PERBANDINGAN CERITA RAKYAT SASAK DAN SAMAWA: UPAYA MEMAHAMI MASYARAKAT SASAK DAN SAMAWA

(THE COMPARATIVE STUDY ON SASAK AND SAMAWA FOLKTALES: UNDERSTANDING THE PEOPLE OF SASAK AND SAMAWA)

Syaiful Bahri

Kantor Bahasa NTB, Jalan Dokter Sujono, , NTB Ponsel: 08175725520, Posel: [email protected]

Diterima; 4 Oktober 2018; Direvisi: 15 Oktober 2018; Disetujui: 24 November 2018

Abstract

In this paper, there are two problems to be answered, namely are (1) the comparison between Sasak and Samawa folktales and (2) the description of Sasak and Samawa people based on the folktales. The folktales used as data are (1) Batu Goloq (Sasak) and Batu Plantolan (Samawa); Mandalika (Sasak) and Lala Buntar (Samawa); and (3) Tegodek dait Tetuntel (Sasak) and Ne Bote Ne Kakura (Samawa). Data are gathered through library research. Problems are answered using Levi-Strauss structural theory saying that tale is the gate of understanding the people. It is found that the relation of each group of tales shows a consistency in similarities and differences. Batu Goloq and Batu Plantolan give a description that Sasak people tend to solve problems by themselves as a consequence of being closed people, while Samawa people tend to invite others in solving their problems as a consequence of being opened people. The similar characters found in Mandalika and Lala Buntar specifically in miteme processing, in taking decision, and solving problems. Mandalika is characterized as a closed figure, while Lala Buntar is an opened one in deciding and solving the problems. The comparison between Tegodek dait Tetuntel and Ne Bote Ne Kakura shows that Sasak and Samawa people tend to protest any mistreatment from high class community toward a lower class community. It is the manifestation of the same view toward refusal and disagreement to the oppression done by high status people.

Key words: folktales, comparative, structural Levi-Strauss

Abstrak

Artikel ini menjawab dua permasalahan, yakni (1) perbandingan antara cerita rakyat Sasak dan Samawa dan (2) konsep berpikir masyarakat Sasak dan Samawa berdasarkan perbandingan cerita rakyatnya. Cerita rakyat yang dijadikan data analisis adalah tiga pasang cerita yang memiliki kemiripan, yakni (1) Batu Goloq (Sasak) dan Batu Plantolan (Samawa), (2) Mandalika (Sasak) dan Lala Buntar (Samawa), (3) Tegodek dait Tetuntel (Sasak) dan Ne Bote Ne Kakura (Samawa). Data tersebut diperoleh melalui studi pustaka. Penganalisisan data menggunakan analisis struktural Levi-Strauss. Hasil analisis menunjukkan bahwa relasi cerita rakyat Sasak dan Samawa diperlihatkan dari adanya bagian pada masing-masing pasangan cerita yang menunjukkan persamaan dan perbedaan secara konsisten. Konsep berpikir masyarakat Sasak dan Samawa dalam pasangan cerita Batu Goloq dan Batu Plantolan memperlihatkan masyarakat Sasak cenderung menyelesaikan permasalahan sendiri sebagai wujud ketertutupan yang dioposisikan dengan masyarakat Samawa yang cenderung mengikutsertakan orang lain sebagai wujud keterbukaan. Hal yang sama juga terlihat pada pasangan cerita Mandalika dan Lala Buntar sebagai tokoh puteri raja, terutama dalam miteme proses pengambilan keputusan dan cara penyelesaian masalah. Konsep berpikir masyarakat Sasak dalam ceritaMandalika cenderung tertutup, sedangkan masyarakat Samawa dalam cerita Lala Buntar cenderung lebih terbuka dalam memutuskan dan menyelesaikan permasalahan yang dihadapi. Perbandingan antara cerita Tegodek dait Tetuntel dan Ne Bote Ne Kakura memperlihatkan konsep berpikir masyarakat Sasak dan Samawa yang memprotesketidakterimaan atau ketidaksetujuanpada penindasan masyarakat kelas atas terhadap masyarakat kelas bawah.

