Peranan H. dalam gerakan pembaruan di Minangkabau awal abad XX

Oleh : Rudi Sutrisna NIM K 4402514

BAB IV HASIL PENELITIAN

A. Gagasan dan Pandangan H. Abdul Karim Amrullah Tentang Pelaksanaan Syariat Islam di Minangkabau H. Abdul Karim Amrullah di kenal dengan nama Haji Rasul atau Inyik de- er (Doktor), lahir di sungai Batang, Maninjau pada tanggal 10 Febuari 1879 sebagai seorang anak bernama Syaikh gelar Tuanku Kisai. H. Abdul Karim Amrullah memperoleh pendididkan elementer secara tradisional di berbagai tempat di Minangkabau dan pada tahun 1894 pergi ke Mekah untuk belajar selama 7 tahun. Pada tahun 1903 H. Abdul Karim Amrullah kembali ke Mekah untuk kedua kalinya dan pulang ke Minangkabau 1906. Tanpa membatasi dirinya pada suatu kampung atau kota tertentu, melainkan mengunjungi Panjang. Pendekatan yang dilakukan bersifat keras tanpa maaf dan kompromi. Sikap yang bermusuhan terhadap dan kepada ninik mamak pada waktu itu membedakan dari sahabat – sahabat yang lain, termasuk Syaikh Djambek dan Haji .(Deliar Noer, 1980 : 45) H. Abdul Karim Amrullah banyak bepergian keluar Minangkabau, terutama ke Jawa dan Malaya. Di Jawa, H. Abdul Karim Amrullah berhubungan dengan para pemimpin dan Muhammaiyah. Setelah perkenalannya H. Abdul Karim Amrullah membawa ke Minangkabau tahun 1925, dan beberapa tahun kemudian menyebar sangat pesat di seluruh daerah. H. Abdul Karim Amrullah sangat aktif dalam gerakan pembaruan, Suraunya di Padang Panjang berubah nama menjadi Thawalib, sistem sekolah reformis muslim yang melahirkan Persatuan Muslimin (PERMI ). H. Abdul Karim Amrullah juga menjadi penasehat Persatuan Guru- Guru Agama Islam ( PGAI ), pada tahun 1920 dan memberikan bantuannya bagi pendirian sekolah menengah Normal Islam di Padang pada tahun 1931. H. Abdul

Karim Amrullah berjuang melawan komunisme dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan menyerang ordonansi sekolah liar pada tahun 1932. Karena gagasan para pembaru di Minangkabau hampir sama dengan H. Abdul Karim Amrullah, 41 maka sebagai pembaru gerakan pembaruan Islam di Minangkabau H. Abdul Karim Amrullah mengeluarkan gagasan sebagai berikut :

1. H. Abdul Karim Amrullah dan Tauhid (Teologi) ‘llm at-Tauhid (Ilmu Keesaan atau Teologi) menurut H. Abdul Karim Amrullah merupakan ilmu penting dan besar dalam Islam. ‘llm at- Tauhid katanya, membicarakan sifat- sifat Tuhan dan semua Nabi-Nya, orang-orang suci yang dikirim oleh Tuhan untuk manusia bermula dari Adam dan berakhir dengan Muhammad. Tauhid merupakan yang termasyur karena membicarakan Tuhan serta orang- orang suci dan masalah- masalah agama terpenting. Dalam membicarakan sifat Keesaan Tuhan H. Abdul Karim Amrullah mengambil satu ayat Al- Qur’an dari Surat Al- Ikhlas, surat ke 112, Allahu ahad dalam surat ini harus ditafsirkan sebagai “ Allah adalah Maha Esa”, Allah tidak terdiri dari berbagai unsur, karena jika kemudian, Ia dapat di bagi- bagi dalam bagian- bagian kecil atau disentuh oleh salah satu panca indra dan dengan demikian tidak bisa berupa Maha Esa. H. Abdul Karim Amrullah menambahkan, Allah adalah Maha Esa dalam Zat-Nya, sifat-Nya, perbuatan-Nya dan hak-Nya. Tidak satu pun diantara makhluk ciptaan, apakah ia seorang Nabi atau Rasul, boleh menolak hukum yang ditetapkan Tuhan. (Murni Djamal. 2002 :30) Gagasan- gagasannya ditampilkan lewat kecamannya terhadap kepercayaan orang Jepang bahwa Tenno Heika adalah Tuhan Yang Maha Kuasa yang harus disembah oleh bangsa Jepang dan semua bangsa yang mereka jajah, terutama di Asia Timur sebelum Perang Dunia II. Penyembahan Tenno Heika pada waktu itu dikenal sebagai Seikerei atau membungkuk ke arah Istana Kekaisaran Tenno Heika, sebelah timur laut Pulau Jawa. Pada awal tahun 1943, H. Abdul Karim Amrullah bertindak sebagai salah seorang pemimpin rapat, bersama dengan 59 pemimpin agama lainnya di Pulau Jawa. Rapat ini dilangsungkan di Bandung dan H. Abdul Karim Amrullah adalah satu- satunya orang yang tetap duduk. Hal ini dianggap sebagai tantangan terbuka terhadap Jepang dan celaan terhadap sesama Muslimin. (. 1967 : 150- 151) menceritakannya sebagai berikut : Semuanya, benar- benar semuanya berdiri. Seorang meneriakkan perintah, Seikerei. Semuanya menundukkan kepala memberi hormat ke arah istana. Semua orang Muslim yang baik, berpakaian sorban dan jubah…semuanya memberi hormat. Hanya satu pria tua bertubuh kecil, yang sorotan matanya penuh keyakinan agama dan dengan hati baja…dia satu- satunya yang tetap duduk, dan tidak ambil bagian dalam upacara…Orang itu adalah H. Abdul Karim Amrullah. Ia melakukan hal itu walaupun di kelilingi oleh orang- orang Jepang, yang masing- masing menggunakan pedang panjang

