FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU AMAN
KARYAWAN DI PT. SIM PLANT TAMBUN II TAHUN 2010
SKRIPSI
OLEH:
SITI HALIMAH
105101003304
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010 M / 1431 H
78
79
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU AMAN
KARYAWAN DI PT. SIM PLANT TAMBUN II TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan Sebagai Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH:
SITI HALIMAH
105101003304
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010 M / 1431 H
80
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 10 Maret 2010
Siti Halimah
81
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT Skripsi, 10 Maret 2010
Siti Halimah, NIM : 105101003304
Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Aman Karyawan Di PT. SIM PLANT Tambun II Tahun 2010 xviii+ 165 Halaman, 11 Tabel, 9 Gambar, 7 Lampiran
ABSTRAK
Perilaku manusia yang berhubungan dengan keselamatan merupakan sebuah pendekatan untuk menganilis apa yang dibutuhkan untuk membuat perilaku aman lebih dimungkinkan dan mengurangi perilaku yang berisiko (Geller, 2001). PT SIM (Suzuki Indomobil Motor) Plant Tambun II adalah salah satu perusahaan yang memproduksi kendaraan roda empat yang bermerk SUZUKI. Berdasarkan data kecelakaan akibat tindakan tidak aman di PT SIM Plant Tambun II mengalami penurunan. Oleh karena itu, dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku aman agar faktor-faktor tersebut dapat lebih dioptimalkan. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain cross sectional. Populasi pada penelitian ini berjumlah 1200 orang. Pengambilan data dilakukan secara random dengan jumlah sampel 130 responden yang dilakukan menggunakan metode simple random sampling. Analisis bivariat dilakukan dengan uji chi square dan analisis multivariat dilakukan dengan uji regresi logistik ganda. Berdasarkan hasil penelitian, diketahui 83,9% pekerja berperilaku aman dan 16,2% pekerja yang berperilaku tidak aman. Faktor-faktor yang tidak mempengaruhi perilaku aman adalah pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, umur, lama kerja, ketersediaan APD, peraturan keselamatan, promosi keselamatan, dan pelatihan. Sedangkan, faktor-faktor yang terbukti mempengaruhi perilaku aman adalah peran pengawas dan peran rekan kerja. Oleh karena itu, peneliti menyarankan agar pengawas lebih berperan aktif dan dilakukan pengawasan secara teratur dan konsisten. Selain itu, perlu ditingkatkan kepedulian sesama rekan kerja melalui program STOP (Safety Observation Training Program).
Daftar bacaan : 46 (1980-2006)
82
STATE ISLAMIC UNIVERSITY JAKARTA FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCES PUBLIC HEALTH PROGRAM STUDY Undergraduate Thesis, Marc 10th 2010
Siti Halimah, NIM : 105101003304
Influence Factor’s of Worker’s Safety Behavior In PT. SIM PLANT Tambun II Year 2010 xviii+ 165 pages, 11 tables, 9 pictures, 7 attachments
ABSTRACT
Behavioral safety is an approach for analyzing what needs to be done to make safe behavior more probable and at-risk behavior less probable (Geller, 2001). PT SIM (Suzuki Indomobil Motor) Plant Tambun II is the one of the car manufacturing company which the branded is SUZUKI. Based on their report of unsafe act, there was decreasing. Therefore, it must be done to research about Influence factor’s of Worker’s Safety Behavior. In order to the those factors could be optimize. The research was quantitative analyze with cross sectional method approach. The Total responden were 1200 people, based on simple random sampling calculating were 130 people as sample that chosen randomly. Then, the bivariate analyze with statistically tested by chi square formula, and continued with logistic regression test as multivariate analyze. The results show that 83,9% the worker’s behavior are safe act and 16,2% the worker’s behavior are unsafe act. The factors which not influence worker’s safety behavior were knowledge, attitude, perception, motivation, age, work period, availability of PPE, safety rule, safety promotion, and training. The result proved the factors which influence the worker’s safety behavior were supervisor and peer influence. Therefore, it is recommended to increase contributing and monitoring of supervison regularly and consistently and then to increase awareness between worker with STOP (Safety Training Observation Program).
References : 46 (1980-2006)
83
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan Judul
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERILAKU AMAN
KARYAWAN DI PT. SIM PLANT TAMBUN II TAHUN 2010
Telah disetujui, diperiksa, dan dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi
Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta, 19 Maret 2010
Yuli Amran, SKM, MKM
Pembimbing Skripsi I
Iting Shofwati, ST, MKKK
Pembimbing Skripsi II
84
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, 19 Maret 2010
Ketua
(Yuli Amran, SKM, MKM)
Anggota I
(Iting Shofwati, ST, MKKK)
Anggota II
(Dr. Drs. Tri Krianto, MKes)
85
CURICULUM VITAE
Nama : Siti Halimah Tempat/Tgl Lahir : Bekasi, 12 Desember 1986 Jenis Kelamin : Perempuan Agama : Islam Status Materital : Belum Menikah Kewarganegaraan : Indonesia Alamat : Kp. Siluman RT 005/005 No. 22 Desa Mangun Jaya, Tambun – Bekasi 17510. Telp/Hp : 02199934033/085714683567 Email : [email protected]
Riwayat Pendidikan Tahun Riwayat Pendidikan 2005-2010 S1- Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2002-2005 SMUN 1 Tambun Selatan 2000-2002 SLTPN 1 Tambun Selatan 1995-2000 SDN Mangun Jaya 03 1994-1995 TK Nurul Amin
Pegalaman Pelatihan Tahun Pengalaman Pelatihan 2008 Training Sistem Manajemen K3 OSHAS 18001 : 2007 2008 Training Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001:2004
Pengalaman Organisasi Tahun Pengalaman Organisasi 2008-2010 Anggota Forum Studi Kesehatan dan Keselamatan Kerja Jurusan Kesehatan Masyarakat (FSK3) 2008-2009 Sekretaris PASIFIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2006-2007 KSR PMI UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2003-2004 Sekretaris Kelompok Ilmiyah Remaja (KIR) SMUN 1 Tambun Selatan
86
Lembar Persembahan
ِِْ ا ِ ا َْ ِ ا ِِ ا َْ ِ ا ِ ِِْ
Di pelataran agungMu nan lapang aku setitik noda yang menempel pada pekat gumpalan yang menyeret warna bias kelabu berputaran mengatur melaju luluh dalam gemuruh talbiah, takbir dan tahmit ...... Dikejar dosa-dosa dalam kerumuman dosa ada sebaris doa yang siap kuucapkan lepas terhanyut air mata tersangkut di kiswah nan hitam...... (K.H Mustafa Bisri)
87
KATA PENGANTAR ا م ور ا و آ
Dengan menyebut nama Allah SWT dengan segala Kekuatan dan Rahmat- Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan Skripsi ini. Semoga skripsi ini memberikan manfaat dalam upaya memajukan ilmu pengetahuan, pengabdian kepada bangsa, dan ibadah kepada Allah Yang Maha Memiliki Segalanya. Skripsi dengan judul ”Faktor-Faktor Yang Mempangaruhi Perilaku Aman Karyawan di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010” disusun sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM) pada Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Selama penyusunan skripsi ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, motivasi, dan semangat kepada : 1. Keluargaku yang tiada letih melimpahkan kasih sayangnya, kebahagiannya, semangatnya, dan perjuangan serta pengorbanannya yang tiada terhingga untukku. Terutama untuk ibu dan bapakku, doa kalian ibarat sungai nil yang tak kan pernah kering dan tiada tertandingi. Aku bersyukur mempunyai kalian. Thanks to Allah yang memberikan kalian kepadaku. Tak lupa pula tuk adikku yang memberikanku semangat baru untuk menjadi lebih baik lagi. 2. Bapak Prof. Dr. (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp.And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Bapak dr. Yuli P. Satar, MARS, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Seluruh dosen dan staf Program Studi Kesehatan Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 5. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM selaku Pembimbing I yang selalu siap memberikan bimbingan dan pengarahan yang membangun dalam proses penyusunan skripsi, terima kasih ibu atas bimbingan, nasihat, ilmu, motivasi, saran-saran, dan doa yang sangat berarti sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 6. Ibu Iting Shofwati ST, MKKK selaku pembimbing II, Terima kasih kepada Ibu yang secara tulus dan penuh kesabaran membimbing dan mengajarkan banyak hal tentang kuliah dan kehidupan. Pengalaman dan pengetahuan ibu menjadikan ibu 88
sosok yang bijak, kuat, tegar dan tegas. Ibu adalah salah seorang yang menjadi inspirasiku dalam kehidupan ini. 7. Bapak Dr Drs. Tri Krianto, MKes selaku dosen penguji dalam sidang skripsi, terima kasih atas kesediaan Bapak menjadi penguji dan memberikan bimbingan, saran-saran, kemudahan, dan motivasi selama penyusunan skripsi. 8. Bapak Yudi Prasetyo, SE selaku Staff Safety member yang penuh canda dan secara terbuka menerima dan memberikan kritik dan saran yang bermanfaat selama kegiatan skripsi berlangsung. Terima kasih atas semua waktu, bantuan, perhatian yang telah diberikan kepada penulis selama proses penyusunan skripsi. 9. Bapak Suhendra, SE selaku Safety Officer yang tak lelah memantau perkembangan skripsi dan memberikan saran dan kritikan yang bermanfaat. 10. Bapak Bambang selaku HRD yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian. 11. Bapak Sasongko yang menambah kecerian dan semangat selama proses skripsi. 12. Seluruh staff safety member dan TC yang banyak memberikan dukungan dalam proses penyusunan skripsi. 13. Om Gito Susilo yang telah membukakan jalan menuju gerbang PT. SIM Plant Tambun II. 14. Seluruh Staff dan pekerja di PT. ISI Plant Tambun II, terimakasih atas waktunya, bantuannya, dan perhatiannya. 15. Yuni Harti, teman seperjuangku selama penyusunan skripsi di PT. SIM Plant Tambun II, terimaksih atas kebersamaan, bantuan, dukungan, dan canda tawanya selama ini. 16. Sahabat-sahabat terbaikku yang walaupun jauh namun begitu erat memberikan semangat, pemikiran, perhatiannya selama proses penyusunan skripsi dan kehidupan ini, Thanks ”Unforgetable all of you”. 17. Teman- teman UIN, FKIK, Kesmas, K3 Yang telah banyak memberikan dukungan dan kebaikan selama perkuliahan hingga saat ini. Thanks 4 all. 18. For My Silvester, yang tiada lelah menemani dan memberikan bantuan, semangat, dan perhatiannya dalam menyempurnakan penyusunan skripsi ini. Akhir kata dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati, penulis berharap semoga hasil penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi penulis maupun pembaca lain.
و ا م ور ا و آ
Jakarta, 19 Maret 2010
89
Penulis
DAFTAR ISI
LEMBAR PERNYATAAN ...... I
ABSTRAK ...... ii
ABSRACT ...... iii
LEMBAR PENGESAHAN ...... iv
PANITIA SIDANG ...... v
CURICULUM VITAE ...... vi
LEMBAR PERSEMBAHAN ...... vii
KATA PENGANTAR ...... viii
DAFTAR ISI …………………………………………………………………. x
DAFTAR TABEL ...... xv
DAFTAR GAMBAR ...... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ...... xviii
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………… 1
1.1. Latar Belakang 1
………………………………………………… 8
1.2. Rumusan Masalah …………………………………………….. 9
1.3. Pertanyaan Penelitian …………………………………………. 10
1.4. Tujuan Penelitian 11 90
……………………………………………… 11
1.5. Manfaat Penelitian ……………………………………………. 12
1.6. Ruang Lingkup ………………………………………………. 12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ………………………………...... 12
2.1 Keselamatan Kerja …………………………………………….. 13
2.1.1. Konsep Keselamatan Kerja ……………………………... 17
2.1.2. Budaya Keselamatan Kerja ……………………………... 19
2.1.3. Kinerja Keselamatan Kerja …………………………… 19
2.2 Kecelakaan Kerja ……………………………………………… 20
2.2.1. Pengertian Keselamatan Kerja ………………………….. 21
2.2.2. Teori ILCI Loss Coution Model ………………………… 21
2.3 Perilaku ………………………………………………………... 22
2.3.1 Pengertian Perilaku ……………………………………... 22
2.3.2 Bentuk Perilaku …………………………………………. 24
2.4 Perilaku Aman ………………………………………………… 24
2.5 Teori Perubahan Perilaku ……………………………………… 26
2.5.1 Teori Lawrence Green …………………………………... 36
2.5.2 Teori Perubahan Perilaku Aman ……………………… 37
2.6 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Aman …………... 39
2.6.1 Pengetahuan …………………………………………….. 43
2.6.2 Sikap ……………………………………………………. 46
2.6.3 Persepsi …………………………………………………. 52 91
2.6.4 Motivasi …………………………………………………. 53
2.6.5 Umur ……………………………………………………. 55
2.6.6 Lama Bekerja …………………………………………… 56
2.6.7 Ketersediaan APD ………………………………………. 61
2.6.8 Peraturan Keselamatan ………………………………….. 64
2.6.9 Safety Promotions /Promosi Keselamatan Kerja ……….. 66
2.6.10 Pelatihan Keselamatan Kerja …………………………… 70
2.6.11 Peran Pengawas ……………………………………...... 71
2.6.12 Peran Rekan Kerja ……………………………………… 73
2.7 Kerangka Teori ………………………………………………… 73
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ...... 75
3.1 Kerangka Konsep ……………………………………………… 77
3.2 Definisi Operasional …………………………………………… 78
3.3 Hipotesis ………………………………………………………. 78
BAB IV METODE PENELITIAN ……………………………………...... 78
4.1 Desain Penelitian ………………………………………………. 78
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian …………………………………... 78
4.3 Populasi dan Sampel …………………………………………… 79
4.3.1 Populasi …………………………………………………. 79
4.3.2 Sampel ………………………………………………….. 79
4.4 Pengumpulan Data …………………………………………….. 80
4.5 Pengolahan Data ……………………………………………….. 84 92
4.6 Instrumen penelitian …………………………………………… 84
4.7 Analisa Data …………………………………………………… 85
4.7.1 Analisis Univariat ………………………………………. 85
4.7.2 Analisis Bivariat ………………………………………… 88
4.7.3 Analisis Multivariat …………………………………….. 88
BAB V HASIL ...... 90
5.1 Gambaran PT Suzuki Indomobil Motor (SIM) ………………
5.2 Gambaran Perilaku Aman Pekerja ……………………………..
5.3 Gambaran Faktor Internal (Pengetahuan, sikap, persepsi, 91
motivasi, umur, dan Lama Bekerja) di PT SIM Plant Tambun II
Tahun 2010 ……………………………………………………..
5.4 Gambaran faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan, safety promotion/promosi keselamatan, pelatihan 93
keselamatan, peran pengawas, dan pera rekan kerja) di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010 ……………………………………
5.5 Hubungan faktor internal (Pengetahuan, sikap, persepsi, 95
motivasi, umur, dan Lama Bekerja) dengan perilaku aman di
PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010 …………………………
5.6 Hubungan faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan, safety promotion/promosi keselamatan, pelatihan 98
keselamatan, peran pengawas, dan pera rekan kerja) dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010 ……… 102 93
5.7 Faktor yang paling dominan berhubungan terhadap perilaku 108
aman di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010 ……………….. 108
BAB VI PEMBAHASAN ...... 109
6.1 Keterbatasan Peneliitiian ……………………………………….
6.2 Perilaku Aman ………………………………………………….
6.3 Hubungan antara variabel internal (Pengetahuan, Sikap, 111
Persepsi, Motivasi, Umur, dan Lama Bekerja) dengan perilaku 112
aman …………………………………………………………… 114
6.3.1 Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Aman ………... 117
6.3.2 Hubungan Sikap dengan Perilaku Aman ……………….. 122
6.3.3 Hubungan Persepsi dengan Perilaku Aman …………….. 127
6.3.4 Hubungan Motivasi dengan Perilaku Aman ……………. 129
6.3.5 Hubungan Umur dengan Perilaku Aman ………………..
6.3.6 Hubungan Lama Kerja dengan Perilaku Aman …………
6.4 Hubungan faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan, safety promotion/promosi keselamatan, pelatihan 132
keselamatan, peran pengawas, dan pera rekan kerja) dengan 132
perilaku aman …………………………………………………. 136
6.4.1 Hubungan Ketersediaan APD dengan Perilaku Aman ….. 141
6.4.2 Hubunga Peraturan Keselamatan dengan Perilaku Aman. 144
6.4.3 Hubungan Promosi Keselamatan dengan Perilaku Aman. 149
6.4.4 Hubungan Pelatihan dengan Perilaku Aman……………. 152 94
6.4.5 Hubungan Peran Pengawas dengan Perilaku Aman …… 156
6.4.6 Hubungan Peran Rekan Kerja dengan Perilaku Aman …. 156
BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN ...... 159
7.1 Kesimpulan ……………………………………………………. 161
7.2 Saran ……………………………………………………………
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
95
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Definisi Operasional ………………………………………….. 75
Tabel 5.1 Distribusi responden berdasarkan perilaku aman di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010 ………………………………….. 91
Tabel 5.2 Distribusi responden berdasarkan faktor Internal di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010 ……………………………...... 91
Tabel 5.3 Distribusi responden berdasarkan faktor eksternal di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010 ……………………………...... 93
Tabel 5.4 Distribusi responden berdasarkan faktor internal dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010 ………. 95
Tabel 5.5 Distribusi responden berdasarkan faktor eksternal dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010 ………. 98
Tabel 5.6 Hasil Analisis Bivariat antara faktor Internal dan eksternal
dengan perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahu 2010 .. 103
Tabel 5.7 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Ganda Antara
Pengetahuan, Persepsi, Motivasi, Ketersediaan APD,
Peraturan, Promosi keselamatan, Peran Pengawas, Peran rekan
kerja di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010 ……………….. 104
Tabel 5.8 Hasil Analisis Multivariat Antara Peran Pengawas dan Peran
rekan kerja dengan perilaku aman (model akhir) …………….. 104
Tabel 5.9 Hasil Uji Interaksi antara Peran Pengawas Dan Peran Rekan 96
Kerja Terhadap Perilaku Aman ………………………………. 105
Tabel 5.10 Hasil Analisis Multivariat Regresi Logistik Antara Peran
Pengawas dan Peran rekan kerja ……………………………… 106
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Grafik Kecelakaan Kerja Akibat Unsafe Act di area 97
produksi PT SIM Plant Tambun II ………………………… 6
Gambar 2.1 Total budaya keselamatan yang memerlukan perhatian yang
berkesinambungan pada tiga jenis faktor penyokongnya …. 15
Gambar 2.2 Aspek internal dan eksternal yang dapat menentukan
keberhasilan proses keselamatan ………………………….. 16
Gambar 2.3 Korelasi antara antisiden, determinan, dan komponen-
komponen kinerja keselamatan …………………………… 18
Gambar 2.4 The ILCI Loss Caution Model ……………………………. 20
Gambar 2.5 Teori Lawrence Green …………………………………….. 25
Gambar 2.6 ABC Model ………………………………………………. 36
Gambar 2.7 Kerangka Teori …………………………………………….. 72
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian ……………………………… 74
98
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Bukti Penelitian
Lampiran 2 Kuesioner Penelitian
Lampiran 3 Pedoman Observasi
Lampiran 4 Pedoman Wawancara
Lampiran 5 Analisis Univariat
Lampiran 6 Analisis Bivariat
Lampiran 7 Analisis Multivariat
99
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kesehatan dan keselamatan kerja adalah upaya pencegahan dari
kecelakaan dan melindungi pekerja dari mesin, dan peralatan kerja yang akan
dapat menyebabkan traumatic injury (Colling, 1990 dalam Kondarus (2006).
Secara keilmuan, kesehatan dan keselamatan kerja (K3) didefinisikan sebagai
ilmu dan penerapan teknologi tentang pencegahan kecelakaan kerja dan penyakit
akibat kerja. Dengan memberikan perlindungan K3 diharapkan pekerja dapat
bekerja dengan aman, sehat, dan produktif.
Menurut Bird (1990) yang dikutip oleh Sialagan (2008), kecelakaan
merupakan suatu kejadian yang tidak diinginkan dan dapat membahayakan orang,
menyebabkan kerusakan pada properti atau kerugian pada proses. Kecelakaan dan
penyakit akibat kerja yang terjadi dapat menganggu operasi perusahaan. Kerugian
yang dialami perusahaan dapat berupa kerugian ekonomi dan non ekonomi.
Kerugian ekonomi adalah segala kerugian yang bisa dinilai dengan uang, seperti
rusaknya bangunan, peralatan, mesin, dan bahan, biaya untuk pengobatan,
perawatan, dan santunan bagi tenaga kerja yang cidera/sakit, serta hari kerja yang
hilang karena operasi perusahaan yang terhenti sementara. Kerugian non ekonomi 100
antara lain yaitu rusaknya citra perusahaan, bahkan jika kejadian itu menimbulkan kematian pada tenaga kerja (Sahab, 1997).
Berdasarkan Riset yang dilakukan badan dunia International Labour
Organization (ILO) (1989) dalam Suma’mur (1996) memberikan kesimpulan bahwa setiap hari rata-rata 6.000 orang meninggal, hal ini setara dengan 1 orang setiap 15 menit atau 2,2 juta orang per tahun akibat sakit dan kecelakaan kerja yang berkaitan dengan pekerjaan mereka. Jumlah pria yang meninggal dua kali lebih banyak dibanding wanita, karena mereka lebih mungkin melakukan pekerjaan berbahaya. Secara keseluruhan, kecelakaan di tempat kerja telah menewaskan 350.000 orang. Sisanya meninggal karena sakit yang diderita dalam pekerjaan seperti terkena zat kimia beracun.
Di Indonesia, kasus kecelakaan kerja (KK) menunjukkan grafik turun
naik. Berdasarkan data Jamsostek tahun 2003-2006, diketahui bahwa selama
tahun 2003 terjadi 105.846 KK, kemudian pada tahun 2004 turun menjadi 95.418
KK. Pada tahun 2005, angka kecelakaan kerja meningkat menjadi 99.023 KK.
Angka ini tahun 2006 turun menjadi 95,624 KK (Jamsostek, 2008). Data tersebut
belum termasuk kasus kecelakaan kerja yang tidak dilaporkan oleh perusahaan-
perusahaan yang tidak mengikuti program Jamsostek.
Sementara itu, jika kita melihat The Heinrich Triangle dalam Bird dan
Germain (1990) yang dikutip oleh Sialagan (2008) dapat terlihat rasio terjadinya kecelakaan dengan perbandingan 1:29:300, dimana 1 adalah mayor injury, 29 adalah minor injuries, dan 300 adalah insiden near-miss. Begitu juga studi kasus 101
kecelakaan pada beberapa perusahaan yang dilakukan Bird menunjukan bahwa begitu banyaknya kejadian near-miss yang melatarbelakangi terjadinya sebuah kecelakaan serius. Dari studi tersebut Bird mengemukakan rasio terjadinya kecelakaan dengan perbandingan 1-10-30-600, dimana 1 adalah cidera berat, 10 adalah cidera ringan, 30 adalah kerusakan harta benda, dan 600 adalah kecelakaan hampir cidera (near-miss) (Sialagan, 2008).
Kecelakaan kerja secara umum disebabkan oleh 2 hal pokok yaitu perilaku kerja yang tidak aman (unsafe act) dan kondisi kerja yang tidak aman (unsafe conditions). Heinrich (1980) memperkirakan 85% kecelakaan adalah hasil kontribusi perilaku kerja yang tidak aman (unsafe act). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dikatakan bahwa perilaku manusia merupakan unsur yang memegang peranan penting dalam mengakibatkan suatu kecelakaan.
Beberapa pendekatan dilakukan untuk mengurangi atau mencegah terjadinya cidera akibat kecelakaaan dan berdasarkan hasil komparasi yang dilakukan oleh Stephen Guastello (1993) dalam Geller (2001) terhadap beberapa pendekatan untuk mengurangi cidera di tempat kerja menunjukan bahwa pendekatan terhadap perilaku mencapai hasil yang paling berhasil untuk mengurangi cidera di tempat kerja yaitu sebesar 59,6% diikuti dengan pendekatan ergonomi sebesar 51,6%, dan pendekatan engineering control sebesar 29%.
Selain itu, Geller (2001) menggambarkan pentingnya pendekatan perilaku yang didasari keselamatan (behavior based safety) dalam upaya meningkatkan keselamatan kerja baik yang bersikap reaktif atau proaktif. Dalam perspektif 102
reaktif upaya keselamatan ditelusuri dari perilaku yang berisiko atau tidak aman
(at risk behavior) yang berakibat pada kerugian. Hal ini dapat diartikan bahwa upaya reaktif menunggu terjadinya tidak aman dulu. Sedangkan dalam perspektif proaktif upaya keselamatan kerja ditelusuri dari perilaku aman (safe behavior) yang menghasilkan suatu kesuksesan pencegahan kecelakaan kerja. Geller (2001) juga menyebutkan agar pencapaian behavior based safety berhasil adalah lebih baik dengan menggunakan pendekatan yang berupaya mendorong terjadinya peningkatan perilaku aman. Upaya ini berujung pada usaha pencegahan terjadinya kecelakaan di tempat kerja atau hal ini dapat dikatakan juga berupa pendekatan yang bersifat proaktif dalam manajemen keselamatan.
Dalam proses pembentukan dan perubahan perilaku manusia terdapat faktor-faktor yang berpengaruh, diantaranya faktor dari dalam (Internal) seperti susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, proses belajar, dan sebagainya.
Sedangkan faktor yang berasal dari luar (eksternal) sperti lingkungan fisik/non fisik, iklim, manusia sosial, dan ekonomi, kebudayaan, dan sebagainya
(Notoadmodjo, 2003).
Beberapa penelitian menyebutkan beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku aman, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh
Hendrabuwana (2007) pada tahun 2007 yang dilakukan pada pekerja Departemen
Cor PT Pindad Persero Bandung dengan penelitian deskriptif yang menggunakan metode cross sectional diperoleh 45,1% (23 orang) berperilaku kerja selamat dan
54,9% (28 orang) berperilaku tidak selamat. Sedangkan variabel yang 103
berhubungan dengan perilaku bekerja selamat adalah pengawasan, peraturan, dan lingkungan.
Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Sialagan (2008) pada pekerja
PT EGS Indonesia yang dilakukan pada bulan November tahun 2008, dengan jumlah pekerja sebanyak 31 orang yang terdiri dari 10 orang personil kantor dan
21 orang personil lapangan dengan menggunakan penelitian deskriptif dan pendekatan cross sectional diperoleh 94% responden termasuk dalam kategori baik berperilaku aman. Selain itu, didapatkan hubungan yang bermakna antara faktor pengetahuan, motivasi, persepsi, peran rekan kerja, dan penyelia terhadap perilaku aman. Penelitian lainnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Helliyanti
(2009) pada pekerja Dept. Utility and Operation PT Indofood Sukses Makmur
Tbk Divisi Bogasari Flour Mills tahun 2009 diperoleh responden yang berperilaku aman sebanyak 60% sedangkan yang tidak berperilaku aman sebanyak 40%.
Berdasarkan hasil penelitian Karyani (2005) menyebutkan bahwa dari 113 pekerja di Schlumberger Indonesia tahun 2005 diperoleh bahwa supervisor
(pengawas) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku aman, yaitu sebanyak 51 (45,13%) responden yang menyatakan peran pengawas yang kurang baik berpengaruh terhadap perilaku pekerja yang tidak aman dibanding peran pengawas yang baik (8,85%). Hasil perhitungan Odds Ratio menunjukkan peran pengawas yang kurang baik cenderung 9,633 kali mendorong pekerja berperilaku tidak aman daripada peran pengawas yang baik (95% CI 3.970- 104
23.376). Faktor-faktor lainnya yang berhubungan dengan perilaku tidak aman yaitu peran rekan kerja yang rendah (40,71%), persepsi yang rendah (36,63%), dan motivasi yang rendah (40,71%).
Pada penelitiannya, Karyani (2005) juga memaparkan bahwa supervisor dan rekan kerja di tempat kerja merupakan pelaksana pengawasan. Pengawasan yang dilakukan oleh supervisor dan rekan kerja tidak hanya untuk tenaga kerja baru tetapi juga untuk pekerja lama yang telah lama berada di lokasi kerja. Selain itu, pengawasan terhadap pekerja untuk berperilaku aman akan kurang efektif apabila para pekerja memiliki motivasi yang rendah dalam bekerja.
Semakin baik peran supervisor dalam K3 maka akan sangat mempengaruhi perilaku aman pekerja di tempat tersebut. Adapun peran supervisor pada hakikatnya adalah kepemimpinan yang merupakan refleksi sistem manajemen yang ada. Jadi, supervisor (pengawas) yang baik akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang pada akhirnya akan membentuk perilaku kerja yang aman (Karyani, 2005).
PT. SIM Plant Tambun II atau PT Suzuki Indomobil Motor Plant Tambun
II merupakan salah satu perusahaan terbesar di Indonesia yang memproduksi kendaraan roda empat bermerk SUZUKI. Berikut ini adalah data kecelakaan akibat Unsafe Act di area produksi PT SIM Plant Tambun II, yaitu :
105
Sumber : Administrasi P2K3 PT. SIM
Berdasarkan data kecelakaan pada gambar 1.1 dapat disimpulkan bahwa
tingkat kecelakaan kerja akibat unsafe act semakin menurun. Meskipun demikian,
dapat dilihat bahwa pada tahun 2007 dan 2008 terjadi peningkatan kecelakaan
yang berat seperti dua jari tangan dan punggung telapak tangan yang terjepit
mesin, dan luka bakar pada tangan karena terkena cairan soda api.
Kecelakaan akibat unsafe act yang terjadi di PT SIM Plant Tambun II ini
karena bekerja dengan tergesa-gesa dan kurang berhati-hati, meletakan APD di
tempat yang tidak seharusnya, kurang memahami cara bekerja yang aman,
bekerja yang kurang ergonomis, pekerja yang menaruh komponen di tempat yang
salah, membersihkan mesin pada saat mesin menyala, membersihkan tangan
sembarangan.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa unsafe act dan unsafe condition
mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap terjadinya kecelakaan. Kehati-
hatian dan perilaku pekerja yang aman sangat dibutuhkan untuk menghindari
terjadinya kecelakaan akibat unsafe act karena pendekatan terhadap pekerjalah
yang dapat dilakukan apabila mesin sulit dikendalikan. Selain itu, Heinrich (1980) 106
memperkirakan 85% kecelakaan adalah hasil kontribusi perilaku kerja yang tidak
aman (unsafe act).
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang dilakukan di PT SIM Plant
Tambun II pada bulan Oktober 2009 diperoleh 7 dari 15 pekerja yang berperilaku
tidak aman (46,67%) seperti tidak memakai APD (Alat Pelindung Diri) lengkap,
duduk di jig (tempat meletakkan komponen) dan Pallet (Rak komponen) dan 8
diantaranya berperilaku aman (53,33%) seperti bekerja sesuai prosedur yang
ditentukan, memakai APD, menjaga kebersihan dan kerapihan area kerja.
Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, Geller (2001) menyebutkan
pentingnya pendekatan perilaku yang didasari keselamatan (behavior based
safety) dalam upaya meningkatkan keselamatan kerja. Dengan meningkatnya
keselamatan kerja maka dapat meningkatkan produktivitas pekerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan kemajuan dan kesejahteraan. Selain itu, manusia
merupakan salah satu aset terbesar dalam mencapai keberhasilan perusahaan.
Berdasarkan beberapa penelitian dan teori yang dipaparkan diatas, peneliti
tertarik untuk melakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
perilaku aman karyawan di area produksi PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
Adapun faktor-faktor yang akan diteliti antara lain, faktor internal meliputi
pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, umur, lama bekerja, status karyawan, dan
faktor eksternal seperti peraturan keselamatan, ketersediaan APD, safety
promotions/promosi K3, pelatihan K3, peran pengawas dan peran rekan kerja.
1.2 Rumusan Masalah 107
Berdasarkan data kecelakaan akibat unsafe act di PT SIM Plant Tambun
II terdapat peningkatan jenis kecelakaan yang berat dari tahun 2008 ke tahun
2009 seperti jari kelingking tangan dan punggung telapak tangan yang terjepit
mesin, dan tangan yang terkena cairan soda api. Selain itu, berdasarkan hasil studi
pendahuluan di PT SIM Plant Tambun II pada bulan Oktober 2009 diperoleh 7
dari 15 pekerja yang berperilaku tidak aman (46,67%) dan 8 orang diantaranya
berperilaku aman (53,33%). Selain itu juga, belum diketahuinya faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku aman karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun
2010.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran perilaku aman karyawan di PT SIM Plant Tambun II
tahun 2010?
2. Bagaimana gambaran faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi,
umur, dan lama bekerja) di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010?