Kata kunci: cerita rakyat, perbandingan, struktural Levi-Strauss

167

Perbandingan Cerita...(Syaiful B.) | 168

1. Pendahuluan Sasak-Samawa. Subkelompok tersebut Keberadaan Sasak dan Samawa tidak diturunkan dari satu bahasa proto, yakni bisa dilepaskan dari hubungan keduanya protobahasa -Sasak-Samawa. Proto- yang telah lama terjalin. Secara geografis bahasa tersebut awalnya terpecah menjadi Sasak dan Samawa berada pada pulau yang dua kelompok, yakni bahasa Bali dan berbeda, tetapi sejarah dan beberapa hasil bahasa Sasak-Samawa. Kelompok bahasa kajian menyebutkan bahwa kedua suku ini Sasak-Samawa inilah yang kemudian memiliki hubungan yang lebih dekat terpecah menjadi bahasa sendiri, yakni dibandingkan suku lainnya di NTB. Ketika bahasa Sasak dan bahasa Samawa masyarakat Sasak melakukan perlawanan sebagaimana yang dikenal sekarang ini terhadap invasi Karangasem (Bali), (Mbete, 1990). masyarakat Samawa melalui Kerajaan Hubungan antara Sasak dan Samawa mengirimkan pasukan untuk juga terekam dalam cerita rakyat. Cerita memberikan bantuan dengan melakukan rakyat Sasak, Datu Langko, penyeberangan ke . (Burhanudin, menggambarkan bahwa salah satu putra 2010; Mantja, 2011; Wacana, 1988). bangsawan Kerajaan Selaparang yang Keberadaan mereka dibuktikan dengan bernama Pangeran Panji Tilar Negara banyaknya perkampungan Samawa di dititipkan di Sumbawa. Penitipan seorang Lombok yang bisa ditemukan hingga pangeran kerajaan ini menjadi salah satu sekarang ini. Beberapa sumber juga indikasi bahwa Sasak dan Samawa menyebutkan bahwa Lombok dan memiliki hubungan dekat, baik secara Sumbawa pernah berada dalam satu pusat kelembagaan maupun secara emosional. pemerintahan (Mantja, 2011; Wacana, Kedekatan hubungan antara Sasak 1988; Burhanudin, 2010). dan Samawa dengan berbagai bukti di atas Jauh sebelum terjalinnya hubungan menunjukkan bahwa intensitas interaksi yang dilatarbelakangi invasi Karangasem kedua suku tersebut sangat besar. Besarnya terhadap Lombok, Sasak dan Samawa pada interaksi akan berimplikasi pada adanya dasarnya merupakan satu kesatuan. Kedua berbagai macam kesamaan, salah satunya suku ini berasal dari satu nenek moyang adalah kesamaan cerita rakyat. Berkaitan yang sama. Simpulan seperti itu didapatkan adanya persamaan atau kemiripan cerita dari hasil kajian rekonstruksi bahasa yang rakyat, ada dua pendapat besar yang memperlihatkan bahwa bahasa Sasak dan menunjukkan perbedaan. Pendapat pertama Samawa merupakan dua bahasa yang menyatakan persamaan atau kemiripan termasuk dalam satu subkelompok bahasa cerita rakyat disebabkan karena adanya 169 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184 interaksi yang berkaitan dengan pengaruh- secara otomatis bisa dilakukan untuk memengaruhi antara satu masyarakat membandingkan masyarakat pemilik pemilik cerita dengan masyarakat pemilik cerita. Dengan kata lain, melihat relasi cerita yang lain. Pendapat kedua dengan membandingkan cerita rakyat menyatakan bahwa kesamaan yang terjadi Sasak dan Samawa secara otomatis bisa dalam cerita rakyat hanya bersifat dijadikan dasar untuk membandingkan kebetulan (lihat Ahimsa-Putra, 2013; masyarakat Sasak dan Samawa sebagai Taum, 2011). pemilik cerita. Perbandingan bisa Terlepas dari adanya dua diarahkan untuk memahami masyarakat pandangan yang berseberangan tersebut, Sasak dan Samawa sebagai masyarakat cerita rakyat merupakan salah satu jenis yang berasal dari satu nenek moyang yang karya sastra yang bersifat anonim. sama. Keberadaannya yang anonim dikatakan Berdasarkan pemikiran tersebut, sebagai milik kolektif masyarakat. Sebagai artikel ini bermaksud membandingkan karya sastra milik kolektif masyarakat, cerita rakyat Sasak dan Samawa. secara otomatis cerita rakyat Perbandingan tersebut dilakukan dengan mengungkapkan kesadaran kolektif melihat bagian-bagian yang menunjukkan masyarakat pemiliknya (Taum, 2011: 11). perbedaan dan persamaan dalam tiga Oleh karena itu, menjadi hal yang wajar pasang cerita rakyat yang memiliki jika pengkajian terhadap cerita rakyat bisa kemiripan, yakni 1) Batu Goloq (Sasak) dijadikan sebagai “pintu masuk” untuk dan Batu Plantolan (Samawa), 2) memahami masyarakat pemilik cerita. Mandalika (Sasak) dan Lala Buntar Ahimsa-Putra (2013) menyatakan bahwa (Samawa), serta 3) Tegodek dait Tetuntel keinginan-keinginan yang tidak (Sasak) dan Ne Bote Ne Kakura (Samawa). tertuangkan dalam dunia nyata, secara Tiga pasang cerita rakyat yang didapatkan sadar atau tidak, tertuang dalam cerita dari penelitian Bahri dkk. (2015) tersebut rakyat. Hal itu dikarenakan segala peristiwa akan dibandingkan dengan menggunakan yang ingin diungkapkan dalam cerita rakyat teori strukuralisme Levi-Strauss. tidak terikat oleh aturan atau nilai yang Penggunaan teori ini sangat penting karena berlaku dalam dunia nyata. sejalan dengan pandangan bahwa cerita Apabila kajian terhadap cerita rakyat rakyat bisa digunakan untuk memahami dilakukan untuk memahami masyarakat masyarakat pemilik cerita. Perbedaan dan pemilik cerita, membandingkan cerita persamaan yang terdapat dalam pasangan rakyat dari dua masyarakat yang berbeda cerita rakyat akan diarahkan pada upaya

