RINGKASAN HASIL-HASIL KAJIAN BUDAYA DAN SEJARAH BANJAR Undang-Undang Republik Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta Lingkup Hak Cipta Pasal 1: 1. Hak Cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 9:

1. Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk melakukan: a. penerbitan Ciptaan; b. Penggandaan Ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan Ciptaan; d. pengadaptasian, pengaransemenan, atau pentransformasian Ciptaan; e. Pendistribusian Ciptaan atau salinannya; f. Pertunjukan Ciptaan; g. Pengumuman Ciptaan; h. Komunikasi Ciptaan; dan i. penyewaan Ciptaan.

Ketentuan Pidana Pasal 113: 1. Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 100.000.000 (seratus juta rupiah). 2. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500. 000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 3. Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (l) huruf a, huruf b, huruf e, dan/ atau huruf g untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 4. Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4. 000.000.000,00 (empat miliar rupiah). Pasal 114 Setiap Orang yang mengelola tempat perdagangan dalam segala bentuknya yang dengan sengaja dan mengetahui membiarkan penjualan dan/atau penggandaan barang hasil pelanggaran Hak Cipta dan/atau Hak Terkait di tempat perdagangan yang dikelolanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Prof. Dr. H. Jumadi, M.Pd Prof. Drs. H. Rustam Effendi, M.Pd, Ph.D Drs. M. Zaenal Arifin Anis, M.Hum Mansyur, S.Pd, M.Hum Drs. H. Ary Achdiyani, MAP

RINGKASAN HASIL-HASIL KAJIAN BUDAYA DAN SEJARAH BANJAR

www.penerbitombak.com 2016 RINGKASAN HASIL-HASIL KAJIAN BUDAYA DAN SEJARAH BANJAR Copyright©Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Banjar Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Lambung Mangkurat, 2016

Diterbitkan oleh Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Banjar Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Lambung Mangkurat bekerja sama dengan Penerbit Ombak (Anggota IKAPI), 2016 Perumahan Nogotirto III, Jl. Progo B-15, Yogyakarta 55599 Tlp. 085105019945; Fax. (0274) 620606 e-mail: [email protected] facebook: Penerbit OmbakTiga www.penerbitombak.com

PO. 719.11.’16

Penulis: Prof. Dr. H. Jumadi, M. Pd., Prof. Dr. H. Rustam Effendi, M.Pd., Ph.D., Drs. M. Zaenal Arifin Anis, M.Hum., Mansyur, S.Pd., M.Hum., dan Drs. H. Ari Achdiyani, MAP Tata letak: Ridwan Sampul: Dian Qamajaya Foto Sampul: Rizal Mukhlisin

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) RINGKASAN HASIL-HASIL KAJIAN BUDAYA DAN SEJARAH BANJAR Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016 xii + 212 hlm.; 16 x 24 cm ISBN: 978-602-258-411-7 KATA PENGANTAR

Tak Kenal Maka Tak Sayang. Ungkapan lama ini tampaknya relevan dikutip di sini mengingat banyak pengalaman unik terkait dengan Banjar. Ketika bertemu dengan kawan-kawan dari daerah di luar Kalimantan, kadang-kadang ada saja dari mereka yang tidak tahu persis dari daerah mana Suku Banjar itu. Seharusnya kita tersinggung, tetapi apa gunanya, lebih baik mencari tahu mengapa di abad informasi ini fakta tersebut bisa terjadi. Fakta ini menyadarkan kita betapa pentingnya memperbanyak kajian Banjar dan mempublikasikannya. Dengan banyaknya khazanah hasil kajian Banjar yang menghiasi toko buku, rak-rak perpustakaan, atau dunia maya dengan e-book, niscaya hal-hal yang terkait dengan ke-Banjaran bisa tersebar luas. Hingga saat ini memang sudah banyak kajian terhadap budaya dan sejarah Banjar. Akan tetapi, masih banyak “rimba raya” budaya dan sejarah Banjar yang belum dijamah oleh para peneliti dan pemerhati Banjar. Masih banyak khazanah bahasa, sastra, arsitektur, tari, lukis, tradisi lisan, sejarah, dan yang lain yang perlu diungkap. Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah sudah seberapa banyak hasil kajian terhadap budaya dan sejarah Banjar? Pertanyaan itu masih sulit dijawab secara pasti mengingat publikasi terhadap hasil-hasil kajian itu belum maksimal. Padahal, informasi yang yang dikandungnya amat berharga bagi upaya kajian lanjutan maupun upaya pembinaan dan pengembangan budaya dan sejarah Banjar. Atas dasar keperluan di atas, tim merasa perlu menyusun buku dengan judul Ringkasan Hasil-hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar. Sesuai dengan judulnya, buku ini berisi ringkasan dari berbagai kajian budaya dan sejarah Banjar yang telah dilakukan, baik di kalangan perguruan tinggi, seniman dan sejarawan, maupun khlayak ramai. Mengingat waktu yang tersedia amat pendek, isi buku ini tidak berpretensi untuk bisa mengungkapkan semua hasil kajian yang pernah dilakukan. Mudah-mudahan segera menyusul buku sejenis sebagai kelanjutan dari isi buku ini.

v vi Jumadi, dkk.

Peluncuran buku ini sengaja dilakukan bersamaan dengan terbentuknya Pusat Kajian Budaya dan Sejarah Banjar yang bernaung di bawah Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat, Universitas Lambung Mangkurat. Mudah-mudahan dengan terbitnya buku ini para peneliti, pemerhati, seniman, budayawan, dan sejarawan Banjar terpantik untuk memulai, melanjutkan, atau memperdalam hasil-hasil kajian yang selama ini sudah dilakukan. Jika harapan ini terwujud, kami yakin bahwa kajian terahadap budaya Banjar semakin meluas dan mendalam yang pada gilirannya mudah-mudahan publikasinya menghiasi toko buku, perpustakaan, dan dunia maya dalam bentuk e-book. Buku ini terwujud berkat tersedianya dana dari pemerintah daerah. Untuk itu, pada kesempatan ini tim penyusun menyampaikan terima kasih kepada Gubernur Kalimantan Selatan, Rektor Unlam, dan Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Unlam yang telah menyediakan dana demi tersusunnya buku ini. Semoga buku ini menerbitkan manfaat walaupun sekecil biji sawi.

Tim Penyusun DAFTAR ISI

Kata Pengantar ~ v Daftar Isi ~ vii

I. Hasil- Hasil Kajian Budaya 1. Terbit Tahun 1968 • Hikayat Banjar ~ 1 2. Terbit Tahun 1977 • Islam & Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa -Kebudayaan Banjar ~ 3 3. Terbit Tahun 1978 • Sastra Lisan Banjar ~ 5 4. Terbit Tahun 1983 • Struktur Bahasa Dusun Deyah ~ 7 5. Terbit Tahun 1984 • Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu ~ 9 6. Terbit Tahun 1986 • Morfo Sintaksis Bahasa Banjar Kuala ~ 11 7. Terbit Tahun 1994 • Syair Brama Sahdan ~ 13 8. Terbit Tahun 1995 • Syair Ratu Kuripan ~ 15 • Syair Burung Simbangan ~ 16 9. Terbit Tahun 1996 • Wujud, Arti, dan Fungsi Puncak- Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Pendukungnya Daerah Kalimantan Selatan ~ 18 • Fungsi Mantra Dalam Masyarakat Banjar ~ 20 10. Terbit Tahun 1997 • Kamus Bahasa Banjar-Indonesia ~ 22 • Andi-Andi Urang Banjar Bahari ~ 23 • Tema dan Amanat Dongeng Banjar ~ 24 11. Terbit Tahun 1998 • Tema dan Amanat Legenda Banjar ~ 26 • Nomina Bahasa Banjar ~ 28

vii viii Jumadi, dkk.

12. Terbit Tahun 1999 • Sistem Pemajemukan Kata Bahasa Banjar ~ 30 • Struktur Sastra Lisan Lamut ~ 31 • Nomina Bahasa Banjar ~ 32 13. Terbit Tahun 2000 • Manakib Datu Nuraya (Misteri Kitab Barincong) ~ 34 14. Terbit Tahun 2001 • Manakib Datu Suban dan Para Datu ~ 36 • Intingan Lawan Dayuhan Badua Badangsanak ~ 38 • Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan ~ 39 15. Terbit Tahun 2002 • Pangeran Samudera (Pangeran Suriansyah) ~ 41 16. Terbit Tahun 2005 • Kisah-Kisah Sarawin ~ 42 • Tata Bahasa Bahasa Banjar ~ 43 17. Terbit Tahun 2006 • Pamali Banjar: Deskripsi Bentuk, Fungsi, dan Makna ~ 45 • Pamali Banjar: Deskripsi Bentuk, Fungsi, dan Makna ~ 46 18. Terbit Tahun 2008 • Syair Carangkulina : Analisis Struktur, Fungsi, dan Nilai Budaya ~ 47 • Representasi Nilai Kultural Banjar Dalam Kumpulan Puisi Kurrr Sumangat Banuaku ~ 49 • Analisis Jenis dan Pola Pembentukan Capatian Masyarakat Banjar ~ 50 • Analisis Struktur dan Nilai Budaya Sastra Banjar Japin - Carita (Naskah Pementasan Teater Awan) Fakultas -Tarbiyah Iain Antasari Banjarmasin ~ 52 19. Terbit Tahun 2009 • Sastra Lisan Banjar Hulu ~ 54 • Relasi Kekerabatan Bahasa Banjar dan Bahasa Bakumpai ~ 57 • Kesantunan Direktif Bahasa Banjar ~ 58 • Peribahasa Banjar Dalam Kumpulan Cerpen Galuh Karya Jamal T. Suryanata ~ 60 20. Terbit Tahun 2010 • Risalah Kanz Al Ma’rifah (Analisis Struktur Dan Makna) ~ 62 • Realisasi Kesantunan Tindak Tutur Menolak Bahasa Banjar ~ 64 • Pemertahanan Sastra Lisan Madihin di Kabupaten Hulu Sungai Selatan ~ 66 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar ix

• Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal Dalam Kumpulan Cerita Palui ~ 67 • Risalah Kanz Al-Ma’rifah: Analisis Struktur dan Makna ~ 69 • Sasirangan Kain Khas Banjar ~ 71 21. Terbit Tahun 2011 • Perkembangan Bahasa Banjar ~ 73 • Sastra Banjar Genre Lama Bercorak Puisi ~ 74 • Sastra Banjar: Teori dan Interpretasi ~ 76 • Nilai Pendidikan Dalam Peribahasa Banjar ~ 78 • Analisis Majas dan Citraan Kumpulan Puisi “Tanah Perjanjian” Karya Ajamuddin Tifani ~ 80 • Nilai-Nilai Moral Yang Terkandung Dalam Ungkapan Bahasa Banjar ~ 81 • Nilai Pendidikan Dalam “Pantun Baantaran” ~ 83 • Kesantunan Meminta Dalam Bahasa Banjar ~ 84 22. Terbit Tahun 2012 • Bahasa Banjar, Dialek dan Subdialeknya ~ 85 • Rumah Lanting Suatu Tinjauan Terhadap Aspek Sosial Budaya, Ekonomi, Pola Pemukiman Dan Eksistensinya di Kota Banjarmasin ~ 87 • Pantun Banjar: Bentuk & Fungsinya ~ 89 • Kearifan Lokal Dalam Fabel Banjar ~ 91 • Aspek Bunyi Dan Pilihan Kata Dalam Mantra Banjar ~92 • Kata Penghubung Dalam Bahasa Banjar ~ 93 • Penggunaan Maksim Tutur Dalam Mahalabio ~ 94 • Nilai Budaya Dalam Tutur Candi ~ 95 • Interferensi Bahasa Indonesia Terhadap Bahasa Banjar Dalam Cerita Si Palui di Harian Banjarmasin Post ~ 97 • Syair Saraba Ampat Analisis: Semantik dan Semiotik ~ 99 • Jargon Kelompok Peseluncur di Banjarmasin ~ 100 • Ungkapan Pamali Bahasa Banjar Sebagai Sarana -Pendidikan Karakter ~ 102 • Mistik Dalam Hikayat Banjar ~ 104 • Legenda Datu-Datu Tabalong ~ 105 23. Terbit Tahun 2013 • Peribahasa Banjar ~ 107 • Tradisi Tari Topeng (Manuping) di Kampung Banyiur Kelurahan Basirih Banjarmasin Barat ~ 109 x Jumadi, dkk.

• Tradisi Maiwak Sebagai Mata Pencaharian Warga di Desa Bangkau, Kecamatan Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Tahun 1950-1970 ~ 111 • Perkembangan Penokohan dan Alur Cerita Pertunjukan Gung di Daerah Barikin, Kecamatan Haruyan, Hulu Sungai Selatan, Tahun 1980-2000 ~ 113 • Dialektika Budaya Banjar Dalam Konteks Seni, Tradisi~ 115 • Subordinasi Perempuan Dalam Fabel Bingkarungan ~ 117 • Representasi Nilai-Nilai Ajaran Islam Dalam Ungkapan Bahasa Banjar ~ 118 • Asal-Usul Nama-Nama Kampung di Kabupaten Hulu Sungai Tengah ~ 120 • Pengintensif Dalam Bahasa Banjar Kuala ~ 121 • Nilai Moral Dalam Syair Klasik Guntur ~ 123 • Prefiks Man- Bahasa Banjar Dalam Cerita Si Palui ~ 125 • Unsur Pendidikan Karakter Dalam Peribahasa Banjar ~ 126 • Humor Dalam Cerita Si Palui ~ 127 • Kajian Struktur Puisi BerBahasa Banjar Pemenang -Lomba Aruh Sastra Kalsel VII Tanjung 2010 ~ 128 • Representasi Nilai-Nilai Pendidikan Keluarga Yang Terdapat Dalam Ungkapan Bahasa Banjar ~130 • Madihin: Analisis Struktur Teks, Tema, dan Cara Penyajiannya ~132 • Dindang Sastra Lisan Banjar Hulu: Kajian Bentuk, Makna, dan Fungsi ~134 • Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang di Desa Tanipah Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan ~ 136 24. Terbit Tahun 2014 • Mamanda, Sebuah Teater Tradisional ~ 138 • Cucupatian (Teka-Teki) Banjar: Struktur, Fungsi, dan Makna ~ 140 • Gambaran Kehidupan Masyarakat Banjar Dalam Teks Undang- Undang Sultan Adam ~ 142 • Pemberian Nama Alias Pada Masyarakat Amawang Kiri Kandangan: Tinjauan Linguistik Etnografi ~ 144 • Naskah Ini Fasal Pada Menyatakan Jalan Yang Benar Karya Nuruddin Ar-Raniri Dalam Naskah Negara: Edisi Suntingan Teks dan Isi Naskah ~ 146 • Kecerdasan Emosional Orang Banjar Dalam Pantun Banjar ~ 147 • Leksikon Emosi Dalam Bahasa Banjar ~ 148 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar xi

• Strategi Pemertahanan Bahasa Banjar di Kalimantan Selatan ~ 149 • Kesantunan Direktif Bahasa Banjar Dalam Interaksi Antara Guru dan Murid di SD Negeri Handil Bakti Kecamatan Alalak ~ 151 • Papadah Bahari: Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna ~ 153 • Memaknai Perilaku Filantropi Masyarakat Muslim (Studi -Fenomologis Pengalaman Sedekah Muzakki Rumah Zakat Banjarmasin ~ 155 25. Terbit Tahun 2015 • Struktur Karakter Tokoh dan Bahasa Dalam Kesenian -Tradisional Mamanda ~ 157 • Permainan Tradisional Rakyat Kalimantan Selatan ~ 159 • Gerak Dasar Tari Tradisi Kuda Gipang Kalimantan Selatan ~ 161 • Syair Siti Zubaidah~ 163 • Interpretasi Semiotik Riffaterre Dalam Mantra Banjar ~ 165 • Representasi Nilai Karakter Dalam Teks Dindang Sastra Lisan Banjar ~ 167 • Studi Tentang Kain Sarigading di Kalangan Urang Banjar Tahun 1990–2013 ~ 169

II. Hasil- Hasil Kajian Sejarah ~ 171 1. Terbit Tahun 1994 • Struktur Birokrasi dan Sirkulasi Elite di Kerajaan Banjar pada Abad XIX ~ 172 2. Terbit Tahun 2001 • Pegustian dan Tumenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 ~ 174 3. Terbit Tahun 2005 • Orang Banjar dan Kebudayaannya ~ 176 3. Terbit Tahun 2007 - • Perjuangan Demang Lehman Dalam Perang Banjar Tahun 1859-1862 ~ 177 4. Terbit Tahun 2010 • Kesultanan Banjarmasin Dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad Ke-XVIII ~ 179 • Perkembangan Pemakaian Wafaq Dalam Tradisi Badagang Pada Masyarakat Kelayan Timur, Kota Banjarmasin, Tahun 1980-1990 ~ 181 xii Jumadi, dkk.

5. Terbit Tahun 2011 • Islamisasi Kerajaan Banjar (Analisis Hubungan Kerajaan Demak Dengan Kerajaan Banjar Atas Masuknya Islam di Kalimantan Selatan) ~183 • Islamisasi Banjarmasin (Abad XV-XIX) ~ 186 • Raja Diraja Kerajaan Banjar Abad XV – XXI ~ 189 6. Terbit Tahun 2012 • Perjuangan Wanita Pada Masa Revolusi Fisik di Daerah -Haruyan, Kewedanan Barabai, Tahun 1945-1949 ~ 191 • Yusni Antemas, Wartawan Pejuang Dari Amuntai (1922-2012) ~ 193 • Perkembangan Irama Lagu-Lagu Banjar di Kota -Banjarmasin, Tahun 1980-2010 ~ 195 • Antara Dayak dan Belanda: Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan Tahun 1880-1942 ~ 197 7. Terbit Tahun 2013 • Perang Tongka Montallat (27 Mei- 8 Nopember 1861): Episode Terakhir Perlawanan Antasari Dalam Perang -Barito di Onderdistrik Montallat, Distrik Midden Doesoen, Borneo Zuid Ooster Afdeeling ~ 198 • Perjuangan Gerilya Rakyat Balangan Pada Masa Revolusi Fisik Sekitar Tahun 1945-1949 ~ 200 • Perdagangan dan Politik Banjarmasin 1700-1747 ~ 202 8. Terbit Tahun 2014 • Migrasi Masyarakat Banjar ke Desa Sungai Ular Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Dari Tahun 1918-2012 (Tinjauan Historis) ~ 204 • Peranan Harian Kalimantan Berdjuang Sebagai Alat Penerangan di Kalimantan Bagian Selatan Pada Tahun 1946-1952 ~ 206 9. Terbit Tahun 2015 • Ratu Zaleha 1880-1953: Perjuangan Terakhir Perempuan Banjar ~ 208 • Asywadie Syukur Sebagai Ulama dan Pendidik (1968- 2010) ~ 211 HASIL- HASIL KAJIAN BUDAYA

- Terbit Tahun 1968 -

Judul Buku Penelitian : Hikayat Banjar Nama Pengarang : Johannes Jacobus Ras Penerbit /Tahun Terbit : Koninklijk Instituut voor Taal Land en Volkenkunde (KITLV), Nederland, 1968 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini dimulai dengan pengenalan terhadap Hikayat Banjar, seperti penerbitan-penerbitan awal Hikayat Banjar, keadaan manuskrip, bagaimana teks Hikayat Banjar ditulis serta bahasa yang digunakan, penghargaan atau apresiasi terhadap cerita atau sejarah masyarakat Melayu pada masa silam serta bagaimana penilaian para sarjana terhadap naskah ini. Kedua, buku ini memperlihatkan dan memberikan komentar terhadap Resensi I dan II Hikayat Banjar. Ketiga, buku ini memperbandingkan antara Resensi I dan Resensi II Hikayat Banjar. Keempat, buku ini membicarakan persamaan-persamaan Hikayat Banjar dengan cerita-cerita Melayu dan Jawa serta membicarakan mitos Melayu tentang asal-usul seorang putri yang muncul dari buih. Selanjutnya, kelima, buku ini membicarakan persamaan-persamaan Hikayat Lambung Mangkurat dengan cerita-cerita Jawa serta dengan mitos Melayu tentang asal-usul dan cerita Rama Melayu. Lambung Mangkurat dan Hikayat Rama Jawa. Keenam, buku ini membicarakan persamaan-persamaan Hikayat lambung Mangkurat dengan cerita-cerita Melayu dan Jawa; tentang Hikayat Banjar dan Sejarah Melayu, unsur-unsur Iskandar dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Banjar. Ketujuh, buku ini membicarakan persamaan- persamaan Hikayat Lambung Mangkurat dengan cerita-cerita Melayu dan Jawa, yakni persamaanya dengan cerita Ampu Jatmaka dan Kisah Raja Awab dalam Serat Kanda, persamaan Hikayat Banjar dan cerita Panji dalam Serat Kanda, serta persamaan Hikayat Banjar dengan cerita Sekar Sungsang dan

1 2 Jumadi, dkk. tokoh-tokoh epik Panji dan Watu Gunung. Kedelapan, buku ini mengemukakan kritik terhadap teks Resensi I. Kesembilan buku ini membicarakan tentang jajahan Melayu di Kalimantan Tenggara dan hubungannya dengan Jawa, nama Keling dalam Hikayat Banjar dan pengaruh-pengaruh Jawa dalam Hikayat Banjar, tentang Tanjung Pura dan Hujung Tanah, tentang garis pantai yang berubah-ubah, tentang berbagai gambaran masa lampau yang dikemukakan oleh Hikayat Lambung Mangkurat. Kesepuluh, buku ini membicarakan manuskrip-manuskrip Hikayat Banjar dan dasar-dasar yang diikuti untuk pengeditan. Dimuat pula berbagai manuskrip dan prinsip-prinsip penulisan. Buku ini memuat pula teks Resensi I Hikayat Banjar bersama terjemahannya dalam Bahasa Inggris serta aparatus kritikus. Teks Resensi I Hikayat Banjar terdiri dari 17 bab dan 12 episode. Akhir buku ini berisi Glosari dan indeks, ringkasan penerbitan-penerbitan yang dipetik dari glosari, 6 buah lampiran, yakni (i) Kota Waringin dan Abad ke-19, (ii) Beberapa permainan dan hiburan Banjar, (iii) Barang-barang zaman kuno Margasari, (iv) Kisah perjalanan ke Benua Lima pada tahun 1825, (v) Berhala Dewi Seri dan Sedana dalam rumah Jawa Tradisional, dan (vi) Kesusastraan Melayu di Kalimantan Tenggara. - Terbit Tahun 1977 -

Judul Buku : Islam & Masyarakat Banjar, Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar Pengarang : Alfani Daud Penerbit/Tahun Terbit : Rajagrafindo Persada, Jakarta , 1977

Ringkasan Buku ini terdiri dari empat bagian. Bagian pertama terdiri atas tiga bab, yaitu bab 1, bab 2, dan bab 3. Pada bab pertama, membahas tentang asal- usul dan perkembangan Suku Banjar. Dalam bab ini ditelaah asal-usul Suku Banjar, daerah pemukimannya, dan daerah-daerah migrasinya. Selain itu, dalam bab ini juga dibahas tentang tiga sub Suku Banjar, agama, dan peranan ulama dalam masyarakat Banjar. Pada bab kedua membahas organisasi masyarakat, yakni pola pemukiman, sistem kekerabatan, perkawinan, pembentukan rumah tangga setelah perkawinan dan masalah rumah tangga, serta pengelompokan penduduk dan peranan tokoh-tokoh di perkampungan Banjar. Kemudian pada bab ketiga membicarakan lingkungan alam dan mata percaharian masyarakat Banjar. Bagaimana kondisi lingkungan serta apa mata pencaharian masyarakat Banjar dibahas pada bab ini. Bagian kedua menelaah ajaran Islam dalam kehidupan sehari-hari. Bagian kedua terdiri dari dua bab, yakni bab 4 dan bab 5. Bab keempat menganalisis ajaran ritual Islam dalam kehidupan masyarakat, seperti tentang pewarisan, kegiatan ibadah, dan kegiatan ibadah sunat. Bab kelima menelaah ajaran Islam dalam berbagai bidang kehidupan. Diantara hal yang ditelaah dalam bab ini adalah masalah perkawinan, perceraian, sistem pewarisan, serta berbagai kegiatan ritual yang sering dilakukan dalam masyarakat. Bagian ketiga berisi tentang upacara dan sistem kepercayaan masyarakat. Bagian ini terdiri dari lima bab, yakni bab enam, tujuh, delapan, sembilan, dan sepuluh. Bab keenam berisi kegiatan ritual peralihan tahap pertama. Kegiatan ritual tahap pertama terdiri dari ritual saat kelahiran,

3 4 Jumadi, dkk. bapalas bidan dan upacara mengayun anak, upacara menamatkan Al-Quran, upacara basunat, upacara batumbang dan upacara mandi. Bab ketujuh berisi kegiatan ritual peralihan tahap kedua. Pada bab ini ditelaah masalah perkawinan, kehamilan dan melahirkan, sakit dan kematian, dan berbagai upacara kematian. Bab kedelapan adalah tentang ritual berulang tetap atau ritual yang selalu dilakukan sesuai kalender yang tetap, seperti ritual untuk hari-hari besar Islam dan aruh tahunan. Bab kesembilan berisi hal yang berhubungan dengan ilmu gaib, seperti tentang waktu-waktu dan pengaruh waktu itu terhadap pekerjaan, kegiatan meramal, penyakit dan hubungannya dengan makhluk halus, ilmu gaib perjodohan, dan ilmu gaib tentang pengobatan. Bab kesepuluh berisi berbagai ritual lain, seperti kegiatan ritual saat menanam padi, mencari nafkah, dan membuat rumah. Bagian keempat berisi interpretasi dan pembahasan terhadap data yang telah dikumpulkan dan telah disampaikan pada tiga bagian terdahulu. - Terbit Tahun 1978 -

Judul Buku/ Penelitian : Sastra Lisan Banjar Nama Pengarang : Sunarti, Purlansyah, Syamsiar Seman, Yukrani Maswan, M. Saperi K. Penerbit/ Tahun Terbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1978 Metode Penelitian : Deskriptif

Ringkasan Tujuan penelitian ini adalah untuk menggali semua hasil karya sastra lisan Banjar, baik yang berbentuk prosa, puisi, prosa liris, dan bentuk- bentuk lainnya yang ada pada sastra Banjar. Hasil penelitan ini disajikan sebagai berikut. Sastra Banjar berbentuk prosa berjenis (a) legenda meliputi Radin Pangantin, legenda Si Angui, legenda Balai Bahantak, legenda Batu Tajak, legenda Anak Durhaka Menjadi Batu, legenda Batu Kemaluan, legenda Gapit Condong, legenda Dayang Sunandi, legenda Asal-usul Nama Desa Ulin, legenda Luk Sinaga, (b) sage meliputi Panji Utama, sage Panji Kuripan, sage Anak yang Dibuang, sage Si Pujung, (c) fabel meliputi Warik nang Sial, fabel Si Jinglur, fabel Si Koncong Lawan si Budir, fabel Burung Darakuku Lawan Tikus, fabel Musang Lawan Hayam, fabel Kantut Gubang, fabel Bulu Landak, (d) mitos meliputi Raja Baung, Balik Kungkang, fabel Kucing Balaki Raja, mitos Bulan Sairang, mitos Babi Gunung Batu Bini. Selanjutnya bagian (e) kisah asal-usul nama-nama kampung di daerah Pasar Arba meliputi kisah Kampung Pabaungan, kisah Kampung Tatakan, kisah Kampung Panggung, (f) kisah-kisah datu meliputi Asal Usul Datu Muning, kisah Datu Sanggul, kisah Datu Sanggul dengan Datu Nagara, kisah Satu Sanggul Berkawan dengan Syekh Muhammad Arsyad, kisah Datu Marukat, kisah Datu Taruna Barikin, kisah Datu Kuala, kisah Gasing Datu Pujung, kisah Datu-datu Panjaga Pulau Laut, (g) carita keris meliputi

5 6 Jumadi, dkk.

Sempana Misa Giwang, Sempana Samudra, Sempana Bantuala, Sempana Kijang, Sempana Ali Awal, Sempana Mayang Bungkus, Sempana Sapukal Mandar, Sempana Sapukal Sari, (h) kisah-kisah hantu dan raksasa meliputi Su Anja Melakukan Perjalanan Malam, Macan, Sandah, Kisah Kakak Beradik, Nini Yaksa, (i) cerita humor meliputi Cerita Si Palui, Cerita Sarawin, Cerita Si Panca, Cerita Andin Kidar, (j) pantun, (k) bacaan, (l) syair, (m) bentuk- bentuk khusus meliputi lamut, mamanda, madihin, (n) wayang Banjar. - Terbit Tahun 1983 -

Judul Buku/ Penelitian : Struktur Bahasa Dusun Deyah Nama Pengarang : Djantera Kawi, Durdje Durasid, Aris Djinal Penerbit/Tahun terbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1983 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini terdiri dari enam bab, yakni bab pendahuluan, latar belakang sosiobudaya daerah penelitian, fonologi Bahasa Dusun Deyah, morfologi Bahasa Dusun Deyah, sintaksis Bahasa Dusun Deyah, dan kesimpulan hasil penelitian. Pada bab pendahuluan dijelaskan tentang eksistensi Bahasa Dusun Deyah dan pentingnya dilakukan penelitian. Bahasa Dusun Deyah termasuk bahasa daerah yang ada di Kalimantan Selatan. Bahasa Dusun Deyah dipakai oleh sekelompok penduduk Kabupaten Tabalong yang tersebar di dua kecamatan, yakni Kecamatan Haruai dan Kecamatan Muara Uya. Penelitian ini dianggap penting segera dilaksanakan karena hingga saat itu belum banyak diketahui informasi tentang Bahasa Dusun Deyah. Bab kedua berisi tentang latar belakang sosial budaya daerah dan penutur Bahasa Dusun Deyah. Dijelaskan dalam penelitian ini bahwa Bahasa Deyah digunakan di Desa Kinarum, Keong, Pangelak, dan Bilas di Kecamatan Haruai serta desa Mangopom di Kecamatan Muara Uya. Bahasa Dusun Deyah masih digunakan oleh masyarakat dalam pergaulan sehari-hari, upacara adat, dan berbagai jenis kepercayaan lainnya. Bab ketiga berisi pembahasan tentang fonologi Bahasa Dusun Deyah. Pada bab ini dibahas tentang bunyi konsonan, vokal, diftong, persukuan, aturan fonologis, fonem sufrasegmental, seta ditambah dengan diagram fonem dan distribusi fonem. Bab keempat berisi morfologi Bahasa Dusun Deyah. Dalam bab ini dibahas tentang proses morfologis, proses morfofenemis karena hadirnya prefiks N-, pe-N, pe-, dan me-. Dalam bab ini dibahas pula proses afiksasi yang terdiri dari proses penambahan prefiks N, pe-N, pe-, wa-, ke-, taru-, me-, dan

7 8 Jumadi, dkk. kombinasi afiks wape-. Bab ini juga membahas fungsi dan arti afiks serta fungsi dan arti reduplikasi Bahasa Dusun Deyah. Bab kelima berisi Bahasan tentang sintaksis Bahasa Dusun Deyah. Dalam bab ini dibahas tentang frase dan kalimat Bahasa Dusun Deyah. Ada dua jenis frase yang dibahas, yakni frase benda dan frase verbal. Dalam hal kalimat, buku ini membahas tiga macam kalimat, yakni kalimat berdasarkan struktur frase, kalimat berdasarkan jumlah klausa, dan kalimat turunan. Pada bab keenam atau bab terakhir disimpulkan bahwa Bahasa Dusun Deyah merupakan salah satu bahasa di Kalimantan Selatan yang masih dipelihara oleh masyarakatnya dengan baik dan mempunyai peran dan kedudukan yang positif di lingkungan penuturnya. - Terbit Tahun 1984 -

Judul Buku Penelitian : Geografi Dialek Bahasa Banjar Hulu Nama Pengarang : Fudiat Suryadikara, Djantera Kawi, Durdje Durasid, & Syahrial Sar Ibrahim Penerbit/ Tahun Terbit : Pusat Pembinaan Dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1984 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini berisi empat bab, yakni bab pendahuluan, bab tentang alam dan etnik daerah Hulu Sungai, bab isi yakni analisis peta Bahasa Bahasa Banjar Hulu, dan bab keempat yang berisi kesimpulan penelitian. Bab pertama yang merupakan pendahuluan buku ini berisi latar belakang, masalah, dan tujuan penelitian. Pada bab ini dibicarakan pula tentang teori yang digunakan serta metode yang digunakan dalam peneitian ini. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian adalah daerah Hulu Sungai yang terdiri dari lima kabupaten. Ada 39 orang informan yang diwawancari oleh tim peneliti. Bab kedua membicarakan keadaan lapangan penelitian. Dalam bab ini dibicarakan sejarah singkat daerah Hulu Sungai, ikhwal wilayah dan kependudukan, kelompok-kelompok etnik yang ada dalam wilayah Hulu Sungai di samping etnik Banjar sebagai etnik asli. Dalam bab ini dibicarakan pula keadaan bahasa-bahasa yang hidup dan berkembang di daerah Hulu Sungai. Disebutkan dalam bab ini bahwa terdapat enam bahasa yang ada di daerah Hulu Sungai, yakni Bahasa Bukit, Maanyan, Deyah, Banjar Hulu, Bahasa Indonesia, dan Bahasa asing. Diuraikan pula pada bab ini tentang ikhwal pengajaran Bahasa di sekolah dan tentang kajian kebahasaan sebelum penelitian ini dilakukan. Bab ketiga berisi analisis tentang peta bahasa. Peta bahasa difokuskan pada ikhwal fonologi (konsonan, vokal, dan persukuan), morfologi (pengimbuhan, pengulangan, pemajemukan), dan kosa kata serta variasi leksikal. Bab keempat berisi kesimpulan penelitian.

9 10 Jumadi, dkk.

Dalam kesimpulan penelitian ini dikatakan bahwa jumlah fonem, imbuhan, kompositum, dan persukuan Bahasa banjar yang ada di kabupaten- kabupaten daerah Hulu Sungai tidak ada perbedaannya. Perbedaan yang ada disebabkan oleh fonem dalam satu kosakata tertentu hanya akibat pergeseran fonem yang ada dalam daerah artikulasi yang sama, seperti pipilingan dan papilingan ‘daerah muka di atas pipi kiri/kanan’, karena metatesis seperti sagan, gasan, hagan ‘untuk.’ - Terbit Tahun 1986 -

Judul Buku Penelitian : Morfo Sintaksis Bahasa Banjar Kuala Nama Pengarang : Djantera Kawi, Durdje Durasid, & Nelly Latif Penerbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini terdiri dari 10 bab, yakni bab pendahuluan, perihal morfem Bahasa Banjar, proses morfologis Bahasa Banjar, morfofonologis Bahasa Banjar, jenis kata Bahasa Banjar, jenis frasa Bahasa Banjar, jenis klausa Bahasa Banjar, jenis kalimat Bahasa Banjar, pola kalimat Bahasa Banjar, dan penutup kesimpulan penelitian. Bab pertama berisi latar belakang dan masalah penelitian, tujuan penelitian, teori yang digunakan, metode dan teknik penelitian, dan sumber data penelitian. Disebutkan dalam bab pertama ini bahwa penelitian tentang Bahasa Banjar Kuala belum banyak dilakukan. Hasil-hasil penelitian yang ada barulah pada tahap awal yang belum begitu mendalam. Bab kedua berisi perihal morfem Bahasa Banjar. Pada bab ini dideskripsikan berbagai morfem Bahasa Banjar, baik morfem bebas maupun terikat. Bab ketiga mendeskripsikan proses morfologis dalam Bahasa Banjar. Proses morfologis yang dibicarakan meliputi afiksasi, reduplikasi, dan pemajemukan. Bab keempat mendeskripsikan perihal morfofonologis dalam Bahasa Banjar. Deskripsi meliputi kajian tentang morfofonologis, morfofonologis pada prefiks, morfofonologis pada sufiks, dan morfofonologis pada simulfiks. Bab kelima mendeskripsikan perihal jenis kata dalam Bahasa Banjar. Pembicaraan meliputi kata dan jenis kata, kata benda Bahasa Banjar, kata kerja Bahasa Banjar, kata sifat Bahasa Banjar, dan kata tugas Bahasa Banjar. Bab keenam mendeskripsikan berbagai jenis frase dalam Bahasa Banjar. Deskripsi meliputi frase atributif, frase koordinatif, frase apositif, frase drektif, dan frase berdasarkan jenis kata pusatnya.

11 12 Jumadi, dkk.

Bab ketujuh mendeskripsikan perihal jenis klausa dalam Bahasa Banjar. Pembahasan diawali dengan penjenisan klausa. Berdasarkan pembahasan ini maka terdapat dua macam klausa Bahasa Banjar yakni klausa bebas dan klausa terikat. Bab kedelapan membahas jenis-jenis kalimat dalam Bahasa Banjar. Pembahasan dimulai dengan berbagai kemungkinan jenis kalimat menurut teori yang ada. Berdasarkan pembahasan ini maka kalimat Bahasa Banjar bisa dibedakan menjadi lima macam, yakni kalimat berdasarkan jumlah dan jenis klausa, kalimat berdasarkan struktur internal klausa utama, kalimat berdasarkan jenis responsi yang diharapkan, kalimat berdasarkan hubungan aktor-aksi, dan kalimat berdasarkan ada tidaknya unsur negatif pada frase verbal utama. Bab kesembilan berisi uraian tentang pola kalimat. Pada bab ini dideskripsikan dua macam pola kalimat, yakni pola kalimat dasar dan pola kalimat transformasi. Buku ini diakhiri dengan bab penutup atau kesimpulan. Pada bab ini disimpulkan bahwa bentuk-bentuk morfologis dan sintaksis Bahasa Banjar kuala cukup produktif dan berstruktur sehingga dapat dicontohkan dalam berbagai tataran kategori lingistik.Hal ini menunjukkan pula bahwa vitalitas Bahasa Banjar Kuala cukup tinggi sehingga dapat dijadikan alat komunikasi yang efektif oleh para pendukungnya. - Terbit Tahun 1994 -

Judul Buku/ Penelitian : Syair Brama Sahdan Nama Pengarang : Djantera Kawi Penerbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta Metode Penelitian : Metode Kritik Teks

Ringkasan Naskah Syair Brama Sahdan diambil dari koleksi naskah yang tersimpan di Museum Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan, di Banjarbaru. Syair ini ditulis dengan tulisan tangan dengan huruf Jawi (Arab-Melayu). Syair ini berisi 1560 bait syair. Pada masa lalu, syair ini dijadikan sarana hiburan dan dibacakan pada saat-saat beristirahat pada malam hari atau pada waktu berjaga-jaga pada upacara perkawinan. Koleksi naskah ini di Museum Lambung Mangkurat tercatat sebagai koleksi naskah nomor 4510. Ukuran naskah 21,3 x 16,4 cm, tebal naskah 93 halaman. Syair ini menceritakan tentang suatu negeri yang bernama negeri Barantahan dengan rajanya yang bernama Raja Diraja. Raja Diraja berasal dari seorang dewa yang bernama Dewa Batara. Raja Diraja memunyai seorang putra yang bernama Brama Indra dan Brama Indra mempunyai seorang putra yang bernama Brama Sahdan. Diceritakan juga di sebuah negeri yang bernama negeri Siring Mega. Negeri ini diperintah oleh Maharaja Jin Islam yang bernama Gergampa Alam. Gergampa Alam mempunyai putri bernama Mandu Hairani. Maharaja Jin Islam ini juga mempunyai saudara bernama Kulama Jantak yang menjadi raja di Siring Sigara. Raja Kulama Jantak mempunyai putri bernama Cahaya Hairani. Brama Sahdan dibuang dan jatuh kepangkuan raja Mambang Manguntara. Mereka kemudian menjadi saudara angkat dan bersama-sama memimpin Kerajaan Balintara Hirani. Di negeri ini ada naga besar yang ganas dan sakti serta suka memakan orang. Naga ini akhirnya dapat dikalahkan Brama Sahdan. Tidak jauh dari tempat itu ada pula raksasa bernama Barahian yang

13 14 Jumadi, dkk. suka memakan orang. Raksasa itu sangat sakti dan kulitnya tidak dapat ditembus senjata. Raksasa itu juga berhasil dikalahkan oleh Brama Sahdan. Rupanya, raksasa tadi adalah jelmaan Batara Sukma Sari yang terkena kutuk dewa. Dengan tewasnya raksasa itu berarti raksasa itu terlepas dari kutukan. Sebagai rasa terima kasih dia memberi sebuah gua beserta para putri yang bermukim di dalamnya. Raksasa itu juga memberikan cincin sakti dan berpesan bahwa sewaktu-waktu apabila Brama Sahdan memerlukan bantuan maka dia akan segera datang membantu. Peperangan demi peperangan dilakoni oleh Brama Sahdan. Semua peperangan itu berhasil dimenangkan oleh Brama Sahdan. - Terbit Tahun 1995 -

Judul Buku/ Penelitian : Syair Ratu Kuripan Nama Pengarang : Djantera Kawi Penerbit/ Tahun Terbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1995 Metode Penelitian : Kritik Teks

Ringkasan Syair Ratu Kuripan merupakan naskah sastra Indonesia lama yang mendapat pengaruh Hindu. Naskah Syair ini bernomor 4246 berasal dari Banjarmasin. Ukuran naskah 12,5 x 21 cm, tebal 172 halaman. Tiap halaman terdiri dari 12 bait syair. Dengan demikian, syair ini cukup panjang karena berisi 2064 bait. Berdasarkan isinya, Syair Ratu Kuripan termasuk cerita Panji karena di dalamnya disebutkan adanya tokoh bernama Raden Mantri (Inu Kertapati) beserta tiga panakawan pengiringnya, yakni Jarudeh, Punta, dan Kartala. Disebutkan pula pengembaraan yang dilakukan oleh tokoh utama, Kertapati, peristiwa yang terjadi di dalam kerajaan dan hubungan kekerabatan antara raja yang memerintah di sebuah negeri atau kerajaan yang didatangi tokoh utama. Pokok isi cerita syair ini ialah kisah hidup seorang putra raja Kuripan bernama Inu Kertapati. Ia mengembara ke Singasari dan menikah dengan Awang Sekar, seorang putri Raja Singasari. Di negeri ini pun Raden Mantri menikah dengan seorang putri raja, bernama Candra Kusuma. Setelah itu, Raden Mantri bersama kedua istrinya dan para gundiknya pulang ke Kuripan. Di tengah perjalanan, Raden Mantri dihadang oleh Raja Jaga Raga karena raja ini akan merebut Putri Nawang Sekar dari tangan Raden Mantri. Dalam pertempuran itu, Raden Mantri berhasil membunuh Raja Jaga Raga dengan kerisnya. Setelah itu, Raden Mantri bersama rombongan melanjutkan pulang ke Kuripan. Sesampainya di Kuripan, Raden Mantri disambut dengan sangat meriah oleh Sang Nata Kuripan. Raden Mantri pun menyembah kepada kedua orang tuanya.

15 Judul Buku/ Penelitian : Syair Burung Simbangan Nama Pengarang : Djantera Kawi dan Rustam Effendi Penerbit/ Tahun Terbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1995 Metode Penelitian : Kritik Teks

Ringkasan Naskah syair Burung Simbagan ini merupakan koleksi Museum Lambung Mangkurat di Banjarbaru dengan nomor 2825, berukuran 21 x 31 cm. Naskah ini berisi 184 halaman dan setiap halaman terdiri atas 12 bait syair. Naskah ini memulai ceritanya pada halaman 19 sedangkan halaman sebelumnya tidak diketahui keberadaannya sehingga tidak diketahui hal isinya. Naskah ini ditulis dengan menggunakan huruf Jawi (Arab-Melayu). Naskah ini terlihat sudah sangat memprihatinkan karena kertasnya sudah lapuk dan 18 halaman sebelumnya sudah tidak ada lagi. Huruf-hurufnya masih bisa dibaca walaupun sudah mulai kabur. Naskah Syair Burung Simbangan ini menceritakan Ratu Manik Suntana yang pergi dengan istrinya pulang ke gunung tempat Ajar Susunan. Di tengah jalan, ia melihat negeri Pasir Sigara sedang mengadakan sayembara. Ratu Manik Suntana singgah di tempat dan melihat orang sayembara memanah seekor Burung Simbangan. Ratu Manik Suntana memanah burung itu dan Burung Simbangan itu mati. Setelah memanah, Ratu Manik Suntana tidak masuk ke negeri itu tetapi terus melanjutkan perjalanan ke tempat Ajar Susunan. Perbuatannya membunuh Burung Simbangan itu diketahui oleh Patih negeri Pasir Sigara. Kejadian ini diceritakan oleh patih kepada rajanya. Namun, anak raja- raja yang menginginkan Putri Gumulung Sari hendak merebut putri itu karena burung itu telah mati. Ratu Manik Suntana setelah lawatannya ke Tempat Ajar kembali melanjutkan menuju negeri Pasir Sigara. Dia menjelmakan dirinya menjadi rama-rama lalu masuk ke keputrian sehingga Raja Pasir Sigara menjadi sangat marah karena merasa dipermalukan. Di tempat ini, Manik Suntana harus bertanding dengan pahlawan negri ini yang bernama

16 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 17

Indra Giri yang sebelumnya telah mampu mengalahkan patih dan hulubalang Kerajaan Pasir Sigara. Perang tanding dilakukan untuk mendapatkan Putri Gumulang Sari. Manik Suntana dapat memenangkan perang tanding itu dengan bantuan istrinya dan dia dikawinkan dengan putri Gumulang Sari. Setelah itu, Manik Suntana kembali ke pertapaan dan istrinya melahirkan anak yang diberi nama Raden Sunting Malayang. Ketika Manik Suntana datang ke negeri Pasir Sigara, ia melihat istrinya Putri Gumulang Sari diculik oleh Raden Wijaya Karti. Namun, istrinya dapat diambil kembali dengan bantuan anaknya yang bernama Sunting Malayang. Akhirnya, Raden Sunting Malayang mendapat Putri Mandung Kumala, anak Raja Lingga Partala. - Terbit Tahun 1996 -

Judul Buku/ Penelitian : Wujud, Arti, dan Fungsi Puncak-Puncak Kebudayaan Lama dan Asli Bagi Pendukungnya Daerah Kalimantan Selatan Nama Pengarang : Syarifuddin R, Mohammad Yusran, H. Syahrir, & Fahrurazie Penerbit/ Tahun Terbit : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia, Jakarta, 1996 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang penelitian, masalah penelitian, tujuan penelitian, ruang lingkup penelitian, metode penelitian yang digunakan, dan pertanggung-jawaban penelitian. Dijelaskan dalam bagian pendahuluan bahwa penelitian ini penting dilakukan karena kebudayaan daerah, lama dan asli, memiliki potensi sebagai modal kebudayaan nasional. Kebudayaan lama dan asli menjadi ciri dan unsur utama bhineka tunggal ika, sumber gagasan kolektif, penentu jati diri kebudayaan nasional, dan sebagai memori dalam seleksi penerimaan unsur budaya baru. Dalam bagian ini juga disebutkan bahwa metode penelitian yang digunakan adalah metode kepustakaan, observasi, dan wawancara. Daerah penelitian yang dipilih adalah dua desa yang mempunyai latar belakang sosial-budaya berbeda. Dua desa itu adalah Desa Warukin, Kecamatan Tanta, etnik Dayak Maanyan dan Desa Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Banjarmasin. Bab kedua berisi gambaran umum daerah Kalimantan Selatan, yang meliputi keadaan alam, keadaan penduduk, dan keadaan sosial budaya. Dalam bab ini disebutkan bahwa ketika Banjarmasin lahir tahun 1526, penduduknya adalah campuran dari unsur Melayu, Jawa, Ngaju, Maanyan, Bukit, dan suku kecil lainnya yang diikat oleh agama Islam, berbaha-sa dan beradat-istiadat Banjar.