3. Bagaimana gambaran faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi Keselamatan Kerja, pelatihan
keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja) di PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010?
4. Bagaimana hubungan antara faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi,
motivasi, umur, dan lama bekerja) dengan perilaku aman karyawan di PT
SIM Plant Tambun II tahun 2010? 108
5. Bagaimana hubungan antara faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi Keselamatan Kerja, pelatihan
keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja) dengan perilaku aman di
PT SIM Plant Tambun II tahun 2010?
6. Faktor apakah yang paling dominan berhubungan dengan perilaku aman
karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010?
1.4 Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku aman
karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
2. Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran perilaku aman karyawan di PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010.
2. Diketahuinya gambaran faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi,
motivasi, umur, dan lama bekerja) di PT SIM Plant Tambun II tahun
2010.
3. Diketahuinya gambaran faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi Keselamatan Kerja,
pelatihan keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja) di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010. 109
4. Diketahuinya hubungan antara faktor internal (pengetahuan, sikap,
persepsi, motivasi, umur, dan lama bekerja) dengan perilaku aman
karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
5. Diketahuinya hubungan antara faktor eksternal (ketersediaan APD,
peraturan keselamatan kerja, safety promotions/promosi Keselamatan
Kerja, pelatihan keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja)
dengan perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
6. Diketahuinya faktor apakah yang paling dominan berhubungan dengan
perilaku aman karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Bagi PT. SIM Plant Tambun II
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi perusahaan
tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku aman karyawan
sehingga dapat lebih dioptimalkan dalam mencapai keberhasilan perusahaan.
2. Bagi FKIK UIN Jakarta
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan referensi tentang
perilaku aman (safety behavior).
3. Bagi Peneliti
Penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi, bahan bacaan, dan
bahan referensi bagi peneliti selanjutnya mengenai perilaku aman (safety
behavior).
1.5 Ruang Lingkup 110
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku aman karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2009 – Maret 2010. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan Cross Sectional (potong lintang) dengan pengambilan data primer berupa data-data perusahaan dan data pendukung lainnya, dan data sekunder melalui penyebaran kuesioner, observasi, dan wawancara.
111
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keselamatan Kerja
2.1.1. Konsep Keselamatan Kerja
Menurut Colling (1990), kesehatan dan keselamatan kerja adalah
upaya pencegahan dari kecelakaan dan melindungi pekerja dari mesin,
dan peralatan kerja yang akan dapat menyebabkan traumatic injury .
Menurut ILO/WHO (1980) keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah
promosi dan pemeliharaan terhadap faktor fisik, mental dan sosial pada
semua pekerja yang terdapat di semua tempat kerja, mencegah gangguan
kesehatan yang disebabkan kondisi kerja, melindungi pekerja dan semua
orang dari hasil risiko dan dari faktor yang dapat mengganggu kesehatan,
menempatkan dan menjaga pekerja pada lingkungan kerja yang adaptif
terhadap fisiologis dan psikologis dan dapat menyesuaikan antara
pekerjaan dengan manusia dan manusia lain sesuai jenis pekerjaannya
(Kondarus, 2006).
Dalam UU RI No. 1 Tahun 1970 dinyatakan bahwa setiap tenaga
kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam
melakukan pekerjaan dan perlu diadakan segala upaya untuk membina
norma-norma perlindungan kerja. Berbagai upaya dilakukan oleh 112
perusahaan sebagai tempat bekerja untuk melindungi pekerjanya dari
bahaya kecelakaan kerja. Upaya-upaya itu antara lain pengendalian
rekayasa (Engineering control), pengendalian administratif, dan
pengendalian perilaku.
Menurut Suma’mur (1996), tujuan dari keselamatan kerja antara
lain :
a. Melindungi tenaga kerja atas hak keselamatannya dalam
melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan
produksi serta produktivitas nasional.
b. Menjamin keselamatan setiap orang lain yang berada di tempat
kerja.
c. Sumber produksi terpelihara dan dipergunakan secara aman dan
efisien.
2.1.2. Budaya Keselamatan Kerja
Budaya keselamatan (safety culture) yang dipaparkan oleh Hale
(2002) dalam Neal dan Griffin (2002) adalah sesuatu yang berkenaan
dengan sikap, keyakinan, dan persepsi yang didapat dari kelompoknya
sebagai penentu norma atau nilai yang menentukan bagaimana mereka
bereaksi sehubungan dengan risiko dan system control risiko.
Geller (2001) memaparkan sebuah misi dalam mengembangkan
total budaya keselamatan (Total Safety Culture) yang berperan sebagai
suatu petunjuk atau standar yang diperkenalkan dalam bukunya yang 113
berjudul The Psychology of Safety Hanbook. Pernyataan misi budaya keselamatan ini mencakup :
a. Mempromosikan suatu lingkungan pekerjaan yang didasarkan pada
keterlibatan karyawan, kepemilikan, kerjasama kelompok,
pendidikan, pelatihan, dan kepemimpinan.
b. Membangun penghargaan pada diri sendiri, empowerment,
kebanggaan, gairah, optimis, dan dorongan inovasi.
c. Penguatan kebutuhan akan karyawan yang secara aktif
memperhatikan teman sekerja mereka.
d. Mempromosikan filosofi keselamatan yang merupakan bukanlah
suatu prioritas yang dapat disampaikan lagi, tetapi suatu nilai yang
dihubungkan dengan setiap prioritas.
e. Mengenali kelompok dan prestasi individu.
Misi total budaya keselamatan ini lebih mudah dikatakan daripada prakteknya, tetapi terjangkau melalui suatu sumber variasi proses keselamatan; yang diawali dari disiplin psikologi dan engineering. Pada umumnya, suatu total budaya keselamatan memerlukan perhatian yang berkesinambungan pada ke tiga faktor, yaitu (Geller, 2001):
1. Faktor lingkungan (termasuk peralatan, equipment, layout fisik,
standar, prosedur, dan temperatur).
2. Faktor orang (termasuk sikap masyarakat, kepercayaan, dan
kepribadian). 114
3. Faktor perilaku (termasuk praktek kerja aman dan beresiko (tidak
aman), seperti halnya melampaui panggilan tugas untuk campur
tangan atas keselamatan orang lain).
Ketiga faktor tersebut biasanya dinamakan "tiga serangkai
keselamatan (The Safety Triad)" (Geller, 2001) yang digambarkan pada
gambar 2.1 di bawah ini :
Lingkungan Orang Equipment, peralatan, Pengetahuan, Ketrampilan, mesin, Housekeeping, Kemampuan, Inteligensi, Budaya Panas/Dingin, Engineering, Motif, Kepribadian Standar, prosedur operasi Keselamatan
Perilaku
Persetujuan, Pelatihan, Pengenalan, Komunikasi, Pertunjukan, “kepedulian yang aktif”
Sumber : Geller (2001)
Gambar 2.1 Total Budaya Keselamatan Yang Memerlukan Perhatian Yang Berkesinambungan Pada Tiga Jenis Faktor Penyokongnya
Menurut Geller (2001), ketiga faktor tersebut saling
mempengaruhi satu dengan yang lainnya dalam proses pencapaian
keselamatan di perusahaan dan jika terjadi perubahan pada salah satu
faktor tersebut maka kedua faktor lainnya pun ikut berubah. Geller 115
(2001) juga menyebutkan bahwa faktor perilaku dan faktor orang merupakan aspek manusia dan biasanya kedua faktor tersebut lebih sedikit diperhatikan dari pada faktor lingkungan. Kemudian Geller (2001) mengintegrasikan kedua pendekatan tersebut dan berdasarkan hasil integrasi diperoleh dua faktor internal dan eksternal. Hal ini dapat terlihat dari gambar dibawah ini (Geller, 2001):
Manusia
Internal Eksternal Status ciri-ciri: Perilaku: Sikap, kepercayaan, Pelatihan, Pengenalan, perasaan, pemikiran, Persetujuan, komunikasi, kepribadian, persepsi, dan dan menunjukan nilai-nilai, tujuan kepedulian secara aktif.
• Pendidikan • Pelatihan • Person Based • Behavior based • Teori Kognitif • Ilmu Perilaku • Survey Persepsi • Audit Perilaku
Sumber : Geller (2001)
Gambar 2.2 Aspek internal dan eksternal yang dapat menentukan keberhasilan proses keselematan
Berdasarkan gambar 2.2 dapat dipaparkan bahwa keberhasilan proses keselamatan kerja terdiri dari dua faktor internal (meliputi sikap, kepercayaan, perasaan, pemikiran, kepribadian, persepsi, dan nilai-nilai, 116
tujuan) dan eksternal (meliputi pelatihan, pengenalan, persetujuan,
komunikasi, dan menunjukan kepedulian secara aktif). Selain itu, Geller
(2001) menggambarkan pentingnya pendekatan keselamatan yang
didasari perilaku (behavior based safety) dalam upaya meningkatkan
keselamatan kerja baik yang bersikap reaktif atau proaktif. Dalam
perspektif reaktif upaya keselamatan ditelusuri dari perilaku yang
berisiko atau tidak aman (at risk behavior) yang berakibat pada kerugian.
Hal ini dapat diartikan upaya reaktif menunggu terjadi tidak aman dulu.
Sedangkan dalam perspektif proaktif upaya keselamatan kerja ditelusuri
dari perilaku yang menghasilkan suatu keberhasilan pencegahan
kecelakaan kerja. Sedangkan, pencapaian keselamatan kerja melalui
perspektif reaktif sulit dicapai hasil maksimal karena sifatnya yang
berusaha mencari kesalahan atau kegagalan yang dilakukan. Adanya
ketakutan dan citra yang jelek untuk diketahuinya oleh pihak lain
membuat cara ini sulit untuk mendapatkan gambaran mendalam atas
suatu kecelakaan.
2.1.3. Kinerja Keselamatan Kerja
Neal dan Griffin (2002) mengemukakan suatu model yang
menggambarkan bagaimana korelasi antara komponen-komponen kinerja
keselamatan. Neal dan Griffin (2002) juga membedakan kinerja
keselamatan menjadi dua tipe yaitu safety compliance dan safety
participation. Safety compliance digambarkan sebagai aktivitas-aktivitas 117
inti yang perlu dilaksanakan oleh individu-individu untuk memelihara
keselamatan di tempat kerja, seperti mengikuti standar prosedur kerja dan
menggunakan alat pelindung diri.
Sedangkan safety participation digambarkan sebagai perilaku-
perilaku yang tidak secara langsung berkontribusi kepada keselamatan
individu tetapi dapat membantu mengembangkan suatu lingkungan yang
mendukung keselamatan, seperti secara sukarela berpartisipasi dalam
aktivitas-aktivitas keselamatan, membantu rekan kerja terhadap hal-hal
yang berkenaan dengan keselamatan dan menghadiri pertemuan
keselamatan. Iklim keselamatan dan budaya keselamatan yang ada di
perusahaan tempat bekerja merupakan suatu keadaan yang
mempengaruhi perilaku keselamatan pekerja. Iklim keselamatan (safety
climate) adalah persepsi terhadap kebijakan, prosedur, dan pelaksanaan-
pelaksanaannya yang berhubungan dengan keselamatan ditempat kerja
(Neal dan Griffin, 2002). Berikut ini adalah korelasi kinerja keselamatan
yang digambarkan oleh Neal dan Griffin (2002) :
Antedents of Safety Determinants of Safety Components of Safety Performance Performance Performance
Safety climate sub KnowledgKnowledgKnowledg dimensions Safety Safety e & Skill climateclimateclimate Performance MotivationMotivationMotivation Safety Safety Safety climate sub dimensions e.g.
118
Sumber : Neal dan Griffin (2002)
Gambar 2.3 Korelasi antara antisiden, determinan dan komponen-komponen kinerja keselamatan
Pengetahuan, keterampilan, dan motivasi dianggap sebagai faktor
penentu kinerja keselamatan. Menurut Champbell et al (1996) dalam
Neal dan Griffin (2002) mengungkapkan bahwa hanya tiga penentu yang
mempengaruhi perbedaan kinerja individu, yaitu pengetahuan,
keterampilan, dan motivasi.
Jika individu tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan yang
memadai untuk memenuhi peraturan keselamatan atau berpartisipasi
dalam aktivitas keselamatan maka dia tidak akan berkemampuan untuk
menampilkan tindakan-tindakan tersebut.
Jika individu tidak memiliki motivasi yang memadai untuk
memenuhi peraturan keselamatan atau berpartisipasi dalam aktivitas
keselamatan maka dia akan memilih untuk menjalankan tindakan-
tindakan tersebut. Antisiden kinerja digambarkan sebagai faktor yang
mempengaruhi perilaku melalui efek pengetahuan, keterampilan, dan
motivasi.
2.2. Kecelakaan Kerja
2.2.1 Pengertian Kecelakaan Kerja
Menurut Bird (1990) kecelakaan merupakan suatu kejadian yang
tidak diinginkan dan dapat membahayakan orang, menyebabkan 119
kerusakan pada property atau kerugian pada proses. Kecelakaan adalah
kejadian yang tak terduga dan tidak diharapkan. Tak terduga; oleh karena
dibelakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan, lebih-lebih
dalam bentuk perencanaan. tidak diharapkan, oleh karena peristiwa
kecelakaan disertai kerugian matrial ataupun penderitaan dari yang paling
ringan sampai yang paling berat (Suma’mur, 1996). Selain itu, menurut
Warsto dan Mamesah (2003), kecelakaan adalah kejadian yang tidak
diinginkan yang berhubungan dengan pekerjaan yang mengakibatkan
cidera/kematian terhadap orang, kerusakan harta benda atau terhentinya
proses produksi.
2.2.2 Teori The ILCI Loss Caution Model
Teori Loss Caution Model yang dikemukakan oleh Bird dan
Germain (1990) dalam bukunya yang berjudul Practical Loss Control
Leadership tergambar bagaimana peran managemen sebagai latar
belakang penyebab terjadinya suatu kecelakaan dan cara berpikir ini
banyak digunakan sebagai landasan berpikir untuk mencegah terjadinya
kecelakaan. Teori ini pada dasarnya merupakan penyempurnaan dari teori
dominonya Heinrich (1980) dalam Bird dan Germain (1990).
Lack of Basic Causes Immediate Incident Loss control Couses Inadequate Personal factor s Substandard Contact with People Program Job factors acts& energy or Property Program condition substance process standard Compliance to standard
120
Sumber : Bird dan Germain (1990)
Gambar 2.4 The ILCI Loss Caution Model
2.3. Perilaku
2.3.1. Pengertian Perilaku
Menurut Geller (2001), perilaku sebagai tingkah atau tindakan
yang dapat di observasi oleh orang lain. Tetapi apa yang dilakukan atau
dikatakan seseorang tidaklah selalu sama dengan apa yang individu
tersebut pikir, rasakan, dan yakini.
Dalam pengertian umum perilaku adalah segala perbuatan atau
tindakan yang dilakukan mahluk hidup dan pada dasarnya perilaku dapat
diamati melalui sikap dan tindakan. Namun tidak berarti bahwa bentuk
perilaku hanya dapat dilihat dari sikap dan tindakannya. Perilaku juga
bersifat potensial yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi, dan
persepsi. Perilaku sebagai perefleksian faktor-faktor kejiwaan seperti
keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap, motivasi, reaksi,
dan sebagainya, dan faktor lain seperti pengalaman, keyakinan, sarana
fisik, sosio, dan budaya (Notoatmodjo, 2003).
Skiner (1938) dalam Notoatmodjo (2003) merumuskan bahwa
perilaku merupaakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Perilaku ini disebut teori “S – O – R” atau “ 121
Stimulus – Organisme – Respon” dikarenakan terjadi melalui proses
adanya stimulus terhadap organisme, kemudian organisme tersebut
merespon.
2.3.2. Bentuk Perilaku
Jika dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus yang dikemukakan
oleh Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2003), maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Perilaku tertutup/terselubung (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus masih dalam bentuk
terselubung atau tertutup. Repon dan reaksi terhadap stimulus ini
masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesdaran
dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut
dan belum dapat diamati dengan jelas oleh orang lain.
b. Perilaku terbuka/nyata tampak (overt behavior)
Respon terhadap stimulus telah diaplikasikan dalam tindakan nyata
atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam
bentuk tindakan atau praktek yang dapat mudah diamati dan dilihat
oleh orang lain (Notoatmodjo, 2003).
2.4. Perilaku Aman 122
Perilaku aman menurut Heinrich (1980) adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang karyawan yang memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap karyawan. Sedangkan menurut Bird dan Germain
(1990) perilaku aman adalah perilaku yang tidak dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan atau insiden. Perbedaan perilaku aman dan perilaku Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) yaitu perilaku aman hanya berfokus pada keselamatannya saja sedangkan perilakau K3 tidak hanya pada keselamatan tetapi juga pada kesehatan kerjanya. Dibawah ini adalah jenis-jenis perilaku aman, yaitu :
1. Menurut Frank E Bird dan Germain (1990) dalam teori Loss Causation
Model menyatakan bahwa jenis-jenis perilaku aman, meliputi :
a. Melakukan pekerjaan sesuai wewenang yang diberikan.
b. Berhasil memberikan peringatan terhadap adanya bahaya.
c. Berhasil mengamankan area kerja dan orang-orang disekitarnya.
d. Bekerja sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan.
e. Menjaga alat pengaman agar tetap berfungsi.
f. Tidak menghilangkan alat pengaman keselamatan.
g. Menggunakan peralatan yang seharusnya.
h. Menggunakan peralatan yang sesuai.
i. Menggunakan APD dengan benar.
j. Pengisian alat atau mesin yang sesuai dengan aturan yang berlaku. 123
k. Penempatan material atau alat-alat sesuai dengan tempatnya dan cara
mengangkat yang benar.
l. Memperbaiki peralatan dalam kondisi alat yang telah dimatikan.
m. Tidak bersenda gurau atau bercanda ketika bekerja.
2. Menurut Heinrich (1980), perilaku aman terdiri dari :
a. Mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang sesuai
b. Mengoperasikan peralatan yang memang haknya
c. Menggunakan peralatan yang sesuai.
d. Menggunakan peralatan yang benar.
e. Menjaga peralatan keselamatan tetap berfungsi.
f. Berhasil memperingatkan karyawan lain yang bekerja tidak aman.
g. Menggunakan PPE dengan benar.
h. Mengangkat dengan beban yang seharusnya dan menempatakannya di
tempat yang seharusnya.
i. Mengambil benda dengan posisi yang benar.
j. Cara mengangkat material atau alat dengan benar.
k. Disiplin dalam pekerjaan.
l. Memperbaiki perlatan dalam keadaan mati.
2.5. Teori Perubahan Perilaku
2.5.1 Teori Lawrence Green
Lawrence Green (1980) menganalisis perilaku manusia terkait
masalah kesehatan. Bahwa kesehatan seseorang atau masyarakat 124
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya faktor perilaku itu sendiri terbentuk dari 3 faktor yaitu :
1. Predisposing factors (faktor dari diri sendiri) adalah faktor-faktor
yang mendahului perilaku untuk menetapkan pemikiran ataupun
motivasi yang terdiri dari pengetahuan, sikap, persepsi, nilai,
keyakinan, dan variabel demografi.
2. Enabling factors (faktor pemungkin) adalah kemampuan dari
sumber daya yang diperlukan untuk membentuk perilaku. Faktor
pemungkin terdiri dari fasilitas penunjang, peraturan dan
kemampuan sumber daya.
3. Reinforcing factors (faktor penguat) adalah faktor yang menentukan
apakah tindakan kesehatan mendapatkan dukungan. Pada program
pendidikan keselamatan kerja dilakukan oleh teman kerja, pengawas,
pimpinan, dan keluarga, pemberian reward dan punishment (Green,
1980).
Predisposing Factors • Pengetahuan • Sikap • Persepsi • Nilai • Keyakinan • Variabel demografi
Enabling Factors
• Fasilitas penunjang • Peraturan Perilaku • Kemampuan sumber daya
Reinforcing Factors 125
Sumber : Green (1980)
Gambar 2.5 Teori Lawrence Green (1980) Kurt Lewin (1970) dalam Notoatmodjo (2003) berpendapat bahwa perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Perilaku itu dapat berubah bila terjadi ketidak seimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang. Kekuatan pendorong meningkat, hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku. Kekuatan-kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun, dengan keadaan ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. 126
Sedangkan menurut Notoatmodjo (2003), dalam proses
pembentukan dan perubahan perilaku manusia terdapat faktor-faktor
yang berpengaruh, diantaranya faktor dari dalam (Internal) seperti
susunan syaraf pusat, persepsi, motivasi, proses belajar, dan
sebagainya. Sedangkan faktor yang berasal dari luar (eksternal) sperti
lingkungan fisik/non fisik, iklim, sosial, dan ekonomi, kebudayaan,
dan sebagainya.
2.5.2 Teori Perubahan Perilaku Yang Aman
Ada beberapa teori yang menjelaskan perubahan perilaku aman,
diantaranya (Suizer, 1999) :
A. Teori Ramsey
Ramsey mengajukan sebuah model yang menelaah faktor-
faktor pribadi yang mempengaruhi terjadinya kecelakaan. Menurut
Ramsey perilaku kerja yang aman atau terjadinya perilaku yang
dapat menyebabkan kecelakaan, dipengaruhi oleh empat faktor
(Suizer, 1999), yaitu :
1. Pengamatan (Perception) merupakan tahap pertama dimana
seseorang akan mengamati suatu bahaya tersebut, maka
seseorang tersebut tidak akan menampilkan adanya perilaku
kerja yang aman. Kemampuan seseorang dalam mengamati 127
faktor bahaya didalam bekerja tersebut dipengaruhi oleh
kecakapan sensoris, persepsinya dan kewaspadaannya.
2. Kognitif (Cognition), pada tahap ini, bahaya kerja dapat teramati
namun seseorang yang bersangkutan tidak memiliki pengetahuan
dan pemahaman bahwa hal tersebut membahayakan, maka
perilaku yang aman juga tidak tampil. Tahapan ini tergantung
pengalaman, pelatihan, kemampuan metal dan daya ingat.
3. Pengambilan keputusan (Decision Making), perilaku yang aman
juga tidak akan ada jika seseorang tidak memiliki keputusan
untuk menghindari kecelakaan walaupun seseorang tersebut telah
melihat dan mengetahui bahaya yang dihadapi tersebut
merupakan sesuatu yang membahayakan. Hal ini tergantung dari
pegalaman, pelatihan, sikap, motivasi, kepribadian, dan
kecendrungan menghadapi resiko.
4. Kemampuan (Ability), perilaku aman juga tidak akan ada jika
seseorang tidak memiliki kemampuan bertindak atau
menghindari bahaya walaupun pada tahapan sebelumnya tidak
terjadi kesalahan atau berlangsung dengan baik. Tahapan ini
dipengaruhi oleh cirri-ciri dan kemampuan fisik, kemampuan
psikomotorik, dan proses fisiologis.
Keempat faktor tersebut merupakan suatu proses yang sekuensial mulai dari yang pertama sampai dengan yang terakhir. 128
Bila keempat tahapan ini dapat berlangsung dengan baik maka akan
terbentuk suatu perilaku yang aman (Suizer, 1999). Dari keempat
tahapan diatas dapat disimpulkan bahwa keseluruhan faktor
pengaruh tersebut, sebagian besar merupakan faktor-faktor
individual yang sesungguhnya masih dapat ditingkatkan melalui
berbagai strategi pendidikan dan pelatihan yang sesuai dan tepat.
Namun perlu disadari pula bahwa betapapun telah terbentuk perilaku
kerja yang aman, adanya faktor chance masih memungkinkan
terjadinya suatu kecelakaan (Suizer, 1999).
B. Teori Accident Pronenes
Dalam mengkaji secara lebih dalam masalah perilaku yang
tidak aman individu, selalu timbul dalam benak para peneliti
pertanyaan-pertanyaan, seperti (Suizer, 1999) :
1. Apakah setiap individu akan menampilkan pola perilaku tidak
aman yang berbeda-beda frekuensinya dalam suatu situasi
kerja tertentu.
2. Apakah memang benar ada jenis kepribadian tertentu yang
cenderung celaka.
3. Faktor-faktor pribadi apa saja yang sesungguhnya erat
hubungannya dengan terjadinya kecelakaan.
Pertanyaan pertama diatas berkaitan dengan frekuensi perilaku
tidak aman (tidak selamat) yang ditampilkan dan kecelakaan yang 129
terjadi didalam suatu situasi kerja yang spesifik dimana setiap orang mempunyai kemungkinan celaka yang sama. Dengan kata lain, pertanyaannya adalah apakah ada individu-individu tertentu yang memiliki frekuensi celaka yang lebih sering tanpa dipengaruhi faktor chance (kebetulan) (Suizer, 1999).
Pada waktu yang lalu, banyak tulisan yang mengemukakan bilamana seseorang memiliki frekuensi perilaku tidak aman (tidak selamat) atau frekuensi kecelakaan diatas rata-rata disebut sebagai
“accident prone” (cenderung celaka) tanpa mengkaji lebih dalam adanya faktor kebetulan. Sedangkan bila ditinjau dalam pemikiran statistika angka tersebut sebenarnya masih didalam batas ‘chance expectation’ dan tidak menunjukan perbedaan yang bermakna atau signifikan. Oleh karena itu, utuk menentukan apakah ada individu- individu tertentu yang akan menampilkan perilaku tidak aman atau kecelakaan yang lebih sering, perlu dilakukan suatu prosedur statistik yang membandingkan distribusi actual dan distribusi hipotesis yang dipengaruhi faktor kebetulan (Suizer, 1999).
Istilah ‘accident pronenes’ yang saat ini jarang dipergunakan lagi karena mempunyai dua pengertian. Pengertian pertama menunjukan adanya suatu kualitas kepribadian yang dimiliki individu, sehingga seringkali dikaitkan dengan suatu bentuk atau jenis kepribadian tertentu yang cenderunng celaka dan ternyata 130
dalam perkembangan konsep ini sulit dibuktikan. Pengertian kedua yaitu didasari pemikiran statistik menunjukan pegertian adanya kecendrungan pada individu-individu tertentu untuk mengulangi perilaku tidak aman atau kecelakaan yang tidak dipengaruhi faktor kebetulan. Pengertian yang kedua ini lebih jelas dari pada yang pertama dan banyak dibuktikan oleh berbagai penelitian, namun konsep tersebut tidak mampu menjelaskan atau menerangkan penyebab adanya kecenderungan tersebut pada suatu pribadi (Suizer,
1999).
Banyak penelitian yang mencoba menjelaskan faktor-faktor pribadi apa saja yang menyebabkan sesorang memilki kecenderungan untuk mengulangi perilaku tidak aman dan kecelakaan (Suizer, 1999). Penelitian tersebut dilakukan atas dasar pemikiran seperti :
a. Setiap perilaku kerja yang aman atau yang tidak aman didalam
situasi kerja yang berbeda-beda akan dipengaruhi oleh
kombinasi keempat tahapan (pengamatan, pengenalan,
pengambilan keputusan, dan kemampuan menghindari
kecelakaan).
b. Perbedaan situasi pekerjaan menyebabkan perbedaan
pentingnya bentuk perilaku yang erat kaitannya dengan
keempat tahapan yang ada. 131
Adapun faktor-faktor pribadi yang erat hubungannya dengan
perilaku tidak aman dan kecelakaan adalah (Suizer, 1999) :
a. Visi
b. Style (Gaya)
c. Hubungan motorik-Persepsi
d. Attitude (sikap)
e. Pengalaman
f. Umur
C. Teori Ramussen
Ramussen adalah seorang ahli rekayasa (engineer) yang
mengembangkan klasifikasi generik psikologis kesalahan manusia,
yang berdasarkan kerangka kognitif. Konsep dan teori ini
dikembangkan berdasarkan analisis terhadap peristiwa yang terjadi
dipusat pengembangan tenaga nuklir. Pada awal penjelasan konsep
atau teorinya ia mengemukakan bahwa mendefinisikan apa yang
disebut kesalahan merupakan suatu yang tidak mudah, seperti
misalnya menggolongkan suatu situasi dimana seseorang dianggap
melakukan kesalahan sedangkan hasil kerjanya dianggap sesuatu
yang benar (Suizer, 1999).
Menurut Ramussen, ada tiga jenjang katagori kesalahan yang
dapat terjadi pada manusia, yaitu : 132
a) Kesalahan karena kemampuan (skill-based error) adalah suatu
kesalahan manusia yang disebabkan oleh karena
ketidakmampuan sesorang secara fisik atau tidak memiliki
keterampilan yang dibutuhkan untuk menjalankan suatu tugas
tertentu. Sesorang bias saja tahu apa yang seharusnya yang
dilakukan tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk
melakukannya.
b) Kesalahan karena peraturan (rule-based error) adalah suatu
kesalahan manusia karena tidak melakukan aktivitas yang
seharusnya dilakukan atau melakukan suatu aktivitas yang
tidak sesuai dengan apa yang seharusnya dilakukan.
c) Kesalahan karena pengetahuan (knowledge-based error) adalah
kesalahan manusia yang disebabkan karena tidak dimilikinya
pengetahuan yang dibutuhkan untuk memahami situasi dan
membuat keputusan untuk bertindak atau melakukan suatu
aktivitas.
Menurut Ramussen klasifikasi yang diutarakannya hanya
menggambarkan apa yang salah dan kapan salahnya, tetapi tidak
menjelaskan kenapa salah.
D. Teori James Reason
Menurut Reason (1997) tindakan tidak aman dapat
disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian manusia (Human-erorr) 133
dalam melakukan pekerjaanya. Reason (1997) menguraikan kesalahan yang dilakukan oleh pekerja menjadi empat yaitu:
1. Skill-based error (Slips and Lapses), kesalahan yang dilakukan
berhubungan dengan keahlian yang dimiliki. Pekerja yang
telah terbiasa dalam melakukan suatu pekerjaan suatu saat
dapat melakukan kesalahan tanpa disadari (slips) karena tidak
sesuai dengna kebiasaannya, selain itu pekerja dapat
melakukan kesalahan karena lupa (Lapses).
2. Rule-based error (Mistakes), meliputi kesalahan dalam
memenuhi standar dan prosedur yang berlaku, menggunakan
peraturan dan prosedur yang salah, menggunakan peraturan
dan prosedur lama.
3. Knowledge-based error (Mistakes), disebabkan kurangnya
pengetahuan sehingga menyebabkan kesalahan dalam
mengambil keputusan dan asumsi- asumsi.
4. Violation atau pelanggaran, merupakan kesalahan yang
dilakukan dengan sengaja seperti melanggar peraturan
keselamatan kerja dengan tidak menggunakan perlengkapan
pelindung.
Pekerja hendaknya memiliki kesadaran atas keadaan yang berbahaya sehingga resiko terjadinya kecelakaan kerja dapat diminimalisasi (Reason, 1997). Kesadaran terhadap bahaya yang 134
mengancam dapat diwujudkan dengan menggunakan perlengkapan keselamatan kerja dengan baik dan benar, menaati peraturan dan prosedur yang berlaku, bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya.
Seringkali pekerja melakukan kesalahan dengan tidak menggunakan perlengkapan pelindung maupun menggunakan perlengkapan pelindung yang rusak, menyalahgunakan perlengkapan pelindung, mengambil jalan pintas dengan mengabaikan peraturan dan rambu- rambu yang ada.
Reason (1997) membagi penyebab kecelakaan kerja menjadi dua, yang pertama karena tindakan tidak aman yang dilakukan oleh pekerja dan yang kedua disebabkan oleh kondisi tidak aman pada lingkungan kerja. Reason (1997) menyatakan bahwa pendorong utama timbulnya tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman adalah faktor organisasi, yang selanjutnya mempengaruhi faktor lingkungan kerja. Faktor lingkungan kerja meliputi hal-hal yang berhubungan dengan proyek konstruksi secara langsung seperti tekanan yang berlebihan terhadap jadwal pekerjaan, peralatan dan perlengkapan keselamatan kerja yang tidak memadai, kurangnya pelatihan keselamatan kerja yang diberikan pada pekerja, kurangnya pengawasan terhadap keselamatan kerja pekerja.
Faktor lingkungan kerja dapat mendorong munculnya kesalahan dan pelanggaran pada pihak pekerja, kesalahan dan 135
pelanggaran tersebut dapat berupa tindakan tidak aman dari pekerja,
seperti melanggar peraturan dan prosedur keselamatan kerja, dan
salah satu hasil akhir dari tindakan tidak aman adalah munculnya
kecelakaan kerja pada pihak pekerja. Di lain pihak faktor organisasi
dan faktor lingkungan kerja juga dapat menyebabkan munculnya
kondisi tidak aman yang berupa kondisi laten. Disebut kondisi laten
karena kondisi tidak aman tersebut muncul pada lingkungan kerja
bila berinteraksi dengan tindakan tidak aman dari pihak pekerja,
yang kemudian dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Salah satu
contoh kondisi laten adalah kebijakan organisasi yang tidak
memberikan perlengkapan keselamatan kerja pada pekerjanya
dengan melakukan pengawasan secara ketat terhadap kemungkinan
terjadinya kecelakaan. Hal ini sangat beresiko karena bila suatu saat
pengawasan tidak dilakukan, dapat muncul resiko terjadinya
kecelakaan kerja (Reason, 1997).