169

Perbandingan Cerita...(Syaiful B.) | 170 memahami masyarakat Sasak dan Samawa menunjukkan persamaan dan perbedaan sebagai masyarakat yang berasal dari satu yang ada, dan setelah itu—kalau nenek moyang. Bagian-bagian yang memungkinkan—apa yang ada di balik itu menunjukkan perbedaan akan dijadikan semua. Salah satu yang bisa dilakukan sebagai dasar memahami perbedaan adalah membandingkan cerita rakyat mendasar dari kedua masyarakat pemilik dengan tujuan melihat keterkaitan sekaligus cerita. perbedaan dan persamaan. Upaya tersebut pada tahap selanjutnya bisa diarahkan 2. Kerangka Teori untuk melihat cerminan watak masyarakat. Beberapa ahli menyatakan bahwa Berpijak pada pendapat yang membandingkan karya sastra harus dikemukakan Damono, artikel ini berpedoman pada prinsip menemukan menggunakan teori strukturalisme Levi- adanya saling pengaruh yang mengarah Strauss sebagai teori untuk menganaliasis pada upaya mencari orisinalitas sebuah cerita rakyat dari dua etnis yang berbeda, karya sastra. Berkaitan dengan tujuan yakni Sasak dan Samawa. Mengkaji karya tersebut Endraswara (2011: 29) sastra, termasuk cerita, dengan menyatakan tidak menutup kemungkinan menggunakan teori Levi-Strauss secara adanya prinsip lain. Bandingan sastra tidak otomatis merupakan kajian interdisipliner bisa secara keseluruhan dipaksakan pada (Rokhman, 2003). Dikatakan demikian upaya mencari orisinalitas, terlebih cerita karena hakikat penggunaan teori Levi- rakyat yang penyebarannya secara lisan. Strauss adalah menemukan logika berpikir Berkaitan dengan upaya melakukan masyarakat pemilik cerita. Oleh karena itu, perbandingancerita rakyat, Damono (2009: melihat relasi cerita rakyat dengan cara 31) memberikan penjelasan bahwa melakukan perbandingan menggunakan membandingkan dongeng atau cerita rakyat teori Levi-Strauss secara otomatis akan yang memiliki kemiripan satu sama lain membandingkan masyarakat pemilik cerita tidaklah bertujuan untuk menemukan yang sebagaimana dilakukan dalam artikel ini. asli atau menelusuri yang mempengaruhi Levi-Strauss (Ahimsa-Putra, 2013: dan dipengaruhi. Menelusuri cerita rakyat 186) memandang cerita rakyat sebagai guna melihat perbedaan dan persamaan ungkapan simbolis dari konflik batiniah yang diarahkan pada upaya menelusuri yang ada dalam suatu masyarakat. Dengan saling pengaruh dikatakan akan sampai kata lain, cerita rakyat atau mitos pada simpulan yang kurang meyakinkan. merupakan sarana untuk mengelakkan, Hal yang bisa dilakukan adalah memindahkan, dan mengatasi kontradiksi- 171 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184 kontradiksi empiris yang tak terpecahkan. Struktur dalam inilah yang bisa dipakai Dalam cerita rakyat tergambar keinginan- untuk memahami fenomena (dalam hal ini keinginan yang tidak mungkin tertuangkan narasi) yang diteliti karena melalui struktur dalam dunia nyata. Keinginan-keinginan inilah peneliti kemudian memahami tersebut tersusun atas sruktur-struktur berbagai fenomena yang dipelajarainya. sebagai sebuah mekanisme nalar, human Relasi-relasi yang ada pada struktur mind. Meskipun demikian, keinginan dalam dapat diperas atau disederhanakan maupun mekanisme cara bekerja nalar menjadi oposisi berpasangan (binary tersebut tidak disampaikan secara langsung opposition). Oposisi biner adalah aspek dalam cerita. Dalam interpretasinya, Levi- paling penting yang bisa menyingkap Strauss memperlihat-kan bahwa mitos bagaimana manusia berpikir, bagaimana terdiri dari (1) relasi-relasi serta oposisi- manusia memproduksi makna dan oposisi dan relasi-relasi, dan (2) dengan memahami realitas. Oposisi biner dalam cara itulah pemikiran primitif (savage narasi bisa mengungkap makna di balik mind) berhasil menciptakan orde/ suatu cerita, logika di balik cerita. Analisis keteraturan dalam dunianya (Taum, 2011: struktural dan menemukan oposisi biner 171). berguna dalam memberikan petunjuk atas Levi-Strauss (Ahimsa-Putra, 2003) bekerjanya human mind atau nalar manusia, membagi struktur narasi menjadi dua bagaimana nalar manusia bekerja. Dalam bagian, yakni struktur luar (surface konteks naratif, ini terutama bisa strukture) dan struktur dalam (deep menyingkap bagaimana logika di balik structure). Struktur luar adalah relasi-relasi dibuatnya sebuah narasi (Eriyanto, 2013). antarunsur yang dapat kita buat atau bangun Analisis strukturalisme Levi-Strauss berdasarkan ciri-ciri luar atau ciri-ciri menetapkan tiga landasan analisis empiris dari relasi-relasi tersebut. struktural terhadap mitos. (1) Jika mitos Sementara itu, struktur dalam adalah dipandang sebagai sesuatu yang bermakna, susunan tertentu yang dibangun maka maknanya tidak terdapat pada unsur- berdasarkan struktur lahir yang telah unsurnya yang berdiri sendiri, yang terpisah berhasil kita buat, tetapi tidak selalu satu sama lain, melainkan pada kombinasi terlihat pada sisi empiris dari fenomena unsur-unsur tersebut. (2) Sekalipun mitos yang kita pelajari. Struktur dalam ini dapat termasuk dalam kategori `bahasa`, bahasa disusun dengan menganalisis dan mitos bukan sekadar bahasa biasa. Bahasa membandingkan berbagai struktur luar mitos memiliki ciri-ciri yang berbeda. Jika yang berhasil ditemukan atau dibangun. bahasa memiliki tiga tahap, yaitu fonem,

171

Perbandingan Cerita...(Syaiful B.) | 172 kata, dan kalimat, maka mitos hanya Ne Kakura. Data tersebut diperoleh dari mempunyai dua tahap, yaitu kata dan hasil inventarisasi cerita rakyat Sasak dan kalimat, sementara musik hanya memiliki Samawa yang dilakukan Bahri dkk. (2015). dua tahap, yaitu nada dan kalimat musikal. Dengan demikian, pencarian data (3) Ciri-ciri ini bersifat kompleks dan lebih dilakukan dengan studi atau telaah pustaka rumit daripada ciri-ciri bahasa sehingga yang oleh Sugiono (2008: 240) dikatakan dapat kita temukan pada tingkat di atas sebagai studi dokumen. bahasa. (Ahimsa-Putra, 2013: 93—94) Studi dokumen dilakukan selain Penganalisisan dongeng atau cerita untuk menemukan data cerita rakyat yang dengan menggunakan analisis strukural dianalisis, juga untuk menemukan data- Levi-Strauss dilakukan dengan tiga langkah data pendukung sebagai penguat tafsiran utama secara berurutan, yakni (1) mencari dari hasil analisis terhadap pasangan cerita miteme (myteme); (2) mencari relasi di yang dilakukan. Hal ini sejalan dengan antara miteme-miteme yang telah prinsip analisis struktural Levi-Strauss ditemukan; dan (3) menyusun miteme- yang menggunakan data kehidupan sosial miteme secara sintagmatik dan budaya masyarakat sebagai bahan untuk paradigmatik (Eriyanto, 2013: 171—172). menguatkan tafsiran terhadap analisis Langkah-langkah ini akansampai pada struktural cerita rakyat. tujuan akhir, yakni menemukan logika Data berupa tiga pasang cerita rakyat berpikir masyarakat pemilik cerita. Sasak dan Samawa selanjutnya Membandingkan tiga pasang cerita rakyat dianalisismenggunakan metode analisis Sasak dan Samawa akan mengarah pada struktural Levi-Strauss. Sebagaimana telah penemuan logika berpikir masyarakat dipaparkan sebelumnya, penggunaan Sasak dan Samawa dalam cerita rakyat metode analisis struktural Levi-Strauss yang berpasangan tersebut. pada dasarnya bertujuan menemukan logika nalar masyarakat pemilik mitos atau 3. Metode Penelitian cerita, yakni masyarakat Sasak dan Artikel ini menggunakan tiga pasang Samawa. Langkah-langkah yang cerita pasang cerita rakyatSasak dan diterapkan dalam analisis data sebagai Samawa yang memiliki kemiripan sebagai berikut. data. Ketiga pasang cerita rakyat yang 1. Menentukan miteme dari masing- dimaksud, yakni (1) Batu Goloq dan Batu masing cerita, baik cerita rakyat Plantolan, (2) Mandalika dan Lala Buntar, Sasak maupun cerita rakyat Samawa. dan (3) Tegodek dait Tetuntel dan Ne Bote 173 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184

