JILID 2, NOMOR 2, OKTOBER 2012 ISSN 2089-0117

JURNAL BAHASA DAN SASTRA JBS

DITERBITKAN OLEH PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS LAMBANG MANGKURAT (UNLAM) DAN HIMPUNAN SARJANA KESUSASTRAAN INDONESIA (HISKI)

I S S N 2 0 8 9 - 0 1 1 7 HALAMAN BANJARMASIN ISSN JILID 2 NOMOR 2 JBS 139-291 2012 2089-0117 9 7 7 2 0 8 9 0 1 1 0 0 0 139i 140 DAFTAR ISI

Bahasa Perumpamaan Tokoh dalam Hikayat Raja Banjar M. Rafiek (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 143-152

Representation of Cultural Values of Using Community in Banyuwangi Folk Songs (Mapping the Material for Using Language as Local Content) Imam Suyitno dan Abdul Syukur Ibrahim (Universitas Negeri Malang) 153-162

Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional Bangsa Indonesia Akhmad Yazidi (Universitas Pakuan, Bogor) 163-177

Mengembangkan Gairah Peserta Didik dalam Belajar Bahasa Indonesia melalui Pembelajaran Berbasis Masalah Yakobus Paluru (Universitas Terbuka, Palu) 178-190

Tutur Ritual Manenung pada Masyarakat Dayak Hindu Palangka Raya: Analitis Wacana Kritis Van Dijk Made Agustus (STIP Bunga Bangsa, Palangka Raya) 191-205

Penggunaan Pemodelan untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa SMPN 11 Palangka Raya dalam Menulis Naskah Drama berdasarkan Cerpen Lukman Juhara (SMPN 11, Palangka Raya) 206-213

Makna dalam Ungkapan Bahasa Banjar Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 214-220

The Implementation of Extensive Reading Program to Improve the Reading Skills of The English Department Students Academic Year 2010/2011 Jumariati (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 221-230

Pemerolehan Morfem Anak Autis di Pusat Terapi Autis Bina Permata Keluarga Marfu’ah dan Rusma Noortyani (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 231-241

Alih Kode dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah Lili Agustina dan Maria LAS (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 242-258

141 Legenda Tabuan Ranggas di Kabupaten Tabalong Wina Hastuti dan Sabhan (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 259-268

Nilai Budaya dalam Mantra Banjar Khairur Rohim dan Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 269-279

Tindak Tutur dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin Siti Norhasuna dan Zakiah Agus Kusasi (Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin) 280-291

Indeks Pengarang JURNAL BAHASA DAN SASTRA (JBS) Jilid 2 (Tahun 2012) 291. 1

Indeks Mitra Bebestari JURNAL BAHASA DAN SASTRA (JBS) Jilid 2 (Tahun 2012) 291. 2

142 BAHASA PERUMPAMAAN TOKOH DALAM HIKAYAT RAJA BANJAR (PARABLE OF FIGURES IN THE STORY OF KING BANJAR)

M. Rafiek Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail [email protected]

Abstract

Parable of Figures in the Story of King Banjar. This study aims to discover and clarify the existing language of parable figures in the saga of king Banjar. The theory used in this research is the theory of figure of speech (style) and figuratively stilistika theory. The method used in this research is descriptive qualitative analysis techniques stilistika literature. The results of this study is contained in the language of parable figures Raden Putra (prince Suryanata), Huripan Princess, Princess Junjung Buih, Ki Mas Lelana, and Raden Samudera (Prince Suryanullah or Suriansyah). In the present study found the language of parable figures used simile in the fifth figure, the Princess Junjung Buih, Raden Putra, Princess Huripan, Ki Mas Lelana, and Raden Samudera. Simile of figure in the saga king Banjar use words like as marker. In addition, there is also the use of figure of speech hyperbole in the parable figures Ki Mas Lelana. Conclusion of the study is the language of the parable of the characters in the saga of king Banjar using simile.

Keywords: language of parable, the saga of king banjar, simile

Abstrak

Bahasa Perumpamaan Tokoh dalam Hikayat Raja Banjar. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan dan menjelaskan bahasa perumpamaan tokoh yang ada dalam Hikayat Raja Banjar. Teori yang digunakan dalam penelitian adalah teori majas (gaya bahasa) dan teori stilistika kiasan. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah metode deskriptif kualitatif dengan teknik analisis stilistika sastra. Hasil penelitian ini berupa bahasa perumpamaan tokoh terdapat pada tokoh Raden Putra (Pangeran Suryanata), Putri Huripan, Putri Junjung Buih, Ki Mas Lalana, dan Raden Samudera (Pangeran Suryanullah atau Suriansyah). Dalam penelitian ini ditemukan bahasa perumpamaan tokoh menggunakan majas perumpamaan pada kelima tokoh, yaitu Putri Junjung Buih, Raden Putra, Putri Huripan, Ki Mas Lelana, dan Raden Samudera. Majas perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan kata seperti sebagai penandanya. Selain itu, ditemukan pula penggunaan majas hiperbola dalam perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian adalah bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan majas perumpamaan.

Kata-kata kunci: bahasa perumpamaan, hikayat raja banjar, majas perumpamaan

143 PENDAHULUAN Penelitian terhadap Hikayat Raja Banjar ini adalah yang kesekian kali peneliti lakukan, yang pertama, peneliti bersama M. Zainal Arifin Anis meneliti Eksistensi Wiramartas dalam Hikayat Banjar (2004), yang kedua, peneliti meneliti Realitas Mitologis dan Ideologis dalam Hikayat Raja Banjar (2005a), yang ketiga, peneliti meneliti Realitas Mitologis dalam Hikayat Raja Banjar (2005b), yang keempat, peneliti meneliti Poligami dalam Hikayat Banjar (2006a). Keempat, peneliti meneliti tokoh mitos Banjar dalam Hikayat Raja Banjar dengan teori antropologi struktural Claude Levi- Strauss (2006b). Peneliti juga sudah meneliti Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar (2010), Hikayat Raja Banjar: Kajian Jenis, Makna, dan Fungsi Mitos Raja (2011), Hikayat Raja Banjar, Tutur Candi, dan Pararaton: Suatu Perbandingan (2012a), Kearifan Lokal dalam Hikayat Raja Banjar (2012b). Selanjutnya, pada artikel ilmiah ini, peneliti mencoba menjelaskan bahasa perumpamaan tokoh mitos Banjar dalam naskah Hikayat Raja Banjar. Penelitian mengenai bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan orang. Oleh karena itu, penelitian ini menjadi semacam perintis awal bagi penelitian bahasa perumpamaan dalam Hikayat Raja Banjar. Penelitian semacam ini akan sangat bermanfaat untuk membuka wawasan baru dalam meneliti aspek kebahasaan suatu hikayat. Sekalipun penelitian ini sangat sederhana, akan tetapi peneliti berusaha mengkajinya secara lebih mendalam. Penelitian orang lain sebelumnya yang dijadikan rujukan dalam penelitian ini adalah Sarana Retorika dalam Penuturan Munaba Waropen Papua oleh Dharmojo (2004). Dalam penelitiannya tersebut, Dharmojo menemukan bahwa di dalam munaba terdapat (1) pemilihan kata (diksi), (2) pengimajian, (3) penggunaan bahasa figuratif, (4) aspek bahasanya bersifat ekspresif, sugestif, asosiatif, dan magis, (5) bahasa yang mungkin memiliki kegandaan tafsir makna, dan (6) penggunaan bahasa Waropen. Munaba adalah nyanyian ratapan kematian yang mengungkapkan kesedihan, penghormatan, kasih sayang, sanjungan terhadap orang yang meninggal (Dharmojo, 2004: 87). Berdasarkan penelitian Dharmojo tersebut dapat diketahui bahwa di dalam karya sastra terdapat penggunaan bahasa figuratif. Oleh karena itu, penelitian ini ingin mengungkap apakah dalam Hikayat Raja Banjar juga terdapat bahasa figuratif, khususnya majas perumpamaan? Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan menjelaskan bahasa-bahasa perumpamaan tokoh mitos Banjar dalam naskah Hikayat Raja Banjar. Manfaat penelitian ini adalah untuk mendokumentasikan dan menginventarisasi khazanah sastra Melayu klasik, khususnya Hikayat Raja Banjar dari segi bahasa perumpamaan tokoh. Dari segi teoretis, hasil penelitian ini sangat berguna bagi pengembangan gaya bahasa dan stilistika. Perumpamaan, menurut Zaidan, Rustapa, dan Hani’ah (2000: 189 dan 210), dinamakan simile atau umpamaan. Umpamaan adalah majas perbandingan yang menggunakan kata perbandingan, antara lain umpama, seperti, dan bagaikan, simile. Tarigan (1985: 118) mengatakan perumpamaan adalah ‘perbandingan dua hal yang pada hakikatnya berlainan dan yang sengaja kita anggap sama. Perbandingan itu secara eksplisit dijelaskan oleh pemakaian kata ‘seperti, sebagai, ibarat, umpama, bak, laksana, dan sejenisnya. Kata simile itu sendiri berasal dari bahasa Latin yang bermakna ‘seperti’ (Tarigan, 1993: 180-181). Pateda (1995: 191), perumpamaan adalah ‘kemampuan untuk membandingkan dua hal yang pada hakikatnya berbeda dengan harapan jangan diikuti atau merupakan keputusan atas sesuatu yang dilihat atau dirasakan. Perumpamaan biasanya menggunakan kata-kata bak, bagai, seperti, umpama, ibarat, laksana. Keraf (2002: 138) juga mempunyai pendapat tersendiri tentang perumpamaan yang disamakannya dengan persamaan atau simile, yaitu perbandingan yang bersifat eksplisit. Yang dimaksud dengan perbandingan yang bersifat eksplisit itu adalah bahwa ia langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang

144 lain. Untuk itu, ia memerlukan upaya yang secara eksplisit menunjukkan kesamaan itu, yaitu kata-kata: seperti, sama, sebagai, bagaikan, laksana, dan sebagainya. Contohnya kikirnya seperti kepiting batu, bibirnya seperti delima merekah, matanya seperti bintang timur. Terkadang diperoleh persamaan tanpa menyebutkan objek pertama yang mau diperbandingkan, contohnya bagaikan air di daun talas dan bagai duri dalam daging. Perumpamaan adalah peribahasa yang membandingkan watak, keadaan, atau kelakuan seseorang dengan gejala-gejala alam. Biasanya diawali dengan kata ibarat, seperti, umpama, bagai, sebagai, bak, dan lain-lain (Eneste, 1994: 71). Perumpamaan adalah majas perbandingan yang dilukiskan dengan membandingkan dua hal berbeda yang dianggap sama (Rani dan Maryani, 2004: 297). Chaer (2002: 174) mengatakan perumpamaan sebagai perbandingan. Perbandingan, yaitu leksem yang digunakan adalah seperti, sebagai, laksana, seolah-olah, dan seakan-akan. Simile adalah perbandingan langsung antara benda-benda yang tidak selalu mirip secara esensial. Perbandingan yang menggunakan simile, biasanya terdapat kata ‘seperti’ atau laksana (engkau laksana bulan) dan ketimbang atau daripada (ia lebih cantik ketimbang mawar merekah) (Minderop, 2005: 52; Reaske, 1966: 41). Perumpamaan adalah peribahasa yang berisi perbandingan; terjadi dari maksud (yang tidak diungkapkan) dan perbandingan (yang diungkapkan), misalnya seperti katak di bawah tempurung, ibarat bunga, sedap dipakai, layu dibuang. Perumpamaan kadang-kadang memakai kata seperti, ibarat, bagai, macam, dan sebagainya, kadang-kadang tidak (Kridalaksana,2001: 173). Peneliti dalam hal ini selain mengacu pada teori gaya bahasa di atas juga mengacu pada teori stilistika kiasan. Menurut Endraswara (2006: 73), stilistika kiasan terdiri atas dua macam, yaitu gaya retorik dan gaya kiasan. Gaya retorik meliputi eufemisme, paradoks, tautologi, polisindeton, dan sebagainya, sedangkan gaya kiasan sangat banyak ragamnya, antara lain alegori, personifikasi, simile, sarkasme, dan lain-lain.

METODE Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Metode deskriptif digunakan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat tentang bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar (Djajasudarma, 1993: 8). Teknik penelitian yang digunakan adalah teknik analisis stilistika sastra. Teknik analisis stilistika sastra berupaya mengungkap aspek-aspek estetik pembentuk kepuitisan karya sastra (Endraswara, 2006: 72). Pendekatan analisis stilistika sastra, yaitu (1) dimulai dengan analisis sistematis tentang sistem linguistik karya sastra, dan dilanjutkan ke interpretasi tentang ciri-ciri sastra, interpretasi diarahkan ke makna secara total dan (2) mempelajari sejumlah ciri khas yang membedakan satu sistem dengan sistem lain (Endraswara, 2006: 74). Dalam hal ini, peneliti memfokuskan analisis pada aspek melihat dari ciri teks sastra, yaitu dengan cara mempelajari dan mengkategorikan gaya bahasa yang tampil dalam teks (Endraswara, 2006: 74). Langkah-langkah analisis yang digunakan oleh peneliti dalam meneliti bahasa perumpamaan dalam Hikayat Raja Banjar ini mengacu pada langkah-langkah analisis dari Endraswara (2006: 75), yaitu: 1. Menetapkan unit analisis berupa data yang mengandung bahasa perumpamaan. 2. Menganalisis kata atau kalimat atau paragraf yang digunakan oleh pengarang dalam bahasa perumpamaan. Peneliti terlebih dahulu menganalisis sistem linguistiknya dan setelah itu dilanjutkan dengan menganalisis dengan interpretasi tentang ciri-ciri dari tujuan estetis karya tersebut sebagai “makna total”. 3. Membahas kutipan yang mengandung bahasa perumpamaan secara lebih mendalam.

145 4. Melakukan pengontrasan antara majas yang satu dengan majas yang lainnya (kalau dalam analisis ada atau ditemukan. 5. Menemukan dan membahas unsur estetis bahasa perumpamaan tokoh.

HASIL DAN PEMBAHASAN Bahasa Perumpamaan Tokoh Putri Junjung Buih Bahasa perumpamaan tokoh Putri Junjung Buih dalam Hikayat Raja Banjar mempunyai kaitan dengan perumpamaan wajah wanita cantik. Bahasa perumpamaan yang digunakan oleh pengarang anonim mengacu kepada rupa manusia yang diibarat seperti cahaya kumala. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. ….Maka putri itu kaluar dari dalam buih itu. Rupanya gilang-gumilang, cahayanya saparti kumala …. (Maka putri itu keluar dari dalam buih itu. Rupanya gilang-gemilang, cahayanya seperti kumala) (Ras, 1968: 276). Pada kutipan di atas terdapat majas perumpamaan, yaitu cahayanya seperti kumala. Majas perumpamaan yang digunakan untuk melukiskan rupa putri ini menunjukkan bahwa tokoh yang bersangkutan sangat cantik dan rupawan. Tokoh Putri Junjung Buih keluar dari air (buih) dalam rupa cantik jelita. Kumala bisa berarti batu permata dan bisa pula berarti kumala naga. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan rupa Putri Junjung Buih yang bercahaya seperti kumala.

Bahasa Perumpamaan Tokoh Raden Putra Bahasa perumpamaan tokoh Raden Putra digambarkan dalam Hikayat Raja Banjar sebagai seorang yang tampan dan gagah. Raden Putra yang semula sebelum terjun ke air berpenyakit campah kudung berubah menjadi pemuda yang gagah perkasa setelah keluar dari air. Penyakit campah kudungnya hilang dan ia keluar dari dalam air dengan menggunakan sarung sutera berwarna kuning. Maka Raden Putra itu kaluar bartapih sutra kuning. Maha indah-indah rupa cahayanya tapih sutra itu, karana bukannya parbuatan manusia itu, parbuatan dewa-dewa itu. Hilanglah sarungnya Raden Putra yang saparti campah kudung itu. Rupanya itu putih kuning saparti amas digasa, cahayanya saparti bulan purnama; rambutnya ikal saparti sobrah dikarang, basarnya itu paradaksa, artinya tingginya dangan basarnya itu sambada (Maka Raden Putra itu keluar bersarung sutra kuning. Maha indah-indah rupa cahayanya sarung sutra itu, karena bukannya perbuatan manusia itu, perbuatan dewa-dewa itu. Hilanglah sarungnya (kulit) Raden Putra yang seperti campah kudung itu. Rupanya itu putih kuning seperti emas digasa, cahayanya seperti bulan purnama; rambutnya ikal seperti sobrah dikarang, besarnya itu paradaksa, artinya tingginya dengan besarnya itu sembada) (Ras, 1968: 312). Penggunaan majas perumpamaan dalam kutipan di atas terlihat pada kutipan Rupanya itu putih kuning seperti emas digasa, cahayanya seperti bulan purnama; rambutnya ikal seperti sobrah dikarang. Penggunaan majas perumpamaan dalam mendeskripsikan tokoh Raden Putra dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan kata seperti. Tokoh Raden Putra dideskripsikan sebagai seorang pemuda tampan dan gagah. Majas perumpamaan tokoh ini membandingkan rupa manusia seperti benda yang berkilau dan bersinar atau bercahaya. Majas perumpamaan tokoh ini juga membandingkan rambut manusia yang ikal seperti sobrah dikarang. Unsur estetis dalam bahasa

146 perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan rupa Raden Putra seperti emas disepuh, rupanya bercahaya seperti bulan purnama, rambutnya itu ikal seperti sobrah dikarang, dan ukuran tubuhnya itu ideal.

Bahasa Perumpamaan Tokoh Putri Huripan Bahasa perumpamaan tokoh Putri Huripan dalam Hikayat Raja Banjar digambarkan seorang bayi yang mempunyai keajaiban pada waktu dilahirkan. Tokoh Putri Huripan ketika dilahirkan diceritakan bersama rawingnya dan sudah memakai gelang, kandit, caping, dan kerocong. Intinya, tokoh Putri Huripan ketika dilahirkan sudah memakai perhiasan wanita yang lengkap. Hal itu bisa dilihat pada kutipan di bawah ini. …. Maka budak di dalam parut itu kaluar, sarta rawingnya, sarta galangnya, sarta kanditnya, sarta capingnya, sarta kakarucungnya itu. Tubuhnya putih kuning, rambutnya mamayang hanibung cahayanya saparti bulan purnama. Maka ia barkata:”Namaku ini Putri Huripan” (…. Maka bayi di dalam perut itu keluar, serta rawingnya, serta gelangnya, serta kanditnya, serta capingnya, serta kakarocongnya itu. Tubuhnya putih kuning, rambutnya memayang hanibung cahayanya seperti bulan purnama. Maka ia berkata:”Namaku ini Putri Huripan”) (Ras, 1968: 346). Dalam kutipan di atas dapat diketahui bahwa Putri Huripan dideskripsikan dengan menggunakan majas perumpamaan, yaitu cahayanya seperti bulan purnama. Lagi-lagi yang dideskripsikan pengarang Hikayat Raja Banjar yang anonim berkaitan dengan rupa seseorang. Dalam hal ini, rupa Putri Huripan pada waktu masih bayi. Dalam kutipan di atas juga terdapat pelesapan majas perumpamaan dalam kutipan rambutnya memayang hanibung. Kutipan ini dapat dimaknai secara lengkap dengan menggunakan majas perumpamaan menjadi rambutnya seperti mayang hanibung. Jadi, rambut Putri Huripan ketika masih bayi panjang seperti mayang terurai. Aspek keajaiban tokoh sangat dominan untuk mendeskripsikan tokoh ini. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan tubuh Putri Huripan ketika masih bayi yang bercahaya seperti bulan purnama.

Bahasa Perumpamaan I Tokoh Ki Mas Lelana (Raden Sekar Sungsang atau Maharaja Sari Kaburungan) Bahasa perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana dalam Hikayat Raja Banjar memang sungguh luar biasa. Tokoh Ki Mas Lelana digambarkan sebagai seorang pria yang sangat tampan sehingga membuat banyak anak dara menjadi gila, lupa makan, lupa karena sangat mengagumi ketampanan tokoh Ki Mas Lelana ini. Bayangkan saja, tokoh Ki Mas Lelana ini digambarkan dengan menggunakan majas perumpamaan seperti berjalan seperti merak menari, berdehem seperti menggertak musuh, terkejut segala yang mendengar. Hal itu bisa dilihat pada kutipan di bawah ini. …. Banyaklah anak dara yang jadi gila, lupa akan makan, lupa akan parbuatan birahi kapada Ki Mas Lalana itu: barjalan saparti marak mahigal, bardehem saparti manggatak musuh, tarkajut sagala yang mandangar, barludah, tiga dapa lajangnya. Barang laku mambari birahi kapada hati parampuan (…. Banyaklah anak dara yang jadi gila, lupa akan makan, lupa akan perbuatan birahi kepada Ki Mas Lalana itu: berjalan seperti merak menari, berdehem seperti menggertak musuh, terkejut segala yang mendengar, berludah, tiga depa jauhnya. Barang laku memberi birahi kepada hati perempuan) (Ras, 1968: 360).

147 Dalam kutipan di atas juga ditemukan majas hiperbola, yaitu berludah, tiga depa jauhnya. Bagi manusia biasa hal tersebut sangat tidak mungkin dan tidak masuk akal, akan tetapi bagi bahasa hikayat hal itu mungkin saja atau sah-sah saja. Tokoh Ki Mas Lelana dalam kutipan di atas juga diceritakan mempunyai perilaku yang bisa membuat birahi hati perempuan. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan cara berjalan Ki Mas Lelana yang seperti merak menari, cara berdehem seperti menggertak musuh, berludah tiga depa jauhnya, dan perilakunya membuat birahi kepada hati perempuan.

Bahasa Perumpamaan II Tokoh Ki Mas Lelana (Raden Sekar Sungsang atau Maharaja Sari Kaburungan) Bahasa perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana dalam Hikayat Raja Banjar di bawah ini lebih lengkap dan rinci lagi dibandingkan bahasa perumpamaan tokoh yang sama sebelumnya. Dalam bahasa perumpamaan tokoh ini terdapat tambahan majas yang lain. Majas tersebut adalah majas hiperbola. Perhatikanlah kutipan di bawah ini. …. Maka Ki Mas Lalana itu mahiringkan, barkain limar candrasari diparamas, barsabuk tali datu, karis batatah barwarangka katimaha, landean tunggul sami, barpamandak hastakona, barpanduk timbaga suasa, barsasumping surengpati. Tubuhnya kuning saparti amas digasa, rambutnya ikal saparti sobrah dikarang, tangannya lantik saparti patah, bahu bidang saparti , pinggangnya ramping sacakak malang, pupu gangsir manunggang bilalang. Barjalan saparti marak mahigal. Bardaham saparti manggatak musuh bunyinya, tarkajut orang mandangar, takut sarta kasihnya. Lamun barludah tiga dapa jauhnya. Giginya saparti mutiara. Lamun barkata suaranya nyaring bunyinya, saparti suara naga, mambari birahi parampuan hatinya gila …. (…. Maka Ki Mas Lalana itu mengiringkan, berkain limar candrasari diperemas, bersabuk tali datu, keris bertatah berwarangka katimaha, landean tunggul sami, berpemandak hastakona, berpanduk tembaga suasa, bersasumping surengpati. Tubuhnya kuning seperti emas digasa, rambutnya ikal seperti sobrah dikarang, tangannya lantik seperti patah, bahu bidang seperti wayang, pinggangnya ramping secakak malang, pupu gangsir menunggang belalang. Berjalan seperti merak menari. Berdehem seperti menggertak musuh bunyinya, terkejut orang mendengar, takut serta kasihnya. Lamun berludah tiga depa jauhnya. Giginya seperti mutiara. Lamun berkata suaranya nyaring bunyinya, seperti suara naga, memberi birahi perempuan hatinya gila ….) (Ras, 1968: 364). Dalam kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Ki Mas Lelana dideskripsikan dengan menggunakan majas perumpamaan. Hal itu terlihat pada kutipan Tubuhnya kuning seperti emas digasa, rambutnya ikal seperti sobrah dikarang, tangannya lantik seperti patah, bahu bidang seperti wayang, pinggangnya ramping secakak malang, pupu gangsir menunggang belalang. Berjalan seperti merak menari. Berdehem seperti menggertak musuh bunyinya, terkejut orang mendengar, takut serta kasihnya. …. Giginya seperti mutiara. Lamun berkata suaranya nyaring bunyinya, seperti suara naga, memberi birahi perempuan hatinya gila. Majas hiperbola terlihat pada kutipan Lamun berludah tiga depa jauhnya. Tubuh Ki Mas Lelana diumpamakan seperti emas disepuh, rambutnya ikal seperti sobrah dikarang, tangannya lentik seperti patah, bahunya bidang seperti wayang. Bila Ki Mas Lelana berjalan seperti merak menari. Bila Ki Mas Lelana berdehem seperti menggertak musuh. Gigi Ki Mas Lelana seperti mutiara. Bila Ki Mas Lelana berkata, suaranya nyaring seperti suara naga. Majas hiperbola pun dapat ditemukan pada kalimat terakhir kutipan ini, yaitu Lamun berkata suaranya nyaring bunyinya, …., memberi birahi perempuan hatinya gila. Mendengar suaranya yang nyaring saja bisa membuat birahi perempuan hatinya gila. Unsur estetis dalam bahasa

148 perumpamaan tokoh di atas terlihat dari adanya perumpamaan Ki Mas Lelana yang memiliki tubuh yang kuning seperti emas disepuh, rambut yang ikal seperti sobrah dikarang, tangannya lentik seperti patah, bahu bidang seperti wayang, cara berjalan seperti merak menari, berdehem seperti menggertak musuh, gigi yang seperti mutiara, bunyi suara yang nyaring seperti suara naga yang membuat birahi perempuan hatinya gila. Bahasa Perumpamaan Tokoh Raden Samudera Bahasa perumpamaan tokoh Raden Samudera dalam Hikayat Raja Banjar menggunakan bahasa yang biasa dan tidak melebih-lebihkan. Bahasa apa adanya ini menunjukkan bahwa pengarang Hikayat Raja Banjar tidak ingin mengulang atau menambahkan majas perumpamaan pada tokoh Raden Samudera seperti pada tokoh-tokoh sebelumnya. …. Tatapinya cahaya mukanya, rupa parduduknya, rupa pardirinya, rupa parjalannya, angkuh parkataannya, sakaliannya itu bartikas barlain lawan orang banyak. Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang manis, basarnya paradaksa, artinya sambada basarnya dan tingginya itu, barang lakunya itu barang pantas. …. (…. Tetapinya cahaya mukanya, rupa perduduknya, rupa perdirinya, rupa perjalannya, angkuh perkataannya, sekaliannya itu berbatas berlain dengan orang banyak. Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang manis, besarnya paradaksa, artinya sembada basarnya dan tingginya itu, barang lakunya itu barang pantas. ….) (Ras, 1968: 398 dan 400). Bahasa perumpamaan tokoh pada kutipan di atas tidak menggunakan kata perumpamaan, tetapi langsung merujuk pada gambaran sosok seseorang atau pendeskripsian sosok tokoh. Hal itu dapat diketahui dari kutipan Tetapinya cahaya mukanya, rupa perduduknya, rupa perdirinya, rupa perjalannya, angkuh perkataannya, sekaliannya itu berbatas berlain dengan orang banyak. Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang manis, besarnya paradaksa, artinya sembada basarnya dan tingginya itu, barang lakunya itu barang pantas. Pendeskripsikan tokoh Raden Samudera ini diceritakan apa adanya sebagai seorang raden atau bangsawan atau keturunan darah biru. Tidak ada majas perumpamaan apalagi hiperbola dalam pendeskripsian tokoh Raden Putra. Hal ini sangat berbeda dengan perumpamaan tokoh lainnya dalam Hikayat Raja Banjar. Dari deskripsi tokoh dalam kutipan di atas dapat diketahui bahwa tokoh Raden Samudera adalah orang yang tampan dan gagah. Hal itu dapat diketahui dari kutipan Ia itu rambutnya ikal, tubuhnya bangbang manis, besarnya paradaksa, artinya sembada basarnya dan tingginya itu, barang lakunya itu barang pantas. Kalau diperhatikan pemilihan kata dalam bahasa perumpamaan di atas, tentu dapat kita pahami bahwa pengarang ingin menceritakan atau mendeskripsikan tokoh seperti apa adanya. Pengarang tidak menambah majas perumpamaan seperti tokoh-tokoh Hikayat Raja Banjar sebelum Raden Samudera. Unsur estetis dalam bahasa perumpamaan tokoh di atas terlihat dari deskripsi sosok tokoh Raden Samudera yang memiliki rambut yang ikal, tubuhnya yang bangbang manis, besarnya paradaksa, dan barang lakunya barang pantas.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil dan pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan, yaitu bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar hanya terdapat pada tokoh Putri Junjung Buih, Raden Putra, Putri Huripan, Ki Mas Lelana yang menggunakan kata seperti, terkecuali tokoh Raden Samudera. Bahasa perumpamaan tokoh dalam Hikayat Raja Banjar berkaitan dengan (1) cahaya rupa, (2) cahaya tubuh, (3) rambut, (4) ukuran atau postur tubuh, (5) cara berjalan, (6) bunyi ketika berdehem, (7) tangan, (8) bahu, (9) gigi, dan (10) bunyi suara ketika berkata. Bahasa

149 perumpamaan tokoh yang paling rinci diceritakan dalam Hikayat Raja Banjar adalah perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana. Selain majas perumpamaan, dalam bahasa perumpamaan tokoh Ki Mas Lelana juga ditemukan penggunaan majas hiperbola. Saran Saran bagi peneliti selanjutnya agar melakukan penelitian-penelitian tentang majas atau gaya bahasa yang lain dalam Hikayat Raja Banjar. Penelitian lainnya yang disarankan adalah agar meneliti makna dan fungsi majas dalam Hikayat Raja Banjar. Kedua penelitian yang disarankan ini sangat penting untuk dilakukan agar majas, makna, dan fungsinya dalam Hikayat Raja Banjar tuntas dikaji secara lebih mendalam.

150 DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul. 2002. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Dharmojo. 2004. Sarana Retorika dalam Penuturan Munaba Waropen Papua. Vidya Karya, Jurnal Kependidikan dan Kebudayaan, 1(1): 84-94. Endraswara, Suwardi. 2006. Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Widyatama. Djajasudarma, T. Fatimah. 1993. Metode Linguistik, Ancangan Metode Penelitian dan Kajian. Bandung: Eresco. Eneste, Pamusuk. 1994. Kamus Sastra untuk Pelajar. Ende, Flores, NTT: Nusa Indah. Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Minderop, Albertine. 2005. Metode Karakterisasi Telaah Fiksi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Pateda, Mansoer. 1995. Kosakata dan Pengajarannya. Ende, Flores, NTT: Nusa Indah. Rafiek, Muhammad dan Anis, M. Zainal Arifin. 2004. Eksistensi Wiramartas dalam Hikayat Banjar. Wiramartas, Jurnal Sosial dan Pendidikan, 1 (1): 1-10. Rafiek, Muhammad. 2005a. Analisis Realitas Mitologis dan Realitas Ideologis dalam Naskah Hikayat Carita Raja Banjar dan Raja Kota Waringin dengan Pendekatan Strukturalisme Hermeneutika Claude Levi-Strauss. Laporan tidak diterbitkan. Banjarmasin: Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Unlam. Rafiek, Muhammad. 2005b. Analisis Realitas Mitologis dalam Naskah Hikayat Carita Raja Banjar dan Raja Kota Waringin dengan Pendekatan Strukturalisme Hermeneutika Claude Levi-Strauss. Tesis tidak diterbitkan. Banjarmasin: Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia dan Daerah, FKIP, Unlam. Rafiek, Muhammad. 2006a. Poligami dalam Hikayat Banjar. Kalimantan Scientiae, Majalah Ilmiah Universitas Lambung Mangkurat, Sosial dan Humaniora, 67 (1): 58-67. Rafiek, Muhammad. 2006b. Claude Levi-Strauss di Tengah-Tengah Para Tokoh Mitologis Banjar, Lambu Mangkurat, Putri Junjung Buih, dan Raden Putra (Pangeran Suryanata) yang Takkan Pernah Terlupakan Versus Wiramartas yang Terlupakan (Sebuah Kajian Strukturalisme Hermeneutik atas Naskah Hikayat Banjar, Suatu Historiografi Etnik). Jurnal Pendidikan & Humaniora, 5 (2): 263-279. Rafiek, Muhammad. 2011. Hikayat Raja Banjar: Kajian Jenis, Makna, dan Fungsi Mitos Raja. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 1(1): 3-27. Rafiek, Muhammad. 2012a. Hikayat Raja Banjar, Tutur Candi, dan Pararaton: Suatu Perbandingan. Jurnal Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya, 2 (1): 5-17. Rafiek, Muhammad. 2012b. Kearifan Lokal dalam Hikayat Raja Banjar. IMAN, International Journal of the Malay World and Civilisation, 30 (1): 67-104. Rani, Supratman Abdul dan Maryani, Yani. 2004. Intisari Sastra Indonesia dilengkapi dengan Gaya Bahasa, 30 Ikhtisar Roman Pilihan, dan Kamus Istilah Sastra. Bandung: Pustaka Setia.

151 Ras, Johanes Jacobus. 1968. Hikajat Bandjar. The Hague: Martinus Nijhoff. Reaske, Christopher Russel. 1966. How to Analyze Poetry. New York: Monarch Press. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa. Tarigan, Henry Guntur. 1993. Pengajaran Kosakata. Bandung: Angkasa. Zaidan, Abdul Rozak, Rustapa, Anita K., dan Hani’ah. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.

152 REPRESENTATION OF CULTURAL VALUES OF USING COMMUNITY IN BANYUWANGI FOLK SONGS (MAPPING THE MATERIAL FOR USING LANGUAGE AS LOCAL CONTENT) (REPRESENTASI NILAI-NILAI BUDAYA MASYARAKAT USING DALAM LAGU- LAGU RAKYAT BANYUWANGI (PEMETAAN BAHAN UNTUK BAHASA USING SEBAGAI MUATAN LOKAL))

Imam Suyitno dan Abdul Syukur Ibrahim Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang, Jl. Semarang 5 Malang, e-mail [email protected]

Abstract

Representation of Cultural Values of Using Community in Banyuwangi Folk Songs (Mapping the Material for Using Language as Local Content). The Using community creates folk songs in Banyuwangi to fulfill their need of artistic creativity. The creation of art products such as song is a process of creation and innovation which are motivated and influenced by its surrounding environment. Therefore, Banyuwangi folk songs have a distinctive form that is consistent with the environment and developments of the times. The variety of content and meaning of the messages in Banyuwangi folk songs reflects the variety of social orientation and cultural values of the speech community. The cultural attitude of the society which abides by the existing ethics in their environment as a strategy for adapting themselves to obtain security in their social-cultural life. Cultural values and attitudes of Using community as reflected in the songs reflects the lofty values that deserves to be taught and passed on to the younger generation of Using community.

Keywords: cultural values, using community, folk songs, local content

Abstrak

Representasi Nilai-Nilai Budaya Masyarakat Using dalam Lagu-lagu Rakyat Banyuwangi (Pemetaan Bahan untuk Bahasa Using sebagai Muatan Lokal). Masyarakat Using menciptakan lagu daerah Banyuwangi untuk memenuhi kebutuhan kreativitas seninya. Penciptaan produk seni yang berupa lagu tersebut merupakan proses kreasi dan inovasi yang didorong dan dipengaruhi oleh kondisi lingkungannya. Karena itu, lagu daerah Banyuwangi memiliki wujud yang khas sesuai dengan kebutuhan lingkungan dan tuntutan zamannya. Keberagaman isi dan makna pesan dalam lagu daerah Banyuwangi menggambarkan keberagaman orientasi sosial dan nilai-nilai budaya masyarakat penuturnya. Sikap budaya masyarakat yang patuh pada etika lingkungan merupakan strategi adaptasi untuk mendapatkan jaminan keamanan dalam kehidupan sosial budayanya. Nilai budaya dan sikap budaya masyarakat Using yang tercermin dalam tuturan lagu memuat nilai-nilai luhur yang patut diajarkan kepada generasi muda Using.

Kata-kata kunci: nilai budaya, etnik using, lagu daerah, muatan lokal

153 INTRODUCTION The Using community in their daily life is always interacting with their environment by using the traditional system continuously and they are bound by common identity in their social unity (Koentjaraningrat, 1990). They are faced by challenges and stimuli from their environments, including the challenges and stimuli from natural environment. In answering the challenges and stimuli, they, individually and collectively, have developed their culture and used it as the guidance for adapting themselves to fulfill their daily needs. One of the manifestation of cultural development is the creation of Banyuwangi folk songs. Using community creates Banyuwangi folk songs to fulfill their need for artistic creativity. The creation of art products in the form of songs is a creative and innovative process which was motivated and influenced by the environmental condition. Therefore, Banyuwangi folk songs has a distinctive form in accordance with the needs of their environment and the development of the times. Banyuwangi folk songs serve the function as symbol of cultural identity for Using community. Banyuwangi folk songs are considered identical with the characteristics and behavior of Using speech community. The form, patterns and idioms in these songs are considered as a reflection of the culture of the community. This fact is consistent with Liliweri (2003:68-71), who states that identity is always connected or related to certain localities and its community. As a cultural identity, the development of these songs is always keeping up with the development of its speech community. Kodiran (1998) explains that the patterns and expressions of art, including musical or vocal one, is a reflection of the cultural pattern of the community in question. The cultural development of communities will affect the forms of the songs that appear from year to year. Therefore, Banyuwangi folk songs from the 1970s and before is different from the ones that appears after the 1980s. The songs that are performed as part of the gandrung and angklung from the era before 1970s is different from the ones after 1980s that are more closely related to kendhang kempul and patrol orkestra. In Using community, there are several groups or social strata that have different structures, power and sense of appreciation for life. These differences result in different adaptation strategy by each groups in the community in fulfilling their needs in life. The variety of patterns and adaptation strategy of these groups are reflected in their cultural products. This implies that the variety in Banyuwangi folk songs reflects the variety in the adaptation strategy of Using community in keeping up with the demands of its environment. The Using community lives in a heterogeneous context. The heterogeneity of this community gives an impact on the social-cultural life of the Using community. Their patterns of life become more varied and dynamic so that dynamic social changes will always occur. Social change is an important part of the social structure, that is the shifts in the social patterns and interactions (Lauer, 1989:4), which in this case implies that changes will also occur in the cultural norms, values and phenomena (cf. Suparlan, 1985). Part of this social changes is the changes in the position and role of individuals and groups in social structures. This will have a strong impact on the cultural patterns and perceptions of the community, including in arts. Changes in social structure will result in shifts within a culture. The cultural shifts will make an impact on linguistic shifts. In this event, there are only two choices, that is the language can be driven aside by other languages or not. A language is driven aside when it cannot maintain its own survival (Sumarsono and Partana, 2002:231). Linguistic shifts will occur because its speech community has left the language and choose to use other language. However, if the speech community is motivated to continue using its own language then the language will survive. The survival of language will entail the survival of the culture and the shifts in a language will mean that the culture also shifts and changes.

154 In the effort to maintain the language and culture of Using community, it is necessary to collect documents of research result that can be used as reference for the formulation of policies in developing Using culture. Several collections of Banyuwangi folk songs has already been documented as part of the ethnic cultural heritage of Using community. The variety of songs that has been produced in many kinds of performance groups from year to year can be used as a basis for determining the periods of Banyuwangi folk songs. The classification of periods will strengthen the existence of Using language and culture which are unique and different from other ethnic language and culture. Based on the discussion above, this article will focus on the effort to integrate the values of Using culture in Banyuwangi folk songs into a curriculum for Using language learning as local content. Banyuwangi folk songs can be considered as a cultural product of Using community which contains local genius of Using ccommunity. Through these songs, the narrator of the song can inform and teach the values of local wisdom to the Using community. Therefore, the integration of Banyuwangi folk songs into the curriculum of Using language learning as local content can be one of the options in the effort to maintain the continuity of Using culture. In relation to the effort to obtain useful findings for the maintenance of Using culture, in the first phase, this research tried to (a) elaborate the values of Using culture as expressed in folk songs of Banyuwangi, (b) identify the values of Using culture which are relevant for the learning material for local wisdom in the curriculum for Using language learning as local content, and (c) design a curriculum for Using language learning as local content which is based on the local genius of Using community by integrating Banyuwangi folk songs.

METHOD This research is a qualitative one and uses hermeneutic approach. The data for this research is Banyuwangi folk songs, information and cultural tradition and facts of daily life of Using community and information on Using language and Banyuwangi folk songs. Data was collected from documentary study, interviews and observation. In collecting the data, the researcher as the primary instrument was supported by observation guidelines, interview guidelines, documentary study guidelines and electronic voice recorder. During data collection, the researcher carried out selection, identification, classification and categorization of data which is based on emic perspective. Data was analyzed using the hermeneutics of Ricoeur. The four aspects of research was studied closely in several levels, that is semantic, reflexive and existential level. In order to verify the findings of the research, the findings are triangulated to the experts and scholars/literati of Using culture. The elaborated data on the values of Using community which is obtained from analysis of Banyuwangi folk songs is then identified and mapped. The identification and mapping is meant to determine the cultural values relevant for the learning material for local wisdom of Using community. The result of the mapping of cultural values is then integrated to the existing curriculum for Using language as local content. By giving due attention to the themes and sub-themes in the curriculum for Using language learning, the varieties of cultural values as found by this research is integrated into relevant units. In this way, we can obtain a curriculum for Using language learning which is integrated and based on local wisdom by using Banyuwangi folk songs as teaching material.

RESULTS Using community has a distinctive set of manner and tradition which is oriented towards a value system (as a worldview) which is passed down from earlier generations until the present. In relation fo religious life, Banyuwangi folk songs express two cultural attitude of Using community

155 in relation to Divinity, that is the belief in the omnipotence of God and in certain aspects of God. In relation to divine omnipotence, they believe that God is the Almighty, meaning that God is capable of doing anything that He wills. Mankind and natural environment is under His power and will. As the Most Exalted Being, God has several aspects or nature and human beings can offer prayer to ask from Him. The belief of Using community towards God is documented in the songs, and this includes ideas on: (a) the omnipotence and perfection of God’s knowledge, (b) God’s power over fate, (c) God’s power over life and death, (d) God’s power over nature and anything that occurs in it, and (e) God’s power over human life. This is illustrated in the following quotation: .../Amit –amit kita njaluk dititeni/Kadung luput ageng alit sepurane/Ayo dulur kekurangane apikena/Wong kang nganggit kepinterane durung sampurna/... (.../We humbly request your permission/If anything amiss, whether it is big or small, we would like to apologize in advance/Let us brothers improve on our weaknesses/People who compose is never perfect in knowledge ...) This quotation shows that the narrator admits that he has many weaknesses. He realizes that his knowledge and capability is still far from perfect. His work or composition still contains many imperfection. Therefore, he is apologizing to his audience and ask for forgiveness. The values of Using perspective on divine power orients their awareness to fate. This is illustrated in the following quotation from a song entitled Lancing Tanggung: /kelayung-layung bingung awak kulo/wis pasthine paman lancing tanggung/janji urip bareng ditinggal mlaku sulung. The song tells of a young man who is miserable because he has made a vow with his lover to live together but the girl goes to marry someone else. The phrase wis pasthine (it is fated/destined) in the lyric is an illustration of the belief in a fate destined by God. When it has been destined, one must be willing to accept it. The belief in God’s power is the foundation for the belief in the aspects or nature of God, where God is seen as: (a) protector and savior of life, (b) helper of those who are in need, (c) provider of blessings to those who are willing to endeavor, (d) merciful and compassionate to His creatures, (e) just in everything, and (f) provider of guidance to mankind. This is illustrated in the following song: .../Lare-lare ilingana, eman/Prihatin mbantu wong tuweke/Sithik akeh pada nrima, eman/ Mugo-mugo ulih sawabe/ (.../Oh children, please remember, oh dearest/Diligent in helping parents/In good and bad times, willing to accept things/May such a person gain His blessings) This song expresses a didactic message that children should remember and always be mindful to help their parents, be concerned with the condition of their parents and does not complain easily, and to accept realities of life as it is so that they can receive blessings and be avoided from misfortune in their life. Such a child will be blessed by her/his parents. The prayers of the parents will always be heard and granted by God. The message of the songs expresses implicitly the belief of Using community that God is compassionate and guards the safety of mankinds. The song Tanah Kelahiran expresses the belief of Using community of God as savior. In the song, it is said ngembani kewajiban nong ibu pertiwi/njaluk puji rika mak-bapak ngumbara/. This lines tells of an individual who asked for the prayers of his/her mother and fathers because s/he is

156 about to carry out a task for the country. S/he expects the prayer from her/his mother and father for his/her safety in duty. This shows that they believe in God as the savior. The belief in the power and nature of God has grown a positive attitude among the Using community where they would not boast for their capabilities. This belief is also the basis for the willingness to accept God’s will (pasrah) for all the effort that s/he has expended. Human beings should try to succeed but only God can determine the success. In order to achieve what one wants, one must try and pray to God, as manifested in worship. In Banyuwangi folk songs, we can identify two principles of the attitude of Using community in social life, that is peaceful relation (kerukunan) and harmony. The value of peaceful relation in the social activities in the society is manifested in many forms, such as helping each other, cooperation, and maintaining the integrity of the community. This is illustrated in the following song: .../Gendhongan thek-thek kothekan/Tondho ono wong arep duwe gawe/Dulur tangga podho rukun teko/Nggowo beras ketan lan gedhang kelopo/... (The kenthongan is sounded/It is a sign that there is a family who is about to hold a ceremony/ Relatives and neighbors all come in togetherness/Bringing sticky rice and banana and coconut/ ...) The event described in the lines above is a depiction of the realities of daily life of Using community who are accustomed to helping one another. They will willingly help other people who are holding an event, without any intention to gain money or any other return. Sometimes for big events, they will help the person or family having that event for days in the house of the family. In such a condition, the person who is holding the event would be considerate, in the sense that they will give some kind of return to those who have helped them, especially those who are under financial distress. For those who are already well-off, the person holding the event would not give anything, since they understand that such a gift will be politely refused. Harmony is manifested in such attitudes as politeness, making good the promises that have been given, respecting other people’s rights, caring towards others, finding solution through compromise, being mindful of one’s own duty and being mindful for other people’s feelings. The example of lines that are related to the value of harmony is the following quotation from the song Damar Telempik: mula jebeng mula thulik, uripa kaya telempik/mbudi daya laku apik, laku ala ojo dimilik/ayo dulur tuwek enom, lanang-wadon gedhe-cilik/diniati laku apik, nong tengah dalan aja balik. This lines is an exhortation to all, both man and woman, young and old, to do good. Using people do not like to solve a problem or conflict with coercive means because it will only bring ruin to themselves. Such an attitude is expressed in the following lines from the song Bang Cilang-Cilung: Quotation (4.10) Bang cilang-cilung, kucing garong melung-melung/Bang cilang-cilung, kang direbut doyo mung belung/Bang cilang-cilung, kucing garong melang-melung/Bang cilang-cilung, sewengi japleng dibelani tarung/.../Main ramene main suwene/Asune rungu melayu marani/Kaing- kaing, meang-meong/Belung disaup kucinge ngomplong/ (Bang cilang-cilung, the sound of robber cat/Bang cilang-cilung, what they are fighting about is only bone/Bang cilang-cilung, the sound of robber cat/Bang cilang-cilung, they are fighting over it all night/.../The longer they fight the louder they scream/The dog hear it and come near/The dog barks, the cat meows/The dog grab the bone, the cats can only watch in awe)

157 The metaphorical content of this song describes a conflict or fight that has no end. The parties involved would not solve their differences peacefully and fairly. They even loudly boast their claim and defend what they regard as their right boisterously because each feels that s/he is more rightful than the other. The solution at last comes from other external parties and the quarelling parties get nothing in the end. In personal life, the Using people have many attitudes. Several attitudes are mentioned in Banyuwangi folk songs, both ethical and unethical. The attitudes include: (a) perseverance in working, (b) proactivity and creativity in working, (c) pride as an Using, (d) courage in action, (e) willingness to accept reality. These attitudes are portrayed in the songs Aring-aring and Wayah Surub. The songs portray an attitude of perseverance and endurance in facing the challenges of natural environment. The song Aring-aring describes the life of tough farmer who lives in a small hut in the midst of paddy fields when the weather is very cold. While the song Wayah Surub describes the life of a fisherman who would not give up before he gets some fish despite the late hour. Using people do not easily give up in facing the chronic unemployment that is experienced by those from the lower level of social strata. They always work hard to obtain sufficient income to fulfill their daily needs. This is expressed in the song Perawan Sunthi and Man Jen. Both song describe the difficult lives of ordinary people who earn their livelihood with difficulty but they are steadfast. They diligently do about their profession despite the tiny amount of money that they receive from it. Such an attitude is also reflected in Aring-aring and Wayah Surub. The two songs also describe the attitude of persons who are steadfast and persevere in facing natural environment. The song Aring-aring describes a farmer who are unrelenting in his spirit to live in a secluded in the midst of paddy field during a very cold weather. While the song Wayah Surub describes the spirit of fishermen who would not go back late at night before they catch some fish. In the life of Using community, the persistence in facing difficulties in work is common trait among Using people from lower economic levels. They always work hard to obtain enough livelihood to fulfill their daily needs. This is expressed in the songs Perawan Sunti and Man Jen. The two songs describes the life of common people who are always facing difficulties in earning their livelihood, but they are steadfast and do their work diligently despite the meagre amount of income that they receive. Using community is also interacting with nature. In Banyuwangi folk songs, the attitude of Using people in relation to nature can be classified into three groups based on the function or role for themselves. Based on these functions or role, the Using community see their natural environment as (a) source of human livelihood, (b) source of inspiration in dealing with problems in life, (c) source of knowledge, (d) role model in acting, (e) means to obtain happiness or recreation, (f) means of communication with God and (g) place to find protection. The attitude of Using community in their interaction with nature is expressed in the songs Aring-aring, Berantas Wereng and Nggampung. The three songs describe the life of farmers who interact with nature everyday. In the interaction, on the one hand they try to manage nature to fulfill their needs but on the other hand they also have to know what the nature requires from them. As an example, the songs quoted above that in order to obtain successful harvest, the farmer must know how much paddy to plan, when it should be planted, how to irrigate them, how much fertilizer to be used, how to prevent the insects from eating them, when to harvest, etc. This shows that nature will provide livelihood as expected by human beings only when there is a balance between the expectation and the actual work being done in the field. Based on the research findings above, it can be concluded that Banyuwangi folk songs express cultural value which are held in esteem, respected and applied as the worldview and guide for

158 living by the Using community. The variety of cultural attitude in the songs reflects the attitude which are manifested in real life in Using community. The variety of cultural attitude is manifested in ways that are congruent with their worldview. The attitude of the community towards religious, social and personal life and their relation with natural environment is based on their view of God, society, themselves and nature. From the description above, it can be concluded that the culture of Using community in religious, social, and personal life and their relation with nature is expressed through the messages in Banyuwangi folksongs. The belief of Using community in religious life is the basis for their attitude in social and personal life and for their attitude in their relation with nature. They maintain peace and harmony in their social life, maintain ethical attitude and their harmonious relationh with nature. They carry out their cultural tradition and beliefs in their daily life. Such an attitude reflects the ethics of natural environment which is applied by the Using community as a strategy for adaptation in maintaining the security of their social-cultural life. The cultural values in the songs as discussed above are lofty values that should be taught to the younger generation of Using. By inculcating the cultural values, the younger generation of Using can identify and maintain the ethnic culture of Using. In this way, the culture of Using community can be maintained and preserved in the life of the society.

DISCUSSION The description above has elaborated the cultural values of Using community in the folksongs of Banyuwangi. The cultural value which is documented and reflected in the songs is considered as the worldview of the Using community in their daily life. The songs reflect the cultural value of Using community in their religious, social, and personal life and in their relation with nature. According to Snijders (2004:143), the relation of each human individual with her/himself, with other human beings, and with nature is affirmative and at the same time paradoxical. The relation of an individual with another is leading towards unity, but each individual in their unified relationship with others will tend to manifest her/his own uniqueness. In relation to nature, human beings can only become themselves by personifying nature. Then as cultural being, human beings declare themselves as religious being. The religious dimension, according to Snijders, is said to spring from within the individuals themselves and it serves as a reflection to deepen the understanding about human beings themselves. By reflecting the religious relation with God, human beings find themselves to be withdrawn towards God. The cultural behavior of a person in her/his life in society is based on and guided by his/her worldview. Koentjaraningrat (1981) explains that worldview (pandangan hidup) is the values held by a society which have been chosen selectively by the individuals and groups in a society or community. This worldview serves as the guide for behavior which regulates, control and direct the behavior and action of individuals in society. All behavior of human beings is patterned after an order which can be described in detail according to its unique functions in society. Using community has several institutions, both in the relation to God, in the relation between human beings and other human beings, in the relation between individual and her/himself, and in the relation between human being and natural environment. These institutions are founded on concepts and way of life that have strong values since time immemorial (the remote ancestors) and passed on from generation to generation until now. According to Daldjoeni and Soeyitno (1986), the relation between individuals and other individuals, between individuals and their environment and between individuals and the Creator form an ethic of environment. The three elements are related to one another and form a unity where all must be accounted for and cannot be ignored.

