Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Peristiwa 1965-1966 1 2 KOMISI NASIONAL HAK ASASI MANUSIA 3 REPUBLIK INDONESIA 4 5 6 7 8 I. PENDAHULUAN 9 Peristiwa 1965-1966 merupakan suatu peristiwa tragedi kemanusiaan yang 10 menjadi lembaran sejarah hitam bangsa Indonesia. Peristiwa tersebut terjadi 11 sebagai akibat dari adanya kebijakan negara pada waktu itu untuk melakukan 12 penumpasan terhadap para anggota dan pengikut Partai Komunis Indonesia 13 (PKI) yang dianggap telah melakukan tindakan perlawanan terhadap negara. 14 Kebijakan negara yang diikuti dengan tindakan kekerasan terhadap warga 15 negara yang dituduh sebagai anggota maupun simpatisan PKI pada waktu 16 itu, dilakukan secara berlebihan dengan menggunakan cara-cara yang tidak 17 manusiawi yang berdampak pada jatuhnya korban jiwa manusia baik yang 18 meninggal dunia maupun yang luka-luka. 19 Sesuai dengan laporan dari para korban maupun keluarga korban, pada 20 peristiwa 1965-1966, telah mengakibatkan terjadinya berbagai bentuk 21 pelanggaran hak asasi manusia antara lain pembunuhan, pemusnahan, 22 perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, 23 perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara 24 sewenang-wenang, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi) dan 25 penghilangan orang secara paksa. 26 Selain itu, para korban maupun keluarga korban juga mengalami penderitaan 27 mental (psikologis) secara turun temurun yakni berupa adanya tindakan 28 diskriminasi di bidang hak sipil dan politik, maupun di bidang hak ekonomi, 29 sosial dan budaya. 30 Berkenaan dengan hal tersebut, maka korban maupun keluarga korban 31 peristiwa 1965-1966 telah melakukan berbagai upaya untuk memperjuangkan 32 hak asasinya guna mendapatkan keadilan serta terpulihkannya hak-hak 1 Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Peristiwa 1965-1966 1 mereka yang telah terlanggar (redress). Adapun salah satu perjuangannya 2 adalah dengan mengadukan peristiwa tersebut kepada Komnas HAM. 3 Menanggapi pengaduan korban, keluarga korban, dan masyarakat, Komnas 4 HAM, sesuai dengan fungsi dan tugasnya sebagaimana diamanatkan di 5 dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, 6 telah membentuk Tim Pengkajian berkenaan dengan peristiwa tersebut. Dari 7 hasil pengkajian, kemudian Komnas HAM menindaklanjuti dengan 8 membentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat 9 Periistiwa 1965-1966. 10 Pembentukan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat 11 Peristiwa 1965-1966 dimaksudkan sebagai pelaksanaan tugas dan 12 wewenang sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 jo Pasal 19 dan Pasal 13 20 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang 14 dipayungi oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi 15 Manusia. 16 Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM yang berat Peristiwa 1965-1966 17 menjalankan mandatnya sejak 1 Juni 2008 sampai dengan 30 April 2012. 18 Dalam menjalankan mandatnya, tim ad hoc telah menerima sejumlah 19 pengaduan dari masyarakat serta melakukan pemeriksaan terhadap 20 saksi/korban sebanyak 349 (tiga ratus empat puluh Sembilan) orang. Tim 21 juga telah melakukan peninjauan secara langsung ke sejumlah daerah dalam 22 rangka pelaksanaan penyelidikan. 23 Dalam menjalankan tugasnya, Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM 24 Yang Berat Peristiwa 1965-1966 mengalami berbagai hambatan: 25 1. Luasnya Geografis Peristiwa 1965-1966. Peristiwa 1965-1966 terjadi 26 secara meluas yang tersebar hampir di seluruh wilayah Republik 27 Indonesia. Dengan luasnya sebaran geografis peristiwa 1965-1966 serta 28 banyaknya jumlah korban, tidak seimbang dengan jumlah anggota tim ad 29 hoc yang melakukan penyelidikan. Berdasarkan kondisi tersebut, maka 30 tim ad hoc mengalami hambatan tidak dapat melakukan penyelidikan 31 secara menyeluruh di semua wilayah serta melakukan permintaan 32 keterangan terhadap semua saksi yang ada kaitannya dengan peristiwa 33 1965-1966. 34 2. Keterbatasan Anggaran Luasnya geografis dan banyaknya korban/saksi 35 peristiwa 1965-1966 serta berbagai kompleksitas dalam rangka 36 pelaksanaan penyelidikan yang dilakukan oleh tim ad hoc, ternyata tidak 37 didukung dengan anggaran yang memadai. Sehubungan dengan 38 keterbatasan anggaran yang dialokasikan guna mendukung pelaksanaan 39 penyelidikan, maka hal tersebut telah menjadikan suatu hambatan karena 40 tim pada akhirnya tidak dapat menjalankan mandatnya secara optimal. 