Contents available at: www.repository.unwira.ac.id

https://journal.unwira.ac.id/index.php/ARTEKS Research paper doi: 10.30822/arteks.v5i2.219

Penerapan konsep kejawen pada rumah tradisional Jawa

Bintang Padu Prakoso, Herman Willianto*

Program Studi Magister Arsitektur, Fakultas Teknik, Universitas Katolik Parahyangan Jl. Ciumbuleuit no. 94, Bandung,

ARTICLE INFO ABSTRACT Article history: The application of kejawen concept on Javanese traditional houses Received Sept. 30, 2019 Received in revised form Oct. 17, 2019 Javanese society has a unique philosophy of life. It is known as Accepted April 18, 2020 kejawen and is applied in daily life, manifested in symbols and Available online August 01, 2020 rituals pertaining to their houses. A house for the Javanese is not merely a place to live, but it is also a place to represent many symbols reminding the philosophy that gives power to the owner. Keywords: Javanese traditional houses have already been previously Javanese house researched, but many of these researches emphasized more on the Javanese philosophy physical aspects, rather than on philosophy of kejawen, which try to Kejawen comprehend the reality intuitively. In order to gain a deep Symbols understanding on this matter, field observation was carried out for

certain period of time, using descriptive qualitative approach. The research result shows that the Javanese house shows a perfect union between macro cosmos and micro cosmos. Omah’or house is *Corresponding author: Herman Willianto derived from the word "Om"and “Mah”.’Om’ means the father of Program Studi Magister Arsitektur, Fakultas space and "Mah" ‘lemah’/land means the mother of the earth. Teknik, Universitas Katolik Parahyangan, ‘Omah’ for is a manifestation of macros and micro Indonesia cosmos. Email: [email protected]

Pendahuluan positif tersebut dibutuhkan konstruksi-konstruksi untuk menghadirkan nilai-nilai magis dalam Kejawen merupakan filsafat hidup orang Jawa rumah. Masyarakat Jawa dalam membangun yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan rumah penuh dengan perhitungan yang matang dimanifestasikan pada simbol dan ritual. Simbol (Sumardiyanto 2016). Tata bangunan rumah dan ritual ini bertujuan untuk mendapat tradisional Jawa, tampak selaras dan logis, keselamatan. Bagi masyarakat Jawa sumber menunjukkan perpaduan antara dimensi-dimensi keselamatan adalah kesatuan numinus yang religius dengan pandangan yang realistis dan terdiri dari lingkungan adikodrati, lingkungan teknis, segi-segi roh dan materinya alam dan lingkungan masyarakat (Suseno 1984). (Mangunwijaya 2009, 106). Filsafat Jawa dapat tercermin dari perilaku, tata Dari penjabaran tersebut, maka nilai rumah busana masyarakatnya dan arsitekturnya. traditional Jawa perlu dikupas, tidak hanya dari Masyarakat Jawa memandang rumah, bukan segi fisiknya saja, namun juga sisi-sisi filosofis hanya sekedar tempat tinggal semata. Rumah yang sangat kental dengan ajaran Kejawen. dianggap mempunyai jiwa yang memberikan Penelitian mengenai rumah Jawa memang daya bagi pemiliknya, jika ada daya yang positif sudah seringkali dilakukan, namun banyak dari yang hadir (Budiwiyanto 2011, 96), rumah akan hasil penelitian tersebut masih menggunakan pola memberikan kenyamanan, ketentraman, dan pikir barat, dimana pembahasan lebih keharmonisan kepada penghuninya menekankan aspek fisik seperti struktur (Sumardiyanto 2019). Untuk menciptakan daya bangunan, utilitas, fisika bangunan ataupun

Copyright ©2020 Bintang Padu Prakoso, Herman Willianto. This is an open access article distributed the Creative Commons Attribution-NonCommercial-ShareAlike 4.0 International License 165

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 2 August 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