18 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 19

Kemudian, dengan inti pembentukannya persatuan etnik, lahir kelompok besar atau grup yaitu kelompok Banjar Kuala, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Pahuluan. Kelompok Banjar Kuala tinggal di daerah Banjar Kuala sampai dengan Martapura. Kelompok Banjar Batang Banyu tinggal di sepanjang sungai Tabalong dari muaranya di Sungai Barito sampai dengan Kalua. Kelompok Banjar Pahuluan tinggal di kaki Pegunungan Meratus dari Tanjung sampai Pelaihari. Kelompok Banjar Kuala berasal dari kesatuan etnik Ngaju, Kelompok Banjar Batang Banyu dari kesatuan etnik Maanyan, dan kelompok Banjar Pahuluan berasal dari kesatuan etnik Bukit. Bab ketiga memaparkan puncak-puncak kebudayaan lama dan asli di daerah Kalimantan Selatan. Paparan dimulai dengan wujud puncak-puncak kebudayaan lama dan asli suku Banjar dan wujud puncak-puncak kebudayaan lama dan asli Suku Dayak Maanyan. Disebutkan bahwa puncak-puncak kebudayaan lama dan asli Suku Dayak Maanyan dan Suku Banjar dapat dicari dalam cerita rakyat dan puisi rakyat masing-masing. Dalam cerita rakyat dan puisi rakyat itulah semua kebudayaan beserta nilai atau maknanya disimpan oleh masyarakat. Cerita rakyat Dayak Maanyan dan Suku Banjar bisa berupa prosa, seperi legenda, mite, dan dongeng. Puisi rakyat bisa berupa mantra dan lain-lain. Judul Buku/ Penelitian : Fungsi Mantra Dalam Masyarakat Banjar Nama Pengarang : Abdurachman Ismail, M.P. Lambut, Sri Wirarti Setyani, Fatah Yasin, & Tarman Effendi Penerbit/ Tahun Terbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta, 1996 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini merupakan hasil penelitian yang memuat empat bab, yakni bab pertama pendahuluan, bab kedua berisi tinjauan umum tentang masyarakat dan pemakaian mantra dalam masyarakat Banjar, bab ketiga berisi analisis data terhadap mantra yang diperoleh, dan bab ketiga berisi kesimpulan penelitian. Dalam bab pendahuluan bahwa hingga saat itu belum ada penelitian tentang mantra Banjar. Mantra Banjar merupakan peninggalan budaya Banjar yang memiliki nilai dan fungsi penting bagi masyarakat Banjar masa lalu. Mantra Banjar pasa saat sekarang sudah diambang kepunahan. Karena itu, menurut tim peneliti, penelitian tentang mantra perlu segera dilakukan. Dalam bab pendahuluan juga disampaikan tentang metode yang digunakan. Metode penelitian adalah metode deskriptif dan pengumpulan data dilakukan melalui observasi dan wawancara. Dalam bab tinjauan umum diketengahkan bahwa dalam masyarakat Banjar ada kepercayaan terhadap kekuatan magis. Magis ada yang bersifat positif karena magis itu untuk melawan magis yang jahat dan mencelakakan manusia atau magis hitam. Magis putih biasanya dimiliki oleh tuan guru (ulama), tabib, dan yang baik. Dalam bab ketiga dibicarakan berbagai mantra beserta fungsi-fungsinya. Mantra dipilahkan atas beberapa macam, seperti mantra yang berhubungan dengan keselamatan dalam keluarga, mantra permainan anak, mantra pengobatan, mantra kecantikan, mantra untuk menambah wibawa, mantra kekebalan, mantra mata pencaharian, dan mantra untuk keamanan. Mantra untuk keselamatan dalam keluarga adalah mantra untuk mengatasi masalah yang timbul dalam keluarga, misalnya, mantra untuk mengurangi rasa sakit waktu melahirkan, mantra agar waktu melahirkan tidak mengalami kesulitan, mantra agar anak berhenti menangis, dan lain-lain.

20 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 21

Mantra yang berhubungan dengan permainan anak adalah mantra agar memperoleh kemenangan dalam permainan. Diantara mantra ini adalah mantra bermain layang-layang, mantra agar menang balogo, mantra bersabung jengrek dan lain-lain. Mantra yang berhubungan dengan pengobatan antara lain adalah mantra mantra mengobati sakit perut, mantra agar gigi kuat dan tidak cepat patah, mantra untuk obat bisul, mantra untuk menghilangkan ketulangan, dan lain-lain. Mantra yang berhubungan dengan kecantikan antara lain mantra supaya muka keliatan bercahaya, mantra waktu bersisir, mantra waktu bergelung, dan lain-lain. Dalam buku ini setiap mantra dilengkapi dengan cara menggunakan mantra itu. Mantra akan efektif bila yang mengucapkan adalah pemantra yang ahli dan segala syarat yang diperlukan bisa dipenuhi. - Terbit Tahun 1997 -

Judul Buku/ Penelitian : Kamus Bahasa Banjar-Indonesia Nama Pengarang : Abdul Djebar Hapip Penerbit/ Tahun Terbit : Grafika Wangi Kalimantan, Banjarmasin, 1997 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Kamus Bahasa Banjar-Indonesia memuat 21 entri. Dua puluh satu entri ini sesuai dengan jumlah abjad (fonem Bahasa Banjar). Apabila dalam Kamus Bahasa Indonesia memiliki 26 entri (abjad) maka Bahasa Bajar ini hanya memiliki 21 entri. Abjad yang tidak ada dalam kamus Bahasa Banjar ini adalah /f/, /q/, /v/, /x/, dan /z/. Memang Bahasa Banjar tidak memiliki lima fonem abjad itu. Kata fitnah biasanya diucapkan pitnah atau pitanah, quran diucapkan kuran, visa diucapkan pisa, xenon diucapkan kinun, dan zakat diucapkan jakat. Kamus ini dilengkapi pula dengan penjelasan seputar Bahasa Banjar. Penjelasan itu meliputi tentang wilayah pemakaian Bahasa Banjar, dialek Bahasa Banjar Hulu dan Kuala serta perbedaan kedua dialek tersebut. Dalam bab pendahuluan dibicarakan juga tentang cara penggunaan kamus. Pembicaraan meliputi tentang abjad dan ejaan, singkatan, fonem- fonem Bahasa Banjar, distribusi vokal dan konsonan dalam Bahasa Banjar, bentuk-bentuk persukuan dalam Bahasa Banjar, reduplikasi dan tekanan kata dalam Bahasa Banjar, ulasan tentang morfologi Bahasa Banjar, dan kata fungsi atau partikel.

22 Judul Buku/ Penelitian : Andi-Andi Urang Banjar Bahari Nama Pengarang : Syamsiar Seman Penerbit/ Tahun Terbit : Dharma Wanita-Tim Penggerak PKK Provinsi Kalimantan Selatan, 1997

Ringkasan Buku ini diawali dengan penjelasan ikhwal andi-andi. Menurut penulisnya, andi-andi adalah kisah-kisah Orang Banjar pada masa lalu yang masih hidup dalam ingatan orang tua. Kisah-kisah itu diceritakan kembali kepada anak-cucu mereka. Menceritakan kembali andi-andi disebut baandi-andi. Karena ceritanya sudah ada sejak dahulu kala dan merupakan warisan budaya nenek moyang maka andi-andi sering juga disebut andi-andi urang bahari atau ‘andi-andi orang dahulu kala.’ Kebanyakan andi-andi berupa dongeng dan legenda karena dongeng dan legenda sangat ramai diperdengarkan. Dongeng dan legenda tidak serius seperti cerita mite. Dongeng banyak mengandung kelucuan hidup dan tentang kehidup-an sehari-hari dan legenda banyak bercerita tentang asal-usul suatu kejadian, suatu benda, yang tokoh-tokohnya melakukan sesuatu yang sangat kontroversi. Dongeng dan legenda Banjar diceritakan kepada anak-cucu pada saat menjelang tidur atau pada waktu-waktu senggang yang lain. Pendengar dongeng biasanya anak-anak. Dalam buku ini dimuat 10 cerita rakyat. Masing-masing cerita rakyat diberi judul sebagai berikut. 1. Intingan Lawan Dayuhan Badua Badangsanak, 2. Asal Mula Gunung Batu Banawa, 3. Si Utun Cangkal Manuntut Ilmu, 4. Abu Amang Lawan Datu Pujung, 5. Budir Maakali Bubuhan Warik, 6. Musang Hirang Lawan Hayam Putih, 7. Kisah Luuk Naga, 8. Si Picak Lawan Si Bungkuk Tulak bagarit, 9. Burung Suit Malawan Hadangan, 10. Sarawin Tulak ka Urang Aruh.

23 Judul Buku/ Penelitian : Tema dan Amanat Dongeng Banjar Nama Pengarang : Jumadi, Fudiat Suryadikara, Rustam Effendi, Aris Djinal Penerbit/ Tahun Terbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Bagian Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah Kalimantan Selatan, 1997 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini berisi tiga bab, yakni bab pendahuluan, bab hasil penelitian, dan bab kesimpulan. Dalam bab pendahuluan dinyatakan bahwa dongeng Banjar memiliki banyak fungsi. Di antara fungsi itu adalah fungsi pendidikan untuk anak. Mengingat fungsinya yang penting itu maka khazanah dongeng Banjar perlu dijaga, dilestarikan, dan dikomunikasikan lagi kepada para generasi sekarang ini. Sekarang karya sastra lama seperti dongeng telah mulai ditinggalkan masyarakat akibat masuknya berbagai jenis hiburan modern yang berasal dari berbagai negeri. Data yang berupa cerita diperoleh dari informan melalui wawancara langsung atau melalui dokumentasi yang diperoleh dari para informan atau dari kantor instansi pemerintah yang menyimpan dokumen-dokumen itu, seperti museum, perpustakaan, dan lain-lain. Pada bab kedua ditampilkan hasil penelitian, yakni tema dan amanat dongeng Banjar. Untuk kepentingan analisis, dongeng Banjar dipilahkan menjadi dongeng binatang, dongeng biasa, dongeng anekdot, dan dongeng berumus. Dalam bab ini dianalisis 20 judul dongeng binatang. Dua puluh judul dongeng itu adalah: Tupai lawan Haruan, Musang lawan Hayam, Kerajaan Bangkang Tutup, Itik lawan Warik, Si Budir lawan Warik, Waring lawan Kukura, Batanam Pisang, Warik Tuha lawan Buhaya, Si Kuncung lawan Si Budir, Kukura si Mahluk Halus, Bulu Landak, Burung Darakuku, Kisah Bangkarungan, Jambul Habang, Kucing lawan Tikus, Urang Sugih lawan Buhaya, Akal Pilanduk, Pilanduk Jadi Raja, Pilanduk lawan Kalimbuwai, Balumba Bagadang. Dalam sub bab dongeng biasa dianalisis 15 judul cerita,

24 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 25 yakni Dayuhan lawan Intingan, Taktaknalau, Galuh Ciciri Mulik, Tiungmaini Tiungmaintang, Ampak Jadi Raja, Si Budir, Dapur Saatang, Kalangkala Baikung, Babi Gunung Batu Bini, Mambunuh Raksasa, Si Tedong, Si Pujung, Si Ditnang, Dua Urang Badangsanak, Si Bahrun. Untuk dongeng humor, penelitian ini menganalisis 16 cerita, yakni, Miris, Talalu Kasukaan, Tatipu, Utuh Padang Tulak Maunjun, Maling Laang, Katahuan Urang Bungulnya, Si Picak Lawan Si Burut, Lastik Maut, Manangkap hayam Nini Randa Balu, Sarawin Kada di Saru Urang, Taharat Anak, Malam Lailatul Kadar, Si Pacana Maingu Anak Kilat, Andin Kidar Manjabak Minjangan, Ahli Rikin, Biar Mati Asal Numur Satu. Bab ketiga berisi kesimpulan penelitian. Dalam bab ini disimpulkan bahwa tema dan amanat dongeng Banjar sangat beragam. Keberagaman tema dan amanat ini karena dongeng Banjar berisi persoalan hidup yang juga beragam. Tema-tema itu bisa disimpulkan menjadi tiga bagian, yakni tema yang berhubungan dengan hiburan, pendidikan etika, dan pendidikan sosial seperti gotong royong dan saling tolong-menolong. - Terbit Tahun 1998 –

Judul Buku/ Penelitian : Tema dan Amanat Legenda Banjar Nama Pengarang : Jumadi, Fudiat Suryadikara, Rustam Effendi, Aris Djinal Penerbit/ Tahun Terbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Bagian Proyek Pembinaan Bahasa Dan Sastra Indonesia Dan Daerah Kalimantan Selatan, 1998 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Pada bagian pendahuluan buku ini dinyatakan oleh tim peneliti bahwa fungsi legenda Banjar tidak hanya berhubungan dengan kehidupan masyarakat Banjar masa lalu. Kenyataan yang terlihat sekarang membuktikan bahwa fungsi-fungsi itu masih relevan dan tetap menjadi pedoman hidup masyarakat Banjar walaupun zaman telah memasuki era modern. Banyak pakar dan tokoh masyarakat menyatakan bahwa legenda mempunyai banyak nilai untuk membimbing kehidupan masyarakatnya. Walaupun demikian, satu kenyataan yang tidak terbantahkan bahwa warisan budaya yang berupa legenda itu telah hampir dilupakan oleh generasi sekarang. Banyak masyarakat Banjar, terutama generasi mudanya yang tidak mengenal lagi khazanah legenda daerahnya. Buku ini membahas tema dan amanat legenda Banjar. Semua legenda yang diperoleh dipilahkan menjadi empat macam, yakni legenda keagamaan, legenda alam gaib, legenda perorangan, dan legenda setempat. Ada 15 cerita yang termasuk ke dalam legenda keagamaan, yakni Legenda Haji Muhammad Tahir, Legenda Datu Tuguk, Legenda Musyawarah Datu- Datu, Legenda Datu Insat, Legenda Datu Sanggul, Legenda Datu Pamulutan, Legenda Datu Tungkaran, Legenda Datu Suban dan Datu Arsanaya, Legenda Datu Sanggul dengan Syekh Arsayad Albanjari, Legenda Datu Pujung Membuat Mesjid, Legenda Datu Sanggul Menerima Kitab Laduni, Legenda Lima Wejangan, Legenda Langlang Silaut, Legenda Pangeran Suriansyah Membangun Mesjid, dan Legenda Agama Islam Masuk Kerajaan Banjar.

26 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 27

Legenda alam gaib terdiri dari 15 cerita, yakni Legenda Kuyang Pengisap Darah, Legenda Datung Sangka, Legenda Manusia Menjadi Jin, Legenda Anak Sima, Legenda Taktaknalau, Legenda Dapur Saatang, Legenda Babi Gunung Batu Bini, Legenda Nini Randa dengan Pohon Tangkalupa, Legenda Mapihan dan Tabuan Ranggas, Legenda Macan Panjadian, Legenda Hantu Sandah, Legenda Datung Gariwai, Legenda Nini Nambul, Legenda Datu namat, dan Legenda Datu Mabrur. Legenda Perseorangan memuat lima cerita, yakni Legenda Dara Gantar, Legenda Datu Angkawaya, Legenda Panji Utama, Legenda Panji Kuripan, dan Legenda Ratu Intan. Legenda Setempat membicarakan 10 cerita, yakni Legenda Radin Pangantin, Legenda Batu Kamaluan, Legenda Batu Tajak, Legenda Asal-Usul Desa Ulin, Legenda Balai Bahantak, Asal Mula Kampung Uka-Uka, Legenda Pulau Kambang, Legenda Asal Mula Nama Kota Karang Intan, dan Legenda Asal-Usul Kampung Panggung. Dalam kesimpulan penelitian dinyatakan bahwa tema dan amanat legenda Banjar berkisar pada sikap tawakal kepada tuhan, sikap sombong dan takabur, sikap pemimpin yang bijaksana, musyawarah dan mufakat, dan gigih menuntut ilmu. Judul Buku/ Penelitian : Nomina Bahasa Banjar Nama Pengarang : Jumadi, Durdje Durasid, Rustam Effendi Penerbit/ Tahun Terbit : Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan, Jakarta, 1998 Metode Penelitian : Deskriptif dan Kajian Putaka

Ringkasan Nomina Bahasa Banjar memiliki ciri-ciri tertentu, baik itu ciri secara morfologis, sintaksis, maupun semantis. Ciri-ciri nomina itu dapat diidentifikasi dari wujud dan perilaku nomina itu dalam tautan morfologis dan tautan sintaksis. Jika dilihat secara morfologis, dalam Bahasa Banjar ada sejumlah afiks dan klitik yang berkombinasi dengan bentuk dasar untuk membentuk nomina. Afiks itu adalah paN-, ta-, -ar, -an, paN-an, sa- an; sedangkan klitiknya adalah -ku, -mu, -nya. Secara sintaksis, nomina mempunyai distribusi dan fungsi tertentu. Distribusi nomina dalam Bahasa Banjar dapat ditandai oleh beberapa ciri, yakni (a) nomina dapat diawali atau diikuti kata penunjuk, (b) setiap kata yang diikuti oleh suatu satuan yang menyatakan posesif adalah nomina, (c) nomina dapat didahului oleh bentuk dasar yang berkelas numeralia, (d) nomina langsung dapat berdistribusi setelah preposisi, (e) nomina dapat berada sebelum atau sesudah kata nang ‘yang’, (f) nomina dapat didaului oleh kata sandang si ‘si’, dan (g) nomina dapat didahului oleh kata lain ‘bukan’. Dalam tautan sintaksis, nomina dapat menduduki fungsi subjek, predikat, objek, pelengkap, dan keterangan. Selain memiliki ciri morfologis dan sintaksis, nomina Bahasa Banjar juga memiliki bentuk tertentu, yakni nomina dasar, nomina turunan, nomina berulang, dan nomina majemuk. Nomina turunan dalam Bahasa Banjar ada yang berupa nomina infleksional dan nomina derivasional. Sementara itu, nomina berulang dalam Bahasa Banjar dapat dibedakan menjadi lima macam, yakni (a) nomina berulang seluruh bentuk dasar, (b) nomina berulang suku pertama, bentuk dasar, (c) nomina berulang bentuk dasar dengan variasi fonem, (d) nomina berulang dengan perubahan afiks,

28 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 29 dan (d) nomina berulang semu. Selain bentuk berulang, nomina juga mempunyai bentuk majemuk. Ada dua kelompok nomina majemuk, yakni nomina majemuk berunsur bentuk dasar dan bentuk terikat. Berdasarkan kelas kata unsur pembentuknya, bentuk nomina majemuk dalam Bahasa Banjar dapat dibedakan menjadi empat, yakni yang terbentuk dari N + N, N + V, N + Adj., dan N + Num. Semua nomina Bahasa Banjar tersebut mempunyai berbagai kemungkinan makna. Makna-makna itu bergantung kepada wujud dan perilaku nomina itu. - Terbit Tahun 1999 –

Judul Buku Penelitian : Sistem Pemajemukan Kata Bahasa Banjar Nama Pengarang : Jumadi, Fudiat Suryadikara, Rustam Effendi Penerbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini terdiri dari lima bab. Bab pertama merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, tujuan dilakukan penelitian, teori yang digunakan, data yang diperlukan dan sumber data, metode penelitian dan teknik penelitian. Bab kedua berisi berbagai ciri kata majemuk Bahasa Banjar. Dalam bab ini disebutkan tiga ciri kata majemuk Bahasa Banjar, yakni ciri fonologis, ciri morfologis, dan ciri sintaksis. Bab ketiga berisi tipe-tipe kata majemuk Bahasa Banjar. Dalam bab ini disebut tiga tipe kata majemuk, yakni kata majemuk berdasarkan kelas kata, kata majemuk berdasarkan konstruksinya, dan kata majemuk berdasarkan valensi sintaksi. Berdasarkan kelas kata, kata majemuk Bahasa Banjar terbentuk dari nomina, verba, numeralia, dan ajektiva. Berdasarkan konstruksinya, kata majemuk Bahasa Banjar dibedakan menjadi dua macam, yakni kata majemuk kontruksi endosentris, kata majemuk ekosentris. Bab keempat membahas makna kata majemuk. Dalam bab ini disebutkan tiga jenis makna kata majemuk, yakni makna struktural, makna idiomatik, dan makna kelompok. Makna struktural kata majemuk Bahasa Banjar terdiri dari makna struktural kata majemuk kelas nomina, kelas verba, kelas numeralia, dan kelas ajektiva. Makna idiomatik kata majemuk Bahasa Banjar dibedakan menjadi dua kategori, yakni makna idiomatik kata majemuk tingkat tinggi, tingkat sedang, dan tingkat rendah. Bab kelima merupakan bab penutup buku. Bab ini berisi simpulan tentang ciri kata majemuk, tipe kata majemuk, dan makna kata majemuk dalam Bahasa Banjar.

30 Judul Buku Penelitian : Struktur Sastra Lisan Lamut Nama Pengarang : Jarkasi, H. Djantera Kawi, H. Zainuddin Hanafi Penerbit/ Tahun Terbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini terdiri dari empat bab, yakni bab pendahuluan yang menjelaskan masalah penelitian, metode dan teknik penelitian, serta teori yang digunakan sebagai ancangan pembahasan terhadap data yang diperoleh. Bab kedua berisi pembahasan tentang struktur internal lamut. Hal yang dibahas dalam bab ini adalah tempat pagelaran, penyajian, alat musik yang menyertai pagelaran, pakem dan pengembangannya ketika di atas panggung, unsur sastra dalam seni lamut, dan struktur internal cerita lamut. Bab ketiga, pembahas-an tentang struktur eksternal lamut. Bab ini membahas tentang asal-usul lamut, tradisi lamut, fungsi dan kedudukan lamut dalam masyarakat Banjar, dan simbol-simbol yang muncul serta makna simbol-simbol itu. Bab keempat berisi simpulan hasil penelitian. Dalam simpulan ini dinyatakan bahwa lamut sebagai seni tradisional Banjar memiliki struktur internal dan eksternal. Kedua struktur ini terjalin membentuk suatu fungsi dan kedudukan yang erat dengan sejarah munculnya seni tradisional. Peran sastra lamut terutama adalah hiburan dan kadang-kadang bersifat sakral. Sebagai seni hiburan, lamut sering menyampaikan pesan kepada khalayak dengan suasana kemesraan, keakraban, sindiran, dan kritik-kritik tajam. Dalam fungsi sakral, lamut berfungsi sebagai upacara persembahan atau pemuja-an dan hajatan.

31 Judul Buku Penelitian : Nomina Bahasa Banjar Nama Pengarang : Jumadi, Durdje Durasid, Rustam Effendi Penerbit/ Tahun Terbit : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta Metode Penelitian : Deskriptif

Ringkasan Setelah membahas tentang teori yang digunakan, pembahasan dilanjutkan dengan menganalisis nomina Bahasa Banjar. Penelitian ini berhasil menemukan bentuk-bentuk dan makna-makna yang diemban oleh kata nomina Bahasa Banjar. Berdasarkan hasil penelitian ini, bentuk nomina Bahasa Banjar terdiri dari bentuk dasar, bentuk turunan, bentuk infleksional dan derivasional, bentuk berulang, dan bentuk majemuk. Nomina bentuk dasar adalah nomina yang belum mengalami proses morfologis. Pada umumnya, nomina bentuk dasar selalu merupakan morfem bebas. Bentuk nomina yang kedua adalah nomina turunan. Nomina turunan bahasa Banjar adalah nomina yang mengalami proses afiksasi, baik berprefiks, infiks, sufiks, maupun simulfiks. Nomina infleksional dan derivasional adalah nomina yang dilekati afiks paN-, -an, dan paN-an. Nomina derivasional adalah nomina yang terbentuk dari jenis kata lain akibat melekatnya afiks pada bentuk seperti kata kerja, sifat, dan lain-lain. Kata kerja /kuyak/ menjadi kata nomina setelah mendapat prafeks pa- menjadi panguyak (nomina). Bentuk nomina keempat adalah nomina berulang. Nomina berulang adalah nomina yang terjadi akibat proses perulangan atau reduplikasi. Bentuk nomina yang keempat adalah nomina majemuk. Nomina majemuk adalah nomina sebagai hasil dari gabungan dua atau lebih nomina atau nomina dengan jenis kata lain yang mewujudkan makna baru (pasar iwak = N+N, wadai habang = N+Adj, duit wani = N+ Adj, limau kuit = N+V, bulan sahiris = N+Num). Nomina Bahasa Banjar bisa juga terbentuk dari bentuk bebas dan bentuk terikat, seperti parang bungkul (parang sebagai bebas terikat dan bungkul sebagai bentuk terikat. Kata majemuk juga memiliki makna. Makna kata mejemuk antara lain: (i) orang yang melakukan suatu

32 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 33 pekerjaan, (ii) alat yang menjadikan, (iii) memiliki sifat seperti yang tersebut dalam bentuk dasar, dan makna lain sesuai konteksnya dengan kata-kata yang menyertai kata majemuk itu. - Terbit Tahun 2000 -

Judul Buku/ Penelitian : Manakib Datu Nuraya (Misteri Kitab Barencong) Nama Pengarang : H.M. Marwan Penerbit/ Tahun Terbit : Sahabat, Kandangan, Kal-Sel, 2000

Ringkasan Buku ini berisi cerita salah seorang datu yang terkenal di kawasan Kalimantan Selatan, khususnya di daerah Kabupaten Tapin, Rantau. Buku ini berisi tiga bab, yakni bab pendahuluan yang berisi sejarah hidup dan kematian Datu Nuraya, yang meliputi, sebab dimakamkan di Desa Tatakan, tentang Desa Tatakan yang merupakan tempat bersemayamnya para datu, kisah kesaktian para datu di Kampung Muning Tatakan, riwayat Datu Nuraya dan tempat berkuburnya Datu Nuraya, penemu makam Datu Nuraya, pembuktian spiritual bahwa Datu Nuaraya adalah tubuhnya sangat besar, tentang makam Datu Nuraya yang terpanjang di dunia, berbagai keramat Datu Nuraya, dan misteri Kitab Barencong. Bab kedua membicarakan susunan pengurus atau pengelola makam keramat Datu Nuraya. Bab ketiga berisi berbagai tanggapan masyarakat terhadap kisah Datu Nuraya. Dalam bagian pendahuluan dijelaskan bahwa riwayat Datu Nuraya bersumber dari cerita rakyat yang berkembang di daerah Kabupaten Tapin. Cerita ini diwariskan turun-temurun dari satu generasi ke generasi lainnya. Pada bagian lain buku ini disebutkan bahwa nama asli Datu Nuraya adalah Syekh Abdul Mu’in dan sebagian masyarakat mangatakan nama yang sebenarnya adalah Syekh Abdul Jabbar. Datu Nuraya datang secara tiba-tiba menemui Datu Suban. Namun, beberapa saat setelah bertemu dan saling membalas salam, datu itu meninggal dunia. Datu itu dinamakan Datu Nuraya karena badannya sangat besar. Di dalam tubuh Datu Nuraya ditemukan satu tas kecil (salepang) yang ternyata berisi satu kitab. Kitab ini kemudian dinamakan kitab barencong. Sejak meninggal dunia, tidak seorang pun yang mengetahui di mana Datu Nuraya berkubur atau dimakamkan. Cerita penemuan makam Datu

34 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 35

Nuraya dimulai karena seringnya masyarakat sekitar Desa Tatakan melihat cahaya menjelang malam memancar di langit. Salah seorang anggota masyarakat yang bernama Baseran atau Utuh Karikit mencari asal muasal cahaya itu. Di dalam hutan, Utuh Karikit menemukan dua buah batu. Batu yang satu dengan batu yang lain berjarak sekitar 45 meter. Dua buah batu itu oleh para tokoh masyarakat diyakini sebagai batu nisan Datu Nuraya. Konon, Almarhum Baseran atau Utuh Karikit sudah beberapa kali dijumpai oleh Datu Nuraya pada saat di antara tidur dan jaga. Datu Nuraya berpesan agar dia memelihara makamnya. Sejak saat itu, Baseran bersahabat dengan Datu Nuraya. Karena sebab persahabatan itu, Baseran mempunyai kesaktian dan keahlian dapat mengangkat atau menarik kapal yang kandas, mobil yang terbalik, dan barang berat lainnya. - Terbit Tahun 2001 -

Judul Buku/ Penelitian : Manakib Datu Suban dan Para Datu Nama Pengarang : H.M. Marwan Penerbit/ Tahun Terbit : TB Sahabat, Kandangan, 2001 Metode Penelitian : Deskriptif

Ringkasan Buku ini membicarakan para datu yang hidup di Kabupaten Tapin. Para datu ini dianggap benar-benar hidup pada masa lalu dan menjadi panutan dan pelindung masyarakat sekitar pada masa lalu. Manakib pertama dalam buku ini adalah Manakib Datu Suban. Dalam buku ini disebutkan Datu Suban adalah seorang ahli agama dan guru agama yang ahli dalam bidang tasauf. Beliau hidup di Pantai Jati Munggu Karikil Tatakan, Rantau. Datu Suban adalah guru dari semua Datu orang Muning, Rantau. Datu Suban sangat santun dan berakhlak mulia. walaupun demikian, kalau ada orang yang berbuat jahat maka beliau tidak ragu-ragu mengambil tindakan kepada orang itu. Dengan kesaktiannya, orang jahat akan takluk tak berkutik dengan beliau. Buku manakib ini dilengkapi dengan ajaran-ajaran Datu Suban, wafatnya Datu Suban dengan cara yang ajaib, yakni badan-nya lenyap, yang terlihat hanya kukus (asap) yang kemudian asap itu berganti dengan cahaya yang memancar sampai ke langit. Pada suatu hari Datu Suban didatangi oleh seorang yang berbadan sangat besar. Orang itu tiba-tiba roboh dan meninggal dunia. Para datu yang melihat kehadiran orang besar ini dinamai Datu Nuraya. Di dalam pakaian orang itu terselip satu buku. Buku itu ternyata berisi berbagai ilmu untuk kejayaan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Isi buku itu disampaikan kepada murid-murid Datu Suban untuk diamalkan. Murid Datu Suban yang menerima amalan buku itu masing- masing sebagai berikut. Datu Murakat diberi satu ilmu kepahlawanan yang dengan ilmu itu maka musuh tidak akan berani melawan. Datu Tamiang Karsa diberi ilmu panglima kelasykaran. Dengan ilmu ini maka Datu

36 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 37

Tamiang Karsa menjadi gagah perkasa sehingga tak ada lawan yang mampu menandingi keperkasaannya. Datu Niang Thalib diberi ilmu kabariat dunia. Ilmu ini sangat hebat sehingga apabila beliau menghentakkan kaki maka orang jahat akan lemah urat-tulangnya sehingga terduduk tak berdaya. Datu Niang Thalib dipercaya masih hidup sampai sekarang sebagai penguasa alam gaib di Hutan Pulau Kadap, Rantau. Datu Karipis diberi ilmu kuat mengangkat beban yang berat-berat, mampu berjalan di atas air, badannya tidak terbakar oleh api, dan kebal terhadap senjata tajam lainnya. Datu Ganum diberi ilmu dapat berubah menjadi empat badan yang rupa dan bentuknya sama sehingga tidak bisa diketahui yang mana tubuh Datu Ganum yang sesungguhnya. Datu Argih diberi ilmu kesempurnaan dunia dan akhirat, Datu Ungku diberi ilmu keduniaan yang apabila dua telapak tanganya ditekukkan maka musuh akan lemah lunglai dan terduduk tak berdaya. Datu Labai Duliman diberi ilmu falaq, bisa menerjemahkan Bahasa asing, dan dapat mengetahui seisi alam. Datu Harun diberi ilmu kebal dan badannya keras bagaikan besi, Datu Arsanaya diberi ilmu kesalehan. Datu Rangga diberi ilmu keduniaan semata untuk memimpin masyarakat. Datu Galuh Bulan diberi ilmu kecantikan dan awet muda. Datu Sanggul diberi ilmu makrifat sehingga jaya di dunia dan akhirat. Judul Buku/ Penelitian : Intingan Lawan Dayuhan Badua Badangsanak Nama Pengarang : Syamsiar Seman Penerbit/ Tahun Terbit : Grafika Wangi Kalimantan, Banjarmasin, 2001

Ringkasan Buku ini berisi 5 cerita dongeng yang sangat digemari anak-anak pada masa lalu. Kelima dongeng itu diberi judul oleh pengarangnya dengan (1) Intingan Lawan Dayuhan Badua Badangsanak, (2) Nini Randa Balu Mambarii Hayam, (3) Julak Larau Mambarii Iwak, (4) Sarawin Tulak ka Urang Aruh, dan (5) Sarawin Mambatak Haur. Semua cerita dongeng ditulis dalam Bahasa Banjar. Dalam Kata Pengantar buku ini, penulis mengatakan bahwa pada masa penulis masih kecil, setiap malam anak-anak merengek-rengek kepada nenek masing-masing meminta dikisahkan dongeng-dongeng. Di antara dongeng-dongeng itu adalah yang dikumpulkan penulis dalam buku ini. Waktu menceritakan dongeng-dongeng itu adalah sehabis makan malam. Sambil menunggu saat tidur, cerita itu dituturkan oleh ayah, atau ibu, atau oleh nenek atau kakek. Menurut penulisnya, kisah dongeng itu menjadi alat pendidikan karakter anak. Dalam cerita Intingan dan Dayuhan, misalnya, sangat sarat dengan pendidikan karakter. Intingan adalah seorang yang dilukiskan sebagai orang yang baik hati, pintar, dan tidak malas apabila disuruh membantu orang tua. Berbeda dengan Dayuhan, adik Intingan. Dayuhan diberi sifat bodoh, tidak menuruti nasihat orang tua, iri, dan lain-lain sifat yang tidak baik. Dari cerita ini anak-anak diharapkan bisa mengikuti perilaku Intingan dan menjauhi perilaku Dayuhan. Menurut pengarangnya, pada saat ini sebaiknya cerita- cerita dongeng ini perlu disampaikan lagi kepada anak-anak sekarang agar mereka tahu peninggalan cerita masa lalu sekaligus juga memetik nilai yang terkandung di dalamnya. Sangat disayangkan, kata penulis lagi, ceita-cerita ini sudah banyak dilupakan orang.

38 Judul Buku/ Penelitian : Sketsa Sastrawan Kalimantan Selatan Nama Pengarang : Jarkasi & Tajuddin Noor Ganie Penerbit/ Tahun Terbit : Balai Bahasa Banjarmasin, 2001

Ringkasan Buku ini berisi nama, riwayat hidup, dan riwayat kepengarangan setiap sastrawan Banjar. Buku ini berisi 307 orang sastrawan Banjar. Di dalam catatan pendahuluan dinyatakan bahwa buku ini merupakan sketsa penyair Kalimantan Selatan yang pernah tercatat sebagai sejarah dunia sastra di Kalimantan Selatan. Dinyatakan juga dalam buku ini bahwa sebagian fakta sejarah berkenaan dengan data sederet penyair yang direkonstruksi masih sangat terbatas. Data yang terungkap dalam buku ini hanyalah keterangan beberapa narasumber yang dipandang banyak mengetahui ikhwal kreativitas sastra modern di Kalimantan Selatan. Lemahnya kegiatan pengarsipan dalam kegiatan tulis-menulis sastra masa lalu diduga karena tradisi lisan di daerah ini terlalu kuat. Penyusunan sketsa sastrawan Kalimantan Selatan direkonstruksi sejak sebelum perang kemerdekaan sampai sekarang. Luasnya jangkauan yang ingin ditulis atau direkonstruksi menjadi masalah yang luar biasa sulitnya bagi penulis buku ini. Sumber-sumber itu sebagian harus dicari dari anggota masyarakat yang dapat dipandang sebagai narasumber utama. Menurut penulis buku ini, sastrawa-sastrawan yang terhimpun dalam sketsa ini sangat variatif. Para sastrawan itu tidak hanya menulis sastra, tetapi juga menulis esai-esai seni lainnya, seperti tari, drama, dan sejarah sastra. Ada pula yang hanya menulis puisi, atau hanya prosa, atau sekaligus menulis prosa dan puisi. Oleh pengarang buku ini, para sastrawan Banjar bisa dipilahkan menjadi empat kelompok, yakni (i) sastrawan generasi perintis, (ii) sastrawan generasi penerus, (iii) sastrawan generasi penerus perkembangan, dan (iv) sastrawan generasi pewaris. Sastrwan generasi perintis adalah sastrawan yang mengalami zaman serba sulit atau ketika situasi zaman mulai ada kesadaran berbangsa sampai pecahnya perang dengan kolonial Belanda dengan pejuang kemerdekaan Indonesia. Zaman

39 40 Jumadi, dkk. ini amat sulit bagi pengarang untuk mengungkapkan isi karya-karyanya dan juga sangat sulit untuk mengomunikasikan karya-karyanya melalui media massa atau media lainnya. Tentu para sastrawan generasi ini adalah para sastrawan yang ideal karena keberanian mereka menembus zaman yang sangat tidak mendukung. Diantara para sastrawan generasi ini disebutkan nama-nama seperti Amir Hasan Bondan, Hadariyah M, Abdul Hamul Utir, Asmara jaya, Harun Muhammad Arsyad, M. Yusuf Azidin, Merayu Sukma, Gusti Mayur, Zafri Zamzam, Abdurahman Karim, Arsyad Manan, Amail Gafuri, Kasyful Anwar, M. Yusuf, Abdul Muin Cuty, Asnawi Rais, Darmawi Saruji, Gusti Abdurahman, Gusti Abdul Malik Thaha Hamdi Redwansyah, H. Mas Amandit, Masdari, Merah Daniel Bangsawan, Ramlan Marlim, Artum Artha, Gusti Abubakar, Zafuri Zumri, Hassan Basry, M. Hanafiah, Merah Johansyah, dan Sarasakti. Judul Buku/ Penelitian : Pangeran Samudera (Pangeran Suriansyah) Nama Pengarang : Syamsiar Seman Penerbit/ Tahun Terbit : Yayasan Pendidikan Nusantara, Banjarmasin, 2002

Ringkasan Buku ini menceritakan kembali seorang Raja Banjar Islam yang pertama yang bernama Pangeran Samudra atau Sultan Suriansyah. Dalam kata pengantarnya, penulis menyatakan bahwa banyak masyarakat Banjar yang tidak mengetahui tentang siapa sebenanya Pangeran Samudera itu. Karena itu, salah satu tujuan buku ini adalah untuk memberitahukan kepada masyarakat tentang seorang yang bernama Pangeran Samudera melalui kisah yang diambil dari cerita rakyat turun-temurun. Di samping memuat cerita tentang Pangeran Samudera, buku ini juga memuat beberapa cerita yang ditulis dalam Bahasa Banjar. Penulis berharap para pembaca dapat mengingat kembali masa lampau masyarakat dan kehidupan orang Banjar, di samping juga bisa memetik nilai yang dikandung oleh cerita. Apabila cerita yang berjudul Pangeran Samudera (Sultan Suriansyah) merupakan legenda maka cerita lainnya yang ada dalam buku ini merupakan dongeng. Cerita Banjar atau dongeng Banjar yang ada dalam buku ini adalah Tungkat Lawan Wancuh, Dangding Anak Miskin, Nini Gigiran Lawan dan Hantu Kisut, Pacana Tulak Maunjun. Menurut penulisnya, buku ini sengaja ditulis dengan Bahasa Banjar agar Bahasa Banjar tetap terpelihara sepanjang masa. Diakhir setiap cerita, penulis menyampaikan berbagai nilai budaya yang patut menjadi pelajaran bagi orang Banjar.

41 - Terbit Tahun 2005 -

Judul Buku/ Penelitian : Kisah-Kisah Sarawin Nama Pengarang : Syamsiar Seman Penerbit/ Tahun Terbit : Pendidikan Utama, Banjarmasin, 2005

Ringkasan Buku ini memuat 18 cerita dengan tokoh Sarawin. Menurut penulisnya, Sarawin adalah tokoh legendaris rakyat Banjar di Kalimantan Selatan, yang ceritanya terkenal dalam folklor Banjar sejak zaman dahulu. Tokoh Sarawin merupakan tokoh cerita rakyat Banjar yang lucu, banyak akal, dan membuat orang jengkel dengan ulahnya. Dalam Sastra Banjar, tokoh yang memiliki perilaku atau watak yang kurang lebih sama dengan Sarawin adalah tokoh Palui. Media cetak (surat kabar) yang selalu memuat cerita dengan tokoh Sarawin adalah Media Masyarakat dan cerita rakyat dengan tokoh Palui adalah Banjarmasin Post. Cerita yang termuat dalam buku ini oleh pengarangnya diberi judul, yakni Asal-Usul Sarawin, Sarawin Handak Tulak Madam, Sarawin Jadi Tukang Kawah, Sarawin Disariki Mintuha, Sarawin Mahadap Tuan Kuntulir, Sarawin Dipardum Tuan Kuntulir, Manyunat Anak Sarawin, Sarawin Handak Jadi Tukang Sunat, Sarawin Tulak ka Urang Mulut, Salawar Gubih, Sarawin Bagigi Palsu, Sarawin Handak Manukar Pabukaan, Sarawin Mahaur-Haur Puasa, Musim Buah Rambutan, Kulit Buah Tiwadak, Talambat Maangkat, Kasian Haji Ibak, Kada Makan Daging.

42 udul Buku/ Penelitian : Tata Bahasa Bahasa Banjar Nama Pengarang : Abdul Djebar Hapip Penerbit/ Tahun Terbit : FKIP Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2005

Ringkasan Buku ini terdiri dari 4 bab, yakni bab pendahuluan, bab tentang tata bunyi, bab tentang morfologi, dan bab tentang tata kalimat. Dalam bab pendahuluan dibicarakan tentang Bahasa Banjar dan penuturnya, dialek- dialek Bahasa Banjar, tata bahasa pengajaran Bahasa Banjar, ejaan Bahasa Banjar, sistem persukuan dalam Bahasa Banjar, dan petunjuk pengajaran Bahasa Banjar untuk guru. Bab tentang tata bunyi membicarakan fonem- fonem dalam Bahasa Banjar, baik fonem vokal, konsonan, dan semivokal, serta posisi fonem-fonem itu di dalam kata. Bab pembentukan kata atau morfologi berisi pembicaraan tentang jenis kata dalam Bahasa Banjar. Dalam bab ini disebutkan 8 jenis kata, yakni kata benda, kata kerja, kata sifat, kata bilangan, kata ganti, kata keterangan, kata depan, dan kata tugas. Dalam bab morfologi dibicarakan juga tentang pengimbuhan dalam Bahasa Banjar. Pengimbuhan yang dibicarakan meliputi awalan dan akhiran, sisipan, reduplikasi, kata majemuk, dan bentuk khusus. Dalam bab ini disebutkan bahwa 8 imbuhan, yakni maN-, di-, ba-, ta-, ka- (θ-an), paN-, sa-, -an. Dalam Bahasa Banjar terdapat pula beberapa bentuk sisipan. Menurut buku ini, sisipan sudah tidak produktif lagi. Sisipan dalam Bahasa Banjar adalah: -ar- pada kata bubuy → barubuy, kojot → karojot. Sisipan –ur- pada kata kambit → kurambit, kukut → kurukut, kikih → kurikih. Sisipan –al- pada kata susur → salusur, sisit → salisit. sisipan – ul- pada kata kacak → kulacak, kupak → kulipak. Perulangan Bahasa Banjar mempunyai tiga macam cara, yakni pengulangan seluruhnya seperti hirang- hirang, bukah-bukah, dan lain-lain. Perulangan sebagian seperti pada kata rumah → rurumahan, mutur → mumuturan, dan lain-lain. Perulangan berubah bunyi seperti pada kata liang-liur, guang gail, dan lain-lain.

43 44 Jumadi, dkk.

Dalam bab morfologi dibicarakan juga satu bentuk yang oleh pengarang disebut bentuk khusus. Bentuk khusus adalah kata yang terbentuk dengan sing-an seperti pada kata bungas → singbungasan, ganal → singganalan; kada-sing-an seperti pada kata kada singduitan, kada singbajuan; lalu seperti pada kata habis → habis lalu, pintar → pintar lalu; gila seperti pada kata gila banyaknya, gila ikarnya, dan lain-lain. Bab terakhir buku ini memBahasa tatakalimat Bahasa Banjar. Dalam bab ini dibicarakan bagian- bagian kalimat dan fungsinya, serta jenis-jenis kalimat. Menurut pengarang, kalimat Bahasa Banjar meliputi kalimat tunggal dan kalimat majemuk. - Terbit Tahun 2006 -

Judul Buku/ Penelitian : Pamali Banjar: Deskripsi Bentuk, Fungsi, dan Makna Peneliti : Yuliati Puspitasari, Musdalipah, Ahmad Zaini, Dede Hidayatul-Lah, Sri Wahyu Nengsih Penerbit/ Tahun Terbit : Balai Bahasa Banjarmasin, 2006 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Salah satu bentuk kepercayaan rakyat dalam masyarakat Banjar biasanya disebut dengan istilah pamali. Menurut Danandjaja (2002: 21), sebagai salah satu ragam sastra lisan, kepercayaan rakyat merupakan bagian dari foklor sebagian lisan. Pamali Banjar termasuk jenis sastra lisan yang digunakan atau yang pernah digunakan dalam masyarakat Banjar dengan menggunakan Bahasa Banjar sebagai mediumnya. Dilihat dari segi pemakaiannya, terjadi pergeseran tingkat karena dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kemungkinan kelak bisa menjurus pada ketidakkenalan masyarakat Banjar terhadap sebagian besar bentuk-bentuk pamali yang berasal dari daerahnya. Penelitian ini merupakan upaya menggali dan mengenali sastra daerah dan mengetahui pengaruhnya bagi kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Melalui penelitian ini diharapkan masyarakat Banjar sekarang dapat menghayati pikiran-pikiran yang menjadi pedoman kehidupan masyarakat Banjar dahulu. Berawal dari kekhawatiran punahnya pedoman kehidupan masyarakat Banjar ini maka penelitian ini dilakukan. Selain itu hal ini juga sebagai wujud pelestarian terhadap sastra daerah, khususnya pamali, agar tidak terlupakan oleh generasi muda sekarang, selaku pewaris kebudayaan.

