ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN (BRT) TRANS-MEBIDANG DI SUMATERA UTARA

TESIS

Oleh

MUHAMMAD NIZAM 187003061

SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BUS RAPID TRANSIT (BRT) TRANS-MEBIDANG DI SUMATERA UTARA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Sains Program Studi Magister Perencanaan Wilayah Desa Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

MUHAMMAD NIZAM 187003061

SEKOLAH PASCA SARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA 2021

Telah Diuji Pada Tanggal : 23 Desember 2021

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE

Anggota : 1. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si

: 2. Prof. Dr. lic.rer.reg. Sirojuzilam, SE

: 3. Dr. Agus Purwoko, S.Hut., M.Si

: 4. Dr. Rujiman, MA

PERNYATAAN

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BUS RAPID TRANSIT (BRT) TRANS-MEBIDANG DI SUMATERA UTARA

Dengan ini peneliti menyatakan bahwa tesis ini disusun sebagai syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Perencanaan

Pembangunan Wilayah Dan Pedesaan Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera

Utara adalah benar merupakan hasil karya peneliti sendiri. Adapun pengutipan- pengutipan yang peneliti lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penelitian tesis ini, telah peneliti cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penelitian ilmiah.

Apabila dikemudian hari ternyata ditemukan seluruh atau sebagian tesis ini bukan hasil karya peneliti sendiri atau adanya plagiat dalam bagian-bagian tertentu, peneliti bersedia menerima sanksi pencabutan gelar akademik yang peneliti sandang dan sanksi-sanksi lainnya sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Medan, 23 Desember 2021 Penulis,

Muhammad Nizam

ANALISIS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN BUS RAPID TRANSIT (BRT) TRANS-MEBIDANG DI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Trans Mebidang merupakan sebuah sistem Bus Rapid Transit (BRT) di Provinsi Sumatera Utara yang beroperasi di Kota Medan, Kota Binjai, dan Kabupaten Deli Serdang. Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Darat dan Perkeretaapian pada Kementerian Perhubungan Republik pada tahun 2014 tingkat kepadatan lalulintas di Kota Medan mencapai angka V/C ratio 0,769 hal ini berdampak pada ketidaknyamanan serta menambah waktu perjalanan bagi pelaku pengguna jalan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahuai sejauh mana implementasi peraturan gubernur dan untuk mengetahui faktor pendukung dan penghambat penerapan kebijakan Bus Rapid Transit (BRT)) Trans Mebidang dalam mengurai kemacetan di Kota Medan. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif dengan teknik pengumpulan data observasi, wawancara dan studi literatur. Adapun teknik analisa data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa dengan menggunakan transkip hasil wawancara, reduksi data, analisis, interpretasi data dan triangulasi. Hasil penelitian, peneliti menemukan fenomena di lapangan bahwa implementasi kebijakan pada Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 31 tahun 2014 tentang Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang. Berdasarkan fokus penelitian yang ditetapkan sesuai dengan teori Edward III, maka peneliti dapat menyimpulkan bahwa faktor pendukung dan penghambat dipengaruhi oleh aspek komunikasi, sumberdaya, disposisi dan struktur birokrasi, hal tersebut dapat dilihat pada rangkuman hasil penelitian yang telah disajikan oleh peneliti dalam penulisan tesis ini.

Kata Kunci : Bus Rapit Transit, Implementasi, Trans Mebidang, Transportasi

ANALYSIS OF POLICY IMPLEMENTATION OF THE TRANS-MEBIDANG RAPID TRANSIT (BRT) BUS IN NORTH SUMATERA

ABSTRACT

Trans Mebidang is a Bus Rapid Transit (BRT) system in North Province which operates in Medan City, Binjai City, and Deli Serdang Regency. According to the Research and Development Center for Land and Railways at the Ministry of Transportation of the Republic of Indonesia in 2014 the traffic density level in Medan City reached a V / C ratio of 0.769, this has an impact on inconvenience and increases travel time for road users. This study aims to determine the extent of the implementation of the governor's regulations and to determine the supporting and inhibiting factors for the implementation of the Trans Mebidang Bus Rapid Transit (BRT) policy in breaking down congestion in Medan City. In this study, researchers used descriptive methods with observation data collection techniques, interviews and literature studies. The data analysis technique used in this research is analysis using transcripts of the results of interviews, data reduction, analysis, data interpretation and triangulation. The results of the study, researchers found a phenomenon in the field that the implementation of policies in the Regulation of the Governor of Number 31 of 2014 concerning Road-Based Mass Public Transportation Services in the Urban Areas of Medan, Binjai and Deli Serdang. Based on the research focus set in accordance with Edward III's theory, the researcher can conclude that the supporting and inhibiting factors are influenced by aspects of communication, resources, disposition and bureaucratic structure, this can be seen in the summary of the research results that have been presented by the researcher in writing this thesis.

Keywords : Fast Transit Bus, Implementation, Trans Mebidang, Transportation

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Shalawat serta salam peneliti sanjungsajikan ke pangkuan Nabi Besar Muhammad

SAW.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, peneliti banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini peneliti menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Dr. Muryanto Amin, S.Sos., M.Si selaku Rektor Universitas Sumatera Utara 2. Bapak Prof. Dr. Robert Sibarani, MS selaku Direktur Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. 3. Bapak Prof. Dr. lic. rer. reg. Sirojuzilam, SE selaku Ketua Program Studi Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah Dabn Pedesaan dan sebagai dosen penguji. 4. Ibu Prof. Dr. Erika Revida, MS Selaku Sekretaris Magister jurusan Perencanaan Pembangunan wilayah Dan Pedesaan. 5. Bapak Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, MSIE selaku Ketua Komisi Pembimbing (Pembimbing I). 6. Bapak Prof. Dr. Badaruddin, MS selaku Anggota Komisi Pembimbing (Pembimbing II). 7. Bapak Dr. Agus Purwoko, S.Hut, M.Si selaku Dosen penguji. 8. Bapak Dr.Rujiman, MA selaku Dosen Penguji. 9. Saya ucapkan terima kasih kepada kedua Orang Tua Ayahnda H. Achmad Haslah, Ibunda tercinta Hj. Zainab,Isteri tercinta Nindy Febrine dan kedua buah hati, Ahmad Aufar Al-qadri dan Adiba Shafia Annizam, yang telah setia mendukung melalui do’a dan support kepada saya, hingga penulisan tesis ini berjalan dengan baik.

10. Serta seluruh teman-teman se-angkatan yang telah bersama dengan penulis yang berjuang untuk mendapatkan ilmu bermanfaat agar kelak kita dapat memberikan yang terbaik tidak hanya untuk diri sendiri melainkan juga untuk bangsa dan negara.

Semoga karya tulis ini dapat memberi manfaat bagi peneliti selanjutnya.

Medan, 23 Desember 2021 Penulis

Muhammad Nizam

RIWAYAT HIDUP

NAMA : Muhammad Nizam TEMPAT TANGGAL LAHIR : Langsa, 27 Januari 1987 ALAMAT. : Jl. Prona Villa Pondok Kelapa Indah No 9c AGAMA : Islam NO. HP : 0812 6005 3555 EMAIL : [email protected]

JENJANG PENDIDIKAN :

1. SD.N No. 1 Paya Bujuk Tunong, Langsa Barat - 1999 2. Madrasah Tsanawiyah Darul Arafah, Deli Serdang - 2002 3. SMAN I Kota Langsa -2005 4. Sekolah Tinggi Transportasi Darat (STTD) - Bekasi - 2009 5. Magister Perencanaan Pembangunan Wilayah Pedesaan, Universitas Sumatera Utara – 2021.

PENGALAMAN KERJA :

1. Staf pada Kantor Balai Perkeretaapian Medan. 2. Staf pada Bid. Angkutan Darat, Dinas Perhubungan, Provinsi Sumatera Utara. 3. Staf Pada Bid. Angkutan dan Perkeretaapian Dinas Perhubungan, Provinsi Sumatera Utara.

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...... i ABSTRAK...... ii DAFTAR ISI ...... iii

BAB I PENDAHULUAN ...... 1

1.1 ...... Lata r Belakang ...... 1 1.2 ...... Ru musan Masalah ...... 8 1.3 ...... Tuj uan Penelitian...... 8 1.4 ...... Ma nfaat Penelitian ...... 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ...... 10

2.1 Kebijakan Publik ...... 10 2.1.1. Teori Kebijakan Publik ...... 10 2.1.2 Prinsip – Prinsip Kebijakan ...... 13 2.1.3 Langkah – Langkah Pengambilan Kebijakan ...... 13 2.1.4 Macam – Macam Kebijakan ...... 17 2.1.5 Implementasi kebijakan ...... 19 2.1.6 Unsur – Unsur Implementasi Kebijakan ...... 22 2.1.7 hambatan implementasi Kebijakan ...... 26 2.2. Teori Pertumbuhan Dan Perkembangan Kota ...... 29 2.2.1 Pengertian Kota ...... 29 2.2.2 Pertumbuhan Kota ...... 30 2.2.3 Perkembangan Kota ...... 31 2.2.4 Pengembangan Wilayah ...... 32 2.3. Transportasi Massal Bus Rapid Transit (BRT) ...... 35 2.4. Gambaran Umum Program Bus Trans Mebidang ...... 37 2.5. Penelitian Terdahulu ...... 40 2.6. Defenisi Konsep ...... 42 2.7. Kerangka Pemikiran ...... 43

BAB III METODE PENELITIAN ...... 49 3.1. Pendekatan Dan Jenis Penelitian ...... 49 3.2. Lokasi Penelitian ...... 49 3.3. Informan Penelitian ...... 50 3.4. Teknik Pengumpulan Data ...... 51 3.4.1 Teknik Analisa Data ...... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ...... 54 4.1. Geografi Sumatera Utara ...... 54 4.2. Jumlah Penduduk Sumatera Utara ...... 56 4.3. Gambaran Umum Trans Mebidang ...... 58 4.4. Struktur Organisasi Trans Mebidang Perum Damri Cabang Medan ...... 61 4.5. Profil Informan ...... 63

4.6. Analisis Implementasi Kebijakan Bus Rapid Transit (BRT) Mebidang Di Sumatera Utara ...... 64 4.6.1. Komunikasi ...... 64 4.6.2. Sumber Daya ...... 72 4.6.3. Disposisi ...... 81 4.6.4. Struktur Birokrasi ...... 85 4.6.5. Faktor – Faktor Penghambat Terhadap Pelayanan Angkutan Umum Massal BRT Trans Mebidang ...... 89 4.6.5. Faktor – Faktor Pendukung Terhadap Pelayanan Angkutan Umum Massal BRT Trans Mebidang ...... 91

BAB V ...... 94 5.1. KESIMPULAN ...... 94 5.2. SARAN ...... 97

DAFTAR GAMBAR

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Perum DAMRI Cabang Medan ...... 61

DAFTAR TABEL

Tabel 1.1. Jumlah Pertumbuhan Penduduk Di Kota Medan, Deli Serdang Dan Binjai Tahun 2020 ...... 2

Tabel 1.2. Jumlah Kenderaan Bermotor Di Provinsi Sumatera Utara Tahun 2010 – 2016 ...... 4

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu ...... 40

Tabel 4.1. Wilayah Kabupaten / Kota Provinsi Sumatera Utara ...... 55

Tabel 4.2. Perangkat Media Komunikasi Pelaksanaan Trans Mebidang ...... 72

Tabel 4.3. Data Sumber Daya Pengemudi Trans Mebidang ...... 78

Tabel 4.4. Rencana Operasi Trans Mebidang ...... 85

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan mendorong proses pertumbuhan kota menjadi lebih cepat. Pertumbuhan ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pada suatu negara. Untuk itu, maka diperlukan pertumbuhan ekonomi yang meningkat dan distribusi pendapatan yang lebih merata (Masli, 2009). Pertumbuhan ekonomi ditentukan oleh peningkatan pendapatan perkapita (Sullivan, 2007).

Berkaitan dengan bidang ekonomi, kebutuhan akan transportasi merupakan kebutuhan turunan (derived demand) akibat dari adanya aktivitas ekonomi, sosial dan sebagainya. Hal ini didukung dengan konsep transportasi yaitu adanya pergerakan berupa perjalanan (trip) dari asal (origin) sampai ke tujuan (destination). Asal (origin) dapat berupa rumah, sehingga perjalanan yang dilakukan disebut homebased trip (Sukarto, 2006).

Disisi lain, masalah transportasi juga sangat berkaitan erat dengan kebijakan tata ruang. Pakar ilmu transportasi Warpani (1987) berpendapat bahwa ruang merupakan kegiatan yang ditempatkan di atas lahan kota, sedangkan transportasi merupakan sistem jaringan yang secara fisik menghubungkan satu ruang kegiatan dan ruang kegiatan lainnya. Perencanaan kota tanpa mempertimbangkan keadaan dan pola transportasi akibat dari perencanaan itu sendiri akan menimbulkan konflik lalu lintas dikemudian hari yang berakibat dengan meningkatnya kemacetan lalu lintas dan akhirnya meningkatkan pencemaran udara (Sukarto,2006).

1

2

Ditegaskan oleh Edward III (1980) bahwa masalah utama dari implementasi kebijakan adalah kurangnya perhatian pada implementasi sehingga tanpa implementasi yang efektif tujuan dari kebijakan tersebut tidak akan berhasil dilaksanakan. Peran transportasi yang begitu penting ini juga dapat dirasakan terutama pada daerah perkotaan yang menuntut mobilitas yang tinggi dari masyarakatnya seperti Kota Medan dan kota-kota di sekitarnya. Kota Medan sebagai pusat pemerintahan Provinsi Sumatera Utara dan pusat berbagai kegiatan seperti pusat perkantoran, pusat pendidikan, pusat bisnis serta pusat perdagangan tentu menuntut mobilitas yang tinggi dari masyarakat.

Aktivitas di berbagai sektor tersebut menarik mobilitas penduduk bukan hanya dari Kota Medan, melainkan juga kota-kota lain seperti Kota Binjai dan

Deli Serdang. Pertumbuhan penduduk mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap permasalahan lalu lintas, karena hampir semua masyarakat memerlukan pelayanan angkutan jalan raya, baik yang sifatnya kendaraan angkutan umum maupun kendaraan pribadi. Semakin tinggi angka pertumbuhan penduduk dan mobilitas masyarakat maka semakin besar pula kebutuhan akan transportasi.

Jumlah pertumbuhan masyarakat di Provinsi Sumatera Utara dapat dilihat pada tabel 1.1 di bawah ini.

Tabel 1.1 Jumlah Pertumbuhan Penduduk di Kota Medan, Deli Serdang dan Binjai Tahun 2010, 2015 dan 2020

No. Kabupaten/ Kota 2010 2015 2020 1. Medan 1.037.930 1.091.937 1.132.879 2. Deli Serdang 904.718 1.021.189 1.124.091 3. Binjai 123.277 132.197 139.284 Sumber:Hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2020

3

Jumlah penduduk yang terus meningkat berakibat pada meningkatnya jumlah pergerakan atau mobilitas masyarakat dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidupnya (Sari, 2011). Peningkatan jumlah kendaraan terjadi seiring bertambahnya jumlah penduduk karena kendaraan dibutuhkan untuk memfasilitasi pergerakan masyarakat. Transportasi atau kendaraan merupakan kebutuhan turunan akibat adanya aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya (Lestari, 2014).

Pemilihan kendaraan pribadi sebagai alternatif berkendara merupakan konsekuensi dari kapasitas transportasi umum yang belum memadai. Rendahnya aksesibilitas angkutan umum mengakibatkan tidak adanya kepastian pelayanan, sehingga mendorong sebagian besar masyarakat untuk memilih menggunakan kendaraan pribadi. Kondisi ini mengakibatkan tingkat kemacetan yang semakin tinggi akibat tingginya jumlah penggunaan kendaraan pribadi.

Selanjutnya rilis Survei Lalu Lintas yang dikeluarkan oleh Pemerintah

Kota Medan pada Tahun 2020, disebutkan bahwa berdasarkan hasil perbandingan total luas jalan dengan total kendaraan pada 2024, maka diprediksi lalulintas di

Kota Medan Sumatera Utara akan macet total. Berdasarkan data yang ada dari

Pemerintahan Kota Medan panjang jalan hanya bertambah kurang dari satu persen

(%), sedangkan penambahan kendaraan rata-rata 15% per tahun (Survei Lalu

Lintas Pemko Medan, 2019).

4

Peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Provinsi Sumatera Utara ini dapat dilihat pada tabel 1.2 dibawah ini :

Tabel 1.2 Jumlah Kendaraan Bermotor di Provinsi Sumatera Utara yang Terdaftar (Unit), Tahun 2010 – 2016 Mobil Mobil Panjang No Tahun Bus Sepmor Penumpang Barang Jalan (Km) 1 2010 327,467 203,452 29,978 3,478,230 33 908,45 2 2011 356,931 217,245 71,112 3,924,007 33 908,45 3 2012 386,144 231,750 71,590 4,292,933 33 908,45 4 2013 416,405 242,445 71,900 4,584,431 34 795,35 5 2014 437,473 248,793 72,064 4,773,447 37 882,71 6 2015 458,367 259,348 72,317 4,962,463 37 624,09 7 2016 512,734 271,231 72,467 4,989,475 37 624,09 (Sumber: Dirlantas Poldasu). Pada tabel di atas menunjukan tingginya jumlah penduduk ini menyebabkan tingginya permintaan masyarakat akan angkutan umum dalam melakukan pergerakan. Permasalahan lalu lintas yang terjadi seperti meningkatnya kemacetan di Kota Medan dan sekitarnya merupakan dampak dari beberapa permasalahan kependudukan yang dihadapi Kota Medan dan sekitarnya.

Kementrian Perhubungan menghibahkan 30 bus kepada pemerintah daerah

Provinsi Sumatera Utara yang diresmikan sebagai Bus Trans Mebidang dan mulai beroperasi pada November 2015. Untuk mendukung pelayanan Bus Trans

Mebidang ini Pemerintah Provinsi Sumatera Utara menetapkan Peraturan

Gubernur Sumatera Utara Nomor 31 tahun 2014 tentang Pelayanan Angkutan

Umum Massal Berbasis Jalan di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli

Serdang.

Pilihan moda transportasi sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi penggunaan transportasi menurut Tamin (2000) merupakan penyebab masih banyaknya masyarakat yang memilih masih menggunakan kendaraan selain transportasi publik, seperti kepemilikan kendaraan pribadi baik berupa sepeda

5

motor maupun mobil, serta baru - baru ini adanya transportasi online. Oleh karena itu dua variabel tersebut digunakan sebagai variabel dalam penelitian ini. hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Kambuaya (2019) bahwa kepemilikan kendaraan pribadi memiliki pengaruh terhadap permintaan jasa angkutan kota di Kota Medan. Selain itu hasil penelitian Hendryanti (2018), sekitar 88% penumpang memilih beralih dari transportasi umum konvensional ke transportasi online, sedangkan 12% penumpang sisanya tetap menggunakan transportasi umum konvensional.

Trans Mebidang merupakan sebuah sistem Bus Rapid Transit (BRT) di

Provinsi Sumatera Utara yang beroperasi di Kota Medan, Kota Binjai, dan

Kabupaten Deli Serdang. Pengelolaan dan pengoperasian Trans Mebidang yang sebelumnya dikelola oleh Dinas Perhubungan Provinsi Sumtera Utara telah diserahkan sepenuhnya kepada Perum DAMRI pada November 2015. Trans

Mebidang telah beroperasi hingga saat ini dengan armada sebanyak 30 unit bus yang tersebar di dua koridor, yaitu Koridor Medan- Binjai dan Koridor Medan-

Deli Serdang. Pada tahap selanjutnya, akan dikembangkan tujuh koridor lainnya yang nantinya keseluruhan koridor ini akan membentuk jaringan pelayanan angkutan massal yang dapat mengurangi kemacetan.

Sebagai fasilitas pendukung, ada 47 halte yang tersebar sepanjang jalur trayek bus, mulai dari Kota Binjai hingga Kabupaten Deli Serdang dan penumpang yang ingin menggunakan Bus Trans Mebidang diwajibkan untuk naik serta turun pada halte-halte yang telah disediakan oleh pemerintah. Untuk koridor

I, meliputi lintasan dari Terminal Binjai menuju Pusat Pasar dan sebaliknya. rute jalan yang dilalui yakni terminal Kota Binjai Jalan Soekarno Hatta, Jalan Gatot

6

Subroto Jalan Iskandar Muda, Jalan Gajah Mada, Jalan S Parman, Jalan Raden

Saleh, Jalan Balai Kota, Jalan Stasiun, Jalan MT Haryoni, Jalan Sutomo, Jalan

Pusat Pasar. Jarak tempuh untuk koridor I yakni 23 Kilometer dengan waktu tempuh 90 menit, dan halte yang tersedia sebanyak 13 unit, sedangkan untuk koridor II, yakni mengambil lintasan dari Pusat Pasar Medan hingga Terminal

Lubuk Pakam. rute yang dilewati di rute dua yakni Pusat Pasar, Jalan Sutomo,

Jalan Perintis Kemerdekaan, Jalan M Yamin, Jalan Stasiun, Jalan MT Haryono,

Jalan Cirebon, Jalan Sisingamangaraja, Jalan Medan, terminal Lubuk Pakam.

Jarak tempuh lintasan koridor II adalah 32 kilometer, dengan waktu tempuh 100

Menit dan halte yang tersedia sebanyak enam unit.

Hadirnya Trans Mebidang ini diharapkan masyarakat dapat beralih dari kendaraan pribadi ke kendaraan umum sehingga dapat mengurangi kemacetan dan konsumsi bahan bakar yang tinggi. Akan tetapi, dalam pelaksanaannya Trans

Mebidang dianggap belum mampu mengurai kemacetan yang ada di Kota Medan dan sekitarnya. Penanganan permasalahan transporatsi di kawasan Mebidang khususnya Bus Rapid Transit (BRT) sangat penting, dalam meningkatkan implementasi kebijakan transportasi massal, pemerintah Provinsi Sumatera Utara harus memiliki suatu konsep yang matang agar kebijakan transportasi publik seperti Bus Rapid Transit (BRT) menjadi lebih baik dan bisa mengurangi kemacetan di kawasan Mebidang khususnya Kota Medan sebagai Ibu Kota

Provinsi.

Sebagai salah satu faktor yang juga berpengaruh terhadap penggunaan transportasi, waktu tempuh berkaitan dengan arus pada jaringan jalan (Tamin

,2000). Semakin banyak kendaraan yang ada dijalan, maka jalan akan padat dan

7

arus pada jaringan jalan menjadi lambat dan ini akan berpengaruh terhadap semua pengguna transportasi. adanya BRT Trans Mebidang sebagai angkutan umum massal seharusnya mampu mengakomodasi masyarakat Kota Medan, Binjai dan

Deli Serdang dan mengurangi penggunaan transportasi lain yang dapat memenuhi arus jaringan jalan, namun masyarakat masih tetap menggunakan kendaraan pribadinya.

