Wakhid Nur Effendi / Pengarsipan Budaya dan Facebook sebagai Repositori | 31

PENGARSIPAN BUDAYA KOTAGEDE DAN FACEBOOK SEBAGAI REPOSITORI

CULTURAL ARCHIVING OF KOTAGEDE AND FACEBOOK AS REPOSITORY

Wakhid Nur Effendi Majalah trendkhazanah.com Email: [email protected]

Abstract Efficiency and storage capacity are the main reasons for the social media users to use Facebook as their third party archival repository dan access provider towards their community archives. Two Kotagede cultural practicioners, Erwito Wibowo and Natsir Dabey, are aware for that potential. This article describes how cultural archiving at Kotagede by preserving and providing access towardss their cultural activities at Facebook repository.

Keywords: Cultural Archiving, Kotagede, Facebook, Repository

Abstrak Penghematan dan kapasitas penyimpanan merupakan dua alasan utama para pengguna media sosial menggunakan Facebook sebagai pihak ketiga penyimpanan dan penyedia akses terhadap khazanah yang mereka simpan sebagai arsip komunitas. Kedua budayawan Kotagede, Erwito Wibowo dan Natsir Dabey pun demikian memahaminya. Artikel ini menguraikan bagaimana pengarsipan kebudayaan yang keduanya lakukan di Kotagede Yogyakarta dengan menyimpan dan mengakses arsip kegiatan kebudayaan mereka di repositori Facebook.

Kata Kunci: Pengarsipan Kebudayaan, Kotagede, Facebook, Repositori

PENDAHULUAN memori indahnya, dijadikan pelajaran bagi Masa lalu bisa dihadirkan kembali. generasi penerusnya, ataupun menjadi upaya Masa lalu pun bisa kembali aktual. Apalagi untuk menjaga warisannya. Tiada salah bila masa kini yang memang aktual. Tentunya konstanta filsuf-sejarawan Benedetto Croce dengan prasyarat tertentu, utamanya bukti menggema kembali, bahwa “The true material/ sejarah, berupa foto, penanda, history is a contemporary history” atau maupun kisah naratif yang berhasil dijaga “Sejarah yang sejati adalah sejarah masa maupun dikembangkan. Tanpa kisah, dia kini.” bukanlah sejarah. Ruh sejarah ada pada kisah dan cerita. Cerita dan kisah itu menghidupkan, baik untuk dikenang karena

32 | Jurnal Kearsipan Volume 14 Nomor 1, Juni 2019

Foto 1. Model Rumah Jengki (Yankee) yang dijadikan favorit oleh orang kaya Kotagede pada tahun 1950-an, dan pedagang klithikan (barang bekas) yang berdagang pada malam hari di seputaran Pasar Legi. Foto: Natsir Dabey

Penghadiran itulah yang bernama lagi, dan tentunya menjadi pupuk bagi pemaknaan kembali, karena penghadiran pencatatan serta pembelajaran selanjutnya. sejarah, adalah upaya merelevankan hal-hal Inang yang akan kita bahas itu yang pernah terjadi untuk dinikmati oleh bernama Kotagede. Sebuah kawasan yang masyarakat pada hari ini. Hari ini pun, kelak terletak 6 km arah tenggara kota akan menjadi histori pada suatu masa, dan Yogyakarta. Kota tua ini telah terberi generasi masa depan pun akan memaknai dengan warisan kulturalnya yang agung. kembali suatu kejadian hari tersebut dalam Bukti berupa artefak maupun kisah, dari konteks yang dibutuhkannya. Dengan mitologis hingga historis, tersebar di setiap demikian, sejarah akan merelevansikan jengkal tanahnya. Yang menarik pula, kisah dirinya. Tentunya, persyaratan mengenai yang terus menempel, bertambah, dan bukti dokumen adalah hal mutlak yang memperkaya itu membuktikan keliatan dibutuhkan. sebuah kawasan yang mampu menjawab Beramsal inang, ia mampu menjadi setiap tantangan. sarana bertengger atau bertahan hidup untuk Alhasil, Kotagede bukan menjadi dokumen atau bukti sejarah. Maka inang situs mati dan monumental namun telah yang baik adalah inang yang mampu hilang ruh kehidupannya, melainkan sebagai menjaga dokumen atau bukti sejarah itu the living museum, atau museum hidup. untuk mengembang, membesar, dan menjadi Yang menarik, yang menghidupi dan sarana penyebaran bagi kesadaran menjaga mengembangkan Kotagede adalah putra- dokumen sejarah lainnya.Saat sang inang putri mereka sendiri, selain dukungan pihak mampu menjadi pengasuh atas data dan luar yang peduli bahwa kawasan ini fakta yang pernah terjadi, saat itulah sejarah merupakan kawasan cagar budaya yang bisa aktual kembali, menjadi kontemporer pantas untuk dipertahankan keberadaannya Wakhid Nur Effendi / Pengarsipan Budaya Kotagede dan Facebook sebagai Repositori | 33

sebagai inspirasi pembangunan berbasis Kotagede dari sisi-sisi yang menjadi kultural. Keterlibatan putra-putri Kotagede, perhatiannya. Dalam ranah virtual, keduanya yang memiliki kaitan emosional, senantiasa mengunggah konten Kotagede, kekeluargaan, dan rasa tanggung jawab atas baik di dalam media sosial Facebook Group warisannya, tentunya lebih menjamin Kotagede maupun Facebook pribadinya. keberlangsungan warisan kulturalnya. Kendati ini baru sisi wajah mereka karena Pasalnya, energi kultural dari merekalah tentunya mereka berkegiatan lain, baik yang mula-mula menghidupinya, sementara sebagai anggota masyarakat ataupun pihak lain yang dengan kompetensi dan berasosiasi dengan forum atau lembaga otoritas keilmuan yang melekat, akan lainnya. menjadi faktor pendukung yang turut Natsir Dabey lebih membidikkan memuluskan keberlangsungan warisan kameranya pada aneka lokasi Kotagede. kulturalnya. Objek fotonya membentang pada situs Dua penggiat kebudayaan, Erwito historis maupun kejadian sehari-hari, seperti Wibowo dan Natsir Dabey, dihadirkan kompleks makam raja Mataram, Masjid dalam kajian pengarsipan kebudayaan ini. Gede Mataram, arsitektur tradisional Erwito adalah putra asli dari Kotagede dan maupun pengaruh modern yang dimiliki menjabat sebagai Ketua Badan Pengelola oleh orang-orang Kotagede dari segala lapis Kawasan Cagar Budaya Kotagede, sosial, Pasar Legi, sampai jalanan dan sedangkan Natsir Dabey adalah fotografer aktivitas masyarakat setempat dan luar yang dan pemandu wisata budaya Kotagede. tengah berkegiatan, dan sebagainya. Secara Mereka adalah sampel yang konsisten intuitif namun tetap terbekali oleh karena secara terus-menerus mengabadikan pengetahuan praktis kebudayaan, Natsir