Oliver, et al (2002) mengemukakan bahwa kecelakaan kerja
yang disebabkan oleh tindakan tidak aman dan kondisi tidak aman
dapat terjadi karena adanya pengaruh dari faktor organisasi, kondisi
lokal tempat kerja, serta perilaku dan kesehatan pekerja kurang baik
atau tindakan tidak aman, yang tidak disadari oleh pekerja maupun
yang disadari oleh pekerja, berupa pelanggaran.
E. Model ABC 136
Geller (2001) mengungkapkan model Activator-Behavior-
Consequence (ABC) sebagai teknik untuk intervensi perubahan
perilaku. Dikatakan bahwa activator mengarahkan perilaku, dan
consequence memotivasi perilaku. Perilaku aman pekerja
menggunakan alat pelindung diri (APD) dilokasi kerja yang ada
tanda wajib penggunaan APD (aktivator) dapat bersifat sementara
jika tidak adanya secara nyata konsekuensi negatif (segera, pasti, dan
terukur) dari perilaku aman tersbut. Konsekuensi yang cepat dan
mudah dapat memotivasi pekerja untuk berperilaku aman.
AktivatorAktivatorAktivator BehaviorBehaviorBehavior Consequen cecece
Sumber : Geller, 2001
Gambar 2.6 ABC Model
2.6. Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Perilaku Aman
Berdasarkan beberapa penelitian dan teori perubahan perilaku yang telah
dipaparkan sebelumnya diperoleh beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
perilaku aman, yaitu :
2.6.1 Pengetahuan 137
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari tahu, terjadi setelah orang melakukan proses pengindraan terhadap objek yang diamatinya. Menurut Bloom (1975) yang dikutip dari Widayatun
(1999), pengetahuan adalah pemberian bukti oleh seseorang melalui proses pengingatan atau pengenalan informasi dan ide yang sudah diperoleh sebelumnya. Berdasarkan penelitian Rogers (1974) dalam
Notoatmodjo (2003), Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan, yaitu:
a. Tahu (Know) diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya.
b. Memahami (Comprehension) diartikan sebagai suatu kemampuan
menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat
menginterpretasikan materi tersebut secara benar.
c. Aplikasi (Aplication) diartikan sebagai kemampuan untuk
menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi
sebenarnya.
d. Analisis (Analysis) adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan
materi atau suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi
masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis) merupakan suatu kemampuan untuk menyusun
formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. 138
f. Evaluasi (Evalaution) berkaitan dengan kemampuan melakukan
penilaian terhadap suatu objek.
Menurut Adenan (1986) dalam buku Widayatun (1999), semakin luas pengetahuan seseorang maka semakin positif perilaku yang dilakukannya. Perilaku positif mempengaruhi jumlah informasi yang dimiliki seseorang sebagai hasil proses penginderaan terhadap objek tertentu. Selain itu, tingkat perilaku mempengaruhi domain kognitif seseorang dalam hal mengingat, memahami, dan mengaplikasikan informasi yang dimiliki. Juga berpengaruh dalam proses analisis, sintesis, dan evaluasi suatu objek. Menurut Adenan (1986) dalam buku
Widayatun (1999) juga bahwa pengetahuan diperoleh dari pendidikan formal atau pendidikan informal. Menurut Cahyani (2004), pengetahuan yang tidak memadai mengenai adanya risiko dan bahaya dan kecelakaan kerja akan membuat pekerja bersikap tak acuh seta mungkin ia melakukan tindakan yang tidak aman dan merugikan keselamatan dirinya.
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses seperti ini didasari oleh pengetetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif maka sikap tersebut akan bersifat langgeng (long lasting).
Sebaliknya apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan berlangsung lama (Notoatmodjo, 2003). 139
Sebaliknya, Green (1980) berpendapat bahwa peningkatan
pengetahuan tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku. Pengetahuan
memang sesuatu yang perlu tetapi bukan merupakan faktor yang cukup
kuat sehingga seseorang bertindak sesuai dengan pengetahuannya.
Pengukuran pengetahun dapat dilakukan melalui wawancara langsung
atau kuesioner terhadap subjek penelitian atau responden (Notoatmodjo,
2003). Berdasarkan penelitian Heliyanti (2009) bahwa tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara perilaku tidak aman dengan
pengetahuan karyawan.
2.6.2 Sikap
a. Pengertian Sikap
Sikap adalah respon yang tidak teramati secara lagsung yang
masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Newcomb
dalam Notoatmodjo (2003), seorang ahli psikologis sosial, menerangkan
bahwa sikap lebih mengacu pada kesiapan dan kesediaan untuk bertindak,
dan bukan pelaksana motif tertentu. Sikap bukan merupakan suatu
tindakan, namun merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku. Sikap
merupakan reaksi tertutup, bukan reaksi terbuka.
Menurut Alport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) seorang ahli di
bidang psikologi sosial, mendefinisikan sikap sebagai kesiapan untuk
bereaksi terhadap suatu obyek dengan cara-cara tertentu. Kesiapan yang
dimaksud disini adalah kecendrungan untuk bereaksi apabila individu 140
dihadapkan pada suatu stimulus yang menghendaki adanya respon. Dari batasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa manifestasi adanya respon.
Menurut Notoatmodjo (2003), dengan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan memberikan tugas yang diberikan merupakan suatu indikasi dari sikap. Notoatmodjo (2003) juga mengungkapkan bahwa suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Selain itu, diperlukan juga faktor dukungan dari pihak lain.
Alport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) juga memaparkan 3 komponen sikap, yaitu :
1. Kepercayaan (Keyakinan), ide, dan konsep terhadap objek.
2. Pengaruh atau perasaan, merupakan evaluasi terhadap objek.
3. Kecenderungan tindakan (Tend to behave).
Sarwono (1997) juga memaparkan sikap secara umum dapat dirumuskan sebagai kecendrungan untuk berespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek, atau situasi tertentu. Sikap tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap, sebab seringkali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. 141
Mar’at (1982) dalam Dahlawy (2008), faktor-faktor yang
mempengaruhi sikap terdiri dari faktor internal yaitu faktor-faktor yang
terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti selektifitas
rangsangan dari luar yang dapat ditangkap melalui persepsi. Ada proses-
proses memilih rangsangan, rangsangan mana yang akan didekati dan
rangsangan mana yang harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-
motif dan kecenderungan yang berasal dari diri seseorang. Bila mempunyai
kecenderungan memilih maka akan terbentuk sikap positif atau terbentuk
sikap negatif bila kecenderungan itu menolak. Faktor eksternal yaitu
faktor-faktor yang menentukan seseorang untuk bersikap, terdiri dari sifat
objek yang dijadikan sasaran, kewajiban orang yang mengemukakan suatu
sikap, sifat-sifat orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut,
media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan situasi pada saat
sikap itu terbentuk. Oleh karena itu, diperlukan media informasi yang
sesuai dengan situasi yang ada di area kerja seperti bahaya yang ada yang
tertempel dengan jelas sebagai bentuk komunikasi akan adanya bahaya
sehingga pekerja dapat lebih berhati-hati dalam bertindak. b. Pengukuran Sikap
Menurut Mueller (1992) dalam Millah (2008) Untuk memahami
sikap, terdapat beberapa metode yang dapat digolongkan ke dalam
metode-metode langsung dan metode tidak langsung, dan terdapat bagi
metode yang memakai tes tersusun dan tidak tersusun. Metode langsung 142
adalah metode dimana orang itu secara langsung diminta pendapat atau anggapannya mengenai objek tertentu. Metode ini lebih mudah pelaksanaannya, akan tetapi kurang dapat dipercaya daripada metode tidak langsung. Pada metode tidak langsung, orang diminta supaya menyatakan dirinya mengenai objek sikap yang diselidiki, tetapi tidak secara langsung.
Cara ini lebih sulit dilaksanakan, tetapi lebih mendalam. Mueller (1992) dalam Millah (2008) juga memaparkan metode pengukuran sikap pada metode tidak langsung yang dapat digunakan adalah :
1. Skala Likert
Mengukur sikap seseorang adalah mencoba menempatkan posisinya
pada suatu continum afektif berkisar dari sangat “negatif” hingga ke
“sangat negatif” terhadap suatu objek sikap. Dalam teknik
perskalaan likert, kuantifikasi ini dilakukan dengan pencatatan
penguatan respon untuk pernyataan kepercayaan positif dan negatif
tentang objek sikap.
2. Skala Thurstone
Thurstone mengembangkan tiga bagian teknik perskalaan sikap,
yaitu metode perbandingan pasangan, metode interval pemunculan
sama, dan metode interval berurutan (atau aturan dikotom). Ketiga
metode itu menggunakan pertimbangan jalur duga-dugaan (yang
menjadi tanggung jawab setiap orang) menganggap kemustarian yan
relatif (kepositifan) pernyataan sikap terhadap objek sikap. Nilai- 143
nilai kemustarian untuk setiap pernyataan diolah dari pertimbangan
dugaan itu dan skala butir-butirnya dipilih berdasarkan kepada
bagian terbesar dari nilai-nilainya itu.
3. Skala Guttman
Louise Guttman memperkenalkan suatu desain prosedur perskalaan
untuk menghasilkan skala-skala multi dimensional yang ketat. Butir-
butir skala Guttman disusun berdasarkan derajat kepositifan, seperti
juga butir skala Thurstone. Yang membuat unik skala ini adalah
tekanan ekstrim pada unidimensional.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Sialagan (2008) terdapat
hubungan yang bermakna antara sikap karyawan dengan perilaku aman.
Lain halnya dengan penelitian. Helliyanti (2009) dan Karyani (2005) dan
yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sikap
dengan perilaku tidak aman pekerja.
2.6.3 Persepsi
a. Pengertian Persepsi
Secara sederhana persepsi adalah pengertian atau pandangan
tentang bagaimana individu memandang atau mengartikan sesuatu.
Sialagan (1999) mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana
individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra mereka
bermakna pada lingkungan mereka, sementara persepsi ini memberikan 144
dasar pada seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan yang mereka persepsikan.
Persepsi tidak muncul begitu saja, ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang tergantung pada kemampuan individu merespon stimulus. Kemampuan tersebut yang menyebabkan persepsi antara individu yang satu dengan individu lain yang berbeda-beda dimana cara menginterpretasikan sesuatu yang dilihat pun belum tentu sama antar individu.
Petersan (1998) mengemukakan bahwa seorang karyawan cenderung melakukan perilaku tidak selamat karena beberapa hal, yaitu :
1. Tingkat persepsi yang buruk terhadap adanya bahaya/risiko di
tempat kerja.
2. Mengganggap remeh kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
3. Menggap rendah biaya yang harus dikeluarkan jika terjadi
kecelakaan kerja.
Winardi (2001) dalam Sialagan (2008) menyebutkan bahwa
seseorang berperilaku tertentu karena adanya suatu situasi yang
diyakininya, bukan karena situasi yang terdapat disekitarnya. Agar
muncul persepsi, informasi diidentifikasi sebagai suatu stimulus –input.
disini terjadi proses selektivitas mana informasi yang perlu dipersepsikan
dan mana informasi yang perlu diabaikan. Jadi, dapat dikatakan bahwa 145
stimulus yang tidak dipersepsikan, tidak akan menimbulkan dampak atas perilaku. Kemudian agar informasi dapat memiliki arti maka ia perlu diorganisasi sedemikian rupa, dan ditafsirkan sehunbungan dengan situasi yang dihadapi dan pengalaman masa lampau sehingga kita dapat mencapai arti dan makna. Sebagai hasilnya informasi tersebut dimasukkan ke dalam perilaku.
Robbins (1996) memandang penting persepsi karena persepsi akan sesuatu dapat saja berubah-ubah maknanya walaupun realitasnya sama saja. Adanya faktor situasi dan faktor target yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap obyek. Persepsi juga sangat tergantung pada karakteritik individual seperti sikap, motivasi, kepentingan, pengalaman, dan harapan. Jika kita ingin merubah perilaku tidak aman seseorang, kita harus menyamakan persepsi dahulu. Hal ini sesuai dengan tulisan Geller (2001) menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh apa yang dirasakan daripada risiko yang sebenarnya.
Persepsi yang positif dan pemahaman yang tepat terhadap keselamatan dan kesehatan kerja dikalangan karyawan merupakan unsur penentu kemajuan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja normatif menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku serta penggerak improvisasi penyelenggaraan yang lebih dapat menjamin pencapaian kemanfaatan yang lebih besar. Konsep yang mengatakan 146
bahwa keselamatan dan kesehatan kerja menjadi kepedulian semua
orang yang harus menjadi persepsi seluruh karyawan. Menurut
penelitian Maaniaya (2005) dan Helliyanti (2009) dan yang
menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
persepsi dengan perilaku tidak aman pekerja.
b. Pengukuran Persepsi
Pengukuran persepsi dapat dilakukan dengan membuat pernyataan
yang memberikan alternatif pilihan jawaban terhadap responden.
Pernyataan yang dibuat menggambarkan pendapat, penilaian, dan
penafsiran responden tentang suatu objek. Untuk pengukuran persepsi
yang ingin diketahui adalah objektifitas pendapat, penilaian dan keyakinan
responden terhadap suatu objek. Hasil kumulatif dari penilaian bisa
menimbulkan kesan positif atau kesan negatif pada responden terhadap
objek yang dinilai (Widayatun, 1999). Berdasarkan penelitian Karyani
(2005) dan Sialagan (2008), terdapat hubungan yang bermakna antara
persepsi dengan perilaku tidak aman pekerja. Hal ini diperkuat oleh
penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Karyani (2005) bahwa
responden yang memiliki persepsi kurang baik mempunyai peluang 4.656
kali berperilaku tidak aman dibanding responden yang persepsinya baik.
2.6.4 Motivasi
Menurut Munandar (2001), motivasi adalah suatu proses dimana
kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian 147
kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tertentu. Papu (2002) dalam Utommi (2007) mengungkapkan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi motivasi (kelompok) dalam bekerja dikategorikan menjadi tujuan, tantangan, keakraban, tanggung jawab, kesempatan untuk maju dan kepemimpinan. Menurut Astuti (2001), salah satu hal yang terpenting yang perlu dipertimbangkan pada diri individu untuk berperilaku adalah motivasi.
Motivasi yang ada pada diri seseorang akan mempengaruhi apakah dia akan mengerjakan setiap tugasnya dengan baik atau sebaliknya, apakah dia akan berperilaku aman atau tidak.
Motivasi sesorang terhadap objek yang dapat berupa perilaku, orientasi atau tujuan dapat ditingkatkan melalui berbagai cara. Menurut
Munandar (2001), ada dua cara untuk meningkatkan motivasi kerja yaitu :
1. Bersikap keras
Dengan memaksakan tenaga kerja untuk bekerja keras atau
dengan memberikan ancaman, maka tenaga kerja yang tidak dapat
menghindarkan diri dari situasi yang mengancam tersebut akan
berupaya untuk bekerja keras. Misalnya, atasan ingin menegakkan
disiplin kerja sehingga menuntut bawahannya datang tepat waktu.
Berdasarkan observasi pekerja operator tidak terpaksa dalam 148
melakukan pekerjaan karena melakukan pekerjaannya sebagai
kewajiban dan tidak ada paksaaan.
2. Memberi tujuan yang bermakna
Tenaga kerja di motivasi melalui cara dengan memberikan
penghargaan yaitu dengan memberikan penghargaan kepada pekerja
yang telah mempunyai lama kerja > 5 tahun. Pekerja diberikan
kesempatan untuk mencicil rumah yang setiap bulannya tidak
memberatkan dan dapat dicicil dalam waktu 10 tahun sehingga pekerja
akan memiliki motivasi yang tinggi dalam bekerja.
Menurut Sialagan (2008), faktor-faktor yang mendorong
motivasi pekerja adalah pemenuhan rasa puas pekerja yang dialami
pekerja (faktor intrinsik), misalnya seperti keberhasilan mencapai
sesuatu, diperolehnya pengakuan, rasa tanggung jawab, kemajuan,
karier, rasa profesionalis dan intelektual. Dorongan yang ada dalam diri
pekerja untuk berperilaku aman juga harus didukung perusahaan
dengan penciptaan lingkungan yang memfasilitasi terjadinya perilaku
aman di tempat kerja.
Umar (2000) dalam Heliyanti (2009) memaparkan bahwa
motivasi kerja yang dimiliki oleh setiap individu juga sangat
mempengaruhi kualitas kerja. Walaupun fasilitas memadai, organisasi,
dan manajemen baik, prosedur kerja baik, tanpa motivasi kerja yang
tinggi maka sulit memberikan hasil pekerjaan yang baik. Motivasi 149
untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur diperlukan agar sesuai dengan tujuan perusahaan dan dapat menjamin keselamatan bagi pekerja. Motivasi untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur diperlukan agar sesuai dengan tujuan perusahaan dan dapat menjamin keselamatan bagi pekerja itu sendiri. Menurut Maslow (1954), motivasi individu tidak terletak pada sederetan penggerak, tetapi lebih dititikberatkan pada hirarki, kebutuhan tertentu “yang lebih tinggi” diaktifkan untuk memperluas kebutuhan lain “yang lebih rendah” dan sudah terpuaskan. Teori dari Maslow (1954) ini dinamakan teori tata tingkat kebutuhan. Teori tingkat kebutuhan ini tidak memcerminkan adanya kebuthan-kebutuhan yang mengarah ke motivasi kerja yang proaktif ataupun yang reaktif. Dalam situasi dan kondisi tertentu, kebutuhan-kebutuhan pada teori tata tingkat kebuthan ini dapat menimbulkan motivasi proaktif dan dapat menimbulkan motivasi reaktif. Sistem nilai-nilai yang dimiliki individu dan corak rangsang lingkungan individu yang menentukan motivasi lebih bercorak proaktif ataupun reaktif .
Menurut Kurt Lewin (1970) dalam Notoatmodjo (2003), perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan- kekuatan pendorong (driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan
(restining forces). Perilaku itu dapat berubah bila terjadi ketidak seimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang. 150
Kekuatan pendorong meningkat, hal ini terjadi karena adanya stimulus- stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku.
Kekuatan-kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut.
Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun, dengan keadaan ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. Oleh karena itu, agar terjadi perubahan perilaku sebaiknya kekuatan pendorong yang ada lebih ditingkatkan dan kekuatan penahan diturunkan. Kekuatan pendorong dalam hal ini adalah faktor yang mendorong motivasi pekerja dan faktor penahannya adalah faktor yang menyebabkan ketidakpuasan para pekerja.
Menurut Herzberg dalam Ivancevich et all (2006), faktor-faktor yang mengarah kepada kepuasan kerja lain berbeda dari faktor-faktor yang mengarah kepada ketidakpuasan. Artinya, para manajer yang berusaha menghilangkan faktor-faktor yang mengakibatkan ketidakpuasan mungkin berhasil mewujudkan ketenangan kerja dalam organisasi, akan tetapi ketenangan kerja itu belum tentu bersifat motivasional bagi para pekerja. Dalam hal demikian para manajer hanya menyenangkan perasaan bawahannya tetapi tidak memberikan motivasi kepada mereka. Oleh karena itu, Herzberg menggunakan istilah higiene bagi faktor-faktor yang menyenangkan para pekerja seperti kebijaksanaan perusahaan, teknik berbagai kebijaksanaan 151
organisasi, supervisi, hubungan antar personal, kondisi kerja dan sistem upah, dan gaji yang dibuat dan ditetapkan sedemikian rupa sehingga para karyawan tenang bekerja tetapi belum merasa puas dengan pekerjaan masing-masing.
Dengan mengacu kepada teori dua-faktor Herzberg (Herzberg
Two Factor Theory), yang menjadikan pekerja itu termotivasi adalah adanya pemenuhan terhadap faktor ekstrinsik (higiene) dan intrinsik
(motivator) sehingga pekerja merasa puas (Ivancevich et all, 2006).
Menurut Sialagan (2008), faktor-faktor yang mendorong motivasi pekerja adalah pemenuhan rasa puas pekerja yang dialami pekerja
(faktor intrinsik), misalnya seperti keberhasilan mencapai sesuatu, diperolehnya pengakuan, rasa tanggung jawab, kemajuan, karier, rasa profesionalis dan intelektual. Dorongan yang ada dalam diri pekerja untuk berperilaku aman juga harus didukung perusahaan dengan penciptaan lingkungan yang memfasilitasi terjadinya perilaku aman di tempat kerja.
Berdasarakan penelitian Sialagan (2008) pada pekerja PT EGS
Indonesia didapatkan hubungan yang bermakna antara motivasi terhadap perilaku aman. Selain itu, penelitian yang dilakukan oleh
Karyani (2005) juga didapatkan hubungan yang bermakna antara motivasi dengan perilaku aman dalam bekerja. Dimana, motivasi pekerja yang tinggi mempunyai peluang 3 kali untuk berperilaku aman 152
pekerja dibanding pekerja yang mempunyai motivasi yang rendah. Lain
halnya, penelitian yang dilakukan oleh Heliyanti (2009), tidak
ditemukannya hubungan motivasi dengan perilaku tidak aman
karyawan.
Geller (2001), penghargaan merupakan konsekuensi positif yang
diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan untuk
mengembangkan, mendukung, dan memelihara perilaku yang
diharapkan. Jika digunakan sebagai mestinya, penghargaan dapat
memeberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan
membentuk perasaan percaya diri, pengendalian diri, optimisme, dan
rasa memiliki.
Menurut Mangkunegara (2005), imbalan yang diberikan kepada
pekerja sangat berpengaruh terhadap motivasi. Oleh karena itu
pimpinan perlu membuat perencanaan pemberian imbalan dalam
bentuk uang yang memadai agar pekerja terpacu motivasinya dan
melakukan tindakan aman. Menurut penelitian Edmin Locke (1980)
dalam Mangkunegara (2005), menyebutkan bahwa imbalan berupa
uang jika pemberiannya dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan tugas
sangat berpengaruh terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan.
2.6.5 Umur
Menurut Hurlock (1994) dalam Helliyanti (2009), semakin tua usia
seseorang akan mengalami penurunan fungsi fisiologis, fungsi batin, dan fisik 153
sehingga kemampuan untuk menyerap ilmu juga menurun jika dibandingkan golongan usia muda. Hal ini agak berbeda dengan Simanjutak (1985), umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kondisi fisik seseorang, ada saat usia tertentu dimana seseorang dapat berprestasi secara maksimal tetapi ada saat dimana terjadinya penurunan prestasi. Tingkat prestasi kerja mulai meningkat bersamaan dengan meningkatnya umur, untuk kemudian menurun menjelang usia tua.
Jika seseorang makin bertambah usianya, maka cenderung cepat puas karena tingkat kedewasaan teknis maupun kedewasaan psikologis. Artinya, semakin bertambah usianya maka semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa yaitu semakin bijaksana, semakin mampu berfikir rasional, semakin mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan perilaku yang berbeda dari dirinya sendiri, dan sifat-sifat lain yang menunjukkan kematangan intelektual dan psikologis (Siagian, 1987).
Jika seseorang makin bertambah usianya, maka cenderung cepat puas karena tingkat kedewasaan teknis maupun kedewasaan psikologis. Artinya, semakin bertambah usianya maka semakin mampu menunjukkan kematangan jiwa yaitu semakin bijaksana, semakin mampu berfikir rasional, semakin mampu mengendalikan emosi, semakin toleran terhadap pandangan dan perilaku yang berbeda dari dirinya sendiri, dan sifat-sifat lain yang menunjukkan kematangan intelektual dan psikologis (Siagian, 1987). 154
Penelitian Heliyanti (2009) menyatakan tidak ditemukannya hubungan antara
umur dengan perilaku tidak aman.
2.6.6 Lama Bekerja
Lama kerja seseorang jika dikaitkan dengan pengalaman kerja dapat
mempengaruhi kecelakaan kerja. Terutama pengalaman dalam hal
menggunakan berbagai macam alat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang
maka pengalaman yang diperoleh akan lebih banyak dan memungkinkan
pekerja dapat bekerja lebih aman (Dirgagunarsa, 1992). Berdasarkan hasil
studi ILO (1989) dalam Dirgagunarsa (1992) di Amerika menunjukan bahwa
kecelakaan kerja yang terjadi selain karena faktor manusia, disebabkan juga
karena masih baru dan kurang pengalaman.
Pengalaman merupakan keseluruhan yang didapat seseorang dari
peristiwa yang dilaluinya, artinya bahwa pengalaman seseorang dapat
mempengaruhi perilakunya dalam kehidupan organisasinya. Dengan
demikian, semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang
diperolehnya semakin banyak yang memungkinkan pekerja dapat bekerja
lebih aman (Millah, 2008).
Sedangkan, menurut Cooper (2001), orang sering berperilaku tidak
aman karena orang tersebut belum pernah cedera saat melaksanakan
pekerjaannya dengan tidak aman. Tetapi jika kita melihat Heinrich’s Triangle,
sebenarnya orang tidaklah jauh dari potensi kecelakaan. Sementara itu, Geller
(2001) menyebutkan faktor pengalaman pada tugas yang sama dan lingkungan 155
sudah dikenal dapat mempengaruhi orang tersebut berperilaku tidak aman dan terus berlaku karena menyenangkan, nyaman, dan menghemat waktu dan perilaku ini cenderung berulang.
Pengalaman untuk kewaspadaan terhadap kecelakaan bertambah baik sesuai dengan usia, masa kerja diperusahaan dan lamanya bekerja di tempat kerja yang bersangkutan. Tenaga kerja baru biasanya belum mengetahui secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Selain itu, mereka sering mementingkan dahulu selesainya sejumlah pekerjaan tertentu yang diberikan kepada mereka sehingga keselamatan tidak cukup mendapat perhatian. Oleh karena itu, masalah keselamatan harus dijelaskan kepada mereka sebelum melakukan pekerjaan dan bimbingan pada hari-hari permulaan bekerja adalah sangat penting. Dimana, dalam suatu perusahaan pekerja-pekerja baru yang kurang berpengalaman sering mendapatkan kecelakaan, sehingga diperlukan perhatian khusus (Suma’mur, 1996).
Berdasarkan pendapat Suma’mur (1996) diatas dapat disimpulkan bahwa pengalaman dapat mempengaruhi perilaku pekerja dalam melakukan pekerjaannya dan pengalaman dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan.
Dalam hal ini, pekerja yang berpengalaman dapat lebih menekankan keselamatan dalam melakukan pekerjaannya dikarenakan ia telah mengetahui secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Sedangkan pekerja yang belum berpengalaman atau masih baru belum mengenali seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. 156
Dirgagunasa (1992) mengatakan bahwa lama kerja seseorang jika
dikaitkan dengan pengalaman kerja dapat mempengaruhi kecelakaan kerja.
Terutama pengalaman dalam hal menggunakan berbagai macam alat kerja.
Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang diperoleh akan
lebih banyak dan memungkinkan pekerja dapat bekerja lebih aman.
Berdasarkan peneilitian Hendrabuawana (2007), tidak ada hubungan yang
bermakna antara perilaku aman dengan lama kerja.
2.6.7 Ketersediaan APD
Menurut Teori L. Green (1980), perilaku dapat dibentuk oleh 3 faktor,
salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas
dan sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu
bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana suatu perilaku otomatis belum
terwujud dalam suatu tindakan jika terdapat fasilitas yang mendukung
terbentuknya perilaku tersebut (Notoatmodjo, 2003).
Ketersediaan Sarana dan prasaran yang mendukung tindakan pekerja
berperilaku selamat dalam bekerja (Suma’mur, 1996). Menurut Sahab (1997)
bahwa sistem yang didalamnya terdapat manusia (sumber dan manusia) dan
fasilitas merupakan salah satu hal yang penting dalam mewujudkan penerapan
keselamatan di tempat kerja. Penggunaan APD merupakan alternatif yang
paling terakhir dalam Hierarki pengendalian bahaya. Lebih baik
mendahulukan tempat kerja yang aman, daripada pekerjaan yang safety 157
karena tempat kerja yang memenuhi standar keselamatan lebih menjamin
terselenggaranya perlindungan bagi tenaga kerja.
Pada pengguanaan APD harus dipertimbangkan berbagai hal, seperti
pemilihan dan penetapan jenis pelindung diri, standarisasi, pelatihan cara
pemakaian dan perawatan APD, efektivitas penggunaan, pengawasan
pemakaian, pemeliharaan dan penyimpanan (Suma’mur. 1996).
Menurut Roughton (2002) beberapa pekerja mungkin menolak untuk
menggunakan APD karena APD tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan
menambah beban stress pada tubuh. Stress ini dapat menimbulkan rasa tidak
nyaman atau kesulitan untuk bekerja. Berdasarkan penelitian Hendrabuwana
(2007) tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ketersediaan APD dengan
perilaku aman.
2.6.8 Peraturan Keselamatan
Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan
standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001).
Peraturan memiliki peran besar dalam menentukan perilaku aman yang mana
dapat diterima dan tidak dapat diterima (Sialagan, 2008).
Secara umum, HFACS (Human Factor analysis and Clasification
system) mengklasifikasikan tindakan tidak aman (unsafe act) menjadi
keselahan (Errors) dan pelanggaran (violations). Kesalahan adalah
representasi dari suatu aktivitas mental dan fisik seseorang yang gagal dalam
mencapai sesuatu yang diinginkan. Pelanggaran disisi lain mengacu pada niat 158
untuk mengabaikan petunjuk atau aturan yang telah ditetapkan untuk melakukan tugas tertentu (Wiegman, 2007).
Notoatmodjo (2003) menyebutkan salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat. Cara ini menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.
Secara umum, kewajiban manajemen dalam peraturan keselamatan dapat dirangkum sebagai berikut (Geostach, 1996):
1. Manajemen harus memiliki peraturan yang memastikan keselamatan
dan kesehatan kerja di tempat kerja.
2. Manajemen harus memastikan bahwa setiap pekerjaannya memahami
peraturan tersebut.
3. Manajemen harus memastikan bahwa peraturan tersebut dilaksanakan
secara objektif dan konsisten.
Suma’mur (1996) menyatakan bahwa suatu perusahaan harus memiliki aturan yang jelas tentang penerapan keselamatan dan kesehatan kerja dan aturan tersebut harus diketahui oleh setiap perusahaan. Salah satu aturan yang ada diperusahaan adalah SOP. Menurut Balai Pustaka (1998) dalam Utommi
(2007), Standard Operating Procedure (SOP) adalah ukuran layanan tertentu 159
yang dipakai sebagai patok oleh petugas dalam melaksanakan tugasnya.
Pengusaha wajib menyediakan prosedur operasi tertulis yang berisi tentang proses operasi secara aman, termasuk langkah-langkah untuk tahapan operasi, batas operasi, pertimbangan Keselamatan dan sistem keselamatan. Prosedur harus tersedia bagi karyawan yang memerlukan, di mutkahirkan secara berkala dan juga mencakup keadaan-keadaaan khusus seperti cara masuk ke ruang tertutup untuk memperbaiki area tersebut melalui sistem lockout dan tagout yaitu hanya yang mengunci yang berwewenang untuk membuka pengaman pada ruang tertutup tersebut.
Menurut DEPDIKBUD (1990) yang dikutip oleh Utommi (2007),
Kepatuhan berasal dari kata patuh yang artinya taat, suka menurut, berdisiplin, sehingga dapat diartikan bahwa kepatuhan adalah ketaatan melakukan sesuatu yang dianjurkan atau ditetapkan. Kepatuhan juga adalah seberapa besar pekerja untuk mematuhi/menjalani peraturan yang berlaku berkaitan dengan keselamatan kerja. Semakin banyak peraturan perusahaan yang diterapkan oleh pekerja maka pekerja tersebut dikatakan patuh/baik, bila sebaliknya maka pekerja tersebut dianggap tidak mematuhi peraturan keselamataan kerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Kepatuhan mengikuti prosedur keselamatan merupakan salah satu bentuk perilaku keselamatan. Berbagai teori memaparkan tentang perilaku.