41 3. Lamanya Peristiwa (kejadiannya panjang dan terjadi di masa lalu) 42 Peristiwa 1965 -1966 yang terjadi selama kurang lebih 47 (empat puluh 43 tujuh) tahun yang lalu, sehingga para korban maupun keluarga korban 44 yang menjadi saksi mengalami kesulitan untuk mengingat kejadian yang 45 terjadi pada masa lalu yang cukup lama tersebut. Berdasarkan kondisi 46 tersebut, maka hal ini menjadi hambatan bagi tim untuk mendapatkan 47 keakuratan data, fakta maupun informasi sehubungan dengan adanya 2 Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Peristiwa 1965-1966 1 keterbatasan daya ingat manusia dan juga sulitnya untuk mendapatkan 2 alat bukti seperti dokumen karena sudah tidak ingat lagi dimana 3 keberadaannya. Sehubungan dengan lamanya kejadian peristiwa 1965- 4 1966, sebagian besar para pelaku dan penanggungjawab sudah 5 meninggal dunia, sehingga tim mengalami kendala dan kesulitan untuk 6 mendapatkan keterangan, data, fakta dan informasi. 7 4. Traumatik Yang Dialami Korban. Penderitaan para korban yang 8 mengalami tindak kekerasan telah membekas selama berpuluh-puluh 9 tahun baik dalam bentuk bekas luka phisik maupun luka mental. Kondisi 10 tersebut telah mengakibatkan rasa traumatik yang mendalam, sehingga 11 para korban yang menjadi saksi mengalami kesulitan ataupun enggan 12 untuk memberikan keterangan. 13 14 II. UNSUR-UNSUR PELANGGARAN HAM YANG BERAT KEJAHATAN 15 TERHADAP KEMANUSIAAN, UNSUR-UNSUR PERTANGGUNG 16 JAWABAN KOMANDO DAN UNSUR-UNSUR JOINT CRIMINAL 17 ENTERPRISE. 18 Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam yurisdiksi universal, di 19 mana setiap pelaku kejahatan tersebut dapat diadili di negara manapun, 20 tanpa memperdulikan tempat perbuatan dilakukan, maupun 21 kewarganegaraan pelaku ataupun korban. Hal ini dimaksudkan untuk 22 mewujudkan prinsip no safe haven (tidak ada tempat berlindung) bagi pelaku 23 kejahatan yang digolongkan ke dalam hostis humanis generis (musuh seluruh 24 umat manusia) ini. Perlu ditambahkan bahwa untuk kejahatan terhadap 25 kemanusiaan sebagaimana kejahatan perang dan genosida tidak dikenal 26 adanya daluwarsa. 27 Perkembangan hukum internasional untuk memerangi kejahatan terhadap 28 kemanusiaan mencapai puncaknya ketika pada tanggal 17 Juli 1998, 29 Konferensi Diplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma tentang Pendirian 30 Mahkamah Pidana Internasional (Rome Statute on the Establishment of the 31 International Criminal Court / ICC), yang akan mengadili pelaku kejahatan 32 yang paling serius dan menjadi perhatian komunitas internasional, yaitu: 33 genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan 34 agresi. Dimasukkannya kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam Statuta 35 yang merupakan perjanjian multilateral, mengokohkan konsep tersebut 36 menjadi suatu treaty norm (norma yang didasarkan kepada suatu perjanjian 37 internasional). Dari ketentuan dalam Statuta tersebut dapat dilihat bahwa 38 kejahatan terhadap kemanusiaan tidak saja terjadi pada masa perang atau 39 konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada masa damai. Sedangkan 40 pihak yang bertangung jawab atas kejahatan tersebut tidak terbatas kepada 41 aparatur negara (state actor) saja, tetapi juga termasuk pihak yang bukan dari 42 unsur negara (non-state actors). 43 Unsur-unsur Umum Kejahatan Terhadap Kemanusiaan 44 1. salah satu perbuatan 45 Setiap tindakan yang disebutkan dalam Pasal 9 undang-undang No 26 Tahun 46 2000 tentang Pengadilan HAM merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. 47 Tidak ada syarat yang mengharuskan adanya lebih dari satu tindak pidana 3 Ringkasan Eksekutif Tim Ad Hoc Peristiwa 1965-1966 1 yang dilakukan (misalnya : pembunuhan dan perkosaan), atau kombinasi dari 2 tindak-tindak pidana itu. 3 2. yang dilakukan sebagai bagian dari serangan 4 Tindakan harus dilakukan sebagai bagian dari serangan. Misalnya, 5 pembunuhan besar-besaran terhadap penduduk sipil dapat dianggap sebagai 6 serangan terhadap seluruh populasi sipil. 7 3. meluas atau sistematis yang ditujukan kepada penduduk sipil 8 Syarat “meluas atau sistematis” ini adalah syarat yang fundamental untuk 9 membedakan kejahatan ini dengan kejahatan umum lain yang bukan 10 merupakan kejahatan internasional. 11 Kata “meluas” menunjuk pada “jumlah korban”, dan konsep ini mencakup 12 “massive, sering atau berulang-ulang, tindakannya dalam skala yang besar, 13 dilaksanakan secara kolektif dan berakibat serius”. 14 Unsur meluas atau sistematis tidak harus dibuktikan keduanya, kejahatan 15 yang dilakukan dapat saja merupakan bagian dari serangan yang meluas saja 16 atau sistematis saja. 17 18 Untuk dapat dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan, tindakan 19 tersebut juga harus “ditujukan terhadap penduduk sipil”. Syarat ini tidak 20 mengartikan bahwa semua populasi suatu negara, entitas atau wilayah harus 21 menjadi objek serangan. Penggunaan istilah “penduduk (population)” secara 22 implisit menunjukkan adanya beberapa bentuk kejahatan yang berbeda 23 dengan kejahatan yang bentuknya tunggal atau terhadap orang perorangan. 24 Berdasarkan penjelasan Pasal 9 UU No 26 Tahun 2000, yang dimaksud 25 dengan “serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil” 26 adalah suatu rangkaian perbuatan yang
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages198 Page
-
File Size-