2. Miteme dari masing-masing cerita 4.1.1 Perbandingan Cerita Batu Goloq rakyat kemudian disusun secara dan Batu Plantolan sintagmatik maupun paradigmatik Perbandingan cerita Batu Goloq dan guna melihat keterhubungan dari Batu Plantolan berkaitan dengan upaya miteme-miteme tersebut dalam menemukan persamaan dan perbedaan konteks keseluruhan bagian dalam yang terdapat dalam kedua cerita. cerita. Persamaan dan perbedaan diidentifikasi 3. Membandingkan susunan miteme dengan melakukan perbandingan rangkaian antara cerita rakyat Sasak maupun peristiwa dari awal hingga akhir cerita. Samawa guna menemukan letak Identifikasi persamaan maupun perbedaan perbedaannya. kedua cerita ini dilakukan dengan 4. Perbedaan-perbedaan dalam tataran mengelompokkan menjadi tiga bagian yang miteme tersebut selanjutnya merupakan miteme cerita, yakni (1) latar dijadikan dasar untuk menafsirkan belakang kehidupan, (2) permasalahan perbedaan nalar atau cara pandang yang dihadapi, dan (2) cara menyelesaikan masyarakat Sasak dan Samawa masalah. terhadap sebuah permasalahan. Latar belakang kehidupan berkaitan dengan kondisi perekonomian yang 4. Pembahasan terdapat pada kedua cerita. Tokoh Inaq 4.1 Perbandingan Cerita Rakyat Sasak Lembain dan Amaq Lembain dalam cerita dan Samawa Batu Goloq berada dalam kondisi yang Melakukan perbandingan terhadap serba kekurangan. Suami istri ini setiap hari cerita, termasuk cerita rakyat, tentunya berjuang untuk memenuhi kebutuhan harus diawali dengan memahami secara sehari-hari. Inaq Lembain bekerja sebagai mendalam cerita rakyat yang akan buruh penumbuk pada, sedangkan Amaq dianalisis. Kegiatan memahami cerita Lembain sebagai pencari kayu bakar di rakyat dapat dilakukan dengan melihat hutan. Hasil dari dua pekerjaan ini tentu rangkaian peristiwa yang dilakukan tokoh- sangat tidak menentu yang berimplikasi tokoh hingga membentuk sebuah rangkaian pada ketidakmenentuan mendapatkan cerita utuh. Hal ini sejalan dengan konsep makanan setiap harinya. Ketika pada hari dasar kajian struktur yang memandang tertentu bisa mendapatkan hasil dari sebuah cerita terdiri atas unsur-unsur, tetapi pekerjaannya maka pada hari itu mereka makna atau maksud akan tergambar dari bisa makan. Akan tetapi, pada hari lain rangkaian unsur secara keseluruhan. hasil dari pekerjaan tidak didapatkan,

173

Perbandingan Cerita...(Syaiful B.) | 174 mereka pun tidak makan pada hari itu. cerita Batu Goloq memiliki maupun tokoh Tokoh suami istri yang sama-sama Ibu dalam cerita Batu Plantolan sama-sama berjuang memenuhi kebutuhan sehari-hari membawa anaknya pergi bekerja. Alasan pada tempat yang berbeda inilah yang mengikutsertakan anak juga memiliki menjadikan mereka harus meng- persamaan, yakni ketidakadaan orang yang ikutsertakan anaknya dalam bekerja. Pada akan menemaninya di rumah. Persamaan situasi seperti ini, tokoh Inaq Lembain juga terdapat pada lokasi yang dipilih sebagai ibu yang diserahi tugas untuk sebagai tempat sang anak menunggu sang mengasuh anak sambil bekerja. Tuntutan ibu bekerja. Persamaan tersebut berlanjut mendesak untuk memenuhi kebutuhan sampai meningginya batu yang digunakan sehari-hari menjadikan Inaq Lembain tidak sebagai tempat sang anak menunggu memiliki pilihan lain selain membawa ibunya yang sedang berkerja. Keberadaan anaknya dalam bekerja. sang anak di atas batu meninggi itulah yang Berbeda dengan tokoh Inaq sama-sama menjadi puncak permasalahan Lembain dan Amaq Lembain, tokoh Ibu yang dihadapi oleh tokoh Inaq Lembain dengan nama yang tidak disebutkan secara dalam cerita Batu Goloq maupun tokoh Ibu terang dalam cerita Batu Plantolan dalam cerita Batu Plantolan. memiliki kehidupan yang lebih Perbedaan kembali terlihat pada baik.Bersama suaminya, tokoh Ibu miteme “cara menyelesaikan masalah”. memiliki pekerjaan dengan hasil yang lebih Tokoh Inaq Lembain menyelesaikan pasti. Mereka berdua secara bersama-sama permasalahan (menurunkan sang anak) berladang dengan tanah garapan sendiri. secara sendiri, yakni menggunakan Dengan demikian, hasil yang didapatkan peralatan berupa sabuk yang terikat di tentu lebih banyak sehingga pemenuhan pinggang. Sementara itu, tokoh Ibu dalam kebutuhan sehari-hari tidak menjadi cerita Batu Plantolan meminta bantuan permasalahan bagi keluarga ini. Meskipun tokoh lain berupa burung untuk membantu demikian, tokoh Ibu dalam cerita ini juga menurunkan sang anak. Pada bagian akhir membawa anaknya dalam mengerjakan miteme ini terlihat perbedaan yang ladang garapannya. Dibawanya sang anak menunjukkan bahwa anak dalam cerita disebabkan ketidakadaan tokoh suami yang Batu Goloq berubah menjadi burung, telah meninggal. sedangkan anak dalam cerita Batu Miteme “permasalahan yang Plantolan tetap menjadi sosok anak yang dihadapi” pada kedua cerita memiliki kembali kepada orang tuanya. persamaan. Tokoh Inaq Lembain dalam Perbandingan berupa persamaan dan 175 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184 perbedaan tersebut telihat dalam bagan cantik jelita. Kecantikan itulah yang berikut. mendorong banyak raja maupun pangeran kerajaan lainnya untuk datang melamar. Menghan Hidup Anak curkan kekurang berubah Kedua cerita juga sama-sama menceritakan G sendiri an jadi o dg. alat burung bahwa lamaran tersebut datang secara l Memba Didudukkan wa anak di atas batu bekerja meninggi bersamaan dan masing-masing menuntut B Hidup P berkecuku Memintaba agar lamarannya diterima. pan ntuan Bertemu burung anak Tuntutan masing-masing pelamar agar diterima itulah yang menjadi permasalahan. Mandalika maupun Lala 4.1.2 Perbandingan Cerita Mandalika Buntar menyadari bahwa menerima salah dan Lala Buntar satu pelamar akan menimbulkan pertikaian. Sebagaimana pasangan cerita Kedua putri ini sama-sama tidak sebelumnya, cerita Mandalika dan Lala menginginkan terjadinya pertikaian Buntar terdiri atas tiga miteme, yakni (1) sehingga masing-masing memiliki cara latar belakang tokoh, (2) permasalahan agar pertikaian itu tidak terjadi. yang dihadapi, dan (3) cara mengatasi Sebagaimana bagian yang masalah. Persamaan terlihat pada dua menunjukkan perbedaan pada pasangan miteme pertama, sedangkan perbedaan cerita sebelumnya, perbedaan pada hanya terdapat pada miteme “cara pasangan cerita Mandalika dan Lala Buntar mengatasi masalah”. Miteme “latar juga terdapat pada miteme “cara belakang tokoh” berkaitan dengan latar menyelesaikan masalah”. Kebebasan belakang kehidupan tokoh yang terdapat mengambil keputusan untuk memilih yang pada masing-masing cerita. Tokoh diberikan orang tua telah mendorong Mandalika maupun Lala Buntar Mandalika untuk meminta waktu merupakan dua tokoh yang sama-sama menyendiri dan berpikir, sedangkan tokoh sebagai putri raja. Kedua tokoh pada kedua Lala Buntar langsung memutuskan untuk cerita ini juga berada pada lingkungan pergi meninggalkan istana dan istana dengan segala fasilitas yang tersedia. bersembunyi di tengah hutan. Dua Persamaan yang terdapat pada keputusan berbeda ini memperlihatkan miteme “latar belakang tokoh” dilanjutkan bahwa tokoh Mandalika memilih dengan “permasalahan yang dihadapi”. mengetahui sendiri keputusan yang Mandalika maupun Lala Buntar sama- diambil, tanpa menginformasikan kepada sama digambarkan sebagai putri raja yang tokoh lain, termasuk orang tua dan