Beberapa menit setelah upacara Seikerei. usai, ia mengatakan :” menganut dan memelihara suatu kepercayaan tidak selamanya mengundang bahaya, selama kita beribadah hanya kepada Tuhan. Walaupun aku tetap duduk ketika upacara Seikerei, tidak berarti bahwa aku melawan perintah tentara Jepang, tetapu aku menaati perintah Tuhanku. Allah melarangku untuk melakukan rukuk ( membungkuk rendah) terhadap siapa pun kecuali terhadap Dia. Tuan Kolonel Horie (Kepala Depertemen Urusan Agama pada pendudukan tentara Jepang di Indonesia) tidak mengecewakanku, karena aku telah memegang teguh perintah agamaku, sama seperti dirinya yang menunjukkan kesetiaan terhadap agamanya”. (Murni Djamal. 2002 : 31) Peristiwa di atas menunjukkan betapa kuat keyakinan agama H. Abdul Karim Amrullah. Ia memerlukan waktu setengah menit untuk menunjukkan sikap keIslaman yang benar, serta kepercayaannya yang kuat akan Yang Maha Esa,menentang” kekaisaran para Penyembah Dewa”. Bagi dia, Tuhan adalah Yang Tunggal, yang kepada-Nya-lah manusia harus menyerahkan seluruh hidupnya, tidak kepada raja, presiden, atau kaisar dari segala kaisar. Sejak kejadian di atas, Jepang terpaksa menyerah pada pendapatnya agar tidak menghancurkan jerih payah yang telah dicapai para pemimpin muslim. Muslimin akhirnya berhak untuk tidak melakukan Seikerei sebelum memulai pertemuan- pertemuan agama. H. Abdul Karim Amrullah mengkritik keras dasar kepercayaan Jepang, yang menurutnya bertentangan dengan ajaran Islam. H. Abdul Karim Amrullah percaya bahwa semua makhluk harus menyerahkan diri pada Yang Maha Esa, apa pun kedudukan dan kekuasaan mereka, dan harus menempatkan semua undang- undang dan peraturan, dibawah pengawasan hukum Tuhan atau setidaknya harus merumuskannya dengan cara yang tidak bertentangan. Kritik H. Abdul Karim Amrullah terhadap dasar kepercayaan Jepang di terima oleh penguasa Jepang, Khususnya Kolonel Horie. Semula pejabat- pejabat Jepang memperkirakan penjelasan dan perbandingan dasar kepercayaan antara kedua bangsa bisa menciptakan dampak politik. Mereka berharap, jika mereka mengenal dasar kepercayaan kaum Muslimin di Indonesia, mereka akan mampu mendekatinya melalui berbagai saluran agama yang akan dibentuk. Hasilnya diharapkan, dapat melanggengkan pendudukan militer Jepang di Indonesia.(Hamka. 1967 : 210) H. Abdul Karim Amrullah juga berhasil menunjukkan kepada sesama Muslimin di Indonesia bahwa, dari sudut pandangan agama, bangsa Jepang dan bangsa Indonesia di pisahkan oleh lembah yang tak dapat dijembatani. H. Abdul Karim Amrullah menolak pendapat sejumlah pemimpin Indonesia yang percaya pada seorang pejabat Jepang, H. Abdul Muniam Inada, yang mengatakan : Semangat Dai Nippon dan semangat Islam (demikian ditulis oleh seorang Muslim Jepang di Jawa) sangat dekat satu sama lain, dan hampir tidak ada perbedaan antara keduanya. Bangsa Indonesia hendaknya memahami hal itu. (Murni Djamal. 2002 : 32) Kolonel Horie, tidak lama setelah mempelajari dasar kepercayan kaum Muslim Indonesia, kembali ke Tokyo, dan menyerahkan pimpinan kepada sejumlah orang Muslim Jepang. Di lain pihak H. Abdul Karim Amrullah, yang tanpa kompromi menantang Dai Nippon dan kaisarnya, ditunjuk oleh pejabat- pejabat Jepang di sebagai penyelenggara berbagai kegiatan agama di Indonesia.

2. H. Abdul Karim Amrullah dan Al- Qur’an dan Hadist Al-Qur’an dan Hadist sangat penting bagi H. Abdul Karim Amrullah, karena pandangan fundamental menekankan bahwa sumber- sumber ini mewakili Islam dalam bentuk murni dan Islam dalam bentuk itu bisa disesuaikan pada situasi dan konsep yang berlaku di dunia modern. Al- Qur’an adalah unik, kata H. Abdul Karim Amrullah, karena berbeda dengan tulisan mana pun, manusia tidak mampu menghasilkan sesuatu yang mirip atau hampir serupa dengan itu, baik dari segi gaya maupun isi. Al- Qur’an itu sendiri menantang, tidak juga berbahasa Arab tetapi juga seluruh umat manusia, untuk menciptakan satu surat yang hampir sama seperti surat Al- Qur’an. Akan tetapi sampai sekarang, tidak seorang pun bisa menjawab tantangan itu. Al- Qur’an sendiri menjamin tidak akan ada orang yang mampu melakukannya. H. Abdul Karim Amrullah mengawali pembicaraannya tentang sifat Al- Qur’an dan Islam, dengan menyebut satu ayat surat Al- Baqarah (lembu) : “Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakanmu dan orang- orang sebelum kamu agar kamu bertaqwa”. Ia mengatakan perintah- perintah dan larangan- larangan Tuhan tidak dapat dipratekkan kecuali bila orang memeluk agama, karena agma adalah ukuran perilaku seorang manusia. H. Abdul Karim Amrullah berpendapat, tidak ada pilihan lain bagi seorang Muslim (dia yang memeluk Islam sebagai agamanya) kecuali mempelajari kitab suci, Al- Qur’an, memahami penafsirannya dan mempratekkannya dalam kehidupan sehari- hari. Al- Qur’an merupakan kitab yang mencatat semua peraturan Tuhan danmudah dipahami oleh setiap orang sesuai dengan tingkat pengetahuannya. Karena itu apabila mereka yang tidk mau memakai Al- Qur’an sebagai pembimbing kehidupan adalah orang yang berjalan dalam kegelapan dan tidak tahu arah.(Murni Djamal. 2002: 33) H. Abdul Karim Amrullah memperingatkan kaum Muslimin, terutama para tukang sihir hitam, untuk tidak menggunakan ayat- ayat Al- Qur’an bagi tujuan- tujuan keliru seperti azimat (jimat) yang dikalungkan di leher, atau alat- alat larab (ramalan). Di lain pihak, H. Abdul Karim Amrullah menasehati kaum Muslimin untuk mempelajari Al- Qur’an secara intensif dan menyelidiki semua makna tersenbunyi. Semua qissah (cerita) didalam Al- Qur’an, kata H. Abdul Karim Amrullah, hendaknya diambil sebagau teladan untuk diterapan dalam praktek sehari- hari, Al- Qur’an hendaknya dijadikan Imam (pemimpin) dalam semua kelakuan dan tindakan serta dijadikan batu uji sewaktu berpikir dan ijtihad (penilaian independen dalam masalah hukum atau teologi).(Hamka. 1967: 9-10) Berbicara tentang Sunnah (ucapan, tindakan dan perilaku Nabi), H. Abdul Karim Amrullah mengatakan bahwa Sunnah merupakan sumber independen bagi ajaran- ajaran Islam disamping Al- Qur’an, karena Sunnah memutuskan, mengatur, maupun menafsirkan apa yang tidak ditemukan atau tidak diterangkan dengan jelas didalam Al- Qur’an. Memang Al- Qur’an itu lengkap, tetapi agar kaum Muslimin benar- benar dapat mengerti suatu masalah secara mendetail, maka diperlukan penafsiran dan jika perlu, Nabi akan mengeluarkan undang- undang baru untuk menguraikan apa yang tidak disebut secara rinci didalam Al- Qur’an. Ini dilakukan hanya dalam keadaan darurat atau daruriyyah, jika terdapat suatu kasus khusus di masyarakat yang perlu diatasi. Perlu diingat, tidak seluruh kelakuan Nabi menjadi hukm untuk diikuti dalam kehidupan Muslimin, karena ada beberapa tindakan yang tidak dituntutnya untuk diikuti.

3. H. Abdul Karim Amrullah dan Mistik H. Abdul Karim Amrullah menggambar maksud tasawwuf (mistik), (R. L. Archer yang dikutip Murni Djamal. 2002: 35) sebagai berikut : a) Untuk membersihkan tujuan iman seseorang dari bid’ah, yaitu tujuan- tujuan yang tidak berdasarkan ajaran- ajaran Al- Qur’an dan Sunnah atau yang bertentangan dengan iman dan tujuan Nabi serta para Sahabatnya yang termasyhur. b) Untuk membersihkan rahasia- rahasia manusia serta tujuan tersembunyinya dari kemunafikan dan kecemburuan yang mungkin diungkapkan dengan cara yang sangat halus.

