MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA 173 MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN

Rangga Saptya Mohamad Permana Komunitas Pecinta Naskah Sunda Kuno

ABSTRAK

Dahulu, di Kerajaan Sunda berlaku sistem pemerintahan yang unik, yang disebut Tri Tangtu di Buana. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap makna Tri Tangtu di Buana yang mengandung aspek komunikasi politik dalam Fragmen Carita Parahyangan. Penelitian ini menggunakan metode analisis hermeneutik Paul Ricoeur. Data penelitian diperoleh dari teks naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan. Berdasarkan hasil penelitian terhadap teks naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan diketahui bahwa secara umum, Tri Tangtu di Buana yang terdiri dari prebu, rama, dan resi di dalam naskah Sunda kuno Fragmen Carita Parahyangan ini merupakan tiga lembaga yang secara bersamaan memegang jabatan di pemerintahan Kerajaan Sunda; ketiganya memiliki hak dan kewajiban yang berbeda dalam memimpin Kerajaan Sunda, yang di dalamnya mengandung aktivitas komunikasi politik dalam dua peristiwa, yaitu peristiwa pembagian kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan.

Kata-kata kunci: Makna, teks, komunikasi, politik, kekuasaan

CONTAIN OF POLITICAL COMMUNICATION ASPECTS IN THE MEANING OF TRI TANGTU DI BUANA IN THE FRAGMEN OF CARITA PARAHYANGAN

ABSTRACT

In the past, Sundanese Kingdom applied a unique system of governance, which is called Tri Tangtu di Buana. This study aims to reveal the meaning of Tri Tangtu di Buana containing political communication aspects in Fragment of Carita Parahyangan. This research uses Paul Ricoeur’s hermeneutic analysis method. Data were obtained from the text of ancient Sundanese manuscript Fragment of Carita Parahyangan. The result shows that Tri Tangtu di Buana consist of prebu, rama, and resi are three institutions that simultaneously hold the leadership roles in Sundanese Kingdom; these three institutions have different rights and obligations, which contains the activities of political communication in two events of distribution of power and territory.

Keywords: Meaning, text, communications, politics, power

Korespondensi: Rangga Saptya Mohamad Permana, M.I.Kom. Komunitas Pecinta Naskah Sunda Kuno. Jl. Moch Yusuf No.23 Cilengkrang Kabupaten 40620, . Email: [email protected] 174 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

PENDAHULUAN oleh badan itu. 2) Tugas eksekutif menjadi wewenang Prebu Sejak dahulu, masyarakat Sunda telah yang semata-mata boleh dijalankan oleh memiliki tiga kelembagaan yang masing- badan itu. masing memiliki tugas yang berbeda satu 3) Tugas yudikatif semata-mata dipegang oleh sama lain. Tiga kelembagaan tersebut memiliki golongan Resi sebagai badan peradilan. kekuasaan dalam bidangnya masing-masing. Model pembagian/pemisahan kekuasaan Jadi, jelaslah bahwa pemimpin pusat tradisional masyarakat Sunda beserta aturan- tidak serta merta diwariskan secara genealogis aturan lainnya cukup jelas digambarkan dalam kepada putra sulung raja terdahulu. Akan teks Fragmen Carita Parahyangan (FCP) (abad tetapi, hal itu dilakukan atas kesepakatan ke-16 M). Hal ini tidak semata-mata ditentukan dengan pihak rama (para tokoh wakil oleh seorang prebu, akan tetapi dilakukan atas masyarakat) dan pihak resi (kaum intelektual kesepakatan dengan pihak rama dan pihak ahli di bidang pengetahuan peradilan). Di lain resi. Prebu-rama-resi inilah yang disebut pihak, pemimpin wilayah atau daerah itu juga sebagai Tri Tangtu di Buana (Tiga golongan ditentukan atas mekanisme kesepakatan dan yang menentukan roda kekuasaan di dunia). kebijakan lembaga adat Tri Tangtu di Buana Sistem kekuasaan pada masyarakat Sunda pada yang ada di masing-masing kerajaan daerah. Ini masa itu harus dibagi-bagi sedemikian rupa dapat memeperkecil terjadinya potensi gesekan sehingga yang satu terpisah dari yang lainnya. atau konflik kepentingan di kalangan rakyat Hal tersebut tentunya sangat beralasan supaya secara horizontal. kekuasaan kerajaan tidak terpusatkan pada satu Dalam Tri Tangtu di Buana inilah banyak tangan (raja). Dengan pemisahan kekuasaan- terjadi kegiatan politik yang di dalamnya kekuasaan itu dapatlah dicegah tindakan- mengandung aspek-aspek komunikasi politik tindakan penguasa secara sewenang-wenang yang terwujud dalam aktivitas komunikasi dan kebebasan berpolitik dalam kerajaan akan politik antar pemegang kekuasaan. Aktivitas lebih terjamin. komunikasi politik yang terjadi utamanya Diuraikan dalam FCP lembar 5b bahwa, terjadi dalam proses pembagian/pemisahan sang prebu itu harus ngagurat batu (menggores kekuasaan dan pembagian wilayah kekuasaan batu) yang berarti berwatak teguh dalam dalam Kerajaan Sunda. Tri Tangtu di Buana menjalankan aturan, sedangkan sang rama kini masih tampak jelas dalam tradisi kehidupan harus ngagurat lemah (menggores tanah) yang masyarakat Baduy di Kanekes yang terpusatkan berarti berwatak bisa menentukan pijakan atau pada “Tangtu Telu” atau tiga kapuunan, yakni aturan bagi para pelaksana pemerintahan, dan Cibeo berkedudukan sebagai Puun Ponggawa sang resi harus ngagurat cai (menggores air) (dapat diidentikkan sebagai Prebu), Cikartawana yang berarti berwatak menyejukkan dan adil. berkedudukan sebagai Puun Resi, dan Cikeusik Di sini tampak adanya perbedaan antara organ berkedudukan sebagai Puun Rama. dan fungsi itu (Darsa, dkk. 2000: 61). Salah satu naskah Sunda kuno yang Jika dibandingkan antara Trias Politica isinya mengandung aspek-aspek komunikasi model Montesquieu dengan Tri Tangtu di Buana, politik Tri Tangtu di Buana dan masyarakat model pembagian/pemisahan kekuasaan pada Sunda kuno pada umumnya adalah Fragmen sistem Kerajaan Sunda masa lalu, maka peneliti Carita Parahyangan (FCP). Teks naskah dapat menganalogikannya sebagai berikut. FCP berwujud sebuah tulisan tangan yang Fungsi atau tugas kekuasaan di kerajaan Sunda hingga saat ini hanya ditemukan dalam satu ada tiga. Tiap-tiap fungsi atau tugas itu terpisah- buah naskah, itu pun tersimpan bersatu dengan pisah sehingga organ atau badan yang satu tidak naskah Carita Parahyangan (CP) dalam mencampuri fungsi atau tugas badan-badan sebuah Kropak 406 yang kini tersimpan di lainnya. Hal yang dimaksud disiratkan secara bagian koleksi naskah Perpustakaan Nasional jelas berikut ini: . Naskah FCP mungkin dapat dikatakan 1) Tugas legislatif dipegang oleh golongan memiliki keistimewaan tersendiri dalam Rama dan semata-mata boleh dijalankan khazanah pernaskahan Sunda Kuno karena MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 175 selain berbahasa Sunda Kuno dan berbentuk Terbukti, banyak hal yang saat ini sedang prosa juga merupakan codex unicus (naskah menjadi urusan besar, namun telah terbiasa bagi tunggal). Secara garis besar, teks naskah FCP masyarakat masa silam. berisi mengenai tiga kisah utama para penguasa Setelah penulis membaca dengan seksama kerajaan Sunda yang berpusat di ibukota terjemahan teks dalam naskah FCP ini, penulis Pakuan Pajajaran. Ketiga kisah yang dimaksud tertarik untuk melakukan sebuah penelitian adalah (1) pendahulu Maharaja Trarusbawa, kualitatif untuk mengetahui makna Tri Tangtu (2) Maharaja Trarusbawa penguasa Pakuan di Buana yang mengandung aspek komunikasi Pajajaran yang bertakhta di keraton “Sri-Bima politik dalam Fragmen Carita Parahyangan. Punta Narayana Madura Suradipati”, dan (3) Penulis memilih untuk meneliti makna Tri Rakeyan Darmasiksa penguasa dari Saunggalah Tangtu di Buana yang mengandung aspek- yang mewarisi keraton di Pakuan Pajajaran aspek komunikasi politik setelah sebelumnya (Darsa, dkk., 2000: 59-60). melakukan pra-penelitian untuk mengetahui Ada beberapa hal yang dapat digali dari konteks komunikasi apa saja yang terkandung isi teks FCP, di antaranya. Pertama, sistem dalam FCP ini. Ternyata, setelah penulis pembagian kekuasaan didasarkan atas Tri melakukan pra-penelitian tersebut, konteks Tangtu di Buana (tiga penentu urusan di komunikasi politiklah yang mendominasi teks negara) yang terdiri atas golongan: (1) Prebu FCP, karena sejatinya FCP berisi teks-teks ialah raja yang bisa dianalogikan sebagai yang berkaitan dengan sistem pemerintahan pemegang lembaga eksekutif, (2) Rama ialah yang sarat dengan unsur politik dan aktivitas tokoh yang dituakan oleh masyarakat yang komunikasi politik yang melibatkan orang- bisa dianalogikan sebagai pemegang lembaga orang dalam tiga kelembagaan Tri Tangtu di legislatif, dan (3) Resi ialah kaum “akademisi” Buana. Penulis memilih beberapa bagian teks dan agamawan yang bisa dianalogikan sebaga FCP berdasarkan nomor lembar halaman yang pemegang lembaga yudikatif. Kedua, sistem mengandung aspek-aspek komunikasi politik birokrasi dalam hal kekuasaan mengatur dalam Tri Tangtu di Buana (apakah itu teks yang seluruh daerah di dalam wilayah kerajaan telah mengandung unsur aktor politik, pembicaraan tampak didasarkan atas sistem desentralisasi politik, dan sebagainya). yang terbagi menjadi 12 wilayah penguasa Naskah FCP yang mengandung Tri yang memungkinkan daerah-daerah itu tumbuh Tangtu di Buana ini digarap dan ditransliterasi secara otonom (Sunda: berkembang sesuai oleh Dr. Undang Ahmad Darsa, M.Hum., dengan ciri sabumi cara sadésa). Inilah salah salah seorang filolog dari Universitas satu ciri telah tumbuhnya “Bhineka Tunggal Padjadjaran. Penelitian ini bertujuan untuk Ika”. Ketiga, model pengaturan pemerintahan mendeskripsikan naskah FCP beserta teksnya yang dikelola melalui pangwereg yang bersifat sejelas mungkin. Penggarapan naskah FCP top-down dan pamwatan yang bersifat bottom- ini didasarkan atas kajian secara filologi up dalam upaya meningkatkan stabilitas dengan menerapkan metode edisi tunggal. otonomi daerah demi menjamin kehidupan Sedangkan untuk memahami isinya dilakukan kesejahteraan masyarakat. tinjauan berdasarkan konsep-konsep kajian Dengan demikian, isi teks naskah FCP historiografi tradisional. Penelitian Undang ini telah mampu memberikan sebagian ini menghasilkan teks-teks naskah FCP yang gambaran bahwa masyarakat Sunda di masa telah ditransliterasi ke dalam Bahasa Indonesia. lampau telah memiliki satu taraf kehidupan Hasil dari transliterasi itulah yang digunakan sosial kemasyarkatan yang cukup teratur, oleh penulis untuk menghimpun berbagai data seperti juga sebagian masyarakat lainnya yang digunakan. Bila penelitian ini merupakan yang ada di Nusantara. Masyarakat lama telah kajian filologi murni, maka penelitian yang mewariskan sesuatu yang mungkin sama dilakukan oleh penulis di dalam artikel ilmiah sekali di luar perhitungan dan perkiraan kita ini banyak menonjolkan hal-hal yang berkaitan saat ini. Masalahnya, antara lain, kurangnya dengan ilmu komunikasi, khususnya dalam pengetahuan dan pengenalan kita terhadap konteks komunikasi politik dalam lingkup Tri khazanah pernaskahan bangsa kita sendiri. Tangtu di Buana. Berdasarkan paparan di atas, 176 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk bagian teks FCP lembar 7b-8a dan lembar 25a- mengungkap makna Tri Tangtu di Buana yang 3b. Penulis memilih bagian teks ini karena di mengandung aspek komunikasi politik dalam dalamnya merepresentasikan Tri Tangtu di Fragmen Carita Parahyangan. Buana, khususnya dalam lingkup Kerajaan Sunda. Secara tidak langsung, bagian teks ini METODE PENELITIAN juga menjelaskan keseluruhan isi teks FCP yang bernuansa historis-politis. Jadi, dengan Penelitian ini masuk ke dalam paradigma membaca bagian teks ini, penulis berpendapat interpretatif, sedangkan tradisi yang mendukung bahwa sebagian besar kandungan makna dalam penelitian ini adalah tradisi fenomenologis, teks FCP ini sudah dapat diketahui. Hal ini adapun tradisi fenomenologis ini masuk sejalan dengan prinsip hermeneutika, yakni satu ke dalam paradigma interpretatif. Tradisi bagian untuk seluruhnya, dan seluruhnya untuk fenomenologis sendiri menekankan pada proses satu bagian. interpretasi, sehingga pada metode penelitian Setidaknya ada dua jenis metode akan digunakan metode analisis hermeneutik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis, sebagai “alat” untuk menginterpretasikan yaitu menggunakan analisis teks dan wawancara. makna teks yang akan diteliti. Penelitian ini Analisis teks yang dilakukan penulis adalah bertujuan untuk mengungkap makna Tri Tangtu menafsirkan makna Tri Tangtu di Buana yang di Buana yang mengandung aspek komunikasi terkandung dalam teks naskah Sunda kuno politik dalam naskah Sunda Kuno Fragmen FCP yang telah terlebih dulu ditransliterasi ke Carita Parahyangan. Oleh karena itulah, dalam huruf latin dan diterjemahkan ke dalam kerangka pemikiran penulis dalam penelitian ini bahasa Indonesia (berhubung teks FCP ditulis adalah paradigma interpretatif, di mana proses dalam aksara dan bahasa Sunda Kuno) melalui interpretasi naskah dengan tradisi pendukung lima tahap analisis hermeneutik Paul Ricoeur. penelitian kualitatif analisis hermeneutik Dari naskah tersebut, penulis kemudian digunakan sebagai “alat” untuk menyingkap menafsirkan makna-makna yang terkandung di makna Tri Tangtu di Buana yang terkandung dalam Tri Tangtu di Buana; yang di dalamnya dalam naskah Sunda kuno FCP ini. mengandung aspek-aspek komunikasi politik, Sumber data penelitian ini adalah teks apakah itu menyangkut aktor politik atau pesan- hasil transliterasi naskah Sunda kuno berjudul pesan politiknya. Naskah tersebut merupakan Fragmen Carita Parahyangan (FCP). Dalam sumber informasi (media) dan sumber data penelitian ini, pertama-tama penulis mengamati dalam menggarap penelitian ini. Sedangkan seluruh teks FCP. Tetapi, tidak semua teks yang metode wawancara yang dipakai oleh penulis terkandung dalam FCP ini akan dianalisis. adalah metode wawancara secara mendalam. Penulis hanya menganalisis teks-teks yang Untuk menggali informasi-informasi yang mengandung unsur-unsur Tri Tangtu di Buana, dibutuhkan dari naskah FCP, penulis telah yang di dalamnya mengandung aspek-aspek mewawancarai salah seorang filolog yang komunikasi politik. Aktor politik, pesan-pesan memang ahli di bidang pernaskahan Sunda politik, pembicaraan politik, atau hubungan- kuno. Filolog yang penulis wawancarai adalah hubungan antar elit politik dalam lingkup Tri Dr. Undang Ahmad Darsa, M.Hum. Beliau Tangtu di Buana telah tertuang dalam FCP ini. adalah dosen sekaligus peneliti yang ahli dalam Setelah penulis membaca dan memahami bidang penggarapan naskah-naskah Sunda kuno, seluruh isi teks FCP, penulis memilih beberapa sekaligus penggarap naskah Fragmen Carita bagian teks berdasarkan nomor lembar halaman Parahyangan (FCP). Wawancara dilakukan yang mengandung unsur Tri Tangtu di Buana dengan teknik wawancara mendalam, di mana (di dalamnya terkandung unsur aktor politik, informasi tambahan akan penulis dapatkan dari pembicaraan politik, dan sebagainya). Dalam beliau. Tentu saja data yang peneliti dapatkan tahap pemilihan teks ini, penulis berupaya dari hasil wawancara ini sangat berguna untuk memperhatikan unsur-unsur kata dan kalimat menunjang penelitian yang tengah dilakukan. yang dipakai dalam teks FCP. Penulis menggunakan metode penelitian Bagian teks yang dipilih oleh penulis adalah kualitatif untuk melakukan penelitian ini. MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 177