bentuk bangunan. Sedangkan masyarakat Jawa dengan titik rumah itu sendiri. Sehingga, sedulur tradisional yang mengacu pada ajaran falsafah papat lima pancer dapat diartikan, bagaimana kejawen memahami realitas secara intuitif, tidak posisi rumah merespon keempat arah mata angin terbatas pada wujud fisiknya. akan menciptakan energi yang berbeda Penelitian ini bertujuan untuk mengupas nilai- (Cahyandari 2012). nilai kejawen yang terkandung dalam rumah Rumah Jawa sering disebut omah. ‘Om’ yang tradisional, sehingga didapatkan temuan-temuan berarti bapa angkasa memiliki sifat laki-laki. makna filosofis kejawen pada elemen-elemen ‘Mah’ yang berarti lemah (tanah), bersifat desain di rumah tradisional Jawa, baik berupa perempuan (Kartono 2005). Dari istilah tersebut simbol ataupun makna-makna ritual yang omah merupakan representasi bumi dan langit terkandung di dalamnya. Temuan mengenai yang merupakan pasangan yang saling konsep kejawen nantinya dapat digunakan melengkapi. Rumah Jawa juga dikenal dengan sebagai pedoman dalam merancang hunian istilah ndalem yang berasal dari kata dalem yang dengan konsep kejawen. Simbol-simbol yang artinya hakekat diri (Budiwiyanto 2013). Maka dimaksud secara luas mencakup tidak hanya dalam mengukur, dan merancang rumah tidak kegiatan kegiatan, atau objek-objek tetapi juga boleh sekadar menduga-duga atau asal mengukur berupa hubungan-hubungan, gerak isyarat semata, ada nilai nilai filosofis yang harus maupun situasi tempat yang sakral (Ben-Amos dipahami, dihayati dan diterapkan pada elemen- and Turner 1970, 19). Clifford Geertz (1992) juga elemen desain (Suprijanto 2002). menyatakan bahwa simbol merupakan sebuah sistem kebudayaan (Greetz 1992, 2). Konsep kejawen pada rumah Jawa Dalam Rig Veda1 disebutkan bahwa bumi dan langit merupakan pasangan yang saling Metode penelitian melengkapi. Perwujudan tersebut dapat terlihat dari patung loro blonyo yang terdapat pada Bagi masyarakat Jawa, Tuhan merupakan sosok bangunan tradisional Jawa. Patung tersebut yang menciptakan alam semesta yang disebut merupakan perwujudan Sri dan Sedhana, atau jagad ageng (macrocosmos) dan manusia adalah Kamaratih dan Kamajaya, yang merupakan bagian kecil dari perwujudan Tuhan, yaitu jagad simbol kebahagiaan, kemakmuran dan kerukunan alit (microcosmos). Masyarakat Jawa meyakini rumah tangga, seperti halnya hubungan suami- keselamatan akan tercipta pada kesatuan numinus istri dan simbol harmonisasi bapa angkasa dan yang terdiri dari lingkungan adikodrati, ibu bumi. Kosmologi Jawa juga mencakup makna lingkungan alam dan lingkungan masyarakat dikotomi, misalnya, pria dan wanita, privat dan (Suseno 1984). publik depan dan belakang, sakral dan profan Alam dan manusia merupakan bagian yang (Ronald 1988). tak terpisahkan, sehingga sangat dimungkinkan Filosofi konsep kejawen terbagi dalam 4 bagi manusia untuk dapat menyatukan dirinya ajaran utama, yakni Manunggaling Kawula lan dengan alam semesta (Subroto 2019; Widodo Gusti, (bersatunya diri kita dengan Tuhan Yang 2019). Kebersatuan tersebut telah dilakukan Maha Esa), Memayu Hayuning Bawana (Menjaga masyarakat Jawa selama ratusan tahun dengan dan hidup berdampingan dengan alam), Memayu meditasi, tapabrata, atau laku, dan perenungan Hayuning Keluarga lan Sesami (Menjaga dan yang mendalam (awakening of the mind, body, hidup berdampingan dengan keluarga dan sesama and spirit) guna mencapai “manunggaling kawulo manusia) dan Memayu Hayuning Pribadi Gusti” (menyatunya manusia dengan Tuhan). (menjaga kehidupan lahirian dan rohani diri Dalam khasanah kebudayaan Jawa, orang sendiri) (Ronald 2015). orang Jawa mengenal istilah sedulur papat lima pancer yang merupakan filosofi pembentuk Manunggaling kawula lan Gusti energi manusia. Dalam kaitannya dengan Menyatukan nilai luhur Tuhan dan manusia arsitektur, sedulur papat dapat diartikan sebagai yang dimanifestasikan dalam jagad ageng dan arah mata angin yaitu Utara, Selatan, Timur, dan jagad alit. Rumah/omah merupakan maninfestasi Barat. Sedangkan lima pancer dapat diartikan

1Ring Veda atau disebut Regweda merupakan kita Sruti yang paling utama-agama Hindu.