Salah satunya mengenai perilaku keselamatan atau safety behavior. Seperti yang diungkapkan oleh Geller (2001), secara sederhana dapat dibedakan 160
bahwa perilaku ditempat kerja meliputi perilaku berisiko (at-risk behavior) dan perilaku aman (safe behavior). Dalam upaya untuk meningkatkan keselamatan kerja, maka perilaku berisiko dapat dicegah. Tahap kepatuhan dimulai dari patuh terhadap anjuran/instruksi. Seringkali kepatuhan dilakukan untuk menghindari hukuman atau untuk memperoleh imbalan jika memenuhi pedoman. Kepatuhan berikutnya adalah karena tertarik dengan melihat tokoh idola yang dikenal dengan tahap identifikasi. Perubahan perilaku tingkat kepatuhan yang baik adalah internalisasi, dimana individu melakukan sesuatu karena memahami makna, mengetahui pentingnya tindakan dan keadaaan ini.
Hal ini cenderung akan berlangsung lama dan menetap dalam diri individu
(Geller, 2001).
Reason (1997) mengungkapkan pekerja hendaknya memiliki kesadaran atas keadaan yang berbahaya sehingga resiko terjadinya kecelakaan kerja dapat diminimalisasi. Geller (2001) juga mengungkapkan perubahan perilaku tingkat kepatuhan yang baik adalah internalisasi, dimana individu melakukan sesuatu karena memahami makna, mengetahui pentingnya tindakan dan keadaaan ini. Hal ini cenderung akan berlangsung lama dan menetap dalam diri individu.
Geostsch (1996) memaparkan bahwa manajemen harus
merumuskan peraturan yang sesuai, mengkomunikasikan peraturan
tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut ditempat
kerja. Penegakkan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan. 161
Objektivitas dan konsistensi merupakan hal yang penting ketika menegakkan peraturan. Objektivitas maksudnya peraturan tersebut berlaku bagi semua pekerja mulai dari pekerja baru hingga kepala eksekutif.
Konsistensi maksudnya peraturan tersebut ditegakkan dalam setiap kondisi tanpa ada pengaruh dari luar (Geostsch, 1996).
Roughton (2002), hukuman merupakan konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman menekankan atau melemahkan perilaku (Geller,
2001). Hukuman tidak hanya berorientasi untuk menghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai kontrol terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindungi dari insiden.
Penghargaan merupakan konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan untuk mengembangkan, mendukung, dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagai mestinya, penghargaan dapat memeberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya diri, pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki (Geller, 2001).
Menurut penelitian Hendrabuwana (2007) pada tahun 2007 yang dilakukan pada pekerja Departemen Cor PT Pindad Persero Bandung, variabel yang berhubungan dengan perilaku bekerja selamat adalah peraturan. Sedangkan penelitian Maaniaya (2005) yaitu tidak ditemukannya hubungan peraturan dengan tindakan tidak aman. penelitian 162
Hendrabuwana (2007) tidak terdapat hubungan yang bermakna antara
peraturan dengan perilaku bekerja selamat.
2.6.9 Safety Promotions/ Promosi Keselamatan Kerja
Menururt George (1998) dalam Helliyanti (2009). Safety promotions
atau promosi K3 adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan untuk mendorong
dan menguatkan kesadaran dan perilaku pekerja tentang K3 sehinggga dapat
melindungi pekerja, properti, dan lingkungan. Program promosi K3 menjadi
efektif apabila terdapat perubahan sikap dan perilaku pada pekerja.
Menurut Notoatmodjo (2003), media promosi adalah alat bantu untuk
menyampaikan informasi. Berdasarkan fungsinya sebagai penyalur pesan-
pesan sangat bervariasi, antara lain :
A. Media Cetak
1. Booklet meruapakan suatumedia untuk menyampaikan pesan-dalam
benntuk buku, baik berupa tulisan maupun gambar.
2. Flif chart (lembar balik), biasanya dalam bentuk buku dimana tiap
lemabaran baliknya berisis kalimat sebagai pesan atau informasi
yang berkaitan dengan gambar tersebut.
3. Rubrik atau tulisan-tulisan pada surat kabar atau majalah yang
membahas masalah. 163
4. Poster adalah bentuk media cetak yang berisi pesan-pesan berupa
peringatan kepada pekerja untuk bekerja dengan aman dan sehat.
Lokasi pemasangan poster sebaiknya di tempa yang mencolok
sehingga orang tertarik untuk melihatnya, penerangan baik, dan
tidak terganggu oleh lalu lintas.
5. Rambu-rambu K3 dapat membantu meningkatkan keselamatan dan
kesehatan serta dapat dipakai untuk mengurangi kebiasaan buruk
yang banyak ditemukan. Untuk menunjukan keuntungan umum
bekerja secara aman, atau memberikan informasi nasehat atau
intruksi atas hal-hal tertentu secara mendetail. Rambu-rambu K3
dipasang pada tempat dimana pekerja menghabiskan waktu mereka
bila tidak sedang bekerja dan dipasanga pada tempat-trempat yang
memang harus dipasang tanda karena tempat itu memang rawan
sekali bagi pekerja. Berdasarkan penelitian Heliyanti (2009), tidak
terdapat hubungan yang bermakan antara safety promotion dengan
perilaku tidak aman.
B. Media Papan
1. Poster/biliboard
Poster didesain oleh designer dan kemudian dicetak untuk ditempel di
papan. Dipasang dilokasi seperti pemasangan wallpaper.
2. Painted bulletin 164
Painted bulletin biasanya langsung digambar di tempat, misalnya :
sebuah sisi dari gedung tertentu, atap, bahkan dapat digambar di
fiberboard.
Manfaat promosi K3 menurut Tresnaningsih (2003) dalam Helliyanti
(2009) sebagai berikut :
1. Bagi pihak majemen di tempat kerja
a) Peningkatan dukungan terhadap program K3.
b) Citra positif (tempat kerja) yang maju dan peduli keselamatan
dan kesehatan).
c) Peningkatan moral staff
d) Penurunan angka absensi karena kecelakaan dan penyakt akibat
kerja.
e) Peningkatan produktivitas.
f) Penurunan biaya kecelakaan dan kesakitan.
2. Bagi pekerja
a) Peningkatan percaya diri
b) Penurunan stress
c) Peningkatan semangat kerja
d) Peningkatan kemampuan mengenali bahaya ditempat kerja dan
mencegah penyakt.
e) Peningkatan kesehatan individu, keluarga, dan masyarakat
sekitar. 165
Menurut para ahli dalam Notoatmodjo (2003), indra yang
paling banyak menyalurkan pengetahuan kedalam otak adalah mata.
Kurang lebih 75%-87% dari pengetahuan manusia diperoleh atau
disalurkan melalui mata. Sedangkan 13% -27% lainnya tersalur
melalui indra yang lain. Hal ini dapat disimpulkan bahwa alat-alat
visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan
informsi. Dalam hal ini, alat visual dua dimensi adalah berupa gambar,
peta, bagan, dan sebagainya. Menurut Elgar Dale dalam Notoatmodjo
(2003) diketahui bahwa penyampaian bahan yang hanya dengan kata-
kata saja sangat kurang efektif atau intensitasnya paling rendah karena
kata-kata menempati urutan teratas dalam kerucut Elgar Dale.
Sedangkan televisi atau film menempati urutan yang kelima.
2.6.10 Pelatihan Keselamatan Kerja
Para tenaga kerja dilatih atau dikembangkan agar memperlihatkan
perilaku (memberikan prestasi) sesuai dengan yang ditetapkan oleh
perusahaan. Pelatihan menurut Siluka (1976) dalam Sialagan (2008), adalah
proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistemnya
dan terorganisisr, sehingga tenga kerja non manajerial mempelajari
pengetahuan dan keterampilan teknis untuk tujuan tertentu.
Pelatihan digunakan untuk melatih pengetahuan dan keterampilan
tertentu, keterampilan mengguanakan peralatan dan mesin-mesin, atau
keterampilan manajerial, yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat 166
dan dalam jangka waktu pendek baik untuk tenaga kerja manajerial maupun untuk tenaga kerja bukan manager. Biasanya perusahaan mempunyai pelatihan khusus untuk tenaga kerja baru yang tidak melatih suatu keterampilan melainkan diberikan pengetahuan tentang perusahaannya seperti visi dan misi perusahaan, prosedur kerja, kebijakan, peraturan-peraturan tentang pekerjaannya dan lain-lain. Program latihan ini bertujuan agar para pekerja dalam waktu singkat dapat mengenali dan menyesuaikan diri pada perusahaan dan budaya perusahaannya.
Menurut Bird dan Germain (1990), ada beberapa keuntungan untuk para manager atau atasan jika memberikan pelatihan yang tepat, diantaranya :
1. Departemen yang dipimpin dapat lebih efesien.
2. Kecelakaan akan dapat dieLewinasi atau paling tidak diturunkan.
Dengan pelatihan yang tepat paa pekerja dapat mengetahui bahayadari
pekerjaannya dan tahu apa yang harus dilakukan terhadap bahaya
tersebut.
3. Moral pekerja dan tim kerjanya akan meningkat. Kepuasan terhadap
pekerjaan akan meningkat.
4. Bekerja menjadi lebih mudah
5. Kekuatan kerja akan menjadi lebih fleksibel. Pekerja diberi pelatihan
di semua tahapan pekerjaan, mereka dapat lebih siap dipindahkan dari
satu pekerjaan ke pekerjaan lain dalam kelompok. 167
Menurut Maaniaya (2005), kegagalan suatu program pelatihan dapat juga disebabkan karena 1). Pelatihan dilaksanakan pada waktu yang tidak tepat, kurang partisipasi manajer terkait dalam perancangan program pelatihan. Tanpa partisispasi ini, pelatihan seringkali berorientasi pada masalah teknis daripada berorientasi pada permasalahan yang ada dan hasil – hasil yang diharapkan pada pelatihan tersebut. 2). Penyampaian materi sangat bergantung pada metode pemberian kuliah. Suatu pelatihan terutama yang berkaitan dengan dunia industri, harus dilakukan dengan sangat interaktif dan memungkinkan peserta untuk merapkan dan mempraktikkan konsep-konsep yang diajarkan selama proses berlangsung. 3). Buruknya komunikasi selama pelatihan berlangsung. Banyak keuntungan yang dapat diraih apabila instruktur pelatihan lebih menitikberatkan pada penggunaan bahasa yang sederhana dan teknik presentasi yang menggunakan grafik atau gambar.
Menurut Geller (2001), tentang 50 prinsip keselamatan yang salah satunya terfokus pada pengenalan, pendidikan, dan pelatihan. Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan pada saat :
a. Pekerja tidak tahu cara bekerja aman (pekerja tidak kompeten atau
kurang keterampilan)
b. Terdapat cara-cara baru yang lebih aman dalam suatu pekerjaan (fungsi
peningkatan dan pembaharuan)
c. Sebagai sarana untuk mengingatkan kembali cara untuk bekerja aman
pada pekerja. 168
d. Pengetahuan saat kondisi darurat
e. Mengubah perilaku menuju perilaku aman.
2.6.11 Peran Pengawas
Terry (1974) menyatakan bahwa supervisi (pengawasan) adalah
pencapaian hasil yang diinginkan melalui keterampilan menggunakan bakat-
bakat orang serta sumber-sumber penunjang dengan cara memberikan
tantangan dan perhatian kepada kecakapan – kecakapan manusia. Tujuan dari
supervisi yaitu memotivasi pekerja bekerja secara benar dan memastikan
pekerja tahu bagaimana melakukan pekerjaannya (Utommi, 2007).
J.M Black (1971) dalam Utommi (2007) menyatakan bahwa supervisi
adalah suatu pekerjaan yang berarti mengarahkan yaitu memberi tugas,
menyediakan intruksi, pelatihan dan nasihat kepada individu juga termasuk
mendengarkan dan memecahkan masalah yang berhubungan demgan
pekerjaan serta menanggapi keluhan bawahan.
Siagian (1987) mengemukakan bahwa tindakan pengawasan bertujuan
untuk memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan berjalan sesuai rencan dan
sebagian fungsi organik, pengawasan merupakan salah satu tugas yang mutlak
diselanggarakan oleh semua pihak tingkatan manajerial dan secara langsung
mengendalikan kegiatan-kegiatan teknis yang dilakukan oleh petugas
operasional.
Proses pengawasan ini dibagi menjadi dua teknik yaitu, pengawasan
langsung, yang dilakukan oleh pimpinan organisasi sendiri terhadap kegiatan 169
sedang berjalan dan pengawasan tak langsung melalui laporan yang disampaikan bawahan. Melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah, segera diberikan petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya (Siagian, 1987).
Tujuan pengawasan adalah memastikan bahwa tujuan dan target sesuai dengan kebutuhan, memastikan bahwa pekerja dapat menanggulangi kesulitan yang mereka temui, meningkatkan motivasi, membantu meningkatkan keterampilan dan kemampuannya. Supervisi juga dapat diartikan sebagai bagian dari proses pengendalian yang menempatkan tindak lanjut kegiatan untuk memastikan agar pelaksanaan tugas sesuai dengan rencana dan waktu yang telah ditetapkan (Depkes RI, 1997).
Geller (2001) juga menyebutkan adanya peran manager dalam perilaku kerja. mereka ini berhubungan langsung dengan target inidividu yang sedang berlangsung. Dalam penelitian ini, peran manager dinyatakan sebagai supervisor/pengawas atau orang yang secara langsung mengarahkan pekerja dalam melaksanakan tugasnya.
Bird dan Germain (1990) menyebutkan bahwa supervisor (pengawas) memiliki posisi kunci dalam mempengaruhi pengetahuan, sikap keterampilan, dan kebiasaan, akan keselamatan setiap karyawan dalam suatu area tanggung jawabnya. Para pengawas mengetahui lebih baik daripada pihak lain mengenai diperhatikannya individu-individu, catatan cuti, kebiasaan bekerja, 170
perbuatan, keterampilan dalam bekerja. Para pengawas juga memonitor kinerja pekerja, yang mana hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk kesuksesan program. Ada enam petunjuk praktis bagi supervisor (Birds dan
Germain, 1990):
1. Merekognisi pentingnya peran supervisor. Sikap kepemimpinannya
sangat dibutuhkan apalagi pada saat memutuskan suatu permintaan
persetujuan apakah “ya” atau “tidak” dan pemberian rekomendasi
mengenai para pekerjanya, supervisor juga berperan sebagai pelatih dan
pengarah.
2. Mengidentifikasi gejala-gejala atas berkembangnya permasalahan-
permasalahan. Gejala-gejala ini termasuk gejala perubahan perilaku,
keadaan emosional yang susah, masalah-masalah kesehatan, dan
perubahan kinerja.
3. Mendokumentasikan bentuk bentuk kinerja. Para supervisor
berkewajiban untuk mencatat fakta-fakta mengenai kinerja pekerja dan
melaksanakannya dalam lingkungan kerja.
4. Mendiskusikan kinerja kepada pekerja. Para supervisor seharusnya
berdiskusi dengan pekerja yang perilakunya dibawah standar atau
kinerja menurun.
5. Belajar mendengarkan; mendengar untuk belajar. Kuncinya adalah
adanya keinginan seseorang untuk memahami apa gangguan sebenarnya
yang ada pada seseorang. 171
6. Mengetahui kapan mengarahkan seseorang pekerja untuk mendapatkan
seorang pembimbing.
Pengawasan merupakan peran manajerial professional yang dilaksanakan oleh semua anggota yang terlibat dalam manajemen, apakah ia seorang pengawas atau pemimipin utama suatu organisasi. Semua anggota yang terlibat dalam organisasi harus mampu memberikan pengawasan terhadap jalannya operasi perusahaan. bila fungsi pengawasan ini tidak dilaksanakan maka akan timbul penyebab dasar dari suatu insiden yang dapat mengganggu kegaiatan perusahaan (Birds dan Germain, 1990).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Karyani (2005) kepada
113 pekerja di Schlumberger Indonesia tahun 2005 diperoleh bahwa supervisor (pengawas) merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap perilaku aman. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang Karyani (2005) lakukan yaitu Dalam penelitiannya, Karyani (2005) menyebutkan bahwa dari
113 pekerja di Schlumberger Indonesia tahun 2005 terdapat 51 orang
(45,13%) yang berperilaku aman kurang baik karena peran supervisor yang kurang baik, 10 orang (8,85%) berperilaku tidak aman karena peran supervisor yang baik. Selain itu, pekerja yang memiliki supervisor yang berperan baik memiliki peluang untuk berperilaku aman 9,633 kali dibanding pekerja yang supervisor-nya berperan kurang baik.
Peran seorang pengawas sangat penting dan harus dapat mamanfaatkan waktu dengan baik dalam berbicara untuk mmberitahukan 172
ataupun memberikan teguran terhadap pekerja yang melakukan tindakan tidak
aman dan memberikan pujian pada pekerja yang mengikuti prosedur kerja
ditempat kerja. Kontak secara personal harus dilakukan sesering mungkin
untuk mempengaruhi sikap pekerja, pengetahuan, dan keterampilan (Bird dan
Germain, 1990). Pengawasan terhadap aktivitas pekerja diharapkan dapat
menumbuhkan kepatuhan dan kesadaran akan pentignya keselamatan dan
kesehatan kerja bagi dirinya, pekerja lain, dan lingkungan kerjanya.
2.6.12 Peran Rekan Kerja
Dengan semakin meningkatnya kekompleksitasan akan tuntutan
pencapaian hasil oleh klien dari suatu projek tentunya hal ini akan melibatkan
banyak tenaga ahli didalamnya sehingga membutuhkan suatu upaya kerja
kolektif (team work) dan komunikasi daripada suatu upaya yang bersifat
individual dalam penyelesaian suatu tugas ataupun proyek.
Seringkali pekerja berperilaku tidak aman karena rekannya yang lain
juga berperilaku demikian. Geller (2001) juga menyebutkan tekanan rekan
kerja semakin meningkat saat semakin banyak orang terlibat dalam perilaku
tertentu dan saat anggota grup yang berperilaku tertentu terlihat relatif
kompeten atau berpengalaman.
Selanjutnya, pada penelitian Karyani (2005) terhadap 113 pekerja di
Schlumberger Indonesia tahun 2005 diperoleh bahwa faktor yang paling
berpengaruh terhadap perilaku aman setelah peran pengawas/supervisor
adalah peran dari rekan kerja. Peran rekan kerja yang tinggi menujukan 173
peluang pekerja untuk berperilaku aman sebesar 6,314 kali dibandingkan
pekerja yang mempunyai peran rekan kerja yang rendah.
2.7. Kerangka Teori
Berdasarkan beberapa teori yang telah dipaparkan diatas, kerangka teori
yang digunakan pada penelitian ini mengacu pada teori Green (1980), Neal dan
Griffin (2002), Geller (2001), dan Suizer (1999) yang dapat digambarkan
sebagai berikut :
Predisposing Factors • Pengetahuan • Pengetahuan Internal (Geller, 2001) • • Skill/kemampuan Sikap Sikap, kepercayaan, • Persepsi perasaan, pemikiran, • Motivasi (Suizer, • Nilai kepribadian, persepsi, • Keyakinan dan nilai-nilai, tujuan • Variabel demografi
Eksternal (Geller, 2001) Enabling Factors Pelatihan, Pengenalan, • Fasilitas penunjang Persetujuan, komunikasi, • Peraturan dan menunjukan • Kemampuan sumber daya kepedulian secara aktif. 174
Perilaku Aman
Reinforcing Factors • Pengamatan • Teman kerja • Kognitif • Pengawas • Pengambilan keputusan • Pimpinan • Kemampuan (Suizer, • Keluarga 1999) • Reward • Punishment • Kemampuan • Visi • Peraturan • Style (Gaya) • Pengetahuan • Hubungan motorik dengan Persepsi (Suizer, 1999) • Attitude (sikap) • Pengalaman • Umur (Suizer, 1999)
Sumber : Green (1980), Neal dan Griffin (2002) , Geller (2001), dan Suizer (1999)
Gambar 2.7 Kerangka Teori
175
BAB IIIBAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Konsep 176
Dalam penelitian ini, kerangka konsep yang digunakan mengacu pada Green (1980), Neal dan Griffin (2002), Geller (2001), dan Suizer
(1999) meskipun terdapat teori perilaku aman tetapi beberapa variabel dari teori-teori tersebut tidak dapat diukur oleh peneliti seperti visi, hubungan motorik dengan persepsi, pengamatan, pengambilan keputusan, dan kemampuan. Selain itu, varabel nilai, keyakinan/kepercayaan, pengenalan, persetujuan, perasaan, pemikiran, kepedulian secara aktif, dan tujuan juga tidak dimasukkan dalam variabel yang diteliti.
Kerangka konsep pada penelitian ini terdiri dari variabel bebas
(independen) dan variabel terikat (dependen). Variabel independen ini meliputi faktor internal meliputi pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, umur, lama bekerja, dan faktor eksternal seperti peraturan keselamatan kerja, ketersediaan APD, safety promotions/promosi keselamatan kerja, pelatihan keselamatan kerja, peran pengawas dan peran rekan kerja.
Dalam skema kerangka konsep dapat digambarkan sebagai berikut:
Variabel Independen Variabel Dependen
InternalInternalInternal
1. Pengetahuan 2. Sikap 3. Persepsi 4. Motivasi 5. Umur 6. Lama bekerja 177
EksternalEksternalEksternal Perilaku Aman
1. Ketersediaan APD 2. Peraturan
Keselamatan Kerja 3. Safety Promotions/ Promosi Keselamatan kerja 4. Pelatihan Keselamatan kerja 5. Peran Pengawas 6. Peran Rekan Kerja
Gambar 3.1.
Kerangka Konsep Penelitian
178
3.2. Definisi Operasional
Tabel 3.1Tabel 3.1
Definisi Operasional
No.No.No. VariabelVariabelVariabel DefinisiDefinisiDefinisi Alat UkurAlat Ukur CaraCaraCara Ukur Hasil Ukur SkalaSkalaSkala
Tindakan atau perbuatan Menyebarkan 1. Tidak Kuesioner dari seseorang atau kuesioner Aman (jika (dari 12 beberapa orang kepada para total skor ≤ karyawan yang pertanyaan nilai mean pekerja Perilaku memperkecil dengan (10,62)) 1 Ordinal Aman kemungkinan terjadinya kode K1- 2. Aman (jika kecelakaan K12) total skor > nilai mean (10,63))
Banyaknya informasi Menyebarkan 1. Rendah yang dimiliki oleh kuesioner (jika total karyawan tentang kepada skor ≤ nilai keselamatan Kuesioner mean pekerja (pertanyaan (11,64)) 2 Pengetahuan dengan 2. Tinggi (jika Ordinal kode A1a- total skor A6b) > nilai mean (11,65))
3 SikapSikapSikap Kecenderungan atau Menyebarkan 1. Negatif Ordinal kesiapan karyawan kuesioner (jika total 179
No.No.No. VariabelVariabelVariabel DefinisiDefinisiDefinisi Alat UkurAlat Ukur CaraCaraCara Ukur Hasil Ukur SkalaSkalaSkala
untuk melakukan Kuesioner kepada skor ≤ nilai tindakan sesuai dengan (pertanyaan pekerja mean keselamatan B1-B5) (10,08)) 2. Positif (jika > nilai median (10,09))
Pendapat, penilaian, Menyebarkan 1. Negatif dan penafsiran yang kuesioner (jika total timbul dalam diri kepada skor ≤ nilai Kuesioner mean karyawan mengenai pekerja (pertanyaan (3,86)) 4 PersepsiPersepsiPersepsi perilaku aman dan Ordinal kode C1- 2. Positif (jika bahaya yang ada C4) total skor > yang meliputi nilai mean referensi dan (3,87)) pengalaman.
Suatu proses Menyebarkan 1. Rendah dimana kebutuhan- kuesioner (Jika total kebutuhan kepada skor ≤ nilai mean mendorong pekerja Kuesioner (3,81)) seseorang untuk (pertanyaan 2. Tinggi (jika 5 MotivasiMotivasiMotivasi melakukan Ordinal kode D1- total skor > serangkaian nilai mean D4) kegiatan yang (3,82)) mengarah kepada tercapainya tindakan aman
Masa yang pernah Menyebarkan 1. Muda dilalui seseorang kuesioner (Jika total sejak tahun kepada skor ≤ nilai kelahiran sampai pekerja mean waktu penelitian. (30,948)) 6 UmurUmurUmur Kuesioner Ordinal 2. Tua (jika total skor > nilai mean (30,949)) 180
No.No.No. VariabelVariabelVariabel DefinisiDefinisiDefinisi Alat UkurAlat Ukur CaraCaraCara Ukur Hasil Ukur SkalaSkalaSkala
Jumlah waktu yang Menyebarkan 1. Baru (Jika dijalani selama kuesioner total skor ≤ Lama bekerja di tempat kepada nilai mean 7 Kuesioner (10,681)) Ordinal penelitian. pekerja bekerjabekerjabekerja 2. Lama (jika total skor > nilai mean (10,682)) Ketersediaan Menyebarkan 1. Sulit (jika sarana dan kuesioner total skor prasarana yang kepada ≤ nilai .Kuesioner mean mendukung pekerja (pertanyaan (3,35)) Ketersediaan tindakan pekerja 8 kode E1-E4) 2. Mudah Ordinal APDAPDAPD berperilaku selamat (jika total dalam bekerja skor > (Suma’mur, 1996). nilai mean (3,36))
Dokumen tertulis Menyebarkan 1. Tidak yang kuesioner patuh (jika mendokumentasikan kepada total skor ≤ nilai mean standar, norma, dan Kuesioner pekerja (4,86)) PeraturanPeraturanPeraturan kebijakan untuk (pertanyaan 2. Patuh 9 Keselamatan perilaku yang kode F1-F5) (jika total Ordinal KerjaKerjaKerja diharapkan yang skor > nilai dipatuhi oleh mean pekerja (4,87))
Suatu bentuk usaha Menyebarkan 1. Cukup yang dilakukan kuesioner baik (jika untuk mendorong kepada total skor ≤ Safety Kuesioner nilai mean dan menguatkan pekerja Promotions (pertanyan (4,32)) kesadaran dan kode G1- 2. Baik (jika 10 perilaku pekerja total skor Ordinal ///promosi G5) KKKeselamatanKeselamatan tentang K3 > nilai sehinggga dapat mean KerjaKerjaKerja melindungi pekerja, (4,33)) properti, dan lingkungan
Frekuensi pekerja Menyebarkan 1. Jarang 11 Pelatihan Kuesioner Ordinal (jika total KKKeselamatanKeselamatan yang mengikuti (pertanyaan kuesioner skor ≤ nilai 181
No.No.No. VariabelVariabelVariabel DefinisiDefinisiDefinisi Alat UkurAlat Ukur CaraCaraCara Ukur Hasil Ukur SkalaSkalaSkala
KerjaKerjaKerja pelatihan kode H1- kepada mean Keselamatan Kerja H4) pekerja (4,44)) Sering (jika total skor > nilai mean (4,45))
Perilaku yang dilakukan Menyebarkan 1. Kurang oleh pengawas dalam kuesioner mendukun mendukung perilaku kepada g (jika total aman Kuesioner pekerja skor ≤ nilai Peran mean 12 (pertanyaan Ordinal PengawasPengawasPengawas (4,85)) Kode I1-I5) 2. Mendukung (jika total skor > nilai mean (4,86)) Perilaku teman kerja Menyebarkan 1. Kurang dalam proses kerja kuesioner mendukun di tempat kerja yang kepada g (jika total skor ≤ nilai mendukung perilaku Kuesioner pekerja Peran Rekan mean 13 aman (pertanyaan Ordinal KerjaKerjaKerja (4,85)) J1-J5) 2. Mendukung (jika total skor > nilai mean (4,87))
3.3. Hipotesis
1. Adanya hubungan antara faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi,
motivasi, umur, dan lama bekerja) dengan perilaku aman karyawan di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010.
2. Adanya hubungan antara faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi keselamatan kerja, pelatihan 182
keselamatan kerja, peran pengawas, dan peran rekan kerja) dengan perilaku
aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
3. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku aman di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010.
183
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan metode cross sectional yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran dengan mempelajari dinamika korelasi antara faktor-
faktor risiko dengan efek secara bersamaan.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT SIM Plant Tambun II yang berlokasi di Jalan
Raya Diponegoro KM 38.2 Desa Jatimulya Kecamatan Tambun Selatan
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2009 – Januari 2010.
4.3. Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan bagian produksi di
PT SIM Plant Tambun II yang berjumlah 1200 orang (karyawan tetap dan
kontrak).
184
4.3.2 Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling, dimana
pada penelitian ini meliputi 13 variabel sehingga tiap variabel dikali 10
maka jumlah sampel pada penelitian ini menjadi 130 orang.
4.4. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
1. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pekerja dengan
menggunakan alat ukur berupa kuesioner dan observasi.
2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelusuran dokumen, catatan,
dan laporan dari perusahaan, serta data pendukung lainnya.
4.5. Pengolahan Data
Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
1. Menyunting data (data editing)
Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti
kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap
jawaban kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk penelitian
ini.
2. Mengkode data (data coding)
Proses pemberian kode kepada setiap variabel yang telah dikumpulkan
untuk memudahkan dalam pengelolaan lebih lanjut, kode data terdapat pada
kuesioner. 185
3. Memasukkan data (data entry)
Memasukkan data dalam program software komputer berdasarkan
klasifikasi.
4. Membersihkan data (data cleaning)
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data
tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah
siap diolah dan dianalisis.
4.6. Instrumen Penelitian
Kuesioner yang dibuat mencakup beberapa variabel yang diteliti, yaitu
variabel dependen dan variabel independen. Kuesioner dibagikan langsung
kepada para pekerja. Kuesioner yang digunakan ini sebelumnya pernah
digunakan oleh Karyani (2005), Hendrabuwana (2007), dan Helliyanti (2009),
dan keusioner ini telah dimodifikasi oleh peneliti dan disesuaikan dengan lokasi
kerja dan perkembangan teori yang ada. Kuesioner yang akan dibagikan
sebelumnya diuji coba di bagian Exmim PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
sebanyak 30 kuesioner dan dilakukan uji validitas dan reabilitasnya. Pengujian
reabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebh dahulu. Jadi, jika pertanyaan
tersebut tidak valid, maka pertanyaan tersebut dibuang. Pertanyaan-pertanyaan
yang sudah valid kemudian secara bersama-sama diukur reabilitasnya.
Untuk mengetahui validitas suatu instrument (dalam hal ini kuesioner)
dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel
dengan skor totalnya. Suatu skor dikatakan valid jika skor variabel tersebut 186
secara signifikan dengan skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan korelasi person product moment (r).
r = N(ΣXY) – (ΣX. ΣY) √[NΣX2 – (ΣX)2] [NΣY2 – (ΣY)2
Keterangan:
X = Skor pertanyaan
Y = Total skor
r = Angka korelasi
Keputusan uji :
Bila r hitung lebih besar dari r table maka Ho ditolak, artinya variabel valid
Bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid.
Jumlah responden yang dipakai untuk uji kuesioner ini adalah 30 responden, Nilai r tabel dilihat dengan tabel r dengan menggunakan df = n-2 =
30-2 = 28. Pada tingkat kemaknaan 5%, didapat dengan angka r table = 0,374.
Berdasarkan hasil pengujian reabilitas nilai r hasil (corrected item-total correlation) dari beberapa pertanyan kuesioner berada diatas nilai r tabel
(0,374) sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut valid dan pertanyaan yang dibawah nilai r tabel (tidak valid) dibuang.
Kemudian pertanyaan-pertanyaan yang valid dilakukan uji reabilitas.
Untuk mengukur reliabilitas caranya adalah membandingkan nilai r tabel 187
dengan nilai r hasil. Dalam uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai alpha
(Crobanch’s Alpha). Ketentuannya : bila r alpha > r tabel, maka pertanyaan
tersebut reliabilitas. Berdasarkan hasil uji reabilitas, nilai alpha (0,822) lebih
besar dengan nilai r tabel (0,374) sehingga pertanyaan tersebut reliabilitas.
Untuk variabel pengetahuan, jawaban dari tiap pertanyaan yang
disebutkan mendapat skor 1 (satu) sedang jawaban yang tidak disebutkan
mendapat skor 0 (nol). Bila responden menyebutkan jawaban dengan jumlah
skor kurang atau sama dengan mean dikategorikan berpengetahuan rendah
sedangkan bila responden menjawab benar dengan jumlah diatas dari nilai mean
dikategorikan berpengetahuan tinggi.
Untuk pertanyaan sikap dengan menggunakan skala model Likert. Dimana
menggunakan empat alternatif jawaban atau tanggapan atas pernyataan
kuesioner. Subjek yang diteliti dapat memilih salah satu dari empat alternatif
jawaban yang disediakan. Empat alternatif jawaban yang dikemukakan serta
pembobotannya seperti:
- Sangat Satuju (3)
- Satuju (2)
- Tidak satuju (1)
- Sangat tidak setuju (0)
Bila responden menjawab dengan jumlah skor kurang atau sama dengan nilai mean dikategorikan memiliki sikap yang negatif sedang bila responden 188
menjawab dengan jumlah diatas dari nilai mean dikategorikan memiliki sikap
positif.