Mengingat sumber berdasarkan kaitan dengan mengungkapkan makna tindakan. Teks itu teks lain, dan makna teks berdasarkan dialog sendiri terbagi atas teks lisan berupa folklore teks dengan pembaca. Telah dijelaskan di dan teks tertulis yang di antaranya dalam wujud atas bahwa penelitian ini dianalis dengan naskah. Namun pada dasarnya, baik teks lisan analisis hermeneutik. Secara etimologis, maupun teks tertulis itu bersifat abstrak dan hermeneutika berasal dari kata hermeneuin, kekal. Di samping itu, teks dapat dikategorikan bahasa Yunani, yang berarti menafsirkan sebagai teks illahiah berupa wahyu yang bersifat atau menginterpretaskan. Secara mitologis, dogmatis dan teks insaniah berupa karya-karya hermeneutika dihubungkan dengan Hermes, kreasi manusia yang bersifat profan (populer). nama Dewa Yunani yang menyampaikan pesan Dalam hal folklor yang datanya diperoleh Illahi kepada manusia. Pada dasarnya medium secara lisan, data itu harus diafiksasikan terlebih pesan dan bahasa, baik bahasa lisan maupun dahulu ke dalam bentuk teks. Ricoeur (1976: bahasa tulisan. Jadi, penafsiran disampaikan 29) berpendapat bahwa teks adalah wacana lewat bahasa, bukan bahasa itu sendiri. Karya (berarti lisan) yang diafiksasikan ke dalam sastra perlu ditafsirkan sebab di satu pihak bentuk tulisan. Sebuah teks mempunyai tiga karya sastra terdiri atas bahasa, sedangkan tingkat otonomisasi, yaitu otonomisasi yang di pihak lain, di dalam bahasa sangat banyak berhubungan dengan penulis, otonomisasi yang makna yang tersembunyi, atau dengan sengaja berhubungan dengan kondisi-kondisi sosial- disembunyikan (Ratna, 2009: 45). budaya, dan otonomisasi yang berhubungan Hymes (dalam Kuswarno, 2009: 25), dengan dengan pembaca. spesifik menyebutkan bahwa secara tradisional, Karena objek utama hermenutika adalah hermeneutika merupakan ilmu atau seni yang teks, dan teks adalah hasil atau produk praksis diaplikasikan untuk memahami tulisan. Karena berbahasa, maka antara hermeneutika dengan variasi sumber tertulis akan menghasilkan bahasa akan terjalin hubungan sangat dekat, informasi mengenai pola-pola penggunaan sehingga kajian hermeneutika tidak lain adalah bahasa dan kebudayaan dari masyarakat yang juga kajian terhadap bahasa secara filosofis menghasilkan tulisan tersebut. (Raharjo, 2008: 33). Penafsiran teks sastra Dasar teori hermeneutika adalah asumsi setidaknya akan mengkuti salah satu atau lebih bahwa manusia secara aktif senantiasa dari enam pokok rambu-rambu (Endraswara, menginterpretasikan pengalamannya dengan 2008: 43-45), yaitu: cara memberi makna terhadap apa pun yang Penafsiran yang bertitik tolak dari pendapat, dilihatnya. Atas dasar itulah maka interpretasi bahwa teks sendiri sudah jelas. Menurut merupakan proses kegiatan kreatif agar bisa pandangan ini, maka isyarat-isyarat dan susunan mengungkapkan makna teks suatu naskah dari teks membuka kesempatan bagi seorang berbagai kemungkinan makna. Dengan kata pembaca yang kompeten untuk menemukan arti lain, hermeneutika adalah kajian untuk mengerti yang tepat; Penafsiran yang berusaha menyusun melalui interpretasi, khususnya tindakan dan kembali arti historik. Dalam pendekatan ini si teks. Jadi, teori tentang proses mengerti ini juru tafsir dapat berpedoman pada maksud si disebut hermeneutika. Adapun pengertian pengarang seperti nampak pada teks sendiri teks mencakup segala bentuk rekaman dan atau di luar teks; Penafsiran hermeneutik baru berbagai aspek tindakan manusia, baik sebagai yang terutama diwakili oleh Gadamer berusaha perseorangan maupun sebagai kelompok memadukan masa silam dengan masa kini. Juru budaya. tafsir sadar, bahwa ia berdiri di tengah-tengah Hermeneutika ditujukan untuk mengerti suatu arus sejarah yang menyangkut baik perasaan orang, makna suatu peristiwa, atau penerimaan maupun penafsiran: cara ia mengerti menerjemahkan suatu tindakan sehingga sebuah teks turut dihasilkan sebuah tradisi; dapat dimengerti oleh orang lain. Atas dasar Penafsiran yang bertolak pada pandangannya ini, hermeneutika dapat dibedakan ke dalam sendiri mengenai sastra. Ini seringkali dua kelompok, yaitu hermeneutika tekstual dilakukan dengan pretensi bahwa kita dapat yang diterapkan untuk mengerti teks, dan menunjukkan arti teks yang pokok; Penafsiran hermeneutika kultural yang diterapkan untuk yang berpangkal pada suatu problematik 178 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