175

Perbandingan Cerita...(Syaiful B.) | 176

keluarga. Sebaliknya, tokoh Lala Buntar Permasalahan dan rangkaian memberitahukan keputusan yang peristiwa yang persis sama pada pasangan diambilnya kepada orang tua dan semua cerita Tegodek dait Tetuntel dan Ne Bote Ne anggota keluarganya. Berdasarkan Kakura menjadikan ketidakmungkinan pemaparan tersebut, perbandingan berupa untuk dibandingkan dengan model persamaan dan perbedaan dalam pasangan perbandingan sebagaimana dua pasangan cerita tersebut dapat dilihat dalam bagan cerita sebelumnya. Persamaan keduanya berikut. yang sama persis merupakan satu kesatuan. Perbandingan dengan melihat persamaan Membu Mandalika ang diri Menjadi ke laut nyale dan perbedaan lebih diarahkan pada upaya Putri Dilamar raja banyak membandingkan dua tokoh protagonis dan cantik pangeran jelita /raja Bersem Menjadi antagonis yang berada pada posisi yang bunyi pemaka Lala ke man Buntar hutan konsisten dari awal hingga akhir cerita. (dalam gunduk an) Hasil perbandingan tersebut terlihat pada bagan berikut. 4.1.3 Perbandingan Cerita Tegodek

dait Tetuntel dan Ne Bote Ne T e Monyet Kakura g digan berkem mencari o Menghab Ujung tung bang Relasi pada pasangan cerita ini d iskan e Kodok k Membagi memiliki perbedaan dibandingkan dengan Mencari pohon Menanam Perkemba Pengambil Pascaha pisang di pisang ngan an buah bis N pisang sungai pisang pisang pisang dua pasangan cerita lainnya. Rangkaian e B Monyet o peristiwa dari awal hingga akhir cerita t e dita mat Dihabis Sembunyi Kura Pangkal N nam i kan memiliki persamaan. Perbedaan hanya e kura K terdapat pada tokoh protagonis yang a k u menemani tokoh monyet sebagai tokoh r antagonis. Pada cerita Tegodek dait Bagan di atas memperlihatkan Tetuntel, tokoh protagonis adalah adanya beberapa miteme, yakni (1) kodok/katak, sedangkan pada cerita Ne pembagian pohon pisang, (2) penanaman Bote Ne Kakura yang menjadi tokoh pisang, (3) perkembangan pisang, (4) protagonis adalah kurakura. Meskipun pengambilan pisang, dan (5) pascahabis demikian, permasalahan dan rangkaian pisang. Masing-masing miteme tersebut peristiwa yang dialami oleh tokoh secara konsisiten memperlihatkan posisi kodok/katak sama persis dengan yang monyet yang berada atau memilih posisi dialami oleh tokoh kurakura. pada bagian atas dibandingkan dengan 177 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184 kodok maupun kurakura yang mengambil terhadap masyarakat pemilik cerita ini lebih posisi pada bagian bawah. banyak difokuskan pada perbedaan- Miteme “pembagian pohon pisang” perbedaan yang terdapat di dalamnya. memperlihatkan bahwa tokoh monyet Meskipun demikian, persamaan-persamaan mengambil bagian atas dari pohon pisang yang terdapat di dalamnya juga menjadi yang dibagikan. Pengambilan bagian atas perhatian guna melihat konteks tersebut dilakukan dengan alasan agar cepat keseluruhan sebagai struktur cerita. berbuah. Bagian bawah pohon pisang Memahami tokoh Inaq Lembain menjadi bagian kodok/katak maupun dalam cerita Batu Goloq maupun tokoh ibu kurakura. dalam cerita Batu Plantolan harus Tokoh monyet pada miteme dilakukan dengan melihat cerita secara “penanaman pisang” melakukan keseluruhan. Melakukan pemahaman penanaman pisang dengan menggantung terhadap solusi yang dipilih oleh tokoh Inaq bagiannya pada dahan pohon asam yang Lembain maupun tokoh ibu harus posisinya paling tinggi. Berbeda dengan dihubungkan dengan latar belakang monyet, tokoh katak maupun kurakura kehidupan masing-masing tokoh. Latar memilih tanah sebagai tempat menanam belakang kehidupan yang dimaksud harus bagian pisang yang didapatkan. Posisi dihubungkan dengan latar belakang seperti ini berlangsung dengan konsisten sebagaimana yang digambarkan dalam sampai akhir cerita, yakni pada miteme miteme sebelumnya, yakni miteme latar “pascahabis pisang”. belakang kehidupan perekonomian masing- 4.2 Konsep Berpikir Masyarakat Sasak masing tokoh. Cara penyelesaian masalah dan Samawa dalam Cerita Rakyat yang dipilih oleh tokoh Inaq Lembain Perbandingan dengan melihat dalam Batu Goloq harus dihubungkan persamaan dan perbedaan pada masing- dengan kehidupan perekonomiannya yang masing pasangan cerita merupakan data penuh kekurangan dan kemiskinan. Begitu awal yang dijadikan sebagai data untuk pula dengan cara penyelesaian yang dipilih melihat konsep berpikir masyarakat Sasak oleh tokoh ibu dalam cerita Batu Plantolan dan Samawa sebagai pemilik cerita yang yang harus dihubungkan dengan kehidupan dibandingkan. Hal ini sejalan dengan perekonomiannya yang masuk dalam prinsip kajian strukturalisme Levi-Strauss kategori “berada”. Dua hal ini saling yang memandang cerita rakyat sebagai mendukung dan memiliki keterkaitan satu “pintu masuk” untuk memahami sama lain. Solusi yang dipilih oleh masing- masyarakat pemilik cerita. Pemahaman masing tokoh memiliki hubungan dengan

