Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa 2020

SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA PERADABAN ADILUHUNG DI LERENG GUNUNG

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2020

ISBN 978-602-19675-5-3

SUGENG RIYANTO TEBAL BUKU

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta 2020

SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA PERADABAN ADILUHUNG DI LERENG GUNUNG

SUGENG RIYANTO Daftar Isi iii

SITUS LIYANGAN DAN SEJARAHNYA DAFTAR ISI PERADABAN ADILUHUNG DI LERENG GUNUNG

Penanggung Jawab DAFTAR ISI iii Kepala Balai Arkeologi Daerah Istimewa Yogyakarta Sugeng Riyanto SAMBUTAN v PENGANTAR vii Penulis Sugeng Riyanto BAB I. PENGENALAN AWAL 1 BAB II. RAGAM TEMUAN CERMIN PERADABAN 7 Editor A. Hunian 8 Novida Abbas B. Bangunan atau Rumah Tinggal 11 C. Perkakas Rumah Tangga 13 Redaktur 1. Barang Tembikar 14 Hari Wibowo 2. Barang Logam 16 Sekretaris 3. Barang Berbahan Batu 20 Heri Priswanto 4. Barang Keramik 21 5. Kain atau Tekstil 26 Desain dan Layout D. Pemujaan 28 Jentera Intermedia, Akunnas Pratama E. Pertanian 31 F. Pengetahuan dan Data Baru 35 Penerbit Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta BAB III. MASA HINDU-BUDDHA DI JAWA 39 Jl. Gedongkuning 174, Yogyakarta 55171 A. Awal Terbentuknya Kerajaan di Jawa 40 Telp./Fax.: 0274-377913 B. Matarām Berkuasa di Jawa 42 Email: [email protected] BAB IV. PERMUKIMAN LIYANGAN DAN BHŪMI MATARĀM 47 Laman: arkeologijawa.kemdikbud.go.id DAFTAR PUSTAKA 51 ISBN GLOSARIUM 53 978-602-19675-5-3 SANKSI PELANGGARAN PASAL 72:

Cetakan Kedua Edisi Revisi, Agustus 2020 ©Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Tidak Untuk Diperjualbelikan Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit Sambutan v

SAMBUTAN

Kepala Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta Pusat Penelitian Arkeologi Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan dan Perbukuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Buku berjudul Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung ini secara khusus ditujukan untuk dunia pendidikan, sebagai bacaan yang ringan. Terbitnya buku ini sangat melegakan dan patut disambut dengan baik. Sesungguhnya, perhatian terhadap dunia pendidikan melalui publikasi hasil penelitian arkeologi selaras dengan kerangka kebijakan pemerintah, utamanya di bidang peningkatan kualitas SDM melalui penguatan pendidikan karakter. Terkait dengan hal tersebut, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Balai Arkelogi di telah menggagas strategi pemasyarakatan hasil penelitian arkeologi yang difokuskan pada sasaran dunia pendidikan. Strategi tersebut diberi tajuk Rumah Peradaban. Selain sebagai sarana pendidikan dan pencerdasan bangsa, Rumah Peradaban juga menjadi media untuk mempertemukan masyarakat dengan sejarah dan budaya masa lampaunya melalui pemahaman nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.

Kegiatan utama dalam program Rumah Peradaban adalah 1) destinasi pendidikan, 2) pembuatan peraga pendidikan, dan 3) penyusunan buku pengayaan pendidikan. Buku berjudul Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung cetakan ke-2 yang juga merupakan edisi revisi ini disusun dalam rangka program Rumah Peradaban 2020 di situs Liyangan. Terlepas dari segala keterbatasan yang ada, buku ini sesungguhnya memiliki dimensi informasi dan pengetahuan baru dalam perjalanan sejarah Indonesia. Materi dan substansinya telah disederhanakan dari hasil-hasil penelitian yang tadinya bersifat ilmiah.

Sehubungan dengan hal tersebut, tidak berlebihan jika terbitnya buku ini layak disambut dan diapresasi dengan baik, bukan saja sebagai bagian dari program Rumah Peradaban tetapi juga sebagai bentuk usaha untuk mendiseminasikan hasil penelitian arkeologi kepada dunia pendidikan. Harapannya adalah agar penggalan sejarah kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia yang telah diungkap dapat dimaknai guna mendorong rasa cinta pada budaya dan peradaban luhur. Pada gilirannya, hal itu sekaligus menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam rangka penguatan pendidikan karakter melalui pemahaman jati diri.

Drs. Sugeng Riyanto, M.Hum. Pengantar vii

PENGANTAR

Buku ini merupakan edisi revisi dari cetakan pertama yang terbit tahun 2018. Selain minat dan permintaan yang tinggi sehingga edisi pertama habis dalam waktu singkat, tujuan menerbitkan edisi ini adalah untuk memperbaiki dan menyesuaikan beberapa bagiannya sebagai buku pengayaan pendidikan. Bagian-bagian penting yang direvisi meliputi 1) penyederhanaan narasi agar lebih mudah dicerna oleh kalangan pendidikan utamanya siswa SMA; 2) penambahan data baru; dan 3) penambahan dan penggantian ilustrasi. Bagian lain yang diperbaiki adalah cover dan layout, redaksional, dan ukuran font yang sedikit diperbesar. Selain itu, judul buku juga diperkaya dengan anak judul, yaitu “Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung”. Di situs Liyangan, Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (atau disingkat Balar DIY) tidak sekedar mencari data, tidak sekedar mengumpulkan benda-benda, tidak pula menggali candi, tetapi mengumpulkan bagian-bagian kebudayaan dan peradaban kuno, karya hebat leluhur bangsa Indonesia. Tidak sedikit tanda-tanda kehebatan itu yang hanya ditemukan di Liyangan, tidak ada di situs lain yang semasa. Pengetahuan lain yang diperoleh dari hasil penelitian adalah gambaran kehidupan masyarakat Liyangan yang sangat kompleks. Begitu pula dengan perkembangan dan proses kepercayaan beserta cara-cara pemujaan yang kentara sekali jejaknya. Perkembangan tersebut dimulai sejak awal ada hunian hingga masuknya unsur-unsur budaya India. Data fisik pertanian kuno jelas merupakan salah satu temuan yang spektakuler dan melengkapi keistimewaan situs Liyangan. Ada pula data berupa sisa bangunan berbahan kayu, bambu, dan ijuk. Tidak kalah menariknya adalah adanya kontak antara Liyangan kuno dengan wilayah lain. Dari semua itu, yang lebih penting adalah diketahuinya hubungan antara Liyangan dengan kerajaan Matarām Kuno. Itulah sebagian dari deretan keistimewaan kebudayaan leluhur bangsa Indonesia yang tercermin dari situs Liyangan. Dengan banyaknya pengetahuan dan informasi seperti itu, maka menjadi keharusan bagi Balar DIY untuk mendiseminasikannya kepada masyarakat luas, terutama kalangan pendidikan. Buku ini disusun dengan tujuan untuk memperkaya khasanah sejarah Indonesia, khususnya yang terkait dengan kerajaan Matarām Kuno, bahkan juga masa sebelumnya. viii Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

Tentu saja disadari sepenuhnya adanya ketidaksempurnaan dalam hal substansi maupun redaksional yang sangat mungkin menjadi hambatan pembaca dalam memahami situs Liyangan. Namun demikian sebagai akumulasi hasil penelitian, buku ini diharapkan dapat menjadi bahan yang dapat digunakan dalam upaya memperkaya PENGENALAN bahan bacaan bagi anak-anak sekolah, khususnya terkait dengan sejarah Indonesia. Sebagai penutup, penulis tidak akan pernah melupakan segala kebaikan dan bantuan I AWAL semua pihak, baik dalam proses penelitian maupun penyusunan buku ini.

Penulis 02 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Pengenalan Awal 03

itus Liyangan berada di Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Mengapa Liyangan dihuni hanya sampai abad ke-11 ? Hal ini dikarenakan pada abad Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Lokasinya berada di lereng ke-11 itulah Gunung Sindoro meletus dahsyat. Dari letusannya telah dimuntahkan SGunung Sindoro, kira-kira 8 kilometer dari puncaknya. Di sekitar situs jutaan kubik material yang menerjang dan menghanguskan apa pun yang merupakan areal pertanian warga, dan sebagian lainnya sekarang menjadi lokasi dilewatinya, termasuk permukiman kuno Liyangan. Letusan ini terjadi berulang tambang pasir. sehingga permukiman Liyangan kuno akhirnya seperti ditelan bumi. Permukiman Setelah diteliti oleh Balai Arkeologi Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta selama kuno Liyangan terkubur habis tanpa sisa. Hebatnya, tidak ada korban dalam peristiwa beberapa tahapan, yaitu sejak 2009, terungkap bahwa situs Liyangan dulunya adalah bencana alam ini, baik itu korban jiwa, harta benda, bahkan ternak. Masyarakatnya permukiman kuno. Bagian-bagian dari permukiman itu ditemukan dalam kondisi pasti sangat cerdas dan arif, karena selain mampu membangun peradaban yang yang lengkap. Bagian-bagian penting yang menunjukkan sebagai permukiman hebat juga mampu membaca dinamika alam sehingga berhasil menghindari bencana. meliputi tiga area, yaitu: Itulah sekilas mengenai situs Liyangan, situs yang nantinya mengajarkan kepada kita 1) hunian, tentang peradaban modern leluhur dan juga mengajarkan mitigasi bencana dengan 2) pemujaan, dan kearifan dan kecerdasan yang mereka miliki. Situs Liyangan yang kita lihat sekarang 3) pertanian. adalah kondisi terakhir dari perkembangan permukiman yang sudah berlangsung ratusan tahun. Lalu, kira-kira bagaimana gambaran awal permukiman di Liyangan Selain lengkap, bekas-bekas permukiman Liyangan kuno juga sangat jelas wujudnya. kuno? Bagaimana pula peradaban di sana berkembang hingga sangat maju? Beberapa di antaranya bahkan hampir utuh, dapat diibaratkan seperti desa modern jaman sekarang. Permukiman kuno Liyangan tadinya tertutup oleh material letusan Dapat dibayangkan bahwa masyarakat Liyangan kuno pada awalnya membangun Gunung Sindoro, kira-kira 1.000 tahun yang lalu. Selain itu, tentu saja semua benda hunian, bertani, dan mengadakan pemujaan secara sederhana. Jumlah warganya juga dan bangunannya sudah sangat kuno, karena dibuat dan dibangun oleh warga belum banyak. Seiring berjalannya waktu, warga juga melakukan hubungan dengan masyarakat yang hidup di sana lebih dari 1.000 tahun yang lalu. Diduga orang-orang masyarakat di wilayah lain. Hubungan ini mendorong berkembangnya pengetahuan, di sana sudah mendiami lokasi itu sejak abad ke-2 Masehi. Ini berarti situs Liyangan teknologi, dan juga cara-cara pemujaan yang akhirnya terpengaruh oleh agama dulunya dihuni oleh warga masyarakat selama ratusan tahun, yaitu dari abad ke-2 Hindu. Jumlah penduduknya tentu saja juga semakin banyak dan kehidupan semakin sampai kira-kira abad ke-11 Masehi, secara terus-menerus. kompleks.

