DEKONSTRUKSI BUDAYA DALAM CERPEN KARYA PUTU WIJAYA

CULTURAL DECONSTRUCTION OF KARTINI SHORT STORY BY PUTU WIJAYA

Adek Dwi Oktaviantina

Kantor Bahasa Provinsi Banten Jalan Bhayangkara 129 Cipocok Jaya Serang Banten 42121 Telp. (0254) 221079 No. Hp : 081554257408 Pos-el: [email protected]

(Makalah diterima tanggal 26 Februari 2014—Disetujui tanggal 5 April 2014)

Abstrak: Cerpen Kartini merupakan salah satu cerpen yang terdapat pada kumpulan cerpen Klop karya Putu Wijaya. Latar belakang penelitian ini adalah fenomena budaya patriarki yang mendominasi budaya di masyarakat telah membuat budaya kesetaraan gender tersingkir. Dalam cerpen ini, terdapat pandangan awal bahwa budaya patriarki merupakan budaya yang wajar terjadi di masyarakat. Dalam cerpen ini, budaya patriarki didekonstruksi oleh pandangan tokoh wanita yang membongkar makna melalui tokoh yang dihadirkan. Kartini dianggap sebagai tokoh pejuang wanita yang memperjuangkan kesetaraan gender. Perjuangan Kartini sebagai sosok wanita yang menginspirasi wanita masa kini bukanlah sebuah konsep. Wanita mewarisi kemerdekaan dan kebebasan untuk beraktualisasi diri. Pandangan ini belum banyak dipahami oleh sebagian besar masyarakat yang belum mampu memaknai perjuangan Kartini. Teori yang dipakai adalah Dekonstruksi Jacques Derrida. Metode yang digunakan adalah deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dekonstruksi budaya terdapat dalam cerpen Kartini dilakukan melalui pembalikan oposisi biner melalui titik aporia yang terdapat dalam dialog dan ulasan tentang tokoh-tokoh dalam cerpen Kartini.

Kata kunci: dekonstruksi, budaya, pandangan tokoh

Abstract: Kartini short story is one of the short stories contained in the collection of short stories entitled Klop by Putu Wijaya. The background of this research is a patriarchy culture phenomenon that dominates the culture in society that has made the culture of gender equality eliminated. In this short story, there is a preliminary view that the patriarchal culture is a culture that occurs naturally in the community. Moreover, this short story deconstructed patriarchal culture view of female figures by unpacking the meaning through the figures presented. Kartini is considered as a female hero who fights for gender equality. Kartini's struggle as the woman who inspired the modern women is not a concept. Women inherit the independence and freedom to self-actualize. This view has not been widely understood by most people who have not been able to interpret Kartini's struggle. The theory used is Jacques Derrida's deconstruction. The method used is descriptive. The results shows that there is a cultural deconstruction in Kartini short stories which has been done by reversing the binary opposition through aporia points contained in the dialogue and review of the characters in Kartini short story.

Keywords: deconstruction, culture, characters’ point of view

PENDAHULUAN multidisiplin ilmu termasuk sastra. Kajian budaya sendiri merupakan kajian yang Budaya merupakan manifestasi pemikiran kompleks mengenai seluruh aktivitas manusia berwujud cipta, rasa, dan karsa. manusia yang berupa kegiatan sosial, Cipta, rasa, dan karsa terbentuk melalui politik, hukum, ekonomi, pariwisata, proses yang berkaitan dengan aktivitas kesenian, ilmu pasti, dan sebagainya. kebudayaan. Aktivitas kebudayaan muncul Menurut Baker dalam Ratna (2010: saat manusia berperilaku sehari-hari. 94), konsep kunci kajian budaya adalah Aktivitas-aktivitas tersebut diamati dan praktik pemaknaan, yang dibangun melalui dicatat dalam sebuah kajian budaya. Kajian tanda, khususnya tanda-tanda bahasa. budaya terkait dengan berbagai elemen Dekonstruksi Budaya ... (Adek Dwi Oktaviantina)

