MANTRA BAHARI BUDAYA MASYARAKAT MANDAR: INTERPRETASI SEMIOTIKA RIFFATERRE Muhammad Hidayat T, Nensilianti & Faisal Universitas Negeri Makassar [email protected] [email protected] [email protected] ABSTRAK Hidayat, Muhammad. 2019. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan (1) Ketidaklangsungan ekspresi pada mantra bahari masyarakat suku Mandar dan (2) Makna yang terkandung pada mantra bahari masyarakat suku Mandar berdasarkan pembacaan heuristik dan hermeneutik. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif. Data dalam penelitian ini adalah terjemahan teks mantra pada beberapa ritual bahari di Mandar, yaitu mantra pembuatan sandeq, mantra pelepasan sandeq, mantra keselamatan dan mantra memancing yang masih digunakan masyarakat Mandar. Sedangkan sumber data yaitu subyek darimana data itu dapat diperoleh yakni bacaan yang relevan dengan mantra bahari masyarakat Mandar. Peneliti juga mengadakan pengamatan pada objek yang telah ditentukan. Teknik yang digunakan untuk pengumpulan data dalam penelitian adalah observasi, wawancara dan studi dokumen. Teknik analisis data yang dilakukan dalam peneletian ini adalah trankripsi, menerjemahkan, menganalisis teks mantra melalui pendekatan semiotika Riffaterre dan membahas hasil penelitian dalam bentuk pemaknaan hasil temuan penelitian yang berpedoman kepada teori dan pendapat para ahli. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Mantra bahari masyarakat Mandar adalah salah satu puisi lama yang memiliki kandungan makna disetiap pemilihan diksi dan metafora berdasarkan ketidaklangsungan ekspresi dan pembacaan heuristik serta hermeneutik, yang diuraikan sebagai berikut: (1) Ketidaklangsungan ekspresi pada semiotika Riffaterre berhasil menemukan makna yang terkandung dalam Mantra bahari masyarakat Mandar berdasarkan penggantian arti, penympangan arti dan penciptaan arti. Mantra bahari masyarakat Mandar merupakan teks yang kompleks jika dilihat dari unsur mantra serta dari pandangan semiotika; (2) Pembacaan heuristik dan hermeneutik yaitu pembacaan tahap pertama sebagai konvensi bahasa dan pembacaan tahap kedua sebagai konvensi sastra menemukan bahwa mantra bahari masyarakat Mandar memiliki struktur bahasa yang tidak baku secara linguistik dan memiliki makna yang “disembunyikan” pada metafora- metafora yang bercorak islam. Teks mantra bahari masyarakat Mandar memiliki struktur teks yang sangat berkaitan dengan konteks-konteks diluar dari “dirinya”. Kata Kunci: Semiotika Riffaterre, Ketidaklangsungan Ekspresi, Pembacaan Heuristik, dan Hermeneutik, Sastra Lisan dan Mantra Bahari Mandar. PENDAHULUAN pendapat Edi Suwanto yang mengatakan bahwa mantra berhubungan dengan sikap religius Mantra dikenal masyarakat Indonesia manusia. Untuk memohon sesuatu kepada sebagai rapalan untuk maksud dan tujuan Tuhan diperlukan kata-kata pilihan yang tertentu. Dalam dunia sastra, mantra adalah jenis berkekuatan gaib yang oleh penciptanya puisi lama yang mengandung daya magis. Selain dipandang mempermudah hubungan dengan itu, mantra berfungsi sebagai salah satu sarana Tuhan (Suwatno, 2017: 75). komunikasi dan permohonan kepada Tuhan Sastra lisan termasuk mantra merupakan ataupun makhluk tak kasat mata sebagai bentuk hasil budaya kolekif suatu masyarakat yang penghormatan. Hal tersebut sejalan dengan tersebar dan diwariskaan secara turun temurun 1 (Danandjaya, 2008). Mantra tidak terlepas dari Berdasarkan dari uraian di atas persoalan tradisi lisan. Mantra diyakini memiliki masyarakat suku Mandar dalam kegiatan yang pengaruh magis. Penyebaran mantra bersifat berkaitan dengan laut selalu melakukan ritual tertutup dari ke generasi ke genarasi, hal ini yang berisi mantra-mantra untuk menghormati yang menyebabkan dewasa ini mantra sulit makhluk yang tak nampak di daerah pesisir atau ditemukan. sebagai permohonan izin kepada sang pencipta. Salah satu jenis mantra yang mewarnai Mantra dalam kalangan masyarakat ini memiliki tata kehidupan budaya masyarakat adalah ke unikan sendiri karna itu menarik untuk mantra bahari. Mantra bagi masyarakat bahari diteliti. diyakini sebagai bentuk permohonan izin kepada Pentingnya melakukan penelitian terhadap sang penguasa laut ataupun kepada Tuhan. mantra bahari dalam masyarakat suku Mandar Secara kasat mata laut hanyalah sebuah menjadi sarana pengembangan sastra daerah dan hamparan air biru yang luas. Namun, secara pengetahuan makna tentang teks mantra yang mistis masih lestari keyakinan bahwa laut selama ini menjadi kekuatan tersendiri bagi memiliki penguasa. nelayan di suku Mandar. Salah satu masyarakat yang menjadikan Sejumlah penelitian yang mengkaji mantra bahari sebagai pegangan hidup ketika tentang keunikan budaya bahari masyarakat mereka akan melaut adalah masyarakat suku mandar telah dilakukan diantaranya oleh mandar. Pada umumnya, suku Mandar di mahasiswa Fakultas Bahasa dan Sastra