PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH.

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I)

Oleh

NUR LAILA NIM. 1810011000069

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014

SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH

Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama : Nurlaila NIM : 1810011000069 Jurusan : Pendidikan Agama Islam Alamat : Kp. Kebon RT. 01 RW 06, Cinangka, Sawangan-Depok

MENYATAKAN DENGAN SESUNGGUHNYA

Bahwa skripsi yag berjudul Pembaharuan Metode Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah benar hasil karya sendiri di bawah bimbingan dosen: Nama Pembimbing : A. Basuni, Drs, MA NIP. : 194911261979011001 Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya dan saya siap menerima segala konsekuensi apabila terbukti bahwa skripsi ini bukan hasil karya sendiri.

Jakarta, 18 September 2014 Yang Menyatakan

Nurlaila ABSTRAK Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah: Bagaimana Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut KH. Ahmad Dahlan ?. Dalam upaya mengungkapkan permasalahan yang ada maka peneliti menggunakan pendekatan secara kualitatif. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang dapat diartikan sebagai prosedur atau cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki, berdasarkan fakta- fakta aktual pada saat sekarang. Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut KH. Ahmad Dahlan yaitu : Merubah cara mengajar dan belajar dari sistem sorogan ke sistem klasikal. Bahan pelajaran yang diberikan tidak hanya pelajaran agama tapi juga pelajaran umum. Beliau memperkenalkan rencana pembelajaran yang teratur. Pendidikan diluar waktu belajar diselenggarakan di dalam asrama yang terpimpin secara teratur. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dalam memajukan pendidikan Islam di Indonesia yaitu dengan mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

i

KATA PENGANTAR

Bismilahirrohmannirrohim Tiada kata yag lebih terpuji selain menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. karena dengan ridho-Nya penulis dapat rampungkan skripsi ini. Sholawat dan salam yag ditetapkan Allah SWT atas junjungan alam Nabi SAW sebagai penghulu Arab yang telah membawa kedamaian dan rahmat bagi semesta alam, para sahabat, keluarga, dan pengikutnya sampai akhir zaman. Penulisan skripsi ini di susun guna memenuhi persyaratan yag harus ditempuh dalam menyelesaikan program studi sarjana pendidikan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu untuk terwujudnya skripsi ini, ucapan terimakasih penulis tak lupa tujukan kepada: 1. Direktur Pendidikan Agama Islam (DIPTAIS), Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementrian Agama Republik Indonesia yang telah memberikan bantuan dan beasiswa sampai penulis menyelesaikan studi; 2. Nurlena Rifai PhD, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta beserta seluruh jajarannya, baik Bapak/Ibu dosen yang telah membekali penulis dengan ilmu pengetahuan, maupun staf yang telah membantu kelancaran administrasi; 3. A. Basuni, MA dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya, pikiran dan kesabaran yang teramat tulus disela-sela kesibukannya yag luar biasa untuk memberikan bimbingan kepada penulis selama menyelesaikan skripsi. Terima kasih Bapak. 4. Para Dosen yang telah memberikan pengalaman dan ilmunya kepada penulis dengan ikhlas dan sabar selama masa kuliah. 5. Kepada kedua orang tua saya Bapak Abd. Rahman dan Ibu Sarifah yang sangat saya cintai. terlalu banyak pengorbanan yang diberikan dari sejak lahir sampai sekarang, rasanya ananda tidak bisa membalasnya. Ananda

ii

hanya berdo’a kepada Allah SWT, sebab hanya Allah lah yang mampu membalasnya. 6. Pemimpin dan staf perpustakaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 7. Bapak Mawardi, Spd selaku kepala sekolah SD 08 Depok yang telah memberi motivasi kepada saya. 8. Seluruh guru, staff dan siswa SD Muhammadiyah 08 Depok 9. Suami tercinta dan anak-anak yang merupakan sumber insfirasi dan motivasi sehingga proses penulisan skripsi ini dapat selesai. I0. Bapak Drs. Endang Surahman, MA dan Bapak Abd. Hadi, Spd yag juga banyak mendukung penulis, sehingga proses penulisan skripsi ini dapat selesai. Hanya kepada Allah jua lah penulis mengucapkan syukur atas semua karunia-Nya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kekurangannya, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk perbaikannya, sehingga skripsi ini bermanfaat bagi kita semua.Amin.

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 18 September 2014

Nurlaila NIM:1810011000069

iii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI SURAT PERNYATAAN KARYA

ABSTRAKSI ...... i KATA PENGANTAR ...... ii DAFTAR ISI ...... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...... 1 B. Identifikasi, Pembatasandan Perumusan Masalah ...... 7 C. Tujuan Penelitian ...... 8 D. Manfaat Penilitian ...... 8 E. Metodologi Penelitian ...... 9 F. Sistematika Penulisan ...... 10

BAB II KAJIAN TEORI PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A. Pengertian Pendidikan Islam ...... 12 B. Pembaharuan Pendidikan Islam ...... 17 C. Pola-Pola Pembaruan Pendidikan Islam ...... 21 D. Pendidik dan Peserta Didik Dalam PendidikanIslam ...... 25 E. Kurikulum Pendidikan Islam ...... 26 F. Aspek-Aspek Yang Terkandung Dalam Kurikulum ...... 27

iv

BAB III METODOLOGI PENELITIAN: BIOGRAFI DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K.H. AHMAD DAHLAN

A. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ...... 29 B. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ...... 30 C. Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan ...... 33 D. Dasar Pendidikan Islam ...... 42 E. Pembaharuan-Pembaharuan KH. Ahmad Dahlan ...... 46

BAB IV HASIL PENELITIAN : ANALISA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN MENURUT K.H. AHMAD DAHLAN A. Periode Pembaharuan Pendidikan Islam Di Indonesia ...... 62 1. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Pertama (1900-1915) ...... 63 2. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Kedua (1915-1930) ...... 63 3. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Kedua (1915-1930) ...... 65 B. Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan ...... 66

BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN ...... 70 B. SARAN ...... 70

DAFTAR PUSTAKA ...... 71 LAMPIRAN-LAMPIRAN

v

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam senantiasa menjadi sebuah kajian yang menarik yang bukan hanya karena memiliki kekhasan tersendiri, namun juga karena kaya akan konsep-konsep yang tidak kalah bermutu dibandingkan dengan pendidikan modern. Dalam lingkup pemikiran pendidikan Islam kita temukan tokoh besar dengan ide-idenya yag cerdas dan kreatif yang menjadi inspirasi dan kontribusi yang besar bagi dinamika pendidikan Islamdi Indonesia. Salah satu peran ulama sebagai tokoh Islam yang patut dicatat adalah posisi mereka sebagai kelompok terpelajar yang membawa pencerahan kepada masyarakat sekitarnya. Berbagai lembaga pendidikan telah dilahirkan oleh mereka baik dalam bentuk sekolah maupun pondok pesantren. Semua itu adalah lembaga yang ikut mengantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan berpendidikan. Mereka telah berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, khususnya Islam lewat karya-karya yang telah ditulis atau melalui jalur dakwah mereka. Manusia sebagai makhluk Tuhan, telah dikaruniai Allah kemampuan- kemampuan dasar yang bersifat rohaniah dan jasmaniah, agar dengannya manusia mampu mempertahankan hidup serta memajukan kesejahteraannya.1Kemampuan dasar manusia tersebut dalam sepanjang sejarah pertumbuhannya merupakan modal dasar untuk mengembangkan kehidupannya di segala bidang. Sarana utama yang dibutuhkan untuk pengembangan kehidupan manusia tidak lain adalah pendidikan.2 yang dari segi bahasa pendidikan dapat diartikan perbuatan (hal, cara dan sebagainya) mendidik; dan berarti pula pengetahuan tentang mendidik atau pemeliharaan (latihan-latihan dan sebagainya) badan, batin dan sebagainya.3Pendidikan merupakan kunci dari segala bentuk kemajuan hidup

1M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), h.2 2Ibid, h.2 3 H. Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam,(Jakarta: Raja Grapindo Persada, 2001), h. 285

1

2

umat manusia sepanjang sejarah. Dengan demikian antara pendidikan dan masyarakat terjadi perpacuan (kompetisi) untuk maju. Itulah salah satu ciridari masyarakat yang dinamis dimana pendidikan menjadi tumpuan kemajuan perkembangan hidupnya.4 Dalam masyarakat yang dinamis, pendidikan memegang peranan yang menentukan eksistensi dan perkembangan masyarakat tersebut, oleh karena pendidikan merupakan usaha melestarikan, dan mengalihkan serta mentransformasikan nilai-nilai kebudayaan dalam segala aspeknya dan jenisnya kepadagenerasi penerus.5 Pendidikan dapat difungsikan untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan hidup manusia (sebagai mahluk pribadi dan sosial), kepada titik optimal kemampuannya untuk memperoleh kesejahteraan hidup didunia dan kebahagiaan hidupnya diakhirat.6 Masyarakat Islam yang berkembang sejak zaman Nabi Muhammad SAW melaksanakan misi sucinya menyebarkan agamanya, pendidikan juga merupakan kunci kemajuan,7karena Islam sebagai agama universal mengajarkan kepada umat manusia berbagai aspek kehidupan, baik duniawi maupun ukhrowi, salah satu ajaran Islam tersebut adalah mewajibkan kepada umat Islam melaksanakan pendidikan.8Sumber-sumber pokok ajaran Islam yang berupa Al- dan Al- Hadist, banyak mendorong pemeluknya untuk menciptakan pola kemajuan hidup yang dapat menyejahterakan pribadi dalam masyarakat, sehingga dengan kesejahteraan yang berhasil diciptakannya, manusia secara individual dan sosial, mampu meningkatkan derajat dan martabatnya, baik bagi kehidupannya di dunia maupun di akhirat nanti. Derajat dan martabatnya sebagai “Khalifah” di muka bumi dapat diraih berkat usaha pendidikan yang bercorak Islami.9Pendidikan menurut pandangan Islam merupakan bagian dari tugas kekahlifahan manusia yang harus dilaksanakan secara bertanggungjawab, kemudian pertanggungjawaban itu baru bisa dituntut kalau ada aturan dan pedoman

4Ibid, h.3 5Ibid, h.11 6Ibid. h.12 7Ibid, h.4 8Zuhairini, et.al, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal. 98 9M. Arifin, op cit, h. 3

3

pelaksanaan. Oleh karenanya, Islam tentunya memberikan garis-garis besar tentang pelaksanaan pendidikan tersebut. Islam memberikan konsep-konsep yang mendasar tentang pendidikan, dan menjadi tanggungjawab manusia untuk menjabarkan dengan mengaplikasikan konsep-konsep dasar tersebut dalam praktek pendidikan.10 Nama K.H. Ahmad Dahlan bukanlah nama yang asing dalam dunia pendidikan, ia lebih banyak dikenal orang sebagai pendakwah atau pembaharu sosial budaya di Indonesia. Namun satu hal yang tidak dapat dipungkiri, ia telah memberikan nilai-nilai yang berharga pada pendidikan Islam agar dapat selangkah lebih maju dengan orang-orang Eropah. Pembaruan yang di lakukan K.H. Ahmad Dahlan antara lain adalah dalam pembaharuan pendidikan Islam. K. H. Ahmad Dahlan merupakan salah satu tokoh pembaharu dalam Islam sekaligus sebagai pendiri persyarikatan Muhammadiyah. K. H. Ahmad Dahlan mulai melakukan ide pembaharuan sekembalinya dari haji pertama yaitu pada tahun 1883, melihat keadaan masyarakat Islam di Indonesia yang mengalami kemerosotan disebabkan oleh keterbelakangan pengetahuan akibat tekanan penjajahan pemerintah Belanda. Pemerintah Belanda menginginkan rakyat pribumi sebagai buruh kasar dengan upah rendah sehinga tidak lagi memikirkan pendidikan. Adanya perbedaan dalam pendidikan menyebabkan berkembangnya dualisme pendidikan yakni sistem pendidikan kolonial Belanda dan sistem pendidikan Islam tradisional yang berpusatkan di pondok pesantren. Melihat perbedaan pendidikan yang terjadi pada saat itu maka timbulah ide dari K. H. Ahmad Dahlan untuk melakukan pembaharuan.11 KH.Ahmad Dahlan yang waktu mudanya bernama Muhammad Darwis adalah seorang ulama,sekaligus sebagai cendikiawan. Beliau seorang tokoh yang dikenal memiliki kemauan keras, bersungguh-sungguh, tidak mengenal lelah dalam mengusahakan terwujudnya cita-cita, bersikap terbuka, pemberani, dan supel dalam pergaulan.12 Sebagai cendikiawan yang memiliki wawasan berfikir

10Zuhairini, et al, op cit, h. 148 11 http/tmsi-smangat.org-kyai-haji-ahmad-dahlan/diakses pada tanggal 22 Oktober 2014 12M. Musfiqon, Pendidikan Kemuhammadiyahan, (: Majelis Dikdasmen PWM Jatim, 2012), h.48

4

yang mendalam dan luas, KH. Ahmad Dahlan membangun persyarikatan yang bercirikan sebagai gerakan pembaharuan dengan dua sasaran utama, yaitu gerakan pembaharuan dalam bidang pemikiran dengan titik tumpu pemurnian (purifikasi) pemahaman keagamaan, serta pembaharuan (reformasi) dalam bidang sosial pendidikan. Cita-cita KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama tegas, beliau ingin memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita agama Islam. Keyakinan beliau ialah bahwa untuk membangun masyarakat haruslah terlebih dahulu dibangun semangat bangsa. Kalau sarekat Islam usaha-usahanya ditekankan kepada bidang politik yang berlandaskan cita-cita agama. Muhammadiyah menekankan usahanya pada perbaikan hidup beragama dengan amal-amal pendidikan dan sosial. Menurut KH. Ahmad Dahlan, upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pada pemikiran yang dinamis adalah melalui pendidikan. Pelaksanaan pendidikan menurut KH. Ahmad Dahlan hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh. Landasan ini merupakan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupunhorizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai „abdAllah dan khalifah fi al-ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah dengan al-ruh dan al-‘aql. Maka dari itu pendidikan hendaknya menjadi media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh. Supaya manusia itu tunduk dan patuh kepada Khaliknya. Pendidikan yang dimaksud oleh K.H. Ahmad Dahlan adalah pendidikan yang berorientasi pada pendidikan modern, yaitu dengan menggunakan sistem klasikal. Apa yang dilakukannya merupakan sesuatu yang masih cukup langka dilakukan oleh lembaga pendidikan Islam pada waktu itu. Di sini, ia menggabungkan sistem pendidikan Belanda dengan sistem pendidikan tradisional. 13

13 Maksum, Madrasah Sejarah Dan Perkembangannya, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), Cet.Ke-1, h. 96

5

K.H. Ahmad Dahlan berpandangan bahwa untuk melahirkan individu yang berkualitas harus menguasai ilmu umum dan agama, material dan spiritual serta dunia dan akhirat. Baginya kedua hal tersebut (ilmu umum dan agama, material dan spiritual serta dunia dan akhirat) merupakan hal yang tidak dipisahkan satu sama lain. Gagasan ini direalisasikan dengan membentuk lembaga pendidikan yang memadukan pendidikan Barat-Islam (sekolah umum dan pesantren). 14 Upaya mewujudkan visi, misi dan tujuan pendidikan tersebut dilaksanakan lebih lanjut oleh KH. Ahmad Dahlan melalui organisasi Muhammadiyah yang didirikannya, pada tahun 1912 H KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah Madrasah yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan kaum muslimin terhadap pendidikan agama dan pada saat yang sama dapat memberikan mata pelajaran umum.15 Kemudian pada tahun 1912, untuk melaksanakan cita-cita di Nusantara KH. Ahmad Dahlan mendirikan sebuah organisasi yang bernama Muhammadiyah.16 Salah satu sebab didirikannya Muhammadiyah ialah karena lembaga-lembaga pendidikan di Indonesia sudah tidak memenuhi lagi kebutuhan tuntutan zaman. tidak saja isi dan metode pengajarannya yang tidak sesuai, bahkan sistem pendidikannya pun harus diadakan perombakan yang mendasar.17 Menurut Sholihin Salam, sebab-sebab yang mendorong K.H Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah itu ada dua faktor, yaitu faktor intern dan faktor extern. Adapun faktor intern itu diantaranya adalah lemah dan gagalnya sistem pendidikan pondok pesantren Islam yang kurang mencerminkan perkembangan dan kemajuan, zaman dan adanya kehidupan pendidikan yang mengisolir diri. Sedangkan faktor extern itu diantaranya ialah merajalelanya imperialis Belanda di Indonesia yang harus dihadapi. 18

14 Abdul Mut‟i,Konsep Pendidikan Kiyayi Haji Ahmad Dahlan, Dalam Buku Karya Abdul Khaliq, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik Dan Kontemporer (: Pustaka Pelajar Offset, 1999),h. 203 15 Ahmad Adaby Darban, Sejarah Kauman: Menguak Identitas Kampung Muhammadiyah, (Yogyakarta: Tarawang, 2000), h. 13 16 Abdul Munir Mulkhan, Pemikiran KH. Ahmad Dahlan Dan Muhammadiyah Dalam perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1999), h. 31 17 M. Yunan Yusuf, Kemuhamadiyahan Kajian Pemgantar (Jakarta: Yayasan Pembaharu, 1988), h. 43 18 Margono Poespo Suwarno, Gerakan Islam Muhammadiyah (Yogyakarta: Penerbit Persatuan Baru, 2005), h. 27-28