Gambar 1. Kreativitas Masyarakat Kotagede Kontemporer (meretas dari kebekuan tafsir keagamaan tahun 1970-an dan merayakan kembali keceriaan) Sumber: Facebook Group Kotagede

34 | Jurnal Kearsipan Volume 14 Nomor 1, Juni 2019

Dabey telah menyumbang bagi pengabadian melakukan interpretasi berdasarkan objek-objek penting ataupun menarik, pada kerangka konsep yang peneliti gunakan waktu pagi, siang, malam, yang daripadanya dalam tulisan ini. kajian historis, sosiologis maupun antropologis masyarakat Kotagede, kelak HASIL DAN PEMBAHASAN orang akan berutang budi pada hasil-hasil Pengarsipan untuk Pengabdian bidikan kameranya. Sebelum membahas lebih lanjut Sementara Erwito Wibowo lebih mengenai kiprah dua tokoh sampel di atas, memfokuskan pada story telling orang-orang kita perlu memberikan penekanan terlebih atau peristiwa di Kotagede, dengan basis dahulu pada urgensi arsip sebagai landasan foto, peninggalan cagar budaya, rekonstruksi menyimpan, melestarikan, dan mengatur cagar budaya Kotagede, baik rumah bahan-bahan dari masa lampau, baik itu masyarakat maupun lembaga-lembaga sosial untuk keperluan Negara maupun untuk yang ada, juga pada upaya penggalian keperluan pribadi. Peran kedua tipe arsip di folklore masyarakat Kotagede, yang atas itu merupakan bagian dari sejarah (Faye dihasilkan dari para tokoh utamanya. Dan Sayer, 2017). Kotagede dari dahulu hingga kini, terus Bagi Negara, arsip adalah hal memproduksi kisah-kisah rakyat yang signifikan bagi kelangsungan dan keabsahan mengesankan. dirinya. Awal mula, kelanjutan, keabsahan Kekuatan naratif Erwito Wibowo Negara, tidak bisa dilepaskan dari arsip. Hal terletak pada upaya penceritaan dengan tersebut khususnya ketika Negara berada bahasa populer dan lugas, lalu dalam suatu krisis identitas atau eksistensi, ditransmisikan, baik lewat pementasan para elite maupun masyarakat yang ternaung maupun pengisahan di media sosial, di dalamnya bisa mengakses kembali arsip- utamanya FB, sehingga baik masyarakat arsip sejarah kenegaraan, sehingga krisis Kotagede sendiri maupun masyarakat luar kenegaraan bisa dikendalikan, kohesivitas yang terhubung dengannya, bisa mengakses masyarakat bisa dikembalikan, dan kisah naratif olahannya. Hal ini tentunya kehidupan berbangsa dan bernegara dapat merupakan kerja produktif maupun strategis terpulihkan dari goncangan, setelah melihat sebelum warisan berharga itu hilang tertelan “Penjanjian Luhur Bapak-Ibu Bangsa” yang masa tanpa adanya pola pengarsipan. terabadikan dalam arsip. Selain Negara, arsip pun menjangkau METODE PENELITIAN pada unit komunitas yang lebih kecil, baik Metode penelitian yang digunakan keluarga ataupun diri, sehingga inisiatif- merupakan metode kualitatif melalui content inisiatif penyimpanan dokumen oleh analysis terhadap Facebook. Penulis perorangan pun sangat dimungkinkan, dan melakukan seleksi terhadap material yang malah dianjurkan. Tentunya mereka penulis kategorikan sebagai arsip, kemudian melakukannya dengan model penyimpanan Wakhid Nur Effendi / Pengarsipan Budaya Kotagede dan Facebook sebagai Repositori | 35

