TOPONIMI PEMUKIMAN KUNO BANTAENG

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian

guna memperoleh gelar Sarjana Sastra

pada Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Hasanuddin

O l e h

MUHAMMAD FAJRIN OSMAN

F51112257

MAKASSAR

2018

ii

iii

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagaia salah satu syarat ujian akhir untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Budaya,

Universitas Hasanuddin. Tak lupa pula penulis panjatkan salam dan shalawat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Semoga tercurah kasih dan saying kepada beliau beserta keluarga, sahabat-sahabat dan pengikutnya.

Tulisan ini menandai suatu kurun waktu dalam sejarah panjang perjalanan hidup peunlis yang turut serta mewarnai kehidupan penulis selama menempah studi pada Deparemen Sastra Daerah Bugis- Fakultas Ilmu Budaya.

Dalam penyususunan skripsi ini, dibutuhkan perjuangan, kesabaran dan semangat untuk mencapai hasil yang maksimal. Selama penulisan skripsi berlangsung penulis menyadari begitu banyal bantuan yang penulis teruma sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Ada banyak kendala dan cobaan yang dilalui, meskipun diakui penyelesaian skripsi ini membutuhkan waktu yang cukup lama dan jauh dari kesempurnan yang diharapkan, baik dari segi teori maupun dari segi pembahasan hasil penelitiannya. Namun dengan ketekunan dan kerja keraslah yang menjadi pendorong penulis dalam menyelesaikan segala proses tersebut. Skripsi ini ini berjudul “ Toponimi Pemukiman Kuno Bantaeng”.

Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu dengan rasa hormat penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-

v

besarnya kepada kedua orang tua, almarhum ayahanda Osmanbin Salehdan ibunda

Yasse binti Ratoyang telah memberikan doa, harapan dan kasih sayang yang tak henti-hentinya dipanjatkan untuk penulis dengan tulus dan ikhlas, sehingga penulis bisa menjadi manusia berharga dan bermanfaat untuk kedua orang tua. Ucapan terima kasih kepada Dr. Muhlis Hadrawi, S.S, M, Hum.selaku konsultan I dan Dr. Dafira,

M, Hum.selaku konsultan II yang banyak memberikan masukan yang sangat berarti bagi penulis dalam penyusunan skripsi ini, semoga mendapat balasan yang lebih baik dari Allah SWT.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada:

1. Rektor Universitas Hasanuddin, Prof. Dr. Dwia Aries Tina Palubuhu, M.A yang

mencurahkan perhatiannya demi perkembangan Universitas Hasanuddin.

2. Dekan Fakultas Ilmu Budaya Prof. Dr. Akil Duli, M.A., para Wakil Dekandan

seluruh pegawai Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin yang membantu

dan melayani penulis selama menuntut ilmu.

3. Dr. Muhlis Hadrawi, M, Hum.sebagai konsultan I dan Dr. Dafira, M,

Hum.sebagai konsultan II yang telah memberikan bimbingan dan arahan kepada

penulis, sehingga skripsi ini dapat dirampungkan dengan baik.

4. Dosen Penguji Dr. Ery Iswary, M, Hum.selaku Penguji I dan Dra. Esty

Pratiwiningsih, M, Hum.selaku penguji II yang telah memberikan kritikan dan

banyak saran yang sangat membangun kepada penulis.

vi

5. Ketua Departemen Sastra Daerah Dr. Muhlis Hadrawi, M, Hum. Sekertaris, dan

seluruh Dosen yang banyak membantu penulis selama menuntut ilmu di

Fakultaas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

6. Dra. Esti Pratiwiningsih, M, Hum. selaku penasihat akademik yang telah

memberikan motivasi dan arahan kepada penulis selama menuntutu ilmu di

Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

7. Kepada Almarhum Ayahanda Osman dan Ibunda Yasse yang telah memberikan

kasih dan sayang yang sangat luar biasa serta mencurahkan segala perhatian dan

pengorbanannya kepada saya. Kepada saudara dan saudariku, Nur Fitria Osman

dan Muhammad Fauzan Osman yang memberikan dorongan dan semangat

kepada penulis.

8. Sahabat-Sahabat saperjuangan Aru 2012 (Haslin, Azis, Ikhsan, Alan, Haerul,

Ardi, Adlan, Rahman, Asyiri, Adin, Ayu, Anti, Sarah, Tasya, Leha, Ceha, Ainun,

Almarhuma Mega, Almarhuma Ria, Iser, Pance, Rumpang, Tia, Paramita) yang

telah saling memberikan motivasi dan semangat selama berkuliah di Fakultas

Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.

9. Keluarga Besar Ikatan Mahasiswa Sastra Daerah (IMSAD) Fakultas Ilmu

Budaya Universitas Hasanuddin, terima kasih atas kerja sama dan

kebersamaannya selama penulis menjalani masa perkuliahan.

10. Keluarga Besar UKM Sepak Bola Universitas Hasanuddin, terima kasih telah

memberikan kepada saya kesempatan untuk bergabung dan mengharumkan

Almamater Universitas Hasanuddin.

vii

11. Sahabat-Sahabat seperjuangan di lapangan hijau (Coach Riel, Kanda Ara, Kanda

Akbar, Kanda Ipul, Kanda Dalang, Kanda Mamed, Kanda Dagu, Kanda Lagil 19,

Ridho, Allu, Awal, Jumardi, Yayat, Tono, Petra, Kode’, Riswan, Sam, Aldi)

yang telah memberikan motivasi kepada penulis.

12. Keluarga Besar Neorthoon Style (Ullah, Irfan, Fadly, Ikhsan, Awal, Abdi, Kisar,

Mahfud, Ilham, Azikin, Reza, Roby, Nardy, Nasrun, Sukardi, Dan Almarhum

Karaeng. Penne).

13. Teruntuk andalan saya Radianti Umasangaji yang selalu memberikan support dan

saran-saran kepada punulis sehingga penelitian ini bias terselesaikan.

14. Kepada Pemerintah Kabupaten Bantaeng yang banyak memberikan izin dan

petunjuk kepada penulis sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

15. Seluruh pihak yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu persatu, yang telah

memberikan banyak bantuan kepada penulis selama penelitian ini.

Semoga Allah SWT memberikan balasan yang berlipat ganda kepada semuanya, penulis menyadari bahwa manusia tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu. Tentunya skripsi ini tidak lepas dari kekurangan. Untuk itu, saran dan kritik yang membangun akan penulis terima dengan senang hati. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu di lingkungan Fakultas Ilmu Budaya khususnya Departemen Sastra Daerah Bugis-Makassar.

Makassar, 16 Oktober 2018

Penulis

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL ...... i

HALAMAN PENGESAHAN ...... ii

KATA PENGANTAR ...... v

DAFTAR ISI ...... ix

DAFTAR GAMBAR ...... xi

ABSTRAK ...... xii

ABSTRACT ...... xiii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

A. LATAR BELAKANG MASALAH ...... 1

B. IDENTIFIKASI MASALAH ...... 6

C. BATASAN MASALAH ...... 7

D. RUMUSAN MASALAH ...... 7

E. TUJUAN PENELITIAN ...... 8

F. MANFAAT PENELITIAN ...... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 10

A. LANDASAN TEORI ...... 10

1. Toponimi dan Toponim...... 10

2. Kebudayaan ...... 16

3. Folklor ...... 20

4. Mitos ...... 22

B. PENELITIAN YANG RELEVAN...... 25

ix

C. KERANGKA PIKIR ...... 28

D. DEFINISI OPERASIONAL ...... 30

BAB III METODE PENELITIAN...... 31

A. JENIS PENELITIAN ...... 31

B. DATA DAN SUMBER DATA ...... 32

C. TEKNIK PENGUMPULAN DATA ...... 33

D. TEKNIK ANALISIS DATA ...... 35

E. PROSEDUR PENELITIAN ...... 36

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ...... 37

A. TOPONIMI-TOPONIMI PEMUKIMAN KUNO BANTAENG ...... 41

B. ASPEK-ASPEK TOPONIMI PEMUKIMAN KUNO BANTAENG ...... 43

1. SINOA...... 43

2. GANTARANGKEKE ...... 51

3. ONTO ...... 63

4. TAMARUNANG ...... 71

BAB V PENUTUP ...... 81

A. KESIMPULAN ...... 81

B. SARAN...... 82

DAFTAR PUSTAKA ...... 83

x

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1: Peta pemukiman kuno Kabupaten Bantaeng...... 42

Gambar 2: (1) Foto Pohon Beringin Sinoa

(2) Gunung Lompo Battang ...... 44

Gambar 3: Situs Borong Toa Sinoa ...... 47

Gambar 4: Susunan Batu Vulkanik di Borong Toa ...... 48

Gambar 5: lokasi agrowisata loka ...... 50

Gambar 6: Foto Tarian Pesta Adat Pajukukang ...... 55

Gambar 7: Tempat Passaung Tau ...... 56

Gambar 8: Pohon Beringin Barana ...... 58

Gambar 9: Barugayya Pusat Pemerintahan Kerajaan Gantaranngkeke ...... 62

Gambar 10: Uang Kuno Tahun 1520 ...... 65

Gambar 11: Balla Tujua Onto ...... 66

Gambar 12: Pocci Butta Ri Onto ...... 67

Gambar 13: Struktur batu Takkang Bassia atau tempat pengolahan besi ...... 68

Gambar 14: Barugaya sebagai tempat pertemuan dan arena kegiatan sosial...... 69

Gambar 15: Lokasi Mata Air dan Pohon Tamarunang ...... 76

Gambar 16: Sumber Mata Air (Sumur) Tamarunang dan Pita Sebagai Simbolis

Ketika Bernazar ...... 77

Gambar 17: Permandian Alam Eremerasa ...... 78

Gambar 18: Saukang Eremerasa ...... 79

xi

ABSTRAK

Muhammad Fajrin Osman. 2018. Skripsi ini berjudul “Toponimi Pemukiman Kuno Bantaeng”. Departemen Sastra Daerah Bugis-Makassar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Dibimbing oleh Muhlis Hadrawi dan Dafirah.

Toponimi pemukiman kuno Bantaeng merupakan wilayah-wilayah yang telah ada sebelum Bantaeng berdiri sebagai kerajaan besar sekitar tahun 1254 M dan termasuk dalam kelompok kerajaan Makassar. Adapun metode dalam penulisan ini adalah diskriptif kualitatif yang menghasilkan analisis secara deskriptif. Dalam penelitian ini menggunakan berbagai sumber data: naskah kuno, tulisan-tulisan ilmiah yang lebih mutakhir, informasi yang diperoleh secar lisan, dan arsip-arsip pemerintahan Hindia Belanda. Langkah awal penelitian ini dimulai dengan proses mengumpulkan data melalui sumber-sumber yang dianggap relevan dengan penelitian ini. Selanjutnya data yang telah dikumpulkan dikategorikan sesuai dengan aspek-aspek kesejarahan toponimi kuno Bantaeng yaitu: asal usul, kebudayaan, kondisi geografis, dan mitos. Kemudian data tersebut disajikan secara sistematis sesuai toponimi kuno Bantaeng yang berhasil diidentifikasi.

Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa ada empat toponimi kuno yang berhasil diidentifikasi dan masih eksis hingga saat ini yaitu Sinoa, Gantarangkeke, Onto, dan Tamarunang. Setiap toponimi kuno ini memiliki latar belakang penamaan yang diambil dari sisi sejarah masing-masing. Topinimi Sinoa berasal dari kata sino yang ditambahkan partikel ‘a’ yang merujuk pada nama tempat yang berarti ‘tempat yang sunyi’. Toponimi Gantarangkeke berasal dari dua suku kata dalam bahasa Makassar yakni gantarang yang berarti ‘benda tajam’ dan keke yang berarti ‘gali’. Wilayah ini merupakan tempat peperangan berlangsung dalam memperebutkan kekuasaan wilayah. Toponimi Onto berasal dari bahasa Makassar setempat yaitu bonto yang berati ‘bukit/dataran tinggi’. Penamaan ini dikarenakan letak pusat toponimi ini berada diatas dataran tinggi yang sekarang menjadi salah satu kawasan adat yang ada di Kabupaten Bantaeng. Toponimi Tamarunang dalam bahasa Makassar nama Tamarunang berasal dari kata tanga yang berarti ‘tidak’ dan runang yang berarti ‘jatuh’. Penamaan itu diberikan berhubungan dengan adanya sebuah mata air di wilayah tersebut yang tidak pernah kering walaupun saat musim kemarau. Aspek-aspek inilah menjadi ciri khas setiap toponimi pemukiman kuno Bantaeng tersebut.

Kata Kunci: Toponimi, Bantaeng, Lontara, Kuno,

xii

ABSTRACT

Osman, Muhammad Fajrin. 2018. Title of the study: "The Toponymy of Bantaeng Ancient Settlement”. Department of Buginese-MakassareseLocal Literature, Faculty of Cultural Sciences, Hasanuddin University. Supervised by Muhlis Hadrawi and Dafirah.

The toponymy of the ancient settlement of Bantaeng was the territories that existed before stood as a large kingdom around 1254 AD and included in the Makassar royal group. The mettod of this research is descriotive qualitative which produces descriptive analysis. This research used various data sources: ancient manuscripts, more recent scientific writings, verbally obtained information, and archives of the Dutch East Indies government. The initial step of the research began with the process of collecting data through sources that are considered relevant to this research. Furthermore, the collected data are categorized according to the historical aspects of Bantaeng’s ancient toponymy namely: origin, culture, geographical conditions, and myths. Then, the data are presented systematically according to the ancient Bantaeng toponymy that ware successfully identified.

The results of this research reveal that there are four ancient topographies tha have been identified and still axisted today, namely Sinoa, Gantarangkeke, Onto, and Tamarunang. Each of these ancient toponymies has a naming background take from each side of history. Sinoa toponymy derived from the word sino means ‘silent’, added particle ‘a’ which refes to the place name which means ‘quiet place’. Gantarangkeke toponymy comes from two syllables in the Makassarese , namely gantarangwhich means ‘sharp objects’ and kekewhich means ‘dig’. The such name of toponymy is because this region is the place where war took place in fighting for regional authority. Onto toponymy is from the local Makasarese languagebonto which means ‘hill/plateau’ this naming is due to location of the toponymy which centered above the plateau which is now one of the traditional areas in Bantaeng Regency. Tamarunang toponymy in the Makassareselanguage the name of Tamarunang comes from the tanga means ‘no’ and runang means ‘fall’. The naming was given regarded to the presence of a fountain in the area thar was never dry even during the dry season. These aspects are characteristics of every ancient Bantaeng settlement toponymy.

Keywords: Toponymy, Lontara, Ancient, Bantaeng

xiii

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bantaeng merupakan salah kerjaan tertua dalam kelompok kerajaan di wilayah Makassar, Selatan. Bagi masyarakat Makassar menyebut daerah ini dengan sebutan Butta Toa yang artinya tanah tua atau negeri tua. Butta Toa adalah bahasa daerah Makassar yang terdiri dari dua kata yaitu butta yang berarti tanah dan toa berarti tua. Penamaan itu tidak terlepas dari aspek kesejarahannya, karena

Bantaeng dipercaya telah ada sejak abad ke XII yang lebih awal dari kerajaan lainnya. La Sakka (2014) mengatakan bahwa kerajaan Bantaeng mulai terbentuk pada abad ke XII. Daerah ini telah dikenali untuk pertama kalinya oleh armada laut

Kerajaan Singosari dan Kerajaan Majapahit ketika mereka mengadakan ekspedisi untuk memperlebar usaha dagang dan kekuasaannya di wilayah Timur Nusantara.

Menurut Mahmud dkk (2007:122) temuan-temuan artefakpecah-belah keramik early whiteware dan early monochromes yang berasal dari Cina di lembah

Gantarangkeke membuktikan adanya perniagaan maritim kuno di Bantaeng sekitar abad XIII Masehi. Namun, sumber historiografi tertua berasal dari masa yang lebih muda, dalam hal ini naskah istana Majapahit yaitu Nagarakartagama yang ditulis pada abad XIV Masehi atau tepatnya pada tahun 1365, memainkan peranan yang sangat penting. Teks Nagarakartagama menyebutkan bahwa Bantaeng merupakan salah satu dari tiga toponimi pusat dan utama yang ada di Sulawesi Selatan ketika itu.

1

Hal penting yang perlu mendapat perhatian untuk mengetahui Bantaeng dalam naskah Nagarakartagamaseperti yang disebutkan di atas adalah menelusuri aspek kronologisnya,kapankedatangan pasukan armada laut Majapahit untuk pertamakalinya ke Bantaeng? Jika penulisan Nagarakartagama baru dapat diselesaikan oleh Prapanca pada tahun 1365, tepat satu tahun setelah meninggalnya mahapati Gajah Mada yang memerintahkan penulisan naskah itu, maka kedatangan pasukan armada laut Majapahit ke Bantaeng tentu sebelum tahun itu, dengan demikian dapatdiperkirakan pada masa berlangsungnya penaklukan oleh Gajah Mada adalah antara tahun 1331 sampai tahun 1343 Masehi. Selain angka tahun tersebut, naskah Nagarakartagama juga memberi angka tahun yang lebih tua lagi, dikatakan pada masa pemerintahan Kertanegara sekitar tahun 1254-1292 (Mahmud dkk,

2007:122-123).

Pada tahun 1594 hingga 1737 Bantaeng dikenal dengan nama Bantayan.

Selanjutnya, pada masa Kolonial Belanda Bantayan berubah menjadi Bonthain mulai tahun 1737 hingga tahun 1962. Setelah mencapai 17 tahun kemerdekaannya tepatnya pada tahun 1962, berdasarkan keputusan DPRD Tingkat II

Kabupaten Bantaeng dengan Nomor : I/KPTS/DPRD-GR/1962 tanggal 22 Januari

1962. nama Bhontain berubah menjadi Kabupaten Bantaeng (lih. La Sakka 2014).

Luas wilayah Kabupaten Bantaeng 395,83 km2 yang terdiri atas 8 kecamatan, meliputi Kecamatan Bissappu, Kecamatan Uluere, Kecamatan Sinoa, Kecamatan

Bantaeng, Kecamatan Eremerasa, Kecamatan Tompobulu, Kecamatan Pajukukang,

2

3

dan Kecamatan Gantarang Keke. Sebagian dari wilayah tersebut telah ada sejak masa pra Islam bahkan sebelum terbentuknya kerajaan Bantaeng (Sakka, 2014).

