Vol. 1, No. 2, Desember 2011 LITERASI

Volume 1 No. 2, Desember 2011 Halaman 208 - 219

TRANSFORMASI TEKS SUTASOMA DARI KE NOVEL

TEXT TRANSFORMATION OF SUTASOMA FROM KAKAWIN TO NOVEL

Zuriati Fakulta Sastra Universitas Andalas Padang Pos-el: [email protected] Oom Rohmah Syamsuddin Universitas Pendidikan Bandung Pos-el: [email protected]

Abstrak

Karya Cok Sawitri, Sutasoma, adalah novel yang ditulis berdasarkan kakawin Mpu Tantular dengan judul yang sama, Sutasoma. Perubahan genre, dari kakawin ke novel, mengindikasikan bahwa Sutasoma karya Tantular mengalami transformasi dalam karya Sawitri. Berdasarkan hal itu, di dalam artikel ini, kami membaca elemen-elemen yang ditransformasi dalam dua karya tersebut, apakah transformasi tersebut menyebabkan perubahan dalam struktur teks (cerita), pesan, dan fungsi. Dengan menggunakan analisis struktural, kami menemukan bahwa transformasi berlangsung, khususnya, dalam konteks tokoh utama dan pesan yang berkebalikan. Namun, transformasi masih mempertahankan struktur teks dan fungsinya. Strukturnya menunjukkan kemiripan di antara keduanya, khususnya dalam hal sejarah kehidupan dari tokoh utama. Jayantaka sebagai tokoh utama dalam Sutasoma karya Sawitri merupakan transformasi dari Sutasoma, tokoh utama dalam karya Tantular. Kedua karya tersebut juga melegitimasi dan menekankan agama Budha sebagai agama terbaik dan utama, meskipun pada masa Kerajaan ia menjadi agama kelas-kedua.

Kata kunci: Sutasoma, kakawin, transformasi, novel, struktur

Abstract

Sutasoma novel composed by Cok Sawitri is based on Sutasoma Kakawin written by Mpu Tantular. Both writings, novel and kakawin (poem), form a different literature genre. The genre transformation from kakawin to novel indicates that Tantular’s Sutasoma finds its transformation in Sawitri’s Sutasoma. Based on this, this article aims at elaborating the transformed elements in the two writings and discussing whether the transformation also has changed the textual stuctures (story), messages, functions. Structural analysis to the texts shows that the transformation has happened to the protagonist, Jayantaka, forming a transformation from Sutasoma and conversely, Sutasoma forms a transformation from Jayantaka. Novel seems to have voiced freedom in choosing faith, whereas kakawin voices the only one best religion. The transformation, however, keep their textual structure and functions unchanged, i.e. life history and serving as a legitimacy for Budhism as the best religion, which during the Majapahit era had been seen as the second and inferior.

Keywords: Sutasoma, kakawin, transformation, novel, structure

A. Pendahuluan tulis atau digubah oleh Mpu Tantular. Se­ Sutasoma merupakan sebuah karya sas­ bagaimana dijelaskan di awal teks (pupuh I, tra Jawa Kuno berbentuk kakawin yang di­ bait 4), Sutasoma ditulis berdasarkan kisah

208 Transformasi Teks Sutasoma dari Kakawin ke Novel Zuriati kehidupan Sang Buddha. Bersama dengan B. Konsep Transformasi dalam Kajian karya-karya sastra Jawa Kuno lainnya, Strukturalisme se­per­ti Arjuna Wiwaha, , Strukturalisme merupakan suatu pemi­ Smara­dahana, Bhomantaka, Arjunawijaya, kiran yang berkembang pada ta­hun 1960-an Siwa­ratrikalpa, dan Kunjarakarna, Sutasoma di Eropa dan dipelopori oleh Ferdinand de di­perkirakan ditulis dalam akhir abad ke- Saussure. Karya monumentalnya, ber­ju­­dul 14. Hingga kini, kakawin Sutasoma karya Cours de Linguistique General yang men­ Mpu Tantular ini telah menjadi sumber jadikan bahasa sebagai objek kajian ilmiah ins­pirasi bagi banyak pembaca, baik pe­ untuk pertama kalinya. Menurut Saussure, neliti dalam bentuk karya ilmiahnya, pada ba­hasa terdapat suatu fenomena mau­pun pengarang dalam bentuk karya objektif­ yang disebut struktur. Seluruh sis­ krea­tifnya. Secara filologi, misalnya, pada tem bahasa da­pat dilihat mekanismenya tahun 1975, teks (naskah) Sutasoma telah dalam struktur itu. Struktur itulah, kemu­ dihadirkan dalam bentuk edisi teks oleh dian, menjadi kon­sep penting dalam struk­ Soewito Santoso. Hanya saja, transliterasi turalisme. Struktur merupakan­ sebuah ba­ (alih aksara) dalam edisi yang dibuat oleh ngun abstrak yang terdiri atas sejumlah Santoso untuk kepentingan disertasinya komponen yang berkaitan satu sa­ma lain itu tidak diterjemahkan ke dalam bahasa untuk membentuk struktur dalam susunan Indo­nesia, tetapi ke dalam bahasa Inggris. tertentu. Untuk mengisi kekurangan itu, Dwi Woro Struktur mencakupi istilah sistem dan Retno Mastuti dan Hastho Bramantyo yang penting dalam struktur adalah relasi (2009) menghadirkan kembali transliterasi antarkomponennya. Struktur terwujud yang dibuat oleh Santoso tersebut dan me­ da­lam dua pengertian, yakni relasi antar­ leng­kapinya dengan terjemahan bahasa unsur yang bersifat sintagmatik dan aso­ Indonesia. Sementara itu, dalam bentuk siatif (paradigmatik). Relasi sintagmatik karya kreatif, salah seorang pengarang­ me­rupakan relasi dalam suatu sistem yang zaman ini yang terinspirasi oleh Sutasoma un­sur-unsurnya berada dalam ruang dan karya Mpu Tantular tersebut adalah Cok waktu yang sama (in praesentia). Sementara, Sawitri, seorang pengarang perempuan asosiatif (paradigmatik) merupakan relasi yang berasal dari . Sawitri menulis dalam suatu sistem yang unsur-unsurnya karya kreatifnya dalam bentuk novel,­ tetapi tidak berada dalam ruang dan waktu yang judul yang dipakai pada novel tersebut sama (in absentia). Menu makanan, mi­ persis sama dengan judul kakawin Mpu salnya, secara sintagmatik, ia dapat di­baca Tantular, yakni Sutasoma. dengan urutan dari gatra hidangan pem­ Secara jelas, bentuk yang dipilih oleh Sawitri buka, utama, dan penutup. Secara para­ menunjukkan, bahwa teks Sutasoma yang digmatik, setiap unsur makanan yang me­ ditulis oleh Mpu Tantular tersebut mengalami ngisi setiap gatra dapat digantikan oleh transformasi pada Sutasoma-nya Sawitri. unsur yang lain yang sesuai untuk gatra Keduanya berbeda dalam bentuk­ atau genre; itu, tetapi unsur tersebut tidak dapat hadir kakawin yang berasal dari bahasa Sanskerta, se­cara bersama dalam gatra yang sama kawi-kawya itu (Zoet­mulder, 1983:120), termasuk (Hoed, 2008:51-57). Relasi-relasi yang ada dalam genre puisi, sedangkan novel termasuk pada struktur dalam dapat disederhanakan dalam gen­re prosa. Sehubungan dengan itu, menjadi oposisi biner, baik yang eksklusif, hal yang menarik untuk dikaji adalah apakah seperti p dan –p (bukan p), maupun struktur­ teks dalam kedua bentuk karya ter­ yang tidak ekslusif, seperti siang-malam sebut masih sama atau berbeda? Bentuk- (Ahimsa-Putra, 2006:69). bentuk transformasi struktural apa saja yang Dalam bahasa Claude Lévi-Strauss, dapat dilihat dari kedua karya tersebut? Apa­ struktur adalah relasi dari relasi (relations kah makna teks juga ikut berubah aki­bat dari of relations) atau sistem dari relasi (system beberapa unsur teks kakawin Sutasoma yang of relations) (dalam Ahimsa-Putra, 2006:61). bertransformasi dalam novel Sutasoma? Lévi-Strauss merupakan perintis analisis