tertentu, misalkan dari aspek politik, psikologis, pendengar aslinya, dan situasi diskursif yang sosiologis, moral dan sebagainya. Dari model umum pada yang ikut berbicara. Dengan hermeneutik ini, berarti penafsiran karya sastra dituangkan dalam tulisan, sebuah teks menjadi bersifat parsial, hanya bagian tertentu saja yang otonom; dengan kata lain teks terlepas dari sejalan dengan isu strategis; Tafsiran yang tak maksud penciptanya. Makna teks pun tidak lagi langsung berusaha agar memadahi sebuah teks tumpang tindih dengan maksud penciptanya. diartikan, melainkan hanya ingin menunjukkan Penafsiran sebuah teks tak akan kemungkinan-kemungkinan yang tercantum terlepas dari bahasa yang tidak pernah dalam teks, sehingga pembaca sendiri dapat tanpa pengandaian dan situasi penafsir pada menafsirkannya. Pendekatan yang berkiblat waktu tertentu. Kesenjangan ini membuat pada pembaca ini dinamakan estetik-reseptif. Ricoeur menyatakan bahwa sebenarnya teks Dalam penelitian ini, penulis memilih itu mempunyai tempat di antara penjelasan untuk menggunakan analis hermeneutik Paul struktural dan pemahaman hermeneutik. Ricoeur. Ricoeur (dalam Sumaryono, 1999: Seperti dalam aksioma yang disebutkannya, 107) mendefinisikan hermeneutika sebagai teoripenjelasan struktural (dalam hal ini arti teks) pengoperasian pemahaman dalam hubungannya bersifat objektif dan pemahaman hermeneutik dengan interpretasi terhadap teks. Tugas (dalam hal ini peristiwa) yang memberi kesan hermeneutika menurut Ricoeur adalah mencari subjektif. Dikotomi ini menimbulkan sebuah dinamika internal yang mengatur struktural permasalahan baru. Teks memiliki sifat otonom kerja di dalam sebuah teks dan mencari daya untuk melakukan dekontekstualisasi (proses yang dimiliki kerja teks untuk memproyeksikan pembebasan dari konteks) baik dari sudut diri ke luar dan memungkinkan isi teks tersebut pandang sosiologis maupun psikologis serta muncul ke permukaan. melakukan rekonekstualisasi (proses masuk Sebuah kata yang diucapkan secara verbal kembali ke dalam konteks) secara berbeda maupun yang tertulis sebenarnya memiliki dalam tindakan membaca. makna lebih dari satu bila dihubungkan Menurut Ricoeur, otonomi teks ada tiga dengan konteks yang berbeda. Pemaknaan macam, yaitu intensi atau maksud pengarang, ini dikarakteristikan sebagai polisemi oleh situasi kultural dan kondisi sosial pengadaan Ricoeur. Sebuah teks selalu berhubungan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan dengan masyarakat, tradisi, ataupun budaya (dalam Sumaryono, 1999: 109). Atas dasar yang ada. Sebuah teks adalah diskursus, bila otonomi ini, maka yang dimaksud dengan dituangkan dalam tulisan. Sebagai diskursus, dekontekstualisasi adalah materi teks dialektika peristiwa-arti dan dialektika arti- melepaskan diri dari tujuan yang terbatas pada referensi berlaku pula pada teks. Oleh Ricoeur, pengarang. Teks membuka diri seluas-luasnya hubungan antara peristiwa dan arti dinyatakan untuk dimana pembacaan selalu berbeda-beda dalam suatu aksioma: (rekontekstualisasi). Dalam memahami teks, Ricoeur mengatakan bahwa ada tiga langkah “Jika semua diskursus diaktualisasi sebagai pemahaman, yaitu yang pertama langkah suatu peristiwa, semua diskursus dipahami simbolik (pemahaman dari simbol ke simbol), sebagai arti. Sebagai peristiwa, diskursus yang kedua pemberian makna terhadap simbol bersifat berlalu, tetapi sebagai arti, diskurusus dan pemberian yang cermat atas makna, serta bertahan di dalam isi proporsional. Dengan yang ketiga adalah langkah filosofis, berpikir ini, pengalaman individual menjadi umum dengan menggunakan simbol sebagai titik tolak lewat diskursus. Arti menjadi umum, tetapi pengalaman sebagai sesuatu yang terhayati (dalam Sumaryono, 1999: 111). Simbol-simbol tetap bersifat individual, pribadi. Arti ini bisa bermakna ganda, sehingga simbol selalu merupakan sisi objektif diskurusus, sedangkan dapat ditafsirkan dan diurai kembali. Simbol peristiwa merupakan sisi subjektifnya,” merangsang manusia untuk mengadakan (Ricoeur, dalam Poespoprodjo, 2004: 122). refleksi sehingga mengawali setiap pemikiran religius, filsafat, dan ilmu. Simbol senantiasa Karena berupa tulisan, teks mencapai otonomi harus dapat diberi arti dan interpretasi baru semantik dalam kaitannya dengan pembicara, (Poespoprodjo, 2004: 128). MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 179

Ricoeur (1976: 30) mengembangkan teori kaitan dengan teks lain merupakan salah satu melingkar ini ke dalam dialog antara explanation bentuk dari intertekstualitas yang memang dan understanding. Explanation merupakan menjadi ciri utama dari hermeneutik. Jadi, kajian yang bersifat analitis dan empiris penulis menganalisis data yang berasal dari teks sehingga kajian dilakukan terhadap obyek yang FCP tentang makna Tri Tangtu di Buana dan terdiri atas unsur-unsur yang telah terpolakan dikaitkan juga dengan teks-teks lain yang juga walaupun unsur-unsur yang telah terstruktur ini berhubungan, baik itu teks-teks yang berasal belum mengungkapkan makna apa pun. Makna dari bagian lain naskah FCP ataupun teks-teks itu baru akan terungkapkan setelah unsur-unsur yang berasal dari naskah Sunda kuno lainnya ini diproyeksikan menjadi sebuah pola yang (yang terkait dengan Tri Tangtu di Buana juga utuh untuk kemudian diletakkan pada tahap tentunya). Teks-teks lain yang berkaitan dengan interpretasi. Jadi, interpretasi adalah tahap Tri Tangtu di Buana dalam FCP antara lain sintesa, dan interpretasi dilakukan terhadap teks yang terkandung dalam naskah Amanat pola yang menyeluruh dan utuh tadi. Dengan Galunggung tentang pembagian kekuasaan, demikian, lingkaran hermeneutik terjadi antara teks dalam naskah Sang Hyang Hayu yang explanation ke understanding dan kembali ke berkaitan dengan konsep “Tiga Rahasia”, dan explanation dan seterusnya. Berikut ini adalah konsep Tri Buana yang merupakan sebuah tahapan-tahapan yang dilakukan penulis dalam sistem kosmologis masyarakat Sunda. Pada menganalisis teks secara hermeneutik dengan tahap ini akan diketahui hubungan antara teks menggunakan metode analisis hermeneutik Tri Tangtu di Buana dalam FCP dengan teks- Paul Ricoeur: teks lainnya. Tahap pertama, makna teks berdasarkan Tahap terakhir, makna teks berdasarkan unsur-unsur pembentukan teks (bahasa). Pada dialog teks dengan pembaca. Teks yang tahap ini, penulis menafsirkan bagian teks membahas tentang Tri Tangtu di Buana yang dengan cara membagi lagi bagian-bagian teks diciptakan oleh pengarang dalam naskah tersebut ke dalam beberapa kalimat. Setelah FCP, yang diciptakan oleh sang pengarang penulis mambagi lagi bagian teks tersebut, pada abad ke-16 Masehi, berdialog dengan penulis menafsirkannya berdasarkan bahasa peneliti yang memiliki dasar pemikiran abad yang dipakai oleh pembuat teks. Dengan kata ke-21 Masehi. Karena perbedaan zaman lain, makna teks akan coba diungkap dari inilah, memungkinkan terjadinya perbedaan konstruksi kalimat yang tersurat dalam naskah. pemikiran. Oleh karena itu, dibutuhkan dialog Tahap kedua, makna teks berdasarkan antara pikiran pengarang FCP yang diwakili latar belakang produksi teks. Pada tahap ini, oleh teks FCP dengan pikiran penulis. Jadi, penulis menafsirkan teks berdasarkan makna pikiran penulis saat ini direfleksikan dengan yang berusaha disampaikan oleh pembuat teks teks-teks yang terkandung dalam naskah FCP. berdasarkan latar belakang kehidupan dan Teks-teks yang tentunya mengadung makna Tri pikiran sang pembuat teks. Pembuat teks sendiri Tangtu di Buana. Setelah proses selesai, pada adalah sekelompok kaum intelektual Kerajaan tahap ini akan diketahui makna Tri Tangtu di Sunda pada waktu Maharaja Trarusbawa Buana dalam pikiran penulis. memegang tampuk pimpinan. Sang pembuat teks sendiri menempatkan diri pada masanya HASIL DAN PEMBAHASAN sebagai wakil dari komunitas masyarakat pemilik naskah. Jadi, makna teks akan diungkap Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dari sisi sang pembuat teks secara historis. makna Tri Tangtu di Buana sebagai Tahap ketiga, makna teks berdasarkan tiga kelembagaan Kerajaan Sunda yang lingkungan teks. Pada tahap ini, penulis mengandung aspek-aspek komunikasi politik menafsirkan teks berdasarkan situasi sosial- dalam naskah Sunda Kuno Fragmen Carita kemasyarakatan masyarakat Sunda pada abad Parahyangan (FCP). Data-data yang dianalisis ke-16 dan kepada siapa saja teks FCP ini dan dibahas pada bab ini berasal dari teks dikomunikasikan. naskah FCP dengan menggunakan analisis Tahap keempat, makna teks berdasarkan hermeneutik. Dalam naskah FCP, penulis 180 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