Berdasarkan riset lembaga Riset lalu-lintas yang berbasis di Washington

DC-INRIX pada tahun 2018, Kota Medan berada di urutan ke 6 (enam) sebagai kota termacet di Indonesia. Semakin parahnya tingkat kemacetan di Kota Medan ini dapat kita lihat dari menurunnya kecepatan kendaraan dalam kota dan kerugian materi mencakup biaya pemakaian bahan bakar yang lebih tinggi, biaya kerusakan lingkungan dan kerusakan lainnya. Salah satu indikator pengukuran tingkat kemacetan yang lazim digunakan adalah perbandigan volume kendaraan dengan kapasitas jalan yang tersedia atau biasa disebut V/C ratio. untuk ruas jalan perkotaan, apabila perbandingan volume per kapasitas menunjukkan angka diatas

0,80 sudah dikategorikan tidak ideal lagi yang secara fisik dilapangan dijumpai dalam bentuk permasalahan kemacetan lalu lintas (Tamin, 2000).

Menurut Pusat Penelitian dan Pengembangan Darat dan Perkeretaapian pada Kementerian Perhubungan Republik Indonesia pada tahun 2014 tingkat kepadatan lalulintas di Kota Medan mencapai angka V/C ratio 0,769. Angka ini meningkat menjadi hasil analisis diperoleh nilai V/C Ratio jalan di Kota Medan

≥0,80 dan nilai level of service > D (Kemenhub RI, 2018), Hal ini berdampak pada ketidak nyamanan serta menambah waktu perjalanan bagi pelaku pengguna

8

jalan sehingga kemacetan mulai terjadi jika arus lalu lintas mendekati besaran kapasitas jalan.

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis Implementasi Kebijakan Bus

Rapid Transit (BRT) Trans Mebidang Di Sumatera Utara“

1.2. Rumusan Masalah Implementasi kebijakan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Mebidang yang awalnya diharapkan mampu untuk mengurai kemacetan yang terjadi di Kota

Medan dengan mengalihkan pengguna kendaraan pribadi kepada Bus Rapid

Transit (BRT) Trans Mebidang ternyata masih mengalami banyak permasalahan. angka V/C ratio yang diharapkan menurun malah mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Beberapa rilis survei lalu lintas memperlihatkan terjadi peningkatan kemacetan di Kota Medan dari tahun ke tahun. Dari latar belakang di atas, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana implementasi kebijakan Bus Rapid Transit (BRT) Trans

Mebidang dalam mengurai kemacetan di Kota Medan ?

2. Apa sajakah faktor-faktor penghambat dan pendukung kebijakan Bus

Rapid Transit (BRT)) Trans Mebidang dalam mengurai kemacetan di Kota

Medan?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dibuat untuk mengungkapkan keinginan peneliti dalam suatu penelitian (Bungin, 2007). Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk:

9

1. Dapat menganalisis Implementasi Kebijakan Bus Rapid Transit (BRT)

Trans Mebidang di Kota Medan.

2. Dapat mengetahui apa sajakah faktor-faktor penghambat dan pendukung

kebijakan Bus Rapid Transit (BRT) Trans Mebidang dalam mengurai

kemacetan di Kota Medan.

1.4. Manfaat Penelitian Setiap penelitian diharapkan memiliki manfaat maupun sumbangsihnya bagi diri sendiri khususnya maupun bagi masyarakat pada umumnya. Terutama bagi perkembangan ilmu pengetahuan sosial. Adapun manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini.

1. Secara teoritis hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi,

pemahaman, serta sumbangan bagi mahasiswa maupun masyarakat luas

dalam meningkatkan wawasan serta cakrawala berfikir terkait isu-isu

transportasi umum angkutan massal;

2. Manfaat praktis penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangsih

dalam pembuatan berbagai kebijakan terkait transportasi umum.

10

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

1.1. Kebijakan Publik

1.1.1. Teori Kebijakan Publik

Konsep dan teori kebijakan publik akan menjadi pisau analisis utama peneliti dalam melakukakan penelitian. Peneliti akan memfokuskan analisis pada peranan implementator lapangan (dalam hal ini pelaksanaan teknis, supir dan pelayanan). Hal ini bertujuan untuk mempertajam hasil penelitian dan mendapatkan informasi yang objektif dari subjek penelitian. Mengabaikan peran para implementor dalam kebijakan publik merupakan sikap yang naif, karena keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan publik tidaklah semata–mata hanya bergantung pada peran implementor.

Banyak sekali definisi yang menjelaskan apa arti kebijakan yang dapat membantu memahami dalam menyoroti masalah yang berkaitan dengan kebijakan. Dari segi bahasa kebijakan berasal dari bahasa Yunani dan Sansekerta

“Polis” (negara kota) dan Pur (kota), masuk kedalam bahasa Latin menjadi

Politea (negara) dan lahirnya kedalam bahasa Inggris pertengahan Policie, yang berkenaan dengan pengendalian masalah-masalah politik atau administrasi pemerintahan. Asal kata policy sama dengan kata lain policy an politics

(Darwin,2000). Istilah policy (kebijaksanaan) seringkali penggunaannya saling dipertukarkan dengan istilah-istilah lain seperti tujuan (goals), program, keputusan, undang-undang, ketentuan-ketentuan.

10

11

Para ahli kebijakan banyak mengungkapkan definisi kebijakan berdasarkan sudut pandang dan pendapatnya yang berbeda, seperti menurut Dye

(2012) menyatakan “what ever government choose to do or not to do”, Artinya apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan.

Pemerintah memegang peranan penting bukannya melakukan tindakan tertentu juga untuk berbuat sesuatu atau menetapkan kebijakan untuk melaksanakan program sesuatu dalam mengatasi permasalahan, akan tetapi pemerintah hanya berdiam diri saja dan tidak melakukan kegiatan apa-apa, itupun dapat dikatakan kebijakan pemerintah yang demikian bentuknya.

Menurut Frederock kebijakan diartikan sebagai suatu tindakan yang mengarah kepada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan- hambatan tertentu, seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan (Wahab,2011;13).

Definisi ini berarti pemerintah harus mempunyai kemampuan yang dapat diandalkan apapun bentuknya untuk merespon dan menanggulangi permasalahan yang dihadapi, dengan memperhatikan sumber daya yang dimiliki serta menerima masukan atau usulan dari seseorang/kelompok, sehingga ada jalan keluar yang terbaik, dihasilkan melalui proses yang fair.

Pendapat Richard Rose pengertian kebijakan publik adalah rangkaian pilihan yang kurang lebih saling berhubungan (termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak) yang dibuat oleh badan dan pejabat pemerintah, diformulasikan di dalam bidang-bidang itu sejak pertahanan, energi dan kesehatan sampai pendidikan, kesejahteraan dan kegagalan (Darwin,2005).

12

Sementara menurut William Dunn Kebijakan Publik (Public Policy) : pola ketergantungan yang kompleks dari pilihan-pilihan kolektif yang saling tergantung, termasuk keputusan-keputusan untuk tidak bertindak, yang dibuat oleh badan atau kantor Pemerintah (Darwin,2005).

Dari berbagai definisi-definisi yang disampaikan para ahli, dapat ditarik kesimpulan sebagaimana pendapat Sofian Effendi (2009) bahwa ciri kebijakan publik adalah:

1. Memecahkan masalah yang dihadapi publik yang tidak dapat diatasi oleh

publik sendiri. Bila dapat dipecahkan publik sendiri, kebutuhan dasar oleh

pasar, maka tak usah ada kebijakan publik.

2. Tindakan otoritasi dari pemerintah (hanya dapat dilakukan pemerintah

yang dapat memaksa agar kebijakan dilakukan).

3. Melaksanakan tugas dan fungsi dari pemerintah.

Dalam mengambil sebuah kebijakan maka diperlukan tahap-tahap pengambilan kebijakan tersebut. Tahap-tahap pengambilan kebijakan ini merupakan prinsip-prinsip yang perlu diperhatikan dalam pengambilan kebijakan.

Prinsip-prinsip dasar dari permasalahan kebijakan ini merupakan sebuah proses analisa kebijakan yang akan diterapkan. Analisa kebijakan ini pada dasarnya merupakan proses kognitif, sementara pembuatan kebijaksanaan bersifat politis

(Dunn,1999).

13

1.1.2. Prinsip-prinsip Kebijakan

Dalam membuat dan menerapkan kebijakan ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan yakni :

1. Adanya tujuan, yakni adanya sebuah tujuan yang ingin dicapai, melalui

usaha-usaha yang telah disepakati dengan bantuan faktor pendukung yang

ada atau yang diperlukan.

2. Adanya rencana yang merupakan alat atau cara tertentu untuk

mencapainya.

3. Adanya program, yaitu cara yang telah disepakati dan mendapat

persetujuan serta pengesahan untuk mencapai tujuan yang dimaksud.

4. Adanya keputusan, yaitu tindakan tertentu yang diambil untuk

menentukan tujuan, membuat dan menyesuaikan rencana, melaksanakan

dan mengevaluasi program yang sudah ada.

5. Dampak, yakni pengaruh yang terjadi atau timbul dari suatu program

dalam masyarakat (Subarsono,2003).

1.1.3. Langkah – langkah Pengambilan Kebijakan

1. Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah adalah mencari masalah yang dihadapi, kemudian digolongkan menurut jenisnya. Proses pengidentifikasian masalah ini merupakan langkah awal yang sangat penting, yang akan menentukan langkah-langkah berikutnya. Kemudian masalah diklasifikasikan menurut sebab, sumber, jenis, dan bidang. Dalam identifikasi masalah harus dilengkapi dengan data dan fakta yang ada dilapangan.

14

2. Penentuan Alternatif

Penentuan alternatif adalah membuat beberapa pilihan penyelesaian masalah yang dihadapi. Penentuan alternatif merupakan kelanjutan dari pengidentifikasian masalah dimana dibuat beberapa pilihan dalam pemecahan masalah sesuai dengan jenis, sumber, bidang alternatif yang ditetapkan, harus berdasarkan data dan fakta yang ada hingga penyelesaian yang dihasilkan valid dan dapat dipertanggung jawabkan.

3. Pemilihan Alternatif

Pemilihan alternatif adalah menetapkan pilihan yang terbaik dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dari beberapa alternatif yang ditawarkan, setelah dianalisa berdasarkan fakta dan data maka harus ditetapkan pilihan yang terbaik yang akan dilaksanakan dan menjadi pedoman dalam melakukan tindakan berikutnya. Oleh karena itu dalam menetapkan alternatif harus berdasarkan pertimbangan yang matang dengan memperhitungkan akibat dan dampak dari alternatif yang dipilih. Dan yang terpenting alternatif yang dipilih harus sesuai dengan sasaran yang ingin dicapai dalam penyelesaian masalah.

4. Penerapan Alternatif

Langkah selanjutnya dalam pengambilan keputusan adalah penerapan alternatif. Penerapan alternatif adalah melaksanakan alternative terbaik yang telah ditetapkan untuk menyelesaikan masalah. Penerapan alternative harus sesuai dengan pilihan yang dianggap paling baik hingga masalah yang ada dapat diselesaikan secara efektif dan efisien serta tepat pada sasaran.

15

5. Evaluasi Kebijakan

Langkah akhir yang harus ditempuh dalam membuat keputusan adalah evaluasi terhadap keputusan yang telah diambil. Evaluasi keputusan adalah melakukan penilaian terhadap hasil yang dicapai dari penerapan alternative dalam menyelesaiakan masalah serta akibat yang ditimbulkan dari keputusan tersebut

(Subarsono, 2003).

Menurut Finsterbuch dan Motz dalam Subarsono (2003) menyatakan bahwa

“ada empat jenis evaluasi” yaitu :

1. Single program after only, merupakan jenis evaluasi yang melakukan

pengukuran kondisi atau penilaian terhadap program setelah meneliti

setiap variabel yang dijadikan kriteria program. Sehingga analis tidak

mengetahui baik atau buruk respon kelompok sasaran terhadap program.

2. Single program before-after, merupakan penyempurnaan dari jenis

pertama yaitu adanya data tentang sasaran program pada waktu sebelum

dan setelah program berlangsung.

3. Comparative after only, merupakan penyempurnaan evaluasi kedua tapi

tidak untuk yang pertama dan analis hanya melihat sisi keadaan sasaran

bukan sasarannya.

4. Comparative before-after, merupakan kombinasi ketiga desain sehingga

informasi yang diperoleh adalah efek program terhadap kelompok sasaran.

Dari empat macam evalusi ini peneliti menggunakan evaluasi single program before-after. Evaluasi single program before-after digunakan untuk mengukur bagaimana sebuah kebijakan atau program telah memberikan dampak terhadap masalah yang terjadi setelah dan sebelum kebijakan atau program

16

dilaksanakan. Evaluasi single program before-after, yakni dilakukan dengan membandingkan kebijakan program sebelum dan sesudah kebijakan program dilaksanakan. dan dengan menggunakan data periode tertentu dalam kebijakan program untuk mengukur/melihat dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan kebijakan atau program tertentu.

Tipe evaluasi single program before-after ini akan diturunkan peneliti dengan menggunakan beberapa indikator yang akan dibahas pada penelitian ini.

Pentahapan proses pembuatan kebijakan merupakan kegiatan yang tersususun, sebagaimana menurut William Dunn sebagai berikut :

1. Tahapan penyusunan agenda digunakan untuk merumuskan masalah, mendefinisikan masalah dan memulai proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda. 2. Tahapan formulasi kebijakan, merupakan tahapan yang dilakukan oleh para pejabat instansi Pemerintah untuk merumuskan alternatif kebijakan dalam mengatasi masalah. Dalam tahap ini tekhnik peramalan dapapt dipergunakan untuk menyajikan pengetahuan mengenai timbulnya kemungkinan masalah ataupun kendalan yang akan terjadi dalam pencapaian di masa mendatang akibat diambilnya suatu alternatif kebijakan. 3. Tahapan adopsi kebijakan, merupakan tahapan dalam mengimplementasikan suatu kebijakan. Dalam tahap ini suatu rekomendasi diperlukan sebagai upaya untuk memahami biaya manfaat dari berbagai alternatif kebijakan dan segala kemungkinan akibatnya dimasa mendatang. 4. Tahapan implementasi kebijakan, merupakan tahapan dalam merealisasikan alternatif kebijakan yang telah dipilih. 5. Tahapan penilaian (evaluasi) kebijakan, dengan melakukan suatu evaluasi guna mendapatkan pengetahuan yang relevan mengenai hasil kerja kebijakan (Dunn,1999).

17

1.1.4. Macam-macam Kebijakan

Menurut Wayne (2005) Kebijakan atau keputusan dapat dilihat menurut bidang tertentu dimana kebijakan itu di keluarkan, antara lain adalah:

1. Kebijakan Publik adalah suatu ruang dalam kehidupan yang bukan privat

atau murni milik individual, tetapi milik bersama atau milik umum, dan

dibutuhkannya sebuah aturan atau intervensi oleh pemerintah atau aturan

sosial, atau setidaknya oleh tindakan bersama dalam mengatur dan menata

kehidupan masyarakatnya. Atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah

bagi masyarakat yang memiliki kewenangan yang dapat memaksa

masyarakat untuk mematuhinya.

2. Kebijakan Ekonomi adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk

mengatasi permasalahan ekonomi yang terjadi di tengah-tengah

masyarakat.

3. Kebijakan Pertahanan dan Keamanan adalah kebijakan dari pemerintah

untuk menjaga dan melindungi bangsa dan negara dari ganguan baik itu

dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

4. Kebijakan Politik adalah keputusan yang dikeluarkan untuk mengatur dan

menjalankan bentuk dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat.

Dalam realisasinya kebijakan publik perlu dianalisa secara cermat agar diketahui sampai berapa jauh memberikan mudharat bagi publik. Proses analisis kebijakan menurut William Dunn (1999) yang berfokus pada masalah terdiri dari dua komponen yaitu :

Komponen informasi yang paling relevan (Policy Relevan Information), terdapat 5 informasi :

18

a) Masalah yang harus diatasi b) Masa depan kebijakan c) Tindakan kebijakan terbaik d) Hasil kebijakan e) Kinerja kebijakan

Pada dasarnya kebijakan yang akan diambil dari beberapa alternatif kebijakan dalam berbagai segi diperhitungkan, kebijakan yang lebih banyak manfaatnya dibanding kerugiannya itulah biasanya menjadi pilihan kebijakan yang diambil. Pertimbangan pemerintahan dalam kebijakan menurut Patton dan

Sakuicki terhadap suatu kebijakan meliputi sebagai berikut (Yeremias,1994):

1. Technical Feasibility, mengukur apakah keluaran (outcome) dari

kebijakan atau program dapat mencapai tujuan yang ditetapkan. Dengan

kata lain, apakah alternative yang dipilih akan jalan dalam konteks?

Misalnya, apakah program pembangunan jembatan disuatu tempat kian

dapat memecahkan kesulitan trafik ditempat itu?. Dalam kaitan dengan

kriteria teknis ini, ada dua sub kriteria pokok yang perlu dibahas yaitu

efectiveness dan adequacy.

2. Effectiveness menyangkut sampai seberapa jauh suatu kebijakan atau

program akan mencapai apayang diinginkan. Kriterium ini dapat diukur

dalam jangka panjang atau pendek, langsung atau tidak langsung, secara

kuantiatif atau tidak, dan pantas atau tidak (adequate or inadequate).

3. Kriterium adequacy mempersoalkan sampai seberapa jauh kebijakan atau

program yang disarankan akan mampu memecahkan persoalan, apakah

memecahkan persoalan secara keseluruhan atau hanya sebagian.

19

Berhasil tidaknya suatu kebijakan dapat diketahui melalui evaluasi kebijakan dengan yang memiliki fungsi menurut sebagai berikut (Dunn,1999):

1. Memberi informasi yang valid dan dapat dipercaya mengenai kinerja

kebijakan yaitu seberapa jauh kebutuhan, nilai dan kesempatan telah dapat

dicapai melalui tindakan publik.

2. Memberi sumbangan pada klarifikasi dan kritik terhadap nilai-nilai yang

mendasari pemikiran tujuan dan target.

3. Memberi sumbangan pada aplikasi dan metode analisis kebijakan lainnya,

temasuk perumusan masalah dan rekomendasi.

1.1.5. Implementasi Kebijakan

Implementasi yang merupakan terjemahan dari kata“implementation”, berasal dari kata kerja “to implement”. Menurut Webster's Dictionary (1979 :

914), kata to implement berasal daribahasa Latin “implementum” dari asal kata

“impere” dan “plere”.Kata “implere” dimaksudkan “to fill up”; “to fill in”, yang artinyamengisi penuh; melengkapi, sedangkan “plere” maksudnya “tofill”, yaitu mengisi. Pertama, to implement dimaksudkan “membawa ke suatu hasil (akibat); melengkapi dan menyelesaikan”. Kedua, toimplement dimaksudkan

“menyediakan sarana (alat) untuk melaksanakan sesuatu; memberikan hasil yang bersifat praktisterhadap sesuatu”. Ketiga, to implement dimaksudkan menyediakan atau melengkapi dengan alat”.

Jadi secara etimologis implementasi itu dapat dimaksudkan sebagai suatu kretivitas yang bertalian dengan penyelesaian suatu pekerjaan dengan peng- gunaan sarana (alat) untuk meperoleh hasil. Apabila pengertian implementasi di

20

atas dirangkaikan dengan kebijakan publik, maka kata implementasi kebijakan publik dapat diartikan sebagai aktivitas penyelesaian atau pelaksanaan suatu kebijakan publik yang telah ditetapkan/disetujui dengan penggunaan sarana (alat) untuk mencapaitujuan kebijakan.

Dengan demikian, dalam proses kebijakan publik, implementasi kebijakan merupakan tahapan yang bersifat praktis dan dibedakan dari formulasi kebijakan yang dapat dipandang sebagai tahapan yang bersifat teoritis. Anderson (1979 : 25) mengemukakan bahwa : “Policy implementation is theapplication af the policy by the government's administrative machinery toImplementasi Kebijakan Publikthe problem”.

Kemudian Edwards III (1980 : 1) mengemukakan bahwa : “Policy implementation, is the stage of policy making betweenthe establishment of a policy and the consequences of the policy for thepeople whom it affects”.

Sedangkan Grindle (1980 : 6) mengemukakan bahwa : “implementation - a general process ofadministrative action that can be investigated at specific program level”.

Dari uraian di atas diperoleh suatu gambaran bahwa, implementasi kebijakan publik merupakan proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan ditetapkan/disetujui. Kegiatan ini terletak diantara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan mengandung logika yang top- down, maksudnya menurunkan/menafsirkan alternatif-alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro. Sedangkan formulasi kebijakan mengandung logika bottom-up, dalam arti proses ini diawali dengan pemetaan kebutuhan publik atau pengakomodasian tuntutan lingkungan

21

lalu diikuti dengan pencarian dan pemilihan alternatif cara pemecahannya, kemudian diusulkan untuk ditetapkan.

Proses administratif yang dilakukan oleh unit-unit administratif pada setiap level pemerintahan disejalankan dengan tipe-tipe kebijakan yang telah ditetapkan. Tipe-tipe kebijakan tersebut dapat bersifat : distributive, regulatory, self-regulatory, re-distributive” (Anderson, 1978). Proses kegiatan ini disertai dengan tindakan-tindakanyang bersifat alokatif, yaitu tindakan yang menggunakanProses masukan sumber daya yang berupa uang, waktu, personil, dan alat.

Selanjutnya tindakan implementasi kebijakan dapat pula dibedakan ke dalam “Policy inputs and policy process” (Dunn, 1994: 338). Policy inputs berupa masukan sumber daya, sedangkan policy process bertalian dengan kegiatan administratif,organisasional, yang membentuk transformasi masukan kebijakan ke dalam hasil-hasil (outputs) dan dampak (impact) kebijakan. Dengan bertitik tolak dari uraian di atas, dapat dikemukakan bahwa fungsi dan tujuan implementasi ialah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan public (politik) dapat diwujudkan sebagai

“outcome” (hasil akhir) darikegiatan yang dilakukan oleh pemerintah.

Implementasi dapatdisebut sebagai “policy delivery system”.

Maksudnya, sebagai suatu sistem penyampaian/penerusan kebijakan.