166

Bintang Padu Prakoso, Herman Willianto: The application of kejawen concept on Javanese traditional houses

bumi dan langit pasangan yang saling keadaan atau negara memiliki tatanan, aturan atau melengkapi. hukum tertentu. Wujud kegiatan/ruang yang mempresentasikan Wujud kegiatan/ruang yang dapat upaya kemanunggalan/kebersatuan tercermin mempresentasikan upaya memayu hayuning dalam: bawana/hidup berdampingan dengan alam dapat 1. Konsep yang berjumlah 4 dengan tercermin dalam: garis diagonal tengah sebagai pusat yang 1. Upacara menatah molo (kepala bangunan) menyimbolkan Ke-Tuhanan. Keblat papat sebagai bentuk keselarasan jagad ageng dan lima pancer. alit energi mikro dan makro. 2. Struktur , yang identik dengan 2. Prosesi syarat sesaji irah-irahan dan syukuran gunungan lanang dan dalem sebagai saat hendak mendirikan bangunan, agar gunungan wadon. Susunan tersebut terciptanya keharmonisan antara manusia dan menggambarkan tujuh tingkatan untuk alam. mencapai manusia yang sempurna (insan 3. Penanaman beberapa jenis tanaman sebagai Kamil), yang juga disimbolkan dalam patung simbol maninfestasi filosofi kejawen yang loro blonyo. telah tertulis pada serat salokapatra. 3. Jumlah anak tangga saat mau memasuki 4. Peletakan simbol ukiran flora, fauna dan alam /rumah limasan mempresentasikan tiga pada ornamen bangunan sebagai bentuk susun tangga yang menyimbolkan bhurloka penghormatan kepada alam sang ibu bumi. sebagai lambang dunia fana, burvaloka 5. Terdapat perhitungan weton saat akan melambangkan dunia pembersih dan svarloka mendirikan rumah, hal ini merupakan melambangkan dunia para dewa, atau dalam manifestasi mawa acara negara mawa tata. agama Budha dikenal dengan Kamadhatu, Ruphadatu dan Arupadhatu. Memayu hayuning keluarga lan sesami 4. Pola usuk yang memusat ke arah atas dengan Memayu hayuning keluarga lan sesami berarti berbagai perhitungan Jawa. Hitungan usuk hidup rukun dengan sesama manusia, terdapat dimulai dari sudung, payung, tumbak, ules. filsafat Jawa yang berpesan “kudu rukun marang 5. Pada bangunan Yogyakarta tonggo teparo” dimana sejatinya manusia harus regol/gerbang merupakan simbol pengingat dapat hidup rukun dengan tetangga dan batasan manusia untuk selalu ingat terhadap sesamanya. Hal ini tercermin dari budaya Tuhan dan sesamanya. Tertulis di Serat masyarakat Jawa yang ramah dengan Salokapatra2, beberapa regol tersebut adalah tetangganya, konsep keterbukaan pada rumah- Regol Semar Tinandhu, Regol Brajanala, rumah tradisional yang dimanifestasikan pada Regol Srimanganti. tidak adanya pagar yang menutup halaman, 6. Terdapat upacara laku prihatin/meleki/mbisu konsep keterbukaan pendopo pada rumah pada area bangunan yang ingin dibangun tradisional masyarakat Jawa serta adanya sebagai wujud permohonan kepada Tuhan kegiatan desa, karangtaruna, pengurus Rukun untuk meminta ijin agar tidak terdapat Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) yang gangguan dan terciptanya harmoni jagad merupakan wujud nyata dari memayu hayuning ageng dan alit. keluarga lan sesame (M. I. Hidayatun 1999). Wujud kegiatan/ruang yang dapat Memayu hayuning bawana mempresentasikan upaya memayu hayuning Bersatu dengan alam, tanpa merusak atau keluarga lan sesami/hidup berdampingan dengan mendominasi alam sehingga dapat terciptanya keluarga dan sesama tercermin dalam: keseimbangan jagad ageng dan jagad alit. 1. Konsep keterbukaan pada rumah pendhapa. Masyarakat Jawa mempercayai setiap tempat dan Tidak terdapatnya dinding penyekat pada waktu memiliki keunikannya masing-masing pendhapa menunjukkan sifat keterbukaan dari yang disebut “mawa acara negara mawa tata”, sang pemilik rumah terhadap siapa saja yang yang berarti keunikan suatu ruang, waktu dan ingin berkunjung.

2 Merupakan naskah lama dari daerah Yogyakarta, yang berisi makna tumbuh-tumbuhan dan bangunan yang berada di lingkungan kraton.