45 Judul Buku/ Penelitian : Pamali Banjar: Deskripsi Bentuk, Fungsi, dan Makna Peneliti : Yuliati Puspita Sari, Musdalipah, Ahmad Zaini, Dede Hidayatullah, Sri Wahyu Nengsih Penerbit/ Tahun Terbit : Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, 2006 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif-Antropologis dan Mitopik, Teori Folklor.

Ringkasan Pamali Banjar merupakan jenis sastra lisan yang digunakan atau pernah digunakan dalam masyarakat Banjar dengan menggu-nakan Bahasa Banjar sebagai medianya. Tujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan berbagai bentuk, fungsi, dan makna yang terdapat dalam pamali Banjar. Berdasarkan penelitian, ada 207 bentuk pamali yang dikumpulkan. Pamali-pamali tersebut berfungsi sebagai media penebal emosi keagamaan atau kepercayaan, alat pendidikan yakni media sopan santun, tata krama saat makan, mensyukuri rezeki, menggunakan sesuatu sesuai fungsinya, memanfaatkan waktu, kesehatan dan keselamatan, menyelesaikan pekerjaan. Selain itu, pamali-pamali tersebut juga ada yang berfungsi sebagai sistem proyeksi khayalan suatu kolektif yang berasal dari halusinasi seseorang terhadap makhluk-makhluk alam gaib. Berdasarkan maknanya, pamali-pamali tersebut berhubungan dengan kelahiran, masa bayi dan anak- anak; tubuh manusia dan obat-obatan rakyat; rumah dan pekerjaan rumah; mata pencaharian dan hubungan sosial; perjalanan dan perhubungan; cinta, pacaran dan menikah; kematian dan adat pemakaman; kesehatan, nasib dan kepercayaan; serta alam gaib. Masih banyak fenomena lain dalam pamali yang belum diteliti secara komprehensif. Sehubungan dengan itu, peneliti menyarankan fenomena-fenomena pamali yang masih berselimut misteri itu suatu saat dapat diungkapkan peneliti lain.

46 - Terbit Tahun 2008 -

Judul Buku/ Penelitian : Syair Carangkulina : Analisis Struktur, Fungsi, dan Nilai Budaya Nama Pengarang : Saefuddin Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana, Universitas Lambung Mangkurat, 2008 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskripstif dan Teori Filologi.

Ringkasan Syair merupakan karya sastra termasuk ke dalam jenis prosa berbentuk puisi, isinya mengandung unsur cerita yang dibangun oleh sebuah struktur. Struktur dalam cerita tersebut, yakni tema dan amanat, tokoh dan penokohan, alur serta latar. Semua unsur yang ada di dalamnya itu mengandung sebuah jalinan yang kait-mengait antara satu dengan yang lainnya. Sebuah karya sastra juga sarat dengan unsur luar, yakni unsur sosial budaya atau fungsi dan nilai budaya dalam karya sastra (naskah syair). Penelitian ini menganalisis isi syair dan bertujuan untuk mengungkap isi yang terkandung di dalamnya yang diawali dengan menganalisis unsur struktur. Pengungkapan struktur adalah sebagai upaya awal untuk mengetahui secara jelas hubungan unsur dengan unsur dalam. Jika demikian, syair yang berbentuk bait itu dapat disejajarkan dengan karya sastra lainnya, seperti karya sastra novel. Untuk menafsirkan syair Carangkulina, dengan membaca keseluruhan isi dapat diketahui bahwa tema sentral dalam cerita tersebut mengenai kebaikan dan kebatilan, sedangkan tema lain, yaitu tema percintaan sebagai intrik-intrik pengembangan alur cerita. Tema tersebut dapat tergambar dalam diri tokoh-tokoh cerita, baik itu tokoh pratagonis maupun tokoh pratagonis juga lewat tokoh-tokoh bawahan. Sisi yang lain perkembangan cerita yang menggambarkan tema kebaikan dan kebatilan di samping tergambar lewat tokoh-tokoh cerita juga tergambar alur cerita sehingga konflik demi konflik cerita menjadi lebih menarik dan penceritaan

47 48 Jumadi, dkk. yang menarik itu juga didukung oleh latar-latar situasi dan kondisi, baik itu latar tempat pengisahan maupun latar waktu pengisahan cerita. Semua unsur struktur cerita itu memiliki hubungan dan saling melengkapi satu dengan yang lainnya. Analisis selanjutnya terkait dengan fungsi dan nilai budaya. Analisis fungsi dalam penelitian ini dimulai dengan mengulas sekilas tentang syair serta perkembangannya kemudian akan mengulas bagaimana fungsi syair Carangkulina dalam kehidupan masyarakat, sedangkan analisis nilai budaya mengulas tentang nilai apa yang terdapat dalam naskah dengan didasarkan pada teks sebagai bahan kajian dalam penelitian. Secara lebih khusus analisis struktur yang dilakukan dalam penelitian ini mengungkap tema dan amanat dalam cerita, analisis tokoh antagonis dan pratagonis, alur dan pengaluran serta latar. Dari analisis itu dapat diketahui bagaimana jalinan isi cerita yang berkaitan antara unsur satu dengan unsur lainnya. Adapun analisis fungsi dilakukan dengan mengungkapkan bahwa kedudukan syair Carangkulina dilihat fungsinya di dalam masyarakat pada masanya, sedangkan nilai budaya mengungkapkan nilai-nilai yang ada di dalam syair Carangkulina. Baik melalui tokoh cerita maupun melalui isi cerita yang lainnya. Hasil penelitian ini akan memberikan gambaran tentang sebuah struktur cerita, fungsi syair pada masanya, dan nilai budaya yang ternadung dalam syair Carangkulina tersebut. Judul Buku/ Penelitian : Representasi Nilai Kultural Banjar Dalam Kumpulan Puisi Kurrr Sumangat Banuaku Nama Pengarang : Fuji Hidjriyati Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis, Magister Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia, Univeritas Lambung Mangkurat, 2008. Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskripstif, Teori Sastra, Antropologi Budaya Ringkasan Poetry or poem expresses thinking aroused feeling that excite imagination of the five senses in rhythmical atmosphere. All of these are important things which are recorded and expressed, stated interesting and give impression. The poetry is a recording and interpretation of human important experience that is composed into the most valuable form. This research is aimed to obtain objectively description about 7 elements of culture in the collection of Banjarese poetries (1) language, (2) knowledge system, (3) social organization, (4) life instrumentation system and technology, (5) means of livelihood system, (6) religious system, and (7) arts. The theory used as basic of instrument development is definition theory according to Shahnon Ahmad, Altenbernd, and Aminuddin, and also theory 7 elements of culture according to Koentjaraningrat. The research data are taken from the collection of Banjarese poetries consist of 20 poetries. This research uses sociological approach, structural approach and semiotics approach with descriptive method and content analysis technique. The primary instrument is researcher. The secondary instruments are the collection of Banjarese poetries book, tape recorder and research notes. The analysis of data is done during the collecting of data. The research result shows that there are 7 elements of Banjar culture in the collection of poetries, those are: language (29 items), knowledge system (2 items), social organization (10 items), means of livelihood system (27 items), religious system (14 items), life instrumentation system and technology (14 items), and arts (3 items). The most dominant element in the poetry is language. In the collection of poetries, it uses much ambiguity meanings and language styles.

49 Judul Buku/ Penelitian : Analisis Jenis dan Pola Pembentukan Capatian Masyarakat Banjar Nama Pengarang : Muhammad Yusransyah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis, Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Univeritas Lambung Mangkurat, 2008. Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskripstif, Teori Tradisi Lisan

Ringkasan Melalui penelitian ini, peneliti berusaha untuk menggali data tentang jenis dan pola pembentukan capatian masyarakat Banjar. Penelitian ini menggunakan metode naturalistik dengan menggunakan teknik pemerolehan data berupa observasi langsung. Capatian masyarakat Banjar terbagi menjadi dua jenis, yaitu capatian berhubungan (related riddle) dan capatian tidak berhubungan (unrelated). Capatian berhubungan terbagi menjadi lima jenis, yaitu capatian berbentuk: (1) pertanyaan biasa, (2) pemahaman (mahalabio), (3)superlatif, (4) perbedaan, dan (5) dua pernyataan dengan satu jawaban. Capatian tidak berhubungan terbagi menjadi enam jenis, yaitu capatian yang berbentuk: (1) teka-teki (riddling questions, (2) permainan kata (punning), (3) permasalahan (problem), (4) perangkap (catch question), (5) lelucon (ruddle joke), dan (6) gabungan Bahasa lisan dan gambar (konyol). Berdasarkan aspek yang ditonjolkan terdapat dua pola pembentukan capatian, yaitu capatian yang pembentukannya lebih menonjolkan bagian pertanyaan dan capatian yang pembentukannya lebih menonjolkan bagian jawaban. Terdapat tujuh belas capatian yang pembentukannya lebih menonjolkan bagian pertanyaan, yaitu capatian yang dibentuk dengan (1) kata berhomonim atau polisemi, (2) pernyataan kontradiktif, (3) pengibaratan, (4) penyajian secara berulang-ulang, (5) mengajukan simpulan untuk ditemukan sifat, penyebab, atau alasannya (6) perbedaan arti antara Bahasa Banjar dan Bahasa Indonesia, (7) pemenggalan kata, kemiripan bunyi, perbedaan jeda

50 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 51 pengucapan, atau susunan kata, (8) agak porno, tetapi tidak demikian, (9) memfokuskan suatu kebiasaan untuk dikontraskan dengan keadaan yang sebenarnya, (10) mengemukakan hal-hal yang tidak berhubungan langsung dengan fokus pertanyaan, (11) perbandingan tiga pilihan yang dapat mengecoh mitra tutur (12) pernyataan yang dapat menimbulkan salah pengertian, namun sangat rasional, (13) pengecualian terhadap nama-nama yang selalu melekat pada induk atau asalnya, (14) kata dan jawaban yang ganda, (15) kesan umum yang ada di masyarakat, (16) perbedaan antara dua benda yang memiliki fungsi, milik, keadaan yang bertentangan, dan (17) nama daerah yang salah satu katanya dijadikan sebagai induk pertanyaan. Capatian yang lebih menonjolkan bagian jawaban terbagi menjadi enam belas pola pembentukan, yaitu capatian yang dibentuk dengan: (1) memenggal jawaban sebagai pertanyaan, (2) bunyi bahasa yang memiliki kemiripan dengan bahasa asing, (3) mengaitkan pada agama, (4) mempertentangkan sesuatu dengan perempuan dan seksualitas, (5) ketidaksempurnaan pengucapan, (6) mengganti kepanjangan suatu singkatan dengan yang tidak lazim, (7) mengalihkan fokus jawaban pada hal yang baru, (8) jawaban yang tidak masuk akal, (9) jawaban berlebihan, (10) jawaban yang dapat ditelusuri dari kata-kata yang digunakan, (11) menghubungkan sesuatu dengan lagu, (12) kata yang mengungkapkan kemustahilan, (13) nama seseorang untuk dibuat pertanyaan yang sesuai dengan keadaannya, (14) jawaban: mun kada ..., kada ... ngarannya (15) jawaban sebagai lanjutan dari kegiatan yang diajukan, (16) menggabungkan beberapa hal yang sesuai dengan yang dikemukakan. Judul Buku/ Penelitian : Analisis Struktur dan Nilai Budaya Sastra Banjar Japin Carita (Naskah Pementasan Teater Awan) Fakultas Tarbiyah Iain Antasari Banjarmasin Nama Pengarang : Padillah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2008. Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskripstif dan Teori Sastra Struktural

Ringkasan Penelitian ini membahas Struktur Japin Carita (Naskah Pementasan Teater Awan) Fakultas Tarbiyah IAIN Antasari Banjarmasin. Tujuan yang akan dicapai ialah untuk mendeskripsikan struktur yang dibangun dalam naskah-naskah pementasan tersebut, yang terdiri dari tema, amanat, alur, penokohan dan latar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan teknik analisis isi (content analysis). Sumber data yang diteliti sebanyak 10 naskah pementasan Japin Carita. Hasil penelitian ini ialah 1) tema meliputi: kasih sayang, cinta, keteladanan orang tua, pendidikan agama, sopan santun, introspeksi diri, wajib belajar sembilan tahun, pernikahan muda, fitnah, perjodohan, cinta kesenian daerah, dan hikmah dibalik cobaan. 2) amanat meliputi: kesucian cinta, kejelekan sifat amarah, akibat pergaulan bebas, dampak negatif narkoba, dampak negatif VCD porno dan budaya barat, penyalahgunaan jabatan, dampak negatif judi, pentingnya pendidikan, kecerobohan berbicara, pendidikan seumur hidup, kuliah di perguruan tinggi, perdukunan, mensyukuri nikmat, perantauan, giat belajar, melestarikan kesenian daerah, dan kejahatan pasti akan terbongkar. 3) alur meliputi: permulaan, pertikaian, perumitan, puncak, dan akhir. 4) tokoh dan Penokohan meliputi: pertama tokoh utama terdiri dari tokoh protagonis, antagonis, wirawan dan wirawati yang kedua tokoh bawahan, sebagai pelengkap tokoh utama. 5) latar meliputi: tiga hal, yaitu pertama latar sosial, kedua latar geografis atau tempat dan yang ketiga latar waktu atau historis.

52 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 53

Berdasarkan proses dan hasil penelitian, dikemukakan saran (1) perlu dikembangkannya penelitian tentang naskah-naskah drama dengan perspektif yang lain sehingga penelitian tentang sastra akan lebih berkembang dan inovatif sehingga mampu menambah khazanah keilmuan di bidang sastra khususnya yang berkenaan dengan sastra daerah. (2) dengan hasil penelitian struktur ini maka diharapkan kita dapat mengambil nilai-nilai atau pesan-pesan yang disampaikannya untuk menjadikan kita menjadi sebenar-benarnya manusia yang berbudaya dan beradab serta bermartabat dihadapan Tuhan. - Terbit Tahun 2009 -

Judul Buku/ Penelitian : Sastra Lisan Banjar Hulu Nama Pengarang : Fahrurraji Asmuni

Penerbit/ Tahun Terbit : Hemat, Amuntai, 2009

Ringkasan Buku ini terdiri dari 17 bab yang masing-masing membicarakan secara singkat, disertai contoh masing-masik bentuk sastra Banjar. Bentuk-bentuk sastra Banjar yang dibicarakan adalah, bab pendahuluan, baahui, bandi- andi, bacaapatian, balamut, bapantun, dindang, isim, madihin, mahalabiu, mamanda, mangabuwau, manyair, papadahan, tutur candi, ungkapan, dan kesimpulan. Pada bab pendahuluan disebutkan bahwa pembicaraan/ isi buku diperoleh dari informasi dan temuan di masyarakat. Tujuan penulisan buku adalah untuk memberikan informasi kepada masyarakat pembaca tentang Sastra Banjar dan juga untuk dokumentasi dan bahan rujukan bagi para peneliti atau penulis yang berminat terhadap sastra Banjar. Bagian kedua adalah tentang baahui. Menurut penulis, baahui adalah acara berbalas pantun pada saat merontokkan padi yang masih berada di tangkainya. Biasanya, baahui dilaksanakan pada malam hari dengan dihadiri oleh masyarakat sekitar sebagai penonton. Bagian ketiga adalah tentang baandi-andi. Baandi-andi adalah menyampaikan cerita dengan berlagu dan diiringi musik gesek seperti biola. Menurut penulisnya, baandi-andi berasal dari Kandangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Baandi-andi biasanya ditampilkan pada acara Aruh Ganal di Kampung Loksado. Bagian keempat berisi ikhwal bacacapatian (teka-teki). Bagian kelima membicara seni lamut. Menurut pengarangnya, lamut adalah kesenian tutur asli etnik Tionghoa. Lamut dibawa pedagang Tionghoa ke Banjar dan berkembang ke berbagai daerah di Kalimantan Selatan. Ada dua macam cerita lamut, yakni lamut batatamba (lamut untuk pengobatan) dan lamut baramian (lamut untuk hiburan). Lamut batatamba adalah pertunjukan

54 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 55 cerita lamut untuk menyembuhkan anak yang sakit panas, ibu hamil yang sulit melahirkan, atau untuk menyembuhkan berbagai penyakit berat lainnya. Sebelum lamut batatamba dipertunjukkan, orang yang berhajat menyiapkan piduduk (sesajen) berupa garam, beras, kelapa utuh, gula merah, dan sepasang benang dan jarum. Baik lamut batatamba maupun lamut hiburan menampilkan tokoh yang sama, yakni tokoh Paman Lamut (dalam wayang tokoh ini disebut Panakawan ), tokoh Anglong (dalam wayang tokoh ini disebut Bagong), tokoh Anggasina (dalam wayang tokoh ini disebut Nalagareng), tokoh Labai (dalam wayang tokoh ini disebut Petruk). Bagian keenam berisi ikhwal bapantun. Bagian ketujuh berisi ikhwal badindang. Menurut penulisnya, dindang adalah pantun yang dilagukan atau dinyanyikan oleh masyarakat Banjar Hulu. Badindang bisa dilakukan di atas panggung atau dilagukan saat menidurkan anak. Bab kedelapan berisi bahasan tentang isim/babacaan. Menurut penulisnya ada 10 macam fungsi isim/bacaan, yakni isim kariau untuk memanggil seseorang, isim kataguhan untuk kekebalan tubuh, isim mamang untuk memanggil roh halus, isim pangasihan untuk meluluhkan hati lawan jenis sehingga tidak bisa berpisah lagi, isim pambungkam untuk menjadikan orang/binatang/makhluk tidak berdaya. Isim guna-guna untuk menangkal guna-guna yang datang dari musuh atau sateru, isim panangkal gangguan jin, isim panawar, dan isim manangkap buaya untuk memanggil buaya yang nakal. Bagian kesepuluh berisi ikhwal madihin. Menurut penulisnya, madihin berasal dari kata ‘madah’ yang berarti bermadah atau mengucapkan syair. Dari kata madah lama kelamaan berubah menjadi madihin. Madihin berarti menuturkan syair atau pantun dengan disertai bunyi terbang. Bagian kesepuluh adalah ikhwal mahalabiu. Menurut penulisnya, mahalabiu adalah kalimat yang berisi kata atau frase yang bermakna ganda. Bagian kesebelas adalah ikhwal mamanda. Menurut penulisnya, mamanda berasal dari Malaka. Mamanda ini berasal dari jenis teater yang dibawa oleh rombongan bangsawan Malaka yang bernama Abdoel Moeloek atau Indra bangsawan. Rombongan teater ini dipimpin Encik Ibrahim dan istrinya Cik Hawa. Rombongan teater menetap di Tanah Banjar selama beberapa hari untuk mengadakan pertunjukan. Pertunjukan mereka dikenal dengan nama Badamuluk. Pertunjukan Badamuluk ini lama ke lamaan oleh masyarakat Banjar disebut bamanda. 56 Jumadi, dkk.

Bagian kesebelas adalah ikhwal mangabuwau. Menurut penulisnya, mangabuwau adalah cerita singkat yang bersifat fiktif dan kental dengan cerita humor. Bagian ketigabelas adalah tentang syair. Bagian keempat belas berisi ikhwal papadahan. Menurut penulisnya, papadahan sama dengan gurindam. Bagian ke limabelas berisi ikhwal tutur candi, yakni cerita-cerita yang berhubungan dengan asal-usul suatu candi serta cerita-cerita yang ada di seputar lingkungan candi. Bagian keenambelas berisi ikhwal ungkapan Banjar. Menurut penulisnya, terdapat enam jenis ungkapan, yakni pepatah, perumpamaan, peribahasa, perbandingan, tamsil, dan pamali. Judul Buku/ Penelitian : Relasi Kekerabatan Bahasa Banjar dan Bahasa Bakumpai Nama Pengarang : Rissari Yayuk Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2009 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Leksikostatis- Tik,Teori Kekerabatan Bahasa

Ringkasan Penelitian ini menggunakan kajian linguistik historis komparatif dengan pendekatan kualitatif dan kuantitatif berdasarkan metode rekonstruksi dan leksikostatistik. Kedua pendekatan ini memberikan informasi dalam hasil pengelompokan bahasa yang dikaji. Pendekatan kualitatif akan mempertegas gambaran tersebut melalui rekonstruksi proto bahasa sebagai sarana yang menggambarkan pola-pola pewarisan kedua bahasa terhadap bahasa protonya. Sebaliknya, pendekatan kuantitatif menyajikan gambaran tentang relasi kekerabatan kedua bahasa melalui metode leksikostatistik. Berdasarkan hasil penelitian menggambarkan Bahasa Banjar dan Bakumpai memiliki hubungan kekerabatan dengan Proto Austronesia. Rekonstruksi kedua bahasa terhadap Proto Austronesia menunjukkan pola-pola pewarisan yang linear maupun inovasi (pembaharuan). Hubungan Bahasa Banjar dan Bakumpai berdasarkan perhitungan leksikostatistik sebesar 60%, ini berarti kedua bahasa berada dalam keluarga bahasa.

57 Judul Buku/ Penelitian : Kesantunan Direktif Bahasa Banjar Peneliti : Ahmad Zaini, Rissari Yayuk Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2009 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif, Teori Pragmatik (Kesantunan BerBahasa)

Ringkasan Kesantunan sangat penting dalam sebuah komunikasi untuk menjaga keharmonisan dan menghindari konflik, terlebih lagi dalam tindak direktif, khususnya direktif Bahasa Banjar. Penelitian ini bertujuan mengungkapkan realisasi maksim prinsip kesantunan, bentuk, strategi dan fungsi kesantunan direktif Bahasa Banjar. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif. Data penelitian utama penelitian ini adalah tuturan kesantunan direktif dalam percakapan keluarga. Data itu diperoleh melalui catatan lapangan, perekaman, dan wawancara. Adapun instrumen utama yang digunakan adalah peneliti itu sendiri yang dibantu dengan pedoman catatan lapangan, pedoman wawacara, dan perekaman. Analisis data yang dilakukan setelah data terkumpul ada tiga langkah. Ketiga langkah tersebut adalah (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penyimpulan/verifikasi. Analisis ini dilakukan selama dan setelah data terkumpul. Dari ketiga langkah itu didapatkan kesimpulan akhir. Untuk memperoleh keabsahan temuan dilakukan triangulasi dan pengecekan. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan realisasi prinsip kesantunan Leech dalam direktif Bahasa Banjar yang meliputi maksim kearifan, kedermawanan, pujian, kerendahan hati, kesepakatan, dan simpati. Ada tiga bentuk kesantunan yang digunakan penutur untuk mengungkapkan tindak direktif Bahasa Banjar yang meliputi imperatif, deklaratif, dan interogatif. Dalam Bahasa Banjar ada sepuluh strategi kesantunan yang digunakan penutur dalam melakukan tindak direktif yang meliputi strategi modus imperatif, pernyataan permintaan, permintaan berpagar, pernyataan keharusan, pernyataan keinginan, rumusan saran, strategi rumusan pertanyaan; strategi isyarat kuat, strategi isyarat halus, dan strategi ironi.

58 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 59

Kesantunan direktif Bahasa Banjar memiliki fungsi untuk tindakan menyelamatkan muka, tindakan menghindari konflik, tindakan mencapai efektivitas, dan tindakan memberikan penghormatan. Kesantunan direktif tidak hanya terdapat pada tuturan orang dewasa, tetapi terdapat pula pada tuturan anak-anak. Pilihan kesantunan yang digunakan oleh penutur sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti situasi, konteks, tujuan, status peserta tutur, tingkat keakraban. Bertitik tolak dari temuan penelitian ini, disarankan dalam direktif hendaknya penutur melakukannnya dengan santun dengan mengacu pada prinsip kesantunan. Penggunaan bentuk dan strategi yang tepat akan menghasilkan sebuah tujuan direktif yang efektif bagi penutur dengan meminimalisasi ketidakharmonisan dengan mitra tutur yang mungkin terjadi saat itu. Judul Buku/ Penelitian : Peribahasa Banjar Dalam Kumpulan Cerpen Galuh Karya Jamal T. Suryanata Peneliti : Gusti Yolanda Riswan Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2009 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif, Teori Sastra Struktural

Ringkasan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis peribahasa apa saja yang terdapat di dalam kumpulan cerpen Galuh karya Jamal T. Suryanata, kemudian untuk mengetahui apa arti dan makna dari peribahasa Banjar tersebut serta untuk mengetahui apa fungsi peribahasa tersebut dalam setiap cerpennya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Kemudian pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara membaca cerpen, mengumpulkan data yang berhubungan dengan teori penelitian dan menganalisis cerpen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 10 judul cerpen berbahasa Banjar yang terdapat dalam buku kumpulan cerpen Galuh karya Jamal T. Suryanata banyak terdapat peribahasa Banjar. Peribahasa Banjar tersebut sebanyak 107 buah. Dari keseluruhan peribahasa Banjar tersebut yang termasuk dalam jenis kiasan sebanyak 25 buah, jenis mamang papadah sebanyak 10 buah, jenis pameo huhulutan sebanyak 20 buah, jenis Tamsil sebanyak 2 buah peribahasa, sedangkan untuk jenis gurindam dan saluka tidak ditemukan. Diantara beberapa peribahasa Banjar yang ditemukan dapat disimpulkan mengandung beberapa makna, di antaranya pemberi semangat, pekerjaan yang dilakukan secara terus-menerus, keyakinan seseorang, jumlah, pekerjaan yang sia-sia, kekerabatan atau kekeluargaan, status sosial, solusi tentang suatu masalah, nasehat, keakraban atau pertemanan, keserasian, kelebihan seseorang, mendapatkan keberuntungan, sifat negatif seseorang,

60 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 61 ditimpa kemalangan atau musibah, keadaan atau kondisi seseorang yang tidak menguntungkan Keseluruhan peribahasa tersebut mempunyai fungsi sebagai gambaran atau penjelas tentang suatu keadaan (baik keadaan tokoh, penokohan, latar, alur, percakapan tokoh dan lain sebagainya) yang pada intinya mendukung jalannya suatu cerita. - Terbit Tahun 2010 -

Judul Buku/ Penelitian : Risalah Kanz Al Ma’rifah (Analisis Struktur Dan Makna) Peneliti : Dede Hidayatullah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2010 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Hermeneutik

Ringkasan Dewasa ini kecenderungan memahami teks-teks lama semakin meningkat disebabkan adanya kesadaran bahwa dengan meneliti dan mengkaji teks-teks lama akan mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dan penting. Teks lama merupakan warisan rohani nenek moyang, yang di dalamnya terkandung hasil tuangan perasaan, pikiran, sikap, dan pandangan hidup masyarakat di masa lampau serta cita-cita yang dahulu menjadi pedoman kehidupan. Dalam masyarakat Banjar, ada banyak terdapat teks- teks lama, terutama yang ditulis oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122 H - 1227 H/1710 M – 1812 M). Diantara teks-teks itu ialah Risalah Kanz al-Ma`rifah yang menjadi objek penelitian ini. Naskah RKM ini dianalisis struktur --baik itu struktur naskahnya, maupun struktur kalimat-- dan maknanya. RKM mempunyai struktur naskah sebagai berikut. (1) Pendahuluan yang berisi tulisan Bismi lLāhir r-Rahmāni r-Rāhīm. (2) Isi yang terdiri atas: (a) hakikat mengenal Allah; (b) kewajiban seseorang untuk selalu mengikuti dan melaksanakan perintah (amar) nabi Sallallahu alahi wasallam dan menjauhi segala larangannya; (c) adab dan tata cara berzikir; (d) nasihat al-Banjari kepada orang yang menghadapi sakratu l-maut (kematian). (3) Penutup yang berisi kalimat wallahu `a`lam Bishshawab dan tanggal penulisan naskah ini. Secara struktur kalimat, RKM banyak dipengaruhi oleh tata Bahasa Arab, misalnya penggunaan kata “bermula”, kata “oleh” sebagai penanda subyek, dan kata “akan” sebagai penanda obyek. Juga penggunaan kata kerja sebagai predikat

62 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 63 yang mendahului subyek. Penggunaan ini karena pengaruh tata Bahasa Arab dalam RKM. Dalam Bahasa Arab kata kerja yang berfungsi sebagai predikat apabila mendahului subyek disebut jumlah fi`liyyah. Sebaliknya, apabila didahului subyek disebut jumlah ismiyyah. Kalimat yang digunakan Al-Banjari dalam RKM terbagi tiga bentuk, yaitu kalimat tunggal, kalimat majemuk setara, dan kalimat majemuk bertingkat atau campuran. Makna yang terkandung dalam RKM adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yaitu dengan mengetahui hakikat tentang manusia dan keberadaanya di muka bumi ini. RKM ini berisi tentang penjelasan hakikat mengenal diri untuk mencapai ma’rifat kepada Allah. Untuk menuju tingkat itu, sālik harus melakukan musyahadah, muraqabah, dan muhadarah, yaitu dengan berzikir. Musyahadahmuraqabah, dan muhadarah harus selalu dilakukan sampai maut datang. Didalam risalah ini diterangkan juga tentang adab dzikir, bentuk dzikir yang dimulai dari kalimat la ilaha illallah, kemudian meningkat menjadi Allah-Allah dan berakhir dengan hu- hu saja.Fana dengan musyahadah menurut al-Banjari ada dua, yaitu fana semua sifat basyariyah dan fanama siwa l-lah. Model tasawuf yang dianut oleh al-Banjari adalah tasawuf wujudiyyah, tetapi tetap berpegang teguh pada syari`at. Ini terlihat dari berbagai kata tasawuf yang digunakan dalam RKM seperti musyahadah, muraqabah, fana, baqa, dan maqam jamu l-jam`i merupakan kata atau term-term wujudiyyah. 64 Jumadi, dkk.

Judul Buku/ Penelitian : Realisasi Kesantunan Tindak Tutur Menolak Bahasa Banjar Peneliti : Jahdiah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2010 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif, Teori Pragmatik (Kesantunan).

Ringkasan Menolak bukanlah sesuatu hal yang mudah untuk dilakukan karena menolak pada hakikatnya dapat mengancam muka mitra tutur. Oleh karena itu, dalam tindak tutur menolak penutur berusaha menyelamatkan muka mitra tutur. Tindakan penyelamatan muka adalah tindakan kesantunan yang pada prinsipnya ditujukan untuk mengurangi akibat yang tidak menyenangkan terhadap muka mitra tutur. Untuk meminimalkan tindakan mengancam muka mitra tutur penutur harus mengacu pada prinsip kesantunan. Ada berbagai teori mengenai kesantunan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. Salah satu teori yang dipakai adalah yang dikemukan oleh Brown dan Levinson. Teori yang digunakan sebagai dasar penelitian ini adalah model kesantunan Brown dan Levinson yang mengukur kesantunan dengan tiga skala, yaitu 1) skala peringkat jarak sosial antara penutur dan mitra tutur, 2) skala peringkat status sosial antara penutur dan mitra tutur, dan 3) skala peringkat tindak tutur. Selain itu, dalam teori yang Brown dan Levinson juga memuat beberapa strategi kesantunan yang dapat menyelamatkan muka mitra tutur dan mengancam muka mitra tutur. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data penelitian utama adalah tuturan yang berisi kesantunan tindak tutur menolak. Data tersebut diperoleh melalui catatan lapangan, perekaman, dan wawancara. Analisis data dilakukan setelah data terkumpul. Ada tiga langkah dalam analisis data, ketiga langkah tersebut adalah 1) reduksi data, 2) penyajian data, dan penyimpulan. Analisis ini dilakukan selama dan setelah data terkumpul. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan wujud kesantunan tindak tutur menolak berupa Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 65 kalimat imperatif dan kalimat deklaratif. Bentuk penolakan ditemukan delapan bentuk, yaitu yaitu 1) penolakan yang menggunakan kata kada ’tidak’ atau indah ’tidak mau’, 2) Penolakan dengan menggunakan alasan, 3) Penolakan dengan menggunakan syarat, 4) Penolakan dengan menggunakan usul, 5) Penolakan dengan mengucapkan terima kasih, 6) Penolakan dengan komentar, 7) Penolakan dengan permintaa kata maaf dan, 8) Penolakan dengan menyalahkan orang lain. Strategi kesantunan yang ditemukan adalah strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan negatif. Strategi kesantunan positif adalah keinginan untuk meminimalkan tindak ancaman terhadap mitra tutur agar tuturan yang pada dasarnya santun menjadi lebih santun. Kesantunan negatif digunakan untuk menjaga wilayah kekuasaan agar tuturan yang kurang santun menjadi santun.Fungsi yang ditemukan dalam penelitian ini pada dasarkan untuk menyelamatkan muka. Dalam interaksi sosial, pada umumnya orang-orang berperilaku seolah-olah keinginan muka (face) mereka dihormati. Judul Buku/ Penelitian : Pemertahanan Sastra Lisan Madihin di Kabupaten Hulu Sungai Selatan Peneliti : Risa Lisdariani Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2010 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif, Teori Sastra Lisan

Ringkasan Penelitian ini membahas mengenai pemertahanan sastra lisan madihin di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Adapun tujuan yang akan dicapai yaitu mendeskripsikan bagaimana upaya-upaya pemertahanan tersebut pada lingkup keluarga, masyarakat, sekolah, dan pemerintah terkait dengan madihin. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Adapun hasil dari penelitian ini adalah 1) Di lingkup keluarga ditemukan adanya upaya pemertahanan madihin. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pemadihinan yang belajar dari orang tuanya dan kemudian diteruskan sampai kepada anggota keluarga lainnya. 2) Di lingkup masyarakat di Kabupaten Hulu Sungai Selatan upaya pemertahanan dilakukan dengan sering dipanggilnya pemadihinan pada acara perkawinan, sunatan, baayun madihin, mengikutkan salah seorang keluarga untuk berlatih madihin, dan sebagainya. 3) Di lingkup pendidikan formal di Kabupaten Hulu Sungai Selatan tidak ditemukan adanya usaha pemertahanan madihin. 4) Di lingkup pemerintah terkait juga dilakukan oleh Dinas Pariwisata Provinsi, Taman Budaya Provinsi, Dinas Pariwisata Kabupaten, dan Dewan Kesenian Daerah Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang mempunyai program-program tersendiri untuk mempertahankan dan melestarikan madihin.

66 Judul Buku/ Penelitian : Penanda Kohesi Gramatikal dan Leksikal Dalam Kumpulan Cerita Palui Peneliti : Noviyanti Aulia Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2010 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif, Teori Linguistik Struktural

Ringkasan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kepaduan wacana yang didukung oleh aspek kohesi gramatikal dan kohesi leksikal dalam kumpulan cerita Palui yang termuat pada Harian Banjarmasin Post. Sumber data adalah kumpulan cerita Palui edisi bulan Januari s.d. Desember 2010 sebanyak 36 judul cerita yang diambil secara acak, sedangkan data yang dianalisis berupa kata dan klausa atau kalimat yang mengandung penanda kohesi gramatikal dan leksikal dalam kumpulan cerita tersebut. Dalam menganalisis data digunakan metode padan referensial dan metode distribusional dengan teknik pemilahan data berdasarkan kategori yang telah ditentukan. Dari hasil analisis data, disimpulkan bahwa kumpulan cerita Palui merupakan sebuah wacana yang padu karena didukung oleh penanda kohesi gramatikal dan leksikal. Dalam wacana ini ditemukan adanya tiga aspek kohesi gramatikal, yaitu referensi, substitusi, dan konjungsi. Kohesi gramatikal ini didominasi oleh penggunaan aspek referensi sebanyak sebanyak 830 kata, klausa atau kalimat dengan rata-rata 23,05, Kemudian aspek substitusi sebanyak 60 kata atau frasa, dan semuanya merupakan substitusi persona atau kata ganti orang dan aspek konjungsi jumlah keseluruhanya sebanyak 565 buah. Selain itu, dalam wacana ini juga terdapat aspek kohesi leksikal, yaitu reiterasi yang diwujudkan dalam repetisi, sinonimi, antonimi, kolokasi dan hiponimi. Kohesi leksikal berupa repetisi sebanyak 576 repetisi, sinonimi sebanyak berjumlah 43 kata, antonimi sebanyak sebanyak 26 kata/frase, kolokasi sebanyak 23 kata atau frasa dan hiponimi sebanyak 27 bentukan kata dan frasa berhiponim,

67 68 Jumadi, dkk. baik yang bersifat subordinat maupun hiponim. Masing-masing aspek dari kohesi, baik kohesi gramatikal maupun kohesi leksikal ini memiliki peran dalam pembentukan teks dalam wacana, sehingga wacana dapat tersusun secara koheren. Judul Buku/ Penelitian : Risalah Kanz Al-Ma’rifah: Analisis Struktur dan Makna Peneliti : Dede Hidayatullah Penerbit/ Tahun Terbit : Balai Bahasa Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, 2010 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Dewasa ini kecenderungan memahami teks-teks lama semakin meningkat disebabkan adanya kesadaran bahwa dengan meneliti dan mengkaji teks-teks lama akan mendapatkan sesuatu yang sangat berharga dan penting. Teks lama merupakan warisan rohani nenek moyang, yang di dalamnya terkandung hasil tuangan perasaan, pikiran, sikap, dan pandangan hidup masyarakat di masa lampau serta cita-cita yang dahulu menjadi pedoman kehidupan. Dalam masyarakat Banjar, ada banyak terdapat teks- teks lama, terutama yang ditulis oleh Muhammad Arsyad Al-Banjari (1122 H - 1227 H/1710 M – 1812 M). Di antara teks-teks itu ialah Risalah Kanz al-Ma`rifah yang menjadi objek penelitian ini. Naskah RKM ini dianalisis struktur --baik itu struktur naskahnya, maupun struktur kalimat--dan maknanya. RKM mempunyai struktur naskah sebagai berikut. (1) Pendahuluan yang berisi tulisan Bismi lLāhir r-Rahmāni r-Rāhīm. (2) Isi yang terdiri atas: (a) hakikat mengenal Allah; (b) kewajiban seseorang untuk selalu mengikuti dan melaksanakan perintah (amar) nabi Sallallahu alahi wasallam dan menjauhi segala larangannya; (c) adab dan tata cara berzikir; (d) nasihat al-Banjari kepada orang yang menghadapi sakratu l-maut (kematian). (3) Penutup yang berisi kalimat wallahu `a`lam bishshawab dan tanggal penulisan naskah. Secara struktur kalimat, RKM banyak dipengaruhi oleh tata Bahasa Arab, misalnya penggunaan kata “bermula”, kata “oleh” sebagai penanda subyek, dan kata “akan” sebagai penanda obyek. Juga penggunaan kata kerja sebagai predikat yang mendahului subyek. Penggunaan ini karena pengaruh tata Bahasa Arab dalam RKM. Dalam Bahasa Arab kata kerja yang

69 70 Jumadi, dkk. berfungsi sebagai predikat apabila mendahului subyek disebut jumlah fi`liyyah. Sebaliknya, apabila didahului subyek disebut jumlah ismiyyah. Kalimat yang digunakan Al-Banjari dalam RKM terbagi tiga bentuk, yaitu kalimat tunggal, kalimat majemuk setara, dan kalimat majemuk bertingkat atau campuran. Makna yang terkandung dalam RKM adalah hubungan antara manusia dengan Tuhan, yaitu dengan mengetahui hakikat tentang manusia dan keberadaanya di muka bumi ini. RKM ini berisi tentang penjelasan hakikat mengenal diri untuk mencapai ma’rifat kepada Allah. Untuk menuju tingkat itu, sālik harus melakukan musyahadah, muraqabah, dan muhadarah, yaitu dengan berzikir. Musyahadah, muraqabah, dan muhadarah harus selalu dilakukan sampai maut datang. Di dalam risalah ini diterangkan juga tentang adab dzikir, bentuk dzikir yang dimulai dari kalimat la ilaha illallah, kemudian meningkat menjadi Allah- Allah dan berakhir dengan hu-hu saja. Fana dengan musyahadah menurut al-Banjari ada dua, yaitu fana semua sifat basyariyah dan fana ma siwa l-lah. Model tasawuf yang dianut oleh al-Banjari adalah tasawuf wujudiyyah, tetapi tetap berpegang teguh pada syari`at. Ini terlihat dari berbagai kata tasawuf yang digunakan dalam RKM seperti musyahadah, mura-qabah, fana, baqa, dan maqam jamu l-jam`i merupakan kata atau term-term wujudiyyah. Judul Buku Penelitian : Sasirangan Kain Khas Banjar Nama Pengarang : Syamsiar Seman Penerbit/Tahun Terbit : Lembaga Pengkajian dan Pelestarian Budaya Banjar, Kalimantan Selatan /2010 Metode Penelitian : Deskriptif

Ringkasan Buku ini membahas tentang kain sasirangan, salah satu budaya material Urang Banua atau Urang Banjar. Pembahasan dalam buku ini mencakup asal-usul sasirangan, peralatan dan bahan yang diperlukan untuk membuatnya, proses pembuatan, proses pewarnaan, dan motif-motif kain sasirangan. Tujuan penerbitan buku ini adalah untuk mendokumentasikan kain sasirangan sebagai sebuah ciri khas kebudayaan orang Banjar yang hingga saat ini masih dilestarikan. Sebagai sebuah penanda identitas, kain sasirangan memberikan keyakinan kepada orang Banjar bahwa mereka memiliki kebudayaan yang dapat dibanggakan, yaitu kain khas Banjar, sebuah kain yang tidak hanya berfungsi sebagai pakaian dan penghias tubuh tetapi juga dapat berfungsi sebagai obat. Dalam buku ini dipaparkan, pada mulanya kain sasirangan disebut kain langundi, artinya kain tenun berwarna kuning. Kain ini hanya digunakan oleh kerabat Kerajaan Negara Dipa yang berkuasa di Banjar (1355-1362). Kain langundi berubah sebutan menjadi Sasirangan setelah dijadikan sebagai media pengobatan penyakit pingitan (penyakit yang disebabkan roh halus). Secara etimologis, sasirangan dapat dikaitkan dengan cara pembuatannya, yakni “disirang”, di mana kain yang dijelujur dengan cara dijahit kemudian dicelupkan ke dalam zat pewarna. Dalam konteks pengobatan, kain Sasirangan juga disebut dengan kain Pamintan, kependekan dari kata “permintaan”, yakni selembar kain putih yang diberi warna dan motif tertentu atas permintaan orang yang berobat kepada seorang pengrajin kain pamintan (hlm.1). Orang Banjar mengenal pengobatan tradisional yang bernama batatamba. Batatamba ini sangat unik karena, selain menggunakan ramuan-ramuan tradisional dan

71 72 Jumadi, dkk. mantra-mantra dari seorang tabib, pengobatan ini juga menggunakan kain sasirangan sebagai obat. Kain akan dililitkan di kepala atau diselimutkan di badan orang yang sakit secara berkala hingga si sakit berangsur-angsur sembuh. Penggunaan kain sasirangan sebagai obat ini didasarkan pada mitos yang dipercayai oleh orang Banjar. Konon, arwah-arwah leluhur mereka akan menuntut anak keturunannya untuk mengenakan kain sasirangan jika mereka terkena penyakit pingitan. Tidak ada obat lain yang dapat menyembuhkan penyakit ini kecuali mengenakan kain sasirangan. Selanjutnya, dalam buku ini dijelaskan bahwa corak dan warna gambar kain sasirangan dibuat berbeda-beda karena setiap jenis penyakit pingitan menuntut adanya corak dan warna gambar yang berbeda-beda pula. Hal ini disesuaikan dengan kesukaan motif nenek moyang setiap orang. Sasirangan juga dapat digunakan untuk mengobati beberapa penyakit lain, seperti sakit perut, sakit kepala, bisul, badan panas atau dingin, dan gangguan jiwa. Kain sasirangan saat ini sudah mengalami perubahan fungsi, bahkan terlepas dari fungsi awalnya sebagai kain untuk pengobatan. Saat ini, hampir seluruh pegawai negeri di Kalimantan Selatan serta para guru di sekolah diwajibkan memakai pakaian sasirangan pada hari yang telah ditentukan. Hal ini dimaksudkan untuk memupuk rasa memiliki orang Banjar terhadap kebudayaan mereka. Tidak sedikit pula kain sasirangan yang sekarang dibuat dengan motif dan desain modern serta dipromosikan oleh para peragawati. Hal ini dimaksudkan untuk semakin mengenalkan kain sasirangan kepada khalayak luas. Lebih jauh, dengan promosi ini diharapkan orang di luar Banjar menyukai dan membeli kain sasirangan. Terlepas dari berubahnya fungsi kain sasirangan ini, yang perlu dicatat adalah pentingnya pelestarian kain sasirangan. Sebagai identitas budaya Banjar, sasirangan dapat dijadikan perekat dan pemersatu orang Banjar di mana pun berada. - Terbit Tahun 2011 -

Judul Buku Penelitian : Perkembangan Bahasa Banjar Nama Pengarang : H. Djantera Kawi Penerbit/ Tahun Terbit : Scripta Cendikia, Banjarbaru, 2011 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini terdiri 8 bab. Bab pertama membicarakan penutur Bahasa Banjar, Bahasa Banjar dalam ranah kajian komparatif, dan perkembangan kajian komparatif Bahasa Nusantara. Bab kedua membicarakan Bahasa Banjar Purba. Pada bab ini dibicarakan tentang Bahasa Banjar dalam rumpun Melayu Polinesia, komunitas Banjar Purba, asumsi Bahasa Banjar Purba, dan kosakata Banjar Purba. Bab ketiga berisi pembicaraan tentang refleksi etimon Proto Austronesia Purba (PAN). Pada bab ini dibicarakan pula refleksi fonem PAN dan Refleksi etimon PAN. Bab keempat membicarakan inovasi kosakata dan pengaruh bahasa lain. Pada bab ini dibicarakan tentang proses inovasi, inovasi, pewarisan, dan peminjaman dalam Bahasa Banjar, identifikasi inovasi, warisan, dan pinjaman dalam Bahasa Banjar dilihat dari aspek diakronis, aspek distribusi, dan aspek kandungan makna. Bab kelima membicarakan kosa kata kognat Banjar dan Jawa Kuno yang meliputi unsur pinjaman dan unsur asli, kekerabatan Banjar Jawa, serta acuan identifikasi kata kognat. Bab keenam membicarakan berbagai pengaruh bahasa lain ke dalam Bahasa Banjar dengan memberikan contoh beberapa kasus kebahasaan. Bab ketujuh membicarakan konjungsi verba D-an dalam Bahasa Banjar. Pembicaraan ini meliputi verba pangkal, verba pangkal prakategorial, verba pangkal sekunder, penanda kategori, dan relasi sintaksis. Bab kedelapan membicarakan persebaran Bahasa Banjar. Pembicaraan ini meliputi kemampuan mobilitas Bahasa Banjar, budaya tradisional merantau, persebaran Bahasa Banjar pada era Tanjung Puri, era Negara Dipa, era Kerajaan Daha, era Kesultanan Banjar, dan era Kolonial Belanda.