Sebagai suatu sistem, implementasi terdiri dari unsur-unsur dan kegiatan-kegiatan yang terarah menuju tercapainya tujuan-tujuan dansasaran-sasaran yang dikehendaki.

22

1.1.6. Unsur-unsur Implementasi Kebiajakan publik

Unsur-unsur implementasi kebijakan yang mutlak harus ada ialah : “(1) unsur pelaksana (implementor), (2) adanya program yang akan dilaksanakan, (3) target groups” (Abdullah, 1988 : 11). Dua perspektif awal dalam studi implementasi didasarkan pada pertanyaan sejauh mana implementasi terpisah dari formulasi kebijakan, yakni apakah suatu kebijakan dibuat oleh pusat dan diimplementasikan oleh daerah (top-down) atau kebijakan tersebut dibuat dengan melibatkan aspirasi dari bawah termasuk yang akan menjadi para pelaksananya

(bottom-up). Padahal persoalan ini hanya merupakan bagian dari permasalahan yang lebih luas, yakni bagaimana mengidentifikasikan gambaran-gambaran dari suatu proses yang sangat kompleks, dari berbagai ruang dan waktu, serta beragam aktor yang terlibat di dalamnya.

Dalam perkembangan studi implementasi kebijakan dijelaskan kedua pendekatan ini guna memahami implementasi kebijakan secara sederhana.

Pendekatan ini selanjutnya dikenal dengan the command and control approach (pendekatan kontrol dan komando yang mirip dengan top down approach) dan the market approach (pendekatan pasar yang mirip dengan bottom up approach).

Penjelasan tentang pendekatan top down awalnya adalah pendekatan yang paling banyak digunakan oleh pembuat kebijakan publik, walaupun dikemudian hari terdapat pula kelemahan-kelemahan dalam pendekatan ini sehingga menimbulkan perdebatan-perdebatan yang menghasilkan pendekatan baru bernama bottom up approach. Dalam pendekatan top down, implementasi

23

kebijakan dilakukan secara tersentralisasi dan dimulai dari aktor di tingkat pusat, serta keputusannya pun dilakukan pada tingkat pusat.

Pendekatan ini bertitik tolak pula dari perspektif bahwa keputusan- keputusan politik (kebijakan publik) yang telah ditetapkan oleh pembuat kebijakan harus dilaksanakan oleh administrator-administrator atau birokrat- birokrat pada level dibawahnya Inti pendekatan ini secara sederhana dapat dimengerti sebagai sejauhmana tindakan para pelaksana (admnistrator dan birokrat) sesuai dengan prosedur serta tujuan yang telah digariskan oleh para pembuat kebijakan ditingkat pusat. Maka untuk memahami pendekatan yang kedua yaitu bottom up, pada intinya bertitik tolak pada asumsi-asumsi yang sama dan memahaminya adalah secara terbalik dari apa yang kita pahami pada pendekatan top down.

Secara umum yang membuat perbedaan pendekatan dalam teori implementasi ini berkaitan dengan :

1. Keragaman isu-isu kebijakan, atau jenis kebijakan. Isu atau jenis kebijakan

yang berbeda menghendaki perbedaan pendekatan pula, karena ada jenis

kebijakan yang sejak awal diformulasikan sudah rumit karena melibatkan

banyak faktor dan banyak aktor, dan ada pula yang relatif mudah.

Kebijakan yang cakupannya luas dan menghendaki perubahan yang relatif

besar tentu cara implementasi dan tingkat kesulitannya akan berbeda

dengan kebijakan yang lebih sederhana.

2. Keragaman konteks kelembagaan, yang bisa meluas menyangkut

pertanyaan sejauhmana generalisasi dapat diterapkan pada sistem politik

dan konteks negara yang berbeda. Kebijakan yang sama dapat

24

diimplementasikan dengan cara yang berbeda bergantung pada sistem

politik serta kemampuan sistem administrasi negara yang bersangkutan.

Pada sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah.Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan pelaksanaan kebijakan tersebut hari demi hari sehingga menuju kinerja kebijakan.Implementasi tersebut dapat melibatkan banyak aktor kebijakan sehingga sebuah kebijakan bisa menjadi rumit.Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang terkait di dalamnya.

Edward III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan.

1) Komunikasi, keberhasilan kebijakan mensyaratkan agar implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan (target group) sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran. 2) Sumber daya, walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsistensi, tetapi apabila implementor kekurangan sumber daya

25

untuk melaksanakan, implementasi tidak akan berjalan efektif. Sumber daya tersebut dapat berwujud sumber daya manusia, yakni kompetisi implementor, dan sumber daya financial. Sumber daya adalah faktor penting untuk implementasi kebijakan agar efektif. Tanpa sumber daya, kebijakan hanya tinggal di kertas menjadi dokumen saja. 3) Disposisi, adalah watak dan karakteristik atau sikap yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik, maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sifat atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan, maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif. 4) Struktur birokrasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (standard operating procedures) atau SOP. SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini pada gilirannya menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel. Dijelaskan oleh Edward III secara singkat bahwa pedoman yang tidak akurat, jelas atau konsisten akan memberikan kesempatan kepada Implementors membuat diskresi. Diskresi ini bisa langsung dilaksanakan atau dengan jalan membuat petunjuk lebih lanjut yang ditujukan kepada pelaksana tingkat bawahnya. Jika komunikasi tidak baik maka diskresi ini akan memunculkan disposisi. Namun Komunikasi yang terlampau detail akan mempengaruhi moral dan independensi implementor, bergesernya tujuan dan terjadinya pemborosan sumber daya seperti keterampilan, kreatifitas, dan kemampuan adaptasi. Sumber

26

daya saling berkaitan dengan komunikasi dan mempengaruhi disposisi dalam implementasi. Demikian juga disposisi dari implementor akan mempengaruhi bagaimana mereka menginterpertasikan komunikasi kebijakan baik dalam menerima maupun dalam mengelaborasi lebih lanjut ke bawah rantai komando.

2.1.7. Hambatan Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit serta merupakan proses yang berlangsung dinamis, yang hasil akhirnya tidak bisa diperkirakan hanya dari ketersediaan kelengkapan program.

Tugas implementasi kebijakan sudah selayaknya diperhitungkan. Kadang dalam praktik proses kebijakan publik, ada anggapan bahwa implementasi akan bisa berjalan secara otomatis setelah formulasi kebijakan berhasil dilakukan. Nugroho

(2008: 484) menyatakan implementation myopia yang sering terjadi di

Indonesia salah satunya adalah “Selama ini kita anggap kalau kebijakan sudah dibuat, implementasi akan “jalan dengan sendirinya”. Dimana sumber daya sebagian besar dihabiskan untuk membuat perencanaan padahal justru tahap implementasi kebijakan yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan sebaliknya.

Implementasi berfungsi menetapkan suatu kaitan yang memungkinkan tujuan–tujuan kebijakan terwujud, sehingga menjadi apa yang disebut sebagai hasil kerja atau prestasi pemerintah. Namun pada prakteknya yang terjadi adalah kegagalan dalam implementasi karena meskipun telah diperhitungkan dengan matang, bukan berarti proses implementasi pasti akan berhasil. Masalah seringkali justru timbul karena kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan yang

27

diperkirakan. Walter William menyebutkan kesulitan implementasi sebagai berikut :“ The most pressing implementation problem is that of moving from a decision to operation in such way that what it is put into place bears a reasonable resemblance to the decision and is fuctioning well in its that of the difficulty of bringing the gap between policy decision and workable field operations”

(Jones:139).

Menafsirkan keputusan menjadi tindakan operasional yang tepat tidaklah semudah yang dibayangkan. Apakah nantinya akan berfungsi dengan baik atau tidak. Hal ini menjadi salah satu kesulitan dalam proses pelaksanaan kebijakan.

Sasaran–sasaran program harus mengalami perbaikan maupun perubahan saat program sedang dilaksanakan, yang disebabkan munculnya kesulitan untuk menjembatani antara tujuan kebijakan dengan tindakan-tindakan operasional yang dapat dijalankan, (yang disebut oleh Andrew Dunsire sebagai implementation gap, yaitu suatu keadaan dimana muncul perbedaan yang tidak diharapkan oleh pembuat kebijakan dengan hasil implementasinya). Juga disebabkan keadaan lingkungan yang berbeda dari yang dibayangkan oleh pembuat keputusan atau ada perubahan lingkungan setelah kebijakan dibuat dan diluar dari prediksi pembuat kebijakan.

Tinggi rendahnya implementation gap ini menurut Goggin sangat dipengaruhi oleh implementation capacity dari organisasi/pihak yang akan melaksanakannya, namun banyak hal lain yang dapat menjadi penyebab gap tersebut. “Implementation capacity” adalah kemauan suatu organisasi atau aktor untuk melaksanakan keputusan kebijakan (policy decision) sedemikian rupa sehingga ada jaminan bahwa tujuan atau sasaran yang telah

28

ditetapkan dalam dokumen formal kebijakan dapat dicapai. (dalam Wahab,

1997:61)

Menurut Hogwood dan Gunn, kegagalan kebijakan (policy failure) dapat disebabkan antara lain:

1. Karena tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya

(Non implementation). Non implementation mengandung arti bahwa suatu

kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, kemungkinan

disebabkan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau

bekerjasama, atau mereka telah bekerja dengan tidak efisien, bekerja

setengah hati, mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau

kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kekuasaannya,

sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak

sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sulit

untuk dicapai.

2. Karena tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam proses pelaksanaan

(unsuccessful implementation). Sementara itu, unsuccessful implementation

biasanya terjadi ketika suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan sesuai

dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak

mengunntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi pergantian kekuasaan, bencana

alam, dan sebagainya), kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan

dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang

mempunyai resiko untuk gagal tersebut disebabkan oleh pelaksanaannya

jelek (bad execution) kebijakan itu sendiri yang jelek (bad policy), atau

kebijakan tersebut memang bernasib jelek (bad luck). (Sumaryadi, 2005:85)

29

2.2. Teori Pertumbuhan dan Perkembangan Kota

2.2.1. Pengertian Kota

Menurut Bintarto (1983), kota adalah suatu sistem jaringan kehidupan manusia dengan kepadatan penduduk yang tinggi, strata sosial ekonomi yang heterogen, dan corak kehidupan yang materialistik. Menurut Permendagri No. 2 tahun 1987 Pasal 1 menyebutkan bahwa kota adalah pusat permukiman dan kegiatan penduduk yang mempunyai batasan administrasi yang diatur dalam perundang- undangan, serta permukiman yang telah memperlihatkan watak dan ciri kehidupan perkotaan. Kota memiliki ciri-ciri: (1) secara administratif adalah wilayah keruangan yang dibatasi oleh batas administrasi atas dasar ketentuan perundang-undangan yang berlaku; (2) secara fungsional sebagai pusat berbagai kegiatan fungsional yang didominasi oleh fungsi jasa, distribusi, dan produksi kegiatan-kegiatan pertanian; (3) secara sosial ekonomi merupakan konsentrasi penduduk yang memiliki kegiatan usaha dengan dominasi sektor non pertanian, seperti industri, perdagangan, transportasi, perkantoran, dan jasa yang sifatnya heterogen; (4) secara sosial budaya merupakan pusat perubahan budaya yang dapat mempengaruhi pola nilai budaya yang ada; (5) secara fisik merupakan suatu lingkungan terbangun (built up area) yang didominasi oleh struktur fisik binaan;

(6) secara geografis merupakan suatu pemusatan penduduk dan kegiatan usaha yang secara geografis akan mengambil lokasi yang memiliki nilai strategis secara ekonomi, sosial, maupun fisiografis; (7) secara demografis diartikan sebagai tempat dimana terdapat konsentrasi penduduk yang besarnya ditentukan berdasarkan batasan statistik tertentu.

30

2.2.2. Pertumbuhan Kota

Pertumbuhan kota adalah perubahan fisik kota sebagai akibat dari perkembangan masyarakat kota. Pertumbuhan kota berasal dari berbagai faktor yangmempengaruhi tingkat produktivitas dan kualitas hidup tenaga kerja (Glasson et al,1995). Secara teoritis Charles C. Colby dalam Daldjoeni (1992:172) menjelaskan sentripetal adalah daya yang mendorong gerak ke dalam dari penduduk dan berbagai kegiatan usahanya, sedangkan daya sentrifugal adalah daya yang mendorong gerak keluar dari penduduk dan berbagai usahanya dan menciptakan disperse kegiatan manusia dan relokasi sektor-sektor dan zone-zone kota.

Terdapat faktor-faktor yang mendorong gerak sentripetal adalah : (1) adanya berbagai pusat pelayanan, seperti pendidikan, pusat perbelanjaan, pusat hiburan dan sebagainya; (2) mudahnya akses layanan transportasi seperti pelabuhan, stasiun kereta, terminal bus, serta jaringan jalan yang bagus; (3) tersedianya baragam lapangan pekerjaan dengan tingkat upah yang lebih tinggi.

Sedangkan faktor-faktor yang mendorong gerak sentrifugal adalah : (1) adanya gangguan yang berulang seperti macetnya lalulintas, polusi, dan gangguan bunyi- bunyian yang menimbulkan rasa tidak nyaman; (2) harga tanah, pajak maupun sewa di luar pusat kota yang lebih murah jika dibandingkan dengan pusat kota; (3) keinginan untuk bertempat tinggal di luar pusat kota yang terasa lebih alami

(Daldjoeni, 1992:172).

Cheema (1993) menyebutkan adanya beberapa faktor penyebab cepatnya pertumbuhan kota, yaitu bahwa kota lebih memberikan peluang terhadap kesempatan kerja, pendidikan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan sosial lainnya.

31

Selanjutnya dikatakan bahwa faktor kemudahan transportasi dan komunikasi juga berperan dalam memacu pertumbuhan kota karena lebih menjanjikan peningkatan kesejahteraan dan peningkatan perekonomian bagi keluarga.

2.2.3. Perkembangan Kota

Menurut Mulyo Hendarto (2005), perkembangan kota adalah perubahan secara menyeluruh yang menyangkut aspek sosial ekonomi, sosial budaya dan fisik dari suatu masyarakat. Perkembangan kota sangat ditentukan dan dipengaruhi oleh tiga faktor utama yaitu: (1) faktor penduduk yaitu pertambahan jumlah penduduk yang disebabkan oleh pertambahan alami dan migrasi; (2) faktor sosial ekonomi yaitu mencakup kegiatan usaha masyarakat; (3) faktor sosial budaya mencakup perubahan pola kehidupan atau tata cara masyarakat.

Menurut Zahnd (1999), ada empat faktor yang berpengaruh dalam proses perkembangan kota yaitu pertambahan populasi, peningkatan kompleksitas masyarakat, lingkungan, dan perkembangan teknologi. Sifat perkembangan kota dapat dipisahkan menjadi dua pengertian yaitu perkembangan horizontal dan vertikal. Perkembangan horizontal adalah pertambahan luasan kawasan terbangun secara mendatar. Perkembangan seperti ini sering terjadi di pinggiran kota, dekat dengan jalan yang menuju kota, maupun dekat dengan pusat aktivitas baru, hal ini dikarenakan harga lahan masih relatif murah. Perkembangan vertikal adalah perkembangan yang ditandai dengan luas lahan terbangun masih tetap sedangkan ketinggian bangunan bertambah.

32

2.2.4. Pengembangan Wilayah

Konsep pengembangan wilayah di Indonesia lahir dari suatu proses interaktif yang menggabungkan dasardasar pemahaman teoritis dengan pengalaman-pengalaman praktis sebagai bentuk penerapannya yang dinamis.

Dengan kata lain, konsep pengembangan wilayah di Indonesia merupakan penggabungan dari berbagai teori dan model yang selalu berkembang yang telah diujiterapkan. Selanjutnya dirumuskan kembali menjadi suatu pendekatan yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan pembangunan di Indonesia (Hariyanto,

2007).

Dalam sejarah perkembangannya, bongkar pasang konsep pengembangan wilayah di Indonesia terdapat beberapa landasan teori yang turut mewarnai keberadaannya (Hariyanto, 2007). Yaitu :

a) Pertama adalah Walter Isard sebagai seorang pelopor ilmu wilayah yang mengkaji terjadinya hubungan sebab dan akibat dari faktor-faktor utama pembentuk ruang wilayah, yakni faktor fisik, sosial ekonomi, dan budaya. b) Kedua adalah Hirschmann (era 1950 an) yang memunculkan teori polarization effectdan trickling down effect dengan argumentasi bahwaperkembangan suatu wilayah tidak terjadi secara bersamaan (unbalanced development). c) Ketiga adalah Myrdal (era 1950 an) dengan teori yang menjelaskan hubungan antara wilayah maju dan wilayah belakangnya dengan menggunakan istilah backwash effect dan spreadwash effect. d) Keempat adalah Freadmann (era1960 an) yang lebih menekankan pada pembentukan hirarki guna mempermudah pengembangan system pembangunan yang kemudian dikenal dengan teori pusat pertumbuhan. e) Kelima adalah Douglass (era 70 an) yangmemperkenalkan lahirnya model keterkaitan desa-kota (rural-urban linkages) dalam pengembangan wilayah.

33

Keberadaan landasan teori dan konsep pengembangan wilayah di atas kemudian diperkaya dengan gagasan-gagasan yang lahir dari pemikiran putra- putra bangsa. Diantaranya adalah Sutami (era1970 an) dengan gagasan bahwa pembangunan infrastruktur yang intensif untuk mendukung pemanfaatan potensi sumberdaya alam akan mampu mempercepat pengembangan wilayah.

Pengembangan wilayah merupakan salah satu hal yang penting dan harus ada dalam tujuan perencanaan daerah. Pengembangan wilayah perlu didasarkan pada potensi fisik, sosial dan budaya yang ada di daerah tersebut. Pengembangan wilayah adalah seluruh tindakan yang dilakukan dalam rangka memanfaatkan potensi-potensiwilayah yang ada untuk mendapatkan kondisi- kondisi dan tatanan kehidupan yanglebih baik bagi kepentingan masyarakat di daerah tersebut dan dalam skala nasional (Mulyanto, 2008). Tujuan dari pengembangan wilayah terdiri dari 3 aspek yaitu:

1. Sosial Usaha – usaha mencapai pemenuhan kebutuhan- kebutuhan dan peningkatan kualitas hidup serta peningkatan kesejahteraan individu, keluarga dan seluruh masyarakat di dalam wilayah tersebut. Salah satu contohnya yaitu dengan mengurangi pengguran dan menyediakan sarana dan prasarana kehidupan yang baikseperti pemukiman, fasilitas transportasi, kesehatan, air minum dan lainnya. 2. Ekonomi Usaha-usaha mempertahankan dan memacu perkembangan dan pertumbuhan kesinambungan dan perbaikan kondisi- kondisi ekonomis yang baik bagi kehidupandan memungkinkan pertumbuhan yang lebih tinggi. 3. Wawasan Lingkungan Pencegahan kerusakan dan pelestarian terhadap keseimbangan lingkungan. Aktivitas ekonomi apapun yang manusia lakukan dengan

34

mengambil sesuatu dariatau memanfaatkan potensi alam akan mempengaruhi kebelangsungan alam itu sendiri.

Strategi Pengembangan wilayah terbagi dalam 2 aspek (Rustiadi, 2009) yaitu melalui demand side dan supply side. Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang- barang dan jasa-jasa dari masyarakat setempat melalui kegiatan produksi lokal.

Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduk.

Peningkatan taraf hidup tersebut diharapkan akan meningkatkan perkembangansektor industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayahtersebut. Strategi supply side yaitu suatu strategi pengembangan wilayah yangdiupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan- kegiatan produksi yangberorientasi keluar daerah maupun luar negeri. Tujuan penggunaan strategi ini adalahuntuk meningkatkan pasokan dari komoditi yang pada umunya diproses dari sumberdaya lokal. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk tujuan ekspor ke daerah lainataupun ke luar negeri diharapkan dapatmendorong peningkatan pendapatan lokal.

2.3. Transportasi Massal Bus Rapid Transit (BRT)

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan

Angkutan Jalan dan peraturan pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah

Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan telah mengamanatkan program pembangunan sarana Angkutan Massal Berbasis Jalan. Pasal 139 UU Nomor 22 tahun 2009 menyatakan bahwa “Pemerintah wajib menjamin tersedianya

35

angkutan umum.”Sedangkan pada pasal 158 dinyatakan bahwa “Pemerintah menjamin ketersediaan angkutan massal berbasis jalan.” Sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 22 tahun 2009 tersebut, Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun

2014 juga menyatakan bahwa “Pemerintah dan/atau pemerintah daerah bertanggung jawab atas penyelenggaraan angkutan umum.” Pengembangan dan pengoperasian Bus Rapid Transit (BRT) merupakan implementasi dari visi dan misi pemerintahan Republik Indonesia periode tahun 2014-2019, melalui

Konsep Trisakti dan Program Nawacita.

Dalam rangka perwujudan Cita ke-6 dari Nawacita, yaitu meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar internasional, disusunlah agenda program prioritas, antara lain membangun transportasi massal di kawasan perkotaan dengan arah kebijakan mengembangkan sistem angkutan massal yang modern dan maju dengan orientasi kepada bus maupun rel, yang akan diwujudkan antara lain melalui strategi pengembangan Bus Rapid Transit

(BRT) di 34 kota di Indonesia, termasuk Kota Medan. Bus Rapid Transit (BRT) sendiri merupakan sebuah sistem bus yang cepat, nyaman, aman, dan tepat waktu dari infrasturktur, kendaraan, dan terjadwal.

Arah dan kebijakan serta strategi Konsep Pembangunan Trisakti dan

Nawacita tersebut akan diimplementasikan antara lain dengan Program

Pengadaan 3000 unit bus pada tahun 2015-2019. Tujuan dari pogram ini yaitu terselenggaranya penerapan dan pengembangan angkutan umum massal berbasis jalan di kawasan perkotaan, dan sasarannya adalah tersedianya pelayanan angkutan umum massal berbasis jalan di kawasan perkotaan di seluruh provinsi di Indonesia. Diharapkan melalui program ini dapat

36

meningkatkan minat masyarakat menggunakan transportasi umum dan meninggalkan kendaraan pribadi serta menjadi stimulus bagi pemerintah daerah untuk meningkatkan pelayanan transportasi massal.