167

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 2 August 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

2. Pendhapa sebagai maninfestasi nilai filosofis segala kehidupan, kesuburan, dan tempat aktualisasi keteraturan dan kerukunan kebahagiaan (M. Hidayatun 1994, 39). antar penghuni, kerabat dan masyarakat. 2. Ukuran pintu pada area dalem. Senthong Dalam Bhagawadgita3, pendhapa merupakan dibuat lebih rendah, dengan bagian bawah refleksi dari sattvika yaitu ilmu kekuatannya, yang dibuat tidak rata dengan lantai, hal ini dan kebajikan yang menyatukannya. merupakan manifestasi penghormatan Pendhapa merupakan simbol perlindungan di terhadap pemiliknya, dimana tamu harus mana berbagai golongan dapat bertemu dan membungkuk yang berarti memberi hormat berteduh dilindungannya. kepada pemilik rumah. Ukuran pintu yang 3. Pada beberapa rumah adat di Jawa sering di dibuat rendah dengan balok melintang di temui kendil (tempat air minum) sebagai bagian dasar pintu juga merupakan simbol manifestasi filosofi “urip mung mampir bahwa manusia harus merendahkan diri dan ngombe” yang berarti hidup hanya singgah waspada dengan melihat ke bawah, supaya untuk minum, sehingga segala yang kita miliki manusia tetap ingat siapa dirinya. di dunia hanya sebatas titipan. Kendil ini 3. Cermin yang diletakan sebelum masuk ke diletakkan di depan rumah, siapa saja boleh dalem ageng. Terdapat petuah Jawa “Ngilo’o meminumnya, hal ini sebagai simbol berbagi Githoke Dhewe “. Cermin dimaksud agar kita dan guyub rukun terhadap sesama (Lihat selalu bercermin dan mengenal diri kita baik gambar 1). jiwa maupun raga. Gambar 1 Pedoman perancangan dengan konsep kejawen Dalam merancang bangunan dengan konsep kejawen, terdapat beberapa pedoman yang dapat digunakan untuk merancang hunian. Berikut beberapa hal yang dapat dijadikan pedoman dalam mendesain hunian dengan konsep kejawen.

Memilih tanah Dalam memilih tanah, masyarakat Jawa tidak asal menentukan karateristik tanah. Ada beberapa aspek filosofis yang digunakan sebagai pertimbangan memilih tanah. Menurut H. J Wibowo dan Emilia Sadilah Gambar 1. Meja kendi dan kendi besar (1991) tempat atau tanah yang dianggap baik adalah (Wibowo and Sadilah 1991): Memayu hayuning pribadi a. Tanah yang posisinya miring ke Timur (tanah Memayu hayuning pribadi berarti berbuat manikmaya/baya sangar). baik dengan diri sendiri, menerima kelebihan dan b. Tanah yang terletak di antara gunung bukit kekurangan diri, mencintai tubuh dan merawat (tanah sangsang buwono/kawulo katubing jiwa, raga dan pikiran sebagai suatu individu kala). ciptaan Tuhan. c. Tanah yang terletak membujur ke Utara dan Wujud kegiatan/ruang yang dapat ke Selatan (darmalangit). mempresentasikan upaya memayu hayuning d. Tanah yang miring ke Utara (tanah pribadi/menjaga kehidupan lahiriah dan rohani indraprastha, telaga ngayuda dan bathara). diri sendiri tercermin dalam: e. Tanah yang miring ke Timur dan sebelah 1. Pringgitan pada rumah Jawa yang memiliki Utara. dan selatannya terdapat gunung atau makna konseptual sebagai simbolisasi dari bukit (tanah Arjuna). pemilik rumah, bahwa dirinya hanya f. Tanah yang sebelah Barat lebih tinggi dari merupakan bayang-bayang atau dari pada sebelah Timurnya (tanah Sri Nugraha) Dewi Sri (dewi padi) yang merupakan sumber

3 Bhagawadgita adalah Hindu Mahabaratha

168

Bintang Padu Prakoso, Herman Willianto: The application of kejawen concept on Javanese traditional houses