209 Vol. 1, No. 2, Desember 2011 strukturalis modern terhadap narasi (mi­ structure) dan per­ubahan itu tidak terjadi tos). Ia me­lihat bahwa beberapa mitos yang pada tataran yang lebih dalam atau pada kelihatannya berlainan merupakan variasi struktur dalam (deep structure). Perubahan dari sejumlah tema dasar. Mitos-mitos atau transformasi itu da­pat berupa perbedaan yang bervariasi tersebut mengandung dan pergantian pada struktur luar, tetapi struk­tur-struktur universal tertentu yang makna atau pesan yang dikandungnya tetap konstan, dan mitos mana pun dapat dire­ sama. Contoh sederhana, misalnya dapat duksi menjadi struktur-struktur itu. Mi­ dilihat pada tiga kalimat yang berbeda pola, tos merupakan sebuah jenis bahasa yang sebagai berikut. (1) Saya menguji mahasiswa dapat dipecah-pecah menjadi unit in­di­ S1 Senin pagi (S-P-O-K); (2) Senin pagi, saya vidual (mythemes ‘unit terkecil dari ba­ menguji mahasiswa S1 (K-S-P-O); dan (3) ha­sa mitos’), seperti unit bunyi dasar ba­ Menguji mahasiswa S1 saya Senin pagi (P-O- ha­sa (fonem), yang memperoleh makna S-K). Dari contoh tersebut, perubahan tampak ha­nya jika dikombinasikan dengan cara- pa­da struktur luarnya, tetapi isi atau makna cara tertentu. Dalam sekumpulan mitos pada struktur dalam tetap sama pada ketiga ter­sebut, operasi mental universal yang kalimat yang bertransformasi tersebut, yak­­­ni mendirikan­ strukturnya lebih utama dari­ subjek yang melakukan pekerjaan me­­nguji. pada isi naratifnya. Operasi mental, se­perti Dengan demikian, berdasarkan pengertian pembuatan oposisi biner, dari satu sisi terse­but, penelitian terhadap dua karya yang merupakan arti mitos itu sendiri. Ia ada­ berisi teks Sutasoma ini difokuskan pada lah alat untuk berpikir, cara untuk meng­ keberadaan atau pa­da ben­tuk struktur dan klasifikasi, dan mengorganisasi realitas, transformasi struk­tural yang berlangsung. sehingga makna dibentuk oleh teks itu Penjelasan ter­ha­dap bentuk struktur dan sen­diri, bukan oleh pengarang (subjek) transformasi struk­tural itu mendukung (Eagleton, 2007:149-150). totalitas makna pada­ kedua karya tersebut. Struktur, menurut Piaget (dalam Hoed, 2008:51), mempunyai tiga sifat utama, yaitu totalitas, transformatif, dan otoregulatif. C. Struktur dan Transformasi Teks Se­buah struktur harus dilihat sebagai sua­ Sutasoma tu totalitas. Struktur-struktur bawahan 1. Susunan Teks Sutasoma Karya Mpu ber­­­kaitan satu sama lain dan membentuk Tantular struktur yang lebih besar. Struktur juga Kakawin Sutasoma terdiri atas 148 bukan merupakan sesuatu yang statis, me­ pu­puh (bab) dan 1209 bait. Jumlah bait lainkan sesuatu yang berproses, sehingga dalam setiap pupuh tidak sama, berkisar struktur itu dapat bertransformasi, baik antara 2 bait dan sampai dengan 26 bait. dipengaruhi oleh sesuatu yang berada Dari 148 pupuh tersebut, 93 pupuh ber­ dalam dirinya, maupun oleh sesuatu yang ke­naan dengan tokoh Sutasoma, se­ berada di luar dirinya. Ketika ada unsur dang­­kan sisanya, 20 pupuh berisi to­ yang berubah, struktur akan mengatur di­ koh Jayantaka dan 35 pupuh tentang rinya sendiri. per­­temuan kedua tokoh tersebut. Teks Berdasarkan sifat struktur di atas, kakawin Sutasoma bercerita tentang dua transformasi juga merupakan konsep pen­ tokoh, yakni (1) Sutasoma yang berasal ting dalam strukturalisme. Bagi Lévi-Strauss, da­ri Kerajaan Hastina (Raja Hastina) dan sebagaimana yang dipahami oleh Ahimsa- merupakan jelmaan Sang Buddha yang Putra (2006:61-65) transformasi bukan berarti turun ke dunia untuk menghancurkan ke­ perubahan, dalam arti ber­ubahnya sesuatu ja­hatan. (2) Jayantaka, yang berasal dari ke sesuatu yang lain da­lam ruang dan waktu Ke­rajaan Ratnakanda (Raja Ratnakanda/ tertentu, melainkan merujuk pada alih-rupa, Raja Purusada) dan merupakan jelmaan dalam arti, bahwa dalam suatu transformasi Su­ciloma (Raksasa), yang berkeinginan hanya terjadi per­ubahan pada tataran meng­hancurkan dunia. Berdasarkan uru­t­ permukaan atau pa­da struktur luar (surface an pupuhnya Sutasoma berisi:

210 Transformasi Teks Sutasoma dari Kakawin ke Novel Zuriati

1. Pupuh 1, puji-pujian kepada Sang sang pangeran (Sutasoma), agar berse- Buddha dan Bhatara (Siwa) dan latar dia kembali pulang dan menjadi raja; belakang kelahiran tokoh Sutasoma; b. Para bidadari dan Dewa men- 2. Pupuh 2, kelahiran Sutasoma; guji tapa Sutasoma dengan berbagai 3. Pupuh 3, masa remaja Sutasoma; cara yang menimbulkan nafsu dan 4. Pupuh 4–6, permintaan Raja Hastina, menggoda; ayahanda Sutasoma, kepada Sutasoma c. Berkat Dewa Indra dan dewa lainnya, untuk segera menikah dan menjadi raja dan Sutasoma menyadari bahwa dirinya penolakan Sutasoma untuk menjadi raja; berhakikat Jina, satu-satunya yang 5. Pupuh 7, Sutasoma meninggalkan istana dapat menaklukkan Raja Purusada secara diam-diam menuju pertapaannya berdasarkan belas kasih terhadap se- (Gunung Himalaya); mua makhluk dan kesejahteraan selu- 6. Pupuh 8, kesedihan raja dan ratu Hastina ruh alam; ditinggal anaknya, Sutasoma; 9. Pupuh 55–92, perjalanan Sutasoma kem- 7. Pupuh 9–42, perjalanan Sutasoma bali dari tapa menuju Bharata (Hastina), menuju puncak gunung Himalaya, yang meliputi: meliputi: a. Pertemuan Sutasoma dengan Suda- a. Pertemuan Sutasoma dengan Dewi hana (prajurit raksasa yang sedang (Widyutkarali); lari) dan Raja Dasabahu (sedang b. Pertemuan Sutasoma dengan Kesawa, mengejar Sudahana); pe­mim­pin para pertapa dan yang b. Perjalanan ke Kasi; kemudian me­­nemaninya menuju c. Pertemuan Sutasoma dengan Putri pertapaannya; Kasi, Candrawati, adik Raja Dasabahu; c. Pertemuan Sutasoma dengan d. Pernikahan dan percintaan Sutasoma Bhagawan Su­mitra, guru agama dengan Putri Kasi di Balai Kristal Buddha dan meru­pa­kan kakek (Nusa Indah); Sutasoma dari garis ibu, meliputi e. Perjalanan Sutasoma dan Putri Kasi pula cerita masa dahulu (flash back): beserta rombongan Raja Dasabahu cerita ten­tang Bhagawan Sumitra menuju Hastina; dulu, cerita tentang kehebatan Raja f. Pertemuan Sutasoma dengan kedua Kasi (Dasabahu), dan cerita ten­tang orang tuanya (Raja dan Ratu Hasti- Suciloma (Dewa Raksasa) yang men­ na); jel­ma dalam diri Jayantaka; 10. Pupuh 93, masa Sutasoma menjadi Raja d. Kemunculan Dewi Pertiwi; Hastina: Dasabahu menjadi komandan e. Pertemuan dan perkelahian Sutasoma pengawal istana, kedua orang tuanya dengan­ Mahasana (Durmukha atau melakukan tapa dan kemudian kembali Gajawa­ ktra);­ ke surga, dan lahirnya putra Sutasoma, f. Pertemuan Sutasoma dengan naga Pangeran Arddhana, dan sudah pula besar; berumur 20 tahun; g. Pertemuan Sutasoma dengan in­duk 11. Pupuh 94, Raja Ratnakanda (Jayantaka) macan yang akan memakan anaknya;­ yang mengalami penderitaan sakit kaki h. Pengajaran Sutasoma tentang ajaran dan berkaul mempersembahkan 100 Mulia kepada pengikut yang baru kepala raja kepada Sang Kala, jika kaki­ saja disadarkannya menjadi baik, nya sembuh, dan pertemuannya de- meliputi ajaran Siwa dan Buddha; ngan prajurit yang mencarinya; 8. Pupuh 43–54, masa pertapaan (medi- 12. Pupuh 95, penaklukan Kerajaan Mala- tasi) Sutasoma di puncak Himalaya, wa oleh Raja Purusada (Jayantaka) dan meliputi: prajurit raksasa dan menculik rajanya; a. Permusyawaratan para Dewa, gana, 13. Pupuh 96–102, penaklukan raja yang ke- dan para pertapa tentang rencana 100, Raja Singhalapura (Raja Jayawikra- mengganggu atau menggoda tapa ma) oleh Raja Purusada (Jayantaka);

211 Vol. 1, No. 2, Desember 2011

14. Pupuh 103–107, bela pati Dewi Marma- Arddhana naik tahta menggantikan wati, anak Maharesi Sukesa, atas kema- ayahnya Sutasoma; tian suami, Jayawikrama; 23. Pupuh 148, merupakan penutup yang 15. Pupuh 108–110, penaklukan Raja Wi­ menyampaikan sumber cerita Sutaso- dha­raba oleh Raja Raksasa (Purusada) ma, pujian terhadap Kerajaan Majapa- dengan cara menyamar sebagai pemin­ hit dan para penyairnya yang mem- ta-minta (brahmana mulia); persembahkan karya-kar­yanya untuk 16. Pupuh 111–112, penolakan Bhatara Raja Majapahit; dan penegasan bahwa Kala terhadap korban para raja karena karyanya ini (Sutasoma) berbeda de­ menginginkan Sutasoma (Raja Hastina) ngan karya para penyair Kerajaan Ma- dan Jayantaka kembali ke Ratnakanda; japahit tersebut. 17. Pupuh 113–114, perjalanan Raja Jayan- taka diiringi sekutunya, Raja Kalingga, 2. Susunan Teks Sutasoma Karya Cok Raja Magadhapura, Raja Awangga, be- Sawitri serta pasukan menuju Hastina; 18. Pupuh 115–120, persiapan dan ke- Novel Sutasoma juga menceritakan dua berangkatan Raja Kasi (Hastina) mela- tokoh cerita, yakni (1) Jayantaka dari Kerajaan wan Raja Jayantaka; Ratnakanda dan (2) Sutasoma dari Kerajaan Hastina. Cerita terdiri atas 27 bagian (bab) 19. Pupuh 121–137, pertempuran antara dan 12 di antaranya me­rupakan cerita tentang Hastina dan Ratnakanda, dan Hastina Jayantaka. Sisanya, 8 ba­gian berisi tentang mengalami kekalahan; Sutasoma, 3 bagian tentang Kesawa (juru 20. Pupuh 138–140, pertemuan Sutasoma masak istana, teman, dan penunjuk jalan dengan Dewa Iswara (Rudra), diiringi Jayantaka), dan 4 bagian tentang (pertemuan) Brahmana, Siwa, dan Buddha, perkela- Jayantaka dengan Sutasoma. Setiap bagian hian Sutasoma dan Dewa Rudra (Raja cerita diberi judul sesuai dengan susunannya Purusada), Dewa Rudra meninggalkan dalam teks, bagian-bagian cerita tersebut tubuh Raja Purusada (Jayantaja), dan dapat dilihat di bawah ini. kedamaian memasuki hati Raja Puru- 1. Bagian 1, berjudul Ratnakanda, berisi sada dan meminta kepada Sutasoma cerita tentang keluarga Kerajaan Ratna- untuk mengurungkan niatnya menye­ kanda dan kekhawatiran Raja Sudasa rahkan diri kepada Bhatara Kala dan terhadap Ratnakanda akan terpecah- mengajarinya tentang ajaran yang dia- belah karena hasrat berkuasa keluarga nut Sutasoma; istana; 21. Pupuh 140–144, penyerahan diri Suta- 2. Bagian 2, berjudul Duta Nagari, ten- soma kepada Bhatara Kala, meliputi: tang Dewi Gauri dan dua madunya a. Nasihat Sutasoma kepada para raja menyusun rencana untuk meloloskan yang sudah dibebaskan dengan menye­ anaknya, Nahusha, sebagai Maha Men- rahkan dirinya ditelan Bhatara Kala; teri; b. Bhatara Kala menelan Sutasoma; 3. Bagian 3, berjudul Jayantaka, tentang Su- c. Dewa Raksasa damai hatinya, disen­ dasa menjemput Jayantaka ke hutan Ang- tuh air kehidupan Sutasoma dan soka untuk dibawa kembali ke istana; tidak jadi menelan Sutasoma; 4. Bagian 4, berjudul Menutup Istana, d. Bhatara Kala dan Jayantaka diizinkan Menutup Hati, tentang Sudasa yang menjadi bhiksu dan ditasbihkan un- menutup istana utama dari kunjungan tuk menjadi pendeta Buddha kerabat istana dan pembersihan istana 22. Pupuh 145–147, pengajaran Sutasoma dari korupsi; (paramasiwa) tentang ajaran ung- 5. Bagian 5, berjudul Menyusuri Jalan gul; Sutasoma kembali ke Gajahwaya; Tantra, tentang Jayantaka berlatih Yoga Sutasoma dan istri melaksanakan tapa dan belajar tatwa, latihan senjata, dan hingga kembali berwujud dewata; dan belajar sastra dan tata karma;