159 Each society would have a different ethics of environment from another society and it would be based on the existing culture in the environment where they live. The beliefs of Using community is evident in the harmonious relations in the daily life of the community. Despite differences in religion and belief, they live peacefully. Daldjoeni and Suyitno (1986) explain that individuals living in this world have to abide by ethics which cannot be separated from religious faith. According to this ethics, human beings should be responsible towards God. In order to carry out the responsibility, Using community always perform their obligatory worship in accordance with their religion. As creatures of God, human beings according to de Vos (in Mardimin, 1994) have been created according to the image of God. Therefore, human beings should be aware of God, and this is manifested in good deeds, honesty, respect to others and mindfulness towards God by performing worship diligently. Individuals should also be responsible towards natural environment and human beings though human beings are destined to be the highest being in the created universe. As a community which is familiar with rituals, there are many among Using community whose beliefs in God’s omnipotence is manifested using certain medium to deliver their prayers to the Creator. This is illustrated in the daily life of Using community in the village of Kemiren. They still believe in the founding ancestor (cikal bakal) of the village, whom they call Eyang Buyut Cili. They would pray to the spirit of the founding ancestor as intercessor to God and to this day, many prayers have been granted, and therefore the beliefs is still strongly held by the village community. Human beings are God’s creature, but they also have social dimension in their life. Human beings tend to live together in society and have the responsibility to understand one another. Their freedom is limited by deference to other people’s freedom. They are bound by the values, legal norms and rules which serves as the foundation of their life in society. According to Sumaatmadja (2005:40-41), individuals are also expected to have the “courageous” spirit (kewiraan), which includes bravery, honesty, discipline and responsibility. Without these attitudes, individuals will be estranged from their life in society and will find it difficult to develop their potential. For the Using community, the relation between human beings have an important place so that they always have to show respect in their horizontal relation with their fellow human beings. Due to the importance of this relation, the Using community always tries to maintain good relation with their fellow human beings. This is based on the idea that human beings cannot live alone without other people. In other words, an individual in living her/his life is always dependent on other people. Based on this idea, the Using community generally always puts high value on helping each other, cooperation and lack of motivation to obtain personal gain (tanpa pamrih) in carrying out the activities in their village. Concerning the relation between human beings and nature, the attitude of a society towards nature can be approach either by using possibilism or probabilism (Sumaatmadja, 2005:73). They consider the natural environment not as the determining factor but as controlling factor. Natural environment is also considered as the source of opportunity which will impact the activities and culture of human beings. In this case, the Using community is considered to be able to make use of nature in accordance with their needs.

CONCLUSIONS The cultural attitude of Using community in religious life, social life, personal life and in their relation with natural environment is epxressed through the message in Banyuwangi folk songs. The belief of Using community in religious life is the basis of their attitude in social life, personal life and in their relation with natural environment. They always maintain their peace and harmony in 160 social life, their ethical attitude, and their harmony in the relation with natural environment. They keep their cultural tradition and beliefs in their daily life. Such a system of attitude is a reflection of the allegiance of Using community towards ethics of the environment which has been agreed upon among them as a strategy for adaptation to obtain the guarantee of security in the social-cultural life of their society. Based on the discussion above, several conclusions are in order (a) the variety of content and messages in a speech reflects the variety of social orientation and cultural values of the speech community, (b) the cultural attitude of a society which obeys the ethics of the environment is a strategy in adaptation to obtain guarantee of security in their social-cultural life, (c) cultural values and attitudes of Using community harbors lofty values which are worthy of being disseminated to the younger generation of Using community.

161 REFERENCES

Daldjoeni & Soeyitno. 1986. Pedesaan, Lingkungan, dan Pembangunan. Bandung: Penerbit Alumni. Kodiran. 1998. Kesenian dan Perubahan Masyarakat. Paper presented in Simposium Internasional Ilmu-Ilmu Humaniora in Yogyakarta on 8—9 December 1998. Koentjaraningrat. 1981. Pengantar Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 1990. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta: Aksara Baru. Lauer, R.H. 1989. Perspektif tentang Perubahan Sosial. Jakarta: Bina Aksara. Liliweri, Alo. 2003. Makna Budaya dan Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LKIS. Mardimin, Johanes. 1994. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Moderen. Yogyakarta: Kanisius. Snijders, Adelbert. 2004. Antropologi Filsafat: Manusia Paradoks dan Seruan. Yogyakarta: Kanisius. Sumaatmadja, Nursid. 2005. Manusia dalam Konteks Sosial, Budaya, dan Lingkungan Hidup. Bandung: CV Alfabeta. Sumarsono and Partana, Paina. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Suparlan, P. 1985. Kebudayaan dan Pembangunan, Makalah Seminar Kependudukan dan Pembangunan KLH di Jakarta.

162 BAHASA INDONESIA SEBAGAI IDENTITAS NASIONAL BANGSA INDONESIA (INDONESIAN LANGUAGE AS THE NATIONAL IDENTITY OF INDONESIAN)

Akhmad Yazidi Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Pakuan, Jalan Pakuan Bogor, e-mail [email protected]

Abstract

Indonesian Language as the National Identity of Indonesian. This paper discusses the history of the Indonesian language, the role of the Indonesian language in Indonesian nationalism, the position and function of the Indonesian language, both as a national language as well as the state language, the Indonesian language as well as the characteristics of their national identity. Of this section can be summarized as follows. Youth Pledge results by Indonesian Youth Congress on October 28, 1928 is the crystallization of Indonesian nationalism. Indonesian as a young man vows content plays an important role for Indonesian nationalism. Indonesian language is established and developed blood nationalism in our society who inhabit the thousands of islands in this archipelago with different tribes and languages. Indonesian language that is derived from the Malay language as one of the local languages †in the archipelago is then developed into an intermediate language (lingua franca), continues to be the national language and the official language of the State. In the position as the national language, the Indonesian language serves as (1) a symbol of national pride, (2) a symbol of national identity, (3) as the language of national unity of the various peoples of different languages †and cultures, and (4) as a lingua franca among regions and intercultural. In a position as an official language, the Indonesian language serves as (1) the official language of the state, (2) the language of instruction in educational institutions, (3) language of relationships in the implementation of national development and governance, and (4) the language of instruction in the development of science and modern technology. As the national language and official language, the Indonesian language is the language standard, open, dynamic along with the dynamics of the development of society as national. For development impact, we as Indonesian speaker demanded always open and dynamic in order to follow the development of Indonesian Indonesian language used always good and right. In addition, the community to always be positive about the Indonesian language and Indonesian language in an effort to foster the Indonesian language. Fostering the Indonesian language means to foster nationalism as well as the Indonesian language is Indonesian national identity.

Key words: Indonesian, national identity, fostering Indonesian

Abstrak

Bahasa Indonesia sebagai Identitas Nasional Bangsa Indonesia. Tulisan ini membahas tentang sejarah bahasa Indonesia, peranan bahasa Indonesia dalam nasionalisme Indonesia, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, baik sebagai bahasa nasional maupun sebagai bahasa negara, serta karakteristik bahasa Indonesia sebagai identitas nasional bangsa. Dari pembahasan ini dapat disimpulkan sebagai berikut. Sumpah Pemuda hasil oleh Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 merupakan kristalisasi dari nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah satu isi sumpah pemuda memegang peranan penting bagi nasionalisme Indonesia.

163 Bahasa Indonesia merupakan darah yang menjalin dan menumbuhsuburkan nasionalisme dalam masyarakat kita yang mendiami beribu-ribu pulau di nusantara ini dengan berbagai suku bangsa dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara ini kemudian berkembang menjadi bahasa perantara (lingua franca), terus menjadi bahasa nasional, dan bahasa resmi Negara. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa persatuan nasional dari berbagai masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan budaya, serta (4) sebagai bahasa perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di lembaga pendidikan, (3) bahasa perhubungan dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan tingkat nasional, dan (4) bahasa pengantar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang baku, terbuka, dinamis seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak pembangunan nasional.Untuk itu, kita sebagai penutur bahasa Indonesia dituntut selalu terbuka dan dinamis mengikuti perkembangan bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia yang digunakan selalu baik dan benar. Di samping itu, masyarakat agar selalu bersikap positif terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia sebagai upaya membina bahasa Indonesia. Membina bahasa Indonesia berarti juga membina nasionalisme bangsa karena bahasa Indonesia merupakan identitas nasional bangsa Indonesia.

Kata-kata kunci: bahasa indonesia, identitas nasional, membina bahasa indonesia

PENDAHULUAN Identitas nasional adalah ungkapan nilai budaya suatu masyarakat atau bangsa yang bersifat khas yang membedakannya dengan bangsa lain. Identitas nasional bukan sesuatu yang sudah selesai, tetapi terus berkembang secara kontekstual sesuai dengan perkembangan zaman. Unsur- unsur identitas nasional antara lain pola perilaku, simbol simbol, alat-alat perlengkapan, dan tujuan yang akan dicapai secara nasional, sedangkan unsur pembentuk identitas nasional meliputi sejarah, kebudayaan, suku bangsa, agama, dan bahasa (Ubaedillah dan Rozak, 2008: 19-21). Sumpah Pemuda yang dihasilkan Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 berisi tiga deklarasi tentang nasionalisme Indonesia terkait dengan kesatuan bangsa, kesatuan tanah air, dan bahasa persatuan Indonesia. Kebermaknaan Sumpah Pemuda sebagai deklarasi atas kebangsaan, tanah air, dan bahasa, karena kita bangsa Indonsia terdiri atas beribu-ribu pulau (13 ribu lebih), banyak suku bangsa (652), beratus-ratus bahasa daerah (742), serta beragam keyakinan keagamaan. Oleh karena itu, bangsa Indonesia mengenal falsafah bhinneka tunggal ika. Antara bahasa Indonesia dengan rasa kebangsaan Indonesia terdapat hubungan kejiwaan yang saling menentukan (Muslich dan Oka, 2010: 72). Bahkan dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara bahasa Indonesia dan nasionalisme kita. Kesamaan lingua franca (bahasa Melayu) antarsuku bangsa turut memicu lahirnya nasionalisme kita, dan sebaliknya nasionalisme kita memperkuat posisi bahasa Melayu sebagai lingua franca yang akhirnya menjadi bahasa nasional bangsa Indonesia. Berkaitan dengan tema tulisan ini, yaitu Bahasa Indonesia Identitas Nasional Bangsa Indonesia, permasalahan yang dibahas adalah sejarah bahasa Indonesia, peranan bahasa Indonesia dalam nasionalisme Indonesia, kedudukan dan fungsi bahasa Indonesia, karakteristik bahasa Indonesia sebagai identitas nasional bangsa. Tulisan ini dibuat sebagai hasil kajian pustaka atas topik ini.

164 PEMBAHASAN Sejarah Bahasa Indonesia Kongres II bahasa Indonesia tahun 1954 mengakui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu. Dalam catatan bahwa bahasa Melayu memiliki sejarah yang cukup panjang. Dari batu- batu bertulis yang ditemukan, seperti Kedukan Bukit, Talang Tuwo, Kota Kapur, Karang Brahi, Gandasuli, Bogor, dan Pagaruyung, maka yang paling awal bertahun 683 M. Hal ini menunjukkan bahwa sejak abad ke-7, bahasa Melayu sudah ditemukan dalam tulisan dengan aksara Pallawa (Collins, 2009: 78; Adul, 1981: 1-2). Dari bukti ini dapat diduga bahwa secara lisan beberapa abad sebelumnya bahasa Melayu sudah digunakan masyarakat penuturnya (orang Melayu). Ada 5 faktor yang mendorong tersebarnya bahasa Melayu di nusantara ini. Pertama, bahasa Melayu adalah bahasa yang digunakan oleh kerajaan Sriwijaya sebagai salah satu kerajaan di nusantara ini yang berpusat di Sumatera bagian Selatan dan Riau (Ophuijsen, 1983). Kerajaan Sriwijaya pada masanya pernah menguasai wilayah yang cukup luas di nusantara ini, sehingga bahasa Melayu sebagai bahasa kerajaan menyebar seiring dengan meluasnya wilayah kerajaan Sriwijaya. Faktor kedua, pusat kerajaan Sriwijaya merupakan wilayah pusat perdagangan internasional. Di wilayah ini terjadi pertemuan dagang antarpedagang di nusantara ini dengan pedagang yang datang dari luar nusantara. Dalam pertemuan perdagangan tersebut terjadi komunikasi dengan menggunakan bahasa Melayu sehingga secara tidak langsung para pedagang dari pelosok nusantara ini dan juga pedagang yang datang dari luar, mau tidak mau mesti berkomunikasi dalam bahasa Melayu. Faktor ketiga, pusat kerajaan Sriwijaya menjadi pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan agama Buddha. Sebagai pusat pembelajaran agama Buddha, membuat wilayah ini didatangi oleh para pembelajar agama Buddha dari berbagai wilayah, termasuk yang berasal dari Cina, Champa dan Kamboja dengan bahasa pengantar bahasa Melayu Kuno. Dalam kaitan ini terjadilah persentuhan antara penutur bahasa Melayu dengan penutur yang berbahasa asing. Sebagai pusat pendidikan, kebudayaan, dan keagamaan, intensitas hubungan berbahasa sangat kuat sehingga berdampak terhadap penguasaan dan pemakaian bahasa Melayu. Faktor keempat, letak geografis kerajaan Sriwijaya ini di selat Melaka menjadi pintu masuk para pedagang dari dan ke nusantara sehingga frekuensi dan intensitas pertemuan dan komunikasi sangat tinggi di jalur ini. Faktor kelima adalah bahasa dan sastra Melayu. Bahasa Melayu memiliki sistem bahasa yang sangat sederhana, tidak mengenal tingkat kebahasaan, serta terbuka, sehingga mudah dipelajari, sedangkan dari segi kesusastraan, sastra Melayu sudah demikian tinggi yang berarti bahwa bahasa Melayu sudah mempunyai tradisi kesusastraan yang sudah sangat baik. Kelima faktor di atas yang membuat bahasa Melayu tersebar dan digunakan di nusantara ini dalam komunikasi antarsuku dan antarbangsa, bagi kepentingan perdagangan, kebudayaan, pendidikan, dan keagamaan. Dalam kondisi ini memposisikan bahasa Melayu tidak hanya sebagai bahasa daerah, tetapi sudah menjadi bahasa perantara ‘lingua franca’ dari berbagai suku dan bangsa yang berbeda bahasa di nusantara ini. Bahkan oleh Van Ophuijsen (1983) disebutnya sebagai bahasa internasional. Pendidikan sebagai bentuk politik etis dari pemerintah Hindia Belanda di nusantara dengan bahasa pengantar adalah bahasa daerah yang bersifat lokal, bahasa Melayu, dan bahasa Belanda. Pelaksanaan pendidikan ini dapat dinikmati oleh rakyat di tanah air maupun oleh segelintir rakyat di Belanda dalam bidang hukum, kedokteran, ekonomi, dan teknik menumbuhkan benih-benih nasionalisme dalam tubuh rakyat dan masyarakat. Tumbuh rasa hak asasi sebagai manusia yang harus merdeka dari penjajahan. Rasa nasionalisme ini berpadu dengan rasa anti penjajahan yang

165 dilakukan oleh berbagai gerakan pemberontakan dan peperangan dengan berbagai tokohnya. Kristalisasi dari nasionalisme dan anti penjajahan ini dituangkan dalam satu deklarasi nasionalisme hasil Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 berupa Sumpah Pemuda. Ketika pembahasan dalam Kongres Pemuda Indonesia tersebut dijelaskan bahwa tidak ada satu pun dari para pemuda yang berasal dari semua daerah di nusantara ini yang keberatan menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan sebagai bahasa nasional Indonesia. Sumpah Pemuda dengan 3 deklarasi tersebut oleh A. Teeuw disebut sebagai pentasmiahan nama Indonesia bagi bangsa, tanah air, dan bahasa sehingga dengan peritiwa ini memposisikan bahasa Melayu menjadi bahasa persatuan dan bahasa nasional bangsa Indonesia. Pendirian Komisi Bacaan Rakyat tahun 1908 dan kemudian diubah menjadi Balai Pustaka pata tahun 1917 sebagai lembaga pemerintah Hindia Belanda yang menerbitkan dan menyediakan bahan bacaan rakyat dalam berbagai sektor kehidupan dalam bahasa Melayu membuat berkembangnya dan tersebarnya bahasa Melayu di seluruh wilayah nusantara. Demikian pula terbitnya majalah Pujangga Baru oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan kawan-kawan yang berwawasan nasionalisme dan kebudayaan modern menjadikan bahasa Indonesia sebagai media perjuangan bangsa bagi kemajuan kehidupan yang maju dan modern juga memberi andil dalam perkembangan dan pertumbuhan bahasa Indonesia. Masa pendudukan Jepang di wilayah Hindia Belanda setelah Jepang mengalahkan Belanda nusantara ini merupakan masa yang amat berarti bagi perkembangan bahasa Indonesia. Jepang sebagai penguasa baru tidak ingin segala hal yang berbau Belanda digunakan, termasuk bahasa. Jepang berkeinginan agar bahasa Jepang yang digunakan di wilayah pendudukan ini. Namun penguasaan bahasa tidak semudah menguasai suatu wilayah, penguasaan dan penggunaan bahasa memerlukan proses yang panjang. Dalam kondisi transisi ini, pertimbangan yang sangat realistis adalah digunakannya bahasa pribumi. Dalam hal ini, dipilihlah bahasa Melayu (Indonesia) sebagai bahasa dalam pemerintahan dan pendidikan atau pengajaran sehingga pada masa pendudukan Jepang ini bahasa Indonesia digunakan secara resmi sebagai bahasa pemerintahan dan pendidikan atau pengajaran. Perjuangan pergerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia, baik perlawanan fisik berupa peperangan maupun dalam bentuk politik, ditunjang pula oleh perkembangan dan kondisi wilayah Hindia Belanda di nusantara ini. Kekalahan Belanda atas Jepang dan kemudian kekalahan Jepang atas sekutu menyebabkan terjadinya kevakuman kekuasaan di wilayah Hindia Belanda ini. Kondisi ini dimanfaatkan oleh para pejuang untuk memproklamasikan diri menjadi negara dan bangsa yang merdeka dan berdaulat oleh Bapak Soekarno – Hatta atas nama rakyat Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Sidang PPKI pada tangal 18 Agustus 1945 menetapkan UUD RI 1945 serta mengangkat Ir. Soekarno dan Drs. Muh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI. Dalam UUD 1945 bab 15 pasal 36 ditetapkan bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Dengan demikian, dapat kita ketahui bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa daerah di nusantara ini, kemudian berkembang menjadi bahasa perantara ‘lingua franca’ antarmasyarakat. Kemudian Kongres Pemuda Indonesia, 28 Oktober 1928 menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan, bahasa nasional bangsa Indonesia. Setelah merdeka, bahasa Indonesia ditetapkan sebagai bahasa resmi Negara. Berkaitan dengan hal tersebut Slametmulyana mengemukakan bahwa dipilihnya bahasa Melayu yang dijadikan bahasa nasional Indonesia karena 4 faktor, yaitu (1) bahasa Melayu sudah merupakan lingua franca di nusantara. (2) sistem bahasa Melayu sederhana sehingga mudah dipelajari. (3) suku Jawa, suku Sunda, dan suku lainnya dengan suka rela menerima bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional, dan (4) bahasa Melayu mempunyai

166 kesanggupan untuk dipakai sebagai bahasa kebudayaan dalam arti luas (Arifin dan Tasai, 2008: 8). Di samping itu, Moeliono (1981: 44) mengemukakan bahwa bahasa Melayu bukan merupakan bahasa asing di nusantara, dan karena bahasa Melayu merupakan bahasa dengan penutur yang sangat kecil (4,9%) sementara bahasa Jawa digunakan oleh penutur 47% dan bahasa Sunda digunakan oleh penutur 14.5% sehingga tidak ada perasaan kalah dan menang, sehingga dalam hubungan ini, Sutan Takdir Alisjahbana mengatakan sebagai mukjizat dan Sapardi Djoko Damono menganggap sebagai keajaiban. Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu, namun bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, karena bahasa Indonesia sudah sangat berbeda dengan bahasa Melayu. Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia sangat banyak menyerap kosakata dari berbagai bahasa, baik bahasa asing maupun bahasa daerah di Indonesia. Bahasa asing yang berkontribusi dalam pengembangan bahasa Indonesia meliputi bahasa Sanskerta, bahasa India, bahasa Tamil, bahasa Portugis, bahasa Parsi, bahasa China, bahasa Jepang, bahasa Belanda, bahasa Jerman, bahasa Arab, dan bahasa Inggris, sedangkan dari bahasa daerah meliputi bahasa Jawa, bahasa Sunda, bahasa Batak, bahasa Minang, bahasa Palembang, bahasa Bugis, bahasa Banjar, bahasa dari Papua, bahasa dari Maluku, dan lain-lain.

Peranan Bahasa Indonesia Dalam Persatuan dan Kesatuan Bangsa Bahasa dan nasionalisme sangat berkaitan dan saling memegang peranan penting (Samuel, 2008: 159). Teori Jerman yang dianggap sebagai teori kuno tentang bangsa mengatakan bahwa suatu bangsa itu ditandai oleh persamaan keturunan, persamaan tempat dan dilengkapi oleh persamaan bahasa dan kepercayaan. Jadi, menurut teori ini antara bangsa dan bahasa itu terdapat hubungan yang saling menentukan, dalam arti adanya suatu bangsa itu karena adanya bahasa yang menandainya dan adanya bahasa karena adanya bangsa pemakainya (Muslich dan Oka, 2010: 67). Menurut Renan (Muslich dan Oka, 2010: 68), bangsa itu adalah suatu lembaga sosial yang tumbuh sebagai akibat pengalaman sejarah berupa perjuangan dan penderitaan dari penjajahan yang sama, yang lalu menimbulkan keinginan untuk tetap bersama pada masa-masa sekarang dan masa-masa yang akan datang (Gazalba, dalam Muslich dan Oka, 2010: 68). Bahasa adalah alat pengikat sosial yang paling kuat, kalau kita hubungkan dengan kenyataan fungsi sosial budaya bahasa itu dalam masyarakat (Vendreyes, dalam Muslich dan Oka, 2010: 68). Menurut Chase (Muslich dan Oka, 2010: 68), suatu bahasa di dalam masyarakat mempunyai 3 fungsi (1) sebagai alat komunikasi eksternal (antarwarga), (2) sebagai alat komunikasi internal (berpikir), dan (3) sebagai pembentuk pandangan hidup. Menurut Voessler (Muslich dan Oka, 2010: 71), rasa kebangsaan (nasionality) itu tergantung sekali oleh bahasa nasional itu, karena bahasa nasional itu merupakan elemen yang membentuk rasa kebangsaan suatu bangsa. Tentang peranan bahasa nasional sebagai pembentuk rasa kebangsaan dikemukakan oleh Grya (Muslich dan Oka, 2010: 71) bahwa dengan peranan bahasa sebagai alat pembentuk rasa kebangsaan maka setiap bangsa berkeinginan untuk memiliki suatu bahasa sendiri karena memiliki suatu bahasa itu sama saja dengan memiliki suatu peradaban. Voessler (Muslich dan Oka, 2010: 71) menyatakan antara rasa kebangsaan atau nasional karakter itu identik dengan bahasa nasional. Perjuangan kemerdekaan Indonesia boleh dikatakan sejajar dengan perjuangan bahasa Indonesia dalam mencapai kedudukannya atau fungsinya sebagai bahasa nasional (Alisjahbana, 1957, dalam Muslich dan Oka, 2010: 72). Antara bahasa Indonesia dengan rasa kebangsaan Indonesia terdapat hubungan kejiwaan yang saling menentukan bila ditinjau dari teori di atas (Muslich dan Oka, 2010: 72). Bahkan dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan simbiosis antara bahasa Indonesia dan nasionalisme kita. Kesamaan lingua franca (bahasa Melayu) antarsuku bangsa 167 atau bangsa turut memicu lahirnya nasionalisme kita, dan sebaliknya nasionalisme kita memperkuat posisi bahasa Melayu sebagai lingua franca yang akhirnya menjadi bahasa nasional bangsa Indonesia. Prasyarat pokok yang harus ada dalam rangka mewujudkan kesatuan bangsa adalah kesadaran nasional tentang pentingnya kesatuan bangsa bagi bangsa Indonesia yang serba majemuk ini. Dalam kaitan ini peranan bahasa Melayu sebagai bahasa per gaulan (lingua franca) dalam proses kesatuan bangsa Indonesia sangat penting (Padi, dalam Atmadi dan Setiyaningsih, 2003: 114). Dari sejarah bahasa Indonesia terlihat dengan jelas bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional mempersatukan bangsa yang demikian bhinneka karena memungkinkan komunikasi yang lancar antara anggota masyarakat, sekalipun berasal dari beraneka ragam suku bangsa. Betapa hebat peranan bahasa Indonesia untuk membawa kawan-kawan kita di daerah untuk dapat cepat turut dalam kehidupan nasional bangsa Indonesia. Persatuan nasional tersebut merupakan tonggak utama untuk terpeliharanya kemerdekaan bangsa (Suryohadiprodjo, 1980: 40). Tanpa hadirnya bahasa Indonesia sulit dibayangkan dengan alat apakah bangsa Indonesia akan mempersatukan seluruh kekuatan untuk melawan penjajah dan merebut kemerdekaan (Suwito, 1983: 483 dan Mahayana, 2008: 38). Junus (1969:40) menegaskan bahwa bahasa Indonesia adalah (a) bahasa yang digunakan dalam pergerakan kebangsaan untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, dan (b) bahasa yang digunakan pada penerbitan-penerbitan yang bertujuan untuk mewujudkan cita-cita perjuangan kemerdekaan Indonesia, baik berupa bahasa pers maupun bahasa dalam karya sastra. Sudah terbukti peran bahasa Indonesia mampu mencairkan persatuan etnik sebagai pemersatu dan membangkitkan nasionalisme. Peranan bahasa Indonesia tentu tidak lagi sebagai alat perjuangan dan sarana mempererat kesatuan bangsa, melainkan bagaimana bahasa Indonsia mampu mengangkat citra bangsa di mata dunia. Menyadari betapa penting peran kesamaan bahasa bagi terwujudnya kesatuan bangsa, maka usaha memasyarakatkan bahasa Indonesia di semua lapisan makin gencar dilakukan (Mahayana, 2008: 34). Melihat perjalanan bahasa Indonesia selepas merdeka sampai keluar SK Presiden RI No. 57 tanggal 17 Agustus 1972 tentang peresmian berlakunya Ejaan yang Disempurnakan peranan bahasa Indonsia tidak lagi sebagai alat perjuangan kebagsaan sebagaimana yang dilakukan bangsa kita selepas Sumpah Pemuda, peranannya justru memperkokoh keanekaragaman suku, adat, agama, serta bagi kemampuan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Berkaitan dengan peran bahasa Melayu (Indonesia) dalam nasionalisme bangsa Indonesia juga bisa dilihat pada pernyataan Moh. Yamin dan George MCTruman Kahin sebagai berikut. Moh. Yamin dalam pidato pada Kongres Pemuda Pemuda Indonesia, 27-28 Oktober 1928 dengan judul Persatuan dan Kesatuan Indonesia menyatakan: “Kalau saya sepuluh tahun yang berbicara tentang hal ini semuanya tentu saya gambarkan sebagai cita-cita saja. Tetapi dalam waktu yang sepuluh tahun ini sudah banyak digunakan bahasa yang dulu dinamakan bahasa Melayu sekarang sudah dikuburkan dan hidup menjelma menjadi bahasa Indonesia. Dalam kongres tahun 1926 telah saya uraikan panjang lebar bagaimana arti bahasa ini bagi kita dan tanah air kita, dan mengapa bahasa Indonesia lahir ke dunia. Segala apa yang saya katakan tiada akan saya ulang lagi, hanyalah yang saya hendak terangkan bagaimana peranan sesungguhnya bahasa Indonesia kepada persatuan kita” (Ihsan dan Soeharto, 1981: 148).

168 Menurut Kahin bahwa dalam proses sosial budaya, paling kurang ada 3 faktor yang telah menyumbang pada terciptanya rasa persatuan Indonesia, yaitu (a) agama Islam sebagai agama mayoritas rakyat, (b) kenyataan bahwa di Hindia Belanda sejak abad ke-11 bahasa Melayu telah merupakan bahasa pergaulan (lingua franca), dan (c) diperkenalkannya sistem pendidikan Belanda di awal abad ke-19" (Tomagola, dalam Maneger dan Achmad, 2010: 69). Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional menjadi penjalin kesatuan dan pengikat kekitaan Indonesia, keindonesiaan kita. Kohesi nasional mendapat perekat paling kuat karena kita memiliki bahasa Indonesia. Sumpah Pemuda 1928 memiliki arti dan makna yang dalam dan sangat filosofis bagi bangsa kita, bangsa Indonesia. Eksistensi bangsa dan negara adalah mendasar, bahasa Indonesia ada dan berkembang bersama-sama dengan ada dan berkembangnya kebangsaan Indonesia (Soekirno, 2008: 61). Bahasa Indonesia dapat dianggap sebagai realisasi terpenting pada zaman penjajahan dari cita-cita kebangkitan bangsa Indonesia sebagai suatu kesatuan dalam dunia modern serta perwujudan dari realisasi cita-cita kebudayaan modern yang berbeda dari kebudayaan tradisional yang ada sejak berabad-abad di bumi Indonesia. Dilihat dari perkembangan bahasa Indonesia dalam dunia modern yang sejalan dengan bangkitnya nasionalisme sejak zaman Renaissance, terbentuknya bahasa Indonesia dapat dikatakan sebagai suatu mukjizat yang tidak ada tandingannya dalam sejarah bahasa-bahasa (Alisjahbana, dalam Purwo, 1992: 1) dan Damono (Sweeney, dkk, 2007: xii) menganggap sebagai suatu keajaiban. Seperti dikemukakan di atas bahwa pada saat menetapkan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan dan bahasa nasional tidak mengalami hambatan psikologis dalam tubuh bangsa kita. Ketika pembahasan dalam Kongres Pemuda Indonesia tahun 1928 tidak ada satu pun wakil dari suku bangsa termasuk wakil dari Jawa dan Sunda, yang keberatan dijadikannya bahasa Melayu sebagai bahasa nasional. Berbeda dengan di Filipina, India, Pakistan, dan lain-lain saat menetapkan bahasa nasional sempat menimbulkan gejolak nasional. Dengan demikian, bahasa Melayu yang telah berabad-abad menjadi lingua franca di seluruh kepulauan ini dan telah luas dipakai dalam pergerakan kebangkitan kebangsaan, memantapkan kedudukannya mengatasi bahasa-bahasa daerah. Dengan kenyataan ini, harus kita sadari bahwa bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu yang menjadi lingua franca berabad-abad di Asia Tenggara diangkat oleh pergerakan kebangsaan Indonesia menjadi bahasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dan kemudian menjadi bahasa resmi negara Indonesia (Alisjahbana, dalam Purwo, 1992: 6). Pemasyarakatan bahasa Indonesia dalam rangka pemantapan persatuan dan kesatuan bangsa dimaksudkan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dengan tujuan agar (1) setiap warga negara Indonesia mau dan mampu berbahasa Indonesia secara baik dan benar, (2) setiap warga negara Indonesia mempunyai kebanggaan untuk menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sesama warga negara Indonesia, dan (3) setiap warga Negara Indonesia mempunyai kemampuan untuk mengerti dan menyerap pesan-pesan pembangunan serta program pemerintah. Peran yang menonjol dari bahasa Indonesia antara lain (1) bahasa Indonesia sebagai alat untuk mengkomunikasikan pesan-pesan pembangunan dan (2) bahasa Indonesia sebagai alat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Anas, dalam Alwi, dkk., 2000: 12). Bahasa Indonesia telah mampu menerjemahkan pesan dan gagasan pembangunan nasional kepada rakyat dengan jelas dan mudah dipahami. Partisipasi rakyat dalam pembangunan, meskipun masih memperlihatkan adanya keterbatasan, cukuplah kita katakan memuaskan. Selain besarnya partisipasi rakyat itu juga kita lihat tanda-tanda keberhasilan berupa mantapnya stabilitas politik dalam negeri, mantapnya Pancasila sebagai ideologi nasional, berkembangnya demokrasi,

169 dan mantapnya kesatuan dan persatuan bangsa. Kita tidak menganggap bahwa kemantapan tersebut terwujud hanya karena kita memiliki satu bahasa nasional, tetapi banyak faktor yang berperan. Bahasa Indonesia yang kita miliki paling tidak telah mampu menjadi peubah antisenden terhadap lahirnya kesatuan dan persatuan untuk kemudian melahirkan kemantapan tersebut. Tuntutan kita terhadap bahasa Indonesia untuk berfungsi sebagai pemersatu sebagai wujud jiwa kesatuan bangsa tidak berlebihan (Yogie, dalam Alwi, dkk., 2000: 39). Sebagai sumber inspirasi ke arah persatuan dan kesatuan bangsa sudah tidak diragukan, namun bahasa Indonsia bukan satu-satunya sumber, sehingga kalau tidak mendapat pembinaan dan pengembangan yang tepat akan ditinggalkan. Dalam kondisi yang tidak menguntungkan itu kualitas persatuan dan kesatuan bangsa yang diikat tanpa ikatan bahasa akan memperlihatkan penurunan kualitas karena dalam bahasa cermin cara berpikir dan cara mengandung muatan perasaan (Yoegi, dalam Alwi, dkk., 2000: 41-42). Abad ke-20 adalah abad kebangkitan nasional, abad kemerdekaan bagi bangsa Indonesia. Kunci sukses kita untuk mencapai itu tiada lain adalah persatuan. Kita mutlak membutuhkan persatuan untuk melawan penjajah, untuk mempertahankan kemerdekaan, untuk menangkal separatisme, untuk menjaga keutuhan wilayah, untuk membangun perekonomian, untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan untuk mengembangkan jati diri bangsa (Yudhoyono, 2010: 9).

Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Nasional Sudah 83 tahun kita bangsa Indonesia mengakui bahasa Indonesia sebagai bahasa Nasional. Bahasa Indonesia merupakan darah dan perekat nasionalisme bangsa Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan wahana penjalin bersemi dan bersemainya nasionalisme dalam diri anggota masyarakat kita yang tersebar pada seluruh kepulauan di nusantara ini sehingga menjadi satu keluarga bangsa Indonesia. Seminar politik bahasa nasional yang dilaksanakan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa pada bulan Pebruari 1975 dan kemudian dikukuhkan dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2009, menetapkan fungsi bahasa Indonesia dalam kedudukan sebagai bahasa nasional. Fungsi tersebut adalah (1) sebagai lambang kebanggaan nasional, (2) sebagai lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa persatuan nasional dari masyarakat yang berbeda-beda bahasa daerah, dan (4) sebagai bahasa perhubungan antarbahasa dan antarbudaya. Bahasa Indonesia sebagai lambang kebanggaan nasional merupakan ungkapan perwujudan sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia. Yang menjadi pertanyaan bagaimana sikap kita terhadap bahasa Indonesia dan bagaimana kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia. Positif atau negatifnya sikap kita, atau kebanggaan kita terhadap bahasa Indonesia tergambar pada perilaku kita dalam berbahasa Indonesia. Kalau kita masih sering mengeluhkan penggunaan bahasa Indonesia oleh masyarakat karena masih seringnya kekurangtepatan penggunaan bahasa Indonesia tersebut, baik masyarakat umum, aparatur pemerintah, pejabat negara, atau para elite partai politik dan masyarakat. Hal tersebut merupakan gambaran sikap dan rasa kebanggaan tersebut atas bahasa Indonesia. Kepedulian, rasa memiliki, dan rasa bertangung jawab merupakan faktor penentu atas sikap dan kebanggaan terhadap bahasa Indonesia tersebut. Dengan demikian, kembali kita bertanya apakah kita peduli, merasa memiliki, dan merasa bertanggung jawab terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional merupakan fungsi yang melekat pada masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, setiap anggota masyarakat kita harus bisa dan mampu berbahasa Indonesia baik secara lisan maupun tertulis. Dalam fungsi ini pernah terjadi kasus

170 penyalahgunaan kewarganegaraan Indonesia oleh warga negara asing yang menggunakan pasport Indonesia di satu Negara. Setelah dilakukan interogasi menggunakan bahasa Indonesia yang bersangkutan tidak bisa berbahasa Indonesia. Dengan kata lain bahwa orang tersebut bukan warga negara Indonesia, namun mengunakan pasport palsu Indonesia. Dengan demikian, berarti bahwa anggota masyarakat kita harus tidak ada lagi yang buta aksara dan buta bahasa Indonesia. Untuk diketahui bahwa pada saat proklamasi kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 1945 kurang dari 10% dari sekitar 85 juta penduduk yang bisa membaca dan menulis dalam bahasa Indonesia, 600 ribu orang yang duduk di SD dan 500 anak di sekolah lanjutan. Tahun 1980 hasil sensus penduduk terdata bahwa 39% anak di atas usia 5 tahun tidak bisa membaca dan menulis. Hasil sensus penduduk tahun 1990 terdata bahwa 17% penduduk berusia 5 tahun ke atas buta aksara. Pada tahun 2010 masih terdata bahwa 9 juta orang penduduk Indonesia buta aksara (Maryanto, 2011). Bahasa Indonesia sebagai wahana persatuan nasional, bahasa Indonesia tidak hanya sebagai lambang persatuan nasonal, tetapi bahasa Indonesia adalah darah persatuan nasional kita. Bahasa Indonesialah yang menjalin dan menyatukan masyarakat yang mendiami beribu-ribu pulau di nusantara ini. Bahasa Indonesia yang menyatukan masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan budaya senasib sepenanggungan mulai zaman penjajahan, masa perjuangan kemerdekaan, sampai sekarang terjalin karena bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah media perhubungan antarbudaya dan antardaerah yang berbeda- beda bahasa. Fungsi ini penekanan lebih jauh dari fungsi ketiga di atas pada aspek perhubungan antarbudaya dan antardaerah. Bahasa-bahasa daerah dan budaya-budaya daerah merupakan kekayaan dan kekuatan nasional kita. Karena itu diperlukan perekat sebagai budaya nasional, yaitu dengan bahasa Indonesia, sehingga semua bentuk budaya nasional dari berbagai daerah bisa tampil dengan menggunakan bahasa Indonesia agar dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat Indonesia.

Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Resmi Negara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang ditetapkan pada tangal 18 Agustus 1945 dan dalam Bab XV, Pasal 36 menetapkan bahwa bahasa Indonesia adalah bahasa resmi negara. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi negara ini, bahasa Indonesia mempunyai 4 fungsi, yaitu (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa resmi dalam pengajaran di sekolah, (3) bahasa resmi dalam pembangunan dan pemerintahan pada tingkat nasional, serta (4) bahasa resmi dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Berkaitan dengan fungsi bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi kenegaraan terdapat beberapa konteks yang bisa kita lihat. Dalam acara dan upacara resmi kenegaraan, baik secara lisan maupun tertulis harus menggunakan bahasa Indonesia. Demikian pula Presiden RI sebagai personfikasi kenegaraan di dalam acara-acara resmi di manapun, kapan pun, dan dengan siapa pun harus atau boleh selalu menggunakan bahasa Indonesia. Berbeda dengan para pejabat negara lainnya dalam berkomunikasi dengan pihak lain, terutama bila berkomunikasi dengan pihak negara lain, dia harus menggunakan bahasa yang bisa saling dimengerti kedua belah pihak. Demikian pula secara tertulis, semua dokumen resmi kenegaraan, semua bentuk perundang-undangan, surat- surat resmi kenegaraan, dokumen notariat di Indonesia, semuanya harus menggunakan bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar resmi dalam pendidikan dan pengajaran pada semua jenjang pendidikan. Ada dua kondisi dibolehkan tidak menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Di Sekolah Dasar kelas 1 sampai

171 dengan kelas 3 di lingkungan yang tidak mungkin digunakannya bahasa Indonesia, boleh menggunakan bahasa daerah; serta bahasa pengantar dalam pengajaran bahasa asing boleh atau harus menggunakan bahasa asing. Dalam pengajaran bahasa Inggris harus menggunakan bahasa Inggris, dan lainnya agar pengajaran efektif. Bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi dalam pembangunan dan pelaksanaan pemerintahan tingkat nasional. Di dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan pada tingkat nasional harus menggunakan bahasa Indonesia. Namun di dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan pada tingkat yang lebih rendah, terlebih pada tingkat kelurahan atau desa atau kampung boleh menggunakan bahasa daerah sesuai dengan daerahnya agar dapat dipahami oleh masyarakat di daerah yang bersangkutan. Di dalam pelaksanaan penyuluhan pembangunan di masyarakat, seperti dalam bidang pertanian, kesehatan, KB, agama, energi (seperti kasus kompor gas), atau pertanahan, dan lain-lain bisa digunakan bahasa daerah. Demikian pula, dalam penanganan berbagai masalah kemasyarakatan, krisis sosial, konflik sosial, dan berbagai permasalahan kemasyarakatan lainnya harus menggunakan bahasa yang bisa dipahami masyarakatnya. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan produk dari masyarakat maju dan modern, serta tidak termasuk dalam ranah adat dan budaya kedaerahan karena itu dalam pengembangannya harus selalu menggunakan bahasa Indonesia. Ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mengenal batas wilayah sehingga dalam pengembangannya tidak bisa menapikan penggunaan bahasa asing. Dalam kaitan ini, sudah banyak dibuat dan diterbitkan kamus bahasa Indonesia dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang bersumber dari berbagai bahasa asing. Karena itu para ilmuwan Indonesia yang bergerak dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mau tidak mau harus memiliki kemampuan penguasaan bahasa asing.

Karakteristik Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia bukan bahasa Melayu, bukan bahasa daerah, dan juga bukan bahasa asing, bahasa Indonesia adalah bahasa nasional dan bahasa resmi negara Indonesia. Bahasa Indonesia, sejak awal pembentukannya dari bahasa Melayu sangat banyak menyerap berbagai bahasa asing dan bahasa daerah. Dilihat dari sifat kebahasaan, bahasa Indonesia bersifat aglutinasi tidak bersifat derivasi, sehingga dalam proses morfologis menggunakan imbuhan berupa awalan, akhiran, dan sisipan, serta penggabungan awalan dan akhiran berupa konfiks serta simullfiks, sedangkan dalam struktur kalimat bahasa Indonesia menganut hukum DM (diterangkan – menerangkan) bukan MD (menerangkan – diterangkan). Hal ini sangat berbeda dibandingkan dengan bahasa Inggris atau bahasa Arab. Dalam kehidupan, kita berkomunikasi bisa dalam bahasa lisan dan bisa dalam bahasa tulis. Dalam situasi resmi, baik lisan maupun tulisan, kita harus menggunakan bahasa Indonesia baku (standar). Sebagai bahasa baku, menurut W. A. Stewart harus mempunyai kriteria, yaitu (a) standardization, (b) autonomy, (c) historicity, dan (d) vitality (Adul, 1981: 13). Keempat kriteria tersebut terpenuhi dalam bahasa Indonesia. Di samping itu, terdapat kriteria lainnya, yaitu kecendekiaan (intelektualisme) (Lubis, 1993: 53). Bahasa baku, menurut Moeliono (Adul, 1981: 14) berfungsi sebagai (a) pemersatu, (b) penanda kepribadian, (c) penambah wibawa, dan (d) kerangka acuan dalam berbahasa. Dalam bahasa lisan, kebakuan bahasa dapat dilihat pada aspek lafal, kosa kata, dan tata bahasa, sedangkan dalam bahasa tulis, kebakuan bahasa dapat dilihat pada aspek sistem penulisan yang mengacu pada Ejaan Yang Disempurnakan (EYD), kosa kata, dan tata bahasa. Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa berbahasa Indonesia baku itu meliputi baku dalam lafal, kosa kata, tata bahasa, dan penulisan sesuai dengan Ejaan Yang Disempurnakan. 172 Salah satu ciri bahasa baku dan modern adalah bersifat dinamis dan terbuka seiring dengan dinamika masyarakat sebagai implikasi dari modernisasi yang ditopang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi. Keterbukaan dan kedinamisan ini sudah terjadi sejak awal terbentuknya bahasa Indonesia hingga kini, karena banyak sekali bahasa asing dan bahasa daerah yang berkontribusi. Dinamika bahasa yang menonjol adalah perkembangan kosakata bagi keperluan ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam hubungan ini sudah banyak dibuat dan diterbitkan kamus istilah dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kita bangsa Indonesia merupakan masyarakat dwibahasawan bahkan multibahasawan. masyarakat kita paling sedikit bisa dalam dua bahasa dan mungkin lebih, yaitu bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Tidak sedikit pula masyarakat kita yang bisa berbahasa dalam beberapa bahasa daerah juga bisa berbahasa asing, sehingga mereka termasuk dalam kategori multibahasawan. Setiap hari, situasi dan suasana kedaerahan yang paling banyak kita jalani. Hanya pada segelintir orang ada tuntutan untuk menggunakan bahasa Indonesia baku. Seperti seorang guru atau dosen saat mengajar di kelas, atau seorang pejabat dan eksekutif lainnya ketika memimpin rapat di kantor. Jadi, tuntutan penggunaan bahasa baku dalam kehidupan kita sangat sedikit, selebihnya kita hidup dalam suasana kedaerahan. Bahkan kita bisa dipandang aneh, jika kita mengunakan bahasa Indonesia baku pada situasi informal yang menuntut suasana akrab dan personal apakah di kantor, di sekolah, dan terlebih di rumah. Demikian pula, terpaan pemakaian produk teknologi informatika berupa HP yang sudah sangat banyak digunakan oleh masyarakat, baik dalam bahasa lisan maupun bahasa tulis. Melalui sms berkembang penggunaan bahasa tulis yang tidak baku karena pesan yang disampaikan melalui sms merupakan media informal, personal, dan familiar sehingga selalu dalam bahasa yang tidak baku. Kebakuan dalam lafal mempunyai permasalahan tersendiri di masyarakat karena banyaknya dialek kebahasaan dalam berbahasa Indonesa. Dialek ini bersumber dari pengaruh bahasa daerah di dalam berbahasa Indonesia (interferensi). Kita masyarakat Indonesia lahir dan besar dalam suasana kedaerahan, sehingga hal ini sangat besar mempengaruhi dalam berbahasa Indonesia. Permasalahan menonjol dalam penggunaan bahasa lisan meliputi bunyi /e/ oleh masyarakat Batak, Papua, Maluku, dan Dayak, bunyi /t/ oleh masyarakat Bali, dan Aceh, bunyi /d/ dan /b/ oleh masyarakat Jawa, bunyi /o/ dan /e/ oleh masyarakat Banjar, bunyi /n/ dan /ng/ yang dilafalkan terbalik pada posisi akhir kata oleh orang Bugis dan Makassar, serta bunyi /f/ dan /x/ oleh sebagian masyarakat yang kurang terpelajar. Dalam tataran struktur, sering muncul dari masyarakat yang berasal dari Maluku dan Papua dengan struktur terbalik (Mahsun, 2010) serta penggunaan frase daripada, yang mana, dan dimana sebagai penghubung oleh sebagian besar masyarakat karena terpengaruh pola bahasa asing. Demikian pula, langgam yang bersifat kedaerahan yang bersumber dari bahasa daerah terjadi pada semua masyarakat. Pelafalan standar bahasa Indonesia hanya ada dalam deskripsi ilmiah tetapi kurang menjadi acuan bahan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah sehingga anak didik tidak pernah mendengar model pembelajaran lafal baku dari setiap fonem bahasa Indonesia. Permasalahan dalam pengunaan bahasa tulis meliputi penggunaan frase daripada, yang mana, dan dimana yang sering digunakan sebagai penghubung, penggunaan konfiks ke-an dan pe-an, simulfiks, di-kan, di-i, me-kan, dan me-i yang menyatukan dua kata. Demikian pula, penggunaan angka Arab dan angka Romawi yang mengarah ke bilangan bertingkat banyak terdapat kekeliruan. Selain itu, yang sangat menonjol adalah penggunaan awalan di- dan kata depan di yang disebabkan kekurangfahaman atas aturan penggunaannya dalam bahasa Indonesia.

173 Terkait dengan usaha menjaga ciri dan karakteristik bahasa Indonesia dalam menyerap setiap kosakata dalam pengembangan bahasa Indonesia sebagai media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern, selalu dilakukan adaptasi dengan karakter bahasa Indonesia, sehingga setiap kata dari berbagai bahasa yang diambil, secara struktur dan lafal disesuaikan dengan bahasa Indonesia. Cara ini dapat memelihara karakteristik bahasa Indonesia, baik dari segi lafal, kosakata, struktur, maupun penulisan. Hal ini tertuang dalam politik bahasa nasional berkaitan dengan peran bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahasa asing, pedoman Ejaan yang Disempurnakan, serta pedoman pembentukan istilah. Dalam hubungan dengan dinamika berbahasa, berkaitan dengan sikap kita sebagai penutur bahasa Indonesia, apakah positif atau negatif. Bagaimana kepedulian, rasa memiliki, dan rasa tanggung jawab atas bahasa Indonesia. Di dalam pembelajaran bahasa, ada 3 aspek yang terkait, yaitu aspek pengetahuan (kognitif), aspek keterampilan (psikomotor), dan aspek sikap (afektif). Dalam perkembangan awal antara ketiga aspek terbentuk secara runtut dimulai dari kognitif, psikomotor, dan kemudian afektif. Namun dalam perkembangan kemudian bisa diawali dan ditentukan oleh aspek afektif. Sikap ini bisa dilihat pada kesetiaan terhadap bahasa Indonesia, kebanggaan terhadap bahasa Indonesia, dan kesadaran pemakai bahasa akan norma-norma sosiokultural yang berlaku yang mendorong seseorang untuk selalu menggunakan bahasa Indonesia secara sungguh-sungguh, baik, dan santun (Rahardi, 2006). Permasalahan pemakaian bahasa Indonesia yang terjadi di masyarakat bisa disebabkan oleh sikap masyarakat yang tidak positif terhadap bahasa Indonesia dan berbahasa Indonesia sehingga dalam pemakaian bahasa Indonesia tidak mengindahkan kaidah bahasa Indonesia, apalagi ditambah dengan sangat kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap kaedah bahasa Indonesia.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Sumpah Pemuda hasil oleh Kongres Pemuda Indonesia tanggal 28 Oktober 1928 merupakan kristalisasi dari nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia sebagai salah satu isi sumpah pemuda memegang peranan penting bagi nasionalisme Indonesia. Bahasa Indonesia merupakan darah yang menjalin dan menumbuhsuburkan nasionalisme dalam masyarakat kita yang mendiami beribu-ribu pulau di nusantara ini dengan berbagai suku bangsa dan bahasa daerah. Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu sebagai salah satu bahasa daerah yang ada di nusantara ini kemudian berkembang menjadi bahasa perantara (lingua franca), terus menjadi bahasa nasional, dan akhirnya menjadi bahasa resmi Negara. Dalam kedudukan sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) lambang kebanggaan nasional, (2) lambang identitas nasional, (3) sebagai bahasa persatuan nasional dari berbagai masyarakat yang berbeda-beda bahasa dan budaya, serta (4) sebagai bahasa perhubungan antardaerah dan antarbudaya. Dalam kedudukan sebagai bahasa resmi, bahasa Indonesia berfungsi sebagai (1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di lembaga pendidikan, (3) bahasa perhubungan dalam pelaksanaan pembangunan dan pemerintahan tingkat nasional, serta (4) bahasa pengantar dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi modern.

Saran Sebagai bahasa nasional dan bahasa resmi negara, bahasa Indonesia merupakan bahasa yang baku, terbuka, dinamis seiring dengan dinamika perkembangan masyarakat sebagai dampak pembangunan nasional yang ditopang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Untuk itu

174 kita masyarakat bangsa sebagai penutur bahasa Indonesia dituntut selalu terbuka dan dinamis mengikuti perkembangan bahasa Indonesia agar bahasa Indonesia yang digunakan selalu baik dan benar. Di samping itu, masyarakat agar selalu bersikap positif terhadap bahasa Indonesia dan dalam berbahasa Indonesia sebagai upaya membina bahasa Indonsia. Membina bahasa Indonesia berarti juga membina nasionalisme bangsa karena bahasa Indonesia merupakan identitas nasional bangsa Indonesia.

175 DAFTAR RUJUKAN

Adul, M. Asfandi. 1981. Bahasa Indonesia Baku dan Fungsi Guru dalam Pembinaan Bahasa Indonesia. Surabaya: Penerbit PT Bina Ilmu. Alisjahbana, Sutan Takdir. 1992. Peranan Bahasa Indonesia dalam Modernisasi Kebudayaan Indonesia. Dalam Bambang Kaswanti Purwo, PELLBA 5. Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya. Alwi, Hasan, dkk., (Ed.). 2000. Bahasa Indonesia Menjelang Tahun 2000. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud RI. Arifin, E. Zainal dan Tasai, S. Amran. 2008. Cermat Berbahasa Indonesia untuk PT. Jakarta: Penerbit Akademika Pressindo. Collins, James T. 2009. Bahasa Sanskerta dan Bahasa Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient. Junus, Umar. 1969. Sedjarah dan Perkembangan Ke arah Bahasa Indonesia dan Bahasa Indonesia. Djakarta: Bhrata. Lubis, A. Hamid Hasan. 1993. Jenggala Bahasa Indonesia. Bandung: Angkasa. Mahayana, Maman S. 2008. Bahasa Indonesia Kreatif. Jakarta: Penaku. Mahsun. 2010. Genolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Maryanto. 2011. Prospek Keberaksaraan Bahasa Persatuan, Koran Tempo, Jakarta, 21 Oktober 2011. Moeliono, Anton M. 1981. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa: Ancangan Alternatif di Dalam Perencanaan Bahasa. Jakarta: Djambatan. Muslich, Masnur dan Oka, I Gusti Ngurah. 2010. Perencanaan Bahasa pada Era Globalisasi. Jakarta: Bumi Aksara. Padi, A. A. 2000. Integrasi Bangsa Dalam Pengajaran Sejarah. Dalam A. Atmadi dan Y. Setiyaningsih (ed.). Transformasi Pendidikan Memasuki Milenium Ketiga. Yogyakarta: Kanisius-Penerbitan Universitas Sanata Darma. Rahardi, R. Kunjana. 2006. Dimensi-Dimensi Kebahasaan, Aneka Masalah Bahasa Indonesia Terkini. Jakarta: Erlangga. Samuel, Jerome. 2008. Kasus Ajaib Bahasa Indonesia. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Soekirno, Ichary. 2008. Globalisasi dan Revolusi Saintifik dalam Keanekaragaman Umat Manusia, Budaya, dan Nilai. Bandung: Unpad Press. Suryodihadiprodjo, Sayidiman. 1980. Bahasa Indonesia sebagai Sarana Pembinaan Ketahanan Nasional. Dalam Majalah Bahasa dan Sastra, Tahun VI No.4. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia. Suwito. 1983. Sosiolinguistik, Teori dan Problema. Solo: Henary Offset. Sweeney, Amin, dkk. 2007. Keindonesiaan dan Kemelayuan dalam Sastra. Depok-Jawa Barat: Desantara.

