Volume 4 No 2, (OKTOBER Tahun 2019) Hal. 30-38 Copyright © 2019 Jurnal Penelitian Budaya Program2502 Studi-3268 Kajian. Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo Tenggara, e-ISSN: Open Access at: ttp://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB Peran Lembaga Adat Wapulaka dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Desa Bahari Kecamatan Sampolawa Kabupaten Selatan

1Sahyudin, 2Karsadi, dan 3*La Aso

1 Mahasiswa, ProgramStudi Kajian Budaya Program Pascasarjana, Universitas Halu Oleo, Kendari 2 Program Studi Pendidikan dan Kewarganegaraan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Halu Oleo, Kendari 3 Program Studi Sastra Inggris, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo, Kendari

*Corresponding Author: La Aso ([email protected])

Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan peran lembaga adat Wapulaka dan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan deskriftif. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, pengamatan langsung, dan dokumentasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Lembaga Adat Wapulaka memiliki tiga peran: (1) sebagai Lembaga Pertimbangan Desa dalam pengangkatan dan pemberhentian perangkat desa, (2) sebagai Lembaga Sosial Kemasyarakatan dalam membantu Penyelenggaraan Pembangunan Desa secara partisipatif misalnya gotong royong, dan kerja bakti, dan (3) sebagai Lembaga Peradilan Desa (hakim desa) yang membantu untuk menyelesaikan masalah-masalah di desa, seperti: perkelahian, perjudian, pencurian, penjualan miras, pemboman ikan, dan perbuatan asusila. Adapun sanksi yang diberikan oleh Lembaga adat Wapulaka kepada para pembuat masalah tersebut adalah berupa: (1) sanksi materil, (2) sanksi moral, dan (3) sanksi taliku tondo. Yang menarik adalah bahwa peran lembaga adat Wapulaka ini masih dipercayai oleh masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan di desa sehingga lembaga adatini dapat membantu Pemerintah Desa Bahari dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Kata Kunci : Pemerintahan Desa, Lembaga Adat

Abstract: The objective of this research is to describe the role of Wapulaka Customary Institutions in the Bahari Village administration in Sampolawa Subdistrict, South Buton . This study used qualitative methods and descriptive approach. Data collection was done by in-depth interviews, direct observation, and documentation to the research location in Bahari Village, Based on the results of the study, three roles of Wapulaka Customary Institution can be illustrated as follows : (1) as a Village Advisory Institution which can appoint and terminate village officials, (2) as a Social Institution in assisting the implementation of village development with mutual cooperation and voluntary labor service, (3) as a Village Justice Institution (Village Judge) which helps to solve problems in the village such as: fights, gambling, theft, selling alcoholic drinks, fish bombs, immoral acts, and marriage cancellation. Sanctions given by

30 Volume 4 No 2, (OKTOBER Tahun 2019) Hal. 30-38 Copyright © 2019 Jurnal Penelitian Budaya Program2502 Studi-3268 Kajian. Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, the Wapulaka Customarye-ISSN: Institution Opento the Accessviolat at: ttorsp://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB of the problems cover material sanctions, moral sanctions, and taliku tondo sanctions. What is interseting is that the role of the Wapulaka Customary Institution is still trusted by the local community in their problem-solving so it proves to help the Bahari Village Government to run the village administration. Keywords: Village Government, Customary Institutions