6

Pada awalnya, K.H Dahlan dengan organisasi Muhammadiyah yang mengadopsi sistem pendidikan Barat (Belanda) dianggap sebagai tokoh kontroversial karena jalan pikirannya yang menentang arus, tidak sejalan dengan sistem pendidikan Islam tradisional. Namun sebenarnya disitulah letak gagasan “pembaharuan? KH. Dahlan dalam dunia pendidikan Islam Indonesia. Ia mengambil alih sistem pengajaran Barat dengan ilmu pengetahuan umum sekaligus mengajarkan ilmu-ilmu keislaman.19 Melihat pembaharuan KH. Ahmad Dahlan ini, beliaulah ulama Islam pertama atau salah satu ulama Islam di Indonesia yang melakukan pendidikan dan perbaikan kehidupan umat, tidak dengan pesantren dan tidak dengan kitab kuning, melainkan dengan organisasi. Kini Muhammadiyah yang ia dirikan merupakan ormas di Indonesia yang memiliki amal usaha terbesar di berbagai bidang, baik pendidikan, kesehatan, sosial kebudayaan, perekonomian, dan sebagainya. Salah satu ciri khas yang di miliki oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah adanya kurikulum tambahan dalam bidang keIslaman. Taman kanak-kanak, Sekolah Dasar dan Sekolah Menengah diberi pelajaran keIslaman dengan muatan yang cukup banyak, misalnya mata pelajaran aqidah akhlaq, ibadah/mu‟amalah, al-Qur;an hadits, Sejarah Kebudayaan Islam dan Kemuhammadiyahan. 20 Dalam melakukan pembaruan K. H. Ahmad Dahlan tidak hanya mendirikan sekolah, tetapi ikut membantu mengajar ilmu keagamaan di sekolah lain seperti di Kweekschool Gubernamen Jetis. K. H. Ahmad Dahlan juga melakukan pembaharuan lain seperti mendirikan masjid, menerbitkan surat kabar yang memuat tentang ilmu-ilmu agama Islam. Karena jasa-jasanya dalam membangkitkan kesadaran bangsa Indonesia melalui pembaruan Islam dan pendidikan, KH Ahmad Dahlan dianugrahi gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional (SK Presiden RI No.657 Tahun 1961, tanggal 27 Desember 1961). Cita-cita KH. Ahmad Dahlan sebagai seorang ulama adalah tegas, ialah hendak memperbaiki masyarakat Indonesia berlandaskan cita-cita

19 Arbiyah Lubis, op.cit., h. 103 20 www. goggle.com, diakses tanggal 27 Oktober 2014

7

agama Islam.21 Dengan organisasi Muhammadiyah yang di dirikannya telah mempelopori amal usaha sosial dan pendidikan yang amat diperlukan bagi kebangkitan dan kemajuan bangsa dengan jiwa ajaran Islam. Berdasarkan permasalahan di atas penulis memilih judul “PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. AHMAD DAHLAN”

B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah Dari latar belakang pemikiran tersebut dapat di identifikasi permasalahan sebagai berikut: a) Alasan yang melatarbelakangi KH. Ahmad Dahlandalam meningkatkan pendidikan Islam b) Konsep pemikiran pembaharuan K.H. Ahmad Dahlan dalam pendidikan Islam c) Tantangan dan hambatan apa saja yang dihadapi K.H. Ahmad Dahlan dalam meningkatkan dan memajukan pendidikan Islam d) Respon masyarakat terhadap gagasan yang dilontarkan oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam meningkatkan Pendidikan Islam e) Keberhasilan apa saja yang dicapai K.H. Ahmad Dahlan dalam meningkatkanpendidikan Islam

2. Pembatasan Masalah Dalam penulisan skripsi ini, sangat diperlukan adanya ruang lingkup pembatasan masalah di dalamnya, sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas dan terarah, serta diharapkan dapat memudahkan pembaca untuk memahaminya. Ranah pemikiran pembaharuan KH. Ahmad Dahlan yang sangat luas maka penulis membatasi penelitian mengenai bagaimana pembaharuan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan?.

21 Zuhairini. et.al, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2004), h. 202

8

3. Perumusan Masalah Setelah diuraikan secara umum masalah penelitian ini dalam latar belakang masalah, maka penulis menganggap perlu untuk merumuskannya. Guna untuk mengerucutkan permasalahan yang akan dibahas, perlu adanya suatu perumusan masalah agar memudahkan dalam pembahasan skripsi. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka diperoleh rumusan masalahnya adalah bagaimana “ Pembaharuan Metode Pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan? “

C. Tujuan Penelitian Tujuan penulis ini dalam menyusun karya ilmiah ini, bertujuan antara lain sebagai berikut: a) Untuk mengetahui Pembaharuan Pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan. b) Hasil apa yang dicapai oleh KH. Ahmad Dahlan dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia.

D. Manfaat Penelitian Manfaat dalam menyusun karya ilmiah ini di antaranya sebagai berikut: a) Menambah wacana kajian sejarah pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia b) Meningkatkan kualitas pendidikan Islam di era globalisasi c) Sebagai bahan referensi untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam sekaligus sumber daya manusia.

E. Metodologi Penelitian

1. Pendekatan Penelitian Dalam upaya mengungkapkan permasalahan yang ada maka peniliti menggunakan pendekatan secara kualitatif, bogdan dan tayor mendefinisikan metode penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data

9

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisandariorang-orang yang perilaku diamati. 22 Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif yang dapat diartikan sebagai prosedur/cara memecahkan masalah penelitian dengan memaparkan keadaan obyek yang diselidiki (seseorang, masyarakat, lembaga dan lain-lain) sebagaimana adanya berdasarkan fakta-fakta aktual pada saat sekarang. 23 Adapun jenis penelitian yang dilakukan penulis terhadap penilitian ini adalah penelitian kepustakaan, yaitu permasalahan serta pengumpulan data berasal dari kajian pustaka. Data-data yang dikumpulkan berasal dari tulisan KH. Ahmad Dahlan sebagai data Primer dan sumber-sumber lainnya yang berkaitan dengan pembahasan sebagai data sekunder, baik itu berupa buku, majalah, hasil-hasil penelitian ataupun buletin yang ada kaitannya dengan penulisan skripsi ini.

2. Teknik Pengumpulan Data Sebagaimana karya ilmiah secara umum, setiap pembahasan suatu karya ilmiah tentunya menggunakan metode untuk menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan mudah dipahami. Teknik pengumpulan data berasal dari data dokumen, yang artinya barang- barang yang tertulis dan mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian. Di dalam melaksanakan metode dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis seperti buku, majalah, artikel, makalah, hasil-hasil penelitian ataupun buletin yang ada kaitannya dengan penelitian skripsi ini. Hanya data yang betul-betul terkait dengan topik penelitian yang penulis cantumkan dalam skripsi ini. 24 Atau bisa juga dengan dokumentasi yaitu dengan meneliti bahan dokumentasi yang ada dan

22 Nuraida dan Halid Alkaf, Metodologi Penelitian Pendidikan (Jakarta: Islamic Research Publishing, 2009), Cet.Ke-1, h. 35 23Hadari Nawawi dan Martini Hadari, Instrumen Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gajdah Mada University Press, 1992), h. 67 24 Lexi J. Moelang, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1997) Cet. Ke-8, h. 10

10

mempunyai relevansi dengan tujuan penelitian.25Untuk sumber data sekunder berupa penelitian kepustakaan itu dilakukan terhadap berbagai macam sumber bahan hukum yang dibagi menjadi 2 (dua) jenis, yaitu (1) Bahan primer yaitu data yang langsung berasal dari sumbernya, dalam hal ini adalah buku-buku yang berkaitan langsung dengan permasalahan di atas. (2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, sepertimajalah, makalah, jurnal, artikel surat kabar, data melalui jaringan internet dan hasil penelitian terkait.

3. Teknik Penulisan Teknik penulisan skripsi ini didasarkan pada pedoman yang berlaku di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu buku pedoman penulisan skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. F. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman terhadap isi tulisan ini, maka penulis menyusunnya secara sistematis. Penulisan ini terdiri dari lima bab yang akan akan diuraikan sebagai berikut: BAB I : PENDAHULUAN, meliputi latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodelogi penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II : PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA, berisi pengertian pendidikan Islam, Pembaharuan Pendidikan Islam, pendidikan dan peserta didik dalam pendidikan Islam, kurikulum pendidikan dan aspek-aspek yang terkandung dalam kurikulum.

25 Anas Sudjiono, Pengantar Statistik Pendidikan, (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 1987), h.30

11

BAB III : PERSPEKTIF PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. AHMAD DAHLAN, berisi K.H. Ahmad Dahlan dan latar belakang keluarga, K.H. Ahmad Dahlan dan latar belakang pendidikan, pemikiran pendidikan Islam dan model pendidikan Islam.

BAB IV : ANALISA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. AHMAD DAHLAN, berisikonsep pemikiran K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam, model pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan dan perspektif pemikiran pembaharuan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan.

BAB V: PENUTUP, uraian Kesimpulan dan Saran.

12

BAB II KAJIAN TEORI PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA

A. Pengertian Pendidikan Islam Pendidikan merupakan hal yang penting bagi manusia untuk menghadapi kelangsungan hidupnya hingga masa depan. Pendidikan dituntut untuk dapat mengantarkan manusia pada kehidupan yang sesungguhnya. Pendidikan yang dikenal dewasa ini tidak hanya mencakup secara umum tetapi juga spesifik kepada pendidikan Islam. Pendidikan adalah berbagai usaha yang dilakukan oleh seseorang (pendidik) terhadap seseorang (anak didik) agar tercapai perkembangan maksimal yang positif. Usaha itu banyak macamnya, satu diantaranya ialah dengan cara mengajarnya yaitu mengembangkan pengetahuan dan keterampilannya. Selain itu ditempuh juga usaha lain yakni memberikan contoh (teladan) agar ditiru, memberikan pujian dan hadiah, mendidik dengan cara membiasakan dan lain-lain yang tidak terbatas jumlahnya.1 Dalam Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU RI No. 2 Th 1989) dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan/atau latihan bagi peranannya di masa yang akan datang. Selanjutnya Bapak Pendidikan Nasional mengatakan bahwa pendidikan berarti daya upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter), pikiran (intelect) dan tubuh anak yang antara satu dan lainnya saling berhubungan agar dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak yang kita didik selaras dengan dunianya2

Adapun pengertian Islam berasal dari bahasa Arab aslama, yuslimu islaman yang berarti berserah diri, patuh dan tunduk. Kata aslama tersebut pada mulanya

1 Dewi Istiana, Pengertian dan Tujuan Pendidikan Islam, (Semarang: Makalah, Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo,2009), h. 2 2 Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), h. 290

12 13

berasal dari salima, yang berarti selamat, sentosa dan damai. Dari pengertian demikian secara harfiah Islam dapat diartikan patuh, tunduk, berserah diri (kepada Allah) untuk mencapai keselamatan. 3 Kata Islam dalam pendidikan Islam menunjukan warna pendidikan tertentu, yaitu pendidikan yang berwarna Islam, pendidikan yang Islami, yaitu pendidikan yang berdasarkan Islam.4 Dalam sebuah buku “Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur‟an Integrasi Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani” karangan M. Suyudi disebutkan beberapa definisi pendidikan Islam menurut beberapa tokoh, yakni: 1. Muhammad Fadlil Al-Jamali. Pendidikan Islam adalah proses yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang mengangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya. 2. Omar Mohammad Al-Toumy. Pendidikan Islam adalah usaha mengubah tingkah laku dalam kehidupan, baik individu atau bermasyarakat serta berinteraksi dengan alam sekitar melalui proses kependidikan berlandaskan Islam. 3. Muhammad Munir Mursyi. Pendidikan Islam adalah pendidikan fitrah manusia, karena Islam adalah agama fitrah, maka segala perintah, larangan dan kepatuhannya dapat mengantarkan mengetahui fitrah ini.5 Secara bahasa pengertian pendidikan menurut Islam ialah keseluruhan pengertian yang terkandung di dalam istilah ta’dib, ta’lim dan tarbiyah. 6 Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakan dalam praktek pendidikan Islam ialah term tarbiyah. Sedangkan term ta’dib dan ta’lim jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam. Secara esensial ketiga term ini mempunyai perbedaan secara signifikan baik secara tekstual maupun kontekstual. 7 Untuk itu perlu dikemukakan uraian dan analisa terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut, antara lain:

3 Abuddin Nata, Op.Cit, h. 290 4 Dewi Istiana,Op. Cit h. 3 5 M. Suyudi, Pendidikan Dalam Perspektif Al-Qur’an Integrasi Epistemologi Bayani, Irfani, Dan Burhani (Yogyakarta: Mikraj, 2005), h. 55 6 Dewi Istiana, Op. Cit , h. 4 7 Soimun Endarto, Tipologi Pemikiran dan Aplikasi Pendidikan Islam Menurut KH. Ahmad Dahlan (Ponorogo: Skripsi, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo, 2006), h. 17 14

a. Ta’dib Menurut Syed Muhammad al-Naquib al-Attas istilah yang paling tepat untuk menunjukan pendidikan Islam adalah ta’dib. Ta’dib merupakan masdar kata kerja addaba yang berarti pendidikan. Dari kata addaba ini diturunkan juga kata addabun. Menurut al-Attas, addabun berarti pengenalan dan pengakuan tentang hakikat bahwa pengetahuan dan wujud bersifat teratur secara hirarkis sesuai dengan berbagai tingkatan mereka dan tentang tempat seseorang yang tepat dalam hubungannya dengan hakikat itu serta dengan kapasitas dan potensi jasmaniah, intelektual maupun rohaniah seseorang. Berdasarkan pengertian addaba seperti itu, al-Attas mendefinisikan pendidikan (menurut Islam) sebagai pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan kedalam manusia, tentang tempat-tempat yang tepat bagi segala sesuatu di dalam tatanan wujud sehingga hal ini membimbing kearah pengenalan dan pengakuan tempat Tuhan yang tepat di dalam tatanan wujud tersebut. 8 Menurut Samsul Nizar, ta’dib berarti pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan ke dalam peserta didik, tentang tempat- tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Lebih banyak ia ungkapkan bahwa, penggunaan istilah tarbiyah terlalu luas untuk mengungkap hakikat dan operasionalisasi pendidikan Islam. Sebab kata tarbiyah memiliki arti pengasuhan, pemeliharaan, dan kasih sayang tidak hanya digunakan untuk manusia, tapi juga digunakan untuk melatih dan memelihara binatang atau mahluk Allah lainnya. Timbulnya istilah tarbiyah dalam dunia Islam merupakan terjemahan dari bahasa Inggris “education” yang dalam batasan pendidikan Barat lebih menekankan pada asfek fisik dan material. Sedangkan pendidikan Islam penekanannya tidak hanya aspek tersebut tapi juga pada aspek psikis dan immateril.9 Sebagai alternatif yang di ajukan al-Attas sebagaimana di kutif oleh Miftahul Ulum dan Basuki untuk istilah pendidikan Islam harus dibangun dari

8 Khoirun Rosyadi, Pendidikan Profetik, h. 140-141 9 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis Teoritis dan Praktis (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 30 15

berbagai istilah yang secara substansial mengacu pada pemberian pengetahuan, pengalaman, kepribadian dan sebagainya. Pendidikan Islam harus dibangun dari perpaduan istilah ilm atau allama (ilmu, pengajaran), adl (keadilan), amal (tindakan), haqq (nalar), nafs (jiwa), qalb (hati), aql (pikiran), tafsir dan ta’wil (penjelasan dan penerangan) yag secara keseluruhan istilah tersebut terkandung dalam istilah adab.10 b. Ta’lim Istilah ta’lim telah digunakan sejak periode awal pelaksanaan pendidikan Islam. Menurut Abdul Fatah Jalal ta’lim sebagaimana di kutif Khoirun Rosyadi menurutnya lebih relevan. Argumentasinya di dasarkan dengan merujuk pada Surah al-Baqarah ayat 15 yaitu:

       

Artinya: “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) kami telah mengutus kepada mu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu al-kitab dan al-hikmah (as-sunnah) serta mengantarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui (QS. al- Baqarah : I5).11

Berdasarkan ayat di atas proses ta’lim justeru lebih universal dibandingkan proses tarbiyah. Jalal menjelaskan bahwa ta’lim tidak berhenti pada pengetahuan yang lahiriyah, juga tidak hanya sampai pada pengetahuan taklid. Ta’lim mencakup pula pengetahuan teoritis, mengulang kaji secara lisan dan menyuruh melaksanakan pengetahuan itu. Ta’lim mencakup pula aspek-aspek pengetahuan lainnya serta keterampilan yang dibutuhkan dalam kehidupan serta berpedoman perilaku. Jadi, berdasarkan analisis itu Abdul Fattah Jalal menyimpulkan menurut al-Qur‟an tal’lim lebih luas dari pada tarbiyah.