g. Tanah yang terletak di atas jurang (tanah Langupulawa). h. Tanah yang terletak di antara lembah dan diapit sumber air (tanah Sri Mangempel). i. Tanah yang pada bagiannya agak meninggi bila dibandingkan dengan sekelilingnya (tanah Endragana). j. Tanah yang pada bagian Utaranya tidak rata (Tanah Wisnu Manitis). 2 Menurut H. J Wibowo dan Emilia Sadilah Gambar 2. Ilustrasi arah doa (1991) tempat atau tanah yang dianggap buruk adalah (Wibowo and Sadilah 1991): 2. Mendhem (menanam) a. Tanah yang posisinya miring ke Barat (tanah Terdapat ritual tolak bala lainnya, yaitu Sri sasadana). mendhem atau menanam sebuah wadah dari tanah b. Tanah yang posisinya miring ke Selatan. liat yang disebut emplu atau kuali kecil. Emplu c. Tanah yang pada bagian Timur lebih tinggi diisi dengan dadap serep dan bunga telon dari pada bagian Barat (tanah Kalawisa). (kembang telon) berupa mawar, melati dan d. Tanah yang dikelilingi air (Tanah sigar kenanga. Emplu ditempatkan di tengah-tengah penjalin). pusat bangunan yang dipergunakan untuk e. Tanah yang di sebelah Baratnya terletak mendirikan bangunan. gunung (tanah Asu Ngelak). Ritual ini dilakukan untuk membersihkan f. Tanah yang tengahnya terdapat sumber air energi negatif, dan mengganti energi positif, serta (tanah Singamita). mensinkronkan antara jagad ageng dan jagat alit g. Tanah yang berwarna hitam/berbau tidak (makro-mikro cosmos) agar tercipta suasana sedap/amis. damai dan tentram. h. Tanah bekas kuburan/sekelilingnya kuburan (tanah Dhandhang Kukulangan). Upacara menatah molo (elemen kepala bangunan) i. Tanah yang berwarna merah kekuning- Pelaku pengrajin kayu, mbah Harto (usia 68 kuningan (tanah Bramapendhem). tahun) di Desa Nangsri, Alastuwo, Tasik Madu, Karanganyar Jawa Tengah mengungkapkan Ritual pertama sebelum mendirikan bangunan bahwa dalam memilih kayu, manusia tidak boleh (tolak bala) sembarangan niatnya, “ora peh kebon, ora peh 1. Laku prihatin tuku” yang artinya tidak semata-mata kayu Pemiliki rumah memanjatkan doa dan miliknya di pekarangan atau kayu yang sudah “prihatin” dan melakukan laku 3-7 hari. Pemilik dibeli lantas bisa seenaknya saja rumah duduk bersila menempati area yang akan menebang/memotong. bangun, dengan menyalakan sentir (lilin). Kayu yang dijadikan molo merupakan kayu Beberapa pelaku kejawen mengungkapkan terbaik. Berikut adalah beberapa kriteria kayu “Pitung jemuah, wiwite jemuah legi, dongane ora memolo: njaluk“ yang berarti melakukan ritual ini 7 kali 1. Kayu yang berserat saat dipotong, yang setiap Jum'at, mulainya pada hari Jumat legi, dan artinya keras dan berkualitas baik. tidak boleh meminta untuk kekayaan/keuntungan 2. Kayu tanpa sambungan/cacat/meninggalkan pribadi, hanya berdoa mencari keselamatan goresan. kepada Tuhan Yang Maha Esa. Para pelaku 3. Kayu yang telah diritual/didoakan. kejawen juga mengatakan posisi berdoa di sisi- Saat menatah kayu, ahli kayu serta pemilik sisi rumah sebagai perwujudan keblat papat, lima rumah melakukan puasa dan membisu, diharap pancer (Lihat gambar 2). agar penatah fokus menatah dan sang pemilik juga ikut prihatin terhadap apa yang sedang dikerjakan. Sesaji yang digunakan dalam menatah molo meliputi: Urip-urip, yaitu seeokor ayam jantan yang masih hidup, diikat kakinya serta dibakar

169

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 2 August 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