177

Perbandingan Cerita...(Syaiful B.) | 178 kehidupan perekonomiannya. Sebaliknya, kecenderungan untuk menyelesaikan kehidupan perekonomian memiliki masalah secara sendiri, sedangkan pengaruh terhadap solusi yang dipilih oleh masyarakat Samawa dalam cerita Batu masing-masing tokoh dalam memecahkan Plantolan lebih cenderung meminta masalah yang dihadapinya. bantuan kepada orang lain. Dua cara yang Inaq Lembain sebagai tokoh yang beroposisional ini merupakan sifat yang kehidupannya berada dalam kategori menunjukkan keterbukaan dan ke- miskin memilih menggunakan peralatan tertutupan. Penyelesaian masalah secara yang ada pada dirinya dan melakukan usaha sendiri dalam cerita Batu Goloq wujud secara sendiri untuk memecahkan perilaku perilaku tertutup, sedangkan permasalahan yang dihadapi. Tidak penyelesaian masalah dengan meminta demikian dengan tokoh ibu yang berada bantuan tokoh lain yang dilakukan dalam dalam kehidupan “berada”. Tokoh ini Batu Plantolan merupakan wujud perilaku menyelesaikan permasalahannya dengan terbuka meminta bantuan kepada orang maupun Perilaku tertutup dikatakan sebagai tokoh lain yang ada dalam cerita. Korelasi perilaku ketidakterbukaan terhadap orang antara kondisi kehidupan perekonomian luar, terutama pada orang yang dianggap dengan cara penyelesaian masalah dalam asing. Jika merujuk cerita Batu Goloq, kedua cerita rakyat yang dioposisikan rangkaian awal digambarkan tentang tergambar dalam bagan berikut. kehidupan perekonomian tokoh yang kemudian mengarah pada permasalahan Kondisi Menyelesaikan Cerita Rakyat ekonomi masalah Suku dan cara penyelesaian masalah. Gambaran

Batu Miskin sendiri Sasak awal mengenai kehidupan perekonomian menunjukkan bahwa hal tersebut Bersama/Bantu Batu Berada Samawa merupakan latar belakang perilaku pada Plantolan an tokoh lain rangkaian peristiwa berikutnya. Apabila Konteks cerita Batu Goloq dan Batu dilakukan pemadupadanan, maka perilaku Plantolan dengan berbagai macam oposisi tertutup dilatarbelakangi oleh kehidupan sebagaimana telah dipaparkan merupakan perekonomian, yakni kehidupan yang gambaran adanya oposisional yang berada dalam kemiskinan. Kemiskinan berkaitan dengan perbandingan antara akan memunculkan sikap tidak percaya masyarakat Sasak dan Samawa. diri, malu, dan selalu merasa kecil di tengah Masyarakat Sasak yang digambarakan orang banyak. Berbeda dengan masyarakat dalam cerita Batu Goloq memiliki Sasak, masyarakat Samawa yang 179 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184 digambarkan dalam cerita Batu Plantolan oposisional masyarakat Sasak dan Samawa cenderung menyelesaikan permasalahan dalam cerita Batu Goloq dan Batu dengan meminta bantuan kepada orang Plantolan. Oposisi biner berkaitan dengan lain. Cara penyelesaian masalah seperti ini cara penyelesaian masalah secara sendiri memunculkan perilaku yang juga dan meminta bantuan orang lain sebagai beroposisional dengan perilaku yang wujud sikap keterbukaan dan ketertutupan dimunculkan dari cara penyelesaian merupakan gambaran watak masyarakat masalah secara sendiri. Jika masyarakat Sasak dan Samawa. Sasak yang tergambar dalam Batu Goloq Tekanan Batu Kurang Tertutup kebutuhan cenderung berperilaku tertutup, masyarakat Goloq percaya diri Samawa yang tergambar dalam Batu Goloq lebih cenderung bersifat terbuka. Sama Tanpa tekanan Batu Percaya Terbuka halnya dengan masyarakat Sasak dalam Plantolan kebutuhan diri Batu Goloq, jika merujuk pada rangkaian Kecenderungan masyarakat Sasak awal cerita, sifat terbuka ini tidak bisa dengan ketertutupannya dan Samawa dilepaskan dari latar belakang kehidupan dengan keterbukaannya juga terlihat pada perekonomian tokoh sebagaimana Mandalika dan Lala Buntar. Mandalika digambarkan dalam Batu Plantolan. sebagai puteri raja cenderung Kehidupan perekonomian pada taraf menyelesaikan permasalahan sendiri tanpa “berada” sebagaimana tokoh ibu dalam mengikutsertakan tokoh lain. Mandalika Batu Plantolan, cenderung memunculkan berpikir sendiri dalam memilih keputusan sikap percaya diri sehingga tidak tidak ragu yang akan diberikan berkaitan dengan untuk meminta bantuan kepada orang lain, lamaran pangeran/raja yang ingin termasuk dalam menyelesaikan masalah mempersunting dirinya. Kesendirian itu yang dihadapi. terus terlihat sampai keputusan untuk Cerita rakyat merupakan gambaran membuang diri ke laut didapatkan. masyarakat pemiliknya. Gambaran yang Mandalika tidak memberitahukan satu terdapat pada cerita Batu Goloq dan Batu tokoh pun berkaitan dengan pilihan yang Plantolan bisa dikatakan merupakan diambil, termasuk orang tua Dalam gambaran masyarakat Sasak dan Samawa. menjalankan keputusan yang telah Dengan demikian, oposisi cara ditetapkan itu pun tidak mengikutsertakan penyelesaian masalah dengan latar satu tokoh pun. belakang dan berbagai hal yang melingkupi bisa dikatakan sebagai gambaran

