TESIS

PENGARUH FAKTOR ISU “PUTRA DAERAH” DAN ASPEK ORGANISASI DALAM KOMUNIKASI KAMPANYE PADA PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2013 DI KABUPATEN ENREKANG

The Influence of the Factor of “Local Son ” Issue and Organizational Aspects In Campaign Communication Of Governor and Vice Governor Election of Province in 2013 in Enrekang Regency

HARMIN HATTA P1400211010

PROGRAM PASCASARJANA KOMUNIKASI UNIVERSITAS HASANUDDIN 2013 PENGARUH FAKTOR ISU “PUTRA DAERAH” DAN ASPEK ORGANISASI DALAM KOMUNIKASI KAMPANYE PADA PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR PROVINSI SULAWESI SELATAN TAHUN 2013 DI KABUPATEN ENREKANG

Tesis

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar Magister

Program Studi

Ilmu Komunikasi

Disusun dan diajukan oleh

HARMIN HATTA

PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2013

ii HALAMAN PENGESAHAN

Judul :Pengaruh Faktor Isu “Putra Daerah” Dan Aspek Organisasi Dalam Komunikasi Kampanye Pada Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 Di Kabupaten Enrekang

Nama : Harmin Hatta N.P.M. : P1400211010

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Konsentrasi : Studi Media dan Dinamika Politik

Makassar, Desember 2013

Menyetujui

Komisi Penasehat

Ketua Anggota

Prof. Dr. H. M. Tahir Kasnawi, SU Dr. H. M. Iqbal Sultan, M.Si NIP. 19480915 197803 1 001 NIP. 19631210 199103 1 002

Mengetahui

Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi

Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc. NIP. 19520412 197603 1 017

iii KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS HASANUDDIN PROGRAM PASCASARJANA

Kampus Unhas Tamalanrea, Jl. Perintis Kemerdekaan Km. 10 Telp. (0411) 585034, 585036 Fax. (0411) 585868 Makassar 90245 http://pasca.unhas.ac.id

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS

Yang bertandatangan di bawah ini:

Nama : Harmin Hatta

NomorPokok :P1400211010

Program Studi : Ilmu Komunikasi

Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.

Makassar, 30 Desember 2013

Yang menyatakan,

Harmin Hatta

iv KATA PENGANTAR ཱི ི ཱ ཰༡ Segala puji bagi Allah yang maha bijaksana yang memberikan hikmah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Tiada kata yang patut kita ucapkan selain puji syukur ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang di pilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2013 ialah Pengaruh Faktor Isu “Putra Daerah” Dan Aspek Organisasi Dalam Komunikasi Kampanye Pada Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 Di Kabupaten Enrekang. Tesis ini dibuat sebagai salah satu syarat guna untuk memperoleh gelar Magister Ilmu Komunikasi pada Program Studi Ilmu Komunikasi, Konsentrasi Studi Media dan Dinamika Politik Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Penulis menyadari bahwa dalam proses penyelesaian tesis ini dihadapkan pada berbagai kesulitan dan hambatan mulai dari tahap persiapan hingga selesai dalam bentuk laporan penelitian. Namun berkat adanya bimbingan, arahan serta dorongan semangat dan do’a dari berbagai pihak, terutama Ayahanda Hatta dan Ibunda Hadia yang senantiasa memprioritaskan dan memperhatikan pendidikan bagi anak- anaknya. Dorongan dari saudara-saudaraku Harman, Hardiono, Hermila, Nurlina, Ansyarullah dan Haidir, yang senantiasa selalu memberikan inspirasi dan motivasi dalam mempercepat proses penulisan tesis ini. Selain itu penulis merasa berkewajiban menyampaikan ucapan terima kasih dengan tulus dan ikhlas serta penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. A. Alimuddin Unde, M.Si., sebagai Ketua Tim Penguji atas saran dan petunjuknya selama pelaksanaan ujian. 2. Bapak Prof. Dr. H. Hafied Cangara, M.Sc., selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi dan sebagai tim penguji tesis, yang telah banyak

v memberikan masukan untuk kelengkapan nilai ilmiah dalam penulisan tesis ini. 3. Bapak Prof. Dr. H. M. Tahir Kasnawi, SU., sebagai Ketua Penasehat dan Bapak Dr. H. M. Iqbal Sultan, M.Si., sebagai anggota penasehat yang telah banyak meluangkan waktu, pikiran dan tenaga untuk bimbingan dan mengarahkan penulis, mulai dari penyusunan proposal sampai penyelesaian tesis ini. 4. Bapak Dr. Hasrullah, MA., sebagai tim penguji tesis, yang telah memberikan masukan untuk kelengkapan nilai ilmiah dalam penulisan tesis ini. 5. Segenap unsur pimpinan dan staf pengelola Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang telah berupaya maksimal memberikan fasilitas terbaik selama penulis mengikuti pendidikan hingga akhir studi. 6. Segenap Guru Besar dan Staf Pengajar Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin yang telah banyak membekali ilmu, khususnya ilmu komunikasi demi pengembangan pengetahuan di masa yang akan datang. 7. Rekan-rekan Mahasiswa Ilmu Komunikasi Angkatan 2011 yang selama ini bersama-sama penulis baik dalam suka dan duka menjalani pendidikan di Program Pascasarjana Univesitas Hasanuddin, Pak Herman, Munir, Nico, Jojo, Alwi, Andi, Iwan, Akbar, Laja Ali, Henrik, Dems, Eko, Sul, Novri, Buyung, Ruru, Nurdin, Ibu lili, Asmi, Citra, Ana, Surdat, Iski, Maya, lisna, Febi, Puspa, Fita, Dita, Marin, Wina, Hijra, Rachel, dan Silvy. 8. Rekan-rekan seperjuangan anggota PPK Se-Kabupaten Enrekang, Lukman (Ketua PPK Kec. Bungin), Yarsin (Sekretaris PPK Kec. Bungin), Saharullah (Ketua PPK kec. Enrekang), Sudarmin (Anggota PPK Kec. Angreraja), yang telah banyak meluangkan waktunya dan membantu penulis dalam merampungkan data penelitian, serta para anggota PPK Kec. Alla, Adam, Bustan, Syamsudarmin dan Hasan Basri.

vi 9. Atas inspirasi dan semangat yang luar biasa, penulis mengucapkan terima kasih kepada Fatimah Jamaluddin, semoga sukses dalam penyusunan tesisnya. 10. Semua pihak tidak sempat penulis sebutkan namanya satu persatu demi terselesainya proses penulisan tesis ini Akhirnya penulis berharap semoga tesis ini dapat bermanfaat kepada pembacanya serta menjadi pahala di hadapan Allah SWT.

Makassar, 30 Desember 2013

P e n u l i s

vii ABSTRAK HARMIN HATTA. Pengaruh Faktor Isu “Putra Daerah” Dan Aspek Organisasi Dalam Komunikasi Kampanye Pada Pemilihan Gubernur Dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 Di Kabupaten Enrekang (Dibimbing oleh M. Tahir Kasnawi dan M. Iqbal Sultan).

Penelitian ini bertujuan mengetahui (1) pengaruh isu putra daerah “Ilham - Azis” terhadap perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang, (2) pengaruh politik uang “Ilham - Azis” terhadap perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang, (3). pengaruh mesin politik “Ilham - Azis” terhadap perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang, dan (4) variabel yang dominan pengaruhnya terhadap perilaku pemilih memilih “Ilham - Azis” pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Enrekang. Sampel penelitian sebanyak 210 orang yang dipilih berdasarkan sampel acak tidak seimbang (disproportionate random sampling). Pengumpulan data menggunakan metode diskusi kelompok berpusat (FGD) kuesioner. Data dianalisis dengan analisis regresi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga variabel penelitian berpengaruh positif terhadap perilaku pemilih dalam memilih pasangan Ilham - Azis pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Tahun 2013 di Kabupaten Enrekang, namun yang paling dominan pengaruhnya adalah Isu putra daerah.

viii ABSTRACT

Harmin Hatta. The Influence of the Factor of “Local Son ” Issue and Organizational Aspects In Campaign Communication of Governor and Vice Governor Election of South Sulawesi Province in 2013 in Enrekang Regency (Supervised by M.Tahir Kasnawi and M. Iqbal Sultan) This aims of the research were to find out (1) the influence of “Local Son” issue of “Ilham-Azis” on voters’ behavior of Governor and Vice Governor election of South Sulawesi Province in 2013 in Enrekang regency, (2) the influence of money politics of “Ilham-Azis” on voters’ behavior in Governor and Vice Governor election of South Sulawesi Province in 2013 in Enrekang Regency, (3) the influence of political machine of “Ilham-Azis” on voters’ behavior of Governor and Vice Governor election of South Sulawesi Province in 2013 in Enrekang Regency, and (4) the dominant variable affecting voters’ behavior of Governor and Vice Governor election of South Sulawesi Province in 2013 in Enrekang Regency. The research was conducted in Enrekang Regency. The sample was selected using disproportionate random sampling method consisting of 210 people. The methods of obtaining the data were Focus Group Discussion (FGD) and questionnaire. The data were analyzed using regresion analysis. The results of the research indicate that the three variables positively influence voters’ behavior in electing “Ilham-Azis” as the Governor and Vice Governor of Suth sulawesi Province in 2013 in Enrekang Regency, but the variable having the most dominant influence is “Local Son” Issues.

ix DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ii

HALAMAN PENGESAHAN iii

PERNYATAANKEASLIANTESIS iv

PRAKATA v

ABSTRAK viii

ABSTRACT ix

DAFTAR ISI x

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xvi

DAFTAR LAMPIRAN xvii

BAB I. PENDAHULUAN 1

A. Latar Belakang 1

B.RumusanMasalah 19

C. Tujuan Penelitian 19

D. Manfaat Penelitian 20

BABII.TINJAUANPUSTAKA 22

A. Konsep Komunikasi Politik 22

1.KomunikatorPolitik 28 2. Politikus Sebagai Komunikator Politik 29 3. Pesan Politik 31 4. Media Politik 32

x 5.KhalayakPolitik 33 6. Efek Politik 35

B. Kampanye sebagai Aktivitas Komunikasi 39

B.1.Tahap-tahapdanTeknikBerkampanye 48

B.2. Pengaruh Kampanye Pada Perilaku Pemilih 52

B.3.PerencanaanProgramKampanye 58

C. Isu Putra Daerah 62

D. Politik Uang 67

E. Mesin Politik 78

E. Perilaku Pemilih 81

F. Teori yang Relevan 85

1. Teori Pengelompokkan Sosial 85

2. Teori Pesan 86

3. Teori Perilaku 87

G. Penelitian Yang Relevan 88

H. Kerangka Pikir 92

I. Hipotesis 92

BABIII.METODEPENELITIAN 93

A. Jenis Dan Desain Penelitian 93

1. Jenis Penelitian 93

xi 2. Desain Penelitian 93

B. Waktu Dan lokasi Penelitian 94

C.PopulasiDanSampel 94

1. Populasi 94 2. Sampel 98

D. Jenis dan Sumber Data 98

E.VariabelPenelitian 99

F. Defenisi Operasional 101

a.PengaruhKampanye 101 b. Persepsi 103 c. Sikap 103 d. Perilaku 104 e.PutraDaerah 105 f.PolitikUang 106 g. Mesin Politik 106

G. Instrument Penelitian 107

H.TeknikPengumpulanData 108

1. Wawancara Kelompok 108 2. Kuesioner 108 3. Dokumentasi 109

I. Teknik Analisis Data 109

1. Teknik Analisis Kualitatif 109 2. Teknik Analisis Kuantitatif 110

BAB IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 111 A. Hasil Penelitian 111

1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian 111

2. Deskriptif Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur ProvinsiSulawesiSelatanTahun2013. 117

xii 3. Karakteristik Responden. 121

4. Uji Validitas Dan Reliabilitas Instrumen Penelitian 125

5. Analisis Deskriftif Variabel Penelitian. 131

6. Analisis Regresi. 142

7. Pengujian Hipotesis. 143

8. Analisis Hasil Diskusi Kelompok (FGD). 145

B. Pembahasan 162

1. Isu Putra Daerah, Politik Uang Dan Mesin Politik. 162

2. Pengaruh Isu Putra Daerah Dan Politik Uang Secara simultan Terhadap Perilkau Pemilih. 163

3. Pengaruh Isu Putra Daerah Politik Uang Dan Mesin Politik Secara Parsial terhadap Perilaku Pemilih. 166

4. Pengaruh Yang Dominan. 181

C. Implikasi Temuan Penelitian. 181

D. Keterbatasan Penelitian. 182

BABV.SIMPULANDANSARAN 183 A. Simpulan 183

B. Saran 185

DAFTARPUSTAKA 188

LAMPIRAN 201

RIWAYAT HIDUP

xiii DAFTAR TABEL

Nomor halaman

1. Tabel 1.1 Daftar Perolehan Suara Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sul-Sel Tahun 2013 di Tiap-tiap Kecamatan di Kabupaten Enrekang. 17

2. Tabel 1.2. Hasil Perolehan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil GubernurSul-SelTahun2013diKabupatenEnrekang. 17

3. Tabel 3.1. Daftar Nama Kecamatan dan Jumlah Pemilih Di Kabupaten Enrekang. 96

4. Tabel 3.2. Daftar Nama Desa/Kelurahan dan Jumlah Pemilih Di Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang pada Pilgub Sul-Sel Tahun 2013. 96

5. Tabel 3.3. Daftar Nama Desa/Kelurahan dan Jumlah Pemilih Di Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang pada Pilgub Sul-Sel Tahun2013. 97

6. Tabel 3.4. Daftar Nama Desa/Kelurahan dan Jumlah Pemilih di Kecamatan Bungin Kabupaten Enrekang pada Pilgub Sul-Sel Tahun 2013. 97

7. Tabel 3.5. Distribusi Sampel Berdasarkan Jumlah Populasi pada Tiga KecamatandiKabupatenEnrekang. 98

8. Tabel 4.1 Persentase Luas Daerah Menurut Kecamatan di Kabupaten Enrekang,Tahun2009. 114

9. Tabel 4.2. Keadaan Desa/Kelurahan, Banyaknya Penduduk dan kepadatan per Kecamatan di Kabupaten Enrekang, Tahun 2009. 115

10. Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan umur Pemilih pada PilgubSul-SelTahun2013KabupatenEnrekang. 121

11. Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada PilgubSul-SelTahun2013KabupatenEnrekang. 122

xiv 12. Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Pemilih pada Pilgub Sul-Sel Tahun 2013 Kabupaten Enrekang. 123

13. Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Pemilih pada PilgubSul-SelTahun2013KabupatenEnrekang. 124

14.Tabel4.7.UjiValiditasInstrumenIsuputraDaerah. . 126

15.Tabel4.8.UjiValiditasInstrumenPolitikUang. 128

16. Tabel 4.9. Uji Validitas Instrumen Mesin Politik. 129

17. Tabel 4.10. Uji Validitas Instrumen Perilaku Pemilih. 130

18. Tabel 4.11. Kategori Nilai Rata-rata (mean) Item Pertanyaanya. 131

19. Tabel 4.12. Deskripsi variabel Isu Putra Daerah. 132

20.Tabel4.13.DeskripsivariabelPolitikUang. 134

21. Tabel 4.14. Deskripsi variabel Mesin Politik. 136

22. Tabel 4.15. Deskripsi variabel Perilaku Pemilih. 138

23.Tabel4.16.Koefisienregresiberganda. 142

xv DAFTAR GAMBAR

Nomor halaman

1.Gambar1.KampanyeIAdiEnrekang. 18

2. Gambar 2. Spanduk . 20

3. Gambar 3. Elemen-elemen Komunikasi Politik. 38

4.Gambar4.TujuanKampanye. 40

5.Gambar5.KerangkaPikirPenelitian. 92

6. Gambar 6. Variabel Penelitian. 99

xvi DAFTAR LAMPIRAN

Nomor halaman

1.Lampiran1.DaftarKuesioner. 180

2. Lampiran 2. Data Hasil Penelitian . 188

3. Lampiran 3. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen. 195

4. Lampiran 4. Analisis Deskriptif dan Frekuensi. 200

5. Lampiran 5. Analisis Compare Mean. 215

6. Lampiran 6. Analisis Regresi. 216

xvii 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Reformasi yang membawa perubahan baru dalam politik menjadi makin dinamis. Pemilihan langsung untuk jabatan eksekutif dan legislatif melahirkan kreasi komunikasi para kandidat untuk memikat, menggalang dan menarik suara pemilih. Kampanye politik sebagai bentuk aktivitas komunikasi politik jadi marak untuk membentuk opini publik.

Saluran-saluran komunikasi seperti media cetak dan elektronik pun digunakan. Para kandidat berbenah diri tampil dalam sosok yang dekat dengan rakyat, menawarkan program, menunjukkan karya nyata, dan menjanjikan perubahan (Cangara, 2011).

Menguatnya tuntutan demokrasi dipandang sebagai sistem yang mampu mengantar masyarakat ke arah transformasi sosial politik yang lebih ideal. Demokrasi dinilai lebih mampu mengangkat harkat manusia, lebih rasional, dan realistis, untuk mencegah munculnya suatu kekuasaan yang dominan, represif, dan otoriter.

Demokrasi dapat dimengerti sebagai suatu sistem politik di mana semua warga negara memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu yang diadakan secara periodik dan bebas, yang secara efektif menawarkan peluang pada masyarakat untuk mengganti elit yang memerintah. Menurut Sundaussen dalam Murod (1999:59), demokrasi

1 2

juga bisa dipahami sebagai suatu “policy” di mana semua warga menikmati kebebasan untuk berbicara, kebebasan berserikat, mempunyai hak yang sama di depan hukum, dan kebebasan untuk menjalankan agama yang dipeluknya. Meskipun begitu, Sundaussen meyakini bahwa tidak semua manifestasi-manifestasi tentang demokrasi di atas pernah dijalankan sepenuhnya, bahkan dalam suatu sistem yang demokratis sekalipun.

Setelah orde baru tumbang dan Indonesia secara dramatis sudah melangkah ke tahap institusionalisasi demokrasi, sebetulnya perubahan- perubahan penting telah banyak terjadi. Minimal dari segi pranata, legal dan institusional. Kita sudah melaksanakan pemilu legislatif dan pemilihan presiden secara langsung, kemudian banyak ritual-ritual demokrasi dimana partisipasi rakyat itu bisa diinstitusionalisasi berlangsung secara berkala dan reguler. Partai dibebaskan untuk berdiri, Indonesia mengalami periode dimana liberalisasi politik berpuncak pada multi partai yang luar biasa besar. Kondisi ini dapat dikatakan sebagai point of no return. Sejauh kita bertekad untuk meneruskan mekanisme politik seperti ini secara legal dan konstitusional.

Undang-Undang Dasar 1945 sudah menjamin proses itu berlangsung terus. Beberapa perubahan penting yang cukup mendasar, salah satunya adalah desentralisasi. Sekarang dalam tahap menuju desentralisasi demokrasi. Memang kita akui mengandung banyak sekali kelemahan, banyak pertikaian yang tidak perlu, dan banyak sekali 3

benturan kepentingan yang sengit agar desentralisasi betul-betul bermakna desentralisasi demokrasi maupun desentralisasi kekuasaan.

Suasana ini sudah berlangsung sebagai basis bagi kehidupan berkala kita selama lima tahun proses sirkulasi kekuasaan. Hanya saja, siapa yang memanfaatkan situasi ini, memanfaatkan institusi ini, memanfaatkan mekanisme dan prosedur yang sudah demokratis seperti ini. Kita tahu bahwa yang berhasil memanfaatkan secara maksimal ternyata adalah aktor-aktor politik. Hal ini bisa dilihat pada semangat elit politik mendirikan partai politik guna meraih kekuasaan.

Karena politik adalah pengambilan keputusan bukan untuk kepentingan perorangan, melainkan untuk kepentingan orang banyak,

Maka cita-cita politik harus diarahkan untuk menciptakan individu yang memiliki komitmen untuk menjadi ”negarawan”. Oleh karena itu, negarawan hanya bisa dicapai melalui keikhlasan dan kejujuran, maka komunikasi politik memiliki filosofi yakni pendayagunaan sumberdaya komunikasi apakah itu sumberdaya manusia, infrastruktur, maupun piranti lunak untuk mendorong terwujudnya sistem politik yang mengusung demokrasi, di mana kekuasaan pemerintahan dijalankan oleh pemenang pemilu (mayoritas) dengan catatan, melindungi hak-hak golongan yang kalah (minoritas). Dengan demikian, demokrasi menjadi cita-cita yang luhur sesuai dengan hati nurani, sehingga dapat diabdikan untuk kepentingan semua pihak, baik yang kalah maupun yang menang dalam membangun suatu kebersamaan menuju tujuan yang sama (Cangara,

2011:31). 4

Kita mengenal demokrasi sebagai prinsip tentang kebebasan, seperangkat praktek dan prosedur, sehingga demokrasi sering disebut suatu pelembagaan dari kebebasan. Montesquieu membagi kerja

(function) pemerintahan itu atas tiga bagian : 1. Kekuasaan membuat undang-undang (Legislative Power). 2. Kekuasaan menjalankan undang- undang (Executive Power). 3. Kekuasaan mengawasi undang-undang

(Judicial Power). Kekuasaan membuat undang-undang itu ada di tangan legislatif. Kekuasaan menjalankan undang-undang itu ada di tangan eksekutif. Akhirnya pengawasan terhadap Negara membuat dan menjalankan undang-undang itu ada pada tangan yudikatif.

Demokrasi yang dianut di Indonesia, yaitu demokrasi berdasarkan

Pancasila, masih dalam taraf perkembangan dan mengenai sifat-sifat dan ciri-cirinya terdapat berbagai tafsiran serta pandangan. Tetapi yang tidak dapat disangkal adalah bahwa beberapa nilai pokok demokrasi konstitusionil cukup jelas tersirat di dalam Undang-Undang Dasar 1945.

Secara eksplisit dua prinsip yang dijiwai naskah itu dan yang tercantumkan dalam penjelasan mengenai sistem pemerintahan negara, yaitu : pertama, Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum

(rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machsstaat), kedua,

Sistem Konstitusionil. Pemerintah berdasarkan atas sistim konstitusi

(hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Berdasarkan dua istilah ”rechsstaat” dan ”sistem konstitusi”, maka jelaslah bahwa demokrasi yang menjadi dasar dari Undang-Undang Dasar 5

1945, ialah demokrasi konstitusionil. Ciri khas demokrasi Indonesia yaitu

”kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”, dimuat dalam Pembukaan Undang-

Undang Dasar.

Perjalanan panjang dan meletihkan bagi segenap bangsa bahwa proses transisi dari rezim otoritarian ke era yang demokratis telah berlangsung lebih dari satu dasawarsa. Jika dibandingkan dengan

Amerika Serikat atau negara-negara di belahan Eropa, umur demokrasi di

Indonesia terbilang muda belia. Namun mengingat otoritarianisme sudah berlangsung selama lebih dari tiga dasawarsa di negeri ini, maka perjalanan transisi yang terhitung singkat itu bisa dikatakan berhasil.

Banyak yang memperkirakan ketika gelombang reformasi berlangsung dan beberapa tahun sesudahnya, Indonesia diramalkan menemui kehancuran. Semua indikator menunjukkan Indonesia tidak akan menjadi negara yang demokratis.

Demokrasi kontemporer tidaklah sederhana sulit diterjemahkan sebagai “kekuasaan rakyat”, Konteks demokrasi kontemporer didorong tiga dimensi penting, yaitu kebebasan sipil, kebebasan pers dan pemenuhan hak politik warga. Dalam konteks ini, posisi indeks demokrasi di Indonesia dalam aspek akomodasi hak politik warga dan kebebasan sipil berada pada peringkat pertama diantara negara-negara asian.

Seolah menjadi trend, dengan berbagai modifikasi yang dibingkai rapi, demokrasi sering dipandang sebagai konsepnya Amerika (Abraham 6

Licoln), padahal demokrasi lahir sejak zaman Yunani dan bentuk sederhana dari demokrasi telah ditemukan sejak 4000 SM di

Mesopotamia. Kebanyakan dari kita (selalu) merujuk Amerika sebagai tolok ukur negara yang paling berhasil dalam demokrasi.

Ini tentu bukan tanpa sebab, Amerika/Barat dengan berbagai program propagandanya telah banyak menancapkan hegemoni di banyak negara terutama di negara-negara dunia ketiga, Islam, bahkan negara maju sekalipun dengan memposisikan diri mereka sebagai “civilization”,

“democracy” dan “globalisasi” dengan tetap memakai standar ganda.

Kapitalisasi demokrasi kini seolah nyata demokrasi dalam penerapannya kini menjadi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk pemerintah.

Kenyataan serta respon demikian makin jelas takkala demokrasi selalu mengangkat keberadaan kaum mayoritas, padahal yang mayoritas belum tentu benar. Saat ini, demokrasi banyak dipakai sebagai corong propaganda dalam mempolarisasi masyarakat untuk memuluskan agenda kapital, dan mempengaruhi elit pemerintah (pusat/daerah).

Kemudian kita komparasikan dengan tujuan awal. Bukankah demokrasi pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber kepada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang terwujud seperti dalam ketentuan-ketentuan pembukaan UUD 1945? Konsep serta pandangan demokrasi pancasila yang tertulis ternyata tidak sinergis dengan penerapannya! Demokrasi yang kita saksikan hari ini hanyalah demokrasi prosedural, retorika belaka dan jauh dari ideal. 7

Maka tidak salah kira jika Tan Malaka (Merdeka 100% : 1945) mengatakan bahwa isi kemerdekaan itu ialah kedaulatan, dan kedaulatan itu ialah berupa kekuasaan dan kemakmuran. Pertanyaan tentang

“siapakah atau golongan siapakah yang berdaulat pada satu negara merdeka” mesti dilaksanakan atas pertanyaan “siapakah atau golongan manakah yang sebenarnya memegang kekuasaan dan mengecap kemakmuran dalam negara itu”. Dipandang dari penjuru ini maka

“demokrasi” yang dibangga-banggakan negara kapitalis itu, kalau diteropong besarnya golongan atau kelas yang sebenarnya memegang kekuasaan dan merasakan kemakmuran itu tiadalah sepadan dengan namanya “kedaulatan rakyat”. Yang benar berkuasa, makmur, dan tenteram kemakmurannya ialah kaum kapitalis, kaki tangannya akal kaum tengah dan sebagian kecil dari proletar atasan. Sebagian besar dari mereka yang tak berpunya itu diombang-ambingkan oleh krisis ekonomi dan peperangan imperialisme.

Etika hanya akan berjalan manakala kita menghormati dan menjunjung tinggi kemanusiaan dan keadilan itu sendiri. Sebagai penganut demokrasi kita tahu mana demokrasi yang baik atau yang buruk, yang benar atau salah dan juga tangungjawabnya. Lemahnya kepercayaan publik terhadap lembaga politik akhir-akhir ini karena tidak mampu lagi menjaga etika bahkan banyak tugas-tugas politik yang tidak dilaksanakan oleh lembaga pengembannya. 8

Etika politik kritis terhadap manipulasi dan penyalahgunaan nilai dalam berdemokrasi. Demokrasi politik haruslah dibangun dari yang ideal, tunduk kepada apa yang seharusnya. Dan politik yang tanpa etika politik akan cenderung berjalan dengan menghalalkan segala cara.

Pilkada merupakan bagian dari otonomi daerah untuk memperkuat partisipasi masyarakat. Sehingga diharapkan akan terjadi perubahan yang signifikan di tingkat daerah. Dengan adanya pilkada diharapkan masyarakat dapat terlatih untuk peduli kepada pemimpinnya, serta sadar terhadap apa, siapa, dan bagaimana pemimpin yang akan dipilih nanti.

Hal yang menarik menjelang pilkada saat ini yakni adanya isu putra daerah diyakini menjadi salah satu syarat mutlak yang harus dimiliki oleh seorang calon pemimpin daerah. Sehingga tidak mengherankan jika seorang calon gubernur menambahkan keterangan putra daerah pada setiap kampanyenya.

Dalam konteks isu putra daerah, apa yang pantas dipertanyakan adalah apa sesungguhnya definisi putra daerah? Dan benarkah putra daerah berkait langsung dengan kontekstualisasi pembangunan di daerah, berhubungan dengan kesejahteraan rakyat daerah dan berkorelasi dengan tepat dan jitunya desain progres daerah?

Menurut teori Samuel P. Hungtington, defenisi putra daerah, yakni putra daerah geanologis atau biologis, yaitu seseorang yang dilahirkan dari daerah tersebut. Yakni seseorang yang dilahirkan di daerah tersebut dan mereka yang tidak lahir di daerah tersebut tapi memiliki orang tua yang berasal dari daerah tersebut. 9

Paling tidak putra daerah bisa kita kategorisasikan dalam beberapa level. Pertama, adalah putra daerah geografis-biologis, yakni kandidat yang dilahirkan di daerah tersebut. Baik dengan orang tua yang asli daerah tersebut ataupun dengan orang tua dari luar daerah.

Kedua, adalah putra daerah ekonomis-pragmatis, yakni kandidat yang berasal dan lahir dari daerah lain, tapi karena kepentingan tertentu

(baca: pekerjaan, ekonomi) ia berlalu-lalang atau bahkan bertempat tinggal di daerah tersebut. Ia memiliki jejaring politik dan ekonomi dengan kekuatan-kekuatan ekonomi-politik lokal. Dan dengan jejaring tersebutlah, ia membangun konstelasi bisnis dan politiknya, termasuk menuju kontestasi pilkada.

Ketiga, adalah putra daerah sosio-ideologis, yakni kandidat yang dalam kurun waktu lama, hidup, tumbuh, berkembang, dan berinteraksi dengan masyarakat tempat ia tinggal. Ia telah menginternalisasi identitas dan karakter masyarakat, membangun ikatan emosional dengan masyarakat, serta menjadi bagian dari masyarakat setempat.

Dalam konteks kategorisasi tersebutlah isu putra daerah menjadi terasa sangat jadul (zaman dulu). Oposisi biner antara putra daerah dan bukan putra daerah justru akan merusak bangunan demokrasi dan tatanan dunia kehidupan sosial.

Isu putra daerah yang dimaknai secara sempit akan menumbuhkembangkan kembali semangat primordialisme, yaitu rasa kesukuan yang berlebihan. Memandang personifikasi dari latar belakang 10

kesukuannya, sehingga dalam melihat persoalan selalu menggunakan perspektif dan nilai ajaran sukunya sendiri secara sempit dan manipulatif.

Isu putra daerah merupakan bentuk peronrongan secara laten terhadap nilai-nilai kesetaraan dan pluralisme, serta proses integrasi sosial. Lebih dari itu adalah pencederaan terhadap subtansi nilai demokrasi. Demokrasi memberikan hak yang sama bagi setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam aktivitas politik, baik itu pemilihan

Gubernur, Bupati maupun Walikota. Menghembuskan isu putra daerah berarti menghalang-halangi kesempatan seseorang untuk turut berkompetisi secara fair dalam setiap aktivitas politik.

Secara garis besar perilaku pemilih ditentukan oleh tujuh domain

Kognitif yaitu: Pertama issues and politic adalah merepresentasikan kebijakan atau program yang diperjuangkan dan dijanjikan oleh partai atau kandidat politik jika kelak menang pemilu. Kedua, Social dan imagery yang menunjukkan stereotif kandidat atau partai untuk menarik pemilih dengan menciptakan asosiasi antara kandidat atau partai dengan segmen-segmen tertentu dalam masyarakat. Ketiga, emotional feelings merupakan dimensi emosional yang terpencar dan sebuah kontestan atau kandidat yang ditunjukkan oleh policy politik yang ditawarkan. Keempat, candidate personality yang mengacu pada sifat-sifat pribadi yang penting yang dianggap sebagai karakter kandidat. Kelima, current events yang mengacu pada himpunan peristiwa, isu, dan kebijakan yang berkembang dan menjelang dan selama kampanye. Keenam, personal events yang 11

mengacu pada kehidupan pribadi oleh seorang kandidat misalnya skandal seksual, skandal bisnis, skandal narkoba dan menjadi korban rezim tertentu dan menjadi tokoh pada perjuangan tertentu. Ketujuh epistemic issues adalah menyangkut isu-isu pemilihan mengenai hal-hal baru (Ritzer dkk, 1992).

Kepemimpinan Ilham Arief Sirajuddin sebenarnya sudah ada semenjak ia belum dilahirkan. Bapaknya, Kolonel Pol. Arief Sirajuddin adalah perwira karier kepolisian dengan perjalanan karier yang cemerlang.

Selama dua periode dari tahun 1976-1986, Arief Sirajuddin dipercaya memimpin Kabupaten Gowa. Garis tangan Ilham memang garis tangan pemimpin. Saat beranjak remaja, Ilham sudah memperlihatkan bakat kepemimpinan. Ia senantiasa didaulat menjadi pemimpin dalam kelompok sepermainannya. Ia selalu menjadi panutan. Ilham kecil membentuk sebuah kelompok anak muda bernama kelompok istana, ketika melewati masa kecilnya di Sungguminasa Gowa. Saat memasuki usia pendidikan menengah, Ilham dengan keputusan sendiri memilih bersekolah di bandung. “Saya melewati masa sulit ketika itu, meski saat itu bapak saya sudah bupati di Gowa tetapi bukan berarti saya dimanja dengan materi,” kata Ilham. Ia kemudian kembali ke Makassar ketika berhasil menembus ketatnya persaingan memasuki Universitas Hasanuddin (UNHAS), tepatnya di Fakultas Pertanian.

Ketajaman politik Ilham mulai terlihat ketika ia bergabung dengan angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI) Sul-Sel sayap pemuda di 12

Partai Golkar. Karier politiknya terus menjulang di usia yang sangat muda ketika ia sukses menembus parlemen Sul-Sel pada Pemilu 1999.

Kesuksesannya mendapuk posisi Ketua DPD II Golkar Makassar pada

2004, makin menegaskan posisinya di ranah politik daerah ini. Meski menjabat sebagai orang nomor satu di Golkar makassar, keputusan Ilham untuk maju dalam Pemilihan Walikota Makassar tahun 2004 tetap saja mengundang nada miring. Usianya ketika itu baru 38 tahun dianggap masih hijau untuk ikut bertarung. Apalagi saat itu, ia masih menghadapi walikota incumbent HB yang berpasangan dengan

Apiaty Amin Syam, Istri mantan Gubernur Sul-Sel HM Amin Syam. Ia juga berhadapan dengan Agus Arifin Nu’mang, Sekretaris Golkar Sulsel ketika itu. Namun Ilham mampu membuktikan ketajaman berpolitiknya. Ia sukses memenangkan pertarungan itu dan kemudian terpilih menjadi walikota

Makassar. Dalam sebuah acara sakral yang dilakukan di depan Benteng

Ford Rotterdam Makassar, pada 8 mei 2004, Ilham yang bepasangan dengan Andi Herry Iskandar dilantik sebagai walikota dan wakil walikota

Makassar, periode 2004-2009.

Kini Ilham sedang menatap Pilgub Sulsel. Keberhasilannya memimpin Makassar dua periode tentu menjadi modal kuat baginya untuk memimpin daerah ini. Dengan kapasitas yang dimiliki juga dibarengi jaringan yang kuat, diyakini ia bisa mengantar Sul-Sel lebih sejahtera. Hal itu bukanlah bualan, apalagi sesuatu yang mustahil bagi Ilham. Sebab, saat memimpin Makassar saja, ia sudah berkontribusi besar terhadap 13

pembangunan Sul-Sel. Bisa dibayangkan jika kontribusi investasi untuk

Sul-Sel 40 persennya disumbangkan oleh Kota Makassar yang dipimpin oleh Ilham. Karena itu, jika kewenangan yang melekat padanya lebih luas, tentu bukan hal yang sulit baginya untuk menyulap Sul-Sel menjadi lebih baik, lebih sejahtera dan tentu saja lebih religius.

Harapan baru Sul-Sel kini telah hadir. Itu setelah Ilham Arief

Sirajuddin dan Abdul Azis Qahhar Mudzakkar (IAS-AQM) menyatakan kesiapannya untuk berpasangan menuju pemilihan Gubernur Sul-Sel

2013. Pasangan ini menawarkan perubahan Sul-Sel menjadi lebih baik.

Buktinya, baru saja Azis bersedia berpasangan IAS, Gubernur Sul-Sel

Syahrul Yasin Limpo langsung mengeluarkan rekomendasi pembentukan

Luwu Tengah. Bukan hanya itu, Bone Selatan juga mulai dijanji untuk direalisasikan.

Jika baru berpasangan saja untuk maju menjadi Gubernur dan Wakil

Gubernur Sul-Sel mendatang sudah cukup banyak hal-hal positif yang bisa dinikmati rakyat Sul-Sel, tentu bisa dibayangkan nanti jika pasangan ini memimpin Sul-sel.

Keputusan Azis mendampingi IAS murni mengikuti keinginan pendukungnya yang tergambar melalui hasil konvensi dan survei internal yang dilaksanakan Komite Persiapan Penegakan Syariat Islam (KPSSI) dalam lima bulan.

Kesepakatan ini diputuskan saat keduanya bertemu kamis malam, 19

Januari di kediaman Ketua Tim 11 KPSSI, Hamid Paddu. Lalu, Jumat 20 14

Januari, Azis mengumumkan niatnya maju sebagai calon wakil Gubernur

Sul-Sel mendampingi IAS dengan menggelar konferensi pers. Semangat perubahan untuk Sul-Sel yang lebih baik dijabarkan dalam visi dan misi

Azis yang ditawarkan ke Ilham sebagai syarat kesediaannya mendampingi, yakni visi ekonomi kerakyatan dengan pertimbangan kondisi ekonomi semakin kapitalis. Pembentukan karakter dan moral yang mulai merosot melalui pendekatan agama maka perlu diciptakan suasana masyarakat yang kental spiritualitasnya. Dan yang utama pemerintahan harus dijalankan dengan bersih bebas dari tindak korupsi.

