KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DAN PEMANFAATAN HABITAT PADA EKOSISTEM KARST GUNUNG KENDENG KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH

WIWIN SETIANI

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012 M / 1433 H KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DAN PEMANFAATAN HABITAT PADA EKOSISTEM KARST GUNUNG KENDENG KABUPATEN PATI, JAWA TENGAH

SKRIPSI Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

WIWIN SETIANI 108095000039

PROGRAM STUDI BIOLOGI FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2012 M / 1433 H

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN KEASLIAN SKRIPSI INI BENAR- BENAR HASIL KARYA SENDIRI YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI SKRIPSI ATAU KARYA ILMIAH PADA PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA APAPUN.

Jakarta, Oktober 2012

Wiwin Setiani 108095000039

ABSTRAK WIWIN SETIANI. Keanekaragaman Jenis Burung dan Pemanfaatan Habitat Pada Ekosistem Karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Skripsi Program Studi Biologi Fakultas Sains dan Teknologi. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2012. Penelitian dilakukan pada ekosistem karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung diurnal dan pemanfaatan habitat oleh burung pada ekosistem karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Metode yang digunakan ialah kombinasi metode transek dan metode point count dengan metode IPA (Index Point of Abundance). Hasil penelitian menunjukkan 33 jenis, 29 genus dan 17 famili. Sebanyak 6 jenis burung merupakan spesies endemik di Pulau Jawa dan 10 jenis burung adalah spesies yang dilindungi berdasarkan undang-undang, status perdagangan (CITES) dan keterancaman (IUCN). Berdasarkan indeks Shannon-wiener (H’) di seluruh lokasi pengamatan, H’ burung di Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah termasuk kedalam kategori sedang. Kecamatan Kayen (2,324), Kecamatan Tambakromo (1,801), Kecamatan Sukolilo (1,787). Pemanfaatan stratifikasi vegetasi digunakan untuk bersarang, istirahat dan makan. Burung pemakan serangga Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster) cendrung memilih ketinggian (1,80-4,50 m), pemakan biji (0,00-0,60 m) Bondol Jawa ( leucogastroides), pemakan nektar (0,450-15,00 m) Burung madu-polos (Anthreptes simplex), burung pemangsa (> 15,00 m ) Elang Hitam (Ictinaetus malayensis). Perbandingan aktivitas burung pada waktu pagi dan sore hari adalah aktivitas terbang pada sore hari (34,3%) dan pagi hari (30,7%), tengger sore hari (16,3%) dan pagi hari (20,7%), sarang sore hari (2%), makan sore hari (0,3%) dan pagi hari (1%), jalan sore hari (1,7%) dan pagi hari (1%).

Kata Kunci : Burung, ekosistem karst, distribusi vertikal, status konservasi

ABSTRACT

WIWIN SETIANI. Species Diversity and Habitat Utilization of Karst Ecosystem of Mount Kendeng In Pati, Central Java. Thesis Biological Studies Program Faculty of Science and Technology. Sharif Hidayatullah State Islamic University in Jakarta. 2012.

This research was conduct at karst ecosystems Gunung Kendeng Pati, Central Java, with the purpose to determine the bird species diversity and habitat use by on karst ecosystems Gunung Kendeng Pati, Central Java. The method used is a combination of methods transect and point count with IPA method (Index Point of Abundance). The results show 33 species, 29 genera and 17 families. A total of 6 species of birds are endemic in Java and 10 species of birds are protected by law, the status of trade (CITES) and in danger (IUCN). Based on Shannon- wiener index (H ') at the location of sampling, H' birds on Gunung Kendeng in Pati, Central Java, including the categories of being. Kayen (2,324), Tambakromo (1,801), Sukolilo (1,787). Utilization the stratification of vegetation use for nesting, resting and feeding. Kutilang Cucak insectivorous birds (Pycnonotus aurigaster) tend to choose height from (1,80-4,50 m), seed eaters (0,00-0,60 m) Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides), nectar eaters (0,450- 15,00 m) Burung madu-polos (Anthreptes simplex), birds of prey (> 15,00 m) Elang Hitam (Ictinaetus malayensis). Comparative activity of birds in the morning and in the evening is flying activity in the afternoon (34,3%) and in the early morning (30,7%), perch afternoon (16,3%) and early morning (20,7%), nest afternoon (2%), mid-afternoon meal (0,3%) and morning (1%), the afternoon (1,7%) and morning (1%).

Keywords: Bird, karst ecosystems, vertical distribution, conservation status KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr. wb.

Alhamdulillah, puji syukur bagi Allah SWT yang telah memberi arti dari kehidupan yang terjalani dengan iringan nikmat yang tiada terhenti, berkat rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini yang berjudul

“KEANEKARAGAMAN JENIS BURUNG DAN PEMANFAATAN HABITAT

DI KAWASAN KARST GUNUNG KENDENG KABUPATEN PATI, JAWA

TENGAH” dibuat sebagai salah satu tugas akhir dan sebagai persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Program Studi Biologi Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada:

1. Orang tua penulis yang selalu mendoakan penulis agar selalu ingat dan

berdoa kepada Allah SWT.

2. Dr. Sopiansyah Jaya Putra, M. Sis, selaku Dekan Fakultas Sains dan

Teknologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Dr. Lily Surayya Eka Putri, M. Env. Stud, selaku Ketua Program Studi

Biologi, Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

4. Dr. Fahma Wijayanti, M. Si, selaku dosen pembimbing I dan Narti

Fitriana, M. Si, selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan

motivasi, masukan dan pinjaman bukunya dalam proses penyelesaian

skripsi ini.

5. Mega Ratna Pikoli, M.Si, selaku pembimbing Akademik.

i

6. Dosen-dosen Biologi yang telah mencurahkan ilmunya dengan tulus

sebagai bekal di dunia maupun akhirat.

7. Team Pati (Ana, Kamal, Kak Dwi, Sonelpon, Rita dan Swa) atas kerja

samanya saat berada di lapangan.

8. Keluarga besar Lek Di dan Pak De Suhut yang telah banyak membantu

dan mendampingi penulis saat pengambilan data di lapangan.

9. Pak Lily yang selalu memberikan petunjuk dan mempermudah penulis

untuk masuk kelokasi pengamatan.

10. Keluarga besar Desa Gemblung Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang

telah bersedia menerima kami tinggal sementara selama pengamatan

berlangsung.

11. Keluarga besar Biologi angkatan 2007-2012 yang sama-sama saling

mendoakan dan memberi semangat.

12. Ahmad Rizky yang selalu sabar menemani dan memotivasi penulis,

terima kasih atas kebersamaan dan perhatian yang telah diberikan.

13. Kedua adikku, Farida Ratna Sari dan Habi Ilham Cahyadi yang selalu

memberikan warna warni saat penulis mengalami kejenuhan dalam

penulisan skripsi ini

14. Keluarga Besar Kelompok Pengamat Primata KPP Tarsius yang selalu

solid dan menanamkan sifat kekeluargaan pada anggotanya.

15. Rusda, Untari, Kak Maulya, Kak Anto, Rama, Desti, Mutia, Gita, Eva

merupakan teman seperjuangan yang solid saat berada di lapangan.

ii

16. Angga, Ari, Ana, Huda, Opi, Swa merupakan teman yang terkadang

menyenangkan namun bisa menjadi menyebalkan walaupun begitu

kalian adalah sahabat terbaik yang mampu mengimbagi penulis

sehingga penulis merasa nyaman bersahabat dengan kalian.

17. Seluruh teman-teman Biologi kelas B yang tidak bisa dilupakan

Semoga kebersamaan baik canda, tawa selalu kita bina.

18. Seluruh pihak terkait yang tidak bisa disebutkan satu persatu hingga

penulisan Skripsi ini dapat diselesaikan, terima kasih.

Semoga apa yang telah kalian berikan dapat bermanfaat dan dibalas oleh

Allah SWT. Amien. Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan pembaca serta memperkaya pengetahuan kita tentang teori ekologi dan konservasi burung pada umumnya. Akhir kata penulis mengucapkan terimakasih, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

Wassalamu’alaikum, wr. wb.

Jakarta, Oktober 2012

Penulis

iii

DAFTAR ISI

Hal

KATA PENGANTAR ...... i DAFTAR ISI ...... iv DAFTAR TABEL ...... vi DAFTAR GAMBAR ...... vii DAFTAR LAMPIR ...... viii

BAB I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...... 1 1.2. Rumusan Masalah ...... 4 1.3. Hipotesis ...... 4 1.4. Tujuan Penelitian ...... 4 1.5. Manfaat Penelitian ...... 4

BAB II. TIINJAUAN PUSTAKA 2.1. Gunung Kendeng dan Kabupaten Pati, Jawa Tengah ...... 6 2.2. Ekosistem Karst ...... 7 2.3. Flora dan Fauna Ekosistem Karst ...... 8 2.4. Biologi Burung ...... 10 2.5. Ekologi Burung ...... 12 2.6. Manfaat dan Fungsi Burung ...... 15 2.6.1. Nilai ekologis ...... 15 2.6.2. Nilai estetik ...... 16 2.6.3. Nilai budaya ...... 17 2.6.4. Ilmu pengetahuan ...... 17 2.6.5. Nilai ekonomis ...... 17

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian ...... 19 3.2. Alat dan Bahan ...... 19 3.3. Cara Kerja ...... 20 3.3.1. Metode pengamatan ...... 20 3.3.2. Pengamatan Pendahuluan ...... 20 3.3.3. Faktor fisik ...... 20 3.3.4. Pengamatan burung ...... 21 3.3.5. Pemanfaatan habitat ...... 21 3.4. Analisis Data Burung ...... 22 3.4.1. Indeks kelimpahan burung ...... 22 3.4.2. Indeks keanekaragaman jenis burung (Shannon-wiener)...... 22

iv

3.4.3. Indeks dominansi burung ...... 23 3.4.4. Indeks kemerataan (Eveness) ...... 23 3.4.5. Indeks kesamaan jenis burung (Sorensen) ...... 24 3.4.6. Analisis penyebaran jenis burung ...... 25 3.4.7. Rata-rata aktivitas burung ...... 25 3.5. Analisis Habitat ...... 25 3.5.1. Tingkat penggunaan habitat ...... 25

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ...... 27 4.2. Komposisi dan Kekayaan Jenis Burung ...... 29 4.3. Indeks Kelimpahan dan Dominansi Jenis Burung ...... 33 4.4. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Burung ...... 35 4.5. Indeks Kesamaan Jenis Burung (Sorensen) ...... 38 4.6. Frekuensi Relatif % ...... 41 4.7. Status Konservasi Burung di Ekosistem Karst Gunung Kendeng ...... 42 4.8. Aktivitas Harian Burung ...... 46 4.9. Distribusi Vertikal oleh setiap Jenis Burung ...... 48 4.10.Penggunaan Jenis Vegetasi ...... 51

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ...... 54 5.2. Saran ...... 55

DAFTAR PUSTAKA ...... 56

LAMPIRAN ...... 61

v

DAFTAR TABEL

Hal Tabel 1. Interval penyebaran burung secara vertikal ...... 22 Tabel 2. Karakteristik lokasi penelitian ...... 28 Tabel 3. Jumlah jenis burung dominan, subdominan dan tidak dominan pada tiap lokasi pengamatan ...... 34 Tabel 4. Perbandingan indeks kesamaan jenis burung pada tiap lokasi pengamatan ...... 38 Tabel 5. Distribusi dan ststus konservasi burung di Gunung Kendeng ...... 43 Tabel 6. Tingkat penggunaan jenis vegetasi oleh burung ...... 52

vi

DAFTAR GAMBAR

Hal

Gambar 1. Topografi burung ...... 10 Gambar 2. Peta lokasi penelitian ...... 19 Gambar 3. Penggunaan kombinasi metode IPA dan metode jalur ...... 21 Gambar 4. Jenis burung endemik Jawa yang ditemukan pada lokasi pengamatan ...... 29 Gambar 5. Grafik perbandingan komposisi burung pada tiap lokasi pengamatan ...... 29 Gambar 6. Jumlah keanekaragaman jenis burung pada setiap famili ...... 30 Gambar 7. Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis burung di tiap lokasi pengamatan ...... 35 Gambar 8. Grafik perbandingan aktivitas burung pada waktu pagi dan sore hari ...... 46 Gambar 9. Perbandingan penggunaan stratifikasi vegetasi...... 48

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Hal Lampiran 1. Hasil pengambilan gambar pada saat pengamatan di kawasan karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah ...... 61 Lampiran 2. Gambar jenis-jenis burung yang dijumpai di lokasi pengamatan ...... 63 Lampiran 3. Pengukuran faktor fisik dan kisaran pada saat pengamatan ...... 65 Lampiran 4. Perjumpaan burung pada tiap lokasi pengamatan di kawasan Karst Gunung Kendeng ...... 66 Lampiran 5. Perbandingan indeks kesamaan jenis burung pada tiap lokasi pengamatan di Gunung Kendeng ...... 68 Lampiran 6. Indeks Kelimpahan dan dominansi jenis burung di kawasan kars Gunung Kendeng ...... 69 Lampiran 7. Perbandingan indeks kemerataan dan keanekaragaman jenis burung di kawasan Gunung Kendeng...... 70

viii

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kabupaten Pati merupakan salah satu dari 35 daerah kabupaten di Jawa

Tengah bagian timur. Luas wilayahKabupaten Pati adalah 150,368 ha yang terdiri dari 5,448 ha lahan sawah dan 91,920 ha lahan bukan sawah (BPS Kabupaten

Pati, 2010). Berdasarkan letaknya Kabupaten Pati adalah daerah yang berada pada bagian wilayah Gunung Kendeng Utara. Kabupaten ini merupakan daerah yang strategis dalam bidang pertanian, peternakan, perikanan, perindustrian, pertambangan dan pariwisata.Gunung Kendeng merupakan gunung kapur (karst).

Menurut Suryatmojo (2002), karst adalah suatu kawasan yang memiliki karakteristik relief dan drainase yang khas, disebabkan oleh derajat pelarutan batu-batuannya yang intensif. Gunung Kendeng ditumbuhi oleh jenis tanaman jati

(Tectona grandis) yang diketahui sebagai bahan utama alat-alat rumah tangga yang terbuat dari kayu.

Tanaman jati merupakan tanaman yang mampu hidup dalam kondisi tanah yang kering dan mengandung kapur tinggi. Tidak semua jenis tumbuhan mampu hidup di ekosistem karst. Semua jenis tumbuhan yang berada di ekosistem karst harus mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan kurang air. Morfologi karst yang dibentuk dari batuan kapur membuat air yang jatuh langsung turun ke dalam tanah. Tanaman T. grandis merupakan tanaman berkayu, memiliki bentuk daun yang lebar dan perakaran yang kuat sering dijadikan sebagai bahan baku alat-alat

1

2

rumah tangga. Tanaman T. grandisdi kawasan karst Gunung Kendeng banyak menyediakan sumber makanan berupa serangga dan nektar. Salah satu hewan yang memanfaatkan serangga dan nektar adalah burung.

Gunung Kendeng ditumbuhi oleh jenis tanaman jati (T. grandis) yang luas.

Saat ini bagian tepi dari Gunung Kendeng telah berubah menjadi daerah pemukiman.Selain sebagai pemukiman Gunung Kendeng memiliki sumber kekayaan berupa mata air dan gua yang telah memberikan kontribusi besar bagi masyarakat sekitar dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.Gunung Kendeng digunakan pula sebagai lahan untuk berladang dan menanam palawija disela-sela

T. grandis milik Perhutani. Sumber airnya bermanfaat untuk mengairi lahan pertanian yang berada disekitarnya.Batu gamping yang membentuk morfologi karst dapat menjadi komoditi sebagai bahan baku utama pembuatan semen dan dapat pula digunakan untuk bahan pembuat batu bata, gapura atau patung.