176 Tomagola, Tamrin Amal. 2010. Pertautan Warga Bangsa Landasan Kukuh Negara. Dalam Maneger Nasution dan Nur Achmad (Ed.). Umat Beragama Mengawal NKRI – Satu Abad Kebangkitan Nasional. Jakarta: Panitia Pertemuan Besar Umat Beragama Mengawal NKRI. Ubaedillah, A. dan Rozak, Abdul. 2008. Pendidikan Kewargaan, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah dan Prenada Media Group. Van Ophuijsen, Ch. A. 1983. Tata Bahasa Melayu. Jakarta: Djambatan. Yamin, Moh. 1981. Persatuan dan Kesatuan. Dalam A. Zainoel Ihsan dan Pitut Soeharto. Aku Pemuda Kemarin di Hari Esok, Kumpulan Tulisan Asli Pidato Tokoh Pergerakan Kebangsaan 1913-1938. Jakarta: Jayasakti. Yudhoyono, Susilo Bambang. 2010. Strategi Menjadi Negara Maju Abad 21, Sambutan Presiden RI pada Silaturahmi Dengan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) dan Masyarakat Ilmiah Indonesia, Serpong, 20 Januari 2010.

177 MENGEMBANGKAN GAIRAH PESERTA DIDIK DALAM BELAJAR BAHASA INDONESIA MELALUI PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH (DEVELOPING MOTIVATION OF STUDENTS IN LEARNING INDONESIAN THROUGH PROBLEM-BASED LEARNING)

Yakobus Paluru Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Terbuka Palu, e-mail [email protected]

Abstract

Developing Motivation of Students in Learning Indonesian Through Problem-Based Learning. The world of education in Indonesia is still facing many problems. One such problem is the lack of enthusiasm of students in learning, especially learning the Indonesian. They need to get special attention from teachers, especially in the context of efforts to develop passionate learners learn. The low arousal study of students caused by many factors. One contributing factor is the learning process that does not comply with the interests of learners and less challenging to students. Educators need to examine the old paradigm of learning the system and turn it into a new paradigm that is better able to excite students to learn. Efforts to provide challenges to students can be done through changing the system of teacher-centered learning into the learning system centered on the learner. One form of change in learning systems can be implemented problem-based learning strategies.

Keywords: passion to learn, learning, problem-based

Abstrak

Mengembangkan Gairah Peserta Didik dalam Belajar Bahasa Indonesia melalui Pembelajaran Berbasis Masalah. Dunia pendidikan di Indonesia masih menampakkan banyak masalah. Salah satu problemnya adalah kurang antusiasnya siswa dalam pembelajaran, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia. Mereka ingin mendapat perhatian khusus dari guru-gurunya, khususnya dalam konteks berupaya untuk mengembangkan gairah belajar siswa. Rendahnya kegairahan belajar siswa disebabkan oleh banyak faktor. Satu faktor yang berkontribusi adalah proses pembelajaran yang tidak sesuai dengan minat para siswa dan kurang menantang untuk para siswa. Para pendidik perlu untuk melatih paradigma lama sistem pembelajaran dan memasukkannya ke dalam paradigma baru yang lebih mungkin untuk membangkitkan gairah para siswa untuk belajar. Upaya-upaya untuk memberikan tantangan pada para siswa dapat dilaksanakan melalui perubahan sistem guru-pusat pembelajaran menjadi sistem pembelajaran yang berpusat pada siswa. Satu bentuk perubahan dalam sistem pembelajaran dapat diimplementasikan dalam strategi pembelajaran berbasis masalah.

Kata-kata kunci: gairah belajar,pembelajaran, berbasis masalah

PENDAHULUAN Pendidikan di Indonesia masih menampung banyak masalah. Program pemerataan dan peningkatan kualitas pendidikan belum menampakkan hasil sebagaimana yang diharapkan. Jumlah anak usia pendidikan dasar yang berada di luar sistem pendidikan nasional masih sangat besar. Kualitas pendidikan pun masih relatif rendah. Di pihak lain, tantangan di berbagai bidang

178 kehidupan semakin berat. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang informasi, komunikasi, dan transportasi sangat pesat, eskalasi pasar bebas antarnegara dan bangsa semakin meningkat, dan iklim kompetisi di berbagai aspek kehidupan semakin ketat. Masih banyak lagi masalah lain yang memerlukan penyelesaian seperti demokratisasi, hak asasi manusia, serta penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang adil dan terbuka. Sejumlah masalah tersebut perlu mendapatkan perhatian secara sungguh-sungguh di kalangan para penentu kebijakan dan persona di bidang pendidikan. Para pendidik perlu mengkaji kembali paradigma sistem pendidikan yang selama ini menjadi acuan dalam penyelenggaraan pendidikan dan menggagas paradigma baru yang sesuai untuk pendidikan kita. Paradigma lama yang bertumpu pada konsepsi analisis masukan-keluaran perlu diubah menjadi paradigma yang lebih sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman. Proses pendidikan tidak hanya membekali dan melatih peserta didik untuk bisa bekerja, tetapi membekali dan melatih peserta didik untuk bisa hidup. Pembelajaran dituntut dapat menghasilkan lulusan yang memiliki kecakapan personal, kecakapan sosial, dan kecakapan akademik dan vokasional. Sikap-sikap yang diperlukan untuk ini adalah keterbukaan, fleksibilitas, dan prinsip dasar hidup dalam konteks sosial yang meliputi kepekaan, kemandirian, dan tanggung jawab. Paradigma lama tentang belajar yang cenderung menekankan pada teori ekonomi perlu diubah menjadi paradigma baru yang menekankan pada perubahan potensi diri melalui interaksi yang kreatif dan dinamis. Paradigma yang memandang bahwa masukan diperbaiki, keluaran secara otomatis akan menjadi baik tidak dapat dipertahankan karena masukan pendidikan tidak dapat disikapi sebagai masukan yang statis. Masukan pendidikan adalah masukan yang dinamis yang banyak dipengaruhi oleh faktor proses dan konteks pendidikan. Karena itu, dalam proses pendidikan, faktor proses dan konteks tersebut harus dipertimbangkan selain pertimbangan terhadap masukan dan keluaran pendidikan.

PEMBAHASAN Membangkitkan Gairah Belajar Bahasa Belajar pada hakikatnya merupakan kegiatan interaksi untuk mengubah potensi menjadi pancaran dahsyat keunikan diri. Interaksi tersebut akan terjadi jika terdapat hubungan antara sesuatu yang sudah dipahami dengan sesuatu yang baru. Melalui peristiwa belajar tersebut, diri peserta didik akan mengalami perubahan ke arah diri yang lain dan baru. Jika pembelajaran tidak mampu mengubah diri peserta didik, pembelajaran itu sia-sia. Karena itu, proses menciptakan hubungan antara pengetahuan lama yang telah dimiliki peserta didik dengan perihal baru yang akan dipelajari merupakan aktivitas penting dalam proses pembelajaran. Belajar bahasa adalah belajar berbahasa, artinya berpraktik menggunakan bahasa sesuai dengan fungsi dan maknanya dalam komunikasi. Karena itu, belajar bahasa terjadi dalam suatu kegiatan interaksi belajar-mengajar bahasa. Aktivitas interaksi pembelajaran bahasa memiliki karakteristik yang berbeda dengan aktivitas interaksi pembelajaran mata pelajaran lainnya. Karakteristik aktivitas interaksi belajar-mengajar bahasa disajikan berikut ini. (1)Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar berpusat pada peserta didik. Artinya, peserta didik yang harus aktif dalam melaksanakan praktik penggunaan bahasa. Keterlibatan peserta didik dalam kegiatan belajar-mengajar merupakan salah satu karakteristik yang menonjol dari interaksi pembelajaran. Dalam aktivitas belajar, peserta didik berperan sebagai (a) peneliti, yakni melakukan eksplorasi objek, peristiwa, orang, atau

179 konsep, (b) pemagang kognitif, yakni menghaluskan kognitifnya melalui proses magang, dan (c) penghasil pengetahuan, yakni menyintesis pengetahuan dan keterampilan. (2)Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah secara langsung pada latihan atau praktik penggunaan bahasa baik secara lisan maupun tulis. Praktik penggunaan bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam pengajaran bahasa, karena pengajaran yang hanya difokuskan pada pemahaman kaidah bahasa tidak akan berpengaruh pada performansi aktual baik dalam berbicara maupun menulis. (3)Aktivitas yang dilaksanakan dapat membina dan mengarahkan kemampuan peserta didik dalam memilih dan menata bahasanya sesuai dengan faktor-faktor penentu tindak komunikasi. Faktor-faktor yang dimaksudkan meliputi siapa partisipan wicara, untuk tujuan apa, dalam situasi bagaimana, dalam konteks apa, dengan jalur dan media mana, dan dalam peristiwa apa. (4)Aktivitas yang dilaksanakan dalam kegiatan belajar-mengajar mengarah pada kreativitas penggunaan bahasa bukan hanya penggunaan bahasa yang bersifat mekanik. Aktivitas yang dilaksanakan harus benar-benar memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menggunakan bahasa secara kreatif dengan jalan bebas memilih apa yang akan diungkapkan dan bagaimana mengungkapkannya. Latihan-latihan yang bersifat mekanik harus diminimalkan karena tidak memberikan kesempatan pada peserta didik untuk berkreasi dalam memilih dan menata bahasanya sendiri. Agar aktivitas interaksi belajar-mengajar sebagaimana yang telah diuraikan di atas dapat dicapai, setiap guru bahasa harus dapat berperan sebagai individu yang mampu memberikan bimbingan, memantau kegiatan peserta didik, menciptakan latihan-latihan kreatif, dan dalam kesempatan yang lain dapat bertindak sebagai teman komunikasi bersama-sama dengan peserta didik. Interaksi dalam kegiatan belajar-mengajar berasal dari dan terletak pada peserta didik. Peserta didik harus mendapat kesempatan dalam interaksi komunikatif yang bermakna. Dalam hal ini peserta didik berperan sebagai subjek didik, sedangkan guru bertindak sebagai penyuluh, penganalisis kebutuhan, dan pembimbing peserta didik dalam berlatih berkomunikasi secara wajar. Satu hal lagi yang perlu mendapat perhatian adalah kegiatan-kegiatan yang direncanakan dalam kegiatan belajar-mengajar harus sesuai dengan kebutuhan peserta didik. Kegiatan yang sesuai dengan kebutuhan peserta didik akan membangkitkan gairah belajar peserta didik. Gairah yang tinggi akan dapat meningkatkan keberhasilan peserta didik dalam belajar. Hal ini terjadi karena dengan semangat yang tinggi, peserta didik terdorong untuk mengetahui, kemudian melakukan sesuatu untuk dapat menerima apa yang ingin diketahuinya tersebut. Peningkatan gairah peserta didik dalam belajar dapat dilihat pada adanya keterlibatan secara aktif peserta didik terhadap hal-hal yang dipelajarinya. Sebaliknya, pengajaran yang kurang sesuai dengan kebutuhan peserta didik akan sangat membosankan, sehingga motivasi belajar peserta didik menjadi rendah. Gairah belajar peserta didik dapat dibangun melalui tugas-tugas belajar yang bermakna dalam kehidupan peserta didik. Tugas-tugas tersebut merupakan tugas yang menantang, yakni tugas yang merentang keterampilan berpikir dan keterampilan sosial peserta didik. Selain itu, tugas yang diberikan kepada peserta didik hendaknya tugas yang otentik, yakni tugas nyata yang menyatu dengan pengalaman hidup sehari-hari peserta didik. Dalam situasi tertentu, untuk meningkatkan kegairahan peserta didik dalam belajar, guru bahasa Indonesia dapat bekerja sama dengan guru mata pelajaran lainnya untuk memberikan tugas yang terintegrasi atau interdisipliner, yakni tugas yang merupakan pemaduan beberapa mata pelajaran.

180 Kegairahan hidup peserta didik dalam kehidupan di luar sekolah dapat dijadikan sebagai acuan dalam menggairahkan belajar peserta didik dalam pembelaajaran bahasa Indonesia. Keragaman, kefleksibelan, dan kesamaan yang ada dalam kehidupan nyata di masyarakat digunakan sebagai dasar pembentukan kelompok kerja peserta didik dalam memecahkan permasalahan belajar. Karena itu, dalam pengelompokan peserta didik dalam belajar, guru harus mempertimbangkan prinsip (a) keberagaman, yakni keberagaman dalam hal jenis kelamin, kultur, etnis, agama, gaya belajar, kemampuan, dan lain-lain, (b) kefleksibelan, yakni kelenturan dalam pembentukan kelompok yang tersusun sesuai dengan tujuan belajar, dan (c) kesamaan, yakni pemerlakuan peserta didik secara adil.

Pembelajaran Berbasis Masalah Dalam kehidupan di masyarakat, anak-anak selalu menghadapi berbagai persoalan. Persoalan tersebut ada yang datang dari teman, lingkungan, ataupun dari dirinya sendiri. Mereka berusaha secara aktif dan kreatif untuk memecahkan persoalan tersebut. Kadang-kadang mereka juga mengalami konfrontasi dengan temannya dalam mengatasi persoalan hidupnya itu. Mereka berusaha mengerahkan segala potensinya untuk tetap dapat hidup dan meraih harapan sesuai dengan yang dicita-citakan. Karena itu, kegairahan hidup melalui upaya memecahkan dan mengatasi masalah tersebut dapat dijadikan model pembelajaran yang menggairahkan. Pembelajaran berbasis masalah (PBM) termasuk salah satu model pembelajaran yang dapat menciptakan kondisi belajar peserta didik lebih aktif dan kreatif. Melalui PBM, peserta didik terlibat secara aktif dalam pemecahan masalah secara sistematis sesuai dengan metode ilmiah sehingga peserta didik dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki keterampilan untuk memecahkan masalah. Melalui PBM, peserta didik dikonfrontasikan secara positif dengan masalah-masalah praktis melalui stimulus dalam belajar (Dasna, 2005). PBM memiliki beberapa karakteristik di antaranya adalah (1) memulai belajar dengan suatu masalah, (2) memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata peserta didik, (3) mengorganisasikan pelajaran di seputar masalah, bukan di seputar disiplin ilmu, (4) memberikan tanggung jawab yang besar kepada peserta didik dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, (5) menggunakan kelompok kecil, dan (6) menuntut peserta didik untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka peserta didiki dalam bentuk produk atau kinerja. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dikemukakan bahwa pembelajaran dengan model PBM dimulai oleh adanya masalah (dapat dimunculkan oleh peserta didik atau guru), kemudian peserta didik memperdalam pengetahuannya tentang apa yang telah diketahui dan apa yang perlu diketahui untuk memecahkan masalah tersebut. Peserta didik dapat memilih masalah yang dianggap menarik untuk dipecahkan sehingga mereka terdorong berperan aktif dalam belajar. Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan peserta didik melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada peserta didik seperti kerja sama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti memahami masalah, mengidentifikasi masalah, merancang kegiatan pemecahan masalah, mengumpulkan informasi dari berbagai rujukan, menginterpretasikan jawaban masalah, membuat simpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBM dapat memberikan pengalaman yang kaya kepada peserta didik. Dengan kata lain, penggunaan PBM dapat meningkatkan pemahaman peserta didik tentang apa yang mereka peserta didiki sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari. 181 Pentingnya Pembelajaran Berbasis Masalah PBM merupakan model pembelajaran yang berorientasi pada kerangka kerja teoritik konstruktivisme. Dalam PBM, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga peserta didik tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah, tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah. Oleh sebab itu, peserta didik tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian, tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan keterampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis. Bila pembelajaran yang dimulai dengan suatu masalah, apalagi kalau masalah tersebut bersifat kontekstual, dapat terjadi ketidaksetimbangan kognitif pada diri peserta didik. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan di sekitar masalah seperti “apa yang dimaksud dengan....”, “mengapa bisa terjadi....”, “bagaimana mengetahuinya...” dan seterusnya. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri peserta didik, motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh. Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator untuk mengarahkan peserta didik tentang “konsep apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah”, “apa yang harus dilakukan” atau “bagaimana melakukannya” dan seterusnya. Dari paparan tersebut dapat diketahi bahwa penerapan PBM dalam pembelajaran dapat mendorong peserta didik mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri. Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari karena berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada cara dia membelajarkan dirinya. Hasil belajar yang diperoleh peserta didik melalui PBM dapat dipilah menjadi tiga, yaitu (1) keterampilan melakukan pemecahan masalah melalui kegiatan inkuiri, (2) keterampilan belajar sesuai dengan perilaku orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) keterampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Peserta didik yang melakukan inkuiri dalam pembelajaran akan menggunakan keterampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill), yakni mereka akan melakukan aktivitas mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan rasionalisasi. PBM juga bertujuan untuk membantu peserta didik belajar secara mandiri. Lingkungan belajar yang konstruktivistik diperlukan dalam pembelajaran melalui PBM. Lingkungan belajar konstruktivistik mencakup beberapa faktor berikut ini. a) Adanya keterkaitan antarkasus Kasus-kasus yang berhubungan dapat membantu peserta didik untuk memahami pokok- pokok permasalahan secara implisit. Kasus-kasus berhubungan dapat membantu peserta didik belajar mengidentifikasi akar masalah atau sumber masalah utama yang berdampak pada munculnya masalah yang lain. Kegiatan belajar seperti itu dapat membantu peserta didik meningkatkan kemampuan berpikir kritis yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. b) Adanya fleksibilitas kognisi Fleksibilitas kognisi merepresentasi materi pokok dalam upaya memahami kompleksitas yang berkaitan dengan domain pengetahuan. Fleksibelitas kognisi dapat ditingkatkan dengan memberikan kesempatan bagi peserta didik untuk memberikan ide-idenya, yang menggambarkan pemahamannya terhadap permasalahan. Fleksibelitas kognisi dapat menumbuhkan kreativitas berpikir luas (divergent) dalam mempresentasikan masalah. Dari masalah yang ditetapkan, peserta didik dapat mengembangkan langkah-langkah pemecahan masalah dan dapat mengemukakan ide pemecahan yang logis. Ide-ide tersebut dapat didiskusikan dahulu dalam kelompok kecil sebelum dilaksanakan.

182 c) Tersedianya sumber informasi Sumber-sumber informasi bermanfaat bagi peserta didik dalam menyelidiki permasalahan. Informasi dikonstruksi dalam model mental dan perumusan hipotesis yang menjadi titik tolak dalam memanipulasi ruang permasalahan. Dalam konteks belajar bahasa, pengetahuan peserta didik terhadap masalah yang dipecahkan dapat digunakan sebagai acuan awal dan dalam penelusuran bahan pustaka sesuai dengan masalah yang mereka pecahkan. d) Tersedianya bantuan kognitif Bantuan kognitif merupakan bantuan bagi peserta didik untuk meningkatkan kemampuan menyelesaikan tugas-tugasnya. Cognitive tools membantu peserta didik untuk merepresentasi apa yang diketahuinya atau apa yang dipelajarinya, atau melakukan aktivitas berpikir melalui pemberian tugas-tugas. e) Adanya pemodelan dinamis Pemodelan yang dinamis adalah pengetahuan yang memberikan cara-cara berpikir dan menganalisis, mengorganisasi, dan memberikan cara untuk mengungkapkan pemahaman mereka terhadap suatu fenomena. Pemodelan membantu peserta didik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan, “apa yang saya ketahui” dan “apa artinya”. f) Adanya peluang percakapan dan kolaborasi Percakapan dan kolaborasi dilakukan dengan diskusi dalam proses pemecahan masalah. Diskusi secara tidak resmi dapat menumbuhkan suasana kolaborasi. Diskusi intensif yang di dalamnya terjadi proses menjelaskan dan memperhatikan penjelasan peserta diskusi dapat membantu peserta didik mengembangkan komunikasi ilmiah, argumentasi yang logis, dan sikap ilmiah. g) Adanya dukungan sosial dan kontekstual Dukungan sosial dan kontekstual berhubungan dengan kondisi yang menjadikan masalah (yang menjadi fokus pembelajaran) dapat membuat peserta didik termotivasi untuk memecahkannya. Dukungan sosial dalam kelompok ini penting dalam menumbuhkan kondisi yang saling memotivasi antarpeserta didik. Suasana kompetitif antarkelompok juga dapat mendukung kinerja kelompok. Dukungan sosial dan kontekstual hendaknya dapat diakomodasi oleh guru untuk menyukseskan pelaksanaan pembelajaran. Berdasarkan uraian di atas, dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. 1 Melalui PBM pembelajaran menjadi lebih bermakna. Peserta didik yang belajar memecahkan suatu masalah akan menerapkan pengetahuan yang dimilikinya atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Artinya belajar tersebut ada pada konteks aplikasi konsep. Belajar dapat semakin bermakna dan dapat diperluas ketika peserta didik berhadapan dengan situasi diterapkannya konsep tersebut. 2 Dalam situasi PBM, peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. Artinya, apa yang dilakukan oleh peserta didik sesuai dengan keadaan nyata bukan lagi teoritis sehingga masalah-masalah dalam aplikasi suatu konsep atau teori akan ditemukan oleh mereka selama pembelajaran berlangsung. 3 PBM dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis, menumbuhkan inisiatif peserta didik dalam bekerja, menumbuhkan motivasi intrinsik untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

183 Gejala umum yang terjadi pada peserta didik pada saat ini adalah “malas berpikir” mereka cenderung menjawab suatu pertanyaan dengan cara mengutip dari buku atau bahan pustaka lain tanpa mengemukakan pendapat atau analisisnya terhadap pendapat tersebut. Bila keadaan ini berlangsung terus, peserta didik akan mengalami kesulitan mengaplikasikan pengetahuan yang diperolehnya di kelas dengan kehidupan nyata. Dengan kata lain, pelajaran di kelas adalah untuk memperoleh nilai ujian dan nilai ujian tersebut belum tentu relevan dengan tingkat pemahaman mereka. Oleh sebab itu, model PBM merupakan alternatif yang dapat menjadi salah satu solusi untuk mendorong peserta didik berpikir dan bekerja dan tidak hanya menghafal dan bercerita.

Tahap-tahap Pembelajaran Berbasis Masalah Penerapan PBM dimulai dengan adanya masalah. Masalah tersebut harus dipecahkan atau dicari pemecahannya oleh peserta didik. Masalah tersebut dapat berasal dari peserta didik atau mungkin juga diberikan oleh guru. Peserta didik akan memusatkan pembelajaran di sekitar masalah tersebut, dengan arti lain, peserta didik belajar teori dan metode ilmiah agar dapat memecahkan masalah yang menjadi pusat perhatiannya. Pemecahan masalah dalam PBM harus sesuai dengan langkah-langkah yang diterapkan dalam metode ilmiah. Peserta didik belajar memecahkan masalah secara sistematis dan terencana. Oleh sebab itu, penggunaan PBM dapat memberikan pengalaman belajar melakukan kerja ilmiah kepada peserta didik. Langkah-langkah pemecahan masalah dalam pembelajaran berbasis masalah paling sedikit ada delapan tahapan, yaitu (1) mengidentifikasi masalah, (2) mengumpulkan data, (3) menganalisis data, (4) memecahkan masalah berdasarkan data yang ada dan analisisnya, (5) memilih cara untuk memecahkan masalah, (6) merencanakan penerapan pemecahan masalah, (7) melakukan ujicoba terhadap rencana yang ditetapkan, dan (8) melakukan tindakan untuk memecahkan masalah. Empat tahap pertama diperlukan untuk berbagai kategori tingkat berpikir, sedangkan empat tahap berikutnya harus dicapai bila pembelajaran dimaksudkan untuk mencapai keterampilan berpikir tingkat tinggi. Langkah mengidentifikasi masalah merupakan tahapan yang sangat penting dalam PBM. Pemilihan masalah yang tepat agar dapat memberikan pengalaman belajar yang mencirikan kerja ilmiah sering menjadi “masalah” bagi guru dan peserta didik. Artinya, pemilihan masalah yang kurang luas, kurang relevan dengan konteks materi pembelajaran, atau suatu masalah yang sangat menyimpang dengan tingkat berpikir peserta didik dapat menyebabkan tidak tercapainya tujuan pembelajaran. Oleh sebab itu, sangat penting adanya pendampingan oleh guru pada tahap ini. Walaupun tidak melakukan intervensi terhadap masalah, guru dapat memfokuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan agar peserta didik melakukan refleksi lebih dalam terhadap masalah yang dipilih. Dalam hal ini, guru harus berperan sebagai fasilitator agar pembelajaran tetap pada bingkai yang direncanakan. Suatu hal yang sangat penting untuk diperhatikan dalam PBM adalah pertanyaan berbasis why bukan sekadar how. Oleh karena itu, setiap tahap dalam pemecahan masalah, keterampilan peserta didik dalam tahap tersebut hendaknya tidak semata-mata keterampilan how, tetapi kemampuan menjelaskan permasalahan dan bagaimana permasalahan dapat terjadi. Tahapan dalam proses pemecahan masalah digunakan sebagai kerangka atau panduan dalam proses belajar melalui PBM. Namun, yang harus dicapai pada akhir pembelajaran adalah kemampuan untuk memahami permasalahan dan alasan timbulnya permasalahan serta kedudukan permasalahan tersebut dalam tatanan sistem yang sangat luas.

184 Ada lima fase pelaksanaan PBM dalam pembelajaran. Fase-fase yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. Fase 1: Mengorientasikan peserta didik pada masalah Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBM, tahapan ini sangat penting. Dalam hal ini, guru harus menjelaskan dengan rinci kegiatan yang harus dilakukan oleh peserta didik dan juga oleh guru. Di samping proses yang akan berlangsung, perlu juga dijelaskan cara evaluasi yang akan dilakukan oleh guru dalam proses pembelajaran. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan motivasi agar peserta didik dapat engage dalam pembelajaran yang akan dilakukan. Sutrisno (2006) menekankan empat hal penting pada proses ini, yaitu (1) tujuan utama pengajaran ini tidak untuk mempelajari sejumlah besar informasi baru, tetapi lebih kepada belajar bagaimana menyelidiki masalah-masalah penting dan bagaimana menjadi peserta didik yang mandiri, (2) permasalahan dan pertanyaan yang diselidiki tidak mempunyai jawaban mutlak “benar”, sebuah masalah yang rumit atau kompleks mempunyai banyak penyelesaian dan sering bertentangan, (3) selama tahap penyelidikan, peserta didik didorong untuk mengajukan pertanyaan dan mencari informasi, sedangkan guru akan bertindak sebagai pembimbing yang siap membantu, dan (4) selama tahap analisis dan penjelasan, peserta didik akan didorong untuk menyatakan ide-idenya secara terbuka dan penuh kebebasan. Semua peserta didik diberi peluang untuk menyumbang kepada penyelidikan dan menyampaikan ide-ide mereka. Fase 2: Mengorganisasikan peserta didik untuk belajar Disamping mengembangkan keterampilan memecahkan masalah, PBM juga mendorong peserta didik belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerja sama dan sharing antaranggota. Oleh sebab itu, guru dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok peserta didik yang tiap-tiap kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda. Prinsip-prinsip pengelompokan peserta didik dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antaranggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru perlu penting memonitor dan mengevaluasi kerja tiap-tiap kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran. Setelah peserta didik diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar, guru dan peserta didik menetapkan sub-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal. Tantangan utama bagi guru pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua peserta didik aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut. Fase 3: Membantu penyelidikan mandiri dan kelompok Penyelidikan adalah inti dari PBM. Kegiatan yang dilakukan pada fase ini meliputi mengumpulkan data dan melakukan eksperimen, berhipotesis dan membuat penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru harus mendorong peserta didik untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan. Tujuannya adalah agar peserta didik mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri. Pada fase ini, peserta didik seharusnya lebih dari sekedar membaca masalah-masalah dalam buku-buku. Guru perlu membantu peserta didik untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber. Guru hendaknya

185 mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong peserta didik untuk berpikir tentang masalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan. Setelah peserta didik mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang diselidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelasan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru mendorong peserta didik untuk menyampaikan ide-idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat peserta didik berpikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan. Pertanyaan- pertanyaan berikut kiranya cukup memadai untuk membangkitkan semangat penyelidikan bagi peserta didik. “Apa yang Anda butuhkan agar Anda yakin bahwa pemecahan dengan cara Anda adalah yang terbaik?” atau “Apa yang dapat Anda lakukan untuk menguji kelayakan pemecahanmu?” atau “Apakah ada solusi lain yang dapat Anda usulkan?”. Oleh karena itu, selama fase ini, guru harus menyediakan bantuan yang dibutuhkan tanpa mengganggu aktivitas peserta didik dalam kegaitan penyelidikan. Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan artifak (hasil karya) dan memamerkannya Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan artifak (hasil karya) dan pameran. Artifak lebih dari sekadar laporan tertulis, tetapi bisa berupa videotape (menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan artifak sangat dipengaruhi tingkat berpikir peserta didik. Langkah selanjutnya adalah memamerkan hasil karyanya dan guru berperan sebagai organisator pameran. Akan lebih baik jika dalam pemeran ini melibatkan peserta didik-peserta didik lainnya, guru-guru, orang tua, dan lainnya yang dapat menjadi “penilai” atau memberikan umpan balik. Fase 5: Analisis dan evaluasi proses pemecahan masalah Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBM. Selama fase ini guru meminta peserta didik untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya. Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang? Tentunya masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan untuk memberikan umpan balik dan menginvestigasi kelemahan dan kekuatan PBM untuk pengajaran.

Pembelajaran Bahasa Indonesia Berbasis Masalah PBM dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa, khususnya pembelajaran bahasa Indonesia. PBM memiliki manfaat besar dalam melatih kreativitas, daya pikir, dan kemandirian peserta didik. PBM dapat digunakan sebagai alat yang melatih peserta didik untuk memecahkan masalah. PBM menggunakan suatu kerangka kerja yang menekankan bagaimana para peserta didik merencanakan suatu kegiatan untuk menjawab sederet pertanyaan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut di antaranya adalah “what do I know”, “what do I need to know”, “what do I need to learn”, dan “how do I measure or describe the result”. Selama fase merancang kegiatan berbasis masalah, para peserta didik mengidentifikasi berbagai persoalan dan menyusun suatu daftar setiap tahap kegiatan yang akan dilakukan. 186 Sebagai salah satu alternatif strategi pembelajaran, PBM dapat diterapkan untuk melatih peserta didik bekerja secara mandiri dan menggunakan potensi serta kreativitasnya dalam proses pembelajaran. Dalam aktivitas pembelajaran, peserta didik mendapat porsi dan peluang besar untuk berlatih menggunakan daya pikir dan keterampilannya dalam menyerap dan menguasai materi ajar yang dipelajarinya. Hal ini sesuai dengan ruh pembelajaran bahasa, yakni melatih dan membelajarkan peserta didik terampil dan mahir berbahasa. Anak yang terampil dan mahir berbahasa adalah anak yang dapat menggunakan kompetensi dan performansi bahasanya secara optimal, baik kompetensi dan kompetensi berbahasa reseptif maupun produktif. Pembelajaran bahasa pada hakikatnya adalah pembelajaran menggunakan bahasa untuk berkomunikasi. Dalam pembelajaran bahasa, peserta didik dilatih dan dibelajarkan untuk menggunakan bahasa sebagai wahana untuk menyerap informasi, menganalisis, menyintesis, mengevaluasi, dan menyampaikannya sebagai informasi baru. Bahasa dalam hal ini difungsikan sebagai sarana untuk berpikir, bernalar, dan berkomunikasi, bukan sebagai materi yang harus dihafal. Pada umumnya, pembelajaran bahasa sering terjebak pada pembelajaran konseptual tentang bahasa. Bahasa diajarkan sebagai konsep yang harus dihafal dan dimengerti oleh anak sebagaimana pembelajaran ekonomi, kimia, fisika, dan biologi. Anak dibebani pekerjaan untuk menghafal sejumlah istilah yang tidak menguntungkan bagi pembelajaran bahasa. Akibatnya, anak lebih mahir menjelaskan istilah-istilah tersebut, tetapi tidak mampu menggunakan atau menerapkan istilah tersebut dalam aktivitas berbahasa (dalam menulis misalnya). Sebagai contoh, anak memahami dan mampu menjelaskan serta memberi contoh pengertian sinonim, tetapi anak tidak dapat memanfaatkan sinonim tersebut untuk kepentingan menulis atau membaca. Karena itu, model pembelajaran yang demikian ini perlu dirombak sehingga menjadi model pembelajaran yang lebih kreatif dan inovatif. Standar isi kurikulum bahasa Indonesia menekankan materi pembelajaran bahasa yang lebih bersifat fungsional. Melalui pembelajaran bahasa Indonesia, diharapkan peserta didik mampu menggunakan bahasa tersebut sesuai dengan fungsinya. Sebagai contoh, beberapa pokok materi ajar bahasa Indonesia dalam kurikulum bahasa Indonesia SMA adalah membuat surat, menyusun karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun naskah pidato, menyusun proposal, dan sebagainya. Peserta didik perlu dilatih dan dibelajarkan menggunakan bahasa Indonesia untuk kepentingan membuat surat, menyusun karya ilmiah, mengembangkan paragraf, menyusun naskah pidato, dan menyusun proposal, bukan diminta untuk memahami dan menghafal sistematika dan ciri-ciri surat, karya ilmiah, paragraf, dan pidato. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia secara fungsional, terdapat tiga masalah pokok yang perlu mendapatkan perhatian dari guru. Ketiga masalah pokok tersebut adalah (a) masalah isi atau topik, (b) masalah sistematika atau format, dan (c) masalah tatanan bahasa dengan berbagai variasi kesantunannya. Masalah isi atau topik merupakan masalah pengetahuan umum yang penguasaannya dapat dilatihkan kepada peserta didik melalui berbagai bidang studi dan dengan banyak membaca. Masalah sistematika atau format merupakan perihal standar yang dapat ditemukan dalam berbagai refernsi. Sementara, masalah bahasa dengan variasi kesantunannya merupakan masalah yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam pengembangannya. Karena itu, masalah ketiga ini merupakan fokus utama yang menjadi tugas guru bahasa Indonesia dalam aktivitas pembelajaran. Berdasarkan karakteristik materi ajar bahasa Indonesia sebagaimana dikemukakan di atas, PBM dapat dipandang sebagai salah satu strategi yang memberikan peluang besar bagi aktivitas kelas dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Melalui pembelajaran dengan strategi PBM, aktivitas

187 pembelajaran akan menyadarkan peserta didik untuk bertanya pada dirinya sendiri tentang masalah atau topik apa yang akan diketahui, aktivitas apa yang perlu dilakukan untuk mengetahuinya, bagaimana usaha untuk mempelajarinya, dan bagaimana mengukur keberhasilan dan mendeskripsikan hasilnya. Jika kesadaran peserta didik dalam belajar telah sampai pada taraf tersebut berarti bahwa aktivitas kelas telah berhasil dalam mencapai tujuan pembelajaran, yakni penciptaan kelas learning how to learn.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas tentang penerapan pembelajaran berbasis masalah diperoleh kesimpulan sebagai berikut. a. Hal yang harus disiapkan guru sebelum pembelajaran 1 Lakukan identifikasi dan pemetaan topik atau kompetensi dasar dalam kurikulum yang akan dibelajarkan kepada peserta didik. 2 Siapkan lembar-lembar kasus atau masalah yang akan diberikan kepada peserta didik. 3 Lakukan penjajagan ke perpustakaan sekolah untuk menentukan keberadaan sumber referensi yang diperlukan. 4 Siapkan sumber referensi lain yang diperlukan jika hal tersebut tidak tersedia di perpustakaan. 5 Buatlah rambu-rambu masalah dan tugas yang harus dikerjakan oleh peserta didik. b. Hal yang dilakukan guru selama pembelajaran 1 Ciptakan kondisi dan situasi kelas yang siap untuk menerima informasi dan melakukan aktivitas pembelajaran. 2 Sampaikan kepada peserta didik tentang topik atau materi yang akan dipelajari. 3 Jelaskan tujuan yang akan dicapai dalam aktivitas pembelajaran. 4 Jelaskan aktivitas yang akan dan harus dilakukan oleh peserta didik dalam pembelajaran. 5 Tentukan dan tawarkan kepada peserta didik apakah aktivitas terseebut dilakukan secara individual atau kelompok. 6 Jika aktivitas dilakukan secara kelompok, tentukan kelompok kerja peserta didik (pembentukan kelompok dapat dilakukan dengan beragam cara yang menarik). 7 Berikan kasus atau masalah kepada peserta didik untuk dicari penyelesaiannya sesuai dengan rambu-rambu yang ditetapkan. 8 Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk mengenali kasus dan mengidentifikasi kegaiatan yang akan dilakukan. 9 Arahkan peserta didik untuk memperdalam wawasannya tentang kasus dengan membacanya dari buku referensi (dapat mencarinya di perpustakaan atau disiapkan oleh guru). 10 Bimbinglah peserta didik untuk menemukan jawaban atau penyelesaian masalah dengan cara mendiskusikannya dengan teman atau kelompoknya. 11 Sarankan kepada peserta didik untuk segera menyusun laporan hasil pemecahan atau penyelesaian kasus atau masalah. 12 Lakukan aktivitas seminar atau sidang pembahasan kasus per kelompok atau antarkelompok (aktivitas ini dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai model pembelajaran yang menarik, misalnya: jigsaw, pemajangan karya dan komentar kelompok lain, atau model lainnya).

188 13 Lakukan sidang pleno pembahasan kasus dan penarikan simpulan. 14 Lakukan aktivitas refleksi.

Saran Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di atas disampaikan beberapa saran untuk menggairahkan belajar peserta didik dalam belajar bahasa Indonesia. a. Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru jangan sampai terjebak pada pembelajaran konsep, tetapi guru hendaknya lebih menitikberatkan pada pembelajaran keterampilan menggunakan bahasa. b. Peserta didik jangan dibebani oleh usaha untuk menghafalkan konsep atau istilah, tetapi hendaknya lebih difokuskan pada upaya menggunakan konsep atau istilah tersebut. c. Dalam membelajarkan topik tertentu, guru sebaiknya lebih banyak menggunakan model ilustratif bukan model definitif. d. Dalam mempersiapkan aktivitas pembelajaran, guru tidak perlu menjelaskan nama metode yang akan digunakan, tetapi langsung mengarahkan peserta didik pada aktivitas yang harus dilakukan berdasarkan metode itu. e. Dalam mempersiapkan pembelajaran, guru jangan disibukkan oleh pembekalan diri terhadap banyaknya materi yang akan diajarkan, tetapi perkayalah diri dengan berbagai strategi untuk membelajarkan peserta didik tentang materi itu. f. Sumber dan media belajar bahasa Indonesia tidak hanya berupa buku teks, tetapi telah tersedia banyak dan bervariasi di lingkungan kita. g. Dalam aktivitas pembelajaran, berikan kesempatan kepada peserta didik untuk berkreasi dan beralternasi dalam berpendapat selama yang bersangkutan dapat mempertanggungjawabkan pendapatnya itu.

189 DAFTAR RUJUKAN

Dasna, I Wayan. 2005. Penggunaan Model Pembelajaran Problem-based Learning dan Kooperatif learning untuk meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar kuliah metodologi penelitian. Malang: Lembaga Penelitian UM. Sutrisno. 2006. Problem-based Learning. Dalam Monograf Model-model Pembelajaran Sains (Kimia) Inovatif. Malang: Jurusan Kimia.

190 TUTUR RITUAL MANENUNG PADA MASYARAKAT DAYAK HINDU KAHARINGAN PALANGKA RAYA: ANALISIS WACANA KRITIS VAN DIJK (RITUAL SPEECH MANENUNG IN THE DAYAK HINDU KAHARINGAN PALANGKA RAYA: A STUDY OF VAN DIJK CRITICAL DISCOURSE)

Made Agustus STIP Bunga Bangsa, Palangka Raya, Jl. Pangeran Samudra, No. 8, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, e-mail [email protected]

Abstract

Ritual Speech Manenung In the Dayak Hindu Kaharingan Palangka Raya: A Study of Van Dijk Critical Discourse. In this study aim to describe and identify the structures that form the textual TRM. TRM research uses qualitative methods or interpretive method also called for more research data regarding the interpretation of the data found in the field. The results are found, namely (1) the level of superstructure find the introduction, the core and cover, (2) revealed the macro level of application to the spirit of the rice theme to convey the request to the dawn of human parapah “god”, and (3) the level of the microstructure of the review of the parallelism found a parallelism, namely (a) phonological parallelism found asonansi sound, alliteration, and rhyme; (b) lexico- gramamtical parallelism found a number of elements of the dyadic pairs at most amount to ten words in the clause and there is also a single device that does not have dyadic partner. Parallelism is also found that word-class pairs, namely, nouns, verbs, adjectives, adverbs, prepositions, pronouns, and numeralia and (c) the lexico-semantics parallelism find synonymous words more than the antithesis and synthesis.

Keywords: ritual speech manenung, textual structure, discourse analysis

Abstrak

Ritual Pidato Manenung dalam Dayak Hindu Kaharingan Palangka Raya: Analisis Wacana Kritis Van Dijk. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan mengidentifikasi struktur yang membentuk TRM tekstual. TRM penelitian menggunakan metode kualitatif atau metode penafsiran juga menyerukan data penelitian lebih lanjut mengenai interpretasi data yang ditemukan di lapangan. Hasilnya ditemukan, yaitu (1) tingkat suprastruktur menemukan pengenalan, inti dan penutup, (2) mengungkapkan tingkat makro aplikasi dengan semangat tema beras untuk menyampaikan permintaan ke fajar manusia parapah “god”, dan (3) tingkat mikro review paralelisme menemukan paralelisme, yaitu (a) paralelisme fonologis menemukan suara asonansi, aliterasi, dan sajak, (b) lexico-gramatical paralelisme menemukan sejumlah elemen pasang dyadic sebesar jumlah paling sepuluh kata dalam klausa dan ada juga satu perangkat yang tidak memiliki pasangan dyadic. Paralelisme juga menemukan bahwa kata-kelas pasangan, yaitu kata benda, kata kerja, kata sifat, kata keterangan, preposisi, kata ganti, dan numeralia, dan (c) paralelisme Lexico-semantik menemukan kata-kata sinonim lebih dari antitesis dan sintesis.

Kata-kata kunci: tutur ritual manenung, struktur tekstual, kajian wacana

191 PENDAHULUAN Upacara manenung di Palangka Raya digunakan sebagai media untuk “mencari” sesuatu, melalui balian atau basir dengan keahlian khusus dan ketulusan batin. Balian atau basir inilah yang memanggil roh (leluhur) atau “tokoh” yang berada di alam niskala sesuai dengan lingkungan di sekitar. Dalam tutur ritual manenung yang dilakukan masyarakat Dayak Hindu Kaharingan menggunakan bentuk bahasa Sangiang (BS), yaitu bahasa ritual yang hanya digunakan dalam upacara tersebut. Bahasa Sangiang (BS) ini hanya bertahan dalam tuturan ritual, seperti Manenung atau Manajah Antang (memohon petunjuk), Nyadiri (tolak bala), Pakanan Sahur (syukuran), Mampakanan Pali (tolak roh jahat), dan Tiwah (ritual kematian). Bahasa Sangiang (BS) ini hanya digunakan oleh kalangan basir, sedangkan masyarakat umum, lebih-lebih kalangan generasi muda Dayak tidak dapat menggunakan bahasa Sangiang (BS). Menurut Riwut (2003: 117), BS disebut juga bahasa Sangen, yaitu bahasa sakral dan kuno yang bertahan dalam ritual-ritual keagamaan Hindu Kaharingan. Bahasa Sangiang (BS) merupakan warisan dari nenek moyang Masyarakat Dayak Hindu Kaharingan (MDHK). Keberadaan BS ini tentunya memiliki fenomena lingual dan budaya yang khas serta mencerminkan kehidupan masyarakat pendukungnya. Nilai dan makna realitas sangat dipengaruhi oleh cara mempertahankan diri. Cara beraktivitas masyarakat dalam mengembangkan diri demi mencapai kehidupan yang lebih baik. Tutur ritual manenung ini, hanya dapat dilakukan oleh basir yang memiliki kemampuan untuk melaksanakan upacara itu dan menguasai BS. Pada upacara manenung, basir tidak dapat secara langsung berkomunikasi dengan Ranying Hatalla Langit ‘Tuhan’, tetapi melalui para Sangiang. Pada upacara manenung, salah satu tahapan yang dilakukan oleh basir adalah tawur. Tahapan tawur ini bermaksud untuk “memanggil” para Sangiang agar hadir dan menyertai upacara manenung yang akan dilaksanakan. Upacara manenung merupakan keyakinan terhadap kekuatan gaib yang bersumber dari roh-roh penguasa sebagai manifestasi Ranying Hatalla Langit dan Jatha Bala Wang Bulau. Kekuatan gaib dan roh-roh itu dipanggil. Secara tersirat dikatakan pada Kitab Panaturan pasal 42, yaitu “Ehem-ehem behas”, artinya ucapan Ehem-ehem, yaitu ucapan Garing Nganderang memberitahukan, bahwa “IA” dan “IA” adalah kuasa, “IA” Mahapencipta, Mahakuat, Mahaagung, dan sebagainya. “IA” membuka dan membangunkan segala kekuatan dan kekuasaan yang terkandung pada beras, merupakan wujud nyata dari kekuatan, kemakmuran Ranying Hatalla Langit dan Jatha Wang Bulau. Tutur Ritual Manenung (TRM) dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (1) tahap awal menimang- menimang beras bermaksud untuk pemberian nama behas tawur terhadap jenis upacara yang akan dilaksanakan. Pada saat ini, tukang tenung (basir) menyebutkan behas tawur digunakan upacara manenung; (2) tahap inti, yaitu “pemanggilan” kekuatan gaib yang bersumber dari roh-roh penguasa sebagai manifestasi Ranying Hatalla Langit dan Jatha Bala Wang Bulau yang bernama Putir Santang Sintung Uju. Tahap ini bertujuan untuk meminta petunjuk; dan (3) tahap terakhir, yaitu ucapan terima kasih atas berkenan kekuatan gaib sebagai manifestasi Ranying Hatalla hadir memberikan petunjuk pada saat manenung. Upacara selesai kemudian mempersilakan mereka kembali ke tempat masing-masing seperti semula. Fenomena bahasa dalam wacana budaya terdapat dalam TRM di atas termasuk ranah kajian ilmiah linguistik interdisipliner. Seperti yang diungkapkan oleh Goody (dalam Sastriadi, 2006: 10) bahwa nilai pemakaian bahasa untuk menyampaikan informasi kuat-kuat tertanam dalam mitologi budaya kita. Dengan kemampuan berbahasa, memungkinkan seorang manusia untuk mengembangkan berbagai kebudayaan, dengan adat kebiasaan, religi yang dianut, hukum, tradisi lisan, pola perdagangan, dan sebagainya. Dalam mengkaji fenomena kebahasaan dalam wacana

192 budaya, dalam hal ini, TRM, peneliti menerapkan model penelitian linguistik seperti yang diungkapkan oleh Pastika (2005: 108-110) bahwa peneliti dianjurkan untuk menafsirkan makna- makna budaya melalui penggunaan bahasa dalam wacana yang telah dijadikan korpus (data dalam penelitian). Pada penelitian ini, ada sejumlah hasil penelitian terdahalu yang dijadikan acuan, yakni (a) Bahasa, Sastra, dan Sejarah Kumpulan Karangan Mengenai Masyarakat Pulau Roti” oleh Fox (1986). Hasil penelitian itu menyatakan bahwa fenomena kebahasaan yang terdapat pada bahasa ritual di Pulau Roti ini sangat unik dan keunikannya tersebut mirip dengan fenomena yang terdapat dalam bahasa ritual bahasa Sangiang; (b) Ungkapan Paralelisme Bahasa Manggarai dan Dinamikanya dalam Realitas Sosial Budaya oleh Erom (2004). Penelitian Erom ini lebih terfokus pada unsur kebahasaan bahasa Manggarai, terutama tentang paralelisme, yaitu penggunaan bentuk sintaksis berupa kesejajaran, kemiripan, atau kepadanan; dan (c) Wacana Kebudayaan Tudak dalam Ritual Penti pada Kelompok Etnik Manggarai di Flores Besar oleh Bustan (2004). Analisis yang dilakukan oleh Bustan mengacu pada model analisis Van Dijk, yang menelaah struktur makro, superstruktur, dan struktur mikro. Relevansi penelitian Bustan terhadap kajian terletak pada analisis wacana van Dijk, yang dijadikan model dalam penelitian ini. Sesuai dengan karakteristik data dan permasalahan penelitian, ada sejumlah teori yang digunakan, yang memiliki keterkaitan. Penelitian ini mencakup dua aspek, yaitu linguistik dan nonlinguistik yang meliputi konteks budaya yang tercermin dalam konteks situasi, karena kedua hal ini membentuk integritas, kesetalian makna, dan keutuhan suatu bahasa. Berhubungan dengan ritual, Dhavamony (1995: 175) menyatakan bahwa ritual adalah pola-pola pikiran yang dihubungkan dengan gejala yang mempunyai ciri mistis. Dia membedakan ritus atas empat macam, yaitu (1) tindakan magis berkaitan dengan menggunakan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis; (2) tindakan religius, kultus para leluhur; (3) ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas; dan (4) ritual fiktif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan pemurnian dan perlindungan dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok. Hadi (2006: 31) menyatakan bahwa ritual merupakan suatu bentuk upacara atau perayaan (celebration) yang berhubungan dengan beberapa kepercayaan atau agama dengan ditandai oleh sifat khusus yang menimbulkan rasa hormat yang luhur dalam arti suatu pengalaman yang suci. Pengalaman itu mencakup segala sesuatu yang dibuat atau dipergunakan oleh manusia untuk menyatakan hubungan dengan ’yang tertinggi’, dan hubungan atau perjumpaan itu bukan sesuatu yang bersifat biasa atau umum, tetapi sesuatu yang bersifat khusus atau istimewa, sehingga manusia mampu membuat suatu cara yang pantas digunakan untuk melaksanakan pertemuan itu. Djajasudarma (1993: 28) menyatakan bahwa bahasa (linguistik) sebagai materi (objek) penelitian dapat ditentukan, baik dari strukturnya maupun dari bagian-bagian sebagai unsurnya. Bahasa dapat pula diteliti dari sudut hubungannya dengan ilmu lain (interdisipliner), atau bahasa dapat diteliti dari kebahasaan itu sendiri maupun bahasa sebagai dari kebudayaan. Sebagai materi penelitian, bahasa dapat diteliti pula dari segi tatarannya. Fairclough (1994: 4) menyatakan kategori- kategori yang membangun sebuah teks pada dasarnya tidak bisa dianalisis secara terpisah, sebab sebuah wacana atau teks dibangun oleh bentuk-bentuk bahasa yang memiliki orientasi makna, baik makna budaya maupun makna linguistik. Adapun aspek-aspek yang dikaji meliputi bentuk, struktur, dan organisasi teks mulai dari tataran terendah fonologi (fonem), gramatika (morfem, kata, frasa, klausa, dan kalimat), leksikon (kosa kata), sampai tataran yang lebih tinggi seperti

193 sistem pergantian percakapan, struktur argumentasi, dan jenis-jenis aktivitas. Oleh sebab itu, menganalisis seluruh bagaian-bagian sebuah teks atau wacana harus dilakukan secara simultan agar didapatkan sebuah pemahaman makna yang sesuai, baik linguistik maupun secara budaya. Penelitian ini mencakup dua aspek, yaitu aspek linguistik dan nonlinguistik yang meliputi konteks kebudayaan yang tercermin dalam konteks situasi, karena kedua hal ini yang membentuk integritas, kesetalian makna dan keutuhan suatu bahasa. Hal ini berdasarkan pada pandangan bahwa sebuah teks selalu terkait dengan tataran: (1) tataran ekstralinguistik yang mencakupi tautan, budaya, dan situasi; (2) tataran intralinguistik yang mencakup segi semantik dan leksikogramtikal dan ekspresi yang mencakupi sistem pembunyian (Suteja, 2005: 64). Analisis wacana adalah suatu kajian linguistik yang didasarkan pada satuan gramatikal yang lebih luas atau lebih besar daripada kalimat dengan tujuan untuk menemukan urutan ungkapan semirip mungkin dengan lingkungannya dan kemantapan distribusi pemakaiannya, atau untuk mencapai suatu makna yang mendekati makna yang dimaksudkan oleh pembicara dalam wacana lisan atau oleh penulis (Passandaran, 2000:16). Analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Analisis wacana tidak dapat dibatasi pada deskripsi bentuk bahasa yang tidak terikat pada tujuan dan fungsi yang dirancang untuk menggunakan bentuk itu dalam urusan-urusan manusia. Hal yang mendasar diungkapkan oleh Yule (dalam Jumadi, 2006: 115—116), analisis wacana terfokus pada rekaman atau catatan proses untuk menggunakan bahasa dalam suatu konteks tertentu untuk mengekspresikan maksud. Di samping itu, Brown dan Yule (1996:1) mengungkapkan kalau ada ahli linguistik yang memusatkan perhatian pada penentuan sifat- sifat bahasa, penganalisis wacana berkewajiban untuk menyelidiki tujuan apa bahasa itu dipakai. Pada penelitian ini analisis struktur TRM dikembangkan menggunakan model analisis wacana Van Dijk (1985: 103—133). Dengan mengacu pada model analisis Van Dijk, struktur TRM dibagi ke dalam tiga tataran, yaitu superstruktur, struktur makro, dan struktur mikro. Ketiga tataran tersebut saling mendukung dalam pembentukan sebuah makna yang utuh pada sebuah teks. Model Van Dijk juga diungkapkan oleh (Eriyanto, 2009: 227-236; Sobur, 2006:73-75). Superstruktur mengamati bagaimana bagian dan urutan dalam TRM diskemakan dalam teks wacana yang utuh. Teks umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur itu menunjukkan bagaimana bagian-bagian dalam teks disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Menurut Van Dijk (1985: 107-112), suprastruktur merupakan satu kesatuan yang koheren dan padu. Gagasan apa yang diungkapkan dalam bagian suprastruktur terdahulu akan diikuti oleh gagasan lain pada bagian berikutnya hingga bagian akhir secara koheren. Struktur makro pada makna umum teks yang dapat diamati dari tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu wacana, dalam hal ini, TRM. Elemen ini mengacu pada gambaran umum dari suatu teks, bisa juga disebut sebagai gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks. Struktur mikro adalah pengkajian pada tataran kebahasaan yang digunakan dalam sebuah teks, diantaranya adalah pada tataran morfologi, sintaksis, dan struktur leksikal kalimat. Elemen-elemen ini menurut Van Dijk mesti memenuhi persyaratan koherensi suatu wacana diekspresikan dengan pemilihan unsur-unsur kebahasaan yang tepat dalam sebuah wacana, seperti tataran klausa, urutan klausa, urutan kalimat, penghubung, pronomina, abverbia, verba, unsur leksikal, parafrase, dan lain-lain (Eriyanto, 2001: 229). Paralelisme merupakan salah satu sondre (gaya) berbahasa. Menurut Bakhtin (dalam Foley, 1997: 359), sondre (genre) terdiri atas kerangka yang secara relatif stabil dan diturunkan secara historis untuk mengadakan produk wacana. Sondre-sondre ini secara kuat berkonvensi dan berakar dalam praktik produksi dan pemahaman bahasa masyarakat dalam suatu komunikasi, tetapi tetap fleksibel dan terbuka terhadap manipulasi atau peniruan yang kreatif oleh para pelakunya.