dokumen secara sederhana. Dokumen profesional yang mulai muncul pada awal berupa tulisan, utamanya rapor sekolah, abad ke-20. Berkat kekayaan materialnya, ijazah, surat nikah, maupun foto-foto mereka pun bisa mengakses simbol-simbol penting di laci atau lemari pribadi. Foto itu kemakmuran dan kemewahan kala itu, baik pun pada suatu masa, pasti dipilih angle dan berupa busana, peralatan rumah tangga, temanya secara hati-hati mengingat tingkat rumah berarsitektur indah, kendaraan kesulitan memotret dan peralatan teknologi modern, seperti mobil, motor, bahkan kamera berbasis seluloid/negative film yang sepeda, yang jarang dimiliki oleh orang ribet. kebanyakan, maupun pendidikan dan Inisiatif perorangan itu biasanya kesehatan. dilakukan secara relatif oleh orang-orang Berkat orang-orang yang mampu kaya atau memiliki basis material yang mengoptimalisasi kehidupannya inilah, cukup. Sehingga daripadanyalah, kita dibarengi dengan tinggalan dokumen- mendapati foto keluarga yang bersifat dokumennya, kita bisa mengaksesnya rekreatif, bukan primer sebagaimana hingga sekarang ini. Sebagian, yang berupa dokumen resmi, seperti ijazah atau foto foto, lukisan/sketsa dan kisah perkawinan, yang itu pun masih tergolong sarana/prasarana publik yang bernilai mewah pada kurun masanya. strategis-kenegaraan, tersimpan di lembaga Di masa kolonial pada akhir abad ke- arsip resmi. Soal preservasi arsip ini, Sri 19 dan awal abad ke-20, ketika teknologi Margana, Ph.D, pengajar Sejarah di FIB modern mulai menyapa Tanah Hindia (kini UGM memaparkan bahwa para pejabat ), para pejabat kolonial sering Belanda, dari masa VOC (Verenigde Oost- memamerkan kehidupan menyenangkan Indie Compagnie) hingga Hindia Belanda (leisure life) dan simbol modernitasnya ditangani Menteri Jajahan Seberang Laut lewat foto-foto. Misalnya, saat mereka (dari abad XVII-pertengahan abad XX), tengah bercengkerama dengan keluarga di sudah terbiasa menyimpan dokumen yang beranda rumahnya yang berarsitektur ditinggalkan usai masa kerja, dengan tiga megah; bertamasya sambil memamerkan tindasan. Pertama untuk arsip Negara; kedua kepemilikan mobil yang masih langka di untuk arsip di negeri jajahan yang masanya; berdiri gagah dengan para jongos bersangkutan; dan ketiga, untuk dirinya dan bedinde yang berjongkok takzim; sendiri. Sayangnya, arsip-arsip yang berdansa-dansi dalam sociëteit yang khusus disimpan di Indonesia tersebut sebagian untuk kaum kulit putih, dan sebagainya. rusak, karena gedung penyimpanan arsip di Selain para raja dan bangsawan yang Semarang terbakar di masa VOC, dan yang juga memiliki tingkat kekayaan relatif tinggi tersimpan d gedung arsip Jalan Gadjah sebagaimana para kulit putih penjajahnya, Mada, , sering kebanjiran dan hancur kesejahteraan maupun kemakmuran itu oleh kelembapan tropis (wawancara dengan merembet kepada para pedagang atau Sri Margana, Ph.D, 20 Agustus 2017).

36 | Jurnal Kearsipan Volume 14 Nomor 1, Juni 2019

Foto 2. Pendopo di luar makam Raja Mataram (Night travelling at King’s graveyard complex).

Sementara dokumen-dokumen perorangan, masa depan (Faye Sayer, 2017 dan yang diabadikan demi kenangan keluarga, www.anri.go.id). sebagian masih tersimpan di laci-laci keturunannya. Karena kehati-hatian dan Kotagede: The Never Ending Story kerapian dalam menjaga, dokumen tersebut Kembali kepada wilayah Kotagede, mampu melintasi masa, hingga sampai pada sebenarnya kalimat di atas bukan tagline generasi penerusnya. Kotagede, kendatipun bila dipakai, Berguna-tidaknya, atau berfungsi- kemungkinan tidak terlalu salah amat. tidaknya dokumen-dokumen tersebut bagi Yogyakarta sebagai kota yang terbilang tua kemanfaatan masyarakat luas, akan pun, kalah tua dengan Kotagede. Kawasan bergantung pada bagaimana masyarakat atau ini dibangun oleh pendiri dinasti Mataram, orangyang memiliki atau menangani untuk Panembahan Senopati, yang masih menjadi merelevankan warisan ini. Kini, Kantor vassal dari Kesultanan Pajang. Panembahan Arsip di pusat maupun di daerah telah Senopati, yang bernama asli Danang membuka layanan penanganan dan Sutowijoyo, adalah putra angkat penguasa pemeliharaan arsip bagi masyarakat, baik Pajang, Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir arsip yang masih baik atau rusak untuk semasa mudanya). direstorasi. Adanya sosialisasi layanan arsip Kotagede, yang menjadi bagian dari tersebut tentunya akan menambah bobot wilayah Jogja modern, mulanya bernama literasi berarsip bagi kalangan masyarakat Alas Mentaok, yang sudah lama luas. Dengan tingginya kesadaran berarsip, ditinggalkan oleh kerajaan Mataram Hindu akan dituai panen catatan historis yang semenjak abad ke-10. Bisa jadi faktor saling bertaut yang bisa menjadi sumbangan bencana alam oleh letusan Gunung Merapi, bagi studi kesejarahan maupun lainnya di atau gempa bumi, mengingat sebagian Yogya merupakan daerah sesar atau patahan Wakhid Nur Effendi / Pengarsipan Budaya Kotagede dan Facebook sebagai Repositori | 37