Foto 1.

Foto 1. Situs Liyangan dengan latar belakang Gunung Sindoro. 04 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Pengenalan Awal 05

Foto 2.

Foto 2. Formasi situs Liyangan dilihat dari arah timur, Gunung Sindoro ada di sebelah kiri foto.

Aktivitas yang berlangsung juga bertambah banyak, bukan saja pemujaan tetapi juga ijuk. Fasilitas ibadah juga ditambah dengan bangunan-bangunan pendukung yang bertani, berdagang, dan kegiatan lain. Prasarana dan sarana tentu saja berkembang terbuat dari bahan kayu, bambu, dan ijuk. Peralatan upacara keagamaan berupa dengan pesat, seiring dengan banyaknya aktivitas yang dilakukan. Contohnya, barang-barang yang terbuat dari bahan tanah liat, keramik, logam, dan juga batu. bangunan untuk pemujaan bukan hanya berwujud candi, tetapi juga ada petirtaan Perkakas rumah tangga jumlahnya sangat banyak, bahan dan bentuknya juga dan batur yang dibangun dengan bahan campuran antara batu, kayu, bambu, dan bermacam-macam. Contohnya alat untuk memasak dan menyajikan makanan seperti 06 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

periuk dari tanah liat, mangkuk berbahan keramik, kendi yang dibuat dari tanah liat atau keramik, dan sebagainya. Ada juga alat yang disebut pipisan dan gandik yang digunakan untuk menghaluskan bahan makanan, obat, atau biji-bijian dengan cara RAGAM menggiling atau menggilas berulang-ulang. Alat penerangan ada yang sederhana, yang disebut dengan celupak, dibuat dari tanah liat bakar berbentuk pipih, cekung di TEMUAN CERMIN bagian tengah dan ada cerat di tepinya. Alat penerangan yang mewah adalah lampu II gantung, terbuat dari perunggu. Hebatnya lagi, ditemukan sisa kain, ada yang berupa PERADABAN lipatan, gulungan, bahkan ada yang sudah beruwujud kantong lengkap dengan tali pengikatnya. Tapi simpan dulu kekaguman kita, karena masih banyak temuan hasil penelitian lainnya yang juga hebat, karena Liyangan kuno memang merupakan permukiman yang sudah sangat modern dan ramai. Dalam kondisi seperti itulah permukiman kuno Liyangan terdampak oleh letusan Gunung Sindoro pada abad ke-11. Seribu tahun kemudian Liyangan menjadi situs yang ditemukan dan diteliti oleh Balai Arkeologi Provinsi DIY. Oleh karena itu di situs Liyangan benda-benda yang ditemukan sangat banyak ragamnya, bahkan terkadang terlihat rumit. Yang paling menonjol adalah peninggalan yang digunakan untuk pemujaan dan terbuat dari batu, seperti candi, petirtaan, batur, dan arca, yang menunjukkan latar belakang keagamaan Hindu. Akan tetapi, sesungguhnya unsur-unsur kepercayaan aslinya juga masih ada. Tanda bahwa masyarakat Liyangan kuno sudah taat melakukan peribadatan sebelum terpengaruh agama Hindu dari India. Ragam temuan di situs Liyangan lainnya benar-benar mengagumkan, sangat modern untuk ukuran masyarakat dan peradaban yang hidup lebih dari seribu tahun yang lalu. Hebatnya lagi, keragaman itu tidak ditemukan di situs mana pun di Indonesia yang sejaman, baik mengenai huniannya, pemujaannya, maupun pertaniannya. 08 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 09

Keragaman temuan di situs Liyangan menunjukkan detail-detail sisa peradaban yang yang berhenti secara tiba-tiba pada abad XI. Gunung Sindoro yang pada awalnya terungkap sedikit demi sedikit melalui penelitian arkeologi. Detail-detail itu dapat menyediakan kebutuhan dasar bagi masyarakat untuk membangun hunian dan dikelompokkan menjadi bagian-bagian yang menggambarkan wajah permukiman mendorong terbentuknya permukiman, pada akhirnya Gunung Sindoro pula yang Liyangan kuno. Ibarat mosaik, bagian-bagian itu tumbuh dan berkembang dari abad menghentikan peradaban itu. Letusan dahsyat yang terjadi pada abad XI itu lah yang ke-2 hingga abad ke-11, komplet meliputi bagian hunian, bagian pemujaan, dan mengubur lokasi tersebut. bagian pertanian. Kira-kira wajah elok situs Liyangan begini gambarannya. Gambar 1. A. Hunian Hunian adalah bagian inti dari sebuah permukiman, yaitu tempat masyarakat berdiam di suatu tempat dengan segala perlengkapan dan aktivitasnya, dalam waktu yang relatif lama. Tentu saja tidak semua lokasi cocok untuk dijadikan hunian, karena ada banyak pertimbangan agar kehidupan dapat berlangsung. Pertimbangan paling mendasar terkait dengan ketersediaan:

Gambar 1. Formasi situs Liyangan berdasarkan 1) air, gambar denah. 2) sumber makanan, 3) bahan-bahan alami untuk perlengkapan dan beraktivitas, 4) jalur transportasi dan kemudahan kontak dengan masyarakat lainnya, 5) keamanan, 6) kesuburan tanah dan bentuk lahan.

Lokasi di mana situs Liyangan berada memiliki unsur-unsur dasar tersebut. Hunian ini berkembang secara berangsur-angsur dan bertahap. Awalnya berupa hunian yang sederhana, kemudian Liyangan menjadi permukiman yang modern dan kompleks. Meskipun letusan Gunung Sindoro sangat dahsyat, tetapi masyarakat Liyangan kuno Perkembangan itu membutuhkan waktu ratusan tahun lamanya, bertahap seiring dapat menyingkir sebelum kejadian sehingga selamat. Mereka rupanya dapat dengan berkembangnya: menebak dengan jitu kapan Sindoro akan meletus melalui tanda-tanda yang diketahui secara turun-temurun. Ini adalah pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman bermukim di lereng Sindoro selama ratusan tahun. Selama itu tentunya 1) hubungan dengan daerah lain, Gunung Sindoro juga meletus beberapa kali meskipun tidak besar; di antaranya 2) pengetahuan dan teknologi yang dimiliki, mungkin juga disertai gempa vulkanis. Kejadian-kejadian itu diingat tanda-tandanya 3) perkembangan kepercayaan dari kepercayaan terhadap kekuatan hingga menjadi pengetahuan empiris masyarakat Liyangan kuno dan diajarkan secara alam hingga pengaruh Hindu, turun-temurun. 4) cara-cara pemujaan, Pengetahuan itu nantinya sangat bermanfaat, terutama dalam membaca tanda-tanda 5) organisasi sosial dan keberadaan kerajaan Matarām Kuno. menjelang Gunung Sindoro meletus dengan dahsyat. Karena itu mereka dapat menyelamatkan diri. Bukan hanya nyawa yang selamat, tetapi juga harta benda, Unsur-unsur hunian yang ditemukan di situs Liyangan adalah akumulasi dari termasuk ternak piaraan. Itulah sebabnya selama diteliti, di situs tidak dijumpai perkembangan yang sudah ratusan tahun lamanya. Apa yang terlihat sekarang adanya korban jiwa maupun hewan ternak, tidak juga benda-benda berharga. Namun merupakan perkembangan terakhir dari proses pertumbuhan permukiman kuno begitu, jutaan meter kubik yang dimuntahkan oleh Gunung Sindoro yang mengubur 10 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 11

permukiman tetap saja membuat kita merasa pilu. Arkeolog yang meneliti dan B. Bangunan atau Rumah Tinggal menyaksikan langsung dampak hebat letusan itu sering membayangkan penderitaan Temuan sisa bangunan yang paling lengkap adalah hasil ekskavasi tahun 2010, 2012, mereka dan merasa bersedih hati. dan 2018. Berdasarkan temuan tahun 2010 diketahui bahwa bahan bangunan meliputi Pekerjaan penelitian dilakukan dengan cara menyingkirkan jengkal demi jengkal kayu, bambu dan ijuk. Bangunan tersebut berukuran panjang antara 5 atau 6 meter material vulkanis. Benda demi benda ditemukan, bangunan demi bangunan dan lebar sekitar 3 meter. Bentuknya panggung yang ditopang oleh 16 tiang utama, dimunculkan, hingga pada akhirnya situs Liyangan terbuka seperti sekarang. yaitu masing-masing 4 di setiap sisinya. Bahan kayu dipergunakan untuk tiang, lantai, Liyangan adalah salah satu situs yang mencerminkan kemajuan peradaban kita dan sebagian dinding bangunan. Bahan bambu dipergunakan sebagai dinding yang ratusan tahun yang lalu. dianyam dan juga dipergunakan untuk konstruksi atap. Bahan ijuk selain sebagai atap Majunya permukiman yang dibangun di situs Liyangan dapat dilihat dari benda- bangunan juga digunakan untuk membuat tali untuk mengikat konstruksi bangunan. benda dan sisa hunian yang tertinggal dan ditemukan. Itulah wajah peradaban Sisa bangunan yang ditemukan dalam penelitian tahun 2010 ini sudah tidak ada lagi Liyangan kuno. Ragam temuan sisa hunian tersebut meliputi bekas tempat di situs karena waktu itu lokasinya masih ditambang, sehingga hilang bersama tinggal, perkakas rumah tangga, dan sisa aktivitas keseharian lainnya. Berikut ini dengan material pasirnya. ditunjukkan ragam temuan yang menggambarkan aktivitas hunian masyarakat Berdasarkan bentuknya, belum dapat dipastikan apakah bangunan tersebut Liyangan kuno. merupakan rumah tinggal, karena mungkin saja digunakan untuk keperluan lainnya. Namun demikian, setidaknya hasil rekonstruksi dapat menjadi gambaran mengenai Foto 3. bentuk rumah pada masa itu, yaitu model panggung dan dibuat dari bahan kayu, bambu, dan ijuk. Selain sisa bangunan yang ditemukan tahun 2010 juga ada sisa bangunan yang ditemukan pada penelitian tahun 2012. Sisa bangunan tersebut masih ada di situs dan diamankan secara khusus. Meskipun temuan ini tidak selengkap temuan tahun 2010, tetapi menjadi tanda bahwa hunian dan peradaban Liyangan kuno sangat penting karena datanya masih ada. Hasil analisis laboratorium pada sampel komponen bangunan kayu menunjukkan beberapa jenis kayu yang digunakan yaitu:

• Usuk/reng terbuat dari kayu pasang (suku Fagaceae, marga Quercus, Spesies Quercus spp) • Dinding terbuat dari kayu puspa (suku Theaceae, marga Schima, spesies Schima wallichii) • Bagian lain berasal dari kayu Jamuju, Cemara Pandak (suku Podocarpaceae, marga Podocarpus, spesies Podocarpus imbricatus) (Riyanto, 2012)

Pada penelitian tahun 2018 ditemukan pelataran atau hamparan halaman beserta bangunannya. Bangunan ini juga berupa rumah panggung berbahan kayu, bambu dan Foto 3. Ekskavasi pertama di situs Liyangan pada 2010, para peneliti bekerja di bawah kesibukan para penambang; pasir dan batu yang ditambang adalah material letusan Gunung Sindoro yang mengubur ijuk. Semua bagian ditemukan dalam bentuk arang karena bangunan rumah itu dan menghentikan perjalanan peradaban Liyangan kuno. terlanda materi letusan Gunung Sindoro pada abad ke-11. 12 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 13

Foto 6.

Foto 4. Foto 5.

Foto 4. Temuan pada ekskavasi 2010 Foto 6. Rumah hasil ekskavasi tahun berupa komponen bangunan berbahan 2018. Komponennya tergolong kayu, bambu, dan ijuk. lengkap, antara lain meliputi papan untuk lantai dan dinding, konstruksi Foto 5. Temuan anyaman bilah bambu, balok-balok, bambu, tumpukan ijuk. diduga merupakan dinding bangunan. Foto 7. Hasil ekskavasi tahun 2018 Gambar 2. Rekonstruksi bentuk berupa pelataran. Di latar belakang, bangunan berbahan kayu, bambu, dan di bawah tenda berawarna biru, ijuk berdasarkan hasil ekskavasi tahun adalah lokasi temuan sisa bangunan 2010. rumah.

Gambar 2. Foto 7.

Pelataran dilindungi dengan talud boulder setinggi sekitar 1,5 meter. Permukaannya C. Perkakas Rumah Tangga padat, relatif rata, ada tatanan batu lainnya sebagai pembagi halaman, ada juga Perkakas rumah tangga merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan pada suatu pecahan kecil-kecil tembikar dan keramik. Terlihat jelas bekas-bekas aktivitas masa hunian karena menjadi barang yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Barang lalu di permukaan tanah pelataran ini. yang mudah dikenali sebagai perkakas sehari-hari pada suatu hunian antara lain Bangunan rumah ditemukan di lokasi yang jaraknya 10 meter dari talud. Bagian- berbagai wadah, alat memasak, pakaian, perhiasan, dan alat penerangan. Di situs bagiannya terbilang lengkap, yaitu umpak batu sebagai alas tiang, papan untuk lantai, Liyangan, barang-barang itu termasuk yang paling banyak ditemukan, meskipun balok dan papan penyekat ruangan, anyaman bambu, usuk, reng, hingga tumpukan sebagian besar sudah tidak utuh lagi. Sisa perkakas yang ada di situs Liyangan dapat ijuk untuk atapnya. Karena kondisinya sangat rapuh, ekskavasi dilakukan dengan dibedakan berdasarkan bahannya, yaitu tanah lihat atau barang tembikar, logam, sangat hati-hati. Tidak seluruh material vulkanis yang “menyegel” bangunan tersebut batu, serat kain, dan barang keramik atau porselen. Seluruh barang berbahan dibuka. Oleh karena itu ada hal-hal yang belum dapat diketahui, misalnya ukuran keramik di Liyangan diketahui berasal dari Tiongkok, buatan masa Dinasti Tang, kira- bangunan, bentuk, arah hadap, dan tata ruangnya. Kronologi sisa “rumah” ini kira abad IX. didasarkan pada pecahan keramik dari Dinasti Tang, abad ke-9, sehingga dipastikan sejaman dengan bagian lain di situs Liyangan. 14 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 15

Foto 10. Foto 11.

Foto 8.

Foto 8. Pengelolaan temuan pecahan-pecahan artefak oleh para peneliti, mulai dari membersihkan, Foto 10. Bentuk utuh periuk, alat memasak menanak nasi, banyak ditemukan di situs Liyangan. memilah, merekonstruksi, melabel, tabulasi, hingga entri data ke dalam komputer. Foto 11. Kendi dan mangkuk tembikar ditemukan dalam posisi menumpuk; dapat dibayangkan betapa dinamis kehidupan waktu itu. Berikut ini beberapa sisa perkakas rumah tangga yang mencerminkan betapa ramainya hunian di Liyangan pada waktu itu. masyarakat yang masih menggunakannya sebagai perkakas rumah tangga. Jenis barang tembikar yang banyak ditemukan di situs Liyangan adalah kendi, periuk, 1. Barang Tembikar mangkuk, cawan, pasu, lampu (celupak), penyangga wadah (blengker), buyung, Perkakas ini biasa disebut juga gerabah, yaitu wadah atau bentuk lainnya yang dibuat tempayan, dan hiasan (figurin). Umumnya artefak tembikar ditemukan dalam kondisi dari tanah liat yang dibakar. Artefak jenis ini termasuk yang paling sering ditemukan, tidak utuh, beberapa di antaranya malah berupa pecahan kecil-kecil. Jenis barang hampir di semua situs arkeologi. Mengapa? Karena sangat umum dipergunakan tersebut sebagian besar juga ditemukan di situs lain, dan bahkan beberapa dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan hingga masa sekarang, masih mudah dijumpai diantaranya masih digunakan di masa sekarang.

Foto 9. Foto 12.

Foto 12. Lampu tanah liat Foto 9. Periuk hasil rekonstruksi (celupak). Lampu ini berbahan dari pecahan-pecahan tembikar bakar minyak damar atau hasil penelitian. minyak kelapa dengan sumbu pada bagian ceratnya. 16 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 17

Foto 13. Foto 14. panci pisau talam tangkai wadah cungkil kapak alat/tukang fr. palu 4 alat pande tatah tang pelebur logam giring-giring 5 alat upacara Foto 13. Fragmen kendi, tempat sesaji selain digunakan sehari- hari bisa juga digunakan lampu gantung dalam prosesi upacara 6 penerangan keagamaan. tempat minyak Foto 14. Bagian tepian 7 perhiasan cermin/darpana dari tempayan, wadah air pedang yang berukuran besar. 8 senjata keris tombak

2. Barang Logam Foto 15. Barang logam yang ditemukan di situs Liyangan dapat dipilah berdasarkan kategori dan jenisnya. Berikut ini kategori dan jenis barang logam tersebut.

Tabel 1. Barang-barang logam yang ditemukan di situs Liyangan.

NOMOR KATEGORI NAMA BENDA 1 alat bangunan angkor cangkul (?) 2 alat pertanian parang fr. sabit Foto 16. alat buyung (tersisa hanya bagian 3 rumah tangga tepian sampai badan) Foto 15. Tempat sesaji berbahan perunggu, lengkap dengan tangkai dan kaki sebagai penyangga. Foto 16. Genta perunggu (kiri) digunakan dalam upacara keagamaan dan kowi (kanan) adalah alat untuk mangkuk melebur logam. 18 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 19

Foto 21. Foto 22.

Foto 18.

Foto 17. Foto 19.

Foto 20. Foto 23.

Foto 17. Kapak besi, sebagian dari alat pertanian berbahan logam. Foto 21. Entong perunggu, ketika ditemuan, di bawahnya terdapat bahan Foto 18. Peralatan berbahan besi, berupa alat pertanian (parang dan sabit) makanan sejenis jagung dengan kondisi relatif utuh. maupun senjata (keris dan tombak). Foto 22. Pecahan tempayan berbahan perunggu, di dalamnya ditemukan Foto 19. Beberapa jenis alat pertanian berbahan logam. belahan buah kelapa. Foto 20. Mata tombak berbahan besi, kegunaannya tidak harus untuk Foto 23. Mangkuk berbahan perunggu. berperang, tetapi bisa juga sebagai senjata untuk berburu. 20 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 21

Foto 27. Foto 28.

Foto 24. Foto 25.

Foto 26. Foto 29.

Foto 24. Talam (baki bundar) berbahan perunggu dengan motif sankha (kerang) bersayap motif khas Mataram Kuno abad ke-9. Foto 25. Darpana (cermin) berbentuk bundar dan bergagang, berbahan Foto 30. perunggu, ditemukan dalam keadaan terbungkus lelehan Foto 27. Tempat sesaji dari batu andesit, bahan yang sama dengan batu candi. logam lainnya. Foto 28. Lumpang dan gandik, alat untuk menghaluskan biji atau lainnya dengan cara menumbuk. Foto 26. Fragmen lampu Foto 29. Manik-manik berbahan batu untuk perhiasan. gantung berbahan perunggu, terdiri atas beberapa bagian. Foto 30. Pipisan dan gandik, digunakan untuk menghaluskan biji-bijian dengan cara menggilas.