Makna tidak hanya terkandung pada kata- Tokoh merupakan salah satu unsur kata tertulis, tetapi juga dalam objek seperti yang penting dalam karya sastra. Tokoh dalam benda-benda dan aktivitas tingkah merupakan unsur yang keberadaannya dapat laku. Sastra merupakan teks yang memuat dimaknai melalui dialog dan deskripsi gejala dan proses budaya yang dapat sastrawan. Pandangan tokoh cerita dapat dimaknai melalui bahasa yang diamati melalui dialog, pemikiran, dan dikonstruksikan di dalamnya. Sastra dapat konflik yang terdapat dalam sebuah karya dipahami dengan merepresentasikan materi sastra. Pandangan tokoh merupakan wadah yang terkandung di dalam konteks budaya pengarang menyampaikan ide dalam cerita. tertentu. Ide itu dapat dimaknai dengan menganalisis Sastra dan budaya berkembang atau mendekonstruksi struktur yang terdapat dalam masyarakat kontemporer saat ini dalam cerita. Sastrawan yang memiliki menjadi ilmu yang berkaitan serta berusaha idealisme dalam karyanya berusaha menemukan makna. Postrukturalisme dalam menampilkan ide dalam diri tokoh dan masyarakat kontemporer memungkinkan segala aktivitasnya. Salah satu sastrawan sastra dan budaya bersinergi menemukan yang kompeten dalam menyampaikan ide makna. Ratna (2010: 137), mengemukakan radikal dan berwawasan sosial adalah Putu bahwa postrukturalisme berkembang sejajar Wijaya. dengan posmodernisme, dengan tujuan yang Putu Wijaya adalah seorang relatif sama, tetapi dengan tradisi dan latar sastrawan serba bisa. Ia adalah seorang belakang sosial yang berbeda. penulis drama, cerpen, esai, novel, juga Postrukturalisme lahir karena stagnasi skenario film dan sinetron. Putu Wijaya strukturalisme demikian pula dengan sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 posmodernisme. naskah drama, sekitar seribu cerpen, ratusan Membaca postrukturalisme berarti esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia membaca dengan membongkar struktur teks memimpin Teater Mandiri sejak tahun 1971. dan memberi arti sesuai dengan hakikat Cerpen karangannya kerap mengisi kolom multikultural. Membaca postrukturalisme harian Kompas dan Sinar Harapan. Novel- dan posmodernisme terhadap segala sesuatu novel karyanya sering muncul di majalah yang terpinggirkan dan tersisihkan. Kartini, Femina, dan Horison. Sebagai Pembacaan struktur teks dengan seorang penulis fiksi sudah banyak buku membongkar struktur teks dilakukan oleh yang dihasilkannya. Di antaranya, yang Derrida (1976), yang dikenal dengan banyak diperbincangkan adalah Bila Malam sebutan dekonstruksi dan dianggap sebagai Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, ciri khas postrukturalisme dalam kritik Tiba-Tiba malam, Sobat, Nyali. Sejumlah sastra (Ratna, 2010: 145). karyanya sudah diterjemahkan ke dalam Dekonstruksi melakukan bahasa Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, pembongkaran dengan tujuan akhir yaitu Jepang, Arab, dan Thai penyusunan kembali dalam tatanan dan (http://id.wikipedia.org/wiki/Putu_Wijaya). tataran yang signifikan sehingga aspek- Dalam rubrik bahasa yang diasuhnya aspek yang dianalisis dapat dimanfaatkan di majalah Tempo pada 13 September 2010, semaksimal-maksimalnya (Ratna, 2010: Putu Wijaya memilih judul yang singkat, 246). Dekonstruksi tidak mengabaikan padat, dan jelas pada judul yang konstruksi, namun membongkar makna disajikannya karena sebuah kata meskipun melalui struktur seperti tokoh, namun sederhana namun memiliki makna yang dekonstruksi memperhatikan setiap tokoh. kompleks. Kata-kata pendek itu bermakna Setiap tokoh berperan penting dalam ambigu dan dalam praktiknya mengandung pembongkaran makna. banyak pengertian. Bergantung pada tempat,

67 BÉBASAN, Vol. 1, No. 2, edisi Desember 2014: 66—75

waktu, dan siapa yang mengucapkannya. yang absolut. Makna hanyalah jejak (trace) Makin singkat judulnya, justru semakin yang terhapus oleh kebenaran lain di padat makna belakangnya (Ratna, 2013: 250). (http://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/0 Relevansi dekonstruksi bagi penelitian 9/13/di-balik-sebuah-kata-kontet/#more- sastra ada empat hal, yaitu: (1) terdapat 1350). keterkaitan dengan serangkaian konsep Berdasarkan latar belakang di atas, kritik, termasuk konsep kesastraan itu rumusan masalah penelitian ini adalah sendiri. Relevansi terjalin karena ada bagaimanakah bentuk dekonstruksi dalam hubungan antara sastra dan filsafat; (2) cerpen Kartini karya Putu Wijaya. Tujuan sebagai sumber tema; sebagai contoh adalah penelitian ini adalah mendeskripsikan tema kehadiran/ketakhadiran, bentuk dekonstruksi budaya dalam sentral/marginal, tulisan/tuturan; (3) sebagai pandangan tokoh cerpen Kartini karya Putu contoh strategi pembacaan, yaitu terletak Wijaya. pada keberanian peneliti sastra untuk sampai pada tipe-tipe struktur, membangun oposisi simetris dan hierarkis, memperhatikan poin- KAJIAN LITERATUR poin yang mengandung argumen Menurut Baker dalam Noerhadi (2013: 203), bertentangan, membuat tertarik pada sesuatu Dalam penelitian cultural studies ada tiga yang menentang interpretatif otoritatif, metode yang dominan digunakan yaitu; mencari gerak teks terdahulu yang akan semiotika, teori narasi, dan dekonstruksionis ditolak oleh teks yang lahir kemudian, (Baker, 32). Dekonstruksi merupakan salah memperhatikan elemen-elemen yang satu elemen penting dalam pengembangan dianggap marginal, yang dikeluarkan oleh teori posmodern terutama dalam bidang teks itu sendiri maupun interpretasi sosial-budaya. Menurut Caputo, mengenainya; (4) sebagai gudang cadangan dekonstruksi merupakan konsep pembacaan saran-saran mengenai kodrat dan tujuan hermeneutika radikal yang banyak kritik sastra itu sendiri (Endraswara, 2011: digunakan untuk meneliti penelitian sosial 174). Prinsip dekonstruksi yang diterapkan budaya kontemporer (Noerhadi, 2013: 203). yaitu melacak unsur-unsur aporia yang Dekonstruksi diprakarsai oleh Derrida. berupa makna paradoks, makna kontradiktif, Derrida menolak kebenaran objektif- dan makna ironi. Langkah berikutnya adalah universal dan kestabilan makna Ferdinand membalikkan atau mengubah makna-makna de Saussure (Noerhadi, 2013: 206). Derrida yang sudah dikonvensionalkan. mendekonstruksi strukturalisme Ferdinand Dekonstruksi pernah diteliti de Saussure. Dekonstruksi berusaha sebelumnya oleh Nur Fawzan Ahmad yang merekonstruksi konsep makna yang ada bertema tentang dekonstruksi terhadap figur dalam masyarakat, bahwa kesadaran tidak keturunan darah biru dalam cerpen Ndara dapat dilepaskan dari pengaruh sosial Mat Amit. Simpulan penelitian tersebut budaya. Inti teori Dekonstruksi Derrida adalah dekonstruksi figur seorang tokoh adalah perbedaan (differance), dan yang menjadi pusat (logosentrisme) yaitu merupakan ciri utama teori postrukturalisme Mat Amit yang gagal menempatkan dirinya (Ratna, 2010 : 248). Selama ini dalam sebagai keturunan Rasul yang seharusnya strukturalisme menganggap bahwa oposisi berbudi pekerti luhur. Mat Amit, yang biner dan struktur merupakan konsep kunci dipahami masyarakat sebagai pusat pemaknaan. Dalam dekonstruksi, makna mengalami kegagalan yang ditandai dengan tidak dapat ditentukan dengan penanda dan perbuatannya yang aneh, kata-katanya kasar petanda. Penanda dan petanda hadir dan suka mengumpat. bersama-sama sehingga tidak ada makna