kemenyan, diletakkan di dekat bakal molo yang Tumbak, merupakan istilah bagi orang yang akan ditatah. Sebelum mulai menatah, penatah, berwatak keras, kata-katanya menyakitkan hati, lebih dahulu berdoa kepada Tuhan agar lancar pengadu domba, istilah ini sering disebut dengan pekerjaannya. Hari menatah dipilih hari yang watak tumbak cucukan. Jika suatu kampung baik, seperti hari kelahiran pemilik rumah, atau memiliki warga yang berwatak tumbak cucukan, hari kelahiran raja. Hari geblak (hari niscaya akan sering ribut. Pergaulan antar warga meninggalnya keluarga/orang dekat) dilarang akan sering diwarnai pertengkaran atau tak pernah karena dianggap kelamenga atau hari naas bisa damai dan nyaman. (buruk). Saat memasang molo di bagian paling Ules, dalam bahasa Jawa modern ules tidak atas bangunan, teknik pemasangan perlu jauh dengan arti kata pangnggo/pakaian. diperhatikan penandu molo tidak boleh Dalam penerapan perhitungan usuk, usuk membelakangi molo serta tidak boleh berjalan dimulai dari sudung dan di akhiri dengan payung. mundur/ngunduri molo. Jika usuknya jatuh pada ules maka ditambah 2 usuk agar jatuh pada hitungan payung. Atap rumah Jawa Ragam hias/ornamen Atap rumah Jawa dibagi menjadi 3 tipe utama, Peletakan ornamen dan jenis ornamen tidak yaitu: Atap kampung, limasan dan joglo sembarangan, ragam hias/ornamen merupakan 1. Atap kampung, jaman dahulu digunakan oleh simbol yang memiliki arti filosofis di dalamnya. masyarakat desa dengan perekonomian Menurut Dakung (1981/1982:139-193) rendah. terdapat 4 jenis ornamen pada rumah Jawa yang 2. Atap limasan, jaman dahulu digunakan oleh terbagi dalam (Dakung 1982, 139–93): masyarakat perkotaan dengan perekonomian 1. Motif flora sedang. Terdapat beberapa jenis atap limasan. Ragam hias flora pada bangunan Jawa Diantaranya limasan lambangsari, limasan dipengaruhi oleh budaya Hindu yang berkembang trajumas, limasan trajumas lambang gantung, di tanah Jawa. Makna: makna suci, menjadi limasan trajumas lawakan, limasan gajah simbol keindahan dan kebaikan; Warna: warna ngombe, limasan semar tinadhu, limasan yang biasa digunakan pada ragam hias ini adalah lembang teplok, dan limasan lambang merah, hijau dan kuning/emas; Letak: balok gantung rangka kutuk ggambang. rangka atap, hiasan pada tritisan, pangkal dan 3. Atap joglo, jaman dahulu digunakan oleh para ujung balok kerangka bangunan, alas bangsawan. Terdapat beberapa jenis rumah tiang/umpak, tebeng pintu/jendela, pada tengah joglo diantaranya rumah joglo kepuhan tiang/antarapersilangan pagar; Jenis: lung- limasan, rumah joglo kepuhan jempongan, lungan, saton, wajikan, nanasan, tlancapan, rumah joglo kepuhan pengrawit, rumah joglo kebenan, patran, padma. kepuhan lawakan, rumah joglo ceblokan, 2. Motif fauna rumah joglo apitan, rumah joglo lambangsari, Makna: mencegah kejahatan dan bencana, rumah joglo semar tinandu, rumah joglo serta keberanian dan kekuatan; Warna: coklat, trajumas, rumah joglo hageng, rumah joglo merah, dan kuning/emas; Letak: pada elemen non mangkurat, dan rumah joglo wantah apitan. struktur atau struktur yang terletak di atas bangunan, dan pintu masuk ruang utama/gerbang Perhitungan usuk dan pintu ruang sakral, senthong tengah, patang Mbah Harto ahli kayu & praktisi kejawen di aring; Jenis: kemamang, peksi , ular naga, Desa Nangsri, Alastuo Kabupaten Karanganyar, jago, mirong. Jawa Tengah mengatakan penyusunan usuk tidak 3. Motif alam boleh sembarangan, perhitungan dimulai dari Ragam hias alam menekankan peran semesta sudung, payung, tumbak, ules. dan Tuhan. Kosmologi dualism (laki-laki, Sudung, merupakan rumah celeng/babi hutan. perempuan, siang-malam), orientasi, dan Legenda/cerita rakyat menceritakan bahwa rumah topografi ditransformasikan dalam wujud simbol babi hutan ini tidak mudah rusak meski dibom air, sinar, gunung, awan, dan matahari. Makna: tidak akan rusak, harapan inilah yang diambil Ilham/pencerahan, penghormatan terhadap alam, sebagai simbolisasi agar bangunan diharapkan simbol sifat laki-laki dan wanita; Letak: kuat dan kokoh bubungan, di atas tiang (saka), tebeng Payung, diharapkan rumah dapat memayungi pintu/jendela, patang aring/senthong, tepi dan mengayomi seluruh isi rumah. blandar, patran pada rangka; Warna: warna

