
Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future” MIMIKRI DALAM KULINER INDONESIA MELALUI KAJIAN POSKOLONIAL Sri Utami1 Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia [email protected] Abstract. This paper intends to explore the theoretical nuances which may be applied in the Indonesian culinary through the ‘lense’ of postcolonial theory, especially Homi Bhabha’s concept of mimicry. Bhabha (1994) said, that mimicry is a strategy to confront the colonializer’s hegemony. This strategy is constructed around an ambivalence, ‘almost the same, but not quite’. Mimicry is like a coin that has two sides. At one side preserving the cultural heritage of colonial dominance, and at the other side negating colonization. It is in line with Edward Said’s concept (1978) about new consiousness against colonizer’s hegemony, which has related to the process that turns the culinary mimicry in Indonesia. Dutch food becomes a role model in Indonesian culinary, because Dutch colonialization not only physically, but also in the life style and in the way of discourse. The problems in this paper are why and how the process of mimicry in the Indonesian culinary relates to the former colonial hegemony? Why and how do this processing continues progressing and changing the culture in globalization?. The purpose of this paper is to creat awareness facing relentless process of mimicry in Indonesian culinary to preserve indegenious culinary wisdom. Keywords : postcolonial, mimicry, hegemoni, culinary, conciousness A. PENDAHULUAN Penjajahan Belanda di Indonesia berlangsung selama tiga setengah abad dengan meninggalkan jejak dampak yang hingga kini masih terasa. Hubungan antara Belanda sebagai bangsa penjajah dan bangsa pribumi (Inlander) sebagai bangsa terjajah berlangsung tidak setara. Belanda menempatkan dirinya sebagai penjajah dengan pola yang tidak hanya menjajah secara fisik, namun juga menjajah pemikiran secara politis, sosial, dan kultural dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat terjajah tidak pasrah atas semua perlakuan penjajah itu.. Mereka mulai memberikan perlawanan. Bersamaan dengan perlawanan bersenjata, juga timbul usaha-usaha besar dalam pertahanan budaya hampir di semua tempat, penegasan akan identitas nasional, dan dalam bidang politik2. Poskolonialisme senantiasa menunjukkan adanya perbedaan dan pembedaan, yang memberi kesadaran pada subyektivitas dari kaum yang mengalami kolonialisme. 1 Sri Utami, S.Sos, M.Hum, saat ini sedang menyelesaikan Program Doktor Filsafat pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. 2 Edward Said, Culture and Imperialism. Vintage. 1996. halaman 12 806 Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future” Dalam ‘Orientalism’, Edward Said mengacu pada wacana-wacana khusus dalam mengkonseptualisasikan Timur sehingga menyebabkan Timur mudah untuk dikendali- kan. Dalam uraian tersebut, menunjukkan cara Barat untuk mendominasi, merestrukturasi, dan menguasai Timur.3 Pemikiran Edward Said telah membuka cakrawala pemikiran yang sangat luas, terutama dengan pandangan kritis teori poskolonial yang membawa implikasi perlawanan atas wacana-wacana yang dikembangkan Barat. Dengan adanya wacana poskolonial, muncul suatu kesadaran yang dipicu oleh berlangsungnya kolonialisme pada suatu kawasan tertentu, walaupun penaklukan secara fisik telah berakhir. Penjajahan terhadap pikiran, jiwa, dan budaya masih terus berlangsung. Penjajahan pikiran (colonizing mind) merupakan senjata utama kalangan bekas penjajah (Barat) untuk membuat bangsa terjajah tetap tunduk pada dalam kekuasaan, yang menjelma dalam bentuk lain Untuk itu Edward Said mengemukakan perlunya suatu kesadaran untuk ‘membaca’ keadaan tersebut. Masalah utama dari masyarakat terjajah dalam menghadapi wacana penjajah adalah problem emansipasi dan peningkatan martabat diri agar setara dengan kaum penjajah. Antara lain ditempuh melalui mimikri atau cara peniruan. Sejalan dengan pemikiran Said tersebut, Homi Bhabha mengemukakan konsep ‘mimikri’ dengan pandangan bahwa yang terjajah memiliki kekuatan untuk melawan dengan upaya meminjam berbagai elemen budaya untuk peniruan. Fenomena mimikri tidaklah menunjukkan ketergantungan yang terjajah kepada yang menjajah, tetapi peniru menikmati dan bermain dengan ambivalensi yang terjadi dalam proses imitasi tersebut. Dengan demikian mimikri merupakan suatu strategi untuk menghadapi dominasi penjajah. Strategi ini bersifat ambivalen, melestarikan warisan budaya kolonial sekaligus menegasikan dominasi penjajahan. Ambivalen ini dinyatakan Bhabha dengan “almost the same, but not quite”4. Mimikri berproses karena adanya perbedaan identitas dari penjajah dan terjajah. Kolonial Belanda melakukan penaklukan yang mempengaruhi kebudayaan kaum pribum, terutama kelompok masyarakat yang