Pemanfaatan karst yang tidak terkendali akan memberikan dampak negatif terhadap lingkungan karst (Rahmadi, 2007).

Dampak negatif lingkungan karst yang terjadi misalnya, hilangnya bentang alam karst yang alami, kerusakan gua-gua yang mempunyai speleotem seperti stalagtit, stalagmit, flowstone, hilangnya nilai budaya dan keanekaragaman hayati, penurunan kualitas air tanah dan pencemaran air bawah tanah. Oleh sebab itu, pemanfaatan ruang dan pengaturan wilayah untuk pembangunan perlu kehati- hatian agar tidak merusak lingkungan.Burung merupakan salah satu satwa yang dijumpai hampir di setiap tempat dan mempunyai posisi penting sebagai salah satu kekayaan satwa . Burung sangat beranekaragam dan masing-masing 3

jenis memiliki nilai keindahan tersendiri. Burung memerlukan syarat-syarat hidup tertentu untuk mencapai kondisi yang optimal yaitu tersedianya sumber makanan, kondisi habitat yang cocok dan aman dari segala macam gangguan. Burung juga merupakan indikator yang sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati lainnya (Rombang danRudyanto, 1999).

Keanekaragaman jenis burung yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas lingkunganperlu mendapat perhatian khusus karena, kehidupannya dipengaruhi oleh faktor fisik, kimia dan hayati. Faktor fisik dapat berupa suhu, ketinggian tempat, tanah, kelembaban, cahaya dan angin. Faktor kimia antara lain berupa makanan, air, mineral dan vitamin, baik secara kuantitas maupun kualitas.

Faktor hayati yang dimaksud diantaranya berupa tumbuhan, satwa liar dan manusia (Peterson, 1980).

Penurunan kualitas, modifikasi dan hilangnya habitat merupakan ancaman yang berarti bagi jenis-jenis burung (Shannaz et al., 1995).Salah satu habitat yang digunakan burung adalah kawasan karst. Kawasan karst memiliki fungsi penting dalam proses penyerapan air sehingga, kesehatan kawasan karst perlu dijaga.

Sebagai salah satu komponen ekosistem, burung mempunyai hubungan timbal balik dengan lingkungannya. Atas dasar peran dan manfaat ini maka kehadiran burung dalam suatu ekosistem perlu dipertahankan (Arumasari, 1989).

Berdasarkan pertimbangan tersebut maka perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk memahami keanekaragaman jenis burung dan pemanfaatan habitat pada ekosistem karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

4

1.2. Rumusan Masalah

1. Seberapa besar keanekaragaman jenis burung di ekosistem karst

Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah ?

2. Seberapa besar pemanfaatan habitat yang digunakan burung di

ekosistem karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah ?

1.3. Hipotesis

1. Keanekaragaman jenis burung dikawasan karst Gunung Kendeng tergolong tinggi. 2. Burung-burung di sekitar ekosistem karst Gunung Kendeng memanfaatkan tipe habitat berbeda sebagai tempat melakukan aktivitas berkembang biak, makan (feeding), sarang (nesting) dan istirahat(resting).

1.4. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk :

1. Mengetahui keanekaragaman jenis burung diurnal di ekosistem karst

Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

2. Mengetahui pemanfaatan habitat oleh burung di ekosistem karst

Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

1.5. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai :

1. Memberi gambaran tentang pemanfaatan habitat dan keanekaragaman

jenis burung pada ekosistem karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati,

Jawa Tengah. 5

2. Memberi informasi tentang status kehadiran burung pada ekosistem

karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

3. Dapat memberikan informasi tentang keanekaragaman hayati kepada

Pemerintah Kabupaten Pati, Jawa Tengah yang bergerak dalam

menjaga dan mengelola ekosistem karst.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Gunung Kendeng dan Kabupaten Pati, Jawa Tengah Gunung Kendeng membentang dari Desa Taban (Kudus) sampai Tuban.

Di Gunung yang ditumbuhi pohon jati (Tectona grandis) saat ini sebagian wilayahnya beralih fungsi menjadi pemukiman. Selain digunakan untuk tempat tinggal warga, Gunung Kendeng juga memberikan beberapa manfaat lain bagi warga yang hidup di sekitarnya. Pertama, sumber air yang telah mengairi lahan pertanian di sekitarnya. Kedua, lahan di Gunung Kendeng juga menjadi lahan pekerjaan bagi ribuan peladang yang menanam berbagai palawija disela-sela T. grandis milik Perhutani. Salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang merupakan bagian dari ekosistem karst Gunung Kendeng adalah Kabupaten Pati.

Kabupaten Pati terletak antara 110º 50'-111º, 15' Bujur Timur dan 6º 25'-7º

00' Lintang Selatan. Kabupaten Pati mempunyai luas wilayah 150,368 ha yang terdiri dari 58,368 ha lahan sawah atau sekitar 38,80% dari luas keseluruhan lahan di Kabupaten Pati dan 92,020 ha lahan bukan sawah atau sekitar 61,20% (BPS

Kabupaten Pati, 2010). Lahan bukan sawah terdiri atas pemukiman dan kawasan karst yang merupakan hutan sekunder. Kabupaten Pati mempunyai keunggulan letak strategis dan kaya akan sumber daya alam terutama berupa batu phospat.

Wilayah yang kaya akan fospat terdapat di bagian selatan Kabupaten Pati yang merupakan ekosistem karst Gunung Kendeng.

6

7

2.2. Ekosistem Karst

Ekosistem adalah suatu sistem ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal-balik antara organisme (makhluk hidup) atau unsur biotik dengan lingkungannya atau unsur abiotik. Ekosistem dapat dianggap sebagai komunitas dari seluruh tumbuhan dan satwa termasuk lingkungan fisiknya yang secara bersama-sama berfungsi sebagai satu unit yang tidak terpisahkan atau saling bergantung satu sama lainnya (Salim, 2008).

Karst adalah suatu kawasan yang memiliki karakteristik relief dan drainase yang khas, terutama disebabkan oleh derajat pelarutan batu-batuannya yang intensif (Suryatmojo, 2002). Ekosistem karst terbentuk karena adanya fenomena alam yang unik dan langka. Memiliki nilai penting bagi kehidupan dan ekosistem, sehingga pemanfaatan ruang dan pembangunanya perlu kehati-hatian agar tidak merusak lingkungan. Ciri khas ekosistem karst adalah adanya celah sinkholes

(sarang air), sungai bawah tanah dan gua.

Celah sinkholes dan sungai bawah tanah pada ekosistem karst dapat menyimpan banyak air, sehingga ekosistem karst berfungsi sebagai reservoar air

(Vermeulen and Whitten, 1999). Potensi lain ekosistem karst adalah sebagai sumber bahan baku semen, habitat bagi flora dan fauna serta sebagai tempat wisata. Hal ini dikarenakan, bentuknya yang sangat indah sehingga menarik wisatawan domestik untuk mengunjungi situs-situs yang terdapat dalam ekosistem karst.

8

1.3. Flora dan Fauna Ekosistem Karst

Kawasan karst menyimpan kekayaan flora dan fauna yang sangat menarik dan unik. Kondisi lingkungan karst yang kering, menyebabkan beberapa jenis flora harus mampu beradaptasi pada kondisi kekeringan yang tinggi pada musim kemarau. Selain itu, kandungan kalsium yang tinggi juga mengharuskan semua jenis flora dan fauna mampu beradaptasi pada lingkungan karst. Flora di kawasan karst mempunyai keunikan dalam beradaptasi. Berdasarkan hasil penelitian

Rahmadi (2007), flora dan fauna yang khas dijumpai di kawasan karst merupakan keanekaragaman dan komposisi jenisnya sangat berbeda dibandingkan dengan tipe vegetasi lainnya.

Flora di kawasan karst mempunyai tingkat keendemikan yang sangat tinggi dengan potensi ekonomi yang sangat tinggi. Beberapa jenis flora seperti anggrek, paku‐pakuan, palem dan pandang merupakan jenis yang terkadang hidup di tebing‐tebing karst. Adaptasi flora terhadap kondisi lingkungan karst adalah kemampuan hidup di puncak bukit dengan sistem perakaran yang sangat panjang mampu menembus celah rekahan batu karst dan mencapai batas sumber air, contoh pohon beringin (Ficus spp.). Beberapa jenis mampu beradaptasi pada lingkungan yang sangat minim lapisan tanahnya. Adaptasi tersebut dengan cara meningkatkan kemampuan bertahan hidup tanpa kesulitan dengan cara sistem perakaran di udara bebas, contoh anggrek yang mampu memanfaatkan celah‐celah batuan untuk tumbuh (Rahmadi, 2007).

Flora karst juga mempunyai tingkat endemisitas yang sangat tinggi terkadang, satu bukit karst mempunyai satu jenis yang tidak ditemukan di bukit 9

yang lain disekelilingnya (Vermaullen and Whitten, 1999). Rahmadi (2007), menambahkan selain flora terdapat pula fauna karst yang khas. Tebing‐tebing karst merupakan habitat bagi berbagai jenis burung yang khas seperti gelatik Jawa yang ditemukan di tebing‐tebing di sekitar pantai selatan di Gunung Kidul. Elang yang membuat sarang di dahan‐dahan yang tumbuh di tebing karst.

Berbagai jenis mamalia juga sering dijumpai seperti macan kumbang, macan tutul maupun jenis‐jenis karnivora lainnya. Fauna yang menarik adalah fauna yang hidup di kegelapan gua. Karena kondisi gua yang gelap sepanjang masa, berbagai jenis fauna mempunyai morfologi yang unik seperti pemanjangan antena, pemanjangan kaki, warna putih pucat dan bermata kecil atau bahkan tidak bermata. Contoh‐contoh fauna khas gua adalah Artropoda gua seperti kepiting gua (Sesarmoides jacobsoni) dan udang gua (Macrobrachium poeti), Isopoda terestrial yang sangat kecil yang ditemukan yaitu Javanoscia elongata dan

Tenebrioscia antennuata (Rahmadi, 2007).

Ikan‐ikan gua juga sangat menarik karena biasanya mempunyai mata yang sangat kecil. Jenis khas lainnya fauna yang paling sering ditemui adalah kelelawar. Berbagai jenis kelelawar menghuni lorong‐lorong gua, baik kelompok pemakan serangga maupun pemakan buah. Kelelawar pemakan serangga lebih banyak hidup di lorong-lorong yang sempit dan jauh di dalam gua sedangkan pemakan buah banyak menghuni lorong gua yang tidak jauh dari mulut gua

(Rahmadi, 2007). Fauna lain seperti walet, sangat banyak ditemukan di gua‐gua dan memberikan fungsi ekonomi dan ekologi tersendiri.

10

2.4. Biologi Burung

Burung atau Aves adalah anggota kelompok hewan bertulang belakang

(Vertebrata). Diperkirakan terdapat sekitar 8.800-10.200 spesies burung di seluruh dunia dan sekitar 1.500 jenis diantaranya ditemukan di Indonesia

(Kuswanda, 2010). Burung memiliki ciri khusus antara lain tubuhnya ditutupi bulu, memiliki dua pasang anggota alat gerak, anggota anterior mengalami modifikasi sebagai sayap, sedangkan sepasang anggota posterior disesuaikan untuk hinggap dan berenang, masing-masing kaki memiliki 4 jari; cakar ditutupi oleh kulit yang menanduk dan bersisik (Satriyono, 2008).

Mulutnya memiliki bagian yang terproyeksi sebagai paruh yang ditutupi oleh lapisan zat tanduk. Burung masa kini tidak memiliki gigi. Memiliki 4 tungkai atau kurang, tarsometatarsus tertutup oleh kulit yang mengalami penandukan dan pada umumnya berbentuk sisik. Ekor mempunyai fungsi yang khusus dalam menjaga keseimbangan dan mengatur kendali saat terbang (Jasin, 1992). Paruh merupakan modifikasi bibir, kulit luar yang mengeras dan membentuk lapisan zat tanduk dan membungkus tonjolan tulang pada rahang (Peterson, 1986). Secara skematis morfologi burung adalah seperti (Gambar 1).

Gambar 1. Topografi burung (Sumber : MacKinnon et al., 1998)

11

Burung termasuk dalam kelas aves, subphylum vertebrata dan masuk ke dalam filum Chordata, yang diturunkan dari hewan berkaki dua (Welty, 1982).

Secara umum burung dapat digolongkan ke dalam 29 ordo, yaitu:

Struthioniformes, Casuariformes, Apterygiformes, Tinamiformes, Sphenisci- formes, Gaviiformes, Podicipediformes, Procellariformes, Pelecaniformes,

Ciconiformes, Anseriformes, Falconiformes, Galliformes, Gruiformes,

Charadriformes, Columbiformes, Psittaciformes, Cuculiformes, Strigi-formes,

Caprimulgiformes, Apodiformes, Coliiformes, Trogoniformes, Coraciiformes,

Piciformes, Passeriformes. Ordo-ordo tersebut dapat dibagi lagi menjadi 158 famili (termasuk 2 ordo dan 4 famili yang belum lama ini punah) (Ensiklopedia

Indonesia, 1989).

Burung melakukan respirasi dengan paru-paru yang terhubung dengan sejumlah kantong-kantong udara sebagai alat pernafasan tambahan. Kantong udara berfungsi sebagai thermostat, sebab burung memiliki metabolisme yang cepat dan suhu tubuh yang tinggi serta tidak mempunyai kelenjar keringat penyejuk (Peterson, 1986). Jantung terdiri dari 2 ruang aurikel dan 2 ruang ventrikel yang terpisah secara sempurna dengan lengkung aorta terletak disebelah kanan. Saluran pencernaan meliputi tembolok (crop), lambung kelenjar dan lambung muskulus (gizzard, empedu), dua buah sekum (caecum), usus besar dan kloaka. Fertilisasi internal, pada burung jantan jarang mempunyai organ intromitten (seperti penis). Bersifat ovipar dengan telur yang berkulit keras berupa cangkang (Brotowidjoyo, 1989). 12

2.5. Ekologi Burung

Dalam hidupnya burung memerlukan syarat-syarat tertentu yaitu adanya kondisi habitat yang cocok dan aman dari segala macam gangguan (Hernowo,

1985). Secara umum, habitat burung dapat dibedakan menjadi tiga yaitu, habitat di darat, air tawar dan laut. Selain itu, habitat juga dapat dikelompokkan menurut tanamannya seperti hutan lebat, semak maupun rerumputan (Ensiklopedi

Indonesia,1989). Faktor yang menentukan keberadaan burung dalam suatu habitat adalah ketersediaan makanan, tempat untuk beristirahat, bermain, berkembang biak, bersarang, bertengger, berlindung dan memelihara anaknya (Wiens and

Rottenbery, 1981).

Kemampuan suatu areal menampung burung ditentukan oleh luasan komposisi dan struktur vegetasi. Komposisi dan struktur vegetasi juga mempengaruhi jenis dan jumlah burung yang terdapat di suatu habitat. Hal ini disebabkan tiap jenis burung mempunyai relung yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Fardila dan Sjarmidi (2009), sebanyak 51 spesies terdata di hutan, 45 spesies di kebun, 33 spesies di pemukiman dan 31 spesies di ladang.

Keanekaragaman spesies burung cendrung menurun seiring dengan perubahan sesuai dengan ekosistem alami menjadi buatan. Kecendrungan ini dapat terlihat dari perbedaan jumlah spesies burung yang ditemukan di hutan dengan di kebun, pemukiman dan ladang.

