ISSN 2085-9937 Patanjala Volume 9 Nomor 1 Maret 2017 Patanjala bermakna air sungai yang tiada hentinya mengalir mengikuti alur yang dilaluinya hingga ke muara. Seperti halnya karakteristik air sungai, manusia harus bekerja dan beramal baik, serta fokus pada cita-citanya. Patanjala adalah majalah ilmiah yang memuat hasil-hasil penelitian tentang nilai budaya, seni, dan film serta kesejarahan yang dilaksanakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat di wilayah kerja Jawa Barat, DKI Jakarta, Banten, dan Lampung. Redaksi juga menerima artikel hasil penelitian di Indonesia pada umumnya. Patanjala diterbitkan secara berkala tiga kali setiap Maret, Juni, dan September dalam satu tahun. Siapa pun dapat mengutip sebagian isi dari jurnal penelitian ini dengan ketentuan menuliskan sumbernya. Pelindung Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Penanggung Jawab Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat Redaksi Ketua : Iim Imadudin, S.S., M.Hum (Sejarah) Anggota : 1. Dra. Ria Intani T. (Antropologi) 2. Dra. Lina Herlinawati (Sastra Indonesia) 3. Dra. Lasmiyati (Sejarah) 4. Hary Ganjar Budiman, S.S. (Sejarah) 5. Erik Rusmana, S.S., M.Hum (Editor Bahasa Inggris) Redaktur Pelaksana Titan Firman, S.Kom. Mitra Bestari Prof. Dr. A. Sobana Hardjasaputra, S.S., M.A. Dr. Ade Makmur K., M.Phil (Antropologi, UNPAD) Dr. T.M. Marwanti, Dra., M.Si (Antropologi, STKS) Dr. Mumuh Muhsin Z., M.Hum (Sejarah, UNPAD) Diterbitkan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Jawa Barat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jl. Cinambo No. 136 Ujungberung – Bandung 40294 Telp./Faks. (022) 7804942 e-mail: [email protected] http://bpsnt-bandung.blogspot.com http://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbjabar Penata Sampul: Hary Ganjar Budiman Gambar: Golok Ciomas Sumber: Dokumentasi Risa Nopianti Dicetak oleh CV. IZDA PRIMA Permata Kopo E-33 Bandung Telp./Fax. : (022) 5435496, e-mail: [email protected] Isi di luar tanggung jawab percetakan PENGANTAR REDAKSI Akulturasi, meski bukan gejala baru dalam masyarakat, masih menjadi tema yang menarik untuk dikaji. Pada Patanjala Vol. 9 No. 1, tema akulturasi mewarnai sejumlah artikel para penulis yang berasal dari latar belakang lembaga yang berbeda. Dalam pertemuan antarbudaya, ada unsur kebudayaan yang diterima dan diolah menjadi kebudayaan sendiri. Hasilnya, ada kebudayaan yang cenderung menunjukkan perubahan secara drastis, namun ada pula yang masih memperlihatkan bentuk aslinya. Interaksi antaretnik lokal menyumbang perubahan dalam kebudayaan yang saling memengaruhi. Ketika budaya kolonial masuk, berlangsung interaksi yang dinamis dengan budaya lokal. Budaya Indis mewarnai arsitektur bangunan pada kota-kota kolonial dan gaya hidup elit pribumi. Selain tema akulturasi di terbitan kali ini, ada pula artikel yang mengulas nilai-nilai dan etos kerja pengrajin tradisional. Di luar kedua tema itu, terdapat dua artikel dengan tema yang berbeda menggambarkan gejolak yang terjadi pada awal revolusi dan pengembangan objek wisata sejarah. Miftahul Falah, Nina Herlina, dan Kunto Sofianto mengkaji perubahan morfologi kota-kota di Priangan Timur pada Abad XX-XXI. Kota-kota yang dimaksud, yaitu Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya. Perubahan