di spektif antropologis, Myer menggugah tamasya Lembata, Iné Mbu di Flores bagian tengah, dan pikir pembaca dengan menggagas pentingnya

142 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 pemahaman­ bersama masyarakat tentang apa Di Afrika Selatan, Seldon menemukan reali- sebenarnya yang mereka butuhkan dan seberapa tas pembentukan suatu tempat bernama Orania. banyak/besar yang mereka butuhkan. Tempat ini terbentuk karena ada upaya konservasi Ivo Strecker, tidak tanggung-tanggung, budaya oleh kaum Afrikaner atau boer (harafiah: mengajak pembaca bertamasya ke Afrika. Me- petani). Akan tetapi, dalam perkembangannya, lalui perjumpaan dengan orang-orang Hamar di di tengah-tengah upaya konservasi ini, perilaku sebelah selatan Etiopia, kontributor tulisan ini masyarakat di tempat ini juga sekaligus menun- menuntun pembaca untuk bertemu dengan alam jukkan bahwa budaya merupakan sesuatu yang pikirnya dan Lewis tentang etnografi dan teori dapat berubah dan bersimpang. Walhasil, dalam budaya retorika. Dalam tulisannya, Strecker ingin beberapa kasus yang ditonjolkan oleh Seldon, mengkaji hubungan interaksi antara etnografi, re- kehidupan yang mengonservasi budaya kaum torika, dan budaya, serta untuk menemukan titik Afrikaner mulai mencair dan atau menghilang. temu antara pandangan Lewis dan pandangannya Kemudian, berkembang dan tumbuhlah suatu sendiri terhadap antropologi. Strecker, melalui budaya baru: budaya kaum Orinia. Di Malaysia, beberapa pengalaman empirisnya di antara orang- Lee menemukan hal yang sama. Berbagai upaya orang Hamar, akhirnya tiba pada satu penemuan pemerintah melalui beragam regulasi untuk mem- bahwa budaya manusia muncul serta dibentuk pertahankan hakikat budaya memunculkan aneka dan terus-menerus dibentuk kembali melalui re- tanggapan masyarakat, seperti gerakan protes dan torika. Semua budaya berdasar pada komunikasi demonstrasi massa. Gerakan ini, oleh pemerintah (retorika) dan bercorak simbolis (hlm. 361). setempat, dilabeli sebagai gerakan “ini bukan budaya kita” karena gerakan ini diklaim sebagai Sylvia Seldon dan Julian C. H. Lee mengajak sesuatu yang bukan bagian dari tradisi masyarakat pembaca bertamasya ke Malaysia dan Afrika di sana. Selatan dengan ide Lewis tentang perubahan budaya dalam stokastik dan alternitas. Dalam Julian C. H. Lee, secara amat terperinci, tulisannya, keduanya secara lebih terbuka ingin menemani pembaca bertamasya dengan topik menelisik gagasan Lewis tentang budaya per se peran kesadaran dalam pembentukan perilaku dan menemukan keterkaitannya dengan hasil manusia. Sesekali Lee mengajak pembaca ke penelitian mereka di Malaysia dan Afrika Selatan. negara Malaysia pada 2004, tempatnya meng­ Keduanya juga ingin menarik keluar aplikasi adakan penelitian untuk menimba pengalaman gagasan Lewis, tidak hanya pada analisis ilmu empirisnya terkait dengan topik pembicaraannya. sosial, tetapi juga pada ranah publik. Tulisannya ini bertujuan menunjukkan bahwa kesadaran tidak memiliki peran apa pun dalam Tentang budaya, keduanya sepakat bahwa memengaruhi perilaku manusia. Lewis menolak teori determinasi budaya pada perilaku manusia. Budaya tidak menentukan, Juan F. Domínguez D. menemani pembaca memengaruhi, atau membatasi perilaku manu- bertamasya ke dalam pemikiran kritis tentang sia. Hakikat budaya, menurut Lewis, dicatat tema Nalar Budaya dan Penemuan. Di bawah keduanya