10 Miftahul Ulum dan Basuki, Pengantar Ilmu Pendidikan: Konseptualisasi Pendidikan dalam Islam (Ponorogo: Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ponorogo, 2006), h. 1-4 11 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Jakarta: PT. Sari Agung, 2000), h. 32 16

c. Tarbiyah Menurut Abdurrahman an-Nahlawi sebagaimana di kutif Dewi Istiana kata tarbiyah dari segi bahasa berasal dari tiga kata yaitu pertama kata raba yarbu yang artinya bertambah dan berkembang. Hal ini sejalan dengan firman Allah yang artinya “Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, maka riba itu tidak menambah pada sisi Allah (Qs al-Rum, 30:39). Kedua rabiya yarba yang dibandingkan dengan khafiya- yakhfa yang berati tumbuh dan berkembang. Ketiga, rabba-yarubbu yang dibandingkan dengan madda yamuddu yang berarti memperbaiki, mengurusi kepentingan, mengatur, menjaga dan memperhatikan.12 Menurut Imam al- Baidlawi di dalam tafsirnya arti asal al-rabb adalah tarbiyah yaitu menyampaikan sesuatu sedikit demi sedikit sehingga sempurna.13 Berdasarkan ketiga kata itu Abdurrahman an- Nahlawi menyimpulkan bahwa pendidikan (tarbiyah) terdiri atas empat unsur yaitu pertama, menjaga dan memelihara fitrah anak menjelang dewasa (baligh), kedua mengembangkan seluruh potensi, ketiga mengarahkan seluruh fitrah dan fotensi menuju kesempurnaan, ke empat di laksanakan secara bertahap.14 Dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah pengembangan seluruh potensi anak didik secara bertahap menurut ajaran Islam. Dengan demikian ke-tiga istilah tersebut di atas memberi kesan yang berbeda. Istilah ta’dib mengesankan proses pembinaan terhadap sikap moral dan etika dalam kehidupan, istilah ta’lim mengesankan proses transformation of knowledge, sedangkan istilah tarbiyah mengesankan proses pembinaan, pengarahan bagi pembentukan kepribadian dan sikap mental. Menurut Zakiah Darajat sebagaimana di kutif oleh Soimun Endarto pendidikan Islam adalah pembentukan kepribadian, pendidikan Islam ini telah banyak ditujukan kepada perbaikan sikap mental yang akan terwujud dalam amal perbuatan sesuai dengan petunjuk ajaran Islam, karena itu pendidikan Islam tidak

12 Abuddin Nata, Op.Cit, h. 289 13 Dewi Istiana,Op.Cit h. 3 14 Khoirin Rosyadi, Op. Cit, h. 147-146 17

hanya bersifat teoritis tetapi juga bersifat praktis atau pendidikan Islam adalah sekaligus pendidikan iman dan pendidikan amal.15 Azyumardi Azra sebagaimana di kutif Dewi Istiana mengatakan bahwa pendidikan Islam ialah penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah swt. Sedangkan menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly pendidikan Islam ialah sebagai upaya mengembangkan, mendorong, serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan nilai-nilai yang tinggi dan kehidupan yang mulia.16 Dari beberapa pengertian pendidikan yang dikemukakan di atas oleh para ahli tersebut maka dapat di ambil beberapa pengertian tentang pendidikan Islam yaitu: 1) Sebagai usaha bimbingan ditujukan untuk mencapai keseimbangan pertumbuhan jasmani dan rohani menurut ajaran Islam; 2) Suatu usaha sadar untuk mengarahkan dan mengubah tingkah laku individu untuk mencapai pertumbuhan kepribadian yang sesuai dengan ajaran Islam dalam proses pendidikan melalui latihan-latihan akal pikiran indera dalam seluruh aspek kehidupan manusia. 3) Bimbingan secara sadar dan terus menerus yang sesuai dengan kemampuan dasar (fitrah) dan kemampuan ajarnya. (pengaruh dari luar), secara individual maupun kelompok sehingga manusia mampu menghayati, memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara utuh dan benar. B. Pembaharuan Pendidikan Islam Dalam kamus besar bahasa Indonesia, pembaruan berasal dari kata „Baru” yang artinya proses, cara, perbuatan membarui dan proses mengembangkan kebudayaan terutama dilapangan teknologi dan ekonomi17. Dalam bahasa Arab, yang memiliki kesepadanan makna dengan kata pembaruan adalah tajdid,

15 Soimun Endarto, Op.Cit h. 5 16 Dewi Istiana, Op. Cit, h. 23 17Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga(Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 109 18

maknanya antara lain: renewal, innovation, reorganization, reform, dan modernization. 18 yaitu memperbarui atau memodernkan. Menurut Harun Nasution pembaruan atau modernisasi dalam masyarakat Barat mengandung arti pikiran, aliran, gerakan dan usaha untuk mengubah paham-paham, adat istiadat, untuk disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh perubahan dan keadaan, terutama oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.19 Dilihat dari pendapat tersebut, pembaruan identik dengan dengan modernisasi dan reformasi. M. Quraish Shihab menyebutkan bahwa di dalam pembaruan terdapat syarat pokok tertentu. Pembaruan dapat terlaksana akibat pemahaman dan penghayatan nilai-nilai al-Qur‟an, serta kemampuan memanpaatkan dan menyesuaikan diri dengan hukum-hukum sejarah (lihat: Q.S. 36:62; 35:43). Dari ayat-ayat al-Qur‟an tersebut dipahami bahwa pembaruan baru dapat terlaksana bila dipenuhi dua syarat pokok: (a). adanya nilai atau ide, dan (b). adanya pelaku yang menyesuikan diri dengan nilai-nilai tersebut20 Jika dilihat dari definisi di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pembaruan adalah suatu proses perubahan ke arah perbaikan dalam rangka memperbaiki tatanan atau sistem lama yang dianggap tidak relevan lagi agar dapat disesuaikan dengan perkembangan jaman sekarang ini. Kaitannya dengan pengertian pembaruan pendidikan Islam berarti upaya untuk melakukan perubahan dengan pembaruan dalam pendidikan Islam ke arah yang lebih berkualitas sesuai dengan tuntunan jaman dengan tetap berpedoman pada al- Qur‟an dan Sunnah. Berbicara tentang pembaruan tidak akan terlepas dari orang yang melakukan pembaruan itu sendiri. Pembaru adalah sebutan bagi orang yang akan melakukan pembaruan. Seorang pembaharu menurut Abdul Hakim Abdat haruslah seorang yang berilmu dan memahami betul ilmu agama secara zahir

18 J. Milten Cowan, A Dictionary of Modern Written Arabic, (New York: t.t. 1971), h. 114 19 Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Sejarah Pemikiran dan Gerakan (Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 11 20 M. Quraish Shihab, “Membumikan” Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, I992), h. 43 19

maupun batin. Selain itu, dia juga harus senantiasa menghidupkan dan mengajak umat kepada al-Qur‟an dan sunnah. Dan dalam amaliyahnya bersih dari syirik dan bid‟ah. 21 Sementara itu Dr. Taufik Abdullah menyatakan bahwa kaum pembaharu bukanlah kedudukan yang diangkat dan juga bukan berdasarkan pilihan banyak orang . Pembaru adalah bagaimana seseorang yang mau menghubungkan dirinya dengan cita-cita dan nilai. Karena nya pembaru pemikiran dibimbing oleh suatu misi tertentu. Seseorang kaum modernis dituntut untuk dapat menganalisis permasalahan masyarakat secara jujur dan objektif, apa adanya tanpa dipengaruhi oleh hal-hal lain. Penilaian yang jujur dan objektif itu diharapkan akan lahir analisis-analisis yang bermanfaat bagi masyarakat. 22 Timbulnya pembaruan pemikiran Islam di Indonesia baik dalam bidang agama, sosial dan pendidikan di awali dan dilatarbelakangi oleh pembaruan pemikiran Islam yang timbul dibelahan dunia Islam lainnya, terutama oleh pembaruan pemikiran Islam yang timbul di Mesir, Turki dan India. Latar belakang pembaruan yag timbul di Mesir dimulai sejak kedatangan Napoleon ke Mesir. Mesir yang mempunyai Kairo sebagai ibukota dengan Universitas Al- Azhar yang didirikan pada 358 H (969 M), merupakan pusat peradaban Islam dan kekuatan politik yang besar pengaruhnya di dunia Islam pada masa lampau. Turki sendiri merupakan salah satu dari tiga negara besar di dunia Islam abad ke enam belas dan abad kedelapan belas, ketika Eropah, Inggris dan Perancis belum muncul sebagai negara yang berpengaruh dalam politik internasional. Bahkan kerajaan Utsmani menguasai daratan Eropah dan Istanbul sampai ke pintu gerbang kota Wina. Adapun India dengan berdirinya kerajaan Mughal merupakan negara kedua dari tiga negara besar tersebut di atas. Delhi merupakan pusat kekuasaan dan kebudayaan Islam di dunia Islam bagian Timur.23

21 Abdul Hakim Abdat, al-Masail; Masalah-Masalah Agama (Jakarta: Darul Qalam, 2001), h.171 22 Taufik Abdullah, Misi Intelektual, dalam Panji Masyarakat, (Jakarta: Yayasan Nurul Islam, I981), h. 13 23 Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran , (Bandung: Mizan. 1996), h. 151 20

Steenbrink sebagaimana dikutip oleh Haidar Putra Daulay menyebutkan ada beberapa faktor pendorong bagi pembaruan pendidikan Islam di Indonesia pada permulaan abad kedua puluh, yaitu: 1 Sejak tahun 1900 telah banyak pemikiran untuk kembali ke al-Qur‟an dan Sunah yang dijadikan titik tolak untuk menilai kebiasaan agama dan kebudayaan yag ada. Tema sentralnya adalah menolak taklid. dengan kembali ke Al-Qur‟an dan sunah mengakibatkan perubahan dalam bermacam-macam kebiasaan agama 2 Dorongan kedua, adalah sifat perlawanan nasional terhadap penguasa kolonial Belanda 3 Dorongan ketiga, adalah upaya adanya usaha-usaha dari umat Islam untuk memperkuat organisasinya di bidang sosial ekonomi 4 Dorongan keempat, berasal dari pembaruan pendidikan Islam. Dalam bidang ini cukup banyak orang dan organisasi Islam, tidak puas dengan metode tradisional dalam mempelajari Qur‟an dan studi agama.24 Gagasan tentang pembaruan pendidikan Islam mempunyai akar historis dalam gagasan tentang pembaruan pendidikan Islam dan institusi Islam secara keseluruhan. Dengan kata lain, pembaruan pendidikan Islam tidak bisa dipisahkan dengan kebangkitan gagasan dan program pembaruan Islam. Kerangka dasar yang berada dibalik pembaruan Islam secara kesluruhan adalah bahwa pembaruan pemikiran dan kelembagaan Islam merupakan prasyarat bagi kebangkitan umat Islam di masa modern. Oleh karena itu pemikiran dan kelembagaan Islam termasuk pendidikan haruslah diperbarui. Mempertahankan pemikiran dan kelembagaan Islam “tradisional” hanya akan memperpanjang nestapa ketidak berdayaan umat Muslim dalam berhadapan dengan kemajuan dan modern. 25 Gagasan pembaruan yang menemukan momentumnya sejak awal abad ke-20 telah mengalami beberapa perubahan baik dalam bentuk kebangkitan agama, perubahan, maupun pencerahan dengan munculnya beberapa tokoh-tokoh

24 H. Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Prenada Media Group, 2007), h. 44 25 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2000), h. 31 21

pembaru pemikiran Islam di Indonesia. Para pembaru itu banyak bergerak dibidang organisasi sosial, pendidikan dan politik. Diantaranya Syekh Muhammad Jamil Jambek, Haji Karim Amirullah dan Zainudin Labai Yunusi, yang kesemuanya dari Minangkabau. Bila diklasifikasikan bentuk dan jenis lembaga pendidikan Islam pada masa penjajahan Belanda pada awal dan pertengahan abad ke-20, adalah: 1. Lembaga pendidikan pesantren yang masih berpegang secara utuh kepada budaya dan tradisi pesantren, yakni mengajarkan kitab-kitab klasik semata- mata 2. Lembaga pendidikan sekolah-sekolah Islam, di lembaga ini di samping mengajarkan ilmu-ilmu umum sebagai materi pokoknya, juga mengajarkan ilmu-ilmu agama. 3. Lembaga pendidikan madrasah, lembaga ini adalah mencoba mengadopsi sistem pesantren dan sekolah, dengan menampilkan sistem baru. Ada unsur- unsur yang diambil dari pesantren dan ada pula unsur-unsur yang diambil dari sekolah. 26 Pembaruan pendidikan Islam di Indonesia ini dimulai dengan munculmya sekolah Adabiyah. Sekolah ini adalah setara dengan sekolah HIS, yang di dalamnya agama dan Qur‟an di ajarkan secara wajib. Dalam tahun 1915, sekolah ini menerima subsidi dari pemerintah dan mengganti namanya menjadi Hollandsch Maleische School Adabiyah27 Menurut Mahmud Yunus sekolah Adabiyah ini adalah sekolah (agama) yang pertama memakai sistem klasikal, berbeda dengan pendidikan di surau-surau yang tidak berkelas-kelas, tidak memakai bangku, meja, papan tulis, hanya duduk bersila saja.28

C. Pola-pola Pembaruan Pendidikan Islam Dengan memperhatikan berbagai macam sebab kelemahan dan kemunduran umat Islam sebagaimana nampak pada masa sebelumnya dan dengan

26 H. Haidar Putra Daulay,Op.Cit, h. 36 27 Ibid, h. 44 28 Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidayakarya Agung, 1979), h. 63 22

memperhatikan sebab-sebab kemajuan dan kekuatan yang di alami oleh bangsa- bangsa Eropa maka pada garis besarnya terjadi tiga pola pemikiran pembaharuan pendidikan Islam. Di antaranya: 1. Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada pola pendidikan modern Golongan yang berorientasi pada pola pendidikan modern di Barat, pada dasarnya mereka berpandangan bahwa sumber kekuatan dan kesejahteraan hidup yang di alami oleh orang Barat adalah sebagai hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern yang mereka capai. Mereka juga berpendapat bahwa apa yang dicapai oleh bangsa-bangsa Barat sekarang tidak lain adalah merupakan pengembangan dari ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang pernah berkembang di dunia Islam. Atas dasar demikian maka untuk mengembalikan kekuatan dan dan kejayaan umat Islam, sumber kekuatan dan kesejahteraan tersebut harus dikuasai kembali. Dalam hal ini usaha pembaharuan pendidikan Islam adalah dengan jalan mendirikan sekolah-sekolah dengan pola sekolah Barat, baik sistem maupun isi pendidikannya. Disamping itu pengiriman pelajar-pelajar ke dunia Barat terutama ke Perancis untuk menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi modern tersebut banyak dilakukan oleh penguasa-penguasa diberbagai negeri Islam. Pembaharuan pendidikan Islam dengan pola Barat ini mulanya timbul di Turki Usmani pada akhir abad ke 11 H/17 M setelah mengalami kalah perang dengan berbagai Negara Eropa Timur pada masa itu, yang merupakan benih bagi timbulnya usaha sekularisasi Turki yang berkembang kemudian dan membentuk Turki modern Sultan Mahmud II (yang memerintah Turki Usmani 1807-1839 M) adalah pelopor pembaharuan pendidikan di Turki. Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan madrasah tradisional ini tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad kesembilan belas. Sultan Mahmud II mengeluarkan perintah supaya anak sampai umur dewasa jangan dihalangi masuk madrasah. Selain itu Sultan Mahmud II juga mengirimkan siswa-siswa ke Eropah untuk memperdalam ilmu pengetahuan dan teknologi lansung dari sumber pengembangan. Setelah mereka pulang ke tanah air mereka banyak berpengaruh 23

terhadap usaha-usaha penbaharuan pendidikan. Dari mereka ini pula berkembangnya paham sekularisme di Turki kemudian diterapkan secara mantap sekarang ini. Pola pembaharuan pendidikan yang berorientasi ke Barat ini, juga nampak dalam usaha Muhammad Ali Pasya di Mesir, yang berkuasa pada tahun 1805- 1848. Muhammad Ali Pasya dalam rangka memperkuat kedudukannya dan sekaligus melaksanakan pembaharuan pendidikan di Mesir, mengadakan pembaharuan dengan jalan mendirikan berbagai macam sekolah yang meniru sistem pendidikan dan pengajaran Barat. 29

2. Pola pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada sumber Islam yang murni. Pola ini berpandangan bahwa sesungguhnya Islam sendiri merupakan sumber bagi kemajuan dan perkembangan peradaban dan ilmu pengetahuan modern. Islam sendiri sudah penuh dengan ajaran-ajaran dan pada hakekatnya mengandung potensi untuk membawa kemajuan dan kesejahteraan serta kekuatan bagi umat manusia. Dalam hal ini Islam telah membuktikannya pada masa-masa kejayaannya. 30 Menurut analisa mereka diantara sebab-sebab kelemahan umat Islam adalah karena mereka tidak lagi melaksanakan ajaran agama Islam secara semestinya. Ajaran-ajaran Islam yang menjadi sumber kemajuan dan kekuatan ditinggalkan dan menerima ajaran ajaran-ajaran Islam yang tidak murni lagi. Hal tersebut mandegnya filsafat Islam, diinggalkannya pola pemikiran nasional dan kehidupan umat Islam telah diwarnai oleh pola kehidupan yang bersifat pasif. Disamping itu, dengan mandeknya perkembangan fiqih yang ditandai penutupan pintu ijtihad, umat Islam telah kekurangan daya untuk mengatasi problematika hidup yang menantangnya sebagai akibat dari perubahan dan perkembangan zaman.

29 Zuhairini dkk, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta: 1986), h. 116-120 30 Fadil SJ, Pasang Surut Peradaban Islam dalam Lintasan Sejarah (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 246-247 24

Pola pembaharuan ini di rintis oleh Muhammad bin Abd Al-Wahab, kemudian dicanangkan kembali oleh Jamaludin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Menurut Jamaludin al-Afghani, pemurnian ajaran agama Islam dengan kembali ke Al-Qur‟an dan Al-Hadist dalam arti yang sebenarnya tidaklah mungkin. Ia berkeyakinan bahwa Islam adalah sesuai dengan semua bangsa, semua zaman dan semua keadaan. Menurut Muhammad Abduh, bahwa pengetahuan modern dan Islam adalah sejalan dan sesuai, karena dasar ilmu pengetahuan modern adalah sunnatulah sedangkan dasar Islam adalah wahyu Allah swt. Kedua-duanya berasal dari Allah swt. Oleh karena itu umat Islam harus menguasai keduanya. 31

3. Usaha pembaharuan pendidikan Islam yang berorientasi pada nasionalisme Rasa nasionalisme timbul bersamaan dengan berkembangnya pola kehidupan modern dan di mulai dari Barat. Bangsa-bangsa Barat mengalamai kemajuan rasa nasionalisme yang kemudian menimbulkan kekuatan-kekuatan politik yang berdiri sendiri. Keadaan tersebut mendorong pada umumnya bangsa- bangsa Timur dan bangsa terjajah lainnya untuk mengembangkan nasionalisme masing-masing. Umat Islam mendapati kenyataan bahwa mereka terdiri dari berbagai bangsa yang berbeda latar belakang dan sejarah perkembangan kebudayaannya. Mereka pun hidup bersama dengan orang-orang yang beragama lain tapi sebangsa. Inilah yang juga mendorong perkembangannya rasa nasionalisme di dunia Islam. Disamping itu, adanya keyakinan dikalangan pemikir-pemikir pembaharuan di kalangan umat Islam, bahwa pada hakekatnya ajaran Islam bisa diterapkan dan sesuai dengan segala jaman dan tempat. Oleh karena itu, ide pembaharuan yang berorientasi pada nasionalisme inipun bersesuaian dengan ajaran Islam. Ide kebangsaan atau nasionalisme inilah yang pada tahap perkembangan berikutnya mendorong timbulnya usaha-usaha merebut kemerdekaan dan

31 Widda Djuhan, Sejarah Pendidikan Islam Klasik, (Ponorogo: LPPI STAIN, 2010), h. 69-70 25

mendirikan pemerintahan sendiri di kalangan bangsa-bangsa pemeluk Islam. Dalam bidang pendidikan umat Islam yang telah membentuk pemerintahan nasional tersebut mengembangkan sistem dan pola pendidikan nasionalnya sendiri-sendiri.32

D. Pendidik dan Peserta Didik dalam Pendidikan Islam 1 Pendidik Menurut Pendidikan Islam Salah satu unsur penting dari proses kependidikan adalah pendidik. Di pundak pendidik terletak tanggung jawab yang amat besar dalam upaya mengantarkan peserta didik kearah tujuan pendidikan yang dicita-citakan. 33 Dalam pendidikan Islam, pendidik memiliki arti dan peranan sangat penting, hal ini disebabkan ia memiliki tanggung jawab dan menentukan arah pendidikan.34 Secara umum, pendidik adalah orang yang memiliki tanggung jawab untuk mendidik. Sementara secara khusus, pendidik dalam persepektif pendidikan Islam adalah orang-orang yang bertanggungjawab terhadap perkembangan peserta didik dengan mengupayakan perkembangan seluruh potensi peserta didik, baik potensi afektif, kognitif maupun psikomotorik sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Berdasarkan pengertian di atas maka dapat dipahami bahwa pendidik dalam perspektif pendidikan Islam merupakan orang yang bertanggungjawab terhadap upaya perkembangan jasmani dan rohani peserta didik agar mencapai tingkat kedewasaan sehingga ia mampu menunaikan tugas-tugas kemanusiaannya (baik sebagai khalifah fi al-ardh maupun abd). Sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam. Islam telah mengajarkan bahwa tanggung jawab pendidik yang pertama dan utama terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik ialah orang tua. Firman Allah:

32 Zuhairini dkk, Op. Cit, h. 122-123 33 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Parktis (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 41 34 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Ilmu Pendidikan (Jakarta: Rieneka Cipta, 2001), h. 91 26

Artinya: “ Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan anggota keluargamu dari api neraka. 35 Dirimu yang disebut dalam ayat itu adalah diri orang tua anak tersebut, yaitu ayah dan ibu; “anggota keluarga” dalam ayat ini ialah terutama anak- anaknya36.