Pada Juli 2015, Kementrian Perhubungan secara resmi meluncurkan

1000 unit bus besar Bus Rapid Transit (BRT) yang dihibahkan ke berbagai daerah di Indonesia, termasuk Provinsi Sumatera Utara yang mendapatkan hibah sebanyak 30 bus yang diluncurkan sebagai Bus Trans Medan-Binjai-Deli serdang (Mebidang). Arah kebijakan transportasi perkotaan sesuai dengan pilot project pengembangan sistem transit melalui bantuan teknis Kementrian

Perhubungan yaitu:

a. Pengembangan transportasi perkotaan yang didasarkan kepada master plan atau rencana induk pengembangan transportasi perkotaan. b. Pembangunan angkutan perkotaan diarahkan pada penyesuaian bentuk angkutan, penyusutan paratransit, dan angkutan massal. c. Pengembangan transportasi perkotaan kepada bentuk jaringan dan wilayah aglomerasi. d. Mendorong pengembangan pembangunan angkutan tidak bermotor, pejalan kaki, dan sepeda. e. Pengembangan konsep pembatasan penggunaan kendaraan (Traffic Demand Management). f. Pemanfaatan teknologi modern untuk penataan lalu lintas untuk kota raya dan besar (Intelligent Transpor tSystem). g. Pengembangan transportasi pemadu moda untuk menjalin keterhubungan pusat kota denganoutlet. h. Pengembangan transportasi perkotaan yang ramah lingkungan.

Transportasi memiliki peran yang penting dalam pengembangan perkotaan, antara lain:

37

1. Transportasi sebagai pembentuk struktur ruang kota Sarana dan prasarana transportasi pada dasarnya merupakan bagian dari sub sistem kota. Peran transportasi dalam suatu sistem kota adalah memberikan dukungan pelayanan pada perkembangan kota, di sisi lain mengarahkan dan menstimulir perkembangan kota. 2. Transportasi sebagai penunjang pertumbuhan ekonomi Aspek efisiensi, yang dihasilkan dari pengembangan transportasi dalam rangka peningkatan faktor produktivitas total menjadi faktor utama untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan antara transport dan ekonomi. Hal ini menjadi dasar penentuan apakah peningkatan dalam penyediaan transportasi dapat memberikan suatu hal yang berarti bagi peningkatan kompetisi atau peningkatan pertumbuhan ekonomi. Produktivitas suatu kegiatan ekonomi sangat tergantung pada efisiensi dan efektivitas penyediaan dan penggunaan bahan-bahan kebutuhan produksi dan penyaluran hasil produksi. Transportasi dapat memberikan kontribusi terhadap efisiensi penyediaan kebutuhan produksi melalui penyediaan sistem transportasi yang baik sehingga biaya pengadaan kebutuhan produksi dapat diminimalisasi.

2.4. Gambaran Umum Program Bus Trans Mebidang

Bus Trans Mebidang merupakan salah satu kebijakan transportasi perkotaan dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang beroperasi di Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang. Bus Trans Mebidang dapat mengangkut penumpang dengan kapasitas yang besar dalam waktu tempuh perjalanan yang singkat serta dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat.

Trans Mebidang hadir guna memenuhi kewajiban pemerintah dalam menyediakan angkutan umum sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 138 UU

Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bahwa angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang

38

selamat, aman, nyaman, dan terjangkau serta penyelenggaraannya ditanggung jawabi oleh pemerintah. Hal-hal yang berkaitan dengan Bus Trans Mebidang ini secara rinci tertuang dalam Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 31 tahun 2014 tentang Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di

Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli serdang.

Bus Trans Mebidang sendiri mulai beroperasi pada November 2015 dengan jumlah armada sebanyak 30 bus.Sebagai fasilitas pendukung, terdapat

47 halte yang tersebar sepanjang jalur trayek bus, mulai dari Kota Binjai hingga

Kabupaten Deli Serdang. Kondisi di dalam Bus Trans Mebidang terdapat 30 kursi tempat duduk disekeliling bagian dalam bus, dan terdapat 52 pegangan tangan untuk para penumpang yang berdiri dan tidak mendapatkan tempat duduk. Sehingga bila dihitung, total penumpang yang dapat diangkut sekali jalan adalah 82 orang penumpang. Bus Trans Mebidang ini sendiri mulai beroperasi setiap pukul enam pagi hingga pukul sembilan malam dengan selang waktu/headway keberangkatan 15-20 menit.

Tarif yang dikenakan kepada penumpang tergolong ke dalam tarif yang murah dan terjangkau oleh masyarakat, yaitu enam ribu rupiah untuk rute

Medan - Binjai dan tujuh ribu rupiah untuk rute Medan - Lubuk Pakam jauh dekat. Selanjutnya, pasal 139 juga menyebutkan bahwa penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan. Maka, tanggung jawab dalam pengelolaan dan pengoperasian Bus Trans Mebidang ini dilakukan oleh Perum DAMRI Kantor

Cabang Medan.

39

Dalam Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 31 tahun 2014 tentang Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Wilayah

Perkotaan Medan, Binjai dan Deliserdang Pasal 2 disebutkan bahwa BRT Trans

Mebidang dilayani dengan memenuhi persyaratan:

a. Mobil bus yang berkapasitas angkut massal;

b. Dilengkapi dengan fasilitas air conditioner;

c. Penyediaan halte, perambuan dan fasilitas pendukungnya merupakan

tanggung jawab dari daerah sesuai lintasan wilayahnya;

d. Lajur khusus atau prioritas dapat berupa jalan terpisah atau bercampur,

dibatasi dengan marka dan atau pemberian prioritas di daerah

persimpangan yang diatur dengan alat pengendali lalu lintas.

Selanjutnya dalam pasal 4 disebutkan bahwa penyelenggaraan Trans

Mebidang harus memenuhi Standar Pelayanan Minimal yang menjadi acuan bagi penyelenggara Trans Mebidang dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa. Standar pelayanan minimal yang dimaksud tersebut meliputi:

a. Standar kendaraan; b. Standar operasi pelayanan; c. Standar keselamatan; d. Standar layanan pelanggan e. Standar pelaporan.

Seperti halnya yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan pasal 141 mengatur bahwa perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi:

a. Keamanan b. Keselamatan c. Kenyamanan

40

d. Keterjangkauan e. Kesetaraan f. Keteraturan Selanjutnya, dalam pasal 143 UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas

dan Angkutan Jalan disebutkan kriteria pelayanan angkutan orang dengan

kendaraan bermotor umum dalam trayek harus:

a. Memiliki rute tetap dan teratur

b. Terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan

penumpang di Terminal untuk angkutan antar kota dan lintas batas

negara

c. Menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang

ditentukan untuk angkutan perkotaan dan pedesaan.

Bus Trans Mebidang sebagai angkutan umum sejauh ini beroperasi pada

dua koridor dimana terdapat 15 bus yang tersebar dan beroperasi pada masing-

masing koridor. Pada tahap selanjutnya, akan dikembangkan tujuh koridor

lainnya yang nantinya keseluruhan koridor ini akan membentuk jaringan

pelayanan angkutan massal yang dapat mengurangi kemacetan.

2.5. Penelitian Terdahulu

Berikut penulis sajikan beberapa penelitian terdahulu yang penulis anggap

relevan dengan penelitian yang penulis lakukan :

Tabel 2.1: Matriks Penelitian Terdahulu No Peneliti Judul Metode Hasil Beberapa usaha yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah transportasi dalam kaitannya Haryono Transportasi dengan lingkungan, meliputi usaha: Lingkungan - Sukarto Perkotaan dan 1 Kualitatif penataan ruang kota: (2006) Aspek -pengaturan lalu lintas di perkotaan lingkungan -penggunaan energi alternatif untuk kendaraan bermotor, yang lebih ramah lingkungan

41

- menggalakkan penggunaan sepeda dan (mass rapid transit)

Berdasarkan hasil penelitian dapat di ketahui bahwa Dinas Perhubungan Kota Yogyakarta telah membuat kebijakan untuk mengtasi permasalahan kemacetan lalu lintas dengan beberapa upaya namun dampak yang dirasakan dari adanya kebijakan tersebut, sementara ini sudah berjalan dengan baik, meski belum sepenuhnya kebijakan tersebut dapat menyelesaikan permasalahan kemacetan yang ada Kebijakan karena pertambahan jumlah kendaraan disetiap Pemerintah tahun. Jescinta Jogjakarta 2 Junike Kualitatif Dalam Kebijakan yang telah di buat tersebut didukung (2017) Mengatasi dengan fasilitas prasarana dan sarana sebagai Kemacetan penunjang keberhasilan mengatasi masalah kemacetan lalulintas dengan disediakan marka jalan bagi jalur , pembuatan tempat parkir sepeda di samping halte trans Jogja, penyediaan halte portable, penyediaan rambu-rambu lalulintas, dan ATCS (Area Traffic Control System) prasarana tersebut merupakan upaya mengatasi masalah kemacetan lalulintas.

Hasil penelitian membuktikan bahwa manajemen pengelolaan transportasi masih dianggap kurang maksimal. Kurang efektifnya pengelolaan transportasi sangat mempengaruhi masalah kemacetan berlalu lintas, yang begitu banyak Efektifitas disebabkan karena luas lahan untuk penggunaan Kerja Dalam jalan khususnya untuk memperlancar kegiatan Menangulangi transportasi/pergerakan lalu lintas sudah sangat Calvin Masalah sempit dan tidak ada perbaikan, sehingga tidak 3 Losa Kemacetan Kualitatif mampu menampung (2018) (Suatu Studi Di kendaraan yang begitu banyak. Dinas Untuk prasarana jalan seperti penempatan rambu- Perhubungan rambu dan Marka Jalan dianggap Kota Manado) kurang efektif karena masih menimbulkan berbagai Kemacetan. Dampak Kemacetan sangat berpengaruh terhadap aktivitas berlalu Lintas, beberapa dampak yang ditimbulkan sangat berpengaruh pada aspek ekonomi, sosial, budaya dan keamanan.

Pelaksanaan implementasi kebijakan transportasi Implementasi publik pada Bus Transjakarta Kebijakan dapat dilihat dari teori kebijakan Donald S. Van Transportasi Meter dan Carl E. Van Horn yang dilihat dari Publik Ukuran dan Tujuan Kebijakan, Sumber Daya, Irvan Arif Bus Karakteristik Agen Pelaksana, Sikap 4 Kurniawan Transjakarta Kualitatif Kecenderungan Para Pelaksana, Komunikasi (2019) (Busway) Organisasi Antar Aktivitas Pelaksana, dan Dalam Lingkungan Ekonomi Sosial dan Politik. Rangka implementasi kebijakan trasnportasi publik bus Mengurangi tarnsjakarta busway masih terdapat kekurangan dan Kemacetan harus diperbaiki. Kekurangan tersebut antara lain belum maksimalnya petugas gabungan

42

khusus busway dalam menindak kendaraan umum yang melintas di jalur busway. Namun dari sisi ekonomi transportasi busway sudah dapat dinikmati oleh masyarakat Jakarta.

From the research results obtained the status of Medan, Binjai and Deli Serdang (Mebidang) As a National strategic area and strengthened by the existence of the Governor of North Sumatra Governor Regulation Number 31 of 2014 concerning Road-based Mass Public Transport Services in Urban Areas of Medan, Binjai and Deli Serdang, in program implementation has been running but not Implementation yet effective, efficient and productive. Because there Analysis of are still many main and supporting infrastructure Trans Mebidang Program in facilities that are still lacking in supervision and Agussani Transportation control. 5 Kualitatif (Dari hasil penelitian didapatkan status Medan, (2020) Mode Services, Binjai dan Deli Serdang (Mebidang) Sebagai North Sumatera Kawasan Strategis Nasional dan diperkuat dengan (Comperative adanya Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor Study of Medan City) 31 Tahun 2014 tentang Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Perkotaan. Kota Medan, Binjai dan Deli Serdang, dalam pelaksanaan program sudah berjalan namun belum efektif, efisien dan produktif. Pasalnya, masih banyak fasilitas infrastruktur utama dan pendukung yang masih kurang dalam pengawasan dan pengendalian.)

2.6. Defenisi Konsep

Untuk memudahkan serta dapat memberikan arah yang lebih jelas dalam

pencapaian tujuan penelitian, maka perlu dilakukan pendefenisian secara

konseptual terhadap variabel-variabel dalam penelitian ini. Adapun defenisi

konseptual tersebut adalah :

1. Implementasi Kebijakan adalah proses kegiatan administratif yang

dilakukan setelah kebijakan ditetapkan/disetujui. Kegiatan ini terletak

diantara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi

kebijakan mengandung logika yang top-down,

maksudnya menurunkan/menafsirkan alternatif-alternatif yang masih

abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro.

43

Sedangkan formulasi kebijakan mengandung logika bottom-up, dalam arti

proses ini diawali dengan pemetaan kebutuhan publik atau

pengakomodasian tuntutan lingkungan lalu diikuti dengan pencarian dan

pemilihan alternatif cara pemecahannya, kemudian diusulkan untuk

ditetapkan.

2. Kebijakan Bus Rapid Transit (BRT) adalah salah satu kebijakan

transportasi perkotaan dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang

beroperasi di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang.

Bus Trans Mebidang dapat mengangkut penumpang dengan kapasitas

yang besar dalam waktu tempuh perjalanan yang singkat serta dengan

biaya yang terjangkau oleh masyarakat.

2.7. Kerangka Pemikiran

Kerangka berfikir merupakan model konseptual tentang bagaimana teori berhubungan dengan berbagai faktor yang telah diidentifikasi sebagai masalah yang penting (dalam Sugiyono 2009 : 69). Jika dibandingkan dengan beberapa negara tetangga yang menggunakan transportasi umum massal seperti Singapura, di Singapura merupakan salah satu kota di Asia Tenggara yang punya transportasi publik yang memadai. Berkat sistem transportasi umum, masyarakat dan wisatawan menjadi terbantu dan lebih mudah untuk perjalanan dan menjelajahi negeri Singa ini. Setidaknya terdapat tiga moda angkutan umum utama di

Singapura, yakni taksi, bus dan transportasi berbasis rel (mass rapid transit dan

Light Rail Transit). Akan tetapi transportasi yang paling sering diminati oleh masyarakat dan para pelancong di Singapura adalah Mass Rapid Transit (MRT).

44

Transportasi ini menjangkau hampir seluruh wilayah Singapura dan menyediakan layanan perjalanan cepat dan efisien selama jam sibuk. Cara pembayaran MRT dan LRT dapat dengan membeli tiket standar yang tersedia di setiap stasiun atau bisa dengan kartu isi ulang EZ Link atau NETS Flashpay. Tarif untuk MRT sekitar 0,73 SGD s/d 1,51 SGD tergantung jarak tempuh penumpang (Rosas

Gutiérrez & Chías Becerril, 2020).

Disisi lain di Kuala Lumpur Secara garis besar, ada dua macam jenis transportasi publik favorit di Kuala Lumpur, yakni bus dan transportasi berbasis rel. Meski belum sememadai Singapura, tapi transportasi publik di Kuala Lumpur termasuk murah dan nyaman. Untuk jenis transportasi berbasis rel di Kuala

Lumpur terbagi empat, yakni KL Monorail, LRT (light rapid transit), KTM

Komuter, dan KLIA Ekspres/KLIA Transit, yang kemudian dikenal sebagai sebuah sistem bernama Klang Valley Integrated Rail Transit. Tiket KL Monorail sudah terintegrasi dengan LRT dan dapat dibeli di vending machine. Kedua jalur ini memiliki panjang total 77,6 Km. Daya angkut perharinya 465.813 penumpang

(Savitri et al., 2017).

Selain LRT, Kuala Lumpur juga memiliki 1 jalur monorel dan satu jalur

BRT (Bus Rapid Transit). BRT di Kuala Lumpur ini berbeda dengan yang di

Jakarta. BRT di sana menggunakan jalur khusus yang dibuat melayang dengan bus yang menggunakan tenaga listrik (Romadhona, 2019).

Negara lain salah satunya Bangkok, Yang sudah memiliki fasilitas transportasi umum yang baik. Terdapat tiga pilihan transportasi berbasis rel di

Bangkok, yakni BTS (Skytrain), MRT (subway), dan Airport Rail Link (ARL).

Namun yang menjadi favorit masyarakat Bangkok adalah BTS Skytrain dan

45

MRT. BTS Skytrain merupakan sebuah sistem angkutan cepat (rapid transit) yang keseluruhan lintasannya dibuat melayang yang terdiri dari dua jalur. Sementara

Mass Rapid Transit (MRT) lintasannya dibuat dibawah tanah dengan memiliki satu jalur. Kedua sistem transportasi ini mampu mengangkut 853.255 penumpang perhari (Rosas Gutiérrez & Chías Becerril, 2020).

Selain transportasi berbasis rel, Bangkok juga memiliki jalur bus kota dan

Bus Rapid Transit (BRT alias busway), songthaew, dan tuk-tuk. Bahkan, karena sungainya yang besar, bersih, dan melalui kawasan residensial warga, Bangkok juga memiliki transportasi air bernama Chao Praya Express. Sebagai salah satu ibu kota kota metropolitan, kondisi transportasi Manila tidak jauh lebih baik dari

Jakarta. Sama halnya dengan Jakarta, kemacetan sudah menjadi makanan sehari- hari ibu kota Filipina ini. Begitupun dengan transportasi umum. Manila memiliki dua jalur LRT sebagai transportasi utamanya yang memiliki panjang lintasan 33,4

Km (Rosas Gutiérrez & Chías Becerril, 2020).

Setiap harinya LRT ini mampu mengangkut 1,3 juta penumpang. Selain itu Manila juga memiliki 1 jalur MRT. Daya angkut perharinya mencapai 540.000 penumpang. Manila tidak memiliki BRT. Selain itu ada satu angkutan umum unik di Manila, yakni Jeepney. Sarana transportasi umum di Jakarta beraneka ragam.

Namun yang menjadi favorit adalah Bus Rapid Transit (BRT) yang dinamai

Transjakarta yang merupakan BRT dengan jalur terpanjang di dunia. Penumpang yang dapat diangkut perhari Transjakarta ini hanya mencapai 350.000 penumpang. Selain itu Jakarta terdapat angkutan berbasis rel, yang berupa kereta komuter. Meski bukan merupakan transportasi dalam kota, kereta rel listrik commuter line menjadi alternatif bagi masyarakat Jakarta (Romadhona,

46

2019). Selain itu, Jakarta juga memiliki bus-bus umum, ojek dan taksi yang menjadi andalan masyarakat dalam bertransportasi. Saat ini pemerintah pun menyediakan moda transportasi berupa layanan bus gratis untuk berkeliling Kota

Jakarta dengan kondisi bus yang cukup nyaman.

Penelitian ini yang menjadi fokus adalah : Implementasi Kebijakan Bus

Rapid Transit (BRT) Trans Mebidang Di Sumatera Utara. Adapun kerangka berpikir dalam penelitian ini adalah :

1. Kebijakan Publik Tentang Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang. Konsep dan teori kebijakan publik tentang angkutan umum massal berbasis jalan di wilayah perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang yang akan menjadi pisau analisis utama peneliti dalam melakukakan penelitian. Peneliti akan memfokuskan analisis pada peranan implementator lapangan (dalam hal ini pelaksanaan teknis, supir dan pelayanan). Hal ini bertujuan untuk mempertajam hasil penelitian dan mendapatkan informasi yang objektif dari subjek penelitian. Mengabaikan peran para implementor dalam kebijakan publik merupakan sikap yang naif, karena keberhasilan atau kegagalan sebuah kebijakan publik tidaklah semata– mata hanya bergantung pada peran implementor. 2. Implementasi Kebijakan Peraturan Gubernur Tahun 2014 Tentang Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang. Implementasi Kebijakan Peraturan Gubernur Tahun 2014 Tentang Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang adalah proses kegiatan administratif yang dilakukan setelah kebijakan Peraturan Gubernur Tahun 2014 Tentang Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang ditetapkan/disetujui. Kegiatan ini terletak diantara perumusan kebijakan dan evaluasi kebijakan. Implementasi kebijakan Peraturan Gubernur Tahun 2014 Tentang Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di

47

Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang mengandung logika yang top-down, maksudnya menurunkan/menafsirkan alternatif- alternatif yang masih abstrak atau makro menjadi alternatif yang bersifat konkrit atau mikro tentang angkutan umum massal berbasis jalan di wilayah perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang. Sedangkan formulasi kebijakan Peraturan Gubernur Tahun 2014 Tentang Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang mengandung logika bottom-up, dalam arti proses ini diawali dengan pemetaan kebutuhan publik atau pengakomodasian tuntutan lingkungan lalu diikuti dengan pencarian dan pemilihan alternatif cara pemecahannya, kemudian diusulkan untuk ditetapkan tentang angkutan umum massal berbasis jalan di wilayah perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang. 3. Teori Implementasi Edward III, pada sistem politik, kebijakan publik diimplementasikan oleh badan-badan pemerintah. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan pelaksanaan kebijakan tersebut hari demi hari sehingga menuju kinerja kebijakan. Implementasi tersebut dapat melibatkan banyak aktor kebijakan sehingga sebuah kebijakan bisa menjadi rumit. Kerumitan dalam tahap implementasi kebijakan bukan hanya ditunjukkan dari banyaknya aktor kebijakan yang terlibat, namun juga variabel-variabel yang terkait di dalamnya. Edward III mengajukan pendekatan masalah implementasi dengan terlebih dahulu mengemukakan dua pertanyaan pokok, yakni: (i) faktor apa yang mendukung keberhasilan implementasi kebijakan? dan (ii) faktor apa yang menghambat keberhasilan implementasi kebijakan? Berdasarkan kedua pertanyaan tersebut dirumuskan empat faktor yang merupakan syarat utama keberhasilan proses implementasi, yakni komunikasi, sumber daya, sikap birokrasi atau pelaksana dan struktur organisasi, termasuk tata aliran kerja birokrasi. Empat faktor tersebut menjadi kriteria penting dalam implementasi suatu kebijakan. 1) Komunikasi 2) Sumber daya

48

3) Disposisi 4) Struktur Birokrasi 4. Faktor Pendukung dan Penghambat dari Teori Implementasi Edward III Implementasi kebijakan bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit serta merupakan proses yang berlangsung dinamis, yang hasil akhirnya tidak bisa diperkirakan hanya dari ketersediaan kelengkapan program. Tugas implementasi kebijakan sudah selayaknya diperhitungkan. Maka dari itu manakah dari 4 faktor dari Teori Implementasi Edward III yang menjadi faktor pendukung dan penghambat dari Implementasi Kebijakan Peraturan Gubernur Tahun 2014 Tentang Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang.

49

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian

Desain penelitian yang digunakan bersifat deskriptif, yaitu suatu metode yang meneliti status sekelompok manusia, suatu obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki agar dapat memahami masalah lebih mendalam pada implementasi Kebijakan Bus Rapid Transit (BRT) sebagai angkutan umum masal berbasis jalan di wilayah perkotaan Medan, Binjai dan Deli

Serdang.