PENDAHULUAN pengurus,mempunyai wilayah dan Negara Republik harta benda,bertindak sebagai kesatuan menganut asas desentralisasi dalam dunia luar dan tidak mungkin desa itu penyelenggaraan pemerintahan dan dibubarkan. Undang-Undang Nomor 6 memberikan kesempatan dan Tahun 2014 tentang desa dalam pasal 1 keleluasaan kepada daerah untuk menegaskan bahwa desa atau yang menyelenggarakan otonomi daerah. disebut dengan nama lain, adalah Karena itu, pasal 18 Undang-Undang kesatuan masyarakat hukum yang Dasar 1945 menyatakan bahwa memiliki batas wilayah yang pembagian daerah Indonesia atas berwenang untuk mengatur dan daerah besar, kecil dengan bentuk dan mengurus urusan pemerintahan, susunan pemerintahannya ditetapkan kepentingan masyarakat setempat dalam undang-undang. Dalam pasal 18 berdasarkan prakarsa masyarakat,hak b ayat (2) Undang-Undang Dasar asal usul dan atau hak tradisional yang Negara Republik Indonesia Tahun diakui dan dihormati dalam sistem 1945 disebutkan bahwa Negara pemerintahan Negara Kesatuan mengakui kesatuan-kesatuan Republik Indonesia. masyarakat hukum adat beserta hak- Pada dasarnya, setiap daerah hak tradisionalnya sepanjang masih dan masing-masing masyarakatnya hidup dan sesuai dengan memiliki kelembagaan masyarakat adat perkembangan masyarakat dan prinsip tersendiri. Selain untuk menjaga nilai Negara Kesatuan Republik budaya dan luhur, setiap lembaga adat Indonesia,yang diatur dalam undang juga memiliki tugas dan fungsi undang. Berdasarkan ketentuan pasal tersendiri dalam pelaksanaannya. 18 b ayat (2) ini maka kedudukan desa Mereka juga mempunyai karakteristik masuk sebagai kesatuan masyarakat yang berbeda-beda pula, seperti nilai, hukum adat dengan hak-hak norma, budaya, aturan hukum-hukum tradisionalnya yang diakui oleh adat, hingga struktur lembaga adat itu konstitusi dan diatur dengan undang- sendiri. undang. Dalam Peraturan Menteri Selanjutnya mengenai Dalam Negeri Nomor 5 Tahun 2007, pengertian desa, Sunardjo (2014:3) menjelaskan bahwa Lembaga Adat merumuskan desa sebagai suatu Desa merupakan lembaga kesatuan masyarakat berdasarkan adat kemasyarakatan baik yang sengaja dan hukum adat dalam suatu wilayah dibentuk maupun yang secara wajar yang tertentu batas-batasnya; memiliki telah tumbuh dan berkembang di dalam ikatan lahir batin yang sangat kuat, sejarah masyarakat atau dalam suatu baik karena keturunan maupun karena masyarakat hukum adat tertentu memiliki susunan dengan wilayah hukum dan hak atas

31 Volume 4 No 2, (OKTOBER Tahun 2019) Hal. 30-38 Copyright © 2019 Jurnal Penelitian Budaya Program2502 Studi-3268 Kajian. Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, harta dan kekayaan die -ISSN: dalam hukum Openmasyarakat Access at: ttp://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB Wapulaka harus adat tersebut, serta berhak dan berdasarkan ketentuan adat artinya berwenang untuk mengatur, mengurus, adatlah yang mengikat dalam aturan dan menyelesaikan berbagai kehidupan masyarakat. Berdasarkan permasalahan kehidupan yang sejarah tersebut, lembaga adat berkaitan dengan dan mengacu pada Wapulaka dibentuk dengan konfigurasi adat istiadat dan hukum adat yang kepengurusan yakni Paraabela sebagai berlaku. Lembaga adat desa bertugas pimpinan adat/ketua adat yang dijabat membantu pemerintah desa dan oleh La Bana sebagai Paraabela sebagai mitra dalam memberdayakan, pertama dan beranggotakan Wacci, dan melestarikan, dan mengembangkan Kawangka, di mana masing-masing adat istiadat masyarakat desa. Lembaga keanggotaan ini pernah dijabat oleh La adat ini pada hakekatnya adalah mitra Jeni dan La Kumu sebagai jabatan kerja pemerintah desa. Di sinilah Wacci dan Kawangka pertama. Jabatan pemahaman dan kemampuan Paraabela, Wacci, dan Kawangka (kapabilitas) pemimpin dan perangkat adalah sebagai sara adati atau lembaga adat dalam suatu lembaga adat adat Wapulaka, di mana tugas utama diperlukan dalam menjalankan Paraabela adalah bertanggung jawab perannya. Dengan hal tersebut, secara umum, Wacci bertanggung pemerintah desa yang ada dapat lebih jawab dibidang pertanahan dan memahami bahwasannya pemerintahan pertanian, sedangkan Kawangka desa itu sendiri dijalankan dengan bertanggung jawab sebagai hakim adat. menghormati dan atau berdasarkan Kampung Wapulaka menjadi prakarsa masyarakat, hak asal-usul sebuah desa definitif bernama Desa maupun hak tradisional desa tersebut. Bahari. Kedudukan Desa Bahari saat Desa akan berjalan dengan baik apabila itu masih merujuk kepada Undang- adanya sinergi antara pemerintah desa Undang nomor 19 tahun 1965 yang dengan lembaga adat setempat yang merupakan produk pemerintahan orde merupakan pengatur dan pengurus adat lama. Undang-undang menyatakan istiadat. bahwa desa adalah suatu kesatuan Desa Bahari merupakan salah masyarakat hukum yang sengaja akan satu desa di Kecamatan Sampolawa dibentuk kemudian untuk dipersiapkan Kabupaten Buton Selatan Provinsi menjadi daerah tingkat III (Nurkholis, Sulawesi Tenggara. Secara historis, 2011 : 29). Ketentuan tersebut nama Desa Bahari sebelumnya adalah menjadikan Desa Bahari terbentuk Kampung Wapulaka yang merupakan secara otonomi yang dipimpin oleh kampung tua dan memiliki Kepala Desa yang melaksanakan roda pemerintahan lokal sendiri bernama pemerintahan untuk melayani Paraabela. Paraabela sebagai orang kepentingan masyarakat dengan tanpa yang dituakan dalam memimpin menghilangkan asal usul dan sifat sebuah komunitas masyarakat tradisionalnya. Wapulaka karena pengaruh kekuasaan Secara normatif Paraabela Lampole mpole Burangasi, penyelenggaraan pemerintahan Desa maka masyarakat Wapulaka mematuhi Bahari merujuk kepada konstitusi Paraabela yang menganjurkan bahwa Negara Republik Indonesia yakni pengaturan dalam tata kehidupan Undang-undang nomor 6 tahun 2014