morfologi kota secara genetis dapat ditinjau melalui tata ruang dan infrastruktur kota, simbol kota, bangunan, dan ruang terbuka. Pada awal pertumbuhannya, karena pengaruh struktur kota tradisional, Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya menunjukkan kecenderungan yang sama. Namun, dalam perkembangannya, kecenderungan keberbedaan lebih nampak, yang ditunjukkan dengan pengabaian struktur dan pola kota tradisional menuju kota kolonial. Meskipun demikian, terjadi perpaduan yang mengakomodasikan tata kota tradisional dan kota kolonial. Salah satunya, tampak pada arsitektur bangunan yang banyak dipengaruhi budaya Indis. Ria Intani T. menulis kehidupan pembatik di Lembur Batik Cimahi. Kecenderungan menurunnya jumlah pembatik diamati oleh penulis. Dari belasan pembatik di sanggar tersebut, kini menyisakan seorang saja. Kebanyakan dari pembatik beralih profesi. Mereka bekerja di sektor informal. Peralihan profesi dilatarbelakangi oleh meningkatnya kebutuhan hidup. Dengan bekerja di sektor informal, mereka mendapat penghasilan yang lebih besar dibandingkan bekerja sebagai pengrajin. Sementara itu, sedikit saja dari pengrajin tetap bertahan. Hal ini boleh jadi dilatari rasa tanggung jawab dan kecintaan yang mendalam dengan dunia perbatikan. Nandang Rusnandar, Sri Sulastri, dan Yani Achdiani mengungkap internalisasi nilai-nilai dalam siklus hidup masyarakat Sunda. Pada masyarakat Sunda, sosialisasi nilai-nilai kehidupan bermula ketika masa kanak-kanak melalui kegiatan ngasuh budak. Setelah memasuki usia perkawinan dilakukan upacara ngeuyeuk seureuh yang bertujuan mempersiapkan anak muda menjadi pasangan suami istri. Kemudian, pada masa kehamilan diselenggarakan serangkaian upacara adat kehamilan, sehingga suami istri siap dalam menghadapi masa kehamilan dan menjadi orang tua. Namun, seiring dengan berjalannya waktu, pendidikan informal pada keluarga melalui upacara tradisional mulai memudar dengan terjadinya perubahan struktur keluarga dan cara pandang terhadap pranata pendidikan. Dwi Vina Lestari, Nina Herlina Lubis, dan R.M. Mulyadi meneliti gaya hidup elite Minangkabau di Afdeeling Agam (1837-1942). Sejak penetrasi arus kolonial makin intensif, elite Minangkabau di Afdeeling Agam mengalami perubahan, baik dalam hal status, kekuasaan, maupun sumber penghasilan. Gaya hidup elite Minangkabau dipengaruhi oleh adanya akulturasi budaya asli Minangkabau dengan budaya Barat. Gaya hidup elite tradisional Minangkabau yang menduduki jabatan kolonial mencerminkan statusnya sebagai pegawai pemerintah dan pemimpin sukunya masing-masing, sedangkan gaya hidup elite intelektual lebih banyak dipengaruhi budaya Barat. Meskipun demikian, baik elite tradisional maupun elite intelektual tetap menunjukkan identitasnya sebagai orang Minangkabau. Hal tersebut terefleksikan dari praktik keagamaan dan adat-istiadat yang tetap lestari sampai sekarang. M. Halwi Dahlan menulis gejolak yang terjadi antara pejuang dengan militer Jepang pada permulaan revolusi kemerdekaan. Usaha para pejuang untuk melucuti senjata tentara Jepang terhambat oleh hukum perang internasional tentang tawanan perang. Di beberapa daerah sempat terjadi perampasan persenjataan tersebut, namun berhasil direbut kembali oleh militer Jepang. Militer Jepang