Menurut Ilham, tagline SEMANGAT BARU lahir dari komitmen memajukan masyarakat Sul-Sel kearah yang lebih baik. Ada tiga filosofi

Semangat Baru; 1) Menciptakan pemerintahan bersih. 2) Membangun

Basis ekonomi kerakyatan. 3) Membangun masyarakat religius sesuai agama masing-masing.

Secara geopolitik, Sul-Sel terbagi atas 4 kawasan: Luwu Raya,

Bosowasi (Bone, Soppeng, Wajo, Sinjai), (Sidrap, Pare- pare, Pinrang, Barru), dan Selatan-selatan (Makassar, Gowa, Takalar,

Jeneponto, bantaeng). Bosowasi dan Ajatapareng secara adminitstratif sudah terpisah lama, namun secara kultural punya identitas komunitas

Bugis. Sedangkan Selatan-selatan disatukan oleh identitas Makassar.

Adapun adminitraatif dalam 10 tahun terakhir, yakni sejak Luwu menjadi 4 daerah otonom (Luwu, Lutra, Lutim dan Kota ). Dengan demikian, dari segi geopolitik, seharusnya ada kawasan-kawasan lainnya. 15

Sayangnya solidaritas ini sulit dicapai. Penyebabnya, pertama, sejak zaman kerajaan, penduduk Luwu sudah heterogen. Penduduk “asli” Luwu terdiri atas 12 anak suku yang pakai 9 bahasa ibu. Di pegunungan beragama non muslim, di dataran rendah dan pesisir pantai Islam. Kedua, pada masa penjajahan dan Orba wilayah Luwu menjadi daerah tujuan transmigrasi sehingga penduduknya juga beragam suku, adat istiadat, budaya, bahasa maupun agama. Ketiga Luwu Raya terbelah berdasarkan afiliasi politik.

Jika kalkulasi geopolitik menjadi bagian mendalam masing-masing kandidat Gubernur, tetapi setelah keduanya menetapkan pasangan, implikasi lain yang menjadi konsekuensi politik terhadapnya mungkin luput dari amatan umum dan kajian masing-masing pasangan. Kenyataan ini dapat diduga, sebagaimana dapat dicermati bahwa selain hanya Ilham menggandeng Azis karena pertimbangan geopolitik, Syahrul mengambil

Agus hanya didasarkan pada kalkulasi politik lain yang mendesak pada saat ini, artinya bisa dikatakan bukan hasil kalkulasi matang dan strategis.

Jika kedua calon Gubernur Sul-Sel sejak awal mempertontonkan wajah konfigurasi tiga wilayah geopolitik, Luwu, Bone dan Gowa, tetapi setelah ketiganya menetapkan pasangan disadari atau tidak, dicermati atau tidak membawa konsekuensi arsiran politik yang lain, yakni konfigurasi idiopolitik. Ilham adalah Walikota Makassar, seorang anak purnawirawan Polisi mengisyaratkan bahwa di dirinya mengalir kuat paham nasionalis. Sementara Azis Qahhar Muzakkar adalah Anggota 16

DPD-RI 2 periode, Ketua Umum tanfidsiyah KPPSI (Komite Penegak dan

Perjuangan Syariat Islam) yang tidak lain adalah putra “patriot pemberontak” DI/TII, Abdul Qahhar Mudzakkkar yang sampai saat ini masih saja tetap memiliki kharisma di sejumlah wilayah di Sul-Sel. Jadi pasangan ini bisa disebut pasangan Nasional Religius.

Adapun pasangan Syahrul-Agus (Sayang), secara tersurat menunjukkan identitas murni aliran “Nasionalis”. Antara Syahrul dan Agus, kedua-duanya sangat sulit dipisahkan basis dan latar belakang kekaderan masing-masing yang ikut memberi andil dalam rajutan aliran politik yang dianut oleh kedua-duanya. Keduanya adalah anak turunan (langsung) tentara dan tokoh pejuang kemerdekaan, yakni H. Yasin Limpo dan H.

Arrifin Nu’mang (almarhum). Makanya, kalau Syahrul memimpin organisasi yang menghimpun putra-putri tentara selaku Ketua FKPPI, maka Agus menahkodai PPM Sul-Sel, yaitu organisasi yang menghimpun anak/turunan pejuang.

Terlepas dari semua itu, banyak faktor yang bisa menentukan kemenangan diantara mereka meski dilihat dari basis massa keduanya berimbang tetapi dengan ketenangan bersikap, cerdasnya partai pengusung membungkus kandidatnya serta membawa visi misi untuk menjadikan Sulawesi Selatan yang lebih baik nantinya, maka masyarakat

Sulawesi Selatan yang cerdas bisa menentukan pilihannya kelak. 17

Tabel 1.1 Daftar Perolehan Suara Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Sul-Sel Tahun 2013 di Tiap-tiap Kecamatan di Kabupaten Enrekang. No Kecamatan IlhamAziz SyahrulAgus RudiNawir 1 Maiwa 6380 6284 179 2 Enrekang 7945 7974 240 3 Anggeraja 9529 3771 155 4 Baraka 6579 4163 129 5 Alla 6984 3761 178 6 Curio 3681 4118 79 7 Masalle 3931 2145 105 8 Cendana 2495 1996 158 9 Malua 2824 1340 74 10 Bungin 904 1629 9 11 Baroko 3026 2298 175 12 BuntuBatu 3491 3219 48 Jumlah 57769 42698 1529 Sumber : KPU Kabupaten Enrekang, 2013

Tabel 1.2 Hasil Perolehan Suara Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sul-Sel Tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. No. Pasangan Calon Jumlah Suara (%)

1. Ilham Arief Sirajuddin dan Azis 57.769 (56,64) Qahhar Mudzakkar (IA) 2. Syahrul Yasi Limpo dan Agus 42.698 (41,85) Arifin Nu'mang (SAYANG) 3. Andi Rudiyanto Asapa dan Andi 1.529 (1,50) Nawir (GARUDA’ NA) Total Suara Sah 101.996 (100) Sumber : Kantor KPUD Kabupaten Enrekang, 2013.

Tabel di atas menunjukkan bahwa dari hasil perolehan suara terdapat perbedaan yang cukup signifikan diantara ketiga pasangan calon

Gubernur dan Wakil Gubernur Sul-Sel. Pasangan Ilham Arief Sirajuddin dan Azis Qahhar Mudzakkar mampu meraih kemenangan di Kabupaten 18

Enrekang dengan perolehan suara terbanyak yakni mencapai 56,64%.

Pasangan dan Agus Arifin Nu'mang memperoleh suara sekitar 41,85%. Sementara pasangan Andi Rudiyanto Asapa dan

Andi Nawir hanya memperoleh suara sekitar 1,50%.

Berkaitan dengan hasil perolehan suara dari tabel diatas dimana pasangan IA menang di Kabupaten Enrekang, namun pasangan IA juga mengalami kekalahan di tiga Kecamatan seperti di Kecamatan Enrekang,

Kecamatan Curio dan Kecamatan Bungin.

Menurut penulis dari sisi komunikasi politik hasil perolehan suara yang dicapai oleh para kandidat ini mencerminkan adanya perilaku memilih yang cukup selektif dan bervariasi dalam menginterpretasi pesan- pesan politik yang disampaikan para kandidat. Dari kenyataan-kenyataan ini muncul pertanyaan yang selalu menggelitik hati penulis, apakah memang betul semua yang memilih pasangan IA, karena dia adalah putra daerah dari Bumi Massenrempulu atau Kabupaten Enrekang? ataukah mungkin masih ada variabel lain yang lebih dominan.

IA Kampanye Religi di Enrekang

Gambar 1 : http://irvankurniawan9.blogspot.com/2013/01/demokrasi-vs- primodialisme-pilkada.html. 19

Gambar 2 :http://makassar.tribunnews.com/foto/bank/images/Spanduk- untuk-Ilham-Arief-Sirajuddin.jpg.

Hal inilah kemudian yang membuat, penulis merasa tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam sebuah bentuk usulan penelitian tesis dengan judul : Pengaruh Faktor Isu “Putra Daerah” dan Aspek

Organisasi Dalam Komunikasi Kampanye Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 di

Kabupaten Enrekang.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengaruh isu putra daerah “Ilham - Azis” terhadap perilaku

pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang?

2. Bagaimana pengaruh politik uang “Ilham - Azis” terhadap perilaku

pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang? 20

3. Bagaimana pengaruh mesin politik “Ilham - Azis” terhadap perilaku

pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang?

4. Dari ketiga variabel bebas tersebut, yang mana yang dominan

pengaruhnya terhadap perilaku pemilih memilih “Ilham - Azis” pada

pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan

tahun 2013 di Kabupaten Enrekang?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui pengaruh isu putra daerah “Ilham - Azis” terhadap

perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang

2. Untuk mengetahui pengaruh politik uang “Ilham - Azis” terhadap

perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang

3. Untuk mengetahui pengaruh mesin politik “Ilham Azis” terhadap

perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang

4. Untuk mengetahui variabel yang dominan pengaruhnya terhadap

perilaku pemilih memilih “Ilham - Azis” pada pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten

Enrekang. 21

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat terhadap :

1. Kegunaan Teoritis.

Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat menambah dan memperluas

wawasan ilmu pengetahuan dalam bidang komunikasi, utamanya

tentang komunikasi politik yang berkaitan dengan kajian tentang peran

tim pemenangan dalam kampanye.

2. Kegunaan Metodologis.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengembangkan metode

penelitian lintas disiplin dan sebagai bahan referensi tambahan di

dalam penelitian komunikasi politik maupun penelitian tentang politik.

3. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini, dapat menggambarkan strategi kampanye yang

dilakukan oleh tim pemenangan Ilham Azis dalam memengaruhi

perilaku pemilih pada Pilgub Sul-Sel tahun 2013 di Kabupaten

Enrekang. Demi tegaknya agenda-agenda poltik didaerah sebagai

bagian dari upaya mengembangkan kehidupan demokratisasi yang

lebih baik di Indonesia. Selain itu dapat juga digunakan sebagai bahan

acuan untuk mengembangkan penelitian selanjutnya di bidang

komunikasi politik. 22

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Komunikasi Politik

Istilah komunikasi politik terdiri dari dua unsur kata, yakni komunikasi dan politik yang saling berkaitan satu sama lain, dimana pengertian komunikasi itu sendiri memberi perhatian utama kepada control social atau upaya memengaruhi, dengan demikian pengertian komunikasi itu mengandung makna politis karena aspek pengaruh merupakan salah satu unsur utama politik. Sedangkan politik bersifat serba hadir dan multimakna, sebagaimana Lasswell (dalam Anwar Arifin, 2003) mengemukakan bahwa politik ialah siapa memperoleh apa, kapan dan bagaimana (who, gets what, when, dan how). Dengan demikian politik mengandung pengertian aturan, kekuasaan, pengaruh, wewenang, dan pemerintahan.

Pendapat tersebut didukung oleh Rush (dalam Anwar Arifin, 2003) bahwa kekuasaan dapat dipandang sebagai titik sentral studi politik sehingga proses politik adalah serentetan peristiwa yang hubungannya satu sama lain didasarkan atas kekuasaan. Sedangkan perjuangan untuk memperoleh kekuasaan itu akan menyalurkan secara sah kepentingan dari berbagai kekuatan yang bekerja dalam masyarakat. Hal ini merangsang adanya perbedaan dan perselisihan atau konflik.

22 23

Politik berasal dari kata “polis” yang berarti negara, kota, yaitu secara totalitas merupakan kesatuan antara negara (kota) dan masyarakatnya. Kata “polis” ini berkembang menjadi “politicos” yang artinya kewarganegaraan. Dari kata “politicos” menjadi ”politera” yang berarti hak-hak kewarganegaraan (Sumarno, 1989:8).

Secara definitif, ada beberapa pendapat sarjana politik, diantaranya

Nimmo (2000:8), mengartikan politik sebagai kegiatan orang secara kolektif yang mengatur perbuatan mereka di dalam kondisi konflik sosial.

Dalam berbagai hal orang berbeda satu sama lain-jasmani, bakat, emosi, kebutuhan, cita-cita, inisiatif, perilaku, dan sebagainya. Lebih lanjut Nimmo menjelaskan, kadang-kadang perbedaan ini merangsang argumen, perselisihan, dan percekcokan. Jika mereka menganggap perselisihan itu serius, perhatian mereka dengan memperkenalkan masalah yang bertentangan itu, dan selesaikan; inilah kegiatan politik.

Bagi Lasswell (dalam Varma, 1995:258), ilmu politik adalah ilmu tentang kekuasaan. Berbeda dengan David Easton dalam Sumarno

(1989:8), mendefinisikan politik sebagai berikut:

“Political as a process those developmental processes through

which person acquire political orientation and patterns of behavior”

Dalam definisi ini David Easton menitik beratkan bahwa politik itu sebagai suatu proses di mana dalam perkembangan proses tersebut seseorang menerima orientasi politik tertentu dan pola tingkah laku. 24

Apabila definisi komunikasi dan definisi politik itu kita kaitkan dengan komunikasi politik, maka akan terdapat suatu rumusan sebagai berikut: Komunikasi politik adalah komunikasi yang diarahkan kepada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga- lembaga politik (Astrid, S. Soesanto, 1980:2).

Lebih lanjut Rush (dalam Anwar Arifin, 2003) mengemukakan bahwa perhatian pokok dari politik adalah penyelesaian dari perselisihan atau konflik manusia yang dinamakan konsensus. Pendapat tersebut didukung oleh Nimmo (1999) yang mengatakan bahwa politik terjadi dalam setting politik yang ditandai dengan perselisihan atau konflik.

Namun Alfian (1985) mengemukakan bahwa keseluruhan proses politik terjadi dalam kerangka konflik dan konsensus atau kompromi. Oleh karena itu politik disebut juga sebagai seni berkompromi.

Makna perselisihan tersebut diturunkan melalui komunikasi dan upaya penyelesaiannya atau terjadinya konsensus juga dipertukarkan melalui komunikasi, sehingga banyak aspek kehidupan politik dapat dilukiskan sebagai komunikasi. Dalam hal ini Nimmo (1999) mengemukakan bahwa komunikasi meliputi politik, karena politik melibatkan pembicaraan dalam arti luas. Dengan demikian hakikat aplikasi atau pengamalan politik adalah kegiatan berkomunikasi antara orang- orang. Oleh karena itu kegiatan politik adalah kegiatan berbicara yang dilakukan oleh para politikus, aktivis, atau profesional. 25

Sesungguhnya banyak pakar yang mengemukakan bahwa ada kedekatan antara komunikasi dan politik, sebagaimana Pye (dalam Anwar

Arifin, 2003) mengemukakan bahwa suatu komunikasi mampu memperbesar dan melibatkan ucapan-ucapan (pembicaraan) dan pilihan- pilihan individual sehingga di situ tidak akan ada suatu politik yang dapat merentangkan suatu bangsa. Dengan kata lain tanpa komunikasi tidak akan ada usaha bersama dengan demikian tidak ada politik.

Menurut A. Muis (1990) bahwa istilah komunikasi politik menunjuk pada pesan sebagai objek formulanya, sehingga titik berat konsepnya terletak pada komunikasi dan bukan pada politik. Pada hakikatnya komunikasi politik mengandung informasi atau pesan tentang politik.

Sedangkan menurut Astrid (dalam Anwar Arifin, 2003) bahwa komunikasi politik sebagai suatu komunikasi yang diarahkan pada pencapaian suatu pengaruh sedemikian rupa, sehingga masalah yang dibahas oleh jenis kegiatan komunikasi ini, dapat mengikat semua warganya melalui suatu sanksi yang ditentukan bersama oleh lembaga-lembaga politik. Dengan demikian melalui kegiatan komunikasi politik terjadi pengertian masyarakat sosial dengan lingkup negara, sehingga komunikasi politik merupakan sarana untuk pendidikan politik/kesadaran warga dalam hubungan kenegaraan.

Dalam perspektif yang berbeda, Nimmo (1999) memberikan formulasi komunikasi politik dengan memandang inti komunikasi sebagai proses interaksi sosial dan inti politik sebagai konflik sosial. Lebih lanjut 26

Nimmo merumuskan bahwa komunikasi politik sebagai kegiatan yang bersifat politis atas dasar konsekuensi aktual dan potensial yang menata perilaku dalam kondisi konflik.

Sehubungan dengan itu Nimmo (1999) menggunakan formula

Lasswell yang telah lama dikenal, yaitu: siapa, berkata apa, kepada siapa, melalui saluran apa dan bagaimana efeknya. Siapa adalah komunikator politik, berkata apa adalah pesan-pesan politik, melalui saluran apa adalah media komunikasi politik, kepada siapa adalah khalayak politik, dan bagaimana efeknya adalah efek politik. Dalam hal ini Nimmo memasukkan hubungan pers dengan pemerintah sebagai hubungan antara wartawan dengan pejabat pemerintah yang keduanya digolongkan sebagai komunikator politik. Dengan demikian studi tentang media massa dan media lainnya juga tercakup di dalam komunikasi politik. Demikian juga pernyataan politik, prototipe kelompok-kelompok kepentingan, dan pendapat umum dapat dimasukkan ke dalam lingkup komunikasi politik.

Berdasarkan uraian konsep komunikasi politik yang telah dikemukakan di atas, maka dalam kaitannya dengan penelitian ini penulis mengacu pada konsep komunikasi politik yang dikemukakan Nimmo bahwa komunikasi sebagai proses interaksi sosial dan politik sebagai konflik sosial, dimana komunikasi politik merupakan kegiatan yang bersifat politis atas dasar konsekuensi aktual dan potensial yang menata perilaku dalam kondisi konflik. Dengan demikian pernyataan-pernyataan politik yang dikemukakan unsur-unsur komponen bangsa melalui media massa 27

dapat menimbulkan opini publik atau respon dari khalayak yang dapat mendukung atau menghambat proses demokrasi reformasi di Indonesia.

Mengenai komunikasi politik ini (political communication)

Kantaprawira (1983:25) memfokuskan pada kegunaannya, yaitu untuk menghubungkan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat, baik pikiran intra golongan, institusi, asosiasi, ataupun sektor kehidupan politik masyarakat dengan sektor kehidupan politik pemerintah.

Dengan demikian segala pola pemikiran, ide atau upaya untuk mencapai pengaruh, hanya dengan komunikasi dapat tercapainya segala sesuatu yang diharapkan, karena pada hakikatnya segala pikiran atau ide dan kebijakan (policy) harus ada yang menyampaikan dan ada yang menerimanya, proses tersebut adalah proses komunikasi.

Dilihat dari tujuan politik “an sich”, maka hakikat komunikasi politik adalah upaya kelompok manusia yang mempunyai orientasi pemikiran politik atau ideology tertentu dalam rangka menguasai dan atau memperoleh kekuasaan, dengan kekuatan mana tujuan pemikiran politik dan ideology tersebut dapat diwujudkan.

Lasswell (dalam Varma, 1995:258) memandang orientasi komunikasi politik telah menjadikan dua hal sangat jelas: pertama, bahwa komunikasi politik selalu berorientasi pada nilai atau berusaha mencapai tujuan; nilai-nilai dan tujuan itu sendiri dibentuk di dalam dan oleh proses perilaku yang sesungguhnya merupakan suatu bagian; dan kedua, bahwa komunikasi politik bertujuan menjangkau masa depan dan bersifat 28

mengantisipasi serta berhubungan dengan masa lampau dan senantiasa memperhatikan kejadian masa lalu.

Dalam hal ini, R.S. Sigel (dalam Sumarno, 1989:10) memberikan pandangan sebagai berikut:

“Political socialization refers to the learning process, by which the political norms and behavior acceptable to an ongoing political system are transmitted from generation to generation.”

Dari batasan Sigel ini menunjukkan bahwa sosialisasi politik bukan hanya menitikberatkan pada penerimaan norma-norma politik dan tingkah laku pada sistem politik yang sedang berlangsung, tapi juga bagaimana mewariskan atau mengalihkan nilai-nilai dari suatu generasi kenegaraan berikutnya.

1. Komunikator Politik

Menurut Nimmo, salah satu ciri komunikasi ialah bahwa orang jarang dapat menghindari dan keturutsertaan. Hanya dihadiri dan diperhitungkan oleh seorang lain pun memiliki nilai pesan. Dalam arti yang paling umum kita semua adalah komunikator, begitu pula siapa pun yang dalam setting politik adalah komunikator politik (2000:28). Meskipun mengakui bahwa setiap orang boleh berkomunikasi tentang politik, kita mengakui bahwa relatif sedikit yang berbuat demikian, setidak-tidaknya yang melakukannya serta tetap dan sinambung. Mereka yang relatif sedikit ini tidak hanya bertukar pesan politik; mereka adalah pemimpin dalam proses opini. Para komunikator politik ini, dibandingkan dengan warga negara pada umumnya, ditanggapi dengan lebih bersungguh- sungguh bila mereka berbicara dan berbuat. 29

Sebagai pendukung pengertian yang lebih besar terhadap peran komunikator politik dalam proses opini, Leonard W. Dood dalam Nimmo

(2000:30) menyarankan jenis-jenis hal yang patut diketahui mengenai mereka: ”Komunikator dapat dianalisis sebagai dirinya sendiri. Sikapnya terhadap khalayak potensialnya, martabat yang diberikannya kepada mereka sebagai manusia, dapat mempengaruhi komunikasi yang dihasilkannya; jadi jika ia mengira mereka itu bodoh, ia akan menyesuaikan nada pesannya dengan tingkat yang sama rendahnya. Ia sendiri memiliki kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat dikonseptualkan sesuai dengan kemampuan akalnya, pengalamannya sebagai komunikator dengan khalayak yang serupa atau yang tak serupa, dan peran yang dimainkan di dalam kepribadiannya oleh motif untuk berkomunikasi.

Berdasar pada anjuran Doob, jelas bahwa komunikator atau para komunikator harus diidentifikasi dan kedudukan mereka di dalam masyarakat harus ditetapkan. Untuk keperluan ini Nimmo (2000:30) mengidentifikasi tiga kategori politikus, yaitu yang bertindak sebagai komunikator politik, komunikator profesional dalam politik, dan aktivis atau komunikator paruh waktu (part time).

2. Politikus Sebagai Komunikator Politik

Kelompok pertama ini adalah orang yang bercita-cita untuk memegang jabatan pemerintah dan memegang pemerintah yang harus berkomunikasi tentang politik dan disebut dengan politikus, tak peduli 30

apakah mereka dipilih, ditunjuk, atau jabatan karier, baik jabatan eksekutif, legislatif, atau yudikatif. Pekerjaan mereka adalah aspek utama dalam kegiatan ini. Meskipun politikus melayani beraneka tujuan dengan berkomunkasi, ada dua hal yang menonjol. Daniel Katz (dalam

Nimmo,2000:30) menunjukkan bahwa pemimpin politik mengarahkan pengaruhnya ke dua arah, yaitu mempengaruhi alokasi ganjaran dan mengubah struktur sosial yang ada atau mencegah perubahan demikian.

Dalam kewenangannya yang pertama politikus itu berkomunikasi sebagai wakil suatu kelompok; pesan-pesan politikus itu mengajukan dan melindungi tujuan kepentingan politik, artinya komunikator politik mewakili kepentingan kelompoknya. Sebaliknya, politikus yang bertindak sebagai ideologi tidak begitu terpusat perhatiannya kepada mendesakkan tuntutan kelompoknya, ia lebih menyibukkan diri untuk menetapkan tujuan kebijakan yang lebih luas, mengusahakan reformasi dan bahkan mendukung perubahan revolusioner.

Termasuk dalam kelompok ini, politikus yang tidak memegang jabatan dalam pemerintah, mereka juga komunikator politik mengenai masalah yang lingkupnya nasional dan internasional, masalah yang jangkauannya berganda dan sempit.

Jadi banyak jenis politikus yang bertindak sebagai komunikator politik, namun untuk mudahnya kita klasifikasikan mereka sebagai politikus (1) berada di dalam atau di luar jabatan pemerintah, (2) berpandangan nasional atau sub nasional, dan (3) berurusan dengan masalah berganda atau masalah tunggal. 31

Komunikator profesional adalah peranan sosial yang relatif baru, suatu hasil sampingan dari revolusi komunikasi yang sedikitnya mempunyai dua dimensi utama: munculnya media massa yang melintasi batas-batas rasial, etnis, pekerjaan, wilayah, dan kelas untuk meningkatkan kesadaran identitas nasional; dan perkembangan serta- merta media khusus yang menciptakan publik baru untuk menjadi konsumen informasi dan hiburan (Nimmo, 2002:33).

Seorang komunikator profesional, menurut James Carey (dalam

Nimmo, 2000:33) adalah seorang makelar simbol, orang yang menerjemahkan sikap, pengetahuan, dan minat suatu komunitas bahasa ke dalam istilah-istilah komunitas bahasa yang lain dan berbeda tetapi menarik dan dapat dimengerti. Komunikator profesional menghubungkan golongan elit dalam organisasi atau komunitas mana pun dengan khalayak umum; secara horizontal ia menghubungkan dua komunitas bahasa yang dibedakan pada tingkat struktur sosial yang sama.

Bagaimanapun, karena menjadi komunikator profesional, bukan politikus, profesional yang berkomunikasi menempatkan dirinya terpisah dari tipe-tipe komunikator politik yang lain, terutama aktivis politik.

3. Pesan Politik

Penentuan pesan atau tema politik merupakan suatu hal yang sangat penting. Pesan diibaratkan sebuah produk yang akan dipasarkan sehingga pesan harus dikemas dengan baik. Pesan politik ini menjadi penting karena dalam setiap kampanye partai politik selalu 32

mengetengahkan tiga hal, yakni program, citra dan kepribadian calon yang relevan dengan pesan tersebut. Pesan yang akan disampaikan tidak boleh ditentukan begitu saja, melainkan harus menjadi kesepakatan para pimpinan teras partai dan calon yang akan diusung. Menurut (Cangara

2009:340) Sebuah pesan yang baik biasanya memenuhi syarat, antara lain:

1. Pendek, padat, dan mudah diingat.

2. Segar dan aktual.

3. Menjadi Slogan yang popular.

4. Mencerminkan atau mewarnai program yang akan dilaksanakan.

5. Menarik perhatian khalayak dan menjadi motivasi para pengurus

dan anggota partai.

6. Menjadi fokus perjuangan partai.

Pesan harus dikemas dengan baik agar bisa menarik perhatian sekaligus menjadi icon partai. Dari berbagai jajak pendapat yang pernah dilakukan menjelang pemilu presiden, pesan atau tema yang banyak diangkat adalah; (1) Suksesi, (2) Lapangan kerja, (3) Korupsi, (4) Keadilan sosial, dan (5) Pembangunan ekonomi.

4. Media Politik

Komunikator politik, apakah dia politikus, profesional, atau aktivis, menggunakan pembicaraan persuasif, baik untuk saling memengaruhi maupun untuk memengaruhi anggota khalayak yang kurang terlibat di dalam politik. (Nimmo, 2000:176) media atau saluran adalah ciptaan 33

makhluk pemakai lambang untuk melancarkan saling tukar pesan. Akan tetapi saluran atau media mencakup lebih dari alat, sarana, dan mekanisme seperti mesin cetak, radio, telepon atau komputer, yang harus lebih diutamakan dari semua media yang ditemukan ialah manusia sendiri, media yang paling asasi bagi komunikasi manusia. Seperti yang dilakukan psikolog George Miller dalam (Nimmo, 2000:176) mengatakan kita harus

“mengannggap manusia sebagai saluran komunikasi, dengan masukan yang disediakan oleh rangsangan yang kita berikan dan keluarkan yang merupakan tanggapannya terhadap rangsangan itu.”

5. Khalayak Politik

Menurut Dan Nimmo dalam (Setiyono, 2008:20) Periklanan poltitik ditujukan kepada setiap individu yang anonim. Khalayak yang oleh para pembicara disebut “mereka” adalah seluruh khalayak yang dibayangkan oleh pembicara sebagai dituju bila ia berbicara kepada dan tentang “opini publik”, “khalayak”, atau “para pemilih saya”. Komunikator memang membayangkan karakter khalayaknya. Pool dan Shulman, dalam (Nimmo,

2000:144) menemukan bahwa ketepatan kisah berita sebagian dipengaruhi oleh apakah reporter membayangkan bahwa dia sedang menulis bagi khalayak yang mendukung atau yang antagonistik dan apakah berita yang baik atau yang buruk akan mengubah tingkat dukungan itu.

Publik terbentuk tanpa sengaja karena dari individu-individu massa yang tertarik dengan masalah-masalah sosial terutama yang dilontarkan 34

oleh media massa. Mereka merasa perlu adanya permasalahan yang harus diatasi bersama-sama. Maka publik menjadi khalayak yang sangat mempengaruhi pesan-pesan komunikasi politik.

Menurut McQuail, publik menjadi bagian penting dalam khalayak komunikasi politik. Eksitensi publik sangat kuat dengan interaktif, aktif, dan dapat bekerja sama dengan media namun tidak tergantung pada media.

Publik menjadi bagian yang penting dalam khalayak komunikasi karena sifatnya yang kritis dan pandai dalam melihat suatu masalah. Maka sekarang banyak parpol mulai mencari pendukung dari publik yang biasa disebut opinion leader.

Tidak jarang publik dalam beropini menjadikan opini itu sebagai opini sebagian besar massa. Tidak menutup kemungkinan ada perbedaan namun sangat kecil. Maka opini publik sangat menjadi penting untuk mendapatkan dukungan politik bagi komunikator.

Tiap-tiap individu pada massa mempunyai tingkat kepandaian dan pendidikan yang berbeda. Publik yang menjadi bagian dari massa tentu memiliki kepandaian yang berbeda dalam menilai suatu masalah.

Terkadang mereka punya cara sendiri. Kepercayaan pada suatu publik berbeda-beda. Dan keberuntungan pada suatu publik pun berbeda-beda dalam menyelesaikan masalah-masalah yang ada.

Ada publik yang terus berdiskusi terhadap masalah namun belum memiliki jaringan untuk menyampaikan hasil diskusi pada pemerintah.

Sehingga mereka tidak memiliki channel distribusi, ini sering terjadi dalam dunia kampus. 35

6. Efek politik

Setelah melalui proses yang panjang dan menghabiskan dana yang besar, partai politik tinggal menunggu apakah strategi kampanye yang dijalankan berhasil. Efektivitas kampanye politik memang tidak bisa diukur hanya dari faktor persuasi melalui periklanan politik semata, tanpa melihat faktor-faktor lainnya. Seperti diuraikan di atas, periklanan hanya satu bagian dari bauran pemasaran. Periklanan tidak bisa berdiri sendiri sebagai upaya partai politik membangun citra. Program komunikasi lainnya juga harus dilakukan, berjalan seiring, misalnya kegiatan public relations. Kendala waktu juga menjadi sebab persuasi melalui periklanan akan membentur tembok tebal preferensi pemilih. Menurut Deddy

Mulyana dalam (Setiyono, 2000:50) salah satu sebab kekurang efektifan kampanye adalah durasi kampanye politik melalui media massa jauh lebih pendek (beberapa minggu hingga beberapa bulan) daripada kampanye

(iklan) barang yang bisa berdurasi tahunan. Tidak mudah untuk mengubah sikap dan perilaku pemilih lewat kampanye politik berdurasi pendek. Media massa mungkin akan berhasil memengaruhi massa untuk mengubah pilihan bila komunikasi tatap muka (komunikasi antar personal dan komunikasi kelompok) juga digunakan untuk memperteguh pesan- pesan media massa. Bila hal itu tidak dilakukan pilihan seseorang akan lebih dipengaruhi oleh pilihan keluarga, komunitas agama, suku, ras, atau kelompok rujukan (reference group) lainnya. Apalagi masyarakat

Indonesia masih dipengaruhi budaya kolektivitas dan paternalistik yang 36

berarti bahwa nilai, harapan, cita-cita, pilihan atau keputusan individu masih sangat dipengaruhi oleh pemimpin kelompoknya.

Menurut Dan Nimmo dalam (Setiyono, 2000:51) akhirnya keberhasilan persuasi bergantung pada kesediaan orang untuk percaya kepada apa yang diminta dari mereka tanpa ragu, menilai segala sesuatu menurut keterangan yang diberikan oleh komunikator, dan menerima penghargaan orang lain tentang masa depan.

Semestinya iklan politik akan banyak menyinggung aspek-aspek politik, yakni berbagai isu berbangsa dan bernegara yang akan dijanjikan dalam jargon-jargon para politikus. Materi kampanye yang memuat visi dan misi akan menjadi tumpuan dan alasan bagi rakyat yang menentukan pilihan. Sayangnya, aspek pendidikan politik dengan menggunakan media modern tidak ditekankan oleh parpol dalam melibatkan jasa profesional. Sehingga, prinsip periklanan politik parpol sebatas menjual produk layaknya iklan komersial untuk kebutuhan rumah tangga seperti sabun, pasta gigi, serta produk industri seperti mobil dan motor.

Lalu apakah periklanan politik punya andil dalam kemenangan partai politik? Susah menjawabnya karena dampak dan pengaruh dari iklan politik tak bisa terlihat secara langsung, dan menurut kebiasaan, tapi tertangguhkan. Karenanya, kampanye politik adalah penciptaan, penciptaan ulang, dan pengalihan lambang signifikan secara sinambung melalui komunikasi, Dan Nimmo, dalam (Setiyono, 2008:52) 37

Efek sebuah iklan tidak bisa berdiri sendiri, karena hanya merupakan satu bagian dari bauran pemasaran. Efek sebuah iklan tidak bisa disamakan dengan kerja tukang sulap. Pada akhirnya yang “bicara” adalah produknya sendiri. Bila produknya jelek, betapapun gencar dan hebat kampanye periklanannya.

Selanjutnya, semua peristiwa komunikasi yang dilakukan, termasuk kampanye politik mempunyai tujuan, yakni memengaruhi target sasaran. Pengaruh atau efek ialah perbedaan antara apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan (Stuar dan Jamias dalam Cangara, 2007), dalam (cangara,

2009:411). Pengaruh sebagai salah satu elemen dalam proses komunikasi memiliki peranan yang sangat penting untuk mengetahui berhasil tidaknya tujuan komunikasi yang kita inginkan. Pengaruh dapat dikatakan mengena jika perubahan (P) yang terjadi pada penerima informasi sama dengan tujuan (T) yang diinginkan oleh komunikator atau sumber (P=T), atau dengan kata lain, pengaruh (P) yang dihasilkan oleh proses komunikasi sangat ditentukan oleh Sumber, Pesan, Media dan

Penerima atau dengan formula (P=S/Ps/M/Pn).

Pengaruh dapat terjadi dalam bentuk perubahan pengetahuan

(knowledge), sikap (attitude) dan perilaku (behavior). Pada tingkat pengetahuan pengaruh bisa terjadi dalam bentuk perubahan persepsi dan perubahan pendapat (Opinion). Adapun yang dimaksud dengan perubahan sikap ialah adanya perubahan internal pada diri seseorang 38

yang dikelola dalam bentuk prinsip sebagai hasil evaluasi yang dilakukannya terhadap suatu obyek. Dalam banyak hal, terutama yang berkaitan dengan kepercayaan atau ideology, orang berubah sikap karena melihat bahwa apa yang tadinya dipercaya tidak benar.

Dari berbagai studi yang pernah ditemukan terhadap pengaruh dalam komunikasi, ditemukan bahwa komunikasi massa lebih banyak berpengaruh terhadap pengetahuan dan wawasan seseorang, sedangkan komunikasi antarpribadi cenderung berpengaruh pada sikap dan perilaku.

(Cangara, 2009:411).

Gambar 3. Elemen-elemen Komunikasi Politik

Reportase editorial Komentar analisis Organisasi-organisasi politik -Partai -Organisasi masyarakat -Kelompok penekan -Organisasi teroris -Pemerintah Media Daya tarik Program iklan Public relations Reportase Editorial Komentator Analisis - Pengumpulan Opini - Surat-surat

Masyarakat

Sumber: Dan Nimmo & K.R Sanders, 1981 39

B. Kampanye Sebagai Aktivitas Komunikasi

Menurut Ruslan, kampanye dalam arti sempit bertujuan meningkatkan kesadaran dan pengetahuan khalayak sasaran (target audience) untuk merebut perhatian serta menumbuhkan persepsi atau opini yang positif terhadap suatu kegiatan dari suatu lembaga/organisasi, agar tercipta suatu kepercayaan dan citra yang baik dari masyarakat melalui penyampaian pesan secara intensif dengan proses komunikasi dan jangka waktu tertentu yang berkelanjutan (Ruslan, 2000: 60).

Dalam arti luas, kampanye berarti memberikan penerangan terus menerus serta pengertian dan memotivasi masyarakat terhadap suatu kegiatan atau program tertentu melalui proses dan teknik komunikasi yang berkesinambungan dan terencana untuk mencapai publisitas dan citra yang baik (ibid).

Rogers dalam (Bahpiarti, 2002: 67), menyatakan bahwa kampanye adalah seperangkat aktivitas komunikasi yang direncanakan sebelumnya, didesain oleh agen-agen perubahan untuk mencapai perubahan tertentu dalam perilaku penerima dalam suatu periode tertentu. Sementara itu

Chaffee berpendapat bahwa kampanye politik bertujuan untuk memobilisasi dukungan untuk seorang kandidat (Supriadi, 2003: 2-3).

Dari defenisi kampanye di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kampanye dalam ilmu komunikasi setidaknya mencakup 4 karakteristik, yakni: kampanye memiliki tujuan, kampanye ditujukan untuk khalayak luas 40

(besar), kampanye memiliki batas waktu, dan kampanye mencakup seperangkat aktivitas komunikasi yang terorganisir.