yang sewaktu-waktu merekah. Wilayah Pangeran Adipati Anom, yang menyertai lari Jogja akhirnya hanya menjadi pedusunan ayahnya, akhirnya menggantikan kedudukan kecil terpisah-pisah yang berada dalam ayahnya --Amangkurat I, yang wafat dalam yurisdiksi Demak, lalu diambil alih Kerajaan pelariannya-- dengan gelar Amangkurat II. Pajang, lalu Kasunanan , sebagai Langkah pertama setelah berhasil menumpas penerus takhta kerajaan Mataram. Hingga serbuan Trunajaya, dengan bantuan VOC, ia kemudian diaktivasi kembali pasca- memindahkan istananya ke Kartasura. Perjanjian Giyanti pada 1755, dengan Kartasura pun dipindah lagi ke berdirinya Kraton Kasultanan wilayah Surakarta pada masa Sunan Ngayogyakarta Hadiningrat dengan raja Pakubuwono II terkait geger Pecinan yang Sultan Hamengkubuwono I (M.C. Ricklef, melibatkan pihak bangsawan Kraton dalam 2009). rangka perlawanannya pada VOC. Alas Mentaok adalah hadiah Sultan Namun demikian, Kotagede tak Pajang Hadiwijoyo kepada Ki Gede serta-merta mati. Keliatan dan kelanjutan Mataram, yang bersama-sama putranya, Kotagede tidak lepas dari adanya tinggalan Sutowijoyo (kelak bergelar Panembahan historis berupa “Catur Gatra Tunggal”, Senopati), Ki Penjawi, dan Ki Juru Martani yakni 4 (empat) komponen dalam 1 (satu) telah berhasil mengalahkan Raden Arya kesatuan, yang ditandai dengan keberadaan Penangsang, seteru sang Sang Sultan istana, masjid, pasar, dan alun-alun. Istana Hadiwijoyo dari Kadipaten Jipang. Seiring dan Alun-Alun Kotagede sudah tidak ada redupnya Kerajaan Pajang, Mataram yang atau tidak berfungsi lagi kecuali tengara semula menjadi tanah perdikan dari Pajang, petilasannya, itu pun sudah menjadi wilayah mengambil alih kejayaan. Senopati lalu permukiman, mengingat sempitnya memperluas wilayahnya hingga Mataram Kotagede sebagai kawasan untuk kedua (Islam) itu lebih luas daripada menampung warganya yang terus wilayah Mataram pertama yang bercorak bertambah. Hindu (H.J. de Graaf dan Th. Pigeaud, Namun bertahannya makam para 2003). pendiri Mataram dan masjid sebagai Kotagede ditinggalkan oleh Sultan penanda spiritual, turut memberi corak Agung, penguasa terbesarnya, yang tersendiri tengara arsitektural Jawa, seperti: memindahkan kerajaannya di Kerto, gerbang bentar (gerbang awal masuk seiring membesarnya postur Kerajaan kawasan makam atau masjid); gerbang Mataram Islam ini. Dan kemudian ketika (pintu masuk menuju makam istana Kerto atau Plered dihancurkan oleh pendiri Mataram); atap meru atau atap Pangeran asal Madura, Raden Trunojoyo, tumpang dengan kubah limasan yang pengganti Sultan Agung, yakni Amangkurat ditopang oleh empat pilar kayu di I yang lalim, lari dari istana Kerto menuju bangunan/ruang pesalatan utama di Masjid Tegal Arum di wilayah Tegal. Putranya, Gede Mataram; serta serambi masjid

38 | Jurnal Kearsipan Volume 14 Nomor 1, Juni 2019

berbentuk rumah limasan yang profesinya pun tumpang-tindih, tidak menyambung di belakang bangunan utama. mempersyaratkan lagi sebagaimana Arsitektur kompleks makam berbahan bata pengelompokan profesi seperti pada awal merah yang pekat dengan pola tradisional berdirinya (Mutiah Amini, 2006). Jawa tampil nyata di seputaran kompleks Tuah Kotagede itu menyata lagi ketika makam para pendiri Mataram ini. pasukan Pangeran Diponegoro berusaha Adanya pasar telah menumbuhkan menghindari, demikian pula pasukan dan menggerakkan ekonomi, kendati tiada Belanda, sebagaimana dicatat oleh Peter lagi pusat kerajaan yang menaungi atau Carey, kawasan Kotagede sebagai medan menjaganya. Itulah kekuatan visi Ki Gede pertempuran demi menghormati keberadaan Mataram demi menggeliatkan area makam suci pendiri dinasti Mataram. kekuasaannya. Bahkan beberapa abad Kombinasi tengara spiritual dan ekonomi kemudian, pasar Kotagede sanggup tersebut menjadikan Kotagede selalu ramai, mendatangkan masyarakat pendatang yang hidup, aman, dan berkembang (Peter Carey, ada di dekatnya maupun yang jauh untuk 2012). meramaikan dan mendinamisasi pasar. Akhir abad ke-19 dan awal abad ke- Dengan perkembangan kemakmurannya, 20 hingga tahun 1930-an, adalah penanda warga perkampungan di Kotagede pun masuknya modernisasi di Tanah Hindia, pun membangun permukiman dan ragam di Kotagede. Dari keterangan Van Mook, arsitektur, dari bangunan tradisional model terdapat 4 lapisan sosial berdasarkan pola yang anggun, limasan yang rapi, pekerjaan mereka. Golongan pertama abdi hingga arsitektur klasik-modern, dan dalem, yang terdiri dari beberapa orang modern yang simpel. pamong praja dan pegawai makam serta Pada masa kerajaan pun, sudah masjid; golongan kedua adalah pedagang muncul nama-nama kampung yang dari permata dan perhiasan emas serta perak; namanya, diduga menjadi kelompok profesi golongan ketiga adalah tukang dan sebagai perajin dan pedagang, seperti: pedagang kecil makanan serta keperluan Sayangan (dari kata sayang, atau perajin hidup; dan golongan keempat adalah buruh tembaga), Mranggen (dari kata mranggi, harian dan petani (meskipun jumlah petani pembuat kerajinan keris), Pandeyan (dari sangat kecil) (Mutiah Amini, 2006). kata pandhe, atau perajin besi), Samakan Masa emas Kotagede yang sampai (dari kata samak, perajin kulit), Kemasan sekarang dikenang lewat tokoh-tokoh- (tukang emas), dan Jagalan (dari kata jagal, tokohnya dari aneka aliran, pergerakan yang atau tukang memotong hewan). Seiring diikuti, pola arsitektur rumah-rumah dan melajunya zaman, beberapa profesi telah gaya hidupnya terjadi pada awal abad ke-20 hilang dan lainnya bisa bertahan, ditambah hingga tiga dekade awalnya. Dalam catatan dengan profesi baru yang sesuai dengan Mutiah Amini, tidak lebih dari 10 keluarga keperluan zaman. Para penghuni dan yang menonjol dalam dunia perdagangan Wakhid Nur Effendi / Pengarsipan Budaya Kotagede dan Facebook sebagai Repositori | 39

Foto 3. Para saudagar dan intelektual Kotagede masalalu, dari kiri ke kanan: KRT Martahastana, pemilik Ndalem Tumenggungan, menjabat sebagai Perwakilan Kraton Kasunanan Solo di Kotagede; Raden Bahoewinangoen, saudagar berlian dari Kotagede. Tinggalannya berupa kompleks makan dengan gapura megah di barat Lapangan Karang, Kotagede dan rumah besar di Kampung Cèlènan (kini milik seorang pengusaha besar asal Manado, Rudi Pesik); Dibelakang keduanya, anak muda dengan busana jas berdasi ala Eropa dan iket blangkon ala Jawa, adalah Meester in de Rechten Kasmat Bahoewinangoen atau Mister Kasmat. Ia menjadi rektor kedua UII, pada tahun 1960 – 1972. Sumber: Facebook Achmad Charis Zubair