68 Dekonstruksi Budaya ... (Adek Dwi Oktaviantina)

Penelitian dekonstruksi lain yaitu adalah membalikkan suatu hierarki. Akan kajian dekonstruksi tokoh Aswatama dalam tetapi, aktivitas itu baru tahap pertama. novel Manyura karya Yanusa Nugroho Pada tahap berikutnya, pembalikan harus tahun 2010 oleh Angga Krisna Waluyo. dilakukan terhadap sistem keseluruhan yang Masalah yang dianalisis dalam pendekatan di dalamnya oposisi itu menjadi bagiannya. dekonstruksi ini adalah kategori tokoh, Pada sebuah teks yang didekonstruksi, peran tokoh, teknik penokohan, dan gaya fenomena titik aporia yang memiliki makna penceritaan Aswatama. Penelitian ini paradoks atau ironi didefinisikan. Setelah menggunakan pendekatan dekonstruksi itu, unit dalam teks tersebut dibalikkan dengan jenis penelitian deskriptif kualitatif. hierarkinya. Apabila di dalam teks terdapat Data penelitiannya adalah teks data yang oposisi biner, maka oposisi biner itu dikritik berupa dialog, monolog, dan narasi tokoh. dan dihancurkan menjadi sebuah sistem Penelitian lain yang membahas dekonstruksi baru. Berikut ini merupakan analisis adalah Dekonstruksi Derrida dalam Novel dekonstruksi cerpen Kartini dalam Botchan karya Natsume Souseki oleh kumpulan cerpen Klop karya Putu Wijaya. Wiranto Aji. Dekonstruksi yang terdapat dalam novel ini yaitu dekonstruksi tokoh DEKONSTRUKSI DALAM CERPEN Botchan yang ceroboh, sering bertindak KARTINI KARYA PUTU WIJAYA kasar dan dianggap tidak memiliki masa depan. Namun, saat dia dewasa, Botchan Cerpen Kartini berkisah tentang seorang menunjukkan sikap jujur dan berani. lelaki yang bertemu Kartini dalam kereta di Penelitian lain yang membahas pagi hari. Si Aku menyapa dan berbincang kumpulan cerpen Klop karya Putu Wijaya dengan Kartini yang memakai kostum ini adalah penelitian Muhammad Wahyu kebaya lengkap dengan sanggulnya. Amiruddin dari Unnes yang berjudul Kemudian, mereka berbincang. Dalam Interpretasi Lambang-Lambang perbincangan, Kartini memberikan cap Kemiskinan: Kajian Semiotika Pierce. bibirnya kepada si Aku dan pergi ke kamar Penelitian ini menggunakan cerpen Putu mandi. Sekembalinya dari kamar kecil, si Wijaya berjudul Kartini yang terdapat dalam Aku kaget menyaksikan perbedaan kumpulan cerpen Klop karya Putu Wijaya. penampilan Kartini setelah berganti baju. Kumpulan cerpen setebal 236 halaman itu Kartini menjadi seorang wanita yang diterbitkan oleh penerbit Bentang. berpenampilan trendi dan berpakaian kasual. Pendekatan yang digunakan adalah Kartini dan tokoh Aku berdiskusi mengenai pendekatan dekonstruksi budaya. penampilan baru Kartini. Kartini yang dijumpai tokoh Aku ini juga berpakaian belel khas anak muda dan merokok. PEMBAHASAN Ketika kereta sampai di Jatinegara, Dekonstruksi yang terdapat dalam Kartini Kartini pun turun. Baru disadari oleh si Aku cerpen karya Putu Wijaya dapat diketahui jika pakaian Kartini tertinggal di kereta. dengan mencari titik aporia. Titik aporia ini Karena si Aku tidak tahu harus bisa merupakan makna paradoks atau ironi mengembalikan pakaian itu ke mana, yang menimbulkan kesulitan penjabaran. pakaian Kartini dibawa oleh si Aku ke Setelah itu, titik aporia disejajarkan dan rumahnya. Istri si Aku yang melihat dipertentangkan dengan unit wacana lain suaminya membawa pakaian kebaya, konde, dalam teks yang sama (Endraswara, 2011: dan sanggul marah karena menganggap si 172). Sebagaimana dikemukakan oleh Aku menyuruh sang istri untuk memakai Derrida (Culler, 1981 : 83 via Endraswara, kostum itu. Akhirnya mereka bertengkar. 2011: 173), mendekonstruksi suatu oposisi Anak perempuan si Aku yang mendengar