170

Bintang Padu Prakoso, Herman Willianto: The application of kejawen concept on Javanese traditional houses

natural material, coklat, abu-abu, putih; Jenis: c. Sesaji persembahan yaitu sesaji sebagai gunungan, makutha, praba, panah, kepetan, mega ungkapan syukur; mendung, banyu tetes. d. Sesaji slametan, sesaji yang bertujuan agar 4. Motif agama/kepercayaan selama melaksanakan hajatan tidak terjadi Selain alam, ragam hias agama juga halangan. mempresentasikan hubungan Tuhan melalui Dalam pembuatan tarub/slametan digunakan simbol-simbol bernuansa keagungan. Makna: berbagai jenis tanaman, diantaranya janur kuning, sebagai simbol hubungan Tuhan dengan manusia; pisang raja, tebu wulung, padi, cengkir, daun Warna: warna natural (coklat, abu-abu, putih), beringin, daun maja, daun kara, daun alang-alang, emas; Letak: pada atap tajung (Masjid), rangka daun apa-apa, dan daun kluwih. Daun-daun dadapeksi/memolo, patang aring, tebeng, pintu, tersebut saling berkaitan dan membentuk kata tiang; Jenis: ornamen aksara Jawa, kaligrafi, dalam bahasa Jawa “ajaana sakarakara alasan mustaka. apa-apa kaling sing same kala lan bisa rezeki kang sarwa luwih” artinya jangan ada aral Benteng/pagar melintang atau halangan apapun serta Benteng diibaratkan pagar yang merupakan mendapatkan rezeki yang serba kecukupan. aturan. Manusia perlu dibentengi oleh aturan agar Ritual ini diadakan untuk mensinkronkan menjadi manusia yang dewasa. Letak regol/pagar jagad alit dan ageng, sehingga keharmonisan tidak lurus sesumbu dengan pendapa dan ndalem. Semesta, baik dari bapa angkasa (om) dan ibu Pintu regol letaknya bergeser ke kiri atau ke bumi (mah/lemah) akan bersatu membentuk kanan dari sipat (garis sumbu) ke pendapa “omah” yang selaras. Pertemuan bapa angkasa (Musman and Lestari 2017). Maksud pergeseran dan ibu bumi membentuk manusia yang berhati tersebut adalah: luhur dan jauh dari celaka. 1. Tidak menunjukkan kekayaan (pamer); 2. Tidak menunjukkan kesibukan rumah tangga, terutama dapur, karena tidak sopan; Kesimpulan 3. Menghindari roh jahat langsung masuk kedalam rumah; Seyogyanya manusia selalu menjaga dan 4. Berhubungan dengan kesehatan karena udara melestarikan budaya Jawa, tidak hanya pada dapat membawa penyakit. bentuk fisiknya saja namun lebih memperdalam pada nilai-nilai filosofi budaya yang tercermin Ritual setelah bangunan terbangun dari tata laku yang dimanifestasikan pada simbol 1. Irah – irahan dan ritual sebagai wujud penghormatan kepada Irah-irahan merupakan sesaji yang biasa ibu bumi dan bapa angkasa untuk mejaga diletakkan pada molo (elemen kepala bangunan). keseimbanagan jagad ageng dan jagad alit. Isi sesaji irah-irahan adalah: Masyarakat Jawa meyakini keselamatan tercipta a. Pari lanang wedok (nasi dan ketan); dari tata laku yang benar terhadap Tuhan, b. Slindur; semesta, sesama dan diri sendiri. Maka tata-laku c. Klapa gadhing 2 buah; juga perlu diwujudkan dalam kegiatan sehari-hari d. Sindik (kayu penusuk). dan dimanifestasikan pada ritual dan simbol- Sindik dapat terbuat dari kayu dadap simbol elemen desain pada hunian, sehingga kita serep, kayu kelor, kayu kukun, kayu adem ati. selalu ingat di mana kita bernaung dan berasal. 2. Tarub/slametan Maka ritual dan simbol merupakan perwujudan Makna tarub adalah suatu pencerminan dari atas nilai realitas dan ekspresi. sesorang yang mempunyai hajat untuk memohon Rumah dengan demikian merupakan gaya berkat Tuhan agar mendapatkan keselarasan lahir hidup seseorang. Bagi masyarakat tradisional dan batin. Kata tarub berasal dari legenda Jaka Jawa rumah bukan dianggap sebagai bangunan Tarub. Dalam pemasangan tarub disiapkan sesaji fisik saja, namun sebagai cerminan diri antara lain: masyarakat Jawa yang menjunjung tinggi ajaran a. Sesaji jajanan pasar yang diletakkan di atas dan nilai-nilai budaya. Rumah dan pemiliknya atap; loro-loroning atunggal atau sebuah kebersatuan b. Sesaji baculan yaitu sesaji yang dibuang antara jagad ageng dan jagad alit. Maka simbol atau ditaruh di perempatan jalan, jembatan dan ritual yang ada pada rumah Jawa dimaksud dan tempat-tempat lain yang dirasa perlu;

