PEREMPUAN DALAM GERAKAN KEBANGSAAN Triana Wulandari Hilmar Farid Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan Triana Wulandari Pengantar : Sri Margana Prakata Penulis : Triana Wulandari Sekapur Sirih : Hilmar Farid Desain Sampul : Ruhtata Tata-Letak : Tim Redaksi Penerbit Cetakan I: November 2017 Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) Wulandari, Triana. Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan. xxxii + 312 hlm.:15,5 x 23 cm ISBN :978-602-72017-7-4 Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku tanpa seizin tertulis dari Penerbit. Isi di luar tanggung jawab percetakan Sekapur Sirih Oleh:Oleh: Dr. Hilmar Hilmar Farid Farid DirjenDirektur Kebudayaan Jenderal Kemendikbud Kebudayaan RI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia BERBICARA tentang gerakan kaum perempuan, di ujung dunia mana pun, selalu menjadi tema perbincangan yang menarik dan hangat. Bukan saja karena sisi “perempuan”-nya, melainkan lebih karena isu-isu yang diusungnya senantiasa menjadi titik perbincangan menarik di tengah dunia yang didominasi kuasa lelaki ini. Di Indonesia sendiri gerakan kaum perempuan sudah dimulai sejak awal, sejak jaman kolonialisme, bahkan jauh sebelum berdirinya negara Republik Indonesia. Nama-nama seperti Ken Dedes, Tribuana Tunggadewi, Roro Jonggrang, dan lain-lain sudah cukup populer sebagai perempuan legendaris yang menurut beberapa tafsir sejarah –meski perlu dikaji lebih serius—sedikit banyak dapat terhitung sebagai pergerakan perempuan kala itu. Di jaman modern, gerakan kaum perempuan menjadi semakin terorganisir, terstruktur, dan massif, mulai dari era Kartini hingga era reformasi terkini. Sudah banyak hasil yang terlihat dan bisa dinikmati dari gerakan perempuan berabad-abad lamanya itu. Namun demikian, dalam konteks sejarah perjuangan bangsa, peran kaum perempuan kerap diabaikan, bahkan dipandang sebelah mata. Umumnya sejarah memandang kaum lelaki lebih berperan dan bernilai ketimbang perempuan. Inilah sejarah yang bias, yang banyak kita jumpai dalam xvv PerempuanPerempuan dalam dalam GerakanGerakan KebangsaanKebangsaan catatan-catatan historiografi nasional. Padahal peran mereka sangatlah besar, baik sebagai penunjang di balik layar bagi para pejuang yang didominasi laki-laki maupun sebagai avant garde langsung berhadapan dengan penjajah. Memang, gerakan perempuan yang tersisihkan itu tidak murni sebagai kesalahan sejarah. Ia juga dipengaruhi oleh kaum perempuan sendiri yang tidak atau belum menyempatkan diri untuk menulis sejarah mereka. Hadirnya buku ini dapat dipandang sebagai ikhtiar menghadirkan peran perempuan dalam sejarah kebangsaan dari perspektif penulis perempuan. Buku ini memotret hampir seluruh gerakan perempuan, baik dari sisi politik, sosial, keagamaan, rumah tangga maupun sisi yang lainnya, khususnya pasca reformasi. Atas terbitnya buku penting ini, saya perlu mengapresiasi dan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada penulis, mudah-mudahan usahanya mendapatkan apresiasi yang sepantasnya baik dari masyarakat umum maupun dari para pemangku kebijakan di pemerintahan. Jakarta, Februari 2017 xvivi KataPengantar Pengantar Oleh: Sri Margana Universitas Gadjah Mada Buku ini merupakan karya Triana Wulandari, Direktur Sejarah di Direktorat jendral Kebudayaan Kementrian pendidikan kebudayaan Republik Indonesia yang diterbitkan pada tahun 2017. Ilustrasi perempuan bersanggul dan berkebaya yang terpampang dalam sampul merupakan gambaran yang berusaha ditampilkan oleh penulis dalam bukunya, sosok perempuan Indonesia yang menjadi bagian dari pergerakan demi kemajuan bangsa, baik dalam bidang ekonomi, social, politik, agama dan moral. Ilustrasi tersebut bahkan menjadi satu-satunya gambar yang terdapat dalam buku dengan tebal 320 halaman ini. Menurut Ruth Indiah Rahayu, Sejarah Perempuan sejatinya menghadirkan tutur perempuan yang menyuarakan pengalaman- pengalaman yang mereka hadapi, baik dalam ranah domestic maupun public.1 Dalam hal ini, pengetahuan dan ide yang lahir dari rahim perempuan dapat dilihat sebagai hal yang perlu dan 1Ruth Indiah Rahayu, “Konstruksi Historiografi Feminisme Indonesia dari Tutur Perempuan”, makalah dalam Workshop Historiografi Indonesia: di antara Historiografi Nasional dan Alternatif, Pusat Studi Sosial Asia Tenggara UGM dan Australia Research Council, Hotel Yogya Plaza, Yogyakarta, 2-4 Juli 2007, hlm. 13. vii Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan penting untuk ditulis dan diketahui. Untuk membedah pengalaman tersebut, perspektif gender harus digunakan. Hal ini bertujuan untuk membongkar akar diskriminasi yang dialami oleh perempuan dan perlakuan yang mengobjektifikasi mereka, misalnya tentang bagaimana ilmu pengetahuan dimonopoli oleh laki-laki bangsawan, kemunculan dan perkembangan pembagian peran gender terbentuk di Indonesia, hingga keberagaman ide