I Made Purna (Pemberdayaan Tari ...) MUDRA Jurnal Seni Budaya p 238 - 252 P-ISSN 0854-3461, E-ISSN 2541-0407

Pemberdayaan Tari Sanghyang Di Banjar Jangu, Desa Duda Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem,

I Made Purna

Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali Jalan Raya Dalung Abianbase No. 107, Kuta Utara, Badung, Bali

E-mail: [email protected]

Kearifan lokal yang diwadahi Tari Sanghyang di Banjar Jangu, Desa Duda, Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem, Bali mengandung nilai-nilai budaya nilai kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan, kearifan terhadap lingkungan, ketauladan. Karena itu tidak mengherankan oleh pendukungnya Tari Sanghyang telah difungsikan sebagai tari yang memiliki fungsi religius-magis, fungsi sosial, keharmonisan terhadap lingkungan alam, serta memiliki makna moral yang sederhana baik gending maupun pakaiannya yang sangat tergantung pada alam. Rumusan masalah yang dibahas dalam tulisan ini, antara lain, 1) kenapa tari Sanghyang di Banjar Jangu diberdayakan; 2) apa usaha pemberdayaan yang sudah dan yang akan dilakukan oleh masyarakat pendukungnya. Tujuan penulisan ini yaitu, 1) menghidupkan kembali Tari Sanghyang sebagai warisan budaya lokal; 2) membangkitkan suasana magis-religius; 3) Mempertahankan Tari Sanghyang sebagai salah satu Tari Wali yang harus tetap —hidup“ ikut menunjang pelaksanaan upacara agama Hindu. Agar pemberdayaan Tari Sanghyang dapat optimal, dan bertaksu, maka model pember- dayaannya perlu dilakukan melaluicara structural dan kultural.

Kata Kunci : Pemberdayaan, Sanghyang, Religius-Magis, Taksu.

Empowerment of Sanghyang Dance in Jangu Village of Duda Selat, Karangasem District Bali

Local knowledge is contained in Banjar Jangu Trance Dance, Village Duda, District Strait, Karangasem, Bali containing cultural values of humanity, solidarity, fraternity, wise to the environment, representative. It is not surprising by supporters Dance Trance has functioned as a dance that has magical-religious func- tions, social harmony to the natural environment, and has a simple moral meaning both the musical and clothing is very dependent on nature. The problems discussed in this paper, among others, 1) why Trance Dance in Banjar Jangu empowered; 2) what empowerment efforts that have been and will be done by supporting community. The purpose of this paper, namely, 1) revive Dance Trance as local cultural heritage; 2) evoke the atmosphere of a magical-religious; 3) Dance Dance Trance one guardian must remain "live" for the implementation of the Hindu ceremony. In order for optimal Trance Dance empowerment, and bertaksu, then the model through structural and cultural empowerment.

Keywords: Empowerment, Trance, Religious-Magis, Taksu.

Proses Review : 19 April - 4 Mei 2017, Dinyatakan Lolos : 8 Mei 2017

238 MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

I. PENDAHULUAN unsur naratif (Michael Picard, 2006 : 237), dan tidak diajarkan di dunia pendidikan seperti sekolah Kearifan lokal yang mengandung nilai-nilai budya maupun di sanggar-sanggar seni. Demikian pula kemanusiaan, kebersamaan, persaudaraan, sikap jadwal pementasannya tidak sembarang waktu dan arif terhadap lingkungan, ketauladan dan lain-lain tempat. Karena itu perlu pendekatan kebudayaan dewsa ini sudah mulai banyak terkikis. Anggota untuk pemberdayaan. Usaha-usaha pemberdayaan masyarakat (terutama generasi muda) sudah banyak adalah bagaimana mengembalikan komunitas lokal yang tidak percaya, jika kehidupannya dibentengi yang mereka miliki untuk menjadi diri mereka dengan tema-tema ketradisionalan. Para generasi sendiri kembali dengan nilai-nilai budaya lokal muda lebih banyak memvisikan dan memisikan yang telah mereka miliki. Dengan kevakuman pola hidupnya dengan visi dan misi idiologi pem- pementasan Tari Sanghyang beberapa tahun mulai bangunan mengedepankan pertumbuhan ekonomi, disikapi oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali perkembangan fisik dan material dibandingkan untuk mengadakan kajian tahun 2016. dengan nilai-nilai spiritual dan kearifan lokal (local wisdom). Karena itu tidak mengherankan suasana Setelah Tim peneliti dari Balai Pelestarianh Nilai kehidupan masyarakat masa kini banyak —diracuni“ Budaya Bali tahun 2016 memberi informasi bahwa oleh gaya hidup modernisme dengan budaya Tari Sanghyang sudah mendapat pengakuan dan konsumtifnya. Nilai-nilai kearifan lokal telah penetapan dari Unesco, maka pada prinsipnya ingin digeser, bahkan tidak sedikit dihilangkan atau dipu- menghidupkan kembali Tari Sanghyang yang nahkan oleh nilai modernitas. Benturan nilai-nilai pernah hidup di Banjar Jangu, Desa Duda. Walau- tersebut tidak jarang membuat masyarakat menga- pun tidak ke-17 Tari Sanghyang. Karena lami krisis identitas maupun jatidirinya. Suasana masyarakat Banjar Jangu ingin menyelematkan kehidupan inilah yang terjadi pada masyarakat warisan leluhurnya yang diambang punah, dan Banjar Jangu, Desa Duda, Kecamatan Selat, Kabu- mempercayai kembali adanya spirit dalam Tari paten Karangasem, dimana kearifan lokal komuni- Sanghyang serta dengan membangun kembali Tari tasnya yang diwadahi oleh 17 (tujuh belas) Tari Sanghyang suasana keakraban warga banjar Sanghyang sudah ada yang mulai punah. Ke-17 maupun desa akan terjalin kembali. Bahkan tidak Tari Sanghyang yang dimaksud, Sanghyang Dedari, sedikit pendapat anggota masyarakat yang menga- Bojog, Kerek, Celeng, Memedi, Tutup, Jaran, takan bahwa, setelah lama tidak mementaskan Tari Lelipi, Sri Putut, Kuluk, Teter, Capah, Sampat, Sanghyang, maka telah terjadi wabah penyakit Lesung, Sembe, Dongkang, Sele Parahu (Dwi tanaman. Diperkirakan sejak tahun 1980-an Bambang Santoso, dkk. 2016 : 30-44) Padahal Tari masyarakat tidak mementaskan Tari Sanghyang. Sanghyang merupakan salah satu diantara 9 Kalaupun pernah ada pementasan setelah tahun (Sembilan) jenis tari tradisi Bali pada hari Rabu, 2 1980-an, pementasan itu bukan untuk kepentingan Desember 2015 di Windhoek, Namibia telah dikui spiritual maupun magis, dan social maupun dan ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda berkaitan dengan pengusiran wabah penyakit oleh Unesco. Ke-9 jenis tari yang dimak- terhadap tanaman, hewan maupun manusia. sud yaitu, Tari Sanghyang, Tari Baris Upacara, Tari Melainkan pementasan tersebut hanya kepentingan Rejang, Tari Topeng Sida Karya, Tari , Tari pariwisata, yang sifatnya sekuler dan ekonomi. , Tari Wong, Tari Kraton, Padahal asal-sul lahirnya Tari Sanghyang berdasar- dan Tari Joged Bumbung. kan dua Lontar yaitu Lontar Kecacar dan Lontar Tantu Pagelaran dengan masing-masing menyebut- Adanya pengakuan dan penetetapan dari Unesco kan sebagai berikut : 1) Lontar Kecacar disebutkan dimaksudkan dalam rangka menghidupkan kembali bahwa Tari Sanghyang merupakan anugrah Ida tari-tari tradisi diantaranya Tari Sanghyang, karena Bhatara di Gunung Agung kepada Empu Kuturan. tari ini telah mengandung nilai-nilai budaya seperti 2) Lontar Pagelaran menyebutkan bahwa, Tari nilai kemanusiaa, kebersamaan, persaudaraan, arif Sanghyang merupakan tari penolak penyakit terhadap lingkungan, ketauladan. Tari ini pula, kecacar dan grubug (sampar) (Gusti Agung Gd memililki fungsi dan makna religius-magis, kehar- Putra, tt. 11-12). Lebih jauh disebutkan, jika musin monisan terhadap lingkungan alam, serta social. —grubug“ (penyakit sampar), pada saat mana —bhu- Namun sayang jenis Tari Sanghyang tidak memiliki takala“ berkeliaran dimana-mana lalu dipertunjuk