Menurut H. Abdul Karim Amrullah, jika seorang sufi sanggup memenuhi tujuan- tujuan tasawwuf, maka ia adalah pengikut Sunnah Nabi, dan salah satu anggota umat terpilih di bumi. Dalam komentarnya mengenai praktek- praktek komtemporer di bidang mistik dimana orang menganggap rabitah (penengah) diperlukan untuk menjadi perantara antara seorang sufi dan Tuhannya, H. Abdul Karim Amrullah mengatakan, praktek seperti itu tidak mempunyai dasar dalam ajaran Nabi dan para Sahabatnya. H. Abdul Karim Amrullah berpendapat, disamping mereka yang benar- benar mistikus dihati dan karyanya, ada orang lain yang menyebut dirinya mistikus, yang menundukkan kepalanya dengan sorban dan jubah, yang setelah berdoa dan melaksanakan tindakan ibadah, tidak menginginkan pakaian bagus, atau hal- hal duniawi lainnya, memisahkan diri dari orang lain, tidak menginginkan makanan lezat, menolak ini dan itu bagi dirinya, dan sama sekali berserah pada ibadah dan pengulangan zikir (mengingat Tuhan). Praktek- praktek itu bukanlah mistik sebenarnya dan hendaknya dianggap sebagai menyesatkan. H. Abdul Karim Amrullah mengatakan, jika seseorang ingin menjadi sufi yang baik, ia harus membersihkan hatinya dari semua sifat- sifat kotor, membersihkan imannya dari inovasi- inovasi yang tidak ditemukan dalam Al- Qur’an dan Hadist, dan membersihkan rahasia- rahasia tersembunyinya dari kemunafikan dan kecemburuan. H. Abdul Karim Amrullah berpendapat, dengan mengikuti watak sempurna Nabi Muhammad sufi yang baik bisa menjaga dan memurnikan semua anggota tubuh dari dosa dan perilaku keji, sehingga mampu mempraktekkan perilaku baik dan bersikap wajar terhadap semua makhluk ciptaan Tuhan.(R. L. Archer yang dikutip Murni Djamal. 2002: 36) Serangan yang pedas terhadap praktek- praktek mistik, khususnya diarahkan pada tarekat Naqsyabandiyah. Pada tahun 1906, sekembalinya dari Mekah, H. Abdul Karim Amrullah dan beberapa rekannya terlibat dalam diskusi panjang mengenai tarekat Naqsyabandiyah dengan kelompok penentangnya (kaum tua atau tradisional). H. Abdul Karim Amrullah, H. Abdullah Ahmad, Syekh Daud Rasyidi, dan Syekh Abbas adalah kaum muda yang berasal dari daerah darat (pedalaman), sedangkan para lawannya adalah ulama yang lebih tua, berasal dari Padang (Pantai barat Sumatra). H. Abdul Karim Amrullah sebagai juru bicara tunggal kelompok darat, menyerang praktek- praktek para pengikut tarekat Naqayabandiyah yang menganggap Syekh (guru sufi) sebagai mata rantai antara Tuhan dan pemuja-Nya, yang menurutnyamerupakan praktek yang tak pernah dikenal maupun diajari oleh Nabi Muhammad. H. Abdul Karim Amrullah berpendapat siapa pun yang ingin lebih dekat dengan Tuhan, boleh langsung menghubungi-Nya sendiri, seorang diri, setiap saat dimana pun ia menginginkannya. Penggunaan Syekh sebagai penengah (rabitah) antara Tuhan dan manusia merupakan musyrik. (Hamka. 1967: 77) Kaum tua dapat dikalahkan oleh kaum muda, karena tidak mempunyai argumen- argumen kuat dan masuk akal untuk membela pandangan mereka. Walaupun demikian, kaum tua seperti Syekh Khatib Ali, Syekh Bayang, Tuanku Syekh Seberang Padang, tetap menolak gagasan- gagasan kaum muda. Pandangan- pandangan mereka dibela dengan mengatakan, para murid (orang baru) sendiri tidak tahu bagaimana menemukan jalan baik dan sempurna untuk memuja Tuhan, karena itu mereka memerlukan bimbingan. Pembimbing ini haruslah seseorang yang berpengetahuan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan orang baru, karena itu seorang Syekh dapat mengantar para murid ke jalan yang benar. Itulah alasan mengapa Syekh (rabitah) dibutuhkan.

4. H. Abdul Karim Amrullah dan Pandangannya tentang Taqlid Dalam upayanya untuk mendukung ijtihad dan meninggalkan taqlid, H. Abdul Karim Amrullah dan kelompoknya kaum muda, pertama- tama membicarakan pentingnya ‘aql (nalar, akal sehat). Menurut kaum muda, ‘aql adalah salah satu sarana penting yang diberikan Tuhan kepada umat manusia, yang dapat digunakan untuk mempelajari dan memahami jagad raya dan memanfaatkannya untuk meraih kebahagiaan. Namun demikian, sangat mengherankan bahwa manusia hanya mau menggunakan akal dalam aspek-aspek duniawi, dan banyak orang tidak mau menggunakannya dalam hal- hal agama. Menurut kaum muda, hal ini tidak ada gunanya, jika kaum tua merasa puas dengan undang- undang dan peraturan mengenai masalah- masalah agama yang diputuskan ahli hukum dan ahli teologi zaman abad pertengahan, dan tidak bermaksud untuk mengamatinya kembali atau apabila perlu menyesuaikannya.H. Abdul Karim Amrullah mengatakan” orang berakal harus memahami Tuhan dan peraturan-peraturan-Nya agar dapat menjalankan perintah dan larangan-Nya sebagaimana mestinya”. Oleh karena pemahaman tepat dari peraturan-peraturan Tuhan tidak akan diperoleh bila seseorang menerima sepenuhnyahukum yang ditetapkan pada abad pertengahan, maka kaum Muslimin, terutama para pemimpinnya harus kembali ke sumber-sumber asli ajaran- ajaran Islam, yaitu Al- Qur’an dan Hadist, karena disini mereka akan menemukan perintah- perintah Tuhan yang sebenarnya mengenai masalah- masalah keagamaan tertentu. (B. J. O. Schrieke.1973: 58-59) Ilmu yurisprudensi Islam sangat bermanfaat membantu Muslimin mengerti pengetahuan Islam sebagai suatu kesatuan lewat upaya perorangan tanpa secara buta mendasarkan pendapat pada apa yang telah ditetapkan dulu. Disamping itu, dengan menguasai ilmu ini, orang Muslim dapat melihat sendiri perbedaan antara praktek- praktek religius yang diterima Tuhan dan praktek- praktek yang tidak dapat diterima.”Kita tidak boleh melakukan praktek religius”, kata H. Abdul Karim Amrullah.”kecuali bila kita mengetahui apa keputusan Tuhan mengenai praktek tersebut”. (B. J. O. Schrieke. 1973: 59) Walupun H. Abdul Karim Amrullah menolak sikap taqlid, tidak berarti H. Abdul Karim Amrullah menyangkal upaya-upaya penting para ahli hukum dan teologi abad pertengahan di bidang hukum Islam. H. Abdul Karim Amrullah tetap menghormati sumbangan-sumbangan para ahli teologi abad pertengahan, namun tidak menyetujui mereka yang menganggap ketetapan para ahli teologi ini tidak dapat lagi. Pendapat-pendapat para ahli teologi perlu untuk dipelajari dan dianalisis kembali, tetapi tidak diterima secara buta. Jika ajaran-ajaran dan gagasan-gagsan tidak bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadist, maka patut diikuti, di lain pihak jika gagasan tersebut bertentangan dengan sumber-sumber murni ajaran Islam, maka harus ditinggalkan. Satu hal yang bisa ditambahkan, H. Abdul Karim Amrullah sendiri sebelumnya adalah seorang pembela taqlid. Perkenalannya dengan buku-buku keempat mahzab dan sumber-sumber yang ditulis oleh Ibnu Taimiyyah dan Ibnu al-Qoyyim serta pemikir-pemikir muslim lain mengenai yurisprudensi Islam dan sumber-sumbernya mengubah pemikirannya dan menjadikannya sebagai pembela itjihad. Dalam bukunya Sullam al-Wusul, yang disunting putranya Hamka dan diberi judul Pengantar Usul Fiqh. (1960:122), mengumumkan perubahan sikap dengan mengatakan : Berbagai pernyataan yang pernah saya ungkapkan dalam tulisan-tulisan saya, seperti Izhar Asatir al-Mudillin (Uraian tentang Orang-orang yang Sesat) dimana mutjahid berhenti setelah meninggalnya empat Imam yurisprudensi Islam, hendaknya dipahami bahwa pendapat-pendapat itu didasarkan terhadap taqlid saya terhadap para ulama tua, waktu itu saya belum mengetahui cara terbaik untuk mengamati dan menganalisis alasan- alsan mereka. Mulai sekarang, saya menyatakan kepada semua orang Muslim, saya membuang semua pendirian saya mengenai (membela) taqlid dan mendukung sepenuhnya pendapat-pendapat ulama lain yang menyatakan bahwa mutjahid tidak akan berakhir sampai hari kiamat.