secara saksama di dalam tulisannya. tema ini, Domínguez membangun tulisannya Stokastik, menurut Bateson (1979), merupakan dalam tiga batang tubuh, yakni hiperasionalitas, urutan pengacakan berbagai kejadian yang ter- rasionalitas yang disepadan, dan penemuan diri atas gabungan antara satu hal acak dan satu rasional. Berkaitan dengan peran rasionalitas proses selektif hingga muncul suatu hasil tertentu. dalam ranah budaya, Domínguez, mencoba Sementara itu, alternitas, seturut pendapat Steiner membalikkan realitas yang selama ini telah lazim (1957), merupakan ketersediaan berbagai pilihan terdengar. Bukan tradisi dan adat istiadat yang dalam proses selektif lewat beragam kebetulan, menentukan tindakan atau respons manusia atas kesalahpahaman, kreativitas, dan sebagainya. masalah dalam hidupnya melainkan kemampuan Kedua proses ini hadir secara nyata di dalam “pilihan preferensial” manusia. Pilihan prefer- kehidupan masyarakat. ensial ini merupakan kemampuan rasio manusia untuk memilih secara otonom satu kemungkinan

Selsus Terselly Djese | Tinjauan Buku Tamasya Pikir Kolegial ... | 143 tindakan di antara beberapa kemungkinan lain. Berbagai studi lanjutan dan pengembangan secara Walaupun Domínguez mengakui keterbatasan multidisiplin ilmu, terutama fisiologi, neurologi, rasionalitas karena keterbatasan manusiawi dan neurobiologi, serta psikologi kognitif masih keadaan lingkungan, rasionalitas ini mampu perlu terus dilakukan. Pada subbab terakhir, ia membangkitkan kreativitas. Oleh kreativitas menulis bahwa pemikiran tidak pernah statis; inilah manusia mampu melakukan serangkaian pembentukannya memang berakhir, tetapi tak aktivitas yang akan membuat dunia ini dapat pernah tuntas (hlm. 488). dipahami. E. D. Lewis, bersamanya, tamasya ini ber- REKONSTRUKSI TEORI BUDAYA: muara di Melbourne, di rumah sang “Pemburu SUVENIR TAMASYA yang Cekatan”, sahabat dan rekan para penulis Selain unsur formatif buku yang bertumpu pada buku ini dan akan menjadi kawan para pembaca. estetika diksi kata-kata bahasa Indonesia yang Di dalam rumahnya, Lewis menyajikan kepada digunakan penerjemah buku ini, ide yang digagas pembaca hasil studinya yang luar biasa tentang oleh Lewis ini merupakan kekuatan utama buku perjalanan tamasya—meminjam kata-kata pener­ ini secara substansial. Lewis secara analitis dan jemah—olah nalar dan kembara ilmiah sang argumentatif mengajak pembaca untuk sejenak antropolog tentang ide-ide budaya, masyarakat, merenungkan hakikat kebudayaan. Apa itu ke- lingkungan, dan konsep-konsepnya tentang budayaan? Apakah ia warisan kreasi masa lalu? neuroantropologi (hlm. 491). Apakah ia hasil karsa yang memengaruhi tindakan Secara tegas dan sistematis, Lewis meng­ pada masa sekarang? Apakah dalam kehidupan, uraikan sejarah refleksi intelektualnya tentang kebudayaan membatasi tindakan manusia untuk budaya. Menurut dia, budaya adalah sebuah hanya memedomani warisan masa lalu? proses kreativitas manusia. Kebudayaan bukan- Jawaban Lewis: tidak. Lewis, dalam ziarah lah seperangkat adat istiadat dan tradisi yang panjang kehidupan berpikirnya, secara berani memengaruhi tindakan manusia, melainkan daya mengatakan tidak. Secara tegas ia membantah kreasi manusia dalam menggunakan pikirannya. berbagai teori tentang kebudayaan dari para Manusia bukan subjek pasif yang menerima pendahulunya, misalnya Taylor, Boas, Kroeber, sistem