69 BÉBASAN, Vol. 1, No. 2, edisi Desember 2014: 66—75

dan berasumsi terhadap percakapan orang keberadaannya. Tokoh ini merupakan tuanya itu pun meminjam kostum Kartini bentuk oposisi biner yang terbentuk di pada acara kampusnya. Namun, setelah itu masyarakat bahwa konsep seorang wanita si anak perempuan tak muncul lagi setelah yang harus lemah lembut dan patuh. Oposisi memakai kostum Kartini. biner yang terjadi adalah wanita feminin >< Cerpen ini berawal dari hal realisme lelaki maskulin. Deskripsi tokoh Kartini menuju surealisme. Saat penggambaran tersebut merupakan konsep wanita yang situasi kereta serta dialog yang dilakukan diinginkan oleh lelaki kebanyakan. tokoh Aku dengan tokoh Kartini, situasi Bayangan feminin sempurna dalam konsep stasiun digambarkan sesuai realitas budaya patriarki. Wajahnya bundar, cantik, kekinian. Percakapan tokoh aku dan tokoh melemparkan bau kebangsawanan Kartini merupakan percakapan yang merupakan deskripsi seorang wanita yang menandakan surealisme. Tokoh Kartini menyiratkan kefemininan dalam bersikap. Ia digambarkan sebagai seseorang yang telah mengenakan kebaya putih seperti Yenny berumur seratus tahun. Dialog yang Rahman dalam Film “Kartini” dan dilakukan tokoh Aku dengan Kartini terjadi bawahnya jarik ketat merupakan deskripsi di dalam kereta yang melaju. Saat itu, sosok fisik yang diidamkan alam bawah sadar pria kartini muncul dengan memakai sanggul terhadap sosok perempuan. besar dan mengenakan kebaya. Tokoh Aku Sosok Kartini digambarkan dengan menyapa si tokoh Kartini dan terlibat sanggulnya yang besar dan tusuk konde perbincangan. yang menghiasi rambut. Sosok itulah yang Dalam cerpen Kartini, terdapat unsur ada pada pandangan tokoh Aku. Semua aporia yang dapat diamati dari dialog dan aturan yang membuat wanita terlihat deskripsi tokoh. Deskripsi sesosok wanita gemulai dan santun merupakan sebuah yang mengenakan kebaya, jarik, dan paksaan yang disengaja. Wanita sanggul lengkap langsung diidentifikasi oleh menggunakan gincu sebagai simbol si tokoh Aku dengan nama Kartini. Tokoh keseksian dan menimbulkan ketertarikan Kartini dalam cerpen merupakan sebuah lelaki sebagai lawan jenis. Penampilan tokoh yang memiliki makna paradoks. menarik wanita yang berkonde dan bergincu Makna paradoks muncul dalam dialog tokoh pastinya sangat elok di mata lelaki. Aku dan Kartini di dalam kereta api Meskipun sebenarnya, tampilan tersebut Parahyangan. menimbulkan penderitaan bagi wanita. Seorang wanita bersikap sopan santun dan “Selamat pagi, Bu.” sesuai etiket agar terlihat anggun di mata Perempuan itu menoleh. Ya tuhan, tak salah lagi. Itu Raden Ajeng Kartini. Wajahnya lelaki. Bahkan, saat bergincu pun, wanita bundar dan cantik melemparkan bau harus rajin memoles gincu saat setelah kebangsawanan. Ia mengenakan kebaya putih makan agar tidak terlihat pucat. Seperti pada seperti Yenny rahman dalam Film “Kartini” dialog berikut ini. dan bawahnya jarik ketat. “Selamat pagi.” “Banyak orang yang meniru sanggul Ibu, tapi Saya terpesona. saya kira hanya ibu yang paling pas memakai “Ibu dari mana, kok, pagi-pagi mruput begini gelungan seperti itu. Maksud saya sebesar ini, sudah ada dalam kereta?” sekarang.” Dia tersenyum ramah. Kartini tersenyum. “Lho, Ibu, kan, habis menghadiri perayaan “Tapi, sebetulnya kepala Ibu jadi keberatan di hari ulang tahunku yang keseratus.”(Wijaya, belakang karena sanggul ini. Lihat, menoleh 2011 :42) juga agak susah. Kalau tidak hati-hati, tusuk kondenya bisa lepas. Kalau ceroboh, berpaling Tokoh Kartini di dalam kereta ini bisa ambrol. Jadi, terpaksa bergerak perlahan- merupakan tokoh yang absurd lahan. Akibatnya leher Ibu jadi pegel.”