Qur’an dan hadist adalah dua sumber utama ajaran Islam, sedangkan ijm’ dan maslahah mursalah (memperhitungkan kepentingan umum atau kesejahteraan manusia) hanya bisa digunakan dalam keadaan darurat. H. Abdul Karim Amrullah menasihati semua orang agar tidak berpura-pura menjadi orang terpelajar apabila tidak mengerti satu hal pun. Dalam peringatannya kepada para pembela taqlid terutama kaum tua (tradisional), H. Abdul Karim Amrullah mengatakan tidak satu pun di antara para ulama yurisprudensi Islam yang termasyhur menyarankan agar para pengikutnya menerima mentah-mentah apa yang diajarkan kepada mereka.. Sebaliknya, mereka mengajurkan untuk mengamati dan menganalisir ajran-ajaran ini melalui kacamata Qur’an dan Hadist. Sukap taqlid dan praktek yang tidak benar, terutama tasawuuf (mistik) merupakan dua pokok utama serangan H. Abdul Karim Amrullah pada awal masa pembaharuan di Minangkabau. Taqlid harus harus ditinggalkan, tegas H. Abdul Karim Amrullah, karena menghalangi kaum muslimin memakai akal budinya untuk mengenal Islam lebih banyak dan mencegah mereka menggali rahasia- rahasia alam sejagad. Di lain pihak setiap serangan terhadap bagian sistem keagamaan oleh kaum tua (tradisional) dianggap sebagai menyangkal agama dan mereka jawab dengan menuduh kaum muda sebagai kafir dan penghujat. Perasaan yang mendalam di antara kaum tua tampak dari serangan emosional yang dilancarkan terhadap gagasan-gagasan dan ajaran-ajaran H. Abdul Karim Amrullah yang dituduh sebagai Wahhabi, menyimpang dari Ahl as-Sunah wa al-Jama’al, menolak aliran-aliran pemikiran yang sudah diterima (mahzab), merusak agama, menjadi Mu’tazilah, menjadi Syi’ah, dan seterusnya. (Murni Djamal. 2002 : 41)

5. H. Abdul Karim Amrullah Mengenai Kepemimpinan Masyarakat Menurut H. Abdul Karim Amrullah supaya untuk mengubah masyarakat Minangkabau harus dimulai dari struktur sosialnya, khususnya mereka yang bertanggung jawab atas Balai Nagari (dewan negeri). H. Abdul Karim Amrullah mengatakan Islam harus lebih tinggi daripada hukum adat ; karena itu petugas- petugas agama adat seperti imam, khatib, dan ulama harus lebih mengetahui dan mengerti ajaran-ajaran Islam serta praktek-prakteknya dibandingkan para penghulu (kepala adat). Sementara para penghulu harus menjadi muslimin yang baik dan lebih mengerti Islam dibandingkan orang biasa. Bila seorang penghulu yang diangkat menjadi kepala suku dibimbing dengan baik oleh kaum ulama maka ajaran-ajaran Islam dapat diterapkan di dalam masyarakat. Hukum Allah adalah satu-satunya hukum yang mengatur masyarakat. Oleh karena hak-hak ahli waris dirusak oleh para petugas adat yang berkuasa di Minangkabau, menyimpang dari ajaran dan hukum Tuhan, maka sesungguhnya para petugas adat telah menerapkan hukum-hukum yang salah. H. Abdul Karim Amrullah memperingatkan jika para petugas adat ingin menghindari permusuhan dengan bangsanya sendiri, pertama-tama mereka harus menyesuaikan semua peraturan agar sesuai dengan ajaran Islam sebelum mengambil keputusan atau penyesuaian. (Murni Djamal. 2002 : 43) Para petugas adat hendaknya meminta nasihat-nasihat yang tepat dari kaum ulama, karena itu para ulama harus berperan penting dalam memimpin masyarakat. H. Abdul Karim Amrullah mengatakan (Alfian yang dikutip dari Murni Djamal. 2002 : 43) : “… yang disebut raja memerintah rakyatnya, sementara mereka yang memberi perintah kepada raja adalah ulama (orang lain) ; maka wajib raja itu diperintah oleh kebenaran yang berasal dari mereka yang pandai agama Islam.”

H. Abdul Karim Amrullah menekankan gagasannya bahwa para penguasa adat di Minangkabau, terutama para penghulu, tidak saja harus menerapkan peraturan dan hukum Islam, tetapi mereka harus dibimbing oleh para pemimpin agama.