179

Perbandingan Cerita...(Syaiful B.) | 180

Kondisi ketertutupan tersebut bahasa (Mbete, 1990) tersebut beroposisi dengan pola pengambilan menunjukkan perbedaan sikap dasar. keputusan yang dilakukan Lala Buntar. Adanya sifat dasar yang berbeda Tokoh itu langsung menyampaikan dan sebagaimana kita ketahui sekarang ini tidak menceritakan keputusan yang diambil bisa dilepaskan dari pengaruh perbedaan kepada orang tua maupun keluarganya. pola kolonialisasi yang telah terjadi pada Proses pelaksanaan keputusan itu juga etnis Sasak dan Samawa. Kolonialisasi mengikutsertakan tokoh lain, yakni tokoh etnis Sasak dilakukan oleh Karangasem pengawal yang mengiringi dan menemani Bali yang berasal dari barat, sedangkan dalam perjalanan sampai terkubur dalam etnis kolonialisasi etnis Samawa dilakukan gundukan yang menjadi tempat etnis Bugis dari timur. Kolonialisasi yang persembunyiannya. dilakukan etnis Bali terhadap Sasak dan etnis Bugis terhadap Samawa memiliki Mandali Meminta Tidak ka waktu diketahui tujuan dan pola yang berbeda. Mahsun berpikir orang tua Proses penga status (2006: 87) menjelaskan bahwa kolo- mbilan keputu keputu san nialisasi yang dilakukan Karangasem Bali san Lala Langsung Diketahui orang tua terhadap Sasak tidak hanya bermuatan Buntar memutus kan politis, tetapi juga bermuatan kebudayaan. Muatan kebudayaan itu dilakukan dalam bentuk pemaksaan budaya dan adat-istiadat Mandali Terjun tidak tertutup ka ke laut diketahui yang dimiliki dan dijalankan. Hal ini tentu Keingin an/niat berimplikasi pada penghilangan identitas. Kehilangan identitas menimbulkan Lala Sembunyi diketahui terbuka keterasingan yang berakibat pada Buntar ke hutan ketidakpercayaan diri dan pada tahap Keterbukaan dan ketertutupan selanjutnya mengarah pada sifat dalam konteks masyarakat Sasak dan ketertutupan. Samawa tidak bisa dilepaskan dari Berbeda dengan kolonialisasi perbedaan latar belakang sejarah yang Karangasem Bali terhadap Sasak, dijalani oleh kedua masyarakat tersebut. kolonialisasi yang dilakukan Bugis Latar belakang sejarah itu menjadikan terhadap Samawa yang oleh Mahsun (2006: masyarakat Sasak dan Samawa yang 87) dikatakan lebih bermuatan religius berasal dari satu nenek moyang dari segi ketimbang politis maupun kebudayaan. Kerajaan Bugis hanya meminta agar raja 181 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184 dan rakyat memeluk , budaya dan adat Lawas tersebut memberikan istiadat yang tumbuh dan berkembang pada gambaran keterbukaan orang Samawa masyarakat Samawa dibiarkan ber- terhadap orang luar. Masyarakat Samawa kembang. Pemaksaan untuk mengikuti adat mendefinisikan saudara bukan hanya orang istiadat dan budaya Bugis tidak dilakukan. yang berada dalam satu ikatan keluarga, Internalisasi budaya Bugis dalam budaya tetapi juga semua orang yang berperilaku dan adat istiadat Samawa yang masih baik dan menenangkan. Tidak terlihat sampai saat ini dilakukan secara mengherankan jika di tengah-tengah sukarela, tanpa paksaan sebagaimana yang lingkungan masyarakat Samawa di dilakukan Bali terhadap Sasak. Sumbawa maupun Sumbawa Barat terdapat Memberikan kesempatan tetap perkampungan-perkampungan masyarakat berkembangnya budaya dan adat istiadat pendatang dengan nama kampung sesuai masyarakat Samawa oleh Bugis nama suku atau daerah asalnya, seperti menjadikan masyarakat Samawa tetap Kampung Irian, Kampung Arab, dan lain- berada pada identitas yang dimiliki. Hal ini lain. membawa implikasi pada kepercayaan diri Berbeda dengan dua pasangan yang pada tahap selanjutnya menumbuhkan cerita sebelumnya, konsep berpikir sikap terbuka yang menjadikan masyarakat masyarakat Sasak dan Samawa pada Samawa tidak canggung berinteraksi padangan cerita Tegodek dait Tetuntel dan dengan masyarakat lain, termasuk meminta Ne Bote Ne Kakura menunjukkan adanya bantuan kepada orang lain sebagaimana perlawanan masyarakat bawah terhadap yang dilakukan tokoh ibu dalam Batu masyarakat kelas atas. Kekonsistenan Plantolan. posisi yang ditunjukkan oleh tokoh monyet Keterbukaan masyarakat Samawa yang selalu berada pada posisi di atas terhadap orang luar juga terlihat pada salah menunjukkan bahwa tokoh ini merupakan satu lawas yang cukup populer di tengah- keterwakilan dari masyarakat pada kelas tengah masyarakat. sosial atas. Hal itu beroposisi dengan tokoh Mana tau barang kayu `Walaupun kodok maupun kurakura sebagai orang itu bukan sanak keluarga` masyarakat kelas bawah yang ditandai Lamen ya sanyaman ate `Jika dia dengan posisinya yang secara konsisten menenangkan hati atau membawa berada di bawah. kedamaian` Gambaran protes kelas sosial bawah Ba nansi sanak parana`Itulah terhadap kelas sosial atas dalam kedua saudara kita` cerita terlihat dengan jelas ketika melihat