212 Transformasi Teks Sutasoma dari Kakawin ke Novel Zuriati

6. Bagian 6, berjudul Bulan Asuji, tentang kakeknya dari pihak ibu (cerita tentang bulan Asuji sebagai bulan peperangan, Sumitra dan Raja Kasi (Dasabahu dan meliputi cerita tentang uji tarung antara Candrawati, sepupu Sutasoma, dan Mandara Jaya dan Jayantaka, Jayantaka tentang raksasa Suciloma flash back); dipanah oleh orang tidak dikenal, Rat- Sumitra dan Dewi Bumi membujuk nakanda bergejolak, istana menjadi ke- Sutasoma untuk kembali ke Hastina dan walahan, dan panah Jayantaka menge­ bersedia­ menjadi raja; pertemuan Suta- nai para kerabat istana; soma dengan Durmuka, anak Suciloma; 7. Bagian 7, berjudul Belawa, tentang per- pertemuan Sutasoma dengan induk ha- jalanan Belawa menuju kota Ratnakan- rimau yang akan memakan anaknya; da untuk berjualan daging segar; 14. Bagian 14, berjudul Hutan yang Tak 8. Bagian 8, berjudul Yang Terpanggil, Sunyi, ihwal pengajaran Sutasoma ten- tentang dagangan hasil buruan Belawa tang yoga yang benar kepada pengi- terjual habis dan kembali ke hutan ser- kutnya dalam perjalanan; ta menumpang di pondok seorang tua 15. Bagian 15, berjudul Jalan Tengah, ten- bernama Nini; tang pengajaran Siwa dan Buddha dan 9. Bagian 9, berjudul Awal Perkabungan, tawaran Sutasoma untuk mempelajari tentang Belawa mendirikan pondok kedua ajaran tersebut; di samping rumah Nini, berdagang di 16. Bagian 16, berjudul Perabuan yang pasar, dan ikut berkabung di depan pin- Menobatkan, tentang Jayantaka ketika tu istana atas kematian Raja Sudasa; berumur 16 tahun dan harus menggan- 10. Bagian 10, berjudul Hastina, tentang tikan ayahnya sebagai Raja Ratnakan- Kerajaan Hastina dilanda berbagai da; bencana, Raja Hastina (Sri Mahaketu) 17. Bagian 17, berjudul Serangan Pertama, berkonsultasi dengan Munindra, tentang penyamaran Jayantaka masuk pemimpin Brahmin, Raja beryoga un- hutan ditemani Belawa atas petunjuk tuk mendapatkan seorang putra yang mimpi ayahnya untuk menyelidiki be- akan memulihkan kehancuran pada berapa negeri yang sedang merencana- zaman Kala, permaisuri hamil, dan kan serangan terhadap Ratnakanda; kelahiran Sutasoma; Ratnakanda melakukan serangan per- 11. Bagian 11, berjudul Sutasoma, tentang tama terhadap negeri-negeri yang akan permintaan Raja Hastina kepada Suta- menyerang tersebut dan menang; soma untuk menikah dan menjadi raja 18. Bagian 18, berjudul Kaul pada Kala, ketika sudah berumur 16 tahun, peno- tentang kaul Jayantaka akan mem- lakan Sutasoma terhadap permintaan persembahkan 100 kepala raja kepada raja (ayahnya), dan kepergian Sutaso- Kala; persiapan perang, dan Belawa ma dari istana secara diam-diam menu- dan Nini diangkat menjadi juru masak ju pertapaannya; istana; 12. Bagian 12, berjudul Pergi, Tak Pergi, 19. Bagian 19, berjudul Kepala Raja-Raja, tentang Raja dan Permaisuri bersedih tentang penawanan Jayantaka terha­ atas kepergian Sutasoma; dap raja-raja dan kemudian dia dike- 13. Bagian 13, berjudul Perjalanan, tentang nal sebagai Porusada, pelahap kepala; perjalanan Sutasoma menuju Puncak Jayantaka memimpin tapa para raja Mahameru, meliputi: pertemuannya yang ditawannya untuk menghadapi dengan Sri Widyutkarali (Bhairawi Dur­ zaman Kala; ga) yang sebelumnya menyamar seba- 20. Bagian 20, berjudul Perdebatan yang gai pelacur; pertemuannya dengan Ki Mendebarkan,­ tentang pertemuan para Kesawa dan kemudian menjadi teman- pemimpin dari semua aliran agama di nya dalam perjalanan; pertemuannya Gunung Dewangga untuk membicara- dengan Su­mitra, yang ternyata adalah kan tindakan Jayantaka; Jayantaka kem-