73 Judul Buku/ Penelitian : Sastra Banjar Genre Lama Bercorak Puisi Nama Pengarang : Tajuddin Noor Ganie Penerbit : Rumah Pustaka Karya Sastra, Banjarmasin Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini bersi tentang berbagai definisi sastra Banjar, klasifikasi sastra Banjar, puisi Banjar lama bercorak madihin, mantra, pantun, peribahasa, syair, dan problema sastra Banjar. Di antara Bahasan buku ini adalah tentang fungsi sastra Banjar. Fungsi madihin diantaranya adalah untuk kampanye partai politik, hiburan, menyambut kelahiran anak, membayar hajat, dan tolak bala. Mantra Banjar diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Masing- masing jenis mantra memiliki fungsi. Jenis-jenis mantra Banjar adalah kariau, kasumbi, mamang, pakasih, pambanci, pambungkam, panangkal, panawar, panulak, panyangga, papikat, pikaras, pirunduk, sumpah serapah. Kariau adalah mantra yang berfungsi memanggil seseorang yang dikehendaki oleh penggunannya. Dengan membaca kariau diyakini orang atau makhluk akan datang dengan tidak terduga-duga. Yang dikariau biasanya anak yang lupa atau hilang (kariau anak, perempuan atau lelaki yang dikasihi (kariau kakasih hati), buaya pemangsa (kariau buaya), dan binatang buruan (kariau kijang garitan). Kasumbi adalah mantra yang berfungsi untuk menambah kesaktian. Di antara jenis kasumbi adalah kasumbi taguh ‘kebal’, dan kasumbi mahalimunan ‘tidak bisa dilihat orang’. Mamang adalah mantra Banjar yang berfungsi memanggil makhluk halus atau roh para leluhur. Pakasih adalah mantra Banjar yang berfungsi untuk mengguna-gunai lawan jenis menjadi bersangatan kasih sayang. Kebalikan dari pakasih adalah pambanci. Pambanci berfungsi sebagai sarana untuk mengguna-gunai orang lain agar orang yang dimantrai itu tidak disukai, seperti kedainya menjadi sepi, pertunjukan yang dilakukannya sepi peminat dan lain-lain. Pambungkam adalah mantra Banjar yang berfungsi untuk mengguna- gunai musuh, saingan, binatang berbahaya, agar tidak berkutik. Panangkal

74 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 75 adalah mantra Banjar yang berfungsi untuk menangkal marabahaya yang bersifat kasat mata (nyata) seperti bencana alam, binatang buas, racun yang ada dalam makanan, dan lain-lain. Panawar adalah mantra yang berfungsi mengobati penyakit seseorang. Panulak adalah mantra Banjar yang berfungsi untuk menolak perbuatan jahat yang berasal dari makhluk gaib, seperti hantu dan roh gaib. Panyangga adalah mantra yang berfungsi untuk menahan atau menghindari serangan magis dari yang dilakukan oleh seseorang. Papikat adalah mantra yang berfungsi memikat hati orang. Orang yang terkena mantra papikat akan merasa kasihan, senang, dan cinta kepada orang yang membaca mantra. Mantra papikat biasanya digunakan untuk mengikat kekasih hati atau untuk memudahkan penyelesaian suatu urusan. Pikaras adalah mantra yang berfungsi untuk meningkatkan hasil hasil kerja atau hasil usaha. Dengan mantra pikaras maka diharapkan semua usaha atau pekerjaan mendapat hasil yang maksimal. Pirunduk adalah mantra yang berfungsi untuk menundukkan orang lain, makhluk gaib, atau binatang. Sumpah-serapah yang berfungsi sebagai sarana mengusir hantu dan makhluk gaib lainnya. Dalam buku ini dibicarakan juga pantun Banjar. Disebutkan dalam buku ini tiga bentuk pantun Banjar, yakni pantun berkait, pantun biasa, dan pantun kilat. Dalam buku ini dibicarakan juga peribahasa Banjar. Menurut buku ini, peribahasa Banjar bisa berbentuk puisi dan bisa pula berbentuk kalimat biasa. Buku ini membicarakan pula perihal syair. Syair diklasifikasikan menjadi syair tasarul (syair asmara), syair agama, syair sindiran, dan syair tasauf. Judul Buku/ Penelitian : Sastra Banjar: Teori dan Interpretasi Nama Pengarang : Rustam Effendi Penerbit/ Tahun Terbit : Scripta Cendikia, Banjarmasin, 2011

Ringkasan Buku ini terdiri dari empat bab, yakni bab yang membicarakan sastra tradisional Banjar. Sastra Banjar tradisional adalah sastra yang hidup dan berkembang dua generasi yang lalu. Karena itu, sastra tradisional bisa menjadi alat melihat kehidupan dan budaya Banjar masa itu. Sastra Banjar tradisional bisa berbentuk prosa dan puisi. Bab kedua berbicara tentang Bahasa dan sastra Banjar. Dikatakan dalam bab ini bahwa Bahasa Banjar adalah salah satu anggota rumpun Bahasa Austronesia. Bahasa berasal dari sebuah Bahasa purba yang bernama Proto Austronesia. Sejumlah kosa kata Bahasa purba masih digunakan oleh masyarakat Banjar pada masa ini. Kosa kata Bahasa purba itu ada yang tetap tidak berubah seperti bentuknya pada masa lalu (warisan linear) seperti kata */rawa/ ‘sapa’, */ugah/ ‘pindah’, dan lain-lain, ada juga kata Bahasa purba itu yang telah mengalami inovasi, seperti */watek/ menjadi /batak/, */tuqa/ menjadi /tuha/, */vani/ menjadi / wani/, dan lain-lain. Bahasa Banjar memiliki tiga dialek, yakni dialek Bahasa Banjar Kuala, dialek Bahasa Banjar Hulu, dan dialek Bahasa Bukit. Bab ketiga adalah genre sastra Banjar tradisional dan sastra Banjar Kontemporer. Dalam bab ini disebutkan dan diberikan contoh genre sastra Banjar tradisional baik prosa maupun puisi. Sastra Banjar Tradisional berbentuk prosa genre legenda misalnya kisah Datu Naga (Kandangan), Radin Pangantin (di Barabai). Sastra Banjar Tradisional berbentuk mite, misalnya, Hikayat Lambung Mangkurat, Cerita-cerita lamut, dan wayang Banjar. Sastra Banjar berbentuk puisi adalah pantun, syair, karmina, dan mantra. Dijelaskan juga bahwa puisi Banjar genre syair, karmina dan mantra sudah tidak berkemabang lagi. Berbeda dengan pantun, genre ini masih berkembang hingga sekarang. Sastra Banjar kontemporer adalah sastra Banjar yang berbentuk cerpen dan novel, seperti yang ditulis oleh Jamal. T Suryanata. Sastra Banjar kontemporer yang berbentuk puisi juga banyak ditemukan saat ini.

76 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 77

Sastra Banjar juga mengalami empat zaman, yakni sastra Banjar asli, Sastra Banjar zaman Hindu, Sastra Banjar peralihan Hindu ke Islam, dan Sastra Banjar zaman Islam. Sastra Banjar zaman Islam adalah sastra Banjar yang menceritakan para tokoh-tokoh agama Islam yang teguh menyiarkan Agama Islam, seperti kisah Datu Kalampaian, Kisah Datu Nuraya, Datu Sanggul, dan lain-lain. Bab keempat membahas prosa tradisional Banjar. Pembahasan yang disertai contoh meliputi genre legenda, mite, dan dongeng. Dijelaskan dalam bab ini, genre mite banyak merupakan cerita yang berasal dari Jawa terutama yang bersumber dari cerita Panji. Genre dongeng binatang (fabel) yang asli banjar juga sangat jarang ditemukan. Dongeng binatang yang ada berasal dari cerita-cerita warisan, seperti Cerita Pilanduk dan Buaya (Buhaya), Pilanduk Beradu Tidur dengan Capung (kasisiur), Pilandung dengan Serigala, dan lain-lain. Judul Buku/ Penelitian : Nilai Pendidikan Dalam Peribahasa Banjar Peneliti : Abdullah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2011 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif, Teori Teori Sastra

Ringkasan Latar belakang penelitian ini untuk memahami nilai pendidikan yang terkandung dalam karya sastra, khususnya karya sastra lisan yang berwujud peribahasa Banjar. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah untuk menggali dan mendeskripsikan nilai pendidikan yang terkandung dalam peribahasa Banjar yang berkaitan dengan (1) nilai pendidikan agama, (2) nilai pendidikan moral dan karakter dan (3) nilai pendidikan sosial. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini ada dua macam, yakni pendekatan sosiologi sastra dan pendekatan hermeneutika atau pendekatan interpretasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam peribahasa Banjar terkandung banyak nilai pendidikan, di antaranya nilai pendidikan agama, pendidikan moral dan pendidikan karakter serta pendidikan sosial. Penentuan nilai pendidikan yang terkandung dalam peribahasa Banjar dilakukan dengan melalui analisis makna peribahasa. Hasil analisis makna dalam peribahasa Banjar tersebut kemudian dihubungkan dengan jenis nilai pendidikan tertentu. Pola hubungan nilai pendidikan dalam peribahasa Banjar terwujud dalam tiga bentuk, yakni (1) pola hubungan positif, bila peribahasa ini memiliki kesesuaian dengan nilai pendidikan (2) pola hubungan negatif, bila peribahasa ini bertentangan dengan nilai pendidikan, dan (3) pola hubungan netral. Peribahasa Banjar yang dianggap memiliki nilai pendidikan adalah peribahasa yang memiliki pola hubungan positif dan hubungan negatif. Peribahasa yang berpola negatif memang bertentangan dengan nilai pendidikan, tetapi bila digunakan untuk menyatakan larangan (imperatif)

78 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 79 dalam konteks nasihat, maka peribahasa itu bisa bernilai pendidikan. Jadi, peribahasa dengan pola hubungan yang negatif ini secara implisit juga mengandung nilai pendidikan. Dari sejumlah data peribahasa Banjar dalam penelitian ini, ada 123 buah peribahasa yang dipertimbangkan memiliki nilai pendidikan, yakni peribahasa yang memiliki nilai pendidikan agama, nilai pendidikan moral dan karakter, nilai sosial. Pola hubungan makna peribahasa Banjar tersebut terbagi atas dua pola yang masing-masing yang berpola positif dan berpola negatif. Nilai pendidikan, yang termuat dalam tiga jenis nilai ini terdiri atas (1) Nilai Pendidikan Agama, meliputi nilai ingat kepada Tuhan, taqwa kepada Tuhan, syukur, tawakkal, ikhlas, qonaah atau merasa cukup, (2) Nilai Pendidikan Moral dan Karakter meliputi nilai rendah hati, jujur dan amanah, bijaksana, rasa malu, pemurah atau dermawan, rajin dan kerja keras, menjaga lisan, kehati-hatian, hemat, sederhana, menjaga rahasia, konsisten, bertanggung jawab, introspeksi diri, berlaku lemah lembut, mandiri, dan berbakti pada orang tua. (3) Nilai Pendidikan Sosial, meliputi nilai suka bermusyawarah, tolong–menolong dan bekerja sama, memberi manfaat pada oranglain, kesetiakawanan dan toleransi serta penyesuaian diri. Judul Buku/ Penelitian : Analisis Majas dan Citraan Kumpulan Puisi “Tanah Perjanjian” Karya Ajamuddin Tifani Peneliti : Hendriati Milyaningsih Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2011 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif, Teori Teori Sastra

Ringkasan Masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah majas dan citraan apa saja yang terdapat pada kumpulan puisi Tanah Perjanjian karya Ajamuddin Tifani dan alasan mengapa majas dan citraan tersebut digunakan dan tujuan penelitian ini untuk mengidentifikasikan majas dan citraan kumpulan puisi Ajamuddin Tifani dan mendeskripsikan alasan pengarang menggunakan majas dan citraan tersebut. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif dan menggunakan metode deskriptif analisis. Majas yang terdapat pada kumpulan puisi Tanah Perjanjian karya Ajamuddin Tifani yang paling sering muncul adalah majas perbandingan yaitu hiperbola dan personifikasi serta majas perulangan seperti anafora dan epizeukis, majas yang lain jarang sekali digunakan. Sedangkan, citraan yang paling sering muncul adalah citraan penglihatan (visual imagery) dan citraan gerakan (movement imagery).

80 Judul Buku/ Penelitian : Nilai-Nilai Moral Yang Terkandung Dalam Ungkapan Bahasa Banjar Peneliti : Siti Faridah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2011 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif, Teori Sastra

Ringkasan Ungkapan Bahasa Banjar merupakan salah satu bentuk sastra lisan yang terdapat dalam masyarakat Banjar dan berfungsi sebagai sarana pengungkapan ekspresi masyarakat penuturnya terhadap sesuatu lewat kiasan atau perbandingan. Penelitian ini merumuskan masalah sebagai berikut (1) Bagaimanakah konstruksi ungkapan Bahasa Banjar; (2) Bagaimanakah makna ungkapan Bahasa Banjar; (3) Bagaimanakah fungsi ungkapan Bahasa Banjar; (4) Bagaimanakah gambaran nilai moral dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang terdapat dalam ungkapan Bahasa Banjar; (5) Bagaimanakah gambaran nilai moral dalam hubungan manusia dengan diri sendiri (individu) yang terdapat dalam ungkapan Bahasa Banjar; (6) Bagaimanakah gambaran nilai moral dalam hubungan manusia dengan aspek sosial yang terdapat dalam ungkapan Bahasa Banjar. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan konstruksi ungkapan Bahasa Banjar; (2) mendeskripsikan makna ungkapan Banjar; (3) mendeskripsikan fungsi ungkapan Banjar; (4) mendeskripsikan nilai moral dalam hubungan manusia dengan Tuhan yang terdapat pada ungkapan Bahasa Banjar; (5) mendeskripsikan nilai moral dalam hubungan manusia dengan diri sendiri (individu) yang terdapat pada ungkapan Bahasa Banjar; (6) mendeskripsikan nilai moral dalam hubungan manusia dengan aspek sosial yang terdapat pada ungkapan Bahasa Banjar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif (analisis isi) dengan mengumpulkan data melalui buku-buku dan beberapa informan yang diyakini mengerti dan memahami tentang ungkapan Bahasa

81 82 Jumadi, dkk.

Banjar. Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Beberapa simpulan dari hasil penelitian ini adalah sebagai berikut. (1) Ungkapan Bahasa Banjar memiliki konstruksi antara lain yang dibentuk dari kata benda (KB), kata sifat (KS) dan kata kerja (KK) dengan macam variasi konstruksinya antara lain, (a) KS+KB; (b) KB+KS; (c) Ada+KB; (d) Ada+KS; (e) KB+KB; (f) KB+KK; (g) KK+KB; (h) KS+KS; (i) Asa+KS+KB; (j) Kada+KK+KB. (2) Makna ungkapan Bahasa Banjar berupa kiasan, sindiran atau perbandingan. (3) Fungsi Ungkapan Bahasa Banjar: (a) media pendidikan, pedoman tingkah laku, dan pengatur aspek-aspek kehidupan bermasyarakat; (b) sumber hukum, pengesah pranata sosial, pengawas dan pengukuh norma-norma sosial; (c) sistem proyeksi, lambang identitas budaya dan sumber informasi budaya; dan (d) media untuk bergurau, berolok-olok, dan sebagai sarana retorika untuk mematahkan kata-kata lawan bicara. (4) Ungkapan Bahasa Banjar mengandung nilai-nilai moral yang bisa dijadikan sebagai pedoman tingkah laku dalam kehidupan sehari-hari. Nilai-nilai itu diantaranya adalah nilai moral dalam hubungan manusia dengan Tuhan, nilai moral dalam hubungan manusia dengan diri sendiri (individu) dan nilai moral dalam hubungan manusia dengan aspek sosial. Berdasarkan simpulan-simpulan tersebut disarankan sebaiknya ada penelitian- penelitian lanjutan sekitar ungkapan Banjar tersebut sehingga selain dapat terinventari-sasi secara lengkap, dapat pula dipahami makna dan nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya. Selain itu juga untuk memperkaya dan melestarikan sastra lisan daerah Banjar yang berbentuk ungkapan. Judul Buku/ Penelitian : Nilai Pendidikan Dalam “Pantun Baantaran” Peneliti : Khairunnisa Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2011 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif, Teori Sastra

Ringkasan Penelitian ini berjudul Nilai Pendidikan dalam “Pantun Baantaran”. Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan nilai pendidikan agama yang menyangkut penghambaan diri seseorang kepada Tuhannya; (2) untuk mendeskripsikan nilai pendidikan etika atau sopan santun menyangkut pembentukan sikap dalam diri seseorang agar membentuk manusia berakhlak mulia. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif karena pantun mengandung isi atau maksud yang menampilkan gambaran kehidupan masyarakat. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif yaitu suatu metode untuk menguraikan isi atau kandungan yang terdapat dalam kata-kata pada setiap larik pantun. Sumber data diperoleh dari informan terpercaya. Hasil penelitian diperoleh sebagai berikut: (1) nilai pendidikan agama yang berhubungan dengan penghambaan diri seseorang dengan Tuhannya yang terdiri: a. percaya selalu terhadap kekuasaan Allah SWT, b. menepati janji, c. syukur kepada Allah SWT, d. menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya, e. bersilaturahmi, f. berbuat kebaikan. (2) Nilai pendidikan etika atau sopan santun yakni pembentukan sikap dalam diri seseorang agar membentuk manusia yang berakhlak mulia yang terdiri dari: a. santun terhadap semua orang, b. kesetian, c. hidup sederhana, d. bersifat sabar, e. menghargai pemberian orang lain.

83 Judul Buku/ Penelitian : Kesantunan Meminta Dalam Bahasa Banjar Peneliti : Musdalipah Penerbit/ Tahun Terbit : Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, 2011

Metode Penelitian : Metode Kualitatif dan Teori Pragmatik

Ringkasan Berbagai aspek dapat dapat menentukan tingkat kesantunan, diantaranya usia, tingkat sosial, waktu, tempat, dan tujuan tuturan. Aspek-aspek penentu kesantunan ini tidak dapat diberlakukan pada semua masyarakat bahasa, karena norma-norma yang berlaku pada satu masyarakat bahasa belum tentu berlaku sama pada masyarakat bahasa yang lain. Misalnya pada masyarakat penutur Bahasa Banjar akan memberlakukan prinsip kesantunan bahasa berdasarkan usia, sehingga ketika anak berkomunikasi dengan ibunya dia akan menggunakan persona Pian ’Anda’, sedangkan jika dengan teman yang usianya sama dia akan menggunakan persona ikam ’kamu’. Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi yang lengkap tentang tuturan pengekspresi kesantunan meminta dalam Bahasa Banjar, yakni untuk mendeskripsikan beberapa hal berikut. (1) jenis-jenis tuturan pengekspresi kesantunan meminta dalam Bahasa Banjar, (2) wujud kesantunan meminta dalam Bahasa Banjar, (3) strategi kesantunan meminta dalam Bahasa Banjar, dan (4) fungsi kesantunan meminta dalam Bahasa Banjar. Analisis dilakukan pada data tuturan berbahasa Banjar yang berkaitan dengan kesantunan meminta. Analisis ini menghasilkan simpulan bahwa wujud kesantunan meminta dalam Bahasa Banjar meliputi kalimat tanya (interogatif), kalimat pernyataan (deklaratif), kalimat perintah (imperatif), dan kalimat kritik. Strategi kesantunan yang ditemukan pada kesantunan meminta dalam Bahasa Banjar adalah kesantunan positif dan negatif. Fungsi yang terdapat pada kesantunan meminta dalam Bahasa Banjar, adalah untuk menyelamatkan muka (saving face).

84 - Terbit Tahun 2012 -

Judul Buku Penelitian : Bahasa Banjar: Dialek dan Subdialeknya Nama Pengarang : H. Djantera Kawi Penerbit/ Tahun Terbit : Balai Bahasa Banjarmasin, 2012

Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini terdiri 7 bab, yakni bab pendahuluan, fonologi, variasi unsur kebahasaan, inovasi leksikal, dialek dan subdialek Bahasa Banjar, pengaruh bahasa lain, dan penutup. Bab pendahuluan membicarakan pentingnya penelitian tentang dialek dan subdialek Bahasa Banjar, tujuan, serta metode penelitian. Dalam bab pendahuluan dibicarakan juga informasi awal tentang Bahasa Banjar. Dikatakan dalam buku ini, bahwa Bahasa Banjar merupakan salah satu bahasa di Kalimantan. Informasi tentang Bahasa Banjar juga masih belum banyak. Bab kedua membicarakan seluk-beluk fonologi Bahasa Banjar. Pembicaraan fonologi Bahasa Banjar meliputi hal-ikhwal vokal, diftong, semi vokal, konsnan, distribusi konsonan, taktik deret konsonan vokal vokal konsonan pada kata bersuku dua, dan silabe. Bab ketiga membicarakan unsur-unsur kebahasaan. Pembicaraan meliputi variasi fonologis, variasi morfologis, variasi leksikal. Bab keempat membicarakan inovasi leksikal. Pembicaraan pada bab ini meliputi proses inovasi, inovasi, pewarisan, dan peminjaman, identifikasi inovasi, warisan, dan pinjaman. Bab keenam membicarakan dialek dan subdialek Bahasa Banjar. Pembicaraan pada bab ini meliputi pilihan dialek berdasarkan variasi fonologis, pilihan dialek berdsarkan variasi morfologis, pilihan dialek berdasarkan variasi leksikal. Bab keenam memnicarakan pengaruh bahasa lain terhadap Bahasa Banjar. Bab ketujuh berisi kesimpulan penelitian. Kesimpulan penelitian ini adalah bahwa (i) Bahasa Banjar memperlihatkan gejala perubahan bunyi yang cukup rumit, (ii) Gejala perubahan bunyi menunjukkan bahwa bunyi-bunyi yang berada dalam lingkungan artikulasi

85 86 Jumadi, dkk. yang sama, berdekatan dan berkategori sama berpeluang saling bertukar baik secara horizontal maupun vertikal. (iii) tata wilayah tutur Bahasa Banjar tersebar pula bentuk-bentuk varian dan inovasi yang beragam dan kompleks, namun, keragaman wujud bentuk kosa kata tersebut tidak menyebabkan terhambatnya komunikasi verbal antar wilayah tutur yang satu dengan yang lain. Kebervariasiaan hanya berada dalam tataran dialek, subdialek, dan ragam lokal. (iv) Bahasa Banjar terbagi dalam tiga dialek, yakni dialek Banjar Kuala, dialek Banjar Hulu, dan dialek Bukit. Judul Buku/ Penelitian : Rumah Lanting Suatu Tinjauan Terhadap Aspek Sosial Budaya, Ekonomi, Pola Pemukiman Dan Eksistensinya di Kota Banjarmasin Peneliti : Risti Ajeng Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Deskriptif

Ringkasan Sungai oleh urang Banjar dipandang sebagai sebagai sumber alam yang sangat penting, tidak sedikit yang memanfaatkannya untuk membangun komunitas dengan pola pemukiman yang cocok dengan kondisi yaitu bentuk rumah tradisional lanting. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui (1) Gambaran rumah lanting di tinjau dari, sosial budaya dan ekonomi. (2) Pola pemukiman dan eksistensinya di masa sekarang. (3) Realisasi peran pemerintah daerah dalam pengambilan kebijakan menata dan mengelola rumah lanting. Lokasi penelitian dilakukan di Kelurahan Pasar Lama, Seberang Masjid, Sungai Baru, Mantuil dan Basirih Selatan. Penelitian menggunakan metode kualitatif, bertujuan untuk melukiskan, menggambarkan/memandang suatu objek/realitas/fenomena alamiah. Teknik pengumpulan data dengan wawancara, observasi, dokumentasi dan gabungan ketiganya. Penentuan informan dengan tehnik purposive dan snowball sampling. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: Pertama, pola pemukiman rumah lanting adalah linier yaitu memanjang mengikuti alur sungai. Kedua, rumah lanting sekarang tidak eksis lagi. Penelitian M. Zaini tahun 2006, memaparkan bahwa terdapat 143 buah rumah lanting di seluruh kota Banjarmasin. Berdasarkan hasil obsevasi peneliti tahun 2012 hanya ditemukan hanya 47 buah saja. Artinya 96 rumah lanting ”lenyap” dalam 6 tahun terakhir karena berbagai faktor, Mahalnya harga bahan bangunan, orientasi bermukim ke daratan, dibukanya akses transportasi darat, tingkat sosial ekonomi penghuni rumah lanting, serta dikeluarkannya Perda No. 2 Tahun

87 88 Jumadi, dkk.

2007 Tentang Pengelolaan Sungai. Ketiga, dulu dari aspek ekonomi banyak rumah lanting difungsikan sebagai warung. Fakta yang ada menunjukan dekade ini seiring berkurangnya rumah lanting diikuti pula oleh warung lanting. Faktornya dari segi ekono-mi, distribusi barang tidak lancar karena pembeli sepi, faktor ini dipicu menurunnya pengguna transportasi sungai, dibukanya akses jalan darat yang berdampak pada tumbuhnya pasar-pasar dadakan di setiap kampung konsumen warung lanting. Keempat, sampai sekarang belum terlihat pemerintah kota dan dinas terkait yang secara sungguh-sungguh untuk menangani keberadaan rumah lanting. Judul Buku/ Penelitian: Pantun Banjar: Bentuk & Fungsinya Nama Pengarang : Sunarti Penerbit/ Tahun Terbit : Scripta Cendikia, Banjarmasin, 2012 Metode Penelitian : Bibliografi, Observasi dan Wawancara

Ringkasan Buku ini berisi 7 bab, yakni bab pendahuluan, bab yang membicarakan hubungan pantun dan kebudayaan, bab yang berisi bentuk-bentuk pantun Banjar, bab yang berisi ulasan tentang Pantun Banjar, bab yang berisi peranan pantun dalam kesenian daerah, bab yang berisi tentang nilai-nilai didaktis yang diemban Pantun Banjar, bab yang berisi tentang perbandingan pantun Banjar dengan Pantun Melayu. Dalam bab pendahuluan dijelaskan bahwa tujuan penulisan buku ini adalah untuk memperkenalkan salah satu jenis kesusastraan Banjar, yaitu Pantun Banjar. Dalam bab pendahuluan juga disampaikan tentang metode yang digunakan dalam memperoleh data dan menganalisis data. Metode itu adalah bibliografi, observasi, dan wawancara terhadap enam orang informan utama. Dalam bab kedua dibicarakan perihal kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional. Dalam bab ini disebutkan bahwa faktor alam merupakan faktor penentu kebudayaan. Flora dan fauna serta iklim mempunyai pengaruh yang tidak kecil bagi sebuah kebudayaan. Karena faktor inilah maka kebudayaan Banjar merupakan kebudayaan yang berbeda dengan kebudayaan lainnya. Bab ketiga membicarakan bentuk-bentuk pantun Banjar. Bab ini didahului dengan menyebutkan dan memberi contoh bidal-bidal Banjar. Bidal-bidal itu sebagian menjadi bagian dalam pantun Banjar. Bidal-bidal yang menjadi bagian Pantun Banjar adalah pepatah, peribahasa, perumpamaan, ibarat, tamsil, dan pemeo. Contoh pantun yang berisi bidal itu antara lain.

Amas mirah intan saupih Patah halu mananggung nangka Kada tasusur pinggir tapih Kalah malu ulih nangka

89 90 Jumadi, dkk.

Bab keempat berisi fungsi-fungsi yang diemban oleh Pantun Banjar. Pantun Banjar bagi anak-anak berfungsi sebagai alat permainan, alat senda gurau, alat mengejek, alat menyatakan perasaan sedih. bagi anak muda, Pantun Banjar berfungsi sebagai alat bersenda gurau, alat sindiran, alat menyatakan rasa kasih sayang, pelukis kesedihan akibat perpisahan, alat hiburan, alat memuji seseorang, alat mantra untuk kekebalan, dan lain-lain. Bagi orang tua, pantun berfungsi sebagai nasihat, pelajaran agama, melamar calon suami/istri, lagu/hiburan saat bekerja, Bab kelima membicarakan peranan Pantun Banjar dalam kesenian daerah. Dalam bab ini disampaikan bahwa Pantun Banjar digunakan juga dalam bentuk kesenian Banjar yang lain, yakni Japen dan Madihin. Bab keenam berisi nilai-nilai didaktis yang terdapat dalam Pantun Banjar. Nilai-nilai didaktis yang disebutkan dalam buku ini adalah pendidikan agama, pendidikan etika, pendidikan kewanitaan, pendidikan anak-anak, pendidikan kerajinan, dan lain-lain. Bab ketujuh berisi perbandingan Pantun Banjar dan Pantun Melayu. Dalam bab ini penulis membandingkan Pantun Melayu dan Pantun Banjar dari segi bentuk, fungsi, dan bahasanya. Dalam perbanding-an Pantun Banjar dan Pantun Melayu terdapat beberapa titik persamaan dan titik perbedaan. Titik persamaan jauh lebih banyak dari titik perbedaan. banyaknya persamaan antara Pantun Banjar dan Pantun Melayu menunjukkan adanya akar yang sama, yakni berasal dari dialek Melayu. Judul Buku/ Penelitian : Kearifan Lokal Dalam Fabel Banjar Peneliti : Agus Yulianto, Saefuddin, Dede Hidayatullah, Dahliana, Jahdiah, Sri Wahyu Nengsih, Nurhidayati Kurniasih. Penerbit/ Tahun Terbit : Balai Bahasa Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Salah satu sastra lisan Banjar yang juga turut membantu dalam pembentukan nilai-nilai kearifan hidup, kearifan lokal adalah fabel Banjar. Lebih runtut lagi, nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat dalam fabel Banjar dapat dirinci menjadi nilai-nilai yang berkaitan dengan individu seperti; bersahaja, konsisten, jujur dan lain-lain. Kemudian, nilai-nilai yang berkaitan dengan masyarakat seperti; pengabdian, rela berkorban, mengabdi, dan lain-lain. Selanjutnya, nilai-nilai yang berkaitan dengan aspek ketuhanan seperti kepasrahan, kecenderungan kepada kebaikan, ketaatan menjalankan ibadah dan lain-lain. Melihat pentingnya nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung di dalam fabel Banjar, tentulah diperlukan penggalian secara intensif. Penggalian tersebut, ditujukan untuk lebih mengeks-plisitkan nilai- nilai kearifan lokal yang secara tersirat terkandung di dalam fabel Banjar.

91 Judul Buku/ Penelitian : Aspek Bunyi Dan Pilihan Kata Dalam Mantra Banjar Peneliti : Yuliati Puspita Sari Penerbit/ Tahun Terbit : Bunga Rampai Penelitian Kebahasaan, Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, 2012 Metode Penelitian : Metode Kualitatif dan Teori Analisis Wacana

Ringkasan Penelitian ini membahas tentang (1) aspek bunyi dalam mantra Banjar yang mengacu pada rima dan ragam bunyi, dan (2) pilihan kata dalam mantra Banjar yang mengacu pada penggunaan kata rangkap, kata kias, repetisi, reduplikasi, dan pemakaian kata khusus lainnya. Data dalam penelitian ini diambil dari buku Mantra Banjar terbitan Balai Bahasa Banjarmasin. Berdasarkan hasil penelitian ditemukan beberapa pilihan kata yang secara umum juga digunakan dalam jenis karya sastra lainnya di luar mantra, seperti adanya penggunaan kata rangkap, kata kias, kata ulang, dan adanya penggunaan kata berpola yang mengacu pada rima. Selain itu, banyak pula ditemukan pilihan kata yang kurang lazim, baik dalam hal bentuk maupun maknanya. Bahkan, mungkin hanya dalam mantra, kata-kata itu ditemukan. Pilihan kata semacam inilah yang pada akhirnya memunculkan keindahan dan nuansa magis tersendiri pada mantra tersebut.

92 Judul Buku/ Penelitian : Kata Penghubung Dalam Bahasa Banjar Peneliti : Lailatul Fikhiah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Penelitian ini membahas masalah kata penghubung Bahasa Banjar dengan tujuan untuk mengetahui ciri, jenis, bentuk, dan fungsi, serta makna yang ada pada kata penghubung dalam Bahasa Banjar.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Ciri kata penghubung Bahasa Banjar dapat diikuti kata kerja, kata benda, kata sifat, dan kata bilangan. Jenis kata penghubung Bahasa Banjar terdiri dari jenis koordinatif dan jenis subordinatif. Selain itu, kata penghubung Bahasa Banjar juga memiliki bentuk persukuan, bentuk imbuhan, bentuk berpartikel, dan bentuk gabungan. Kata penghubung Bahasa Banjar mempunyai fungsi yang menyatakan beberapa hubungan, yaitu hubungan pengandaian, hubungan pertentangan, hubungan sebab-akibat, hubungan waktu, hubungan tujuan, hubungan syarat, hubungan pilihan, dan hubung-an gabungan. Makna kata penghubung dalam Bahasa Banjar terkait dengan konteks kalimat. Konteks kalimat yang berbeda dapat menimbulkan makna yang berbeda pula. Sehubungan dengan hal tersebut, penulis menyarankan kepada para peneliti dapat melakukan penelitian selajutnya dengan kajian yang lebih luas. Bagi pendidik dan pemerhati dapat mengenalkan dan menginformasikan jenis kata dalam Bahasa Banjar terkait dengan kata penghubung Bahasa Banjar dalam upaya memelihara kelestarian Bahasa Banjar.

93 Judul Buku/ Penelitian : Penggunaan Maksim Tutur Dalam Mahalabio Peneliti : Ridho Amalia Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Secara pragmatik, untuk menciptakan efek lucu pada mahalabio, penutur sering melakukan pelanggaran-pelanggaran terhadap maksim tutur. Berdasarkan kenyataan itu dalam penelitian ini diuraikan tentang terapan teori implikatur Grice untuk membedah mahalabio. Mahalabio merupakan salah satu jenis wacana yang menyajikan sesuatu secara lucu. Kelucuan dibangun strukur paparan tertentu. Jika ditinjau dari aspek penggunaan maksim tutur, dalam sebuah wacana mahalabio telah melakukan penerapan maksim tutur sekaligus ada pelanggaran maksim tutur di dalamnya. Penelitian ini bertujuan memperoleh deskripsi mengenai peranan maksim tutur dalam mahalabio. Maksim tersebut terdiri dari (1) maksim kuantitas, (2) maksim kualitas, (3) maksim relevansi dan (4) maksim cara. Teori pengembangan instrumen adalah teori implikatur Grice, tidak dapat dilepaskan dengan sejumlah maksim tutur yang memandu kerjasama antara penutur dan mitra tutur. Teori implikatur Grice mempunyai fungsi penting dalam analisis wacana. Ide-ide untuk memecahkan problem-problem penafsiran makna tuturan dengan memperkirakan berbagai konteks yang ditafsirkan. Aplikasinya dalam analisis wacana membimbing dan memberikan kekhususan terhadap wacana yang dianalisisnya. Pendekatan penelitian ini kualitatif, dengan metode deskriptif. Analisis data dilakukan selama pengumpulan data. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan prinsip kerjasama dalam mahalabio menggambarkan diterapkannya maksim tutur yang meliputi maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi dan maksim cara, meskipun terdapat beberapa pelanggaran di dalamnya.

94 Judul Buku/ Penelitian : Nilai Budaya Dalam Tutur Candi Peneliti : Anwar Hadimi Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Tujuan penelitian ini adalah (1) untuk mendeskripsikan nilai budaya ditinjau dari aspek etika yang terdapat dalam cerita Tutur Candi, (2) untuk mendeskripsikan nilai budaya ditinjau dari aspek sosial yang terdapat dalam cerita Tutur Candi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Kualitatif. Metode penelitian ini adalah metode deskriptif dengan jenis peneliti-an Sosiologi Sastra. Penulis menafsirkan karya sastra dengan melakukan pemahaman secara keseluruhan walaupun bersifat sementara. Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teks naskah Cerita berjudul “Tutur Candi”. Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: (1) Nilai budaya ditinjau dari aspek etika berupa: a. nilai budaya dalam etika menjamu tamu. Nilai budaya tersebut nampak ketika dalam menjamu tamu, tuan rumah harus menyuguhkan sesuatu, b. nilai budaya dalam etika bertamu. Nilai budaya ini nampak ketika seorang tamu yang boleh masuk rumah setelah diizinkan oleh tuan rumah, c. nilai budaya dalam etika melamar, nilai budaya tersebut terlihat ketika seorang laki-laki tidak dibenarkan untuk melakukan lamaran untuk dirinya sendiri melainkan harus melalui utusan atau perwakilan, d. nilai budaya dalam etika memohon kepada tuhan, nilai budaya tersebut terlihat pada kebiasaan hamba yang selalu menadahkan tangan ketika melakukan permohonan kepada tuhan, selain itu juga keiasaan untuk menggunakan sesaji dengan cara membungkuk ke tanah, e. nilai budaya dalam etika menghormati pemimpin, f. nilai budaya dalam etika keselamatan dan hal-hal yang berhubungan dengan dunia mistis dilakukan dengan tapung tawar. Selanjutnya, (2) Nilai budaya ditinjau dari aspek sosial yang terdapat dalam teks Tutur Candi adalah: a. nilai budaya sosial dalam kebersamaan,

95 96 Jumadi, dkk. b. nilai budaya pemurah, c. nilai budaya sosial dalam bergotong royong, d. nilai budaya sosial dalam berbagi pengetahuan, e. nilai budaya dalam kasih sayang, f. Nilai budaya dalam bermusyawarah. Berdasarkan hasil penelitian, peneliti ingin menyampaikan saran untuk peneliti selanjutnya, bahwa selain unsur sosial dan unsur etika yang terdapat dalam Tutur Candi yang telah diteliti ada hal-hal yang menarik yang terdapat dalam cerita tersebut untuk diteliti, misalnya perilaku psikologis manusia yang dilahirkan dari hasil kawin maupun dari bertapa. Judul Buku/ Penelitian : Interferensi Bahasa Indonesia Terhadap Bahasa Banjar Dalam Cerita Si Palui di Harian Banjarmasin Post Peneliti : Ali Nafiah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi atau gambaran yang objektif tentang interferensi Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Banjar dalam cerita Si Palui di Harian Banjarmasin Post, yang meliputi tiga jenis interferensi: (1) interferensi leksikal (kosakata); (2) interferensi morfologis, dan (3) interferensi sintaksis. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Sumber datanya adalah cerita Si Palui yang dimuat di Harian Banjarmasin Post selama tiga bulan penerbitan (Oktober sampai dengan Desember 2011). Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik studi dokumentasi, yaitu menelaah sumber data sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Selanjutnya, data yang diperoleh diklasifikasikan dan dianalisis berdasarkan jenis interferensi dan sesuai dengan ruang lingkup penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi interferensi Bahasa Indonesia terhadap Bahasa Banjar dalam cerita Si Palui berupa interferensi leksikal (kosakata), interferensi morfologis (pembentukan kata) , dan interferensi sintaksis (tataran kalimat). Yang paling banyak kemuculannya adalah interferensi leksikal (kosakata), disusul interferensi morfologis di urutan kedua, dan interferensi sintaksis di urutan ketiga. Interferensi leksikal meliputi interferensi kata kerja (contohnya: lahir, kubujuki, kunasihati); interferensi kata benda (contohnya: watak, uang, gergaji); interferensi kata sifat (contohnya: remeh, cerdas, cepat); dan interferensi kata tugas (contohnya: dan, walaupun, yang). Interferensi morfologis meliputi interferensi afiksasi (contohnya: menyambung, dangarkan, manaruskan);

97 98 Jumadi, dkk. interferensi reduplikasi (contohnya: gunta-ganti, babatuan, hampir-hampir); dan interferensi pemajemukan (contohnya: jalan di tempat, sampai hati, laris manis). Sementara itu, interferensi sintaksis meliputi interferensi frasa (contohnya: lagi sibuk, harus dipenuhi, masa kanak-kanak) dan interferensi kalimat (contohnya: Iwaknya adalah tahu wan tempe; Apakah kehilangan tutukaran?; Tadi sudah kusambat bahwa aku mancarii julak). Judul Buku/ Penelitian : Syair Saraba Ampat Analisis: Semantik dan Semiotik Peneliti : Hasmi Fadilah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Penelitian terhadap syair Saraba Ampat belum pernah dilakukan. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan dan menjelaskan makna yang terkandung dalam syair Saraba Ampat. Penelitian ini menggunakan pendekatan filologi. Metode penelitian yang digunakan dalam menganalisis makna Syair Saraba Ampat adalah metode kualitatif. Sumber data penelitian berasal dari buku yang berjudul Manakib Datu Sanggul. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Syair Saraba Ampat. Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan Syair Saraba Ampat bertema tauhid, fiqih dan tasawuf. Tema tauhid dibahas lebih lanjut, karena tema inilah yang dibahas lebih mendalam di dalam penelitian ini. Tema tauhid di dalam syair diuraikan dalam bentuk: Sifat wajib bagi Allah SWT (akal manusia tidak dapat menerima jika sesuatu itu tidak ada), Sifat Mustahil bagi Allah (akal manusia tidak akan membenarkan manakala sesuatu itu ada), Sifat jaiz bagi Allah SWT (sesuatu yang ada atau tidak adanya sama-sama dapat diterima oleh akal), Sifat wajib bagi Rasul AS (akal manusia tidak dapat menerima jika sesuatu itu tidak ada), Sifat Mustahil bagi Rasul AS (akal manusia tidak akan membenarkan manakala sesuatu itu ada), dan Sifat jaiz bagi Rasul (sesuatu yang ada atau tidak adanya sama-sama dapat diterima oleh akal).

99 Judul Buku/ Penelitian : Jargon Kelompok Peseluncur di Banjarmasin Peneliti : Noorlatifah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Penelitian ini dilatarbelakangi variasi bahasa yang dipakai oleh kelompok manusia untuk berkomunikasi. Variasi bahasa sering dijumpai pada suatu kelompok tertentu, kadang disebut sebagai bahasa suatu kelompok. Bahasa kelompok dalam suatu komunitas sering diistilahkan sebagai jargon. Penelitian ini bertujuan untuk (1) memperoleh deskripsi wujud jargon yang digunakan kelompok peseluncur di Banjarmasin dan (2) mendeskripsikan aspek pemakai-an jargon yang digunakan kelompok peseluncur di Banjarmasin. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Sumber datanya adalah kelompok peseluncur di Banjarmasin, khususnya yang berada di Siring Sabilal. Teknik pengumpulan datanya adalah observasi terlihat, yaitu observasi dilakukan dengan cara simak- catat. Selanjutnya, data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan ada 7 wujud jargon anak peseluncur di Banjarmasin , yaitu: (1) wujud jargon bentuk kata dasar Bahasa Banjar, seperti ajab, aray, ba’al, bengkeng, celengan, dan lainnya. (2) wujud jargon bentuk kata dasar Bahasa Indonesia seperti badai, bencana, bodoh, celah, dorong, dan lainnya. (3) wujud jargon bentuk kata turunan Bahasa Banjar, seperti baegal, bagepak, miantil, ambilan, borongan, dan lainnya. (4) wujud jargon bentuk kata turunan Bahasa Indonesia, seperti menangkap, mengukir, merebut, teratur, pemalas, bantalan, hambatan, dan lainnya. (5) wujud jargon bentuk ungkapan, seperti ambak alimanyar, ambung haja, aman posisi, ampah hulu, hampadal ayam, kaya timpakul, kaya kaminting, dan lainnya. (6) wujud jargon bentuk menyingkat kata, seperti usan, gandeng, geteng, gobang, dan gobor. (7) wujud jargon bentuk Bahasa Inggris seperti air, airwalk, bushing, casspeflip, dan lainnya.