70 Dekonstruksi Budaya ... (Adek Dwi Oktaviantina)

“Tapi, itu kan membuat gerakan ibu menjadi tersebut adalah penampilan cantik wanita di anggun, Bu.” mata lelaki seakan-akan menimbulkan “Memang begitu maksudnya. Segala aturan dan beban itu memang disengaja. Itu sudah kebanggaan dan kebahagiaan bagi wanita merupakan paket, agar tingkah laku jadi selalu dan menguntungkan buat mereka. Padahal selaras dan terkendali. Tekanan adalah juga penampilan cantik dan anggun seorang kendali. Tapi, maaf, sebentar. wanita adalah proses yang sebenarnya tidak Kartini lalu membuka dompetnya. Ia menyenangkan bagi wanita. mengeluarkan kaca kecil lalu mengaca. Ia memencong-mencongkan mulutnya. Setelah Wanita bersikap seakan tekanan itu itu, ia mengambil lipstik dan mulai mengoles menjadi kendali bagi hidup yang bibirnya. Saya kaget. dijalaninya. Untuk menjadi cantik, wanita “Ibu pakai gincu?” rela menggunakan asesoris dan pakaian Kartini mengangguk. yang menunjang. Selama ini, dalam “Ya. Tadi Ibu disuguhi duren. Sebetulnya ibu tidak tahan baunya, tetapi setelah dicoba enak pandangan tokoh Aku yang mewakili sekali, jadi keterusan tidak bisa berhenti. pandangan pria kebanyakan, proses itu tak Hanya sayangnya lipstik Ibu jadi luntur. dihargai. Saat dialog tersebut terjadi, Kalau bibir pucat, jadi kelihatan seperti orang aktivitas yang dilakukannya membuat heran sakit. Pucat, nggak?” tokoh Aku dan menyadarkan bahwa untuk Dengan agak malu saya amat-amati bibirnya, terus cepat menjawab. terlihat cantik wanita harus mempersiapkan “Sekarang tidak.” dengan baik dan mengendalikan diri dengan “Alhamdulillah. Makanya dipoles sedikit, baik. Hal itu yang tidak dilakukan oleh tapi kalau terlalu tebal juga kurang baik. sebagian besar lelaki. Punya tisu?” (Wijaya, 2011: 44). Pembalikan oposisi biner tersebut, muncul dalam dialog antara si aku dan Perilaku Kartini membuat Aku merasa Kartini di dalam kereta. Kartini merasa malu dan kaget melihat tingkahnya. Tanpa gerah dengan kebayanya dan menggantinya sadar, si Aku menilai penampilan Kartini dengan busana kasual. Perubahan busana ini kurang pantas sebagai sosok wanita. Unsur juga dipertanyakan oleh sosok Aku yang aporia yang muncul adalah pandangan si menganggap busana yang baru dikenakan Aku bahwa sosok wanita harus bersanggul Kartini terasa kurang pantas seperti yang dan bergincu. Simbol sanggul dan gincu terdapat dalam dialog berikut ini. merupakan bentuk bias gender kepada wanita. Wanita sebagai objek bukan sebagai “Habis gerah dan kikuk pakai kebaya dan subjek. Dalam hal ini, wanita berhias diri jarik terus. Kurang praktis,” kata Kartini agar terlihat cantik dan indah di mata lelaki. sambil ke tempat duduknya,” ya, kalau itu Dialog antara Kartini dan Aku menunjukkan untuk kepentingan upacara tidak apa. Biasa juga ibu tahan. Tapi, kalau sudah naik kereta paradoks. Paradoks yang terjadi adalah begini, ibu tidak lagi bisa menanggungnya, sanggul dipakai untuk membuat terlihat ibu lebih suka yang praktis begini. Masak naik lebih anggun ternyata menyiksa secara fisik. kereta pakai hak tinggi bisa-bisa keseleo,’ Demikian pula dengan menggunakan gincu. lanjut Kartini sambil melepas sandal hak Wanita terlihat cantik bergincu namun tingginya dan mengganti dengan sepatu Nike putih. mengurangi kenikmatan saat makan. Saya bingung. Demikian pula dengan penggunaan kebaya “Ibu kok, memakai pakaian seperti anak dan jarik yang terlihat cantik di tubuh muda begini? Pakai lutut robek segala? Maaf, wanita namun sangat menyiksa saat itu udelnya juga, kok ditontonkan, apa nanti dikenakan. Wanita berpenampilan cantik tidak masuk angin?” (Wijaya, 2011: 48) dan anggun di mata lelaki sesungguhnya telah banyak berkorban untuk Tokoh Aku yang dalam pola pikirnya berpenampilan sesempurna itu. Pembalikan tertanam bahwa Kartini haruslah lemah oposisi biner yang tampak pada dialog lembut, cantik, dan berbudi santun, tentu