32 Volume 4 No 2, (OKTOBER Tahun 2019) Hal. 30-38 Copyright © 2019 Jurnal Penelitian Budaya Program2502 Studi-3268 Kajian. Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, pasal 25-26 tugas penyelenggaraane-ISSN: Openatau Access tradisional at: ttp://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB adalah suku-suku dan pemerintahan desa, pembangunan bangsa yang karena mempunyai desa, pembinaan sosial kelanjutan historis dengan masyarakat kemasyarakatan desa, dan sebelum masuknya penjajah di pemberdayaan masyarakat desa. wilayahnya, menganggap dirinya Dengan demikian, pemerintah Desa berbeda dari kelompok masyarakat lain Bahari dalam melaksanakan tugasnya yang hidup di wilayah mereka. Rizani selalu melibatkan lembaga adat dan (2008:15) menyatakan bahwa tanpa peran lembaga adat Wapulaka masyarakat hukum adat adalah berbagai urusan di desa tidak berjalan sekumpulan manusia yang hidup dalam efektif dan lancar padahal urusan keteraturan yang didalamnya terdapat tersebut merupakan domain pemerintah sistem kekuasaan dan sifatnya mandiri desa. yang mempunyai kekayaan benda Dalam melaksanakan tugas, fungsi, berwujud dan tidak berwujud. Menurut dan wewenang di desa, Pemerintah Ter Haar dalam Mustari (2014: 4), Desa Bahari selalu melibatkan lembaga hukum adat adalah seluruh peraturan adat Wapulaka dalam hal yang ditetapkan dalam keputusan- pengangkatan dan pemberhentian keputusan dengan penuh wibawa yang perangkat desa yang dicapai melalui dalam pelaksanaannya diterapkan pertimbangan melalui musyawarah begitu saja artinya tanpa ada bersama untuk mengatur dan keseluruhan peraturan dalam menyelesaian sengketa tanah, membina kelahirannya yang dinyatakan kehidupan masyarakat desa, membina mengikat sama sekali. ketentraman dan ketertiban masyarakat Lembaga adat bersama desa, mengembangkan kehidupan pemerintah merencanakan, sosial budaya masyarakat desa, mengarahkan, dan mensinergikan menkordinasikan pembangunan desa program pembangunan agar sesuai secara partisipatif melalui gotong dengan tata nilai adat istiadat dan royong, kerja bakti dan perencanaan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang desa. Kewenangan-kewenangan yang dalam masyarakat demi terwujudnya dilaksanakan lembaga adat tersebut keselarasan, keserasian, keseimbangan, merupakan kewenangan pemerintah keadilan, dan kesejahteraan Desa Bahari sesuai dengan tugas masyarakat. Selain itu, lembaga adat pokoknya. mempunyai tugas untuk membina dan Berdasarkan latar belakang di atas, melestarikan budaya dan adat istiadat artikel ini bertujuan untuk serta hubungan antartokoh adat dengan mendeskripsikan peran lembaga adat Pemerintah Desa dan Lurah (Rauf, Wapulaka dalam membantu 2014: 105-106). Terkait dengan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pemerintah desa, Nurkholis (2011:73- Bahari. Untuk mendeskripsikan peran 74) menyatakan bahwa tersebut beberapa landasan berpikir penyelenggaraan pemerintahan desa teoretis diperlukan yang terkait dengan dilakukan oleh pemerintah desa dan masyarakat adat, lembaga adat dan Badan Permusyawaratan Desa (BPD). perannya, hukum adat, dan pemerintahan desa. Keraf (2010: 361) METODE PENELITIAN menyatakan bahwa masyarakat adat