mendapatkan gambaran mengenai berbagai dijalankan oleh tiga unsur (prebu, rama, resi). aspek komunikasi politik yang melibatkan tiga Pada sekitar abad ke-17 Masehi, Montesquieu di kelembagaan dalam Tri Tangtu di Buana, yaitu dalam bukunya Esprit des Lois mengemukakan prebu, rama, dan resi. Sebagaimana unsur-unsur sebuah konsep pemisahan kekuasaan yang kita komunikasi pada umumnya, maka komunikasi kenal bernama Trias Politica yang mengandung politik pun terdiri dari beberapa unsur. Salah tiga fungsi kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif satu model komunikasi yang cukup simpel (la puissance legislatief), kekuasaan eksekutif dan mewakili aspek-aspek dalam komunikasi (la puissance executief) dan kekuasaan yudikatif adalah model yang dikemukakan oleh Harold (la puissance de juger) (Harun & Sumarno, Lasswell (1948) yang menggambarkan proses 2006: 43-44). komunikasi dan fungsi-fungsi yang diembannya Kerajaan Sunda sendiri adalah sebuah federasi dalam masyarakat (Mulyana, 2007: 147). yang menganut sistem desentralisasi, di mana Model komunikasi Lasswell berupa ungkapan wilayahnya terbagi atas 12 negara bagian, verbal, yakni who says what in which channel yakni Galunggung, Denuh, Sanghyang to whom with what effect? Bila dijabarkan Talagawarna, Mandala Cidatar, Geger Gadung, berdasarkan model tersebut, maka unsur-unsur Windupepet, Galuh Wetan, Mandala Utama komunikasi politik meliputi komunikator Jangkar, Mandala Pucung, Reuma, Lewa, dan politik, pesan politik, media komunikasi politik, Kandangwesi. Masing-masing negara bagian/ komunikan politik dan efek apa yang terjadi wilayah memiliki Tri Tangtu di Buana (prebu, setelah komunikan menerima pesan politik dari rama, resi) tersendiri (di Indonesia sekarang komunikator politik. sejenis dengan gubernur dan DPD). FCP dapat dikatakan sebagai salah satu Dalam wilayah sistem, komunikasi media penyampai pesan mengenai sekelumit politik akan selalu berada dalam dua suasana, kehidupan masyarakat Sunda Kuno pada masa yaitu dalam suasana pemerintahan (the Kerajaan Sunda masih berdiri. FCP berisi governmental communication sphare) yang teks-teks yang menyangkut aspek komunikasi disebut pula suprastruktur komunikasi, dan politik suprastruktur Kerajaan Sunda, yang di suasana kehidupan dalam masyarakat (the dalamnya terdapat banyak sekali pesan-pesan socio communication sphare) yang disebut juga komunikasi politik yang dipertukarkan oleh para infrastruktur komunikasi (Harun & Sumarno, elit politik Kerajaan Sunda. Untuk menyingkap 2006: 42). Teks FCP memuat suasana komunikasi makna Tri Tangtu di Buana dari pesan-pesan yang pertama, yakni dalam tataran suprastruktur yang terkandung dalam FCP tersebut, penulis komunikasi, yang di dalamnya tentu melibatkan menggunakan metode analisis hermeneutik. pertukaran pesan-pesan komunikasi politik Salah satu tokoh yang merupakan ahli dari teori antarelit politik yang memegang jabatan tinggi penafsiran hermeneutika adalah Paul Ricoeur. di Kerajaan Sunda. Oleh karena itu, penulis Penafsiran naskah sangat penting ketika tertarik untuk menganalisis dan membahas pembicara dan penulis tidak tersedia, seperti makna Tri Tangtu di Buana yang sarat dengan pada teks-teks yang terkandung dalam naskah- aspek komunikasi politik yang terkandung naskah Sunda kuno. Namun, hal tersebut tidak dalam teks FCP ini, karena isi dari naskah perlu dibatasi pada situasi ini saja. Sebenarnya, FCP ini sendiri bernuansa politik, sehingga naskah itu sendiri selalu berbicara kepada menurut pandangan penulis, penelitian tentang kita dan pekerjaan juru bahasa adalah untuk komunikasi politik yang melibatkan orang- menemukan arti dari apa yang dikatakan oleh orang dalam tatanan suprastruktur komunikasi naskah tersebut. Bagi Ricoeur, pembaca selalu Kerajaan Sunda sangat menarik untuk diteliti; menguji penafsiran mereka dengan melihat selain karena penelitian ini diharapkan mampu pada fitur-fitur naskah untuk menemukan maknamembuka khazanah penelitian tentang aspek- yang ada di dalamnya (Littlejohn, 2009: 197). aspek komunikasi politik di masa lampau. Seperti yang telah dijelaskan pada bab-bab Pada tahap pertama, penulis membahas sebelumnya, Kerajaan Sunda menganut sistem dan menganalisis bagian-bagian teks pemisahan/pembagian kekuasaan Tri Tangtu di (mengungkap makna Tri Tangtu di Buana Buana, di mana sistem pemerintahan kerajaan berdasarkan konstruksi kalimatnya). Dalam MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 181

FCP yang di dalamnya melibatkan Tri Tangtu Maharaja Trarusbawa melakukan pembagian di Buana yang mengandung aspek-aspek kewenangan dan tugas tersebut, beliau pun komunikasi politik di Kerajaan Sunda. Hal ini menyampaikan sebuah kalimat yang di ditandai oleh terdapatnya pesan-pesan yang dalamnya terdapat nilai moral, seperti yang isinya menyangkut pembagian/ pemisahan tertuang dalam kutipan teks berikut: kewenangan dan kewajiban Tri Tangtu di Buana (prebu, rama, resi). Para pemangku “…Oleh karena itulah tidak pantas bila berebut kebijakan dalam masyarakat ini mendapatkan kedudukan, dan hendaknya janganlah khawatir mandat dari aturan atau ketentuan tentang apa saling berebut wilayah kekuasaan. Nah, yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para begitulah kalian bagi kalangan Prebu, Rama, penyelenggara pemerintahan pada masa itu. dan Resi semua sebagai kaum pejabat pengatur tanah air…” (lembar nomor 7b) Pesan-pesan tentang pembagian kekuasaan ini tersurat dalam FCP lembar 7b-8a. Kedua kalimat ini adalah kalimat Bagian ini mewakili tahap pertama penyimpulan dari kalimat sebelumnya yang dalam analisis hermeneutik Ricoeur, yakni berisi pembagian kekuasaan prebu, rama mengungkap makna unsur-unsur pembentukan dan resi oleh Maharaja Trarusbawa. Karena teks (bahasa). Tahap ini meliputi analisis yang kalangan prebu, rama dan resi telah diberikan dilakukan dengan cara membagi lagi bagian wewenang masing-masing, maka tidak ada teks yang dianalisis menjadi beberapa kalimat. alasan bagi masing-masing orang yang Beberapa kalimat dari bagian teks ini dianalisis memegang jabatan untuk berebut kedudukan berdasarkan makna bahasanya. Hal ini bisa dan wilayah kekuasaan, karena seluruhnya dilihat dari analisis dan pembahasan dari sudah diatur dengan adil oleh Maharaja kutipan bagian-bagian teks di bawah ini, yaitu Trarusbawa. Akhirnya, beliau memperjelas bagian-bagian teks naskah FCP yang berisi kalimat pembagian kekuasaan tersebut dengan pembagian kekuasaan yang mengandung aspek sebuah kalimat penegasan, seperti yang komunikasi politik dalam Tri Tangtu di Buana tercantum dalam kutipan berikut: tersebut: “…Jikalah sudah sepakat semua, maka Maharaja Trarusbawa berkata, “Bagi kalangan mengenai urusan kekuatan itu bagian kalangan Resi diperkenankan melaksanakan seperangkat Prebu, urusan kata-kata itu bagian kalangan aturan dasar demi kedamaian di seluruh Rama, dan urusan pikiran dan perasaan itu negeri, yang bertanggung jawab atas urusan bagian kalangan Resi.” (lembar nomor 8a) kesentosaan. Kalangan Rama (diperkenankan) merumuskan seperangkat aturan dasar demi Kalimat ini adalah penutup dari bagian ketertiban undang-undang pemerintahan, kedua. Maharaja Trarusbawa kembali yang bertanggung jawab atas urusan bimbingan. Kalangan Prebu diperkenankan memberikan penjelasan peran prebu, rama dan melaksanakan rumusan seperangkat aturan resi dalam menjalankan tugas kenegaraannya. dasar demi ketertiban kedudukan pemimpin Hanya saja, kalimat yang dipakai lebih tersirat. (raja), yang bertanggung jawab atas urusan Prebu memegang urusan kekuatan, artinya pemerintahan…” (lembar nomor 7b) prebu memiliki kekuasaan untuk menjalankan roda pemerintahan dan berperan pula sebagai Kalimat-kalimat yang terdapat dalam penentu kebijakan, rama memegang urusan kutipan teks di atas merupakan kalimat berita kata-kata, artinya rama adalah penyalur aspirasi tidak langsung yang berisikan titah Maharaja dari rakyat pada pemimpin, dan pembimbing Trarusbawa, di mana pembagian kewenangan untuk rakyat. Resi memegang urusan pikiran dan tugas kenegaraan bagi kalangan prebu, dan perasaan, artinya resi berperan sebagai “otak rama dan resi masih menjadi isi dari teks yang dan hati” kerajaan; di mana resi berperan besar terkandung pada bagian ini. Prebu merupakan untuk masalah peradilan demi mewujudkan kepala pemerintahan, rama adalah wakil dari negara yang adil, makmur dan sentosa. kerajaan yang bertugas membimbing rakyat, Kalimat-kalimat yang terdapat dalam sedangkan resi merupakan pengadil. Setelah kutipan teks pembagian kekuasaan merupakan 182 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