71 BÉBASAN, Vol. 1, No. 2, edisi Desember 2014: 66—75

saja merasa kaget dengan penampakan dalam pola pikir masyarakat seakan-akan sosok wanita yang sudah berbeda menunjukkan bahwa wanita seperti itulah penampilannya setelah berganti pakaian di yang memiliki real beauty. Meskipun, sosok kamar kecil. Sosok wanita yang berpakaian Kartini merupakan tokoh emansipasi. kasual hingga memamerkan pusar kurang Namun emansipasi yang diagung-agungkan berterima dengan konsep Kartini dalam hanya sebatas bungkus. Bukanlah inti dari alam pikirnya. Tokoh Kartini yang telah perjuangan Kartini sebenarnya yang berpakaian kasual dan trendi ini dipahami oleh pria. Wanita tetaplah konco sesungguhnya merupakan pembalikan wingking yang berkutat di sumur, dapur, dan oposisi biner dari sosok Kartini yang kasur. berkebaya. Berikut ini dialog yang Wanita juga dilarang untuk melakukan mengkritisi pemikiran si Aku sebagai lelaki hal yang tabu dan tidak pantas di depan yang memiliki paradigma berpikir bahwa umum seperti merokok. Dalam cerpen Kartini harus berpakaian tradisional dalam Kartini, tokoh Kartini merupakan tokoh kebaya. absurd yang menunjukkan tingkah laku yang menunjukkan pembalikan oposisi biner Kartini tertawa. yaitu merokok di depan umum seperti yang “Emang kenapa? Ibu kan tidak berubah karena pakaian Ibu diganti. Ibu tetap ibu walaupun terdapat pada kutipan berikut ini. pakai pakaian seperti ini. Ya kan? Habis, ibu juga senang karena praktis dan kelihatan Ia mengangguk dan kemudian melintas pergi. aktual. Masak mentang-mentang ibu sudah tua Saya terpesona tak sempat mencegah. Apalagi mesti ngelomprot dan pakai pakaian jarik dan ketika berpaling di pintu, ibu tampak sedang kebaya terus? Gerah, kan. mengeluarkan rokok dari tasnya. Seorang kuli menolongnya dengan geretan. Ibu masih O ... kenapa, nggak setuju kelihatannya?” sempat menawarkan kepada saya dari jauh, “Bukan. Saya juga tidak suka kalau istri saya berpakaian seperti ibu-ibu. Saya maunya tentu saja segera saya menolak. Saya tidak supaya dia memakai pakaian yang tidak suka orang merokok di tempat-tempat umum. Apalagi perempuan. Bukan karena saya ketinggalan mode.” menganggap merokok itu pekerjaan laki-laki, “Kalau begitu sama.” melainkan karena termakan kampanye jantung “Tapi, masak Ibu juga?” sehat. Saya heran mengapa orang setuju saja “Ya, dong.” merayakan upacara bunuh diri itu sambil “Tapi, kalau ibu saja sudah seperti ini, nanti istri saya tidak akan mau lagi pakai kain dan memperkaya para pemilik pabrik rokok. kebaya. Apalagi anak saya. Kan, saya juga Ibu Kartini masih sempat mengembuskan asap ingin supaya dia sekali-sekali pakai pakaian rokoknya dengan nikmat, lalu melambai dan tradisional, itu, kan, budaya kita, Bu? Malah turun kereta (Wijaya, 2011: 50). kalau pakainya bagus, seksinya, kan, tidak kalah dengan kalau pakai rok sepan?” Merokok adalah kegiatan yang biasa Kartini tersenyum, lalu berdiri lagi (Wijaya, dilakukan oleh laki-laki menurut pandangan 2011 : 48-49). tokoh Aku. Sangat tidak biasa tokoh Aku menyaksikan sosok perempuan merokok Pada kutipan di atas Tokoh Aku apalagi terang-terangan di depan umum. berlaku hipokrit, dia tidak berani Tokoh Aku berpandangan merokok adalah menyangkal bahwa sosok wanita yang hal tabu jika dilakukan oleh wanita. Tokoh diharapkannya adalah wanita yang feminin Kartini menunjukkan unsur paradoks yaitu dan lembut. Namun, dia juga tidak berani merokok di depan umum dengan perasaan melawan wanita yang berpendirian teguh santai dan tidak merasa bahwa perbuatannya dan kekinian. Seperti itu pula sikap lelaki mengganggu orang lain. Paradoks yang masa kini pada umumnya. Pria terjadi adalah perilaku tokoh Kartini biasa mendambakan wanita lembut dan manut dilakukan oleh lelaki. Namun, Kartini yang jarang ada pada masa kini. Sosok wanita seperti itu seperti sengaja ditanamkan