mengalami pendidikan gaya Belanda. Dengan sendirinya akan berupaya mendapatkan identitas diri dari penjajahnya. Dalam makalah ini, saya menyingkap pengaruh penjajahan tersebut pada budaya bangsa yang terjajah, dengan kajian poskolonial yang berkaitan dengan hegemoni yang mendominasi kehidupan masyarakat terjajah, dan bagaimana masyarakat terjajah merespon pengaruh itu. Aspek yang menjadi sorotan penelitian adalah kuliner Indonesia. Secara etimologis, kata ”kuliner’ merupakan terjemahan dari kata dalam bahasa Inggris ’culinary’ yang berasal dari bahasa Latin ’culinarius’ yang didapat dari kata ’culina’ yang berarti dapur. Memasak memiliki makna universal yaitu transformasi dari alam menuju ke budaya. Selain itu memasak juga merupakan ’bahasa’ yang kita gunakan untuk berbicara tentang diri kita dan tempat kita berada di dunia. Mungkin kita bisa memetik ungkapan Descartes dan mengubahnya menjadi ”Saya 3 Dinyatakan Edward Said dalam “Orientalism” hal 204 : "My contention is that Orientalism is fundamentally a political doctrine willed over the Orient because the Orient was weaker than the West, which elided the Orient’s difference with its weakness. As a cultural apparatus Orientalism is all aggression, activity, judgment, will-to-truth, and knowledge" 4 Homi K. Bhabha, The Location of Culture, Routledge London and New York, 1994. halaman 86. 807 Prosiding The 4th International Conference on Indonesian Studies: “Unity, Diversity and Future” makan, maka saya ada”5 Apa yang kita makan menunjukkan banyak hal tentang siapa diri kita, serta tentang budaya dari keberadan kita. Makanan adalah medium dari masyarakat untuk menyatakan tentang dirinya. Ungkapan ” we are what we eat” dan ”we are what we don’t eat” menunjukkan suatu identitas dalam budaya dari satu komunitas, bahkan lebih luas dapat menunjukkan identitas suatu bangsa. Dari uraian diatas, dalam kaitan dengan penjajahan di Indonesia, dapat dipahami mengapa makanan Barat menjadi panutan dalam kuliner di Indonesia. Hal ini disebabkan karena dampak hegemoni dalam penjajahan masa silam yang mewariskan representasi ke arah dunia yang lebih bergengsi. Sebagai bagian dari kebudayaan, kuliner Indonesia juga tidak luput dari proses mimikri yang berlangsung sejak masa kolonialisme Belanda sampai hari ini, dan kemungkinan akan berlangsung terus pada hari esok. Ternyata walau Indonesia telah mencapai kemerdekaaan bangsanya, tetapi masyarakat Indonesia tak serta merta bisa menghapus gaya hidup yang diwariskan oleh bekas penjajahnya. Dari tinjauan pustaka tentang kuliner Indonesia terdapat bukti adanya mimikri dalam sebagian besar kuliner Indonesia. Mimikri tersebut tidak berhenti sampai pada mimikri dari budaya Belanda, akan tetapi mengikuti pergeseran imperialis global, dari Eurosentris ke Amerikasentris. Proses mimikri senantiasa terjadi dalam proses ambivalensi terhadap kekuatan hegemoni dalam globalisasi. Menyeruak adanya mimikri dalam kuliner di Indonesia, penulis mengulas kaitan identitas dan mimikri secara lebih mendalam dalam makalah ini. Dari uraian tersebut, penulis ingin mengemukakan permasalahan yaitu mengapa dan bagaimana proses mimikri dalam kuliner Indonesia yang berkait dengan hegemoni kolonial pada masa lalu? Mengapa dan bagaimana proses tersebut berlanjut dan perubahan budayanya dalam globalisasi. Apakah mimikri dalam kuliner di Indonesia hanya merupakan bentuk penyejajaran identitas dengan kaum penjajah Belanda, yang berlanjut dengan penyejajaran dengan martabat imperalis baru pada globalisasi? Bagaimana pengaruh mimikri yang terus berproses ’menjadi’ dalam wacana perbedaan dalam kesatuan dalam khasanah kearifan lokal kuliner di Indonesia? Adapun tujuan penulisan makalah ini untuk memberi pemahaman yang tepat untuk menganalisis kuliner di Indonesia sehingga menimbulkan kesadaran dalam menghadapi proses mimikri tanpa henti dengan melestarikan kearifan lokal (indegenious wisdom). Pernyataan penelitian dalam makalah ini adalah kesadaran kritis dapat menjadi strategi untuk menghadapi hegemoni dalam bentuk proses mimikri dalama kuliner Indonesia, sehingga memperkaya dan memperkukuh nilai-nilai masa depan budaya bangsa B. METODOLOGI Dalam penulisan makalah ini, saya menggunakan metode analisis kritis melalui studi pustaka. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan obyek material adalah kuliner di Indonesa. Sementara itu, objek formalnya adalah mimikri dalam kuliner Indonesia. Prosedur penelitian pengumpulan data yang dilakukan dengan studi pustaka dan pengamatan langsung tentang perkembangan kuliner di Indonesia saat ini. 5 Kathryn Woodward (Ed.), Identity and Difference, Sage Publication London, 1999, halaman 31,32 808 Prosiding The 4th International Conference on Indonesian
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages15 Page
-
File Size-