tradisi, melainkan makhluk kreatif yang Lowie, Ruth Benedict, Greertz, dan beberapa menggunakan nalar pikirnya untuk menanggapi pakar lain. Dengan inspirasi pada gagasan Rap- lingkungan hidupnya. Dalam kreativitas akal ini, paport, seorang etnoekolog, tentang kedudukan hadir proses evolusi, reproduksi, dan rekonstruksi manusia yang tidak dibatasi oleh lingkungannya, atas kehidupan. Di ranah ini, kebudayaan hadir ia merujuk pada beberapa gagasan lain untuk dan berkembang. Oleh sebab itu, mengutip kata- meletakkan dasar hakikat kebudayaan. Beberapa kata Lewis sendiri, budaya itu sama tuanya de­ di antara gagasan tersebut ditemukan Lewis ter­ ngan imajinasi, kreativitas, dan seni pikir manusia utama pada G. Edelman dalam bukunya, Bright yang agung dan mulia untuk tetap bertahan hidup Air, Brilliant Fire: On the Matter of the Mind (hlm. 469 dan 484). Di titik ini, secara hati-hati, (1992), Neural Darwinism (1987), Topobiology Lewis mulai membangun idenya tentang neuro- (1988), The Rememberred Present (1989), Uni- antropologi. Kebudayaan, sebagai proses kreatif verse of Consciousness (2000), dan Wider Than akal, berada pada ranah otak individu. Ia hadir the Sky (2004). ketika ada interaksi individu dengan lingkungan sosialnya. Ia juga hadir ketika ada proses internal Gagasan Lewis ini dilengkapi dengan yang otonom di dalam sistem saraf pada otak pengalaman empirisnya selama melakukan pene- individu tersebut tanpa stimulasi eksternal. litian, terutama di daerah Tana ‘Ai, Kabupaten Sikka, pada masyarakat Wai Brama. Salah satu Pada bagian akhir perjalanan tamasya pem- dari sekian banyak data dan informasi lapangan baca dengan konsepnya, Lewis sendiri mengakui itu diceritakan oleh Vischer dalam tulisannya bahwa apa yang digagasnya ini masih berupa ide sebagai salah satu bagian dalam buku ini. Vischer yang belum matang untuk dijadikan sebuah teori.

144 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 menceritakan bahwa awal perjumpaannya de­ bertindak menanggapi rangsangan tersebut. In- ngan Lewis terjadi saat Lewis bersama beberapa teraksi itu menorehkan kebudayaan dalam otak pemangku ulayat Wai Brama kembali dari area manusia; demikian Lewis mencatat (hlm. 467). hutan keramat. Bersama pemangku ulayat, Lewis Pemahaman sepikir juga dikemukakan bermaksud untuk merekam tuturan ritual yang di- Neonbasu, seorang Ph.D. alumnus ANU, lakukan di daerah hutan keramat terkait pendirian dalam tulisannya tentang Manusia dan Bahasa: ulayat. Alih-alih merekam tuturan ritual tersebut, Sebuah Permenungan dalam Perspektif dan Lewis malah merekam hal lain. Mengapa? Para Kajian Strukturalisme (dalam Neonbasu, 2013, pemangku ulayat yang hadir bersama malah 178–180). Sebagai elemen budaya, Neonbasu mengadakan ritual permohonan maaf kepada menilai bahasa tidak hanya merupakan warisan para leluhur karena telah membawa seorang asing yang diterima manusia dari para pendahulunya. berkulit putih ke dalam hutan keramat (hlm. 124). Manusia juga secara personal terus melakukan Referensi teoretis dan sejumlah pengalaman aplikasi personal, yaitu suatu proses seleksi per- empiris Lewis tersebut di atas akhirnya mem- sonal dalam penggunaan bahasa dengan mengacu bawanya pada suatu pengelanaan panjang dalam pada gema sense datum atau pilihan terhadap perumusan hakikat dan titik tolak studi masyara- tawaran beragam nilai dalam sentimen manusia. kat dan