Gunung Kendeng dengan kondisi habitat yang ada seperti perkebunan rakyat, sawah, pemukiman penduduk, gua-gua, hutan tanaman T. grandis yang dikelola oleh Perhutani merupakan hutan produksi dan hutan lindung. Berfungsi 13

untuk perlindungan tata air dan jenis tanaman yang berada disekitar tepi sungai.

Bentang lahan yang terdapat di Gunung Kendeng merupakan habitat dari beberapa jenis burung. Kawasan Gunung Kendeng juga di manfaatkan warga untuk mencari kayu bakar dan rumput sebagai pakan ternak. Berdasarkan hasil penelitian Sawitri et al. (2010), kawasan hutan yang memiliki kondisi hutan berupa hutan tanaman mempunyai keragaman jenis burung dan keseimbangan habitat yang sangat rendah, disebabkan banyaknya gangguan oleh masyarakat sekitar kawasan hutan seperti pengambilan rumput, kayu bakar dan konversi lahan.

Burung merupakan satwaliar pengguna ruang yang cukup baik, yang terlihat dari penyebarannya, baik secara horizontal maupun vertikal. Berdasarkan stratifikasi penggunaan ruang pada profil hutan maupun penyebaran secara horizontal pada berbagai tipe habitat, menunjukkan adanya kaitan yang erat antara burung dengan lingkungan hidupnya terutama dalam pola adaptasi dan strategi untuk memperoleh sumber pakan (Peterson, 1980). Perbedaan ketinggian suatu tempat, lokasi pada satu pohon, suatu tempat hinggap dan jenis tumbuhan dalam suatu lokasi dapat menyebabkan perbedaan jenis burung serta jumlah jenis burung yang ada (Basuni, 1988). Menurut Orians (1969), faktor lain yang menentukan keanekaragaman jenis burung pada suatu habitat adalah kerapatan kanopi.

Habitat yang mempunyai kanopi yang relatif terbuka akan digunakan oleh banyak jenis burung untuk melakukan aktivitasnya dibandingkan dengan habitat yang rapat dan tertutup. Penyebaran vertikal pada jenis-jenis burung dapat dilihat dari stratifikasi ruang pada profil hutan. Berdasarkan stratifikasi profil hutan maka 14

dapat diperoleh gambaran mengenai burung dalam memanfaatkan ruang secara vertikal, yang terbagi dalam kelompok burung penghuni bagian paling atas tajuk hutan, burung penghuni tajuk utama, burung penghuni tajuk pertengahan, penghuni tajuk bawah, burung penghuni semak dan lantai hutan. Selain itu juga, terdapat kelompok burung yang sering menghuni batang pohon. Penyebaran jenis- jenis burung sangat dipengaruhi oleh kesesuaian tempat hidup burung, meliputi adaptasi burung terhadap lingkungan, kompetisi, strata vegetasi, ketersediaan pakan dan seleksi alam (Peterson, 1980).

Berdasarkan hasil pengamatan Rahmawaty et al. (2006), penggunaan strata vegetasi dalam penyebaran burung secara vertikal diperoleh hasil yang sangat berbeda bagi setiap strata hutan, sebanyak 70 jenis burung memanfaatkan strata tengah kanopi hutan (11-20 meter), selanjutnya strata bawah (0-10 meter) digunakan oleh 21 jenis burung, sedangkan strata atas (> 21 meter) dan lantai hutan digunakan masing-masing oleh 17 jenis dan 5 jenis burung. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa strata tengah pada kanopi hutan merupakan tempat yang paling disenangi oleh jenis-jenis burung. Menurut Dale et al. (2000) dan

Barlow et al. (2002) Spesies yang menyukai daerah terbuka akan semakin melimpah dengan rendah seperti burung strata bawah (understorey), akan semakin berkurang sejalan dengan terbukanya tutupan tajuk. Komunitas burung strata bawah merupakan kelompok yang paling sensitif terhadap perubahan pada vegetasi.

Heriyanto et al. (2008), mengungkapkan hasil pengamatan burung yang dijumpai di hutan jati sebanyak 28 jenis. Beberapa jenis burung yang 15

mendominasi ditunjukkan oleh besarnya kerapatan dan indeks keanekaragamannya. Secara berturut-turut adalah cinenen pisang (Orthotomus sutorius Pennant: 120 ekor/km2 dan 0,23); punai besar (Treron capellei

Temminck: 110 ekor/km2 dan 0,22); cucak kutilang (Pycnontus aurigaster

Vieiillot: 110 ekor/ km2 dan 0,22); dan punai bakau (Treron fulvicolis Wagler: 90 ekor/km2 dan 0,20). Jenis tanaman dan ekosistem yang lebih beragam lebih mampu mendukung kebutuhan burung karena mempunyai komponen yang lebih lengkap (Hernowo, 1989).

2.6. Manfaat dan Fungsi Burung

Burung adalah bagian dari keanekaragaman hayati yang harus dijaga kelestariaannya dari kepunahan maupun penurunan keanekaragaman jenisnya.

Burung memiliki banyak manfaat dan fungsi bagi manusia, baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Yuda (1995), manfaat dan fungsi burung secara garis besar dapat digolongkan dalam nilai:

2.6.1. Nilai ekologis

Manfaat burung sebagai nilai ekologi yang secara jelas dapat dilihat dan dirasakan langsung. Berperan sebagai pemakan hama seperti burung pemakan serangga atau tikus, membantu dalam penyerbukan bunga seperti burung penghisap madu dan sebagai penyangga ekosistem terutama jenis burung pemangsa (Sozer et al., 1999). Burung juga membantu dalam penyebaran biji tanaman, contohnya burung-burung yang berada di hutan membantu penyebaran biji tanaman hutan. Burung sebagai salah satu komponen ekosistem, mempunyai 16

hubungan timbal balik dengan lingkungan. Atas dasar peran dan manfaat ini maka kehadiran burung dalam suatu ekosistem perlu dipertahankan (Arumasari, 1989).

Burung juga merupakan indikator yang sangat baik untuk kesehatan lingkungan dan nilai keanekaragaman hayati lainnya (Rombang dan Rudyanto,

1999). Menurut Welty (1982), burung juga mempunyai peranan penting dalam penyebaran biji tanaman. Burung yang dapat menyebarkan biji tersebut antara lain adalah burung dari famili Anatidae, Clumbidae, Picidae, Turdidae, Sittidae,

Corvidae.

2.6.2. Nilai estetik

Burung menjadi inspirasi bagi para seniman dalam berkarya, dalam bentuk tulisan, nyanyian, maupun lukisan. Banyak cerita-cerita dan lagu yang menggambarkan keindahan burung lukisan , baik tradisional maupun modern banyak yang berternakan burung (Surata, 1993 dalam Yuda,1995). Berdasarkan hasil pengamatan disekitar lokasi banyak burung yang dijumpai dalam sangkar berukuran kecil yang digantung pada bagian depan rumah warga. Biasanya burung yang dipelihara dikarenakan keindahan warna bulu atau suaranya yang dapat menarik seseorang untuk memiliki dan memeliharanya di rumah.

Beranekaragam jenis burung yang indah tak jarang banyak orang yang menyukai burung menyalurkan hobinya dengan cara mengikuti burung tersebut dalam kontes burung sebagai ajang bergengsi. Burung yang sering mendapatkan gelar juara dalam perlombaan berarti memiliki kualitas kriteria yang bagus dan dapat meningkatkan harga jualnya. Kicauan burung juga diyakini mampu 17

memberikan ketenangan bagi pendegarnya, sehingga sering sekali dijumpai pada tiap rumah memiliki lebih dari satu jenis burung.

2.6.3. Nilai budaya

Keberadaan burung dijadikan sebagai kalender musim tani. Lahan pertanian yang dikerjakan lantas disemai, bertepatan dengan kedatangan dan lewatnya burung Kicuit motacilla yang bermigrasi. Seperti yang dilakukan warga dataran tinggi Kalimantan seperti suku Iban, Dayak dan lainnya di Kalimantan.

Lebih jauh lagi menggunakan kebudayaan pemakaian jenis burung ini sebagai petunjuk bertani (MacKinnon, 1992). Penggunaan patung Gallus varius yang diletakkan pada bagian puncak meron pada acara ucapan syukur terhadap hasil bertani di Sukolilo Kabupaten Pati, Jawa Tengah.

2.6.4. Ilmu pengetahuan

Sebagai ilmu pengetahuan burung dapat digunakan sebagai hewan percobaan dalam farmasi, dan kedokteran. Adapun perannya yaitu, seperti pembuatan vaksin penyakit demam yellow fever juga tidak terlepas dari penelitian burung (Welty, 1982). Burung juga memiliki kepekaan tertentu terhadap kesehatan lingkungan dalam habitatnya sehingga, dapat digunakan sebagai indikator kesehatan lingkungan, salah satu diantaranya adalah sebangsa raja udang.

2.6.5. Nilai ekonomis

Burung memiliki nilai ekonomi tinggi yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan makanan (daging, telur dan sarang) produk dari burung ini dapat 18

diperdagangkan dan dipelihara oleh masyarakat. Menurut Welty (1982), bulu burung yang indah banyak dimanfaatkan oleh perancang mode untuk desain pakaian atau asesoris lainnya. Manfaat lain yang dapat diambil adalah sarang seperti sarang burung walet. Sarang burung walet memiliki khasiat untuk menyembuhkan beberapa jenis penyakit sehingga, meiliki harga yang sangat mahal. Selain manfaat tersebut, daging dan telur burung merupakan salah satu sumber protein yang sangat berguna bagi manusia.

Burung merupakan hewan yang mampu bertelur dalam jumlah banyak dan membutuhkan waktu yang tidak lama dalam pertumbuhannya hingga dewasa.

Pemeliharaan yang mudah menyebabkan banyak warga di sekitar lokasi pengamatan yang memelihara Gallus varius. Hasil pemeliharaan ini kemudian dijadikan sebagai sumber pendapatan atau dikonsumsi sendiri. Alikodra (2002) dan Ontario et al. (1990), menambahkan bahwa burung memiliki peranan penting dari segi penelitian, pendidikan dan untuk kepentingan rekreasi dan pariwisata.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai dengan Juni 2012.

Pengamatan dilakukan pada saat aktivitas burungtinggi yaitu, ketika pagi dan sore hari. Pengamatan pagi dimulai pada pukul (06.30-10.00 WIB) dan sore hari pada pukul (14.00-16.30 WIB). Lokasi penelitian bertempat di tiga kecamatan yaitu, Kecamatan Sukolilo, Kecamatan Kayen dan Kecamatan Tambakromo.

Ketiga kecamatan tersebut merupakan bagian dari ekosistem karst Gunung

Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah (Gambar 2).

Gambar 2. Peta lokasi penelitian (Sumber : www.litbangpati.jawatengah.go.id)

3.2. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah alat penunjuk waktu (jam digital), thermometer, luxmeter, kamera digital, binokuler,hygrometer, meteran

19

20

gulung, alat penghitungan (hand counter), alat tulis, lembar pengamatan, buku identifikasi burung “Panduan Lapangan Pengenalan Burung-burung di Jawa dan

Bali “(MacKinnon, 1998) dan Jenis Burung di Kawasan Pegunungan Arjuna-

Welirang Taman Hutan Raya Raden Suryo, Jawa Timur. Objek yang diamati adalah burung-burung dan tumbuh-tumbuhan di kawasan ekosistem karst di

Kecamatan Kayen, Kecamatan Tambakromo dan Kecamatan Sukolilo Kabupaten

Pati, Jawa Tengah.

3.3. Cara Kerja

3.3.1. Metode pengamatan

Pengamatan ini dilakukan menggunakan metode survei dan pengumpulan data burung menggunakan kombinasi metode transekdan metodePoint Count dengan metode IPA (Index Point of Abundance).

3.3.2. Pengamatan pendahuluan

Sebelum pengambilan data terlebih dahulu dilakukan pengamatan pendahuluan yang bertujuan untuk survei tempat pengamatan. Survei tersebut ditujukan untuk mengetahui lokasi dan menentukan titik-titik yang akan diambil untuk melakukan pengamatan serta menentukan metode yang tepat untuk pengumpulan data.

3.3.3. Faktor fisik

Data faktor lingkungan diperoleh melalui pengukuran langsung di lapangan, meliputi intensitas cahaya (Luxmeter), kelembaban udara 21

relatif(Hygrometer), suhu udara (Thermometer) dan keadaan cuaca pada saat pengamatan di lokasi penelitian.

3.3.4. Pengamatan burung

Pengambilan data dimulai pada pukul 06.30-10.00 WIB pada pagi hari dan

14.00-17.30 WIB pada sore hari. Pada metode ini pengamat berjalan sepanjang jalur disertai dengan titik pengamatan yang sebelumnya telah ditentukan lama waktu pengamatan pada tiap titik (Rusmendro, 2009). Titik hitung dalam penelitian ini menggunakan plot-plot yang diletakkan sepanjangtransekyaitu, sebanyak 5 titik. Dalam metode IPA, jarak antar titik ditetapkan 200 meter dengan radius pengamatan 50 meter. Panjang jalur disetiap habitat adalah 1000 meter

(Gambar 3). Pengamatan pada setiap titik dilakukan selama 20 menit (Bibby et al., 2000). Pengambilan data ulangan dilakukan sebanyak tiga kali pada hari yang berbeda. Parameter yang diukur adalah jenis burung, jumlah burung, waktu, jenis pohon, aktivitas burung, tempat mencari makan, jenis makanan, tempat bersarang dan beristirahat.

Gambar 3. Penggunaan kombinasi metode IPA dan metode Jalur (Bibby et al., 2000)

3.3.5. Pemanfaatan habitat

Pencatatan untuk mengetahui pemanfaatan vegetasi oleh burung sebagai tempat mencari pakan, beristirahat dan bersarang dilakukanmenggunakan 22

pencatatan stratifikasi (penyebaran vertikal) dengan klasifikasi ketinggian ruang

burung untuk beraktifitas adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Interval penyebaran burung secara vertikal

No. Tempat Ketinggian (m) 1. Lantai/ tanah 0,00 – 0,15 2. Semak-semak rendah 0,15 – 0,60 3. Semak -semak sedang 0,60 – 1,80 4. Semak -semak tinggi 1,80 – 4,50 5. Pohon di bawah tajuk 4,50 – 15,00 6. Pohon di atas tajuk > 15,00 (Sumber: van Balen, 1984dalamDewi et al., 2007)

3.4. Analisis Data Burung

3.4.1. Indeks kelimpahan burung

Kelimpahan burung didapat dari perhitungan jumlah dari setiap jenis

burung yang ada. Menurut (van Balen, 1984 dalam Bibby et al., 2000) penentuan

nilai kelimpahan ini untuk mengetahui atau menetapkan jenis-jenis burung yang

melimpah atau tidak.

3.4.2. Indeks keanekaragaman jenis burung (Shannon-wiener)

Keragaman jenis burung diketahui menggunakan indeks keanekaragaman

Shannon-Wiener (Rukmi, 2010), yaitu :

Keterangan :

H’ : Keanekaragaman jenis pi : Proporsi nilai penting jenis ke-i ln : Logaritma natural 23

Nilai indeks < 1,5 menunjukkan keanekaragaman yang rendah,selanjutnya nilai yang berkisar antara 1,5-3,5 menunjukkan nilai keanearagaman yang sedang dan nilai >3,5 menunjukkan nilai keanekaragaman tinggi.