6. H. Abdul Karim Amrullah dan Hukum Waris Adat H. Abdul Karim Amrullah menegaskan bahwa hukum waris Islam (al- fara’id) harus dipraktekkan oleh muslim Minangkabau dan bukannya hukum waris adat yang berasala dari leluhur Minangkabau. Hukum waris di Minangkabau tidak berdasarkan garis ibu, yang oleh muslimin di Minangkabau tidak adil, karena ayah, ibu dan anak-anak yang berhubungan erat selama hidup baik fisik maupun spiritual, tidak mewarisi apapun apabila salah seorang di antaranya meninggal. Sebaliknya keponakan yang pertalian darah jauh lebih renggang dan tidak begitu menderita dibandingkan anak-anak atau orang tua yang wafat, ditetapkan oleh hukum waris adat sebagai pewaris tunggal yang sah dari harta paman mereka. H. Abdul Karim Amrullah menegaskan gagasan-gagasan tersebut di atas dengan argumentasi : 1) Adat jahiliyah (peraturan sebelum Islam) mengenai hukum waris yang diciptakan oleh leluhur bangsa Minagkabau, dimana harta seorang ayah harus diserahkan kepada keponakannya dan bukan kepada anak-anaknya, bertentangan dengan hukum Islam yang menetapkan bahwa harta almarhum harus diberikan kepada orang-orang tertentu, seperti ayah atau ibu, anak-anak, suami atau istri yang sah, dan sebagainya. 2) Hukum adat sendiri telah membuktikan keunggulan hukum Islam seperti dinyatakan dalam peribahasa Minangkabau, adat berarti syara’, syara’ bersandi kitabullah (adat berdasar pada syara’ dan syara’ berdasar pada kitab Allah (Al-Qur’an) yang berarti bahwa peraturan-peraturan adat tidak boleh bertentangan dengan hukum Islam. Karena hukum waris matrilineal jelas berlawanan dengan ajaran Islam, maka kita tidak boleh mengikuti adat ini. 3) Dalam tambo Minangkabau (sejarah Minangkabau) dikatakan, “Apabila adat bertentangan dengan syara’ (peraturan Islam), maka hukum adat (tradisi) ini harus ditolak atau dibuang”. H. Abdul Karim Amrullah menghimbau para raja, pejabat pemerintah dan penghulu agar berusaha keras membuang tradisi-tradisi jahiliyah sampai semuanya hilang dari kehidupan masyarakat Minangkabau. Peringatan-peringatan sama juga ditujukan kepada para hakim yang mengadili semua perkara antara anggota suku, untuk memperkuat dan menerapkan hukum Islam jika ingin menemukan jawaban yang baik dan adil bagi masyarakatnya. Selain masalah hukum waris adat, H. Abdul Karim Amrullah masalah hak waris di Minangkabau yang dikenal sebagai harato tuo (kepunyaan leluhur). Harta tua adalah harta benda yang asalnya tidak diketahui. Akan tetapi, dikelola oleh para sesepuh setiap rumah suku ; lalu diwariskan dari satu generasi yang berikut, dari kakek buyut kepada kakek dari kakek kepada paman dan dari paman kepada keponakan, dan seterusnya. H. Abdul Karim Amrullah mengatakan hukum waris Islam tidak bisa dan tidak boleh diterapkan sama sekali. Harta benda itu tidak diwariskan kepada anak, istri, suami atau pewaris-pearis lain seperti telah ditetapkan hukum Islam, karena harta benda itu bukan milik orang yang wafat, melainkan hanya mengelolanya semasa hidupnya. Harta seperti ini sama seperti waqf (hibah). H. Abdul Karim Amrullah tidak menolak pemikiran-pemikiran mantan gurunya, Syekh Ahmad Khatib, yang mengatakan bahwa semua harato tuo di Minangkabau adalah gasab (kepunyaan yang dirampas dengan paksa), karena telah diwariskan para leluhur Minangkabau sejak jaman Jahiliyah kepada generasi berikutnya. Karena itu, mengelolanya adalah haram. Berbeda dengan pendapat gurunya, H. Abdul Karim Amrullah mengatakan gasab berarti menyita milik orang lain dengan cara yang memalukan dan kekerasan. Harato tuo tidak bisa dianggap sebagai gasab, karena para leluhur Minangkabau todak memperolehnya melalui kekerasan atau perampasan, tetapi menerimanya dengan tangan terbuka tanpa mengetahui siapapun yang mungkin menjadi pemilik sebelumnya. H. Abdul Karim Amrullah mengatakan harato tuo diurus menurut hukum adat yang menyatakan tajua indak dimakan bali, tasando indak dimakan gadai atau kepunyaan leluhur tidak boleh dijual atau digadai, dan jika dijual atau digadai tindakan ini tidaklah sah. (Murni Djamal. 2002 : 47) Harato tuo di Minangkabau tidak disebut rampasan, teteapi sifatnya mirip dengan apa yang dikenal dalam ajaran Islam sebagai musabalah (warisan yang dimanfaatkan dan dipetik keuntungannya sesuai dengan hukum adat sejak jaman purbakala). Warisan tersebut harus tetap dikuasai oleh suku dan tidak seorangpun diijinkan menjual, menggadaikan atau menyerahkannya kepada anak-anaknya atau istrinya, dan tidak seorang pun boleh mengasingkan warisan tersebut kepada masyarakat lain.

7. H. Abdul Karim Amrullah dan Gagasan-gagasannya tentang Perempuan Pandangannya mengenai perempuan sangat mirip dengan pandangan- pandangan para pemikir muslimin dan ulama abad pertengahan. Ketika perempuan diharapkan menanti suaminya, tinggal di rumah dan merawat anak- anak. Tampaknya H. Abdul Karim Amrullah tidak perduli untuk mengubah status perempuan dalam arti yang dikenal sekarang sebagai “emansipasi perempuan”, seperti dituntut oleh organisasi perempuan waktu itu. Karena pandangan ortodoksnya timbul polemik dengan siswa-siswa perempuannya maupun dengan beberapa orang di Minangkabau dan di luas daerah. Pandangan ortodoksnya mampu dipertahankan hingga Konferensi Muhammadiyah tahun 1929 di Minangkabau, ketika itu H. Abdul Karim Amrullah harus menghadapi kenyataan bahwa perempuan diijinkan ambil bagian dalam kegiatan-kegiatan keagamaan seperti laki-laki. Sesudah konferensi berlangsung, H. Abdul Karim Amrullah tampaknya mengubah sedikit pandangannya mengenai perempuan dan muslimin pada umumnya, terutama apa yang disebut ide kemajuan. H. Abdul Karim Amrullah mengatakan (Murni Djamal. 2002 : 48) : “Wahai muslimin! Marilah kita mempelajari semua pengetahuan yang perlu dan bermanfaat bagi kehidupan kita di dunia dan di akherat dari orang Eropa, Amerika, Afrika, Hindustani, Turki, Australia, dan Jepang. Pelajari semua jenis pengetahuan dan kemampuan mereka untuk tujuan-tujuan kita tanpa mengabaikan dan sengaja memberontak terhadap perintah-perintah dan larangan-larangan Allah dan Rasul-Nya. Capailah tingkat kemajuan tertinggi, tetapi ingat bahwa kelakuan kamu dalam urusan agama hendaknya hanya diatur oleh Qur’an dan Hadist, tidak oleh cara berpikir ajaran-ajaran Barat.”

Namun, gagasan sekitar “emansipasi perempuan”, di mana laki-laki dan perempuan diharapkan mempunyai hak yang sama di segala bidang, H. Abdul Karim Amrullah selalu berada di pihak oposisi. H. Abdul Karim Amrullah mempertahankan pendapatnya bahwa perempuan yang fisiknya lemah, tidak bisa mempunyai hak yang sama seperti laki-laki yang oleh Tuhan diciptakan bertubuh kuat agar mampu melindungi perempuan dalam kehidupan.

B. Pola Pendidikan Sumatra Thawalib Sekolah Sumatra Thawalib merupakan sekolah yang paling berpengaruh yang didirikan oleh Reformis Muslim di Minangkabau. Sekolah ini berhasil menciptakan pemimpin-pemimpin agama dan pendukung-pendukung gerakan pembaharuan. H. Abdul Karim Amrullah merupakan pendiri dan guru utama sekolah reformis ini. Perubahan menjadi sekolah berkelas diawali Surau Jembatan Besi Padang Panjang di bawah pimpinan Syekh Abdul Karim Amrullah dan menamakan sekolahnya dengan Sumatra Thawalib. Hamka menceritakan (yang dikutip Murni Djamal. 2002 : 62) : “Setelah kembali dari kunjungannya ke jawa pada tahun 1917 di mana H. Abdul Karim Amrullah bertemu dengan para pembaru terkenal di pulau Jawa seperti H.O.S. Cokroaminoto, ketua PSII (Persatuan Sarikat Islam Indonesia), dan K.H. , ketua Muhammadiyah suatu organisasi Islam non-politik.Ia mulai melancarkan gagasan baru untuk menggunakan sistem lulus bagi tujuan pendidikan. Ia terkesan dengan sistem pendidikan Muhammadiyah di Jawa di mana siswa-siswa menerima pelajaran dari guru-guru mereka di dalam kelas. Ia mulai mengubah garis tradisional sekolahnya dan meniru sistem di Jawa. Awalnya ia membagi para murid dalam tiga tingkat dengan memperkenalkan sistem tiket untuk membedakan siswa tingkat rendah dari yang paling tinggi. Tingkat pertama diberi tiket hijau, tingkat kedua tiket kuning, dan tingkat ketiga tiket merah.”