(Meskipun lapisan orang kaya dengan barat Sungai Gajah Uwong, dan Jalan tingkat yang lebih kecil di luar mereka juga Mandarakan, sebelah timur Sungai. Dalam bertebaran). Itu pun terbagi dalam dua tatanan pemerintahan kolonial Belanda, kelompok sosial, pertama adalah keluarga bisnis transportasi (kereta kuda) dan Kotagede yang berkonsentrasi pada perdagangan untuk orang Kalang yang perdagangan kain , mori cambridge menjadi penghuni jurisdiksi Kraton Yogya (bahan kain batik), kelontong, pembuatan dan bisnis pegadaian bagi mereka yang kerajinan perak dan emas serta perdagangan berada di wilayah Yurisdiksi Kraton emas-permata, importir berlisensi; dan Kasunanan Surakarta. kedua, adalah keluarga Kalang. Kedua kelompok sosial Kotagede ini Banyak teori mengenai latarbelakang sama-sama kaya, namun dengan orientasi etnis orang Kalang, mengingat sifat yang berbeda. Keluarga kaya Kotagede eksklusif mereka yang tak mau berbaur menyekolahkan anak-anak mereka sampai dengan orang-orang sekitarnya, memiliki jenjang perguruan tinggi luar negeri, yang ciri khas kultural yang terbedakan dengan waktu itu hanya bisa dinikmati segelintir masyarakat di luarnya, dan berorientasi elite ekonomi. Juga keterlibatan mereka perkawinan endogami dengan sesama dalam organisasi keagamaan. Utamanya kalangannya. Pada masa Belanda, orang- . Mereka menjadi pengurus orang Kalang menempati Jalan Tegalgendu, masjid, pengelola sekolah, maupun donatur

40 | Jurnal Kearsipan Volume 14 Nomor 1, Juni 2019

ormas Islam ini. Sementara orang Kalang Dinamika Persebaran Profesi: cenderung tertutup dan lebih berorientasi Menelusuri Repositori Facebook ekonomi semata. Pendidikan hanya dipakai Kotagede tak berhenti sampai tahun demi memahami cara menulis, bahasa untuk 1930-an. Namun tampak kenangan yang pergaulan, dan matematika untuk keperluan membanggakan itu senantiasa hadir. dagang (Mutiah Amini, 2006). Kebanggaan kultural para saudagar kaya Dari kalangan warga Kotagede, yang tumbuh dalam kemunduran ekonomi muncul dua nama yang kini dikenal hingga tataran nasional, yakni Prof. Dr. H. Rasyidi, semasa malaise tahun 1929 yang diwakili putra saudagar kaya Atmosudigdo, yang oleh beberapa keluarga saudagar kaya itu pernah bersekolah di Al-Azhar dan Darul seakan menjadi “warisan bersama” warga Ulum, Mesir, dan kemudian lulus studi Kotagede. Warisan tersebut sewaktu-waktu doktoral studi Islam di Universitas dibangkitkan oleh warganya demi Sorbonne, Prancis; K.H. Abdul Kahar mengangkat citra keterpelajaran dan Muzakkir, masing-masing adalah Menteri Agama RI awal dan anggota BPUPKI serta sumbangan warga Kotagede pada bangsa Panitia Sembilan, yang membuat Indonesia. Pembukaan UUD 45 dan ; lalu Kotagede mengalami jatuh-bangun dokter Jalal Muhsin dan Mr. Zubair Muhsin, setelah era tahun 1930-an itu, dengan proses putra saudagar H. Muhsin, yang masing- pemiskinan pada tahun 1950-an, konflik masing mengambil studi Kedokteran dan politik aliran dahsyat yang bermuara pada Hukum di Leiden Universiteit, Belanda; Mr. Kasmat Bahoewinangoen, ahli hukum geger G30S/PKI tahun 1965 yang mengubah lulusan Leiden Universiteit, putra saudagar keriangan Kotagede menjadi masyarakat R. Bahoewinangoen; dan K.H. As’ad yang agamis namun kering dan kaku. Ketika Humam, pendiri dan pengembang metode itu, kesenian dijauhi, masjid dan langgar Iqro’ untuk baca-tulis al Qur’an. dipenuhi demi menghindarkan diri dari Dari Kelompok Kalang sudah tidak trauma sekaligus stigma sebagai anasir tertutup sebagaimana di masa lalu. aktivitas dan politik Kiri (Komunis). Kelekatan kepada agama Islam, demikian Demikian pengantar Achmad Charis Zubair, keterangan Achmad Charis Zubair, juga keturunan Haji Zubair Muhsin dalam menjadikan salah satu keturunannya, Hj. pengantar buku David Effendi, The Decline Nuriyah Sobron, menjadi santri dan of Bourgeoisie: Runtuhnya Kelompok mendirikan sebuah pesantren di Solo, dan Dagang Pribumi Kotagede XVII-XX. dirinya pun masuk dalam jajaran Aisyah, Kita pun berutang budi dengan organ muslimah Muhammadiyah (David catatan kesinambungan naratif Kotagede itu Effendi, 2020). Wakhid Nur Effendi / Pengarsipan Budaya Kotagede dan Facebook sebagai Repositori | 41

pada antropolog Jepang, Mitsuo Nakamura. masyarakat Kotagede, hingga tahun 2010, Pada epilog karya awalnya, ia mencatat yang ditambahkannya ke dalam buku aktivitas Muhammadiyah hingga batas akhir penelitian pertamanya yang terevisi. penelitiannya pada tahun 1972, di mana para Namun berbeda dengan Mitsuo yang aktor penggerak Kotagede adalah sebagian tetap memperlihatkan sifat optimismenya dari mereka yang terlibat dalam aktivitas atas pergerakan modernis Muhammadiyah, tiga atau dua zaman, semenjak dari islamolog dari Belanda, Karel Steenbrink pergerakan nasional, masa Jepang hingga melihat sisi lain yang tidak dilihat oleh proklamasi kemerdekaan, dan antropolog Jepang ini. Mitsuo Nakamura, pascakemerdekaan (Mitsuo Nakamura, tulis Steenbrink, dengan mengambil amatan 1983). Dengan karunia usia panjangnya, ahli Jawa Prof. M.C. Ricklefs sebagai Prof. Mitsuo Nakamura kembali lagi ke kurang dalam retorika dan api argumentasi, Kotagede untuk mencatat perubahan dan tak sebagaimana Geertz dalam trikotomi rekonfigurasi sosial, kesinambungan, dan legendarisnya lewat studi Abangan, Priyayi, hadirnya aktor-aktor baru dalam kebudayaan dan Santri pada tahun 1950-an. Karel