Sebelum terbentuk sebagai suatu kerajaan, Bantaeng terbagi atas tujuh kelompok wilayah pemukiman yaitu, Onto, Bissampole, Sinoa, Gantarang,

Mamampang, Katapangdan Lawi-Lawi yang masing-masing dipimpin oleh seorang

Kare. Ketujuh wilayah ini terletak di kaki gunung Lompobattang sebelah timur, barat dan selatan, dikenal dengan sebutan Tau Tujua. Dikatakan Tau Tujua karena berjumlah tujuh (Sakka, 2014).

Ketujuh wilayah pemukiman kuno ini memiliki peranan penting dalam pembentukan kerajaan Bantaeng.Hal iti dapat dilihat dari mitos awal mula terbentuknya Bantaeng berdasarkan sumber lisan dan tulisan. Bougas (Mahmud dkk,

2007:91) mengungkapkan sejumlah mitos dalam naskah merupakan rekaman peristiwa masa lampau, naskah itu menyajikan asal-usul pemimpin dan lahirnya

Bantaeng. Menurut mitos disebutkan bahwa lahirnya Bantaeng berpusat pada kemunculan gaib sosok manusia setengah dewa yang dikenal dengan nama

Tumanurung atau dewa yang turun dari langit. Dalam mitos tersebut digambarkan bahwa Tumanurung turun disalah satu tempat dari tujuh pemukiman kuno Bantaeng yaitu Onto.

Menurut La Sakka (2014), kedatangan Tumanurung di Onto untuk pertama kalinya digambarkan sebagai berikut “Konon ceritanya, bahwa pada malam Jumat, kepala kaum di Onto dengan memperdengarkan suara yang mengatakan; Tau majannanga ri Onto (penghuni tetap Onto)panggillah semua Tau Tujua berkumpul di

3

4

tempat ini, karena kami akan memberi amanat kepada mereka. Sesudah itu lenyaplah cahaya tadi. Kepala kaum Onto melaksanakan amanat tandik (amanat Manurung) dan

Tau Tujua pun menerima dengan baik. Setelah Tau Tujua datang berkumpul di Onto, maka Manurung pun kembali memperlihatkan dirinya dengan bersuara:“Sudahkah engkau berkumpul semua?”Tau Tujua menyembah dan berkata “kami sudah berkumpul”. Kemudian Manurung pun memperdengarkan suaranya. Manurung kebali berkata: “Sekarang akan kuberi masing-masing gelar/nama, dengarlah. Oleh karena kami turun di Onto, maka kepala kaum Onto kami beri nama rampang

(pelindung) dan yang lain kami beri nama kare, dan kemudian Manurung lenyaplah”.

Tau Tujua yang dimaksud adalah kare wilayah pemukiman kuno yang telah disebutkan sebelumnya.

Keberadaan wilayah pemukiman kuno tersebut dapat telusuri dari jejak-jejak arkeologi. Sejalan dengan ini, Mahmud dkk (2007:102) mengemukakan bahwa pada tahapan ini pusat peradaban atau pusat kerajaan di Bantaeng pertama masih belum dapat dipastikan, meskipun cerita rakyat dan sumber tutur memberi banyak refrensi pada tiga kawasan utama, yaitu Kawasasn Bantaeng Barat, Kawasan Bantaeng

Tengah, dan Kawasan Bantaeng Timur. Hampir semua situs atau toponim yang menjadi sentra pemukiman kuno di tiga kawasan tersebut masih menyisakan tinggalan dari masa prasejarah berupa monumen megalitik, seperti batu dakon, batu lampang, batu temu gelang, menhir, dan batu persembahan, atau kumpulan artefak kecil yang berciri preasejarah, separti fragmen garabah, alat batu, artefak logam, beliung, dan batu ike.

4

5

Toponimi wilayah pemukiman kuno Bantaeng tersebut didasarkan pada nilai- nilai sosial budaya masyarakat setempat. Hal itu tidak terlepas pendapat yang mengatakan bahwa toponimi suatu tempat merupakan hasil budaya, baik budaya secara historis dan simbolis. Misalnya, Liliweri (2014: 7-8) budaya secara historis adalah bawaan sosial atau tradisi yang melewati generasi yang lalu ke generasi masa depandan budaya secara simbolis adalah pendasaran makna yang ditetapkan bersama oleh masyarakat. Toponimi suatu tempat merupakan kesepakatan bersama dan diturunkan antar generasi. Sehingga untuk mengetahui makna dari sebuah nama tempat membutuhkan kajian budaya secara historis dan simbolis.

Hal ini juga selaras dengan pandangan William R. Bascom dalam Danandjaja

(1994), bahwa salah satu fungsi folklor berkaitan dengan toponimi ini adalah sebagai sistem proyeksi (projective sistem) yakni sebagai alat perncerminan angan-angan suatu kolektif. Selain itu toponimi juga sangat dipengaruhi oleh faktor geografis

(hidrologis, morfologis, biologis dan kondisi fisik alam lainnya), sehingga penamaan tempat (toponimi) dapat dikatakan berdasarkan kondisi geografis dan nilai historis simbolis.

Saat ini belum ada penelitian ilmiah yang secara khusus mengungkap keberadaan pemukiman-pemukiman Bantaeng kuno berdasarkan sumber tertulis

(naskah lontaraq) dan lisan (cerita rakyat). Penelitian terhadap daerah Bantaeng pertama kali dilakukan secara sistematis oleh Bougas (1996). Selain Bougas, ada juga peneliti yang telah melakukan penelitian terhadap isu Bantaeng yaitu, Endang (1998),

Hasanuddin (2009), dan Mahmud dkk (2007 dan 2017). Namun, penelitian-penelitian

5

6

tersebut lebih pada studi arkeologi. Oleh karena itu, penulis tertarik melakukan penelitian khusus yang membahas nama pemukiman kuno yang telah ada sebelum terbentuknya kerajaan Banteng dan peranannya dalam terbentuknya kerjaan

Bantaeng. Selain itu, pemukiman-pemukiman Bantaeng kuno kurang diketahui oleh masyarakat umum. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya refrensi yang membahas tentang pemukiman Bantaeng kuno.

Mengkaji toponimi pemukiman kuno di Kab Bantaeng akan mampu menelusuri nilai-nilai di balik cerita tentang toponimi tersebut seperti, nilai-nilai sosial dan budaya dari cerita atau mitos-mitos masyarakat wilayah itu sendiri. Mitos atau legenda setempat inilah yang yang menjadi perhatian penulis dalam mengungkap aspek kesejarahan masing-masing toponim Bantaeng kuno tersebut. Penelitian terhadap toponimi kuno Bantaeng ini juga penting dilakukan karena tidak hanya bersifat dokumentatif, tetapi juga memiliki peran strategis untuk melestarikan kearifan lokal dalam konteks yang berbeda.

B. Identifikasi Masalah

Pada latar belakang masalah diatas dijelaskan bahwa sebelum Bantaeng berdiri sebagai suatu terlebih dahulu terbentuk unit-unit pemukiman masyarakat berciri tradisional. Unit-unit pemukiman itu pada saat ini kurang lebih dapat disetarakan konteks wilayahnya dengan kampung/desa. Berdasarkan latar belakang di atas, maka ditemukan beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasikan sebagai berikut.

6

7

1. Bantaeng merupakan salah satu daerah tertua dalam kelompok kerajaan

Makassar. Eksistensi kerajaan Bantaeng pada masa lampau perlu diketahui

secara mendalam.

2. Temuan artefak pecah-belah keramik early whiteware dan early monochromes

yang berasal dari Cina di lembah Gantarangkeke membuktikan adanya

perniagaan maritim kuno di Bantaeng. Maka dari itu, perlu diungkap secara

detail bentuk perdagangan maritime kuno melalui jejak-jejak arkeologis.

3. Sebelum terbentuk sebagai suatu kerajaan, Bantaeng terbagi atas beberapa

wilayah pemukiman yang masing-masing dipimpin oleh seorang Kare

(pimpinan). Wilayah-wilayah kuno ini berperan penting dalam pembentukan

kerajaan Bantaeng. Maka dari itu, perlu diketahui fungsi dan peranan

pemukiman kuno tersebut dalam terbentuknya suatu kerajaan Bantaeng serta

aspek kesejarahannya.

C. Batasan Masalah

Mengingat luasnya permasalahan tersebut diatas, maka perlu adanya pembatasan masalah agar penulisan dapat lebih terarah sesuai dengan tujuan penulisan. Oleh karena itu, untuk sampai pada taraf penulisan ilmiah serta menciptakan kesatuan pengertian maka dilakukan pembatasan masalah yang akan di bahas dengan tujuan agar masalah ini dapat diuraikan dengan jelas dan terperinci.

Adapun masalah yang dipilih adalah masalah wilayah pemukiman kuno Bantaeng

7

8

yang telah ada sebelum adanya kerajaan bantaeng serta peranan wilayah pemukiman kuno tersebut dalam terbentuknya kerajaan Bantaeng serta aspek kesejarahannya.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan dalam batasan masalah di atas, maka dapatlah diruskan masalah pokok yang akan dibahas lebih lanjut dalam penelitian ini, sebagai berikut:

1. Toponimi pemukiman kuno apa saja yang teridentifikasi di Kabupaten

Bantaeng?

2. Bagaimanalatar belakang dan aspek-aspek kesejarahan toponimi-toponimi

pemukiman kuno Bantaeng tersebut?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi wilayah yang termasuk dalam toponimi pemukiman kuno

bantaeng.

2. Menjelaskan gambaaran gografis dan sisi sejarah toponimi pemukiman

kunoBantaeng tersebut.

F. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini memiliki dua manfaat yaitu manfaat teoritis dan manfaat praktis. Adapun manfaat tersebut adalah sebagai berikut.

8

9

1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini mengangkat objek tentang toponimi Bantaeng kuno yang

berdasarkan pada sumber lisan dan tulisan, oleh karena itu penelitian ini dapat

memiliki manfaat sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa yang ingin melakukan

pengkajian yang sama dan sebagai bahan acuan atau bahan perbandingan.

b. Memberikan wawasan yang objektif terhadap pengkajian toponimi-toponimi

wilayah Bantaeng kuno terkhusus pada aspek kesejarahan dan peranan wilayah

Bantaeng kuno tersebut dalam terbentuknya kerajaan Bantaeng.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini dapat berkontribusi dalam pengembangan pengetahuan

kearifan lokal, khususnya pada toponimi kuno Bantaeng yang sarat akan nilai

sosial budaya

b. Hasil penelitian ini dapat membangun kesadaran pada masyarakat akan

pentingnya mengkaji toponimi, sebab mengandung informasi masa lampau

yang masih relevan dengan kehidupan sekarang.

c. Memberikan pengetahuan yang baru bagi generasi muda serta membentuk

kepedulian dalam pengembangan wilayah di Kab Bantaeng.

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

1. Toponimi dan Toponim

Ilmu Toponimika adalah bagian dari ilmu Onomastika. Toponimika adalah cabang ilmu Linguistik yang mempelajari nama-nama tempat. Toponimika berhubungan erat dengan berbagai cabang ilmu di antaranya ilmu Geografi, Ilmu

Sejarah, Ilmu Budaya, dll. Dalam Toponimika diberikan penamaan suatu tempat secara geografis. Dalam ilmu Sejarah terdapat nama tempat yang menghubungkan peristiwa-peristiwa sejarah dengan ruang, termasuk juga tempat-tempat yang diberi nama secara modern. Selain itu, Toponimika mempelajari juga struktur , tipologi, asal-usul dan pembentukan nama suatu tempat (Machdalena, 2018).

Konsep Onomastik dapat ditelusuri secara sistematis. Sebab toponimi sebagai nama tempat berfungsi sebagai pemarkah identifikasi. Hal itu merupakan identifitas dari suatu tempat, baik identitas secara geografis, sosiologis, maupun kultural.

Meskipun tampaknya mudah membedakan nama diri dengan nomin garis batas antara keduanya masih belumlah final. Banyak nama diri yang diturunkan dari nomina masih jelas menunjukkan jejak asalnya: nama tempat seperti Blackpool dan

Newcastle, nama keluaraga seperti Smith ‘tukanng besi’ dan Carpenter ‘tukang kayu’

(perhatikan juga nama-nama Jawad ulu, seperti Kebo Ijo dan nama Majapahit). Nama diri yang lain, meskipun tidak jelas asal-usulnya, paling sedikit mempunyai suatu

10

11

unsur yang dapat di analisis, misalnya nama-nama tempat yang berakhir dengan caster, cester, dan chester, semuanya berasal dari kata Latin castra ‘kemah, tempat tinggal sementara’ (Di Indonesia kita mengenal nama-nama tempat yang berakhir dengan kata pura, kata Sanskrit yang berarti ‘kota’, di Jawa dengan unsur wono

‘hutan’, di Bali dengan unsur abian ‘kebun’). Banyak nama diri sekarang menjadi kabur meskipun para ahli etimologi dapat merekonstruksi atau paling tidak menerka asalnya. Misalnya nama Bordeaux, kata Latinnya Burdigala, dianggap terdiri dari dua unsur Bahasa pra-Indo Eropa, yaitu kata Iberiabundo‘bagal’(dalam bahasa Spanyol ada kata burro ‘keledai’ dan dalam bahasa Prancis bourrique ‘keledai betina’), dan kata Liguria cala,gala ‘batu karang’ dalam bahasa Latin calculus dan bahasa Prancis raillou ‘batu kerikil’). Studi tentang nama diri yang dapat memeberikan sinar terang kepada banyak aspek politik, ekonomi, dan sejarah kemasyarakatannya, baru-baru ini telah menegakkan dirinya sebagai cabang ilmu linguistik yang setengah independent, dan sudah mengadakan kongres khusus dan mempunyai jurnal sendiri. Ilmu ini terkenal dengan nama onomastik, dan mempunya dua bagian yaitu toponimi (dari kata Yunani topos ‘tempat’dan onoma ‘ nama), yaitu studi tentang nama-nama tempat, dan antropoimi (kata Yunani antropos ‘orang, manusia’), yaitu studi tentang nama orang (Sumarsono, 2009)

Toponim, dalam bahasa Inggris toponym secara harfiah artinya nama tempat di muka bumi. (topos adalah ‘tempat’ atau ‘permukaan’ seperti topografi adalah gambaran tentang permukaan atau tempat-tempat di bumi, dan nym dari onymaberarti‘nama’) dan dalam bahasa Inggris kadang-kadang disebut geographical

12

names (nama geografi) atau place names. Ada istilah topologi, yaitu suatu cabang matematika yang berkaitan dengan sifat-sifat geometri suatu figure yang tidak berubah jika ditransformsi dengan suatu cara tertentu (Webster’s New World

Dictionary, 1960).

Topinimi dalam bahasa Indonesia kita pakai istilah ‘nama unsur geografi’ atau

‘nama geografis’ atau ‘nama rupabumi’. Rupabumi adalah istilah bahasa Indonesia untuk topografi. Dalam Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah

Daerah di pasal 7 disebut ‘nama bagian rupabumi’ (topografi) atau nama ‘unsur rupabumi’. Begitu juga dalam Peraturan Presiden No.112 Tahun 2006 tentang Tim

Nasional Pembukuan Nama Rupabumi, memakai istilah ‘nama rupabumi’ (Jacub,

2015: 4-5).

Menurut Raper (1996) dalam buku Toponimi Indonesia mengungkapkan bahwa,Toponymy mempunyai dua pengertian:

a. Ilmu yang mempunyai objek studi tentang toponim pada umumnya dan

tentang nama geografis khususnya, dan

b. Totalitas dari toponim adalah suatu region.

Tiap unsur di muka bumi yang disebut unsur geografi atau unsur rupabumi, seperti gunung, bukit, sungai, tanjung, pulau, lembah, selat, dan sebagainya diberi nama oleh manusia sejak manusia ingin mengidentifikasi lingkungan fisiknya di muka bumi untuk tujuan komunikasi sesama antar manusia atau untuk acuan dengan

12

13

menunjuk suatu objek geografis tertentu dalam orientasi dirinya terhadap lingkungan fisiknya (Jacub,2015).

Orang mengenal nama unsur geografi dari peta, karena peta tanpa nama geografisnya adalah peta buta. Sebenarnya adanya nama unsur geografi adalah lebih awal sebelum peta dibuat. Nama unsur geografi muncul pertama kali ketika manusia mendiami suatu wilayah dan perlu memberi nama pada unsur-unsur geografi yang ada disekitarnya (Jacub, 2015: 5).

Memahami nama-nama tempat diperlukan agar mengetahui dari mana dan bagaimana nama-nama tersebut muncul, berkembang, berubah, dan apa maksud diciptakannya nama-nama geografi tersebut. Toponimii dipelajari dalam bidang ilmu yang khusus yaitu Toponimika (ilmu yang mempelajari nama-nama tempat).

Toponimika merupakan suatu disiplin ilmu yang mempelajari nama-nama geografis, asal usul, perkembangan tempat, arti, penulisan, dan pengucapan nama-nama tempat tersebut.

Nama tempat dibentuk dengan menggunakan kata-kata dari suatu bahasa melalui sudut pandang linguistik, dengan demikian suatu tempat memiliki nama yang tepat. Mereka mewakili seluruh lapisan bahasa dan mencerminkan sejarah pembentukannya dan perkembangannya. Nama geografis merupakan unsur kosa kata dari sisi pandangan linguistik, oleh karena itu toponimi ini tunduk pada kaidah-kaidah bahasa.Topik ini harus dipelajari oleh ahli bahasa. Bagian linguistik yang mempelajari seni pemberian nama yang tepat adalah Ilmu Onomastika. Kata ini berasal dari dari bahasa Yunani όνομαστική – ‘seni memberi nama’. Onomastika

13

14

mempelajari berbagai nama-nama, atau onyms. Nama-nama orang-orang, julukan dipelajari dalam ilmu Anthroponimika, dan nama-nama hewan - Zoonyms, nama- nama benda langit - Astronomika, nama-nama suku dan bangsa, nama-nama tanaman

–(phytonyms), nama-nama organisasi dan lembaga (ergonomi). Di antara sekumpulan ini, terdapat nama-nama tempat untuk nama geografis atau toponimi (Machdalena,

2018).

