KEARIFAN LOKAL TAHLILAN-YASINAN DALAM DUA PERSPEKTIF MENURUT MUHAMMADIYAH Khairani Faizah Jurusan Pekerjaan Sosial Program Pascasarjana Universitas Islam Negeri Sunan kalijaga Yogyakarta [email protected] Abstract. Tahlilan or selamatan have been rooted and become a custom in the Javanese society. Beginning of the selamatan or tahlilan is derived from the ceremony of ancestors worship of the Nusantara who are Hindus and Buddhists. Indeed tahlilan-yasinan is a form of local wisdom from the worship ceremony. The ceremony as a form of respect for people who have released a world that is set at a time like the name of tahlilan-yasinan. In the perspective of Muhammadiyah, the innocent tahlilan-yasinan with the premise that human beings have reached the points that will only get the reward for their own practice. In addition, Muhammadiyah people as well as many who do tahlilan-yasinan ritual are received tahlian-yasinan as a form of cultural expression. Therefore, this paper conveys how Muhammadiyah deal with it in two perspectives and this paper is using qualitative method. Both views are based on the interpretation of the journey of the human spirit. The human spirit, writing apart from the body, will return to God. Whether the soul can accept the submissions or not, the fact that know the provisions of a spirit other than Allah swt. All human charity can not save itself from the punishment of hell and can not put it into heaven other than by the grace of Allah swt. Keywords: Tahlilan, Bid’ah, Muhammadiyah Abstrak. Ritual tahlilan atau selamatan kematian ini sudah mengakar dan menjadi budaya pada masyarakat Jawa yang sangat berpegang teguh pada adat istiadatnya. Awal mula dari acara Selamatan atau tahlilan tersebut berasal dari upacara peribadatan (selamatan) nenek moyang bangsa Nusantara yang mayoritasnya beragama Hindu dan Budha. Sejatinya tahlilan merupakan satu bentuk kearifan lokal dari upacara peribadatan. Upacara tersebut sebagai bentuk penghormatan dan mendo’akan orang yang telah meninggalkan dunia yang diselenggarakan pada waktu seperti halnya waktu tahlilan. Dalam perspektif Muhammadiyah, tahlilan bersifat bid’ah dengan dasar pemikiran bahwa manusia ketika ia telah meninggal hanya akan mendapatkan pahala atas perbuatan yang mereka kerjakan sendiri. Sedangkan dalam perspektif lain, orang Muhammadiyah, secara kultural, juga banyak yang melakukan ritual tahlilan-yasinan sebagai bentuk ekspresi budaya. Oleh karena itu, tulisan ini hendak membentangkan dua sudut pandang mengenai tahlilan-yasinan dalam perspektif Muhammadiyah. Kedua pandangan itu secara garis besar berkaitan dengan tafsir atas perjalanan ruh manusia. Ruh manusia, apabila terpisah dari jasad, akan kembali kepada Allah saw. Apakah ruh dapat menerima kiriman atau tidak, sebenarnya tiada yang mengetahui urusan ruh selain Allah swt. Semua amal manusia tidak dapat menyelamatkan dirinya dari siksa neraka dan tidak pula dapat memasukkannya ke dalam surga selain karena rahmat Allah swt. Kata Kunci: Tahlilan, Bid’ah, Muhammadiyah 1 JURNAL AQLAM -- Journal of Islam and Plurality -- Volume 3, Nomor 2, Desember 2018 Pendahuluan penjamuan yang disajikan pada tiap kali Setiap daerah pasti menyimpan acara diselenggarakan. Bentuk potensi kearifan lokal sebagai wujud jamuannya bisa beraneka rupa. dari khazanah intelektual yang Biasanya meliputi nasi kenduri beserta diekspresikan melalui ritual budaya hidangan kuliner lain seperti ayam, masing-masing. Salah satu dari potensi telur, sambal tempe, dan lain-lain. kearifan lokal itu adalah ritual budaya- Bentuk dan hidangan itu juga tidak agama dan kegiatan tahlilan yang sudah harus sama tiap daerah karena masing- melekat pada sebagian masyarakat masing wilayah memiliki keunikan dan muslim Jawa. tradisi tertentu. Ritual tahlilan atau selamatan Model penyajian hidangan kematian ini sudah mengakar dan biasanya selalu variatif, tergantung adat menjadi budaya pada masyarakat Jawa yang berjalan di tempat yang sangat berpegang teguh pada adat tersebut. Namun, pada dasarnya menu istiadatnya. Tradisi selamatan kematian hidangan lebih dari sekadarnya atau tahlilan ini didasarkan pada konsep cenderung mirip menu hidangan yang ajaran-ajaran yang dikembangkan. berbau kemeriahan. Oleh karena itu, Awal mula dari acara Selamatan acara tersebut terkesan pesta kecil- atau tahlilan tersebut berasal dari kecilan, memang demikianlah upacara peribadatan (selamatan) nenek kenyataannya. moyang bangsa Nusantara yang Acara tahlilan telah mayoritasnya beragama Hindu dan diselenggarakan berabad-abad sehingga Budha. tanpa disadari sudah menjadi kelaziman Acara tahlilan merupakan suatu masyarakat. Konsekuensinya, bila upacara ritual seremonial yang biasa ada yang tidak menyelenggarakan acara dilakukan oleh keumuman masyarakat tersebut berarti telah menyalahi adat Indonesia untuk