3.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kota Medan dengan memfokuskan kegiatan di Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara dan Perusahaan Umum

DAMRI (Perum DAMRI) pada kantor cabang Medan. Pemilihan lokasi di Kota

Medan dikarenakan selain sebagai pusat pemerintahan provinsi Sumatera Utara.

Selain itu, Kota Medan juga merupakan pusat bisnis dan kegiatan ekonomi masyarakat Sumatera Utara dengan kepadatan volume lalulintas yang tinggi.

49

50

3.3. Informan Penelitian

Adapun informan penelitian ini meliputi dua macam informan penelitian, yaitu :

1. Informan kunci adalah mereka yang mengetahui dan memiliki berbagai

informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian atau informan yang

memiliki informasi dan mengetahui secara mendalam permasalahan yang

sedang diteliti.

2. Informan tambahan adalah mereka yang dapat memberikan informasi

walaupun tidak langsung dalam interaksi sosial yang sedang diteliti.

Berdasarkan uraian diatas, maka informan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Informan kunci yaitu dalam penelitian ini adalah :

1. Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Utara

2. General Manager Perum DAMRI Cabang Medan

b. Informan tambahan dalam penelitian ini adalah :

1. Masyarakat pengguna angkutan Trans Mebidang:

• Pelajar (SMP, SMA/SMK), Mahasiswa.

• Pekerja (ASN, Swasta)

2. Masyarakat pengguna sepeda motor

• Angkutan Online (Gojek, Grab, Maxim)

3. Masyarakat pengguna angkutan konvensional

• Masyarakat umum,

4. Lembaga Pemerhati Transportasi

• Masyarakat Pemerhati Transportasi

51

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Studi literatur dan dokumentasi dari berbagai jurnal, buku, hasil penelitian

dan media lainnya yang berhubungan dengan budaya politik dan perilaku

memilih komunitas sesuai dengan topik penelitian, selain itu dilakukan

juga studi dokumentasi untuk memperoleh data sekunder.

b. Wawancara mendalam terhadap informan penelitian yang dipilih melalui

purposive sampling. Wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan

semi terstruktur dan mendalam digunakan untuk mengumpulkan informasi

informasi mengenai Implementasi Kebijakan Bus Rapid Transit (BRT)

Trans Mebidang Di Kota Medan, Binjai dan Kabupaten Deli serdang.

c. Observasi lapangan, pengamatan yang didasarkan pada topik penelitian

dan realita lapangan yang ditemukan mengenai Implementasi Kebijakan

Bus Rapid Transit (BRT) Trans Mebidang Di Kota Medan, Binjai dan

Kabupaten Deli serdang.

3.4.1. Teknik Analisa Data

Proses kegiatan analisis data dalam penelitian ini dimulai dari pengumpulan data dari sumber data berupa, observasi dan serta dokumentasi dan individual in-depth interview. Untuk data kualitatif dilakukan analisa data kualitatif dengan mengumpulkan hasil wawancara kemudian dipilih dan dipilah hasil wawancara tersebut dengan membandingkan fenomena yang di temukan dilapangan dengan analisis teori Edward III, Model ini disebut dengan Direct And

Indirect Impact On Implementation.

52

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian kualitatif mencakup transkip hasil wawancara, reduksi data, analisis, interpretasi data dan triangulasi.

Dari hasil analisis data dari Teori Edward III dengan 4 faktor yang sangat menetukan kebijakan yaitu: (1) komunikasi; (2) sumberdaya; (3) disposisi; dan (4) struktur birokrasi dari 4 faktor tersebut di deskripsikan mana yang menjadi faktor penghambat dan pendukung dari berhasil atau gagalnya Implementasi Kebijakan

Bus Rapid Transit (BRT) Trans Mebidang di Sumatera Utara yang kemudian dapat ditarik kesimpulan. Berikut ini adalah teknik analisis data yang digunakan oleh peneliti:

1. Reduksi Data Reduksi data bukanlah suatu hal yang terpisah dari analisis. Reduksi data

diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada

penyederhanaan, pengabstraksian, dan transformasi data kasar yang muncul

dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Kegiatan reduksi data berlangsung

terus-menerus, terutama selama proyek yang berorientasi kualitatif

berlangsung atau selama pengumpulan data. Selama pengumpulan data

berlangsung, terjadi tahapan reduksi, yaitu membuat ringkasan, mengkode,

menelusuri tema, membuat gugus-gugus, membuat partisi, dan menulis

memo.

Reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu, dan

mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan-kesimpulan

akhirnya dapat ditarik dan diverivikasi. Reduksi data atau proses transformasi

53

ini berlanjut terus sesudah penelitian lapangan, sampai laporan akhir lengkap

tersusun.

2. Penyajian Data Menurut Silalahi (2009) penyajian data merupakan kegiatan terpenting yang kedua dalam penelitian kualitatif. Penyajian data yaitu sebagai sekumpulan informasi yang tersusun memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Penyajian data yang sering digunakan untuk data kualitatif pada masa yang lalu adalah dalam bentuk teks naratif dalam puluhan, ratusan, atau bahkan ribuan halaman. Akan tetapi, teks naratif dalam jumlah yang besar melebihi beban kemampuan manusia dalam memproses informasi yang mudah dipahami.

3. Menarik Kesimpulan Kegiatan analisis ketiga adalah menarik kesimpulan dan verivikasi. Ketika kegiatan pengumpulan data dilakukan, seorang peneliti mulai mencari arti benda-benda, mencatat keteraturan, pola-pola, penjelasan, konfigurasi- konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat, dan proposisi. Kesimpulan yang mula-mulanya belum jelas akan meningkat menjadi lebih terperinci.

Kesimpulan-kesimpulan “final” akan muncul bergantung pada besarnya kumpulan-kumpulan catatan lapangan, penyimpanan, dan metode pencarian ulang yang digunakan, kecakapan peneliti dalam menganalisis .

54

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Geografi Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara berada di bagian Barat Indonesia, terletak pada garis 10 – 40 Lintang Utara dan 980 – 1000 Bujur Timur. Sebelah Utara berbatasan dengan Provinsi , sebelah Timur dengan negara Malaysia di Selat

Malaka, sebelah Selatan berbatasan dengan Provinsi Riau dan Sumatera Barat, dan disebelah Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Luas daratan Provinsi

Sumatera Utara adalah 71.680,68 Km2, Sebagian besar berada di daratan pulau

Sumatera dan sebagian kecil berada di provinsi Pulau Nias, pulau-pulau Batu, serta beberapa pulau kecil, baik dibagian Barat maupun dibagian Timur pantai pulau Sumatera. Berdasarkan luas daerah menurut kabupaten/kota di Sumatera

Utara, luas daerah terbesar adalah Kabupaten Mandailing Natal dengan luas

6.620,70 Km2, atau sekitar 9,23% dari total luas Sumatera Utara, diikuti

Kabupaten Langkat dengan luas 6263,29 Km2 atau 8,74% dari total luas

Sumatera Utara, kemudian Kabupaten Simalungun dengan luas 4.386,60 Km2 atau sekitar 6,12% dari total luas Sumatera Utara. Sedangkan luas daerah terkecil adalah Kota Sibolga dengan luas 10,77 Km2 atau sekitar 0,02% dari total luas wilayah Sumatera Utara.

Provinsi Sumatera Utara terdiri dari 25 Kabupaten dan 8 Kota. Adapun kabupaten/kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara adalah sebagai berikut:

54 55

Tabel 4.1. Wilayah Kabupaten dan Kota di Provinsi Sumatera Utara Wilayah Kabupaten Wilayah Kota Nias Nias Selatan Sibolga Mandailing Natal Humbang Hasundutan Tanjung Balai Tapanuli Selatan Pakpak Bharat Pematang Siantar Tapanuli Tengah Samosir Tebing Tinggi Tapanuli Utara Serdang Bedagai Medan Toba Samosir Batu Bara Binjai Labuhan Batu Padang Lawas Utara Padang Sidimpuan Asahan Padang Lawas Gunung Sitoli Simalungun Labuhan Batu Selatan Dairi Labuhan Batu Utara Karo Nias Utara Deli serdang Nias Selatan Langkat Sumber : Data BPS, 2019

Berdasarkan kondisi letak dan kondisi alam, Sumatera Utara dibagi dalam

3 (tiga) kelompok wilayah/kawasan yaitu Pantai Barat, Daratan Tinggi, dan Pantai

Timur. Kawasan Pantai Barat, Karena terletak dekat garis khatulistiwa Provinsi

Sumatera Utara tergolong kedalam daerah beriklim tropis. Ketinggian permukaan daratan Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi, sebagian daerahnya datar, hanya beberapa meter diatas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa mencapai

33,40C, sebagian daerahnya berbukit dengan kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada pada daerah ketinggian yang suhunya minimal bisa mencapai 23,70 C.

Sebagaimana provinsi lainnya di Indonesia, Provinsi Sumatera Utara mempunyai musim kemarau dan penghujan. Musim kemarau biasanya terjadi pada Bulan Juni sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi pada Bulan November sampai dengan Bulan Maret. Diantara kedua musim tersebut diselingi oleh musim pancaroba.

56

4.2. Jumlah Penduduk Sumatera Utara

Provinsi Sumatera Utara merupakan provinsi keempat terbesar jumlah penduduknya di Indonesia setelah Jawa Barat, Jawa Timur, dan Jawa Tengah.

Menurut hasil pencacahan lengkap Sensus Penduduk (SP) 1990 penduduk

Sumatera Utara keadaan tanggal 31 Oktober 1990 (hari sensus) berjumlah 10,26 juta jiwa, dan hasil SP 2000, jumlah penduduk Sumatera Utara sebesar 11,51 juta jiwa. Pada Bulan April 2003 dilakukan pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan (P4B). Dari hasil pendaftaran tersebut diperoleh jumlah penduduk sebesar 11.890.399 jiwa. Selanjutnya dari hasil sensus penduduk pada

Bulan Mei 2010 jumlah penduduk Sumatera Utara 12.982.204 jiwa. Kepadatan penduduk Sumatera Utara tahun 1990 adalah 143 jiwa per Km2 dan tahun 2000 meningkat menjadi 161 jiwa per Km2. Laju pertumbuhan penduduk selama kurun waktu 1990-2000 adalah 1,20% per tahun, dan pada tahun 2000-2010 menjadi

1,22% per tahun. Pada tahun 2012 penduduk Sumatera Utara berjumlah

13.215.401 jiwa. Penduduk Sumatera Utara yang berjenis kelamin laki-laki berjumlah sekitar 6.544.299 jiwa dan penduduk perempuan sebesar 6.671.102 jiwa.

Dengan demikian sex ratio penduduk Sumatera Utara sebesar 99,52. Pada tahun 2012 penduduk Sumatera Utara lebih banyak tinggal di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan. Jumlah penduduk Sumatera Utara yang tinggal di pedesaan adalah 6,67 juta jiwa (50,48%) dan yang tinggal di daerah perkotaan sebesar 6,54 juta jiwa (49,52%).

57

Sumatera Utara merupakan provinsi multietnis dengan Batak, Nias, dan

Melayu sebagai penduduk asli provinsi ini. Pusat penyebaran suku-suku di

Sumatera Utara adalah sebagaiberikut:

Melayu : Pesisir Timur, terutama di Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, dan Kabupaten Langkat Batak Karo : Kabupaten Karo, Deli Serdang, Langkat, dan Medan. Batak Toba : Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, dan Kabupaten Toba Samosir Batak Mandailing : Kabupaten Mandailing Natal Batak Angkola : Kabupaten Tapanuli Selatan dan Padang Lawas Batak Simalungun : Kabupaten Simalungun Batak Pakpak : Kabupaten Dairi dan Pakpak Barat Nias : Pulau Nias Minangkabau : Kota Medan, Kabupaten Batu Bara, dan Pesisir Barat Aceh : Kota Medan Jawa : Pesisir Timur Tionghoa : Perkotaan pesisir Timur dan Barat

Berdasarkan data BPS Sumatera Utara dalam Angka (2019), Sebagai provinsi yang multietnis maka pendududk Provinsi Sumatera Utara juga menganut agama ataupun kepercayaan yang beragam. Agama utama di provinsi

Sumatera Utara adalah:

1 Islam, terutama dipeluk oleh suku Melayu, Pesisir, Minangkabau, Jawa,

Aceh, Batak Mandailing, sebagian Batak Karo, Simalungun dan Pakpak.

2 Kristen (Protestan dan Katolik), terutama dipeluk oleh suku Batak Karo,

Batak Toba, Pakpak, Mandailing, dan Nias.

3 Hindu, terutama dipeluk oleh suku Tamil diperkotaan.

58

4 Buddha, terutama dipeluk oleh suku Tionghoa diperkotaan.

5 Konghucu, terutama dipeluk oleh suku Tionghoa diperkotaan

4.3. Gambaran Umum Trans Mebidang Bus Trans Mebidang merupakan salah satu kebijakan transportasi perkotaan dengan sistem Bus Rapid Transit (BRT) yang beroperasi di Kota

Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang. Bus Trans Mebidang dapat mengangkut penumpang dengan kapasitas yang besar dengan jumlah ± 100 orang penumpang dalam waktu tempuh perjalanan yang singkat serta dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat. Trans Mebidang hadir guna memenuhi kewajiban pemerintah dalam menyediakan angkutan umum sesuai dengan yang tertuang dalam pasal 138 UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

Jalan bahwa angkutan umum diselenggarakan dalam upaya memenuhi kebutuhan angkutan yang selamat, aman, nyaman, dan terjangkau serta penyelenggaraannya ditanggungjawabi oleh pemerintah.

Hal-hal yang berkaitan dengan Bus Trans Mebidang ini secara rinci tertuang dalam Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 31 tahun 2014 tentang

Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Wilayah Perkotaan Medan,

Binjai dan Deliserdang. Bus Trans Mebidang sendiri mulai beroperasi pada

November 2015 dengan jumlah armada sebanyak 30 bus. Sebagai fasilitas pendukung, terdapat 47 halte yang tersebar sepanjang jalur trayek bus, mulai dari

Kota Binjai hingga Kabupaten Deli Serdang. Kondisi di dalam Bus Trans

Mebidang terdapat 30 kursi tempat duduk di sekeliling bagian dalam bus, dan terdapat 52 pegangan tangan untuk para penumpang yang berdiri dan tidak mendapatkan tempat duduk. Sehingga bila dihitung, total penumpang yang dapat

59

diangkut sekali jalan adalah 82 orang penumpang. Bus Trans Mebidang ini sendiri mulai beroperasi setiap pukul enam pagi hingga pukul sembilan malam dengan selang waktu keberangkatan 15-20 menit.

Tarif yang dikenakan kepada penumpang tergolong ke dalam tarif yang murah dan terjangkau oleh masyarakat, yaitu enam ribu rupiah untuk rute Medan-

Binjai dan tujuh ribu rupiah untuk rute Medan-Lubuk Pakam jauh dekat.

Selanjutnya, pasal 139 juga menyebutkan bahwa penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan atau badan hukum lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Maka, tanggung jawab dalam pengelolaan dan pengoperasian Bus Trans Mebidang ini dilakukan oleh Perum DAMRI Kantor Cabang Medan.

Dalam Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 31 tahun 2014 tentang

Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Wilayah Perkotaan Medan,

Binjai dan Deliserdang Pasal 2 disebutkan bahwa BRT Trans Mebidang dilayani dengan memenuhi persyaratan:

a. Mobil bus yang berkapasitas angkut massal; b. Dilengkapi dengan fasilitas air conditioner; c. Penyediaan halte, perambuan dan fasilitas pendukungnya merupakan tanggung jawab dari daerah sesuai wilayahnya; d. Lajur khusus atau prioritas dapat berupa jalan terpisah atau bercampur, dibatasi dengan marka dan atau pemberian prioritas di daerah persimpangan yang diatur dengan alat pengendali lalu lintas

Selanjutnya dalam pasal 4 disebutkan bahwa penyelenggaraan Trans

Mebidang harus memenuhi Standar Pelayanan Minimal yang menjadi acuan bagi penyelenggara Trans Mebidang dalam memberikan pelayanan kepada pengguna jasa. Standar pelayanan minimal yang dimaksud tersebut meliputi:

60

a. Standar kendaraan; b. Standar operasi pelayanan; c. Standar keselamatan; d. Standar layanan pelanggan; dan e. Standar pelaporan.

Seperti halnya yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu

Lintas dan Angkutan Jalan pasal 141 mengatur bahwa perusahaan angkutan umum wajib memenuhi standar pelayanan minimal yang meliputi:

a. Keamanan; b. Keselamatan; c. Kenyamanan; d. Keterjangkauan; e. Kesetaraan; dan f. Keteraturan.

Selanjutnya, dalam pasal 143 UU No. 22 tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan kriteria pelayanan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum dalam trayek harus:

a. Memiliki rute tetap dan teratur; b. Terjadwal, berawal, berakhir, dan menaikkan atau menurunkan penumpang di terminal untuk angkutan antar kota dan lintas batas negara; dan c. Menaikkan dan menurunkan penumpang pada tempat yang ditentukan untuk angkutan perkotaan dan perdesaan. Bus Trans Mebidang sebagai angkutan umum sejauh ini beroperasi pada 2 koridor dimana terdapat 15 bus yang tersebar dan beroperasi pada masing-masing koridor. Pada tahap selanjutnya, akan dikembangkan tujuh koridor lainnya yang nantinya keseluruhan koridor ini akan membentuk jaringan pelayanan angkutan massal yang dapat mengurangi kemacetan.

61

4.4. Struktur Organisasi Trans Mebidang pada Perusahaan Umum DAMRI Cabang Medan Tugas pokok dan fungsi satuan unit kerja Perusahaan Umum (Perum)

DAMRI Kantor Cabang Medan sesuai dengan struktur organisasi Perum DAMRI

Kantor Cabang Medan, manajer usaha membawahi staf usaha, PPA, dan pengemudi. Tugas dari masing-masing bidang adalah sebagai berikut:

Gambar 4.1 Struktur Organisasi Perum DAMRI Cabang Medan

Sumber : Perum DAMRI Cabang Medan, 2020

1. Bidang Usaha/ Petugas Kantor a. Membuat order mengarahkan pengemudi b. Mengurus dan mempersiapkan surat-surat kelengkapan kendaraan c. Membina, mengawasi, memperhatikan jalannya operasional bus d. Menerima pelaporan jika terjadi kecelakaan dan mengurus insiden kejadian kecelakaan e. Memeriksa laporan muatan bus f. Membuat daftar muatan bus g. Membuat daftar hasil penjualan karcis h. Register perhitungan pemakaian bukti-bukti penumpang i. Membuat register pendapatan perusahaan j. Laporan hasil operasional kepada atasan langsung

62

2. Petugas Pengemudi a. Hadir dan melapor siap jalan selambat-lambatnya setengah jam sebelum kendaraan diberangkatkan atau beroperasi b. Menerima kendaraan, surat-surat dan kelengkapan operasi c. Memperhatikan semua instrumen atau alat-alat pengontrol pada dashboard guna meneliti cara kerja mesin dan mencegah kerusakan- kerusakan. d. Menghentikan kendaraan bila terjadi musibah kecelakaan pada kendaraannya e. Pengemudi melakukan pertolongan pertama jika terjadi musibah kecelakaan yang mengakibatkan korban f. Melaporkan peristiwa kecelakaan pada pimpinan perusahaan menurut cara-cara yang telah ditetapkan bersama-sama dengan kondektur g. Berhenti pada tempat yang ditentukan (check point) h. Membuat suatu jarak yang cukup jika berhenti di belakang kendaraan lain. 3. Pembantu Pengemudi a. Siap di pool/kantor selambat-lambatnya setengah jam sebelum kendaraan atau bus diberangkatkan b. Menerima dsri petugas pool/kantor dan membawa surat-surat serta perlengkapan yang dibutuhkan c. Membantu dan melayani kebutuhan pengemudi dalam mempersiapkan kendaraan yang akan dioperasikan serta berusaha memperlancar perjalanan kendaraan. d. Membantu pengemudi selama menjalankan kendaraan atau bus dengan memberikan aba-aba atau isyarat lalu lintas e. Membantu pengemudi untuk memperbaiki kendaraan jika terjadi kerusakan atau gangguan selama dalam perjalanan. f. Melayani dengan ramah dan sopan kepada setiap penumpang yang akan naik atau turun serta membantu menaikkan atau menurunkan barang bawaan bagasi.

63

g. Membantu mengatur tempat duduk penumpang dan barang bawaan atau bagasi yang ada dalam kendaraan. h. Menutup pintu kendaraan rapat-rapat (jika menggunakan pintu manual), membersihkan kaca depan untuk keleluasaan pandangan pengemudi serta menjaga kebersihan dengan membersihkan sampah-sampah atau coretan yang terdapat di dalam kendaraan. i. Menaati segala petunjuk yang diberikan pengemudi maupun petugas lain dari perusahaan. j. Menarik ongkos dan memberi tiket pengguna jasa. k. Mengarahkan penumpang dan memberi informasi. l. Melapor ke petugas Pemeriksa Angkutan jumlah penumpang yang terangkut setiap melintas.

4. Petugas Pengamat Pemeriksa Angkutan a. Mengetahui prosedur pelaksanaan angkutan b. Membawa surat-surat perintah perjalanan dinas atau surat perintah tugas, bentuk-bentuk yang ditetapkan perusahaan, seperti: tanda bukti pemeriksaan bus, nota pelanggaran, karcis suplisi, laporan hasil pemeriksaan angkutan, dan bentuk-bentuk lain yang berhubungan dengan pemeriksaan angkutan c. Mengisi semua bentuk butir-butir di atas sesuai dengan ketentuan d. Mengadakan penelitian, pengujian, penilaian atas keadaan yang sebenarnya dibandingkan dengan yang seharusnya dilakukan untuk selanjutnya dibuat laporan e. Melaksanakan tugas secara cepat, cermat, dan gesit serta tidak menunda-nunda waktu pemberangkatan angkutan atau bus.

4.5. Profil Informan

Informan kunci yaitu dalam penelitian ini adalah :

1. Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Utara Ir. Abdul Haris Lubis M.Si

umur 54 tahun, berjenis kelamin laki-laki, bertempat tinggal di Kota

64

Medan yang merupakan Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Utara.

2. General Manager Perum DAMRI Cabang Medan Ruslan, umur 56 tahun,

berjenis kelamin laki-laki, bertempat tinggal di Kota Medan, merupakan

General Manager Perum DAMRI Cabang Medan.