100 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 101

Aspek pemakaian jargon menunjukkan ada 5 jenis, yaitu: (1) aspek pemakaian jargon tindak deklarasi. Digunakan untuk meng-khususkan kata, petunjuk perintah, bentuk penyemangat, dan lainnya. (2) aspek pemakaian jargon tindak representatif. Digunakan untuk penyebutan orang, penegasan, penamaan trik dan lainnya. (3) aspek pemakaian jargon tindak ekspresif. Digunakan untuk memuji, bercanda, mengolok-olok, dan lainnya. (4) aspek pemakian jargon tindak direktif. Digunakan untuk kalimat perintah, menolok-olok, bercanda, meningkatkan level dan lainnya. Terakhir (5) aspek pemakaian jargon tindak komisif. Digunakan untuk mengakrabkan kekerabatan, menghibur, perjanjian, dan lainnya. Judul Buku/ Penelitian : Ungkapan Pamali Bahasa Banjar Sebagai Sarana Pendidikan Karakter Peneliti : Samsul Bahri Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Teori Pragmatik

Ringkasan Ungkapan pamali Bahasa Banjar merupakan tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang di tengah-tengah masyarakat Banjar yang telah tumbuh dan berkembang beberapa generasi yang lalu. Meskipun ungkapan pamali Bahasa Banjar ini merupakan ungkapan tradisional, namun ungkapan pamali tersebut tidak hanya dipakai dan ditaati oleh masyarakat yang tinggal di pedesaan, tetapi juga dipakai dan ditaati masyarakat Banjar yang tinggal di perkotaan. Hal itu menandakan bahwa ungkapan pamali Bahasa Banjar menjadi salah satu budaya kolektif yang tersebar dan diwariskan secara turun–temurun, dari generasi ke generasi. Ungkapan pamali Bahasa Banjar mempunyai kedudukan penting dalam masyarakat Banjar, karena ungkapan ini menjadi sarana pendidikan untuk membentuk karakter bangsa. Ungkapan pamali Bahasa banjar memiliki kekuatan memaksa atau mengontrol agar masyarakat mematuhi norma-norma yang berlaku. Berkaitan dengan hal itu, tesis ini bertujuan menggali nilai-nilai yang terkandung dalam ungkapan pamali Bahasa Banjar sebagai sarana pendidikan karakter. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode deskriptif yang menggunakan pendekatan hermeneutika. Simpulan hasil penelitian ini adalah sebagai berikut: Pertama, ungkapan pamali Bahasa Banjar memiliki enam struktur yang membentuk sebuah pola yang khas dan cenderung baku. Kedua, ungkapan pamali Bahasa Banjar yang merupakan salah satu jenis tradisi lisan masyarakat Banjar sampai sekarang masih lestari dan tetap diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat sebagai warisan budaya. Pewarisannya dilakukan secara lisan dan secara tertulis. Ketiga, masyarakat Banjar sebagian besar masih

102 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 103 meyakini “kekuatan” yang terkandung dalam ungkapan pamali tersebut. Mereka percaya ungkapan pamali Bahasa Banjar masih memiliki kekuatan “memaksa” dan mengarahkan sikap dan perilaku masyarakat terutama yang berkenaan dengan nilai relegius. Hal itu menggambarkan bahwa kepercayaan masyarakat tentang nilai-nilai keagamaan, masih tertanam kuat. Terhadap ungkapan yang mengandung nilai yang lain ada yang percaya dan ada yang kurang percaya. Keempat, dari 480 teks ungkapan pamali Bahasa Banjar ditemukan beberapa ungkapan pamali yang mengandung lebih dari satu nilai karakter. Kelima, penanaman nilai karakter melalui ungkapan pamali Bahasa Banjar sangat efektif. Pendidikan karakter dapat dilakukan melalui ungkapan pamali Bahasa Banjar sebagai sarananya. Berdasarkan simpulan-simpulan tersebut disarankan bebera-pa hal berikut. Pertama, mengingat luasnya wilayah penyebaran masyarakat suku Banjar, ada kemungkinan masih banyak ungkapan pamali yang belum teridentifikasi. Oleh karena itu, penelitian lanjutan untuk memperkaya ungkapan pamali Bahasa Banjar perlu dilakukan. Kedua, pembentukan karakter bangsa merupakan tanggung jawab kita bersama. Menggunakan ungkapan pamali Bahasa Banjar sebagai sarana pendidikan perlu kita kembangkan. Pembentukan sikap dan perilaku masyarakat yang bernilai positif perlu kita lakukan secara bersama-sama. Ketiga, sebagai bagian masyarakat kita mempunyai kewajiban untuk mengembangkan dan melestarikan budaya. Melalui penelitian-peneliian ilmiah, kita dapat menggali dan melestarikan budaya lokal yg hampir punah tergilas oleh arus globalisasi. Judul Buku/ Penelitian : Mistik Dalam Hikayat Banjar Peneliti : Wawan Setiawan Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Teori Sastra

Ringkasan Hikayat Banjar merupakan cerita yang dipercaya masyarakat Banjar khususnya sebagai fragmen sejarah kerajaan Banjar, sehingga cerita tersebut banyak membius kalangan sastrawan, budayawan dan ahli sejarah untuk meneliti dan menelusuri pembuktian fragmen sejarah kerajaan Banjar yang memiliki nilai-nilai kesakralan. Rumusan masalah yakni bagaimanakah wujud, makna, dan fungsi mistik dalam Hikayat Banjar? Penelitian bertujuan mendeskripsikan secara lengkap mengenai wujud, makna, dan fungsi mistik dalam Hikayat Banjar. Metode penelitian ini deskriptif dengan jenis penelitian kualitatif. Sumber data adalah teks Hikayat Banjar edisi Ras, tahun 1968. Instrumen utama penelitian ini adalah peneliti sendiri yang bertindak sebagai pengumpul data dengan menggunakan instrumen penunjang. Teknik pengambilan data dalam penelitian ini terdiri atas dua langkah kerja, yaitu inventarisasi data dan identifikasi data. Validitas data temuan dalam penelitian ini peneliti lakukan dengan triangulasi dan ketekunan pengamatan. Analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis isi dan penafsiran data dengan memaknai simbol. Hasil penelitan menemukan enam belas mistik dalam Hikayat Banjar yang meliputi; (1) mistik mimpi,(2) mistik pertapaan, (3) mistik huhuas (cobaan), (4) mistik adikodrati yang berasal dari buih dan matahari, (5) mistik hilangnya jasad yang dibunuh, (6) mistik pertanda, (7) mistik jasad yang dapat berubah, (8) mistik suara dari alam gaib, (9) mistik mahkota yang ajaib, (10) mistik wafat secara gaib,(11) mistik taguh (kebal),(12) mistik terbang di udara, (13) mistik alat gamelan dan senapan (bedil),(14) mistik kekuatan dalam menyelam, (15) mistik keyakinan terhadap Tuhan,(16) mistik kawin dengan jin.

104 Judul Buku/ Penelitian : Legenda Datu-Datu Tabalong Peneliti : Siswoyo Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2012 Metode Penelitian : Pendekatan Pragmatik, Teori Fungsi Sosial dan Hermeneutika

Ringkasan Legenda Datu-Datu Tabalong merupakan bagian dari sastra lisan (foklor) tradisional Banjar berupa prosa yang keberadaannya saat ini mulai terancam disebabkan para penutur cerita tersebut sudah lanjut usia bahkan banyak yang sudah meninggal. Keberada-an legenda ini dianggap sangat penting bagi para pemilik kolektifnya, mengingat dalam legenda tersebut mengandung cerita yang berisi banyak pesan atau simbol yang sangat berguna bagi kehidupan generasi pemiliknya maupun generasi selanjutnya. Pesan-pesan tersebut pada umumnya berisi pesan moral pendidikan, pesan tentang norma-norma yang berlaku dalam masyarakatnya, maupun pesan tentang religi. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa masyarakat kolektif pemiliknya masih beranggapan cerita dalam Legenda Datu-Datu Tabalong tersebut mempunyai fungsi sosial yang sangat bermanfaat bagi para pemilik kolektifnya baik pada masa lalu maupun masa kini, bahkan pada masa mendatang. Penelitian Legenda Datu-Datu Tabalong yang terdiri atas empat legenda Datu yang berada di wilayah Kabupaten Tabalong, yakni Legenda Datu Puain, Legenda Datu Mapihan, Legenda Datu Harung, dan Legenda Datu Pujung bertujuan untuk mendeskripsikan mengenai fungsi, makna, dan hubungan antarteks yang terkandung dalam Legenda Datu-Datu Tabalong tersebut. Jenis penelitian ini adalah jenis penelitian kualitatif yang ditandai dengan cara mendes-kripsikan secara mendalam hasil interpretasi kajian, fungsi sosial, dan makna, serta hubungan antar teks terhadap objek penelitian. Berdasarkan masalah yang menjadi objek penelitian maka dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan pragmatik sebagai pendekatan penelitian.

105 106 Jumadi, dkk.

Teori yang digunakan untuk membedah kajian penelitian digunakan teori fungsi sosial Bas-com (dalam Danandjaja) dan Alan Dundes (dalam Sudikan), serta hermeneutika Paul Ricoeur. Data penelitian adalah berupa simbol yang direpresentasikan dalam bentuk teks hasil transkripsi dan terjemahan yang terdapat dalam cerita Legenda Datu-Datu Tabalong di wilayah Kabupaten Tabalong. Data tersebut diperoleh peneliti melalui perekaman dari sumber data yaitu para informan yang dijadikan sebagai sumber data primer, dan data lain dari data tertulis sebagai pembanding. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis isi yaitu suatu analisis untuk mengungkap pesan yang ada dalam karya sastra. Prosedur pengolahan data dilakukan dengan tahapan perekaman, transkripsi rekaman, klasifikasi, penerjemahan, dan analisis data. Pada hasil pembahasan ditemukan bahwa fungsi sosial Legenda Datu- Datu Tabalong terdiri dari beberapa fungsi yaitu fungsi menurut teori dan fungsi pada saat ini. Fungsi menurut teori ditemukan sebagai fungsi proyeksi, fungsi pranata-pranata sosial, fungsi pendidikan, fungsi pengawas dan pemaksa, fungsi kritik sosial, dan fungsi hiburan. Pada fungsi kekinian atau fungsi pada saat ini ditemukan beberapa fungsi, yaitu fungsi pengingat, fungsi perasaan bangga, dan fungsi pembangkit rasa patriotik, serta fungsi pembangkit perasaan kolektif. Pembahasan makna Legenda Datu-Datu Tabalong ditemukan beberapa makna, antara lain pengungkap-an perasaan sayang, mempercayai hal- hal gaib, perlindungan dan pengayoman terhadap orang yang disayangi, pengakuan terhadap kekuasaan Allah, dan peringatan agar manusia tidak berbuat som-bong. Pada pembahasan hubungan antarteks ditemukan bahwa keempat legenda tersebut lahir pada masa awal dan pertengahan Agama Islam masuk ke wilayah Tabalong, peristiwa kejadian keempat cerita tersebut berada di sekitar aliran Sungai Tabalong, keempat cerita berisikan tokoh sakti yang melebihi kemampuan manusia biasa. Keempat cerita mengandung pesan moral tentang pendidikan, dan keempat cerita tersebut memiliki fungsi kekinian sebagai pengingat, pembangkit rasa patriotik, serta perasaan bangga bagi pemilik kolektifnya. - Terbit Tahun 2013 -

Judul Buku/ Penelitian : Peribahasa Banjar Nama Pengarang : Rustam Effendi Penerbit/ Tahun Terbit : Prodi Pend. Bahasa & Sastra Indonesia, FKIP Unlam, 2013 Metode Penelitian : Kritik Teks

Ringkasan Peribahasa Banjar merupakan salah satu khasanah budaya daerah Banjar yang sarat dengan nilai budaya. Nilai-nilai budaya itu, yang berupa norma berprikehidupan, telah lama menjadi pedoman tingkah laku bermasyarakat. Karena itu, peribahasa yang berisi fenomena budaya masyarakat selayaknya diketaui dan selanjutnya dikembangkan guna memperlengkap budaya Indonesia modern. Bagaimanapun, budaya Indonesia modern yang dikehendaki adalah budaya yang tidak terputus dari mata rantai budaya Indonesia masa lalu. Hasil penelitian ini berisi lima bab, yakni bab pendahuluan, bab struktur peribahasa, bab nilai yang terdapat dalam peribahasa, bab deskripsi peribahasa Banjar, dan bab kesimpulan penelitian. Pada bab pendahuluan dijelaskan bahwa peribahasa Banjar adalah salah satu jenis sastra lisan yang dihasilkan oleh masyarakat Banjar pada masa lalu. peribahasa ini pernah mengalami masa jayanya pada zamannya. Bahkan, pada masa sekarang pun, peribahasa Banjar yang merupakan warisan budaya nenek moyang itu masih sering dipergunakan. Peribahasa sering dipakai pada kesempatan tertentu, seperti taklimat yang disampaikan tetuha kampung (lurah, ustad, dan lain-lain) dan acara pernikahan. Pada bab ini juga disinggung tentang metode yang digunakan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan mengandalkan hasil wawancara lapangan, observasi lapangan, dan dokumen yang dikumpulkan dari berbagai sumber.

107 108 Jumadi, dkk.

Bab kedua tentang struktur peribahasa. Pada bab ini disebutkan bahwa peribahasa Banjar bisa terbentuk dengan struktur berupa satu kata berimbuhan, seperti bulanda menjadi mambulanda untuk menyatakan seseorang yang sangat kejam tidak berperi-kemanusiaan seperti kejamnya bangsa Belanda pada zaman penjajahan. Peribahasa Banjar bisa juga berstruktur kata ulang, seperti kata kana yang diulang menjadi kakanaan yang menunjuk kepada kepribadian seseorang yang tidak stabil. Struktur peribahasa lainnya adalah memulainya dengan kata asa, kaya, dan ibarat, seperti kata asa bajajak di agung yang bermakna tentang sesuatu pekerjaan atau perbuatan yang berjalan lancar dan mulus tanpa mendapat sedikit pun rintangan. Struktur lainnya adalah dengan sebuah kalimat lengkap, seperti peribahasa yang berbunyi, cancut naik ka sampiran, yang bermakna seseorang yang lupa diri karena memperoleh kekayaan yang tiba-tiba atau kedudukan yang tidak diperkirakan sebelumnya. Bab nilai budaya membicarakan nilai-nilai yang terkandung dalam peribahasa Banjar. peribahasa Banjar mengandung banyak nilai, seperti nilai pendidikan agama, estitika, filsafat, dan etika. Pada bab deskripsi peribahasa, penelitian ini menyajikan ratusan peribahasa yang diperoleh dari hasil wawancara dan dokumen. Judul Buku/ Penelitian : Tradisi Tari Topeng (Manuping) di Kampung Banyiur Kelurahan Basirih Banjarmasin Barat Nama Pengarang : Husnul Khotimah Penerbit/Tahun Terbit : Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 2013 Metode Penelitian : Sejarah dan Budaya

Ringkasan Latar belakang penulisan skripsi ini, keberadaan tradisi tari topeng (manuping) yang merupakan tradisi turun temurun, di kalangan masyarakat pendukungnya. Sebagai sebuah tradisi, manuping telah dijadikan sebagai bagian penting dalam dinamika kehidupan. Masalah dari penelitian ini yaitu bagaimana asal muasal atau sejarah tradisi tari topeng (manuping), dan bagaimana tradisi tari topeng (manuping) sebagai tradisi upacara adat meminta keselamatan hidup atau tolak bala agar kehidupan tetap harmonis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana asal muasal atau sejarah tradisi tari topeng (manuping) di Kampung Banyiur, Kelurahan Basirih, Banjarmasin Barat dan untuk mengetahui bagaimana perkembangan tradisi tari topeng (manuping) sebagai tradisi upacara adat meminta keselamatan hidup atau tolak bala agar kehidupan yang dijalani tetap terjaga keharmonisannya. Metode yang digunakan dalam penelitian skripsi ini adalah metode sejarah, yang terdiri dari empat tahapan, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil temuan menunjukkan bahwa keyakinan masyarakat di Kampung Banyiur, Kelurahan Basirih, Banjarmasin Barat tentang kehidupan yang harmonis atau kehidupan yang baik yaitu pada saat kehidupan yang mereka jalani berjalan dengan baik. Dalam tradisi manuping, terdapat sangkala yang merupakan simbol kejahatan, kejahatan yang timbul akibat ulah sangkala ditandai dengan sakitnya salah satu anggota keluarga yang menurut medis tidak terjadi apa-apa, namun pada kenyataan-nya sakit yang diderita tak kunjung sembuh. Untuk menyembuhkan si sakit itu maka

109 110 Jumadi, dkk. harus diadakan suatu upacara ritual. Itulah asal muasal atau sejarah tradisi tari topeng (manuping) di Kampung Banyiur. Tradisi tari topeng (manuping) bertujuan untuk memberi makan sangkala agar tidak mengganggu keturunan keluarga yang masih hidup, karena apabila tidak dilaksanakan maka akan ada gangguan seperti jatuh sakit, gagal usaha dan lain-lain yang dapat mengganggu keharmonisan di lingkungan keluarga atau pun masyarakat. Penulisan laporan dari penelitian ini terdiri dari bab I, berisi tentang latar belakang permasalahan, pertanyaan penelitian, ruang lingkup penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, gambaran umum Kelurahan Basirih, meliputi kondisi geografis wilayah Kelurahan Basirih, sarana dan prasarana, kependudukan dan pemerintahan. Bab III, menguraikan pemahaman masyarakat tentang kehidupan harmonis yang didalamnya membahas tentang kepercayaan masyarakat tentang keharmonisan hidup yang mereka jalani. Kemudian upaya yang dilakukan agar kehidupan yang mereka jalani tetap harmonis. Bab IV, merupakan uraian yang menjelaskan tentang tradisi tari topeng (manuping), perbedaan fungsi dan cara pelaksanaan tradisi tari topeng yang dulu dan sekarang, dan makna dari setiap tari topeng. Bab V, berisi simpulan yang merupakan jawaban dari permasalahan yang telah dirumuskan point perumusan masalah. Judul Buku/ Penelitian : Tradisi Maiwak Sebagai Mata Pencaharian Warga di Desa Bangkau, Kecamatan Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Tahun 1950-1970 Nama Pengarang : M. Haris Fadillah Penerbit/Tahun Terbit : Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 2013 Metode Penelitian : Sejarah dan Budaya

Ringkasan Latar belakang penelitian ini adalah adanya tradisi maiwak atau menangkap ikan pada warga Danau Bangkau, Kecamatan Kandangan. Keberadaan tradisi maiwak berdasarkan tradisi lisan muncul sekitar awal tahun 1950-an bersamaan dengan digelarnya adat manyanggar Danau Bangkau. Tradisi maiwak ini meliputi tradisi maiwak di air, kategori jenis ini kegiatan berlangsung di wilayah air atau banyu yang bersifat tetap atau tidak dipengaruhi oleh musim kemarau yakni daerah rawa. Dari segi ekonomi, maiwak jenis ini bersifat sebagai sumber penghasilan atau mata pencarian. Tradisi maiwak ini mengalami pasang surut dalam kurun waktu tahun 1950 sampai tahun 1970. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Adapun sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer penulis dapatkan secara langsung dari narasumber tentang objek yang diteliti. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa sebagai bagian dari budaya nelayan di wilayah Desa Bangkau masih melaksanakan tradisi yakni adat manyanggar Danau Bangkau. Biasanya tradisi ini dilaksanakan pada pekan pertama Maret setiap tahun. Manyanggar atau menebarkan sesaji ke danau adalah tradisi masyarakat Danau Bangkau yang mulai dilakukan sejak tahun 1950-an sebagai bentuk terima kasih warga terhadap alam (danau) yang telah menjadi sumber penghidupan mereka. Dalam upaya memahami masyarakat nelayan, khususnya di wilayah Desa Bangkau, terdapat beberapa

111 112 Jumadi, dkk. aspek kesejarahan yang penting sebagai pembangun identitas kebudayaan masyarakat nelayan tahun 1950-tahun 1970 yaitu perkembangan sistem pengolahan ikan, sistem gender, relasi patron-klien, pola-pola eksploitasi sumber daya perikanan dalam masyarakat Desa Bangkau, khususnya nelayan atau paiwakan. Adapun sistematika penulisan skripsi, bab I membahas latar belakang penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan. Kemudian bab 2, berisi gambaran umum Desa Bangkau, meliputi pembagian administratif Hulu Sungai Selatan tahun 1950-an. Kemudian kondisi geografis dan potensi perikanan tahun 1950-1970, kondisi demografis dan ekonomi serta pandangan hidup masyarakat tentang Danau Bangkau. Selanjutnya bab 3, membahas tentang adat manyanggar Danau Bangkau sebagai bagian dari tradisi maiwak di wilayah Desa Bangkau. Kemudian kearifan lokal masyarakat di wilayah Danau Bangkau yang terbagi atas pengaturan alat tangkap, pengaturan lingkungan, pengaturan kepemilikan, kelembagaan serta kepemim-pinan. Bab 4, membahas tentang sistem pengolahan ikan, gender, relasi patron-klien, serta pola eksploitasi perikanan paiwakan di Danau Bangkau tahun 1950-1970 yang meliputi sistem permodalan dan kebijakan nelayan tahun 1960-1970-an, garam dan usaha perikanan laut dan danau, sistem gender pada nelayan, relasi patron- klien tahun 1950-1980 serta pola eksploitasi sumber daya perikanan Danau Bangkau tahun 1950-1980. Terakhir pada Bab 5, berisi kesimpulan sebagai sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi. Judul Buku/ Penelitian : Perkembangan Penokohan dan Alur Cerita Pertunjukan Wayang Gung di Daerah Barikin, Kecamatan Haruyan, Hulu Sungai Selatan, Tahun 1980-2000 Nama Pengarang : M. Rizal Mukhlishin Penerbit/Tahun Terbit : Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 2013 Metode Penelitian : Sejarah dan Budaya

Ringkasan Latar belakang penelitian ini adalah adanya fenomena pembaharuan yang dilakukan oleh dalang wayang gung (wayang orang) di wilayah Barikin dalam kurun waktu tahun 1980 sampai 2000, dalam segi tokoh pewayangan, cerita, pentas wayangnya yang mengadopsi teknik pertunjukan opera dan beberapa teknis serta penggunaan bahasa yang komunikatif dan gaul yang digunakan sehingga membuat lakon-lakon yang dibawakannya dekat dengan hati penontonnya. Selain pembaharuan tersebut, dalam segi instrumen pun bukan hanya instrumen gamelan yang digunakan untuk mengiringi pentas wayangnya, tetapi juga nada-nada berirama lain pun sering muncul dalam pentas-pentas wayang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Adapun sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi perubahan penokohan dan alur cerita pada tradisi wayang gung di daerah Barikin pada tahun 1900-2010. Hal tersebut terjadi karena faktor adaptasi dengan perkembangan zaman. Pergeseran fungsi dari seni pertunjukan wayang gung terlihat dari lebih mengutamakan aspek hiburan dan ekonomi semata, walaupun harus mengesampingkan aturan-aturan (pakem) yang menjadi ciri khas dari kesenian wayang gung. Adapun sistematika penulisan skripsi ini dimulai dari bab 1, yang membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, batasan

113 114 Jumadi, dkk. masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan. Kemudian pada bab 2, berisi tentang sejarah dan perkembangan kesenian wayang gung di wilayah Barikin. Dalam bab ini dijelaskan tentang gambaran umum atau identifikasi keadaan geografis wilayah penelitian yakni di daerah Barikin Kecamatan Haruyan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, meliputi kondisi penduduk dan mata pencaharian, pendidikan, agama serta budaya masyarakat. Selanjutnya adalah perkembangan kesenian wayang gung di wilayah Barikin. Selanjutnya pada bab 3 membahas tentang sejarah dan perkembangan wayang gung di Nusantara, lalu perkembangan wayang gung di daerah Barikin sejak tahun 1970- an. Kemudian perbandingan wayang gung dengan jenis wayang lainnya, aspek metafisika wayang sebagai simbol kehidupan serta aspek estetika penokohan dan alur cerita wayang gung. Pada bab 4, dijelaskan bagaimana perkembangan penokohan dan alur cerita wayang gung tahun 1980-1990. Dalam bab ini juga dibahas tentang kejayaan seni tradisi wayang gung di tahun 1970-an, perkembangan wayang gung periode 1980-an dimana terdapat perubahan wayang gung sebagai hiburan dari pentas sakral ke komersial. Lalu periode tahun 1980-1985 yang ditandai adanya inovasi seniman dan perubahan penokohan dan alur cerita. Selanjutnya, perkembangan periode tahun 1985-1990 yang diwarnai proses adaptasi seni gerak dalam hubungannya dengan penokohan wayang gung, serta periode 1990-an, saat meredupnya kesenian wayang gung dan munculnya seni modern. Pada bab 5, penulis mengemukakan kesimpulan sebagai sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi. Kemudian saran saran atau rekomendasi demi tercapainya penelitian yang lebih maksimal di masa mendatang. Judul Buku/ Penelitian : Dialektika Budaya Banjar Dalam Konteks Seni, Tradisi. Nama Pengarang : Ahmad Syadzali & Tahniyatus Shofia (Eds) Penerbit/ Tahun Terbit : Tahura Media & Kasisab Institute, Banjarmasin, 2013 Metode Penelitian :

Ringkasan Buku ini dimulai dengan kata pengantar dari editor. Dalam kata pengantarnya, editor mengemukakan pentingnya menerbitkan beberapa hasil diskusi yang dilaksanakan oleh Kasisab Institute. Editor melihat masih ada gap antara kesenian Banjar dengan masyarakat Banjar itu sendiri. Dikatakan dalam pengantar itu, “Secara relasional hubungan antara masyarakat dengan kebudayaannya begitu jauh, seperti sesuatu yang ada di seberang sana, belum lagi jika menghadapi gelombang pasang budaya global, yang terus menyapu dataran tradisi, hingga menggerus lapisan- lapisannya.” Menurut editor gap itu disebabkan oleh banyak hal. Di antara masalah itu disebutkan karena persoalan polemis yang belum terselesaikan seputar perdebatan teologis normatif. Gap lain adalah berhubungan dengan perkara inferiority compleks, yakni orang Banjar tidak memiliki konfidensi untuk mengakui warisan khazanah budayanya. Masalah atau gap ini perlu solusi agar budaya Banjar bisa menjadi kebanggan masyarakatnya dan dengan demikian bisa berkembang dan semakin berkualitas. Salah satu tujuan diterbitkan buku ini adalah sebagai refleksi penulis terhadap kebudayaan atau sastra Banjar. Dengan demikian, buku ini mungkin bisa menjadi solusi dalam upaya membangun road map kebudayaan kita. Membangun road map kebudayaan bukanlah suatu hal yang mudah. Dikatakan oleh editor, membangun road map kebudayaan ibarat napak tilas di jalan sutra, sehingga diharapkan dapat menyambungkan kembali basis-basis budaya lokal kita yang terserak selama beberapa generasi.

115 116 Jumadi, dkk.

Buku ini memuat 3 tulisan, yakni (1) Lamut dan Redifinisi Budaya Banjar oleh Sainul Hermawan, (2) Seni, Budaya, dan Komoditi oleh Ahmad Syadzali, dan (3) Bubuhan dan Kula oleh Mukhlis Maman. Buku ini dilengkapi dengan catatan tentang berbagai tanggapan dari peserta diskusi. Tanggapan peserta itu dicatat dibawah judul sebagai berikut (i) Kalajuan, (ii) Peran Media dalam Pengembangan Seni Budaya di Kalimantan Selatan, (iii) Dewan Kesenian Kota Banjarmasin, (iv) Manajemen Organisasi dalam Masyarakat Banjar, (v) Identitas, Misi, dan Apresiasi dalam berkesenian Kalimantan Selatan I & II (vi) Pamong Budaya, (vii) Tatak Batang, (viii) Masa Depan (dinamisasi) Sastra di Kalimantan Selatan, dan (ix) Strategi, Aksesibilitas, dan Stakeholder dalam Pengembangan Budaya di Kalimantan Selatan. Judul Buku/ Penelitian : Subordinasi Perempuan Dalam Fabel Bingkarungan Peneliti : Musdalipah Penerbit/ Tahun Terbit : Unpad Press, Bandung, 2013 Metode Penelitian : Metode Kualitatif Dan Teori Kritik Feminis

Ringkasan Fabel bingkarungan merupakan dongeng yang menceritakan tentang kehidupan rumah tangga dengan tokoh binatang, yakni bingkarungan atau kadal. Meskipun fabel identik dengan anak-anak, namun fabel ini tidak populer di kalangan anak-anak seperti kebanyakan fabel lainnya yang memiliki topik dengan kehidupan sosial anak. Fabel ini diperoleh dari kalangan orang dewasa yang mengaku tidak pernah menceritakannya kepada anak kecil, sebab memang tidak diperuntukkan bagi anak kecil. Saratnya bias gender yang terdapat dalam fabel ini menjadi alasan pemilihannya sebagai obyek penelitian dengan menggunakan kritik sastra feminis. Penelitian ini menganalisis isi cerita sebagai upaya meng-ungkap bias gender yang terdapat dalam cerita ini. Untuk itu, terlebih dahulu dilakukan analisis dari unsur strukturnya. Pengung-kapan struktur dimaksudkan sebagai upaya mengetahui karakter dan pemikiran para tokoh terhadap bias gender. Selanjutnya, analisis dilakukan pada unsur sosial melalui penyifatan- penyifatan yang dilabelkan kepada ketiga perempuan (betina) cantik yang menjadi istri tokoh bingkarungan. Hasil dari penelitian ini mengung-kapkan bahwa terdapat subordinasi kaum perempuan melalui ketiga orang istri tokoh bingkarungan. Yakni penyifatan bahwa kaum perempuan dianggap sebagai makhluk kelas dua di dunia yang lemah, setia, tidak berhak menentukan keputusan, cepat putus asa, dan tidak dapat berpikir panjang. Alhasil, sebagai balasan dari rasa setianya, kaum perempuan dicampakkan begitu saja oleh laki-laki hingga berujung pada kematian. Melalui hasil penelitian ini diketahui alasan fabel ini tidak populer di kalangan anak kecil, bahkan di kalangan para ibu yang lazim menjadi pendongeng bagi anak-anak.

117 Judul Buku/ Penelitian : Representasi Nilai-Nilai Ajaran Islam Dalam Ungkapan Bahasa Banjar Peneliti : Ma’mur Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Pendekatan Analisis Makna

Ringkasan Latar belakang penelitian ini adalah adanya ungkapan Bahasa Banjar sebagai salah satu khazanah sastra lisan Indonesia yang termasuk ke dalam tradisi lisan masyarakat Banjar yang perlu digali dan diteliti dari berbagai aspek. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkap dan mendeskripsikan nilai-nilai ajaran Islam yang ada pada ungkapan Bahasa Banjar, terutama yang berkaitan dengan (1) Nilai-nilai ajaran Islam dalam ungkapan Bahasa Banjar tentang hubungan manusia dengan Tuhan, (2) Nilai-nilai ajaran Islam dalam ungkapan Bahasa Banjar tentang hubungan manusia dengan manusia, dan (3) Nilai-nilai ajaran Islam dalam ungkapan Bahasa Banjar tentang hubungan manusia dengan lingkungannya. Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah analisis makna. Hasil penelitian ini menunjukkan bahawa dalam ungkapan Bahasa Banjar terkandung banyak nilai ajaran Islam, diantaranya jujur, sabar, kanaah, tawaduk, adil, menuntut ilmu, tobat, berbakti kepada ibu bapak, bijaksana, rukun, dan amanah. Penggalian nilai-nilai ajaran Islam tersebut dilakukan dengan metode analisis makna. Pola hubungan nilai-nilai ajaran Islam dalam ungkapan Bahasa Banjar, terwujud dalam dua bentuk, yaitu (1) Pola hubungan yang bernada positif dan (2) Pola hubungan yang bernada negatif. Ungkapan Bahasa Banjar yang dianggap mengandung nilai-nilai ajaran Islam adalah ungkapan yang berpola positif, sedangkan pola negatif, sangat bertentangan dengan nilai- nilai ajaran Islam, tetapi bila digunakan untuk menyatakan imperatif dalam konteks nasihat, maka ungkapan itu dapat bernilai atau mengandung ajaran-ajaran Islam (implisit). Adapun ungkapan yang penulis peroleh dari

118 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 119 para informan dan buku tentang ungkapan, terdapat 129 buah ungkapan yang ditafsirkan mengandung nilai-nilai ajaran Islam. Nilai-nilai ajaran Islam yang terkadung dalam ungkapan Bahasa Banjar tersebut terbagi dalam tiga aspek hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungannya. Nilai-nilai ajaran Islam yang terkandung dalam ungkapan Bahasa Banjar tersebut, meliputi: menjaga ucapan, tekun berusaha atau kerja keras, tawaduk, berhati-hati dalam perbuatan, jangan berlebihan, kanaah, berlaku adil, menjaga rahasia, pekerjaan yang bermanfaat, bertanggung jawab, rukun, sabar, menuntut ilmu, berbakti kepada orang tua, dermawan, teguh pendirian, amanah, tobat, jujur,bijaksana, mencintai kebersihan, dan syukur. Judul Buku/ Penelitian : Asal-Usul Nama-Nama Kampung di Kabupaten Hulu Sungai Tengah Peneliti : Zuraidah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Etnolinguistik dan Ekolinguistik

Ringkasan Penelitian ini mengenai asal-usul nama-nama di kabupaten Hulu Sungai Tengah dengan rumusan masalah bagaimanakah asal-usul nama-nama kampung di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan klasifikasinya. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data dan mengetahui asal-usul nama-nama kampung di Kabupaten Hulu Sungai Tengah dan klasifikasinya. Berdasarkan tujuan penelitian, metode penelitian dalam penelitian ini bersifat deskriptif. Jenis penelitian mengarah kepada kualitatif dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan etnolinguistik dan ekolinguistik. Sumber data yang digunakan ada 112 nama kampung di Hulu Sungai Tengah berdasarkan data statistik dengan teknik pengumpulan data menggunakan observasi dan wawancara. Teknik analisis data menggunakan teknik analisis deskriptif model interaktif. Penelitian ini menghasilkan data asal-usul nama-nama kampung berdasarkan etnolinguistik diklasifikasikan terdiri atas, peniruan bunyi, penyebutan bagian, penyebutan sifat khas, penemu dan pembuat (merujuk ke seseorang), tempat asal, keserupaan, penyebutan verba, berdasarkan legenda, berdasarkan bahasa asing, kebiasaan, konotasi tempat dan sejarah. Sedangkan asal usul nama-nama kampung berdasarkan ekolinguistik diklasifikasikan berdasarkan nama hewan, berdasarkan benda yang ada di tempat, berdasarkan nama tumbuh-tumbuhan dan berdasarkan penyebutan sifat khas yang berasal dari alam.

120 Judul Buku/ Penelitian : Pengintensif Dalam Bahasa Banjar Kuala Peneliti : Firdaus Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif

Ringkasan Tesis ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) ciri-ciri yang dapat digunakan sebagai penanda suatu bentuk pengintensif; 2) tipe-tipe pengintensif berdasarkan bentuk yang terdapat dalam Bahasa Banjar Kuala; 3) fungsi proses infleksional dan gramatikal pengintensif dalam Bahasa Banjar Kuala; 4) makna pengintensif dalam bentuk pragmatis dalam Bahasa Banjar Kuala. Metode yang digunakan adalah deskriptif. Lokasi penelitian meliputi Kota Banjarmasin, Kota Banjarbaru, dan Kabupaten Banjar. Sumber data berjumlah 15 orang informan, masing-masing 5 orang informan untuk tiap lokasi penelitian. Teknik pengumpulan data adalah teknik elitasi, rekaman, dan pencatatan data. Manfaat tesis ini antara lain: 1) pelestarian bahasa daerah; 2) sumbangan kebahasaan yang bertujuan untuk mengetahui kesemestaan bahasa; 3) sumbangan untuk pengajaran Bahasa Indonesia ataupun bahasa daerah dan pendorong penelitian-penelitian linguistik lain mengenai bahasa daerah dan Bahasa Indonesia yang akan berguna bagi perkembangan kelinguistikan; 4) menambah perbendaharaan deskripsi Bahasa Banjar Kuala dan juga dapat berguna bagi pembinaan Bahasa Banjar Kuala itu sendiri; dan 5) dapat digunakan oleh guru Bahasa Indonesia sebagai bahan perbandingan dalam pengajaran Bahasa Indonesia, khususnya bagi penutur Bahasa Banjar Kuala. Hasil analisis dan pembahasan tesis ini menunjukkan bahwa ciri- ciri pengintensif dalam Bahasa Banjar Kuala mencakup ciri fonologis, ciri gramatis, ciri sintaksis, dan ciri berdasarkan jenis kata. Untuk pendeskripsian tipe-tipe pengintensif maka dalam Bahasa Banjar Kuala ditemukan 15 tipe pengintensif. Kemudian, proses infleksional dalam Bahasa Banjar Kuala meliputi: 1) tingkat berskala dan 2) tingkat tak berskala. Pengintensif

121 122 Jumadi, dkk.

Bahasa Banjar Kuala mempunyai fungsi gramatikal, yaitu; 1) sebagai predikat, 2) sebagai pemodif predikat, 3) sebagai keterangan, 4) sebagai pemodif keterangan, 5) sebagai pelengkap, 6) sebagai pemodif pelengkap, dan 7) berada pada kalimat minor. Selanjutnya, makna pengintensif Bahasa Banjar Kuala meliputi makna pengintensif yang bebas-konteks dan makna terikat-konteks. Judul Buku/ Penelitian : Nilai Moral Dalam Syair Klasik Guntur Peneliti : Ahmad Baihaki Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif, Teori Sastra Lisan

Ringkasan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi secara objektif tentang dua nilai moral dalam syair klasik Guntur, yaitu: (1) nilai moral kearifan tentang ingatan, berpikir, kejernihan pikiran, dan kekuatan otak, (2) nilai moral kesederhanaan tentang ketenangan, kesabaran, kedermawanan, integritas, kepuasan, dan loyalitas. Jenis penelitian ini adalah deskripstif- kualitatif yang menggambarkan nilai moral yang terkandung dalam syair klasik Guntur. Teori yang digunakan sebagai dasar pengembangan instrumen adalah teori sastra lisan Aarne dan Stith Thomson, dan teori tentang nilai moral menurut Miskawaih. Data penelitian ini adalah syair klasik Guntur yang terdiri dari 101 halaman (603 bait syair). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dan pendekatan filologi, dengan metode deskriptif, dan teknik analisis isi. Instrumen utama adalah peneliti. Instrumen pembantu adalah informan, naskah syair klasik Guntur, dan catatan-catatan penelitian. Analisis data dilakukan dengan klasifikasi, pengkodean, dan penafsiran terhadap syair klasik Guntur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat dua nilai moral dalam syair klasik Guntur, yaitu (1) nilai moral Kearifan yang menggambarkan pengambilan keputusan berdasarkan jiwa yang arif dan bijaksana, yaitu tentang ingatan, berpikir, kejernihan pikiran, kekuatan otak, dan (2) nilai moral Kesederhanaan yang menggam-barkan kepedulian kepada orang lain dan lingkungan masayarakat, terutama tentang ketenangan, kesabaran, kedermawanan, inte-gritas, kepuasan, dan loyalitas. Unsur yang paling dominan ditemukan dalam syair klasik Guntur adalah nilai moral tentang kearifan terutama dalam berpikir memecahkan masalah yang dihadapi para tokoh dalam syair klasik Guntur. Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan

123 124 Jumadi, dkk. kepada: (1) Dinas Pendidikan dan Pariwisata dapat mengembangkan dan melestarikan sastra lisan, terutama syair agar tetap berkembang, (2) Akademisi dan masyarakat supaya tetap memperkuat dukungan sosial untuk menempatkan sastra lisan pada tempat yang berwibawa. Judul Buku/ Penelitian : PrefiksMan- Bahasa Banjar Dalam Cerita Si Palui Peneliti : Noorkhalis Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Kualitatif

Ringkasan Bahasa Banjar memiliki sistem tersendiri, antara lain sistem prefiks maN-. Untuk melihat sistem ini perlu dilakukan penelitian pada Bahasa Banjar. Penelitian ini mengkaji variasi-variasi maN- yang digabungkan kata dasar. Penelitian ini juga menganalis makna maN- yang digabungkan dengan kata dasar dalam cerita Si Palui. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode deskripsi. Data penelitian adalah prefiks maN- dalam Bahasa Banjar. Sumber data berasal dari cerita Si Palui dalam Bahasa Banjar yang dimuat di Surat Kabar Harian Banjarmasin Post. Teknik analisis data menggunakan teknik studi dokumentasi. Dokumentasi berupa cerita Si Palui dibaca dengan teliti dan seksama sekaligus ditelaah untuk menemukan prefix maN- prefiks dalam Bahasa Banjar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat variasi bentuk MaN- Bahasa Banjar dalam cerita Si Palui. Variasi maN- meliputi ma-, mam-, mang-, maN-, many, maN menjadi ma-, maN- menjadi mam-, maN- menjadi mang-, dan maN- menjadi maN-. Fungsi prefiks maN- ada dua yaitu fungsi inplektif dan derivatif. Fungsi inplektif merupakan awalan maN- membentuk kata kerja, awalan maN- digabungkan dengan kata kerja (V) sendiri menjadi kata kerja. Derivatif merupakan awalan maN- digabungkan dengan kata sifat (S) membentuk kata kerja seperti pada pembentukkan atau penggabungan. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa prefiks maN- bervariasi. Makna prefiks maN- memiliki makna menjadi 10 makna. Fungsi prefiks maN- ada dua yaitu fungsi inplektif dan fungsi derivatif. Disarankan peneliti berikutnya melakukan penelitian prefiks Bahasa Banjar yang lain Ba-, Ta-, Sa-, dan Pa.

125 Judul Buku/ Penelitian : Unsur Pendidikan Karakter Dalam Peribahasa Banjar Peneliti : Samrah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Kualitatif

Ringkasan Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi atau gambaran objektif tentang unsur pendidikan karakter dalam peribahasa Banjar, yang meliputi tiga aspek: (1) wujud pendidikan nilai agama yang terdapat dalam peribahasa Banjar; (2) wujud pendidikan nilai moral yang terdapat dalam peribahasa Banjar, dan (3) wujud pendidikan nilai sosial yang terdapat dalam peribahasa Banjar. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif. Sumber data penelitian adalah sumber tertulis dalam bentuk buku atau hasil penelitian dan sumber lisan melalui wawancara dengan narasumber atau informan. Teknik yang digunakan adalah studi dokumentasi, yaitu menelaah sumber data sesuai dengan rumusan masalah dalam penelitian ini. Selanjutnya, data yang diperoleh diklasifikasikan dan dianalisis berdasarkan jenis unsur pendidikan karakter yang sesuai dengan ruang lingkup penelitian. Hasil penelitian yang diperoleh adalah: (1) Wujud pendidik-an nilai agama yang terdapat dalam peribahasa Banjar, yaitu nilai karakter takut kepada Tuhan, nilai karakter bersyukur kepada Tuhan. (2) Wujud pendidikan nilai moral yang terdapat dalam peribahasa Banjar, yaitu nilai karakter jujur, nilai karakter bertanggung jawab, nilai karakter bergaya hidup sehat, nilai karakter disiplin, nilai karakter kerja keras, nilai karakter percaya diri, nilai karakter berpikir logis, kritis dan inovatif, nilai karakter mandiri, nilai karakter ingin tahu, dan nilai karakter cinta ilmu. (3) Wujud pendidikan nilai sosial dalam peribahasa Banjar, yaitu nilai karakter sadar akan hak dan kewajiban orang lain, nilai karakter patuh pada aturan-aturan sosial, nilai karakter menghargai karya dan prestasi orang lain, nilai karakter santun, dan nilai karakter demokratis.

126 Judul Buku/ Penelitian : Humor Dalam Cerita Si Palui Peneliti : Dana Aswadi Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Kualitatif

Ringkasan Cerita Si Palui merupakan karya sastra yang menggambarkan salah satu aspek kehidupan masyarakat di Kalimantan Selatan. Unsur humor membuat cerita Si Palui ini disukai pembaca. Penelitian ini menganalisis cerita Si Palui. Rumusan masalah penelitian ini, yaitu (1) bagaimana jenis humor cerita Si Palui, (2) bagaimana fungsi humor cerita Si Palui, dan (3) bagaimana makna humor cerita Si Palui. Pendekatan penulisan adalah deskriptif kualitatif, yaitu data-data secara tertulis atau lisan digambarkan secara cermat. Sumber data penelitian dari cerita Si Palui di Harian Banjarmasin Post selama Januari 2013 sampai Maret 2013. Teknik pengumpulan data penelitian ini adalah dokumentasi dan studi pustaka. Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik analisis isi, yaitu membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Penelitian menetapkan keab-sahan data dengan teknik pemeriksaan. Kriteria keabsahan data, yaitu derajat kepercayaan dengan teknik pemeriksaan; perpanjang-an keikutsertaan, ketekunan pengamatan, triangulasi, mendiskusikannya dengan teman sejawat, kecukupan referensial, membaca dan menelaah berkali-kali data-data yang dikumpulkan, menginven- tarisasi serta membaca berbagai pustaka dan dokumen, dan membaca dan menelaah berbagai teori tentang sastra dan humor. Hasil penelitian adalah (1) Jenis humor yang terdapat dalam cerita si Palui ada delapan jenis, yaitu (a) humor agama, (b) humor seks, (c) humor permainan kata, (d) humor kiasan, (e) humor ejekan, (f) humor sindiran, dan (g) humor plesetan. (2) Makna humor yang terkandung dalam cerita Si Palui ada 5, yaitu (a) ketaatan kepada Tuhan, (b) memberikan pendidikan, (c) memberikan kritik, (d) menarik perhatian, dan (e) memberikan penjelasan/pemahaman.