kebudayaan. Dalam proses panjang yang Dengan itu, manusia menempatkan dirinya pada masih terus berlangsung ini, Lewis menemukan keadaan evolutif untuk terus menjadi lebih ma- beberapa simpul penting yang menggugahnya un- nusiawi dan semakin bermartabat. Lebih lanjut, tuk kembali merekonstruksi sejumlah teori para Neonbasu menjelaskan, melalui bahasa, manusia pendahulunya tentang hakikat budaya. Budaya membangun pemahaman dan tindakan terhadap bukanlah merupakan sekumpulan pedoman adat aneka rangsangan dari luar. Ketika berhadapan istiadat dan tradisi yang menentukan tindakan dengan satu masalah yang sulit dipecahkan, ba- manusia. Budaya adalah sesuatu yang dilakukan hasa menciptakan ekstrapolase antara reaksi (atas manusia. Ia adalah serangkaian proses kreatif aksi/permasalahan yang ditemui) yang masuk ke manusia untuk menata, mengubah, menciptakan dalam otak seseorang dan pilihan prioritas reaksi hidupnya menjadi lebih bermakna dari hari ke untuk menghadapi aksi atau masalah tersebut. hari. Kebudayaan tidak menentukan dan nantinya Di sini, terlihat bahwa ada proses otak tidak membatasi tindakan manusia. Manusialah manusia untuk menyiapkan reaksi atau tindakan yang secara kreatif menentukan tindakannya atas aksi atau permasalahan di dalam kehidupan dengan akal budi sebagai pengaruh utamanya. manusia. Proses otak ini adalah proses kreatif Inilah inti dasar kebudayaan. selektif atas banyak kemungkinan pemecahan Pertanyaan penting berikutnya adalah apakah untuk memilih salah satu langkah pemecahan. dengan itu kebudayaan berada di dalam proses Pada titik ini, bahasa sebagai salah satu elemen kreativitas otak manusia? Bagaimana ia bisa budaya menjadi medianya. ada di dalam otak manusia dan atas pengaruh Kembali lagi pada pengalaman perjumpaan apa? Lewis menjelaskan bahwa kebudayaan pertama Vischer dengan Lewis di Wai Brama, hadir dalam otak manusia melalui interaksi ma- Tana ‘Ai. Para pemangku ulayat, yang seharusnya nusia dengan lingkungan dan organisasi sosial melakukan ritual untuk menceritakan muasal di sekitarnya. Kebudayaan hadir sebagai proses pendirian tanah ulayat guna direkam Lewis, kreatif otak manusia ketika berinteraksi dengan malah membelokkan tujuan mereka. Mereka permasalahan, tantangan, dan aneka kesulitan mengadakan ritual permohonan ampun karena hidup. Permasalahan, tantangan, dan kesulitan telah membawa masuk orang asing ke dalam hidup yang mengancam keselamatan hidup dan lingkungan keramat. Pembelokan tujuan ini kesinambungan alam menjadi stimulus yang adalah tindakan kreatif otak para pemangku dikirim ke otak manusia. Sistem saraf dalam otak ulayat saat itu. Otak bereaksi ketika sesuatu yang manusia menerima dan memproses stimulus ini. asing memasuki ranah sakral dan keramat dalam Otak kemudian memerintahkan manusia untuk kehidupan mereka, dan hal itu muncul sebagai

Selsus Terselly Djese | Tinjauan Buku Tamasya Pikir Kolegial ... | 145 rangsangan bagi otak. Otak mereka secara kreatif dan kelahiran kebudayaan dalam struktur dan memerintahkan pelaksanaan suatu tindakan ritual sistem saraf otak (hlm. 470). berupa permohonan maaf kepada leluhur. Sanksi Pemahaman Edelman dan beberapa rekan- dan kemalangan menanti jika ritual ini tidak nya juga masih digunakan Lewis sebagai acuan dilakukan. Di sinilah kebudayaan menemukan untuk menjelaskan proses internal yang terjadi di hakikatnya. dalam otak manusia