194 Istilah paralelisme diartikan oleh Kridalaksana (2001: 154) sebagai pemakaian yang berulang- ulang ujaran yang sama dalam bunyi, tata bahasa, atau makna, atau gabungan dari kesemuanya; ciri khas dari bahasa puitis. Roberth Lowth (dalam Fox, 1986) memberikan sejumlah konsep tentang paralelisme berdasarkan pengamatan yang dilakukan pada sejumlah bahasa. Ia mengemukakan lima konsep tentang paralelisme, yakni (1) istilah paralelisme adalah kata-kata atau kalimat yang saling bersahutan dalam larik yang berkaitan, (2) paralelisme merupakan penyesuaian puitis kalimat, terutama atas persamaan derajat, kemiripan antara unsur dari tiap periode sehingga dalam dua baris benda pada umumnya dikaitkan dengan benda dan kata dengan kata, (3) paralelisme merupakan kesesuaian atau kecocokan suatu bait (baris) dengan bait (baris) yang lain, (4) paralelisme merupakan suatu kumpulan pasangan kata baku secara konvensional sudah tetap, yang digunakan untuk menyusun bentuk sajak, dan (5) paralelisme merupakan keterkaitan antara preposisi-preposisi yang maknanya serupa atau berbeda dan konstruksi gramatikalnya sama. Jakobson (dalam Fox, 1986: 280—292) menyebutkan bahwa paralelisme merupakan semantik ganda dan juga kesepadanan metaforis. Bahasa puistis merupakan suatu kejadian sederhana, yang menyatukan dua unsur, yakni unsur semantis dan harmonis. Unsur semantis (varian semantis) meliputi paralelisme, perbandingan, dan harmonis (varian harmonis) meliputi sajak, asonansi, dan aliterasi atau repetisi. Paralelisme juga merupakan ekuivalen atau kesepadanan linguistik dalam tataran fonologis, gramatikal, dan leksikosementris. Paralelisme merupakan penyepasangan unsur dalam urutan yang sepadan. Berkenaan dengan analisis struktur mikro TRM ini peneliti terfokus pada kajian paralelisme. Hal ini didasari atas pertimbangan bahwa bahasa yang digunakan dalam TRM adalah bahasa ritual BS. Bahasa Sangiang (BS) dalam TRM lebih menekankan pada nilai-nilai estetis puistis, penggunaan bahasa kias, unsur kesetaraan bunyi, dan irama juga sangat dominan. Di samping pertimbangan di atas juga sesuai dengan tujuan penelitian, yaitu untuk memaparkan dan mengidentifikasi struktur tekstual yang membentuk TRM dan mengidentifikasi dan menganalisis paralelisme yang terdapat dalam TRM. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang TRM. Gambaran umum yang dimaksudkan, yakni gambaran tentang latar belakang, tujuan, dan saat kapan TRM itu dilaksanakan. Pada penelitian ini, tujuan yang ingin diungkapkan secara langsung, yaitu memaparkan dan mengidentifikasi struktur tekstual yang membentuk TRM. Struktur tekstual yang dimaksudkan pada (1) tataran superstruktur bertujuan untuk mengungkapkan tahapan- tahapan dalam TRM, (2) tataran makro bertujuan untuk mengungkapkan tema-tema yang tersirat dalam TRM, (3) tataran mikro bertujuan untuk mengungkapkan kebahasaan, khususnya menganalisis paralelisme yang terdapat dalam TRM.

METODE Penelitian TRM ini menggunakan metode kualitatif atau disebut juga sebagai metode interpretive karena data hasil penelitian lebih berkenaan dengan interpretasi terhadap data yang ditemukan di lapangan (Sugiyono, 2008: 14). Jenis penelitian TRM termasuk penelitian linguistik karena penelitian ini dilakukan melalui pengamatan pada fenomena yang terdapat pada TRM, yaitu fenomena kebahasaan yang terkandung di dalam TRM. Penelitian ini juga termasuk kategori penelitian deskriptif, yaitu bahwa data yang dikumpulkan adalah data yang ada pada saat ini dan selanjutnya data itu dianalisis apa adanya. Berkaitan dengan metode yang digunakan sebagai usaha untuk mencari dan menemukan tentang sesuatu kejadian yang terjadi di masyarakat. Temuan yang diperoleh merupakan suatu

195 jawaban dari masalah yang telah ditetapkan. Agar memperoleh jawaban terhadap permasalahan itu, perlu dilakukan penelitian. Penelitian harus memenuhi kriteria, yaitu logis, sistematis, rasional, dan empiris. Sugiyono (2008:3) mengemukakan bahwa kriteria penelitian, yaitu rasional berarti masuk akal dan terjangkau oleh alam pikiran manusia; empiris berarti dapat teramati oleh indra dan teruji; dan sistematis berarti mengikuti prosedur secara logis. Penelitian ini mengambil lokasi di Kalimantan Tengah, yaitu Kota Palangka Raya, yang masih melaksanakan ritual-ritual keagamaan Kaharingan, yaitu masyarakat yang memeluk agama Hindu Kaharingan, sedangkan agama lainnya dalam konteks manenung sebagian masih mempercayai, hanya saja pelaksananya oleh pemeluk agama Hindu Kaharingan (basir), sedangkan agama lain hanya sebagai meminta “petunjuk”. Jenis data yang digunakan, yaitu data lisan dan tertulis. Data lisan diperoleh dari Tutur Ritual Manenung (TRM) yang dilaksanakan di Palangka Raya. Informan kunci yang dijadikan sumber data lisan, yaitu basir dan penggalian data dilakukan dalam ruang dan waktu yang terpisah, sedangkan data tertulis diperoleh dari bahan-bahan tertulis. Teknik pengumpulan data merupakan langkah yang paling utama dalam penelitian, karena dalam tujuan penelitian untuk mendapatkan data (Sugiyono, 2008: 308). Pengumpulan data di lapangan, peneliti melakukan beberapa tahap, yaitu pengamatan lapangan, (2) wawancara, dan (3) perekaman dan pencatatan. Pengamatan lapangan bertujuan untuk memperoleh gambaran secara utuh dan menyeluruh tentang TRM. Teknik yang digunakan adalah pengamatan terlibat. Peneliti ikut berperan secara langsung dalam rangkaian kegiatan ritual TRM. Selama melakukan penelitian, peneliti melakukan pencatatan secara deskriptif maupun refleksi tentang kerangka berpikir, ide atau komentar peneliti tentang hasil pengamatan tersebut untuk mencegah terjadinya kealpaan (Muhadjir, 2007: 179—180). Untuk melengkapi dokumentasi data-data di lapangan, peneliti juga melakukan pengambilan gambar dengan kamera digital pada poin-poin penting ritual manenung serta media yang digunakan dalam ritual TRM. Wawancara diarahkan kepada pengetahuan informan tentang TRM. Penggalian ini dilakukan untuk memperoleh data yang menyeluruh tentang TRM, baik secara tekstual maupun kontekstual, kemudian dilakukan interpretasi tentang fungsi dan makna TRM secara detail. Peneliti merekam ritual TRM bertujuan untuk memperoleh data konkret di lapangan. Setelah dilakukan perekaman secara audio, kemudian dilakukan pencatatan tertulis tuturan-tuturan dalam ritual TRM. Dalam perekaman dan pencatatan, peneliti meminta bantuan kepada basir guna memperoleh hasil yang maksimal serta penulisan BS dalam TRM secara benar. Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif. Prosedur analisis data ditempuh secara bertahap dengan urutan kegiatan (1) penerjemahan, peneliti menerjemahkan semua data TRM dalam dua cara, yakni terjemahan lurus dan terjemahan bebas. Dengan terjemahan ini akan ditemukan poin-poin penting yang mengandung unsur paralelisme dan makna budaya yang terkandung dalam teks tersebut. Terjemahan lurus dilakukan untuk menemukan unsur-unsur paralelisme dalam TRM, sedangkan terjemahan bebas dilakukan untuk mendeskripsikan makna yang tersirat di dalam teks dan (2) tahap analisis yang dilakukan berdasarkan masalah utama dalam penelitian, yaitu mengacu pada model analisis Van Dijk. Pada tataran struktur makro mengacu pada analisis global teks yang dapat diamati dari tema atau topik yang dikedepankan dalam suatu wacana. Dalam hal ini, wacana atau teks manenung dianalisis dengan mengamati tema inti dalam wacana. Selanjutnya, analisis superstruktur mengamati bagaimana bagian dan urutan dalam manenung diskemakan dalam teks wacana utuh, sedangkan struktur mikro mengamati makna yang ingin ditekankan dalam sebuah teks dengan mengamati pilihan kata, kalimat, dan gaya bahasa yang dipakai dalam suatu teks. Struktur mikro yang dikaji dalam penelitian ini adalah unsur-unsur paralelisme yang terdapat dalam wacana TRM.

196 Analisis struktur mikro ini mengacu pada analisis bentuk fonologis, yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran tentang konfigurasi serta harmonisasi bunyi-bunyi indah, yang membuat menjadi unik dan berbeda dari dari bahasa sehari-hari. Analisis ini mencakup asonansi, aliterasi, dan rima. Metode analisis yang digunakan adalah teknik padan artikulatoris (Sudaryanto, 1993: 13—15). Analisis paralelisme leksikogramatikal wacana atau teks TRM dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang pasangan perangkat diad dan ekuivalen kelas kata. Panduan teoritis untuk memandu analisis adalah teori linguistik. Metode analisis yang digunakan adalah metode referensial (Sudaryanto, 1993: 14—15) dan teknik ganti (Sudaryanto, 1993: 48—54). Selanjutnya dilakukan analisis kelas kata perangkat diad dalam TRM. Analisis pada bentuk leksikosemantis dilakukan untuk memperoleh gambaran tentang sifat hubungan semantis antara pasangan diad kata, frasa, dan kalimat dalam wacana TRM. Analisis ini mengacu pada kriteria semantis, yaitu hubungan antarmakna pasangan diad paralelisme yang dikemukakan oleh Lowth (dalam Fox, 1986: 388—389), yaitu (1) pasangan bersinonim, (2) pasangan antonim, dan (3) pasangan bersintesis. Metode analisis yang digunakan adalah teknik ganti (Sudaryanto, 1993: 48—54). Hasil analisis data disajikan dengan menggunakan metode formal dan informal (Sudaryanto, 1993: 145). Penerapan metode formal terlihat dalam penggunaan tabel. Penggunaan metode ini umumnya dimaksudkan untuk meringkas hasil kajian. Pada penelitian ini, sesuai dengan karakter data dan analisis data disampaikan secara informal, artinya tiap karakter data diuraikan dan dijelaskan secara rinci dengan kata-kata, seperti menjelaskan bentuk fonologis dan bentuk leksikogramatikal dalam TRM.

HASIL Hasil penelitian tentang tutur ritual manenung dengan pendekatan model analisis wacana kritis Van Dijk, yaitu (1) dalam tataran superstruktur terungkap skema atau alur yang menunjukkan bagian-bagian teks TRM disusun dan diurutkan sehingga membentuk kesatuan arti. Alur-alur TRM dapat dirinci dalam tiga bagian, yakni pendahuluan, inti, dan penutup. Pendahuluan berisi salam pembuka, persiapan, puji-puji kepada roh beras, dan penyampaian maksud dan tujuan. Inti berisi persiapan manawur yang harus disampaikan oleh roh beras, penyampaian pesan atau permohonan dalam ritual manenung. Penutup, bagian ini memuat informasi tentang berakhirnya tugas Putir Santang Bawi Sintung Uju memberikan petunjuk kepada umat manusia, kemudian kembali ke alamnya. Tataran makro terungkap topik atau tema yang dikedepankan dalam TRM, yaitu (1) tema permohonan kepada roh beras untuk memanggil Putir Santang Bawi Sintung Uju, (2) tema penyambutan, dan (3) tema penganugrahan. Tataran mikro adalah tataran kebahasaan yang dianalisis terungkap bentuk-bentuk paralelisme atau penyepasangan yang terdapat dalam TRM, yaitu (1) paralelisme-paralelisme tataran fonologis, (2) leksikogramatikal, dan (3) leksikosemantis.

PEMBAHASAN 1. Tataran superstruktur dalam teks TRM (Tutur Ritual Manenung) 1.1 Bagian pendahuluan Teks TRM Pada bagian pendahuluan adalah pembuka atas dimulai Tutur Ritual Manenung (TRM) diawali sebuah tuturan. Bagian pendahuluan dalam memuat beberapa rangkaian informasi, yaitu pengutaraan maksud dan tujuan penggunaan beras yang ditaburkan (tawur) dalam upacara itu. Informasi yang terkandung adalah salam pembuka yang ditujukan roh beras. Persiapan roh beras dengan melakukan puji-pujian berupa mantra kepada roh beras yang

197 berisi informasi yang menceritakan asal-usul diturunkan beras atau padi oleh Ranying Hatalla ‘Tuhan’ ke bumi. Pada konteks TRM ini, puji-pujian terhadap roh beras digunakan untuk “membangunkan atau memanggil” Putir Santang Bawi Sintung Ujud sebagai pemberi 1.1.1 Salam Pembuka Salam pembuka memuat informasi tentang proses awal dilaksanakannya ritual manenung, yaitu membangkitkan kekuasaan beras yang diyakini memiliki roh yang telah diberikan oleh Ranying Hatalla Langit ‘Tuhan’ kepadanya sehingga akhirnya roh itu menjadi sarana bagi penyampaian permohonan umat manusia kepada Ranying Hatalla Langit ‘Tuhan’. Pada awal tuturan ini ditandai dengan pengucapan kata “ehem-ehem”, bunyi ini memiliki makna sebagai salam pembuka yang selalu diucapkan oleh basir atau tukang tenung pada setiap melakukan ritual manenung, seperti kalimat berikut. 1.1.2 Persiapan Pada tahap persiapan memuat informasi tentang persiapan roh beras sebelum mendengarkan puji-pujian yang berupa sanjungan yang dituturkan oleh basir terhadap roh beras. Informasi tentang persiapan awal yang dilakukan basir, sebelum melantunkan puji-pujian kepada roh beras yang digunakan dalam ritual manenung. Tuturan tersebut menyatakan bahwa mengeluarkan beras dari tempatnya, yaitu Siam Hai Sandehen parung ‘guci’ dan Gusi Renteng Bapampang Palu ‘guci’, kemudian ditempatkan dalam mangkuk kecil. Mangkuk kecil yang berisi beras inilah nantinya yang akan dimantrai oleh basir sehingga memiliki kekuatan magis sebagai perantaraan hubungan antara manusia dengan Ranying Hatalla Langit ‘Tuhan’. Pada tahap persiapan ini mempunyai tujuan utama, yakni sebagai pemberitahuan kepada roh beras agar bersedia mendengarkan mantra yang akan dituturkan tentang riwayat awal keberadaannya di bumi ini. 1.1.3 Puji-Puji kepada Roh Beras Puji-puji kepada roh beras merupakan sanjungan yang dilakukan oleh basir atas kekuasaan yang dimiliki oleh roh beras. Pujian yang dituturkan ini sebagai basa-basi atau ungkapan tata krama yang dilakukan secara sopan santun dan tidak untuk menyampaikan informasi utama dalam komunikasi. Puji-puji terhadap roh beras ini dibedakan menjadi dua, yaitu (1) pujian yang dilakukan dengan menuturkan riwayat keberadaan beras di dunia dan (2) pujian dilakukan dengan menuturkan upaya pengembangan beras oleh manusia. Pada puji-puji ini terungkap tiga kekuasaan roh beras, yakni (1) akan Jatha tuntung tahaseng pantai danum kalunen ‘untuk menyambung nafas atau hidup umat manusia’ merupakan fungsi beras secara umum, yaitu sebagai bahan makanan umat manusia, (2) tau bitim belum mangkar manyiwuh ‘bisa ditanam dan tumbuh subur’, menyatakan bahwa beras adalah jenis tumbuhan yang bisa berkembang baik, dan (3) tau injam duhung luang rawei ‘bisa sebagai perantaraan atau penghubung antara manusia dengan Mahakuasa’, merupakan kekuasaan secara magis yang dimiliki oleh roh beras, selain sebagai bahan makanan dan tumbuhan juga sebagai perantara atau penghubungan antara manusia dengan Sang Pencipta. 1.1.4 Penyampaian Maksud dan Tujuan Pada bagian ini memuat informasi tentang penegasan atas maksud yang hendak disampaikan oleh basir (penenung) terhadap roh beras yang ditaburkan dalam ritual manenung menegaskan bahwa penggunaan abverbia limitatif baya ‘hanya’, makna pembatasan yang dimaksudkan bukan digunakan sebagai makanan, bukan pula untuk ditanam, melainkan digunakan sebagai indu duhung luang rawei Danum Kalunen//balitam

198 bunu bamba panyuruhan tisui Luwuk kampungan ‘penyampaian pesan umat manusia’ sebagaimana kekuasaan yang telah diamanahkan Tuhan kepadanya. 1.2 Bagian Inti Teks TRM 1.2.1 Persiapan Manawur yang Harus Disampaikan oleh Roh Beras Informasi yang mengungkapkan tentang manawur atau proses penyampaian permohonan diawali dengan mempersiapkan roh beras ditabur sebelum menjadi Putir Santang Bawi Sintung Uju dan menyampaikan pesan kepada para Sangiang bahwa ada umat manusia mengadakan ritual manenung. Pada ritual manenung agar Putir Santang Bawi Sintung Uju berkenan hadir dan memberikan berkah dan petunjuk yang diperlukan oleh orang yang sedang mengadakan ritual manenung saat itu. Pada tahap persiapan terungkap informasi menimang-menimang beras, menghiasi atau mendandani, dan pujian. Aktivitas ini oleh roh beras kepada sahur parapah sebagai media untuk “memanggil” Putir Santang Bawi Sintung Uju. Selanjutnya, terungkap juga informasi bahwa pada taburan beras merupakan pemanggilan terhadap Putir Santang Bawi Sintung Uju melalui Putir Bawi Tawur. 1.2.2 Penyampaian Pesan atau Permohonan dalam Ritual Manenung Informasi permohonan terhadap Putir Santang Bawi Sintung Uju melalui media beras dan beliung (alat petunjuk) agar berkenan hadir memberikan petunjuk dan pesan terhadap apa yang ditanya. Dalam permohonan itu juga disiapkan sesajen sebagai “upah” agar saat pemanggilan itu dikabulkan. Pada klausa Awi tege taluh ije isek awi Pantai kalunen ‘karena ada yang ingin ditanya karena pantai manusia’ dan gilingan pinang berhelatan rokok yang ditengahi beras bungkusan ‘gilingan pinang berhelatan rokok yang ditengahi beras bungkusan’ kedua klausa ini terdapat hubungan timbal balik, yaitu pada saat pemanggilan atau permohonan kepada sang pemberi petunjuk (Putir Santang Bawi Sintung Uju) juga harus disiapkan sesajen atau syarat. 1.3 Bagian Penutup Teks TRM Bagian penutup merupakan bagian yang mengakhiri dari tuturan atau pelaksanaan TRM. Dalam bagian ini terungkap informasi tentang berakhirnya tugas Putir Santang Bawi Sintung Uju memberikan petunjuk kepada umat manusia, kemudian kembali ke alamnya. Dengan kembalinya Putir Santang Bawi Sintung Uju, kembalinya mereka dalam bentuk beras biasa. Ciri khas berakhirnya TRM adanya fenomena kebahasaan yang berupa pengucapan kata-kata kuruk bara-kuruk yang bersinonim dengan kata kuriu bara-kuriu, pengucapan kata yang tidak memiliki arti ini juga selalu muncul pada akhir mantra-mantra MDHK. Tujuan pengucapan kata-kata itu untuk mengembalikan segala anugrah dan petunjuk atau informasi telah diperoleh dari dewa (sahur parapah) agar masuk ke beras itu, kemudian memberikan tanda berupa perubahan beras yang berjumlah tujuh butir beras (hambaruan) yang telah disiapkan sebelum TRM dilaksanakan. Pada bagian penutup TRM kembali basir mengucapkan frasa kuruk hambaruan ‘kembali roh’ yang menandai berakhirnya ritual manenung secara keseluruhan. Pengucapan frasa tersebut bermakna untuk mengembalikan roh basir ke badannya seperti semula agar tidak tersesat dan dirasuki oleh roh jahat, karena pada saat melakukan ritual manenung, basir dalam keadaan trans yang membuatnya mampu berkomunikasi dengan roh beras. Walaupun basir dalam keadaan trans, tetapi selama ritual manenung berlangsung masih dalam keadaan stabil dan masih bisa berkomunikasi dengan manusia yang ada di dekatnya. Basir mengucapkan frasa kuruk

199 hambaruan sebanyak tiga kali, komunikasi antara dirinya dengan roh beras juga berakhir dan beras yang ditabur itu pun kembali menjadi beras biasa. 2. Struktur Makro 2.1 Tema permohonan Informasi yang memuat tentang tema permohonan kepada roh beras untuk memanggil Putir Santang Bawi Sintung Uju agar datang menyertai dan memberikan petunjuk kepada yang melaksanakan ritual manenung saat itu. Tema menyampaikan permohonan agar mereka datang ke tempat orang yang mengadakan ritual manenung karena ada hal yang ingin ditanyakan. Pada konteks ini yang dimaksudkan adalah Putir Santang Bawi Sintung Uju. Penyampaian permohonan agar memberikan petunjuk terhadap pertanyaan yang disampaikan oleh orang yang mengadakan manenung melalui roh beras. 2.2 Tema Penyambutan Tema penyambutan mengungkapkan makna penyambutan, pesan atau permohonan manusia yang disampaikan oleh basir melalui beras agar pesan itu tidak diabaikan. Pada kata manusia berjenis nominal yang dimaksudkan bukan manusia secara keseluruhan, melainkan orang yang melakukan ritual. 2.3 Tema Penganugrahan Tema penganugrahan terungkap makna memohon petunjuk agar diberikan keselamatan. Topik penganugrahan pada konteks ini bermakna “hasil”. Dari identifikasi dan penafsiran topik atau tema tersebut, topik atau tema utama, yaitu menyatakan tentang maksud dan tujuan TRM manenung muncul pada bagian inti, yaitu pada persiapan manawur yang harus disampaikan oleh roh beras yang berupa sanjungan dan penyampai pesan atau permohonan. 3. Struktur Mikro Analisis pada tataran struktur mikro pada TRM adalah analisis terhadap fenomena kebahasaan yang terdapat di dalamnya. Pada tataran kebahasaan ini pengkajian tataran kebahasaan yang digunakan dalam sebuah teks. Pada penelitian ini, tataran kebahasaan yang dianalisis adalah bentuk-bentuk paralelisme yang terdapat dalam TRM, hal ini didasarkan atas pertimbangan bahwa salah satu gaya bahasa yang paling menonjol dalam bahasa ritual BS yang digunakan dalam ritual TRM adalah penggunaan bahasa puitis yang di dalamnya terdapat paralelisme atau penyepasangan. Dalam analisis paralelisme ini mengacu pada teori Jacobson (dalam Fox, 1986: 330) yang meliputi paralelisme tataran fonologis, leksikogramatika, dan leksikosemantis. 3.1 Paralelisme Fonologi 3.1.1 Asonansi Pada tataran fonologis fenomena seperti ini adalah hal yang umum terjadi dalam bahasa ritual, termasuk TRM. Kata-kata berasonansi terkadang memiliki relasi secara makna, kesetalian bunyi tersebut semata-mata hanya untuk memperindah bunyi. Penyajian data-data yang mengandung bunyi asonansi dibagi menjadi dua macam, yakni asonansi sempurna dan asonansi tidak sempurna. (a) Asonansi sempurna Asonansi sempurna dalam TRM dapat terjadi pada kedua perangkat diad dan juga hanya pada salah satu perangkat diadnya. (b) Asonansi Tidak Sempurna Asonansi tidak sempurna yang dimaksudkan pada TRM ini adalah terjadinya pengulangan sebagian bunyi vokal pada dua kata atau lebih dan pada posisi bunyi tersebut tertukar (asimetris) dalam kata yang berdekatan.

200 3.1.2 Aliterasi Aliterasi adalah pengulangan bunyi konsonan atau kelompok konsonan pada awal suku kata atau awal kata secara berurutan, seperti halnya dengan asonansi. Dalam TRM ditemukan aliterasi sempurna dan aliterasi tidak sempurna. Aliterasi sempurna adalah pengulangan bunyi konsonan pada kedua perangkat, sedangkan aliterasi tidak sempurna pengulangan bunyi konsonan hanya pada salah satu perangkat diad. 3.1.3 Rima Rima adalah gaya bahasa yang mementingkan keselarasan bunyi bahasa, baik kesepadanan bunyi, kekontrasan, maupun kesamaan bunyi. Pada TRM terungkap kalimat yang memiliki jenis rima, yaitu rima sempurna, tidak sempurna, dan rima mutlak. Rima sempurna adalah pengulangan bunyi pada suku kata terakhir, sedangkan rima tidak sempurna adalah pengulangan sebagian suku kata terakhir terhadap kata, dan mutlak adalah adalah pengulangan bunyi pada seluruh kata. 4.1 Paralelisme Leksikogramatikal Dalam pengklasifikasi kelas kata dalam TRM dilakukan analisis terhadap jumlah unsur perangkat diadnya. Hal ini untuk mengetahui seberapa banyak unsur kata yang berulang dalam klausa atau kalimat TRM. 4.1.1 Jumlah Unsur Perangkat Diad Dari hasil analisis terhadap data kalimat dalam TRM ditemukan jumlah unsur perangkat diad sebagai berikut. (a) Jumlah unsur perangkat diad yang tertinggi dalam klausa mencapai sepuluh unsur yang berpasangan. (b) Unsur berpasangan antarperangkat diad yang berjumlah delapan unsur. (c) Unsur berpasangan perangkat diad yang berjumlah tujuh unsur. (d) Unsur perangkat diad yang berjumlah enam. (e) Unsur perangkat diad yang berjumlah lima juga dominan dalam TRM yang sepadan. (f) Unsur perangkat diad yang berjumlah empat yang dominan dalam TRM. (g) Perangkat diad yang berjumlah tiga unsur yang berpasangan. (h) Perangkat diad yang berjumlah dua unsur yang berpasangan.

4.1.2 Ekuivalensi Kelas Kata Di samping berdasarkan hasil analisis terhadap unsur kesepadanan perangkat diad juga dikemukakan ekuivalensi kelas kata yang ditemukan dalam TRM. Ekuivalensi kelas kata yang bersepadan terdapat dalam TRM, yaitu kelas kata nomina, verba, adjektiva, adverbia, pronomina, preposisi, konjungsi, dan numeralia. 4.1.3 Paralelisme Leksikosemantis Berdasarkan analisis paralelisme leksikosemantis ditemukan bentuk penyepasangan makna antarperangkat diad dalam tataran kata, frasa, dan kalimat. Dalam analisis paralelisme leksikosemantis mencakup: (a) sinonim adalah bentuk bahasa yang maknanya mirip atau sama dengan bentuk lain. Kesamaan itu berlaku pada kata, kelompok kata atau kalimat; (b) antitesis, yaitu penggunaan kata atau frasa yang bermakna berlawanan, hanya saja jumlahnya sangat terbatas; dan (c) sintesis adalah penggabungan unsur-unsur untuk membentuk ujaran dengan menggunakan alat bahasa yang ada. Jadi, penggabungan kata itu sama sekali tidak memiliki relasi makna sinonim atau antonim.

201 Keberadaan sintesis dapat memberikan sebuah makna yang utuh. Dari analisis paralelisme leksikosemantis, ternyata penyepasangan sinonim lebih dominan dibandingkan antitesis dan sintesis.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa struktur tekstual dalam Tutur Ritual Manenung (TRM) terdapat tiga tataran sebagai berikut. a Tataran superstruktur TRM yang terdiri atas bagian pendahuluan diawali dengan salam pembukaan, bagian inti memuat informasi tentang proses penyampaian pesan atau permohonan umat manusia melalui “roh beras” yang menjelma menjadi Putir Santang Bawi Sintung Uju; dan bagian penutup, bagian ini memuat informasi tentang berakhirnya tugas Putir Santang Bawi Sintung Uju memberikan petunjuk kepada umat manusia, kemudian kembali ke alamnya. b Tataran struktur makro, yaitu itu berupa kajian topik atau tema utama yang terdapat pada teks TRM. Dalam teks TRM, tema dikedepankan tentang permohonan kepada roh beras untuk memanggil sahur parapah (Putir Santang Bawi Sintung Uju) agar datang menyertai dan memberikan petunjuk kepada yang melaksanakan ritual manenung pada saat itu. c Tataran struktur mikro TRM adalah kajian kebahasaan yang terdapat dalam TRM, dalam konteks ini, yakni kajian tentang paralelisme. Paralelisme yang dikaji mencakup paralelisme fonologis, leksikogramatikal, dan leksikosemantis. Pada tataran fonologis ditemukan bunyi asonansi, bunyi aliterasi, dan bunyi berima. Pada tataran leksikogramatikal ditemukan perangkat diad yang berpasangan maksimal berjumlah sepuluh dan yang minimal berjumlah dua, sedangkan perangkat diad yang berjumlah sembilan tidak ditemukan dalam data TRM. Di samping itu juga ditemukan kalimat tunggal yang tidak berpasangan. Pasangan menurut kelas kata yang berpasangan dalam TRM adalah nominal, verbal, adjektiva, adverbial, pronomina, preposisi, konjungsi, dan numeralia. Pada tataran leksikosemantis, ditemukan pasangan bersinonim lebih dominan dibandingkan pasangan berantitesis dan bersintesis. Penyepasangan kalimat dengan kata-kata bersinonim ini merupakan ciri utama dalam bahasa Sangiang (BS). Secara keseluruhan, BS yang digunakan dalam TRM menunjukkan bahwa kesepadanan makna sinonim adalah hal yang paling utama daripada kesepadanan bunyi. Konteks ini bukan berarti mengabaikan kesepadanan, tetapi terdapat kesepadanan makna lebih didahulukan dan jika tidak terdapat kesepadanan makna bersinonim, akan disepadankan dengan kata yang berbunyi sepadan. Kesepadanan makna bersinonim tampak pada penggunaan kata-kata dengan makna yang berulang. Kesepadanan bunyi ini tampak pada penggunaan kata-kata dengan bunyi bersepadan atau bunyi harmonis meskipun tidak memiliki relasi makna.

Saran Berdasarkan temuan penelitian di atas, dikemukakan sejumlah saran sebagai berikut. a. Kajian lebih lanjut pada tataran linguistik makro dan mikro terhadap bahasa ritual, khususnya bahasa Sangiang sangat diperlukan sebagai pengkajian terhadap budaya yang lebih mendalam lagi. b. TRM merupakan salah satu dari tuturan ritual yang ada pada Masyarakat Dayak Hindu Kaharingan yang ada di Palangka Raya, khususnya dan Kalimantan Tengah umumnya, sehingga masih banyak tuturan ritual lain yang bisa diteliti oleh peneliti linguistik, terutama bidang mikro dan mikro. 202 c. Sebagai upaya pelestarian budaya lokal MDHK di Palangka Raya, khususnya dan Kalimantan Tengah Umumnya, mengingat semakin derasnya arus globalisasi sehingga bisa berdampak negatif terhadap keberadaan budaya lokal MDHK. Oleh sebab itu, diharapkan peran pemerintah setempat untuk melakukan revitalisasi terhadap kebudayaan lokal melalui lembaga adat, lembaga agama, dan lembaga masyarakat lain.

203 DAFTAR RUJUKAN

Brown, Gillian & Yule, George. 1996. Analisis Wacana. Terjemahan oleh I. Soetikno. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Bustan, Fransiskus. 2004. Wacana Kebudayaan Tudak dalam Ritual Penti pada Kelompok Etnik Manggarai di Flores Barat. Disertasi tidak diterbitkan. Denpasar: Program Doktor Unud. Dhavamony, Mariasusai. 1995. Fenomenologi Agama. Yogyakarta: Kanisius. Djajasudarma, Fatimah T. 1993. Metode Linguistik Ancangan Model Penelitian dan Kajian. Bandung: PT Eresco. Erom, Kletus. 2004. Ungkapan Paralelisme Bahasa Manggarai dan Dinamikanya dalam Realitas Sosial Budaya Manggarai. Tesis tidak diterbitkan. Denpasar: Program Pascasarjana Unud. Eriyanto. 2009. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LKIS Printing Cemerlang. Fairclough, Norman. 1994. Language and Power. New York: Longman Inc. (Online), http:// books.google.co.id/books/about/Language_and_power. html?id=5RJxAAAAIAAJ&redir_esc=y, diakses 14 Oktober 2011. Foley, William A. 1997. Anthopological Linguistics. An Introduction. Malden USA: Blackwell. Fox, J. James. 1986. Bahasa, Sastra, dan Sejarah: Kumpulan Karangan mengenai Masyarakat Pulau Roti. Jakarta: Djambatan. Hadi, Sumandiyo Y. 2006. Seni dalam Ritual Agama. Yogyakarta: Pustaka Jumadi. 2010. Wacana: Kajian Kekuasaan Berdasarkan Ancangan Etnografi Komunikasi dan Pragmatik. Yogyakarta: Pustaka Prisma. Kridalaksana, Harimurti. 2001. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Muhadjir, Noeng. 2007. Metodologi Keilmuan, Paradigma Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Yogyakarta: Rake Sarasin. Passandaran, Joko. 2000. Struktur Informasi dalam Teras Berita Majalah Berita Indonesia. Tesis tidak diterbitkan. Malang: IKIP Malang. Pastika, I Wayan. 2005. Linguistik Kebudayaan: Konsep dan Model. Linguistik Vol.12 No. 22. Denpasar Program Studi Magister dan Doktor: Udayana. Riwut, Nila. 2003. Menyelami Kekayaan Leluhur. Palangka Raya: Pustaka Lima. Sastriadi. 2006. Manawur: Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna. Tesis tidak diterbitkan. Denpasar: Program Pascasarjana Universitas Udayana. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa, Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan Secara Linguistik. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Sobur, Alex. 2006. Analisis Teks Media, Pengantar untuk Analisis Wacana Semiotik dan Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kualitatif, Kuantitif, dan R&D. Bandung: Alfabet. 204 Suteja, I Gusti Made. 2005. Teks dan Rekayasa Teks. Linguistik. Vol. 12, No. 22 Denpasar: Universitas Udayana. Van Dijk, Teun A. 1985. Semantic Discourse Analysis. Dalam Teun A. Van Dijk A, (Ed.), Handbook of Discourse Analysis. Vol. 2 Demensions of Discourse. London: Academic Press, Inc. Ltd.

205 PENGGUNAAN PEMODELAN UNTUK MENINGKATKAN KOMPETENSI SISWA SMPN 11 PALANGKA RAYA DALAM MENULIS NASKAH DRAMA BERDASARKAN CERPEN (THE USE OF MODELING TO IMPROVE THE COMPETENCY OF STUDENTS OF SMPN 11 PALANGKA RAYA IN WRITING DRAMA MANUSCRIPT BASED ON SHORT STORY)

Lukman Juhara SMPN 11 Palangka Raya, e-mail [email protected]

Abstract

The Use of Modelling to Improve the Competency of Students of SMPN 11 Palangka Raya in Writing Drama Manuscript Based on Short Story. The main problem of this research is the low result of student’s competence in writing the text of drama based on short story which is marked by (a) the text of drama which is less fitted to short story; (b) the information which is not brief; (c) less of understanding about composition of the text of drama; (d) less of understanding about the languange which is usually used in drama; (e) one has not mastered the usage of spelling and punctuation. The purpose of this research is (1) to describe form of teaching and learning in writing the text of drama based on short story through modeling; (2) to know and the result of students learning after following teaching and learning process through modelling in writing the text of drama based on short story; and (3) to know the students response towards teaching and learning through modelling in writing the text of drama based on short story. The research subject is 23 students of SMPN 11 Palangka Raya Class IX-1. This research uses qualitative approach. The data are taken from the result of students writing and questionare data. The technique of taking the data is done through test, questionaire, and observation. The technique of analizing the data is qualitative analysis. The results of writing the text of drama based on short story shows that improvement of students competence. The result of cycle I is the subject shows ability in writing the text of drama based on short story better the ability before. In cycle II, the subject can stabilize the ability which is gotten in cycle I. The subject can write the text of drama based on short story which they have read. All students get study completeness. They get 7,74 in cycle I, then improved to 7,88 in cycle II. The result of research shows that the use of modeling in writing the text of drama based on short story get positive response from students. They state (a) feel happy in following teaching learning process because by use modeling, writing text of drama based on short story is easier to do; (b) writing the text of drama based on short story by use modeling is a new way; (c) use of modeling help them learning the text of drama; and (d) use of modeling make the process of writing the text of drama more carefull and easier to be done.

Keywords: modeling, improve, text

Abstrak

Penggunaan Pemodelan untuk Meningkatkan Kompetensi Siswa SMPN 11 Palangka Raya dalam Menulis Naskah Drama berdasarkan Cerpen. Masalah utama dari penelitian ini adalah hasil rendahnya kompetensi siswa dalam menulis teks drama berdasarkan cerita pendek yang ditandai dengan (a) teks drama yang kurang pas untuk cerita pendek, (b) informasi yang tidak singkat, (c) kurang pemahaman tentang komposisi teks drama, (d) kurang pemahaman tentang bahasa yang biasanya digunakan dalam drama; (e) satu belum menguasai penggunaan ejaan dan tanda

206 baca. Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan bentuk pengajaran dan pembelajaran dalam menulis teks drama berdasarkan cerita pendek melalui pemodelan, (2) untuk mengetahui dan hasil belajar siswa setelah mengajar berikut proses belajar melalui pemodelan secara tertulis teks drama berdasarkan cerita pendek, dan (3) untuk mengetahui respon siswa terhadap pengajaran dan pembelajaran melalui pemodelan dalam menulis naskah drama berdasarkan cerita pendek. Subyek penelitian adalah 23 siswa SMPN 11 Palangka Raya Kelas IX-1. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Data diambil dari hasil tulisan siswa dan data kuesioner. Teknik pengambilan data dilakukan melalui tes, angket, dan observasi. Teknik analisa data adalah analisis kualitatif. Hasil penulisan naskah drama berdasarkan cerita pendek menunjukkan bahwa peningkatan kompetensi siswa. Hasil dari siklus I adalah subjek menunjukkan kemampuan dalam menulis teks drama berdasarkan cerita pendek yang lebih baik kemampuan sebelumnya. Pada siklus II, subjek dapat menstabilkan kemampuan yang diperoleh pada siklus I. subjek dapat menulis teks drama berdasarkan cerita pendek yang telah mereka baca. Semua siswa mendapatkan ketuntasan belajar. Mereka mendapatkan 7,74 pada siklus I, kemudian meningkat menjadi 7,88 pada siklus II. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan model dalam menulis teks drama berdasarkan cerpen mendapat respons positif dari siswa. Mereka menyatakan (a) merasa senang dalam mengajar berikut proses belajar karena dengan menggunakan pemodelan, menulis teks drama berdasarkan cerita pendek lebih mudah dilakukan, (b) menulis naskah drama berdasarkan cerita pendek dengan pemodelan digunakan adalah cara baru; (c) penggunaan pemodelan membantu mereka mempelajari teks drama, dan (d) penggunaan pemodelan membuat proses penulisan naskah drama yang lebih hati-hati dan lebih mudah untuk dilakukan.

Kata-kata kunci: pemodelan, meningkatkan, teks

PENDAHULUAN Istilah “pemodelan” berarti dalam mempelajari suatu keterampilan atau pengetahuan tertentu, ada model yang bisa ditiru (Tim Dikdasmen, 2003: 16). Selain itu, pemodelan adalah proses penampilan suatu contoh agar orang lain berpikir, bekerja, dan belajar. Pemodelan tidak jarang memerlukan siswa untuk berpikir dengan mengeluarkan suara keras dan mendemontrasikan apa yang akan dikerjakan siswa (Tim Dikdasmen, 2007: 8). Strategi pemodelan juga berarti memberi kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan keterampilan spesifik yang dipelajari di kelas melalui demonstrasi (Zaini, 2004: 78). Sementara itu, Joyce , Weil, dan Calhoun (2009: 6) menyatakan bahwa model pembelajaran merupakan contoh yang membantu siswa memperoleh informasi, gagasan, skill, nilai, cara berpikir, dan tujuan mengekspresikan diri mereka sendiri. Lalu, Sumiati dan Azra (2007: 16) menyatakan pemodelan, yaitu menghadirkan model sebagai contoh dalam kegiatan belajar. Siswa akan lebih mudah memahami dan menerapkan proses belajar jika dalam pembelajaran guru menyajikan dalam bentuk suatu model, bukan hanya berbentuk lisan. Dalam kaitannya dengan kegiatan belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen, siswa perlu mendapatkan model penulisan naskah drama yang difasilitasi oleh gurunya. Siswa harus dapat melihat model cara menulis naskah drama berdasarkan cerpen dalam upaya meningkatkan kompetensinya. Oleh karena itu, guru harus dapat menjadi model atau menampilkan model dalam kegiatan belajar menulis naskah drama bagi siswa-siswanya. Dengan demikian, pemodelan yang dimaksud di sini mengandung dua makna. Pertama, pemberian model atau contoh hasil pembelajaran yang harus dikuasai siswa setelah melaksanakan kegiatan pembelajaran. Kedua, model berupa proses yang diperagakan guru untuk membelajarkan siswa dalam menguasai keterampilan tertentu.

207 Penggunaan pemodelan dalam kegiatan belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu (1) penyampaian Kompetensi Dasar (KD) dan tujuan pembelajaran; (2) membaca cerpen dan naskah drama; (3) mengamati penggunaan pemodelan; dan (4) menulis naskah drama berdasarkan cerpen; (5) melakukan refleksi; dan (6) membuat simpulan. Tahapan tersebut dirancang oleh guru selaku peneliti agar kegiatan belajar dapat berlangsung sesuai rencana. Penilaian tulisan dilakukan oleh guru dan peneliti setelah siswa melakukan kegiatan pembelajaran pada setiap akhir siklus. Penilai dilakukan berdasarkan hasil tulisan siswa berupa naskah drama berdasarkan cerpen. Penilaian tulisan akan didasarkan pada setiap faktor yang menjadi unsur penilaian tulisan naskah drama. Ada beberapa unsur yang digunakan untuk menilai sebuah naskah drama yang ditulis berdasarkan cerpen. Suganda dan Mulyana (2005: 143) menyebutkan unsur yang dinilai dalam penulisan naskah drama berdasarkan cerpen adalah kaidah penulisan, kekhasan bahasa drama, dan kesesuaian naskah dengan isi cerpen. Senada dengan itu, Kuraesin (2005) menyebutkan unsur-unsur yang dinilai dalam penulisan naskah drama adalah (1) kesesuaian isi naskah, (2) kelengkapan unsur naskah yang meliputi alur (plot), penokohan, dialog, tema, latar, amanat atau pesan pengarang, petunjuk teknis, dan (3) kreativitas dan kerapian. Selanjutnya, Wahyudi dan Zuchdi (2009: 150) merumuskan unsur-unsur yang dinilai dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen adalah penulisan petunjuk khusus, alur cerita, penggambaran latar, penulisan dialog, dan petunjuk khusus atau keterangan. Lalu, Supriatna (2005: 160) menyebutkan ketepatan penggunaan kaidah penulisan naskah drama, kesesuai isi, dan kekhasan bahasa drama adalah hal-hal yang harus diperhatikan dalam menilai sebuah naskah drama yang ditulis berdasarkan karya sastra lain. Sementara itu, Nurhadi dan Dawud (2004:192) menguraikan aspek-aspek yang dinilai dalam penulisan naskah drama berdasarkan cerpen, yaitu (1) kejelasan masalah yang dihadapi tokoh, (2) daya tarik masalah yang dikembangkan, (3) pengembangan peristiwa, (4) pengembangan konflik, (5) pengembangan perwatakan, (6) kejelasan tema, (7) kejelasan latar, dan (8) kejelasan dialog. Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, secara ringkas, unsur-unsur yang dinilai dari naskah drama yang ditulis siswa meliputi (1) kesesuaian naskah dengan isi cerpen, (2) penggunaan kaidah penulisan naskah drama, (3) kekhasan bahasa drama, (4) deskripsi lakuan tokoh dan latar, dan (5) penggunaan ejaan dan tanda baca. Unsur-unsur tersebut dianggap secara representatif dianggap sudah memenuhi kriteria penilaian terhadap naskah drama yang ditulis berdasarkan cerpen. Masalah utama dalam penelitian ini adalah rendahnya kompetensi siswa dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen yang ditandai dengan (1) kurang sesuainya isi naskah drama dengan cerpen, (2) tidak ringkasnya keterangan, (3) kurangnya pemahaman tentang penyusunan naskah drama, (4) kurangnya pemahaman terhadap bahasa drama yang khas, dan (5) belum dikuasainya penggunaan ejaan yang disempurnakan dan tanda baca yang benar. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan proses belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen dengan menggunakan pemodelan, (2) mengetahui hasil belajar siswa setelah pelaksanaan pembelajaran dengan pemodelan dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen, dan (3) mengetahui respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran dengan pemodelan dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Subjek penelitian ini adalah siswa kelas IX-1 SMPN 11 Palangka Raya yang berjumlah 23 orang.

208 METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Data yang diambil adalah data hasil menulis siswa dan data angket. Teknik pengambilan data dilakukan melalui tes, angket, dan pengamatan. Teknik analisis yang digunakan adalah analisis kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN Rendahnya hasil tulisan siswa dalam menyusun naskah drama yang terjadi selama ini dilatarbelakangi oleh (1) kurangya guru memberikan pemodelan, (2) kurangnya pemahaman terhadap perbedaan naskah drama dan cerpen, (3) kurangnya penguasaan syarat-syarat bahasa naskah drama, dan (4) belum dikuasainya pemahaman tentang naskah drama merupakan masalah dalam belajar bahasa Indonesia di SMPN 11 Palangka Raya. Indikator keberhasilan siswa dalam menulis naskah drama dilihat pada penilaian unsur tulisan. Penilaian unsur tulisan diarahkan pada kompetensi menulis naskah drama siswa akan dikatakan meningkat jika hasil belajar pada siklus I lebih baik atau meningkat daripada sebelum adanya pemberian tindakan; hasil belajar siklus II lebih baik atau meningkat daripada hasil belajar pada siklus I. Hasil belajar dikatakan baik apabila satu unsur penilaian atau lebih dari kompetensi yang harus dikuasai siswa menunjukkan nilai positif atau mencapai Kriteria Ketuntasan Minimal. Berdasarkan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran, rencana pembelajaran yang telah disiapkan pada siklus II telah dapat dilaksanakan tertib, baik, dan lancar. Semua siswa dengan penuh semangat mengikuti kegiatan pembelajaran dari awal hingga akhir. Kenyataan ini tampak dari banyaknya siswa yang senantiasa tertib serta penuh gairah turut berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran. Siswa mengalami perkembangan kemampuan menulis naskah drama berdasarkan cerpen pada siklus II secara signifikan. Mereka dapat mengerjakan tugas dengan jumlah halaman cerpen yang lebih banyak daripada cerpen yang dikerjakan pada kegiatan pratindakan dan siklus I. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemampuan dalam menulis naskah drama mengalami peningkatan. Hasil pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa rencana pelaksanaan pembelajaran yang telah disiapkan telah dapat dilaksanakan dengan lancar tanpa hambatan yang berarti. Para siswa tampak bersemangat dan menaruh minat terhadap kegiatan pembelajaran. Mereka tampak tenang, tertib, dan disiplin dalam kegiatan pembelajaran, tetapi tetap dalam suasana yang relaks dan menyenangkan. Keaktifan subjek penelitian selama kegiatan pembelajaran juga memperlihatkan hasil yang baik. Aktivitas menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Semua subjek dapat menulis naskah drama berdasarkan cerpen dengan baik pula. Aspek-aspek yang harus dipenuhi dalam penyusunan naskah drama juga sudah dapat dipenuhi sehingga menghasilkan kemampuan yang standar dan memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Dari segi penggunaan waktu, memang cukup bervariasi antara siswa yang satu dengan siswa yang lain dalam menyelesaikan tugas menulis naskah drama. Hal itu terjadi pada setiap siklus. Perbedaan waktu yang bervariasi dalam menulis naskah lebih banyak disebabkan oleh panjang aatau pendeknya cerpen yang harus disusun menjadi naskah drama. Namun, semua bisa dilaksanakan tidak melebihi batas alokasi tatap muka setelah awali dengan kegiatan pendahuluan dan dapat diakhiri dengan refleksi. Hasil wawancara antara peneliti dan subjek penelitian juga menunjukkan bahwa siswa merasa cocok dengan penggunaan pemodelan. Semua subjek, bahkan semua siswa menyatakan setuju

209 dengan proses belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen dengan penggunaan pemodelan. Mereka juga menyatakan senang dengan model pembelajaran tersebut. Menurut mereka cara guru mengelola kegiatan pembelajaran juga sudah baik sehingga siswa serius dan bergairah dalam belajar. Siswa juga mengakui bisa menguasai kompetensi yang telah dipelajari bersama bimbingan guru melalui pemodelan. Hal lain yang diperoleh dari hasil wawancara adalah siswa-siswa telah diberikan kesempatan oleh guru untuk melakukan diskusi dalam memecahkan masalah. Mereka juga telah mendapatkan kesempatan untuk bertanya dan mengekspresikan hasil karyanya. Dengan demikian, menurut mereka penggunaan pemodelan yang telah dilakukan guru benar- benar telah meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Berdasarkan uraian tersebut, dapat dinyatakan bahwa semua subjek telah mencapai tujuan pembelajaran yang direncanakan dan diharapkan sebelumnya. Tujuan pembelajaran yang diharapkan pada siklus II ini, yaitu menulis naskah drama berdasarkan cerpen yang telah dibaca. Berkaitan dengan kenyataan ini dapat dinyatakan bahwa tindakan pembelajaran yang dilaksanakan pada siklus II telah berhasil dengan baik. Dengan demikian, pelaksanaan tindakan pembelajaran dalam dua siklus dinyatakan telah selesai. Berdasarkan hal tersebut, dikatakan bahwa kemampuan siswa dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen mengalami peningkatan. Kemampuan siswa menulis naskah drama berdasarkan cerpen pada siklus I tampak lebih baik daripada kemampuan saat pratindakan. Hasil kemampuan sudah mencapai nilai lebih dari Kriteria Ketuntasan Minimal, yakni 65. Begitu juga hasil kemampuan menulis naskah drama berdasarkan cerpen pada siklus II juga menunjukan kemantapan hasil seperti pada siklus I. Hal ini ditunjukkan dengan adanya peningkatan nilai yang menunjukkan adanya peningkatan kemampuan siswa. Berdasarkan hasil kemampuan pada siklus I dan siklus II yang telah menunjukkan adanya kemantapan, dapat dinyatakan siklus II sudah dapat untuk menyatakan bahwa penggunaan pemodelan telah meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Secara umum, siswa telah memberikan tanggapan positif terhadap kegiatan belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Berdasarkan tanggapan siswa terhadap yang ditunjukkan dengan pilihan kategori pernyataan melalui pengisian angket, dapat dikatakan bahwa menulis naskah drama dengan penggunaan pemodelan dapat membuat (1) siswa senang mengikuti pembelajaran karena hal itu merupakan sesuatu yang baru bagi mereka, (2) siswa merasa lebih mudah menulis naskah drama, (3) siswa sangat terbantu dalam mempelajari naskah drama, (4) mengetahui hal yang sudah dipahami dan belum dipahami dalam menulis naskah drama, (5) siswa merasa lebih mudah dalam menyelesaikan tugas menulis naskah drama berdasarkan cerpen, dan (6) siswa merasa tergiring untuk lebih cermat dalam menyusun naskah drama. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumiyadi dan Rafnis (2009: 55) yang menyatakan bahwa pembuatan suatu model naskah drama yang disusun secara sistematis dari sebuah cerita pendek akan dapat membantu siswa dalam belajar menulis naskah drama berdasarkan karya sastra yang lain. Pernyataan siswa tersebut telah ditunjukkan oleh pernyataan nomor 1. Siswa yang memilih kategori setuju dan sangat setuju sebanyak 87% atau 20 siswa dari jumlah seluruh siswa 23 orang. Mereka juga senang mengikuti pembelajaran dengan pemodelan karena dapat menemukan sesuatu yang baru seperti terdapat pada pernyataan nomor tiga dengan kategori setuju dan sangat setuju sebanyak 97% dan hanya satu siswa atau 3% yang memilih kategori ragu-ragu. Sementara itu, pernyataan nomor 5 yang menyebutkan tidak senang menulis naskah drama berdasarkan cerpen dengan menggunakan pemodelan karena tidak ada yang diperoleh dengan cara tersebut dipilih oleh sebanyak 20 siswa atau 87%. Hanya tiga siswa atau 13% yang memilih kategori ragu-ragu dan setuju terhadap pernyataan tersebut. Berkenaan dengan hal itu, hal senada

210 juga ditunjukkan oleh pilihan siswa untuk pernyataan nomor 10 sebanyak seluruh siswa atau 100% pada kategori setuju dan sangat setuju. Sementara pernyataan nomor 2 yang menyatakan bahwa menulis naskah drama berdasarkan cerpen hanya membuang-buang waktu, sebanyak 19 siswa atau 83% menyatakan tidak setuju dan sangat tidak setuju. Meskipun hasilnya tidak sama antara pernyataan nomor 10 yang bernada positif dan pernyataan nomor 2 yang bernada negatif, kenyataan ini menunjukkan bahwa sebagian besar siswa pada dasarnya setuju atau sangat setuju dengan penggunaan pemodelan dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Selanjutnya, berkaitan dengan manfaat yang mereka rasakan seperti yang ditunjukkan pada pernyataan nomor 4, siswa yang menyatakan setuju dan sangat setuju bahwa penggunaan pemodelan dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen membuat lebih mudah sebanyak 22 siswa atau 97% dan yang hanya satu siswa atau 3% yang menyatakan ragu-ragu. Pengggunaan pemodelan juga sangat membantu siswa dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Pernyatan yang tertuang pada nomor 7 tersebut dipilih siswa dengan kategori setuju dan sangat setuju sebanyak 100%. Bahkan, siswa juga juga menyadari bahwa penggunaan pemodelan membuat mereka dapat memahami sesuatu yang belum dan sudah dipahami. Kenyataan ini dibuktikan pada pernyataan nomor 8 yang dipilih siswa dengan kategori setuju dan sangat setuju sebanyak 100%. Penggunaan pemodelan juga diakui sangat mempermudah dalam menyelesaikan tugas menulis naskah drama berdasarkan cerpen. Hal ini diakui siswa dengan pilihan pernyataan nomor 9 dengan dengan kategori setuju dan sangat setuju yang dipilih siswa sebanyak 100%. Berdasarkan kenyataan tersebut, dapat ditarik simpulan bahwa pada umumnya atau sebagian besar atau lebih dari 80% siswa menunjukkan sikap positif terhadap kegiatan belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen dengan penggunaan pemodelan. Sikap positif tersebut secara meyakinkan telah ditunjukkan mereka berdasarkan pengisian angket yang telah dilakukan. Hasil belajar menulis naskah drama berdasarkan cerpen menunjukkan adanya peningkatan kompetensi. Hasil belajar yang diperoleh pada siklus I, subjek penelitian telah menunjukkan kemampuan menulis naskah drama berdasarkan cerpen dengan lebih baik daripada pada kegiatan pratindakan. Pada siklus II, subjek penelitian dapat memantapkan kemampuan yang telah diperoleh pada siklus I. Subjek dapat menghasilkan naskah drama berdasarkan cerpen yang telah dibacanya. Semua siswa juga memperoleh ketuntasan belajar, dengan nilai rata-rata pada siklus I, yaitu 7,74 meningkat menjadi 7,88 pada siklus II.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Hasil penelitian telah menunjukkan bahwa penggunaan pemodelan dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen mendapat respon yang positif dari siswa-siswa. Mereka menyatakan (a) senang mengikuti karena pembelajaran dengan penggunaan pemodelan sangat memudahkan mereka dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen, (b) menulis naskah drama berdasarkan cerpen dengan penggunaan pemodelan merupakan hal yang baru, (c) penggunaan pemodelan sangat membantu dalam mempelajari penulisan naskah drama, dan (d) penggunaan pemodelan menggiring mereka untuk lebih cermat dan mudah dalam menyusun naskah drama.