Untuk variabel persepsi, motivasi, ketersediaan APD, peraturan keselamatan kerja, promosi keselamatan kerja, peran pengawas, peran rekan kerja, dan perilaku aman, setiap jawaban dari pertanyaan mendapatkan skor 1 (satu) jika menjawab ”ya” sedang yang menjawab ”tidak” mendapatkan skor 0 (nol). Bila reponden menyebutkan jawaban pada masing-masing pertanyaan pervariabelnya dengan jumlah skor kurang atau sama dengan mean dikategorikan sebagai berikut:
a. Variabel Persepsi dikategorikan memiliki persepsi negatif
b. Variabel Motivasi dikategorikan memiliki motivasi yang rendah
c. Variabel Ketersediaan APD dikategorikan sulit
d. Varibel peraturan keselamatan kerja dikategorikan tidak patuh
e. Variabel promosi keselamatan kerja dikategorikan cukup baik
f. Variabel peran pengawas dikategorikan kurang mendukung
g. Variabel peran rekan kerja dikategorikan kurang mendukung
h. Variabel Perilaku aman dikategorikan memiliki perilaku tidak aman
Sedangkan bila responden menjawab dengan jumlah skor diatas dari nilai
mean dikategorikan sebagai berikut :
a. Variabel Persepsi dikategorikan memiliki persepsi positif
b. Variabel Motivasi dikategorikan memiliki motivasi yang tinggi
c. Variabel Ketersediaan APD dikategorikan mudah
d. Varibel peraturan keselamatan kerja dikategorikan patuh 189
e. Variabel promosi keselamatan kerja dikategorikan baik
f. Variabel peran pengawas dikategorikan mendukung
g. Variabel peran rekan kerja dikategorikan mendukung
h. Variabel Perilaku aman dikategorikan memiliki perilaku aman
Untuk variabel pelatihan keselamatan kerja, setiap jawaban dari
pertanyaan mendapatkan skor 2 (dua) jika menjawab ”sering”, mendapat skor 1
(satu) jika menjawab ”jarang”, sedang yang menjawab ”tidak pernah”
mendapatkan skor 0 (nol). Bila jumlah skor jawaban reponden dengan kurang
atau sama dengan mean dikategorikan jarang sedang jawaban yang lebih dari
mean dikategorikan sering. Selain kuesioner, peneliti juga melakukan observasi
kepada para pekerja, dimana observasi ini dilakukan tanpa sepengetahuan para
pekerja. Dari hasil penulusuran observasi, peneliti juga melakukan wawancara
kepada 13 pekerja, dimana dari pekerja yang diwawancarai adalah pekerja dari
hasil observasi yang berperilaku aman, tidak aman, dan dari usia tua hingga usia
muda, dari yang lama bekerja hingga yang tergolong masih baru bekerja.
Observasi dan wawancara ini dilakukan untuk mendukung hasil peneliitian dan
membahas konflik masalah penelitian.
4.7. Analisa Data
4.7.1 Analisis Univariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan
persentase dari setiap variabel independen dan dependen yang akan diteliti.
190
4.7.2 Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan dependen. Pada analisis ini menggunakan uji Chi Square
untuk menguji perbedaan proporsi/peresentase antara beberapa kelompok
data. Analisis ini untuk mendapatkan probabilitas kejadiannya. Jika P
value > 0.05 maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada
hubungan antara kedua variabel. Sebaliknya jika P value ≤ 0,05 maka Ho
ditolak dan Ha diterima yang berarti terdapat hubungan antara kedua
variabel.
Untuk melihat kekuatan hubungan antara variabel dependen dan
independen maka dilihat nilai Odds Rasio (OR). Rumus OR sebagai berikut:
OR = AD BC Bila nilai OR = 1 artinya tidak ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Jika nilai OR < 1 artinya variabel
independen memperkecil resiko. Dan jika nilai OR > 1 artinya variabel
independen meningkatkan resiko.
4.7.3 Analisa Multivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara beberapa
variabel independen dengan variabel dependen pada waktu yang
bersamaan. Analisis ini menggunakan uji regresi logistik ganda dengan
model prediksi. Keuntungan dari analisis regresi ganda adalah
kemampuannya untuk memasukkan beberapa variabel dalam suatu model 191
sedangkan regresi logistik hanya memasukkan satu variabel independen
saja. Selain itu, perbedaan antara regresi linear dengan regresi ganda
terletak pada jenis variabel dependennya. Regresi linear digunakan apabila
variabel dependenya numerik sedangkan regresi ganda digunakan pada
data yang dependennya berbentuk kategorik dan pada penelitian ini
variabel dependennya berbentuk kategorik sehingga menggunakan regresi
logistik ganda.
Pemodelan pridiksi pada regresi logistik ganda bertujuan untuk
memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel independen yang
dianggap terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen. Pada
pemodelan ini semua variabel dianggap penting sehingga dapat dilakukan
estimasi beberapa koefisien regresi logistik sekaligus. Analisis ini dimulai
dengan melakukan analisis bivariat masing-masing variabel independen
dengan variabel dependennya. Bila hasil uji bivariat mempunyai nilai
p<0.25 maka variabel tersebut dapat masuk dalam model multivariat.
Selanjutnya, variabel-variabel yang masuk kandidat model
Multivariat tersebut dianalisis secara bersamaan. Variabel yang dimasukkan ke dalam model selanjutnya adalah variabel yang memiliki P value ≤ 0,05.
Sedangkan variabel yang memiliki P value > 0,05 dikeluarkan dari model.
Pengeluaran variabel dilakukan secara bertahap mulai dari variabel yang memili p value paling besar. Setelah didapatkan variabel yang masuk dalam model multivariat, maka variabel tersebut di lakukan uji interaksi antar 192
variabel untuk melihat interaksi antar variabel. Kemudian dilanjutkan model matematis untuk memprediksi variabel dependennya.
Dari hasil analisis multivariat secara keseluruhan, maka persamaan regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2
Y merupakan variabel terikat (variabel dependen) sedangkan X merupakan variabel bebas (variabel independen). Berdasarkan persamaan tersebut maka Y dapat diperkirakan dengan variabel X
193
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.8. Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan
pendekatan kuantitatif dengan metode cross sectional yang bertujuan untuk
mendapatkan gambaran dengan mempelajari dinamika korelasi antara faktor-
faktor risiko dengan efek secara bersamaan.
4.9. Lokasi dan Waktu Penelitian
3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di PT SIM Plant Tambun II yang berlokasi di Jalan
Raya Diponegoro KM 38.2 Desa Jatimulya Kecamatan Tambun Selatan
Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
4. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada bulan November 2009 – Januari 2010. 194
4.10. Populasi dan Sampel
4.3.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan bagian produksi di
PT SIM Plant Tambun II yang berjumlah 1200 orang (karyawan tetap dan
kontrak).
4.3.2 Sampel
Pengambilan sampel dilakukan secara simple random sampling dengan
menggunakan rumus di bawah ini :
2 2 [ Z 1-α/2 2P (1 - P) + Z 1-β P1 (1 - P1) + P2 (1 - P2) ] n = 2 (P1 - P2) Keterangan :
n : Besar sampel
P : Rata-rata proporsi pada populasi [(P1 + P2)/2]
P1 : Proporsi peran pengawas yang kurang baik terhadap perilaku
pekerja yang tidak aman (45,13%).
P2 : Proporsi peran pengawas yang baik terhadap perilaku tidak
aman pekerja (8,85%).
2 Z 1-α/2 : Derajat kemaknaan α pada uji 2 sisi (two tail), α = 5%
Z 1-β : Kekuatan uji 99% 195
Berdasarkan rumus diatas maka besar sampel yang dibutuhkan sebesar :
2 [ 1,96 2 . 26,99% (1 – 26.99%) + 2,33 45,13% (1 - 45,13%) + 8,85%(1 -8,85%) ] n = (45,13% - 8,85%) 2 n =39 n= 39x2 = 78 orang
Untuk menghindari terjadinya drop out atau missing jawaban dari
responden maka ditambahkan 10% dari jumlah sampel yang di dapat
sehingga jumlah sampel keseluruhan sebesar 86 orang. Karena jumlah
sampel kurang dari 100 orang sedangkan pada penelitian ini meliputi 13
variabel sehingga tiap variabel dikali 10 maka jumlah sampel pada
penelitian ini menjadi 130 orang.
4.11. Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder.
3. Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari pekerja dengan
menggunakan alat ukur berupa kuesioner dan observasi.
4. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari penelusuran dokumen, catatan,
dan laporan dari perusahaan, serta data pendukung lainnya.
4.12. Pengolahan Data
Seluruh data yang terkumpul baik data primer maupun data sekunder akan diolah
melalui tahap-tahap sebagai berikut:
5. Menyunting data (data editing) 196
Dilakukan untuk memeriksa kelengkapan dan kebenaran data seperti
kelengkapan pengisian, kesalahan pengisian, konsistensi pengisian setiap
jawaban kuesioner. Data ini merupakan data input utama untuk penelitian
ini.
6. Mengkode data (data coding)
Proses pemberian kode kepada setiap variabel yang telah dikumpulkan
untuk memudahkan dalam pengelolaan lebih lanjut, kode data terdapat pada
kuesioner.
7. Memasukkan data (data entry)
Memasukkan data dalam program software komputer berdasarkan
klasifikasi.
8. Membersihkan data (data cleaning)
Pengecekan kembali data yang telah dimasukkan untuk memastikan data
tersebut tidak ada yang salah, sehingga dengan demikian data tersebut telah
siap diolah dan dianalisis.
4.13. Instrumen Penelitian
Kuesioner yang dibuat mencakup beberapa variabel yang diteliti, yaitu
variabel dependen dan variabel independen yang akan dibagikan langsung
kepada para pekerja. Kuesioner yang digunakan ini sebelumnya pernah
digunakan oleh Karyani (2005), Hendrabuwana (2007), dan Helliyanti (2009),
dan keusioner ini telah dimodifikasi oleh peneliti dan disesuaikan dengan lokasi
kerja dan perkembangan teori yang ada. Kuesioner yang akan dibagikan
sebelumnya diuji coba di bagian Exmim PT SIM Plant Tambun II tahun 2010 197
dan dilakukan uji validitas dan reabilitasnya. Pengujian reabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebh dahulu. Jadi, jika pertanyaan tersebut tidak valid, maka pertanyaan tersebut dibuang. Pertanyaan-pertanyaan yang sudah valid kemudian baru secara bersama diukur reabilitasnya.
Untuk mengetahui validitas suatu instrument (dalam hal ini kuesioner) dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing variabel dengan skor totalnya. Suatu skor dikatakan valid jika skor variabel tersebut secara signifikan dengan skor totalnya. Teknik korelasi yang digunakan korelasi person product moment (r).
r = N(ΣXY) – (ΣX. ΣY) √[NΣX2 – (ΣX)2] [NΣY2 – (ΣY)2
Keterangan:
X = Skor pertanyaan
Y = Total skor
r = Angka korelasi
Keputusan uji :
Bila r hitung lebih besar dari r table maka Ho ditolak, artinya variabel valid
Bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho gagal ditolak, artinya variabel tidak valid.
Jumlah responden yang dipakai untuk uji kuesioner ini adalah 30 responden, Nilai r tabel dilihat dengan tabel r dengan menggunakan df = n-2 =
30-2 = 28. Pada tingkat kemaknaan 5%, didapat dengan angka r table = 0,374. 198
Berdasarkan hasil pengujian reabilitas nilai r hasil (corrected item-total
correlation) dari beberapa pertanyan kuesioner berada diatas nilai r tabel
(0,374) sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut valid dan pertanyaan yang
dibawah nilai r tabel (tidak valid) dibuang.
Kemudian pertanyaan-pertanyaan yang valid dilakukan uji reabilitas.
Untuk mengukur reliabilitas caranya adalah membandingkan nilai r tabel
dengan nilai r hasil. Dalam uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai alpha
(Crobanch’s Alpha). Ketentuannya : bila r alpha > r tabel, maka pertanyaan
tersebut reliabilitas. Berdasarkan hasil uji reabilitas, nilai alpha (0,822) lebih
besar dengan nilai r tabel (0,374) sehingga pertanyaan tersebut reliabilitas.
Untuk variabel pengetahuan, jawaban dari tiap pertanyaan yang
disebutkan mendapat skor 1 (satu) sedang jawaban yang tidak disebutkan
mendapat skor 0 (nol). Bila responden menyebutkan jawaban dengan jumlah
skor kurang atau sama dengan median dikategorikan berpengetahuan rendah
sedangkan bila responden menjawab benar dengan jumlah diatas dari nilai
median dikategorikan berpengetahuan tinggi.
Untuk pertanyaan sikap dengan menggunakan skala model Likert.
Dimana menggunakan empat alternatif jawaban atau tanggapan atas pernyataan kuesioner. Subjek yang diteliti dapat memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang disediakan. Empat alternatif jawaban yang dikemukakan serta pembobotannya seperti:
- Sangat Satuju (3)
- Satuju (2) 199
- Tidak satuju (1)
- Sangat tidak setuju (0)
Bila responden menjawab dengan jumlah skor kurang atau sama dengan
nilai median dikategorikan memiliki sikap yang negatif sedang bila responden
menjawab dengan jumlah diatas dari nilai median dikategorikan memiliki sikap
positif.
Untuk variabel persepsi, motivasi, ketersediaan APD, peraturan keselamatan kerja, promosi keselamatan kerja, peran pengawas, peran rekan kerja, dan perilaku aman, setiap jawaban dari pertanyaan mendapatkan skor 1 (satu) jika menjawab ”ya” sedang yang menjawab ”tidak” mendapatkan skor 0 (nol). Bila reponden menyebutkan jawaban pada masing-masing pertanyaan pervariabelnya dengan jumlah skor kurang atau sama dengan median dikategorikan sebagai berikut :
i. Variabel Persepsi dikategorikan memiliki persepsi negatif
j. Variabel Motivasi dikategorikan memiliki motivasi yang rendah
k. Variabel Ketersediaan APD dikategorikan sulit
l. Varibel peraturan keselamatan kerja dikategorikan tidak patuh
m. Variabel promosi keselamatan kerja dikategorikan cukup baik
n. Variabel peran pengawas dikategorikan kurang mendukung
o. Variabel peran rekan kerja dikategorikan kurang mendukung
p. Variabel Perilaku aman dikategorikan memiliki perilaku tidak aman
Sedangkan bila responden menjawab dengan jumlah skor diatas dari nilai
median dikategorikan sebagai berikut : 200
i. Variabel Persepsi dikategorikan memiliki persepsi positif
j. Variabel Motivasi dikategorikan memiliki motivasi yang tinggi
k. Variabel Ketersediaan APD dikategorikan mudah
l. Varibel peraturan keselamatan kerja dikategorikan patuh
m. Variabel promosi keselamatan kerja dikategorikan baik
n. Variabel peran pengawas dikategorikan mendukung
o. Variabel peran rekan kerja dikategorikan mendukung
p. Variabel Perilaku aman dikategorikan memiliki perilaku aman
Untuk variabel pelatihan keselamatan kerja, setiap jawaban dari
pertanyaan mendapatkan skor 2 (dua) jika menjawab ”sering”, mendapat skor 1
(satu) jika menjawab ”jarang”, sedang yang menjawab ”tidak pernah”
mendapatkan skor 0 (nol). Bila jumlah skor jawaban reponden dengan kurang
atau sama dengan median dikategorikan jarang sedang jawaban yang lebih dari
median dikategorikan sering. Selain kuesioner, peneliti juga melakukan
observasi kepada para pekerja, dimana observasi ini dilakukan tanpa
sepengetahuan para pekerja. Dari hasil penulusuran observasi, peneliti juga
melakukan wawancara kepada 13 pekerja, dimana dari pekerja yang
diwawancarai adalah pekerja dari hasil observasi yang berperilaku aman, tidak
aman, dan dari usia tua hingga usia muda, dari yang lama bekerja hingga yang
tergolong masih baru bekerja. Observasi dan wawancara ini dilakukan untuk
mendukung hasil peneliitian dan membahas konflik masalah penelitian.
4.14. Analisa Data
8.7.1 Analisis Univariat 201
Analisis yang dilakukan untuk melihat distribusi frekuensi dan
persentase dari setiap variabel independen dan dependen yang akan diteliti.
8.7.2 Analisis Bivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara variabel
independen dan dependen. Pada analisis ini menggunakan uji Chi Square
untuk menguji perbedaan proporsi/peresentase antara beberapa kelompok
data. Analisis ini untuk mendapatkan probabilitas kejadiannya. Jika P
value > 0.05 maka Ho diterima dan Ha ditolak yang berarti tidak ada
hubungan antara kedua variabel. Sebaliknya jika P value ≤ 0,05 maka Ho
ditolak dan Ha diterima yang berarti terdapat hubungan antara kedua
variabel.
Untuk melihat kekuatan hubungan antara variabel dependen dan
independen maka dilihat nilai Odds Rasio (OR). Rumus OR sebagai berikut:
OR = AD BC Bila nilai OR = 1 artinya tidak ada hubungan antara variabel
independen dengan variabel dependen. Jika nilai OR < 1 artinya variabel
independen memperkecil resiko. Dan jika nilai OR > 1 artinya variabel
independen meningkatkan resiko.
8.7.3 Analisa Multivariat
Analisis yang dilakukan untuk melihat hubungan antara beberapa
variabel independen dengan variabel dependen pada waktu yang
bersamaan. Analisis ini menggunakan uji regresi logistik ganda dengan 202
model prediksi. Keuntungan dari analisis regresi ganda adalah
kemampuannya untuk memasukkan beberapa variabel dalam suatu model
sedangkan regresi logistik hanya memasukkan satu variabel independen
saja. Selain itu, perbedaan antara regresi linear dengan regresi ganda
terletak pada jenis variabel dependennya. Regresi linear digunakan apabila
variabel dependenya numerik sedangkan regresi ganda digunakan pada
data yang dependennya berbentuk kategorik dan pada penelitian ini
variabel dependennya berbentuk kategorik sehingga menggunakan regresi
logistik ganda.
Pemodelan pridiksi pada regresi logistik ganda bertujuan untuk
memperoleh model yang terdiri dari beberapa variabel independen yang
dianggap terbaik untuk memprediksi kejadian variabel dependen. Pada
pemodelan ini semua variabel dianggap penting sehingga dapat dilakukan
estimasi beberapa koefisien regresi logistik sekaligus. Analisis ini dimulai
dengan melakukan analisis bivariat masing-masing variabel independen
dengan variabel dependennya. Bila hasil uji bivariat mempunyai nilai
p<0.25 maka variabel tersebut dapat masuk dalam model multivariat.
Selanjutnya, variabel-variabel yang masuk kandidat model
Multivariat tersebut dianalisis secara bersamaan. Variabel yang dimasukkan ke dalam model selanjutnya adalah variabel yang memiliki P value ≤ 0,05.
Sedangkan variabel yang memiliki P value > 0,05 dikeluarkan dari model.
Pengeluaran variabel dilakukan secara bertahap mulai dari variabel yang memili p value paling besar. Setelah didapatkan variabel yang masuk dalam 203
model multivariat, maka variabel tersebut di lakukan uji interaksi antar variabel untuk melihat interaksi antar variabel. Kemudian dilanjutkan model matematis untuk memprediksi variabel dependennya.
Dari hasil analisis multivariat secara keseluruhan, maka persamaan regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut:
Y = a + b1X1 + b2X2
Y merupakan variabel terikat (variabel dependen) sedangkan X merupakan variabel bebas (variabel independen). Berdasarkan persamaan tersebut maka Y dapat diperkirakan dengan variabel X
BAB VBAB V 204
HASILHASILHASIL
5.1.5.1.5.1. Gambaran PT Suzuki Indomobil Motor ((SIM)SIM)
PT Suzuki Indomobil Motor (SIM) Plant Tambun II merupakan
perusahaan yang bergerak dalam bidang usaha industri komponen dan
perakitan kendaraan roda empat (R4/mobil) bermerk Suzuki yang berdiri
atas persetujuan presiden dari Ketua Badan Koordinasi Penanaman
Modal (BKPM) No.05/I/PMA/90 tanggal 1 Januari 1990.
1. Visi dan Misi Perusahaan
Visi dan misi PT SIM adalah:
1. To be the most outstanding company within Suzuki global operation
(menjadi perusahaan yang terkemuka di dalam Suzuki global operation).
2. To be the most reliable and admirable automotive company in Indonesia
(menjadi perusahaan otomotif yang dihargai dan terkemuka di
Indonesia).
2. Program-program Perusahaan
Program-program perusahaan yang ada yaitu 5S, 5P, Gerakan
Disiplin Suzuki (GDS), Gugus Kendali Mutu (GKS), dan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3). 5S terdiri dari Seiri (pemilahan), Seiton
(penataan), Seisou (pembersihan), Seiketsu (pemantapan), dan
Shitsuke (pembiasaan). 5P terdiri dari Persatuan/kesatuan, Perbaikan
(improvement), Patuh, Perjuangan, dan Penghematan. 205
3. P2K3 PT SIM Plant Tambun II
PT SIM Plant Tambun II memiliki empat pilar utama (safety, quality,
productivity, dan cost down) yang kegiatannya saling menunjang satu
sama lain di seluruh bagian produksi. Keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) menempati urutan pertama di antara tiga pilar lainnya. Dengan
mengutamakan K3, diharapkan tiga pilar yang lain (quality,
productivity, dan cost down) dapat terpenuhi dengan baik.
a) Visi dan Misi P2K3
Visi P2K3 adalah mewujudkan misi K3 Tambun II, yaitu zero
accident yang didukung dengan adanya sikap top manajemen,
Kesempurnaan line (saling kontrol), Semangat dari kegiatan
pokok di tempat kerja. Misi P2K3 adalah zero accident yang
gerakan intinya terdiri dari tiga prinsip, yaitu prinsip zero, prinsip
prioritas, prinsip partisipasi.
b) Program P2K3
1. Training (man power up)
Training atau pelatihan ini meliputi training K3 lanjutan, training
sistem manajemen K3, training untuk mendapatkan Surat Ijin
Operator (SIO) forklift dan Over Head Crane (OHC). Selain itu,
training juga dilakukan pada kategori penanganan api (fire control)
yaitu latihan pemadaman kebakaran, training CO2 operational,
sarana dan prasarana, serta pelatihan evakuasi. 206
2. Sistem manajemen K3, terdiri dari Nearmiss (hiyari hatto), Traffic
safety, Quality improvement, Safety control, Safety month, Safety
briefing, Safety patrol, Machine (equipment), Safety device, Lay out
machine, dan Rule.
4. Gambaran Umum Proses Pembuatan Mobil
a. Proses Pressing adalah proses pembentukan komponen / part dari material steel
sheet menjadi bentuk part/komponen dengan menggunakan mesin press.
b. Proses Welding adalah proses pembuatan white body (mobil kosong) dengan
cara menggabungkan komponen / part melalui proses pengelasan.
c. Proses Painting adalah proses pemberian warna pada unit mobil, dan tujuan dari
proses pewarnaan adalah untuk melindungi permukaan unit mobil dari elemen-
elemen yang bisa merusak mobil, untuk memberikan keindahan pada mobil dan
juga memberikan petunjuk khusus.
d. Assembling adalah proses penggabungan unit body yang sudah dipainting
dengan engine dan komponen-komponen lain, seperti roda, jok, dasboard,
interior, dalam dan juga interior luar menjadi satu unit mobil.
e. Inspection yaitu proses pemeriksaan unit mobil sesudah proses assembling, dan
proses ini memeriksa semua komponen dan part apakah unit mobil layak untuk
dijual.
5.2.5.2.5.2. Gambaran Perilaku Aman Pekerja
Distribusi responden berdasarkan perilaku aman dapat dilihat pada tabel
5.4
Tabel 5. 1Tabel 1 Distribusi Responden Berdasarkan Perilaku Aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010 207
Perilaku Aman nnn %%%
Tidak Aman 21 16,2
Aman 109 83,9
Total 130 100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa jumlah terbesar
responden adalah reponden yang berperilaku aman yaitu 109 orang
(83,9%).
5.3.5.3.5.3. Gambaran Faktor Internal (((P (PPPengetahuan,engetahuan, SSSikap, Sikap, PPPersepsi, Persepsi, MMMotivasi Motivasiotivasiotivasi,
UUUmur,Umur, dan LaLaLamaLama BBBekerja)Bekerja) di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
Distribusi responden pada faktor internal dapat dilihat pada tabel 5.2.
Tabel 5.Tabel 5.25.222 Distribusi Responden Berdasarkan faktor Internal di PT SIM Plant Tambun II tahun 2012010000
NoNoNo Faktor Internal nnn %%%
1.1.1. Pengetahuan
Rendah 18 13,8
Tinggi 112 86,2
2.2.2. SikapSikapSikap
Negatif 108 83,1
Positif 22 16,9
3.3.3. PersepsiPersepsiPersepsi
Negatif 17 13,1 208
NoNoNo Faktor Internal nnn %%%
Positif 113 86,9
4.4.4. MotivasiMotivasiMotivasi
Rendah 19 14,6
Tinggi 111 85,4
5.5.5. UmurUmurUmur
Muda 66 50,8
Tua 64 49,2
6.6.6. LamLamLamaLama Bekerjaa Bekerja
Baru 62 47,7
Lama 68 52,3
1.1.1. Pengetahuan
Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa responden
yang memiliki pengetahuan tinggi lebih banyak yaitu berjumlah 112
orang (86,2%).
2.2.2. SikapSikapSikap
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki sikap negatif lebih banyak yaitu berjumlah 108 orang
(83,1%).
3.3.3. PersepsiPersepsiPersepsi 209
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa jumlah
responden yang memiliki persepsi positif lebih banyak yaitu
berjumlah 113 orang (86,9%).
4.4.4. MotivasiMotivasiMotivasi
Berdasarkan tabel 5.2 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki motivasi tinggi lebih banyak yaitu berjumlah 111orang
(85,4%).
5.5.5. UmurUmurUmur
Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa responden
yang berumur muda lebih banyak yaitu berjumlah 66 orang (50,8%).
6.6.6. Lama Bekerja
Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa responden
yang telah bekerja lama lebih banyak yaitu berjumlah 68 orang
(52,3%).
5.4.5.4.5.4. Gambaran Faktor Ekternal (Ketersediaan APD, PPPeraturan Peraturan Keselamatan
Kerja, Safety Promotions/Promosi Keselamatan Kerja, Pelatihan
KeselamatanKeselamatan,, Peran Pengawas, Dan Peran Rekan Kerja) di PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010. 210
Distribusi responden berdasarkan faktor eksternal dapat dilihat dari tabel 5.3.
Tabel 5.Tabel 5.35.333 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Eksternal di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
No.No.No. Faktor Eksternal nnn %%%
1.1.1. Ketersediaan APD
Sulit 83 63,8
Mudah 47 36,2
2.2.2. Peraturan Keselamatan
Tidak Patuh 18 13,8
Patuh 112 86,2
3.3.3. Promosi Keselamatan
Cukup baik 84 64,6
Baik 46 35,4
4.4.4. Pelatihan Keselamatan
Jarang 77 59,2
Sering 53 40,8
5.5.5. Peran Pengawas
Kurang Mendukung 20 15,4
Mendukung 110 84,6
6.6.6. Peran Rekan Kerja 211
No.No.No. Faktor Eksternal nnn %%%
Kurang Mendukung 19 14,6
Mendukung 111 85,4
1.1.1. Ketersediaan APD
Berdasarkan tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa responden yang
menyatakan kesulitan untuk mendapatkan APD lebih banyak yaitu
berjumlah 83 orang (63,8%).
2.2.2. Peraturan Keselamatan
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang
patuh terhadap peraturan lebih banyak yaitu berjumlah 112 orang
(86,2%).
3.3.3. PromosiPromosiPromosi
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang
menyatakan promosi keselamatan cukup baik lebih banyak yaitu
berjumlah 84 orang (64,6%).
4.4.4. PelatihanPelatihanPelatihan
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang
jarang mengikuti pelatihan lebih banyak yaitu berjumlah 77 orang
(59,2%).
5.5.5. PPPeranPeran Pengawas 212
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang
menyatakan peran pengawas yang mendukung lebih banyak yaitu
berjumlah 110 orang (84,6%).
6.6.6. Peran Rekan Kerja
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang
menyatakan rekan kerja yang mendukung lebih banyak yaitu
berjumlah 111 orang (85,4%).
5.5.5.5.5.5. HubunganHubunganHubungan Antara Faktor Internal (Pengetahuan, Sikap, Persepsi,
MotivasiMotivasiMotivasi, Umur, Dan Lama Bekerja) Dengan Perilaku Aman Karyawan di
PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
Hubungan antara faktor internal dengan perilaku aman di PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010 dapat dilihat dari beebrapa tabel 5.4 dibawah
ini.
Tabel 5.Tabel 5.45.444 Distribusi Responden Berdasarkan Faktor Internal dengan
Perilaku Aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Perilaku Aman TotalTotalTotal Faktor Tidak AmanAmanAman NoNoNo PPP VVValueValuealuealue OR (95% CI) InternaInternaInternalInternalll AmanAmanAman
NNN %%% nnn %%% nnn %%%
1.1.1. Pengetahuan
Rendah 16 88,9 2 11, 18 10 1 0 171,200 (30,597- 0,000 957,910) Tinggi 5 4,5 10 95 11 10 7 2 0 213
Perilaku Aman TotalTotalTotal Faktor Tidak AmanAmanAman NoNoNo PPP VVValueValuealuealue OR (95% CI) InternaInternaInternalInternalll AmanAmanAman
NNN %%% nnn %%% nnn %%%
2.2.2. SikapSikapSikap
Negatif 19 17,6 89 82, 10 10 4 8 0 0,526 2,135 (0,460 – 9,915) Positif 2 9,1 20 90, 22 10 9 0
3.3.3. PersepsiPersepsiPersepsi
Negatif 15 88,6 2 11, 17 10 2 8 0 133.750 (24,702 - 0,000 724.185) Positif 6 5,3 10 94, 11 10 7 7 3 0
4.4.4. MotivasiMotivasiMotivasi
Rendah 17 89,5 2 10, 19 10 0,000 227,375 (38,620 - 5 0 1338.683)
Tinggi 4 3,6 10 96, 11 10 7 4 1 0
5.5.5. UmurUmurUmur
Muda (≤ 10 15,2 56 84, 66 10 0,753 0,860 (0,338-21,192) 30,9 8 0 tahun)
Tua (> 11 17,2 53 82, 64 10 30,9 8 0 tahun)
6.6.6. Lama Bekerja
Baru 11 17,7 51 82, 62 10 0,639 1,251 (0,491-3,188) 3 0
Lama 10 14,7 58 85, 68 10 3 0
214
1.1.1. Hubungan Antara Pengetahuan dengan Perilaku Aman di bagian
Produksi PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki pengetahuan rendah lebih banyak dalam berperilaku tidak
aman (88,9%) daripada responden yang memiliki pengetahuan tinggi
(4,5%). Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna
antara pengetahuan dengan perilaku tidak aman (P value 0,000)
dengan OR= 171,200 (95% CI 30,597-957,910), artinya responden yang
memiliki pengetahuan rendah cenderung 171,200 kali berperilaku
tidak aman daripada responden yang berpengetahuan tinggi.
2.2.2. Hubungan Antara Sikap dengan perilaku Aman di bagian Produksi PT
SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki sikap negatif lebih banyak yang berperilaku tidak aman
(17,6%) daripada responden yang memiliki sikap positif (9,1%). Hasil
uji Chi Square menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara
sikap dengan perilaku tidak aman (P value 0,526).
3.3.3. HubungHubungHubunganHubungan Antara Persepsi dengan Perilaku Aman di bagian Produksi
PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki persepsi negatif lebih banyak yang berperilaku tidak aman
(88,62%) daripada responden yang memiliki persepsi positif (4,5%).
Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara
persepsi dengan perilaku tidak aman (P value 0,000) dengan OR= 215
133.750 (95% CI 24,702 - 724.185), artinya responden yang memiliki
persepsi negatif cenderung 133,750 kali berperilaku tidak aman
daripada responden yang memiliki persepsi positif.
4.4.4. Hubungan Antara Motivasi dengan Perilaku Aman di bagian Produksi
PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
memiliki motivasi rendah lebih banyak yang berperilaku tidak aman
(89,5%) daripada responden yang memiliki motivasi tinggi (3,6%). Hasil
uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara
motivasi dengan perilaku aman (P value 0,000) dengan OR= 227,375
(95% CI 38,620 -1338,683), artinya responden yang memiliki motivasi
rendah cenderung 227,375 kali untuk berperilaku tidak aman daripada
responden yang memiliki motivasi tinggi.
5.5.5. Hubungan Antara Umur dengan Perilaku Aman di bagian Produksi PT
SIM Plant Tambun II tahtahunun 2010un 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
berumur muda lebih sedikit yang berperilaku tidak aman (15,2%)
daripada responden yang berumur tua (17,2%). Hasil uji Chi Square
menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan
perilaku tidak aman (P value 0,753).