4. Barang Keramik Barang-barang keramik yang ditemukan di Situs Liyangan berasal dari negeri Cina, 3. Barang Berbahan Batu dibuat pada abad IX Masehi, yaitu masa Dinasti Tang. Barang keramik tersebut dibuat di beberapa wilayah di Cina, yaitu: Batu ternyata juga digunakan sebagai bahan untuk pembuatan peralatan atau perkakas rumah tangga. Jadi, batu tidak hanya digunakan untuk bahan bangunan. • dari wilayah Changsha dikenal dengan istilah ‘barang Changsha’ Jenis barang dari batu yang ditemukan di situs Liyangan sangat beragam. Hal ini (Changsha ware), menunjukkan keragaman fungsi masing-masing, yaitu untuk keperluan rumah • dari wilayah Yue dikenal dengan ‘barang Yue’ (Yue ware), tangga biasa atau keperluan upacara keagamaan. Jenis barang dari batu yang umum • dari wilayah Ding dikenal dengan ‘barang Ding’ (Ding ware), dan digunakan oleh masyarakat Liyangan kuno adalah, pipisan, gandik, dan lumpang. • keramik yang dibuat di wilayah Guandong dikenal dengan ‘barang Fungsi pipisan dan gandik adalah untuk menghaluskan bahan makanan atau obat- Guandong’ (Guandong ware). Keramik Cina yang dibuat dari wilayah obatan dengan cara menggiling atau menggilas berulang-ulang. Sedangkan lumpang Guandong inilah yang paling banyak ditemukan di Situs Liyangan digunakan dengan cara menumbuk. (Eriawati, 2014: 237 ). 22 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 23

Foto 31. Foto 33. Foto 34.

Foto 35. Foto 36.

Foto 31. Sebagian dari belasan ribu pecahan barang keramik dari situs Liyangan dapat direkonstruksi sehingga diketahui berbagai jenis dan bentuknya.

Wadah keramik yang ditemukan situs Liyangan bermacam-macam bentuknya. Masing-masing bentuk memiliki kegunaan yang berbeda-beda. Keragaman bentuk mencerminkan keragaman aktivitas dalam kehidupan di Liyangan kuno. Bentuk- bentuk tersebut adalah tempayan, guci, pasu, mangkuk, teko, dan botol.

Foto 37.

Foto 33. Guci, barang Guangdong. Foto 34. Teko / guci bercerat (ewer), barang Guangdong. Foto 35. Guci bercerat barang sancai (tiga warna), Henan Foto 32. Tempayan barang merupakan barang langka. Guandong; cirinya adalah glasir yang tidak rata. Foto 36. Tempayan barang Henan berwarna biru torquoise, tergolong sangat langka. Foto 37. Guci bercerat barang Changsha berbentuk bulat, berglasir coklat.

Foto 32. 24 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 25

Foto 38. Foto 39. Foto 40. Foto 42. Foto 43.

Foto 38. Teko barang Zhazou. Foto 39. Teko barang Changsha. Foto 40. Teko barang Foto 42. (kiri) Mangkuk Sancai, Henan. barang Guangdong. Foto 41. Salah satu guci Foto 43. (kanan) mangkuk yang relatif utuh. Guci ini barang Ding. ditemukan dengan bilah- Foto 44. Botol, barang bilah bambu masih Sancai, Henan dengan menempel, yang glasir hijau dan kuning. menandakan dulunya ada tempat khusus yang dibuat dari bambu untuk menyimpan perkakas rumah tangga.

Foto 41. Foto 44. 26 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 27

• bagi wanita biasa, kain yang dikenakan dua lembar, yang satu panjang dari perut hingga kaki dan yang lainnya melingkar di pinggang secara sederhana, • bagi para abdi laki-laki, kain dikenakan sebagai kancut, dililitkan di sekitar perut dan paha hingga mirip celana pendek (Lelono, 1995/1996).

Foto 45. Foto 46.

Foto 45 dan Foto 46, dua varian bentuk pasu.

5. Kain atau Tekstil Selama ini, kita mengetahui bahwa masyarakat Jawa Kuno sudah mengenal kain hanya dari prasasti dan relief. Hebatnya, temuan sisa kain di situs Liyangan menunjukkan bendanya, kain yang sesungguhnya dan dipakai pada masa itu. Oleh karenanya harus dicatat bahwa kain bukanlah barang langka pada jaman kerajaan Matarām Kuno. Contoh prasasti yang menyebut penggunaan kain adalah prasasti Rongkab (901 M), prasasti Luitan (901 M), prasasti Watukura (902 M) dan prasasti Kasugihan (907 M). Istilah kain atau tekstil sebagaimana kita kenal sekarang, sama dengan istilah Jawa

Kuno seperti wḍihan dan ken, dengan satuannya berupa hle dan wlah. (Fitriati, 1990). Foto 47. Informasi tentang kain dari relief, salah satunya ada di Candi , abad ke-9. Dalam adegan cerita dan Kresnayana, kain digambarkan sebagai pakaian pendeta, bangsawan wanita, raja atau bangsawan pria, wanita biasa, dan abdi laki- laki. Berikut ini gambaran penggunaan kain tersebut.

Foto 47. Sisa kain yang ditemukan • untuk pendeta digunakan dua lapis kain, yaitu kain sampai lutut dan kondisinya sangat rapuh, dalam keadaan lipatan, ditemukan di dalam lainnya diikatkan pada pinggang, ujungnya di-wiru dan menjurai guci Tiongkok Dinasti Tang abad ke-9. hingga pergelangan kaki, Foto 48. Sisa kain gulungan (atas) dan • bangsawan wanita mengenakan pakaian bawah hingga mata kaki kantong kain beserta talinya (bawah). dengan aksesoris di bagian perut, • raja atau bangsawan laki-laki mengenakan kain dua lapis, yang satu dibentuk seperti celana pendek dan lainnya melingkari pinggang dengan lipatan wiru di bagian tengah perut,

Foto 48. 28 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 29

Foto 49. dari India. Selain itu, jika dikaitkan dengan kerajaan Matarām Kuno yang berdiri pada Foto 49. Kain gulungan, tahun 717 atau awal abad ke-8, maka permukiman Liyangan kuno dapat dibagi ke serat besar, ditemukan di dalam lima fase, sebagaimana diuraikan di bawah ini. dalam guci Tiongkok Dinasti Tang abad ke-9. a) Sebelum abad ke-5/6 merupakan fase prasejarah khususnya megalitik. Pada Foto 50. Relief cerita masa ini masyarakat menganut kepercayaan asli, yaitu percaya pada Kresnayana di candi kekuatan-kekuatan di luar dirinya. Prasarana pemujaan berupa punden atau Prambanan. Para bangunan berundak dan berteras. Semakin tinggi terasnya atau undakannya, mendatangi Kresna yang sedang duduk. Perhatikan semakin suci karena dianggap semakin dekat dengan sumber kekuatan itu. cara penggunaan kain pada Bahan bangunan utamanya berupa batu-batu kali yang disusun membentuk pakaian mereka, ada yang batur. Di atas batur, di bagian tengah, dibentuk altar. Kemungkinan di atas rumit ada pula yang sederhana. altar ini diletakkan objek pemujaan berupa arca berbentuk sederhana. Objek ini merupakan personifikasi kekuatan yang ada di luar dari diri manusia. Di atas batur bisa jadi juga dilengkapi dengan bangunan berbahan kayu, bambu, Foto 50. dan ijuk. b) Antara abad ke-6/7 merupakan fase transisi atau peralihan. Pada masa ini, kepercayaan asli mulai terpengaruh oleh agama Hindu. Kekuatan-kekuatan yang dipuja mulai diberi nama bergaya India. Sosok dewa mulai dikenal sebagai kekuatan baru dengan isitilah dan nama yang juga baru. Beberapa istilah dalam prosesi pemujaan diganti dengan istilah dari India yang sangat berbeda dengan istilah asli. Bentuk objek pemujaan secara berangsur-angsur berubah sesuai dengan kekuatan-kekuatan baru, seperti arca dewa, lingga, yoni, dan nandi. Bahan bangunan sedikit-demi sedikit diganti atau ditambahkan bahan baru yaitu batu yang dipahat atau dibentuk persegi. Nantinya, pengetahuan ini akan berpengaruh pada teknologi di bidang arsitektur atau seni bangun, termasuk seni bangun candi dan arca. c) Antara abad ke-7/8 merupakan fase yang berlangsung sejak awal perkembangan agama Hindu hingga awal perkembangan kerajaan Matarām Kuno yang berdiri pada tahun 717. Tentu saja waktu itu wilayah kerajaan juga meliputi Liyangan. Pada masa ini kerajaan Matarām Kuno sudah berkembang di bidang tata negara, ekonomi-perdagangan, teknologi, pertanian, dan juga kepercayaan yang semakin kuat pengaruh Hindunya. Meskipun demikian, ternyata kepercayaan asli tidak hilang sama sekali. Unsur-unsur India sama D. Pemujaan sekali tidak menggantikan unsur asli tetapi hanya memperkaya warna saja. Ciri bangunan dan tempat pemujaan yang berundak dan berteras masih Di bagian depan sudah disampaikan bahwa situs Liyangan dulunya adalah dipertahankan. Selain itu, batu kali alami yang tidak dipahat juga tetap permukiman kuno yang berkembang sekurang-kurangnya sejak abad ke-2 dan digunakan untuk membangun talud, penguat dinding tebing, teras lahan berhenti akibat meletusnya Gunung Sindoro pada abad ke-11. Jika dikaitkan dengan pertanian, dan bangunan lainnya. kepercayaan masyarakatnya, maka dapat dibagi dalam dua fase besar, yaitu fase d) Antara abad ke-9 sampai tahun 929 merupakan fase kejayaan Matarām Kuno sebelum masuknya pengaruh Hindu-Buddha dan fase Hindu-Buddha yang datang utamanya di Jawa Tengah. Pada masa ini permukiman kuno Liyangan 30 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 31