239 I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

kan tarian Sanghyang dan banten caru dan Tunggul kehidupan pendukungnya. Karena itu, tidak mengh- Gana. Para bhutakala sangat tertarik mendengar erankan kalau penelitian ini teori besarnya menggu- dan melihat tarian-tarian Sanghyang, sehingga nakan Teori Fungsionalisme B. Malinowski (dalam ramai-ramau menonton, namun kemudian terkejut Koentjraningrat, 1997). Lebih jauh beliau menge- dan lari pontang-panting setelah melihat bhatara mukakan segala aktivitas (unsur) kebudayaan pada Gana ada di sana. Bhatara Gana yang dikenal hakekatnya untuk memenuhi kebutuhan dasar dengan nama lain adalah Wighnecwara (yang manusia. Oleh karena itu, setiap pola adat kebiasaan artinya Dewa dari halangan) adalah penghalau merupakan fungsi dasar dalam kebudayaan. kejahatan dan musuh dari segala bencana. Masyarakat dapat dikatakan sebagai system social yang di dalamnya berdiri sendiri atas bagian-bagian Dengan demikian, sebelum dunia kesehatan maju yang saling berhubungan dalam rangka pemenuhan seperti sekarang, dengan mementaskan Tari kebutuhan dasarnya baik kebutuhan dasar primer Sanghyang bukan tujuannya sebatas sebagai alat maupun sekunder. Pementasan Tari Sanghyang upacara untuk berhubungan dengan Maha Pencipta. merupakan bagian kebutuhan dasar sekunder dari Namun lebih kompleks yaitu, menolak bencana dan manusia. Tari ini termasuk tari wali (sakral) dan penyakit, mewujudkan keharmonisan dan keseim- klasik. Jika dibandingkan dengan kehidupan tari bangan hubungan antara manusia dengan manusia wali klasik lainnya, tari ini telah memiliki karakter (resolusi konflik) dan hubungan harmonis dan dan fungsi yang lebih khas dan relatif kurang popu- seimbangan antara manusia dengan alam lingkun- lar. Karena tujuan pementasanya bukan untuk gan dengan konsep diterminisme, penguatan identi- menghibur. Namun lebih ditujukan untuk pemenu- tas dan jati diri masyarakat pendukungnya. han kebutuhan dasar religius-magis. Karena itu tidak mengherankan kalau tari ini dijadikan Dari uraian tersebut di atas maka dapat dirumuskan medium kegiatan ritual-magis untuk mengusir permasalah sebagai berikut : 1) Kenapa Tari maupun nyomiang para Bhuta Kala. Kekuatan Sanghyang di Banjar Jangu, Desa Duda, perlu Bhuta Kala dalam tradisi Agama Hindu di Bali diberdayakan; 2) Apa usaha pemberdayaan yang selalu menjadi perhitungan dalam beryadnya. Umat sudah dan akan dilakukan oleh masyarakat Banjar Hindu harus bijaksana dalam menghadapi Bhuta Jangu, Desa Duda. Kecamatan Selat, Kabupaten Kala. Orang Bali yang beragama Hindu harus meli- Karangasem. batkan para Bhutakala. Karena tanpa bhutakala maka yadnya tidak akan selesai dengan sempurna. Tujuan dari penulisan artikel ini antara lain : Pada umumnya di Bali dan di Banjar Jangu khusus- 1)menghidupkan kembali Tari Sanghyang sebagai nya, Bhuta Kala bisa menyebabkan timbulnya warisan budaya lokal, karena warisan budaya Tari wabah penyakit tanaman, khewan dan manusia, Sanghyang sudah dikenal di kancah internasional. serta ketidak-harmonisan hubungan antar warga 2) membangkitkan suasana daerah dengan spirit desa. dan magis, karena taksu Bali ada pada Tari Sanghyang. 3) Mempertahankan Tari Sanghyang Pada kondisi seperti itu manusia mengalami krisis. sebagai salah satu tari Wali yang harus tetap Karena itu tidak mengherankan kalau manusia pada —hidup“ dalam pelaksanaan upacara dalam Agama saat seperti itu menghadirkan sesuatu yang sifatnya Hindu. transeden, dan semua itu dilakukan melalui upacara (Murdiyati, 2009:1-3). Upacara dengan sarana II. KAJIAN PUSTAKA kesenian, namun jenis kesenian tetap bertolak dari makna upacara itu sendiri. Ketika terjadi krisis Pertanyaan yang paling mendasar yang selalu bersama, manusia menghadirkan kekuatan kosmos muncul dibenak peneliti, maupun pemerintah, untuk mengatasi krisis itu. Konsep kesatuan kosmos terhadap tujuan mengadakan pelestarian dengan hanya dapat diperoleh melalui sistem kepercayaan. penggalian, perlindungan, pengembangan dan Karena itu pengetahuan tentang kosmologi keper- pemanfaatnya pada seni tradisi umumnya dan Tari cayaan, terutama para generasi tua sangat diutama- Sanghyang khususnya? Tentu jawaban singkat yang kan. Upacara yang lebih menonjolkan nilai sering dikemukakan oleh peneliti, karena Tari religius-magis yang dimaksudkan dalam situasi Tradisi tersebut memiliki fungsi dan makna bagi yang sering dilakukan secara mentradisi di Banjar

240 MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

Jangu dengan menyelenggarakan pementasan Tari dilakukan oleh I Gusti Agung Putra, dalam rangka Sanghyang. Karena dengan pementasan Tari pengelompokkan jenis-jenis tari-tari tradisi di Bali Sanghyang jaman terdahulu akan menjawab krisis pada buku Cudamani (tanpa tahun). yang dirasakan masyarakat. IV. FUNGSI DAN MAKNA TARI SAN- Untuk memperkuat pernyataan di atas akan dike- GHYANG BAGI MASYARAKAT BANJAR mukakan pula pendapat dari Redcliffe Brown JANGU (Kaplan dan Manner, 1999), yang mengemukakan bahwa, eksistensi upacara keagamaan yang memi- A. Fungsi Religius-Magis liki kaitan dan memberikan sumbangan yang besar Tari Sanghyang ditemukan hampir di seluruh Kabu- terhadap kerekatan social. Dengan kembali diber- paten di Bali. Akan tetapi yang paling banyak dayakan pementasan Tari Sanghyang di Banjar ditemukan di Kabupaten Karangasem, tepatnya di Jangu, anggota masyarakat bisa hidup berdampin- Banjar Jangu. Latar belakang lahirnya Tari gan kembali seperti sebelumnya. Teori fungsional Sanghyang di seluruh Bali pada umumnya disebab- tersebut diatas dilengkapi dengan teori Semiotika kan penduduk pulau Bali adalah beragama Hindu dari Marco de Marinis (dalam Geertz, 1992 :5), dan dalam agama Hindu wajib melaksanakan Panca yang mengatakan bahwa kebudayaan pada hakikat- Yadnya. Satu diantara Panca Yadnya, yaitu pada nya merupakan sebuah konsep semiotic atau upacara Bhuta Yadnya harus menyuguhkan tari tentang tanda. Tanda memiliki dua aspek yaitu wali berupa Tari Sanghyang. Pementasan tari ini, yang bisa ditangkap oleh panca indera, dan tanda banyak dilakukan pada bulan Maret (sasih yang dapat dipersepsikan sebagai tanda yang memi- Kesanga), karena bulan Maret banyak melakukan liki makna. (dalam Nuryahman, dkk. 2015 :8). upacara Bhuta Yadnya seperti ritual Pecaruan, Ngutang Pakelem, Nangkluk Mrana. Dalam batas Kajian tentang Tari Sanghyang cukup banyak, dian- tertentu, merupakan tanda atau jejak kemungkinan taranya yang dilakukan oleh Tim Peneliti dari sebagai fenomena yang berkaitan dengan Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Direktorat keberadaan Tari Sanghyang. Walaupun Tari Jenderal Kebudayaan, Depdikbud pada tahun Sanghyang merupakan sisa-sisa dari kebudayaan 1984/1985. Pada tahun 1998/1999 oleh I Dewa pra- Hindu, dan dapat digolongkan salah satu ciri Gede Raka, dkk., dengan judul laporan penelitian : tradisi kecil serta dapat dibuktikan atau dicirikan Deskripsi Tari Sanghyang Desa Jangu Karangasem, adanya trance (kerawuhan) (Panji, 1979:38). Bali. Pada tahun 2002 oleh Tim Peneliti dari Dinas Karena sampai saat ini penari pada tarian Kebudayaan Provinsi Bali dengan judul: Hasil Sanghyang penarinya kemasukan (spirit) Penelitian Tari Sanghyang di Banjar Jangu, Desa yang menyebabkan mereka tidak sadarkan diri. Duda, Kecamatan Delat, Kabupaten Karangasem. Kata Hyang sangat berkaitan dengan spiritual dan Ketiga jenis Penelitian ini hanya mesdeskripsikan magis. Karena itu tidak mengherankan, bahwa atau mencatat apa adanya tentang Tari Sanghyang penari Sanghyang, jika sudah trance, kekuatan yang tumbuh di Banjar Jangu. Belum mengulas tenaga yang ada pada saat menari bisa melebihi dari tentang fungsi, makna, apalagi langkah pember- kekuatan manusia. Karena ada kekuatan di luar dayaan. kekuatan manusia inilah Tari Sanghyang difungsi- kan oleh masyarakat Banjar Jangu sebagai tari men- Penelitian perseorangan yang pernah dilakukan gandung religius-magis. oleh Made Pantja pada tahun 1994, dengan judul Tesis S-2 : —Upacara Sanghyang Dedari di Desa Berdasarkan hasil wawancara selama di lapangan Celuk, Kecamatan Sukawati, Kabupaten Gianyar, (Bapak Made Dangin), bahwa pementasan Tari Provinsi Bali“. Tesis ini belum diterbitkan. Sanghyang di Banjar Jangu dipentaskan pada bulan Penelitian-penelitian maupun penulisan tentang Maret. Setelah Upacara Usaba Dodol. Diceritakan Tari Sanghyang sebelumnya juga sudah pernah pada jaman dahulu (cerita mitos dari mulut ke dilakukan oleh J. Belo pada tahun 1960; Lovric mulut) di Banjar Jangu pernah dilanda musibah pada tahun 1987; O‘ Neill pada tahun 1978; Suryani besar yang melanda semua jenis tanaman sakit dan Jensen pada tahun 1993 (Lihat di Michael akibat diserang hama. Tentu saja, penduduk yang Picard, 2006 :227). Catatan kecil juga pernah menggantungkan hidup dari pertanian dan perkebu- nan jadi menderita. Karena tidak lagi memiliki