Gambar 5. Remaja dan pemuda Kotagede yang tergabung dalam Pelajar Islam Indonesia (PII) tengah menjemput dramawan dan penyair Mas Willy (W.S. Rendra) dan Mbak Sito (RAy Sitoresmi Prabuningrat) untuk ceramah seni dan syair di Gedung Aisyiyah Kotagede, pada awal tahun 70-an. Pose dari kiri ke kanan berdiri: Sumirahatun, Fatimah Zahro binti Abdul Kahar Mudzakir, Yati, Sitoresmi, Rendra, Budiman, Arsyad AU dan adiknya Badriyah. Duduk dari kiri ke kanan: Farchan Fatoni, Zuhad Ahmad, Slamet Kuntohaditomo, Dahrowi. Sumber: Koleksi Erwito Wibowo (Lmb Kotagede).

42 | Jurnal Kearsipan Volume 14 Nomor 1, Juni 2019

mencatat perubahan aktor sosial kian meninggi yang dilaksanakan setiap kontemporer beserta kecenderungan tahunnya. artikulasinya yang berbeda dengan generasi Kesenian seperti ketoprak, , Kotagede pendahulu. Pada awal tahun 1970- keroncong, yang dahulu dijauhi oleh an, beberapa remaja Kotagede, termasuk kalangan muslim karena berbau Kiri, kini Fatimah Zahra, putri tokoh Abdul Kahar diketengahkan kembali. Tentunya sudah Mudzakir, meretas kebekuan pascageger mengalami kontekstualisasi dengan bahasa 1965 dengan menyelenggarakan dan yang lebih santai, lebih ceria, dan mengikuti diskusi seni dan pembacaan puisi nonideologis. Namun tanpa menyertakan bersama W.S. Rendra dan RAy Sitoresmi kepengurusan Muhammadiyah. Para Prabuningrat, keponakan Sri Sultan HB IX aktivisnya pun tersebar. Mereka juga berasal (kelak menjadi istri Rendra) di Kantor dari kalangan kelas yang lebih rendah, yang Pimpinan Cabang Aisyiyah Kotagede (lihat dengan mobilitas sosialnya telah mengampu Foto 4). sebagai birokrat pemerintah, dosen, Walau mereka tergolong putra-putri seniman, bahkan menjadi legislator dan Muhammadiyah, yang orang tuanya telah meraih kepemimpinan masyarakat. Mereka menanamkan bahaya TBC (Takhayul, tumbuh besar dalam iklim Orde Baru yang Bid’ah, Curafat), suatu amalan atau otoriter, namun turut memfasilitasi mobilitas perbuatan yang harus dijauhi oleh orang- sosial dengan proyek kependidikannya orang saleh dan agamis, para generasi baru (Karel Steenbrink, 2015). ini mulai merambah teritori kultural yang Kotagede memang tidak lagi sebagai telah dibuang para orang tuanya. Mereka episentrum ekonomi pribumi sebagaimana pun tidak menggunakan nama di masa lalu, namun tinggalan material dan Muhammadiyah dalam geraknya, melainkan tengara historisnya berkisah banyak. memakai kendaraan PII (Pelajar Islam Sebagian menjadi kajian kalangan arsitek Indonesia). Perubahan kecenderungan yang dan sejarah dalam hal pola arsitektur Jawa diperlihatkan pada awal tahun 1970-an ini tradisional, seperti kompleks makam dan tampak semakin membesar, yang dituai pada Masjid Gede Mataram, joglo, limasan; era milenium kedua. Kotagede mulai rumah-rumah neoklasik dalam bentuk art- mengadakan Festival Kebudayaan pada deco tahun 20-30-an di masa kolonial; tahun 1999, 2000, dan 2002. Pasca-gempa rumah yankee (jengki dalam lidah orang 2006, baik festival keroncong, jazz, ketoprak Jawa dan Kotagede, seni bangun dari Amerika) pada masa peralihan (dari gaya Wakhid Nur Effendi / Pengarsipan Budaya Kotagede dan Facebook sebagai Repositori | 43

art-deco, yang mengaksentuasi keindahan Syarekat Islam, dan kemudian keluar untuk yang cenderung rumit, seperti rumah-rumah mendirikan PKI yang berhaluan Kiri mewah legendaris milik orang Kalang, Komunis. menuju gaya modern yang lebih fungsional). Adalah sebuah blessing in disguise Seni bangunan tanpa kisah naratif (rahmat tersembunyi) ketika gempa besar juga hanya akan menghasilkan menggoncang Jogja, di mana Kotagede kesunyian.Beberapa rumah joglo kokoh dan termasuk yang terkena). Garis sesar pemicu relatif utuh-komplet, antara lain milik gempa yang membujur panjang dari tengah saudagar kaya Haji Muhsin, yang berada di Laut Selatan hingga melintasi wilayah kampung Boharen, telah dijadikan sebagai Yogya itu memang benar adanya. Sebagian cagar budaya. Dari peninggalan rumah pemilik rumah gaya tradisional Jawa ini tersebut, masyarakat bisa melihat pola tidak mampu lagi menegakkan kembali penataan rumah dan gaya hidup pemiliknya rumah joglonya yang cenderung rumit dan semasa hidup. Sementara sebuah rumah penuh makna, sehingga rumah-rumah ini joglo, yakni Omah Ropingen di Kampung dijadikan common heritage, dengan Pandean, yang juga dijadikan cagar budaya, pemerintah daerah sebagai pembangunnya. walau sudah tidak utuh, pernah dijadikan Kompensasinya, puluhan rumah tradisional tempat berapat bagi Darsono dan Semaun, yang direhablitasi Pemda DIY dengan yang kala itu masih menjadi anggota bimbingan keahlian akademika tersebut,