menjadi bagian dari kerajaan. Oleh karena itu, banyak kesamaan antara situs Foto 51. Liyangan dengan situs lain, contohnya Prambanan yang waktu itu juga menjadi bagian dari kerajaan Matarām Kuno. Banyak barang yang mirip bahkan sama dengan yang ditemukan di Prambanan, misalnya talam atau baki berbentuk bundar dan pipisan. Walaupun di wilayah kerajaan sudah berkembang agama Hindu dan Buddha, tetapi agama Buddha tidak dianut oleh masyarakat Liyangan kuno. Bahkan, meskipun ciri-ciri memuncaknya Foto 51. Area pemujaan adalah bagian penting dari permukiman Liyangan kuno agama Hindu banyak ditemukan, tetapi unsur-unsur kepercayaan asli tidak hilang sama sekali. Bahan bangunan berupa batu kali terus digunakan dan Gambar 4. area pemujaan yang berundak-teras juga tidak diubah. Inilah yang membedakan situs Liyangan dengan situs Prambanan atau situs lain yang dibangun pada abad ke-9 sampai 10, sedangkan Liyangan dibangun dan dihuni sejak abad ke-2. e) Tahun 929 sampai abad ke-11 adalah ketika Liyangan kuno memasuki era pindahnya pusat kerajaan ke bagian timur Pulau Jawa hingga peristiwa meletusnya Gunung Sindoro. Dalam buku Sejarah Nasional Indonesia dijelaskan bahwa tahun 929 Raja Sindok memindahkan pusat kerajaannya ke bagian timur Jawa. Lokasi yang dipilih bukan daerah baru karena lokasinya juga bagian dari kerajaan Matarām. Pu Sindok membangun pusat kerajaannya di Tamwlang dan membangun dinasti yang baru, yaitu wangsa Iśāna. (Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto, 2011: 173-184). Permukiman di Liyangan rupanya tidak terpengaruh dengan perpindahan pusat pemerintahan Matarām, peradabannya terus berkembang. Bagaiama dengan kehidupan religi pada fase tersebut? Ternyata tidak banyak berubah dari fase sebelumnya, barangkali malah unsur Hindu menurun dan kepercayaan asli kembali menguat. Letusan dahsyat Gunung Sindoro pada abad ke-11 akhirnya menghentikan berkembangnya permukiman dan peradaban Liyangan kuno.

Gambar 4. Lokasi pemujaan berada di antara Kali Liyangan di bagian kiri (barat) dan jalan batu kuno di bagian kanan (timur). Area pemujaan bentuknya berundak-teras (I - IV), yang menandakan kuatnya unsur kepercayaan dan pemujaan lama, sebelum pengaruh Hindu

E. Pertanian Jika kita berada di situs Liyangan dan menghadap ke arah Gunung Sindoro, maka Gambar 3. lokasi area pertanian berada di sisi kiri, di atas jalan batu, meluas hingga puluhan

Gambar 3. Lokasi situs Liyangan dilihat dari samping (potongan). Bagian yang paling suci adalah teras meter ke arah gunung. Berikut ini gambaran lokasi pertanian yang tidak lain adalah I. Di teras ini terdapat 1 candi utama, 4 batur pendamping, dan 1 batur besar bagian dari permukiman Liyangan kuno. 32 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 33

Gambar 5. Ruang K, L, G, E adalah lokasi-lokasi yang diduga merupakan area pertanian. Ruang C adalah jalan batu yang terus ke bawah hingga di bawah teras IV. Area pertanian berada pada lokasi di luar area pemujaan, dilengkapi dengan struktur-struktur boulder untuk penguat sekaligus sebagai batas lahan. Data pertanian yang meliputi bentuk lahan (Foto 53), sistem pengairan (Foto 54-56), peralatan pertanian (Foto 17-19) menjadikan situs Liyangan semakin spektakuler dan tidak ada duanya. Selain itu, hal ini juga menjadi pengetahuan baru tentang Gambar 5. Peta situs peradaban kuno di Jawa, setidaknya pada sekitar abad ke-9. Liyangan hasil penelitian tahun 2015.

Foto 52. Tim peneliti Foto 53. Lahan pertanian dengan Balai Arkeologi Provinsi ciri-ciri berbentuk gundukan D.I. Yogyakarta sedang memanjang (merah). Teknik ini melakukan ekskavasi sampai sekarang masih pada salah satu lokasi digunakan. Bekas tanaman yang pertanian kuno. bertumbangan akibat hempasan material vulkanis tercetak pada material abu dan pasir (hijau). Foto 54. Saluran air lebarnya sekitar 1 meter dan pada titik tetentu terpotong oleh saluran yang lebih kecil. Sistem jaringan air seperti ini mengingatkan pada sistem irigasi untuk pertanian. Foto 53.

Foto 52. Foto 54. 34 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 35

Foto 55. Foto 56.

Foto 58. Foto 59.

Foto 57. Foto 58. Buah ini belum dapat dipastikan jenisnya. Ada yang memperkirakan ini adalah kluwak. Salah satu bahan makanan yang bukan mustahil dihasilkan oleh masyarakat Liyangan kuno melalui kegiatan pertanian. Foto 59. Daun-daun terjebak dan terawetkan oleh lapisan abu vulkanis. Bentuknya mirip daun nangka. Lokasi temuan berada di area pertanian, sehingga diduga pepohonan itu adalah bagian dari pertanian kuno Liyangan.

F. Pengetahuan dan Data Baru Pada penelitian tahun 2018 ditemukan data baru di dua lokasi, seperti terlihat pada Foto 60 yang diberi tanda A dan B. 1) Lokasi A berada di area pemujaan, tepatnya pada bangunan pagar yang yang menjadi batas antara teras II dan teras III. Temuan itu berupa susunan batu kali (boulder) yang tadinya tertutup oleh konstruksi pagar bebahan batu persegi. Rupanya, aslinya pagar ini berbahan batu kali yang dibangun pada masa sebelum ada pengaruh India. Pada fase berikutnya pagar ini dikembangkan dengan menambah bahan berupa batu persegi (Foto 61). 2) Lokasi B berada di tepian jalan batu kuno. Di lokasi ini ditemukan tatanan batu kali (boulder) dan lubang-lubang yang teratur bentuknya. Keletakan lubang-lubang ini rapi, berjejer memanjang sejajar dengan jalan batu. Temuan ini penting sekali untuk menjelaskan bahwa jalan batu tidak Foto 55. Saluran air ditemukan di dekat Yoni yang berbentuk bundar-pipih. Menurut konsep agama terbuka seperti yang kita lihat sekarang. Jadi, di tepi jalan batu dulunya Hindu, Yoni bersama Lingga merupakan lambang kesuburan. (Permana, 2016: 197 dan 393-394). terdapat pagar berbahan kayu dan bambu. Bekasnya berupa lubang-lubang Foto 56. Yoni bundar-pipih (diameter 100 Cm dan tebal 10 Cm) di dekat saluran air (kalen). Ada tadi, yang bentuk dan letaknya rapi (Foto 62). hubungan fungsi antara yoni sebagai sarana upacara kesuburan dan kalenan sebagai pembagi air di area pertanian. Foto 57. Temuan gabah, yang hangus akibat sapuan panas material vulaknis Gunung Sindoro. Ketika ditemukan, gabah-gabah ini dalam bentuk ikatan-ikatan dan tertata. Hal ini mengingatkan pada cara penyimpanan padi di lumbung. Temuan ini menandakan adanya ketersediaan bahan makanan dari hasil pertanian oleh masyarakat Liyangan kuno. 36 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Ragam Temuan Cermin Peradaban 37

Foto 60. A dan B adalah lokasi-lokasi temuan baru hasil penelitian 2018, sedangkan I, II, III, dan IV adalah urutan undak-teras area pemujaan. Hingga kini undak-teras yang ditemukan sudah berjumlah empat tetapi sangat mungkin nantinya akan ditemukan teras V dan seterusnya.

Foto 60. 38 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

Foto 61. MASA III HINDU-BUDDHA DI JAWA

Foto 61. Lokasi A. Pagar asli berupa susunan boulder sebelum ditutup dengan susunan balok batu. Dua fase pembangunan pagar ini menunjukkan bahwa permukiman kuno Liyangan memang sudah ada sejak pra-Hindu hingga masa Mataram Kuno.

Foto 62.

Foto 62. Lokasi B. Lubang-lubang bekas pagar kayu dan bambu memanjang di tepian jalan batu. 40 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Masa Hindu-Buddha di Jawa 41