33 Volume 4 No 2, (OKTOBER Tahun 2019) Hal. 30-38 Copyright © 2019 Jurnal Penelitian Budaya Program2502 Studi-3268 Kajian. Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, Metode penelitiane-ISSN: ini OpenProfil Access Desa at: ttp://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB Bahari, papan data desa, menggunakan pendekatan deskriptif dan papan struktur organisasi desa. kualitatif untuk menggambarkan, Data dianalisis secara akurat memaparkan, dan menguraikan objek dengan bersandar pada reduksi data, yang diteliti (Arikunto, 2006:11). pernyataan data, dan kesimpulan Penelitian kualitatif antara lain bersifat (Miles dan Huberman, 2009:16-20). deskrpitif di mana data yang Reduksi data berarti merangkum dan dikumpulkan lebih banyak berupa memilih hal-hal pokok dari seluruh kata-kata atau gambar yang digunakan data yang tersedia dari berbagai untuk memahami tentang apa yang sumber. Pernyataan data adalah dialami oleh subjek penelitian tampilan data yang telah direduksi dan misalnya perilaku, persepsi, motivasi, disajikan dalam bentuk kutipan tindakan, dan lain-lain (Moleong, wawancara dengan maksud menjaga 2006:6). keaslian data. Kesimpulan berarti Jenis data dalam penelitian ini akumulasi dari kesimpulan awal yang adalah data kualitatif dan bersumber disertai bukti-bukti yang valid. dari data primer dan data sekunder. Penentuan informan dilakukan dengan HASIL DAN PEMBAHASAN teknik purposive sampling yang terdiri Lembaga adat Wapulaka dalam atas informan kunci dan informan penyelenggaraan Pemerintahan Desa pendukung. Informan kunci terdiri dari Bahari berperan sebagai: lembaga dua orang yaitu Paraabela dan Kepala pertimbangan desa, lembaga sosial Desa. Adapun, Sementara itu, informan kemasyarakatan desa, dan lembaga pendukung terdiri dari Wacci, peradilan desa. Kawangka, BPD, Perangkat Desa, Dalam perannya sebagai tokoh masyarakat, dan generasi muda. Lembaga Pertimbangan Desa, lembaga Teknik pengumpulan data adat Wapulaka memberikan dalam penelitian ini adalah pertimbangan atas kebijakan kepada pengamatan terlibat atau observasi Kepala desa terhadap hal-hal yang partisipasi yang dilakukan di lokasi harus diputuskan, tetapi dalam penelitian pada saat peran lembaga pertimbangan tersebut bersifat usulan adat berlangsung di masyarakat dan dan usulan tersebut tidak diakomodir yang dilengkapi dengan dokumentasi yang berdampak pada ketidak berupa gambar atau foto-foto pada saat harmonisan antara lembaga adat kegiatan berlangsung. Kemudian Wapulaka dan Pemerintah Desa wawancara mendalam dilanjutkan Bahari, misalnya usulan pengangkatan dalam bentuk pertanyaan langsung dan pemberhentian perangkat desa. kepada informan kunci dan informan Sebagai lembaga pertimbangan desa, pendukung. Seluruh pertanyaan lembaga adat ini memberikan masukan disampaikan secara tidak langsung dan dan usulan kepada Kepala Desa di tidak terstruktur dalam Bahasa mana masukan dan usulan tersebut Indonesia dan bahasa Cia-cia. bersifat murni dan tidak memiliki Pengumpulan data terakhir adalah unsur politik dan nepotisme namun pencarian data dokumentasi yaitu masukan dan usulan itu semata-mata sejarah kampung Wapulaka yang dimaksudkan untuk kepentingan disusun oleh La Sahu Djafar, Buku publik, misalnya perangkat desa harus