1. Sistem Halaqoh Sistem pengajian atau pendidikan yang dipakai surau-surau di Sumatra Barat, yaitu terbuka, duduk bersila mengitari guru yang mengajar, bebas tanpa kelas, diselenggarakan pagi sampai siang sampai sore atau juga malam hari setelah Maghrib sampai waktu tidur tiba. Perubahan dan pembaharuan yang pertama- tama sekali dilaksanakan di surau nin dengan menyelenggarakan pendidikan berkelas mulai tahun 1918. Sebelumnya dilaksanakan secara tradisional, sistem halaqoh. Murid- murid dan guru bersama- sama duduk dilantai membentuk lingkaran, kemudian guru membacakan kitab dan menerangkan isinya, murid- murid mendengarkan, berusaha memahami dan menghafal apa yang didengar dari guru. (Burhanuddin Daya, 1990: 113) 2. Sistem Pembagian Kelas H. Jalaluddin Thaib, seorang mantan murid H. Abdul Karim Amrullah, menyarankan untuk memperkenalkan cara- cara pengajaran modern di Thawalib, sistem kelas, pemakaian bangku sekolah, kurikulum yang lebih teratur dan kewajiban pada siswa untuk membayar uang sekolah. Membangun Sumatra Thawalib dari pengajian surau menurut sistem kelas lama menjadi sekolah berkelas ternyata amat sulit. Pada mulanya, kelas akan ditetapkan hanya tiga, yaitu kelas 1,2 dan 3 bisa tetap dipertahankan satu kelas. Kemudian kelas 1A, 1B, 1C dan 1D menjelma menjadi kelas 1,2,3, dan 4, kelas2A dan 2B menjadi kelas 5 dan 6, kelas 3 menjadi kelas 7. Umumnya Sumatra Thawalib mempunyai 7 kelas (dari kelas I sampai VII), seperti Madrasah Diniah juga. Perbedaan yang nyata antara keduanya ialah Madrasah Diniah memakai kitab-kitab baru yang dikarang oleh ulama Mesir untuk madrasah-madrasah mesir, sedangkan untuk kelas-kelas yang rendah dipakai kitab-kitab karangan almarhum Zainuddin Labai Al-Yunusi dan guru-guru agama yang lain. Tetapi Sumatra Thawalib masih tetap memakai kitab-kitab yang lama juga. (Mahmud Yunus. 1979 : 73) Dalam menyempurnakan perubahan, kondisi murid harus mendapat perhatian utama. Usia murid sangat berbeda, bercampur antara anak-anak, remaja, dewasa dan ada juga yang sudah menjadi ayah dari beberapa orang anak, harus dipertimbangkan. Begitu juga latar belakang pendidikan mereka, karena ada murid yang sudah pernah sekolah di sekolah desa atau sekolah pemerintah, ada yang sudah belajar di Diniah School, ada pula yang masih buta huruf, dan sebagainya. Ada pula yang sudah pendar membaca tulisan Arab atau tulisan latin, ada yang belum. Ada murid yang baru berumur 10 tahun dan ada pula yang sudah berusia 30 tahun, semua terpaksa dicampur di kelas yang sama, untuk mengikuti sistem baru dan menerima pelajaran baru pula. Pemberian pelajaran berkelas di Sumatra Thawalib baru sempurna dilaksanakan pada tahun 1921. Mulai saat itu pula Haji Rasul menukar berbagai kitab yang selama ini dipakai dengan kitab-kitab yang baru, terutama bagi murid- murid kelas 7-nya. Kitab Ibn Rusyd, Bidayat al-Mutjahid mulai diajarkan, begitu juga kitab-kitab lain seperti Ushul A Ma’mul, Al-Muhazzab, dan lain-lain. Sebenarnya sistem Sumatra Thawalib itu adalah sistem yang amat cepat sekali atau boleh dikatakan sistem ketat, karena dalam masa 7 (tujuh) tahun saja diajarkan 12 (dua belas) macam ilmu-ilmu agama dan bahasa Arab, mulai dari yang rendah sampai kepada yang tinggi. Sedangkan di Mesir (Al-Azhar University menurut sistem lama) untuk melaksanakan rencana pelajaran yang begitu luas dan panjang, harus memakai waktu sekurang-kurangnya 12 (dua belas) tahun. Oleh sebab itu dalam pelaksanaan rencana pelajaran itu, terpaksa sebagian isi kitab-kitab itu ditinggalkan dan diambil oleh guru mana-mana yang dirasanya perlu dan penting saja. (Mahmud Yunus. 1979 :76) Berbeda dengan Diniah School yang sudah banyak memasukkan mata pelajaran umum ke dalam kelasnya, Sumatra Thawalib belum berubah dan belum bertambah masih seratus persen agama tapi keduanya berpacu bergandengan tangan. Mereka saling bahu membahu untuk menghasilkan ulama cendikiawan dan ulama cendikiawan yang berada dalam satu jalur mewujudkan segala macam perubahan dan pembaharuan. Penampilan Sumatra Thawalib lebih berhasil menarik minat calon murid, karena ternyata pada saat itu ia lebih diidam-idamkan oleh anak-anak daripada sekolah-sekolah lainnya. Hal ini mungkin disebabkan oleh kokoh-kuatnya ke- Islam-an masyarakat di seluruh Minangkabau. Islam menjadi sendi segala- galanya, termasuk menjadi snedi bagi adat mereka, juga karena masih tetap murni Islam, baru sistem dan metodenya yang dirubah dan diperbaharui. Selain itu mungkin juga lantaran daya tarik yang sangat besar dari tokoh-tokoh pengasuh dan pembinanya. (Burhanuddin Daya. 1990 : 114) Dengan mengecam sistem tersebut, yang menurut H. Abdul Karim Amrullah tidak memberi kebebasan kepada para murid untuk mengembangkan kecerdasannya dan memakai akal, ia mengawali pembaharuan dengan memperkanalkan sistem seminar, khususnya pada tingkat paling tinggi yang diajarnya. Para murid yang kebanyakan terdiri dari orang-orang cerdas dan berpengalaman diberi kesempatan untuk membeberkan masalah dengan argumen yang masuk akal jika mereka diserang oleh yang lain. Karena itu H. Abdul Karim Amrullah menekankan pada murid, hendaknya menguasai ‘Ilm Al-Martiq (logika). Dengan mempraktekkan sistem ini, H. Abdul Karim Amrullah percaya pada murid akan mampu mempertahankan kebebasan berpikir tanpa mendasarkan pendapat pada orang terpelajar manapun menurut cara taqlid (penerimaan buta), suatu cara berpikir yang ia tolak dengan keras. Setelah sekolah Sumatra Thawalib menyebar dengan pesat di Minangkabau, secara tidak langsung ulama-ulama reformis yang terpencar menjadi lebih dekat dengan yang lainnya. Atas prakarsa H. Abdullah Ahmad dan H. Abdul Karim Amrullah, suatu ikatan bersama terwujus pada bulan Juli 1920 dalam bentuk organisasi yang disebut Persatuan Guru-Guru Agama Islam atai PGAI, H. Abdullah Ahmad ditunjuk sebagai ketua pertama dan H. Abdul Karim Amrullah bersama dengan Syekh ditunjuk sebagai penasehat. Dalam saran- sarannya kepada para guru agama tradisional dari kaum tua (tradisionalis) untuk mengikuti sistem modern yang diawali oleh Sumatra Thawalib di Padang Panjang. H. Abdul Karim Amrullah mengatakan (yang dikutip Murni Djamal. 2002 : 69) : “Mereka yang masih mempraktekkan sistem pengajaran tradisional harus meninggalkannya dan mengubahnya dengan sistem yang lebih bermanfaat. Sangatlah disayangkan bila murid- murid yang telah menghabiskan waktu beberapa tahun untuk mempelajari Al- Qur’an dan ilmu- ilmu Islam, tidak mampu menguasai salah satu cabang ilmu pengetahuan yang ditawarkan kepada mereka. Mereka yang belajar bahasa Arab selama bneberapa tahun tidak bisa mengerti arti kata- kata atau kalimat- kalimat yang ditulisnya sendiri. Bagaimana mereka bisa memahami buku- buku bermutu? Maka, lihatlah disekitarmu, misalnya sekolah- sekolah Sumatra Thawalib dan Diniyah di Padang Panjang yang telah meninggalkan cara tradisional dan menerapkan sistem pelajaran baru untuk para murid. Ikutilah mereka, bila mereka baik; tetapi jika mereka masih jauhdari sempurna sampaikanlah saran- saran anda yang konstruktif. Saya yakin bahwa orang- orang yang bertanggung jawab di sekolah- sekolah itu akan senang sekali menerima sumbangan anda yang berarti.”