3.4.3. Indeks dominansi burung

Menurut Van Helvoort (1981), jenis burung yang dominan di dalamkawasan penelitian, ditentukan dengan menggunakan rumus

(Rahayuningsih et al., 2007) :

Keterangan :

Di : Indeks dominansi Ni : Jumlah burung spesies ke - i N : Jumlah total spesies burung

Kriteria : Di = 0 – 2 % : Spesies tidak dominan Di = 2 – 5 % : Spesies subdominan Di = > 5% : Spesies dominan

Penentuan nilai dominansi berfungsi untuk mengetahui atau menetapkan jenis-jenis burung yang dominan atau bukan. Hal ini berkaitan dengan jenis burung yang paling banyak ditemukan di lokasi penelitian.

3.4.4. Indeks kemerataan (Eveness)

Indeks kemerataan (Index of eveness) berfungsi untuk mengetahui kemerataan setiap jenis dalam setiap komunitas yang dijumpai (Sawitri et al.,2007). 24

H′ 퐸 = 푙푛 S

Keterangan : E = Indeks kemerataan H’ = Keanekaragaman jenis burung ln = Logaritma natural S = Jumlah jenis

Indeks kemerataan jenis burung dalam suatu habitat dapat ditandai dengan tidakadanya jenis-jenis yang dominan. Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka kemeratan jenis pada komunitas tersebut memiliki nilai maksimum. Sebaliknya bila jumlah individu pada masing-masing jenis berbeda jauh maka menyebabkan kemerataan jenis memiliki nilai minimum (Santosa,

1995).

3.4.5. Indeks kesamaan jenis burung (Sorensen)

Untuk mengetahui perubahan komposisi burung dilakukan dengan mengukur nilai kesamaan jenis antara tiap lokasi pengamatan yang berbeda yaitu, menggunakan Indeks Sorenssen (Magurran, 1988).

2퐶 퐼푆푆 = 푥100 % 퐴 + 퐵

Keterangan :

C = Jumlah jenis burung yang sama terdapat pada kedua komunitas A dan B A = Jumlah jenis yang hanya ada pada komunitas A B = Jumlah jenis yang hanya ada pada komunitas B

25

3.4.6. Analisis penyebaran jenis burung

Untuk melihat penyebaran jenis burung secara horizontal pada masing- masing habitat pengamatan, maka rumus yang digunakan dalam analisis penyebaran jenis burung adalah (Sayogo, 2009) :

Frekuensi relatif menunjukkan tingkat keseringan atau kepentingan suatu jenis burung dalam menggunakan plot pengamatan secara relatif terhadap jenis- jenis lainnya.

3.4.7. Rata-rata aktivitas burung

Untuk mengetahui rata-rata setiap aktivitas digunakan rumus (Sawitri dan

Takandjandji, 2010) :

푗푢푚푙푎ℎ 푎푘푡푖푣푖푡푎푠 푑푎푙푎푚 푘푎푛푑푎푛𝑔 푅푎푡푎 − 푟푎푡푎 푎푘푡푖푣푖푡푎푠 = 푗푢푚푙푎ℎℎ푎푟푖 푝푒푛𝑔푎푚푎푡푎푛

3.5. Analisis Habitat

3.5.1. Tingkat penggunaan habitat

Nilai ini digunakan untuk mengetahui pemanfaatan habitat atau vegetasi oleh burung (Dewi et al., 2007).

푆푡 퐹푡 = 푥100% 푆푝 26

Keterangan: Ft = Fungsi habitat atau vegetasi bagi burung St = Jumlah jenis burung yang menggunakan habitat atau vegetasi Sp = Jumlah keseluruhan jenis burung yang ada di lokasi penelitian

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gunung Kendeng merupakan pegunungan karst yang terbentuk akibat adanya fenomena alam yang unik. Secara geografis terletak di Kabupaten Pati,

Jawa Tengah. Gunung Kendeng memiliki lima tipe habitat yang berbeda, terdiri dari hutan pohon jati (T. grandis), lahan perkebunan, lahan sawah, kawasan terbentuknya gua dan Daerah Aliran Sungai (DAS). Kelima tipe habitat tersebut dikelola dalam bentuk hasil pembentukan alam, hutan tanaman maupun hutan sekunder yang di kelola oleh Perhutani Unit I Jawa Tengah. Berfungsi sebagai hutan produksi terbatas maupun hutan lindung untuk perlindungan tata air.

Ekosistem di Gunung Kendeng seringkali dimanfaatkan warga setempat untuk melakukan aktivitas bertani, berburu, mencari pakan ternak dan kayu bakar.

Beberapa jenis gua yang berada di kawasan Gunung Kendeng ada yang dijadikan sebagai area pertambangan namun, ada pula gua-gua yang dijadikan sebagai lokasi wisata karena keindahannya seperti Gua Pancur dan Gua Krenjeng. DAS merupakan sumber air utama yang dimanfaatkan warga untuk mengairi sawah dan memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Kawasan karst menyimpan kekayaan flora dan fauna yang sangat menarik dan unik. Kondisi lingkungan karst yang kering menyebabkan beberapa jenis flora mampu beradaptasi pada kondisi kekeringan yang tinggi pada musim kemarau.

Selain itu, kandungan kalsium yang tinggi juga mengharuskan semua jenis flora

27

28

dan fauna mampu beradaptasi pada lingkungan karst. Salah satu jenis fauna yang dapat bertahan pada kondisi di kawasan karst adalah burung.

Burung merupakan satwa dengan mobilitas yang tinggi dan mampu beradaptasi pada habitat yang berbeda-beda sekalipun pada kondisi lingkungan yang ekstrim. Hal ini terjadi karena adanya kebutuhan burung dalam mencari tempat makan, bersarang, beristirahat dan bercengkraman satu dengan yang lainnya. Pemilihan lokasi penelitian ditentukan berdasarkan daerah yang menjadi perwakilan dari kawasan karst Gunung Kendeng. Lokasi sampling tersebut terletak di tiga Kecamatan di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, yaitu Kecamatan

Kayen (Lokasi 1), Kecamatan Tambakromo (Lokasi 2) dan Kecamatan Sukolilo

(Lokasi 3) (Lampiran 1). Adapun kondisi lokasi pengamatan dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Karakteristik lokasi penelitian

Karakteristik Kecamatan Kecamatan Kecamatan Kayen Tambakromo Sukolilo Sawah, perkebunan Sawah, perkebunan Perkebunan jagung, jagung, perkebunan jagung, perkebunan hutan jati milik tebu, danau tebu, hutan jati perhutani, gua Keadaan pemancingan, milik perhutani, bekas sekitar lokasi Perbukitan karst, gua bekas penambangan, pengamatan hutan jati milik penambangan, DAS, rumah jaga, perhutani, rumah DAS, perbukitan pemukiman, jaga, gua wisata, karst, perbukitan karst DAS Suara mesin Suara mesin Suara mesin Gangguan kendaraan, aktivitas kendaraan, kendaraan, Aktivitas berkebun, bertani, aktivitas berkebun, aktivitas berkebun, manusia yang pengambilan pakan bertani, pengambilan pakan sering terjadi ternak dan kayu pengambilan pakan ternak dan kayu terhadap bakar. ternak dan kayu bakar serta burung bakar serta aktivitas berburu. aktivitas berburu. 29

4.2. Komposisi dan Kekayaan Jenis Burung

Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada keseluruhan lokasi pengamatan di kawasan karst Gunung Kendeng, dijumpai 33 spesies burung yang termasuk kedalam 29 genus dari 17 famili. Kecamatan yang memiliki jumlah jenis burung paling banyak adalah lokasi di Kecamatan Kayen. Jumlah spesies burung paling sedikit adalah di Kecamatan Sukolilo. Perbandingan komposisi jenis yang didapatkan di ketiga lokasi pengamatan dapat dilihat pada (Gambar 5). Beberapa burung yang ditemukan merupakan spesies endemik di Pulau Jawa (Gambar 4) dan anggota yang dilindungi oleh undang-undang disajikan pada Tabel 5.

.

a b

Gambar 4. Jenis burung endemik Jawa yang ditemukan pada lokasi pengamatan (a) Cinenen Jawa(Orthotomus sepium), (b)Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides)( Dok. Pribadi, 2012)

30

24 : Spesies : Genus : Famili 25 21 20 19 17 20 15 15 13 15 10

10 5

0 Kayen Tambakromo Sukolilo

Gambar 5. Grafik perbandingan komposisi burung pada tiap lokasi pengamatan

30

Burung yang paling banyak ditemukan dari famili Silviidae, Accipitridae,

Cuculidae (masing-masing 4 spesies) serta Alcedinidae (sebanyak 3 spesies).

Famili burung terendah dijumpai hanya 1-2 jenis pada lokasi penelitian. Pada

(Gambar 6) disajikan jumlah jenis burung berdasarkan famili. Jenis-jenis burung yang ditemukan pada tiap-tiap lokasi pengamatan disajikan pada Lampiran 4.

Gambar 6.Jumlah keanekaragaman jenis burung pada setiap famili

Jumlah jenis burung dalam keseluruhan pengamatan ini cendrung lebih sedikit dibanding dengan pengamatan yang dilakukan oleh Widodo (2005), yang menemukan 51 jenis burung dari 30 famili di Taman Nasional Manusela, Seram,

Maluku Tengah. Sedikitnya jumlah jenis burung dalam pengamatan ini disebabkan cakupan luasan daerah survei yang terbatas antara lain tidak dilakukan di daerah aliran sungai dan ekosistem karst yang berada di kecamatan lain yang masih termasuk kawasan Gunung Kendeng. Gunung Kendeng memiliki cakupan 31

bentang alam yang sangat luas. Kawasan Gunung Kendeng membentang dari desa

Taban (Kudus) sampai Tuban.

Jenis-jenis burung yang intensitas pertemuannya tinggi adalah Cucak

Kutilang (Pycnonotus aurigaster), Walet Sapi (Collocalia esculenta) dan Bondol

Jawa (Lonchura leucogastroides). Ketiga spesies burung tersebut merupakan spesies umum yang ditemukan diseluruh lokasi pengamatan dan merupakan jenis burung pemakan serangga, biji-bijian dan buah. Hal ini diduga karena jenis-jenis burung tersebut memiliki rentang yang luas sehingga mudah beradaptasi dikeseluruhan lokasi pengamatan yang berbeda. Alikodra (2002), mengatakan bahwa jika suatu jenis banyak pergerakkan, berarti jenis tersebut memiliki kemampuan untuk hidup diberbagai habitat. Selain itu, sumber makanan juga berpengaruh terhadap keberadaan burung di suatu habitat.

Sebagian besar jenis-jenis burung yang ditemukan merupakan pemakan serangga. Hal ini didukung dengan kondisi vegetasi di sekitar lokasi yang di dominasi oleh T. grandisdan tanaman lain milik warga seperti Zea mays,Capsicum frutescens, Oryza sativadanManihot utilisima. Kondisi habitat yang menyediakan sedikit tanaman buah ini diduga sebagai penyebab kurangnya jenis-jenis burung pemakan buah dan mendominasinya jenis burung pemakan serangga. Contoh burung pemakan serangga yang ditemukan melakukan aktivitas mencari makan adalah Kangkong ranting (Cuculus saturatus) yang ditemukan sedang memakan ulat yang berada di ranting pohon turi (Sesbania grandiflora).

Pada lokasi pengamatan ditemukan beberapa sarang burung seperti,

T.chloris yang ditemukan dicelah-celah batu di bibir gua larangan Kecamatan 32

Tambakromo. Pada sarang tersebut terdapat sebutir telur dan bulu berwarna biru putih ini yang memperkuat bahwa sarang tersebut merupakan sarangT. chloris.

Sarang Caladi Ulam (Dendrocopus macei) yang ditemukan berupa lubang di salah satu T. grandisdi Kecamatan Sukolilo. Pada saat pengamatan di Kecamatan

Kayen sering terdengar aktivitas burung D. macei sedang mematuk-matukkan paruhnya ke batang pohon. Diduga aktivitas ini adalah peroses dalam pembuatan lubang sebagai lokasi bersarang. Banyak sarang yang dijumpai pada saat pengamatan namun lokasi yang tidak terjangkau dan keterbatasan dalam mengidentifikasi berbagai tipe sarang menyulitkan pengamat untuk mengetahui secara pasti sarang tersebut.

Lokasi pengamatan di Kecamatan Kayen berdekatan dengan sawah dan danau buatan. Burung tersebut yaituBambangan Hitam (Dupetor flavicollis) yang terbang untuk mencari makan diantara tumbuhan air . Di Kecamatan Tambakromo juga di jumpai burung air, yaitu Bangau Sandang-laweCiconia episcopus. C. episcopus merupakan salah satu burung air yang ukurannya besar. Pada saat perjumpaan C. episcopusterlihat terbang secara soliter atau berkelompok. Menurut

MacKinnon (1998),C. episcopus sering mengunjungi sawah dan padang rumput dalam kelompok kecil, bertengger pada pohon yang tinggi. Terkadang dijumpai bersama bangau lain atau jika ada, bersama merak. Sering melayang tinggi di angkasa, mengikuti aliran udara panas yang naik, berbiak tidak dalam koloni.

Burung lain juga ditemukan di lokasi ini seperti Elang Hitam (Ictinaetus malayensis) dan Merak Hijau (Pavo muticus). I. malayensis merupakan jenis burung karnivor yang mempunyai relung jelajah yang sangat luas untuk mencari 33

makan. Terlihat terbang tinggi di wilayah yang terbuka dan terkadang berkeliling di sekitar tebing-tebing karst. Tebing‐tebing karst juga menjadi habitat berbagai jenis elang yang membuat sarang di dahan‐dahan yang tumbuh di tebing karst

(Rahmadi, 2007).

Pavo muticus masih terdapat di Kecamatan Tambakromo namun, dari segi keamanan menyebabkan burung P. muticus semakin terancam. Jumlahnya yang semakin berkurang akibat perburuan serta adanya gangguan dari warga sekitar dengan cara membabat semak-semak dan rumput-rumputan. Semak belukar dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau untuk pembukaan lahan perkebunan yang secara tidak langsung mempengaruhi tingkat kehadiran P. muticus di lokasi ini.

Hal ini mengindikasikan berkurangnya jumlah rumput dan semak-semak membuktikan semakin tergesernya habitat bagi P. muticus. Sehingga, burung ini sulit dijumpai pada saat pengamatan.

4.3. Indeks Kelimpahan dan Dominansi Jenis Burung

Analisis dominansi burung digunakan untuk melihat bagaimana komposisi jenis burung yang dominan, subdominan, dan tidak dominan dalam komunitas burung yang diamati. Hasil analisis dominansi terhadap jumlah jenis burung yang ditemukan pada setiap lokasi pengamatan di kawasan karst Gunung Kendeng

Kabupaten Pati, Jawa Tengah ditunjukkan pada Tabel 3.Burung memiliki kelimpahan yang beragam pada habitat dan waktu pengamatan yang berbeda.

Perbedaan ini diduga karena kemampuan tiap jenis burung berbeda untuk memanfaatkan habitat yang ada di kawasan karst Gunung Kendeng. 34

Tabel 3. Jumlah jenis burung yang dominan, subdominan dan tidak dominan pada tiap lokasi pengamatan

Jenis Burung Lokasi Pengamatan Jumlah Dominan SubDominan Tidak Dominan Kec. Kayen 0 1 23 24 Kec. Tambakromo 1 0 19 20 Kec. Sukolilo 1 1 15 17

Kelimpahan burung yang tinggi pada umumnya juga didukung oleh kemampuan habitat yang ada untuk memenuhi kebutuhan pakan dan hidup lainnya. Kelimpahan jenis burung memiliki hubungan dengan dominansi jenis burung. Jenis burung yang memiliki kelimpahan tertinggi merupakan jenis burung yangdominan dan begitu juga sebaliknya.Jenis burung yang memiliki kelimpahan tertinggi dan dominan pada pengamatan pagi dan sore hari di Kecamatan

Tambakromo dan Kecamatan Sukolilo adalah C. esculenta.