241 I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

sumber penghasilan. Penduduk mengalami krisis pekarangan rumah, penduduk kemudian berkumpul mental dan pangan. di halaman banjar dengan membawa sisa obornya. Lalu di halaman banjar diadakan kegiatan lempar- Untuk menghentikan serangan hama itu, penduduk lemparan obor atau disebut Perang Bobok. kemudian membuat Upacara Mecaru. Harapannya dengan Mecaru ini, para Bhuta Kala tidak lagi Penduduk Banjar Jangu meyakini, disaat pelaksan- mengganggu tanaman mereka. Diyakini pula, para aan Upacara Tek-Tek Prus, beberapa orang akan Bhuta Kala itu berkaitan dengan Raja Wabah yang jatuh pingsan disebabkan mereka melihat Bhuta bernama I Dewa Gede Mecaling, berasal dari pulau Kala. Bhuta Kala itu ada yang berbentuk sebagai Nusa Penida. kuda, babi, kera dan bentuk lainnya seperti nama nama jenis Tari Sanghyang yang lahir di Banjar Dikisahkan Raja Wabah pada waktu-waktu tertentu Jangu. Setelah sadar dari pingsan, orang-orang yang selalu pergi ke Pura Besakih mengajukan permoho- telah melihat Bhuta Kala akan meniru tingkah nan —nunas atma“ (tumbal) untuk dijadikan pengi- Bhuta Kala tersebut. Lalu penduduk secara kut. Pada saat Raja Wabah ini pergi ke Pura simbolik melakukan pengusiran. Besakih. Diyakini pula selalu diikuti oleh Bhuta Kala yang menyebarkan berbagai macam penyakit. Sebagai bandingan, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wayan Sudarma, (2015), di Desa Mula-mula Upacara Mecaru ini diperkirakan cukup Adat Sidetapa, bahwa Tari Sanghyang dilaksanakan secara sederhana dan dipusatkan di adalah salah satu tari sakral yang pementasannya banjar-banjar. Namun nyatanya, penduduk seusai masih dilaksanakan sampai sekarang. Tari Mecaru masih merasakan ancaman dari para Bhuta Sanghyang Gandrung terdiri dari dua kata yakni, Kala. Dikisahkan kemudian penduduk memutuskan kata Sanghyang yang memiliki arti mepinunas untuk mengadakan Upacara Mecaru yang lebih (memohon), dan Gandrung berarti kala (membawa besar dipusatkan di Desa Adat. pengaruh negatif). Kala sesungguhnya berarti waktu, namun dalam konteks tari Sanghyang Gan- Dari peristiwa Mecaru inilah diduga awal kelahiran drung diyakini memiliki arti tersendiri yaitu Tari Sanghyang, yaitu merujuk pada kisah, pada pengaruh negative. Lebih lanjut dikatakan bahwa suatu ketika, sehabis dilaksanakan Upacara asal mula terbentuknya tari sakral Sanghyang Mecaru, yaitu diwujudkan dengan pembagian Gandrung dapat disimak dari alur kisah masyarakat hebatan/olahan daging anjing Bangbungkem Sidetapa. Disebutkan bahwa pada tahun 785, (anjing yang bulunya merah dan moncongnya masyarakat Sidetapa secara serempak mengalami hitam), pada sore harinya, seperti biasa diadakan penyakit yang susah disembuhkan. Berbagai cara Upacara tek-tek prus, yaitu upacara mengaturkan pengobatan telah dilakukan oleh masyarakat, hebatan dengan alas daun keladi di depan rumah. namun tanda-tanda untuk sembuh tidak kunjung datang. Kondisi kesehatan masyarakat secara Pada saat mengaturkan sajen tersebut penduduk keseluruhan semakin menurun, sehingga para melengkapi dirinya dengan obor terbuat dari daun pengelingsir (leluhur/tetua) mereka mengalami kelapa kering disertai Kesuna Jangu, Sirih, Minyak kebingungan. Merasa kehabisan akal untuk menga- dan sepotong bambu. Pelaksanaan Upacara Tek-Tek tasi masalah ini, pengelingsir mereka melakukan Prus ini adalah kegiatan mengelilingi sudut-sudut pertapaan di Pura Desa Bale Agung Sidetapa untuk pekarangan rumah maupun banjar dengan memohon petunjuk Ida Sanghyang Widhi (Tuhan memukul-mukul bambu disertai menyeburkan Yang Maha Esa). Selama pertapaan berlangsung, Kesuna Jangu, Minyak dan Sirih. Jadi, dari suara akhirnya beliau mendapatkan pewisik (wahyu) dari tek-tek akibat bambu dipukul dan semburan Kesuna Hyang Kuasa agar masyarakat setempat mencipta- Jangu, Sirih bercampur Minyak inilah asal nama kan sebuah tarian yang dinamakan Tari Sanghyang Tek-Tek Prus berasal. Semburan tersebut menim- Gandrung. Tujuannya adalah untuk memberi upah bulkan suara —prus“ yang dilanjutkan dengan men- berupa hiburan kepada Sang Bhuta Kala (mahluk gucapkan doa —Megedi Bhuta Kala Mulihang Sari“ halus) agar tidak mengganggu masyarakat dalam (Pergilah Bhuta Kala, kembalikan rejeki). Setelah kesehariannya baik berupa penyakit maupun kegiatan Tek-Tek Prus ini selesai dilaksanakan di bahaya lainnya.

242 MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

Sejalan dengan penelitian di atas, Ketut Sudharma Dengan kata lain, seperti keyakinan penduduk di Putra, (20015) juga mengadakan penelitian tentang Desa Jangu, tari ini sudah ada sejak dahulu kala, Tari Sanghyang Janger Mabobor. Ternyata hasil sejak manusia di desa tersebut mengetahui adanya penelitian tentang Tari Sanghyang Janger Mabobor gerakan-gerakan ritmis yang dimotivasi oleh juga memperlihatkan bahwa tari Sanghyang dapat ketakutan terhadap wabah penyakit.Tari Sanghyang dipakai sarana untuk penyembuhan penyakit dan diyakini adalah sebagai kegiatan yang memiliki menghilangkan kekotoran dan mala petaka yang kekuatan layaknya mantra, yang dicetuskan dengan menimpa manusia maupun alam semesta. Sarana nyanyian-nyanyian magis dengan harapan wabah penyembuhan pada tarian ini memakai api. Sarana penyakit akan pergi dan kehidupan pulih kembali. api dalam tarian Sanghyang juga menjadi ciri khas- nya. Karena itu tidak mengherankan kalau orang Tari Sanghyang di Banjar Jangu pada mulanya luar menyebutnya sebagai tari api. Karena salah hanya dipentaskan di malam hari dengan maksud satu sarana pokonya adalah api atau asap. Api oleh untuk gampang medapatkan aura magis dari para masyarakat Hindu di Bali dianggap memiliki dewa yang berstana di Pura atau pelinggih Ida kekuatan magis yang dapat melindungi warga Bhetara Gede yang ada di tengah Banjar Jangu. masyarakat dari serangan roh-roh jahat, atau secara Biasanya, tarian ini dipentaskan pada bulan Maret spiritual api dapat menghubungkan antara manusia (Sasih Kesanga) atau bila terjadi epidemic. Kini, dengan Tuhan, (Dibia, 1999/2000:13). tari ini dapat pula dipentaskan dan ditonton pada hari-hari biasa asalkan hujan tidak turun. Apabila Dalam lontar Kacacar sebagai lontar anugrah dari hujan turun tarian ini tidak dapat dipentaskan. Bhatara dari Gunung Agung yang diberikan kepada Empu Kuturan, ada menyebeutkan bahwa tari Penari Sanghyang (bukan sebagai penari biasa), Sanghyang merupakan tari penolak bala ( penyakit sebab penari Sanghyang akan mengalami Kerawu- cacar) dan penyakit sampar (Pandji, 1979). han (Kesurupan/Trance), namun di Banjar Jangu tidak ditemukan persyaratan bersifat khusus bagi Bila dikaitkan dengan uraian Dr. Claire Holt dalam penarinya, kecuali persiapan wajar, seperti pember- bukunya —Art in Indonesia“ yang antara lain menga- sihan diri (mandi dan dalam kondisi sehat), kemu- takan : The inhabitants have danced ever since they dian mengenai tata riasnya dilakukan lazimnya discovered the of rhythnuc movements paranging seorang penari Sanghyang atau dirias sesuai dengan excitement. Wheter of desire, fear or joy The inher- jenis tari yang akan dimainkan. ent —magie“ of dance is its generation of witality in both the dancer and the spectator. The dance is a Untuk pementasan, Tari Sanghyang memerlukan liberating incantations like hymns anda prayer. Lt bantuan nyanyian untuk menghadirkan kekuatan accompones celehration of all important aspeets of Hyang. Juru gending biasanya yang dibawakan life not the least death (I Dewa Gede Raka, oleh sekelompok penyanyi (disebut : Tukang Gend- 1998/1999) ing, Sekeha Tandak), biasanya berjumlah 10 sampai 15 orang, kadangkala jumlah penyanyi untuk Diterjemahkan secara bebas oleh penulis —Pen- beberapa jenis Tari Sanghyang menuntut jumlah duduk (Indonesia) telah menari sejak mereka penyanyi dalam jumlah tertentu. Namun, secara mengetahui rahasia tentang gerakan-gerakan ritmis umum jumlah itu tidak ditentukan secara ketat. yang tercetus dari rasa bergelora, baik karena keinginan, ketakutan maupun kegembiraan. Kekua- Selain itu, untuk pementasan Tari Sanghyang tan magis yang melekat daripada tari itu merupakan dilengkapi pula persembahan sesajen. Melengkapi pancaran dalam bentuk kehidupan baik pada penari dengan sesajen dimaksudkan untuk memudahkan maupun penonton. Tari itu adalah mantra yang mendatangi Hyang. Secara umum sajen itu berupa dilepaskan sama halnya dengan lagu-lagu suci dan : Canang Raka, Canang Sari, Saagan dan Daksina. pujaan-pujaan. Ia mengiringi segi-segi penghidupan Sedangkan untuk busana, Tari Sanghyang relative yang penting, dan tidak pula kurang artinya dalam tidak membutuhkan busana yang megah. Tata rias hal kematian“, maka Tari Sanghyang secara Tari Sanghyang relative sederhana, dirias sesuai penampilan memang menunjukkan ciri-ciri seperti dengan jenis Sanghyang yang akan dimainkan. yang diuraikan oleh Dr. Claire Holt. Bahan perlengkapan rias berasal dari alam sekitar.