sehingga dapat melahirkan Pertanyaan selanjutnya yang dicoba untuk suatu tindakan berbudaya tanpa rangsangan dari dipecahkan Lewis adalah apakah kebudayaan luar. Dengan mengacu pada gagasan Edelman, hanya muncul dalam otak ketika ia bereaksi Lewis menegaskan bahwa otak manusia adalah secara eksternal terhadap stimulan? Apakah sistem adaptif yang sangat kompleks, yang selalu otak manusia tidak otonom? Lewis menjelaskan mengubah dirinya sendiri melalui mekanisme bahwa otak juga dapat bereaksi secara internal selektif seturut teori Darwin. Oleh sebab itu, otak tanpa distimulasi oleh rancangan dari luar. Otak manusia tidak saja berkembang secara filogenetis manusia, sebagaimana ditulis Lewis, juga menye- karena proses seleksi alam. Otak manusia juga se- suaikan dirinya dengan aktivitas proprioseptif-nya cara aktif membangun dan menata ulang dirinya sendiri, yaitu aktivitas saraf di dalam otak yang sendiri (tanpa rangsangan dari luar manusia) terjadi tanpa merujuk pada masukan sensorik secara unik sehingga perkembangan otak tidak dari dunia luar (hlm. 473). Aktivitas otak akibat mengenal batas usia (hlm. 470–471). pengaruh internal inilah yang boleh jadi melahir- Selanjutnya, ada pula sebuah pertanyaan lain kan aneka ekspresi seni budaya berwujud tarian, yang berkaitan dengan bagaimana pola-pola bu- patung, lukisan, dan sebagainya. Jika demikian, daya yang sama/serupa bisa dimiliki oleh seluruh kebudayaan tidak lain adalah proses kreatif otak anggota komunitas sosial tertentu. Jika menurut manusia secara internal dan eksternal untuk secara Lewis kebudayaan adalah proses kreativitas subsisten mempertahankan kelangsungan dirinya. otak individu secara personal, pertanyaan di Kebudayaan juga akhirnya milik personal dan atas menjadi penting dalam bangunan gagasan bersifat subjekif karena ia milik masing-masing Lewis. Dikatakan demikian karena letak karakter pribadi manusia dan otaknya yang otonom. studi antropologis bukan terutama pada individu, Lewis juga berkonsentrasi pada proses melainkan pada komunitas sosial tempat individu fisiologis yang mungkin dapat menjawab perta­ tersebut hidup di dalamnya. nyaan tentang proses pembentukan dan kelahiran Lewis mencoba menjelaskan masyarakat kebudayaan dalam struktur dan sistem saraf otak. kognitif, dengan mengacu pada gagasan Donald Lewis menyitir beberapa karya Gerald M. Edel- (2001), seorang psikolog kognitif, untuk mene­ man (1987, 1989, dan 1992) untuk menjelaskan mukan titik temu antara subjektivitas otak dan hal tersebut. Menurut dia, morfologi bruto otak kolektivitas budaya. Berkenaan dengan hal ini, manusia disandikan dalam gen-gen dan sebagian Lewis menjelaskan bahwa manusia bukanlah besar terbentuk sebelum kelahiran. Namun fungsi isolat kognitif. Manusia berpikir bersama dan otak berasal dari perilaku neuron-neuron yang untuk satu sama lain. Manusia belajar untuk adaptif karena terus-menerus dibentuk, ditata berbagi kognisi dan membangun serta diam ulang dalam kelompok-kelompok tertentu sebagai di dalam masyarakat kognitif. Otak manusia respons/tanggapan terhadap lingkungan sebagai memiliki kemampuan untuk menjalin simbiosis rangsangannya. Neuron-neuron ini kemudian dengan otak-otak lain. Bahkan, otak seseorang akan menghasilkan tindakan yang tepat dan cocok bergantung pada otak lain untuk berkembang. sebagai tanggapan untuk suatu kondisi fisiologis Otak juga berlaku selektif dan adaptif terhadap tertentu. Walaupun Lewis masih terus bergiat otak-otak yang lain. Ihwal inilah yang memuncul- dengan perdebatan tentangnya, ia dengan lapang dada mengakui perlunya suatu studi neurologis kan masyarakat-masyarakat kognitif (hlm. 472). dan fisiologis yang terarah kepada pembentukan Penekanan pada kelompok sosial menjadi penting karena sesungguhnya konsentrasi antro-