127 Judul Buku/ Penelitian : Kajian Struktur Puisi BerBahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalsel VII Tanjung 2010 Peneliti : Herni Tikasari Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Kualitatif

Ringkasan Penelitian ini ditujukan untuk mendeskripsikan (1) aspek-aspek elemen Bahasa yang ditemukan dalam struktur puisi berbahasa Banjar karangan para penyair Kalsel pemenang lomba ASKS VII Tanjung 2000, meliputi: diksi, bahasa kias, pencitraan, dan pola persajakan, dan (2) aspek-aspek elemen makna yang ditemukan dalam struktur puisi berbahasa Banjar karangan para penyair Kalsel pemenang lomba ASKS VII Tanjung 2000, meliputi: pokok pikiran, tema, nada, suasana, dan amanat.Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dan metode dokumentasi. Dalam hal ini peneliti berusaha menganalisis isi dokumen (content analysis) untuk mengetahui isi dan makna yang terkandung di dalamnya. Adapun hasil penelitian ini adalah di dalam struktur puisi (1) Manyaaggar Banua karangan Erika Adriani, (2) Diang Hirang karangan Syarifuddin, (3) Mambuang Tantajuk, Manggantung Tajak karangan Aria Patrajaya, (4) Meratus karangan East Star From Asia, (5) Madam karangan Rahmatiah, dan (6) Sapanjadi karangan Nadiansyah Abdi, ditemukan: (1) elemen Bahasa puisi sebagai berikut: (a) diksi, yakni: diksi konotasi (6,62 buah) dan diksi denotasi (294); (b) bahasa kias, yakni: metafora (61) dan metonimia (76); (c) pencitraan, yakni: cecap (a), cium (3), dengar (80), gerak (75), lihat (82) dan raba (10); (e) pola persajakan, yakni sajak awal (20), dan sajaa akhir (26), dengan ragam bunyi aliterasi (62), asonansi (73), aspiran (74), eponi (281), kakafoni (145), dan liquida (54). Elemen makna puisi yang ditemukan dalam setiap puisi meliputi: (a) pokok pikiran, yakni: lingkungan hidup yang rusak pariah (Puisi Nomor 1 dan 4), nasib buruk orang yang hidup miskin (PN2), lahan pertanian yang

128 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 129 semakin menyempit (PN3), mengadu nasib di rantau orang (PNS), dan takdir dari Allah Swt (PN6); (b) tema, yakni cerita tentang ritual adat manyanggar banua (PN1), cerita tentang nasib buruk tokoh bernama Diang Hirang (PN2), cerita tentang lahan pertanian yang semakin menyempit (PN3), cerita tentang pembunuhan misterius dengan menggunakan parangmaya, tundik, dan gantung sarindit (PN4), cerita tentang nasib buruk (PNS), dan cerita ketidak-berdayaan manasia di hadapan Allah SWT (PN6), (c) nada, yakni: marah (PN1 daa PN4), perhatin (PN2), antipati (PN3), sedih (PN5), dan ikhlas PN6): (d) suasana, yakni: sakit hati (PN1 dan PN4), iba (PN2), cemas (PN3), sedih (PN5), dan pasrah (PN6): dan (e) amanat: melakukan perlawanan (PN1 dan PN4), melakukan pertolongan (PN2), menahan diri jangan tergiur dengan harga tanah yang tinggi (PN3), menggugah kesadaran diri sendiri (PN5), dan bersikap menerima kehendak Allah SWT (PN6). Judul Buku/ Penelitian : Representasi Nilai-Nilai Pendidikan Keluarga Yang Terdapat Dalam Ungkapan Bahasa Banjar Peneliti : Bahdiah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Kualitatif

Ringkasan: Masyarakat Banjar memiliki kekayaan budaya, salah satunya adalah ungkapan Bahasa Banjar. Ungkapan tersebut mengandung berbagai nilai, diantaranya nilai pendidikan keluarga. Fokus penelitian ini mengetahui nilai-nilai pendidikan keluarga yang terdapat dalam ungkapan Bahasa Banjar serta mengetahui hubung-annya dengan pendidikan Islam. Penelitian bersifat kualitatif, dengan meneliti makna ungkapan Bahasa Banjar, baik dari buku-buku maupun pendapat ahlinya. Data dari buku diperkaya dengan data lapangan yang digali melalui teknik wawancara. Hasil penelitian menunjukkan, nilai-nilai pendidikan keluarga dalam ungkapan Bahasa Banjar banyak berhubungan dengan tuntunan memilih jodoh, perkawinan dan keturunan, keharusan berbakti kepada orang tua, tata cara pergaulan sosial dan hidup merantau, kehati-hatian dalam mengelola ekonomi rumah tangga, sikap hidup realistik dan apa adanya serta perlunya sanksi hukum bagi warga yang bersalah. Ungkapan bahasa itu merupakan cara orang Banjar untuk mempersingkat maksud komunikasi dan untuk menyampaikan sesuatu kritik secara tidak langsung, berfungsi memberikan pendidikan bagi anak-anak, generasi muda dan warga masyarakat, memberikan kritik dan kontrol sosial, serta sebagai pedoman dan penuntun berperilaku yang baik di tengah masyarakat. Nilai-nilai pendidikan keluarga dalam ungkapan Bahasa Banjar itu pada umumnya sejalan dengan nilai pendidikan Islam atau ajaran Islam, dalam arti apa yang dikehendaki oleh ungkapan Bahasa Banjar juga disuruh dalam Islam dan apa yang dilarang dalam ungkapan Bahasa Banjar juga dilarang oleh ajaran Islam. Hal ini menunjukkan bahwa kemunculan dan tujuan dari

130 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 131 ungkapan Bahasa Banjar itu disemangati oleh ajaran Islam, yang disampaikan oleh para orang tua dan tetuha masyarakat yang walaupun bukan ulama tetapi memahami hakikat ajaran agama Islam. Meskipun demikian tidak semua ungkapan Bahasa Banjar mengandung nilai pendidikan, ada juga yang bersifat sindiran dan pelecehan terhadap bentuk fisik manusia, hal ini tidak sejalan dengan ajaran Islam. Judul Buku/ Penelitian : Madihin: Analisis Struktur Teks, Tema, dan Cara Penyajiannya Peneliti : Helda Herawati Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Kualitatif

Ringkasan Madihin merupakan sastra lisan yang berasal dari Kalimantan Selatan. Madihin berupa untaian syair yang dinyanyikan bersamaan dengan iringan tarbang. Isi syair madihin itu bermacam-macam, seperti nasihat, petuah, puji-pujian, sindiran, dan humor. Penelitian ini mengkaji tigas aspek di dalam sastra lisan madihin, yaitu struktur teks, tema, dan cara penyajian. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Model penelitian mengarah pada gambaran secara cermat dan mendalam tentang bagaimana karakteristik madihin dilihat berdasarkan struktur teks, tema, dan cara penyajian. Sumber data diperoleh dari seniman sastra lisan madihin yang ditampilkan di tempat, format, dan pola yang berbeda-beda. Sumber data diambil dari rekaman video. Hasil penelitian yang diperoleh sebagai berikut. (1) Struktur teks yang ada pada pertunjukan madihin terdiri dari empat bagian, yaitu pembukaan, batabi, isi, dan penutup. Struktur ini merupakan susunan yang umum digunakan oleh pamadihinan. Namun, struktur ini tidak terlalu baku. Setiap madihin memiliki perbedaan dalam menentukan bagian mana yang lebih dulu atau penghilangan bagian tertentu. Hal ini dilakukan karena berbagai pertimbangan, seperti format madihin, waktu pertunjukkan, karakteristik pamadihinan, dan suasana yang menuntut menuntut mereka melakukan hal tersebut. (2) Tema yang diangkat dalam sebuah madihin sangat tergantung dengan tema acara tempat madihin dilaksanakan. Hal ini dilakukan sesuai dengan permintaan panitia yang mengundang pamadihinan untuk tampil. (3) Cara penyajian madihin dapat bermacam-macam. Ada pertunjukan madihin yang ditampilkan oleh satu orang, ada yang berpasangan. Penampilan

132 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 133 tunggal biasanya cenderung menggunakan pola struktur teks yang umum digunakan. Namun, penampilan yang berpasangan dilaksanakan dengan cara berbalas-balasan syair antara pamadihinan yang tampil. Pada dasarnya setiap syair yang ditampilkan oleh pamadihinan merupakan pelengkap dari pasangannya. Pola berpasangan menggunakan struktur teks yang sedikit berbeda dengan struktur teks yang umum digunakan. Judul Buku/ Penelitian : Dindang Sastra Lisan Banjar Hulu: Kajian Bentuk, Makna, dan Fungsi Peneliti : Marfuah Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Kualitatif

Ringkasan Dindang merupakan salah satu jenis sastra lisan Banjar. Istilah dindang belum begitu populer. Perkembangannya tidak sepesat sastra modern. Bahkan jika dibandingkan dengan sastra lisan Banjar yang lain, dindang kalah popular karena memang perkembangannya hanya terbatas di wilayah pedesaan saja. Padahal dindang memiliki kedudukan penting dalam kehidupan masyarakat Banjar, yaitu sebagai media penyampai nilai- nilai luhur kehidupan (nilai keagamaan, nilai moral, nilai sosial) dan media komunikasi sosial untuk menyampaikan ajaran, nasihat dan sebagai sarana perekat hubungan sosial. Berkaitan dengan hal itu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara lengkap dan melakukan pengkajian secara mendalam tentang teks dindang Banjar Hulu sehingga dapat diketahui bentuk-bentuk teks dindang yang hidup dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Banjar Hulu, makna yang terkandung dalam teks dindang yang digunakan oleh masyarakat Banjar Hulu, dan fungsi teks dindang bagi masyarakat Banjar Hulu. Penelitian yang bersifat kuantitatif ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan hermeneutika Ricoeur. Penelitian ini menghasilkan beberapa kesimpulan. Pertama, bentuk teks dindang Banjar Hulu yang berhasil diinventarisasi dalam penelitian ini ada 2, yakni teks Dindang Banjar Hulu Berbentuk Pantun (DBHBP) dan teks Dindang Banjar Hulu Berbentuk Puisi Bebas (DBHBPB). Teks Dindang Banjar Hulu Berbentuk Pantun (DBHBP) memiliki dua variasi, yakni teks dindang Banjar Hulu berbentuk pantun kilat/karmina (8 teks dindang) dan teks dindang Banjar Hulu berbentuk pantun biasa (18 teks dindang). Teks

134 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 135

Dindang Banjar Hulu Berbentuk Puisi Bebas (DBHBPB) ada 8 teks dindang. Kedua, penelitian ini berhasil menginventarisasi 11 makna teks dindang Banjar Hulu, yakni M 1 bermakna harapan dan doa (4), M 2 bermakna pujian terhadap tokoh (5), M 3 bermakna mengolok-olok/ bercanda (7), M 4 bermakna peduli kepada orang lain (2), M 5 bermakna menghargai orang lain (2), M 6 bermakna bekerja sama (2), M 7 bermakna kritik terhadap sikap yang kurang tepat (7), M 8 berakna menghargai prestasi orang lain (3), M 9 bermakna memiliki sikap peka/ waspada (3), M 10 bermakna bertanggung jawab (1), M 11 bermakna curahan hati (2). Ketiga, teks dindang Banjar Hulu mempunyai 5 fungsi, yaitu: (a) fungsi rekreatif (34 teks dindang); (b) fungsi pembangkit semangat (4 teks dindang); (c) fungsi penyampai nilai (20 teks dindang); (d) fungsi sebagai kritik sosial (4 teks dindang). (e) Fungsi perekat hubungan sosial (3 teks dindang). Beberapa teks dindang Banjar Hulu ada yang memiliki lebih dari satu fungsi. Judul Buku/ Penelitian : Strategi Adaptasi Masyarakat Dalam Menghadapi Bencana Banjir Pasang di Desa Tanipah Kecamatan Aluh-Aluh, Kabupaten Banjar, Provinsi Kalimantan Selatan Peneliti : Nazwar Syamsu Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2013 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Fenomologi Kualitatif

Ringkasan Gelombang pasang yang terjadi setiap tahunnya menimbulkan bencana banjir di wilayah pesisir Desa Tanipah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pemahaman atau persepsi masyarakat mengenai banjir pasang air laut di Desa Tanipah, mengidentifikasikan dampak yang diakibatkan oleh gelombang pasang yaitu banjir di daerah pesisir berdasarkan survei lapangan dan interview, mengetahui strategi adaptasi masyarakat terhadap banjir pasang air laut. Tujuan lain dari penelitian ini adalah mengetahui strategi atau kebijakan pemerintah dalam pengelolaan bencana banjir pasang air laut. Penelitian ini terutama melihat persepsi dan sikap atau tingkah laku masyarakat dalam meminimalisir ancaman banjir pasang air laut. Bagaimana masyarakat dapat hidup dengan nyaman di daerah yang rentan terhadap banjir pasang, dan bagaimana interaksi masyarakat dengan dampak dari banjir pasang air laut. Apa yang telah dilakukan pemerintah kabupaten dalam melakukan usaha pengelolaan (management) terhadap resiko banjir pasang air laut. Berdasarkan tujuan penelitian tersebut, maka penelitian ini menggunakan metode induktif kualitatif. Metode ini memungkinkan peneliti mengeksplorasi setiap temuan di lapangan, yang dijelaskan secara deskriptif kualitatif. Tokoh kunci dipilih menggunakan purposive sampling yaitu menentukan objek/subjek sesuai tujuan. Berbagai pendekatan seperti wawancara mendalam dan observasi, menjadi alat yang penting dalam pengumpulan data primer. Pangumpulan data sekunder dilakukan melalui studi pustaka dan studi dokumen.

136 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 137

Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat setempat menyadari bahaya dari banjir pasang air laut. Kesadaran itu tidak mempengaruhi masyarakat untuk membuat keputusan meninggalkan daerah tersebut. Masyarakat telah beradaptasi terhadap banjir pasang air laut dengan melakukan langkah-langkah sederhana, seperti meninggikan lantai rumah. Respon ini saja tidak cukup dilakukan untuk penanganan bencana banjir, dilihat dari sudut pandang lingkungan. Persepsi masyarakat yang diperoleh selama penelitian, mengungkapkan bahwa alih-alih mengganggap banjir pasang air laut sebagai risiko bencana, masyarakat di daerah penelitian cenderung mangabaikan bahaya dan menilai banjir pasang air laut sebagai hal yang biasa. - Terbit Tahun 2014 -

Judul Buku Penelitian : Mamanda, Sebuah Teater Tradisional Nama Pengarang : Sirajul Huda Penerbit : Azana Pustaka, Banjarmasin Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini bersi 8 bab, yakni bab pendahuluan, sejarah mamanda, seniman dan masyarakat pendukung, faktor pendukung dan penghambat, ciri-ciri teater mamanda, struktur mamanda, fungsi mamanda dahulu dan sekarang, dan pola penggarapan artistik mamanda. Dalam bab ke-1 dibicarakan pengaruh budaya Jawa dalam kebudayaan Banjar serta kehidupan masyarakat dan kehidupan budaya Banjar. Disebutkan bahwa pola kehidupan masyarakat Banjar tidak terpisahkan dari kebudayaan sungai. Sungai dengan berbagai keindahannya mempengaruhi pula kepada kebudayaan Banjar. Pada bab ke-2 dibicarakan sejarah mamanda. Mamanda berasal dari sebuah kesenian dari tanah Malaka. Rombongan kesenian dari Malaka ini dikenal dengan nama Abdoel Moeloek. Dari nama Abdoel Moeloek inilah orang Banjar mengenal kesenian baabdoel moeloek. Kesenian baabdoelmoeloek ini kemudian berganti nama dengan mamanda. Bab ke-3 membicarakan seniman dan masyarakat pendukung. Disebutkan dalam buku ini sejumlah nama seniman mamanda, seperti Laut, Basirun, Ramli, Tukacil, Katuyung, dan Sabiran. Pada dekade tahun 60-an muncul nama seniman mamanda seperti Asmuni, Masauri, Dulmas, Nasran Dalau, Abdul Sabra, Sulaiman, Dayat, Asli, Markani, dan Sapri Kadir. Para seniman mamanda terus saja bermunculan hingga sekarang. Masyarakat pendukung mamanda adalah etnis Banjar yang ada di Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah. Bab ke-4 memibacarakan berbagai faktor pendukung dan penghambat kesenian mamanda.

138 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 139

Bab ke-5 membicarakan ciri-ciri teater mamanda. Ada tiga ciri teater mamanda, yakni bahasa yang digunakan adalah Bahasa Banjar, menyajikan simbol-simbol budaya Banjar, dan kelakar atau humor yang selalu ada dalam teater mamanda. Ciri-ciri lainnya adalah: kisah bertipe Kisah 1001 Malam; tokoh cerita meliputi aparat kerajaan, rakyat, komplotan begal, dan jin; tempat bermain menggunakan tenda. Bab ke-4 membicarakan struktur cerita. Menurut buku ini, struktur cerita mamanda meliputi: baladon, tukang kisah, cerita, pemeran dan penonton. Bab ke-7 membicarakan fungsi mamanda dari dahulu hingga sekarang. Bab ke-8 membicarakan pola penggarapan artistik mamanda. Dijelaskan pada bab ini bagaimana penggarapan srtistik baladon, sidang kerajaan, pemeran, alat musik pengiring, buana, dan tata pentas. Judul Buku/ Penelitian : Cucupatian (Teka-Teki) Banjar: Struktur, Fungsi, dan Makna Nama Pengarang : Rustam Effendi Penerbit/ Tahun Terbit : Prodi Pend. Bahasa & Sastra Indonesia, FKIP Unlam, 2014 Metode Penelitian : Deskriptif

Ringkasan Penelitian ini berisi enam bab, yakni bab pertama yang membicarakan pentingnya penelitian teka-teki Banjar, bab kedua tentang metode yang digunakan, bab ketiga sorotan literatur, yakni berbagai penelitian teka- teki yang pernah dilakukan, bab keempat berisi bentuk-bentuk teka-teki Banjar, bab kelima berisi fungsi teka-teki Banjar, bab keenam berisi makna teka-teki Banjar, dan bab keenam berisi kesimpulan penelitian. Dalam bab pertama dibicarakan bahwa penelitian tentang teka-teki Banjar perlu segera dilakukan karena sebagian besar teka-teki Banjar sudah punah atau hampir punah. Sebab-sebab kepunahan teka-teki di antaranya adalah hal tentang yang diteka-tekikan sudah tidak ada lagi atau sudah tidak digunakan lagi dalam kehidupan nyata, seperti cucupatian yang berbunyi, malam jadi raja siang takapinggir, malam menjadi raja dan siang tersia-sia. Jawabannya adalah lampu. Dalam kehidupan modern, lampu (minyak) sudah tidak digunakan lagi dan sudah digantikan dengan listrik. Dalam bab kedua dibicarakan tentang metode penelitian. Disebutkan dalam bab ini bahwa metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif yang mengandalkan wawancara lapangan, observasi, dan dokumen. Dalam bab ketiga dibicarakan beberapa penelitian tentang teka- teki yang pernah dilakukan sebelumnya. Dalam penelitian ini disebutkan penelitian teka-teki yang dilakukan oleh Sulaiman bin Muhammad Nur (1907), Dussek (1918), Preston (1948), Taylor (1951), Dundes (1965), Stokhof (1982), Sukatman (2006), dan Blauner (1967). Dalam bab keempat disebutkan bahwa terdapat dua bentuk besar cucupatian Banjar, yakni bentuk tatangguhan dan bentuk mahalabiu. Bentuk tatangguhan adalah

140 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 141 bentuk teka-teki tradisional yang sudah punah atau hampir punah. Bentuk tatangguhan yang punah atau menjelang kepunahan itu segera tergantikan oleh mahalabiu. Pergantian itu tidak serta-merta tetapi melalui proses yang cukup lama dan cukup panjang. Tatangguhan memiliki bentuk lagi yang terdiri bentuk yang hanya berupa satu kata berimbuhan, bentuk satu frasa, bentuk satu klausa, bentuk beberapa klausa,bentuk beberapa kalimat, dan bentuk puisi (syair, pantun, karmina). Dalam bab kelima disebutkan beberapa fungsi cucupatian (tatangguhan dan mahalabiu), di antaranya, alat memperkenalkan diri, bahan membuat cerita, menguji kecerdasan, memperjelas informasi, alat pendidikan, permainan anak, pernyataan superioritas, menyindir, hiburan (jenaka), pengesahan kebudayaan, pemaksa berlakunya norma sosial, pengendali sosial, dan kritik sosial. Bab ketujuh adalah uraian tentang makna cucupatian. Dalam bab ini disebutkan bahwa cucupatian dapat digunakan untuk meliahat kehidupan masyarakat Banjar pada masa cucupatian itu hidup. Cucupatian tradisional yang hidup pada masa ratusan tahun yang lalu akan merefleksikan kehidupan masyarakat pada masa itu, begitu juga cucupatian yang hidup pada masa sekarang (mahalabiu) merefleksikan kehidupan masyarakat pada saan sekarang. Pada cucupatian tradisional, hal yang diteka-tekikan adalah tentang hal, suasana, yang dekat dengan kehidupan masa lalu, seperti lampu minyak, kelambu, nenas, dan lain- lain. Pada cucupatian modern (mahalabiu), hal yang diteka-tekikan adalah masalah kehidupan sekarang dan lebih menekankan rasa humor. Judul Buku/ Penelitian : Gambaran Kehidupan Masyarakat Banjar Dalam Teks Undang-Undang Sultan Adam Nama Pengarang : Rustam Effendi Penerbit/ Tahun Terbit : Prodi PBSI FKIP Unlam, Banjarmasin, 2014

Ringkasan Buku ini membahas berbagai gambaran kehidupan masyarakat Banjar yang terrefleksi di dalam teks Undang-Undang Sultan Adam. Gambaran kehidupan itu dipilahkan oleh penulis menjadi empat bagian, yakni (1) gambaran kehidupan relegius, (2) gambaran kehidupan sosial/ kemasyarakatan, (3) gambaran kehidupan tata pemerintaha, dan (4) gambaran suasana lingkungan alam. Gambaran kehidupan keagamaan terlihat melalui banyak pasal dalam Undang-Undang Sultan Adam. Dalam pasal-pasal itu terlihat bahwa masyarakat yang taat kepada hukum akan melaksanakan kegiatan agama sesuai dengan perintah Undang-Undang. Diantara perintah itu adalah membangun surau dan mengajak keluarga masing-masing untuk sembahyang berjamaah di surau atau di mesjid. Kehidupan beragama (Islam) pada masa itu pasti sangat semarak. Semua masyarakat yang taat kepada Undang-Undang tidak akan mau melanggar undang-undang, terlebih-lebih undang-undang ini menyangkut juga dengan perintah Agama Islam. Undang-Undang Sultan Adam tidak menyalahi hukum Agama Islam tetapi menjadi penguat hukum Islam itu agar masyarakat menjadi lebih bersemangat menjalankan perintah Agama Islam. Gambaran kehidupan kemasyarakatan adalah tentang persoalan atau perselisihan di dalam rumah tangga maupun di dalam masyarakat. Hubungan rumah tangga yang tidak harmonis mendapat perhatian dalam undang-undang ini. Perselisihan yang terjadi di dalam masyarakat juga diatur cara penyelesaiannya oleh undang-undang, seperti perselisihan akibat sewa- menyewa tanah dan lain-lain. Gambaran tata pemerintahan terlukis pada beberapa pasal dalam Undang-Undang Sultan Adam. Raja dianggap penguasa mutlak dan pengambil keputusan akhir apabila perangkat hukum dibawahnya tidak bisa menyelesaikannya. Dalam beberapa ayat, apabila

142 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 143 ada satu perkara yang rumit maka raja mengatakan “padahakan kayah diaku” (beritahu kepadaku). Gambaran yang keempat adalah gambaran tentang suasana kehidupan lingkungan alam. Dalam Undang-Undang itu disebutkan tentang sawah, ladang, sungai, hutan, yang memberi kehidupan kepada masyarakat. Sawah yang masih subur dan masih luas merupakan pemandangan yang sekarang sudah hampir jarang ditemukan. Judul Buku/ Penelitian : Pemberian Nama Alias Pada Masyarakat Amawang Kiri Kandangan: Tinjauan Linguistik Etnografi Nama Pengarang : Arni Mahyudi Penerbit/ Tahun Terbit : Program Pascasarjana Unlam, 2014 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskripstif dan Teori Etnolinguistik

Ringkasan Nama merupakan salah satu identitas yang paling penting untuk menunjukkan pribadi seseorang. Nama berhubungan erat dengan budaya dalam masyarakat. Budaya sangat mempengaruhi kehidupan masyarakatnya termasuk dalam pembuatan nama. Nama alias merupakan salah satu wujud dari budaya yang ada di masyarakat masyarakat. Nama alias adalah nama panggilan yang diberikan oleh masyarakat kepada seseorang yang bukan merupakan bagian nama asli dari orang tersebut. Penelitian ini dilaksanakan untuk meneliti pemberian nama alias yang ada di masyarakat Desa Amawang Kiri Kandangan. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengetahui wujud dari nama-nama alias; (2) mengetahui proses pemberian nama alias; (3) mengetahui makna yang terkandung dalam nama alias tersebut; (4) mengetahui sistem penamaan dalam nama alias. Penelitian ini menggunakan rancangan deskriptif kualitatif untuk menjawab pertanyaan di atas. Data penelitian ini adalah nama-nama alias yang ada di masyarakat Amawang Kiri Kandangan. Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan teknik observasi dan wawancara. Pengkajian pada penelitian ini menggunakan pendekatan linguistik etnografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ada sistem penamaan dalam nama alias yang ada di Desa Amawang Kiri Kandangan yang dibagi dalam 7 bagian berdasarkan proses penamaan dan makna nama alias tersebut. Ketujuh bagian tersebut yaitu: (1) berdasarkan kebiasaan seseorang, (2) berdasarkan sifat khas yang dimiliki seseorang, (3) berdasarkan kemiripan yang dimiliki seseorang dengan orang lain, (4) berdasarkan pekerjaan atau keahlian yang dimiliki oleh seseorang, (5) berdasarkan suatu kejadian yang

144 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 145 pernah dialami oleh seseorang, (6) berdasarkan fisik seseorang, dan (7) berdasarkan pengaruh nama panggilan seseorang. Sistem dalam pemberian nama alias dibagi kepada tiga yaitu, (1) nama alias yang dibentuk berdasarkan nama sapaan yang kemudian ditambahkan kata baru yang mendekatinya; (2) nama alias yang dibentuk berdasarkan pengambilan penggalan-penggalan kata dari nama asli si pemilik nama alias; (3) nama alias yang dibentuk berdasarkan pada penilaian masyarakat setelah proses interaksi si pemilik nama alias. Nama alias seperti ini terbentuk dengan tidak berpola tapi berdasarkan kepada pandangan si pemberi nama alias (baik itu seseorang, kelompok, ataupun masyarakat) kepada si penerima nama alias. Judul Buku/ Penelitian : Naskah Ini Fasal Pada Menyatakan Jalan Yang Benar Karya Nuruddin Ar-Raniri Dalam Naskah Negara: Edisi Suntingan Teks dan Isi Naskah Peneliti : Dede Hidayatullah Penerbit/ Tahun Terbit : Balai Bahasa Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, 2014 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskriptif

Ringkasan Salah satu naskah yang saat ada di tangan masyarakat Kalimantan Selatan adalah naskah yang dikenal dengan Naskah Negara karena ditemukan di Negara, Kalimantan Selatan, dan ada pula yang menamainya dengan Sari Kitab Barencong karena mengandung ajaran yang mirip dengan legenda Kitab Barencong. Naskah yang akan dijadikan objek penelitian ini adalah Ini Fasal pada menyatakan jalan yang benar, karangan Nûr al-Dîn ibn ’Alî ibn Hasanjî ibn Muḥammad Hamîd al-Rânîrî al-Syâfi’î, (Nuruddin Ar-Raniri). Naskah ini merupakan pasal kedua dari 16 pasal dalam naskah Negara sesudah pasal Risalah Syarâb al-’âsyiqîn karangan Hamzah Fansuri. Penelitian ini hanya menjelaskan kodikologi naskah negara, suntingan teks dan isi dari naskah Ini Fasal Pada Menyatakan Jalan Yang Benar dan menguraikan konsep ketuhanan yang benar menurut Nuruddin al-Raniry. Naskah ini akan disunting dengan menggunakan teknik naskah standar. Naskah Ini Fasal Pada Menyatakan Jalan Yang Benar mempunyai struktur naskah sebagai berikut: (1) Pendahuluan yang berisi: (a) basmalah, (b) hamdalah, (c) salawat kepada nabi dan keluarga-nya, (2) Isi Teks yang berisi: (a) Nama pengarang, (b)Latar belakang penulisan Naskah Ini Fasal Pada Menyatakan Jalan Yang Benar, (c) Paparan tentang wujud Allah dan wujud alam ini pada empat golongan (d) Pendapat Nuruddin tentang satahat. (3) Penutup yang berisi: (a) Doa, (b) Tammatnya penulisan kitab ini, (c) Salawat kepada Nabi, keluarga, dan sahabatnya. Isi naskah ini memuat tentang pendapat Nuruddin terhadap empat golongan yang yang berpendapat tentang wujud Allah dan wujud alam, yaitu, ulama mutakallimin, ahli sufi, hukama falasifah (ahli filsafat), dan wujudiyyah yang mulhid. Selain itu Nuruddin juga menjelaskan tentang wujudiyyah yang muwahid (wujudiyyah yang dibenarkan oleh Nuruddin).

146 Judul Buku/ Penelitian : Kecerdasan Emosional Orang Banjar Dalam Pantun Banjar Peneliti : Yuliati Puspita Sari Penerbit/ Tahun Terbit : Sawerigading, Jurnal Bahasa Dan Sastra Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, 2014. Metode Penelitian : Metode Deskriptif dan Teori Kecerdasan Emosional Goleman

Ringkasan Kecerdasan emosional dinilai tidak kalah penting dibanding kecerdasan intelektual. Kecerdasan emosional atau yang biasa dikenal dengan EQ (Emotional Quotient) jika dimiliki seseorang dengan baik akan membuat seseorang tersebut dapat menerima, menilai, mengelola, serta mengontrol emosi dirinya dan orang lain di sekitarnya. Penelitian ini membahas tentang berbagai bentuk kecerdasan emosional orang Banjar yang tergambar dalam pantun Banjar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada berbagai bentuk kecerdasan emosional dibangun melalui pantun Banjar, antara lain: (1) mengenali emosi sendiri yang direfleksikan melalui kesadaran beragama dan sikap introspeksi diri; (2) mengelola emosi yang direfleksikan melalui kemampuan dalam mengelola konflik dan mengendalikan emosi; dan (3) membina hubungan yang direfleksikan melalui bersikap tolong-menolong, sopan- santun, cinta kasih, dan kolaborasi/kerja sama. Jika dalam keberadaannya, pantun digunakan orang-orang zaman dahulu untuk menyisipkan pembela- jaran tentang kehidupan, tinggal kita sebagai pewaris pantun tersebut, mampukah kita merefleksikan petuah yang disampaikan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.

147 Judul Buku/ Penelitian : Leksikon Emosi Dalam Bahasa Banjar Peneliti : Yuliati Puspita Sari Penerbit/ Tahun Terbit : Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, 2014 Metode Penelitian : Metode Kualitatif dan Teori Emosi Dari Goleman

Ringkasan Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan berbagai variasi leksikon emosi yang terdapat dalam Bahasa Banjar, baik dilihat dari bentuk, maupun dilihat dari spesifikasi maknanya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada berbagai variasi leksikon yang terdapat dalam Bahasa Banjar. Berdasarkan maknanya, leksikon tersebut dapat dikelompokkan ke dalam delapan kelompok besar, yaitu (1) leksikon yang menyatakan emosi kemarahan; (2) leksikon emosi yang menyatakan emosi kesedihan; (3) leksikon yang menyatakan emosi ketakutan; (4) leksikon yang menyatakan emosi kebahagiaan; (5) leksikon yang menyatakan emosi cinta/kasih sayang; (6) leksikon yang menyatakan emosi keterkejutan; (7) lesikon yang menyatakan emosi kejengkelan; (8) leksikon yang menyatakan emosi malu. Penelitian ini merupakan bagian dari usaha menginventarisasi dan mendokumentasikan berbagai bentuk kosakata yang berkem-bang dalam masyarakat Banjar. Mengingat masih banyak leksikon lainnya dalam Bahasa Banjar yang belum dikaji, maka kajian semacam ini masih perlu untuk terus dilakukan. Walau bagaimana pun, bahasa daerah merupakan kekayaan budaya bangsa. Oleh sebab itu, kita perlu untuk terus menjaganya agar tidak tergerus oleh pesatnya perkembangan zaman.

148 Judul Buku/ Penelitian : Strategi Pemertahanan Bahasa Banjar di Kalimantan Selatan Peneliti : Musdalipah Penerbit/ Tahun Terbit : Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan, 2014 Metode Penelitian : Metode Kualitatif dan Pemertahanan Bahasa

Ringkasan Berdasarkan beberapa penelitian sebelumnya mengenai Bahasa Banjar, terdapat penurunan dalam penggunaan Bahasa ini oleh penuturnya sendiri. Meskipun penurunannya tidak kentara, namun hal tersebut cukup membuat para pemerhati bahasa ini mulai merasa khawatir, sehingga perlu dilakukan beberapa hal sebagai antisipasi menghilangnya bahasa ini. Untuk itulah penelitian ini dilakukan sebagai upaya mengetahui strategi yang dilakukan oleh penuturnya untuk mempertahankan Bahasa Banjar, khususnya di wilayah Kalimantan Selatan. Penelitian ini menghasilkan bahwa strategi pemertahanan Bahasa Banjar di Kalimantan Selatan dilakukan dengan beberapa cara. Yakni melalui (1) Peraturan daerah Provinsi Kalimantan Selatan Nomor 7 Tahun 2009 tentang Pemeliharaan Bahasa dan Sastra Daerah. Peraturan ini diimplementasikan melalui jalur formal dan informal pada jalur formal, di antaranya dengan cara menjadikan pelajaran Bahasa Banjar sebagai muatan lokal dan menggalakkan penggunakan Bahasa Banjar di lingkungan sekolah. Selain itu, Taman Budaya dan Museum Kalimantan Selatan pun memiliki program secara berkala mengadakan pagelaran berbagai seni pertunjukkan rakyat yang menggunakan Bahasa Banjar serta memfasilitasi penerbitan buku- buku yang berisi tradisi lisan Banjar. Demikian pula Balai Bahasa Provinsi Kalimantan Selatan yang selalu berusaha menggali Bahasa dan sastra daerah, termasuk Bahasa Banjar, melalui penelitian dan penyusunan kamus bahasa daerah di wilayahnya. Selanjutnya (2) Peran budayawan yang masih konsisten dan setia terhadap Bahasa Banjar sebagai media penyampaian karya seni, termasuk sastranya, baik melalui lagu, pantun, syair, cerpen, dongeng, maupun seni

149 150 Jumadi, dkk. pertunjukan seperti mamanda, madihin, maupun lamut. (3) Media massa pun dijadikan sebagai wadah yang cukup efektif dimanfaatkan untuk alat pemertahanan Bahasa Banjar. Baik media elektronik seperti televisi dan radio lokal, maupun media cetak seperti surat kabar dan tabloid. (4) Meskipun keluarga merupakan lingkup terkecil namun mampu menjadi alat yang paling efektif untuk mempertahankan Bahasa Banjar. Hal ini berimbas pada Bahasa yang digunakan anak-anak usia di bawah 12 tahun, baik perempuan maupun laki-laki ketika bermain, mereka masih setia menggunakan Bahasa Banjar sebagai alat komunikasinya. Judul Buku/ Penelitian : Kesantunan Direktif Bahasa Banjar Dalam Interaksi Antara Guru dan Murid di SD Negeri Handil Bakti Kecamatan Alalak Peneliti : Nazmawati Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2014 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Kualitatif

Ringkasan Kesantunan dalam komunikasi sangat penting artinya guna menjaga keharmonisan dan menghindari terjadinya konflik, terlebih dalam tindak direktif Bahasa Banjar yang merupakan bahasa pergaulan dalam masyarakat Banjar khususnya dan pengantar di lembaga pendidikan terutama di sekolah dasar. Penelitian ini memiliki tujuan mengungkapkan wujud tindak tutur direktif, strategi dan fungsi kesantunan direktif Bahasa Banjar. Adapun pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Data tuturan kesan-tunan direktif dalam interaksi antara guru dan murid diperoleh dari observasi, catatan lapangan, perekaman dan wawancara. Pada analisis data dilakukan melalui tiga langkah. Ketiga langkah itu adalah (1) reduksi data, (2) penyajian data, dan (3) penyimpulan/ verifikasi. Dari ketiga langkah itu diperoleh kesimpulan akhir dengan triangulasi dan pengecekan. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan wujud kesantunan Bahasa Banjar dalam interaksi antara guru dan murid yang meliputi tiga kaidah kesantuan yakni formalitas (formality), ketidaktegasan (hesitancy) dan persamaan atau kesekawanan (equality or camarederie). Kaidah formalitas berarti jangan memaksa atau angkuh, kaidah persamaan berarti bertindak seolah-olah Anda dan lawan tutur menjadi sama. Dalam Bahasa Banjar ada sepuluh strategi kesantunan direktif yang digunakan oleh penutur yakni kesantunan imperatif, pernyataan permintaan, permintaan berpagar, pernyataan keharusan, pernyataan keinginan, pernyataan saran, pernyataan pertanyaan, pernyataan isyarat kuat, pernyataan isyarat halus, dan pernyataan sindiran. Adapun fungsi dari kesantunan direktif Bahasa Banjar

151 152 Jumadi, dkk. adalah untuk menyelamatkan muka, untuk menghindari konflik, untuk mencapai efektivitas dan tindak tutur untuk memberikan penghormatan. Dari hasil temuan penelitian ini disarankan dalam tindak tutur direktif hendaknya penutur melakukan dengan santun sejalan dengan kaidah kesantunan untuk meng-hindari ketidakharmonisan dengan mitra tutur. Judul Buku/ Penelitian : Papadah Bahari: Analisis Bentuk, Fungsi dan Makna Peneliti : Nurul Amini Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2014 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Analisis Struktural

Ringkasan Salah satu sastra lisan Banjar jenis lama bercorak puisi adalah papadah. Papadah atau yang lebih dikenal dengan papadah urang tuha bahari merupakan sebuah warisan budaya yang ditinggalkan oleh urang tuha bahari sebagai ciri kekuatan budaya Banjar itu sendiri. Memang penggunaan papadah pada masa sekarang ini, khususnya dalam masyarakat Banjar sendiri cenderung secara perlahan tidak menggunakannya lagi. Masyarakat Banjar khususnya generasi muda. Kurangnya perhatian generasi muda terhadap warisan leluhur itu disebabkan berbagai faktor. Kemajuan zaman yang serba canggih, membuat mereka lebih tertarik pada karya sastra modern. Padahal papadah bahari bahasanya serta nilai-nilai kehidupan yang syarat di dalamnya, lebih dari cukup untuk menobatkannya sebagai tradisi bermutu tinggi. Berdasarkan hal tersebut di atas, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan secara lengkap dan secara melakukan analisis tentang papadah bahari, sehingga dapat diketahui bentuk-bentuk papadah bahari yang ada dan masih digunakan dalam kehidupan masyarakat Banjar, fungsi papadah bahari bagi masyarakat Banjar, dan makna yang terkandung dalam papadah bahari yang digunakan masyarakat Banjar. Penelitian yang bersifat kualitatif ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan analisis struktural. Hasil dari penelitian ini adalah: pertama, bentuk papadah bahari yang berhasil diinventarisasi ini ada 2 bentuk, yaitu bentuk puisi pendek dan bentuk peribahasa (kalimat pendek). Bentuk puisi pendek memiliki tiga variasi, bentuk pantun (PBBP) ada 3 teks, bentuk syair (PBBS) hanya ada 1

153 154 Jumadi, dkk. teks, dan bentuk gurindam (PBBG) ada 5 teks. Bentuk peribahasa (kalimat pendek) memiliki dua variasi, yaitu bentuk ungkapan (PBBU) ada 19 teks, dan bentuk tamsil (PBBT) ada 10 teks. Kedua, papadah bahari mempunyai 5 fungsi, yaitu sebagai sistem proyeksi (2 teks), sebagai alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan (3 teks), sebagai alat pendidikan anak (16 teks), sebagai alat komunikasi (12 teks), dan sebagai alat pengawas norma-norma masyarakat agar selalu dipatuhi (5 teks). Ketiga makna papadah bahari yang berhasil diinventarisasi dari penelitian ini ada 9 makna, yaitu M1 bermakna semua yang ada di alam ini anugerah dari Allah SWT. (6 teks), M2 bermakna setiap benda memiliki sisi buruk yang melekat pada ciri-ciri alamiahnya (4 teks), M3 bermakna berisi kode etik dalam pergaulan (5 teks), M4 bermakna ajaran untuk bersikap sosial (2 teks), M5 bermakna menghargai orang lain (5 teks), M6 bermakna ajaran untuk bekerjasama (1 teks), M7 bermakna kritik terhadap sikap yang kurang tepat (8 teks), M8 bermakna tidak serakah (1 teks), M9 bermakna sikap peka/waspada (6 teks). Judul Buku/ Penelitian : Memaknai Perilaku Filantropi Masyarakat Muslim (Studi Fenomologis Pengalaman Sedekah Muzakki Rumah Zakat Banjarmasin Peneliti : M. Irfan Islamy Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2014 Metode Penelitian : Deskriptif, Pendekatan Fenomologi Kualitatif

Ringkasan Manusia merupakan makhluk ekonomi yang selalu berusaha memaksimalkan kepuasannya dengan selalu bertindak rasional sekaligus menjelaskan identitas kelas sosialnya. Manusia akan berusaha memaksimalkan kepuasannya selama kemampuan financi-alnya memungkinkan. Meskipun sebagian besar ada masya-rakat yang melakukan perilaku konsumsi sesuai dengan kepentingan dan kepuasan diri sendiri serta menjelaskan identitas sosialnya, namun ada sebagian masyarakat yang termasuk kategori kelas menengah membelanjakan hartanya secara konsisten untuk kepentingan orang lain atau untuk kepentingan kemanusiaan yang dikenal dengan sebutan filantropi atau kedermawanan dalam bentuk sedekah. Tujuan penelitian ini adalah 1) untuk memaknai perilaku seseorang dalam bersedekah, 2) untuk mengetahui motivasi sese-orang dalam bersedekah, 3) untuk mengetahui balasan yang dirasakan seseorang dalam bersedekah. Untuk menjawab pertanyaan di atas, penelitian ini dirancang menggunakan pendekat-an penelitian fenomologi kualitatif. Ada 4 informan donatur Rumah Zakat Banjarmasin yang konsisten bersedekah dijadikan sumber data dalam penelitian ini. Kontribusi temuan dari perilaku sedekah informan adalah (1) ketidakmampuan materi bukan penghalang informan untuk bersedekah; (2) tumbuhnya kesadaran untuk bersedekah lebih didominasi faktor altruistik, pembiasaan, dan pengalaman (3) program yang jelas dari pemerintah, filantropi merupakan faktor utama informan menyalurkan dananya.

155 156 Jumadi, dkk.

Kontribusi temuan dari motivasi sedekah informan adalah (1) Motivasi utama adalah ketundukan terhadap keyakinan agama, (2) motivasi bersedekah didominasi kekuatan emosional, (3) Ada kekuatan empirik yang lebih dominan yang memotivasi informan untuk bersedekah. Kontribusi temuan balasan yang dirasakan dari bersedekah adalah: (1) Bentuk kesehatan yang dirasakan; temuan ini dapat digunakan sebagai alternatif untuk konsep “asuransi kesehatan”. (2) Bentuk keamanan harta yang dirasakan; temuan ini dapat digunakan sebagai alternatif konsep “asuransi musibah”. (3) Bentuk balasan 10 kali lipat bahkan lebih yang dirasakan. Temuan ini dapat digunakan sebagai alternatif konsep “manajer investasi”. - Terbit Tahun 2015 -

Judul Buku Penelitian : Struktur Karakter Tokoh dan Bahasa Dalam Kesenian Tradisional Mamanda Nama Pengarang : Sirajul Huda Penerbit : Pustaka Banua, Banjarmasin Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Buku ini membicarakan berbagai seluk beluk kesenian tradisional Banjar, mamanda. Buku ini dimulai dengan persentuhan penulis dengan kesenian mamanda dan beberapa alasan mengapa penulis merasa perlu menulis buka tentang mamanda. Selanjutnya, buku ini membicarakan struktur pergelaran mamanda. Dalam bagian struktur ini dibicarakan tentang ladon atau kunun, harapan, perdana menteri, sultan, kepala pertanada, dan khadam serta inang. Struktur mamanda dimulai dengan tampilnya beberapa orang pemain yang sifat kelakuannya sangat ganjil. Para pemain ini disebut balado atau bakunun. Struktur kedua adalah munculnya harapan, yakni harapan I dan harapan II. Dua orang harapan ini memperkenalkan diri serta bercerita tentang kedigjayaan masing-masing. Struktur ketiga adalah tampilnya perdana menteri. Pada episode ini terjadi dialog antara perdana menteri dan harapan I serta harapan II. Struktur keempat adalah tampilnya seorang sultan. Sultan adalah seorang yang berwibawa dan menjadi pucuk pimpinan di dalam kerajaan. Struktur kelima adalah munculnya kepala pertanda atau panglima perang. Kepala pertanda atau panglima perang adalah pemimpin pasukan di dalam kerajaan. Pada episode ini pun terjadi dialog antara panglima perang dan harapan I serta harapan II. Struktur keenam adalah munculnya khadam dan inang. Khadam dan inang ini adalah pesuruh raja. Khadam dan inang digambarkan sebagai rakyat jelata yang lugu sehingga karena keluguannya segala perbuatannya sangat lucu, menjadi tertawaan penonton.

157 158 Jumadi, dkk.