171

ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur, Volume 5 Issue 2 August 2020 pISSN 2541-0598; eISSN 2541-1217

agar nilai-nilai filosofi kejawen ini selalu diulang, 17877-konsep-ruang-tradisional-jawa-dalam- sehingga selalu diingat dan digunakan sebagai kont.pdf. pedoman hidup karena terbiasa. Semakin kuat Mangunwijaya, Y. B. 2009. Wastu Citra: nilai yang dipilih, maka semakin kuat pengaruh Pengantar Ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur, nilai atas kehidupannya. Sendi-Sendi Filsafatnya, Beserta Contoh- Contoh Praktis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Referensi Musman, Asti, and Nurti Lestari. 2017. Filosofi Rumah Jawa. Yogyakarta: Pustaka Jawi. Ben-Amos, Dan, and Victor Turner. 1970. ‘The Ronald, Arya. 1988. Manusia Dan Rumah Jawa. Forest of Symbols: Aspects of Ndembu Yogyakarta: JUTA UGM. Ritual’. Western Folklore 29 (2): 134. ———. 2015. ‘Budaya Bermukim Masyarakat https://doi.org/10.2307/1498807. Jawa’. Sinektika: Jurnal Arsitektur 1 (1): 180– Budiwiyanto, Joko. 2011. ‘Transformasi Pola 88. Tata Ruang Rumah Tradisional Jawa Ke https://doi.org/10.23917/sinektika.v1i1.1136. Dalam Pola Tata Ruang Rumah Tinggal Subroto, T. Yoyok Wahyu. 2019. ‘Koeksistensi Sederhana’. Pendhapa 2 (1): 93–107. Alam Dan Budaya Dalam Arsitektur’. https://jurnal.isi- ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur 3 (2): v– ska.ac.id/index.php/pendhapa/article/view/11 viii. https://doi.org/10.30822/artk.v3i2.244. 71/1165. Sumardiyanto, Bonifasius. 2016. ‘Persistensi ———. 2013. ‘Rumah Tradisional Jawa Dalam Makna Zona Publik Dan Privat Rumah Sudut Pandang Religi’. Ornamen. Tradisional Masyarakat Jawa Di Desa Jagalan Cahyandari, Gerarda Orbita Ida. 2012. ‘Tata Dan Kelurahan Purbayan Ruang Dan Elemen Arsitektur Pada Rumah Yogyakarta’. Univesitas Katolik Jawa Di Yogyakarta Sebagai Wujud Kategori Parahyangan. Pola Aktivitas Dalam Rumah Tangga’. Jurnal ———. 2019. ‘Pengaruh Renovasi Terhadap Arsitektur Komposisi 10 (2): 103–18. Makna Rumah Tradisional Masyarakat Jawa, https://doi.org/10.24002/jars.v10i2.1064. Kasus Studi: Kotagede Yogyakarta’. Dakung, Sugiyarto. 1982. ‘Arsitektural ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur 3 (2): Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta’. 113–28. Yogyakarta. https://doi.org/10.30822/arteks.v3i2.62. Greetz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan. Suprijanto, Iwan. 2002. ‘Rumah Tradisional Yogyakarta: Kanisius. Osing : Konsep Ruang Dan Bentuk Teori Hidayatun, Maria. 1994. ‘Perubahan Sosial Ruang Pada Rumah Tradisional Jawa’. Budaya Masyarakat Kotagede: Dampaknya Dimensi Teknik Arsitektur. Terhadap Arsitektur Rumah Tinggalnya’. Suseno, Franz Magnis. 1984. Etika Jawa: Sebuah Universitas Indonesia. Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan Hidayatun, Maria I. 1999. ‘Pendopo Dalam Era Hidup Jawa. Jakarta: Gramedia Pustaka Modernisasi: Bentuk , Fungsi, Dan Makna Utama. Pendopo Pada Arsitektur Tradisional Jawa Wibowo, H. J, and Emiliana Sadilah. 1991. Dalam Perubahan Kebudayaan’. DIMENSI ‘Sistem Pengetahuan Orang Jawa Mengenai (Journal of Architecture and Built Flora Dan Fauna Dalam Kaitannya Dengan Environment). Rumah Tradisional’. Buletin Jarahnitra, Kartono, J. Lukito. 2005. ‘Konsep Ruang Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Tradisional Jawa Dalam Konteks Budaya’. Direktoral Jendral Kebudayaan. Balai Kajian Dimensi Interior 3 (2): 124–36. Sejarah Dan Nilai Tradisional 1 (1). https://media.neliti.com/media/publications/2 Widodo, Johannes. 2019. ‘Human, Nature, And Architecture’. ARTEKS : Jurnal Teknik Arsitektur 3 (2): 145–48. https://doi.org/10.30822/arteks.v3i2.65.

172