Tujuan kampanye yaitu hasil-hasil yang spesifik yang diinginkan dari kampanye, mulai dari efek kognitif hingga ke perubahan struktur sosial. Berdasarkan pandangan Roger dan Storey seperti dikutip Berger dan Chaffee dalam Bahpiarti (2002: 12), maka tujuan dan efek kampanye dikonseptualisasikan dalam 3 dimensi, yakni:

1. Level tujuan. Hasil dari kampanye dapat dibentuk dalam 3 kelompok

besar, yakni: untuk menginformasikan (to inform), untuk mempersuasi

(to persuade), dan untuk memobilisasi (to mobilize) ke arah perubahan

perilaku yang jelas. Secara khusus kampanye memilih satu level tujuan

di mana tujuan terendah yakni menyebarkan informasi kepada target

populasi, sedangkan tujuan tertinggi adalah memobilisasi,

sebagaimana gambar di bawah ini:

To mobilize

To persuade

To inform

Gambar:4.level tujuan kampanye

Kampanye yang bertujuan untuk menginformasikan biasanya mencari

efek untuk meningkatkan pengetahuan individu, meningkatkan

perhatian pada konsekuensi-konsekuensi tertentu atau pilihan-pilihan 41

tertentu. Kampanye persuasi memiliki tujuan menginformasikan dan

berusaha menghasilkan sikap atau perilaku baru atau mengubah sikap

atau perilaku yang ada. Kampanye yang bertujuan untuk memobilisasi

secara khusus mencari tampilan perilaku baru, partisipasi kelompok,

aktivitas yang sama, atau menggerakkan saluran komunikasi

interpersonal.

2. Lokus Perubahan. Perubahan perilaku yang tampak, yakni efek tujuan

yang dapat dilakukan pada level analisis interpersonal sampai

institusional. Efek individu dapat langsung terlihat dalam kampanye,

tetapi lokus dari efek yang dimaksud dapat tersebar dalam wilayah

luas, terentang dari perubahan perseptual sampai pada perubahan

struktur suatu sistem sosial.

3. Lokus keuntungan. Hasil kampanye dapat dirasakan oleh pengirim,

penerima, bahkan pihak ketiga.

Untuk menciptakan terpaan informasi pesan-pesan kampanye yang efektif tentang khalayak yang terlibat dalam situasi komunikasi persuasi diperlukan teori petunjuk yang menggunakan analisis proses input/ output.

Pertama, variabel input terdiri atas sejumlah komponen penyusun komunikasi yang dapat digunakan untuk mengubah sikap dan perilaku seseorang. Variabel input tersebut terdiri atas; variabel sumber, pesan, saluran, penerima, dan variabel tujuan.

Variabel sumber, dalam komunikasi persuasi lebih merujuk pada karakteristik, yakni individu yang dipersepsikan menjadi asal atau 42

penyampai pesan kepada khalayak (publik). Sejumlah studi menunjukkan beberapa faktor yang terkait dengan sumber, antara lain karakteristik demografi (usia, jenis kelamin, status sosial ekonomi, ciri etnis/ kebangsaan), kreativitas, keaktifan (atractiveness), kekuasaan (power), kepribadian (personality), kemampuan (ability). Menurut Stukart (1958) bahwa idealnya sumber mirip dengan khalayak tetapi memiliki status yang lebih tinggi (Rice & Paisley dalam Bahpiarti : 2002 : 24).

Variabel pesan meliputi faktor daya tarik pesan (message appeals), gaya atau cara penyampaian, pencantuman (inclusions), dan peniadaan

(omissions) materi-materi tertentu, pengorganisasian materi dalam pesan, aspek-aspek kuantitatif seperti panjang/lama pesan, dan repetisi.

Pesan-pesan politik yang disuguhkan caleg telah mendorong khalayak untuk ikut menyimaknya. Keikutsertaan khalayak dalam menyimak pesan-pesan politik sesungguhnya adalah hal yang lumrah, karena pada hakekatnya setiap orang adalah politisi. Manakala seseorang mencoba menentukan posisinya dalam masyarakat, atau berusaha meraih kesejahteraan pribadinya melalui sumber-sumber yang tersedia, serta berupaya untuk mempengaruhi orang lain agar menerima pandangannya, maka tentunya ia akan melibatkan dirinya sibuk dengan kegiatan politik

(Rodee, dkk. 2000).

Variabel saluran berkenaan dengan pemilihan saluran atau media massa cetak dan elektronik yang sangat mempengaruhi keterjangkauan pesan kepada publik. Pemilihan media tidak hanya didasarkan pada 43

pertimbangan jumlah orang yang dijangkau tetapi harus memperhitungkan persepsi publik terhadap kredibilitas dan kesukaan, cakupan pesan, dan penerimaan yang berbeda dari tiap media massa. Bahkan menurut pendapat Chaikam dan Eagly (Rice & Paisley dalam Bahpiarti, 2002: 24) bahwa pesan yang sederhana lebih persuasif jika menggunakan media elektronik (televisi dan radio), sedangkan pesan yang lebih kompleks lebih efektif menggunakan media cetak.

Variabel penerima, meliputi sejumlah karakteristik target penerima.

Rice dan Paisley mengutip pendapat Wells yang membagi variabel penerima ke dalam tiga kelompok, yakni faktor kapasitas individu (usia, pendidikan, intelegensia), ciri demografi (jenis kelamin, etnis), faktor perbedaan individu (kepribadian, gaya hidup/lifestyle, dan psikografi).

Hasil penemuan McQuire menunjukkan bahwa orang yang memiliki harga diri (self esteem) yang tinggi lebih resisten terhadap persuasi karena mereka lebih kritis atas sejumlah argumen (Bahpiarti, 2002: 25).

Variabel tujuan, harus menegaskan pada tingkat apa perubahan yang diinginkan. Apakah dalam kurun waktu yang singkat atau panjang, khusus pada suatu issu tertentu atau pada keseluruhan sistem ideologi.

Dengan penentuan tujuan apa yang akan dicapai, maka perencana kampanye dapat menyusun perencanaan yang lebih baik.

Kedua, variabel output. Yang merujuk pada tahapan-tahapan proses informasi yang dilakukan seseorang dalam merespon komunikasi sebelum munculnya dampak persuasi yang diinginkan. Variabel output 44

meliputi 12 kategori, antara lain: terpaan komunikasi, perhatian, kesukaan

(liking), pengetahuan (learning what), kemampuan penerimaan (learning how), perubahan sikap (persetujuan), daya ingat atas isi atau argumen, pencarian informasi, membuat keputusan berdasarkan informasi yang diperoleh, berperilaku menurut yang diharapkan, memperkuat tindakan tersebut, memperkokoh dan menggandakan (consolidation) perilaku.

Kampanye untuk khalayak luas berbeda dengan kampanye yang berskala kecil. Dalam kampanye pemilu sasaran kampanye adalah masyarakat pemilih yang tersebar di berbagai pelosok negeri. Kampanye juga harus dibatasi waktunya. Rentang waktu kampanye dimulai dari periode awal intervensi kampanye dan diakhiri kesimpulan hasil evaluasi dampak/pengaruh. Kampanye juga merupakan kegiatan komunikasi yang terorganisir. Selamanya kampanye adalah kerja kolektif, bukan kerja individu, mulai dari proses pembuatan pesan hingga pendistribusiannya ke khalayak.

Untuk itu Mc Quail merekomendasikan adanya “monopoli media” dalam kampanye. Maksudnya semakin banyak saluran yang membawa pesan kampanye yang sama, semakin besar pula peluang penerimanya.

Sedangkan Roger, menyarankan pemanfaatan banyak saluran (namun bukan monopoli media). Menurut mereka efek dari pemanfaatan banyak saluran komunikasi merupakan suatu sinergi yang dapat mengubah perilaku khalayak lebih besar dibandingkan rata-rata efek dari saluran yang terpisah-pisah (Berger dan Chaffee, dalam Bahpiarti, 28). Hal 45

tersebut karena penggunaan media yang berbeda selain cenderung menguatkan tiap-tiap saluran, juga mampu membawa jenis-jenis informasi yang berbeda-beda.

Sendjaja dkk (1994 : 25), menuliskan beberapa bentuk komunikasi, dimana komunikasi ini biasa digunakan dalam kampanye pemilu, yakni komunikasi antarpribadi (interpersonal communication), komunikasi kelompok (group communication), komunikasi organisasi (organizational communication), dan komunikasi massa (mass communication).

Komunikasi antarpribadi adalah komunikasi antar-perorangan dan bersifat pribadi baik yang terjadi secara langsung (tanpa medium) ataupun tidak langsung (melalui medium). Kegiatan-kegiatan seperti percakapan tatap muka (face to face communication), percakapan melalui telepon, surat menyurat pribadi, merupakan contoh-contoh komunikasi antarpribadi.

Komunikasi antarpribadi biasa dilakukan oleh caleg untuk mempengaruhi persepsi dan sikap audiens.

Komunikasi kelompok memfokuskan pembahasannya pada interaksi antara orang-orang dalam kelompok-kelompok kecil. Komunikasi ini melibatkan juga komunikasi antarpribadi. Komunikasi organisasi menunjuk pada pola dan bentuk komunikasi yang terjadi dalam konteks dan jaringan organisasi, bentuk-bentuk komunikasi formal dan informal, serta bentuk-bentuk komunikasi antarpribadi dan kelompok. Dalam kampanye pemilu, komunikasi organisasi mempunyai peranan penting dalam proses penggalangan dukungan bagi kandidat yang berasal dari 46

organisasi tertentu. Di samping memperoleh dukungan dari anggota organisasi, mereka juga dapat menjadi juru kampanye yang efektif.

Komunikasi massa (mass communication) adalah komunikasi melalui media massa yang ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi massa melibatkan aspek-aspek komunikasi intrapribadi, antarpribadi, kelompok, dan komunikasi organisasi.

Kampanye yang dilakukan melalui komunikasi massa dapat mempercepat pengaruhnya ke seluruh pelosok negeri karena sifatnya yang cepat, meluas, dan tidak dibatasi ruang.

Menurut Roger dkk (Bahpiarti, 2002: 81), kampanye merupakan sekumpulan rencana kegiatan komunikasi yang dipakai untuk meningkatkan dan memotivasi orang-orang terhadap suatu pesan.

Kampanye dilakukan dalam waktu singkat (biasanya 1 minggu hingga 3 bulan) dengan sikap-sikap khusus dan perilaku objektif. Dalam hal ini kampanye menggunakan berbagai media.

Menurut Cutlip dan Centre (Ruslan, 2000: 73), bahwa program di dalam suatu kampanye, yaitu sebagai berikut;

To devise and implement programs that will gain wide and favourable interpretations of an organizing policies and operations.(Untuk merencanakan dan melaksanakan program- program yang akan menumbuhkan penafsiran yang luas dan menyenangkan terhadap suatu kebijaksanaan dan operasional organisasi).

Pesan yang ingin disampaikan oleh Cutlip dan Centre melalui pernyataan di atas adalah bahwa suatu kampanye yang baik harus diprogram dengan konsep manajemen yang benar. Tahap-tahap 47

manajemen kampanye setidaknya melalui tiga tahap yang meliputi perencanaan (planning), pelaksanaan (actuating), dan evaluasi

(evaluating). Beberapa hal yang direncanakan, antara lain: merumuskan tujuan dan sasaran (target) yang ingin dicapai, waktu kampanye, menentukan publik atau target audiens, media yang akan digunakan, anggaran untuk kampanye, dan lain sebagainya.

Duyker mengemukakan bahwa kampanye menggunakan berbagai lambang untuk mempengaruhi manusia sedemikian rupa sehingga tingkah laku yang timbul karena pengaruh tersebut sesuai dengan keinginan komunikator (Ruslan, 2000: 73).

Program kampanye yang dilakukan secara terencana mempunyai tujuan, yakni mempengaruhi khalayak atau penerima. Pengaruh kampanye berkaitan dengan adanya perbedaan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan (Stuart dalam Cangara, 2003:163). Pengaruh dapat dikatakan mengena jika perubahan (P) yang terjadi pada penerima sama dengan tujuan (T) yang diinginkan oleh komunikator (P=T), atau rumus yang dikemukakan oleh Jamias yakni (P=S/P/M/P), pengaruh (P) sangat ditentukan oleh sumber, pesan, media, dan penerima (Jamias dalam

Cangara, 2003: 163).

Sebelum melakukan kampanye, terlebih dahulu pelaku kampanye berusaha untuk membangun kredibilitas dan citra yang positif kepada masyarakat. Setelah itu, mengangkat tema, topik atau isu yang akan 48

dijadikan ajang kampanye. Di samping itu, harus ada kesiapan mental, keyakinan, dan kepercayaan diri komunikan terhadap khalayak

(audience).

B.1 Tahap-Tahap dan Teknik Berkampanye

Larson (1996: 263) mengembangkan beberapa tahap kampanye yang dianggap berhasil, yakni: tahap identifikasi, tahap legitimasi, tahap partisipasi (real atau simbolik), tahap penetrasi, dan tahap distribusi.

Sebelum melakukan kampanye di masyarakat, maka yang harus dilakukan adalah mengidentifikasi beberapa hal antara lain; menentukan masalah, sasaran, target, dan ruang lingkup kampanye). Tahap legitimasi adalah tahap menentukan masalah, sasaran, target, dan ruang lingkup kampanye. Tahap partisipasi berarti mengikutsertakan sasaran/khalayak, baik secara ril atau simbolik. Tahap penetrasi adalah tahap perembesan pesan-pesan kampanye kepada tokoh-tokoh masyarakat, dan selanjutnya melakukan distribusi kepada masyarakat luas.

Ruslan (2000: 66) dalam bukunya “Kiat dan Strategi Kampanye

Public Relations”, mengemukakan kiat dan strategi, agar kampanye berhasil dengan baik. Dalam pemilu yang menggunakan sistem terbuka

(pemilihan langsung), kampanye yang jujur sangat diperlukan agar masing-masing pihak menyadari kedudukan, hak, dan kewajibannya, sehingga penindasan manusia atas manusia lainnya tidak terjadi. Kiat dan strategi kampanye tersebut, yakni; partisipasi, asosiasi, integratif, ganjaran, penataan patung es, berempati, teknik kuersif dan paksaan. 49

Sejalan dengan asumsi di atas, Surbakti(1992: 144) mengatakan bahwa ;

“Partisipasi politik seseorang dipengaruhi oleh faktor; status sosial dan status ekonomi. Yang dimaksud dengan status sosial ialah kedudukan seseorang didalam masyarakat karena keturunan, pendidikan, dan pekerjaan. Yang dimaksud dengan status ekonomi ialah kedudukan seseorang dalam pelapisan masyarakat berdasarkan pemilikan kekayaan.”

Partisipasi politik erat kaitannya dengan informasi politik yang diterima masyarakat melalui media tertentu dan banyak memberikan pengaruh terhadap sikap dan partisipasi politik masyarakat. Hal ini sesuai dengan penjelasan Nimmo dalam riset yang ada menunjukkan bahwa orang Amerika memperoleh informasi politik pada umumnya melalui media massa (Nimmo, 1999).

Dalam Undang-undang RI No.12 tahun 2003 tentang Pemilihan

Umum 2004 Bab I, Pasal 1 (1), dinyatakan, bahwa kampanye pemilu adalah kegiatan peserta pemilu dan/ atau calon anggota DPR, DPRD

Provinsi, DPRD Kabupaten/ Kota untuk meyakinkan para pemilih dengan menawarkan program-programnya (UU RI, 2003: 4).

Dalam kaitan dengan partisipasi, maka penyelenggara kampanye harus mengikutsertakan seluruh komponen masyarakat. Laki-laki dan perempuan, golongan tua dan golongan pemuda, harus dilibatkan dalam kegiatan kampanye dengan tujuan menumbuhkan saling pengertian, saling menghargai, bekerja sama, dan bertoleransi.

Tingkah laku politik masyarakat akan dapat terlihat dalam bentuk partisipasi politik, tinggi rendahnya partisipasi politik seseorang sangat 50

dipengaruhi oleh kesadaran politik dan kepercayaan terhadap pemerintah.

Kesadaran yang dimaksud, adalah kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga negara, dan sikap serta kepercayaan seseorang terhadap pemerintah, diartikan sebagai penilaian seseorang terhadap pemerintah.

Jika dikaitkan dengan asosiasi, maka diharapkan agar isi kampanye yang berkaitan dengan suatu peristiwa yang sedang ramai dibicarakan agar dapat memancing perhatian masyarakat. Misalnya peristiwa keberhasilan petani di bidangnya masing-masing ataupun peristiwa tragis yang menimpa petani akibat kekurangan pupuk, banjir atau kemarau panjang, serangan hama serta harga berbagai komoditas pertanian yang tiba-tiba anjlok menjelang panen.

Dari sesi integratif, maka diharapkan adanya penyatuan diri dengan komunikan dengan menggunakan bahasa yang komunikatif, seperti kata kita, kami, Anda sekalian, dan lain-lain. Jika berdialog dengan petani yang berpendidikan rendah, maka bahasa yang digunakan harus sederhana, bukan bahasa ilmiah atau bahasa asing, sedangkan jika berkampanye dengan petani yang berpendidikan tinggi, jangan nampak lebih bodoh di hadapan mereka. Apabila dilakukan maka pesan yang disampaikan tidak akan mereka percaya.

Ganjaran merupakan suatu teknik yang bermaksud untuk mempengaruhi komunikan dengan suatu ganjaran (pay off) atau dengan menjanjikan sesuatu dengan iming-iming hadiah, pujian, ancaman, dan 51

lain-lain. Cara ini akan lebih efektif jika dilakukan melalui komunikasi antar persona atau kelompok/ organisasi.

Teknik penataan patung es (icing technique) merupakan suatu upaya untuk menyampaikan pesan sehingga enak dilihat, didengar, dibaca, dan dirasakan. Menata es tidak mudah. Begitu pula menata penampilan kampanye. Dalam hal ini sentuhan seni dan hiburan akan memberikan manfaat yang besar.

Berempati dalam public relations dikenal dengan istilah sosial responsibility and humanity relations. Dalam jangka panjang, sikap ini akan menguntungkan pihak caleg dan partainya. Oleh karena itu, mudah berempati terhadap orang lain harus menjadi kepribadian caleg atau partai. Jangan hanya pada saat berkampanye.

Teknik kuersif dan paksaan akan menimbulkan sikap defensif

(perlawanan) dari audiens. Cepat atau lambat mereka akan melakukan perlawanan terhadap tindakan sewenang-wenang. Jadi, jika ingin mempengaruhi petani tidak boleh dilakukan dengan cara paksa. Bujukan dan pemahaman akan lebih efektif. Parpol atau caleg yang ingin sukses sebaiknya menggunakan teknik-teknik tersebut di atas. Dalam pemilu kali ini kemungkinan besar semua teknik dijalankan, sebab partai-partai tersebut memiliki tim kampanye yang telah berpengalaman dalam kegiatan kampanye. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengetahui bagaimana program sosial yang langsung menyentuh kebutuhan petani dapat berpengaruh kuat terhadap pilihan politik petani. 52

B.2. Pengaruh Kampanye Pada Perilaku Memilih

Kajian teori tentang pengaruh komunikasi massa terhadap khalayak telah mengalami perkembangan yang menarik perhatian para ahli pada abad ini. Pada awalnya, teori yang berkembang adalah Teori Peluru Ajaib

(Magic Bullet Theory) yang berasumsi bahwa media massa seperti sebuah peluru ajaib yang mampu mempengaruhi khalayak begitu saja.

Dalam hal ini khalayak digambarkan sangat pasif sehingga mudah terpengaruh. Selanjutnya berkembang teori yang masih mendukung Teori

Peluru Ajaib yaitu Teori Jarum Suntik (Hypodermic Needle Theory) dan

Teori Efek Langsung (Dirrect Effect Theory). Teori-teori ini menggambarkan, bahwa media massa sangat kuat membentuk opini publik secara langsung.

Pada tahun 1950-an ketika hipotesa 2 langkah (Two Step Flow

Hypotesis) mulai dipopulerkan pengaruh media mulai dianggap sangat kecil. Hipotesa ini mulai diperkenalkan oleh Joseph Klapper yang menyatakan, bahwa pengaruh media sangat terbatas (Littlejohn, 1996:

344). Menurutnya, media massa tidak selalu menjadi penyebab yang cukup kuat mempengaruhi khalayak. Ada faktor lain yang mempengaruhi, dan media massa hanya bersifat penunjang.

Pendapat ini diperkuat oleh Raymond Bauer yang mengamati khalayak sulit untuk dipersuasi. Menurutnya, khalayak kepala batu

(audience distinate). Bauer menolak gagasan, bahwa terdapat hubungan penetrasi langsung antara komunikator dan khalayak. Faktor lain seperti 53

komunikasi kelompok, komunikasi antar pribadi, dan selektivitas dari khalayak merupakan faktor-faktor yang cukup berpengaruh terhadap perubahan sikap, persepsi, dan perilaku khalayak.

Tahapan ke-3 dalam penelitian tentang media massa adalah munculnya Uses and Gratification Theory yang menggambarkan khalayak sangat aktif dan mengarah pada satu tujuan. Menurut teori ini khalayak bertanggung jawab sepenuhnya dalam pemilihan media untuk memenuhi kebutuhannya.

Pada tahun 1940, Paul Lazarfeld dan kawan-kawan melakukan penelitian untuk mengetahui pengaruh media massa dalam kampanye pemilu pada perilaku memilih. Apa yang mereka temukan sangat mengejutkan. Media massa hampir tidak berpengaruh sama sekali. Media massa tidak sanggup mengubah perilaku memilih. Media massa lebih berfungsi untuk memperteguh keyakinan yang ada. Pengaruh media massa juga disaring oleh pemuka pendapat. Mereka menemukan bahwa pengaruh interpersonal ternyata lebih dominan daripada pengaruh media massa (Rakhmat, 2001: 200).

Namun, pada tahun 1970-1980 para ahli komunikasi kembali ke pengaruh kuat media massa. Sejak itu televisi menjadi pusat perhatian karena dianggap memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mempengaruhi khalayak. Dalam Teori Ketergantungan (Dependency

Theory) yang dikemukakan oleh Sandra Ball-Rokeach dan Melvin deFleur 54

dinyatakan, bahwa khalayak bergantung pada informasi media untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu (Littlejohn, 1996: 345).

Penelitian Mendelson pada tahun 1973 menunjukkan, bahwa kampanye perihal keselamatan mengemudi di televisi telah mendorong 35 ribu pemirsa untuk mendaftarkan diri pada kursus latihan mengemudi

(Rakhmat, 2001: 200).

Di Jerman, Elisabeth Noelle-Neumann merupakan sarjana yang menekankan pentingnya kembali pada efek perkasa dari media massa.

Menurutnya ada 3 faktor penting yang dimiliki oleh media massa, yakni ubiquity (serba ada), akumulasi pesan, dan keseragaman wartawan.

Dengan sifatnya yang serba ada, agak sulit bagi masyarakat untuk menghindari pesan media massa. Sementara itu pesan-pesan media bersifat kumulatif, dari sepotong-sepotong menjadi satu kesatuan setelah beberapa waktu. Pesan yang berulang-ulang dapat memperkokoh dampak media massa. Dampak ini diperkuat dengan keseragaman para wartawan dalam pemberitaan mereka. Karena khalayak tidak memiliki alternatif lain, sehingga persepsi terbentuk berdasarkan informasi yang diterima dari media massa (Rakhmat, 2001: 201).

Futuris telah meramalkan bahwa abad XXI akan menjadi abad informasi. Pada abad ini terjadi revolusi komunikasi yang disebut ledakan informasi. Sekarang ini kita semakin sadar bahwa teknologi komunikasi yang baru (media massa) tengah membentuk dan mengubah cara dan pola hidup masyarakat. Media massa seperti televisi telah mengubah pola 55

waktu istirahat atau santai, alat transportasi, kesehatan, politik, pendidikan, dan seluruh elemen kehidupan.

Sebagai partai baru, kemampuan Partai Demokrat meraih posisi ketiga dalam pemilu legislatif membuktikan bahwa figur-figur dan program partai yang dikemas melalui media massa sehingga memiliki daya tarik yang luar biasa dan telah berhasil membius massa. Akibatnya partai-partai yang telah lebih dahulu mapan seperti PAN, PKB, dan PKS, harus puas menerima posisi mereka di bawah bayang-bayang Partai Demokrat.

Kemudian pada pemilu 2009, keperkasaan media massa kembali muncul dengan munculnya Gerindra sebagai partai baru dan berhasil lolos dalam PT(Parlemen Threshold). Partai Gerindra adalah salah satu partai yang memiliki anggaran terbesar dalam penggunaan kampanye media massa, disusul kemudian partai Demokrat, PAN, Golkar, PDIP, PKS,

Hanura, PPP, dan PKB. Kenyataannya bahwa keseluruhan partai tersebut memperoleh perolehan suara yang besar dan berhasil lolos PT pemilu

2009.

Harold D.Laswell dalam Achmad (1992: 36) menyajikan model komunikasi yang cukup sederhana, yakni “who, says what, in which channel, to whom, with what effect (siapa, berkata apa, melalui saluran yang mana, kepada siapa, dengan efek apa). Siapa, meliputi subjek pemberitaan media, orang atau partai. Dalam kampanye pemilu subjek berita adalah caleg dan partainya. Berkata apa, meliputi apa yang diberitakan atau isi pesan. Biasanya pesan-pesan kampanye berisi janji- 56

janji caleg dan partai yang akan dilakukan apabila mereka yang terpilih.

Saluran yang mana, berarti media apa yang digunakan. Dalam kampanye pemilu 2009 beberapa media digunakan baik media cetak maupun elektronik. Begitu pula komunikasi kelompok dan komunikasi intra personal.

Kepada siapa artinya objek atau sasaran informasi (khalayak).

Khalayak dalam komunikasi massa memiliki pandangan yang cenderung bersifat kontroversial antara khalayak aktif dan khalayak pasif. Khalayak aktif adalah orang yang membuat keputusan secara aktif tentang bagaimana menggunakan media sehingga ia tidak mudah terpengaruh olehnya. Khalayak pasif menyiratkan bahwa orang tersebut mudah dipengaruhi oleh media secara langsung (Bahpiarti, 2002 : 25).

Frank Biocca (Littlejohn, 1996: 233), mengemukakan 5 karakteristik khalayak aktif, yakni; pertama, selektivitas (selectivity), dimana khalayak sangat selektif terhadap informasi yang menerpanya. Jika dianggap tidak bermanfaat, maka ia akan menolak informasi tersebut. Kedua, asas manfaat (utilitiarisme) untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu.

Dalam hal ini, khalayak akan menyesuaikan informasi dengan kebutuhannya. Khalayak hanya menerima informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Ketiga, kesengajaan (intentionality), dimana khalayak sengaja memilih informasi karena tujuan tertentu. Keempat, keterlibatan/ usaha (involvment), yakni menghadiri, memikirkan, dan menggunakan media tersebut sesuai dengan tujuannya. Kelima, khalayak tidak mudah 57

terpengaruh atau tidak mudah dihasut oleh media lain (impervious to influence).

Dengan efek apa adalah pengaruh yang timbul setelah terjadinya komunikasi. Efek kampanye tidak sama pada setiap orang. Menurut penelitian semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin resisten terhadap pengaruh, karena mereka lebih kritis terhadap informasi yang menerpanya.

Nan Lin, menyatakan bahwa pengaruh adalah ketidaksesuaian antara (a) sikap seseorang terhadap objek atau situasi, atau pola-pola perilakunya, sebelum dia dengan sengaja atau tidak berpartisipasi dalam proses komunikasi/ pertukaran pesan, dan (b) sikap atau pola perilakunya setelah proses tersebut terjadi (Zulkifli, 2000: 48). Nan Lin melihat bahwa informasi berpengaruh terhadap seseorang jika terjadi perubahan dalam bentuk sikap dan perilaku. Artinya perubahan itu dapat diamati dari luar, misalnya sikap mendukung atau tidak mendukung partai tertentu, dan perilakunya tampak ketika sudah memilihnya.

Berbeda dengan Nan Lin, Cangara (2003: 163) menyatakan bahwa pengaruh bisa terjadi dalam bentuk perubahan pengetahuan, sikap dan perilaku. Pada tingkat pengetahuan pengaruh bisa terjadi dalam bentuk perubahan persepsi dan pendapat. Sedang perubahan sikap terjadi dalam bentuk perubahan internal pada diri seseorang yang diorganisir dalam bentuk prinsip sebagai hasil evaluasi. Perubahan perilaku dimaksudkan sebagai perubahan yang terjadi dalam bentuk tindakan. Antara perubahan 58

sikap dan perilaku terdapat hubungan yang erat. Perilaku biasanya didahului oleh perubahan sikap, tetapi kadangkala perubahan sikap mengikuti perubahan perilaku. Faktor lain yang perlu mendapat perhatian dalam pengaruh adalah tanggapan balik (feed back), yaitu pengaruh yang langsung diterima oleh sumber dari penerima, baik berupa data, pendapat, komentar, atau saran.

B.3. Perencanaan Program Kampanye

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa program kampanye setidaknya menerapkan 3 tahap manajemen, yakni perencanaan

(planning), pelaksanaan (actuating), dan evaluasi (evaluating). Apa saja yang harus direncanakan? Menurut Ruslan (2000:68), keberhasilan sebuah program kampanye tidak saja ditentukan oleh strateginya, tetapi juga perencanaan materi dan isi kampanye yang baik, menarik, jelas, dan langsung mengena pada sasaran. Untuk itu materi kampanye sebaiknya meliputi: tema atau topik isu yang menarik, tujuan kampanye, program atau perencanaan acara dalam kampanye, dan sasaran yang hendak dicapai.

Tema, topik, dan isu yang akan diangkat ke permukaan harus menarik dan bersifat aktual, jangan kadaluarsa. Bila mengkampanyekan mengenai kebutuhan petani, maka temanya seputar masalah yang timbul akibat marjinal petani yang terjadi pada waktu-waktu terakhir. Tujuannya untuk menggugah perasaan dan menarik perhatian mereka. 59

Disamping tema atau topik yang menarik, masyarakat juga harus tahu tujuan diadakannya kampanye. Untuk melibatkan khalayak dalam kampanye, mereka harus mengetahui tujuan mereka melakukannya. Jika menguntungkan, maka dengan sukarela mereka akan berpartisipasi didalamnya.

Tujuan kampanye yang jelas harus didukung oleh program atau perencanaan acara yang jelas pula. Meskipun tujuan bagus, namun jika tidak didukung oleh program yang baik, maka sasaran atau target yang diinginkan tidak akan memuaskan. Program kampanye baik berupa dialog, orasi, seminar, pendekatan individual, dan lain-lain harus direncanakan dengan baik. Jangan bersifat tiba masa tiba akal.

Sasaran dari kampanye yang hendak dicapai. Dalam hal ini, sasaran atau target yang ingin dicapai dalam kampanye program kegiatan sosial adalah untuk memberikan sentuhan langsung kepada kebutuhan dasar petani, menunjukkan sikap positif terhadap pemilih petani, dan berperilaku baik dan hormat pada petani, dan selanjutnya pemilih petani akan memilih caleg partai Demokrat sebagai wakil mereka dilegislatif.

Selain hal-hal tersebut di atas ada beberapa hal yang juga tidak kalah pentingnya, yakni analisis situasi dan audit komunikasi, waktu, publik, media yang akan digunakan, anggaran kampanye, evaluasi

(Ruslan,2000; 69). Komunikasi akan efektif jika dilakukan dalam situasi yang tepat. Dalam komunikasi yang penting bukan apa yang dikatakan

(what to say) tetapi bagaimana mengatakannya (how to say). Kata yang 60

sama tetapi disampaikan dengan cara yang berbeda akan menimbulkan respon yang berbeda (Mulyana, 2001: 99).

Ketepatan waktu kampanye turut mempengaruhi pengaruh kampanye. Informasi sangat banyak dan cepat berganti, sehingga mudah dilupakan. Oleh karena itu pelaku harus mengatur waktu kampanye yang tepat, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama. Hal ini sesuai dengan apa yang ditetapkan oleh KPU yang mengatur masa kampanye selama 3 minggu dan 3 hari sebelum pemungutan suara (UU RI, 2003: 44).

Demikian pula publik sasaran kampanye harus diperhatikan. Setiap publik memiliki karakteristik yang berbeda, sehingga komunikasinya juga berbeda. Dengan memilih waktu dan publik yang tepat anggaran kampanye pun dapat diukur. Meskipun dana besar tetapi kegiatan tidak direncanakan tentu akan menghasilkan kegagalan.

Selanjutnya, mengevaluasi rencana yang sudah disusun sekaligus mengevaluasi pelaksanaannya apakah berhasil atau tidak. Evaluasi juga dibutuhkan untuk mengukur kekuatan, kelemahan, peluang, dan hambatan yang dimiliki.

Untuk mencapai keberhasilan dalam program kampanye kesejahteraan petani, bergantung pada apa dan bagaimana kesungguhan dan kehendak (goodwill) masing-masing parpol dan calegnya. Jika mereka berpihak pada kepentingan petani maka mereka akan serius memperjuangkan caleg yang berpihak kepada petani masuk ke legislatif. 61

Namun, kenyataan di lapangan membuktikan bahwa kesejahteraan petani baru sekedar wacana untuk menarik perhatian petani.

Indonesia dan Amerika memiliki kesamaan dalam kampanye, yakni mobilisasi massa dari partai politik. Hasil penelitian di AS bahwa sekitar

80% orang yang terlibat dalam kampanye tetap tidak tahu apa-apa tentang politik. Para peneliti menyebutnya ‘kejahilan yang tetap’. Jika di

Amerika saja, yang rata-rata tingkat pendidikan pemilihnya cukup tinggi, rata-rata yang memobilisasi massa itu tidak memberikan pendidikan politik yang berarti, apalagi untuk kondisi Indonesia. Kampanye politik hanya menjadi sebuah dramaturgi, sebuah permainan sandiwara. Yang menentukan pengambilan keputusan pemilih bukanlah isu-isu politik melainkan kepribadian calon atau aktor- aktor politik (Rakhmat, 1998: 88).

Dalam studi tentang dampak media massa oleh Gitlin and Gitlin di

Amerika, konsep ‘pengaruh pribadi’ telah memperoleh status yang sedemikian tingginya sehingga konsep itu diacu sebagai ‘paradigma dominan’ dalam pembahasan kritis belakangan ini (McQuall, 1987: 244).

Berkaitan dengan ini, hipotesis dari Katz dan Lazarfeld menjelaskan kurangnya dampak langsung media terhadap perilaku pemilih. Menurut mereka, perilaku masyarakat tidak dipengaruhi oleh pesan yang disampaikan melalui media massa, tetapi lebih dipengaruhi oleh orang- orang tertentu, serta testimoni dari berbagai kalangan masyarakat.

Hipotesis ini bertentangan dengan hipotesis sebelumnya yang menyatakan bahwa media massa memiliki kekuasaan yang sangat besar 62

untuk mempengaruhi khalayak. Namun, jika dilihat saat ini para elit politik diformat sedemikian rupa agar nampak menarik tampil di media. Misalnya, penampilan SBY atau Obama yang selalu terjaga, senyumnya selalu diatur, caranya berjalan dan berdiri semua dijaga pada saat berada di hadapan media. Tapi tidak sedikit tokoh lainnya yang hancur akibat penampilan buruk di media massa, seperti Saddam Husain, Muammar

Khadafi, Gus Dur, Taufik Kiemas, dan lain-lain.

Studi-studi tersebut di atas memberikan penguatan, bahwa komunikasi antar persona (komunikasi tatap muka) cukup berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku orang lain. Nampaknya, hal ini dapat kita buktikan di Indonesia. Pendekatan pribadi yang dilakukan oleh pengurus partai dan calegnya sangat efektif mempengaruhi pilihan rakyat.

Isu yang berkembang bahwa beberapa partai besar senang berkunjung ke rumah-rumah penduduk desa. Komunikasi antarpersona lebih mendekatkan hati dan perasaan seseorang dengan orang lain, sedangkan media massa tidak memberikan peluang untuk berkomunikasi.

C. Isu Putera Daerah

Isu putra daerah bukan hanya ramai pasca Pemerintahan Orde

Baru tumbang, pada Zaman Pak Harto berkuasapun yang namanya putra daerah sudah jadi isu nasional, namun dengan kuatnya pemerintahan orde baru, tidak sampai kenyataan keterlaluan seperti zaman reformasi sekarang. Coba tengok pemilihan bupati, walikota dan gubernur, para calon beserta wakilnya hampir 100% putra daerah setempat, nyaris 63

mustahil seorang non Bali menjadi Gubernur Bali atau seorang non

Papua menjadi Gubernur Papua seperti dulu. Padahal UU No. 12 tahun

2008 dan Peraturan Pemerintah No. 49 tahun 2008, tak mencantumkan syarat putra daerah bagi calon kepala daerah dan wakilnya http://rustinah.multiply.com/journal/item/40isu_Putra_daerah. dunduh 20

Mei 2013).

Sengitnya kompetisi pilkada langsung, membawa implikasi pada sengitnya perebutan isu lokal untuk mengukuhkan positioning di benak khalayak. Sayangnya kebanyakan kandidat kehabisan kreatifitas isu lokal yang mendorong lahirnya personifikasi isu lokal. Apa yang akhir-akhir ini marak di berbagai daerah, adalah munculnya isu “putra daerah” sebagai strategi branding image.

“Saatnya Putra Daerah Memimpin”, Putra Daerah: Asli Lho...!”.