Di samping saran kepada para kaum tradisionalis, H. Abdul Karim Amrullah juga mengecam keras sikap para guru yang tidak berniat memperbaiki pengetahuan mereka. Pengetahuan tidak pernah akan berakhir, setiap orang terpelajar harus mengenggap dirinya sebagai pemula yang tidak tahu apa-apa, karena pengetahuan itu akan mendorongnya untuk mengetahui lebih banyak. Untuk memperoleh mutu lulusan dan mendorong murid menguasai pengetahuan, H. Abdul Karim Amrullah menasehati para guru untuk mengerti beberapa cara pengajaran. Beberapa di antaranya : a. Murid hendaknya diajar sesuai dengan kemampuan intelektualnya. Tidak pada tempatnya mengajar seseorang yang belum mempunyai kemampuan untuk memahami masalah tertentu, karena itu akan membuatnya jatuh. Jika itu terjadi, tidak akan dicapai hasil-hasil baik dalam penelitian ilmiah. b. Murid jangan diberi terlalu banyak pelajaran sekaligus, karena tidak akan diserap oleh mereka. Anda harus memberi kesempatan kepada mereka untuk mencerna pelajaran satu hari, sehingga hari berikut mereka cukup segar untuk menerima pelajaran baru. Penyajian pelajaran secara perlahan tetapi mantap kepada murid adalah cara baik untuk membuat mereka menguasai pengetahuan. c. Anda harus berperilaku dan bersikap baik, mempunyai kepribadian kuat dan terpuji, serta etiket tinggi sebelum mulai mengajari orang lain. Guru berperingai buruk tidak pernah mampu mendidik muridnya. Mungkin ia berhasil dalam mengajar atau memberi pelajaran, tetapi ia akan gagal dalam mendidik muridnya. Untuk mendidik murid anda harus membina mereka menjadi kuat secara intelektual dan bermoral tinggi. d. Anda harus mengajar murid hingga mereka benar-benar menguasai pengetahuan yang diberikan. Adalah berbahaya untuk membirakan mereka di tengah-tengah jalan, karena jika mereka menjadi guru di kemudian hari, mereka akan mengajar kesalahpahaman kepada orang lain atau akan menyesatkan orang itu. Karena kesalahan anda, mereka tidak saja akan merugikan dirinya sendiri, tetapi sekaligus akan merugikan masyarakat. e. Terakhir, tidak kalah pentingnya, guru harus berperilaku di depan muridnya seperti ia di hadapan anak-anaknya sendiri. Sementara itu, disiplin harus diperhatikan. (Murni Djamal. 2002 : 70-71) Untuk menghasilkan pemimpin dan guru yang memenuhi syarat, tidak ada jalan lain kecuali melalui pelajaran, apakah lewat sekolah biasa atau jalan lain di luar pendidikan formal. Sekolah harus dilengkapi dengan sarana-sarana yang diperlukan seperti kelas, bangku, papan, dan sebagainya. Sementara buku-buku yang digunakan di sekolah tidak boleh menyebabkan murid menjadi apatis dan muqalid (orang yang menerima mentah-mentah hal-hal yang sudah ditetapkan tanpa melakukan pemeriksaan). Di samping itu mutu dan kemampuan serta sarana-sarana belajar harus ditingkatkan. Semenjak lahirnya Sumatra Thawalib dari sistem pendidikan surau, terlihat beberapa pembaharuan yang telah dilaksanakan seperti (Bambang Suwondo. 1983 : 94) : 1. Merubah sistem surau (halaqah) menjadi sistem sekolah. 2. Memperpendek masa belajar yang berkepanjangan pada sistem surau dengan beberapa tahun ajaran. 3. Mengatur penyajian pelajaran sedemikian rupa sehingga sesuai dengan perkembangan berpikir anak-anak. 4. Mengatur buku yang akan dipakai pada kelas tertentu, tidak lagi memberikan buku yang tebal untuk anak. 5. Mengatur guru menurut keahlian masing-masing dan guru hanya mengajar sesuai dengan keahliannya itu, tidak dapat lagi seorang guru mengajar untuk semua mata pelajaran seperti pada sistem surau. 6. Mengatur jadwal pelajaran dalam satu daftar pelajaran yang tetap dan guru harus menyesuaikan waktu mengajarnya dengan daftar tersebut, guru tidak boleh lagi mengajar menurut kemampuannya. 7. Memungut uang muka untuk masuk sekolah dan memungut uang sekolah per- bulan. 8. Mengatur honorarium guru dan petugas sekolah lainnya seperti penjaga sekolah. 9. Mengadakan tenaga Adsminitrasi yang akan mengelola adsminitrasi sekolah tersebut. Sumatra Thawalib melakukan sistem baru pada sekolah yang sudah ada dalam bentuk surau dengan murid yang sudah ada pula yang sebelumnya sudah mendapat pendidikan dengan sistem surau. Sumatra Thawalib sekalius juga merubah sikap dan cara berpikir muridnya, suatu hal yang pada waktu itu sangat sukar dilakukan mengingat banyak murid yang fanatik terhadap yang pernah dimilikinya dan sukar mengubah kebiasaannya. Dipilihnya surau sebagai basis pembaharuan pendidikan Islam oleh tokoh muda Islam seperti Haji Rasul dengan teman-temannya bukanlah merupakan suatu hal yang kebetulan saja, melainkan memang dilakukan dengan sengaja, karena beberapa hal, (Bambang Sowondo. 1983 : 96-97) sebagai berikut : 1. Anak yang mengaji dan bermalam di surau sejak usia 7 tahun mendapatkan didikan agama, sembahyang berjamaah serta membaca Al-Qur’an. Dengan demikian pendidikan agama itu menjadi darah daging bagi mereka sampai dewasa dan di hari tuanya, meskipun mereka sudah berpangkat tinggi kemudian harinya. 2. Anak yang mengaji di surau bergaul dengan temannya di bawah pimpinan gurunya, dengan demikian terbentuklah ukhuwah Islamiah semenjak kecil. 3. Didikan surau menghasilkan pelajar yang berakhlak Islamiah. 4. Didikan surau berdasarkan ikhlas karena Allah semata dengan tidak mengharapkan gaji atau pangkat atau uang. Uang datang sendirinya dan bukan menjadi tujuan utama. 5. Didikan surau tidak terpengaruh oleh didikan Barat yang berdasarkan Meterialis. Sebab itu didikan surau adalah didikan asli Islam. Pada tahun 1918 majalah Al-Munir yang didirikan oleh Syekh h. Abdullah ahmad di padang sudah berdiri pula cabangnya di Sumatra Thawalib. Di kantor Al-Munir berkumpul murid Sumatra Thawalib bersama gurunya di waktu senggang untuk membaca surat kabar. Hal ini mempercepat luasnya pandangan mereka, baik mengenai situasi pendidikan, maupun mengenai situasi politik dalam negeri dan luar negeri. Pada kulit luarnya dituliskan kata-kata : “Majalah islam pada pelajaran, pengajaran, perkhabaran”. Majalah Al-munir merupakan salah satu wadah yang sangat baik untuk memberikan pelajaran Islam kepada anggota masyarakat yang tidak sempat datang ke surau melalui tulisan dan gambar yang mudah dimengerti. Di samping majalah Al-Munir, masih banyak surat kabar dan majalah yang beredar di Sumatra Barat, seperti majalah Al-Bayam di Parabek, Al- Basyar di Batusangkar, Al-Ittqah di Maninjau dan Al-Iman di Padang Panjang. Adapun isi dari majalah Al-Munir, di antaranya ialah : a. Tentang kebaikan agama islam dan kelapangannya berdasarkan Qur’an dan Hadist. b. Ilmu sejati, yang terus bersambung-sambung pada tiap-tiap juz mengupas soal keimanan. c. Beberapa karangan yang berisi pelajaran dan pengetahuan seperti ilmu falak dan sebagainya. d. Soal jawab tentang masalah agama. e. Perkhabaran tentang kejadian-kejadian dalam negeri dan luar negeri, terutama di negara-negara Islam. f. Buah pikiran mengajak pembicara untuk mempergunakan akal dan pikirannya. g. Adab dan akhlak yang bersambung-sambung tiap-tiap juz. h. Memberantas dongeng-dongeng, khurafat dan bi’dah-bi’dah dalam agama. (Mahmud Yunus. 1979 : 79) C. Perjuangan H. Abdul Karim Amrullah untuk Mengubah Masyarakat Minangkabau melalui Sumatra Thawalib Perjuangan H. Abdul Karim Amrullah mulai melihatkan hasilnya, terutama di lingkungan Sumatra Thawalib, yaitu lulusan dari Sumatra Thawalib tidak ada yang menganggur. Begitu mereka tamat ada-ada saja yang akan menunggu mereka atau mereka ciptakan. Setelah pertengahan tahun 1920 jumlah lulusan dari Sumatra Thawalib bertambah pesat. Perkembangan itu untuk sebagian berkat penyebaran pengaruh kaum muda, khususnya H. Abdul Karim Amrullah, dan perbaikan keadaan ekonomi. Alumni dari Sumatra Thawalib banyak yang terjun ke masyarakat dan menjadi pemimpin masyarakat yang diikuti dan dihormati. Tetapi pada hakekatnya bukanlah hal tersebut yang menjadi tugas pokok mereka. Kebanyakan di antaranya ada yang membuka sekolah sendiri di kampung dan mengajar di sana serta menyatakan diri sebagai cabang dari Sumatra Thawalib. (Bambang Suwondo. 1983 : 99) H. Abdul Karim Amrullah dalam bukunya Indonesian Sociological Studies bagian pertama, mengenai Sumatra Thawalib menyatakan (Murni Djamal. 2002 : 73) : Sekolah Sumatra Thawalib mempunyai reputasi sangat baik karena guru- guru agama kompeten yang mengajar di situ (almarhum Zainudin Labai dan Haji Rasul) dan sistem pengajaran seperti lazimnya di masa kini, kurang lebih disesuaikan dengan persyaratan-persyaratan modern.