Foto 5. Warga dan pedagang yang tengah bercengkrama di bagian luar Pasar Legi Kotagede Sumber: Natsir Dabey

44 | Jurnal Kearsipan Volume 14 Nomor 1, Juni 2019

menjadi sarana yang bisa diakses oleh arsitektur aslinya. Kini rumah itu publik (Cynthia Puspitasari, 2014). difungsikan oleh doktor lulusan Sorbonne, Dalam kasus lain, ada sebuah rumah Prancis itu sebagai cultural centre dengan bernama Ndalem Proyodranan. Rumah joglo nama barunya, Ndalem Nathan. yang berada di Jalan Mondorakan, Kotagede Yang tak kalah menarik adalah ini milik warga Kalang. Rumah menyerupai warisan yang tak tersentuh (intangible joglo yang berpadu dengan seni bangun legacy), berupa ketentuan tata busana Jawa awal abad ke-20 bergaya nouvo art itu bagi para wisatawan yang berziarah ke mengalami kerusakan pada gempa Jogja kompleks makam Raja Mataram. Semua tahun 2006. Rumah antik itu lalu tidak busana modern harus ditanggalkan untuk dihuni lagi dan oleh ahli warisnya akan diganti busana Jawa (wanita dengan busana dijual. Keresahan para budayawan dan selendang sebatas dada atau kemben, dan pemerhati rumah klasik menyeruak, karena pria dengan blangkon dan surjan). Ternyata, besar kemungkinan rumah akan diubah pihak jurukunci (kuncen makam) yang menjadi bangunan modern oleh pemilik berasal dari abdi dalem Kraton Solo dan yang baru. Berkat dibeli oleh Dr. Nasir Kraton Jogja bisa menerima perubahan Tamara, seorang intelektual cum selebritas, ketika wanita berkerudung tidak perlu rumah itu dipugar dengan memerhatikan menanggalkan kerudungnya, juga busana

Foto 6. Gadis Kotagede tangah naik Vespa di jalanan Kotagede paa tahun 1965. Sumber: Koleksi Foto Erwito Wibowo Wakhid Nur Effendi / Pengarsipan Budaya Kotagede dan Facebook sebagai Repositori | 45

atasan yang tertutup. Pihak jurukunci hanya berbantahan keras dengan Bung Karno, mensyaratkan asal mereka mengenakan Bung Hatta, Maramis, juga menggebrak busana bermotif batik (wawancara dengan meja saat sidang di BPUPKI kala Natsir Dabey, 2018). Karena ramainya para menghadapi lawan politiknya, namun wisatawan yang meminati tamasya kultural, dengan Sastro Cangik, beliau hanya aneka tarian Jawa dibangkitkan lagi demi berulang-ulang mengucap salam. Akhirnya memberi kesan kejawaan pada para botoh ayam itu takluk, melepaskan profesi pelancong. judi, dan kemudian menjadi salah seorang Di samping menjaga dan mengawal takmir Masjid Gede Mataram,” kisah Erwito isu kebudayaan lokal yang bersifat strategis, yang juga seorang sutradara untuk Erwito Wibowo mengunggah foto-foto lama pementasan ketoprak maupun pengelola dan umum tentang warga biasa, jalan, toko, diskusi budaya ini. ataupun toko dan kantor yang ada di Isu kontemporer tentang keseharian seputaran jalanan Kotagede. Foto-foto dan dilakoni oleh masyarakat biasa, dipotret tersebut mengundang perhatian dan interaksi oleh Natsir Dabey. Tiada hari di Kotagede yang kulewatkan tanpa jepretan kamera, para pengguna FB, khususnya mereka, ucap Natsir. Foto-foto itu berkisah tentang biasanya para tetangga atau teman semasa pedagang penganan tradisional, pedagang kecil/muda, yang merasa punya kaitan sangkar dan burung, pedagang barang bekas dengan postingan foto yang diberi narasi (klithikan), orang-orang sepuh yang tengah oleh Erwito. Sementara generasi kini yang mengobrol di seputaran Pasar Legi atau tidak mendapati zaman tersebut merasa Pasar Kotagede. Natsir juga setia mengabadikan jalanan sempit Kotagede, tertarik untuk menanyakan, sehingga mereka rumah-rumah tradisional masyarakat, juga dapat menautkan pemahaman kininya saat ia memandu wisatawan ke situs-situs dengan pemahaman masa lalunya. Erwito Kotagede, hingga dirinya kerap menjadi pun tekun mengumpulkan foto ataupun narsum bagi media televisi maupun kisah-kisah dari keluarga besarnya maupun koran/majalah. tokoh-tokoh Kotagede, hingga KESIMPULAN membingkainya menjadi semacam folklore. Tentunya, tidak hanya dua orang ini Penulis pernah mendapatkan kisah pemeran dan pelaku dinamika kebudayaan menarik dari Erwito tentang takluknya botoh dan kepariwisataan Kotagede kontemporer. adu ayam, Sastro Cangik, oleh salam dan Mereka saling memberi informasi dan sapaan lembut-sopan dari Kiai Abdul Kahar mengunggah foto menarik di FG Grup Muzakkir. “Tokoh besar Wak Kahar boleh

