
BAWASLU B A D A N P E N G A W A S P E M I L I H A N U M U M Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 PERIHAL PENYELENGGARAAN KAMPANYE Editor : Dede Sri Kartini Penulis: Arya Fernandes - August Mellaz - Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi - Faisal Riza Fritz Edward Siregar - Hurriyah - I Wayan Widyadarna Putra - Lia Wulandari Neil Antariksa - Septiana Dwi Putrianti - Sutarmin Hi Ahmad - Yohan Wahyu Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 Perihal Penyelenggaraan Kampanye P e n e r b i t BAWASLU B A D A N P E N G AWA S P E M I L I H A N U M U M TIM PENYUSUN Adriansyah Pasga Dagama Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 Perihal Penyelenggaraan Kampanye @Hak Cipta Dilindungi oleh Undang-Undang Pengupan, Pengalihbahasaan dan Penggandaan (copy) Isi Buku ini, Diperkenankan dengan Menyebutkan Sumbernya Diterbitkan Oleh: BAWASLU B A D A N P E N G AWA S P E M I L I H A N U M U M www.bawaslu.go.id Cetakan Pertama Desember 2019 I TIM PENULIS Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 Perihal Penyelenggaraan Kampanye Editor: Dede Srikarni Penulis: Arya Fernandes August Mellaz Faisal Riza Fritz Edward Siregar Hurriyah I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi I Wayan Widyadarna Putra Lia Wulandari Neil Antariksa Sepana Dwi Putrian Sutarmin Hi Ahmad Yohan Wahyu BAWASLU B A D A N P E N G AWA S P E M I L I H A N U M U M II Kata Pengantar Pemilu Serentak tahun 2019 merupakan pengalaman elektoral pertama bagi Indonesia, karena Pemilihan Presiden dan Pemilihan Legislatif dilakukan pada hari yang sama. Pengalaman biasanya mengajarkan berbagai hal, baik untuk penyelanggara, peserta maupun rakyat sebagai pemilih. Selain telah memberikan pelajaran yang berharga, Pemilu Serentak 2019 juga telah menyisakan berbagai permasalahan yang harus dicari solusinya agar tidak terulang dalam pemilu-pemilu berikutnya, atau setidaknya pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sudah dapat diantisispasi dan menurun baik secara kualitas maupun kuantitas, sehingga memudahkan pengawasan. Sebagai lembaga yang bertugas untuk melakukan pencegahan dan penindakan, Bawaslu RI merasa perlu untuk mengevalusi pelaksanaan Pemilu Serentak 2019 melalui serangkaian kegiatan riset, salah satunya mengevaluasi kampanye. Waktu yang panjang untuk berkampanye (6 bulan) ternyata telah menenggelamkan kampanye legislatif, tapi memunculkan bahkan menguatkan politik identitas dan hoax. Kampanye tidak sekedar untuk mempengaruhi pilihan pemilih, tapi berubah menjadi narasi-narasi yang membawa SARA untuk menjatuhkan lawan politik. Narasi-narasi tersebut menjadi mudah untuk menyebar dengan dukungan media sosial. Dari 9 metode kampanye yang ditawarkan KPU, hanya debat capres yang menyita perhatian masyarakat, sementara caleg lebih suka untuk melakukan kampanye door to door, bahkan fasilitasi APK yang disediakan negara melalui KPU banyak yang tidak dimanfaatkan oleh caleg dan calon anggota DPD. Politik uang tidak lagi hanya III pemberian uang dan barang tapi sudah berubah menjadi asuransi kesehatan dan voucher umroh. Sementara itu, politik masih memanfaatkan birokrasi dalam memobolisasi suara sehingga pelanggaran terhadap netralitas ASN dan pejabat negara masih harus menjadi perhatian Bawaslu RI. Hal tersebut tidak terlepas dari regulasi yang mengijinkan politik untuk tetap mengintervensi birokrasi yang salah satunya adalah Kepala Daerah menjadi Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) di daerahnya masing-masing. Semua permasalahan-permasalah tersebut di atas, baik dari sisi regulasi maupun realitas, dianalisis oleh penulis dengan berbagai latar belakang sehingga layak dibaca dalam buku yang sifatnya evaluative ini. Selamat membaca, semoga bermanfaat bagi perbaikan pemilu evaluatif. Abhan Ketua Bawaslu RI Daftar Isi Tim Penyusun_____________________________I Tim Penulis_______________________________II Kata Pengantar____________________________III Daftar Isi_________________________________IV Biodata Penulis____________________________367 Bab 1 Pendahuluan: Kampanye dalam Pemilu Serentak 2019 (Dede Sri Kartini)__________________________3 Bab 2 Personal Vote dan Candidate-Centered Politics dalam Bingkai Pemilu Serentak (August Mellaz) _____________25 Bab 3 Evaluasi Penerapan Fasilitasi Kampanye Pemilu 2019 oleh Negara (Lia Wulandari) ___________________________53 Bab 4 Kampanye Calon Presiden dalam Pemilu Serentak 2019 (Arya Fernandes) __________________________81 Bab 5 Setengah Hati Berantas Politik Uang (Yohan Wahyu) ________________111 Bab 6 Politik Identitas dalam Pemilu Presiden 2019 di Indonesia: Studi Kasus Provinsi Sumatera Barat dan Sulawesi Utara (Hurriyah)________________________________139 Bab 7 Mengawasi Media Sosial dalam Proses Pemilu 2019 (Fritz Edward Siregar) _____________________171 Bab 8 Netralitas Aparatur Sipil Negara (Septiana Dwiputrianti) _____________________203 