2. Peserta Didik Menurut Pendidikan Islam Di antara komponen terpenting dalam Pendidikan Islam adalah peserta didik. dalam perspektif pendidikan Islam, peserta didik merupakan subjek dan objek. Oleh karenanya, aktifitas kependidikan tidak akan terlaksana tanpa keterlibatan peserta didik di dalamnya. Pengertian yang utuh tentang konsep peserta didik merupakan salah satu faktor yang perlu diketahui dan dipahami oleh semua pihak, terutama pendidik yang terlibat langsung dalam proses pendidikan. Dalam paradigma pendidikan Islam, peserta didik merupakan orang yang belum dewasa dan memiliki sejumlah potensi (kemampuan) dasar yang masih perlu dikembangkan. Di sini, peserta didik merupakan mahluk Allah yang memiliki fithrah jasmani maupun rohani yang belum mencapai taraf kematangan baik bentuk, ukuran, maupun perimbangan pada bagian-bagian lainnya. Dari segi rohaniah, ia memiliki bakat, kehendak, perasaan dan pikiran yang dinamis serta perlu dikembangkan. 37

E. Kurikulum Pendidikan Islam Secara etimologis kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu curir yang artinya pelari atau curere yang berarti jarak yag harus ditempuh oleh pelari. Istilah ini pada mulanya digunakan dalam dunia olah raga yang berarti “a lite reca course” (suatu jarak yang harus ditempuh dalam pertandingan olah raga). Berdasar pengertian ini, dalam konteksnya dengan dunia pendidikan, memberinya

35 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 2004), h. 1148 36 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perpektif Islam (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, I992), h. 74 37 Samsul Nizar, Op.Cit, h. 47 27

pengertian sebagai “circle of instruction” yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat di dalamnya. Dalam kosa kata Arab, istilah kurikulum dikenal denga kata manhaj yang berarti jalan yang terang yang dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupannya. Apabila pengertian ini kaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum berarti jalan terang yang dilalui pendidik untuk menghantarkan, mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan sikap sesuai tujuan tertentu. 38 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa kurikulum yaitu landasan yang digunakan pendidik untuk membimbing peserta didiknya ke arah tujuan pendidikan yang dinginkan melalui akumulasi sejumlah pengetahuan, keterampilan dan sikap mental.

F. Aspek-aspek Yang Terkandung Dalam Kurikulum 1) Tujuan pendidikan yang akan dicapai oleh kurikulum itu 2) Pengetahuan, ilmu-ilmu, data, aktifis, pengalaman yang menjadi sumber terbentuknya kurikulum itu. 3) Metode dan cara mengajar dan bimbingan yang dikuti oleh murid-murid untuk mendorong mereka kearah yang dikehendaki oleh tujuan yang dirancang. 4) Metode dan cara penilaian yang digunakan dalam mengukur hasil proses pendidikan yang dirancang dalam kurikulum39

Pendapat para ahli tentang Bahan Kurikulum A. Imam al-Ghazali 1). Ilmu-ilmu yang fardhu ain meliputi ilmu-ilmu agama yakni ilmu-ilmu yang bersumber dari al-Qur‟an. 2). Ilmu-ilmu yang fardhu kifayah, terdiri dari ilmu-ilmu yang dapat dimanfaatkan dalam urusan keduniawian seperti ilmu hitung, kedokteran, pertanian dan lain-lain.

38 Ibid, h. 56 39 Jalaludin dan Said, Pendidikan Islam, h. 44 28

B. Ibn Sina 1). Ilmu nadari atau ilmu teoritis, yang meliputi ilmu alam, ilmu matematika dan sebagainya. 2). Ilmu-ilmu amali (praktis) yang terdiri dari beberapa ilmu pengetahuan yang prinsip-prinsipnya berdasarkan atas sasaran-sasaran analisisnya. C. Ibn Khaldun 1). Ilmu lisan yang meliputi lughah, nahwu, saraf, balaghah, dan lain sebagainya. 2). Ilmu naqli yaitu ilmu-ilmu yag dinukil dari kitab suci al-Qur‟an dan Sunnah Nabi. 3). Ilmu aqli ialah ilmu yang dapat menunjukan manusia melalui daya kemampuan berpikirnya kepada filsafat dan semua jenis ilmu mantiq, ilmu alam, ilmu teknik dan lain-lain. 40 Dari uraian di atas tentang bahan kurikulum yang dikemukakan para ahli dapat penulis tarik satu kesimpulan bahwa dalam penyusunan kurikulum pendidikan Islam tidak ada pemisahan antara ilmu yang bernuansa keagamaan dan umum (keduniawian). Dengan hal ini diharapkan pendidikan Islam yang bertujuan untuk mengaktualisasikan secara penuh dan seimbang antara aspek jasmani dan rohani bisa dicapai dan mampu menjadi khalifah fil ardhi.

40 Abu Ahmadi dan Nur Uhbiyati, Op. Cit, h. I70 29

BAB III METODOLOGI PENELITIAN BIOGRAFI DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT K.H. AHMAD DAHLAN

A. Riwayat Hidup Singkat KH. Ahmad Dahlan KH. Ahmad Dahlan yang pada waktu kecilnya bernama Muhammad Darwis. Beliau dilahirkan di Kauman Yogyakarta dari pernikahan Kyai Haji Abu Bakar dengan Siti Aminah yang lahir pada tahun 1285 H (1868 M) dan meninggal pada tanggal 25 Februari 1923. Ayah nya yang bernama Kyai Haji Abu Bakar adalah Khatib di Masjid Agung Kesultanan Yogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti Aminah, putri K.H.Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton Yogyakarta.1 Dalam silsilah, Darwis termasuk keturunan ke-12 dari Maulana Malik Ibrahim, seorang wali terkemuka di antara Wali Songo yang merupakan pelopor pertama dari penyebaran dan pengembangan Islam di Tanah Jawa. Adapun silsilahnya ialah Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) bin K.H. Abu Bakar bin K.H. Muhammad Sulaiman bin Kiai Murtadla bin Kiai Ilsyas bin Demang Djurung Djuru Kapindo bin Demang Djurung Djuru Sapisan bin Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribig (Djatinom) bin Maulana Muhammad Fadlulah (Prapen) bin Maulana „Ainul Yaqin bin Maulana Ishaq bin Maulana Malik Ibrahim.2 Silsilah diatas ditegaskan kembali oleh Hery Sucipto dalam bukunya, yakni K.H. Ahmad Dahlan termasuk keturunan yang kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim. Jika diruntut silsilahnya tersebut ialah Maulana Malik Ibrahim, Maulana Ishaq, Maulana „Ainul Yaqin, Maulana Muhammad Fadlullah (Sunan Prapen), Maulana Sulaiman Ki Ageng Gribing (Djatinom), Demang Djurung Djuru Sapisan, Demang Djurung Djuru Kapindo, Kyai Ilyas, Kyai Murtadlo, K.H.

1 H. Syamsu Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002), h. 100 2 Adi Nugroho, K.H. Ahmad Dahlan : Biografi Singkat 1868-1923 (Jogjakarta: Garasi House of Book, 2001), h. 19-20

29 30

Muhammad Sulaiman, K.H. Abu Bakar, dan Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan).3 Ketika Muhammad Darwis berumur 18 tahun, orang tuanya bermaksud menikahkannya dengan putri dari K.H. Muhammad Fadlil yang bernama Siti Walidah. Setelah orang tua dari kedua belah pihak berunding, maka pernikahan dilangsungkan pada bulan Dzulhijjah tahun 1889 dalam suasana yang tenang. Siti Walidah inilah yang kelak dikenal sebagai Nyai Ahmad Dahlan, sosok pendiri dan pahlawan nasional.4 Dari perkawinannya dengan Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan mendapat enam orang anak yaitu, Djohanah, Siradj Dahlan, Siti Busyro, Irfan Dahlan, Siti Aisyah, Siti Zaharah.5 Setelah menikahi Siti Walidah, K.H. Ahmad Dahlan pernah menikahi Nyai Abdullah, janda H. Abdullah. Ia juga pernah menikahi Nyai Rum, adik K.H. Munawwir dari Krapyak. K.H. Ahmad Dahlan juga mempunyai putra dari pernikahannya dengan Nyai Aisyah (Adik Adjengan Penghulu) dari Cianjur. Anak laki-laki itu bernama Dandanah. K.H. Ahmad Dahlan bahkan pernah menikah dengan Nyai Yasin dari Pakualaman.6

B. Riwayat Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan Muhmmad Darwis mengawali pendidikan di pangkuan ayahnya di rumah sendiri. Darwis mempunyai sifat yang baik, berbudi pekerti halus, dan berhati lunak,tetapi juga berwatak cerdas. Sejak usia balita, kedua orang tua Darwis sudah memberikan pendidikan agama. Sejak kecil Muhammad Darwis diasuh dalam lingkungan pesantren, yang membekalinya pengetahuan agama dan bahasa Arab. Disamping itu, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur‟an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Pada usia 15 tahun (1883), ia sudah menunaikan ibadah haji, yang kemudian dilanjutkan dengan menuntut ilmu agama dan bahasa arab di Makkah selama lima tahun. Ia

3 Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan , Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2000), h. 50 4 Adi Nugroho, Op.Cit, h. 20-21 5 www. google.com, di akses tanggal 26 Maret 2014, Pukul 14.35 WIB 6 Adi Nugroho, Op Cit, h. 22 31

pun semakin intens berinteraksi dengan pemikiran-pemikiran pembaharu dalam dunia Islam, seperti Muhammad Abduh, al-Afghani, Rasyid Ridha, dan ibnTaimiyah. Interaksi dengan tokoh-tokoh Islam pembaharu itu sangat berpengaruh pada semangat, jiwa dan pemikiran Darwis. Semangat, jiwa dan pemikiran itulah kemudian diwujudkannya dengan menampilkan corak keagamaan yang sama melalui Muhammadiyah. Bertujuan untuk memperbaharui pemahaman keagamaan (ke-Islaman) di sebagian besar dunia Islam saat itu yang masih bersifat ortodoks (kolot). Ahmad Dahlan memandang sifat ortodoks itu akan menimbulkan kebekuan ajaran Islam, serta stagnasi dan dekadensi (keterbelakangan) ummat Islam. Maka, ia memandang, pemahaman keagamaan yang statis itu harus diubah dan diperbaharui, dengan gerakan purifikasi atau pemurnian ajaran Islam dengan kembali kepada al-Qur'an dan al-Hadits.7 Bisa dikatakan, bahwa sudah sejak kanak-kanak beliau diberikan pelajaran dan pendidikan agama oleh orang tuanya, oleh para guru (ulama) yang ada dalam masyarakat lingkungannya. Ini menunjukan bahwa rasa keagamaan K.H. Ahmad Dahlan tidak berdasarkan naluri, melainkan juga melalui ilmu-ilmu yang diajarkan kepadanya. Ketika berusia delapan tahun, Darwis sudah bisa membaca Al-Quran dengan lancar sampai khatam. Darwis juga bisa mempengaruhi teman- teman sepermainannya dan menang dalam jenis-jenis permainan bersama teman- temannya. Sejak kecil, Darwis hidup dalam lingkungan yang tenteram dan masyarakat yang sejahtera. Dia selalu hidup berdampingan dengan kedua orang tua, kerabat, dan alim ulama yang menyejukan. Tidak heran jika Darwis mempunyai budi pekerti yang baik dan akhlak yang suci.8 Model pembelajaran homeschooling sesungguhnya bukan hal baru dalam dunia pendidikan, karena banyak orang besar di negeri ini justru mendapatkan ilmu bukan dari proses pendidikan formal di bangku sekolah. Demikian pula yang terjadi pada K.H. Ahmad Dahlan. Dalam didikan ayahnya dan ditambah lingkungan yang mendukung, kepiawaian dan potensi dasar yang dimiliki oleh K.H. Ahmad Dahlan muncul dengan sendirinya sehingga terbentuklah pribadi muslim

7 www. google.com, di akses tanggal 27 Maret 2014, Pukul 10.00 WIB 8 Adi Nugroho, Op.Cit, h. 20 32

Indonesia yang memiliki wawasan keilmuan yang luas dan memiliki kedalaman spirirual dan keagungan akhlak yang menjadikan beliau disegani oleh teman- teman sebayanya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira‟at Al-Qur‟an), serta beberapa guru lainnya.9 Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya. Setelah beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun. Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903, ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh Muhammad Khatib al- Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah, dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah, Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, dan lain sebagainya. Melalui kitab-kitab yang dikarang oleh reformer Islam, telah membuka wawasan Dahlan tentang Universalitas Islam. Ide-ide tentang reinterpretasi Islam dengan gagasan kembali kepada Al-Qur‟an dan Sunnah mendapat perhatian khusus Dahlan saat itu. Sekembalinya dari Mekkah, ia mengganti namanya menjadi Haji Ahmad Dahlan, yang diambil dari nama seorang mufti yang terkenal dari Mazhab Syafi‟i di Mekkah, yaitu Ahmad bin Zaini Dahlan. Ia membantu ayahnya mengajar pengajian anak-anak. Keadaan ini

9 www. google.com, di akses tanggal 27 Maret 2014, Pukul 13.00 WIB

33

telah menyababkan pengaruh Ahmad Dahlan semakin luas di masyarakat sehingga ia diberi gelar “Kiai.” Sebagai seorang kiai, ia dikategorikan sebagai ngulomo (ulama) atau intelektual.10 Dan karena keuletan serta kesungguhan dalam belajar agama, sosok K.H. Ahmad Dahlan pada waktu itu dikenal sebagai seorang ulama oleh kiai-kiai lain. Hal ini disebabkan karena seorang Ahmad Dahlan tidak pernah merasa puas dengan hanya belajar dari satu guru. Berbagai guru dari beragam disiplin ilmu sudah dia temui, sebagaimana yang sudah disebutkan di atas. Penjelasan di atas menerangkan bahwa, pada seumuran beliau waktu itu, K.H. Ahmad Dahlan terkenal memiliki pemikiran yang cerdas dan bebas. Memiliki akal budi yang baik. Pendidikan agama yang diterimanya dipilih secara selektif. Tidak hanya itu, tetapi sesudah dipikirkan dibawa dalam perenungan- perenungan, ingin dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Disinilah yang menentukan K.H. Ahmad Dahlan sebagai subyek yang nantinya mendorong berdirinya Muhammadiyah. Jiwa agamanya bukan hanya berdasar semangat tetapi juga berdasar ilmu dan pendidikan. Agama diterima dengan pemikiran yang sungguh-sungguh dengan hati yang sebenar-benarnya. Sehingga lahir dan batin diri K.H. Ahmad Dahlan itu betul-betul merupakan penghayatan agama.