213 Vol. 1, No. 2, Desember 2011

bali dari tapa; Jayantaka diminta­ men- da dan Hastina; pertemuan Sutasoma jodohkan kakaknya, Paila, dengan Putri dan Jayantaka; Sutasoma dan Jayanta- Kasi dan Giri Nari dengan Mandara Jaya ka menemui Kala; serta Angias dengan Putri Mandara; 27. Bagian 27, berjudul Petunjuk Jalan, 21. Bagian 21, berjudul Petaka Jayawikra- ten­tang kesenangan Jayantaka karena ma, tentang peperangan (terbuka) an­ perang telah usai dan meskipun ber- tara Raja Singhala, Jayawikrama, de- beda dengan Sutasoma, tetapi mereka ngan Jayantaka; sama dalam tujuannya; dengan Belawa 22. Bagian 22, berjudul Tak Ada yang Be- sebagai penunjuk jalan, Sutasoma dan bas Karma, tentang kecemasan Dewa Jayantaka menemui Sang Kala; perda- Indra terhadap kelakuan Jayantaka dan maian terjadi di antara mereka, Kala mengutus bidadari dan dirinya sendiri melepaskan Sutasoma dan Jayantaka untuk menghentikan tapa Sutasoma, dari semua ikatan; Jayantaka kembali tetapi gagal; kepulangan Sutasoma dari ke Gunung Mandara untuk mencapai tapa bersama Ki Kesawa; pertemuan tujuannya, tetapi Kala minta diizinkan Sutasoma dengan Dasabahu (Raja Kasi) untuk menjadi bhiksu. yang sedang mengejar prajurit sekutu Ratnakanda; Dasabahu mengajak Suta- D. Struktur Teks soma singgah di Negeri Kasi; Tokoh utama (protagonis) cerita dalam 23. Bagian 23, berjudul Pengantin Surga, kakawin Sutasoma adalah Sutasoma, se­ tentang kesedihan Putri Kasi (Can- dang­kan Jayantaka, yang juga dikenal de­ drawati) karena kekhawatirannya ter­ ngan nama Porusada, merupakan to­koh hadap kemurnian cinta Sutasoma ke­ anta­gonis. Sebaliknya, dalam novel Su­ pa­da dirinya; pertemuan Sutasoma tasoma, Jayantaka menjadi tokoh utama de­ngan Candrawati di Taman Ratnala­ (pro­­tagonis) cerita, sedangkan Sutasoma ya dan berkunjung ke Istana Berlian; me­rupakan tokoh antagonis. Dua tokoh per­nikahan antara Sutasoma dan lain­nya, Ki Kesawa (penuntun Sutasoma) Candra­wati; dan Belawa (penuntun Jayantaka), sekilas, 24. Bagian 24, berjudul Satu Kepala, ten- tam­pak tidak mempunyai peran yang pen­ tang Jayantaka dan Sutasoma sama-sa- ting dalam cerita. Akan tetapi, ternyata, ke­ ma penyelamat dunia; Narada mengun­ duanya sangat menentukan makna cerita jungi Jayantaka dan Sutasoma serta se­cara keseluruhan. Dalam kakawin dan me­lihat bahwa keduanya sama-sama juga novel, Ki Kesawa adalah seorang per­ me­nganut ajaran yang benar, Siwa dan tapa yang menjadi teman dan penunjuk ja­ Buddha; lan bagi Sutasoma. Dalam kakawin, Bela­ 25. Bagian 25, berjudul Yang Bertarung wa adalah seorang juru masak istana yang di Hati, tentang penjelasan Sutasoma me­nyebabkan perubahan pada Jayantaka ten­tang ajaran yang dianut Jayantaka men­jadi berhati raksasa setelah diberinya kepada Narada; penaklukan Raja Wa­ ma­kan paha mayat. Sementara, dalam no­ dharba oleh Jayantaka; peno­lakan Kala vel, selain juru masak istana, Belawa ju­ ter­hadap kaul 100 kepala raja dari Ja­ ga me­rupakan penunjuk jalan yang andal yantaka, karena menginginkan Suta- bagi Jayantaka dalam memenuhi kaulnya soma; Sutasoma hendak menyerahkan kepada Sang Kala. diri, sementara itu Raja Ratnakanda Deskripsi atau analisis terhadap tin­ dan Dasabahu (Hastina) bersiap-siap dakan atau peristiwa yang dialami oleh untuk berperang; pa­ra tokoh dalam cerita (miteme), meliputi 26. Bagian 26, berjudul Darah Asuji, ten- sifat-sifat, latar belakang kehidupan, dan tang pengajaran bahwa Buddha dan status sosial tokoh penting cerita, mem­ Si­wa adalah tunggal dalam hakikatnya perlihatkan adanya tahap-tahap atau yang paling dalam (Bhineka Tunggal epi­sode-episode yang mengindikasikan Ika); persiapan perang oleh Ratnakan- perjalanan kehidupan atau sejarah ke­