72 Dekonstruksi Budaya ... (Adek Dwi Oktaviantina)

merasa tidak canggung untuk merokok di mengindikasikan bahwa wanita zaman depan umum. sekarang tidak menginginkan lagi bersikap Unsur aporia yang menandakan cantik dan anggun hanya untuk menarik pembalikan oposisi biner tidak hanya perhatian pria. ditunjukkan oleh tokoh Kartini tetapi juga Lelaki menginginkan wanita tetap tokoh istri dan anak perempuan tokoh Aku. dalam posisi subordinasi dengan Saat tokoh Kartini turun dari kereta, beliau menonjolkan sisi feminitasnya, sedangkan meninggalkan kostumnya. Si Aku wanita yang berpikiran cerdas menolak berinisiatif untuk membawa baju itu ke menggunakan pakaian yang mengekang rumahnya. Tokoh istri si Aku marah saat kebebasan wanita tersebut. Ironi yang tampil mengetahui kostum Kartini dibawa ke dalam dialog tersebut karena wanita modern rumah. Dari dialog tokoh Aku dan Istri menolak pakaian yang dinilai mengekang dapat diamati bahwa sang Istri menganggap kebebasan dan kemandirian. Wanita bahwa kostum Kartini yang dibawa oleh semakin sadar akan potensi dan tokoh Aku bagian dari pemaksaan tokoh kemampuannya tidak berkaitan dengan Aku untuk menjadikan istrinya sebagai kefemininan. sosok wanita yang konservatif. Meskipun tokoh Aku mengelak, tokoh istri “Kenapa mesti ingat pakaian Raden Ajeng menganggap tindakan suaminya tendensius. Kartini? Yang penting, kan, pikirannya. Apa Kartini nyuruh perempuan pakai sanggul jarik Kostum sanggul, kebaya, dan jarik ini kebaya? Dan kalau menolak bukan merupakan representasi sosok wanita yang perempuan?” dianggap sebagai sosok Kartini, seperti “Supaya aku punya kepribadian? Kamu sudah dalam dialog berikut ini. gila, Pak! Apa kamu kira perempuan karier yang tidak mau memasak dan tidak mau “Apa-apaan ini!” teriaknya sambil tinggal di dapur itu tidak punya kepribadian? mengangkat sanggul, kebaya, dan jarik itu. Itu interpretasi seenaknya pada semangat Saya tidak segera menjawab karena hampir Raden Ajeng Kartini dari ego para laki-laki. saja lupa kenapa barang-barang itu dalam tas Ayo, kembalikan ini!” gendong saya. Istri saya mencampakkan sanggul dan kostum “Untuk apa ini,hah? Kenapa tidak beli minyak itu ke dekat saya. wangi atau cokelat saja untuk oleh-oleh biar “Apa kamu kira hanya dengan memakai tidak tendensius begini?” pakaian itu aku bisa menjadi perempuan yang “Tapi, itu sanggul Ibu Kartini!” ideal? Itu penafsiran Kartini yang terlalu “Aku tahu!” Tapi, maksud kamu apa? Supaya maskulin! Ibu Kartini itu sebuah konsep aku ikut mengampanyekan agar anak kita perjuangan kebebasan dan kesetaraan pakai sanggul, pakai kebaya, pakai jarik perempuan, bukan kostum. Laki-laki selalu supaya kelihatan lebih feminin? Nggak usah, cenderung untuk menyesatkan supaya kita ya! Biar dia menjadi dirinya sendiri saja!” perempuan lupa pada cita-citanya sehingga “Bukan.” peringatan Kartini lebih menjadi seremonial “Bapak mau nyindir, ya!” ketimbang pewarisan konsepnya yang “Bukan!” mengajak perempuan untuk “Apa salahnya perempuan pakai celana? membebaskan diri dari segala ikatan. Terganggu ya? Membebaskan dari dominasi bapak-bapak “Bukan.” (Wijaya, 2011:51) yang mata keranjang. Kamu mau perempuan kembali menjadi makhluk dapur, sumur, dan Tokoh Istri dengan tegas mengkritisi tempat tidur? Itu kuno, Pak! Kuno sekali! Terlalu ketinggalan zaman!”(Wijaya, 2011: pemikiran suaminya yang membawa busana 51-52). Kartini ke rumah. Unsur ironi tampak pada dialog yang terjadi antara Aku dan istrinya. Konstruksi baru yang muncul dalam Istri menganggap bahwa si Aku cerpen ini adalah sosok wanita yang memaksanya untuk tampil feminin layaknya terbebas dari ikatan tradisi bahwa wanita seorang Kartini. Kemarahan istri si Aku berkedudukan di belakang laki-laki. Wanita