243 I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

Misalnya, untuk Tari Sanghyang yang medium Proses selanjutnya, setelah tempat pementasan trancenya benda, yang diperlukan adalah beberapa disiapkan adalah proses pengasapan terhadap jenis pohon yang tumbuh di sekitar desa seperti penari. Proses pengasapan (ngukup) dilakukan di Sanghyang Teter memerlukan pohon teter, hadapan altar dengan pedupaan. Untuk beberapa Sanghyang Kerek property yang diperlukan kayu jenis Sanghyang, seperti Sanghyang Sri Putut api yang ada di sekitar Banjar Jangu. menggunakan dua buah pedupaan. Proses ini amat penting karena merupakan bagian kosentrasi men- Mengenai tata panggung, Tari Sanghyang membu- gundang roh. tuhkan halaman. Biasanya halaman Pura sebagai media yang paling mudah untuk menghadirkan Seorang penari menunduk (untuk medium benda Hyang. Luas penggung disesuaikan dengan diletakan di atasnya dengan jarak tertentu) di atas energinitas Sanghyang itu sendiri. Seperti pedupaan yang telah berasap. Pada saat itu, penari Sanghyang Jaran, tentulah memerlukan luas pang- mengatupkan matanya untuk berkosentrasi, memo- gung karena geraknya lebih luas. Perlengkapan lain hon agar roh yang dikehendaki memasuki dirinya, adalah altar. Altar ini pun dibuat dengan sederhana, proses kosentrasi ini dibantu dengan nyanyian. mirip sanggah semi permanen. Nyanyian dinyanyikan dengan irama tertentu, dengan syair yang sebenarnya sederhana. Fungsi Kekhasan Tari Sanghyang dibandingkan dengan nyanyian ini amat menentukan, apabila syairnya tari-tarian lain di Bali adalah pada kandungan kesu- tidak lengkap, proses trance tidak akan tercapai. rupannya, pada unsur trance. Inilah perbedaan menonjol ciri keberadaan tampilan Tari Sanghyang Tanda penari telah dimasuki roh atau telah pada dengan jenis tari wali klasik sakral seperti tari fase trance/kesurupan/kerawuhan, adalah ketika si Rejang dan Baris Upacara di Bali. Karena itu, penari jatuh dan lupa sejenak, setelah itu bangkit secara umum, pementasan Tari Sanghyang amat dan bertingkah laku atau menari dengan roh yang memperhitungkan komposisi ruang dan arah mata diharapkan datang (untuk benda, apabila benda itu angin. telah bergerak menirukan gerak mahluk hidup). Apakah menghadirkan Dedari, Bojog, Kerek, Komposisi ruang menentukan keyakinan penari dan Celeng, Memedi, Tutup, Jaran Gading, Lelipi, Sri penonton. Pementasan biasanya dilakukan di Putut, Kuluk, Teter, Capah, Sampat, Sembe, halaman Pura, arah Timur halaman Pura adalah Lesung, Dongkang, Saab dan Ceeng. Lama penari wilayah suci, tempat dibangun sebuah altar. Arah menari atau disebut menadi (menari dalam kondisi Timur maupun Utara, sebagai Kepala dalam kom- kesurupan/trance) tidak dapat ditentukan, tergan- posisi ruang pementasan, diyakini sebagai tempat tung dari daya tahan batin si penari menahan roh roh-roh yang akan diundang untuk turun menari. dalam tubuhnya. Apabila tarian tersebut berlang- Dengan demikian, komposisi ruang, posisi letak sung terlalu lama, maka untuk menyadarkan si altar maupun penari memiliki kaitan andil dalam penari atau membebaskannya dari roh dengan cara keberhasilan pementasan secara keseluruhan. memercikan air atau air suci. Semua itu sebetulnya bisa disebut pengkondisian untuk medium kerawuhan/kerasukan (trance). Di Tetapi tidak semua Tarian Sanghyang dapat dihen- Banjar Jangu, medium untuk kesurupan adalah tikan aktivitasnya dengan percikan air. Untuk manusia dan benda. Khusus untuk benda, seperti Sanghyang Dedari, tarian ini berhenti hanya apabila pohon teter, pohon singkong, alang-alang, daun roh yang memasuki si penari menghendaki tarian- enau yang masih muda (ambu) dan pohon dapdap nya berhenti. Umumnya, kondisi semua dapat dijadikan medium kesurupan, dan harus dicari penari/pelaku seusai menarikan Sanghyang dalam dengan prilaku khusus, disebut —piit/pingit“ atau kondisi tubuh menunjukan tanda kelelahan. dilakoni dengan sikap dan prilaku dirahasiakan. Tegasnya, ketika mencari benda-benda untuk Untuk memperkuat fungsi Tari Sanghyang sebagai medium kerauhan tersebut, orang lain tidak boleh tari persembahan terhadap para Hyang yang men- tahu. Tanda bahwa benda-benda tersebut memiliki gandung religius magis dapat disimak dari isi kekuatan kesurupan (nadi) kepengaruhannya pada Lontar Tantu Pagelaran, khususnya pada bagian yang memegang, namun hanya sebatas tangan. yang menyinggung soal keberadaan Sanghyang

244 MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

Dedari. Dikisahkan, pada saat Dewa Siwa yang dasar yang disimboli dengan pementasan tari hendak mensucikan Sanghyang Pancakosika, yaitu Sanghyang sebagai tari persembahan. Akan tetapi Kosika, Garga, Metri, Kusya dan Pertanjala. Dewa sangat signifikan menjalin keharmonisan dengan Siwa menugaskan istrinya, Dewi Uma, untuk men- lingkungan alam. Konsep hubungan antara manusia cari air susu Lembu Hitam (empehan). Pencarian air dengan lingkungan alam telah dikupas oleh F. susu Lembu Hitam ini ternyata tidaklah mudah, Ratsel melalui konsep antropogeographie dan walaupun dengan segala daya upaya Dewi Uma tentang ekologi budaya yang dikemukakan oleh tidak mendapatkan air susu tersebut. Julian Steward melalui konsep possiblisme. Antropogeographie yang berorientasi pada paham Dewa Siwa yang mengetahui keadaan itu lalu men- diterminisme lingkungan. Dinyatakan bahwa, gubah Lembu Mandini menjadi Lembu Hitam dan manusia dalam konsep tersebut dipandang sebagai Siwa sendiri menjadi penggembalanya. Kemudian mahluk dinamis yang militasnya sangat ditentukan dikisahkan, Dewi Uma dalam segala daya upayanya oleh kondisi alam yang ada dipermukaan bumi. itu akhirnya melihat keberadaan Lembu Hitam Sehubunaan dengan itu, lingkungan alam akan tersebut. Dikisahkan kemudian, ia meminta air susu berfungsi sebagai penentu yang akan menentukan Lembu Hitam itu kepada si Pengembala. Tetapi si kehidupan berikutnya. Diterminisme lingkungan Pengembala tidak memberikan air susu tersebut, yang melihat bahwa, populasi manusia dengan kecuali Dewi Uma bersedia melakukan hubungan perkembangan budayanya sangat ditentukan oleh badan dengannya. lingkungan alamnya. Namun secara bertahap sudah mulai ditinggalkan, mengingat dalam kenyataannya Dewi Uma sadar bila ini adalah ulah Dewa Siwa. yang lebih berperan dalam lingkungan tersebut Dewi Uma pun bersedia melakukan hubungan adalah manusia. Hal tersebut tampak dari badan dengan si pengembala. Tatkala itu terjadi, air pemikiran-pemikiran dalam aliran possibilisme mani Dewa Siwa diceritakan berjatuhan dan secara yang dikembanakan oleh E.C Semple maupun Paul ajaib berubah menjadi Widiadara dan Widiadari, Vidal De La Blache. Lingkungan alam menurutnva salah satunya yang tercantik dikenal sebagai Diah tidak merupakan faktor dominan yang menentukan Kintamani. Lalu oleh Dewa Siwa seluruh Widi- kegiatan manusia. Faktor yang menentukan menu- adara dan Widiadari ini dijadikan penari di sorga. rut pandangan tersebut adalah proses produksi yang dipilih oleh manusia dan berasal dari Kisah tersebut diyakini berkaitan dengan kemungkinan-kemungkinan yang diberikan oleh keberadaan Tari Sanghyang Dedari. Selanjutnya, alam baik berupa tanah, iklim, dan ruang yang ada dikisahkan pula, pada waktu terjadi epidemi penya- di suatu daerah. Sehubunaan dengan itu meskipun kit sampar, disaat bhutakala berkeliaran di tengah lingkungan dapat mempengaruhi pola-pola kebu- kehidupan masyarakat. Tari Sanghyang selayaknya dayaan dengan menghadirkan berbagai kendala. dipertunjukan dengan dilengkapi Sajen Pecaruan Akan tetapi lingkungan sendiri tidak akan bisa men- dan Tunggul Ganakumara. Mengapa demikian, ciptakan fenomena-fenomena tersebut. Manusia karena diyakini para Bhutakala amat senang telah dipandang sebagai faktor aktif terhadap menonton pementasan Tari Sanghyang dan mereka lingkungannya. Sebaliknya, lingkungan alam akan datang beramai-ramai menontonnya. Tetapi banyak memberikan kemungkinan terhadap biasanya, para Bhuta Kala itu akan terkejut dan lari perkembangan kehidupan manusia. Pandangan dari pontang-panting setelah melihat kehadiran Dewa possibilisme tersebut pada hakekatnya sesuai Gunakumara diantara keindahan tarian Sanghyang. dengan pendekatan ekologi budaya yang dikemuka- Dewa Ganakumara diyakini sebagai Dewa kan oleh Julian Steward (dalam Kaplan dan Wigheswara, yaitu Dewa halangan, penghalau Manner, 1999:105). Berkenaan dengan ekologi musuh dan bencana. budaya, Steward mengungkapkan bahwa, hubun- gan antara kebudayaan dan lingkungannya secara B. Fungsi Keharmonisan Terhadap Lingkungan fungsional sudah terlihat, begitu juga dengan Alam hubungan pola-pola kehidupan dengan organisme Untuk mencapai keharmonisan, kedamaian dan lingkungan terlihat dengan jelas. kesejahteraan yang ideal didalam kehidupan manu- sia, manusia tidak cukup dipuasi oleh kebutuhan