216
6.6.6. Hubungan Antara Lama Bekerja dengan Perilaku Aman di bagian
Produksi PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
bekerja masih baru lebih banyak yang berperilaku tidak aman (17,7%)
daripada responden yang telah bekerja lama (14,7%). Hasil uji Chi
Square menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna antara lama
bekerja dengan perilaku tidak aman (P value 0,639).
5.6.5.6.5.6. HubunganHubunganHubungan Antara Faktor Eksternal (Ketersediaan APD, PeratuPeraturanran
Keselamatan Kerja, Safety Promotions/Promosi Keselamatan Kerja,
Pelatihan Keselamatan, Peran Pengawas, Dan Peran Rekan Kerja)
Dengan Perilaku Aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
Hubungan antara faktor internal dengan perilaku aman PT SIM
Plant Tambun II tahun 2010 dapat dilihat dari beebrapa tabel 5.5 dibawah
ini.
Tabel 5.Tabel 5.55.555 Distribusi Responden Berdasarkan faktor Eksternal dengan
Perilaku Aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Perilaku Aman TotalTotalTotal
NNN Faktor P TidaTidaTidakTidak AmanAmanAman OR (95% CI) ooo InternalInternalInternal AmanAmanAman valuevaluevalue
nnn %%% nnn %%% nnn %%%
1.1.1. Ketersedia an APDan APD 217
Perilaku Aman TotalTotalTotal
NNN Faktor P TidaTidaTidakTidak AmanAmanAman OR (95% CI) ooo InternalInternalInternal AmanAmanAman valuevaluevalue
nnn %%% nnn %%% nnn %%%
Sulit 17 20, 66 79,5 83 10 5 0 0,075 2,769 (0,872 – 8,788) Mudah 4 8,5 43 91,5 47 10 0
2.2.2. Peraturan Keselamat ananan
Tidak 15 83, 3 16, 18 10 Patuh 3 7 0 0,000 88,333 (19,955-391,019) Patuh 6 5,4 10 94, 112 10 6 6 0
3.3.3. Promosi Keselamat ananan
Cukup baik 20 23, 64 76, 84 10 8 2 0 0,001 14,063 (1,821 – 108,609) Baik 1 2,2 45 97, 46 10 8 0
4.4.4. Pelatihan Keselamat an
Jarang 14 18, 63 81, 77 10 2 8 0 0,449 1,460 (0,546-3,905) Sering 7 13, 46 86, 53 10 2 8 0
5.5.5. Peran
PengawasPengawasPengawas
Kurang 18 90 2 10, 20 10 321,000 (50.093- 0,000 Mendukung 0 0 2056,996) 218
Perilaku Aman TotalTotalTotal
NNN Faktor P TidaTidaTidakTidak AmanAmanAman OR (95% CI) ooo InternalInternalInternal AmanAmanAman valuevaluevalue
nnn %%% nnn %%% nnn %%%
Mendukung 3 2,7 10 97, 110 10 7 3 0
6.6.6. Peran Rekan Kerja
Kurang 17 89, 2 10, 19 10 Mendukung 5 5 0 227,375 (38,620 – 0,000 1338,683) Mendukung 4 3,6 10 96, 111 10 7 4 0
1.1.1. Hubungan Antara Ketersediaan APD dengan Perilaku Aman di bagian
Produksi PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang
mengalami kesulitan mendapatkan APD lebih banyak yang berperilaku
tidak aman (20,5%) daripada responden yang mudah mendapatkan
APD (8,5%). Hasil uji Chi Square menunjukan tidak ada hubungan yang
bermakna antara ketersediaan APD dengan perilaku tidak aman (P
value 0,075).
2.2.2. Hubungan Antara Peraturan dengan Perilaku Aman di bagian Produksi
PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang
tidak patuh terhadap peraturan yang berperilaku tidak aman (83,3%)
lebih banyak daripada responden yang mematuhi peraturan (8,5%). 219
Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara
peraturan dengan perilaku tidak aman (P value 0,000) dengan OR
88,333 (95% CI 19,955-391,019), artinya responden yang tidak
mematuhi peraturan cenderung 88,333 kali berperilaku tidak aman
daripada responden yang mematuhi peraturan.
3.3.3. Hubungan Antara Promosi Keselamatan dengan Perilaku Aman di
bagian Produksi PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang
berperilaku tidak aman yang menyatakan promosi keselamatan cukup
baik (23,8%) lebih banyak daripada responden yang menyatakan
promosi keselamatan baik (2,2%). Hasil uji Chi Square menunjukan
ada hubungan yang bermakna antara promosi keselamatan dengan
perilaku tidak aman (P value 0,001) dengan OR 14,063 (95% CI 1,821 –
108,609), artinya responden yang menyatakan promosi keselamatan
cukup baik cenderung 14,063 kali berperilaku tidak aman daripada
responden yang menyatakan promosi keselamatan baik.
4.4.4. Hubungan Antara Pelatihan dengan Perilaku Aman di bagian Produksi
PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang
jarang mengikuti pelatihan lebih banyak yang berperilaku tidak aman
(18,2%) daripada responden yang sering mengikuti pelatihan (13,2%).
Hasil uji Chi Square menunjukan tidak ada hubungan yang bermakna
antara pelatihan keselamatan dengan perilaku tidak aman (P value
0,449). 220
5.5.5. Hubungan Antara Peran Pengawas dengan Perilaku Aman di bagian
Produksi PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang
berperilaku tidak aman yang menyatakan peran pengawas kurang
mendukung (90%) lebih banyak daripada responden yang menyatakan
peran pengawas mendukung (2,7%). Hasil uji Chi Square menunjukan
ada hubungan yang bermakna antara peran pengawas dengan
perilaku aman (P value 0,000) dengan OR 321,000 (95% CI 50,093 –
2056,996), artinya responden yang menyatakan peran pengawas yang
kurang mendukung cenderung 321 kali berperilaku tidak aman
daripada responden yang menyatakan peran pengawas mendukung.
6.6.6. Hubungan AntarAntaraa Peran Rekan Kerja dengan Perilaku Aman di bagian
Produksi PT SIM Plant Tambun II tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang
berperilaku tidak aman yang menyatakan peran Rekan Kerja kurang
mendukung (89,5%) lebih banyak daripada responden yang
menyatakan peran rekan kerja mendukung (3,6%). Hasil uji Chi Square
menunjukan ada hubungan yang bermakna antara peran rekan kerja
dengan perilaku aman (P value 0,000) dengan OR 227,375 (95% CI
38,620 – 1338,683), artinya responden yang menyatakan peran rekan
kerja yang kurang mendukung cenderung 227,375 kali berperilaku 221
tidak aman daripada responden yang menyatakan peran rekan kerja
yang mendukung.
5.7.5.7.5.7. Faktor Yang Paling Dominan Berhubungan Terhadap Perilaku Aman di PT
SIM PlantPlantPlant Tambun II Tahun 2010
Untuk mengetahui variabel yang paling dominan terhadap Perilaku Aman
di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010 dilakukan analisis multivariat dengan
menggunakan uji regresi logistik ganda (multiple logistic regretion) dengan
model prediksi. Tahapan yang dilakukan dalam analisis multivariat dengan model
perediksi dapat dilihat sebagai berikut :
1. Pemilihan variabel sebagai kandidat analisis multivariat
Pada penelitian ini terdapat 12 variabel yang diduga
berpengaruh terhadap perilaku aman yaitu faktor internal meliputi
pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi, umur, lama bekerja dan faktor
eksternal meliputi ketersediaan APD, peraturan, promosi
keselamatan, pelatihan keselamatan, peran pengawas, peran rekan
kerja. Untuk pemilihan kandidat variabel yang akan dimasukan dalam
model predikasi uji regresi logistik Ganda, ke-12 variabel tersebut
terlebih dahulu dilakukan analisis bivariat dengan variabel dependen
yaitu perilaku aman. Setelah melalui analisis bivariat, variabel dengan
nilai Pvalue < 0, 25 dijadikan variabel kandidat yang akan dimasukkan
ke dalam analisis multivariat. Hasil analisis bivariat antara variabel
independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada tabel 5.6.
222
Tabel 5.Tabel 5.65.666 Hasil Analisis Bivariat Antara Faktor Internal dan Eksternal Dengan PPPerPerererilakuilaku Aman di PT SIMSIMSIM Plant Tambun II Tahun 2010 NoNoNo VariabelVariabelVariabel P valueP value 1 Variabel Internal Pengetahuan 0,000 Sikap 0,526 Persepsi 0,000 Motivasi 0,000 Umur 0,753 Lama Bekerja 0,639 2 Variabel Eksternal Ketersediaan APD 0,075 Peraturan Keselamatan 0,000 Promosi Keselamatan 0,001 Pelatihan 0,449 Peran Pengawas 0,000 Pera Rekan kerja 0,000
Berdasarkan tabel diatas terdapat delapan variabel yang P value nya < 0,25 yaitu pengetahuan, persepsi, motivasi, ketersediaan
APD, peraturan, promosi keselamatan, peran pengawas, peran rekan kerja. Dengan demikian, variabel-variabel tersebut masuk ke dalm model prediksi uji logistik ganda. 223
2. Pembuatan model faktor yang paling dominan berhubungan secara
statistik dengan variabel perilaku aman
Dalam pemodelan ini semua variabel kandidat dianalisis secara
bersamaan. Variabel yang dimasukkan ke dalam model selanjutnya
adalah variabel yang memiliki p ≤ 0,05. Sedangkan variabel yang
memiliki p > 0,05 dikeluarkan dari model. Pengeluaran variabel
dilakukan secara bertahap mulai dari variabel yang memili P value
paling besar. Secara keseluruhan hasil pembuetan model faktor
penentu dapat dilihat pada tabel 5.7
TabeTabeTabelTabel 5.7 Hasil Analisis MultivariaMultivariatt Regresi Logistik Ganda Antara PengetahuanPengetahuan,, Persepsi, Motivasi, Ketersediaan APD, Peraturan, Promosi keselamatan, Peran Pengawas, Peran rekan kerja di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010
P valueP value
VariabelVariabelVariabel Model ModeModeModelModel Model Model Model Model Model 111 222 333 444 555 666 777
Pengetahuan 0,708 ------
Persepsi 0,200 0,048 0,049 0,043 0,50 0,129 -
Motivasi 0,446 0,411 0,439 - - - -
Ketersediaan 0,504 0,391 0,433 0,331 - - - APD
Peraturan 0,150 0,126 0,138 0,95 0,132 - -
Promosi 0,596 0,583 - - - - -
Peran 0, 043 0,030 0,034 0,008 0,008 0,010 0,000 224
Pengawas
Peran Rekan 0,181 0,150 0,170 0,007 0,010 0,038 0,011 Kerja
Berdasarkan hasil analisis model multivariat pada tabel 5.30
dapat disimpulkan bahwa dari delapan variabel kandidat diperoleh
variabel yang paling dominan berhubungan dengan perilaku aman
yaitu variabel peran pengawas dan peran rekan kerja. Hasil analisis
multivariat kedua variabel tersebut dapat terlihat pada tabel 5.8.
Tabel 5.Tabel 5.85.888 Hasil Analisis Multivariat antantantaraantara Peran Pengawas dan peran rekan Kerja dengan Perilaku Aman (M(Modelodel AAAkhirAkhirkhirkhir))))
Variabel BBB P WaldP Wald OROROR 95% CI95% CI Independen
Peran 3,991 0,000 54,085 6,190 – 472,583 Pengawas
Peran rekan 3,051 0,011 21,129 2,042 - 218,613 kerja
-2 Log Likelihood = 34,808 G = 80,167 P value = 0,000
3. UjiUji Interaksi
Dalam anaisis interaksi, pemilihan variabel yang berinterkasi
antar varaiabel independen didasarkan pada substansi. Uji interaksi
dilakukan untuk melihat apakah ada interaksi antar variabel dalam
model tersebut. Jika P value > 0,05 maka dapat disimpulkan kedua 225
variabel tersebut tidak berinteraksi, sebaliknya jika P value < 0,05 maka terjadi interaksi antar variabel tersebut. Berdasarkan variabel yang masuk model multivariate, maka interaksi yang memungkinkan adalah peran pengawas dengan peran reka kerja (Pengawas*Rekan).
Hasil uji interaksi seperti terlihat pada tabel 5.9
Tabel 5.Tabel 5.95.9 Hasil U9 UjiUji Interaksi antara Peran Pengawas Dan Peran
Rekan Kerja Terhadap Perilaku Aman
Interaksi -2Log G P Likelihood value
Tanpa Interaksi 34,808 - -
Pengawas*Rekan 23,670 11,138 0,999
Berdasarkan hasil uji interaksi diatas diperoleh hasil interaksi peran pengawas dengan peran rekan kerja (0,999) yang memiliki P value > 0,05, sehingga dapat dikatakan bahwa pada model ini tidak terjadi interaksi interaksi pada kedua variabel tersebut. Dengan demikian, model penentu perilaku aman tidak disertai adanya interkasi, selanjutnya model penentu perilaku aman dengan kedua variabel ditunjukkan pada tabel 5.10.
226
Tabel 5.Tabel 5.15.1110000 Hasil AnalisAnalisisis Multivaris MultivariatMultivariat Regresi Logistik Antara Peran Pengawas Dan Peran Rekan Kerja
VariabelVariabelVariabel BBB P WaldP Wald OROROR 95% CI95% CI
Peran Pengawas 3,991 0,000 54,085 6,190 - 472,583
Peran Rekan 3,051 0,011 21,129 2,042 – 218,613 Kerja
Constant -10,281 0,000
-2 Log Likelihood = 34,808 G = 80,167 P value : 0,000
Negelkerke R Square = 0,784
Dari keseluruhan proses analisis yang telah dilakukan dapat
disimpulkan bahwa dari delapan variabel independen yang diduga
berhubungan dengan perilaku aman, ternyata ada dua variabel yang
secara signifikan berhubungan dengan perilaku aman yaitu peran
pengawas dan peran rekan kerja yang ditujukan pada tabel 5.10.
Pada peran pengawas nilai koefisien B = 3,991, hal ini
menunjukan bahwa perilaku pekerja akan berubah sebesar 3,991 kali
menjadi perilaku aman apabila peran pengawas mendukung.
Selanjutnya, dilihat dari nilai koefisien B dan nilai OR pada tabel 5.10
dapat disimpulkan bahwa dari kedua variabel tersebut, variabel peran
pengawas merupakan variabel paling dominan berhubungan dengan
perilaku aman karena mempunyai nilai koefisien B (3,991) dan OR
(54,085) yang tertinggi. Berdasarkan hasil analisis model akhir
diketahui nilai Negelkerke R Square sebesar 78,4%, artinya kedua 227
variabel yang ada di model tersebut dapat menjelaskan kejadian perilaku tidak aman sebesar 78,4% dan selebihnya dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini.
Dari hasil analisis multivariat secara keseluruhan, maka persamaan regresi yang diperoleh adalah sebagai berikut :
Logit Perilaku Aman = -10,281+ 3,991*Peran pengawas +
3,051*peran rekan kerja
Berdasarkan persamaan tersebut maka perilaku aman dapat diperkirakan dengan variabel peran pengawas dan peran rekan kerja.
228
BAB VI
PEMBAHASAN
6.1. Keterbatasan Penelitian
1. Kerangka konsep pada penelitian ini hanya menghubungkan faktor-faktor yang
diperkirakan mempunyai hubungan dengan variabel dependen, sehingga masih
ada kemungkinan variabel lain yang belum masuk dalam kerangka konsep karena
tidak sesuai dengan kriteria penelitian.
2. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang sudah disediakan alternatif
jawabannya, sehingga memungkinkan responden tidak dapat mengemukakan
jawabannya dengan bebas.
3. Kelemahan penggunaan kuesioner pada penelitian ini antara lain :
a. Kesibukan responden pada saat bekerja menyebabkan responden agak lambat
dalam pengisian kuesioner.
b. Jumlah pertanyaan kuesioner yang cukup banyak sehingga dapat
memungkinkan responden mengisinya kurang teliti.
c. Bentuk pertanyaan pada kuesioner harus di buat sesederhana mungkin agar
responden dapat dengan mudah memahami maksud dari pertanyaan-
pertanyaan tersebut. 229
d. Kualitas data yang diperoleh tergantung dari motivasi pekerja pada saat
pengisian kuesioner dilakukan.
6.2. Perilaku Aman
Kecelakaan kerja secara umum disebabkan oleh 2 hal pokok yaitu perilaku
kerja yang tidak aman (unsafe act) dan kondisi kerja yang tidak aman (unsafe
conditions). Heinrich (1980) memperkirakan 85% kecelakaan adalah hasil kontribusi
perilaku kerja yang tidak aman (unsafe act). Berdasarkan hal tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa perilaku manusia merupakan unsur yang memegang peranan penting
dalam mengakibatkan suatu kecelakaan. Geller (2001) juga menyebutkan bahwa faktor
perilaku dan faktor orang merupakan aspek manusia dan biasanya kedua faktor
tersebut lebih sedikit diperhatikan dari pada faktor lingkungan.
Berdasarkan hasil penelitian tentang perilaku aman pekerja di PT SIM Plant
Tambun II Tahun 2010 yang tertera pada tabel 5.1 diketahui bahwa responden yang
berperilaku aman lebih banyak. Meskipun demikian, masih ada pekerja yang
berperilaku tidak aman pada saat bekerja. Hal ini menunjukkan budaya dan kinerja
keselamatan belum terbentuk secara menyeluruh ke seluruh pekerja. Neal dan Griffin
(2002) membedakan kinerja keselamatan menjadi dua tipe yaitu safety compliance dan
safety participation. Safety compliance digambarkan sebagai aktivitas-aktivitas inti
yang perlu dilaksanakan oleh individu-individu untuk memelihara keselamatan di
tempat kerja, seperti mengikuti standar prosedur kerja dan menggunakan alat
pelindung diri dengan baik. Sedangkan safety participation digambarkan sebagai 230
perilaku-perilaku yang tidak secara langsung berkontribusi kepada keselamatan individu tetapi dapat membantu mengembangkan suatu lingkungan yang mendukung keselamatan, seperti secara sukarela berpartisipasi dalam aktivitas-aktivitas keselamatan, membantu rekan kerja terhadap hal-hal yang berkenaan dengan keselamatan dan menghadiri pertemuan keselamatan.
Berdasarkan teori diatas, pada penelitian ini peneliti meneliti tentang perilaku aman pekerja yang meliputi safety compliance dan safety participation, dimana pekerja tidak hanya melakukan aktivitas/kegiatan yang memang perlu dilakukan untuk memelihara keselamatan kerja seperti mengikuti standar prosedur kerja, memakai
APD, tetapi juga turut berkontribusi terhadap kegiatan-kegiatan keselamatan kerja seperti mengikuti pelatihan keselamatan dan acara-acara yang berkaitan dengan keselamatan.
Neal dan Griffin (2002) juga memaparkan bahwa pengetahuan, keterampilan, dan motivasi dianggap sebagai faktor penentu kinerja keselamatan. Jika individu tidak memiliki pengetahuan, motivasi, dan keterampilan yang memadai untuk memenuhi peraturan keselamatan atau berpartisipasi dalam aktivitas keselamatan maka dia tidak akan berkemampuan untuk menampilkan tindakan-tindakan yang aman dan selamat.
Perilaku responden merupakan manifestasi yang dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal dari individu tersebut. Pengamatan peneliti di lapangan, masih kurangnya perhatian dari pihak manajemen kepada para pekerja untuk berperilaku aman seperti kurangnya pengawasan terhadap perilaku kerja responden yang kadang bertindak tidak aman, memakai APD yang kurang baik, kurang berhati- hati dalam bekerja, dan lebih mementingkan selesainya pekerjaan yang mengabaikan 231
keselamatan dengan berperilaku tidak aman. Selain itu, komunikasi akan bahaya dari
pihak manajemen terhadap keselamatan yang masih kurang seperti poster/ tanda
bahaya yang ada di area kerja, tanda APD yang harus digunakan pada area kerja.
Sahab (1997) mengatakan bahwa kegagalan dalam menjalankan misi K3 karena
kurangnya motivasi untuk bekerja dengan selamat. Ia juga mengatakan bahwa
komunikasi K3 diperlukan untuk mendorong perubahan perilaku sehingga termotivasi
untuk bekerja dengan selamat.
6.3. Hubungan Antara Variabel Internal (Pengetahuan, Sikap, Persepsi, Motivasi,
Umur, Lama Bekerja) Dengan Perilaku Aman
6.3.1 Hubungan Pengetahuan dengan Perilaku Aman
Menurut Notoatmodjo (2003), pengetahuan merupakan hasil dari
tahu, terjadi setelah orang melakukan proses pengindraan terhadap objek yang
diamatinya. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 diperoleh jumlah
pekerja yang memiliki pengetahuan tinggi lebih besar. Selain itu, berdasarkan
hasil penelitian pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
berperilaku tidak aman lebih banyak pada responden yang berpengetahuan
rendah daripada responden yang berpengetahuan tinggi.
Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada perbedaan yang
bermakna antara pengetahuan dengan perilaku aman. Berdasarkan hasil
perhitungan Odds rasio menunjukkan responden yang berpengetahuan rendah
cenderung 171,200 kali untuk berperilaku tidak aman daripada responden
yang berpengetahuan rendah. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi
pengetahuan responden maka akan semakin tinggi perilaku aman yang
dilakukan responden dan semakin rendah pengetahuan sesorang maka 232
semakin kecil kemungkinan responden untuk berperilaku aman. Hal ini juga menunjukkan bahwa luas atau sempitnya pengetahuan responden di bagian produksi mempengaruhi perilaku aman.
Kenyataan ini sejalan dengan pendapat yang dikemukakan oleh
Adenan (1986) dalam buku Widayatun (1999) bahwa semakin luas pengetahuan seseorang maka semakin positif perilaku yang dilakukannya.
Perilaku positif mempengaruhi jumlah informasi yang dimiliki seseorang sebagai hasil proses penginderaan terhadap objek tertentu. Selain itu, tingkat perilaku mempengaruhi domain kognitif seseorang dalam hal mengingat, memahami, dan mengaplikasikan informasi yang dimiliki. Juga berpengaruh dalam proses analisis, sintesis, dan evaluasi suatu objek.
Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi logitik ganda diketahui tidak adanya perbedaan yang bermakna antara pengetahuan dengan perilaku aman. Dengan demikian hipotesis tidak terbukti. Hal ini terjadi karena meskipun pengetahuan para pekerja tinggi tetapi pengetahuan tersebut tidak didukung oleh kesadaran akan pentingnya berperilaku aman.
Hal ini dapat diketahui dari hasil wawancara dan observasi, dimana mereka mengetahui dengan baik bahaya yang ada ditempat kerja tetapi mereka tetap berperilaku tidak aman dan cenderung mengabaikan keselamatan karena mereka merasa sudah terbiasa berperilaku tidak aman seperti tidak memakai APD dengan lengkap dan benar, menaruh sarung tangan sembarangan. Hal ini dikarenakan pekerja merasa mengenal dengan 233
baik area kerjanya sehingga mengabaikan keselamatannya dengan berperilaku
tidak aman dan belum menyadari pentingnya berperilaku aman.
Hal ini sejalan dengan pendapat Notoatmodjo (2003), dimana
perilaku yang didasari oleh pengetahuan, kesadaran, dan sikap yang positif
maka sikap tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya apabila
perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran maka tidak akan
berlangsung lama. Reason (1997) juga mengemukakan bahwa pekerja
hendaknya memiliki kesadaran atas keadaan yang berbahaya sehingga resiko
terjadinya kecelakaan kerja dapat diminimalisasi. Kesadaran terhadap bahaya
yang mengancam dapat diwujudkan dengan menggunakan perlengkapan
keselamatan kerja dengan baik dan benar, menaati peraturan dan prosedur
yang berlaku, bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya. Seringkali pekerja
melakukan kesalahan dengan tidak menggunakan perlengkapan pelindung
maupun menggunakan perlengkapan pelindung yang rusak, menyalahgunakan
perlengkapan pelindung, mengambil jalan pintas dengan mengabaikan
peraturan dan rambu-rambu yang ada. Selain itu, Green (1980) juga
menyatakan bahwa peningkatan pengetahuan tidak selalu menyebabkan
perubahan perilaku. Pengetahuan memang sesuatu yang perlu tetapi bukan
merupakan faktor yang cukup kuat sehingga seseorang bertindak sesuai
dengan pengetahuannya. Penelitin ini sejalan dengan penelitian yang
dilakukan Heliyanti (2009) bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna
antara perilaku tidak aman dengan pengetahuan karyawan.
6.3.2 Hubungan Sikap dengan Perilaku Aman 234
Menurut Notoadmodjo (2003), sikap adalah respon yang tidak teramati secara langsung yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek. Newcomb dalam Notoadmodjo (2003), salah seorang ahli psikologis sosial menyatakan bahwa sikap lebih mengacu pada kesiapan dan kesediaan untuk bertindak, dan bukan pelaksana motif tertentu.
Dalam hal ini, peneliti mengukur sikap responden melalui respon jawaban dari 5 pertanyaan sikap pada kuesioner yang diberikan. Menurut
Notoadmodjo (2003), dengan memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan, dan memberikan tugas yang diberikan merupakan suatu indikasi dari sikap. Dari hasil penelitian pada tabel 5.2 responden yang memiliki sikap negatif lebih banyak. Selain itu, hasil penelitian pada tabel 5.4 diketahui bahwa responden yang berperilaku tidak aman lebih banyak pada responden yang bersikap negatif daripada responden yang bersikap positif. Hasil uji Chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku aman dan variabel sikap tidak masuk menjadi kandidat model multivariat. Dengan demikian, hipotesis tidak terbukti dengan tidak ditemukannya hubungan sikap dengan perilaku aman.
Hal ini dikarenakan banyak faktor yang mempengaruhi pembentukkan sikap dan pembentukan sikap ini lah yang membuat pekerja memiliki sikap yang negatif dan positif. Selain itu, terbentuknya sikap tidak selalu menyebabkan perubahan perilaku. Hal dapat terlihat dari hasil wawancara dan observasi, ada pekerja yang lebih memilih duduk di jig daripada duduk di tempat yang telah disediakan tetapi pekerja yang tidak duduk di jig juga banyak meskipun pekerja memiliki keinginan duduk di jig 235
tetapi karena merasa tidak nyaman dan aman sehingga mereka memilih duduk di tempat duduk yang disediakan. Selanjutnya, dari hasil wawancara juga pekerja yang terbiasa merokok saat bekerja di rumah tetapi saat berada di perusahaan pekerja tersebut menjadi tidak merokok saat bekerja. Hal ini karena adanya fasilitas tempat merokok di area kerja.
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa positif atau negatifnya sikap tidak selalu memberikan perubahan terhadap perilaku karena sebagaimana yang dikemukakan oleh Notoadmodjo (2003), dimana suatu sikap belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan terbuka (overt behavior).
Untuk mewujudkan sikap menjadi suatu perbuatan nyata diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan, antara lain adalah fasilitas. Selain itu, diperlukan juga faktor dukungan dari pihak lain.
Selain itu, pembentukan sikap tidak terjadi begitu saja, melainkan melalui proses tertentu, melalui kontak sosial terus menerus antara individu dengan individu-individu lain di sekitarnya. Second dan Backman (1964) dalam Widayatun (1999), mendefinisikan sikap sebagai keteraturan dalam hal perasaan, pemikiran, dan predisposisi tindakan seseorang terhadap suatu aspek di lingkungan sekitarnya. Sarwono (1997) juga memaparkan sikap secara umum dapat dirumuskan sebagai kecendrungan untuk berespon (secara positif atau negatif) terhadap orang, obyek, atau situasi tertentu. Sikap tidaklah sama dengan perilaku dan perilaku tidaklah selalu mencerminkan sikap, sebab seringkali terjadi bahwa seseorang memperlihatkan tindakan yang bertentangan dengan sikapnya. 236
Hal ini dikarenakan terdapat beberapa faktor internal dan eksternal
seperti yang dikemukakan oleh Mar’at (1982) dalam Dharief (2008) dimana
faktor-faktor yang mempengaruhi sikap terdiri dari faktor internal yaitu
faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang bersangkutan, seperti
selektifitas rangsangan dari luar yang dapat ditangkap melalui persepsi. Ada
proses-proses memilih rangsangan, rangsangan mana yang akan didekati dan
rangsangan mana yang harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif
dan kecenderungan yang berasal dari diri seseorang. Bila mempunyai
kecenderungan memilih maka akan terbentuk sikap positif atau terbentuk
sikap negatif bila kecenderungan itu menolak. Faktor eksternal yaitu faktor-
faktor yang menentukan seseorang untuk bersikap, terdiri dari sifat objek
yang dijadikan sasaran, kewajiban orang yang mengemukakan suatu sikap,
sifat-sifat orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut, media
komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan situasi pada saat sikap itu
terbentuk. Oleh karena itu, diperlukan media informasi yang sesuai dengan
situasi yang ada di area kerja seperti bahaya yang ada yang tertempel dengan
jelas sebagai bentuk komunikasi akan adanya bahaya sehingga pekerja dapat
lebih berhati-hati dalam bertindak. Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Helliyanti (2009) dan Karyani (2005) dan yang menunjukkan
bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku
tidak aman pekerja.
6.3.3 Hubungan Persepsi dengan Perilaku Aman
Secara sederhana persepsi adalah pengertian atau pandangan tentang
bagaimana individu memandang atau mengartikan sesuatu. Sialagan (1999) 237
mendefinisikan persepsi sebagai suatu proses dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra mereka bermakna pada lingkungan mereka, sementara persepsi ini memberikan dasar pada seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan yang mereka persepsikan.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 dapat dilihat responden yang memiliki persepsi positif lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa responden mempunyai pandangan yang baik tentang perilaku aman. Pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki persepsi negatif lebih banyak yang berperilaku tidak aman daripada responden yang memiliki persepsi positif. Dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa persepsi negatif menyebabkan seseorang berperilaku tidak aman. Hal ini sejalan dengan pendapat Sialagan (2008) bahwa seseorang berperilaku sesuai dengan yang ia persepsikan.
Hasil uji Chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara persepsi dengan perilaku tidak aman. Hasil perhitungan Odds Rasio menunjukkan responden yang memiliki persepsi negatif cenderung 133,750 kali berperilaku tidak aman daripada responden yang memiliki persepsi positif. Hal ini menunjukkan bahwa semakin negatif persepsi responden maka semakin tinggi responden berperilaku tidak aman dan semakin positif persepsi responden maka semakin rendah responden berperilaku tidak aman.
Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis multivariat dapat disimpulkan bahwa persepsi tidak memiliki perbedaan yang bermakna dengan perilaku aman. Dengan demikian, hipotesis tidak terbukti. Hal ini dikarenakan 238
persepsi tidak muncul begitu saja, ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi seseorang tergantung pada kemampuan individu merespon stimulus.
Kemampuan tersebut yang menyebabkan persepsi antara individu yang satu dengan individu lain yang berbeda-beda dimana cara menginterpretasikan sesuatu yang dilihat pun belum tentu sama antar individu. Dengan kemampuan yang berbeda-beda itulah pekerja bisa salah dalam mempersepsikan bahaya.
Berdasarkan hasil wawancara dan observasi, banyak pekerja yang mengetahui dengan baik bahaya yang ada tetapi mereka menganggap remeh bahaya tersebut sehingga mengabaikan keselamatannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Petersan (1998) yang mengemukakan bahwa seorang karyawan cenderung melakukan perilaku tidak selamat karena tingkat persepsi yang buruk terhadap adanya bahaya/risiko di tempat kerja, mengganggap remeh kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja, Menganggap rendah biaya yang harus dikeluarkan jika terjadi kecelakaan kerja. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apa yang dipersepsikan seseorang terhadap risiko suatu bahaya dan besaran konsekuensinya merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang apakah ia berperilaku aman ataupun berperilaku tidak aman. Karena pekerja mengganggap risiko dari suatu bahaya itu kecil dan mempunyai konsekuensi yang ringan maka hal itu menjadi salah satu faktor yang menjadi persepsi negatif dan oleh karenanya pekerja berperilaku tidak aman.
Selain itu juga, dari hasil wawancara, pekerja melakukan perilaku yang tidak aman karena mereka merasa itu bukanlah masalah, yang penting 239
adalah bagaimana kerjaan mereka bisa cepat selesai. Hal ini sejalan dengan pendapat Winardi (2001) dalam Sialagan (2008) yang menyebutkan bahwa seseorang berperilaku tertentu karena adanya suatu situasi yang diyakininya, bukan karena situasi yang terdapat disekitarnya. Berdasarkan pendapat diatas, dapat diketahui bahwa pada penelitian ini situasi yang diyakini pekerja adalah pekerjaan mereka bisa cepat selesai meskipun pada proses pengerjaannya dilakukan dengan berperilaku tidak aman.