Toponimi muncul dalam periode sejarah tertentu. Toponimi merupakan bukti kronologis peristiwa-peristiwa sejarah. Toponimi berubah dalam waktu tertentu, tergantung pada peristiwa tertentu dalam sejarah. Perang, migrasi, kontak etnis meninggalkan jejaknya pada toponimi. Setiap zaman dalam sejarah ditandai dengan topinimi tersendiri. Banyak nama tempat yang disebutkan dalam dokumen sejarah dan juga dalam penelitian benda-benda sejarah. Dengan demikian, topinimi berhubungan erat dengan ilmu sejarah. Nama geografis adalah elemen yang paling penting dari peta. Mereka memiliki referensi khusus yang berbicara tentang sifat dari pemukiman, pengembangan, dan pemanfaatan ekonomi dalam suatu wilayah.

Topinimi mencerminkan kekhasan alam suatu wilayah. Nama geografis memungkinkan untuk merekonstruksi peristiwa di masa lalu. Pemahaman yang tepat dari topinimi dapat memberikan gambaran kekayaan geografi untuk pemahaman pemandangan alam, karakter kegiatan ekonomi penduduk, dan etnis. Para ahli geografi sangat memehami pembentukan nama tempat. Ejaan yang benar dari nama tempat ini sangat penting untuk pemetaan. Oleh karena itu seorang ahli topinimi

14

15

menguasai ilmu Lingusitik, Sejarah, dan Geografi. Ahli ketiga ilmu ini dalam

Toponimika disebut toponimist. (Machdalena, 2018).

Muka bumi yang disebut juga rupa bumi (hipsografi). Sehingga manusia memberi nama pada unsur-unsur medan yang bervariasi tersebut seperti gunung, bukit, lembah, pantai, kemudian mengaliar pula sungai-sungai, danau, laut, selat, tanjung, serta pulau-pulau berupa daratan yang dikelilingi oleh air/laut yang selalu berada di atas air/ laut, artinya tidak tenggelam. Kemudian muncul pemukiman berupa desa, kota, jalan dan bangunan dan akhirnya batas-batas administratif. Inilah unsur-unsur peta topografi atau peta rupabumi dan posisi unsur-unsur tepi ditetapkan dalam sistem koordinat yang berlaku secara nasional. Di samping itu ada unsur-unsur rupabumi berlanjut/ menyambung tidak terputus oleh lautan, namun sebagian berada di bawah muka laut dapat dibanyakan jika laut tidak ada di bumi ini. Mengingat luasnya lautanyang menutupi bumi adalah 75% maka unsur yang terlihat oleh manusia adalah hanya 25% saja (Jacub, 2015: 5-6).

Justru, dalam wilayah daratan mukabumi yang 25% dari bumi keseluruhan terdapat lebih banyak nama unsur georgrafi atau nama rupabumi karena tidak hanya terkait dengan unsur geografis alami saja seperti gunung, sungai, lembah, pulau, selat, bukit, dan sebagainya. Nama unsur geografi buatan seperti kota, desa, dan infrastruktur buatan manusia seperti jalan, bandungan, bandar udara, terminal, kawasan konservasi, kawasan pemukiman, dan sebagainya. Yang termasuk 75% dari muka bumi adalah unsur rupabumi bawah laut atau tepatnya di dasar laut, sebagaimana juga di atas muka bumi, di dasar laut ada gunung, lembah, cekungan

15

16

(basin), palung, parit, sesar atau pertahanan dalam istilah-istilah geologis (Jacub,

2015: 6).

2. Kebudayaan

Kebudayaan merupakan seluruh cara kehidupan masyarakat yang digunakana untuk tetap bertahan hidup dalam suatu kelompok tertentu. Oleh karena itu, kebudayaan sebagai keseluruhan sistem gagasan, ide, rasa, tindakan serta karya yang dihasilkan oleh manusia dalam kehidupan bermasyarakat diperoleh dari proses belajar

(Koentjaraningrat 2005:72). Belajar merupakan salah satu cara agar kebudayaan tersebut tetap bertahan. Kebudayaan telah menjadi sistem pengetahuan digunakan untuk memahami dan menginterpretasikan berbagai gejala, peristiwa, dan benda- benda yang ada dalam lingkungan kehidupan mereka (Soekmono, 1987:10).

Wujud kebudayaan terdiri atas tiga bagian antara lain sistem budaya (sistem nilai, gagasan-gagasan dan norma-norma), sistem sosial (kompleks aktivitas dan tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat), dan artefak atau kebudayaan fisik

(Koentjaraningrat,1990: 186-187). Wujud kebudayaan yang berupa sistem budaya sifatnya abstrak, tidak dapat dirabah dan diamati dengan panca indera karena lokasinya ada dalam kepala atau pikiran warga masyarakat tempat kebudayaan itu hidup. Ide-ide dan gagasan-gagasan manusiahidup bersama dalam suatu masyarakat dan saling terkait satu dengan yang lainnya menjadi suatu sistem maka disebutlah sistem budaya. Sedangkan wujud kebudayaan berupa sistem sosial mengenai tindakan berpola dari manusia itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktivitas manusia

16

17

itu sendiri. Sistem sosial terdiri dari aktivitas-aktivitas hubungan antara orang lain dari waktu ke waktu, menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata kelakuan.

Aktivitas-aktivitas berinteraksi antara manusia merupakan hal yang kongkrit, dapat diamati oleh panca indera. Sementara wujud kebudayaan berupa kebudayaan fisik merupakan total dari hasil fisik perbuatan dan karya manusia dalam masyarakat, yang sifatnya paling kongkrit berupa benda-benda hasil budaya.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ketiga wujud kebudayaan yang telah dijelaskan di atas, pada dasarnya saling terkait satu sama lain. Sistem budaya berupa norma-norma atau gagasan-gagasan yang memberi arah kepada tindakan atau perilaku manusia. Budaya berupa gagasan-gagasan dan tindakan perilaku manusia yang menghasilkan benda-benda kebudayaan fisik, dari hasil kebudayaan tersebut tercermin cara berperilaku dan berfikirnya. Sehingga sebagai wujud kebudayaan, prilaku seorang individu atau kelompok akan memberinya identitas diri. Dimana prilaku yang dilakukan oleh seorang individu merupakan suatu strategi yang tersusun secara sadar, dalam artian bahwa, prilaku yang ditampilkan oleh pelaku berakar pada kesadaran individual dan prilaku yang dilakukan tersebut merupakan manifestasi dari sistem pengetahuan yang dianutnya, serta motif-motif atau kepentingan-kepentingan untuk terbangunnya suatu tindakan yang diperoleh dari proses belajar. Sejalan dengan hal ini Malinowski (dalam Koentjaraningrat 1987: 170-171) menjelaskan bahwa, dasar dari proses belajar tidak lain daripada ulangan dari reaksi-reaksi suatu organisme terhadap gejala-gejala di luar dirinya, yang terjadi sedemikian rupa sehingga salah satu kebutuhan dari organisme tersebut dapat dipuaskan.

17

18

Kebudayaan ditampakkan dalam berbagai pola tingkah laku yang dikaitkan dengan kelompok masyarakat tertentu, seperti adat (costum) atau cara hidup masyarakat. Kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berperilaku yang merupakan ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Dengan menciptakan adat, budaya serta lingkungan sosial yang berbeda-beda yang ditumbuh kembangkan dan diwariskan kepada generasi ke generasi. Berdasarkan beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa kebudayaan merupakan sesuatu yang abstrak dan kongkrit yang memiliki wujud tersendiri. Setiap kebudayaan dari suatu bangsa atau masyarakat dapat dibagi ke dalam sejumlah unsur yang tidak terbatas banyaknya. Masing-masing unsur tersebut diklasifikasikan ke dalam beberapa macam unsur-unsur yang disebut cultural universal. Unsur universal kebudayaan terdiri atas tujuh unsur. Ketujuhunsur tersebut ialah (1) bahasa , (2) sistem pengetahuan, (3) organisasi sosial, (4) sistem peralatan hidup dan teknologi, (5) sistem mata pencaharian, (6) sistem religi, dan (7) kesenian (Koentjaraningrat,1999: 203- 204). a. Bahasa

Bahasa adalah sistem perlambangan manusia yang lisan maupun yang tertulis untuk berkomunikasi satu dengan yang lain. Dalam karangan etnografi, bahasa masyarakat tercermin dalam rangkaian kata-kata dan kalimat yang diucapkan oleh suku bangsa, beserta variasi-variasi dari pemilik bahasa itu (Koentjranigrat, 1990:

339).

18

19

b. Sistem Pengetahuan

Sistem pengetahuan terkait konsep-konsep dan faham-faham tentang alam gaib. Sama halnya yang dikatakan Gising (2008: 70) bahwa sistem pengetahuan lokal dalam beberapa aspek berkaitan erat denga ilmu gaib (magy) dan ilmu sihir.

Timbulnya faham sakratisme terhadap sanghiyang Seri (dewi padi) dalam budaya

Bugis erat kaitannya dengan mitologi dewi padi yang melambangkan kesuburan dan sumber kehidupan. c. Organisasi Sosial

Sistem organisasi sosial merupakan penggolongan masyarakat ke dalam kelas- kelas horizontal yang seolah-olah berlapis dengan golongan masing-masing dipandang lebih tinggi atau lebih rendah daripada golongan lain (ethnosentrism)

(Gising,2008: 77). d. Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi

Pembahasan tentang sistem peralatan hidup dan teknologi pada buku-buku etnografi abad ke-19 hingga awal abad ke-20 lebih terfokus pada pembahasan kebudayaan fisik atau benda-benda budaya (cultural materealism). Misalnya, lebih banyak melukiskan bentuk pakaian tradisional, bentuk rumah tradisional, bentuk dan pemakaian senjata tradisionla, bentuk dan pemakaian transportasi tradisional (Gising,

2008:77).

19

20

e. Sistem Mata Pencaharian

Sistem mata pencaharian dan sistem ekonomi dapat diperinci ke dalam beberapa jenis seperti: perburuan, peladangan, pertanian, peternakan, perdagangan, perkebunan, industri, kerajinan, industri manufaktur. Tiap jenis mata pencaharian tadi, terkait dengan sistem sosialnya, sisem sosial yang berlaku dan diberlakukan di dalam berinetraksi dan bekerjasama dalam kaitannya dengan mata pencaharian disebut sebagai adat. Adat dalam sistem sosial tercermin dari keteraturan dalam berbagai aktifitas sosialnya. Sedangkan adat yang dimanifestasikan dalam wujud fisik yang berupa berbagai peralatan yang tentunya merupakan benda-benda kebudayaan

(Koentjaraningrat, 1990: 207). f. Sistem Religi

Sistem religi, menyangkut sistem ilmu gaib. Semua aktivitas manusia yang bersangkutan dengan religi berdasarkan atas suatu getaran jiwa, yang biasanya disebut emosi keagamaan, atau religious emotion. Emosi keagamaan merupakan unsur penting dalam suatu religi bersama dengan tiga unsur lainnya, yaitu: 1) sistem keyakinan, 2) sistem upacara keagamaan, dan 3) umat yang menganut religi itu

(Gising, 2008:83). g. Kesenian.

Kesenian merupakan ekspresi hasrat manusia akan keindahan dalam memenuhi naluri akan keindahannya. mengatakan bahwa unsur kebudayan seperti kesenian, maka akan adat adat-istiadat, aktivitas sosial, dan peralatan fisik mengenai

20

21

sebi rupa, seni suara, seni gerak, seni sastra, seni drama, dan sebagainya

(Koentjraningrat,1990:208).

3. Folklor

Pengertian folklor menurut Danandjaja (1994:2) adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu gerak isyarat atau alat pembantu pengingat

(mnemonic device). Folklor memiliki ciri-ciri yang dapat membedakannya dengan ragam budaya lainnya. Menurut Danandjaja (1984:3-4) ciri-ciri folkor adalah sebagai berikut: (1) penyebaran dan pewarisannya biasanya dilakukan secara lisan, yakni disebarkan melalui tutur kata dari mulut ke mulut (atau dengan suatu contoh yang disertai dengan gerak isyarat, dan alat pembantu pengingat) dari satu generasi ke generasi berikutnya, (2) folklor bersifat tradisional, yakni disebarkan dalam bentuk relatif tetap atau dalam bentuk standar. Disebarkan di antara kolektif tertentu dalam waktu yang cukup lama, (3) eksis dalam versi-versi yang berbeda, (4) bersifat anonym, yaitu nama penciptanya sudah tidak diketahui orang lagi, (5) mempunyai rumus atau pola, (6) mempunyai kegunaan dalam kehidupan bersama suatu kolektif,

(7) bersifat pralogis, yaitu mempunyai logika sendiri yang tidak sesuai dengan logika umum, (8) menjadi milik bersama dari kolektif tertentu, dan (9) bersifat polos dan lugu. Sehingga seringkali kelihatannya kasar, terlalu spontan.

21

22

Bentuk-bentuk folklor yang ada di masyarakat dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : (1) Folklor lisan, yaitu folklor yang bentuknya memang bentuknya murni lisan, seperti bahasa rakyat, ungkapan tradisional, teka-teki, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat, (2) Folklor sebagian lisan, yaitu bentuk campuran folklor lisan dengan unsur yang bukan lisan. Bentuk folklor ini misalnya permainan rakyat, tari rakyat, adat istiadat, upacara, pesta rakyat, teater rakyat dan sebagainya, dan (3) Folklor bukan lisan, yaitu folklor yang bentuknya bukan lisan meskipun diajarkan secara lisan. Folklor jenis ini dapat berbentuk materi seperti rumah adat, makanan tradisional, senjata tradisional, dan sebagainya; ataupun bentuk non materi seperti gerak isyarat. Musik rakyat, bunyi sebagai tanda komunikasi dan sebagainya

(Danandjaja, 1994:21-22).

4. Mitos

Menurut (C.A. Van Peursen, 1872), mitos merupakan suatu ceritayang memberikan pedoman atau arahan tertentu kepada sekelompok orang. Cerita itu dapat ditularkan, dapat pula diungkapkan lewat tari-tarian, asal-usul sebuah tempat, pementasan wayang dan sebagainya.

Mitos, menurut (Levi-Starauss, 1985), memiliki hubungan nyata dengan bahasa karena ia merupakan suatu bentuk pengucapan manusia, sehingga analisisnya bisa diperluas ke bidang linguistik struktural.

22

23

Mitos, menurut kamus istilah sastra adalah mite yang sengaja dikembangkan demi pengesahan dan pengukuhan ideology, kekuasaan, dan kewibawaan. Misalnya, silsilah raja Melayu berasal dari Raja Iskandar Zulkarnain.

J. Van Ball (dalam Minsarwati, 2002) mengatakan bahwa mitos merupakan cerita di dalam kerangka sistem religi yang di masa lalu atau masa kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran keagamaan.

Dari 4 kesimpulan di atas dapat disimpulkan bahwa mitos merupakan sebuah cerita rakyat, sejarah yang berupa mite yang dikembangkan, berhubungan dengan bahasa yang diucapkan manusia. Mitos diyakini dapat dijadikan sebagai pedoman hidup dalam hukum sastra lisan yang mengatur perilaku hidup manusia. a. Asal Mula Mitos

Mitos menjelaskan asal-usul alam, pokok kehidupan manusia dan tujuan manusia.Mitos membuat manusia dapat tahu apa tujuannya dan bagaimana seharusnya bertingkah laku. Terdapat 4 penjelasan tentang terjadinya asal usul dari mitos yaitu: euhemerisme (penafsiran historis), alegori, personifikasi, dan teori mitos- ritual. b. Mitos dalam Sejarah

Mitos adalah nenek moyang sejarah. Mitos berupaya menceritakan kejadian sejarah di masa lalu. Kuntowijoyo (1999: 8) membedakan mitos dan sejarah hanya pada dua titik singgung.

23

24

1) Mitos memiliki unsur waktu yang tidak jelas.

2) Mitos dianggap memuat kejadian yang tidak masuk akal, menurut sudut

pandang orang masa kini. c. Fungsi Mitos

Mitos berfungsi untuk mengkodifikasikan, memberikan dukungan dan memberikan landasan dari kepercayaan tradisional dan tingkah laku (Harsojo, 1998:

228). d. Ciri-ciri Mitos

Mitos kaya dengan peristiwa dan kejadian yang luar biasa, ganjil dan aneh.masyarakat Melayu zaman silam mempercayai bahwa setiap kejadian luar biasa, ganjil atau aneh mempunyai tujuan-tujuan atau alamat-alamat yang tertentu. Hal itu, mencerminkan keakraban hubungan masyarakat Melayu dengan flora dan fauna sekeliling mereka. e. Nilai Mitos

Nilai mitos adalah cerita yang menggambarkan segala sesuatu yang dipandang penting oleh seseorang atau suatu masyarakat. Nilai mitos mengarahkan seseorang untuk berperilakuyang sesuai dengan budayanya. Nilai mitos biasanya berlangsung lama dan sulit berubah. Nilai mitos juga dapat mempengaruhi sikap seseorang yang kemudian sikap akan berpengaruh pada perilaku masyarakat (Rara

Sihat, 2011).

24

25

f. Mite

Menurut kamus besar bahasa Indonesia mite adalah cerita yang mempunyai latar belakang sejarah, dipercayai oleh masyarakat sebagai cerita yang benar-benar terjadi, dianggap suci, banayak mengandung hal-hal yang ajaib, dan umumnya ditokohi oleh dewa.

Menurut Bascom, mite adalah cerita prosa rakyat, yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh yang empunya cerita. Mite ditokohi oleh para dewa atau makhluk setengah dewa. Peristiwa terjadi di dunia lain, atau di dunia yang bukan seperti yang kita kenal sekarang, dan terjadi pada masa lampau.