A. Awal Terbentuknya Kerajaan di Jawa Kerajaan ini terbentuk melalui penggabungan wilayah-wilayah yang sebelumnya sudah berkembang dan teratur. Dengan kata lain, wilayah-wilayah tersebut sudah Pada awal Masehi, orang-orang dari India, Cina, dan Arab menyebar ke berbagai memiliki struktur dan organisasi sosial yang mapan sebelum digabungkan menjadi belahan dunia melalui pelayaran samudera. Ketika masuk ke mereka kerajaan. Memang sejak masa prasejarah, atau sebelum masa Hindu-Buddha, telah berhadapan dengan masyarakat yang sudah beradab, teratur, dan mapan. Masyarakat dikenal sistem administrasi kemasyarakatan dalam dua tingkatan, yaitu setingkat di Nusantara pada waktu itu sudah: desa atau dusun dan di atasnya semacam federasi antardesa (Sedyawati dkk, 2012: 23). Oleh karena itu, secara tegas dapat dikatakan bahwa corak India di Nusantara · memiliki organisasi yang teratur setingkat desa dan federasi bukanlah hasil “indianisasi” bukan pula dominasi budaya asing atas Nusantara. Lebih antardesa, tepat dikatakan bahwa budaya lokal Nusantara yang justru lebih berperan dalam proses itu. · menguasai berbagai teknologi, Orang India mempunyai tradisi dan kemahiran menulis buku-buku pedoman (śāstra) · mengenal pelayaran dan perdagangan antarpulau, menganai berbagai hal seperti: · bertani dan menguasai teknologi pertanian, · memiliki kepercayaan pada kekuatan di luar dirinya, dan · hukum (dharmaśāstra), · memiliki kekayaan alam sebagai komoditas dagang di Nusantara · politik (arthaśāstra), dan · pencarian kenikmatan (kāmaśāstra). Kekayaan alam itu antara lain meliputi hasil pertanian, hasil hutan, dan tambang emas. Dibandingkan dengan orang Arab atau Cina, waktu itu orang-orang India paling mahir dalam mengambil hati kelompok-kelompok masyarakat di Nusantara. Hal ini ternyata memudahkan proses terserapnya unsur-unsur budaya India oleh Hal itu dilakukan melalui pendekatan kepada para pemimpinnya, bahkan selanjutnya bangsa Indonesia. Bahkan, ada yang menganggap bahwa sebenarnya orang Indonesia juga dengan mengawini putri pemimpin atau warga lainnya. Dengan cara itu sendiri yang lebih aktif memperoleh bebagai ketrampilan dari orang India melalui berangsur-angsur terjadi interaksi budaya bahkan juga kepercayaan antara orang buku-buku pedoman tersebut (Coedes, 2010: 55-56). Penguasaan bahasa Sansekerta India dan penduduk Nusantara. Selanjutnya terjadi reaksi, seleksi, dan percampuran dan aksara Pallawa oleh bangsa Indonesia menjadi pendorong berkembangnya hingga pada akhirnya dianggap menjadi bagian dari kebudayaan Nusantara. peradaban. Hal ini banyak tercermin dari isi prasasti yang banyak ditemukan di Oleh karena budaya India tidak masuk ke daerah yang kosong di Indonesia, maka berbagai tempat di Indonesia. kebudayaan lokal Nusantara memiliki peran penting, karena hal itu merupakan Di Jawa Tengah, prasasti-prasasti pertama yang ditemukan berasal dari awal abad proses kontak antarbudaya. Proses tersebut dapat dianggap sebagai perkembangan ke-8 M. Di dalamnya digambarkan banyak hal terkait dengan terbentuknya kerajaan, lokal saja (Soeroso, 2006: 124). Pada akhirnya “corak India” memang tampak menonjol yaitu: pada kebudayaan dan peradaban di Jawa khususnya, dan inilah yang disebut dengan masa Hindu-Buddha dalam babak sejarah Indonesia. · adanya persaingan di antara para penguasa yang telah berhasil Masuknya unsur kebudayaan yang datang dari India ke Indonesia ditandai oleh mempersatukan dan menguasai sejumlah wanua (atau komunitas kuatnya aspek kepercayaan yang berlatar belakang agama Hindu dan Buddha. desa), Sebenarnya ada aspek lain yang juga cukup kuat yang terbawa dalam proses · mereka disebut raka atau rakryan yang kemudian menjadi “atasan” tersebut. Selain bahasa dan aksara, teknologi pertanian menjadi salah satu aspek bagi para (pembesar di tingkat wanua), penting dalam perkembangan kebudayaan dan peradaban Nusantara. Bahkan, perkembangan itu selanjutnya mengarah pada terbentuknya kerajaan dengan gaya · gabungan dari beberapa wanua itu selanjutnya disebut watak India. 42 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Masa Hindu-Buddha di Jawa 43

Garis besar sejarah pemerintahan kerajaan Matarām Kuno berdasarkan prasasti · watak diperintah oleh rakai, contohnya Rakai Pikatan, yang berarti Mantyasih dan prasasti Wanua Tengah III menurut Kusen adalah sebagai berikut. penguasa dari Pikatan; Rakai Watukura, artinya penguasa dari Watukura; dan sebagainya, Tabel 2. Daftar Raja-raja Matarām Kuno Menurut Prasasti Mantyasih dan Prasasti · para rakai kemudian banyak membangun bangunan-bangunan suci Wanua Tengah III. dalam usahanya meningkatkan prestise sebagai penguasa (Lombard, 1996: 14). Prasasti Mantyasih 907 M Prasasti Wanua Tengah III 908 M

Rakai Matarām Sang Ratu Sanjaya Rahyangta ri Mdang Dalam masa-masa selanjutnya, para rakai inilah yang banyak disebut dalam prasasti, Rake Panangkaran khususnya di Jawa Tengah. Selain mengeluarkan prasasti, rakai juga banyak Sri Maharaja Rakai Panangkaran membangun bangunan suci, terutama ketika menjadi raja atau maharaja. Itulah (7 Oktober 746 – 1 April 784) mengapa di Jawa Tengah banyak ditemukan bangunan candi yang besar lagi megah. Rake Panaraban Sri Maharaja Rakai Panunggalan Selain itu, prasasti yang ditulis oleh atau atas nama raja juga banyak ditemukan. (1 April 784 – 28 Maret 803) Prasasti-prasasti inilah yang menjadi sumber utama dalam menelusuri sejarah Rake Warak Dyah Manara perjalanan bangsa Indonesia. Sri Maharaja Rakai Warak (28 Maret 803 – 5 Agustu 827)

Dyah Gula B. Matarām Berkuasa di Jawa - (5 Agustus 827 – 24 Januari 828) Salah satu fase sejarah yang banyak diungkap melalui sumber prasasti adalah masa Rake Garung kerajaan Matarām Kuno (bhūmi Matarām) yang berpusat di Jawa bagian tengah. Sri Maharaja Rakai Garung (24 Januari 828 – 22 Februari 847) Pemerintahan kerajaan ini berlangsung dari abad ke-8 sampai abad ke-10 Masehi, tepatnya sejak berkuasanya Rakai Matarām saṅ Ratu Sañjaya pada tahun 717 Masehi. Rake Pikatan Dyah Saladu Sri Maharaja Rakai Pikatan Akan tetapi hal ini tidak berarti bhūmi Matarām merupakan kerajaan pertama di (22 Februari 847 – 27 Mei 855) Jawa, karena sebelumnya sudah ada kerajaan yang mendahului. Keberadaan kerajaan Rake Kayuwangi Dyah Lokapala sebelum Matarām Kuno banyak diceritakan dalam berita Cina. Menurut sumber itu, Sri Maharaja Rakai Kayuwangi (27 Mei 855 – 5 Februari 885) kerajaan-kerajaan tersebut bernama Shepo yang (sudah ada sejak tahun 420 Masehi) dan kerajaan Heling (berkuasa pada tahun 618 Masehi). Pada abad ke-9, kerajaan Dyah Tagwas - Shepo disebut lagi dalam berita Cina (Boechari, 2012: 198). (5 Februari 885 – 27 September 885)

Lalu, bagaimana gambaran historiografi Matarām Kuno pada masa-masa berikutnya? Rake Panumwangan Dyah Dewendra - Prasasti Mantyasih (907 M) dan prasasti Wanua Tengah III (908 M) yang dikeluarkan (27 September 885 – 27 Januari 887) oleh Raja Balitung adalah sumber paling penting dalam merekonstruksi historiografi Rake Gurunwangi Dyah Bhadra Matarām Kuno. Melalui kedua prasasti tersebut, diketahui pemerintahan kerajaan - setidaknya sejak Sañjaya (abad ke-8) hingga Balitung (abad ke-10). Tentu saja prasasti (27 Januari 887 – 24 Februari 887) lainnya juga menjadi bahan penting untuk merekonstruksi sejarah. Data arkeologi Rake Wungkalhumalang Dyah Jbang yang sudah diteliti juga banyak memberikan peran dalam rekonstruksi historiografi Sri Maharaja Rakai Watuhumalang (27 November 894 – 23 Mei 898) Matarām Kuno; salah satunya adalah situs Liyangan yang akan dijelaskan pada bagian lain dalam buku ini. Sri Maharaja Rakai Watukura Dyah Rake Watukura Dyah Balitung Balitung (23 Mei 898 – 1 Oktober 908)

Sumber: Kusen, 1994 44 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Masa Hindu-Buddha di Jawa 45

Ada yang perlu dicatat dan mendapat perhatian berkenaan dengan Tabel 2, terutama bendungan di Sungai Hariñjing yang terletak di Kediri sekarang. Begitu pula wilayah dalam masa pemerintahan Rake Warak Dyah Manara (28 Maret 803 – 5 Agustus 827), di sekitar sekarang, yang pernah dikuasai oleh Rakai Kanuruhan. Pu Sindok yaitu munculnya tokoh Samaratungga. Tokoh ini disebut dalam prasasti membangun pusat kerajaannya yang baru di daerah yang disebut Tamwlang. Karangtengah atau Kayumwungan (824 M) yang ditulis dalam dua bahasa, yaitu Walaupun sebenarnya masih anggota wangsa Sailendra, tapi Sindok kemudian Sansekerta dan Jawa Kuno (Kusen, 1994: 85). Bagian yang berbahasa Sansekerta membangun wangsa yang baru, yaitu wangsa Iśāna (Poesponegoro dan Nugroho menyebut nama Samaratungga dan anaknya yang bernama Pramodāwarddhani, Notosusanto, 2011: 173-184). sedangkan bagian yang berbahasa Jawa Kuno menyebut Rakarayan Patapan Pu Palar. Yang disebut terakhir adalah suami-istri yang telah memberikan sawahnya untuk bangunan suci Srimadwenuwana yang dibanguan oleh Pramodāwarddhani (Casparis, 1950 dalam Kusen, 1994: 85). Kembali ke Tabel 2. Setelah masa Balitung, situasi politik semakin tidak menentu akibat perebutan kekuasaan, bahkan di kalangan keluarga dan kerabat kerajaan. Balitung yang berasal dari Watukura dianggap tidak memiliki hak atas takhta kerajaan. Ia dianggap menjadi raja hanya karena perkawinannya dengan putri raja sebelumnya dan bukan keturunan langsung dari Pikatan. Sementara itu, Daksa atau Śri Dakṣottama Bāhubajra Pratipakṣakṣaya yang menjabat sebagai putra mahkota (Rakryān Mahamantri I Hino) bukan anak Balitung, kemungkinan iparnya. Daksa dan Rakai Gurunwangi, keduanya kerabat Rakai Pikatan, bersekongkol untuk merebut kembali takhta kerajaan dari Balitung. Daksa akhirnya berhasil naik takhta dan memerintah selama kurang lebih 8 tahun, mungkin sejak 910 atau 911 M. Sebelumnya, ia mengangkat seorang putra mahkota, yaitu Rakai Layang Dyah Tlodhong yang ternyata bukan pejabat tertinggi di kerajaan. Selanjutnya Rakai Layang menggantikan Daksa sebagai raja Matarām. Belum jelas kapan tepatnya Rakai Layang naik takhta, juga kurang jelas kapan Daksa turun takhta, kemungkinan sekitar 918 atau 919 M. Pemerintahan Rakai Layang antara lain ditandai dengan pembangunan bendungan di sungai Hariñjing pada 19 September 921 M. Sungai Hariñjing disamakan dengan Sungai Serinjing di Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Berikutnya, Rakai Layang digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa pada tanggal 14 Februari 928 M. Dyah Wawa menyebut dirinya anak kryān ladheyan sang lumāḥ ring alas. Nama tersebut mengingatkan pada nama Rakryān Laṇ dayan, adik ipar Rakai Kayuwangi pu Lokapāla. Ini berarti Dyah Wawa bukanlah anak Rakai Layang Dyah Tlodhong, dan sebenarnya tidak berhak atas takhta kerajaan Matarām. Meskipun sempat mengeluarkan beberapa prasasti, namun pemerintahan Dyah Wawa sangat singkat bahkan seperti berhenti mendadak karena tidak ada berita lainnya. Berita berikutnya langsung tentang Raja Sindok yang memindahkan pusat kerajaannya ke bagian timur Jawa pada tahun 929. Daerah yang dipilih Sindok bukan daerah baru karena merupakan bagian dari kerajaan Matarām. Contohnya adalah PERMUKIMAN IV LIYANGAN DAN BHŪMI MATARĀM 48 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Permukiman Liyangan dan Bhūmi Matarām 49