kalimat berita tidak langsung yang berisikan Mrewasa, Bagawat Angga Brama, Bagawat titah Maharaja Trarusbawa, di mana pembagian Resi Karangan, Bagawat Cinta Premana, kewenangan dan tugas kenegaraan bagi Bagawat Tiga Warna, Bagawat Pitu Rasa kalangan prebu, rama dan resi masih menjadi kembali ke Pakuan, ke keraton Sri “Bima isi dari teks yang terkandung pada bagian ini. Punta Narayana Madura Suradipati”. Datang mengabdi kepada Maharaja Trarusbawa, baik Prebu merupakan kepala pemerintahan, rama dari kalangan resi, raja, dengan premana… adalah wakil dari kerajaan yang bertugas (lembar nomor 25a-26b) membimbing rakyat, sedangkan resi merupakan pengadil. Karena kalangan prebu, rama dan Kalimat-kalimat pada bagian di atas berisikan resi telah diberi wewenang masing-masing, informasi bahwa orang-orang kepercayaan maka tidak ada alasan bagi masing-masing Maharaja Trarusbawa datang ke Keraton Sri orang yang memegang jabatan untuk berebut Bima Punta Narayana Madura Suradipati kedudukan dan wilayah kekuasaan, karena yang merupakan Pakuan (pusat pemerintahan) seluruhnya sudah diatur dengan adil oleh Kerajaan Sunda. Mereka yang datang adalah Maharaja Trarusbawa. Prebu memegang urusan Sang Resi Putih, Bagawat Sangkan Windu, kekuatan, artinya prebu memiliki kekuasaan Bagawat Cinta Kelepa, Bagawat Cinta Putih, untuk menjalankan roda pemerintahan dan Bagawat Angga Sunyia, Bagawat Tiga berperan pula sebagai penentu kebijakan, Mrewasa, Bagawat Angga Brama, Bagawat rama memegang urusan kata-kata, artinya Resi Karangan, Bagawat Cinta Premana, rama adalah penyalur aspirasi dari rakyat pada Bagawat Tiga Warna, dan Bagawat Pitu Rasa. pemimpin, dan pembimbing untuk rakyat. Resi Mereka semua datang ke Pakuan dengan tujuan memegang urusan pikiran dan perasaan, artinya untuk mengabdi kepada Maharaja Trarusbawa resi berperan sebagai “otak dan hati” kerajaan; dengan cara menerima titah dari beliau untuk di mana resi berperan besar untuk masalah menjalankan pemerintahan di negara-negara peradilan demi mewujudkan negara yang adil, bagian Kerajaan Sunda yang telah ditentukan. makmur dan sentosa. Setelah kalimat-kalimat informatif tersebut, Selain pesan-pesan yang isinya menyangkut Maharaja Trarusbawa menyampaikan kalimat- pembagian/pemisahan kewenangan dan kalimat pelantikan yang berisi pengangkatan kewajiban Tri Tangtu di Buana (prebu, rama, Sang Resi Putih sebagai rama di Galunggung. resi) oleh Maharaja Trarusbawa, dalam naskah Seperti yang tersurat dalam kutipan teks berikut: FCP juga terdapat aktivitas komunikasi politik dalam Tri Tangtu di Buana yang terkait dengan …Maharaja Trarusbawa berkata, “Anakku, pembagian wilayah kekuasaan di Kerajaan Sang Resi Putih, engkaulah yang bertanggung Sunda. Pembagian wilayah kekuasaan ini jawab dalam urusan kependidikan; dinobatkan tersurat dalam FCP lembar 25a sampai awal sebagai Batara Dangiang Guru di Galunggung, lembar nomor 3b. Sistem pembagian wilayah dan dijadikan sebagai pelindung wilayah, guna kekuasaan ini berisi tentang pesan-pesan yang menaungi masyarakat daerah yang kegerahan, disampaikan oleh Maharaja Trarusbawa dan sebagai lambang ketenteraman negeri. Jaminan orang-orang berpengaruh di kalangan kerajaan kehidupanmu adalah bertanggung jawab pada bidang pendidikan. Tanggung jawabmu ialah yang membagi wilayah kekuasaan kepada para mengenai urusan kesejahteraan. Hendaklah pemangku jabatan wilayah dalam masyarakat jangan beristeri dua atau tiga, satu suami-isteri Sunda kuno. Bagian-bagian teks naskah FCP lebih mulia. Engkau akan dijadikan panutan yang berisi pembagian wilayah kekuasaan seluruh masyarakat, dijadikan sebagai peneguh Kerajaan Sunda yang mengandung aspek negeri, sebagai pijakan di bumi, kepercayaan komunikasi politik dalam Tri Tangtu Di Buana setiap orang yang hidup. Apabila engkau tersurat dalam bagian-bagian teks berikut: berniat beristeri dua atau tiga dapat berdampak buruk sehingga dikatakan keadaan akan jadi Dikatakan bahwa anak-anaknya yang bernama kacau…” (lembar nomor 26b-26a) Sang Resi Putih, Bagawat Sangkan Windu, Bagawat Cinta Kelepa, Bagawat Cinta Putih, Dalam bagian ini, Maharaja Trarusbawa Bagawat Angga Sunyia, Bagawat Tiga menyampaikan pesan berupa kalimat langsung MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 183 kepada Sang Resi Putih. Sang Resi Putih sendiri Bagawat Resi Kelepa dinobatkan sebagai dinobatkan sebagai Batara Dangiang Guru, yaitu Batara Walayut, yakni rama yang berkedudukan rama yang bertanggung jawab dalam urusan di Mandala Cidatar oleh Maharaja Trarusbawa. pendidikan dan ketentraman penduduk wilayah Disebutkan pula bahwa Mandala Cidatar adalah Galunggung. Pada kalimat kedua, pada intinya, daerah kunci di wilayah Kerajaan Sunda. Beliau Sang Resi Putih hanya boleh memiliki satu istri pun hanya bisa memperistri satu wanita, karena dan diharamkan berpoligami, karena apabila apabila beristri lebih dari satu, hal itu bukanlah poligami dilakukan, maka akan terjadi hal yang sesuatu yang pantas untuk dilakukan. tidak diharapkan. Disebutkan pula bahwa Sang Lalu, Maharaja Trarusbawa mengeluarkan Resi Putih yang bergelar Batara Dangiang Guru sebuah kalimat yang berisi pelantikan Bagawat adalah seorang rama yang bertanggung jawab Cinta Putih untuk menduduki jabatan prebu di atas urusan kesejahteraan dan menjadi panutan Gegergadung, yang kutipan teksnya terdapat di masyarakat. bawah ini: Lalu, setelah Maharaja Trarusbawa melantik Sang Resi Putih sebagai rama di …Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi Galunggung, beliau melantik Bagawat Sangkan istana yang bernaung ke Pakuan. Sementara Windu sebagai prebu di Denuh. Berikut kutipan itu, Bagawat Cinta Putih dinobatkan sebagai teksnya: Batara di Gegergadung. Dia menjiwai sifat mulia yang penuh tawakal, selang-selang …Tersebutlah kesepakatan para penerus tetap sekedar berdoa, bagaikan dunia dan raga seisi istana yang bernaung ke Pakuan. Oleh tengadah, yang dijadikan harapan kehidupan Maharaja Trarusbawa, Bagawat Sangkan suci, mengharap berkah kekayaan. Hendaklah Windu dinobatkan sebagai pemerkokoh jangan beristeri dua atau tiga karena dapat Denuh. Hidupnya sebagai peneguh negeri berdampak buruk sehingga dikatakan keadaan serta seluruh manusia. “Isterimu mesti akan jadi kacau, khawatirnya dikatakan tidak seorang, dan hendaknya jangan mendua atau pantas memiliki integritas. Sang Prebu selalu tiga karena dapat berdampak buruk sehingga menyadari kekuasaan, baik yang besar maupun dikatakan keadaan akan jadi kacau, itulah yang yang kecil. Demikianlah. (lembar nomor 10b- dikhawatirkan…” (lembar nomor 26a-10a) 2a)

Dalam bagian ini, Maharaja Trarusbawa Pada bagian teks ini, Bagawat Cinta Putih memberikan kewenangan kepada Bagawat yang menjiwai sifat mulia yang penuh tawakal Sangkan Windu untuk menjadi prebu di diangkat sebagai prebu di Gegergadung. Beliau Denuh. Beliau ditugaskan sebagai pemimpin juga hanya diperkenankan untuk beristri satu, masyarakat. Sama seperti sebelumnya, Bagawat karena apabila beristri lebih dari satu, bisa Sangkan Windu diharamkan untuk berpoligami menyebabkan keadaan menjadi kacau dan karena dikhawatirkan keadaan akan menjadi menghilangkan integritas prebu yang beliau buruk. emban. Dikatakan pula bahwa salah satu Selanjutnya, Maharaja Trarusbawa sifat prebu yaitu selalu menyadari kekuasaan melantik Bagawat Resi Kelepa sebagai rama di yang ia miliki, baik itu kekuasaan yang besar Mandala Cidatar. Seperti yang tertuang dalam (kekuasaannya dalam menjalankan tugasnya kutipan teks berikut: sebagai pemimpin masyarakat) maupun kekuasaan yang kecil (kekuasaannya dalam …Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi mengendalikan dirinya sendiri). istana yang bernaung ke Pakuan. Bagawat Setelah pelantikan Bagawat Cinta Putih Resi Kelepa yang dinobatkan sebagai Batara tersebut, Maharaja Trarusbawa kemudian Walayut berkedudukan di Mandala Cidatar. Dia mengangkat Bagawat Cinta Premana sebagai dijadikan pemerkokoh negeri, sebagai daerah rama di Puntang. Berikut ini adalah kutipan kunci. Kewenangannya beristeri satu. “Apabila teksnya: engkau berniat beristeri dua atau tiga dapat berdampak buruk, dikatakan tidak pantas…” Tersebutlah kesepakatan para penerus seisi (lembar nomor 10a-10b) istana yang bernaung ke Pakuan. Oleh 184 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