Mite pada umumnya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia pertama, terjadinya maut, bentuk khas binatang, bentuk topografi, gejala alam dan sebagainya. Mite juga mengisahkan petualangan para dewa, kisah percintaan mereka, hubungan kekerabatan mereka, kisah perang mereka, dan sebagainya (Bascom, 1965:

4-5)

B. Penelitian yang Relevan

Bantaeng sebagai suatu objek kajian kiranya telah menarik perhatian beberapa penulis. Terbukti dengan lahirnya beberapa tulisan penelitian yang menjadikan

Bantaeng sebagai objek kajiannya. Selain itu, toponimi juga banyak dijadikan sebagai objek penelitian. Namun, penelitian khusus terhadap toponimi Bantaeng belum penah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan informasi yang penulis peroleh dari berbagai

25

26

sumber, adapun hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini baik dari sudut pandang Bantaeng maupun toponimi kuno adalah sebagai berikut:

Bougas (1998) dengan judul tulisan Bantayan Kerajaan Makassar Awal,

1200-1600. Dalam tulisannya, Bougas memiliki suatu asumsi bahwa Bantaeng merupakan sebuah kerajaan di Makassar yang tumbuh dan berkembang sekitar 1200 hingga 1600 masehi. Selama kurun waktu itu menurut Bougas, Bantaeng telah mengalami proses transformasi sosial, pengalihan kekuasaan, dan perkembangan subsistensi sawah serta pemusatan dan penyebaran-penyebaran pusat distribusi perdagangan.

Mahmud dkk (2007) telah menulis Bantaeng Masa Prasejarah ke Masa

Islam, tulisan ini memaparkan Bantaeng pada masa prasejarah sekitar 4500 tahun lalu, dimulai dari kebudayaan batu diikuti logam (paleometalik) di Gua Batu Ejaya dan Panganreang Tudea. Selanjutnya Mahmud dkk mengatakan, kebudayaan megalitik yang terus mentradisi menopang budaya penguasa lokal awal bantaeng kuno di beberapa situs sebagaimana ditunjukkan bukti arkeologis. Selain itu, bukti arkeologis juga menunjukkan islam telah datang di Bantaeng pada abad ke XVI tepatnya pada tahun (1607).

Hasanuddin (2009),dalam tulisannya yang berjudul Permukiman di Sepanjang

Daerah Aliran Sungai Biang Keke dan Calendu Kabupaten Bantaeng, Sulawesi

Selatan, Ia memfokuskan pembahasan pada tiga aspek utama. Pertama, melakukan identifikasi pada temuan berdasarkan kelompok temuan arkeologis di daerah aliran

26

27

sungai Biang keke dan Calendu. Kedua, mengkaji sistem permukiman dalam kelompok komunitas Bantaeng. Ketiga, mengkaji indikasi arkeologis adanya kontak dengan daerah lain.

Muhlis Hadrawi (2016), dalam tulisannya berjudul “Jejak Awal Wanua-

Wanua Soppeng dan Pertumbuhannya: Kajian Berdasarkan Manuskrip” dalam buku

Lembah Walennae Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi Peradaban Soppeng.

Penelitian tersebut membahas kedudukan dan peranan wanua-wanua kuno Soppeng terhadap terwujudnya kedatuan Soppeng. Kajiannya berdasarkan manuskrip yang memanfaatkan naskah Pau-Paunna Meompaloe (disingkat PPM), naskah La Padoma

(disingkat LPD) dan naskah Attoriolong Soppeng (disingkat ATS).

Makmur dan Muhlis Hadrawi (2016), dalam tulisan berjudul “Otoritas

Wanua: Kedudukan Sosial-Politik Wanua-Wanua Hingga Terbentuknya Kerajaan

Soppeng” dalam buku Lembah Walennae Lingkungan Purba dan Jejak Arkeologi

Peradaban Soppeng, ia membahas peranan wanua-wanua Soppeng yang memiliki kedudukan sosial-politik bagi terbentuknya Kerajaan Soppeng.

Suci Machdalena (2018), dalam tulisan berjudul Nama-Nama Tempat

Ekowisata Di Bandung Barat: Kajian Topinimi.Dalam tulisannya membahas tentang pembentukan nama-nama tempat ekowisata yang sangat erat dengan budaya dan

Bahasa daerah setempat serta mendiskripsikan sejarah daerah tersebut.

Mahmud dkk (2017)menulis buku yang berjudul Butta Toa jejak Arkeologi

Budaya Toala, Logam, dan Tradisi Berlanjut di Bantaeng. Dalam buku ini ia memberikan gambaran mengenai empat episode penting Banteng sebagai Butta Toa

27

28

(Tanah Tua), budaya Toala, kehadiran Austronesia pembawa gerbah, periode logam dan pewarisannya, serta tradisi megalitik berlanjut. Keempat episode itu menunjukkan bukti tertua kebudayaan Bantaeng sebagaiButta Toa. Bukti arkeologi dari sejumlah situs, antara lain berupa: teknologi alat serpih, alat tulang dan sisa fauna sumber makanan, wadah gerabah, perhiasan kerang, gelang perunggu, serta monument megalitik dan tradisi berlanjutnya. Bukti tertua tersebut memberi gambaran legitimatif Butta Toa serta hubungan primordial kebudayaannya dalam konteks Sulawesi.

28

29

C. Kerangka Pikir

Objek penelitian ini menimbulkan beberapa pertanyaan ilmiah yang perlu dipecahkan atau pencarian solusi. Hal utama yang akan dicapai dalam penulisan ini berupa toponimi yang termasuk dalam Bantaeng kuno, aspek sejarah dari toponimi kuno tersebut, dan peran toponimi Bantaeng kuno dalam terbentuknya kerajaan

Bantaeng. Adapun skema kerangka pikir dalam penulisan ini sebagai berikut:

Skema kerangka pikir

Toponimi pemukiman kuno Bantaeng berdasarkan sumber lisan dan tulisan

Toponimi pemukiman Latar belakang sejarah toponimi kuno Bantaeng pemukiman kuno Bantaeng

Sinoa Gantarangkeke Asal Usul Kebudayaan

Onto Tamarunang Kondisi Mitos

Geografis

Toponimi pemukiman kuno Bantaeng

29

30

D. Definisi Operasional

Untuk memperjelas pembahasan yang dibahas maka perlu diberikan definisi oprasional berdasarkan judul penelitian ini. Maka dari itu, penulis berusaha untuk mengutarakan atau menjelaskan tentang hal yang berkaitan dengan penulisan tersebut:

1. Toponimi: Pengetahuan tentang asal-usul nama tempat. Cabang ilmu

linguistik

2. Bantaeng kuno: Wilayah/daerah yang telah ada di Kabupaten Bantaeng pada

masa pra-islam.

3. Sumber lisan: Sumber yang berasal dari keterangan dari orang-orang yang

mengalami atau mengetahui peristiwa pada masa lalu.

4. Sumber tulisan: sumber sejarah yang diperoleh melalui catatan fakta masa

lampau yang berbentuk naskah, prasati dan lain sebagainya.

5. Mitos: cerita rakyat sejarah masyarakat yang dikembangkan, berhubungan

dengan bahasa yang diucapkan manusia yang diyakini dapat dijadikan

sebagai pedoman hidup dalam hukum sastra lisan yang mengatur perilaku

hidup manusia.

30

BAB III

METODE PENELITIAN

Metode adalah cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan, dan sebagainya). Cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan untuk mencapai tujuan yang ditentukan.

Metode penelitian merupakan alat, prosedur dan teknik yang dipilih dalam melaksanakan penelitian (Djajasudarma, 1993:1). Hal yang akan diuraikan dalam bab ini mencakup jenis, sumber data, metode pengumpulan data, metode analisis data, dan prosedur penelitian. Dengan kata lain, dalam bab ini akan dibahas tentang tahap dan cara penelitian.

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian berjenis kualitatif adalah penelitian yang menjelaskan kualitas data. Dengan begitu penelitian ini juga bersifat deskriptif, karena dalam proses pencapaian hasil diperlukan uraian mengenai sejumlah kualitas dari data-data yang diperoleh, sehingga penelitian ini dapat pula disebut penelitian yang bersifat deskriptif kualitatif (Moleong 1995:2-6). Sejalan dengan definisi tersebut, Bogdan dan Taylor (1957:5) mengemukakan bahwa metode kualitatif sebagai prosedur penelitian yang mengahailkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang dan prilaku yang yang dapat diamati. Hal tersebut sangat sesuai dengan objek

32

penelitian ini yang akan menggali toponimi Bantaeng kuno berdasarkan sumber sumber lisan dan tulisan.

B. Data dan Sumber Data

Data adalah bagian yang palian penting diperoleh dengan utuh, sehingga keperluan data yang lengkap akan membantu penulis untuk meneliti. Pengumpulan data yang dilakukan pada penelitian ini berasal dari data primer dan data sekunder.

1. Data primer

Data primer pada penelitian ini adalah naskah lontara sebagai sumber tertulis dan dipadukan dengan informasi sumber lisan yang diperoleh melalalui wawancara kepada orang yang mengetahui tentang sejarah toponimi Bantaeng. Naskah Lontara yang menjadi sumber dalam penelitian ini adalah Lontara Bantaeng dan Lontara

Karaeng Ujung Moncong.Kedua naskah ini disajikan gambarannya sebagai berikut.

Naskah Lontara Attoriolong Bantaeng(MS A) dalam bentuk fotokopi yang kodeksnya merupakan koleksi Badan Arsip Dan Perpustakaan Daerah Provinsi

Sulawesi Selatan. Naskah ini mengisahkan tentang silsilah-silsilah keturunan kebangsawanan kerajaan Bantaeng. Naskah ini milik Karaeng Imran Massualle.

Beliau adalah anak dari raja terakhir kerajaan Bantaeng. Beliau bertempat tinggal di

Jl Bungung Barania, Kelurahan Pallantikang, Kecamatan Bantaeng. Naskah ini belum ditranliterasi maupun diterjemahkan sebelumnya. Naskah ini menjadi naskah primer dalam penulisan ini.

32

33

Naskah Lontara Appanassai Karaeng Ujung Moncong (MS B) dalam bentuk fotokopi yang kodeksnya merupakan koleksi Balai Bahasa Ujung Pandang telah diteliti dan ditulis oleh Pananrangi Hamid dan Tatiek Kartikasari. Naskah ini mengisahkan tentang perjalanan Karaeng Ujung Moncong yang melakukan hubungan-hubungan dengan kerajaan sekitar dan pengungkapan latar belakang nilai da nisi naskah kuno. Naskah ini berkedudukan sebagai naskah sekuder dalam penulisan ini.

2. Data sekunder

Data sekunder adalah data hasil studi pustaka yang berhubungan dengan pembahasan, juga dilakukan studi pustaka terhadap penelitian tersebut dan refrensi lain yang dianggap relevan dalam penelitian. Data tersebut dijadikan sebagai bahan penunjang atau bahan bandingan dalam memahami data primer.

Data sekunder juga merupakan sumber data penelitian yang diperoleh melalui media perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan, bukti yang telah ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara umum. Dengan kata lain, untuk mendapatkan data sekunder peneliti membutuhkan pengumpulan data dengan cara berkunjung ke perpustakaan, pusat kajian, pusat arsip atau membaca banyak buku yang berhubungan dengan penelitian ini.

33

34

C. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang akan dilakukan oleh penulis meliputi metode pustaka dan metode lapangan. Kedua metode tersebut berkedudukan seimbang artinya keduanya sama pentingnya. Berikut penjelasan terkait dengan penggunaan metode pustaka dan metode lapangan:

1. Metode Pustaka

Penelitian ini menggunakan metode pustaka, penulis melakukan pembacaan buku-buku, internet, dan literatur lainnya yang berhubungan dengan objek penelitian ini. Dalam melakukan studi pustaka, penulis membaca sejumlah buku-buku yang berkaitan dengan objek kajian yang akan dibahas. Hal ini dimaksudkan untuk memeperoleh data dan gambaran umum tentang objek yang akan dianalisis. Dari hasil bascaan tersebut, penulis mencatat data berupa informasi terkait toponimi

Bantaeng kuno dan hal-hal yang dianggap penting sebagai bahan untuk membahas objek kajian dan menjadi penunjang dalam pembahasan penelitian ini.

2. Metode Lapangan

Pengumpulan data dari lapangan pun sama pentingnya dengan metode pustaka. Sebab data primer yang berupa sumber lisan hanya bisa didapatkan dalam masyarakat. Dalam penelitian lapangan digunakan metode dan teknik yang sesuai dengan tujuan penelitian, adapun metode lapangan yang digunakan yaitu wawancara dan pencatatan.

34

35

a. Teknik Wawancara

Wawancara merupakan metode pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh informasi langsung dari sumbernya. Wawancara ini merupakan salah satu metode pengumpulan data pada penelitian kualitatif. Dalam melakukan wawancara ini peneliti mempersiapkan sejumlah daftar-daftar pertanyaan yang dianggap penting dan menunjang pengkajian objek penelitian. Selain pertanyaan yang telah disiapkan, pertanyaan diluar dari daftar bisa saja timbul atau pertanyaan yang telah ada tidak ditanyakan. Hal tersebut terjadi untuk melakukan penyesuaian dengan kondisi saat wawancara berlangsung. Maka dari itu, saat melakukan wawancara peneliti lebih bersifat dinamis tetapi tetap pada koridor yang telah ditentukan. b. Teknik Pencatatan

Pencatatan dilakukan untuk mencegah pemalsuan ingatan karena terbatasnya ingatan. Teknik ini juga dilakukan apabila adanya data-data yang tidak terduga dan dianggap relevan dengan penelitian ini. Pencatatan dilakukan untuk mencatat semua hal yang berkaitan dengan toponimi Bantaeng kuno ke dalam buku catatan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

D. Teknik Analisis Data

Data yang telah dipilih haruslah dianalisis dengancara yang tepat karena analisis data merupakan bagian yang terpenting dalam sebuah penelitian ilmiah.

35

36

Dikatakan sangat penting, karena dari analisis ini akan diperoleh temuan berdasarkan fokus atau masalah yang ingin dijawab.

Teknik analisis data dalam penelitian ini meggunakan Teknik deskriptif kualitatif, berdasarkan Teknik tersebut maka langkah-langkah yang ditempuh dalam proses analisis ini sebagai berikut:

1. Membandingkan data-data satu dengan data yang lain, dengan tujuan untuk

mengelompokkan data-data dalam kategori yang sejenis.

2. Mengategorikan data-data sesuai dengan kerja penelitian yaitu asal usul toponimi,

kebudayaan, kondisi geografis, dan mitos.

3. Menyajikan rangkuman data secara sistematis yang berhubungan dengan toponimi

pemukiman kuno Bantaeng.

4. Membuat penyimpulan tentang toponimi pemukiman kuno Bantaeng, latar

belakang aspek-aspek kesejarahan toponimi kuno Bantaeng dan bukti dokumentasi

yang terkait tentang toponimi pemukiman kuno Bantaeng.

E. Prosedur Penelitian

Dalam melakukan penelitian tentunya ditempuh langkah-langkah (prosedur) sebagai rancangan atau gambaran tentang penelitian yang dilakukan. Adapun prosedur penelitian yang berkaitan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menentukan topik;

2. Menentukan fokus perhatian pada persoalan yang akan diteliti;

36

37

3. Mengidentifikasi masalah dan membatasi masalah;

4. Merumuskan masalah penelitian dan menentukan tujuan dan manfaat

penelitian;

5. Menentukan konsep permasalahan serta menggali informasi;

6. Menentukan metode yang dipergunakan dalam penelitian;

7. Menganalisis data atau menafsirkan data untuk memecahkan masalah:

8. Menyimpulkan hasil penelitian yang mencakup garis-garis besar permasalahan

yang telah dibahas.

37

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam historiografi Nusantara seperti yang dituliskan dalam

Negarakartagama menyebutkan Bantaeng sebagai salah satu dari tiga toponimi di

Sulawesi Selatan bersamaLuwuk, dan Udamakatraya. Ketiganya memainkan peranan yang sangat penting di bidang perniagaan dan hubungannya dengan Majapahit pada abad ke 13 M.

Bukti-bukti keberadaan Bantaeng seperti yang disebutkan kitab

Nagarakartagama itu dari segi arkeologis dikuatkan oleh temuan artefak pecah-belah keramik early whiteware dan early monochromes yang berasal dari Cina di lembah

Gantarangkeke. Temuan artefak-artefak itu membuktikan adanya perniagaan maritim kuno di Bantaeng sekitar abad XIII Masehi.

Transliterasi : Muwah tanah I Bantayan pramuka Bantayan len Luwuk tentang Udamakatrayadhi nikanang sanusaspupul…(Mahmud dkk, 2012).

Terjemahan: “ Juga negara Bantayan yang terpenting adalah Bantayan (Bantaeng) di sisi lain Luwuk (Luwu) kemudian Udamakatraya (tidak diketahui), sebagai tritunggal ini adalah yang terpenting di pulau itu”(Mahmud dkk, 2012).

Naskah Nagarakartagamamenuliskan tentang adanya nama Bantaeng dan sudah menjadi bagian penting di Sulawesi Selatan pada masa itu, menjadi narasi yang sangat penting dari segi sejarah historiografi Bantaeng. Pada sisi yang sama Sulawesi

39

Selatan menunjukkan adanya hubungan dalam kaitannya dengan dunia luar terutama hubungan dengan Kerajaan di pulau Jawa.

Sementara itu dalam naskah-naskah lokal Makassar juga memosisikan

Bantaeng sebagai salah satu kerajaan tertua dalam kelompok kerajaan Makassar.

Itulah alasan yang melatar belakangi sehingga Bantaeng diberi julukan dengan nama

Butta Toa. Kata Butta Toa dalam bahasa Makassar terdiri dari dua kata yaitu butta yang berarti tanah atau negeri dan toa berarti tua. Secara Etimologi Butta Toa berarti

“negeri tua” atau toponimi yang muncul masa pra islam yang telah lama ada, bahkan sebelum munculnya kerajaan Bantaeng.

Dalam naskah lontarak terdapat teks-teks yangmemperjelas bahwa Bantaeng termasuk toponimi awal yang telah ada sejak lama dan bahkan sudah melakukan hubungan-hubungan sosial-politik dengan Kerajaan Gowa. Salah satu bentuk hubungan sosial antara kerjaan Bantaeng dan Kerajaan Gowa dalam naskah lontara

Attoriolong Bantaeng dan lontara Appanassai Karaeng Tinggi Moncong ialah pernikahan antara pangeran Bantaeng bernama Karaeng Bayo dengan Ratu Gowa bernama Putri Tamalate.

Transkripsi: Riolo tumannurunga ri gowa/ ana’na karaeng bainea/ ia mi guru karaeng ri gowa karaeng bau ri bantaeng/ ia mi a’bainea tumanurungiri gowa/ ( Sumber : MS A )

Artinya : Dahulu awal mula Tumanurung di Gowa. Anak dari Karaeng Bainea yaitu Karaeng Bau’ di Bantaeng memperistri keturunan Tumanurung di Gowa.