146 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 pologi budaya terletak pada suatu kehidupan ko- Diskusi mengenai kedekatan ide tentang munal atau suatu kelompok masyarakat tertentu perubahan budaya dengan gagasan Lewis juga yang terdiri atas berbagai individu di dalamnya. secara eksplisit dapat ditemukan dalam tulisan Studi tentang kehidupan seorang individu de­ Sylvia Seldon dan Julian C. H. Lee ketika ke­ ngan aspek kognitifnya merupakan ranah ilmu duanya menyoal soal proses stokastik di Malaysia psikologi (Andrade dan Romley, 1964, dalam dan Afrika Selatan. Menyitir gagasan Bateson dan Kaplan dan Manners, 1999, 194–195). Penekanan Steiner, keduanya menulis gagasan Lewis ihwal yang terlalu berlebihan pada aspek kognitif stokastis atau stokasme dan alternitas. Stokastis seorang individu akan mengaburkan konsentrasi merupakan urutan pengacakan berbagai kejadian antropologi. yang terdiri atas gabungan antara satu hal acak Akan tetapi, sekali lagi, semua pendapat dan satu proses selektif hingga muncul suatu Lewis sendiri ataupun pendapat beberapa pakar hasil tertentu. Sementara alternitas merupakan yang diacunya, belum final sebagai sebuah teori ketersediaan berbagai pilihan dalam proses selek­ tif. Dalam kedua proses ini, tersedia keputusan- matang. Studi fisiologi, neurologi, psikoneurologi keputusan kreatif yang dipilih seseorang untuk secara terarah, terutama pula studi neuroetnologi melestarikan atau tidak melestarikan perilaku dan psikologi kognitif yang lebih mendalam juga tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tetap dibutuhkan untuk menjelaskan berbagai per- ini, Lewis, sebagaimana dicatat Seldon dan Lee, soalan di atas. Salah satu persoalan yang masih memberikan angin segar yang membebaskan dibiarkan menggantung adalah: apakah manusia orang dari kewajiban untuk taat kepada salah satu dengan serta-merta akan berhenti berbudaya atau beberapa tradisi demi menjaga kelestarian ketika sistem dalam otaknya terganggu atau budaya (hlm. 382–385). Maka, yang lestari dari berhenti berproses walaupun manusia pemilik budaya adalah perubahan terus-menerus yang otak itu masih hidup? konstan. Pada sisi lain, pemikiran Lewis, untuk Ide tentang perubahan budaya yang dekat sementara waktu, akan secara mudah dipahami dengan gagasan Lewis juga disuarakan oleh dalam konteks perubahan budaya, sebagaimana Reuter dalam tulisannya. Rekan dosen Lewis ini diakui oleh rekan-rekan kolegialnya dalam buku menulis pada salah satu bagian dalam tulisan- ini, misalnya Myer. Pada bagian kecil dalam nya tentang pengalamannya bersama Lewis di tulisannya tentang kegiatan pembangunan di Universitas Melbourne. Menurut Reuter, Lewis Kabupaten Sikka dan peran antropologi di adalah pribadi yang selalu menghormati keter- dalamnya, Myer menyinggung tentang hal itu. bukaan dan kesetaraan yang berkarakter (hlm. Ketika menyoal kaitan antara pembangunan 200) dalam kehidupan berkomunitas ilmiah di dan perubahan budaya, Myer menulis bahwa, dalam