“Putra Daerah Yes, Pendatang No”, begitulah sedikit dari sekian banyak jargon-jargon kandidat pilkada yang tersebar di berbagai wilayah di

Indonesia. Di tengah upaya penumbuhkembangan nilai-nilai demokrasi, pluralisme, kesetaraan dan keterbukaan seperti sekarang ini, isu-isu yang menggiring pada lokalitas dan etnisitas seperti di atas terlihat nyinyir dan jadul.

Dalam konteks isu putra daerah, apa yang pantas dipertanyakan adalah apa sesungguhnya definisi putra daerah? Dan benarkah putra daerah berkaitan langsung dengan kontekstualisasi pembangunan di daerah, berhubungan dengan kesejahteraan rakyat daerah dan 64

berkorelasi dengan tepat dan jitunya desain proses daerah? Dan masih banyak pertanyaan lagi yang mesti mendapat jawaban yang objektif dan logis.

1. Kategori Putra Daerah

Paling tidak putra daerah bisa kita kategorisasikan dalam beberapa level. Pertama, adalah putra daerah geografi-biologis, yakni kandidat yang dilahirkan di daerah tersebut. Baik dengan orang tua yang asli daerah tersebut ataupun dengan orang tua dari luar daerah. Kedua, adalah putra daerah ekonomis-pragmatis, yakni kandidat yang berasal dan lahir dari daerah lain, tapi karena kepentingan tertentu (baca: pekerjaan, ekonomi) ia berlalu lalang atau bahkan bertempat tinggal di daerah tersebut. Ia memiliki jejaring politik dan/atau ekonomi dengan kekuatan-kekuatan ekonomi-politik lokal. Dan dengan jejaring tersebutlah, ia membangun konstelasi bisnis dan politiknya, termasuk menuju medan kontestasi pilkada. Ketiga, adalah putra daerah sosio-ideologis, yakni kandidat yang, dalam kurun waktu lama, hidup, tumbuh, berkembang dan berinteraksi dengan masyarakat, membangun ikatan emosional dengan masyarakat, serta menjadi bagian dari masyarakat tersebut.

Dalam konteks kategorisasi tersebutlah isu putra daerah menjadi terasa nyinyir dan jadul. Oposisi biner antara putra daerah dan bukan putra daerah justru akan merusak bangunan demokrasi dan tatanan dunia kehidupan sosial. Isu putra daerah yang dimaknai secara sempit akan menumbuhkembangkan kembali semangat primordialisme, yaitu rasa 65

kesukuan yang berlebihan. Memandang personifikasi dari latar belakang kesukuannya, sehingga dalam melihat persoalan selalu menggunakan perspektif dan nilai ajaran sukunya sendiri secara sempit dan manipulatif.

2. Primordialisme

Bangkitnya primordialisme akan mengancam kerukunan dan integritas masyarakat secara luas. Akan muncul rasa tidak senang, cemburu, curiga, yang mengarah pada kebencian dan penolakan terhadap orang lain yang diidentifikasi bukan bagian dari kelompoknya yang pada gilirannya bisa melahirkan tribalisme. Perang antar etnik atau antar suku yang sudah banyak terjadi di berbagai wilayah di Indonesia.

Isu putra daerah merupakan bentuk perongrongan secara laten terhadap nilai-nilai kesetaraan dan pluralisme, serta proses integrasi sosial. Lebih dari itu adalah pencederaan terhadap subtansi nilai demokrasi. Demokrasi memberikan hak yang sama bagi setiap orang untuk memilih dan dipilih dalam aktivitas politik, baik itu pemilihan bupati maupun walikota. Menghembuskan isu putra daerah berarti menghalang- halangi, sekaligus menghilangkan kesempatan seseorang untuk turut berkompetisi secara fair dalam setiap aktivitas politik.

Memang, menjelang pilkada tahun 2013 ini, suhu politik di berbagai wilayah di Indonesia meningkat sejalan dengan semakin banyaknya bakal calon Gubernur, Bupati dan Walikota melakukan konsolidasi dan merebut simpati masyarakat dengan berbagai teknik propaganda dan marketing politik. Dinamika tersebut bisa dimaknai sebagai kontestasi pendidikan 66

politik bagi rakyat. Dengan pilkada langsung diharapkan rakyat bisa menentukan pilihan yang tepat, yakni seorang kepala daerah yang kompeten dan berintegritas untuk membangun dan memajukan daerah.

3. Propaganda

Jargon-jargon putra daerah dan primordialisme lainnya, memang hanyalah salah satu bentuk propaganda komunitas politik. Banyak kandidat yang sebelumnya tak pernah berbuat apapun untuk kemajuan daerahnya tiba-tiba menampilkan dirinya dengan penuh kebanggan sebagai asli putra daerah. Dan itu absah saja dalam sebuah kompetisi politik semacam pilkada. Namun begitu propaganda politik yang bersifat primordial dan narsis akan menciptakan relasi komunikasi yang tidak fair antar kandidat walikota/bupati. Bahkan dalam konteks tertentu hal tersebut bisa dikatakan sebagai kekerasan simbolik dan kekerasan semiotik. Bahayanya adalah jika pola komunikasi yang diwarnai kekerasan semiotik ini ditelan mentah-mentah oleh khalayak, maka kekerasan dan anarkhisme horisontal sangat mungkin terjadi.

Menjadi seorang pemimpin daerah bukanlah sekedar tampil di puncak kekuasaan lalu beretorika dengan pidato yang memukau dengan penampilan yang elegan. Juga tidak dibutuhkan silat lidah dalam suatu teknik propaganda. Rakyat memiliki hak konstitusional untuk memilih pemimpinnya, siapapun itu dan dari manapun asalnya, asal memenuhi ketentuan perundang-undangan yang berlaku di Negara Kesatuan

Republik Indonesia. 67

Rakyat hak konstitusional untuk mendapatkan layanan berkualitas, yakni suatu layanan berupa gerak pembangunan yang sejalan dengan aspirasi rakyat, konstitusi dan tujuan nasional bangsa. Atas dasar itulah, semestinya kita membangun cara berpikir dan sikap kita untuk menilai para bakal calon Bupati dan Walikota berdasar atas sejauh mana integritas, kompetensi, kapabilitas dan akseptabilitasnya. Bukan atas dasar ragam propaganda dan retorikanya, apalagi ragam propanda dan retorika yang nyinyir dan jadul seperti isu putra daerah. Kandidat memang boleh bicara apa saja, tapi rakyatlah pemilihnya.

(http://mochtarwoetomo.blogspot.com.2010 menyoal isu putra daerah dalam pilkada., diunduh 20 Mei 2013).

D. Money politik (Politik Uang)

Salah satu pertimbangan peralihan mekanisme pilkada oleh DPRD menjadi pilkada langsung adalah untuk memangkas pollitik uang (money politics), logikanya calon tidak punya kemampuan untuk membeli suara rakyat yang jumlahnya banyak. Namum fakta menunjukkan bahwa dalam pilkada langsung pun politik uang berlangsung meski dengan ongkos yang makin mahal karena melibatkan pemilih dalam satu daerah pemilihan.

Sewaktu pemilihan kepala daerah oleh DPRD politik uang juga mengemuka namun dalam pilkada secara langsung semakin meluas, misalnya, 147 warga Kampung Bantarpanjang, Kecamatan Warudoyong,

Kota Sukabumi, mendapat amplop berisi uang Rp 10.000 dengan pesan agar memilih salah satu peserta pilkada (Kompas, 10 April 2008). Uang ini 68

digunakan mulai dari menentukan parpol pengusung, kampanye besar- besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya memengaruhi pilihan masyarakat. Syamsuddin Haris mengatakan bahwa partai politik dalam mengusung calon dalam pilkada lebih pada pertimbangan kemampuan finansial calon yang membutuhkan “perahu” partai politik (www.komunitasdemokrasi.or.id/pilkada.pdf. diunduh tgl. 27

Maret 2011). Disebutkan harga yang dipatok oleh partai politik antara Rp 1 miliar hingga 2 miliar bagi satu calon bupati yang didaftarkan ke KPUD

(kompas, 19 April 2005). Di Pemilihan Gubernur Riau seorang kandidat harus menyediakan “uang pinangan” sedikitnya Rp 400 juta perkursi demi mendapatkan “perahu”. Dalam hal ini semakin strategis posisi parpol, jumlah uang lamaran semakin besar (Kompas, 6 Juli 2011).

Ketika kemampuan dana calon menjadi pertimbangan, maka terbuka ruang bagi masuknya sumber-sumber dana dari pihak luar, termasuk kemungkinan dana ilegal. Seperti studi Syarif Hidayat (Bisnis dan Politik di tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggaraa

Pemerintahan Pasca Pilkada) (2006:276) yang menemukan bahwa modal ekonominya yang dimiliki oleh masing-masing kandidat kepala daerah/wakil kepala daerah cenderung merupakan kombinasi antara modal pribadi dan bantuan donatur politik (Pengusaha), serta sumber- sumber lain. Dalam artikelnya, Leo Agustinino dan Muhammad Agus

Yusoff (Pilkada dan Pemekaran daerah dalam Demokrasi Lokal di 69

Indonesia: Local Strongmen dan Roving Bandit) (2010) mengatakan bahwa:

“Untuk membiayai itu semua mendanai pelbagai biaya aktiviti kempen, biaya menyewa pakar political marketing, biaya untuk membangun sarana fisik di kantung-kantung undi, biaya image building dan image bubbling (pensuksesan diri calon) dan banyak calon yang tidak memiliki cukup dana. Maka dari itu, calon kepala daerah acap kali mencari para pengusaha untuk bergabung sebagai investor politik. Sebagai imbalan investasi atas keikutsertaan mereka (sebagai pelabur/investor politik) dalam menjayakan calon dalam pilkada, maka para pengusaha dijanjikan akan dapat banyak hak istimewa (perlindungan ekonomi dan politik).

Logikanya mereka yang berhutang untuk biaya pilkada, akan membalas jasa melalui berbagai konsensi kepada pihak yang mengongkosinya pasca pilkada dan pada akhirnya meminggirkan aspirasi masyarakat luas. Situasai ini pula yang belakangan melahirkan perilaku korup para kepala daerah guna mengembalikan hutang-hutang semasa pilkada, karena seperti pendapat Eko Prasojo, bahwa biaya yang dikeluarkan ini (menentukan partai pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya mempengaruhi pilihan masyarakat) harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada

(ditpolkom.bappena.go.id/.../2007 pdf, diunduh tgl. 11 Desember 2011). 70

Selain secara finansial merugikan masyarakat daerah dengan korupsi

APBD, praktik politik uang juga mencederai terwujudnya pemilu yang demokratis. Suatu pemilu yang demokratis, jujur dan adil (free and fair electios) adalah pemilu yang bebas dari kekerasan, penyuapan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi pemilu.

Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang pemisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput

(pilkades) praktek politik uang tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa politik uang secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi (2003:228). Studi Nico L. Kana di

Kecamatan Suruh, misalnya menemukan bahwa pemberian uang sudah biasa berlangsung tiap pilkades pada masa sebelumnya, oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai simbol tali kasih (2001:9).

Perihal politik uang dari sudut pemilih pilkada, Sutoro Eko (2004) juga punya penjelasan. Menurutnya politik uang terjadi karena kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya aturan main, dan seterusnya.

Dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan

Daerahlah yang menjadi landasan normatif bagi penerapan pilkada secara langsung telah membuat sistem di daerah seharusnya semakin demokratis karena rakyat dapat menentukan siapa calon yang paling disukainya. 71

Atas dasar undang-undang itu mulai tahun 2005, tepatnya pada bulan Juni 2005, pergantian kepala daerah telah dilakukan secara langsung. Pilkada secara langsung juga diharapkan dapat meminimalkan praktik politik uang karena calon pemimpin poltik tidak mungkin “membayar seluruh rakyat, maupun kecurangan-kecurangan lain yang selama ini menjadi kekurangan dalam pilkada-pilkada sebelumnya.

Sebagai gambaran, sebagian besar pemilihan kepala daerah yang berlangsung selama UU No. 22 tahun 1999 selalu menimbulkan gejolak di daerah, seperti di Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Madura, dan Sejumlah daerah lainnya. Dalam kasus-kasus ini, timbulnya gejolak selalu disebabkan oleh penyimpangan-penyimpangan yang sama, yakni distorsi aspirasi publik, indikasi politik uang, dan oligarki partai yang tampak dari intervensi

DPP partai dalam menentukan calon kepala daerah yang didukung fraksi

(Dede Mariana, 2007:47).

Namun pelaksanaan pilkada secara langsung tidak menyelesaikan persoalan tersebut, melainkan hanya sebatas hingar-bingar peristiwa pemungutan suara pada hari pemilu dan bahkan kini menimbulkan paradoks. Mendagri Gamamwan Fauzi menyatakan, pilkada langsung berdampak pada biaya politik yang tinggi. Dikaitkan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, Mendagri menambahkan, biaya besar tersebut seperti menjadi paradoks karena untuk menjadi kepala daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (kompas, 21

Juli 2010). Dibandingkan model memilih kepala daerah oleh anggota 72

DPRD, model memilih kepala daerah secara langsung memerlukan biaya lebih besar yang harus di sediakan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan maupun oleh para kandidat yang berkompetisi. Belanja kandidat antara: (1) belanja kampanye, (2) belanja saksi, (3) belanja kandidat di partai politik/pendukung di jalur perseorangan. Bank Indonesia memperkirakan pilkada yang berlangsung di 244 daerah tahun 2010 menelan biaya sekitar Rp 4,2 triliun dari anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk penyelenggaraan dan dana kampanye, yang ditanggung para kandidat kepala daeah (www.antaranews.com/...bi- perkiraan-biaya-pilkada-2010-capairp4..., diunduh tgl. 26 Desember 2011).

Memang dalam pemilu tidak semua uang yang dikeluarkan kandidat dan digunakan dalam kegiatan pemilu termasuk dalam kategori politik uang, yang dikonotasikan sebagai uang haram. Untuk membedakannya, simak definisi uang politik dan politik uang.

Yang dimaksud dengan uang politik adalah, uang yang diperlukan secara wajar untuk mendukung operasionalisasi aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan oleh peserta pilkada. Besarnya ditetapkan oleh dengan UU dan PP. Contohnya biaya administrasi pendaftaran pasangan kandidat, biaya operasional kampanye pasangan kandidat, pembelian spanduk dan stiker, dan lain sebagainya. Sumbernya bisa berasal dari simpatisan dengan tidak memiliki kepentingan khusus dan besarnya ditentukan dalam

UU dan PP. Adapun yang dimaksud dengan politik uang adalah, uang yang ditujukan dengan maksud-maksud tertentu seperti contohnya untuk 73

melindungi kepentingan bisnis dan kepentingan politik tertentu. Politik uang bisa terjadi ketika seorang kandidat membeli dukungan parpol tertentu atau membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan iming-iming imbalan yang bersifat finansial. Politik uang bisa juga terjadi ketika pihak penyandang dana juga terjadi ketika pihak penyandang dana berkepentingan bisnis maupun politik tertentu. Bentuknya bisa berupa uang, namun bisa pula berupa, bantuan-bantuan sarana fisik pendukung kampanye pasangan kandidat tertentu (Teddy Lesmana, 2011).

Sumbangan politik uang terhadap kebutuhan dana dalam jumlah besar, terutama untuk komponen tidak resmi yang harus dikeluarkan kandidat, signifikan. Ini setidaknya dapat dilihat dari pendapat Hanta Yuda

AR. Menurutnya biaya besar yang karena pilkada kerap disertai dengan praktek politik uang dan pemakelaran pencalonan kepala daerah. Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya pilkada semakin menggelembung dan ongkos demokrasi semakin tinggi (koran Tempo, 23

November 2010).

Menurut wahyudi Kumorotomo (2009) ada beragam cara untuk melakukan politik uang dalam pilkada langsung, Yakni: (1) Politik uang secara langsung bisa berbentuk pembayaran tunai dari “tim sukses” calon tertentu kepada konstituen yang potensial, (2) Sumbangan dari para bakal calon parpol yang telah mendukungnya, atau (3) “Sumbangan wajib” yang disyaratkan oleh suatu parpol kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota. Adapun politik 74

uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian semen di daerah pemilihan tertentu, dan sebagainya. Para calon bahkan tidak bisa menghitung secara persis berapa yang mereka telah habiskan untuk sumbangan. Hadiah spanduk, dan sebagainya, disamping biaya resmi untuk pendaftaran keanggotaan, membayar saksi, dan kebutuhan administratif lainnya.

Ramlan Surbakti (Kompas, 2 April 2005), mencatat bahwa peluang munculnya politik uang dalam pilkada dapat diidentifikasi sejak awal, yakni

Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan “sewa perahu”, baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya.

Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar jauh sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung dibalik layar. Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Karena berlangsung dibalik layar, maka sukar mengetahui siapa dan berapa besarnya dana yang diterima. Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa 75

yang akan terpilih menjadikan kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui “perantara politik” yang ditunjuknya disetiap desa. Keempat, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang memengaruhi pemilih melalui “perantara politik” di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan “rasional” bagi pasangan calon”.

Jika ramlan Surbakti masih melihat potensi politik uang dalam

Pilkada, Didik Supriyanto mengangkatnya dari fakta empiris. Menurutnya, berdasarkan aktor dan wilayah operasinya, politik uang dalam pilkada bisa dibedakan menjadi empat lingkaran sebagai berikut: (1) Lingkaran satu, adalah transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pasca pilkada; (2) Lingkaran dua, adalah transaksi antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan; (3) Lingkaran tiga, adalah transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan petugas-petugas pilkada yang mempunyai wewenang untuk menghitung perolehan suara; dan (4) lingkaran empat, adalah transaksi antara calon dan tim kampanye dengan massa pemilih

(pembelian suara) (Transkrip Diskusi Publik terbatas, 76

ijrsh.files.wordpress.com/2008/06/politik-uang-dalam-pilkada.pdf, diunduh tgl. 24 Desember 2011).

Terkait politik uang yang makin menguat. Lingkaran Survei

Indonesia (LSI) pernah membuat survei khusus untuk mengukir tingkat skala politik uang dalam pilkada. Survei tersebut dilakukan dengan populasi nasional pada Oktober 2005 dan Oktober 2010. Survei menggunakan metode penarikan sampel Multistage Random Sampling

(MRS). Jumlah sampel sebanyak 1.000 orang responden tingkat kesalahan sampel (sampling error) sebesar plus minus 4%. Hasil survey menunjukkan publik yang menyatakan akan menerima uang yang di berikan oleh kandidat mengalami kenaikan. Pada tahun 2005, sebanyak

27,5% publik menyatakan akan menerima uang diberikan calon dan memilih calon yang memberi uang. Angka ini naik menjadi 37,5% di tahun

2010. Demikian pula Publik yang mempersepsi bahwa politik uang akan mempengaruhi pilihan atas kandidat, juga mengalami kenaikan dari 53,9% di tahun 2005 menjadi 63% di tahun 2010

(suarapublik.co.id/index.php?...politik-uang. Diunduh tgl.24 Desember

2011). Situasi ini tidak lepas dari adanya perubahan radikal terhadap karakter dan perilaku pemilih pascareformasi, khususnya setela Pemilu

1999. Kacung Marijan (Kompas, 7 Agustus 2008) menyebut keikutsertaan pemilih dalam pemilih 1999 sebagai pemilih bercorak sukarela (Voluntary).

Dimana terjadi keterlibatan yang intens dari pemilih selama proses pemilu.

Hal ini tidak lepas dari euforia reformasi yang masih dirasakan masyarakat 77

serta harapan yang besar terhadap perubahan. Pemilu 2004 menunjukkan perilakunya sudah mulai bercorak rasional. Bahkan menurut Kacung

Marijan sudah tergolong rasional pragmatis dengan melakukan praktik- praktik transaksional (jual beli suara) di mana pemilih mulai menghitung imbalan dari suara yang diberikan. Perilaku ini tidak lepas dari penilaian bahwa wakil-wakil rakyat hasil pemilu 1999 yang mereka harapkan ternyata tak mampu berbuat banyak dan tidak memberikan perubahan berarti (Marijan dalam Taufiqurrahman, 2010). Survey LSI juag menemukan kecenderungan yang sama, bahwa ada rasionalitas kedaerahan, etnisitas, agama dan kelompok dalam preferensi pemilih

(www.lsi.or.id).

Kebutuhan dana yang semakin besar mendorong politisi menggali dana dari berbagai sumber. Fenomena ini tidaklah khas Indonesia.

Sebagai gambaran, sebagaimana yang ditulis Denny JA (2006) tentang

“Uang dan Politik”, di negara Amerika Serikat yang kaya sekalipun seorang calon tidak membiayai pengeluaran pemilu sendirian. Pemilu, mulai dari anggota Kongres, Gubernur, dan Presiden, yang sangat kompetitif, sudah sedemikian mahalnya. Pada 1996, di Amerika serikat, biayanya sudah mencapai US$ 64 milyar atau sekitar Rp 150 trilyun berdasarkan nilai tukar saat itu (1996). Bagusnya Amerika Serikat memiliki mekanisme untuk meminimalisasi pengaruh uang swasta di dunia politik.

Federal Election Campaiggn Act of 1974 hanya membolehkan sumbangan pihak swasta ke politisi dalam jumlah yang sangat kecil. Sumbangan 78

perorangan hanya dibolehkan menyumbang uang ke seorang politikus paling banyak US$ 1.000 (Rp 2,3 juta berdasarkan nilai tukar !996). jika menyumbang ke banyak politikus, total sumbanganya tidak boleh lebih dari

US$ 25.000 (Rp 57,5 juta) dalam satu masa pemilihan. Sedangkan sumbangan perusahaan keseorang kandidat dibatasi US$ 5.000 (11,5 juta).

E. Mesin Politik

Sebuah mesin politik (atau mesin saja) adalah organisasi politik disiplin tempat seorang bos atau kelompok kecil otoriter memerintahkan dukungan dari sekelompok pendukung dan bisnis (biasanya pekerja kampanye) yang menerima imbalan atas usaha mereka. Meskipun elemen-elemen ini umum bagi sejumlah partai dan organisasi politik, mereka adalah dasar dari mesin politik yang bergantung pada hierarki dan imbalan demi kekuasaan politik, biasanya didorang oleh struktur cambuk politik yang kuat. Mereka kadang memiliki bos politik yang sering bergantung pada perlindungan, sistem pemanjaan, pengawasan “di balik layar”, dan hubungan politik jangka panjang di dalam struktur demokrasi perwakilan. Mesin biasanya diatur dengan dasar permanen dibanding untuk satu pemilihan saja. Sebutan ini mungkin memiliki kyesan peyoratif karena ada mesin-mesin politik yang korupsi. Mesin politik erat hubungannya dengan struktur politik yang merupakan sarana untuk melakukan semua fungsi-fungsi politik yang dimiliki. 79

Menurut Almond (1960), sistem politik merupakan organisasi melalui mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama. Sistem politik melaksanakan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk meraih tujuan-tujuan bersama yang telah dirumuskan. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan kegiatan ini sistem politik memerlukan badan atau struktur-struktur yang bekerja sama dalam sistem politik seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan dan partai politik yang melaksanakan fungsi-fungsi tertentu.

Menurut Almond dkk (1960) struktur politik dapat dibedakan ke dalam sistem, proses, dan aspek-aspek kebijakan. Struktur sistem merujuk pada organisasi dan institusi yang memelihara atau mengubah struktur politik, dan secara khusus struktur menampilkan fungsi-fungsi sosialisasi politik, rekruitmen politik, dan komunikasi politik. Ketiga fungsi ini selalu ada dalam sistem politik. Fungsi-fungsi sosialisasi politik merupakan fungsi bagaimana generasi muda dan anak-anak mendapatkan sosialisasi politik dari keluarga dan lingkungan di sekitarnya.

Rekruitmen politik melibatkan proses bagaimana pemimpin partai politik direkrut melalui partai politik. Komunikasi politik merupakan penghubung antara sistem-sistem politik di suatau negara, tanpa adanya komunikasi politik yang baik maka sistem politik tidak dapat berjalan dengan semestinya. Struktur politik melibatkan fungsi-fungsi artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuatan kebijakan dan implementasi kebijakan dilaksanakan oleh struktur politik. 80

Almond dkk, membedakan struktur politik atas infrastruktur yang terdiri dari struktur politik masyarakat, suasana kehidupan politik masyarakat, dan sektor politik masyarakat. Dan suprastruktur politik yang terdiri dari sektor pemerintahan, suasana pemerintahan, dan sektor politik pemerintahan.

Dalam kaitannya peranan atau fungsi dari lembaga politik, bahwa setiap negara menyelenggarakan fungsinya sebagai negara. Negara mempunyai apa yang dinamakan wewenang. Wewenang itu merupakan kekuasaan yang dibenarkan atau sah (legal) oleh orang. Fungsi atau peranan negara diantaranya melaksanakan penertiban agar peraturan atau kesepakatan bersama tidak dilanggar, dengan cara adanya sanksi bagi pelanggar. Menjaga keamanan di dalam negara dimana untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah terjadinya disintegrasi bangsa maka negara harus berperan melaksanakan penertiban. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dengan cara ikut campur dalam proses kegiatan ekonomi. Bahwa setiap negara harus menjaga pertahanan kedaulatan negaranya. Menegakkan keadilan melalui badan peradilan.

Lembaga politik sebagai pelaksana dari kekuasaan, memiliki fungsi sebagai berikut:

1). Membentuk norma-norma kenegaraan berupa undang-undang yang disusun oleh legislatif. 2). Melaksanakan norma yang telah disepakati. 3). Memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik bidang 81

pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, keamanan. 4). Menumbuhkan kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan bahaya. 5).

Menjalankan diplomasi untuk berhubungan dengan bangsa lain.

Lembaga-lembaga politik dibedakan menjadi dua, yaitu:

1). Suprastruktur politik (mesin politik formal), adalah lembaga- lembaga resmi pemerintahan. Kelembagaan melibatkan lembaga-lembaga resmi pemerintahan. Kelembagaan melibatkan lembaga-lemabaga negara baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Menurut Rusadi

Kantraprawija, dalam At. Sugeng (2003:5), mesin politik formal dalam konsep sering disebut dengan pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan. 2). Infrastruktur politik (mesin politik informal), berasal dari kekuatan riil masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, lemabaga swadaya masyarakat, dan media massa.

F. Perilaku Pemilih

Pada dasarnya teori perilaku dalam ilmu sosial diilhami oleh B.F.

Skinner. Skinner dan para penganut teori perilaku secara umum tertarik pada hubungan antara manusia dengan lingkungan mereka yang terdiri dari bermacam-macam obyek sosial dan non sosial. Mereka berargumentasi bahwa perilaku individu merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya. Penganut teori perilaku beranggapan bahwa individu tidak memiliki kesadaran dalam merespon stimuli. Respon 82

stimuli ditentukan oleh stimuli eksternal atau lingkungan sekitarnya (Ritzer,

1992, dalam Sultan 1999: 23).

Dalam konteks politik, perilaku berkaitan dengan respon atau interaksi pemilih terhadap sebuah sistem politik, yang diwujudkan dalam bentuk sosialisasi dan partisipasi politik. Perilaku memilih pada dasarnya berawal dari asumsi mendasar mengenai kemampuan politik dari pada pemilih yang meliputi tingkat pengetahuan, pemahaman dan perhatian terhadap masalah-masalah politik. Ketika seorang pemilih akan membuat sebuah keputusan yang penting, mereka harus memahami pilihan-pilihan yang dihadapi dalam politik. Warga negara harus memiliki pengetahuan yang memadai jika mereka berkeinginan untuk memilih para kandidat.

Selama ini, para pemikir teori tetap berpendapat bahwa implementasi demokrasi baik jika publik memiliki tingkat informasi dan pemahaman politik yang tinggi. Mill, Locke, Tocqueville dan penulis lain melihat bahwa kondisi publik yang demikian itulah yang menjadi prasyarat utama keberhasilan sebuah sistem demokrasi (http:pangeran katak.blog.spot.com. 2012).

Salah satu penemuan yang paling mencengangkan dari beberapa survey empiris awal mengenai keyakinan pemilih adalah perbedaan yang mencolok antara gambaran umum dari penduduk yang demokratis dengan sifat dasar dari pemilih. Kecerdasan politik yang dimiliki publik tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang ideal secara teoritis. Bagi kebanyakan warga negara, kepentingan dan keterlibatan politik tidak lebih 83

dari sebuah tindakan memberikan suara pada pemilihan umum di tingkat nasional atau daerah. Lebih dari itu, warga negara tidak sepenuhnya memahami makna partisipasi mereka dalam politik. Tidak jelas apakah keputusan memilih mereka didasarkan pada evaluasi mereka terhadap kandidat, partai politik atau pandangan pemilih pada isu-isu tertentu atau justeru, pemberian suara dipengaruhi oleh loyalitas kelompok atau perimbangan personal.

Penelitian ini mencoba melihat apakah perilaku masyarakat dalam mengambil keputusan memilih dapat dipengaruhi oleh isu-isu tertentu yang dikemas dalam bentuk iklan politik melalui media massa. Berbagai pertanyaan besar sering dilemparkan oleh khalayak ialah, apakah media massa dapat mempengaruhi wawasan politik, sikap dan perilaku masyarakat?

Secara luas, media massa lebih cenderung menguatkan tujuan- tujuan yang ada dalam pemungutan suara daripada merubahnya. Seperti diketahui bahwa peran utama media massa dalam suatu pemilihan umum ialah menfokuskan perhatian masyarakat pada kampanye yang sedang berlangsung serta berbagai informasi seputar kandidat dan isu politik lainnya. Walaupun mungkin tidak memberi dampak langsung untuk merubah perolehan jumlah suara, namun media massa tetap mampu mempengaruhi banyaknya suara yang terjaring dalam suatu pemilu.

Menurut Noelle-Newman dalam Martina (Artikel, 28 Mei 2004), secara implisit, masyarakat membuat suatu penilaian terhadap pihak 84

maupun cara yang ditempuh untuk memenangkan pemilihan, atau isu-isu panas yang diperdebatkan. Penilaian personal yang dipengaruhi kuat oleh media massa ini diam-diam bisa berdampak pada pengurangan jumlah suara bagi pihak yang kalah. Ulasan ini seputar pemilu atau laporan berdasarkan survei secara random dapat memperkuat penilaian masyarakat, terutama tentang siapakah yang akan menjadi pemenang dan mendorong terbentuknya spiral silence diantara pihak yang merasa kalah atau menjadi pecundang.

Sementara itu, Brennan dan Lomasky (dalam Firmanzah,

2007:104), menyatakan bahwa keputusan memilih selama pemilihan umum adalah perilaku ekspresif. Perilaku ini tidak jauh berbeda dengan perilaku supporter yang memberikan dukungannya pada sebuah tim sepak bola. Menurut mereka perilaku memilih sangat dipengaruhi oleh loyalitas dan ideologi. Keputusan untuk memberikan dukungan dan suara tidak akan terjadi apabila tidak terdapat loyalitas pemilih yang cukup tinggi kepada partai atau kandidat yang diinginkan. Begitu juga sebaliknya pemilih tidak akan memberikan suaranya kalau mereka menganggap bahwa suatu partai atau kandidat yang tidak loyal serta tidak konsisten dengan janji dan harapan yang telah mereka berikan.

Selain itu perilaku pemilih juga sarat dengan kedekatan ideologi antara pemilih dengan partai politik. Masing-masing kontestan membawa ideologi yang berbeda satu dengan yang lain. Sementara itu dalam struktur masyarakat juga terdapat beragam ideoloogi yang saling 85

berinteraksi. Biasanya selama masa kampanye pemilu, muncul kristalisasi dan pengelompokkan antara ideologi yang dianut oleh masyarakat dengan ideologi yang dibawa kontestan. Masyarakat cenderung akan mengelompokkan dirinya kepada kontestan yang memiliki ideologi sama dengan yang mereka anut sekaligus juga menjauhkan diri dari ideologi yang berseberangan dengan mereka.

G. Teori yang Relevan

1. Teori Pengelompokan Sosial

Secara sosiologis istilah kelompok mempunyai pengertian sebagai suatu kumpulan dari orang-orang yang mempunyai hubungan dan berinteraksi, di mana dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama. Kelompok-kelompok sosial tersebut merupakan kesatuan- kesatuan dari manusia yang hidup bersama, punya keinginan sama, bekerja sama, bertujuan sama dan berperasaan sama. Jadi perasaan persatuan dalam kelompok sosial akan tercapai apabila setiap anggota kelompok mempunyai pandangan yang sama tentang masa depan yang bersama, dan dengan sadar diantara mereka mengetahui tugas-tugas dan syarat-syarat untuk mewujudkan masa depannya itu.

Joseph S. Roucek dan Roland L Warren (1984:34) Menyatakan bahwa kelompok sosial merupakan satu kelompok meliputi dua atau lebih manusia yang di antara mereka terdapat beberapa pola interaksi yang dapat dipahami oleh para anggotanya atau orang lain. 86

2. Teori Pesan

Menurut Littlejohn (1995) menguraikan bahwa teori pembuatan dan penerimaan pesan menggunakan tiga tipe penjelasan psikologis; penjelasan sifat, penjelasan keadaan dan penjelasan proses. Penjelasan sifat berfokus pada karakteristik individual yang relatif statis dan cara karakteristik ini berasosiasi dengan sifat-sifat variabel lain, hubungan antara tipe personalitas tertentu dan jenis pesan-pesan tertentu. Teori- teori ini memprediksikan bahwa ketika seseorang memiliki sifat-sifat personalitas tertentu, akan cenderung berkomunikasi dengan cara-cara tertentu.

Penjelasan keadaan berfokus pada keadaan dengan pikiran yang dialami seseorang dalam suatu periode waktu. Tidak seperti sifat, keadaan tertentu yang dialami seseorang mempengaruhi pengiriman dan penerimaan pesan.

Penjelasan sifat dan keadaan dapat digunakan secara bersama- sama. Perilaku hanya sebagian ditentukan oleh sifat dan situasional.

Bagaimana komunikasi pada saatnya bergantung pada sifat-sifat tertentu yang kita miliki dan situasi dimana kita menemukan diri sendiri.

Pendekatan ketiga yang ditemukan dalam teori pembuatan dan penerimaan pesan adalah penjelasan proses. Penjelasan proses berupaya menangkap mekanisme pikiran manusia. Penjelasan ini berfokus pada cara informasi diperoleh dan disusun, bagaimana memori digunakan dan bagaimana orang memutuskan untuk bertindak. 87

3. Teori perilaku

Teori Behaviorisme (perilaku) ini memiliki sejarah panjang dalam ilmu-ilmu sosial. Pada dasarnya teori-teori perilaku dalam ilmu sosial diilhami oleh B.F. Skinner dan para penganut teori perilaku secara umum tertarik pada hubungan antara manusia dengan lingkungan mereka yang terdiri dari bermacam-macam obyek sosial dan non sosial. Para penganut teori perilaku berargumentasi bahwa perilaku individu merupakan hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa kaum behavioris tertarik dengan proses interaksi, tetapi proses tersebut berbeda dengan teori-teori tentang interaksi pada umumnya. Penganut teori perilaku beranggapan bahwa individu tidak memiliki kesadaran dalam merespon stimuli (Ritzer dalam, Sultan, 1992:

418). Respon individu ditentukan oleh stimuli eksternal atau lingkungan sekitarnya. Hal ini berarti bahwa individu dianggap sebagai ‘makhluk pasif’ yang perilakunya terbentuk akibat pengaruh dari lingkungannya.

Stone dalam Sultan (1976: 6-7) memberikan tiga asumsi dasar dari teori perilaku. Pertama, perilaku individu dipelajari dari pembentukan asosiasi-asosiasi. Asosiasi di sini adalah kebiasaan-kebiasaan, yang mencerminkan hubungan antara respon dengan penguatan-penguatan dalam lingkungan. Dengan demikian perilaku manusia dianggap sebagai

‘mesin’, yang terdiri dari bagian-bagian yang saling bergantung antara satu bagian dengan bagian lainnya di mana satu bagian memberikan rangsangan untuk mendapatkan respon dari bagian yang lain. 88

Kedua, manusia pada dasarnya bersifat hedonistik, yaitu hanya mencari kesenangan dan menghindari hal-hal yang menyakitkan. Dengan demikian individu akan selalu berusaha untuk memaksimalkan hasil yang mereka inginkan dan meminimalkan kerugian.

Ketiga, perilaku manusia pada dasarnya dibentuk dan ditentukan oleh lingkungannya.

Berdasarkan uraian diatas maka dapat dijelaskan di sini bahwa model dasar dari teori perilaku ini adalah model belajar yang mekanistis: terdiri dari input dan output. Kaum behavioris melihat manusia pada dasarnya sebagai organisma yang pasif. Oleh karena itu kaum behavioris beranggapan bahwa manusia sebagai produk dari lingkungannya sehingga perilaku manusia dapat dikontrol (Stone dalam Sultan, 1976: 41-

43).

H. Penelitian yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Arifuddin (2010) dijelaskan bahwa penelitian ini bertujuan menganalisis bentuk pesan politik caleg PKS melalui layanan pesan singkat (SMS) kepada pemilih dalam pemilu legislatif 2009 di Kota Makassar; dan menganalisis pengaruh pesan-pesan politik caleg PKS melalui layanan singkat terhadap pemilih dalam pemilu legislatif 2009 di Kota Makassar.