39

40

Dalam kutipan naskah Attoriolong Bantaengdiatas diceritakan bahwa seorang dari keturunan bangsawan dari Kerajaan Bantaeng memperistri keturunan dari

Kerajaan Gowa. Dengan adanya hubungan pernikahan itu membuat dua kerajaan ini menjalin hubungan kekerabatan bangsawannya yang kemudian berkembang kepada hubungan aliansi politik.

Transliterasi: Sisaribattangngi Karaeng Rukeke/ Karaeng Paurangang/ Naung mae/ Nammalo ri Nasarak/ anakna karaeng Loe ri Bantaeng/ (Sumber : MS B)

Artinya: Karaeng Rukeke bersaudara dengan Karaeng Pauranga, turun ke mari melewati Nasara. (Mereka) putra dari Karaeng Loe di Bantaeng.

Dalam naskah lontara Appanassai Karaeng Ujung Moncong di atas menyebutkan bahwa kedua bangsawan dari Kerajaan Gowa ini memiliki darah keturunan Bantaeng. Dimana teksnya menjelaskan bahwa telah ada Toponimi yang bernama Bantaeng pada masa itu. Keberadaan Bantaeng dari tiga naskah kuno yakni naskah kuno Nagarakartagama milik kerajaan Majapahit, naskah lokal LontaraMS A dan lontarakMS Bmenunjukkan Bantaeng sebagai salah satu toponimi yang tercatat keberadaannya dalam dokumen pribumi Sulawesi Selatan dan Jawa.

Istilah Butta Toa dengan jelas memberikan indikasi Bantaeng sebagai toponimi kuno dan memiliki beberapa wilayah-wilayah otonomi sebelum terbentuknya menjadi kerajaan besar Bantaeng. Toponimi-toponimi tersebut yakni

Sinoa, Gantarang Keke, Onto dan Tamarunang. Wilayah-wilayah ini disebutkan telah

40

41

berdiri sejak lama, bahkan lebih awal daripada berdirinya kerajaan Bantaeng sekitar tahun 1254 M.

Pengetahuan mengenai nama itu sangat penting, terbukti dari berkembangnya pengetahuan mengenai segala sesuatu yang berkenaan dengan nama itu. Pengetahuan yang disebut onomastik itu biasanya dibagi mnejadi dua cabang yang dibeberapa negara sudah berkembang menjadi beberapa bidang kajian sendiri. Cabang yang pertama adalah antroponim, yaitu pengetahuan yang mengkaji riwayat asal-usul nama orang atau yang diorangkan. Cabang kedua adalah toponimi yaitu pengetahuan yang mengkaji tentang riwayat atau asal-usul nama sebuat tempat/wilayah.

A. TOPONIMI-TOPONIMI PEMUKIMAN KUNO BANTAENG

Ada empat toponimi yang teridentifikasi sebagai kampung yang lebih awal muncul daripada nama Bantaeng yaitu (1) Sinoa, (2) Gantarangkeke, (3) Onto dan (4)

Tamarunang. Hingga dewasa ini, keempat nama toponimi tersebut masih tercatat dalam peta administratif Kabupaten Bantaeng dan geografisnya masih dapat diidentifikasi walaupun mengalami perubahan seperti perubahan pada administratifnya. Keempat toponimi ini akan menjadi objek pembahasan dalam bagian analisis ini. Wilayah-wilayah yang teridentifikasi tersebut akan digambarkan dalam bentuk peta.

41

42

Gambar 1 : Peta pemukiman kuno Kabupaten Bantaeng

Penjelasan mengenai toponimi kuno di atas berdasarkan keterangan dari beberapa sumber yang diperoleh, yaitu (1) naskah-naskah kuno; (2) Tulisan-tulisan mutakhir yang lebih kritis dan ilmiah; (3) informasi lisan yang diperoleh dari beberapa informan yang memiliki pengetahuan yang mendalam tentang toponimi yang akan dibahas. (4) laporan arsip pemerintah Hindia Belanda. Berikut ini pembahasan mengenai toponimi-toponimi pemukiman kuno Bantaeng.

42

43

B. ASPEK-ASPEK TOPONIMI PEMUKIMAN KUNO BANTAENG

1. Sinoa

Secara etimologi nama Sinoa berasal dari katasino dalam bahasa Makassar dialek konjo berarti ‘sunyi’ dan ditambah partikel ‘a’ yang menunjukkan nama sebuat tempat, Sehingga Sinoaberarti ‘tempat yang sunyi’. Nama Sinoa dari segi sejarahnya terhubung dengan legenda setempat yang kisahnya bermula dari Karaeng Boto

Lempangan yang datang bersama pasukannya berkeliling wilayah berjalan menuju ke utara melalui tempat yang lebih tinggi. Dalam perjalanannya, dia kemudian memasuki hutan-hutan dengan tujuan mencari tempat bermunajat atau bertapa, sekaligus mencari tempat yang tepat untuk memantau musuh yang mengancam akan menyarang wilayahnya. Pada akhirnya dia menemukan titik yang paling tepat untuk melakukan pertapaan dan sekaligus menjadikan tempat itu sebagai posisi untuk mengontrol seluruh wilayahnya agar keamanan negeri terjamin dengan baik. Titik ini ditandai sebatang pohon beringin yang sangat besar dan rindang yang kemudian menjadi tanah Sinoa. Hal ini dapat diketahui melalui cerita rakyat setempat yang disajikan berikut ini:

Transkripsi: Nisare areng sinoa battuanna tampa kasino-sinoang. Iami Boto Lempangan eroki akboya tampa assumbayang. Adakka anraimi mae ri bontoa. Konjoi ri poko lompoa akbanggi. Loe anggotana anjagai, na saba injo wattua eroki akbundu bede’. Anjari kammami joka na kulle nisare areng Sinoa. (wawancara: Andi Mangasali)

Terjemahan:

43

44

Diberi nama Sinoa yang artinya tempat yang sunyi. Kisahnya Boto Lempangan mau mencari tempat bermunajat. Berjalan ke utaralah menuju pegunungan. Di sebuah bohon besar di tengah hutan dia melakukannya. Banyak pengikutnya yang mengikuti dan menjaganya, karena waktu itu dalam keadaan yang rentang penyerangan. Seperti itulah sejarah penamaan Sinoa.

Hingga saaat ini pohon beringin yang menjadi penanda Sinoa ini masih ada dan sangat mudah terlihat bagi siapa saja yang berkunjung ke Sinoa. Ketika kita lewati di jalan raya Bantaeng, pohon tersebut dapat terlihat jelas dari kejauhan karena ia berdiri di puncak pegunungan Loka. Pohon beringin Sinoa ini dari dulu hingga kini dikeramatkan oleh masyarakat sekitar, bahkan banyak orang dari luar yang datang berkunjung untuk melakukan ritual-ritual khusus di tempat itu. Di antara pengunjung ada yang ada mengikat nazar sekaligus melepas nazar misalnya ketika usahanya tercapai. Tidak sedikit di antara mereka biasa melakukan acara-acara termasuk memotong kambing atau ayam di sekitar pohon beringin tersebut.

Gambar 2: (1) Foto Pohon Beringin Sinoa (dari titik jalan poros antarkecamatan) (2) Gunung Lompo Battang (Sumber: Dokumen Pribadi, 2018)

44

45

Sinoa terletak pada posisi koordinat 119o55’39” BT dan 05o30’10” LS. Sinoa merupakan toponimi kuno Bantaeng yang terletak di bagian barat kab Bantaeng yang

2 luas wilayahnya ±143.13 Km dengan batas-batas wilayah: (Utara) Gunung Lompo

Battang, (Timur) wilayah Onto, (Selatan) Laut Flores, (Barat) Kab. Jeneponto. Sinoa mempunyai kondisi alam yang sebagian wilayahnya berada dipesisir dan sebagian lagi berada di atas pegunungan yang berbukit-bukit dengan ketinggian 300-1000 mdpl. Demikian tanahnya cukup subur untuk lahan perkebunan. Sinoa pada umumnya memiliki suhu rata-rata berkisar antara 22oC sampai 40oC dengan tingkat curah hujan 65 mm/tahun yang terbilang sedang dan memiliki 2 musim yaitu musim hujan dan musim kemarau.

Secara administratif, saat ini Sinoa merupakan nama sebuah kecamatan di

Kab Bantaeng yang di dalamnya terdapat beberapa desa yang menjadi bagian dari kecamatan sinoa yaitu : Bonto Bulaeng, BontoKaraeng, Bonto Maccini, Bonto

Majannang, Bonto Matene, dan Bonto Tiro.

Sinoa tergolong sebagai salah satu hunian prasejarah, hal ini ditunjukkan dengan ditemukannya bukti arkeologis yaitu situs batu ejayya. Situs ini adalah sebuah kawasan hunian prasejarah Tolian di lingkungan formasi batuan gunung api

Lompobattang. Kawasan hunian praneolitik tersebut diperkirakan dimulai pada pertengahan Holosen atau pada kisaran 4700 atau 4300 tahun silam. Penghunian terus berlanjut hingga kehadiran penduduk berpenutur Astronesia sebagai pembawa budaya noelitik di Sulawesi. Hal tersebut dibuktikan dengan temuan lapisan tembikar pada layer atas di situs Batu Ejayya. Penduduk Austronesia mulai hadir di Mallawa

45

46

Sulawesi Selatan, pada kurun waktu antara 3500 hingga 2200 tahun silam. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Mahmud (2017) bahwa penghuni Toalian di Batu

Ejayya diduga kuat pernah hidup berdampingan dan melakukan pertukaran budaya dengan penduduk pembawa tradisi teknologi tembikar dan bercocok tanam ini.

Mitos masyarakat setempat memercayai bahwa konon salah satu nenek moyang mereka bersisik seperti ular. Dari legenda tersebut, sehingga simbol kerajaan

Sinoa dulunya bergambar ular. Mitos ini yang membentuk prilaku masyarakat Sinoa yang pantang membunuh ular.

Mereka sering mengadakan acara adat tahunan yang disebut dengan Attammu

Taung. Acara Attammu Taung ini bukan hanya dilakukan di wilayah Sinoa, tetapi juga warga Sinoa yang berada di daerah lain, seperti Gowa, Makassar, dan Takalar juga biasa melakukan acara menghormati leluhur mereka dengan mempersembahkan nasi empat rupa symbol dari appasulappa yang bermakna empat unsur alam yang menjadi symbol manusia yakni: tanah, air, api dan udara,dan disertakan denga lauk pauk untuk dipersembahkan kepada leluhur meraka. Masyarakat Sinoa hingga kini masih melakukan kebiasaan-kebiasaan yang diwariskan oleh nenek moyangnya.

Bukti peninggalan masa lampau pun masih dapat di temukan di wilayah yang sama yaitu Sinoa. peninggalan yang ditemukan situs Borong Toa yang merupakan bukti bahwa memang sudah ada kehidupan di wilayah ini. Ada beberapa bentuk megatilik. Seperti susunan batu temu gelang, batu pemujaan, dan lumping batu. Batu pemujaan berbentuk bulat digunakan sebagai media ritual adat, disebut saukang.

Penanda medium barupa batu vulkanik berukuran 160cm dengan diameter 150cm.

46

47

situs ini masih sering dikunjungi oleh penduduk bagian selatan untuk menyampaikan nazar. Jejak aktivitas ritual beberapa lilitan benang mengelilingi batu saukang dan juga terdapat persembahan seperti telur ayam, buah pinang, daun sirih, dan kelapa.

Gambar 3 : Situs Borong Toa Sinoa ( Sumber : Irfan Mahmud dan Budianto Hakim, 2017)

Didekat situs ini, tidak jauh dari sungai, terdapat berbagai bongkahan batu berlubang, diidentifikasi sebagai lumpang. Ciri fisik permukaan lumpang ini permukaanya halus serta berlubang mengerucut ke bawah yang mengidentifikasikan bekas pemakaian intensif untuk menumbuk biji-bijian.

Material untuk membuat lumpang cukup tersedia disekitaran aliran sungai bissappu. Hal itu berarti bahwa masyarakat memanfaatkan sumber daya alam sekitar pemukimannya. Di bagian lain dalam situs ini ditemukan juga susunan batu vulkanik berbentuk persegi panjang, terletak di tengah kebun sebelah selatan jalan poros antar desa. Belum diketahui fungsi bentuk megalitik ini. Penduduk di sekitar temuan megalitik ini juga tidak mengetahui fungsinya. Namun secara komparatif bahwa bentuk monument seperti ini juga terkait dengan ritual budaya masyarakat.

47

48

Gambar 4 : Susunan Batu Vulkanik di Borong Toa ( Sumber : Irfan Mahmud dan Budianto Hakim, 2017)

Tanah Sinoa merupakan tanah yang subur nan asri. Di sekitar pohon beringin ini juga terdapat pohon-pohon besar lainnya dari berbagai jenis. Dalam kawasan itu, merupakan rumah bagi hewan-hewan di sekitar pohon beringin ini juga terdapat pohon-pohon besar lainnya dari berbagai jenis. Dalam kawasan itu, merupakan rumah bagi hewan-hewan hutan seperti monyet, rusa, serta satwa burung berbagai jenis.

Memasuki kawasan hutan gunung Sinoa, merupakan salah satu objek wisata alam yang sangat menarik bagi wisatawan, karena alamnya masih sangat asli. Lagi pula panorama alamnya sangat indah sehingga bila dikembangkan akan mampu merekrut devisa di sektor pariwisata. Sekarang Sinoa merupakan wilyah penghasil sayur-sayuran dan umbi-umbian terbaik di Bantaeng hal ini dapat terlihat dari lirik lagu yang dinyanyikan oleh Udin Leader penyanyi lokal terkenal yang menceritakan keadaan wilayah setempat:

48

49

Transkripsi: Nia’ se’re pa’rappungang Tampa pa’reja-rejanta Sarro nipau-pau susah mi nikaluppai Eremerasa arengna Nila’lanngi lompo battang Je’ne’ ciknongna antu Assolong mannyaleori Ribiringna lamalaka tamparangna pa’jukukang Attunu-tunu juku dikaluppai susayya RiLokamaki a’cini lame-lame nakoluna Panngisengang lompona Jalarambangna Bantaeng Sikali le’ba’ nicini Kuntung mu nipinruanngi Butta kalabbiranna Butta toa riBantaeng

Terjemahan: Ada sebuah tempat berkumpul Tempat Sering dibicarakan dan susah untuk dilupakan Eremerasa namanya Berada di kaki Gunung Lompo Battang Airnya yang jernih membuat perasaan segar Di tepi Lamalaka. Lautan Pajukukang. Melakukan acara bacar ikan, membuat susah terlupakan. Di Loka kita akan melihat, Umbi-umbian dan sayur-sayuran. Ilmu terbaik yaitu Jalarambang di Bantaeng Sekali kita berkunjung. Maka kita akan rindu untuk kedua kalinya. Tanah kebanggaan. Butta Toa di Bantaeng.

Dari lirik lagu di atas, di gambarkan tentang keadaan Bantaeng di berbagai sektor yakni: pariwisata alam, budaya, dan pertanian. Pada lirik lagu tersebut kita dapat menemukan satu tempat yang berada di wilayah toponimi Sinoa yaitu Loka yang dimana lokasi tersebut merupakan daerah penghasil umbi-umbian dan sayur-

49

50

sayuran terbaik di Kabupaten Bantaeng. Selain sayur-sayuran dan umbi-umbian, sekarang lokasi ini menjadi tempat wisata (agrowisata) bagi pengunjung yang ingin memetik buah apel.

Gambar 5 : lokasi agrowisata loka (Sumber : Dokumen Pribadi, 2018)

Ada beberapa hal yang yang perlu kita catat tentang wilayah Sinoa yakni: pertama Sinoa merupakan salah satu toponimi pemukiman kuno di Bantaeng dengan bukti-bukti temuan arkeologi yaitu situs Borong Toa yang dapat menggambarkan berlangsungnya kehidupan di wilayah ini. Kedua Sinoa memiliki upacara adat tahunan yang disebut Attamu Taung yang dilakukan untuk menghormati leluhur mereka. Ketiga wilayah Sinoa merupakan tanah yang subur disektor agraris yakni tanaman pangan maupun tanaman komoditi. Keempat Sinoa merupakan salah satu potensi pariwisata budaya dan daerah agrowisata yang dimiliki Kab. Bantaeng yang sangat penting untuk diperhatikan pemerintah setampat guna menopang perekonomian daerah dan kesejahteraan, khususnya warga sekitar.

50

51

2. Gantarangkeke

Gantarangkeke dalam bahasa Makassar terdiri dari dua suku kata yaitu

Gantarang berarti ‘Benda Tajam’. Keke bearti ‘tikam/tusuk’. Penamaan ini diberikan berdasarkan latar belakang sejarahnya, yakni merupakan tempat peperangan demi memperubutkan kekusaan wilayah. Sehingga toponimi ini diberinama

Gantarangkeke.

Gantarangkeke merupakan pemukiman kuno Bantaeng dengan titik koordinat

120o02’19” BT dan 05o30’10” LS, terletak di bagian timur Bantaeng dengan luas wilayahnya sekitar ±101,85 Km2. Diketinggian 25-500 mdpl, Gantarangkeke memiliki iklim tropis dengan suhu rata-rata 25.8oC dan curah hujan sedang sekitar

60-70 mm/tahun. Kondisi topografi yang sebagian wilayahnya berada di pesisir dan sebagian lagi berada di pegunungan yang juga berbukit-bukit ditambah dengan konndisi geografisnya yang didominasi oleh batuan vulkanik. Gantarangkeke memiliki batas wilayah, di sebelah (Utara) wilayah Tamarunang, (Timur) Kab.

Bulukumba, (Selatan) Laut Flores, dan (Barat) wilayah Onto.

Sekarang nama Gantarangkeke menjadi sebuah kecamatan yang berada di bagian timur Kab Bantaeng. Pada kecamatan ini terdapat 6 desa yakni : Bajiminasa,

Gantarangkeke, Kaloling, Layoa, Tanah Loe, dan Tombolo.