Pada tahun 1923 lahirlah pergerakan Komunis di Minangkabau dan berpusat di Padang Panjang. Pergerakan itu bermaksud hendak merebut kemerdekaan Indonesia dari penjajahan Belanda. Sebab itu banyak pelajar-pelajar Sumatra Thawalib yang memasuki pergerakan Komunis itu. Sedangkan H. Abdul Karim Amrullah, guru mereka, melarang mereka memasuki pergerakan komunis itu. Tetapi mereka itu tidak memperdulikan nasihat beliau, bahkan mereka menentang beliau, sehingga dibenci oleh pelajar-pelajar Sumatra Thawalib. Beberapa tahun lamanya di antara pelajar-pelajar Sumatra Thawalib dengan beliau terjadi pergeseran pada hal Sumatra thawalib itu ciptaan beliau sendiri. Akhirnya Pergerakan Komunis itu dibubarkan oleh Pemerintah Belanda. (Mahmud Yunus. 1979 : 96) Pada 1927, ketika Minangkabau mulai pulih dari peristiwa dramatis pemberontakan komunis, ada beberapa ribu orang yang dapat dianggap bagian kelompok terpelajar kaum muda. Walaupun angka ini hanya mewakili presentase kecil dari sekitar dua juta orang Minangkabau, dibandingkan dengan 500 nagari (desa), yang membentuk wilayah Minangkabau (sekarang Propinsi Sumatra Barat), kita bisa memperkirakan jumlah lulusan di atas tentunya mampu melaksanakan program-program pembaharuan seperti yang dicita-citakan H. Abdul Karim Amrullah. Keberhasilan Sumatra Thawalib sebagai sarana terpenting kaum muda untuk menyeberkan gagasan-gagasan pembaharuan di dalam dan du luar Minangkabau merupakan hasil nyata upaya H. Abdul Karim Amrullah untuk menghasilkan guru-guru yang memenuhi syarat dan lulusan yang cakap. Keberhasilan sekolah menjadi inti kelompok reformis di Minangkabau juga sebagian disebabkan tidak adanya saingan lain yang dapat mengancam keberadaannya. Para lulusan sistem pendidikan Barat kalah bersaing dengan lulusan dari Sumatra Thawalib. Para lulusan Sumatra Thawalib mampu bersaing dengan lulusan dari sekolah lain karena mereka dididik dengan baik dan dilengkapi dengan persyaratan yang diperlukan untuk hidup di masyarakat modern. Dengan maksud melanjutkan perjuangannya pada tahun 1925, H. Abdul Karim Amrullah memperkenalkan Muhammadiyah, organisasi Islam non- politik yang didirikan oleh K. H. A. Dahlan di Jawa pada tahun 1912, yang langsung diterima spontan oleh mayoritas besar kelompok reformis muslim di Minangkabau. Di samping itu, pengetahuan Islamnya yang mendalam dan upaya- upayanya mengangkat kehidupan agama dan sosial rakyat sangat dihargai di luar Indonesia. Pada tahun 1926, H. Abdul Karim Amrullah dan H. Abdullah Ahmad menerima gelar doktor honoris causa dibidang agama dari Hai’ at Jam’ iyyat Kubbar al- ‘ulama’ (Organisasi Masyarakat Ulama Utama) di Timur Tengah. Sekembalinya dari Mesir, H. Abdul Karim Amrullah langsung pulang ke desanya sendiri di Sungai Batang, Maninjau, karena rumahnya di Padang panjang telah dihancurkan oleh gempa bumi. Gagalnya pemberontakan komunis di Minangkabau tahun 1926/1927 membuka pintu bagi kaum reformis, terutama Sumatra Thawalib untuk menyusun kembali kelompoknya sehingga menjadi kekuatan yang koheren. Mereka yang lebih cenderung radikal berpartisipasi dalam PERMI (Persatuan Muslim Indonesia) sedangkan yang lain bergabung dengan gerakan Muhammadiyah. (Murni Djamal. 2002 : 82) Pengaruh politik di Sumatra Thawalib dimulai ketika beberapa sekolah dengan nama Thawalib didirikan di luar Padang Panjang dan Parabek, tetapi di bawah pengarahan PERMI. Tidak lama sesudah Ilyas Ya’qub dan Mukhtar Luthfi kembali ke Minangkabau (1929) dari Mesir dan bergabung dengan Thawalib di Padang Panjang sebagai guru. Mereka mulai mengarahkan lembaga pendidikan ini dibidang politik. Sekitar tahun 1933, PERMI menderita tekanan-tekanan yang dilancarkan oleh pemerintah Belanda. Pemimpin-pemimpinnya di buang dan banyak di antara guru-guru Thawalib dilarang mengajar. Hal ini sangat memperlemah lembaga-lembaga pendidikan di daerah tersebut. (Deliar Noer. 1982 : 60) Di lain pihak, gerakan Muhammadiyah tang didirikan pada tahun 1925, tetap langgeng dan menjadi wadah aman bagi para pengikutnya untuk melanjutkan upaya mempromosikan gerakan pembaruan Islam.