245 I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

Adanya hubungan tersebut menunjukkan bahwa Pendekatan tentang adaptasi manusia terhadap pengaruh keadaan lingkungan alam sangat menda- lingkungannya, juga dikemukakan oleh Soemar- lam terhadap diri manusia. Demikian sebaliknya wotto (1997:48), menurutnya dinyatakan bahwa, manusia akan mengembangkan sistem nilai tertentu "adanya perubahan terhadap lingkungan baik yang sesuai dengan lingkungannya berada. Dalam terjadi dengan cepat maupun lambat orang akan pandangan yang senada Koentjaraningrat berusaha mengadaptasikan dirinva dengan peruba- (1990:48), menyatakan bahwa, ekologi budaya han itu, kendatipun adakalanya orang tidak berhasil dapat diartikan sebagai pengaruh timbal balik mengadaptasi perubahan itu sebagai menghasilkan lingkungan alam yang telah diubah oleh kebu- sifat (prilaku) yang tidak sesuai dengan lingkungan- dayaan manusia terhadap kehidupan dan tingkah nya". Jelaslah dapat dikatakan, jika lingkungan laku manusia pada suatu lokasi tertentu di muka (habitat) mengalami perubahan secara langsung, bumi. Berkenaan dengan itu dapat dikatakan bahwa maupun tidak langsung akan mempengaruhi peng- kebudayaan merupakan suatu proses adaptasi dari huninya baik manusia maupun binatang. manusia dalam berinteraksi dengan lingkungannya. Demikian juga sebaliknya keberadaan suatu Pendekatan ekologi budaya dalam penulisan ini lingkungan akan dapat mendorong manusia untuk akan dipergunakan untuk menelaah tentang menciptakan kebudayaan. Sanderson, (2000:44), adaptasi Tari Sanghyang dengan lingkungan yang mengatakan bahwa, kebudayaan sendiri merupa- berubah, sehingga tetap dapat bertahan hidup kan totalitas kompleks yang memuat tiga rangkaian dengan teknologi atau cara yang dimilikinya. gejala, yakni teknologi yang ditemukan oleh manu- Demikian pula sebaliknya dalam pendekatan ini sia guna beradaptasi dengan lingkungannya, pola juga akan digunakan untuk menelaah tempat perilaku yang diikuti para individu sebagai anggota pertunjukkan Tari Sanghyang dalam membentuk masyarakat atau sistem sosial, dan berbagai keper- pola tindakan dari suatu masyarakat. cayaan, nilai dan aturan sebagai pedoman bagi hubungan mereka satu sama lainnya dan juga Dari pendapat masyarakat yang dikemukakan pada dengan lingkungannya. Perkembangan kebudayaan permasalahan tersebut di atas, pada hakekatnya suatu masyarakat dari proses adaptasinya tidak sangat berkaitan dengan pengelolaan dan peman- terlepas dari penafsiran dan pengetahuan dari faatan terhadap lingkungan. Terlahirnya jenis-jenis masyarakat terhadap lingkungan. Dalam artian tari Sanghyang juga sangat berkaitan dengan tersebut, keseluruhan dari pengetahuan manusia ekologi yang ditempati oleh penduduk Banjar sebagai mahluk sosial yang dapat digunakan untuk Jangu, yang kehidupannya sangat didominasi memahami dan menginterpretasikan lingkungan dengan kehidupan pertanian sawah maupun kebun alam dan sosial akan mendorong terwujudnya sangat mempengaruhi aktivitas masyarakat baik kelakuan. Dengan demikian, kebudayaan merupa- dari aspek kepercayaan, sosial, dll. kan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana dan strategi atas serangkaian Hasil wawancara selama di lapangan dengan model-model kognitif yang dipergunakan sesuai beberapa nara sumber yang telah diberi pengeta- dengan lingkungan yang dihadapinya. huan dari para orang tua seperti nenek maupun kakeknya, yang mengemukan bahwa :“ Dulu Berkenaan dengan proses adaptasi yang dilakukan semasih nenek gadis kecil, banyak teman-teman oleh manusia dalam berhadapan dengan lingkun- bermain kesini (maksudnya di rumahnya sendiri), gannya, merupakan suatu proses teknologi dan juga mereka sangat baik dan akrab; mengapa sekarang proses sosial. Sebagai proses teknologi mengand- mereka tidak pernah ada yang datang lagi?. ung arti bahwa ketika manusia menghadapi tantan- Teman-teman yang ditafsirkan oleh pewaris seka- gan, maka ia akan berusaha untuk memperbaiki rang itu yaitu, Lemputu, Kemangmang, dan institusi atau struktur sosial yang dimilikinva. Tangan-tangan yang baik-baik sekali“. Apa yang Dengan demikian, melalui suatu proses adaptasi dikemukakan oleh para tetua itu sungguh menarik manusia akan mencoba untuk memperoleh pening- untuk dijadikan acuan bahwa pada jamannya katan kebebasan dari adanya kendala atau hambatan (sekitar seratus tahun yang lalu) tentu ada dialog yang bersumber dari alam. komunikasi yang akrab tentang kehidupan lingkun- gan di Desa Jangu antara manusia, alam dan