Pada awalnya kampung ini bernama Tompotikka. Kata Tompotikka dalam bahasa Makassar berarti tempat yang berada diketinggain. Menurut Andi Mangasali secara lisan menuturkan bahwa, konon pada suatu hari orang-orang di wilayah ini ada masyarakat melihat seseorang yang tertidur di atas pohon beringin di wilayah

51

52

Lembang. Karena masyarakat Tompotikka pada saat itu tidak mengenal dan tidak pula mengetahui siapa dan dari mana asal orang yang tidur itu,hingga kemudian masyarakat menganggap orang tersebut tumanurung.

Cerita tumanurung dalam versi lisan ini yakni seseorang bernama

Sawerigading yang kemudian menjadi pemimpin diwilayah Tompotikka.

Sawerigading bermaksud untuk menguasai wilyah-wilayah di sekitar Tompotikka.

Oleh karena itu dia mendirikan rumah untuk peimpin yang disebut Balla Lompoa dan

3 babang (pintu masuk) yang bertujuan sebagain pintu masuk setiap pemimpin dan pasukan yang tantang untuk berperang. Ketiga babang ini berada di utara, timur, dan barat. Sawerigading membuat perjanjian kepada lawannya yakni pemimpin yang berasal dari sebelah utara, timur dan barat wilayahnya untuk berperang di tempat yang di tentukan. Yakni berada dalam wilyah Tompotikka. dia berhasil mengalahkan lawannya yang berasal dari utara dan timur wilayahnya. Setelah menerima pernyataan perang dari Sawerigading pasukan dari barat wilayah ini menuju tempat yang dijanjikan, namun setelah berkali-kali mandatangi tempat yang dijanjikan tersebut pasukan Sawerigading tidak pernah ada di tempat itu. Oleh karena itu tempat ini sekarang dikenal dengan nama Gantarangkeke.

Transkripsi : Bungasa arenna tompo tikka. Tau konjoa mae ri barikbasa’na niak nacini tau tinro rate ri poko’-pokoka. Injo taua sawerigading mingka tau konjoa mae nakareki taumanurung na saba berupi na cini anne taua, nampa tania tongi tau konjo. Akparemi passama turukang na ni angkami anjari rajana konjo mae. Ri wattunna anjari raja, erokmi naewa raja-raja niaka rampi’na. akparemi tallu babang anjari runganna punna eroki ricu. Nisambei arena Gantarang Keke na saba konjoi mae tampana punna erokmi siamba tawwa njari nigallarami

52

53

Gantarang Keke. Punna nia tau mate di kekeangi namapa ni passilamungi bassi tarangna. ( wawancara: Andi Mangasali Dg Gasa’)

Terjemahan : Awalnya bernama Tompotikka. Orang sana di waktu pagi hari melihan seseorang yang tidur di atas pohon. Dialah sawerigading tetapi masyarakat di sana menganggapnya tumanurung karena masyarakat baru melihat orang ini dan dia juga bukan berasal dari wilayah tersebut. Lalu kemudian di buatlah keputusan mengangkatnya menjadi raja. Di waktu dia menjadi raja, dia mau melawan raja-raja yang ada disekitar wilyah tersebut. Dibuatlah tiga jalur untuk sebagai jalan menuju wilayah sekitarnya. Diberilah nama wilayah ini Gantarangkeke karena disana tempatya berperang. Jika ada yang meninggal di tempat itu disana pula akan gilikan kuburnya dan di makamkan bersama dengan senjata tajamnya.

Masyarakat Gantarangkeke percaya bahwa nenek moyang mereka bertempat tinggal di atas bukit yang terdekat dari pemukiman mereka. Masyarakat menganggap bahwa gunung dan kekuatan pembari kemakmuran hidup manusia senantiasa dipelihara dan dihormati. Implikasi dari penghormatan tersebut adalah rasa kepedulian yang ditunjukkan dengan pelaksanaan upacara tertentu. Salah satu bukti ritual tradisi ialah upacara pajukukang di Bantaeng. Pesta adat ini diselenggarakan setiap tahunnya pada pertengahan bulan sya'ban, menyambut bulan suci ramadhan.

Dalam pelaksanaan ritual tersebut terkait dengan situs dan peninggalan masa lalu di

Gantarangkeke.

Ritual pajukukang dilakukan oleh masyarakat Gantarangkeke dan masyarakat penganut sistem kepercayaan itu berasal dari desa-desa sekitarnya. Mereka datang secara berkelompok dengan membawan berbagai makanan persembahan dalam ritual, antara lain : beras, jagung, dan binatang peliharaan seperti ayam dan kambing. Ritual ini diawali dengan mengeluarkan pangngajai, enam bulan sebelum acara inti

53

54

dilaksanakan. Dalam pelaksanaan pangngajai masyarakat adat mengelilingi pemukiman mereka. Persembahan berupa rappo (salah satu jenis buah-buahan) dan kalongkong (kelapa muda) akan disimpan oleh Puang disetiap babang benteng dan tinggalan-tinggalan megalitik di sekitar situs ini.

Rangkaian selanjutnya ialah upacara akkawaru yang dilaksanakan tiga bulan sebelum acara puncak. Dahulu, bagian penting dari ritual akkawaru adalah pawai kerajaan mengeliling wilayah. Pinanti berhenti disetiap sudut pemukiman lalu meletakkan persembahan kepada leluhurnya. Pada dasarnya akkawaru dan pangngajai memiliki tujuan yang sama, yaitu upacara pemurnia dan penyucian kampung dari malapetaka, penyakit, roh dan hal-hal jahat.

Setelah kedua rangkaian terlaksana, maka inti dari pajukukang dilaksanakan.

Masyarakat penganutnya pergi memancing ikan disalah satu sungai di sekitar daerah

Pajukukang dan Korong Batu. Memancing ikan selama tiga hari di daerah

Pajukukang dan sehari di daerah Korong Batu. Sungai tersebut dipercaya sebagai kepunyaan raja Gantarangkeke. Setelah empat hari mereka kembali ke

Gantarangkeke untuk melakukan angnganre taballana. Rangkaian ini berupa pesta makan bersama dari hasil tangkapan ikan pada aktivitas sebelumnya. Selain ikan adapun makanan khas yang tersaji yakni kaloling (makanan yang terbuat dari ketan yang dimasak dan dibungkus dengan daun ‘kaloling’). Berbagai pertunjukan pun ditampilkan dalam rangkaian ini. Pertunjukan silat dan tarian merupakan bagian dari pertunjukan yang sejak dulu dipentaskan dalam upacara pajukukang ini. Dahulu, para kesatria kadang-kadang bertarung hingga mati di passaungang taua (tempat bersilat).

54

55

Seiring perkembangan zaman, sekarang tradisi orang yang bertarung hingga mati digantikan dengan adu ayam jago.

Gambar 6 : Foto Tarian Pesta Adat Pajukukang (Sumber : Dokumen Pribadi, 2017)

Dahulu dalam pertunjukan passaung tau, para petaraung menggunakan senjata tajam atau dalam bahasa setempat dinamakan badik. Bentuk badik yang digunakan memiliki bentuk gangam yang lebih panjang dari pada bagian logamnya.

Hal ini dapat kita ketahui dari cerita narasumber yang mengungkapkan bentuk senjata tajam tersebut:

Transkripsi : Jari anjo wattuna akpassaung tau. Bassinna Gantarangkeke lakbui banoanna bodoi mata bassinna. (Wawancara: Andi Mangasali Dg. Gasa)

Terjemahan : Jadi pada waktu dilakukan pertarungan. Para petarung menggunakan senjata tajam khas Gantarangkeke yang memiliki bentuk panjang ganggamnya pendek mata pisaunya.

Pertarugan dilakukan disebuah tempat yang dinamakan Passaungan Taua. tradisi ini dilakukan dalam rangka untuk mencari petarung yang mampu untuk memimpin pasukan untuk berperang. Kini tradisi tersebut sudah tidak dijumpai lagi,

55

56

namun setiap bulan syaban sebelum menyambut bulan ramadhan tradisi passaung tau biasanya diganti passaung jangang (adu ayam).

Gambar 7 : Tempat Passaung Tau ( Sumber : Irfan Mahmud dan Budianto Hakim, 2017)

Pesta adat tersebut juga mengandung nilai yang sangat luar biasa, antara lain mempererat dan memperkokoh rasa persatuan, kekeluargaan, kegotong royongan serta upaya membersihkan diri dari segala kekhilafan dan dosa yang ada, dengan saling memaafkan. Selain mengandung nilai-nilai kemanusian, pesta adat ini mampu mendatankan wisatawan lokal dan tak jarang pula mendatangkan turis mancanegara.

Pesta adat pajukukang ini perlu dipertahankan karena berpotensi mendorong perekonomian Bantaeng disektor pariwisata khususnya pariwisata budaya.

Beberapa bentuk budaya dan aktivitas manusia masa lampau dapat dijumpai di wilayah Gantarangkeke. Bukti tersebut berupa situs-situs dan temuan monumental.

Dalam lingkungan situs Ganarangkeke ditemukan beberapa menumen batu megalitik.

Monument megelitik utama terdiri dari tiga bagian, yaitu: (1) pocci buttaya (pusat bumi) berupa susunan batu temugelang yang berbentuk melingkar; (2) passaungan

56

57

taua, yakni tempa mengadu kekuatan manusia; (3) pallayangan iloe, yakni tempat raibnya Tomanurung Karaeng Loe. Selain megalitik utama ditemukan pula altar dan dakon dengan 14 lubang. Di bagian lain pula ada susunan batu dikenal dengan nama raraya, yaitu tempat penyembelihan hewan dalam ritual; batu tagese, yaitu batu alam yang berbentuk bulat sebagai sarana ritual; dan batu pattiroang, yaitu monument batu untuk memantau keamanan sekitar situs. Penduduk mengsakralkan benda-benda tersebut sebagai saran ritual pada waktu tertentu. Batu tersebut masih sering dikunjungi oleh masyarakat penganutnya unuk bernazar. Hal itu dapat kita ketahui dengan biasanya ditemukan lilitan tali yang mengelilingi monoloit tersebut sebagai tanda bernazar.

Tradisi mengikat nazar yang dilakukan kelompok masyarakat Gantarangkeke juga dilakukan pada sebuah pohon beringin yang di mana pohon ini dinamakan pohon beringin barana. Kedatangan masyarakat ke tempat ini umumnya untuk melakukan siarah seperti tradisi nenek moyang terdahulu. Yang konon katanya

Karaeng Loe dulu juga menjadikan pohon ini sebagai media untuk menghubungkan permintaannya kepada sang dewa penguasa alam jagad ini. Pada pesta adat pajukukang, salah satu rangkaian dalam pelaksanaannya juga dilakukan di pohon ini. rangkaian acara adat tersebut adalah attoeng (ayunan). Dengan mengikat tali antara tangkai pohon satu dengan tangkai pohon lainnya. Dengan ketinggian 3-8 meter diatas tananh, ayunan toeng umunya diperuntukkan bagi anak-anak, karena attoeng akan membawa perasaan senang bagi anak-anak tersebut.

57

58

Gambar 8 : Pohon Beringin Barana (Sumber :Zainuddin Tika, 2012)

Dilihat dari keadaan alamnya, Gantarang keke juga merupakan toponimi dengan tanah yang subur. Mata pencaharian masyarakatnya ialah petani. Di wilayah itu banyak terdapat kebun-kebun yang ditanami dengan cengkeh, coklat, dan kao-kao.

Tumbuhan ini sangat membantu disektor pendapatan masyarakat Gantarangkeke.

Menurut cerita rakyat, penyebab suburnya wilayah tersebut ialah ketika Karaeng Loe yang ingin memeberantas binatang liar seperti hama babi. Kemudian dilihatnya sang raja babi, kemudian dengan secepat mungkin Karaeng Loe melemparkan pokenya

(tombak) dan menancap dibadan sang raja babi tersebut. Lalu sang raja babi tersebut lari dan masuk kedalam sebuah lubang. Di lubang itulah sang raja babi menghilang.

Lubang tersebut dinamakan Pocci Buttayya. Disuruhnya rakyat Gantarangkeke untuk mencari rotan dan menyambungkan rotan tersebut hingga kedasar lubang. Selama selama tujuh hari tujuh malam rotan tersebut menyentuh dasar lubang dan Karaeng

Loe pun turun. Sesampainya di dasar lubang teranyata dia melihat sebuah negeri dari sang raja babi ini. Karaeng Loe melihat raja babi yang diba pun turun. Sesampainya

58

59

di dasar lubang teranyata dia melihat sebuah negeri dari sang raja babi ini. Karaeng

Loe melihat raja babi yang dibadannya masih ada tombak tertancap. Kemudian

Karaeng Loe menawarkan pengobatan kepada sang raja babi dengan syarat jangan lagi menggagu di wilayah kekuasaanya dan disetujuinya perjanjian itu. Selesai melakukan pengobatan, Karaeng Loe naik kepermukaan bumi dengan memberikan isyarat agar rotan ditarik. Tibalah Karaeng Loe kembali ke permukaan bumi dengan pokenya. Sejak itu Gantarangkeke sudah terbebas dari hama babi dan mereka makmur dengan kesuburan tanahnya.

Hal ini juga tertulis di dalam lontara MS B:

Transliterasi: PASSALAK APPANASSAI BICARANNA KARAENG LOE [165]Passalak appanassai bicaranna Karaeng Loe ri Lakipadada Akoko nikanre lamullamunna/ [166]Mangemi naalle pukena Karaeng Loe ri Bantaeng na nitayangi/ [167]Nigappami ni puke/ Nalullong pukena/ Tassambangi pakkaikna/ [168]Nalullommi naung ri Paratiwi/ [169]Pakrisikmi pammaekna gaukangi ri Bantaeng/ Jarimi angngalle raukang ri munconga/ Sanggenna narapikParatiwi appareng raukang nisambik/ Niulorok naung ri Paratiwi/ Camba natakdongkokki/ [170]Niakmo anak-anak palle jekne/ Ri Paratiwi/ [171]Nakanamo Lakipadada/ Angngapai na sino kamma tauwa antama ri pakrasangenga/ [172]Nakanamo/ Anakna Karaeng ri Paratiwi naik ri lino akkarena-karena/ nituddoki katinting/ [173]Nakanamo/ Inakke attuwaja akballei/ Aklampami/ Battumi/ Antama/ [174]Nakanamo palle jekneka/ Niya tau ipantarang akkana ri nakke attuwajak amballei/ [175]Nakanamo karaeng/ Mangeko angkiyoki/ [176]Battui menge/ Nakanamo/ Nasuru kiyokko Karaenga/ [177]Mangemi/ Battumi mange nakanamo/ Karaenga/ Anggissengko appakballe/ [178]Punna nakana Karaenga/ Nakanmo annanta ko pakalli tuju laklakna/ [179]Antamammi nakereng/ [180]Amminromi assulukang/ Angkana/ Teyako sungkei sakgenna ganna tuju allowa/ [181]Aklampami/ Nabesokmi niak ri lino/

59

60

[182]Gannaki tuju allo/ Nacinikmi/ Takborasakmi/ [183]Nigilingi Bicarayya/ Battui Naik Lakipadada ri lino/ Iya seng naboya mate tamatowaya malolo palanaya assukanna lino anngele tabusa napajokjok assulokanna lino/ Iyaminjo aklanggai langika takbu salaya/ [184]Niakmo tau towa na angang sibuntulang/ Nakana tau towaya akkullei/ [185]Mangemi Attapa/ [186]Nakanamo Tau towaya/ Barak tinroko/ Nakanamo taktinrowak/ TInromako/ Ta- tinroa/ Nakanamo/ Bukbuk sambenngi bassinu nakucinik/ [187]Nabukbuki bassinna/ Pinrami/ Bassinnu cinikmi/ Nitotokmi tajariya tapanu/ Iyamintu tamate tamatowa iyami/ ………./ Iyanamo nakaerokang Allahtaala/ Iyamintu salekna Lakipada naselek assulukanna lino battu ri Paratiwi niparek gaukang ri Gowa/ iyami nikana SUDANGA RI GOWA/ Salama/

Terjemahan: PASAL YANG MENGUNGKAPKAN RIWAYAT KARAENG LOE [165]Pasal yang mengungkapkan perihal Karaeng Loe di Bantaeng. Lakipadada berladang (dan) tanamannya dimakan (oleh binatang/hama). [166]Maka pergilah ia mengambil tombaknya Karaeng Loe di Bantaeng, kemudian ditungguinya. [167]Sempat (babi itu) ditombak (namun) tombak itu dibawanya berlari. Kaitannya tersangkut. [168]Dibawanya turun ke Paratiwi. [169]Sakitlah persaanhatinya Baginda Karaeng Loe di Bantaeng (karena atombaknya hilang). Maka diambilnyalah rotan dari hutan, kemudian dibuatnya anyaman/ tali (lalu) diulurkan turun ke Paratiwi. Ia terjatuh di atas pohon asam. [170]Muncullah (seorang) bocah (yang) akan mengambil air di Paratiwi [171]Barkatalah Lakipadada, kenapa gerangan demikian sepinya orang-orang berkunjung ke perkampungan? [172]Berkatalah (si bocah tadi), putrinya Karaeng ri Paratiwi naik ke bumu untuk bermain-main, kakinya tertusuk duri. [173]Berkatalah (Lakipadada), saya sanggup mengobatinya. (Iapun masuk). Setibanya di dalam. [174]Berkatalah bocah itu, ada seseorang di luar yang menyampaikan kepadaku (bahwa) dia sengggup mengobatinya. [175]Berkatalah Karaeng, pergilah engkau (untuk) memanggilnya. [176]Setibanya di sana, berkatalah (bocah itu), tuan Lakipadada engkau dipanggil (oleh) Karaeng (Raja Paratiwi). [177]Iapun pergilah (masuk ke dalam istana Raja Paratiwi). Tiba di dalam, rajapun bertanya “Tahukah engkau mengobati (orang sakit) ?” [178]Kalau paduka raja yang menitahkannya (lalu) berkatalah ia, siapkan pakkalli sebanyak tuju potong. [179]Masuklah ia (Lakipadada) mengais (mengorek)nya.