IV Bab 9 Efektivitas Pengadaan Alat Peraga Kampanye yang Difasilitasi Negara Dalam Kampanye Pemilu 2019: Studi Kasus Provinsi Bali (I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi) _____________235 Bab 10 Kampanye Berbiaya Rp. 0: Studi pada Caleg Dr. Somvir dari Daerah Pemilihan 5 Kabupaten Buleleng (I Wayan Widyadarna Putra)_________265 Bab 11 Netralitas 'Sumber Daya Negara' dalam Pemilu 2019: Studi Kasus Pendamping Desa dan Pendamping Program Keluarga Harapan di Kalimantan Barat (Faisal Riza) _____________________________299 Bab 12 Deklarasi Dukungan 11 (Sebelas) Kepala Daerah Terhadap Capres 01 di Provinsi Riau (Neil Antariksa)______________327 Bab 13 Politisasi Birokrasi Dan Wajah Politik Dinasti di Kabupaten Toli-Toli Provinsi Sulawesi Tengah: Anomali Pileg 2019 (Sutarmin Ahmad) ________361 Perihal Penyelenggaraan Kampanye Pendahuluan : Kampanye dalam Pemilu Serentak 2019 Dede Sri Kartini Program Studi Ilmu Pemerintahan, FISIP, UNPAD Mengaitkan pemilu dengan demokrasi setidaknya dapat digambarkan dengan tiga pernyataan berikut ; pertama, Le Duc et.al melihat bahwa pemilu dapat mengukur demokrasi secara minimalis bila ada kompetisi antar partai untuk membentuk pemerintahan. Sementara Schumpeter menyatakan bahwa demokrasi akan eksis bila terjadi kompetisi ketika pemilu berlangsung. Przworski menyatakan bahwa negara demokratis adalah negara yang menyediakan berbagai aturan pemilu secara regular untuk kepentingan suksesi kepemimpinan politik (LeDuc, et.al : 2010). Dengan melihat kaitan antara pemilu dan demokrasi di atas, maka Indonesia relatif sudah memenuhi pernyataan tersebut. Pemilu sebagai proses untuk membentuk pemerintahan baik di Pusat maupun Daerah telah diterjemahkan oleh Indonesia dalam Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah yang didalamnya partai sebagai peserta pemilu dengan mengusung kandidat masing-masing, meskipun kompetisi antara partai tersebut relatif terjadi. Kompetisi menjadi bahan perbincangan terutama dalam Pilkada ketika fenomena calon tunggal dan politik dinasti menguat di beberapa daerah. Begitu pula dengan regulasi yang dikeluarkan, tiap kali pemilu berlangsung selalu dipayungi oleh undang-undang pemilu begitu pula dengan Pilkada. 3 Serial Evaluasi Penyelenggaraan Pemilu Serentak 2019 Kampanye sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam pemilu, telah menjadi fokus perhatian ketika Pemilu Serentak 2019 berlangsung, yang menurut penulis memiliki kekhas-an yaitu waktu kampanye yang panjang sekitar 6 bulan- tepatnya dimulai dari 23 September 2018 dan berakhir 13 April 2019-, dan tenggelamnya kampanye Caleg oleh kampanye Pilpres. Apa yang terjadi ketika kampanye Pemilu Serentak 2019 ? akan dijawab oleh tulisan-tulisan yang berasal dari akademisi, pegiat pemilu, dan praktisi yang melibatkan Bawaslu Provinsi. Uang dan Kampanye Meskipun uang dipandang sebagai sesuatu yang normal dalam proses demokrasi, tapi ketika uang dihubungkan dengan politik dapat disamakan dengan kecurangan, gratifikasi dan juga korupsi. Skandal keuangan telah mencoreng pemerintahan yang demokratis (Biezen, 2010). Pernyataan Biezen tersebut dapat dipakai ketika menjelaskan negara membiayai kampanye merupakan hal yang normal, karena ingin menciptakan kesetaraan dan keadilan dalam kampanye (equity and fairness). Akan terjadi kecurangan manakala uang dipakai untuk membeli suara, atau terjadi gratifikasi ketika penyelenggara pemilu memperoleh uang atau barang atas fasilitas yang diberikan kepada peserta pemilu. Lebih luas lagi terjadi korupsi manakala penyelenggara pemilu memakai uang negara untuk kepentingan pribadi. Beizen juga menyatakan bahwa negara-negara dengan tingkat korupsi yang lebih tinggi harus memiliki norma-norma ketat untuk mengawasi pemasukan dan pengeluaran kegitan politik, tapi bukan berarti memperbanyak aturan transparansi dan akuntabilitas pada aktor politik. Membiayai kampanye secara pribadi menurut disertasi Pramono Anung, bervariasi mulai dari ratusan juta rupiah sampai dengan 20 miliar. Hasil penelitian ini meskipun dilakukan pada tahun 2009, tapi menurut penulis, datanya masih dapat dipakai sebagai rujukan, mengingat langkanya penelitian yang sejenis dengan data primer dari kandidat langsung. Hasil penelitian tersebut menyatakan, “biaya kampanye yang dikeluarkan caleg untuk duduk sebagai 4 Perihal Penyelenggaraan Kampanye legislator pada pemilu 2009, yakni artis dan selebritis sekitar Rp 250 juta hingga Rp 1 miliar, para aktivis partai politik sekitar Rp 600 juta hingga Rp 1,2 miliar, purnawiranan TNI sekitar Rp 800 juta hingga Rp 1,8 miliar, serta para pengusaha sekitar Rp 1,8 miliar hingga Rp 6 miliar”. (1) Data tersebut menunujukan bahwa ada ketimpangan dalam kepemilikan sumber daya yang dimiliki oleh kandidat, sekaligus menunjukan juga besarnya biaya kampanye yang dikeluarkan kandidat.
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages403 Page
-
File Size-