246 MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

kekuatan yang baik di sekitar Banjar Jangu. Ling- C. Fungsi Sosial kungan ketika itu dapat kita bayangkan keda- mainya, keakrabannya, keharmonisannya. Sampai Manusia merupakan mahluk sosial yang dalam saat ini cerita itu masih dipercaya. Walaupun hanya hidupnya selalu berhubungan dengan manusia dalam cerita dari mulut-kemulut atau cerita lisan ke lainnya. Dalam hal ini manusia membentuk suatu lisan. Lempupu yang dimaksudkan berupa benda masyarakat yang didalamnya mereka saling berin- bagian manusia hanya kaki atau pahanya saja. teraksi. Tingkah laku manusia merupakan suatu hal Kemangmang itu berupa kepala manusia lengkap. yang bersifat dipelajari. Dengan kata lain tingkah Sedangkan tangan-tangan yang dimaksudkan laku manusia merupakan hasil dari proses belajar; sebuah lengan manusia yang utuh. dalam hal ini proses belajar dari orang tua atau lingkungannya kepada seorang individu. Hasil dari Para pewaris yang masih hidup dewasa sekarang proses belajar inilah yang sering disebut dengan telah menyimpulkan bahwa, —Berkomunikasi kebudayaan. Secara garis besar, terdapat wujud dengan lingkungan alam (termasuk isinya yang bisa kebudayaan yaitu kebudayaan sebagai ide, nilai dilihat dengan kasat mata maupun yang tidak bisa atau norma, kebudayaan sebagai tingkah laku dan dilihat, namun dapat dirasakan), di jaman para tetua kebudayaan dalam suatu wujud benda. Ketiga yang diperkirakan seratus tahun yang lalu, masih wujud tersebut merupakan suatu yang terintegrasi sangat mudah, dengan kekuatan-kekuatan alam dalam kehidupan manusia. Manusia mempunya ide, lingkungan. Dengan para makhluk yang sulit dipa- nilai ataupun norma yang diwujudkan dalam hami secara rasio, komunikasi sangat harmonis, tingkah laku, sedangkan tingkah laku tersebut karena diantara kehidupan sesame saling tidak menghasilkan barang-barang yang nampak nyata mengganggu dan malahan saling membutuhkan dan dapat diraba. bantu-membantu dengan manusia. Kehidupan pada jaman itu antara alam dan penghuninya suka saling Berbagai macam definisi tentang kebudayaan dike- membantu dan memberi. Namun tetap pada pors- mukakan para ahli kebudayaan dari berbagai inya sebagai manusia atau makhluk-makhluk halus. bangsa. Kluckhohn mendefinisikan kebudayaan Manusia sebagai makhluk yang paling tinggi dera- sebagai : (1) —Keseluruhan cara hidup suatu jatnya tidak ada keinginan untuk menundukan alam. masyarakat“, (2) —Warisan sosial yang doperoleh Demikian sebaliknya manusia tidak mau ditunduk- individu dari kelompoknya"“ (3) —Suatu cara kan oleh alam secara keseluruhan hidupnya. Pada- berpikir, merasa dan percaya“, (4) —Suatu abstraksi hal manusia dalam teori di atas sebagai makhluk dari tingkah laku“, (5) —Suatu teori dari pihak yang dinamis, namun tetap manusia ditentukan oleh antropologi terhadap suatu kelompok masyarakat kondisi alam atau paling tidak menyusuaikan diri nyatanya bertingkah laku“, (6) —Suatu gudang untuk (adaptif) dengan alam dimana mereka berada. Akan mengumpulkan hasil belajar“, (7) —Seperangkat tetapi hari ini kondisi seperti itu sangat langka, dan orientasi-orientasi standar pada masalah-masalah hanya orang-orang tertentu yang mampu menekun- yang sedang berlangsung“, (8) —Tingkah laku yang inya. dipelajari“, (9) —Suatu mekanisme untuk penataan tingkah laku yang bersifat normatif“, (10) —Sep- Pada tahun 1998 penduduk Banjar Jangu kondisi erangkat tekhnik untuk menyesuaikan baik dengan hidup harmoni dan seimbang antara manusia lingkungan luar maupun dengan orang-orang lain“, dengan alam lingkungan masih dijalankan, (11) — Suatu endapan sejarah“ (Geertz, 1992 : 4-5). sehingga pementasan tari Sanghyang masih dipen- Lebih lanjut Geertz -- dengan mengambil ide taskan secara rutin. Tanpa atas dasar ditanggap oleh pemikiran dari Max Weber yang menyatakan touris manca negara. Sehingga pada saat itu pemen- bahwa manusia adalah seekor binatang yang tergan- tasan tari Sanghyang masih difungsikan sebagai, 1) tung pada jaringan-jaringan makna yang ditenunnya melindungi penduduk dan tempat tinggal mereka sendiri œ menganggap kebudayaan sebagai agat tidak mendapat gangguan roh jahat atau jaringan-jaringan itu dan analisis atasnya lantas kejahatan bersumber dari manusia; 2) agar tanaman tidak merupakan sebuah ilmu eksperimental untuk pertanian dan perkebunan, serta hewan-hewan mencari hukum malainkan sebuah ilmu yang bersi- peliharaan mereka tidak diserang wabah penyakit fat intepretatif untuk mencari makna (Geertz, ibid, dan menghasilkan panen yang baik. hal. 5).

247 I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

Beranjak dari pemikiran tentang kebudayaan terse- serta menciptakan tata susunan pengertian yang but, Geertz menawarkan cara menafsir kebudayaan luas. Kecendrungan memberi makna maupun nilai dengan cara memaparkan konfigurasi atau sistem tersebut merupakan kegiatan kolektif yang dilaku- simbol-simbol bermakna secara mendalam dan kan secara bersama-sama oleh kelompok menyeluruh. Mengingat bahwa simbol budaya masyarakat sesuai lingkungan yang dihadapi. adalah kendaraan pembawa makna, Geertz berkes- impulan bahwa selama ini simbol-simbol yang Gidden, mengabstraksikan hasil pikiran kelompok tersedia di kehidupan, namun sebuah masyarakat masyarakat dan selanjutnya hasil itu berupa konsep sesungguhnya menunjukkan bagaimana para warga akan menata kembali kehidupan anggota masyarakat yang bersangkutan melihat, merasa, masyarakat yang bersangkutan sebagai nilai dan berpikir tentang dunia mereka dan bertindak budaya. Dengan kata lain, nilai budaya merupakan berdasarkan nilai-nilai yang sesuai. Bagi Geertz, abstraksi dari segala sesuatu yang dianggap kebudayaan adalah semiotis yaitu, hal-hal yang bermakna dan bernilai tinggi dalam kehidupan berhubungan dengan simbol-simbol yang tersedia suatu masyarakat (2000). Karena nilai budaya sifat- di depan umum dan dikenal oleh masyarakat yang nya abstrak, berada di alam pikiran kepala-kepala bersangkutan. Simbol adalah sesuatu yang perlu manusia, berada dalam alam pikiran dari warga ditangkap (ditafsir) maknanya dan pada giliran masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan berikutnya dibagikan oleh dan kepada warga hidup. Nilai-nilai budaya ini juga sering disebutkan masyarakat dan diwariskan kepada anak cucu sebagai adat tata kelakuan yang berfungsi meng- (Susanto, 1992 :vi-vii). Simbol yang paling men- atur, mengendalikan dan memberi arah kepada dasari dari keberadaan tari Sanghyang yang ada di kelakuan dan perbuatan manusia dalam masyarakat Banjar Jangu yang diceritakan kelahirannya (Koentjaraningrat, 1990:5-6). Dalam pengertian ini berdasarkan mitos-mitos yang diceritakan oleh para nilai budaya juga dipakai untuk mengacu pada tetua, dan bukti fisik pura Ida Bhatara Gede yang system pengetahuan dan kepercayaan yang disusun masih berdiri megah di tengah-tengan Banjar Jangu. sebagai pedoman manusia dalam mengatur Walaupun mitos tersebut didapat dari mulut kemu- pengalaman-pengalaman dan persepsi mereka, lut kayakinan masyarakat Banjar Jangu tidak terlalu menetukan tindakan dan memilih di antara alterna- berubah. Karena itu fungsi social pementasan tari tive yang ada. Nilai budaya dalam pengertian ini Sanghyang yaitu, 1) untuk menata tatanan hidup dimaksudkan sebagai pola untuk/bagi perilaku akrab, harmonis, selaras antar warga dapat dipeli- (patten for behavior) kelompok social tertentu hara, 2) pelanggaran sikap tidak etis dari warga Dengan demikian, pemberian arti terhadap suatu menjadi sangat berkurang. Karena ada kondisi benda, selanjutnya pemberian arti menjadi pembe- secara moral, masyarakat telah mendapat kekuatan rian nilai budaya, juga mengandung pengertian mental spiritual saat melaksanakan ngoncang, pemberian makna. Hal ini akan menduduki posisi music kulkul bambu dibawa berkeliling selama sentral dan paling dalam, dalam kerangka suatu sebulan, kemudian Dewi Sri memberi berkah kebudayaan, karena berfungsi sebagai pedoman kekuatan untuk menghadapi tantangan. tertinggi bagi tata kelakuan manusia.

D. Makna Pementasan Tari Sanghyang Dalam masyarakat yang masih tradisional, menurut Makna adalah mengandung arti yang sangat penting Berger (dalam Damardjati Kun Marjanto, 2003); dalam kehidupan manusia. Bahkan tidak sedikit (Purna, 2012), makna itu diberikan kepada manusia yang mengartikan makna dalam kehidupan manusia oleh tradisi yang jarang atau tidak pernah dipertan- sebagai tujuan akhir dari suatu program maupun yakan. Apalagi makna maupun nilai budaya yang aktivitas hidup. Hidup tanpa makna bukan kehidu- merujuk pada prinsip œprinsip moral, tujuan dan pan manusia namanya. Karena itu tidak mengher- standar yang dianut oleh individu, klas social, atau ankan bahwa manusia pada hakekatnya sebagai masyarakat. Namun dewasa sekarang apakah mahluk yang hidupnya senantiasa memproyeksikan penilaian seperti ini masih ajeg. Generasi tua mung- makna dalam alam lingkungan tempatnya berada. kin masih. Bagi generasi penerus (muda) tidak Berkenaan dengan itu, manusia akan memberi sedikit yang mempertanyakan. Seperti pada makna kepada benda-benda; kemudian menumbuh- masyarakat Banjar Jangu generasi mudanya tidak kan nilai kepada benda-benda atau bentuk lainnya, banyak yang tahu, apalagi menguasai tentang Tari