60

61

[180](Setelah itu) kembalilah ia (Lakipadada) ke luar sambil berkata “Janganlah engkau membukanya sampai tuju hari. [181]ia pun (kemudian) pergi (dan) diseretnya tombak naik ke permukaan bumi. [182]Setelah cukup tujuh hari (raja pun) menjenguk (putrinya), namun ia (sang putri) sudah hancur berserakan. [183]Dialihkan pembicaraan.Setelah Lakipadada tiba kembali di atas bumi, dicarinya pula ilmu tentang awet muda, tak lapuk oleh usia tua. [184]Diapun bertemu dengan seseorang yang usianya sudah tua. Berkatalah orang tua itu, Bisa! [185]Pergilah ia bertapa. [186]berkatah orang tua itu, “mungkin engkau tidur”. Berkatalah ia (Lakipdada), “aku tidak tidur”. Sudahka engkau tidur?, saya tidak tidur. (Berkatah orang tua itu), coba engkau cabut krismu agar aku bisa mengamatinya. [187]Ia pun menghunus kerisnya (ternyata) sudah berubah. Lihatlah kerismu, sudah ditakdirkan (bahwa) bertapamu gagal (untuk memper oleh ilmu) hidup kekal dan awet muda (…) itulah yang dikehendaki (oleh) Allah Taala. Keris yang diselipkan dipinggal Lakipadada sewaktu keluar dari Paratiwi itulah yang kemudian dijadikan simbol kebesaran Kerajaan Gowa. Itulah yang di beri nama SUDANGA RI GOWA. Waassalam. Tamat.

Dalam naskah lontaraMS B pada pasal Bicaranna Karaeng Loe, menceritakan bahwa Lakipadada pergi ke tanah Bantaeng ingin mencari obat untuk tetap awet muda. Akan tetapi dia tidak mendapatkan apa yang diinginkannya itu karena semua hukum alam berlaku atas ketetapan Allah SWT.

Gantatarangkeke juga pernah menjadi pusat kekuasaan awal di Bantaeng timur sebelum kerajaan Bantaeng terbentuk. Gantarangkeke terletak dua kilometer kearah hilir pada semenanjung yang sama dengan Lembang Gantarangkeke. Dataran yang rata dan luas terentang sepanjang puncak semenanjung tempat pemukiman itu berada sejak dahulu di sebut sebagai Tanah Loe. Kerajaan Gantarangkeke yang berpusat di sungai Biangkeke Tompobulu, sebelah timur Bantaeng, tampaknya lebih menonjol di banding kekuatan yang lain. Gantarangkeke tumbuh dan bangkit pelan- pelan menjadi kerajaan yang bertumpu pada perniagaan sebagai pelabuhan perantara

61

62

tempat bijih besi dari Luwu, cengkeh dari Maluku ditukarkan dengan persolin Cina.

Barang- Barang perunggu dan kain didatangkan dari Majapahit. Posisi Tanah Loe

Gantarang Keke sekarang ditandai dengan vegetasi kuno berupa sebatang pohon beringin besar tumbuh dan masih menjadi media upacara Karaeng Loe yang biasa dilakukan setiap tahunnya.

Gambar 9 : Barugayya Pusat Pemerintahan Kerajaan Gantaranngkeke (Sumber : Dokumen Pribadi, 2018)

Ada beberapa hal yang dapat kita ketahui dari penjelasan tentang toponimi

Gantarangkeke yakni: (1) Gantarangkeke merupakan wilayah kuno Bantaeng yang menjadi bagian sejarah pra islam Kabupaten Bantaeng (2) Gantarangkeke memiliki pesta adat dan ritual-ritual tradisi waisan dari nenek moyangnya (3) Ganarangkeke merupakan tanah yang subur yang dapat meningkatkan perekonomian Bantaeng dibidang perkebunan. (4) Gantarangkeke banyak memiliki peninggalan-peninggalan arkeolog diantaranya :batu kare tujua, batu pocci buttaya, dan juga mitos-mitos yang membuktikan adanya aktivitas kehidupan di masa lalu.

62

63

3. Onto

Nama toponimi Onto berasal dari bahasa Makassar setempat yaitu Bontoyang berate ‘bukit/dataran tinggi’. Penamaan ini dikarenakan letak pusat toponimi ini berada diatas dataran tinggi yang sekarang menjadi salah satu kawasan adat yang ada di Kabupaten Bantaeng.

Secara koordinat Onto berada pada 119056’58” BT dan 05032’37” LS. Onto terletak di bagian bagian tengah Bantaeng yang memiliki luas wilayah ±76,99 Km2 dengan batas-batas wilayah (Utara) wilayah Tamarunang dan wilayah Sinoa, (Timur) wilayah Gantarangkeke, (Selatan) Laut Flores, (Barat) wilayah Sinoa. Wilayah ini memiliki ketinggian 25-700 mdpl. Wilayah Onto sebagian bertopofgrafi datar, bergelombang dan berbukit dengan kondisi geologis didominasi oleh jenis batuan endapan permukaan, endapan sedimen, dan batuan endapan. Kondisi geologi dan kondisi tanah diwilayah ini pada umumnya memiliki jenis tanah podzolik dan vulkanik yang dimanfaatkan untuk melakukan cocok tanam dengan curah hujan 66 mm/tahun dan suhu rata-rata 200C sampai 370C.

Berbeda dari dua toponimi sebelumnya, nama Onto kini menjadi sebuah kelurahan yang tercatat sebagai salah satu kelurahan yang terdaftar di kecamatan

Bantaeng. Kelurahan Onto terbagi atas 3 lingkungan yang menjadi wilyah administratifnya.

63

64

Dalam versi lain ada pula yang berpendapat bahwa, nama toponimi ini di ambil dari Bahasa Cina yaitu Onto yang berarti ‘jalan’. Menurut narasumber yaitu

Karaeng Imran Massualle,Onto secara terminologi merupakan jalan adanya awal mula kehidupan baik di wilayah itu maupun di sekitarnya.

Transkripsi : Lekbak sekre wattu kulangngere Karaeng Massualle na kua, Anjo Onto battu ri bahasana cinayya ni kua rungang. Massuna kutade iami rungang niakna katallasang ri Bantaeng. Injo ji ku langgere baji anjo wattua.(Wawancara : Karaeng Imran Massualle) Terjemahan : Pernah satu waku saya mendengar Karaeng Massualle (Raja Terakhir) mengatakan bahwa itu Onto berasal dari bahasa cina yang berarti jalan. Maksudnya mungkin bahwa sebagai jalan adanya kehidupan di Bantaeng. Hanya itu yang pernah saya dengar saat itu. Ini dibuktikan adanya penamuan satu lusin piring keramik motif Cina yang kini telah di musiumkan (Wawancara : Kr Imran Massualle)

Banyaknya penemuan kuburan dan benda-benda keramik Cina di Bantaeng membuktikan bahwa orang Cina pada zaman pra sejarah sudah banyak memasuki pelosok desa di Bantaeng untuk melakukan perdagangan keramik yang dibawa dari negaranya dan bahkan mereka menetap di perkampungan itu. Hal ini di tunjukkan pula banyaknya temuan keramik di Onto. Analisis yang dilakukan terhadap keramik yang ditemukan tersebut berasal dari Dinasti Sung (abad XI-XII), Yuan (abad XIII-

XIV), Ming (abad XV-XVI) Vietnam (abad XV-XVI), Ching (abad XVIII-XIX),

Eropa (abad XIX-XX). Jika berdasarkan presentase penemuan keramik berdasarkan pada masanya, maka tempak bahwa Onto mencapai puncak dari sekitar abad XV-

XVII Masehi.

64

65

Gambar 10 : Uang Kuno Tahun 1520 (Sumber : Dokumen Pribadi)

Tampak dari sisi 1 (kiri) terdapat gambar seekor ayam jago dan sisi 2 (kanan) terdapat gambar matahari, di bagian pinggirnya ada tulisan lontara dengan tahun pembuatan 1250. Pada uang ini belum ada jumlah nominal yang tertera. Namun pada saat itu koin ini sudah digunakan sebagai alat transaksi.

Sebagai salah satu wilayah kuno, Onto banyak menyimpan peninggalan di masa lalu yang masih bisa di temukan yakni Balla Tujua (tujuh rumah). Balla Tujua merujuk pada jumlah rumah yang ada di atas puncak tebing sebagai pusat ceremonial di masa lalu pernah menjadi simbol kebesaran wilayah Onto. Semua bangunan balla tujua di Onto merupakan tempat tinggal, enam unit rumah menghadap ke utara dan satu unit rumah menghadap ke selatan.

Menurut Dg. Rabania, salah seorang warga Onto. Pada zaman dulu lokasi ketujuh rumah Kare tersebut sangatlah sakral, karena merekalah yang berhubungan dengan penguasa di negerikayangan, sehingga dewa menurunkan Batara yang disebut Tumanurung ke negeri Onto. Kesakralan tersebut tidak dapat dicampuri oleh manusia biasa. Bila mana ada yang mencampuri, semisal membangun rumah di area

65

66

balla tujua maka rumah mereka akan terbakar. Seperti itulah mitos yang ada dari dulu hingga kini.

Gambar 11 : Balla Tujua Onto (Sumber :Zainuddin Tika, 2012)

Berdasarkan informasi yang diperoleh bahwa, pada tahun 1950-an pernah ada seorang warga yang mencoba membangun dua buah rumah di samping Balla Tujua.

Berselang beberapa hari kemudian, salah satu dari Balla Tujua terbakar hebat dan apinya menjilat semua rumah yang ada di dekatnya sehingga Balla Tujua ditambah dua buah rumah yang baru tersebut hangus terbakar. Kerasnya janji rakyat Onto pada rajanya menjadikan mitos ini masih tetap dipercaya oleh masyarakat Onto, teruntuk mereka yang ingkar takut akan bencana kebakaran melanda pemukimannya.

Seperti pesan Tumanurung yang ditututrkan oleh Dg. Bangka:

“inai-naimo Tau natalakkulle nataruppai janjinna, angkanre esoroki anrai, akkanre nagkalei kalau, annusuruki paccerang, abbongongi jala pinruang tuju pinangkana”

Artinya: “Barang siapa yang ingkar dari janjinya, bencana kebakaran dari utara ke selatan, mereka akan bergelut dengan kotoran (comberan) dan tidak akan dipercaya oleh generasi dua kali tuju turunan”.

66

67

Oleh karena itu masyarakat Onto enggan membangun rumah di kawasan adat balla tujua. Mereka sangat mempercayai perjanjian yang terjadi di masa lalu dan khawatir jika melanggar pemukimannya akan dilanda malapetaka.

Adanya bentuk kehidupan prasejarah di Onto bisa kita lihat dengan ditemukannya situs-situs oleh para arkeolog diantaranya batu pallantikang, pocci buttaya, batu temugelang (stone enclosure), dan batu takka bassia. Batu pallantikang yang dulu digunakan untuk melantik para raja-raja yang akan menjabat. Dari ketujuh altar batu tersebut, empat diantaranya memiliki lubang dakon, semantara dua yang lainnya tidak dapat diidentifikasi komposisi lubangnya karena sudah aus. Satu diantara altar batu tersebut memiliki lubang dakon sebanyak 14 bagian. Beberapa bagian permukaannya memiliki 12 goresan berbentuk garis-garis lurus.

Gambar 12 : Pocci Butta Ri Onto (Sumber :Irfan Mahmud dan Budianto Hakim, 2017)

Masyarakat Onto meyakini satu batu penanda yang disebut pocci butta (pusat bumi). Batu ini memiliki ukuran panjang 71 cm dan lebar 57 cm. Pocci butta hingga kini masih disakralkan dan diberi pembatas berupa pagar bambu persis di depan pohon besar. Hingga kini, pada hari-hari tertentu masih berlangsung ritual pocci

67

68

butta,ditandai masih terdapatnya sisa sesajian disekitarnya, berupa kelapa dan seikat daun sirih.

Di lingkungan Onto terdapat tanah datar, terletak di samping balla lompoa disebut passaungan taua. Dahulu tempat ini digunakan sebagai lokasi pertarungan manusia untuk mencari orang barani, calon panglima perang. Selain itu, di situs Onto terdapat sebuah bukit di sebelah tenggara yang disebut takkang bassia (tempan mengolah besi). Lokasinya di tandai dengan susunan batu vulkanik berbentuk huruf

U, berukuran panjang 286 cm, lebar 226 cm dan tinggi 80 cm. penamaan ini sekaligus merupakan petunjuk kuat mengenai hubungan erat antara tradisi megalitik dengan priode logam fase awal di Bantaeng. Hubungan itu diperkuat dengan temuan batu yang diperkirakan mengandung unsur besi, namun tentunya masih diperlukan analisis laboratorium untuk lebih memastikan kandungan besinya

Gambar 13 : Struktur batu Takkang Bassia atau tempat pengolahan besi (Sumber :Irfan Mahmud dan Budianto Hakim, 2017)

Pada bagian utara dari balla lompoa terdapat susunan batu temugelang dengan ukuran diameter 109 cm, tinggi 48 cm dan tebal 44 cm. memeng beberapa susuna

68

69

batu temu-gelang telah hilang, namun pada bagian seltan masih terdapat struktur melingkar yang dapat dipakai sebagai acuan utnuk melihat bentuk keseluruhannya.

Masyarakat di sekitar menamakan struktur temu-gelang bagian selatan balla lompoa ini sebagai barugaya, yakni sebagai tempat pertemuan untuk melakukan aktivitas sosial seperti musyawarah adat oleh masyarakat setempat.

Gambar 14 :Barugaya sebagai tempat pertemuan dan arena kegiatan sosial. (Sumber :Irfan Mahmud dan Budianto Hakim, 2017)

Sekarang Onto merupakan wilayah dengan kondisi tanah yang subur dan makmur. Menurut cerita daeng Bangka salah seorang pemuka adat dari

Gantarangkeke suatu ketika Onto mengalamu bencana dimana semua tanaman mengalami kekeringan, ikan-ikan di sungai menghilang, demikian juga binatang buruan. Kare sebagai pemimpin kaum merasa bertanggung jawab atas kondisi yang dihadapi warganya. Mereka berdoa kepada dewata agar diberikan rejeki untuk kemakmuran rakyatnya. Seusai berdoa tiba-tiba dikagaetkan dengan suara gemuruh disertai awan tebal yang tak lama kemudian hujan lebatpun turun.

69

70

Pada masa tumanurung sebagai pemimpin dari kerjaan bantaeng, beliau berfungsi sebagai seorang guru yang mengajarkan kepada rakyat Onto bercocok tanam yam baik, cara menumbuk padi, dan yang paling penting adalah merubah kebiasaan masyarakat saat itu yang memakan dedak beralih untuk memakan berasnya, demikian juga cara berburu dan menangkap ikan di sungai atau di laut.

Onto menjadi pusat kekuasaan Bantaeng tengah ketika periode

Tumanurung.Bissampole dan Lembang Cina menjadi penting ketika pusat kerajaan berpindah ke bukit Onto. Kedua daerah ini memiliki potensi alam berupa tanah yang subur yang sebagaian besar terletak di lembah sungai calendu. Kedua daerah ini memiliki potensi alam berupa tanah subur yang terletak di lembah sungai Calendu menjadikan sangat cocok untuk pertanian. Berkembangnya areal persawahan menjadi lebih luas mengakibatkan jumlah sumber daya manusia yang bergerak dibidang pertanian. Dengan hasil pertanian yang melimpah menjadikan Bantaeng sangat berpengaruh pada masanya.

Onto berada pada geografis yang baik di Bantaeng Tengah yang berada jauh di pedalaman pada semenanjung sempit yang diapit dua sungai serta bertebing tinggi sehingga mudah diperkuat. Kenyataan Bissampole dan Lembang Cina terletak di dataran rendah dan terbuka menandakan kekuatan serta percaya diri yang besar.

Kerajaan ini tidak memerlukan pertahanan yang bersifat alamiah karena memiliki armada tentara yang cukup kuat. Bissampole dan Lembang Cina memanfaatkan kekuatan ini untuk menyatukan semua lembah sungai membentuk Bantaeng menjadi

70

71

satu kesatuan politik dan mungkin sekali menguasai seluruh wilayah ini dati tahun

1450-1600 masehi.

Kepercayaan masyarakat Onto sebelum mengenal agama ibrahimik ialah agama Patuntung. Mungkin sekali kata patuntung berasal dari bahasa Makassar patuttung atau panuntung yang berarti penuntun dalam kehidupan. Ada tiga dasar kepercayaan dalam agama patuntung, yaitu (1) percaya kepada seorang tokoh dewa sebagai cikal bakal keturunan penguasa; (2) percaya kepada roh atau jiwa yang menempati beberapat tempat dalam alam semesta ini; (3) percaya kepada adanya suatu kekuatan gaib yang dimiliki oleh benda-benda pusaka buatan manusia.

Dari beberapa data di atas, adapun hal yang dapat kita catat seputar pemukiman Onto yaitu merupakan toponimi kuno yang ada di Bantaeng. Selain itu

Onto merupakan awal pusat pemerintahan kerajaan Bantaeng. Tanahnya yang subur membuat wilayah tersebut tumbuh dan berkembang di sektor pertanian. Mitos seputar balla tujua masih dipercaya masyarakat adat dan masyarakat Onto. Situs-situs peninggalan masa lalu masih ada dan perlu dijaga. Masyarkat Onto memiliki kepercayaan kuno sebelum masa islam.