214 Transformasi Teks Sutasoma dari Kakawin ke Novel Zuriati hidupan para tokoh utama. Sejarah ke­hi­ 2. Kehidupan Masa Remaja dup­an inilah yang merupakan struktur Sutasoma remaja digambarkan tumbuh luar cerita. Struktur tersebut dibentuk oleh sebagai seorang remaja yang sangat ta­hap-tahap atau episode-episode cerita tampan, sebagaimana namanya, bagai yang dibuat berdasarkan miteme-miteme jelmaan dewa asmara. Dia mempunyai atau unit terkecil cerita. Beberapa episode pengetahuan yang dalam tentang etika dan yang menunjukkan struktur cerita tersebut pandai me­nulis/menggubah puisi. Puisi- da­pat dilihat berikut ini. puisinya da­pat menimbulkan rasa asmara pada setiap orang yang mendengarnya. 1. Latar Belakang Tokoh Dia juga ahli dalam meramal bentuk wajah orang, sehingga dia dianggap Sutasoma adalah seorang pangeran, dewa istana. Selain itu, dia cerdas, dan putra dari Raja Sri Mahaketu dan Permaisuri pandai menyenangkan hati orang lain. Dewi Prajnjadhari dari Kerajaan Hastina. Sutasoma juga digambarkan sebagai Sutasoma lahir pada masa merajalelanya seorang tokoh yang mengetahui semua kejahatan dan berjangkitnya banyak pe­nyakit yang berharga dari pikiran setiap orang, di negeri Hastina dan dunia umum­nya. karena dia adalah perwujudan sejati dari Kelahirannya diharapkan oleh dunia, karena Sang Buddha. Dia juga berbakti pada hanya dialah yang da­pat menghentikan gurunya, Sri Jnanaishvarabajra, yang juga berbagai kejahatan yang melanda berbagai merupakan guru dari ayahandanya. Semua dunia tersebut. Oleh karena itu, di istana, keistimewaan yang dimiliki oleh Sutasoma Sutasoma bayi men­dapatkan perlakuan yang itu membuat dia terkenal di seluruh dunia sangat istimewa sebagai seorang pangeran dan juga di surga. yang sangat tampan dan merupakan titisan Pada masa remaja, Jayantaka menjalani Buddha pu­la. Artinya, Sutasoma kecil hidupnya di istana Kerajaan Hastina. Jayan­ dibesarkan oleh lingkungan istana dengan taka digambarkan sebagai seorang anak penuh ka­sih sayang. raja yang tidak banyak berinteraksi dengan­ Sementara itu, Jayantaka juga meru­ orang lain. Setelah sampai di istana, Raja pa­kan seorang pangeran, putra dari Raja Sudasa­ menutup istana utama dari kun­ Sudasa dan Permaisuri Dewi Kalika Sakti jungan kerabat istana. Dalam situasi seperti dari Kerajaan Ratnakanda. Hanya saja, itulah, Jayantaka diberi berbagai pelajaran ke­tika Jayantaka lahir, ibundanya, Dewi dan pelatihan, seperti yoga, tatwa, senjata, Kalika Sakti wafat secara tiba-tiba. Pada sastra, dan tata krama. Sebagai hasil dari wak­tu itu, negeri Ratnakanda berada dalam latihan senjatanya, Jayantaka mengikuti uji si­tuasi yang mulai terpecah-belah, karena tarung dan menang atas Mandara Jaya yang hasrat berkuasa keluarga istana. Kerajaan jauh lebih tua darinya. Begitu juga, panah- Ratna­kanda sendiri pun sudah tidak mem­ panahnya telah pula membunuh beberapa punyai kedaulatan penuh lagi, yang ditun­ ­ kerabat istana secara tidak sengaja. Dengan jukkan oleh tiga istrinya yang berasal dari demikian, Jayantaka remaja digambarkan tiga negara, yakni Kalingga, Magadha, sebagai seorang pangeran yang keras dan dan Awangga, juga menjabat sebagai duta pemberani, tetapi tetap santun, serta sudah negara, agar persekutuan dari tiga negara menjadi pembunuh secara tidak sengaja. Hal tersebut tetap terpelihara. Dalam situasi itu, itu dapat dilihat pada data di bawah ini. Jayantaka dibawa dan dibesarkan oleh Ratu Kanya (bibi Raja Sudasa) di pertapaannya di Jayantaka tidaklah hidup bagai anak- Hutan Angsoka, hingga berumur 10 tahun. anak lainnya, sebagai putra mah­kota. Jayantaka tidak bergabung dengan De­ngan demikian, Jayantaka kecil tidak putra-putra istana yang lain, bahkan mem­peroleh perhatian dan kasih sayang saat belajar keterampilan sen­jata, ia sebagaimana layaknya yang harus diterima ber­la­tih sendirian. Usai mendengarkan oleh seorang pangeran di istananya. tatwa, saat ma­tahari mulai bergerak ke arah ba­rat, Jayantaka akan dikembalikan ke istana dengan menaiki kuda pe­ liharaannya, tidak untuk isti­rahat. 215 Vol. 1, No. 2, Desember 2011

Setiba di istana, Jayantaka akan sege­ ­ra ter­sebut, dia harus memimpin perabuan memasuki tempat berlatih kete­ ­rampilan ayahandanya, Raja Sudasa, dan harus senjata, di belakang istana uta­ma, yang memutuskan segala sesuatunya tentang tidak sembarang orang boleh me­ma­su­ masa depan Ratnakanda. Masih dalam kinya (Sutasoma, 2009:79-80). masa berkabung, Jayantaka pun harus meng­hadapi beberapa negara yang akan 3. Kehidupan Masa Dewasa me­nyerang Ratnakanda. Dalam masa itu, Jayantaka bertemu dengan Belawa, yang Pada masa dewasa, Sutasoma menjalani kemudian menjadi penunjuk jalannya kehi­ dupannya­ di perjalanan dan di perta­ da­lam melakukan penyamaran dan pe­ paan.­ Pada umur 16 tahun, Sutasoma meno­ nyerbuan terhadap negara-negara, seperti lak permintaan ayahandanya untuk menikah Mleca, yang ingin menyerang Ratnakanda. dan menjadi raja Hastina. Permintaan itu di­ Jayantaka bertekad menjadikan kera­ to­lak oleh Sutasoma, karena merasa tidak jaan­nya tidak hanya disegani, tetapi juga layak menjadi raja dan mempunyai keinginan ditakuti. Untuk itu, dia menerapkan darma untuk bertapa di puncak Mahameru. Untuk negara dan darma agama dengan keras. memenuhi keinginannya itu, Sutasoma me­ ning­galkan istana secara diam-diam pa­da malam­ hari. Dalam perjalanan menuju ta­ 4. Kehidupan Masa Jadi Raja panya itu, Sutasoma bertemu dengan para Dalam kakawin, masa Sutasoma men­ pertapa, seperti Sumitra (kakeknya) dan Ki jadi raja tidak banyak diceritakan. Sutasoma Kesawa,­ yang kemudian menemaninya da­ menjadi raja menggantikan ayahandanya, lam perjalanan. Dalam perjalanan itu pula, Raja Sri Mahaketu, setelah kembali ke Su­­tasoma memperoleh intisari belas kasih Hastina bersama istrinya Putri Candrawati. agung, mantra tertinggi pada Sutasoma, Pemerintahannya berjalan dengan aman dari Dewi Durga (Sawitri, 2009:43-45). Selain dan sentosa. Selain permaisuri Candrawati, itu, dalam perjalanan tersebut, Sutasoma Su­tasoma juga memiliki beberapa istri juga berhasil mem-Buddha-kan berbagai lain. Seorang putranya dari permaisuri ma­khluk, seperti raksasa, naga, dan induk digambarkan sudah berumur 20 tahun. macan, yang kemudian ikut menemaninya Sebagai raja, Sutasoma tetap dikenal seba­ dalam perjalanan. Setelah sampai di pertapa­ ­ gaimana pada masa sebelum menjadi raja, an, Sutasoma menjalani masa remajanya di seorang yang bertindak dengan kasih puncak­ Gunung Mahameru. Dengan ber­ sayang dan keikhlasannya sebagai titisan bagai godaan, akhirnya, Sutasoma dapat me­ Buddha. nyelesaikan tapanya, dan kembali ke Hastina. Dalam novel, Jayantaka digambarkan Akan tetapi, dalam perjalanan menuju Has­ sebagai seorang raja yang sangat aktif tina tersebut, Sutasoma bertemu dengan memperbaiki negeri menjadi lebih baik, Dasabahu, sepupunya, yang berhasrat men­ dengan menerapkan darma negara dan jodohkan adiknya, Candrawati, dengan Suta­ darma agama, seperti yang sudah dising­ soma. Akhirnya, Sutasoma menikah dengan gung di atas. Sesuai dengan kaulnya kepa­ Candrawati dan tinggal di Kerajaan Kasi da Kala, dia melakukan serangan dan (Negeri Dasabahu dan Candrawati) untuk pe­na­klukan hingga seratus negeri serta beberapa lama. menawan semua rajanya. Negeri-negeri Sebaliknya, pada umur 16 tahun, Ja­ yang sudah ditaklukkannya diwajibkan yantaka sudah harus menjadi raja, di­ me­nerapkan darma negara dan darma dam­pingi Ibu Suri Kanya, karena Raja agama, sedangkan raja-rajanya dikirim Sudasa, ayahandanya, wafat pada masa ke Gunung Kangkri untuk menjalani tapa usia Jayantaka mencapai 16 tahun tersebut. yang dipimpin oleh Jayantaka sendiri. Sesuai tradisi, setelah penobatannya, Ja­ Seratus raja yang akan dipersembahkan yantaka melakukan tapa brata peneguhan kepada Sang Kala itu, menurut Jayantaka, diri sebagai raja di hutan larangan memuja merupakan raja-raja yang hanya berpura- Sang Kala. Dalam usia yang masih muda pura menjalankan darma negara dan darma