Maharaja Trarusbawa, Bagawat Cinta Premana Jangkar. Sebagaimana yang tertuang dalam dinobatkan sebagai Sanghyang Premana di kutipan teks berikut: Puntang. Dari situlah permulaan apa yang harus diperbuat oleh yang berdaulat apabila sanggup …Bagawat Piturasa dinobatkan sebagai Batara memperkokoh hakikat alam kesejahteraan. Sugih Warna di Mandala Utama Jangkar, Jagat diartikan sebagai buana. Tri Buana terdiri diberi kewenangan isterinya merencanakan atas bumi, antara, dan angkasa; termasuk di pelaksanaan persiapan didirikannya pintu dalamnya langit, rasi bintang, dan kilauan gerbang, mengingat pada bekas Maharaja nebula (gugusan bintang) pada malam hari. Trarusbawa bermukim dahulu keluar lewat Itulah sebabnya alam raya bernama demikian. gerbang istana itu. (lembar nomor 3a-3b) Seandainya itu dipahami dan diamalkan para siswa, maka berarti akan sejahtera. Apabila Bagawat Piturasa dinobatkan sebagai kalian berniat mempersaudarakan dalam Batara Sugih Warna di Mandala Utama Jangkar, satu kerabat bermadu isteri saudara tua, di mana Mandala Utama Jangkar merupakan memperbudak tanpa tebusan, menghukum tak berdasarkan aturan; maka khawatir dapat tempat keluarnya Maharaja Trarusbawa dari berakibat hancurnya negeri… (lembar nomor wilayah kerajaan. Mandala Utama Jangkar 2b-3a) terletak pada batas terluar Kerajaan Sunda, di mana Maharaja Trarusbawa memberikan Pada bagian ini, Maharaja Trarusbawa kewenangan pada istri dari Bagawat Piturasa memberikan kewenangan kepada Bagawat untuk merencanakan pelaksanaan persiapan Cinta Premana menjadi rama di Puntang dengan didirikannya pintu gerbang wilayah Kerajaan gelar Sanghyang Premana. Beliau bertugas Sunda. sebagai wakil rakyat yang membimbing Jadi, konstruksi kalimat yang mengandung masyarakat menuju kesejahteraan. Disebutkan teks Tri Tangtu di Buana dalam Fragmen bahwa apabila masyarakat mengerti akan Carita Parahyangan (FCP) pada tahap pertama hakikat kehidupan, maka kesejahteraan akan menunjukkan bahwa Tri Tangtu di Buana adalah datang dengan sendirinya. Disebutkan pula tiga lembaga yang terdiri dari prebu, rama, dan bahwa bila para pemegang kekuasaan bermadu resi. Prebu memegang urusan kekuatan, artinya isteri saudara tua, memperbudak tanpa tebusan prebu memiliki kekuasaan untuk menjalankan dan menghukum tak berdasarkan aturan, maka roda pemerintahan dan berperan pula sebagai negeri akan hancur. Di dalam bagian teks ini penentu kebijakan. Dalam aktivitas komunikasi disebutkan juga konsep Tri Buana. politik pembagian wilayah kekuasaan yang Selepas melantik bagawat Cinta Premana melibatkan Tri Tangtu di Buana, Maharaja menjadi rama di Puntang, Maharaja Trarusbawa Trarusbawa mengangkat Bagawat Sangkan lalu menyampaikan sebuah kalimat informatif Windu dan Bagawat Cinta Putih sebagai prebu yang berisi tentang pengangkatan Bagawat di Denuh dan Gegergadung. Rama memegang Tiga Warna sebagai rama di Mandala Pucung. urusan kata-kata, artinya rama adalah penyalur Beliau bersama istrinya bertugas membimbing aspirasi dari rakyat pada pemimpin, sekaligus masyarakat menuju kesejahteraan. Berikut ini sebagai pembimbing untuk rakyat. Berkaitan kutipan teksnya: dengan rama, Maharaja Trarusbawa mengangkat Sang Resi Putih, Bagawat Resi Kelepa, Bagawat …Tersebutlah kesepakatan para penerus Cinta Premana, Bagawat Tiga Warna, dan seisi istana yang bernaung ke Pakuan. Oleh Bagawat Piturasa sebagai rama di Galunggung, Maharaja Trarusbawa, Bagawat Tiga Warna Mandala Cidatar, Puntang, Mandala Pucung, dinobatkan sebagai penebar anak (murid) di dan Mandala Utama Jangkar. Resi memegang Mandala Pucung, diberi kewenangan bagi urursan pikiran dan perasaan, artinya resi isterinya… (lembar nomor 3a) berperan sebagai “otak dan hati” kerajaan; di mana resi berperan besar untuk masalah Pada kalimat terakhir dari bagian teks peradilan demi mewujudkan negara yang adil, lembar 25a-3b FCP ini, Maharaja Trarusbawa makmur, dan sentosa. Ketiga lembaga tersebut memberikan kewenangan kepada Bagawat mengandung aspek-aspek komunikasi politik Piturasa sebagai rama di Mandala Utama dalam peristiwa pembagian kekuasaan dan MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 185 pembagian wilayah kekuasaan Kerajaan Sunda. kekuasaan juga disuratkan dengan jelas dalam Peristiwa pembagian kekuasaan tertuang dalam naskah Fragmen Carita Parahyangan tersebut. naskah FCP lembar 7b-8a, sedangkan peristiwa Bisa dikatakan, makna yang syarat akan aspek- pembagian wilayah kekuasaan tersurat dalam aspek komunikasi politik dan terkandung lembar 25a-3b. dalam teks Tri Tangtu di Buana yang diproduksi Tahap kedua digunakan untuk mengungkap oleh para pembuat teks yang merupakan kaum makna teks berdasarkan latar belakang intelektual Kerajaan Sunda dapat diinterpretasi pemroduksi teks. Tahap ini membahas tentang dengan baik oleh kaum elit Kerajaan Sunda makna teks yang terkandung dalam pikiran dalam menjalankan pemerintahan dan konsep dan pengalaman hidup sang pengarang teks. Tri Tangtu di Buana yang mereka emban. Tahap Pengarang teks FCP diduga kuat adalah kaum ketiga adalah makna teks berdasarkan lingkungan intelektual pada saat masa pemerintahan teks. Tahap ini membahas tentang makna yang Maharaja Trarusbawa. Teks diciptakan dengan terkandung di tengah kelompok sasaran di tujuan sebagai sumber informasi mengenai mana sebuah teks dikomunikasikan. Teks ini pembagian kekuasaan dan pembagian wilayah dikomunikasikan di kalangan Kerajaan Sunda kekuasaan pada masa sistem pemerintahan pada masa pemerintahan Maharaja Trarusbawa. Kerajaan Sunda yang dilakukan Maharaja Teks ini juga terdapat pada naskah FCP yang di Trarusbawa dalam lingkup Tri Tangtu di Buana dalamnya memang membahas masalah-masalah kepada perangkat kelembagaan yang dibangun politik, terutama yang terkait dengan konsep pada saat itu, yakni prebu, rama dan resi. Tri Tangtu di Buana di Kerajaan Sunda pada Pemroduksi teks merekam peristiwa masa pemerintahan Maharaja Trarusbawa. Teks tersebut ketika peristiwa tersebut berlangsung. tentang pembagian kekuasaan dan pembagian Selain sebagai sumber informasi, teks ini wilayah kekuasaan ini dikomunikasikan di berperan sebagai “perekam” peristiwa yang kalangan elit pemegang kekuasaan Kerajaan terjadi pada saat itu. Sebagai kaum intelektual, Sunda, di mana masyarakat Sunda pada saat itu pemroduksi teks berperan sebagai peneliti dan juga menilai kinerja para pemegang kekuasaan pencatat peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam yang dituntun oleh bagian teks FCP ini. Para seluruh ruang lingkup masyarakat Sunda pada pemegang kekuasaan Kerajaan Sunda (Tri zaman kerajaan tersebut. Hal ini mengungkap Tangtu di Buana) menjadikan bagian teks sisi historis dari Tri Tangtu di Buana. Jadi, sisi FCP ini sebagai panduan untuk menjalankan historis dari Tri Tangtu di Buana juga tidak lepas tugas dan wewenang sesuai dengan jabatan dari aspek komunikasi politik; para pemroduksi mereka masing-masing. Bagian-bagian teks teks membuat teks Tri Tangtu di Buana dalam ini juga memberikan informasi bahwa pada naskah Fragmen Carita Parahyangan sebagai saat Kerajaan Sunda masih eksis, pembagian media komunikasi politik tradisional, baik wilayah kekuasaan telah dilakukan dengan itu sebagai sumber informasi politik kerajaan menempatkan orang-orang yang memiliki maupun sebagai “media” perekam aktivitas integritas di wilayah-wilayah kerajaan yang komunikasi politik Kerajaan Sunda (dari telah ditentukan. Undang Ahmad Darsa, filolog teks berbentuk perilaku politik menjadi teks sekaligus penggarap naskah FCP, memberikan tertulis) yang bisa diwariskan dari zaman ke informasi sebagai berikut: zaman. Berkat adanya naskah Fragmen Carita Parahyangan yang memuat teks Tri Tangtu di Buana ini, sistem pemerintahan Kerajaan “Dinyatakan dalam teks FCP bahwa Maharaja Sunda yang berpegang teguh pada pembagian Trarusbawa berusia 1100 tahun. Ini sulit kekuasaan prebu, rama, dan resi ini dapat untuk dipercaya dari sisi usia fisik hidup menjalankan pemerintahannya dengan baik, manusia, akan tetapi hal ini harus ditafsirkan harmonis, dan tanpa ada halangan berarti. Para justru konsep Tri Tangtu di Buana itulah yang aktor politik disebutkan secara jelas oleh para berlaku selama 1100 tahun. Hal dimaksud pemroduksi teks, pesan-pesan politik dalam diduga secara historis muncul setelah Kerajaan aktivitas komunikasi politik dalam peristiwa tenggelam (abad ke-7 M) dan pembagian kekuasaan dan pembagian wilayah berakhir ketika sistem Kerajaan Sunda juga 186 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

tenggelam (abad ke-16 M).” penghasilan (lembar nomor 4b dan awal lembar 5a). Jadi, konsep Tri Tangtu di Buana ini mulai dijalankan di lingkungan elit Kerajaan Sunda Teks bagian ini terdapat pada lembar mulai dari Kerajaan Sunda berdiri (setelah nomor 4b dan awal lembar 5a FCP yang berisi Kerajaan Tarumanagara tenggelam pada abad tentang pembagian kekuasaan oleh Maharaja ke-7 M) hingga Kerajaan Sunda tenggelam Trarusbawa kepada kalangan prebu, rama dan pada abad ke-16 M. Dengan kata lain, teks Tri resi dalam menjalankan tugasnya. Pada saat Tangtu di Buana yang banyak mengandung itu sang Maharaja-lah yang memegang tampuk aspek komunikasi politik ini dikomunikasikan kepemimpinan pemerintahan Kerajaan Sunda. melalui naskah Fragmen Carita Parahyangan Maharaja juga adalah simbol kerajaan/negara. selama 9 abad lamanya. Dalam konsep kekuasaan, kekuasaan tertinggi Tahap keempat ditempuh untuk dipegang oleh negara. Secara formal negara mengungkap makna teks berdasarkan kaitan memiliki hak untuk melaksanakan kekuasaan dengan teks lain, yaitu makna yang diperoleh tertinggi. Negara jualah yang membagi-bagikan dengan cara mengkombinasikan makna yang kekuasaan yang lebih rendah derajatnya. Itulah terkandung baik yang terdapat dalam teks yang yang dinamakan kedaulatan (sovereignity). sama dalam satu naskah maupun dalam naskah Dalam hal ini, karena maharaja merupakan yang berbeda. Terdapat kaitan yang kuat antara simbol dari Kerajaan Sunda, maka ia memiliki pembagian kekuasaan Tri Tangtu di Buana kedaulatan untuk menjalankan pemerintahan dalam naskah FCP pada lembar 7b-8a dengan dan membagikan kekuasaan kepada orang- teks pembagian kekuasaan pada lembar 4b-5a orang yang telah ia percayai. yang berisi tentang pembagian kekuasaan oleh Kaitan kuat juga terjadi dalam teks Tri Maharaja Trarusbawa kepada kalangan prebu, Tangtu di Buana dalam naskah FCP dengan rama dan resi dalam menjalankan tugasnya. Tri Tangtu di Buana dalam naskah Amanat Berikut ini adalah kutipan teks FCP lembar Galunggung (AG). Kedua bagian teks ini 4b-5a yang berisi tentang proses pembagian menyebutkan tentang pembagian kekuasaan kekuasaan dalam Kerajaan Sunda yang prebu, rama dan resi dalam lingkup Tri Tangtu melibatkan Tri Tangtu di Buana: di Buana. Bagian yang persis sama terdapat pada bagian kalimat yang menyebutkan bahwa Anggeus pahi diduuman ku Maharaja dunia bimbingan adalah tanggung jawab rama, Trarusbawa, diduuman deui jagat, saukur dunia kesentosaan menjadi tanggung jawab nu wenangkeun rabi tunggal. Na jagat kreta resi, dan dunia pemerintahan menjadi tanggung di sang resi dijiéunan lemah putih, lemah jawab prebu. Sama halnya dengan kalimat yang pasartan husireun wong kapanasan; jagat menyebutkan bahwa dalam pekerjaanya sebagai darana di sang rama; jagat palaka di sang pejabat, hendaknya kalangan prebu, rama dan prebu. Kéh mulah dék paala-ala, palungguh- resi tidak berebut penghasilan. lungguhan. Haywa pamali pangmeunang dék Hanya saja, pada bagian teks yang terdapat paala-ala. pada AG, bagian akhirnya juga menyebutkan hal-hal yang harus dilakukan untuk menjadi Terjemahan: seorang pejabat yang mulia, dengan perbuatan, Setelah semua mendapat bagian dari Maharaja ucapan dan sifat-sifat yang terpuji. Dengan Trarusbawa, dibagi lagi tanggung jawab menjiwai sifat-sifat tersebut, niscaya para kekuasaan, untuk setiap yang diharuskan pemegang tampuk kekuasaan ini akan menjadi beristeri satu. Maka dunia kesentosaan teladan masyarakat. Keterkaitan ini membentuk tanggung jawab kalangan Resi yang dijadikan sebuah intertekstualitas, di mana esensi teks sebagai tempat suci, tempat mencari keadilan yang sama terkandung dalam dua naskah orang yang teraniaya. Dunia bimbingan yang berbeda. Kaitan ini semakin menguatkan tanggung jawab kalangan Rama. Dunia konsep Tri Tangtu di Buana sebagai sistem pemerintahan tanggung jawab kalangan Prebu. Nah janganlah saling berebut kedudukan. kelembagaan Kerajaan Sunda yang menganut Hendaklah jangan khawatir saling berebut pembagian/pemisahan kekuasaan dan memuat MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 187 unsur-unsur politik yang kuat, yang di dalamnya dari tradisi. Tradisi tersebut menjadi sebuah juga terkandung aspek-aspek komunikasi pijakan dan menghasilkan sebuah legitimate politik. Aspek komunikasi politik yang power bagi orang-orang yang memegang terkandung di dalam kedua naskah ini berkaitan kekuasaan tertinggi. Mereka (prebu, rama, dengan aktor politik (Maharaja Trarusbawa) resi) menjalankan kekuasaan yang mereka dan pesan-pesan politik yang berkaitan dengan miliki melalui saluran politik dan saluran pembagian kekuasaan dan sikap-sikap yang tradisional. Melalui saluran politik, mereka harus dimiliki oleh prebu, rama, dan resi dalam mengkomunikasikan aturan-aturan yang harus sistem pemerintahan Tri Tangtu di Buana. ditaati oleh segenap pejabat dan rakyat Kerajaan Konsep Tri Tangtu di Buana ini berkaitan Sunda. Melalui saluran tradisional, mereka juga dengan konsep Tri Buana, yakni sebuah mempertahankan nilai-nilai tradisi Sunda yang sistem kosmologis masyarakat Sunda sudah tertanam beratus-ratus tahun lamanya berdasarkan konsep triumvirate (tiga serangkai, dalam masyarakat. tritunggal) yang terdiri atas bumi, antara, dan Terkait dengan pembagian wilayah angkasa; termasuk di dalamnya langit, rasi kekuasaan, terdapat kaitan yang kuat antara bintang, dan kilauan nebula (gugusan bintang) pembagian wilayah kekuasaan pada naskah FCP pada malam hari. Selain berkaitan dengan lembar 25a-3b dengan teks pembagian wilayah konsep Tri Buana, konsep Tri Tangtu di Buana kekuasaan pada lembar 8b-9b. Perbedaan yang ini juga berkaitan dengan konsep “Tiga Rahasia” lain adalah bila pada teks FCP lembar 25a-3b yang tercantum dalam naskah Sang Hyang Hayu proses pembagian wilayah kekuasaan dilakukan (SHH). Dalam naskah SHH, unsur prebu-rama- dengan melibatkan Maharaja Trarusbawa resi inilah yang mengemban tugas dalam upaya beserta kalangan prebu, rama, dan resi, serta ngretakeun bumi lamba (mensejahterakan dilakukan dalam sebuah forum komunikasi kehidupan di dunia). Berdasarkan konsep yang besar dan formal, pada teks lembar 8b- “Tiga Rahasia”, berarti prebu harus menjiwai 9b ini proses pembagian wilayah kekuasaan nilai bayu (tenaga), rama harus menjiwai nilai hanya melibatkan dua orang, yakni Rakeyan sabda (ucapan), dan resi harus menjiwai nilai Darmasiksa dan Batara Dangiang Guru. Berikut hedap (pikiran/qalbu). Dengan kata lain, prebu ini adalah kutipan teks FCP lembar 8b-9b mewakili bayu, rama mewakili sabda, dan resi yang berisi tentang proses pembagian wilayah mewakili hedap. Adanya konsep Tri Tangtu kekuasaan: Di Buana, Tri Buana dan “Tiga Rahasia” ini menggambarkan bahwa konsep tata ruang Anggéus ta diéusikeun na Rakéan Darmasiksa masyarakat Sunda secara kosmologis selalu na Sunggalah. Diheuleutan: Hanggat bersifat triumvirate. Cipanglebakan, alas ti kidul heuleutna Ternyata, setelah bayu-sabda-hedap Gegergadung, Geger Handiwung, Pasir Taritih na muhara Cipager Jampang. Heuleutna ti ini diterapkan pada nilai yang harus dijiwai Windupepet Manglayang Padabeunghar. oleh prebu-rama-resi, terjadi kecocokan Sakitu dibéréan alas Rakéan Darmasiksa ku dengan bagian teks pada lembar 7b-8a FCP Batara Danghyang Guru di Galunggung. yang menyebutkan bahwa urusan kekuatan Heubeul siya ngadeg di Saunggalah dwa itu bagian kalangan prebu, urusan kata-kata welas tahun, deung anak Sang Rajaputra itu bagian kalangan rama, dan urusan pikiran dieusikeun di Saunggalah. dan perasaan itu bagian kalangan resi. Hal ini membuktikan terjadinya intertekstualitas antara Terjemahan: naskah FCP dengan naskah SHH yang sama- Selesailah Rakeyan Darmasiksa tersebut sama membahas tentang konsep dan nilai- diperkenankan menduduki Saunggalah. Batas nilai yang terdapat dalam proses pembagian wilayahnya: tepi sungai Cipanglebakan; wilayah sebelah selatan berbatasan dengan kekuasaan. Konsep “Tiga Rahasia” dalam SHH Gegergadung dan Geger Handiwung memperkaya konsep pembagian kekuasaan terus ke Pasir Taritih hingga ke muara Tri Tangtu di Buana dalam FCP. Hal ini Cipager Jampang; sedangkan batas wilayah menyiratkan bahwa kekuasaan yang muncul dengan Windupepet ialah Manglayang dan dalam masyarakat Sunda kuno bersumber Padabeunghar. 188 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