3. Masyarakat pengguna angkutan Trans Mebidang:

Dalam hal ini, peneliti mewawancarai narasumber terdiri dari :

• Pelajar (SMP, SMA/SMK, Mahasiswa) sebanyak 20 orang secara random (acak). • Pekerja (ASN, Swasta) sebanyak 20 orang secara random (acak)

2. Masyarakat pengguna sepeda motor

• Angkutan Online (Gojek, Grab, Maxim) 30 orang secara random (acak). 3. Masyarakat pengguna angkutan konvensional

• Masyarakat umum sebanyak 20 orang secara random (acak)

4. Masyarakat Pemerhati Transportasi Indonesia wilayah Sumatera Utara

sebanyak 5 orang.

4.6. Analisis Implementasi Kebijakan Bus Rapid Transit (BRT) Mebidang di Sumatera Utara 4.6.1 Komunikasi Implementasi program pelayanan angkutan umum massal yang dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara melalui DAMRI yang dilandaskan oleh kebijakan pemerintah daerah yang termuat dalam Peraturan

Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 adalah sebuah kebijakan pemerintah dalam pelayanan angkutan umum massal berbasis jalan di wilayah perkotaan Medan,

Binjai dan Deli Serdang. Implementasi program pelayanan angkutan umum

65

massal ini berawal sejak tahun 2014 pada masa jabatan Gubernur Sumatera Utara

Gotot Pujo Nugroho yang berlanjut hingga pada saat ini. Kebijakan ini dijadikan rujukan oleh pemerintah Kota Medan yang dengan adanya program pelayanan angkutan umum massal ini dapat menambah data tahunan pengguna angkutan umum massal yang berada di Kota Medan, dengan program ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Kota Medan. Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun

2014 Tentang Program Pelayanan Angkutan Umum Massal ini dan Seterusnya di

Provinsi Sumatera Utara.

Sesuai Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 31 Tahun 2014 tentang

Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Kawasan Perkotaan

Medan, Binjai dan Deli Serdang. Bahwa Kawasan Medan, Binjai dan Deli

Serdang (Mebidang) merupakan salah satu Kawasan Strategis Nasional (KSN), oleh karena itu perlu ditetapkan Peraturan tentang Pelayanan Publik Massal

Berbasis Jalan Kota Medan, Binjai dan Deli Serdang. Pernyataan tersebut ditegaskan kembali dalam Pasal 1 Ketentuan Umum yaitu angkutan umum

Massal di Kota Medan, Kota Binjai, Kawasan Perkotaan Kabupaten Deli Serdang yang selanjutnya disebut Trans Mebidang.

BRT adalah angkutan massal berbasis jalan khusus sistem dengan sistem pelayanan beli di Medan, Binjai, Deli Serdang (Mebidang) dengan menggunakan bus pada jalur-jalur atau trayek yang telah ditentukan. Sistem angkutan massal berbasis jalan khusus dengan sistem pembelian jasa ini merupakan implementasi objek layanan yang berorientasi pada aspek kepuasan apakah sudah memiliki kriteria dalam pengelolaan lalu lintas dan kebutuhan penataan ruang wilayah, Jika dilihat dari aspek pemasaran atau marketing pada komunikasi Trans Mebidang

66

agar ketertarikan masyarakat, dalam hal ini sudah terlaksana dengan baik, hanya saja terdapat faktor-faktor yang memperhambat implementasi, seperti rendahnya aksesibilitas sehingga penumpang sulit mengakses halte angkutan Trans

Mebidang.

Oleh karena itu, penelitian ini akan melihat kesesuaian kegiatan moda transportasi baik dengan aspek pelayanan publik. Dalam hal ini peneliti akan melakukan penelitian yang berjudul “Analisis Implementasi Program Trans

Mebidang Pada Pelayanan Moda Transportasi di Sumatera Utara (Studi Banding

Kota Medan).

Hasil wawancara peneliti kepada Bapak Ir. Abdul Haris Lubis M.Si pada hari Senin tanggal 23 November 2020 pukul 09:00 WIB di Ruang Kepala Dinas

Perhubungan Sumatera Utara sebagai Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Utara menyatakan:

“Kebijakan pelayanan angkutan umum massal itu telah disampaikan kepada masyarakat dan semua elemen yang terkait dengan terlaksananya sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 yang mana Petunjuk Teknis mengenai Peraturan Gubernur tersebut yang diimplementasikan oleh Pemerintahan Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang di mana bagi pemilik yang atas haknya menguasai kendaraan bermotor maupun Nomor kendaraan yang berada dalam kepemilikian masyarakat Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang dapat dikatakan relevansi tergantung dari kesadaran bermasyarakat terkait mengurangi Kemacetan maka oleh Gubernur Sumatera Utara dan menerima masukan atau opini dari masyarakat terkait pelayanan angkutan umum massal ini.” Oleh karena itu, dari hasil penelitian dengan analisis komunikasi pelayanan Angkutan umum massal bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan penggunaan kendaraan pribadi di Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Deli

Serdang. dilihat dari realisasi pengguna kendaraan pribadi yang terdata dapat mengurangi Kemacetan pada jam sibuk dan jam pulang kerja khususnya pada

67

Kebijakan ini disosialisasikan atau dikomunikasikan melalui media elektronik, radio, televisi lokal, dan surat kabar harian dan mingguan, meskipun begitu setelah dilakukan implementasi pelayanan angkutan umum massal ini masih banyak terdapat masyarakat yang enggan menggunakan pelayanan angkutan umum massal Bus Rapit Transit atau Trans Mebidang. Namun dari hasil wawancara kepada Bapak Ruslan pada hari rabu tanggal 25 November 2020 pukul 11:00 WIB di Ruang GM DAMRI selaku GM DAMRI Cabang Medan, beliau mengatakan:

“Implementasi pelayanan angkutan umum massal adalah program pemerintah yang telah dilaksanakan dengan aturan yang menjadikan target sasaran utamanya adalah masyarakat perkotaan, namun masih banyak masyarakat yang tidak berkeinginan untuk menggunakan pelayanan angkutan umum massal”. Dari uraian tersebut, Maka kebijakan pelayanan angkutan umum massal adalah program pemerintah yang menjadi program kerja daerah sebagai sasaran untuk mendapatkan devisa daerah dan terutama adalah mengurangi kemacetan di perkotaan serta mengurangi angka kecelakaan, namun bagaimana caranya mengkomunikasikan kebijakan agar kesadaran masyarakat itu berjalan dan komunikasi antar atau per orang itu tidak disamaratakan sebab apabila berorientasi ke masyarakat umum maka ada perlu mengeluarkan tindakan kepada pemilik jenis kendaraan yang berbeda. Pada dasarnya kebijakan pelayanan angkutan umum massal, masyarakat telah melaksanakan dengan apa yang telah dikomunikasikan, maka ia tidak perlu merasa khawatir. Namun apabila bagi masyarakat yang tidak atau belum mau menggunakan pelayanan angkutan umum massal dengan apa yang telah disampaikan, maka perlu ada evaluasi, apakah tarif sudah sesuai atau standar pelayanan minimal dilaksanakan”.

68

Selanjutnya hasil wawancara peneliti dengan informan Pelajar (SMP,

SMA/SMK, Mahasiswa) sebanyak 20 orang yang dilakukan secara random (acak) dapat disimpulkan bahwa menggunakan angkutan Trans Mebidang ataupun angkutan umum merupakan sebuah kebutuhan, terhindar dari kecelakaan dan kemacetan di jam sibuk serta lebih murah dan terjangkau.

Selanjutnya hasil wawancara hari jumat tanggal 20 November 2020 pukul

17.00 wib, peneliti dengan informan Pekerja (ASN, Swasta) sebanyak 20 orang yang dilakukan secara random (acak) dapat disimpukan bahwa, menggunakan angkutan Trans Mebidang lebih nyaman karena terdapat fasilitas dan kenyamanan seperti AC dan kursi yang nyaman, namun dari aspek prasarana seperti halte belum memadai dan tidak sesuai dengan SOP halte pada umumnya.

Dari salah satu informan Pekerja (ASN, Swasta) di Halte Bus Trans

Mebidang selaku pengguna sepeda motor, beliau mengatakan:

“Dengan dikomunikasikannya adanya angkutan umum massal ini saya kira kedepannya Kota Medan akan berkurang macetnya tetapi tetap saja Transmebidang belum menjangkau segala penjuru kota.”

Selanjutnya hasil wawancara peneliti dengan informan Angkutan Online

(Gojek, Grab, Maxim) 30 orang yang dilakukan secara random (acak) dapat disimpulkan bahwa, menggunakan angkutan Trans Mebidang, membuat pengguna harus menunggu waktu kedatangan dan keberangkatan bus terlalu lama, sehingga menyebabkan keterlambatan kelokasi tujuan.

Selanjutnya hasil wawancara tanggal 20 November 2020 pukul 16.00 wib dari Masyarakat umum pengguna angkutan konvensional sebanyak 20 orang yang secara random (acak) dapat disimpulkan bahwa, pengguna angkutan Trans

Mebidang tarifnya relatif lebih mahal dan keterjangkauannya terbatas tidak seperti

69

angkutan kota (Angkot). Namun pendapat yang berbeda dari salah satu masyarakat pengguna sepeda motor yang diwawancarai pada hari jumat di Halte

Bus Trans Mebidang mengatakan :

“Ya pasti dikomunikasikan lah tetapi memang kalau di banding naik sepeda motor lebih enak naik sepeda motor dari pada naik Trans Mebidang.”

Selanjutnya hasil wawancara peneliti dengan Masyarakat Pemerhati

Transportasi Indonesia (MTI) wilayah Sumatera Utara sebanyak 5 orang, dapat disimpulkan bahwa seharusnya angkutan Trans Mebidang didukung oleh angkutan feeder, seperti halnya angkutan Trans Jakarta, Trans Kuta Raja Aceh,

Trans Sarbagita , sehingga trayeknya tidak tumpang tindih dengan angkutan konvensional. Dalam hal ini pemerintah pusat dan pemerintah Daerah lebih mengutamakan anggaran biaya pemeliharaan sarana dan prasarana angkutan

Trans Mebidang dengan menambahkan teknologi sistem E-Ticketing.

Dari hasil penelitian yang disampaikan Ibu Aliskha pada hari Jumat tanggal 20 November 2020 pukul 17.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna Angkutan Umum, beliau mengatakan:

“Saya kira memang pemerintah sudah menyampaikan ke masyarakat tetapi memang kami juga masih memerlukan angkutan umum yang memang tarifnya masih terjangkau dengan kemampuan kami sebagai masyarakat.”

Dari hasil wawancara dari pengguna sepeda motor, pengguna angkutan umum serta pengguna Trans Mebidang maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi kebijakan program pelayanan angkutan umum massal di Provinsi

Sumatera Utara sudah teridentifikasi dan terlaksana dengan baik, sehingga harapannya akan dapat mengurangi kemacetan di Kota Medan, Kota Binjai dan

70

Kabupaten Deli Serdang khususnya, umumnya untuk wilayah Provinsi Sumatera

Utara.

Berbeda dengan pendapat Bapak Bambang pada hari Senin tanggal 20

November 2020 pukul 08:30 WIB di Halte Bus Trans Mebidang sebagai masyarakat yang merasakan pelayanan angkutan umum massal dengan rute dari

Kabupaten Deli Serdang – Kota Medan ia mengatakan:

“Dengan adanya program pelayanan angkutan umum massal tentu ini merupakan kabar baik, karena dengan adanya program pelayanan angkutan umum massal ini saya tidak perlu capek dan ambil resiko untuk berkendara sendiri, memang tidak begitu sulit, tapi kalau saat awal pelayanan angkutan umum massal kemarin minimnya masyarakat yang menggunakan Trans Mebidang dari Deli Serdang ke Medan. Saya ingin pemberitaan mengenai pelayanan angkutan umum massal ini sudah jauh - jauh hari dan jika bisa program ini diiklankan”.

Tujuan dari kebijakan ini adalah mendorong kesadaran masyarakat untuk menggunakan pelayanan angkutan umum massal, meringankan beban masyarakat

Provinsi Sumatera Utara khususnya Medan dalam menggunakan kendaraan pribadi.

Tujuan mengkomunikasikan kebijakan adalah untuk memberikan pengetahuan mengenai otorisasi pada proses dasar pemerintahan jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Intinya masyarakat harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah mendukung.

Kebijakan pelayanan angkutan umum massal sebagai strategi dan rekomendasi melalui jalan komunikasi untuk mengatasi masalah kemacetan di perkotaan yang sudah teridentifikasi, sehingga dapat mengurangi kemacetan di

Kota Medan.

71

Menurut Edward III dalam Widodo (2010:97), komunikasi kebijakan memiliki beberapa dimensi, antara lain dimensi transmisi (trasmission), kejelasan

(clarity) dan konsistensi (consistency).

1) Dimensi transmisi menghendaki agar kebijakan publik disampaikan tidak hanya disampaikan kepada pelaksana (implementors) kebijakan tetapi juga disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung. 2) Dimensi kejelasan (clarity) menghendaki agar kebijakan yang ditrasmisikan kepada pelaksana, target grup dan pihak lain yang berkepentingan secara jelas sehingga diantara mereka mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran, serta substansi dari kebijakan publik tersebut sehingga masing-masing akan mengetahui apa yang harus dipersiapkan serta dilaksanakan untuk mensukseskan kebijakan tersebut secara efektif dan efisien. 3) Dimensi konsistensi (consistency) diperlukan agar kebijakan yang diambil tidak simpang siur sehingga dapat membingungkan pelaksana kebijakan, target grup dan pihak-pihak yang berkepentingan.

Berdasarkan hasil wawancara dan pembahasan maka pada aspek komunikasi dimana pada indikator dimensi transmisi (trasmission) kebijakan program pelayanan angkutan umum massal telah disampaikan kepada kelompok sasaran kebijakan dan pihak lain yang berkepentingan baik secara langsung maupun tidak langsung.

Sedangkan pada indikator dimensi kejelasan (clarity) yaitu yang menghendaki agar kebijakan program pelayanan angkutan umum massal ini telah ditrasmisikan kepada pelaksana, target grup dan masyarakat sehingga diantara petugas dan masyarakat yang mengikuti program program pelayanan angkutan

72

umum massal mengetahui apa yang menjadi maksud, tujuan, sasaran, serta substansi dari kebijakan program pelayanan angkutan umum massal tersebut.

Pada dimensi konsistensi (consistency) telah dilaksanakan dimana masyarakat yang mengikuti program program pelayanan angkutan umum massal merasa tidak simpang siur sehingga dapat terlaksana dengan baik, hal tersebut selaras dengan data yang didapat oleh peneliti yang di tampilkan pada tabel komunikasi implementasi sebagai berikut.

Tabel. 4.2 Perangkat Media Komunikasi Pelaksanaan Trans Mebidang Media Komunikasi Penyampaian No 2017 2018 2019 2020 Pelaksanaan Trans Mebidang 1 Poster √ √ √ √ 2 Papan Pengumuman √ √ √ √ 3 Surat Kabar √ √ √ √ 4 Radio √ √ √ √ 5 Internet √ √ √ √ 6 Spanduk √ √ √ √ 7 Sosialisasi √ √ √ √ Sumber : Data Olahan Peneliti

Dari hasil wawancara dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi kebijakan program pelayanan angkutan umum massal di Provinsi

Sumatera Utara sudah teridentifikasi dan terlaksana dengan baik, sehingga harapannya akan dapat mengurangi kemacetan di Kota Medan, Kota Binjai dan

Kabupaten Deli Serdang khususnya, umumnya untuk wilayah Provinsi Sumatera

Utara.

4.6.2 Sumber Daya

Setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Sumber daya dimaksud yaitu pegawai DAMRI sebagai pelaksana kebijakan apakah sudah masuk kedalam

73

kriteria berkualitas atau sebaliknya. Disamping itu sumber daya lainnya juga memiliki peran penting yaitu sumber daya finansial ataupun biaya dan sarana pendukung lainnya. Dalam pelayanan sering kali masyarakat mengalami kesulitan, kurang mengerti dengan apa yang disampaikan oleh pegawai DAMRI selaku sumber daya organisasi.

Pelayanan publik yang diberikan di DAMRI Medan merupakan potret dari pelayanan umum suatu daerah. Bagi instansi pemerintahan, maka pemberian pelayanan pada dasarnya harus tercermin pada kepuasan masyarakat dalam mendapatkan pelayanan dari pemerintah mulai dari waktu pendataan, biaya pelayanan sampai prosedur pelayanan.

Oleh karena itu, dalam pemberian pelayanan kepada masyarakat faktor sarana dan prasarana, kualitas sumber daya manusia dan akuntabilitas petugas pelayanan merupakan hal penting untuk diperhatikan sebagai instrumen dalam pemberian pelayanan yang memuaskan. Kualitas pelayanan yang dilaksanakan oleh Perum DAMRI hanya akan didapatkan apabila memenuhi seluruh syarat- syarat yang dibutuhkan dalam memperlancar kegiatan pelayanan kepada masyarakat, seperti faktor sarana dan prasarana yang disediakan oleh pemerintah guna mendukung lancarnya proses pelayanan, kemudian kualitas sumber daya manusia dibutuhkan daya tangkap yang baik guna menerima respon dari masyarakat terhadap pelayanan yang telah diberikan serta tingginya tanggung jawab para pelaksana tugas pelayanan untuk memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.

Salah satu aspek yang paling penting dan banyak menarik perhatian adalah efektivitas kerja dari sektor-sektor pelayanan dalam memberikan

74

pelayanan kepada masyarakat, baik terhadap ketepatan waktu maupun pada kepastian biaya dalam kegiatan pelayanan tersebut. Meskipun banyak ide-ide yang dilontarkan oleh berbagai organisasi tentang ide-ide dan inovasi pelayanan yang memadai. Pemantauan (monitoring), menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya.

Ini membantu pengambil kebijakan pada tahap implementasi kebijakan.

Berbeda dengan Bapak Rafriandi pada hari Selasa tanggal 24 November

2020 pukul 12:00 WIB di Ruang Direktur Lembaga Pengkajian Pemukiman dan

Pengembangan Kota (LP3K) sebagai pengamat kebijakan beliau mengatakan:

“Sumber Daya Manusia dalam kebijakan pelayanan angkutan umum massal adalah hal mutlak, peningkatan Sumber Daya tersebut merupakan salah satu bentuk capaian program pelayanan baik untuk pemerintah pusat maupun daerah untuk selalu dilakukan sebagai respon atas naluri yang sangat manusiawi dari masyarakat, yaitu kalau bisa dilayani dengan baik maka hasilnya juga baik kenapa harus memberikan tekanan yang berlebihan jika masyarakat mendapatkan pelayanan prima. Dengan adanya kualitas SDM yang mumpuni dan selama kebijakan tersebut tidak merugikan masyarakat tentu tidak susah payah pemerintah meminta secara paksa. Realisasi program pelayanan angkutan umum massal telah dikomunikasikan secara baik, namun apabila implementor atau pelaksana masih terdapat kekurangan dari segi sumber daya, maka kebijakan tidak akan bisa terlaksana dengan efektif.

Instrumen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber–sumber yang berkenaan dalam pelaksanaan program, disertai adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada yang diharapkan, serta adanya fasilitas–fasilitas pendukung

75

yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana, sarana, dan prasarana.

Berdasarkan data hasil wawancara sebelumnya yang membahas mengenai sumberdaya yang dimiliki Perum DAMRI cabang Medan dalam pelaksanaan strategi menunjukkan bahwa sumber daya manusia yang dibutuhkan DAMRI telah terpenuhi dimana kegiatan pelayanan yang dilaksanakan di DAMRI sesuai dengan SOP (Standard Operating Procedures) yang berlaku, sehingga pelayanan angkutan umum massal tidak menetapkan ketentuan bagi para pegawainya agar memiliki latar belakang spesifikasi pendidikan ataupun keahlian yang sesuai untuk menangani bidang pelayanan perijinan.

Namun, yang menjadi pokok permasalahan adalah pelayanan angkutan umum massal khusus Perum DAMRI cabang Medan memiliki personil dengan jumlah yang terbatas untuk bekerja didalam tim teknis pada beberapa bidang ahli, sehingga pelayanan angkutan umum massal sangat kekurangan personil dibidang terkait untuk dapat memenuhi kebutuhan tim teknis.

Implementasi kebijakan sangat membutuhkan sumber daya manusia yang memiliki kompetensi dalam melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan agar pada akhirnya segala hal yang menjadi tujuan dan sasaran dapat tercapai secara maksimal. Dalam hal sumber daya manusia, hal yang menjadi sorotan utama adalah kualitas dan kuantitas implementor dalam mengimplementasikan suatu kebijakan. Dari segi kualitas, sumber daya manusia dinilai berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang dimiliki oleh implementor atau para pelaksana kebijakan. Sedangkan kuantitas menentukan sumber daya manusia berdasarkan pada jumlah implementor dalam pelaksanaan kebijakan. Sumber daya

76

implementor dalam segi kualitas sangat berkaitan erat dengan pendidikan dan pengalaman, dikarenakan kemampuan dan keterampilan pada dasarnya diperoleh melalui proses pendidikan yang ditempuh dan pengalaman yang pernah dialami sebelumnya.

Penilaian atau evaluasi SDM, secara umum dapat membantu kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 31 tahun 2014 pelaksanaannya karena faktor layanan yang mendukung, tentu akan bersinergi dengan profesionalnya petugas di ruang pelayanan dan di lapangan.

Edward III dalam Widodo (2010:98) mengemukakan bahwa faktor sumberdaya mempunyai peranan penting dalam implementasi kebijakan. Menurut

Edward III dalam Widodo (2010:98) bahwa sumber daya tersebut meliputi sumber daya manusia, sumber daya anggaran, dan sumber daya peralatan dan sumber daya kewenangan

1) Sumber daya Manusia Sumberdaya manusia merupakan salah satu variabel yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Edward III dalam Widodo (2010:98) menyatakan bahwa “probably the most essential resources in implementing policy is staff”. Edward III dalam Widodo (2010:98) menambahkan “no matter how clear and consistent implementation order are and no matter accurately they are transmitted, if personnel responsible for carrying out policies lack the resources to do an effective job, implementing will not effective” 2) Sumber daya Anggaran Edward III dalam Widodo (2010) menyatakan dalam kesimpulan studinya “budgetary limitation, and citizen opposition limit the acquisition of

77

adequate facilities. This is turn limit the quality of service that implementor can be provide to public”. Menurut Edward III, terbatasnya anggaran yang tersedia menyebabkan kualitas pelayanan yang seharusnya diberikan kepada masyarakat juga terbatas. Edward III dalam Widodo (2010:100) menyatakan bahwa “new towns studies suggest that the limited supply of federal incentives was a major contributor to the failure of the program”. Menurut Edward III, terbatasnya insentif yang diberikan kepada implementor merupakan penyebab utama gagalnya pelaksanaan program. Edward III dalam Widodo (2010) menyimpulkan bahwa terbatasnya sumber daya anggaran akan mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kebijakan. Disamping program tidak bisa dilaksanakan dengan optimal, keterbatasan anggaran menyebabkan disposisi para pelaku kebijakan rendah. 3) Sumber Daya Peralatan Edward III dalam Widodo (2010) menyatakan bahwa sumberdaya peralatan merupakan sarana yang digunakan untuk operasionalisasi implementasi suatu kebijakan yang meliputi gedung, tanah, dan sarana yang semuanya akan memudahkan dalam memberikan pelayanan dalam implementasi kebijakan. Edward III dalam Widodo (2010) menyatakan : Physical facilities may also be critical resources in implementation. An implementor may have sufficient staff, may understand what he supposed to do, may have authority to exercise his task, but without the necessary building, equipment, supplies and even green space implementation will not succeed. 4) Sumber daya Kewenangan Sumberdaya lain yang cukup penting dalam menentukan keberhasilan suatu implementasi kebijakan adalah kewenangan. Menurut Edward III dalam Widodo (2010) menyatakan bahwa: Kewenangan (authority) yang cukup untuk membuat keputusan sendiri yang dimiliki oleh suatu lembaga akan mempengaruhi lembaga itu dalam melaksanakan suatu kebijakan. Kewenangan ini menjadi penting ketika mereka dihadapkan suatu masalah dan mengharuskan untuk segera diselesaikan dengan suatu keputusan.