216 Transformasi Teks Sutasoma dari Kakawin ke Novel Zuriati agama. Mereka menikmati penindasan ter­ sedangkan Jayantaka tetap tinggal sebagai hadap rakyatnya, menempatkan diri me­ manusia meneruskan kesiwaannya. reka sebagai kebenaran mutlak. Meski­pun, hal yang dilakukan Jayantaka menerapkan darma negara dan darma agama dengan E. Transformasi Struktural Teks kepercayaannya kepada jalan Siwa itu Sutasoma tidak salah di mata Dewa Narada dan juga Penjelasan yang terdapat pada bebe­ Sutasoma, pengajarannya terhadap raja- rapa episo­de kehidupan yang membentuk raja tersebut telah menimbulkan cerita struk­tur teks seper­ti tersebut di atas mem­ yang mengerikan, sehingga dia dikenal perlihatkan adanya oposisi biner dan sebagai Porusadha, ‘pelahap kepala raja- elemen-elemen yang menyatukan kedua raja’. Sebagai raja, Jayantaka muncul se­ tokoh pada kedua bentuk teks Sutasoma bagai pribadi yang keras dan tegas serta tersebut. Keduanya, Sutasoma dan Ja­ ditakuti oleh hampir seluruh dunia. yantaka, merupakan putra mahkota. Ha­ nya saja, Sutasoma kecil dibesar­kan oleh ibu­nda dan ayahandanya serta seluruh isi 5. Kehidupan Masa Akhir Kisah istana dengan penuh kasih sayang. Akan Pertemuan antara Sutasoma dan Jayan­ tetapi, Jayantaka kecil dibesarkan tanpa taka merupakan tahap akhir dari perjalanan ibundanya dan juga tanpa ayahandanya. kehidupan kedua tokoh tersebut. Pada Dia dibesarkan seorang diri oleh bibi Sutasoma Tantular, Sutasoma berhasil me­ ayahandanya, Ratu Kanya, bukan di istana, nya­darkan Jayantaka; Jayantaka minta melainkan di hutan (pertapaan). Dengan ke­­pada Sutasoma untuk mengajarkan demikian, lingkungan masa kecil Sutasoma aja­r­­an mulia yang dianut Sutasoma dan di ista­na beroposisi dengan lingkungan me­­mutuskan untuk menjadi seorang masa kecil Jayantaka di luar istana (hutan); Buddhis. Sementara, setelah mengajari lingkungan istana yang damai beroposisi dan menahbiskan Jayantaka dan pengi­ dengan lingkungan hutan yang liar. kut­­nya menjadi penganut Buddha, Suta­ Keduanya juga mempunyai penge­ so­ma menyerahkan tahtanya kepada tahuan dan kepandaian serta keterampilan Pu­­tra Mahkota Arddhana dan bersama sebagaimana layaknya seorang putra per­maisurinya, Putri Candrawati, mela­ mahkota.­ Keduanya sama-sama mem­pu­ kukan tapa hingga kembali berwujud men­ nyai pengetahuan tentang sastra dan tata ja­di dewata. krama. Akan tetapi, Jayantaka memperoleh Dalam Sutasoma Sawitri, Sutasoma semua pengetahuan dan keterampilan itu juga berhasil menyadarkan Jayantaka di bawah jadwal yang padat dan usa­ha dan juga Sang Kala. Meskipun, Jayantaka yang keras. Sementara, Sutasoma mem­ mengagumi dan mau belajar tentang peroleh semuanya, dapat dikatakan, tan­ ajaran Buddha yang dimiliki Sutasoma, dia pa bekerja keras. Sutasoma merupakan tetap pada pendiriannya, tidak mau ting­ titisan Buddha, kelahirannya sendiri sudah gal bersama di bawah satu atap dengan membawa banyak keajaiban. Dua situasi Suta­soma. Artinya, meskipun mempelajari itu menyebabkan keduanya juga muncul Bud­dha dari Sutasoma, Jayantaka tetap sebagai sosok yang berbeda. Jayantaka yang pada pendiriannya sebagai pengikut Siwa, keras beroposisi dengan Sutasoma yang dengan tidak menjadi pengikut Buddha. lembut. Begitu juga, Jayantaka yang me­milih Dia tetap memutuskan sebagai penganut jalan Siwa beroposisi dengan Sutasoma yang Siwa, dengan pergi jauh masuk hutan, memilih jalan Buddha. jauh dari Hastina. Pada pihak lain, berbeda Dari sisi tokoh utama, struktur se­ja­rah dengan Jayantaka, Sang Kala sendiri me­ kehidupan yang sama-sama di­miliki oleh mutuskan menjadi seorang pendeta Bud­ kedua karya tersebut mem­perlihatkan,­ bahwa dha. Hal itu berarti, Sutasoma di akhir tokoh Jayantaka merupakan­ transformasi kisah hidupnya kembali menjadi dewata, dari tokoh Suta­ soma.­ Sebaliknya, tokoh