181

Perbandingan Cerita...(Syaiful B.) | 182

keberadaan pohon pisang yang menjadi atau rakyat terhadap pemimpinnya. pusat permasalahan. Kehidupan nyata Sebagaimana kita ketahui, Sasak dan memperlihatkan bahwa pisang merupakan Samawa termasuk dua suku yang pernah makanan yang sangat identik dengan merasakan “dikuasai” oleh suku atau monyet. Dikatakan demikian karena masyarakat lain. Sasak pernah merasakan keberadaan pisang bagi monyet merupakan penguasaan Karangasem Bali, sedangkan sebuah makanan sangat digemari. Hal yang Samawa oleh Goa . Meskipun pola menjadi permasalahan adalah penguasaan kedua suku ini berbeda, tentu ketidaktahuan monyet mengenai bagian terdapat kesamaan terkait ketidakpuasan pisang yang ditanam dan cara atau ketidakadilan perlakuan oleh penanamannya. Sebagai tokoh yang masyarakat yang “menguasai” terhadap memiliki makanan khas berupa pisang, masyarakat yang “dikuasai”. Penyampaian tokoh monyet seharusnya mengetahui ketidakpuasan atau ketidakadilan itu tidak bagian dan cara penanaman pohon pisang bisa dilakukan dalam ruang publik tersebut. Sebaliknya, tokoh kura kura sehingga dibutuhkan penyaluran alternatif maupun tokoh katak yang tidak menjadikan dan cerita rakyat merupakan salah satu pisang sebagai makanannya justru media penyaluran tersebut. mengetahui bagian dan cara penanaman pisang sehingga pisang yang ditanamnya 5. Penutup memiliki perkembangan yang sangat baik Perbandingan cerita rakyat Samawa dibandingkan pisang yang ditanam monyet. dan Sasak dilakukan dengan melihat Dua hal kontradiktif inilah yang dikatakan persamaan dan perbedaan. Persamaan dan sebagai wujud protes masyarakat bawah perbedaan tersebut berada pada beberapa terhadap masyarakat atas yang secara halus bagian yang dikelompokkan menjadi tertuang dalam cerita Tegodek dait Tetuntel miteme-miteme. Pengelompokkan ke maupun Ne Bote Ne Kakura. dalam miteme-miteme menjadikan

Monyet Pisang Tidak tahu persamaan maupun perbedaan dari

Bagian pasangan-pasangan cerita terlihat dengan Makanan dan cara tanam jelas. pisang Nonpisang Tahu Kodok Perbandingan terhadap pasangan cerita

memperlihatkan adanya perbedaan pola Protes masyarakat kalangan bawah yang secara konsisten terlihat pada ketiga terhadap masyarakat kalangan atas juga pasangan cerita. Pada pasangan cerita Batu bisa dikatakan sebagai protes masyarakat 183 | Mabasan, Vol. 12, No. 2, Juli--Desember 2018: 167--184

Goloq dan Batu Plantolan terlihat adanya yang dialami oleh kedua masyarakat persamaan pada miteme “permasalahan tersebut. yang dihadapi”, sedangkan perbedaan terlihat pada miteme “latar belakang Daftar Pustaka kehidupan” dan “cara menyelesaikan Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2003). “Dari masalah”. Persamaan pada padangan cerita Antropologi Budaya ke Sastra dan Mandalika dan Lala Buntar terlihat pada Sebaliknya” dalam Sastra Interdisipliner: Menyandingkan miteme “latar belakang tokoh” dan Sastra dan Disiplin Ilmu Sosial “permasalahan yang dihadapi”, sedangkan Lainnya. Sirojuddin Arif (penyunting). Yogyakarta: Qalam. perbedaannya terdapat pada miteme “cara menyelesaikan permasalahan”. Ahimsa-Putra, Heddy Shri. (2013). Strukturalisme Levi-Strauss: Mitos Pola persamaan dan perbedaan pada dan Karya Sastra. Yogyakarta: Kepel pasangan cerita Tegodek dait Tetuntel Press. dengan Ne Bote Ne Kakura. Kedua cerita Bahri, Syaiful dkk. (2015). “Relasi ini memiliki persamaan pada semua Kekerabatan Sastra Sasak dan Samawa rangkaian cerita. Perbedaan terlihat pada di Pulau Lombok dan Sumbawa” (Laporan Penelitian). Mataram: peran tokoh protagonis yang menemani Kantor Bahasa NTB. monyet sebagai tokoh antagonis. Tokoh Bahri, Syaiful. (2014). “Analisis Struktural katak merupakan tokoh protagonis dalam Fabel Tegodek dait Tetuntel: Representasi Perilaku dalam Tegodek dait Tetuntel, sedangkan tokoh Masyarakat Sasak. Jurnal Mabasan kurakura sebagai tokoh protagonis dalam Volume 8 Nomor 2 Juli—Desember 2014. Mataram: Kantor Bahasa Ne Bote Ne Kakura. Provinsi NTB. Perbandingan dengan melihat Burhanuddin. (2010). “Sejarah Komunitas persamaan dan perbedaan tersebut Sumbawa di Pulau Lombok: Suatu menunjukkan adanya pola yang konsisten Telaah Perspektif Linguistik”. Mataram: Universitas Mataram. dalam menyelesaikan masalah. Pola yang konsisten tersebut menunjukkan adanya Damono, Sapardi Djoko. (2009). Sastra Bandingan. Jakarta: Editum. kecenderungan ketertutupan pada masyarakat Sasak yang beroposisi dan Danandjaja, James. (2002). Folklor : Ilmu Gosip, Dongeng, dan keterbukaan pada masyarakat Samawa. Lain-Lain. Jakarta: Pustaka Utama Keterbukaan dan ketertutupan itu tidak bisa Grafiti. dilepaskan dari perbedaan latar belakang Endraswara, Suwardi. (2009). Metode sejarah berupa perbedaan pola kolonialisasi Penelitian Folklor: Konsep, Teori, dan

183

Perbandingan Cerita...(Syaiful B.) | 184

Aplikasi. Yogyakarta: Media Wacana, Lalu. (1988). Sejarah Daerah Pressindo. Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Depdikbud. Endraswara, Suwardi. (2011). Sastra Bandingan: Pendekatan dan Teori Pengkajian. Yogyakarta: Lumbung Ilmu.

Eriyanto. (2013). Analisis Naratif: Dasar- dasar dan Penerapannya dalam Analisis Teks Berita Media. Jakarta: Kencana.

Mahsun, (2006). Bahasa dan Relasi Sosial: Telaah Kesepadanan Adaptasi Linguistik dengan Adaptasi Sosial. Yogyakarta: Gama Media.

Mantja, Lalu. (2011). Sumbawa pada Masa Dulu (Suatu Tinjauan Sejarah). Sumbawa Besar: Samratulangi.

Mbete, Aron Meko. (1990). “Rekonstruksi Protobahasa Bali-Sasak-Sumbawa” (Disertasi). Jakarta: Universitas Indonesia.

Ratna, Nyoman Kutha. (2009). Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rokhman, Muh. Arif. (2003). “Pendahuluan: dari Monodisipliner menuju Interdisipliner” dalam Sastra Interdisipliner: Menyandingkan Sastra dengan Disiplin Ilmu Sosial. Sirojuddin Arif (penyunting). Yogyakarta: Qalam.Safarudin, Balok. 2011. Kumpulan Cerita Rakyat Sasak. Pringgabaya: CV Gumi Sasak.

Sugiyono. (2008). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfabeta.

Taum, Yoseph Yapi. (2011). Studi Sastra Lisan: Sejarah, Teori, Metode, dan Pendekatan Disertai Contoh Penerapannya. Yogyakarta: Lamalera.