Penemuan gabah di situs Liyangan (Foto 57) dapat dikaitkan dengan majunya semakin banyak. Prasarana dan sarana yang digunakan untuk aktivtas sehari-hari, teknologi pertanian dan menjadi pengetahuan tentang ketersediaan bahan pangan di seperti untuk pertanian dan untuk beribadah, semakin banyak jumlah dan ragamnya. permukiman kuno Liyangan. Selain itu padi juga dapat disebut sebagai komoditi Oleh karena itu ketika situs Liyangan diteliti ditemukan berbagai data yang sangat perdagangan. Sejak masa Matarām Kuno (antara abad ke-9 hingga abad ke-10), padi beragam, kompleks, bahkan seringkali rumit. dan beras merupakan komoditas yang menjadi tulang punggung perekonomian Perlu digarisbawahi bahwa dalam masa Hindu-Buddha, peradaban Liyangan kerajaan (Suhadi dan Titi Surti Nastiti, 2012: 110). beriringan dengan tumbuh dan berkembangnya kerajaan Matarām Kuno. Dalam Kegiatan perdagangan pada masa Matarām Kuno diberitakan melalui beberapa kurun waktu tersebut ada dua orang raja yang dapat dikaitkan dengan keberadaan prasasti, antara lain: permukiman kuno Liyangan ini. Pertama adalah Rakai Watukura Dyah Balitung. Raja Balitung yang berasal dari · Prasasti Gondosuli II atau Prasasti Puhawang Glis (827 M), berbahasa Watukura pernah mengeluarkan prasasti yang dikenal dengan nama prasasti Rukam. Melayu Kuno menyebut kata dan puhawan (nahkoda). Keberadaan Prasasti ini berangka tahun 907 M. Pada waktu ditemukan, prasasti ini satu konteks nahkoda dikaitkan dengan kapal atau moda transportasi laut. Pada dengan temuan artefak lainnya. Artefak tersebut meliputi: masa itu perdagangan antarpulau sudah sangat ramai sehingga kata daŋ puhawaŋ dapat dikaitkan dengan perdagangan · alat-alat upacara berbahan perunggu, yaitu talam atau baki berbentuk · Prasasti Tulang Air (850 M), ditulis dalam bahasa Jawa Kuno, menyebut bundar yang tersusun mulai dari yang kecil sampai dengan yang besar, kata marhyaŋ iṅ prasāda kabanyagān (marhyaŋ dalam bangunan suci · bokor, kelompok banyagā). Banyagā adalah salah satu kelompok pedagang · cepuk, yang sudah ada pada masa Matarām Kuno. Kelompok ini merupakan pedagang berskala besar. · entong, · gantungan lampu,

Ramainya perdagangan di kerajaan Matarām Kuno ditandai dengan dikenalnya · mangkuk-mangkuk perunggu, istilah-istilah untuk empat kelompok pedagang yaitu: · keramik asing, dan · beberapa benda kecil lainnya (Nastiti dkk., 1982, 7). · Abakul, atau pedagang eceran,

· Adagaŋ, mungkin semacam grosir, Semua jenis barang tersebut juga ditemukan di Liyangan, hal ini membuktikan · hiliran, yakni sebutan untuk pedagang yang hanya berjualan di bagian adanya keterkaitan antara prasasti Rukam dengan Liyangan. Perhatikan uraian pada hilir pada sungai-sungai besar, dan Bab II.C. · banyagā, yakni pedagang besar yang melakukan perdagangan Isi prasasti Rukam yang dikaitkan dengan Liyangan adalah bagian kalimat yang antarpulau atau pedagang yang sudah bertaraf internasional (Suhadi menyebutkan “… wanua i rukam wanua wanua i dro saŋka yan hilaŋ deniŋ guntur …” dan Titi Surti Nastiti, 2012: 107). yang artinya “… desa Rukam yang termasuk wilayah kutagara atau negeri ageng, yang telah hancur oleh letusan gunung…” (Nastiti dkk., 1982: 23, 36). Kondisi situs Liyangan yang terkubur material vulkanis Gunung Sindoro itulah yang sering dikaitkan dengan Jelas sudah bahwa peradaban Liyangan kuno berkembang dan menjadi bagian dari prasasti ini, khususnya frasa “... hilaŋ deniŋ guntur …” . peradaban kerajaan Matarām Kuno. Terletak di lereng Sindoro yang subur, Liyangan Akan tetapi, angka tahun prasasti (907) tidak cocok dengan waktu kejadian mengandalkan padi dan hasil pertanian lainnya sebagai komoditi perdagangan. Pada meletusnya Gunung Sindoro pada abad XI. Jadi, desa yang dimaksud dalam prasasti fase ini, permukiman Liyangan kuno berkembang dengan pesat, seiring dengan Rukam tentu bukan Liyangan. Berikut ini penjelasannya. pesatnya kemajuan-kemajuan yang diraih oleh kerajaan. Jumlah penduduknya 50 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Daftar Pustaka 51

Anggapan bahwa wanua i rukam adalah desa yang hilang karena terjadinya letusan DAFTAR PUSTAKA gunung berapi harus dikoreksi. Sebenarnya wanua i rukam adalah desa yang menggantikan status sīma dari desa lainnya yang hilang karena letusan gunung berapi (Mochtar, 2014: 160). Sayangnya memang di dalam prasasti tidak disebutkan Boechari. 2012. “Satu atau Dua Dinasti di Kerajaan Matarām Kuno?”. Melacak Sejarah desa apa yang terkubur dan gunung apa yang meletus. Yang pasti, Rukam adalah Kuno Indonesia Lewat Prasasti, Kumpulan Tulisan Boechari. Jakarta: Penerbit desa yang pada tahun 907 M mendapat anugerah sīma dari Balitung untuk KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Hlm. 197-202 ŋ ŋ menggantikan status sīma dari sebuah desa yang hila deni guntur tersebut. Jadi Coedes, George. 2010. Aisa Tenggara Masa Hindu-Buddha. Jakarta: KPG (Kepustakaan bukan Liyangan yang hancur oleh letusan gunung pada tahun 907 M, karena ketika Populer Gramedia) itu permukiman Liyangan masih dalam keadaan yang baik-baik saja. Eriawati, Yusmaini. 2014. “Keramik Cina Dinasti Tang Abad IX Masehi Dari Situs Sebagaimana sudah dijelaskan, permukiman Liyangan kuno masih ada setidaknya Liangan, Temanggung, Jawa Tengah”, dalam Liangan, Mosaik Peradaban hingga pertengahan abad XI M, sebelum akhirnya juga harus terkubur oleh material Mataram Kuno di Lereng Sindoro. Yogyakarta: Kepel Press. Hlm. 215-266 letusan gunung Sindoro. Letusan itu tentunya terjadi setelah pertengahan abad XI M. ṇ ḍ Kejadian yang menghentikan perjalanan peradaban dan perkumiman Liyangan kuno Fitriati, Rita. 1990. “Pasak-pasak dari Prasasti Masa Balitung dan Si ok”. Monumen, sejak abad ke-2 M. Karya Persembahan Untuk Prof. Dr. R. Soekmono. Lembaran Sastra Seri Penerbitan Ilmiah No. 11 Edisi Khusus. Depok: Fakultas Sastra Universitas Raja Matarām lainnya yang dikaitkan dengan Liyangan adalah Dyah Tlodhong. Nama Indonesia. Hlm. 102-124 lengkapnya adalah Rakai Layang Dyah Tlodhong. Gelarnya sebagai raka i layang Kusen. 1994. “Raja-raja Matarām Kuno dari Sañjaya sampai Balitung, Sebuah inilah yang dihubungkan dengan nama Liyangan. Berikut ini penjelasannya. Rekonstruksi Berdasarkan Prasasti Wanua Tengah III”. Berkala Arkeologi, Perhatikan juga bagian akhir bab III. B. Tahun XIV, Edisi Khusus. Hlm. 82-94 Daksa mengangkat Tlodhong sebagai putera mahkota setelah ia mengalahkan Lelono, T.M. Hari. 1995/1996. “Penelitian Pakaian dan Organisasi Sosial Pada Masa Balitung, pada sekitar tahun 908 M. Pada waktu itu Tlodhong menjadi penguasa Klasik (Tahap II)”. Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Yogyakarta. daerah Layang, oleh karenanya ia bergelar Rakai Layang, atau penguasa daerah Tidak terbit Layang. Waktu itu sangat mungkin daerah Layang juga dikenal dengan sebutan daerah layangan. Kata layangan dan liyangan adalah dua kata yang sangat dekat. Hal Lombard, Denys. 1996. Nusa Jawa: Silang Budaya, Sejarah Kajian Terpadu. Jilid III: itu menjadi pertimbangan untuk mengatakan bahwa liyangan adalah layang, yaitu Warisan Kerajaan-kerajaan Konsentris. Jakarta: Penerbit PT Gramedia daerah yang dikuasai oleh Tlodhong. Dengan demikian, maka situs Liyangan dulunya Pustaka Utama merupakan daerah watak yang salah satu penguasanya bernama Tlodhong. Rakai Mochtar, S. 2014. “Wanua I Rukam, Nama Asli Liangan? Kajian Terhadap Prasasti Layang Dyah Tlodhong inilah yang akhirnya juga menjadi raja Matarām dengan Rukam 907 M Sebagai Data Pendukung Penelitian Situs Liangan ”, dalam menggantikan Pu Daksa. Tlodhong memerintah dari tahun 919 M hingga 928 M, Liangan, Mosaik Peradaban Mataram Kuno di Lereng Sindoro. Yogyakarta: sebelum digantikan oleh Rakai Sumba Dyah Wawa. Kepel Press. Hlm. 149-163 Hingga pertengahan abad ke-11, permukiman Liyangan kuno masih ada dan terus Nastiti, Titi Surti, dkk. 1982. Tiga Prasasti Dari Masa Balitung. Jakarta: Pusat berkembang. Setelah Tlodhong menjadi raja Matarām, yang berkuasa di watak layang Penelitian Arkeologi Nasional, Departemen P & K tentunya kerabat Tlodhong sendiri. Sangat mungkin pengganti Tlodhong juga Permana, Cecep Eka. 2016. Kamus Istilah Arkeologi – Cagar Budaya. Jakarta: bergelar Rakai Layang, artinya penguasa daerah Layangan. Tempat inilah yang Wedatama Widya Sastra sekarang menjadi nama dusun di Desa Purbosari, dan akhirnya menjadi nama situs, yaitu situs Liyangan. Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto, 2011. Sejarah Nasional Indonesia, Jilid II Zaman Kuno. Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia (Ed.). Edisi Pemutakhiran. Cetakan ke-5. Jakarta: Balai Pustaka. 52 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Glosarium 53