kampus. Keterbukaan dan kesetaraan yang “Menurut Lewis, pada prinsipnya perubahan bu- berkarakter ini merupakan ruang tumbuh yang daya dapat dirunut kembali ke berbagai pilihan, kondusif bagi kreativitas dan inovatif. Kedua hal tindakan kreatif, inovatif, atau sebaliknya, yang ini memungkinkan terjadinya aneka perubahan dapat dilakukan seorang individu” (hlm. 340). guna menjadikan kehidupan lebih dan terus ber- Selain Myer, ada Domínguez. Dalam tulisan- makna. nya, Domínguez mengangkat teori Freeman Para kontributor buku ini, dengan caranya tentang pilihan preferensial yang menandakan masing-masing, telah memberikan sumbang- kemampuan manusia untuk mengambil tindakan sihnya bagi penemuan jawaban atas sejumlah alternatif di antara beberapa kemungkinan yang permasalahan yang dihadapi Lewis dalam ada. Hubungan timbal balik antara pilihan pre­ perjalanan intelektualitasnya. Beberapa tulisan ferensial ini dan kreativitas manusia merupakan secara substansial bisa langsung menyentuh dua penggerak utama dalam sistem perubahan simpul-simpul permasalahan yang ditemukan budaya. Keduanya memainkan peran penting dalam pengembangan gagasan Lewis. Beberapa dalam perubahan budaya (hlm. 434–435). di antaranya, Thomas A. Reuter ketika ia mem-

Selsus Terselly Djese | Tinjauan Buku Tamasya Pikir Kolegial ... | 147 bahas agama leluhur, Ivo Strecker tentang budaya proses pemaknaan atas buku ini. Oleh sebab itu, retorika, Sylvia Seldon tentang proses stokastik kebiasaan menggunakan kalimat yang panjang di Malaysia dan Afrika Selatan, Julian C. H. Lee dan bertele-tele dapat secara potensial meng- tentang otak dan akal budi dalam pembentukan ganggu tujuan penulisan buku ini. Tamasya aneka narasi, serta Juan F. Domínguez membahas pikir kolegial pembaca untuk menemukan tautan nalar budaya dan penemuan. antara tulisan para kontributor dengan gagasan Selain tulisan-tulisan Reuter dkk. tersebut, dan ide Lewis dapat terganggu karena kebiasaan dalam tulisan para kontributor yang lain belum ini. Inilah salah satu kelemahan formatif buku ini. ditemukan arah secara tersurat, sistematis, ter- Di titik akhir perjalanan tamasya, termaktub struktur, serta mendalam tentang ide dan gagasan jelas bahwa ziarah perjalanan pikir Lewis yang Lewis. Oleh karena itu, semua tulisan di dalam terurai panjang ini adalah bagian dari ziarah buku ini masih seperti “titik-titik terang” yang panjang perkembangan ilmu pengetahuan umat berhamburan dalam “ruang kosong dan gelap” di manusia. Maka, gagasan Lewis dan sejumlah dalam gagasan Lewis. Perlu ada “tali pengikat” permasalahan yang belum te-rpecahkan adalah yang secara terstruktur dan sistematis mengikat- juga permasalahan umat manusia. Tamasya pikir satukan “titik-titik cahaya” itu sehingga dapat Lewis adalah juga tamasya pikir pembaca sebagai menjadi satu kesatuan “sumber cahaya.” “Sumber koleganya. cahaya” ini dapat digunakan Lewis untuk mene­ Dalam tamasya pikir kolegial ini, gagasan, rangi ruangan kosong dan gelap dalam pemikir­ ide, dan permasalahan yang ditemui Lewis boleh annya, sebagaimana tujuan penulisan buku ini. menjadi “suvenir” bagi pembaca selama bertama- Upaya untuk itu telah coba dilakukan oleh sya bersama para penulis buku. “Suvenir” ini dapat Fox dalam kata pengantarnya dan Lee serta dibawa ke “rumah pikir” para pembaca sebagai­ Prior dalam bagian Pendahuluan. Akan tetapi, “oleh-oleh”. “Oleh-oleh” ini