Sampel dipilih dengan teknik nonprobability sampling sebanyak 263 orang. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara dan kuesioner. Data dianalisis dengan regresi. 89

Hasil penelitian menunjukkan bahwa caleg PKS Kota Makassar mempunyai cara yang berbeda dalam mengolah pesan politik melalui

SMS yang dikirim kepada pemilih. Pesan politik yang dikirim ada yang bersifat informatif dan ada yang bersifat persuasif. Penyusunan pesan tertentu diyakini oleh caleg dapat menarik perhatian pemilih. Semua bentuk pesan politik caleg PKS melalui SMS yang masuk ke handphone pemilih dilakukan untuk satu tujuan yang sama, yaitu mempromosikan diri agar masyarakat dapat terbujuk untuk mengalihkan pilihannya kepada caleg tersebut. Dengan demikian, pesan kampanye caleg melalui SMS signifikan dalam memprediksi sikap dan perilaku pemilih Kota Makassar.

Penelitian yang dilakukan oleh Betty Gama Dan Nunun Tri

Widarwati (2007) dijelaskan bahwa Isu dan kebijakan politik kandidat kepala daerah dalam mempengaruhi perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga cenderung tinggi. Karena itu program kerja kandidat perlu disampaikan pada saat kampanye dilakukan. Dengan mengacu kepada isu dan kebijakan politik yang ditawarkan kandidat kepala daerah tersebut diharapkan pada saat kandidat memenangkan kampanye pemilihan kepala daerah, dan selanjutnya kandidat resmi diangkat menjadi Bupati dan Wakil Bupati maka kandidat akan menepati janji-janjinya. Karena itu isu dan kebijakan politik merupakan topik penting untuk memenangkan kampanye.

Hubungan perasaan emosional kandidat terhadap perilaku pemilih ibu-ibu rumah tangga cenderung tinggi. Hal ini disebabkan karena para 90

pemilih akan sangat kecewa apabila kandidat tidak dapat menepati janji- janjinya pada saat kampanye apalagi janji tersebut terkesan arogan dan muluk-muluk. Kandidat yang sedang menjabat menjelang kampanye lebih diuntungkan daripada yang tidak mempunyai jabatan, apalagi jabatan dalam pemerintahan. Karena itu citra kandidat kepala daerah terhadap perilaku pemilih cenderung tinggi. Hal ini disebabkan karena pemilih lebih tertarik pada figur yang memiliki kecerdasan, berwibawa, kharismatik, mempunyai daya tarik fisik dan psikologis, dan sebagainya.

Komunikasi interpersonal antara kandidat dan para pemilih merupakan strategi untuk memenangkan kampanye. Karena dengan adanya pertemuan langsung itulah para pemilih dapat melihat wajah dan karakter dari kandidat secara dekat. Berkaitan hal tersebut faktor-faktor epistemik kandidat kepala daerah terhadap perilaku pemilih cenderung tinggi. Hal ini disebabkan karena para pemilih mengutamakan karakter kandidat yang baik dan patut dicontoh perilakunya.

Selanjutnya hasil penelitian yang dilakukan oleh Sudaryanti (2005) menunjukkan bahwa perubahan perilaku pemilih (PNS) tidak hanya karena adanya perubahan paradigma dalam pilkada dari pilkada dengan sistem perwakilan berubah menjadi pilkada dengan sistem pemilihan langsung yang dilandasi dengan perubahan dasar hukum. Perubahan perilaku pemilih juga diwarnai oleh media massa dan komunikasi interpersonal. Pemilih tidak cukup hanya memiliki ruang yang lebih luas untuk menggunakan hak politiknya dalam pilkada, tetapi juga memerlukan 91

informasi yang lengkap dan benar tentang pasangan kandidat yang dicalonkan, isu-isu/program politiknya, partai politik yang mencalonkannya dan sebagainya. Hal ini dibuktikan dengan perilakunya yang secara aktif mencari berbagai informasi tentang pilkada melalui media massa baik yang disediakan dikantor, berlangganan koran, membeli eceran maupun dengan menonton televisi lokal dan mendengarkan radio serta mengakses melalui internet.

Sekalipun yang terpilih nanti adalah kandidat yang diusung oleh partai politik yang mempunyai catatan khusus bagi PNS, tetapi harapan pemilih (PNS) pada calon Kepala Daerah terpilih nanti dapat memberikan suasana yang sejuk terutama bagi para pendukung partainya. Karena tindakan anarkis yang memicu terjadinya amuk massa sangat perlu untuk segera dihindari sehingga predikat Wong Solo yang ”sumbu pendek” yang sesungguhnya hanya dilakukan oleh sekelompok oknum pendukung salah satu partai politik itu tidak akan terjadi lagi. Berkaitan dengan program penyempurnaan birokrasi, perlu didasarkan pada prosedur dan mekanisme yang sudah ada. Kesempatan yang luas bagi PNS untuk menentukan pimpinan pemerintahannya, terbaca adanya keinginan dan harapan PNS untuk biasa membantu dalam pengembangan karirnya dan mampu merubah orientasi PNS dari orientasi status kearah prestasi kerja.

Tentunya hal ini tidak lagi dikecewakan oleh adanya ”Wanjab jalanan”

(Dewan Jabatan) yang berjalan diluar aturan yang sudah ada. 92

I. Kerangka Pikir

Cagub dan Cawagub “Ilham Azis”

Mesin Politik Pesan Isu Putra Daerah Politik Uang

Perilaku Memilih

Gambar 5. Dikembangkan dari Model Proses Pengaruh Kampanye dari Dennis McQuail (1987, 242)

I. Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dalam penelitian ini, maka peneliti dapat membuat proposisi bahwa:

- Pesan kampanye pencitraan isu putra daerah mempunyai pengaruh

terhadap perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur (Pilgub) Sulawesi Selatan 2013 di Kabupaten Enrekang. 93

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian dan Desain Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah bersifat deskriptif kualitatif dan kuantitatif.

Pendekatan deskriptif kualitatif dimaksudkan untuk memberikan gambaran bentuk faktor isu “Putra Daerah” dan aspek organisasi terhadap perilaku pemilih dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi

Selatan 2013 di Kabupaten Enrekang. Sedangkan deskriptif kuantitatif bertujuan untuk mengetahui pengaruh faktor isu “Putra Daerah” dan aspek organisasi terhadap perilaku pemilih dalam pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kabupaten Enrekang.

2. Desain Penelitian

Bentuk penelitian ini adalah survey. Penelitian ini berfokus pada faktor isu putra daerah dan aspek organisasi, pengaruhnya terhadap perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kabupaten Enrekang, maka desain penelitian yang digunakan adalah non eksperimental dan bersifat deskriptif kualitatif dan kuantitatif, dengan menggunakan tabel frekuensi dan teknik analisis regresi sederhana.

93 94

B. Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 09 Juli sampai dengan 09

Agustus 2013. Lokasi penelitian adalah Kabupaten Enrekang. Adapun pertimbangan antara lain: Ir. H. Ilham Arief Sirajuddin, M.M salah satu calon Gubernur yang selama ini mengaku sebagai putra daerah dari bumi massenrempulu (Enrekang) dan menang sekitar 60% di Kabupaten

Enrekang. Sementara masyarakat Enrekang sangat majemuk.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pemilih yang tercatat di

KPUD Kabupaten Enrekang, pada pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur Sulawesi Selatan 2013 , yang tersebar di 12 Kecamatan dengan jumlah pemilih di kabupaten Enrekang berdasarkan data dari komisi

Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Enrekang adalah sebanyak 142.586 pada Pilgub 2013. Jumlah pemilih tersebut cukup besar, ini bisa menjadi kendala peneliti, sebab membutuhkan waktu tenaga dan biaya yang besar juga. Oleh sebab itu, dengan segala keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti, maka penarikan sampel akan dilakukan melalui teknik purposive sampling yaitu teknik sampling yang dilakukan dengan cara mengambil wakil dari setiap wilayah geografis yang ada dengan pertimbangan tertentu. 95

Namun berdasarkan beberapa pertimbangan yang ada bahwa tempat penelitian ini akan di fokuskan pada 3 kecamatan yang merupakan refresentatif atau keterwakilan dari 12 kecamatan yang tersebar di

Kabupaten Enrekang, yaitu Kecamatan Enrekang, Anggeraja dan Bungin dengan ketentuan sebagai berikut:

1) Kecamatan Enrekang dipilih sebagai lokasi penelitian karena

perolehan suara pasangan Ilham Azis dan Pasangan Syahrul Agus

seimbang, Kecamatan Enrekang merupakan pusat pemerintahan,

juga Ibu Kota Kabupaten, dan Kecamatan Enrekang memiliki

pemilih paling banyak jika dibandingkan dengan Kecamatan lain. 2)

Kecamatan Anggeraja dipilih sebagai lokasi penelitian berdasarkan

pertimbangan, antara lain: Ir. H. Ilham Arief Sirajuddin, M.M salah

satu calon Gubernur yang selama ini mengaku sebagai putra

daerah dari bumi massenrempulu (Enrekang) dan menang sekitar

70% di Kecamatan Anggeraja, padahal masyarakat Anggeraja

sangat majemuk dengan berbagai latar belakang sosial yang

berbeda-beda. 3) Kecamatan Bungin, pasangan Ilham Azis kalah

sekitar 60% padahal Ilham pernah diberi gelar (ACO) Arung Corak

Ongkopadang oleh keluarga kerajaan Bungin, bermakna raja yang

bijak mengayomi rakyatnya dan menerangi anak negeri, sehingga

menarik untuk diteliti.

Berikut jumlah pemilih di kabupaten Enrekang, seperti pada tabel berikut ini: 96

Tabel 3.1 Daftar Nama Kecamatan dan Jumlah Pemilih Di Kabupaten Enrekang No KECAMATAN LAKI-LAKI PEREMPUAN JUMLAH 1 MAIWA 9.602 9.463 19.065 2 ENREKANG 11.143 11.187 22.330 3 ANGGERAJA 9.200 8.995 18.195 4 BARAKA 7.915 7.490 15.405 5 ALLA 7.481 7.176 14.657 6 CURIO 5.336 5.016 10.352 7 BUNTU BATU 4.966 4.546 9.514 8 CENDANA 3.371 3.499 6.870 9 MALUA 2.910 2.890 5.800 10 MASALLE 4.947 4.504 9.451 11 BUNGIN 1.769 1.613 3.382 12 BAROKO 3.887 3.678 7.565 JUMLAH 72.527 70.059 142.586 Sumber: KPUD Kabupaten Enrekang, 2013.

Tabel 3.2 Daftar Nama Desa/Kelurahan dan Jumlah Pemilih Di Kecamatan Enrekang Kabupaten Enrekang pada Pilgub Sul- Sel Tahun 2013. No Desa/Kelurahan Populasi 1 Juppandang 4,161 2 Galonta 1,849 3 Puserren 1,751 4 Leoran 1,396 5 Lewaja 929 6 Tuara 928 7 Karueng 1,214 8 Cemba 854 9 Tungka 1,174 10 Buttubatu 1,281 11 Temban 613 12 Tallubamba 1,543 13 Ranga 908 14 Kaluppini 878 15 Lembang 749 16 Tokkonan 532 17 Rossoan 906 18 Tobalu 664 Total 22,330 Sumber: KPU Kabupaten Enrekang, 2013 97

Tabel 3.3 Daftar Nama Desa/Kelurahan dan Jumlah Pemilih Di Kecamatan Anggeraja Kabupaten Enrekang pada Pilgub Sul- Sel Tahun 2013. No Desa/Kelurahan Populasi 1 Lakawan 2.367 2 Tanete 2.129 3 Mataran 1.869 4 Bambapuang 1.629 5 Siambo 850 6 Mampu 1.043 7 Pekalobean 1.457 8 Singki 1.222 9 Salu dewata 712 10 Tindalun 729 11 Bubun lamba 892 12 Tampo 755 13 Saruran 708 14 Batunoni 1274 15 Mindatte 559 Total 18.195 Sumber: KPU Kabupaten Enrekang, 2013

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa jumlah pemilih yang tercatat di KPU Kabupaten Enrekang untuk Kecamatan Anggeraja adalah 18,195 orang. Dengan demikian jumlah populasi adalah 18.195

Tabel 3.4 Daftar Nama Desa/Kelurahan dan Jumlah Pemilih di Kecamatan Bungin Kabupaten Enrekang pada Pilgub Sul-Sel Tahun 2013. No Desa/Kelurahan Populasi 1 Bungin 1.026 2 Tallang Rilau 402 3 Baruka 534 4 Bulo 533 5 Sawitto 509 6 Banua 378 Total 3.382 Sumber: KPU Kabupaten Enrekang, 2013 98

Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa jumlah pemilih yang tercatat di KPU Kabupaten Enrekang untuk Kecamatan Bungin adalah 3.382 orang. Dengan demikian jumlah populasi adalah 3.382.

2. Sampel

Teknik pemilihan sampel adalah Disproportionate Random

Sampling yaitu pengambilan sampel dari anggota populasi secara acak dan tidak proporsional Sugiyono (2008: 373) Dalam penelitian ini pengambilan sampel didasarkan dengan populasi dari setiap Kecamatan.

Seperti yang terdapat pada tabel berikut ini:

Tabel 3.5 Distribusi Sampel Berdasarkan Jumlah Populasi pada Tiga Kecamatan di Kabupaten Enrekang No Kecamatan Populasi Persentase sampel 1 Enrekang 22.330 38,6 81 2 Anggeraja 18.195 34,3 72 3 Bungin 3382 27,1 57 Total 43.907 100,00 210 Sumber: Hasil Olahan Data Primer, 2013.

D. Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang harus digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data kualitatif yang diperoleh dari hasil pengamatan dan hasil dari diskusi kelompok (FGD) sementara data kuantitatif yang diperoleh dari penyebaran kuesioner responden.

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan dalam penelitian ini maka digunakan jenis data sebagai berikut:

1. Data primer, yaitu data yang diperoleh melalui penelitian di

lapangan baik melalui responden dan hasil diskusi kelompok (FGD) 99

yang berkaitan dengan pesan kampanye putra daerah pada

pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan 2013.

2. Data sekunder, yaitu data yang diperoleh dari hasil bacaan dari

buku-buku, seminar, internet, majalah, makalah, surat kabar, siaran

televisi, radio, pamplet, baliho UU dan dokumen-dokumen yang

dijadikan objek studi.

E. Variabel Penelitian

Sebagaimana telah dijelaskan pada kerangka teoritis dan kerangka pikir, maka secara umum variabel penelitian ini dapat dikelompokkan kedalam dua variabel yaitu: variabel bebas dan variabel terikat.

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah pesan kampanye putra daerah, politik uang dan mesin politik diukur dari isi pesan yang disampaikan kepada masyarakat melalui media interpersonal. Variabel terikat meliputi sikap dan perilaku pemilih di Kabupaten Enrekang.

Gambar 6. Variabel Penelitian

Pesan Putra Daerah (X1)

Politik Uang Perilaku Pemilih (X2) (Y)

Mesin Politik (X3) 100

Adapun penjelasan mengenai masing-masing variabel adalah sebagai berikut: No Variabel Dimensi Indikator Pesan Mereka yang tidak lahir di kampanye daerah tersebut tapi memiliki 1 Putra Daerah orang tua yang berasal dari daerah tersebut Politik Uang Uang yang diberikan kepada 2 pemilih untuk memilih pasangan IA Mesin Politik - Partai Demokrat (PD). - Partai Keadilan Sejahtera (PKS). - Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA). - Partai Bulan Bintang (PBB). - Partai Bintang Reformasi (PBR). - Partai Keadilan Persatuan 3 Bangsa (PKPB). - Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). - Partai Patriot. - Partai Pakar Pangan. - Partai Persatuan Demokrasi Indonesia (PPDI). - Partai Nasional Indonesia Marhaenisme. Perilaku - Perubahan kognitif. - Perubahan Kognitif Pemilih - Perubahan sikap (afektif). pengetahuan yang Perubahan perilaku meliputi persepsi dan (behavioral). pendapat mengenai calon kandidat. - Perubahan sikap yang ditandai dengan tertanamnya keyakinan dalam diri para pemilih, bahwa “Ilham Azis” layak 4 untuk di pilih dan mampu membangun Sulawesi Selatan. - Perubahan perilaku yang ditandai dengan tindakan pemilih memilih kandidat “Iham Azis” berdasarkan pengetahuan dan keyakinan yang telah ada sebelumnya. 101

Perubahan perilaku yang ditandai dengan tindakan pemilih memilih kandidat “Iham Azis” berdasarkan pengetahuan dan keyakinan yang telah ada sebelumnya.

F. Defenisi Operasional

Menurut Koentjaraningrat (1980), definisi operasional adalah unsur penelitian yang memberikan pengertian tentang cara mengubah konsep- konsep yang berupa konstruk dengan kata-kata yang menggambarkan perilaku gejala-gejala yang dapat diamati dan dapat diuji serta ditentukan kebenarannya oleh orang lain. Dalam penelitian ini variabel yang diteliti adalah Pengaruh Faktor isu “Putra Daerah” dan Aspek Organisasi Dalam

Komunikasi Kampanye Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Untuk memperjelas variabel yang digunakan dalam penelitian, maka peneliti mencantumkan definisi operasional sebagai berikut : a. Pengaruh Kampaye

Pengaruh adalah efek atau akibat yang ditimbulkan oleh kegiatan kampanye, yakni; perubahan pengetahuan, perubahan sikap, dan perubahan perilaku pemilih.

Pengaruh kampanye berkaitan dengan adanya perbedaan tentang apa yang dipikirkan, dirasakan, dan dilakukan oleh penerima sebelum dan sesudah menerima pesan.

Berdasarkan keterangan di atas, maka peran tim kampanye dapat dilihat dengan adanya perubahan kognitif (persepsi dan pendapat), 102

perubahan afektif (sikap dan keyakinan), dan perubahan perilaku, dengan indikator:

1. Perubahan pengetahuan yang meliputi persepsi dan pendapat

mengenai calon kandidat.

2. Perubahan sikap yang ditandai dengan tertanamnya keyakinan dalam

diri para pemilih, bahwa kandidat “Ilham Azis” layak untuk dipilih dan

mampu memimpin dan membangun Sulawesi Selatan.

3. Perubahan perilaku yang ditandai dengan tindakan pemilih memilih

kandidat “Ilham Azis” berdasarkan pengetahuan dan keyakinan yang

telah ada sebelumnya.

Skala pengukuran:

Skala pengukuran untuk mengukur indikator di atas merupakan skala pengukuran persepsi, sikap, dan perilaku. Makin positif persepsi dan sikap mereka terhadap kandidat “Ilham Azis”, maka semakin positif perilaku mereka dalam Pilgub Sul-Sel di Kabupaten Enrekang. Skalanya adalah:

Sangat setuju : Persepsi, sikap, dan perilaku sangat positif

Setuju : Persepsi, sikap, dan perilaku positif

Kurang Setuju : Persepsi, Sikap, dan perilaku kurang positif

Tidak setuju : Persepsi, sikap, dan perilaku negative

Sangat Tidak Setuju : Persepsi, sikap dan perilaku sangat negative 103

b. Persepsi

Persepsi adalah pengalaman tentang objek, peristiwa, atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi

dan menafsirkan pesan yang disampaikan melalui kampanye

pemilihan Gubernur dan wakil Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013

di Kabupaten Enrekang.

Persepsi pemilih terhadap kampanye tim pemenangan “Ilham

Azis” merupakan penafsiran pesan dan isi kampanye yang

disampaikan. Bagaimana pengalaman, penyimpulan dan penafsiran

mereka terhadap pesan dan isi kampanye. Apakah terjadi perubahan

mengenai Kandidat, sebelum dan sesudah diterpa oleh kampanye. c. Sikap

Sikap adalah keyakinan dalam diri seseorang mengenai suatu

objek atau peristiwa. Sikap juga merupakan kecenderungan untuk

merespon, baik secara positif ataupun negatif, terhadap orang, objek

atau situasi. Dalam sikap terkandung suatu penilaian emosional dapat

berupa suka, tidak suka, senang, sedih, cinta, benci dan sebagainya,

karena dalam sikap ada sesuatu “Kecenderungan merespon”, bila

bertemu sesuatu objek. Faktor yang memegang peranan penting di

dalam sikap ialah perasaan atau emosi dan faktor reaksi atau respon

(kecenderungan) untuk bereaksi. Sebagai reaksi, maka sikap selalu

berhubungan dengan dua alternatif, yaitu senang (like) atau tidak

senang (dislike) menuntut atau menghindari sesuatu. Biasanya sikap 104

merupakan awal pembentukan perilaku seseorang, namun adakalanya

perilaku mendahului sikap. Dalam hal ini sikap yang dimaksud adalah

keyakinan pemilih terhadap kandidat “Ilham Azis” tentang kemampuan

mereka menjadi wakil rakyat. Indikatornya adalah :

 Sangat setuju

 Setuju

 Kurang setuju

 Tidak setuju

 Sangat tidak setuju d. Perilaku

Perilaku adalah tindakan atau keputusan pemilih dalam

menentukan pilihan politiknya pada pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur Sulawesi Selatan. Perilaku yang dapat diamati disebut

penampilan sedangkan perilaku yang tidak dapat diamati disebut

kecenderungan perilaku. Pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan

sikap yang dimiliki seseorang tidak dapat diidentifikasi karena hal

tersebut merupakan kecenderungan perilaku saja, sedangkan

penampilan yang dapat diamati dari seseorang dapat berupa

kemampuan menjelaskan, menyebutkan sesuatu atau melakukan

sesuatu perbuatan. Namun demikian, individu dapat dikatakan telah

menjalani proses meskipun pada dirinya hanya ada perbuatan dalam

kecenderungan perilaku saja. Indikatornya 105

 Memilih Cagub dan Cawagub (Ilham Azis) dan

mempengaruhi orang lain untuk memilih Cagub dan

Cawagub yang sama

 Memilih Cagub dan Cawagub (Ilham Azis) tapi tidak

mempengaruhi orang lain untuk memilih Cagub dan

Cawagub yang sama

 Tidak memilih Cagub dan Cawagub (Ilham Azis) e. Putra Daerah

Putra daerah dapat dikategorisasikan dalam beberapa level.

Pertama, adalah putra daerah geografi-biologis, yakni kandidat yang dilahirkan di daerah tersebut. Baik dengan orang tua yang asli daerah tersebut ataupun dengan orang tua dari luar daerah. Kedua, adalah putra daerah ekonomis-pragmatis, yakni kandidat yang berasal dan lahir dari daerah lain, tapi karena kepentingan tertentu (baca: pekerjaan, ekonomi) ia berlalu lalang atau bahkan bertempat tinggal di daerah tersebut. Ia memiliki jejaring politik dan/atau ekonomi dengan kekuatan-kekuatan ekonomi-politik lokal. Dan dengan jejaring tersebutlah, ia membangun konstelasi bisnis dan politiknya, termasuk menuju medan kontestasi pilkada. Ketiga, adalah putra daerah sosio-ideologis, yakni kandidat yang, dalam kurun waktu lama, hidup, tumbuh, berkembang dan berinteraksi dengan masyarakat, membangun ikatan emosional dengan masyarakat, serta menjadi bagian dari masyarakat tersebut. 106

f. Politik Uang

Adalah suatu bentuk pemberian atau janji menyuap seseorang baik supaya orang itu tidak menjalankan haknya untuk memilih maupun supaya ia menjalankan haknya dengan cara tertentu pada saat pemilihan umun. Politik uang umumnya dilakukan simpatisan, kader atau bahkan pengurus partai politik menjelang hari H pemilihan umum. Praktik politik uang dilakukan dengan cara pemberian berbentuk uang kepada masyarakat dengan tujuan untuk menarik simpati masyarakat agar mereka memberikan suaranya untuk calon yang bersangkutan. g. Mesin politik

Adalah sebuah organisasi politik disiplin tempat seorang bos atau kelompok kecil otoriter memerintahkan dukungan dari sekelompok pendukung (pekerja kampanye), yang menerima imbalan atas usaha mereka. Meskipun elemen-elemen ini umum bagi sejumlah partai dan organisasi politik, mereka adalah dasar dari mesin politik yang bergantung pada hierarkai dan imbalan demi kekuasaan politik, biasanya didorong oleh struktur cambuk politik yang kuat. Mesin kadang memiliki bos politik yang sering bergantung pada perlindungan, sistem pemanjaan, pengawasan “di balik layar”, dan hubungan politik jangka panjang di dalam stuktur demokrasi perwakilan. Mesin diatur dengan dasar permanen dibanding untuk satu pemilihan saja. 107

G. Instrumen Penelitian

Instrumen pengumpulan data digunakan untuk memperoleh informasi tentang pengaruh pesan kampanye isu putra daerah Ilham Aziz terhadap perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Sulawesi Selatan 2013 di Kabupaten Enrekang. Fasilitas instrumen penelitian yang digunakan adalah angket yang berisi sejumlah pertanyaan, yang disusun dalam bentuk skala Likert dengan kombinasi kode Cheklist. Sebagaimana yang dikemukakan Sugiyono (2002:74) bahwa “instrumen penelitian yang menggunakan skala Likert dapat dibuat dalam bentuk cheklist…”.

Angket tersebut selanjutnya dibagikan kepada setiap responden penelitian dengan mewajibkan setiap responden hanya memilih salah satu dari beberapa alternatif jawaban yang disediakan dengan cara memberikan tanda cheklist dari setiap jawaban yang dipilihnya.

Instrumen penelitian (alat ukur) yang digunakan untuk mengukur jawaban responden dari variabel-variabel dalam penelitian ini menggunakan Model Skala Likert yaitu :

1. Pesan kampanye (X), yaitu pesan politik yang disampaikan Tim

pemenangan yang ditujukan kepada pemilih. Variabel X ini terdiri atas

tiga sub variabel yakni. variabel pesan isu putra daerah (X1), politik

uang (X2) dan mesin politik (X3). Indikator variabel ini akan diukur

dengan kategori : Sangat tertarik (skor 5), Tertarik (skor 4), Kurang

Tertarik (skor 3), Tidak Tertarik (skor 2), Sangat Tidak Tertarik (skor 1). 108

2. Perilaku memilih masyarakat (Y), adalah tindakan atau keputusan

pemilih dalam menentukan pilihan politiknya pada pemilihan Gubernur

dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Indikatornya variabel ini akan

diukur dengan kategori : Sangat Setuju (skor 5), Setuju (4), Kurang

Setuju (skor 3), Tidak Setuju (skor 2), Sangat Tidak Setuju (skor 1).

H. Teknik Pengumpulan Data

Ada tiga jenis teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu:

1. Wawancara Kelompok

Penelitian ini menggunakan teknik diskusi kelompok atau

wawancara kelompok yang dilakukan untuk mengetahui bagaimana

khalayak merasakan tentang suatu produk, jasa, atau issue (Berger,

dalam Ida, 1998: 89). Kelompok orang ini dikumpulkan dan diajak

untuk berdiskusi dalam situasi yang bebas atau free form discussion.

Diskusi ini dipimpin oleh seorang moderator untuk memperoleh

informasi-informasi yang diinginkan.

2. Kuesioner

Penggunaan kuesioner atau daftar pertanyaan yang dilengkapi

dengan alternatif jawaban, sehingga responden tinggal memilih

jawaban yang paling sesuai/tepat menurut pendapatnya.

Pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam penelitian ini

adalah pertanyaan tertutup, yaitu jawaban dalam kuesioner telah

disiapkan oleh peneliti, sehingga responden hanya memilih alternatif 109

yang sesuai dengan keadaan yang sesungguhnya. Penyusunan

kuesioner ini digunakan model skala Likert. Butir-butir pertanyaan

yang disediakan berisi alternatif jawaban untuk setiap item.

3. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan teknik yang digunakan untuk

mengumpulkan data melalui dokumen-dokumen, brosur dan laporan,

baik tahunan maupun bulanan serta hasil pendataan yang dapat

dianggap mendukung serta melengkapi hasil penelitian yang

dilakukan.

I. Teknik Analisis Data

Teknik analisis data dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan analisis:

1. Teknik Analisis Kualitatif

Metode ini dilakukan dengan mengaitkan konsep-konsep dan teori-

teori yang relevan untuk menjelaskan hal-hal yang berhubungan

dengan pengaruh faktor isu putra daerah dan aspek organisasi

terhadap perilaku pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kabupaten Enrekang.

Data kualitatif berupa jawaban partisipan atas pertanyaan-

pertanyaan peneliti serta catatan-catatan mengenai proses

berlangsungnya focus grup discusion dianalisis dengan menggunakan

triangulasi data dan triangulasi teori untuk lebih menjamin validitas dan

realibilitas. Kemudian analisis difokuskan pada tiga persoalan: (a) Isu 110

putra daerah, (b) Persepsi partisipan mengenai politik uang, (c)

Pendapat partisipan mengenai mesin politik.

2. Teknik Analisis Kuantitatif

Metode ini dilakukan dengan pengukuran dan perhitungan variabel-

variabel penelitian yang selanjutnya dianalisis secara statistik. Teknik

analisis kuantitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah Regresi

yang digunakan untuk mengetahui pengaruh faktor isu putra daerah

dan aspek organisasi terhadap perilaku pemilih pada pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013 di

Kabupaten Enrekang.

Adapun model persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut, yaitu:

Y = a1 X1 + a2 X2 + a3 X3 + e

Teknik analisis data adalah dengan menggunakan metode kuantitatif. Analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui hubungan antar variabel dan pengaruh faktor isu putra daerah “Ilham Azis” dan aspek organisasi terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kabupaten Enrekang.

Metode analisis data yang digunakan adalah path analisis dengan bantuan SPSS versi 13 111

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Keadaan Umum Wilayah Penelitian

Kabupaten Enrekang secara geografis terletak antara 3014’36” -

3050’0” Lintang Selatan dan antara 119040’53” – 12006’33” Bujur Timur.

Sedangkan ketinggiannya bervariasi antara 47 meter sampai 3.329

meter di atas ketinggian laut. Batas wilayah Kabupaten Enrekang

adalah sebagai berikut :

- SebelahUtara :KabupatenTanaToraja

- SebelahTimur :KabupatenLuwu

- Sebelah Selatan : Kabupaten Sidrap

- Sebelahbarat :KabupatenPinrang

Luas wilayah kabupaten ini adalah 1.786,01 km2 atau sebesar 2,83

persen dari luas Propinsi Sulawesi Selatan. Wilayah ini terbagi menjadi

12 kecamatan dan secara keseluruhan terbagi lagi dalam satuan

wilayah yang lebih kecil yaitu terdiri dari 129 desa/kelurahan.

Jumlah penduduk Kabupaten Enrekang pada tahun 2009 adalah

sebanyak 190.576 jiwa yang terdiri dari 95.694 penduduk laki-laki dan

94.882 penduduk perempuan dengan sex rasio sebesar 100,86.

Kepadatan penduduk Kabupaten Enrekang mencapai 107 jiwa/km2.

111 112

Mayoritas penduduk Kabupaten Enrekang atau hampir sebesar

99,68 persen menganut agama islam.

Sementara itu di bidang pertanian produksi padi mencapai

70.413,24 ton, atau mengalami penurunan sekitar 2,68 persen bila dibandingkan tahu sebelumnya. Sama halnya dengan produksi jagung yang mengalami penurunan sebesar 5,5 persen dengan jumlah produksi sebanyak 68.963 ton. Peningkatan terjadi pada beberapa produksi sayur-sayuran seperti pada sayur kol yang mengalami peningkatan sekitar 4,06 persen dengan jumlah produksi 24.598,80 ton.

Produksi Petsay/Sawi juga meningkat sekitar 5,9 persen dibanding tahun sebelumnya menjadi 2.015,50 ton. Produksi buah-buahan yang terkenal di Kabupaten Enrekang adalah Salak dengan produksi sebanyak 13.949,98 ton pada tahun 2009.

Jumlah perusahaan industri di Kabupaten Enrekang sebanyak

2.964 dan sebagian besar diantaranya merupakan industri makanan dan minuman. Dari keseluruhan jumlah perusahaan industri ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 6.685 orang, dan memberikan nilai investasi sebesar Rp. 13,06 milyar.

Terdapat sejumlah 3 unit kantor pos di Kabupaten ini, dimana dua diantaranya merupakan unit kantor pos pembantu. Jumlah wesel pos yang dikirim dari dalam dan luar negeri sejumlah Rp. 576 juta sedangkan yang diterima sebesar Rp. 3.993,8 milyar. 113

Panjang jalan di Kabupaten Enrekang mencapai 1.030,95 km dengan rincian 44,38 persen diantaranya dalam kondisi baik, 34,89 dalam kondisi sedang, serta dalam kondisi rusak ringan dan berat

20,73 persen.

Objek wisata yang menarik yang dimiliki kabupaten ini diantaranya berada di Kecamatan Anggeraja, yaitu Gunung Bamba Puang yang menyajikan panorama alam yang begitu mempesona. Begitu juga kolam pemandian dan air terjun di Lewaja yang terletak di Kecamatan

Enrekang. Jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke kabupaten ini selama tahun 2009 mencapai 654 orang atau naik sebesar 8,82 persen. 114

Tabel 4.1 Persentase Luas Daerah Menurut Kecamatan di Kabupaten Enrekang, Tahun 2009 No Kecamatan Luas (Km2) Prosentase (%) 1 Maiwa 392,87 22,00 2 Bungin 236,84 13,26 3 Enrekang 291,19 16,30 4 Cendana 91,01 5,10 5 Baraka 159,15 8,91 6 Buntu batu 126,65 7,09 7 Anggeraja 125,34 7,02 8 Malua 40,36 2,26 9 Alla 34,66 1,94 10 Curio 178,51 9,99 11 Masalle 68,35 3,83 12 Baroko 41,08 2,30 J u m l a h 1.789,01 100,00 Sumber : Enrekang dalam angka tahun 2010

Dari kedua belas kecamatan yang ada di kabupaten Enrekang,

yang paling luas wilayahnya adalah Kecamatan Bungin, dengan luas

392,87 km2 atau 22,00 % dari kabupaten Enrekang yang berbatasan

langsung dengan kabupaten Sidrap dan kabupaten Pinrang, menyusul

Kecamatan Enrekang yang merupakan Ibu Kota kabupaten yang

mempunyai luas 291,19 km2 atau sekitar 16,30. Dari kabupaten

Enrekang yang paling sempit adalah Kecamatan Alla luas 34,66 km2

dan kecamatan Malua dengan luas wilayah 40,36 km2.

Secara administratif Pemerintah Kabupaten Enrekang terdiri dari 12

Kecamatan, 129 Desa/Kelurahan dengan perincian sebagai berikut: 115

Tabel 4.2. Keadaan Desa/Kelurahan, Banyaknya Penduduk dan kepadatan per Kecamatan di Kabupaten Enrekang, Tahun 2009 No Kecamatan Desa/Kel Penduduk Kepadatan Penduduk 1 Maiwa 22 23.622 60,1 2 Bungin 6 4.440 18,7 3 Enrekang 18 30.260 103,9 4 Cendana 7 8.804 96,7 5 Baraka 15 21.058 132,3 6 Buntu batu 8 12.058 95,9 7 Anggeraja 15 24.032 191,7 8 Malua 8 8.711 215,8 9 Alla 8 20.421 589,2 10 Curio 11 14.533 81,4 11 Masalle 6 12.259 179,4 12 Baroko 5 10.284 250,3

Jumlah 129 190.576 106,7 Sumber : Enrekang dalam angka tahun 2010

Berdasarkan tabel di atas, Kecamatan Maiwa terbagi dalam 22

Desa/Kelurahan jumlah penduduk 23.622 jiwa, dengan ibukota kecamatan

Maroangin. Luas wilayah 392,87 km2 kepadatan penduduk 60,1 jiwa/km2.

Kecamatan Bungin terbagi dalam 6 Desa, jumlah penduduk 4.440 jiwa, dengan ibukota Bungin. Luas wilayah 236,84 km2 kepadatan penduduk 18,7 jiwa/km2.

Kecamatan Enrekang terbagi dalam 18 Desa/kelurahan, jumlah penduduk 30.260 jiwa, dengan ibukota Enrekang. Luas wilayah 291,19 km2 kepadatan penduduk 103,9 jiwa/km2. 116

Kecamatan Cendana terbagi dalam 7 Desa/kelurahan, jumlah penduduk 8.804 jiwa, dengan ibukota Cendana. Luas wilayah 91,01 km2 kepadatan penduduk 96,7 jiwa/km2.

Kecamatan Baraka terbagi dalam 15 Desa/kelurahan, jumlah penduduk 21.058 jiwa, dengan ibukota Baraka. Luas wilayah 159,15 km2 kepadatan penduduk 132,3 jiwa/km2.

Kecamatan Buntu Batu terbagi dalam 8 Desa/kelurahan, jumlah penduduk 12.152 jiwa, dengan ibukota Pasui. Luas wilayah 126,65 km2 kepadatan penduduk 95,9 jiwa/km2.

Kecamatan Anggeraja terbagi dalam 15 Desa/kelurahan, jumlah penduduk 24.032 jiwa, dengan ibukota Cakke. Luas wilayah 125,34 km2 kepadatan penduduk 191,7 jiwa/km2.

Kecamatan Malua terbagi dalam 8 Desa/kelurahan, jumlah penduduk 8.711 jiwa, dengan ibukota Malua. Luas wilayah 40,36 km2 kepadatan penduduk 215,8 jiwa/km2.

Kecamatan Alla terbagi dalam 8 Desa/kelurahan, jumlah penduduk

20.421 jiwa, dengan ibukota Belajen. Luas wilayah 34,66 km2 kepadatan penduduk 589,2 jiwa/km2.

Kecamatan Curio terbagi dalam 11 Desa, jumlah penduduk 14.533 jiwa, dengan ibukota Curio. Luas wilayah 178,51 km2 kepadatan penduduk

81,4 jiwa/km2. 117

Kecamatan Masalle terbagi dalam 6 Desa, jumlah penduduk 12.259 jiwa, dengan ibukota Masalle. Luas wilayah 68,35 km2 kepadatan penduduk 179,4 jiwa/km2.