46 | Jurnal Kearsipan Volume 14 Nomor 1, Juni 2019

Kotagede yang bisa dijadikan sarana menjadikan daerahnya sebagai kawasan pengarsipan. Misalnya, Drs. Achmad Charis kultural yang unik dan bernilai jual. Zubair, SU. Tokoh terhormat Kotagede Tentunya, catatan di sini tentang kisah sekaligus dosen Fakultas Filsafat UGM yang pengarsipan dari sisi-sisi human interest, juga keturunan saudagar batik K.H. Muhsin sementara-pergolakan-pergolakan internal di ini biasanya muncul dengan tulisan singkat- antara para pemangkunya dilepaskan dari bernas. Ia biasanya memotret aktivitas amatan maupun catatan. tokoh-tokoh masa lalu Kotagede, juga Dua pengarsip ini memakai media memberi konteks terhadap warisan masa FB sebagai sarana berkomunikasi, profiling, lalu tersebut sehingga menjadi kisah yang maupun advertising citra diri dan citra menarik, intelek, dan nyambung untuk Kotagede. Sembari senantiasa mengunggah konsumsi akademik dan praktis saat ini. konten, mereka, sebagaimana pengakuan Butuh pramuwisata (pemandu turis) model Erwito Wibowo dan Natsir Dabey, masing- ahli naratif tentang tokoh dan kesejarahan masing tetap menyimpan data, foto, naskah, bila hendak membangkitkan wisata model dan mengolah naskah di hard disc ini. Kotagede memiliki potensi pula untuk komputernya. Bila sewaktu-waktu akan tamasya perziarahan tokoh masa lalu. diunggah atau demi keperluan atau Museum hidup Kotagede memang perhelatan lainnya, informasi tersebut relatif terperhatikan, kendati tantangan tinggal diambil dari penyimpanan data konservasi di tengah deru modernitas, cadangan. perubahan selera, dinamika kelas sosial, keterbukaan dan urbanisasi, yang UCAPAN TERIMA KASIH Penulis terutama berterima kasih berdampak pada pola arsitektural maupun interaksi masyarakatnya. Namun demikian, kepada dua penggiat kebudayaan Kotagede, dinamika dari tuntutan penjagaan budaya Erwito Wibowo dan Natsir Dabey. Kepada yang berdampak pada pertumbuhan Achmad Charis Zubair yang foto-fotonya ekonomi pariwisata, seperti perputaran penulis gunakan sebagai ilustrasi, penulis kuliner, barang, kerajinan tangan dan busana juga berterima kasih. Juga kepada Pusat tradisional, penginapan, dan wisata kultural, Pengkajian dan Pengembangan Sistem sampai sekarang masih bergeliat, Kearsipan Arsip Nasional Republik menjanjikan, dan prospektif. Para pengarsip Indonesia dan Jurnal Kearsipan yang sudi di atas, demikian pula yang lain, adalah menerbitkan tulisan sederhana ini. putra-putri sekaligus duta Kotagede yang Wakhid Nur Effendi / Pengarsipan Budaya Kotagede dan Facebook sebagai Repositori | 47

DAFTAR PUSTAKA Web Page Buku 2017. Perbaikan Arsip Pasca Bencana Carey, Peter, terj. Parakitri T. Simbolon. Membutuhkan Peran Aktif 2012. Kuasa Ramalan: Pangeran Masyarakat, 2017 (online) Diponegoro dan Akhir Tatanan (https://www.anri.go.id/publikasi/ber Lama di Jawa, 1785-1855. Jakarta, ita/perbaikan-arsip-pasca-bencana- KPG (Gramedia). membutuhkan-peran-aktif- de Graaf, H.J. dan Th. Pigeaud, editor masyarakat, diakses pada 16 Maret naskah Eko Endarmoko&Jaap 2020); Juga, TK. 2014. ANRI Erkelens. 2003. Kerajaan Islam Terima Layanan Perbaikan Arsip Pertama di Jawa: Tinjauan Sejarah Pascabencana (online) ( Politik Abad XV dan XVI. Jakarta: https://www.anri.go.id/publikasi/beri Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, ta/anri-terima-layanan-perbaikan- cet. ke-5, 2003. arsip-pascabencana diakses pada Effendi, David. 2017. The Decline of Senin, 9 Maret 2020). Bourgeoisie: Runtuhnya Kelompok Amini, Mutiah. 2006. Dari Poro hingga Dagang Pribumi Kotagede XVII-XX. Pekatik: Aktivitas Ekonomi Orang Yogyakarta: Penerbit Simpang Kalang di Kotagede pada Masa . Depresi 1930-an dalam jurnal Nakamura, Mitsuo, terj. Yusron Asrofie. Humaniora, Vol. 18 No. 2 (Online) 1983. Bulan Sabit Muncul dari Balik dari https://jurnal.ugm.ac.id/jurnal- Pohon Beringin: Studi tentang humaniora/article/view/873/720 Pergerakan Muhammadiyah di (Diakses 8 Maret 2020). Kotagede Yogyakarta. Yogyakarta: Puspitasari, Cynthia. 2014. Rekonstruksi Press. Hunian Tradisional pada Kawasan Ricklefs, M.C. terj. Drs. Dharmono Kotagede sebagai Upaya Pelestarian Hardjowidjono. 2009. Sejarah Identitas. Jurnal HIRARCHI No. 11 Indonesia Modern. Yogyakarta: dari Gadjah Mada University Press. https://www.academia.edu/36075618 Sayer, Faye, terj. Kresno Brahmantyo, 2017. /Rekonstruksi_pada_Kawasan_Kota Sejarah Publik Sebuah Panduan _Gede_sebagai_Upaya_Pelestarian_I Praktis. Yogyakarta: Penerbit dentitas (Diakses 8 Maret 2020). Ombak.

48 | Jurnal Kearsipan Volume 14 Nomor 1, Juni 2019

Steenbrink, Karel. 2015. Book review on Mitsuo Nakamura. Bijdragen tot de Taal- Land- en Volkenkunde 171 dari https://www.academia.edu/23351349 /Book_Review_The_Crescent_Arise s_over_the_Banyan_Tree._A_Study _of_the_Muhammadiyah_Movement _in_a_Central_Javanese_Town_c._1 910s_2010_written_by_Mitsuo_Nak amura (diakses 8 Maret 2020).