C. Pemikiran Pendidikan K.H. Ahmad Dahlan Secara umum, pendidikan Islam pada masa penjajahan dapat dipetakan dalam dua periode besar; masa penjajahan Belanda dan pada masa penjajahan Jepang. Sebagaimana diketahui pada abad 17 hingga 18 M, bidang pendidikan di Indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol ketat VOC. Dan pada masa ini kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Pendidikan diadakan hanya untuk memenuhi kebutuhan para pegawai VOC dan keluarganya di samping untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja muda terlatih dari kalangan penduduk pribumi. Pada masa pemerintahan Daendels, pihak penjajah beranggapan bahwa sekolah-sekolah pemerintah tidak banyak memberikan manfaat bagi kepentingan penjajah. Bahkan

10 www. google.com, di akses tanggal 27 Maret 2014, Pukul 15.00 WIB 34

menurutnya Mohammedaans gods dienst onderwys tidak perlu diadakan, karena hanya merupakan alat meninggikan akhlak rakyat saja dan dianggap sumber semangat perjuangan rakyat. Untuk itu, diadakanlah peraturan umum yang mengatur tentang persekolahan (Stbl. 1818 No.4) yang diantaranya berisi mengenai larangan memberikan pelajaran dalam kelas tanpa izin dari Gubernur Jenderal.11 Akan tetapi, dalam praktek kesehariannya lembaga pendidikan ini pada dasarnya memperoleh dukungan dan bantuan dari pemerintah penjajah. Sehingga dalam proses pembelajarannya berjalan dengan maksimal dan sesuai dengan apa yang diharapkan oleh para penjajah. Dimana mereka menyiapkan amunisi muda berbakat sebagai pegawai dan budak penjajah. Sementara lembaga pendidikan Islam, yakni pesantren dianaktirikan oleh mereka dan tidak mendapatkan perhatian sama sekali dari penjajah, karena dipandang sebagai tempat untuk memupuk semangat juang untuk memperoleh kemerdekaan. Oleh karena hal itu, kegiatan di lembaga pendidikan Islam dirasa menjadi ancaman bagi para penjajah pada saat berkuasa di Indonesia. Walaupun demikian, lembaga pendidikan Islam tetap bertahan bahkan semakin menunjukan eksistensinya. Terbukti pada awal abad 17, di pulau Jawa terdapat pesantren Sunan Malik Ibrahim di Gresik, selanjutnya Sunan Bonang di Tuban, Sunan Ampel di Surabaya, Sunan Giri di Sidomukti dan sebagainya. Kemudian pada pertengahan abad 17, juga dapat diketahui dan dikenal tokoh-tokoh dari Sumatera Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani (1693), Nuruddin Arraniri (1658), Abdurrauf Singkil (1693) dan S. Burhanuddin (1693) di Sumatera Tengah. Tidak hanya itu, pondok pesantren juga saat itu mulai menyebar di daerah Madura, Lombok, Sulawesi, Ternate dan lainnya.12 Uraian di atas menggambarkan bahwa meskipun pada waktu penjajah mendominasi Indonesia, akan tetapi berkat kegigihan dan semangat untuk tetap mempertahankan nilai-nilai Islam di bumi pertiwi, maka mereka tetap mendirikan lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren, yang meskipun pada prakteknya

11 Hery Sucipto, K.H. Ahmad Dahlan Sang Pencerah, Pendidik dan Pendiri Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media Utama, 2010), h. 104-105 12 Ibid, h. 105-106 35

pesantren tersebut tidak mendapatkan respon dan bahkan di anaktirikan oleh pemerintah penjajah dengan alibi akan mempersempit ruang gerak mereka dalam menguasai bangsa Indonesia. Meskipun demikian pondok pesantren tersebut kian lama kian meningkat di beberapa daerah yang sudah disebutkan diatas. Secara umum sistem dan prinsip pendidikan yang digunakan dalam lembaga pendidikan pada masa VOC terdiri dari: 1. Pendidikan Dasar 2. Sekolah Latin 3. Seminarium Theologicum (Sekolah Seminari) 4. Academieder Marine (Akademi Pelayanan) 5. Sekolah Cina 6. Pendidikan Islam Adapun prinsip yang digunakan oleh pemerintah Belanda yang diambil sebagai dasar kebijakannya di bidang pendidikan antara lain adalah sebagai berikut: 1. Menjaga jarak atau tidak memihak salah satu agama tertentu. 2. Memerhatikan keselarasan dengan lingkungan sehingga anak didik kelak mampu mandiri atau mencari penghidupan guna mendukung kepentingan kolonial. 3. Sistem pendidikan diatur menurut pembedaan lapisan sosial, khususnya yang ada di Jawa. 4. Pendidikan diukur dan diarahkan untuk melahirkan kelas elit masyarakat yang dapat dimanfaatkan sebagai pendukung supremasi politik dan ekonomi pemerintah kolonial.13 Sangat terlihat jelas bahwa pendidikan yang digawangi oleh pemerintahan Belanda lebih bercorak politis. Dimana output yang dikehendaki adalah sebagai pekerja yang siap mengabdikan dirinya pada pemerintah Belanda yang pada akhirnya tidak memberikan peluang kepada masyarakat Indonesia untuk menikmati pendidikan pada masa itu. Disamping itu, pendidikan yang di tanamkan oleh pemerintah Belanda bersifat elitis, dimana masyarakat yang tingkat perekonomiannya pada taraf menengah kebawah tidak diperbolehkan masuk

13 Ibid, h. 106 36

dalam lembaga pendidikan yang didirikan oleh pemerintah Belanda. Selanjutnya adalah pendidikan pada masa penjajahan Jepang. Jika melihat realitas yang terjadi pada masa penjajahan Belanda, maka itu sangat berbeda pada masa penjajahan Jepang. Menurut sejarahnya, Jepang pada masa itu sedang dihadapkan pada usaha untuk memenangkan perangnya, sehingga memaksakan dirinya untuk mendekati umat Islam. bahwa dapat dikatakan kedudukan Jepang di Indonesia sangat bergantung pada bantuan umat Islam dalam menghadapi luasnya daerah yang telah diduduki oleh sekutu dan antara umat Islam dan Jepang mempunyai kepentingan yang sama yaitu menghadapi penjajahan Barat. Pendidikan Islam pada masa penjajahan Jepang dimulai pada tahun 1942-1945 yang kemudian menerapkan beberapa kebijakan terkait bidang pendidikan yang memiliki implikasi luas terutama bagi sistem pendidikan di era kemerdekaan. Di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Menjadikan Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi pengantar pendidikan dalam upaya menggantikan bahasa Belanda. 2. Adanya integrasi sistem pendidikan dengan dihapuskannya sistem pendidikan berdasarkan kelas sosial di era penjajahan Belanda. Kebijakan di atas merupakan kebijakan yang menguntungkan bangsa Indonesia. Karena tidak disadari bahwa pada waktu itu keberadaan bangsa Indonesia sudah diakui oleh Jepang dengan terbukti seluruh lembaga pendidikan yang dalam naungan pemerintahan Jepang harus menggunakan Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidik. Kemudian tidak ada diskriminasi pendidikan, dimana seluruh masyarakat (baik yang miskin maupun yang kaya) Indonesia di perbolehkan mengikuti atau mengenyam pendidikan. Akan tetapi, penjajah tetaplah penjajah. Tanpa disadari oleh bangsa Indonesia, bahwa kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Jepang pada waktu itu adalah sebuah bentuk desain politik. Dimana pada masa itu, Jepang dalam usaha memenangkan peperangan dengan penjajah Barat. Oleh karena itu, mereka memanfaatkan masyarakat dengan memberikan kebijakan yang berpihak pada mereka, agar masyarakat Indonesia memberikan simpatinya dan bahkan rela bekerja sama dalam rangka 37

melawan penjajah Barat. Sementara itu terhadap pendidikan Islam, Jepang mengambil beberapa kebijakan antara lain: 1. Mengubah kantor Voor Islamistische Zaken pada masa Belanda yang dipimpin kaum orientalis menjadi Sumubi yang dipimpin tokoh Islam sendiri, yakni K.H. Hasyim Asy‟ari. 2. Pondok pesantren sering mendapat kunjungan dan bantuan dari pemerintah Jepang. 3. Mengizinkan pembentukan barisan Hizbullah yang mengajarkan latihan dasar seni kemiliteran bagi pemuda Islam di bawah pimpinan K.H. Zainal Arifin. 4. Mengizinkan berdirinya Sekolah Tinggi Islam di Jakarta di bawah asuhan K.H. , Kahar Muzakkir dan Bung Hatta. 5. Mengizinkan kepada ulama dan nasionalis membentuk barisan Pembela Tanah Air (PETA) yang belakangan menjadi cikal-bakal TNI di zaman kemerdekaan. 6. Mengizinkan Majelis Islam A‟la Indonesia (MIAI) terus beroperasi, sekalipun kemudian dibubarkan dan kemudian diganti dengan Majlis Syuro Muslim Indonesia (Masyumi) yang menyertakan dua ormas Islam Indonesia, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.14 Terlepas dari tujuan semula (bekerja sama untuk mengalahkan penjajahan Barat), pemerintah Jepang memfasilitasi berbagai aktivitas pemuda Islam pada waktu itu, sehingga dapat dilihat perkembangan Islam dan keadaan umatnya setelah tercapai kemerdekaan. Namun apapun yang melatarbelakanginya, sesungguhnya kaum penjajah itu sama saja, baik itu pada masa penjajah Portugis, Inggris, Belanda, atau Jepang, pada intinya mereka tidak senang pendidikan Islam berkembang pada masa pemerintahan mereka. Hal ini terbukti, pada akhir abad ke 19, pernah beberapa kali mengusulkan pondok pesantren dapat dijadikan sebagai model pendidikan untuk seluruh penduduk Bumi Putera, akan tetapi usulan tersebut ditolak oleh pemerintahan Belanda. Padahal, selama ini pondok pesantren secara finansial mampu ditopang secara mandiri kaum muslimin dan tidak pernah

14 Ibid, h. 108 38

meminta bantuan dari pemerintah penjajah. Logikanya, keberadaan pondok pesantren selama ini tidak memberatkan dan merepotkan mereka, namun karena didasari rasa kekhawatiran kalau pesantren akan berkembang pesat, justru akan menjadi kekuatan perlawanan terhadap kaum penjajah, sehingga posisinya terancam, maka hal itu tidak diluluskan oleh pemerintah Jepang. Sebagai jawaban terhadap kondisi pendidikan umat Islam yang tidak biasa merespon tantangan zaman, K.H. Ahmad Dahlan melanjutkan model sekolah yang digabungkan dengan sistem pendidikan gubernemen. Ini mengadopsi pendidikan model Barat, karena sistemnya dipandang “yang terbaik” dan disempurnakan dengan penambahan mata pelajaran agama. Dengan kata lain, ia berusaha untuk mengislamkan berbagai segi kehidupan yang tidak Islami. Umat Islam tidak diarahkan kepada pemahaman “agama mistis” melainkan menghadapi dunia secara realitis. Pendidikan Pada Masa Imperialis Belanda sampai dengan 1945 Belanda menduduki Nusantara (Indonesia sebelum merdeka) selama kurang lebih 3,5 abad. Selama pendudukan Belanda banyak masyarakat pribumi yang mengalami penderitaan jasmani maupun rohani. Penderitaan jasmani berupa kelaparan, kurang sandang maupun papan. Sementara penderitaan rohani berbentuk kurangnya asupan gizi dalam hati dan fikiran (pendidikan) sehingga mengakibatkan keterbelakangan mental. Lemahnya mental ini mengakibatkan tidak ada daya saing yang cukup untuk menyadari dirinya sebagai manusia unggul. Pendidikan pada masa imperialisme Belanda hanya dikonsumsikan (dihidangkan) secara khusus bagi dirinya sendiri dan putra-putra priyayi pribumi. Hal demikian untuk menjembatani adanya pelanggengan kekuasan penjajahan di Nusantara. Pendidikan adalah alat untuk menyadarkan syaraf-syaraf eksistensi diri yang sedang membeku. Ulama pribumi yang pernah mangalami kekalahan dalam angkat senjata melawan Belanda banyak yang beralih dengan mendirikan lembaga pendidikan seperti pondok pesantren yang digunakan untuk menjaga budaya dan moral bangsa dari penetrasi budaya barat. Belanda menduduki Nusantara (Indonesia sebelum merdeka) tidak banyak menyumbangkan pendidikan melainkan hanya merongrong kemakmuran yang 39

ada. Pemerintah Belanda ketika menduduki Nusantara (Indonesia sebelum merdeka) mengadakan politik cultuurstelsel yang mewajibkan tanam paksa dan hasil sepenuhnya untuk kemakmuran Negeri Belanda. Cultuurstelsel (tanam paksa) dinilai oleh Belanda sangat mencolok dalam menekan masyarakat maka kemudian diubah menjadi politik pintu terbuka, dengan cara mengundang pemilik modal asing (bangsa Eropa) untuk mengurusi pabrik-pabrik yang dulu diurusi oleh pemerintah Belanda secara langsung. Hal ini justru menjadikan banyak ketimpangan sehingga melahirkan kasta baru dalam masyarakat. Kasta tersebut terbagi menjadi tiga lapisan yaitu: (1). The rulling caste yang terdiri dari penguasa kolonial dan pemilik modal asing, (2). Kelas menengah sebagai alat pemerintah kolonial yang terdiri dari penguasa pribumi dan orang-orang Timur asing khususnya Cina, (3). Kelas paling bawah yaitu rakyat mayoritas yang paling dirugikan. Setelah Belanda menerapka dua metode (Cultuurstelsel dan Politik Pintu Terbuka) di atas nampaknya ada rasa iba sehingga memunculkan politik etis (etische politiek). Politik etis ini pada awalnya mengundang reaksi pemerintah Belanda dimana pada masa itu muncul dua golongan yaitu antara yang setuju dan yang menolak. Politik ini diarahkan bagi penduduk bumi putra untuk memajukan penduduk asli dalam kurun waktu cepat dengan cara mengikuti metode pendidikan barat. Politik etis baru diterapkan ketika Ratu Wilhelmina mengeluarkan pidato di Staten General pada tahun 1901. Mulai saat itu politik etis berlaku di lapangan secara nyata. Pemerintah Belanda setelah mengesahkan politik etis maka mulai membangun sekolah-sekolah di antaranya adalah Volk School (Sekolah Desa) dengan masa belajar 3 tahun yang kemudian dilanjutkan dengan program Verlvog School (Sekolah Lanjutan) dengan masa belajar 2 tahun. Lembaga sekolah dalam masa selanjutnya mulai dikembangkan dengan didirikan Meer Uitgebreid Leger Onderwijs (MULO), yaitu sebuah sekolah setingkat SMP. Pada zaman ini pula muncul proram Algemeene Middelbare School (AMS) yang setara dengan SMA. Sekolah yang dibangun Belanda ini berbiaya mahal sehingga murid-muridnya berasal dari priyayi (darah biru) sedang masyarakat miskin tetap dalam kemiskinannya. Satu hal yang perlu disoroti adalah bahwa pemerintah Belanda 40

tidak tulus untuk meningkatkan pendidikan pribumi tetapi ada maksud lain yaitu mencetak tenaga birokrat (kantoran). Sejak tahun 1864 pemerintah Belanda mengadakan ujian Klein Ambtenaars’ Examen yaitu sebuah ujian pegawai rendah untuk dapat diangkat sebagai pegawai pemerintah. Belanda kembali ke negaranya setelah ditaklukkan oleh Jepang. Sejak saat itu Nusantara (Indonesia sebelum merdeka) menjadi wilayah jajahan Jepang. Pemerintah Jepang mengeluarkan isu pendidikan yang disebut Hakko Ichiu yaitu mengajak bangsa Indonesia bekerjasama dalam rangka mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Realisasi dari Hakko Ichiu ini di mana pelajar setiap hari terutama pagi hari harus mengucapkan sumpah setia kepada Kaisar Jepang, lalu dilatih kemiliteran. Sistem persekolahan yang dibangun Jepang banyak berbeda dengan penjajahan Belanda. Model serta metode diganti dengan sistem Jepang yang orientasinya untuk persiapan perang. Murid-murid dalam menerima pengetahuan tidak banyak kecuali dalam ilmu kemiliteran. Pendidikan bercorak Islam diawali oleh Ahmad Dahlan dengan menggabungkan mata pelajaran sekolah Belanda dengan pelajaran

Islam. Artinya pendidikan ini memuat nilai plus yaitu pendidikan agama Islam. Pendidikan memiliki corak sebagai berikut: 1. Penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT. 2. Pengakuan atas potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Pengalaman ilmu pengetahuan atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan dan masyarakat manusia. Umat Islam dalam sejarahnya memiliki dua lembaga pendidikan yaitu formal dan non formal. Untuk pendidikan formal berupa sekolah yang dikelola secara modern sedang non formal berbentuk pesantren dan Madrasah Diniyah. Mengenai pesantren sudah ada sejak awal, dulunya dimiliki agama Hindu, kemudian diisi oleh pendidikan agama Islam dengan diajarkan kitab-kitab yang sekarang sering disebut kitab kuning. Setelah Nusantara (nama Indonesia sebelum merdeka) dijajah oleh Portugis dan Belanda yang membawa bentuk pendidikan berbeda, maka oleh ulama Islam ada yang merespons secara positif. Pada Tahun 1912 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah yang 41

mengadopsi sekolah penjajah tersebut. Dalam lembaga ini siswa tidak hanya dibekali ilmu agama saja tetapi juga ilmu bumi/ilmu alam. Usaha ini diusahakan untuk mengejar keterpurukan umat Islam. Sejak datangnya kapal Portugis dan kemudian pendudukan penjajahan Belanda, Nusantara (nama Indonesia sebelum merdeka) mengalami kehidupan yang tertindas. Bangsa Belanda mulai menjajah pada tahun 1619 dengan ditandai Jan Pieter Coen menduduki Jakarta yang selanjutnya memperluas wilayah.Tujuan semula bangsa Belanda yaitu mencari rempah-rempah.Yang kemudian berkembang motif sampai ke ekonomi, politik dan agama. Dari sistem penjajah Belanda yang menindas itu maka muncul corak pendidikan pribumi: a. Isolatif-Tradisional Isolatif tradisional disini dalam artian tidak mau menerima apa saja yang berbau barat (kolonial) dan terhambatnya pengaruh pemikiranpemikiran modern dalam Islam. b. Sintesis Sintesis disini yaitu mempertemukan corak lama (pondok pesantren) dan corak baru (model pendidikan kolonial atau Barat) yang berwujud sekolah atau madrasah. Dalam realitasnya corak pemikiran sintesis ini mengandung beberapa variasi pola pendidikan Islam, yaitu: (1) pola pendidikan madrasah mengikuti format pendidikan barat terutama dalam sistem pengajarannya secara klasikal, tetapi isi pendidikan tetap lebih menonjol ilmu-ilmu agama Islam, (2) pola pendidikan madrasah yang mengutamakan pendidikan agama, tetapi pelajaran umum secara terbatas juga diberikan, (3) pola pendidikan madrasah yang menggabungkan secara lebih seimbang antara muatan-muatan keagamaan dan non keagamaan,( 4) pola pendidikan yang mengikuti pola Gubernement dengan ditambah beberapa mata pelajaran agama, sebagaimana yang dikembangkan oleh sekolah Adabiyah dan Muhammadiyah. Pendidikan Agama Islam yang berbentuk lembaga mengalami banyak variasinya. Variasi tersebut di antaranya: 1) Madrasah milik masyarakat, 2) Madrasah menerapkan manajemen berbasis sekolah, 3) Madrasah sebagai lembaga tafaqquh fi din, 4) Madrasah sebagai lembaga kaderisasi dan mobilitas umat. Pendidikan 42