Kecamatan Baroko terbagi dalam 5 Desa, jumlah penduduk 10.284 jiwa, dengan ibukota Bubun Bia. Luas wilayah 41,8 km2 kepadatan penduduk 250,3 jiwa/km2.

2. Deskriptif Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan Tahun 2013

Pilkada Sulawesi Selatan (Sulsel) kiranya menjadi salah satu

prosesi elektorar yang cukup menarik perhatian setelah Pemilihan

Gubernur (Pilgub) DKI Jakarta silam. Hal ini karena kedua provinsi

merupakan parameter penilaian penting bagi wilayah lain.

Dalam perspektif struktur geopolitik Indonesia, dapat

dikontestasikan bahwa Jakarta mewakili simbolisme sentral kawasan

barat selain sebagai ibu kota negara, sementara Sulsel

merepresentasikan kultur politik paling dinamis di kawasan timur.

Pikada Sulsel dalam konteks politik dan keamanan dikategorikan oleh

pemerintah pusat sebagai salah satu “zona merah” di antara provinsi

lain yang menggelar pilkada, di samping DKI Jakarta.

Disebut dengan istilah “zona merah” karena perhelatannya di

pandang berpotensi amat rawan dari segi konflik dan gesekan fisik.

Namun, faktanya, Pilkada DKI akhirnya usai dengan proyeksi damai

dan demokratis. Sementara Pilkada Sulsel pun ketika digelar pada 22 118

Januari 2013 yang baru lalu, dengan hasil yang sudah tergambarkan melalui hitung cepat (quick count), mendekati prediksi serupa untuk menjadi contoh dengan ending tanpa “perdarahan”.

Pilkada Sulsel memproyeksikan persaingan tiga pasangan calon yang punya reputasi teruji sehingga hal itu membuat tensi politik cukup tinggi, pasangan Ilham Arief Sirajuddin-Azis Qahhar Mudzakkar (IA),

Pasangan Syahrul Yasin Limpo-Agus Arifin Nu’mag (Sayang), dan Andi

Rudiyanto Asapa-Andi Nawir (Garuda’Na). Ketiga pasangan kandidat tersebut berbasis kekuatan massa riil yang amat diperhitungkan, selain itu secara individu masing-masing memiliki rekam jejak pengalaman politik memadai serta karakter kepemimpinan yang kuat.

Pertarungan ketiganya merupakan pertarungan rasionalitas karena point kualitas individual ketiga pasang figur tersebut. Selain itu, karena ketiganya dengan ujian perilaku politik untuk saling menegakkan komitmen pilkada damai dan demokratis tanpa kecurangan dan tanpa diwarnai mobilisasi massa potensial destruktif. Tidak kalah penting adalah di akhir pilkada terkait dengan kemampuan dalam bersikap legawa, ikhlas, dan tenang dalam menerima apa pun hasil pilkada.

Saling menghormati suara rakyat, siap menang dan siap kalah.

Ketiga pasang kandidat yang bertarung adalah pejabat publik. Tiga calon gubernur (cagub) di antara mereka adalah kepala daerah yang masih sedang menjabat dan sekaligus ketua partai politik tingkat lokal.

Mulai dari figur Ilham Arief Sirajuddin (IAS), ia wali kota Makassar yang 119

kini dalam periode kedua dan ketua Partai Demokrat provinsi.

Berikutnya Syahrul Yasin Limpo (SYL) adalah gubernur petahana

(incumbent) yang juga ketua Partai Golkar. Selanjutnya, Andi Rudiyanto

Asapa (ARA) adalah Bupati sinjai dalam periode kedua sekarang dan ketua Partai Gerindra. Sementara pasangan cawagub masing-masing tidak kurang bobot figuritasnya. Mulai figur Azis Kahhar Mudzakkar

(AQM) ia adalah anggota DPD RI dua periode dan ketika terpilih merupakan calon DPD tertinggi suaranya yang lolos dari utusan Sulsel.

Lalu, Agus Arifin Nu’mang (AAN) adalah wakil gubernur petahana saat ini dan mantan sekretaris Golkar provinsi serta ketua DPRD Sulsel.

Selanjutnya, Andi Nawir (AN) mantan bupati Pinrang dan pimpinan partai Demokrat Sulsel sebelum jatuh ke IAS. Di titik berikut, dengan reputasi itu, tidak mengherankan bila pertarungan pilkada Sulsell memiliki dinamika tinggi. Suasana cukup memanas karena terjadi saling serang antar kandidat, terutama dalam soal korupsi. Secara ekstrem dengan iklan besar melalui media, berlangsung saling sindir saling kritik dan memojokkan.

Perkembangan Pilkada Sulsel kini masih menyisakan pertanyaan mengenai gambaran suasana hubungan kandidat di terminal akhir.

Sebagaimana perhelatan pilkada yang beradab, tentu publik mengharapkan alur happy ending. Artinya, jalan demokrasi telah memberikan keputusan, pemimpin dipilih berdasarkan “pengadilan rakyat”. Berbeda sistem pemilihan pemimpin lewat jalur monarki yang 120

bersifat warisan dan berbeda dengan pola oligarki kekuasaan dengan kewenangan penentuan suksesi berada di tangan segelintir orang yang akan memutuskan kolektif.

Dalam demokrasi, “suara rakyat adalah suara Tuhan” (vox populi vox dei). Pasangan IA, Sayang, dan GarudaNa telah memobilisasi berbagai potensi sumber daya yang dimiliki, tetapi hasil akhir pilkada hanya memilih satu pasangan yang unggul dalam perolehan suara.

Kontestasi Pilkada Sulsel telah memenangkan mereka atas keberhasilan memberikan pendidikan politik amat berharga, yaitu bahwa demokrasi tidak perlu disertai kontradiksi gesekan fisik sembari berbagai masalah hukum yang menodai proses pilkada tetap bisa berjalan sesuai jalurnya, untuk meletakkan penghargaan atas keadilan politik.

Sementara di sisi lain ketiga pasangan kandidat juga dapat meletakkan posisi mereka pada saat yang sama untuk kembali pada sosok awal secara terhormat mengingat pertarungan rasionalitas daripada kontestasi pilkada lebih merupakan pertarungan rasionalitas daripada kontestasi sentimental personalitas. Pemenang pilkada yang sejatinya adalah rakyat, siapa pun yang terpilih sebagai gubernur Sulsel periode 2013-2018(http://suwadiidrisamir.blogspot.com/2012/06/potensi

-pertarungan-pilgub-sulsel-dari.html). 121

3. Karakteristik Responden

3.1. Umur

Umur erat kaitannya dengan tingkat produktivitas manusia. Para

pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi

Selatan Tahun 2013 di Kabupaten Enrekang umumnya mempunyai

tingkat umur yang bervariasi.

Tabel 4.3. Distribusi Responden Berdasarkan umur Pemilih pada Pilgub Sul-Sel Tahun 2013 Kabupaten Enrekang. Jumlah No. Umur (orang) (%) 1 17-24 Tahun 22 10,48

2 25-34 Tahun 80 38,10

3 35 keatas 108 51,42 Jumlah 210 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2013

Tabel 4.3. di atas menunjukkan bahwa dari 210 responden, terdapat 22 orang atau (10,48 %) yang mempunyai tingkatan umur 17 –

24, 80 orang atau (38,10 %) yang mempunyai tingkatan umur antara 25 –

34, dan 108 orang atau (51,42 %) lainnya mempunyai tingkatan umur 35 ke atas.

Dari tabel tersebut dapat disimpulkan bahwa responden yang berumur 35 tahun keatas memiliki kecenderungan yang kuat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan informasi dan perkembangan politik.

Sebagaimana kita ketahui pada tingkat umur tersebut merupakan puncak umur produktif sehingga memerlukan informasi untuk mendukung aktifitasnya masing-masing. 122

3.2. Jenis Kelamin

Jenis kelamin responden para pemilih pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2013 di

Kabupaten Enrekang berdasarkan Kecamatan terpilih dapat dilihat

pada tabel berikut :

Tabel 4.4. Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin pada Pilgub Sul-Sel Tahun 2013 Kabupaten Enrekang. Jumlah No. Jenis Kelamin (orang) (%) 1 Laki-laki 119 56,7

2 Perempuan 91 43,3

Jumlah 210 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2013

Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin pada tabel 4.4 menunjukkan bahwa dari 210 orang, terdapat 119 atau (56,7 %) yang berjenis kelamin laki-laki, dan 91 atau (43,3 %) dan lainnya berjenis kelamin perempuan. Dengan demikian Pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kabupaten

Enrekang. Banyaknya responden laki-laki dikarenakan dalam pengambilan sampel di lapangan adalah kepala keluarga yang mayoritas adalah laki-laki.

3.4. Pendidikan

Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan tingkat penerimaan

dan pemaknaan isi pesan kampanye politik. Tingkat pendidikan yang

rendah berpeluang untuk keliru dalam memaknai pesan yang terima. 123

Untuk mengetahui tingkat pendidikan responden dalam penelitian ini

dapat dilihat pada tabel berikut :

Tabel 4.5. Distribusi Responden Berdasarkan Pendidikan Pemilih pada Pilgub Sul-Sel Tahun 2013 Kabupaten Enrekang. Jumlah No. Tingkat pendidikan (orang) (%) 1 Tamat SD 24 11,4 2 Tamat SLTP 26 12,4 3 Tamat SLTA 98 46,7 4 Diploma (D1, D2, dan D3) 15 7,2 5 S1 dan S2 47 22,4

Jumlah 210 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2013

Tingkat pendidikan pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang yang dijadikan responden dapat dilihat pada tabel 4.5. Dari 210 responden, terdapat 24 orang atau (11,4 %) yang tamat Sekolah Dasar (SD), terdapat

26 orang atau (12,4 %) yang tamat Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(SLTP), terdapat 98 orang atau (46,7 %) yang tamat Sekolah Lanjutan

Tingkat Atas (SLTA), dan terdapat 15 orang atau (7,2 %) yang tamat

Perguruan Tinggi Setingkat Diploma (D1, D2 dan D3), serta terdapat 47 orang atau (22,4 %) yang tamat Perguruan Tinggi Setingkat S1 dan S2.

Hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan responden cukup baik, setidaknya mencapai pendidikan SLTA hingga Perguruan Tinggi. Fakta ini dapat memberikan gambaran bahwa sejauhmana keinginan dan motivasi responden untuk mendapatkan informasi dan memberikan evaluasi terhadap pesan-pesan yang disampaikan, khususnya masalah-masalah 124

yang berkaitan dengan kepentingan mereka yakni, sosial, politik, ekonomi, hukum dan lain-lain.

3.5. Pekerjaan

Pekerjaan dapat mempengaruhi dan mengurangi aktivitas lain

para pekerja bisnis hiburan. Disamping itu intensitas pekerjaan dapat

berpengaruh terhadap menurunnya pengetahuan terhadap kejadian-

kejadian disekitar kita. Jenis pekerjaan Pemilih pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013 di

Kabupaten Enrekang berdasarkan responden terpilih dapat dilihat

pada tabel berikut ini :

Tabel 4.6. Distribusi Responden Berdasarkan Pekerjaan Pemilih pada Pilgub Sul-Sel Tahun 2013 Kabupaten Enrekang. Jumlah No. Jenis Pekerjaan (orang) (%) 1 PNS 22 10,5 2 Pegawai Swasta 5 2,4 3 Wiraswasta/Pengusaha 75 35,7 4 Petani/Buruh 73 34,8 5 Ibu Rumah Tangga 17 8,1 6 Guru 5 2,4 7 Pedagang 5 2,4 8 Pelajar 8 3,8 Jumlah 210 100,00 Sumber : Hasil Penelitian, 2013

Tabel 4.6. diatas, menunjukkan bahwa dari 210 orang yang dijadikan responden, terdapat 22 orang atau (10,5 %) yang bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS), 5 orang atau (2,4 %) bekerja sebagai

Pegawai Swasta, 75 orang atau (35,7 %) bekerja sebagai Wiraswasta atau Pengusaha, 73 orang atau (34,8 %) bekerja sebagai Petani atau 125

Buruh, 17 orang atau (8,1 %) bekerja sebagai Ibu Rumah Tangga (IRT), 5 orang atau (2,4 %) bekerja sebagai Guru, 5 orang atau 2,4 % bekerja sebagai Pedagang, dan 8 orang atau (3,8 %) lainnya masih berstatus sebagai Pelajar atau Mahasiswa. Ini menunjukkan bahwa rata-rata yang memiliki pekerjaan ini sangat membutuhkan informasi, baik untuk kepentingan profesinya maupun kepentingan yang berhubungan dengan masalah sosial, politik kemasyarakatan.

4. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Penelitian

Berdasarkan hasil pengolahan data pada lampiran 3 diperoleh hasil uji validitas dan reliabilitas instrumen penelitian (item pertanyaan penelitian) sebagai berikut:

4.1. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Variabel Isu putra

daerah

a. Uji Validitas Variabel Isu putra daerah

Dalam penelitian ini digunakan tingkat ketelitian 5 % dan banyaknya sampel adalah 210 orang sehingga berdasarkan Sugiyono

(2008: 373) diperoleh nilai rtabel = 0,138. Suatu item pertanyaan dikatakan valid jika nilai korelasi antar item pertanyaan dengan total nilai item pertanyaan yakni rhitung > rtabel. Selain itu dapat pula dilihat dari nilai signifikansi (sig) yakni valid jika nilai sig < 0,05

Berdasarkan hasil pengolahan pada lampiran 3 diperoleh hasil uji validitas sebagai berikut: 126

Tabel 4.7 Uji validitas instrumen variabel isu putra daerah

Correlations

X1 X1.1 Pearson Correlation ,736** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X1.2 Pearson Correlation ,740** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X1.3 Pearson Correlation ,799** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X1.4 Pearson Correlation ,796** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X1.5 Pearson Correlation ,793** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X1.6 Pearson Correlation ,462** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X1.7 Pearson Correlation ,722** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2013 pada lampiran 3

Dari tabel di atas ditunjukkan bahwa semua item pertanyaan

(instrumen penelitian) yaitu X1.1, X1.2, X1.3, X1.4, X1.5, X1.6, dan X1.7 yang digunakan untuk mengukur indikator dari variabel isu putra daerah memiliki rhitung > 0,138 atau nilai sig <0,05. Ini menunjukkan bahwa semua item pertanyaan tersebut adalah valid untuk mengukur indikator variabel isu putra daerah. 127

b. Uji Reliabilitas Variabel isu putra daerah

Berdasarkan hasil pengolahan pada lampiran 3 diperoleh nilai

Cronbach's Alpha 0,840 > 0,6 sehingga semua item pertanyaan yang valid adalah reliabel (handal) untuk mengukur indikator variabel isu putra daerah.

4.2.Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen Variabel Politik

Uang

a. Uji validitas Variabel Politik uang

Berdasarkan hasil pengolahan pada tabel 4.8, dilakukan uji validitas sebagai berikut. Dari tabel tersebut ditunjukkan bahwa semua item pertanyaan yaitu X2.1, X2.2, X2.3, X2.4, dan X2.5, yang digunakan untuk mengukur indikator dari variabel politik uang memiliki nilai rhitung > 0,320.

Ini menunjukkan bahwa semua item pertanyaan tersebut adalah valid untuk mengukur indikator variabel politik uang . 128

Tabel 4.8. Uji validitas variabel politik uang

Correlations

X2 X2.1 Pearson Correlation ,800** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X2.2 Pearson Correlation ,883** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X2.3 Pearson Correlation ,892** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X2.4 Pearson Correlation ,882** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X2.5 Pearson Correlation ,851** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2013 pada lampiran 3

b. Uji Reliabilitas Variabel Politik Uang

Berdasarkan hasil pengolahan pada lampiran 3 diperoleh nilai

Cronbach's Alpha 0,913 > 0,6 sehingga item pertanyaan yang valid adalah reliabel (handal).

4.3.Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Mesin Politik

a. Uji validitas Variabel Mesin Politik

Berdasarkan hasil pengolahan pada lampiran 3 maka, dilakukan uji validitas sebagai berikut: 129

Tabel 4.9. Uji validitas variabel mesin politik

Correlations

X3 X3.1 Pearson Correlation ,744** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X3.2 Pearson Correlation ,721** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X3.3 Pearson Correlation ,766** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X3.4 Pearson Correlation ,654** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 X3.5 Pearson Correlation ,714** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 **. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2013 pada lampiran 3

Dari tabel di atas ditunjukkan bahwa semua item pertanyaan

(instrumen penelitian) yaitu X3.1, X3.2, X3.3, X3.4, dan X3.5, yang digunakan untuk mengukur indikator dari variabel mesin politik memiliki rhitung > 0,320. Ini menunjukkan bahwa semua item pertanyaan tersebut adalah valid untuk mengukur indikator variabel mesin politik.

b. Uji Reliabilitas Variabel Mesin Politik

Berdasarkan hasil pengolahan pada lampiran 3 diperoleh nilai

Cronbach's Alpha 0,765 > 0,6 sehingga item pertanyaan yang valid adalah reliabel (handal). 130

4.4. Uji Validitas dan Reliabilitas Variabel Perilaku Pemilih

a. Uji validitas Variabel Perilaku Pemilih

Berdasarkan hasil pengolahan pada lampiran 3 maka, dilakukan uji validitas sebagai berikut:

Tabel 4.10. Uji validitas variabel perilaku pemilih

Correlations

Y Y.1 Pearson Correlation ,624** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.2 Pearson Correlation ,722** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.3 Pearson Correlation ,686** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.4 Pearson Correlation ,721** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.5 Pearson Correlation ,747** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.6 Pearson Correlation ,693** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.7 Pearson Correlation ,604** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.8 Pearson Correlation ,705** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.9 Pearson Correlation ,492** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.10 Pearson Correlation ,572** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 Y.11 Pearson Correlation ,631** Sig. (2-tailed) ,000 N 210 **. Correlation is significant at the 0.01 level Sumber: Hasil pengolahan(2-tailed). data primer, 2013 pada lampiran 3 131

Dari tabel di atas ditunjukkan bahwa semua item pertanyaan

(instrumen penelitian) yaitu Y.1, Y.2, Y.3, Y.4, Y.5, Y.6, Y.7, Y.8, Y.9,

Y.10, dan Y.11 yang digunakan untuk mengukur indikator dari variabel perilaku pemilih memiliki rhitung > 0,320. Ini menunjukkan bahwa semua item pertanyaan tersebut adalah valid untuk mengukur indikator variabel perilaku pemilih.

b. Uji Reliabilitas Variabel Perilaku Pemilih

Berdasarkan hasil pengolahan pada lampiran 3 diperoleh nilai

Cronbach's Alpha 0,865 > 0,6 sehingga item pertanyaan yang valid adalah reliabel (handal).

5. Analisis Deskriptif Variabel Penelitian

Analisis deskriptif variabel penelitian dan indikatornya dikelompokkan (dikategorikan) berdasarkan nilai rata-rata (mean). Range nilai dari 1 s/d 5 sehingga panjang range adalah 4. Selanjutnya dibagi atas

5 interval kelas kategori sehingga panjang setiap interval kelas adalah

4/5= 0,8. Adapun range kategorinya pada tabel berikut.

Tabel 4.11. Kategori nilai rata-rata (mean) item pertanyaannya No Mean(m) Kategori 1 1 ≤ m <1,8 Sangat rendah /tidak baik 2 1,8 ≤ m < 2,6 Rendah/kurang baik 3 2,6 ≤ m < 3,4 Sedang 4 3,4 ≤ m < 4,2 Tinggi/baik 5 4,2 ≤ m ≤ 5,00 Sangat tinggi/sangat baik 132

5.1. Deskripsi Variabel Isu putra daerah

Berdasarkan hasil pengolahan data pada lampiran 6, diperoleh deskripsi variabel isu putra daerah sebagai mana tertera pada tabel berikut:

Tabel 4.12. Deskripsi variabel isu putra daerah Indikat Rata- Rata-rata Item pertanyaan or rata (kategori) X1.1 = Daya tarik isu putra daerah pada pilgub 3,89 Sul-Sel 2013. X1.2 = Cagub dan Cawagub yang menampilkan 3,73 Isu Putra Daerah dalam kampanye X1.3 = Opini yang berkembang di masyarakat 3,82 Isu saatnya Putra daerah memimpin Sulsel 3,68 Putra X1.4 = Spanduk bertuliskan saatnya Putra 3,76 (tinggi) Daerah Daerah memimpin Sulsel X1.5 = Pesan kampanye Putra Daerah Ilham 3,81 Azis X1.6 = Pesan Putra Daerah yang sifatnya 2,95 emosional X1.7 = Pesan Putra daerah yang sifatnya 3,76 memotivasi 3,68 Rata-rata (kategori) (tinggi) Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2013 pada lampiran 5

Dari tabel di atas ditunjukkan bahwa dari ke 7 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator isu putra daerah nilai rata-rata 3,68 dengan kategori tinggi. Jadi isu putra daerah mempunyai rata-rata 3,68 dengan kategori tinggi. 133

Untuk lebih jelasnya, dari tabel di atas menunjukkan bahwa pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang daya tarik dalam diri responden terhadap isu putra daerah memilih pasangan Ilham Azis, karena mengetahui dengan baik bahwa Ilham adalah putra daerah dari Bumi

Massenrempulu (Enrekang), memiliki hubungan yang baik dengan orang- orang maspul dan Ilham juga menjadi ketua dewan penasehat di

Himpunan Keluarga Massenrempulu kota Makassar (HIKMA). Jadi pengetahuan mereka adalah baik (tinggi).

Selain itu, pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang menginginkan sesuatu yang baru, dan seorang Gubernur yang punya kedekatan secara kultural.

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang memilih pasangan Ilham Azis karena putra daerah.

Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil observasi peneliti terhadap isu putra daerah pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Adapun hasil observasi peneliti terhadap isu putra daerah pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di

Kabupaten Enrekang yaitu banyak masyarakat yang sudah lama mengenal Ilham semenjak dia jadi Walikota Makassar, berdasarkan pengalaman dan pengetahuan pemilih tentang Ilham Azis karena sebelum 134

deklarasi untuk maju jadi Calon Gubernur, sudah sering pulang ke

Enrekang untuk bersyarah dikuburan nenek moyangnya, disamping itu cukup banyak bantuan berupa sumbangan, baik pembuatan jalan, jembatan dan masjid di kampungnya (Desa Tampo Kecamatan

Anggeraja). Hal ini mengindikasikan bahwa pada Pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten

Enrekang mampu mempengaruhi perilaku pemilih untuk memilih pasangan Ilham Azis.

5.2. Deskripsi Variabel Politik Uang

Berdasarkan hasil pengolahan data pada lampiran 5, diperoleh deskripsi variabel politik uang sebagaimana tertera pada tabel berikut.

Tabel 4.13 Deskripsi variabel politik uang Indikat Rata-rata Itempertanyaan Rata-rata or (kategori) X2.1 = Daya tarik politik uang 2,58 X2.2 = Cagub dan Cawagub yang 2,24 membagi-bagikan uang Politik 2,35 X2.3 = Dijanji akan diberikan uang 2,28 Uang (rendah) X2.4 = Hadir kampanye karena dibagikan 2,28 uang X2.5 = Isu politik uang yang dilakukan TIM 2,78 IA

2,35 Rata-rata (kategori) (rendah) Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2013 pada lampiran 5 135

Dari tabel di atas ditunjukkan bahwa dari ke 5 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator politik uang diperoleh nilai rata-rata 2,35 dengan kategori rendah. Jadi nilai rata-rata politik uang adalah 2,35 dengan kategori rendah.

Untuk lebih jelasnya, dari tabel di atas menunjukkan bahwa pada

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun

2013 di Kabupaten Enrekang memiliki dorongan yang rendah untuk mempengaruhi perilaku pemilih.

Jadi pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang dibutuhkan penyadaran dan pembelajaran politik kepada masyarakat agar cerdas dan pintar dalam menentukan pilihannya.

Selanjutnya, jika politik uang sudah menjadi budaya dalam setiap momentum pilkada maka akan tercipta suatu pembodohan terhadap masyarakat dan secara otomatis merusak demokrasi yang selama ini di eluh-eluhkan.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di

Kabupaten Enrekang memiliki politik uang yang rendah.

Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil observasi peneliti terhadap politik uang pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang yakni adanya beberapa masyarakat yang masih mengharapkan imbalan atau 136

uang saku dari calon yang akan dipilih, namun kecenderungan masyarakat yang masih berharap untuk diberikan uang adalah masyarakat yang punya tingkat pendidikan rendah dan pada umumnya yang hidup di daerah pedalaman.

5.3. Deskripsi Variabel Mesin Politik

Berdasarkan hasil pengolahan data pada lampiran 5, diperoleh deskripsi variabel money politik sebagaimana tertera pada tabel berikut.

Tabel 4.14 Deskripsi variabel mesin politik Indika Rata-rata Itempertanyaan Rata-rata tor (kategori) X3.1 = Daya tarik partai pada pilgub 3,44 X3.2 = Daya tarik partai pengusung IA 3,51 Mesin 3,34 X3.3 = Daya tarik penampilan pengurus 3,40 politik (sedang) partai pengususng IA X3.4 = Pendekatan emosional Jurkam IA 3,19 X3.5 = Ikut dalam kampanye IA 3,18 3,34 Rata-rata (kategori) (sedang) Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2013 pada lampiran 5

Dari tabel di atas ditunjukkan bahwa dari ke 5 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator mesin politik diperoleh nilai rata-rata 3,34 dengan kategori rendah. Jadi nilai rata-rata mesin politik adalah 3,34 dengan kategori rendah. 137

Untuk lebih jelasnya, dari tabel di atas menunjukkan bahwa pada

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun

2013 di Kabupaten Enrekang memiliki dorongan mesin politik yang sedang untuk mengubah sikap dan perilaku dalam menentukan pilihan.

Jadi pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang mesin politik dapat memberikan dorongan yang sedang dalam mengubah perilaku pemilih dalam menentukan pilihannya.

Selanjutnya, masyarakat menginginkan adanya pendekatan secara emosional dan kekeluargaan yang dilakukan oleh tim pemenangan Ilham

Azis dalam mensosialisasikan atau mengkampanyekan Cagub dan

Cawagub.

Berdasarkan uraian di atas menunjukkan bahwa pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di

Kabupaten Enrekang memiliki dorongan mesin politik yang rendah.

Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil observasi peneliti terhadap mesin politik pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang.

5.4. Deskripsi Variabel Perilaku pemilih

Berdasarkan hasil pengolahan data pada lampiran 5, diperoleh deskripsi variabel perilaku pemilih sebagai mana tertera pada tabel berikut. 138

Tabel 4.15 Deskripsi variabel perilaku pemilih Rata- Rata-rata Indikator Itempertanyaan rata (kategori) Y.1 = Memilih Pasangan IA Karena 3,65 3,65 Putra Daerah putra daerah (tinggi) Y.2 = Memilih Pasangan IA Karena 3,00 Pertemanan 3,00 pertamanan (sedang Y.3 = Memilih Pasangan IA Karena 2,85 Kekeluargaan 2,85 kekeluargaan (sedang) Qahhar Y.4 = Memilih Pasangan IA Karena 3,00 3,00 Mudzakkar Azis keturunan Qahhar Mudzakkar (sedang) Suku Y.5 = Memilih Pasangan IA Karena 3,40 3,40 (tinggi) adanya kesamaan suku

Y.6 = Memilih Pasangan IA Karena 3,20 Partai Politik 3,20 partai politik pengusung (sedang)

Y.7 = Memilih Pasangan IA Karena Agama 3,80 3,80 (tinggi) adanya kesamaan agama Y.8 = Memilih Pasangan IA Karena Budaya 3,54 3,54 (tinggi) budaya Y.9 = Memilih Pasangan IA Karena 2,39 Politik Uang 2,39 ada Politik Uang (rendah) Y.10 = Memilih Pasangan IA Visi Misi 4,01 4,01 (tinngi) Karena visi misi Figure Y.11 = Memilih Pasangan IA 3,90 3,90 (tinggi) Ketokohannya Karena figurenya

Rata-rata (kategori) 3,34 (sedang) Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2013 pada lampiran 5 139

Dari tabel di atas menunjukan bahwa dari 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator putra daerah diperoleh nilai rata-rata 3,65 dengan kategori tinggi. 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator pertemanan diperoleh nilai rata-rata 3.00 dengan kategori sedang. 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator kekeluargaan diperoleh nilai rata-rata 2,85 dengan kategori sedang. 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator Qahhar Mudzakkar diperoleh nilai rata-rata 3.00 dengan kategori sedang. 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator suku diperoleh nilai rata-rata 3.40 dengan kategori tinggi. 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator partai politik diperoleh nilai rata-rata 3.20 dengan kategori sedang. 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator agama diperoleh nilai rata-rata 3.80 dengan kategori tinggi. 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator budaya diperoleh nilai rata-rata 3.54 dengan kategori tinggi. 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator politik uang diperoleh nilai rata-rata 2.39 dengan kategori rendah.

1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator visi misi diperoleh nilai rata-rata 4.01 dengan kategori tinggi. 1 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator figure ketokohan diperoleh nilai rata-rata

3.90 dengan kategori tinggi. Dari ke 11 item pertanyaan yang digunakan mengukur indikator perilaku pemilih diperoleh nilai rata-rata 3,34 dengan kategori sedang. Ini menunjukkan bahwa perilaku pemilih pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di

Kabupaten Enrekang dapat dikatakan sedang. 140

Sebagaimana dijelaskan oleh Cangara (2003; 163), bahwa pengaruh kampanye dapat terjadi pada tingkat pengetahuan (knowledge), sikap (attitude), perilaku (behavior) masyarakat yang menjadi target kampanye. Pengaruh dapat dikatakan mengenai sasaran jika perubahan

(P) yang terjadi pada penerima sama dengan tujuan (T) yang diinginkan oleh komunikator (P=T), atau seperti rumus yang dikatakan oleh jamias

(Ibid ; 163), yakni pengaruh sangat ditentukan oleh sumber, pesan, media, dan penerima (P=S/P/M/P).

Pada tingkat pengetahuan pengaruh bisa terjadi dalam bentuk perubahan persepsi dan perubahan pendapat (Cangara, 2003:163).

Perubahan pendapat bisa terjadi jika terdapat perubahan penilaian terhadap sesuatu objek karena adanya informasi yang lebih baru. Ada kesangsian atau keraguan masyarakat mengenai kemampuan

(competency) perempuan untuk terlibat dalam kegiatan politik, baik kemampuan intelektual, fisik, dan psikologis. Kegiatan politik dianggap sebagai kegiatan yang tidak mengenal waktu karena tidak ada jadwal kerja yang pasti.

Adapun yang dimaksud dengan perubahan sikap adalah adanya perubahan internal pada diri seseorang yang diorganisir dalam bentuk prinsip sebagai hasil evaluasi yang dilakukannya terhadap suatu objek, baik yang terdapat di dalam dirinya maupun dilingkungannya.

Perubahan perilaku adalah perubahan yang terjadi dalam bentuk tindakan. Masyarakat yang semula tidak mendukung, akan berbalik 141

menjadi pendukung setelah melihat kenyataan bahwa cagub dan cawagub

IA mampu (kompeten) bekerja dalam lapangan politik.

Peran komunikasi dalam Perubahan Perilaku adalah usaha yang sistematis untuk mempengaruhi secara positif perilaku sasaran dengan menggunakan berbagai prinsip dan metode komunikasi, baik komunikasi interpersonal maupun komunikasi massa. Tujuan utama komunikasi politik cagub dan cawagub adalah perubahan perilaku yang pada gilirannya pemilih dapat mendukung cagub tersebut. Selanjutnya dengan perilaku yang mendukung diharapkan akan berpengaruh terhadap penentuan pilihan pada cagub.

Untuk lebih jelasnya, dari tabel di atas menunjukkan bahwa pada

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun

2013 di Kabupaten Enrekang, faktor yang memengaruhi pemilih untuk memilih pasangan Ilham Azis karena putra daerah, suku, agama, budaya, visi misi dan figure ketohohan tinggi. Sementara yang memengaruhi juga pemilih memilih pasangan Ilham Azis karena, pertemanan, kekeluargaan,

Qahhar Mudzakkar dan partai politik sedang, selanjutnya faktor politik uang rendah dalam memengaruhi pemilih dalam memilih pasangan ilham

Azis. Jadi perilaku pemilih adalah sedang.

Temuan penelitian ini sejalan dengan hasil observasi peneliti terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang yakni memang sering pemilih di kabupaten Enrekang membicarakan Isu putra 142

daerah, suku, budaya dan visi misi Ilham Azis yaitu kartu semangat baru, tapi soal kekeluargaan, Qahhar Mudzakkar, partai pengusung ada yang membicarakan tapi jarang dan masalah politik uang memang sangat kurang yang membicarakan.

6. Analisis Regresi

Besarnya koefisien regresi berganda dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4.16 Koefisien regresi berganda

Coefficientsa

Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta t Sig. 1 (Constant) 7,238 2,094 3,457 ,001 X1 ,781 ,079 ,360 6,311 ,000 X2 ,310 ,071 ,223 4,396 ,000 X3 ,501 ,125 ,356 6,240 ,000 a. Dependent Variable: Y

Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2013 pada lampiran 6

Berdasarkan koefisien regresi di atas diperoleh nilai konstanta sebesar 7,238, koefisien X1 sebesar 0,781, koefisien X2 sebesar 0,310 dan koefisien X3 sebesar 0,501. Sehubungan dengan itu, maka diperoleh model persamaan regresi pengaruh isu putra daerah, politik uang dan mesin politik terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten

Enrekang sebagaimana pada persamaan berikut ini. 143

Y = 7,238+ 0,781X1+ 0,310 X2 + 0,501X3

Di mana:

Y = Perilaku pemilih

X1 = Isu putra daerah

X2 = Politik uang

X3 = Mesin politik

7. Pengujian Hipotesis

Berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada lampiran 6 diperoleh hasil pengujian hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Berdasarkan uji F diperoleh nilai sig = 0,000 < 0,05, Ini ditunjukkan

bahwa model persamaan regresi berganda tersebut fit (cocok)

digunakan dalam menganalisis pengaruh isu putra daerah dan

politik uang secara simultan terhadap perilaku pemilih pada

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Isu putra daerah dan

politik uang secara simultan berpengaruh terhadap perilaku

pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Jadi

hipotesis 1 diterima (terbukti).

Selain itu, berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada

lampiran 6 diperoleh nilai koefisien determinasi R Square = 0,504,

Ini ditunjukkan bahwa 50,4% variasi dari variabel perilaku pemilih

ditentukan (dipengaruhi) oleh variabel isu putra daerah, politik 144

uang dan mesin politik, Ini berarti bahwa masih ada variabel

bebas yang lain yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih yang

tidak dimasukkan dalam model analisis, Besarnya variasi dari

perilaku pemilih yang dapat ditaksir oleh variabel yang lain adalah

49,6%.

2. Berdasarkan Uji t pada lampiran 6 atau pada tabel di atas

didapatkan koefisien pengaruh:

a. Variabel isu putra daerah terhadap perilaku pemilih sebesar

0,781 dengan nilai signifikansi (sig) = 0,000 < 0,05, Ini

ditunjukkan bahwa variabel isu putra daerah secara parsial

berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pemilih

pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang

b. Variabel politik uang terhadap perilaku pemilih sebesar 0,310

dengan nilai signifikansi (sig) = 0,000 < 0,05, Ini ditunjukkan

bahwa variabel politik uang secara parsial berpengaruh positif

dan signifikan terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan

tahun 2013 di Kabupaten Enrekang.

c. Variabel mesin politik terhadap perilaku pemilih sebesar 0,501

dengan nilai signifikansi (sig) = 0,000 < 0,05, Ini ditunjukkan

bahwa variabel mesin politik secara parsial berpengaruh

positif dan signifikan terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan 145

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan

tahun 2013 di Kabupaten Enrekang.

3. Berdasarkan besarnya koefisien pengaruh variabel isu putra

daerah, politik uang dan mesin politik terhadap perilaku pemilih

Pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang diperoleh nilai

koefisien pengaruh yang paling besar adalah 0,781 yakni

koefisien pengaruh variabel isu putra daerah, Ini ditunjukkan

bahwa isu putra daerah mempunyai pengaruh yang dominan

terhadap perilaku pemilih. Jadi, hipotesis ketiga yang menyatakan

bahwa variabel yang dominan berpengaruh terhadap perilaku

pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang adalah isu

putra daerah. Jadi hipotesis 4 diterima (terbukti).

8. Analisis Hasil Diskusi Kelompok (FGD)

Selama Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang ditandai aktivitas kampanye politik lebih tajam, karena cagub dan cawagub ingin meyakinkan masyarakat mengenai kebaikannya. Pesan sangat penting sebagai alat untuk memberikan kebijaksanaannya dan meyakinkan rakyat dalam memberikan suaranya. Politikus-politikus menggunakan semboyan dan kata klise dalam menyampaikan maksudnya. 146

Seperti halnya dengan cagub dan cawagub Ilham Azis, telah melakukan aktivitas kampanye melalui media apa saja untuk meyakinkan pemilih agar memilihnya. Berbagai media telah digunakan baik surat kabar, radio, televisi, spanduk, baliho maupun dengan pendekatan kultur atau mengangkat isu putra daerah.

Melalui rumpun keluarga, kerabat dan para tim pemenangan IA memiliki target utama yaitu untuk mengingatkan kembali pelaksanaan

Pilgub Sulsel pada hari Kamis tanggal 22 januari 2013, tentunya pesan ini diharapkan berpengaruh pada sikap, dan sebagai tujuan akhir adalah perubahan perilaku.

Berdasarkan data yang dikumpulkan penulis didapatkan bahwa

Pasangan Ilham Arief Sirajuddin dan Azis Qahhar Mudzakkar mampu meraih kemenangan di Kabupaten Enrekang dengan perolehan suara terbanyak yakni mencapai 56,64%. Pasangan Syahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Nu'mang memperoleh suara sekitar 41,85%.