Saran Ada beberapa saran yang dapat dipertimbangkan, yaitu: (1) guru Bahasa Indonesia sebaiknya dapat menggunakan pemodelan dalam kegiatan menulis sastra, terutama dalam menulis naskah drama berdasarkan cerpen; (2) cerpen yang digunakan dalam kegiatan menulis naskah drama

211 sebaiknya tidak terlalu panjang dan tidak terlalu rumit. Sebaiknya cerpen yang dijadikan bahan penulisan naskah drama juga yang banyak memiliki dialog karena ciri khas naskah drama pada umumnya adalah berisi dialog para tokohnya; (3) hasil penelitian ini, hendaknya dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan buku teks pelajaran Bahasa Indonesia; dan (4) Peneliti selanjutnya dapat mengembangkan penelitian tentang penggunaan pemodelan pada kegiatan belajar menulis teks sastra dan nonsastra.

212 DAFTAR RUJUKAN

Joyce, Bruce, Weil, Marsha, dan Calhoun, Emily. 2009. Models of Teaching, Model-Model Pengajaran. Terjemahan oleh Achmad Fawaid dan Ateilla Mirza. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kuraesin, Nunung. 2005. Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas IX. Bandung: Remaja Rosdakarya. Nurhadi dan Dawud. 2004. Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas IX. Bandung: Erlangga. Suganda, Elia dan Mulyana, Moh. Agus. 2005. Bahasa dan Sastra Indonesia Kelas IX. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sumiyadi dan Rafnis. 2009. Kesastraan untuk MGMP SMP. Jakarta: PMPTK. Sumiati dan Azra. 2007. Metode Pembelajaran. Bandung: Wacana Prima. Supriatna, Agus. 2005. Bahasa dan Sastra Indonesia. Bandung: Pribumi Mekar. Tim Dikdasmen. 2003. Pendekatan Kontekstual. Jakarta: Depdiknas. Tim Dikdasmen. 2007. Pendekatan Kontekstual untuk SMP. Jakarta: Depdiknas. Wahyudi, Johan dan Zuchdi, Darmiyati. 2009. Bahasaku Bahasa Indonesia 3 untuk Kelas IX SMP dan MTs. Solo: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri. Zaini, Hisyam. 2004. Strategi Pembelajaran Aktif. Yogyakarta: CTSD.

213 MAKNA DALAM UNGKAPAN BAHASA BANJAR (MEANING IN BANJARESE EXPRESSIONS)

Zulkifli Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail [email protected]

Abstract

Meaning in Banjarese expressions. Expression as a part of culture has its own certain meaning. Particularly, Banjarese expressions have meanings by which one can make them as behavioral parameters in acting out his life in the society and as best means in creating individuals so he can put himself appropriately in the society interaction.

Keywords: meaning, expression, banjarese

Abstrak

Makna dalam Ungkapan Bahasa Banjar. Ungkapan sebagai bagian dari budaya memiliki makna tertentu. Ungkapan bahasa Banjar memiliki makna yang dapat dijadikan acuan berperilaku dalam bermasyarakat dan dapat dijadikan sebagai sarana untuk membentuk pribadi yang dapat menempatkan dirinya dalam pergaulan di masyarakat.

Kata-kata kunci: makna, ungkapan, bahasa banjar

PENDAHULUAN Ungkapan merupakan bagian dari khazanah budaya. Tiap daerah memiliki ungkapan sebagai salah satu kekayaan budayanya yang telah ada sejak lama. Carventers (dalam Dananjaya, 1986:28) mengemukakan bahwa ungkapan adalah kalimat pendek yang disarikan dari pengalaman panjang. Kemudian, bisa saja sebuah ungkapan itu hanya berwujud satu atau dua kata yang belum berstatus sebagai kalimat. Masyarakat Banjar memiliki banyak ungkapan yang hidup atau dipakai sejak dahulu hingga sekarang. Ungkapan-ungkapan itu merupakan bagian dari kekayaan budaya Banjar. Dari waktu ke waktu, ungkapan bahasa Banjar terus mendapat perhatian masyarakat Banjar dan masih dianggap relevan dalam konteks kehidupan masyarakat Banjar saat ini. Walaupun, ungkapan- ungkapan itu tidak semuanya dikenal oleh generasi muda Banjar saat ini. Karena itu, kajian ungjkapan bahasa Banjar ini merupakan upaya untuk melestarikan ungkapan sebagai sesuatu yang di dalamnya memiliki makna yang patut untuk dijadikan renungan, bahkan panduan dalam bertingkah laku sehari-hari. Budaya Banjar mengalami perubahan dan telah sekian lama berproses sebagai bagian dari kebudayaan nasional (Ideham, dkk., 2005). Salah satu unsur budaya Banjar adalah sastra Banjar, yang di dalamnya termasuk berupa ungkapan bahasa Banjar. Ungkapan bahasa Banjar (yang terkadang disebut sebagai ungkapan tradisional Banjar) cukup banyak mendapat perhatian, baik oleh peneliti budaya Banjar maupun oleh mereka yang menulis (membukukan) secara khusus ungkapan bahasa Banjar. Maswan, dkk. (1984) melakukan penelitian tentang Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Kalimantan Selatan, Makkie dan Seman (1996) telah 214 membukukan Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Banjar. Hasil penelitian dan penulisan buku yang berisi ungkapan ini sebagai bagian dari upaya untuk melestarikan budaya Banjar. Ungkapan sebagai bagian dari budaya Banjar tentu sudah dikenal oleh masyarakat Banjar. Betapapun sebuah budaya tentu telah menjadi bagian dari kehidupan para pendukung budaya itu, sekaligus dianggap sebagai sesuatu yang patut untuk diperpegangi. Dalam perkembangannya, sebuah budaya akan berubah sesuai dengan gerak kehidupan pendukungnya, sesuai dengan pola pikir dan pengaruh-pengaruh yang melingkupinya. Namun, perubahan itu tidak akan secara mutlak mengubah substansi dari budayanya sendiri. Hal ini terkait dengan prinsip bahwa sebuah budaya itu merupakan hasil ekspresi dan bentukan pendukungnya atau pemiliknya yang telah berabad-abad menyertai masyarakat pendukung budaya itu sendiri. Ungkapan bahasa Banjar juga bagian dari sastra lisan Banjar yang sudah mentradisi. Penggunaan ungkapan tentu dilakukan secara lisan atau dalam kegiatan bertutur. Masyarakat Banjar dikenal suka bergaul, suka bercengkerama satu sama lain. Pada saat senggang, mereka berkumpul dalam suasana kekeluargaan. Mereka pun mempercakapkan tentang kehidupan sehari-hari, baik yang berkenaan dengan mata pencaharian, tentang agama, tentang keluarga, maupun hal lain yang dianggap menarik atau memerlukan perhatian bersama. Dalam suasana-suasana seperti itulah, ungkapan sering muncul dan digunakan sebagai penambah keakraban sesama mereka. Ungkapan bisa dimaksudkan sebagai hiburan, juga bisa dimaksudkan sebagai nasihat atau pelajaran untuk kehidupan bersama dan sekaligus untuk penanaman nilai- nilai perilaku untuk semua warga Banjar. Sasaran penggunaan ungkapan bahasa Banjar tentu saja adalah untuk warga masyarakat Banjar. Ungkapan yang dimunculkan tentunya berbahasa Banjar dan ditujukan untuk warga atau urang Banjar. Sasaran ungkapan secara dengan sendirinya akan memahami ungkapan yang didengarnya atau yang ditujukan kepadanya karena pengungkapannya dengan bahasa Banjar, bahasa sehari-hari mereka. Adapun pemahaman terhadap makna ungkapan itu amat bergantung pada daya nalar dan kepekaan masing-masing pribadi yang menerima ungkapan tersebut. Ada sebagian orang yang dengan cepat memahami maksud ungkapan yang didengarnya (atau ditujukan kepadanya), ada pula harus meminta orang lain untuk mengungkapkan maknanya. Ungkapan bahasa Banjar ditujukan untuk semua warga, baik mereka yang sudah dewasa, pemuda, bahkan bisa pula ditujukan untuk anak-anak yang berusia puluhan tahun.

METODE Penelitian ini menggunakan metode deskriptif untuk mendeskripsikan makna dalam ungkapan Banjar. Makna dalam ungkapan Banjar tersebut baru dapat dideskripsikan setelah terlebih dahulu peneliti memahami maksud kata-kata dalam ungkapan Banjar tersebut. Selain itu, untuk lebih memperkuat hasil analisis dan pembahasan, peneliti juga melakukan wawancara dan diskusi teman sejawat untuk mengecek kebenaran atau kesesuaian makna ungkapan Banjar tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN Makna Ungkapan Bahasa Banjar Pada bagian ini dikemukakan beberapa ungkapan bahasa Banjar dan berikut maknanya. Tentu saja analisis makna ungkapan ini tidak secara mutlak mengungkapkan apa yang menjadi makna ungkapan itu sendiri. Makna ungkapan bisa berkembang, menjadi meluas, sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat Banjar dan/atau karena adanya pengaruh suasana

215 kehidupan yang semakin beragam, termasuk adanya hasil interaksi antarbudaya daerah. Namun, ungkapan bahasa Banjar pada dasarnya tetap merupakan bagian dari khazanah budaya Banjar.

Jangan ragap papan Jangan ragap papan (Jangan memeluk papan) bermakna bahwa seseorang tidak dibenarkan menerima sesuatu secara langsung, tanpa mempertimbangkan atau tanpa memahami apa yang diterimanya itu. Ungkapan ini memberikan isyarat atau ajaran bahwa setiap orang hendaknya menggunakan akal pikirannya dalam berhadapan dengan sesuatu agar tidak terjerat atau tidak terjerumus kepada hal-hal yang merugikan dirinya. Ungkapan ini juga memberikan pelajaran agar setiap orang dapat meningkatkan daya pikirnya serta harus belajar dengan baik agar hidupnya menjadi lebih terarah dan mandiri. Ungkapan ini mendorong setiap orang untuk lebih percaya diri atau mendorong kea rah hidup yang mandiri.

Bapandir baadat Bapandir baadat (berbicara beradat) bermakna bahwa seseorang jika berbicara hendaknya memperhatikan atau mengikuti adat atau aturan yang berlaku di tempat ia berbicara. Seseorang tidak dibenarkan berbicara bebas, tanpa mengindahkan aturan yang berlaku di masyarakat. Setiap tutur kata yang diucapkan haruslah mempertimbangkan baik-buruknya dampak yang ditimbulkannya. Jika seseorang berbicara tanpa disertai dengan pertimbangan, bisa merusak tata pergaulan di masyarakat.

Balang kambingan Balang kambingan (berwarna seperti kambing) ditujukan kepada seseorang yang tidak menjalankan agamanya dengan baik. Suatu waktu ia tampak rajin beribadah, tekun mengabdi kepada Tuhannya, di lain waktu ia menjadi malas atau melalaikan perintah Tuhannya. Ungkapan ini menggambarkan ketidak-konsistenan seseorang dalam menjalankan ajaran agamanya.

Sarantang saruntung Sarantang saruntung (serantang seruntung) bermakna suatu ikatan persaudaraan yang sangat akrab. Seseorang yang berteman sangat dekat dengan yang lain, biasanya disebut sarantang saruntung. Mereka yang sarantang saruntung ini biasanya bepergian berdua ke mana-mana, sering makan bersama, kedua pihak keluarganya pun sudah saling mengenal. Persaudaraan ini berlangsung sejak lama, ada yang sudah 20 tahunan lebih. Jika hanya berteman dua atau tiga tahunan, belum disebut sebagai sarantang saruntung. Mereka yang sarantang saruntung hidupnya saling menolong, saling memperhatikan, dan tingkat keakrabannya sudah seperti saudara kandung atau dalam bahasa Banjar juga disebut badangsanakan (bersaudara).

Panuntut banar Seseorang yang sangat gemar menuntut ilmu dijuluki dengan ungkapan panuntut banar. Arah ilmu yang dituju lebih banyak mengarah pada pencarian ilmu pengetahuan agama Islam, walaupun dapat diterapkan untuk mencari ilmu secara umum. Orang yang disebut panuntut banar biasanya gemar mendengarkan pengajian agama, berguru dari satu guru ke guru yang lain. Ia dengan tekun belajar atau melanjutkan studinya ke jenjang yang lebih tinggi. Orang- orang seperti ini sangat disegani dalam pergaulan di masyarakat Banjar. Pembicaraannya pun selalu diperhatikan oleh warga, sekaligus dianggap sebagai panutan.

216 Pandirannya mahalang rabah Pandirannya mahalang rabah bermakna bahwa seseorang yang tidak mempunyai pendirian tetap. Orang yang demikian tidak mampu menentukan sikap. Jika ia berbicara, arahnya tidak jelas. Jika dimintai bersikap, maka ia pun ragu. Orang yang pandirannya mahalang rabah tidak bisa dijadikan pemimpin karena ia sulit mengambil keputusan dan mudah untuk dipengaruhi oleh orang lain.

Kada manyusuri pinggir tapih Kada manyusuri pinggih tapih (tidak menelusuri tepi sarung) menggambarkan seseorang yang tidak mampu menilai keadaan diri. Orang seperti ini cenderung tidak bisa menempatkan diri dalam pergaulan di masyarakat, cenderung pula lebih mementingkan diri sendiri, kurang memperhatikan keberadaan orang lain.

Basusuluh Basusuluh (meneliti sesuatu) dimaksudkan sebagai suatu usaha seseorang atau suatu keluarga yang meneliti keadaan seseorang yang akan dijadikan menantu. Sebelum acara pelamaran (meminang), biasanya kedua keluarga saling basusuluh, baik secara langsung maupun tidak langsung. Dengan basusuluh ini diharapkan pihak keluarga tidak keliru memilih menantu, tidak akan ada penyesalan di kemudian hari. Dengan basusuluh ini tentu akan diperoleh gambaran selengkapnya mengenai calon menantu, bagaimana silsilah keturunannya, bagaimana keseharian keluarganya, bagaimana perilakunya, apa pekerjaannya, apa latar belakang pendidikannya, dan sebagainya.

Masin pandirannya Masin pandirannya (asin pembicaraannya) ditujukan kepada seseorang yang setiap pembicaraannya selalu diperhatikan oleh lawan bicaranya. Pembicaraannya dianggap berwibawa, orang yang mendengarnya cenderung mengikuti apa yang dia tuturkan. Biasanya, orang yang masin pandirannya disegani dan ditokohkan di suatu masyarakat. Ia sering dimintai pendapat oleh warganya, bahkan jika ada masalah (misalnya pertikaian antarwarga), ia dipercaya untuk menyelesaikannya. Kedua pihak yang bertikai pun akan dapat menerima pemecahan yang diusulkan oleh orang yang masin pandirannya itu.

Waja sampai ka puting Waja sampai ka puting (baja sampai ke ujung) bermakna bahwa bila mengerjakan sesuatu harus sampai tuntas. Waja (baja) merupakan jenis logam yang kuat, bila dijadikan sebagai bahan senjata (pisau, mandau, parang, dan lain-lain), senjata itu akan tahan lama dan sangat kuat. Ungkapan ini sangat dikenal di kalangan masyarakat Banjar. Ungkapan ini mengajarkan bahwa setiap pekerjaan harus dilaksanakan dengan sungguh, tidak boleh berputus asa. Ungkapan ini juga sangat dikenal saat-saat perjuangan masyarakat Banjar melawan penjajah.

Gawi sabumi Gawi sabumi (kerja sebumi) maksudnya bahwa suatu pekerjaan hendaknya dilakukan secara bersama-sama, sehingga bila pekerjaan itu berat dan banyak, maka pekejeraan itu akan menjadi lebih ringan. Ungkapan ini memberikan pelajaran agar semua warga saling membantu, saling peduli. Gawi sabumi sangat terasa pada saat suatu keluarga akan mengadakan upacara perkawinan, maka segenap warga yang lain segera ikut membantu atau ikut mengerjakan sesuatu yang memperlancar pelaksanaan upacara perkawinan tersebut. Gawi sabumi ini juga berlaku dalam

217 banyak kegiatan, misalnya dalam rangka membuat jembatan, memperbaiki jalan, mendirikan tempat ibadah, bahkan juga saat ada warga yang akan mendirikan rumah.

Kayuh baimbai Kayuh baimbai (mendayung serentak) maksudnya hampir sama dengan ungkapan gawi sabumi yang maksudnya bahwa suatu pekerjaan hendaknya dikerjakan secara serentak dan bersama- sama. Kayuh baimbai bermakna bahwa jika ada pekerjaan, maka harus dilakukan secara serentak, jangan ada yang tidak berperan, cara mengerjakannya pun harus terarah, masing-masing orang harus berperan langsung atau memberi andil untuk memperoleh hasil yang baik.

Pandir batata Pandir batata (berbicara dengan teratur) menggambarkan bahwa setiap orang haruslah mampu menata pembicaraannya. Orang yang pandir batata akan disenangi oleh orang di sekitarnya, orang lain yang mendengar pembicaraannya merasa tenteram dan selalu bersemangat mengikuti pembicaraannya.

Ampun urang-ampun urang, ampun saurang-ampun saurang Ampun urang-ampun urang, ampun saurang-ampun saurang (kepunyaan orang-kepunyaan orang, kepunyaan sendiri-kepunyaan sendiri) bermakna bahwa setiap orang haruslah mengerti dan menyadari akan hak-haknya dan hak-hak orang lain. Ungkapan ini menanamkan bahwa seseorang tidak boleh mengambil milik orang lain, kejujuran harus diterapkan. Ungkapan ini juga memberikan pelajaran bahwa setiap orang harus bertindak hati-hati, termasuk jika diberikan amanah atau tugas tertentu agar dijalankan sesuai dengan kewenangan dan rambu-rambu yang telah ditetapkan.

Tahu adat Tahu adat (mengerti aturan) ditujukan kepada seseorang yang dapat menerapkan atau mengikuti aturan yang berlaku. Jika seseorang dikatakan tidak tahu adat berarti ia telah melanggar aturan, menentang adat, sekaligus tidak mampu menempatkan dirinya dalam pergaulan di masyarakat. Karena itu, setiap warga Banjar hendaknya menjadi orang yang tahu adat.

Bakalahi badahulu Bakalahi baduhulu (berkelahi lebih dahulu) maksudnya dalam pergaulan atau dalam suatu kegiatan bisnis hendaklah dapat dirundingkan dengan baik, terbuka, jangan ada yang ditutupi, sehingga di waktu akan datang tidak akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Semua pihak yang terlibat di dalam suatu kegiatan (misalnya dalam bisnis atau usaha) sudah sejak awal memahami secara rinci apa-apa yang akan dilakukan, apa-apa yang harus dipenuhi.

Sambut saluangan Sambut saluangan (sambut ikan seluang) menggambarkan seseorang yang tidak mampu mengendalikan diri, terutama saat berbicara dengan orang lain. Orang yang dikatakan sambut saluangan cenderung tidak bisa mendengarkan pembicaraan orang lain, ia lebih mengutamakan pembicaraannya. Lawan bicaranya sama sekali tidak diperhitungkan. Orang seperti ini agak sulit untuk maju karena kurang bisa menerima informasi (termasuk berupa ilmu pengetahuan) dari orang lain. Seharusnya, seseorang harus mau dan mampu mendengarkan tuturan orang lain, sehingga ia akan memperoleh informasi lebnuh banyak, bahkan ia akan mendapatkan ilmu pengetahuan.

218 Kada nyaman maliatakan Kada nyaman maliatakan (tidak nyaman membiarkan) ditujukan kepada seseorang yang memiliki sifat peduli yang tinggi terhadap orang lain, ia selalu ingin ikut membantu orang lain, mengutamakan kepentingan orang banyak. Ia tidak tenteram jika ada sesuatu yang kurang baik, ia segera ikut memperbaikinya. Orang seperti ini akan sangat disenangi dan disegani dalam pergaulan di masyarakat. Bila ia kaya, ia akan dermawan. Ia berusaha selalu ikut dalam membangun masyarakat sekitarnya, sesuai dengan kemampuannya.

Dimaklumi Dimaklumi (diketahui) ditujukan kepada seseorang yang berperilaku kurang baik, peruilakunya cenderung selalu menyusahkan atau membuat bosan orang lain. Bila hal ini terus berlangsung, biasanya orang-orang di sekitarnya menyebutnya dimaklumi. Dimaklumi merupakan ungkapan yang disandarkan kepada seseorang yang tidak diperhitungkan lagi keberadaannya di masyarakat, orang-orang sudah menganggapnya seperti apa adanya, semacam pembiaran terhadap perilaku seseorang, asalkan tidak membahayakan orang banyak. Karena itu, janganlah kita menjadi orang yang dimaklumi atau orang yang tidak diperhitungkan lagi keberadaannya di masyarakat.

Babuang hintalu sabigi Babuang hintalu sabigi (menghilangkan telur sebutir) ditujukan kepada suatu keluarga atau masyarakat dihadapkan kepada satu orang yang tindakannya kurang baik, selalu membuat susah keluarga atau orang lain. Karena itu, yang bersangkutan tidak dipedulikan lagi atau harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku. Karena itu, keluarga atau masyarakat rela mengorbankan satu orang daripada harus merugikan banyak orang.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Ungkapan bahasa Banjar sampai sekarang masih relevan dengan kehidupan masyarakat Banjar saat ini. Di dalam ungkapan terdapat banyak makna yang bermanfaat bagi pendidikan perilaku warga Banjar. Ungkapan bahasa Banjar yang dituturkan secara turun-temurun perlu dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan budaya Banjar. Ungkapan-ungkapan bahasa Banjar dibentuk dengan unsur-unsur kosakata bahasa Banjar yang khas.

219 DAFTAR RUJUKAN

Dananjaya, James. 1986. Folklor Indonesia: Ilmu, Gosif, Dongeng dan lain-lain.Jakarta: Pustaka Grafiti. Ideham, Suriansyah, dkk. 2005. Urang Banjar dan Kebudayaannya. Banjarmasin: Balai Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan. Makkie, Ahmad dan Syamsiar Seman. 1996. Peribahasa dan Ungkapan Tradisional Daerah Banjar. Banjarmasin: Dewan Kesenian Daerah Kalimantan Selatan. Maswan, Syukrani, dkk. 1984. Ungkapan Tradisional sebagai Sumber Informasi Kebudayaan Daerah Kalimantan Selatan. Jakarta: Depdikbud.

220 THE IMPLEMENTATION OF EXTENSIVE READING PROGRAM TO IMPROVE THE READING SKILLS OF THE ENGLISH DEPARTMENT STUDENTS ACADEMIC YEAR 2010/2011 (IMPLEMENTASI PROGRAM MEMBACA EKSTENSIF UNTUK MENINGKATKAN KETERAMPILAN MEMBACA MAHASISWA PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA INGGRIS TAHUN AKADEMIK 2010/2011)

Jumariati Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail [email protected]

Abstract

The Implementation of Extensive Reading Program to Improve the Reading Skills of the English Department Students Academic Year 2010/2011. This study is aimed at implementing the Extensive Reading (ER) program to improve the students’ skills in reading and revealing students’ attitude towards the ER program. The subjects of the research are the students of Reading III Course in class B1 and B2.The instruments used are the reading test and questionnaire. The test is to measure the students’ abilities before and after the treatment while the questionnaire is to explore students’ attitude towards the ER program. Based on the research findings, ER is effective to improve students’ reading skills. The mean score on the test after the treatment is increased as much as 9.80 points. Moreover, the analysis on the test result shows that Ha is received

while Ho is rejected (showing by t0> ttest). This is to say that there is significant difference on students’ reading abilities. Furthermore, the results of the questionnaire reveal the students’ positive attitude towards the implementation of ER. They mention that the program enriches their vocabulary, sharpens their skills in finding main idea, finding important details, guessing meaning from context, making inference, and encourages them to read English texts. Thus, it can be concluded that ER is effective to improve students’ reading skills and also to build positive attitude towards reading English texts. Based on the findings, it is suggested to apply this program in teaching either in the Reading Courses or other relevant courses in the English Department of FKIP Unlam or other schools.

Keywords: extensive reading, improve, reading skills

Abstrak

Implementasi Program Membaca Ekstensif untuk Meningkatkan Keterampilan Membaca Mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris Tahun Akademik 2010/2011. Studi ini bertujuan menerapkan program Ekstensif Reading(ER) untuk meningkatkan keterampilan membaca siswa dan untuk mengungkap respon/sikap siswa terhadap program tersebut. Subyek penelitian adalah siswa mata kuliah Reading III kelas B1 dan B2. Instrumen penelitian yang digunakan adalah tes dan angket. Tes ditujukan untuk mengukur kemampuan siswa membaca sebelum dan setelah program dilaksanakan sedangkan angket untuk mengetahui respon siswa terhadap program tersebut. Berdasarkan hasil temuan, ER efektif meningkatkan keterampilan membaca siswa. Nilai rata-rata hasil tes setelah program dilaksanakan meningkat sebesar 9.80 poin. Terlebih lagi, analisis hasil tes menunjukkan bahwa hipotesa alternatif (Ha)

diterima, sedangkan Ho ditolak (dibuktikan dari t0> ttest). Ini menunjukkan bahwa ada 221 perbedaan signifikan terhadap keterampilan membaca siswa. Selain itu, hasil angket menunjukkan bahwa siswa memiliki sikap positif terhadap pelaksanaan program ER. Mereka menyebutkan bahwa program ini memperkaya kosa kata,mempertajam keterampilan membaca dalam mencari pikiran utama, mencari keterangan rinci, menebak makna kata berdasarkan konteks, membuat simpulan, dan mendorong mereka untuk membaca teks berbahasa Inggris. Sehingga dapat disimpulkan bahwa ER efektif meningkatkan keterampilan membaca siswa dan membentuk sikap positif terhadap membaca teks berbahasa Inggris. Berdasarkan temuan ini, disarankan untuk menerapkan program ini dalam mengajar mata kuliah Reading atau pun mata kuliah lain baik di lingkungan Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris FKIP Unlam maupun pada institusi lain.

Kata-kata kunci: ekstensif reading, meningkatkan, keterampilan membaca

INTRODUCTION Reading is a skill that is very important to be mastered by the students of English Department. This is because they need the skill not only to comprehend the textbooks which are dominantly written in English, but also to enrich their knowledge to support their teaching skills later. In short, by mastering the skills in reading, students of English Department will be able to achieve the success in learning English. However, reading in English as a Foreign Language (EFL) context is not easy. This is because of two factors: inside and outside (Brown, 2001). The inside factors are those related to the individual (learner) who is learning to read such as the linguistic competence, interest, motivation, and reading ability. Meanwhile the outside factors are the factors which come from outside of the learner, that is the reading materials and the environment. The reading materials refer to the difficulty level of the text while the environment refers to the situation and condition of the place when the reading occurs. These factors affect the process of reading and the result. Based on the researcher’s experience in teaching at the English Department, the students still face problems in reading English texts. First, they have problems in understanding vocabularies appear in the reading texts. When they find unknown vocabularies they are commonly stuck in the reading and thus influences their concentration and comprehension toward the text. Second, they have difficulties in finding implied or unstated information; they fail to recognize the information appear in the context. Finally, they have problems in making inferences of the text. They mostly cannot draw conclusions correctly using the clues given in the text. In addition, another factor is also found during teaching them, that is their motivation. Mostly they are unmotivated in doing reading outside classrooms. They rarely read English books, novels, magazines, or newspaper. The pre-research which has been done shows that they rarely visit the English Department library unless they have assignments related with reading. Moreover, when they are asked to read literatures or textbooks, most of them do not read. They merely come to class and sit without preparing themselves with reading the textbooks assigned. As a result, they cannot comprehend the materials well because they do not read them. This factor affects their performance in reading the materials of the courses in general and materials in reading courses in particular. To deal with these problems, the appropriate technique is needed to encourage the English Department students to read more books. The technique chosen is the Extensive Reading Program because it has many benefits in improving students’ reading skills. As it is mentioned by Nuttal (1988), Extensive Reading (ER) is a relatively fast reading of a large amount of long but easy materials done outside the classroom and at each students’ own pace and level. ER helps students

222 gain more vocabularies and improve their reading skills such as finding main idea, finding stated and implied information, and making inferences. It also increases students’ motivation in reading since they have freedom to choose the materials they would like to read. For many years, researchers and teachers have acknowledged Extensive Reading (ER) as a technique of improving students’ fluency in reading and at the same time increasing students’ motivation in reading. ER is not a new idea in developing students’ fluency in reading related to the speed and comprehension. The main characteristic of ER is that it exposes students to a large quantity of printed materials that is comprehensible and compelling by joining in reading club without the risk of being evaluated. The primary goal is of course for achieving comprehension but at the same time increasing students’ motivation. Richards and Renandya (2002) also mention that ER is a supplementary activity attached to an English course which encourages students to read as many books as pleasurably at their own level. It can enhance students’ learning of the spelling, vocabularies, grammar, and text structure. Furthermore, it helps the development of three most important components in reading: (1) a large sight vocabulary, (2) a sizable general vocabulary, and (3) knowledge of the target language and of the world. In addition, there are several researches on the implementation of ER showing that it is effective in helping students become better readers because they learn more through a lot of readings. Tanaka (2007) conducted a study on the effect of ER to the development of Japanese students’reading skills. The result was that ER improved his students’ reading skills and built positive attitude toward reading English texts. Macalister (2008) also conducted the study on ER to non-native students and found that incorporating ER into the teaching of English could improve students’ skills and abilities in reading. Thus, the researcher intends to conduct a similar study on the implementation of ER in the teaching of Reading Course in her university in order to develop studets’ reading skills and to encourage positive attitude toward reading English texts. Moreover, the aim is to make reading in EFL context fun and enjoyable because students can select their own reading materials. Thus, at the same time students enjoy their reading and improve their reading skills. Carrell and Carson (in Richards and Renandya, 2002) add that ER involves rapid reading of large quantities of material or longer readings for general understanding, with the main focus on the meaning of what have been read and not on the language. It differs from Intensive Reading (IR) in which in IR students work with short texts with close guidance from the teacher. The aim of IR is to help students obtain detailed meaning from the text, to develop reading skills, and to enhance vocabulary and grammar knowledge. IR is commonly applied in the real classroom activities. In order to make clear distinction of an Extensive Reading program, Richards and Renandya (2002) propose several characteristics of an ER program, they are: (1) Students read large amounts of material, (2) Students choose what they want to read, (3) Reading materials vary in terms of topic and genre, (4) The materials students read is within their level of comprehension, (5) Students usually take part in post-reading activities, (6) Teachers read with their students to model enthusiasm for reading, and (7) Teachers and students keep track of students’ progress. Seeing the benefits of ER, it is essential to conduct a study by implementing this program to support the teaching and learning process. During the implementation, teachers’ roles are mostly as the sources of the materials, managers of the program, and motivators. The key role is on the learners themselves who choose, read, and learn the materials within their interest and pace.

223 METHOD This is an experimental research which utilizes two groups, the experiment and control group, applies pre-test and post-test, and randomizes assignment to the control group (Tuckman, 1999). This design involves the control of the three fundamental components of the experiment such as the population, treatment, and measurement of the treatment. This study utilizes the control group pre-test post-test design. The experiment group is treated by using ER while the control group is treated without using ER. The experimental group is asked to do reading outside the class; it is required to read more than 5 pages a week. The materials to read are based on each student’s preference that they can choose from the English Department library. Thus, they are required to read as many pages (sources) as they like. Before giving the treatment, each group is given pre-test to see their previous achievement in reading including these skills: finding main ideas, finding detailed information, finding words’ meanings, and making inference. Then, both groups are given post-test to see whether there is any significant improvement or not as the result of the treatment in experimental group. The setting of the research is at the English Department of FKIP University of Lambung Mangkurat Banjarmasin while the subjects of the research are the students of Reading III Course in Academic Year 2010/2011. The population is from four classes, that is, Class A1, A2, B1, and B2 with 158 students totally. The purposive sampling technique is used to decide the experimental group and the control group, that is, Class B1 and B2. Class B1 consisting of 38 students is used as the experimental group while class B2 which consists of 38 students is used as the control group. The hypotheses which underlie this study are:

1. Null Hypothesis (H0) There is no significant difference in reading ability between students join the Extensive Reading program and those who do not.

2. Alternative Hypothesis (Ha) The re is significant difference in reading ability between students join the Extensive Reading program and those who do not. There are two kinds of data collected: quantitative and qualitative data. The quantitative data is obtained from the students’ achievement in reading test while the qualitative data is about the students’ attitude towards the implementation of ER program. Each of the data is obtained from different instruments: test and questionnaire. The test is used to find out the students’ achievement in comprehending English texts. It is an achievement test in the form of objective test consisting of 25 items. The skills tested are reading for main idea, finding detailed information, guessing word’ meanings from the context and making inference. These skills are considered as the mostly used in reading pre-advanced materials. Meanwhile the test is taken from the reading comprehension of pre-test and post-test of the TOEFL as the standardized test. The questionnaire is used to gain the students’ attitude towards the implementation of ER. It consists of 18 items of the indicators of positive attitude toward ER. The data obtained from the questionnaire is analyzed based on the response and the total number of students choosing the response (frequency).

RESULTS The result of the pre-test (conducted on February 25, 2011) shows that students’ achievement is in the category of average. The mean score of experimental group is 66.25while in the control group is 65.22. On the other hand, the post-test (conducted on May 27, 2011) gives different result

224 which indicates the increasing of the students’ achievement. In the experimental group, the mean score is 76.05 while in the control group is 69.55. This is to say that students’ achievement in the experimental group is categorized as good while in the control group is satisfactory. Thus, the students’ achievement increases significantly in the experimental group. If it is compared to the control group, the improvement differs 5.44 point. It proves that the implementation of ER program contributes to the improvement of the students’ achievement in comprehending English texts. The result of the questionnaire is classified based on the response and the total number of students choosing the response. The frequent answer for each item can be used to describe students’ perception and reaction towards ER in general. There are 16 items of the questionnaires classified into three major categories: reading materials, reading improvement, and students’ attitude. The first category attempts to reveal the condition of the reading materials used in the ER program: short stories, newspapers, and novels. The short stories are provided by the teacher (researcher) while the newspapers and novels are provided by the English Department in its library. Every student in the experimental group has easy access to use the materials. From all the samples in the experimental group (38 students), 35 students (92.10%) chose the short stories and newspapers, and only 3 students (8.57%) chose novels. The reasons they did not choose novels is that because it takes much time for them to finish reading; they prefer easy-reading. From 35 students choosing the short stories and newspapers, there were 23 students (60.52%) who read more articles in newspapers than the short stories. This is because they prefer reading hot issues than narratives. The rest students (31.57%) chose short stories more in their readings. The reason is that they like reading fiction which brings them imaginative things. The following discussion is about the students’ response for each item of the questionnaires. Table 1 shows the students’ response towards ER materials. Table 1 Students’ Response towards the Materials in ER Program

225 The first question, that is, What do you think of the difficulty level of the reading materials? reveals that 3 students think the materials are easy, 33 students think they are just right, and 2 students think the materials are quite difficult. In conclusion, the difficulty level of the materials used in the ER program is just right; they are neither easy nor difficult for the students. The second question is Do you find any unknown vocabularies in the reading materials? There were 15 students found a few unknown vocabularies, 19 students found quite many new vocabularies, and 4 students found a lot of unknown vocabularies. It shows that mostly they found quite many unknown vocabularies from the reading materials. The third question is Do you find problems in comprehending the content of the materials? The result shows that most of the students do not face problems in comprehending the reading materials. There were 27 students found no problems in comprehension, 8 students found a few problems, and only 3 students found quite many problems with comprehension. The fourth question is about the problem with text organization. There were 27 students mentioned that they found no problem, 5 students found a few problems, and 6 students found quite many problems with text organization. It can be concluded that in general, students do not have problems with text organization. In other words, they can comprehend the organization or rhetoric patterns so they can comprehend the materials. The fifth question is Which of the reading materials in the ER that you like most? Among the three types, 11 students prefer to read short stories, 23 students like reading newspapers, and only 4 students like reading novels. There are several reasons underlying the findings. They like reading newspapers than short stories and novels because the articles in the newspapers are varied and the topics are also up to date. Meanwhile those who prefer short stories mention that this is because they like reading fiction in which they can imagine the characters, settings, and so on. There are only 4 students choosing novels and they give reason that they simply like fiction rather than news. The next discussion is about the reading improvement. This question is included in the questionnaires to give the students chance to evaluate themselves. This is because they are adult learners thus they are supposed to be able to measure their own progress during their learning. The following is Table 2 showing the students’ responses on the questionnaires asking about their reading improvement. Table 2 Students’ Responses on Reading Improvement

There are 3 items asking about reading improvement. The first is Do you think ER improves your reading comprehension? From 38 students, there were 30 students (78.94%) answered that ER program certainly improves their reading comprehension while 8students (21.05 %) mentioned that the program improves their ability very little. 226 The second question is Do you think your vocabulary mastery improved? There were 31students said that the ER program certainly improved their vocabulary mastery, 5 students mentioned that their vocabulary improved quite a lot while 2 students said that their vocabulary improved very little. The last question is Do you think ER improves your skill in getting general ideas of English text? For this question, 36 students answered that ER program improve their skills in getting general ideas of English text while only 2 students said that the program improved their skills very little. The third part of the questionnaire is trying to reveal students’ attitude towards ER program. There are 7 questions asking about it wherein the results can be seen in Table 3. Table 3 Students’ Responses on Attitudes toward ER Program

The first question is Does ER increase your motivation in reading English texts? For this item, there were 30 students answered yes, 6 students answered so-so, while 2 students answered yes, very little. The second question is Do you think that ER is only an additional assignment in your reading course? For this item, 32 students answered no while 2 students answered yes. The third question is: Are you happy given the choice of reading materials? All of the students answered yes. The fourth question is Do you think the use of Reading Log is necessary? There were 36 students gave answer yes and 2 students said no. For the question Do you think that ER is a good way to improve reading skills?, all of the students answered yes. The sixth question is How often would you like ER to meet (Teacher-Student Conference) in one semester?. For this item, there were 30 students wanted 4 – 7 times, 3 students chose 1 – 3 times in one semester, and 5 students wanted every week. The last question is asking about How would you like ER to be conducted at the English Department? There were 20 students answered that they would like to have ER during the Reading courses only whereas 18 students

227 wanted it to be conducted in every semester apart from the Reading Courses. Table 3 shows the students’ responses on the questionnaires asking about their attitude towards ER program.

DISCUSSION Based on the findings on the pre-test and post-test, it can be concluded that the students’ achievement in the experimental group on doing the reading test improves significantly. The pre- test in experimental group shows that the mean is 66.25 while the post-test is 76.05. Thus, the mean score increases as 9.8 points. The students’ achievement in pre-test is categorized as satisfactory while after the post-test it increases to very good level. Meanwhile in the control group, the pre-test shows that the mean is 65.22 and the post-test is only 69.55. The students’ achievement in control group increases only as 4.33 points. The category of the students’ achievement before and after the test remains the same, that is, satisfactory. Thus, the increasing mean score between the experimental and the control group differs as 5.47 points. Moreover, the students’ achievement in the experimental group increases from the satisfactory level into very good level. The results of the questionnaire reveal several things. The first is the condition of the materials used in the ER program. In terms of the difficulty of the materials, it is in just right level. It means that the materials used are not too easy nor too difficult. It can be said that the materials used in the ER program are appropriate with the principle in designing the ER materials, that is, in average level. In terms of the vocabularies, almost half of the students found quite many vocabularies from the materials used in the ER program. Thus, the program leads to the development of the students’ vocabulary mastery. Meanwhile in the terms of comprehension problems, most of the students did not find any problems with comprehending the contents of the materials. It is in line with the first findings about the difficulty level. They mostly did not find any comprehension problems because the materials are in just right level of difficulty. The problems in text organization are not found by most of the students. In other words, the materials are not difficult in terms of text organization. The students could comprehend the materials well. In addition to the condition of the materials, the types of text students like most are also asked. Among the three types (short stories, newspapers, and novels), most of the students prefer newspaper articles to short stories or novels. They gave reason that it was because they feel easier to follow hot issues in society than in fiction such as short stories or novels. In conclusion, the materials used in the ER program are appropriate with the students’ level, needs, and interest as it is suggested in the principles in designing ER program. The second thing to be revealed from the questionnaires is the reading improvement. In terms of improving reading comprehension, 78.94% of the students agreed that ER program improved their abilities in reading comprehension. Meanwhile in terms of improving the vocabulary mastery, 81.57% of the students mentioned that ER improved their vocabulary mastery. Thus, only students having limited vocabularies found that the program helped them develop their vocabulary mastery while the rest did not. The last question is about improving the skills in getting general ideas of English texts. Almost all of the subjects (94.73%) pointed out that their skills in getting general ideas improved after joining the program. Thus, it can be concluded that the implementation of ER program improve the students’ skills in reading English texts as it is suggested by Renandya and Jacobs, in Richards and Renandya (2002). The third is about students’ attitude towards reading. There were 78.94% of the students agreed that the program increased their motivation in reading and 84.21% of them did not agree if the program was said as an additional assignment in reading course. This is to say that the program is an important part of a Reading Course. In terms of the choice given in selecting the materials, all of the subjects agreed that they were happy given the choice of the materials to be read. Moreover,

228 94.73% of them admitted that the use of Reading Log was important as a monitor and a guide for the in doing the reading. In terms of the idea of improving reading skills through ER program, all of the subjects mentioned that ER was a good way to improve reading skills. In addition, there were 78.94% of them agreed to have ER program 4 to 7 times in a semester. Thus, it can be inferred that students enjoy the ER program, that they have good attitude towards the implementation of ER program. From the discussions on each result of the questionnaires, it can be concluded that the implementation of the ER program brings several benefits. First, it gives students chance to read a lot of texts within their interests. Second, it improves their skills in reading such as finding main idea, finding detailed information, guessing meaning from context, and making inference. Finally, it creates positive attitudes toward reading English texts which is believed as a difficult task for EFL students.

CONCLUSIONS AND SUGGESTIONS Conclusions Based on the findings, several conclusions can be made: 1. The implementation of Extensive Reading program improves the students’ comprehension in reading as it is shown in the result of the pre-test and post-test of the experimental group. Moreover, the result of the questionnaires also shows the improvement in reading after joining the ER program. 2. The students have positive attitude towards Extensive Reading program as it is revealed from the questionnaires result.

Suggestions Considering the research findings, several suggestions are proposed to certain parties below: 1. The lecturers of the English Department and teachers of English in other schools/institutions are recommended to implement this program in their teaching to give students more chance to develop their reading skills. Some modification is needed in order to suit the program with the students’ levels, needs, and interests. 2. The English Department to support the implementation of this program not only in the reading courses but also in other courses in order to accommodate their students’ need.

229 BIBLIOGRAPHY

Brown, H. Douglas. 2001. Teaching by Principles: An Interactive Approach to Language Pedagogy (Second Edition). New York: Addison Wesley Longman. Macalister, John. 2008. Integrating Extensive Reading into an English for Academic Purposes Program. The Reading Matrix, Vol. 8, No.1. Nuttal, C. 1988. Teaching Reading Skills in a Foreign Language. London: Heinemann Educational Books. Richards, J. & Renandya, W. A. 2002. Methodology in Language Teaching: An Anthology of Current Practice. New York: Cambridge University Press. Tuckman, B.W. 1999. Conducting Educational Research. New York: Harcourt Brace College Publishers. Tanaka, Hiroya. 2007. Increasing Reading Input in Japanese High School EFL Classrooms: an Empirical Study Exploring the Efficacy of Extensive Reading. The Reading Matrix, Vol. 7 No. 1.

230 PEMEROLEHAN MORFEM ANAK AUTIS DI PUSAT TERAPI AUTIS BINA PERMATA KELUARGA (THE ACQUISITION OF MORPHEMES OF CHILD AUTISM IN AUTISM TREATMENT CENTER BINA PERMATA KELUARGA)

Marfu’ah dan Rusma Noortyani Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail [email protected]

Abstract

The Acquisition of Morphemes of Child Autism in Autism Treatment Center Bina Permata Keluarga. In acquiring language learning follow a certain order, such as in the Indonesian language. This study examined the acquisition of morphemes in children with autism therapy center Bina Permata Keluarga, which is how the ability of children with autism in morpheme acquisition took place at the time of therapy and determine the ability of autistic children in the acquisition of morphemes. Source of research data that is two children as research subjects studied during ongoing therapy, both therapies are in a special room and the room was music therapy and play. This study uses a descriptive qualitative method. That is, data collected on the basis of the actual environment and the situation is, the conversation between the therapist with the child during ongoing therapy. Data retrieval begins with observation techniques, recording techniques, interview techniques, analytical techniques and discussion seta. The results of this study indicate that there are 9 types of morphemes are acquired by children at the time of speech therapy at the Autism Treatment Center Bina Permata Keluarga, namely (1) free morphemes, (2) bound morphemes, (3) morphemes intact, (4) morpheme is divided, (5) segmental morphemes, (6) morphemes beralomorf zero, (7) meaningful lexical morphemes, (8) is not meaningful lexical morphemes, and (9) basic morphemes. Morpheme acquisition acquired by a child is more dominant because it is free morpheme, free morpheme is more easily obtained by children during ongoing therapy. Based on these results, it is expected that readers, especially teachers in the treatment of autism Bina Permata Keluarga to pay more attention to the child’s language during ongoing therapy.

Keywords: acquisition of morphemes, children with autism

Abstrak

Pemerolehan Morfem Anak Autis di Pusat Terapi Autis Bina Permata Keluarga. Dalam memperoleh pembelajaran bahasa mengikuti urutan tertentu, misalnya dalam bahasa Indonesia. Penelitian ini menguji akuisisi morfem pada anak-anak dengan autisme terapi center “Bina Permata Keluarga”, yang adalah bagaimana kemampuan anak autis dalam akuisisi morfem terjadi pada saat terapi dan menentukan kemampuan anak-anak autis dalam akuisisi morfem. Sumber data penelitian yang dua anak sebagai subyek penelitian yang dilaksanakan selama terapi berlangsung, kedua terapi berada dalam ruangan khusus dan ruangan itu terapi musik dan bermain. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Artinya, data yang dikumpulkan berdasarkan dari lingkungan yang sebenarnya dan situasi, percakapan antara terapis dengan anak selama terapi berlangsung. Pengambilan data dimulai dengan teknik observasi, teknik merekam, teknik wawancara, teknik analisis dan seta diskusi. Hasil

231 penelitian ini menunjukkan bahwa ada 9 jenis morfem yang diperoleh oleh anak-anak pada saat terapi wicara di Pusat Perawatan Autisme “Bina Permata Keluarga”, yaitu (1) morfem bebas, (2) morfem terikat, (3 ) morfem utuh, (4) morfem terbagi, (5) morfem segmental, (6) morfem beralomorf nol, (7) morfem leksikal bermakna, (8) tidak morfem leksikal bermakna, dan (9) morfem dasar. Akuisisi morfem diakuisisi oleh seorang anak lebih dominan karena adalah morfem bebas, bebas morfem lebih mudah diperoleh oleh anak-anak selama terapi berlangsung. Berdasarkan hasil penelitian ini, diharapkan pembaca, khususnya guru dalam pengobatan autisme “Bina Permata Keluarga” untuk lebih memperhatikan bahasa anak selama terapi berlangsung.

Kata-kata kunci: pemerolehan morfem, anak autis

PENDAHULUAN Cummings (1999: 389) mengatakan bahwa kemungkinan penyandang autisme tiga hingga empat kali lebih mungkin mengenai anak laki-laki daripada anak perempuan, sedangkan Chaer (2009: 134) mengemukakan bahwa anak perempuan lebih besar ukuran otaknya daripada laki- laki serta anak perempuan lebih kaya akan neuron, dengan banyaknya neuron di suatu daerah semakin kuat fungsi otak di sana. Anak autis itu kadang bersifat seperti orang yang tuli yang tidak dapat mendengar apa yang dibicarakan oleh orang lain, kadang pernah berbicara namun apa yang dibicarakan itu sebentar saja sudah hilang. Anak autis juga tidak ada kefokusan dalam melakukan interaksi kepada orang lain, misalnya saja dia sedang diajak berkomunikasi dia akan menjawab tapi pandangan dia tidak ke arah lawan bicara. Bahkan dia tidak akan merespon apa yang dibicarakan oleh lawan bicara. Setelah peneliti melakukan observasi pada tanggal 30 Maret 2011 di tempat terapi anak autis di yayasan “ Pusat Terapi Autis Bina Permata Keluarga”, dapat dilihat bahwa kebanyakan anak yang mengikuti terapi tersebut mengalami autis yang hiperaktif. Pada saat terapi, anak akan dibimbing oleh para terapis. Setiap ruangan terdapat satu anak dan satu orang penerapi. Hal itu dilakukan agar saat memberikan pengajaran anak dapat fokus untuk menerima apa yang diberikan oleh penerapi. Handojo (2009: 5) mengatakan bahwa ruang terapi one-one tidak perlu terlalu luas. Sebaiknya berkisar antara 1,5 1,5 m sampai dengan 2 . Karena kalau terlalu luas, akan lebih banyak kesempatan bagi anak untuk lolos dari kontrol terapis. Akan lebih banyak waktu terbuang untuk “menangkap” anak kembali. Penerangan harus mencukupi, ventilasi dan suhu ruangan harus sejuk, bila terlalu panas, dapat diberi AC. Dinding dan jendela harus bebas distraksi. Sebaiknya, jangan ada hiasan dinding yang mencolok. Pandangan keluar jendela sebaiknya dihalangi dengan gorden. Terapi dapat dilakukan dengan meletakkan anak di lantai, di pangkuan atau di kursi. Kursi dan meja dapat disesuaikan dengan tinggi dan berat badan anak. Tinggi mata terapis sebaiknya sejajar dengan kedua mata anak. Apabila anak masih sering tantrum, sebaiknya dipakai meja yang diberi lubang setengah lingkaran, sehingga bila berada di atas kursinya, anak masuk ke dalam lubang meja. Bila dipepetkan ke dinding, anak tidak bisa keluar dari kursinya. Kursi anak sebaiknya dibuat dari bahan yang berat, sehingga tidak mudah diangkat dan digeser oleh anak. Ruang dibuat kedap suara, sehingga suara di luar tidak mendistraksi anak. Sebaiknya suara instruksi terapis juga tidak mengganggu suara di luar ruangan terapi. Ruangan-ruangan lain di dalam rumah dan perabotannya sebaiknya diatur dan disusun sedemikian rupa, sehingga tidak menarik perhatian anak untuk mengacak-acaknya. Form atau buku pencatat proses dan hasil

232 terapi harus disediakan selengkap mungkin. Pencatatan ini sangat penting dilakukan karena proses terapi sering kali berlangsung lama. Pada kegiatan terapi wicara anak autis, anak tidak hanya diajarkan mengenai respon berbicara tetapi anak juga diberikan pengajaran mengenai kemandirian, keaktifan motorik anak pada saat melakukan kegiatan misalnya, saat berolahraga atau senam. Anak juga diajarkan kepada hal-hal yang berkaitan dengan keadaan di sekitar dia misalnya, bagaimana kemandiriannya memakai baju sendiri, memakai celana sendiri, dan anak juga diajarkan bermain secara cermat misalnya, bagaimana menyusun sebuah benda menjadi sesuatu yang diinginkan misalnya menyusun sebuah rangkaian menjadi bentuk gambar. Pada saat terapi dilakukan salah satu hal yang diperhatikan adalah bagaimana anak mengeluarkan kata-kata pada saat berinteraksi dengan penerapi atau orang-orang di sekitarnya. Biasanya, penyandang autis sangat sulit untuk mengeluarkan kata-kata pada saat berada di tengah- tengah orang banyak. Anak autis sulit berkomunikasi dengan orang lain sehingga anak autis berkomunikasi hanya dengan isyarat atau dengan menarik-narik orang untuk mengambilkan apa yang dia inginkan. Dari permasalahan komunikasi, yang perlu diperhatikan pertama kalinya adalah bagaimana anak autis memperoleh kata-kata yang ingin diungkapkannya dan mengungkapkannya kembali. Dari kata atau morfologi itulah terdapat bagian-bagian yang salah satunya adalah morfem. Pemerolehan bahasa termasuk di dalamnya pemerolehan morfem sangatlah sulit bagi anak yang memiliki gangguan dalam berkomunikasi. Anak yang memiliki gangguan dalam berkomunikasi salah satunya penyandang autis sulit untuk melakukan komunikasi sehingga pemerolehan morfemnya sangat sedikit dari anak-anak biasanya yang mudah dalam hal berkomunikasi. Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian terhadap pemerolehan morfem anak autis layak untuk diteliti. Adapun yang diteliti adalah bagaimana anak autis dalam pemerolehan morfemnya pada saat terapi wicara dilakukan. Sejalan dengan itu, judul penelitian ini adalah Pemerolehan Morfem Anak Autis di Pusat Terapi Autis Bina Permata Keluarga.