4. Tamarunang

Dalam bahasa Makassar nama Tamarunang berasal dari kata Tanga yang berarti ‘Tidak’ dan Runang yang berarti ‘Jatuh’. Menurut cerita yang dituturkan oleh narasumber, wilayah ini dinamakan Tamarunang karena dahulu ada seorang joa

(bawahan/pesuruh) yang bernama Lagaricci diperintahkan untuk berburu kijang kedalam hutan oleh sang pemimpin bernama Patta Nulung. Sang pemimpin berpesan

71

72

kepada bawahanya itu “oe Lagaricci, parikorongi ma’rerea. Iapa numminro punna nuguppai” artinya “dengarlah Lagaricci, carilah makanan untuk dimasak, kamu bisa pulang jika sudah mendapatkan apa yang diperintahkan”. Sebelum melakukan perburuan dia menyiapkan alat-alat yang akan dibawah untuk berburu. Perburuan dilakukan dengan menggunakan kuda. Namun pada hari pertama dia berangkat dia belum mendapatkan hasil buruannya sehigga dia memutuskan untuk beristirahat di dekat 3 pohon dan di dekat pohon itu terdapat pula mata air yang ada di hutan tersebut. Pohon-pohon itu yaitu Bakang (kayu) Bintatoeng, Bakang Didi, dan Bakang

Pintong. Lagaricci memperhatikan pohon bakang bintatoeng ini. Dia merasa aneh melihat buah yang jatuh dari pohon ini. Buah dari bakang bintatoeng tidak jatuh kecuali dengan tangkai kecilnya. Setiap buah yang jatuh dari pohon tersebut pasti disertai dengan tangkai kecilnya. Berhari-hari dia berada di dalam hutan tersebut melakukan perburuan sesuai dengan perintah pemimpinnya. Ketika perburuan sudah mendapatkan hasil diapun kembali menghadap pemiminnya dan mengabarkan bahwa di wilayah perburuannya dia melihat kejadian unik yaitu ada pohon yang buahnya tidak jatuh kecuali dengan tangkainya. Dan di sekitar pohon itu ada terdapat mata air yang dia gunakan untuk bertahan hidup selama perburuan. Mendengar kabar itu Patta

Nulung meminta “eranga mae ri tamarunangan” artinya “bawah saya ke tempat pohon yang buahnya tidak jatuh itu kecuali dengan tangkainya”. Sesampainya disana

Petta Nulung mendapatkan firasat bahwa wilayah ini bisa di jadikan tempat tinggal karena tanah ini merupakan tanah yang subur dan terdapat mata air. Legenda ini dipaparkan narasumber dalam sesi wawancara :

72

73

Transkripsi : Anjo Tamarunang battuanna tanga rungangi. Anre’na tantang kale-kale assinna pasti surangi tangke cakdina. Niak tallu poko’ kayu lalang ri romanga iami bakang bintatoeng, bakang didi, bakang pintong arenna. Annemi poko bintatoenga na massu tanga tantangi assinna punna tanre nassurang tangkenna. Rampina joka poko kayua, niak tommi uluere manna ri wattunna timoro ato baraki tanga lekba esa’ erena. I Lagaricci arena into angguppayyai ri bungasa’na. joa’na Petta Nulung. lampana kuta’nang mi rajana i Petta Nulung. Caritanna injo nisuroi lampa anjakko jonga lalang ri romanga. Nipappasangi kua “oe Lagaricci, parikorongi ma’rerea. Iapa numminro punna nuguppai”. Lampami injo Lagaricci akjarang. Akbangngi i lalang ri romanga. Kunjoi rawanna poko bintatoenga aktinri. Wattunna naguppami jongana. Miromi napawwang Petta Nulung angkuami niak konjo mae pokok kayu punna tanntangi assinna minawangi tangkenna, rampi’na niak pole uluere. Anjari inne Petta Nulung nakuami “eranga mae ri tamarunang”. bajiki injo tampaka punna nipammantangi i. (Andi Mangasali Dg. Gasa)

Terjemahan : Tamarunang itu berarti tidak jatuh. Tidak jatuh buahnya kecuali dengan tangkai kecilnya. Ada tiga pohon di dalam hutan yakni pohon bintatoeng, pohon didi, pohon pintong. Pohon bintatong yang dimaksudkan dengan pohon yang buahnya tdk jatuh kecuali dengan tangkai kecilnya itu. Di dekat pohon tersebut ada juga mata air biar musim kemarau tidak pernah kering. Yang pertama kali menemukannya ialah Lagaricci. Pesuruhnya Petta Nulung. Kisahnya itu dia di suruh berburu menangkap rusa. Disampaikanlah kepadanya bahwa “ wahai Lagaricci, carilah sesuatu untuk bahan makanan. jangan kembali sebelum mendapatkannya”. Berangkatlah dengan menunggangi kuda. Dia bermalam di dalam hutan dan tidur di bawah pohon bintatoeng tersebut. Kemudian pada saat dia berhasil menpatkan rusa, diapun kembali dan mengabarkan kepada Petta Nulung bahwa di sana sy melihat sebuah pohon yang apa bila buahnya jatuh pasti ikut dengan tangkai kecilnya, kemudian di dekatnya terdapat mata air. Lalu Petta Nulung berkata “antar saya ke Tamarunang”. Mungkin tempat itu sangatlah bagus untuk ditinggali”.

Letak Koordinat Tamarunang berada pada 120o02’26” BT dan 05o27’28” LS.

Dengan ketinggian 500-1000 mdpl, Tamarunang memiliki topografi berbukit-bukit

73

74

yang berada di pegunungan dan merupakan wilayah terdekat dengan Gunung Lompo

Battang. Daerah ini didominasi berbagai jenis batuan diantaranya batuan endapan dan batuan vulkanis, memiliki iklim dingin sekitar 20-25oC dan tingkat curah hujan sedang 66 mm/tahun. Daerah ini berpotensi sebagai lahan perkebunan komoditi seperti coklat dan cengkeh. Tamarunang memiliki batas-batas wilayah: (Utara)

Gunung Lompo Banttang, (Timur) Kab. Bulukumba, (Selatan) Wilayah

Gantarangkeke, (Barat) wilayah Onto dan wilayah Sinoa.

Tamarunang kini hanya dikenal sebagai nama dusun di salah satu desa, tepatnya desa Barua. Desa Barua berada di Kecamatan Eremerasa tepatnya di bagian utara Kab Bantaeng. Desa Barua secara administratif memiliki 4 dusun yaitu:

Tamarunang, Payung-Payung, Tabuakang, dan Jannayya.

Dalam lontara Attoriolong Bantaeng, pada masa kakaraengan Tamarunang pernah dipimpin oleh seseorang bernama Karaeng Rewayang merupakan keturunan dari Karaeng di Bantaeng. Jelas bahwa Kakaraengang Tamarunang memiliki pertautan geneologi dengan bangsawan Bantaeng, walaupun pada sisi yang sama kronologis Kakaraengang Tamarunang lebih awal daripada Bantaeng.

Naskah MS A pada rol 8/20 mengisahkan secara rinci asal-usul kakaraengang

Bantaeng dengan menyebutkan nama “Mulatauwa” sebagai cikal bakal kakaraengang

Bantaeng.

Naskah MS A memberikan informasi bahwa Mulatauwa memiliki anak yang bernama Massaniga Marataua. Selanjutnya Massaniga Marataua memiliki keturunan

74

75

yaitu Massaniga Maradaya yang merupakan generasi ketiga kakaraengang Bantaeng.

Massaniga Maradaya memiliki tujuh anak salah satunya yang disebutkan bernama

Jagong dan Karaeng Bayo. Jagong memiliki nama lain yakni Tunijallo, dia memperistri Daparisinoti. Jagong atau yang biasa disapa Nijallo memiliki anak yang bernama Karaeng Patampulowa. Yang kemudian lahir lagi keturunan dari Karaeng

Patampulowa yang bernama Putadolanga. Putadolangang mempunyai keturunan yang memimpin sebuah wilayah yakni Tamarunang. Pemimpin wilayah ini bernama

Karaeng Rewata yakni generasi ketujuh kebangsawanan Bantaeng. Karaeng Rewata kemudian memiliki keturunan bernama Manjombea. Manjombea mempunyai anak yang bernama Tunitaba. Dalam MS A dituliskan bahwa Tunitaba memiliki anak bernama Tumapaqrisi Bokona. Tumapaqparisi Bokona memiliki anak bernama

Tutinroa ri Jalala. Tutinroa ri Jalala mempunyai anak yang bernama Tutinroa ri

Marajile. Dari karaeng Tutinroa ri Marajile mempunyai anak bernama Daeng

Moncong bersaudara dengan Daeng Bonang. Daeng Moncong menggantikan ayahnya sebagai pemimpin. Daeng Bonang memiliki anak yang bernama Daeng Mangalle yang melanjutkan roda kepemimpinan Kakaraengang Bantaeng. Setelah wafatnya

Daeng Mangalle, beliau digantikan oleh saudaranya yang bernama Daeng

Mangngakkasi. ketika Daeng Mangngakkasi tutup usia beliau digantikan oleh seseorang yang bernama I Lai. Setelah I Lai meninggal dunia, bergantilah kepemimpinan ke Karaeng Matinrowa ri Marajile yang memiliki panggilan lain yakni

Mappalupaq Daeng Magassing. Gelar Mappalupaq Daeng Magassing diberikan oleh

Arung Palakka. ... (Sumber: MS A)

75

76

Tamarunang kini menjadi sebuah wilayah yang sangat nyaman untuk dihuni.

Karena wilayahnya masih menyediakan hutan yang masih asli sehingga membuat udaranya sejuk.

Gambar 15 : Lokasi Mata Air dan Pohon Tamarunang (Sumber : Dokumen Pribadi, 2018)

Saat ini mata pohon tersebut menurut parawarga sekitar sudah tumbang dan yang tersisa ialah mata airnya yang di jadikan sumur dan diberi nama sumur

Tamarunang. Mata air ini tidak pernah kering walaupun pada musim kemarau yang berkepanjangan hingga sekarang. Bahkan pada musim kemarau air yang dikeluarkan mata air ini semakin banyak. Sebagian masyarakat di wilayah ini banyak yang melakukan ritual ketika akan berangkat haji ataupun sepulang dari haji. Tidak banyak pula mempercayai air dari sumur ini dapat digunakan sebagai pengobatan.

Saat ini banyak mitos yang berkembang pada masyarakat kampung ini bahwa sumur ini memberikan tanda ketika air sumur tersebut berubah menjadi keruh akan datang hujan lebat yang mengakibatkan banjir. Selain itu mitos dari sumur ini juga

76

77

ketika ada seseorang yang tidak sengaja terjatuh di dekat sumur ini maka akan jodohnya akan disegerakan.

Gambar 16 : (Kiri) Sumber Mata Air (Sumur) Tamarunang (Kanan) simbolis ketika Bernazar Yaitu Mengikat Pita di Sekitar Area Sumur (Sumber : Dokumen Pribadi, 2018)

Seiring berjalannya waktu di sekitaran wilayah ini, banyak ditemukan sumber mata air yang perpotensi dikelolah menjadi tempat wisata dengan konsep pariwasata alam. Salah satu wisata alam yang sudah ada ialah Eremerasa. Permandian alam eremerasa merupakan salah satu tempat wisata yang sangat diminati masyarakat baik dari Bantaeng maupun dari luar daerah. Jaraknya 16 km dari ibu kota Bantaeng ke arah utara. Permandian alam eremerasa merupakan sebuah kolam renang. Air yang mengisi kolom tersebut merupakan air yang keluar dari kaki gunung Lompobattang lalu di buatkan saluran pipa. Sekeliling kolam tersebut di tumbuhi pepohonan yang besar yang membuat udara sejuk.

77

78

Gambar 17 : Permandian Alam Eremerasa (Sumber : Dokumen Pribadi, 2018)

Menurut daeng Saso, salah seorang tokoh masyarakat yang tinggal di sekitar eremerasa memaparkan bahwa keberadaan eremerasa ini memiliki legenda tersendiri.

Suatu ketika, ada seorang putri cantik dari negeri kayangan yang turun mandi di air yang terpancar di kaki gunung itu. Putri cantik itu bernama daeng bulaeng. Itu sebabnya eremerasa ini juga di sebut dengan je’ne bulaeng. Demikian halnya air yang tersembur keras keluar, sehingga warga setempat member nama eremerasa yang artinya air yang terhempas keluar. Memasuki area permandian, menurut kepercayaan orang-orang tua dulu, mandi di eremerasa bisa membuat badan kita mejadi segar dan awet muda. Kita juga dilarang takabbur, sebab jika takabbur dalam kawasan maka akan sakit perut atau kecelakanan. Demikian halnya dengan orang yang merusak lingkungan, misalnya menebang pohon atau prilaku lain yang tidak sejalan dengan etika budaya.

Daeng Bulaeng atau yang sering disapa Amma Bulaeng yang menjaga kemurdian air itu agar tetap bersih dan sehat untuk dikonsumsi sebagai mana dengan

78

79

emas (bulaeng) yang terjaga kemurniannya. Amma Bulaeng yang sudsah lama bermukim di sekitar eremerasa itu duduk disebuah batu dan menghilang di atas batu tersebut. Batu tersebut kini di keramatkan dan di jadikan saukang.

Gambar 18 : Saukang Eremerasa (Sumber : Zainuddin Tika, 2012)

Pekerjaan masyarkat di wilayah ini adalah petani. Kondisi alam tamarunang yang sangat subur para petani menanam tumbuhan komoditi seperti cengkeh, coklat, kacang tanah, dan kao-kao. Seperti kelong masyarakat setempat yang menggambarkan tentang tanah tamarunang yang subur.

Transkripsi: “ Tamarunang butta baji, Butta pa’dinging-dingingan Manna kalongkong nilamung Mattimbo ngaseng ” (Sumber: Andi Mangasali Dg. Gasa)

Artinya: “ Tamarunang tanah yang subur Tanah yang memberikan kehidupan Walau menanam kelapa muda yang tidak mungkin untuk tumbuh, Namun akan tumbuh juga ”

79

80

Lagu tersebut memberi gambaran alam wilayah Tamarunang yang begitu subur. Selain memiliki tanah yang subur di wilayah ini masih terdapat hutan alami yang membuat udaranya menjadi sejuk. Di kawasan ini juga terdapat hutang lindung yang menjadi habitat bagi satwa.

Dari beberapa uraian di atas penulis berkesimpulan bahwa Tamarunang merupakan tanah dengan kekayaan alam yang luar biasa. Banyaknya sumber mata air dan tanah yang subur yang menjadi kebutuhan utama sebagai sumber kehidupan.

Wilayah ini sangatlah berpotensi menjadi sumber pendapatan perekonomian di Kab

Bantaeng di sektor pariwisata dan perkebunan. Adapun tapi tidak banyak yang teridentifikasi bukti-bukti artefak peninggalan di masa lampau, seperti saukang eremerasa dan sumur eremerasa.

80

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari hasil pembahasan yang dilakukan pada bab sebelumnya, dapat di simpulkan bahwa pemukiman kuno yang telah ada sebelum terbentuknya kerajaan

Bantaeng yang berhasil diidentifikasi di toponimi Bantaeng ada empat wilayah, yakni: Sinoa, Gantarangkeke, Onto, dan Tamarunang. Keempat toponimi ini diidentifikasi melalaui beberapa sumber-sumber diantaranya naskah lontara, tulisan- tulisan yang ilmiah, informasi-informasi lisan, dan arsip Hindia Belanda. Keempat toponimi ini merupakan wilayah kuno yang muncul lebih awaldaripada kerajaan

Bantaeng dan yang menjadi cikal bakal terbentuknya kerajaan Bantaeng.

Penamaan keempat toponimi kuno Bantaeng ini diambil dari aspek latar belakang sejarah masing-masing. Topinimi Sinoa berasal dari kata ‘sino’ yang ditambahkan partikel ‘a’ yang merujuk pada nama tempat yang berarti ‘tempat yang sunyi’. Toponimi Gantarangkeke berasal dari dua suku kata dalam bahasa Makassar yakni ‘gantarang’ yang berarti ‘benda tajam’ dan keke yang berarti ‘gali’. Wilayah ini merupakan tempat peperangan berlangsung dalam memperebutkan kekuasaan wilayah. ToponimiOntoberasal dari bahasa Makassar setempat yaitu Bonto yang berate ‘bukit/dataran tinggi’. Penamaan ini dikarenakan letak pusat toponimi ini berada diatas dataran tinggi yang sekarang menjadi salah satu kawasan adat yang ada di Kabupaten Bantaeng. Toponimi Tamarunang dalam bahasa Makassar nama

Tamarunang berasal dari kata Tanga yang berarti ‘Tidak’ dan Runang yang berarti

82

‘Jatuh’. Penamaan itu diberikan berhubungan dengan adanya sebuah mata air di wilayah tersebut yang tidak pernah kering walaupun saat musim kemarau. Aspek- aspek inilah menjadi ciri khas setiap toponimi pemukiman kuno Bantaeng tersebut.

B. Saran

Toponimi pemukiman kuno Bantaeng merupakan salah satu aspek penting dalam kesejarahan Sulawesi Selatan khususnya Bantaeng. Dengan melakukan penelitian terhadap toponimi-toponimi kuno kita dapat menelusuri kebudayaan masa lampau di daerah ini. Oleh karena itu, penulis berharap bagi peneliti selanjutnnya dapat mengungkap dan mengkaji lebih dalam tentang toponimi Bantaeng. Hal ini berguna untuk mengungkap aspek lain dari toponimi Bantaeng yang belum pernah dikaji sebelumnya

82

DAFTAR PUSTAKA

Ahimsa-Putra, H.S. 2006. Strukturalisme Lévi-Strauss, Mitos dan Karya Sastra. Yogyakarta. Kepel Press, Edisi Terbaru.

Denandjaja, James. 1994. Folklor Indonesia:Ilmu Gosip, Dongeng dan Lain-Lain. Jakarta Utara. PT. Pustaka Utama Grafity. Gising, Basrah. 2008. Ilmu Budaya: Sebuah Pengantar. Makassar. Roby Press.

Hasanuddin. 2009. Pemukiman di Sepanjang Daerah Aliran Sungai Biangkeke dan Calendu Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan. Walennae, volume 11, No. 1. Februari 2009. 33-50. Jacub, Rais, dkk. 2008. Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya yang Panjang dari Pemukiman Manusia dan Tertib Administrasi. Jakarta. Pradnya Paramita. Koentjaraningrat. 2005. Pengantar Antropologi I. Jakarta. Rineka Cipta. Liliweri, Alo. 2004. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta. Pustaka Pelajar. Machdalena, Suci. 2018. Prosiding ASBAM ke-7: Intergritas Nusa Maritim dan Penguatan Kebinekaan Alam Melayu di Asia Tenggara. Makassar. Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin. Mahmud, Irfan, dkk. 2007. Bantaeng: Masa Prasejarah ke Masa Islam. Makassar.Masagena Press. ------2017. Butta Toa: Jejak Arkeologi Budaya Toala, Logam, & Tradisi Berlanjut di Banteng. Yogyakarta. Penerbit Ombak. Riana,I Ketut.2009. Nagara Krtagama (Masa Keemasan Majapahit). Jakarta. Penerbit Buku Kompas.

Sakka, La. 2014. Historiogradi Islam di Kerajaan Bantaeng. Makassar. Balai Penelitian dan Pengembangan Agama. Sumarsono. 2009. Pengantar Semantik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Tika, Zainuddin. 2012. Bantaeng Butta Toa. Makassar. Lemabaga Kajian dan Penulisan Sejarah Budaya Sulawesi Selatan.