Buku ini membicarakan pula tentang karakter tokoh. Karakter tokoh meliputi karakter sultan, karakter wajir, karakter perdana menteri, karakter mangkubumi, karakter panglima perang, karakter permaisuri, karakter putri raja, karakter anak muda, karakter harapan I dan harapan II, karakter khadam dan inang, karakter perampok atau jin, serta karakter orang-orang kampung. Disebutkan pula ada tiga hal utama yang menjadi warna khas bahasa dalam mamanda, yakni humor bahasa, humor tingkah laku, humor pergunjingan, dan humor pornografi. Buku ini dilampiri pula dengan satu naskah mamanda yang berjudul Salah Barataan atau Salah Semua, karya Sirajul Huda. Judul Buku Penelitian : Permainan Tradisional Rakyat Kalimantan Selatan Nama Pengarang : Sirajul Huda Penerbit : Pustaka Banua, Banjarmasin Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Dalam bagian pendahuluan buku ini disebutkan bahwa permainan tradisional Banjar sudah banyak yang tidak diketahui lagi oleh generasi muda sekarang. Berhubung hal ini, pengarang bermaksud memperkenalkan lagi berbagai permainan itu kepada masyarakat Kalimantan Selatan dan kepada masyarakat Indonesia. Diharapkan juga oleh penulis, buku ini dapat menjadi acuan bagi guru-guru olahraga untuk mengisi muatan lokal. Ada 21 permainan tradisional yang dimuat dalam buku ini, yakni: balogo, balewang, bagempar, balebok (bapatungan), bagasing, basamsaman, batung-kau, baasinan, catuk kapala haruan, batukupan (babutaan), bakalayangan, bakujur, basumpitan, batewah, basimban, batimbak- an, terompah panjang, badaku, bakalayangan banyu, bagulungan (bagalendengan), dan batapakan. Balogo adalah permainan yang tidak bermusim. Logo terbuat dari tempurung kelapa yang dibentuk antara bulat dan lonjong. Dengan bentuk semacam itu, logo bisa dihungkit jauh serta dengan mudah membidik logo yang tegak jauh di depannya. Pengungkit logo terbuat dari belahan batang bambu. Balewang selalu dimainkan anak laki-laki. Peralatan yang digunakan untuk permainan balewang adalah batu yang pipih atau potongan papan. Batu atau papan ini digunakan sebagai undas. Bagempar adalah permainan yang bisa dilakukan di halaman rumah. Alat yang dipakai adalah batu yang pipih atau benda lain yang berbentuk pipih untuk undas. Balebok adalah permainan untuk anak-anak seusia sekolah pendidikan dasar. Peralatan permainan ini hanya kertas koran yang dibuat seperti bola. Bagasing khas Banjar memiliki dua bentuk, yakni gasing bini yang bentuknya agak pipih seperti buah apel dan gasing laki yang bentuknya agak tinggi seperti buah kedondong. Basamsaman adalah permainan permainan dengan meloncati

159 160 Jumadi, dkk. garis-garis yang berbentuk kotak dan di ujung garis kotak itu ada garis yang menyerupai gunung. Batungkau atau engrang adalah permainan yang menggunakan dua bilah kayu dan di pokok kayu itu diikat satu bilah kayu lagi untuk tempat berpijak. Baasinan adalah permainan yang dilakukan di atas lapangan yang telah diberi garis berbentuk kotak sebanyak enam kotak. Permainan dengan cara mengejar lawan yang ada dalam kotak. Pemain yang ke luar dari kotak dinyatakan kalah. Catuk Kapala Haruan atau Patok Lele adalah permainan yang biasa dimainkan oleh anak-anak usia pendidikan dasar. Peralatannya berupa sebilah kayu atau sebilah rotan. Alat ini dibuat dua macam, yang pertama berukuran pendek untuk dilemparkan dan yang kedua agak panjang sebagai alat untuk melempar. Batukupan adalah permaianan yang salah satunya bertutup mata dengan kain. Dalam permainan ini tidak boleh ada yang ke luar garis lingkaran. Pemain yang ke luar garis lingkaran berarti kalah dan menjadi pemain yang bertutup mata. Bakalayangan adalah permainan yang dilakukan ketika musim panen atau kemarau tiba. Pada musim itu, angin bertiup cukup kencang untuk menaikkan layang-layang. Bakujur adalah permaianan keterampilan anak. Setiap pemain mempunyai tiga batu kecil. Pemain yang menang adalah pemain yang mampu meletakkan batu-batu itu dalam satu garis lurus. Basumpitan adalah permainan dengan menggunakan batang bambu kecil. Butir biji kacang hijau digunakan untuk peluru sumpitan. Permainan lainnya adalah batewah, basimban, batimbakan, terompah panjang, badaku, bakalayang banyu, bagulungan, dan batapakan merupakan permainan masyarakat tradisional Banjar masa lalu yang pada saat sekarang sudah tidak dimainkan lagi oleh anak-anak. Judul Buku Penelitian : Gerak Dasar Tari Tradisi Kuda Gipang Kalimantan Selatan Nama Pengarang : Sirajul Huda Penerbit : Pustaka Banua, Banjarmasin Metode Penelitian : Deskriptif Kualitatif

Ringkasan Dalam buku ini penulis memberikan gambaran tentang sejarah tari Kuda Gipang Banjar, para tokoh pemeran Kuda Gipang, gerak-gerak dasar Tari Kuda Gipang Banjar, busana, tata rias, dan peralatan tari Kuda Gipang. Buku ini terdiri dari 10 bab, yakni bab pendahuluan, latar belakang sosial budaya, kesejarahan, masyarakat pendukung, bentuk dan jenis, fungsi, musik pengiring, busana dan properti, tata rias, gerak tari kuda gipang, dan penutup. Dalam bab ke-1 dikemukakan bahwa buku ini penting ditulis untuk menjaga keutuhan dan menghindari penyimpangan yang prinsip dari dasar-dasar tari Kuda Gipang yang baku. Dalam bab ke-2 disebutkan bahwa dalam perjalanan Sejarah Banjar pernah tejadi hubungan antara Kerajaan Daha dan . Hubungan itu memungkinkan terjadinya saling pengaruh antara budaya yang satu dengan budaya yang lain. Dalam bab ke-3 disebutkan bahwa jenis Kuda Gipang yang yang cukup tua bernama Kuda Gipang Siba. Tarian ini pada mulanya berasal dari Keraton Banjar. Tarian ini sering dipergelarkan pada upacara kerajaan untuk menggambarkan kegagahan pasukan berkuda kerajaan. Dalam bab ke-4 disebutkan bahwa tari Kuda Gipang hanya didukung oleh masyarakat Banjar. Masyarakat Banjar lainnya seperti Maanyan, Lawangan, dan Dusun Deyah, tidak memiliki kesenian ini. Dalam bab ke-5 disebutkan dua macam tari Kuda Gipang, yakni Kuda Gipang Siba dan Kuda Gipang Carita. Tari Kuda Gipang dibagi atas tiga macam, yakni tari kibaran, tari raja, dan igal anak. Bab ke-6 menjelaskan tentang fungsi Kuda Gipang. Sebelum kemerdekaan tari Kuda Gipang berfungsi sebagai tari yang mengikuti upacara adat perkawinan. Pada masa sekarang, Kuda Gipang bisa disuguhkan sebagai hiburan biasa untuk mengisi hari-hari besar, seperti hari

161 162 Jumadi, dkk. kemerdekaan. Bab ke-7 membicarakan musik pengiring tari Kuda Gipang. Disebutkan bahwa pada awalnya musik pengiring Kuda Gipang adalah Kurung-Kurung dan Sarunai. Kemudian, setelah muncul Kuda Gipang Carita maka musik pengiring ditambah dengan sarun, dau, kangsi, dan babun. Pada bab ke-8 dijelaskan tentang busana dan properti para pemain. Pemain yang berperan sebagai raja memerlukan busana sepatu basatiwal, kemeja putih lengan panjang, kopiah hitam, serta selendang dan rompi. Pemain lainnya memegang kuda yang terbuat dari anyaman rotan. Bab ke- 10 menjelaskan tentang gerak tari Kuda Gipang. Gerak tari Kuda Gipang diklasifikasikan menjadi 14 macam, yakni: jumanang, tandik, langkah ampat maju-mundur, tandang capat maju, lontong setengah, lontong, conglang, langkah ampat ka samping, langkah ampat balik, jajak ampat muka balakang, tapung tali, perbangsa, kijik di tempat kiri kanan, dan rangkak maju. Judul Buku/ Penelitian : Syair Siti Zubaidah Nama Pengarang : Sampurna Irawan Penerbit : CRDS Kalimantan, Banjarmasin Metode Penelitian : Kritik Teks

Ringkasan Syair ini ditulis dengan huruf Jawi (Arab-Melayu) dan ditransliterasi oleh Sampurna Irawan. Syair Siti Zubaidah berisi 3773 bait syair. Buku ini diberi pengantar oleh Setia Budhi, Ph.D. dan Ulasan Makna oleh Prof. H. Rustam Effendi, M.Pd., Ph.D. Syair mengisahkan seorang tokoh utama yang bernama Siti Zubaidah. Pada suatu ketika negeri Kembayat Negara diserang oleh tentara Cina. Tentara Cina menyerang negeri ini sebagai balasan terhadap penghinaan yang dilakukan oleh pengusaha Kembayat Negara terhadap saudagar Cina. Serangan ini berhasil menaklukkan Kembayat Negara dan menawan Sultan Kembayat Negara. Sultan Kembayat Negara dibawa ke negeri Cina sebagai tawanan. Menyadari keadaan ini, Siti Zubaidah menyiapkan dirinya untuk menyelamatkan suaminya. Siti Zubaidah menyamar sebagai tentara dan menyertai perang melawan Cina. Dia berhadapan dengan banyak cobaan dalam usaha membebaskan suaminya. Keberanian dan cintanya terhadap suaminya memberikan kekuatan yang luar biasa sehingga dia mampu memenangi peperangan. Setelah perang usai, Siti Zubaidah menampakkan wujudnya yang asli kepada suaminya Sultan Zainal Abidin. Dalam ulasannya, Rustam Effendi mengatakan bahwa beberapa pakar mengkategorikan syair ini sebagai syair asmara atau syair romantis. Namun, Rustam Effendi mempunyai pendapat lain, seperti yang ditulisnya sebagai berikut ini. Setelah saya membaca syair ini dan merenungkan serta menghubungkannya dengan teori yang pernah saya baca, saya mengambil sikap yang berbeda dengan para pakar sastra yang saya sebutkan di atas. Menurut saya, Syair Siti Zubaidah lebih condong sebagai Syair Agama karena syair ini mengajarkan banyak hal tentang ajaran Islam, seperti sembahyang, membaca Alquran, prinsip hidup pantang berpindah agama walaupun menghadapi maut disiksa musuh. Memang terdapat kisah asmara antara

163 164 Jumadi, dkk.

Siti Zubaidah dan Zainul Abidin, putra Raja Kumbayat Negara. Kisah romantis itu menurut saya hanya sebagai pengantar untuk satu peristiwa besar, yakni pertengkaran antara seorang saudagar Kumbayat Negara dengan seorang Saudagar Cina. Selanjutnya, kisah peperangan demi peperangan antara Kumbayat Nagara yang Islam dan Negeri Cina yang menyembah berhala. Kisah peperangan membela agama Islam juga terjadi antara lasykar Kumbayat Negara dan lasykar Raja Manggala yang mau menguasai negeri Yaman. Zainul Abidin dan empat orang sahabatnya membantu negeri Yaman menghadapi Raja Manggala. Raja Manggala yang non muslim menginginkan putri Raja Yaman. Raja Yaman tidak mau menyerahkan putrinya kepada raja Manggala karena dia bukan penganut Islam. Berbagai penderitaan akibat kalah perang dialami oleh Raja Yaman. Penderitaan itu berakhir berkat bantuan Zainul Abidin dan empat sahabatnya. Sebagai tanda terima kasih, Raja Yaman mengawinkan putrinya dengan Zainul Abidin. Judul Buku/ Penelitian : Interpretasi Semiotik Riffaterre Dalam Mantra Banjar Nama Pengarang : Ahmad Syakir Penerbit/ Tahun Terbit : Program Pascasarjana Unlam, 2015 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskripstif dan Teori Semiotik

Ringkasan Mantra Banjar sebagai puisi rakyat anonim bertipe magis yang dilisankan atau dituliskan dalam Bahasa Banjar seutuhnya atau bercampur dengan Bahasa lainnya yang dibuat atau digubah untuk tujuan fungsional tertentu yang bersifat magis di kalangan etnis Banjar di Kalimantan Selatan. Mantra Banjar merupakan salah satu identitas yang mengandung banyak tanda. Makna yang terkandung di balik tanda-tanda itu dapat mempresentasikan konstruksi realistis nilai-nilai budaya dalam kehidupan masyarakat Banjar. Dengan demikian, Mantra Banjar menjadi sesuatu yang menarik dan penting dikaji dari aspek semiotik untuk dapat mengungkap makna di balik tanda-tanda itu. Penelitian ini bertujuan untuk menjawab tiga permasalahan, yaitu mengungkap makna yang terkandung dalam mantra Banjar melalui pembacaan heuristik dan hermeneutik, menentukan matriks dan model yang terdapat dalam mantra Banjar, dan menemukan hubungan intertekstual mantra Banjar dengan teks lain. Untuk menjawab ketiga permasalahan tersebut, digunakan pendekatan semiotik dengan memanfaatkan teori semiotik Riffaterre. Penelitian ini merupakan penelitian lapangan dengan memanfaatkan data lapangan yang diperoleh dan didokumentasikan. Dari 30 buah mantra yang diperoleh dari penelitian ini, ditetapkan 10 buah mantra sebagai bahan analisis. Pertimbangannya didasarkan pada fungsi dan intensitas mantra yang digunakan oleh si pembaca mantra. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemaknaan yang dilakukan terhadap mantra Banjar mempresentasikan konstruksi realistis dan identitas

165 166 Jumadi, dkk. dalam kehidupan masyarakat Banjar. Masyarakat Banjar sebagai penutur mantra Banjar memperlihatkan adanya multietnis yang tumbuh dalam lingkungannya melalui teks-teks yang digunakan dalam mantra Banjar, yakni etnis Banjar dan Arab. Mantra Banjar adalah suatu bentuk identitas masyarakat Banjar. Kajian intertekstual terhadap mantra Banjar memperlihatkan adanya hubungan dengan teks Al-Quran yang mempresentasikan isi mantra pada wacana relegius keislaman. Secara keseluruhan, makna yang terkandung dalam sepuluh (10) mantra Banjar menggambarkan pula kepercayaan masyarakat Banjar tehadap Tuhan sebagai pemilik kekuasaan tertinggi, keberadaan nabi-nabi, dan adanya makhluk gaib dan kekuatan gaib. Judul Buku/ Penelitian : Representasi Nilai Karakter Dalam Teks Dindang Sastra Lisan Banjar Nama Pengarang : Dwiyani Lestari Penerbit/ Tahun Terbit : Program Pascasarjana Unlam, 2015 Metode Penelitian : Pendekatan Kualitatif, Metode Deskripstif dan Teori Sastra Lisan

Ringkasan Dindang merupakan sastra lisan masyarakat Banjar yang tergolong sebagai nyanyian rakyat. Bagi masyarakat Banjar, dindang digunakan oleh semua lapisan masyarakat. Penggunanya mulai dari anak-anak, remaja sampai orang tua. Biasanya, anak-anak menggunakan dindang sebagai nyanyian yang mengiringi permainan, bagi remaja, dindang digunakan untuk menarik perhatian lawan jenis, sedangkan bagi orang tua, dindang digunakan saat menidurkan anak atau saat mengasuh anak. Sebagai tradisi lisan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Banjar, dindang mengandung nilai karakter luhur kehidupan yang merupakan upaya untuk membentuk manusia sebagai bagian dari masyarakat yang hidup di era globalisasi agar memiliki mental yang kuat dan selalu berpegang teguh pada akar budaya sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk menggali dan mengungkap nilai karakter yang terkandung dalam teks Dindang Banjar Hulu, serta mendeskripsikan representasi nilai karakter dalam teks Dindang Banjar Hulu di kehidupan masa kini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertolak pada penafsiran atas teks sastra yang menjadi sumber datanya. Penelitian ini menggunakan pendekatan analisis konten, yaitu pendekatan yang digunakan dalam mengungkap, memahami, dan menangkap pesan yang terkandung dalam karya sastra. Pendekatan analisis konten merupakan pendekatan yang didasari asumsi bahwa karya sastra yang bermutu adalah karya yang mampu mencerminkan pesan positif bagi penikmatnya, sehingga pesan-pesan yang terangkum dalam isi karya sastra tersebut terpahami secara keseluruhan. Berdasarkan hasil penelitian, diperoleh beberapa kesimpulan, yaitu: nilai karakter yang terkandung dalam teks dindang sastra lisan Banjar Hulu

167 168 Jumadi, dkk. adalah: nilai religius (NR) 15 teks dindang, nilai semangat (NS) 2 teks dindang, nilai jujur (NJ) 2 teks dindang, nilai tanggung jawab (NTJ) 2 teks dindang, dan nilai kerja keras (NKK) 2 teks dindang, nilai menghargai orang lain/toleransi (NT) 13 teks Dindang, nilai menghargai prestasi (NP) 4 teks dindang, nilai cinta damai (NCD) 2 teks dindang, nilai bersahabat/berkomunikasi (NSK) 5 teks dindang, dan nilai peduli (NPD) 9 teks dindang. Judul Buku/ Penelitian : Studi Tentang Kain Sarigading di Kalangan Urang Banjar Tahun 1990–2013 Nama Pengarang : Andi Nur Indah Pratiwi. O.W Penerbit/Tahun Terbit : Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 2015 Metode Penelitian : Sejarah & Budaya

Ringkasan Latar belakang penelitian adalah keberadaan kain sarigading yang dikenal masyarakat di Kota Banjarmasin sebagai sarana pengobatan bersifat magis terhadap penyakit-penyakit tertentu. Dalam perkembangannya tahun 1990 sampai tahun 2013, keper-cayaan Urang Banjar di Kota Banjarmasin tentang kain sarigading dilakukan dengan membuatkan atau memesan kain sarigading tersebut ke pengrajin di Desa Sungai Tabukan, Kecamatan Sungai Tabukan, Kabupaten Hulu Sungai Utara. Rumusan masalah peneliti- an adalah bagaimana motif dan penggunaan kain sarigading di wilayah Kota Banjarmasin tahun 1990-2013. Metode penelitian ini adalah metode sejarah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seperti kain sarigading memiliki banyak ragam motif. Contohnya adalah motif sarigading laki, sarigading bini, pungling, wadi waringin, ramak sahang, katutut, karacuk dan sebagainya. Nama kain tenun tersebut diberikan berdasarkan corak hiasan atau ornamennya yang dibuat berdasarkan hasil menenun benang dirian atau lungsi yang berwarna- warni dengan benang pakan yang juga berwarna-warni. Corak-corak khusus tersebut, namanya diberikan secara khusus untuk keperluan khusus pula yang bersifat magis tadi atau untuk penyakit-penyakit tertentu. Kain tenun tersebut sering juga disebut oleh masyarakat dengan istilah kain pipintan atau kain papintan, maksudnya ialah kain yang berdasarkan permintaan secara khusus mengenai coraknya yang sesuai dengan kehendak dukun (orang pintar) yang mengobati penyakit tertentu yang diderita seseorang.

169 170 Jumadi, dkk.

Sistematika isi dari skripsi ini dimulai bab I, berisi tentang pendahuluan, berisikan latar belakang masalah, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian serta sistematika penulisan. Bab II, berisi gambaran tentang asal usul dan kebudayaan Urang Banjar, dengan sub-bab asal usul Urang Banjar, sub Suku Banjar yakni Banjar Pahuluan, Banjar Batang Banyu, dan Banjar Kuala. Selanjutnya ikatan kekerabatan bubuhan serta budaya Banjar yang terdiri atas wujud dan unsur-unsur kebudayaan Banjar. Bab III, berisi pembahasan asal mula dan proses tenun kain sarigading secara tradisional tahun 1990-2010. Dalam sub-bab nya dipaparkan asal mula munculnya kain sarigading, mitos-mitos kain sarigading dan ritualnya, serta bahan dan proses tenun kain sarigading. Khusus sub-bab terakhir berisi deskripsi ritual pembuat-an, penggunaan bahan alami dan pewarna buatan serta proses pembuatan mulai mewarnai benang, menasi, menapas, menyikat, maulur benang lawai, menyusun benang ke sulara dan menenun. Selanjutnya bab IV, berisi penjelasan tentang ragam motif kain sarigading di Kota Banjarmasin tahun 1990-2013. Sub-bab dibagi atas jenis motif kain sarigading yang populer di Kota Banjarmasin tahun 1990-2013-an antara lain motif sarigading laki, sarigading bini, pungling, katutut dan wadi waringin. Kemudian corak kain sarigading yang kurang populer yakni motif sarigading karacuk, aamasan, kalapa kuning, kaladi air, ramak sahang, jarum-jarum, tauman, batik santan, kelapa, kamumu, kasturi masak, parang simpak dan paring anum. Terakhir, dibahas pengrajin dan pemasaran kain sarigading tahun 1990-2013. Bab V, berisi penutup/ kesimpulan. HASIL- HASIL KAJIAN SEJARAH - Terbit Tahun 1994 -

Judul Buku Penelitian : Struktur Birokrasi dan Sirkulasi Elite di Kerajaan Banjar pada Abad XIX Nama Pengarang : Mohamad Zaenal Arifin Anis Penerbit/Tahun Terbit : Tesis Pada Magister Ilmu Sejarah Fakutas Sastra, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta /1994 Metode Penelitian : Deskriptif

Ringkasan Studi ini bertujuan memperoleh gambaran tentang sejarah sosial Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan. Dari hasil studi kearsipan dan kepustakaan dengan metode sejarah dan pendekatan multidimensional, khususnya dari Antropologi Politik diperoleh suatu jawaban, bahwa perbutan kekuasaan di Kerajaan Banjar erat hubungannya dengan adanya saling pengaruh antara struktur birokrasi tradisional dan munculnya sirkulasi elit dalam Kerajaan Banjar sering melahirkan pertentangan intern. Gejala pertentangan intern itu memberikan angin bagi Belanda untuk melakukan intervensi politik dalam istana, dan berhasil. Permasalahan yang lebih menarik lagi adalah mencari penjelasan tentang bagaimana struktur birokrasi Kerajaan Banjar sehingga melahirkan sirkulasi elit yang akhirnya berubah menjadi konflik sosial. Dalam tesis ini juga dikemukakan bahwa asumsi awal menunjukkan bahwa sistem pelapisan sosial di masyarakat Banjar tidak dapat dilihat dari sudut profesi secara kaku, sebab di masyarakat banjar mengenal peran ganda dalam profesi. kegaandaan profesi itu terlihat dari setiap pemegang kekuasaan merangkap juga menjadi pedagang. Adapun sirkulasi di Kerajaan Banjar erat hubungannya dengan kebijakan sultan dalam struktur pemerintahan. Penempatan personalia pada jabatan-jabatan birokrasi, dan pengaruh dari perjanjian yang dibuat oleh Sultan Banjar dengan Belanda yang akhirnya menimbulkan konflik sosial. Kondisi itu tergambarkan ketika pada tahun 1857 Belanda mengangkat Pangeran Tamjidillah II menjadi Sultan Banjar, yang sebenarnya tidak berhak atas tahta itu. Pengangkatan sultan

172 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 173 ini merupakan rekayasa Belanda untuk memudahkan memperoleh konsesi penambangan batubara, emas dan pendulangan intan. Naiknya status Pangeran Tamjidillah menjadi sultan, merupakan suatu indikasi bahwa di Kerajaan Banjar telah terjadi sirkulasi elit yang direkayasa Belanda. Sirkulasi elit yang dialami Pangeran Tamjidullah II tidak mendapat tanggapan dan dukungan yang baik dari masyarakat Banjar, bahkan rakyat Banjar menanggapinya dengan menyulutkan suatu konflik sosial. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa struktur birokrasi Kerajaan Banjar tidak berfungsi dengan semestinya, sehingga sirkulasi elit yang terjadi adalah akibat dari rekayasa kekuatan eksternal. Terjadinya sirkulasi elit di istana menimbulkan kekecewaan dalam masyarakat Banjar, kemudian diwujudkan dalam bentuk sosial. Garis besar isi tesis ini adalah bab 1 berisi pengantar dengan sub- bab yakni latar belakang dan perumusan masalah, kerangka teori dan pendekatan, telaah pustaka dan sumber, serta sistematika penulisan. Kemudian bab 2, dijelaskan tentang lingkungan alam, latar belakang munculnya Kerajaan Banjar (Negara Dipa dan Negara Daha), munculnya Urang Banjar dan Kerajaan Banjar, berpindahnya pusat kerajaan Banjar dari Banjarmasin ke Martapura dan warisan krisis. Kemudian pada bab 3 dibahas tentang struktur birokrasi Kerajaan Banjar. Sub-bab terbagi atas struktur pemerintahan (pemerintahan wilayah inti bidang politik, militer sumber kuangan dan Undang Undang Kerajaan). Pada bagian kedua memaparkan tentang pemerintahan distrik dan kampung (peradilan, militer, perpajakan dan kekuangan serta struktur pemerintahan kampung. Bab 4, berisi pembahasan tentang stratifikasi dan sirkulasi elit (pelapisan sosial, intrik dan sirkulasi, serta konflik sosial). Kemudian pada bab v, berisi kesimpulan. - Terbit Tahun 2001 -

Judul Buku/ Penelitian : Pegustian dan Tumenggung: Akar Sosial, Politik, Etnis dan Dinasti Perlawanan di Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah 1859-1906 Nama Pengarang : Helius Sjamsuddin Penerbit/Tahun Terbit : Balai Pustaka /2001 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Pembahasan dalam buku ini berkisar tentang perlawanan terhadap kolonialisme dalam sejarah Indonesia. Kesimpulannya, konflik dinasti kerajaan Banjar yang terjadi pada abad-18 telah mengundang campur tangan Belanda dengan mendukung salah satu pihak yang sedang bertikai. Pihak Belanda yang mengadakan ekspansi, membuat kebijakan yakni konflik Kesultanan Banjar diselesaikan dengan membagi dua Kesultanan Banjar, yaitu daerah gubernemen yang berada di bawah pemerintahan Belanda secara langsung dan tanah-tanah Sultan sebagai “pinjaman” (fief) dibawah dinasti baru yang didukung Belanda, yakni Panembahan Nata. Dalam buku ini dipaparkan bahwa pada abad ke-19 keturunan Panembahan Nata menghadapi konflik internal karena harus mengakomodasikan kepentingan-kepentingan Belanda. Pada tahun 1840-an sedimen-sedimen batubara ditemukan di wilayah Kesultanan Banjar. Belanda meminta konsesi pertambangan dari Sultan yang akhirnya diperoleh. Dalam perkembangannya kemudian, konflik dinasti kembali melanda Kesultanan Banjar, yakni Pangeran Hidayatullah dan Tamjidillah. Belanda mendukung pihak yang sanggup menguntungkannya, yaitu Tamjidillah. Asal-usul peperangan dimulai disini. Pangeran Antasari, cucu pangeran Amir yang diasingkan bersama Pangeran Hidayatullah mengadakan pemberontakan. Pangeran Hidayatullah yang memiliki sikap “mendua” terhadap Belanda, menyerah pada tahun 1862. Pangeran Antasari yang semula berjuang sendiri kemudian bergabung dengan Kepala Suku Dayak

174 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 175

(muslim), yakni Tumenggung Surapati. Dengan dukungan Surapati, Antasari dijadikan Panembah-an Amirudin khalifatul Mukminin. Antasari kemudian mengangkat Surapati menjadi Pangeran Surapati bergelar Tumenggung, berarti bangkitnya dinasti lama. Antasari meninggal pada tahun 1862, dan dinasti Panembah-an Nata berakhir dengan diasingkannya baik Tamjidillah maupun Hidayatullah. Sepeninggal Antasari, kerajan Banjar diteruskan oleh kedua orang puteranya. Keduanya menjadi raja, dengan sistem pemerintahan yang disebut Pegustian. Perlawanan panjang di Kalimatan Selatan dan Kalimantan Tengah yang dipimpin oleh keturunan Antasari dan Surapati berlangsung sampai tahun 1906 dengan meninggalnya Gusti Berakit pada 06 Agustus 1906. - Terbit Tahun 2005 -

Judul Buku/ Penelitian : Orang Banjar dan Kebudayaannya Peneliti : Suriansyah Ideham, dkk. Penerbit/ Tahun Terbit : Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah, Kalimantan Selatan, 2005 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Masyarakat Melayu Banjar di Kalimantan Selatan memang kaya akan tradisi dan kebudayaan. Urang Banua, sebutan untuk orang Banjar, dikaruniai banyak hasil cipta, rasa, dan karsa yang hingga sekarang masih banyak yang dilestarikan. Sebutlah misalnya adat perkawinan, sistem pengetahuan, kesenian, alat-alat bercocok tanam, bahkan bahasa lokal masih lestari dalam keseharian mereka. Hal ini menunjukkan bahwa orang Banjar masih menjaga tradisi leluhur. Buku karya Suriansyah Ideham dan kawan-kawan ini menghadirkan beragam data etnografi tentang kebudayaan orang Banjar. Bagi yang bergelut dalam bidang Antropologi, Sejarah, atau Sastra, penting untuk membaca buku ini. Begitu juga bagi peminat kajian agama dan filsafat. Dalam buku ini, membahas tentang sistem organisasi sosial Orang Banjar, sejak zaman pra sejarah hingga masa Kolonial Belanda (h.19-33). Kemudian uraian tentang agama dan kepercayaan orang Banjar, dari zaman kepercayaan leluhur hingga era Kesultanan Banjar yang menerapkan hukum Islam (h.35-49). Pada bagian lain buku ini, terdapat pembahasan tentang upacara daur hidup (h. 50-80), sistem pengetahuan (h. 81-92), sistem mata pencaharian (h. 95-145), tata kelakuan pribadi dan masyarakat (h. 149-190), teknologi tradisional (h. 191-228), Bahasa Banjar (h. 229-253), dan Kesenian Banjar (h. 360). Seluruh pembahasan tema-tema ini semakin menarik karena penulisnya menghadirkannya dengan bahasa yang cukup sederhana.

176 - Terbit Tahun 2007 -

Judul Buku/ Penelitian : Perjuangan Demang Lehman Dalam Perang Banjar Tahun 1859-1862 Peneliti : Sundari Penerbit/ Tahun Terbit : Skripsi, Jurusan Sejarah Dan Kebudayaan Islam Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri, Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2007 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Penelitian ini difokuskan kepada kiprah Demang Lehman dalam Perang Banjar. Tahun 1859 merupakan awal terjadinya Perang Banjar dan pertama kalinya Demang Lehman turut serta dalam penyerangan terhadap Belanda di Benteng Oranje Nassau. Tahun 1862 merupakan tahun penangkapan Demang Lehman dan pelaksanaan hukuman gantung oleh pemerintah Belanda. Penelitian ini menggunakan metode sejarah. Langkah-langkahnya, mendes- kripsikan dan menganalisis secara kritis dokumen-dokumen tertulis dari peninggalan masa lampau, kemudian direkonstruksikan secara imajinatif melalui proses historiografi. Dalam penelitian sejarah, prosedur yang dilalui meliputi empat tahap, yaitu heuristik atau pengumpulan data, verifikasi atau pengujian sumber, interpretasi, dan historiografi. Isi skripsi, terdiri dari lima bab. Bab pertama adalah pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori yang digunakan, metode penelitian dan sistematika pembahasan. Isi pokok bab ini merupakan gambaran seluruh penelitian secara garis besar, sedangkan untuk uraian lebih rinci akan diuraikan dalam bab-bab selanjutnya. Bab kedua membahas mengenai Kerajaan Banjar sebelum terjadinya perang, mencakup Kerajaan Banjar sebagai penghasil batubara dan lada, pasang surut hubungan kerajaan Banjar dengan Belanda, Belanda sebagai penyulut Perang Banjar. Bab ini juga menguraikan tatanan kehidupan kerajaan Banjar serta hubungannya

177 178 Jumadi, dkk. dengan Belanda. Masa-masa ini penting dijelaskan untuk melihat situasi dan kondisi Kerajaan Banjar serta hubungannya dengan Belanda. Bab ketiga membahas mengenai Demang Lehman, yang mencakup biografi Demang Lehman, mobilitas sosial-politik, motivasi keterlibatan Demang Lehman dalam Perang Banjar. Bab ini diuraikan dengan maksud untuk melihat secara jelas siapa Demang Lehman serta faktor pendorong Demang Lehman terlibat melawan Belanda. Bab keempat membahas keterlibatan Demang Lehman dalam Perang Banjar, yang terdiri dari kepemimpinan Demang Lehman dalam Perang Banjar, pertempuran di Gunung Madang, pertempuran di Martapura, dan penangkapan Demang Lehman serta faktor-faktor yang menyebabkan perjuangan Demang Lehman berhasil dalam melawan Belanda. Bab ini menguraikan bagaimana peranan Demang Lehman di dalam Perang Banjar dan bersatunya dia dengan pejuang Banjar lainnya melawan Belanda. Selain itu,dalam bab ini juga dipaparkan bagaimana penangkapan Demang Lehman oleh Belanda. Bab kelima, berisi kesimpulan dari pembahasan. - Terbit Tahun 2010 -

Judul Buku/ Penelitian : Kesultanan Banjarmasin Dalam Lintas Perdagangan Nusantara Abad Ke-XVIII Peneliti : Ibnu Wicaksono Penerbit/ Tahun Terbit : Program Studi Sejarah dan Peradaban Islam, Fakultas Adab & Humaniora, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, 2010 Metode Penelitian : Sejarah, Pendekatan Multidimensional

Ringkasan Perdagangan Nusantara semenjak abad XVII mulai mengala-mi kemunduran yang diakibatkan oleh dua faktor. Pertama, ekspansi Kesultanan Mataram di wilayah pantai Utara Jawa. Faktor Kedua, Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) mulai menguasai pusat-pusat perdagangan di Nusantara seperti, Aceh, Palembang, Jambi, Banten dan Makassar. Akibat kedua faktor tersebut, Kesultanan Banjar pada abad XVIII menjadi penampung baik para pedagang dari sebagian wilayah Nusantara yang telah dikuasai oleh VOC dan pedagang dari pantai Utara Jawa. Pelabuhan Banjarmasin mulai banyak disinggahi para pedagang antara lain dari Jawa, Sulawesi, Cina dan sebagian bangsa Eropa untuk berlabuh. Sumber daya alam berupa lada, emas, intan dan hasil hutan merupakan komoditi utama yang diperdagangkan. Skripsi ini bertujuan memahami seberapa besar pengaruh kemunduran perdagangan di Nusantara yang telah memberikan kemajuan terhadap Kesultanan Banjar pada abad XVIII. Penelitian ini menggunakan metode sejarah dengan tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Pendekatan yang penulis lakukan adalah pendekatan multidimensional approach (pendekatan multidimensional) diantaranya, ekonomi, politik, sosial dan ekologi. Pendekatan multidimensional digunakan untuk dapat memberikan gambaran sejarah tentang Kesultanan Banjar secara menyeluruh, sehingga dapat dihindari kesepihakan atau determinis-me.

179 180 Jumadi, dkk.

Skripsi ini tersusun dari lima bab. Bab I adalah pendahuluan berisi tentang signifikansi tema yang diangkat, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, metodologi penelitian, survei kepustakaan, serta sistematika penulisan. Bab II menjelaskan tentang bagaimana akar-akar pelabuhan Banjarmasin ini dapat terbentuk. Karena letaknya yang strategis diantara Laut Jawa dan Selat Makassar telah menjadikan Banjarmasin banyak disinggahi oleh para pedagang dari luar antara lain Cina, Bugis, Inggris dan Belanda untuk menjalin hubungan dagang. Ketertarikan para pedagang asing singgah ke Banjarmasin adalah karena sumber daya alam yang dimiliki oleh Kesultanan Banjar cukup besar diantaranya intan, emas, hasil hutan dan paling terutama lada. Bab III, memberikan penjelasan sejarah awal terbentuknya Kesultanan Banjar. Selanjutnya, membahas struktur pemerintahan dan masyarakat yang telah terbentuk di Kesultanan Banjar. Hal ini diperlukan untuk melihat siapa yang memegang peran utama dalam perdagangan di Kesultanan Banjar. Kemudian, membahas struktur masyarakat Banjarmasin dari tingkat atas hingga bawah. Bab IV membahas tentang periode dimana Kesultanan Banjar telah berperan dalam perdagangan di Nusantara. Pokok Bahasan bab ini membahas seberapa besar peran Kesultanan Banjar dalam memajukan perdagangan. Kemudian, aktifitas perdagangan yang terjadi di Kesultanan Banjarmasin. Disajikan juga gambaran umum barang impor dan ekspor Kesultanan Banjar, alat transaksi perdagangan dan pelaksanaan perdagangan di Kesultanan Banjar. Bab ini juga membahas hubungan yang terjalin antara Kesultanan Banjar dengan bangsa asing dan meninjau pengaruh perdagangan terhadap kondisi politik Kesultanan Banjarmasin, yang mengakibatkan mundurnya perdagangan di Banjarmasin. Bab V Berisi tentang kesimpulan penelitian serta saran-saran untuk penelitian lanjutan. Judul Buku/ Penelitian : Perkembangan Pemakaian Wafaq Dalam Tradisi Badagang Pada Masyarakat Kelayan Timur, Kota Banjarmasin, Tahun 1980-1990 Nama Pengarang : Arien Noor Rahman Penerbit/Tahun Terbit : Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 2010 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Latar belakang penelitian ini adalah fenomena Pedagang Banjar di daerah Kelayan Timur Banjarmasin dalam berniaga yang menggunakan media wafak sebagai penglaris barang dagangannya. Pemakaian wafak ini mengalami perkembangan dalam dasawarsa tahun 1980-1990. Tujuan penulisan adalah melakukan penggalian, pengumpulan, pencatatan serta pengolahan sumber-sumber tentang azimat berwafaq yang dipakai dalam tradisi badagang pada masya-rakat Kelurahan Kelayan Timur Banjarmasin. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah. Penulis melakukan pengumpulan bahan-bahan atau pencarian sumber-sumber data dalam penelitian berhubungan dengan wafak. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam wujud-nya, wafak berupa rajah- rajah atau rumusan-rumusan ayat yang berupa teks mistik dan berbentuk Aksara Arab yang kental dengan kemistikan mengandung arti kalimat perlambangan. Masyarakat Kelayan pemakai wafak meyakini dagangannya cepat laris diban-dingkan pedagang yang tidak memiliki wafak. Memang ada yang terbukti karena ada beberapa pemakai wafak yang tingkat ekonomi-nya berubah sejak memakai wafak. Tetapi tidak semuanya, ada juga sebagian pemakai wafak yang tingkat ekonominya biasa saja, tak ada perubahan. Inilah yang mewarnai perkembangan pemakaian wafak bagi para pedagang di daerah Kelayan Timur, Banjarmasin dalam kurun waktu 1980-1990. Ada beberapa faktor yang mendo-rong perkembangan pemakaian wafak dalam kurun waktu tersebut, diantaranya faktor imitasi

181 182 Jumadi, dkk. atau peniruan, simpati, sugesti, serta faktor identifikasi dan kebanggaan sebagai orang kaya. Dalam masyarakat pada kurun waktu 1980-1990, terdapat fenomena pertentangan mengenai hukum pemakaian wafak. Ada sebagian pemuka agama Islam di Kelayan yang membolehkan dan ada yang mengharamkan karena dianggap syirik. Sistematika penulisan skripsi ini di susun dimulai dari bab 1, membahas mengenai latar belakang penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan. Kemudian pada bab 2, berisi tentang gambaran umum atau identifikasi keadaan geografis wilayah penelitian yakni di Kelurahan Kelayan Timur Banjarmasin, meliputi kondisi penduduk dan mata pencaharian, pendidikan, agama serta budaya masyarakat di daerah Kelayan Timur, Kota Banjarmasin. Selanjutnya pada bab 3 membahas tentang pendapat atau persepsi masyarakat Kelayan Timur tentang ilmu gaib secara umum. Kemudian pandangan masyarakat tentang wafak sebagai syarat pada tradisi badagang di daerah Kelayan Timur Banjarmasin. Pada bab 4, dijelaskan pembuatan wafak pada masyarakat Kelayan Timur Banjarmasin dan bagaimana cara memperoleh wafak tersebut. Kemudian bagaimana fungsi dan makna simbol wafak bagi para pedagang di daerah Kelayan Timur. Kota Banjarmasin. Pada bab 5, mengemukakan perkembangan penggunaan wafak pada masyarakat umum maupun para pedagang di Pasar Baimbai, Kelurahan Kelayan Timur, Kota Banjarmasin dalam kurun waktu tahun 1980-1990. Termasuk faktor-faktor yang mempengaru-hi sehingga terjadi perkembangan pemakaian wafak. Lalu pada bab 6, penulis mengemukakan kesimpulan sebagai sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi. Kemudian saran- saran dan reko-mendasi demi tercapainya penelitian yang lebih maksimal di masa mendatang. - Terbit Tahun 2011 -

Judul Buku/ Penelitian : Islamisasi Kerajaan Banjar (Analisis Hubungan Kerajaan Demak Dengan Kerajaan Banjar Atas Masuknya Islam di Kalimantan Selatan) Peneliti : Khairuzzaini Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis, Program Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2011 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Kerajaan Islam Banjar merupakan satu diantara kerajaan terbesar di Kalimantan. Hingga saat ini masih terdapat kontroversi di kalangan ahli sejarah mengenai kapan Islam masuk ke Kalimantan Selatan. Paling tidak ada dua aliran besar tentang hal ini. Pertama kalangan yang mengatakan bahwa Islam masuk sebelum pasukan Demak tiba di Banjarmasin. Kedua, golongan yang mengatakan bahwa Islam masuk ke Kalimantan Selatan setelah Kerajaan Daha berhasil direbut oleh Pangeran Samudera bersama dengan pasukan militer Kerajaan Islam Demak. Penelitian ini bertujuan menggambarkan konstelasi di Kerajaan Banjar saat terjadinya konversi agama Hindu menjadi Islam sebagai agama resmi negara. Penelitian ini juga mengungkap proses islamisasi yang berlangsung di Kerajaan Banjar pasca kedatangan Demak. Permasalahan diatas dibedah dengan menggunakan teori islamisasi yang dikembangkan oleh J. Noorduyn dan Ahmad Sewang, yakni membedah islamisasi dari tiga tahap. Pertama, kedatangan Islam; kedua, Penerimaan Islam; dan ketiga, Perkembangan Islam. Metode yang digunakan adalah metode sejarah yang terdiri atas empat tahap yaitu heuristik, kritik verifikasi, interpretasi atau eksplanasi dan terakhir adalah historiografi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan sosiologi politik dengan menjadikan sistem pemerintahan negara sebagai basis analisis.