METODE Jenis penelitian ini ialah pemerolehan morfem anak autis di pusat terapi autis Bina Permata Keluarga. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian dengan pendekatan kualitatif adalah metode yang berusaha menggambarkan sesuatu yang terjadi dengan apa adanya. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik observasi, teknik rekaman, dan teknik wawancara. Peneliti dalam mengumpulkan data juga menggunakan teknik pencatatan dan pengamatan berperan serta. Analisis data dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Mentranskripsikan hasil rekaman anak autis. 2. Mengelompokkan pemerolehan morfem anak autis berdasarkan jenisnya. 3. Menyimpulkan hasil penelitian pemerolehan morfem anak autis.

HASIL DAN PEMBAHASAN Jenis Morfem pada Anak Pertama (RY) Jum’at Terapis : Hari ini hari apa? RY : Jum’at

233 Pada percakapan di atas terdapat kata Jum’at. Kata Jum’at yang dikatakan oleh anak dalam percakapan termasuk dalam morfem bebas karena morfem {jum’at} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {jum’at} yang dikatakan oleh anak dalam percakapan tersebut juga termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {jum’at} telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Mendengar RY : Telinga Terapis : Untuk RY : Mendengar Pada percakapan di atas terdapat kata mendengar. Kata mendengar yang dikatakan anak terdiri atas dua morfem. Morfem pertama adalah {me-}, morfem {me-} pada kata mendengar termasuk dalam morfem terikat karena morfem {me-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {me-} yang dikatakan anak pada kata mendengar juga termasuk dalam morfem utuh yang bersifat terikat karena morfem {me-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {me-} juga termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {me-} tidak memiliki makna apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain, sedangkan morfem {dengar} pada kata mendengar termasuk dalam morfem bebas karena morfem {dengar} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem yang lain. Morfem {dengar} juga termasuk dalam morfem utuh karena morfem {dengar} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil.

Bekerja Terapis : Tangan untuk apa? RY : Bekerja Pada percakapan di atas terdapat kata bekerja. Kata bekerja yang dikatakan anak terdiri atas dua morfem. Morfem pertama adalah {ber-}, morfem {ber-} pada kata bekerja termasuk dalam morfem terikat karena morfem {ber-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {ber-} yang dikatakan anak pada kata bekerja juga termasuk dalam morfem utuh yang bersifat terikat karena morfem {ber-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {ber-} juga termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {ber-} tidak memiliki makna apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain, sedangkan morfem {kerja} pada kata bekerja termasuk dalam morfem bebas karena morfem {kerja} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem yang lain. Morfem {kerja} juga termasuk dalam morfem utuh karena morfem {kerja} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil.

Memegang Terapis : Memegang RY : Memegang Pada percakapan di atas terdapat kata memegang. Kata memegang terdiri atas dua morfem, morfem yang pertama adalah morfem {mem-}, morfem {mem-} pada kata memegang adalah

234 termasuk dalam morfem terikat karena morfem {mem-} tidak dapat hadir dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {mem-} yang dikatakan anak pada kata memegang juga termasuk dalam morfem utuh yang bersifat terikat, karena morfem {mem-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {mem-} juga termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {mem-} tidak memiliki makna apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain. Pada kata memegang selain morfem {mem-} juga terdapat morfem {pegang}, morfem {pegang} adalah termasuk dalam morfem bebas karena morfem {pegang} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {pegang} juga termasuk dalam morfem utuh karena morfem {pegang} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil.

Berjalan Terapis : Berjalan RY : Berjalan Pada percakapan di atas terdapat kata berjalan. Kata berjalan yang dikatakan anak terdiri atas dua morfem. Morfem pertama adalah {ber-}, morfem {ber-} pada kata berjalan termasuk dalam morfem terikat karena morfem {ber-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {ber-} yang dikatakan anak pada kata berjalan juga termasuk dalam morfem utuh yang bersifat terikat karena morfem {ber-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {ber-} juga termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {ber-} tidak memiliki makna apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain, sedangkan morfem {jalan} pada kata bekerja termasuk dalam morfem bebas karena morfem {jalan} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem yang lain. Morfem {jalan} juga termasuk dalam morfem utuh karena morfem {jalan} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil.

Kacang Terapis : Tidak, kacang RY : Kacang Pada percakapan di atas terdapat kata kacang. Kata kacang yang dikatakan oleh anak dalam percakapan termasuk dalam morfem bebas karena morfem {kacang}dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {kacang} yang dikatakan oleh anak dalam percakapan tersebut juga termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {kacang}telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Hilang Terapis : —— RY : Hilang Pada percakapan di atas terdapat kata hilang. Kata hilang yang dikatakan oleh anak dalam percakapan termasuk dalam morfem bebas karena morfem {hilang}dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {hilang} yang dikatakan oleh anak dalam percakapan

235 tersebut juga termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {hilang}telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Gelang Terapis : —— RY : Gelang Pada percakapan di atas terdapat kata gelang. Kata gelang yang dikatakan oleh anak termasuk dalam morfem bebas karena morfem {gelang} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {gelang} yang dikatakan oleh anak dalam percakapan tersebut juga termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {gelang}telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Nyanyi Terapis : Nyanyi RY : Nyanyi Pada percakapan di atas terdapat kata nyanyi. Kata nyanyi yang dikatakan oleh anak morfem terikat karena morfem {nyanyi} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Pada percakapan di atas terdapat kata nyanyi. Kata nyanyi yang dikatakan oleh anak termasuk dalam morfem dasar yang bersifat terikat karena morfem {nyanyi} merupakan morfem dasar untuk pembentukan morfem yang lebih besar. Pada percakapan di atas terdapat kata nyanyi. Kata nyanyi yang dikatakan oleh anak termasuk morfem utuh bersifat terikat karena morfemnya tidak dapat terbagi lagi.

Punya RY : Puna Terapis : Punya RY : Punya Pada percakapan di atas terdapat kata punya. Kata punya yang dikatakan oleh anak termasuk dalam morfem bebas karena morfem {punya} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem yang lain. Pada percakapan di atas terdapat kata punya. Kata punya yang dikatakan oleh anak adalah termasuk dalam morfem dasar yang bersifat bebas karena morfem dasar {punya} merupakan morfem dasar untuk pembentukan morfem yang lebih besar.

Nyaman (enak) RY : Nyaman (enak) Terapis : Nyaman (enak) Pada percakapan di atas terdapat kata nyaman. Kata nyaman merupakan bahasa banjar yang artinya enak yang juga termasuk dalam morfem bebas karena morfem {nyaman} ini dapat muncul dalam pertuturan tanpa ada kehadiran morfem lain. Pada percakapan di atas terdapat kata nyaman. Kata nyaman yang dikatakan oleh anak dalam percakapan itu termasuk dalam morfem dasar yang bersifat bebas. Morfem {nyaman} merupakan morfem dasar untuk pembentukan morfem yang lebih besar.

236 Nyaring Terapis : Nyaring RY : Nyaring Pada percakapan di atas terdapat kata nyaring. Kata nyaring yang dikatakan oleh anak termasuk dalam morfem bebas karena morfem {nyaring} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem yang lain. Pada percakapan di atas terdapat kata nyaring. Kata nyaring yang dikatakan oleh anak adalah termasuk dalam morfem dasar yang bersifat bebas karena morfem {nyaring} merupakan morfem dasar untuk pembentukan morfem yang lebih besar. Pada percakapan di atas terdapat kata nyaring, kata nyaring yang dikatakan oleh anak adalah termasuk dalam morfem utuh bersifat bebas yang morfemnya tidak dapat terbagi lagi.

Jenis Morfem pada Anak Kedua (MER) Memakan Terapis : Di depan kakinya! pintar. Terapis : Memakan MER : Memakan Pada percakapan di atas terdapat kata memakan. Kata memakan yang dikatakan anak terdiri atas dua morfem. Morfem pertama adalah {me-}, morfem {me-} pada kata memakan termasuk dalam morfem terikat karena morfem {me-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {me-} yang dikatakan anak pada kata memakan juga termasuk dalam morfem utuh yang bersifat terikat karena morfem {me-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {me-} juga termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {me-} tidak memiliki makna apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain. Pada percakapan di atas terdapat kata memakan, kata memakan yang dikatakan oleh anak terdiri atas morfem {makan}, morfem {makan}termasuk dalam morfem bebas karena morfem {makan} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {makan} yang dikatakan anak dalam pertuturan itu juga termasuk dalam morfem zero (kekosongan) karena morfem {makan} apabila dimasukkan dalam sebuah kalimat dia dapat muncul tanpa morfem afiks. Morfem {makan} yang dikatakan anak dalam pertuturan adalah termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {makan} telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Menyapu Terapis : Menyapu MER : Mem-nyapu Terapis : Tidak Mem-, menyapu MER : Menyapu Terapis : Iya Pada percakapan di atas terdapat kata menyapu. Kata menyapu yang dikatakan anak terdiri atas dua morfem. Morfem pertama adalah {meny-}, morfem {meny-} pada kata menyapu termasuk dalam morfem terikat karena morfem {meny-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. 237 Morfem {meny-} yang dikatakan anak pada kata menyapu juga termasuk dalam morfem utuh yang bersifat terikat karena morfem {meny-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {meny-} juga termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {meny-} tidak memiliki makna apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain. Pada percakapan di atas terdapat kata menyapu. Kata menyapu yang dikatakan oleh anak terdiri atas morfem {sapu}, morfem {sapu} termasuk dalam morfem bebas karena morfem {sapu} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {sapu} yang dikatakan anak dalam pertuturan termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {sapu} telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Memasak Terapis : Ulangi lagi! Me-ma-sak MEF : Memasak Terapis : lagi, Pintar MER : Memasak Pada percakapan di atas terdapat kata memasak. Kata memasak yang dikatakan anak terdiri atas dua morfem. Morfem pertama adalah {me-}, morfem {me-} pada kata memasak termasuk dalam morfem terikat karena morfem {me-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {me-} yang dikatakan anak pada kata memasak juga termasuk dalam morfem utuh yang bersifat terikat karena morfem {me-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {me-} juga termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {me-} tidak memiliki makna apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain. Pada percakapan di atas terdapat kata memasak, kata memasak yang dikatakan oleh anak terdiri atas morfem {masak}, morfem {masak}termasuk dalam morfem bebas karena morfem {masak} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {masak} yang dikatakan anak dalam pertuturan termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {masak} telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Masuk Terapis : Masuk MER : Masuk Terapis : Pintar Pada percakapan di atas terdapat kata masuk. Kata masuk yang dikatakan oleh anak terdiri dari morfem {masuk}, morfem {masuk}termasuk dalam morfem bebas karena morfem {masuk} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {masuk} yang dikatakan anak dalam pertuturan termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {masuk} telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Bermain Terapis : Tidak ada di belakangnya itu, bermain MER : Bermain I’innn

238 Terapis : Tidak begitu, ber-main MER : Bermain Pada percakapan di atas terdapat kata bermain. Kata bermain yang dikatakan anak terdiri atas dua morfem. Morfem pertama adalah {ber-}, morfem {ber-} pada kata bermain termasuk dalam morfem terikat karena morfem {ber-} tidak dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {ber-} yang dikatakan anak pada kata bermain juga termasuk dalam morfem utuh yang bersifat terikat karena morfem {ber-} tidak dapat dibagi lagi menjadi morfem yang lebih kecil. Selain morfem terikat dan morfem utuh yang bersifat terikat morfem {ber-} juga termasuk dalam morfem tidak bermakna leksikal karena morfem {ber-} tidak memiliki makna apabila tidak berproses dulu dengan morfem yang lain. Pada percakapan di atas terdapat kata bermain. Kata bermain yang dikatakan oleh anak terdiri atas morfem {main}, morfem {main}termasuk dalam morfem bebas karena morfem {main} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain.

Insyaallah Terapis : Yang mana MER : (tidak menjawab) Terapis : Ye lupa, lagu Maherzen insya allah MER : Insyaallah Pada percakapan di atas terdapat kata insyaallah. Kata insyaallah yang dikatakan oleh anak terdiri atas morfem {insyaallah}, morfem {insyaallah} termasuk dalam morfem bebas karena morfem {insyaallah} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain. Morfem {insyaallah} yang dikatakan anak dalam pertuturan termasuk dalam morfem bermakna leksikal karena morfem {insyaallah} telah memiliki makna tersendiri tanpa berproses dulu dengan morfem lain.

Diam Terapis : Coba mulutnya diam, tidak begitu! MER : Diam Pada percakapan di atas terdapat kata diam. Kata diam yang dikatakan oleh anak terdiri atas morfem {diam}, morfem {diam}termasuk dalam morfem bebas karena morfem {diam} dapat muncul dalam pertuturan tanpa kehadiran morfem lain.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kedua anak yang menjadi subjek penelitian dapat mengujarkan morfem secara baik dan benar pada saat terapi wicara berlangsung. Kedua subjek ini akan mengujarkan morfem apabila terapis terlebih dahulu mengujarkannya, yaitu dengan menggunakan metode ABA. Perkembangan penguasaan anak terhadap morfem tergantung pada pola kehidupan berbahasa yang ada pada lingkungan saat anak diterapi dan di lingkungan keluarga. Hal ini penting karena tingkat perkembangan morfologi seorang anak sangat menentukan untuk meraih kemampuan di bidang ilmu pengetahuan lainnya yang menunjang perkembangan pemerolehan bahasa anak tersebut. Artinya, semakin baik dan

239 cepat perkembangan morfologi anak, menunjukkan bahwa anak itu akan lebih mudah meraih tingkat kemampuan pemerolehan bahasa dan kemampuan di bidang keilmuan lainnya. Dalam aktivitas terapi wicara, anak dapat memperoleh morfem. Morfem-morfem yang diperoleh tersebut meliputi (1) morfem bebas, (2) morfem terikat, (3) morfem utuh, (4) morfem terbagi, (5) morfem segmental, (6) morfem beralomorf zero, (7) morfem bermakna leksikal, (8) morfem tidak bermakna leksikal, dan (9) morfem dasar. Morfem yang lebih dominan diperoleh anak adalah morfem bebas karena morfem bebas merupakan morfem yang hanya terdiri atas satu kata yang mudah dikatakan.

Saran Disarankan kepada peneliti berikutnya untuk meneliti secara lebih mendalam mengenai pemerolehan morfem bebas dan terikat pada subjek banyak. Disarankan pula untuk meneliti perbandingan pemerolehan morfem bebas dan terikat pada anak usia Pendidikan Anak Usia Dini dan Taman Kanak-Kanak.

240 DAFTAR RUJUKAN

Chaer, Abdul. 2009. Psikolinguistik: Kajian Teoretik. Jakarta: Rineka Cipta. Cummings, Louse. 1999. Pragmatik: Sebuah Perspektif Multidisipliner. Terjemahan oleh Eti Setiawati, dkk. 2007. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Handojo, Y. 2009. Autisme Pada Anak. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

241 ALIH KODE DALAM TRANSAKSI JUAL BELI DI PASAR KECAMATAN KATINGAN TENGAH KABUPATEN KATINGAN KALIMANTAN TENGAH (CODE SWITCHING IN TRADING TRANSACTION IN KATINGAN TENGAH MARKET OF KATINGAN DISTRICT OF KALIMANTAN TENGAH)

Lili Agustina dan Maria LAS Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail [email protected]

Abstract

Code Switching in Trading Transaction in Katingan Tengah Market of Katingan District of Kalimantan Tengah. Code switching is a change or transition of one language to another language, or it can be said to be an intermediate language code made by the speakers because of certain factors. The study entitled Transfer Transaction Code in the Sale and Purchase in the Middle District of Katingan Katingan Kalteng aims to (1) describe code switching seller and buyer in the sale and purchase transactions and (2) perform data analysis of the factors that determines the code carried over between sellers and buyers by linking scientific condition. The approach used in this study is a qualitative approach, type a descriptive qualitative research using descriptive method. There are two types of data in this study: (1) speech that contains the realization of the variation of the language used by the seller and buyer in the sale and purchase transactions and (2) a descriptive note. Descriptive notes provide an overview of code switching that occurs between the seller and buyer. Data collection techniques used in this study, that is direct observation, interviewing, listening techniques refer to techniques that is look good are free, while also recording and engineering techniques in the field notes. The diversity of languages used in the process of buying and selling in the market Banjar District Katingan Kalteng Katingan this giving rise to the transfer code, namely (1) over the code from Indonesian to the local language, (2) over the code of the local language into Indonesian , and (3) over the area code of the language into the vernacular. The factors that determine the transfer code performed by the seller and buyer are divided into two, namely (a) the motive of sellers and buyers and (b) the purpose of sellers and buyers. Market sellers and buyers in the Middle District of Katingan should be doing over the code should pay attention to your opponent says, do not do over the language (code) that is not controlled by the buyer that could lead to non-current communication.

Keywords: code switching, trading, market

Abstrak

Alih Kode dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalimantan Tengah. Alih kode adalah perubahan atau peralihan bahasa yang satu dengan bahasa lain, atau dapat dikatakan suatu peralihan kode bahasa yang dilakukan oleh penutur karena faktor tertentu. Penelitian yang berjudul Alih Kode dalam Transaksi Jual Beli di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan Kalteng bertujuan untuk (1) mendeskripsikan alih kode penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli dan (2) melakukan analisis data faktor-faktor yang menjadi penenntu alih kode yang dilakukan antara penjual dan

242 pembeli dengan mengaitkan kondisi ilmiah. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif, jenis penelitian kualitatif deskriptif dengan menggunakan metode deskriptif. Ada dua jenis data dalam penelitian ini yakni (1) tuturan yang berisi realisasi variasi bahasa yang digunakan oleh penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli dan (2) berupa catatan deskriptif. Catatan deskriptif memberi gambaran tentang alih kode yang terjadi antara penjual dan pembeli. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yakni pengamatan langsung, wawancara, teknik penyimakan, yakni teknik simak bebas libat cakap, selain itu juga teknik rekam dan teknik catat di lapangan. Beragamnya bahasa yang digunakan dalam proses transaksi jual beli di Pasar Banjar Kecamatan Katingan Kabupaten Katingan Kalteng ini sehingga menimbulkan terjadinya alih kode, yaitu (1) alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah, (2) alih kode dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, dan (3) alih kode dari bahasa daerah ke dalam bahasa daerah. Faktor- faktor yang menjadi penentu terjadinya alih kode yang dilakukan oleh penjual dan pembeli tersebut yang dibagi menjadi dua, yaitu (a) motif penjual dan pembeli dan (b) tujuan penjual dan pembeli. Penjual dan pembeli di Pasar Kecamatan Katingan Tengah seharusnya dalam melakukan alih kode harus memperhatikan lawan tutur, jangan melakukan alih bahasa (kode) yang tidak dikuasai oleh pembeli yang bisa menyebabkan komunikasi tidak lancar.

Kata-kata kunci: alih kode, jual beli, pasar

PENDAHULUAN Bahasa adalah salah satu ciri yang paling khas manusiawi yang membedakannya dari makhluk-makhluk lain. Bahasa dapat dikaji dari beberapa sudut dan memberikan perhatian khusus pada unsur-unsur bahasa yang berbeda-beda dan pada hubungan-hubungan (struktur) yang membeda-bedakan pula (Rafiek, 2007: 49). Manusia sebagai makhluk sosial senantiasa berinteraksi dengan sesamanya dengan menggunakan bahasa. Bahasa mempunyai suatu peran yang sangat mendasar yang tidak mungkin terpisahkan oleh masyarakat pemakainnya. Fungsi mendasar dari bahasa adalah untuk mengaktualisasikan hubungan timbal balik di dalam masyarakat, baik secara perorangan maupun berkelompok. Alih kode yang terjadi di Pasar Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan dipilih untuk objek penelitian karena banyak masyarakat yang bilingual dan ada juga yang multilingual. Penjual dan pembeli memiliki bahasa yang beragam sehingga proses transaksi jual beli yang terjadi menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi yang bervariasi. Ada beberapa bahasa yang digunakan oleh masyarakat di Kecamatan Katingan Tengah Kabupaten Katingan, yaitu Bahasa Banjar (BB), Bahasa Katingan (BK), Bahasa Jawa (BJw) dan Bahasa Indonesia (BI). Bahasa Banjar (BB) dan Bahasa Katingan (BK) yang sering digunakan dalam berinteraksi dan berkomunikasi yang juga dipakai oleh semua kelompok etnis di Pasar Kecamatan Katingan Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk Mendeskripsikan alih kode penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli dan melakukan analisis data faktor-faktor yang menjadi penentu terjadinya alih kode yang dilakukan antara penjual dan pembeli dengan mengaitkan kondisi ilmiah.

METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif diharapkan mampu menghasilkan suatu uraian tentang ucapan, tulisan, dan perilaku yang dapat diamati atau dilihat dari suatu individu, dan masyarakat. Jenis penelitian ini

243 menggunakan jenis penelitian kualitatif deskriptif. Jadi, penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Secara teoretis, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik, yakni pendekatan penelitian ilmu bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa masyarakat. Data dalam penelitian ini, yakni (1) tuturan yang berisi realisasi variasi bahasa yang di dalamya terdapat alih kode, dan (2) berupa catatan deskriptif. Sumber data dari penelitian ini adalah masyarakat tutur yang berupa percakapan penjual dan pembeli saat melakukan transaksi jual beli. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui observasi, penyimakan, (teknik sadap dan teknik simak bebas libat cakap), teknik rekam, dan teknik catat.

HASIL DAN PEMBAHASAN Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Daerah Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Banjar Peristiwa tutur 1: a. Peserta tutur Penjual ayam : jenis kelamin perempuan, umur 30 tahun, etnis Jawa Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Banjar b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah c. Topik : Tawar menawar ayam dan ikan Penjual : Ayam, Bu? 1 Pembeli : Berapa ayamnya?2 (BI) Penjual : 25 satu ekor, Bu. 3 Pembeli : Banaikkah wayah hini. Kada harga kaya samalam haja kah? 4 (BI-BB) ‘Naik kah sekarang ini. Tidak harga kemarin saja kah?’ Penjual : Ya am nah, dari harga maambilnya sudah balarang.5 Iya, dari harga mengambilnya sudah mahal. Pembeli Barang haja dah, apa basalamatan malam ini di rumah 6 ‘Biar saja sudah, ada selamatan malan ini di rumah.’ Penjual : Wah, nyaman banar iwaknya ayam. 7 ‘Wah, enak sekali lauknya ayam.’ Dalam percakapan antara penjual dan pembeli dalam melakukan transaksi jual beli ayam adalah menggambarkan alih kode yang dilakukan oleh penjual dan pembeli dari mulanya menggunakan Bahasa Indonesia (BI) kemudian beralih ke dalam Bahasa Banjar (BB). Alih kode yang dilakukan oleh pembeli dari bahasa Indonesia yang berbunyi “Berapa ayamnya?” (penggalan kalimat 2) ke dalam bahasa Banjar yang berbunyi “Banaikkah wayah hini. Kada harga kaya samalam hajakah?” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘(harganya) naik kah sekarang ini. Tidak harga kemarin saja’. Peristiwa alih kode ini disebabkan pembeli berusaha menawar kepada penjual ayam. Hal ini terlihat dari pembeli yang kaget dengan harga ayam yang naik, dan berusaha menawar harga ayam dengan patokan harga sebelumnya. Pembeli secara spontan beralih mengunakan bahasa Banjar karena merasa harga yang ditawarkan cukup mahal dan ingin harga ayam lebih murah. Pembeli berusaha menawar harga ayam agar seperti harga yang belum naik, “Lalu si penjual dengan lemah lembut menjawab “Ya am nah, dari harga maambilnya sudah balarang” (penggalan kalimat 5) yang maknanya adalah iya, dari harga mengambilnya (ayam) sudah mahal.

244 Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Katingan Berikut ini adalah percakapan yang menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh penjual kepada pembeli. Peristiwa tutur 2 a. Peserta tutur Pedagang ikan : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Katingan Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 38 tahun, etnis Jawa b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba c. Topik : Tawar menawar ikan Pembeli : Berapa satu bungkus seluang ini. 1 Penjual : 7 ribu satu bungkus, mau kah? 2(BI) Pembeli : Kemarin 5 ribu satu bungkus. 5 saja saya ambil 2 bungkus. 3 Penjual : Dia tau, ije bungkus te isut ih duan untung. 4 (sambil mengelengkan kepala) (BI-BK) ‘Tidak bisa, satu bungkus itu sedikit saja mengambil untung.’ Pembeli : Tidak bisa kurang lagi ya? 5 Penjual : Ayu ih, duwe bungkus te 12 6. ‘Biar saja dua bungkus itu’ 12. Pembeli : Saya ambil yang ini. Minta plastiknya. 7 Dari percakapan di atas tampak penjual melakukan alih kode secara spontan kepada pembeli yang menawar ikan seluang yang dijualnya. Percakapan penjual yang beralih kode, yang pada awalnya menggunakan bahasa Indonesia (BI) yang berbunyi “7 ribu satu bungkus, mau kah? (penggalan kalimat 2) kemudian beralih menggunakan bahasa Katingan yang berbunyi “Dia tau, ije bungkus te isut ih duan untung” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘Tidak bisa, satu bungkus itu sedikit saja mengambil untung’. Pada saat itu penjual sambil menggelengkan kepala tanda tidak setuju. Percakapan penjual yang melakukan alih kode disebabkan oleh faktor perasaan jengkel penjual kepada pembeli yang terlalu murah menawar harga ikan seluang yang dijualnya. Penjual jengkel karena harga ikan pada saat itu bisa dikatakan mahal dan susah untuk mencari ikan.

Alih Kode dari Bahasa Indonesia ke dalam Bahasa Jawa Berikut ini adalah percakapan yang menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh penjual sayur. Peristiwa tutur 3 a. Peserta tutur Pedagang sayur : jenis kelamin perempuan, umur 38 tahun, etnis Jawa Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 23 tahun, etnis Katingan b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba c. Topik : Tawar menawar sayur Pembeli : Bu, ada lombok? 1 (BI) Penjual : Ada, beli berapa, Sin? 2 (BI) Pembeli : Beli seribu. Tomatnya yang ini. 3 Penjual : 3 ribu, Sin. Mau buat apa ni? 4 Pembeli : Mau masak serdin. 5

245 Penjual : Wenak tenan. 6 (BI-BJw) ‘Enak sekali.’ Dari percakapan di atas tampak pada akhir percakapan penjual melakukan alih kode. Pada awalnya penjual menggunakan bahasa Indonesia seperti pada penggalan kalimat 2 dan 4, kemudian penjual beralih kode menggunakan bahasa Jawa yang berbunyi “Wenak tenan” (penggalan kalimat 6) yang maknanya adalah ‘Enak sekali’. Pembeli yang beretnis Katingan ini selain menguasai bahasa daerahnya, yakni bahasa Katingan, dia juga bisa berbahasa Indonesia.

Alih Kode dari Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Indonesia Alih Kode dari Bahasa Katingan ke dalam Bahasa Indonesia Alih kode terjadi antara penjual yang beretnis Katingan dan pembeli yang beretnis Jawa. Fenomena alih kode tersebut dapat dilihat pada percakapan penjual dan pembeli pada saat tawar- menawar ikan patin. Peristiwa tutur 4 a. peserta tutur pedagang ikan : jenis kelamin perempuan, umur 25 tahun, etnis Katingan pembeli : jenis kelamin perempuan,umur 45 tahun, etnis Jawa b. lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba c. Topik : Tawar menawar ikan Penjual : Lauk patin...lauk patin. Laukkah, Cu? 1 (BK) 1 (menawarkan kepada calon pembeli yang lewat) ‘Ikan patin...ikan patin. Ikankah, Bu?’ Pembeli : Berapa harganya yang ini. 2 Penjual : Yang itu 20. 3 (BK-BI) Pembeli : 15 saja ya. Aku ambil yang ini. 4 Penjual : Biar yang itu 18. 5 Pembeli : Minta plastik buat bungkusnya. 6 Dari percakapan di atas menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh penjual. Penjual berusaha menyesuaikan bahasa yang digunakan calon pembelinya, yakni bahasa Indonesia. Pada awalnya penjual menggunakan bahasa Katingan pada saat menawarkan ikan kepada calon pembeli yang berbunyi “Lauk patin...lauk patin. Laukkah, Cu?” (penggalan kalimat 1) yang maknanya adalah ‘Ikan patin...ikan patin. Ikankah, Bu?’ kemudian beralih menggunakan bahasa Indonesia yng berbunyi ‘Yang itu 20’ (penggalan kalimat 3). Dalam percakapan tersebut terlihat bahwa penjual berusaha menyesuaikan bahasa pembeli, yakni menggunakan bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan karena pembeli yang beretnis Jawa ini tidak menguasai dan tidak mengerti bahasa Katingan. Oleh sebab itu, penjual beralih kode menggunakan Bahasa Indonesia agar komunikasi dengan pembeli dapat berjalan lancar.

Alih Kode dari Bahasa Jawa ke dalam Bahasa Indonesia Alih kode tersebut terjadi antara penjual yang beretnis Jawa dengan pembeli (1) yang beretnis Jawa dan pembeli (2) yang beretnis Banjar. Berikut ini peristiwa alih kode yang dilakukan oleh penjual kepada calon pembeli (2).

246 Peristiwa tutur 5 a. Peserta tutur Pedagang : jenis kelamin perempuan, umur 38 tahun, etnis Jawa Pembeli (1) : jenis kelamin perempuan, umur 40 tahun, etnis Jawa Pembeli (2) : jenis kelamin perempuan, umur 49 tahun, etnis Banjar b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan c. Topik : Tawar menawar sayur Pembeli : Ene godong sop lah? 1 ‘Ada daun sop?’ Penjual : Ene, a tuku piro? 2 ‘Ada, mau beli berapa?’ 2 Pembeli : Piro? 3 ‘Berapa?’ Penjual : Seikat seribu. 4 ‘Satu ikat seribu.’ Pembeli : Tuku dua ikat wae. 5 ‘Beli dua ikat saja.’ Penjual : Oh, gawe sop lah, kentang ambi wartelnya wae. 6 ‘Oh, mau buat sop ya, kentang dan wartelnya kah?’ Pembeli : Wes, togu kentang wartel,. 7 ‘Sudah beli kentang dan wartel kemarin’ Kemudian datang calon pembeli (2) yang ingin membeli Kentang. Penjual : Sayur Bu? 8 (BJw-BI) Pembeli 2 : Ada kentang? 9 Penjual : Ada, mau berapa, Bu? 10 Pembeli 2 : Setengah kilo saja. 11 Penjual : 10 ribu. 12 Pada percakapan di atas penjual melakukan alih kode kepada pembeli 2 yang beretnis Banjar. Pada awalnya penjual dan pembeli 1 tampak sudah kenal dan akrab. Mereka menggunakan bahasa Jawa sebagai alat komunikasi mereka. Kemudian datang calon pembeli 2 yang ingin membeli kentang. Penjual tersebut menawarkan sayur kepada calon pembeli 2 menggunakan bahasa Indonesia yang berbunyi “Sayur Bu?” (penggalan kalimat 8). Peralihan kode bahasa yang dilakukan oleh penjual ini menyesuaikan dengan kemampuan berbahasa yang dimiliki oleh pembeli. Penjual sengaja menggunakan bahasa Indonesia agar pembeli mengerti apa yang ingin diucapkan oleh penjual tadi dan komunikasi di antara keduanya bisa lancar dan akrab. Pembeli yang beretnis Banjar tadi tidak menguasai/tidak mengerti bahasa Jawa. Oleh sebab itu, penjual dituntut untuk melakukan alih kode dari Bahasa Jawa (BJw) ke dalam Bahasa Indonesia (BI). Jadi bisa dikatakan kehadiran pembeli atau orang ketiga dalam percakapan merupakan faktor penyebab seorang penutur melakukan alih kode.

Alih Kode dari Bahasa Daerah ke dalam Bahasa Daerah Beberapa bahasa daerah yang digunakan dalam proses transaksi jual beli, yakni bahasa Katingan, bahasa Banjar, dan bahasa Jawa. Berikut ini adalah peralihan bahasa dari bahasa daerah ke dalam bahasa daerah.

247 Alih Kode dari Bahasa Banjar ke dalam Bahasa Jawa Alih kode terjadi pada penjual beretnis Jawa dengan pembeli dengan etnis Banjar. Percakapan dapat dilihat pada wacana berikut. Peristiwa tutur 6 a. Peserta tutur Pedagang kain : jenis kelamin laki-laki, umur 37 tahun, etnis Jawa Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 32, etnis Banjar b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba c. Topik : Tawar menawar baju Pembeli : Ada bajual baju seragam SD lah? 1 ‘Ada jual baju seragam SD?’ Penjual : Ada, lihati ja ke dalam. 2 (BB) ‘Ada, lihat saja ke dalam’ Pembeli : Inya kelas 3. 3 ‘Dia kelas 3’ Penjual : Bila yang ini pas gasan kelas 3. 4 (BB) ‘Yang ini cocok buat kelas 3’ Pembeli : Kaya ini berapa? (BB) ‘Seperti ini berapa?’ Penjual : Itu 45. 6 pembeli : 35 ja lah. Aku ambil yang ini. 7 penjual : Waduh, ora iso. 8 (BB-BJw) (sambil menggelengkan kepalanya)Aduh, tidak bisa. Pembeli : Iso ne piro? 9 (BB-BJw) Bisanya berapa? Penjual : Iso ne patang puluh wae. 10 ‘Cuma bisa 40 saja’ Pembeli : Ya weslah. 11 ‘ya sudahlah’ Dalam percakapan di atas menggambarkan fenomena alih kode yang dilakukan oleh penjual dan pembeli. Pada awalnya, mereka menggunakan bahasa Banjar dalam melakukan proses tawar- menawar kemudian penjual beralih kode menggunakan bahasa Jawa yang berbunyi “Waduh, ora iso” (penggalan kalimat 8) yang maknanya adalah ‘Aduh, tidak bisa’. Ketika penjual beralih menggunakan bahasa Jawa, pembeli yang beretnis Banjar berusaha mengimbangi bahasa yang digunakan oleh penjual walaupun pembeli hanya sedikit menguasai bahasa Jawa. Hal itu dilakukan oleh pembeli agar dalam proses tawar-menawar seragam bisa berlangsung santai dan akrab.

Alih Kode dari Bahasa Banjar ke dalam Bahasa Katingan Alih kode terjadi pada penjual yang beretnis Banjar dan pembeli yang beretnis Katingan. Peristiwa alih kode tersebut dapat dilihat pada percakapan penjual dan pembeli di pasar ikan. Peristiwa tutur 8 a. Peserta tutur Pedagang ikan gabus: jenis kelamin perempuan,umur 32 tahun, etnis Banjar Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 37 tahun, etnis Katingan b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba c. Topik : Tawar menawar ikan gabus

248 Penjual : Iwak haruan, iwak haruan. 1 (menawarkan ikan gabus Kepada pembeli yang lewat) ‘Ikan gabus, ikan gabus’ Pembeli : Barapa sakilo? 2 (BB) ‘Berapa satu kilo?’ Penjual : .25, handak kah? 3 ‘25 mau kah?’ Pembeli : Akuy kalarang ampi nah, buhen tau larang kutuh. 4 (BB- BK) ‘Aduh mahalnya, mengapa bisa mahal seperti ini’ Penjual : Jituh gin aku isut ih duan untung. 5 (BB-BK) ‘Ini saja aku sedikit ambil untung’ Pembeli : Aku male mili lauk jikau duwe puluh ih ije kilo.6 ‘Aku kemarin beli lauk itu 20 satu kilo.’ Penjual : Bahali manggau lauk wayah tuh. Indu Amat gin duan ukaku. 7 ‘Susah mencari ikan sekarang ini.ibu Amat saja ambil di tempatku’ Dari wacana di atas terlihat bahwa adanya fenomena alih kode yang dilakukan oleh pembeli, yaitu dari bahasa Banjar yang berbunyi “Barapa sakilo?” yang maknanya adalah ‘berapa satu kilo’ setelah penjual mengatakan harga dari ikan gabus tersebut pembeli terkejut dengan harga ikan gabus, yang bisa dikatakan cukup mahal dari harga biasanya. Keterkejutan pembeli tersebut menyebabkan dia melakukan alih kode. Pada awalnya pembeli menyesuaikan bahasanya dengan penjual ikan gabus, yakni berkomunikasi menggunakan bahasa Banjar. Setelah mendengarkan harga satu kilo ikan gabus, pembeli beralih menggunakan bahasa Katingan yang berbunyi “Akuy kalarang ampi nah, buhen tau larang kutuh” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘Aduh mahalnya, mengapa bisa mahal seperti ini’.

Alih Kode dari Bahasa Katingan ke dalam Bahasa Banjar Peristiwa tutur 9 a. Peserta tutur Pedagang sayur : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Katingan. Pembeli : (1) jenis kelamin perempuan, umur 42 tahun, etnis Katingan (2) jenis kelamin perempuan, umur 30 tahun, etnis Banjar. b. Lokasi : Di tempat jualan ayam Pasar Banjar Katingan c. Topik : Tawar menawar ayam dan hati ayam Pembeli : Pire rega manuk jikau? 1 Berapa harga ayam itu? Penjual : Talung puluh ije kilo. 2 (BK) ‘30 satu kilo’ Pembeli : Dia tawa kurang. 3 ‘Tidak bisa kurang?’ Penjual : Dia tau am. Isut ih aku duan untung. 4 (BK) ‘Tidak bisa lagi. Sedikit aku ambil untung’ Datang calon pembeli lain (pembeli 2) yang menanyakan harga hati Ayam. Penjual : Handak ayamkah? 5 (BK-BB) ‘Mau ayamkah?’

249 Pembeli 2 : Barapa hati ayam? 6 ‘Berapa hati ayam?’ Penjual : Hatikah, 2 lima ribu, handak kah? 7 ‘Hati, 2 lima ribu, mau kah?’ Pembeli 1 : Iyoh, aku mili ije kilo ih. 8 ‘Iya, saya beli satu kilo saja.’ Penjual : Penglaris nah. 8 ( sambil menggerakkan uang tadi ke Barang dagangannya supaya cepat laris). Pembeli 2 : 2 ja. 9 (2 saja) Penjual : Jual lah. 10 (Jual) Pembeli : Tukar. 11 (beli) Alih kode yang terjadi karena penjual berusaha menyesuaikan bahasanya dengan calon pembeli. Hal ini sering terjadi karena penjual di Pasar Banjar Katingan Tengah menguasai bahasa Banjar dan bahasa Katingan, bahkan juga penjual menguasai bahasa Jawa. Datangnya pembeli lain yang menggunakan bahasa yang berbeda, penjual dituntut untuk melakukan alih kode. Penjual melakukan alih kode tersebut yang berbunyi “Handak ayamkah?” (penggalan kalimat 5) yang maknanya adalah ‘Mau ayamkah?’ pada saat pembeli lain yang lewat. Penjual sengaja menawarkan ayam kepada pembeli yang lewat menggunakan bahasa Banjar karena dia mengetahui bahwa calon pembeli berasal dari etnis Banjar. Jadi, dapat dikatakan bahwa pada awalnya menggunakan bahasa Katingan pada pembeli 1 kemudian datang pembeli 2 beralih menggunakan bahasa Banjar.

Faktor Penentu Terjadinya Alih Kode dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah Motif Penjual dan Pembeli Agar Mendapatkan Harga Murah Dalam proses menawar yang dilakukan pembeli agar mendapatkan harga murah, tidak jarang motif pembeli menggunakan bahasa yang sama dengan penjual. Berikut ini adalah percakapan yang menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan oleh pembeli agar mendapatkan harga ikan yang murah. Peristiwa tutur 12 a. Peserta tutur Pedagang ikan : Jenis kelain perempuan, umur 40 tahun, etnis Banjar Pembeli : Jenis kelamin perempuan, umur 37 tahun, etnis Jawa b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba c. Topik : Tawar menawar ikan Penjual : Iwak lais, iwak lais (menawarkan iwak lais kepada pembeli yang lewat) 1 ‘Ikan lais ikan lais’ Pembeli : Berapa satu kilo? (BI)2 Penjual : Sekilo 35 ribu. (BI) 3 Satu kilo 35 Pembeli : 30 saja (BI) 4 Penjual : Kupadahakan hajalah wayah hini ngalih mancari iwak. 5 Kukatakan sajalah sekarang sulit mencari iwak

250 Pembeli : Kurangi pang nyaman aku tukari. 6 (BI-BB) ‘Kurangi supaya aku beli’ Penjual : Ayuja nah gasan kam 33 haja mangurangi 2 ribu. 7 ‘Baiklah buat kamu 33 saja mengurangi 2 ribu’ Pembeli : Ayu ai bila kaya itu. 8 ‘Baiklah bila seperti itu’ Dalam percakapan di atas, terlihat bahwa pembeli melakukan alih kode dari semula menggunakan bahasa Indonesia kemudian beralih kode menggunakan bahasa Banjar. Agar mendapatkan harga murah, pembeli dapat menggunakan bahasa yang sama yang digunakan oleh penjual. Di sini tampak bahwa penjual merasa satu daerah sama pembeli. Pada awal percakapan pembeli mengunakan Bahasa Indonesia (BI) untuk menanyakan berapa harga satu kilo ikan, yang kemudian beralih menggunakan Bahasa Banjar (BB). Percakapan pembeli menggunakan bahasa Banjar, yang berbunyi “Kurangi pang nyaman aku tukari” (penggalan kalimat 6) yang maknanya adalah ‘Kurangi supaya aku beli.’ Kemudian dijawab oleh penjual ikan yang menggunakan Bahasa Banjar (BB), yang berbunyi “Ayuja nah gasan kam 33 haja mangurangi 2 ribu” (penggalan kalimat 7) yang maknanya adalah ‘Baiklah untuk kamu 33 saja mengurangi 2 ribu’. Karena pembeli menggunakan bahasa Banjar agar sama dengan bahasa yang dipakai penjual ikan dan juga dengan motif untuk mendapatkan harga murah, akhirnya penjual mengurangi harga ikan dari semula yang dirasa cukup mahal, yakni 35 satu kilo menjadi 33 satu kilo.

Penjual Berpura-pura kepada Pembeli Peristiwa tutur 17 a. Peserta tutur Pedagang sepatu: jenis kelamin laki-laki,umur 37 tahun, etnis Banjar Pembeli: jenis kelamin perempuan, umur 23 tahun, etnis Katingan b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah c. Topik : Tawar menawar sepatu Pembeli : Pire rega sepatu jituh.1 Berapa harga sepatu ini. Penjual : Jite uju puluh. 2 ‘Itu 70’ Pembeli : Dia jahawen puluh ih kah, mangat aku mili jite. 3 ‘Tidak 60 saja kah, supaya saya beli itu’ Penjual : Biar ih akam jahawen lime ih gin, jadi aku kurang ah te lime ribu. 4 ‘Biar buat kamu 65, mengurangi 5 ribu’ Pembeli : Jahawen puluh ih, aku duan ji warna babilem. 5 ‘60 saja saya ambil warna hitam’ Penjual : Ayuja ambil, aku menjual ni gara-gara kasian dengan kam haja. Bila orang lain tadi, kada menjual aku. Warna apa tadi? (BK-BB) 6 Dari wacana di atas, terlihat bahwa penjual beralih kode yang pada awalnya menggunakan bahasa Katingan dan kemudian menggunakan bahasa Banjar yang berbunyi “Ayuja ambil, aku menjual ni gara-gara kasian wan kam haja. Bila orang lain tadi kada menjual aku,” yang maknanya adalah silakan ambil, saya menjual ni karena kasihan dengan kamu saja. Bila orang lain tadi tidak saya jual’. Dari tuturan penjual tadi tampak penjual berpura-pura kepada pembeli. Kepura-puraan tersebut terlihat dari penjual yang mengatakan ambil saja karena saya kasihan 251 sama kamu, kalau orang lain saya tidak jual. Penjual berpura-pura kepada pembeli agar bisa dikatakan murah oleh pembeli.

Adanya Orang Ketiga (03) Peristiwa tutur 15 a. Peserta tutur Pedagang ubi : jenis kelamin perempuan, umur 28 tahun, etnis Katingan Pedagang sayur (03): jenis kelamin perempuan, umur 30 tahun,etnis Katingan Pembeli : jenis kelamin perempuan,umur 30 tahun, etnis Banjar b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah c. Topik : Tawar menawar ubi Pembeli : Hapuklah gumbilinya ni? 1 ‘Enaklah (renyah) ubi ini’ Penjual : Nah, jar orang samalam hapuk pang. 2(BB) ‘Nah, kata orang kemarin enak.’ Pembeli : Barapa sakilo? 3 ‘Berapa satu kilo?’ Penjual : 4 ribu ja, banyak dah ditukari orang tadi. 4 (BB) ‘4 ribu.saja, sudah banyak dibeli orang tadi.’ Ketika pembeli memilih ubi, teman dari penjual ubi ini, yakni penjual sayur yang tempatnya berdekatan menanyakan apakah ada membeli beras. Percakapan antara penjual tersebut sebagai berikut. Penjual (03) : Indu Apri, tige ikau mili behas. 5 ‘Ibu Apri, ada beli beras’ Penjual : Tige ih, aku mili ikan H. Utuh.6 (BB-BK) Ada, aku beli di tempat H. Utuh’ Penjual (03) : Pire rega behas ikan H. Utuh te. 7 ‘Berapa harga beras tempat H. Utuh’ Penjual : Uju puluh ih ije sak a 8. ‘70 satu karung’ Pembeli : Nah, timbangakan gumbilinya. 9 ‘Nah, timbangkan ubinya.’ Penjual : Pas akan akan satu kilo haja nah. 10(BK-BB) ‘Jadikan satu kilo saja’ Pembeli : Tukarlah. 11 beli Penjual : Jual jua. 12 jual juga Wacana di atas telah memperlihatkan bahwa penjual melakukan alih kode karena motif menyesuaikan bahasa yang digunakan oleh lawan bicara. Pada awalnya pedagang sayur menggunakan bahasa Banjar pada saat melayani pembeli yang bertanya. Pada saat penjual menjawab pertanyaan dari calon pembelinya yang berbunyi “Nah, jar orang samalam hapuk pang” (penggalan kalimat 3) yang maknanya adalah ‘Nah, kata orang kemarin enak’. Peristiwa alih kode terjadi pada saat penjual ubi menjawab pertanyaan dari temannya yang juga sama- sama pedagang. Pedagang sayur menanyakan kepada temannya yakni penjual ubi yang berbunyi “ Indu Apri, tige ikau mili behas” (penggalan kalimat 6) yang maknanya adalah ‘Ibu Apri, kamu ada beli beras’. Dari percakapan tersebut, penjual mulai beralih kode menggunakan bahasa

252 Katingan untuk menjawab pertanyaan dari temannya tadi yang berbunyi “Tige ih, aku mili ikan H. Utuh” (penggalan kalimat 7) yang maknanya adalah ‘Ada, aku beli di tempat H. Utuh’.

Pembeli Terkejut dengan Harga yang Ditawarkan Peristiwa tutur Peserta tutur Pedagang ikan gabus: jenis kelamin perempuan,umur 32 tahun, etnis Banjar Pembeli: jenis kelamin perempuan, umur 37 tahun, etnis Katingan a. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba b. Topik : Tawar menawar ikan gabus Penjual : Iwak haruan, iwak haruan. 1 (menawarkan ikan gabus kepada pembeli yang lewat) ‘Ikan gabus, ikan gabus’ Pembeli : Barapa sakilo? 2 (BB) ‘Berapa satu kilo?’ Penjual : 25, handak kah? (BB) 3 ‘25 mau kah?’ Pembeli : Akuy kalarang ampi nah, buhen tau larang kutuh. 4 (BB-BK) ‘Aduh mahalnya, mengapa bisa mahal seperti ini’ Penjual : Jituh gin aku isut ih duan untung. 5 (BB-BK) ‘Ini saja aku sedikit ambil untung.’ Pembeli : Aku male mili lauk jikau duwe puluh ih ije kilo.(BK) 6 ‘Aku kemarin beli lauk itu 20 satu kilo.’ Penjual : Bahali manggau lauk wayah tuh. Indu Amat gin duan ukaku. (BK) 7 ‘Susah mencari ikan sekarang ini. Ibu Amat saja ambil di tempatku.’ Dari wacana di atas terlihat bahwa motif pembeli melakukan alih kode karena pembeli terkejut dengan harga ikan gabus yang bisa dikatakan cukup mahal dari harga biasanya. Keterkejutan pembeli tersebut menyebabkan dia melakukan alih kode. Pada awalnya, pembeli berkomunikasi menggunakan bahasa Banjar yang berbunyi “Barapa sakilo” (penggalan kalimat 2) yang maknanya adalah ‘Berapa satu kilo’ setelah mendengarkan harga satu kilo ikan gabus, pembeli beralih menggunakan bahasa Katingan yang berbunyi “Akuy kalarang ampi nah, buhen tau larang kutuh” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘Aduh mahalnya, mengapa bisa mahal seperti ini’.

Perasaan Jengkel Penjual kepada Pembeli Peristiwa tutur 19 a. Peserta tutur Pedagang ikan : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Katingan Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 38 tahun, etnis Jawa b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba c. Topik : Tawar menawar ikan Pembeli : Berapa satu bungkus seluang ini. 1 Penjual : 7 ribu satu bungkus. Mau kah? 2(BI) Pembeli : Kemarin 5 ribu satu bungkus. 5 saja saya ambil 2 bungkus. 3

253 Penjual : Dia tau, ije bungkus te isut ih duan untung. 4 (sambil mengelengkan kepala) (BI-BK) ‘Tidak bisa, satu bungkus itu sedikit saja mengambil untung’ Pembeli : Tidak bisa kurang lagi ya? 5 Penjual Ayu ih, duwe bungkus te 13 (BK) 6 ‘Biar saja dua bungkus itu 13’ Pembeli : Saya ambil yang ini. Minta plastiknya. 7 Dari percakapan di atas tampak penjual melakukan alih kode secara spontan kepada pembeli. Alih kode yang dilakukan disebabkan penjual merasa jengkel kepada pembeli yang terlalu murah menawar harga ikan seluang yang dijualnya. Penjual jengkel karena harga ikan pada saat itu bisa dikatakan mahal dan susah untuk mencari ikan. Percakapan penjual yang beralih kode pada awalnya menggunakan bahasa Indonesia (BI) ke dalam bahasa Katingan. Alih kode yang dilakukan oleh penjual, yaitu dari bahasa Indonesia yang berbunyi “7 ribu satu bungkus. Mau kah?” (penggalan kalimat 2) ke dalam bahasa Banjar yang berbunyi “Dia tau, ije bungkus te isut ih duan untung” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘Tidak bisa, satu bungkus itu sedikit saja mengambil untung’. Jadi, dapat dikatakan bahwa perasaan jengkel seorang penutur dapat menimbulkan dia melakukan alih kode.

Tujuan Penjual dan Pembeli Pembeli dan Penjual Saling Kenal a. Peserta tutur Pedagang ayam : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Katingan Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 42 tahun, etnis Banjar b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah c. Topik : Tawar menawar ayam Pembeli : Gasan siapa bacincang ayam 1 ‘Buat siapa memotong ayam’ Penjual : Gasan orang tadi. Ma Agus tukarakan nah ayam, sekilo haja Mama Agus ai, nyaman dicincangakan. 2 ‘Buat orang tadi. Ma Agus beli nah ayam, sekilo saja mama Agus, supaya dipotong’ Pembeli : Pire rega? 3 (BB-BK) ‘Berara harganya?’ Penjual : 35 ih, mili kah mama Agus. Jite piye tanau duwe kilo ije ons. (BB-BK) 4 ‘35 saja. Beli kah mama Agus itu’ Pembeli : Iyoh, pire rega hati manuk te nah. (BK) 5 ‘Iya, berapa harga hati ayam itu.’ Penjual : 2 lima ribu mama Agus ai. 6 ‘2 lima ribu ibu Agus’ Pembeli : 2 hati lah. 7 Penjual : (sambil membungkuskan hati ayam ke plastik). Jadi bilang orang mama Agus ai aku jual ayam ada BRnya. Uma ai jarku. Aku ni bersih kadeda BR lagi. 8 ‘Kata orang aku jual ayam ada Brnya. Waduh ya kataku. Aku bersih tidak ada br lagi.’ (BI)

254 Pada percakapan di atas penjual dan pembeli melakukan alih kode. Penjual sudah saling kenal dengan pembeli, yakni mama Agus. Hal ini dapat dilihat dari penggalan percakapan penjual kepada pembeli “Ma Agus tukarakan nah ayam, sekilo haja mama Agus ai, nyaman dicincangakan” yang maknanya adalah Bu Agus beli nah ayam, sekilo saja Ibu Agus, supaya dipotong ayamnya. Dari percakapan tersebut terlihat bahwa penjual sudah akrab dengan pembeli. Peneliti menemukan bahwa Ibu agus yang beretnis Banjar berkomunikasi menggunakan bahasa Katingan terhadap temannya, yakni penjual ayam yang beretnis Katingan. Pada awalnya penjual menggunakan bahasa Banjar untuk berkomunikasi kemudian dijawab oleh pembeli juga menggunakan bahasa Banjar. Pembeli beralih kode menggunakan bahasa Katingan, yaitu untuk menanyakan harga ayam yang berbunyi “Pire rega?” yang maknanya adalah ‘Berapa harganya?’ dan juga dijawab oleh pembeli menggunakan bahasa Katingan yang berbunyi “35 ih, mili kah mama Agus. Jite piye tanau duwe kilo ije ons” (penggalan kalimat 4) yang maknanya adalah ‘35 saja. Belikah Ibu Agus itu’. Tujuannya adalah agar percakapan dalam transaksi tersebut akrab dan santai

Menyesuaikan dengan Bahasa Pembeli Alih kode yang juga sering dilakukan adalah disebabkan penjual berusaha menyesuaikan bahasa yang digunakan oleh pembeli. Tujuannya adalah agar komunikasi dalam transaksi jual beli dapat lancar diperlukan bahasa yang dapat dimengerti oleh kedua pembicara, yakni penjual dan pembeli. Berikut ini adalah percakapan yang menggambarkan peristiwa alih kode yang dilakukan penjual menyesuaikan dengan bahasa pembeli. Peristiwa tutur 11 a. Peserta tutur Pedagang sayur : jenis kelamin perempuan, umur 33 tahun, etnis Jawa. Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 49 tahun, etnis Banjar b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah c. Topik : Tawar menawar sayur Penjual : Sayur-sayur, Bu.1 (BI) Pembeli : Nukar waluh pang sabalah. (BB) 2 ‘Beli labu separoh’ Penjual : Sabalah jakah, sabigian yang ini 20 3 (BI-BB) ‘Separoh sajakah, sebiji yang ini 20’ Pembeli : Sabalah haja gin, kena kada tamakan pulang kaya samalam ‘Separoh saja, nanti tidak termakan lagi seperti kemarin.’ Penjual : Bujur jua, sabalah 10 ribu. Handak apa lagi?? 5 ‘Benar juga, sebelah 10 ribu. Mau apa lagi?’ Pembeli : Itu haja gin 6 ‘Itu saja’ Pada percakapan penjual dan pembeli pada saat membeli sayur, terlihar bahwa penjual melakukan alih kode. Pada mulanya penjual pada saat menawarkan sayur kepada pembeli menggunakan bahasa Indonesia yang berbunyi “Sayur-sayur, Bu” (penggalan kalimat 1). Ketika pembeli datang dan membeli sayur yakni labu dengan menggunakan bahasa Banjar, penjual pun beralih menggunakan bahasa Banjar yang berbunyi “Sabalah jakah, sabigian yang ini 20” yang maknanya adalah ‘separoh sajakah, sebiji yang ini 20’. Jadi penjual berusaha menyesuaikan kode bahasa yang digunakan oleh pembeli, yaitu bahasa Banjar (pada penggalan kalimat 2,4,6) agar komunikasi yang terjalin dapat lancar dan adanya keakraban antara penjual maupun pembeli.