C. esculenta merupakan jenis burung pemakan serangga jenis ini sering ditemukan terbang berkelompok pada habitat terbuka dan terkadang dalam jumlah populasi yang sangat besar hingga sulit untuk diketahui jumlah individu secara pasti. Selain itu, letak lokasi pengamatan yang dekat dengan gua-gua dan di kelilingi tebing-tebing yang diyakini sebagai tempat bersarang burung tersebut sehingga, burung ini sangat mudahdijumpai. Menurut Sawitri (2007), habitat burung yang disukai burung walet adalah gua-gua yang bersuhu 24-290C dan kelembaban 80-95%, sedangkan daerah perburuan untuk mencari makannya, yaitu berbagai jenis serangga, adalah padang rumput, persawahan, perladangan, tepian hutan terbuka dan pinggiran pantai. 35

Perbedaan kelimpahan jenis burung pada tiap lokasi pengamatan disebabkan oleh aktivitas dan kemampuan memanfaatkan habitat hutan

(Darmawan, 2005). Nilai kelimpahan dan komposisi jenis burung yang dominan, subdominan dan tidak dominan disajikan dalam bentuk Lampiran 5. Kelimpahan dan dominansi suatu jenis burung didukung oleh kecocokan burung tersebut terhadap ekosistemnya sebagai bagian dari habitatnya dan kemampuan beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya. Faktor penting yang juga membuat suatu jenis dapat dominasi suatu lingkungan adalah kemampuan burung untuk beradaptasi terhadap kondisi lingkungannya dan kemampuan untuk memilih serta menciptakan relung khusus bagi dirinya (Utari, 2000).

4.4. Indeks Keanekaragaman dan Kemerataan Jenis Burung Indeks keanekaragaman merupakan nilai yang menunjukkan tinggi rendahnya keanekaragaman dan kemantapan komunitas (Sayogo, 2009). Nilai keanekaragaman dan kemerataan jenis burung pada masing-masing lokasi pengamatan berbeda, hasil analisisnya dapat dilihat pada Gambar 7.

3 H' 2.324 2.5 E 1.801 1.787 2

1.5

1 0.731 0.631 0.5 0.601

0 Kec. Kayen Kec. Tambakromo Kec. Sukolilo Gambar 7. Indeks keanekaragaman dan kemerataan jenis burung di tiap lokasi pengamatan 36

Berdasarkan grafik terlihat bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis burung (H’) pada ketiga lokasi pengamatan di kawasan karst Gunung Kendeng memiliki indeks keanekaragaman jenis burung yang berbeda.Indeks keanekaragaman tertinggi di Kecamatan Kayen. Indeks keanekaragaman jenis burung terkecil pada Kecamatan Sukolilo. Bila dibandingkan dengan penelitian

Dewi et al. (2007), diperoleh indeks keanekaragaman pada habitat hutan primer sebesar 3,90, habitat hutan sekunder 3,44 dan kebun 2,62, indeks keanekaragaman pada pengamatan ini adalah lebih rendah. Namun, menurut Rukmi (2010), nilai indeks < 1,5 menunjukkan keanekaragaman yang rendah, selanjutnya nilai yang berkisar 1,5-3,5 menunjukkan nilai keanekaragaman yang sedang dan nilai > 3,5 menunjukkan nilai keanekaragaman tinggi.

Atas dasar kriteria tersebut maka indeks keanekaragaman di seluruh lokasi pengamatan di Gunung Kendeng tergolong sedang. Adapun Perbedaan indeks keaneakargaman pada tiap lokasi pengamatan diduga karena kondisi lokasi yang tidak sama. Kecamatan Kayen memiliki kondisi yang cukup menunjang bagi berbagai kehidupan burung. Habitat burung di Kecamatan Tambakromo, Sukolilo dan Kayen memiliki komposisi vegetasi yang hampir sama yaitu berupa hutan sekunder yang di dominasi oleh tanaman T. grandis, tanaman palawija dan persawahan. Bila dibandingkan dengan Kecamatan Tambakromo yang memiliki vegetasi yang masih sangat rapatKecamatan Kayen lebih memiliki kawasan terbuka yang lebih luas. Pengambilan data di Kecamatan Kayen dan Kecamatan

Tambakromo dilakukan pada musim kemarau sedangkan di Kecamatan Sukolilo lokasi pengamatan dekat dengan pemukiman warga dan pengambilan data 37

dilakukan pada saat musim hujan. Adapun data pengukuran fisik tiap lokasi pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 3.

Faktor fisik dan luas habitat juga berpengaruh nyata bagi keberadaan burung di lokasi pengamatan. Biasanya jumlah jenis burung akan meningkat sesuai dengan luas habitat atau ukuran suatu habitat (Rusmendro et al.,

2009).Heddy dan Kurniati (1996), menambahkan bahwa semakin banyak jumlah jenis burung yang membentuk suatu komunitas, semakin tinggi keanekaragamannya. Hal ini sesuai pula dengan pendapat Lloyd dan Ghelardi

(1964), bahwa keragaman jenis tinggi bila banyak jenis berada di suatu komunitas tersebut dan keragaman jenis rendah jika hanya satu atau beberapa jenis saja yang mendominasi komunitas tersebut. Selain itu, faktor yang mempengaruhi besar kecilnya nilai H’ ini adalah kondisi lingkungan, jumlah jenis dan sebaran individu pada masing-masing jenis (Alikodra, 1990).

Untuk komunitas yang memiliki nilai keanekaragaman semakin tinggi maka hubungan antara komponen dalam komunitas akan semakin kompleks dan sebaliknya semakin rendah nilai keanekaragaman jenis komunitas sedang mengalami tekanan (Rusmendro et al., 2009).Indeks kemerataan jenis burung dalam suatu habitat dapat ditandai dengan tidakadanya jenis-jenis yang dominan.

Apabila setiap jenis memiliki jumlah individu yang sama, maka kemeratan jenis pada komunitas tersebut memiliki nilai maksimum. Sebaliknya bila jumlah individu pada masing-masing jenis berbeda jauh maka menyebabkan kemerataan jenis memiliki nilai minimum (Santosa, 1995). Indeks kemerataan yang diperoleh di Kecamatan Kayen sebesar 0,731, Kecamatan Tambakromo 0,601 dan Sukolilo 38

0,631. Indeks kemerataan jenis yang memiliki nilai lebih besar dari 0,5 menunjukkan jenis-jenis yang ditemukan cukup merata (Darmawan, 2005).

Hasil analisis indeks kemerataan jenis menunjukkan bahwa jenis burung pada keseluruhan lokasi pengamatan di kawasan karst Gunung Kendeng merata.

Nilai indeks kemerataan pada kesemua lokasi pengamatan spesies burung yang dijumpai memiliki jumlah individu yang tidak jauh berbeda satu sama lain. Kurnia et al. (2005) menyatakan bahwa semakin tinggi nilai dari indeks kemerataan,mengindikasikan bahwa dalam suatu komunitas tidak terdapat jenis yangdominan.

4.5. Indek Kesamaan Jenis (Sorensen)

Jenis burung yang tercatat pada setiap tipe habitat memiliki kesamaan jenis dengan burung yang ditemukan di lokasi lainnya. Indeks kesamaan jenis burung digunakan untuk mengetahui tingkat kesamaan jenis burung yang ditemukan pada seluruh lokasi pengamatan (Tabel 4). Data selengkapnya di tampilkan pada Lampiran 5.

Tabel 4. Perbandingan indeks kesamaan jenis burung pada tiap lokasi pengamatan

Indeks Kesamaan Sorensen (%) Lokasi Pengamatan Kec. Kayen Kec. Tambakromo Kec. Sukolilo Kec. Sukolilo 1,29 Kec. Kayen 2,67 Kec. Tambakromo 1,47

Berdasarkan hasil analisis, secara umum menunjukkan keanekaragaman jenis burung pada setiap lokasi pengamatan memiliki kesamaan antara lokasi satu dengan lokasi yang lain. Di Kecamatan Tambakromo dan Sukolilo berasosiasi dengan lokasi di Kecamatan Kayen, yang artinya bahwa Kecamatan Tambakromo 39

dan Sukolilo memiliki banyak kesamaan jenis burung. Selanjutnya, jenis-jenis burung yang terdapat pada kedua lokasi tersebut memiliki kesamaan dengan jenis burung pada lokasi di Kecamatan Kayen.Nilai kesamaan jenis burung di lokasi penelitian diketahui antara Kecamatan Kayen dengan Kecamatan Tambakromo memiliki indeks kesamaan jenis sebesar 2,67%.

Jenis burung yang sama pada kedua habitat tersebut antara lain Walet palem asia (Cypsiurus balasiensis),Tekukur biasa (Streptopelia chinensis),Cekakak cina (Halcyon pileata),Cekakak jawa(Halcyon cyanoventris),Burung madu-polos (Anthreptes simplex), Alap-alap sapi (Falco moluccensis), Elang brontok (Spizaetus cirrhatus), Perenjak coklat (Prinia polychroa).Kebanyakan jenis burung yang ditemukan pada Kecamatan Kayen dengan Kecamatan Tambakromo merupakan jenis burung insektivora dan karnivora. Hal ini disebabkan karena bentang alam yang hampir sama menyediakan vegetasi pada kedua habitat tersebut yang tidak jauh berbeda, yaitu berupaT. grandis,tanaman jagung (Zea mays),padi-padian (Oryza sativa), tanaman cabai (Capsicum annum), randu (Ceiba petandra)dantanaman asam (Tamarin indica). Memiliki kawasan bukit karst yang sangat luas yang diperkirakan masih banyak terdapat hewan-hewan lain yang dapat dimangsa oleh burung predator dan serangga yang melimpah. Kedua Kecamatan tersebut memiliki letak yang saling berdekatan.

Kecamatan Tambakromo dengan Kecamatan Sukolilo memiliki indeks kesamaan jenis sebesar 1,47% atau lebih kecil dari asosiasi antara Kecamatan

Kayen dengan Kecamatan Tambakromo. Jenis burung yang sama pada kedua 40

lokasi tersebut merupakan jenis-jenis burung pemakan serangga. Penurunan ini disebabkan karena kedua lokasi pengamatan yang memiliki karakteristik berbeda, yaitu lokasi di Kecamatan Tambakromo yang mempunyai karakteristik dengan penutupan tajuk yang masih sangat rapat berbeda dengan Sukolilo yang memiliki lebih banyak lahan terbuka.

Perbedaan musim pada saat pengamatan juga mempengaruhi kehadiran burung dalam suatu habitat. Menurut Krebs (1985), faktor yang mempengaruhi penyebaran satwa bukan hanya kemampuan pemencaran, perilaku dan ada tidaknya spesies lain, melainkan juga faktor kimia habitat (seperti air, oksigen, salinitas) dan faktor fisik (seperti suhu, cahaya, topografi, curah hujan). Di

Kecamatan Sukolilo pengamatan dilakukan pada saat musim hujan dengan kondisi lahan yang cukup terbuka sedangkan di Kecamatan Tambakromo pengamatan dilakukan pada musim kemarau dengan kondisi lahan yang bervegetasi masih cukup rapat.

Ketika musim kemarau, suasana musim hujan sangat mengganggu kehidupan burung di Kecamatan Sukolilo, karena lahannya terbuka dan vegetasinya kurang. Burung pun lebih banyak beraktivitas dilokasi lain yang bervegetasi namun, pada musim hujan aktivitas burung akan lebih banyak

(Soendjoto danGunawan, 2003). Sementara itu, musim hujan yang lahannya relatif tertutup oleh vegetasi menjadi tempat yang menyenangkan bagi burung pada musim kemarau.

Nilai indeks kesamaan terendah terdapat di lokasi Kecamatan Sukolilo dengan Kecamatan Kayen 1,29%. Umumnya, jenis burung yang ditemukan pada 41

kedua habitat merupakan jenis burung yang menyukai habitat terbuka. Penyebab kedua habitat tersebut mempunyai nilai kesamaan rendah adalah karena adanya perbedaan kondisi sekitar lokasi pengamatan di Kecamatan Sukolilo yang berdekatan dengan lokasi pemukiman sedangkan, di Kecamatan Kayen lokasi pengamatan disekitar memperlihatkan bukit-bukit hutan T. grandis yang jauh dari pemukiman. Habitat burung di Kecamatan Sukolilo semakin bergeser dengan adanya pembangunan.

Tingkat kenyamanan bagi kehidupan burung makin terganggu karena aktivitas manusia. Sebagai contoh yaitu jenis burung yang ditemukan di

Kecamatan Sukolilo memiliki tingkat adaptasi yang tinggi dari segala macam gangguan manusia dibanding jenis-jenis burung yang dijumpai di Kecamatan

Kayen. Hal inilah yang menyebabkan kesamaan jenis antara kedua lokasi tersebut rendah.

4.6. Frekuensi Relatif (%)

Secara keseluruhan frekuensi relatif tertinggi pada kawasan karst Gunung

Kendeng dimiliki oleh S. cirrhatus,P. aurigaster,Lanius schach.,C. esculenta, S chinensis,T. chloris,Ayam Hutan Hijau(Gallus varius),Bubut Alang-alang

(Centropus bengalensis),Wiwik Lurik(Cacomantis sonneratii),L. leucogastroides,P. polychroa,S. cirrhatus. Perbandingan frekuensi relatif semua jenis burung dapat dilihat pada Lampiran 3.

Tingginya frekuensi relatif ditentukan oleh frekuensi perjumpaan dengan jumlah total lokasi pengambilan data, oleh sebab itu semakin tinggi frekuensi 42

perjumpaan semakin tinggi frekuensi relatifnya. Secara keseluruhan jenis burung yang ditemukan terdapat pada ketiga lokasi pengamatan. Frekuensi relatif yang tinggi dikarenakan terdapat sumberdaya yang mendukung bagi kehidupan burung.

Keberadaan vegetasi sebagai penyedia pakan dan tempat bersarang yang digunakan oleh jenis burung tersebut. Contohnya D. maceiyang menggunakan T. grandis sebagai tempat bersarang. Burung ini memiliki suara yang khas pada saat mematuk-matukkan paruh ke batang pohon sehingga, mudah untuk dikenali.

4.7. Status Konservasi Burung di Ekosistem Karst Gunung Kendeng

Status jenis burung ini berhubungan dengan berbagai aspek yang bertujuan untuk kelestarian jenis burung, yang diantaranya berkaitan dengan penyebaran di alam keendemikan jenis, perlindungan dan status kelangkaan. Perlindungan ini dilakukan baik oleh pemerintah Indonesia yang mengacu pada UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8/1999 tentang

Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar maupun oleh CITES (Convention of

InternationalTrade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora) yang mengelompokkan kategori-kategori jenis ke dalam 3 Appendix yaitu, Appendix I, semua jenis yang terancam punah dan berdampak apabila diperdagangkan.

Perdagangan hanya diijinkan hanya dalam kondisi tertentu misalnya hanya untuk riset ilmiah. Appendix II, jenis yang statusnya belum terancam tetapi akan terancam punah apabila dieksploitasi berlebihan. Appendix III, seluruh jenis yang juga dimasukkan dalam peraturan didalam perdagangan dan negara lain berupaya mengontrol dalam perdagangan tersebut agar terhindar dari eksploitasi yang tidak 43

berkelanjutan (Soehartono danMardiastuti, 2002). Jenis-jenis burung yang

termasuk kedalam CITES Appendiks II yaitu, Merak Hijau (Pavo muticus), I.

malayensis, Alap-alap Cina (Accipiter soloensis), F. moluccensis, S.cirrhatus.