Menurut Winardi (2001) dalam Sialagan (2008), agar muncul persepsi, informasi diidentifikasi sebagai suatu stimulus–input. disini terjadi proses selektivitas mana informasi yang perlu dipersepsikan dan mana informasi yang perlu diabaikan. Jadi, dapat dikatakan bahwa stimulus yang tidak dipersepsikan, tidak akan menimbulkan dampak atas perilaku.
Kemudian agar informasi dapat memiliki arti maka ia perlu diorganisasi sedemikian rupa, dan ditafsirkan sehubungan dengan situasi yang dihadapi dan pengalaman masa lalu sehingga kita dapat mencapai arti dan makna.
Sebagai hasilnya informasi tersebut dimasukkan ke dalam perilaku.
Robbins (1998) memandang penting persepsi karena persepsi akan sesuatu dapat saja berubah-ubah maknanya walaupun realitasnya sama saja.
Adanya faktor situasi dan faktor target yang dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap obyek. Persepsi juga sangat tergantung pada karakteritik individual seperti sikap, motivasi, kepentingan, pengalaman, dan harapan.
Jika kita ingin merubah perilaku tidak aman seseorang, kita harus menyamakan persepsi dahulu. Hal ini sesuai dengan tulisan Geller (2001) 240
menyatakan bahwa perilaku seseorang ditentukan oleh apa yang dirasakan
daripada risiko yang sebenarnya.
Persepsi yang positif dan pemahaman yang tepat terhadap
keselamatan dan kesehatan kerja dikalangan karyawan merupakan salah satu
unsur dalam kemajuan pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Konsep
yang mengatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja menjadi kepedulian
semua orang yang harus menjadi persepsi seluruh karyawan sehingga dapat
terbentu perilaku yang aman. Oleh karena itu, diperlukan peran aktif dari
pihak pengawas dalam berbicara untuk memberitahukan ataupun memberikan
teguran terhadap pekerja yang melakukan tindakan tidak aman dan
memberikan pujian pada pekerja yang mengikuti prosedur kerja ditempat
kerja. Kontak secara personal harus dilakukan sesering mungkin untuk
mempengaruhi sikap pekerja, pengetahuan, dan keterampilan (Bird dan
Germain, 1990). Pengawasan terhadap aktivitas pekerja diharapkan dapat
menumbuhkan kepatuhan dan kesadaran akan pentingnya keselamatan dan
kesehatan kerja bagi dirinya, pekerja lain, dan lingkungan kerjanya.
Hasil peneliatian ini sejalan dengan penelitian Maaniaya (2005) dan
Helliyanti (2009) dan yang menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan
yang bermakna antara persepsi dengan perilaku tidak aman pekerja.
6.3.4 Hubungan Motivasi dengan Perilaku Aman
Menurut Munandar (2001), motivasi adalah suatu proses dimana
kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan serangkaian
kegiatan yang mengarah kepada tercapainya tujuan tertentu. Menurut Astuti 241
(2001), salah satu hal yang terpenting yang perlu dipertimbangkan pada diri individu untuk berperilaku adalah motivasi. Motivasi yang ada pada diri seseorang akan mempengaruhi apakah dia akan mengerjakan setiap tugasnya dengan baik atau sebaliknya, apakah dia akan berperilaku aman atau tidak.
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 diketahui bahwa responden lebih banyak yang memiliki motivasi tinggi dan pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki motivasi rendah lebih banyak yang berperilaku tidak aman daripada responden yang memiliki motivasi tinggi. Hasil uji Chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara motivasi dengan perilaku aman. Hasil perhitungan Odds
Rasio menunjukkan bahwa responden yang memiliki motivasi rendah cenderung 227,375 kali untuk berperilaku tidak aman daripada responden yang memiliki motivasi tinggi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa semakin rendah motivasi responden maka akan semakin tinggi untuk berperilaku tidak aman dan semakin tinggi motivasi responden maka akan semakin rendah untuk berperilaku tidak aman.
Sebagaimana yang telah Umar (2000) paparkan dalam Heliyanti
(2009) bahwa motivasi kerja yang dimiliki oleh setiap individu juga sangat mempengaruhi kualitas kerja. Walaupun fasilitas memadai, organisasi, dan manajemen baik, prosedur kerja baik, tanpa motivasi kerja yang tinggi maka sulit memberikan hasil pekerjaan yang baik. Motivasi untuk melakukan pekerjaan sesuai dengan prosedur diperlukan agar sesuai dengan tujuan perusahaan dan dapat menjamin keselamatan bagi pekerja itu sendiri. 242
Meskipun demikian, setelah melalui beberapa proses pada analisis multivariat diketahui bahwa motivasi merupakan variabel yang tidak memiliki perbedaan bermakna dengan perilaku aman. Dengan demikian, hipotesis tidak terbukti. Hal ini dikarenakan walaupun motivasi pekerja lebih tinggi tetapi berdasarkan hasil wawancara banyak pekerja yang merasa tidak puas dengan pekerjaan mereka, gaji, kemajuan karir yang ada di perusahaan, dan tidak adanya reward yang membuat pekerja kurang termotivasi untuk berperilaku aman.
Menurut Sialagan (2008), faktor-faktor yang mendorong motivasi pekerja adalah pemenuhan rasa puas pekerja yang dialami pekerja (faktor intrinsik), misalnya seperti keberhasilan mencapai sesuatu, diperolehnya pengakuan, rasa tanggung jawab, kemajuan, karier, rasa profesionalis dan intelektual. Dorongan yang ada dalam diri pekerja untuk berperilaku aman juga harus didukung perusahaan dengan penciptaan lingkungan yang memfasilitasi terjadinya perilaku aman di tempat kerja. Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa meskipun motivasi pekerja tinggi tetapi dengan tidak terpenuhinya kepuasaan, karir, gaji, yang merupakan faktor intrinsik dan tidak adanya reward yang merupakan salah satu bentuk dukungan dari perusahaan sehingga kurang mendorong motivasi pekerja dan hal ini dapat membuat motivasi pekerja menjadi lemah karena kurangnya faktor pendorong tersebut.
Menurut Lewin (1970) dalam Notoadmodjo (2003), perilaku manusia adalah suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong
(driving forces) dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Perilaku 243
itu dapat berubah bila terjadi ketidak seimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam diri seseorang. Kekuatan pendorong meningkat, hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang mendorong untuk terjadinya perubahan perilaku. Kekuatan-kekuatan penahan menurun, hal ini terjadi karena adanya stimulus-stimulus yang memperlemah kekuatan penahan tersebut. Kekuatan pendorong meningkat, kekuatan penahan menurun, dengan keadaan ini jelas juga akan terjadi perubahan perilaku. Oleh karena itu, agar terjadi perubahan perilaku sebaiknya kekuatan pendorong yang ada lebih ditingkatkan dan kekuatan penahan diturunkan. Kekuatan pendorong dalam hal ini adalah faktor yang mendorong motivasi pekerja dan faktor penahannya adalah faktor yang menyebabkan ketidakpuasan para pekerja.
Menurut Herzberg dalam Ivancevich et all (2006), faktor-faktor yang mengarah kepada kepuasan kerja lain berbeda dari faktor-faktor yang mengarah kepada ketidakpuasan. Artinya, para manajer yang berusaha menghilangkan faktor-faktor yang mengakibatkan ketidakpuasan mungkin berhasil mewujudkan ketenangan kerja dalam organisasi, akan tetapi ketenangan kerja itu belum tentu bersifat motivasional bagi para pekerja.
Dalam hal demikian para manajer hanya menyenangkan perasaan bawahannya tetapi tidak memberikan motivasi kepada mereka. Oleh karena itu, Herzberg menggunakan istilah higiene bagi faktor-faktor yang menyenangkan para pekerja seperti kebijaksanaan perusahaan, teknik berbagai kebijaksanaan organisasi, supervisi, hubungan antar personal, kondisi kerja dan sistem upah, dan gaji yang dibuat dan ditetapkan sedemikian 244
rupa sehingga para karyawan tenang bekerja tetapi belum merasa puas dengan pekerjaan masing-masing.
Tetapi, pada kenyataannya pekerja belum merasa puas dan belum merasa tenang meskipun di perusahaan sudah tercipta hubungan kekeluargaan yang baik antara atasan dengan bawahan dan antar pekerja yang merupakan salah satu bentuk hubungan antar personal karena faktor intrinsik dan faktor higiene yang belum seutuhnya tercipta. Dimana, jika kita mengacu pada teori dua-faktor Herzberg (Herzberg Two Factor Theory), yang menjadikan pekerja itu termotivasi adalah adanya pemenuhan terhadap faktor ekstrinsik (higiene) dan intrinsik (motivator) sehingga pekerja merasa puas (Ivancevich et all,
2006).
Oleh karena itu, sebaiknya pekerja diberikan reward sebagai bentuk penghargaan dan pengembalian positif dari perilaku aman yang telah mereka terapkan dan sebagai bentuk dukungan dari perusahaan. Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Geller (2001), Penghargaan merupakan konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan untuk mengembangkan, mendukung, dan memelihara perilaku yang diharapkan.
Jika digunakan sebagai mestinya, penghargaan dapat memeberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya diri, pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki.
Selain itu juga, menurut Mangkunegara (2005), imbalan yang diberikan kepada pekerja sangat berpengaruh terhadap motivasi. Oleh karena itu pimpinan perlu membuat perencanaan pemberian imbalan dalam bentuk 245
uang yang memadai agar pekerja terpacu motivasinya dan melakukan
tindakan aman. Menurut penelitian Edmin Locke (1980) dalam
Mangkunegara (2005), menyebutkan bahwa imbalan berupa uang jika
pemberiannya dikaitkan dengan tujuan pelaksanaan tugas sangat berpengaruh
terhadap peningkatan produktivitas kerja karyawan. Dalam hal ini, jika
pemberian imbalan dikaitkan dengan perilaku pekerja untuk melakukan
tindakan aman maka akan sangat berpengaruh terhadap peningkatan motivasi
pekerja dalam berperilaku aman.
Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Heliyanti (2009), tidak
ditemukannya hubungan motivasi dengan perilaku tidak aman karyawan.
6.3.5 Hubungan Umur dengan Perilaku Aman
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 dapat diketahui jumlah
responden yang berumur muda lebih tinggi. Meskipun demikian, jumlah
responden yang berumur tua dan berumur muda hampir merata. Menurut
Hurlock (1994) dalam Helliyanti (2009), semakin tua usia seseorang akan
mengalami penurunan fungsi fisiologis, fungsi batin, dan fisik sehingga
kemampuan untuk menyerap ilmu juga menurun jika dibandingkan golongan
usia muda. Berdasarkan tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang
berumur muda lebih sedikit yang berperilaku tidak aman daripada responden
yang berumur tua.
Berdasarkan hasil uji Chi Square tidak ditemukan adanya perbedaan
yang bermakna antara umur dengan perilaku aman dan variabel usia tidak
menjadi kandidat model multivariat. Dengan demikian, hipotesis tidak 246
terbukti dengan tidak ditemukannya perbedaan yang bermakna antara umur dengan perilaku aman. Hal ini tidak sesuai dengan pendapat Suma’mur
(1996), pengalaman untuk kewaspadaan terhadap kecelakaan bertambah baik sesuai dengan usia, masa kerja diperusahaan dan lamanya bekerja di tempat kerja yang bersangkutan.
Tetapi, berdasarkan hasil wawancara, pekerja yang berumur muda mempunyai semangat yang tinggi karena mereka masih baru dan mereka ingin menunjukkan hasil kerja yang maksimal untuk mendapatkan peluang peningkatan karir yang lebih tinggi. Oleh karenanya, mereka menjaga dengan baik kinerja dan produktivitas mereka dengan berperilaku aman karena kecelakaan kecil saja dapat menurunkan kinerja dan produktivitas mereka.
Tetapi, dari hasil wawancara juga didapatkan bahwa pekerja yang berusia tua cenderung berperilaku tidak aman karena mereka merasa telah mengenal seluk beluk perusahaan dan terbiasa berperilaku tidak aman dan mengganggap remeh bahaya yang ada.
Dengan demikian, pendapat Suma’mur (1996) tidak sesuai dengan penelitian ini karena pada saat muda pekerja cenderung bertambah tingkat kewaspadaan terhadap kecelakaan dengan berperilaku aman tetapi pada pekerja usia tua justru berkurang tingkat kewaspaadaan akan kecelakaan dengan berperilaku tidak aman karena mereka merasa terbiasa dan telah mengenal dengan baik area kerja dan cenderung meremehkan bahaya yang ada. 247
Penelitian ini sejalan dengan pendapat Simanjutak (1985) menyatakan
bahwa umur secara alamiah mempunyai pengaruh terhadap kondisi fisik
seseorang, ada saat usia tertentu dimana seseorang dapat berprestasi secara
maksimal tetapi ada saat dimana terjadinya penurunan prestasi. Tingkat
prestasi kerja mulai meningkat bersamaan dengan meningkatnya umur, untuk
kemudian menurun menjelang usia tua. Dalam hal ini, peningkatan prestasi
terjadi saat pekerja berumur muda dan menurun saat mereka berumur tua.
Siagian (1987) juga mengungkapkan jika seseorang makin bertambah
usianya, maka cenderung cepat puas karena tingkat kedewasaan teknis
maupun kedewasaan psikologis.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Heliyanti (2009) menyatakan
tidak ditemukannya hubungan antara umur dengan perilaku tidak aman.
6.3.6 Hubungan Lama bekerja dengan Perilaku Aman
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.2 diketahui bahwa jumlah
responden yang telah bekerja lama dan baru hampir merata. Meskipun
demikian, jumlah responden yang telah bekerja lama lebih banyak. Hasil
penelitian pada tabel 5.4 dapat diketahui bahwa responden yang bekerja masih
baru lebih banyak yang berperilaku tidak aman daripada responden yang telah
bekerja lama. Hasil studi ILO (1989) dalam Dirgagunarsa (1992) di Amerika
yang menunjukkan bahwa kecelakaan kerja yang terjadi selain karena faktor
manusia, disebabkan juga karena masih baru dan kurang pengalaman.
Sedangkan, Cooper (2001) mengemukakan bahwa orang sering berperilaku
tidak aman karena orang tersebut belum pernah cedera saat melaksanakan 248
pekerjaannya dengan tidak aman. Hal ini dapat dilihat dari jumlah kecelakaan di PT SIM Plant Tambun II yang sedikit.
Berdasarkan hasil uji Chi square diketahui bahwa tidak adanya hubungan yang bermana antara lama bekerja dengan perilaku aman dan variabel lama bekerja tidak masuk dalam kandidat model multivariat sehingga hipotesis tidak terbukti karena tidak ditemukan adanya perbedaan yang bermakna antara lama kerja dengan perilaku aman. Penelitian ini juga tidak sesuai dengan Dirgagunasa (1992) yang mengatakan bahwa lama kerja seseorang jika dikaitkan dengan pengalaman kerja dapat mempengaruhi kecelakaan kerja. Terutama pengalaman dalam hal menggunakan berbagai macam alat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang diperoleh akan lebih banyak dan memungkinkan pekerja dapat bekerja lebih aman. Suma’mur (1996) juga berpendapat bahwa pengalaman dapat mempengaruhi perilaku pekerja dalam melakukan pekerjaannya dan pengalaman dapat mengurangi risiko terjadinya kecelakaan. Dalam hal ini, pekerja yang berpengalaman dapat lebih menekankan keselamatan dalam melakukan pekerjaannya dikarenakan ia telah mengetahui secara mendalam seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya. Sedangkan pekerja yang belum berpengalaman atau masih baru belum mengenali seluk beluk pekerjaan dan keselamatannya.
Tetapi pada kenyataannya, berdasarkan hasil wawancara pekerja yang telah lama bekerja masih mengganggap remeh bahaya yang ada dan cenderung mengabaikannya. Hal ini diperkuat oleh Geller (2001) yang menyebutkan faktor pengalaman pada tugas yang sama dan lingkungan sudah 249
dikenal dapat mempengaruhi orang tersebut berperilaku tidak aman dan terus berlaku karena menyenangkan, nyaman, dan menghemat waktu dan perilaku ini cenderung berulang. Pernyataan diatas juga diperkuat ILO (1998) yang menyatakan bahwa pekerja lama dan berpengalaman bukan merupakan jaminan bahwa mereka tidak akan melakukan tindakan tidak aman sehingga terhindar dari kecelakaan. Pekerja lama atau berpengalaman tidak merasa asing dengan lingkungannya, sangat kenalnya mereka menjadi kurang berhati- hati, apalagi bila dalam jangka waktu yang lama tidak terjadi kecelakaan sehingga mereka cenderung mengganggap bahaya tidak separah dengan apa yang didengar dan dikatakan oleh pimpinannya. Sehingga pendapat yang dikemukakan oleh Suma’mur (1996) dan Dirgagunasa (1992) tidak sesuai dengan penelitian ini.
Selain itu, dari hasil wawancara mengungkapkan bahwa pekerja melakukan perilaku yang tidak aman karena mereka merasa itu bukanlah masalah, yang penting adalah bagaimana pekerjaan mereka bisa cepat selesai.
Hal ini sejalan dengan pendapat Winardi (2001) dalam Sialagan (2008) yang menyebutkan bahwa seseorang berperilaku tertentu karena adanya suatu situasi yang diyakininya, bukan karena situasi yang terdapat disekitarnya.
Dalam hal ini, situasi yang diyakini oleh pekerja adalah bagaimana mereka menyelesaikan pekerjaan mereka dengan cepat meskipun dalam proses pengerjaannya dengan berperilaku aman. Sedangkan situasi yang ada disekitarnya adalah perilaku pekerja yang tidak aman yang dapat mengakibatkan kecelakaan. Penelitian ini sejalan dengan peneilitian 250
Hendrabuawan (2007), tidak ada hubungan yang bermakna antara perilaku
bekerja selamat dengan lama kerja.
6.4. Hubungan Antara Variabel Eksternal (ketersediaan APD, peraturan, promosi
keselamatan, pelatihan, peran pengawas, dan peran rekan kerja) Dengan
Perilaku Aman di PT SIM Plant Tambun II Tahun 2010
6.4.1 Hubungan Ketersediaan APD dengan Perilaku Aman
Menurut Teori Green (1980), perilaku dapat dibentuk oleh 3 faktor,
salah satunya adalah faktor pemungkin (enabling) yaitu ketersediaan fasilitas
dan sarana kesehatan. Ketersediaan APD dalam hal ini merupakan salah satu
bentuk dari faktor pendukung perilaku, dimana menurut Notoadmodjo (2003),
suatu perilaku belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan jika tidak
terdapat fasilitas yang mendukung terbentuknya perilaku tersebut.
Berdasarkan tabel 5.3 diketahui responden yang menyatakan kesulitan
mendapatkan APD lebih banyak. Sebagaimana yang telah dipaparkan
Notoadmodjo (2003) dapat disimpulkan bahwa kesulitan mendapatkan APD
dapat menjadi salah satu penyebab pekerja berperilaku tidak aman karena
ketersediaan fasilitas yang kurang mendukung. Hal ini terlihat dari tabel 5.5
dimana responden yang mengalami kesulitan mendapatkan APD lebih banyak
yang berperilaku tidak aman daripada responden yang mudah mendapatkan
APD.
Pada prosesnya, setiap pekerja mendapatkan APD yang mereka
butuhkan dan sesuai dengan area kerja mereka dan semua APD hanya
disimpan dan dipakai selama berada di tempat kerja karena jika APD tersebut 251
dibawa kerumah maka tidak menutup kemungkinan mereka lupa untuk membawanya dan hal ini dapat membahayakan keselamatan mereka. Sebelum kerja dimulai, masing-masing kepala sub bagian memberikan APD yang harus digunakan dan mengecek kelengkapan APD mereka sebelum digunakan, apabila terdapat APD yang rusak maka kepala sub tersebut melapor kepada kepala bagian masing-masing line dan mengembalikan APD tersebut dengan mengisi form pengembalian dan permintaan APD. Dalam hal ini, kesulitan mendapatkan APD dikarenakan stok APD yang masih kurang karena ada
APD yang hanya dipakai sehari sekali seperti masker bahan dan sarung tangan kain. Ada juga APD yang memang jumlahnya sedikit seperti masker respirator sehingga jika terjadi kerusakan akan sulit untuk mendapatkannya karena harus menunggu lama untuk mendapatkannya. Terlebih lagi, pekerja juga tidak menjaga dan menyimpan APD dengan baik seperti kehilangan dan rusaknya APD, kemudian mereka meminta kembali APD yang baru. Jika hal ini sering berlanjut maka stok APD akan semakin berkurang dan akan terjadi pemborosan yang dapat menyebabkan kerugian pada perusahaan. Oleh karena itu, pekerja sebaiknya menggunakan dan menjaga APD dengan sebaik mungkin agar APD tetap berada dalam kondisi yang layak untuk digunakan.
Berdasarkan hasil uji Chi square dan analisis multivariat menunjukkan tidak ada perbedaan yang bermakna antara ketersediaan APD dengan perilaku aman. Hal ini dikarenakan meskipun APD tersedia tetapi para pekerja banyak pekerja yang tidak menggunakannya karena memakai APD membuat mereka tidak nyaman, mengganggu aktivitas kerja, dan ada beberapa yang menggunakan APD dengan lengkap dan baik apabila ada 252
safety member saja. Hal ini sejalan dengan pendapat Roughton (2002), beberapa pekerja mungkin menolak untuk menggunakan APD karena APD tersebut menimbulkan ketidaknyamanan dan menambah beban stress pada tubuh. Stress ini dapat menimbulkan rasa tidak nyaman atau kesulitan untuk bekerja. Penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Suma’mur (1996) yang mengatakan bahwa ketersediaan sarana dan prasarana mendukung tindakan pekerja untuk berperilaku selamat dalam bekerja.
Meskipun demikian, Sahab (1997) mengungkapkan bahwa penggunaan APD merupakan alternatif yang paling terakhir dalam hirarki pengendalian bahaya. Lebih baik mendahulukan tempat kerja yang aman, daripada pekerjaan yang safety karena tempat kerja yang memenuhi standar keselamatan lebih menjamin terselenggaranya perlindungan bagi tenaga kerja.
Tetapi, tempat kerja yang memenuhi keselamatan saja tidak cukup karena menurut Heinrich (1980), 85% kecelakaan adalah hasil kontribusi perilaku kerja yang tidak aman (unsafe act). Berdasarkan hal itu, maka dapat dikatakan bahwa perilaku manusia merupakan unsur yang memegang peranan penting dalam mengakibatkan suatu kecelakaan.
Selain itu, pekerja juga belum menyadari akan pentingnya memakai
APD untuk melindungi keselamatannya dan pengawas yang kurang tegas mengawasi pekerja yang tidak memakai APD. Sebagaimana menurut Reason
(1997), pekerja hendaknya memiliki kesadaran atas keadaan yang berbahaya sehingga resiko terjadinya kecelakaan kerja dapat diminimalisasi. Kesadaran terhadap bahaya yang mengancam dapat diwujudkan dengan menggunakan perlengkapan keselamatan kerja dengan baik dan benar, menaati peraturan 253
dan prosedur yang berlaku, bekerja sesuai dengan tanggung jawabnya.
Seringkali pekerja melakukan kesalahan dengan tidak menggunakan
perlengkapan pelindung maupun menggunakan perlengkapan pelindung yang
rusak, menyalahgunakan perlengkapan pelindung, mengambil jalan pintas
dengan mengabaikan peraturan dan rambu-rambu yang ada.
Di lain pihak, faktor organisasi dan faktor lingkungan kerja juga dapat
menyebabkan munculnya kondisi tidak aman yang berupa kondisi laten.
Disebut kondisi laten karena kondisi tidak aman tersebut muncul pada
lingkungan kerja bila berinteraksi dengan tindakan tidak aman dari pihak
pekerja, yang kemudian dapat menyebabkan kecelakaan kerja. Salah satu
contoh kondisi laten adalah kebijakan organisasi yang tidak memberikan
perlengkapan keselamatan kerja pada pekerjanya dengan melakukan
pengawasan secara ketat terhadap kemungkinan terjadinya kecelakaan. Hal ini
sangat berisiko karena bila suatu saat pengawasan tidak dilakukan, dapat
muncul resiko terjadinya kecelakaan kerja (Reason, 1997). Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Hendrabuwana (2007) tidak terdapat hubungan yang
bermakna antara ketersediaan APD dengan perilaku bekerja selamat.
Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang konsisten dan tegas
terhadap pekerja yang tidak memakai APD. Diharapkan dengan adanya
pengawasan tersebut dapat menumbuhkan kesadaran para pekerja.
6.4.2 Hubungan Peraturan Keselamatan dengan Perilaku Aman
Peraturan merupakan dokumen tertulis yang mendokumentasikan
standar, norma, dan kebijakan untuk perilaku yang diharapkan (Geller, 2001). 254
Menurut DEPDIKBUD (1990) dalam Utommi (2007), kepatuhan adalah ketaatan melakukan sesuatu yang dianjurkan atau ditetapkan. Kepatuhan juga adalah seberapa besar pekerja untuk mematuhi/menjalani peraturan yang berlaku berkaitan dengan keselamatan kerja. Semakin banyak peraturan perusahaan yang diterapkan oleh pekerja maka pekerja tersebut dikatakan patuh/baik, bila sebaliknya maka pekerja tersebut dianggap tidak mematuhi peraturan keselamataan kerja yang telah ditetapkan oleh perusahaan.
Secara umum, HFACS (Human Factor analysis and Clasification system) mengklasifikasikan tindakan tidak aman (unsafe act) menjadi keselahan (Errors) dan pelanggaran (violations). Kesalahan adalah representasi dari suatu aktivitas mental dan fisik seseorang yang gagal dalam mencapai sesuatu yang diinginkan. Pelanggaran disisi lain mengacu pada niat untuk mengabaikan petunjuk atau aturan yang telah ditetapkan untuk melakukan tugas tertentu (Wiegman, 2007).
Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3 diketahui bahwa responden yang memetuhi peraturan lebih banyak. Pada tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang tidak patuh terhadap peraturan yang berperilaku tidak aman lebih banyak daripada responden yang mematuhi peraturan. Hasil uji Chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara peraturan dengan perilaku tidak aman. Hasil perhitungan odds rasio menunjukkan bahwa responden yang tidak mematuhi peraturan cenderung
88,333 kali berperilaku tidak aman daripada responden yang mematuhi peraturan. 255
Meskipun demikian, setelah melalui beberapa proses analisis multivariat, tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara peraturan dengan perilaku aman. Dengan demikian, hipotesis tidak terbukti. Penelitian ini tidak sejalan dengan pendapat Notoadmodjo (2003) yang menyebutkan bahwa salah satu strategi perubahan perilaku adalah dengan menggunakan kekuatan dan kekuasaan misalnya peraturan-peraturan dan perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat.
Hal ini dikarenakan pekerja mematuhi peraturan dengan tidak dilandasi oleh kesadaran pada dirinya sendiri. Dalam hal ini, perubahan perilaku yang tidak disadari oleh kesadaran sendiri tidak akan berlangsung lama (Notoadmodjo, 2003). Meskipun dengan menggunakan kekuasaan atau kekuatan berupa peraturan dan undang undang yang harus dipatuhi dapat menghasilkan perubahan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri (Notoadmodjo, 2003).
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Maaniaya (2005) yaitu tidak ditemukannya hubungan peraturan dengan tindakan tidak aman.
Reason (1997) mengungkapkan pekerja hendaknya memiliki kesadaran atas keadaan yang berbahaya sehingga resiko terjadinya kecelakaan kerja dapat diminimalisasi. Geller (2001) juga mengungkapkan perubahan perilaku tingkat kepatuhan yang baik adalah internalisasi, dimana individu melakukan sesuatu karena memahami makna, mengetahui pentingnya tindakan dan keadaaan ini. Hal ini cenderung akan berlangsung lama dan menetap dalam diri individu. Jadi, para pekerja yang mematuhi peraturan 256
keselamatan karena mereka menyadari dan mengerti akan pentingnya menjaga keselamatan maka perilaku tersebut cenderung berlangsung lama.
Selain itu, peraturan tersebut tidak dikomunikasikan secara menyeluruh dan tidak ditegakkan sebagaimana seharusnya. Sedangkan peraturan itu dibuat agar pekerja dapat berperilaku aman dan banyak pekerja yang melanggar peraturan karena tidak adanya hukuman bagi mereka yang melanggar dan dari pihak pengawas sendiri cenderung mengabaikan atau mengaganggap remeh pelanggaran yang telah dilakukan oleh pekerja. Dalam hal ini, sebagaimana yang Geostsch (1996) paparkan bahwa manajemen harus merumuskan peraturan yang sesuai, mengkomunikasikan peraturan tersebut kepada pekerja, dan menegakkan peraturan tersebut ditempat kerja. Penegakkan peraturan merupakan hal yang sering dilupakan.
Selain itu, masih ada pekerja yang menggap bahwa jika terjadi kecelaaan bisa langsung dibawa ke klinik atau ke Rumah sakit dan itupun biaya kecelakaan ditanggung oleh perusahan dan bukan mereka yang membayarnya. Hal ini tentunya akan merugikan pekerja dan perusahaan, pekerja dapat mengalami kesakitan, cacat, atau parahnya adalah meninggal.
Bagi perusahaan tentunya akan merugikan materil seperti terhentinya proses produksi, hari kerja yang hilang, biaya pengobatan dan perawatan, dan non materil seperti rusaknya citra perusahaan bahkan jika kejadian itu menimbulkan kematian pada tenaga kerja (Sahab, 1997).
Meskipun demikian, peraturan merupakan sebuah bentuk tulisan sehingga dalam pelaksanaannya diperlukan pengawasan yang teratur dan konsisten agar kepatuhan terhadap peraturan bisa semakin meningkat hingga 257
keseluruh pekerja. Menurut Geostsch (1996), objektivitas dan konsistensi merupakan hal yang penting ketika menegakkan peraturan. Objektivitas maksudnya peraturan tersebut berlaku bagi semua pekerja mulai dari pekerja baru hingga kepala eksekutif. Konsistensi maksudnya peraturan tersebut ditegakkan dalam setiap kondisi tanpa ada pengaruh dari luar. Hal ini berarti hukuman diberikan kepada setiap pelanggar. Kegagagalan untuk menjadi objektif dan konsisten dapat menurunkan kredibilitas dan efektivitas upaya perusahaan untuk mempromosikan keselamatan
Oleh karena itu, diperlukan pengawasan yang konsisten dan objektif agar penerapan peraturan ditegakkan secara menyeluruh. Selain itu, sebaiknya diadakan penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Hukuman merupakan konsekuensi yang diterima individu atau kelompok sebagai bentuk akibat dari perilaku yang tidak diharapkan. Hukuman menekankan atau melemahkan perilaku (Geller, 2001). Hukuman tidak hanya berorientasi untuk menghukum pekerja yang melanggar peraturan, melainkan sebagai kontrol terhadap lingkungan kerja sehingga pekerja terlindungi dari insiden
(Roughton, 2002).
Penghargaan merupakan konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan untuk mengembangkan, mendukung, dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagai mestinya, penghargaan dapat memeberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya diri, pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki (Geller, 2001). 258
Penelitian Maaniaya (2005) yaitu tidak ditemukannya hubungan
peraturan dengan tindakan tidak aman. penelitian Hendrabuwana (2007) tidak
terdapat hubungan yang bermakna antara peraturan dengan perilaku bekerja
selamat dan menurut penelitian Hendrabuwana (2007) tidak terdapat
hubungan yang bermakna antara peraturan dengan perilaku bekerja selamat.
6.4.3 Hubungan Promosi Keselamatan dengan Perilaku Aman
Menururt George (1998) dalam Helliyanti (2009). Safety promotions
atau promosi K3 adalah suatu bentuk usaha yang dilakukan untuk mendorong
dan menguatkan kesadaran dan perilaku pekerja tentang K3 sehinggga dapat
melindungi pekerja, properti, dan lingkungan. Program promosi K3 menjadi
efektif apabila terdapat perubahan sikap dan perilaku pada pekerja.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang
menyatakan promosi keselamatan cukup baik lebih banyak dan pada tabel 5.5
dapat diketahui bahwa responden yang berperilaku tidak aman yang
menyatakan promosi keselamatan cukup baik lebih banyak daripada
responden yang menyatakan promosi keselamatan baik. Hasil uji Chi square
menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara promosi keselamatan
dengan perilaku aman.