78

Oleh karena itu, Edward III dalam Widodo (2010), menyatakan bahwa pelaku utama kebijakan harus diberi wewenang yang cukup untuk membuat keputusan sendiri untuk melaksanakan kebijakan yang menjadi kewenangannya. Berdasarkan hasil wawancara dan pembahasan maka pada Aspek Sumber

Daya dimana pada indikator sumber daya manusia yang dibutuhkan pelayanan angkutan umum massal BRT telah terpenuhi dimana setiap kegiatan pelayanan yang dilaksanakan di BRT sesuai dengan SOP (Standard Operating Procedures) yang berlaku. Hal ini diperkuat lagi dari data peneliti yang diterima pada tabel dibawah ini.

Tabel 4.3 Data Sumber Daya Pengemudi Trans Mebidang NO C B PENGEMUDI KONDEKTUR JAM SPT 1 5589 HENDRO N DEDI STG 03:30 1 2 5590 MARISI SLB KAHIRUL 03:30 2 3 5591 KAMSON BONY 03:30 3 4 5592 DEDI JS 03:30 4 5 5593 TEDDI N DARWIN STG 03:30 5 6 5594 RICARDS ARDIMANS 03:30 6 7 5595 PERI IRAWAN 03:30 7 8 5596 AHMAD R 04:07 8 9 5597 REA S IWAN 04:07 9 10 5598 DAVID S CANDRA 04:07 10 11 5599 TASLIM G IRWA 04:07 11 12 5600 RYNOLDS REZA 04:07 12 13 5601 JUSLIN ARDI 04:07 13 14 5602 HENDRO P HENDRA S 04:07 14 15 5603 HENRY DODI 04:07 15 1 5604 EDY SURIADI INDRA 04.07 1 2 5605 GAMAL 04.07 2 3 5606 ERVIN TBN 04.07 3 4 5607 SAFRUDIN DILLA 04.07 4 5 5608 RAMOT M ASRUL 04.07 5 6 5609 RONAL S TOMAS 04.07 6 7 5610 HADISON P 04.07 7 8 5611 JENRIS SUDARUDIN 04.07 8 9 5612 HENGKI N DANIEL HSGN 04.07 9 10 5613 WAHYU AG DIAN S 04.07 10 11 5614 PM HUTASOID A SMJTK 04.07 11 12 5615 PALTI D DILLA 04.07 12 13 5616 AZMI NASTI FEBY 04.07 13 14 5617 M RISKI DENI 04.07 14 15 5618 ZAINUL MRT 04.07 15 Sumber : Data Olahan Peneliti

79

Sedangkan pada aspek sumber daya anggaran BRT telah disediakan dan telah terpenuhi sesuai pagu anggaran namun belum maksimal pada aspek sumber daya peralatan.

Dari hasil wawancara peneliti kepada Bapak Ir. Abdul Haris Lubis M.Si pada hari Senin tanggal 16 November pukul 10:00 WIB di Ruang Kepala Dinas

Perhubungan Sumatera Utara sebagai Kepala Dinas Perhubungan Sumatera Utara menyatakan:

“Kebijakan pelayanan angkutan umum massal itu telah disampaikan kepada masyarakat dan semua elemen yang terkait dengan terlaksananya sesuai dengan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 yang mana Petunjuk Teknis mengenai Peraturan Gubernur tersebut yang diimplementasikan oleh Pemerintahan Kota Medan, Kota Binjai dan Deli Serdang dimana Bagi Pemilik yang atas haknya menguasai kendaraan Bermotor maupun Nomor kendaraan yang berada dalam kepemilikan masyarakat Kota Medan, Kota Binjai dan Kabupaten Deli Serdang dapat dikatakan relevansi tergantung dari kesadaran bermasyarakat terkait mengurangi kemacetan maka oleh Gubernur Sumatera Utara dan menerima masukan atau opini dari masyarakat terkait pelayanan angkutan umum massal ini.” Oleh karena itu, dari hasil penelitian dengan analisis sumber daya pelayanan angkutan umum massal bertujuan untuk mengurangi kemacetan dan penggunaan kendaraan pribadi di Kota Medan, Binjai dan Deli Serdang. Dilihat dari realisasi pengguna kendaraan pribadi yang terdata dapat mengurangi kemacetan pada jam sibuk dan jam pulang kerja khususnya pada kebijakan ini disosialisasikan atau dikomunikasikan melalui media elektronik, radio, televisi lokal, dan surat kabar harian dan mingguan, meskipun begitu setelah dilakukan implementasi pelayanan angkutan umum massal ini masih banyak terdapat masyarakat yang enggan menggunakan pelayanan angkutan umum massal Bus

Rapit Transit atau Trans Mebidang. Namun dari hasil wawancara Bapak Ruslan

80

pada hari Rabu tanggal 18 November 2020 pukul 11:30 WIB di Ruang GM

DAMRI selaku GM DAMRI Cabang Medan, beliau mengatakan:

“Implementasi pelayanan angkutan umum massal adalah program pemerintah yang telah dilaksanakan dengan aturan yang menjadikan target sasaran utamanya adalah masyarakat perkotaan, namun masih banyak masyarakat yang tidak berkeinginan untuk menggunakan pelayanan angkutan umum massal”.

Dari hasil wawancara peneliti kepada Bapak Bambang pada hari Senin tanggal 20 November 2020 pukul 08:30 WIB di Halte Bus Trans Mebidang sebagai masyarakat yang merasakan pelayanan angkutan umum massal dengan rute dari Kabupaten Deli Serdang – Kota Medan ia mengatakan :

“Menurut saya yah sumber daya pada pelaksanaan Transmebidang sudah layak karena baik sumber daya manusia sudah sesuai dengan kebutuhan karena proses rekrutnya jelas, sedangkan anggaran ya pastilah.”

Hal yang sama disampaikan Bapak Adi pada hari Jumat tanggal 20

November 2020 pukul 16.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna

BRT, beliau mengatakan:

“menurut saya sudah jelas lah, apabila sumber daya tidak mendukung saya kira hari ini Transmebidang tidak dapat beroperasional.”

Hal yang sama disampaikan Ibu Inung pada hari jumat tanggal 20

November 2020 pukul 17.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna sepeda motor, beliau mengatakan:

“saya kira hari ini untuk sumber daya pelaksanaan angkutan massal ini sudah berjalan dengan baik hanya saja memang perlu untuk membuat jalan khusus yang tidak digabung dengan kendaraan lain seperti di Jakarta.”

Hal yang sama disampaikan Ibu Aliskha pada hari Jumat tanggal 20

November 2020 pukul 17.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna angkutan umum, beliau mengatakan:

81

“menurut pendapat saya hari ini untuk sumber daya pada pelaksanaan angkutan massal di SUMUT memang sudang mumpuni dan tidak ada persoalan .”

Pada aspek sumber daya kewenangan pelayanan angkutan umum massal yang dilaksanakan perusahaan Perum DAMRI Cabang Medan telah terpenuhi dimana setiap kegiatan standar pelayanan minimal sesuai dengan struktur organisasi serta SOP (Standard Operating Procedures) yang berlaku pada perusahaan DAMRI di Sumatera Utara.

Dari hasil wawancara dari pengguna sepeda motor, pengguna angkutan umum serta pengguna Trans Mebidang dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa aspek sumber daya pada Kebijakan Peraturan Gubernur Sumatera Utara

Nomor 31 Tahun 2014 tentang Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan

Di Kawasan Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang sudah teridentifikasi dan belum terlaksana dengan baik, sehingga belum dapat mengurangi kemacetan Kota

Medan dibidang program pelayanan angkutan umum massal.

4.6.3 Disposisi

Disposisi yaitu karakteristik yang menempel erat kepada implementor kebijakan atau karakter yang menempel pada pegawai yang melaksanakan BRT.

Bagaimana para pegawai dalam memberikan penjelasan masyarakat apakah mudah dimengerti atau justru sulit untuk dimengerti, selain itu bagaimana kepedulian pegawai BRT terhadap keluhan-keluhan masyarakat dalam menggunakan pelayanan angkatan umum massal.

Agar dapat terlaksananya program yang dimaksud dengan efektif dan efisien, maka suatu kebijakan harus dapat diimplementasikan dengan terjalinnya

82

hubungan yang saling mendukung antara pembuat kebijakan dengan pelaksana kebijakan (implementor). Disposisi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi proses implementasi kebijakan, Dimana disposisi ini menyangkut karakter/sifat yang dimiliki oleh para implementor yaitu dipandang dari segi komitmen dan kejujuran implementor saat mengimplementasikan suatu kebijakan.

Data yang diperoleh dari hasil penelitian pada program pelayanan angkutan umum massal di perusahaan Perum DAMRI Cabang Medan menunjukkan bahwa strategi-strategi dan perencanaan yang telah disusun untuk meningkatkan kualitas pelayanan program angkutan umum massal yang sesuai standar minimal pelayanan dapat diterima dengan baik oleh seluruh pegawai yang akan menjalankan implementasi tersebut. Pada proses implementasi berlangsung, tidak ada timbul respon penolakan maupun keluhan terhadap prosedur maupun penerapan strategi pelayanan yang telah ditetapkan sebagai nilai ataupun aturan yang diterapkan. Hal seperti ini dilihat dengan terealisasinya berbagai program dan kegiatan yang berhubungan erat dengan peningkatan kualitas program pelayanan angkutan umum massal khususnya BRT.

Pengertian disposisi menurut Edward III dalam Widodo (2010:104) dikatakan sebagai “kemauan, keinginan dan kecenderungan para perlaku kebijakan untuk melaksanakan kebijakan tadi secara sungguh sungguh sehingga apa yang menjadi tujuan kebijakan dapat diwujudkan”. Edward III dalam Widodo

(2010:104-105) mengatakan bahwa : jika implementasi kebijakan ingin berhasil secara efektif dan efisien, para pelaksana (implementors) tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan dan mempunyai kemampuan untuk melakukan

83

kebijakan tersebut, tetapi mereka juga harus mempunyai kamauan untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Dari hasil wawancara peneliti kepada Bapak Ir. Abdul Haris Lubis M.Si pada hari Senin tanggal 16 November 2020 pukul 09:30 WIB di Ruang Kepala

Dinas Perhubungan Sumatera Utara sebagai Kepala Dinas Perhubungan Sumatera

Utara menyatakan:

“Menurut saya, dimana disposisi ini menyangkut karakter/sifat yang dimiliki oleh para implementor karena anggota saya dalam mengatur jalur untuk BRT hari ini masih banyaknya angkutan kota (angkot) yang memakai jalur yang sama pada koridor BRT Mebidang, sehingga terjadi perebutan penumpang antara angkot dan bus”.

Namun dari hasil wawancara Bapak Ruslan pada hari Rabu tanggal 18 November 2020 pukul 11:30 WIB di Ruang GM DAMRI, beliau mengatakan:

“Untuk disposisi sudah terlaksana dengan baik tentang bagaimana pelayanan angkutan umum massal sudah dilaksanakan akan tetapi kami masih kekurangan pembantu pengemudi (kondektur).” Sedangkan menurut dari hasil wawancara Bapak Adi pada hari Jumat tanggal 20 November 2020 pukul 16.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna BRT, beliau mengatakan:

“Disposisi dalam pelaksanaan kebijakan ya jelas masih bermasalah dimana Masih banyaknya pengguna kendaraan pribadi (mobil dan motor) yang memenuhi ruas jalan, sehingga mengurangi ketertarikan penumpang untuk memilih Bus Mebidang. Dan juga saya kira kurangnya pelayanan dari pihak pengelola bus Trans Mebidang sehingga penumpang lebih memilih untuk naik angkot ataupun menggunakan kendaraan pribadi”.

Dari hasil wawancara peneliti kepada Bapak Bambang pada hari Senin tanggal 20 November 2020 pukul 08:30 WIB di Halte Bus Trans Mebidang sebagai masyarakat yang merasakan pelayanan angkutan umum massal dengan rute dari Kabupaten Deli Serdang – Kota Medan ia mengatakan :

“Menurut saya, disposisi kebijakan masih tetap bermasalah karena memang masyarakat SUMUT memang sulit untuk diarahkan untuk pindah pilihan ke Trans Mebidang.”

84

Hal yang sama disampaikan Bapak Adi pada hari Jumat tanggal 20

November 2020 pukul 16.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna

BRT, beliau mengatakan:

“untuk disposisi memang merubah itu sulit karena memang menggunakan sepeda motor lebih enak naik sepeda motor dari pada naik Transmebidang.” Hal yang sama disampaikan Ibu Inung pada hari Jumat tanggal 20

November 2020 pukul 17.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna sepeda motor, beliau mengatakan:

“Jelas kalau dihitung sebulan pulang pergi dengan Transmebidang lebih boros ketimbang naik sepeda motor maka disposisi dalam pelaksanaan tranportasi massal angkutan umum akan terhambat.” Hal yang sama disampaikan Ibu Aliskha pada hari Jumat tanggal 20

November 2020 pukul 17.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna

Angkutan Umum, beliau mengatakan:

“menurut saya, untuk disposisi belum terlaksana dengan baik dan saya kira memang pemerintah sudah menyampaikan ke masyarakat tetapi memang kami juga masih memerlukan angkutan umum yang memang tarifnya masih terjangkau dengan kemampuan kami sebagai masyarakat.”

Dari hasil wawancara dari pengguna sepeda motor, pengguna angkutan umum serta pengguna Trans Mebidang dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa aspek dsiposisi pada kebijakan program pelayanan angkutan umum massal di Perusahaan DAMRI belum teridentifikasi dan terlaksana dengan baik, dimana masih kurang eratnya hubungan yang terjalin antara Perusahaan DAMRI terkait

BRT dengan lembaga pemeritahan daerah terkait yang membantu tim teknis sehingga menyebabkan pelayanan angkutan umum massal yang diselenggarakan

Perusahaan DAMRI.

85

Hal tersebut diatas selaras dengan data yang didapat oleh peneliti yang di tampilkan pada tabel dsiposisi pada kebijakan program pelayanan angkutan umum massal di Perusahaan DAMRI pada Renca Operasi sebagai berikut.

Tabel. 4.4 Rencana Operasi Trans Mebidang Rencana Operasi Trans No 2017 2018 2019 2020 Mebidang 1 Aspek Sarana Cukup Cukup Kurang Kurang 2 Aspek Kehandalan Cukup Kurang Kurang Kurang 3 Aspek Operasional Cukup Kurang Kurang Kurang 4 Aspek Keamanan Cukup Cukup Kurang Kurang 5 Aspek Rasio Pengemudi Cukup Cukup Cukup Cukup Sumber : Data Olahan Peneliti

4.6.4 Struktur Birokrasi

Struktur birokrasi yang dimiliki oleh para pelaksana kebijakan

(implementor) memiliki andil dalam mempengaruhi kemudahan dalam proses implementasi kebijakan. Pada saat pelaksana kebijakan memiliki struktur birokrasi yang panjang dan rumit, maka akan mempersulit implementasi kebijakan. Sebaliknya, apabila pelaksana kebijakan memiliki struktur birokrasi yang pendek dan jelas, akan memotong jarak birokrasi dengan efektif dan efisien proses implementasi kebijakan. Struktur birokrasi menunjukkan kejelasan dalam standar prosedur pelaksanaan (Standard Operating Procedures) yang digunakan pada saat proses implementasi berlangsung.

Perusahaan Perum DAMRI memiliki struktur organisasi dengan rentang yang cukup panjang. Didalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya sebagai penyelenggara pelayanan angkutan umum massal bagi masyarakat di Sumatera

Utara, Perusahaan Perum DAMRI berupaya untuk memberikan pelayanan yang

86

terbaik kepada masyarakat dengan menjalankan berbagai strategi guna meningkatkan kualitas dalam pelayanan angkutan umum massal.

Struktur organisasi DAMRI yang relatif pendek turut mendukung proses implementasi strategi yang dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan, dengan struktur organisasi yang pendek pelaksanaan strategi akan lebih mudah dikoordinir dan diawasi baik oleh General Manager maupun oleh Kepala Seksi.

Namun permasalahan dari pembahasan mengenai struktur birokrasi dalam penelitian ini adalah lemahnya pengawasan yang dilakukan Perusahaan DAMRI terhadap kinerja pelaksana di lapangan terkait yang bekerja sebagai anggota tim teknis atau pengemudi BRT Trans Mebidang itu sendiri.

Dari hasil observasi menyatakan bahwa setiap bidang pelayananan Trans

Mebidang yang ada di Perusahaan Perum DAMRI Cabang Medan memiliki tim teknis masing-masing yang anggotanya merupakan gabungan dari tim pelayanan angkutan umum massal. Dimana yang menjadi masalah bagi perusahaan DAMRI terkait hal tersebut adalah koordinasi dan pengawasan yang masih kurang. Pada saat anggota tim teknis dari BRT Trans Mebidang akan melakukan tugas pelayanan.

Intensifitas peninjauan yang luput menyebabkan munculnya beberapa permasalahan ini. Selain itu apabila, dilihat secara struktur organisasi, Perusahaan

Perum DAMRI menunjukkan struktur organisasi yang pendek. Tetapi, apabila dilihat secara mekanisme kerja, Perusahaan DAMRI harus melewati beberapa bagian. Sangat diperlukan mengenai pemantauan kinerja hanya dilakukan oleh

Kepala-kepala bidang yang mana tidak selalu intens dilakukan. Perusahaan Perum

DAMRI dalam pelayanan angkutan umum massal melaksanakan tugasnya sebagai

87

penyelenggara pelayanan dengan berpedoman pada SOP (Standard Operating

Procedures) yang berlaku. Begitu pun dalam hal mengimplementasikan strategi,

SOP inilah yang dijadikan sebagai dasar utama bagi setiap implementor di BRT

Trans Mebidang untuk bertindak. Suatu strategi tidak akan bisa diimplementasikan secara efektif apabila semua pelaksana kebijakan tidak dapat bekerjasama dengan baik.

Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005:149-160) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di

Amerika Serikat, yaitu:

1) Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan- keperluan publik (public affair). 2) Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya. 3) Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda. 4) Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas. 5) Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu jarang ditemukan birokrasi yang mati. 6) Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.

Meskipun sumber-sumber untuk mengimplementasikan suatu kebijakan cukup dan para pelaksana (implementors) mengetahui apa dan bagaimana cara melakukannya, serta mempunyai keinginan untuk melakukannya, namun Edward

III dalam Widodo (2010:106) menyatakan bahwa implementasi kebijakan bisa jadi masih belum efektif karena ketidak efisienan struktur birokrasi. Struktur birokasi ini menurut Edward III dalam Widodo (2010:106) mencangkup aspek- aspek seperti struktur birokrasi, pembagian kewenangan, hubungan antara unit-

88

unit organnisasi dan sebagainya. Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni: Standard Operational

Procedure (SOP) dan fragmentasi”. Menurut Winarno (2005:150) bahwa

Standard operational procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas.

Dari hasil wawancara peneliti kepada Bapak Bambang pada hari Senin tanggal 20 November 2020 pukul 08:30 WIB di Halte Bus Trans Mebidang sebagai masyarakat yang merasakan pelayanan angkutan umum massal dengan rute dari Kabupaten Deli Serdang – Kota Medan ia mengatakan :

“Menurut saya yah karena para pelaksana kebijakan angkutan umum massal ini sudah berjalan dan penerapannya dilaksnanakan sehingga hari ini Transmebidang berjalan sangat baik.” Hal yang sama disampaikan Bapak Adi pada hari Jumat tanggal 20

November 2020 pukul 16.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna

BRT, beliau mengatakan:

“Ya pasti terlaksana lah tetapi memang kalau perlu tetap ada pengawasan agar dapat memperbaiki kinerja kedepannya.”

Hal yang sama disampaikan Ibu Inung pada hari Jumat tanggal 20

November 2020 pukul 17.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna sepeda motor, beliau mengatakan:

“Menurut saya, memang pelaksana kebijakan angkutan umum massal ini sudah berjalan dengan baik hanya saja untuk meningkatkan pelayanan memang perlu adanya evaluasi dan monitoring.”

Hal yang sama disampaikan Ibu Aliskha pada hari Jumat tanggal 20

November 2020 pukul 17.00 WIB di Halte Bus Trans Mebidang selaku pengguna angkutan umum, beliau mengatakan:

89

“Pokoknya sudah keren abislah para pelaksana kebijakan ini.”

Dari hasil wawancara dari pengguna sepeda motor, pengguna angkutan umum serta pengguna Trans Mebidang dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa aspek struktur birokasi pada kebijakan program pelayanan angkutan umum massal di Sumatera Utara teridentifikasi dan terlaksana dengan baik, namun permasalahan dari pembahasan mengenai struktur birokrasi dalam penelitian ini adalah lemahnya pengawasan yang dilakukan perusahaan Perum DAMRI terhadap kinerja aparatur pelaksana di lapangan terkait yang bekerja sebagai anggota tim teknis atau pengemudi BRT Trans Mebidang sehingga mengakibatkan keluhan dalam pelaksanaan standar pelayanan minimal.