Data lebih jelasnya mengenai burung-burung dilindungi yang ditemukan di

seluruh lokasi pengamatan disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Distrbusi dan status konservasi burung di Gunung Kendeng Status No Nama Lokal Nama Ilmiah Distribusi Perlindungan CI UU IU PYCNONOTIDAE

1. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster F F J F F 2. Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier S K J F T LANIIDAE

3. Bentet kelabu Lanius schach APODIDAE

4. Walet palem asia Cypsiurus balasiensis S K J C T 5. Walet sapi Collocalia esculenta SK C M T P COLUMBIDAE

6. Perkutut jawa Geopelia striata S F J F F T 7. Tekukur biasa Streptopelia chinensis S K J F F T ALCEDINIDAE

8. Cekakak cina Halcyon pileata S K J C AB 9. Cekakak jawa Halcyon cyanoventris J AB 10. Cekakak sungai Todirhamphus chloris S K J C M T P AB PHASIANIDAE

11. Merak hijau Pavo muticus J AII AB VU 12. Ayam hutan hijau Gallus varius J T CUCULIDAE

13. Bubut alang-alang Centropus bengalensis S K J C M T 14. Kangkong erasia Cuculus canorus J 15. Kangkong ranting Cuculus saturatus K C M T P 16. Wiwik lurik Cacomantis sonneratii S K J PLOCEIDAE

17. Bondol jawa Lonchura leucogastroides S J T NECTARINIIDAE

18. Burung madu-polos Anthreptes simplex S K B 19. Burung madu jawa Aethopyga mystacalis J PICIDAE

20. Caladi ulam Dendrocopus macei S J CAMPEPHAGIDAE

21. Sepah kecil Pericrocotus cinnamomeus K J ARDEIDAE

22. Bambangan hitam Dupetor flavicollis S K J C M T P STRIGIDAE

23. Celepuk Otus sp DICRURIDAE

44

Status No Nama Lokal Nama Ilmiah Distribusi Perlindungan CI UU IU 24. Srigunting hitam Dicrurus macrocercus S J CICONIIDAE

25. Bangau sandang-lawe Ciconia episcopus S J C T AB ACCIPITRIDAE

26. Elang hitam Ictinaetus malayensis S K J C M AII AB 27. Alap alap cina Accipiter soloensis S K J C M T P AII AB 28. Alap-alap sapi Falco moluccensis K J C M T P AII AB 29. Elang berontok Spizaetus cirrhatus S K J AII AB SILVIIDAE

30. Cinenen jawa Orthotomus sepium J T 31. Perenjak jawa Prinia familiaris S J 32. Perenjak coklat Prinia polychroa J 33. Kerakbasi ramai Acrocephalus stentoreus K J C M T P Sumber : Daftar Burung Indonesia (Sukmantoro et al., 2007) Keteranga: Distribusi Ke-7 wilayah fauna (faunal region) di Indonesia diberi tanda:(S) untuk Sumatera; (K)untuk Kalimantan;(J) untuk Jawa, Bali dan Madura;(C)untuk Sulawesi;(M) untuk Maluku;(T) untuk Nusa Tenggara (kecuali Timor Leste);(P) untuk Papua;(F) menunjukan bahwa spesies tersebut spesies feral yang ekslusif dalam suatu region, Status perlindungan: (CI) Status perdagangan CITES: (AII) Appendiks II, (UU) Status Undang-undang Negara Republik Indonesia: (A) UU No. 5 tahun 1990; (B) PP No. 7 tahun 1999; (IU) Status keterancaman IUCN: (VU) Vulnerable, Status endemik

Tercatat sebanyak 6 jenis burung merupakan spesies endemik di Pulau

Jawa dan10 jenis adalah spesies yang dilindungi oleh pemerintah. Jenis burung

yang tergolong burung endemik Pulau Jawa, diantaranya adalah Cinenen Jawa

(Orthotomus sepium, Perenjak Jawa (Prinia familiaris), Burung Madu Jawa

(Aethopyga mystacalis),L. leucogastroidesdan Cekakak Jawa (Halcyon

cyanoventris) sedangkan jenis burung yang dilindungi adalah H. pileata,H.

cyanoventris, T. chloris,C. episcopus, I. malayensis,A. soloensis,F. moluccensis,S.

cirrhatus, P. muticusdanA. simplex.

Jenis-jenis burungyang dilindungibaik oleh pemerintah Indonesia maupun

CITES mempunyai peranan penting di alam. Famili Accipitridae yang merupakan 45

top predator mempunyai fungsi yang sangat penting bagi penyeimbang ekosistem. Jenis burung pemangsa ini memiliki fungsi untuk menjaga keseimbangan ekosistem dari populsi hama tikus dan populasi ular yang berlebihan dengan cara memangsanya (Sozer et al., 1999). Famila Nektariniidae yang mencari makan pada vegetasi berbunga bermanfaat membantu penyerbukan bunga. Famili Alcedinidae dan Ciconiidae adalah burung pemakan ikan, yang dapat digunakan sebagai indikator habitat. Menurut Sozer et al.(1999), Famili

Alcedinidae mempunyai kepekaan tertentu terhadap kesehatan lingkungan, sehingga sangat bermanfaat untuk indikator keseimbangan lingkungan alam.

Famili Phasianidae termasuk kedalam kategori terancam (Vulnerable) menurut IUCN 2007 dan dilindungi baik pada pemerintah Indonesia maupun

CITES. Hal ini dikarenakan anggota famili Phasianidae termasuk burung-burung yang memiliki bulu-bulu indah, kaki yang kuat tetapi tergolong burung dengan kemampuan terbang yang rendah. Burung-burung jenis ini termasuk burung penghuni lantai hutan. Makanan jenis-jenis burung tersebut adalah buah-buahan, serangga, semut, rayap dan biji-bijian (Hernowo, 1989). Oleh karena itu, burung- burung jenis ini banyak yang diperdagangkan baik nasional maupun internasional sebagai burung peliharaan.

Burung yang memiliki status endemik dan termasuk kedalam kategori

IUCN dilindungi baik oleh pemerintah maupun terdaftar dalam CITES, memiliki nilai ekologi yang penting bagi suatu kawasan. Hal ini juga berarti bahwa Gunung

Kendeng merupakan salah satu kawasan yang perlu dilestarikan sebagai kawasan lindung.Gunung Kendeng mempunyai sumberdaya yang dapat dimanfaatkan bagi 46

beberapa jenis burung yang dianggap penting.Secara tidak langsung Gunung

Kendeng mempunyai hubungan timbal balik terhadap kehidupan burung.Ini juga berlaku pada kehidupan burung yang memanfaatkan sumberdaya yang ada di

Gunung Kendeng sebagai tempat mencari makan, beristirahat dan tempat berlindung karena burung adalah salah satu indikator bagi kesehatan lingkungan di Gunung Kedeng.

4.8. Aktivitas Harian Burung

Pengamatan mengenai aktivitas harian yang dilakukan spesies burung dibedakan kedalam dua waktu yang berbeda, yaitu pagi dan sore hari dengan tujuan untuk mengetahui tingkat aktivitas tertinggi dalam kehidupan burung sehari-hari. Aktivitas yang diamati diantaranya aktivitas mencari makan, terbang, bersarang, berjalan dan bertengger. Berikut adalah grafik perbandingan aktivitas burung pada waktu pagi dan sore hari (Gambar 8).

Gambar 8. Grafik Perbandingan aktivitas burung pada waktu pagi dan sore hari 47

Umumnya jenis-jenis burung yang teramati adalah burung diurnal yang berarti burung yang aktif pada siang hari. Aktivitas terbanyak dilakukan pada waktu sore hari dengan lama waktu pengamatan dimulai dari jam (14.00-17.30

WIB) sedangkan pagi hari dimulai dari jam (06.30-10.00 WIB).Persentase aktivitas burung tertinggi dikedua waktu yang berbeda tersebut adalah pada saat burung melakukan aktivitas terbang di sore dan pagi hari.

Terbang merupakan aktivitas bergerak yang paling aktif dilakukan dengan cara berpindah dari satu pohon ke pohon, dari bawah ke atas atau terbang di permukaan terbuka dengan menggunakan sayap. Aktivitas kedua yang sering dilakukan burung adalah bertengger dengan persentase pada sore hari 16,3%, pada pagi hari 20,7%. Bertengger merupakan aktivitas istirahat yang dilakukan dengan berdiam diri pada bagian cabang-cabang pohon. Aktivitas lainnya merupakan aktivitas yang mempunyai nilai persentase yang rendah, yaitu aktivitas jalan, makan dan bersarang. Makan merupakan aktivitas ingestif yang dilakukandengan cara mengambil danmencabuti bulu mangsa menggunakanparuh atau kaki.

Berjalan merupakan aktivitas yang dilakukan denganberpindah tempat menggunakan kaki. Aktivitas berjalan jarang terlihat karena sebagian besar burung yang ditemui adalah burung arboreal yang melakukan aktivitasnya di atas pohon. Bersarang digolongkan kedalam prilaku membuat sarang dan keberadaan burung pada sarang yang dijumpai di lokasi pengamatan.Membuat sarang adalah aktivitas mengambil ranting-rantingkering, dan dedaunan keringdengan menggunakan paruh yangdiletakkan pada pepohonan.

4.9. Distribusi Vertikal oleh setiap Jenis Burung 48

Penyebaran burung secara vertikal pada tiap-tiap tipe habitat berkaitan dengan stratifikasi vegetasi. Setiap strata memiliki kemampuan yang dapat mendukung kehidupan jenis burung tertentu. Burung memanfaatkan strata vegetasi untuk melakukan aktivitas seperti mencari makan, tempat istirahat, dan tempat berlindung.

Gambar 9. Perbandingan penggunaan stratifikasi vegetas Keterangan : Tnh (Tanah / lantai), SR (semak rendah), SS (semak sedang), ST (semak tinggi), PBT (pohon bawah tajuk), PAT (pohon atas tajuk)

Stratifikasi vegetasi adalah perbedaan tinggi rendah dari formasi vegetasi yang bervariasi tergantung musim (Karr et al., 1982 dalam Partasasmita et al.,2009). Menurut Alikodra (2002), suatu masyarakat burung dapat dibedakan menurut perbedaan lapisan hutan. Hutan terdiri atas strata semak belukar, strata antara semak belukar dengan pohon dan strata tajuk hutan. Setiap strata memiliki kemampuan untuk mendukung kehidupan jenis burung tertentu. Pemanfaatan strata hutan bervariasi menurut waktu dan ruang, yang secara umum dimanfaatkan burung pada siang hari. 49

Pemanfaatan strata vegetasi pada habitat hutan sekunder yang dibedakan berdasarkan Kecamatan di kawasan karst Gunung Kendeng didominasi oleh strata

IV (1,80-4,50 m) dan V (4,50-15,00 m). Hal ini disebabkan pada strata IV dan V tersedia sumber makanan yang dibutuhkan oleh burung seperti serangga, bunga dan buah. Sehingga sering dimanfaatkan oleh jenis-jenis burung pemakan buah dan serangga. Jenis-jenis burung tersebut antara lain P. aurigaster, Lanius schach

, S. chinensis, C. saturatus, Cuculus canorus, Anthreptes simplex. Umumnya jenis burung yang memanfaatkan strata IV dan V untuk bermain, mencari makan, dan beristirahat.

Jenis strata VI (>15,00 m) pada habitat hutan sekunder di Kecamatan

Kayen, Kecamatan Tambakromo dan Kecamatan Sukolilo adalah burung-burung pemangsa dari famili Accipitridae, yang memanfaatkan strata VI untuk istirahat, bertengger dan mengintai mangsa. Burung yang menduduki strata VI, yaitu strata pohon diatas tajuk mempermudah untuk mengetahui letak buruan yang diintainya.

Jenis-jenis burung Accipitridae yang dijumpai menggunakan strata vegetasi VI adalah I. malayensis, A. soloensis,F. moluccensis, S. cirrhatus.

Strata III (0,60-1,80 m) pada hutan sekunder di Kecamatan Kayen,

Kecamatan Tambakromo dan Kecamatan Sukolilo digunakan oleh jenis burung yang menyukai habitat dengan kondisi semak sedang adalah C. bengalensidan O.

Sepium. Semak sedang tergolong kedalam vegetasi bawah yang lebih banyak menyediakan sumber pakan berupa serangga dan biji. Vegetasi semak yang rapat lebih sesuai digunakan burung semak sebagai habitat tempat sarang dan tempat berlindung dari segala gangguan. Lapisan vegetasi semak yanng relatif kebih 50

terbuka mengakibatakan beberapa spesies burung yang sering menggunakan semak menurun jumlah populasinya. Kondisi lapisan bawah terbuka lebih sedikit menyediakan sumberdaya makanan, tempat tenggeran dan tempat sarang sehingga, kurang nyaman digunakan kelompok burung semak (Partasasmita et al.,

2009).

Strata I (0,00-015 m) dan II (0,15-0,60 m) dimanfaatkan oleh jenis burung arboreal (hidup ditanah) dan burung lapisan bawah. Menurut Alikodra (2002), jenis burung yang ada di lantai hutan sangat bervariasi terutama ditentukan oleh komposisi jenis tumbuhan, kerapatan dan letak tempatnya. Jenis burung khas strata bawah umumnya yaitu G. Varius, P. muticus, P. polychroa dan L. leucogastroides. Burung ini umumnya pemakan serangga dan biji. Strata bawah dipengaruhi oleh adanya vegetasi rerumputan dan semak belukar yang dapat menunjang kebutuhan penyediaan pakan berupa serangga dan biji bagi jenis-jenis burung ini.

Penggunaan strata bawah yang rendah pada habitat hutan menunjukkan bahwa ketiga lokasi pengamatan tersebut kurang mendukung sebagai habitat burung semak karena lebih homogen dan sangat sedikit tumbuhan semaknya

(Partasasmita et al., 2009).Pembukaan lahan perkebunan oleh warga diwilayah hutan sekunder dengan cara membabat semua semak belukar juga menjadi salah satu faktor rendahnya penggunaan strata bawah oleh jenis-jenis burung di kawasan Gunung Kendeng.

Penggunaan ruang secara vertikal untuk berbagai aktivitas oleh setiap jenis burung sering dipengaruhi oleh tingkat gangguan lokasi tersebut dari aktivitas 51

manusia, keamanan dari hewan predator, ketersediaan sumberdaya makanan.Suatu jenis burung akanberusaha menghindar dari gangguan manusia sekalipunsumberdaya makanan tersedia cukup, namun sejalan dengan waktu jenis tersebut akan melakukan upayaadaptasi guna memperoleh sumber daya makanantersebut.

4.10. Penggunaan Jenis Vegetasi

Vegetasi dimanfaatkan oleh burung sebagai habitat untuk bersarang, beristirahat, mencari makan, berkembangbiak dan lainnya. Semakin beranekaragam struktur habitat (keanekaragaman jenis tumbuhan dan struktur vegetasi) maka akan semakin banyak jenis vegetasi yang dimanfaatkan burung

(Darmawan, 2005). Pada Tabel 6 dapat dilihat besarnya tingkat penggunaan vegetasi oleh burung.