Riyanto, Sugeng. 2012. “Laporan Penelitian Arkeologi, Permukiman Mataram Kuno GLOSARIUM Situs Liyangan”. Balai Arkeologi Yogyakarta. Tidak terbit

Sedyawati, Edi dkk. 2012. “Pengenalan Masa Hindu-Buddha”. Indonesia Dalam Arus A Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Hlm. 5-35 Analisis karbon-14 dilakukan oleh arkeolog untuk untuk memperoleh umur atau penanggalan (dating) suatu situs atau data arkeologi. Sampel yang dipakai adalah Soeroso. 2006. “Awal Pembentukan Kerajaan-kerajaan”. Permukiman di Indonesia bahan organis yang ditemukan di situs seperti arang karena mengandung isotop Perspektif Arkeologi. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Hlm. radioaktif karbon yang memiliki inti terdiri atas 6 proton dan 8 neutron. 122-136 Suhadi, Machi dan Titi Surti Nastiti. 2012. “Perdagangan dan Politik”. Indonesia Dalam Arkeologi adalah ilmu yang mempeajari manusia dan kebudayaan beserta lingkungan Arus Sejarah, Kerajaan Hindu-Buddha. Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve. masa lalu berdasarkan bukti-bukti tinggalan untuk dimanfaatkan di masa kini dan Hlm. 107-169 masa yang akan datang.

Arkeolog adalah orang yang ahli di bidang arkeologi.

Artefak adalah benda yang sudah diubah sebagian atau seluruhnya oleh manusia untuk dipergunakan dalam membantu aktifitas kehidupan.

B Blah sama dengan wlah.

Blengker digunakan oleh warga Desa Purbosari dan mungkin juga di tempat lain, untuk menyebut perkakas yang digunakan sebagai alas antara tungku dan alat masak; berbahan tanah liat bakar atau tembikar, berbentuk bundar-pipih, lebar antartepinya sekitar 10 cm.

Bokor, pinggan yang cekung dan bertepi lebar, dibuat dari logam.

Buyung adalah perkakas yang berfungsi untuk menampung dan membawa air, berbahan tembikar, batuan, porselen, atau logam.

C Celupak adalah lampu berbahan tanah liat yang dibakar, berukuran sekitar 10 cm, berbentuk pipih dengan cekungan di bagian tengah dan ada cerat di tepinya. Cekungan di tengah berguna untuk menampung bahan bakar berupa minyak kelapa atau damar, sedangkan cerat digunakan untuk menaruh sumbunya. 54 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung Glosarium 55

Cepuk, wadah yang berukuran kecil, biasanya digunakan untuk menyimpan K perhiasan. Ken digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut kain, selain wḍihan.

D Keramik sebenarnya digunakan untuk menyebut barang-barang yang dibuat dari Dating adalah penentuan umur atau kisaran kronologi suatu data arkeologi dan situs bahan mineral tanah yang dibakar, tetapi pada umumnya keramik digunakan untuk melalui metode tertentu, seperti analisis karbon-14, analogi atau perbandingan membedakan dengan gerabah (earthen-ware), sehingga keramik sering digunkana dengan data arkeologi di tempat lain yang memiliki kesamaan dan sudah diketahui untuk menyebut barang yang dibuat dari bahan batuan (stone-ware) dan kaolin umur atau kisaran kronologinya, dan sebagainya. (porcelain). Keramik berbahan batuan (stone-ware) matang pada suhu antara 12000 - 12900 C, sedangkan keramik berbahan kaolin (porcelain) hanya akan lebur dan matang E dengan baik pada suhu 15000 C. Empiris merupakan pengetahuan yang diperoleh berdasarkan pengalaman seperti percobaan dan pengamatan secara terus-menerus. Kowi atau alat pelebur logam, bentuknya mirip celupak, berbahan logam atau gerbah, dengan ukuran sangat variatif. Bagian cekungan di tengah berguna untuk F menampung cairan logam sedangkan bagian cerat berfungsi untuk menyalurkannya ke tempat cetakan. Figurin merupakan salah satu bentuk dari keramik, baik tembikar, batuan, atau porselen, biasanya berbentuk figur manusia atau hewan sebagai barang hiasan. M Matarām (Kuno) muncul pertama kali sebagai kerajaan pada tahun 717 M pada masa G pemerintahan raja Sanjaya yang bergelar Rakai Mataram, sampai pemerintahan Gandik adalah pasangan dari pipisan, berbahan batu, berbentuk silindris dengan Dharmawangsa Tguh meskipun berkedudukan di Jawa Timur. diameter sekitar 5-10 cm.

Mosaik adalah gambaran utuh yang tersusun dari bagian-bagian yang sebelumnya Gerabah atau tembikar adalah wadah yang terbuat dari tanah liat yang dibakar saling terpisah. dengan suhu di bawah 9500 - 11000 C. Dalam klasifikasi keramik, gerabah disebut earthen-ware karena bahannya dari tanah liat biasa; keramik yang berbahan batuan P disebut stone-ware, dan keramik yang dibuat dari bahan kaolin disebut porcelain. Pasu merupakan perkakas berupa wadah air, terbuat dari bahan tembikar, batuan, atau porselen. Bentuknya bundar dengan diameter sekitar 30 cm. Giring-giring adalah genta kecil berbahan logam, biasanya berbentuk membulat dan berisi benda lain di dalamnya sehingga akan berbunyi ketika digerak-gerakan. Pemujaan merupakan proses memuja kekuatan tertentu seperti dewa atau sesuatu yang dipercaya memiliki kekuatan menurut kepercayaan tertentu; pemujaan juga H berarti tempat atau lokasi yang digunakan untuk memuja. Hle digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut satuan kain dalam ukuran tertentu, selain wlah. Pipisan adalah alat rumah tangga terbuat dari bahan batu, berbentuk memanjang, berukuran sekitar 30 cm, terdiri atas dua bagian yaitu bagian permukaan yang rata L dan halus, dan bagian kaki. Bagian permukaan digunakan untuk menghaluskan bahan Liyangan adalah situs arkeologi yang namanya mengacu pada nama dusun, yaitu makanan, obat, atau biji-bijian dengan cara menggiling atau menggilas berulang- Dusun Liyangan, Desa Purbosari, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten Temanggung, ulang menggunakan gandik yang berbentuk silindris dan terbuat dari bahan batu Jawa Tengah. juga. Bagian kaki berguna untuk meletakan pipisan sehingga stabil ketika digunakan. 56 Situs Liyangan dan Sejarahnya, Peradaban Adiluhung di Lereng Gunung

S Sīma, sebidang tanah berupa sawah atau kebun yang statusnya diubah menjadi wilayah perdikan atau swatantra yang bebas dari pungutan pajak.

Situs adalah lokasi atau tempat ditemukannya sejumlah benda atau data arkeologi.

T Talam adalah perkakas berbahan logam berbentuk bundar-ceper dan ada lis di tepinya. Pada masa Matarām Kuno, talam termasuk benda yang sering ditemukan, biasanya berbahan perunggu dan ada hiasan di bagian tengahnya, antara lain hiasan sangkha bersayap dan guci bersulur. Fungsinya selain sebagai tempat untuk meletakkan dan membawa perkakas yang lain seperti mangkuk dan kendi, juga digunakan dalam prosesi keagamaan yaitu untuk membawa bunga dan kelengkapan prosesi lainnya.

Tembikar sama dengan gerabah.

Tempayan adalah salah satu bentuk keramik, berbahan tembikar, batuan, maupun porselen berukuran besar; bagian badan lebih besar dibandingkan bagian mulutnya, biasanya digunakan untuk menampung air. Tempayan merupakan salah satu artefak yang sering ditemukan dalam penelitian arkeologi.

V Vulkanis segala sesuatu yang berhubungan dengan gunung berapi.

W Wḍ ihan digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut kain, selain ken.

Wlah digunakan oleh masyarakat Jawa Kuno untuk menyebut satuan kain dalam ukuran tertentu, selain hle.