memperingati hari dan akibatnya ia diasingkan dari kematian. Secara bersama-sama, masyarakat. Bahkan lebih jauh lagi acara berkumpul sanak keluarga, handai tersebut telah membangun opini taulan, beserta masyarakat sekitarnya, muatan hukum, yaitu sunnah untuk membaca beberapa ayat Al Qur’an, dikerjakan dan sebaliknya, bid’ah dzikir-dzikir, dan disertai do’a-do’a apabila ditinggalkan. tertentu untuk dikirimkan kepada orang Jika ditinjau dalam sejarah Islam, yang telah meninggal. Dikarenakan dari maka acara ritual tahlilan tidak dijumpai sekian materi bacaannya terdapat pada masa Nabi Muhammad, masa para kalimat tahlil yang diulang-ulang, maka sahabatnya, para Tabi’in maupun acara tersebut dikenal dengan istilah Tabi’ut tabi’in. Bahkan acara tersebut “Tahlilan”. tidak dikenal pula oleh para Imam-Imam Acara ini biasanya Ahlus Sunnah seperti Al Imam Malik, diselenggarakan setelah selesai proses Abu Hanifah, Asy Syafi’i, Ahmad, dan penguburan, kemudian terus ulama lainnya yang semasa dengan berlangsung setiap hari sampai hari mereka ataupun sesudah mereka. ketujuh. Acara ini diselenggarakan Sejatinya tahlilan merupakan kembali pada hari ke 40 dan ke 100. satu bentuk kearifan lokal dari upacara Untuk selanjutnya acara tersebut peribadatan nenek moyang bangsa diadakan tiap tahun dari hari kematian, Nusantara yang mayoritasnya beragama walaupun terkadang berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Tidak lepas pula dalam acara tersebut 214 KEARIFAN LOKAL TAHLILAN-YASINAN DALAM DUA PERSPEKTIF MENURUT MUHAMMADIYAH -- Khairani Faizah Hindu dan Budha.1 Upacara tersebut Sedangkan dilihat dari cara sebagai bentuk penghormatan dan menjalankan syariat (experience of mendo’akan orang yang telah relegious) dan kulturnya masing-masing meninggalkan dunia yang Tahlilan memiliki ciri dan cara yang khas diselenggarakan pada waktu seperti berkaitan dengan hal-hal furu’iyah halnya waktu tahlilan. (aturan-aturan sunnah/penting yang Namun, acara tahlilan secara bukan pokok). Simbol-simbol yang ada praktis di lapangan berbeda dengan bisa dikenali secara sosiologis prosesi selamatan agama lain, yaitu bagaimana seorang atau kelompok itu dengan cara mengganti dzikir-dzikir dan bisa disebut NU atau Muhammadiyah do’a-do’a ala agama atau kepercayaan atau yang lainnya secara antropologi- lain dengan bacaan dari Al Qur’an, sosial. maupun dzikir-dzikir dan do’a-do’a ala Akan tetapi, dalam pelaksanaan Islam menurut mereka. Berdasarkan amalan baik berupa tahlilan ini tinjauan historis bisa diketahui bahwa kemudian menjadi fenomena sosial sebenarnya acara tahlilan merupakan tersendiri karena keberadaan tahlilan adopsi dan sinkretisasi dengan agama ini telah menjadi sebuah tradisi yang lain. membudaya dalam masyarakat Jawa, Mencermati fenomena dengan memiliki bentuk yang khas masyarakat Muslim yang beraneka seperti dalam acara tahlilan itu memiliki ragam paham dan aliran menyisakan waktu-waktu tertentu yang dianggap beberapa hal yang menarik dan penting perlu untuk mengadakan acara tersebut. untuk dikaji dan diteliti. Salah satu dari Begitu juga kenyataan Tahlilan keanekaragaman paham dan aliran itu ini adalah merupakan bentuk lalu menciptakan karakteristik ekspresi pengislaman oleh para Wali, dari tradisi- relegi dalam bentuk khazanah budaya- tradisi yang telah ditinggalkan oleh agama. Dengan kata lain, bagaimana pengaruh budaya Hindu, Budha dan seorang atau kelompok (jemaah) animisme. Di antara misi para Wali itu mengekspresikan pengalaman adalah sebagai media dan metode religiusnya yang khas berbanding lurus dakwah untuk mengenalkan Islam dengan pola sinkretisasi tahlilan. melalui tradisi-tradisi yang sudah ada. Simbol-simbol keberagamaan itu Sehubungan dengan hal itu, munculnya tidak hanya sebagai pemenuhan acara tahlilan-yasinan ini setidaknya ada religiusnya saja, tetapi lebih dari itu, kaitannya dengan ritus kematian pada yaitu mampu membangun solidaritas awalnya. Hal tersebut juga dipengaruhi sosial, bahkan bisa saja sebagai mediasi oleh adanya faktor dari luar dan juga untuk kekuatan politik dan dikuatkan atau didukung dari ajaran pembangunan bangsa. Dari (faham pelaku) Islam sendiri. keanekaragaman paham dan aliran Tulisan ini mendiskusikan dua secara organisatoris maka dalam perspektif mengenai Tahlilan-Yasinan masyarakat Islam Indonesia mengenal dalam pandangan Muhammadiyah. Dua dua organisasi sosial keagamaan pandangan itu jelas membentuk suatu terbesar, yaitu Nahdlatul Ulama (NU) pola sikap di bawah institusi keagamaan dan Persyarikatan Muhammadiyah, di Muhammadiyah yang secara formal samping masih banyak ormas Islam menegasikan ritual yang telah yang lain. mentradisi itu. Sekalipun penjelasan ini 1 Farhan, Hamim. 2008. Ritualisasi Dan Penguatan Moral Masyarakat. Jurnal Logos Budaya-Agama Dan
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages15 Page
-
File Size-