Seluas itulah wilayah yang diberikan kepada komunikasi politik yang dilakukan dalam Rakeyan Darmasiksa oleh Batara Dangiang lingkup kelembagaan Tri Tangtu di Buana yang Guru di Galunggung. Lamanya dia menjabat dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa dengan di Saunggalah ialah dua belas tahun, dan segenap pejabat di Kerajaan Sunda. Komunikasi anaknya yang bernama Sang Rajaputra politik yang dilakukan bersifat face-to-face kemudian ditempatkan di Saunggalah (lembar dalam sebuah forum komunikasi “satu- nomor 8b dan lembar nomor 9b). kepada-banyak” dalam tatanan suprastruktur Dalam bagian teks ini, Batara Dangiang komunikasi Kerajaan Sunda. Guru berperan sebagai komunikator yang Maharaja Trarusbawa berperan sebagai menyampaikan pesan politik kepada komunikator politik yang menyampaikan komunikannya, yakni Rakeyan Darmasiksa pesan-pesan politiknya kepada para komunikan yang diberikan kewenangan untuk menjadi politiknya, dalam hal ini para prebu, rama dan prebu di Saunggalah dengan batas-batas resi yang berada dalam tataran suprastruktur wilayah yang telah ditentukan. Komunikasi ini komunikasi politik Kerajaan Sunda. Maharaja berlangsung secara face-to-face, di mana Batara Trarusbawa memiliki kekuasaan yang sah Dangiang Guru menyampaikan pesannya (legitimate power) yang memiliki hak untuk secara langsung kepada Rakeyan Darmasiksa. membagikan kekuasaannya melalui aktivitas Pola komunikasi politik antara atara Dangiang komunikasi politik. Beliau juga memiliki Guru dengan Rakeyan Darmasiksa adalah pola persyaratan yang memadai untuk menjadi komunikasi informal dalam konteks komunikasi komunikator politik, yakni berorientasi kepada antar pribadi, karena dilakukan melalui sebuah kepentingan negara (Kerajaan Sunda). pertemuan yang di dalamnya tidak terdapat Maharaja Trarusbawa sebagai komunikator prosedur-prosedur formal layaknya pada proses politik memiliki dominasi yang bersumber dari pembagian kekuasaan yang telah dibahas pada legitimate power. Legitimate power yang beliau bahasan sebelumnya. miliki memungkinkan beliau menyampaikan Perbedaan yang lain adalah bila pada teks pesan komunikasi politik vertikal top-down. FCP lembar 25a-3b proses pembagian wilayah Bersumber dari kedudukannya sebagai kekuasaan dilakukan dengan melibatkan Maharaja yang memiliki kewenangan sebagai Maharaja Trarusbawa beserta kalangan prebu, pemegang dunia pemerintahan, beliau juga rama, dan resi, serta dilakukan dalam sebuah memiliki kemampuan untuk memerintah (agar forum komunikasi yang besar dan formal, pada yang diperintah patuh) dan juga untuk memberi teks lembar 8b-9b ini proses pembagian wilayah keputusan-keputusan yang secara langsung kekuasaan hanya melibatkan dua orang, yakni maupun tidak langsung memengaruhi tindakan- Rakeyan Darmasiksa dan Batara Dangiang tindakan pihak-pihak lainnya. Guru. Seperti yang telah dikemukakan di atas, Pesan yang terdapat pada naskah FCP komunikasi politik adalah komunikasi yang lembar 7b-8a berisi tentang pembagian/ pesannya berisi tentang kelangsungan hidup pemisahan kekuasaan dan tanggung jawab suatu negara/pemerintahan. Maka, pemberian yang dipikul oleh prebu, rama, dan resi. Pesan kewenangan Rakeyan Darmasiksa untuk politik yang disampaikan Maharaja Trarusbawa memimpin Saunggalah oleh Batara Dangiang tentang pembagian kekuasaan ini termasuk ke Guru juga mengandung aspek komunikasi dalam sejumlah metode dan cara pendekatan politik yang terwujud dalam aktivitas untuk mewujudkan sifat-sifat integratif bagi komunikasi politik. penghuni sistem. Komunikasi politik yang Bagian terakhir ditempuh untuk dilakukan bersifat face-to-face dalam tatanan mengungkap makna teks berdasarkan dialog suprastruktur komunikasi Kerajaan Sunda. teks dengan pembaca. Tahap ini membahas Beliau menyampaikan pesan politiknya tentang makna yang timbul setelah pembaca kepada para komunikan dalam sebuah forum teks juga memasukkan makna yang ada dalam komunikasi “satu-kepada-banyak” tentang pikirannya setelah membaca sebuah teks. Teks pembagian kewenangan dan tugas dari kalangan FCP ini mengandung aspek-aspek komunikasi prebu, rama, dan resi sehingga para pemangku politik yang terwujud dalam aktivitas jabatan tersebut mengerti apa tugas yang harus MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 189 mereka laksanakan dan sampai di mana mereka ada di dalam tatanan suprastruktur, di mana bisa berperan dalam sistem pemerintahan. Maharaja Trarusbawa sebagai komunikator Bentuk pesan politik yang disampaikan politik melakukan pembagian/pemisahan Maharaja Trarusbawa kepada kalangan prebu, kekuasaan kepada kalangan prebu, rama dan rama, dan resi ini berupa keputusan, kebijakan, resi dengan pola komunikasi top-down, dari dan peraturan yang menyangkut kepentingan pemimpin kepada yang memimpin. Hal tersebut dari keseluruhan masyarakat, bangsa, dan tampak jelas dalam titah Maharaja Trarusbawa negara. yang disampaikan langsung melalui sebuah Ditambah pula, terdapat pesan bahwa forum komunikasi kepada para perwakilan para pejabat kerajaan tersebut haruslah beristri pejabat Kerajaan Sunda, di mana pesan politik satu, karena apabila beristri lebih dari satu, yang disampaikan adalah tentang pembagian/ dikhawatirkan akan mengganggu konsentrasi pemisahan kekuasaan. dalam menjalankan aturan-aturan pemerintahan Terkait dengan pembagian wilayah sehingga dapat berakibat terganggunya kekuasaan di Kerajaan Sunda, Maharaja kesentosaan dan kesejahteraan masyarakat. Hal Trarusbawa membagikan wilayah kekuasaan ini merupakan sebuah panduan dan nilai-nilai Kerajaan Sunda kepada para pejabat idealis yang tertuju pada upaya mempertahankan daerah karena beliau memiliki kedaulatan dan melestarikan sistem nilai yang berlangsung. (sovereignity) dan juga memang menjadi tugas Media yang beliau pergunakan berupa sebuah beliau untuk menjalankan tanggung jawab forum komunikasi “satu-kepada-banyak” yang di dunia pemerintahan, sesuai dengan tugas dihadiri oleh perwakilan prebu, rama dan resi. seorang prebu dalam konsep Tri Tangu di Pembicaraan politik yang dilakukan dalam Buana. Maharaja Trarusbawa juga merupakan tatanan suprastruktur komunikasi tersebut, tentu simbol Kerajaan Sunda. Dengan kata lain, saja pesan yang disampaikan oleh Maharaja Maharaja Trarusbawa memiliki kekuasaan Trarusbawa kepada kalangan prebu, rama, dan tertinggi dalam dunia pemerintahan, karena resi adalah pesan komunikasi politik, karena berdasarkan konsep kekuasaan, secara formal, pesan tersebut disampaikan oleh pemegang negara memiliki hak untuk melaksanakan kekuasaan tertinggi pada sebuah pemerintahan, kekuasaan tertinggi. Negara jualah yang dan pesannya sendiri mengandung nilai- membagi-bagikan kekuasaan yang lebih rendah nilai idealis yang tertuju kepada upaya derajatnya. Itulah yang dinamakan kedaulatan mempertahankan dan melestarikan sistem nilai (sovereignity) (Soekanto, 2006: 31). yang sedang berlangsung dalam sebuah negara, Aktivitas komunikasi politik yang dalam hal ini Kerajaan Sunda. dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa berpola Selain itu, konsep Tri Tangtu di Buana top-down dan dilakukan dalam sebuah forum dalam tatanan suprastruktur Kerajaan Sunda komunikasi antara pemerintah pusat dengan tidak terlepas pada sistem kosmologis Sunda para pejabat daerah. Komunikasi politik dalam yang menganut konsep triumvirate yang forum komunikasi ini bersifat formal, karena artinya tiga serangkai/tritunggal (bumi, antara, dilakukan dalam konteks pembagian wilayah angkasa). Maka dapat disimpulkan bahwa tradisi kekuasaan, di mana komunikan yang hadir juga Sunda yang berangkat dari sistem kosmologis merupakan orang-orang penting di Kerajaan triumvirate ini juga memengaruhi sistem Sunda. Saluran komunikasi politik yang dipakai legitimasi di Kerajaan Sunda. Otomatis, sistem adalah gabungan komunikasi “satu-kepada- legitimasi ini juga memengaruhi komunikasi satu” dan “satu-kepada-banyak”. politik yang terjadi dalam tatanan suprastruktur Komunikasi politik pembagian Kerajaan Sunda. Pada akhirnya, komunikasi wilayah kekuasaan yang dilakukan oleh politik masyarakat Sunda kuno dalam FCP Maharaja Trarusbawa pada teks lembar 25- yang kental dengan konsep Tri Tangtu di Buana 3b berorientasi kepada kepentingan negara ini dilakukan dengan berpegang pada tradisi (kerajaan) berisi panduan dan nilai-nilai idealis yang telah dianut sejak awal Kerajaan Sunda yang tertuju kepada upaya mempertahankan berdiri. dan melestarikan sistem nilai yang sedang Aktivitas komunikasi politik yang terjadi berlangsung dan bertujuan untuk mewujudkan 190 Jurnal Kajian Komunikasi, Volume 3, No. 2, Desember 2015 hlm 173-191