Burung yang ditemukandi habitat hutan sekunder kawasan karst Gunung

Kendeng didominasi oleh jenis pemakan serangga. Jenis pohon yang ditemukan kebanyakan adalah T. grandis. Tectona grandis merupakan tanaman yang memiliki cabang yang kokoh dan berdaun lebar. Bentuk daun yang lebar sering dimanfaatkan burung sebagai tempat berlindung dari panas dan hujan sekaligus tempat bersembunyi dari gangguan. Jenis pohon jati juga berfungsi sebagai tempat mencari makan karena banyak dihinggapi serangga, larva dan menghasilkan bunga sebagai pakan burung Nectariniidae. Terkadang tanaman T. grandissering terlihat digunakan oleh beberapa kelompok burung sebagai tempat bermain. Jenis burung yang menggunakan tanaman T. grandisadalah P. aurigaster,Lanius schachdan S. chinensis. 52

Tabel 6. Tingkat penggunaan jenis vegetasi oleh burung

Lokasi Nama Jenis Tingkat Nama Latin Keterangan Pengamatan Vegetasi Penggunaan Pohon Jati Tectona grandis 1,63 I, M, S Pohon Randu Ceiba petandra 0,67 I, S Kecamatan Pohon turi Sesbania grandiflora 0,71 M, I Kayen Pohon asam Tamarindus indica 0,25 I, S, M Semak 0,46 I, S, M Pohon Jati Tectona grandis 1,75 I, M, S Kecamatan Pohon Randu Ceiba petandra 0,55 I, S Tambakromo Pohon asam Tamarindus indica 0,40 I, S Semak 0,90 I, S, M Pohon Jati Tectona grandis 2,94 I, S, M Pohon Randu Ceiba petandra 0,24 I Pohon mahoni Swietenia mahagoni 0,35 I, S Artocarpus Kecamatan Pohon nangka heterophyllu 0,12 I, S Sukolilo Semak 0,94 I, S, M

Jagung Zea mays 0,47 I, M Singkong Manihot glaziovii 0,29 I Pohon srikaya Annona squamosa 0,41 I, M, S Pohon mangga Mangifera indica 0,12 I, S Keterangan : I= Istirahat, M= Makan, S = Sarang

Jenis vegetasi lain yang digunakan oleh burung adalah Pohon randu

(Ceiba petandra).Ceiba petandra sering digunakan oleh H. Cyanoventris danT.chlorissebagai tempat beristirahat terkadang terlihat terbang dari daerah persawahan menuju C. petandradengan membawa serangga hasil buruannya.Tanaman randu dan tanaman lainnya di kawasan karst jumlahnya hanya sedikit sehingga burung lebih sering terlihat berada pada pohon jati.

Tamarindus indica digunakan oleh beberapa jenis burung antara lain

T.chloris dan F. moluccensis, sebagai tempat untuk bertengger. T. indica memiliki banyak cabang yang disukai oleh beberapa jenis burung.Artocarpus heterophylludan Mangifera indicamerupakan pohon buah yang memiliki daun 53

yang rimbun sehingga cocok untuk tempat bersarang dan bersembunyi saat ada gangguan. Zea mays digunakan sebagai tempat bermain dan mencari makan. Jenis burung yang sering menggunakan Zea mays adalah P. aurigaster yang hinggap di bagian daun-daun jagung dan bunga jangung dengan P.aurigaster yang lainnya.

Burung-burung yang menyukai semak biasanya adalah pemakan biji dan serangga karena semak menyediakan pakan berupa biji dan serangga. Biasanya semak dimanfaatkan sebagai tempat mencari makan, bersarang dan berlindung dari gangguan. Hal ini dikarenakan letak semak yang berada di bawah dan biasanya ditutupi oleh tajuk. Burung yang menggunakan vegetasi semak adalah P. polychroa,P. muticus,G. varius,C. bengalensis.Beragamnya jenis vegetasi yang terdapat pada suatu habitat mendukung ketersediaan pakan bagi burung, sehingga dengan beragamnya jenis vegetasi, maka burung akan mendapatkan pilihan yang lebih banyak untuk memilih jenis pakan (Tews et al., 2004).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Keanekaragaman jenis burung di ekosistem karst Gunung Kendeng,

Kabupaten Pati, Jawa Tengah tergolong sedang dengan mengacu pada

nilai indeks keanekaragaman di tiga lokasi pengamatan yaitu Kecamatan

Kayen 2,324, Kecamatan Tambakromo 1,801, Kecamatan Sukolilo 1,787.

Burung yang ditemukan sebanyak 33 spesies 29 genus dan 17 famili

diantaranya ditemukan 6 spesies yang hanya terdapat di Pulau Jawa

(endemik) dan 10 spesies burung yang dilindungi oleh pemerintah

berdasarkan status keterancaman (IUCN), status perdagangan (CITES) dan

undang-undang.

2. Pemanfaatan habitat di ekosistem karst Gunung Kendeng, Kabupaten Pati,

Jawa Tengah digunakan sebagai tempat nesting, resting, dan feeding.

Burung pemakan serangga Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster)

cendrung memilih ketinggian (1,80-4,50 m), pemakan biji (0,00-0,60 m)

Bondol Jawa (Lonchura leucogastroides), pemakan nektar memilih

(0,450-15,00 m). Burung madu-polos (Anthreptes simplex), burung

pemangsa (> 15,00 m) Elang Hitam (Ictinaetus malayensis). Jenis vegetasi

yang sering digunakan adalah pohon jati (Tectona grandis). Aktivitas

tertinggi burung adalah terbang sore hari (34,3%) dan pagi hari (30,7%).

54

55

5.2. Saran

Perlu dilakukan sosialisasi atau penyuluhan mengenai pentingnya perlindungan satwaliar, terutama jenis burung yang berperan penting dalam ekosistem. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka kawasan karst di Gunung

Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah seharusnya tidak hanya di jadikan sebagai hutan lindung, tetapi juga sebagai kawasan Konservasi untuk melestarikan keanekaragaman satwaliar, terutama jenis burung.

DAFTAR PUSTAKA

Alikodra H.S. 1990. Pengelolaan Satwaliar Jilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar UniversitasIlmu Hayat, Institut Pertanian Bogor.

Alikodra H.S. 2002. Pengelolaan Satwa liarJilid I. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut PertanianBogor.

Arumsari R. 1989. Komunitas Burung Pada Berbagai Habitat di Kampus UI Depok.Skripsi. Sarjana Fakultas MIPA, Universitas Indonesia. Jakarta. 5 hlm.

Brontowijoyo. 1989. Zoologi Dasar. Erlangga, Jakarta.

BPS. 2010. Pati dalam Angka Tahun 2010. Pati: Kantor Statistik Pati, Jawa Tengah.

Basuni S., Hernowo J.B., Mulyono M. 2005. Studi Beberapa Aspek Ekologi Burung Murai Batu Di Hutan Wisata Pananjung Pangandaran. Jurnal. Media Konservasi. 10 (2) 47-50.

Bibby, Colins, Martin J, Stuart M. 2000. Teknik-teknik Eksped Lapangan:Survei Burung. Birdlife International–Indonesian Programme. Bogor.

Dale S., Mork K., Solvang R., Plumptre A. J. 2000. JurnalEdge effect on the understorey bird community in a logged Forest Uganda. Conservation Biology 14 (1) 265-276.

Darmawan M.P. 2005. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat di Hutan Lindung Gunung Lumut. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB, Bogor.

Dewi R. S., Mulyani Y, Santosa Y. 2007. Keanekaragaman Jenis Burung Di Beberpa Tipe Habiatat Taman Nasional Gunung Ciremai. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.

Ensiklopedi Indonesia. 1989. Ensiklopedi Indonesia Seri Fauna. PT. Ichtiar Baru Van Hoeve. Jakarta.

Fardila D danSjarmidi A. 2009. Pengaruh Tipe Lahan terhadap Komunitas Burung Di Daerah Badung Utara. Program Studi Biologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Jurnal. Biologi Lingkungan. 3 (2)

56

57

Heddy S danM. Kurniati. 1996. Prinsip-prinsip Dasar Ekologi dan Penerapannya. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Heriyanto N.M, Garsetiasih R., Setio P. 2008. Status Populasi dan Habiatat Burung Di BKPH Bayah, Banten. Jurnal Penelitian Hutan Konservaasi Alam. 5 (3) 239-249.

Hernowo J. B. 1985. Studi Pengaruh Tanaman Pekarangan Terhadap Keanekaragaman Jenis Burung Daerah Pemukiman Penduduk Perkampungan di Wilayah Tingkat II Bogor. Skripsi. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Hernowo J. B. 1989. Suatu Tinjauan Terhadap Keanekaragaman Jenis Burung dan Peranannya Di Hutan Lindung Bukit Soeharto, Kalimantan Timur. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, Fakultas Kehutanan IPB, Bogor. Jurnal. Media Konservasi. 2 (2) 19-32.

Jasin M. 1992. Zoologi Vertebrata. Djambatan, Surabaya.

Krebs C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distribution and Abundance. New York: Harper and RowPublishers.

Kuswanda W. 2010. Pengaruh Komposisi Tumbuhan Terhadap Populasi Burung Di Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Balai Penelitian Kehutanan. Sumatera Utara. 7 (2)

Kurnia I., H. Fadly U., Kusdinar W.G., Gunawan D. W., Idaman R. S., Dewi D. Yandhi G. S., Saragih G. F., Ramadhan T.D., Djuanda R., Risnawati M., Firdaus. 2005. Keanekaragaman Jenis Burung di Taman Nasional Betung Kerihun Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. Media Konservasi X: 37-46.

Loyd Mand R.J. Ghelardi. 1964. A table for calculation the equibility component of species diversity. Journal of Ecology 33: 217-225.

MacKinnon J. K., Phillipps B., van Balen. 1992. “Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan (termasuk,Sabah, Sarawak danBrunei Darussalam). Jakarta: Puslitbang Biologi – LIPI“.

MacKinnon J., Phillps K., van Ballen B. 1998. Burung-burung di Sumatera, Jawa, Bali dan Kalimantan. Bogor: Puslitbang Biologi LIPI–Birdlife International Indonesia Prograrmm.

Magurran A. E. 1988. Ecological Diversity and Its Measurement. New Jersey: Princeton University Press.

58

Partasasmita R., Mardiastuti A., Solihin D. D., Widjajakusuma R., PrijonoS. N. 2009. Struktur dan Komposisi Vegetasi Suksesi yang Digunakan Burung Semak Sebagai Habitat. Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran. Jurnal Biotika. 7 (2) 94- 107.

Peterson R.T. 1980. Pustaka Alam Life : Burung. PT. Tiara Pustaka. Jakarta.

Peterson R.T. 1986. Pustaka Alam Life : Burung. PT. Tira Pustaka, Jakarta.

Orians G.H. 1969. The Number of Birds Species in Some Tropical Forest. Saunders College Pub. Japan.

Ontario J., J. B. Hernowo, Haryanto, Ekarelawan. 1990. Pola pembinaan habitat burung di kawasan permukiman terutama di perkotaan. Jurnal. Media Konservasi 3 (1) 15- 28.

Rahayuningsih M., Mardiastuti A., Prasetyo L. B, Mulyani Y. 2007. Bird Community in Burung Island, Karimunjawa National Park, Central Java. Jurnal. Biodiversitas. 8 (3) 183-187.

Rahmadi, C. 2007. Ekosistem Karst Dan Gua. Bidang Zoologi Pusat Penelitian Biologi LIPI, Cibinong.

Rahmawaty, Priyatna, D, Azvy T. S. 2006. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Habitat Terbuka dan Tertutup di Kawasan Taman Nasional Gunung Leuser Provinsi Sumatra Utara. Departeman Kehutanan Fakultas Pertanian, Sumatra Utara.

Rombang, W.M dan Rudyanto. 1999. Daerah Penting Bagi Burung Jawa dan Bali, PKA/Birdlife International-Indonesia Programme. Bogor.

Rusmendro, H. 2009. Perbandingan Keanekaragamaan Burung Pada Pagi dan Sore Hari Di Empat Tipe Habitat Di Wilayah Pangandaran, Jawa Barat. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Jakarta. Jurnal.VIS VITALIS.2 (1)

ShannazJ., Jepson P., Rudyanto. 1995. Burung-burung Terancam Punah di Indonesia. PHPA/Birdlife International Indonesia Programme. Bogor.

Santosa Y. 1995. Teknik Pengukuran Keanekaragaman Satwaliar. Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Satriyono A. 2008. Aktivitas dan Penggunaan Habitat Burung Pengganggu Penerbangan di Kawasan Bandara Udara Internasional Juanda. 59

Skripsi.Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Intitut Teknologi Sepuluh November. Surabaya.

Sawitri R. 2007. Budidaya Dan Kelembagaan Pengelolaan Walet Sarang Putih (Collocalia fuciphaga).Penelitian pada Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Kalimantan Barat. Jurnal. ProsidingEkspose dan Gelar Teknologi Hasil-Hasil Penelitian. Hal 145-152.

Sawitri R dan Takandjandji M. 2010. Pengelolaan dan Prilaku Burung Elang Di Pusat Penyelamatan Satwa Cikananga, Sukabumi. Jurnal.Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 7 (3) 257-270.

Sawitri R., Mukhtar A.S, Iskandar, S. 2010. Status Konservasi Mamalia dan Burung Di Taman Nasional Merbabu. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam.Jurnal.Penelitian Hutan dan Konservasi Alam 7 (3) 227-239.

Sayogo A. P. 2009. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat Di Taman Nasional Lore Lindu Provinsi Sulawesi Tengah. Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor.

Soehartono, T. dan A. Mardiastuti. 2002.CITES Implementation in Indonesia. Nagao Natural Environment Foundation.

Soendjoto M. A dan Gunawan. 2003. Keragaman Burung di Enam Tipe Habitat PT Inhutani I Labanan, Kalimantan Timur. Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan, PascasarjanaIPB, Bogor.Jurnal. BIODIVERSITAS. 4 (2) 103-111.

Sukmantoro W., M. Irham, W. Novarino, F. Hasudungan, N. Kemp, M. Muchtar. 2007. Daftar Burung Indonesia no. 2. Indonesian Ornithologists’ Union, Bogor.

Suryatmojo, H. 2002. Konservasi Tanah di Ekosistem Karst Gunung Kidul. Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta.

Tews J., Brose U., Grimm V., Tielborger K., Wichmann M.C., Schwager M., Jeltsch F. 2004.Animal species diversity driven by habitat heterogeneity/diversity: The importance of keystone structure.Journal of Biogeography 31: 79-92.

Utari, W. D. 2000. Keanekaragaman Jenis Burung Pada Beberapa Tipe Habitat Di Areal Hutan Tanaman Industri PT Riau Andalan Pulp dan Paper dan Perkebunan Kelapa Sawit PT Duta Palma Nusantara Group Propinsi Dati 60

I Riau.Skripsi. Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fahutan IPB, Bogor.

Vermaullen, JandWhitten, T. 1999. Biodiversity and Cultural Property in the Management of Limestones Resources. The World Bank. Washington. van Balen. 1984. Bird Counts and bird observation in the neighborhood of Bogor. Wagenigen: Nature Conservation Dept.Agriculture University Wagenigen the Netherland.

Wiens, J.A. and J. Rotenberry. 1981. Cencusing and the Evaluation of Avian Habitat Occupancy. In: Estimating Numbers of Terrestrial Birds. The Copper Ornithology Society, Hawaii.

Welty J.C. 1982. The Life of Bird. Saunders College Publishing, Philadelphia.

Widodo W. 2005. Kemelimpahan dan Sumber Pakan Burung-burung di Taman Nasional Manusela, Seram, Maluku Tengah. Bidang Zoologi, Pusat Penelitan Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cibinong-Bogor. Jurnal Biodiversitas. 7 (1) 54-58.

Yuda P. 1995. Studi Keragaman dan Kelimpahan Burung di Berbagai Habitat di Hutan Wanagama I, DI Yogyakarta. Tesis.Program Pasca SarjanaIPB. Bogor.