34 Volume 4 No 2, (OKTOBER Tahun 2019) Hal. 30-38 Copyright © 2019 Jurnal Penelitian Budaya Program2502 Studi-3268 Kajian. Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, memiliki sifat-sifat e-ISSN: terpuji di Openhu Accessbungan at: ttp://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB yang demokratis dan masyarakat, disamping pula memenuhi harmonis serta obyektif antara kepala kriteria secara administrasi. adat/ketua adat atau pemuka adat Undang–undang nomor 6 tahun dengan aparat Pemerintah Desa dan 2014 pasal 1 ayat 3 menyatakan bahwa Lurah. Pemerintah Desa adalah Kepala Desa Penciptaan hubungan yang atau yang disebut dengan nama lain demokratis serta obyektif antara kepala yang dibantu oleh perangkat desa adat dan pemerintah desa bertujuan sebagai unsur penyelenggara agar pengambilan keputusan yang pemerintahan desa. Kemudian pasal 26 dilakukan oleh pemerintah Desa Bahari ayat 2 huruf b menyatakan bahwa harus meminta masukan dan arahan Kepala Desa berwenang mengangkat lembaga adat wapulaka. Begitu pula dan memberhentikan perangkat desa. sebaliknya lembaga adat tidak berjalan Berdasarkan kententuan undang- sendiri terkait dengan hal-hal yang undang tersebut, Kepala Desa secara perlu diputuskan secara obyektif dan normatif mempunyai hak prerogatif profesional tanpa ada unsur nepotisme. untuk mengangkat dan Dengan dasar inilah peran lembaga memberhentikan perangkat desa sesuai adat Wapulaka terhadap pemerintahan kewenangannya di mana ia harus Desa Bahari sangat penting. mempertimbangkan syarat administrasi Terkait perannya sebagai yang berlaku. Berbeda halnya di Desa Lembaga Sosial Kemasyarakatan Desa, Bahari di mana pengangkatan dan lembaga adat Wapulaka memberikan pemberhentian perangkat desa harus bantuan dalam penyelenggaraan melalui musyawarah bersama antara pembangunan desa secara partisipatif kepala desa dan lembaga adat. La dengan melibatkan swadaya Hedi (33 tahun), seorang perangkat masyarakat dalam bentuk gotong- desa, berpendapat bahwa kalau royong dan kerja bakti. Gotong royong terdapat kekosongan jabatan atau merupakan salah satu bentuk rangkap jabatan maka dilakukan kebudayaan yang memiliki nilai musyawarah bersama termasuk budaya dalam pelaksanaannya. Hal ini didalamnya meminta pertimbangan sejalan dengan Mustari Pide (2014 : orang-orang tua dalam hal 21-22) bahwa adat dalam kebudayaan pengangkatan dan pemberhentian terbagi atas empat tingkatan yaitu (1) perangkat desa. nilai budaya seperti gotong royong (2) Musyawarah tersebut harus nilai norma, contohnya peran manusia meminta masukan dan pertimbangan dalam masyarakat, (3) tingkat hukum, dari lembaga adat agar perangkat desa contohnya hukum adat, dan (4) aturan yang diangkat dalam jabatan aparat hukum. pemerintah desa memilki integritas dan Tradisi gotong royong pada kemampuan secara profesional dan masyarakat Desa Bahari saat ini masih dapat menciptakan keharmonisan dan cukup tinggi karena masyarakatnya hubungan baik antara lembaga adat dan masih memegang nilai budaya Pemerintah Desa. Hal ini sejalan kebersamaan secara turun temurun dengan pendapat Rahyunir Rauf (2014: yang diwariskan oleh petua-petua 105-106) bahwa salah satu fungsi kampong yang menganggap bahwa lembaga adat adalah penciptaan gotong royong akan memelihara