4.6.5 Faktor-faktor Penghambat terhadap Pelayanan Angkutan Umum Massal BRT Trans Mebidang di Sumatera Utara Karena tidak dilaksanakan atau dilaksanakan tidak sebagaimana mestinya

(Non implementation). Non implementation mengandung arti bahwa suatu kebijakan tidak dilaksanakan sesuai dengan rencana, kemungkinan disebabkan pihak-pihak yang terlibat dalam pelaksanaannya tidak mau bekerjasama, atau mereka telah bekerja dengan tidak efisien, bekerja setengah hati, mereka tidak sepenuhnya menguasai permasalahan, atau kemungkinan permasalahan yang digarap diluar jangkauan kekuasaannya, sehingga betapapun gigih usaha mereka, hambatan-hambatan yang ada tidak sanggup mereka tanggulangi. Akibatnya, implementasi yang efektif sulit untuk dicapai.

Karena tidak berhasil atau mengalami kegagalan dalam proses pelaksanaan (unsuccessful implementation). Sementara itu, unsuccessful implementation biasanya terjadi ketika suatu kebijakan tertentu telah dilaksanakan

90

sesuai dengan rencana, namun mengingat kondisi eksternal ternyata tidak mengunntungkan (misalnya tiba-tiba terjadi pergantian kekuasaan, bencana alam, dan sebagainya), kebijakan tersebut tidak berhasil dalam mewujudkan dampak atau hasil akhir yang dikehendaki. Biasanya kebijakan yang mempunyai resiko untuk gagal tersebut disebabkan oleh pelaksanaannya jelek (bad execution) kebijakan itu sendiri yang jelek (bad policy), atau kebijakan tersebut memang bernasib jelek (bad luck).

Maka dari hasil penelitian Faktor-faktor Penghambat terhadap Pelayanan

Angkutan Umum Massal BRT Trans Mebidang di Sumatera Utara antara lain :

1. Disposisi

Disposisi yaitu karakteristik yang menempel erat kepada implementor

kebijakan atau karakter yang menempel pada pegawai yang melaksanakan

BRT. Bagaimana para pegawai dalam memberikan penjelasan masyarakat

apakah mudah dimengerti atau justru sulit untuk dimengerti, selain itu

bagaimana kepedulian pegawai BRT terhadap keluhan-keluhan

masyarakat dalam menggunakan pelayanan angkatan umum massal.

Sesuai dengan penelitian dilapangan antara lain sebagai berikut :

a) Kurang dan harus meningkatkan subsidi dana sangatlah diperlukan. Mengingat BRT sendiri adalah solusi untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di Kota Medan, Untuk meningkatkan load faktor kendaraan, pemerintah harus mengambil kebijakan strategis, yakni; pengurangan jumlah angkutan kota yang beroperasi pada koridor yang dilayani oleh Bus Trans Mebidang, mengalihkan angkutan kota tersebut pada jalur lain yang berfungsi sebagai feeder yang belum terakses, dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi dan terkait tentang berapakah jumlah subsidi yang diperlukan untuk membantu keberlangsungan operasional BRT, maka perlu ada penelitian lebih

91

lanjut yang lebih spesifik dengan nilai subsidi yang diberikan. Serta untuk memaksimalkan pelayanan terhadap masyarakat Pemerintah Kota Medan harus menyediakan jalur khusus BRT agar terhindar dari kemacetan dan memperhatikan prasarana pendukung lainnya. b) Pemahaman masyarakat dalam mengurangi kemacetan di perkotaan, karena semakin tinggi pemahaman masyarakat untuk menggunakan angkutan umum massal di Sumatera Utara khususnya BRT Trans Mebidang akan mempengaruhi keinginan masyarakat untuk mengurangi kemacetan. Sebagian besar persepsi masyarakat Sumatera Utara berdasar penelitian yang ada, pada umumnya sudah ada yang sudah paham meskipun ada yang tidak ingin tahu apa timbal balik yang diberikan pemerintah dari dalam menggunakan angkutan umum massal di Sumatera Utara. Pandangan masyarakat mengenai pentingnya menggunakan angkutan umum massal di Sumatera Utara sudah baik. Sehingga dapat disimpulkan bahwa aspek disposisi pada kebijakan program pelayanan angkutan umum massal di Perusahaan Perum DAMRI sudah teridentifikasi dan belum terlaksana dengan baik, dimana masih kurang eratnya hubungan yang terjalin antara Perusahaan DAMRI terkait BRT dengan lembaga pemeritahan daerah terkait yang membantu tim teknis sehingga menyebabkan pelayanan angkutan umum massal yang diselenggarakan perusahaan DAMRI.

4.6.6 Faktor-faktor Pendukung terhadap Pelayanan Angkutan Umum

Massal BRT Trans Mebidang di Sumatera Utara

Implementasi kebijakan bukanlah proses yang sederhana, tetapi sangat kompleks dan rumit serta merupakan proses yang berlangsung dinamis, yang hasil akhirnya tidak bisa diperkirakan hanya dari ketersediaan kelengkapan program.

Tugas implementasi kebijakan sudah selayaknya diperhitungkan. Maka dari itu

92

manakah dari 4 faktor dari Teori Implementasi Edward III yang menjadi faktor pendukung dari Implementasi Kebijakan Peraturan Gubernur Tahun 2014 Tentang

Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan

Deli Serdang antara lain adalah :

1. Komunikasi Implementasi Program pelayanan angkutan umum massal yang dilaksanakan oleh Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara melalui Perum DAMRI Cabang Medan yang dilandaskan oleh kebijakan pemerintah daerah yang termuat dalam Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 adalah sebuah kebijakan pemerintah dalam pelayanan angkutan umum massal berbasis jalan di wilayah perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang. Implementasi program pelayanan angkutan umum massal ini berawal sejak tahun 2014 pada masa jabatan Gubernur Sumatera Utara Gotot Pujo Nugroho yang berlanjut hingga pada saat ini. Kebijakan ini dijadikan rujukan oleh pemerintah Kota Medan yang dengan adanya program pelayanan angkutan umum massal ini dapat menambah data tahunan pengguna angkutan umum massal yang berada di Kota Medan, dengan program ini diharapkan dapat mengurangi kemacetan di Kota Medan. Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 Tentang program pelayanan angkutan umum massal ini dan seterusnya di Provinsi Sumatera Utara. Dari hasil wawancara dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi kebijakan program pelayanan angkutan umum massal di Provinsi Sumatera Utara sudah teridentifikasi dan terlaksana dengan baik, sehingga harapannya akan dapat mengurangi kemacetan di Provinsi Sumatera Utara dan menjadi faktor pendukung akan implementasi Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 Tentang program pelayanan angkutan umum massal.

2. Sumber Daya Setiap kebijakan harus didukung oleh sumber daya yang memadai, baik sumber daya manusia maupun sumber daya finansial. Sumber daya dimaksud yaitu pegawai DAMRI sebagai pelaksana kebijakan apakah sudah

93

masuk kedalam kriteria berkualitas atau sebaliknya. Disamping itu sumber daya lainnya juga memiliki peran penting yaitu sumber daya finansial ataupun biaya dan sarana pendukung lainnya. Dalam pelayanan masyarakat oleh pegawai DAMRI selaku sumber daya organisasi telah diterima dengan baik oleh masyarakat pengguna jasa angkutan umum massal. Dari hasil wawancara dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa aspek sumber daya pada Kebijakan Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 31 Tahun 2014 tentang Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Kawasan Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang sudah teridentifikasi dan terlaksana dengan baik, sehingga menjadi faktor pendukung akan implementasi Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 Tentang program pelayanan angkutan umum massal.

3. Struktur Birokrasi Struktur birokrasi yang dimiliki oleh para pelaksana kebijakan (implementor) memiliki andil dalam mempengaruhi kemudahan dalam proses implementasi kebijakan. Pada saat pelaksana kebijakan memiliki struktur birokrasi yang panjang dan rumit, maka akan mempersulit implementasi kebijakan. Sebaliknya, apabila pelaksana kebijakan memiliki struktur birokrasi yang pendek dan jelas, akan memotong jarak birokrasi dengan efektif dan efisien proses implementasi kebijakan. Struktur Birokrasi menunjukkan kejelasan dalam standar prosedur pelaksanaan (Standard Operating Procedures) yang digunakan pada saat proses implementasi berlangsung. Dari hasil wawancara dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa aspek struktur birokasi pada kebijakan program pelayanan angkutan umum massal di Sumatera Utara teridentifikasi dan terlaksana dengan baik, namun permasalahan dari pembahasan mengenai struktur birokrasi dalam penelitian ini adalah lemahnya pengawasan yang dilakukan perusahaan Perum DAMRI Cabang Medan terhadap kinerja aparatur pelaksana di lapangan terkait yang bekerja sebagai anggota tim teknis atau pengemudi BRT Trans Mebidang sehingga mengakibatkan keluhan dalam pelaksanaan standar pelayanan minimal.

94

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Kebijakan Gubernur Sumatera Utara Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun

2014 Tentang program pelayanan angkutan umum massal di Provinsi Sumatera

Utara Berdasarkan hasil penelitian dan sesuai dengan fokus yang ditetapkan, maka peneliti dapat mengambil beberapa kesimpulan, antara lain:

1. Berdasarkan fokus penelitian yang ditetapkan, maka peneliti dapat

menyimpulkan bahwa implementasi Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun

2014 Tentang program pelayanan angkutan umum massal yang dilakukan

BRT Trans Mebidang adalah sebagai berikut :

a. Komunikasi untuk mengatasi masalah tentang program pelayanan angkutan umum massal yang sudah teridentifikasi dan terlaksana dengan baik dengan terpenuhinya dimensi transmisi (trasmission), kejelasan (clarity) sedangkan pada konsistensi (consistency) tidak terlaksana dengan baik contohnya seperti interval waktu headway antara dua sarana angkutan untuk melewati suatu halte dengan selang waktu/headway 15-20 menit belum tercapai, sehingga mengakibatkan calon penumpang beralih menggunakan jenis moda transportasi lain dan juga belum mampu meningkatkan program angkutan umum massal yang berdampak mengurangai kemacetan. b. Sumber daya dalam implementasi Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Program Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Kawasan Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang sudah teridentifikasi dan belum terlaksana dengan baik, contohnya : masih kuranya tenaga pembantu pengemudi (kondektur).

94

95

c. Disposisi dalam implementasi Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Program Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Kawasan Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang, belum optimal dimana belum teridentifikasi dan terlaksana dengan baik, dimana masih kurang eratnya hubungan yang terjalin antara Perusahaan Perum DAMRI Cabang Medan terkait BRT dengan lembaga pemeritahan daerah terkait yang membantu tim teknis sehingga menyebabkan pelayanan angkutan umum massal yang diselenggarakan perusahaan DAMRI. d. Struktur Organisasi dalam implementasi Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Program Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Kawasan Perkotaan Medan, Binjai dan Deli Serdang yang sudah teridentifikasi masih memiliki kendala dimana pada kebijakan program pelayanan angkutan umum massal di Sumatera Utara teridentifikasi dan terlaksana dengan baik, namun permasalahan dari pembahasan mengenai struktur birokrasi dalam penelitian ini adalah lemahnya pengawasan yang dilakukan perusahaan DAMRI terhadap kinerja aparatur pelaksana di lapangan terkait yang bekerja sebagai anggota tim teknis atau pengemudi BRT Trans Mebidang sehingga mengakibatkan keluhan dalam pelaksanaan standar pelayanan minimal.

2. Adapun faktor penghambat dan faktor pendukung dalam pelaksanaan

Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Program Pelayanan

Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Kawasan Perkotaan Medan,

Binjai dan Deli Serdang, yaitu:

a. Faktor penghambat dalam pelaksanaan Peraturan Gubernur Nomor 31

Tahun 2014 yaitu faktor disposisi, yang dalam Implementasi Peraturan

Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 Tentang Program Pelayanan

Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Kawasan Perkotaan

96

Medan, Binjai dan Deli Serdang dimana tidak terlaksana dengan baik,

dan tidak terjadi hubungan yang terjalin antara Perusahaan DAMRI

terkait BRT dengan lembaga pemeritahan daerah terkait yang

membantu tim teknis sehingga menyebabkan pelayanan angkutan

umum massal yang diselenggarakan perusahaan DAMRI tidak optimal

yang mana dapat dilihat dari :

1. penetapan dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi untuk membantu keberlangsungan operasional BRT, 2. Lemahnya pengawasan dari perum DAMRI cabang Medan untuk menjalankan SOP. 3. Pandangan masyarakat mengenai pentingnya menggunakan angkutan umum massal, pada umumnya sudah memahami, meskipun ada yang tidak ingin tahu apa timbal balik yang diberikan pemerintah dalam menggunakan angkutan umum massal di Sumatera Utara. b. Faktor pendukung dalam pelaksanaan Peraturan Gubernur Nomor 31 Tahun 2014 yaitu faktor komunikasi, faktor sumber daya dan faktor struktur organisasi dimana ketiga faktor tersebut telah berjalan dengan baik sehingga dapat mempengaruhi minat masyarakat dalam menggunakan angkutan umum massal di Sumatera Utara. Berikut faktor pendukungnya : 1. Merubah trayek angkutan kota menjadi angkutan feeder (pengumpan) terhadap angkutan BRT untuk mendukung kinerja dan pelayanan BRT. 2. Mengingat BRT sendiri adalah solusi untuk mengurangi kemacetan lalu lintas di kota Medan, maka kinerja dan pelayanan perum DAMRI harus konsisten sesuai dengan SOP yang telah ditetapkan melalui peraturan Gubernur nomor 31 Tahun 2014.

97

3. Melanjutkan rencana pengembangan tujuh koridor lainnya yang nantinya keseluruhan koridor ini akan membentuk jaringan pelayanan angkutan massal yang dapat mengurangi kemacetan

5.2 Saran Untuk dapat meningkatkan minat masyarakat dalam menggunakan angkutan umum massal seharusnya dapat melaksanakan antara lain sebagai berikut: 1. Untuk meningkatkan load factor kendaraan, pemerintah harus mengambil kebijakan strategis, yakni; pengurangan jumlah angkot yang beroperasi di koridor yang dilayani Bus Trans Mebidang, mengalihkan angkutan kota menjadi feeder, penetapan untuk kepastian waktu pelayanan, dan membatasi penggunaan kendaraan pribadi. 2. Menambah jumlah armada bus BRT trans mebidang agar tercapainya headway / waktu tunggu rata-rata paling lama 15-20 menit. 3. Untuk memaksimalkan pelayanan terhadap masyarakat Pemerintah Kota Medan harus menyediakan jalur khusus BRT agar terhindar dari kemacetan dan memperhatikan prasarana pendukung lainnya.

98

DAFTAR PUSTAKA

Agussani. 2020. Implementation Analysis of Trans Mebidang Program in Transportation Mode Services, North Sumatera (Comperative Study of Medan City). BIRCI Jurnal Vol III. BIRCU Publisher. Budapest.

Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. New York : Holt, Rinehart and Winston.

Arthur O Sullivan, 2007, “Urban Economics”, 7st edition, New York, McGraw Hill

Bintarto, R 1983, Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya, Ghalia Indonesia Yogyakarta.

Bungin,Burhan.2007. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik dan Ilmu Sosial lainnya.Jakarta:Putra Grafika

Brannen, Julia, diterjemahkan oleh Nuktah Arfawie Kurde dkk, 2002, Memadu Metode Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif, Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Samarinda bekerjasama dengan Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Cheema, 1993. Urban Land Use Planning, Univercity Of Illinois Press, Urbana Illinois.

Daljoeni, 1997. Geografi Baru : Organisasi Keruangan Dalam Teori dan Praktek. Bandung : Alumni.

Darwin, Muhadjir.2000. Implementasi Kebijakan.Modul Pelatihan Teknik danManajemen Kebijakan Publik. UGM, Yogyakarta.

Dunn, William N., diterjemahkan oleh Samodra Wibawa dkk, 1998, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta

Dye, Thomas R. 2012, Understanding Public Policy: International Edition, Pearson Education, Limited.

Edward III, George C. 1980. Implementing Public Policy. Washington DC : Congressional Quarterly Press.

Efendi,Sofyan, 2009, Negara minus nurani: esai-esai kritis kebijakan public, Jakarta, PT Kompas Media Nusantara.

Grindle, Merilee S., (ed), 1980, Politics and Apolicy Implementation in the Third World, new jersey: Princetown University Press.

98

99

Glasson,et all. 1995. Denatured Visions Landscape and Culture in The Twentieth Century. New York : Harry and Abraham.

Harianto, dkk. 2007. Konsep pengembangan Wilayah Dan Penataan Ruang Indonesia Di Era Otonomi Daerah. UNESS Press. Semarang.

Hendarto, Mulyo. 2005. Interaksi Desa Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Keban, T. Yeremias. 2004. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik, Konsep,Teori dan Isu. Gava Media. Yogyakarta.

Kurniawan, Irvan Adi. 2019. Implementasi Kebijakan Transportasi Publik Bus Transjakarta (Busway) Dalam Rangka Mengurangi Kemacetan. Jurnal Ilmu Administrasi Vol 9. Universitas Islam Syeikh Yusuf. Jakarta.

Masli, Lili. 2009. Pembangunan Kota Dalam Rangka Penataan Ruang, Bandung : Tata Lokal.

Mulyanto, H. R. 2008. Prinsip-prinsip pengembangan wilayah. GrahaIlmu. Yogyakarta.

Nugroho, Riant. 2014. Public Policy. Jakarta: PT. Gramedia.

Solichin,Abdul Wahab, 1997. Analisis kebijaksanaan, dari Formulasi Ke implementasi kebijaksanaan Negara, Jakarata: Edisi Kedua, Bumi Aksara.

Sukarto, Haryono. 2006. Transportasi Perkotaan dan Lingkungan. Jurusan Teknik Sipil-Universitas Pelita Harapan. .

Sumaryadi. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: CV Citra Utama.

Silalahi, Ulber.2009. Metode Penelitian Sosial. Bandung : PT. Refika Aditama.

Warpani, S. 2002. Pengelolaan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Penerbit ITB. Bandung.

Zahnd, Markus. 1999. Perancangan Kota Secara Terpadu. Penerbit Kanisius: Yogyakarta.

100

Sumber Perundang-undangan

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan.

Peraturan Gubernur Sumatera Utara Nomor 31 tahun 2014 tentang Pelayanan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai dan Deli serdang.

LAMPIRAN

PEDOMAN WAWANCARA I

STRUKTUR BIROKRASI

1. Bagaimana struktur organisasi di Trans Mebidang? 2. Bagaimana dengan pembagian kewenangan dan tanggung jawab antar bagian? 3. SOP Trans Mebidang dalam melayani penumpang? 4. Bagaimana hasil adanya pengaturan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 5. Bagaimana cara pengambilan keputusan terkait Aturan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang?

KOMUNIKASI

1. Bagaimana cara Trans Mebidang dan Dinas Perhubungan Provinsi Sumatera Utara dalam melakukan kegiatan sosialisasi kebijakan kepada masyarakat? Siapa saja yang terlibat proses sosialisasi? 2. Apakah terdapat hambatan dalam proses sosialisasi? 3. Bagaimana cara mengatasi hambatan tersebut? 4. Bagaimana komunikasi dengan pihak-pihak intern dalam Kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 5. Bagaimana komunikasi dengan pihak-pihak ekstern dalam pengelolaan air limbah domestik?

SUMBER DAYA

1. Berapa jumlah SDM/pegawai di Trasn Mebidang, terkait dengan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? Apakah mencukupi? 2. Bagaimana kemampuan implementor dalam pelaksanaan kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 3. Apakah terdapat pelatihan-pelatihan peningkatan kualitas SDM? 4. Bagaimana dengan sarana sebagai penunjang kegiatan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 5. Darimana sumber anggaran pelaksanaan kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang?

LAMPIRAN

6. Bagaimana pemanfaatan sumber dana finansial tersebut dalam pelaksanaan kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 7. Apakah anggaran tersebut sudah mencukupi kebutuhan dalam pelaksanaan kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang?

DISPOSISI / SIKAP PELAKSANA

1. Bagaimana sikap pelaksana kebijakan terhadap implementasi perda Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang ini? 2. Apakah pemerintah daerah mendukung penuh dengan adanya kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 3. Bagaimana komitmen pelaksana dalam mengimplementasikan kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 4. Bagaimana pengawasan dan pengendalian kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 5. Apakah terdapat hambatan yang ditemukan dalam implementasi Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang tersebut?

LAMPIRAN

PEDOMAN WAWANCARA II

STRUKTUR BIROKRASI

1. Bagaimana struktur pengurus dan pembagian tugas serta wewenang di Trans Mebidang? 2. Apakah pemerintah terkait memberikan pengawasan terhadap perkembangan Trans Mebidang?

KOMUNIKASI

1. Kapan Trans Mebidang di wilayah ini mulai Beroperasi? 2. Apakah ada sosialisasi yang diberikan terkait BRT Trans Mebidang? 3. Bagaimana komunikasi antara masyarakat dengan pihak pemerintah?

SUMBER DAYA

1. Apakah terdapat pelatihan-pelatihan terkait Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 2. Bagaimana dengan sarana prasarana terkait kegiatan BRT Trans Mebidang dalam Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang? 3. Darimana sumber dana pembangunan BRT Trans Mebidang ini?

DISPOSISI / SIKAP PELAKSANA

1. Apakah anda mendukung adanya kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang ini Khususnya BRT Trans Mebidang ini? 2. Bagaimana tanggapan masyarakat terhadap adanya kebijakan Angkutan Umum Massal Berbasis Jalan Di Wilayah Perkotaan Medan, Binjai Dan Deli Serdang Khususnya BRT Trans Mebidang ini?

LAMPIRAN

Dokumentasi

Wawancara GM Perum Damri cabang medan a.n Ruslanhari Jumat tanggal 20-11-2020 pukul : 11.30 WIB

Wawancara bersama Kasubbag. Kepegawaian Perum DAMRI Cabang Medan

LAMPIRAN

Wawancara dengan Bapak Doni SE ini menjabat Kasi Operasional Bus Perum Damri Cabang Medan hari Jumat, 20-11-2020 pukul 10.15 WIB.

Wawancara bersama pengguna jasa bus BRT Mebidang Senin, 16 -11-2020 Pukul 08..15 WIB. Di Halte Jl Gatot Subroto depan Tomanag Elok

LAMPIRAN

Wawancara bersama para pengguna jasa bus BRT Mebidang Senin, 16 -11- 2020 Pukul 09.45 WIB. Di Jalan Bintang

LAMPIRAN

Wawancara bersama Kepala Dinas Perhubungan Provsu, Bapak Ir. Abdul Haris Lubis, M.Si Kamis, 19 -11-2020 Pukul 09.45 WIB.

LAMPIRAN

Wawancara bersama Masyarakat Trasportasi Indonesia (MTI) Wilayah Sumut, Rabu, 18 -11-2020 Pukul 12.45 WIB.

Wawancara bersama Masyarakat Pengguna angkutan trasportasi Online, Pada hari senin, 23-11-2020