183 184 Jumadi, dkk.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebelum Kerajaan Islam Demak datang, di Banjarmasin berdiri Kerajaan Daha. Kerajaan Daha dilanda perseteruan dan perebutan tahta diantara anak-anak raja. Maharaja Sukarama yang memimpin Negara Daha berwasiat bahwa tahta Krajaan Daha dipegang oleh cucunya, Pangeran Samudera. Wasiat tersebut mendapat pertentangan dari anak-anaknya yang waktu itu masih hidup, sehingga wasiat itu gagal dilaksanakan dan kekuasaan dipegang oleh orang lain yang bukan ditunjuk Sukarama. Perselisihan itu berakhir dengan pembunuhan Mangkubumi, saudara tua Tumenggung. Sementara Pangeran Samudera lari dari kerajaan dan dibantu oleh beberapa orang Patih mendirikan Kerajaan. Setelah Kerajaannya mulai besar, Pangeran Samudera mengatur siasat untuk mengambil alih tahta dengan jalan perang. Agar memenangkan peperangan, Pangeran Samudera meminta bantuan Kerajaan Islam Demak. Demak menyetujui permohonan bantuan dengan perjanjian Pangeran Samudera dan pembesar lain masuk Islam. Pangeran Samudera menyetujui syarat-syarat tersebut, dan Kerajaan Demak setuju untuk memberi bantuan militer. Setelah kemenangan Pangeran Samudera, maka Islam menjadi agama resmi Kerajaan Banjar. Agama Islam telah ada di Kalimantan Selatan bersamaan dengan perjumpaan pedagang-pedagang dari Tiongkok. Penyebaran Islam terjadi melalui jalan perdagangan dan perkawinan antara para pendatang yang umumnya beragama Islam dengan penguasa lokal. Pertama-pertama, Islam diterima penduduk lokal kelas bawah setelah adanya interaksi sekian lama dengan para pendatang tersebut. Baru setelah pasukan bantuan Demak kepada Pangeran Samudera dalam misi merebut tahta Kerajaan Daha dari Pangeran Tumenggung, Islam berkembang pesat di tengah-tengah masyarakat Banjar. Tonggak pembentukan Kerajaan Banjar berawal dari proses islamisasi kalangan elit kerajaan yaitu Pangeran Samudera dan para Patihnya. Setelah terbentuk Kerajaan Islam Banjar, Islam semakin kuat posisinya dan pengaruhnya di dalam Kerajaan Islam Banjar. Institusi Islam menjadi institusi inti dalam institusi elit lainnya. Keseluruhan isi dari penelitian ini, dibagi ke dalam lima bab pembahasan. Bab I merupakan bab pendahuluan. Bagian ini menguraikan tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, telaah pustaka, kerangka teori, metode penelitian, dan terakhir adalah sistematika pembahasan tesis. Bab II membahas tentang tinjauan umum Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 185

Kerajaan Islam Banjar dan Kerajaan Demak. Bab ini dibagi pada dua sub bab yaitu Kerajaan Banjar yang membahas tentang asal usul dan perkembangan Kerajaan Banjar, Kesultanan Banjar dan terakhir menguraikan tentang sistem pemerintahan Kerajaan Banjar. Sub bab kedua, membahas tentang Kerajaan Demak sebagai kerajaan yang berperan penting terhadap proses perkembangan Islam di Kerajaan Banjar. Bab III berisi uraian tentang Banjarmasin sebelum dan setelah masuknya Kerajaan Islam Demak. Bab ini terdiri atas dua sub bab yaitu pertama, membahas mengenai Kerajaan Banjar sebelum Kerajaan Islam Demak datang. Hal ini berhubungan dengan gambaran ekonomi, politik, dan agama yang ada di Banjarmasin (Kerajaan Daha); kedua, membahas Kerajaan Banjar sebelum Kerajaan Islam Demak datang yang meliputi pembahasan tentang kondisi keagamaan dan system pemerintahan yang dianut oleh Kerajaan Banjar. Bab IV membahas tentang islamisasi Kerajaan Banjar. Pada bab ini penulis menjelaskan tentang perjumpaan awal Islam dan kebudayaan Banjar; kemudian dilanjutkan dengan pengebaran Islam di Kerajaan Banjar serta perkembangannya dalam perjalanan Kerajaan Banjar. Terakhir, bab V merupakan penutup dari pembahasan-pembahasan terdahulu. Bagian ini menjawab permasalahan yang diajukan dalam penelitian, dan diakhiri dengan saran terkait dengan tindak lanjut penelitian di masa mendatang. Judul Buku/ Penelitian : Islamisasi Banjarmasin (Abad XV-XIX) Peneliti : Yusliani Noor Penerbit/ Tahun Terbit : Tesis Pascasarjana Universitas Lambung Mangkurat, 2011 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Latar belakang penelitian ini didasarkan pada adanya kesan dan anggapan bahwa Islamisasi Banjarmasin, yang ditandai dengan berdirinya Kesultanan Banjarmasin selalu dilihat pada ekspansi militer Kesultanan Demak pada awal abad ke-16. Kesan dan anggapan ini meniadakan unsur- unsur saluran Islamisasi seperti saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf dan tarekat, birokrasi pemerintahan, pendidikan serta kesenian. Bertitik tolak dari hal tersebut, maka penelitian ini mengkaji Islamisasi Banjarmasin melalui saluran-saluran Islamisasi. Fokus penelitian pada proses kedatangan, penerimaan dan penyebaran Islam melalui saluran-saluran Islamisasi di Banjarmasin sejak abad ke-15 hingga abad ke-19. Rumusan masalah secara pokok adalah bagaimana Islamisasi dan penerimaan masyarakat Banjarmasin terhadap berbagai saluran-saluran Islamisasi serta proses terbentuknya masyarakat Banjar sejak abad ke-15 hingga abad ke-19. Dari rumusan masalah telah ditentukan 3 (tiga) pertanyaan pokok yakni; Pertama, Bagaimana bentuk dan pola Islamisasi Banjarmasin, sehingga dalam kedaulatan yang terdiri dari berbagai etnis di Kesultanan Banjarmasin mampu membentuk masyarakat Banjar dan berhasil membangun Kesultanan Banjarmasin yang berdaulat?. Kedua, Mengapa berbagai etnis yang mendiami kawasan aliran sungai, pegunungan dan pesisir Kalimantan Selatan, Tenggara, dan Tengah menerima dan menjadikan Islam sebagai kultur dominan dalam seluruh aktivitas kehidupan mereka?. Ketiga, Mengapa etnis Dayak menerima otoritas kekuasaan Kesultanan Banjarmasin dan dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan Urang Banjar, meskipun tidak seluruh komunitas Dayak menerima Islam sebagai agama?. Penelitian ini menggunakan model Kualitatif dengan metode sejarah. Metode

186 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 187 sejarah yang dipakai dengan tahapan heuristik, yakni pengumpulan sumber tertulis, sumber benda dan sumber lisan. Untuk sumber lisan menggunakan Oral tradition (tradisi lisan). Semua sumber disebut sebagai data. Semua data kemudian dilakukan upaya verifikasi melalui kritik ekstern dan kritik intern. Hasil kritik ekstern dan intern (pengujian keabsahan data), disebut fakta. Fakta yang ditemukan kemudian diinterpretasi dan dituangkan dalam sebuah rangkaian narasi yang disebut historiografi. Berdasarkan hasil penelitian, maka diperoleh kesimpulan bahwa : (1) Islamisasi Banjarmasin pada awalnya, yakni sejak abad ke-15, berkembang melalui saluran-saluran yakni; perdagangan, perkawinan, tasawuf dan tarekat, birokrasi pemerintahan, pendidik-an dan kesenian. Pola Islamisasi melalui jalur ‘bawah’ (bottom up) terutama melalui saluran perdagangan, perkawinan, tasawuf dan tarekat, pendidikan serta kesenian. Sementara pola dari ‘atas’ (top down) melalui pembentukan birokrasi pemerintahan, meskipun bersifat pasif, terutama sejak awal abad ke-16 hingga akhir abad ke17. Pola Islamisasi birokrasi pemerintahan secara aktif berlang- sung ketika terbentuknya Pemerintah Mahkamah Syariah (Kemuftian dan Keqadian) yang dicetuskan dan dipelopori Syekh Muhammad Arsyad Al- Banjary sejak masa pemerintahan Sultan Tahmidullah II, pada pertengahan abad ke-18. Islamisasi berlangsung secara damai, yang menekankan aspek kesadaran sendiri dari berbagai komunitas etnis Banjarmasin. Pola dan bentuk Islamisasi yang damai berhasil membentuk jaringan sosial emosional-bubuhan, jaringan sosial kepentingan-bubuhan dan jaringan sosial power-bubuhan. Menguatnya dukungan bubuhan menempatkan Kesultanan Banjarmasin mendapat dukungan dari berbagai etnis yang mendiami kawasan Banjarmasin. (2) Agama Islam diterima oleh berbagai etnis di Banjarmasin, baik yang tinggal di pesisir, aliran sungai dan pegunungan serta dijadikan kultur dominan dalam seluruh aktivitas kehidupan mereka, disebabkan Islam sebagai agama peradaban, memiliki sistem komunikasi yakni Bahasa Melayu-Banjar, yang menjadi Bahasa ‘Orang Dagang”. Bahasa Melayu-Banjar mempunyai huruf Arab Melayu, yang kemudian menjadi bahasa komunikasi, baik tulis maupun baca. Huruf Arab dan Bahasa Arab yang menjadi sumber pengetahuan, dan sumber keyakinan Muslim. Motif ibadah haji mendorong terciptanya motivasi dan dinamisasi kehidupan, 188 Jumadi, dkk. yang ikut membentuk jaringan sosial emosioanal-bubuhan. Sejak abad ke- 17, bubuhan Haji di Banjarmasin sangat berperan membangun dinamisasi kehidupan masyarakat, sekaligus menyebarkan Islam di berbagai kawasan yang menjadi pemukiman seorang haji. Agama Islam mampu mendinamisasi komunitas Banjarmasin, sehingga agama Islam dijadikan sebuah identitas sosial. Kemudian sifat terbuka agama Islam terhadap semua golongan, memberikan peluang adanya difusi, akulturasi, adaptasi, dan assimilasi dalam kebudayaan, sehingga Islam dapat menjadi ‘payung’ bagi berbagai kultur etnis Dayak, dan etnis lainnya yang mendiami seluruh kawasan Banjarmasin. Selanjutnya (3) Etnis Dayak menerima otoritas Kesultanan Banjarmasin dan dapat hidup berdampingan secara harmonis dengan Urang Banjar meskipun tidak seluruh komunitas Dayak menerima Islam sebagai agama; karena Kesultanan Banjarmasin merupakan kesultanan yang mengayomi etnis Dayak, dan etnis-etnis lainnya. Kesultanan Banjarmasin tidak pernah memaksakan rakyat-nya untuk menerima Agama Islam. Pemerintah Mahkamah Syariah bentukan Syekh Muhammad Arsyad Al-Banjary untuk ummat Islam di Kesultanan Banjarmasin, dan bukan untuk etnis Dayak yang belum menerima Islam. Etnis Dayak dibiarkan memiliki Hukum dan Hak Adat-nya. Etnis Dayak menganggap Urang Banjar sebagai ‘dangsanak anum’, sementara Urang Banjar menganggap etnis Dayak sebagai ‘dangsanak tuha’. Judul Buku/ Penelitian : Raja Diraja Kerajaan Banjar Abad XV – XXI Nama Pengarang : H. Muhammad Said Penerbit/ Tahun Terbit : Pustaka Agung Kesultanan Banjar, Banjarmasin, 2011

Ringkasan Buku ini terdiri dari 7 bab. Bab pertama membicarakan Kerajaan Banjar pada zaman Hindu. Bab ini mengetengahkan ikhwal Kerajaan Banjar pada masa Pangeran Suryanata dan permaisurinya Putri Junjung Buih, Kerajaan Banjar pada masa Maharaja Surya Gangga Wangsa, Kerajaan Banjar pada masa Tjarang Lalean dengan istrinya Putri Kalungsu, Kerajaan Banjar pada masa Maharaja Raden Sari Kaburangan, Kerajaan Banjar pada masa Maharaja Sukarama, Kerajaan Banjar pada masa Pangeran Mangkubumi, dan Kerajaan Banjar pada masa Pangeran Tumenggung. Bab kedua membicarakan Kerajaan Banjar setelah zaman Hindu. Kerajaan Banjar pada zaman ini disebut pennulis sebagai masa Kerajaan Islam Banjar. Bab ini membicarakan Kerajaan Banjar pada masa Pangeran Samudra atau Sultan Suriansyah, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Rachmatullah atau Penambahan Batu Putih, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Hidayatullah atau Penembahan Batu Hirang, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Mustain Billah, Kerajaan Banjar pada masa Sultan Inayatillah, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Saidillah, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Tahlillah, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Kuning, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Tamjidillah I, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Tahmidillah I, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Tahmidillah II, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Sulaiman, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Adam Alwasikbillah, Kerajaan Islam Banjar pada masa Sultan Tamjidillah II. Bab ketiga membicarakan Perang Banjar. Dalam buku ini disebutkan bahwa Perang Banjar dimulai dibawah kepemimpinan Pangeran Antasari. Perang Banjar dimulai 28 April 1859. Perang dimulai dengan keberhasilan para pejuang mengurung Benteng Pengaron serta mengepung Onderneming Gunung Jabuk. Tanggal 25 Juni 1859 Sultan Tamjidillah menyerahkan urusan

189 190 Jumadi, dkk. pemerintahan kepada Belanda. Tanggal 16 Juli 1859 Sultan Tamjidillah II diasingkan ke Batavia dan Pangeran Hidayatullah melanjutkan perjuangan melawan Belanda. Pada bab keempat dibicarakan proklamasi Kerajaan Islam Banjar ke-II. Proklamasi yang berlangsung 14 Maret 1862 di Puruk Cahu berisi kesepakatan aklamasi para tokoh masyarakat memilih Pangeran Antasari sebagai Sultan Kerajaan Islam Banjar ke-2. Pangeran Antasari memangku 3 tugas, yaitu sebagai Panglima Tertinggi, Kepala Negara, dan Pemimpin Tertinggi Agama Islam. Dalam bab ini diceritakan pula wafatnya Pangeran Antasari, Demang Lehman dihukum gantung, H. Buyasin, Panglima Wangkang, Tumenggung Gamar gugur. Bab kelima membicarakan Perang Barito. Perang Barito adalah perang yang berlokasi di wilayah sepanjang Sungai Barito, Banjarmasin, Marabahan, Buntok, Muara Teweh sampai Puruk Cahu. Bab keenam berbicara tentang pejuang-pejuang wanita Banjar. Di antara pejuang wanita Banjar adalah Ratu Zaleha. Dalam suatu pertempuran, Ratu Zaleha tertangkap. Suaminya Gusti Muhammad Arsyad telah lebih dahulu tertangkap dan dibuang ke Bogor. Ratu Zaleha juga dibuang Belanda menyusul suaminya ke Bogor. Ratu Zaleha wafat tahun 1953. Beberapa pahlawan wanita lainnya dalam Perang Banjar adalah Angka Waya, Kiai Cakrawati, Aisyah, Hadijah, Kalimah, dan Bulan. Setelah wafatnya Ratu Zaleha, tidak ada lagi yang pewaris kerajaan tampil melanjutkan Kerajaan Banjar. - Terbit Tahun 2012 -

Judul Buku/ Penelitian : Perjuangan Wanita Pada Masa Revolusi Fisik di Daerah Haruyan, Kewedanan Barabai, Tahun 1945-1949 Peneliti : Eva Elvandari Penerbit/ Tahun Terbit : Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2012 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Latar belakang penelitian adalah perjuangan wanita dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia khususnya di wilayah Haruyan, Onderafdeeling Barabai yang menjadi markas Besar Laskar Syaifullah sejak 1945 sampai tahun 1949. Perjuangan wanita tersebut dalam kegiatan Palang Merah Indonesia (PMI), kemudian di dapur umum serta kurir para pejuang. Tujuan penulisan ini untuk mengetahui bagaimana perjuangan rakyat dalam mempertahankan kemerdekaan di daerah Haruyan, Onderafdeeling Barabai tahun 1945-1949. Kemudian untuk memaparkan motivasi dan perjuangan wanita pada masa revolusi fisik dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan di daerah Haruyan, Onderafdeeling Barabai tahun 1945-1949. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah. Dalam tahap ini penulis melakukan pengumpulan data dan sumber- sumber sesuai dengan objek yang akan diteliti. Sumber primer diperoleh dari wawancara dengan informan. Informan yang disini adalah orang yang terlibat dalam perang gerilya atau pun orang yang mengetahui tentang revolusi fisik di Hulu Sungai Tengah. Kemudian sumber sekunder diperoleh melalui metode kepustakaan, penulis mengumpulkan beberapa dokumen dan arsip, buku, majalah, artikel yang berhubungan dengan judul tulisan. Hasil penelitian menunjukkan sumbangsih perjuangan wanita di Haruyan pada masa revolusi fisik cukup besar terutama dalam memasok

191 192 Jumadi, dkk. kebutuhan logistik dalam peperangan. Hal ini karena dalam perang gerilya dibutuhkan bahan-bahan penting seperti makanan, amunisi, pakaian, uang serta bahan-bahan modal (penukar). Pada bidang kesehatan, kaum wanita menjadi anggota Palang Merah yang bertugas untuk merawat dan mengobati para pejuang yang sakit atau kena tembak dalam suatu pertempuaran. Kaum wanita juga bertindak sebagai kurir antara para pejuang di daerah Haruyan maupun di wilayah musuh, seperti di Barabai. Kemudian mereka merangkap sebagai mata-mata di markas musuh dan memata-matai serta mendengarkan rencana penyerangan tentara Belanda (NICA) di wilayah Barabai dan Kandangan. Selanjut-nya, informasi yang didapatkan disampaikan kepada pejuang. Isi skripsi ini terdiri dari bab I, pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II, Gambaran umum Kewedanan Barabai dari tahun 1945-1949 yang berisikan letak geografis, kondisi pendidikan, kondisi perekonomian dan mata pencaharian, agama serta kehidupan sosial dan budaya. Kemudian bab III, masa peralihan kekuasaan Jepang kepada NICA Belanda yang memuat tentang berakhirnya kekuasaan Jepang, situasi pada saat Proklamasi Kemerdekaan tahun 1945, kedatangan NICA Kalimantan Selatan pada umumnya dan di Afdeeling Hulu Sungai pada khususnya. Pada bab ini juga dibahas tentang perang gerilya di wilayah Haruyan. Bab IV, peranan wanita dalam perjuangan mempertahankan kemerdeka-an pada masa revolusi fisik di daerah Haruyan, Kewedanan Barabai tahun 1945-1949. Perjuangan ini dibagi dalam beberapa bidang yakni di bagian dapur umum, kegiatan Palang Merah dan perjuangan dengan cara menjadi mata-mata di daerah musuh di wilayah Haruyan dan Barabai. Bab V, berisi kesimpulan. Judul Buku/ Penelitian : Yusni Antemas, Wartawan Pejuang Dari Amuntai (1922-2012) Nama Pengarang : Yuni Mutiasari Penerbit/Tahun Terbit : Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 2012 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Peran media massa terutama pers berbahasa Melayu sangat penting dalam pergerakan kebangsaan. Mereka dapat bersentuhan langsung dengan penduduk bumiputera. Oleh karena itu, pers berbahasa Melayu seringkali dijadikan alat komunikasi politik oleh para elite Indonesia pada masa itu. Banyaknya kasus persdelict di masa Hindia Belanda. Larangan terbit bagi surat kabar dan majalah antara lain karena disadari bahaya dari pengaruh tulisan dalam Bahasa Melayu dalam pers itu segera dapat dipahami oleh penduduk bumiputera. Skripsi ini merupakan gambaran seorang tokoh wartawan pers perjuangan dari daerah Hulu Sungai Utara, bernama Yusni Antemas. Latar belakang penulisan skripsi ini untuk mengetahui lebih jauh kehidupan seorang tokoh wartawan pejuang yang seringkali dilupakan dan masyarakat belum banyak yang mengeta-huinya. Kemudian, bagaimana kehidupan Yusni Antemas dari sejak kelahirannya sampai masa tuanya. Metode yang digunakan adalah metode historis (sejarah). Dalam penelitian ini, kegiatan dilakukan melalui heuristik yaitu pengumpulan data dilakukan melalui wawancara langsung ke lapangan dengan mengutamakan informan kunci dan menggunakan studi literatur dengan cara memilih buku- buku dan data-data yang sesuai dengan penulisan ini. Setelah itu melakukan kritik data yang hasilnya kemudian dianalisa. Selanjutnya melakukan interpretasi yang nantinya diperoleh makna-makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh. Langkah terakhir adalah historiografi yaitu menulis hasil penelitian sejarah secara deskriptif, sistematis dan kronologis.

193 194 Jumadi, dkk.

Hasil penelitian memperlihatkan bahwa Yusni Antemas merupakan seorang tokoh wartawan pejuang kemerdekaan pada masa Hindia Belanda, Jepang, dan masa setelah kemerdekaan di daerah Hulu Sungai dan sekitar Kalimantan Selatan. Sepanjang karirnya, Yusni Antemas menerbitkan beberapa surat kabar, majalah dan buku. Yusni Antemas adalah salah satu anggota pengurus Gerpindom (1942-1945) di Amuntai dan menjabat sebagai sekretaris. Selain aktif di Gerpindom, beliau juga anggota Barisan Pelopor Pemberontak Kalimantan Indonesia (BPPKI) dengan pangkat Letnan Muda. Adapun keseluruhan isi skripsi ini dimulai bab I, merupakan bab pendahuluan, mencakup latar belakang masalah penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, berisi gambaran umum wilayah Amuntai sebagai pusat kegiatan Yusni Antemas, yang menggambarkan sejarah asal-usul nama Amuntai, sejarah singkat administrasi pemerintahan Amuntai, letak geografis, keadaan penduduk dan kepercayaan masyarakatnya. Selanjutnya bab III, adalah bagian yang menyajikan tentang biografi tokoh wartawan pejuang asal Amuntai yaitu Yusni Antemas dilihat dari latar belakang keluarga, pendidikan, kepribadian, riwayat pekerjaan dan keadaan sosial ekonomi. Pada Bab IV, berisi tentang aktivitas Yusni Antemas dalam bidang pers, pendidikan, sosial budaya, keagamaan, dan politik dalam kehidupan masyarakat di Amuntai. Bab V, merupakan bab penutup yang menyajikan kesimpulan dari berbagai analisis. Judul Buku/ Penelitian : Perkembangan Irama Lagu-Lagu Banjar di Kota Banjarmasin, Tahun 1980-2010 Nama Pengarang : Edi Bustami Arifin Penerbit/Tahun Terbit : Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 2012 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Latar belakang penelitian ini adalah adanya fenomena perkembangan irama lagu-lagu ini memunculkan permasalahan, yakni kaburnya irama lagu-lagu asli Banjar, sementara irama lagu-lagu asli Banjar versi baru seakan akan merupakan lagu Banjar aslinya. Perkembangan irama lagu- lagu Banjar ini terjadi pada tahun 1980-tahun 2010. Metode untuk penulisan skripsi yang digunakan dalam penelitian adalah metode penelitian sejarah. Operasionalnya yakni mengumpulkan sumber-sumber lisan, sumber-sumber tertulis maupun sumber berupa benda peninggalan masa lampau. Metode wawancara penulis aplikasikan untuk mengumpulkan sumber lisan dari para pelaku seni (seniman) yang menjadi informan dalam penelitian ini. Selain itu, informan ini adalah pengamat seni budaya dan masyarakat sebagai pendengar irama lagu-lagu Banjar. Sumber tertulis, penulis kumpulkan melalui metode kepustakaan, penulis mengumpulkan beberapa dokumen dan arsip, mengumpulkan buku, majalah, artikel yang berhubungan dengan penelitian. Misalnya artikel-artikel yang memuat tentang irama lagu-lagu Banjar di kota Banjarmasin dari awal (tahun 1980-an) hingga tahun 2010 dari surat kabar seperti Banjarmasin Post, Radar Banjarmasin, Kalimantan Post dan lain-lain. Hasil penelitian menunjukkan, sejarah dan perkembangan irama lagu- lagu Banjar di daerah Kalimantan Selatan dan di wilayah Banjarmasin khususnya mengalami dinamika yang menarik. Sejak booming irama lagu Paris Barantai yang masuk rekaman piringan hitam di Lokananta di Solo pada tahun 1960-an, muncul banyak irama lagu-lagu Banjar yang muncul

195 196 Jumadi, dkk. di Kota Banjarmasin. Dalam perkembangannya musik Banjar hingga era 1980-an, memang didominasi karya Anang. Masa itu banyak lagunya direkam, baik berupa album sendiri maupun bersama lagu Banjar ciptaan seniman lain. Irama lagu-lagu itu dikemas dalam alunan pop, latin, jazz, dan melayu. Sementara pada tahun 1990-an, irama lagu-lagu Banjar banyak dipengaruhi lagu dangdut, sedangkan pada tahun 2000-an, diwarnai irama lagu-lagu dangdut remix Banjar dan lagu pop Banjar. Perkembangan irama lagu-lagu Banjar ini banyak dipengaruhi oleh munculnya perusahaan rekaman, publikasi di media massa serta booming irama lagu-lagu di pasaran musik nasional. Adapun sistematika penulisan skripsi ini dimulai bab I, membahas tentang latar belakang penelitian, rumusan masalah, batasan masalah, tujuan dan penelitian, metode penelitian, tinjauan pustaka serta sistematika penulisan. Bab II, berisi tentang gambaran umum kesenian tradisional Banjar di Kota Banjarmasin. Pembahasan meliputi ragam kesenian tradisional Banjar, kemudian peribahasa, pantun dan lagu Banjar. Selanjutnya Bab III, membahas tentang pengertian musik dan lagu serta sejarah dan perkembangan perkembangan musik daerah Kalimantan Selatan. Dalam bab ini juga menguraikan tentang pengertian asal usul dan perkembangan musik serta lagu-lagu Banjar dan perkembangannya di Banjarmasin pada tahun 1960-an. Bab IV, membahas tentang perkembangan irama lagu-lagu Banjar di Kota Banjarmasin tahun 1980-2010. Kemudian membahas peranan media massa, khususnya radio dan majalah dalam mendukung perkembangan lagu-lagu Banjar. Kemudian faktor faktor penghambat perkembangan lagu lagu Banjar. Terakhir Bab V, berisi kesimpulan sebagai sumbangan pemikiran dalam penulisan skripsi. Judul Buku/ Penelitian : Antara Dayak dan Belanda: Sejarah Ekonomi Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan 1880- 1942 Nama Pengarang : J. Thomas Lindblad & Peter E.F. Verhagen (terj. Ika Diyah Chandra) Penerbit/Tahun Terbit : Lilin Yogyakarta/2012 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Pada buku ini dijelaskan tentang ekspedisi-ekspedisi yang dilakukan orang-orang eropa untuk memetakan dan upaya melihat secara langsung keadaan di Borneo (Kalimantan). Beberapa telaahan sumber Barat dari Endert (1927), Molengraaf (1900); Nieuwenhuis (1900); Posewitz (1889), Sellato (1987), Tichelman (1949), Tillema (1938) yang disarikan Lindblad dapat disimpulkan bahwa pada pertengahan abad ke-17, informasi yang tersedia tentang pulau-pulau dengan sumber daya alam yang kaya berkurang. Dalam rentang waktu singkat, puluhan ekspedisi eksplorasi dilakukan di Banjarmasin. Schwaner melakukan perjalanan ke Pontianak di Kalimantan Barat. H. von Gaffron mencari batubara dan emas di tenggara, dan H. von Dewall datang ke pantai timur. Pembahasan dalam buku ini terbagi atas lima bab. Bab 1 berisi pendahuluan. Kemudian bab 2 berisi pembahasan tentang periode perintis (1880-1914), yang terbagi atas sub-bab yakni monopoli perdagangan, pertanian, batubara dan minyak, serta masa masa sulit dan keuntungn. Berikutnya bab 3 berisi pembahasan periode ekspansi, sub babnya adalah perkebunan karet, minyak dan batubara, eksploitasi hutan, serta permintaan dan penawaran. Pada bab 4, dijelaskan tentang otoritas dan kekuasaan, skema perpajak-an, pengeluaran pemerintah serta infrastruktur. Selanjutnya pada bab 5, dibahas tentang dinamika ekspansi, sub-babnya terbagi atas struktur ekonomi, perdagangan luar negeri, dan ekspansi dampak perdagangan.

197 - Terbit Tahun 2013 -

Judul Buku/ Penelitian : Perang Tongka Montallat (27 Mei- 8 Nopember 1861): Episode Terakhir Perlawanan Antasari Dalam Perang Barito di Onderdistrik Montallat, Distrik Midden Doesoen, Borneo Zuid Ooster Afdeeling Peneliti : Karya Budi Penerbit/ Tahun Terbit : Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2013

Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Latar belakang penelitian adalah terjadinya Perang Tongka-Montallat di Desa Tongka-Montallat, Kecamatan Gunung Timang, Kabupaten Barito Utara merupakan daerah yang tempat terjadinya perang yang banyak menelan korban baik di pihak Belanda maupun masyarakat Banjar, Bakumpai, Maanyan, Sihong dan Tawoyan. Desa Tongka sangat dikenal oleh masyarakat luas, khususnya wilayah Kabupaten Barito Utara. Tujuan penulisan ini untuk memaparkan konteks kesejarahan perang di wilayah Barito Utara yang sangat penting untuk diteliti sehingga generasi yang berikutnya bisa mempelajari dan mengetahui peristiwa tersebut. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah dengan tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perang Tongka-Montallat berpengaruh besar dalam sejarah Banjar. Kemudian peran Pangeran Antasari sangat penting dalam Perang Banjar, Perang Barito, khususnya perang Tongka Montallat, terutama karena sosoknya yang pantang menyerah. Hal ini membangkitkan semangat juang masyarakat Banjar, ataupun semua masyarakat di sekitar Sungai Barito hingga sampai ke pelosok-pelosok. Para tokoh-tokoh ataupun kepala suku baik dari Suku Ma’anyan, Bakumpai, Sihong, Ngaju,

198 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 199

Tawoyan serentak memberikan bantuan terhadap Pangeran Antasari dalam melakukan perlawan terhadap Belanda. Banyak kerugian yang dialami pihak Belanda, baik materi bahkan banyak pejuang Belanda yang tewas dibunuh oleh pasukan Pangeran Antasari. Adapun sistematika skripsi pada bab I, berisi pendahuluan terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, ruang dan lingkup pelitian, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian. Selanjutnya di bab II, diuraikan tentang gambaran umum daerah dan penduduk desa tongka pada tahun 1800-an terdiri dari keadaan geografis, pemerintahan, kehidupan sosial, ekonomi dan pendidikan. Berikutnya pada bab III diuraikan tentang latar belakang Perang Banjar dan dan klimaksnya pada Perang Barito tahun 1859-1861, kemudian latar belakang Perang Banjar 1859-1905, serta titik kulminasi Perang Banjar dan munculnya Perang Barito 1861. Kemudian pada bab IV dijelaskan tentang episode Perang Tongka Montallat 27 Mei-1 Juni 1861 dan dampaknya bagi perlawanan Antasari terhadap kolonial Belanda, perlawanan di Sungai Barito dan tenggelamnya Kapal Onrust. Kemudian perlawanan Sungai Ayuh sebagai embrio Perang Tongka Montallat, serta perlawanan Gunung Tongka/Ingai, 27 Mei-8 Nopember 1861. Selanjutnya dampak Perang Banjar-Barito bagi kondisi sosial masyarakat di Kalimantan bagian selatan dan tengah. Bab V, berisi kesimpulan dari skripsi yang dibahas. Judul Buku/ Penelitian : Perjuangan Gerilya Rakyat Balangan Pada Masa Revolusi Fisik Sekitar Tahun 1945-1949 Nama Pengarang : Syaifullah Penerbit/Tahun Terbit : Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 2013 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Latar belakang dari penelitian ini adalah untuk mengetahui tentang perjuangan gerilya rakyat Balangan dalam perlawanannya terhadap tentara NICA tahun 1945-1949. Dalam perjuangan tersebut banyak sekali tantangan dan hambatan yang dihadapi serta pengorbanan jiwa demi kemerdekaan. Masalah dari penelitian ini, (1) Apa yang melatarbelakangi rakyat Balangan untuk berjuang melawan NICA serta bagaimana awal perjuangannya sejak keda-tangan NICA di Kalimantan?; (2) Dalam bentuk seperti apa perjuangan rakyat Balangan untuk melawan NICA, serta dimana tempat-tempat perlawanan terhadap NICA dan bagaimana cara-cara perjuangan rakyat Balangan dalam hal kepemimpinan, strategi, penyerangan, dan cara bertahan hidup saat berjuangan (makanan), beserta alat-alat yang digunakan?. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana latar belakang rakyat Balangan berjuang sejak dari kedatangan NICA di Kalimantan, bentuk perjuangan hingga akhirnya NICA meninggalkan Kalimantan, cara-cara perjuangan rakyat Balangan dalam hal kepemimpinan, strategi, penyerangan, dan cara bertahan hidup saat perjuangan (makanan) serta alat-alat yang digunakan pada masa itu. Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sejarah, yaitu metode yang menggunakan data atau informasi tentang judul penelitian dengan tahapan tertentu. Jadi tahapan penelitian sejarah tersebut adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perjuangan rakyat Balangan dalam menghadapi tentara NICA, sebagian besar mereka memilih cara dengan perlawanan bersenjata, bergerilya, lari ke hutan-hutan atau

200 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 201 pegunungan, dan pedalaman-pedalaman yang dimotori oleh para ulama dan rakyat biasa. Sejak tahun 1945 rakyat Balangan mulai tergabung di dalam organisasi kelaskaran bernama Gerpindom. Sebagian dari mereka tergabung di dalam Gerpindom di Amuntai dan sebagiannya lagi tergabung di dalam Gerpindom di Birayang. Tahun 1947 kekuatan NICA menguat yang membuat gerakan-gerakan perjuangan di Kalimantan Selatan melemah. Sampai akhir tahun 1948 ALRI Divisi IV Kalimantan dengan jalan musyawarah telah berhasil merangkul sebagian besar dari oranisasi- organisasi kelaskaran di Kalimantan Selatan termasuk Gerpindom dan tidak membenarkan keberadaan organisasi kelaskaran berdiri sendiri. Rakyat Balangan yang mulanya sudah berjuang di dalam organisasi kelaskaran Gerpindom ataupun yang mulanya hanya para petani biasa telah berjuang bersama Hassan Basry dan kawan-kawan yang tergabung dalam ALRI Divisi IV Kalimantan. Perjuangan rakyat Balangan bersama ALRI dapat merebut kembali kemerdekaan RI dan mengusir NICA meninggalkan Kalimantan khususnya Balangan sampai akhir tahun 1949. Penulisan skripsi ini terdiri dari: Bab I, berupa Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, batasan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, tinjauan sumber dan pustaka, dan sistematika penulisan. Bab II, berupa gambaran umum tentang Balangan dan konsep gerilya. Bab III, memuat tentang bagaimana reaksi rakyat di Balangan terhadap Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dan reaksi masyarakat saat datangnya kolonial Belanda(NICA). Bab IV, memuat tentang bagaimana perjuangan rakyat Balangan pada masa revolusi fisik tahun 1945-1949. Bab V, penutup yang berisi kesimpulan dari bab-bab sebelumnya berupa jawaban dari permasalahan-permasalahan yang dibahas di dalam skripsi ini. Judul Buku/ Penelitian : Perdagangan dan Politik Banjarmasin 1700-1747 Nama Pengarang : Goh Yoon Fong (terj. Ika Diyah Chandra) Penerbit/Tahun Terbit : Lilin Yogyakarta/2013 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Pembahasan utama buku ini adalah kondisi wilayah Banjarmasin sebagai salah satu daerah penghasil utama lada di Asia Tenggara selama periode 1700-1747, telah menarik perhatian pedagang dari pulau di luar Banjarmasin, seperti Inggris, Belanda, dan Cina. Banjarmasin merupakan salah satu pusat kekuatan komersial di kawasan tengah Nusantara pada zamannya, terutama Abad Ke-17 dan Ke-18. Pembangunan Banjarmasin sebagai pasar perdagangan bukan hanya berkembang dari aktivitas-aktivitas pada pedagang, namun juga dipengaruhi oleh respon pemerintah lokal terhadap kedatangan para pedagang asing tersebut. Kebijakan perdagangan pemerintah lokal pun disusun demi eksistensi kepentingan kekuatan politik yang luas. Sebuah narasi yang detail tentang mekanisme perdagangan di pelabuhan Banjarmasin, yang mengisahkan peran penting secara strategis dan politis, disamping peran ekonomi, para pedagang asing, suku pribumi, orang Biaju, dan reaksi-reaksi peraturan orang Banjar dalam aktivitas perdagangan internasionalnya. Penulis buku ini juga menguraikan bahwa pada perempat pertama Abad XVIII, perdagangan pihak luar dengan Banjarmasin mengalami kemunduran bahkan nyaris terhenti. Pada masa itu lada yang dipasok dari daerah-daerah perdalaman ke ibukota volumenya sangat kecil. Akar penyebabnya tidak lain karena terputusnya aktivitas pelayaran sungai akibat aksi-aksi pihak “musuh” dan perompak-perompak Bugis yang semakin marak di jalur-jalur perairan di wilayah pengaruh kekuasaan Kesultanan Banjarmasin. Buku ini terbagi atas delapan bab. Garis besar isi buku ini yakni pada Bab 1, dibahas tentang asal usul, kemudian pada Bab 2 tentang latar belakang historis. Selanjutnya pada Bab 3 tentang pendudukan Inggris di Banjarmasin tahun 1700-1707. Bab

202 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 203

4, membahas tentang gangguan gangguan politis, Bab 5 tentang aktivitas- aktivitas Belanda tahun 1711-1737. Pada Bab 6 dibahas tentang permasalahan dalam perdagangan lada. Berikutnya Bab 7 tentang kapal barang dari Cina tahun 1700-1737. Pada bab terakhir, yakni Bab 8 tentang aktivitas-aktivitas Inggris tahun 1713-1747. - Terbit Tahun 2014 -

Judul Buku/ Penelitian : Migrasi Masyarakat Banjar ke Desa Sungai Ular Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Dari Tahun 1918-2012 (Tinjauan Historis) Peneliti : Yusfa Santi Penerbit/ Tahun Terbit : Skripsi, Jurusan Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial, Universitas Negeri Medan, 2014 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Provinsi Sumatera Utara khususnya pada bagian utara yang dikenal dengan Kabupaten Langkat sejak dulu banyak bermukim orang-orang Banjar, pada masa pemerintahan Belanda masih berstatus Keresidenan dan Kesultanan (Kerajaan), dengan pimpinan pemerintahan yang disebut Residen yang mempunyai wewenang mendampingi Sultan Langkat dalam urusan orang-orang asing. Sementara orang-orang pribumi berada di bawah Pemerintahan Kesultanan Langkat. Oleh karenanya pada saat orang Banjar datang ke daerah Langkat sebagian dari mereka wajib melapor kepada Sultan Langkat. Tujuan penelitian ini adalah untuk memaparkan apakah migrasi masyarakat Banjar dari Kalimantan Selatan terjadi secara alami atau hanya ingin ke daerah Secanggang atau apakah karena didorong oleh faktor-faktor tertentu yang datangnya dari lingkungan Etnis Banjar itu sendiri. Kemudian untuk mengetahui latar belakang yang mempengaruhi terjadinya migrasi masyarakat Banjar ke Desa Sungai Ular. Selanjutnya untuk mengetahui bagaimana proses migrasi dan perkembangan masyarakat Banjar di Desa Sungai Ular, dan untuk mengetahui bagaimana eksistensi masyarakat Banjar dalam mempertahankan diri di perantauan Desa Sungai Ular, Kec. Secanggang, Kab.Langkat. Penelitian ini menggunakan metode sejarah yaitu diawali dengan penelitian sumber (heuristik), kemudian sumber sejarah diseleksi

204 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 205

(dikritik), selanjutnya diinterpretasi atau dianalisa, dan terakhir penulisan sejarah (historiografi). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perpindahan orang Banjar secara besar besaran ke Sumatera terkait terjadinya perang Banjar di Kalua yang dimulai tahun 1859 dan perang di Alai tahun 1898. Dengan semboyan “waja sampai ka puting, haram amun manyarah”, orang-orang Banjar tidak rela dijajah Walanda (Belanda) di negerinya sendiri, tidak rela diperlakukan penjajah dengan sewenang-wenang. Kondisi dan prinsip ini mengakibatkan banyak orang Banjar bermigrasi ke Sumatera dan Malaysia. Diperkirakan pasca perang di Kalua merupakan awal Urang Banjar menetap di Sumatera Utara. Sungguhpun sebelum masa tersebut sudah ada orang-orang Banjar bermukim di pantai-pantai Sumatera Utara, mengingat bahwa orang Banjar memiliki kemampuan mengarungi lautan luas menggunakan perahu layar. Suku Banjar yang bermukim di Sumatera Utara saat ini diperkirakan adalah generasi ke-3 dan ke-4 dari awal kedatangannya. Judul Buku/ Penelitian : Peranan Harian Kalimantan Berdjuang Sebagai Alat Penerangan di Kalimantan Bagian Selatan Pada Tahun 1946-1952 Peneliti : Siti Marfuah Penerbit/ Tahun Terbit : Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2014 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Pada masa Revolusi Fisik (1945-1949), media massa terbit tidak hanya sebagai alat penerangan akan tetapi juga sebagai bentuk perjuangan. Pers pada masa Revolusi Fisik disebut sebagai Pers Republiken yang membela dan mempertahakan Kamerdekaan Republik Indonesia. Pers Republiken yang paling berani pada masa Revolusi Fisik di Kalimantan Bagian Selatan disebut dengan Trio Surat Kabar. Salah satunya ialah Harian Kalimantan Berdjuang yang terbit di Kandangan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan Harian Kalimantan Berdjuang sebagai alat penerangan di Kalimantan Selatan pada tahun 1946-1952. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah metode sejarah. Adapun langkah-langkah dalam metode sejarah yaitu heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Harian Kalimantan Berdjuang memiliki peranan sebagai alat penerangan di Kalimantan Selatan pada tahun 1946-1952. Harian Kalimantan Berdjuang terbit pada 1 Oktober 1946. Harian Kalimantan Berdjuang dipelopori oleh Haspan Hadna dan A. Djabar. Harian Kalimantan Berdjuang terbit guna menyebarluaskan cita-cita bangsa dan menjadi tandingan surat kabar NICA yaitu Harian Suara Kalimantan. Kurang lebih tiga bulan kemudian, harian ini dipindahkan ke Banjarmasin. Harian Kalimantan Berdjuang merupakan alat pemberitaan gerilyawan dan politik di Kalimantan Selatan pada tahun 1946-1949. Harian Kalimantan Berdjuang juga berperan dalam menyebarluaskan naskah Proklamasi 17 Mei 1949.

206 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 207

Pada tahun 1949-1952, Harian Kalimantan Berdjuang terus terbit meskipun masa Revolusi Fisik telah berakhir. Harian Kalimantan Berdjuang terus terbit sebagai alat penerangan sejak RIS terbentuk hingga dibubarkan. Lambang “Kepala Banteng” dan Catatan Pojok “Kopi Hitam” dengan Penjaga Pojok Abang Sikat menjadi ciri khas harian ini yang tetap dipertahankan. Pada 17 Agustus 1952, Harian Kalimantan Berdjuang dijual kepada Tjanang Press. Nama Harian Kalimantan Berdjuang berganti menjadi Indonesia Berdjuang. Bersamaan dengan itu, maka berakhirlah terbitnya Harian Kalimantan Berdjuang di Kalimantan bagian selatan dari tahun 1946 hingga 1952. Adapun garis besar skripsi ini adalah Bab I, pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan dan batasan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, berisi tentang gambaran umum Pers Nasional Indoensia dan Daerah Kalimantan Selatan pada tahun 1946-1949. Bab III, berisi tentang Profil Harian Kalimantan Berdjuang pada tahun 1946-1952; latar belakang, proses percetakan sampai pendistribusian, surat kabar Harian Kalimantan Berdjuang serta profil singkat tokoh pers yang terlibat dalam Harian Kalimantan Berdjuang. Bab IV, membahas tentang peranan Harian Kalimantan Berdjuang sebagai alat penerangan di Kalimantan Selatan pada tahun 1946-1952; peranan serta tantangan dan hambatan dalam menerbitkan Harian Kalimantan Berdjuang pada tahun 1946-1952. Bab V, kesimpulan yang berisi jawaban dari rumusan masalah berdasarkan pembahasan pada bab sebelumnya. - Terbit Tahun 2015 -

Judul Buku/ Penelitian : Ratu Zaleha 1880-1953: Perjuangan Terakhir Perempuan Banjar Peneliti : Syarifah Nazimah Penerbit/ Tahun Terbit : Skripsi, Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin, 2015 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Semua daerah di Indonesia mempunyai pahlawan, bahkan diangkat sebagai pahlawan nasional. Tidak sedikit dari pahlawan nasional tersebut adalah perempuan. Seperti di Aceh terdapat Cut Nyak Dien dan Cut Meutia, di Maluku ada Christina Marta Tiahahu. Wilayah Kalimantan Selatan sendiri juga terdapat pahlawan perempuan, yaitu Ratu Zaleha. Namun pahlawan dari Kalimantan Selatan belum banyak ditulis oleh sejarawan maupun peneliti, terutama berhubungan dengan riwayat perjuangannya sehingga tidak begitu banyak yang mengetahui tentang sosoknya. Dengan motivasi guna menambah informasi tentang riwayat hidupnya, maka ditulislah biografi Ratu Zaleha. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui situasi dan kondisi politik di Kalimantan Selatan tahun 1880 atau tahun lahirnya Ratu Zaleha. Kemudian untuk mengetahui perlawanan yang dilakukan Ratu Zaleha bersama suaminya Gusti Muhammad Arsyad. Selanjutnya, untuk mengetahui perlawanan yang dilakukan Ratu Zaleha pasca diasingkannya Gusti Muhammad Arsyad ke Bogor, proses terjadinya penangkapan dan pengasingan Ratu Zaleha ke Bogor menyusul suaminya dan kehidupan Ratu Zaleha setelah kembali ke Banjarmasin. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sejarah dengan langkah-langkah yaitu heuristik, kritik, interpretasi, dan

208 Ringkasan Hasil-Hasil Kajian Budaya dan Sejarah Banjar 209 historiografi. Sedangkan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku tentang Kesultanan Banjar dan perang Banjar yang ada di perpustakaan baik Perpustakaan Daerah, Museum Lambung Mangkurat maupun Perpustakaan Program Studi Sejarah. Selain sumber data tertulis, penulis juga menggunakan sumber data lisan yang diperoleh dengan wawancara Gusti Hindun, Gusti Shuria Putra, Gusti Nor Aina, Gusti Noor Maulana, Aditya D. Sumabharata, dan Arsyad Indradi. Hasil Penelitian menunjukkah bahwa: 1) Ratu Zaleha lahir pada tahun 1880 di Muara Lawang atau Muara Laung di Udik Sungai Lawune. Ia lahir pada saat ayahnya Sultan Muhammad Seman sedang berjuang melawan kolonial Belanda; 2) Ratu Zaleha menikah dengan saudara sepupunya yaitu Gusti Muhammad Arsyad di usia 20 tahun. Mereka bersama-sama menghimpun kekuatan melawan pasukan Belanda; 3) Ratu Zaleha harus berjuang sendiri dan memimpin pasukan karena suaminya Gusti Muhammad Arsyad tertangkap dan diasingkan ke Bogor pada tahun 1904 dan tahun 1905 ayahnya gugur dalam pertempuran di Benteng Menawing; 4) Ratu Zaleha akhirnya berhasil ditangkap oleh pasukan Belanda di Muara Teweh dan diasingkan di Bogor tahun 1906; 5) Tahun 1937 pada usia 61 tahun, Ratu Zaleha kembali ke Banjarmasin sampai akhir hayatnya. Isi skripsi ini pada bab I, pendahuluan mencakup latar belakang masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, Gambaran wilayah Kesultanan Banjar dari abad ke- 17 sampai awal abad ke- 20. Gambaran umum ini berupa letak secara geografis maupun astronomis, keadaan alam, Banjarmasin sebagai pusat pemerintahan dan kondisi penduduk serta kondisi Kesultanan Banjar dari awal berdiri sampai dibubarkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda pada tahun 11 Juni 1860. Kemudian, perlawanan yang dilakukan oleh para elite kesultanan terhadap Pemerintah Kolonial Belanda. Bab III, kondisi politik di Kalimantan bagian selatan tahun 1880 pada saat lahirnya Ratu Zaleha. Kemudian gambaran umum kondisi politik Kesultanan Banjar sekitar tahun 1880, tahun kelahiran Ratu Zaleha. Bab IV, perjuangan terakhir perempuan Banjar dalam menentang Pemerintahan Kolonial Belanda merupakan isi pembahasan tentang riwayat dari Ratu Zaleha tentang pembentukan karakternya yang kuat dan berani, 210 Jumadi, dkk. sampai perjuangannya bersama suami dan ayahnya. Perjuangan akhirnya dilakukan sendiri setelah ditinggal suami ke Bogor karena diasingkan oleh Pemerintah Kolonial Belanda dan gugurnya ayahnya dalam pertempuran di Benteng Manawing. Kemudian, proses tertangkapnya Ratu Zaleha dan diasingkan ke Bogor dan kehidupan Ratu Zaleha di Banjarmasin setelah dipulangkan dari Bogor. Bab V, penutup merupakan bab tentang kesimpulan dari berbagai analisis. Judul Buku/ Penelitian : Asywadie Syukur Sebagai Ulama dan Pendidik (1968- 2010) Nama Pengarang : Akhmat Farisi Penerbit/Tahun Terbit : Skripsi Pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat 2015 Metode Penelitian : Sejarah

Ringkasan Latar belakang penelitian ini adalah kehidupan dan kontribusi Asywadie Syukur sebagai seorang tokoh ulama dan pendidik. Asywadie Syukur adalah seorang ulama kharismatik yang lahir di Benua Hulu, Kalimantan Tengah. Adapun masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kehidupan dan kontribusi Asywadie Syukur sebagai seorang ulama dan pendidik. Tujuan penelitian untuk mendeskripsikan riwayat hidup Asywadie Syukur dan mengetahui kontribusi KH. Asywadie Syukur sebagai seorang ulama dan pendidik. Manfaat penelitian adalah memperluas wawasan mengenai tokoh ulama di Kalimantan, khususnya Kota Banjarmasin. Sebagai referensi ataupun sumber bacaan, dan bisa digunakan sebagai materi ajar terutama mengenai sejarah lokal yang berhubungan dengan agama. Metode yang digunakan adalah metode sejarah dengan tahap heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. Adapun sumber data yang penulis gunakan dalam penelitian ini terdiri dari sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer penulis dapatkan secara langsung dari narasumber tentang objek yang diteliti. Sementara sumber sekunder didapatkan dari studi kepustakaan berupa buku-buku yang relevan dengan objek penelitian ini. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa Asywadie Syukur memulai kehidupan sebagai seorang ulama semenjak pulang dari Mesir tahun 1968. Karir tertinggi Asywadie Syukur sebagai seorang ulama adalah ketika dia dipercaya menjadi Ketua MUI Provinsi Kalimantan Selatan. Kehidupan Asywadie Syukur sebagai seorang pendidik dimulai sejak tahun 1968. Karir

211 212 Jumadi, dkk. tertinggi Asywadie Syukur sebagai pendidik adalah dipercaya menjadi Rektor IAIN Antasari Banjarmasin. Simpulan penelitian ini adalah kontribusi Asywadie Syukur sangat besar dalam tugasnya sebagai ulama maupun pendidik. Ketika menjabat sebagai Dekan Fakultas Dakwah, ia membuka program sarjana lengkap di Fakultas Dakwah dan Fakultas Dakwah merupakan Fakultas pertama di IAIN Antasari yang menyelenggarakan sarjana lengkap. Sebagai seorang ulama, kontribusi besar Asywadie Syukur terlihat ketika ia menjadi anggota MUI, dimana Asywadie banyak mengeluarkan fatwa-fatwa yang monumental. Secara garis besar, sistematika skripsi ini disusun dengan format pada bab I, berisi latar belakang, batasan masalah, pertanya-an penelitian, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian, kajian teori serta sistematika penulisan. Selanjutnya, bab II berisi tentang riwayat hidup Asywadie Syukur. Riwayat hidup ini meliputi riwayat keluarga, riwayat pendidikan, riwayat organisasi, sikap dan kepribadian, dan tutup usia Asywadie Syukur. Berikutnya pada bab III, berisi kehidupan dan kontribusi Asywadie Syukur sebagai seorang ulama, meliputi aktivitasnya mengisi acara konsultasi hidup dan kehidupan di RRI, kiprah di MUI Kalimantan Selatan, serta pemikiran Asywadie Syukur sebagai seorang ulama. Kemudian pada bab IV, berisi pembahasan tentang kehidup-an dan kontribusi Asywadie Syukur sebagai seorang pendidik. Kehidupan dan kontribusi Asywadie Syukur sebagai seorang pendidik meliputi kiprah Asywadie Syukur di IAIN Antasari, kegiatan ilmiah yang diikuti dan gaya mengajar. Terakhir pada bab V, berisi penutup yang menguraikan tentang kesimpulan yang merupakan jawaban dari rumusan masalah yang diteliti.