248 MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

Sanghyang dan perangkatnya. Lebih-lebih dalam diasumsikan betul-betul masih suci, dianggap rangka memaknai Tari Sanghyang secara makna pikiran dan raganya belum terkontaminasi oleh fungsional yang memberi penekanan pada penting- nafsu, apalagi nafsu yang menyesatkan (Sudarma, nya kegunaan benda-benda kebudayaan, maupun 2015). Darah yang keluar dari rahim manusia makna simbolik yang penekanannya pada unsur disimbolkan nafsu kotor. estetis benda-benda kebudayaan dengan kualitas cita rasa, (Tester, 2003:5). Nilai kesederhanaan yang dimiliki oleh Tari Sanghyang dapat diamati dari kostum dan kata-kata Hasil wawancara selama di lapangan, terutama lagu (gendingnya). Kostum Tari Sanghyang sangat kepada generasi tua yang dijadikan nara sumber berbeda dengan tarian tradisi Bali lainnya. Pakaian tentang sikap dan pandangan terhadap ke-17 Tari Tari Sanghyang sangat berkaitan dengan apa yag Sanghyang yang ada di Banjar Jangu, masih sangat disediakan oleh alam. Karena lahirnya Tari positip. Mereka yakin dan percaya bahwa dengan Sanghyang sangat berkaitan fenomena dan isi pementasan tari Sanghyang sudah mengandung alamya itu sendiri. Dan sangat berkaitan pula standar moral masyarakat yang bersangkutan. dengan hidup dan kehidupan manusia itu sendiri. Masyarakat generasi tua sangat mendukung agar Kata-kata pada gending Tari Sanghyang sangat tari Sanghyang dipentaskan kembali secara berkala sederhana dan mudah dipahami oleh masyarakat. maupun pada saat dibutuhkan. Hanya saja tempat Gending pada tari Sanghyang tidak menggunakan pementasannya seperti lapangan yang luas pada bahasa tinggi. saat observasi sedang dirintis, dan beberapa generasi muda sudah diadakan pendekatan untuk Penyelenggaraan pementasan Tari Sanghyang pada mau belajar gending maupun menjadi penari intinya persembahan terhadap para Dewa dan para Sanghyang. Karena Tari sanghyang tidak saja seba- Bhuta Kala. Manusia tugasnya menyeimbangkan gai tarian hiburan untuk para bhuta kala, maupun kembali antara kedua kekuatan itu. Alam bhur penolak atau mengusir penyakit dengan membang- (dewa/atas) dan alam swah (bhuta kala/bawah) kitkan emosi keagamaan para pendukungnya, harus diseimbangkan oleh alam bhuah (tengah/alam namun dengan adanya pementasan Tari Sanghyang manusia) sebagai mahluk tertinggi yang memiliki dapat pula membangun solidaritas social, keruku- bayu, sabda dan idep . Pementasan Tari Sanghyang nan masyarakat Banjar Jangu, serta membangun di Banjar Jangu dalam rangka menyeimbangkan harmonisasi terhadap lingkungan alam. Karena kembali kehidupan manusia dengan alam lingkun- alam bagi umat Hindu diibaratkan simbol gan, baik lingkungan social maupun lingkungan Sanghyang Widhi (Tuhan). Menghormati alam fisik. Manusia yang sakit agar segera sembuh, berarti menghormati Sanghyang Widhi. Semua tanaman yang ada penyakitnya setelah ada pemen- yang ada di alam ini adalah ciptaan Sanghyang tasan Tari Sanghyang segera sirna dan hasil perta- Widhi. Karena itu tidak mengherankan Tari nian dan perkebunan berhasil baik. Kesederhanaan Sanghyang tergolong tari sakral (wali). Karena baik gerak tari, kostum, kata-kata, ritme, melodi, teknik mewujudkanya melalui dalam rangka untuk mewujudkan suasana sejuk, kerawuhan/kerasukan (trance), sehingga sangat hening, haru, khidmat. Kondisi gending pada Tari wajar masyarakat memberi penilaian, bahwa Tari Sanghyang seperti itu dimaksudkan agar penari Sanghyang memiliki makna maupun nilai religius Sanghyang cepat menghadirkan roh. Kondisi magis yang tinggi. Dengan mementaskan maupun seperti ini sudah menjadi harapan oleh masyarakat mempersembahkan Tari Sanghyang masyarakat Hindu di Bali maupun di luar Bali. Dalam bentuk sudah melakukan upacara (yadnya), sebagai ucapan nyanyianpun banyak nyanyian dengan ucapan yang rasa syukur kepada Sanghyang Widhi. liriknya mengundang spirit, seolah olah para Dewa hadir di saat upacara maupun pementasan. Mandra Tari Sanghyang dapat digolongkan tari sakral (wali) Aryasa, (1993), mengemukan bahwa banyak alat dapat diperkuat dari batasan-batasan yang dimi- music maupun melodinya berfungsi dalam upacara, likinya, seperti para penarinya, terutama Sanghyang tekanan-tekanan , ritme, melodi dapat men- Dedari penarinya harus anak-anak remaja yang gubah suasana menjadi sejuk, meriah, megah, belum pernah datang bulan (bajang). Hal ini mengi- agung, haru, khidmat atau semangat yang tinggi. syaratkan bahwa pelaku Tari Sanghyang Dedari

249 I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

V. PEMBERDAYAAN TARI SANGHYANG DI Para generasi penerus sebaiknya diwajibkan untuk BANJAR JANGU mengenal gending-gending maupun gerak Tari Sangyang. Usaha-usaha pemberdayaan terhadap Tari Sanghyang dilakukan dengan mengembalikan Organisasi tradisional Desa Adat maupun Banjar komunitas lokal untuk menjadi diri mereka sendiri Adat sebaiknya dilibatkan dalam pemberdayaan dengan mempertahankan nilai-nilai budaya yang Tari Sanghyang. Karena lembaga seperti Desa Adat telah mereka miliki (Made Dyah Indira, 2009). maupun Banjar adat merupakan lembaga tradisonal Kevakuman pementasan Tari Sanghyang beberapa yang sudah mapan, stabil keberadaanya. Bahkan tahun lamanya mulai disikapi secara serius setelah sudah memiliki sifat yang dinamis, kreatif dan diadakan penelitian oleh Balai Pelestarian Nilai adaptif terhadap perkembangan kemajuan bangsa (I Budaya Bali tahun 2016. Langkah-langkah yang Made Purna, 2000 : 35). sudah dan akan dilakukan sebagai berikut :

1) Pemberdayaan Melalui Dimensi Struktur. 2) Pemberdayaan Tari Sanghyang Melalui Pemberdayaan melalui dimensi struktur adalah Dimensi Kultural. pola-pola organisasi yang mantap, dan stabil serta Model pemberdayaan yang dikemukan di atas lebih mampu meneruskan diri (self reproducing). menekankan model pemberdayaan yang datangnya Seseorang atau kelompok komunitas yang lahir dari dari luar. Pemberdayaan yang datang dari luar berbagai struktur social, atas ketakutan sendiri ia keberadaannya kurang langgeng dengan kata lain tidak mampu untuk menguasai atau mengubah proses pembangunan dari atas akan mematikan struktur itu (Soedjatmoko, 1983 : 157). Contonya, vitalitas dari bawah. Untuk itu perlu disadari, ada seseorang atau sekelompok (komunitas) yang bahwa vitalitas yang tadinya sudah terbukti mem- tidak mampu menyamai komunitas lain dalam punyai kekuatan perlu dibangkitkan kembali. Perlu bidang pelestarian terhadap budaya yang hampir disadari, bahwa vitalitas Banjar Jangu dipulihkan maupun sudah punah yang disebabkan ketidakta- kepercayaannya dan penonjolan daerahnya yang huan informasi meminta bantuan maupun dukun- sudah menjadi kekhasnya. Kekhasan itu biasanya gan, baik bantuan material atau dukungan moral, impuls-impuls yang paling dalam dan biasanya atau dukungan regulasi, sehingga unsur budaya dipakai sebagai alat menata kehidupan anggota komunitas tersebut mengalami kepunahan. Padahal masyarakatnya. Dengan kata lain merupakan pola ada jalur biro krasi/pemerintah (struktur sosial) bagi suatu kelakukan, sehingga corak khas lokal yang harus hadir di tengah-tengah komunitas terse- dapat dipulihkan (Soedjatmoko, 1984 :95). but. Pemerintah dewasa sekarang diwajibkan mem- fasilitasi untuk kebertahan budaya. Pemerintah Perlu dimotivasi, bahwa Banjar Jangu kekhasan Kabupaten Karangasem akan mengembalikan yang menonjol karena pernah hidup tujuh belas Tari tempat pementasan Tari Sanghyang berupa tanah Sanghyang. Bila perlu diberi predikat penamaan lapang yang tadinya dipakai untuk membangun banjar tersebut sebagai —Banjar Sanghyang“, sekolah. Karena tempat pementasan Tari sehingga para generasi merasa tidak asing menden- Sanghyang, terutama Tari Sanghyang Jaran gar kata Sanghyang itu sendiri. Demikian pula memerlukan pementasan yang cukup luas. gending-gending diajarkan sedini mungkin kepada Demikian pula Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali anak-anak sehingga kata-kata yang tersurat pada ikut memfasilitasi untuk membeli pakaian sekeha masing-masing gending Sanghyang tidak asing gending atau sekeha tandak Tari Sanghyang. baginya. Semuanya ini bisa dibangkaitkan melalui — Pemerintah Kabupaten semestinya selalu men- etos kebersamaan“. Hubungan yang didasarkan gagendakan pementasan Tari Sanghyang, namun perasaan bersama (consiuness colletive‘s) yang Tari Sanghyang yang sifatnya sekuler. Pementasan biasanya sudah terkemas ke dalam prinsip hubugan yang tidak dilengkapi dengan sesajen sebagai mana dekat yang bertatwam asi yang dipayungi oleh mestinya dan presedur yang ideal. Hal ini untuk unsur kepercayaan yang sudah terwariskan berupa pengenalan pengetahuan tentang gending dan Tari pura Pelinggih Ida Bhetara Gede. Sanghyang kepada masyarakat luas, terutama kepada para generasi penerus.