masih menuntut ketegasan untuk menarik dan menyatukan aneka perenungan dan pengembangan lanjutan karena tulisan sebagai “tali pengikat” dalam upaya untuk gagasan idealis Lewis tentang kebudayaan masih mendukung pemikiran Lewis masih sebatas wa- menyimpan beberapa “ruang kosong dan gelap” cana tanpa penelusuran yang lebih dalam; apa dan yang belum “terjamah cahaya.” bagaimana. Terkesan, tiga pihak di atas secara amat hati-hati memang hanya menyentuh “kulit REKONSTRUKSI TEORI BUDAYA: luar” gagasan Lewis. Pada akhirnya, untuk men- AWAL TAMASYA PIKIR YANG BARU capai tujuan penulisan buku ini, mereka memberi Sebagaimana yang disampaikan Lewis dalam semacam tugas kepada Lewis dan pembaca untuk tulisannya di pengujung tamasya pikir ini, sejarah secara sendiri-sendiri menemukan dan menggali intelektualnya adalah proses evolusi panjang se- tautan tulisan para kontributor dengan ide dan bagai ilmu pengetahuan yang terus berkembang. gagasan Lewis tentang neuroantropologi. Proses ini bermula dari aneka perjumpaannya Para penulis buku ini terbiasa menggunakan dengan sejumlah ide tertentu dalam petualangan kalimat-kalimat panjang dan bertele-tele, dengan intelektual dari masih sebagai mahasiswa dan banyak anak kalimat. Satu subjek bisa mempu­ terus berlanjut hingga kini. Perjalanan ide dan nyai beberapa predikat dan objek sekaligus dalam minatnya terhadap antropologi dan neurologi satu kalimat. Hal ini mendominasi hampir semua evolusioner serta psikologi kognitif masih ber- tulisan dalam buku ini. Pada beberapa bagian jalan sendiri-sendiri karena keduanya berada pada tulisan ini bahkan satu alinea tulisan, yang terdiri domain berbeda dan belum ada titik temu yang atas 6–7 baris, hanya memuat satu kalimat de­ secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. ngan beberapa gagasan. Kebiasaan ini menuntut Yang satu masih terbatas pada ruang dan waktu kekuatan nalar pembaca untuk tetap betah dan tertentu, sementara yang lain bisa digenerali­ setia pada maksud kalimat dari awal hingga akhir sasi (hlm. 489–490). Pernyataan Lewis inilah kalimat. Jika pembaca tidak awas, kebingungan yang membuka ruang kosong dan gelap (dan akan terus menemani dari awal hingga akhir

148 | Masyarakat Indonesia, Vol. 42 (1), Juni 2016 menyisakan berbagai pertanyaan yang meng- PUSTAKA ACUAN gantung) dalam sejumlah ide Lewis sebagaimana Bateson, G. (1979). Mind and Nature: A necessary telah dijabarkan sebelumnya. unity. New York: Bantam Books. Pernyataan Lewis ini pula adalah ajakan Donald, M. (2001). A mind so rare: The evolution of kepada pembaca, entah secara kolegial ataupun human consciousness. New York: Norton. personal, untuk melakukan tamasya pikir yang Kaplan, D. & Manners, R. A. (1999). Teori budaya. baru. Perlu ada perjalanan tamasya pikir untuk Yogyakarta: Pustaka Pelajar. membantu Lewis memecahkan sejumlah hal yang Lewis, E. D. (2012). Ata Pu’an: Tatanan sosial dan seremonial Tana Wai Brama di Flores. Mau- hingga saat ini belum terkuak seluruhnya. mere: Penerbit Ledalero. Neonbasu, G. (2013). Manusia dan bahasa: Sebuah permenungan dalam perspektif dan kajian strukturalisme. Dalam Neonbasu, Gregor (Ed.), Kebudayaan: Sebuah agenda. Jakarta: Gramedia. Steiner, I. D. (1957). Self-perception and goal-setting behaviour. Jorunal of Personality, 25, 344–355.

Selsus Terselly Djese | Tinjauan Buku Tamasya Pikir Kolegial ... | 149