Sulawesi Barat menetap di daerah pesisir laut Universitas Negeri Makassar, Dahlan (2009). karena terkait dengan mata pencaharian mereka Penelitian tersebut berusaha mengungkapkan sebagai nelayan. Dalam kehidupan orang-orang proses nelayan mandar dalam ritual pembuatan Mandar, khususnya yang bermukim di wilayah perahu sandeq serta penggunaan mantra di pesisir, sangat intim dengan laut. Mereka dalam proses pembuatan sandeq. menyebut laut dengan sasiq, dan orang yang Penelitian yang menjadikan budaya bahari memiliki mata pencarian di laut disebut posasi. masyarakat Mandar sebagai objek kajian juga Sasiq atau hamparan laut dianggap tempat atau dilakukan oleh Amrullah (2015). Penelitian ini kawasan yang memiliki misteri atau rahasia. berusaha mengungkapkan tradisi masyarakat Laut bisa memberikan kehidupan, menawarkan Mandar khusus nya pembuatan sandeq dalam berbagai kebaikan. Laut menjadi tempat mencari segi pemaknaan secara simbolik. penghidupan, bahkan dianggap sebagai sumber Penelitian-penelitian di atas tidak penghidupan utama. Terkadang juga laut membahas tuntas secara keseluruhan tentang memunculkan kegelisahan, bahkan malapetaka mantra bahari di masyarakat mandar serta tidak seperti kehancuran dan kematian (Alimuddin, berfokus pada teks yang terdapat pada proses 2005: 27). ritual pembuatan sandeq. Hal tersebut membuat Seperti halnya dengan pelaut-pelaut mantra bahari masyarakat Mandar masih perlu Bugis-Makassar, para nelayan dan pelaut untuk diteliti dalam segi kekuatan teks atau Mandar juga dikenal kepiawaiannya dalam pemaknaan. menaklukkan laut. Biasanya, pelaut-pelaut Melakukan analisis semiotik terhadap Mandar menggunakan perahu cadik yang saat mantra bahari akan dapat membantu untuk ini mendunia, sandeq. Keakraban masyarakat menemukan makna yang terkadung dalam nelayan atau pelaut di Mandar dengan mantra tersebut. Hal ini sejalan dengan kehidupan laut sangat kental, sehingga ada pemikiran Zoest (1991: 3) bahwa proses ungkapan yang popular di kalangan nelayan dan penafsiran dapat terjadi karena tanda yang para pelaut, “mua melo lambing sau dilolongan, bersangkutan merujuk pada suatu kenyataan da mupissalai lembong, apa lembong tu’u (denotatum). Ratna (2012: 97) mengatakan mipatada apa anu nadiakattai” (Jika hendak bahwa dengan perantaraan tanda-tanda, proses menyeberang ke suatu pulau, maka jangan kehidupan manusia menjadi lebih efisien. menghindari gelombang, karena gelombang laut Dengan perantaraan tanda-tanda, manusia dapat itulah yang bisa menghantarkan kita ke tempat berkomunikasi dengan sesamanya bahkan tujuan) (Arifuddin, 2012: 122). dengan mahluk di luar dirinya sebagai manusia. 2 Riffaterre mengungkapkan metode sastra lisan sebagai salah satu jenis folklore yang pemaknaan puisi secara semiotik dengan tuntas. berkembang di Indonesia. Rifaterre mengemukakan empat hal pokok Menurut Bascom (dalam Dananjaja sebagai langkah pemroduksian makna yaitu 1986: 19), ada empat fungsi folklor antara lain: ketidaklangsungan ekspresi, pembacaan (1) sebagai sistem proyeksi, yakni alat heuristik dan hermeneutik, matriks model dan pencermin angan-angan suatu kolektif; (2) varian serta hipogram. sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan Adapun pada penelitian yang lembaga-lembaga kebudayaan; (3) sebagai alat menggunakan semiotika Rifaterre sebagai alat pendidikan anak; (4) sebagai alat pemaksa dan bedahnya sudah sangat sering dilakukan akan pengawas agar norma-norma masyarakat akan tetapi penerapan pada sastra lisan atau foklor selalu dipatuhi anggota kolektifnya. sangat jarang digunakan. Penelitian yang 2. Mantra menjadikan sastra lisan sebagai objek dengan Mantra adalah salah satu bentuk puisi kajian semiotika pernah dilakukan oleh lama tertua yang berhubungan dengan Kurniawan (2015). Penelitian tersebut kepercayaan masyarakat. Masyarakat suku menjadikan mantra masyarakat Bima sebagai Mandar menganggap mantra sama dengan objek kajian dan semiotika Rifaterre sebagai paissangan, baca-baca dan sebagian pisau bedahnya. Ketidaklangsungan ekspresi, menyebutnya jappi-jappi. Alimuddin (dalam pembacaan heuristik dan hermeneutika, matriks, Dahlan, 2009: 35) membagi paissangan dalam model, varian dan intertekstual pada semiotika 3 jenis; (1) paissangang asumombalang, yang Rifaterre menjadi titik fokus pada penelitian berarti pengetahuan tentang pelayaran, (2) tersebut. Berbeda dengan penelitian Kurniawan, paissangang apposasiang yang berarti kali ini penerapan semiotika Rifaterre akan pengetahuan tentang laut, dan (3) paisangang dilakukan pada salah satu sastra lisan di paqlopiang (baca: pa’lopiang) pengetahuan masyarakat Mandar yaitu Mantra bahari atau tentang perahu. Hal ini sejalan dengan definisi mantra melaut yang sampai sekarang masih di mantra yang diungkapka Waluyo (dalam Dahlan
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages16 Page
-
File Size-