35 Volume 4 No 2, (OKTOBER Tahun 2019) Hal. 30-38 Copyright © 2019 Jurnal Penelitian Budaya Program2502 Studi-3268 Kajian. Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, kebersamaan, kekeluargaan,e-ISSN: dan Openmenerima Access at: ttp://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB aduan masyarakat yang tolong menolong. Oleh karena itu, meminta keadilan. Setelah pihak-pihak gotong royong merupakan harta yang yang bertikai dipanggil lembaga ini paling berharga dalam kehidupan mengadakan sidang untuk mendengar masyarakat. Wujud dari pembangunan atau melihat aduan atas pelanggaran partisipatif tercermin dari adanya norma-norma di wilayah Desa Bahari. gotong royong. Sidang adat dihadiri oleh pemerintah Kegiatan gotong royong tidak desa, tokoh agama, pemohon dan selalu diukur dengan angka tetapi oleh termohon, dan hakim adat dari partisipasi dan kerjasama, sehingga lembaga adat. masyarakat Desa Bahari meyakini Hakim adat dipimpin oleh bahwa hidup ini selalu membutuhkan Kawangka yang mempunyai orang lain. Harta yang banyak yang kewenangan otoritas untuk dimiliki oleh seseorang belum menjatuhkan sanksi / denda kepada menjamin bahwa ia akan memberikan pelanggar norma setelah melihat bukti- bantuan kepada orang lain dikala orang bukti dan fakta yang sah dan tersebut berada dalam kesusahan. meyakinkan sesuai dengan jenis Pelaksanakan kegiatan gotong royong pelanggarannya. Sebelum menjatuhkan di desa tidak berhasil secara maksimal sanksi, hakim adat meminta masukan tanpa adanya dukungan lembaga adat, dan saran dari pemerintah desa dan sehingga Pemerintah Desa menjalin tokoh agama. Penjatuhan sanksi atas hubungan komunikasi dan kerja sama pelanggaran hukum adat umumnya dengan lembaga adat pada setiap tidak dilakukan secara semena-mena kegiatan pembangunan agar hasilnya tetapi didasarkan atas tingkat kesalahan sesuai dengan rencana. Dalam dari pelanggaran. penjelasannya Tasman (30 Tahun) Kedudukan adat di Desa Bahari berpendapat bahwa lembaga adat berlaku sejak wilayah Paraabela memiliki peran penting dalam gotong ditetapkan sebagai wilayah adat: royong karena lembaga ini dengan demikian, masyarakat harus memberikan sanksi-sanksi terhadap tunduk dan patut terhadap aturan adat. siapaun yang tidak ikut berpartisipasi Oleh karena itu, hukum adat sebagai dalam kegiatan gotong royong tersebut. hukum yang dipegang oleh masyarakat Gotong royong pada masyarakat Desa Wapulaka di Desa Bahari masih kuat Bahari dapat terpelihara dengan baik sampai sekarang. Kekuatan adat karena mereka menganggap bahwa tersebut, menjadikan masyarakat suatu saat mereka pasti akan Wapulaka senantiasa berhati-hati, dan membutuhkan tenaga orang lain; merasa takut bila mereka melakukan disamping itu, warga yang tidak pelanggaran terhadap aturan dan norma bergotong royong akan merasa malu yang berlaku di masyarakat. bila mereka tidak berpartisipasi di Dalam penyelenggaraan dalam kegiatan sosial di desa. pemerintah desa, salah satu tugas Lembaga Peradilan Desa Kepala Desa adalah untuk membina berperan dalam penyelesaian konflik kondisi sosial kemasyarakatan. tanah dan dalam mewujudkan Pembinaan tersebut dilakukan dengan keamanan dan ketertiban masyarakat cara pendekatan preventif agar Desa Bahari di mana lembaga ini masyarakat tidak melanggar hukum,