sifat-sifat integratif bagi penghuni sistem. Pesan- tatanan suprastruktur komunikasi tersebut pesan komunikasi politik yang disampaikan (Tri Tangtu di Buana), tentu saja pesan yang oleh Maharaja Trarusbawa merupakan sebuah disampaikan oleh Maharaja Trarusbawa kepada produk penguasa setelah melalui proses kalangan prebu, rama dan resi adalah pesan encoding atau setelah diformulasi ke dalam komunikasi politik, karena pesan tersebut simbol-simbol sesuai lingkup kekuasaannya disampaikan oleh pemegang kekuasaan (Harun & Sumarno, 2006: 12). tertinggi pada sebuah pemerintahan, dan Teks pada lembar 25-3b jelas berisi tentang pesannya sendiri mengandung nilai-nilai idealis aktivitas komunikasi politik dalam tatanan yang tertuju kepada upaya mempertahankan suprastruktur komunikasi yang dilakukan dan melestarikan sistem nilai yang sedang oleh Maharaja Trarusbawa dengan segenap berlangsung dalam sebuah negara, dalam orang yang beliau percayai memiliki integritas hal ini Kerajaan Sunda. Selain berisi tentang untuk ditempatkan sebagai pejabat di wilayah- pembagian kekuasaan dalam lingkup Tri wilayah Kerajaan Sunda yang telah ditentukan. Tangtu di Buana, teks FCP ini juga berisi Maharaja Trarusbawa sebagai komunikator tentang aktivitas komunikasi politik yang memberikan kewenangan kepada para dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa sebagai komunikannya yakni Sang Resi Putih, Bagawat prebu dalam Tri Tangtu di Buana dengan Sangkan Windu, Bagawat Cinta Kelepa, segenap orang yang beliau percayai memiliki Bagawat Cinta Putih, Bagawat Resi Karangan, integritas untuk ditempatkan sebagai pejabat Bagawat Cinta Premana, Bagawat Tiga Warna, di wilayah-wilayah Kerajaan Sunda yang telah dan Bagawat Pitu Rasa untuk memegang ditentukan. Maharaja Trarusbawa memberikan jabatan di wilayahnya masing-masing. kewenangan kepada Sang Resi Putih, Bagawat Sedangkan teks pada lembar 8b-9b berisi Sangkan Windu, Bagawat Cinta Kelepa, tentang komunikasi politik dalam pembagian Bagawat Cinta Putih, Bagawat Resi Karangan, wilayah kekuasaan yang melibatkan calon Bagawat Cinta Premana, Bagawat Tiga Warna, penerus Maharaja Trarusbawa, yaitu Rakeyan dan Bagawat Pitu Rasa untuk memerintah di Darmasiksa dengan Batara Dangiang Guru wilayahnya masing-masing. Komunikasi politik yang berperan sebagai kalangan rama. Rakeyan yang dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa Darmasksa diserahi sebuah tanggung jawab berorientasi kepada kepentingan negara untuk menduduki kursi prebu di Saunggalah. (kerajaan) berisi pesan-pesan politik yang Dengan diperolehnya wilayah kekuasaan yang bertujuan untuk kesejahteraan Kerajaan Sunda. merupakan hak milik kebendaan, otomatis Rakeyan Darmasiksa juga memiliki kekuasaan SIMPULAN yang bersumber dari hak milik kebendaan atas wilayah Saunggalah. Dengan begitu, beliau Setelah membaca dan menghayati teks juga memilki sumber kekuasaan politik, yang dalam FCP ini, makna yang didapatkan oleh berguna untuk proses pengambilan keputusan peneliti adalah Tri Tangtu di Buana yang terdiri yang berkaitan dengan dunia pemerintahan dari prebu, rama, dan resi ini merupakan tiga (sebagaimana memang menjadi tugas yang lembaga yang secara bersamaan memegang diemban seorang prebu dalam konsep Tri jabatan di pemerintahan Kerajaan Sunda; di Tangtu Di Buana) di wilayah Saunggalah. mana ketiganya memiliki hak dan kewajiban Berdasarkan paparan di atas, ditemukan yang berbeda dalam memimpin Kerajaan Maharaja Trarusbawa menyampaikan Sunda. Pada peristiwa pembagian kekuasaan, penjelasannya tentang pembagian/pemisahan aspek komunikasi politik yang terwujud dalam kewenangan dan tugas dari masing-masing aktivitas komunikasi politik yang dilakukan prebu, rama dan resi, sehingga para pemangku oleh Maharaja Trarusbawa dengan segenap jabatan tersebut mengerti apa tugas yang pejabat di Kerajaan Sunda dan bersifat face-to- harus mereka laksanakan dan sampai di mana face dalam tatanan suprastruktur komunikasi mereka bisa berperan dalam pemerintahan Kerajaan Sunda. Komunikasi politik yang (lembar nomor 7b dan awal lembar 8a). Dalam dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa berpola pembicaraan politik yang dilakukan dalam top-down dan dilakukan dalam sebuah forum MAKNA TRI TANGTU DI BUANA YANG MENGANDUNG ASPEK KOMUNIKASI POLITIK DALAM FRAGMEN CARITA PARAHYANGAN 191 komunikasi antara pemerintah pusat dengan Gambaran Sistem Pemerintahan Masyarakat para calon pejabat daerah di wilayah Kerajaan Sunda. Sosiohumaniora 2: 57-63. Sunda. Sedangkan pada peristiwa pembagian Endraswara, S. (2008). Metodologi penelitian wilayah kekuasaan, aktivitas komunikasi politik sastra: epistemologi, model, teori, dan terkandung dalam peristiwa yang melibatkan aplikasi. Yogyakarta: MedPress. Maharaja Trarusbawa sebagai komunikator Harun, R. & Sumarno AP. (2006). Komunikasi politik yang menyampaikan pesan-pesan politik sebagai suatu pengantar. Bandung: politik berupa pembagian wilayah kekuasaan Mandar Maju. kepada kalangan prebu, rama, dan resi selaku Hoed, B. H. (2011). Semiotik dan dinamika pemegang kekuasaan di wilayah-wilayah sosial budaya: ferdinand de saussure, roland Kerajaan Sunda. Komunikasi politik yang barthes, julia kristeva, jacques derrida, dilakukan oleh Maharaja Trarusbawa berpola charles sanders peirce, marcel danesi & paul top-down dan dilakukan dalam sebuah forum perron, dll. Jakarta: Komunitas Bambu. komunikasi antara pemerintah pusat dengan Kuswarno, E. (2008). Etnografi komunikasi: para calon pejabat daerah. Selain itu, terdapat suatu pengantar dan contoh penelitiannya. Bandung: Widya Padjadjaran. juga komunikasi politik pembagian wilayah Littlejohn, S. W. & Karen A. Foss. (2009). kekuasaan antara Batara Dangiang Guru dengan Theories of human communication, 9th ed. Rakeyan Darmasiksa yang bersifat face-to-face. Jakarta: Salemba Humanika. Saran yang penulis berikan berdasarkan Mulyana, D. (2007). Ilmu komunikasi: penelitian ini adalah perlu dikembangkannya suatu pengantar. Bandung: PT. Remaja penelitian lanjutan terhadap berbagai naskah Rosdakarya. Sunda Kuno khususnya dan naskah-naskah Poespoprodjo, W. (2004). Hermeneutika. kuno Indonesia lain pada umumnya, karena di Bandung: Pustaka Setia. dalam naskah-naskah kuno ini terdapat banyak Raharjo, M. (2008). Dasar-dasar hermeneutika: informasi dari berbagai bidang kajian yang dapat antara intensionalisme dan gadamerian. kita gali, serta perlunya penelitian komunikasi Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. politik tradisional untuk memperluas khazanah Ratna, N. K. (2009). Teori, metode, dan teknik ilmu komunikasi, khususnya komunikasi penelitian sastra. Yogyakarta: Pustaka politik. Saat ini telah banyak penelitian yang Pelajar. mengangkat tema komunikasi politik mutakhir, Ricoeur, P. (1976). Interpretation theory: tetapi penelitian yang bertemakan komunikasi discouse and the surplus of meaning. politik tradisional masih amat langka. Fortworth: Christian University of Texas Press. DAFTAR PUSTAKA Soekanto, S. (2006). Sosiologi: suatu pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Darsa, U. A., dkk. (2000). Tinjauan Filologis Sumaryono, E. (1999). Hermeneutik: sebuah Terhadap Fragmen Carita Parahyangan: metode filsafat. Yogyakarta: Kanisisus. Naskah Sunda Kuno Abad XVI Tentang