73 BÉBASAN, Vol. 1, No. 2, edisi Desember 2014: 66—75

yang mandiri dalam bersikap dan terbebas “Bapak pasti maunya ibu memakai kostum dari dominasi. Sosok wanita yang tidak Kartini ini dan jadi ibu rumah tangga!” “Sama sekali tidak. Bukan kostum yang hanya berperan sebagai pendamping lelaki membuat perempuan menjadi Kartini, tapi namun bisa sejajar kedudukannya dalam cita-cita.” (Wijaya, 2011: 53-54) peran dan fungsi dalam bermasyarakat. Pembalikan konstruksi ini dapat Oposisi biner yang muncul dalam dilihat sebagai paradigma yang belum cerpen Kartini adalah mengenai konsep berterima oleh tokoh Aku. Tokoh Aku budaya wanita feminin (sosok lemah dengan ego maskulinitasnya berlaku hipokrit lembut, keibuan, dan penurut) pada wanita dan bersikap bahwa dia menerima kondisi masa lalu >< wanita feminin masa kini. wanita yang mandiri dan independen. Sosok wanita Kartini yang berkebaya dan Namun, di alam pikirnya, sosok wanita yang bersanggul merupakan sosok wanita yang sesuai dengan konsep masa lalulah yang dia diidamkan oleh budaya patriarki. Wanita harapkan. Alam pikirnya itulah yang yang bersikap lembut, santun, bergincu, dan menunjukkan kelemahannya sebagai penurut. Oposisi biner itu dibalikkan seorang lelaki. Harapan dalam bawah pemaknaannya dengan keberadaan wanita sadarnya agar wanita tetap berada di posisi zaman sekarang yang meski beraktivitas di lemah agar lelaki tampil lebih kuat dan luar rumah untuk menempuh pendidikan dan menjadi pemimpin. bekerja. Wanita bukanlah konsep untuk Kelemahan sikap tokoh Aku pada dilemahkan sehingga tidak berhak untuk pendiriannya tampak pada dialog dengan berkarier di luar rumah. Wanita memiliki putrinya yang menguji sang Ayah dengan hak yang sama untuk meningkatkan pertanyaan. Tokoh Anak berusaha menguji aktualisasi diri seperti laki-laki. pemikiran Ayahnya dengan pertanyaan pancingan serta hendak memakai kostum Kartini pada acara kampusnya. Kartini SIMPULAN hanyalah sebuah konsep bahwa wanita Berdasarkan analisis cerpen Putu Wijaya memiliki hak yang sama dengan laki-laki yang berjudul Kartini disimpulkan bahwa seperti pada kutipan berikut ini. budaya patriarki yang terdapat dalam “Jangan begitu. Bapak sedih karena Ibu tidak cerpen Kartini didekonstruksikan oleh tokoh mau memakai sanggul dan kostum Kartini?” Saya terkejut. pendamping sosok Kartini yang bersikap “Bukan. Kenapa kamu berpikir begitu?” mandiri dan kekinian. Pandangan patriarki “Hanya menebak saja!” pada tokoh Aku pada awalnya menganggap “Tidak. Kenapa aku harus sedih. Ibumu tidak wanita sebagai sosok yang lemah lembut harus memakai pakaian begini kalau tidak dan patuh. Dalam cerpen ini, pandangan suka.” patriarki didekonstruksi oleh pandangan “Tapi, Bapak kan maunya ibu pintar memasak dan lebih banyak di rumah?” tokoh wanita yang membongkar makna “Ya,sih. Kalau Ibu kamu pintar memasak kita melalui tokoh yang dihadirkan. Tokoh bisa lebih hemat daripada terlalu banyak Kartini dianggap sebagai tokoh pejuang arisan dan urusan sosialisasi begini, rumah wanita yang memperjuangkan kesetaraan jadi tidak ada yang merawat. Tapi, tidak berarti aku ingin memaksa, kalau Ibu kamu gender. Perjuangan Kartini sebagai sosok lebih senang begini, ya, sudah. Tak apa, cinta wanita yang menginspirasi wanita masa kini itu kan memberi dan tidak perlu menerima. bukanlah sebuah konsep. Wanita mewarisi Aku menerima Ibu kamu sepenuhnya. Asal ia kemerdekaan dan kebebasan untuk bahagia,aku ikut senang.” beraktualisasi diri. Anak saya tertawa. Terdapat pembalikan oposisi biner “Bapak hipokrit.” “Apa?” yang terjadi dalam dialog dan ulasan tentang tokohnya. Wanita diidentikkan dengan

74 Dekonstruksi Budaya ... (Adek Dwi Oktaviantina)

tindakan lemah lembut dan sopan santun yang mengalami pembalikan oposisi biner menjadi wanita yang merokok di tempat umum. Demikian pula dengan wanita yang berpenampilan anggun yang memiliki unsur ironi yaitu menyiksa dan membutuhkan pengendalian oleh wanita. Pembalikan oposisi biner yang terjadi yaitu konsep Kartini sebagai konsep wanita yang lemah lembut dan anggun menjadi konsep Kartini adalah pewarisan semangat kesetaraan gender yang mendukung hak dan kewajiban wanita di dalam masyarakat.

DAFTAR PUSTAKA Endraswara, Suwardi. 2011. Metodologi Penelitian Sastra. Cetakan pertama.: CAPS. Noerhadi, Toety Herati.2013. Aku dalam Budaya:Telaah Teori dan Metodologi Filsafat Budaya. : Kompas Gramedia. Ratna, Nyoman Kutha. 2011. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wijaya, Putu. 2010. Klop. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bentang. http://id.wikipedia.org/wiki/Putu_Wijaya. Diakses hari Jumat, 10 Januari 2014. Pukul 08.05 WIB. http://satrioarismunandar6.blogspot.com/20 08/12/dekonstruksi-derrida-dan- pengaruhnya.html. diakses hari Rabu, 22 Januari 2014. Pukul 14.00 WIB. http://rubrikbahasa.wordpress.com/2010/09/ 13/di-balik-sebuah-kata-kontet/#more- 1350). Diakses hari Rabu, 22 Januari 2014. Pukul 14.30 WIB.

75