Sementara pasangan Andi Rudiyanto Asapa dan Andi Nawir hanya memperoleh suara sekitar 1,50%.

Dengan demikian, penulis melakukan diskusi kelompok (FGD), di tiga kecamatan yang dijadikan tempat penelitian di Kabupaten

Enrekang yaitu Kecamatan Enrekang, Kecamatan Anggeraja dan

Kecamatan Bungin. 147

8.1.Kecamatan Enrekang

Adapun yang hadir dalam diskusi kelompok di kecamatan

Enrekang yang di laksanakan pada hari sabtu tanggal 03 Agustus

2013, 1).Saharullah (Ketua PPK), 2).Hasriadi (Anggota PPK),

3).Hasma (Tokoh Perempuan), 4).Syamsuridjal (Tokoh Pemuda),

5).Waddu (Tokoh Masyarakat), 6). Muhammad Ali (Kepala

lingkungan), 7). Abd Wahab (Kaur desa), dan 8).Hasbudi (Panwas).

Sebelum menjabarkan tentang bentuk pesan kampanye

yang dilakukan pasangan Ilham Azis, terlebih dahulu dijelaskan

tentang pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Sulawesi Selatan di Kabupaten Enrekang. Seperti yang di jelaskan

peserta diskusi kelompok di Kecamatan Enrekang bahwa:

“Prosesi pelaksanaan Pilgub Sulsel tahun 2013, berjalan dengan baik dan aman sesuai dengan prosedural dan tahapan yang telah ditetapkan oleh KPUD Provinsi Sulawesi Selatan namun tetap mengalami penyesuaian terhadap dinamika situasi politik yang berkembang”(wawancara kelompok tgl 03 agustus 2013).

Hal yang sama juga dikemukakan Hasma (Tokoh Perempuan), bahwa:

“Pilgub Sulsel tahun 2013, setidaknya dapat dilaksanakan oleh penyelenggara dengan baik dan aman sesuai dengan mekanisme dan regulasi yang ada. Kita sepatutnya bersyukur sama yang kuasa yang telah memberikan ketabahan dan kesabaran kepada masing- masing TIM pasangan Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur yang ikut berkompetisi, karena tidak ada masalah yang serius muncul ditengah-tengah masyarakat sebelum dan sesudah pilgub, sekalipun hasil akhir sampai ke Mahkamah Konstitusi (wawancara kelompok tgl 03 agustus 2013). 148

Kedua kutipan diskusi diatas menunjukkan bahwa sikap, para TIM pemenangan Pasangan Calon yang bertarung dalam menduduki posisi orang nomor satu di Sulawesi Selatan, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa menang atau kalah dalam sebuah suksesi pilkada hanya akhir dari proses pemilihan kepala daerah, namun yang terpenting adalah hubungan sesama ummat manusia, hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang sudah lama dibina.

Seperti yang dijelaskan oleh peserta diskusi, berikut ini bahwa:

“Isu putra daerah yang sering di gelindingkan oleh masing-masing TIM pasangan calon Baik TIM IA maupun TIM SAYANG, karena mereka sama-sama mengaku bahwa kandidat yang mereka jual adalah orang yang punya hubungan darah dengan tanah Massenrempulu, namum kenyataan di lapangan masyarakat sudah mengetahui secara persis kalau Pak Ilham selaku calon Gubernur, yang asli punya darah dari bumi Massenrempulu (Enrekang). Karena isu putra daerah sangat mempengaruhi sikap pemilih, apalagi perilaku pemilih dalam memberikan hak suaranya di TPS” (wawancara kelompok tgl 03 agustus 2013).

Lebih tegas Syamsuridjal (Tokoh Pemuda), dan Waddu (Tokoh

Masyarakat) di Kecamatan Enrekang, mengatakan bahwa:

“Perkembangan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan khususnya di Kecamatan Enrekang, punya dampak positif secara politis terhadap pasangan Ilham Azis, karena dengan munculnya beberapa spanduk dan baliho yang di pasang TIM IA, yang bertuliskan bahwa sudah saatnya Putra Maspul memimpin Sulawesi Selatan sehingga memunculkan sikap panatisme yang lebih dominan dikalangan masyarakat. Diperkuat juga dengan intensitas Ustads Azis turun kedaerah dalam bentuk pengajian komite persiapan penyelenggara syariat islam (KPPSI) yang di laksanakan di masjid rutin setiap bulan (wawancara kelompok tgl 03 agustus 2013).

Uraian diatas menjelaskan bahwa bentuk pesan politik pasangan IA melalui isu putra daerah cukup efektif, karena mendapat respon yang baik 149

dari konstituen (pemilih). Berdasarkan kutipan diskusi juga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, dengan mengangkat Isu putra daerah sebagai jualan kampanye dalam memperkenalkan calon akan lebih menggugah hati masyarakat karena lebih pada semangat primordialisme.

Politik uang menjadi marak di perbincangkan ditengah-tengah masyarakat mengingat kondisi perpolitikan yang sarat akan makna pragmatisme dan apa yang bisa didapatkan oleh pemilih (konstituen) jika memilih pasangan tertentu. Dampak politik uang pada Pemilihan Gubernur dan Wakili Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kecamatan

Enrekang.

Seperti yang dikemukakan oleh peserta diskusi, berikut ini bahwa:

“Pada dasarnya politik uang tidak digunakan oleh pasangan calon pada Pemilihan Gubernur dan Wakili Gubernur, karena secara kasat mata kami tidak pernah menemukan dalam bentuk apapun yang namanya politik uang yang dilakukan oleh pasangan calon, baik melalui TIM pemenangan masing-masing yang langsung menyentuh pemilih (konstituen). Namun kecenderungan pemilih yang memilih pasangan IA adalah masyarakat yang ingin ada perubahan, ada sesuatu yang berbeda dari kemarin. Jika ada calon yang melakukan politik uang mungkin itu terjadi didaerah lain. Sebenarnya juga ada masyarakat yang masih berharap ada politik uang atau pembagian uang secara tunai untuk dijadikan sebagai imbalan jika memilih calon Gubernur” (wawancara kelompok tgl 03 agustus 2013).

Hal yang berbeda dikemukakan oleh Waddu (Tokoh Masyarakat), bahwa:

“Sesungguhnya jika kita ingin menelusuri lebih jauh, apakah ada atau tidak ada politik uang dalam pilgub kemarin?, saya mengatakan bahwa masih ada, namun itu terjadi di daerah pedalaman atau pinggiran Kecamatan Enrekang, dimana yang melakukan politik uang adalah orang-orang yang masih dekat dengan struktur kekuasaan di daerah sampai pada tataran pemerintah di level desa, dan tentu juga itu menjadi bagian dari kelompok orang yang punya peranan atau berkuasa pada saat 150

pilgub berlangsung. Namun saya berani mengatakan bahwa itu bukan dari TIM IA” (wawancara kelompok tgl 03 agustus 2013).

Hasil diskusi tersebut diatas, menggambarkan secara umum bahwa tidak ada politik uang yang dilakukan oleh TIM IA pada saat pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur di Kecamatan Enrekang.

Memang ada kecenderungan, bahwa isu-isu klasik yang selalu tampil dalam kampanye, yakni Para pejabat yang berkuasa (incumbent) cenderung menonjolkan prestasi yang telah dicapainya, sementara kandidat yang baru muncul biasanya menampilkan isu-isu heroik misalnya perubahan (change) dan anti kemapanan. (Cangara, 2009 : 331).

Mesin politik menjadi instrumen dasar para kandidat jika ingin memenangkan kontestasi pertarungan politik. Karena mesin politik menjadi tumpuan dan harapan para kandidat untuk dapat memaksimalkan prosesi sosialisasi dan kampanye untuk merebut hati rakyat. Dan tentu mesin politik yang menjadi harapan terakhir untuk dapat meyakinkan kepada pemilih, sekaligus mengubah perilaku pemilih untuk memilih pasangan calon yang berkompetisi.

Selanjutnya penulis akan memaparkan bentuk mesin politik yang punya dampak terhadap pasangan IA. Seperti yang di jelaskan peserta diskusi kelompok di Kecamatan Enrekang bahwa:

“Jika melihat suara pasangan Ilham Azis di Kecamatan Enrekang pada Pilgub lalu, tentu sangat banyak dipengaruhi oleh mesin politik yang bekerja, seperti partai pengusung yang punya jaringan sampai pada level yang paling bawah dan para tim pemenangan yang ada di tingkat Kecamatan sampai pada tim TPS. Bentuk sosialisasi yang digunakan para tim dalam memperkenalkan kandidatnya adalah model, beradaptasi dengan kondisi dimana 151

mereka berada dan tetap mengaitan kondisi daerah dimana mereka berada atau mencoba membangun aksi simpatik untuk memikat hati rakyat. Selain itu tm IA juga memanfaatkan hajatan masyarakat seperti acara pernikahan, acara aqiqah, dan sosialisasi, juga dalam bentuk perkenalan di masjid pada saat selesai shalat jum’at, cuma terkadang tim IA ada yang over acting sehingga ada masyarakat yang anti pati (wawancara kelompok tgl 03 agustus 2013).

Dari kutipan diskusi diatas, menjelaskan secara umum bentuk pesan politik yang menjadi out put dari mesin politik yaitu dua bentuk pesan seperti emotional dan motivational. Yang dikategorikan sebagai bentuk pesan motivasi seperti dengan kata ‘Jujur dan berani berbuat untuk rakyat, bukan janji tapi bukti, bukan bicara tapi berbuat’. Dalam konteks komunikasi politik, slogam-slogam yang di buat oleh tim kampanye dapat digolongkan sebagian pesan-pesan yang mengandung motivasi.

Sedangkan bentuk pesan emotional adalah seperti kata “Putra Daerah” yang artinya keluarga. Oleh karena itu bentuk penyusunan pesan kampaye seperti dapat dikategorikan sebagai pesan yang penuh dengan emosi atau emotional.

Daya tarik emosional berhubungan dengan kebutuhan psikologis pemilih untuk memilih pasangan calon. Banyak pemilih termotivasi untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya karena emosional dan perasaan terhadap pasangan calon dapat menjadi lebih penting dari pada pengetahuan terhadap atribut pernak pernik kampanye.

8.2. Kecamatan Anggeraja

Adapun yang hadir dalam diskusi kelompok di Kecamatan

Anggeraja yang di laksanakan pada hari rabu tanggal 31 Juli 2013, 152

1).Sudarmin (Ketua PPK), 2).Harun (Tokoh Agama), 3).Hafsah

(Tokoh Perempuan), 4).Sarif (Tokoh Pemuda), 5).Usman (Tokoh

Masyarakat), 6). Abd. Malik (Kepala lingkungan), 7). Yusuf

(Pengusaha), dan 8).Suparman (Sekcam).

Sebelum menjabarkan tentang bentuk pesan kampanye

yang dilakukan pasangan Ilham Azis, terlebih dahulu dijelaskan

tentang pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Sulawesi Selatan di Kabupaten Enrekang. Seperti yang di jelaskan

peserta diskusi kelompok di Kecamatan Anggeraja bahwa:

“Prosesi pelaksanaan Pilgub Sulsel tahun 2013, berjalan dengan baik dan aman sesuai dengan prosedural dan tahapan yang telah ditetapkan oleh KPUD Provinsi Sulawesi Selatan namun tetap mengalami penyesuaian terhadap dinamika situasi politik yang berkembang” (wawancara kelompok tgl 31 juli 2013).

Hal yang sedikit berbeda dikemukakan Usman (tokoh Masyarakat), bahwa:

“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2013 di Kecamatan Anggeraja yang dilaksanakan oleh KPUD Enrekang bersama jajarannya kebawa sampai pada pemungutan dan perhitungan suara di tinggkat KPPS, berjalan dengan normal- normal saja, namum ada beberapa insiden kecil yang sempat terjadi dalam prosesnya tapi saya kira itu bagian dari dinamika politik dan bisa menjadi pengalaman dan pembelajaran untuk menghadapi pemilihan Bupati dan Wakil Bupati yang sudah ada di depan mata. Kalau sekiranya semua pemangku kepentingan menyadari bahwa yang namanya pemilihan itu, hanya bagian terkecil dari demokrasi tentu tidak ada lagi gejolak-gejolak kecil yang nampak dalam Pilgub kemarin. Kalaupun dalam proses demokrasi harus ada elit politik yang bertikai untuk memperebutkan kursi kekuasaan, saya kira itu sudah biasa di negeri ini yang penting jangan rakyat yang dijadikan korban (wawancara kelompok tgl 31 juli 2013). 153

Kedua kutipan diskusi diatas menunjukkan bahwa pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur di Kecamatan Anggeraja berjalan dengan baik, dan masih dalam batas-batas kewajaran karena jika kita melihat apa yang disampaikan peserta diskusi. Seperti ada beberapa pendapat yang sedikit pro dan kontra namun penulis menilai bahwa itu bagian dari keberagaman menuju kemapanan berdemokrasi yang lebih ideal. Kembali penulis tegaskan bahwa menang atau kalah dalam sebuah suksesi pilkada hanya akhir dari proses pemilihan kepala daerah, namun yang terpenting adalah hubungan sesama ummat manusia, hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang sudah lama dibina.

Seperti yang dijelaskan oleh peserta diskusi, berikut ini bahwa:

“Isu putra daerah yang menguatkan pasangan IA, memang kita tidak bisa pungkiri jika itu menjadi kelebihan pasangan Ilham Azis karena hampir semua masyarakat di Kecamatan Anggeraja sudah mengetahui dan mengenal lebih lama, kalau Pak Ilham asli Putra Maspul dan dia punya nenek moyang dari desa Tampo, Kecamatan Anggeraja. Kalau dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur kemarin pasangan IA menang disini, saya kira itu salah satu bentuk ucapan terimakasih masyarakat kepada Pak Ilham karena selama ini dia sangat peduli terhadap kampung halamannya. Selain itu kita juga melihat militansi dan panatisme tim IA disini, dimana kita ketahui bersama bahwa cuma disini ada pemasangan spanduk yang panjangnya sekitar 30 meter (wawancara kelompok tgl 31 juli 2013).

Lebih tegas Yusuf (pengusaha), dan Sarif (Tokoh Pemuda) di

Kecamatan Anggeraja, mengatakan bahwa:

“Perkembangan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan khususnya di Kecamatan Anggeraja, punya dampak positif secara politis terhadap pasangan Ilham Azis, karena dengan munculnya beberapa spanduk dan baliho yang di pasang tim IA, yang bertuliskan bahwa sudah saatnya Putra Maspul memimpin Sulawesi Selatan sehingga memunculkan sikap panatisme yang 154

lebih dominan dikalangan masyarakat. Seperti wacana yang berkembang di masyarakat bahwa kapan lagi ada orang Maspul yang bisa jadi Gubernur kalau bukan sekarang (wawancara kelompok tgl 31 juli 2013).

Uraian diatas menjelaskan bahwa bentuk pesan politik pasangan IA melalui isu putra daerah cukup efektif, karena mendapat respon yang baik dari konstituen (pemilih). Berdasarkan kutipan diskusi juga dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya, dengan mengangkat Isu putra daerah sebagai jualan kampanye dalam memperkenalkan calon akan lebih menggugah hati masyarakat karena lebih pada semangat primordialisme.

Politik uang menjadi marak di perbincangkan ditengah-tengah masyarakat mengingat kondisi perpolitikan yang sarat akan makna pragmatisme dan apa yang bisa didapatkan oleh pemilih (konstituen) jika memilih pasangan tertentu. Dampak politik uang pada Pemilihan Gubernur dan Wakili Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kecamatan

Anggeraja.

Seperti yang dikemukakan oleh peserta diskusi, berikut ini bahwa:

“Tidak ada tim pasangan calon pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur yang melakukan politik uang, karena apa yang kami amati dan kami lihat sesuai dengan fakta dilapangan kami tidak pernah menemukan dalam bentuk apapun yang namanya politik uang, baik melalui tim pemenangan masing-masing calon yang langsung menyentuh pemilih (konstituen). Namun kecenderungan pemilih yang memilih pasangan IA karena pak Ilham bagian dari masyarakat Anggeraja dan punya hubungan yang baik sampai sekarang, bahkan beliau baru menjabat sebagai walikota makassar periode pertama beliau sudah sering datang mengunjungi kampungya dan bersilaturahim dengan masyarakat enrekang. Jadi sesunggunhya tidak ada politik uang yang dilakukan oleh tim IA disini selama bersosialisasi sampai pada tahap pemungutan suara”. 155

Hal yang sama dikemukakan oleh Hafsa (Tokoh Perempuan), bahwa:

“Sesungguhnya tidak ada politik uang yang kami cium pada saat pemilihan gubernur dan Wakil Gubernur yang dilakukan oleh tim pemenangan masing-masing calon. Sekalipun ada bantuan berupa uang tunai untuk organisasi kemasyarakatan seperti pemberdayaan perempuan melalui kelompok jamaah ta’lim, sampai pada bantuan pembuatan jembatan, renovasi masjid dan lain sebagainya. Saya kira bahwa bantuan seperti itu tidak bisa dikatakan sebagai politik uang tapi bagian dari sedekah calon untuk pemberdayaan masyarakat. Karena kalau pak Ilham, sudah sering membantu masyarakat Enrekang dari dulu dan itu sangat dirasakan oleh masyarakat maspul yang ada di Kota Makakassar (wawancara kelompok tgl 31 juli 2013).

Hasil diskusi tersebut diatas, menggambarkan secara umum bahwa tidak ada politik uang yang dilakukan oleh tim IA pada saat pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur di Kecamatan Anggeraja.

Memang ada kecenderungan bahwa isu-isu klasik yang selalu tampil dalam kampanye, yakni Para pejabat yang berkuasa (incumbent) cenderung menonjolkan prestasi yang telah dicapainya, sementara kandidat yang baru muncul biasanya menampilkan isu-isu heroik misalnya perubahan (change) dan anti kemapanan. (Cangara, 2009 : 331).

Mesin politik menjadi instrumen dasar para kandidat jika ingin memenangkan kontestasi pertarungan politik. Karena mesin politik menjadi tumpuan dan harapan para kandidat untuk dapat memaksimalkan prosesi sosialisasi dan kampanye untuk merebut hati rakyat. Dan tentu mesin politik yang menjadi harapan terakhir untuk dapat meyakinkan kepada pemilih, sekaligus mengubah perilaku pemilih untuk memilih pasangan calon yang berkompetisi. 156

Selanjutnya penulis akan memaparkan bentuk mesin politik yang punya dampak terhadap pasangan IA. Seperti yang di jelaskan peserta diskusi kelompok di Kecamatan Anggeraja bahwa:

“pasangan Ilham Azis di Kecamatan Anggeraja menang cukup fantastis pada Pilgub lalu, tentu dipengaruhi oleh mesin politik yang bekerja, namun lagi-lagi kami katakan bahwa pengaruhnya yang masih lebih dominan adalah karena dia asli orang massenrempulu (Enrekang) sehingga bisa meraup suara banyak. Disamping itu punya tim pemenangan kabupaten, sampai pada tim TPS. Kalau kita kaitkan dengan kondisi secara umum politik di Kabupaten Enrekang, tentu IA harusnya kalah, karena yang berkuasa adalah Bupati Ir. H. Latinro La Tunrung ketua Golkar kabupaten, punya kursi banyak dilegislatif menyusul Partai Amanat Nasional (PAN). Tapi faktanya dilapangan pasangan Ilham Azis menang di Kabupaten Enrekang” (wawancara kelompok tgl 31 juli 2013).

Dari kutipan diskusi diatas, menjelaskan secara umum bentuk pesan politik yang menjadi out put dari mesin politik yaitu dua bentuk pesan seperti emotional dan motivational. Yang dikategorikan sebagai bentuk pesan motivasi seperti dengan kata ‘Jujur dan berani berbuat untuk rakyat, bukan janji tapi bukti, bukan bicara tapi berbuat’. Dalam konteks komunikasi politik, slogam-slogam yang di buat oleh tim kampanye dapat digolongkan sebagai pesan-pesan yang mengandung motivasi.

Sedangkan bentuk pesan emotional adalah seperti kata “Putra Daerah” yang artinya keluarga. Oleh karena itu bentuk penyusunan pesan kampaye dapat dikategorikan sebagai pesan yang penuh dengan emosi atau emotional.

Daya tarik emosional berhubungan dengan kebutuhan psikologis pemilih untuk memilih pasangan calon. Banyak pemilih termotivasi untuk 157

mengambil keputusan dan menentukan pilihannya karena emosional dan perasaan terhadap pasangan calon, dapat menjadi lebih penting dari pada pengetahuan terhadap atribut pernak pernik kampanye.

8.3. Kecamatan Bungin

Adapun yang hadir dalam diskusi kelompok di kecamatan

Bungin yang di laksanakan pada hari Kamis tanggal 25 Juli 2013,

1).Lukman (Ketua PPK), 2).Harianto (Anggota PPK), 3).Asma

(Tokoh Perempuan), 4).Safri (Tokoh Pemuda), 5).Nuhak (Tokoh

Masyarakat), 6). Yansir (Pegawai kecamatan), 7). Uddin (Kepala

desa), dan 8).Sampe (LSM).

Sebelum menjabarkan tentang bentuk pesan kampanye

yang dilakukan pasangan Ilham Azis, terlebih dahulu dijelaskan

tentang pelaksanaan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Sulawesi Selatan di Kabupaten Enrekang. Seperti yang di jelaskan

peserta diskusi kelompok di Bungin bahwa:

“Prosesi pelaksanaan Pilgub Sulsel tahun 2013, berjalan dengan baik dan aman sesuai dengan prosedural dan tahapan yang telah ditetapkan oleh KPUD Provinsi Sulawesi Selatan namun tetap mengalami penyesuaian terhadap dinamika situasi politik yang berkembang” (wawancara kelompok tgl 25 juli 2013).

Hal yang sama juga dikemukakan Lukman (Ketua Panitia Pemilihan

Kecamatan Bungin), bahwa:

“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kecamatan Bungin, dapat kami laksanakan dengan baik dan aman sesuai dengan tahapan dan acuan yang ada. Kita bersyukur kepada Tuhan yang Maha kuasa yang telah memberikan kekuatan, dan keselamatan kepada kita semua sehingga pelaksaan Pilgub yang lalu dapat kita selenggarakan 158

dengan langsung, umum, bebas dan rahasia (LUBER), serta jujur dan adil (JURDIL) (wawancara kelompok tgl 25 juli 2013).

Kedua kutipan diskusi diatas menunjukkan bahwa sikap, para pemangku kepentingan dan stakeholder yang ada di Kecamatan Bungin, dapat memperlihatkan contoh yang baik dalam berdemokrasi, memberikan pendidikan politik kepada masyarakat bahwa menang atau kalah dalam sebuah suksesi pilkada hanya akhir dari proses pemilihan kepala daerah, namun yang terpenting adalah hubungan sesama ummat manusia, hubungan persaudaraan dan kekeluargaan yang sudah lama dibina.

Seperti yang dijelaskan oleh peserta diskusi, berikut ini bahwa:

“Dengan adanya Isu putra daerah yang sering di angkat oleh tim IA di kecamatan Bungin sebenarnya punya pengaruh tapi tidak terlalu signifikan, karena kecenderungan masyarakat Bungin dalam menentukan pilihannya bukan atas dasar apa yang menjadi jualan kampanye tim bahwa saatnya putra maspul jadi gubernur. Dan itu terbukti pada saat pemilihan Gubernur yang lalu dimana yang keluar jadi pemenang di Kecamatan Bungin adalah pasangan “SAYANG”. Ada fenomena yang cukup menarik terjadi dikecamatan Bungin misalnya pemberian gelar raja (ACO) Arung Corak Ongkopadang kepada Ilham Arief Sirajuddin. Namun itu justeru berdampak negatif bagi pasangan IA, karena masyarakat yang memahami silsilah kerajaan Bungin justeru anti pati terhadap proses pemberian ACO kepada Ilham, karena yang berhak mendapatkan gelar Arung adalah orang yang punya darah keturunan raja Bungin, sementara Ilham tidak punya silsila keturunan raja Bungin sehingga dia tidak punya hak untuk menyandang status tersebut. Dan fenomena selanjutnya adalah cuma Ilham calon Gubernur yang turun di Bungin, tapi toh’ dia kalah telat disini (wawancara kelompok tgl 25 juli 2013).

Uraian diatas menjelaskan bahwa bentuk pesan politik pasangan IA melalui isu putra daerah tidak efektif, karena kurang mendapat respon dari konstituen (pemilih). Berdasarkan kutipan diskusi juga dapat disimpulkan 159

bahwa banyak sesuatu yang dilakukan oleh tim IA yang sepantasnya tidak dilakukan seperti dengan pemberian gelar Raja kepada Pak Ilham, karena justru masyarakat akan anti pati. Disamping itu karakter masyarakat

Bungin yang jauh dari kota juga sangat mempengaruhi perilaku pemilih, karena jalur informasi yang masuk ke kecamatan Bungin tidak selancar di kecamatan lain yang ada di kabupaten Enrekang sehingga pusat informasi hanya ada di titik-titik tertentu.

Politik uang menjadi marak di perbincangkan ditengah-tengah masyarakat mengingat kondisi perpolitikan yang sarat akan makna pragmatisme dan apa yang bisa didapatkan oleh pemilih (konstituen) jika memilih pasangan tertentu. Dampak politik uang pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kecamatan bungin.

Seperti yang dikemukakan oleh peserta diskusi, berikut ini bahwa:

“Untuk soal politik uang pada Pilgub yang lalu, sebenarnya ada, kita tidak bisa mengelah bahwa pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Tahun 2013 di Kecamatan Bungin ada politik uang yang dilakukan oleh tim pasangan calon dan orang-orang tertentu yang katanya utusan khusus, karena memang kondisi masyarakat kita yang punya pengetahuan dan pemahaman tentang demokrasi masih sangat rendah sehingga sangat dimungkinkan untuk menerima apapun yang diberikan oleh orang yang punya kepentingan secara politis. Disini juga kami melihat bahwa tingkat ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah setempat masih sangat tinggi, sehingga apapun yang disampaikan oleh pemerintah kecenderungan masyarakat pasti akan mengikuti. Karena anggapan masyarakat selama ini, kalau kita punya masalah pasti kembali ke perintah, kita sakit pemerintah yang antar ke kota untuk berobat, jalanan kita rusak pemerintah yang perbaiki, jadi memang kehidupan masyarakat dalam keseharian susah dipisahkan dari pemerintah setempat (wawancara kelompok tgl 25 juli 2013). 160

Hasil diskusi tersebut diatas, menggambarkan secara umum bahwa ada politik uang yang dilakukan oleh tim pasangan calon, baik tim “IA” maupun tim “Sayang” pada saat pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di Kecamatan Bungin.

Sejatinya politik uang yang mempengaruhi perilaku pemilih dalam menentukan pilihan politiknya, tentu itu juga tidak bisa lepas dari tingkat pendidikan masyarakat yang masih sangat rendah sehingga tingkat ketergantungan mereka terhadap pemerintah masih sangat tinggi.

Mesin politik menjadi instrumen dasar para kandidat jika ingin memenangkan kontestasi pertarungan politik. Karena mesin politik menjadi tumpuan dan harapan para kandidat untuk dapat memaksimalkan prosesi sosialisasi dan kampanye untuk merebut hati rakyat. Dan tentu mesin politik yang menjadi harapan terakhir untuk dapat meyakinkan kepada pemilih, sekaligus mengubah perilaku pemilih untuk memilih pasangan calon yang berkompetisi.

Selanjutnya penulis akan memaparkan bentuk mesin politik yang punya dampak terhadap pasangan IA. Seperti yang di jelaskan peserta diskusi kelompok di Kecamatan Bungin bahwa:

“Perolehan suara pasangan Ilham Azis pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sulawesi Selatan Tahun 2013 di Kecamatan Bungin, memang sangat rendah jika dibandingkan dengan suara yang diperoleh pasangan Syahrul Agus. Dalam proses perjalanan tim “IA” di Kecamatan Bungin tentu banyak mendapat tantangan dalam melakukan sosialisasi maupun kampanye, seperti rencana kampanye terbuka yang dilakukan oleh pasangan “IA” di lapangan Buassa Kec. Bungin, tidak mendapat Izin dari pemerintah setempat dengan alasan bahwa untuk menghindari gesekan sosial antara sesama pendukung atau masyarakat pada tingkat bawah. 161

Meskipun mendapat Izin dari Polres Enrekang, namun pemerintah tetap tidak memberikan Izin dengan alasan bahwa Kec. Bungin belum memiliki Polsek, karena berbeda pengamanan yang biasa dilakukan oleh personil dari Polsek ketimbang pengamanan yang dilakukan oleh Polres Enrekang, dengan pertimbanagn bahwa personil polres belum berinteraksi dengan masyarakat setempat. Tetapi pasangan IA tetap diberikan izin untuk melakukan kampanye di rumah salah satu tim di Desa Baruka, dan itu dapat berjalan dengan baik (wawancara kelompok tgl 25 juli 2013).

Dari kutipan diskusi diatas, menjelaskan secara umum bentuk pesan politik yang menjadi out put dari mesin politik yaitu dua bentuk pesan seperti emotional dan motivational. Yang dikategorikan sebagai bentuk pesan motivasi seperti dengan kata ‘Jujur dan berani berbuat untuk rakyat, bukan janji tapi bukti, bukan bicara tapi berbuat’. Dalam konteks komunikasi politik, slogam-slogam yang di buat oleh tim kampanye dapat digolongkan sebagai pesan-pesan yang mengandung motivasi.

Sedangkan bentuk pesan emotional adalah seperti kata “Putra Daerah” yang artinya keluarga. Oleh karena itu bentuk penyusunan pesan kampaye seperti dapat dikategorikan sebagai pesan yang penuh dengan emosi atau emotional.

Daya tarik emosional berhubungan dengan kebutuhan psikologis pemilih untuk memilih pasangan calon. Banyak pemilih termotivasi untuk mengambil keputusan dan menentukan pilihannya karena emosional dan perasaan terhadap pasangan calon dapat menjadi lebih penting dari pada pengetahuan terhadap atribut pernak pernik kampanye. 162

B. Pembahasan

1. Isu putra daerah, Politik uang dan Mesin politik

Berdasarkan hasil deskripsi variabel penelitian menunjukkan bahwa isu putra daerah adalah tinggi. Indikator yang digunakan untuk mengukur isu putra daerah pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang yakni indikator daya tarik isu putra daerah, tampilan Isu Putra daerah dalam kampanye cagub dan cawagub, Opini yang berkembang tentang Isu putra daerah, spanduk tentang putra daerah, pesan kampanye putra daerah IA, pesan putra daerah sifatnya emosional dan pesan putra daerah sifatnya memotivasi ketujuhnya masuk dalam kategori tinggi.

Berdasarkan hasil deskripsi variabel penelitian menunjukkan bahwa politik uang adalah rendah. Ada lima indikator yang digunakan untuk mengukur politik uang pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang yakni indikator daya tarik politik uang, cagub dan cawagub membagikan uang, dijanji akan diberikan uang, ikut kampanye karena dibagikan uang dan isu politik uang yang dilakukan IA. Dari kelima indikator politik uang adalah rendah. Adapun jastifikasi penulis adalah pemilih pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di

Kabupaten Enrekang yang masih mengharapkan diberikan uang untuk memilih pada saat Pilgub adalah pemilih yang tingkat pendidikannya masih rendah dan kecenderungan mereka yang hidup didaerah pelosok. 163

Berdasarkan hasil deskripsi variabel penelitian menunjukkan bahwa mesin politik adalah sedang. Ada lima indikator yang digunakan untuk mengukur mesin politik pada Pemilihan Gubernur dan Wakil

Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang yakni indikator daya tarik partai politik, daya tarik partai pengusung IA, daya tarik penampilan pengurus partai pengusung IA, pendekatan emosional yang dilakukan jurkam IA dan ikut dalam sosialisasi yang dilakukan jurkam IA.

Isu putra daerah masuk dalam kategori tinggi, politik uang masuk kategori rendah, sementara mesin politik adalah sedang. Adapun justifikasi penulis adalah karena adanya keinginan masyarakat di kabupaten Enrekang untuk perubahan kearah yang lebih baik, dalam menentukan pemimpin di Sulawesi Selatan selama lima tahun kedepan.

2. Pengaruh Isu putra daerah dan Politik uang Secara Simultan

terhadap Perilaku pemilih

Berdasarkan uji F diperoleh nilai sig = 0,000 < 0,05, Ini ditunjukkan bahwa model persamaan regresi berganda tersebut fit (cocok) digunakan dalam menganalisis pengaruh isu putra daerah dan politik uang terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Jadi, hipotesis pertama yang menyatakan bahwa isu putra daerah dan politik uang secara simultan berpengaruh terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di 164

Kabupaten Enrekang diterima. Ini mengindikasikan bahwa jika isu putra daerah dan politik uang, maka akan mengakibatkan terjadinya perubahan pada perilaku pemilih yakni jika isu putra daerah dan politik uang sama- sama naik akan meningkatkan perilaku pemilih, jika isu putra daerah dan money politik sama-sama turun akan menurunkan perilaku pemilih.

Selain itu, berdasarkan hasil analisis regresi berganda pada lampiran 6 diperoleh nilai koefisien determinasi R Square = 0,504, Ini ditunjukkan bahwa 50,4% variasi dari variabel perilaku pemilih ditentukan

(dipengaruhi) oleh variabel isu putra daerah, politik uang dan mesin politik.

Ini berarti bahwa masih ada variabel bebas yang lain yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih yang tidak dimasukkan dalam model analisis,

Besarnya variasi dari perilaku pemilih yang dapat ditaksir oleh variabel yang lain adalah 49,6%. Menurut penulis, adapun variabel lain yang diduga dapat berpengaruh terhadap perilaku pemilih selain isu putra daerah, politik uang dan mesin politik diantaranya, visi misi, figure ketokohan, pertemanan, suku, budaya, Kahhar Mudzakkar dan Agama.

Diduga kuat, makin baik visi misi menyebabkan makin tinggi perilaku pemilih, demikian halnya makin tinggi figure ketokohan menyebabkan makin tinggi pula perilaku pemilih, makin baik pertemanan menyebabkan makin tinggi pula perilaku pemilih, makin baik pendekatan suku menyebabkan makin tinggi pula perilaku, makin baik kesamaan budaya menyebabkan makin tinggi pula perilaku pemilih, makin baik pengetahuan tentang Kahhar Mudzakkar menyebabkan makin tinggi pula perilaku 165

pemilih dan makin baik agama menyebabkan makin tinggi pula perilaku pemilih.

Temuan penelitian ini didukung oleh Mitchell (dalam Sedarmayanti,

2001: 51) bahwa unsur-unsur yang mempengaruhi kinerja yakni: (1)

Quality of work (kualitas pekerjaan), (2) promptness (ketetapan kerja), (3) initiative (prakarsa), (4) capability (kemampuan), (5) motivation (motivasi),

(6) discipline (disiplin) dan (7) communication (komunikasi). Ketujuh aspek dapat dijadikan ukuran dalam mengadakan pengkajian tingkat kinerja seseorang. Disamping itu, dikatakan pula bahwa untuk mengadakan pengukuran terhadap kinerja, ditetapkan: “performance = ability x motivation” (Mitchell, 1978: 327).

Temuan penelitian ini juga didukung oleh Mangkunegara (2009: 67) yang menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi kinerja adalah faktor kemampuan (ability) dan faktor motivasi (motivation). Hal ini sesuai dengan pendapat Davis (1964), yang merumuskan bahwa:

Human Performance = Ability + Motivation Motivation = Attitude + Situation Ability = Knowledge + Skill

Temuan penelitian ini juga didukung oleh Mangkunegara (2009: 67) bahwa unsur-unsur yang mempengaruhi perilaku pemilih adalah isu putra, politik uang dan mesin politik.

Temuan penelitian ini juga didukung pula oleh hasil fakta berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap pemilih pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di 166

Kabupaten Enrekang yang mengindikasikan bahwa ada kecenderungan pemilih memilih Ilham Azis karena Putra Daerah, pemilih memilih Ilham

Azis karena politik uang, dan pemilih memilih pasangan Ilham azis karena mesin politik yang bekerja. Pemilih yang memilih dengan baik yakni tahu siapa yang akan dipilih, mengetahui apa visi misinya, bagaimana track recordnya dan kemampuannya dalam memimpin

3. Pengaruh Isu putra daerah, Politik uang, Mesin politik Secara

Parsial terhadap Perilaku pemilih.

a. Pengaruh Isu putra daerah Secara Parsial terhadap Perilaku

pemilih

Pengaruh isu putra daerah terhadap perilaku pemilih sebesar 0,781 dengan nilai signifikansi (sig) = 0,000 < 0,05, Ini ditunjukkan bahwa variabel isu putra daerah berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Hal ini menunjukkan bahwa apabila nilai dari isu putra daerah meningkat 1, maka perilaku pemilih akan meningkat sebesar 0,781.

Hasil penelitian ini didukung oleh:

1) Pendapat Robbins (1996) bahwa kinerja merupakan suatu fungsi

dari kemampuan (ability), motivasi (motivation), dan kesempatan

(opportunity)

2) Hasil penelitian Daniel Lembang (2009) menemukan bahwa faktor

kompetensi yang mencakup; pendidikan, keterampilan, 167

pengalaman kerja dan penguasaan teknologi berpengaruh

terhadap perilaku pemilih Balai Perbenihan Tanaman Hutan

Sulawesi (BPTH) di Makassar.

3) Hasil penelitian Maryadi (2012) menemukan bahwa politik uang,

diklat, iklim organisasi, kompetensi berpengaruh positif dan

signifikan terhadap kinerja Dosen Perguruan Tinggi Swasta

Kopertis Wilayah VI Jawa Tengah.