255 Adanya Pembeli Lain Berikut ini adalah alih kode yang dilakukan penjual karena adanya calon pembeli lain. Peristiwa tutur 13 a. Peserta tutur Pedagang ayam : jenis kelamin perempuan, umur 45 tahun, etnis Banjar Pembeli(1) : jenis kelamin perempuan, umur 42 tahun, etnis Katingan dan Pembeli (2) : jenis kelamin perempuan,umur 30 tahun, etnis Banjar. b. Lokasi: Pasar Banjar Tumbang Samba Katingan Tengah c. Topik : Tawar menawar ayam dan hati ayam Pembeli : Pire rega manuk jikau? (BK) 1 ‘Berapa harga ayam itu?’ Penjual : Talung puluh ije kilo. (BK) 2 ‘35 satu kilo’ Pembeli : Dia tawa kurang. 3 ‘Tidak bisa kurang?’ Penjual : Dia tau am. Isut ih aku duan untung. (BK) 4 ‘Tidak bisa lagi. Sedikit aku ambil untung’ Datang calon pembeli lain (pembeli 2) yang menanyakan harga hati ayam. Penjual : Handak ayamkah? 5 (BK-BB) ‘Mau ayamkah?’ Pembeli 2 : Barapa hati ayam? 6 Penjual : Hatikah, 2 lima ribu, handak kah? (BB)7 ‘Hati, 2 lima ribu, mau kah?’ Pembeli 1 : Iyoh, aku mili ije kilo ih. 8 ‘Iya, saya beli satu kilo saja’ Penjual : Penglaris nah 8 (BB) ( sambil menggerakkan uang tadi ke barang dagangannya supaya cepat laris). Berdasarkan percakapan antara penjual, pembeli 1 dan pembeli 2, terjadi fenomena alih kode yang dilakukan oleh penjual. Pada awalnya penjual menggunakan Bahasa Katingan (BK) pada saat melayani pembeli 1 dan kemudian beralih menggunakan Bahasa Banjar (BB) pada saat menawarkan ayam pada pembeli 2. Penjual ayam yang beretnis Banjar ini menguasai bahasa Banjar dan bahasa Katingan. Jadi, tidak memiliki kendala untuk menyesuaikan dengan bahasa pembelinya. Pada saat calon pembeli (pembeli 2) lewat, penjual menggunakan bahasa Banjar untuk menawarkan ayamnya yang berbunyi “Handak ayamkah?” (penggalan kalimat 5) yang maknanya adalah ‘Mau ayamkah?’.

Penjual Ingin Menekankan Peristiwa tutur 20 a. Peserta tutur Pedagang kain : jenis kelamin laki-laki, umur 37 tahun, etnis Jawa Pembeli : jenis kelamin perempuan, umur 32, etnis Banjar b. Lokasi : Pasar Banjar Tumbang Samba c. Topik : Tawar menawar baju Pembeli : Ada bajual baju seragam SD lah? (BB)1 ‘Ada jual baju seragam SD?’

256 Penjual : Ada, lihati ja ke dalam. 2 (BB) ‘Ada, lihat saja ke dalam’ Pembeli : Inya kelas 3. 3 ‘Dia kelas 3’ Penjual : Bila yang ini pas gasan kelas 3. 4 (BB) ‘Yang ini cocok buat kelas 3’ Pembeli : Kaya ini berapa? (BB) ‘Seperti ini berapa?’ Penjual : Itu 45. 6 pembeli : 35 ja lah, aku ambil yang ini. 7 ‘35 saja, aku ambil yang ini’ penjual : Waduh, ora iso. 8 (BB-BJw) (sambil menggelengkan kepalanya) ‘Aduh, tidak bisa’ Pembeli : Iso ne piro? 9 (BB-BJw) ‘Bisanya berapa?’ Penjual : Iso ne patang puluh wae. (BJw)10 ‘Cuma bisa 40 saja’ Pembeli : Ya weslah. (BJw) 11 (ya sudahlah). Pada awalnya, penjual menggunakan bahasa Banjar menyesuaikan dengan bahasa pembeli yang berbunyi “Bila yang ini pas gasan kelas 3” yang maknanya adalah ‘Yang ini cocok buat kelas 3’ (penggalan 4) kemudian penjual beralih kode menggunakan bahasa Jawa yang berbunyi “Waduh, ora iso” (penggalan kalimat 8) yang maknanya adalah ‘Aduh, tidak bisa’. Penjual memiliki maksud dan tujuan untuk menegaskan kepada pembeli bahwa tidak bisa menjual dengan harga yang diingikan pembeli, yakni 35 dengan berbahasa Jawa. Ketika penjual beralih menggunakan bahasa Jawa, pembeli yang beretnis Banjar berusaha mengimbangi bahasa yang digunakan oleh penjual walaupun pembeli hanya sedikit menguasai bahasa Jawa.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis terhadap alih kode yang terjadi di Pasar Kecamatan Katingan Tengah terdapatlah alih bahasa yang terjadi dan faktor-faktor yang menjadi penentu penutur melakukan alih kode. Dari hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa peralihan kode tersebut berupa (1) alih kode dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa daerah, (2) alih kode dari bahasa daerah ke dalam bahasa Indonesia, dan (3) alih kode dari bahasa daerah ke dalam bahasa daerah. Faktor-faktor yang menjadi penentu penjual dan pembeli melakukan alih kode terbagi menjadi dua, yaitu (a) motif penjual dan pembeli dan (b) tujuan penjual dan pembeli. Saran Adapun saran yang bisa diberikan oleh peneliti diantaranya bagi tenaga pengajar diharapkan dapat diaplikasikan dalam pembelajaran sebagai bahan ajar pada pembelajaran sosiolinguistik sehingga mahasiswa lebih paham mengenai alih kode dan aplikasinya dalam kehidupan. Bagi penjual dan pembeli seharusnya dalam melakukan alih kode harus memperhatikan lawan tutur, jangan melakukan alih (kode) yang tidak dikuasai oleh mitra tutur yang bisa menyebabkan komunikasi tidak lancar. Hasil penelitian ini diharapakan dapat menjadi referensi bagi peneliti yang akan datang.

257 DAFTAR RUJUKAN

Rafiek, Muhammad. 2007. Sosiologi Bahasa: Pengantar Dasar Sosiolinguistik. Banjarmasin: FKIP Unlam.

258 LEGENDA TABUAN RANGGAS DI KABUPATEN TABALONG (THE LEGEND OF TABUAN RANGGAS IN TABALONG DISTRICT)

Wina Hastuti dan Sabhan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail [email protected]

Abstract

The Legend of Tabuan Ranggas in Tabalong District. Background underlying this study is a Tabuan Ranggas folklore legend that holds the nation’s cultural heritage values and cultural teachings. It is the nation’s cultural values that need to be explored to develop. Methods of qualitative research is descriptive. Data sources used were informants or informants. Techniques of data collection is done by recording, interviews, observations, and data reduction. Test the validity of data is done by means of data triangulation. Data analysis techniques include data collection, classification data, and drawing conclusions. The results of this study for the structure of the story, which Tabuan Ranggas folklore themed persistence. Groove contained in this folklore is the path forward. Background consists of the place, time, and atmosphere. Characters and characterizations in this folklore is distinguished for its role in the story. Function Tabuan Ranggas folklore, include (1) As a means of endorsement institutions and cultural institutions, (2) As a means of education, (3) as a means of coercion and collective members of the community superintendent (4) as a means of entertainment. Cultural values contained in the Tabuan Ranggas folklore, including cultural values in a relationship with him and cultural values in human relationships with nature.

Keywords: structure, function folklor, cultural values

Abstrak

Legenda Tabuan Ranggas di Kabupaten Tabalong. Latar belakang yang mendasari penelitian ini adalah legenda cerita rakyat Tabuan Ranggas memegang nilai-nilai warisan budaya bangsa dan ajaran budaya. Ini adalah nilai-nilai budaya bangsa yang perlu dieksplorasi untuk dikembangkan. Metode penelitian kualitatif adalah deskriptif. Sumber data yang digunakan adalah informan atau informan. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan merekam, wawancara, observasi, dan pengurangan data. Uji validitas data dilakukan dengan cara triangulasi data. Teknik analisis data meliputi pengumpulan data, klasifikasi data, dan penggambaran kesimpulan. Hasil dari penelitian ini untuk struktur cerita, cerita rakyat Tabuan Ranggas bertema kegigihan. Groove yang terkandung dalam cerita rakyat ini adalah jalan ke depan. Latar belakang terdiri dari tempat, waktu, dan suasana. Karakter dan karakterisasi dalam cerita rakyat ini dibedakan untuk perannya dalam cerita. Fungsi cerita rakyat Tabuan Ranggas, termasuk (1) Sebagai sarana lembaga dukungan dan lembaga kebudayaan, (2) Sebagai sarana pendidikan, (3) sebagai sarana pemaksaan dan anggota kolektif pengawas masyarakat (4) sebagai sarana hiburan. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam cerita rakyat Tabuan Ranggas, termasuk nilai-nilai budaya dalam hubungan dengan dia dan nilai-nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam.

Kata-kata kunci: struktur, fungsi folklor, nilai-nilai budaya 259 PENDAHULUAN Sastra merupakan milik masyarakat, maknanya berkembang apabila dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra adalah rekaman-rekaman kebudayaan (Ratna, 2007: 14). Objek kajian karya sastra dapat berupa karya sastra tulis dan sastra lisan. Sastra tulis adalah sastra yang teksnya berisi cerita yang sudah ditulis atau dibukukan, sedangkan sastra lisan adalah cerita atau teks yang bersifat kelisanan, dan diturunkan secara lisan dari generasi ke generasi berikutnya. Sastra Melayu asli atau sastra tradisional ialah suatu golongan cerita yang hidup dan berkembang secara turun-temurun, dari suatu generasi kepada generasi berikutnya. Istilah lain yang biasa digunakan untuk menyebut golongan karya sastra ini ialah cerita rakyat. Disebut cerita rakyat atau folklor karena cerita ini hidup di kalangan rakyat (Djamaris, 1990: 15). Terlepas dari berbagai bentuk cerita rakyat, pada dasarnya, cerita rakyat sarat akan nilai- nilai, terutama nilai budaya. Koentjaraningrat (1984: 8) mengatakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Tingkat ini adalah ide-ide yang mengonsepsikan hal-hal yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat. Selanjutnya, dikemukakan oleh Koentjaraningrat, suatu sistem nilai-nilai budaya terdiri atas konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat bernilai dalam hidup. Oleh karena itu, suatu sistem nilai budaya biasanya berfungsi sebagai pedoman tertinggi bagi kelakuan manusia yang tingkatnya lebih konkrit, seperti aturan-aturan khusus, hukum, dan norma-norma, semuanya juga berpedoman kepada sistem nilai budaya itu. Mengenai hubungan nilai budaya dengan sastra, Damono (1978: 1) mengatakan sastra diciptakan oleh sastrawan untuk dinikmati, dipahami, dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Karya sastra terbagi dalam dua kelompok besar, yaitu karya sastra tulis dan karya sastra lisan. Karya sastra tulis meliputi prosa, cerita pendek, novel, dan lain-lain. Adapun yang termasuk karya sastra lisan adalah karya sastra yang dihasilkan secara turun-temurun secara lisan, salah satu jenisnya adalah cerita rakyat (folklore). Cerita rakyat adalah suatu bentuk karya sastra lisan yang lahir dan berkembang dari masyarakat tradisional yang disebarkan dalam bentuk relatif tetap dan disebarkan di antara kolektif tertentu dari waktu yang cukup lama dengan menggunakan kata klise (Danandjaya, 1997: 4). Penelitian terhadap cerita rakyat masih sangat perlu untuk dilakukan, selain untuk mendapatkan bentuk cerita yang lengkap, penelitian terhadap cerita rakyat perlu dilakukan guna menghindari kepunahan, sehingga penelitian tersebut nanti bisa menemukan hasil-hasil yang memberikan manfaat bagi manusia, seperti mengungkapkan nilai-nilai budaya dan fungsi cerita tersebut terhadap masyarakat pemilik dan pendukung cerita, dapat diketahui bagaimana kebudayaan maupun adat istiadat masyarakat setempat pada saat itu maupun pengaruhnya pada saat ini. Cerita rakyat yang berkembang dalam masyarakat memiliki fungsi-fungsi tertentu bagi kolektif pemiliknya. Pengkajian terhadap cerita rakyat bisa dijadikan sarana yang tepat untuk penanaman nilai dan norma dalam masyarakat agar dapat dihayati dan diapresiasi sehingga apabila generasi muda menghayati nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, mereka dapat mengambil ajaran yang berharga dan menjadikannya sebagai pelajaran untuk sarana introspeksi diri pribadi masing-masing individu, sehingga bangsa bangga mempunyai generasi muda yang bermoral dan menghargai budayanya. Cerita rakyat Tabuan Ranggas merupakan salah satu cerita rakyat warisan budaya bangsa yang menyimpan berbagai nilai moral dan nilai budaya. Nilai-nilai tersebut merupakan budaya bangsa yang perlu digali dan didokumentasikan untuk dikembangkan. Dalam bidang ilmu pengetahuan, khususnya ilmu sastra, penelitian terhadap cerita rakyat Tabuan Ranggas merupakan

260 suatu usaha untuk mengungkapkan sastra Banjar tradisional. Penelitian terhadap cerita rakyat perlu dilakukan karena cerita rakyat merupakan salah satu budaya lokal yang menyimpan berbagai kearifan nilai budaya yang mencerminkan identitas budaya dan sosial masyarakatnya. Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian, yaitu “Bagaimanakah struktur cerita rakyat Tabuan Ranggas?”, “Fungsi apa sajakah yang terdapat pada cerita rakyat Tabuan Ranggas?”, dan “Nilai budaya apa sajakah yang terdapat pada cerita rakyat Tabuan Ranggas?” Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui struktur cerita rakyat Tabuan Ranggas, menyajikan fungsi yang terdapat pada cerita rakyat Tabuan Ranggas, dan memaparkan nilai budaya yang terdapat pada cerita rakyat Tabuan Ranggas.

METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif. Hal-hal yang dipaparkan dalam penelitian ini meliputi tempat dan waktu penelitian, objek penelitian, data dan sumber data, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analisis data. Tempat penelitian adalah Desa Tanta, Kecamatan Tanta, Kabupaten Tabalong Provinsi Kalimantan Selatan. Waktu penelitian dari tanggal 19 Juli 2011 sampai dengan 6 Oktober 2011. Objek penelitian adalah isi cerita rakyat Tabuan Ranggas dan objek penelitian lainnya adalah nilai budaya dan fungsi cerita rakyat Tabuan Ranggas bagi masyarakat pendukungnya. Data dan sumber data, yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder adalah sumber data yang berkedudukan sebagai penunjang penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat perekam, kamera, dan lembar catatan atau catatan lapangan. Teknik pengumpulan data Sesuai dengan bentuk penelitian dan sumber data, teknik pengumpulan data yang dimanfaatkan dalam penelitian ini, yaitu perekaman, wawancara, observasi/pengamatan, dan reduksi data. Validitas data dilakukan untuk menjamin validitas/keabsahan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara triangulasi data, yaitu cross check antara data yang satu dengan data yang lain. Data yang diperoleh kemudian dikonsultasikan dengan beberapa sumber berbeda, yaitu masyarakat pemilik cerita. Masing-masing data kemudian dicross check untuk menentukan kevalidannya. Hal ini yang akan menunjukan bahwa data-data dalam penelitian ini valid. Teknik analisis data model alir terdiri dari pengumpulan data, penggolongan (klasifikasi), dan penarikan kesimpulan.

HASIL DAN PEMBAHASAN Cerita rakyat Tabuan Ranggas merupakan prosa rakyat berbentuk legenda. Legenda adalah cerita yang dianggap empunya sebagai suatu kejadian yang sungguh-sungguh terjadi, bersifat sekuler (keduniawian), terjadinya pada masa yang belum begitu lampau, dan bertempat di dunia yang kita kenal sekarang. Cerita rakyat Tabuan Ranggas tergolong sastra Banjar tradisional karena keberadaannya diperkirakan sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Berdasarkan isi cerita, Tabuan Ranggas termasuk ke dalam legenda alam gaib karena cerita ini ini berkisah tentang Tabuan Ranggas yang merupakan seekor buaya jadi-jadian (siluman) yang mati karena menerkam sebuah labu putih yang berisi bara api dan tubuhnya menjadi tanah yang dikenal oleh masyarakat setempat dengan tungkung buaya. Tungkung itu artinya tanah yang menonjol. Sekarang tanah tersebut menjadi kebun yang luasnya 400 m. Cerita yang menjadi data penelitian dikumpulkan dari para informan di daerah yang menjadi tempat penelitian.

261 Struktur (Unsur Intrinsik Cerita rakyat Tabuan Ranggas) Tema dan Amanat Tema pada cerita rakyat Tabuan Ranggas dapat ditentukan dengan mengamati kejadian- kejadian keseluruhan cerita tersebut. Pada awal cerita, sudah tampak adanya pikiran utama cerita, yaitu digambarkannya Mapihan sebagai seorang pekerja keras, setiap hari ia bekerja tanpa kenal lelah demi menghidupi keluarganya. Mapihan adalah orang yang sangat gigih dalam bekerja memperjuangkan kehidupan keluarganya terutama saat ia gigih untuk menghindarkan hal-hal buruk yang akan menimpa anaknya, walaupun pada akhirnya firasat tersebut benar-benar terjadi. Dapat disimpulkan bahwa tema cerita rakyat Tabuan Ranggas adalah kegigihan. Amanat yang terdapat dalam cerita Tabuan Ranggas dapat ditelusuri melalui rangkaian peristiwa yang terjadi pada tokoh, yaitu saat Mapihan berusaha menghindarkan anaknya dari malapetaka dengan cara mengajak istri dan anaknya untuk pindah ke dataran yang lebih tinggi supaya jauh dari sumber air yang menjadi habitat buaya. Walaupun pada akhirnya firasat itu benar-benar terjadi kepada anaknya. Anaknya diterkam oleh buaya yang merupakan jelmaan mainan buaya yang dibuat oleh Mapihan sendiri, ketika ia bermain di sumur berdasarkan cerita dapat ditarik simpulan bahwa amanat dari cerita rakyat Tabuan Ranggas adalah “Manusia boleh berusaha tetapi Tuhan jua yang menentukan segalanya.”

Alur/Plot Alur merupakan rangkaian kejadian maupun peristiwa dalam suatu cerita. Sebelum menentukan bagaimana alur cerita rakyat Tabuan Ranggas terlebih dahulu digambarkan bagaimana cerita ini berjalan, yaitu meliputi lukisan keadaan, peristiwa mulai bergerak, keadaan mulai memuncak, peristiwa memuncak, dan penyelesaiannya. Keadaan dimulai dengan situation. Situation ini merupakan bagian awal alur yang diawali dengan paparan (exposition), rangsangan (inciting moment), dan gawatan (rising action). Pada struktur paparan yang merupakan bagian awal dari alur ini digambarkan bagaimana kehidupan Mapihan dan kesehariannya yang ia habiskan untuk berladang dan berburu di hutan. Selanjutnya, masih pada bagian awal alur tetapi situasi sudah mulai bergerak dan peristiwa ini masuk dalam struktur rangsangan (inciting moment), yaitu saat Mapihan mendengar suara-suara gaib saat ia tengah sibuk memasang pulut. Kemudian pada akhir dari bagian awal alur dilanjutkan ke struktur gawatan (rising action), hal ini ditandai ketika Mapihan mendengar lagi suara-suara gaib yang sebelumnya sempat ia dengar. Tetapi yang membuat Mapihan terkejut adalah pembicaraan mereka tentang wanita yang sedang melahirkan yang membuat Mapihan teringat akan istrinya yang tengah hamil tua. Lalu Mapihan memutuskan untuk pulang. Setelah bagian awal, alur dilanjutkan ke bagian tengah yang ditandai dengan keadaan yang mulai bergerak atau disebut Generating Circumstance, Keadaan ini merupakan bagian tengah alur. yang diawali dengan tikaian (conflict), lalu rumitan (complication), dan klimaks. Setelah tikaian yang digambarkan saat Mapihan mengetahui istrinya sudah melahirkan seorang bayi perempuan dan ia pun menyadari bahwa firasat buruk yang dibicarakan tadi adalah tentang bayinya kemudian keadaan berlanjut pada tahapan rumitan (complication), yaitu ketika Mapihan terus memikirkan firasat buruk yang akan menimpa anaknya dan membuat ia khawatir apabila firasat itu benar-benar terjadi. Lalu Mapihan pun mengambil keputusan untuk pindah ke dataran yang tinggi agar terhindar dari sumber air. Setelah tahap rumitan, bagian tengah alur dilanjutkan ke struktur yang ketiga, yaitu klimaks yang merupakan puncak konflik dari cerita. Tahapan ini ditandai dengan peristiwa yang menimpa anak dari Mapihan, yaitu ketika si anak sedang asyik memainkan boneka buaya yang dibuat oleh Mapihan, tiba-tiba buaya tadi menjelma menjadi seekor buaya besar dan langsung menekam si anak tadi. Setelah klimaks, alur kemudian dilanjutkan ke bagian akhir yang terdiri dari leraian (falling action) dan selesaian

262 (denouement). Bagian ini merupakan penutup dari cerita Tabuan Ranggas. Bagian akhir dari cerita ini menggambarkan bagaimana keadaan buaya yang telah menerkam kulit labu putih berisi bara api yang diberikan oleh Mapihan untuk membalaskan dendamnya kepada buaya tersebut.

Latar atau Setting Sebagaimana dijelaskan pada bab sebelumnya, latar atau setting meliputi tempat, ruang, waktu, termasuk juga lingkungan dari suasana terjadinya peristiwa. Dalam cerita rakyat Tabuan Ranggas dijumpai beberapa latar seperti tempat, waktu, dan suasana yang berhubungan dengan cerita, latar satu sama lain mempunyai hubungan atau keterkaitan. Satu per satu latar tersebut akan diuraikan di bawah ini. a. Latar tempat meliputi hutan dan sumur b. Latar waktu meliputi sore dan pagi hari c. Latar suasana meliputi mistis, kecemasan, kemarahan

Perwatakan Mapihan dapat digolongkan sebagai tokoh sentral atau sebagai tokoh utama dalam cerita ini. Dari awal cerita sampai akhir, namanya paling sering disebut, bahkan untuk mengetahui jalan cerita ini sama halnya dengan mengikuti atau menelusuri perkembangan tokoh ini. Mapihan adalah seorang pekerja keras. Ia bertani dan juga seorang pemburu hewan terutama burung, semua pekerjaannya ia lakukan untuk mencukupi kehidupan keluarganya. Sebagai seorang suami Mapihan sangat bertanggung jawab dan sayang kepada istrinya. Setiap hari ia pergi ke hutan, berburu, bertani, bercocok tanam di ladang untuk mencukupi kebutuhan hidup akan tetapi ia selalu ingat akan istrinya sehingga ia tak akan berlama-lama meninggalkan istrinya sendiri di rumah. Selain itu, Mapihan juga merupakan sosok yang gigih dan tidak mudah menyerah kepada takdir hal ini jelas terlihat ketika ia memutuskan untuk membawa istri dan anaknya untuk tinggal di dataran tinggi agar jauh dari sungai dan sumber mata air sehingga anaknya akan terhindar dari firasat buruk. Selain kelebihan-kelebihan yang dimilikinya, Mapihan juga mempunyai kelemahan, yaitu dia seorang yang pendendam, sifat ini terlihat ketika Mapihan mengetahui saat anaknya sudah tidak ada dan ia yakin bahwa anaknya di terkam buaya akhirnya ia mengambil kulit labu putih yang diisi dengan bara api dan ia berikan kepada buaya untuk membalaskan dendamnya. Tokoh kedua dalam cerita rakyat Tabuan Ranggas adalah anak. Anak merupakan tokoh tambahan dalam cerita ini. Tokoh anak merupakan tokoh yang sedikit memegang peran pada cerita ini tapi secara dramatik tokoh anak dapat dilihat perwatakannya, yaitu ia memiliki sifat manja. Tokoh ketiga, yaitu Tabuan Ranggas yang merupakan seekor buaya jelmaan dari sebuah mainan buaya yang terbuat dari pelepah kelapa. Tabuan Ranggas digambarkan melalui ciri-ciri fisiknya, yakni bertubuh besar. Dalam cerita, Mapihan memberikan kulit labu putih yang berisi bara api kepada Tabuan Ranggas untuk membalaskan dendamnya. Karena serakah, akhirnya, Tabuan Ranggas pun menerkam kulit labu putih tersebut hingga menyebabkan ia mati.

Analisis Fungsi Sebagai Alat Pengesahan Pranata-Pranata dan Lembaga Kebudayaan Dalam cerita Tabuan Ranggas terdapat peristiwa kasusuban (tertancap benda tajam) yang dialami oleh makhluk halus penunggu pohon akibat tertancap tombak Mapihan, yang mengakibatkan mereka merasa terganggu, sehingga mereka mengatakan bahwa istri Mapihan akan melahirkan seorang anak dan anak tersebut akan mati diterkam oleh buaya, karena Mapihan takut hal itu akan terjadi, ia berusaha sedemikian rupa untuk menjauhkan anaknya dari firasat itu, walau pada akhirnya firasat itu benar-benar terjadi. Hal tersebut menggambarkan cerita rakyat 263 Tabuan Ranggas mengandung hal gaib. Peristiwa gaib yang dialami tokoh merupakan pencerminan kepercayaan masyarakat setempat akan hal-hal gaib. Nawawi (2011) mengatakan bahwa makhluk halus merupakan sebutan untuk makhluk yang berada di alam gaib. Selain itu, bagi sebagian masyarakat suku bangsa Banjar, hutan belantara, semak belukar dan gunung bukan semata- mata dihuni oleh makhluk bumi melainkan juga didiami oleh makhluk gaib, binatang gaib, datu, dan sebagainya. Lingkungan kehidupan manusia merupakan personifikasi dunia gaib, sehingga di kalangan sebagian masyarakat Banjar dikenal istilah bumi lamah dan untuk bumi rata adalah dunia bagi makhluk gaib yang bertempat tinggal di hutan belukar, tanah rawa, dan lain sebagainya. Konon keberadaan makhluk halus ada di sekitar kita, mereka bisa mengetahui keberadaan manusia tapi manusia tidak dapat merasakan keberadaannya. Oleh karena itu, manusia harus menjaga sikap dimana pun dia berada agar terhindar dari marabahaya, karena selayaknya manusia, makhluk halus juga bisa merasa terganggu apabila manusia mengusik keberadaannya. Hal itu sangat dipercaya oleh masyarakat Banjar, khususnya masyarakat Tabalong. Bukti dari realisasi kepercayaan terhadap hal itu membentuk paradigma masyarakat, yaitu apabila seseorang memasuki tempat yang sepi yang jauh dari keramaian dan dianggap di sana terdapat makhluk halus penunggu tempat tersebut, seperti hutan, pohon, gunung, dan lain sebagainya, kita harus bersikap sopan, tidak sembarangan berkata-kata apalagi dalam bertindak, bahkan dalam masyarakat Tabalong biasanya diiringi dengan ucapan “permisi datuk, saya mau lewat.” Ucapan tersebut ditujukan kepada makhluk gaib yang mungkin berada di tempat itu meskipun manusia tidak melihat wujudnya. Selain proyeksi masyarakat akan hal-hal gaib, cerita rakyat Tabuan Ranggas juga memproyeksikan adanya hal-hal pralogis yang dipercaya masyarakat setempat, yakni saat mainan buaya yang dibuat oleh Mapihan dari pelepah kelapa yang menjelma menjadi seekor buaya besar dan langsung menerkam anak Mapihan. Peristiwa dalam cerita tersebut menimbulkan anggapan dalam masyarakat, yaitu seekor buaya yang mempunyai kesaktian atau buaya gaib dapat muncul dari mana saja. Apabila seekor buaya ingin memunculkan dirinya jangankan di sungai atau sumur yang kecil, dalam secangkir air pun ia dapat muncul. Cerita rakyat ini juga membenarkan sekaligus mengesahkan pranata dan lembaga kebudayaan yang terdapat pada kebudayaan tersebut. Koentjaraningrat mengklasifikasikan lembaga sosial atau pranata-pranata kemasyarakatan menjadi delapan macam, salah satunya adalah pranata yang bertujuan memenuhi kebutuhan manusia untuk mata pencaharian hidup (economic institution). Salah satu unsur kebudayaan, yaitu mata pencaharian hidup dan sistem- sistem ekonomi yang meliputi pertanian, peternakan, sistem produksi, dan lain-lain. Sistem mata pencaharian hidup dalam hubungannya dengan unsur-unsur kebudayaan terfokus pada masalah- masalah tradisional, yaitu berburu dan meramu, beternak, bercocok tanam di ladang, menangkap ikan, dan lain-lain. Masyarakat Tanta, khususnya bagi masyarakat yang rutinitas setiap hari menyatu dengan alam, baik itu berburu, bercocok tanam, beternak, maupun aktivitas pemanfaatan alam lainnya yang tujuannya untuk memenuhi kebutuhan hidup dikenal istilah mamulut, yaitu menjerat burung dengan alat jerat yang disebut pulut dan masih terus dilestarikan sampai saat ini oleh sebagian kecil masyarakatnya.

Sebagai Alat Pendidikan Anak (Pedagogical Device) Cerita rakyat sebagai alat pendidikan anak adalah suatu yang sangat umum dalam kehidupan masyarakat di Indonesia. Cerita rakyat Tabuan Ranggas memiliki pesan moral yang berguna untuk diketahui anak-anak. Pertama, dalam bertindak atau melakukan sesuatu kita harus hati-hati, cermat, dan waspada dimana pun, kapan pun, dan dengan siapapun. Kedua, sifat kerja keras dan pantang menyerah Mapihan perlu diteladani, yakni bagaimana seorang Mapihan berladang, 264 berburu setiap hari tanpa kenal lelah untuk menghidupi keluarganya dan sifat pantang menyerah yang ia miliki, hal itu tergambar ketika Mapihan tidak begitu saja menyerah kepada takdir dengan mengambil suatu tindakan, ia membawa anak dan istrinya untuk tinggal ke dataran yang tinggi. Hal itu menggambarkan betapa Mapihan seorang yang pantang menyerah dan ia gigih berusaha karena sebagai manusia sudah seharusnya kita berusaha walaupun Tuhan juga yang menentukan segalanya. Walaupun demikian, kita dapat mengambil pesan moral dari kejadian itu, yakni sebagai anak, kita harus patuh kepada orang tua karena orang tua pasti menginginkan kebaikan untuk anaknya. Pada dasarnya, anak-anak adalah sosok yang selalu ingin tahu akan apa yang ada di sekitarnya sehingga kadang tidak mengindahkan nasihat orang lain atau apa yang dikatakan oleh orang tua. Padahal keingintahuannya itu mungkin saja bisa membahayakan dirinya maupun orang di sekitarnya.

Sebagai Alat Pemaksa dan Pengawas Anggota Kolektif pada Masyarakat seperti pada akhir dari cerita Tabuan Ranggas yang menceritakan bahwa buaya itu mati dan tubuhnya menjelma menjadi tanah seluas 400 meter yang berbentuk tubuh buaya dan dikelilingi oleh sungai sehingga tanah tersebut jelas sekali terlihat menyerupai tubuh buaya. Konon, cerita yang beredar dalam masyarakat bahwa sampai sekarang apabila sungai di Tabalong pasang mencapai ketinggian maksimal, terdapat banyak buaya yang berkeliling di sungai yang mengelilingi tungkung buaya tersebut. Hal ini dipercaya oleh masyarakat sekitar karena ada saksi mata yang melihat langsung peristiwanya, saksi mata tersebut adalah seorang penangkap ikan, saat itu ketika sungai pasang ia memasang hampang, yaitu alat penjaring ikan di salah satu sisi sungai yang mengelilingi tungkung buaya, dalam beberapa hari keadaan air sungai pasang, ia berniat ingin melihat hampangnya, ternyata alangkah terkejutnya ia setelah melihat banyak buaya yang naik ke daratan karena tidak bisa melewati hampang yang dipasangnya dan kemudian turun lagi ke sungai, mereka berkeliling-keliling tungkung buaya tersebut dan hal itu mereka lakukan berkali-kali sehingga dikaitkanlah peristiwa tersebut dengan cerita Tabuan Ranggas yang merupakan nama dari seekor buaya di dalam cerita tersebut. Menurut masyarakat setempat bahwa buaya-buaya tersebut berziarah kepada Tabuan Ranggas. Hal ini juga berperan dalam melestarikan cerita Tabuan Ranggas, selain cerita tersebut memiliki artefak berupa tanah menonjol yang disebut tungkung buaya tadi, secara disadari atau tidak hal ini berfungsi untuk memaksa masyarakat kolektifnya untuk mempercayai cerita sehingga masyarakat melestarikan tempat yang disebut tungkung buaya sekaligus melestarikan cerita tersebut.

Sebagai Hiburan dan Media Komunikasi Dari fungsi yang dikemukakan oleh Hutomo, peneliti menemukan satu fungsi yang terdapat pada cerita rakyat Tabuan Ranggas, yaitu sebagai alat untuk melarikan diri dari himpitan hidup sehari-hari atau untuk hiburan semata. Sastra lisan sebagai suatu ekspresi kesusasteraan warga suatu kebudayaan yang disebarkan dan diturun-temurunkan secara lisan, pada dasarnya juga digunakan sebagai hiburan untuk mengisi waktu senggang. Kebiasaan masyarakat Melayu khususnya masyarakat Banjar pada saat sela-sela waktu jeda atau istirahat berladang, diisi mereka dengan bercerita tentang cerita-cerita rakyat. Pada zaman dahulu, cerita rakyat juga sering dituturkan oleh pencerita saat acara pangantinan, saprah amal, bairik banih, dan lain-lain. Di samping memiliki fungsi hiburan, fungsi ini juga mengacu sebagai media komunikasi. Cerita rakyat yang diceritakan di tengah masyarakat pada saat berkumpul atau saat acara tertentu akan menjalin kebersamaan dan menjaga komunikasi di antara satu dan lainnya.

265 Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Dirinya Menambah Pengetahuan Hidup Manusia pada dasarnya adalah makhluk yang selalu ingin mengetahui dan mencoba sesuatu hal yang baru. Dalam menjalani dan mencoba hal-hal baru tersebut, manusia dihadapkan oleh banyaknya cobaan dan kesulitan hidup. Dalam cerita rakyat Tabuan Ranggas terdapat nilai budaya sebagai pribadi, dalam hal ini, yaitu menambah pengetahuan hidup. Dari cerita diketahui bahwa Mapihan berusaha untuk menghindari firasat buruk yang kemungkinan besar akan menimpa anaknya, yaitu dengan menjauhi sungai yang merupakan habitat dari buaya, ia harus pindah ke dataran yang tinggi walaupun harus meninggalkan hutan tempatnya mencari penghidupan dan memulai hidup baru di daerah yang baru, tidak ada sumber air maupun ladang untuk bercocok tanam lagi. Tentu itu merupakan kesulitan yang harus dihadapinya, tetapi ia pantang menyerah, ia tetap bertekad bulat untuk mempertahankan kehidupan keluarganya.

Membina Disiplin Pribadi Salah satu kewajiban terhadap diri sendiri adalah menempa diri sendiri, melatih diri sendiri untuk disiplin pribadi. Disiplin pribadi membutuhkan sifat dan sikap yang terpuji yang disertai dengan kesabaran, ketekunan, kerajinan, kesetiaan, tabah, dan lain-lain, sifat bagi pembinaan pribadi. Dalam cerita Tabuan Ranggas terdapat nilai budaya yang menjelaskan hubungan manusia dengan dirinya dalam hal membina disiplin pribadi. Mapihan dengan tekun mengerjakan tugas sehari-harinya untuk mencukupi kebutuhan hidup keluarganya. Tidak mengenal lelah. Sifat- sifat tersebut merupakan sifat positif yang berguna untuk pembinaan disiplin diri. Selain itu, Mapihan juga mempunyai kesetiaan.

Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Alam Memanfaatkan Alam Alam merupakan sumber kehidupan yang menyimpan kekayaan untuk dimanfaatkan oleh manusia. Manusia mengolah alam untuk keberlangsungan hidupnya. Dalam cerita Tabuan Ranggas terdapat nilai budaya yang menjelaskan hubungan manusia dengan alam, yaitu dalam hal memanfaatkan alam. Dalam cerita digambarkan bahwa Mapihan dan masyarakat pada saat itu memanfaatkan alam untuk bertahan hidup. Dari mulai berladang sampai berburu. Menanam sayur mayur, bertani, berburu binatang, semua dilakukan dengan memanfaatkan alam. Alam merupakan sumber kehidupan yang utama untuk Mapihan setiap hari aktivitasnya dari pagi sampai petang dilakukan di hutan. Hal itu ia lakukan untuk menghidupi keluarganya.

Tidak Merusak Alam Antara manusia dan alam terjalin suatu hubungan. Manusia menyesuaikan diri dengan alam untuk kepentingan dirinya. Seperti halnya Mapihan yang menyesuaikan diri dengan lingkungan tempat tinggalnya. Saat tinggal di hutan, ia bercocok tanam di ladang dan berburu binatang dan sampai akhirnya ia berpindah ke dataran tinggi yang jauh dari mata air, ia harus membuat sumur dan mengolah lahan baru untuk bercocok tanam. Hal tersebut menggambarkan bagaimana jalinan hubungan antara manusia dan alam, yaitu berupa penyesuaian diri yang dilakukan Mapihan terhadap alam yang memberinya penghidupan. Selain itu, bentuk hubungan manusia dan alam yang tergambar pada cerita tersebut, yaitu ketika Mapihan menaruh pulut pada pohon, ia memilih untuk menempelkan pulutnya pada pohon yang sudah tidak berdaun dan hampir mati (tidak produktif) agar tidak merusak pertumbuhan pohon yang masih muda, rindang, dan produktif. Selain itu, burung-burung juga lebih suka bertengger di ranting pohon yang sudah tua. Hal tersebut menggambarkan bahwa hubungan manusia dengan makhluk hidup lainnya mempunyai

266 hubungan timbal balik yang saling memberikan manfaat sehingga membentuk suatu keharmonisan di alam semesta.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Dari hasil penelitian cerita rakyat Tabuan Ranggas, diketahui struktur yang berupa unsur- unsur intrinsik yang membangun cerita, fungsi cerita tersebut di kalangan masyarakat, dan nilai budaya yang terkandung. Berikut kesimpulannya. 1) Unsur-unsur intrinsik meliputi tema dan amanat, alur, latar, perwatakan. 2) Fungsi cerita rakyat Tabuan Ranggas adalah sebagai sistem pengesahan pranata dalam masyarakat, alat pendidikan anak, pemaksa anggota kolektif masyarakat, dan sebagai sarana hiburan dan komunikasi. 3) Nilai budaya dalam cerita rakyat Tabuan Ranggas, yaitu nilai budaya dalam hubungan manusia dengan dirinya yang meliputi menambah pengetahuan hidup dan membina disiplin pribadi. Nilai budaya dalam hubungan manusia dengan alam yang meliputi memanfaatkan alam dan tidak merusak alam.

Saran Dari hasil penelitian, peneliti melihat bahwa cerita rakyat Tabuan Ranggas memiliki nilai dan fungsi yang berharga, baik secara moral maupun filosofis sehingga dapat dijadikan sebagai cermin, pelajaran, dan teladan untuk diri kita. Dengan alasan ini, peneliti sangat menyarankan agar penelitian terhadap folklor, khususnya cerita rakyat agar lebih ditingkatkan lagi supaya kearifan budaya lokal tetap terjaga di tengah zaman yang terus berkembang.

267 DAFTAR RUJUKAN

Damono, Sapardi Djoko. 1978. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: PPPB Dep. P dan K. Danandjaya, James. 1997. Folklor Indonesia. Ilmu Gosip, Dongeng, dan lain-lain. Jakarta: Pustaka Grafiti Utama. Djamaris, Edwar. 1990. Menggali Khazanah Sastra Melayu Klasik. Jakarta: Balai Pustaka. Koentjaraningrat.1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Nawawi, Ramli. 2011. Unsur Kepercayaan dalam Masyarakat Banjar di Kalimatan Selatan.Artikel.http://ramlinawawiutun.blogspot.com/2011/09/unsur-kepercayaan-dalam- masyarakat.html Ratna, Nyoman Kutha. 2007. Sastra dan Cultural Studies Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

268 NILAI BUDAYA DALAM MANTRA BANJAR (CULTURAL VALUE IN BANJARESE MANTRA)

Khairur Rohim dan Rustam Effendi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail [email protected]

Abstract

Cultural Value in Banjarese Mantra. Mantra Banjar is one mantra that is not much different from a spell in the Indonesian literary utterances that are considered to have supernatural powers. As the literature Mantra Banjar area contains cultural value. Cultural value is a reference or something that is considered valuable in the life of society. The focus of this study include Banjar cultural values related to man’s relationship with God, man’s relationship to his fellow man, man’s relationship with self, and man’s relationship with nature. The method used is descriptive method. The data collection techniques using literature. Data processed by content analysis technique. The results of this study indicate that cultural values contained in Banjar mantra is 1) with respect to man’s relationship with God include: the value of Islamic influence and the influence of other beliefs, 2) cultural value contained in Banjar spells related to human relationships with each other include: value mutual help, love and respect someone, 3) cultural value contained in Banjar spells related to human relationships with yourself include: value yourself and always keep careful; 4) cultural value contained in Banjar mantra associated with man’s relationship to nature include: human values and human nature united to conquer or to utilize the natural. In connection with these results, the researchers say a few suggestions, the preservation of culture by making the oral literature of a regional literature as a literary subject areas, more research on oral literature Banjar and hopefully can add insight to researchers and young Banjar.

Keywords: cultural values , banjarese mantra

Abstrak

Nilai Budaya dalam Mantra Banjar. Mantra Banjar merupakan salah satu mantra yang tidak jauh beda dengan mantra dalam kesusasteraan indonesia yaitu ucapan- ucapan yang dianggap memiliki kekuatan gaib. Sebagai sastra daerah Mantra Banjar mengandung nilai budaya. Nilai budaya merupakan acuan atau sesuatu yang dianggap bernilai di dalam kehidupan masyarakat. Fokus penelitian ini meliputi nilai budaya Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif. Pengumpulan data mengunakan teknik studi pustaka. Data diolah dengan teknik analisis isi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa nilai budaya yang terdapat dalam mantra Banjar adalah 1) berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan meliputi: nilai pengaruh Islam dan pengaruh kepercayaan lain; 2) nilai budaya yang terdapat dalam mantra Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan sesamanya meliputi: nilai tolong- menolong, kasih sayang dan menghormati seseorang; 3) nilai budaya yang terdapat dalam mantra Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri meliputi: nilai jaga diri dan selalu berhati-hati; 4) nilai budaya yang terdapat dalam

269 mantra Banjar yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan alam meliputi: nilai manusia yang bersatu dengan alam dan manusia yang menaklukan atau mendayagunakan alam. Sehubungan dengan hasil penelitian ini, peneliti menyampaikan beberapa saran, yakni pelestarian budaya dengan menjadikan sastra lisan suatu sastra daerah sebagai mata pelajaran kesusastraan daerah, penelitian lebih lanjut tentang sastra lisan Banjar dan semoga dapat menambah wawasan bagi peneliti dan generasi muda Banjar.

Kata-kata kunci: nilai budaya, mantra banjar

PENDAHULUAN Sastra menjadi cerminan dari berbagai aspek kehidupan, serta tatanan antarmanusia. Maka dari itu sastra merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat. Menurut Robson (1994: 9-7), kebudayaan adalah kumpulan adat kebiasaan, pikiran, kepercayaan, dan nilai-nilai yang turun- temurun serta dipakai oleh masyarakat pada waktu tertentu untuk menghadapi dan menyesuaikan diri terhadap segala situasi yang sewaktu-waktu timbul, baik dalam kehidupan individu maupun dalam hidup masyarakat secara keseluruhan. Pada zaman sekarang, masyarakat kurang mengenal sastra, terutama sastra di daerah sendiri yang dulu merupakan konsumsi keseharian yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat dan sangat mempengaruhi kepekaan adat istiadat. Mantra merupakan bentuk puisi lama yang kata-katanya dianggap mengandung hikmat dan kekuatan gaib. Karena itu, harus tersimpan rapi di benak dan di dalam buku-buku suci penggunanya. Di samping itu, mantra juga merupakan sastra daerah yang sebagian besar menggunakan media bahasa lisan sehingga disebut sastra lisan (Effendi & Sabhan, 2007: 2). Kekhasan budaya itu tercermin pula dalam karya sastra daerah. Karya sastra daerah adalah karya sastra yang menampilkan warna budaya daerah. Warna budaya daerah dalam sastra daerah terlihat dari bahasa yang digunakan (bahasa daerah), nama dan karakter tokoh, latar cerita, dan kata-kata atau ungkapan-ungkapan daerah, dan lain-lain. Sastra daerah tergolong sastra lama atau sastra tradisional, yakni “sastra yang dihasilkan masyarakat yang masih dalam keadaan tradisional, masyarakat yang belum memperhatikan pengaruh barat secara intensif” (Baried, dkk, 1985: 9). Sastra daerah juga dimiliki oleh masyarakat Banjar, yakni sastra yang menggunakan bahasa Banjar, yang di dalamnya memiliki nilai lokal (keBanjaran), di samping nilai nasional dan nilai universal (Effendi dan Sabhan, 2007: 2). Umumnya, sastra banjar berupa sastra lisan yang hanya disampaikan secara lisan dari mulut ke mulut sehingga masyarakat pemilik sastra lisan itu sendiri yang menentukan nasib suatu bentuk sastra lisan untuk tetap eksis ataupun punah. Salah satu sastra lisan Banjar adalah mantra. Mantra tidak dikenal dalam masyarakat Banjar. Walaupun demikan, tidaklah berarti bentuk mantra tidak dijumpai dalam masyarakat Banjar. Orang Banjar menyebutnya bacaan. Selain dari bacaan, dikenal pula istilah tiupan, isim, penawar, sumpah, dan sebutan lainnya yang sebenarnya pengertiannya sama dengan pengertian mantra dalam kesusasteraan Indonesia (Sunarti, dkk 1978: 162). Menurut Trenholm dan Jensen (1996: 387), budaya merupakan seperangkat nilai, kepercayaan, norma, adat, aturan, dan kode yang disosialisasikan dalam sebuah masyarakat dan diturunkan dari generasi ke generasi berikutnya melalui suatu kesepakatan. Koentjaraningrat (1984: 8–25) mengemukakan bahwa nilai budaya itu adalah tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat. Nilai budaya adalah lapisan paling abstrak dan luas ruang lingkupnya. Jadi, nilai budaya adalah suatu yang dianggap sangat berpengaruh dan dijadikan pegangan bagi suatu masyarakat. Mendukung pernyataan di atas, Djamaris (1996: 3) mengungkapkan bahwa nilai budaya adalah

270 tingkat pertama kebudayaan ideal atau adat, dan merupakan lapisan paling abstrak dengan ruang lingkup dalam kehidupan masyarakat. Nilai budaya dalam suatu karya sastra sudah berada di luar struktur karya itu sendiri, tetapi mengarah kepada makna sebuah teks sastra itu sendiri. Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha dan gerak-gerik manusia dan makna-makna kebudayaan. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai-nilai budaya yang terdapat dalam mantra-mantra Banjar yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesamanya, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan alam.

METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan deskriptif, sedangkan jenis penelitian yang digunakan adalah peneltian kualitatif artinya data yang dianalisis dan hasil analisisnya berbentuk deskripsi dan bukan berupa angka-angka. Pengkajian ini bertujuan mengungkap berbagai informasi kualitatif dengan pendeskripsian yang teliti dan mengambarkan secara cermat sifat-sifat suatu hal (individu/kelompok). Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka adalah penelitiaan atau penyelidikan ilmiah terhadap semua buku, karangan atau tulisan mengenai suatu bidang ilmu, topik, gejala atau kejadian (Moeliono, 1990: 713). Setelah terkumpul, data kemudian diolah dengan menggunakan teknik analisis isi (content analysis). Teknik analisis isi adalah suatu teknik untuk mengungkapkan nilai-nilai dan makna dalam suatu karya yang berfokus pada pemahaman isi, pesan atau gagasan pengarang (Yunus, 1990: 5). Dalam proses pengolahan data langkah-langkah yang dilakukan sebagai berikut. Pertama, membaca mantra Banjar pada buku Sastra Lisan Banjar yang menjadi objek penelitian secara berulang-ulang agar didapat pemahaman yang lebih mendalam. Kedua, mengumpulkan mantra Banjar yang menurut peneliti di dalamnya mengandung nilai budaya. Ketiga, menandai bagian- bagian mantra Banjar yang berhubungan dengan nilai budaya masyarakat Banjar atau pokok kajian. Dan keempat, mengungkapkan dan menganalisis nilai budaya dalam mantra Banjar. Sumber data dalam penelitian ini adalah buku Sunarti, dkk. (1978) yang berjudul Sastra Lisan Banjar dan diterbitkan oleh Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa, Jakarta yang berisi dokumentasi sastra lisan Banjar.

HASIL DAN PEMBAHASAN Setiap mantra Banjar memiliki suatu makna yang dalam. Setiap makna merupakan cerminan kebudayaan yang khas, baik dalam penggunaan maupun isinya pada mantra Banjar tersebut yang merupakan wujud suatu nilai budaya.

Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Tuhan Pengaruh Islam Kehadiran agama Islam memberikan corak baru pada mantra Banjar yang seluruh bahannya berasal dari ajaran Islam, seperti halnya mantra Banjar yang keseluruhan menggunakan bahasa Arab. Mantra seperti ini jelas bukan asli milik masyarakat Banjar. Hal ini disebabkan karena Islam baru dikenal oleh masyarakat setempat ketika agama tersebut disebarkan kepada mereka. Sebagai contoh, seluruh bacaan pada mantra menolak bahaya dari gigitan ular diambil seluruhnya dari bahasa Arab berikut kutipannya:

271 Mantra menolak bahaya dari gigitan ular salamun’ala nuuhun fil’aalamiin salamun’ala nuuhun fil’aalamiin salamukum fil‘aalamiin assalaamun alaikum nukum fil’aalamiin Mantra ini memberikan nilai budaya Islam yang khas dengan memasukkan bahasa Arab secara nyata dan mengaplikasikannya sebagai mantra. Di samping pengaruh tersebut, masuknya agama Islam memberi corak baru dalam kebudayaannya antra lain:

Keagamaan Kebiasaan religius memperjelas dan mengungkapkan kepercayaan religi yang berfungsi mengkomunikasikannya ke dunia luar yang merupakan perwujudan dari usaha warga atau masyarakat untuk berkomunikasi dengan Tuhan yang mereka yakini ada di sekitar hidupnya. Dalam mantra, terdapat pokok-pokok kewajiban Islam tergambar dalam rukun Islam yang pertama yakni kewajiban mengucapkan kalimat syahadat walaupun tersingkat menjadi: Barkat laailaahaillallaah Muhammadarrasuulullaah dengan berkat atau karna Allah Swt. dan Rasulullah mantra dapat menjadi kenyataan dan tidak menggantungkan pada kekuatan lain selain dari pada-Nya. Orang Banjar setiap memulai sesuatu pekerjaan, makan, dan lain-lain harus diawali dengan mengucapkan Bismillahirahmaanirrahiim yang sudah menjadi budaya Banjar. Seperti halnya terlihat pada kutipan-kutipan dari mantra Banjar berikut pada bait pertama dan terakhir. Mantra kekebalan ini dibaca sebelum berkelahi. Setelah dibaca, ditiupkan ketangan dan diusapkan ke muka. bismillahirahmaanirrahiim Naga ulit naga umbang katiga Naga pertala barkat laailaahaillallaah Muhammadarrasuulullaah Sebagian kutipan mantra di atas, yakni Bismillahirahmaanirrahiim dan barkat laailaahaillallaah Muhammadarrasuulullaah yang berada di awal dan di akhir mantra menggambarkan akan nilai budaya masyarakat Banjar yang masih menjunjung unsur religius yang dipadukan dengan tradisi.