61

Lampiran 1. Hasil pengambilan gambar pada saat pengamatan di kawasan Karst Gunung Kendeng Kabupaten Pati, Jawa Tengah

a b

c d

c

e f

62

Lanjutan

g h

ikg

i j

Gambar 8. Lokasi pengamatan : (a) Kec. Sukolilo, (b) Kec. Kayen, (c) Kec. Tambakromo, (d) DAS di Kec. Tambakromo, (e) Aktivitas pelebaran jalan untuk kendaraan pengangkut hasil panen, (f) kebun jagung milik warga, (g) sarang Dendrocopus macei, (h) telur Todirhamphus chloris yang ditemukan di dinding gua larangan, (i) getah yang digunakan warga sekitar untuk menjebak burung, (j) sarang Todirhamphus chloris (Dok. Pribadi, 2012)

63

Lampiran 2. Gambar jenis-jenis burung yang dijumpai di lokasi pengamatan: (a). Elang hitam (Ictinaetus malayensis), (b). Sepah kecil (Pericrocotus cinnamomeus), (c). Caladi ulam (Dendrocopus macei), (d). Bondol jawa (Lonchura leucogastroides), (e). Kangkong erasia (Cuculus canorus), (f). Cekakak Sungai (Todirhamphus chloris), (g). Alap-alap sapi (Falco moluccensis), (h). Cucak Kutilang (Pycnonotus aurigaster), (i). Elang brontok (Spizaetus cirrhatus), (j). Walet sapi (Collocalia esculenta), (k). Kerakbasi ramai (Acrocephalus stentoreus), (l). Bubut alang-alang (Centropus bengalensis) (Dok. Pribadi, 2012)

a b c

d e f

g h i

j k l

64

Lanjutan

(m). Bangau sandang-lawe (Ciconia episcopus),(n). Perenjak coklat (Prinia polychroa), (o). Alap alap cina (Accipiter soloensis), (p). Kangkong ranting (Cuculus saturatus),(q) Celepuk (Otus sp.), (r). Cinenen jawa (Orthotomus sepium), Bentet kelabu (Lanius schach) (Dok. Pribadi, 2012)

m n o

p q r

s

65

Lampiran 3. Parameter faktor fisik dan kisaran pada saat pengamatan

Kec.Sukolilo Kec. Kayen Kec. Tambakromo Parameter Pagi Sore Pagi Sore Pagi Sore Kelembaban Udara Relatif (%) 80-86 70-84 69-70 58-73 63-72 66-73 Intensitas Cahaya (Klx) 17,82-69,3 15,63-45,7 17,7-80,8 14,1-43,2 16,51- 62,5 34,6-92,3 Suhu Udara (0C) 26,2-28 26,2-28,3 27,7-30,2 27,5-34,9 29,7-33 27,4-36

66

Lampiran 4. Perjumpaan burung pada tiap lokasi pengamatan di kawasan karst Gunung Kendeng

Lokasi No. Nama Lokal Nama Ilmiah Nama Inggris Pengamatan L1 L2 L3 PYCNONOTIDAE 1. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster Sooty-headed Bulbul *** *** *** 2. Merbah cerucuk Pycnonotus goiavier Yellow-vented Bulbul * LANIIDAE 3. Bentet kelabu Lanius schach Long-tailed Shrike ** ** ** APODIDAE 4. Walet palem asia Cypsiurus balasiensis Asia Palm-swift ** * 5. Walet sapi Collocalia esculenta Glossy Swiftlet *** *** *** COLUMBIDAE 6. Perkutut jawa Geopelia striata Zebra-Dove ** 7. Tekukur biasa Streptopelia chinensis Spotted-Dove *** * ** ALCEDINIDAE 8. Cekakak cina Halcyon pileata Black-capped Kingfisher ** ** 9. Cekakak jawa Halcyon cyanoventris Javan Kingfisher ** * 10. Cekakak sungai Todirhamphus chloris Collared Kingfisher ** ** *** PHASIANIDAE 11. Merak hjau Pavo muticus Green Peafowl * 12. Ayam hutan hijau Gallus varius Green Junglefowl * ** ** CUCULIDAE 13. Bubut alang-alang Centropus bengalensis Lesser Coucal ** ** ** 14. Kangkong erasia Cuculus canorus Common Cuckoo * 15. Kangkong ranting Cuculus saturatus Oriental Cuckoo * 16. Wiwik lurik Cacomantis sonneratii Banded Bay Cuckoo ** ** ** PLOCEIDAE 17. Bondol jawa Lonchura leucogastroides Javan Munia *** *** *** NECTARINIIDAE 18. Burung madu-polos Anthreptes simplex Plain Sunbrid ** ** 19. Burung madu jawa Aethopyga mystacalis Scarlet Sunbird * PICIDAE 20. Caladi ulam Dendrocopus macei Fulvous-breasted * Woodpecker CAMPEPHAGIDAE 21. Sepah kecil Pericrocotus cinnamomeus Small Minivet * ARDEIDAE 22. Bambangan hitam Dupetor flavicollis Black Bittern * STRIGIDAE 23. Celepuk Otus sp Scops-owl * DICRURIDAE 24. Srigunting hitam Dicrurus macrocercus Black Drongo ** CICONIIDAE 25. Bangau sandang-lawe Ciconia episcopus Woolly-necked Stork ** ACCIPITRIDAE 26. Elang hitam Ictinaetus malayensis Black Eagle * 27. Alap alap cina Accipiter soloensis Chinese Goshawk * 28. Alap-alap sapi Falco moluccensis Spotted Kestrel ** *** 29. Elang berontok Spizaetus cirrhatus Changeable Hawk-eagle * ** * 67

Lokasi No. Nama Lokal Nama Ilmiah Nama Inggris Pengamatan L1 L2 L3 SILVIIDAE 30. Cinenen jawa Orthotomus sepium Olive-backed Tailorbird * 31. Perenjak jawa Prinia familiaris Bar-winged Prinia * *** 32. Perenjak coklat Prinia polychroa Brown Prinia ** * ** 33. Kerakbasi ramai Acrocephalus stentoreus Clamarous Reed-warbler **

Keterangan : L1 : Kecamatan Kayen L2 : Kecamatan Tambakromo L3 : Kecamatan Sukolilo

*** : Sering dijumpai saat pengamatan ** : Jarang dijumpai selama pengamatan * : Hanya sekali dijumpai selama pengamatan

68

Lampiran 5. Perbandingan indeks kesamaan jenis burung pada tiap lokasi pengamatan di Gunung Kendeng No. Lokasi Pengamatan C B A Indeks Kesamaan % 1. Kec. Kayen-Sukolilo 11 12 5 1,29 2. Kec. Kayen-Tambakromo 16 8 4 2,67 3. Kec. Tambakromo-Sukolilo 11 9 6 1,47

Keterangan:

C = Jumlah jenis burung yang sama terdapat pada kedua komunitas A dan B A = Jumlah jenis yang hanya ada pada komunitas A B = Jumlah jenis yang hanya ada pada komunitas B

69

Lampiran 6. Indeks Kelimpahan, dominansi dan frekuensi relatif jenis burung di kawasan karst Gunung Kendeng

Frekuensi No. Nama Lokal Nama Ilmiah Indeks Kelimpahan Indeks Dominansi (%) Relatif (%) 1 2 3 1 2 3 PYCNONOTIDAE L1 L2 L3 L1 L2 L3 1. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster 0,151 0,105 0,173 1,708 1,450 3,059 5,00 2. Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier 0,003 0,059 1,67 LANIIDAE 3. Bentet kelabu Lanius schach 0,055 0,032 0,010 0,625 0,450 0,176 5,00 APODIDAE 4. Walet palem asia Cypsiurus balasiensis 0,033 0,004 0,375 0,050 3,33 5. Walet sapi Collocalia esculenta 0,314 0,542 0,497 3,542 7,500 8,765 5,00 COLUMBIDAE 6. Perkutut jawa Geopelia striata 0,013 0,235 1,67 7. Tekukur biasa Streptopelia chinensis 0,041 0,004 0,030 0,458 0,050 0,529 5,00 ALCEDINIDAE 8. Cekakak cina Halcyon pileata 0,022 0,018 0,250 0,250 3,33 9. Cekakak jawa Halcyon cyanoventris 0,018 0,004 0,208 0,050 3,33 10. Cekakak sungai Todirhamphus chloris 0,037 0,032 0,050 0,417 0,450 0,882 5,00 PHASIANIDAE 11. Merak hijau Pavo muticus 0,004 0,050 1,67 12. Ayam hutan hijau Gallus varius 0,004 0,014 0,020 0,042 0,200 0,353 5,00 CUCULIDAE 13. Bubut alang-alang Centropus bengalensis 0,022 0,025 0,017 0,250 0,350 0,294 5,00 14. Kangkong erasia Cuculus canorus 0,004 0,042 1,67 15. Kangkong ranting Cuculus saturatus 0,004 0,042 1,67 16. Wiwik lurik Cacomantis sonneratii 0,011 0,011 0,030 0,125 0,150 0,529 5,00 PLOCEIDAE 70

Frekuensi No. Nama Lokal Nama Ilmiah Indeks Kelimpahan Indeks Dominansi (%) Relatif (%) 1 2 3 1 2 3 17. Bondol jawa Lonchura leucogastroides 0,162 0,087 0,053 1,833 1,200 0,941 5,00 NECTARINIIDAE 18. Burung madu-polos Anthreptes simplex 0,033 0,011 0,375 0,150 3,33 19. Burung madu jawa Aethopyga mystacalis 0,003 0,059 1,67 PICIDAE 20. Caladi ulam Dendrocopus macei 0,022 0,250 1,67 CAMPEPHAGIDAE 21. Sepah kecil Pericrocotus cinnamomeus 0,018 0,208 1,67 ARDEIDAE 22. Bambangan hitam Dupetor flavicollis 0,004 0,042 1,67 STRIGIDAE 23. Celepuk Otus sp 0,004 0,042 1,67 DICRURIDAE 24. Srigunting hitam Dicrurus macrocercus 0,007 0,100 1,67 CICONIIDAE 25. Bangau sandang-lawe Ciconia episcopus 0,032 0,450 1,67 ACCIPITRIDAE 26. Elang hitam Ictinaetus malayensis 0,004 0,050 1,67 27. Alap alap cina Accipiter soloensis 0,003 0,059 1,67 28. Alap-alap sapi Falco moluccensis 0,018 0,047 0,208 0,650 3,33 29. Elang berontok Spizaetus cirrhatus 0,004 0,014 0,003 0,042 0,200 0,059 5,00 SILVIIDAE 30. Cinenen jawa Orthotomus sepium 0,003 0,059 1,67 31. Perenjak jawa Prinia familiaris 0,004 0,060 0,042 1,059 3,33 32. Perenjak coklat Prinia polychroa 0,007 0,004 0,030 0,083 0,050 0,529 5,00 33. Kerakbasi ramai Acrocephalus stentoreus 0,007 0,083 1,67 71

Lampiran 7. Perbandingan indeks kemerataan dan keanekaragaman jenis burung di kawasan Gunung Kendeng

Nama Lokal Nama Ilmiah Σ Individu Pi ln Pi H’ No. 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

PYCNONOTIDAE L1 L2 L3 L1 L2 L3 L1 L2 L3 L1 L2 L3

1. Cucak kutilang Pycnonotus aurigaster 41 29 52 0,151 0,105 0,173 -1,889 -2,257 -1,753 0,286 0,236 0,304 2. Merbah cerukcuk Pycnonotus goiavier 1 0,003 -5,704 0,019 LANIIDAE

3. Bentet kelabu Lanius schach 15 9 3 0,055 0,032 0,010 -2,894 -3,427 -4,605 0,160 0,111 0,046 APODIDAE

4. Walet palem asia Cypsiurus balasiensis 9 1 0,033 0,004 -3,405 -5,624 0,113 0,020 5. Walet sapi Collocalia esculenta 85 150 149 0,314 0,543 0,497 -1,159 -0,610 -0,700 0,364 0,332 0,348 COLUMBIDAE

6. Perkutut jawa Geopelia striata 4 0,013 -4,317 0,058 7. Tekukur biasa Streptopelia chinensis 11 1 9 0,041 0,004 0,030 -3,204 -5,620 -3,507 0,130 0,020 0,105 ALCEDINIDAE

8. Cekakak cina Halcyon pileata 6 5 0,022 0,018 -3,810 -4,011 0,084 0,072 9. Cekakak jawa Halcyon cyanoventris 5 1 0,018 0,004 -3,993 -5,620 0,074 0,020 10. Cekakak sungai Todirhamphus chloris 10 9 15 0,037 0,033 0,050 -3,300 -3,423 -2,996 0,122 0,111 0,150 PHASIANIDAE

11. Merak hijau Pavo muticus 1 0,004 -5,624 0,020 12. Ayam hutan hijau Gallus varius 1 4 6 0,004 0,014 0,020 -5,602 -4,234 -3,912 0,021 0,061 0,078 CUCULIDAE

13. Bubut alang-alang Centropus bengalensis 6 7 5 0,022 0,025 0,017 -3,810 -3,674 -4,094 0,084 0,093 0,068 14. Kangkong erasia Cuculus canorus 1 0,004 -5,602 0,021 15. Kangkong ranting Cuculus saturatus 1 0,004 -5,602 0,021 16. Wiwik lurik Cacomantis sonneratii 3 3 9 0,011 0,011 0,030 -4,504 -4,522 -3,507 0,050 0,049 0,105 PLOCEIDAE

17. Bondol jawa Lonchura leucogastroides 44 24 16 0,162 0,087 0,053 -1818 -2,442 -2,931 0,295 0,212 0,156 NECTARINIIDAE

18. Burung madu-polos Anthreptes simplex 9 3 0,033 0,011 -3405 -4,522 -5,704 0,113 0,049 72

No. Nama Lokal Nama Ilmiah Σ Individu Pi ln Pi H’ 1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

19. Burung madu jawa Aethopyga mystacalis 1 0,003 -5,704 0,019 PICIDAE

20. Caladi ulam Dendrocopus macei 6 0,022 -3,810 0,084 CAMPEPHAGIDAE

21. Sepah kecil Pericrocotus cinnamomeus 5 0,018 -3,993 0,074 ARDEIDAE

22. Bambangan hitam Dupetor flavicollis 1 0,004 -5,602 0,021 STRIGIDAE

23. Celepuk Otus sp 1 0,004 -5,602 0,021 DICRURIDAE

24. Srigunting hitam Dicrurus macrocercus 2 0,007 -4,927 0,036 CICONIIDAE

25. Bangau sandang-lawe Ciconia episcopus 9 0,033 -3,423 0,111 ACCIPITRIDAE

26. Elang hitam Ictinaetus malayensis 1 0,004 -5,620 0,020 27. Alap alap cina Accipiter soloensis 1 0,003 -5,704 0,019 28. Alap-alap sapi Falco moluccensis 5 13 0,018 0,047 -3,993 -3,055 0,074 0,144 29. Elang berontok Spizaetus cirrhatus 1 4 1 0,004 0,014 0,003 -5,602 -4,234 -5,704 0,021 0,061 0,019 SILVIIDAE

30. Cinenen jawa Orthotomus sepium 1 0,003 -5,704 0,019 31. Perenjak jawa Prinia familiaris 1 18 0,004 0,060 -5,602 -2,813 0,021 0,169 32. Perenjak coklat Prinia polychroa 2 1 9 0,007 0,004 0,030 -4,909 -5,620 -3,507 0,036 0,020 0,105 33. Kerakbasi ramai Acrocephalus stentoreus 2 0,007 -4,909 0,036 Σ Total 271 277 300 Indeks Shannon-Wiener 2,324 1,801 1,787 Indeks Evennes 0,731 0,601 0,631 Keterangan : L1: Kecamatan Kayen L2: Kecamatan Tambakromo L3: Kecamatan Sukolilo 73