Selain itu, hasil penelitian ini didukung oleh fakta berdasarkan hasil pengamatan penulis terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten

Enrekang yang mengindikasikan bahwa Isu Putra Daerah kecenderungan mampu mempengaruhi pemilih dengan baik yakni tahu siapa Ilham Azis, mengetahui bagaimana kinerjanya selama menjadi walikota Makasssar, dan cukup dekat dengan masyarakat Massenrempulu melalui HIKMA. Hal ini sejalan pula dengan sabda Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa jika suatu pekerjaan diserahkan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya.

Adapun jastifikasi penulis adalah pemilih bisa memilih pasangan

Ilham Azis dengan baik jika didukung oleh isu putra daerahnya yakni memiliki pengetahuan tentang Ilham Azis, sudah mengenal dengan baik tentang karir politik Ilham Azis dan mengetahui bahwa Ilham adalah putra daerah dari kabupaten Enrekang. Dari hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa pengaruh Isu Putra Daerah tinggi dan nilainya rata- 168

ratanya 3,62. Ini mengindikasikan bahwa pengaruh Isu putra Daerah masih berpotensi ditingkatkan dalam rangka lebih meningkatkan perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Namun penulis berpendapat bahwa tidak sebaiknya Isu Putra daerah menjadi jualan kampanye dalam meningkatkan tingkat partisipasi dan cara untuk mendulang suara sebanyak-banyaknya karena isu putra daerah sangat berpotensi merusak tatanan demokrasi dan mendorong sikap primordialisme. b. Pengaruh Politik uang secara Parsial terhadap Perilaku pemilih

Pengaruh variabel politik uang terhadap perilaku pemilih sebesar

0,310 dengan nilai signifikansi (sig) = 0,000 < 0,05, Ini ditunjukkan bahwa variabel politik uang berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Hal ini ditunjukkan bahwa apabilah nilai politik uang naik 1, maka perilaku pemilih akan meningkat sebesar 0,310. Temuan ini mengindikasikan bahwa makin tinggi politik uang menyebabkan makin tinggi pula perilaku pemilih dalam memilih pasangan Ilham Azis.

Temuan penelitian ini sejalan pula dengan data hasil pengamatan penulis di lapangan yang mengindikasikan bahwa ada kecenderungan pemilih yang memilih pasangan Ilham Azis karena adanya politik uang, sekalipun pengaruhnya rendah. 169

Dari hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa politik uang masuk kategori rendah namun nilai rata-ratanya hanya 2,35. Suburnya politik uang itu juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat pemilih yang pemisif terhadap politik uang itu. Pada proses demokrasi di Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek politik uang tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya karena tidak merasa bahwa politik uang secara normatif adalah perilaku yang harus dijauhi (2003:228).

Studi Nico L. Kana di Kecamatan Suruh, misalnya menemukan bahwa pemberian uang sudah biasa berlangsung tiap pilkades pada masa sebelumnya, oleh masyarakat setempat hal ini dipandang sebagai simbol tali kasih (2001:9). Perihal politik uang dari sudut pemilih pilkada, Sutoro

Eko (2004) juga punya penjelasan. Menurutnya politik uang terjadi karena kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan, kultur pragmatisme jangka pendek, lemahnya aturan main, dan seterusnya.

Dengan lahirnya UU No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerahlah yang menjadi landasan normatif bagi penerapan pilkada secara langsung telah membuat sistem di daerah seharusnya semakin demokratis karena rakyat dapat menentukan siapa calon yang paling disukainya.

Atas dasar undang-undang itu mulai tahun 2005, tepatnya pada bulan Juni 2005, pergantian kepala daerah telah dilakukan secara langsung. Pilkada secara langsung juga diharapkan dapat meminimalkan praktik politik uang karena calon pemimpin politik tidak mungkin “membayar 170

seluruh rakyat, maupun kecurangan-kecurangan lain yang selama ini menjadi kekurangan dalam pilkada-pilkada sebelumnya.

Sebagai gambaran, sebagian besar pemilihan kepala daerah yang berlangsung selama UU No. 22 tahun 1999 selalu menimbulkan gejolak di daerah, seperti di Jakarta, Lampung, Jawa Barat, Madura, dan Sejumlah daerah lainnya. Dalam kasus-kasus ini, timbulnya gejolak selalu disebabkan oleh penyimpangan-penyimpangan yang sama, yakni distorsi aspirasi publik, indikasi politik uang, dan oligarki partai yang tampak dari intervensi

DPP partai dalam menentukan calon kepala daerah yang didukung fraksi

(Dede Mariana, 2007:47).

Namun pelaksanaan pilkada secara langsung tidak menyelesaikan persoalan tersebut, melainkan hanya sebatas hingar-bingar peristiwa pemungutan suara pada hari pemilu dan bahkan kini menimbulkan paradoks. Mendagri Gamamwan Fauzi menyatakan, pilkada langsung berdampak pada biaya politik yang tinggi. Dikaitkan dengan upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, Mendagri menambahkan, biaya besar tersebut seperti menjadi paradoks karena untuk menjadi kepala daerah dituntut untuk menciptakan pemerintahan yang bersih (kompas, 21

Juli 2010). Dibandingkan model memilih kepala daerah oleh anggota

DPRD, model memilih kepala daerah secara langsung memerlukan biaya lebih besar yang harus di sediakan oleh Pemerintah Daerah yang bersangkutan maupun oleh para kandidat yang berkompetisi. 171

Ramlan Surbakti (Kompas, 2 April 2005), mencatat bahwa peluang munculnya politik uang dalam pilkada dapat diidentifikasi sejak awal, yakni

Pertama, untuk dapat menjadi calon diperlukan “sewa perahu”, baik yang dibayar sebelum atau setelah penetapan calon, sebagian atau seluruhnya.

Jumlah sewa yang harus dibayar diperkirakan cukup besar sumbangan dana kampanye yang ditetapkan dalam undang-undang, tetapi tidak diketahui dengan pasti karena berlangsung dibalik layar. Kedua, calon yang diperkirakan mendapat dukungan kuat, biasanya incumbent, akan menerima dana yang sangat besar dari kalangan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut. Jumlah uang ini juga jauh melebihi batas sumbangan yang ditetapkan undang-undang. Karena berlangsung dibalik layar, maka sukar mengetahui siapa dan berapa besarnya dana yang diterima. Ketiga, untuk kabupaten/kota yang jumlah pemilihnya sekitar 10.000 sampai 100.000 pemilih, tetapi wilayahnya memiliki potensi ekonomi yang tinggi, pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi di daerah tersebut bahkan dapat menentukan siapa yang akan terpilih menjadi kepala daerah. Dengan jumlah dana yang tidak terlalu besar, sang pengusaha dapat memengaruhi para pemilih memilih pasangan calon yang dikehendakinya melalui “perantara politik” yang ditunjuknya disetiap desa. Keempat, untuk daerah dengan tiga atau lebih pasangan calon bersaing, perolehan suara sebanyak lebih dari 25 persen dapat mengantarkan satu pasangan calon menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah terpilih. Dalam situasi seperti ini, penggunaan uang 172

memengaruhi pemilih melalui “perantara politik” di setiap desa/kelurahan mungkin menjadi pilihan “rasional” bagi pasangan calon”.

Jika ramlan Surbakti masih melihat potensi politik uang dalam

Pilkada, Didik Supriyanto mengangkatnya dari fakta empiris. Menurutnya, berdasarkan aktor dan wilayah operasinya, politik uang dalam pilkada bisa dibedakan menjadi empat lingkaran sebagai berikut: (1) Lingkaran satu, adalah transaksi antara elit ekonomi (pemilik uang) dengan pasangan calon kepala daerah yang akan menjadi pengambil kebijakan/keputusan politik pasca pilkada; (2) Lingkaran dua, adalah transaksi antara pasangan calon kepala daerah dengan partai politik yang mempunyai hak untuk mencalonkan; (3) Lingkaran tiga, adalah transaksi antara pasangan calon dan tim kampanye dengan petugas-petugas pilkada yang mempunyai wewenang untuk menghitung perolehan suara; dan (4) lingkaran empat, adalah transaksi antara calon dan tim kampanye dengan massa pemilih

(pembelian suara) (Transkrip Diskusi Publik terbatas, ijrsh.files.wordpress.com/2008/06/politik-uang-dalam-pilkada.pdf, diunduh tgl. 24 Desember 2011).

Terkait politik uang yang makin menguat. Lingkaran Survei

Indonesia (LSI) pernah membuat survei khusus untuk mengukur tingkat skala politik uang dalam pilkada. Survei tersebut dilakukan dengan populasi nasional pada Oktober 2005 dan Oktober 2010. Survei menggunakan metode penarikan sampel Multistage Random Sampling

(MRS). Jumlah sampel sebanyak 1.000 orang responden tingkat 173

kesalahan sampel (sampling error) sebesar plus minus 4%. Hasil survey menunjukkan publik yang menyatakan akan menerima uang yang di berikan oleh kandidat mengalami kenaikan. Pada tahun 2005, sebanyak

27,5% publik menyatakan akan menerima uang diberikan calon dan memilih calon yang memberi uang. Angka ini naik menjadi 37,5% di tahun

2010. Demikian pula Publik yang mempersepsi bahwa politik uang akan mempengaruhi pilihan atas kandidat, juga mengalami kenaikan dari 53,9% di tahun 2005 menjadi 63% di tahun 2010

(suarapublik.co.id/index.php?...politik-uang. Diunduh tgl.24 Desember

2011). Situasi ini tidak lepas dari adanya perubahan radikal terhadap karakter dan perilaku pemilih pascareformasi, khususnya setela Pemilu

1999. Kacung Marijan (Kompas, 7 Agustus 2008) menyebut keikutsertaan pemilih dalam pemilih 1999 sebagai pemilih bercorak sukarela (Voluntary).

Dimana terjadi keterlibatan yang intens dari pemilih selama proses pemilu.

Hal ini tidak lepas dari euforia reformasi yang masih dirasakan masyarakat serta harapan yang besar terhadap perubahan. Pemilu 2004 menunjukkan perilakunya sudah mulai bercorak rasional. Bahkan menurut Kacung

Marijan sudah tergolong rasional pragmatis dengan melakukan praktik- praktik transaksional (jual beli suara) di mana pemilih mulai menghitung imbalan dari suara yang diberikan. Perilaku ini tidak lepas dari penilaian bahwa wakil-wakil rakyat hasil pemilu 1999 yang mereka harapkan ternyata tak mampu berbuat banyak dan tidak memberikan perubahan berarti (Marijan dalam Taufiqurrahman, 2010). Survey LSI juag 174

menemukan kecenderungan yang sama, bahwa ada rasionalitas kedaerahan, etnisitas, agama dan kelompok dalam preferensi pemilih

(www.lsi.or.id).

Ketika kemampuan dana calon menjadi pertimbangan, maka terbuka ruang bagi masuknya sumber-sumber dana dari pihak luar, termasuk kemungkinan dana ilegal. Seperti studi Syarif Hidayat (Bisnis dan Politik di tingkat Lokal: Pengusaha, Penguasa dan Penyelenggaraa Pemerintahan

Pasca Pilkada) (2006:276) yang menemukan bahwa modal ekonominya yang dimiliki oleh masing-masing kandidat kepala daerah/wakil kepala daerah cenderung merupakan kombinasi antara modal pribadi dan bantuan donatur politik (Pengusaha), serta sumber-sumber lain. Dalam artikelnya, Leo Agustinino dan Muhammad Agus Yusoff (Pilkada dan

Pemekaran daerah dalam Demokrasi Lokal di Indonesia: Local Strongmen dan Roving Bandit) (2010) mengatakan bahwa:

“Untuk membiayai itu semua mendanai pelbagai biaya aktiviti kempen, biaya menyewa pakar political marketing, biaya untuk membangun sarana fisik di kantung-kantung undi, biaya image building dan image bubbling (pensuksesan diri calon) dan banyak calon yang tidak memiliki cukup dana. Maka dari itu, calon kepala daerah acap kali mencari para pengusaha untuk bergabung sebagai investor politik. Sebagai imbalan investasi atas keikutsertaan mereka (sebagai pelabur/investor politik) dalam menjayakan calon dalam pilkada, maka para pengusaha 175

dijanjikan akan dapat banyak hak istimewa (perlindungan ekonomi dan politik).

Logikanya mereka yang berhutang untuk biaya pilkada, akan membalas jasa melalui berbagai konsensi kepada pihak yang mengongkosinya pasca pilkada dan pada akhirnya meminggirkan aspirasi masyarakat luas. Situasai ini pula yang belakangan melahirkan perilaku korup para kepala daerah guna mengembalikan hutang-hutang semasa pilkada, karena seperti pendapat Eko Prasojo, bahwa biaya yang dikeluarkan ini (menentukan partai pengusung, kampanye besar-besaran untuk mendongkrak popularitas calon, sampai upaya mempengaruhi pilihan masyarakat) harus diganti oleh uang rakyat dalam APBD melalui arisan proyek bagi investor politik yang ikut membiayai pilkada

(ditpolkom.bappena.go.id/.../2007 pdf, diunduh tgl. 11 Desember 2011).

Selain secara finansial merugikan masyarakat daerah dengan korupsi

APBD, praktik politik uang juga mencederai terwujudnya pemilu yang demokratis. Suatu pemilu yang demokratis, jujur dan adil (free and fair electios) adalah pemilu yang bebas dari kekerasan, penyuapan, dan berbagai praktik curang lainnya yang akan mempengaruhi pemilu. Belanja kandidat antara: (1) belanja kampanye, (2) belanja saksi, (3) belanja kandidat di partai politik/pendukung di jalur perseorangan. Bank Indonesia memperkirakan pilkada yang berlangsung di 244 daerah tahun 2010 menelan biaya sekitar Rp 4,2 triliun dari anggaran yang dikeluarkan pemerintah daerah untuk penyelenggaraan dana kampanye, yang 176

ditanggung para kandidat kepala daeah (www.antaranews.com/...bi-perkiraan- biaya-pilkada-2010-capairp4..., diunduh tgl. 26 Desember 2011). Memang dalam pemilu tidak semua uang yang dikeluarkan kandidat dan digunakan dalam kegiatan pemilu termasuk dalam kategori politik uang, yang dikonotasikan sebagai uang haram. Untuk membedakannya, simak definisi uang politik dan politik uang.

Yang dimaksud dengan uang politik adalah, uang yang diperlukan secara wajar untuk mendukung operasionalisasi aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan oleh peserta pilkada. Besarnya ditetapkan oleh dengan UU dan PP. Contohnya biaya administrasi pendaftaran pasangan kandidat, biaya operasional kampanye pasangan kandidat, pembelian spanduk dan stiker, dan lain sebagainya. Sumbernya bisa berasal dari simpatisan dengan tidak memiliki kepentingan khusus dan besarnya ditentukan dalam

UU dan PP. Adapun yang dimaksud dengan politik uang adalah, uang yang ditujukan dengan maksud-maksud tertentu seperti contohnya untuk melindungi kepentingan bisnis dan kepentingan politik tertentu. Politik uang bisa terjadi ketika seorang kandidat membeli dukungan parpol tertentu atau membeli suara dari pemilih untuk memilihnya dengan iming-iming imbalan yang bersifat finansial. Politik uang bisa juga terjadi ketika pihak penyandang dana berkepentingan bisnis maupun politik tertentu.

Bentuknya bisa berupa uang, namun bisa pula berupa, bantuan-bantuan sarana fisik pendukung kampanye pasangan kandidat tertentu (Teddy

Lesmana, 2011). 177

Sumbangan politik uang terhadap kebutuhan dana dalam jumlah besar, terutama untuk komponen tidak resmi yang harus dikeluarkan kandidat, signifikan. Ini setidaknya dapat dilihat dari pendapat Hanta Yuda

AR. Menurutnya biaya besar yang karena pilkada kerap disertai dengan praktek politik uang dan pemakelaran pencalonan kepala daerah. Politik uang dan pemakelaran inilah yang menyebabkan biaya pilkada semakin menggelembung dan ongkos demokrasi semakin tinggi (koran Tempo, 23

November 2010).

Menurut wahyudi Kumorotomo (2009) ada beragam cara untuk melakukan politik uang dalam pilkada langsung, Yakni: (1) Politik uang secara langsung bisa berbentuk pembayaran tunai dari “tim sukses” calon tertentu kepada konstituen yang potensial, (2) Sumbangan dari para bakal calon parpol yang telah mendukungnya, atau (3) “Sumbangan wajib” yang disyaratkan oleh suatu parpol kepada para kader partai atau bakal calon yang ingin mencalonkan diri sebagai bupati atau walikota. Adapun politik uang secara tidak langsung bisa berbentuk pembagian hadiah atau doorprize, pembagian sembako kepada konstituen, pembagian semen di daerah pemilihan tertentu, dan sebagainya. Para calon bahkan tidak bisa menghitung secara persis berapa yang mereka telah habiskan untuk sumbangan. Hadiah spanduk, dan sebagainya, disamping biaya resmi untuk pendaftaran keanggotaan, membayar saksi, dan kebutuhan administratif lainnya. 178

c. Pengaruh Mesin politik secara Parsial terhadap Perilaku pemilih

Pengaruh variabel mesin politik terhadap perilaku pemilih sebesar

0,501 dengan nilai signifikansi (sig) = 0,000 < 0,05, Ini ditunjukkan bahwa variabel mesin berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi

Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Hal ini ditunjukkan bahwa apabilah nilai mesin politik naik 1, maka perilaku pemilih akan meningkat sebesar 0,501. Temuan ini mengindikasikan bahwa makin tinggi mesin politik menyebabkan makin tinggi pula perilaku pemilih dalam memilih pasangan Ilham Azis.

Temuan penelitian ini sejalan pula dengan data hasil pengamatan penulis di lapangan yang mengindikasikan bahwa ada kecenderungan pemilih yang memilih pasangan Ilham Azis karena adanya mesin politik sehingga ditemukan sekitar 3,34 pengaruhnya sedang.

Adapun beberapa argumentasi penulis terhadap temuan penelitian ini adalah berpartisipasi dalam politik adalah merupakan hasil dari pekerjaan atau perbuatan yang menjadi hasil dari kerja keras para pengurus partai sampai pada tingkat yang lebih rendah bersama tim pemenangannya. Sejalan dengan apa yang di kemukakan Almond (1960), system politik merupakan organisasi melalui mana masyarakat merumuskan dan berusaha mencapai tujuan bersama. Sistem politik melaksanakan berbagai kegiatan yang ditujukan untuk meraih tujuan- tujuan bersama yang telah dirumuskan. Selanjutnya dalam rangka 179

melaksanakan kegiatan ini system politik memerlukan badan atau struktur- struktur yang bekerja sama dalam system politik seperti parlemen, birokrasi, badan peradilan dan partai politik yang melaksanakan fungsi- fungsi tertentu.

Almond dkk menambahkan bahwa struktur politik dapat dibedakan ke dalam system, proses, dan aspe-aspek kebijakan. Struktur system merujuk pada organisasi dan institusi yang memelihara atau mengubah struktur politik, dan secara khusus struktur menampilkan fungsi-fungsi sosialisasi politik, rekruitmen politik, dan komunikasi politik. Ketiga fungsi ini selalu ada dalam system politik. Fungsi-fungsi sosialisasi politik merupakan fungsi bagaimana generasi muda dan anak-anak mendapatkan sosialisasi politik dari keluarga dan lingkungan di sekitarnya.

Dalam kaitannya peranan atau fungsi dari lembaga politik, bahwa setiap negara menyelenggarakan fungsinya sebagai negara. Negara mempunyai apa yang dinamakan wewenang. Wewenang itu merupakan kekuasaan yang dibenarkan atau sah (legal) oleh orang. Fungsi atau peranan negara diantaranya melaksanakan penertiban agar peraturan atau kesepakatan bersama tidak dilanggar, dengan cara adanya sanksi bagi pelanggar. Menjaga keamanan di dalam negara dimana untuk mencapai tujuan bersama dan mencegah terjadinya disintegrasi bangsa maka negara harus berperan melaksanakan penertiban. Mengusahakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dengan cara ikut campur dalam proses kegiatan ekonomi mulai. Bahwa setiap negara harus menjaga 180

pertahanan kedaulatan negaranya. Menegakkan keadilan melalui badan peradilan.

Lembaga politik sebagai pelaksana dari kekuasaan, memiliki fungsi sebagai berikut:

1). Membentuk norma-norma kenegaraan berupa undang-undang yang disusun oleh legislatif. 2). Melaksanakan norma yang telah disepakati. 3). Memberikan pelayanan kepada masyarakat, baik bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan, keamanan. 4). Menumbuhkan kesiapan untuk menghadapi berbagai kemungkinan bahaya. 5).

Menjalankan diplomasi untuk berhubungan dengan bangsa lain.

Lembaga-lembaga politik dibedakan menjadi dua, yaitu:

1). Suprastruktur politik (mesin politik formal), adalah lembaga- lembaga resmi pemerintahan. Kelembagaan melibatkan lembaga-lembaga resmi pemerintahan. Kelembagaan melibatkan lembaga-lemabaga negara baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah. Menurut Rusadi

Kantraprawija, dalam At. Sugeng (2003:5), mesin politik formal dalam konsep sering disebut dengan pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan. 2). Infrastruktur politik (mesin politik informal), berasal dari kekuatan riil masyarakat, seperti partai politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan, lemabaga swadaya masyarakat, dan media masa. 181

4. Pengaruh yang Dominan

Berdasarkan besarnya koefisien pengaruh variabel isu putra daerah dan politik uang terhadap perilaku pemilih Pada Pemilihan Gubernur dan

Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten

Enrekang diperoleh nilai koefisien pengaruh yang paling besar adalah

0,781 yakni koefisien pengaruh isu putra daerah, Ini ditunjukkan bahwa isu putra daerah mempunyai pengaruh yang dominan terhadap perilaku pemilih.

C. Implikasi Temuan Penelitian

Dari hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa nilai rata variabel isu putra daerah adalah 3,68 politik uang adalah 2,35 dan mesin politik adalah 3,34. Ini menunjukkan bahwa isu putra daerah, politik uang dan mesin politik punya pengaruh yang kuat, namun peneliti berpendapat bahwa isu putra daerah dan politik uang sepatutnya tidak dijadikan sebagai jualan kampanye dalam setiap momentum politik, demi meraup suara sebanyak-banyaknya karena akan merusak tatanan demokrasi yang sudah lama dibangun. Selanjutnya peneliti berharap kepada semua pemangku kepentingan di Sulawesi Selatan agar bisa lebih fokus pada pembenahan sumberdaya manusia atau memberikan pendidikan kepada masyarakat untuk dapat mengetahui dan memahami subtansi demokrasi yang sesungguhnya. Sejalan dengan komitmen pemerintah pusat dalam menyikapi reformasi, khususnya di bidang pembangunan politik dan demokratisasi di Indonesia dapat dicermati melalui upaya pembenahan 182

sistem melalui kebijakan yang mendorong berkembangnya sistem politik dan demokratisasi yang lebih baik. Pembenahan sistem demokratisasi yang dilakukan diantaranya proses dan mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah melalui undang-undang nomor 32 tahun

2004 yang kemudian diubah dengan undang-undang Nomor 12 tahun

2008 serta undang-undang Nomor 22 tahun 2007 tentang penyelenggara pemilihan umum.

Selanjutnya, dari hasil analisis regresi berganda menunjukkan bahwa isu putra daerah politik uang dan mesin politik baik secara simultan maupun secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap perilaku pemilih pada Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang.

D. Keterbatasan Penelitian

Peneliti menyadari bahwa hasil penelitian ini kemungkinan mempunyai kesalahan atau penyimpangan dari yang sebenarnya yang disebabkan oleh adanya keterbatasan yakni responden dalam penelitian ini adalah pemilih yang memilih pasangan Ilham Azis pada Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013, dimana yang bersangkutan memberikan persepsi penilaian terhadap pasangan Ilham Azis sehingga kemungkinan ada responden yang tidak objektif dalam memberikan penilaian. 183

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan yaitu :

1. Isu putra daerah “Ilham Azis” berpengaruh positif terhadap perilaku

pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Oposisi biner

antara putra daerah dan bukan putra daerah justru akan merusak

bangunan demokrasi dan tatanan dunia kehidupan sosial. Isu putra

daerah yang dimaknai secara sempit akan menumbuhkembangkan

kembali semangat primordialisme, yaitu rasa kesukuan yang

berlebihan. Memandang personifikasi dari latar belakang

kesukuannya, sehingga dalam melihat persoalan selalu menggunakan

perspektif dan nilai ajaran sukunya sendiri secara sempit dan

manipulatif.

2. Politik uang “Ilham Azis” kurang berpengaruh terhadap perilaku

pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Politik uang

terjadi karena kuatnya persepsi bahwa pilkada sebagai perayaan,

kultur pragmatisme jangka pendek, dan lemahnya aturan main.

183 184

3. Mesin politik “Ilham Azis” masih berpengaruh terhadap perilaku

pemilih pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi

Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang. Ini berarti

bahwa intensitas tim pemenangan Ilham Azis dalam melakukan

sosialisasi dilapangan dapat meyakinkan pemilihnya untuk memilih

pasangan Ilham Azis pada pilgub Sulsel 2013. Hal ini sejalan dengan

pendapat Cangara (2003), yang mengatakan bahwa keberhasilan

komunikasi dalam hubungan antar manusia, tidak hanya ditentukan

oleh salah satu pihak tetapi oleh kedua belah pihak, baik pemberi

informasi maupun penerima informasi.

4. Variabel yang dominan pengaruhnya terhadap perilaku pemilih dalam

memilih “Ilham Azis” pada pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur

Provinsi Sulawesi Selatan tahun 2013 di Kabupaten Enrekang adalah

isu putra daerah. Bentuk pesan politik pasangan Ilham Azis melalui isu

putra daerah cukup efektif, karena mendapat respon yang baik dari

konstituen (pemilih). Dengan mengangkat Isu putra daerah sebagai

jualan kampanye dalam memperkenalkan calon akan lebih

menggugah hati masyarakat karena lebih pada semangat

primordialisme. 185

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan penulis sejak diadakannya penelitian maka dikemukakan beberapa saran sebagai berikut:

1. Isu putra daerah merupakan bentuk peronrongan secara laten

terhadap nilai-nilai kesetaraan dan pluralisme, serta proses integrasi

sosial. Lebih dari itu adalah pencederaan terhadap subtansi nilai

demokrasi. Demokrasi memberikan hak yang sama bagi setiap orang

untuk memilih dan dipilih dalam aktivitas politik, baik itu pemilihan

Gubernur, Bupati maupun Walikota. Menghembuskan isu putra

daerah berarti menghalang-halangi kesempatan seseorang untuk turut

berkompetisi secara fair dalam setiap aktivitas politik. Peneliti

mengharapkan kepada para akademisi dan peneliti yang tertarik

melakukan penelitian sosial khususnya bidang komunikasi politik

maka diharapkan bisa memberikan pendidikan politik kepada

masayarakat.

2. Suburnya politik uang, juga tidak lepas dari cara pandang masyarakat

pemilih yang pemisif terhadap politik uang. Pada proses demokrasi di

Indonesia, termasuk demokrasi di level akar rumput (pilkades) praktek

politik uang tumbuh subur, karena dianggap suatu kewajaran,

masyarakat tidak peka terhadap bahayanya. Mereka membiarkannya

karena tidak merasa bahwa politik uang secara normatif adalah

perilaku yang harus dijauhi. Pilkada secara langsung juga diharapkan 186

dapat meminimalkan praktik politik uang karena calon pemimpin politik

tidak mungkin “membayar seluruh rakyat, maupun kecurangan-

kecurangan lain yang selama ini menjadi kekurangan dalam pilkada-

pilkada sebelumnya. Sehingga peneliti berarap, bahwa secara praktis,

tentunnya dalam menyusun strategi kampanye Pilkada hendaknya

dilakukan kajian mengenai isu-isu publik yang berkembang di dalam

masyarakat, sikap dan harapan publik, serta melakukan segmentasi

khalayak berdasarkan kecenderungan perilaku memilihnya. Pesan-

pesan kampanye politik akan lebih efektif apabila disesuaikan dengan

segmentasi khalayak pemilih dan menggunakan saluran komunikasi

yang mudah diakses pemilih.

3. Mesin kadang memiliki bos politik yang sering bergantung pada

perlindungan, sistem pemanjaan, pengawasan “di balik layar”, dan

hubungan politik jangka panjang di dalam stuktur demokrasi

perwakilan. Mesin diatur dengan dasar permanen dibanding untuk

satu pemilihan saja. Hal ini Sejalan dengan pandangan (Cangara,

2009:340) bahwa sebuah pesan yang baik, biasanya memenuhi

syarat, antara lain: Pertama, pendek, padat, dan mudah diingat.

Kedua, segar dan aktual. Ketiga, menjadi slogan yang populer.

Keempat, mencerminkan atau mewarnai program yang akan

dilaksanakan. Kelima, menarik perhatian khalayak dan menjadi

motivasi para pengurus dan anggota partai. Dan keenam, menjadi

fokus perjuangan partai. Untuk itu disarankan kepada: 187

 Tim pemengan calon Gubernur kedepan agar memperhatikan

segmentasi pemilih, baik secara geografis, psikografis dan

demografis, serta sebaiknya banyak melakukan evaluasi

terkait model sosialisasi dan kampanye yang mereka buat.

 Calon kepala daerah yang ingin maju dalam pemilihan kepala

daerah, tentunya harus memahami betul segmentasi-

segmentasi pemilih.

 Studi ilmu komunikasi adalah peluang untuk pengembangan

studi komunikasi khususnya ilmu komunikasi politik terlebih

lagi pada era demokratisasi seperti sekarang ini, dimana

dibutuhkan banyak referensi sehingga potensi masyarakata

untuk membaca dan mengetahui tentang komunikasi politik

lebih beragam.

4. Penelitian lebih lanjut dapat diperluas mencakup jumlah contoh yang lebih besar yang meliputi komunitas sosial yang berbeda, seperti desa-kota, kelompok sosial rujukan (organsiasi profesi, agama dsb), serta pemilih pemula sehingga dapat menjelaskan dengan lebih mendalam faktor-faktor lingkungan sosial dan jaringan komunikasi yang berpengaruh terhadap perilaku pemilih. Penelitian tersebut juga dapat mengkaji penggunaan teknologi informasi mutakhir dalam kegiatan kampanye politik seperti jaringan internet dan short message service (SMS) dan sebagainya. 188

DAFTAR PUSTAKA

A. BUKU TEKS Ahmad, AS. 1992. Komunikasi, Media Massa, dan Khalayak. Press. Ujung Pandang.

______. 1990. Manusia dan Informasi, Hasanuddin University Press. Ujung Pandang

Alisjahbana, Sutan Takdir. 1992. “Kalah dan Menang. Edisi Ketiga. Dian Rakyat. Jakarta.

Arifin, Anwar, 2003. Komunikasi Politik. Balai Pustaka, Jakarta.

Badrika, I Wayan. 2000. “Sejarah Nasional Indonesia dan Umum 1. Erlangga. Jakarta.

Bahdin Nur Tanjung, Ardial. 2005. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Brannen, Julia. 2005. Memadu Metode Penelitan kualitatif dan Kuantitatif. Pustaka Pelajar, Samarinda.

Bulaeng, A.R. 2000. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer, Hasanuddin University Press, Makassar.

______. 2004. Metode Penelitian Komunikasi Kontemporer, Andi, Yogyakarta.

Bungin Burhan, H.M. 2008, Metodologi Penelitian Kuantitatif. Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Cangara, Hafied. 2003. Pengantar Ilmu Komunikasi. PT. Raja Grafindo, Jakarta.

______, 2007.Pengantar Ilmu Komunikasi. Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta.

______, 2009.Komunikasi Politik.Konsep, Teori, dan Strategi. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.

______. 2011. Komunikasi Politik: Konsep, Teori, dan Strategi. PT. Raja Grafindo, Jakarta

188 189

Effendy, O. Uchana. 1988. Human Relation dan Public Relation dalam Management. PT. Alumni. Bandung.

______. 2006. Ilmu Komunikasi, Teori dan Praktek. PT. Rosda Karya, Bandung.

Eriyanto. 1999. “Metodologi Polling, Memberdayakan Suara Rakyat. PT.Remaja Rosdakarya. Bandung.

Firmazah, 2007, Marketing politik, Antara Pemahan dan Realitas, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia.

Hadi, Sutrisno. 2004. Statistik. Andi, Yogyakarta.

Ida, Rachmah. 2011. Metode Penelitian Kajian Media dan Budaya. Airlangga. Surabaya.

Kriyantono, Rachmat. 2007. Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, komunikasi Pemasaran. Kencana. Jakarta.

Larson,U.Charles. 1996. Persuasi. Diterjemahkan oleh Dr. Hj. Nina Winangsih Syam. Pascasarjana Universitas Padjajaran, Bandung.

Littlejohn, W. Stephen. 1996. Theories of Human Communication. Humbold State University, AS.

McQuall, Dennis. 1987. Teori-teori Komunikasi Massa.Terjemahan oleh Agus Dharma & Aminuddin Ram.Tanpa tahun.Erlangga. Jakarta.

______. 1994. Mass Communicatio Theory, third Ediotion, SAGE Publication, Ltd.

Miles, Matthew B & Huberman, A.Michael.1992.Analisis Data Kualitatif.UI- Press, Jakarta.

Moore, Frazier. H. 1981.HUMAS; prinsip, kasus, dan masalah.Terjemahan oleh Lilawati Trimo & Deddy Djamaluddin Malik.1987. CV. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Muis, A. 1999.Jurnalistik, Hukum dan Komuniasi Massa. PT. Dharu Anuttama, Jakarta. 190

Mulyana, Deddy. 1999. Nuansa-nuansa Komunikasi; Meneropong Politik dan Budaya Komunikasi Masyarakat Kontemporer. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

______. 2001. Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

______. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

______. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial lainnya. Rosdakarya: Bandung.

Nashir, Haedar. 2000. Dinamika Politik Muhammadiyah. BIGRAF Publishing : Yogyakarta.

Nimmo, Dan. 2000. Komunikasi Politik. Remaja Rosdakarya Bandung.

______. 2001. Komunikasi Politik: Khalayak dan efek. Terjemahan oleh Tjun Surjaman, pengantar Jalaluddin rahmat. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Novia, Windy.2008. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Kashiko Press, Surabaya.

Partai Demokrat. 2009. Materi Pelatihan Juru Kampanye. Jakarta, Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat.

Purbayu Budi Santosa, Ashari. 2005. Analisis Statistik dengan Microsoft Excel dan SPSS. Andi, Yogyakarta.

Rakhmat, Jalaluddin. 1997. Metode Penelitian Komunikasi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

______. 1998. Catatan Kang Jalal. Editor Miftah F. Rakhmat. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

______. 2001. Psikologi Komunikasi. Edisi Revisi. PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.

Riduwan.2009. Skala Pengukuran Variabel-variabel Penelitian. Alfabeta, Bandung.

Rogers, Everrett, 1983. Diffusion of Inovation, The Free Press, New York. 191

Ruslan, Rosady. 2000. Kiat dan Strategi Kampanye Publik Relation. Edisi kedua. PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Sendjaja, Djuarsa.S. 1994. Teori Komunikasi. Universitas Terbuka, Jakarta.

Setiyono Budi (2008). Iklan dan Politik, Jakarta, AdGOAL.Com.

Sukardi. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bumi Aksara, Jakarta.

Sugiono, 2011. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Kombinasi (Mixed Metods). Alfabeta. Bandung.

Usman, Husaini & Purnomo Setiady Akbar.2003. Metodologi Penelitian Sosial.Bumi Aksara. Jakarta.

Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 2003 tentang Pemilu. 2004. Bandung : Citra Umbara.

B. REFERENSI LAIN

Bahpiarti, Tuti. 2002. Analisis Dampak Terpaan Kampanye Kesehatan Kelangsungan Hidup Anak Melalui Media Poster terhadap Perubahan Pengetahuan dan Sikap Ibu (suatu studi Pemasaran Sosial di Kabupaten Pinrang). Tesis Pascasarjana. Unhas.

Supriadi. 2003. Komunikasi Kampanye. Makalah disajikan dalam diskusi kuliah Komunikasi dan perilaku politik PPS Unhas, 2003.

Tomagola, Tamrin Amal. 2004. artikel Kompas, Kamis 22 Juli 2004

Zulkifli.2000. Pengaruh Kampanye Politik terhadap Perubahan Sikap dan Perilaku masyarakat di Kabupaten Sinjai.Tesis Pascasarjana.Unhas.

Internet http://www.google.com. 2005 Teori Komunikasi., diakses 15 April 2013

Di akses pada tanggal 15 April 2013 http://www.google.com. Teori pesan., diakses 15 April 2013.

Di akses pada tanggal 15 April 2013 192

http://www.google.com. Kajian Konsep dan Teori komunikasi Politik. http://pangeran katak.blog.spot.com.2012 perilaku Memilih (Voting) Tidaklah Sederahana., diakses 20 Mei 2013. http://mochtarwoeotmo.blogspot.com.2010 menyoal isu putra daerah dalam pilkada., diakses 20 Mei 2013. http://rustinah.multiply.com/journal/item/40Isu_Putra_Daerah., diakses 20 Mei 2013. http://id.wikipedia.org/wiki/Mesin_politik., diakses 8 Desember 2013. http://irvankurniawan9.blogspot.com/2013/01/demokrasi-vs-primodialisme- pilkada.html., diakses 26 juli 2013 http://makassar.tribunnews.com/foto/bank/images/Spanduk-untuk-Ilham- Arief-Sirajuddin.jpg., diakses 26 juli 2013.