36 Volume 4 No 2, (OKTOBER Tahun 2019) Hal. 30-38 Copyright © 2019 Jurnal Penelitian Budaya Program2502 Studi-3268 Kajian. Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, baik hukum positif maupune-ISSN: hukum Openmoralnya Access at: ttp://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB adalah pelaku dapat adat. Pelanggaran hukum positif dikeluarkan dari kelompok masyarakat. maupun hukum adat dapat ditangani Ketiga, sanksi taliku tondo. Kata oleh pihak yang berwenang melalui “taliku tondo” berasal dari bahasa siding. Terkait dengan hukuman adat, Ciacia yang terdiri dari dua suku kata La Dimik (30 Tahun) menyatakan yaitu taliku artinya di belakang bahwa penanganan perkara di Desa sedangkan tondo artinya pagar. Maka Bahari harus melalui jalur adat karena taliku tondo berarti di belakang pagar dengan jalur adat maka oknum yang atau di luar pagar. Sanksi taliku tondo melanggar ketentuan di masyarakat diberlalukan apabila pelanggar tidak mendapatkan efek jera sehingga mematuhi sanksi materil dan sanksi mereka tidak akan mengulangi moral. Konsekuensi tindakan sanksi perbuatannya dan masyarakat merasa taliku tondo terhadap pelanggar adalah puas dengan keputusan lembaga adat pengasingan atau pelarangan tinggal di tersebut. Desa Bahari. Sidang adat di Desa Bahari merupakan sidang tingkat tinggi yang KESIMPULAN dihadiri oleh tiga pilar yaitu lembaga Berdasarkan hasil dan adat (sebagai pemimpin sidang), pembahasan dalam tulisan ini, penulis pemerintah desa, tokoh agama, dan berkesimpulan bahwa lembaga adat masyarakat umum yang turut Wapulaka memiliki peran yang sangat menyaksikan sidang tersebut. Sidang penting dalam penyelenggaraan ini merupakan sidang terakhir untuk pemerintahan desa. Beberapa peran memutuskan dan menindak kepada penting lembaga adat Wapulaka antara pelaku melalui kajian dan lain: (1) sebagai lembaga pertimbangan pertimbangan secara adil sesuai dengan desa dalam pengangkatan dan motif masalahnya.Tindakan sanksi atas pemberhentian perangkat desa, (2) oknum yang melanggar berupa sanksi sebagai lembaga sosial kemasyarakatan materil, moral dan sanksi sosial. yang membantu dalam pelaksanaan Sanksi-sanksi tersebut membuat para kegiatan-kegiatan pembangunan desa, pelaku takut dan berusaha tidak akan dan (3) sebagai lembaga peradilan adat menggulangi perbuatannya. desa yang membantu kepala desa untuk Ketiga sanksi adat tersebut menyelesaikan masalah-masalah di dapat diuraikan sebagai berikut ini. desa. Dalam menyelesaian masalah- Pertama, sanksi materil, yakni sanksi masalah di desa, lembaga peradilan adat berupa materi (dalam istilah adat adat desa bersama pemerintah desa “kajoli”) berupa uang yang harus menjatuhkan sanksi adat terhadap dibayar setelah putusan adat. Kedua, setiap orang yang melanggar ketentuan sanksi moral yang diberlakukan yang disepakati bersama di mana apabila sanksi materil tidak dibayar, sanksi dapat berupa sanksi materil, dan ada pula sanksi moral yang sanksi moral, dan sanksi taliku tondo dikenakan tidak terdapat pada sanksi (sanksi di luar pagar atau pelaku materil, misalnya tidak hadir pada saat dikeluarkan dari kelompok kepentingan umum berupa gotong masyarakatnya). royong membangun desa, ada kematian, dan kegiatan lainnya. Sanksi

37 Volume 4 No 2, (OKTOBER Tahun 2019) Hal. 30-38 Copyright © 2019 Jurnal Penelitian Budaya Program2502 Studi-3268 Kajian. Budaya Pascasarjana Universitas Halu Oleo Kendari Sulawesi Tenggara, e-ISSN: Open Access at: ttp://ojs.uho.ac.id/index.php/JPeB DAFTAR PUSTAKA Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Penerbit Citra Arikunto, Suharsimi. (2006). Prosedur Umbara. Bandung. Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Cipta, Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 Jakarta. Tentang Pedoman Penataann Lembaga Kemasyarakatan. Keraf, A.S. (2010). Etika Lingkungan Hidup. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Millles, Huberman. (2009). Analisis Data Kualitatif.

Moleong, Lexy J. (200). Metode Penelitian Kualitatif. Rosda Karya, Bandung.

Mustari, Pide. (2014). Hukum Adat, Dahulu, Kini dan akan Datang, Penerbit Pramedia Group, Jakarta.

Nurkholis, Hanif. (2011). Pertumbuhan dan Penyelenggaraan Pemerintah Desa. Penerbit Erlangga, Jakarta. Rauf, Rahyunir, Yusri Munaf.(2014). Lembaga Kemasyarakatan di Indonesia. Penerbit Zanaya, Pekanbaru.

Sunardjo, R.H. Unang. (2014). Tinjauan Singkat Tentang Pemerintahan Desa dan Kelurahan. Penerbit TARSITO, Bandung.

Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Jakarta, Sekretariat Negara RI.

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1965 Tentang Desapraja.

38