yang mempertahankan senjata mereka berdasarkan konvensi Jenewa 1929, berhadapan dengan semangat kemerdekaan dari seluruh rakyat Indonesia. Di Jawa Barat, insiden perlucutan senjata tidak sempat meluas, karena solidnya pimpinan BKR/TKR mengontrol anggotanya. Lia Nuralia dan Iim Imadudin menganalisis pengaruh akulturasi budaya terhadap dualisme sistem ekonomi masyarakat Kampung Tua di Kecamatan Abung Timur, Kabupaten Lampung Utara. Wujud akulturasi budaya antaretnik tercermin dalam arsitektur bangunan rumah tinggal, dua sistem adat lama (pepadun dan saibatin), benda-benda upacara adat Begawai. Dalam perkembangannya, akulturasi juga berpengaruh pada sistem ekonomi yang bersifat dualistik. Sistem ekonomi tradisional berdampingan modern secara bersamaan. Meskipun nilai-nilai baru masuk dan diterima sebagai akibat perkembangan zaman, nilai tradisi juga dipertahankan sebagai sumber kearifan lokal yang tetap terpelihara hingga saat ini. Yuzar Purnama mendeskripsikan kehidupan pengrajin cetik di Kabupaten Lampung Barat. Pengrajin cetik jumlahnya tidak banyak. Kenyataan tersebut sekurang-kurangnya dipengaruhi oleh dua hal. Pertama, mereka mengalami dilema antara kebutuhan hidup dengan tanggung jawab melestarikan budaya tradisional. Mereka tetap menggeluti pekerjaan tersebut walaupun hasilnya tidak mencukupi. Kedua, tidak semua orang dapat dengan mudah mempelajari cetik, apalagi untuk memasyarakatkannya. Namun dalam perkembangannya, setelah dimodifikasi dari pentagonis menjadi diatonis, cetik lebih mudah dipelajari. Semangat pengrajin cetik dalam melestarikan seni tradisionalnya dapat menjadi potret kegigihan pelaku pelestari budaya. Risa Nopianti mengulas makna yang terkandung dalam ritual mulud golok Ciomas yang diselenggarakan setiap tanggal 12 Mulud. Ritual ini berfungsi sebagai ajang silaturahmi para pemilik golok Ciomas. Prosesi ritual ngoles atau ngulas pada golok Ciomas, dan tempa pada besi bakal golok merupakan filosofi bertemunya antara guru dan murid. Ritual yang didukung oleh pelibatan pande golok, pemimpin ritual, dan pemegang pusaka godam Si Denok turut mendorong meningkatnya popularitas golok Ciomas di kalangan masyarakat. Nandang Firman mendeskripsikan pengembangan Gedung Merdeka sebagai objek wisata. Gedung yang mulanya bernama Societeit Concordia menyimpan sejarah panjang kejayaan Preanger planters hingga menjadi tempat pelaksanaan Konferensi Asia Afrika 1955. Dengan nilai historisitas yang kuat, gedung ini semestinya dapat dikembangkan menjadi objek wisata yang patut diperhitungkan. Untuk mencapai tujuan tersebut, penulis menawarkan perlunya penguatan pada atraksi, aksesibilitas, dan amenitas yang ditopang manajemen organisasi yang baik. Selamat membaca! ISSN 2085-9937 Patanjala Volume 9 Nomor 1 Maret 2017 DAFTAR ISI Morfologi Kota-Kota di Priangan Timur pada Abad XX– XXI; 1 – 14 Studi Kasus Kota Garut, Ciamis, dan Tasikmalaya Cities Morfologi in East Priangan of The 20th and 21 st Century: A Case Study of Garut, Ciamis and Tasikmalaya Miftahul Falah, Nina Herlina, Kunto Sofianto Aktor di Balik Selembar Batik 15 – 30 (Studi Kasus di Lembur Batik Cimahi) Actor Behind A Piece
Details
-
File Typepdf
-
Upload Time-
-
Content LanguagesEnglish
-
Upload UserAnonymous/Not logged-in
-
File Pages159 Page
-
File Size-