Islam tipe ini memiliki ciri bahwa mencari ilmu bernilai ibadah, setiap individu berhak berkembang dalam satu kepribadian dan pertanggungjawaban kepada Allah dan manusia. Pada perkembangan awal pendidikan Islam bersaing dengan sekolah Belanda. Bagi lembaga yang tidak mampu menyesuaikan dengan gubernement maka akan ditutup. Maka waktu itu menjadi tantangan umat Islam tersendiri. Hal ini menuntut umat Islam untuk cerdas. K.H. Ahmad Dahlan dalam mensiasati lembaga pendidikan yang didirikan bersama pengurus-pengurus Muhammadiyah supaya tetap beroprasi maka lembaga ini menggunakan dua wajah yakni memadukan kurikulum santri dengan kurikulum buatan pemerintah Belanda. Ahmad Tafsir menuliskan bahwa K.H. Ahmad Dahlan senang berdakwah dan mengajarkan agama di sekolahan. Pada tahun 1911 K.H. Ahmad Dahlan mendirikan sekolah sendiri yang diberi nama sekolah Muhammadiyah. Di sini yang perlu ditegaskan bahwa agama yang diajarkan pastilah agama yang menurut pendapatnya telah terbebas dari khurafat dan bid‟ah.15

D. Dasar Pendidikan Islam Dalam setiap ucapan, prilaku atau kegiatan yang dilakukan oleh manusia hendaknya mempunyai dasan ataupun landasan yang memperkuan dari setiap ucapan, perilaku dan kegiatan yang dilakukannya. Karena dengan dasar atau landasan itulah ucapan, perilaku dan kegiatan dapat dipertanggungjawabkan. Dalam memahami agama, K.H. Ahmad Dahlan selalu berpegang pada prinsip Al- Qur‟an dan al-Sunnah serta akal yang sehat sesuai dengan jiwa agama Islam, karena hanya dengan itulah nilai-nilai Islam akan termanifestasi dalam kegiatan dalam setiap kehidupan manusia. Dengan berlandaskan pada prinsip pemahaman agama tersebut, maka akan dapat menimbulkan kesadaran yang berupa keyakinan dan cita-cita yang terpancar dari diri K.H. Ahmad Dahlan, sebagaimana yang ditulis Mohammad Riezam sebagai berikut:

15 www. goggle.com, Mutaqqin, Pencerahan Pendidikan Agama Islam di Indonesia dan Aktualisasinya (Tesis Program Magister Pendidikan Islam Sekolah Tinggi Agam Islam Negeri Salatiga), 2013. di akses pada tanggal 18 Oktober 2013 43

1. Ajaran agama Islam yang sumbernya Al-Qur‟an dan Al-Sunnah itu risalah (pesan pengarahan) Allah pada manusia. 2. Ajaran agama Islam sebagaimana yang tersebut diatas harus diamalkan dalam arti dan proporsi yang sebenarnya.16 Dari penjelasan diatas, maka untuk dapat mengamalkan ajaran agama Islam dalam arti dan proporsi yang sebenarnya, orang-orang Islam harus dibina, baik secara individu maupun secara kolektif dan kemudian digerakkan dan diorganisir serta dipimpin untuk mengamalkan ajaran agama yang dimaksud dan memperjuangkan dengan semangat jihad kaffah. Dalam hal ini wadah yang paling representatif dan memungkinkan hal-hal yang diatas dapat tercapai adalah melalui lembaga pendidikan. Karena didalamnya terdapat proses pembinaan untuk menjadi insan yang sesuai dengan kebutuhan zaman dan didasari dengan nilai- nilai ajaran agama Islam. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diletakkan pada skala prioritas dalam proses pembangunan umat. Adapun kunci untuk meningkatkan kemajemukan umat Islam adalah dengan kembali kepada Al- Qur‟an dan Al-Sunnah, mengarahkan umat pada pemahaman ajaran Islam secara komprehensif, dan menguasai berbagai disiplin ilmu pengetahuan, sehingga peradaban Islam akan terus berkembang dan akan tetap dipandang oleh negara- negara lain. Mengenai pelaksanaan pendidikan, K.H. Ahmad Dahlan memberikan keterangan, bahwa pendidikan Islam hendaknya didasarkan pada landasan yang kokoh yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah. Landasan ini merupakan kerangka filosofis bagi merumuskan konsep dan tujuan ideal pendidikan Islam, baik secara vertikal (khaliq) maupun horizontal (makhluk). Dalam pandangan Islam, paling tidak ada dua sisi tugas penciptaan manusia, yaitu sebagai `abd Allah dan khalifah fi al- ardh. Dalam proses kejadiannya, manusia diberikan Allah al-ruh dan al-`aql. Untuk itu, media yang dapat mengembangkan potensi al-ruh untuk menalar penunjuk pelaksanaan ketundukan dan kepatuhan manusia epada Khaliqnya. Di sini eksistensi akal merupakan potensi dasar bagi peserta didik yang perlu

16 Abdul Munir Mulkhan, K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Dalam Perspektif Perubahan Sosial, (Jakarta: Bumi Aksara, 1990), h. 42 44

dipelihara dan dikembangkan guna menyusun kerangka teoretis dan metodologis bagaimana menata hubungan yang harmonis secara vertikal maupun horizontal dalam konteks tujuan penciptannya.17 Islam menekankan kepada umatnya untuk mendayagunakan semua kemampuan yang ada pada dirinya dalam rangka memahami fenomena alam semesta, baik alam makro maupun mikro. Meskipun dalam banyak tempat al- Qur`an senantiasa menekankan pentingnya menggunakan akal, akan tetapi al- Qur`an juga juga mengakui akan keterbatasan kemampuan akal. Ada fenomena yang tak dapat dijangkau oleh indera dan akal manusia. Hal in disebabkan, karena wujud yang ada di alam ini memiliki dua dimensi, yaitu pisika dan metapisika. Manusia merupakan integrasi dari kedua dimensi tersebut, yaitu dimensi ruh dan jasad. Batasan di atas memberikan arti, bahwa dalam epistemologi pendidikan Islam, ilmu pengetahuan dapat diperoleh apabila peserta didik (manusia) mendayagunakan berbagai media, baik yang diperoleh melalui persepsi inderawi, akal, kalbu, wahyu maupun ilham. Oleh karena itu, aktifitas pendidikan dalam Islam hendaknya memberikan kemungkinan yang sebesar-besarnya bagi pengembangan ke semua dimensi tersebut. Pengembangan tersebut merupakan proses integrasi ruh dan jasad. Konsep ini diketengahkannya dengan menggariskan perlunya pengkajian ilmu pengtahuan secara langsung, sesuai prinsip-prinsip al-Qur`an dan Sunnah, bukan semata-mata dari kitab tertentu. Dari sumber-sumber di atas, dapat dipahami bahwa landasan pendidikan Islam menurut K.H. Ahmad Dahlan adalah Al-Qur‟an dan hadist, maka dalam menetapkan tujuan pendidikan Islam juga sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Al-Qur‟an yaitu sesuai dengan tujuan penciptaan manusia yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah Allah di muka bumi, dalam ungkapan lain disebut dengan rehumanisasi yaitu mengembalikan kedudukan manusia kepada kedudukan yang sebenarnya yaitu sebagai hamba Allah dan Khalifah Allah di muka bumi. Untuk tercapainya tujuan pendidikan Islam tersebut, manusia harus mengembangkan potensi dirinya melalui pendidikan. Potensi diri itu sebagaimana yang dianugerahkan oleh Allah antara lain; fitrah beragama, potensi akal, roh, qalbu

17 Hery Sucipto, Op.Cit, h. 120 45

dan nafs. Prinsip Al-Qur‟an dan Al-Sunnah yang dipegang teguh oleh K.H. Ahmad Dahlan tidak hanya terlihat dalam dunia pendidikan, akan tetapi juga terlihat dalam kondisi sosial masyarakat pada waktu itu. Sebagaimana yang dikemukakan olehnya, ajaran Islam tidak akan pernah membumi dan dijadikan pandangan hidup pemeluknya, kecuali dipraktikan. Betapapun bagusnya suatu program, menurut Dahlan, jika tidak dipraktikan, tidak akan bisa mencapai tujuan bersama. Karena itu, K.H. Ahmad Dahlan dengan mencoba mengelaborasikan ayat-ayat Al-Qur‟an dengan langsung mempraktikan dalam alam nyata dari hasil pemahaman dari sebuah ayat tersebut. Praktik amal nyata yang fenomenal ketika menerapkan apa yang tersebut dalam surah Al-Ma‟un ayat 1-3, yang secara tegas memberikan peringatan kepada kaum Muslimin agar mereka menyayangi anak- anak yatim dan membantu fakir miskin. Maka dengan berlandaskan itu, K.H. Ahmad Dahlan membentuk rumah-rumah yatim dan menampung orang-orang miskin. Kemudian ketika menerapkan Al-Qur‟an surat Asy-Syu‟araa‟ ayat 80, yang mengatakan bahwa Allah menyembuhkan sakit seseorang, K.H. Ahmad Dahlan mendirikan balai kesehatan masyarakat atau rumah sakit. Lembaga ini didirikan tidak hanya memberikan perawatan pada masyarakat umum, akan tetapi juga memberikan pelayanan kesehatan gratis bagi masyarakat miskin, dan juga untuk memberikan penyuluhan. Sedangkan amal nyata yang diterapkan oleh K.H. Ahmad Dahlan yang terinspirasi dari ayat Al-Qur‟an surat Al-„Alaq ayat 1 yang memberi penekanan arti pentingnya membaca, diterjemahkan dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan. Dengan pendidikan, akan ada upaya pemberantasan buta huruf. Dari penjelasan diatas, jelaslah sudah bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah sosok yang mampu mengkolaborasikan antara perintah yang tertuang dalam teks Al-Qur‟an dengan kemudian menerapkannya dalam kehidupan sosial dalam upaya untuk memberikan layanan yang terbaik bagi masyarakat agar mencapai peradaban umat manusia saat ini. Pada hakikatnya, K.H. Ahmad Dahlan tidak hanya berhenti dalam tataran yang sudah disampaikan diatas, beliau mencurahkan sebagian hidupnya untuk memikirkan bagaimana pendidikan yang ideal yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia. 46

E. Pembaharuan-pembaharuan KH. Ahmad Dahlan 1. Bidang Agama Dalam bidang Agama, bagi K.H. Ahmad Dahlan Islam hendak didekati serta dikaji melalui kacamata modern sesuai dengan panggilan dan tuntutan zaman, bukan secara tradisional. Beliau mengajarkan kitab suci Al Qur‟an dengan terjemahan dan tafsir agar masyarakat tidak hanya pandai membaca ataupun melagukan Al Qur‟an semata, melainkan dapat memahami makna yang ada di dalamnya. Dengan demikian diharapkan akan membuahkan amal perbuatan sesuai dengan yang diharapkan Al Qur‟an itu sendiri. Menurut pengamatannya, keadaan masyarakat sebelumnya hanya mempelajari Islam dari kulitnya tanpa mendalami dan memahami isinya.Sehingga Islam hanya merupakan suatu dogma yang mati.

2. Bidang Pendidikan Menurut Ahmad Dahlan, pendidikan Islam hendaknya diarahkan pada usaha membentuk manusia muslim yang berbudi pekerti luhur, alim dalam agama, luas pandangan dan paham masalah ilmu keduniaan, serta berjuang untuk kemajuan masyarakatnya. Tujuan pendidikan tersebut merupakan pembaharuan dari tujuan pendidikan yang saling bertentangan pada saat itu yaitu pendidikan pesantren dan pendidikan sekolah model Belanda. disatu sisi pendidikan pesantren hanya bertujuan untuk menciptakan individu yang shalih, muttaqien, dan mendalami ilmu agama. Sebaliknya pendidikan sekolah model Belanda merupakan pendidikan sekuler yang di dalamnya tidak diajarkan agama sama sekali yang mengarah kepada pendangkalan terhadap agama.18 Berangkat dari tujuan pendidikan tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa kurikulum atau materi pendidikan hendaknya meliputi: (a). Pendidikan moral, akhlaq yaitu sebagai usaha menanamkan karakter manusia yang baik berdasarkan Al-Qur‟an dan As-Sunnah. (b). Pendidikan individu yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesadaran individu yang utuh yang berkesinambungan antara

18 H. Ridjaluddin, Muhammadiyah dalam Tinjauan Filsafat Islam, (Jakarta: Pusat Kajian Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. , 2011), h. 172 47

perkembangan mental dan gagasan, antara keyakinan dan intelek serta antara dunia dengan akhirat. (c). Pendidikan kemasyarakatan yaitu sebagai usaha untuk menumbuhkan kesediaan dan keinginan hidup bermasyarakat. 19 Di dalam menyampaikan pelajaran agama Ahmad Dahlan tidak menggunakan pendekatan yang tekstual tetapi kontekstual. Di samping menggunakan penafsiran yang kontekstual, Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pelajaran agama tidak cukup hanya dihapalkan atau dipahami secara kognitif tetapi harus diamalkan sesuai situasi dan kondisi. untuk mewujudkan gagasan tersebut Ahmad Dahlan melakukan dua langkah startegis yaitu dengan mengajarkan pelajaran agama ekstra kurikuler di sekolah Gubernuran dan mendirikan lembaga pendidikan sendiri. 20 Pada tahun 1911 Ahmad Dahlan mendirikan sekolah model madrasah yang bertempat dirumahnya sebagai penampung masyarakat muslim yang ingin belajar agama dan pelajaran umum, pelajaran agama diberikan olehnya sendiri sedangkan untuk pelajaran umumnya diberikan oleh salah seorang anggota Boedi Oetomo. 21 Dalam mengajar Ahmad Dahlan menggunakan kapur, papan tulis, meja, kursi dan peralatan lain. Berkaitan dengan langkah tersebut Ahmad Dahlan berpendapat bahwa untuk memajukan pendidikan diperlukan cara-cara sebagaimana yang digunakan dalam sekolah yang maju. Meniru model penyelenggaraan sekolah tidak berarti mengabaikan ajaran agama, sebab penyelenggaraan sistem pendidikan merupakan wilayah mu‟amalah yang harus ditentukan dan dikembangkan sendiri. Pada awalnya masyarakat kurang begitu merespon apa yang telah diusahakan oleh Ahmad Dahlan tentang pemberian pelajaran umum di Madrasahnya, hal ini terbukti dengan adanya sembilan murid saja pada tahun pertama, hal ini sangat tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yag ada, ini dapat juga dijadikan parameter berapa kurang perhatiannya umat Islam pada ilmu- ilmu umum. Usaha lain yang dilakukan oleh Ahmad Dahlan agar masyarakat

19 Al-Wasat, Islam Berkemajuan, Kisah Perjuangan K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah Masa Awal, (Ciputat: Al-Wasath, 2009), h. 6 20 H. Ridjaluddin, Op.Cit, 173 21 Ibid, 174 48

tertarik ia mendatangi rumah-rumah guna membujuk anak-anak agar mau sekolah serta meminta bantuan keuangan pada anggota-anggota Boedi Oetomo. Usaha ini tidaklah sia-sia hal ini terbukti dengan bertambahnya dua puluh murid selama enam bulan terakhir. 22 Di dirikannya madrasah Muhammadiyah tersebut merupakan terobosan baru yang berusaha memadukan model pendidikan pesantren dan Barat. Karena itu lembaga pendidikannya berbeda dengan pesantren. Perbedaanya adalah sebagai berikut:23 a. Cara belajar-mengajar: Jika sistem belajar mengajar di pesantren menggunakan sistem weton dan sorogan, madrasah Muhammadiyah menggunakan sistem klasikal sebagaimana sekolah Barat. b. Bahan pelajaran: Sumber belajar di pesantren diambil dari kitab-kitab agama yang umumnya ditulis oleh para ulama klasik. Di Madrasah Muhammadiyah bahan pelajaran di ambil dari buku-buku pengetahuan umum dan juga kitab- kitab agama yang ditulis oleh para ulama klasik dan ulama pembaharu. c. Rencana pelajaran: Pendidikan pesantren tidak mengembangkan, bahkan tidak mengenal rencana pelajaran. Madrasah Muhammadiyah mengembangkan rencana pelajaran supaya lebih teratur dan efisien. d. Pendidikan diluar kegiatan formal: pesantren tidak memberikan perhatian serius terhadap hal tersebut akan tetapi Madrasah Muhammadiyah mulai memperhatikan hal tersebut dan mengatur dengan baik kegiatan diluar pelajaran formal. e. Pengasuh dan guru: Pengasuh dan guru dipesantren hanyalah mereka yang menguasai agama saja. Sedangkan di madrasah Muhammadiyah mulai merintis pengembangan guru dibidang studi yang mengajar berdasarkan keahliannya. f. Hubungan guru-murid: Di pesantren guru-murid terkesan otoriter karena para Kiai dan ustadz memiliki otoritas ilmu yang dianggap sakral. Madrasah Muhammadiyah mulai mengembangkan hubungan guru-murid akrab.

22 Ibid 23 www.goggle.com, di akses pada tanggal 28 Maret 2014, Pukul 20.00 WIB 49

Lebih lanjut perkembangan pondok pesantren Muhammadiyah yang tidak selalu menggunakan nama pondok atau pesantren atau pondok pesantren dapat diuraikan sebagai berikut: 24 a. Madrasah Muallimin Mulai berdiri di tahun 1918 di Yogyakarta, dengan nama Qismul Arqa, bermurid sepuluh orang, di pimpin langsung oleh K.H. Ahmad Dahlan, diselenggarakan disatu bagian dari rumah tempat tinggal beliau. Disekolah ini yang kemudian berganti nama menjadi Kweek School Islam dan kemudian lagi berganti nama menjadi Kweekschool Muhammadiyah atau Kweekschool Mualimin Muhammadiyah. Karena jumlah murid bertambah terus maka tempat sekolah berpindah-pindah hingga kemudian menetap di gedung sendiri yang terletak di Ketanggungan, lengkap dengan asrama yang dapat menampung seratus lima puluh orang murid. Mula-mula asrama itu disebut pondok yang menggunakan rumah tempat tinggal, juga berpindah-pindah. Di sekolah tersebut diajarkan ilmu pengetahuan umum dan fak-fak seperti yag diajarkan pada Kweekschool tetapi dengan bahasa pengantar Melayu, dan kemudian disejajarkan denga kurikulum Norma School, sekolah calon guru untuk sekolah rakyat. Disamping bahasa Indonesia (Melayu) diajarkan pula bahasa Belanda, bahasa Inggris yag tersebut dua terakhir ini tidak banyak , dan bahasa Arab serta ilmu alat lainnya yang sangat penting untuk pelajaran Al-Qur‟an, Tafsir Hadist dan sebagainya. Sekolah ini lama belajarnya lima tahun, sesudah sekolah Standard (SD enam tahun) dan adapula anak-anak tamatan HIS yang masuk di Muallimin. boleh dikatakan dahulu bibit yang masuk ke Muallimin itu bibit yang lebih berbobot dari pada tamatan SD biasa. Di standar scool itu juga diberi pelajaran bahasa Belanda sekedarnya.