Suka Berdoa Mantra merupan doa yang diciptakan masyarakat Banjar untuk kepentingan manusia, nilai tersebut secara langsung terkait dengan penerapan ajaran Islam. Meminta perlindungan terhadap sang pencipta itu tergambar amat penting agar terhindar dari gangguan jin dan mahluk jahat yang ada dalam diri manusia seperti yang terekam dalam Mantra sangga atau penahan berikut: Allahumma jaktartu Jin dan Mahluk tersurat di bawah arasyku dindingku Allah payungku Muhammad aku berpagar rasulullah aku menggunakan kalimat dua syahadat asyhadu alla ilaha illallah wa asyhadu anna Muhammadarrasuulullah aku telah masuk ke dalam kelambu Baitullah dikuliling ulih Rasulallah jikalau parbuatan di bumi kambali kapada bumi jikalau parbuatan di air kambali kapada air jikalau parbuatan d angin kambali kapada angin

272 jikalau parbuatan jin dan makhluk kambali kapada jin dan makhluk jikalau parbuatan barang suatu kambali kapada kapada sasuatu juga Allah yang mangambalikan Allah pula yang manyalamatakan tajam lincir tartinggal lulus luncur luncup lincir tapalur talulus luncur lincir luncur pacul saluruh panyakit dalam tubuhku luncur lincir luncur pacul sagala jin dan makhluk akan babuat jahat dalam diriku barkat La Ilaha Illallah Muhammadarrasulullah Pada mantra bagian ini Allah diposisikan sebagai dinding atau pagar penahan dan Muhammad sebagai payung pelindung. Kedudukan sebuah mantra bagi orang Banjar biasanya berada pada tataran bacaan atau doa seperti halnya mantra di atas yang menggambarkan jelas sebuah nilai budaya bahwa masyarakat Banjar senantiasa meminta pertolongan kepada sang kuasa.

Pengaruh Keyakinan lain Kedatangan pengaruh Hindu-Budha telah mewarnai kepercayaan tradisional masyarakat Banjar yang telah ada. Di dalam mantra untuk mengobati orang yang termakan racun pada baris pertama yang merupakan pinjaman dari kata Sanskerta melalui agama Hindu. Munculnya unsur kepercayaan Hindu dalam mantra menunjukan bahwa ada sisa kepercayaan agama itu yang hidup dimasyarakat. Untuk lebih jelasnya perhatikanlah kutipan mantra di bawah ini. Mantra untuk Mengobati Orang yang Termakan Racun hai Sanghiang beruntuk bajauh ikam, jangan paraki anak Adam ikam kusumpahi Barkat Laa Ilaaha Illallah Muhammadarrasuulullah Dari kata Sanghiyang yang terdapat dalam mantra di atas dapat dikatakan mantra ini menunjukan pengaruh nilai budaya Hindu atau kepercayaan dalam masyarakat Banjar sebelum masuknya agama Islam.

Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Sesamanya Hubungan sosial masyarakat Banjar dapat tercermin dari mantra yang menggambarkan corak hubungan sosial masyarakat pengamalnya.

Tolong-menolong Menolong dalam hal ini dimaksudkan membantu seseorang dengan hati yang tulus iklas. Dalam kaitan ini kehidupan sehari-hari masyarakat Banjar memiliki mantra yang berfungsi sebagai obat atau sebagai penawar. Biasanya mantra–mantra seperti ini dikuasai oleh atau tabib maupun yang biasanya bersedia untuk memberikan jasa-jasa baiknya kepada orang lain yang ditimpa suatu penyakit. Untuk lebih jelasnya berikut mantra yang berfungsi menyembuhkan berbagai penyakit. Mantra untuk Menyembuhkan Penyakit Perut bismillahirahmaanirrahiim pucuk segala pucuk pucuk kayu-kayuan sakit perut mencucuk-cucuk dicabut hilang kada ketahuan

273 barkat Laailaahaillallaah Muhammadarrasuulullaah Dilihat dari fungsinya, kedua mantra di atas menerapkan nilai saling tolong menolong atas sesama ini menunjukan salah satu nilai budaya masyarakat Banjar yang harus terjaga sampai sekarang.

Kasih Sayang Perihal kasih sayang dalam mantra, yaitu memberikan dorongan untuk saling menyayangi antara sesama yang merupakan suatu sifat terpuji dan sangat digalakkan bagi setiap individu masyarakat Banjar. Jelasnya perhatikan mantra di bawah ini. pur sinupur kaladi lampuyungan lamun anakku sudah bapupur banyak lakian nang karindangan Contoh mantra di atas biasanya diucapkan oleh seorang ibu sambil membedaki anaknya. Dengan harapan banyak lelaki yang akan jatuh hati jikalau memandang wajah anaknya. Dapat dilihat pada kalimat lamun anakku sudah bapupur banyak lakian nang karindangan yang terdapat pada mantra dapat menjelaskan adanya harapan agar sang anak mendapat kasih sayang dari orang lain yang merupakan wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks tingkah laku budaya masyarakat Banjar.

Mengagumi Seseorang Kekaguman akan seseorang yang diharapkan keberkatannya dalam mantra, yakni Siti Fatimah anak Nabi Muhammad sekaligus istri Ali dan Umar Ibnu Khatab sebagai seorang pemimpin serta bersahabat dengan nabi. Mantra berikut menyebutkan nama Siti Fatimah dimana dalam pikiran Masyarakat Banjar menegaskan keutamaan Siti Fatimah sebagai tokoh yang cantik dan memiliki kasih sayang yang tinggi. Mantra Mandi Siti Fatimah bismillahirahmaanirrahiim mandiku mandi Siti Fatimah air sakandi kucucurakan barkat Laalaahallallaah Muhammadarrasuulullaa

Penolak Orang Halus (Orang Gaib) Ya gulam lari ikam kamini anak buah Umar Ibnu Khatab apabila tidak awas ikam Siti Fatimah dan Umar Ibnu Khatab menjadi sandaran untuk mendapatkan berkah dalam mantra. Dipercayai dengan menyebut namanya di situlah terletak kekuatan mantra. Mantra ini memberikan isi yang mementingkan sosok ideal atau suatu yang diimajinasikan atau dalam pemikiran mereka sebagai simbol kecantikan dan kekuatan yang merupakan nilai budaya masyarakat Banjar akan kebiasaan mengagumi seseorang.

274 Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Diri Sendiri Jaga Diri Badan manusia juga dapat dimanipulasi hingga menyalahi tabiat alamiahnya seperti tidak luka oleh senjata tajam dengan mengamalkan sebuah mantra. Orang Banjar mempunyai mantra supaya tahan senjata tajam untuk berjaga-jaga suatu ketika harus berhadapan dengan musuh yang hendak berniat jahat, berikut mantranya: Naga ulit Naga umbang katiga naga pertala taguh kulit taguh tulang katiga taguh sampai ka karungkung Kapala Berdasarkan fungsi dan isi mantra di atas menjelaskan bahwa seseorang akan kebal kulit kebal tulang sampai kebatok kapala dan secara langsung menahan serangan dari senjata tajam. Jelas tergambar masyarakat Banjar dengan berbagai cara melindungi diri mereka baik menggunakan jimat maupun mantra hal ini mununjukan adanya budaya jaga diri dalam masyarakat Banjar.

Selalu Berhati-hati Mantra atau bacaan sebagai pencegah bahaya yang akan menimpa. Baik bahaya yang datangnya dari hasil perbuatan manusia, binatang buas maupun datangnya dari alam. Masyarakat Banjar mengenal bacaan atau mantra yang digunakan sebagai penolak bahaya atau penyakit pada waktu yang tepat misalnya, waktu akan masuk hutan dan sebagainya. Di bawah ini diterapkan bacaan yang berhubungan dengan pertahanan diri tersebut. Mantra Sangga atau Penahan Datu Tugug Ddatu Tugur Guru mandak Sanghiyang lalu lalu kawai ikam bajauh ka rukun habang ka rukun kuning ka rukun hirang ikam jangan mamakan darah manusia makanan ikam darah kijang binjangan aku tahu ngaran ikam cungap lawan cungup

Mantra Manulak Ular (Mantra Menjauhkan Ular) Orang Banjar sering beraktivitas di lokasi yang rentan akan bahaya dari binatang buas contohnya ular, orang Banjar memiliki mantra tersendiri untuk menjauhkan serangan ular tersebut. Berikut di bawah ini kutipan mantranya: Aria Luli bajauh nah, aku lalu Budaya itu memberikan arti kepada semua usaha manusia yang sangat bernilai terutama akan diri sendiri, mantra di atas menunjukan bahwa masyarakat Banjar memiliki kebiasaan akan perlindungan diri. Mantra ini jelas memberikan nilai selalu berhati-hati agar terhindar dari segala musibah.

275 Nilai Budaya dalam Hubungan Manusia dengan Alam Manusia yang Bersatu dengan Alam Dalam masyarakat Banjar, konsep penyatuan diri dengan alam ini merupakan konsep dasar kebutuhan masyarakat Banjar terhadap lingkungan sekitarnya Penggunaan konsep-konsep gaib atau kekuatan gaib yang ditimbulkan oleh alam dijadikan panduan dalam hidup masyarakat Banjar. Kepercayaan akan adanya kekuatan yang dimiliki oleh sesuatu makhluk hidup yang ada di alam di sekitar mereka menjadikan suatu yang gaib menjadi lumrah, misalnya penunggu sungai atau penguasa sungai yang setiap saat bisa saja memangsa manusia. Konsep-konsep ini terdapat dalam mantra masyarakat Banjar yang tergambar di bawah ini. Bacaan menciptakan buaya nangapa ni ngini buhayakah, buhaya iakah, ia nangngapa gunanya maanu nangapa titisnya nu... anu... Memerintahkan buaya untuk menyambar orang wahai Datu Astagal bilamana kau bujur sakti aku mambari lamak manis lamak manis pambarianku adalah lamak manis jadi darah darah si... Mantra menangkap buaya bilamana kau kada maantar orang ini lautan ini ku jadikan lautan api atar oleh mu.... Beberapa konsep di atas menunjukan sosok buaya bagi masyarakat Banjar dianggap memiliki nilai sakral yang tinggi karena biasanya menurut kepercayaan mereka, buaya ini memiliki kekuatan gaib yang dapat dijadikan sebagai senjata. Penggunaan ini terlihat pada kutipan di atas mulai dari penciptaan hingga penangkapan buaya. Jelas terlihat nilai budaya manusia yang bersatu dengan alam baik secara nyata maupun gaib.

Manusia yang Menaklukkan atau Mendayagunakan Alam Masyarakat Banjar mempergunakan alam demi kepentingan hidup atau kelangsungan hidup mereka. Agar hasil lebih memuaskan, masyarakat Banjar sering menggunakan mantra-mantra dalam memulai aktivitasnya. Pada saat menyadap pohon enau dan agar pohon itu mengeluarkan air yang banyak, dibacalah mantra di bawah ini. bismillaahirrahmaanirrahiim sirmani Nur pada Nuriah Wallah terbuka pintu surga terbuka pintu negeri Allah siur-siur tarabang siang baracak tarabang malam manggarabak banyunya siang mengucur banyunya malam 276 berilah Susu anak putri junjung buih sampai muak jangan sampai kalaparan Ketiga mantra di atas pada hakikatnya mempunyai tujuan yang sama, yakni agar pohon enau yang disadap itu banyak mengeluarkan air. Mantra untuk Bertanam (Bertani) bismillahirahmaanirrahiim kun jada, kun jadi asal ada awal jadi ah....jadi barkat Laalaahallallaah Muhammadarrasuulullaah Bacaan atau Mantra untuk Mengail Ikan (diucapkan sewaktu mata kail atau umpan dimasukan ke dalam air). Bacaannya adalah sebagai berikut. bismillahirahmaanirrahiim amas mirah kusuma intan baitnya emas umpannya intan Nabi Khaidir pendahulu ikan Nabi Muhammad membuat umpan Hampir setiap aktivitas yang berpola dilakukan di sungai diantaranya memancing. Dalam pemikiran masyarakat Banjar mantra di atas bertujuan agar ikan tertarik seperti halnya kutipan isi dalam mantranya, yakni Baitnya emas umpannya intan dan Nabi Muhammad membuat umpan kalimat inilah yang mengibaratkan umpan terbuat dari berlian dan Nabi Muhammad yang membuatnya dengan begitu dapat memperoleh tangkapan ikan yang banyak. Menurut jenis-jenis mantra di atas masing-masing memiliki fungsi meningkatkan saat menyadap pohon enau, bertani, maupun memancing. Jelas, bahwa mantra di atas adalah sarana pendukung dari nilai budaya Banjar yang memanfaatkan alam yang mencerminkan budaya yang khas.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan sebagai berikut. Pertama, nilai budaya di dalam mantra Banjar yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan Tuhan meliputi nilai pengaruh islam dan pengaruh kepercayaan lain; kedua, nilai budaya di dalam mantra Banjar yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan sesamanya meliputi nilai tolong-menolong, kasih sayang, dan menghormati seseorang; ketiga, nilai budaya di dalam mantra Banjar yang berkenaan dengan hubungan manusia dengan diri sendiri meliputi nilai jaga diri dan selalu berhati- hati; dan keempat, nilai budaya di dalam mantra Banjar berkenaan dengan hubungan manusia dengan alam meliputi nilai manusia yang bersatu dengan alam dan manusia yang menaklukkan atau mendayagunakan alam.

277 Saran Adapun saran yang bisa diberikan oleh peneliti diantaranya agar nilai-nilai luhur suatu kebudayaan tidak punah, perlu dilakukan pelestarian budaya dengan menjadikan sastra lisan suatu daerah sebagai mata pelajaran di sekolah dan mengingat sastra lisan adalah cikal bakal sastra nasional, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang sastra lisan, khususnya sastra lisan Banjar.

278 DAFTAR RUJUKAN

Baried, Siti Baroroh, dkk. 1985. Pengantar Teori Filologi. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djamaris, Edwar. 1996. Menggali Kazanah Sastra Melayu Klasik (Sastra Indonesia Lama). Jakarta: Balai Pustaka Effendi, Rustam dan Sabhan. 2007. Sastra Daerah. Banjarmasin: PBS FKIP Universitas Lambung Mangkurat Koentjaraningrat 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka. Moeliono, Anton M. 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka Robson. 1994. Prinsip-Prinsip Filologi Indonesia. Jakarta: RUL Sunarti, dkk. 1978. Sastra Lisan Banjar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Trenholm, Sarah & Jensen, Arthur. 1996. Interpersonal Communication. California: Wadsworth Publishing Company. Yunus, Ahmad, dkk. 1990. Kajian Analisis Hikayat Budistihara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

279 TINDAK TUTUR DALAM TRANSAKSI JUAL BELI DI PASAR TUNGGING BELITUNG BANJARMASIN (SPEECH ACT IN TRADING TRANSACTION IN PASAR TUNGGING BELITUNG BANJARMASIN)

Siti Norhasuna dan Zakiah Agus Kusasi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Lambung Mangkurat, Jl. Brigjend. H. Hasan Basry, Kampus Kayu Tangi, Banjarmasin, Kode Pos 70123, e-mail [email protected]

Abstract

Speech Act in Trading Transaction in Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. Speech act has the function, purpose, and a specific purpose and can cause the effect or impact on the partners said. Research is about the use of this type of speech act or representative assertive, directive, expressive, and declarative speech acts and functions in the purchase and sale transactions in Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. This study aims to describe the use of this type of assertive speech act, directive, expressive, and declarative speech acts function in the sale and purchase transactions in Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. This research uses descriptive method with qualitative approach. Sources of data in this study is the speech of traders and buyers when transactions take place in the Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. The study was conducted on December 1 to 7 April 2012. Data were collected by using observation technique (see), recording techniques, and record. From the research, it can be concluded, from the four types of speech acts are used, (1) assertive speech act, (2) directive speech act, (3) expressive speech acts, (4) a declarative speech act. Results of the study, speech acts of the most widely used type of assertive speech acts, followed by the use of expressive speech act types, directives, and the least used type of declarative speech act. Of the six functions of speech acts, there are only five functions of speech acts that were found in the purchase and sale transactions in Pasar Tungging Belitung Banjarmasin speech acts are (1) for the exchange of factual information, (2) express this emotion, (3) express moral attitudes , (4) persuade or influence, (5) socialization. speech acts that are not found in the purchase and sale transactions in Pasar Tungging Belitung Banjarmasin, which reveals the intellectual information.

Keywords: speech act, transaction, pasar tungging

Abstrak

Tindak Tutur dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. Tindak tutur mempunyai fungsi, maksud, dan tujuan tertentu serta dapat menimbulkan pengaruh atau akibat pada mitra tutur. Penelititian ini membahas tentang penggunaan jenis tindak tutur asertif atau representatif, direktif, ekspresif, dan deklaratif dan fungsi tindak tutur dalam transaksi jual beli di pasar Tungging Belitung Banjarmasin. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan penggunaan jenis tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, deklaratif dan fungsi tindak tutur dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah tuturan dari pedagang dan pembeli saat transaksi jual beli berlangsung di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. Penelitian dilakukan pada tanggal 1-7 April 2012. Data dikumpulkan

280 dengan menggunakan teknik observasi (simak), teknik rekam, dan catat. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan, dari empat jenis tindak tutur yang digunakan, (1) tindak tutur asertif, (2) tindak tutur direktif, (3) tindak tutur ekspresif, (4) tindak tutur deklaratif. Hasil penelitian, tindak tutur yang paling banyak digunakan adalah jenis tindak tutur asertif, diikuti oleh penggunaan jenis tindak tutur ekspresif, direktif, dan yang paling sedikit digunakan adalah jenis tindak tutur deklaratif. Dari enam fungsi tindak tutur, hanya terdapat lima fungsi tindak tutur yang di temukan dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin, fungsi tindak tutur tersebut adalah (1) untuk tukar menukar informasi faktual, (2) mengungkapkan sikap emosi, (3) mengungkapkan sikap moral, (4) meyakinkan atau mempengaruhi, (5) sosialisasi. Tindak tutur yang tidak ditemukan dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin, yaitu mengungkapkan informasi intelektual.

Kata-kata kunci: tindak tutur, transaksi, pasar tungging

PENDAHULUAN Mu’in (2009: 16) mengatakan bahwa bahasa digunakan oleh manusia sebagai alat komunikasi dalam upaya berinteraksi dengan sesamanya. Allan (dalam Nadar, 2009:10) berpendapat bahwa berkomunikasi merupakan kegiatan sosial dan sebagaimana kegiatan sosial yang lain, kegiatan berkomunikasi ini hanya akan dapat dilaksanakan apabila ada pihak lain yang terlibat. Masing- masing pihak harus bekerja sama dan memperhatikan citra lawan bicaranya. Richard yang dikutip oleh Jumadi (2005: 41) memberikan beberapa hal tentang tujuan percakapan, yakni sebagai pertukaran informasi, memelihara tali persahabatan sosial dan kekerabatan, negosiasi, status, dan pengambilan keputusan serta pelaksanaan tindak bersama. Itulah sebabnya, Richard (dalam Jumadi 2005: 41) menyatakan bahwa salah satu pendekatan analisis fungsi bahasa dalam percakapan adalah teori tindak tutur. Sebuah percakapan baru akan efektif jika telah jelas konteks berlangsungnya sebuah penuturan. Menurut Searle (dalam Rani, dkk, 2000: 136), dalam komunikasi bahasa terdapat tindak tutur. Ia berpendapat bahwa komunikasi bahasa bukan sekadar lambang, kata, atau kalimat yang berwujud perilaku tindak tutur. Sebagaimana komunikasi bahasa yang dapat berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah, tindak tutur dapat pula berwujud pernyataan, pertanyaan, dan perintah. Untuk melakukan sebuah tuturan, manusia memerlukan bahasa, salah satunya bahasa Banjar. Bahasa Banjar adalah bahasa sehari-hari yang digunakan oleh suku (etnis) Banjar untuk berkomunikasi dalam pergaulan. Salah satu contohnya untuk berkomunikasi dalam pergaulan yang terjadi di pasar. Pasar tungging Belitung mempunyai lahan yang cukup luas dan bervariasi jenis pedagang merupakan daya tarik tersendiri dari pasar ini. Oleh sebab itu, pasar merupakan tempat perbelanjaan yang ramai akan pengunjung. Tempat untuk berjualan hanya sejenis lapak- lapak yang diberi atap terpal, tidak sepeti pasar-pasar lainnya yang terdiri atas bangunan-bangunan pertokoan. Bahasa yang sering digunakan adalah bahasa Banjar, tetapi ada sebagian kecil dari mereka yang menggunakan bahasa Indonesia. Para pedagang di pasar ini mulai berdagang sejak jam empat sore sampai jam sepuluh malam hari dan itu dilakukan setiap hari. Hal yang melatarbelakangi peneliti memilih penelitian dengan judul Tindak Tutur Dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin karena adanya keinginan peneliti untuk mengetahui dan menggambarkan bagaimana penggunaan jenis tindak tutur asertif atau representatif, direktif, ekspresif, dan deklaratif dalam transaksi jual beli tersebut.

281 METODE Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tindak tutur pedagang dan pembeli di pasar tungging. Pendekatan kualitatif adalah sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tulisan atau perilaku orang-orang yang diamati.

HASIL Deskripsi Data Data dalam penelitian ini berupa percakapan yang dituturkan oleh pedagang dan pembeli saat jual beli berlangsung, yaitu data tuturan mengenai tindak tutur asertif atau representatif, direktif, ekspresif, dan deklaratif yang berupa kata-kata dan tindakan. Sumber data dalam penelitian ini diperoleh dari hasil perekaman yang dilakukan pada 11 pedagang, tuturan yang dihasilkan sebanyak 22 tuturan. dengan pembeli yang tidak terbatas yang ada di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin. Percakapan antara pedagang dan pembeli dari rekaman tersebut ditulis kemudian diklasifikasikan berdasarkan penggunaan jenis tindak tutur asertif atau representatif, direktif, ekspresif, deklaratif, dan fungsi tindak tutur. Data pada penelitian ini diambil dengan pemilihan sekelompok subjek didasarkan pada ciri atau sifat-sifat yang dipandang memiliki sangkut paut dengan masalah yang diteliti. Data yang diambil di sini ada beberapa contoh tuturan dari masing-masing jenis tindak tutur dan fungsi tindak tutur.

PEMBAHASAN Penggunaan Jenis Tindak Tutur Asertif, Direktif, Ekspresif, dan Deklaratif dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin Tindak Tutur Asertif Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu adanya, seperti tindak pemberian informasi, pemberian saran, penegasan, mengemukakan, menjelaskan, menyatakan, dan pelaporan. Dari identifikasi tindak asertif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak representatif adalah sebagai berikut. Tindak Pemberian Saran [1] Penjual : Kada kawa kurang dari 200. (Tidak bisa kurang dari 200). Pembeli 2 : Kaya ini ja ding, kalo ading mau, 190 bungkuskan, klo kada mau, kada jadi. (Begini saja dik, kalau adik mau 190 dibungkus, kalau tidak mau tidak jadi). (T:13) (konteks: dituturkan oleh pembeli 2 ketika tawar-menawar pakaian antara penjual dan pembeli). Contoh kutipan [1] merupakan penggunaan tindak tutur asertif jenis saran. Dalam tuturan tersebut pembeli 2 menyebutkan klo ading mau 190 bungkuskan, klo kada mau kada jadi kalimat tersebut merupakan saran sekaligus ajakan dari penutur kepada mitra tutur agar mitra tutur mau mempertimbangkan keinginannya. Kalimat yang menunjukkan saran pada kutipan tersebut ditandai dengan kalo ading mau 190 bungkuskan, klo kada mau kada jadi.

282 Tindak Pemberian Penegasan [2] Pembeli : Berapa kawanya? (Bisanya berapa?) Dian : Harga pasnya 50, Ni sudah harga partaiannya, kayapa? (Harga tetapnya 50 ribu, ini sudah harga partai, bagaimana? Pembeli : Oh, saya ambil yang itu satu, ukuran S adalah? (Oh, saya ambil yang itu satu. Ukuran S ada tidak? (T:12) (konteks: dituturkan oleh penjual, yaitu Dian ketika terjadi tawar-menawar pakaian dan pembeli) Contoh kutipan [2] merupakan penggunaan tindak tutur asertif jenis penegasan. Pada contoh tersebut penjual menegaskan kepada pembeli bahwa harga pas pakaian tersebut 50 ribu, sudah harga partai, maksudnya tidak bisa ditawar lagi. Kalimat tersebut jenis penegasan sekaligus penekanan oleh penutur kepada mitra tuturnya agar dia mengetahui dan tidak menawar kembali barang yang sudah diberi batas harga.

Tindak Pemberian Menjelaskan [3] Pembeli : Boleh melihat yang itu? (Boleh melihat yang itu) Lisa : Yang ini kah?. Bagus ini, bu. Bahan sutra jadi nyaman di pakai. (Yang ini ya? Bagus ini, bu. Bahan Sutra jadi enak dipakai). Pembeli : Balapis? (Berlapis) Lisa : Inggeh, sudah belapis jadi kada terang di pakai. Lapisnya dari bahan yang dingin. (Iya, sudah berlapis jadi tidak terang dipakai, Lapisannya dari bahan yang dingin). (T:10) (konteks: dituturkan oleh Lisa/penjual ketika pembeli bertanya-tanya mengenai pakaian yang dijual oleh ahmad) Contoh kutipan [3] merupakan penggunaan tindak tutur asertif menjelaskan yang berisikan sebuah penjelasan penutur dengan pemberian informasi. Kalimat tersebut menjelaskan tentang bahan baju tersebut bagus, terbuat dari kain sutra jadi nyaman untuk dipakai dan kalimat selanjutnya menjelaskan bahwa baju bahan sutra tadi sudah berlapis, jadi tidak akan terang dipakai, dan bahan lapisannya terbuat dari bahan yang dingin. Dalam kalimat tersebut, penjual menjelaskan tentang barang dagangannya kepada pembeli agar pembeli dapat mendapatkan informasi dengan jelas.

Tindak Pemberian Informasi [4] Pembeli : Warna abu-abu adalah paman? (Warna abu-abu ada tidak paman?) Ahmad : Habis kayanya, kadada lagi. (Sepertinya habis, tidak ada lagi). (T:2) (Konteks dituturkan oleh Ahmad/penjual ketika memberikan informasi kepada pembeli tentang jilbab yang dijualnya).

283 Contoh kutipan [4] merupakan penggunaan tindak tutur asertif jenis pemberian informasi. Dalam tuturan tersebut seorang penjual memberikan informasi saat ditanya pembeli. Kutipan informasi habis kayanya, kadada lagi, kalimat tersebut merupakan pemberian informasi oleh penjual kepada pembeli bahwa warna abu-abu yang ditanyakannya sudah habis, tidak ada lagi.

Tindak Tutur Direktif Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang berfungsi mendorong pendengar melakukan sesuatu. Hal-hal yang termasuk dalam tindak tutur ini adalah meminta, menyuruh, memohon, dan menasehati. Dari identifikasi tindak direktif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan tiga jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak direktif adalah sebagai berikut. Tindak direktif jenis meminta [5] Pembeli : Kawa kurang? (Bisa kurang?). Lisa : Bisa, tawar ja? (Bisa, tawar saja). Pembeli : 90 lah? (90 ribu ya?). (T:10) (konteks: dituturkan oleh pembeli ketika terjadi tawar-menawar pakaian) Contoh kutipan [5] merupakan penggunaan tindak tutur direktif jenis meminta. Pembeli sebagai penutur meminta kepada pedagang agar harga yang ditetapkan oleh pedagang bisa diturunkan sesuai dengan keinginan pembeli. Tindak direktif jenis menyuruh [6] Ratna : Ika ambilkan ukuran 28, merek loggo. Bungkuskan lah! : (Ika ambilkan ukuran 28, merek loggo. Bungkus ya!) Ika : Inggeh, ka. (Iya, kak) (T:6) (Kontek dituturkan oleh Ratna memberikan perintah hal tersebut kepada anak buahnya/ Ika ketika pembeli menyebutkan ukuran jeansnya 28). Contoh kutipan [6] merupakan penggunaan tindak tutur direktif jenis perintah berupa suruhan. Dalam kutipan tersebut terlihat Ratna memberikan perintah berupa suruhan kepada Ika untuk mengambil ukuran dan jenis jeans yang sesuai dengan keiinginan pembeli. Kutipan Ika ambilkan ukuran 28, merek loggo. Bungkus ya!. Kalimat yang dituturkan oleh Ratna bentuk perintah langsung, yang ditandai dengan ambilkan. Tindak direktif jenis pertanyaan [7] Putri : Saestelankah? (satu pasang ya?) (T:13) (Konteks dituturkan oleh putri/penjual ketika jual beli berlangsung) Contoh kutipan [7] merupakan penggunaan tindak tutur direktif jenis pertanyaan. Dalam kutipan tersebut penutur menanyakan tentang pakaian yang diinginkan oleh pembeli, penjual menayakan kepada pembeli apakah pembeli itu ingin membeli atasan baju dan langsung dengan bawahannya.

284 Tindak Tutur Ekspresif Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap, misalnya berupa tindak meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, menyatakan belasungkawa, dan mengkritik. Tindak ini berfungsi untuk mengekspresikan dan mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap mitra tuturnya. Dari identifikasi tindak tutur ekspresif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak ekspresif adalah sebagai berikut. Tindak ekspresif jenis rasa senang [8] Pembeli : Yang ini mba! (Yang ini mba!) Lisda : Ini ding, makasih! (Ini dik, terima kasih). (T:8) (Konteks: dituturkan oleh Lisda/penjual ketika jual beli akan berakhir) Contoh kutipan [8] merupakan penggunaan tindak tutur ekspresif jenis rasa senang. Dalam kutipan tersebut berisi berupa tindakan penutur mengucapkan rasa terima kasih dengan penanda terima kasih kepada mitra tuturnya sebagai bentuk ungkapan rasa senang. Tindak Ekspresif Jenis Rasa Suka [9] Pembeli : Ya, yang ini. (Iya saya ambil yang ini) Ria : Warna dan ukuran tetap ini bu? (Warna dan ukuran tetap ini bu?) Pembeli : Ya, ini sudah pas ukuran dan warnanya. (Iya, ini sudah pas ukuran dan warnanya) (T:11) (Konteks: dituturkan oleh pembeli ketika jual pakaian berlangsung) Contoh kutipan [9] merupakan penggunaan tindak tutur ekspresif jenis rasa suka. Pada kutipan tersebut penutur mengekspresikan perasaan suka karena contoh kutipan tersebut berisikan tindak ekspresif penutur yang menggunakan sesuatu yang dirasakan oleh penutur tersebut. Penanda yang digunakan adalah iya, ini sudah pas ukuran dan warnanya Tindak Ekspresif Jenis Menolak [10] Pembeli 1 : 70 lah? (70 ribu ya?) Putri : Masih belum bisa, mba (Tidak bisa, mba) (T:13) (Konteks: dituturkan oleh penjual ketika jual beli berlangsung) Contoh kutipan [10] merupakan penggunaan tindak tutur ekspresif jenis menolak karena dalam tuturan tersebut, yaitu penjual menolak ketika pembeli meminta bajunya dengan harga 70. Kutipan ditandai dengan belum bisa. Tindak Ekspresif Jenis Memuji [11] Pembeli 2 : Bagus nak, kamu ambil aja 1 estel. (Bagus nak, kamu ambil saja 1 stel) (T:13) (Konteks: dituturkan oleh pembeli ketika memilih-milih pakaian) 285 Contoh kutipan [11] merupakan penggunaan tindak tutur ekspresif jenis memuji yang dilakukan oleh penutur. Dalam tuturan tersebut, pembeli 2 memuji pakaian yang dipilih oleh pembeli 1. Kutipan tersebut ditandai dengan bagus nak.

Tindak Tutur Deklaratif Tindak tutur deklaratif adalah bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan. Misalnya membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama, dan sebagainya. Dalam identifkasi tindak tutur deklaratif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan satu jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak deklaratif adalah sebagai berikut. Tindak Deklaratif Jenis Memutuskan [12] Lisa : Ya, 100 aja gasan ibu, buat penglaris hari ini. (Ya, 100 ribu saja buat ibu, buat penglaris hari ini) (T:10) (Konteks: dituturkan oleh penjual ketika jual beli pakaian berlangsung) Contoh kutipan [12] merupakan penggunaan tindak tutur deklaratif jenis memutuskan sesuatu. Dalam tuturan tersebut penutur, yaitu penjual memutuskan harga yang diinginkannya pada saat tawar-menawar pakaian tersebut.

Fungsi Tindak Tutur dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin Berdasarkan hasil identifikasi tindak tutur dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin dapat dideskripsikan fungsi tindak tutur sebagai berikut. Tukar menukar informasi faktual, yaitu bertanya [13] Pembeli : Paman jilbab panjang ini berapa? (Paman jilbab panjang ini berapa?). Ahmad : 35. (35 ribu). Pembeli : Kalo yang pendek ini berapa? (kalau yang pendek ini berapa? Ahmad : Yang itu 6. (Yang itu 6 ribu). Pembeli : Warna abu-abu adalah paman? (Warna abu-abu ada tidak paman?) Ahmad : Habis kayanya, kadada lagi. (Sepertinya habis tidak ada lagi). (T:2) (Konteks: dituturkan ketika penutur bertanya kepada penjual sebagai mitra tutur) Contoh kutipan [13] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk tukar menukar informasi faktual. Dalam kutipan [13], penutur memberikan informasi kepada mitra tutur ketika mitra tutur meminta informasi yang diinginkan kepada mitra tutur.

Mengungkapkan sikap emosi, yaitu berminat [14] Wahidah : Kada, biasanya 12 ribu dijual. (Tidak, biasanya dijual 12 ribu). Pembeli 2 : Nah mba, yang ini. (Ini mba, saya ambil yang ini). (T:1)

286 (Konteks: dituturkan oleh pembeli ketika penjual menjelaskan bahwa harga jilbabnya tidak bisa kurang lagi). Contoh kutipan [14] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk mengungkapkan minat. Dalam kutipan nah mba, yang ini terlihat jelas bahwa penutur mengungkapkan minatnya terhadap barang yang sudah dipilihnya.

Mengungkapkan sikap moral, yaitu setuju/tidak setuju [15] Lisda : Kawa ai. (Bisa). (T:7) (Konteks: ditutur oleh Lisa/penjual ketika tawar-menawar dengan seorang pembeli). Contoh kutipan [15] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk mengungkapkan peryataan setuju. Penutur, yaitu penjual setuju jika baju yang dipilih oleh pembeli di beli dengan harga 30 ribu. [16] Ria : Kada kawa bu, ini baju batarusan bu, klo yang handap bisa 70. (Tidak bisa bu, ini baju terusan bu, klo yang pendek bisa 70 ribu) (T:11) (konteks: dituturkan oleh Ria/penjual ketika tawar-menawar dengan seorang pembeli). Contoh kutipan [16] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk mengungkapkan pernyataan tidak setuju. Penutur, yaitu penjual tidak setuju jika pembeli menawar baju yang dipilih oleh pembeli ditawar dengan harga yang murah.

Meyakinkan dan mempengaruhi, yaitu menyarankan [17] penjual : Kada kawa ding, kaini ja klo ading mau paman potong 5 ribu, biar paman bungkuskan. (Tidak bisa dik, Begini saja dik kalau adik mau paman kurangi 5 ribu, biar paman bungkuskan). (T:3) (konteks: dituturkan penjual ketika terjadi tawar-menawar pakaian) Contoh kutipan [17] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk memberikan saran. Dalam tuturan tersebut penjual sebagai penutur, menyarankan kepada seorang pembeli kalau pembeli tersebut berminat harga baju tersebut akan diturunkan harganya.

Sosialisasi, yaitu menarik perhatian [17] Lisa : Yang ini kah? Bagus ini bu, bahan sutra jadi nyaman dipakai. (Yang ini ya? Bagus ini bu, dari bahan sutra jadi enak dipakai). Pembeli : Belapis? (Berlapis?) Lisa : Inggeh, sudah berlapis jadi kada terang dipakai, lapiannya dari bahan yang digin. (Ya, sudah berlapis jadi tidak terang dipakai, lapisannya dari bahan yang dingin. (T:10) (Konteks: dituturkan oleh Lisa/penjual saat jual beli berlangsung) Contoh kutipan [17] merupakan penggunaan tindak tutur yang berfungsi untuk menarik perhatian seorang pembeli. Dalam tuturan tersebut penutur, yaitu penjual berusaha menarik perhatian pembeli agar pembeli tersebut membeli baju berbahan sutra yang dijualnya.

287 Penggunaan Jenis Tindak Tutur Asertif atau Representatif, Direktif, Ekspresif, dan Deklaratif dalam Transaksi Jual Beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin Pada penelitian tindak tutur dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin telah diketahui ada empat penggunaan jenis tindak tutur yang telah diteliti, yaitu tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, dan deklaratif. Tindak tutur asertif atau representatif adalah tindak tutur yang menjelaskan apa dan bagaimana sesuatu itu apa adanya, tindak yang digunakan adalah tindak pemberian informasi, pemberian saran, penegasan, mengemukakan, menjelaskan, dan menyatakan pelaporan. Dari identifikasi tindak asertif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak asertif, yaitu: (1) tindak pemberian saran, yaitu ketika pembeli mencoba memberikan saran kepada penjual dan contoh selanjutnya penjual juga mencoba memberikan saran kepada pembeli; (2) tindak pemberian penegasan, yaitu ketika penjual memberikan penegasan kepada pembeli tentang harga yang sudah ia tentukan; (3) tindak pemberian menjelaskan, yaitu ketika penjual menjelaskan kepada pembeli tentang bahan pakaian dan kualitasnya. Tindak pemberian penjelasan ini sering digunakan oleh pedagang; (4) tindak pemberian informasi, yaitu ketika penjual memberikan informasi kepada pembeli tentang warna, ukuran, harga, dan model pakaian. Tindak pemberian informasi ini juga banyak digunakan oleh pedagang. Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang berfungsi untuk mendorong pendengar melakukan sesuatu. Dari identifikasi tindak tutur, tindak yang digunakan adalah tindak direktif meminta, menyuruh, memohon, menasihati, dan pertanyaan. Dari identifikasi tindak direktif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan tiga jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak direktif, yaitu: (1) tindak direktif jenis meminta, yaitu ketika pembeli meminta harga yang lebih murah kepada seorang penjual; (2) tindak direktif jenis menyuruh, yaitu ketika penjual memberikan perintah kepada anak buahnya untuk mengambil pakaian yang diinginkan oleh pembeli; (3) tindak direktif jenis pertanyaan, yaitu ketika penjual menanyakan maksud kedatangan pembeli, jumlah lembar pakaian, dan model pakaian yang diinginkan pembeli. Tindak direktif jenis pertanyaan ini sering digunakan oleh pedagang. Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang menyangkut perasaan dan sikap. Tindak yang digunakan adalah tindak meminta maaf, berterima kasih, menyampaikan ucapan selamat, memuji, menyatakan belasungkawa, dan mengkritik. Dari identifikasi tindak ekspresif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak ekpresif, yaitu: (1) tindak ekspresif jenis rasa senang. Tindak ekspresif jenis rasa senang adalah tuturan yang berisi ucapan terima kasih yang sering digunakan oleh penjual dan pembeli, misalnya setelah transaksi jual beli selesai, penjual biasanya akan mengucapkan terima kasih dan kemudian pembeli menjawabnya; (2) tindak ekspresif jenis rasa suka. Tindak ekspresif jenis rasa suka adalah tuturan yang berisi perasaan suka terhadap sesuatu, misalnya pembeli menyukai model pakaian dan warna yang telah dipilih pembeli tersebut. Tindak tutur ini sering dikemukakan oleh pembeli;

288 (3) tindak ekspresif jenis menolak. Tindak ekspresif jenis menolak adalah tuturan yang berisi penolakan sering dituturkan oleh pedagang, misalnya ketika pedagang menolak permintaan harga yang diinginkan oleh pembeli; (4) tindak ekspresif jenis memuji. Tindak ekspresif jenis memuji adalah tuturan yang berisi pujian dituturkan oleh pembeli terhadap kualitas barang yang dijual. Tindak tutur deklaratif adalah bentuk tuturan yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataan. Tindak yang digunakan adalah tindak membaptis, menghukum, menetapkan, memecat, memberi nama, dan sebagainya. Dari identifikasi tindak deklaratif dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan satu jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak deklaratif, yaitu tindak deklaratif jenis memutuskan. Tindak deklaratif jenis memutuskan adalah tuturan yang berisi memutuskan ini digunakan oleh penjual untuk memutuskan harga yang ingin ditetapkannya kepada pembeli. Dari penelitian, penggunaan jenis tindak tutur yang paling banyak digunakan dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin adalah jenis tindak tutur asertif, diikuti oleh penggunaan jenis tindak tutur ekspresif, direktif, dan yang paling sedikit digunakan adalah jenis tindak tutur deklaratif.

Fungsi Tindak Tutur Fungsi tindak tutur menurut Van Ek, ada enam, yaitu (1) untuk tukar menukar informasi faktual, (2) untuk mengungkapkan informasi intelektual, (3) untuk mengungkap sikap emosi, (4) untuk mengungkap sikap moral, (5) untuk meyakinkan atau mempengaruhi, dan (6) untuk sosialisasi. Pada penelitian tindak tutur dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan lima fungsi tindak tutur, yaitu (1) untuk tukar-menukar informasi faktual, (2) untuk mengungkapkan sikap emosi, (3) untuk mengungkapkan sikap moral, (4) untuk meyakinkan atau mempengaruhi, (5) untuk sosialisasi. Fungsi untuk tukar-menukar informasi faktual ditemukan dalam tindak bertanya dan memberikan informasi. Fungsi untuk mengungkapkan sikap emosi ditemukan dalam tindakan mengungkapkan minat. Fungsi untuk mengungkapkan sikap moral ditemukan dalam pengungkapan setuju atau tidak setuju. Fungsi tindak tutur untuk meyakinkan dan mempengaruhi ditemukan dalam tindak menyarankan. Fungsi terakhir, yaitu untuk sosialisasi ditemukan dalam tindak menarik perhatian. Fungsi tindak tutur yang paling banyak ditemukan dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin adalah tukar-menukar informasi faktual. Fungsi tindak tutur yang tidak ditemukan dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin adalah mengungkapkan informasi intelektual.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut. 1) Dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ditemukan adanya penggunaan jenis tindak tutur asertif, direktif, ekspresif, dan deklaratif. Dari identifikasi tindak asertif ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak asertif, yaitu (1) tindak pemberian saran, (2) tindak pemberian penegasan, (3) tindak pemberian menjelaskan, dan (4) tindak pemberian informasi. Dari identifikasi tindak direktif ditemukan tiga jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak direktif, yaitu (1) tindak direktif jenis meminta, (2) tindak direktif jenis menyuruh, (3) tindak direktif jenis pertanyaan. Dari identifikasi tindak ekspresif telah ditemukan empat jenis yang mencakup penggunaan jenis tindak ekpresif, 289 yaitu (1) tindak ekspresif jenis rasa senang, (2) tindak ekspresif jenis rasa suka, (3) tindak ekspresif jenis menolak. Tuturan yang berisi penolakan sering dituturkan oleh pedagang, (4) tindak ekspresif jenis memuji. Jenis tindak tutur yang paling banyak digunakan, yaitu jenis tindak tutur asertif, diikuti oleh penggunaan jenis tindak tutur ekspresif, direktif, dan yang paling sedikit digunakan adalah jenis tindak tutur deklaratif. 2) Fungsi tindak tutur yang teridentifikasi dalam transaksi jual beli di Pasar Tungging Belitung Banjarmasin ada lima fungsi. Kelima fungsi tindak tutur tersebut adalah (1) fungsi untuk tukar menukar informasi faktual, misalnya untuk mengidentifikasi bertanya, (2) fungsi untuk mengungkapkan sikap emosi, misalnya untuk mengidentifikasikan berminat atau kurang berminat, (3) fungsi untuk mengungkapkan sikap moral, misalnya untuk mengidentifikasi setuju atau tidak setuju, (4) fungsi untuk meyakinkan atau mempengaruhi, misalnya menyarankan, (5) fungsi untuk sosialisasi, misalnya menarik perhatian.

Saran Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diambil saran sebagai berikut. 1) Para pedagang hendaknya menggunakan bahasa yang bervariasi agar dapat menarik minat dan perhatian pembeli, misalnya pada saat memberikan informasi dan menjelaskan mengenai barang dagangannya. 2) Hendaknya penelitian ini dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti berikutnya yang akan mengkaji tindak tutur dalam transaksi jual beli, baik untuk menambah referensi maupun sebagai bahan perbandingan.

290 DAFTAR RUJUKAN

Rani, Abdul, dkk. 2000. Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Malang: Bayu Media. Jumadi. 2005. Representasi Power dalam Wacana Kelas. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Mu’in, Fatchul. 2009. Maungkai Budaya: Esai-Esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan, dan Politik. Banjarbaru: Scripta Cendekia. Nadar, F X. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.

291 Indeks Pengarang JURNAL BAHASA DAN SASTRA (JBS) Jilid 2 (Tahun 2012)

Agustina, L., 242 Nisa, R., 18 Agustus, M., 191 Noor, S., 31 Cuesdeyeni, P., 52 Noortyani, R., 66, 231 Effendi, R., 126, 269 Norhasuna, S., 280 Hastuti, W., 259 Normiani, A., 252 Ibrahim, A. S., 153 Paluru, Y., 178 Juhara, L., 206 Rafiek, M., 5, 143 Jumadi, 75 Rohim, K., 269 Jumariati, 221 Sabhan, 259 Kasmilawati, I., 126 Suriani, E., 114 Kusasi, Z. A., 102, 280 Suyitno, I., 153 LAS, M., 242 Syahwinda, I., 102 Maliq, N. R., 75 Yasluh, M., 45 Mardikayah, 197 Yazidi, A., 163 Marfuah, 231 Zulkifli, 24, 214

291.292 1 Indeks Mitra Bebestari JURNAL BAHASA DAN SASTRA (JBS) Jilid 2 (Tahun 2012)

Untuk penerbitan Jilid 2 Tahun 2012, semua naskah yang disumbangkan kepada Jurnal Bahasa dan Sastra (JBS) sudah ditelaah dan dinilai kelayakannya oleh mitra bebestari di bawah ini. 1. Rustam Effendi (Universitas Lambung Mangkurat) 2. Jumadi (Universitas Lambung Mangkurat) 3. Zulkifli (Universitas Lambung Mangkurat) 4. Imam Suyitno (Universitas Negeri Malang) 5. Hilaluddin Hanafi (Universitas Halu Oleo) 6. M. Siddik (Universitas Mulawarman) 7. Akmal Hamsa (Universitas Negeri Makasar) 8. Suminto A. Sayuti (Universitas Negeri Yogyakarta) 9. Darmansyah (Universitas Lambung Mangkurat) Penyunting Jurnal Bahasa dan Sastra (JBS) mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada para mitra bebestari yang telah menelaah dan menilai kelayakan artikel ilmiah dalam jurnal ini.

291.293 2 Petunjuk bagi (Calon) Penulis Jurnal Bahasa dan Sastra

1. Artikel yang ditulis untuk JBS adalah hasil penelitian atau hasil pemikiran di bidang bahasa, sastra, dan pembelajarannya. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman, ukuran 12 pts, dengan jarak 1 spasi, dicetak pada kertas A4 sepanjang maksimum 20 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print out sebanyak 3 eksemplar beserta filenya ke sekretariat pengelola JBS. Berkas (file) dibuat dengan Microsoft Word. Artikel dalam bentuk file dapat juga dikirim langsung melalui e-mail ke [email protected]. 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Jika naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis perlu mencantumkan alamat e-mail dan/atau alamat korespondensi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris disertai judul pada masing-masing bagian artikel. Judul artikel dicetak dengan huruf besar di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 14 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub bagian dicetak tebal atau tebal dan miring). 4. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum 100 kata) yang berisi tujuan, metode, dan hasil penelitian; kata kunci; pendahuluan yang berisi latar belakang, sedikit tinjauan pustaka, dan tujuan penelitian, metode; hasil; pembahasan; kesimpulan dan saran; daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 5. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah judul, nama penulis (tanpa gelar akademik), abstrak (maksimum 100 kata), kata kunci, pendahuluan yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan, bahasan utama(dapat dibagi ke dalam beberapa subbagian), penutup atau kesimpulan, daftar rujukan (hanya memuat sumber-sumber yang dirujuk). 6. Judul, abstrak, dan kata kunci ditulis dalam dua bahasa (bahasa Inggris dan bahasa Indonesia). Panjang masing-masing abstrak 75-100 kata, sedangkan jumlah kata kunci 3-5 kata. Abstrak minimal berisi judul, tujuan, metode, dan hasil penelitian. 7. Sumber rujukan sedapat mungkin merupakan pustaka-pustaka terbitan 10 tahun terakhir. Rujukan yang diutamakan adalah sumber-sumber primer berupa laporan penelitian (termasuk skripsi, tesis, disertasi) atau artikel-artikel penelitian dalam jurnal dan/atau majalah ilmiah. 8. Perujukan dan pengutipan menggunakan teknik rujukan berkurung (nama, tahun). Pencantuman sumber pada kutipan langsung hendaknya disertai keterangan tentang nomor halaman tempat asal kutipan. Contohnya: (Rafiek, 2011: 2). 9. Daftar Rujukan disusun dengan tata cara seperti contoh berikut ini dan diurutkan secara alfabetis dan kronologis.

294 Buku: Rafiek, Muhammad. 2010. Psikolinguistik: Kajian Bahasa Anak dan Gangguan Berbahasa. Malang: Universitas Negeri Malang Press.

Buku kumpulan artikel: Saukah, Ali & Waseso, Mulyadi Guntur (Eds.). 2002. Menulis Artikel untuk Jurnal Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang Press.

Buku terjemahan: Bucaille, Maurice. 1995. Firaun dalam Bibel dan Al-Quran: Menafsirkan Kisah Historis Firaun dalam Kitab Suci Berdasarkan Temuan Arkeologi. Terjemahan oleh Muslikh Madiyant. 2007. Bandung: Mizania.

Artikel dalam buku kumpulan artikel: Bottoms, J. C. 1965. Some Malay Historical Sources: A Bibliographical Note. Dalam Soedjatmoko, Mohammad Ali, G. J. Resink, & G. MCT. Kahin (Eds.), An Introduction to Indonesian Historiography (hlm. 156-193). New York: Cornell University Press.

Artikel dalam jurnal: Bertens, K. 1989. Etika dan Etiket Pentingnya Sebuah Perbedaan. Basis, XXXVIII (7): 266-273.

Artikel dalam Koran: Antemas, Anggraini. 6 Desember 2006. Adat Istiadat Perkawinan Urang Banjar (III), Bapingit- Badudus Sebelum Akad Nikah. Banjarmasin Post, tanpa halaman.

Dokumen resmi berupa kamus atau pedoman atau undang-undang: Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 tentang Sistem Pendidikan Nasional. 1990. Jakarta: PT Armas Duta Jaya.

Skripsi, Tesis, Disertasi, Laporan Penelitian: Rafiek, Muhammad. 2010. Mitos Raja dalam Hikayat Raja Banjar. Disertasi tidak diterbitkan. Malang: Program Pascasarjana Universitas Negeri Malang.

Makalah seminar, lokakarya, penataran: Indriyanto. 2001. Peranan dan Posisi Ilmu Sejarah dalam Menjawab Tantangan Zaman. Makalah disajikan dalam Diskusi Masyarakat Indonesia Sadar Sejarah di Semarang, Fakultas Sastra UNDIP, Semarang, 30 Mei.

Rujukan dari internet: Ahmad, Syarwan. 2009. Filologi Hikayat Prang Sabi (Online), (http://blog.harian-aceh.com/filologi- hikayat-prang-sabi.jsp, diakses 18 Desember 2009). Manuaba, Putera. 2001. Hermeneutika dan Interpretasi Sastra, (Online), (http://www.angelfire.com/ journal/fsulimelight/hermen.html, diakses 10 November 2009). 295 10.Tata cara penyajian kutipan, rujukan, tabel, dan gambar mengikuti ketentuan dalam Pedoman Penulisan Karya Ilmiah atau mencontoh langsung dari artikel yang sudah terbit dalam JBS. 11.Semua naskah ditelaah oleh penelaah ahli yang ditunjuk oleh penyunting menurut bidang kepakarannya. Penulis artikel diberi kesempatan untuk memperbaiki artikelnya atas saran perbaikan dari penelaah ahli. Kepastian pemuatan artikel ilmiah akan diberitahukan kepada penulis. 12.Segala sesuatu yang menyangkut izin pengutipan atau penggunaan software komputer untuk pembuatan naskah artikel atau hal ikhwal lain yang terkait dengan HAKI yang dilakukan oleh penulis artikel termasuk konsekuensi hukum yang mungkin timbul karenanya, menjadi tanggung jawab penuh penulis artikel tersebut. 13.Sebagai prasyarat bagi pemrosesan artikel, para penyumbang artikel wajib menjadi pelanggan minimal selama satu tahun. Penulis yang artikelnya dimuat wajib memba- yar kontribusi biaya cetak sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) perjudul.Se- bagai imbalannya, penulis menerima nomor bukti pemuatan sebanyak 5 (lima) eksemplar.

296 FORMULIR BERLANGGANAN

Mohon dicatat sebagai pelanggan JBS Nama : ………………………………………………………………………......

Alamat : ……………………………………………………………………………………. ………………………………..(Kode Pos …………………………………….....)

Harga langganan mulai 1 Oktober 2012 (2 nomor) Untuk satu tahun · Rp. 100.000,- untuk wilayah Kalimantan Selatan · Rp. 150.000,- untuk wilayah Kalimantan Barat, Tengah, dan Timur · Rp. 200.000,- untuk wilayah luar Kalimantan

Formulir ini boleh diperbanyak (…………………………)

———————————gunting di sini dan kirimkan ke alamat Jurnal BS————————

BERITA PENGIRIMAN UANG LANGGANAN

Dengan ini saya kirimkan uang sebesar: a. Rp. 100.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun ……... b. Rp. 150.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun …….. c. Rp. 200.000,- untuk langganan 1 tahun (2 nomor) mulai Nomor ………… Tahun …….. (Lingkari salah satu)

Uang tersebut telah saya kirim melalui: BNI Capem Universitas Lambung Mangkurat, rekening nomor 0103958218 a.n. Program Studi Pascasarjana Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

297 298