217 Vol. 1, No. 2, Desember 2011

Sutasoma me­rupakan transformasi dari tentang dua aliran dalam agama Hindu, tokoh Jaya­ntaka. Persamaan dan perbedaan yakni Buddha dan Siwa. Buddha diwakili yang menyatukan­ kedua tokoh tersebut me­ oleh tokoh Sutasoma, sedangkan Siwa nunjukkan transformasi tersebut. Hal itu juga diwakili oleh tokoh Jayantaka. Keduanya, diperkuat oleh salah satu pesan nyata yang Buddha dan Siwa, merupakan dua aliran tampak dalam kedua cerita ter­sebut, bahwa agama yang dianut di kerajaan Hastina meskipun Sutasoma dan Jayantaka memilih dan Ratnakanda. Meskipun cerita terkesan jalan yang berbeda, pada hakikatnya, ingin mengatakan, bahwa kedua aliran keduanya adalah satu jua. Lebih jauh, agama tersebut adalah satu jua dan sama- pada hakikatnya, Siwa dan Buddha adalah sama baik serta sama-sama benar, kata-kata satu, Bhineka Tunggal Ika, satu konsep yang yang menyertai penggambaran Sutasoma kemudian dipakai oleh bangsa Indonesia sebagai wakil dari Buddha dan Jayantaka untuk menunjukkan ke­be­ragamannya, tetapi sebagai wakil dari Siwa menunjukkan tetap satu, yakni Indonesia. makna yang lain sama sekali. Kata-kata yang menyertai tokoh Sutasoma di atas mengindikasikan, bahwa F. Makna Struktural Teks Sutasoma agama yang satu berada di atas yang lain. Secara keseluruhan, oposisi biner yang Keduanya tidak berada pada status yang dapat dilihat dan diungkapkan da­lam teks sama. Kedua karya ini menempatkan ajaran Sutasoma, sebagaimana sudah di­gam­bar­kan Buddhis di atas ajaran Siwa, bahwa agama di atas, dapat dilihat dalam tabel di ba­wah ini. Buddha lebih baik daripada agama Siwa. Buddha merupakan agama yang damai dan mendatangkan kebaikan. Agama Tabel: Tokoh Sutasoma dan Jayantaka dalam Oposisi Biner ini juga berasal dari dewa, tumbuh, dan hidup di istana. Begitu pula, ia merupakan Kerajaan Hastina Kerajaan Ratnakanda agama kelompok orang dari kalangan yang Sutasoma Jayantaka berdarah biru (ningrat). Oleh karena itu, ia Titisan Buddha Titisan Suciloma pantas menjadi agama penguasa (kerajaan). Sementara itu, meskipun hidup di istana, Manusia dewa Manusia raksasa agama Siwa berasal dari raja raksasa Buddha Siwa dan tumbuh di luar istana. Agama Siwa Masa kecil di istana Masa kecil di hutan merupakan agama yang beraliran keras Istana damai Hutan liar dan dapat mendatangkan keburukan/ kejahatan di dunia. Ia merupakan agama Pribadi yang lembut Pribadi yang keras orang-orang yang berasal dari kalangan Menikah Tidak menikah yang lebih rendah, sebagaimana yang Penyelamat dunia Penghancur dunia diwakili oleh tokoh Kesawa sebagai teman dan penunjuk jalan Jayantaka. Penuh ikhlas/kasih Penuh amarah sayang Meskipun secara struktur batin, novel Sawitri tampak mengkritik Sutasoma Penunjuk jalan Ki Penunjuk jalan Kesawa dengan Buddhanya yang dinilai terlalu Kesawa (Juru Masak) (Pemimpin para pertapa) sibuk dengan dirinya sendiri, tetapi novel ini gagal meletakkan Siwa pada kedudukan Menang Kalah yang sama dengan Buddha. Kegagalan itu Kembali berwujud Tetap tinggal sebagai terletak pada penokohan tokoh Belawa, dewata (di surga) manusia (di hutan) meskipun mendapatkan tempat yang cukup banyak dalam penceritaan, tetapi Kata-kata dalam tabel oposisi biner tetap digambarkan sebagai seorang yang di atas membentuk makna struktural teks tidak jelas asal-usulnya dan berdiam Sutasoma secara keseluruhan. Kata-kata di hutan sebagai pemburu dan pandai yang beroposisi tersebut menunjukkan, memasak. Dengan kata lain, novel Sutasoma bahwa sebenarnya teks ini bercerita karya Cok Sawitri menyetujui, bahwa

218 Transformasi Teks Sutasoma dari Kakawin ke Novel Zuriati

Buddha lebih baik daripada Siwa. Hanya dengan Sutasoma-nya Mpu Tantular dalam saja, Jayantaka pada novel tetap teguh episode-episode yang membentuk struktur imannya pada Siwa, yang pada kakawin, cerita tersebut. Dalam struktur sejarah Jayantaka beralih menjadi seorang Buddhis. kehidupan pada dua karya tersebut, Dengan demikian, novel karya Cok Sawitri tokoh Jayantaka merupakan transformasi ditutup dengan menyuarakan kebebasan dari tokoh Sutasoma. Sebaliknya, tokoh dalam beragama, sesuai dengan keyakinan Sutasoma merupakan transformasi dari masing-masing. tokoh Jayantaka. Meskipun ada perbedaan Jika dilihat dari masa penciptaan ka­ dan usaha interpretatif terhadap kakawin kawin Sutasoma, kondisi atau kenyataan Sutasoma dalam novel Sutasoma tersebut, yang digambarkan di atas, justru, terbalik. fungsi keduanya tetaplah sama, yakni Dalam abad ke-14, masa kakawin Sutasoma sebagai legitimasi atau pengukuhan ini ditulis oleh Mpu Tantular, Kerajaan terhadap Buddha sebagai (aliran) agama Majapahit mempunyai suatu ketetapan, yang terbaik dan utama, yang pada masa bahwa Siwa merupakan agama resmi Kerajaan Majapahit dinomorduakan. kerajaan. Meskipun agama Buddha mem­ punyai pengikut yang banyak, jumlahnya Daftar Pustaka berada di bawah pengikut Siwa. Buddha Ahimsa-Putra, Heddy Shri. 2006. Struk­ dijadikan sebagai agama yang nomor dua turalisme Levi-Strauss: Mitos dan Karya pada masa Kerajaan Majapahit tersebut. Sastra. Yogyakarta: Kepel Press. Oleh karena Siwa merupakan agama resmi Eagleton, Terry. 2006. Teori Sastra: Sebuah istana, agama Buddha dilarang disyiarkan Pengantar Komprehensif. Yogyakarta di sekitar kerajaan, kecuali di wilayah Bali dan Bandung: Jalasutra. dan Lombok sekarang (Mulyana, 2006:234- 235). Dengan demikian, lebih jauh, teks Hoed, Benny H. 2008. Semiotik dan Dinamika kakawin Sutasoma ini dapat dilihat sebagai Sosial Budaya. Depok: FIB, UI. karya yang bermakna politik agama. Ia Mastuti, Dwi Woro Retno, dan Bramantyo, merupakan legitimasi terhadap agama Hastho. 2009. Kakawin Sutasoma Karya Buddha yang dinomorduakan pada masa Mpu Tantular. Jakarta: Komunitas Kerajaan Majapahit. Bambu. Mulyana, Slamet. 2007. Tafsir Sejarah . Yogyakarta: LKiS G. Simpulan Sawitri, Cok. 2009. Sutasoma. Jakarta: Kaki Novel Sutasoma karya Sawitri memiliki Langit Kencana. struktur yang sama dengan kakawin Sutasoma karya Mpu Tantular, yakni sejarah Zoetmulder. 1983. Kalangwan. Jakarta: kehidupan. Akan tetapi, penggambaran Penerbit Djambatan. tokoh Jayantaka hampir selalu beroposisi

219