dari perempuan-perempuan Indonesia dalam gerakan kebangsaan. Apa yang dimulai oleh penulis dalam buku ini adalah salah satu langkah untuk menuju Historiografi Indonesia yang tidak lagi androsentris. Meskipun tidak terlalu memberikan gambaran yang mendetail, ia telah berusaha untuk memetakan pengalaman perempuan Indonesia secara kronologis dalam empat bagian. Pada Bagian I, ia memulainya dengan mendefinisikan asal kata “perempuan”, diikuti peran-peran yang melekat di dalamnya. Pada Bagian II hingga IV, ia membagi pengalaman perempuan ke dalam periodesasi yang mengikuti perkembangan politik, mulai dari perempuan pada masa kolonial hingga kemerdekaan. Hal yang kemudian tidak luput dari penulis ialah bagaimana ia kemudian menghadirkan peran perempuan dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Terminologi “perempuan” lebih dipilih oleh penulis daripada “wanita”. Pilihan tersebut menjadi hal yang cukup menarik, mengingat dua terminologi tersebut seringkali diperdebatkan dalam tulisan yang menghadirkan pengalaman perempuan, terutama di kalangan feminis. Kata “wanita” mendapat stigma, sebuah akronim dari “wani ditata” atau “berani ditata” yang bermakna pasif. 2 Selain itu, terminologi “wanita” 2 Ayu Utami, seorang penulis dan feminis Indonesia tidak menyetujui hal tersebut. Menurutnya, akronim “wanita” menjadi “wani ditata” tidak jelas viii dianggap sebagai salah satu terinologi yang digunakan oleh pemerintah Orde Baru dalam mendomestifikasi perempuan dalam program-programnya, seperti Dharma Wanita. Hal ini lah yang kemudian mendorong beberapa penulis lebih condong menggunakan terminologi “perempuan” sebagai bentuk perlawanan terhadap pemerintah dan budaya yang patriarki.3 Penulis sendiri melihat asal kata “perempuan” dari empu atau induk, diikuti oleh fungsi biologisnya: sebagai penghasil keturunan. Menurutnya, peran fungsi yang dimiliki oleh perempuan memang berbeda dengan peran fungsi laki-laki. Fungsi tersebut membuat masing-masing unggul di bidangnya. Hal itulah yang kemudian membuat mereka harus saling bekerja sama untuk dapat saling melengkapi. Dalam hal ini, penulis sedang berbicara tentang konstruksi yang diciptakan masyarakat: membagi peran gender antara perempuan dan laki-laki, sebagai ibu dan ayah, dalam ranah domestik dan publik. Sayangnya, pembagian tersebut terkesan muncul tiba-tiba tanpa adanya penjelasan mengapa dan bagaimana pembagian tersebut mengakar di Indonesia. Jika ditelusuri,pembagian peran gender di Indonesia melewati masa yang sangat panjang dan berbeda di setiap asal usulnya. Menurutnya, bahasa merupakan permainan yang bersifat sangat politis dan memilih “perempuan” ketimbang “wanita” dalam upaya melawan patriarki merupakan cara yang kurang tepat, karena menjebak penulis ke dalam konstruksi yang dibuat oleh pemerintah atau masyarakat patriarki itu sendiri. Menurut Ayu, penggunaan kata “wanita” maupun “perempuan” tidak ada bedanya, yang harus dilakukan ialah dengan mengatasi stigma; bukan menghilangkan dia yang diberi stigma itu. Ayu Utami, “Herstory dan Perjuangan Emansipasi”, dalam Majalah Tempo, 15 Desember 2014. https://rubrikbahasa.wordpress.com/2014/12/15/herstory-dan-perjuangan- emansipasi/, diakses pada 12 Desember, 2016, pukul 19.20 WIB. 3 Mariana Amirudin, “Revolusi Bahasa dalam Politik Gender”, dalam Majalah Tempo, 12 Januari 2015. https://rubrikbahasa.wordpress.com/2015/01/12/revolusi-bahasa-dalam- ix Perempuan dalam Gerakan Kebangsaan tempatnya. Di Jawa misalnya, Peter Carey dan Vincent Houben mencoba menganalisis tentang perubahan peran perempuan ningrat Jawa dari abad ke XVIII hingga abad XIX. Menurut mereka, sebelum masyarakat Eropa dan pengaruhnya datang ke Hindia Belanda, peran perempuan ningrat sangat bergaam, mulai dari bidang politik, ekonomi, sosial, kemiliteran hingga supranatural. Peran-peran yang dimiliki oleh perempuan ningrat kemudian direduksi pasca perang Jawa, sebagai penjaga budaya dan pencetak keturunan (Ranah domestik), sedangkan hal lainnya menjadi tanggung jawab dari laki-laki ningrat.4 Pembagian peran tersebut semakin menguat pada abad ke 19, didorong oleh pemikiran para orang Eropa kelas menengah yang datang ke Hindia Belanda. 5 Konstruksi peran gender tersebut kemudian direproduksi pada abad ke XX oleh kaum pergerakan. Dalam perguruan Tamansiswa misalnya, Ki dan Nyi Hadjar Dewantara menerapkan konsep keselarasan melalui pembagian peran antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki berperan sebagai Lajer Keturunan atau tiang keturunan, dicitrakan sebagai sosok yang kuat dalam segala-galannya. Perempuan berperan sebagai pemangku keturunan, tempat tumbuhnya manusia. Hal tersebut diikuti oleh citra yang dilekatkan, yaitu sebagai sosok yang lembut dan memiliki kesucian dalam dirinya.6 politik-gender/#more-3192, diakses
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages345 Page
-
File Size-