24 K.H.S Pradjokusumo, Pemasyarakatan Tradisi, Budaya dan Politik Muhammadiyah, (Jakarta: Perkasa Press, 1995), h.116 50

b. Madrasah Muallimat Sekolah yang sama seperti Madrasah Muallimin hanya khusus untuk putri, didirikan resmi tahun 1927 di Yogyakarta Muridnya menginap di pondok yang pada awalnya dibina langsung oleh Ibu Hajjah Nyai Dahlan. Seperti halnya dengan Muallimin sekolah ini juga maju pesat dan tempat belajar pun berpindah- pindah hingga mempunyai gedung sendiri yaitu gedung yag sekarang ditempati berlokasi ditengah-tengah kampung Notoprajan tidak jauh dari Gedung PP Muhammadiyah Yogyakarta. Mengenai kurikulumnya sama, ditambah dengan keputrian. Sekolah ini sebenarnya adalah Pondok Pesantren Putri tapi bertahan untuk tidak memakai nama itu. c. Madrasah Zu’ama Sekolah ini berdiri disekitar tahun 1937 di Yogyakarta, mula-mula bertempat di Kp. Notoprajan, kemudian pindah ke Demak Ijo yaitu menyewa gedung bekas perumahan Pabrik Gula yang sudah tutup, 15 KM dari kota Yogya. Sekolah ini cepat berkembang muridnya sebagian besar dari luar Jawa. Pelajarannya menitikberatkan kepada pengetahuan agama, pelajaran umum relatif sedikit, kurang dari Muallimin. Lama belajarnya empat tahun, yag diterima adalah minimal dari ibtidaiyah diutamakan tsanawiyah atau sederajat dan dari pesantren. Tamatan sekolah ini banyak yang telah dapat mengembangkan dirinya sebagai pemimpin, mubaligh, ulama dan guru agama. d. Tabligh School Muhammadiyah Di Yogyakarta sekitar tahun tiga puluh lima, berkembang sekolah agama sore/diniyah sore, dengan tingkatan Ibtidaiyahtiga tahun, Wutsha tiga tahun, Taligh school dua tahun. Di Tabligh School diajarkan pula kitab kuning. Jika Ibtidaiyah belajaranya dari ba‟da ashar hingga Maghrib, maka Wustha dari ba‟da Isya hingga pukul 21.00 dan Tabligh School dari ba‟da Isya hingga pukul 22.00 seminggu enam hari.

51

e. Tabligh School Istri Disamping Tabligh School di atas, pada tahun 1938, berdiri pula Tabligh School Isteri di Yogyakarta, dengan masa belajar sama, yaitu dua tahun, dengan setiap harinya delapan jam pelajaran, yang diterima di Tabligh School putri adalah tamatan dari Madrasah Tsanawiyah putri, sehingga dengan demikian, Tabligh School Putri ini sama dengan Muallimin di Yogyakarta. Sekolah-sekolah tersebut di zaman pendudukan dan di zaman revolusi ditutup dan dibuka kembali setelah Indonesia resmi merdeka. Dengan perubahan keadaan yang juga menyentuh dunia pendidikan, maka sekolah Muhammadiyah juga mengalami perubahan. Dan perubahan-perubahan itu berjalan terus, hingga akhirnya lahirlah SKB Tiga Menteri dalam periode 1950 hingga berlakunya SKB Tiga Menteri, Madrasah Muallimin, Muallimat di Yogyakarta, dan Kulliyatul Mubalighin mengalami pasang naik dan pasang surut, tetapi banyak surutnya. Dengan didirikannya madrasah Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, PGA Negeri, masyarakat mempunyai lebih banyak pilihan, diluar Muallimin dan Kuliyatul Mubalighin untuk mempertahankan identitasnya, sehingga tidak mau menerapkan kurikulum Tsanawiyah dan Aliyah negeri, berakibat, kedua sekolah tersebut izasahnya tidak diakui sama dengan madrasah negeri. Setelah berlakunya SKB Tiga Menteri maka tiada pilihan lain kecuali mengikuti kurikulum Negeri, jika ingin dapat bertahan hidup. Dengan Muhammadiyahnya K.H. Ahmad Dahlan berhasil mengembangkan lembaga pendidikan yang beragam dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi dan dari yang berbentuk sekolah agama hingga yang berbentuk sekolah umum. berhasil dan memperkenalkan manajemen pendidikan modern ke dalam sistem pendidikan yang dirancangkannya.

3. Bidang Dakwah Kegiatan dakwah pun tidak ketinggalan. Beliau semakin meningkatkan dakwah dengan ajaran pembaruannya. Di antara ajaran utamanya yang terkenal, beliau mengajarkan bahwa semua ibadah diharamkan kecuali yang ada 52

perintahnya dari Nabi Muhammad SAW. Beliau juga mengajarkan larangan ziarah kubur, penyembahan dan perlakuan yang berlebihan terhadap pusaka- pusaka keraton seperti keris, kereta kuda, dan tombak. Di samping itu, beliau juga memurnikan agama Islam dari percampuran ajaran agama Hindu, Budha, animisme, dinamisme, dan kejawen.25

4. Bidang Organisasi Di bidang Organisasi, pada tahun 1918, K.H. Ahmad Dahlan membentuk organisasi Aisyiyah yang khusus untuk kaum wanita. Pembentukan organisasi Aisyiyah, yang juga merupakan bagian dari Muhammadiyah ini, karena menyadari pentingnya peranan kaum wanita dalam hidup dan perjuangannya sebagai pendamping dan partner kaum pria. Sementara untuk pemuda, K.H. Ahmad Dahlan membentuk Padvinder atau Pandu, sekarang dikenal dengan nama Pramuka dengan nama Hizbul Wathan disingkat H.W. Di sana para pemuda diajari baris-berbaris dengan genderang, memakai celana pendek, berdasi, dan bertopi. Hizbul Wathan ini juga mengenakan uniform atau pakaian seragam, mirip Pramuka sekarang. Selanjutnya adalah jasa-jasa besar K.H. Ahmad Dahlan dapat diuraikan sebagai berikut:26 1. Mengubah dan membetulkan arah kiblat yang tidak tepat menurut semestinya. Umumnya Masjid-masjid dan langgar-langgar di Yogyakarta menghadap ke timur dan orang-orang shalat menghadap ke arah barat lurus. Pada hal kiblat yang sebenarnya menuju Ka‟bah dari tanah Jawa miring ke utara kurang lebih dua puluh empat derajat dari sebelah barat. Berdasarkan ilmu pengetahuan tentang ilmu falaq itu, orang tidak boleh menghadap kiblat menuju barat lurus, melainkan harus miring ke utara dua puluh empat derajat. Oleh sebab itu K.H. Ahmad Dahlan mengubah bangunan pesantrennya sendiri, supaya menuju kearah kiblat yang betul. Perubahan yang diadakan oleh K.H. Ahmad Dahlan

25 http://tmsi. smangat.org.kyai-ahmad-dahlan/ di akses pada tanggal 29 Maret 2014 26 Abuddin Nata. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2005), h. 106-108. 53

itu mendapat tantangan keras dari pembesar-pembesar masjid dan kekuasaan kerajaan 2. Mengajarkan dan menyiarkan agama Islam dengan popular, bukan saja di pesantren, melainkan ia pergi ke tempat-tempat lain dan mendatangi berbagai golongan. Bahkan dapat dikatakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan adalah bapak muballigh Islam di Jawa Tengah, sebagaimana Syekh M. Jamil Jambek sebagai bapak muballigh di Sumatera Tengah. 3. Memberantas bid‟ah- bid‟ah dan khurafat serta adat istiadat yang bertentangan dengan ajaran agama Islam. 4. Mendirikan perkumpulan/persyarikatan Muhammadiyah pada tahun 1912 M yang tersebar di seluruh Indonesia sampai sekarang. Pada permulaan berdirinya, Muhammadiyah mendapat halangan dan rintangan yang sangat hebatnya, bahkan K.H.Ahmad Dahlan dikatakan telah keluar dari mazhab, meninggalkan ahli sunnah wal jama‟ah. Bermacam-macam tuduhan dan fitnahan yang dilemparkan kepadanya, tetapi semuanya itu diterimanya dengan sabar dan tawakal, sehingga Muhammadiyah menjadi satu perkumpulan yang terbesar di Indonesia serta berjasa kepada rakyat dengan mendirikan sekolah-sekolah, sejak dari taman kanak-kanak hingga perguruan tinggi. Ke-empat faktor di atas merupakan kontribusi yang monumental dalam hal keagamaan, karena dengan kehadiran dan sumbangsih K.H. Ahmad Dahlan pada saat itu, ritus-ritus keagamaan dapat diluruskan oleh beliau dengan tetap berlandaskan kepada Al-Qur‟an dan hadis. Jasa termashur selanjutnya yang diberikan beliau kepada Islam Idonesia adalah pendirian organisasi sosial keagamaan, yakni Persyarikatan Muhammadiyah. K.H. Ahmad Dahlan salah satu tokoh pendidikan Islam yang terkenal. Beliau hidup pada zaman Belanda. Beliau hidup di tengah-tengah keluarga yang alim ilmu agama. K.H. Ahmad Dahlan adalah tokoh penting yang tidak mengenyam pendidikan formal, meski seperti itu 54

beliau gigih dalam belajar dan memperjungkan pendidikan Islam sehingga Ia mampu mendirikan suatu gerakan yang diberi nama Muhammadiyah.27 Adapun Faktor-faktor yang mendorong berdirinya Muhammadiyah dilatarbelakangi oleh ada dua faktor, yakni:28 1. Faktor Subjektif Faktor yang pertama ini bersifat subjek yang dapat diartikan bahwa pelakunya sendiri, dan ini merupakan faktor sentral. Artinya kalau mau mendirikan Muhammadiyah maka harus dimulai dari orangnya sendiri. Lahirnya Muhammadiyah tidak dapat dipisahkan dengan K.H. Ahmad Dahlan, tokoh kontroversial pada zamannya. Dengan pemahaman agama Islam yang mendalam, maka semua ilmu agama yang selama ini diperoleh baik di Indonesia maupun di Mekkah, maka beliau menyebarkan ilmunya itu melalui persyarikatan Muhammadiyah yang didirikannyan itu. Paham dan keyakinan agama K.H. Ahmad Dahlan yang dilengkapi dengan penghayatan dan pengamalan agamanya, inilah yang membentuk K.H. Ahmad Dahlan sebagai subjek yang mendirikan amal jariah Muhammadiyah. 2. Faktor Objektif Faktor objektif yang dimaksud adalah keadaan dan kenyataan yang berkembang saat itu. Apa yang ada dalam pikiran K.H. Ahmad Dahlan merupakan kesadarannya, dinyatakan, disulut dengan api yang ada di dalam masyarakat. Faktor objektif ini dibagi dalam dua bagian yakni internal umat Islam, dan eksternal umat Islam. Faktor internal di kalangan umat Islam adalah kenyataan bahwa ajaran agama Islam yang masuk ke Indonesia, kemudian menjadi agama umat Islam, ternyata sebagai akibat perkembangan agama Islam pada umumnya, sudah tidak utuh dan tidak murni lagi. Tidak murni artinya tidak diambil dari sumber yang sebenarnya. Hanya bagian-bagian tertentu yang difahami, dipelajari, kemudian diamalkan. Kalau ajaran sudah tidak murni, tidak diambil dari

27 Muhammad Yunus, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 123-124 28 Tim Pembina Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, Muhammadiyah, Sejarah Pemikiran dan Amal Usaha, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang dan PT Tiara Wacana Yogya, 1994), h. 4-9 55

sumbernya yang asli, sudah dicampur dengan ajaran-ajaran yang lain, maka ketika Islam dipahami dan dilaksanakan seperti itu, maka sudah tidak tidak bisa memberikan manfaat yang dijanjikan oleh Islam terhadap pemeluknya. Faktor objektif yang seperti itulah, K.H. Ahmad Dahlan segera mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah untuk dijadikan sarana memperbaiki agama dan umat Islam Indonesia. a. Faktor Objektif Eksternal Pemerintah Hindia Belanda merupakan keadaan objektif ekstern umat Islam pertama yang melatar belakangi berdirinya persyarikatan Muhammadiyah. Pemerintah Hindia Belanda memegang kekuasaan yang menentukan segala- galanya. Agama pemerintah Belanda menurut resminya adalah Protestan, dengan demikian sudah tidak menghendaki agama Islam. Demi kelangsungan kekuasaannya di Indonesia, pemerintah penjajah Hindia Belanda berpendirian bahwa ajaran agama Islam yang utuh dan murni tidak boleh hidup dan tidak boleh berkembang di tanah jajahan. Maka ajaran agama Islam yang tidak utuh dan tidak murni itulah yang dikehendaki pemerintah Hindia Belanda. Belanda mempunyai keyakinan, kalau umat Islam di tanah jajahan bisa memahami Islam yang sebenarnya, meyakini agama Islam berdasarkan pahamnya yang benar, kemudian bisa melaksanakan ajaran Islam yang benar, maka pemerintah penjajah Belanda tidak akan bisa bertahan. Usaha mereka adalah menjauhkan umat Islam dari Al- Qur‟an, menjauhkan dari As-Sunnah,, menjauhkan dari kesanggupan memahami Islam yang sebenarnya dan mampu menggunakan akal pikiran serta akal budinya untuk memahami Islam. b. Faktor Objektif di luar Umat Islam lainnya Dari angkatan muda (antek-antek Belanda) yang sudah mendapat pendidikan Barat, lalu mengadakan gerakan-gerakan untuk memusuhi apa yang menjadi maksud gerakan Muhammadiyah. c. Faktor lainnya 56

Gerakan-gerakan kristenisasi pada waktu itu sangatlah marak, salah satu contohnya adalah Kaum nasrani pada waktu itu mendapatkan bantuan dari pemerintah Belanda untuk mengadakan kegiatan-kegiatan atau melakukan tindakan-tindakan yang pada tujuan akhirnya sangat tidak sefaham dan bahkan menentang gerakan-gerakan yang dilakukan oleh Muhammadiyah. Setelah mengetahui latar belakang didirikannya, maka selanjutnya akan disampaikan maksud dan tujuan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Adapun maksud dan tujuannya yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam pendirian Persyarikan Muhammadiyah adalah untuk menegakkan dan menjunjung tinggi agama Islam, sehingga dapat mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar- benarnya. Usaha untuk mencapai maksud dan tujuan ini adalah dengan: 1. Mengadakan dakwah Islam. 2. Memajukan pendidikan dan pengajaran. 3. Menghidup suburkan masyarakat tolong menolong. 4. Mendirikan dan memelihara tempat ibadah dan wakaf. 5. Mendidik dan mengasuh anak-anak dan pemuda-pemuda, supaya kelak menjadi orang orang Islam yang berarti. 6. Berusaha dengan segala kebijkasanaan, supaya kehendak dan peraturan Islam berlaku dalam masyarakat. 7. Berusaha kearah perbaikan penghidupan dan kehidupan yang sesuai dengan ajaran Islam.29 Amal usaha di ataslah yang menjadi ciri khas bagi Persyarikatan Muhammadiyah. Dimana jika disimpulkan, dakwah dan pendidikan yang menjadi sentral amal dan usaha yang dilaksanakan sampai detik ini. Karena amal dan usaha tersebut memang sesuai dengan apa yang dibawa oleh K.H. Ahmad Dahlan. Menurut beliau pendidikan yang akan dikembangkan adalah pendidikan modern yang tidak melupakan nilai-nilai ajaran yang terkandung dalam Al-Qur‟an dan Sunnah Rasul SAW. Oleh karena itu, pendidikan dalam Persyarikatan Muhammadiyah sangat mementingkan pendidikan dan pengajaran yang

29 H. Suja, Muhammadiyah dan Pendirinya, (Yogyakarta: Majelis Pustaka, 1989), h. 46- 48 57

berdasarkan Islam, baik pendidikan di sekolah/madrasah ataupun pendidikan dalam masyarakat. Oleh sebab itu tidak heran, bila Muhammadiyah sejak mulai berdirinya membangun sekolah-sekolah/madrasah-madrasah dan mengadakan tabligh-tabligh, bahkan menerbitkan buku-buku dan majalah-majalah yang berdasarkan Islam. Dengan melakukan hal-hal yang sudah pernah dilakukan K.H. Ahmad Dahlan seperti yang telah disebutkan di atas, maka dengan sendirinya pendidikan Islam akan mengalami kejayaan seperti pada masa lalu. Sehingga pendidikan Islam kembali diminati oleh masyarakat karena dipercaya akan mampu mengantarkan perserta didik sesuai dengan harapan mereka, yakni memiliki keluasan ilmu dan kematangan professional yang siap tampil mengisi kekosongan-kekosongan yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat.

62

BAB IV HASIL PENELITIAN ANALISA PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM MENURUT KH. AHMAD DAHLAN

A. Periode Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia. Pembaharuan Pendidikan Islam tidak terlepas dari adanya pembaharuan pemikiran dalam Islam. Pembaharuan pemikiran dalam Islam di mulai sejak adanya kontak dengan dunia Barat, di mana Barat pada saat itu sedang mengalami kemajuan disegala bidang. Berbeda halnya pada periode klasik, dimana umat Islam maju Barat ada dalam kegelapan 1 Adanya kontak dengan dunia Barat membuka mata para ahli pikir Islam, bahwa umat Islam selama ini dalam keadaan lemah dan terbelakang. Maka timbulah usaha pembaharuan atau modernisasi dalam Islam tidak terkecuali dalam bidang pendidikan, para pemuka Islam mengeluarkan pemikirannya dengan berbagai cara agar umat Islam maju, sebagaimana yang dialami pada periode klasik. Menurut Mahmud Yunus, pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia terbagi tiga fase, yaitu fase pertama dari tahun 1900-1915, fase kedua dari tahun 1915-1930 dan fase ketiga dari tahun1931-1940.2 Pembagian fase ini tidaklah berdasarkan standar mutlak, karena Mahmud Yunus tidak memberikan keterangan yang jelas bagaimana dengan fase selanjutnya juga tidak dijelaskan.

1. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Pertama (1900- 1915) Banyak para pelajar Indonesia yang menuntut ilmu di luar negeri seperti Makkah, Madinah dan juga Mesir, sekembalinya mereka ke tanah air dengan membawa segudang ilmu dan ide-ide baru kemudian mereka mendirikan pesantren baru sebagai tempat studi ilmu-ilmu agama untk mentarnsfer ilmu-ilmu

1 Harun Nasution, Islam di tinjau dari Berbagai Aspeknya (Jakarta: UI Press, 1986), h.89 2 Mahmud Yunus, Pengantar Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1982), h. 26

62 63

yang mereka peroleh kepada santrinya. Diantara mereka adalah KH. Hasyim Asy’ary yang mendirikan pesantren Tebuireng pada tahun 1899 M di Jombang Jawa Timur. 3 Di Sumatera Syekh HM Thaib Umar mendirikan Pesantren tahun 1897 M, Syekh H. Djamil Djambek tahun 1903, Syekh H. Abbas Abdullah tahun 1904, dan Syekh H. Ibrahim Musa tahun 1910 M, mereka masing-masing mendirikan surau atau pesantren sebagai tempat studi ilmu-ilmu agam di Sumatera Barat. 4 Sementara itu itu di Jakarta di dirikan pula perkumpulan Jami’at Khair pada tanggal 17 Juli 1905 oleh Syekh Sayid Muhammad al-Fachir bin Abdurrahman al-Masyur, Syekh Muhammad bin Abdullah bin Syihab, Sayid Idrus bin Ahmad bin Syihab, dan Sayid Sjehan bin Syihab. 5 Kemudian di Yogyakarta K.H. Ahmad Dahlan mendirikan organisasi sosila keagamaan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 M atas saran yang diajukan oleh murid-muridnya dan beberapa orang anggota Budi Utomo untuk mendirikan suatu lembaga pendidikan yang bersifat permanen.6 Sistem pendidikan pada saat itu masih sangat tradisional, belum mengenal sistem kelas dan ijazah, lama pendidikannya pun tergantung kecerdasan dan ketekunannya. Tempat pendidikan masih dilaksanakan di surau-surau atau masjid atau pondok-pondok pesantren, belum terbentuk suatu lembaga pendidikan seperti sekolah atau madarasah yang permanen sebagai lembaga pendidikan Islam formal.

2. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Kedua (1915- 1930) Pada masa ini pendidikan Islam sudah mengenal sistem kelas, baik disurau-surau maupun di pesantren. Pendidikan Islam yang semula dilaksanakan dengan sistem tradisional yang tidak mengenal kelas-kelas, tidak pula memakai bangku, meja atau papan tulis. Para murid atau santri hanya duduk sila di atas

3 Ibid, h. 235 4 Ibid, h. 27 5 Deliar Noer, Gerakan Modern dalam Islam di Indonesia: 1900-1942 (Jakarta: LP3ES), h. 68 6 Zuhairini, h. 171

64

lantai mendengarkan pelajaran yang disampaikan oleh gurunya. Kemudian lambat laun sedikit demi sedikit mulailah ada perubahan, pendidikan dilaksanakan dengan sistem berkelas yaitu kelas rendah, menengah dan tinggi. 7 Pendidikan Islam yang mula-mula memakai sistem kelas dan memakai bangku, meja dan papan tulis adalah Sekolah Adabiyah (Adabiyah School) di Padang dan ini merupakan sekolah pertama di Indonesia yang di dirikan oleh Syekh Abdullah Ahmad pada tahun 1909. 8 Pada tahun 1915 sekolah ini menerima subsidi dari pemerintah dan berganti nama menjadi Hollandsch Maleissche School Adabiyah dan kepala sekolahnya adalah orang Belanda. 9 Dengan digantinya sekolah tersebut secara tidak langsung merubah orientasi dan misinya , sehingga semangat pembaharuan yang semula bertumpu pada sekolah ini menjadi hilang.10 Sejak tahun 1915 M tersebarlah madrasah-madrasah pada beberapa kota dan desa di SumateraBarat pada khususnya dan di Indonesia pada umumnya. Hampir disetiap desa ada madrasah di samping pesantren. Di Majalengka Jawa Barat Pesatuan Umat Islam (PUI) di bawah Pimpinan K.H. Abdul Halim mendirikan madrasah Ibtidaiyah yang pertama pada tahun 1917 M. Kemudian di ikuti oleh bermunculnya madrasah-madarasah di Jawa Barat yang banyak mengeluarkan guru-guru agama yang tersebar di seluruh Jawa Barat. 11 Kemudian di Yogyakarta Muhammadiyah mendirikan Madrasah Mualimin, yang semula nama nya Madrasah Muhammadiyah, kemudian di ubah menjadi Madrasah Mu’ Muhammadiyah, sampai sekarang. Lama belajarnya 5 tahun dari kelas satu sampai kelas lima. Demikianlah beberapa madrasah yang didirikan sekitar tahun 1915 sebagai awal pembaharuan pendidikan Islam dalam lembaga pendidikan formal.

7 Deliar Noer, Op. Cit, h. 53 8 Mahmud Yunus, Op.Cit, h. 33 9 Deliar Noer, Op. Cit, h. 52 10Deliar Noer, Loc. Cit, 11 Mahmud Yunus, Op.Cit, h. 34

65

Di samping bermunculan madrasah-madrasah dan pesantren berdiri pula lembaga dakwah Islamiyah dipelopori oleh Syekh M Jamil Jambek dan di Jawa Tengah dakwah Islamiyah disemangati oleh K.H. Ahmad Dahlan sebagai bapak Mubaligh Islam Jawa Tengah.12

3. Pembaharuan Pendidikan Islam di Indonesia Pada Fase Ketiga (1931- 1942) Pada fase ini pelajar-pelajar dan guru-guru agama di Indonesia yang belajar di Mekkah sambil menunaikan ibadah haji, mereka melanjutkan studinya untuk menambah wawasan ke Mesir (Kairo), selain mempelajari bahasa Arab mempelajari pula ilmu pengetahuan umum. Sekembalinya mereka ke Indonesia, mereka masukan pengetahuan umum itu ke sekolah-sekolah agama. Pelajar-pelajar yang semula hanya belajar ilmu-ilmu agama sekarang sudah dapat menambah pelajarannya dengan mempelajari pengetahuan umum dan ilmu pendidikan. Pada masa ini perguruan tinggi Islam yang pertama adalah Sekolah Islam Tinggi yang di dirikan oleh PGAI (Persatuan Guru Agama Islam) di Padang. Di Pimpin oleh Mahmud Yunus. Sekolah ini resmi pada tanggal sembilan Desember 1940 dengan memiliki dua fakultas yaitu, Fakultas Syariah dan Fakultas Pendidikan dan Bahasa Arab.13 Sekolah tinggi Islam ini berjalan sampai tahun 1942, namun ketika tentara Jepang masuk ke kota Padang dan menjajah Indonesia maka Sekolah Tinggi Islam ini di tutup dan hal ini terjadi pula ditempat lain diseluruh wilayah Indonesia.14 Demikianlah usaha-usaha para pemuda, pelajar dan cendikiawan Islam dalam membangun dan mengembangkan pendidikan Islam, di mulai dari sistem belajar tradisional (sistem wetonan yang hanya duduk bersila), sampai mengembangkan Madrasah Modern hingga Perguruan Tinggi Islam.

12 Mahmud Yunus, Op.Cit, h. 235 13 Ibid, h. 39 14 Ibid, h. 40

66

B. Pembaharuan Pendidikan Islam Menurut K.H. Ahmad Dahlan Menurut K.H. Ahmad Dahlan, Pendidikan adalah upaya strategis untuk menyelamatkan umat Islam dari pola berpikir yang statis menuju pola pemikiran yang dinamis. 15 Dari definisi tersebut nampak jelas pola berfikir K.H. Ahmad Dahlan tentang pendidikan Islam, bahwa harapannya dengan menjadikan pendidikan sebagai upaya strategis atau sarana untuk merubah fola pikir masyarakat pada waktu itu yang terkekang oleh penjajahan Belanda dan Jepang. Karena hanya dengan mampu berfikir kritis dan dinamislah masyarakat Indonesia bisa keluar dari pembodohan yang dilakukan oleh Belanda dan Jepang. Oleh karena itu, tidak menjadi sebuah keheranan jikalau mendengar bahwa beliau adalah salah satu tokoh yang sangat berpengaruh dalam pendidikan Islam di Indonesia. Mengenai definisi pendidikan Islam dalam pandangan K.H. Ahmad Dahlan yaitu penyelamatan umat Islam dari kestatisan berfikir. Kalimat tersebut sangat identik dengan slogan”pembaharuan” yang di bawa oleh K.H. Ahmad Dahlan. Kestatisan berfikir akan mengakibatkan produktivitas manusia akan berkurang, bahkan mungkin akan tidak mampu lagi untuk memproduksi baik dalam bentuk ide-ide atau gagasan sampai pada perbuatan dalam keseharian. Ketika manusia tidak lagi mampu untuk berfikir dan berbuat, maka yang terjadi adalah manusia akan menjadi obyek penindasan-penindasan oleh orang-orang yang tidak dapat menggunakan pengetahuannya pada jalan yang sebenarnya. Oleh karena itu, dengan semangat pembaharuan yang dibawah oleh K.H. Ahmad Dahlan dalam bidang pendidikan Islam. Pendidikan dijadikan sebagai alat yang mampu memberikan kesadaran pada umat Islam, bahwa betapa pentingnya pendidikan Islam dalam rangka menyelamatkan umat Islam dari keterpurukan. Dan dengan pendidikan yang proses pembelajarannya berjalan dengan baik, maka akan terlahir peserta didik yang akan mampu berfikir dinamis dan sistematis sebagai jawaban dari tantangan globalisasi saat ini. Dualisme pendidikan yang diselenggarakan masing-masing oleh pemerintah kolonial Belanda (sistem pendidikan Barat) dan oleh umat Islam Indonesia (sistem pendidikan pesantren) dengan landasan filosofis dan pangkal

15 H. Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Ciputat Press, 2002), h. 100

67

tolak dasar pemikiran yang berbeda jelas mengandung kelemahan disamping kelebihan masing-masing. Akibat yang ditimbulkan oleh dualisme pendidikan ini terhadap kehidupan bangsa ialah munculnya konfrontasi yang berkepanjangan dalam tata kehidupan, cara berfikir dan kebudayaan masyarakat yang dihasilkan oleh masing-masing sistem itu. Dengan melihat kedua fenomena di atas K.H. Ahmad Dahlan berusaha menggabungkan kedua sistem pendidikan tersebut sehingga melahirkan anak didik yang berkepribadian utuh, berakhlak mulia dan berguna bagi masyarakat. Kesemuanya itu tercermin dalam cita-cita pendidikan yang dikembangkan K.H. Ahmad Dahlan, yaitu terbentuknya manusia muslim yang baik (alim dalam ilmu-ilmu agama), luas pandangan (alim dalam ilmu-ilmu dunia/umum) bersedia berjuang untuk kemajuan masyarakatnya16. Dalam penyelenggaraan pendidikan Islam oleh K.H Ahmad Dahlan sudah mulai diperkenalkan sarana fisik dan sistem organisasi administrasi yang berbeda dengan penyelenggara pendidikan sebelumnya yang di modifikasi dari sistem pendidikan Barat. Selain itu juga di ilhami oleh penyelenggaraan madrasah. Di sekolah dan madrasah yang dikembangkan oleh K.H Ahmad Dahlan sudah digunakan sarana fisik, bangku, meja dan papan tulis disamping administrasi dan organisasi yang lebih tertib sebagaimana yang diselenggarakan di sekolah-sekolah pemerintah. Murid tidak duduk dilantai seperti kebiasaan di pesantren. Demikian pula penjenjangan waktu belajar, bimbingan siswa di luar jam pelajaran dan penilaian dengan ulangan atau ujian dan dilaksanakan secara periodik kepada murid yang telah menamatkan pendidikan diberikan ijazah atau diploma17. Sebagai proyek percontohan madrasah model ini ialah Pondok Muhammadiyah yang dikembangkan pada tahun 1920 oleh K.H Ahmad Dahlan sendiri di Yogyakarta. Pondok ini merupakan perguruan tingkat menengah yang pertama kali di kota itu yang memberikan ilmu umum dan agama bersama-sama.

16 WS, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang diselenggarakan Oleh Muhamadiyah (Yogyakarta: Penyelenggara Publikasi Pembaharuan Pendidikan/Pengajaran Islam, 1962). h. 69 17 Ibid, h. 67

68

Demikian pula organisasi sekolah dan tata cara penyelenggaraannya di atur secara modern yang belum pernah dilakukan oleh perguruan-perguruan agama sebelumnya. Untuk memahami lebih jauh penyelenggaraan pendidikan di madrasah tersebut berikut ini dikemukakan perbandingan dengan penyelenggaraan pondok pesantren antara lain: 1. Cara mengajar dan Belajar, Di pondok pesantren lama masih di pakai cara belajar dengan sistem sorogan dan weton, tetapi di pondok Muhammadiyah dipergunakan sistem klasikal dengan memakai cara-cara Barat. 2. Bahan pelajaran di pondok pesantren lama semata-mata hanya bahan pelajaran agama. Kitab karangan pembaharu belum dipakai; di pondok Muhammadiyah, bahan pelajaran yang di pakai tidak hanya bahan pelajaran agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum. Kitab-kitab agama dipergunakan secara luas baik ulama lama maupun ulama baru. 3. Rencana pelajaran. Di pondok pesantren lama belum memiliki rencana pelajaran yang teratur dan integral, sedang di pondok Muhammadiyah sudah teratur dengan rencana kurikulum sehingga efisiensi belajar lebih terjamin. 4. Pendidikan diluar waktu belajar. Di pondok pesantren lama, pendidikan di luar waktu belajar kurang mendapat perhatian. Di pondok Muhammadiyah pendidikan di luar waktu belajar diselenggarakan di dalam asrama dan dipimpin secara teratur. 5. Pengasuhan dan guru Di pondok Pesantren lama, para pengasuh terdiri dari para guru yang berpengetahuan saja, tetapi di pondok Muhammadiyah pengasuh terdiri dari para ahli agama dan guru-guru ilmu pengetahuan umum. Di pondok Muhammadiyah yang mengasuh ilmu agama seperti KH. Hajid, KH. Ibrahim, KH. Hanad dan KH. Ahmad Dahlan sendiri, sedang dalam ilmu pengetahuan umum mereka itu diantaranya ialah R. Ng Djojosugito (sejarah), Sosrosugondo (bahasa Melayu), Darmowinto (menggambar) dan Pringgonoto (bahasa Inggris).

69

6. Hubungan guru dengan murid. Di pondok pesantren lama hubungan guru dengan murid lebih bersifat otoriter, sedang di pondok Muhammadiyah diusahakan suasana yang akrab antara murid dengan guru18

18 Amir Hamzah Wirjosukarto, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Oleh Pergerakan Muhammadiyah, (Malang: Ken Mutia, 1965). 72

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. K.H. Ahmad Dahlan berpendapat bahwa pendidikan Islam merupakan sarana dan upaya yang strategis dalam rangka menyelamatkan umat Islam dari kungkungan pemikiran statis menuju kemerdekaan berfikir yang dinamis. Kemudian Dasar dan landasan Pendidikan Islam harus kembali pada sumber primer umat Islam, yakni Al-Qur’an dan Hadist. 2. Pembaharuan Pendidikan Islam menurut KH. Ahmad Dahlan yaitu: a. Merubah cara mengajar dan belajar dari sistem sorongan ke sistem klasikal b. Bahan pelajaran yang diberikan tidak hanya pelajaran agama tapi juga pelajaran umum c. Memperkenalkan rencana pelajaran yang teratur d. Pendidikan diluar waktu belajar diselenggarakan di dalam asrama yang terpimpin secara teratur 3. Pemikiran K.H. Ahmad Dahlan dalam memajukan pendidikan Islam di Indonesia yaitu dengan mencita-citakan terwujudnya masyarakat Islam yang sebenar-benarnya.

B. Saran Sejak pergerakan Muhammadiyah berdiri pada tahun 1912 telah menunjukan perkembangan yang terus meningkat dengan jangkauan usaha dan kegiatan yang meluas dalam bidang sosial, pendidikan dan keagamaan.Untuk mendapatkan gambaran yang lengkap dan padu kiranya bagi para peneliti yang lain patut pula mengangkat topik-topik lain sebagai tema dalam penulisan skripsi di jurusan Pendidikan Agama Islam

70

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, H.M. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. IV, 1996.

F.N, Ridjaluddin. Muhammadiyah Dalam Tinjauan Filsafat Islam. Jakarta: Pusat Kajian Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Prof. DR. Hamka, Cet. I, 2011. Jalaluddin. Filsafat Pendidikan Islam: Konsep dan Perkembangan Pemikirannya. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. I, 1994. Kholiq, Abdul, dkk. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. I, 1999. Lubis, Arbiyah. Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh. Jakarta: Bulan Bintang, Cet. I, 1993. Maksum. Madrasah; Sejarah dan Perkembangannya. Jakarta: Logos Wacana Ilmu, Cet. I, 1999. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya, Cet. XXIX, 2011. Mulkhan, Abdul Munir. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. I, 1990. Musfiqon. Pendidikan Kemuhammadiyahan. Surabaya: Majelis Dikdasmen PWM Jatim, Cet. V, 2012. Nasution, Harun. Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1984-1985. Nata, Abudin. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, Cet. IV, 2001. Nizar, Samsul. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers, 2002. Prodjokusumo, Sudarsono. Pemasyarakatan Tradisi, Budaya, Dan Politik Muhammadiyah. Jakarta: Perkasa Press, Cet. I, 1995. Rosyadi, Khoiron. Pendidikan Profetik. Yogyakarta: Putsaka Pelajar, Cet. I, 2004. Shihab, Quraish. Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat. Bandung: Mizan, Cet. XIX, 1994. Sudijono, Anas. Pengantar Statistik Pendidikan. Jakarta: Rajawali Pers, Cet. XXIII, 2011. Syuja, Muhammad. Islam Berkemajuan. Tangerang: Al-Wasath, 2009.

71 72

Uhbiyati, Nur. Ilmu Pendidikan Islam II. Bandung: CV Pustaka Setia, Cet. II, 1999. Zuhairini, dkk. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, Cet. VII, 2004. -----. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara, 1995.