Hasil perhitungan odds rasio menunjukkan bahwa responden yang
menyatakan promosi keselamatan cukup baik cenderung 14,063 kali
berperilaku tidak aman daripada responden yang menyatakan promosi
keselamatan baik. Pengamatan dilapangan, terdapat beberapa media yang
digunakan untuk mengkomunikasikan keselamatan kerja, meliputi buku saku 259
yang berisi tentang bahaya yang ada di area kerja dan perilaku yang seharusnya untuk menjaga keselamatan dirinya dan orang lain, rambu-rambu keselamatan yang dapat membantu meningkatkan keselamatan dan kesehatan serta dipakai untuk mengurangi kebiasaan buruk yang banyak ditemukan, dan promosi keselamatan juga dilakukan dengan mengkomunikasikan bahaya yang dilakukan oleh para pengawas yaitu kepala sub bagian masing-masing line kepada para pekerja sebelum bekerja, hal ini dilakukan untuk mengingatkan para pekerja akan pentingnya menajaga keselamatan dan berperilaku yang aman serta mematuhi peraturan yang seharusnya, selain itu juga dikomunikasikan kecelakaan yang terjadi agar tidak terulang lagi.
Meskipun demikian, berdasarkan analisis multivariat tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara promosi keselamatan dengan perilaku aman.
Hal ini dikarenakan masih ada pekerja yang berperilaku tidak aman, karena media informasi yang disampaikan masih kurang dipahami oleh pekerja, rambu-rambu keselamatan, tanda APD yang harus digunakan, dan poster bahaya yang masih kurang dan belum merata di seluruh area kerja.
Sebagaimana yang telah dipaparkan oleh Notoadmodjo (2003), pengetahuan yang ada pada setiap manusia diterima atau ditangkap melalui panca indra. Semakin banyak indra yang digunakan untuk menerima sesuatu maka akan semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian/pengetahuan yang diperoleh. Dalam kata lain, dengan promosi keselamatan dimaksudkan untuk mengerahkan indra sebanyak mungkin kepada suatu objek, sehingga mempermudah suatu pemahaman. 260
Oleh karena itu, diperlukan media promosi keselamatan yang dapat
lebih pahami seperti penggunaan gambar-gambar yang besar dengan tulisan
yang mudah diingat dan penggunaan warna yang menarik serta penempatan
yang tepat yang dapat dilihat oleh banyak orang. Sebagaimana menurut para
ahli dalam Notoadmodjo (2003), indra yang paling banyak menyalurkan
pengetahuan kedalam otak adalah mata. Kurang lebih 75%-87% dari
pengetahuan manusia diperoleh atau disalurkan melalui mata. Sedangkan 13%
-27% lainnya tersalur melalui indra yang lain. Hal ini dapat disimpulkan
bahwa alat-alat visual lebih mempermudah cara penyampaian dan penerimaan
informsi. Dalam hal ini, alat visual dua dimensi adalah berupa gambar, peta,
bagan, dan sebagainya.
Selain itu, menurut Elgar Dale dalam Notoadmodjo (2003) diketahui
bahwa penyampaian bahan yang hanya dengan kata-kata saja sangat kurang
efektif atau intensitasnya paling rendah karena kata-kata menempati urutan
teratas dalam kerucut Elgar Dale. Sedangkan televisi atau film menempati
urutan yang kelima. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa penggunaan
gambar atau visual mempunyai intensitas yang lebih tinggi daripada kata-kata
dalam mempersepsikan bahan atau media informasi. Penelitian Heliyanti
(2009) tidak terdapat hubungan yang bermakna antara safety promotion
dengan perilaku tidak aman.
6.4.4 Hubungan Pelatihan dengan Perilaku Aman
Pelatihan digunakan untuk melatih pengetahuan dan keterampilan
tertentu, keterampilan menggunakan peralatan dan mesin-mesin, atau
keterampilan manajerial, yang berlangsung dalam waktu yang relatif singkat 261
dan dalam jangka waktu pendek baik untuk tenaga kerja manajerial maupun untuk tenaga kerja bukan manager. Biasanya perusahaan mempunyai pelatihan khusus untuk tenaga kerja baru yang tidak melatih suatu keterampilan melainkan diberikan pengetahuan tentang perusahaannya seperti visi dan misi perusahaan, prosedur kerja, kebijakan, peraturan-peraturan tentang pekerjaannya dan lain-lain. Program latihan ini bertujuan agar para pekerja dalam waktu singkat dapat mengenali dan menyesuaikan diri pada perusahaan dan budaya perusahaannya.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang jarang mengikuti pelatihan lebih banyak. Hal ini disebabkan karena pelatihan keselamatan dilakukan bersifat sukarela dan wajib. Pelatihan yang bersifat sukarela biasanya diwakilkan beberapa orang dalam satu section produksi.
Meskipun demikian, tidak menutup kemungkinan semua pekerja bisa mengikuti pelatihan karena pelatihan ini dilakukan secara bergiliran. Pelatihan yang bersifat wajib adalah pelatihan keselamatan yang berhubungan dengan alat-alat atau mesin yang berhubungan dengan pekerjaan seperti training CO2 operational, training untuk mendapatkan Surat Ijin Operator (SIO) forklift dan Over Head Crane (OHC).
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang jarang mengikuti pelatihan lebih banyak yang berperilaku tidak aman daripada responden yang sering mengikuti pelatihan. Hasil uji Chi square menunjukkan tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan keselamatan dengan perilaku tidak aman. Variabel inipun tidak menjadi kandidat model multivariat sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel 262
pelatihan tidak memiliki perbedaan yang bermakna dengan perilaku aman.
Dengan demikian, hipoesis tidak terbukti.
Hal ini juga menunjukkan sering atau jarangnya pelatihan dilakukan tidak mempengaruhi perilaku aman pekerja karena perubahan dan pembentukan perilaku tidak terjadi begitu saja tetapi dipengaruhi oleh beberapa variabel lainnya seperti yang telah dipaparkan oleh Notoadmodjo dan Sarwono (1985), bahwa perilaku sebagai perefleksian faktor-faktor kejiwaan seperti keinginan, minat, kehendak, pengetahuan, emosi, sikap, motivasi, reaksi, dan sebagainya, dan faktor lain seperti pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosio dan budaya.
Geller (2001) juga menambahakan faktor yang mempengaruhi perilaku meliputi faktor internal (meliputi sikap, kepercayaan, perasaan, pemikiran, kepribadian, persepsi, dan nilai-nilai, tujuan) dan eksternal
(meliputi pelatihan, pengenalan, persetujuan, komunikasi, dan menunjukan kepedulian secara aktif). Selain itu, menurut Green (1980) terdapat 3 faktor yang mempengaruhi perilaku yaitu faktor predisposisi (predisposing), pemungkin (enabling), dan penguat (reinforcing). Sehingga dapat simpulkan bahwa perilaku tidak hanya terbentuk karena jarang atau seringnya melakukan pelatihan tetapi karena terdapat banyak faktor lain yang mempengaruhi perilaku dan faktor-faktor tersebut diluar penelitin ini.
Dari hasil wawancara juga dapat disimpulkan bahwa pekerja tidak mau mengikuti pelatihan keselamatan karena belum menyadari pentingnya pelatihan keselamatan dan banyak pelatihan keselamataan yang bersifat 263
sukarela sehingga pekerja cenderung mengabaikannya. Sedangkan pelatihan itu dilakukan untuk merubah perilaku pekerja menjadi berperilaku aman, dan memberitahukan cara-cara bekerja yang aman dan apa yang harus dilakukan saat terjadi keadaan darurat. Sebagiamana yang dipaparkan oleh Geller (2001) bahwa pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja dilaksanakan pada saat pekerja tidak tahu cara bekerja aman (pekerja tidak kompeten atau kurang keterampilan), terdapat cara-cara baru yang lebih aman dalam suatu pekerjaan
(fungsi peningkatan dan pembaharuan), sebagai sarana untuk mengingatkan kembali cara untuk bekerja aman pada pekerja, sebagai pengetahuan saat kondisi darurat, dan untuk mengubah perilaku menuju perilaku aman.
Selain itu, dari hasil wawancara juga disimpulkan bahwa pekerja yang telah mengikuti pelatihan merasa bosan dengan materi yang diberikan dan penyampaian informasi yang kurang menarik, dan pelatihan yang dilakukan pada saat jam kerja sehingga dapat menunda pekerjaan mereka dan pada akhirnya mereka juga merasa kurang fokus dengan pelatihan yang dilakukan.
Oleh karena itu, sebaiknya pelatihan yang dilakukan pada saat yang tepat seperti pada saat libur kerja atau pada saat pemadaman listrik bergiliran sehingga tidak mengganggu pekerjaan mereka dan sebaiknya penyampaian materi dilakukan semenarik mungkin dan lebih menggali pengetahuan, wawasan, dan menumbuhkan rasa ingin tahu para pekerja seperti adanya diskusi, permainan, studi kasus, dan penyampaian yang lebih mengutamakan gambar-gambar atau grafik sehingga para pekerja lebih merasa tertarik.
Selain itu, pekerja sebaiknya turut melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pelatihan agar timbul keingan memiliki dalam kegiatan pelatihan. 264
Sebagaimana pendapat yang diungkapkan Maaniaya (2005),
kegagalan suatu program pelatihan dapat juga disebabkan karena 1). Pelatihan
dilaksanakan pada waktu yang tidak tepat, kurang partisipasi manajer terkait
dalam perancangan program pelatihan. Tanpa partisispasi ini, pelatihan
seringkali berorientasi pada masalah teknis daripada berorientasi pada
permasalahan yang ada dan hasil –hasil yang diharapkan pada pelatihan
tersebut. 2). Penyampaian materi sangat bergantung pada metode pemberian
kuliah. Suatu pelatihan terutama yang berkaitan dengan dunia industri, harus
dilakukan dengan sangat interaktif dan memungkinkan peserta untuk
merapkan dan mempraktikkan konsep-konsep yang diajarkan selama proses
berlangsung. 3). Buruknya komunikasi selama pelatihan berlangsung. Banyak
keuntungan yang dapat diraih apabila instruktur pelatihan lebih
menitikberatkan pada penggunaan bahasa yang sederhana dan teknik
presentasi yang menggunakan grafik atau gambar. Penelitian ini sejalan
dengan penelitian Karyani (2005) yaitu tidak ada hubungan yang bermakna
antara perlaku aman dengan pelatihan.
6.4.5 Hubungan Peran Pengawas dengan Perilaku Aman
Geller (2001) menyebutkan adanya peran manager dalam perilaku
kerja. keduanya berhubungan langsung dengan target inidividu yang sedang
berlangsung. Menurut Bird dan Germain (1990), supervisor (pengawas)
memiliki posisi kunci dalam mempengaruhi pengetahuan, sikap keterampilan,
dan kebiasaan, akan keselamatan setiap karyawan dalam suatu area tanggung
jawabnya. Para pengawas mengetahui lebih baik daripada pihak lain 265
mengenai diperhatikannya individu-individu, catatan cuti, kebiasaan bekerja, perbuatan, keterampilan dalam bekerja. Para pengawas juga memonitor kinerja pekerja, dimana hal ini merupakan sesuatu yang penting untuk kesuksesan program.
Pada penelitian ini, peran pengawas yang dimaksud adalah kepala sub bagian masing-masing line produksi karena memang kepala sub merupakan orang terdekat pekerja yang membimbing dan mengawasi pekerja.
Berdasarkan tabel 5.3 dapat diketahui bahwa responden yang menyatakan peran pengawas yang mendukung lebih banyak. Berdasarkan hasil analisis bivariat pada tabel 5.5 diketahui bahwa responden yang berperilaku tidak aman yang menyatakan peran pengawas kurang mendukung lebih banyak daripada responden yang menyatakan peran pengawas mendukung. Hasil uji
Chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara peran pengawas dengan perilaku aman. Hasil perhitungan odds rasio mennjukkan bahwa responden yang menyatakan peran pengawas yang kurang mendukung cenderung 321 kali berperilaku tidak aman daripada responden yang menyatakan peran pengawas mendukung.
Setelah melalui proses analisis multivariat diketahui bahwa peran pengawas merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku aman.
Jika diketahui dari uji statistik, diketahui nilai OR peran pengawas paling besar yaitu 54,085. Hal ini menunjukkan bahwa perilaku pekerja akan berubah sebesar 54,085 kali lebih besar menjadi berperilaku tidak aman apabila peran pengawas kurang mendukung dalam berperilaku aman dibandingkan dengan peran rekan kerja. Nilai tersebut menunjukkan bahwa 266
peran pengawas merupakan faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku aman.
Dalam mengawasi pekerja, seorang pengawas mempunyai tanggung jawab dan wewenang, seperti membina dan memotivasi pekerja untuk melaksanakan tugasnya dengan baik dan terselesaikan tepat waktu sehingga dapat meningkatkan produktivitas perusahaan dan tentunya tanpa mengabaikan aspek keselamatan. Selain itu, sebagaimana Karyani (2005) paparkan, pengawas yang baik akan menumbuhkan rasa tanggung jawab yang pada akhirnya akan membentuk perilaku kerja yang aman.
Berdasarkan hasil analisis model akhir multivariat, diketahui nilai
Negelkerke R Square sebesar 78,4%, artinya kedua variabel yang ada di model tersebut dapat menjelaskan kejadian perilaku tidak aman sebesar 78,4% dan selebihnya dapat dijelaskan oleh variabel lain diluar penelitian ini.
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh Birds dan Germain (1990), semua anggota yang terlibat dalam organisasi harus mampu memberikan pengawasan terhadap jalannya operasi perusahaan. bila fungsi pengawasan ini tidak dilaksanakan maka akan timbul penyebab dasar dari suatu insiden yang dapat mengganggu kegaiatan perusahaan. Jadi, pengawasan tersebut tidak hanya dilakukan oleh para manajerial tetapi juga dari pekerja itu sendiri agar tercapai sebuah kerjasama yang berkesinambungan sehingga terbentuk perilaku aman yang menyeluruh yang pada akhirnya dapat membentuk suatu budaya keselamatan. 267
Bird dan Germain (1990) juga mengungkapkan bahwa peran seorang
pengawas sangat penting dan harus dapat mamanfaatkan waktu dengan baik
dalam berbicara untuk memberitahukan ataupun memberikan teguran
terhadap pekerja yang melakukan tindakan tidak aman dan memberikan
pujian pada pekerja yang mengikuti prosedur kerja ditempat kerja. Kontak
secara personal harus dilakukan sesering mungkin untuk mempengaruhi sikap
pekerja, pengetahuan, dan keterampilan.
Pengamatan dilapangan, masih ada pengawas yang kurang tegas
mengawasi pekerja yang tidak berperilaku aman, masih ada pekerja yang
walaupun sudah ditegur tetapi masih berperilaku tidak aman dan berperilaku
aman jika diawasi saja. Oleh karena itu perlu dilakukan pengawasan secara
teratur atau konsisten sehingga apabila ada kondisi yang berbahaya atau
kegiatan yang tidak aman dapat diketahui dengan segera dan dapat dilakukan
usaha untuk memperbaikinya. Bird dan Germain (1990) juga mengungkapkan
bahwa pengawasan terhadap aktivitas pekerja ini diharapkan dapat
menumbuhkan kepatuhan dan kesadaran akan pentignya keselamatan dan
kesehatan kerja bagi dirinya, pekerja lain, dan lingkungan kerjanya.
Penelitian ini sejalan dengan penelitian Karyani yang mengungkapkan
bahwa peran pengawas merupakan faktor yang paling dominan dengan
perilaku aman.
6.4.6 Hubungan Peran Rekan Kerja dengan Perilaku Aman
Menurut Birds dan Germain (1990), semua anggota yang terlibat
dalam organisasi harus mampu memberikan pengawasan terhadap jalannya 268
operasi perusahaan. bila fungsi pengawasan ini tidak dilaksanakan maka akan timbul penyebab dasar dari suatu insiden yang dapat mengganggu kegaiatan perusahaan. Oleh karean itu, peran rekan kerja penting dalam menjaga dan mengawasi keselamatan diarea kerjanya. Seringkali pekerja berperilaku tidak aman karena rekannya yang lain juga berperilaku demikian.
Geller (2001) juga menyebutkan tekanan rekan kerja semakin meningkat saat semakin banyak orang terlibat dalam perilaku tertentu dan saat anggota grup yang berperilaku tertentu terlihat relatif kompeten atau berpengalaman. Jadi, jika dalam satu grup banyak pekerja yang berperilaku tidak aman maka pekerja lain juga ikut berperilaku tidak aman.
Berdasarkan tabel 5.5 dapat diketahui bahwa responden yang berperilaku tidak aman yang menyatakan peran rekan kerja kurang mendukung lebih banyak daripada responden yang menyatakan peran rekan kerja mendukung. Hasil uji Chi square menunjukkan ada hubungan yang bermakna antara peran rekan kerja dengan perilaku aman. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Karyani (2005) diperoleh bahwa perilaku tidak aman berhubungan dengan peran rekan kerja. Hasil analisis bivariat menunjukkan ada perbedaan yang bermakna antara perilaku tidak aman dengan peran rekan kerja yang mendukung dan kurang mendukung pekerja dalam berperilaku aman.
Analisis keeratan hubungan dua variabel diketahui bahwa peran rekan kerja yang kurang mendukung cenderung 227,375 kali berperilaku tidak aman daripada pekerja dengan peran rekan kerja yang mendukung perilaku aman. 269
Berdasarkan tabel 5.10, diketahui hasil analisis multivariat untuk variabel peran rekan kerja merupakan variabel yang dapat mempengaruhi perilaku aman. Jika dilihat dari hasil uji statistik, diketahui OR untuk variabel peran rekan kerja adalah 21,129, artinya pekerja dengan peran rekan kerja yang kurang mendukung mempunyai peluang 21,129 kali lebih besar untuk berperilaku tidak aman. Nilai tersebut menunjukkan bahwa peran rekan kerja merupakan faktor yang dominan berhubungan dengan perilaku aman. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis terbukti. Artinya, ada hubungan antara peran rekan kerja dengan perilaku aman.
Berdasarkan hasil penelitian, peran rekan kerja terbukti berpengaruh terhadap perilaku tidak aman, hal ini disebabkan karena peran rekan kerja penting dalam menjaga dan mengawasi keselamatan diarea kerjanya.
Seringkali pekerja berperilaku tidak aman karena rekannya yang lain juga berperilaku demikian. Sebagaimana Geller (2001) menyebutkan tekanan rekan kerja semakin meningkat saat semakin banyak orang terlibat dalam perilaku tertentu dan saat anggota grup yang berperilaku tertentu terlihat relatif kompeten atau berpengalaman. Jadi, jika dalam satu grup banyak pekerja yang berperilaku tidak aman maka pekerja lain juga ikut berperilaku tidak aman.
Oleh karena itu, Sebaiknya perusahaan mengadakan program STOP
(Safety Training Observation Program) yang dapat melatih pekerja untuk mengamati, membetulkan, mencegah, dan melaporkan tindakan sembrono secara sistematis. Selain itu juga melatih untuk mengamati dan menanmkan praktek kerja selamat. Dengan STOP pekerja dapat meningkatkan performa 270
keeselamatan kerja dan performa kerja, dan hubungan baik dengan para karyawan. Sekaligus akan menghindari masalah semangat, kemunduran produksi, dan biaya yang terkait dengan cidera.
Dalam hal ini, peran aktif semua pekerja juga diperlukan agar pelaksanaan dan pengawasan terhadap perilaku aman dapat lebih tingkatkan dan menjadi budaya keselamatan di perusahaan. Peneliti juga menyarankan agar diadakan pengahargaan atau reward sebagai penghargaan kepada pekerja teladan dalam berperilaku aman. Sebagaimana yang telah dipaparkan sebelumnya, penghargaan merupakan konsekuensi positif yang diberikan kepada individu atau kelompok dengan tujuan untuk mengembangkan, mendukung, dan memelihara perilaku yang diharapkan. Jika digunakan sebagaimana mestinya, penghargaan dapat memberikan yang terbaik kepada setiap orang karena penghargaan membentuk perasaan percaya diri, pengendalian diri, optimisme, dan rasa memiliki (Geller, 2001). Penelitian ini sejalan dengan penelitian Karyani (2005), dimana peran rekan kerja merupakan faktor yang berhubungan dengan perilaku aman setelah peran pengawas.
271
BAB VIIBAB VII
KESKESKESIMPULANKESIMPULAN DAN SARAN
7.1.7.1.7.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 130
responden di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010 dapat disimpulkan
bahwa :
1. Responden yang berperilaku aman lebih banyak yaitu berjumlah 109
orang (83,9%).
2. Gambaran faktor internal (pengetahuan, sikap, persepsi, motivasi,
umur, dan lama bekerja) sebagai berikut :
a. Responden yang memiliki pengetahuan tinggi lebih banyak yaitu
berjumlah 112 orang (86,2%).
b. Responden yang memiliki sikap negatif lebih banyak yaitu
berjumlah 108 orang (83,1%).
c. Responden yang memiliki persepsi positif lebih banyak yaitu
berjumlah 113 orang (86,9%).
d. Responden yang memiliki motivasi tinggi lebih banyak yaitu
berjumlah 111orang (85,4%). 272
e. Responden yang berumur muda lebih banyak yaitu berjumlah 66
orang (50,8%).
f. Responden yang telah bekerja lama lebih banyak yaitu berjumlah
68 orang (52,3%).
3. Gambaran faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi keselamatan kerja,
pelatihan keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja)
adalah sebagai berikut :
a. Responden yang menyatakan kesulitan untuk mendapatkan APD
yaitu berjumlah 83 orang (63,8%). Hal ini dikarenakan pekerja
tidak menjaga dan menyimpan APD dengan baik seperti
kehilangan dan rusaknya APD dan jika hal ini sering berlanjut
maka stok APD akan semakin berkurang dan akan terjadi
pemborosan yang dapat menyebabkan kerugian pada
Perusahaan.
b. Responden yang patuh terhadap peraturan lebih banyak yaitu
berjumlah 112 orang (86,2%).
c. Responden yang menyatakan promosi keselamatan cukup baik
lebih banyak yaitu berjumlah 84 orang (64,6%).
d. Responden yang jarang mengikuti pelatihan lebih banyak yaitu
berjumlah 77 orang (59,2%).
e. Responden yang menyatakan peran pengawas yang mendukung
lebih banyak yaitu berjumlah 110 orang (84,6%). 273
f. Responden yang menyatakan rekan kerja yang mendukung lebih
banyak yaitu berjumlah 111 orang (85,4%).
4. Hubungan Antara Faktor Internal (Pengetahuan, Sikap, Persepsi,
Motivasi, Umur, Dan Lama Bekerja), antara lain :
a. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
b. Tidak ada hubungan yang bermakna antara sikap dengan perilaku
aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
c. Tidak ada hubungan yang bermakna antara persepsi dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
d. Tidak ada hubungan yang bermakna antara motivasi dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
e. Tidak ada hubungan yang bermakna antara umur dengan perilaku
aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
f. Tidak ada hubungan yang bermakna antara lama bekerja dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
5. Hubungan antara faktor eksternal (ketersediaan APD, peraturan
keselamatan kerja, safety promotions/promosi Keselamatan Kerja,
pelatihan keselamatan, peran pengawas, dan peran rekan kerja),
antara lain :
a. Tidak ada hubungan yang bermakna antara ketersediaan APD
dengan perilaku tidak aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
b. Tidak ada hubungan yang bermakna antara peraturan dengan
perilaku aman tidak aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010. 274
c. Tidak ada hubungan yang bermakna antara promosi keselamatan
dengan perilaku aman tidak aman di PT SIM Plant Tambun II tahun
2010.
d. Tidak ada hubungan yang bermakna antara pelatihan
keselamatan dengan perilaku aman tidak aman di PT SIM Plant
Tambun II tahun 2010.
e. Ada hubungan yang bermakna antara peran pengawas dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
f. Ada hubungan yang bermakna antara peran rekan kerja dengan
perilaku aman di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010.
6. Faktor yang paling dominan berhubungan dengan perilaku aman
karyawan di PT SIM Plant Tambun II tahun 2010, yaitu variabel peran
pengawas yang kemudian dilanjutkan dengan variabel peran rekan
kerja.
7.2.7.2.7.2. SSSaranSaranaranaran
A. Bagi Perusahaan
1. Diperlukan peran aktif dari pihak pengawas.
2. Diperlukan pengawasan yang teratur dan konsisten.
3. Sebaiknya perusahaan mengadakan program STOP (Safety
Training Observation Program) yang dapat melatih pekerja untuk
mengamati, membetulkan, mencegah, dan melaporkan tindakan
sembrono secara sistematis. Selain itu juga melatih untuk
mengamati dan menanmkanpraktek kerja selamat. Dengan STOP
pekerja dapat meningkatkan performa keeselamatan kerja dan 275
performa kerja, dan hubungan baik dengan para karyawan.
Sekaligus akan menghindari masalah semangat, kemunduran
produksi, dan biaya yang terkait dengan cidera.
4. Diperlukan media promosi keselamatan yang dapat lebih pahami.
5. Sebaiknya diadakan penghargaan (reward).
6. Perlu diadakannya hukuman (punishment).
7. Sebaiknya pelatihan yang dilakukan pada saat yang tepat dan
penyampaian materi dilakukan semenarik mungkin dan lebih
menggali pengetahuan, wawasan, dan menumbuhkan rasa ingin
tahu para pekerja.
8. Pimpinan perlu membuat perencanaan pemberian imbalan dalam
bentuk uang yang memadai.
B. Bagi Pekerja
1. Sebaiknya rekan kerja lebih berperan aktif dalam melakukan
pengawasan.
2. Sebaiknya pekerja menggunakan dan menjaga perlengkapan
keselamatan kerja dengan lengkap dan benar, menaati peraturan
dan prosedur yang berlaku, bekerja sesuai dengan tanggung
jawabnya.
3. Pekerja sebaiknya turut melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan
pelatihan.
C. Bagi Peneliti Lain 276
1. Peneliti selanjutnya diharapkan mengikutsertakan variabel-
variabel lain yang diduga berhubungan dengan perilaku aman
yang tidak dapat diteliti pada penelitian ini.
2. Pada penelitian ini diketahui nilai Negelkerke R Square sebesar
78,4%, artinya pada penelitian ini dapat menjelaskan kejadian
perilaku tidak aman sebesar 78,4% dan 21,6% dapat dijelaskan
oleh variabel lain diluar penelitian ini.
277
DAFTAR PUSTAKA
Ariwan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel Penelitian Kesehatan. Depok : FKM UI
Astuti, Yunani Sri, Skripsi, Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Motivasi Perawet Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Untuk Mengikuti Pendidikan, Suatu Studi Kasus di Tiga RSJ di Jawa Barat, FKM UI : Depok, 2001.
Bird, E, F and Germain, G, L. 1990. Practical Loss Control Leadership. Edisi Revisi. USA : Division Of International Loss Control Institute.
Colling, David. 1990. Industrial Safety Management and Technology. Pentice Hall Inc Cooper, D. 2001. Improving Safety Culture : A Practical Guide, Applied Behavioural Science. UK
Cahyani, Dewi. 2004. faktor-faktor yang berhubungan dengan perilku tidak aman pd pekerja pabrik billet baja PT Karakatau Steel, Cilegon, Jawa Barat Tahun 2004.. Skripsi. Depok : FKM UI
Dahlawy, Dharief. 2009. Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku K3 di Area Pengolahan PT. Antam tbk, Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Kabupaten Bogor Tahun 2008. Jakarta : FKIK UIN
Digagurnasa, Srigali. 1992. Pengantar Psikologi. Jakarta : Mutiara.
Geller, E Scoot. 2001. The Pshychology Of Safety Handbook. USA : Lewis Publisher
Geotsch, et. Al. 1996. Safety and Health Management. Amsterdam Hall : Mac Gill Inc 278
Germain, George L, et al. 1998. Safety Health Environtmental Management “Practitioners Guide”. International Risk Management Institute Inc
Green, Lawrence W. 1980. Health Education Planning, A Diagnostic Approach. California : Mayfield Publishing Company
Hastono Priyo S. 2001. Modul Analisa Data. Depok: FKM UI
Hiperkes. 2007. Keselamatan Kerja. [ONLINE]. [Accesed 23th July 2009], available from World Wide Web :
Helliyanti, Putri. 2009. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Tidak Aman di Dept. Utility and Operation PT Indofood Sukses Makmur Tbk Divisi Bogasari Flour Mills tahun 2009. Skripsi. Depok : FKM UI
Hendrabuwana, La Ode. 2007. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Bekerja Selamat Bagi Pekerja Di Depatemen Cor PT Pindad Persero Bandung Tahun 2007. Skripsi. Depok : FKM UI
ILO. 1998. Encyclopedia of Occupational Health and Safety. Volume 1 – 4 . 4th edition. Stellman, Jeanne Mager (ed). Geneva. Switzerland.
Ivancevich, John M et all. 2006. Perilaku dan Manajemen Organisasi, Jilid 1 Edisi ketujuh, Jakarta : Penerbit Erlangga
Jamsostek. 2008. Kecelakaan Kerja. [ONLINE]. [Accesed 10th Jan 2009], available from World Wide Web :
Karyani. 2005. Faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku aman (safe behavior) di Schlumberger Indonesia tahun 2005. Tesis. FKM UI Depok
Kondarus, Danggur. 2006. Keselamatan Kesehatan Kerja ”Membangun SDM Pekerja Yang Sehat, Produktif, dan Kompetitif”. Jakarta: Litbang Danggur & Partners 279
Mangkunegara, Anwar Prabu. 2005. Evaluasi Kinerja SDM, Bandung : Penerbit PT Refika Aditama
Maanaiya, Imam. 2005. Faktor-faktor yang berhubungan dengan tindakan tidak aman (Unsafe act/substandard practice) pekerja di bagian Press PT YIMM Tahun 2005. Tesis. Depok : FKM UI
Ernest J, Mc Cormick. 1985. Industrial and Organization Psychology. Prentice Hall. NewJersey
Millah, Izatu. 2008. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Menggunakan Sabuk Keselamatan Pada Pengemudi Angkutan Umum Di Terminal Bus Pulogadung, Tahun 2008. Skripsi. Jakarta : FKIK
Munandar, Sunyoto Ashar. 2001. Psikologi Industri dan Organisasi. Jakarta.: UI Press.
Neal, Andrew dan Graffin, Mark. 2002. Safety Climate And Safety Behavior. Australian Journal of Management.
Notoadmodjo, S. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta
Petersan, Dan. 1998. Safety Management A Human Approch. New York : Proffesional and Academic Publisher Gohsen Aloray Inc.
Prihswan, Irwadi. 2007. Studi Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Tidak Selamat Karyawan Bagian Produksi Dan Pemeliharaan Lapangan Panas Bumi Gunung Salak Sukabumi, Jawa Barat Tahun 2007. Tesis. Depok : FKM UI.
Reason, J T. 1997. Managing The Risk Of Organizational Accidents. England : Ashgate Publishing Ltd 280
Roughton james E. 2002. Developing an effective safety culture : a leadership approach. USA:butterworth Heinemann. Robbins, Stephen P. 1998. Organizational Behavior. 8th Ed. New York: Prentice Hall
Sahab, Syukri. 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT. Bina Sumber Daya Manusia
Sarwono, Sarlito Wirawa. 1997. Teori-Teori Psikologi Social. Jakarta : CV Rajawali.
Siagian, Sondang P. 1987. Teori dan Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta : Bina Aksara.
Sialagan. Togar Robin. 2008. Analisis Faktor-Faktor Yang Berkontribusi Pada Perilaku Aman di PT EGS Indonesia Tahun 2008. Tesis. Depok : FKM UI
Simanjuntak, David H. 1997. Hubungan Shift Kerja dan Absensi. Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia, Tahun XXV, Nomor 7. Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Medan.
Suizer, A,B. 1999. Safety behavior: fewer Injuries?. Jakarta : Balai Pustaka
Suma’mur. 1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja, Jakarta : Gunung Agung
Suma’mur. 1996. Keselamatan Kerja dan pencegahan Kecelakaan. Jakarta : PT Toko Gunung Agung
Thomas J. 1989. Occupational Safety and Health Management. Singapore: McGraw Hill Book
Utommi, Sendy. 2007. Gambaran Tingkat Kepatuhan Pekerja Dalam Mengikuti Prosedur Operasi pada Pekerja Operator Dump Truck di PT. Kaltim Primacoal tahun 2007. Skripsi. Depok : FKM UI. 281
Warsto, Freddin & Mamesh, Loui A. 2003. Buku Pedoman Manajemen dan LK3. Tangerang : PT. Hardaya Aneka Shoes Industry.
Wiegman, Douglas A, et al. 2007. Human Error and General activation accident: A Comprehensive, Fine-Grained Analysis using HFACS. [ONLINE]. [Accesed 25th July 2009], available from World Wide Web :
Widayatun, Rusmi Tri. 1999. Ilmu Perilaku M.A. 104 ”Buku Pegangan Mahasiswa AKPER”. Jakarta: CV. Sagung Seto
282