250 MUDRA Jurnal Seni Budaya Volume 32, Nomor 2, Mei 2017

Sikap kultur hormat dan menghargai peran yang solidaritas, kebersamaan, kerukunan maupun melekat kepada seorang yang disucikan perlu keharmonisan bagi masyarakat pendukungnya. dibangkitkan kembali, seperti peran yang disandang Tari Sanghyang juga merupakan sumber taksu tari oleh para penari Sangyang. Seorang penari tradisi Bali, karena tari ini keberadaannya sangat Sanghyang bisa menari Sanghyang bukan karena tergatung kepada spirit dari pendukungnya. Nilai proses belajar. Melainkan karena —nyungsung“ dan religius-magis masyarakat pendukunya perlu diper- —Ngayah“. —Nyungsung“, yaitu, menjunjung, tahankan melalui pemberdayaan dimensi struktur menyembah, memuja. Umumnya yang disungsung dan kultur. Atas dasar model usulan pemberdayaan dewa-dewi, maupun raja. Setelah menyadari ada yang disampaikan ke masyarakat Banjar Jangu, yang disungsung tentu harus mampu memerankan- maka tempat pementasan Tari Sanghyang sudah nya siapa yang disungusung. Termasuk memer- mendapat ijin dengan menggunakan tempat peng- ankan fungsi dari dewa atau roh halus yang bongkaran sekolah Sekolah Dasar, perlengkapan di“sungsung“. Sikap atau perilaku, gelagat yang menari sudah diadakan seperti gongseng, asep, disungsung tidak bisa dipelajari, melainkan otoma- majegau, pelawa, pakaian tari, kostum juru gend- tis dalam bentuk kerawuhan/kerasukan (trance). ing, sehingga pada malam hari tanggal 14 Februari Orang yang memerankan junjungan umumnya 2017, dipentaskan Tari Sanghyang bersamaan dipilih dan ditetapkan (kecatri) secara gaib. Karena dengan upacara mecaru atau masegeh. itu tidak mengherankan kalau yang dipilih itu tidak canggung atau ragu untuk —ngayah“, yaitu melaku- Pemerintah dan masyarakat sebaiknya mempriori- kan pekerjaan maupun peran tanpa upah. (Kamus taskan program untuk menghidupkan kembali Bali-Indonesia, 1993). Sanghyang Jaran misalnya, terhadap seni-seni yang hampir maupun yang sudah yang memakai simbolis binatang kuda (jaran), punah dengan memfasiltasi berupa Bantuan Sosial diaman seorang penari kerasukan di bawah (Bansos). Jika hanya menghadalkan dari kemam- pengaruh binatang jaran. Penari menunggang puan dana organisasi maupun masyarakat pendu- seekor kuda yang terbuat darui anyaman bamboo kungnya sangat sulit. Lebih-lebih ada persepsi di dan menyepak-nyepak bara batok kelapa. Kebera- masyarakat, kalau seni yang tidak bisa —dijual“ akan nian menyepak-nyepak bara batok kelapa tentu dikesampingkan. diakibatkan oleh kekekuatan religius magisnya. Demikian pula Sanghyang Dedari. Yang menjelma DAFTAR RUJUKAN jadi penari Sanghyang Dedari harus orang yang masih suci. Peran-peran seperti ini pemberdayaan- Aryasa, I Wayan Mandra. 1993. Seni Sakral. nya sebaiknya melalui membangkitkan dimensi Jakarta : Dirjen Hindu-Budha dan Universitas kulturnya. Karena kultur seperti ini adalah kultur Terbuka. kekhasan, dan kebanggaan. Dibia, I Wayan. , dkk. 1999/2000. Tari Wali, VI. SIMPULAN Sanghyang, Rejang, Baris. Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Tari Sanghyang, merupakan bagian dari Sembilan Tari Tradisi Bali yang telah mendapatkan Dinas Pengajaran Daerah Tingkat I Bali. 1993. Bali pengakuan dan penetapan oleh Unesco (Badan Kamus Bali-Indonesia. Editor : I Wayan Warna. Dunia Bidang Pendidikan dan Kebudayaan), tang- gal 2 Desember tahun 2015, untuk mempertahankan Geertz, Clifford. 1992. Tafsir Kebudayaan, Terje- eksistensi nya perlu dilakukan langkah evaluasi dan mahan Francisco Budi Hardiman. Yogyakarta. antisivasi. Untuk mendukung langkah tersebut Kanisius. diperlukan program kebijakan penelitian untuk mendokumentasikannya dan membuat kebijakan Gidden, Anthony. 2000. Anthony Gidden Suatu untuk pemberdayaannya. Menjaga keberadaan Tari Pengantar. Terjemahan Henrry œ Priyono. Kepusta- Sanghyang dipandang perlu mengingat Tari kaan Populer Gramedia. Yogyakarta. Sanghyang telah memiliki fungsi religius-magis, fungsi social dan kearifan terhadap lingkungan alam serta memiliki makna, baik makna moral,

251 I Made Purna (Pemberdayaan Tari Sanghyang...) MUDRA Jurnal Seni Budaya

Indira, Made Dyah. 2009. Resistensi Masyarakat Putra, Sudharma Ketut. 2015. —Tari Sanghyang Terhadap Penguasa dan Pengusaha di Nusa Cenin- Janger Maborbor di Desa Yang Api, Kecamatan gan 1999-2008 (Studi Kasus Proyek Green Island). Tembukuy, Kabupaten Bangli“. Jurnal Jnana Skripsi S1 Jurusan Sejarah Fakultas Sastra dan Budaya. Vol. 20.No. 1. Februari 2015. Denpasar : Budaya, Unud. Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali.

Kaplan, David dan Albert A. Manner, 1999. Teori Raka, I Dewa Gede dkk., Deskripsi Tari Sanghyang Budaya. Penerjemah Landung Simatupang. Yogya- Desa Jangu Karangasem Bali. Denpasar : Departe- karta : Pustaka Pelajar. men Pendidikan dan Kebudayaan, Kantor Wilayah Provinsi Bali, Bidang Kesenian , Bagian Proyek Koentjaraningrat. 1997. Teori Antropologi II. Pembina Kesenian Bali. Jakarta : UI Press Santosa, Dwi Bambang I Made Dharma Suteja, I Marjanto, Damardjati Kun, dkk. 2003. —Nilai Made Purna, I Made Suarsana, Raj Riana Dyah Budaya dan Fungsi Upacara Pesta Ponan di Desa Prawitasari. 2016. Kajian Tari Sanghyang di Poto, Kabupaten Sumbawa“. Dalam Jurnal Peneli- Banjar Jangu, Desa Duda, Kecamatan Selat, Kab tian Sejarah dan Nilai Tradisional. No. 08/III/2003. Karangasem. Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali. Balai Kajian sejarah dan Nilai Tradisional Penerbit : Kepel Press. Denpasar. Sudarma, I Wayan. 2015. —Tari Sanghyang Michael Pichard, 2006. Bali Pariwisata Budaya Gandrung Tradisi Sakral Masyarakat Sidetapa dan Budaya Pariwisata. Jakarta :Kepustakaan Kecamatan Banjar Kabupaten Bulelelng“. Jurnal Populer Gramedia. Jnana Budaya. Vol. 20. No. 2. Agustus 2015. Denpasar : Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali. Marinis, Marco, 1993. The Semiotics of Perpoimence, Transleted by Aine O‘Healy Blomo- Sanderson, Stephen K. 2000. Makro Sosiologi, mington and Indianapolis : Indiana Univerfsity Sebuah Pendekatan terhadap realitas Sosial. Press. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Murdiyati, Y. 2009. —Seni Pertujukan Ritual Dalam Soemarwotto, Otto. 1997. Ekologi Lingkungan Upacara Labuhan di Parangkusuma“. Jurnal Seni Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Djambatan. Budaya Mudra. Vol 24. No 1. Januari 2009. Susanto, Budi, S. J. 1992. —Sekapur Sirih“. Dalam Nuryahman, dkk. 2015. Inventarisasi Perlindungan Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta : Karya Budaya Tari Tandak Gerak Provinsi Nusa Kanisius. Tengggra Barat. Denpasar : Balai Pelestarian Nilai Budaya Bali. Tim Peneliti, 1984/1985. Pemeliharaan dan Pemanfaatan Kesenian, Naskah Pendokumentasian Purna, I Made. 2000. —Pemberdayaan Masyarakat Tari Sanghyang Desa Jangu Perbekalan Duda, Miskin di Kabupaten Badung“. Jurnal Jnana Kecamatan Selat, Kabupaten Karangasem. Budaya, Media Informasi dan Publikasi Sejarah dan Denpasar : Proyek Pengembangan Kesenian Bali, Nilai Tradisional. Edisi ke-4, No. 04/IV/2000. Direktorat Jenderal Kebudayaan Depdikbud. Denpasar : BKSNT Bali, Ditjenbud, Kemendikbud. Tim Peneliti, 2002. Hasil Penelitian Tari Purna, I Made. 2012. Pesta Ponan, Kearifan Lokal Sanghyang di Banjar Jangu Desa Duda Kecamatan Masyarakat Samawa. Yogyakarta : Penerbit Selat, Kabupaten Karangasem. Denpasar: Dinas Ombak. Kebudayaan Provinsi Bali.

Panji I G. B. N. dan I Made Bandem. 1979. Ensik- Taster, Keith. 2003. Media Budaya dan Moralitas. lopedi Musik dan Tari Bali. Yogyakarta : Kanisius. Terjemahan. Yogyakarta : Juxtapose bekerjasama dengan Kreasi Wacana, Jogyakarta. Putra, Agung, A.A. Gde. Cudamani Tari Wali, tt.

252